Anda di halaman 1dari 271

UKK KARDIOLOGI IDAI

IDAI CABANG SUMATERA SELATAN


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP Dr. MOH. HOESIN PALEMBANG

PEDIATRIC CARDIOLOGY UPDATE VII

NASKAH LENGKAP

The Role of Pediatrician in Pediatric Cardiac Care


with Limited Resources

Penyunting:
Ria Nova
Deny Salverra Yosy
Yulia Iriani
Dhandi Wijaya
Ratih Gustifa

Palembang, 6-7 April 2019


Dilarang memperbanyak, mencetak, atau menerbitkan sebagian maupun
seluruh buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Ketentuan Pidana
Kutipan Pasal 72 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau
hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).

The Role of Pediatrician in Pediatric Cardiac


Care with Limited Resources

Penyunting : Ria Nova, Deny Salverra Yosy, Yulia Iriani, Dhandi Wijaya,
Ratih Gustifa

Design grafis sampul muka : Dhandi Wijaya

Hak Penerbit pada IDAI Sumatera Selatan


bekerja sama dengan
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/
RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang

Dicetak oleh:
Noerfikri Offset
Jl. KH. Mayor Mahidin No. 142
30126 Telp/Fax. (0711) 366625
Palembang–Indonesia
E-mail: noerfikri@gmail.com

Cetakan I: Maret 2019

Hak cipta dilindungi undang-undang pada penulis


All right reserved
ISBN 978-602-61558-2-5
Kata Sambutan
Ketua UKK Kardiologi IDAI

Para teman sejawat yang saya hormati,


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah
dan karuniaNya sehingga kita diberi kesehatan dan kekuatan untuk dapat
mengikuti simposium Pediatric Cardiology Update VII ini.
Pediatric Cardiology Update adalah agenda tahunan yang
diselenggarakan oleh UKK Kardiologi IDAI bekerja sama dengan IDAI
Cabang tempat penyelenggara acara.
Tujuan dari penyelenggaraan acara ini adalah untuk transfer of
knowledge dari pakar di bidangnya kepada teman-teman sejawat dokter
spesialis anak, dokter umum dan dokter spesialis lainnya.
Topik yang dipilih pada Pediatric Cardiology Update VII ini adalah
“The Role of Pediatrician in Pediatric Cardiac Care with Limited
Resources”.
Deteksi dini kelainan jantung pada anak sangat penting, terutama
untuk teman sejawat yang bekerja di pelayanan kesehatan dengan
fasilitas kesehatan terbatas, sehingga tidak terjadi keterlambatan merujuk
dan anak-anak dengan kelainan jantung mendapat penanganan yang
tepat dan komprehensif agar pertumbuhan dan perkembangan optimal.
Akhir kata semoga dengan diadakannya simposium Pediatric
Cardiology Update VII ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi bagi
kita dalam meningkatkan ilmu dan pengetahuan khususnya yang
berkaitan kasus-kasus kelainan jantung pada anak.
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh.

Palembang, April 2019


Ketua UKK Kardiologi IDAI

Dr. Noormanto, Sp.A(K)

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang iii
Kata Sambutan
Ketua IDAI Sumatera Selatan

Para teman sejawat yang saya hormati,


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Pertama puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah
SWT atas berkah dan karuniaNya sehingga kita diberi kesehatan dan
kekuatan untuk dapat mengikuti simposium Pediatric Cardiology Update
VII ini
Penyelenggaraan simposium Pediatric Cardiology Update VII
dimaksudkan untuk memberi tambahan pengetahuan bagi para klinisi
yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan anak, sehingga dapat
meningkatkan mutu dalam pelayanan kepada masyarakat khususnya
pada kasus-kasus kelainan jantung pada anak.
Topik simposium Pediatric Cardiology Update VII ini adalah “The
Role of Pediatrician in Pediatric Cardiac Care with Limited
Resources”. Pemilihan topik ini didasarkan bahwa deteksi dini kelainan
jantung di fasilitas kesehatan terbatas sangat penting supaya tidak terjadi
keterlambatan merujuk dan pasien mendapat penanganan yang tepat.
Akhir kata semoga dengan diadakannya simposium Pediatric
Cardiology Update VII ini dapat memberikan manfaat dan kontribusi bagi
kita dalam meningkatkan ilmu dan pengetahuan khususnya yang
berkaitan kasus-kasus anak.
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh.

Palembang, April 2019


Ketua IDAI Cabang Sumatera Selatan

Dr. Silvia Triratna, Sp.A(K)

th
iv Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Kata Sambutan
Ketua Departemen Kesehatan Anak
FK Unsri - RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Assalamu‘alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.


Sejawat yang saya hormati,
Pediatric Cardiology Update VII diselenggarakan oleh UKK
Kardiologi, IDAI Cabang Sumatera Selatan dan Departemen Kesehatan
Anak FK Unsri/RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang dengan tema “The
Role of Pediatrician in Pediatric Cardiac Care with Limited
Resources”. Tema ini menarik mengingat banyak kasus-kasus kelainan
jantung yang terlambat ditangani karena keterlambatan deteksi dini di
pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas.
Selama Pediatric Cardiology Update VII ini akan dibicarakan
identifikasi kelainan jantung pada anak yang sering ditemui di praktik
sehari-hari dan bagaimana mendiagnosis dini kelainan jantung sehingga
tidak terjadi keterlambatan merujuk dan pasien mendapat penanganan
yang tepat.
Semoga Pediatric Cardiology Update VII kali ini memberikan
manfaat yang besar dan menambah wawasan pengetahuan tentang
kelainan jantung pada anak.
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Palembang, April 2019


Ketua Departemen Kesehatan Anak
FK Unsri/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Dr. Yusmala Helmy, Sp.A(K)

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang v
Kata Sambutan
Ketua Panitia
Pediatric Cardiology Update 7th Palembang

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Seiring dengan semakin majunya perkembangan ilmu Kardiologi Anak,
dokter spesialis anak umumnya dan konsultan jantung anak khususnya,
perlu meningkatkan pengetahuan sekaligus kompetensi dalam
tatalaksana terkini penyakit jantung anak. Untuk itu perlu dilaksanakan
Pediatric Cardiology Update VII yang akan dilaksanakan di Palembang
pada tanggal 6-7 April 2019.Tema Pediatric Cardiology Update VII adalah
“The Role of Pediatrician in Pediatric Cardiac Care with Limited
Resources”
Pada kegiatan tersebut akan dibahas topik-topik yang sering
ditemukan para sejawat dokter spesialis anak dan dokter umum, dengan
harapan dapat mendeteksi sedini mungkin penyakit jantung anak, mampu
memberikan tatalaksana awal penyakit jantung pada anak meskipun
dengan fasilitas pelayananan kesehatan terbatas sebelum dirujuk ke
pusat pelayanan yang lebih lengkap
Pediatric Cardiology Update VII ini diselenggarkan oleh UKK
Kardiologi Anak bekerja sama dengan IDAI Cabang Sumatera Selatan,
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya/ RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang serta Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) Wilayah Sumatera Selatan.

Palembang, April 2019


Ketua Panitia

Dr. Ria Nova, SpA(K)

th
vi Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Kata Pengantar

Assalamua’alaikum Wr.Wb.
Teman sejawat peserta simposium Pediatric Cardiology Update VII yang
kami hormati.
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
berkat rahmatNya buku Naskah Lengkap Pediatric Cardiology Update VII
dengan tema
“The Role of Pediatrician in Pediatric Cardiac Care with
Limited Resources” dapat diselesaikan. Topik ini dipilih agar teman
sejawat yang bekerja di fasiltas kesehatan terbatas dapat ikut terlibat
melakukan deteksi dini kelainan jantung pada anak sehingga tidak terjadi
keterlambatan diagnosis, merujuk pada waktu yang tepat, sehingga
pelayanan jantung anak menjadi lebih optimal.
Walaupun waktu yang diberikan untuk menyunting buku ini sangat
singkat, namun berkat kerja sama tim yang solid dan tekad yang kuat,
akhirnya buku ini dapat diselesaikan tepat waktu. Dalam penyuntingan
buku ini, kami tidak mengubah isi makalah, tetapi hanya mengatur format
sehingga buku ini mudah dipahami dengan baik.
Kepada para penulis, kami ucapkan terima kasih atas kesediaan
dan telah meluangkan waktu untuk menulis sehingga makalah dapat kami
rangkai menjadi buku naskah ilmiah. Kami berharap buku ini bermanfaat
bagi dokter muda, dokter umum, PPDS I Ilmu Kesehatan Anak, dokter
spesialis anak serta peserta Sp2 Kardiologi Anak.
Kami mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penerbitan buku
ini dan mohon kritik yang membangun untuk perbaikan di masa datang.
Kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan buku ini, kami
ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Hormat kami,

Penyunting

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang vii
SUSUNAN PANITIA

Pelindung : Ketua Ikatan Dokter Indonesia Cabang Sumsel


Rektor Universitas Sriwijaya
Penasihat : Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Direktur RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang
Prof. Dr. Rusdi Ismail, Sp.A(K)
Prof. Dr. Zarkasih Anwar, Sp.A(K)
Penanggung Jawab : Ketua UKK Kardiologi Anak
Dr. Noormanto, Sp.A(K)
Sekretaris UKK Kardiologi Anak
Dr. Rahmat Budi K, Sp.A(K)
Ketua IDAI Cabang Sumatera Selatan
Dr. Silvia Triratna, Sp.A(K)
Kepala Dep. Ilmu Kesehatan Anak RSMH/FK Unsri
Dr.Yusmala, Sp.A(K)
Ketua : Dr. Ria Nova, Sp.A(K)
Sekretaris : Dr. Deny Salverra Yosy, Sp.A(K), M.Kes.
Bendahara : Dr. RA Myrna Alia, Sp.A(K), M.Kes.
Sie Dana dan Usaha : Dr. Achirul Bakri, Sp.A(K)
Dr. Zizke Machmudi, Sp.A
Dr. Syarif Darwin Anshori, Sp.A(K)
Dr. Meliza Zubir, Sp.A
Dr. KH. Yantjik, Sp.A(K)
Dr. Herman Bermawi, Sp.A(K)
Dr. HM. Nazir, Sp.A(K)
Sie Sekretariat : Dr. Eka Intan Fitriana, Sp.A(K), M.Kes.
Dr. Atika Akbari, Sp.A
Dr. Virdayanty, Sp.A
Sie Acara dan Ilmiah : DR. Dr. Yulia Iriani, Sp.A(K)
Dr. RA Myrna Alia, Sp.A(K), M.Kes.
DR. Dr. Yudianita Kesuma, Sp.A(K), M.Kes.
Dr. Msy Rita Dewi, SpA(K)
Dr. Rismarini, Sp.A(K)
Dr. Dewi Rosariah Ayu, Sp.A
Dr. Indrayady, Sp.A(K)
Dr. Afifa Ramadanty, Sp.A(K)
Dr. Fifi Sofiah, Sp.A(K)
Dr. Moretta Damayanty, Sp.A(K), M.Kes.
Dr. Yulisnawati Hasanah, Sp.A(K), M.Kes.
Sie Komsumsi : Dr. Elvietha Alamanda, Sp.A, M.Sc.
Dr. Julniar M. Tasli, SpA(K)
Sie Informasi dan Teknologi : Dr. R.M. Indra, Sp.A(K)
Dr. Azwar Aruf, Sp.A, M.Sc.

th
viii Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Sie Publikasi : Dr. Hertanti Indah Lestari, Sp.A(K)
Dr. Aditiawati, Sp.A(K)
Sie Transportasi : Dr. Hasri Salwan, Sp.A(K)
Dr. Hadi Asyik, Sp.A
Sie Akomodasi : Dr. Prakanita, Sp.A
Dr. Dian Puspita Sari, Sp.A(K), M.Kes.
Sie Perlengkapan : Dr. Julius Anzar, Sp.A(K)
Dr. Edy Novery, Sp.A
Sie Keamanan : Dr. Syamsul Rizal, Sp.A

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang ix
Daftar Penulis

Prof. DR. Dr. Sukman Tulus Putra, Sp.A(K), FACC, FESC


Divisi Kardiologi, Departemen Kesehatan Anak
FK Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta

Dr. Sasmito Nugrioho, Sp.A(K)


Divisi Kardiologi, Departemen Kesehatan Anak
FK Universitas Gajah Mada/RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta

Dr. Sri Lilijanti Widjaja, Sp.A(K)


Divisi Kardiologi, Departemen Kesehatan Anak
RSUD Dr. Moewardi/FK Universitas Sebelas Maret
Surakarta

Dr. Muhammmad Ali, Sp.A(K)


Divisi Kardiologi, Departemen Kesehatan Anak
RSUP Adam Malik
Medan

Dr. Alit Utamayasa, Sp.A(K)


Divisi Kardiologi, Departemen Kesehatan Anak
RSUD Dr. Soetomo/FK Universitas Airlangga
Surabaya

Prof. DR. Dr. Mulyadi M. Djer, Sp.A(K)


Divisi Kardiologi, Departemen Kesehatan Anak
FK Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta

Dr. Rizky Ardiansyah, Sp.A(K)


Divisi Kardiologi, Departemen Kesehatan Anak
RSUP Adam Malik
Medan

DR. Dr. Nadjib Advani, Sp.A(K), M.Med(Paed)


Divisi Kardiologi, Departemen Kesehatan Anak
FK Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta

th
x Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
DR. Dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp.A(K)
Divisi Perinatologi, Departemen Kesehatan Anak
FK Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta

DR. Dr. Ni Putu Veny Kartika Yantie, Sp.A(K)


Divisi Kardiologi, Departemen Kesehatan Anak
RSUP Sanglah/FK Universitas Udayana
Denpasar

Dr. Nikmah Salamia Idris, Sp.A(K), PhD


Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK Universitas Indonesia-Jakarta
Pulmonary Hypertension Unit, Great Ormond Street Hospital, London,
UK

DR. Haifa binti Abdul Latiff, MBBS, M.Med, FNHAM, FAsCC


Consultant Pediatric Cardiologist
Institut Jantung Negara
Kuala Lumpur

Prof. DR. Dr. Teddy Ontoseno, Sp.A(K)


Divisi Kardiologi, Departemen Kesehatan Anak
RSUD Dr. Soetomo/FK Universitas Airlangga
Surabaya

Prof. DR. Dr. Sudigdo Sastroasmoro, Sp.A(K)


Divisi Kardiologi, Departemen Kesehatan Anak
FK Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta

Dr. Tina Tobing, Sp.A(K)


Divisi Kardiologi, Departemen Kesehatan Anak
RSUP Adam Malik
Medan

Dr. Agus Priyatno, Sp.A(K)


Divisi Kardiologi, Departemen Kesehatan Anak
RSUP Kariadi
Semarang

DR. Dr. Sri Endah Rahayuningsih, Sp.A(K)


Divisi Kardiologi, Departemen Kesehatan Anak
FK Universitas Padjajaran/RSUP Hasan Sadikin
Bandung

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang xi
Dr. Julius Anzar, Sp.A(K)
Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Departemen Kesehatan Anak
FK Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang

th
xii Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Daftar Isi

Kata Sambutan Ketua UKK Kardiologi IDAI ........................................ iii


Kata Sambutan Ketua IDAI Sumatera Selatan .................................... iv
Kata Sambutan Ketua Departemen Kesehatan Anak
FK Unsri-RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang ........................... v
Kata Sambutan Ketua Panitia Pediatric cardiology Update VII ............ vi
Kata Pengantar .................................................................................. vii
Susunan Panitia ................................................................................. viii
Daftar Penulis ..................................................................................... x
Daftar Isi ............................................................................................. xiii
Pediatric Cardiac Services di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN:
Tantangan & Peluang
Sukman Tulus Putra ........................................................................... 1
Gagal Jantung pada Penyakit Jantung Bawaan: Perubahan
Hemodinamik dan Tatalaksana
Sasmito Nugroho ................................................................................ 15
Penyakit Jantung Bawaan Sianotik, Hypercyanotic Spell, dan
Kondisi Lain yang Berkaitan
Sri Lilijanti Widjaja .............................................................................. 27
Infeksi Saluran Nafas Bawah Berulang pada PJB dan
Tatalaksananya
Muhammad Ali ................................................................................... 49
Nyeri Dada Pada Anak, Apakah Berbahaya?
Alit Utamayasa ................................................................................... 63
Identification of Arrhythmias in Children: Tips and Tricks
Mulyadi M. Djer .................................................................................. 79
Syok Sepsis vs Syok Kardiogenik pada Anak: Pendekatan Praktis
dan Tatalaksana
Rizky Adriansyah ................................................................................ 93
Peran Imunoglobulin pada Tata Laksana Penyakit Kawasaki
Najib Advani ....................................................................................... 107
Diagnosis dan Tatalaksana Hipotensi pada Neonatus
Rinawati Rohsiswatmo ....................................................................... 115
Current Evidence of Pharmacotherapy to Close Patent Ductus
Arteriosus in Preterm Infant
Putu Veny Kartika Yantie .................................................................... 141
Hipertensi Pulmoner dan Prematuritas
Nikmah S Idris .................................................................................... 155
Basic View for Fetal Cardiac Screening
Haifa Abdul Latiff ................................................................................ 169

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang xiii
Adult Congenital Heart Disease: Optimal Care in Limited Resources
Teddy Ontoseno ................................................................................. 175
Meningkatkan Kualitas Pelayanan Pasien: Scientific Evidence
atau Real World Evidence?
Sudigdo Sastroasmoro ....................................................................... 197
Rheumatic Fever: Primary versus Secondary Prophylaxis in
Clinical practice
Tina Christina Tobing ......................................................................... 207
Diphtheritic Myocarditis: Old Enemy Has Back
Agus Priyatno ..................................................................................... 213
Practical Approach of Endocarditis Prevention in Daily Practices
Sri Endah Rahayuningsih ................................................................... 229
Asuhan Nutrisi untuk Anak dengan Penyakit Jantung Kongenital
Julius Anzar......................................................................................... 243

th
xiv Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Pediatric Cardiac Services Di Era Masyarakat Ekonomi
ASEAN: Tantangan & Peluang

Sukman Tulus Putra


Departeman Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta

Pendahuluan
Dengan diberlakukannya kerja sama negara-negara Asia
Tenggara yang dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
atau ASEAN Economic Community (AEC) sejak akhir tahun 2015,
maka secara resmi dimungkinkan terjadinya aliran bebas jasa dan
barang di kawasan negara ASEAN termasuk jasa pelayanan
kesehatan dan kedokteran. Ada pihak yang optomis menyambut era
baru ini dengan alasan bahwa MEA akan merupakan ajang
keterbukaan perkembangan suatu bangsa dalam berbagai aspek
kehidupan. Era keterbukaan ini akan memberikan kesempatan kepada
tenaga terampil termasuk dokter dari suatu negara untuk dapat
berkiprah di negara ASEAN lainnya. Sementara di pihak lain ada yang
beranggapan bahwa situasi ini hanya akan memberikan peluang yang
sangat luas bagi bangsa asing untuk masuk ke Indonesia dan
perlahan-lahan namun pasti akan terjadi suatu dominasi asing di
berbagai bidang dan sendi-sendi kehidupan bangsa ini termasuk
dalam pelayanan kesehatan. Namun suka atau tidak suka situasi ini
harus kita jalani dengan memanfaatkan peluang yang ada dan
berupaya mengatasi berbagai tantangan yang timbul.
Distribusi dokter yang tidak merata di seluruh tanah air dan
kelemahan infrastruktur serta masih ada fasilitas yang kurang mungkin
merupakan alasan adanya kekhawatiran. Dalam hal mobilisasi dokter
termasuk spesialis anak maupun subspesialis anak (kualifikasi
Konsultan) dapat terjadi yang tentu saja harus mengikuti regulasi dari
masing-masing negara. Dokter subspesialis jantung anak yang ada
disuatu negara merupakan salah satu faktor penting yang menentukan
kualitas dan sistem pelayanan dalam bidang jantung anak (pediatric
cardiac services) di suatu negara di samping faktor lain seperti tenaga
dokter bedah jantung, anestesi, intensivist dan teknisi dan lain-lain. Di
samping itu sistem rujukan dan sistem pembeayaan juga turut
menentukan kualitas pelaksanaan pelayanan jantung anak.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 1
Uraian berikut ini akan membahas secara singkat sekilas
tentang MEA, persyaratan atau regulasi mobilisasi dokter di negara
ASEAN, situasi pelayanan jantung anak di Indonesia saat ini,
beebarpa stake holder yang berperan dalam meningkatkan kualitas
dan sistem pelayanan kesehatan dan upaya-upaya yang harus
dilakukan dalam menghadapi tantangan dan peluang di era globalisasi
ini.

Tentang masyarakat ekonomi ASEAN (MEA/AEC)


Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara yang tergabung di
dalam ASEAN bersepakat pada KTT ASEAN ke-12, Januai 2007
bersama membentuk komunitas ASEAN yang diformalkan melalui
penanda tanganan Deklarasi Cebu. Perlu diketahui bahwa komunitas
ASEAN terdiri dari 3 pilar utama yakni 1) Komunitas Politik dan
Keamanan (ASEAN Political-SecurityCommunity/APSC),2) Komunitas
Ekonomi ASEAN (ASEAN EconomicCommunity/AEC), 3) Komunitas
Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Cultural Community).Pembahasan
berikut ini akan membatasi hal-hal yang terkait dengan ASEAN
Economic community atau Mayarakat ekonomi ASEAN (MEA)
khususnya implikasi dalam bidang tenaga kesehatan khususnya
dokter, termasuk dokter spesialis dan subspesialis anak.
Sebenarnya AEC merupakan realisasi dari Visi ASEAN 2020
yaitu untuk melakukan integrasi terhadap ekonomi negara-negara
ASEAN dengan membentuk pasar tunggal (single market) dan
basis produksi bersama.
AEC blue print mengamanatkan liberaliasasi perdagangan
barang dengan menghapuskan hambatan tarif dan non-tarif. Dengan
peningkatan fasilitas perdagangan yang diharapkan dapat
memperlancar arus perdagangan ASEAN. Sedangkan blue-print untuk
perdagangan jasa bertujuan untuk meghilangkan hambatan market
access dan national treatment. Liberalisasi jasa meliputi 4 modes of
supply (lihat tabel 1).1

th
2 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 1. Liberalisasi perdagangan jasa yang mencakup 4 (empat)
Mode of Supply

MODE 1 Cross-border Pasokan jasa lintas batas.


supply Contoh: ketika konsumen WNI membeli
jasa dari luar negeri tanpa harus
meninggalkan negerinya melalui
telemedicine
MODE 2 Consumption Jasa yang diberikan oleh penyedia jasa
abroad luar negeri kepada konsumen domestik
yang berada pada negara penyedia
jasa.
Contoh WNI pergi berobat ke Malaysia
MODE 3 Commercial Jasa yang diberikan oleh penyedia jasa
presence luar negeri kepada konsumen di negara
konsumen.
Contoh: ketika sebuah perusahaan
Singapura mendirikan rumah sakit di
Indonesia dan menyediakan pelayanan
kesehatan.
MODE 4 Movement of Tenaga kerja asing yang menyediakan
natural person jasa keahlian tertentu dan datang ke
negara konsumen.
Contoh ketika seorang dokter spesialis
dari Malaysia praktik di Indonesia atau
sebaliknya dokter Indonesia berpraktik
di Malaysia.

Bagaimana dengan Mutual Recognition Arrangement (MRA)?


Sehubungan dengan pergerakan/mobilisasi tenaga terampil
termasuk dokter di ASEAN maka salah satu upaya yang dilakukan
adalah dengan menyusun dan menyepakati Mutual Recognition
Arrangement (MRA) yaitu suatu kesepakatan untuk menciptakan
prosedur dan mekanisme akreditasi untuk mendapatkan kesamaan/
kesetaraan serta mengakui perbedaan antar negara dalam bidang
pendidikan dan pelatihan, pengalaman dan persyaratan lisensi untuk
para profesional yang ingin berpraktik. Terkait dengan jasa pelayanan
kesehatan AMS (ASEAN Member State) telah sepakat untuk
menyusun 3 MRA.2

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 3
• ASEAN MRA on Nursing Service (8th December 2006)
• ASEAN MRA on Medical Practitioners (26th February 2009)
• ASEAN MRA on Dental Practitioners (26th February 2009)

Perundingan liberalisasi jasa kesehatan dilakukan dalam forum


Health Care Services Sectoral Working Group (HSSWG) yang terdiri
dari ASEAN Joint Coordinating Committee on Medical Practitioners
(AJCCM), ASEAN joint Committee on Dental Practitioners (AJCCD)
dan ASEAN Joint Coordinating Committee on Nursing (AJCCN).
Khusus untuk dokter yang tergabung dalam AJCCM sampai akhir
tahun 2015 ada 3 objektif yang akan dicapai (Lihat tabel 2).

Tabel 2. Objektif dan Action Plan MRA.3

Objective Action Plan


1. Facilitate mobility • Utilize temporary licensing and registration
medical practitioners in 5 areas of practiceas focus of mobility of
within ASEAN and medical practitioners.
provide opportunities • Define the mechanism of mobility for
for capacity building medical practioners for each AMS
and training of • Constract table of comparations providing
medical practitioners information ragrding Limited Practice, its
application, requirements and conditions,
duration and conditions for renewal
• Constract the table for other four
categories intersessionally and submit
them in the next AJCCM meeting
2. Exchange • Continue to update the comparation matrix
information and as appears in annex and share
enhance cooperation information throughtheir respective
in respect of mutual websites
recognition of • Maintain the aggregate data on ASEAN
medical practitioners medical practitioners accorded temporary
lisence/registration under thefive
categories in the concept paper.
• The statistical data will be collected at
every AJCCM meeting
3. Promote adoption of • Continue to share best practices on
best practices on standards and qualificationsthrough their
standards and respective website, as well as profesional
qualifications exchanges
• Pilots 3 issues facing AMS as topics to
share experience, best practices on
standards and qualifications

th
4 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Dalam hal yang terkait dengan dengan pergerakan/mobilisasi
dokter- dokter di negara ASEAN sampai saat ini masing-masing
negara ASEAN telah menyetujui (agree) untuk memperoleh surat
tanda registrasi/licensing untuk 5 kategori kegiatan yakni:4
1) Limited practice (praktek sementara dalam waktu tertentu yang
terbatas)
2) Expert visit (kedatangan para ahli untuk memberikan alih
teknologi/keterampilan/ilmu pengetahuan
3) Education and Training (pendidikan dan pelatihan)
4) Humanitarian Missions (kedatangan untuk bakti sosial)
5) Research (penelitian)

Untuk masing-masing kriteria tersebut di atas setiap negara


dapat mengajukan keperluan persyaratan (requirement) sesuai
dengan kondisi yang diharapkan oleh masing-masing negara ASEAN.
Misalnya saja untuk Limited Practice, bagi dokter asing, Indonesia
mensyaratkan harus mematuhi semua regulasi domestik termasuk
Peraturan Konsil Kedokteran (Perkonsil) dan Peraturan Menteri
Kesehatan serta Kementerian lain yang terkait seperti
Ketenagakerjaan dan Imigrasi. Ada persyaratan lain bahwa dokter
yang bersangkutan harus melaporkan kegiatannya setiap tahun.Di
samping itu lama praktik yang diizinkan hanya 1 tahun dan dapat
diperpanjang hanya 1(satu) kali. Negara-negara lain memberikan
persyaratan yang hampir sama namun dalam durasi yang berbeda-
beda, namun tidak lebih dari 1 tahun.Kunjungan dokter ahli (expert
visit) yang diundang oleh penyelenggara seperti organisasi profesi
harus dapat persetujuan oleh Konsil Kedokteran Indonesia setelah
yang bersangkutan mengirimkan beberapa dokumen seperti certificate
of good standing dari negara asal, persetujuan kolegium dokter ahli
terkait dan beberapa dokumen lainnya.
Sehubungan dengan proses mobilisasi tenaga dokter di era
MEA maka ada suatu badan yang mempunyai peran yang sangat
pentinguntuk mengatur dan mengotrol praktek jasa kedokteran
(regulatory body) yaitu Professional Medical Regulatory Autorithy
(PMRA) untuk dokter dan PMRD (Professional Dental Regulatory
Authority) untuk dokter gigi. Di banyak negara ASEAN badan yang
bertanggung jawab dalam pengaturan tersebut di atas adalah Konsil
Kedokteran (Medical Council). Di Indonesia badan regulator ini yang
telah diakui baik secara nasional maupun internasional adalah Konsil

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 5
Kedokteran Indonesia (KKI) di samping Kementerian Kesehatan.
Ada negara ASEAN yang PMRAnya hanya Konsil Kedokteran dan ada
juga yang hanya Kementerian Kesehatan (lihat Tabel 3).

Tabel 3. Professional Medical Regulatory Authority (PMRA) di


ASEAN
Negara Anggota Otoritas Yang Ditunjuk
Brunei Darussalam Brunei Medical Board
Cambodia Cambodian Medical/Dental Council +MoH
Indonesia Indonesia Medical Council + MoH
Laos Ministry of Health (MoH)
Malaysia Malaysia Medical/Dental Council
Myanmar Myanmar Medical/Dental Council + MoH
Philippines Phillippines Professional Regulation
Commission + Board of Medicine/Dentistry +
Phillippines Medical/Dental Associations
Singapore Singapore Medical/Dental Council and Medical
Specialist Accreditation Board
Thailand Thailand Medical/Dental Council and Ministry of
Health
Vietnam Ministry of Health

Keterangan: PMRA = Professional Medical Regulatory Authority; MoH= Minsitry


of Health

Bagaimana persyaratan dan regulasi mobilisasi dokter antara


negara ASEAN?
Dalam kaitannya dengan mobilisasi dokter-dokter di negara
ASEAN diperlukan saling pengakuan profesi dalam hal: 1) saling
pengakuan profesi dalam sistem dan kurikulum pendidikan, 2)
Penyetaraan Core competence dan CPD (Continuing Professional
Development), 3) Rekognisi proses registrasi/ lisensi dan penerbitaan
“Certificate of good standing” (COG) atau “letter of good
standing”(LOG) dari negara asal dan 4) aksesibilitas pertukaran
informasi melalui AMS (ASEAN Member State) website.

th
6 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Pengaturan dan persyaratan rekognisi atau saling pengakuan
dokter/dokter gigi di ASEAN sesuai dengan MRA adalah sebagai
berikut:
1) Memenuhi kualifikasi dan teregistrasi oleh ”Professional
Regulatory Authority” di negara asal dan negara tujuan,
2) Berasal dari institusi pendidikan dan sistem Pendidikan
Kedokteran yang direkognisi negara tujuan,
3) Sertifikat kompetensi diakui kolegium sejenis di masing-masing
negara ASEAN,
4) Pengalaman berpraktik aktif di negara asal minimal 5 tahun,
5) Penyetaraan CPD di negara asal dan negara tujuan,
6) Memiliki “cerificate of good standing” (COG) yang menyatakan
bahwa dokter yang bersangkutan tidak sedang terkena sanksi
pelanggaran hukum, disiplin, atau etika profesi.

Bila melihat berbagai persyaratan rekognisi seperti tersebut di


atas maka setiap ada perpindahan (mobilisasi) dokter termasuk
subspesialis jantung anak, maka sangat diperlukan suatu pengakuan
yang bersifat timbal balik (reciprocal) antar negara. Dalam hal
kedatangan dokter ahli dalam rangka “expert visit” persyaratan di atas
sudah berjalan baik. Namun peluang untuk praktik dalam waktu yang
terbatas di Indonesia, harus mengikuti regulasi lagi baik dari
Kementerian Kesehatan maupun Kementerian Ketenagakerjaan.

Situasi pelayanan dan pendidikan dalam pelayanan jantung anak


saat ini
Dalam membicarakan pelayanan terhadap anak yang
menderita penyakit jantung, baik penyakit jantung bawaan (PJB) atau
penyakit jantung didapat (acquired heart) maka setidaknya ada 3 hal
pokok yang memerlukan perhatian yakni: (1) jumlah dan kualifikasi
sumber daya manusia (SDM) yang dalam hal ini spesialis dengan
keahlian jantung anak (konsultan), (2) ahli bedah jantung, (3) sarana
dan prasarana pelayanan, dan (4) sistem pelayanan dana
pembiayaan.
Oleh karena penanganan/tatalaksana penyakit jantung anak
harus komprehensif dan tuntas maka di suatu institusi pelayanan
jantung anak harus ada dokter yang mempunyai dokter dengan
kualifikasi subspesialis yang seringkali dinamakan Konsultan di
Indonesia.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 7
Untuk menghasilkan dokter subspesialis dengan kualifikasi
subspesialis/konsultan jantung anak diperlukan pendidikan dan
pelatihan yang cukup yang terstandar yang standar pendidikan dan
standar kompetensinya mendapat pengesahan oleh Konsil Kedokteran
Indonesia. Sesuai dengan ketentuan dalam undang undak pendidikan
kedokteran (UU Dikdok) no 20 tahun 2013 maka pendidikan
subspesialis harus dilaksanakan di universitas (university based).
Sampai saat ini baru ada 2 universitas yang menyelenggarakan
pendidikan subspesialis jantung anak secara terstruktur di Universitas
yakni Universitas Indonesia dan Universitas Airlangga. Sedangkan di
Universiats lainnya sedang dalam proses seperti di Universitas
Padjadjaran dan Universitas Gajah Mada.
Kebutuhan dokter subspesialis jantung anak di Indonesia
cukup banyak oleh karena setiap tahun tidak kurang 45.000 bayi yang
lahir dengan penyandang PJB di samping cukup banyak juga penyakit
jantung didapat seperti penyakit jantung rematik (PJR). Diperkirakan
seharusnya diperlukan sekitar 400 dokter subspesialis anak untuk
seluruh Indonesia, sementara saat ini baru tersedia kurang dari 60
orang dengan penyebaran yang tidak merata.
Demikian pula ahli badah jantung anak (SpBTKV) juga masih
sangat kurang di Indonesia. Sebagian berada di kota-kota besar. Hal
ini terkait dengan belum tersedianya berbagai sarana dan prasarana
serta tenaga kesehatan pendukung seperti perawat, ahli anestesi dan
intensivist untuk penanganan pasca-bedah. Sistem rujukan dari tingkat
pelayanan primer dan sekunder ke tingkat pelayanan tersier dalam
sistem pembeayaan jaminan kesehatan (JKN) masih belum berjalan
dengan baik. Perbaikan dan pengembangan SDM melalui
pendidikandan pelatihan, sarana dan prasarana serta memperbaiki
sistem rujukan dan pembiayaan merupakan tantangan bagi kita semua
di era MEA ini agar Indonesia dapat berkompetisi dengan negara-
negara SEAN lainnya dalam pelayanan anak yang menderita penyakit
jantung.
Sampai saat ini belum ada standarisasi dalam kompetensi
subspesialis jantung anak di tingkat ASEAN maupun Asia Pasifik.
Namun kerja sama antar beberapa institusi dalam hal pendidikan
tambahan (fellowship) telah berjalan lama antara lain dengan
Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Hubungan telah terjalin dengan baik
antara Indonesia dan beberapa pusat jantung anak di negara tersebut
baik secara personal maupun institusional. Di masa depan kerja sama
th
8 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
dalam pendidikan ini berpeluang untuk dikembangkan dan
ditingkatkan. Indonesia bahkan dapat memprakarsai untuk membeuat
kesepakatan dalam hal kualifikasi dokter ahli jantung anak yang
terstandar secara regional khususnya untuk negara-negara ASEAN.
Kerja sama informal dan lebih bersifat personal sudah cukup banyak
dilaksanakan melalui berbagai kegiatan ilmiah, workshop, training, dan
kegiatan-kegiatan lainnya. Akan tetapi umumnya belum sampai pada
tingkat penyamaan dan pengakuan tingkat kompetensi secara regional
ASEAN ataupun Asia Pasifik.
Fasilitas pelayanan jantung anak di Indonesia saat ini sebagian
besar berada di rumah sakit rujukan tertinggi (tersier) yang semuanya
merupakan rumah sakit pendidikan kedokteran. berjumlah 11 RS
dengan ketersediaan tenaga dan fasilitas bervariasi dan volume
pelayanan anak dengan penyakit jantung kasus yang sangat
bervariasi. Sampai saat ini hanya 3 RS rujukan di atas yang
mempunyai sumber daya manusia (SDM) yang memadai, sementara
sisanya masih kurang dan memerlukan peningkatan dan
pengembangan. Di samping itu terdapat pelayanan jantung anak yang
dilaksanakan di Pusat Jantung Nasional (National Heart Center)
Harapan Kita di Jakarta. Kekurangan SDM yang terlatih merupakan
titik lemah sekaligus tantangan dalam pelayanan jantung anak di
Indonesia sehingga sangat memungkinkan masuknya tenaga dari
negara ASEAN lainnya, tidak terkecuali dokter spesialis dan
subspesialis serta tenaga kesehatan pendukung lainnya. Sistem
rujukan berjenjang yang masih belum berjalan baik dan berbagai
masalahan pembiayaan yang meliputi tindakan intervensi dan bedah
jantung anak menambah berbagai masalah yang menjadi tantangan
saat ini.

Apa yang harus dilakukan oleh dokter dan organisasi profesi


kedokteran dan beberapa “stakeholder” lainnya termasuk
institusi pendidikan di Indonesia?
Secara praktis sejak awal tahun 2016 Indonesia telah
memasuki suatu suasana baru dalam era geo-politik dan ekonomi
termasuk bidang liberalisasi jasa pelayanan kesehatan. MEA sudah
merupakan suatu keputusan politik yang tidak perlu diperdebatkan
lagi. Hanya saja rancangan strategi dan evaluasi menyeluruh perlu
segera dikerjakan. Dalam bidang mobilisasi tenaga kesehatan
termasuk dokter tetap masih mengacu pada goals dari MRA seperti
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 9
yang telah disebut di atas .Dalam bidang jasa kedokteran dan
kesehatan setidaknya ada 6 pemangku kepentingan (stake holder)
yang harus segera melakukan evaluasi sampai berapa jauh persiapan
yang sudah dan akan dilaksanakan di era MEA yakni: 1) Dokter
sebagai individu yang professional, 2) Organisasi Profesi Dokter (IDI)
dan untuk Spesialis Anak adalah Kolegium Ilmu Kesehatan Anak
bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), 3) Professional medical
regulatory authority (PMRA) di Indonesia yakni Konsil Kedokteran
Indonesia (KKI) dan Kementerian Kesehatan, 4) Institusi Pendidikan
Kedokteran yakni fakultas kedokteran di berbagai universitas, 5)
institusi rumah sakit, baik RS pemerintah, termasuk RS Pendidikan,
dan 6) Pemerintah Daerah (Propinsi/Kabupaten/Kota).
• Bagi seorang dokter secara individu apapun keahliannya dalam
spesialisasi apapun, perlu meningkatkan profesionalisme,
mempertahankan dan meningkatkan kompetensi sesuai bidangnya
dan peningkatan kualitas berkomunikasi dengan pasien yang
semuanya harus menjadi perhatian utama. Paradigma
menempatkan posisi pasien sebagai consumer dan dokter sebagai
provider pada posisi yang sejajar hendaknya segera dimulai.
Demikian juga paradigma reactive medicine yang hanya mengobati
dan bertindak bila seorang pasien datang dalam keadaan sakit
haruslah diubah dengan paradigma preventive melalui edukasi
yang memadai pada waktu konsultasi di ruang praktik. Memberikan
pilihan kepada pasien untuk memilih jenis tindakan dengan
melibatkan pasien secara aktif dengan memperhatikan etika profesi
dan disiplin kedokteran merupakan suatu hal yang menjadi
keharusan saat ini. Memberikan kesempatan kepada pasien untuk
memperoleh second opinion terhadap ahli lain dengan tetap
memperhatikan etika kedokteran bukanlah suatu hal yang luar
biasa dan tidak terlarang karena memang itu adalah hak pasien.
“Second opinion” kepada dokter lain bahkan bisa terjadi antar
negara. Dokter spesialis dan sub-spesialis mempunyai juga
peluang untuk menambah keterampilan dan kompetensinya di
negara ASEAN lainnya dengan suatu kerja sama dan saling tukar
menukar “expert” melalui kegiatan “expert visit”.
• Organisasi profesi IDI di era globalisasi khususnya dalam
menghadapi MEA, bersama semua Perhimpunan Dokter Spesialis
(IDAI) dengan Kolegium IDAI seyogianya sudah mempunyai

th
10 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
”mapping” tenaga dokter secara nasional dengan rinci mulai jenis
spesialisasi-subspesialisasi, penempatan di rumah sakit kabupaten/
propinsi. Data “mapping” tersebut dapat diberikan pada pemerintah,
baik di tingkat pusat maupun daerah. Tentu saja diperlukan suatu
kerja sama yang baik dengan Kementerian Kesehatan, Dinas
Kesehatan dan Pemerintah Daerah. Ini merupakan tantangan
tersendiri dalam upaya menuhi kebutuhan dokter subspesialis yang
masih langka di banyak daerah di tanah air. Mempertahankan
kompetensi dokter melalui Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
(CPD) secara baik dan benar sudah tentu juga merupakan
tanggung jawab organisasi profesi sesuai amanat UU No 24/2009
tentang Praktek Kedokteran.
• Professional Medical Regulatory Authority (PMRA) yang dalam
hal pelaksanaan MRA di ASEAN dipegang oleh Konsil
Kedokteran Indonesia dan Kementerian Kesehatan, merupakan
lembaga yang mempunyai peran penting dan strategis. PMRA
inilah di setiap negara ASEAN melakukan pengawasan dan kontrol
terhadap praktik profesi kedokteran dalam upaya melindungi
masyarakat. Representatif dari PMRA ini secara berkala (3 kali
setahun) mengadakan pertemuan dalam forum AJCCM (ASEAN
Joint Coordinating Committe on Medical Professional) untk
mendiskusikan kesepakatan dalam MRA (mutual recognition
arrangement). Pada forum inilah masukan-masukan dari organisasi
profesi dan pemerintah dari negara masing-masing anggota
ASEAN dibahas secara mendalam yang ditinjau dari berbagai
aspek. Berbagai Peraturan Konsil kedokteran dan Peraturan
Menteri Kesehatan yang telah diterbitkan tetap menjadi acuan
utama dalam perundingan tersebut. Hal-hal yang terkait dengan
tenaga kerja WNA menjadi fokus perhatian utama.7
• Institusi Pendidikan Kedokteran yang dalam hal ini fakultas
kedokteran baik negeri maupun swasta seyogianya turut berperan
aktif dan bertanggung jawab dalam proses pendidikan dokter
dengan memperhatikan standar pendidikan dan standar
kompetensi global. Berbagai kelemahan dan kekurangan yang telah
teridentifikasi selama ini hendaknya segera diatasi. Penyamaan
“core” kompetensi di tingkat ASEAN dapat didiskusikan dengan
PMRA (KKI dan Kemkes). Khusus standar kompetensi dokter
spesialis dan sub-spesialis sebaiknya mendapat perhatian khusus

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 11
oleh karena terdapat perbedaan sistem pendidikan spesialis di
banyak negara ASEAN jika dibandingkan dengan sistem
pendidikan spesialis/subspesialis di Indonesia.
• Institusi Rumah Sakit, merupakan suatu institusi yang cukup
penting dalam proses pendidikan baik pendididikan dokter maupun
dokter spesialis. Rumah sakit pendidikan utama maupun RS
pendidikan jejaring berperan penting sehingga kualifikasi tenaga
pengajar yang memadai serta fasilitas yang cukup sangat penting
dalam upaya menghasilkan dokter-dokter yang berkualitas. Tanpa
pembenahan diberbagai sektor di rumah sakit, pendidikan kita akan
tertinggal dalam berkompetisi di tingkat ASEAN. Hubungan kerja
antara dokter dan rumah sakit khususnya di RS swasta,
memerlukan suatu pengaturan yang bersifat Nasional. Kemitraan
dan aturan hubungan kerja antara dokter dan rumah sakit juga
harus sama antara dokter asing dan dokter Indonesia dengan
tingkat/level yang sama. Dalam hal kualitas pelayanan di rumah
sakit termasuk tata kelola pasien dan kualitas pelayanan secara
keseluruhan yang sering menjadi keluhan masyarakat, tidak
terkecuali pelayanan dokter seyogianya segera ditingkatkan dan ini
merupakan tantangan saat ini.
• Pemerintah Daerah baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota
merupakan pemegang otoritas yang sangat menentukan dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan yang bermutu di suatu daerah.
Kebijakan dalam “policy” tentang kesehatan termasuk pembeayaan
kesehatan berada di tangan Kepala Daerah. Dukungan dari
Gubernur/Bupati/Walikota untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan melalui penghargaan terhadap tenaga dokter mutlak
diperlukan. Harus diakui bahwa kenyataannya penghargaan
pemerintah terhadap tenaga kesehatan khususnya dokter masih
sangat minimal. Permasalahan yang muncul tentang kasus “dokter
asing” yang berpraktik “ilegal“ di suatu daerah di masa lampau
hendaknya tidak terulang lagi di era MEA.

Khusus dalam pengembangan kualitas pelayanan jantung anak


agar mencapai standar yang ideal memerlukan koordinasi antar
beberapa disiplin yang merupakan “teamwork” yang bekerja dengan
saling meningkatkan kompetensi dalam bidang masing-masing. Model
“teamwork” yang merupakan tantangan untuk dikembangkan di

th
12 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Indonesia adalah kerja sama tim dalam berbagai keahlian dan
ketrampilan: ahli jantung anak (pediatric cardiologist), ahli bedah
jantung anak, intensivist, anestesiologi, perawat, perfusionist dan
tehnisi jantung.8 Tim ini harus bekerja dalam suatu program yang
terencana dengan baik sehingga diharapkan kualitas pelayanan
meningkat yang akhirnya “outcome” akan menjadi lebih baik.

Kesimpulan
Di era masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) yang telah
diberlakukan sejak akhir tahun 2015 dapat merupakan peluang
maupun tantangan bagi tenaga kesehatan khususnya dokter
subspesialis jantung anak (konsultan) di Indonesia. Kerjasama dalam
bidang peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam berbagai
bidang antara negara perlu dikembangkan untuk membentuk suatu
sistem pelayanan jantung anak yang baik dengan memperhatikan
kebutuhan secara nasional. Indonesia harus selalu siap menghadapi
era MEA tahun ini, namun harus memperbaiki berbagai kelemahan
yang ada dengan mengikut sertakan setidaknya 6 stakeholder terkait
yakni: dokter/organisasi profesi kedokteran, PMRA (KKI dan Kemkes),
institusi pendidikan kedokteran, dan institusi rumah sakit. Diperlukan
implementasi MRA secara efektif dengan melakukan peningkatan
kompetensi dan profesionalisme dokter spesialis anak dan
subspesialis jantung anak Indonesia serta mengembangkan dan
membangun “networking” di tingkat profesi kedokteran untuk
mencapai saling pengakuan dalam rangka mobilisasi tenaga
profesional di kawasan ASEAN sehingga kualitas pelayanan jantung
anak di Indonesia meningkat dan sejajar dengan beberapa negara
lainnya di ASEAN.

Daftar Pustaka
1. Menuju ASEAN Ecomomic Community (AEC). Pusat Kerjasama Luar
Negeri Sekretariat ASEAN
2. ASEAN Mutual Recognition Framework. Diunduh dari www.asean.org/
asean-mutual recognition-arrangement
3. ASEAN Joint Coordinating Committee on Medical Professional.
Doc.Report 14th AJCCM, Siem Reap, Cambodia 2015
4. ASEAN Joint Coordinating Committee on Medical Professional.
Doc.Report 15th AJCCM, Kuala Lumpur, Malaysia 2015 .

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 13
5. Makmur K, Virgianita A, Banna Shhofwan Al, Aryanto AC. Pemetaan
Pekerja Terampil Indonesia dan Liberalisasi Jasa ASEAN. Laporan
Penelitian ASEAN Study Center UI bekerja sama dengan Kementerian
Luar Negeri RI. 2013:52-55
6. Perkonsil No.157/KKI/Per/ XIII/2009.tentang tata-cara registrasi
Dokter/Dokter Gigi warga negara ASEAN yang akan melakukan praktek
Kedokteran di Indonesia.
7. PMK No 67 tahun 2013 tentang pendayagunaan Tenaga Kesehatan
Warga Negara Asing
8. Kumar, RK. Teamwork in pediatric heart care. Ann Pediatrc
Card;2009:140-145

th
14 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Gagal Jantung pada Penyakit Jantung Bawaan: Perubahan
Hemodinamik dan Tatalaksana
(Heart Failure in Congenital Heart Disease from
Hemodynamic Changes to Treatment)

Sasmito Nugroho, Nadya Arafuri

Latar Belakang
Terminologi gagal jantung diartikan sebagai jantung tidak
berfungsi dengan baik diakibatkan oleh kelainan struktural atau
fungsional sehingga ventrikel tidak mampu memompa darah keseluruh
tubuh secara optimal. Gagal jantung bisa terjadi pada semua usia
dimulai dari neonatus, anak di bawah usia 5 tahun, anak usia sekolah,
remaja dan dewasa. Berbeda dengan dewasa, gagal jantung pada
anak disebabkan oleh berbagai macam etiologi dengan gambaran
klinis yang beragam. Pada anak, penyebab gagal jantung terbanyak
yaitu kelainan kongenital atau penyakit jantung bawaan (PJB) dengan
insidensi 8/1000 kelahiran hidup dan 20% dari kelainan kongenital ini
menyebabkan gagal jantung.1 Makalah ini bertujuan menjelaskan
perubahan hemodinamik yang terjadi pada PJB yang akan
menimbulkan gejala gagal jantung beserta tatalaksananya.

Perubahan Hemodinamik pada PJB


Perubahan hemodinamik pada PJB disebabkan oleh interaksi
yang kompleks antara jantung dan pembuluh darah dimana struktur
dan fungsi jantung pada PJB akan berbeda dengan jantung normal.2
Oleh karena itu diperlukan pemahaman terhadap anatomi dan fisiologi
sirkulasi fetus dan perubahan sirkulasi yang terjadi setelah lahir. Pada
sirkulasi fetus, terdapat empat pirau (shunts) yang memegang peranan
penting selama masa fetus yaitu plasenta, duktus venosus, foramen
ovale, dan duktus arteriosus. Hemodinamik yang terpenting pada fetus
yaitu:
1. Placenta: shunt dengan resistensi vaskular terendah dan
menerima darah terbanyak dari ventrikel kanan dan kiri (55%)
2. Vena kava superior menerima darah dari tubuh bagian atas dan
vena kava inferior menerima darah dari tubuh bagian bawah dan

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 15
plasenta sehingga saturasi vena kava inferior akan lebih tinggi dari
vena kava superior
3. Seluruh darah dari vena kava superior menuju ventrikel kanan.
Sepertiga darah dari vena kava inferior akan dialirkan ke atrium kiri
dari atrium kanan melalui foramen ovale dan 2/3 akan menuju
ventrikel kanan dan arteri pulmonalis. Hal ini menyebabkan otaak
dan sirkulasi koroner akan mendapatkan saturasi oksigen lebih
tinggi dari tubuh bagan bawah
4. Darah dengan kadar oksigen rendah yang melewati arteri
pulmonalis akan masuk ke ductus arteriosus dan mengaliri aorta
desenden dan menuju placenta untuk mendapatkan oksigenasi
kembali.

Gambar 1. Sirkulasi Fetus

Perubahan sirkulasi setelah lahir yaitu menghilangnya sirkulasi


placenta dan munculnya sirkulasi pulmonal. Menghilangnya sirkulasi
plasenta menyebabkan peningkatan systemic vascular resistance
(SVR), hilangnya suplai darah dari plasenta ke ductus venosus. Saat
th
16 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
lahir terjadi juga pengembangan paru yang menyebabkan turunnya
pulmonary vascular resistance, meningkatnya tekanan atrium kiri
sehingga menutup foramen ovale dan pentupan ductus arterios akibat
menngkatnya saturasi oksigen arteri.3

Patofisiologi gagal jantung pada PJB


Kegagalan jantung sehingga tidak berfungsi dengan baik
disebabkan oleh tiga hal yaitu adanya gangguan preload, kontraktilitas
jantung dan gangguan afterload. Preload diartikan sebagai beban awal
sebelum ventrikel kiri berkontraksi dan afterload diartikan sebagai
tahanan yang harus dihadapi saat darah dikeluarkan dari ventrikel.
Mekanisme kerja jantung diibaratkan dalam skema “Rubber
ball”seperti di bawah ini.2

Gambar 2. Skema bola karet dalam mekanisme gagal jantung2

Patofisiologi gagal jantung pada PJB bisa diakibatkan oleh


adanya volume overload, disfungsi ventrikel ataupun pressure
overload dimana mekanisme ini sangat tergantung pada defek yang
terjadi. Pengelompokan patofisiologi berdasarkan tiga kriteria tersebut
dapat mempermudah pemahaman akan patofisiologi gagal jantung
pada PJB.3,4
1. Patofisiologi gagal jantung pada PJB dengan volume overload3,4
Volume overload terjadi pada PJB dengan shunt kiri ke
kanan. Kasus yang terbanyak yaitu VSD, ASD, PDA dan defek
lempeng endocardium (AVSD). Pada ASD, shunt terjadi pada
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 17
atrium sehingga terjadi penambahan volume darah langsung ke
ventrikel kanan yang akan meningkatkan aliran darah ke arteri
pulmonalis. Sedangkan pada VSD, shunt terjadi pada ventrikel
yang menyebabkan pengingkatan voulme darah dari ventrikel kiri
langsung ke arteri pulmonalis melalui ventrikel kanan. Pada PDA,
shunt terjadi saat fase sistole dan diastole sehingga volume darah
yang masuk ke paru-paru akan meningkat. Kondisi ini akan
meningkatan volume venous return dari paru-paru menuju atrium
kiri dan ventrikel kiri dan menurunkan cardiac output systemic.
Sehingga, pada shunt kiri ke kanan, terjadi peningkatan sirkulasi
pulmonal, peningkatan beban ventrikel kiri dan penuruna curah
jantung sistemik.3,4 Pada masa fetus, shunt yang terjadi tidak akan
menyebabkan gejala karena adanya tekanan pulmonalis yang
tinggi. Akan teteapi, saat bayi berusia 2-6 minggu, terjadi
penurunan resistensi pulmonal dan peningkatan resistensi sistemik
dan menyebakan munculnya gejala gagal jantung kongestif. Selain
itu, kadar hemoglobin yang rendah secara fisiologis pada usia 3
bulan akan menyebabkan bertmbah beratnya gagal jantung.5
2. Patofisiologi gagal jantung pada PJB dengan pressure overload
Overload tekanan sehingga meningkatnya afterload akan
menyebabkan gagal jantung. Tekanan yang meningkat pada PJB
disebakan adanya osbtruksi pada jalan keluar ventrikel seperti
pada stenosis aorta, stenosi pulmonal dan koarktasio aorta.
Kelainan ini akan menyebabkan munculnya murmur ejeksi sistolik,
hipertrofi ventrikel dan dilatasi post-stenosis. Pada stenosis dan
koarktasio aorta, akan terjadi hipertensi sistemik di tubuh bagian
atas. Pada tahap awal, fungsi ventrikel kiri akan bisa dipertahankan
normal, akan tetapi, semakin bertambah beratnya hipertensi, fungsi
ventrikel akan menurun. Adanya tahanan di ventrikel kiri akan
menyebakan aliran balik ke ventrikel kanan dan dapat
menyebabkan gagal jantung kanan.3,4
Sedangkan pada stenosis pulmonal yang berat, dapat
terjadi kongesti darah di vena perifer karena adanya obstruksi
darah di ventrikel kanan yang tidak bisaa masuk ke arteri
pulmonalis. Hal ini akan menyebabkan gagal jantung kanan.3,4
3. Disfungsi kontraktilitas ventrikel pada PJB
Disfungsi kontraktilitas ventrikel biasa terjadi pada PJB
kompleks atau PJB yang telah dilakukan operasi koreksi atau

th
18 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
paliatif. Gagal jantung ini biasa terjadi pada anak dengan PJB
kompleks yang tidak terkoreksi pada masa remaja atau dewasa
muda.6

Deteksi tanda dan gejala gagal jantung pada anak


Review American Academy of Pediatrics oleh Madriago et el.,
pada neonatus, manifestasi klinis awal sering tidak terdeteksi.
Kebanyakan pada umumnya, bayi mengalami kesulitan makan karena
dyspnea, mudah lelah, dan sekresi hormon anoreksia yang membatasi
volume pemberian makan. Pada akhirnya, bayi akan gagal tumbuh.
Temuan fisik pada bayi yaitu retraksi ringan hingga berat, takipnea,
atau dyspnea dengan merintih (untuk meningkatkan tekanan ekspirasi
akhir positif), takikardia, irama gallop (S3, S4), dan hepatomegali.
Anak-anak yang lebih tua akan bergejala intoleransi terhadap latihan,
somnolen, anoreksia, atau gejala yang lebih "dewasa" seperti batuk,
mengi, atau ditemukan rales, irama gallop, hepatomegali serta edema
perifer dan distensi vena jugularis pada pemeriksaan fisik.7

Tabel 1. Gejala khas gagal jantung pada anak


Sering ditemukan Jarang ditemukan
Bayi dan anak • Takipnea • Sianosis
lebih muda • Kesulitan makan • Palpitasi
(refluks, muntah, • Syncope
menolak makan) • Edema wajah
• Diaforesis • Dependent edema
• Pucat • Asites
Anak yang lebih • Kelelahan • Palpitasi
tua dan remaja • Intoleransi latihan • Nyeri dada
• Dispneu • Dependent edema
• Orthopnea • Ascites
• Nyeri perut
• Mual
• Muntah

Rekomendasi International Society for Heart and Lung


Transplantation (ISHLT), gejala dari gagal jantung berhubungan
dengan kelainan sirkulasi, neurohormonal, dan molekuler. Pada

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 19
praktek klinis, diperlukan dokumentasi tingkat keparahan gagal jantung
dan bila perlu stratifikasi gejala gagal jantung untuk memfasilitasi
pemantauan perkembangan penyakit dan manajemen pasien (Tabel
2) (Rekomendasi Kelas I dengan Tingkat Bukti C).8

Tabel 2. Klasifikasi gagal jantung


Kelas NYHA Ross
I Tidak terdapat batasan dalam Asimptomatik
melakukan aktifitas fisik.
Aktifitas fisik sehari-hari tidak
menimbulkan kelelahan,
palpitasi atau sesak nafas
II Terdapat batasan aktifitas Takipneu ringan dan/atau
ringan. berkeringat saat makan,
Tidak terdapat keluhan saat Dispnea saat beraktivitas pada
istrahat, namun aktifitas fisik anak yang lebih besar. Tidak
sehari-hari menimbulkan ada gagal tumbuh
kelelahan, palpitasi atau sesak
nafas
III Terdapat batasan aktifitas Takipnea yang bermakna atau
bermakna. diaphoresis saat bayi
Tidak terdapat keluhan saat menyusu. Waktu makan yang
istrahat, tetapi aktfitas fisik lama dengan gagal tumbuh.
ringan menyebabkan Dyspnea saat aktivitas
kelelahan, palpitasi atau sesak memberat pada anak yang
lebih besar
IV Tidak dapat melakukan Bergejala saat istirahat,
aktifitas fisik tanpa keluhan. takipnu, retraksi, merintih atau
Terdapat gejala saat istrahat. berkeringat
Keluhan meningkat saat
melakukan aktifitas

Penegakan diagnosis gagal jantung pada anak


Diagnosis gagal jantung pada anak-anak adalah berdasarkan
kombinasi tanda dan gejala klinis, dengan penilaian stratifikasi gejala
berdasarkan kriteria Ross/NYHA dan ditambahkan informasi yang
diperoleh dari hasil laboratorium seperti uji kemampuan aktivitas,
pencitraan noninvasif, dan pembuatan profil biomarker.4 Studi
pencitraan noninvasif dan tes laboratorium pada awalnya diperoleh
untuk mengonfirmasi diagnosis, memastikan keparahan gagal jantung
th
20 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
dan menentukan penyebab yang mendasari jika tidak jelas dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Evaluasi awal umumnya termasuk
radiografi dada, elektrokardiogram, ekokardiografi, dan tes
laboratorium (termasuk Brain Natriuretic Peptide [BNP] atau N-terminal
pro-BNP [NT-proBNP], troponin, hitung darah lengkap, dan kimia
darah).8
a) Elektrokardiogram (EKG)
Penemuan paling sering yaitu sinus takikardia. Pada gagal
jantung kronis, bila ditemukan gangguan irama jantung pada EKG,
menunjukkan gagal jantung tahap lanjut dan dekompensasi9.
Berdasarkan Canadian Cardiovascular Society (CCS) Guidelines,
elektrokardiogram tidak spesifik tetapi sering abnormal pada
pasien gagal jantung anak dengan temuan paling umum yaitu
sinus tachycardia, hipertrofi ventrikel kiri, perubahan ST-T, pola
infark miokard, dan blok atrioventrikular derajat pertama.10
b) Foto X-ray dada
Foto thorax (Chest X-ray/CXR) berguna untuk menilai
kardiomegali dan kongesti pulmonal dan memonitor efektivitas
terapi gagal jantung. Pada gagal jantung akut ditemukan edema
insterstitial pulmonal dan efusi pleura. Studi cohort prospektif dari
95 anak yang dirujuk ke klinik kardiologi anak, kardiomegali pada
CXR mempunyai sensitivitas 58,8% (95%CI: 32,9-81,6) dengan
nilai ramal positif 62,5% dan spesifisitas 92,3% (95% CI: 84-97,1)
dengan nilai ramal negatif 91,1% (95%CI: 82,6-96,4).11
c) Ekokardiogram
Transthoracic echocardiography merupakan bagian yang
sangat penting dari evaluasi diagnostik awal gagal jantung anak
untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit struktural. Oleh karena
itu, ekokardiografi harus diprioritaskan, karena penundaan deteksi
kelainan struktural menyebabkan tertundanya bedah jantung dan
memperburuk fungsi ventrikel.10
Ekokardiografi memberikan data langsung mengenai
morfologi dan struktur jantung, volume/diameter ruang, ketebalan
dinding, fungsi sistolik/diastolik ventrikel, dan tekanan paru. Data
ini sangat penting untuk membuat diagnosis yang benar dan untuk
memandu manajemen yang tepat.9 Semua pasien dengan gejala
gagal jantung harus dilakukan pemeriksaan transthorakal
ekhokardiografi di fasilitas kardiologi anak saat awal kedatangan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 21
dan sedini mungkin (Rekomendasi Kelas I, peringkat bukti level B).
Penilaian ekhokardiografi minimal:
• Mendeteksi kelainan jantung kongenital (terutama arteri
koroner)
• Penilaian miokardium sebagai penanda kardiomiopati dilatasi
• Penilaian fungsi sistolik ventrikel kiri dengan EF berdasarkan
metode 2-D terstandar (biplane Simpson’s atau area-length
method)
• Penilaian LV end-diastolic dimension Z-score
• Penilaian adanya regurgitasi mitral
• Penilaian fungsi dan tekanan RV secara kuantitatif dan
kualitatif
• Eksklusi thrombus intrakardiak9
d) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI jantung bisa digunakan untuk menilai fungsi LV dan
RV pada anak akan tetapi kegunaan terbatas karena dibutuhkan
anestesi umum untuk anak yang belum kooperatif dan adanya
aritmia serta ketersediaan dan biaya tinggi.8
e) Kateterisaasi jantung
Kateterisasi diagnostik jantung untuk gagal jantung pada
anak diindikasikan untuk:
- Evaluasi akurat gradien tekanan pada pasien dengan penyakit
katup kompleks
- Evaluasi parameter hemodinamik (resistensi vaskular paru dan
sistemik, curah jantung, dan indeks jantung) pada pasien
Fontan atau selama skrining pra-transplantasi.12
f) BNP / NT-proBNP
BNP/NT-proBNP dapat digunakan sebagai penanda
tambahan dalam evaluasi terpadu dan pemantauan pasien dengan
gagal jantung untuk menentukan keparahan, respon terapi dan
perkembangan penyakit. (Rekomendasi IIb, peringkat bukti level
B).13
g) Pemeriksaan troponin jantung belum bisa digunakan untuk
manajemen pasien dengan gagal jantung (Rekomendasi III,
peringkat bukti level C).14

th
22 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tatalaksana gagal jantung pada anak
Tatalaksana gagal jantung anak bergantung pada etiologi dan
klasifikasi keparahan. Tatalaksana selalu diawali dengan penyebab
yang mendasari gagal jantung. Terapi medikamentosa untuk
pengobatan gagal jantung pada anak terutama berdasarkan studi
pada dewasa dan dilakukan modifikasi untuk kasus tertentu
berdasarkan konsensus ahli yang sebagian besar berdasarkan
pengalaman klinis, serial kasus dan penelitian fisiologis.8,15
1) Diuretika
Loop diuretika berperan sangat penting untuk manajemen
akut pasien dengan gagal jantung simptomatik. Akan tetapi,
sampai saat ini penelitian efektivitas dan efek samping loop diuretik
pada populasi anak dengan gagal jantung sangat terbatas. Pada
systematic review Cochrane didapatkan terapi diuretik dengan
gagal jantung kronis pada dewasa efektif meredakan gejala,
mengurangi episode perburukan gagal jantung, meningkatkan
kapasitas latihan, dan meningkatkan kelangsungan hidup.16 Data
ini, bersama dengan bukti empiris, sudah cukup untuk
membenarkan penggunaan rutin diuretik dalam tatalaksana anak-
anak dengan gagal jantung.10,15 Pilihan loop diuretik yaitu
furosemid dengan dosis 0,5-1 mg/kg BB setiap 12 jam intravena
atau oral setiap 6-12 jam (Rekomendasi kelas I, peringkat bukti
level C)
2) Angioconverting enzyme inhibitor (ACEi)
ACEi dapat diberikan pada gagal jantung dengan disfungsi
LV simptomatik (gagal jantung kelas Ross III) kecuali terdapat
kontraindikasi dan dimulai dari dosis kecil dengan dinaikkan
bertahap (Rekomendasi kelas I, peringkat bukti level B). ACEi
dapat diberikan pada gagal jantung dengan disfungsi LV
asimptomatik (gagal jantung kelas Ross II) kecuali terdapat
kontraindikasi spesifik (Rekomendasi kelas IIa, peringkat bukti level
B). ACEi dapat dipertimbangkan untuk diberikan kepada pasien
dengan Duchenne muscular dystrophy dengan kardiomiopati
kecuali terdapat kontraindikasi spesifik (Rekomendasi kelas IIa,
peringkat bukti level B). ACEi tidak boleh diberikan pada pasien
PJB dengan single ventricle tapi bisa dipertimbangkan pada
kondisi regurgitasi katup atau disfungsi ventrikel (Rekomendasi
kelas IIb, peringkat bukti level B).17
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 23
3) Angiotensin receptor antagonists (ARA)
Penggunaan ARA belum terbukti pada gagal jantung
10
anak. Akan tetapi, berdasarkan data uji klinis pada dewasa,
konsensus International Society of Lung and Heart (ISLHT)
merekomendasikan penggunaan ARA pada anak dengan disfungsi
sistolik ventrikel yang tidak toleran dengan ACEi.8
4) Beta blocker
β-blocker bisa diberikan pada anak gagal jantung
simptomatis dengan disfungsi sistolik LV, terutama bila ventrikel
sistemik mempunyai morfologi ventrikel kiri. Terapi harus dimulai
dengan dosis rendah dan perlahan dinaikkan (Rekomendasi kelas
IIa, peringkat bukti level B).18
5) Digoksin
Digoksin tidak direkomendasikan untuk anak dengan
disfungsi LV asimptomatik (Rekomendasi kelas I, peringkat bukti
level C). Digoksin bisa diberikan untuk memperbaiki gejala pada
anak gagal jantung simptomatis dan EF rendah dengan dosis
digoksin yang lebih rendah pada pemberiaan bersamaan dengan
carvedilol dan amiodarone serta disfungsi renal (Rekomendasi
kelas IIa, peringkat bukti level C).8
6) Anti-aritmia
Penggunaan anti-aritmia sangatlah terbatas pada kasus
tertentu yaitu aritmia menetap setelah koreksi gangguan elektrolit
dan metabolik dan aritmia tidak mampu ditoleransi anak
(Rekomendasi kelas IIb, peringkat bukti level C). Anti-aritmia tidak
boleh digunakan secara rutin pada gagal jantung dengan EF
rendah (Rekomendasi kelas III, peringkat bukti level C).15
7) Terapi inotropik bisa dipertimbangkan pada kondisi paliatif untuk
perbaikan gejala (Rekomendasi kelas IIa, peringkat bukti level C).
Pemberian inotropik intermittent atau jangka lama pada gagal
jantung kronis tidak direkomendasikan karena kurangnya bukti
pada populasi anak kecuali untuk menjembatani transplantasi
jantung (Rekomendasi kelas III, peringkat bukti level C).19

th
24 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Referensi
1. Jayaprasad N. Heart Failure in Children. Heart Views : The Official
Journal of the Gulf Heart Association. 2016;17(3):92-99.
doi:10.4103/1995-705X.192556.
2. Saiki H, Senzaki H. Basic Concepts of Circulatory Physiology in
Congenital Heart Disease : A View From Pressure-Volume Relationship.
Japanese Soc Pediatr Cardiol Card Surg. 2011;27:76–87.
3. Park MK. Park’s Pediatric Cardiology for Practitioners. sixth. Elsevier
Saunders; 2014. 1-1162 p.
4. Hsu DT, Pearson GD, Fail CH. Heart Failure in Children Part I : History ,
Etiology , and Pathophysiology. Circ Heart Fail. 2009;(2):63–70.
5. Chowdhury D. Pathophysiology of Congenital Heart Diseases. Ann Card
Anaesth. 2007;10:19–26.
6. Book WM. Heart failure in the adult patient with congenital heart disease.
J Card Fail 2005;11:306.
7. Madriago E, Silberbach M. Heart Failure in Infants and Children. Pediatr
Rev [Internet]. 2010;31(1):4–12.
8. Kirk R, Dipchand AI, Rosenthal DN, Addonizio L, Burch M, Chrisant M, et
al. The International Society for Heart and Lung Transplantation
Guidelines for the management of pediatric heart failure : Executive
summary. J Hear Lung Transplant [Internet]. 2014;33(9):888–909.
9. Masarone D, Valente F, Rubino M, Vastarella R, Gravino R, Rea A, et al.
Pediatric Heart Failure : A Practical Guide to Diagnosis and Management.
Pediatr Neonatol . 2017;58(4):303–12.
10. Kantor PF, Lougheed J, Dancea A, McGillion M, Barbosa N, Chan C, et
al. Presentation, diagnosis, and medical management of heart failure in
children: Canadian cardiovascular society guidelines. Can J Cardiol
[Internet]. 2013;29(12):1535–52.
11. Satou GM, Lacro R V, Chung T, Gauvreau K, Jenkins KJ. Heart Size on
Chest X-Ray as a Predictor of Cardiac Enlargement by Echocardiography
in Children. Pediatr Cardiol. 2001;22(2):218–22.
12. Feltes TF, Bacha E, Iii RHB, Cheatham JP, Feinstein JA, Gomes AS, et
al. Indications for Cardiac Catheterization and Intervention in Pediatric
Cardiac Disease A Scientific Statement From the American Heart
Association. 2011;2607–52.
13. Auerbach SR, Richmond ME, Lamour JM, Blume ED, Addonizio LJ,
Shaddy RE, et al. BNP Levels Predict Outcome in Pediatric Heart Post
Hoc Analysis of the Pediatric Carvedilol Trial. Circ Hear Fail. 2010;3:606–
11.
14. Sugimoto M, Ota K, Kajihama A, Nakau K, Manabe H, Kajino H. Volume
Overload and Pressure Overload due to Left-to- Right Shunt-Induced
Myocardial Injury. Circ J. 2011;75(September):2213–9.
15. Beggs S, Thompson A. Cardiac Failure in Children. World Health
Organization. 17th Expert committee on the selection and use of essential
medicines. 2009.
16. Faris RF, Flather M, Purcell H, Poole-Wilson PA, Coats AJ. Diuretics for
heart failure. Cochrane Database Syst Rev 2012;2:CD003838.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 25
17. Momma K. ACE inhibitors in pediatric patients with heart fail- ure.
Paediatr Drugs. 2006;8:55-69.
18. Boucek MM, Hsu DT, Boucek RJ, Canter CE, Mahony L, Ross RD, et al.
Carvedilol for Children and Adolescents. JAMA. 2007;298(10):1171–9.
19. Petersen JW, Felker GM. Inotropes in the management of acute heart
failure. Crit Care Med. 2008 Jan;36(1 Suppl):S106‐11.

th
26 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Penyakit Jantung Bawaan Sianotik, Hypercyanotic Spell,
dan Kondisi Lain yang Berkaitan

Sri Lilijanti Widjaja


Bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr. Moewardi/FK UNS Surakarta

Pendahuluan dan Prevalensi PJB


Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kondisi abnormal
pada jantung atau pembuluh darah besar intratorakal yang didapatkan
sejak lahir.1,2 PJB menduduki peringkat teratas daftar penyakit pada
bayi.3 Jumlah kasus PJB sianotik diketahui lebih tinggi dari pada PJB
asianotik. Di Amerika, dilaporkan sebanyak 1% bayi dari 40.000
kelahiran hidup menderita PJB.4 Angka kejadian PJB di Eropa
dilaporkan lebih tinggi daripada di Amerika Utara yaitu 8,2 : 6,9 per
1000 kelahiran hidup, sedangkan di Asia dilaporkan sebanyak 9,3 per
1000 kelahiran hidup.1,5 Penelitian Smitha dkk. (2016) menyebutkan
terdapat peningkatan PJB dari 2,5-5 per 1000 kelahiran hidup menjadi
8,5-13,6 di India.6 Penelitian yang dilakukan di RS dr. Soetomo pada
tahun 2016 menyebutkan terdapat 44 anak penderita PJB sianotik dari
total 80 (usia 2-5 tahun) pasien PJB.4
Dewasa ini angka kejadian PJB di seluruh dunia diperkirakan
sebanyak 0,8% (8 bayi per 1000 kelahiran hidup) atau sekitar 40.000
bayi setiap tahun.3,6-9 Sebanyak 25% dari jumlah tersebut diketahui
menderita PJB kritis (koarktasio aorta, trunkus arteriosus, tetralogy of
fallot, interrupted aortic arch, dan transposition the great artery) yang
memerlukan tindakan operatif atau kateterisasi dalam 1 tahun pertama
kehidupan.2,8
PJB yang tidak terdeteksi sejak dini dan tidak tertangani
dengan tepat akan berakibat pada kematian pada bulan pertama
kehidupan (33-50%).1,3 Di negara maju, PJB dapat terdeteksi pada
usia kurang dari 1 bulan, sedangkan pada negara berkembang, seperti
Indonesia, mayoritas kasus PJB terdeteksi ketika kondisi pasien mulai
memburuk.3 Namun, sebanyak 30% bayi dengan PJB menunjukkan
gejala pada minggu-minggu awal kehidupan.5,6 Keterlambatan
diagnosis dan intervensi pada PJB juga akan memengaruhi status gizi
yang nantinya berakibat pada malnutrisi pra-operasi.1

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 27
Etiologi dan Faktor Risiko PJB
Etiologi pasti PJB hingga saat ini masih belum diketahui.
Namun, terdapat pelbagai faktor yang dapat meningkatkan risiko bayi
untuk menderita defek kongenital ini. Faktor risiko tersebut antara lain
penggunaan obat-obatan teratogenik oleh ibu saat hamil, adanya
riwayat kejang/SLE pada ibu hamil (terutama pada trimester 1),
riwayat obstetri yang buruk, usia ibu lanjut (berkaitan dengan sindrom
Down), dan kondisi lingkungan.2,4,6 Defisiensi asam folat dan
multivitamin selama masa kehamilan pada trimester 1 juga dilaporkan
dapat meningkatkan risiko PJB.6

Tabel 1. Kelainan yang berkaitan dengan defek kongenital jantung2


Pts with CHD Predominant Heart
Disorder
(%) Defect(s)
Rubella syndrome 50 PDA peripheral PS
Diabetic embryopathy 3-5 TGV VSD CoA
Maternal Phenylketonuria 30 TOF VSD ASD
Thalidomide embryopathy 15 TOF TGV DORV
Isotretinionembryapathy 25 TOF,TGV,IIA-B
Fetal alcohol syndrome 35 VSD,ASD,TOF
Fetal Hydantoin syndrome 10 PS,AS,PDA
Fetal trimethadione syndrome 50 VSD,TOF

Adanya riwayat PJB pada keluarga juga berperan. Pola genetik


pada PJB dapat berupa autosomal dominan, autosomal resesif, dan X-
linked. Risiko terjadinya PJB akan meningkat bila orang tua atau
saudara penderita juga mengidap PJB dan dapat menjadi 3 kali lipat
jika 2 orang saudara terdekat menderita PJB.10 Kejadian PJB juga
dikaitkan dengan adanya riwayat kardiomiopati dan kematian
mendadak (terutama pada anak sebelumnya atau pada keturunan
pertama) pada keluarga.10,11

th
28 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 2. Hubungan gen dengan etiologi PJB2
Chromosomal
Gene Function Cardiac Defects
Location
TBXI 22a11.2 Transcription TOF,PTA,IAA
factor
TBX5 12q24.1 Transcription Conduction system
factor defects, ASD, VSD,
TOF, PTA, Single
ventricle
Nkx 2.5 5q34 Transcription Conduction system
factor defects, ASD, VSD,
TOF, PTA, Epstein
anomaly, HLHS, AS,
CoA, heterotaxy
GATA 4 8p23.1-p22 Transcription ASD
factor
ZFPM2/FOG2 8q23 Transcription TOF
factor
JAGI 20p12 Cell signaling TOF, PS, PPS
molecule
PTPN11 12q24.1 Cell signaling PS, hypertrophic
molecule cardiomyopathy
LEFTYA 1q42 Cell signaling Heterotaxy
molecule
ACVR 3p22-p21.3 Cell signalling Heterotaxy
molecule
CF CI 2 Cell signalling Heterotaxy, TGA
molecule
ZIC3 Xq26.2 Transcription Heterotaxy
factor
CRELD1 3p25-pter Cell adhesion Heterotaxy, AVSD
molecule
Elastin 7q11.23 Structural SVAS, PAS, TOF
protein

Sekitar ±400 gen berhubungan dengan PJB tetapi belum


semua gen tersebut telah teridentifikasi. Gen yang telah banyak
dilaporkan berhubungan dengan PJB adalah trisomi 21, 13, 18;
CATCH 22; sindrom Alagille; dan sindrom Noonan dengan kasus PJB
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 29
seperti pada Tabel 2 dan Tabel 3.2,12 Varian genetik yang awalnya
tidak berkaitan dengan PJB, kini diketahui berhubungan dengan defek
ekstrakardial. Faktor genetik tidak berperan sendiri, diketahui faktor
lingkungan sangat berpengaruh, terutama selama proses
embriogenesis.12,13 Peningkatan hormon kortisol pada ibu hamil akibat
stres akan mengganggu vaskularisasi uteroplasenta yang
menyebabkan defisit pertumbuhan.2

Tabel 3. Kelainan genetik yang berhubungan dengan PJB14


Common, Presently Known Select Presently Known Single
Chromosome Abnormalities Gene Defects
Cri-du-chat syndrome Ehlers-Danlos syndrome
DiGeorge syndrome (22q11) Ellis-van Creveld syndrome
Down syndrome (trisomy 21) Holt-Oram syndrome
Trisomy 18 and tridomy 13 Marfan syndrome
Turner syndrome Mucopolysaccharidoses
Wolf-Hirschhorn syndrome Noonan syndrome
Smith-lemli-Optiz syndrome
Williams syndrome

Manifestasi Klinis PJB


Gejala klinis yang timbul bergantung pada tipe dan besar defek
kardial. Pada neonatus, dapat ditemukan sianosis, gagal jantung,
hingga FTT (failure to thrive); sedangkan pada bayi hingga anak,
gejala dapat berupa sianosis, clubbing finger, murmur jantung,
sinkope, squatting episode, gagal jantung, dan FTT.2,15
Kecurigaan ke arah PJB dapat dideteksi secara dini dengan
menggunakan pulse oxymetry (POX) dan kemudian harus dipastikan
dengan pemeriksaan penunjang lain. Pada pemeriksaan foto toraks
dapat ditemukan gambaran kardiomegali dan kongesti vaskular
pulmonal.15

th
30 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Gambar 1. Algoritma deteksi dini PJB pada bayi berusia ≥24 jam
atau sebelum bayi dipulangkan8,15

Deteksi dini PJB dengan pulse oxymetry (POX)


Kecurigaan terhadap PJB sianotik dapat dikonfirmasi dengan
menggunakan POX karena kadar O2 di bawah 85% sulit terdeteksi
hanya melalui inspeksi.2,8 Penggunaan POX dapat membantu
mendeteksi kadar hipoksemia pada bayi baru lahir dan dapat
membantu mendeteksi PJB kritis secara dini.8,16 Namun, metode ini
akan sulit mendeteksi defek yang tidak disertai hipoksemia seperti
large left to right shunt lesions dan severe left heart obstruction
lesions.16

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 31
Gambar 2. Peran EKG dan foto thoraks dalam mendiagnosis PJB17

Pemeriksaan dengan POX dilakukan pada 24 jam pertama


kehidupan dan dilakukan di dua anggota tubuh yang berbeda, yaitu
pada tangan kanan (menilai arkus aorta yang menerima darah dari
aorta ascending) dan salah 1 kaki (menerima darah dari aorta
desending).2 Skrining PJB dengan POX memiliki tingkat sensitifitas
sedang dan spesifikasi tinggi lihat Gambar 1.16 Hasil positif tidak selalu
menunjukkan bahwa bayi tersebut pasti menderita PJB dan masih
diperlukan pemeriksaan lanjutan lainnya. Namun, perlu diketahui jika
tidak terdapat respons peningkatan kadar O2 dengan pemberian
oksigen 100% pada 10 menit pertama kehidupan, maka dapat
dipastikan sianosis disebabkan masalah jantung.15 Deteksi dini
dengan POX yang dikombinasikan dengan auskultasi dapat
mengurangi bias pemeriksaan. Kombinasi keduanya dilaporkan
memiliki sensitifitas lebih tinggi dan false-positive rate yang rendah.16

Tetralogy of Fallot (TOF)


TOF merupakan bentuk PJB sianotik terbanyak (5% dari
keseluruhan bentuk PJB) yang terdiri dari defek septum ventrikel
th
32 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
(VSD), overriding aorta, stenosis pulmonal, dan pembesaran ventrikel
kanan (RVH). Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan bising sistolik
keras pada area pulmonal yang menandakan stenosis pulmonal. Nilai
SpO2 yang tinggi menunjukkan adanya obstruksi ringan pada aliran
ventrikel kanan (RV). Bayi yang tidak terdeteksi TOF sejak dini, akan
terdiagnosis setelah mendapat serangan spell.15

Gambaran 3. Hasil ekokardiogram pada pasien TOF15

Penanganan TOF didasarkan pada derajat keparahan


obstruksi aliran RV (indikator: nilai SpO2 dan serangan spell). Operasi
merupakan hal yang mutlak pada pasien dengan nilai SpO2 kurang
dari 80% dan mengalami hypercyanotic spell. Tindakan operasi dapat
bersifat paliatif dengan modified Blalock Taussig Thomas (mBTT)
shunt yang dapat menyediakan aliran darah ke pulmonal secara
konsisten pada kondisi stenosis atau atresia pulmonal. Prosedur
complete repair untuk menutup VSD dan reseksi obstruksi ventrikel
kanan dapat menormalkan saturasi oksigen dalam darah.15
Pasien yang menjalani operasi complete repair memerlukan
follow-up seumur hidup karena adanya risiko aritmia hingga risiko
kematian mendadak akibat kondisi katup pulmonal yang lebih rentan
mengalami regurgitasi.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 33
Transposition of the Great Artery (TGA)
TGA merupakan tipe PJB sianotik terbanyak setelah TOF dan
paling sering menunjukkan gejala klinis di minggu pertama kehidupan.
TGA ditandai dengan tertukarnya letak aorta dan arteri pulmonalis
sehingga darah rendah oksigen kembali ke RV dan terpompa ke
sirkulasi sistemik melalui aorta.15
Bayi dengan TGA akan mengalami sianosis dalam 12 jam
pertama setelah lahir yang tidak berespons pada pemberian oksigen
ataupun ventilasi mekanik. Bising jantung dapat tidak ditemukan atau
mungkin terdengar S2 tunggal. Hasil pemeriksaan EKG dapat normal
ataupun menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kanan (RVH).
Pada foto toraks, akan didapatkan gambaran silhuet mediastinum
yang sempit.
Operasi korektif dilakukan dengan arterial switch procedure.
Pemberian PGE1 sampai waktu operasi diperlukan agar PDA tetap
terbuka dan kadang diperlukan tindakan ballon atrial septostomy untuk
membuat atau memperlebar ASD sampai operasi koreksi dapat
dilakukan. Jika sianosis menetap meski PDA telah diusahakan tetap
terbuka, berikan bolus cairan atau inotropik. Pasien yang menjalani
operasi repair juga memerlukan follow-up seumur hidup.

Trunkus arteriosus
Angka kejadian trunkus arteriosus berkisar 2-5% dan
menunjukkan manifestasi klinis di awal-awal periode neonatus.
Trunkus arteriosus dapat disertai dengan defek kongenital lain seperti
VSD dan sepertiga penderitanya mengalami delesi 22q11.2 (sindrom
Di George).15
Pada 48 jam pertama setelah kelahiran, akan tampak
oversirkulasi pulmonal. Pada auskultasi, terdengar bising sistolik
(paling keras pada batas sternalis kiri) yang sama kerasnya dengan
bunyi S2. Pemeriksaan fisik lain menunjukkan karakteristik delesi
22q11.2 yaitu ukuran mulut yang kecil (micrognathia), cleft lip dan atau
palate, dan tulang pipi yang datar (malar flattening).15
Gejala terkait oversirkulasi pulmonal dapat ditangani dengan
pembatasan cairan dan diuretik. Pasien-pasien dengan trunkus
arteriosus sebaiknya menjalani operasi pada usia 2 minggu pertama.
Selain operasi, bayi dengan trunkus arteriosus juga menjalani
pemeriksaan lain terkait delesi 22q11.2 dan kadar kalsium darah.15
th
34 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Total and Partial Anomalous Pulmonary Venous Drainage
(TAPVD)
Defek pada jantung dimana tidak terdapat hubungan langsung
antara vena pulmonalis dan atrium kiri. Vena-vena pulmonalis tersebut
mengalir tidak normal ke vena sistemik atau ke atrium kanan. Terdapat
4 tipe menurut letak drainage: 1) Tipe suprakardiak (vena pulmonalis
komunis bermuara ke vena cava superior melalui vena vertikalis dan
vena inominata); 2) Tipe kardiak (vena pulmonalis komunis bermuara
ke dalam sinus coronarius atau vena pulmonalis masing-masing
bermuara ke atrium kanan); 3) Tipe infrakardiak (vena pulmonalis
komunis bermuara ke vena porta, duktus venosus, vena hepatica, atau
vena cava inferior. Vena pulmonalis komunis menembus diafragma
melalui hiatus esofagus); 4) Tipe campuran (kombinasi tipe-tipe
lainnya).15
Manifestasi klinis bergantung pada ada atau tidaknya obstruksi
aliran vena pulmonalis. Mayoritas pasien dengan TAPVD
suprakardiak, kardiak, dan infrakardiak mengalami hipertensi pulmonal
sekunder karena obstruksi aliran balik vena pulmonalis. TAPVD tanpa
obstruksi vena pulmonalis akan menunjukkan sianosis ringan sejak
lahir, tanda gagal jantung, pada auskultasi jantung didapatkan irama
quadriple khas: S2 terpisah lebar dan menetap; P2 mengeras; bising
ejeksi sistolik grade 2-3/6 biasanya terdengar pada tepi sternal kiri
atas; dan bising mid diastolic rumble selalu terdengar pada tepi sternal
kiri bawah. Pada TAPVD dengan obstruksi didapatkan sianosis yang
berat, temuan pada jantung mungkin minimal (S2 tunggal-keras,irama
derap), dan terdapat ronki basah halus, serta hepatomegali.18
Bayi tanpa obstruksi vena pulmonalis harus diberikan digitalis
dan diuretik. Pada beberapa pasien dengan hipertensi pulmonal,
PGE1 dapat meningkatkan aliran darah sistemik dengan tetap
membuka duktus. Pada tipe infrakardiak, PGE1 dapat membantu
mempertahankan duktus venosus tetap terbuka. Semua bayi dengan
obstruksi harus segera dilakukan operasi. Tindak lanjut setelah
operasi dilakukan setiap 6-12 bulan. Pembatasan aktifitas dan
profilaksis endokarditis tidak diperlukan, kecuali terdapat obstruksi
vena pulmonalis.15,18,19

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 35
Hypoplastic Left Heart Syndrome (HLHS)
Kondisi di mana jantung kiri mengalami hipoplasia dan tidak
berkembang, disertai dengan adanya stenosis atau atresia katup mitral
dan katup aorta yang berat (lihat Gambar 5). Terjadi penurunan aliran
darah dari atrium kiri (LA) ke ventrikel kiri (LV) dan dari LV ke aorta.
Ventrikel kiri mengalami hipoplasia dan hal ini dikaitkan dengan
hipoplasia pada aorta asending. Sirkulasi sistemik bergantung pada
PDA. PGE1 diperlukan untuk menjaga PDA tetap terbuka.15

Gambar 4. Ekokardiogram pada pasien HLHS15

Gejala mulai muncul ketika duktus mulai menutup yaitu


pulseless, penurunan urin output, kondisi syok, dan distress
pernapasan. Pada foto toraks, ditemukan gambaran kongesti vaskular
dan kardiomegali.15

th
36 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Gambar 5. Diagram menunjukkan tempat dan hubungan anastomosis
ventrikel tunggal dengan menggunakan model HLHS. 1a) rekonstruksi
neoaorta dengan menggunakan hipoplasia aorta asending
sebagaimana arteri pulmonal yang normal, untuk menjaga kestabilan
vaskularisasi sistemik. 1b) lokasi mBTT shunt untuk mengalirkan
darah secara langsung dari arteri subklavian kanan ke sirkulasi
pulmonal (shunt akan dilepas setelah prosedur Glenn dilakukan). 2)
Tahap akhir, yaitu anastomosis Fontan. 3) Mencegah sisa darah
rendah oksigen agar tidak masuk ke vena cava inferior dan
mengalirkannya melalui Fontan conduit ke sirkulasi pulmonal15

Tindakan operasi paliatif pada HLHS dilakukan secara


bertahap. Operasi pertama dilakukan pada usia 2 minggu awal untuk
menstabilkan curah jantung dengan prosedur Norwood dan MBTT
shunt untuk menyuplai darah ke arteri pulmonalis dan membuat ASD.
Di usia 4-6 bulan, pasien kemudian menjalani prosedur Glenn
termasuk anastomosis vena cava superior ke arteri pulmonalis. Jika
prosedur Glenn telah dilakukan, mBTT shunt dapat dilepas. Langkah
terakhir, yaitu prosedur Fontan yang dilaksanakan pada usia 2-4 tahun
dengan menyambungkan IVC ke arteri pulmonalis.15

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 37
Manajemen PJB
Pencegahan dapat dilakukan sebelum dan selama proses
kehamilan dengan menghindari faktor-faktor risiko dan suplementasi
asam folat yang adekuat.2,6 Pada pasien dengan PJB sianotik
direkomendasikan untuk melakukan tes genetik terutama pada
keluarga yang memiliki riwayat d-tranposition, tertralogy of fallot,
truncus arteriosus, interrupted aorta arch type B, dan berguna untuk
mengeliminasi sindrom Di George/sindrom velocardiofasial.14
Pada bayi dengan PJB, pemberian oksigenasi harus dilakukan,
namun untuk pemasangan ventilasi mekanik sebaiknya diberikan pada
bayi baru lahir yang mengalami penurunan perfusi sistemik. Terapi
cairan harus diawasi dengan ketat, termasuk pencatatan urin output
(terutama pada PJB kritis). Pengawasan terhadap kadar elektrolit dan
gula darah juga harus diperhatikan meskipun pada 1-2 hari awal
kehidupan, kadarnya tergolong normal.2
PGE1 diberikan pada bayi sianosis dengan kondisi duct-
dependent dengan perencanaan tindakan operatif yang bersifat
semielektif. Tindakan operatif dapat menjadi pilihan utama pada
kondisi total obstruksi vena pulmonal dan harus dilakukan sesegera
mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Kondisi hipoksemia berat pada
d-transposition of the great artery with restrictive patent foramen ovale
memerlukan septostomi ballon arterial segera. Namun, tindakan
operasi koreksi defek sebaiknya ditunda hingga kondisi organ-organ
lain mulai membaik. Tindakan operatif dilakukan pada kondisi PJB
yang kompleks atau ketika tindakan kateterisasi tidak dapat
mengoreksi defek.2

Operasi korektif defek


1. Paliatif
Dilakukan jika perbaikan defek total tidak memungkinkan,
aliran darah dikontrol dengan shunt atau pemasangan artificial tube
pada jantung. Salah satunya adalah Blalock-Taussig (BT) shunt
atau operasi Blue Baby. Tindakan ini diterapkan pada defek
jantung seperti atresia pulmonal, stenosis pulmonal, atresia
trikuspid, dan stenosis trikuspid.2

th
38 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
2. Kateterisasi jantung
Merupakan tindakan yang dilakukan dengan memasukkan kateter
ke dalam jantung dan pembuluh darah di sekitar jantung.
Kateterisasi jantung dapat bersifat diagnostik maupun intervensi
sebagai terapi.2 Setelah tindakan kateterisasi, mobilisasi bertahap
sebaiknya dilakukan mulai 2-6 jam paska tindakan dan mobilisasi
hingga aktivitas penuh dalam 3-5 hari.15
3. Arterial Switch Procedure
Merupakan prosedur yang dilakukan pada kasus TGA dan
sebaiknya dilakukan di minggu-minggu awal kehidupan setelah
diagnosis tegak.2
4. Prosedur Norwood
Diterapkan pada neonatus dengan atrium atau ventrikel
tunggal. Prosedur ini dapat menjadi bagian dari sebuah rangkaian
operasi yang meliputi rekonstruksi aorta, pemasangan BT-shunt,
pemasangan Bi-directional Glenn Shunt, dan prosedur fenestrated
fontan.2
5. Transplantasi jantung
Merupakan tindakan yang dilakukan pada gagal jantung terminal.
Memerlukan pemberian inotropik intravena kontinu dan mechanical
circulatory support. Dilakukan jika operasi repair lebih berisiko
daripada transplantasi jantung, terdapat penurunan kondisi
meskipun terapi telah diberikan secara optimal, terjadi aritmia
maligna atau henti jantung yang tidak berespon terhadap obat,
kateter ablasi, serta automatic implantable defibrillator, dan
hipertensi pulmonal progesif.2

Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan pada pasien-


pasien yang menjalani tindakan operatif melalui torakotomi median
(selama 6-8 minggu), antara lain no tummy time/no prone, hindari
bermain di tempat ramai dan padat, serta hindari mengangkat pasien
dengan cara mengangkat bagian lengan atau ketiak, gunakan cara
scoop-up.15

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 39
Hypercyanotic spell
Hypercyanotic spell/hypoxy spell/cyanotic spell/paroxysmal
dyspnea merupakan episode sianosis sentral akibat terjadinya
hambatan total pada aliran ventrikel kanan pada penderita PJB,
terutama TOF.20 Hypercyanotic spell dikarakteristikan dengan adanya
hiperapnea (laju respirasi yang cepat dan dalam), iritabilitas, anak
menangis tanpa berhenti, terjadi peningkatan sianosis, bising jantung
dapat tidak terdengar, dan dapat berakibat pada kelumpuhan, kejang,
defisit neurologis, hingga kematian.20
Hypercyanotic spell cenderung muncul di pagi hari dan disertai
faktor pemicu seperti kecemasan, demam, anemia, infeksi, atau dapat
terjadi secara spontan. Hypercyanotic spell pada bayi secara khas
ditandai dengan anak yang rewel, sulit ditenangkan, yang kemudian
terjadi sianosis dan hiperapnea. Pada anak yang lebih besar, mereka
cenderung akan berjongkok untuk mengurangi serangan. Kondisi PJB
lain yang dapat memicu hypercyanotic spell adalah trikuspid atresia
dengan stenosis pulmonal, TGA dengan stenosis pulmonal, dan
ventrikel tunggal dengan stenosis atau atresia pulmonal.20
Terdapat 5 mekanisme pada patogenesis spell, yaitu: 1)
akselerasi denyut jantung, 2) peningkatan curah jantung dan aliran
balik vena, 3) peningkatan pirau kanan-ke-kiri, 4) kerusakan pada
pusat pengaturan pernapasan, dan 5) kontraksi infundibular.
Hypercyanotic spell nenurunkan saturasi oksigen sistemik sehingga
terjadi asidosis metabolik dan peningkatan katekolamin sehingga
kontraktilitas miokard meningkat seperti pada Gambar 6 di bawah ini.

Gambar 6. Mekanisme Hypercyanotic spell 20


th
40 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Penanganan pada hypercyanotic spell
1. Squatting/knee to chest position
Tenangkan anak dalam posisi ini. Squatting akan menekan vena
cava superior dan meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan
mengalirkan darah langsung ke paru melalui stenosis pulmonal.

Gambar 7. Berbagai posisi yang dapat digunakan untuk mengurangi


sesak: 1) squatting, 2) duduk dengan posisi kaki ditekuk
dan menumpu badan (seperti posisi squatting), 3) kedua
kaki disilangkan saat berdiri, 4) bayi digendong dalam
posisi kaki difleksikan, dan 5) berbaring20

2. Oksigenasi
Pemberian oksigen tidak terlalu bermanfaat karena penyebab
utama spell adalah penurunan vaskularisasi pulmonal.
3. Morfin sulfat
Dosis yang diberikan 0,1 mg/kg (IM atau IV). Pemberian morfin
sulfat akan menurunkan kerja pusat pernapasan dan menurunkan
aliran balik vena sistemik.
4. Koreksi asidosis (lakukan pengecekan pH darah)
a. Injeksi sodium bikarbonat (1-2 meq/kg IV)
Berguna menurunkan stimulasi pusat pernafasan akibat
asidosis metabolik dan menurunkan resistensi vaskular paru
akibat asidosis dan hipoksia.
b. Propanolol 0,1 mg/kg IV pelan (dapat diulang setiap 15 menit)
Pemberian propanolol dapat menurunkan kontraktilitas
miokardium dan obstruksi aliran infundibular ventrikel kanan.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 41
Pemberian sebanyak 2-4 mg/kg/hari secara oral dapat
mencegah spell. Penggunaan propanolol jangka panjang
berefek menstabilkan reaktivitas vaskularisasi perifer.
c. Atau injeksi esmolol 0,5 mg/kgBB selama 1 menit dan
dilanjutkan 50 mcg/kg/menit (selama 4 menit).
d. Atau injeksi metoprolol 0,1 mg/kgBB selama 5 menit, dapat
diulang setiap 5 menit (maksimal 3 dosis), dan dilanjutkan infus
dengan dosis 1-5 mcg/kg/menit.
e. Phenylephrine dengan dosis 5-20 mcg/kg IV setiap 10-15
menit.
Berguna meningkatkan resistensi vaskular sistemik, memaksa
aliran darah masuk ke paru. Berikan secara kontinu untuk
menjaga SpO2 di atas 90%. Pemberian secara drip dengan
dosis 01-0,5 mcg/kg/menit bermanfaat sebagai vasokonstriktor
poten (menurunkan perfusi renal dan mesenterik).
f. Ketamin 0,25-1 mg/kgBB IV atau IM berguna sebagai sedasi
dan dapat meningkatkan resistensi vaskular sistemik.
g. Methoxamine 0,1 mg/kgBB IV selama 5-10 menit dapat
meningkatkan resistensi vaskular sistemik.
5. Pemberian cairan (kristaloid/koloid)
Dapat diberikan bolus inisial 10-20 ml/kgBB (maksimal 60 ml/kgBB)
bermanfaat memaksimalkan preload dan sebaiknya diberikan
sebelum pemberian obat-obatan yang berefek hipotensi.
6. Koreksi anemia
7. Pertimbangkan tindakan operatif

Vaksinasi dan pencegahan endokarditis


PJB sianotik dan pasien PJB yang menjalani operasi berisiko
lebih tinggi terinfeksi endokarditis. Angka mortalitas akibat endokarditis
mencapai 1-5%, terutama pada PJB sianotik dan mayoritas akibat
bakteri S. aureus. Pasien yang akan menjalani tindakan
cardiopulmonary bypass tidak boleh diberikan vaksin hidup 2 minggu
sebelum dan 6 minggu setelah tindakan (pemberian vaksin dapat
ditunda selama 2 bulan paska operasi sampai sitokin dan penanda
imunologi kembali normal).15,21

th
42 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Pasien berusia <12 bulan dengan PJB asianotik yang belum
menjalani operasi atau yang mendapat terapi diuretik juga harus
diberikan profilaksis berupa palivizumab. Pasien yang memenuhi
kriteria pemberian profilaksis virus respiratory syncytial setelah
menjalani operasi paliatif termasuk cardiopulmonary bypass dapat
dipertimbangkan pemberian palivizumab paska operasi sebanyak 15
mg/kg.21
Pasien yang akan menjalani operasi jantung maupun
kateterisasi perlu diberikan profilaksis SBE (Subacute Bacterial
Endocarditis) selama 6 bulan paska operasi dan dapat diberikan
secara berkelanjutan jika terdapat defek residual di sekitar device atau
patch yang dipasang. Profilaksis SBE juga diberikan pada semua
pasien yang defek jantungnya tidak terkoreksi. Anak dengan katup
prostetik, bioprostetik, device percutaneus, riwayat endokarditis, dan
penyakit katup jantung juga harus diberikan profilaksis SBE.21

PJB, malnutrisi, dan gangguan tumbuh-kembang


PJB berkaitan erat dengan kejadian berat badan lahir rendah
(BBLR), malnutrisi, dan failure to thrive (FTT).3,4,22 Pada saat kelahiran,
berat badan (BB), panjang badan (PB), dan nilai APGAR pada bayi
PJB tergolong normal seperti bayi sehat pada umumnya. Namun, di
bulan-bulan awal terutama pada usia 4 bulan, akan mulai nampak
defisit pada BB, PB, dan lingkar kepala (LK).23
Prevalensi malnutrisi pada PJB diperkirakan sebesar 64%.1
Faktor risiko penderita PJB untuk mengalami FTT dipengaruhi oleh
status gizi dan defek jantung yang diderita, termasuk kondisi lain yang
menyertai (sianosis, pirau kiri ke kanan, hipertensi pulmonal).1,4
Penelitian Moradian M, dkk. (2017) melaporkan bahwa PJB sianosis
dengan maupun tanpa hipertensi pulmonal lebih berisiko mengalami
malnutrisi dan retardasi pertumbuhan.24
Malnutrisi yang dialami penderita PJB berakibat pada FTT. Hal
tersebut berkaitan dengan asupan makanan yang tidak adekuat,
adanya malabsorbsi, tingginya basal metabolism rate (BMR) [40%
lebih tinggi dibandingkan anak sehat seusianya], terjadinya intoleransi
makanan, gangguan pada hormon pertumbuhan, dan kerentanan
terinfeksi penyakit saluran napas, terutama pneumonia.1,3,4,9,24
Hipermetabolisme akan sangat terlihat di usia 6 bulan saat resistensi
vaskular paru mulai menurun.9,23 Peningkatan BMR pada penderita

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 43
PJB sianotik berakibat pada gangguan peningkatan BB, PB atau TB.4
Penurunan curah jantung akibat pirau kiri ke kanan dan gagal jantung
karena pirau kiri ke kanan (terutama pada gagal jantung kanan)
menyebabkan peningkatan vena sistemik sehingga dinding dan
mukosa usus mengalami edema sehingga terjadi malabsorbsi dan
gangguan aliran limfatik.23
Penelitian yang dilakukan oleh Shrivastava (2008) menjelaskan
bahwa pasien PJB dengan peningkatan vaskularisasi pulmonal dan
gagal jantung akan berisiko lebih tinggi mengalami malnutrisi dan FTT
akibat hipoksia. Pada PJB sianotik, ditemukan eritrositosis sekunder
akibat mekanisme kompensasi dari hipoksemia jaringan yang kronis.
Jaringan yang mengalami hipoksemia kronis akan menstimulsi
eritropoiesis di sumsum tulang akibat kadar oksigen arterial rendah
sehingga terjadi peningkatan eritrosit, hematokrit, dan viskositas
darah. Di sisi lain,peningkatan eritrosit dan viskositas darah justru
menghambat kecepatan aliran dan perfusi oksigen ke jaringan.3
Asupan makan yang tidak adekuat berhubungan dengan
penurunan nafsu makan yang disebabkan oleh kondisi hipoksemia
kronis. Hipoksemia kronis menyebabkan anak mengalami napas cepat
hingga sesak napas. Selain itu, kondisi hipoksia kronis dengan kadar
SpO2 yang rendah menyebabkan kadar glukosa darah menjadi rendah
dan menstimulasi rerata sekresi insulin sehingga anak mudah lelah
saat makan.4 Ketika asupan kalori tidak tercukupi, BB akan lebih
dahulu terpengaruhi, kemudian PB/TB, dan kemudian LK.9
Pembatasan cairan dan terapi diuretik pada anak PJB dengan
gagal jantung secara tidak langsung berefek pada kondisi anoreksia
karena alkalosis metabolik dan hipokalemia atau akibat terjadinya
penghambatan anabolisme protein yang efektif.23
Anak dengan PJB sianotik menderita malnutrisi kronis.
Gangguan pertumbuhan yang terjadi bergantung pada keparahan
hipoksemia dan derajat adaptasi tubuh terhadap kondisi tersebut.
Gangguan pertumbuhan berefek seimbang pada BB dan PB/TB
(terutama pada kombinasi defek septum dan pirau kiri ke kanan).23
Dinleyici dkk. (2013) menemukan bahwa terdapat penurunan kadar
IGF-1 (hormon anabolik penting) terutama pada PJB sianotik.9 Pada
PJB sianotik juga ditemukan kadar ghrelin yang lebih tinggi di dalam
darah. Tingginya kadar ghrelin dalam darah dipercaya sebagai
penanda malnutrisi. Hormon ghrelin merupakan poten stimulator
hormon pertumbuhan yang disekresi langsung ke sirkulasi darah.
th
44 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Ghrelin berfungsi meningkatkan asupan makanan dan menurunkan
katabolisme lemak.22 Sedangkan, pada PJB asianotik, malnutrisi yang
terjadi bersifat akut dan gangguan lebih berefek pada defisit BB.23

Komplikasi dan follow up jangka panjang


Tabel 8. Rekomendasi aktivitas fisik pada penderita PJB14

Cardiac Concern Low-Intensity Exercise


Sports Restriction
Aortic dilation, aneurysm X X (depending
on severity)
Moderate to severely depressed X
ventricular function
Severe pulmonary HTN X
Severe systemic HTN (untreated) X
Severe aortic stenosis X
Coarctation of the aorta X X (depending
on severely)
Untreated cyanotic heart disease X
Untreated anomalous coronary artery X
origin With an interarterial or intramural
course
Exercise-induced arrhythmia X

Adapted from Van hare GF, Ackerman MJ, Evangelista JA, et al, Eligibility
and disqualification recommendations for competitive athletes with
cardiovascular abnormalities task force 4: congenital heart disease : a
scientific statement from the American Heart Association and American
College of Cardiology J Am Coll Cardiol 2015.66(21)2372-2384
recommendations may vary by individual patient. HTN, hypertension.

Seiring dengan berkembangnya teknologi terapi pada PJB,


terjadi peningkatan penderita PJB yang mencapai usia
dewasa/Grown-up Congenital Heart (GUCH). Jumlah GUCH
diperkirakan mencapai 20.000 di negara berkembang, sebanyak ±1
juta di Amerika Utara, dan diperkirakan 100.000 di Spanyol. 90% anak
dengan PJB yang bertahan setelah tindakan transkateter diketahui
menderita komplikasi jangka panjang, yaitu aritmia, disfungsi ventrikel,
stroke, hipertensi pulmonal, endokarditis, dan gagal jantung.25 Defisit
perkembangan neurologi lebih banyak dialami pasien yang
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 45
memerlukan tindakan operasi jantung terbuka, penderita PJB sianotik,
dan PJB dengan komorbid. Pengawasan jangka panjang tetap harus
dilakukan mengingat tingginya risiko komplikasi paska operasi.15

Kesimpulan
1. Penyakit jantung bawaan (PJB) menduduki peringkat teratas
penyakit pada bayi dengan jumlah PJB sianotik lebih tinggi
daripada PJB asianotik, di mana 25% dari keseluruhan termasuk
PJB kritis.
2. Keterlambatan deteksi dan penanganan dapat meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas, terutama pada negara-negara
berkembang.
3. Etiologi pasti PJB belum diketahui. Namun, terdapat berbagai faktor
risiko terkait PJB, yaitu terkait kondisi ibu selama hamil, faktor
lingkungan, genetik, dan riwayat PJB pada keluarga.
4. Manifestasi klinis dapat bervariasi, bergantung pada jenis dan besar
defek jantung. Penanganan dan terapi juga akan menyesuaikan
terhadap gejala yang timbul.
5. Tipe PJB sianotik terbanyak adalah TOF. TOF dan tipe PJB sianotik
lainnya dapat memunculkan episode serangan spell pada
penderitanya. Serangan ini harus ditangani dengan tepat agar tidak
berujung pada kematian.
6. PJB sianotik dilaporkan lebih berisiko menderita malnutrisi hingga
FTT dan lebih mudah terinfeksi endokarditis.
7. Follow-up jangka panjang harus tetap dilaksanakan pada seluruh
pasien PJB baik yang menjalani ataupun tidak menjalani tindakan
operatif.

Daftar pustaka
1. Rubia B, Kher A. Anthropometric assessment in children with congenital
heart disease. Int J Contemp Pediatr. 2018;5(2):634-639.
2. Setty HSSN, Patil SSG, Ramegowda RT, Vijaykumar, Vijayalakshmi IB,
Manjunath CN. Comprehensive approach to congenital heart defects. J
Cardiovasc Disease Res. 2017;8(1):1-5.
3. Hermawan BJ, Hariyanto D, Aprilia D. Profil penyakit jantung bawaan di
instalasi rawat inap anak RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari
2013 Desember 2015. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018;7(1).142-148.

th
46 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
4. Wulandari AP, Ontoseno T, Umiastuti P. Hubungan status gizi anak usia
2-5 tahun dengan kelainan jantung bawaan biru di RSUD Dr Soetomo
Surabaya. Sari Pediatri. 2018;20(2):65-9.
5. Wanni KA, Shahzad N, Ashraf M, Ahmed K, Jan M, Rasool S. Prevalence
and spectrum of congenital heart diseases in children. Heart India.
2014;2(3):76-79.
6. Abqari A, Gupta A, Shahab T, Rabbani MU, Ali SM, Firdaus U. Profile and
risk factors for congenital heart defects: A study in a tertiary care hospital.
Ann Pediatr Cardiol. 2016;9(3):216–221.
7. Ilham Safutra (Ed.). Angka penyakit jantung bawaan anak di Indonesia
tinggi, mengapa?. Diunduh dari:
www.jawapos.com/kesehatan/childrens/17/03/2017/angkapenyakitjantung
-bawaan-anak-di-indonesia-tinggi-mengapa (Diakses 1 Desember 2018).
8. Diller CL, Kelleman MS, Kupke KG, Quary SC, Kochilas LK, Oster ME. A
modified algorithm for critical congenital heart disease screening using
pulse oximetry. Pediatrics. 2018;141(5). pii: e20174065.
9. Daymont C, Neal A, Prosnitz A, Cohen MS. Growth in children with
congenital heart disease. Pediatrics. 2013;131:236–242.
10. Putra ST. Penyakit jantung bawaan pada bayi baru lahir: Pengenalan dini,
pengobatan awal, dan tata laksana. Dalam: Management of pediatric
heart disease for practitioners: From early detection to intervention.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2009. h.1-17.
11. Ontoseno T. Critical congenital heart disease in newborn.
12. Blue GM, Kirk EP, Giannoulatou E, Sholler GF, Dunwoodie SL, Harvey
RP, Winlaw DS. Advances in the genetics of congenital heart disease a
clinician’s guide. JACC. 2017:69(7):859-870.
13. Rahayuningsih SE, Hamanoue H, Matsumoto N. Peran mutasi gen
CRELD1 pada defek septum ventrikel dan hubungannya dengan
manifestasi klinis. Sari Pediatri. 2008;10(4):225-229.
14. Lantin-Hermoso MR, Berger S, Bhatt AB, Richerson JE, Morrow R, Freed
MD, Beekman III RH. The care of children with congenital heart disease in
their primary medical home. Cardiac Surgery. Pediatrics. 2017;140(5):
e20172607.
15. Puri K, Allen HD, Qureshi AM. Congenital heart disease. Pediatrics in
Review. 2017;38(10):471-486.
16. Xiao-jing Hu, Xiao-jing Ma, Qu-ming Zhao, Wei-li Yan, Xiao-ling Ge, Bing
Jia, Fang Liu, dkk. Pulse oximetry and auscultation for congenital heart
disease detection. Pediatrics. 2017;140(4).pii: e20171154.
17. Myung KP. Flow diagram. Dalam: Pediatric cardiology for practitioners.
Edisi ke-4. Elsevier Health Sciences. 2008. h.60-61.
18. Park MK. Total anomalous pulmonary venous return. In Pediatric
cardiology for practitioner. 5th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier. 2008.
h.240-254.
19. Keane JF, Fyler DC. Total anomalous pulmonary venous return. In Keane
20. JF,Lock JE,Fyler DC. Nadas’ pediatric cardiology,second edition.
Saunders Elsevier. 2006. h.773-781.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 47
21. Taksande A, Gautami V, Padhi S, Bakshi K. Hypercyanotic spells. J
MGIMS. 2009;14:7–9.
22. Jortveit J, Klcovansky J, Eskedal L, dkk. Endocarditis in children and
adolescents with congenital heart defects: A Norwegian nationwide
register-based cohort study. Arch Dis Child. 2018;103(7):670–674.
23. Al-Asy HM, Donia AA, El-Amrosy DM, Rabee E, Bendary AA. The levels
of ghrelin in children with cyanotic and acyanotic congenital heart disease.
Journal of Pediatric Sciences. 2014;6:2-6.
24. Sjarif DR, Anggriawan SL, Putra ST, Djer MM. Anthropometric profiles of
children with congenital heart disease. Med J Indones. 2011;20(1):40-45.
25. Moradian M, Pouraliakbar H, Mahdavi M, Ghadrdoost B, Faritous Z, Fard
MS. Failure to thrive and bone growth retardation in cyanotic and
acyanotic congenital heart diseases with and without pulmonary
hypertension. Iranian Heart Journal. 2017;18(3).35-41.
26. Dewi LGAP, Yantie NPVK, Gunawijaya E. Cardiac catheterization and
percutaneus catheter in grown-up congenital heart diseases: Single
center experience at developing country. Med J Indones. 2018;27:38–43.

th
48 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Infeksi Saluran Nafas Bawah Berulang pada PJB
dan Tatalaksananya

Muhammad Ali, Putri Amelia

Pendahuluan
Pada orang sehat, dijumpai hubungan erat antara fungsi
kardiovaskular dan respirasi, namun adanya kelainan sirkulasi bawaan
membuat jalinan ini terganggu.1,2 Pada kondisi seperti ini kemampuan
jantung untuk meningkatkan aliran darah sistemik dan/atau pulmonal
jadi terbatas, PO2 arterial menurun karena adanya pirau dari lesi, dan
penghantaran O2 tidak dapat mencukupi kebutuhan jaringan. Keadaan
patologis di kedua sistem ini sering muncul bersamaan dan saling
mempengaruhi satu dengan yang lain, akibatnya diagnosis dan
tatalaksana pasien jadi lebih menantang.1
Kebanyakan penyakit jantung pada anak adalah bawaan.
Dijumpai 8 per 1000 bayi lahir hidup memiliki malformasi jantung, 30%
darinya memerlukan intervensi di tahun pertama kehidupan. Terdapat
9 jenis lesi yang paling sering muncul, menyumbang sekitar 80% dari
keseluruhan penyakit jantung bawaan/PJB (Ventricular Septal
Defect/VSD 30%, Patent Ductus Arteriosus/PDA 12%, Atrial Septal
Defect/ASD 7%, Tetralogy of Fallot 5%, Transposition Great
Artery/TGA 5%, Complete Atrioventricular Septal Defect/AVSD 2%,
Pulmonary Stenosis/PS 7%, Aortic Stenosis/AS 5% dan Coarctatio
Aorta 5%).3
Anak-anak dengan PJB mengalami komplikasi di beberapa
organ sistem, dan sistem respirasi adalah komplikasi yang paling
utama. Infeksi saluran nafas bawah adalah alasan utama terjadinya
morbiditas dan mortalitas,4 memanjangnya masa rawatan di rumah
sakit, gagal nafas, memanjangnya pemakaian ventilasi mekanik, dan
tertundanya operasi defenitif.5 Karenanya, deteksi dini PJB pada
infeksi saluran nafas bawah berulang dan tatalaksananya yang sesuai
dapat memberikan anak waktu yang cukup untuk tumbuh kembang,
mengurangi risiko morbiditas dan mortalitas, mengurangi beban biaya
dan menghindari morbiditas jangka panjang.2
Infeksi saluran nafas bawah yang diulas dalam tulisan ini
dibatasi hanya pada 2 jenis infeksi tersering ditemukan berkaitan

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 49
dengan PJB yaitu bronkiolitis dan pneumonia berulang serta
tatalaksananya.

Infeksi Saluran Nafas Bawah dan PJB


Berdasarkan International Classification of Diseases, infeksi
saluran nafas bawah didefinisikan sebagai infeksi yang menyerang
saluran nafas di bawah epiglotis.6 Sedangkan infeksi saluran nafas
bawah berulang merujuk kepada 2 kali atau lebih rawat inap dalam
kurun 6 bulan atau 3 kali rawat inap karena infeksi saluran nafas
bawah di sepanjang waktu.7 Penyebab infeksi saluran nafas beragam,
namun penyebab infeksi (virus, bakteri) adalah hal yang paling umum.2
Faktor risiko lainnya pada infeksi saluran nafas bawah selain PJB
adalah prematuritas, penyakit paru kronik, penyakit imun, usia di
bawah 5 tahun, terpapar asap rokok, dan sindroma aspirasi.4
Komplikasi pulmonal langsung akibat PJB dapat berupa
gangguan pada struktur jalan nafas, abnormalitas mekanisme
patofisiologi yang mengakibatkan terjadinya edema paru, dan/atau
penyakit paru yang nyata. Faktor-faktor lain yang membuat anak-anak
dengan PJB berisiko menderita infeksi saluran nafas tertera pada tabel
1.5

Tabel 1. Faktor-faktor risiko infeksi saluran nafas pada PJB5


- Kondisi medis penyakit dasar yang berat
- Malnutrisi
- Intubasi trakea/ventilasi mekanik yang berlama-lama
- Penggunaan antasida yang mempengaruhi pH lambung
- Penggunaan spektrum luas antibiotika sebelumnya

Mekanisme yang bertanggung jawab pada terjadinya


peningkatan usaha bernafas bervariasi tergantung kepada perubahan
mekanik yang diakibatkan oleh setiap anomali kardiovaskular. Anak-
anak yang menderita PJB dengan pirau kiri ke kanan mengalami
peningkatan aliran darah paru yang mengakibatkan edema paru dan
penurunan kapasitas residu fungsional. Perubahan-perubahan ini
selanjutnya dapat mengakibatkan atelektasis dan ventilation
perfussion mismatch, yang akhirnya mengakibatkan hipoksia.5

th
50 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Pasien-pasien dengan PJB sianosis dapat mengalami
intensifikasi pada level dasar sianosisnya akibat bronchiolitis-related
reductions pada volume paru dan airway diameter superimposed pada
aliran paru yang sudah berkurang, dan akibat pirau kanan ke kiri.
Anak-anak dengan PJB juga mengalami kegagalan fungsi ventrikel
yang mengakibatkan peninggian tekanan vena pulmonalis, kebocoran
kapiler, dan edema paru yang selanjutnya berkontribusi meningkatkan
ventilation-perfusion mismatch.8
1. Bronkiolitis
Bronkiolitis adalah infeksi saluran nafas bawah yang paling
sering pada anak,9 dan infeksi saluran nafas yang paling serius pada
bayi, dimana 2-3% dari seluruh bayi usia 1-9 bulan menjalani rawat
inap karena penyakit ini setiap tahunnya di musim dingin.10 Di negara-
negara beriklim tropis, penyakit ini sering datang saat musim
penghujan, dan musimnya juga lebih beragam sepanjang tahun.9,11
Respiratory Synctitial Virus/RSV adalah penyebab bronkiolitis pada
sekitar 50-80 kasus.10,12
Secara global setiap tahunnya diperkirakan ada 33,8 juta kasus
infeksi saluran nafas bawah karena RSV pada anak di bawah 5 tahun,
mengakibatkan 3,4 juta rawatan di rumah sakit dan 66 hingga 199 ribu
kematian (kebanyakan di negara-negara berpendapatan rendah dan
sedang).13 Risiko untuk menderita bronkiolitis meningkat pada keadan
tertentu (lahir prematur RR 1.89, fibrosis kistik RR 2.45, PJB RR 3.35,
penyakit paru kronis RR 1.61, immunodefisiensi RR 1.73, sindroma
Down RR 2.53, dan Palsi Serebral RR 2.43.9 PJB yang paling sering
menyebabkan bronkiolitis adalah PJB asianotik pada usia 1-5 tahun.2
Diagnosis bronkiolitis ditegakkan secara klinis. Interpretasi
klinis yang bervariasi pada gejala dan temuan fisik, mengakibatkan
ketidakkonsistenan dalam diagnosis khususnya pada kasus-kasus
yang lebih ringan pada anak di atas 1 tahun.9 Bronkiolitis akut ditandai
dengan adanyanya obstruksi bronkiolar oleh edema, lendir, dan debris
selular.12 Rinorea muncul 2-4 hari disertai demam di bawah 39oC.9
Gambaran lainnya pada pemeriksaan fisik adalah: batuk kering
dengan mengi, takipnu dan takikardia, hiperinflasi dada, retraksi
subkostal dan intrakostal, suara ronki di akhir inspirasi, dan mengi
bersuara tinggi. Pulse oximetry harus dilakukan pada semua kasus.
Tidak ada pemeriksaan lainnya yang secara rutin dianjurkan. Foto
dada dan analisis gas darah diindikasikan hanya bila gagal nafas
dicurigai.10
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 51
Bronkiolitis pada penderita PJB bisa berakibat gagal nafas akut
dan pasien umumnya memerlukan terapi suportif seperti oksigen dan
continuous positive airway pressure (CPAP). Syukurnya kematian
akibat RSV pada PJB sudah menurun dalam 40 tahun terakhir oleh
karena penanganan yang higienis dan isolasi pasien di ruang
tersendiri. Beberapa jenis PJB memerlukan operasi di waktu yang
sangat terbatas. Masalahnya, operasi yang dilakukan pada saat infeksi
RSV meningkatkan risiko komplikasi pascaoperasi.11
Meskipun RSV telah dikenal sebagai penyebab paling sering
bronkiolitis, diluar masalah infeksi saluran nafas, virus ini sendiri
ternyata dapat mengakibatkan beberapa masalah pada jantung seperti
blok sinoatrial, takiaritmia, blok atrioventrikular, perikarditis,
miokarditis, blok jantung total, dan menurunnya fungsi ventrikel
kanan.14

Terapi Bronkiolitis
Terapi bronkiolitis dalam beberapa dekade tetap sama yaitu
terapi secara suportif dengan mempertahankan saturasi oksigen dan
mencegah terjadinya dehidrasi. Intervensi dukungan nafas pada
pasien-pasien dengan bronkiolitis berat sedang diuji untuk mengurangi
penggunaan ventilasi mekanik. Uji terhadap heated, humidified, high-
flo nasal cannula (HFNC) memperlihatkan pengurangan yang
signifikan sebesar 68% kebutuhan untuk intubasi.14 Tidak ada terapi
farmakologis yaag terbukti efektif untuk RSV.9 Tidak ada bukti bahwa
penggunaan uap, nebulisasi dengan garam hipertonik, antibiotika,
kortikosteroid, nebulisasi dengan bronkodilator seperti salbutamol atau
ipratropium dapat mengurangi keparahan atau durasi penyakit.10
Ribavirin, antivirus yang diberikan secara aerosol pernah
digunakan pada bayi dengan RSV yang menderita PJB dan penyakit
paru kronis, namun tidak didapati bukti yang meyakinkan mempunyai
efek yang positif pada luaran pasien seperti mortalitas dan lama
rawatan.12 Khusus pada infeksi RSV yang mengalami gagal nafas,
kejadian pneumonia bakterialis bisa mencapai 20% atau lebih. Pada
kondisi seperti ini ada alasan untuk mulai memberikan antibiotika
empiris 24 sampai 48 jam sebelum hasil kultur didapat.15 Tabel 2
berikut adalah petunjuk American Academy of Pediatric/AAP dalam
tatalaksana infeksi RSV yang berfokus pada pencegahan dan
pengobatan beserta tingkat evidence-nya.16

th
52 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 2. Rekomendasi AAP untuk pengobatan bronkiolitis16
Terapi Rekomendasi AAP Level evidence
Bronkodilator Seharusnya tidak B
inhalasi(seperti albuterol, digunakansecara rutin
nebulisasi efinefrin)
Kortikosteroid Seharusnya tidak B
digunakansecara rutin
Ribavirin Seharusnya tidak B
digunakansecara rutin
Profilaksis palivizumab Diberikan secara selektif A
(bayi prematur <35
minggu, anak PJB dan
penyakit paru bawaan)
Antibakteri Hanya diberikan pada B
anak dengan komorbid
infeksi bakteri yang jelas
Cairan oral atau intravena Harus menilai status X
hidrasi
Terapi dada Seharusnya tidak B
digunakan secara rutin
Oksigen Diindikasikan jika saturasi D
O2 tetap <90% pada udara
ruang

Pencegahan Infeksi RSV


Pencegahan terhadap infeksi RSV sebagai penyebab tersering
bronkiolitis adalah tujuan jangka panjang tatalaksana. Pencegahan
penyebaran virus ini bergantung pada higienitas yang baik, khususnya
cuci tangan, sebagai cara terbaik untuk mencegah transmisi
nosokomial.9,12
Pada tahun 1990, RSV intravenous immunoglobulin (RSV-
IVIG) dikembangkan sebagai sebuah usaha immunoprofilaksis namun
dengan cepat posisinya digantikan oleh palivizumab, suatu antibodi
monoclonal yang disuntikkan intramuskular setiap bulan.9 Penggunaan
RSV-IVIG yang mengandung RSV-neutralizing antibody kadar tinggi,
kontraindikasi digunakan pada PJB sianotik karena akan semakin
meningkatkan sianosis akibat viskositas darah yang semakin
bertambah yang umum dijumpai pada pasien-pasien dengan pirau dari

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 53
kanan ke kiri.17 Rekomendasi immunoprofilaksis palivizumab dari AAP
pada penderita PJB dapat dilihat pada Tabel 3.18

Tabel 3. Rekomendasi AAP untuk profilaksis palivizumab pada anak-


anak dengan PJB18

i. Usia ≤12 bulan menderita PJB dengan hemodinamik yang signifikan


a) Bayi-bayi PJB asianotik yang menerima terapi untuk mengontrol
gagal jantung kongestif dan akan menjalani prosedur bedah
b) Bayi-bayi dengan hipertensi pulmonal sedang-berat
c) Bayi-bayi dengan PJB sianosis pemberiannya dengan konsultasi
pada ahli jantung anak
ii. Dimulai dengan dosis 15 mg/kg tiap bulan selama musim RSV
iii. Berikan dosis tambahan 15 mg/kg pada pasien-pasien
pascapembedahan
iv. Usia <2 tahun yang menjalani transplantasi jantung selama musim RSV

Sebuah penelitian randomized controlled trial multinasional


mendapatkan bahwa para penderita PJB dengan hemodinamik
signifikan yang diberikan palivizumab menunjukkan luaran yang lebih
baik dibanding plasebo: frekwensi rawatan rumah sakit berkurang,
menghabiskan waktu lebih sedikit di rumah sakit, pengurangan
kebutuhan rawatan intensif dan ventilasi mekanik, dan mortalitas yang
lebih rendah.14 Sayangnya pemberiannya menyakitkan dan harganya
mahal sehingga menjadi perdebatan tentang cost-
11,14
effectivenessnya.
Diperlukan strategi lain pencegahan RSV yang lebih efektif.
Beberapa kali pernah dicoba membuat vaksin untuk RSV namun tidak
berhasil.14 Kemajuan yang signifikan terlihat di 15 tahun terakhir ini
dengan adanya beberapa kandidat vaksin yang dikembangkan, baik
untuk penggunaan pediatrik maupun maternal. Immunisasi maternal
dapat memberikan proteksi pasif transplasental untuk bayi pada saat
3-6 bulan pertama kehidupan. Fase III trial immunisasi maternal oleh
Novovax diharapkan selesai pada tahun 2020.9

2. Pneumonia Berulang
Pneumonia didefiniskan sebagai peradangan paru diakibatkan
oleh agen infeksius yang merangsang respon yang akhirnya
mengakibatkan kerusakan jaringan paru. Community-acquired
th
54 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
pneumonia (CAP) adalah salah satu masalah kesehatan yang penting
yang menyerang seluruh anak di dunia, penyebab tersering kematian
pada anak berusia kurang dari 5 tahun, terutama di negara-negara
berpendapatan rendah-sedang. Setiap tahunnya, ada 4-5 juta
kematian anak-anak di bawah usia 5 tahun, 1 juta darinya karena
pneumonia.19
Pneumonia diakibatkan oleh berbagai virus dan bakteri. Virus
banyak menyerang anak kecil, sedangkan bakteri lebih sering pada
anak yang lebih tua. Dalam praktek sehari-hari sulit membedakan
antara penumonia karena virus dan pneumonia karena bakteri. Tabel
4 menunjukkan penyebab pneumonia berdasarkan umur.10

Tabel 4. Penyebab pneumonia pada anak berdasarkan umur10


Umur Patogen
Bayi baru lahir Organisme dari saluran genitalia ibu, khususnya
grup B streptococcus, bisa juga Gram-negative
enterococci dan bacilli
Bayi dan anak kecil Virus saluran nafas, khususnya RSV adalah yang
paling sering, namun dapat juga oleh bakteri
seperti Streptococcus pneumoniae atau
H.influenzae, Bordetella pertussis dan Chlamidya
trachomatis. Staphylococcus aureus kurang sering
namun serius
Anak di atas 5 tahun Mycoplasma pneumoniae, Streptococcus
pneumoniae dan Chlamidya pneumoniae
Semua usia Mycobacterium tuberculosis harus dipertimbangkan

H.influeza tipe B adalah penyebab penting pneumonia bakterial


pada anak kecil, namun kejadiannya semakin berkurang akibat
penggunaan vaksin yang efektif, vaksin campak mengurangi insiden
measles-related-pneumonia, begitu juga dengan penggunaan vaksin
pneumococcal conjugate.10,20
Demam, batuk dan nafas cepat adalah gejala yang paling
umum, biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Gejala
lainnya seperti letargi, susah makan, dan rewel. Beberapa anak tanpa
gejala batuk. Adanya nyeri dada, perut atau leher adalah gambaran
adanya iritasi pleura dan dicurigai akibat infeksi bakteri. Pada
pemeriksaan fisik bisa dijumpai takipnu, nafas cuping hidung dan dada

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 55
turun naik. Ronki kasar terdengar di akhir inspirasi, perkusi redup,
saturasi oksigen bisa menurun.
Foto dada memberikan konfirmasi diagnostik namun tidak
dapat membedakan antara penumonia bakterialis dan virus.10 Temuan
infiltrat pada foto dada yang dicurigai sebagai pneumonia terkadang
dibingungkan dengan gambaran radiologis yang mirip karena edema
paru, yang biasanya ini adalah gambaran peningkatan corakan
vaskular paru.Pada praktek sehari-hari, temuan kardiomegali disertai
peningkatan corakan paru pada foto dada pada anak-anak dengan
pneumonia adalah indikasi untuk mengevaluasi kemungkinan adanya
PJB.21 Pemeriksaan darah biasanya tidak begitu membantu untuk
membedakan dua penyebab penumonia ini. Efusi pleura bisa muncul
pada sebagian kecil kasus.10
Pneumonia berulang didefenisikan sebagai adanya episode
pneumonia ≥2 dalam 1 tahun, atau ≥3 episode di semua rentang
waktu, dengan gambaran densitas radiologi yang bersih diantara
episode.22 Pneumonia berulang dapat terjadi pada pasien dengan
penyakit tertentu seperti aspirasi paru, PJB, penyakit-penyakit
neuromuskular, immunodefisiensi, dll.23 Beberapa jenis PJB yang
mengakibatkan peningkatan aliran darah ke paru adalah adalah faktor
predisposisi utama untuk menderita pneumonia pada anak.24 VSD,
PDA, dan AVSD adalah PJB asianotik yang paling sering
mengakibatkan pneumonia, sedangkan untuk PJB sianotik adalah
adalah truncus arteriosus (TA) dan total anomalous pulmonary venous
return (TAPVR).25 Pada semua PJB diatas terjadi sirkulasi berlebihan
ke paru yang memicu edema paru.26 Ukuran defek memainkan peran
penting untuk terjadinya gagal jantung dan pneumonia, sehingga PJB
terbanyak penyebab pneumonia adalah PJB dengan ukuran lesi
sedang hingga besar.25 Edema paru mengakibatkan terjadinya gagal
jantung kongestif dan menjadi tempat infeksi (nidus) bagi saluran
nafas bawah.27

Terapi Pneumonia
Evidence-based guidelines untuk tatalaksana pneumonia pada
anak telah dipublikasikan oleh British Thoracic Society. Kebanyakan
anak-anak yang sakit bisa dirawat di rumah namun indikasi rawatnya
ada jika saturasi O2 <92%, adanya apnu berulang, mengorok,
dan/atau bila tidak dapat mempertahankan asupan makanan dan
minuman yang adekuat. Terapi suportif O2 diberikan untuk mengatasi
th
56 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
hipoksia, diberikan analgetik bila dijumpai nyeri, cairan intravena
diberikan untuk mengkoreksi dehidrasi dan mempertahankan hidrasi
yang adekuat. Fisioterapi tidak terbukti ada peranan.10
Terapi terhadap pneumonia yang diduga karena bakteri
adalah berdasarkan dugaan, umur, dan tampilan klinis anak. Anak
sakit ringan tidak memerlukan rawat inap, dan amoxicilin disarankan.20
Bayi baru lahir memerlukan antibiotik spektrum luas secara intravena.
Anak yang lebih tua cukup dirawat dengan amoxicilin oral. Antibiotika
berspektrum lebih luas seperti co-amoxiclav untuk kasus-kasus
pneumonia yang berkomplikasi atau tidak responsif. Untuk anak lebih
dari 5 tahun, baik amoxicilin atau makrolida oral seperti eritromisin
adalah pilihan utama. Tidak ada keuntungan pemberian antibiotika
intravena dibanding oral pada pneumonia ringan hingga sedang.10
Pilihan terapi antibiotika pada pneumonia dapat dilihat pada tabel 5
dan Tabel 6.19

Tabel 5. Pilihan terapi antibiotika untuk CAP ketika bakteri tipikal


teridentifikasi19
Patogen Pilihan Utama Lainnya
Streptococcus Penicillin, Ampicillin, atau Cefuroxime, ceftriaxone,
pneumoniae, Amoxicillin dosis tinggi azithromycin
sensitif penisilin
atau intermedia
S. pneumoniae, Cephalosporin generasi
resisten penicillin ke-2 atau ke-3 untuk
(MIC ≥4µg/mL) strain yang sensitif;
vancomycin
Staphylococcus Methicillin/oxacillin Vancomycin atau
aureus teicoplain (untuk MRSA)
Haemophilus Amoxicillin Amoxicillin/clavulanate,ce
influenzae furoxime, ceftriaxone,
atau cephalosporin
generasi ke-2 atau ke-3
Moraxella Amoxicillin/clavulanate Cefuroxime
catarrhalis

MIC (Minimum inhibitory concentration); MRSA (Methicillin-resistant S.aureus)

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 57
Tabel 6. Pilihan terapi antibiotika untuk CAP berdasarkan usia dan
gambaran klinis19
Usia/Gambaran Klinis Rawat Inap Rawat Jalan
Bayi baru lahir Ampicillin + Gentamicin -
a
1 bulan sampai 5 tahun Penicillin atau ampicillin Amoxicillina
5 tahun dan lebih Penicillin atau ampicillin; -
tua:infiltrat alveolar, tambahkan makrolida jika
efusi pleura, gambaran tidak ada respon
toksik
5 tahun dan lebih tua: Makrolida; pertimbangkan Makrolida
infiltrat interstisial menambahkan beta
laktam jika tidak ada
respon
Necrotizing pneumonia Oxacillin/nafcillin;
vancomycin.
Pertimbangkan
menambahkan
cephalosporin generasi
ke-3
a
Makrolida jika dicurigai pneumonia atipikal

Antibiotika terus diberikan sampai pasien 72 jam bebas


demam, dan total pemakaian tidak kurang dari 10 hari. Data yang ada
tidak mendukung pengobatan jangka panjang bermanfaat untuk
pneumonia yang tidak berkomplikasi. Di negara-negara berkembang,
penggunaan zinc oral (10 mg/hari untuk bayi <12 bulan, 20 mg/hari
untuk pasien ≥12 bulan) menurunkan mortalitas pada anak-anak yang
menderita pneumonia berat.20
Zinc dibutuhkan untuk proses percepatan pertumbuhan,
menstabilkan struktur membran sel, dan mengaktifkan hormon
pertumbuhan. Zinc juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan
merupakan mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi
karena memengaruhi imunitas spesifik dan non spesifik, meliputi barier
tubuh seperti epitel kulit, mukosa gastrointestinal, dan saluran
nafas.28,29 Suplementasi zinc dapat meningkatkan fungsi imunitas
seluler maupun humoral sehingga diharapkan kejadian pneumonia
pada anak PJB pirau kiri ke kanan berkurang.30
Pemberian suplementasi zink setiap hari selama 2 minggu
menurunkan kejadian pneumonia pada anak dengan PJB pirau kiri ke

th
58 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
kanan, namun tidak berpengaruh terhadap episode sakit pneumonia.
Terdapat peningkatan kadar zink serum setelah pemberian
suplementasi. Disarankan untuk memberikan suplementasi zink pada
anak PJB pirau kiri ke kanan sehingga dapat memperbaiki kadar seng
serum dan status imunitas tubuh.31

Tindakan pembedahan koreksi PJB


Peningkatan aliran darah ke paru, tekanan arteri di paru,
afterload ventrikel kanan, dan dilatasi jantung dapat meningkatkan
kemungkinan kongesti paru, dan dengan perkembangan fungsi sistem
kekebalan tubuh yang tidak sempurna, anak lebih rentan terkena
pneumonia dan dapat berulang. Anak- anak PJB dengan manifestasi
pneumonia yang berulang kurang respon terhadap terapi medis saja,
dan memiliki risiko infeksi paru berulang yang sulit untuk diberantas.
Pembedahan mungkin merupakan pendekatan yang efektif untuk
meredakan pneumonia persisten.32
Untuk penderita PJB yang mengalami bronkiolitis RSV,
tindakan pembedahan jantung harus lebih berhati-hati. Keuntungan
tindakan operasi yang dilakukan segera setelah infeksi RSV tidak lebih
baik dari risiko pembedahan. Tindakan operasi jantung yang dilakukan
saat periode infeksi RSV dihubungkan dengan risiko tinggi komplikasi
pascabedah, terutama hipertensi pulmonal.33 Untuk pasien-pasien
yang tetap bergejala dan tidak dapat dipulangkan, melanjutkan terapi
medis lebih baik daripada tindakan bedah jantung, terutama bila
pembedahan tersebut memerlukan cardio-pulmonary bypass.5
Terkait dengan pembedahan jantung, suatu penelitian
mendapatkan bahwa insidens pneumonia nosokomial pascaoperasi
jantung berkisar dari 21% di Cina hingga 44% di India. Insidens
ventilator-associated pneumonia kisarannya 6,2% di Cina hingga
18,3% di Brazil. Faktor-faktor risiko terjadinya ventilator-associated
pneumonia adalah cardiopulmonary bypass, penggunaan nutrisi
parenteral, lamanya rawatan ICU, ventilasi mekanik, kegagalan
ekstubasi, operasi emergency, dan transfusi darah. Ventilator-
associated pneumonia ini mengakibatkan mortalitas pascaoperasi,
rentangnya 11% di Saudi Arabia hingga 25,7% di Cina. Salah satu
langkah pencegahan yang dianjurkan peneliti ini untuk menghindari
infeksi paru pascabedah jantung adalah penundaan pembedahan 2-4
minggu pada kondisi infeksi virus saluran nafas akut.34

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 59
Daftar Pustaka
1. Healy F, Hanna BD, Zinman R. Clinical practice. The impact of lung
disease on the heart and cardiac disease on the lungs. Eur J Pediatr
2010;169:1-6
2. Singh PK, Chaudhuri PK, Chaudhary AK. Incidence of congenital heart
disease in children with recurrent respiratory tract infection in tertiary
hospital. IOSR-JDMS 2017;16(9): 42-4
3. Tulloh RM. Cardiac disorders. Dalam: Lissauer T, Carroll W, penyunting.
Illustrated textbook of paediatrics, edisi ke-5 Elsevier London 2018, h:320-
43
4. Sahan YO, Kilicoglu E, Tutar ZU. Evaluation of children with congenital
heart disease hospitalized with diagnosis of lower respiratory tract
infection. J Pediatr Res 2018;5(1):32-6
5. Healy F, Hanna BD, Zinman R. Pulmonary complications of congenital
heart disease. Paediatric Respiratory Reviews 2012;13:10-5
6. Lanata CF, Rudan I, Boschi-Pinto C, dkk. Methodological and quality
issues in epidemiological studies of acute lower respiratory infection in
children in developing countries. Int J Epidemiol 2004;33:1362-72
7. Subramanyam L. Recurrent respiratory tract infection-an approach. Indian
J Pract Pediatr 2012;14(3):245-57
8. Cabalka AK. Physiologic risk factors for respiratory viral infections and
immunoprophylaxis for respiratory syncytial virus in young children with
congenital heart disease. Pediatr Infect Dis J 2004;23(1):S41-S45
9. Cunningham S. Bronchiolitis. Dalam: Wilmott RM, Deterding R, Li A, dkk.
Kendig’s disorders of the respiratory tract in children, edisi ke-9. Elsevier,
Philadelphia 2019. h:1567-96
10. Carroll W. Respiratory disorders. Dalam: Lissauer T, Carroll W,
penyunting. Illustrated textbook of paediatrics, edisi ke-5 Elsevier London
2018, h:294-319
11. Granbom E. Respiratory tract infections in children with congenital heart
disease. Umea Universitet 2016:1-31
12. Coates BM, Camarda LE, Goodman DM. Wheezing in infants:
Bronchiolitis. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St Geme III JW, Schor
NF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics, edisi ke-20. Elsevier
Philadelphia 2016. h: 2044-8
13. Nair H, Nokes DJ, Gessner BD, dkk. Global burden of acute lower
respiratory infections due to respiratory syncytial virus in young children: a
systematic review and meta-analysis. Lancet 2010;375(9725):1545-55
14. Geskey JM, Cyran SE. Managing the morbidity associated with
respiratory viral infections in children with congenital herat disease.Int J
Pediatr 2012;1-8
15. Levin D, Tribuzio M, Green-Wrzesinki, dkk. Empiric antibiotics are justified
for infants with respiratory syncytial virus lower respiratory tract infection
presenting with respiratory failure: a prospective study and evidence
review. Ped Critic Care Med 2010; 11(3):390-5

th
60 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
16. Turner TF, Kopp BT, Paul G, Landgrave LC, Hayes D, Thompson R.
Respiratory syncytial virus: current and emerging treatment options.
Clinico-Economics and Outcome Research 2014;6:217-25
17. Simoes EAF, Sondheimer HM, Top FH, dkk. Respiratory syncytial virus
immune globulin for prophylaxis against respiratory syncytial virus disease
infants and children with congenital heart disease. J Pediatr
1998;133(4):4929
18. American Academy of Pediatrics. Policy Statement. Updated guidance for
palivizumab prophylaxis among infants and young children at increased
risk of hospitalization for respiratory syncytial virus infection. Pediatrics
2014; 134:415-20
19. Scotta MC, Marostica PJC, Stein RT. Pneumonia in children. Dalam:
Wilmott RM, Deterding R, Li A, dkk. Kendig’s disorders of the respiratory
tract in children, edisi ke-9. Elsevier, Philadelphia 2019. h:1597-1644
20. Kelly MS, Sandora TJ. Community-acquired pneumonia. Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, St Geme III JW, Schor NF, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics, edisi ke-20. Elsevier Philadelphia 2016. h: 2088-94
21. Sandora TJ, Harper MB. Pneumonia in hospitalized children. Pediatr Clin
N Am 2005;52: 1059-81
22. Wald E. Recurrent and nonresolving pneumonia in children. Semin Respir
Infect 1993;8:46-58
23. Hughes D. Recurrent pneumonia...Not!. Paediatr Child Health
2013;9:459-60
24. Owayad AF, Campbell DM, Wang EE. Underlying causes of recurrent
pneumonia in children. Arch Pediatr Adolesc Med 2000;154:190-4
25. Sadoh WE, Osarogiagbon WO. Underlying congenital heart disease in
Nigerian children with pneumonia. African Health Science
2013;13(3):607-12
26. Patel HT. Basic pathophysiology: left to right shunts. Dalam: Koenig P,
Hijazi ZM, Zimmerman F, penyunting. Essensial pediatric cardiology.
McGraw-Hill Medical Publishing London. 2004, h.77-87
27. Sadoh WE. Natural history of ventricular septal defect in Nigerian
children. South Afr J Child Hlth 2010;4:16-9
28. Dardenne M. Zinc and immune function. Eur J Cli Nutr 2002;56:20-3.
29. Cunningham-Rundles S. Zinc and immune function. IZA 2005:1-4.
30. Bhandari N, Bahl R, Teneja S, Strand T, Molbak K, Ulvik RJ, et al. Effect
of routine zinc supplementation on pneumonia in children aged 6 months
to 3 years: randomized controlled trial in urban slum. BMJ 2002;324.
31. Suryanti E, Priyatno A, Wajayahadi N. Pengaruh suplementasi seng
terhadap kejadian pneumonia pada penyakit jantung bawaan pirau kiri ke
kanan. Sari Pediatri 2014; 16 (4): 221-8.
32. Luo H, Qin G, Wang L, Ye Z, Pan Y, Pan Y, Huang L. Outcomes of infant
cardiac surgery for congenital heart disease concomitant with persistent
pneumonia: a retrospective cohort study. J Cardiothorac Vasc Anesth
2019; 33: 428-32

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 61
33. Khongphattanayothin A, Wong PC, Samara Y, dkk. Impact of respiratory
syncytial virus infection on surgery for congenital heart disease:
postoperative course and outcome. Crit Care Med 1999;27:1974-81
34. Murni IK, MacLaren G, Morrow D, Iyer P, Duke T. Perioperative infections
in congenital heart disease. Cardiol in the Young 2017;27(Suppl.6):S14-
S21

th
62 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Nyeri Dada pada Anak, Apakah Berbahaya?

Alit Utamayasa
Divisi Kardiologi Anak RSUD Dr. Soetomo/FK Unair-Surabaya

Tujuan: setelah membaca makalah ini, pembaca diharapkan mampu


untuk:
1. Memperkirakan penyebab tersering dari nyeri dada pada pasien
anak
2. Membedakan nyeri dada karena jantung dengan non-jantung
3. Menjelaskan evaluasi yang terperinci mengenai pasien anak
yang memiliki keluhan nyeri dada
4. Skrining dan mengenali pasien yang membutuhkan rujukan ke
ahli jantung
5. Menjelaskan manajemen dari penyebab tersering pada nyeri
dada anak

Pendahuluan
Nyeri dada pada anak merupakan salah satu penyebab
tersering dari kunjungan di luar jadwal pada tenaga medis tingkat
pertama maupun instalasi gawat darurat sekitar 0,3-0,6%, dengan
median usia adalah 12-13 tahun (Jenifer, 2010). Dilaporkan rasio
antara wanita dan laki-laki dengan keluha nyeri dada adalah 1,6 : 1.
Meskipun sering kali membuat orang tua perhatian, nyeri dada pada
anak sering kali tidak disebabkan oleh penyakit yang serius dan
berlangsung singkat yaitu kurang dari 1 hari (Gestasi et al, 2003).
Nyeri dada merupakan hal kedua tersering yang menyebabkan
rujukan ke ahli jantung anak setelah murmur jantung. Nyeri dada pada
anak dapat diklasifikasi secara luas menjadi nyeri dada jantung dan
non-jantung. Nyeri dada non-jantung, sejauh ini, merupakan penyebab
paling sering dari nyeri dada pada anak dan remaja. Pada makalah ini
akan dibahas penyebab paling sering dari nyeri dada pada anak dan
remaja, dengan penekanan yang disebabkan oleh jantung dan
memberikan panduan dalam mengevaluasi anak atau remaja yang
memiliki nyeri dada.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 63
A. Nyeri Dada Non-Jantung
Nyeri dada non-jantung mencakup kurang lebih 69% dari
seluruh keluhan nyeri dada pada anak dan remaja yang datang ke unit
gawat darurat. Penyebab nyeri dada non-jantung dapat diklasifikasikan
menjadi muskuloskeletal, pulmonal, gastrointestinal, dan lain-lain (Lin
et al, 2008).

1. Nyeri karena muskuloskeletal atau dinding dada


Penyebab nyeri dada tersering pada anak dan remaja adalah
nyeri karena muskuloskeletal atau dinding dada. Prevalensi dari nyeri
dada karena muskuloskeletal berkisar antara 15% sampai 31%. Ada
beberapa tipe nyeri dada karena muskuloskeletal sebagai berikut
(Surendranath et al, 2010):
a. Kostokondritis. Kostokondritis atau sindrom kostosternal,
dicirikan dengan nyeri menusuk tajam unilateral pada dua
tulang rusuk teratas atau lebih dari sendi kostokondral. Nyeri ini
sering diperberat dengan nafas dalam dan bertahan beberapa
detik hingga beberapa menit. Tidak ada tanda-tanda inflamasi
meskipun nyeri tekan pada dinding dada dapat muncul bila
dilakukan palpasi manual pada area yang bermasalah. Pada
kebanyakan pasien, nyeri karena kostokondritis dapat sembuh
sendiri, dengan eksaserbasi hilang timbul yang dapat muncul
saat remaja.
b. Sindrom Tietze. Sindrom Tietze merupakan inflamasi lokal
non-supuratif pada sendi kostokondral, kostosternal, atau
sternoklavikula yang ditemukan pada remaja atau dewasa
muda. Penyebab pasti dari sindrom ini tidak diketahui, tetapi
telah dihubungkan dengan infeksi saluran nafas atas dengan
batuk yang hebat. Sindrom Tietze biasanya mempengaruhi satu
sendi saja, terutama pada sendi rusuk kedua atau ketiga. Tidak
seperti kostokondritis diffusa, sindrom Tietze dapat dibedakan
dengan keterlibatannya pada sebuah sendi yang bersifat lokal
dengan tanda-tanda inflamasi seperti hangat, bengkak, dan
nyeri tekan (Aeschimann, 1990).
c. Nyeri dinding dada idiopatik. Disebut juga nyeri dinding dada
non-spesifik, kelainan ini merupakan penyebab paling sering
dari nyeri dada pada anak. Nyerinya bersifat tajam dan
bertahan dari beberapa detik hingga beberapa menit, terlokalisir
th
64 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
pada tengah sternum atau area infra mamaria, sering
dieksaserbasi oleh nafas yang panjang atau oleh tekanan
manual pada sternum atau dinding dada. Pada nyeri yang
disebabkan hal ini, tidak ditemukan tanda-tanda inflamasi.
d. Sindrom nyeri rusuk . Disebut juga sebagai sindrom nyeri
rusuk bawah, sindrom rusuk ini cukup jarang ditemukan pada
anak-anak, dengan prevalensi yang tidak diketahui. Sindrom
rusuk ini dikarakteristikkan dengan nyeri berat pada dada
bawah atau perut bagian atas yang disebabkan trauma atau
dislokasi dari rusuk ke-8, ke-9, dan ke-10. Karena ketiga rusuk
ini tidak menempel pada sternum secara langsung tetapi saling
menempel melalui tulang rawan, maka ketiga rusuk ini bersifat
sangat mobile dan rentan terhadap trauma. Nyeri sindrom rusuk
ini dapat muncul melalui manuver “hooking”, dimana pemeriksa
meletakkan jarinya di bawah batas rusuk terrendah dan
menarik ujung rusuk ke arah luar dan ke atas. Kemudian, akan
muncul suara klik yang menyertai nyeri karena pemeriksaan ini.
e. Trauma dan otot tegang. Remaja aktif berolahraga dan pada
kebanyakan olahraga lainnya akan lebih rentan terhadap
trauma dinding dada. Pada sebuah kumpulan kasus, trauma
otot ditemukan merupakan penyebab dari nyeri dada sebesar
2% dari seluruh populasi anak-anak. Trauma dinding dada
dapat menghasilkan nyeri yang bersifat lokal, adanya nyeri
tekan, dan biasanya berhubungan dengan adanya bengkak
maupun eritema pada tempat trauma. Remaja yang mengalami
ketegangan otot biasanya memiliki riwayat terkait angkat beban
berat. Untuk pasien yang memiliki riwayat trauma dada yang
signifikan, penemuan nyeri dada yang berat, aritmia, nafas
yang pendek, mungkin mencerminkan sebuah kontusio otot
jantung dan sebuah hemoperikardium.
f. Precordial Catch syndrome. Nyeri dari sindrom ini, yang
disebut juga sebagai “Texidor twinge” biasanya bersifat
mendadak dan tajam, bertahan selama beberapa detik, dan
terlokalisir pada sebuah ruang interkosta di sepanjang batas
sternum kiri bawah atau pada apeks jantung. Asal mula dari
nyeri ini tidak diketahui tetapi sindrom ini telah berhubungan
dengan sebuah postur tubuh yang buruk dan mungkin
berhubungan dengan saraf yang terjepit. Nyeri biasanya
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 65
muncul saat istirahat atau saat aktivitas ringan dan
dieksaserbasi melalui inspirasi yang kemudian menyebabkan
nafas pendek sebagai usaha untuk meringankan nyeri.
g. Nyeri xyphoid atau xiphodynia. Disebut juga sebagai sindrom
xiphoid hipersensitif, xyphodynia merupakan rasa nyeri atau
tidak nyaman di sepanjang prosesus xyphoid dari sternum,
sering kali dieksaserbasi oleh makan makanan berat, batuk,
atau gerakan berputar atau membungkuk. Penyebab dari nyeri
ini tidak diketahui. Penekanan pada xyphoid akan
membangkitkan nyeri yang bersifat tumpul.

2. Penyebab nyeri terkait pulmonal dan jalan napas


Prevalensi nyeri dada yang disebabkan oleh masalah saluran
nafas diperkirakan sebesar 2% sampai 11%. Asma bronkial
merupakan penyebab nyeri dada karena pulmonal yang paling sering.
Asma yang dieksaserbasi oleh aktivitas berat merupakan penyebab
nyeri dada yang tersering meskipun pada pasien tidak didapatkan
suara mengi yang dapat didengar. Weins et al, menganalisa fungsi
pulmonal selama uji treadmill pada sekelompok yang berisi 88 anak
dan remaja sehat yang memiliki nyeri dada dan menemukan bahwa
sekitar 73% pasien memiliki tanda asma, menunjukkan bahwa insiden
dari asma karena latihan fisik memiliki angka yang lebih besar
daripada yang dilaporkan sebelumnya. Pasien yang memiliki nyeri
dada karena penyakit jalan nafas reaktif sebaiknya ditangani dengan
obat bronkodilator inhalasi.
Infeksi pada bronkus atau paru, seperti bronchitis, pleuritis,
efusi pleura, pneumonia, empyema, bronkiektasis, dan abses paru,
juga dapat mengakibatkan nyeri dada akut. Nyeri dada berat yang
diikuti hipoksia merupakan tanda dari emboli paru. Pasien dengan
penyakit sickle cell mungkin memiliki riwayat nyeri dada karena
sindroma koroner akut atau infark paru.

3. Nyeri dada karena gastrointestinal


Evangelista et al. menemukan sebuah prevalensi nyeri dada
yang disebabkan oleh sistem gastrointestinal sebesar 8%. Penyebab
nyeri dada karena gastrointestinal yang tersering pada anak-anak
adalah penyakit refluks gastroesofagial atau gastroesophageal reflux
disease (GERD), ulkus peptik, spasme esofagus atau inflamasi
th
66 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
esofagus, dan kolesistitis. Penyebab nyeri dada lain karena
gastrointestinal yang cukup jarang adalah striktur esofagus, beda
asing, atau efek karena menelan suatu substansi tertentu. Nyeri dada
yang disebabkan oleh GERD biasanya dikarakterisikkan sebagai
sebuah nyeri terbakar pada area epigastrium yang memiliki hubungan
sementara dengan asupan makan. Pemberian blockade histamine-2
atau penghambat pompa proton merupakan terapi pemeliharaan pada
kasus GERD. Bila keluhan mengarah ke kolesistitis, maka sebaiknya
dirujuk ke spesialis dan mulai diberikan antibiotik.

4. Lain-lain
Nyeri dada psikogenik pada anak-anak yang lebih besar sering
ditemukan pada kasus-kasus yang disebabkan oleh kecemasan
maupun reaksi konversi yang dicetuskan oleh adanya stressor baik
personal maupun keluarga. Pantell dan Goodman melaporkan sekitar
sepertiga remaja yang berkunjung ke instalasi rawat jalan dengan
keluhan nyeri dada, biasanya memiliki riwayat yang cukup berat
mengenai masalah di sekolah maupun keluarga. Nyeri dada
psikogenik sering berhubungan dengan keluhan somatik lainnya
begitu juga dengan adanya gangguan pada pola tidur.
Hiperventilasi karena kecemasan atau rasa panik, dapat
menyebabkan nyeri dada yang disertai dengan keluhan kesulitan
dalam bernafas, rasa pusing, atau parastesi. Spasme dari otot
diafragma, distensi gaster karena aerofagi, dan konstriksi pembuluh
darah koroner karena alkalosis hipokapnea merupakan penjalasan
untuk kasus nyeri dada karena hiperventilasi.
Nyeri dada karena masalah terkait payudara memiliki
prevalensi sebesar 1% sampai 5%. Gadis pascamenarke mungkin
mengeluhkan adanya nyeri dada yang bedenyut atau panas, yang
disebabkan oleh mastitis, penyakit fibrokistik, ataupun kehamilan. Laki-
laki muda dengan ginekomasti mungkin akan datang dengan keluhan
nyeri dada unilateral ataupun bilateral.
Infeksi herpes zoster pada dinding dada mungkin akan muncul
dengan keluhan nyeri yang panas begitu juga parastesi dengan pola
sesuai dermatom kulit, yang diikuti dengan ruam pada beberapa hari
selanjutnya.
Anak-anak yang memiliki skoliosis atau deformitas lainnya
mungkin dapat menyebabkan penekanan pada medulla spinalis
ataupun cabang-cabang saraf medulla spinalis sehingga mungkin
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 67
menyebabkan keluhan nyeri dada sebagai tanda awal dan sebaiknya
dirujuk ke ahli tulang untuk evaluasi dan penanganan lebih lanjut.

B. Nyeri dada jantung


Nyeri dada karena masalah jantung merupakan sesuatu yang
cukup jarang pada anak-anak dan remaja, dengan prevalensi kurang
dari 6%, ada juga penelitian yang menemukan prevalensi sekitar 2-5%
(Messin et al, 2006).

1. Penyebab Inflamasi
Perikarditis dengan atau tanpa efusi perikardial biasanya
bersifat infeksius. Perikarditis akan menampilkan nyeri dada
retrosternal yang tajam dan sering menjalar ke bahu kiri, diperberat
ketika pasien berbaring telentang atau mengambil nafas dalam, dan
diperingan dengan miring ke depan. Miokarditis atau endocarditis juga
dapat menyebabkan nyeri dada.

2. Gangguan miokard
Nyeri dada mungkin merupakan keluhan pertama yang
menunjukkan adanya defek anatomi pada jantung yang tidak
diketahui. Nyeri dada yang berhubungan dengan palpitasi, rasa
pusing, atau rasa panik, mungkin merupakan tanda yang ditunjukkan
pada beberapa pasien dengan prolapse katup mitral (Sindrom Barlow).
Prolapse katup mitral biasanya berkaitan dengan bising klik midsistolik
dan kemudian murmur sistolik pada apikal. Bisset et al. melaporkan
bahwa hanya 18% pasien pada sekelompok anak yang berjumlah 119,
yang ditemukan kelainan prolapse katup mitral dengan ke luhan nyeri
dada atipikal.
Pasien yang memiliki obstruksi aliran keluar pada ventrikel kiri
dalam bentuk stenosis pada katup aorta, katup subaorta, atau katup
supraaorta, ataupun koarktasio aorta mungkin akan menunjukkan
keluhan nyeri dada dengan rasa pusing dan lelah. Pada stenosis katup
aorta, dapat terdengan murmur yang keras pada saat ejeksi sistolik
dengan pemanjangan suara sampai leher melalui auskultasi. Sebuah
klik ejeksi karena stenosis katup aorta juga mungkin dapat terdengar.
Nyeri dada yang berkaitan dengan intoleransi aktivitas berat dan
kelelahan mungkin merupakan keluhan awal pada pasien yang
memiliki kardiomiopati hipertrofi maupun dilatasi.

th
68 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
3. Kelainan arteri koroner
Nyeri dada yang disebabkan iskemi dari miokard dapat muncul
pada pasien dengan kelainan anatomi arteri koroner, seperti kelainan
kongenital pada arteri coroner (ALCAPA), fistula arteri koroner,
stenosis atau atresia pada ostium arteri kororner. Kelainan arteri
koroner merupakan peringkat kedua setelah kardiomiopati hipertrofi
sebagai penyebab kematian mendadak karena jantung di antara
remaja.
Pasien-pasien menjelaskan nyeri dada iskemik dengan kualitas
seperti diremas, sesak, ditekan, dikonstriksi, terbakar, ataupun penuh
di bagian dada. Salah satu contoh nyeri dada yang disebabkan iskemi
miokard adalah kondisi dimana pembuluh darah arteri koroner utama
kiri ataupun arteri desenden anterior kiri mendapatkan aliran yang
berasal dari sinus kanan Valsava atau arteri koroner kanan, dan jalur
antara arteri pulmonal dan aorta. Pada saat kelelahan, arteri pulmonal
dan aorta akan menekan arteri koroner kiri utama atau arteri desenden
anterior kiri, menyebabkan iskemik miokard, yang kemudian
menyebabkan kematian mendadak pada remaja. Bayi yang
mengalami insufisiensi koroner karena kelainan aliran arteri koroner
kiri dari arteri pulmonal biasanya menunjukkan keluhan tidak bias
diam, menarik lutut lebih dekat ke abdomen setelah diberi makan,
pucat, diaphoresis, dan mengalami syok pada sirkulasi. Bayi-bayi ini
juga sering kali terjadi misdiagnosis sebagai kolik abdomen.
Anak yang memiliki riwayat pembedahan jantung atau
transplantasi jantung juga rentan terhadap iskemi miokard dan
mungkin menunjukkan keluhan nyeri dada sebagai keluhan awal.
Setelah tahun pertama transplantasi, keganasan sekunder dan
vaskulopati koroner karena transplantasi merupakan penyebab
mortalitas tersering pada pasien ini. Di antara pasien yang mengalami
transplantasi jantung ortotopik, nyeri dada mungkin merupakan tanda
dari penolakan atau vaskulopati arteri koroner yang lebih cepat
dengan iskemi miokard. Pasien yang mengalami pembedahan
pergantian arteri untuk transposisi arteri besar atau d-transportation of
the great arteries (d-TGA) memiliki risiko untuk terjadinya stenosis
ostium arteri koroner.
Komplikasi jangka panjang dari penyakit Kawasaki adalah
stenosis arteri koroner. Aneurisma arteri koroner yang besar pada
penyakit Kawasaki akan memiliki risiko terjadi ruptur, oklusi karena
thrombosis, ataupun stenosis yang akhirnya menyebabkan iskemi
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 69
maupun infark pada miokard. Kato et al. pada sebuah penelitian yang
terdiri dari anak berusia 10 sampai 21 tahun, melaporkan bahwa 46%
pasien yang memiliki penyakit Kawasaki dan riwayat aneurisma besar
pada arteri koroner, ditemukan mengalami stenosis atau obstruksi
komplit dan sebanyak 67% mengalami infark miokard, dengan angka
mortalitas sebesar 50%. Faktor risiko berkembangnya aneurisma arteri
koroner, tromosis, dan stenosis adalah jenis kelamin laki-laki, usia
yang muda (<6 bulan), atau usia yang lebih besar (>5 tahun) pada
saat didiagnosis.
Penyakit arteri koroner juga terlihat pada pasien dengan
riwayat keluarga akan hiperkolesterolemia, tetapi anak-anak dan
remaja jarang ditmeukan obstruksi yang cukup besar yang mampu
menyebabkan nyeri dada karena iskemi. Penyakit arteri koroner
mungkin dapat muncul pada 2 dekade pertama pada pasien yang
terlahir dengan hiperkolesterolemia familial homozigot, sedangkan
mereka yang terlahir dengan hiperkolesterolemia familial heterozigot,
penyakit arteri koroner mungkin baru muncul setelah dekade kelima.
Menurut panduan pencegahan tenaga medis oleh American Academy
of Pediatrics (AAP), setiap anak sebaiknya menjalani pemeriksaan
risiko dislipidemia yang dimulai saat berusia 2 tahun, dan penilaian
sebaiknya diulangi setiap 2 tahun sampai usia 10 tahun, kemudian
diulangi tiap tahun. Untuk anak-anak dan remaja yang memiliki riwayat
keluarga akan hiperkolesterolemia, AAP menyarankan untuk
mengukur konsentrasi kolesterol serum total tanpa puasa sebagai uji
skrining awal, diikuti dengan profil lipid puasa bila nilai kolesterol total
ditemukan tidak normal.

4. Penyebab lain
Ketika pasien mengeluhkan adanya nyeri dada yang sangat
berat atau seperti dirobek pada dada tengah yang menembus ke
belakang, diagnosis berupa diseksi aorta sebaiknya dipertimbangkan.
Pasien anak yang memiliki sindrom Marfan, memiliki risiko terjadi
diseksi aneurisma aorta yang mungkin tiba-tiba muncul dengan nyeri
dada yang sangat hebat. Diseksi aorta juga dapat terlihat pada pasien
dengan sindrom Turner, sindrom Ehlers-Danlos tipe IV, dan
homositeinuria.
Anak-anak yang tidak mampu menjelaskan palpitasi karena
aritmia juga mungkin mengeluhkan nyeri dada dengan menunjuk pada
sternum. Nyeri dada pada anak atau remaja yang memiliki penyakit
th
70 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
jantung kongenital dan mengalami prosedur Fontan atau Mustard atau
Senning pada kasus d-TGA mungkin mengalami aritmia aliran balik
intra-atrial (atrial flutter lambat).
Hipertensi pulmonal primer maupun sekunder mungkin
menunjukkan keluhan nyeri dada yang berhubungan dengan
kelelahan, sesak, ataupun pingsan.

C. Nyeri dada karena Keracunan Obat-obatan


Paparan terhadap kokain, mariyuana, metamfetamin, dan
dekongestan dapat menjadi penyebab dari nyeri dada karena aritmia
maupun iskemi miokard.

Manajemen nyeri dada pada anak-anak dan remaja


Meskipun penyakit jantung jarang memberikan keluhan nyeri
dada, tenaga medis pada pelayanan primer sebaiknya mengevaluasi
setiap pasien yang mengeluh nyeri dada untuk menyingkirkan adanya
penyakit lain yang mendasari. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
merupakan langkah pertama dalam mendiagnosis penyebab dari nyeri
dada pada kebanyakan pasien anak.

Anamnesis
Anamnesis sebaiknya menekankan pada deskripsi dari nyeri,
keluhan yang menyertai, dan faktor-faktor yang mencetuskan,
memperberat, dan memperingan. Nyeri dada akut dapat disebabkan
oleh trauma, emboli paru, asma, dan masalah jantung, seperti diseksi
aorta atau ataupun nyeri iskemia yang dikarenakan kelainan arteri
koroner. Nyeri dada kronis biasanya disebabkan oleh masalah non-
kardiak, dan penyebabnya dapat dari muskuloskeletal, gastrointestinal,
psikogenik, ataupun idiopatik.
Lokasi dari nyeri terkadang membantu dalam membedakan
penyebab nyeri. Nyeri yang lokal atau dapat ditunjuk biasanya
mengarah pada dinding dada atau pleura; nyeri dada menyeluruh
biasanya lebih mengarah pada penyakit organ dalam seperti paru atau
jantung. Penyebaran nyeri dada ke suatu area tertentu juga membantu
dalam membedakan penyebab spesifiknya. Nyeri dada karena iskemi
miokard biasanya menjalar ke leher, tenggorok, rahang bawah, gigi,
ekstrimitas atas, ataupun bahu. Pada kasus kolesistitis akut, nyeri
dada akan menjalar sampai ke bahu kanan, sedangkan pada pasien
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 71
dengan perikarditis, nyeri dada akan menjalar ke bahu kiri. Nyeri dada
pada kasus diseksi aorta akan menjalar ke belakang di antara kedua
scapula.
Beberapa faktor yang mencetuskan maupun memperberat
mungkin dapat membantu dalam mengenali penyebab dari nyeri dada.
Nyeri dada karena muskuloskeletal akan bertambah berat ketika
dalam posisi tubuh tertentu, bergerak, dan bernafas dalam. Nyeri dada
yang bertambah berat karena makan atau berhubungan dengan
muntah, regurgitasi, ataupun menelan mungkin mencerminkan
penyebab pada sistem saluran cerna. Nyeri dada yang dicetuskan
oleh kelelahan maupun berhubungan dengan sesak dapat disebabkan
oleh penyakit jantung atau paru. Sebuah riwayat akan infeksi saluran
nafas atas dengan demam dan keluhan nyeri dada sebaiknya dicurigai
akan sebuah perikarditis. Nyeri dada yang berhubungan dengan
beberapa keluhan somatic seperti nyeri kepala, nyeri perut, atau nyeri
yang berlebihan dapat disebabkan oleh psikogenik. Nyeri dada
dengan kepala yang pusing dan parastesi dapat dikaitkan dengan
hiperventilasi. Aritmia dapat muncul pada kasus nyeri dada dengan
palpitasi.
Riwayat akan asma sebaiknya menjadi perhatian tenaga
kesehatan terhadap bronkospasme sebagai penyebab nyeri dada.
Asma yang disebabkan latihan fisik sebaiknya dipertimbangkan bila
pasien mengeluhkan adanya batuk, nyeri dada, dan kesulitan bernafas
setelah aktivitas fisik.
Remaja dengan nyeri dada mungkin dapat memiliki riwayat
akan trauma, latihan angkat beban berat, atau mengalami tegang otot
saat olahraga. Riwayat akan konsumsi rokok ataupun obat-obatan
untuk rekreasi juga sebaiknya digali. Bronchitis merupakan salah satu
penyebab tersering dari nyeri dada pada kasus-kasus perokok. Kokain
dan obat-obatan simpatomimetik lain juga merupakan salah satu agen
vasokonstriktor sehingga penggunaan obat-obat ini dapat
menyebabkan iskemi miokard.
Riwayat memiliki penyakit Kawasaki atau operasi pergantian
arteri pada kasus d-TGA di masa lampau seharusnya memberi
peringatan pada tenaga medis mengenai kemungkinan stenosis
ostium arteri koroner yang menyebabkan iskemi miokard. Pasien yang
menjalani pemasangan transkateter atau alat untuk menutup defek
septum atrium maupun ventrikel mungkin juga akan mengeluhkan
adanya nyeri dada terkait embolisasi alat ataupun ketidakcocokan dari
th
72 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
struktur terkait. Nyeri dada angina mungkin menunjukkan keluhan
pada pasien yang lahir dengan kelainan arteri koroner, vaskulopati
arteri koroner pada pasien transplantasi jantung, dan penyempitan
arteri koroner karena hiperkolesterolemia familial. Sindroma koroner
akut pada pasien yang memiliki penyakit sickle cell, juga dapat
menjadi penyebab nyeri dada. Riwayat akan sakit Crohn, sistemik
lupus eritematus, atau penyakit autoimun lain sebaiknya menjadi
perhatian bagi tenaga medis akan perikarditis sebagai penyebab nyeri
dada.
Riwayat keluarga akan beberapa kelainan genetik atau
jaringan ikat, seperti sindrom Marfan, sebaiknya dilakukan evaluasi
secara spesifik mengenai keluhan terkait penyakit tersebut.

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada anak-anak yang mengeluh nyeri dada
selalu dimulai dari pemeriksaan tanda-tanda vital dan pengukuran
antropometri. Postur yang tinggi mungkin menunjukkan adanya
penyebab genetik (sindrom Marfan). Demam dan takipnea mungkin
membantu dalam mengkonfirmasi kelaianan infeksi terutama pada
paru meskipun jarang pada jantung juga bias, terutama bila nyeri dada
juga diikuti dengan takikardi yang makin memburuk bila berbaring
telentang (perikarditis dengan atau tanpa efusi). Peningkatan tekanan
vena jugularis atau hipotensi mungkin menunjukkan adanya disfungsi
sistolik atau diastolik dari jantung (miokarditis atau kardiomiopati).
Adanya dismorfisme pada wajah atau kelainan lensa mata juga
sebaiknya diperhatikan (sindrom Marfan). Inspeksi visual dari dinding
dada penting untuk melihat adanya abnormalitas pada tulang seperti
pektus ekskavatum maupun karinatum, scoliosis, atau luka bekas
operasi. Telarche pada anak perempuan maupun ginekomasti pada
anak laki-laki dapat menyebabkan nyeri dada. Rasa hangat, warna
kemerahan, nyeri tekan di sekitar puting atau payudara dapat
menunjukkan keadaan mastitis. Perhatian khusus sebaiknya diberikan
bila ada nyeri yang makin meningkat bila ditekan, dengan intensitas
yang sama seperti nyeri dada, pada pemeriksaan palpasi dinding
dada. Batuk, crackle, maupun mengi mungkin menunjukkan jalan
nafas bronkial yang hiperaktif (asma) atau sebuah proses pneumonia
pada paru.
Sebuah pemeriksaan kardiovaskular yang menyeluruh
sebaiknya dilakukan termasuk pemeriksaan palpasi dari getaran
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 73
precordium (getaran ventrikel kanan karena hipertensi pulmonal) atau
trill (lesi katup yang bersifat obstruktif). Perhatian juga harus diberikan
saat auskultasi bising jantung. Ketika suara jantung terdengar jauh
atau sulit didengar maka diagnosis dari efusi perikardium sebaiknya
diperhatikan. Suara jantung yang keras di sepanjang batas kiri dan
atas sternum mungkin menunjukkan hipertensi pulmonal. Gesekan
perikardium mungkin terdengar pada efusi perikardium yang ringan
sampai sedang.
Pasien yang memiliki miokarditis mungkin menunjukkan gejala
takikardi, suara jantung yang rendah, ritme gallop, dan murmur
regurgitasi dari katup mitral. Suara klik waktu ejeksi sistolik terdengar
pada stenosis aorta dan suara klik midsistolik terdengar pada prolapse
katup mitral. Sebuah murmur kasar midsistolik terdengar pada pasien
dengan obstruksi aorta yang disebabkan stenosis valvula, subvalvula,
supravalvula, maupun kardiomiopati hipertrofi. Pada pasien yang
mengalami prolapse katub mitral, klik midsistolik mungkin dapat
disertai murmur keras mid sampai akhir sistolik pada apeks. Murmur
berkelanjutan dapat didengar pada pasien yang memiliki fistula pada
arteri koroner atau pada rupture sinus Valsava. Detak yang lemah
pada arteri femoralis mungkin menunjukkan hipertensi tungkai atas
dan sebuah murmur aliran yang berkelanjutan di batas kiri bawah
scapula mencirikan sebuah koarktasio aorta. Hepatomegali, asites,
dan edema perifer mungkin dapat menunjukkan sebuah penyebab
berupa gagal jantung kongestif.

Pemeriksaan lanjut
Pasien yang memiliki tanda-tanda klinis dari nyeri dada karena
muskuloskeletal dan tidak ditemukan kelainan apapun, maka tidak
perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut maupun rujukan. Pasien-pasien
yang memiliki riwayat atau kelainan yang signifikan pada pemeriksaan
fisik membutuhkan evaluasi diagnosis lebih lanjut dan sebaiknya
dirujuk ke ahli jantung anak bila dicurigai penyakit jantung. Evaluasi
dilakukan berdasarkan masing-masing individu terkait dengan tiap
keluhan dan tanda klinis. Sebuah foto radiologi pada dada sebaiknya
dilakukan untuk melihat adanya lesi pada tulang, kardiomegali,
kelainan jalan nafas, maupun lesi pada paru ataupun pleura. EKG
merupakan pemeriksaan yang berguna untuk mengevaluasi
kecepatan, ritme, dan kelainan jantung baik iskemi, perikarditis,
maupun pembesaran ruang jantung. Pemeriksaan lebih lanjut lagi
th
74 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
sebaiknya tidak dilakukan menunggu instruksi dari ahli jantung anak.
Ketika pembacaan EKG dasar normal, maka dapat dilakukan uji stress
fisik untuk menilai adanya aritmia atau iskemia selama aktivitas fisik
yang berat. Uji stress sendiri bersama dengan uji fungsi paru mungkin
perlu dilakukan pada pasien yang mengalami nyeri dada bersama
dengan kelelahan yang diikuti oleh keluhan jantung lainnya.
Ekhokardiografi dapat dilakukan pada pusat pemeriksaan anak
yang dilakukan oleh ahli jantung anak. Pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan yang sangat berharga dalam mendeteksi anatomi
jantung. Diagnosis dari efusi perikardium, diseksi aorta, lesi obstruktif
pada sisi kiri, kardiomiopati, hipertensi pulmonal, dan disfungsi
ventrikel mungkin dapat ditetapkan melalui ekhokardiografi 2 dimensi.
Ekhokardiografi juga dapat membantu untuk mengenali kelainan pada
koroner seperti kelainan muara dan aliran dari arteri koroner,
aneurisma koroner, dan fistula arteri koroner. Dulu, angiografi koroner
merupakan pemeriksaan terbaik dalam mengevaluasi kelainan muara
dan aliran dari arteri koroner. Akan tetapi, pemeriksaan terbaru, yakni
computed tomography-scan (CT Scan) 64 potongan atau magnetic
resonance angiography dapat digunakan untuk menjelaskan kelainan
anatomi arteri koroner. Kemudian, pemeriksaan elektrofisiologi
mungkin dapat membantu mendiagnosis aritmia yang mendasari.

Penanganan nyeri dada


Memberikan penjelasan pada pasien dan keluarganya,
analgetik, istirahat, atau kombinasi manaupun dari ketiga hal ini
merupakan penanganan terbaik untuk pasien yang mengalami nyeri
dada non-jantung. Pemberian obat antiinflamasi non-steroid dapat
diberikan selama 1 minggu dan sering berhasil mengurangi nyeri dan
inflamasi. Pasien yang mengalami perikarditis atau efusi perikardium
sebaiknya diberikan ibuprofen. Pemberian steroid dapat
dipertimbangkan pada kasus perikarditis atau efusi perikardium yang
refrakter. Spesialis yang tepat sebaiknya diarahkan untuk memberi
terapi yang spesifik pada masing-masing penyebab nyeri dada baik
jantung, pulmonal, gastrointestinal, maupun psikogenik. Kebanyakan
tetapi tidak semua pasien, yang mengalami nyeri dada dan masih
menunggu konsultasi dengan ahli jantung, sebaiknya membatasi
aktivitas fisik sampai dilakukannya evaluasi kardiologi.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 75
Merujuk pasien ke Ahli Jantung Anak
Konsultasi dengan ahli jantung anak sangat direkomendasikan
pada anak-anak atau remaja yang mengalami nyeri dada disertai
keluhan kelelahan, palpitasi, pingsan mendadak (terutama saat
aktivitas tinggi), atau penemuan abnormal lain pada pemeriksaan
jantung ataupun EKG; sebuah riwayat di masa lampau terkait
pembedahan atau intervensi; riwayat keluarga akan sindrom genetik,
aritmia, kematian mendadak, atau risiko tinggi akan penyakit arteri
koroner . Pasien yang memiliki riwayat penyakit Kawasaki, penyakit
jantung kongenital, pembedahan jantung, atau transplantasi jantung
memiliki risiko terjadinya penyakit jantung koroner. Pasien
transplantasi jantung yang mengalami iskemi miokard mungkin tidak
akan mengeluhkan nyeri dada karena adanya denervasi simpatis dari
jantung yang tertransplantasi tetapi justru akan mengeluarkan keluhan
yang tidak spesifik seperti mual, muntah, dan peningkatan denyut nadi
saat beristirahat. Pasien yang pernah menjalani prosedur Mustard
atau Senning karena d-TGA atau pernah menjalani prosedur Fontan
karena masalah ventrikel tunggal, memiliki risiko yang tinggi untuk
terjadinya takikardi intra-atrial re-entry (disebut juga atrial flutter
lambat) dan sebaiknya dirujuk ke ahli jantung anak.
Anak-anak atau remaja yang baru saja menjalani intervensi
transkateter kardiak, seperti alat penutup atau pemasangan stent,
sebaiknya dievaluasi oleh ahli jantung terkait embolisasi alat atau
kompresi dari struktur sekitarnya. Keluhan nyeri dada pada pasien
yang baru saja menjalani koreksi penyakit jantugn kongenital
sebaiknya ditangani dengan serius. Dada pasien sebaiknya diinspeksi
untuk menyingkirkan adanya infeksi pada insisi sternotomi maupun
tempat pemasangan selang dada. Riwayat terkait demam, nyeri dada
yang memberat bila telentang, suara jantung yang menjauh pada
auskultasi cenderung curiga mengarah ke sindrom postperikardiotomi.
Pasien yang menjalani operasi pergantian arteri untuk d-TGA dan
mereka yang memiliki riwayat penyakit Kawasaki memiliki risiko
terjadinya stenosis arteri koroner ataupun atresia yang kemudian
menyebabkan iskemi miokard bahkan infark. Mendapatkan hasil
pemeriksaan EKG merupakan langkah awal yang baik dalam melihat
tanda iskemi.

th
76 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Ringkasan
• Setiap pasien yang mengeluhkan nyeri dada membutuhkan
pemeriksaan yang menyeluruh. Biasanya, anamnesis dan
pemeriksaan fisik sudah cukup untuk mendiagnosis penyebab dari
nyeri dada.
• Berdasarkan bukti penelitian-penelitian yang kuat, nyeri dada yang
disebabkan muskuloskeletal merupakan penyebab nyeri dada
paling sering pada populasi anak. Memberikan edukasi dan
penjelasan kepada pasien dan keluarganya mengenai sifat nyeri
dada yang disebabkan oleh muskuloskeletal adalah ringan,
merupakan hal yang paling penting.
• Berdasarkan beberapa penelitian terkini begitu juga dengan
beberapa konsensus, nyeri dada yang disebabkan oleh kelainan
kardiak lebih mungkin bila nyeri tersebut disertai dengan rasa
kelelahan. Bila keluhan yang menyertai cenderung mengarah ke
iskemi miokard ataupun penemuan abnormal jantung lainnya, maka
segera dirujuk ke ahli jantung anak.

Referensi
Aeschimann AKM. Tietze’s syndrome:a critical review. Clin Exp
Rheumathol.1990;8:407.
Gasteri LM, Fernandez LA, Mintegi RS, et al. Chest pain in pediatric
emergency department: a usually benign process. An Pediatr
2003;59:234-8.
Lin CH, Lin WC, Ho YJ, et al. Children with chest pain visiting the emergency
department. Pediatr Neonatol 2008;49: 26-9.
Massin MM, Montesari J, Gerad P,et al. Spectrum and frequency of illness
presenting to a pediatric emergency department. Acta Clin Belg 2006;61:
161-5.
Surendranath R, Veeram R, Herinder RS. Chest pain in children and
adolescents. Pediatric in Riview 2010;31: 1-9.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 77
th
78 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Identification of Arrhythmias in Children: Tips and Tricks

Mulyadi M. Djer
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Abstrak
Aritmia atau lebih tepatnya disebut dengan disritmia, merupakan
kelainan irama jantung yang cukup sering ditemukan pada praktek
sehari-hari. Gejala klinisnya bervariasi dari yang paling ringan tanpa
gejala sampai bentuk yang paling berat dengan tanda gagal sirkulasi.
Jenis aritmia dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu takiaritmia dan
bradiaritmia. Untuk menegakkan diagnosis aritmia, EKG merupakan
baku emas, sehingga tata laksana sudah dapat diberikan. Sebagai
praktisi, harus mampu mengenal 3 jenis aritmia yang sering ditemukan
yaitu takikardia supraventrikel, takikardia ventrikel dan blok AV total.
Ke 3 jenis aritmia ini kalau terlambat ditata laksana akan menimbulkan
dampak klinis yang bermakna. Tata laksana meliputi tata laksana
segera dengan menggunakan perasat atau obat-batan, tata laksana
jangka panjang dan tata laksana invasif. Dalam menegakkan
diagnosis, langkah pertama adalah menentukan jenis aritmia apakah
takiaritmia atau bradiaritmia. Pada jenis takiaritmia, langkah berikutnya
adalah menentukan asal/fokus iramanya apakah di atas, pada atau di
bawah hubungan atrio-ventrikel (AV junction) dengan melihat
kompleks QRS. Jika komplek QRS sempit artinya fokus ada di atas
hubungan atrio-ventrikel, jika QRS lebar fokus ada di bawah hubungan
atrio-ventrikel. Pada blok AV, langkah pertama yang perlu dilakukan
adalah mengukur interval PR. Pada blok AV derajad 1, interval PR
konstan tapi memanjang. Pada blok AV derajad 2, interval PR konstan
kecuali Mobitz I. Pada blok AV total, interval PR tidak konstan.

Pendahuluan
Aritmia merupakan kelainan irama jantung yang sering
dijumpai pada praktek sehari-hari. Manifestasi klinis aritmia bervariasi
dari bentuk ringan (benigna) tanpa keluhan sampai dengan bentuk
aritmia berat (maligna). Pada aritmia berat dengan gangguan
hemodinamik, jika tidak ditata laksana segera akan menimbulkan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 79
gagal sirkulasi dan berakhir dengan kematian. Untuk menegakkan
diagnosis aritmia diperlukan pemeriksaan EKG. EKG merupakan baku
emas untuk menegakkan diagnosis aritmia sehingga tata laksana
sudah dapat diberikan.1
Tujuan makalah ini adalah untuk membahas tips dan tricks
untuk menegakkan diagnosis aritmia dan membahas tata laksana
aritmia yang sering ditemukan pada anak.

Irama sinus
Irama jantung normal adalah irama sinus. Pada irama sinus,
impuls listrik yang dihasilkan nodus SA dihantarkan ke nodus AV
melalui dinding atrium sehingga pada EKG terekam sebagai
gelombang P. Sesampainya di nodus AV, impuls listrik mengalami
perlambatan sehingga pada EKG terekam sebagai garis isoelektrik.
Dari nodus AV impuls dihantarkan lagi secara cepat melalui berkas His
dan Purkinje, pada EKG terekam sebagai gelombang QRS, kemudian
disusul dengan repolarisasi ventrikel dan pada EKG terekam sebagai
gelombang T (Gambar 1).

Gambar 1. Gambar anatomi sistem konduksi

Ada 2 hal penting yang perlu diperhatikan pada EKG untuk


menentukan irama sinus yaitu: (1). Gelombang P selalu ada di depan
gelombang QRS dengan interval PR yang konstan, (2). Aksis
th
80 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
gelombang P ada di kuadran I, antara 0o dan +90o, sehingga
gelombang P tampak positif (tegak) di antaran II dan negatif (terbalik)
di antaran aVR.1-5

Jenis aritmia
Jenis aritmia yang sering ditemukan sehari-hari yang
mempunyai dampak pada hemodinamik dibagi atas 2 kelompok
yaitu:2,3
1. Taki-aritmia, laju jantung di atas laju jantung pada irama sinus
normal
- Takikardia supraventrikel
- Takikardia ventrikel
- Fibrilasi ventrikel
2. Bradi-aritmia, laju jantung di bawah laju jantung pada irama sinus
normal
- Irama nodal
- Blok atrioventricular
- Disfungsi nodus sino-atrial

Pada jenis takiaritmia, berdasarkan tempat asal impuls (selain


nodus SA), aritmia diklasifikasikan menjadi: di atas, pada, atau di
bawah hubungan atrio-ventrikel (AV junction). Jika impuls ektopik
berasal dari atrium (prematur atrial contaction) akan tampak
gelombang P yang muncul lebih awal dari yang seharusnya diikuti
dengan masa refrakter yang lebih panjang. Jika impuls ektopik berasal
dari nodus AV (prematur nodal contraction), yang tampak adalah
adanya gelombang QRS yang sempit tanpa gelombang P yang
muncul lebih awal dan juga diikuti oleh masa refrakter yang panjang.
Jika impuls ektopik berasal dari ventrikel (premature ventricular
contraction), tampak gelombang QRS yang lebar yang muncul lebih
awal dan diikuti oleh masa refrakter yang panjang (Gambar 2).1-5

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 81
Gambar 2. Berbagai jenis irama prematur yang dapat berasal dari
atrium, nodus AV atau ventrikel

Takikardia supraventrikular

Takikardia supraventrikel (supraventricular takikardia, SVT)


adalah jenis aritmia yang sering ditemukan pada anak. Laju jantung
sangat cepat bisa mencapai 200 kali permenit atau lebih. Terdapat
dua mekanisme terjadinya SVT yaitu automatisasi dan reentry yang
melibatkan jaras asesori atau terjadi di dalam nodus AV. Pada EKG
terdapat tanda yang khas pada SVT yaitu tidak tampak gelombang P
dan kompleks QRS yang sempit (Gambar 3).6-12

th
82 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Gambar 3. Mekanisme reentry pada SVT

Takikardia ventrikel dan fibrilasi ventrikel


Takikardia ventrikel (ventricular takikardia, VT) dan fibrilasi
ventrikel (ventricular fibrilasi, VF) merupakan keadaan emergensi yang
memerlukan deteksi dan penanganan segera. Kalau VT dan VF tidak
terdiagnosis dan tidak ditangani dengan tepat, pasien akan jatuh ke
dalam gagal sirkulasi akibat curah jantung yang menurun. Gambaran
EKG pada VT adalah irama jantung yang sangat cepat dan kompleks
QRS yang lebar. Pada VT gambaran EKG masih teratur sedangkan
pada VF gelombang QRS tidak bisa dikenali lagi (Gambar 4).

Gambar 4. EKG pada ventrikular takikardia dan ventrikular fibrilasi

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 83
Irama nodal
Pada irama nodal atau junctional, asal irama (pacu jantung)
adalah nodus AV bukan dari nodus SA. Laju jantung akibat pacu
jantung dari nodus AV lebih lambat dari normal (bradikardia). Gambar
EKG yang khas adalah tidak tampak gelombang P (Gambar 5).

Gambar 5. Irama nodal atau junctional

Blok atrioventrikular
Pada blok atrioventrikular (AV blok), terdapat hambatan
penjalaran impuls listrik di nodus AV (Gambar 6). Bentuk blok AV yang
paling ringan (derajat 1) hanya ditemukan pemanjangan interval PR,
dan interval PR konstan. Blok AV derajat 1 merupakan gejala minor
pasien demam reumatik akut.
Pada bentuk blok AV derajat 2 (parsial AV blok), impuls listrik
dari nonus SA ada yang dihantarkan ke ventrikel dan ada yang tidak
dihantarkan ke ventrikel, namun pacu jantung masih berasal dari
nodus SA.

Gambar 6. Berbagai jenis blok atrioventrikular


th
84 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Blok AV derajat 2 dibagi lagi menjadi blok AV derajat 2 Mobitz I
(Wenckebach phenomenon) dan blok AV derajat 2 Mobitz II. Pada
blok AV derajat 2 mobitz I (Wenckebach phenomenon), interval PR
mula-mula pendek, makin lama makin memanjang dan akhirnya
gelombang P tidak diikuti gelombang QRS. Pada mobitz II interval
QRS konstan. Bentuk mobitz II ada yang jenis all or none artinya
gelombang P ada yang diikuti QRS dan ada yang tidak. Bentuk lain
Mobitz II adalah setiap 2 gelombang P diikuti gelombang QRS (2:1 AV
blok), atau setiap 3 gelombang P diikuti QRS (3:1 AV blok) (Gambar
6).13
Pada blok AV komplit, impuls dari QRS tidak dihantarkan ke
ventrikel sehingga ventrikel berdenyut dengan pacu jantungnya
sendiri. Pada EKG akan tampak jarak gelombang P ke P tidak sama
dengan jarak gelombang R ke gelombang R, interval P-P lebih pendek
dari interval R-R. Pada blok AV komplit interval PR tidak konstan dan
laju jantung biasanya sangat rendah.

Disfungsi nodus SA
Disfungsi nodus SA (sick sinus syndrome) merupakan kelainan
pada nodus SA sebagai pacu jantung utama. Gambaran EKG yang
khas adalah adanya periode bradikardia diikuti oleh periode takikardia
(Gambar 7). Disfungsi nodus SA sering ditemukan pasca-operasi
jantung yang melibatkan atrium seperti pasca-operasi Fontan.

Gambar 7. Disfungsi nodus SA


th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 85
Diagnosis
Diagnosis aritmia ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis,
pemeriksaan fisis dan dipastikan dengan pemeriksaan EKG sebagai
baku emas penegakkan diagnosis aritmia. Manifestasi klinis aritmia
bervariasi dari yang asimtomatik, palpitasi, nyeri dada, serangan
pingsan, sesak napas atau dengan tanda atau gejala gagal jantung.
Pada pemeriksaan fisis didapat laju jantung yang sangat cepat atau
lambat, nadi tidak teratur. Dengan pemeriksaan EKG dapat ditegakkan
diagnosis dan ditentukan tata laksananya. Jika dengan pemeriksaan
EKG tidak ditemukan kelainan, harus dilakukan pemeriksaan EKG 24
jam (Holter). Jika masih belum ditemukan kelainan dapat dilanjutkan
dengan event recorder, atau implantable loop recorder (ILR).
Pemeriksaan ekokardiografi pada pasien dengan aritmia hanyalah
untuk mencari penyakit jantung bawaan (PJB) yang menyertai
aritmia.12

Tata laksana
Tala laksana aritmia terdiri dari tata laksana segera dan tata
laksana jangka panjang. Tata laksana segera bertujuan untuk
mengkonversi irama ke irama sinus agar curah jantung kembali
normal. Tata laksana jangka panjang bertujuan untuk mencegah agar
serangan tidak berulang. Pada anak agar anak tidak menggunakan
obat-obatan terus menerus sekarang ini dikembangkan terapi ablasi
radiofrekuensi untuk membakar jaras asesoris seperti pada SVT.
Algoritme tata laksana pada takiaritmia dapat dilihat pada Gambar 8.11
Tata laksana aritmia meliputi:
Perasat vagus
Perasat vagus (vagal manuver) merupakan tindakan untuk
meningkatkan aktivitas saraf parasimpatis sehingga menurunkan laju
jantung. Perasat vagus dilakukan dengan meletakkan kantong plastik
berisi es di atas muka. Tindakan ini dilaporkan efektif 25% dalam
mengatasi SVT pada bayi.9

Kardioversi
Kadioversi dilakukan pada semua aritmia dengan hemodinamik
tidak stabil seperti pada takikardia ventrikel (VT) atau fibrilasi ventrikel
(VF). Pada bentuk aritmia yang jalur reentry-nya tidak melibatkan
nodus AV seperti pada flutter atrium, kardioversi cukup efektif.
th
86 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Dosisnya untuk aritmia atrium adalah 1-2 Joule/kg, sedangkan untuk
aritmia ventrikel dosisnya 3-4 Joule/kg. Akibat kardioversi akan terjadi
asistole sehingga reentry-nya akan mengalami terminasi.12

Obat-obatan
Menurut Vaughn dan William, obat anti-aritmia dikelompokkan
menjadi 4 klas yaitu: (1) Klas I bekerja dengan menghambat kanal ion
natrium. Contoh obatnya adalah: kuinidin lignokain, dan flekainid. (2)
Klas II bekerja sebagai penyekat beta, seperti propranolol. (3) Klas III
bekerja memperpanjang repolarisasi fase III dari potensial aksi
jantung. Contoh: amiodaron. (4) Klas IV adalah antagonis kalsium,
sebagai contoh adalah verapamil. Di samping itu ada obat yang sering
dipakai pada aritmia yang bekerja pada nodus AV yaitu adenosin dan
digoksin. Obat ini efektif pada aritmia yang jalurnya melibatkan nodus
AV seperti pada atrioventricular reentrant tachycardia (AVRT) atau
atrioventricular nodal reentrant tachycardia (AVNRT) (Tabel 1).12-15

Gambar 8. Algoritme tata laksana takiaritmia


th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 87
Tabel 1. Obat-obat anti-aritmia
No Nama obat Mekanisme kerja Dosis bayi/anak
2
1 Kuinidin Menghambat fast IM: 2 mg/kg atau 60 mg/m
inward Na current PO: 30 mg/kg/hari dalam 5 dosis
terbagi
2 Lidokain Menghambat fast IV: Dosis awal 1 mg/kg diikuti infus
inward Na current kontinyu 20-50 µg/kg/menit.
3 Flekainid Menghambat fast Dosis awal 1-3 mg/kg/hari atau 50-
2
inward Na current 100 mg/m /hari dalam 3 dosis.
Tingkatkan dosis dalam beberapa
hari hingga 3-6 mg/kg/hari (maksimal
8 mg/kg/hari)
4 Propranolol Anti-adrenergik IV: neonatus 0,01 mg/kg IV lambat
selama 10 menit. Dapat diulangi
setiap 6-8 jam (maksimal 0,15
mg/kg/dosis tiap 6-8 jam). Bayi/anak:
0,01-0,1 mg/kg IV lambat (maksimal
1 mg pada bayi; 3 mg pada anak).
PO: 0,2-0,5 mg/kg tiap 6-12 jam ,
dosis dinaikkan sampai maksimal 1,5
mg/kg
5 Amiodaron Memperpanjang IV: 5 mg/kg bolus cepat untuk VF
periode refrakter atau dalam 20-60 menit untuk
takikardia. Dapat diulangi (maksimal
20 mg/kg). Infus penunjang 5
µg/kg/menit (maksimal 15
µg/kg/menit).
PO: Untuk anak < 1 tahun. Dosis
awal 10-15 mg/kg/hari atau 600-800
2
mg/1,73 m /hari dalam dosis terbagi
2 selama 4-14 hari. Kemudian dosis
diturunkan hingga 5 mg/kg/hari atau
2
200-400 mg/1,73 m /hari selama
beberapa minggu. Dosis efektif
terendah biasanya 1-2,5 mg/kg/hari.
6 Verapamil Memperlambat slow Tidak direkomendasi untuk anak < 1
inward calcium tahun.
current IV: 0,1-0,2 mg/kg per dosis, dapat
diulangi dalam 30 menit jika tidak ada
respons. Untuk anak > 1 tahun: 0,1-
0,3 mg/kg/dosis (maksimal 5 mg)
PO: 4-8 mg/kg/hari dalam dosis
terbagi tiap 8 jam
7 Adenosin Memblok nodus AV IV: 0,05-0,1 mg/kg per dosis. Jika
tidak efektif tambah 0,1 mg/kg hingga
dosis total 0,3 mg/kg. Pemberian
harus cepat
8 Digoksin Memblok nodus AV 0,01 mg kg dibagi dalam 2 dosis

th
88 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Ablasi radiofrekuensi
Ablasi radiofrekuensi (ARF) adalah tindakan invasif untuk
membakar jalur asesori yang berperan pada reentry. Dari beberapa
meta-analysis didapatkan angka keberhasilan rata-rata ARF pada SVT
adalah 90-98% dengan angka kekambuhan sekitar 2-5%. Angka
penyulit rata-rata adalah sekitar 1%. Oleh karena itu ARF merupakan
tindakan definitif pada kasus aritmia untuk menghindari penggunaan
obat-obatan jangka lama.16-18

Pemasangan pacu jantung


Pemasangan pacu jantung dilakukan pada blok atrioventrikular
komplit. Indikasi pemasangan pacu jantung pada kasus blok AV
komplit ditampilkan pada Tabel 2.12

Tabel 2. Indikasi pemasangan pacu jantung


No Indikasi
1 Blok AV derajat 2 lanjut atau derajat 3 dengan bradikardia
simtomatik, disertai disfungsi ventrikel atau curah jantung rendah
2 Disfungsi nodus sinus dengan bradikardia simtomatik
3 Blok AV derajat 2 lanjut atau 3 pasca-operasi yang diperkirakan tidak
akan membaik dan menetap 7 hari pasca-operasi.
4 Blok AV derajat 3 kongenital dengan kompleks QRS yang lebar,
ventrikel ektopik, atau disfungsi ventrikel
5 Blok AV derajat 3 kongenital pada bayi dengan laju ventrikel < 50
sampai 55 kali per menit atau dengan penyakit jantung bawaan dan
laju ventrikel < 70 kali per menit
6 Takikardia ventrikel yang terus menerus atau dengan interval QT
memanjang

Kesimpulan
Aritmia merupakan kelainan irama jantung yang sering
ditemukan pada praktek sehari-hari, manifestasi klinisnya bervariasai
dari bentuk yang ringan (benigna) sampai bentuk yang berat (maligna)
dengan berbagai konsekwensi gangguan hemodinamik. Pada bentuk
aritmia berat dengan gangguan hemodinamik jika tidak ditata laksana
secepatnya, akan terjadi gagal sirkulasi dan pasien akan meninggal.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 89
Untuk menegakkan diagnosis dan memastikan jenis aritmia diperlukan
pemeriksaan EKG. Tata laksana meliputi perasat vagus, kardioversi,
obat-obatan, ablasi radiofrekuensi atau pemasangan pacu jantung
tergantung pada jenis aritmianya.
Dalam menegakkan diagnosis, langkah pertama adalah
menentukan jenis aritmia apakah takiaritmia atau bradiaritmia. Pada
jenis takiaritmia, langkah berikutnya adalah menentukan asal/fokus
iramanya apakah di atas, pada atau di bawah hubungan atrio-ventrikel
(AV junction) dengan melihat kompleks QRS. Jika komplek QRS
sempit artinya fokus ada di atas hubungan atrio-ventrikel, jika QRS
lebar fokus ada di bawah hubungan atrio-ventrikel.
Pada blok AV, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah
mengukur interval PR. Pada blok AV derajad 1, interval PR konstan
tapi memanjang. Pada blok AV derajad 2, interval PR konstan kecuali
Mobitz I. Pada blok AV total, interval PR tidak konstan.

Daftar pustaka
1. Djer MM. Cara mudah dan cepat membaca EKG pada anak. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015; h. 108-40.
2. Ladusans EJ. Diagnosis, evaluation and treatment of cardiac arrhythmias.
Pediatr Child Health. 2008;19:30-36.
3. Kannankeril PJ, Fish FA. Management of common arrhythmias and
conduction abnormalities. Progress Pediatric Cardiology. 2003;17:1-52.
4. Antzelevitch C. Basic mechanism of reentrant arrhythmias. Curr Opin
Cardiol. 2001;16:1-7.
5. Fitzsimmons PJ, McWhirter PD, Peterson DW, Kruyer WB. The natural
history of Wolff-Parkinson-White syndrome in 228 military aviators: A
long-term follow-up of 22 years. Am Heart J. 2001;142:530-6.
6. Schlechte EA, Boramanand N, Funk M. Supraventricular tachycardia in
the pediatric primary care setting: age-related presentation, diagnosis,
and management. J Pediatr Health Care. 2008;22:289-99.
7. Deal BJ. Supraventricular tachycardia mechanism and natural histori.
Dalam: Deal BJ, Wolff GS, Gelband H, penyunting. Current concepts in
diagnosis and management of arrhythmias in infants and children. New
York: Futura Publishing Company; 1998. h. 117-43.
8. Ming-Long Y, Deal BJ, Wolff GS. Supraventricular tachycardia-
electrophysiologic evaluation and treatment. Dalam: Deal BJ, Wolff GS,
Gelband H, penyunting. Current concepts in diagnosis and management
of arrhythmias in infants and children. New York: Futura Publishing
Company; 1998. h. 145-79.
9. Madiyono B. Penanalaksanaan takikardia supraventrikular. Dalam:
Sastroasmoro S, Madiyono B, penyunting. Penatalaksanaan kedaruratan
th
90 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
kardiovaskular pada anak. Naskah lengkap PKB IKA XX FKUI/RSCM.
Jakarta: Bagian IKA FKUI/RSCM; 1989. h. 124-35.
10. Van Hare GF. Supraventricular tachycardia. Dalam: Garson A, Gillet PC,
penyunting. Clinical pediatric arrhythmias. Edisi ke-2. Philadelphia: WB
Saunders Company; 1999. h. 97-120.
11. Delacretaz E. Supraventricular tachycardia. N Engl J Med.
2006;354:1039-51.
12. Park MK. Pediatric cardiology for practitioner. Edisi ke-5. Philadelphia:
Mosby; 2008. h. 417-44.
13. Park MK. Pediatric cardiology for practitioner. Edisi ke-5. Philadelphia:
Mosby; 2008. h. 445-57.
14. Suyatna FD. Rational use of drugs in pediatric cardiology. Dalam: Putra
ST, Djer MM, Roeslani RD, Endyarni B, Yuniar I, penyunting.
Management of pediatric heart disease for practitioners: From early
detection to intervention. Naskah lengkap PKB IKA ke LVII. Jakarta:
Departemen IKA FKUI-RSCM; 2008. h. 115-40.
15. Van Hare GF, Chiesa AC, Campbell RM, Kanter RJ, Cecchin F.
Atrioventricular nodal reentrant tachycardia in children. J Cardiovasc
Electrophysiol. 2002;13:203-9.
16. Drago F. New technologies for the transcatheter treatment of arrhythmias.
Pediatrcs Child Health. 2007;17:536-8.
17. Calkins H. Radiofrequency catheter ablation of supraventricular
arrhythmias. Heart. 2001;85:594-600.
18. Brugada J, Closas R, Ordonez A, Mabrok M, Grecu M, Merce J, Mortera
C. Radiofrequency catheter ablation of an incessant supraventricular
tachycardia in a premature neonate. PACE. 2002;25:866-8.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 91
th
92 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Syok Septik vs Syok Kardiogenik pada Anak: Pendekatan
Praktis Diagnosis dan Tatalaksana

Rizky Adriansyah
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU/
RSUP Haji Adam Malik Medan

Pendahuluan
Syok merupakan salah satu kegawatdaruratan yang sering
terjadi pada anak. Syok septik dan syok kardiogenik merupakan jenis
syok yang paling sering mengakibatkan kematian di rumah sakit. Syok
septik disebabkan oleh sepsis berat disertai disfungsi kardiovaskular.
Sedangkan syok kardiogenik disebabkan oleh penurunan curah
jantung (cardiac output, CO) dengan volume intravaskular yang
adekuat.Berdasarkan manifestasi klinisnya, syok septik dibagi atas
syok hangat (warm shock) dan syok dingin (cold shock).
Beberapa kondisi klinis dan hemodinamikpada syok septik dan
syok kardiogenik banyak memiliki kesamaan (Tabel 1).Namun
penyebab syok septik dan syok kardiogenik berbeda yang berdampak
pada penegakan diagnosis dini dan tatalaksananya. Keterlambatan
resusitasi cairan dan pemberian antibiotik spektrum luas pada syok
septikakan meningkatkan mortalitas. Sedangkan pemberian resusitasi
cairan berlebihan akan memperburuk keadaan pada syok kardiogenik.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas pendekatan
praktis diagnosis dan tatalaksana kedua jenis syok tersebut pada
anak.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 93
Tabel 1. Parameter hemodinamik pada syok sepsis dan syok
kardiogenik
Syok Sepsis Syok
Parameter
Syok hangat Syok dingin Kardiogenik

Tekanan arteri N, < < <


Tekanan nadi <, N, > < <
Tahanan vaskular sistemik < >, N, < >, N, <
(SVR)
Tahanan vaskular pulmonal N, > > >
(PVR)
Tekanan vena sentral (CVP) <, N <, N, > N, >
Tekanan arteri pulmonal (PAP) >, N, < >, N, < >
Tekanan ‘wedge’ pulmonal N, < >, N, < >
(PWP)
Curah jantung (CO) > < <
SvO2 N, > <, N, > <
Keterangan: >, meningkat; <, menurun; N, normal; SVR, systemic vascular
resistance; PVR, pulmonary vascular resistance; CVP, central venous pressure;
PAP, pulmonary arterial pressure; PWP, pulmonary wedge pressure; CO, cardiac
output

Syok septik
Syok septik merupakan sepsis berat yang sering terjadi. Syok septik
juga merupakan jenis syok yang paling banyak dijumpai di ruang rawat
intensif (57% kasus). Lima tanda awal yang harus dikenali pada syok
septik (kompensata) adalah gangguan status mental, takikardia,
takipnea, akral dingin, dan waktu pengisian kapiler memanjang.
Oliguria dan hipotensi merupakan tanda syok lanjut (dekompensata).
Penegakan diagnosis syok septik berdasarkan kriteria menurut
Goldstein dkk dan Sepanski dkk, seperti pada Tabel 2.

th
94 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 2. Kriteria sepsis dan syok septik menurut Goldstein dkk. dan
Sepanski dkk.
Kondisi Kriteria
SIRS Dua atau lebih gejala berikut ini, salah satunya harus
(systemic terdiri dari abnormalitas suhu atau jumlah leukosit :
inflammatory - Suhu tubuh sentral > 38.5 C atau < 36 C
respons - Takikardia, didefinisikan sebagai denyut jantung
syndrome) meningkat di atas 2 SD sesuai usia, tanpa ada
stimulus eksternal seperti obat-obatan, rangsang
nyeri, atau peningkatan denyut jantung yang tidak
dapat dijelaskan selama 0,5 – 4 jam
- Takipnea, didefinisikan sebagai peningkatan laju
nafas di atas 2 SD, atau menggunakan ventilasi
mekanik untuk proses akut yang bukan disebabkan
penyakit neuromuskular atau anestesi umum
- Leukositosis atau lekopenia sesuai usia (yang tidak
berhubungan dengan kemoterapi) atau neutrofil
imatur lebih dari 10%
Revised Pediatric Severe Sepsis Screening Tool
SIRS ditegakkan jika ditemukan 2 pengukuran abnormal,
salah satunya harus denyut jantung atau laju nafas. Salah
satunya lagi adalah temperatur, leukosit, atau neutrofil
imatur.
Infeksi Kecurigaan atau terbukti infeksi melalui pemeriksaan
laboratorium (kultur darah, pewarnaan jaringan, PCR)
yang disebabkan oleh patogen atau sindroma klinis yang
berhubungan dengan kemungkinan infeksi yang tinggi.
Bukti klinis infeksi dapat diperoleh dari pemeriksaan fisik,
pencitraan, maupun pemeriksaan laboratorium (leukosit
pada cairan tubuh steril, perforasi organ interna, rontgen
dada yang menggambarkan pneumonia), ptekie atau
purpura berat.
Sepsis SIRS disertai bukti atau kecurigaan infeksi
Sepsis berat Sepsis dengan satu gejala berikut: disfungsi
kardiovaskular, atau sindroma respiratori akut, atau dua
atau lebih disfungsi organ lain (saraf, darah, ginjal, dan
hati)
Syok septik Sepsis dengan disfungsi organ kardiovaskular

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 95
Kriteria disfungsi organ kardiovaskular pada syok septik adalah
walaupun setelah pemberian cairan intravena 40 ml/kg dalam kurang
dari 1 jam, masih dijumpai keadaan:
- Hipotensi (penurunan tekanan darah < persentil 5 sesuai usia
atau penurunan tekanan darah sistolik < persentil 5 sesuai usia),
atau
- Memerlukan obat vasoaktif untuk mempertahankan tekanan
darah pada rentang normal (dopamin dosis >5 mcg/kg/menit,
atau dobutamin, epinefrin, norepinefrin pada dosis berapapun),
atau
- Ditemukan minimal dua tanda berikut:
• Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan (defisit
basa <5.0 meq/L)
• Peningkatan kadar laktat arteri (2 kali batas atas nilai
normal)
• Oliguria (luaran urin <0.5 ml/kg/jam)
• Waktu pengisian kapiler >5 detik
• Selisih antara suhu tubuh sentral dan perifer > 3 C

Algoritma tatalaksana syok septik pada anak yang digunakan


saat ini berdasarkan Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2012, seperti
pada Gambar 1. Syok refrakter cairan/resisten dopamin adalah syok
yang masih terjadi setelah pemberian resusitasi cairan ≥60 ml/kg dan
infus dopamin hingga 10 mcg/kg/menit. Syok resisten katekolamin
adalah syok yang masih terjadi setelah pemberian katekolamin,
epinefrin atau norepinefrin. Sedangkan syok refrakter adalah syok
masih terjadi setelah pemberian inotrop, vasopresor, vasodilator,
pemulihan hemostasis metabolik (glukosa dan kalsium), serta hormon
(tiroid, insulin, dan hidrokortison).

Syok kardiogenik
Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan kegagalan
sirkulasi akutdengan volume intravaskular adekuat yang disebabkan
oleh penurunan curah jantung (cardiac output, CO), sehingga terjadi
penurunan penghantaran oksigen ke jaringan(delivery oxygen, DO2).
Selain faktor curah jantung, DO2 juga dipengaruhi oleh kadar
hemoglobin dan oksigenasi, yang dirumuskan dengan formula:DO2 =
CO x (1.36 x Hb X SaO2) + (0.003 x PO2).
th
96 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Penyebab syok kardiogenik yang sering pada anak adalah
kardiomiopati (27% kasus), miokarditis, aritmia, penyakit jantung
bawaan, riwayat pasca-bedah jantung, endokarditis infektif, demam
rematik akut/penyakit jantung rematik, dan penyakit Kawasaki. Selain
itu juga dapat disebabkan oleh beberapa penyakit ekstrakardiak,
seperti penyakit autoimun, intoksikasi, sepsis yang menginduksi gagal
miokard, emboli pulmonal, pneumotoraks, dan tamponade jantung.
Sepsis dan disfungsi organ lain (infeksi paru, infeksi susunan saraf
pusat, gagal ginjal, gagal hati) merupakan komorbiditas yang sering
meningkatkan mortalitas.
Ada tiga keadaan patofisiologis yang dapat terjadi pada syok
kardiogenik menurut konsep Warner-Stevenson, yakni:
1. Cold and wet: kontraktilitas miokard menurun dan tekanan
pengisian ventrikel kiri meningkat (disfungsi sistolik dan
diastolik)
2. Cold and dry: kontraktilitas miokard menurun dan tekanan
pengisian ventrikel kiri menurun (disfungsi sistolik)
3. Warm and wet: kontraktilitas miokard normal dan tekanan
pengisian ventrikel kiri meningkat (disfungsi diastolik)

Gejala dan tanda syok kardiogenik dibagi atas tiga yakni klinis,
etiologis, dan para-klinis (penunjang). Gejala dan tanda klinis tidak ada
yang spesifik dan sulit dibedakan dengan syok dingin (cold
shock).Umumnya ditemukan kesadaran menurun, hipotensi, pulsasi
lemah, hipoksemia, akral dingin, dan manifestasi klinis gagal jantung
kongestif (mudah lelah, dispnea, sianosis, irama gallop, ronki,
distensivena jugular, hepatomegali, edema, dan oliguria/anuria).
Gejala dan tanda etiologis adalah murmur pada beberapa jenis
penyakit jantung bawaan dan penyakit jantung didapat, suara jantung
lemah pada tamponade jantung, gangguan irama jantung (takiaritmia
atau bradiatmia), atau riwayat pasca-bedah jantung. Sedangkan gejala
para-klinis terdiri dari hasil pemeriksaan laboratorium (NT-proBNP,
BNP, CPK-MB, troponin I/T, analisis gas darah, kadar laktat, elektrolit
darah), rontgen dada (ditemukan kardiomegali), elektrokardiografi, dan
ekokardiografi.
Tatalaksana kegawatdaruratan syok kardiogenik mengikuti
algoritma bantuan hidup dasar (basic life support, BLS) dan lanjutan
(advanced life support, ALS). Obat-obatan untuk mengatasi gagal
jantung (diuretik, vasodilator, dan inotropik) diberikan sesuai kondisi

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 97
klinis dan gangguan hemodinamik yang dijumpai. Jika ditemukan
takikardia supraventrikular, takikardia ventrikular, atau fibrilasi atrium,
tatalaksana syok kardiogenik sesuai dengan algoritma dari gangguan
irama tersebut. Antiaritmia (seperti adenosin, amiodaron, sulfas
atropin, lidokain, dan lain-lain) serta defibrilasi (DC-Shock) diberikan
sesuai indikasi. Pada AV Blok maupun bradiaritmia lainnya, mungkin
diperlukan pemasangan pacemaker temporer atau permanen. Anemia,
hipoglikemia, dan gangguan elektrolit (hipokalsemia, hipo/
hiperkalemia, atau hipomagnesemia) harus segera dikoreksi. Jika
ditemukan tension pneumotoraks, harus segera dilakukan
tindakanpleural drainage. Pada tamponade jantung, harus segera
dilakukan perikardiosintesis. Intervensi kardiologi non-bedah/bedah
jantungsudah dapat dilakukan di beberapa rumah sakit rujukan.
Sedangkan tindakan transplantasi jantung sebagai terapi definitif pada
kardiomiopati belum dapat dilakukan di Indonesia.
Pada bayi baru lahir yang mengalami penyakit jantung bawaan
tergantung duktus (duct dependent lesion), prostaglandin intravena
kontinu (5–10 ng/kg/menit) harus segera diberikan untuk mencegah
syok kardiogenik. Berbeda dengan penyebab syok kardiogenik
lainnya, pemberian oksigen dosis tinggi pada kasus seperti ini akan
memperburuk kondisi klinis dan hemondinamik. Pada kasus TGA-IVS,
tindakan balloon atrial septostomy (BAS) harus segera dilakukan
setelah selambatnya 24 jam pemberian prostaglandin intravena
kontinu.

Perbedaan tatalaksana syok septik dan syok kardiogenik


Pemberian cairan resusitasi pada syok septik merupakan
langkah awal yang sangat penting. Cairan resusitasi yang dipakai
adalah larutan kristaloid isotonis (normal salin 0.9%, ringer laktat, atau
ringer asetat) dengan dosis 20 ml/kg secepatnya (5–10 menit).
Pemberian ulang resusitasi cairan dilakukan berdasarkan target
pencapaian perbaikan keadaan umum, perfusi, dan tanda vital. Pada
syok hangat, umumnya hemodinamik stabil setelah resusitasi cairan
20–60 ml/kg dalam satu jam pertama. Sedangkan pada syok dingin,
setelah pemberian resusitasi cairan 60 ml/kg, hemodinamik belum
stabil dan masih memerlukan obat-obat inotropik (terutama dopamin)
untuk mengatasi disfungsi organ kardiovaskular.

th
98 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Pada syok kardiogenik, pemberian bolus cairan resusitasi
merupakan kontraindikasi karena akan memperberat kondisi gagal
jantung dan meningkatkan tanda-tanda kongestif. Diuretik (furosemid)
diberikan pada syok septik jika setelah ditemukan tanda-tanda
kelebihan cairan (hepatomegali, edema paru, efusi pleura, atau
asites). Sedangkan pada syok kardiogenik, diuretik diberikan pada
fase awal untuk mengatasi manifestasi klinis gagal jantung
kongestif.Tatalaksana syok kardiogenik sangat terkait dengan
penyebabnya, apakah struktur jantung normal/tidak normal, atau
ada/tidaknya gangguan irama jantung.
Inotropik lini pertama pada syok septik adalah dopamin (10
mcg/kg/menit). Pada syok hangat, dapat ditambahkan norepinefrin
(0.05–0.3 mcg/kg/menit). Pada syok dingin, dapat ditambahkan
vasopresor seperti epinefrin (Gambar 1). Sedangkan pada syok
kardiogenik, inotropik lini pertama adalah dobutamin (5–15
mcg/kg/menit) atau milrinon (0.375–0.75 mcg/kg/menit) yang bekerja
sebagai inodilator (Gambar 2). Jika resisten terhadap
dobutamin/milrinon, dapat ditambahkan norepinefrin yang bersifat
vasopressor. Dopamin kurang direkomendasikan sebagai lini pertama
untuk mengatasi syok kardiogenik. Namun pada kasus pasca-bedah
jantung, dopamin (5–15 mcg/kg/menit) lebih efektif untuk mencegah
dan mengatasi curah jantung yang rendah (LCOS, low cardiac output
syndrome).

Peranan ekokardiografi pada syok septik dan syok kardiogenik


Pemeriksaan ekokardiografi sangat penting untuk menentukan
etiologi, memantau status hemodinamik, menentukan jenis obat-
obatan inotropik, serta mengevaluasi respon tatalaksana syok septik
maupun syok kardiogenik. Penyakit jantung bawaan, penyakit jantung
didapat, kardiomiopati, dan tamponade jantung sebagai penyebab
syok kardiogenik yang sering terjadi pada anak dapat segera diketahui
dari pemeriksaan ekokardiografi.
Secara kualitatif, pemeriksaan ekokardiografi dapat
memberikan informasi akurat tentang ruang-ruang jantung, adanya
defek dan lesi obstruktif, derajat kerusakan katup, visualisasi koroner
(pada penyakit Kawasaki), dan efusi perikardium/tamponade jantung.
Pada kasus riwayat pasca-bedah jantung, pemeriksaan ekokardiografi
sangat membantu untuk menentukan penyebab syok kardiogenik yang
terjadi, apakah syok kardiogenik terkait pembedahan atau tatalaksana
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 99
pasca-bedahnya. Beberapa pemeriksaan ekokardiografi kuantitatif
yang penting dinilai, baik pada syok septik maupun syok kardiogenik,
adalah:
1. Penilaian curah jantung (cardiac output, CO) dan indeks
jantung (cardiac index, CI).
Untuk menilai curah jantung, ada 3 komponen yang harus
diukur yaitu, frekuensi jantung (heart rate, HR), diameter
annulus aorta (left ventricular outflow tract, LVOT), dan LVOT
VTI (velocity time integral). Beberapa jenis mesin ekokardiografi
dapat menghitung curah jantung secara otomatis. Namun
prinsipnya menggunakan formula:

2
(diameter LVOT)
Stroke volume (SV)= π x x LVOT VTI
2

Cardiac Output (CO) = (SV x HR) / 1000, dalam satuan L/menit.


Cardiac Index (CI) = CO/BSA (body surface area), dalam
satuan L/menit/m2.

Pada syok septik yang belum respon dengan


pemberian cairan dan dopamin, penilaian CI ini sangat
membantu tatalaksana lanjutan dan menentukan jenis syok,
apakah syok hangat atau syok dingin. Jika nilai CI ≥2.2
L/menit/m2, dapat ditambahkan norepinefrin saja. Sedangkan
jika nilai CI <2.2 L/menit/m2, dapat ditambahkan norepinefrin
atau dobutamin (Tabel 3).Evaluasi nilai CI sebaiknya dilakukan
tiap 4– 24jam di ruang rawat intensif anak. Pada syok
kardiogenik dengan CI <2.2. L/menit/m2 yang resisten dengan
dobutamin, dapat ditambahkan dengan milrinon, epinefrin, atau
levosimendan (Gambar 2).
Setelah mengetahui nilai CI, maka dapat ditentukan
nilai indeks resistensi vaskular sistemik (systemic vascular
resistance index, SVRI), yakni dengan menggunakan formula:
SVRI = (MAP – CVP) / CI.
MAP : mean arterial pressure (rerata tekanan darah)
CVP : central venous pressure (tekanan vena sentral)

th
100 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
2. Penilaian kontraktilitas jantung
Fungsi sistolik ventrikel kiri dinilai dengan mengukur
fraksi ejeksi ventrikel kiri (left ventricular ejection fraction,
LVEF). Nilai normal LVEF >55%. Fungsi sistolik ventrikel kanan
dinilai dengan mengukur TAPSE (tricuspid annular plane
systolic excursion). Nilai normal TAPSE ≥16 mm. Secara
praktis, pengukuran LVEF dan TAPSE dengan menggunakan
M-Mode ekokardiografi. Fungsi diastolik ventrikel kiri dinilai
dengan mengukurrasio MV E/A. Normal rasio MV E/A 1–2.
Selain itu, secara praktis ekokardiografi juga dapat
menentukan indeks performa miokard (myocardial performance
index, MPI). Nilai MPI adalah perbandingan antara jumlah
waktu kontraksi isovolumetrik (isovolumetric contraction times,
ICT) dan waktu relaksasi isovolumetrik (isovolumetric
relaxation times, IRT), dibagi dengan waktu ejeksi ventrikel
(ventricular ejection time, VET).
MPI = ((ICT + IRT) / VET
Nilai normal MPI adalah 3.5–4.5. Pada kardiomiopati dilatasi,
nilai MPI >0.6.

3. Penilaian estimasi tekanan arteri pulmonalis (PAP, pulmonary


arterial systolic pressure), dengan mengukur derajat perbedaan
tekanan di katup trikuspid dan atau katup pulmonal. Namun
penilaian ini harus dipastikan apakah regurgitasi trikuspid
(tricuspid regurgitation, TR) bukan disebabkan oleh kelainan
anatomi jantung. Pada hipertensi pulmonal yang berat,
ditemukan rerata derajat perbedaan tekanan pada regurgitasi
trikuspid >60 mmHg. Jika estimasi tekanan atrium kanan 5–10
mmHg, maka PAP dapat diprediksi menggunakan formula:
PAP = 4 x (TR velocity)2 + tekanan atrium kanan
4. Estimasi preload dengan mengukur rasio diameter vena kava
inferior dan aorta (IVC/Ao ratio). Namun penelitian pada anak
masih lebih banyak pada kasus syok hipovolemik untuk
menentukan status hidrasi, sebelum dan sesudah resusitasi
cairan. Sedangkan pada kasus syok septik dan syok
kardiogenik masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Nilai
normal rasio IVC/Ao pada anak adalah 0.5–1.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 101
Tabel 3. Perbedaan manajemen syok septik dan syok kardiogenik
pada anak
Jenis syok Patofisiologi Manifestasi klinis Tatalaksana
Syok septik CO <, SVR > HR >, normotensi Bolus cairan kristaloid
(60% kasus) atau hipotensi 20 cc/kg, mungkin
(pada kasus sampai 60 cc/kg
terlambat), CRT >, dalam 1 jam pertama,
denyut nadi <, epinefrin jika resisten
kesadaran dopamin dan cairan.
menurun
CO >, SVR < HR >, hipotensi, Bolus cairan kristaloid
(20% kasus) CRT >, denyut 20-60 cc/kg dalam 1
nadi >, kesadaran jam pertama, dopamin
menurun jika resisten cairan,
norepinefrin jika
resisten dopamin dan
cairan.
CO <, SVR < HR >, hipotensi, Bolus cairan kristaloid
(20% kasus) CRT >, denyut 20-60 cc/kg dalam 1
nadi <, hiperpnea, jam pertama, dopamin
kesadaran jika resisten cairan,
menurun epinefrin jika resisten
dopamin dan cairan.
Syok CO <, SVR > HR >, hipotensi, Kontraindikasi bolus
Kardiogenik atau N CRT >, denyut cairan,
nadi <, Dobutamin sebagai
hepatomegali, lini pertama, alternatif
ronki, oliguria milrinon dan dopamin

Keterangan: >, meningkat; <, menurun;N, normal; SVR, systemic vascular


resistance; CO, cardiac output; HR, heart rate; CRT, capillary refill time

Penutup
Diagnosis dan tatalaksana awal syok septik dan syok
kardiogenik sangat menentukan prognosis. Keterlambatan pemberian
antibiotikdan resusitasi cairan pada syok septik,sertaketerlambatan
mengatasi penyebab syok kardiogenik akan meningkatkan mortalitas.
Pada kasus yang belum diketahui penyebab syok, maka penilaian
tanda vital, hemodinamik, dan beberapa manifestasi klinis serta
pemeriksaan penunjang menjadi pertimbangan yang sangat penting
dalam memberikan tatalaksana awal syok septik maupun syok
kardiogenik. Jika penyebabnya telah diketahui, tatalaksananya
mengikuti algoritma masing-masing.
th
102 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Kepustakaan
1. Fisher JD, Nelson DG, Bayersdorf H, Satkowiak LJ. Clinical spectrum of
shock in pediatric emergency department. 2010;26:622-5.
2. Brissaud O, Botte E, Cambonie G, Dauger S, Blanquat LS, Durand P,
dkk. Experts’ recommendations for the management of cardiogenic shock
in children. Ann Intensive Care. 2016;6:14
3. Kar SS. Pediatric cardiogenic shock: Current perspectives. Arch Med
Health Sci. 2015;3:252-65.
4. Saugel B, Huber W, Nierhaus A, Kluge S, Reuter DA, Wagner JY.
Advanced hemodynamic management in patient with septic shock.
Biomed Res Int. 2016;8268569
5. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, dkk.
Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of
severe sepsis and septic shock: 2012. Crit Care Med;41:580-637.
6. Breitkerutz R, Walcher F, Seeger F. Focused echocardiographic
evaluation in resuscitationmanagement: Concept of an advanced life
support–conformedalgorithm. Crit Care Med. 2007;35(Suppl):S150-61.
7. Sethuraman U, Bhaya N. Pediatric shock. Therapy. 2008;5:405-23.
8. Lee EP, Hsia SH, Lin JJ, Chan OW, Lee J, Lin CY, dkk. Hemodynamic
analysis of pediatric septic shock and cardiogenic shock using
transpulmonary thermodilution. Biomed Res Int. 2017:3613475.
9. Lim HS. Cardiogenic shock: Failure of oxygen delivery and oxygen
utilization. Clin Cardiol. 2016;39:477-83.
10. Fathi EM, Narchi H, Fares C. Noninvasive hemodynamic monitoring of
septic shock in children. World J Methodol. 2018;8:1-8.
11. Singh Y. Echocardiographic evaluation hemodynamic in neonates and
children. Front Pediatr. 2017;5:201
12. Singh Y, Katheria AC, Vora F. Advances in diagnosis and management of
hemodynamic instability in neonatal shock. Front Pediatr. 2018;6:2
13. Chen L, Kim Y, Santucci KA. Use of ultrasound measurement of the
inferior vena cava diameter as an objective tool in the assessment of
children with clinical dehydration. Acad Emerg Med. 2007;14:841-5.
14. Kwon H, Lee JH, Kim K, Kwak YH, Kim DK. Measurement of inferior vena
cava and aorta with bedside ultrasound to assess degree of dehydration
in children. Crit Ultrasound J. 2015;7(Suppl):A23.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 103
Gambar 1. Algoritme tatalaksana syok sepsis pada anak, berdasarkan
SSC 2012

th
104 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Gambar 2. Algoritme tatalaksana syok kardiogenik pada anak

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 105
th
106 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Peran Imunoglobulin pada Tata Laksana Penyakit Kawasaki

Najib Advani

Pendahuluan
Penyakit Kawasaki (PK) merupakan suatu vaskulitis sistemik
yang umumnya terjadi pada bayi dan anak serta biasanya menyerang
arteri ukuran sedang. Diagnosis PK ditegakkan berdasarkan gejala
klinis dan ditunjang oleh data laboratorium yang menunjukkan
inflamasi sistemik yang berat.1 Saat pertama kali dilaporkan pada
tahun 1967 oleh Tomisaku Kawasaki2, potensi komplikasi aneurisme
koroner belum diketahui begitu juga terapi imunoglobuin seperti yang
ini dilakukan saat ini. Kriteria gejala dan tanda klinis pada fase akut PK
yang menjadi dasar diagnosis adalah:1
1. Demam selama 5 hari atau lebih
2. Konjungtivitis bilateral, tanpa eksudat
3. Kelainan pada mulut: bibir merah dan lidah merah seperti
stroberi, eritema rongga mulut
4. Eritema pada edema pad tangan dan kaki, pada fase akut dan
deskuamasi pada fase subakut.
5. Eksantema yang polimorfik
6. Limfadenopati servikal unilateral (diameter >1.5 cm)

Diagnosis PK dapat ditegakkan jika ditemukan kriteria demam


ditambah empat dari lima kriteria lain. Jika jumlah kriteria yang
ditemukan kurang dari itu, dapat dikatakan sebagai penyakit Kawasaki
inkomplit jika ditemukan kelainan pada arteri koroner.

Terapi imunoglobulin pada penyakit Kawasaki


Mengingat etiologi PK hingga sekarang belum diketahui, maka
belum ditemukan terapi kausal. Terapi pilihan PK yang digunakan saat
ini adalah imunoglobulin intravena (IGIV) dengan dosis tunggal 2
g/kgBB selama 10-12 jam dengan aspirin dosis tinggi (80-100 mg/kg
BB/hari, per oral). IGIV harus diberikan segera setelah diagnosis
ditegakkan dalam 10 hari pertama awitan demam. Pasien dengan
diagnosis yang terlambat misalnya lebih dari hari ke 10 awitan, juga
dapat diberikan IGIV jika masih ada demam yang menetap yang tidak

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 107
dapat dijelaskan penyebabnya atau tanda inflamasi sistemik
bersamaan dengan meningkatnya laju endap darah (≥40 mm/jam) dan
CRP (≥30 g/dl) atau adanya aneurisme koroner (diameter luminal
dengan Z score >2,5). Tetapi untuk anak dengan PK yang sudah tidak
demam lagi dan hasil lab juga normal, tidak diperlukan lagi pemberian
IGIV.1

Sejarah terapi imunoglobulin


Sebelum tahun 1979 di Jepang pasien PK diberikan terapi
prednison dosis tinggi yang tampaknya efektif untuk mengurangi
demam dan gejala lainnya. Penelitian Kato dkk. membandingkan
terapi PK pada fase akut pada tiga kelompok yaitu dengan antibiotik
(sefaleksin), steroid dan aspirin. Ternyata angka kejadian aneurisme
koroner tertinggi pada kelompok yang diberikan steroid dibanding
kelompok aspirin dan antibiotik.3 Atas dasar ini terapi steroid sebagai
obat tunggal tidak dianjurkan pada fase akut PK.
Terapi imunoglobulin pertama kali digunakan pada
imunodefisiensi primer oleh Bruton tahun 1952.4 Selama bertahun
tahun preparat ini hanya dapat diberikan secara intramuskular.
Kelemahannya adalah nyeri pada tempat suntikan dan penyerapan
imunoglobulin yang lambat serta sulit. mempertahankan konsentrasi di
atas 2 g/L. Meski berbagai usaha dilakukan untuk modifikasi, baru
pada tahun 1981 dapat dibuat imunoglobulin intravena (IGIV) secara
komersial. Saat ini terdapat lebih dari 25 preparat IGIV di dunia
dengan komponen yang belum tentu sama (Tabel 1).
Terapi imunoglobulin intravena untuk PK pertama kali dicoba
oleh Furusho dkk. pada tahun 1984. Pada penelitian mereka, pada
kelompok yang diberikan IGIV ternyata angka kejadian aneurisme
koroner lebih rendah secara bermakna dibanding pada kelompok yang
diberi aspirin saja.5 Berdasarkan data ini US multicenter KD Study
Group selanjutnya membandingkan pasien PK yang hanya diberi
aspirin dan yang diberi aspirin dengan IGIV.6 Penelitian ini dihentikan
sebelum selesai setelah didapat data bahwa 18 dari 78 anak (23%)
pada grup aspirin dibanding 6 dari 75 (8%) grup IGIV yang terkena
aneurisme koroner.

th
108 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Manfaat imunoglobulin pada penyakit Kawasaki
Efektivitas pemberian IGIV pada fase akut PK saat ini sudah
terbukti secara luas. Pada dasarnya terapi IGIV ditujukan untuk
mencegah terjadinya aneurisme koroner dan mengatasi inflamasi
pada fase akut. Berbagai penelitian lain maupun metaanalisis
membuktikan bahwa IGIV menurunkan risiko aneurisme koroner
secara bermakna. 7,8 Systematic review yang terbaru dari Cochrane
Collaboration menyatakan bahwa timbulnya lesi koroner dapat dicegah
dengan pemberian imunoglobulin dosis tunggal 2 g/kg BB jika
diberikan pada 10 hari pertama awitan.9
Mengingat harganya yang mahal, secara teoritis, harusnya
dapat dilakukan stratifikasi untuk terapi PK dan menentukan faktor
risiko kemungkinan timbulnya aneurisme koroner sehingga dapat
ditentukan pasien mana yang harus diberikan IGIV maupun mana
yang tidak. Namun demikian, hingga saat ini belum ada kriteria yang
dapat dipercaya dan akurat untuk menentukan pasien mana yang
berisiko untuk terjadi komplikasi yang berat dan mana yang tidak. Atas
dasar ini, semua pasien PK akut, baik yang komplit maupun inkomplit
sebaiknya diberikan IGIV.10
Berbagai uji klinis sekitar tahun 80 an mendapatkan bahawa
pemberian IGIV dosis tinggi bersama dengan aspirin pada 10 hari
pertama demam, dapat mengurangi angka kejadian aneurisme
koroner dari 25% menjadi 5%.8,11 Meski diberikan IGIV dosis tinggi
dalam 10 hari pertama, sekitar 5% pasien PK terkena setidaknya
dilatasi sementara arteri korner dan 1% menunjukkan aneurisme
raksasa (giant aneurysms).11,12
Dulu sempat dianjurkan pemberian 400 mg/kgBB/hari selama 4
hari, namun ternyata hasil meta analisis membuktikan bahwa dosis
tunggal 2 g/kgBB lebih unggul dalam mencegah terjadinya kelainan
koroner.8 Dosis total IGIV berbanding terbalik dengan kejadian
kelainan koroner dan dosis 2 g/kgBB adalah dosis optimal, sedangkan
dosis aspirin tidak berpengaruh.11 Atas dasar ini untuk pasien yang
tidak sanggup membeli IGIV dosis 2 g/kgBB, dapat dicoba dengan
dosis separuhnya dulu. Penulis pernah mencoba pada beberapa
pasien dengan hasil yang relatif baik. Hal ini lebih baik dari pada
sama sekali tidak diberikan IGIV. Jadi pemberian IGIV pada PK
tidaklah bersifat all or none.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 109
Resistensi imunoglobulin pada penyakit Kawasaki
Meski mayoritas pasien memberi reaksi positif dengan
pemberian IGIV berupa penurunan suhu dan perbaikan gejala klinis
dan penanda laboratorium, sekitar 10-20% akan mengalami ‘resisten’
terhadap IGIV yang diartikan sebagai demam yang menetap atau
kambuh kembali dalam waktu 36 jam setelah selesai pemberian
immunoglobulin. Pasien yang resiten IGIV ini mempunyi risiko yang
lebih tinggi terhadap terjadinya aneurisme koroner.13 Penelitian Advani
pada pasien PK mendapatkan bahwa 93% pasien di Indonesia
responsif terhadap pemberian IGIV regimen awal dan hanya 7 % yang
demam menetap setelah 48 jam pemberian IGIV selesai sehingga
perlu pengobatan tambahan.14 Mekanisme terjadinya resistensi
terhadap IGIV belum diketahui, mungkin juga akibat mekanisme kerja
IGIV pada PK yang belum jelas diketahui. Hingga saat ini belum ada
data yang cukup meyakinkan yang dapat digunakan sebagai pedoman
pemberian terapi pada pasein dengan resisten IGIV. Banyak ahli yang
menganjurkan pemberian ulang IGIV dengan dosis yang sama.
Pemberian steroid, infliximab, siklosporin dan siklofosfamid hingga
metotreksat juga digunakan dan hingga saat ini belum ada protokol
terapi yang sama antara tiap senter.1

Mekanisme kerja Imunoglobulin


Efektifitas pemberian IGIV pada PK tidak diragukan lagi. Meski
demikian, cara kerjanya belum jelas. Reduksi kadar sitokin dan
kemokin, perubahan popoulasi sel, termasuk menurunnya jumlah
CD14 + monosit/makrofag, netrofil, aktivasi sel T, peningkatan sel NK
dan perubahan subset limfosit , semuanya terjadi setelah pemberian
IGIV pada pasien PK. Meskipun demikian, mekanisme yang tepat
terjadinya hal ini belum diketahui secara pasti. 15 IGIV tampaknya
mempunyai efek anti inflamasi umum.1

Cara pemberian
Imunoglobulin diberikan 2 g/kgBB secara intravena selama 10-
12 jam. Pemberian yang terlalu cepat dengan volume berlebih harus
dihindari karena dapat mengakibatkan gangguan fungsi jantung. Jika
dibutuhkan dalam volume yang banyak, maka pemilihan preparat
dengan konsentrasi yang lebih tinggi (10%) mungkin lebih aman. Pada
30-60 menit pertama dilakukan pemantauan tanda tanda vital dan
th
110 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
mulai dengan tetesan agak lambat. Hal ini mengingat adanya
kemungkinan terjadinya berbagai reaksi termasuk anafilaksis.
Pemberian IGIV yang ideal adalah dalam 10 hari pertama awitan
demam dan yang terbaik adalah pada hari ke 5-7.1 Sebagian peneliti
mendapatkan bahwa pemberian IGIV sebelum hari ke 5 hasilnya tidak
lebih baik dari pemberian hari 5-9 awitan dan bahkan cenderung untuk
terjadinya pengulangan dosis.16,17

Efek samping dan keamanan


IGIV adalah suatu produk biologik yang didapat dari plasma
donor manusia. Sejak 1995, imunoglobulin mendapat status sebagai
blood-derived stable drug. Sebagaimana juga produk darah yang lain,
IGIV berpotensi untuk terjadinya transmisi agen infeksius. Untuk
mencegah ini digunakan tehnik nanofiltrasi. Konsentrasi IGIV yang
beredar di pasaran adalah 5% dan 10 %. Terdapat juga konsentrasi
10% dan 20% untuk penggunaan subkutis pada kondisi tertentu.
Pemberian IGIV dosis tinggi dikatakan relatif aman meski diberikan
pada pasien dengan fungsi miokard yang menurun.18 Meskipun
demikian pemantauan yang ketat harus tetap dilakukan. Beberapa
efek samping penggunaan IGIV telah dilaporkan pada kasus umum
(Tabel 2) dan kasus PK (Tabel 3). Meski relatif tidak sering namun
kemungkinannya perlu dipantau selama pemberian IGIV.

Tabel 1. Jenis imunoglobulin dan dampaknya19


Jenis imunoglobulin Dampak
Tanpa sukrosa atau natrium mengurangi efek samping pada
pasien gagal ginjal
pH rendah mengurangi efek samping agregasi
Konsentrasi tinggi (volume mengurangi risiko volume berlebih
rendah)
Kadar IgA rendah mengurangi efek samping
Cairan siap pakai mengurangi waktu persiapan
Penyimpanan pada suhu ruang mengurangi kebutuhan lemari
pendingin
Pemberian cepat mengurangi waktu perawatan dan
pengawasan

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 111
Umumnya derajat efek samping pada pemberian IGIV tidak
berat. Jika terjadi reaksi yang tidak diinginkan kecepatan pemberian
sebaiknya dikurangi. Biasanya kecepatan pemberian adalah 0,01-0,02
ml/kg/menit dan dapat ditingkatkan menjadi 0,1 ml/kg/menit.

Tabel 2. Efek samping pemberian imunoglobulin secara umum.20

Efek samping Sering Jarang


Umum lelah, demam, mengigil anafilaksis
Efek sistemik nafsu makan turun, gejala selesma, edema
mialgia, artralgia, sendi kelopak mata
bengkak
Neurologik sakit kepala, migrain meningitis aseptik, lemah,
sensasi abnormal
Pernapasan napas pendek, batuk, efusi pleura, edema paru
spasme bronkus
Kardiovaskular hipo/hipertensi, nyeri nadi tak teratur, infark
dada miokard
Pencernaan nafsu makan turun, mual, gangguan pengecapan
muntah, diare
Ginjal gangguan tubulus ginjal,
gagal ginjal
Kulit eritema, urtikaria, pruntus eritema eksudatif
multiforme
Hematologi hemolisis tromboemboli, sindrom
hiperviskositas,
leukopenia

Pada suatu survei pasca-pemasaran tentang efek samping


terapi IGIV pada 7259 pasien PK, 484 pasien mengalami 697 kejadian
efek samping yaitu 9, 6% (Tabel 3).20

th
112 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 3. Survei pasca-pemasaran efek samping IGIV pada penyakit
Kawasaki (n = 7259)20

Efek samping Jumlah kasus


Gangguan fungsi hati 69
Enzim hati abnormal 40
Ruam, pruritus 78
Hipotermi 50
Hipertensi 19
Meningitis aseptik 19
Pucat 15
Sianosis 14
Gagal jantung 13
Syok 13
Akral dingin 13
Anemia hemolitik 4

Penggunaan IGIV hendaknya dibatasi pada kondisi atau


penyakit yang sudah jelas terbukti secara ilmiah bermanfaat. Khusus
untuk PK, IGIV adalah terapi pilihan utama. Meski demikian dari segi
keamanan, diagnosis PK harus dipastikan betul sebelum melangkah
kepada pemberian IGIV. Preparat ini meskipun relatif aman namun tak
luput dari berbagai kemungkinan efek samping baik yang ringan
hingga fatal. Harga yang mahal juga harus menjadi pertimbangan
untuk menggunakannya secara bijak. Pemberian imunisasi vaksin
hidup harus ditunda sekitar 11 bulan setelah pemberian imunoglobulin
sedangkan vaksin lain dapat diberikan setelah masa penyembuhan.1

Rujukan
1. McCrindle BW, Rowley AH, Newburger JW, Burns JC, Bolger AF, Gewitz
M, et al. Diagnosis, treatment, and long-term management of Kawasaki
disease. Circulation. 2017;135:927–99.
2. Kawasaki T. Acute febrile mucocutaneous lymphnode syndrome with
accompanying specific peeling of fingers and toes. Japanese J Allergy.
1967;16:178–82.
3. Kato H, Koike S, Yokoyama T. Kawasaki disease: effect of treatment on
coronary artery involvement. Pediatrics. 1979;63:175–9.
4. Bruton, OC. Agammaglobulinemia. Pediatrics 1952;9:722-28.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 113
5. Furusho K, Kamiya T, Nakano H, Kiyosawa N, Shinomiya K, Hayashidera
T, et al. High-dose intravenous gammaglobulin for Kawasaki disease.
Lancet. 1984;2:1055–8.
6. Newburger JW, Takahashi M, Burns JC, Beiser AS, Chung KJ, Duffy CE,
et al. The Treatment of Kawasaki syndrome with Intravenous gamma
globulin. N Engl J Med 1986;315:341–7.
7. Yellen ES, Gauvreau K, Takahashi M, Burns JC, Shulman S, Baker AL, et
al. Performance of 2004 American Heart Association recommendations
for treatment of Kawasaki disease. Pediatrics. 2010;125:e234–41.
8. Newburger JW, Takahashi M, Beiser AS, Burns JC, Bastian J, Chung KJ,
et al. A single intravenous infusion of gamma globulin as compared with
four infusions in the treatment of acute Kawasaki syndrome. N Engl J Me.
1991;324:1633–9.
9. Oates-Whitehead RM, Baumer JH, Haines L, Love S, Maconochie IKI,
Gupta A, et al. Intravenous immunoglobulin for the treatment of Kawasaki
disease in children. Cochrane Database Syst Rev . 2003;CD004000.
10. Burns JC, Glodé MP. Kawasaki syndrome. Lancet. 2004;364.
11. Terai M and Shulman ST. Prevalence of coronary artery abnormalities in
Kawasaki disease is highly dependent on gamma globulin dose but
independent of salicylate dose. J Pediatr. 1997;131:888–93.
12. Durongpisitkul K, Gururaj VJV, Park JMJJ, Martin CFCF, . The prevention
of coronary artery aneurysm in Kawasaki disease: a meta-analysis on the
efficacy of aspirin and immunoglobulin treatment. Pediatrics.
1995;96:1057–61
13. Hwang JY, Lee KY, Rhim JW, Youn YS, Oh JH, Han JW, et al.
Assessment of intravenous immunoglobulin non-responders in Kawasaki
disease. Arch Dis Child. 2011;96:1088–90.
14. Advani N. Penyakit Kawasaki: Faktor risiko terjadinya aneurisme koroner ,
perjalanan klinisnya, serta jumlah dan kualitas sel progenitor endotel.
Universitas Indonesia, Jakarta; 2014.
15. Burns JC, Franco A. The immunomodulatory effects of intravenous
immunoglobulin therapy in Kawasaki disease. Expert Rev Clin Immunol.
2015;11:819–25.
16. Muta H, Ishii M, Egami K, Furui J, Sugahara Y, Akagi T, et al. Early
intravenous gamma-globulin treatment for Kawasaki disease: The
nationwide surveys in Japan. J Pediatr. 2004:144: 496–9.
17. Fong NC, Hui YW, Li CK, Chiu MC. Evaluation of the efficacy of treatment
of Kawasaki disease before day 5 of Illness. Pediatr Cardiol. 2004;25:31–
4.
18. Newburger JW, Sanders SP, Burns JC, Parness IA , Beiser AS, Colan
SD. Left ventricular contractility and function in Kawasaki syndrome:
Effect of intravenous γ-globulin. Circulation. 1989;79:1237–46.
19 Mark SM. Comparison of intravenous immunoglobulin formulations:
Product, formulary, and cost. Hosp Pharm 2011:46:668-76.
20 Saji BT and Kobayashi T. Overview of the new Japanese guideline 2012
for the medical treatment of the acute stage of Kawasaki disease. Pediatr
Int. 2014: 56:135- 58.
th
114 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Diagnosis dan Tatalaksana Hipotensi pada Neonatus

R. Adhi Teguh Perma Iskandar, Rinawati Rohsiswatmo,


Sherly Mediana, Nieta Hardiyanti
Divisi Perinatologi Rumah Sakit Ciptomangunkusumo Jakarta

1. Tekanan darah pada neonatus


Tekanan darah arterial yang umumnya dikenal sebagai
tekanan darah, adalah sebuah tekanan potensial dalam sistem
pembuluh darah arteri yang menggerakan darah dari jantung menuju
organ target. Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan
resistensi vaskular sistemik. Tekanan darah adekuat (normotensi)
akan menjamin perfusi darah ke seluruh organ-organ, sehingga
kebutuhan oksigen maupun nutrisi di seluruh sel tubuh dapat
terpenuhi.
Pada bayi prematur, besarnya tekanan darah normal sulit
dipastikan, hal ini disebabkan adanya variasi tekanan darah yang
berbeda beda sesuai usia gestasi maupun usia kronologis.1 Selain itu
rentang tekanan darah normal neonatus yang dapat menjamin perfusi
organ adekuat masih menjadi perdebatan hingga kini. Beberapa studi
mencoba menentukan rentang tekanan darah normal pada
neonatus.1,2 Hal ini kemudian menghasilkan dua definisi luas dari
hipotensi, yaitu: Rerata tekanan arterial (MAP) kurang dari persentil
10th untuk berat lahir/ gestasi dan usia pascanatal.2 Rerata tekanan
arterial (MAP) kurang dari usia gestasi dalam minggu. Pengertian ini
diturunkan dari definisi pertama, setelah dilakukan pengamatan bahwa
persentil 10th untuk rerata tekanan darah secara kasar setara dengan
usia gestasi. Perlu diingat bahwa hal ini hanya berlaku untuk 48 jam
pertama kehidupan.

2. Teknik pengukuran tekanan darah pada neonatus


Terdapat dua metode untuk mengukur tekanan darah pada
neonatus, yaitu secara invasif dan noninvasif. Kedua metode memiliki
kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tetapi standar
perawatan pada bayi yang sakit kritis seharusnya berupa monitoring
tekanan darah invasif.3
Metode nonivasif dilakukan berdasarkan oscillometry. Metode
ini didasarkan pada fenomena darah yang bergerak melalui arteri akan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 115
menimbulkan oscillasi/vibrasi pada dinding pembuluh darah arteri.
Ketika dilakukan pemberian tekanan eksternal melalui manset yang
dikembangkan dan dipasang pada anggota gerak akan
memungkinkan kita menentukan nilai tekanan darah “arterial”. Oscillasi
yang timbul akan ditransmisikan ke manset, diubah menjadi sinyal
listrik oleh transduser dan akhirnya ditampilkan sebagai nilai
pengukuran tekanan darah sistolik, rerata, dan diastolik. Sebelum
ditemukannya alat otomatis, pengukuran ini dilakukan oleh klinisi
dengan auskultasi atau palpasi. Metode palpasi dilakukan dengan
mengandalkan sensasi pulsasi, sementara pada auskultasi dilakukan
dengan mendengarkan suara turbulensi yang timbul oleh aliran pada
pembuluh darah yang terkompresi. Korotkoff pertama kali
mendeskripsikan pengukuran tekanan darah indirek dengan auskultasi
pada 1905.3
Komponen sistolik dari pengukuran tekanan darah merupakan
tekanan sistolik pada awal dimulainya oscilasi. Tekanan saat oscilasi
mencapai puncak amplitudonya adalah tekanan rerata arteri (MAP).
Tekanan pada manset ketika darah perrtama kali mulai terus mengalir
tanpa adanya vibrasi diperkirakan sebagai tekanan diastolik.
Terdapat beberapa faktor penting yang perlu dipertimbangkan
ketika melakukan pengukuran darah noninvasif. Ukuran manset yang
tidak sesuai akan menyebabkan ketidakakuratan pengukuran.
Perbandingan antara lebar manset dan lingkar lengan atas 0,4-0,6
akan memberikan hasil yang paling akurat jika dibandingkan dengan
tekanan darah invasif. Selain itu lokasi pengukuran, baik pada anggota
gerak atas atau bawah, dapat mengakibatkan perkiraan nilai yang
lebih tinggi maupun lebih rendah dari nilai sesungguhnya. Perbedaan
alat yang digunakan juga dapat mengakibatkan sedikit perbedaan
dalam pembacaan tekanan darah karena perbedaan algoritma yang
digunakan.
Metode invasif menggunakan transduser berisi cairan yang
secara langsung duhubungkan pada kateter arteri umbilikal atau
pembuluh darah arteri perifer. Transducer tekanan akan mengubah
energi menjadi sinyal listrik yang kemudian akan diproses,
diamplifikasi, dan diubah oleh microprocessor menjadi tampilan visual
pada monitor. Ada banyak tantangan dalam teknik pemasangan yang
dapat mengakibatkan ketidakakuratan pengukuran, karena kurang
atau berlebihnya pelemahan sinyal,5 diantaranya adalah adanya
gelembung udara pada sirkuit. Hal ini akan menyebabkan pelemahan
th
116 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
secara berlebih dari gelombang tekanan pulsasi, mengakibatkan
pembacaan yang lebih rendah dari tekanan sistolik dan pembacaan
nilai yang lebih tinggi pada tekanan diastolik, meskipun rerata tekanan
darah tidak terpengaruhi. Pelemahan sinyal secara berlebih juga dapat
timbul jika bekuan darah mengkontaminasi sirkuit, sirkuit terlalu
panjang atau terlalu besar, atau jika proses kalibrasi awal tidak tepat.
Kurangnya pelemahan sinyal dapat muncul jika tabung yang tidak
sesuai dan kaku digunakan atau ketika terjadi hipotermia, yang
ditandai dengan tekanan darah sistolik yang sangat tinggi dan tekanan
diastolik yang rendah.

3. Nilai Normal Tekanan Darah pada Neonatus


Umumnya keputusan untuk memberikan terapi dibuat oleh
dokter ketika parameter klinis tertentu berada di luar rentang nilai
normal. Dengan demikian terdapat rentang batas atas dan bawah
dimana observasi saja tanpa diikuti intervensi dapat dibenarkan.
Sayangnya berbagai parameter klinis tersebut di bidang neonatologi
masih belum jelas.
Satu dari referensi pertama mengenai rentang nilai normal ini
dikembangkan oleh Versmold dkk. pada 1981.6 Data diambil secara
invasif pada 16 bayi dengan berat kurang dari 1000 g dan kemudian
dikombinasikan dengan data dari 45 bayi yang lebih besar untuk
mendapatkan nomogram baru dari nilai tekanan darah selama 12 jam
pertama pasca natal pada bayi dengan berat 610 sampai 4220 g.
Penulis kemudian menyimpulkan bahwa mereka “berharap bahwa
nomogram baru untuk tekanan darah sistolik, diastolik dan rerata akan
menghasilkan pengukuran status kardiovaskular yang lebih akurat
pada bayi baru lahir, terutama pada bayi yang lahir sangat prematur.”
Referensi lain mengenai rentang normal ini dikembangkan pada tahun
1980an dan 1990an, yang meliputi studi dari Watkins dkk.,2 Spinazzola
dkk.,7 dan Hegyi dkk.8 Meskipun masing-masing studi ini memiliki
kekurangan, tiap studi memberikan informasi yang penting. Misalnya,
Hegyi dkk.8 menegaskan mengenai tekanan darah yang rendah pada
bayi prematur yang mendapat ventilasi mekanik.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 117
Tabel 1. Variasi tekanan darah rerata berdasar berat lahira pada 3
sampai 96 jam pasca lahir2
Berat Usia Pasca Natal (jam)
Badan
(g) 3 12 24 36 48 60 72 84 96

500 35/23 36/24 37/25 38/26 39/28 41/29 42/30 43/31 44/33
600 35/24 36/25 37/26 39/27 40/28 41/29 42/31 42/31 45/33
700 36/24 37/25 38/26 39/28 42/29 42/30 43/31 43/31 45/34
800 36/25 37/26 39/27 40/28 41/29 42/31 44/32 44/32 46/34
900 37/25 38/26 39/27 40/29 42/30 43/31 44/32 44/32 47/35
1000 38/26 39/27 40/28 41/29 42/31 43/32 45/33 45/33 47/35
1100 38/27 39/27 40/29 42/30 43/31 44/32 45/34 45/34 48/36
1200 39/27 40/28 41/29 42/30 43/32 45/33 46/34 46/34 48/37
1300 39/28 40/29 41/30 43/31 44/32 45/33 46/35 46/35 49/37
1400 40/28 41/29 42/30 43/32 44/33 46/34 47/35 47/35 49/38
1500 40/29 42/30 43/31 44/32 45/33 46/35 48/36 48/36 50/38
a th
nilai menunjukan rerata tekanan darah/ persentil 10

Kent dkk. mengukur tekanan darah pada 406 bayi cukup bulan
di bangsal selama 4 hari pertama pascanatal.9 Nilai median tekanan
sistolik, diastolik dan rerata pada hari pertama pascanatal secara
berurutan adalah 65, 45, dan 48 mmHg. Pada hari ke-4 nilai ini
meningkat menjadi 70, 46 dan 54 mmHg. Kent dkk. juga mengevaluasi
pengukuran tekanan darah noninvasif pada sekelompok bayi dengan
usia gestasi 28 sampai 36 minggu.10 Mereka melakukan pengukuran
tekanan darah pada hari ke-1, 2, 3, 4, 7, 14, 21 dan 28 pada 147 bayi.
Dari data tersebut mereka menemukan bahwa bayi prematur akan
menstabilkan rerata tekanan darah setelah 14 hari pertama kehidupan
pasca natal, dan pada saat itu bayi-bayi ini memiliki tekanan darah
yang sama seperti bayi cukup bulan. Peneliti lain juga menunjukan
adanya peningkatan tekanan darah selama beberapa hari pertama
kehidupan pasca natal.2,8
Nilai absolut tunggal dari rerata tekanan darah merupakan
“rentang normal” lain yang sering digunakan untuk penentuan
intervensi, dan lebih dipilih dibandingkan dengan rentang yang luas
dari usia gestasi. Nilai yang sering digunakan adalah rerata tekanan
darah kurang dari 30 mmHg.11 Pendekatan ini didasarkan pada
temuan yang menunjukan bahwa batas terbawah dari kurva

th
118 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
autoregulasi tekanan darah adalah sekitar 28 sampai 30 mmHg pada
model bayi hewan sama seperti pada bayi prematur.12

Tabel 2. Nilai terendah dari rerata tekanan darah arteri dalam 24 jam
pertama dan usia gestasi13
Usia Gestasi Jumlah Rerata Tekanan Darah Arteri
(minggu) Bayi Terendah (mmHg; Median [IOR])
22 25 21 (18-25)
23 178 21 (19-24)
24 339 22 (20-25)
25 431 24 (21-26)
26 583 24 (21-26)
27 666 26 (22-29)
28 725 27 (24-31)
29 725 29 (25-32)
30 709 30 (27-34)
31 526 31 (27-35)
Total 4907 27 (23-31)

4. Beberapa faktor yang memengaruhi tekanan darah pada


neonatus
4.1 Steroid antenatal
Moise dkk. mempelajari jumlah bantuan tekanan darah yang
diterima oleh bayi sangat prematur (usia gestasi 23-27 minggu)
dengan ibu yang menerima steroid antenatal maupun yang tidak.14
Bayi yang tidak terpapar steroid antenatal memiliki nilai rerata tekanan
darah yang lebih rendah pada 16-48 jam pasca natal. Selanjutnya,
penggunaan dopamin meningkat pada bayi yang tidak terpapar steroid
antenatal. Demarini dkk. melaporkan bahwa nilai rerata tekanan darah
selama 24 jam pertama pasca natal lebih tinggi pada bayi berat lahir
sangat rendah (BBLSR) dengan ibu yang mendapat steroid antenatal,
dan bahwa volume expander dan pemberian vasopresor lebih sedikit
pada bayi-bayi tersebut.15
Elimin dkk. mengevaluasi apakah pemberian steroid antenatal
yang tidak selesai tetap bermanfaat. Setelah melakukan penyesuaian
usia gestasi, mereka menemukan bahwa pemberian satu dosis

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 119
betametason dibandingkan dengan tidak sama sekali dapat
menurunkan kebutuhan vasopresor-inotropik (odd ratio [OR], 0.35;
95% confidence interval [CI], 0.14, 0.85; p < 0.02) dan tingkat P/IVH
(OR, 0.42; 95% CI, 0.19, 0.92; p <0.03).16 Pada uji terkontrol acak
selanjutnya yang membandingkan betametason dan deksametason,
mereka menemukan bahwa tidak ada perbedaan pada insidensi
kebutuhan kebutuhan vasopresor-inotropik di antara keduanya.17

4.2 Transfusi plasenta


Ulasan sistematik terbaru oleh Robe dkk.18 menemukan bahwa
bayi-bayi yang mendapat delayed cord clamping, memiliki tekanan
darah lebih baik dan lebih sedikit membutuhkan vasopresor-inotropik
dibandingkan bayi yang tali pusatnya dijepit segera. Somers dkk.
dalam studi kohortnya terhadap 51 bayi prematur, menemukan adanya
peningkatan aliran vena cava superior (VCS) selama 4 hari pertama
pasca natal.19 Namun, Australian Placental Transfusion Study Echo
Sub-study20 menemukan bahwa tidak ada perbedaan insidensi
hipotensi berdasarkan kriteria usia gestasi, kebutuhan vasopresor-
inotropik, dan perubahan aliran darah pada masing-masing kelompok.
Tekanan darah sistolik, diastolik, dan rerata secara signifikan lebih
tinggi pada kelompok yang menerima umbilical cord milking (UCM).
Katheria dkk.21 menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai
tekanan darah diantara kelompok yang menerima UCM dibandingkan
dengan mereka yang menerima penjepitan tali pusat segera, tetapi
terdapat perbedaan yang signifikan pada aliran VCS selama 24 jam
pertama pasca natal. Metaanalisis terbaru mengenai UCM
mengungkapkan bahwa meskipun UCM memiliki dampak yang
menguntungkan dan tidak memiliki efek samping pada bayi prematur,
studi lebih lanjut dibutuhkan untuk memastikan efek jangka panjang
dan jangka pendek UCM.22 Katheria dkk. selanjutnya membandingkan
UCM dengan delayed cord clamping dan menemukan peningkatan
aliran darah sistemik pada bayi prematur dan dilahirkan secara seksio
yang menerima UCM.23 Dapat disimpulkan bahwa transfusi plasental
berkaitan dengan tekanan darah yang lebih tinggi, tetapi efek pada
aliran darah masih belum terbukti jelas dan masih belum dapat
dipastikan pendekatan mana (delayed cord clamping atau UCM) yang
lebih baik dalam memperbaiki transisi hemodinamik pasca natal.

th
120 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
4.3 Tekanan Jalan Napas Positif
Ventilasi mekanik dapat menyebabkan hipotensi melalui
mekanisme, mengurangi venous return dan pengisian ventrikel.
Kluckow dan Evans mengamati tingginya efek samping pemberian
tekanan jalan napas positif pada tekanan darah bayi prematur yang
membutuhkan ventilasi mekanik.24 Efek perubahan tekanan ekspirasi
positif (PEEP) dari 5 menjadi 8 cm H2O, menunjukan penurunan yang
signifikan dari curah jantung kiri.25 Penggunaan ventilasi noninvasif
menghasilkan penurunan insidensi hipotensi dan penurunan curah
jantung.26 De Waal dkk meneliti bayi yang mendapat INSURE
(Intubasi, Surfaktan dan Ekstubasi) menemukan kejadian hipotensi
sebesar 16% dan membutuhkan penanganan sebesar 10%. Data
serupa dipaparkan pula dalam Avoidance of Mechanical Ventilation
Trial27 dimana 17-18% pasien mengalami hipotensi. Terdapat dua efek
samping lain yang memengaruhi kejadian hipotensi dan berkaitan
dengan ventilasi mekanik: penghisapan endotrakheal dan penggunaan
sedasi. Penghisapan endotrakheal dikaitkan dengan perubahan
tekanan darah. Dalam Neopain Trial, penggunaan morfin juga
dikaitkan dengan kejadian hipotensi.28 Oleh karena itu, strategi untuk
meminimalkan penggunaan ventilasi mekanik seharusnya memegang
peranan penting dalam penilaian dan tatalaksana hipotensi pada bayi
prematur.

5. Penilaian Syok pada Bayi Berat Badan Lahir Sangat Rendah


Karena ketidakjelasan batas hipotensi yang memberikan
dampak buruk pada bayi prematur, seorang dokter harus mencari
bukti adanya penurunan perfusi pada organ target. Penilaian status
hemodinamik, seperti oxygen delivery pada bayi berat badan lahir
sangat rendah bahkan lebih sulit lagi. Pengukuran fungsi hemodinamik
pada kelompok ini, seperti pulmonary pressure, tekanan vena sentral,
dan curah jantung yang diukur melalui teknik thermodilusi, tidak dapat
dilakukan pada bayi prematur karena berat mereka yang sangat kecil,
kerentanan terhadap infeksi, risiko trombosis dan adanya pirau jantung
(PDA, PFO). Umumnya, penilaian klinis perfusi jaringan bayi prematur
hanya mengacu pada waktu pengisian kapiler, produksi urin, laju
jantung dan tekanan darah. Asidosis metabolik juga merupakan bukti
penting dalam penilaian ini, tetapi jika laktat serum tidak dimonitor
secara serial, perubahan pH dan defisit basa dapat disalah artikan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 121
menjadi peningkatan kehilangan bikarbonat pada ginjal bayi yang
imatur. Disimpulkan, semua parameter tersebut menunjukan
keterbatasan spesifik penilaian gangguan perfusi aliran darah (pre-
syok) pada bayi baru lahir terutama pada bayi berat lahir sangat
rendah.

5.1 Pengisian waktu kapiler


Pengisian waktu kapiler secara luas digunakan sebagai
parameter yang mewakili cardiac output dan resistensi perifer
pada neonatus.29 Sejumlah faktor perancu terlibat dalam ketidak-
akuratan penilaian CRT, seperti lokasi penilaian, durasi
penekanan, variabilitas interobserver, suhu lingkungan, obat-
obatan, dan maturitas mekanisme aliran darah ke kulit.30 Terdapat
hubungan yang lemah antara CRT dan parameter hemodinamik
lain seperti curah jantung.31 Sebuah studi yang menyelidiki
hubungan antara nilai aliran darah sistemik (aliran VCS) dan CRT
pada BBLSR menunjukan bahwa CRT ≥3 detik hanya memiliki
sensitivitas 55% dan spesifitas 81% dalam memprediksi aliran
darah sistemik yang rendah. Bagaimanapun, peningkatan yang
nyata dari CRT 4 detik atau lebih berhubungan erat dengan
keadaan tekanan darah yang rendah.32

5.2 Produksi urin


Pemantauan produksi urin berguna dalam penilaian fungsi
kardiovaskular sama seperti pada dewasa; namun demikian,
tubulus ginjal yang imatur pada BBLSR masih belum efisien dalam
mengkonsentrasikan urin yang dapat menimbulkan gangguan
kapasitas untuk mengatur osmolalitas dan aliran urin.33 Akibatnya,
filtrasi glomerolus pun menurun secara drastis, dan akan terjadi
sedikit perubahan dalam produksi urin. Secara fisiologis, produksi
urin belum adekuat 24-48 jam pasca lahir akibat masih tingginya
hormon katekolamin. Akhirnya, pengukuran yang akurat dari urin
output tidaklah mudah pada BBLSR, membutuhkan pengumpulan
urin dengan kateter urin atau dengan kantung urin, kedua teknik
tersebut bersifat invasif dan berpotensi menimbulkan komplikasi
seperti infeksi saluran kemih sehingga tidak praktis dilakukan.

th
122 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
5.3 Laju jantung
Peningkatan laju jantung biasanya mengindikasikan
hipovolemia pada pasien dewasa. Mekanisme ini bergantung pada
sistem saraf autonom yang sudah matur, dimana ketika terdeteksi
adanya penurunan tekanan darah oleh baroreseptor maka
selanjutnya akan terjadi peningkatan heart rate sebagai usaha
untuk mempertahankan curah jantung agar tetap sesuai. Pada
neonatus, terutama pada bayi prematur, memiliki batas bawah laju
jantung yang lebih tinggi akibat sistem miokardium dan sistem
saraf autonom yang masih imatur, sehingga akan memengaruhi
respon kardiovaskular terhadap hipovolemia. Pengukuran laju
jantung tidak dapat diandalkan sebagai penilaian yang akurat dari
status kardiovaskular.

5.4 Asidosis metabolik/ laktat asidosis


Apabila gangguan aliran darah ke organ target tidak dapat
dipertahankan oleh mekanisme kompennsasi yang ada, maka sel
akan melakukan metabolisme anaerob. Berkurangnya aliran darah
sistemik (curah jantung) dapat menyebabkan peningkatan laktat
serum. Total laktat serum lebih dari 4 mmol/L dengan
pemanjangan CRT lebih dari 4 detik meramalkan rendahnya aliran
VCS dengan spesifitas 97%.34 Kadar laktat serum berkaitan
dengan keparahan penyakit dan mortalitas pada pasien dewasa
dengan sakit berat dan pada neonatus yang mendapat ventilasi
mekanik karena respiratory distress syndrome.35 Kadar laktat
serum yang normal pada bayi adalah kurang dari 2,5 mmol/L, dan
akan berkaitan dengan mortalitas jika serum laktat melebih batas
ini.36

5.5 Tekanan darah


Pengukuran tekanan darah arterial invasif menggunakan
kateter yang terisi cairan dan tranduser bertekanan biasanya
dilakukan dengan memasang kateter arteri umbilikal pada aorta
desenden atau dengan kateter arteri yang dipasang di arteri
radialis. Terdapat korelasi yang baik antara tekanan darah yang
diukur baik dari arteri perifer maupun dari arteri umbilikal.37
Teknik pengukuran tekanan darah secara noninvasif lebih
sulit dilakukan pada BBLSR, karena pengukuran ini sangat
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 123
bergantung pada ukuran manset yang digunakan dan pengukuran
ini bersifat tidak kontinyu.91 Pada bayi baru lahir, penggunaan
manset yang tepat meningkatkan keakuratan pengukuran tekanan
darah invasif ini jika dibandingkan dengan pengukuran secara
palpasi.38 Keakuratan pengukuran tekanan darah invasif
bergantung pada penggunaan alat yang tepat, meliputi kalibrasi
sistem, dan pencegahan blokade, gelembung udara, atau bekuan
darah di sepanjang kateter.

5.6 Curah jantung


Dengan kemajuan dalam resolusi gambar dan
berkurangnya ukuran transduser ultrasonografi, metode
pengukuran curah jantung secara noninvasif terutama dengan
ultrasonografi Doppler lebih populer saat ini. Ultrasonografi
Doppler pertama kali digunakan untuk mengukur curah jantung
neonatus secara noninvasif pada 1982 dan selanjutnya diakui
lebih baik dari teknik invasif pada anak, neonatus, dan BBLSR.39
Koefisien variasi dalam penggunaan Doppler lebih disukai
dibandingkan dengan variasi pada indikator dilusi dan
thermodilusi. Modalitas terbaru lainnya yang lebih baik untuk
mengukur curah jantung adalah magnetic resonance imaging
(MRI) kardiak fungsional, yang saat ini masih banyak digunakan
terbatas untuk penelitian.40

5.7 Pemantauan aliran darah perifer dan mukosa


Laser Doppler dan visible light technology (T-Stat)
merupakan teknik yang saat ini sedang diteliti kegunaannya dalam
menilai resistensi vaskular sistemik secara langsung pada
neonatus.41

5.8 Indeks perfusi dengan pulse oximeter


Indeks perfusi didapat dari sinyal pletismografik pada pulse
oksimeter. Indeks perfusi dihitung menggunakan rasio komponen
darah arterial berdenyut dan tak berdenyut berdasarkan absorbsi
cahaya yang mencapai detektor. Indeks perfusi diukur secara
noninvasif, ditampilkan secara kontinyu, dan memiliki potensi
sebagai penanda aliran darah sistemik yang rendah. Beberapa
studi telah memvalidasi indeks perfusi dibandingkan dengan
th
124 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
metode pengukuran aliran darah sistemik lainnya, termasuk aliran
darah VCS. Mereka menemukan bahwa pengukuran indeks
perfusi ini dapat digunakan untuk memprediksi keadaan aliran
darah yang rendah.42

5.9 Near Infrared Spectroscopy


Menggunakan prinsip bahwa jaringan akan menyerap,
membiasakan dan memantulkan sinar Near infra red, NIRS dapat
digunakan untuk mengukur saturasi oksigen jaringan. Berbagai
studi menunjukan terdapat korelasi kuat antara NIRS serebral
dengan saturasi vena jugular. Bila terdapat gangguan perfusi
terhadap suatu organ, nilai NIRS akan berkurang. Dengan
penggunaan NIRS, klinisi dapat mendeteksi gangguan sirkulasi
organ jauh lebih dini dari semua parameter klinis maupun
penurunan tekanan darah. Peningkatan selisih nilai NIRS dan
pulseoximetri menandakan peningkatan ekstraksi oksigen yang
dibawa oleh hemoglobin oleh jaringan akibat gangguan perfusi.
Sehingga klinisi dapat menghindari kejadian hipotensi jauh lebih
dini.

6. Algoritma tatalaksana hipotensi pada neonatus


Terdapat beberapa mekanisme potensial yang dapat
mengakibatkan hipotensi dan/atau menurunkan aliran darah sistemik
pada hari pertama pasca-natal. Tiap mekanisme ini masing-masing
perlu dipertimbangkan ketika merencanakan terapi yang tepat:
• Tertundanya adaptasi miokardium imatur terhadap peningkatan
yang tiba-tiba dari resistensi vaskular sistemik yang muncul saat
lahir (disfungsi miokard transient)
• Vasodilatasi perifer dan hiperdinamik fungsi miokard terutama
pada bayi berat lahir sangat rendah yang dilahirkan oleh ibu
koriamnionitis
• Depresi perinatal dengan disfungsi miokard sekunder dan/atau
vasoregulasi perifer yang abnormal.

6.1 Prinsip tatalaksana hipotensi pada neonatus


Berikut adalah algoritma tatalaksana hipotensi pada neonatus
adalah memastikan curah jantung normal dan mencukupi

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 125
kebutuhan sirkulasi organ-organ target. Bila di dapati tekanan
darah di bawah batas normal, pastikan bukan karena faktor
eksternal seperti overdistensi paru atau kesalahan pengukuran.
Setelah itu dibutuhkan pengukuran curah jantung sistemik (left
ventricular cardiac output/LVO) menggunakan echocardiography.
Curah jantung kiri diukur dengan menggunakan rumus:

LVO = ¼ x ∏ x Diameter aorta2 x Volume time intergral

Diameter aorta diukur melalui potongan paraseternal long


aksis, sementara volume time integral diukur menggunakan
potongan apical 5 chamber menggunakan PW dopler. Jika
didapati peningkatan LVO, maka harus dievaluasi apakah terdapat
PDA significant. Pemberian Paracetamol atau ibuprofen jika
didapati PDA significant sebagai penyebab hipotensi. Jika tidak
terdapat PDA, maka hipotensi dapat disebabkan penurunan
resistensi vascular sistemik, oleh karena itu dopamine menjadi
pilihan utama. JIka didapati LVO rendah, maka focus tatalaksana
adalah mencari akar masalah LVO yang rendah, jika masalahnya
di Preload, maka volume expander menjadi pilihan terapi. Jika
gangguan kontraktilitas yang menjadi penyebab rendahnya LVO,
maka dobutamin atau milrinon menjadi pilihan utama. Jika LVO
normal, maka dibutuhkan pemeriksaan kecukupan aliran darah ke
target organ menggunakan NIRS serebral. JIka saturasi otak
CrSO2 dibawah nilai normal, maka perbaiki penyebab gangguan
sirkulasi lokal organ target. Hipokapnia (pCO2<35 mmHg dan
hipoksia pO2 <50 mmHg dapat menyebabkan vasokontriksi lokal).
Pastikan Tekanan darah rata-rata >30 mmHg dengan
menambahkan dopamin dosis sedang. Algoritma lengkap
tatalaksana hipotensi pada bayi prematur dijelaskan dalam
Gambar 1.

th
126 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Gambar 1. Algoritma tatalaksana hipotensi pada bayi prematur

Dalam survei di Eropa mengenai dukungan sirkulasi pada


neonatus,43 intervensi lini pertama yang sering dilakukan adalah
volume expander (85%), dopamin (62%), dubutamin (18%),
kombinasi dopamin dan dobutamin (18%), epinefrin (2%), dan
norephinerin (1%). Intervensi serupa juga digunakan sebagai lini
kedua dengan frekuensi yang bervariasi; meskipun, steroid (10%)
dan milrinone (1%) juga digunakan sebagai terapi lini kedua.

6.2 Volume expander


Volume expander merupakan terapi yang paling sering
digunakan dalam tatalaksana hipotensi, meskipun hipovolemia
jarang terjadi dan masih sedikit bukti ilmiah mengenai efek volume
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 127
expander pada bayi normovolemik. Volume expander akan
meningkatkan preload jantung. Efek selanjutnya bergantung pada
seberapa lama volume expander ini berada dalam sirkulasi.
Volume expander akan didistribusikan ke ekstravaskular dan
mengakibatkan terjadinya edema interstitial pada paru dan organ
lain. Volume expander yang berlebihan pada bayi prematur
berkaitan dengan angka mortalitas yang tinggi.
Studi menunjukan bahwa volume expander pada bayi
prematur yang mengalami hipotensi hanya memiliki sedikit efek
pada tekanan darah.44 Salah satu studi pada bayi prematur
dengan aliran darah sistemik yang rendah menunjukan ada
peningkatan yang cepat dari aliran darah sistemik tetapi tidak
dipelajari berapa lama peningkatan ini bertahan.44 Aliran darah
serebral pada bayi prematur yang mengalami hipotensi, yang
dipelajari dari ekstraksi xenon atau near infrared spectroscopy
(NIRS),45 tampaknya tidak mengalami peningkatan volume secara
konsisten. Uji klinis mengenai terapi volume expander dini pada
bayi prematur dengan fresh frozen plasma atau salin isotonis
menunjukan tidak ada perbedaan luaran klinis jika dibandingkan
dengan mereka yang tidak menerima intervensi apapun.46
Walaupun demikian, penundaan penjepitan tali pusat sepertinya
akan memberikan keuntungan, sebagai bagian dari volume
expander rutin dengan tambahan darah 10 sampai 20 mL/kg.
Bukti yang mengarahkan kita untuk menentukan jenis
cairan apa yang digunakan dalam volume expander tidaklah
menunjukan hasil yang konsisten. Dua uji coba kecil pada bayi
prematur menunjukan tidak ada perbedaan antara salin isotonis
dan albumin 5% dalam memperbaiki tekanan darah.47 Uji klinis
dengan sampel besar menunjukan bahwa bayi prematur hipotensi
yang diberikan albumin 5% lebih memungkinkan untuk mencapai
tekanan darah normal dan lebih jarang diberikan vasopresor
dibandingkan mereka yang diberikan salin.48

6.3 Dopamin
Dopamin merupakan hormon katekolamin alami yang
merupakan prekursor noradrenalin. Efek klinis dopamin sangat
bergantung pada dosis. Pada dosis rendah (2 sampai 4
µg/kg/menit), dopamin menstimulasi reseptor dopaminergik yang
menyebabkan vasodilatasi pada sistem arteri koroner, renal dan
th
128 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
mesenterika. Pada dosis sedang (5 sampai 10 µg/kg/menit),
dopamin meningkatkan kontraktilitas miokardium dan laju jantung
dengan menstimulasi reseptor β1, β2, dan α. Pada dosis tinggi (10
sampai 20 µg/kg/menit), dopamin menstimulasi α-adrenergik
pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh
darah sistemik dan mungkin juga pulmonal.
Dalam beberapa uji klinis yang meneliti efek dopamin
terhadap dengan tekanan darah, disimpulkan bahwa dopamin
lebih efektif dibandingkan volume expander atau dobutamin dalam
meningkatkan tekanan darah dan kemampuannya setara dengan
epinefrin, steroid, dan vasopresin. Efek dopamin pada peningkatan
tekanan darah lebih diakibatkan karena efek vasopresornya.
Sayangnya, bukti ilmiah mengenai dampak pemberian dopamin
pada aliran darah sistemik dan serebral neonatus masih tidak
konsisten. Dalam sebuah studi kohort pada bayi prematur maupun
cukup bulan yang mengalami asfiksia, dopamin pada dosis antara
4 dan 10 µg/kg/menit dapat meningkatkan curah jantung.49 Zhang
dkk. menunjukan tidak adanya dampak yang signifikan dopamin
terhadap curah jantung bayi prematur yang mengalami hipotensi.50
Sementara, Roze dkk. menunjukan penurunan curah ventrikel kiri
dengan pemberian dosis dopamin yang cukup untuk
menormalisasi tekanan darah.51 Osborn dkk. menyimpulkan tidak
ada perubahan pada aliran darah vena cava superior (VCS)
dengan pemberian dopamin meskipun terjadi peningkatan yang
signifikan pada tekanan darah.44 Studi ini menunjukan terjadi
peningkatan tegangan dinding LV (saat afterload) ketika terjadi
peningkatan dosis dopamin dari 10 menjadi 20 µg/kg/menit, yang
sejalan dengan efek α-adrenergik.52 Tidak ada bukti bahwa
vasokonstriksi ini akan mengganggu aliran darah serebral secara
signifikan. Studi pada bayi prematur yang mengalami hipotensi
dan menggunakan NIRS sebagai pengganti penanda aliran darah
serebral, menunjukan bahwa tidak terjadi perubahan aliran darah
serebral setelah pemberian dopamin.
Lie dkk. menunjukan berbagai dampak pada rasio tekanan
sistemik-terhadap-pulmonal, tetapi secara keseluruhan tidak ada
perubahan pada rasio tersebut.53 Bouissou dkk. menunjukan
bahwa pemberian dopamin 8 µg/kg/menit akan meningkatkan
tekanan arteri pulmonal. Mereka juga menunjukan adanya

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 129
peningkatan pada aliran VCS, yang diduga dapat berkaitan
dengan menurunnya pirau PDA.
Singkatnya, dopamin dapat diandalkan dalam
meningkatkan tekanan darah, dan mungkin kejadian ini
diakibatkan karena peningkatan resistensi pembuluh darah
sistemik, bukan aliran darah sistemik. Bukti klinis menunjukan
dopamin mungkin meningkatkan aliran darah serebral tetapi dosis
yang tinggi dari dopamin harus diberikan secara hati-hati, karena
akan peningkatan afterload yang tinggi baik pada sirkulasi sistemik
maupun pulmonal sehingga memiliki efek membahayakan. Selain
itu dopamin memiliki efek yang lebih luas pada organ lain,
termasuk efeknya dalam inhibisi produksi thyroid stimulating
hormone pada hipofisis.

6.4 Dobutamin
Dobutamin merupakan katekolamin sintetik yang
dimodifikasi dari isoprenalin untuk mengurangi efek
kronotropiknya. Dobutamin memiliki waktu paruh sekitar 2 menit
pada anak dan dewasa dan b pada bekerja pada reseptor β1 dan
β2 dengan hanya sedikit efek pada reseptor α, yang akan
menyebabkan peningkatan kontraktilitas miokardium dan laju
jantung serta sedikit penurunan pada resisestensi pembuluh darah
perifer. Mungkin efek vasodilatasi ini yang mengakibatkan banyak
studi menyatakan bahwa dobutamin tidak sebaik dopamin dalam
memperbaiki tekanan darah pada bayi prematur yang mengalami
hipotensi. Namun, pada beberapa studi yang telah melakukan
perhitungan efek tersebut, dobutamin tampaknya lebih baik
dibandingkan dopamin dalam memperbaiki tekanan darah.44 Satu
uji coba acak yang membandingkan dobutamin dengan plasebo
pada bayi dengan aliran darah sistemik yang rendah menunjukan
aliran darah sistemik membaik pada kedua kelompok; meskipun,
marker perfusi lainnya secara signifikan lebih baik pada bayi yang
diberikan dobutamin.54 Studi ini tidak dapat menunjukan
perbedaan atau perubahan pada penanda NIRS dari aliran darah
serebral baik dengan dobutamin maupun plasebo. Studi
observasional lainnya menunjukan adanya dampak dari
pemberian dobutamin pada penanda Doppler dari aliran darah
organ dan juga aliran darah serebral,55 tetapi efek plasebo dalam
studi yang dilakukan oleh Bravo dkk.54 mengingatkan kita bahwa
th
130 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
banyak dari parameter aliran darah akan membaik secara spontan
setelah bayi-bayi prematur ini berusia 12 jam. Efek dari dobutamin
juga bergantung terhadap dosis, dengan dosis yang kecil (<5
µg/kg/menit) dobutamin memiliki efek yang kecil namun ketika
dosis ditingkatkan menjadi 5 sampai 20 µg/kg/menit Osborn dkk.
dalam studinya menunjukan penurunan yang kontinyu tegangan
dinding LV (saat afterload) sehingga mengakibatan rendahnya
aliran darah sistemik. Namun efek dari dobutamin ini tampaknya
tidak efektif saat hipotensi terjadi karena proses vasodilatasi.

6.5 Epinefrin (Adrenalin)


Serupa dengan dopamin, efek epinefrin juga bergantung
pada dosis. Dengan dosis yang (0,01–0,1 µg/kg/menit) epinefrin
secara utama menstimulasi adrenoreseptor-β1 dan β2 pada
jantung dan pembuluh darah, dan mengakibatkan peningkatan
inotropik, kronotropik, dan kecepatan konduksi bersamaan dengan
vasodilatasi pembuluh darah perifer. Efek inotropic dari epinefrin
lebih superior dibandingkan dopamin. Pada dosis yang lebih besar
dari 0,1 µg/kg/menit, epinefrin menstimulasi reseptor α1 jantung
dan pembuluh darah sehingga menyebabkan vasokonstriksi dan
peningkatan inotropik. Hanya ada sedikit studi mengenai efek
hemodinamik dari epinefrin pada bayi baru lahir. Sebuah uji coba
terkontrol mengenai dopamin dan epinefrin pada bayi prematur
menunjukan efek yang serupa dalam perbaikan tekanan darah
dan indeks oksigenasi serebral pada kedua kelompok, meskipun
kelompok yang mendapat epinefrin memiliki laktat serum dan
insidensi hiperglikemia yang secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan mereka yang mendapat dopamin.56 Hal ini
diakibatkan karena efek metabolik epinefrin melalui mekanisme
stimulasi adrenoreseptor-β2 yang diinduksi oleh obat-obatan pada
liver dan otot rangka, menghasilkan penurunan pelepasan insulin
dan peningkatan glikogenolisis, yang kemudian memicu
peningkatan produksi laktat, secara berurutan.
Singkatnya, efek vasokonstriksi dari epinefrin menjadikan
obat ini cocok untuk tatalaksana hipotensi akibat vasodilatasi
sistemik. Sama seperti pada dopamin, pemberian dosis tinggi dari
epinefrin harus dilakukan dengan hati-hati karena risiko terjadinya
peningkatan afterload.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 131
6.6 Norepinefrin (Noradrenalin)
Norepinefrin merupakan amino simpatomimetik yang
muncul secara alami dan memiliki efek agonis yang kuat pada
reseptor-α namun sedikit efek stimulasi pada reseptor β2.
Norepinefrin dikatakan memiliki kemampuan vasokonstriktor yang
poten. Tidak ada bukti dari uji klinis dan hanya sedikit data studi
observasional mengenai penggunaan norepinefrin pada bayi baru
lahir. Sebuah studi retrospektif mengenai penggunaan norepinefrin
pada 48 bayi yang lahir sebelum usia gestasi 33 minggu
menunjukan normotensi dapat dicapai pada semua bayi kecuali
satu bayi dengan pemberian norepinefrin pada dosis 0,5
µg/kg/menit. Selain takikardia (pada 31%), tidak ada efek samping
segera yang timbul. Satu studi kohort menunjukan terjadi
perbaikan tekanan darah setelah pemberian norepinefrin pada
bayi cukup bulan yang mengalami syok septik yang refrakter
terhadap pemberian dopamin dan dobutamin.57 Studi
observasional pada bayi cukup bulan dengan hipertensi pulmonal
menyatakan bahwa norepinefrin memiliki efek yang
menguntungkan baik pada hemodinamik sistemik maupun
pulmonal karena norepinefrin memicu vasokonstiksi pembuluh
darah sistemik namun vasodilatasi pembuluh darah pulmonal.58
Tidak ada data mengenai keamanan jangka panjang dari
penggunaan norepinefrin, tetapi ia mungkin berperan dalam syok
yang refrakter terhadap vasodilator dan bayi baru lahir dengan
hipertensi pulmonal (PPHN) dan hipotensi.

6.7 Vasopresin
Vasopresin merupakan hormon alami yang secara utama
berperan dalam regulasi osmolaritas ekstraselular, meskipun ia
juga memiliki peran dalam mengatur fungsi kardiovaskular.
Vasopresin memiliki efek vasokonstriksi yang poten, dan efeknya
inilah yang digunakan dalam terapi hipotensi. Ada satu uji coba
acak (n = 20) yang membandingkan dopamin dengan vasopresin
pada bayi prematur yang mengalami hipotensi.59 Hasil dari studi ini
terbatas pada parameter fisiologis dan kedua agen memiliki efek
yang serupa dalam meningkatkan tekanan darah, meski
vasopresin memiliki efek takikardia yang lebih minimal. Selain itu
terdapat sebuah studi kasus mengenai perbaikan tekanan darah
pada bayi prematur dengan hipotensi yang refrakter inotropik.60
th
132 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Ada bukti dari studi hewan bahwa vasopresin juga memiliki efek
vasodilatasi pada pembuuh darah pulmonal.61 Hal ini sesuai
dengan laporan observasional mengenai penggunaan vasopresin
pada 10 bayi dengan PPHN refrakter terhadap inhalasi nitrit oksida
(iNO).62 Infus vasopresin memperbaiki tekanan darah,
menurunkan indeks oksigenasi, dan memperbaiki produksi urin.
Tidak ada cukup bukti mengenai keamanan dari penggunaan
vasopresin secara rutin, tetapi ia mungkin memiliki peran dalam
mengobati vasodilatorik syok refrakter terhadap vasopresor-
inotropik.

6.8 Milrinone
Milrinone merupakan inhibitor fosfodiesterase-3 yang
menghambat degradasi siklik adenosin monofosfat (cAMP).
Dengan meningkatkan konsentrasi cAMP, milrinone memperkuat
kontraktilitas miokardium, memicu relaksasi miokardium, dan
menurunkan tonus pembuluh darah dalam sirkulasi sistemik
maupun pulmonal. Milrinone diketahui dapat mencegah dan
mengobati sindrom low-cardiac-output (LCOS) yang terjadi setelah
operasi bypass jantung. Sebuah uji coba acak terkontrol
menunjukan bahwa milrinone secara signifikan menurunkan
kejadian LCOS pada neonatus maupun anak-anak.63 Kemiripan
aliran darah sistemik antara LCOS dan postnatal drop pada bayi
prematur mengakibatkan milrinone dipilih untuk mencegah
hipotensi pada bayi prematur.64 Sebuah studi menunjukan tidak
ada perbedaan insidensi hipotensi pada penggunaan milrinone
dibandingkan dengan plasebo, meskipun milrinone meningkatkan
kebutuhan inotropik-vasopresor untuk mendukung tekanan darah
dan tampaknya secara perlahan mengkonstriksi duktus arteriosus.
Dalam penelitian ini juga ditemukan fakta mengenai farmakokinetik
milrinone yang mengalami pemanjangan waktu paruh pada bayi
prematur dibandingkan bayi cukup bulan (10 jam vs 4 jam).65
Komponen penurunan afterload dari milrinone diteliti dalam studi
observasional yang menduga bahwa milrinon dapat mencegah
efek negatif dari afterload setelah ligasi PDA pada bayi prematur.66
Komponen vasodilatasi pulmonal juga dapat menjelaskan
pengamatan mengenai perbaikan oksigenasi dan hemodinamik
pada bayi dengan PPHN yang refrakter terhadap iNO.67 Milrinone
mungkin memiliki peran dalam manajamen hemodinamik yang
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 133
berkaitan dengan vasokonstriksi pulmonal dan sistemik, tetapi
tidak cukup data mengenai keamanan penggunaannya. Milrinone
harus digunakan secara hati-hati pada bayi prematur karena waktu
paruhnya yang lama dan risiko hipotensi.

6.9 Hidrokortison
Dalam ulasan terbaru dari dukungan sirkulasi di Amerika
Serikat,68 hidrokortison disebut sebagai obat kedua setelah
dopamin yang paling sering digunakan pada bayi dengan berat
lahir sangat rendah (dopamin 83% vs hidrokortison 33%). Tidak
banyak diketahui mengenai dampak hemodinamik hidrokortison
selain dampaknya pada tekanan darah, dan hanya ada sedikit
informasi mengenai efek jangka panjangnya ketika digunakan
secara dini untuk memperbaiki tekanan darah. Bouchier dkk.
dalam uji coba acaknya pada bayi prematur yang mengalami
hipotensi mendapati bahwa hidrokortison dan dopamin memiliki
efek yang serupa pada tekanan darah.69 Ng dkk. melakukan uji
coba acak pada bayi prematur yang membutuhkan dopamin lebih
dari 10 µg/kg/menit digantikan dengan hidrokortison atau plasebo
dan ia menunjukan bahwa terjadi weaning inotropik yang lebih
cepat pada mereka yang diterapi hidrokortison.70 Effird dkk.
melakukan uji coba acak pula pada bayi prematur, dan membagi
bayi-bayi ini kedalam dua kelompok yaitu hidrokortison atau
plasebo. Dari studinya ia mengkonfirmasi bahwa penggunaan
vasopresor berkurang dengan pemberian hidrokortison.71 Hanya
ada satu studi yang melihat efek hemodinamik hidrokortison, yaitu
sebuah studi kohort pada 15 bayi prematur dan 5 bayi cukup bulan
yang mengalami hipotensi dan membutuhkan dopamin dosis tinggi
yang dilakukan oleh Boori dkk. Dalam studinya ini, ia menunjukan
bahwa efek segera dari hidrokortison pada tekanan darah
dimediasi melalui peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik
tanpa adanya perubahan dalam curah jantung dan isi sekuncup.
Bagaimanapun, nantinya, dengan weaning pada dopamin, akan
ada peningkatan dalam curah jantung dan isi sekuncup.72
Tidak ada salah satu dari studi ini yang melihat efek jangka
panjang dari hidrokortison, dan ulasan Cochrane terbaru
mengenai kortikosteroid untuk mengatasi hipotensi pada bayi
prematur yang sangat membutuhkan penanganan, menyimpulkan
bahwa: “Karena kurangnya data keamanan dan keuntungan
th
134 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
jangka panjang, steroid tidak direkomendasikan digunakan secara
rutin untuk terapi hipotensi pada bayi prematur.73 Selain itu, ada
bukti bahwa terjadi peningkatan risiko perforasi gastrointestinal,
terutama saat penggunaan hidrokortison bersama indomethacin.
Sehingga disarankan untuk tidak menggunakan kedua obat ini
secara bersamaan.

Daftar Pustaka
1. Lee J, Rajadurai VS, Tan KW. Blood pressure standards for very low
birthweight infants during the first day of life. Archives of Disease in
Childhood - Fetal and Neonatal Edition. 1999 Nov 1;81(3):F168–70.
2. Watkins AMC, West CR, Cooke RWI. Blood pressure and cerebral
haemorrhage and ischaemia in very low birthweight infants. Early Human
Development. 1989 May;19(2):102–10.
3. Darnall R. Blood-pressure monitoring. In: Physiological Monitoring and
Instrument Diagnosis in Perinatal and Neonatal Medicine. Cambridge:
University Press; 1995. p. 246–66.
4. Korotkoff N. On methods of studying blood pressure. Bull Imperial Mil
Med Acad. 1905;11:365–7.
5. Cunningham S, Symon A, McIntosh N. Changes in mean blood pressure
caused by damping of the arterial pressure waveform. Early Human
Development. 1994;36(1):27–30.
6. Versmold T, Kitterman A, Phibbs H. Aortic Blood Pressure During the
First 12 Hours of Life in Infants with Birth Weight 610 to 4,220 Grams. :9.
7. Spinazzola RM, Harper RG, de Soler M, Lesser M. Blood pressure values
in 500- to 750-gram birthweight infants in the first week of life. Journal of
Perinatology. 1991;11(2):147–51.
8. Hegyi T, Carbone MT, Anwar M, Ostfeld B, Hiatt M, Koons A, et al. Blood
pressure ranges in premature infants. I. The first hours of life. The Journal
of Pediatrics. 1994;124(4):627–33.
9. Kent AL, Kecskes Z, Shadbolt B, Falk MC. Normative blood pressure data
in the early neonatal period. Pediatric Nephrology. 2007 Sep;22(9):1335–
41.
10. Kent AL, Meskell S, Falk MC, Shadbolt B. Normative blood pressure data
in non-ventilated premature neonates from 28-36 weeks gestation.
Pediatric Nephrology. 2009 Jan;24(1):141–6.
11. Bada HS, Korones SB, Perry EH, Arheart KL, Ray JD, Pourcyrous M, et
al. Mean arterial blood pressure changes in premature infants and those
at risk for intraventricular hemorrhage. The Journal of Pediatrics. 1999
Oct;117(4):607–14.
12. Munro MJ, Walker AM, Barfield CP. Hypotensive Extremely Low Birth
Weight Infants Have Reduced Cerebral Blood Flow. PEDIATRICS. 2004
Dec 1;114(6):1591–6.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 135
13. Faust K, Härtel C, Preuß M, Rabe H, Roll C, Emeis M, et al. Short-term
outcome of very-low-birthweight infants with arterial hypotension in the
first 24 h of life. Archives of Disease in Childhood - Fetal and Neonatal
Edition. 2015 Sep;100(5):F388–92.
14. Moise AA, Wearden ME, Kozinetz CA, Gest AL, Welty SE, Hansen TN.
Antenatal steroids are associated with less need for blood pressure
support in extremely premature infants. Pediatrics. 1995 Jun;95(6):845–
50.
15. Demarini S, Dollberg S, Hoath SB, Ho M, Donovan EF. Effects of
Antenatal Corticosteroids on Blood Pressure in Very Low Birth Weight
Infants During the First 24 Hours of Life. Journal of Perinatology. 1999
Sep;19(6):419–25.
16. Elimian A. Antenatal corticosteroids: are incomplete courses beneficial?
Obstetrics & Gynecology. 2003 Aug;102(2):352–5.
17. Elimian A, Garry D, Figueroa R, Spitzer A, Wiencek V, Quirk JG.
Antenatal Betamethasone Compared With Dexamethasone (Betacode
Trial): A Randomized Controlled Trial. Obstetrics & Gynecology. 2007
Jul;110(1):26–30.
18. Rabe H, Diaz-Rossello JL, Duley L, Dowswell T. Effect of timing of
umbilical cord clamping and other strategies to influence placental
transfusion at preterm birth on maternal and infant outcomes. Cochrane
Pregnancy and Childbirth Group, editor. Cochrane Database of
Systematic Reviews [Internet]. 2012 Aug 15 [cited 2019 Feb 14];
Available from: http://doi.wiley.com/10.1002/14651858.CD003248.pub3
19. Sommers R, Stonestreet BS, Oh W, Laptook A, Yanowitz TD, Raker C, et
al. Hemodynamic Effects of Delayed Cord Clamping in Premature Infants.
PEDIATRICS. 2012 Mar 1;129(3):e667–72.
20. Popat H, Robledo KP, Sebastian L, Evans N, Gill A, Kluckow M, et al.
Effect of Delayed Cord Clamping on Systemic Blood Flow: A Randomized
Controlled Trial. The Journal of Pediatrics. 2016 Nov;178:81-86.e2.
21. Katheria AC, Leone TA, Woelkers D, Garey DM, Rich W, Finer NN. The
Effects of Umbilical Cord Milking on Hemodynamics and Neonatal
Outcomes in Premature Neonates. The Journal of Pediatrics. 2014
May;164(5):1045-1050.e1.
22. Al-Wassia H, Shah PS. Efficacy and Safety of Umbilical Cord Milking at
Birth: A Systematic Review and Meta-analysis. JAMA Pediatrics. 2015
Jan 1;169(1):18.
23. Katheria AC, Truong G, Cousins L, Oshiro B, Finer NN. Umbilical Cord
Milking Versus Delayed Cord Clamping in Preterm Infants. PEDIATRICS.
2015 Jul 1;136(1):61–9.
24. Kluckow M, Evans N. Relationship between blood pressure and cardiac
output in preterm infants requiring mechanical ventilation. The Journal of
Pediatrics. 1996 Oct;129(4):506–12.
25. de Waal KA, Evans N, Osborn DA, Kluckow M. Cardiorespiratory effects
of changes in end expiratory pressure in ventilated newborns. Archives of
Disease in Childhood - Fetal and Neonatal Edition. 2007 Nov
1;92(6):F444–8.

th
136 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
26. Lakkundi A, Wright I, de Waal K. Transitional hemodynamics in preterm
infants with a respiratory management strategy directed at avoidance of
mechanical ventilation. Early Human Development. 2014 Aug;90(8):409–
12.
27. Göpel W, Kribs A, Ziegler A, Laux R, Hoehn T, Wieg C, et al. Avoidance
of mechanical ventilation by surfactant treatment of spontaneously
breathing preterm infants (AMV): an open-label, randomised, controlled
trial. The Lancet. 2011 Nov;378(9803):1627–34.
28. Hall RW. Morphine, Hypotension, and Adverse Outcomes Among Preterm
Neonates: Who’s to Blame? Secondary Results From the NEOPAIN Trial.
PEDIATRICS. 2005 May 1;115(5):1351–9.
29. Strozik KS, Pieper CH, Roller J. Capillary refilling time in newborn babies:
normal values. Archives of Disease in Childhood - Fetal and Neonatal
Edition. 1997 May 1;76(3):F193–6.
30. Schriger DL, Baraff L. Defining normal capillary refill: Variation with age,
sex, and temperature. Annals of Emergency Medicine. 1988
Sep;17(9):932–5.
31. Tibby SM, Hatherill M, Murdoch IA. Capillary refill and core-peripheral
temperature gap as indicators of haemodynamic status in paediatric
intensive care patients. Archives of Disease in Childhood. 1999 Feb
1;80(2):163–6.
32. Osborn DA. Clinical detection of low upper body blood flow in very
premature infants using blood pressure, capillary refill time, and central-
peripheral temperature difference. Archives of Disease in Childhood -
Fetal and Neonatal Edition. 2004 Mar 1;89(2):168F – 173.
33. Linshaw MA. Concentration of the urine. In: Fetal and neonatal
physiology. Philadelphia: Saunders; 1998. p. 1634–58.
34. Miletin J, Pichova K, Dempsey EM. Bedside detection of low systemic
flow in the very low birth weight infant on day 1 of life. European Journal
of Pediatrics. 2009 Jul;168(7):809–13.
35. Cady LJ, Weil MH, Afifi A. Quantitation of severity of critical illness with
special reference to blood lactate. Critical Care Medicine. 1973;1(2):75–
80.
36. Beca JP, Scopes JW. Serial Determinations of Blood Lactate in
Respiratory Distress Syndrome. Archives of Disease in Childhood. 1972
Aug 1;47(254):550–7.
37. Butt W, Hilary W. Blood pressure monitoring in neonates: comparison of
umbilical and peripheral artery catheter measurements. The Journal of
Pediatrics. 1984 Oct;105(4):630–2.
38. Nuntnarumit P, Yang W, Bada-Ellzey HS. Blood pressure measurements
in the newborn. Clinics in Perinatology. 1999 Dec;26(4):962–96.
39. Walther J, Siassi B, Ramadan A, Ananda K, Wu PVK. Pulsed Doppler
Determinations of Cardiac Output in Neonates: Normal Standards for
Clinical Use. :7.
40. Groves AM. Cardiac magnetic resonance in the study of neonatal
haemodynamics. Seminars in Fetal and Neonatal Medicine. 2011
Feb;16(1):36–41.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 137
41. Stark MJ, Clifton VL, Wright IMR. Microvascular flow, clinical illness
severity and cardiovascular function in the preterm infant. Archives of
Disease in Childhood - Fetal and Neonatal Edition. 2007 Apr
3;93(4):F271–4.
42. Takahashi S, Kakiuchi S, Nanba Y, Tsukamoto K, Nakamura T, Ito Y. The
perfusion index derived from a pulse oximeter for predicting low superior
vena cava flow in very low birth weight infants. Journal of Perinatology.
2010 Apr;30(4):265–9.
43. Stranak Z, Barrington K, O’Donnell C, Marlow N, Naulaers G, Dempsey E.
International survey on diagnosis and management of hypotension in
extremely preterm babies. European Journal of Pediatrics. 2014
Jun;173(6):793–8.
44. Osborn D, Evans N, Kluckow M. Randomized trial of dobutamine versus
dopamine in preterm infants with low systemic blood flow. The Journal of
Pediatrics. 2002 Feb;140(2):183–91.
45. Kooi EMW, van der Laan ME, Verhagen EA, Van Braeckel KNJA, Bos
AF. Volume Expansion Does Not Alter Cerebral Tissue Oxygen Extraction
in Preterm Infants with Clinical Signs of Poor Perfusion. Neonatology.
2013;103(4):308–14.
46. Da O, Nj E. Early volume expansion for prevention of morbidity and
mortality in very preterm infants. 2009;31.
47. Oca MJ, Nelson M, Donn SM. Randomized Trial of Normal Saline versus
5% Albumin for the Treatment of Neonatal Hypotension. Journal of
Perinatology. 2003 Sep;23(6):473–6.
48. Lynch SK, Mullett MD, Graeber JE, Polak MJ. A comparison of albumin-
bolus therapy versus normal saline-bolus therapy for hypotension in
neonates. Journal of Perinatology. 2008 Jan;28(1):29–33.
49. Walther FJ, Siassi B, Ramadan NA, Wu PY-K. Cardiac output in newborn
infants with transient myocardial dysfunction. The Journal of Pediatrics.
1985 Nov;107(5):781–5.
50. Zhang J, Penny DJ, Kim NS, Yu VYH, Smolich JJ. Mechanisms of blood
pressure increase induced by dopamine in hypotensive preterm neonates.
Archives of Disease in Childhood - Fetal and Neonatal Edition. 1999 Sep
1;81(2):F99–104.
51. Roze JC, Tohier C, Maingueneau C, Lefevre M, Mouzard A. Response to
dobutamine and dopamine in the hypotensive very preterm infant.
Archives of Disease in Childhood. 1993 Jul 1;69(1 Spec No):59–63.
52. Osborn DA, Evans N, Kluckow M. Left Ventricular Contractility in
Extremely Premature Infants in the First Day and Response to Inotropes.
Pediatric Research. 2007 Mar;61(3):335–40.
53. Liet J-M, Boscher C, Gras-Leguen C, Gournay V, Debillon T, Rozé J-C.
Dopamine effects on pulmonary artery pressure in hypotensive preterm
infants with patent ductus arteriosus. The Journal of Pediatrics. 2002
Mar;140(3):373–5.
54. Bravo MC, López-Ortego P, Sánchez L, Riera J, Madero R, Cabañas F,
et al. Randomized, Placebo-Controlled Trial of Dobutamine for Low

th
138 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Superior Vena Cava Flow in Infants. The Journal of Pediatrics. 2015
Sep;167(3):572-578.e2.
55. Robel-Tillig E, Knüpfer M, Pulzer F, Vogtmann C. Cardiovascular impact
of dobutamine in neonates with myocardial dysfunction. Early Human
Development. 2007 May;83(5):307–12.
56. Pellicer A. Cardiovascular Support for Low Birth Weight Infants and
Cerebral Hemodynamics: A Randomized, Blinded, Clinical Trial.
PEDIATRICS. 2005 Jun 1;115(6):1501–12.
57. Tourneux P, Rakza T, Abazine A, Krim G, Storme L. Noradrenaline for
management of septic shock refractory to fluid loading and dopamine or
dobutamine in full-term newborn infants. Acta Paediatrica. 2008
Feb;97(2):177–80.
58. Tourneux P, Rakza T, Bouissou A, Krim G, Storme L. Pulmonary
Circulatory Effects of Norepinephrine in Newborn Infants with Persistent
Pulmonary Hypertension. The Journal of Pediatrics. 2008
Sep;153(3):345–9.
59. Rios DR, Kaiser JR. Vasopressin versus Dopamine for Treatment of
Hypotension in Extremely Low Birth Weight Infants: A Randomized,
Blinded Pilot Study. The Journal of Pediatrics. 2015 Apr;166(4):850–5.
60. Bidegain M, Greenberg R, Simmons C, Dang C, Cotten CM, Smith PB.
Vasopressin for Refractory Hypotension in Extremely Low Birth Weight
Infants. The Journal of Pediatrics. 2010 Sep;157(3):502–4.
61. Walker BR, Haynes J, Wang HL, Voelkel NF. Vasopressin-induced
pulmonary vasodilation in rats. American Journal of Physiology-Heart and
Circulatory Physiology. 1989 Aug;257(2):H415–22.
62. Mohamed A, Nasef N, Shah V, McNamara PJ. Vasopressin as a Rescue
Therapy for Refractory Pulmonary Hypertension in Neonates: Case
Series. Pediatric Critical Care Medicine. 2014 Feb;15(2):148–54.
63. Hoffman TM, Wernovsky G, Atz AM, Kulik TJ, Nelson DP, Chang AC, et
al. Efficacy and Safety of Milrinone in Preventing Low Cardiac Output
Syndrome in Infants and Children After Corrective Surgery for Congenital
Heart Disease. Circulation. 2003 Feb 25;107(7):996–1002.
64. Paradisis M, Evans N, Kluckow M, Osborn D. Randomized Trial of
Milrinone Versus Placebo for Prevention of Low Systemic Blood Flow in
Very Preterm Infants. The Journal of Pediatrics. 2009 Feb;154(2):189–95.
65. Paradisis M, Jiang X, McLachlan AJ, Evans N, Kluckow M, Osborn D.
Population pharmacokinetics and dosing regimen design of milrinone in
preterm infants. Archives of Disease in Childhood - Fetal and Neonatal
Edition. 2007 May 1;92(3):F204–9.
66. EL-Khuffash AF, Jain A, Weisz D, Mertens L, McNamara PJ. Assessment
and Treatment of Post Patent Ductus Arteriosus Ligation Syndrome. The
Journal of Pediatrics. 2014 Jul;165(1):46-52.e1.
67. McNamara PJ, Shivananda S, Sahni M, Freeman D, Taddio A.
Pharmacology of milrinone in neonates with persistent pulmonary
hypertension of the newborn and suboptimal response to inhaled nitric
oxide. Pediatric Critical Care Medicine. 2013 Jan;14(1):74–84.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 139
68. Rios DR, Moffett BS, Kaiser JR. Trends in Pharmacotherapy for Neonatal
Hypotension. The Journal of Pediatrics. 2014 Oct;165(4):697-701.e1.
69. Bourchier D, Weston PJ. Randomised trial of dopamine compared with
hydrocortisone for the treatment of hypotensive very low birthweight
infants. Archives of Disease in Childhood - Fetal and Neonatal Edition.
1997 May 1;76(3):F174–8.
70. Ng PC. A Double-Blind, Randomized, Controlled Study of a “Stress Dose”
of Hydrocortisone for Rescue Treatment of Refractory Hypotension in
Preterm Infants. PEDIATRICS. 2006 Feb 1;117(2):367–75.
71. Efird MM, Heerens AT, Gordon PV, Bose CL, Young DA. A Randomized-
Controlled Trial of Prophylactic Hydrocortisone Supplementation for the
Prevention of Hypotension in Extremely Low Birth Weight Infants. Journal
of Perinatology. 2005 Feb;25(2):119–24.
72. Noori S, Friedlich P, Wong P, Ebrahimi M, Siassi B, Seri I. Hemodynamic
Changes After Low-Dosage Hydrocortisone Administration in
Vasopressor-Treated Preterm and Term Neonates. PEDIATRICS. 2006
Oct 1;118(4):1456–66.
73. Baud O, Maury L, Lebail F, Ramful D, El Moussawi F, Nicaise C, et al.
Effect of early low-dose hydrocortisone on survival without
bronchopulmonary dysplasia in extremely preterm infants (PREMILOC): a
double-blind, placebo-controlled, multicentre, randomised trial. The
Lancet. 2016 Apr;387(10030):1827–36.

th
140 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Current Evidence of Pharmacotherapy to Close Patent
Ductus Arteriosus in Preterm Infant

Ni Putu Veny Kartika Yantie, Eka Gunawijaya


Department of Pediatric, Medical Faculty of Udayana University,
Sanglah Hospital Denpasar, Bali

Pendahuluan
Duktus arteriosus (DA) kemungkinan mengalami penutupan
secara spontan pada hari ke-7 kehidupan pada 70% bayi dengan
berat antara 1000-1500 gram1 dan 30-50% bayi dengan berat <1000
gram.2 Patensi duktus arteriosus menyebabkan komplikasi yang cukup
sering pada bayi kurang bulan seperti sindrom distres napas yang
berujung pada gagal napas, mortalitas yang tinggi, meningkatnya
risiko perdarahan intraventrikular (IVH, intraventricular hemorrhage),
displasia bronkopulmoner (BPD, bronchopulmonary dysplasia),
enterokplitis nekrotikans (EKN), dan 60-70% bayi dengan usia
kehamilan (UK) <28 minggu menerima terapi medikamentosa atau
pembedahan sebagai tata laksana duktus arteriosus paten (DAP).3
Tata laksana terkini DAP meliputi 2 langkah yakni pertama
Farmakoterapi menggunakan obat antiinflamasi nonsteroid, dan
kedua, jika gagal dengan langkah pertama, dilakukan intervensi
pembedahan yang sebaiknya dihindari karena banyak menimbulkan
komplikasi.4 Farmakoterapi standar saat ini adalah indometasin,
ibuprofen, atau parasetamol dengan angka penutupan DAP sebesar
70-80%.5-8 Obat-obatan tersebut memiliki beberapa efek samping
seperti perdarahan saluran cerna, penurunan fungsi ginjal,
menganggu agregrasi trombosit, hiperbilirubin.9,10 Kegagalan
penutupan DAP dengan farmakoterapi akan meningkatkan risiko
penyakit paru kronis pada DAP yang signifikan (hs-PDA,
hemodinamically significant patent ductus arteriosus).11 Keberhasilan
dan keamanan terapi farmakologi menentukan pilihan obat yang akan
kita gunakan. Pemilihan farmakoterapi serta dosis berdasar efiksi dan
efek samping masih menjadi perdebatan.

Patologi and patofisiologi DAP pada bayi kurang bulan


Pada bayi kurang bulan (BKB), duktus arteriosus (DA) gagal
konstriksi beberapa hari sesudah lahir, walaupun DA berkonstriksi,
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 141
terkadang gagal mempertahankan kondisi iskemik hipoksia untuk
mencapai kondisi remodeling di arteri. Banyak BKB dengan duktus
yang telah menutup bisa membuka kembali dan menimbulkan gejala.
Tonus pembuluh darah duktus arteriosus (DA) dipengaruhi oleh
keseimbangan antara relaksasi dan kontraksi. Terdapat faktor utama
yang berperan dalam relaksasi DA yaitu tingginya kadar prostaglandin,
hipoksemia, dan produksi nitrik oksida (nitrix oxide, NO) di DA.12
Prostaglandin E2 (PGE2) memiliki peran yang cukup besar
terhadap patensi duktus. Penurunan sintesis prostaglandin (PG)
melalui inhibisi produksi siklooksigenase (cyclooxygenase/COX).13
Nitrik oksida diproduksi oleh duktus, Nitrix oxide synthase ditemukan di
sel endotel lumen duktus dan di vasa vasorum (duktus adventisia).
Duktus bayi kurang bulan lebih sensitif terhadap efek PG dan NO.
Inhibitor prostaglandin lebih efektif jika diberikan pada awal kehidupan
dibandingkan beberapa hari setelah lahir.14 Mekanisme lain terjadinya
DAP pada BKB yaitu melalui jalur yang tidak tergantung PG/NO. peran
dari mososit/makrofag ke dinding duktus dan induksi beberapa sitokin
seperti interferon gamma dan tumor nekrosis factor-alfa yang
merupakan vasodilator potensial.15
Penyebab lain terjadinya DAP adalah trombositopenia,16
abnormalitas kromosom (trisomi 21, trisomi 18, trisomi 13, sindrom
Noonan, sindrom Holt-Oram, sindrom Meckel-Gruber) dan sindrom
rubella kongenital.17

Manifestasi klinis dan diagnosis


Gejala klinis tergantung pada besarnya aliran dan kemampuan
bayi untuk melakukan kompensasi. Kondisi ini memungkinkan untuk
terjadinya gagal jantung, edema paru, dan sindrom penurunan curah
jantung. Peningkatan aliran paru dan terjadinya akumulasi cairan
berperan dalam menurunnya compliance paru. Menurunnya aliran
sistemik akibat aliran balik saat diastolik berpengaruh pada ginjal dan
usus. Hal itu menyebabkan insufisiensi ginjal, enterokolitis (terjadi
pada 5 hari sesudah lahir), perdarahan intraventrikular (terjadi pada 3
hari sesudah lahir), perdarahan paru (terjadi pada 2-3 hari sesudah
lahir) dan iskemia otot jantung.12,18
Beberapa kriteria (hemodinamik, respirasi, digestif) secara
klinis dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis hs-PDA, namun
implementasinya masih bervariasi (Gambar 1). Kriteria hemodinamik
yaitu tekanan darah diastolik rendah, tekanan darah sistemik rendah,
th
142 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
bounding pulse, bising jantung sistolik, takikardia, hiperaktivitas
prekordial, dan bradikardia yang tidak dapat dijelaskan. Kriteria
respirasi yaitu perdarahan paru, gagal napas, parameter ventilasi
meningkat, dan kesulitan penyapihan. Kriteria digestif berupa kesulitan
minum, perdarahan saluran cerna, dan gangguan saluran cerna
lainnya.19

Gambar 1. Persentase penggunaan kriteria klinis hs-PDA.19

Diagnosis hs-PDA pada awal kelahiran ditegakkan


berdasarkan gambaran ekokardiografi untuk kepentingan pengobatan
dalam keberhasilan penutupan DAP terutama pada bayi kurang bulan.
Standar kriteria ekokardiografi yang digunakan dalam menegakkan
diagnosis hs-PDA, yakni 1) rasio atrium kiri/aorta (LA/Ao) ≥1,4, 2)
pembesaran ventrikel kiri, 3) aliran balik holodiastolik pada descending
aorta ≥0,5 meter/detik, 4) turbulensi pada saat sistolik dan diastolik
pada pemeriksaan doppler di arteri pulmonalis, dan 5) diameter duktus
yang bermakna (≥1,4 mm/kg). Baku emas yang digunakan untuk
perlunya intervensi DAP pada NKB adalah dijumpai 2 dari 5 kriteria
tersebut dengan satu bukti dijumpai gambaran langsung adanya DAP.3

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 143
Tata laksana
Tabel 1. Kekurangan dan kelebihan beberapa tata laksana DAP20
Pilihan terapi Kelebihan Kekurangan
Restriksi cairan Mengurangi pajanan Menunda terapi akan
dan menunggu agen farmakologis menurunkan respons
inhibitor COX sehingga
dapat menurunkan
kesuksesan terapi
Tata laksana Angka keberhasilan Efek samping yang
farmakologis tinggi berhubungan dengan
agen farmakologis

Penutupan Angka keberhasilan Biaya bervariasi,


dengan tans- tinggi komplikasi bervariasi,
kateter kemungkinan adanya
pirau residual, minimum
berat badan ≥6 kg
Bedah ligasi Angka keberhasilan Biaya, komplikasi
tinggi, pilihan baik saat pascaoperasi seperti
tata lak ana medis paralisis diafragma
dikontraindikasikan

1. Terapi suportif
Restriksi cairan digunakan secara luas dalam tata laksana
DAP pada bayi baru lahir, meskipun belum banyak bukti yang
mendukung. Restriksi cairan diberikan dengan asupan cairan
maksimum 130 mL/kg/hari dan target penurunan berat badan <2 %
per hari. Status hidrasi dipantau dengan mempertahankan jumlah
urin 1-3 mL/kg/jam, berat jenis urin antara 1,005 - 1,012, dan kadar
natrium 135-145 meq/L.21
Furosemid tidak direkomendasikan, karena dapat
merangsang pembentukan prostaglandin dan mengurangi efek
medikamentosa, namun bukti yang menyatakan hal ini belum
cukup. Furosemid kemungkinan berperan dalam patensi DA
melalui stimulasi PGE2 pada ginjal.20 Suatu uji klinis acak
menunjukkan kombinasi furosemid dengan indometasin akan
meningkatkan terjadinya acute kidney injury (AKI) dibandingkan
tanpa furosemid dan tidak memengaruhi keberhasilan penutupan
DAP.22
th
144 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
2. Current pharmacotherapy evidence
Klasifikasi pengobatan medikamentosa dengan inhibitor COX yang
merupakan antiprostaglandin pada BKB, yakni23
a. Pengobatan profilaksis pada 24 jam pertama, dilakukan jika
bayi < 1000 gram,
b. Pengobatan presimtomatik dini (early presymptomatic
treatment), dilakukan pada usia 2-3 hari dengan parameter
dijumpai kriteria ekokardiografi (diameter DA >1,5 mm, rasio
LA/Ao > 1, pirau kiri-ke-kanan, end diastolic reversal aliran
darah aorta, fungsi jantung yang menurun) dan dijumpai gejala
klinis,
c. Pengobatan terapeutik (therapeutic treatment), dilakukan pada
usia 3-7 hari dengan parameter dijumpai kriteria ekokardiografi
(diameter DA >1,5 mm, rasio LA/Ao >1, pirau kiri-ke-kanan, end
diastolic reversal dari aliran darah aorta, fungsi jantung yang
menurun) dan dijumpai gejala klinis,
d. Pengobatan terapeutik lanjut (late therapeutic treatment),
dilakukan pada usia >7 hari.
Berbagai macam jenis farmakoterapi yang telah dilakukan
penelitian dan digunakan secara luas untuk penutupan DAP
pada bayi kurang bulan seperti indometasin, ibuprofen, atau
parasetamol. Berikut berbagai evidens terkini mengenai
efektivitas dan keamanan penggunaan farkamoterapi tersebut
yang disajikan pada Tabel 2.

Indometasin
Indometasin merupakan non-selective cyclooxygenase
inhibitors dan menurunkan sintesis prostaglandin sehingga dapat
memicu penutupan permanen dari DAP sebesar 70% pada
pemberian 1 siklus dan 50% pada pengulangan siklus. Beberapa
efek samping setelah pemberian indometasin, seperti dampak dari
imaturitas mukosa lambung. Terdapat perdebatan antara
pemberian indometasi dan kejadian EKN akibat dari gangguan
aliran darah karena DAP sendiri atau penurunan aliran darah
akibat indometasin. Selain itu terdapat penurunan aliran darah
ginjal setelah 30 menit-2 jam pemberian indometasin sehingga
menyebabkan peningkatan urea dan kretainin.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 145
Ibuprofen
Ibuprofen merupakan non-selective cyclooxygenase
inhibitors24 dan menurunkan sintesis prostaglandin sehingga dapat
memicu penutupan permanen dari Dap sebesar 60-80%. Ibuprofen
tidak menurunkan perfusi otak, namun terdapat sedikit efek dalam
perfusi ginjal dan saluran cerna. Beberapa perdebatan atau
kontroversial mengenai penggunaan ibuprofen adalah sebagai
berikut:
a) Penggunaan ibuprofen sebagai profilaksis
Pemberian profilaksis ibuprofen untuk menutup DAP dapat
menurunkan kejadian DAP serta kebutuhan akan terapi rescue
atau terapi intervensi, namun tidak memberikan keuntungan
jangka pendek dan diberikan pada semua pasien yang mungkin
DAP dapat menutup spontan dan juga kemungkinan efek
samping pada ginjal dan saluran cerna. Dilaporkan pada pasien
NKB ekstrim didapatkan penutupan DAP spontan pada 24-
58%.24
b) Dosis ibuprofen
Dosis umum ibuprofen adalah 10 mg/kg pada hari 1, diikuti
dengan 5 mg/kg pada hari 2 dan 3, terdapat beberapa variasi
dosis tergantung usia setelah kelahiran (14-7-7 mg/kg pada
usia 4-7 hari dan 20-10-10 mg untuk usia >7 hari) berdasar
peningkatan clearance ibuprofen setelah lahir. Penurunan
angka kegagalan penutupan DAP terjadi pada dosis tinggi
dibanding dosis rendah (RR 0,27; IK 95% 0,11-0,64). Dosis 20-
10-10 mg/kg memiliki angka penutupan sebesar 70% dibanding
dosis 10-5-5 mg/kg sebesar 37% dengan efek samping pada
ginjal dan saluran cerna serupa.25
Cara pemberian disebutkan bahwa pemberian dengan infus
atau drip kontinu lebih tinggi angka penutupan dibandingkan
dengan bolus (86% dibanding 68%). Pemberian oral atau
intravena memiliki efektivitas serupa begitupula dengan efek
samping.26,27

Parasetamol
Parasetamol bekerja melalui penghambatan POX yang bekerja
untuk mengkonversi prostaglandin G2 menjadi prostaglandin H2.
Tidak memiliki efek vasokonstriksi, sehingga lebih menguntungkan
dibanding inhibitor COX. Dosis umum yang digunakan adalah 15
th
146 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
mg/kg/kali tiap 6 jam selama 2-7 hari, namun efek terhadap luaran
neonatus lainnya dan perkembangan saraf belum sepenuhnya
diketahui. Efikasi pemberian dalam jangka waktu lama masih
kontroversi karena penutupan DAP dipengaruhi oleh waktu
pemberian.

Tabel 2.`Beberapa evidens terkini penggunaan farmakoterapi untuk


penutupan DAP.
Penelitian
Farmako
(tahun, Subjek Efektivitas Keamanan
terapi
desain)
ElHassan 732 bayi Tidak Ligasi duktus, Risiko rendah
28,
NO, dkk ELBW, disebutkan indometasin Gagal ginjal.
Kohort berat badan 26,5%, Indometasin
multisenter, 400-999 ibuprofen 10,8%, Ibuprofen
2007-2010, gram 30,7% 4,6%, ARR 0,47;
USA IK 95% 0,25-0,87
Dash SK, 77 BKB, Parasetamol Parasetamol: Parasetamol:
29,
dkk Uji ≤1500 g, drop melalui 100%, gangguan ginjal
klinis acak DAP >1,5 feeding tube Indometasin (1/38),
tidak mm, 48 jam (15 mg/kg/6 94,7%, P=0,13 perdarahans
tersamar, awal jam selama 7 saluran cerna
2014 kehidupan hari) (10/38), EKN
(2/38),
Indometasin perdarahan paru
IV 0,2
(3/38), IVH (8/37),
mg/kg/kali kematian (8/38)
sekali sehari
selama 3 hari Indometasin:
Gangguan ginjal
(0/39),
perdarahans
saluran cerna
(7/39), EKN
(4/39),
perdarahan paru
(0/39), IVH (7/37),
kematian (8/39)
Asadpour 50 bayi Parasetamol Parasetamol BUN, creatinin,
27
N, dkk , Uji UK<37 oral 10 mg/kg 92% bilirubin, AST,
klinis, 2016- minggu, setiap 6 jam ALT didak
2017, Iran selama 3 hari Ibuprofen 88% berbeda pada
kedua kelompok
Ibuprofen
oral hari 1 10- Produksi urin
5-5 mg/kg normal
Evaluasi DAP Komplikasi
1 minggu saluran cerna
sesudah 5/25 pada
ibuprofen

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 147
Penelitian
Farmako
(tahun, Subjek Efektivitas Keamanan
terapi
desain)
Mitra S, UK<37 Bervariasi: Kejadian EKN
30
dkk , minggu Rute (oral, IV) secara
Systematic Dosis keseluruhan:
review (uji 68 uji klinis 8,7%
pada 4802 (standar,
klinis), 2018 dosis tinggi, Plasebo: 6,5%
bayi
prolong) Terendah
Metode pada
(bolus, ibuprofen infus
kontinu) kontinu
Tertinggi pada
Indometasin ibuprofen
IV standar IV,
0,1 to 0,3 ibuprofen
mg/kg IV tiap dosis tinggi IV,
12 sampai 24 indometasin IV
jam, 3 dosis
Kejadian
Ibuprofen IV BPD:
atau oral Terendah
Dosis pada
standar:10-5-5 ibuprofen oral
mg/kg tiap 12- standar
24 jam, 3
dosis. Kejadian IVH:
Terendah
Dosis tinggi: pada
20-7,5/10- ibuprofen oral
7,5/10 mg/kg dosis tinggi
tiap 12-24 jam
Parasetamol
Ohlsson A NKB <37 Parasetamol Parasetamol Parasetamol
dan Shah minggu, (IV atau oral) (oral/IV) vs (oral/IV) vs
24
PS. berat lahir berbagai dosis ibuprofen ibuprofen
Systematic <2.500 dibandingkan (oral/IV) (oral/IV)
review, gram plasebo atau Kegagalan Risiko terjadi
2018 inhibitor penutupan gangguan
prostaglandin setalah 1 perkembangan
MEDLINE lainnya siklus neurologi,
via PubMed pemberian RR mortalitas, re-
(1966 to 6 0,95 (IK 95% eopening,
November 0,75-1,21), perdarahan paru,
2017), serupa BPD, IVH, EKN,
Embase gangguan GIT
(1980 to 6 Parasetamol serupa
November (oral/IV) vs
2017), dan plasebo (IV) Parasetamol
CINAHL atau tanpa (oral/IV) vs
(1982 to 6 intervensi plasebo (IV) atau
November Kegagalan tanpa intervensi
2017) penutupan Oliguria,
setalah 4/5 kematian, serupa
th
148 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Penelitian
Farmako
(tahun, Subjek Efektivitas Keamanan
terapi
desain)
hari pemberian Parasetamol
pemberian RR (oral/IV) vs
0,49 (IK 95% indometasin (IV)
0,24-1,00). Serum kreatinin
serupa lebih tinggi pada
Parasetamol parasetamol
(oral/IV) vs namun produksi
indometasin urin lebih tinggi
(IV) secara bermakna.
Kegagalan
penutupan
setalah 1
siklus serupa
RR 0,96 (IK
95% 0,55-
1,65)
Hossain J, BKB, Hs- Parasetamol Parasetamol Tidak ada data
Shabuj PDA, 15 mg/kg tiap oral vs IV:
31
MKH Duktus >1,4 6 jam oral/IV Tidak terdapat
Meta- mm/kg Selama 3-7 perbedaan
analysis LA/Ao >1,4 hari proprorsi
:Medline, penutupan
Embase, 14 DAP
Google penelitian
scholar 3,75% (IK
95%, −5,08–
2018 11,64), (p=
0,37),

3. Intervensi (transkateter atau pembedahan)


Bedah ligasi merupakan alternatif terapi pada bayi kecil
dengan indikasi kontra untuk terapi medikamentosa. Bedah ligasi
pada penelitian randomisasi dapat menurunkan angka kejadian
enterokolitis nekrotikans (EKN) dari 30 % menjadi 8 %.32 Data
retrospektif pada NKB menyatakan bahwa sebanyak 46 bayi yang
dilakukan ligasi DAP, 3 kasus mengalami kelumpuhan nervus
laringeal, 2 kasus chylothorax, 8 kasus EKN, 4 kasus perdarahan
intrakranial, dan 7 (15 %) kasus meninggal.33
Belum terdapat konsensus kapan waktu tepat dilakukan
bedah ligasi DAP. Ligasi dilakukan secara umum jika pada siklus
kedua pemberian inhibitor COX gagal menutup DAP. Ligasi DAP
merupakan pilihan terakhir pada bayi DAP dengan gejala yang
gagal diberikan terapi medikamentosa. Farmakoterapi merupakan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 149
pilihan yang efektif dan aman pada tata laksana DAP yang
hemodinamik bermakna.34
Intervensi non bedah untuk penutupan DAP dilakukan
melalui metode transkateter pada pasien dengan indikasi kontra
atau gagal farmakoterapi. Penelitian pada bayi kurang bulan berat
910-2000 gram. Penutupan ini aman dan efektif sebagai metode
alternatif dari ligasi. Komplikasi yang terjadi hanya minor berupa
stenosis arteri pulmoner kiri pada 4 dari 19 subjek.35 Pada subjek
<1200 gram (rentang 680-1200 gram) dilakukan penutupan pada
18 subjek dengan rentang usia 8-44 hari sesudah kelahiran.
Penutupan didapatkan pada semua subjek dengan komplikasi
obstruksi pada arteri pulmonal kiri pada 1 pasien, 1 kematian
karena prosedur.36

Simpulan
Perbedaan pilihan tata laksana farmakoterapi pada BKB
merupakan tantangan bagi klinisi saat memutuskan berdasar evidens
setelah mendiagnosis DAP yang bermakna secara hemodinamik (hs-
PDA). Dilema yang ada apakah hanya menggunakan farmakoterapi
saja, dan jika dipilih farmakoterapi maka pemilihan farmakoterapi yang
ideal untuk pasien adalah dilema berikutnya. Dari evidens tertinggi
yakni sistematik review dan meta-analisis dapat diaplikasikan bahwa
penggunaan ibuprofen dan parasetamol baik oralatau intravena
memiliki efikasi dan efek samping serupa. Pada meta-analisis
menunjukkan ibuprofen dosis tinggi (15-20 mg/kg diikuti oleh 7,5-10,0
mg/kg tiap12-24 jam dengan total of 3 dosis) memiliki angka
penutupan lebih tinggi dibandingkan ibuprofen/indometasin dosis
standar dengan efek samping rendah.

Daftar Pustaka
1. Nemerofsky SL, Parravicini E, Bateman D, Kleinman C, Polin RA, Lorenz
JM. The Ductus arteriosus rarely requires treatment in infants >1000
grams. Am J Perinatol. 2008; 25:661-6.
2. Koch J, Hensley G, Roy L, Brown S, Ramaciotti C, Rosenfeld CR.
Prevalence of spontaneous closure of the ductus arteriosus in neonates
at a birth weight of 1000 grams or less. Pediatrics. 2006;117:1113-21.
3. Hamrick SE, Hansmann G. Patent ductus arteriosus of the preterm
infant.Pediatrics. 2010;125:1020–30.

th
150 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
4. Raval MV, Laughon MM, Bose CL, Phillips JD. Patent ductus arteriosus
ligation in premature infants: who really benefits, and at what cost? J
Pediatr Surg.2007;42:69–75.
5. Itabashi K, Ohno T, Nishida H. Indomethacin responsiveness of patent
ductus arteriosus and renal abnormalities in preterm infants treated with
indomethacin. J Pediatr. 2003;143:203–7.
6. Ohlsson A, Walia R, Shah SS. Ibuprofen for the treatment of patent
ductus arteriosus in preterm and/or low birth weight (or both) infants.
Cochrane Database Syst Rev. 2015;2,CD003481.
7. Hammerman C, Bin-Nun A, Markovitch E, Schimmel MS, Kaplan M, Fink
D.Ductal closure with paracetamol: a surprising new approach to patent
ductus arteriosus treatment. Pediatrics. 2011;128:e1618–21.
8. Oncel MY, Yurttutan S, Uras N, Altug N, Ozdemir R, Ekmen S, et al. An
alternative drug (paracetamol) in the management of patent ductus
arteriosus in ibuprofen-resistant or contraindicated preterm infants. Arch
Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2013;98:F94.
9. Rheinlaender C, Helfenstein D, Walch E, Berns M, Obladen M, Koehne
P.Total serum bilirubin levels during cyclooxygenase inhibitor treatment
for patent ductus arteriosus in preterm infants. Acta Paediatr. 2009;98:36–
42.
10. Johnston PG, Gillam-Krakauer M, Fuller MP, Reese J. Evidence-based
use of indomethacin and ibuprofen in the neonatal intensive care unit. Clin
Perinatol. 2012;39:111–36.
11. Adrouche-Amrani L, Green RS, Cluck KM, Jing Lin. Failure of a repeat
course of cyclooxygenase inhibitor to close a PDA is a risk factor for
developing chronic lung disease in ELBW infant. BMC Pediatrics.
2012;12:1-10.
12. Hermes-DeSantis ER, Clyman RI. Patent ductus arteriosus:
pathophysiology and management. J Perinatol. 2006;26:14-8.
13. Clyman RI. Mechanisms regulating the ductus arteriosus. Biol Neonate.
2006;89:330-5.
14. Hammerman C, Kaplan M. Comparative tolerability of pharmacological
treatments for patent ductus arteriosus. Drug safety 2001:24;537-551.
15. Waleh N, Seidner S, McCurnin D, Yoder B, Liu BM, Roman C et al. The
role of monocyte-derived cells and inflammation in baboon ductus
arteriosus remodeling. Pediatr Res. 2005;57:254-262.
16. Echtler K, Stark K, Lorenz M, Kerstan S, Walch A, Jennen L, dkk.
Platelets contribute to postnatal occlusion of the ductus arteriosus. Nat
Med. 2010;16:75-81.
17. Texas Department of State Health Services Borth Defects Epidemiology
and Surveillence. Birth defect risk factor series: patent ductus arteriosus.
Austin, Texas. March 2006. h. 1-8.
18. McNamara PJ. Prematurity and cardiac disease. Dalam: Anderson RH,
Baker EJ, Penny D, Redington AN, Rigby ML, Wernovsky G, penyunting.
Pediatric Cardiology. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2010. h. 181-95.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 151
19. Brissaud O, Guichoux J. Patent ductus arteriosus in the preterm infant: A
survey of clinical practices in French Neonatal Intensive Care Units.
Pediatr Cardiol. 2011;97:574-8.
20. Dice JE, Bhatia J. Patent ductus arteriosus: an overview. J Pediatr
Pharmacol Ther. 2007;12:138-146.
21. Phillips JB. Management of patent ductus arteriosus in infants. July 2013
23; [diakses: 2013 August 10]. Diunduh dari: http://www. uptodate.
com/contents.
22. Lee BS, Byun SY, Chung ML, Chang JY, Kim HY, Kim EA, dkk. Effect of
furosemide on ductal closure and renal function in indomethacin-treated
preterm infants during the early neonatal period. Neonatology.
2010;98:191-9.
23. Clyman RI, Chorne N. Patent ductus arteriosus: evidence for and against
treatment. J Pediatr. 2007;150:216-9
24. Ohlsson A, Shah SS. Ibuprofen for prevention of patent ductus arteriosus
in preterm and/or low birth weight infants. Cohrane database syst Rev.
2011;7:CD004213
25. Pourarian S, Takmil F, Cheriki S, et al. The effect of oral high dose
ibuprofen on patent ductus arteriosus closure in preterm infants.
Cochrace database syst rev. CD003481. 2015
26. Lago P, Salvadori S, Opocher F, et al. Continuous infusion of ibuprofen
and indomethacin for early-targeted treatment of patent ductus arteriosus
in extremely premature infants: a randomized controlled trial. Arch Dis
Child Fetal Neonatal. Ed 93; 94-99. 2008
27. Asadpour N, Harandi PS, Hamidi M, Ahmadi MRM, Malekpur-tehrani A.
Comparison of the effect of oral acetaminophen and ibuprofen on patent
ductus arteriosus closure in premature infants reffered to Hajar Hospital in
Shahrekord in 2016-2017. J Clin Neonatol. 2018;7:224-30.
28. ElHassan NO, Bird TM, King AJ, Ambadwar PB, Jaquiss RDB, Kaiser JR,
Robbins JM. Ariation and comparative effectiveness of patent ductus
arteriosus pharmacotheraphy in extremely low birth weight infants.
Journal of neonatal-perinatal medicine. 2014;7:229-235.
29. Dash SK, Kabra NS, Avatashi BS, Sharma SR, Padhi P, Ahmed J.
Enteral paracetamol or intravenous indomethacin for closure of patent
ductus arteriosus in preterm neonates: a randomized controlled trial.
Indian Pediatrics. 2015;52:573-8.
30. Mitra S, Florez ID, Tamayo ME, Mbuagbaw L, Vanniyasingam T, Veroniki
AA, dkk. Association of placebo, indomethacin, ibuprofenm and
acethaminophen with closure of hemodynamically significant patent
ductus arteriosus in preterm infants a systematic review and meta-
analysis. JAMA.2018;319:1221-1238.
31. Hossain J, Shaby MKH. Oral Paracetamol versus intravenous
paracetamol in the patent ductus arteriosus: a proportion meta-analysis. J
Clin Neonatol. 2018;7:121-4.
32. Mehta SK, Younoszai A, Pietz J, Achanti BP. Pharmacological closure of
patnet ductus arteriosus. Pediatr Cardiol. 2003;5:1-5.

th
152 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
33. Sorensen CM, Steensberg JN, Greisen G. Surgical ligation of patent
ductus arteriosus in premature infants. Dan Med Bul. 2010;57:4160-3.
34. Sekar KC. Protective strategies to prevent patent ductus arteriosus. Clin
Med J. 2010;123:2914-8.
35. Narin N, Pamukcu O, Baykan A, Argun M, Ozyurt A, Bayram A, Uzum K.
Transcatheter closure of PDA in premature babies less than 2 kg. Anatol
J Cardiol. 2017;17:147-153.
36. Morville P, Douchin S, Bouvaist H, Dauphin C. Transcatheter occlusion of
the patent ductus arteriosus in premature infants weighing less than 1200
g. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2018;103:F198-201.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 153
th
154 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Hipertensi Pulmoner dan Prematuritas

Nikmah S. Idris
Departemen Ilmu Kesehatan Anak – Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Pulmonary Hypertension Unit, Great Ormond Street Hospital,
London, UK

Pendahuluan
Hipertensi pulmoner (pulmonary hypertension, selanjutnya
disingkat PH) adalah kelainan yang ditandai dengan peningkatan
tekanan darah di sirkulasi paru. PH dapat terjadi pada semua umur,
mulai dari bayi hingga dewasa. Secara umum PH merupakan
penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan dan PH jenis
tertentu dapat bersifat ireversibel. Melalui berbagai mekanisme, bayi
prematur berisiko untuk mengalami PH yang dapat berkontribusi pada
luaran buruk prematuritas. Kelahiran bayi prematur sendiri merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang menjadi penyebab morbiditas
dan mortalitas utama di seluruh dunia. Komplikasi prematuritas
merupakan penyebab terbesar kematian neonatal yang mencakup
35% kematian di seluruh dunia per tahunnya dan menjadi penyebab
kematian kedua terbesar untuk anak balita setelah pneumonia.[1]
Tulisan ini akan membahas PH pada bayi prematur dengan
sistematika sebagai berikut:
1. Definisi hipertensi pulmoner (PH)
2. Tipe dan penyebab PH pada bayi prematur
3. Pendekatan diagnosis dan tata laksana

Definisi hipertensi pulmoner


Berdasarkan konsensus NICE 2018, secara hemodinamik PH
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan rerata paru (mean
pulmonary artery pressure atau mPAP) lebih dari 20 mmHg.[2]
Peningkatan tekanan paru dapat terjadi akibat (1) peningkatan
resistensi pembuluh paru atau pulmonary vascular disease, disebut
juga dengan pre-capillary PH; (2) peningkatan curah jantung atau
aliran darah (flow) ke paru; (3) peningkatan tekanan baji paru
(pulmonary arterial wedge pressure, selanjutnya disingkat dengan
PAWP) atau disebut juga post capillary PH (contoh: stenosis vena
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 155
pulmoner, PH yang berhubungan dengan kelainan jantung kiri); atau
kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Untuk membedakan ketiga
mekanisme tersebut, definisi hemodinamik diperluas seperti terlihat
pada Tabel 1.[3]

Tabel 1. Definisi hemodinamik PH (NICE 2018)


Definisi Karakteristik Grup klinis PH
PH mPAP >20 mmHg Semua

PH pre-kapiler mPAP >20 mmHg - Grup 1 – Hipertensi arteri


PAWP ≤15 mmHg pulmoner (PAH)
PVR > 3WU - Grup 3 – PH karena
penyakit paru
- Grup 4 – Tromboembolik
kronik (CTEPH)
- Grup 5 – PH tanpa sebab
yang jelas dan/atau
multifaktorial
Isolated post-capillay mPAP >20 mmHg - Grup 2 – PH karena
PH (lpc-PH) PAWP >15 mmHg kelainan jantung kiri
PVR < 3WU - Grup 5 – PH tanpa sebab
yang Jelas dan/ atau
multifaktorial
Kombinasi post- mPAP >20 mmHg
capillary dan pre PAWP >15 mmHg
capillary (cpc-PH)
PVR > 3WU
Catatan: mPAP = mean pulmonary artery pressure; PAWP = pulmonary arterial wedge
pressure; PVR = pulmonary vascular resistance

Definisi di atas menyiratkan bahwa diagnosis definitif PH


ditegakkan melalui pengukuran langsung tekanan paru dengan
kateterisasi jantung. Mengingat kateterisasi jantung merupakan
tindakan invasif, terlebih lagi pada bayi prematur, beberapa modalitas
non-invasif, seperti ekokardiografi, dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis PH.
Peninggian tekanan paru akan meningkatkan afterload jantung
kanan sehingga jantung kanan harus bekerja lebih keras memompa
darah ke paru-paru. Pada kondisi lanjut, jantung dapat mengalami
dekompensasi yang akhirnya berdampak tidak hanya pada penurunan

th
156 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
curah jantung kanan, tetapi juga penurunan curah jantung kiri atau
sistemik

Klasifikasi klinis dan penyebab hipertensi pulmoner pada bayi


prematur
PH diklasifikasikan secara klinis menjadi lima grup berdasarkan
kesamaan mekanisme patofisiologi, presentasi klinis, karakteristik
hemodinamik, dan tata laksana pengobatan (Tabel 2). Hal yang perlu
diingat adalah penyebab PH pada bayi dan anak dapat bersifat
multifaktor dan mencakup lebih dari satu grup.
Pada bayi prematur atau eks prematur, PH grup 3 merupakan
jenis PH tersering. PH biasanya berhubungan dengan penyakit paru
kronik (chronic lung disease, selanjutnya disingkat dengan CLD) akibat
kelainan pertumbuhan/perkembangan paru atau displasia
bronkopulmoner (BPD). Penyebab lain PH pada bayi prematur yang
cukup sering adalah penyakit jantung bawaan (PJB) dengan pirau
kiri-ke-kanan dan stenosis vena pulmoner. Selain itu, dapat
ditemukan pula kelainan perkembangan paru (developmental lung
disease) neonatal, seperti displasia kapiler alveolar (ACD – alveolar
capillary dysplasia), hipoplasia paru primer atau sekunder, misalnya
berhubungan dengan hernia diafragmatika kongenital, pulmonary
interstitial glycogenosis, pulmonary alveolar proteinosis, pulmonary
lymphangiectasia, atau defisiensi genetik surfaktan. Adapun persistent
pulmonary hypertension of the newborn (PPHN) merupakan entitas
PH tersendiri yang terjadi akibat kegagalan transisi sirkulasi
pascanatal dan tidak akan dibahas dalam tulisan ini. Pada bayi
prematur, PPHN biasanya berhubungan dengan defisiensi surfaktan;
faktor risiko lain adalah sindrom mekonium aspirasi, sepsis, distres
pernapasan berat, dan persalinan kaisar.[4] PPHN umumnya bersifat
reversibel dan membaik pada beberapa hari pertama kehidupan
seiring dengan membaiknya kelainan paru yang menyertai.

PH terkait penyakit paru kronis/displasia bronkopulmoner


PH yang berhubungan dengan BPD/CLD merupakan jenis PH
tersering pada bayi prematur. Maturitas paru terjadi melalui 5 stadium,
yaitu embrionik (4-7 minggu), pseudoglandular (7-17 minggu),
kanalikular (17-26 minggu), sakular (27-36 minggu), dan stadium
alveolar (36 minggu–2 tahun).[5] Pada tahap kanalikular (17-26
minggu), bronkiolus terminal membesar dan jaringan paru berubah
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 157
menjadi jaringan vaskular seiring pembentukan duktus alveolar.
Jaringan paru bayi prematur pada tahapan kanalikular akhir atau
sakular awal bersifat sangat sensitif terhadap pengaruh pre- dan
pascanatal yang dapat memicu terjadinya BPD.
Korioamnionitis, preeklampsia, oligohidramnion, retardasi
pertumbuhan intrauterin dapat memengaruhi pertumbuhan paru janin
dan merupakan faktor risiko terjadinya PH karena BPD. Setelah lahir,
pemberian oksigen, ventilasi mekanik, respons sitokin terhadap
inflamasi dan infeksi, serta status nutrisi dapat mengganggu
pertumbuhan paru normal dan mengakibatkan simplifikasi alveolar
yang merupakan karakteristik utama BPD. Pada era pascasurfaktan,
BPD ditandai dengan: (1) gangguan alveolarisasi (pembentukan
alveoli) yang ditandai dengan jumlah alveoli yang lebih sedikit, alveoli
yang berukuran lebih besar namun memiliki struktur yang lebih
sederhana (simplified); (2) terganggunya proses vaskulogenesis yang
mengakibatkan jumlah arteri pulmoner menjadi lebih sedikit dan
berukuran lebih kecil. Selain itu penebalan otot polos, edema
interstitial, fibrosis, dan inflamasi juga dapat ditemukan.
Struktur dan fungsi vaskular yang terganggu serta
berkurangnya area vaskular paru dapat menimbulkan PH yang
ditandai dengan muskularisasi arteri pulmoner, hilang atau
berkurangnya jumlah pembuluh darah, dan hipertrofi ventrikel kanan.
Selain dipicu berbagai faktor risiko pre- dan pascanatal, remodelling
vaskular paru juga dapat dipicu oleh hiperoksia atau hipoksia alveolar
serta peregangan mekanis. Setelah periode neonatal, peningkatan
tonus vaskular dan vasoreaktivitas arteri pulmoner juga dapat
berkontribusi pada menetapnya PH pada bayi eks prematur dan
meningkatkan risiko timbulnya PH dengan awitan lambat.
Sekitar satu dari empat bayi dengan BPD sedang-berat dapat
mengalami PH. Terjadinya PH dipicu oleh interaksi antara proses
inflamasi, toksisitas oksigen, dan hipoksia alveolar berulang yang
dapat menyebabkan disfungsi endotel. PH pada BPD bukan
merupakan suatu fenomena minor karena PH dapat meningkatkan
risiko kematian dengan estimasi angka kematian sebesar 47%. Selain
itu, seiring dengan membaiknya kesintasan bayi dengan berat lahir
sangat rendah (BBLSR), BPD merupakan salah satu masalah
tersering yang ditemukan pada pemantauan jangka panjang bayi
prematur. BPD juga mencakup proporsi signifikan sebagai penyebab
PH pada anak. Di Unit Hipertensi Pulmoner Great Ormond Street
th
158 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Hospital, pasien dengan PH terkait CLD/BPD mencakup kurang lebih
30% dari total 700 pasien PH per tahun.

PH terkait PJB pirau kiri-ke-kanan


Bayi prematur dapat memiliki komorbiditas PJB, terutama
duktus arteriosus persisten (PDA – patent ductus arteriosus), defek
septum atrium (ASD – atrial septal defect) atau kelainan jantung
bawaan lainnya. PJB dengan pirau kiri ke kanan dapat meningkatkan
aliran darah ke paru dan memicu remodelling vaskular paru dan
terjadinya PH. Bayi prematur dengan BPD seringkali tidak dapat
mentolerir lesi PJB meskipun pirau tidak terlalu besar. Untuk itu, pada
populasi seperti ini, penutupan defek secara lebih dini, termasuk ASD,
perlu dipertimbangkan untuk mendukung pertumbuhan bayi dan
mencegah terjadinya penyakit vaskular paru yang ireversibel.[6]

PH akibat stenosis vena pulmoner


PH akibat stenosis vena pulmoner termasuk dalam PH grup 2
(PH akibat penyakit jantung kiri). Prematuritas memiliki hubungan erat
dengan stenosis vena pulmoner.[7] Pada suatu studi di Prancis, 88%
bayi prematur dengan stenosis vena pulmoner memiliki BPD atau
kelainan jantung lain.[8] Tidak adanya konkordans kelainan ini pada
bayi kembar menandakan bahwa faktor epigenetik atau lingkungan
mungkin berperan dalam terjadinya stenosis vena pulmoner. Faktor-
faktor yang berhubungan dengan kesintasan yang lebih pendek atau
re-stenosis adalah stenosis lebih dari 3 vena, stenosis vena pulmoner
bilateral, kecil masa kehamilan, dan usia kurang dari 6 bulan saat
terdiagnosis. Bayi-bayi dengan stenosis vena pulmoner juga seringkali
memiliki pirau intrakardiak yang mungkin berpengaruh pada endotel
prematur dan menimbulkan stenosis vena pulmoner. Selain itu, bayi
prematur dengan necrotising enterocolitis (NEC) sepertinya memiliki
risiko lebih besar untuk mengalami stenosis vena pulmoner. Diagnosis
stenosis vena pulmoner merupakan tantangan tersendiri karena
ekokardiografi awal dapat menunjukan hasil yang normal dan kelainan
ini dapat bersifat progresif sehingga berujung pada hilangnya satu
atau lebih vena pulmoner.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 159
Tabel 2. Klasifikasi klinis PH (NICE 2018)
Grup
1 Hipertensi arteri pulmoner (pulmonary arterial hypertension,
PAH)
1.1 PAH idiopatik
1.2 Heritable PAH (BMPR2, ALK-1, ENG, Smad 9, dll)
1.3 PAH yang dipicu obat atau toksin (drug and toxin-induced)
1.4 PAH berhubungan dengan
1.4.1 Penyakit jaringan ikat
1.4.2 Infeksi HIV
1.4.3 Hipertensi portal
1.4.4 Penyakit jantung kongenital:
1.4.4.1 Sindrom Eisenmenger
1.4.4.2 Left-to-right shunts (dapat diperbaiki atau
tidak dapat diperbaiki)
1.4.4.3 PAH with coincidental CHD
1.4.4.4 PAH pascaoperasi
1.4.5 Schistosomiasis
1.5 PAH dengan respons jangka panjang terhadap calcium
channel blocker (obat penghambat kanal kalsium)
1.6 PAH dengan keterlibatan kapiler/vena yang jelas (PVOD
atau PCH)
1.7 Persistent PH of the newborn syndrome (PPHN)
2 PH akibat penyakit jantung bagian kiri
3 PH akibat penyakit paru dan/ atau hipoksia
3.1 Penyakit paru obstruktif
3.2 Penyakit paru restrisktif
3.3 Penyakit paru lainnya dengan pola kombinasi restriktif dan
obstruktif
3.4 Hipoksia tanpa kelainan paru
3.5 Developmental lung disorder (kelainan perkembangan paru)
4 PH karena obstruksi arteri pulmoner
4.1 Hipertensi pulmoner tromboembolik kronis (CTEPH)
4.2 Obstruksi arteri pulmoner lain
5 PH dengan mekanisme tidak jelas dan/atau multifaktorial
5.1 Kelainan hematologis
5.2 Kelainan sistemik dan metabolik
5.3 Lain-lain
5.4 Penyakit jantung bawaan kompleks
Catatan: PVOD = pulmonary vascular obstructive disease; PCH = pulmonary capillary
haemangiomatosis

th
160 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Pendekatan diagnosis tata laksana
Dalam menghadapi bayi prematur dengan diagnosis atau
kecurigaan PH, terdapat lima pertanyaan yang harus kita tanyakan
berulang untuk menuntun diagnosis dan tata laksana:
1. Apakah bayi memiliki PH?
2. Apa jenis atau tipe PH? (lihat Tabel 2)
3. Apa penyebabnya?
4. Bagaimana tingkat keparahannya?
5. Apakah terapi yang sesuai?

Apakah bayi memiliki PH?


Sesuai dengan definisi di atas, baku emas diagnosis PH
adalah kateterisasi jantung. Mengingat tindakan kateterisasi
merupakan tindakan invasif, terlebih pada bayi prematur, pemeriksaan
non-invasif, terutama ekokardiografi, biasanya digunakan untuk
membantu diagnosis. Gejala klinis (tanda gagal jantung kanan, bunyi
jantung II yang mengeras), foto toraks, dan EKG dapat menimbulkan
kecurigaan awal adanya PH. Ekokardiografi dan CT kardiopulmoner
(toraks) selain dapat menunjang diagnosis juga dapat memberi
petunjuk mengenai tipe atau penyebab PH.
Ekokardiografi merupakan modalitas penunjang diagnostik
utama pada bayi prematur. Estimasi tekanan sistolik paru dapat
dilakukan dengan mengukur kecepatan maksimal jet regurgitasi katup
trikuspid yang mencerminkan perbedaan gradien tekanan antara
ventrikel kanan dan atrium kanan (persamaan Bernoulli’s: gradien
tekanan (pressure gradient) = 4v2, dengan v = kecepatan). Selanjutnya
tekanan sistolik ventrikel kanan (RVSP – right ventriuclar systolic
pressure) adalah pressure gradient ditambah dengan tekanan atrium
kanan (RVSP = 4v2 + RAP). Pada kondisi tidak adanya stenosis
pulmoner atau obstruksi jalan keluar ventrikel kanan, tekanan sistolik
paru akan sama dengan RVSP. Probabilitas PH berdasarkan
pengukuran ekokardiografi dapat dilihat pada tabel 3A dan 3B. Selain
itu pirau kanan-ke-kiri pada ASD, VSD, atau PDA dapat
mengindikasikan adanya PH.
Mengingat gejala PH pada bayi prematur seringkali tidak
spesifik, pertanyaan yang belum terjawab hingga saat ini adalah
kapan, seberapa sering, dan bagaimana melakukan skrining PH pada
bayi prematur. Salah satu hambatan adalah pemeriksaan
ekokardiografi yang tidak tersedia luas di semua senter dan secara
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 161
teknis cukup sulit dilakukan. Selain itu, estimasi ekokardiografi juga
tidak selalu berkorelasi baik dengan derajat keparahan PH yang diukur
dengan kateterisasi jantung.
Secara umum ekokardiografi transtorakal harus dilakukan di
awal dan diulang sedikitnya satu atau dua kali per bulan pada bayi
dengan kecurigaan klinis PH, misalnya bayi dengan peningkatan
kebutuhan oksigen, peningkatan setting ventilator secara bertahap,
dan tanda klinis disfungsi ventrikel kanan (hepatomegali). The
European Paediatric Pulmonary Vascular Disease Network
menganjurkan skrining ekokardiografi pada bayi prematur dengan
BPD sebagai berikut:[9]
(a) Setiap 3 bulan pada bayi dengan BPD yang memerlukan oksigen
atau memiliki faktor risiko kuat untuk mengalami PH
(b) Setiap 3-6 bulan pada anak yang berisiko mengalami PH yaitu,
bayi dengan hambatan pertumbuhan, berat badan lahir rendah,
riwayat ventilasi mekanik atau CPAP lebih dari 28 hari, BPD, dan
gagal tumbuh yang tidak teratasi dengan pemberian kalori
adekuat.

Tabel 3A. Estimasi PH pada pasien simtomatik dengan dugaan


hipertensi pulmoner
Kecepatan maksimal Terdapat
Probabilitas PH
tricuspid regurgitasi (m/s) parameter PH lain
≤2,8 atau tidak dapat diukur Tidak Rendah
≤2,8 atau tidak dapat diukur Ya
Sedang
2,9-3,4 Tidak
2,9-3,4 Ya Tinggi
>3,4 Tidak diperlukan

th
162 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 3B. Parameter ekokardiografi yang dapat mengindikasikan PH
selain pengukuran kecepatan maksimal jet regurgitasi
trikuspid pada tabel 3A. *Nilai relevan untuk populasi anak
besar atau remaja.
C: Vena kava inferior
A: Ventrikel B: Arteri pulmoner
dan atrium kanan
Ventrikel kanan/kiri Pulmonary acceleration Diameter cava inferior
memiliki rasio diameter time <105 milidetik >21 mm* dengan
basal >1.0 dan/ atau dengan penurunan kolaps saat
Doppler (PW) inspirasi (<50%
menunjukan pola dengan sniffing atau
midsystolic notching <20% pada
pernapasan biasa).
Pendataran septum Kecepatan regurgitasi Area atrial kanan (end-
interventrikular (indeks pulmoner pada awal systole)>18 cm2*
eksentrisitas ventrikel diastolik > 2,2 m/ det
kiri> 1,1 pada saat
sistolik dan/atau
diastolik)
Diameter PA >25mm*

Apakah jenis atau tipe PH dan apakah penyebabnya?


Setelah diagnosis PH ditegakkan, penting untuk mengetahui
tipe PH (Tabel 2) dan penyebabnya. Seperti telah disebutkan di atas,
tipe penyebab PH pada bayi dan anak seringkali lebih dari satu atau
multifaktor.
Mengingat tipe PH tersering pada bayi prematur adalah PH
yang berhubungan dengan BPD/CLD, modalitas utama untuk
menentukan tipe and penyebab PH adalah ekokardiografi dan CT
toraks. Ekokardiografi berguna untuk menyingkirkan adanya PJB,
stenosis vena pulmoner, dan estimasi derajat PH.
CT toraks sangat penting untuk mengevaluasi kelainan patologi
paru atau jalan napas yang dapat berkontribusi pada timbulnya PH.
Selain bermanfaaat untuk menegakkan diagnosis dan mengevaluasi
tingkat keparahan BPD, CT toraks juga bermanfaat untuk
menyingkirkan komorbiditas paru lain seperti aspirasi yang sering
terjadi pada bayi prematur dengan refluks gastroesofageal. CT juga
berguna untuk menyingkarkan pulmonary vasccular obstructive
disease (PVOD) dan pulmonary capillary haemangiomatosis (PCH);

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 163
pada PVOD dan PCH, obat vasodilator pulmoner biasanya tidak
bermanfaat dan bahkan dapat memperburuk kondisi pasien. Stenosis
atau kelainan vena pulmonalis juga dapat dievaluasi secara lebih jelas
pada CT. Selain evaluasi penyebab PH, CT toraks juga berguna untuk
minilai apakah derajat PH proporsional terhadap kelainan paru yang
ada. Jika bayi/anak memiliki PH berat, sedangkan kelainan paru
bersifat minimal, maka kemungkinan penyebab PH yang lain perlu
dieksplorasi lebih lanjut.
Selain pemeriksaan ekokardiografi dan CT toraks,
pemeriksaan darah diperlukan untuk menyingkirkan penyebab PH
yang lain, seperti infeksi HIV, kelainan darah, atau penyakit jaringan
ikat/autoimun. Ultrasonografi abdomen merupakan pemeriksaan yang
dianjurkan untuk menyingkirkan pirau portosistemik, hipertensi portal,
atau penyakit liver kronik.

Tingkat keparahan PH
Derajat PH ditentukan berdasarkan parameter klinis,
ekokardiografi, pengukuran tekanan dengan kateterisasi.
Pemeriksaan penunjang lain, seperti NT pro-BNP, cardiopulmonary
exercise test, dan MRI juga dapat membantu dalam menentukan dan
memantau derajat PH. MRI kardiak berguna untuk mendapatkan
informasi yang lebih akurat mengenai fungsi dan dimensi ventrikel
kanan dan kiri, kuantifkasi pirau jantung, serta estimasi tekanan rerata
paru (mPAP) melalui pengukuran kurva septum.[10]
Secara umum, bayi/anak dengan PH berat adalah mereka
yang sangat simtomatik (mengalami kolaps/episode (pre)sinkop,
memiliki kelas fungsional WHO 3/4, gagal tumbuh, gagal jantung
kanan) dan mengalami peninggian tekanan/resistensi paru yang
signifikan disertai disfungsi ventrikel kanan (Tabel 4). Selain itu,
terdapat pula klasifikasi derajat PH berdasarkan tekanan arteri paru
(PH ringan: mPAP 20-30 mmHg atau systolic PAP 30-45 mmHg; PH
sedang: mPAP 30-40 mmHg atau systolic PAP 46-60 mmHg; PH
berat: mPAP >40 mmHg atau systolic PAP >60 mmHg), namun
sayangnya dasar penentuan klasifkasi tersebut dan implikasinya
terhadap prognosis tidak terlalu jelas.

th
164 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 4. Stratifikasi risiko atau tingkat keparahan PH[11]
Risiko Rendah Determinan risiko Risiko tinggi
Tidak Tanda klinis gagal Ya
jantung kanan
Tidak Gejala lanjutan Ya

Tidak Pingsan Ya

Pertumbuhan Gagal tumbuh


I,II Kelas fungsional WHO III, IV
Peningkatan ringan BNP/NTproBNP Tingkat kenaikan
signifikan
Ekokardiografi Pembesaran atau
disfungsi RV berat/ efusi
pericardium
Systemic CI Hemodinamik Systemic CI < 2.5
>3.01/min/m2 I/min/m2
mPAP/mSAP<0.75 mPAP/mSAP>0.75
Vasoresponder positif RAP >10 mmHg
PVRI > 20 WU.m2

Tata laksana PH pada bayi prematur


Tata laksana PH bergantung pada tipe PH atau kelainan yang
mendasari. Pada PH terkait kelainan paru atau BPD, tata laksana
utama adalah intervensi untuk optimalisasi pertumbuhan paru dan
melindungi paru dari jejas pascanatal. Hal ini disebabkan derajat atau
status PH terkait BPD/CLD ditentukan oleh status
respiratorik/perbaikan kondisi paru dan pertumbuhan alveoli
merupakan proses aktif yang masih berlangsung hingga anak berusia
lebih dari satu tahun. Sebagian besar bayi dengan PH terkait BPD
akan mengalami perbaikan pada tahun pertama kehidupan seiring
dengan pertumbuhan paru dan membaiknya status respiratorik. Untuk
itu, tata laksana PH terkait BPD/CLD memerlukan kerja sama erat
antara spesialis kardiologi anak/hipertensi pulmoner dan respiratorik
anak.
Nutrisi dan kenaikan berat badan yang optimal merupakan
salah satu komponen utama untuk mengoptimalkan pertumbuhan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 165
paru. Pemberian suplementasi oksigen yang adekuat, biasanya untuk
mencapai target saturasi >93%, diperlukan untuk mencegah
vasokonstriksi alveolar. Titrasi kebutuhan oksigen dapat dilakukan
dengan sleep study/sleep oximetry. Untuk pertumbuhan paru yang
optimal, paru juga harus dilindungi dari gangguan-gangguan
pascanatal, seperti infeksi dan aspirasi. Perlindungan terhadap infeksi
dapat dicapai melalui pemberian vaksinasi dan antibiotika profillaksis,
seperti azitromisin. Kemungkinan aspirasi harus disingkirkan melalui
pemeriksaan foto toraks, CT paru, dan pH-metry. Jika terdapat
aspirasi yang hebat, maka tata laksana medikamentosa tidak
mencukupi dan diperlukan tindakan yang lebih agresif seperti
fundoplikasi Nissen dan gastrostomi atau jejunostomi.
Pemberian obat spesifik hipertensi arterial pulmoner (PAH –
pulmonary arterial hypertension) harus dipertimbangkan secara
seksama setelah semua kelainan yang dapat berkontribusi terhadap
PH dievaluasi dan ditata laksana. Sejauh ini tidak ada bukti yang
sangat kuat mengenai manfaat obat-obat tersebut pada PH terkait
BPD/CLD. Di antara berbagai golongan obat PAH, hanya sildenafil
oral yang pernah diteliti dan digunakan secara cukup luas pada PH
terkait BPD/CLD. Studi retrospektif menunjukkan bahwa sildenafil
bermanfaat untuk menurukan tekanan paru pada anak berusia kurang
dari 2 tahun dengan BPD.[12] Di senter kami sendiri, sildenafil diberikan
pada bayi prematur dengan PH terkait CLD dan sebagian besar
pasien menunjukkan perbaikan klinis dan parameter ekokardiografik.
Penanganan PH akibat PJB dengan pirau kiri-ke-kanan adalah
dengan menutup atau memperkecil defek untuk mencegah terjadinya
kerusakan vaskular paru ireversibel akibat peningkatan aliran darah
paru. Penutupan defek dapat dilakukan secara operasi atau intervensi
kateter. Pada kasus tertentu dengan kemungkinan PH
menetap/progresif, penutupan defek dengan fenestrasi merupakan
tindakan yang bijak untuk dilakukan. PH terkait stenosis vena
pulmoner biasanya ditangani dengan intervensi bedah (pulmonary vein
repair), pemasangan stent via kateter, atau konservatif.[8]

Kesimpulan
Hipertensi pulmoner (PH) merupakan salah satu komorbiditas
penting bayi prematur yang perlu dideteksi dan ditangani secara
adekuat, terlebih dengan meningkatnya kesintasan bayi prematur.
Mengingat PH pada bayi prematur sebagian besar disebabkan oleh
th
166 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
gangguan pertumbuhan paru atau displasia bronkopulmoner, maka
tata laksana utama adalah dengan mengoptimalkan pertumbuhan
paru, antara lain dengan nutrisi adekuat, dan melindungi paru dari
jejas pascanatal, seperti infeksi dan aspirasi. Selain itu, faktor-faktor
lain yang dapat berkontribusi terhadap PH, seperti PJB dengan pirau
kiri-ke-kanan, juga perlu ditangani dengan adekuat. Terapi spesifik PH,
seperti sildenafil, mungkin bermanfaat untuk perbaikan klinis dan
penurunan tekanan paru pada PH terkait CLD/BPD.

Bibliography
1. Blencowe H, Cousens S, Chou D, Oestergaard M, Say L, Moller AB,
Kinney M, Lawn J. Born too soon: the global epidemiology of 15 million
preterm births. Reprod Health 2013: 10 Suppl1: S2.
2. Galie N, McLaughlin VV, Rubin LJ, Simonneau G. An overview of the 6th
World Symposium on Pulmonary Hypertension. Eur Respir J 2019: 53(1).
3. Simonneau G, Montani D, Celermajer DS, Denton CP, Gatzoulis MA,
Krowka M, Williams PG, Souza R. Haemodynamic definitions and
updated clinical classification of pulmonary hypertension. Eur Respir J
2019: 53(1).
4. Hernandez-Diaz S, Van Marter LJ, Werler MM, Louik C, Mitchell AA. Risk
factors for persistent pulmonary hypertension of the newborn. Pediatrics
2007: 120(2): e272-282.
5. Kumar VHS. Diagnostic approach to pulmonary hypertension in
premature neonates. Children (Basel) 2017: 4(9).
6. Lammers A, Hager A, Eicken A, Lange R, Hauser M, Hess J. Need for
closure of secundum atrial septal defect in infancy. J Thorac Cardiovasc
Surg 2005: 129(6): 1353-1357.
7. Drossner DM, Kim DW, Maher KO, Mahle WT. Pulmonary vein stenosis:
prematurity and associated conditions. Pediatrics 2008: 122(3): e656-661.
8. Laux D, Rocchisani MA, Boudjemline Y, Gouton M, Bonnet D, Ovaert C.
Pulmonary hypertension in the preterm infant with chronic lung disease
can be caused by pulmonary vein stenosis: a must-know entity. Pediatr
Cardiol 2016: 37(2): 313-321.
9. Hilgendorff A, Apitz C, Bonnet D, Hansmann G. Pulmonary hypertension
associated with acute or chronic lung diseases in the preterm and term
neonate and infant. The European Paediatric Pulmonary Vascular
Disease Network, endorsed by ISHLT and DGPK. Heart 2016: 102 Suppl
2: ii49-56.
10. Pandya B, Quail MA, Steeden JA, McKee A, Odille F, Taylor AM,
Schulze-Neick I, Derrick G, Moledina S, Muthurangu V. Real-time
magnetic resonance assessment of septal curvature accurately tracks
acute hemodynamic changes in pediatric pulmonary hypertension. Circ
Cardiovasc Imaging 2014: 7(4): 706-713.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 167
11. Ivy DD, Abman SH, Barst RJ, Berger RM, Bonnet D, Fleming TR,
Haworth SG, Raj JU, Rosenzweig EB, Schulze Neick I, Steinhorn RH,
Beghetti M. Pediatric pulmonary hypertension. J Am Coll Cardiol 2013:
62(25 Suppl): D117-126.
12. Mourani PM, Sontag MK, Ivy DD, Abman SH. Effects of long-term
sildenafil treatment for pulmonary hypertension in infants with chronic lung
disease. J Pediatr 2009: 154(3): 379-384, 384.e371-372.

th
168 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Basic View for Fetal Cardiac Screening

Haifa Abdul Latiff


Consultant Pediatric Cardiologist
Institut Jantung Negara, Kuala Lumpur

Introduction
Fetal cardiac screening plays an important role in early
diagnosis of CHD. Patients with prenatal diagnosis has been shown to
have better O2 sat at presentation, fewer adverse perioperative
neurologic events and better preoperative condition in prenatally
diagnosed HLHS but not associated with decreased hospital mortality.
Unfortunately, the prenatal detection rate in this region is still very low
due to limited resources and trained personnel.
Detection rate of CHD varies depending on level of experience
and type of screening practice. Fetal cardiac screening using 4
chamber view alone detects only 50% of cardiac lesions. The detection
rate increased to 90% when the screening includes the outflow tracts
and 3-vessel views. (5)

Standard Views for Fetal Echocardiogram (Figure 1, adopted from


AHA scientific statement circulation 2014)
1. 4-chamber view
2. Outflow tract view
3. 3-Vessel (3VV) and 3-Vessel-Trachea (3VT) Views

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 169
Standard Fetal Echocardiogram Protocol
Fetal echocardiogram should adopt a systematic, step-by step
segmental analysis approach
1. 4 Chamber view:
a) Cardiac position, size and axis
b) Abominal situs: site of liver, stomach, IVC and abdominal aorta
c) Atrium: situs, size, anatomy of septum (PFO size and flow
direction)
d) Ventricles: size with R&L comparison, function and VSD
e) Systemic and pulmonary veins (connection, flow)
f) Atrioventricular valves (compare size of right to left,
regurgitation)
2. Outflow tract view
a. Criss-crossing great arteries
b. Semilunar valves (compare size right to left, valve mobility,
thickening, flow direction, acceleration)
3. 3VV and 3VT
a. Great arteries: size; and position to each other and to trachea
b. Ductus arteriosus: size, flow direction
c. Ductus: ithmus size ratio
d. Aortic arch
4. Heart rate, rhythm and Doppler studies

Fetal echocardiogram examination: normal and abnormal


findings
Cardiac position
Align the transducer in the long axis of fetus – head right of the
screen
1. Rotate transducer 90 degree clockwise
2. Fetus back down: fetus left will be right of the screen
3. Fetus back up: left side of on the left of the screen

th
170 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Abnormal findings include: dextrocardia or mesocardia
(suggestive of CCTGA)

Abominal situs
Obtain the axial view of the abdomen, just below the heart.
Slide down the probe slightly towards fetal abdomen from the 4
chamber view.
Normal: the stomach shadow is on the left, liver on the right,
abdominal aorta to the left of spine and IVC to the right of the spine.
Abnormal Abdominal: situs inversus, heterotaxy

4 CHAMBER VIEW
After determine the abdominal situs, slide back the probe
toward’s fetal head to obtain the 4 chamber view.
Normal 4 chamber view:

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 171
Abnormal 4-chamber view includes:
1) Septal defects: VSD, AVSD
2) Right sided chamber abnormalities:
a) Small right heart: PAIVS, tricuspid atresia
b) Big right heart: Ebstein’s anomaly TV dysplasia
3) Left sided chamber abnormalities: Mitral atresia, coarctation of
aorta, HLHS
4) Other lesions: Single ventricle lesions e.g. DILV, TAPVD

OUTFLOW TRACT VIEW


This view is obtained by slight tilting/angulation towards fetal
heart from the 4chamber view. In this view, the first structure to appear
is aorta; and further gentle tilting of probe, the pulmonary artery will
appear, criss-crossing the aorta. Both aorta and pulmonary artery
artery cannot to be visualized on the same image plane.
Abnormal outflow tract view includes:
1. Parallel great arteries (aorta and pulmonary seen parallel to each
other on the same plane) which indicates high possibility of
transposition of great arteries)
2. Outlet VSD with overriding aorta: conotruncal abnormality
(Tetralogy of Fallot, Pulmonary atresia with VSD and Truncus
arteriosus)

th
172 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
3-VESSEL VIEW (3VV)
Slide the probe slightly towards the fetal head. This will give a
cross section from right to left, posterior to anterior: SVC, aorta and
pulmonary artery. See figure 3 below.
Normal 3VV: the SVC is slightly smaller than the aorta. The
aorta is slightly smaller than the pulmonary artery. The pulmonary
artery is determined by its branching into right and left pulmonary
arteries.
Abnormalities: marked discrepancy between aorta and
pulmonary artery (e.g. in pulmonary atresia) or abnormal arrangement
e.g. triangle arrangement in TGA (aorta is anterior to PA)

3-VESSEL-TRACHEA VIEW (3VT)


Figure 2 (Seminar in Fetal and Neonatal Medicine 18 (2013):
261-268

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 173
Obtained just slightly higher position from the 3VV, at the level
of transverse arch. In this view, you will view the merging of the PDA
and the ithmus of the aorta. Normally the size of the ithmus and PDA is
almost equal. It is important to assess the flow direction in the PDA
and aorta. A reverse flow into aorta suggest systemic duct dependent
lesion (e.g. HLHS) and a reverse flow into PDA suggest a pulmonary
duct dependent lesions (e.g. pulmonary atresia)
Other structures that can be seen on this view are trachea and
thymus. The trachea lies to the right of the transverse arch.
Abnormal 3VT includes:
1. Small aorta: HLHS, hypoplastic aortic arch or coarctation of aorta
2. Small PA: include Conotruncal lesions, PAIVS
3. Only 2 Vessel present: TGA, Pulmonary atresia VSD.
4. Other abnormalities include: bilateral SVC, double aortic arch,
aberrant subclavian arteries.

Summary
Basic views for fetal echo includes: 4-chamber view, outflow
tract view, 3-vessel (3VV) and 3-vessel trachea view (3VT).
Checklist for normal heart:
1. Position: heart and stomach on the left
2. 4 chamber: heart 1/3 of thorax, equal size ventricles (3rd trimester
RV>LV), PFO flow R to left, pulmonary veins to LA, look for VSD,
AV valves regurgitation
3. Outflow tracts: crossing, almost equal size, valves opening and
flow
4. 3VV: position: right to left: SVC<Ao<PA (branching)
5. 3VT: PDA:ithmus size (almost 1:1), trachea to the right of aorta,
same flow direction
6. HR and rhythm
7. Doppler: DV, UA, UV

th
174 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Adult Congenital Heart Disease:
Optimal Care in Limited Resources

Teddy Ontoseno
Cardiology Division
Departemen of Child Health Airlangga University
RSUD Dr. Soetomo

Abstract
Successful treatment of children with congenital heart disease (CHD)
has led to an increasing number of adults with unoperated, palliated,
and repaired CHD entering the general adult cardiology practice.
Children with CHD are more frequently living into adulthood as their
survival has improved due to availability of better medical and surgical
management in recent times. That have created a new population of
adults with CHD (ACHD) and the management emerging as new
challenge in the field of medical science. As the growing number of
patients with ACHD, the availability of regional centers that specialize
in the treatment and follow-up care of ACHD bears a great importance.
Following the diagnosis, four different type of treatments were provided
to patients: 1) Interventional catheterization, 2) Surgery, 3) Medical
treatment, or 4) No intervention.
The issues of possible complications or residual lesions of repaired
heart defects as well as the necessary long term follow-up care for
those with complex CHD place a high demand for tertiary care centers
equipped with highly trained specialists and staff with complex
knowledge of CHD. Establishing paediatric cardiology service in a
country with limited resources are at risk for a number of problems
such as rhythme disturbances, ventricular impairment, cyanosis,
anatomical residual defect, coronary disease, pulmonary or systemic
hypertension, heart failure, bacterial endocarditis and high risk
pregnancy. Organization of cardiology practice as pediatric and adult
cardiologists, and limited communication between these two specialist
groups, resulted in increasing number of patients struggling to find
optimal care for their conditions as they reach adulthood and admit to
hospital with complex problems. Specialized tertiary care facilities have
to develop in response to the increasing numbers of ACHD.
Key words: Adult congenital heart disease,continued follow-up care a
great importance
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 175
Latar belakang
Di negara berkembang, termasuk Indonesia, masih banyak
pasien dengan penyakit jantung bawaan (PJB) yang tidak atau belum
mendapat kesempatan untuk dilakukan intervensi korektif atau paliatif.
Sementara pasien bisa bertahan hidup mencapai usia dewasa dengan
segala permasalahannya. Di negara yang sudah maju, kemajuan
IPTEK DOK dibidang kardiologi anak berkembang dengan pesat
dalam 10 tahun terakhir. Perkembangan teknik bedah jantung,
intervensi non bedah dan terapi medikamentosa telah menciptakan
populasi baru yaitu penyakit jantung bawaan usia dewasa (Adult
Congenital Heart Disease/ACHD). Fenomena ini mendorong
tersedianya sarana, pengetahuan, penelitian baru dan tim ahli untuk
menentukan tatalaksana lanjutan serta prioritas dalam layanan jantung
terutama di daerah dengan sarana layanan jantungnya yang masih
terbatas.
Angka keberhasilan perawatan PJB pada usia dini sebanding
dengan angka kejadian ACHD. Perlu dipahami, meskipun mayoritas
pasien PJB dapat bertahan sampai dewasa, bukan berarti telah
sembuh dari penyakit jantungnya. Munculnya berbagai penyulit akan
mengubah perjalanan penyakit dan prognosa PJB setelah mencapai
usia dewasa.
Bedah jantung korektif merupakan terapi definitif untuk
beberapa jenis PJB yaitu dengan mengembalikan anatomi jantung
semaksimal dan sedini mungkin untuk mendekati antomi jantung
normal. Namun tidak semua bisa menyelesaikan masalah dengan
tuntas, pada PJB yang komplek perlu operasi beberapa kali, masih
memerlukan operasi paliatif sebelumnya, untuk memperbaiki
gangguan hemodinamik yang akan ataupun sudah terjadi.
Memungkinkan sekali pasien pada kelompok ini masih
memiliki:
1) Residua, yaitu sisa gangguan anatomi dan hemodinamik akibat
cacat anatomi jantung. Gangguan konduksi pada TGA, regurgitasi
aorta pada VSD, bikuspidal katup aorta, regurgitasi katup trunkus,
perubahan morfologi dan masa serta sistem konduksi ventrikel
setelah operasi Fontan (univentrikel) atau setelah operasi Norwood
(hipolastik jantung kiri), tersisanya stenosis arteri pulmonalis pada
operasi koreksi tetralogy Fallot. Keterlambatan perkembangan
intelegensia dan fisik akibat hipoksi menahun pada pasien PJB
biru yang komplek.
th
176 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
2) Sequelea, yaitu konsekuensi anatomi dan hemodinamik yang
tidak dapat dihindari akibat tindakan/ operasi jantung yaitua;
terpotongnya jaringan konduksi saat operasi jantung, timbulnya
regurgitasi arteri pulmonalis saat indfundibulektomi pada tetralogy
Fallot, timbulnya trombo emboli/endokarditis setelah pemasangan
material prostetik, tumbuhnya aneurisma atau jaringan parut bekas
sayatan ventrikulotomi atau atriotomi.

Penyakit jantung bawaan usia dewasa mempunyai risiko yang


memerlukan perawatan khusus. Namun hal ini bukan masalah yang
mudah diselesaikan, karena pasien dan keluarganya beranggapan
bahwa penyakit jantungnya sudah “sembuh” bahkan sudah tidak perlu
berkomunikasi bahkan memutuskan hubungan dengan dokter jantung
anak (SpAK kardiologi) yang merawat sejak usia dini. Selain itu,
meskipun telah dirujuk ke ahli jantung dewasa (SpJP), kelompok
pasien ini merasa enggan dan mempunyai perasaan kurang percaya
dengan SpJP dari pada SpAK Kardiologi yang telah merawat dan
memahami masalah jantungnya sejak usia dini.
Masa transisi tersebut merupakan “gray area” (daerah tidak
bertuan) inilah yang bisa menimbulkan masalah besar dan
memerlukan sistem layanan jantung yang terpadu, membangkitkan
motivasi untuk terus berobat dan kontrol berkesinambungan di layanan
tersier. Perlu mendapatkan prioritas serta layanan koordinatif dengan
cabang ilmu lain yang terkait sehingga prognosis dan perjalanan
alamiahnya pasien PJB terutama didaerah dengan fasilitas layanan
jantung yang masih terbatas bisa menjadi optimal.

Kelangsungan hidup pasien penyakit jantung bawaan


Penyakit jantung bawaan usia dewasa (ACHD) bukanlah
kelanjutan sederhana dari PJB usia bayi yang berhasil hidup mencapai
usia dewasa, kelompok ini akan hadir dari empat pintu:
1) Mereka yang telah mendapat operasi kuratif namun masih
meninggalkan residua atau sequelae.
2) Mereka yang sementara hanya mendapat intervensi paliatif, untuk
optimalisasi hemodinamik kemudian dilanjutkan operasi korektif.
3) Mereka yang hanya mendapatkan terapi suportif sekedar untuk
meringankan gejala dan mencegah penyulit.
4) Bahkan mereka yang belum pernah terdiagnosa serta rencana
tatalaksananya.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 177
Penyakit jantung bawaan usia dewasa (ACHD) berasal dari
PJB yang muncul dengan permasalahan baru setelah mencapai usia
dewasa, bisa berkaitan dengan timbulnya penyakit jantung yang
didapat (hipertensi, penyakit jantung koroner) atau masalah akibat
sequelae dan residua setelah tindakan intervensi saat usia bayi.
Pemahaman hasil intervensi bedah atau non bedah, korektif
atau paliatif untuk jangka panjang, memerlukan pemahaman tentang
kondisi penyakit jantung sebelum dan setelah intervensi, serta residua
maupun sequelae nya.
Defek yang belum diterapi akibat remodeling miokard yang
penting untuk kehidupan namun proses ini mengakibatkan perubahan
patologi sekender, akibat proses kalsifikasi katup yang abnormal,
munculnya disritmia, serta kegagalan meningkatkan volume akhir
diastolik agar volume sekuncup bertambah mengakibatkan kegagalan
fungsi ventrikel.
Kelompok ini akan terus meningkat jumlahnya karena semakin
banyak anak menjadi dewasa dengan menempuh perjalanan
penyakitnya melalui beberapa alasan:
1. Pasien yang datang sendiri dengan PJB dan segala penyulitnya
yang lolos dari diagnosis oleh dokter umum.
2. Pasien paska repair yang dikirim oleh ahli jantung anak/dokter
umum/dokter spesialis lainnya. Kelompok ini biasanya datang
setelah usia 30 sampai 40 tahun melalui perawatan oleh ahli
jantung anak namun setelah usia 18 samapi 20 tahun tidak ada
komunikasi dengan dokter. Pada usia tersebut datang ke ahli
jantung dewasa selain karena penyulit akibat PJB nya (gagal
jantung, disritmia, sianosis, hipertensi pulmonal, endokarditis) juga
menyangkut penyakit jantung didapat (hipertensi sistemik, penyakit
jantung koroner). Dengan demikian permasalahan yang timbul
semakin komplek, melibatkan multidisplin ilmu.

Patofisiologi ACHD
Defek anatomi PJB mengakibatkan gangguan hemodinamik
yang spesifik dan akan berubah dalam perjalanan mencapai usia
dewasa. Beban volume dan atau beban tekanan menimbulkan
perubahan struktur miokard, berupa peningkatan masa miokard atau
pelebaran ruangan jantung. Sehingga menimbulkan gangguan fungsi
sistolik dan atau diastolik. Juga melibatkan beban miosit maupun
neurohormonal (norephinefrin, angiotensin), sitokin inflamasi (tumor
th
178 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
necrosis factor-alpha [TNF-α]), peptide dan faktor pertumbuhan
(endothelin) serta reaktif spesies oksigen (superoksida, NO).
Rangsangan ini meningkat secara sistemik maupun didalam miokard
sebagai respons terhadap kegagalan sirkulasi, sehingga menjadi
dasar timbulnya kegagalan jantung yang progresif.
Pada beberapa jenis ACHD yang mengalami gagal jantung,
curah jantung normal bahkan meningkat, namun karena penurunan
kadar oksigen akibat anemia akan meningkatkan kebutuhan oksigen
bila terjadi hiperventilasi, hipertiroidisme atau metabolisme tubuh yang
meningkat.
Pada PJB sianosis, kadar oksigen yang rendah merangsang
terjadinya polisitemia (eritositosis sekender) secara pelan namun
semakin nyata pada usia dewasa (respons fisiologis terhadap hipoksia
menahun). Fenomena ini mengakibatkan penurunan tekanan perfusi
koroner karena hiperviskositas sehinga berisiko untuk timbulnya
oklusi, iskemia dan fibrosis miokard, penurunan volume akhir diastolik
serta volume sekuncup, akhirnya timbul gagal jantung.
Proses adaptasi selama masa tumbuh kembang menjadi usia
dewasa diperlukan remodeling untuk kelangsungan hidup namun bisa
memunculkan perubahan patologis berupa kalsifikasi katup, timbulnya
disritmia, meningkatnya volume akhir diastolik untuk mempertahankan
volume sekuncup dan fungsi ventrikel terutama pada PJB hipoksik
risiko terjadinya kerusakan ventrikel yang permanen. Selain itu, setiap
pasien ACHD dengan katup buatan mempunyai risiko embolisasi,
endokarditis gangguan pembekuan darah serta imunitas.

Kriteria keberhasilan/kesuksesan tatalaksana PJB


1. Bisa bertahan hidup pada awal intervensi bedah.
2. Bisa bertahan hidup pada tahun pertama paska intervensi bedah.
3. Kelangsungan hidup berlangsung lama dan tidak memerlukan
tindakan reoperasi
4. Menjadi anak remaja normal tanpa menimbulkan masalah khusus
diluar jantung.
5. Mencapai usia dewasa dengan proses adaptasi dan tumbuh
kembang yang normal
6. Menjadi manusia dewasa normal tanpa ada keterbatasan kegiatan
fisik.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 179
Permasalahan ACHD di daerah dengan sarana layanan jantung
yang masih terbatas
Problem menjelang pernikahan
Calon pasangan jelang pernikahan sering merasa rendah diri,
sering merahasiakan dan tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk
mengungkapkan bahwa mereka mempunyai masalah pada
jantungnya, selalu disertai perasaan takut mendapat penolakan dari
calon pasangannya. Khususnya pasien wanita dengan PJB sianosis
sering mendapat kesulitan dalam masalah sistem reproduksinya,
keterlambatan atau terganggunya masa menstruasi. Hal ini
menambah perasaan rendah diri dan takut untuk hamil. Masalah ini
perlu pemahaman yang jelas dari tim medik terutama dokter jantung
yang merawatnya sejak usia dini.

Konseling genetik
Calon suami istri dengan ACHD yang akan nikah memerlukan
konseling tentang transmisi genetik jauh sebelum memperoleh
kehamilan. Risiko transmisi genetik jauh lebih tinggi dibanding
populasi normal. Fetal ekokardiografi dianjurkan pada usia kehamilan
antara 16–20 minggu untuk identifikasi dini adanya PJB yang
kompleks guna menentukan apa kehamilan harus diterminasi atau
diteruskan namun dengan waktu dan cara persalinan yang sesuai
dengan derajat defek jantung janinnya. Hal ini juga memerlukan
koordinasi tim dokter sesuai dengan keahliannya.

Kehamilan pada ACHD


Pasien wanita dengan ACHD berhasil mencapai usia
reproduktif memerlukan pemahaman tim dokter tentang perubahan
fisiologis sistem kardiovaskuler pada kehamilan normal dan kehamilan
dengan defek pirau kiri ke kanan, hipoksemia, hipertensi pulmonal,
disrtimia dan terjadinya residua atau sequelae akibat intervensi awal
serta gagal jantung. Walaupun sebagian kecil pasien ACHD masih
bisa beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi selama
berlangsungnya kehamilan dan persalinan normal. Namun perlu
diingat juga terhadap efek samping obat jantung yang diminum ibu
terhadap janinnya.
Kehamilan akan meningkatkan cardiac output sebesar 30-50%,
hal ini diakibatkan oleh meningkatnya stroke volume dan frekuensi
nadi ibu hamil (peningkatan 15-20 kali permenit). Selain itu juga terjadi
th
180 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
penurunan resistensi vaskular sistemik akibat adanya peningkatan
vasodilator endogen selama kehamilan berupa progesteron, esterogen
dan nitrit oxide. Pada usia kehamilan 20 minggu, pembesaran uterus
akan menekan pembuluh darah aorta sehingga dapat meningkatkan
tekanan afterload, selain itu penekanan ini dapat juga menurunkan
volume alir balik akibat penekanan pada vena cava inferior.
Penurunan aliran balik ini juga akan menimbulkan turunnya stroke
volume sebesar 20-30%. Distribusi cardiac output akan berubah
sejalan dengan bertambahnya usia kehamilan, pada trimester awal
uterus menerima hanya 2% dari total curah jantung dan bertambah
menjadi 17 % saat akhir trimester.

Tabel 1. Aplikasi stratifikasi risiko kardiovaskular WHO yang


dimodifikasi
Kelas Kondisi Medis
I • Tidak ada komplikasi, atau komplikasi ringan
- Stenosis pulmonal
- Patent ductus arteriosus
- Mitral valve prolapse
• Perbaikan lesi sederhana yang berhasil (atrial atau
ventricular septal defek, Paten ductus arteriosus,
anomalous pulmonary venous drainage).
Atrial atau ventricular ectopic beat
II • Atrial dan ventrikel septal defek yang tidak dioperasi
• Tetralogy of Fallot yang diperbaiki
Semua aritmia
II-III • Penurunan fungsi ringan ventrikel kiri
• Kardiomiopati hipertrofi
• Penyakit katup jaringan atau native (tidak dikategorikan
kelasnI atau IV)
• Sindroma Marfan tanpa dilatasi aorta
• Dilatasi aorta <45 mm pada aortopati yang berhubungan
dengan katup aorta bikuspid
Coarctatio yang telah dikoreksi
III • Katup Mekanikal
• Systemic right ventricle
• Sirkulasi Fontan
• Penyakit jantung sianotik yang tidak dikoreksi
• Penyakit jantung kongenital kompleks yang lain
• Dilatasi aorta 40–45 mm pada sindroma Marfan
Dilatasi aorta 45–50 mm pada penyakit aorta yang
berhubungan dengan katup bikuspid aorta
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 181
Kelas Kondisi Medis
IV • Hipertensi arteri pulmonal, oleh semua penyebab
• Disfungsi ventrikel sistemik berat (LVEF <30%, NYHA III–
IV)
• Kejadian peripartum kardiomiopati pada kehamilan
sebelumnya dengan kelainan residual apapun dari ventrikel
kiri.
• Mitral stenosis berat, aorta stenosis berat simptomatis
• Sindroma Marfan dengan dilatasi aorta >45 mm
• Dilatasi aorta >50 mm pada penyakit aorta yang
berhubungan dengan katup bikuspid aorta.
Coarctatio native berat

Pada sebagian besar wanita dengan ACHD, kehamilan dapat


ditoleransi dengan baik. Risiko kehamilan tergantung pada defek
jantung yang mendasari serta adanya faktor tambahan seperti fungsi
ventrikel, derajat fungsional, dan saturasi oksigen. Komplikasi kardiak
pada maternal muncul pada sekitar 10% kehamilan dan lebih sering
pada wanita dengan ACHD yang komplek. Komplikasi obstetri yang
terjadi dapat berupa abortus spontan, gangguan tumbuh kembang
janin, kelahiran prematur, dan juga perdarahan. Untuk mencegah
komplikasi kehamilan yang berat dan tidak diharapkan, edukasi dan
konseling mengenai risiko maternal dan risiko pada janin.
Untuk risiko maternal, peningkatan volume darah pada saat
kehamilan dapat memicu terjadinya kegagalan fungsi ventrikel.
Menurunnya resistensi vaskular sistemik selama kehamilan dapat
memicu peningkatan pirau dari kanan ke kiri dan menurunkan saturasi
oksigen. Pada ACHD sianotik, terjadi sebesar 15% timbulnya
komplikasi maternal (gagal jantung, trombosis, aritmia, dan
endokarditis). Kondisi maternal lebih ditentukan oleh penyakit yang
mendasari dan fungsi ventrikel dibandingkan derajat saturasi. Dengan
adanya kondisi sianosis maternal, kelainan jantung berupa obstruksi
jantung kiri atau kegagalan fungsi ventrikel, sistim kardiovaskular
maternal tidak dapat memberikan pasokan nutrisi yang adekuat pada
janin. Hal ini menyebabkan keterlambatan pertumbuhan janin dan
pada akhirnya membutuhkan terminasi awal kehamilan atau memicu
terjadinya abortus spontan. Jika saturasi oksigen >90%, umumnya
memberikan hasil yang baik bagi janin (peluang 10% abortus).
Sedangkan jika saturasi oksigen <85%, kemungkinan terjadinya

th
182 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
gangguan pertumbuhan janin, prematuritas, dan kematian janin lebih
besar, dan kehamilan sebaiknya diakhiri (kemungkinan bayi lahir hidup
hanya 12%).
Stratifikasi pasien dari anamnesa dan pemeriksaan fisik sangat
dibutuhkan untuk merencanakan tatalaksana yang optimal. Harus
dipertimbangkan kapasitas fungsional pasien, toleransi latihan,
klasifikasi New York Heart Association (NYHA), derajat hipoksemia,
kebutuhan obat, dan riwayat aritmia. Langkah berikutnya adalah
mengetahui anatomi dan fisiologi proses penyakit, khususnya dengan
evaluasi ekokardiografi. Modalitas lain yang dapat mendukung yaitu
dengan magnetic resonance imaging (MRI), CT scan, uji latih, dan
elektrokardiogram ambulatori.
Berdasarkan struktur dan fungsi jantungnya, wanita hamil
dengan PJB dapat dibedakan menjadi lima kelompok:
1. Ventrikel kanan sebagai ventrikel sistemik, seperti pada kasus
transposition of the great arteries yang telah menjalani arterial
switch, atau pada diskordansi ganda. Jika terdapat aritmia yang
diinduksi oleh pembedahan, maka terdapat risiko berupa gangguan
fungsi ventrikel kanan dengan peningkatan regurgitasi
atrioventrikular, yang kadangkala bersifat menetap setelah
kehamilan. Beberapa studi melaporkan perkembangan kehamilan
yang baik pada wanita yang telah menjalani arterial switch dan
dengan diskordansi ganda.
2. Beban ventrikel kanan tinggi yang disebabkan oleh regurgitasi
dan/atau obstruksi pulmonal. Hal ini sering terjadi pada kasus TOF
yang terkoreksi, conduit pulmonal yang digunakan untuk
memperbaiki trunkus arteriosus atau atresia pulmonal dengan
ventricular septal defect (VSD), atau malposisi arteri besar dengan
VSD. Situasi ini seringkali dapat ditoleransi, bahkan pada kasus
dengan regurgitasi pulmonal berat, dan dapat dilakukan persalinan
normal. Jika status fungsional sebelum hamil mengalami
gangguan, kadangkala dilakukan penggantian katup pulmonal pra-
kehamilan untuk menghindari terjadinya aritmia ventrikel atau
atrial.
3. Pasien sianotik dengan anomali Ebstein, paliatif atresia pulmonal
dengan VSD, fisiologi jantung univentrikel, tetapi tidak termasuk
reaksi Eisenmenger. Vasodilatasi yang terpicu oleh kehamilan
umumnya akan memperberat hipoksia. Selain itu, hipoksemia akan
menyebabkan kegagalan pertumbuhan janin dan berkaitan dengan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 183
tingginya angka abortus jika saturasi oksigen kurang dari 85% atau
apabila hemoglobin lebih dari 18 g/dl (11.2 mmol/l). Hipoksia
sedang sampai berat akan meningkatkan insiden berat badan lahir
rendah dan kelahiran prematur, demikian juga dengan
meningkatnya kejadian tromboemboli maternal.
4. Perubahan moderat dari fungsi ventrikel kiri. Dibutuhkan adanya
evaluasi rutin selama kehamilan, dan terminasi dini dapat
dipertimbangkan apabila terjadi perburukan yang progresif dari
ventrikel kiri.
5. Residual koarktasio aorta atau obstruksi sedang left ventricle
outflow tract (LVOT). Pada kasus residual koarktasio, adanya
tekanan sistemik ekstremitas atas yang tinggi memerlukan
pengobatan yang tepat untuk hipertensinya yang dapat memicu
gangguan sirkulasi aliran darah ke plasenta. Pasien dengan
obstruksi sedang dari LVOT sebaiknya menjalani tirah baring di
rumah sakit. Dibutuhkan kerjasama dari bidang obstetri, anestesi,
dan kardiologi untuk melakukan pengawasan ketat selama
kehamilan. Risiko kardiak untuk maternal umumnya dapat berupa
aritmia (kelompok 1,2, dan 3), gagal jantung (kelompok 1,3, dan 4),
hipoksemia yang memberat (kelompok 3), dan kejadian
tromboemboli (kelompok 3 dan 4).

Kelainan dengan gangguan hemodinamik ringan seperti VSD


kecil, ASD kecil, katup aorta bikuspid tanpa adanya stenosis,
insufisiensi atau pelebaran aorta, pirau kiri ke kanan yang asimtomatik
dan stenosis pulmonal ringan sampai sedang memiliki risiko kehamilan
yang kecil. Pasien ini memiliki fisiologi yang hampir mendekati normal
sehingga risiko kehamilan juga meningkat secara minimal. Ibu hamil
dalam kondisi tersebut dapat mendapatkan pelayanan obstetri secara
rutin, termasuk pemberian profilaksis terhadap endokarditis.
Pasien yang termasuk kategori risiko kehamilan sedang adalah
pasien dengan tetralogy of Fallot (TOF) yang terkoreksi tanpa adanya
insufisiensi atau stenosis pulmonal yang signifikan. Penyakit jantung
bawaan kompleks dengan ventrikel kanan bertindak sebagai ventrikel
sistemik, dan stenosis katup sisi kiri yang ringan. Pada kondisi ini,
kehamilan dapat ditoleransi, namun sebaiknya perbaikan lesi residual
yang signifikan dilakukan sebelum kehamilan terjadi.
Yang termasuk risiko kehamilan berat pada ibu hamil dengan
ACHD adalah pasien yang memiliki risiko signifikan terjadinya gagal

th
184 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
jantung dan kematian selama kehamilan dan pada satu bulan pertama
paska kelahiran. Kelompok ini termasuk sindroma Eisenmenger,
hipertensi pulmonal berat, stenosis aorta berat atau obstruksi left
ventricular outflow tract, sindroma Marfan dengan dilatasi aorta lebih
dari 4 cm, atau disfungsi ventrikular sistemik dengan fraksi ejeksi
<40%. Pada kelompok ini sebaiknya disarankan untuk tidak hamil. Jika
kehamilan terjadi maka membutuhkan pengawasan ketat dari tim
medis yang berpengalaman ditunjang sarana yang lengkap.
Pemberian terapi pada wanita hamil dengan ACHD
menimbulkan permasalahan keamanan, di satu sisi memberikan
manfaat untuk ibu, di sisi lain membayakan untuk janin. Golongan
angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors dan angiotensin
receptors blocker merupakan obat-obatan kategori D untuk kehamilan
terkait dengan efek samping berupa gangguan fungsi ginjal pada janin,
peningkatan morbiditas dan kematian janin dan neonatus, terutama
saat trimester kedua dan ketiga. Sebaiknya pasien disarankan untuk
menghentikan obat-obat tersebut sebelum konsepsi untuk
meminimalkan risiko abnormalitas janin. Pada masa ini pasien
dilakukan evaluasi ekokardiografi berkala untuk menilai fungsi ventrikel
dan kapasitas latihan. Stabilitas pada fraksi ejeksi dapat memberikan
gambaran pasien tersebut lebih toleran terhadap beban cairan semasa
kehamilan.
Penyekat beta memberikan profil keamanan yang lebih baik
dan tidak ada efek teratogenik, kecuali atenolol yang dikaitkan dengan
insiden berat badan lahir rendah pada neonates (BBLR). Golongan
diuretik dapat menurunkan volume plasma pada awal gestasi
sehingga membahayakan janin. Apabila pasien memiliki indikasi
pemberian diuretik, maka harus diberikan dengan bijaksana.
Spironolakton tidak direkomendasikan untuk kehamilan karena adanya
efek antiandrogenik dan feminisasi janin laki-laki. Amiodaron dikaitkan
dengan 9% insiden hipotiroidisme janin dan 21% intrauterine growth
retardation sehingga penggunannya harus dibatasi pada kasus aritmia
ventrikular refrakter.
Obat-obatan yang termasuk kategori bahaya untuk kehamilan
adalah sebagai berikut:
• Antikoagulan, antagonis vitamin K melewati plasenta dan potensi
fetotoksik. Risiko dan manfaat penggunaannya sebaiknya
didiskusikan sebelum kehamilan terjadi.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 185
• Antagonis reseptor endotelin (bosentan, ambrisentan, dan
macitentan).
• Statin, alasan tidak direkomendasikan pemberian statin adalah
karena kurangnya bukti manfaat mengobati hiperlipidemia pada
masa kehamilan, selain itu kolesterol juga dibutuhkan untuk
perkembangan embrio.

Waktu dan cara persalinan


Perencanaan persalinan harus meliputi detail induksi,
manajemen mengejan, persalinan, dan penanganan paska persalinan.
Induksi persalinan dapat dipertimbangkan pada usia kehamilan 40
minggu pada semua wanita dengan penyakit jantung. Pilihan obat
induksi yang aman untuk kasus ini yaitu misoprostol atau dinoproston.
Penelitian dari Registry of Pregnancy And Cardiac Disease (ROPAC)
bahwa operasi sectio caesarean (SC) elektif tidak memberikan
keuntungan dari sisi maternal. Persalinan pervaginam lebih
diutamakan terkait dengan perdarahan yang lebih sedikit dan risiko
infeksi, trombosis vena, serta emboli yang rendah. Operasi SC dapat
dipertimbangkan apabila ada indikasi obstetrik dan untuk pasien yang
mengkonsumsi obat antikoagulan oral, pasien dengan patologi aorta
yang agresif, dan pasien dalam kondisi gagal jantung berat. Hipertensi
pulmonal berat (termasuk sindroma Eisenmenger).

Terminasi kehamilan
Pasien dengan PJB kompleks yang meneruskan
kehamilannya, pertimbangan untuk terminasi kehamilan harus
didiskusikan. Tetapi mengingat tindakan tersebut juga meningkatkan
risiko maternal berdasarkan metodenya seiring dengan peningkatan
usia kehamilan, maka kebijaksanaan untuk mempertimbangkan pilihan
dari pasien sangat penting. Keuntungan terapetik dari terminasi pada
pasien dengan usia kehamilan ≥20 minggu masih kontroversial karena
adaptasi kardiopulmonal telah terjadi.

Sindroma Eisenmenger
Pasien Eisenmenger membutuhkan perhatian khusus karena
adanya komplikasi tambahan berupa hipoksemia, pirau dari kanan ke
kiri, dan emboli paradoksal. Selama kehamilan, vasodilatasi sistemik

th
186 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
akan meningkatkan pirau kanan ke kiri dan menurunkan aliran ke
pulmonal, sehingga memperberat derajat hipoksia dan penurunan
curah jantung. Angka mortalitas maternal dapat mencapi 20-50% dan
meskipun terminasi juga memiliki risiko, tetapi sangat penting untuk
dipertimbangkan. Pada kondisi Eisenmenger, sering terjadi abortus
yang dapat disebabkan oleh kondisi hipoksemia maternal.
Prinsip pengelolaan pasien hampir sama seperti PH non-
Eisenmenger, namun memiliki risiko trombositopeni dan defisiensi
vitamin K. Pemberian terapi antiplatelet dan LMWH harus mendapat
pengawasan ketat. Sildenafil dan golongan inhibitor fosfodiesterase
lainnya sering digunakan dengan penambahan prostanoid apabila
pasien masih simtomatik. Harus diperhatikan pemberian obat yang
dapat menyebabkan vasodilatasi sistemik secara mendadak atau
risiko emboli udara paradoksikal (terapi intravena).

Masalah psikologis
Gangguan hemodinamik,kekurangan gizi, penurunan
kemampuan fisik, prestasi pendidikan dan dampak psikologis
merupakan ancaman untuk kesempatan mendapat pekerjaan dan
merupakan masalah utama yang harus segera diantisipasi pada
pasien ACHD di negara yang berkembang.
Pasien ACHD mengalami berbagai tekanan psikologis akibat
peristiwa-peristiwa yang telah dialaminya. Proses operasi/intervensi
jantung, terdapatnya berbagai jaringan parut di permukaan dada,
seringnya mendapat perawatan atau intervensi serta banyaknya
dokter yang terlibat dalam proses perawatannya, aktifitas fisik yang
dibatasi, banyaknya obat dan pemberiannya dalam jangka panjang,
proteksi yang berlebihan atau belum terbiasanya terhadap perawatan
yang dilakukan oleh SpJP. Tidak jarang memerlukan konsultasi dari
psikolog untuk mendapat perawatan secara holistik.

Beberapa rekomendasi untuk ACHD sianosis


Sebagian besar anak-anak dengan PJB sianosis tidak bisa
bertahan hidup sampai dewasa tanpa intervensi korektif maupun
paliatif. Penyebab paling umum dari ACHD sianosis adalah tetralogi
Fallot dan Eisenmenger. Akibat saturasi oksigen yang rendah sampai
40% dan menahun, merangsang hormon eritropoetin untuk
memproduksi eritrosit di dalam sumsum tulang. Eritrositosis sekunder

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 187
ini membutuhkan pasokan zat besi yang meningkat untuk
pembentukan hemoglobin, bilamana kebutuhan zat besi ini tidak
terpenuhi maka menimbulkan defisiensi besi yang bersifat relatif serta
hiperviskositas. Timbul bahaya penurunan deformabilitas eritrosit
akibat tertimbunnya ROS (reactive oxygen species) karena
kekurangan enzim yang dibentuk oleh zat besi untuk menetralisir
H2O2 sebagai hasil metabolism oksigen di dalam eritrosit. Selain itu
hiperviskositas yang terjadi akan mengaktifasi trombosit, kedua
keadaan ini memudahkan timbulnya tromboemboli terutama di
sirkulasi otak dan paru. Oleh karena itu penting memantau kadar zat
besi pada pasien dengan sianosis ACHD dengan memantau ketat
saturasi transferrin, ratio kadar hemoglobin dan hematokrit serta
gangguan faal pembekuan darah.
Plebotomi tidak dianjurkan karena akan memperberat
timbulnya defisiensi besi yang relatif serta hipovolemi. Sangat selektif
pada pasien yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya stroke atau
timbul perdarahan paru yang masif, bisa disarankan plebotomi asal
dengan pemantauan ketat kadar zat besi didalam darah dan volume
intravaskuler.
Tidak dianjurkan untuk execrcise test karena akan terjadi
penurunan saturasi O2 yang lebih berat, kehamilan juga akan
menurunkan saturasi O2 dan melahirkan bayi prematur atau berat
badan lahir rendah, sehingga tidak direkomendasikan kehamilan pada
wanita dengan PJB sianosis. Berpergian dengan pesawat terbang
tidak boleh melebihi ketinggian 5000 sampai 7500 feet walaupun
dengan sudah tersedianya tabung oksigen, cegah dehidrasi selama
penerbangan, dianjurkan berjalan-jalan setiap 1-2 jam, dan dilarang
minum alkohol selama penerbangan.
Rutin pemeriksaan gigi setiap 6 bulan dan pencegahan
endokarditis pada setiap tindakan medis yang memberikan risiko
bakteremia transien.
Transplantasi jantung/ jantung-paru dan xeno-transplantatiion
(non-human organs) memberikan harapan hidup yang lebih baik.

Rekomendasi umum yang juga harus diperhatikan


a. Tidak merokok pasif atau aktif
Mengurangi jumlah oksigen ke jaringan, meningkatkan frekuensi
jantung dan tekanan darah dan risiko gangguan pembekuan darah,
kerusakan arteri di otak dan jantung, menimbulkan berbagai
th
188 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
penyakit paru yang akhirnya akan merugikan jantung, terutama
pada ACHD sianosis
b. Makanan sehat
Rendah lemak (30% dari total kalori) dan kolesterol, tinggi serat,
kurangi garam. Terutama pasien dengan tekanan darah tinggi dan
gagal jantung.
c. Mengatur berat badan
Kelebihan berat badan membuat jantung kerja ekstra, penurunan
berat badan mengurangi stress, membantu control tekanan darah
dan kadar kolesterol serta risiko diabetes. Untuk estimasi lemak
tubuh adalah lingkaran pinggang dan body mass index (BMI).
Wanita dangan lingkaran pinggang >35 inchi dan pada laki >40
inchi mempunyai risiko tinggi timbulnya penyakit kardiovaskuler.
d. Olahraga teratur, intensitas, durasi, frekuensi; mempunyai efek
sebagai berikut:
- Menurunkan tekanan darah dan ferkuensi nadi basal
- Meningkatkan aliran darah ke jantung
- Menurunkan kebutuhan enersi yang diperlukan jantung
- Meningkatkan HDL (kolesterol “baik”)
- Meningktkan tonus dan elastisitas otot serta sendi
- Mengurangi stress
- Memperbaiki pola tidur

American Heart Association merekomendasikan akitivitas


aerobik selama 30-60 menit (jalan, lari, berenang) minimal 4 kali
seminggu, namun harus disesuaikan dengan kapasitas jantung
bahkan sering direstriksi yang berebihan aktivitasnya saat usia anak.
Restriksi aktivitas bergantung pada jenis ACHD, keberhasilan
koreksi, obat-obatan yang terakhir dikonsumsi, keadaan fisik dan
kemampuan jantung. Secara umum aktifitas fisik pada ACHD
disesuaikan dengan kemampuan jantung-parunya dan dengan olah
raga merasa lebih nyaman. Olah raga sebaiknya yang bersifat ritmik
dan aerob (jalan cepat, lari, bersepeda, renang). Hindari olah raga
anaerob dan intensitas yang berat serta bersifat kompetitif. Hindari
olah raga di ruang terlalu dingin atau panas serta didataran tinggi.
Penting disesuaikan dengan nadi dan tekanan darah maksimal pada
saat dilakukan treadmill stress test. Kebanyakan pasien PJB sianosis
usia dewasa sudah terbiasa dengan keterbatasan aktifitas olahraga
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 189
sejak usia dini sehingga perlu dorongan ketat untuk berolahraga
secara rutin. Perlu juga diperhatikan:
a. Kontrol kolesterol
Memantau kadar kolesterol terutama bila ada riwayat keluarga
dengan kadar kolesterol yang tinggi, terutama LDL (kolesterol
“jelek”) salah satu risiko penyakit jantung koroner. Diet rendah
lemak dan kolesterol bahkan perlu obat penurun lemak sering
diperlukan.
b. Cegah obesitas
c. Kontrol tekanan darah
Terutama bila ada riwayat keluarga dengan hipertensi, kriteria
hipertensi bila tekanan sistol ≥140 mmHg dan tekanan diastole ≥90
mmHg. Penurunan berat badan, diet pantang garam, olah raga,
stop merokok, mengurangi stres. Rutin memantau tekanan darah
walaupun tanpa gejala.
d. Deteksi riawayat penyakit jantung dalam keluarga
Penting mengetahui riwayat keluarga terhadap PJB atau didapat
(riwayat serangan jantung, angina, gagal jantung). Perlu
pemeriksaan lajutan bila diketahui ada penyakit turunan.
e. Hindari minuman alkohol
Selain memberikan efek yang buruk juga adanya interaksi dengan
obat yang dikonsumsi, terutama pada saat hamil.
f. Batasi konsumsi obat yang tidak diperlukan.
Terutama obat yang berpengaruh terhadap irama jantung dan
tekanan darah. Juga hindari pemakaian obat secara intravena
mencegah risiko endokarditis. Efek terhadap janinnya harus juga
diperhatikan.
g. Mencegah terjadinya endokarditis
Eradikasi sumber infeksi diluar jantung (rongga mulut/gigi,
bisul/acne,hindari tattoos), pemberian antibiotik propilaksis pada
setiap tindakan medis yang berisiko terjadinya bakteremia transien.
Tindakan perawatan gigi juga harus hati-hati bila dalam
pengobatan antikoagulan.
Pasien ACHD yang berisiko tinggi terhadap endokarditis : 1) bahan
prostetik untuk katup atau struktur jantung lainnya, 2) ada riwayat
endokarditis, 3) penyakit jantung bawaan sianosis yang belum
dikoreksi atau sudah dikoreksi namun masih terdapat residua atau
bahan prostetik, 4) paska transplantasi jantung.
th
190 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
h. Bila perlu rawat inap/tindakan darurat/anastesi
Terutama pasien dengan pacu jantung, implantable defibrillator,
risiko gangguan faal hemostasis.
i. Koordinasi dengan pusat pelayanan jantung dengan tim ahli terkait
yang lengkap.
j. Evaluasi lengkap setiap pasien ACHD yang akan menjalani
operasi di luar jantung (EKG, foto polos dada, ekokardiografi,
darah lengkap).
k. Obat yang lebih baru seperti flolan [prostasiklin (PGI2)] dapat
mengurangi tekanan arteri pulmonalis dan memperbaiki gejala,
atau bahkan memungkinkan beberapa pasien dapat dilakukan
operasi “reparatif”.
l. Dipertimbangkan indikasi pemasangan pacu jantung bila ada
gangguan irama jantung akibat hipertropi, fibrosis, overload
hemodinamik, jaringan parut bekas operasi jantung. Tersering
disritmia re-entran atrial dan ventrikuler takikardia, blok atau
disfungsi SA node.

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam merawat ACHD:


1. Data medis lengkap dan terbaru
2. Klasifikasi derajat gangguan pada jantung
3. Stres fisik yang mungkin dialami dalam rencana perjalanan yang
akan ditempuh
4. Berkunjung ke daerah yang terlalu dingin atau panas
5. Cegah dehidrasi
6. Hipertensi pulmonal, PJB biru, gagal jantung diperlukan ekstra
oksigen dalam transportasi/penerbangan.

Kesempatan memperoleh pekerjaan


Pilihan macam pekerjaan atau karier merupakan masalah yang
perlu dipikirkan juga sedini mungkin, sesuaikan dengan kemampuan
fisik, jenis lesi jantung yang komplek, kepribadian, mental dan
sosialnya. Diskriminasi tanpa dasar yang manusiawi perlu ditiadakan,
namun suatu hal yang tidak mudah. Sebagian besar pasien ACHD
masih memerlukan pembatasan aktifitas, mungkin dipilih suatu
kejuruan yang sesuai dengan segala keterbatasan sehingga bisa
menjamin hidup yang mandiri sampai kelak masa pensiunnya.
Diperlukan undang-undang perlindungan hak pasien untuk memberi
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 191
bantuan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan kemampuan jantung,
derajat kemampuan fisik, mental dan sosial, jenis defek jantung serta
intervensi jantung yang pernah didapat agar tidak menimbulkan
diskriminasi lapangan pekerjaan.
Sering tidak proporsional antara defek ringan ACHD dengan
keterbatasan memperoleh pekerjaan. Harus selalu dipikirkan pada
setiap pasien ACHD sejak SMP dan SMA untuk menentukan masa
depan yang mandiri dengan memperhatikan faktor kemampuan fisik ,
mental dan sosial serta sifat kepribadiannya.

Daftar Pustaka
1. Andrew S. Mackie, MD, SM, FRCPC Canadian Journal of Cardiology 34
(2018): Psychosocial Interventions for Adults With Congenital Heart
Disease Division of Cardiology,698e699 Editorial Body and Mind Stollery
Children’s Hospital, Edmonton, Alberta, Canada See article by Kovacs et
al., pages 766e773 of this issue.
2. Anup Kumar Singh1, Nick Patel2, Kevin Leung3, Purvesh Patel2 and
Arunabh Talwar2 Manifestations of Pulmonary Disease in Adults with
Congenital Heart Disease2,2013;Vol.55 The Indian Journal of Chest
Diseases & Allied Sciences
3. Anup Kumar Singh1, Nick Patel2, Kevin Leung3, Purvesh Patel2 and
Arunabh Talwar2, Manifestations of Pulmonary Disease in Adults with
Congenital Heart Disease 2013;Vol.55 The Indian Journal of Chest
Diseases & Allied Sciences
4. Babu-Narayan SV, Gatzoulis MA. Management of Adults with Operated
Tetralogy of Fallot. Curr Treat Options Cardiovasc Med 2003; 5(5):389-
398.
5. Barnes PJ. Therapy of chronic obstructive pulmonary disease. Pharmacol
Ther 2003; 97(1):87-94.
6. Bolger AP Sharma R, Li W and Leenard M. Neurohormonal Activation
and the Chronic Heart Failure Syndrome in Adults With Congenital Heart
Disease. Circulation 2002 (2): 92-99.
7. Bolger AP, Coats AJ, Gatzoulis MA. Congenital heart disease: the original
heart failure syndrome. Eur Heart J 2003; 24(10):970-976.
8. Child J. Sand Perloff JK. Natural Survival Patterns. In Congenital Heart
Disease In Adult. Ed Perloff JK .and Child JS WB Saunders. Harcourt
Brace. Janovich, Inc The curtis Center Independence Square West
Philadelphia, PA 19106. 1991 ; 21– 59.
9. Coats AJ. Adult congenital heart disease in the International Journal of
Cardiology. Int J Cardiol 2003; 88(2-3):125-126.
10. Doreen DeFaria Yeh & Mary Etta King Curr Congenital Heart Disease in
the Adult: What Should the Adult Cardiologist Know? Cardiol Rep (2015)
17: 25 DOI 10.1007/s11886-015-0579-7

th
192 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
11. Ferit Onur Mutluer1, Alpay Çeliker2 J Balkan 3, General Concepts in
Adult Congenital Heart Disease .2018, Med J 2018;35:18-29n
12. Findlow D and Doyle E. Congenital Hear Disease in Adult. Review Article.
British Journal of Anasthesia. 1997; 78 : 416-430.
13. Gatzoulis MA, Graham TP, Jr. International Society for Adult Congenital
Cardiac Disease: an introduction to the readership and an invitation to
join. Int J Cardiol 2003; 88(2-3):127-128.
14. Gatzoulis MA. Adult with Congenital Heart Disease: Multiple Needs of a
Fast Growing Cardiac Patient Group. Hellenic J Cardiol 2003;44: 9-13.
15. George E. Sarris, MD , Surgery of congenital heart anomalies in countries
with limited financial resources Athens Heart Surgery Institute Mitera
Children’s Hospital‐Hygeia Group 9th Annual Meeting of the Euro‐Asian
Bridge
16. Georgiadou P, Babu-Narayan SV , Francis DP, Kremastinos D T,
Gatzoulis M A. Periodic breathing as a feature of right heart failure in
congenital heart disease. 12 May 2005 heart.bmjjournals.com
Downloaded.
17. Giordano FJ. Oxygen, oxidative stress, hypoxia, and heart failure. The
Journal of Clinical Investigation 2005;115 (3) : 500-5008.
18. Kalra PR, Collier T, Cowie MR, Fox KF, Wood DA, Poole-Wilson PA,
Coats AJ, Sutton GC. Haemoglobin concentration and prognosis in new
cases of heart failure. Lancet 2003; 362(9379):211-212.
19. Kaplan S., Perlof JK. Survival Pattern after surgery or interventional
catheterization. Congenital Heart Disease in Adults ed. Perloff JK., Child
JS WB Saunders Co. The Curtis Center Philadelphia, PA 19106. 1991;
60-90.
20. Lukenheimer PP, Redmann K, Cryer CW, Wubbeling F, Konertz W,
Batista RJV, Ho SY, Anderson RH. The relationship between structure
and function: why does reshaping the left ventricle surgically not always
result in functional improvement? Computers in Biology and Medicine
2003; 33:185-196.
21. Lukenheimer PP, Redmann K, Kimaun D, Cryer CW, Wubbeling F,
Konertz W, Zytowsky A, Hotz H, Ho SY, Anderson RH. A critical
evaluation of results of partial left ventriculectomy. J Card Surg 2003;
18(3):225-235.
22. Mantovan R, Gatzoulis MA, Pedrocco A, Ius P, Cavallini C, De Leo A,
Zecchel R, Calzolari V, Valfre C, Stritoni P. Supraventricular arrhythmia
before and after surgical closure of atrial septal defects: spectrum,
prognosis and management. Europace 2003; 5(2):133-138.
23. Mi-Yeon Kim1, Mohammed Omar Galal2, Jameel Al-Ata2, Amjad Kouatli2
and Milad El-Segaier3Pattern of Adult Congenital Heart Disease in a
Tertiary Care Hospital in Saudi Arabia., journal health care. 2 (2):17
24. Mullen MJ. Coarctation of the aorta in adults: do we need surgeons?
Heart 2003; 89(1):3-5.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 193
25. Ohuchi H, Takasugi H and Ohashi H. Stratification of Pediatric Heart
Failure on the Basis of Neurohormonal and Cardiac Nervous Activities in
Patients With Congenital Heart Disease.Circulation 2003; Nov 11:2368-
2376.
26. Ontoseno T. The Pattern of Congenital Heart Disease in Adult. Buletin
Ilmu Kesehatan Anak 2001; 2 : 14-23.
27. Pablo Ávila, MD, Lise-Andree Mercier, MD, Annie Dore, MD, François
Marcotte, MD, François-Pierre Mongeon, MD, MS, Reda Ibrahim, MD,
Anita Asgar, MD, Joaquim Miro, MD, Gregor Andelfinger, MD, Blandine
Mond!esert, MD, Pierre de Guise, MD, Nancy Poirier, MD, and Paul
Khairy, MD, PhD. Adult Congenital Heart Disease: A Growing Epidemic,
28. Pankaj Madan, MD,* Yuli Y. Kim, MD. Training in Adult Congenital Heart
Disease 2015. Journal Of The American Colleg E Of Card I Ology Vol . 6
5 , No.20 , By The American Colleg E Of Cardiology Foundation
29. Perloff JK Non Cardiac Surgery in Adults with In Congenital Heart
Disease. In Congenital Heart Adults. ed Perloff JK., Child JSWB Saunders
, The Curtis Center Philadelphia, PA 19106. 1991 ; 239 – 248.
30. Perloff JK. A Brief Historical Perspective. In Congenital Heart Disease in
Adults Ed. Perloff JK and Child JS WB Saunders Co. Philadelphia. 1991 ;
3 – 6.
31. Perloff JK. Special Faccilities for the Comprenhensive Care of Adult with
Congenital Heart Disease. Multidisciplinary Requirements. . In Congenital
Heart Disease in Adults Ed. Perloff JK and Child JS WB Saunders Co.
Harcourt Brace. Jovanovich, Inc. The Curtis Center Independence Square
West Philadelphia, PA 19106. 1991; 7 – 10.
32. Prapas SN. Congenital Heart disease in Adult Patients. Hellenic JCardiol
2005;46: 135-138.
33. Sulafa K.M. Ali, *REVIEW ARTICLE Paediatric cardiology programs in
countries with limited resources: how to bridge the gap University of
Khartoum, Faculty of Medicine,2010, Department of Paediatrics and Child
Health, P.O. Box 102, , Sudan Department of Pediatric Cardiology, Sudan
Heart Center, P.O. Box 11917, Khartoum Erkaweit, Sudan Received 10
March 2010; accepted 26 April 2010. King Saud University Journal of the
Saudi Heart Association
34. Swan L, Goyal S, Hsia C, Hechter S, Webb G, Gatzoulis MA. Exercise
systolic blood pressures are of questionable value in the assessment of
the adult with a previous coarctation repair. Heart 2003; 89(2):189-192.
35. Territo MC, Rosove M., Perloff. JK Cyanotic Congenital Heart Disease.
Hematologic Management, Renal Function, and Urate Metabolism. In
Congenital Heart Disease in Adults. ed Perloff JK, and Child JSWB
Saunders Co. The Curtis Center. Philadelphia, PA 19106. 1991 ; 93 –
110.
36. Timothy B. Cotts, MD, Guideline for Adults With Congenital Heart
Disease,2018 FACC 8 AHA/ACC Aug 16, 2018 , American college of
Cardiology

th
194 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
37. Usman Rashid, Ahmad U Qureshi, [...], and Masood Sadiq ,2016,Pattern
of congenital heart disease in a developing country tertiary care center:
Factors associated with delayed diagnosis
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5007928/# Ann ped card
2016 sept-des 210-215
38. Usman Rashid, Ahmad U Qureshi, [...], and Masood Sadiq. 2014,
Canadian Journal of Cardiology Volume 30 2014. Pattern of congenital
heart disease in a developing country tertiary care center: Factors
associated with delayed diagnosis
39. Vonder M, I, Cumming G, Gatzoulis MA. Risky business: insuring adults
with congenital heart disease. Eur Heart J 2003; 24(17):1595-1600

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 195
th
196 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Meningkatkan Kualitas Pelayanan Pasien:
Scientific Evidence atau Real World Evidence?

Sudigdo Sastroasmoro

Pendahuluan
Sudah hampir tiga dasawarsa kita mengenal paradigma
evidence-based medicine (EBM) dalam pelayanan kesehatan.
Meskipun penerapan EBM belum mencapai tingkat yang memuaskan,
namun konsep tersebut terus menerus berkembang. Bahkan EBM
yang semula dimaksud untuk tata laksana pasien secara individual,1
dengan cepat dimanfaatkan oleh semua aspek pelayanan kesehatan,
dari promosi, prevensi, penegakan diagnosis, terapi, prognosis,
rehabilitasi, dan pelayanan jangka panjang. Hal-hal di luar pelayanan
praktis terhadap pasien juga memanfaatkan konsep EBM, sehingga
semua langkah dalam bidang tertentu, termasuk panduan praktik
klinis, health technology assessment atau penilaian teknologi
kesehatan, audit klinis juga memanfaatkan paradigma EBM.2 Setiap
ada diskusi yang berkaitan dengan kesehatan, misalnya tentang
manfaat sesuatu program untuk tujuan kesehatan tentu akan
dipertanyakan apakah ada evidence yang mendukung program yang
direncanakan tersebut.
Pada awalnya evidence yang dimaksud dalam EBM senantiasa
hanya mengacu kjepada scientific evidence, yang merupakan hasil
penelitian ilmiah, baik dalam bidang prevensi, penegakan diagnosis,
pemberian pengobatan, maupun prediksi prognosis. Oleh karena
itulah, penekanan topik dalam pelbagai workshop EBM terutama
dilakukan terhadap studi uji diagnostik, terapi, dan prognosis.2 Dari
ketiga isu tersebut yang paling sering dibahas dan dimanfaatkan
dalam praktik adalah studi tentang terapi, dengan baku emas uji klinis
terandomisasi (UKR) atau randomized controlled trial (RCT).
Dalam beberapa tahun terakhir mulai hangat dibicarakan real
world evidence (RWE) untuk dimanfaatkan dalam pengembangan
perbaikan tata laksana pasien, oleh karena uji klinis selain memiliki
kekuatan juga memiliki keterbatasan yang dapat dilengkapi dengan
data lain yang diperoleh dari sumber bukan UKR.3,4 Diskusi tentang
masalah ini masih berlangsung dan berkembang, namun sudah

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 197
tampak beberapa kesepakatan dalam penggunaan, bahkan dalam
sistem regulasi obat dan alat kesehatan.

Scientific evidence
Dalam uji klinis tradisional yang dilakukan oleh para peneliti
ilmiah, segala sesuatunya dilakukan dengan terencana dan
dilaksanakan dengan cermat agar diperoleh hasil studi yang tinggi
tingkat kesahihannya. Sejak awal dibuat proposal yang mencakup
latar belakang mengapa perlu dilakukan uji klinis, apa yang menjadi
masalah, apa yang telah diketahui, apa yang belum diketahui, dan apa
yang diharapkan dari uji klinis yang direncanakan. Pertanyaan
penelitian dan hipotesis kemudian dirumuskan. Selanjutnya dipilih
desain yang sesuai untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Rekrutmen subyek penelitian dilakukan dengan ketat, melalui
kriteria inklusi dan eksklusi yang jelas dan tidak bermakna ganda.
Pemilihan subyek tentu didasarkan atas penyakit yang diteliti, namun
dengan kriteria ketat, misalnya umur, jenis kelamin, penegakan
diagnosis dengan cara tertentu, harus dipastikan tidak ada penyakit
lain (co-morbidity) yang bermakna, belum pernah diberikan obat yang
diteliti sebelumnya, tidak sedang menerima obat rutin yang lain, dan
mungkin masih banyak lagi kriteria yang harus dipenuhi untuk dapat
direkrut menjadi peserta UKR. Jumlah subyek yang diperlukan juga
dikalkulasi dengan mempertimbangkan banyak hal termasuk
kemungkinan untuk memvalidasi hipotesis dengan tingkat ketepatan
yang diinginkan.
Selanjutnya dilakukan proses randomisasi yang dilakukan
dengan cermat, dan dalam protokol harus disebut siapa yang
melakukan, dengan cara apa, berapa perbandingan subyek antar
kelompok, bagaimana tabel randomisasi disembunyikan, dan
seterusnya. Pada UKR dengan penyamaran (blinding) juga harus
dirinci bagaimana penyamaran dilakukan, dan bagaimana mencegah
kegagalan penyamaran. Pemberian obat atau intervensi juga
dilakukan dengan standar yang tinggi, berapa dosis yang diberikan,
kapan diberikan, dalam bentuk apa, dengan cara apa, dan seterusnya.
Untuk uji klinis yang berupa prosedur (medis atau bedah) tertentu
harus pula dipastikan siapa yang melakukan. Pemantauan terhadap
intervensi dan hasil intervensi juga dilaksanakan dengan cermat,
apakah ada perubahan klinis atau laboratorium, apakah ada efek
samping tertentu, dan seterusnya dimonitor dengan ketat selama
th
198 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
waktu yang ditentukan. Penilaian luaran (outcome) juga dilakukan
dengan cermat, dengan definisi operasional tertentu, siapa yang
melakukan, kapan dilakukan, dengan cara apa, apakah dilakukan
secara tersamar (blinded) dan seterusnya.

Uji klinis eksplanatori dan pragmatis


Uji klinis dapat diklasifikasi menjadi 2 jenis, yakni uji klinis
eksplanatori (explanatory trials) dan uji klinis pragmatik (pragmatic
trial). Pada uji klinis eksplanatori peneliti ingin memastikan fenomena
sebab akibat sebagai hasil dari intervensi, dan bagaimana hal tersebut
dapat terjadi. Luaran jenis uji klinis ini adalah efficacy. Pada uji klinis
jenis ini kriteria pemilihan subyek pemilihan subyek dan lain-lain
dilakukan dengan amat ketat sehingga subyeknya amat homogen,
sama sekali tidak mirip dengan keadaan dalam praktik sehari-
hari. Misalnya pada uji klinis eksplanatori terhadap obat anti-diabetes
baru, subyek yang direkrut adalah pasien lelaki maupun perempuan,
usia 30-50 tahun, diabetes tipe 2 yang baru didiagnosis, dengan nilai
HbA1C >8, belum pernah mendapat obat anti-diabetes sebelumnya,
tidak terdapat ko-morbiditas tertentu, dan seterusnya.
Pada uji klinis pragmatis peneliti merencanakan agar peserta
uji klinis mirip dengan keadaan dalam praktik sehari-hari, termasuk
tempat dan setting penelitian. Inti utama jenis uji klinis ini adalah
memperlihatkan adanya hubungan sebab akibat antara intervensi dan
luaran, misalnya apakah pemberian temulawak pada anak sehat yang
kurus dapat memacu nafsu makan sehingga berat badannya
bertambah, tanpa berusaha menjelaskan bagaimana hunungan sebab
akibat tersebut terjadi. Pada jenis ini maka pemilihan subyek dibuat
sedemikian sehingga menyerupai keadaan dalm praktik sehari-hari.
Luaran uji klinis pragmatis adalah effectiveness (efektivitas).
Namun pembedaan kedua jenis UKR tersebut tidak bersifat
hitam putih. Di satu sisi UKR eksplanatori memiliki aspek yang dapat
langsung diterapkan dalam praktik meskipun serba terbatas. Di lain
sisi UKR yang diberi label pragmatik juga tidak sepenuhnya dapat
diterapkan dalam praktik.5 Tetap saja UKR tradisional yang bersifat
ilmiah menuntut persyaratan-persyaratan metodologi dan ilmiah
tertentu agar dapat dikatakan sahih atau valid. Seperti telah disebut,
pemilihan subyek, jenis dan cara intervensi, pengukuran luaran dan
sebagainya harus memenuhi syarat ilmiah yang jarang dapat

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 199
dilaksanakan dalam praktik secara tepat. Akibatnya UKR pragmatik
pun tidak begitu saja dapat diterapkan dalam praktik sehari-hari.5

Peringkat bukti untuk terapi


Dalam praktik EBM disarankan agar bukti ilmiah, sebelum
dapat diterapkan dalam praktik, harus dilakukan telaah kritis (critical
appraisal) untuk memastikan bahwa studi tersebut sahih, hasilnya
penting, dan dapat diterapkan pada pasien kita.1,2 Sejak awal UKR
telah dianggap sebagai evidence yang berperingkat tinggi dalam hal
terapi. Systematic review dan meta-analisis dari UKR merupakan
peringkat yang tertinggi, diikuti oleh satu UKR besar dengan validitas
yang tinggi, disusul dengan UKR dengan besar sampel yang lebih
kecil, uji klinis tanpa randomisasi, studi observasional, laporan dan seri
kasus, serta kesepakatan para ahli.1 Berdasarkan peringkat bukti
tersebut dapat dibuat rekomendasi yang derajatnya sesuai dengan
peringkat bukti yang digunakan. Meskipun peringkat buktinya amat
baik, namun dalam kenyataan tidak semua hal yang diperoleh dari
UKR tradisional dapat diterapkan dalam praktik sehari-hari.

Real world data dan real world evidence


Di atas telah disebut betapa ketat perencanaan dan
pelaksanaan UKR tradisonal. Namun ketika hasil penelitian dipublikasi
dan diterapkan dalam praktik, pelaksanaannya hampir tidak pernah
memenuhi kriteria dan prosedur yang dilakukan dalam UKR. Pasti ada
kelonggaran, kadang sempit, namun tidak jarang juga lebar. Misalnya
bila dalam UKR ditentukan obat sepsis untuk neonatus, dalam praktik
tidak jarang digunakan untuk bayi yang lebih tua dari 1 bulan, padahal
UKR tersebut dilakukan terhadap neonatus (bayi kurang dari 1 bulan),
yang mewakili neonatus pada umumnya. Begitu pula, bila dalam UKR
untuk penurunan kadar kolesterol digunakan subyek dengan
hiperkolesterolemia moderat tanpa penyakit lain seperti diabetes
melitus, penerapannya dalam praktik dapat saja diberikan pada pasien
hiperkolesterolemia ringan atau berat, dengan penyakit hati atau darah
tinggi, diabetes, dan sebagainya. Dengan demikian maka mungkin di
satu sisi dapat terjadi perbedaan hasil yang didapat dengan hasil yang
diperoleh dalam UKR, namun di lain sisi juga diperoleh data efek obat
terhadap pasien yang berbeda karakteristiknya dengan subyek yang
diikutsertakan dalam UKR.5-7

th
200 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Perbedaan RWE dan uji klinis dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel. Perbandingan studi untuk memperoleh scientific evidence (SE)


dengan real world evidence (RWE)
SE RWE
Pertanyaan Apakah efektif? Benar-benar efektif?
Tujuan Registrasi Praktik
Desain UKR Observasional
Setting/kondisi Ideal Apa adanya
Intervensi Ketat Fleksibel
Ketaatan Tinggi Rendah sampai tinggi
Validitas interna Tinggi Bervariasi
Validitas eksterna Rendah sampai medium Tinggi
Masa pengamatan Terbatas Panjang
Jumlah data Terbatas “Big data”

Sebagian praktisi menganggap bahwa data yang terkumpul


dalam praktik sehari-hari merupakan modal yang berharga untuk
menjadi masukan dalam perbaikan tata laksana pasien. Yang
dimaksud dengan real world data (RWD) adalah data yang terkumpul
dari sumber-sumber lain selain UKR, termasuk dari rekam medis,
laporan hasil pelbagai pemeriksaan penunjang, klaim asuransi, dan
dalam keadaan tertentu dapat dilakukan survei dengan mewawancara
pasien, keluarga pasien, dokter, dan sebagainya. Sumber lain RWD
adalah data program (misalnya program tertentu dari Kemenkes).
Karena tata laksana pasien memerlukan biaya, RWD dapat pula
memberi masukan biaya yang digunakan untuk tata laksana pasien
dengan penyakit tertentu. Data dengan validitas dan reliabilitas yang
baik dari RWD, bila dianalisis dengan cara yang tepat dapat menjadi
real world evidence (RWE) yang sangat bermanfaat untuk tata
laksana pasien, termasuk biaya yang diperlukan.6
Beberapa syarat agar RWD dapat dikembangkan menjadi
RWE termasuk: (1) jumlah pasien yang tersedia, (2) kelengkapan
pencatatan data, (3) tersedianya catatan tindak lanjut pasien, (4)
potensi terjadinya bias dan cara mengatasinya. Perlu dipahami bahwa
data yang tersedia dari pelayanan tidak harus dapat dianggap
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 201
mewakili populasi secara keseluruhan, namun masih dianggap
memadai untuk diterapkan pada pasien dengan penyakit yang
sama.6,7
Pada umumnya RWD dan RWE diperoleh dengan desain
observasional, dapat berupa cross sectional, kohort retrospektif atau
studi kasus kontrol. Namun tidak tertutup kemungkinan merupakan
pragmatic trial dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang longgar
sesuai dengan subyek yang ada dalam praktik.
Sebenarnya sejak dahulu para ahli metodologi penelitian telah
menyatakan bahwa studi observasional yang dilakukan dengan cermat
dapat memberi hasil yang tidak kalah sahihnya dengan UKR.
Meskipun demikian UKR masih tetap dianggap sebagai baku emas
untuk memperlihatkan hubungan sebab akibat yang sahih dan
digunakan untuk pengembangan perbaikan tata laksana pasien. Hasil
yang diterapkan pada tata laksana pasien bila dicatat dengan lengkap
dan baik akan merupakan big data yang dapat dimanfaatkan untuk
peningkatan kualitas pelayanan. Di satu sisi dari penerapan hasi UKR
dalam praktik dapat diketahui real world effectiveness suatu obat ata
prosedur.
Dari RWD dan RWE dapat diperoleh informasi yang dapat
digunakan untuk peningkatan kualitas pelayanan. Misalnya ternyata
antibiotik yang dalam UKR terbukti efektif untuk sepsis pada neonatus
juga bermanfaat untuk bayi yang lebih besar yang menderita sepsis.
Mungkin ada data yang dapat diolah yang menunjukkan obat tertentu
yg berasal dari UKR ternyata lebih efektif untuk subgrup tertentu
(misalnya lebih baik hasilnya pada pasien lelaki, atau makin kurang
baik hasilnya dengan peningkatan uisa pasien. Karena jumlah subyek
dalam RWD dapat amat banyak, maka kemungkinan pula ditemukan
efek samping yang berat namun jarang terjadi, atau efek samping
yang dileporkan dalam UKR lebih sering terjadi pada kelompok pasien
tertentu. Misalnya pada UKR pasien yang sudah mendapat terapi
dengan obat tertentu tidak disertakan, namun RWE menunjjukkan
bahwa hal tersebut tidak bermasalah. Jadi ringkasnya RWE dapat
memberikan atau melengkapi evidence yang ada dari UKR (scientific
evidence).8-10

th
202 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
RWE dalam ranah praktis dan dalam regulasi
RWE dapat diamnfaatkan secara lokal dalam tata laksana
pasien di suatu rumah sakit, yakni dengan memanfaatkannya menjadi
bagian dari panduan praktik klinis (PPK), tentu dengan persyaratan
tertentu. Salah satu “syarat utama” adalah kelengkapan rekam medis
yang dapat dilaksanakan dengan penggunaan rekam medis elektronik
(RME). RME telah dilaksanakan pada hampir 100% rumah sakit di
Amerika Serikat; di Eropa lebih kecil penggunaannya, namun
diprediksi akan dilaksanakan maksimal dalam tahun-tahun pertama
dasawarsa 2020. Banyak rumah sakit di Asia juga telah
menggunakannya, namun belum nampak banyak digunakan di
Indonesia. Bila penggunaan RME menjadi salah satu syarat akreditasi
rumah sakit besar di Indonesia, niscaya dapat diperoleh data besar
yang dapat membantu peningkatan tata laksana pasien.
Di Amerika Serikat RWE bahkan sudah mulai dipertimbangkan
untuk diresmikan dalam regulasi oleh Food and Drug Administration,
namun dengan persyaratan yang amat ketat.8 FDA mendefinisikan
RWE sebagai “bukti klinis tentang penggunaan serta potensi manfaat
arau risiko produk medis dengan melakukan analisis RWD”. Analisis
yang dilakukan terhadap RWD harus dilakukan dengan metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ilmiah. Untuk penggunaan
obat atau prosedur medis, meskipun sebagian besar studi RWE
merupakan studi observasional, yang dapat dilakukan secara
retrospekstif maupun prospekstif, hendaknya mendekati persyaratan
yang dilakukan dalam UKR tradisional. Studi formal dengan proposal,
latar belakang, hipotesis, pengumpulan data dan analisisnya
hendaknya mengacu pada penelitian ilmiah tradisional. Yang dapat
diberi kelonggaran adalah pemilihan subyek penelitian yang ada
dalam praktik klinis sehari-hari. Diskusi tentang hal ini masih berlanjut,
dan aspek ini menjadi lebih dianggap penting dengan penerapan
jaminan kesehatan nasional (JKN) yang ada si hampir semua negara
saat ini.7,8-11,12

Tantangan pemanfaatan RWE ke depan


Meskipun dipahami bahwa uji klinis dengan randomisasi (UKR)
mengandung banyak keterbatasan, namun hingga saat ini dan ke
depan UKR masih merupakan baku emas untuk memperlihatkan
hubungan sebab-akibat sebagai bukti yang menjadi dasar pemberian
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 203
obat atau prosedur kepada pasien dengan penyakit atau kelainan
tertentu. Para praktisi dan pihak industri memahami pula diperlukan
sumber informasi lain agar perbaikan tata laksana pasien dapat
ditingkatkan tanpa harus murni berdasar pada bukti ilmiah tradisional.
Real world data (RWD) dengan kualitas yang baik dapat
dianalisis untuk menjadi real world evidence (RWE). RWE sebagai
potensi untuk meningkatkan pelayanan pada umumnya sudah
disepakati oleh para ahli, bahkan oleh organ resmi pemerintah di
banyak negara. Mungkin masih ada yang sangat berhati-hati dalam
membuat definisi RWE, namun itu bukan hal yang amat penting. Hal
penting yang disepakati adalah persyaratan apa yang diperlukan agar
RWE dapat diterapkan dalam tata laksana pasien oleh para
professional secara lokal (di rumah sakit) maupun syarat agar dapat
disahkan oleh organ regulasi di pemerintah. Dikatakan bahwa regulasi
RWE masih berada dalam tahapan awal, namun dengan perhatian
serius serta upaya mengatasi masalah yang ada, ke depan diharapkan
benar-benar dapat dimanfaatkan untuk melengkapi scientific evidence
yang di satu sisi dianggap sebagai baku, namun di lain sisi juga
memilik beberapa keterbatasan.

Daftar Pustaka
1. Straus SE, Glasziou P, Richardson WS, dkk. Evidence-based medicine.
How to practice and teach it. Edinburg: Churchill Livingstone, 2011.
2. Sastroasmoro S, penyunting. Menelusur asas dan kaidah evidence-based
medicine. Jakarta: Sagung Seto, 2014.
3. Sherman RE, Anderson SA, Dal Pan GJ, dkk. Real-world evidence —
What is it and what can it tell us? N Engl J Med. 2016;375:2294-7.
4. Katkade VB, Sanders KN, Zou KH. Real world data: an opportunity to
supplement existing evidence for the use of long-established medicines in
health care decision making. J Multidiscip Healthc 2018:11:295–304.
5. Dal-Ré R, Janiaud P, Ioannidis JPA. Real-world evidence: How pragmatic
are randomized controlled trials labeled as pragmatic? BMC Medicine.
2018;16:49-55.
6. ERT. Using patient generated real-world data to drive better informed
healthcare decisions. https://www.ert.com/wp-
content/uploads/2017/05/ERT-Patient-Generated-RWD-eBook-Pt1_May-
2017.pdf
7. Dreyer NA. Advancing a framework for regulatory use of real-world
evidence: When real is reliable. Ther Innov Regul Sci. 2018;52:362-8.

th
204 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
8. Belson NA. Regulatory applications of real world evidence.
https://www.thejournalofprecision medicine.com/wp-
content/uploads/2018/04/JPM-MARCH-APRIL-2018-Belsen.pdf
9. Ali A, Kanth AV, Mohanty R, dkk. Real world evidence: An overview of its
importance in the current scenario. Int J Pharm Sci Rev Res.
2016;39:251-254.
10. Yuan H, Ali S, Brouwer ES. Real-World Evidence: What It is and what it
can tell us according to the International Society for
Pharmacoepidemiology (ISPE) Comparative Effectiveness Research
(CER) Special Interest Group (SIG). Pharmacol Therap 2018 | www.cpt-
journal.com
11. Corrigan-Curay J, Sacks L, Woodcock J. Real-world evidence and real-
world data for evaluating drug safety and effectiveness. JAMA.
2018;320:867-868.
12. Chan KA. Real world evidence in Asia Pacific: are we ready? Is it helpful
for decision makers? https://www.ispor.org/docs/default-
source/.../taiwan=2nd-plenary –for-handouts.pdf?

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 205
th
206 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Rheumatic Fever: Primary versus Secondary Prophylaxis in
Clinical Practice

Tina Christina Tobing

Rheumatic heart disease (RHD) is one of acquired heart


disease which prevalent in developing countries. RHD is also the most
common cause of acquired heart disease in adolescents. The
manifestations appear after streptococcal infection, namely acute
rheumatic fever (ARF), with attack rate of 0.3% to 3%. It is estimated
that there are over 15 million cases of RHD worldwide with 282.000
new cases annually. The mortality rate reaches 345.000 cases
annually.1-3
RHD occurs after pharyngeal infection of Streptococcus
pyogenes or Group A β hemolytic Streptococcus (GAS). A history of
pharyngitis in the prior 1 to 5 weeks usually precedes the symptoms.
RHD never follows skin infection even from the same etiology. The
pathophysiology of ARF is believed to be an immune basic. Human
leukocyte antigen (HLA) alleles play role in ARF susceptibility,
especially HLA-DR7. After being ingested, microorganism’s antigen,
specifically the M-protein, is processed and presented by HLA in the
cell surface. The HLA then trigger T cell to initiate phagocytosis or B
cell to produce antibody to the antigen. If there is a molecular mimicry
between the antigen and human tissue, the immune system will attack
both the microorganism and the tissue, causing inflammation and
tissue damage.1,3,4
The inflammation causes inflammatory cytokines elevation and
activates complement system. The inflammation may affect various
tissue, such as joint, brain, and in RHD, the heart. The M-protein of
streptococcus cross-reacts with cardiac myosin which is found in heart
tissue and valves. Inflammation is most prominent in the mitral valve,
followed by aortic, tricuspid, and rarely, pulmonal. The exact reason of
this phenomenon is still hazy. Aschoff body is the pathognomonic
finding of RHD, which can be obtained through biopsy.1,3-5
The valvular damage will lead to malfunction of the valve, either
regurgitation, stenosis, or both. It causes volume and pressure
overload that will end with CHF. The symptoms of CHF such as
shortness of breathing, swelling, edema, and lassitude may present.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 207
Cardiomegaly can be found in the chest x-ray, indicating CHF.
Pericarditis which manifested as pericardial effusion, chest pain, and
friction rub may also present.1,3
The diagnosis criteria for ARF were first developed by Jones in
1944 and modified in 1965, 1984, 1992, and 2002. The latest
modification of the criteria was in 2015. It divides the population into
low and moderate to high risk. The manifestation applies differently
according to the risk stratification. The diagnosis is made by the
presence of either 2 major or 1 major and 2 minor criteria, plus
evidence of recent streptococcal infection. For recurrent episode, there
must be 2 major criteria or 1 major and 2 minor criteria or 3 minor
criteria. The evidences of previous streptococcal infection are positive
throat swab culture or elevated streptococcal antibody titer.3,6 Prompt
management of congestive heart failure followed by secondary
prophylaxis of ARF are important matters to decrease morbidity and
mortality of patients with RHD.4,7

Table 1. Modified Jones criteria (2015) for diagnosis of ARF3


A For All Patient populations with evidence of preceding group A
Streptococcal infection (other than chorea)
Diagnostic initial ARF 2 major or 1 major plus 2 minor
Diagnostic recurrent ARF manifestations
2 major pr 1 major and 2 minor or 3
minor
B Major criteria
Low – risk populationa Moderate-and high-risk populations
b b
Carditis (Clinical and / or Carditis (Clinical and / or subclinical)
subclinical) Arthritis (Monoarthritis or
Arthritis ( Polyarthritis only) Polyarthritis)
Chorea Chorea
Erythema marginatum Erythema marginatum
Subcutaneous nodules Subcutaneous nodules
C Minor Criteria
a
Low – risk population Moderate- and high-risk populations
Polyarthralgia Monoarthralgia
Fever (≥38.5oC) Fever (≥38oC)
ESR ≥ 60 mm/h and/or CRP ESR ≥30 mm/h and/or CRP ≥3
d
≥ 3 mg/dl 𝑑𝑑 mg/dl
Prolonged PR on ECG ( for Prolonged PR on ECG (for age)
age) (unless carditis is a major criterion)
(unless carditis is a major
criterion)

th
208 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
There are 2 methods to prevent the occurrence of RHD:
primary and secondary prophylaxis. Primary prophylaxis is achieved
by disrupting the initial transmission of GAS or by blocking the
progression of GAS infection to rheumatic fever. Secondary
prophylaxis is given following the attack of rheumatic fever to prevent
the progression to cardiac disease.8,9 The implementation of ARF
prophylaxis significantly reduce the burden of disease for RHD and it’s
following complications.10

Table 2. Recommended antibiotic for primary prophylaxis of ARF9,10


Rute of Duration
Antibiotic administrat Dose of
ion therapy
Benzathine Intramuscul <30 kg: 600 000 IU Single
benzylpenicillin ar >30 kg: 1 200 000 IU injection

Phenoxymethylpenici Oral <30 kg: 250 mg 2-3 10 days


llin times daily
>30 kg: 500 mg 2-3
times daily
Amoxicillin Oral 50 mg/kg/day (max 10 days
1g/day) once daily
Erythromycin Oral 40 mg/kg/day (max. 10 days
ethylsuccinate 1.5 g/day) 3 times
daily
Erythromycin estolate Oral 20-40 mg/kg/day (max. 10 days
1.5 g/day) 3 times
daily

The advantage of primary prophylaxis has been known since


10
1950s. Antibiotic administration to individuals with streptococcal
pharyngitis is the mainstay of primary prophylaxis. In the countries with
high incidence of rheumatic fever, antibiotic should be given to
individuals with pharyngitis without obtaining throat culture. Some
experts stated that this practice may lead to antibiotic-associated
adverse effects,8,9 but a meta-analysis shows that primary prophylaxis
has protective effect against ARF of 70% with an NNT of 53.8 Penicillin
remains the drug of choice for primary prophylaxis.8-10 A meta analysis
favors the use of penicillin, despite it’s uncomfortable administration
and risk of anaphylaxis, with higher protective effect against ARF
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 209
(80%).8 Other antibiotic used for primary prophylaxis are macrolides
and cefalosporins.9,10 Resistance to macrolides is increasing lately
while the use of cefalosporins results in higher cost. Repeated throat
culture is not necessary after a complete course of therapy if there is
no unique epidemiologic situation (epidemic of streptococcal infections
or has close contact with ARF sufferer).9

Table 3. Duration of prophylaxis for ARF3


Antibiotic Rute of administration
Rheumatic fever without At least for 5 years or until age 21
carditis years, whichever is longer
Rheumatic fever with carditis At least for 10 years or well
but without residual heart into,whichever is longer
disease (no valvular disease)
Rheumatic fever with carditis At least 10 years since last episode
and residual heart disease and at least until age 40 years;
(persistent valvular disease) sometimes lifelong prophylaxis

Since 1980s, the World Health Organization (WHO) has


recommended secondary prophylaxis to prevent ARF. Secondary
prophylaxis is given to every patient with history of ARF. The
prophylaxis should be taken indefinitely, but some literature stated that
the duration of prophylaxis is based on severity of disease. The
purpose is to prevent infection of the upper respiratory tract with Group
A β hemolytic Streptococcus. Patient’s compliance toward antibiotic
prophylaxis must be high to prevent recurrent event. Benzathine
penicillin G is the first line prophylaxis for ARF with the same dose as
ARF therapy every 4 weeks. Patients with history of penicillin allergy
may be managed with erythromycin. The dose of erythromycin is 250
mg twice daily. There is increasing report of macrolide resistance over
the past decade and has reached 13,8%. Oral penicillin V is an
alternative prophylaxis but less popular compared to the first two
drugs.1-3,11,12

Resume
RHD is a prevalent acquired heart disease in adolescents in
developing country. It occurs following ARF and carries high burden of
disease. Primary or secondary prophylaxis is effective and efficient to
th
210 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
prevent ARF. Several antibiotics are recommended for prophylaxis
with different route of administration, dose, and duration of therapy.

Reference
1. Seckeler MD, Hoke TR. The worldwide epidemiology of acute rheumatic
fever and rheumatic heart disease. Clin Epidemiol. 2011; 3:67-84
2. Gasse B, Baroux N, Rouchon B, Meunier J, Fremicourt ID, D’Ortenzio E.
Determinants of poor adherence to secondary antibiotic prophylaxis for
rheumatic fever recurrence on Lifou, New Caledonia: a retrospective
cohort study. BMC Public Health. 2013; 13:131
3. Park MK. Acute rheumatic fever. In: Park’s pediatric cardiology for
practitioners. Park MK, editor. Philadelphia: Elsevier, 2014. p.604-13
4. Al-Jazairi A, Al-Halees Z, Shahid M, Al-Jufran M, Al-Mayouf S, Al-Rajhi A,
et al. Guidelines for the secondary prophylaxis of rheumatic heart disease
endorsed by Saudi Pediatric Infectious Disease Society (SPIDS). IJPAM.
2017; 4:47-50
5. Okello E, Longenecker CT, Beaton A, Kamya MR, Lwabi P. Rheumatic
heart disease in Uganda: predictors of morbidity and mortality one year
after presentation. BMC Public Health. 2013; 13: 131
6. Eroglu AG. Update on diagnosis of acute rheumatic fever: 2015 Jones
criteria. Turk Pediatri Ars. 2016; 51:1-7
7. Park MK. Congestive heart failure. In: Park’s pediatric cardiology for
practitioners. Park MK, editor. Philadelphia: Elsevier, 2014. p.737-59
8. Robertson KA, Volmink JA, Mayosi BM. Antibiotics for the primary
prevention of acute rheumatic fever: a meta-analysis. BMC Cardiovasc
Disord. 2005; 5:11
9. World Health Organization. WHO model prescribing information: drugs
used in the treatment of streptococcal pharyngitis and prevention of
rheumatic fever. Geneva: World Health Organization. 1999. p.5-13
10. Zulkhe LJ. Karthikeyan G. Primary prevention for rheumatic fever. Glob
Heart. 2013; 8:221-6
11. Wyber R, Taubert K, Marko S, Kaplan EL. Benzathine penicillin G for the
management of RHD. Glob Heart. 2013; 3:227-34
12. Yadav DK, Anand P, Bhutta E. Failure of secondary prophylaxis with
erythromycin in rheumatic heart disease. Indian Pediatr. 2013; 50:1058-9

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 211
th
212 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Diphtheritic Myocarditis: Old Enemy Has Back

Agus Priyatno, Anindia Wardhani


KSM Ilmu Kesehatan Anak, Sub Divisi Kardiologi Anak
RSUP Dr Kariadi – Semarang

Abstrak
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh Corynebacterium diphtheria yang ditandai adanya pembentukan
pseudomembran pada kulit dan atau mukosa. Penyulit difteri dapat
terjadi sebagai akibat obstruksi jalan napas, aktivitas eksotoksin,
ataupun karena infeksi sekunder bakteri lain. Penanganan yang
terlambat pada difteri dapat menyebabkan timbulnya komplikasi
seperti miokarditis.
Miokarditis adalah sindroma klinis yang ditandai dengan peradangan
miosit jantung akibat dari infeksi, toksis atau autoimun. Pada
miokarditis difteria kerusakan miokardium disebabkan toksik yang
dikeluarkan hasil mikrobakteri. Toksin difteri akan menghambat
sintesis protein dan secara mikroskopis akan didapatkan miosit
dengan infiltrasi lemak serat otot jantung mengalami nekrosis hialin.
Miokarditis menjadi salah satu komplikasi difteri yang paling ditakuti
dan penyebab utama kematian pada pasien difteri dimana 50% pasien
difteri yang meninggal disebabkan miokarditis difteri. Angka kejadian
miokarditis difter bertambah pada populasi anak yang tidak
mendapatkan imunisasi DPT.
Deteksi dini dan inisiasi terapi awal menjadi salah satu langkah yang
penting dalam penanganan miokarditis difteri untuk menentukan
prognostik pasien sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas anak dengan difteri.
Kata kunci: Difteri, miokarditis

Pendahuluan
Miokarditis adalah sindroma klinis yang ditandai dengan
peradangan miosit jantung yang disebabkan karena infeksi, toksik atau
autoimun. Patofisiologi miokarditis belum sepenuhnya dimengerti.1

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 213
Miokarditis jarang terjadi tetapi memiliki tingkat kematian yang
tinggi dan seringkali sulit didiagnosis karena sering tanpa disertai
gejala atau hadir dengan tanda dan gejala yang menyerupai penyakit
lain.1-3 Miokarditis memiliki gejala dan tanda yang bervariasi mulai dari
gagal jantung kongesti hingga syok kardiogenik. Temuan yang paling
umum ditemui pada anak-anak dengan miokarditis adalah takipnea,
retraksi interkostal, takikardia, dan grunting. Mortalitas miokarditis
pada bayi dan anak-anak cukup tinggi yakni sekitar 75% pada bayi
dan 25% pada anak.1,4
Salah satu miokarditis yang penting untuk dideteksi dini pada
negara berkembang adalah miokarditis karena kuman difteria, yang
disebut miokarditis difteria. 10-20% anak dengan difteri dapat
mengalami kejadian miokarditis difteria. Angka kejadian miokarditis
infeksi semakin meningkat terutama pada populasi anak yang tidak
mendapatkan imunisasi difteri sebelumnya dengan angka kematian
yang tinggi.5,6
Pada miokarditis difteria kerusakan miokardium disebabkan
toksik yang dikeluarkan hasil mikrobakteri.7 Toksin difteri akan
menghambat sintesis protein dan secara mikroskopis akan didapatkan
miosit dengan infiltrasi lemak serat otot jantung mengalami nekrosis
hialin. Miokarditis menjadi salah satu komplikasi difteri yang paling
ditakuti dan penyebab utama kematian pada pasien difteri dimana
50% pasien difteri yang meninggal disebabkan miokarditis difteri.
Deteksi dini dan inisiasi terapi awal menjadi salah satu langkah yang
penting dalam penanganan miokarditis difteri untuk menentukan
prognostik pasien sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas.5,8
Miokarditis difteria terjadi pada 10-20% penderita dipteri
orofaring dan mempunyai angka kematian yang tinggi dan umumnya
terjadi pada anak-anak.9 Selama tahun 2017 di Indonesia KLB Difteri
terjadi di 170 kabupaten/kota dan di 30 provinsi, dengan jumlah
sebanyak 954 kasus, dengan kematian sebanyak 44 kasus.
Sedangkan pada tahun 2018 (hingga 9 Januari 2018), terdapat 14
laporan kasus dari 11 kab/kota di 4 propinsi (DKI, Banten, Jabar dan
Lampung), dan tidak ada kasus yang meninggal.10
Pada tahun 2018 tidak ada penambahan Kabupaten/Kota yang
melaporkan adanya KLB Difteri. Data terakhir, terdapat 85 kab/kota
dari total 170 kab/kota yang sudah tidak melaporkan kasus baru. Itu
artinya KLB di 85 Kabupaten Kota tersebut bisa dikatakan berakhir.10
th
214 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Kematian pada anak dengan difteri pada umumnya disebabkan
komplikasi dari miokarditis yang berupa total AV blok, gagal jantung
dan oleh karena sumbatan jalan napas.11

Miokarditis
Miokarditis merupakan penyakit inflamasi pada miokard, yang
bisa disebabkan karena infeksi maupun non-infeksi. Patofisiologi
miokarditis belum sepenuhnya dimengerti, miokarditis primer diduga
karena infeksi virus akut atau respon autoimun pasca infeksi viral.
Miokarditis sekunder adalah inflamasi miokard yang disebabkan
pathogen spesifik. Patogen ini mencakup bakteri, spiroseta, riketsa,
jamur, protozoa, obat, bahan kimia, obat fisika, dan penyakit inflamasi
lain seperti lupus erimatosus sistemik.
Pada sebagian besar pasien, miokarditis tak dapat diduga
karena disfungsi jantung bersifat subsklinis, asimtomatk dan sembuh
sendiri (self limited). Oleh karena miokarditis biasanya asimtomatik,
maka data epidemiologi yang ada berasal dari penelitian pasca
mortem. Pada pemeriksaan pasca mortem miokarditis ditemukan
sekitar 1-9%, sehingga diduga miokarditis adalah penyebab
utamakematian mendadak1,2

Etiologi dan klasifikasi miokarditis


• Infeksi:
- Virus: coxsackievirus, echovirus, HIV, virus Epstein-Barr,
influenza, cytomegalovirus, adenovirus, hepatiris (A dan B),
mumps, poliovirus, radies, respiratory syncytial virus, rubella,
vaccinia, varicella zoster, arbovirus
- Bakteri: Corynebacteriumdiphteriae, Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus aureus, Haemophilus pneumonia, Salmonella
spp., Neisseria gonorrhoeae, Leptospira, borreliaburgdorferi,
Treponemapallidum, Brucella, Mycobacterium tuberculosis,
Actinomyces. Chlamydia spp., Coxiellabernetti, Mycoplasma
pneumonia, Rickettsia spp.
- Jamur: Candida spp., Aspergillus spp., Histoplasma,
Blastomyces, Cryptococcus, coccidioidiomyces
- Parasit: Trypanosomacruzii, Toxoplasma, Schistosoma, Trichina

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 215
• Non-infeksi:
- Obat-obatan yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas:
o Antibiotik: sulfonamide, penicillin, kloramfenikol, amfoterisin B,
tetrasiklin, streptomisin
o Antituberkulosis: isoniazid, para-aminosalicylic acid
o Antikonvulsan: penindion, fenitoin, karbamazepin
o Anti-inflamasi: indometasin, fenibutason
o Diuretik: asetazolamid, klortalidon, hidroklorotiazid,
spironolakton
o Lain-lain: amitriptilin, metildopa, sulfonilurea
- Obat-obatan yang tidak menyebabkan reaksi
hipersensitivitas:
o Kokain, siklofosfamid, litium, interferon alpha
- Penyebab selain obat-obatan:
o Radiasi, giant-cells, myocarditis.

Miokarditis Difteri
Penyakit difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh
spesies dari Corynebacterium diptheriae.12 Penyakit difteri sangat
menular dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada
mukosa orofaring.7 Corynebacterium diphtheriae merupakan kuman
batang Gram-positif, tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, mati pada pemanasan 60oC, tahan dalam keadaan
beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam
susunan palisade, bentuk V, L atau Y, atau merupakan kelompok
dengan formasi mirip huruf Cina. Dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu
gravis, mitis dan intermediet, yang paling ganas adalah tipe gravis.
Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi
lebih baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau media
Loeffler13

th
216 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Pseudomembran pada tonsil
Meskipun insidensi penyakit ini menurun di seluruh dunia,
namun difteria masih terjadi pada negara berkembang dengan tingkat
imunisasi yang buruk dalam melawan difteria.12 Pada waktu terjadinya
endemis difteria, terutama menyerang anak <15 tahun. dengan
diperkenalkannya imunisasi toxoid, penyakit ini berpindah ke orang
dewasa yang tidak memiliki kekebalan alami terhadap C. diptheriae
yang toksigenik pada era vaksin dan pada individu yang memiliki
tingkat booster imunisasi yang rendah.9,14
Manifestasi penyakit difteri tergantung pada berbagai faktor,
bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai hipertoksik serta fatal.
Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,
virulensi serta toksigenitas C. diphteriae (kemampuan kuman
membentuk toksin) dan lokasi penyakit secara anatomis.1 Difteria
mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien umumnya datang untuk
berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam
jarang melebih 38,9oC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada
lokalisasi penyakit difteria.
Diagnosis penyakit difteri ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
klinis dan laboratoris, namun pengobatan diberikan tanpa menunggu
hasil laboratorium karena komplikasinya yang cepat. Untuk
memudahkan dilapangan dan tatalaksana diagnosis dibagi menjadi 1.
Suspek difteri,2.probable difteri dan 3.kasus konfirmasi laboratorium
difteri,4 kasus konfirmasi hubungan epidemiologi, 5. Kasus kompatibel
klinis, 6. Kasus kontak, 7.kasus karier. Beberapa hal yang
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 217
menyebabkan kembalinya insiden penyakit difteri a.l: adanya program
imunisasi yang tidak lengkap, program imunisasi yang tak tercapai
sempurna, adanya gerakan antivaksin di masyarakat, tidak adanya
pelaksanaan vaksin tiap kurun waktu 10 tahun, dan kesadaran
masyarakat yang sangat kurang tentang bahaya penyakit difteri.
Miokarditis difteri merupakan komplikasi kardiovaskular dari
difteri yang merupakan infeksi respiratorik akut yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheria. Penyakit ini ditandai oleh adanya
tonsillitis faringeal dan/atau laryngitis, membentuk suatu tipikal
pseudomembran faringitis warna abu-abu dan simptom yang terjadi
disebabkan oleh exotoxin.3

Gambar 1. Kerusakan Miofibril yang digantikan sel lemak pada


Miokarditis Difteri

Miokarditis, dikenal juga sebagai miokarditis difteri, merupakan


komplikasi paling berat dari infeksi difteri yang dapat menyebabkan
kematian. Secara patologi, miokarditis difteri bermanifestasi sebagai
suatu degenerasi hialin miokardium atau nekrosis miokardial dengan
hanya beberapa sel infiltrasi. Miokarditis difteria merupakan salah satu
komplikasi paling penting dari difteria dan berkontribusi terhadap 50%
penyebab kematian akibat difteria.4
Miokarditis difteria terjadi pada 10-20% penderita dipteri laryng
dan mempunyai angka kematian yang tinggi dan umumnya terjadi
pada anak-anak. Pengobatan pada miokarditis difteri biasanya

th
218 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
dilakukan selama 3 bulan dengan angka kesembuhan kurang lebih
50%.4

Insidensi
Miokarditis difterika dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:
1. Virulensi biotipe difteri (mitis, gravis atau intermedia); semakin
virulen akan semakin tinggi komplikasi jantung , gravis biasanya
lebih berat.
2. Lokasi kuman
Walaupun dapat terjadi pada semua keadaan, komplikasi pada
sistem kardiovaskular yang terbanyak didapatkan pada tonsilitis
difterika dengan bullneck
3. Vaksinasi difteri yang telah didapat sebelumnya
Bila anak telah mendapatkan vaksinasi, biasanya tidak didapatkan
adanya komplikasi pada sistem kardiovaskular.
4. Pengaruh Kortikosteroid terhadap miokarditis belum dapat
dibuktikan.
Secara umum insiden komplikasi difteri pada sistem kardiovaskular
sekitar 10-20% dan 50% kasus difteri meninggal disertai adanya
komplikasi kardiovaskular.15

Patogenesis
Toksin Difteri, yang disekresi oleh strain toksigenik dari C.
diphtheriae, adalah polipeptida tunggal Mr 58.342. Strain toksigenik C.
diphtheriae membawa struktur gen tox yang ditemukan di lisogenik
corynebacteriophages β tox+, γ tox+, dan ω tox+. Strain yang sangat
toksik mempunyai dua atau tiga gen tox+ yang dimasukkan ke genom.
Ekspresi gen diatur oleh bakteri host dan tergantung zat besi. Pada
konsentrasi zat besi yang rendah, regulator gen dihambat,
mengakibatkan peningkatan produksi toksin. Toksin diekskresikan dari
sel bakteri dan mengalami pembelahan untuk membentuk dua rantai,
A dan B, yang diikat bersama oleh ikatan disulfida yang merantaikan
antara residu sistein pada posisi 186 dan 201. Peningkatan
konsentrasi toksin, efek toksik melebihi daerah setempat disebabkan
oleh distribusi toksin di sirkulasi. Toksin difteri tidak memiliki organ
target khusus, tapi miokardium dan saraf perifer yang paling
terpengaruh. Setelah invasi oleh bakteriofag, patogen menghasilkan
eksotoksin yang menghambat elongasi intraseluler faktor 2 dan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 219
sintesis protein. Kerusakan pada jantung meliputi edema, kongesti,
infiltrasi oleh sel mononuklear, dan perubahan lemak dalam serat otot
dan sistem konduksi. Toksin dapat mengurangi ambang eksitasi dari
miokardium yang rusak16
Mekanisme kerusakan miokardium akibat miokarditis difteria
akibat dari pelepasan toksin oleh basilus difteria, yang menyebabkan
gangguan konversi asam amino dari asam ribonukleat terlarut menjadi
struktur polipeptida, sehingga menghambat sintesis protein.6,15

Gambar 2. Mekanisme terjadinya miokarditis difteri

Infektivitas difteri cukup lemah, namun bakteri tersebut dapat


tumbuh dan berkembang pada kulit dan membrane mukosa yang
mengalami kerusakan. Namun, exotoksin yang diproduksi oleh bakteri
difteria sangat toksik. Setelah diserap tubuh, toksin tersebut
th
220 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
menyebabkan gejala sistemik akibat toksin yang masuk ke dalam
darah, dan menyebabkan perubahan patologik sistemik. Otot jantung,
adrenal, dan saraf perifer ikut terlibat, dan miokarditis difteria terutama
menyebabkan gangguan pada kardiomiositt dan sistem konduksi
jantung. Perubahan patologis awal menunjukkan bahwa jantung
mengalami pembesaran, dan sel myocardium menunjukkan
pembengkakan dan steatosis, diikuti oleh defenerasi fokal hyaline
multiple, degenerasi granular, dan myocardium. Nekrosis sel, diikuti
oleh infiltrasi leukosit PMN, hyperplasia jaringan ikat, degenerasi
sistem konduksi jantung, nekrosis dan pembentukan parut,
menyebabkan gangguan fungsi system konduksi.5,16
Eksotoksin basilus difteria dapat menyebabkan degenerasi,
nekrosis dan pembentukan parut pada miokardium dan sistem
konduksi jantung. Kondisi tersebut umumnya muncul pada minggu
awal infeksi difteria dan pada awal minggu kedua. Perubahan akibat
proses recovery dapat terjadi pada akhir minggu kedua, termasuk
pembentukan jaringan granulasi dan proses recovery pada lesi
myocardial. Jaringan kolagen dan proliferasi fibroblast, terjadi pada
minggu ketiga dan minggu keempat dari proses perjalanan penyakit
pada myocardium yang mungkin menjadi jaringan parut.
Kelainan morfologis jantung dan gangguan yang terjadi dapat
berupa15
• Menurunnya daya oksidasi terhadap asam lemak rantai panjang
• Menurunnya konsentrasi karnitin
• Pengumpulan trigliserida yang berlebihan
• Besarnya kerusakan jaringan akan sebanding dengan
meningkatnya kadar enzim SGOT, SGPT, LDH, dan CPK.

Gambaran Klinis
Penyakit ini umumnya terjadi pada anak-anak, terutama pada
musim dingin dan musim semi. Penyakit ini ditularkan melalui droplet
dan dapat juga secara tidak langsung melalui mainan, pakaian dan
peralatan yang digunakan. Umumnya simptom yang muncul sebagai
berikut:17
1. Tanda infeksi seperti demam, mual, muntah, adanya
pseudomembran difteria yang terbentuk pada faring, tenggorokan,
hidung, biasanya dapat juga muncul pada kulit dan disertai
pembesaran nodus limfatikus lokalis atau disebut dengan istilah
“bovine neck”, difteria dapat muncul sebagai tanda obstruktif pada
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 221
traktus respiratorius, buzzing pada saat inspirasi atau tanda
“concave tiga”.
2. Keterlibatan sistem sirkulasi termasuk fatigue, pucat, sianosis,
dyspnea, dan symptom lainnya. Pemeriksaan jantung
menunjukkan adanya pembesaran ringan sampai moderate pada
jantung, bunyi jantung yang jauh dan melemah, takikardia atau
bradikardia (terutama terjadinya blok pada konduksi
atrioventricular), bising sistolik yang halus di apikal dan bunyi
gallop diastolic dapat terjadi pada regio apikal, kardiomiopati
ekstensif dapat menyebabkan shock kardiogenik, terutama pada
periode 2 minggu pertama setelah onset, sering kulit tampak pucat,
mual, muntah, keluhan seperti nyeri perut, diikuti oleh ekstremitas
inferior yang teraba dingin, pulsasi yang lemah, penurunan tekanan
darah. Selain itu, pengaruh toksik exotoxin difteria terhadap
pembuluh darah perifer dan pusat vasomotor dapat menjadi
penyebab shock. Beberapa keluhan lain juga dapat muncul seperti
gagal jantung kongestif, termasuk tanda dan gejala dari kongestif
pulmonal dan kongestif sistemik.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah. Pada pemeriksaan ini mungkin menunjukkan
adanya peningkatan jumlah leukosit dengan proporsi neutrophil
yang meningkat. Pada kasus yang berat, partikel toksik mungkin
dapat dilihat pada leukosit dan neutrophil.
2. Pemeriksaan hapusan bakteri. Pemeriksaan swab pada jaringan
yang menghubungkan pseudomembran dan membrane mukosa,
pemeriksaan hapusan dan kultur bakteri, sering menemukan
adanya gambaran basilus gram positif atau basilus diteria, kultur
bakteri dapat pula memberikan hasil positif, jika diperlukan dapat
melakukan pemeriksaan toksin dan virulensi bakteri.
3. Adanya pseudomembran lain yang muncul dan jika diperiksa
dengan hapusan dengan cairan kalium ferrate yang menunjukkan
bahwa pseudomembran yang lain akan menunjukkan warna hitam.
4. Pemeriksaan EKG. Pada pemeriksaan EKG dapat terlihat adanya
ST depresi awal, gelombang T flat, atau T inversi, sering tampak
gambar sinus takikardia diikuti oleh berbagai variasi AV blok
dengan derajat yang bervariasi, kejadian blok konduksi komplit
memberikan prognosis yang kurang baik terutama pada fase akut
th
222 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
kematian, kondisi lain seperti blok bundle branch, sinus
bradikardia, premature ventricular contraction, paroxysmal
takikardia, atrial flutter atau kelainan EKG karena gemetar.
5. Pemeriksaan X-Ray dan echocardiografi jantung. Pemeriksaan ini
memberikan gambaran ukuran jantung apakah terjadi pembesaran
mulai ringan sampai moderate, fungsi jantung secara keseluruhan,
seperti cardiac output pasien, penurunan fraksi ejeksi jantung dan
fungsi lainnya.
6. Echocardiografi
Tidak ada gambaran ekokardiografi yang spesifik untuk miokarditis.
Namun, echocardiografi memungkinkan evaluasi ukuran ruang
jantung dan tebal dinding sebagai penanda fungsi sistolik dan
diastolik pada pasien dengan miokarditis.
7. Pemeriksaan enzyme jantung:
Pemeriksaan yang dapat dikerjakan untuk membantu diagnosis
Miokarditis difteri a.l SGOT, CKMB, Troponin T dimana pada
pemeriksaan tersebut akan terlihat kenaikan kadar enzim.
Creatinin Kinase MB (CKMB)
CKMB adalah enzim jantung yaitu creatinine kinase (CK) yang
disusun oleh sub unit M dan atau B. Creatin kinase berperan
sebagai pengatur produksi fosfat berenergi tinggi dan
pemanfaatannya untuk kontraksi jaringan. Secara umum CK ini
berperan sebagai perantara ikatan fosfat berenergi tinggi melalui
kreatin fosfat dari mitokondria ke sitoplasma. CKMB banyak
ditemukan di otot jantung. Bila ada kerusakan pada otot jantung
CK dan CKMB akan meningkat tetapi namun CKMB lebih spesifik.
Kadar CKMB normal <24 U/L. enzim dan bila terjadi cidera miokard
akan meningkat.
Troponin T
Troponin T merupakan protein spesifik yang berasal dari miokard
terdiri dari 3 subunit yaitu T, I, C dimana fungsinya adalah regulasi
kontraksi otot jantung dan otot rangka khususnya pada regulasi
aktin dan myosin. Troponin T yang terdapat di interseluler
berikatan dengan myofibril di miosit jantung, sehingga Troponin T
yang terdapat di Cytosolic pool sebesar 6-8% saja, fungsi cytosolic
pool adalah sumber keluarnya Troponin apabila ada cedera.
Pelepasan Troponin T dimulai pada 4-6 jam setelah cidera dan

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 223
mencapai puncaknya pada 12-24 jam dan akan menjadi normal
kembali setelah 7-10 hari.

Diagnosis
Pasien yang menunjukkan tanda infeksi dan adanya lesi
pseuromembran pada tenggorokan mungkin muncul dengan berbagai
manifestasi adanya keterlibatan miokardium, termasuk kelainan
gambaran ekg, gangguan sirkulasi, atau gagal jantung kongestif.
Miokarditis akibat difteria dapat dipertimbangkan dan pemeriksaan
bakteriologi positif mungkin membantu untuk mengkonfirmasi
diagnosis tersebut.

Komplikasi Miokarditis Difteria


1. Aritmia. Myocarditis difteria cenderung menyebabkan aritmia,
termasuk sinus takikardia, sinus bradikardia, premature ventricular
contraction, takikardi paroksismal, atrial flutter atau atrial fibrilasi,
blok atrioventricular dan bundle branch block, beberapa kasus
menunjukkan adanya high degree AV blok.
Penyebab terjadinya gangguan aritmia pada pasien difteri tidak
jelas. Tetapi penjelasan yang paling memungkinkan diantaranya
adanya peningkatan tonus vagal (dimana bradikardi disini tidak
menunjukkan adanya proses inflamasi) atau pengaruh dari exotoxin
difteri pada atrium kanan dan sistem konduksi jantung8
Terjadinya bundle branch block dan total AV block pada pasien
dengan miokarditis difteri dapat menjadi tanda adanya kerudakan
miokardium yang berat dan prognosis yang buruk. Pemberian
cardiac pacing dapat meningkatkan outcome pasien tetapi lebih
berguna pada pasien yang masih mengalami AV block grade II.
2. Gagal jantung. Miokarditis difteria yang berat dapat meluas dan
menyebabkan kerusakan myocardium yang berat, sehingga
menyebabkan pembesaran jantung, dan bermanifestasi klinis
sebagai gagal jantung kongestif.
3. Syok Kardiogenik. Ketika terjadi miokarditis difteria yang berat dan
telah memiliki tingkat kerusakan yang luas, umumnya terjadi
kegagalan sirkulasi perifer. Hal ini mungkin terjadi akibat penurunan
volume darah pada satu siklus denyut jantung, dan tekanan darah
yang menurun dan perfusi jaringan di sekitarnya menjadi tidak
tercukupi.
th
224 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tatalaksana miokarditis dipteria
1. Tata laksana secara aktif terhadap penyakit primer seperti
pemberian antitoksin difteria 40.000-100.000 unit intramuscular
atau dilarutkan iv.8
2. Antibiotik pilihan adalah penicillin 400.000 sampai 800.000 unit
intramuscular, 1x/hari, selama 7-10 hari pemberian terapi. Pasien
yang alergi terhadap penicillin dapat diberikan eritromisin 40
mg/kgbb yang terbagi menjadi 4 dosis. Selain itu, rifampisin dan
klindamisin juga efektif.7
3. Bed rest selama minimal 2 bulan, sampai jantung mengalami
recovery sepenuhnya, karena terkadang aktivitas fisik yang sangat
ringan, seperti duduk di tempat tidur, berjalan ke kamar mandi
dapat menyebabkan kematian secara tiba-tiba7
4. Pemberian nutrient yang tepat seperti ARP, CTP, koenzim A,
ubiquinone (koenzim Q10), vitamin B1, vitamin C, inosine, dan
fruktosa 1.6-difosfat.7
5. Untuk mengatasi gagal jantung dan gangguan sirkulasi perifer
harus diberikan diet rendah garam dan pembatasan asupan air,
perhatian terhadap pemberian digitalis, umumnya dapat diberikan
muscular K (toxic hair spinacil K), dengan dosis dewasa 0.125-0.25
mg, dengan dosis anak 0.007 mg/kgBB ditambah 50%glukosa 20
cc, pemberian injeksi pelan, tergantung pada kondisi yang dapat
diberikan diuretic dan vasodilatator. Jumlah digitalis harus
dikendalikan dengan dosis konvensional sebesar ½ sampai 2/3
dalam rangka mencegah keracunan (anak akan lebih sensitive
terhadap digitalis pada kondisi ini sehingga keracunan digitalis
dapat mudah terjadi. Pemberian digoxin harus diturunkan
dosisnya, yang jadi penyebab hal ini masih belum jelas). Sebagai
contoh : dopamine, dobutamine dan meta hidroxylamin dapat
digunakan ketika terjadi kegagalan sirkulasi perifer.6,12
6. Tatalaksana aritmia dan detak jantung yang lambat. block AV yang
terjadi dapat menyebabkan penurunan cardiac output sehingga
dharus diberikan terapi yang cepat. Tatalaksana awal dapat
diberikan atropine, anisodamin atau isoproterenol 0.5–1 mg
dengan ditambahkan D5% 500 cc intravena, atau pemberian pacu
jantung sementara jika diperlukakan. Jika terjadi takikardia,
terutama takikardi ventrikel, dapat diberikan lidokain, benzilbromide
atau procainamide tetapi dosisnya harus diturunkan dibandingkan

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 225
dosis konvensional untuk mencegah inhibisi yang berlebihan
terhadap miokardium. Selain itu, perhatian harus diberikan untuk
menjaga keseimbangan antara cairan dan elektrolit.3

Peran Karnitin pada miokarditis difteri


L-Carnitin dan derivatnya, propionyl-L-carnitin adalah produk
organic amines dan di metabolik secara endogen. Komponen ini
esensial dibutuhkan terutama pada proses oksidasi asam lemak dan
telah dibuktikan dapat mengurangi akumulasi toksin hasil metabolisme
selama iskemia. Kemampuan karnitin dalam meningkatkan produksi
energi dan menghilangkan hasil metabolisme yang bersifat toksin
selama iskemik yang meberikan hipotesis terapi karnitin juga dapat
bermanfaat dalam berbagai kelainan jantung termasuk miokarditis
difteri.18,19
Toksin difteri mempengaruhi otot jantung dalam 2 cara, yaitu
mempengaruhi metabolisme lemak dan menghambat sintesis protein.
Metabolisme otot jantung membutuhkan glukosa, laktat dan asam
lemak sebagai sumber energi. Asam lemak bebas memenuhi 60-70%
energi yang dibutuhkan oleh otot jantung, sementara glukosa
bertanggung jawab kurang lebih 30% dari total kebutuhan energi.
Studi telah menunjukkan bahwa toksin difteri mengurangi oksidasi
asam lemak dengan mempengaruhi metabolisme karnitin.18-20
Karnitin adalah co-factor yang memungkinkan pengangkutan
asam lemak dari sitoplasma ekstra mitokondrial ke dalam sitoplasma
mitokondrial dimana asam lemak dioksidasi. Blok dalam sintesis
protein karena toksin difteri menurunkan tingkat karnitin di otot jantung.
Hal ini dibuktikan oleh fakta bahwa penipisan karnitin dalam sel otot
jantung adalah ciri spesisk yang terjadi pada miokarditis difteri.
Pemberian karnitin pada pasien difteri dapat menurunkan kejadian
miokarditis tetapi tidak secara signifikan meningkatkan prognosis
keseluruhan.18,19

Prognosis
Prognosis miokarditis difterika tergantung kepada berat
ringannya penyakit, kelainan EKG, tingginya kadar SGOT yang
menunjukkan derajat kerusakan miokard. Angka kematian berkisar
antara 20-70% dengan angka rata-rata sebesar 50%. Pada kasus
dengan kelainan EKG berupa perubahan ST-T prognosis lebih baik.
th
226 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Pada kasus gangguan konduksi, umumnya prognosis lebih buruk.
Gangguan konduksi yang berat misalnya blok A-V komplet, disosiasi
AV umumnya berakhir fatal, walaupun telah dicoba dengan berbagai
macam obat anti-aritmia 5,8
Pada miokarditis, angka kematiannya masih tinggi. Bila
penderita dengan gangguan konduksi ringan dapat sembuh sempurna
tanpa gejala sisa maka umumnya penderita dengan gangguan
konduksi berat berakhir dengan kematian. Makin dini terjadi komplikasi
makin buruk prognosisnya. Dengan kemajuan tekhnologi, alat pacu
jantung diharapkan dapat menggantikan obat anti-aritmia tadi dan
kiranya dapat memperbaiki prognosis yang fatal1,6

Pencegahan
Secara umum pencegahan yang dilakukan sama dengan
pencegahan terhadap difteri. Pencegahan miokarditis difteria meliputi12
1. Untuk melindungi populasi yang rawan, kendalikan sumber infeksi,
isolasi pasien yang diobati sampai symptom menghilang, dan hasil
pemeriksaan swab tenggorokan menunjukkan hasil negative.
2. Potong jalur transmisi
3. Untuk meningkatkan imunitas tubuh dapat digunakan vaksin
ataupun injeksi toksoid difteria.

Kesimpulan
Miokarditis difteri merupakan salah satu komplikasi penyakit
difteri yang mortalitasnya masih cukup tinggi. Di Indonesia penyakit
difteri masih menjadi masalah kesehatan masyarakat (kejadian luar
biasa dan endemis dibeberapa kabupaten) walaupun telah dilakukan
program imunisasi DPT. Penyakit yang insidennya pernah menurun (th
1990) dengan cakupan program imunisasi yang tinggi namun timbul
kembali tahun 2009 dan berangsur angsur meningkat dibeberapa
tempat di Indonesia. Meningkatnya kasus difteri juga akan
meningkatkan kejadian miokarditis dan akan meningkatkan kematian.

Daftar Pustaka
1. Tavli V, Guven B. Myocarditis in Childhood: An Update on Etiology,
Diagnosis and Management. Myocarditis: InTech; 2011.
2. Schultheiss H-P, Kühl U, Cooper LT. The management of myocarditis.
European heart journal 2011;32:2616-25.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 227
3. Mahfoud F, Cooper BT, Barth C, et al. Update on myocarditis. Journal of
the American College of Cardiology 2012.
4. Shamna R, Lalitha A, Lini B. Myocarditis in children. The Indian Journal of
Pediatrics 2014;81:397-400.
5. Sayers EG. Diphtheritic myocarditis with permanent heart damage.
Annals of internal medicine 1958;48:146-57.
6. Boyer NH, Weinstein L. Diphtheritic myocarditis. New England Journal of
Medicine 1948;239:913-9.
7. Brady WJ, Ferguson JD, Ullman EA, Perron AD. Myocarditis: emergency
department recognition and management. Emergency Medicine Clinics
2004;22:865-85.
8. Dung NM, Kneen R, Kiem N, et al. Treatment of severe diphtheritic
myocarditis by temporary insertion of a cardiac pacemaker. Clinical
infectious diseases 2002;35:1425-9.
9. Rintani A, Mintarsih T, Muliawan YMRB, Siregar JS, Widodo AP. Faktor-
faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian luar biasa difteri di
negara berkembang. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat 2018;9.
10. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pemerintah optimis klb difteri
bisa teratasi. 2018, Januari 13.
11. Krugman S, Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman's infectious
diseases of children: Mosby Inc; 2003.
12. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BM. Nelson textbook of
pediatrics: Elsevier Health Sciences; 2007.
13. Efstratiou A, Engler KH, Mazurova IK, Glushkevich T, Vuopio-Varkila J,
Popovic T. Current Approaches to the Laboratory Diagnosis of Diphtheria.
The Journal of Infectious Diseases 2000;181:S138-S45.
14. Jain A, Samdani S, Meena V, Sharma MP. Diphtheria: It is still prevalent!!!
International journal of pediatric otorhinolaryngology 2016;86:68-71.
15. Warthin AS. The myocardial lesions of diphtheria. The Journal of
Infectious Diseases 1924:32-66.
16. Hadfield TL, McEvoy P, Polotsky Y, Tzinserling VA, Yakovlev AA. The
pathology of diphtheria. Journal of Infectious Diseases 2000;181:S116-
S20.
17. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Edisi Kedua, Badan Penerbit IDAI, Jakarta 2008:122-7.
18. Soetono S, Soeroso S, Sutikno W. Effect of carnitine in diphtheria: A
preliminary report. Paediatrica Indonesiana 1999;39:102-7.
19. Ramos A, Barrucand L, Elias P, Pimentel A, Pires V. Carnitine
supplementation in diphtheria. Indian pediatrics 1992;29:1501-5.
20. Ramos ACMF, Elias PRP, Barrucand L, Da Silva JAF. The protective
effect of carnitine in human diphtheric myocarditis. Pediatric research
1984;18:815.

th
228 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Practical Approach of Endocarditis Prevention in Daily
Practices

Sri Endah Rahayuningsih

Endokarditis Infektif (EI) merupakan penyakit yang disebabkan


oleh infeksi mikroba pada lapisan endotel jantung dan pembuluh darah
besar. Penyakit ini ditandai dengan terbentuknya vegetasi yang dapat
terjadi pada katup jantung (baik katup buatan maupun katup natif),
endokardium dan benda asing intravaskular seperti benda penutup
defek atau membuat pirau intrakardial untuk memperbaiki kelainan
jantung bawaan.1-9
Risiko untuk terjadi nya EI adalah 1) defek jantung termasuk
penyakit jantung bawaan dan Penyakit Jantung rematik 2) setelah
koreksi jantung dengan menggunakan device atau katup artificial, 3)
penggunaan jarum suntik yang telah terkontaminasi bakteri atau jamur
4) riwayat EI sebelumnya.
Tindakan perawatan gigi dapat menimbulkan bakteriemi yang
pada akhirnya dapat menimbulkan endokarditis infektif. Timbulnya
bakteriemi dapat berasal dari perawatan yang dilakukan di ruang
praktek dokter gigi atau sebagai akibat dari aktifitas sehari-hari seperti
mengunyah, menyikat gigi atau flossing pada mulut yang tidak sehat.
Higiene mulut yang rendah dan gigi yang tidak terawat
mengakibatkan pembusukan gigi yang parah dan periodontium yang
tidak sehat, yang keduanya akan meningkatkan kemungkinan
berkembangnya bakteriemi yang menyertai kegiatan sehari-hari
seperti makan, menyikat gigi dan flossing.1,2
EI diklasifikasi menjadi 1) subacute bacterial endocarditis yang
etiologi adalah Streptococcus viridans sensitive penicillin, sering
ditemukan pada anak anak dengan defek jantung, dan dengan terapi
yang adekuat jarang akan menyebabkan kerusakan jantung yang
berat; 2) acute bacterial endocarditis disebabkan oleh Staphylococcus
aureusa, dan sering terjadi pada anak anak tanpa defek jantung.7

Epidemiologi
Endokarditis Infektif lebih jarang terjadi pada anak dari pada
orang dewasa. Angka kejadiannya sekitar 1 per 1280 pasien anak
yang dirawat di Rumah Sakit dalam satu tahun.10 Endokarditis Infektif
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 229
lebih sering terjadi akibat komplikasi penyakit jantung bawaan seperti
defek septum ventrikel, duktus arteriosus persisten, Tetralogi Falot,
abnormalitas katup aorta, dan penyakit jantung reumatik, namun
penyakit ini juga dapat terjadi pada anak tanpa adanya kelainan
jantung.10,11

Etiologi
Pada umumnya organisme yang menyebabkan EI pada anak
adalah kokus gram positif, terutama kelompok Streptococcus viridans
(seperti S. sanguis, S. mitis, S. mutans), Stafilokokus dan
Enterokokus. Endokarditis Infektif yang disebabkan kelompok
Streptococcus viridans sering terjadi setelah tindakan gigi dan
mulut.12,13

Patogenesis
Endotelium jantung yang intak merupakan stimulator yang
buruk untuk terjadinya koagulasi darah dan bakteri tidak mudah
menempel. Endotelium yang rusak atau hilang berpotensi
menyebabkan trombogenesis dan membentuk sarang yang menjadi
tempat menempelnya bakteri dan membentuk vegetasi yang terinfeksi.
Pada anak dengan penyakit jantung berhubungan dengan adanya
aliran darah bertekanan tinggi yang dapat merusak endotelium.
Trombogenesis terjadi pada tempat tersebut dan menyebabkan
deposisi trombosit, fibrin, sel darah merah dan membentuk
endokarditis trombotik nonbakterial. Bila terjadi bakteriemia maka
bakteri akan melekat pada lesi endokarditis trombotik nonbakterial
tersebut. Trombosit dan fibrin akan terkumpul disekitar organisme dan
menyebabkan pembesaran vegetasi serta melindungi organisme
tersebut dari sel fagositik dan mekanisme pertahanan tubuh lain.8,10
Adanya pembengkakan, perdarahan atau perubahan warna,
konsistensi dan kontur dari gusi dapat mengakibatkan bakteriemi yang
potensial menyebabkan endokarditis infektif.

Manifestasi klinik
Gejala klinis EI biasanya tidak jelas, berupa panas badan yang
lama dan tidak begitu tinggi, cepat capai, atralgia, mialgia, penurunan
berat badan, splenomegali dan anemia.10,13,14 Manisfestasi klinik
terdapat pada Tabel 1
th
230 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 1. Manifestasi klinik endokarditis infektif

Riwayat:
- Penyakit jantung bawaan atau penyakit jantung rematik
- Setelah tindakan gigi dan mulut, saluran urogenital atau
gastrointestinal
- Pemakaian obat-obatan intravena
- Pemasangan kateter vena sentral
- Katup jantung buatan

Gejala klinis:
Demam, nyeri dada dan perut, artralgia atau mialgia, sesak nafas, malaise,
keringat malam, berat badan menurun, gejala neurologis.

Tanda klinis:
Demam, takikardia, petekie, nodus Osler, Splinter hemorhage, Roth’s spot,
lesi Janeway, murmur baru/perubahan murmur, splenomegali, jari tabuh,
artritis, glomerulonefritis, abses miokard, gagal jantung.

Dikutip dari 11,12

Pemeriksaan Penunjang
Mikrobiologi
Kultur darah diperiksa 3 kali dengan pengambilan darah vena
yang terpisah pada hari pertama dan 2 kali pada hari kedua.10 Pada
Endokarditis Infektif dapat ditemukan kultur darah negatif (5-7%)
namun mempunyai gejala dan ekokardiografi menunjukan adanya EI.
Penyebab utama kultur negatif pada EI umumnya disebabkan
penderita telah mendapat terapi antibiotika. Kultur darah sebaiknya
diulang 1 sampai 2 kali setelah 8 minggu pengobatan antibiotika
selesai untuk memastikan penyembuhan dan mendeteksi rekurensi.10

Ekokardiografi
Ekokardiografi dapat menunjukkan adanya vegetasi, abses,
insufisiensi katup yang baru, dan perubahan pola aliran intrakardiak.8

Pemeriksaan lain
Dapat ditemukan anemia yang bersifat hemolitik. Leukositosis
tidak selalu ditemukan, pada tipe yang akut leukositosis lebih nyata
daripada yang subakut. Pada penderita dengan glomerulonefritis
dapat ditemukan hematuria dan proteinuria.4,5 Pada penderita EI juga
terjadi peningkatan CRP dan hipergamaglobulin.4,14 Pemeriksaan

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 231
radiologi berupa foto torak untuk memastikan kardiomegali pada
penderita Endokarditis Infektif dengan gagal jantung.8

Diagnosis
Diagnosis Endokarditis Infektif ditegakkan berdasarkan kriteria
Duke yang dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.10

Tabel 2. Definisi yang digunakan pada kriteria Duke untuk diagnosis


EI
Kriteria mayor:
1. Kultur biakan darah yang positif:
A. Mikrorganisme khas yang menyebabkan EI dari 2 bahan kultur
darah diambil secara terpisah
i. Streptokokus viridans, Streptokokus bovis atau kelompok
HACEK atau
ii. Organisme yang didapat dari komunitas yaitu Stafilokokus
aureus atau enterokokus tanpa fokus primer atau
B. Mikroorganisme penyebab EI dari kultur darah positif persisten :
i. >2 bahan kultur darah positif yang diambil dengan jarak 12 jam
atau
ii. 3 atau ≥4 kultur darah positif dengan jarak waktu antara
pengambilan pertama dan berikutnya ≥1 jam.
2. Bukti keterlibatan endokardium:
A. Ekokardiografi positif:
i. Massa intrakardiak yang bergerak pada katup atau struktur
pendukung, pada jalan aliran regurgitasi, atau pada benda yang
ditanam dimana tidak terdapat penjelasan anatomik lain atau
ii. Abses atau
iii. Defek baru pada katup buatan atau
B. Regurgitasi katup yang baru pada ekokardiografi
Kriteria minor:
1. Faktor predisposisi berupa kelainan jantung atau pemakaian obat
intravena
2. Panas badan: Suhu tubuh ≥38oC
3. Fenomena vaskular berupa emboli arteri, infark paru, aneurisma
mikotik, perdarahan intrakranial, perdarahan konjungtiva dan lesi
Janeway
4. Fenomena imunologi : nodus Osler, Roth’s Spot, glomerulonefritis,
faktor rematoid.
5. Bukti mikrobiologis, seperti kultur darah positif tetapi tidak memenuhi
kriteria mayor seperti tertulis diatas atau bukti serologi dari infeksi
organisme penyebab EI.
6. Ekokardiografi : berhubungan dangan EI namun tidak memenuhi
kriteria mayor.
8
Dikutip dari
th
232 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 3. Kriteria Duke

Definitif Endokarditis Infektif


1. Kriteria patologi:
A. Mikroorganisme : dapat diisolasi dari kultur darah atau vegetasi
atau dari suatu abses intrakardiak.
B. Ditemukan lesi-lesi patologik seperti vegetasi atau abses
intrakardiak yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan histologi
menunjukkan endokarditis
2. Kriteria klinik:
A. 2 kriteria mayor atau
B. 1 kriteria mayor dan 3 minor atau
C. 5 kriteria minor

Kemungkinan Endokarditis Infektif


Temuan mengarah ke EI namun tidak cukup untuk memenuhi kriteria
definif tapi tidak termasuk kelompok yang ditolak

Ditolak
1. Tegaknya diagnosis alternatif untuk manifestasi endokarditis atau
2. Manifestasi endokarditis menghilang dengan terapi antibiotik selama ≤
4 hari atau
3. Tidak terdapat kelainan patologi saat operasi atau otopsi setelah
pemberian terapi antibiotik selama ≤4 hari
8
Dikutip dari

Tata Laksana
Medikamentosa
Pengobatan EI diberikan segera setelah kultur darah diambil,
dan sambil menunggu organisme dapat diidentifikasi maka
pengobatan harus diberikan untuk organisme yang dicurigai. Bila
kuman sudah dapat diidentifikasi maka pemberian antibiotika harus
disesuaikan dengan kuman penyebab.12,13

Operatif
Tindakan Operatif pada Endokarditis Infektif dilakukan atas indikasi
emboli yang rekuren, gagal jantung sedang-berat, timbulnya
aneurisma, obstruksi valvular, perluasan infeksi perivalvular, EI yang
disebabkan oleh jamur, bakteriemia yang persisten dengan terapi
antibiotika, ruptur septum ventrikel.12,13

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 233
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada Endokarditis Infektif adalah:
1. Gagal jantung8,12,13
Gagal jantung yang terjadi pada Endokarditis Infektif sebesar 55%
dan merupakan komplikasi yang paling sering menyebabkan
kematian. Gagal jantung disebabkan adanya regurgitasi katup,
perforasi daun katup yang terutama mengenai katup aorta dan
mitral.
2. Embolisasi 8,12,13
Komplikasi emboli pada EI terutama terjadi pada lesi yang besar
(vegetasi >10 mm). Infeksi stafilokokus dan jamur mempunyai
risiko lebih besar untuk terjadinya emboli. Komplikasi ini biasanya
terjadi pada minggu kedua sampai keempat terapi. Pada EI yang
akut dapat terjadi komplikasi emboli sebesar 50 - 60%, sedangkan
pada yang subakut sebesar 12-35%.
3. Manifestasi neurologi8
Manifestasi neurologi yang terjadi pada Endokarditis Infektif
sebesar 40 -50%. Manifestasi neurologi terjadi karena emboli pada
susunan saraf pusat berupa meningismus, perdarahan intrakranial,
infark arteri serebri, abses otak.
4. Aneurisma mikotik8,12,13
Aneurisma mikotik yang terjadi pada Endokarditis Infektif sebesar
3-15%. Biasanya terletak pada aorta bagian proksimal/Sinus
Valsava, arteri serebri, arteri viscera dan arteri ekstremitas.
Aneurisma mikotik dapat mengakibatkan ruptur.
5. Komplikasi lain10
Abses miokard, aritmia, gagal ginjal, bakteriemia atau fungemia
persisten.

Pencegahan
Tindakan pencegahan perlu dilakukan pada berbagai prosedur
yang menyebabkan bakteriemia, sehingga menurunkan insidensi EI.
Semua anak yang mempunyai faktor risiko sebaiknya menjaga
kebersihan rongga mulut untuk mengurangi sumber bakteriemia.9
Indikasi pemberian profilaksis antibiotika yang direkomendasikan

th
234 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
American Heart Assosciation dan pemberian antibiotika profilaksis
dapat dilihat pada Tabel 8, 9 dan 10. 10
Pencegahan endokarditis infektif tidak hanya ditujukan
terhadap bakteriemi yang timbul akibat tindakan di ruang praktek
dokter gigi, namun juga yang timbul akibat kebersihan mulut yang
rendah dan gigi yang tidak terawat. Sehingga penting sekali bagi
praktisi kesehatan untuk memahami pedoman American Heart
Association tentang pemberian antibiotika pencegahan terhadap
endokarditis infektif demikian juga dengan perawatan gigi sehari hari
untuk menjaga kesehatan sekitar mulut sehingga mengurangi
bakteriemi dan endokarditis.

Tabel 4. Kelainan jantung yang memerlukan profilaksis antibiotik

1. Risiko tinggi:
a. Katup jantung buatan
b. Menderita EI sebelumnya
c. PJB sianotik kompleks (seperti tetralogi falot, ventrikel tunggal,
transposisi arteri besar)
d. Shunt sistemik-paru
2. Risiko sedang
a. Hampir semua PJB (selain yang diatas dan yang dibawah ini)
b. Disfungsi katup didapat (seperti penyakit jantung rematik)
c. Kardiomiopati hipertropik
d. Prolaps katup mitral dengan regurgitasi katup dan/atau penipisan
daun katup

Tidak direkomendasikan pemberian profilaksis


Kelompok yang tidak direkomendasikan untuk diberikan profilaksis terhadp
EI
- Defek septum atrium sekundum
- Operasi untuk memperbaiki defek septum atrium, defek septum
ventrikel, atau duktus arteriosus persisten.
- Operasi bypass arteri koronaria sebelumnya
- Prolaps katup mitral tanpa regurgitasi
- Murmur fisiologik, fungsional atau inosen
- Menderita panyakit Kawasaki sebelumnya tanpa disfungsi katup
- Menderita penyakit demam reumatik sebelumnya tanpa disfungsi
katup
- Pemasangan pacemaker dan defibrillator jantung

Dikutip dari 10

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 235
Tabel 5. Prosedur gigi yang memerlukan profilaksis terhadap
Endokarditis Infektif

Rekomendasi Pencegahan*
- Ekstraksi gigi
- Prosedur periodontal meliputi pembedahan, skeling, root planing,
probing dan pemeliharaan
- Penempatan dental implant dan reimplantasi gigi yang avulsi
- Instrumentasi endodontik (root canal) atau pembedahan diatas
apeks
- Pemasangan fiber antibiotik subginggival
- Pemasangan awal orthodontic bands, tetapi bukan bracket
- Injeksi anestesi lokal intraligamentum
- Pembersihan pencegahan pada gigi atau implant apabila terdapat
perdarahan

Pencegahan tidak direkomendasikan


- Restorasi gigi  (operasi atau prostodontik) dengan atau tanpa
retraction cord 
- Injeksi anestesi lokal ( non-intraligamentum)
- Perawatan endodontik intrakanal; setelah pemasangan
- Pemasangan rubber dams
- Pengangkatan jahitan postoperasi
- Pemasangan prostodontik yang dilepas (removable)atau piranti
ortodontik
- Pencetakan gigi
- Terapi fluoride
- Radiografi oral
- Pemasangan piranti kawat gigi ortodontik
- Pencabutan gigi primer

* Rekomendasi pencegahan dilakukan pada penderita dengan kondisi


risiko tinggi/sedang jantung.
 Termasuk restorasi karies gigi (filling cavities) dan penggantian gigi
yang hilang
 Berdasarkan penilaian klinis, pemakaian antibiotik diindikasikan pada
kondisi tertentu dengan kemungkinan terjadinya perdarahan yang
signifikan.

th
236 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 6. Regimen profilaksis pada tindakan gigi, mulut, saluran nafas
atas dan esophagus
Keadaan Obat Dosis
Profilaksis standar Amoksilin 50 mg/kgBB po 1 jam sebelum
tindakan
Tidak dapat minum Ampisilin 50 mg/kgBB IV/IM 30 menit
obat sebelum tindakan
Alergi penisilin Klindamisin 20 mg/kgBB po 1 jam sebelum
atau tindakan
Sefaleksin/ 50 mg/kgBB po 1 jam sebelum
sefadroksil tindakan
atau
Azitromisin/ 15 mg/kgBB po 1 jam sebelum
Klaritromisin tindakan
Alergi penisilin dan Klindamisin 20 mg/kgBB IV 30 menit sebelum
tidak dapat minum atau tindakan
obat Sefazolin 25 mg/kgBB IV/IM 30 menit
sebelum tindakan
12,13
Dikutip dari

Pada penderita yang mendapat penisilin dalam jangka waktu


lama untuk pengobatan demam rematik atau penyakit lain, bisa terjadi
resistensi terhadap penisilin. Pada keadaan tersebut perlu
dibertimbangkan pemberian antibiotik selain amoksisilin.
Tindakan perawatan gigi yang memerlukan pencegahan
antibiotik adalah tindakan yang mengakibatkan perdarahan gusi.
Tindakan tersebut adalah pembersihan gigi, scaling, root planning,
ektraksi, restorasi dibawah garis gusi, insisi, dan drainase serta injeksi
intraligamen pada anastesi lokal. Untuk pasien dengan kebersihan
mulut yang baik, jaringan gusi dan periodontium sehat, antibiotika
pencegahan tidak diperlukan untuk pemeriksaan awal atau
pemeriksaan rutin, aplikasi fluor topical, radiograph gigi, impresi untuk
model gigi, penutupan lubang gigi, restorasi di bawah garis gusi,
orthodontik atau blok anestesi. Antibiotik profilaksis juga tidak
diperlukan pada pencabutan gigi susu pada mulut yang sehat.1,2
Mulut yang tidak sehat ditandai oleh gusi yang merah,
bengkak, mengalami inflamasi serta hyperemi yang mudah berdarah
walaupun selama tindakan noninfasif. Mulut dengan kondisi yang
tidak sehat memerlukan antibiotika pencegahan walaupun tindakan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 237
yang dilakukan merupakan tindakan noninvasif seperti orhodontik,
impressi atau penambalan.1,2
Ketika kondisi gigi diketahui membutuhkan perawatan, untuk
menurunkan sumber infeksi, perawatan harus dirancang sebagai
perawatan berisiko tinggi dengan tujuan untuk mengurangi sumber
infeksi. Pada beberapa anak, ekstraksi gigi susu yang rusak ringan
lebih baik dilakukan untuk menjaga keutuhan gigi secara keseluruhan.
Bila perawatan gigi membutuhkan kunjungan berulang, perjanjian
kunjungan harus berselang 7 hari untuk mengurangi kemungkinan
resistensi bakteri. Beberapa tindakan harus digabungkan bila
memungkinkan untuk mengurangi jumlah kunjungan. Antiseptik
pencuci mulut hendaknya dipertimbangkan sebagai cara untuk
mengurangi bahaya infeksi bakteri di mulut sebelum dilakukan
tindakan invasif. Untuk penderita dengan kebersihan mulut yang buruk
serta gusi dengan kondisi yang tidak sehat antiseptik pencuci mulut
harus digunakan setelah suatu tindakan invasif . Antiseptik mulut juga
berguna untuk memelihara kesehatan mulut pada penderita dengan
masalah gusi dan periodontium kronis atau pada penderita yang
menjalani perawatan orthodontik.1,2
American Heart Association (AHA) 2007 membuat protokol
penanganan EI dan menyatakan pembatasan penggunaan antibiotika
pada profilaksisi EI. Hal ini disebabkan karena 1) EI lebih sering terjadi
diakibatkan aktivitas sehari hari, misalnya menyikat gigi, mengunyah
dll dibandingkan pada tindakan medis dan prosedur gigi 2)
penggunaan antibiotika sebagai profilaksis sebelum tindakan gigi,
hanya mencegah sebagian kecil kasus EI 3) adanya peningkatan
resistan pada penggunaan antibiotika 4) kesehatan gigi mulut yang
baik lebih baik dibandingkan penggunaan antibiotika dosis tunggal.6
The American Heart Association merekomendasikan
pemberian antibiotika profilaksis EI pada:6
• Pasien dengan protesa katup
• Riwayat EI sebelumnya
• Penyakit jantung bawaan dengan
• PJB yang tidak di koreksi
• PJB dengan koreksi menggunakan device, selama 6 bulan
setelah tindakan
• PJB dengan residual defek setelah koreksi

th
238 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Perawatan gigi sehari-hari
Perawatan gigi sehari hari pada anak dengan penyakit jantung
sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya Endokarditis
Infektif. Kebersihan mulut yang buruk akan mengakibatkan gingivitis
kronis dan penyakit periodontium, atau abses yang mengakibatkan
kerusakan gigi yang akan berdampak terhadap timbulnya bakteriemi
walaupun tanpa adanya tindakan perawatan gigi. Sebelumnya,
diyakini bahwa setengah kasus Endokarditis Infektif disebabkan oleh
bakteriemi yang disebabkan oleh tindakan medis atau tindakan
perawatan gigi oleh dokter gigi. Ternyata hanya 10% dari seluruh
kasus Endokarditis Infektif yang disebabkan oleh tindakan medis atau
gigi. Sedangkan yang berhubungan dengan tindakan perawatan gigi
saja hanya 4% dari seluruh kasus endokarditis infektif. Kondisi mulut
yang tidak sehat yang mengakibatkan gingivitis, perdarahan gusi,
penyakit periodontium dan abses yang berakibat pembusukan gigi
dapat menimbulkan bakteriemia yang terjadi ketika menyikat gigi,
ketika flossing, ketika penggunaan tusuk-gigi, atau ketika makan yang
akhirnya dapat menimbulkan kasus endokarditis infektif. Sehingga
penting sekali untuk menjaga kesehatan gigi pada anak yang
mempunyai rrisiko untuk terkena endokarditis infektif.1,2
Karies gigi pada anak dapat terjadi akibat minum susu, atau
minuman lain dengan botol dimalam hari. Karena pada saat itu
produksi saliva menurun dan kavitas oral menjadi kering. Sedangkan
pada anak dengan penyakit jantung cenderung mempunyai gizi yang
buruk sehingga perlu asupan gizi yang baik. Sehingga melarang anak
untuk tidak minum susu dimalam hari juga bukan tindakan yang
bijaksana. Tetapi mungkin yang perlu diperhatikan adalah orang tua
tidak membiarkan botol susu sepanjang malam berada didalam
mulut.1,2
Setelah diagnosis kelainan jantung ditegakkan maka perlu
segera dilakukan evaluasi terhadap kesehatan gigi. Pada keadaan gigi
yang sehat rujukan ke dokter gigi direkomendasikan pada saat anak
berusia 6 hingga 12 bulan yang merupakan periode erupsi gigi
pertama. Setelah anak berusia diatas 2 tahun dianjurkan untuk
dilakukan pemeriksaan rutin gigi setiap 6-12 bulan. Karena anak
dengan penyakit jantung mempunyai kecenderungan mengalami
gangguan pada gigi. 20% pasien jantung sianotik menunjukkan
pertumbuhan gigi yang terlambat. Hipoksemia kronis merupakan
predisposisi untuk terjadinya karies gigi. Karies gigi juga ditimbulkan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 239
oleh obat obatan sirup yang mengandung kadar 30% sukrosa dan
dapat menyebabkan efek kariogenik pada anak anak tertentu. Anak
anak dengan penyakit jantung bawaan tipe sianotik sering
membutuhkan suplemen besi yang dapat menyebabkan pewarnaan
gigi, sering mengalami polisitemia yang akan menimbulkan trombosis
dan perdarahan gusi dan sering memerlukan terapi antikogulan,
misalnya pada anak paska operasi pemasangan BT shunt pada
kelainan Tetralogy fallot, yang akan menyebabkan perdarahan gusi.1,2
Anak anak dengan kelainan jantung bawaan atau didapat
sering disertai dengan hipoplastik email gigi yang akan menyebabkan
lebih cepatnya terjadi pembusukan gigi.1,2

Evaluasi prabedah jantung


Sebelum dilakukan prosedur bedah jantung harus dilakukan
evaluasi terhadap gigi anak dengan penyakit jantung. Idealnya
evaluasi ini dilakukan 1 sampai 2 bulan sebelum jadwal pembedahan
untuk memberikan waktu yang cukup dalam melakukan, penyuluhan,
pengobatan, penyembuhan tanpa menimbulkan ketakutan terhadap
anak maupun orang tua. Evaluasi gigi dan pengobatan preoperasi ini
dapat mengurangi risiko infeksi selama operasi ataupun setelah
operasi.1,2

Prognosis
Sebelum era antibiotik, mortalitas Endokarditis Infektif
mendekati 100 % dan setelah penemuan penisilin mortalitas menurun
tetapi dengan adanya kuman yang resisten terhadap antibiotik serta
infeksi jamur angka morbiditas dan mortalitas meningkat kembali. Saat
ini mortalitas yang dilaporkan menurut Danilowicz, 1995 sebesar 20-
30%.15 Endokarditis infektif yang disebabkan streptokokus angka
kematiannya 7-11%, EI yang disebabkan strafilokakos angka
kematiannya sekitar 25%, sedangkan angka kematian EI karena jamur
75-90%. Prognosis penderita Endokarditis Infektif juga bergantung
kepada kuman penyebab dan komplikasi yang terjadi.8 Pada
penderita EI yang mengalami gagal jantung angka kematian pasca
operasi mencapai 41%.14

th
240 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Daftar Pustaka
1. Dube VK: Dentistry. Dalam: Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR,
penyunting.The science and practice of pediatric cardiology, edisi ke-2.
Baltimore, Williams & Wilkins, 1998, 2907-2910
2. Bennett CG, Primosch RE. Dental issues for the primary care physician.
Dalam: Gessner IH, Victorica BE, penyunting. Pediatric cardiology.
Philadelphia,WB. Saunders Company, 1993, 229-236.
3. Madiyono B. Kardiologi anak masa lampau,kini dan masa mendatang;
perannya dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit
kardiovaskular. Pidato pengukuhan guru besar tetap dalam ilmu
kardiologi anak. FKUI, Jakarta, 11 Juni 1997
4. Goldmuntz E. The epidemiology and genetic of congenital heart disease.
Pediatr Clin Nort Am 2001;28: 1-10.
5. Rosenthal G:Prevalence of congenital heart disease. Dalam: Garson A,
Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting.The science and practice of
pediatric cardiology, edisi ke-2. Baltimore, Williams & Wilkins, 1998, 1083-
1106.
6. Ibrahim AM, Siddique MS. Subacute Bacterial Endocarditis (SBE)
Prophylaxis StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2018 Jan-2018 Oct 26.
7. Bisno AL, Dismukes WE, Durack DT, Kaplan EL, Karchmer AW, Kaye D,
dkk. Antimicrobial treatment of infective endocarditis due to viridans
streptococci, enterococci and staphylococci. JAMA 1989; 1471 - 7.
8. Durack DT. Infective and noninfective endocarditis. Dalam : Schlant RC,
Alexander RW, penyunting. The heart arteries and veins. Edisi ke-8. New
York: McGraw-Hill Inc, 1994; 1681-704.
9. Dennis J. Infective endocarditis prevention: advice for children and adults
with heart abnormalities. http://www.dsmig.org.uk/library/articles/infective-
endocarditis-prevention. html. 24 Agustus, 2002.
10. Ferrieri P, Gewitz MH, Gerber MA, Newburger JW, Dajani AS, Shulman
ST, dkk. Unique features of infective Endocarditis in Chilhood. Pediatr
2002; 109: 931-43.
11. Bernstein D. Infective endocarditis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-16.
Philadelphia: WB Saunders Company, 2000; 1337 – 428
12. Jomaa W, Ben Ali I, Abid D, Hajri Ernez S, Abid L, Triki F, et al. Clinical
Features of Infective Endocarditis in Children : Insights from a Tunisian
Multicentre Registry. Arch Cardiovasc Dis. 2017;110(12):676–81.
13. Esposito S, Mayer A, Krzysztofiak A, Garazzino S, Lipreri R, Galli L, et al.
Infective Endocarditis in Children in Italy from 2000 to 2015. Expert Rev
Anti Infect Ther. 2016;14(3):353–8.
14. Moges T, Gedlu E, Isaakidis P, Kumar A, Van Den Berge R, Khogali M, et
al. Infective endocarditis in Ethiopian children: A hospital based review of
cases in Addis Ababa. Pan Afr Med J. 2015;20:1–10.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 241
15. Baltimore RS, Gewitz M, Baddour LM, Beerman LB, Jackson MA,
Lockhart PB, et al. Infective endocarditis in childhood: 2015 update: A
scientific statement from the American Heart Association. Circulation.
2015;132(15):1487–515.
16. Xu H, Cai S, Dai H. Characteristics of Infective Endocarditis in a Tertiary
Hospital in East Chinia. 2016; hal 1-9.
17. Galyfos G, Giannakakis S, Kerasidis S, Geropapas G, Kastrisios G.
Infective endocarditis as a rare cause for acute limb ischemia.
2016;7(3):231–3.
18. Thom K, Hanslik A, Russell JL, Williams S, Sivaprakasam P, Allen U, et
al. Incidence of infective endocarditis and its thromboembolic
complications in a pediatric population over 30 years. Int J Cardiol.
2018;252:74–9.

th
242 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Asuhan Nutrisi untuk Anak dengan Penyakit Jantung
Kongenital

Julius Anzar

Pendahuluan
Penyakit jantung kongenital (PJK) merupakan kelainan
kongenital terbanyak di antara seluruh kelainan kongenital yang terjadi
pada anak. Delapan dari 1000 anak di dunia menderita penyakit
jantung kongenital.1 Sekitar 49,1% anak dengan PJK ini akan
mengalami gangguan pertumbuhan,2 dengan perbandingan
persentase antara anak yang mengalami gangguan berat sehingga
mengalami gagal tumbuh dan dengan yang mengalami gangguan
ringan, 64,9% berbanding 35,1%.3
Faktor-faktor yang menyebabkan gagal tumbuh pada anak
dengan PJK yaitu tipe penyakit jantungnya (sianotik atau asianotik),
adanya gagal jantung, hipermetabolisme, gangguan fungsi
gastrointestinal, adanya kelainan/penyakit penyerta seperti adanya
sindrom misalnya Sindrom Down dan Sindrom Turner serta
menurunnya kemampuan untuk menerima nutrisi yang cukup. 4,5,6,7,8
Kemampuan anak PJK menerima asupan makanan biasanya hanya
76% dibandingkan anak normal.9
Bersamaan dengan gagal tumbuh, anak dengan PJK akan
mengalami gangguan-gangguan lain seperti disfungsi miokardial,
disfungsi endothelial vaskular, atrofi otot skeletal, imunosupresi,
resistensi insulin, dan lipolisis. 9,10,11
Oleh karena kemampuan anak dengan PJK menerima asupan
makanan lebih rendah dibandingkan anak normal sedangkan jumlah
kebutuhannya lebih tinggi maka sangat diperlukan suatu asuhan
nutrisi yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan pemberian
makan pada anak dengan PJK. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk
menjelaskan cara pemberian asuhan nutrisi pada anak dengan PJK
berupa prinsip-prinsip pemberian asuhan nutrisi secara umum serta
cara penanganan khusus kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam
pemberian asuhan nutrisi pada anak dengan penyakit jantung
kongenital.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 243
Faktor-faktor penyebab gagal tumbuh pada anak dengan penyakit
jantung kongenital
Bayi dengan PJK bisa lahir dengan berat badan normal
terutama bayi dengan kelainan defek jantung yang sederhana, namun
selanjutnya bayi-bayi ini akan mengalami kesulitan oleh karena
penyakit jantungnya sehingga kemudian menjadi gagal tumbuh.
Berbagai faktor dapat menyebabkan kegagalan petumbuhan. Faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan pertumbuhan pada
anak dengan PJK antara lain hipermetabolisme, gagal jantung
kongestif, pirau kiri ke kanan, hipertensi pulmonal, hipoksia jaringan
saluran cerna yang menyebabkan malabsorbsi dan asupan nutrisi
yang tidak adekuat.5,6,12
Laju metabolisme pada anak dengan PJK biasanya meningkat
atau terjadi hipermetabolisme. Peningkatan laju metabolisme terjadi
karena kerja jantung dimaksimalkan. Hipermetabolisme ditandai oleh
Total Energy Expenditure (TDEE) yang meningkat. TDEE anak
dengan PJK lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal, bisa
mencapai 101 ± 3 kkal/kg/hari, sedangkan anak normal hanya 67 ± 14
kkal/kg/hari.11 Selain kerja jantung yang tinggi, penyebab
hipermetabolisme lainnya adalah cadangan lemak dalam tubuh yang
menipis, jumlah sel per volume massa tubuh yang bertambah, serta
kerja paru yang meningkat pada anak dengan PJK.9
Pada kondisi gagal jantung kongestif, laju metabolisme juga
mengalami peningkatan. Beberapa kejadian yang dapat menyebabkan
gagal jantung kongestif sehingga terjadi hipermetabolisme yaitu defek
atrioventrikular, kardiomiopati, hipoksemia kronik dan hipertensi
pulmonal dengan pirau kiri ke kanannya.13
Adanya pirau dari kiri ke kanan serta penyakit jantung obstruktif
juga akan meyebabkan gagal tumbuh. Hasil suatu penelitian dari
Mehrizi dkk. menyebutkan bahwa anak dengan pirau jantung kiri ke
kanan akan mengalami gagal tumbuh sebesar 83%.14 Sedangkan
kelainan jantung obstruktif, seperti stenosis pulmonal dan koartasio
aorta, kegagalan pertumbuhannya lebih cendrung ke pertumbuhan
linear dibandingkan kegagalan untuk meningkatkan berat badan.13,15,16
Pada penyakit jantung sianotik terjadi insufisiensi aliran darah
ke paru sehingga laju metabolik basalnya akan lebih tinggi. Anak
dengan PJK sianotik dengan pirau kiri ke kanannya akan mengalami
kegagalan pertumbuhan tinggi badan dan berat badan lebih besar
dibandingkan dengan anak dengan PJK yang asianotik.15
th
244 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 1. Jenis penyakit jantung kongenital berdasarkan adanya
sianosis1

Sianotik Asianotik
Ebstein’s Anomaly of the Tricuspid Atrial Septal Defect (ASD)
Valve
Hypoplastic Left Heart Syndrome Atrioventricular Septal Defect
(HLHS)
Pulmonary Atresia with Intact Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Ventricular Septum (PA/IVS
Pulmonary Stenosis (PS) Truncus Arteriosus
Tetralogy of Fallot (TOF) Ventricular Septal Defect (VSD)
Total Anomalous Pulmonary Venous Aortic Stenosis (AS)
Return (TAPVR)
Transportation of the Great Arteries Coarctation of the Aorta (CoA)
(TGA)
Tricuspid Atresia Interrupted Aortic Arch (IAA)

Cara makan per oral serta hipoksia jaringan saluran cerna


yang terjadi pada anak PJK menyebabkan asupan nutrisi menjadi
tidak adekuat. Makan melalui oral menyebabkan frekuensi napas
meningkat dan anak menjadi cepat lelah. Hipoksia jaringan saluran
cerna akan menyebabkan malabsorbsi. Faktor-faktor lain yang juga
dapat menyebabkan asupan tidak adekuat adalah anoreksia, rasa
cepat kenyang, volume lambung yang berkurang akibat hepatomegali,
perlambatan pengosongan gaster, serta gangguan gastrointestinal
lainnya seperti muntah dan refluks.11

Asuhan nutrisi anak dengan penyakit jantung kongenital


Anak-anak dengan penyakit jantung kongenital rata-rata
mempunyai kemampuan menerima asupan energi rendah, rata-rata
hanya 88% dari kalori yang dianjurkan atau recommended daily
allowance (RDA). Asupan energi yang rendah mengakibatkan laju
pertumbuhan menjadi lambat bahkan tidak tumbuh sama sekali atau
menurun. Dari suatu penelitian restrospektif terhadap 47 anak PJK
yang dirawat di suatu rumah sakit, anak mengalami penurunan berat
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 245
badan dari -1,14 SD dengan simpangan (-2,3 sampai 0,6) turun
menjadi -1,81 SD dengan simpangan (-4,9 sampai -0,5) selama
perawatan.12
Pada anak-anak dengan PJK perlu dilakukan asuhan nutrisi
yang baik. Untuk memutuskan apakah anak memerlukan perawatan di
rumah sakit dan memerlukan nutrisi enteral dan nutrisi parenteral
maka kita perlu melakukan pemilihan cara pemberian makan (lihat
Bagan 1). Lakukan penilaian / assessment awal terhadap setiap anak
dengan PJK. Apabila pada penilaian awal, tidak ada keluhan masalah
makan atau tidak ada tanda-tanda gagal tumbuh, selanjutnya lakukan
penilaian terhadap kemampuan menerima asupan makan per oral
selama 24 jam. Apabila mampu makan sesuai kebutuhan, maka anak
bisa dirawat jalan dan lakukan evaluasi setiap 1 sampai 2 minggu
sekali bagi anak yang
pertumbuhannya belum memenuhi target berat badan yang
diinginkan dan evaluasi 1 bulan sekali apabila anak sudah berada
pada gizi baik. Apabila pada waktu penilaian awal terdapat masalah
makan atau pada evaluasi selama 24 jam, anak tidak mampu
memenuhi kebutuhannya secara oral, maka lakukan pemberian nutrisi
secara enteral dan atau parenteral di rumah sakit. Selanjutnya lakukan
langkah-langkah asuhan nutrisi pediatrik.

th
246 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Pasien baru Penyakit Jantung
Kongenital

Penilaian / assessment
Apakah ada masalah Ya
makan?

Tidak Nutrisi
Enteral/
Parenteral
Evaluasi kemampuan minum per oral
per 24 jam

Mampu makan dengan


Ya Tidak
volume penuh

Rawat jalan
Evaluasi 1-2
minggu

Bagan 1. Alur pemilihan cara pemberian nutrisi anak dengan penyakit


jantung kongenital

Beberapa faktor yang dapat menghalangi upaya pemberian


asuhan nutrisi adalah dapat dilihat pada Tabel 2.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 247
Tabel 2. Hambatan dan Strategi untuk mengoptimalkan nutrisi4
Strategi untuk
Hambatan pemberian nutrisi optimal
mengoptimalkan nutrisi
Asupan tidak adekuat:
• Kesulitan makan • Nutrisi enteral
• Koordinasi menghisap menelan buruk • Makanan tinggi-kalori
• Dismotilitas pita suara • Nutrisi parenteral
• Menolak makan • Rujuk ke subspesialis
• Cepat kenyang
Ketidakmampuan menyerap nutrisi:
• Gastroesophageal reflux disease • Tangani GERD
(GERD) • Tangani gagal jantung
• Intoleransi makan
• Gangguan fungsi usus karena gagal
jantung
Faktor rawat inap/perioperatif:
• Restriksi cairan • Makanan tinggi-kalori
• Suplementasi dengan
nutrisi parenteral
Interupsi makan yang sering:
• Gangguan hemodinamik • Nutrisi enteral
• Laktat tinggi • Nutrisi parenteral
• Ketergantungan ventilator tinggi
• Hiperglikemia
• Enterokolitis nekrotik (NEC)/iskemik
usus
• Prosedur radiologi
• Prosedur bedah (termasuk
insersi/pembuangan chest tube,
kateterisasi jantung, dll)
• Intubasi dan ekstubasi
Estimasi energi:
• Perhitungan energy expenditure yang • Penilaian nutrisi yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah akurat dan teratur
• Peresepan nutrisi individual
Kondisi khusus:
• Chylothorax • Tangani kondisi yang
• Kerusakan ginjal akut/oliguria mendasari

th
248 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Langkah-langkah asuhan nutrisi pada anak PJK adalah
sebagai berikut:
1. Penilaian (assessment)
Penilaian meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik (termasuk
pengukuran antropometri) dan pemeriksaan penunjang.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada anamnesis berupa
pertanyaan mengenai (jumlah, frekuensi, kualitas) asupan makan,
adakah alergi/intoleransi terhadap suatu makanan, keterampilan
oromotor, berat badan dan panjang badan lahir dan
pertambahan/penurunan berat badan yang terjadi.
Penentuan status antropometri meliputi: berat badan
menurut umur, panjang badan atau tinggi badan menurut umur
serta berat badan menurut panjang badan atau tinggi badan. Grafik
pertumbuhan yang digunakan sebagai acuan ialah grafik WHO
2006 untuk anak kurang dari atau sama dengan 5 tahun dan grafik
CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun.18
Pemeriksaan laboratorium dilakukan sesuai indikasi klinis.
Dalam keadaan di mana berat badan dan panjang/tinggi badan
tidak dapat dinilai secara akurat, misalnya terdapat organomegali,
edema anasarka, spondilitis atau kelainan tulang, sindrom tertentu,
maka status gizi ditentukan dengan menggunakan parameter lain,
misalnya lingkar lengan atas, knee height, arm span, dan lain-lain.

2. Penentuan jumlah kebutuhan nutrisi


Untuk kemudahan praktek klinis, kebutuhan kalori
ditentukan berdasarkan kondisi pasien:
a. Kondisi sakit kritis (critical illness)

Kebutuhan energi = REE x faktor stres

REE= Resting Energy Expenditure = pengeluaran energi


keadaaan istirahat

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 249
Tabel 3. Rumus Schofield untuk Menghitung Basal Metabolic Rate
pada Anak-Anak19
Laki-Laki
0-3 tahun REE = 0,167W + 15,174H – 617,6
3-10 tahun REE = 19,59W + 1,303H + 414,9
tahun REE = 16,25W + 1,372H + 515,5
>18 tahun REE = 15,057W + 1,004H + 705,8
0-3 tahun REE = 0,167W + 15,174H – 617,6
Perempuan
0-3 tahun REE = 16,252W + 10,232H – 413,5
3-10 tahun REE = 16,969W + 1,618H + 371,2
10-19 tahun REE = 8,365W + 4,65H + 200
>18 tahun REE = 13,623W + 23,8H + 98,2

REE= kkal/hari; W= weight/berat badan (kg); H= height/tinggi badan (cm).


Diadaptasi dari Schofield W. Predicting basal metabolic rate, new
standards and review of previous work. Hum Nutr Clin Ntr 1985; 39C
Suppl 1:5-41.

Faktor stres19:
• Kelaparan : 0,9
• Demam : 12% per derajat
>37oC
• Gagal jantung : 1,15-1,25
• Bedah mayor : 1,20-1,30
• Sepsis : 1,40-1,50
• Mengejar ketinggalan pertumbuhan, terbakar : 1,5-2,0

Faktor-faktor yang memengaruhi REE:


• Pra operatif : usia, makin muda usia, makin tinggi REE; sianosis
dan pirau dari kiri ke kanan.
• Pasca operasi : kondisi status nutrisi pra operatif, puasa, sedasi
dan gangguan saraf, pirau jantung paru, gangguan
termoregulasi dan penggunaan obat-obatan inotropik dan obat-
obatan lainnya.4

th
250 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
b. Kondisi tidak sakit kritis (non critical illness)
Kebutuhan kalori ditentukan berdasarkan rumus:

BB-ideal x RDA menurut usia-tinggi

Tabel 4. Kebutuhan Energi Anak4


Umur Kebutuhan Energi (kcal/kg/hari)
Neonatus 110-120
0-1 tahun 90-100
1-7 tahun 75-90
7-12 tahun 60-75
12-18 tahun 30-60
* Kebutuhan nutrisi enteral dapat lebih tinggi 10-20%. Pertimbangkan
pengaturan rekomendasi energi untuk faktor yang menyebabkan TEE
meningkat.

Jumlah makanan yang diberikan pada awal dapat diberikan


sesuai kemampuan, dapat dimulai dari 50% dari target dahulu. Jumlah
protein yang dianjurkan, untuk pra operasi adalah berkisar 1,5-2,5
g/kgBB/hari untuk bayi dan 0,8-1,5 g/kgBB/hari untuk anak. Pada
pasca operasi, kebutuhan protein yang direkomendasikan meningkat
menjadi 2-3 g/kgBB/hari untuk anak-anak usia 0-2 tahun, 1,5-2
g/kgBB/hari untuk anak-anak usia 2-13 tahun, dan 1,5 g/kgBB/hari
untuk anak-anak usia 13-18 tahun.20,21
Hasil penelitian prospektif Leite dkk. menunjukkan bahwa anak
dengan PJK yang memiliki kadar albumin pra operasi kurang dari 3
g/dL mudah terkena infeksi pasca operasi, lama rawat di rumah sakit
lebih lama dan mortalitasnya meningkat. (median lama rawat 14.5 hari
vs 10 hari).17
Mengenai pemberian lipid intravena, tidak ada cukup bukti
untuk penggunaan suplementasi lipid intravena sebagai hal yang
rutin.18 Kebutuhan lipid(20-40% dari kalori non protein), 0-2 tahun 3-4
g/kg/hari, >2 tahun 2-3 g/kg/hari.4 Selain makronutrien, pemberian
mikronutrien juga dibutuhkan.4

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 251
3. Penentuan cara pemberian
Anak dengan PJK biasanya jumlah asupan nutrisi per oralnya
sangat berkurang sehingga perlu segera dipertimbangkan cara
pemberian makan melalui jalur enteral (menggunakan selang
makanan) maupun parenteral untuk mencukupi asupan makanannya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan apabila makanan diberikan
tetap melalui oral adalah kestabilan hemodinamika, fungsi saluran
cerna dan keadaan neurogisnya. Juga perlu pengawasan terhadap
sistem kardiorespiratori, kemampuan oromotor dan adanya disfagia.
Napas cepat pada anak dengan PJK dapat menyebabkan inkoordinasi
menghisap dan menelan. Begitu juga refleks menelan yang lambat,
penurunan input sensori, hipoksemia dan iskemia saluran cerna dapat
mengganggu fungsi saluran cerna.18
Cara pemberian nutrisi enteral dapat dengan cara intermittent
maupun dengan cara continuous feeding. Dengan cara continuous
feeding asupan nutrisi akan lebih meningkat karena makanan
diberikan sedikit-sedikit dalam waktu lebih lama. Dari hasil beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan dengan cara
continuous feeding akan meningkatkan jumlah asupan kalori dan
peningkatan berat badan. Penelitian RCT terhadap 19 bayi
menunjukkan bahwa pemberian nutrisi enteral dengan cara continuous
feeding efektif meningkatkan status gizi. Pada penelitian ini, subyek
penelitian dibagi dalam 3 kelompok: kelompok enteral kontinyu 24 jam,
kelompok enteral kontinyu 12 jam pada malam hari + oral siang hari,
dan kelompok yang hanya mendapatkan makanan per oral. Waktu
penelitian selama 5 bulan. Hasilnya adalah kelompok yang mendapat
diet enteral kontinyu 24 jam menunjukkan peningkatan berat badan
lebih baik dibandingkan dengan kedua kelompok lainnya.22

th
252 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 5. Pedoman Pemberian Nutrisi Enteral19
Usia Awal Akhir Target
Kontinyu
Prematur 1-2 ml/kg/jam 10-20 ml/kg/hari 120-175
ml/kg/hari
0-12 bulan 1-2 ml/kg/jam 1-2 ml/kg q 2-8 6 ml/kg/jam
jam
1-6 tahun 1 ml/kg/jam 1 ml/kg q 2-8 4-5 ml/kg/jam
jam
>7 tahun 25 ml/kg/jam 25 ml q 2-8 jam 100-150 ml/jam
Bolus/Intermiten
Prematur 2-4 ml/kg/kali 2-4 ml/kali 120-17
(>1200 g) ml/kg/hari
0-12 bulan 10-15 ml/kg q 2- 10-30 ml/kali 20-30 ml/kg q 4-
3 jam 5 jam
1-6 tahun 5-10 ml/kg q 2-3 30-45 ml/kali 15-20 ml/kg q 4-
jam 5 jam
>7 tahun 90-120 ml q 3-4 60-90 ml/kali 330-480 ml q 4-5
jam jam

Reproduced with permission from Davis A. Transitional and combination feeds. In:
Baker SB, Baker RD, Davis A, editors. Pediatric enteral nutrition. New York: Chapman
and Hall;1994.p.146.

Nutrisi enteral dapat dimulai pemberiannya dalam waktu 3


hingga 4 hari pasca operasi dan dapat diberikan jangka pendek
maupun jangka panjang. Pemberian nutrisi enteral untuk jangka
pendek dapat dilakukan melalui pipa nasogastrik atau nasoduodenal
atau nasojejunal. Untuk yang jangka panjang, nutrisi enteral dapat
dilakukan melalui gastrostomi atau jejunostomi. Pemberian nutrisi
melalui nasoduodenal dapat menampung jumlah makanan yang lebih
besar dan lebih aman karena mencegah terjadinya aspirasi. Pada
suatu penelitian retrospektif yang melibatkan 17 anak yang diberikan
nutrisi nasoduodenal, hasilnya menunjukkan bahwa pada anak ini
terjadi peningkatan berat badan, penurunan muntah dan penurunan
wheezing repirasi setelah pemberian makan.23
Nutrisi parenteral dapat digunakan untuk mencukupi asupan
makanan atau apabila terdapat kontraindikasi pemberian makan
melalui saluran cerna. Pemberian nutrisi parenteral dapat dihentikan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 253
apabila nutrisi enteral sudah mencapai minimal 90% dari target. Untuk
nutrisi parenteral jangka pendek (kurang dari 14 hari) dapat digunakan
akses perifer, sedangkan untuk jangka panjang harus menggunakan
akses sentral.
Untuk anak dengan nutrisi enteral dapat dialihkan ke nutrisi
oral penuh apabila nutrisi per oralnya sudah memenuhi paling sedikit
75% dari total kebutuhannya. Menurut Kogon dkk dari hasil
penelitiannya, 44,6% anak membutuhkan waktu yang lama untuk
transisi dari nutrisi enteral ke nutrisi oral, 10,8% anak membutuhkan
waktu yang lama untuk mencapai kemampuan maksimal dalam
menerima makanan dan 9,6% mengalami ketergantungan dengan
makan melalui selang makanan.24

4. Penentuan Jenis Makanan


Pemilihan jenis makanan yang tepat akan dapat meningkatkan
jumlah energi yang masuk pada anak dengan PJK. Pemilihan
makanan energi tinggi atau penambahan zat tertentu (misalnya
glukosa polimer) terhadap suatu makanan akan meningkatkan
kandungan kalori. Keberhasilan penggunaan makanan tinggi kalori
telah dilaporkan pada suatu penelitian. Pada penelitian tersebut, 14
bayi dengan PJK dan gagal tumbuh diberi makanan tinggi energi
dengan cara menambahkan glukosa polimer pada makanannya
(kepadatan energi 125% dari formula standar) dan ini menunjukkan
asupan energi rata-rata meningkat sebesar 31,7% dan kenaikan berat
badan rata-rata meningkat sebesar 1,3-5,8 g/kg/hari.25
Pada penelitian lain melibatkan 46 bayi yang mendapat formula
yang diganti-ganti secara bertahap dilaporkan juga telah berhasil
meningkatkan asupan energi bayi-bayi tersebut. Pada penelitian ini:
hari 1 pasca operasi digunakan formula standar (0,67 kkal/mL), pada
hari ke-2 dipakai formula konsentrasi 1,18 kali formula standar (0,79
kkal/mL), pada hari ke-3 dan seterusnya digunakan formula
konsentrasi 1,36 kali formula standar (0,9 kkal/mL), dan dan pada
waktu dipulangkan digunakan formula konsentrasi 1,5 kali formula
standar (1 kkal/mL). Mereka menemukan bahwa dengan cara seperti
itu, bayi pada kelompok paparan akan mendapatkan asupan energi
lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, 98% vs 78%, dan memiliki
kenaikan berat badan rerata lebih besar (+20 g/hari vs -35 g/hari).24

th
254 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
5. Pengawasan dan Evaluasi
Aspek-aspek yang perlu diawasi dan dievaluasi ketika
melakukan asuhan nutrisi pada anak dengan PJK adalah aseptabilitas,
toleransi dan efektifitas.
Penerimaan atau aseptabilitas anak terhadap nutrisi yang
diberikan tentu perlu diperhatikan namun apabila faktor aseptabilitas
ini akan mengganggu tujuan lain seperti tujuan untuk mencapai target
pertumbuhan tertentu maka rasa ketidaknyamanan maupun
ketidaksukaan terhadap rasa makanan tersebut dapat diabaikan.
Anak dengan PJK umumnya mempunyai toleransi yang jelek
terhadap makanan yang diberikan. Untuk itu diperlukan kesabaran dan
ketelitian dalam pemberian makanannya. Pada keadaan-keadaan
tertentu dibutuhkan cara agar jumlah, jenis dan cara memberikan
makanan sesuai dengan yang kita butuhkan. Pada anak PJK dengan
toleransi yang buruk biasanya diberikan makanan dengan jumlah
sedikit-sedikit dalam waktu pemberian yang lama. Agar kebutuhan
akan nutrisi terpenuhi gunakan semua cara pemberian makanan.
Dalam kondisi pemberian cairan yang dibatasi, gunakan formula tinggi
kalori. Dalam hal adanya gangguan absorbsi gunakan formula khusus
dengan cara pemberian sedikit sedikit dalam jangka waktu pemberian
tertentu agar makanan yang diberikan dapat diserap dengan baik.

Kesimpulan
Anak-anak dengan PJK berisiko tinggi untuk mengalami
malnutrisi. Sangat diperlukan suatu pemeriksaan rutin dan berkala
pada anak dengan PJK terhadap kemampuan makannya. Asuhan
nutrisi yang baik pada anak dengan PJK tidak saja sangat penting
tetapi juga akan memengaruhi keberhasilan tatalaksana penanganan
anak dengan PJK secara keseluruhan. Tujuan dari asuhan nutrisi
pada anak dengan PJK adalah agar anak dengan PJK dapat tumbuh
dan berkembang layaknya anak normal.

Daftar Pustaka
1. van der Linde D, Konings EEM, Slager MA, et al. Birth prevalence of
congenital heart disease worldwide: a systematic review and meta-
analysis. J Am Coll Cardiol. 2011;58(21):2241–2247.

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 255
2. Ain N, Hariyanto D, Rusdan S. Karakteristik Penderita Penyakit Jantung
Bawaan pada Anak di RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari 2010
– Mei 2012. Jurnal Kesehatan Andalas. 2015;4(3):928-935.
3. Sjarif DR, Shirley LA, Sukman TP, Mulyadi MD. Anthropometric profiles of
children with congenital heart disease. Med J Indones. 2011;20(1):40–5.
4. Wong JJM, Cheifetz IM, Ong C, Nakao M, Lee JH. Nutrition Support for
Children Undergoing Congenital Heart Surgeries: A Narrative Review.
World Journal for Pediatric and Congenital Heart Surgery. 2015;6(3):443-
454.
5. Nydegger A, Bines JE. Energy metabolism in infants with congenital heart
disease. Nutrition (Burbank, Los Angeles County, Calif). 2006;22(7-
8):697-704.
6. Mitchell IM, Davies PS, Day JM, Pollock JC, Jamieson MP. Energy
expenditure in children with congenital heart disease, before and after
cardiac surgery. J Thorac Cardiovasc Surg. 1994;107(2):374-80.
7. Ackerman IL, Karn CA, Denne SC, Ensing GJ, Leitch CA. Total but not
resting energy expenditure is increased in infants with ventricular septal
defects. Pediatrics. 1998;102(5):1172-1177.
8. Leitch CA. Growth, nutrition and energy expenditure in pediatric heart
failure. Prog Pediatr Cardiol. 2000;11:195202.
9. Barton JS, Hindmarsh PC, Scrimgeour CM, et al. Energy expenditure in
congenital heart. Archives of Disease in Childhood. 1994;70:5-9.
10. Huse DM, Feldt RH, Nelson RA, et al. Infants with congenital heart
disease. Am J Dis Child. 1975;129:65-69.
11. Krieger I. Growth failure and congenital heart disease. Energy and
nitrogen balance in infants. Am J Dis Child. 1970;120:497-502.
12. Hansen SR, Derrup I. Energy and nutrient intakes in congenital heart
disease. Acta Paediatr 1993;82:166-72.
13. Varan B, Tokel K, Yilmaz G. Malnutrition and growth failure in out
pulmonary hypertension. Arch Dis Child. 1999;81(1):49-52.
14. Villasis-Keever MA, Aquilez Pineda-Cruz R, Halley-Castillo E, et al.
Frequency and risk factors associated with malnutrition in children with
congenital cardiopathy. Saluda Publica Mex. 2001;43:313-323.
15. Mehrizi A, Drash A. Growth disturbance in congenital heart disease. J
Pediatr. 1962;61:418-429.
16. Stranway A, Fowler R, Cunningkan K, et al. Diet and growth in congenital
heart disease. Pediatrics. 1976;57:75-86.
17. Savoca M, Nagle M, Konek S. Chapter 14: Cardiology. In: Samour PQ,
King K. Pediatric Nutritio-4th ed. 2012. Canada:Jones & Bartlett Learning.
P313-328.
18. UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia: Asuhan Nutrisi Pediatrik (Pediatric Nutrition Care). 2011.
19. Hendricks KM, Duggan C, Walker WA. Manual of Pediatric Nutrition. 3rd
ed.2000. BC Decker Hamilton London 173-185.

th
256 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
20. Bechard LJ, Parrott JS, Mehta NM. Systematic review of the influence of
energy and protein intake on protein balance in critically ill children. J
Pediatr. 2012;161(2): 333-339. e1.
21. Wu PY, Edwards N, Storm MC. Plasma amino acid pattern in normal term
breast-fed infants. J Pediatr. 1986;109(2):347-349.
22. Grant J, Denne SC. Effect of intermittent versus continuous enteral
feeding on energy expenditure in premature infants. J Pediatr.
1991;118:928-32.
23. Kuwata S, Iwamoto Y, Ishido H, Taketadu M, Tamura M, Senzaki H.
Duodenal tube feeding: an alternative approach for effectively promoting
weight gain in children with gastroesophageal reflux and congenital heart
disease. Gastroenterol Res Pract. 2013;181604.
24. Pillo-Blocka F, Adatia I, Sharieff W, McCrindle BW, Zlotkin S. Rapid
advancement to more concentrated formula in infants after surgery for
congenital heart disease reduces duration of hospital stay: a randomized
clinical trial. J Pediatr. 2004;145(6): 761-766.
25. Jackson M, Poskitt EM. The effects of high-energy feeding on energy
balance and growth in infants with congenital heart disease and failure to
thrive. Br J Nutr. 1991;65(2):131-143

th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 257

Anda mungkin juga menyukai