NASKAH LENGKAP
Penyunting:
Ria Nova
Deny Salverra Yosy
Yulia Iriani
Dhandi Wijaya
Ratih Gustifa
Penyunting : Ria Nova, Deny Salverra Yosy, Yulia Iriani, Dhandi Wijaya,
Ratih Gustifa
Dicetak oleh:
Noerfikri Offset
Jl. KH. Mayor Mahidin No. 142
30126 Telp/Fax. (0711) 366625
Palembang–Indonesia
E-mail: noerfikri@gmail.com
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang iii
Kata Sambutan
Ketua IDAI Sumatera Selatan
th
iv Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Kata Sambutan
Ketua Departemen Kesehatan Anak
FK Unsri - RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang v
Kata Sambutan
Ketua Panitia
Pediatric Cardiology Update 7th Palembang
th
vi Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Kata Pengantar
Assalamua’alaikum Wr.Wb.
Teman sejawat peserta simposium Pediatric Cardiology Update VII yang
kami hormati.
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
berkat rahmatNya buku Naskah Lengkap Pediatric Cardiology Update VII
dengan tema
“The Role of Pediatrician in Pediatric Cardiac Care with
Limited Resources” dapat diselesaikan. Topik ini dipilih agar teman
sejawat yang bekerja di fasiltas kesehatan terbatas dapat ikut terlibat
melakukan deteksi dini kelainan jantung pada anak sehingga tidak terjadi
keterlambatan diagnosis, merujuk pada waktu yang tepat, sehingga
pelayanan jantung anak menjadi lebih optimal.
Walaupun waktu yang diberikan untuk menyunting buku ini sangat
singkat, namun berkat kerja sama tim yang solid dan tekad yang kuat,
akhirnya buku ini dapat diselesaikan tepat waktu. Dalam penyuntingan
buku ini, kami tidak mengubah isi makalah, tetapi hanya mengatur format
sehingga buku ini mudah dipahami dengan baik.
Kepada para penulis, kami ucapkan terima kasih atas kesediaan
dan telah meluangkan waktu untuk menulis sehingga makalah dapat kami
rangkai menjadi buku naskah ilmiah. Kami berharap buku ini bermanfaat
bagi dokter muda, dokter umum, PPDS I Ilmu Kesehatan Anak, dokter
spesialis anak serta peserta Sp2 Kardiologi Anak.
Kami mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penerbitan buku
ini dan mohon kritik yang membangun untuk perbaikan di masa datang.
Kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan buku ini, kami
ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Hormat kami,
Penyunting
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang vii
SUSUNAN PANITIA
th
viii Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Sie Publikasi : Dr. Hertanti Indah Lestari, Sp.A(K)
Dr. Aditiawati, Sp.A(K)
Sie Transportasi : Dr. Hasri Salwan, Sp.A(K)
Dr. Hadi Asyik, Sp.A
Sie Akomodasi : Dr. Prakanita, Sp.A
Dr. Dian Puspita Sari, Sp.A(K), M.Kes.
Sie Perlengkapan : Dr. Julius Anzar, Sp.A(K)
Dr. Edy Novery, Sp.A
Sie Keamanan : Dr. Syamsul Rizal, Sp.A
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang ix
Daftar Penulis
th
x Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
DR. Dr. Rinawati Rohsiswatmo, Sp.A(K)
Divisi Perinatologi, Departemen Kesehatan Anak
FK Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang xi
Dr. Julius Anzar, Sp.A(K)
Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Departemen Kesehatan Anak
FK Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang
th
xii Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Daftar Isi
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang xiii
Adult Congenital Heart Disease: Optimal Care in Limited Resources
Teddy Ontoseno ................................................................................. 175
Meningkatkan Kualitas Pelayanan Pasien: Scientific Evidence
atau Real World Evidence?
Sudigdo Sastroasmoro ....................................................................... 197
Rheumatic Fever: Primary versus Secondary Prophylaxis in
Clinical practice
Tina Christina Tobing ......................................................................... 207
Diphtheritic Myocarditis: Old Enemy Has Back
Agus Priyatno ..................................................................................... 213
Practical Approach of Endocarditis Prevention in Daily Practices
Sri Endah Rahayuningsih ................................................................... 229
Asuhan Nutrisi untuk Anak dengan Penyakit Jantung Kongenital
Julius Anzar......................................................................................... 243
th
xiv Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Pediatric Cardiac Services Di Era Masyarakat Ekonomi
ASEAN: Tantangan & Peluang
Pendahuluan
Dengan diberlakukannya kerja sama negara-negara Asia
Tenggara yang dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
atau ASEAN Economic Community (AEC) sejak akhir tahun 2015,
maka secara resmi dimungkinkan terjadinya aliran bebas jasa dan
barang di kawasan negara ASEAN termasuk jasa pelayanan
kesehatan dan kedokteran. Ada pihak yang optomis menyambut era
baru ini dengan alasan bahwa MEA akan merupakan ajang
keterbukaan perkembangan suatu bangsa dalam berbagai aspek
kehidupan. Era keterbukaan ini akan memberikan kesempatan kepada
tenaga terampil termasuk dokter dari suatu negara untuk dapat
berkiprah di negara ASEAN lainnya. Sementara di pihak lain ada yang
beranggapan bahwa situasi ini hanya akan memberikan peluang yang
sangat luas bagi bangsa asing untuk masuk ke Indonesia dan
perlahan-lahan namun pasti akan terjadi suatu dominasi asing di
berbagai bidang dan sendi-sendi kehidupan bangsa ini termasuk
dalam pelayanan kesehatan. Namun suka atau tidak suka situasi ini
harus kita jalani dengan memanfaatkan peluang yang ada dan
berupaya mengatasi berbagai tantangan yang timbul.
Distribusi dokter yang tidak merata di seluruh tanah air dan
kelemahan infrastruktur serta masih ada fasilitas yang kurang mungkin
merupakan alasan adanya kekhawatiran. Dalam hal mobilisasi dokter
termasuk spesialis anak maupun subspesialis anak (kualifikasi
Konsultan) dapat terjadi yang tentu saja harus mengikuti regulasi dari
masing-masing negara. Dokter subspesialis jantung anak yang ada
disuatu negara merupakan salah satu faktor penting yang menentukan
kualitas dan sistem pelayanan dalam bidang jantung anak (pediatric
cardiac services) di suatu negara di samping faktor lain seperti tenaga
dokter bedah jantung, anestesi, intensivist dan teknisi dan lain-lain. Di
samping itu sistem rujukan dan sistem pembeayaan juga turut
menentukan kualitas pelaksanaan pelayanan jantung anak.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 1
Uraian berikut ini akan membahas secara singkat sekilas
tentang MEA, persyaratan atau regulasi mobilisasi dokter di negara
ASEAN, situasi pelayanan jantung anak di Indonesia saat ini,
beebarpa stake holder yang berperan dalam meningkatkan kualitas
dan sistem pelayanan kesehatan dan upaya-upaya yang harus
dilakukan dalam menghadapi tantangan dan peluang di era globalisasi
ini.
th
2 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 1. Liberalisasi perdagangan jasa yang mencakup 4 (empat)
Mode of Supply
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 3
• ASEAN MRA on Nursing Service (8th December 2006)
• ASEAN MRA on Medical Practitioners (26th February 2009)
• ASEAN MRA on Dental Practitioners (26th February 2009)
th
4 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Dalam hal yang terkait dengan dengan pergerakan/mobilisasi
dokter- dokter di negara ASEAN sampai saat ini masing-masing
negara ASEAN telah menyetujui (agree) untuk memperoleh surat
tanda registrasi/licensing untuk 5 kategori kegiatan yakni:4
1) Limited practice (praktek sementara dalam waktu tertentu yang
terbatas)
2) Expert visit (kedatangan para ahli untuk memberikan alih
teknologi/keterampilan/ilmu pengetahuan
3) Education and Training (pendidikan dan pelatihan)
4) Humanitarian Missions (kedatangan untuk bakti sosial)
5) Research (penelitian)
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 5
Kedokteran Indonesia (KKI) di samping Kementerian Kesehatan.
Ada negara ASEAN yang PMRAnya hanya Konsil Kedokteran dan ada
juga yang hanya Kementerian Kesehatan (lihat Tabel 3).
th
6 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Pengaturan dan persyaratan rekognisi atau saling pengakuan
dokter/dokter gigi di ASEAN sesuai dengan MRA adalah sebagai
berikut:
1) Memenuhi kualifikasi dan teregistrasi oleh ”Professional
Regulatory Authority” di negara asal dan negara tujuan,
2) Berasal dari institusi pendidikan dan sistem Pendidikan
Kedokteran yang direkognisi negara tujuan,
3) Sertifikat kompetensi diakui kolegium sejenis di masing-masing
negara ASEAN,
4) Pengalaman berpraktik aktif di negara asal minimal 5 tahun,
5) Penyetaraan CPD di negara asal dan negara tujuan,
6) Memiliki “cerificate of good standing” (COG) yang menyatakan
bahwa dokter yang bersangkutan tidak sedang terkena sanksi
pelanggaran hukum, disiplin, atau etika profesi.
th
10 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
”mapping” tenaga dokter secara nasional dengan rinci mulai jenis
spesialisasi-subspesialisasi, penempatan di rumah sakit kabupaten/
propinsi. Data “mapping” tersebut dapat diberikan pada pemerintah,
baik di tingkat pusat maupun daerah. Tentu saja diperlukan suatu
kerja sama yang baik dengan Kementerian Kesehatan, Dinas
Kesehatan dan Pemerintah Daerah. Ini merupakan tantangan
tersendiri dalam upaya menuhi kebutuhan dokter subspesialis yang
masih langka di banyak daerah di tanah air. Mempertahankan
kompetensi dokter melalui Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
(CPD) secara baik dan benar sudah tentu juga merupakan
tanggung jawab organisasi profesi sesuai amanat UU No 24/2009
tentang Praktek Kedokteran.
• Professional Medical Regulatory Authority (PMRA) yang dalam
hal pelaksanaan MRA di ASEAN dipegang oleh Konsil
Kedokteran Indonesia dan Kementerian Kesehatan, merupakan
lembaga yang mempunyai peran penting dan strategis. PMRA
inilah di setiap negara ASEAN melakukan pengawasan dan kontrol
terhadap praktik profesi kedokteran dalam upaya melindungi
masyarakat. Representatif dari PMRA ini secara berkala (3 kali
setahun) mengadakan pertemuan dalam forum AJCCM (ASEAN
Joint Coordinating Committe on Medical Professional) untk
mendiskusikan kesepakatan dalam MRA (mutual recognition
arrangement). Pada forum inilah masukan-masukan dari organisasi
profesi dan pemerintah dari negara masing-masing anggota
ASEAN dibahas secara mendalam yang ditinjau dari berbagai
aspek. Berbagai Peraturan Konsil kedokteran dan Peraturan
Menteri Kesehatan yang telah diterbitkan tetap menjadi acuan
utama dalam perundingan tersebut. Hal-hal yang terkait dengan
tenaga kerja WNA menjadi fokus perhatian utama.7
• Institusi Pendidikan Kedokteran yang dalam hal ini fakultas
kedokteran baik negeri maupun swasta seyogianya turut berperan
aktif dan bertanggung jawab dalam proses pendidikan dokter
dengan memperhatikan standar pendidikan dan standar
kompetensi global. Berbagai kelemahan dan kekurangan yang telah
teridentifikasi selama ini hendaknya segera diatasi. Penyamaan
“core” kompetensi di tingkat ASEAN dapat didiskusikan dengan
PMRA (KKI dan Kemkes). Khusus standar kompetensi dokter
spesialis dan sub-spesialis sebaiknya mendapat perhatian khusus
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 11
oleh karena terdapat perbedaan sistem pendidikan spesialis di
banyak negara ASEAN jika dibandingkan dengan sistem
pendidikan spesialis/subspesialis di Indonesia.
• Institusi Rumah Sakit, merupakan suatu institusi yang cukup
penting dalam proses pendidikan baik pendididikan dokter maupun
dokter spesialis. Rumah sakit pendidikan utama maupun RS
pendidikan jejaring berperan penting sehingga kualifikasi tenaga
pengajar yang memadai serta fasilitas yang cukup sangat penting
dalam upaya menghasilkan dokter-dokter yang berkualitas. Tanpa
pembenahan diberbagai sektor di rumah sakit, pendidikan kita akan
tertinggal dalam berkompetisi di tingkat ASEAN. Hubungan kerja
antara dokter dan rumah sakit khususnya di RS swasta,
memerlukan suatu pengaturan yang bersifat Nasional. Kemitraan
dan aturan hubungan kerja antara dokter dan rumah sakit juga
harus sama antara dokter asing dan dokter Indonesia dengan
tingkat/level yang sama. Dalam hal kualitas pelayanan di rumah
sakit termasuk tata kelola pasien dan kualitas pelayanan secara
keseluruhan yang sering menjadi keluhan masyarakat, tidak
terkecuali pelayanan dokter seyogianya segera ditingkatkan dan ini
merupakan tantangan saat ini.
• Pemerintah Daerah baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota
merupakan pemegang otoritas yang sangat menentukan dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan yang bermutu di suatu daerah.
Kebijakan dalam “policy” tentang kesehatan termasuk pembeayaan
kesehatan berada di tangan Kepala Daerah. Dukungan dari
Gubernur/Bupati/Walikota untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan melalui penghargaan terhadap tenaga dokter mutlak
diperlukan. Harus diakui bahwa kenyataannya penghargaan
pemerintah terhadap tenaga kesehatan khususnya dokter masih
sangat minimal. Permasalahan yang muncul tentang kasus “dokter
asing” yang berpraktik “ilegal“ di suatu daerah di masa lampau
hendaknya tidak terulang lagi di era MEA.
th
12 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Indonesia adalah kerja sama tim dalam berbagai keahlian dan
ketrampilan: ahli jantung anak (pediatric cardiologist), ahli bedah
jantung anak, intensivist, anestesiologi, perawat, perfusionist dan
tehnisi jantung.8 Tim ini harus bekerja dalam suatu program yang
terencana dengan baik sehingga diharapkan kualitas pelayanan
meningkat yang akhirnya “outcome” akan menjadi lebih baik.
Kesimpulan
Di era masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) yang telah
diberlakukan sejak akhir tahun 2015 dapat merupakan peluang
maupun tantangan bagi tenaga kesehatan khususnya dokter
subspesialis jantung anak (konsultan) di Indonesia. Kerjasama dalam
bidang peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam berbagai
bidang antara negara perlu dikembangkan untuk membentuk suatu
sistem pelayanan jantung anak yang baik dengan memperhatikan
kebutuhan secara nasional. Indonesia harus selalu siap menghadapi
era MEA tahun ini, namun harus memperbaiki berbagai kelemahan
yang ada dengan mengikut sertakan setidaknya 6 stakeholder terkait
yakni: dokter/organisasi profesi kedokteran, PMRA (KKI dan Kemkes),
institusi pendidikan kedokteran, dan institusi rumah sakit. Diperlukan
implementasi MRA secara efektif dengan melakukan peningkatan
kompetensi dan profesionalisme dokter spesialis anak dan
subspesialis jantung anak Indonesia serta mengembangkan dan
membangun “networking” di tingkat profesi kedokteran untuk
mencapai saling pengakuan dalam rangka mobilisasi tenaga
profesional di kawasan ASEAN sehingga kualitas pelayanan jantung
anak di Indonesia meningkat dan sejajar dengan beberapa negara
lainnya di ASEAN.
Daftar Pustaka
1. Menuju ASEAN Ecomomic Community (AEC). Pusat Kerjasama Luar
Negeri Sekretariat ASEAN
2. ASEAN Mutual Recognition Framework. Diunduh dari www.asean.org/
asean-mutual recognition-arrangement
3. ASEAN Joint Coordinating Committee on Medical Professional.
Doc.Report 14th AJCCM, Siem Reap, Cambodia 2015
4. ASEAN Joint Coordinating Committee on Medical Professional.
Doc.Report 15th AJCCM, Kuala Lumpur, Malaysia 2015 .
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 13
5. Makmur K, Virgianita A, Banna Shhofwan Al, Aryanto AC. Pemetaan
Pekerja Terampil Indonesia dan Liberalisasi Jasa ASEAN. Laporan
Penelitian ASEAN Study Center UI bekerja sama dengan Kementerian
Luar Negeri RI. 2013:52-55
6. Perkonsil No.157/KKI/Per/ XIII/2009.tentang tata-cara registrasi
Dokter/Dokter Gigi warga negara ASEAN yang akan melakukan praktek
Kedokteran di Indonesia.
7. PMK No 67 tahun 2013 tentang pendayagunaan Tenaga Kesehatan
Warga Negara Asing
8. Kumar, RK. Teamwork in pediatric heart care. Ann Pediatrc
Card;2009:140-145
th
14 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Gagal Jantung pada Penyakit Jantung Bawaan: Perubahan
Hemodinamik dan Tatalaksana
(Heart Failure in Congenital Heart Disease from
Hemodynamic Changes to Treatment)
Latar Belakang
Terminologi gagal jantung diartikan sebagai jantung tidak
berfungsi dengan baik diakibatkan oleh kelainan struktural atau
fungsional sehingga ventrikel tidak mampu memompa darah keseluruh
tubuh secara optimal. Gagal jantung bisa terjadi pada semua usia
dimulai dari neonatus, anak di bawah usia 5 tahun, anak usia sekolah,
remaja dan dewasa. Berbeda dengan dewasa, gagal jantung pada
anak disebabkan oleh berbagai macam etiologi dengan gambaran
klinis yang beragam. Pada anak, penyebab gagal jantung terbanyak
yaitu kelainan kongenital atau penyakit jantung bawaan (PJB) dengan
insidensi 8/1000 kelahiran hidup dan 20% dari kelainan kongenital ini
menyebabkan gagal jantung.1 Makalah ini bertujuan menjelaskan
perubahan hemodinamik yang terjadi pada PJB yang akan
menimbulkan gejala gagal jantung beserta tatalaksananya.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 15
plasenta sehingga saturasi vena kava inferior akan lebih tinggi dari
vena kava superior
3. Seluruh darah dari vena kava superior menuju ventrikel kanan.
Sepertiga darah dari vena kava inferior akan dialirkan ke atrium kiri
dari atrium kanan melalui foramen ovale dan 2/3 akan menuju
ventrikel kanan dan arteri pulmonalis. Hal ini menyebabkan otaak
dan sirkulasi koroner akan mendapatkan saturasi oksigen lebih
tinggi dari tubuh bagan bawah
4. Darah dengan kadar oksigen rendah yang melewati arteri
pulmonalis akan masuk ke ductus arteriosus dan mengaliri aorta
desenden dan menuju placenta untuk mendapatkan oksigenasi
kembali.
th
18 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
paliatif. Gagal jantung ini biasa terjadi pada anak dengan PJB
kompleks yang tidak terkoreksi pada masa remaja atau dewasa
muda.6
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 19
praktek klinis, diperlukan dokumentasi tingkat keparahan gagal jantung
dan bila perlu stratifikasi gejala gagal jantung untuk memfasilitasi
pemantauan perkembangan penyakit dan manajemen pasien (Tabel
2) (Rekomendasi Kelas I dengan Tingkat Bukti C).8
th
22 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tatalaksana gagal jantung pada anak
Tatalaksana gagal jantung anak bergantung pada etiologi dan
klasifikasi keparahan. Tatalaksana selalu diawali dengan penyebab
yang mendasari gagal jantung. Terapi medikamentosa untuk
pengobatan gagal jantung pada anak terutama berdasarkan studi
pada dewasa dan dilakukan modifikasi untuk kasus tertentu
berdasarkan konsensus ahli yang sebagian besar berdasarkan
pengalaman klinis, serial kasus dan penelitian fisiologis.8,15
1) Diuretika
Loop diuretika berperan sangat penting untuk manajemen
akut pasien dengan gagal jantung simptomatik. Akan tetapi,
sampai saat ini penelitian efektivitas dan efek samping loop diuretik
pada populasi anak dengan gagal jantung sangat terbatas. Pada
systematic review Cochrane didapatkan terapi diuretik dengan
gagal jantung kronis pada dewasa efektif meredakan gejala,
mengurangi episode perburukan gagal jantung, meningkatkan
kapasitas latihan, dan meningkatkan kelangsungan hidup.16 Data
ini, bersama dengan bukti empiris, sudah cukup untuk
membenarkan penggunaan rutin diuretik dalam tatalaksana anak-
anak dengan gagal jantung.10,15 Pilihan loop diuretik yaitu
furosemid dengan dosis 0,5-1 mg/kg BB setiap 12 jam intravena
atau oral setiap 6-12 jam (Rekomendasi kelas I, peringkat bukti
level C)
2) Angioconverting enzyme inhibitor (ACEi)
ACEi dapat diberikan pada gagal jantung dengan disfungsi
LV simptomatik (gagal jantung kelas Ross III) kecuali terdapat
kontraindikasi dan dimulai dari dosis kecil dengan dinaikkan
bertahap (Rekomendasi kelas I, peringkat bukti level B). ACEi
dapat diberikan pada gagal jantung dengan disfungsi LV
asimptomatik (gagal jantung kelas Ross II) kecuali terdapat
kontraindikasi spesifik (Rekomendasi kelas IIa, peringkat bukti level
B). ACEi dapat dipertimbangkan untuk diberikan kepada pasien
dengan Duchenne muscular dystrophy dengan kardiomiopati
kecuali terdapat kontraindikasi spesifik (Rekomendasi kelas IIa,
peringkat bukti level B). ACEi tidak boleh diberikan pada pasien
PJB dengan single ventricle tapi bisa dipertimbangkan pada
kondisi regurgitasi katup atau disfungsi ventrikel (Rekomendasi
kelas IIb, peringkat bukti level B).17
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 23
3) Angiotensin receptor antagonists (ARA)
Penggunaan ARA belum terbukti pada gagal jantung
10
anak. Akan tetapi, berdasarkan data uji klinis pada dewasa,
konsensus International Society of Lung and Heart (ISLHT)
merekomendasikan penggunaan ARA pada anak dengan disfungsi
sistolik ventrikel yang tidak toleran dengan ACEi.8
4) Beta blocker
β-blocker bisa diberikan pada anak gagal jantung
simptomatis dengan disfungsi sistolik LV, terutama bila ventrikel
sistemik mempunyai morfologi ventrikel kiri. Terapi harus dimulai
dengan dosis rendah dan perlahan dinaikkan (Rekomendasi kelas
IIa, peringkat bukti level B).18
5) Digoksin
Digoksin tidak direkomendasikan untuk anak dengan
disfungsi LV asimptomatik (Rekomendasi kelas I, peringkat bukti
level C). Digoksin bisa diberikan untuk memperbaiki gejala pada
anak gagal jantung simptomatis dan EF rendah dengan dosis
digoksin yang lebih rendah pada pemberiaan bersamaan dengan
carvedilol dan amiodarone serta disfungsi renal (Rekomendasi
kelas IIa, peringkat bukti level C).8
6) Anti-aritmia
Penggunaan anti-aritmia sangatlah terbatas pada kasus
tertentu yaitu aritmia menetap setelah koreksi gangguan elektrolit
dan metabolik dan aritmia tidak mampu ditoleransi anak
(Rekomendasi kelas IIb, peringkat bukti level C). Anti-aritmia tidak
boleh digunakan secara rutin pada gagal jantung dengan EF
rendah (Rekomendasi kelas III, peringkat bukti level C).15
7) Terapi inotropik bisa dipertimbangkan pada kondisi paliatif untuk
perbaikan gejala (Rekomendasi kelas IIa, peringkat bukti level C).
Pemberian inotropik intermittent atau jangka lama pada gagal
jantung kronis tidak direkomendasikan karena kurangnya bukti
pada populasi anak kecuali untuk menjembatani transplantasi
jantung (Rekomendasi kelas III, peringkat bukti level C).19
th
24 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Referensi
1. Jayaprasad N. Heart Failure in Children. Heart Views : The Official
Journal of the Gulf Heart Association. 2016;17(3):92-99.
doi:10.4103/1995-705X.192556.
2. Saiki H, Senzaki H. Basic Concepts of Circulatory Physiology in
Congenital Heart Disease : A View From Pressure-Volume Relationship.
Japanese Soc Pediatr Cardiol Card Surg. 2011;27:76–87.
3. Park MK. Park’s Pediatric Cardiology for Practitioners. sixth. Elsevier
Saunders; 2014. 1-1162 p.
4. Hsu DT, Pearson GD, Fail CH. Heart Failure in Children Part I : History ,
Etiology , and Pathophysiology. Circ Heart Fail. 2009;(2):63–70.
5. Chowdhury D. Pathophysiology of Congenital Heart Diseases. Ann Card
Anaesth. 2007;10:19–26.
6. Book WM. Heart failure in the adult patient with congenital heart disease.
J Card Fail 2005;11:306.
7. Madriago E, Silberbach M. Heart Failure in Infants and Children. Pediatr
Rev [Internet]. 2010;31(1):4–12.
8. Kirk R, Dipchand AI, Rosenthal DN, Addonizio L, Burch M, Chrisant M, et
al. The International Society for Heart and Lung Transplantation
Guidelines for the management of pediatric heart failure : Executive
summary. J Hear Lung Transplant [Internet]. 2014;33(9):888–909.
9. Masarone D, Valente F, Rubino M, Vastarella R, Gravino R, Rea A, et al.
Pediatric Heart Failure : A Practical Guide to Diagnosis and Management.
Pediatr Neonatol . 2017;58(4):303–12.
10. Kantor PF, Lougheed J, Dancea A, McGillion M, Barbosa N, Chan C, et
al. Presentation, diagnosis, and medical management of heart failure in
children: Canadian cardiovascular society guidelines. Can J Cardiol
[Internet]. 2013;29(12):1535–52.
11. Satou GM, Lacro R V, Chung T, Gauvreau K, Jenkins KJ. Heart Size on
Chest X-Ray as a Predictor of Cardiac Enlargement by Echocardiography
in Children. Pediatr Cardiol. 2001;22(2):218–22.
12. Feltes TF, Bacha E, Iii RHB, Cheatham JP, Feinstein JA, Gomes AS, et
al. Indications for Cardiac Catheterization and Intervention in Pediatric
Cardiac Disease A Scientific Statement From the American Heart
Association. 2011;2607–52.
13. Auerbach SR, Richmond ME, Lamour JM, Blume ED, Addonizio LJ,
Shaddy RE, et al. BNP Levels Predict Outcome in Pediatric Heart Post
Hoc Analysis of the Pediatric Carvedilol Trial. Circ Hear Fail. 2010;3:606–
11.
14. Sugimoto M, Ota K, Kajihama A, Nakau K, Manabe H, Kajino H. Volume
Overload and Pressure Overload due to Left-to- Right Shunt-Induced
Myocardial Injury. Circ J. 2011;75(September):2213–9.
15. Beggs S, Thompson A. Cardiac Failure in Children. World Health
Organization. 17th Expert committee on the selection and use of essential
medicines. 2009.
16. Faris RF, Flather M, Purcell H, Poole-Wilson PA, Coats AJ. Diuretics for
heart failure. Cochrane Database Syst Rev 2012;2:CD003838.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 25
17. Momma K. ACE inhibitors in pediatric patients with heart fail- ure.
Paediatr Drugs. 2006;8:55-69.
18. Boucek MM, Hsu DT, Boucek RJ, Canter CE, Mahony L, Ross RD, et al.
Carvedilol for Children and Adolescents. JAMA. 2007;298(10):1171–9.
19. Petersen JW, Felker GM. Inotropes in the management of acute heart
failure. Crit Care Med. 2008 Jan;36(1 Suppl):S106‐11.
th
26 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Penyakit Jantung Bawaan Sianotik, Hypercyanotic Spell,
dan Kondisi Lain yang Berkaitan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 27
Etiologi dan Faktor Risiko PJB
Etiologi pasti PJB hingga saat ini masih belum diketahui.
Namun, terdapat pelbagai faktor yang dapat meningkatkan risiko bayi
untuk menderita defek kongenital ini. Faktor risiko tersebut antara lain
penggunaan obat-obatan teratogenik oleh ibu saat hamil, adanya
riwayat kejang/SLE pada ibu hamil (terutama pada trimester 1),
riwayat obstetri yang buruk, usia ibu lanjut (berkaitan dengan sindrom
Down), dan kondisi lingkungan.2,4,6 Defisiensi asam folat dan
multivitamin selama masa kehamilan pada trimester 1 juga dilaporkan
dapat meningkatkan risiko PJB.6
th
28 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 2. Hubungan gen dengan etiologi PJB2
Chromosomal
Gene Function Cardiac Defects
Location
TBXI 22a11.2 Transcription TOF,PTA,IAA
factor
TBX5 12q24.1 Transcription Conduction system
factor defects, ASD, VSD,
TOF, PTA, Single
ventricle
Nkx 2.5 5q34 Transcription Conduction system
factor defects, ASD, VSD,
TOF, PTA, Epstein
anomaly, HLHS, AS,
CoA, heterotaxy
GATA 4 8p23.1-p22 Transcription ASD
factor
ZFPM2/FOG2 8q23 Transcription TOF
factor
JAGI 20p12 Cell signaling TOF, PS, PPS
molecule
PTPN11 12q24.1 Cell signaling PS, hypertrophic
molecule cardiomyopathy
LEFTYA 1q42 Cell signaling Heterotaxy
molecule
ACVR 3p22-p21.3 Cell signalling Heterotaxy
molecule
CF CI 2 Cell signalling Heterotaxy, TGA
molecule
ZIC3 Xq26.2 Transcription Heterotaxy
factor
CRELD1 3p25-pter Cell adhesion Heterotaxy, AVSD
molecule
Elastin 7q11.23 Structural SVAS, PAS, TOF
protein
th
30 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Gambar 1. Algoritma deteksi dini PJB pada bayi berusia ≥24 jam
atau sebelum bayi dipulangkan8,15
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 31
Gambar 2. Peran EKG dan foto thoraks dalam mendiagnosis PJB17
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 33
Transposition of the Great Artery (TGA)
TGA merupakan tipe PJB sianotik terbanyak setelah TOF dan
paling sering menunjukkan gejala klinis di minggu pertama kehidupan.
TGA ditandai dengan tertukarnya letak aorta dan arteri pulmonalis
sehingga darah rendah oksigen kembali ke RV dan terpompa ke
sirkulasi sistemik melalui aorta.15
Bayi dengan TGA akan mengalami sianosis dalam 12 jam
pertama setelah lahir yang tidak berespons pada pemberian oksigen
ataupun ventilasi mekanik. Bising jantung dapat tidak ditemukan atau
mungkin terdengar S2 tunggal. Hasil pemeriksaan EKG dapat normal
ataupun menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kanan (RVH).
Pada foto toraks, akan didapatkan gambaran silhuet mediastinum
yang sempit.
Operasi korektif dilakukan dengan arterial switch procedure.
Pemberian PGE1 sampai waktu operasi diperlukan agar PDA tetap
terbuka dan kadang diperlukan tindakan ballon atrial septostomy untuk
membuat atau memperlebar ASD sampai operasi koreksi dapat
dilakukan. Jika sianosis menetap meski PDA telah diusahakan tetap
terbuka, berikan bolus cairan atau inotropik. Pasien yang menjalani
operasi repair juga memerlukan follow-up seumur hidup.
Trunkus arteriosus
Angka kejadian trunkus arteriosus berkisar 2-5% dan
menunjukkan manifestasi klinis di awal-awal periode neonatus.
Trunkus arteriosus dapat disertai dengan defek kongenital lain seperti
VSD dan sepertiga penderitanya mengalami delesi 22q11.2 (sindrom
Di George).15
Pada 48 jam pertama setelah kelahiran, akan tampak
oversirkulasi pulmonal. Pada auskultasi, terdengar bising sistolik
(paling keras pada batas sternalis kiri) yang sama kerasnya dengan
bunyi S2. Pemeriksaan fisik lain menunjukkan karakteristik delesi
22q11.2 yaitu ukuran mulut yang kecil (micrognathia), cleft lip dan atau
palate, dan tulang pipi yang datar (malar flattening).15
Gejala terkait oversirkulasi pulmonal dapat ditangani dengan
pembatasan cairan dan diuretik. Pasien-pasien dengan trunkus
arteriosus sebaiknya menjalani operasi pada usia 2 minggu pertama.
Selain operasi, bayi dengan trunkus arteriosus juga menjalani
pemeriksaan lain terkait delesi 22q11.2 dan kadar kalsium darah.15
th
34 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Total and Partial Anomalous Pulmonary Venous Drainage
(TAPVD)
Defek pada jantung dimana tidak terdapat hubungan langsung
antara vena pulmonalis dan atrium kiri. Vena-vena pulmonalis tersebut
mengalir tidak normal ke vena sistemik atau ke atrium kanan. Terdapat
4 tipe menurut letak drainage: 1) Tipe suprakardiak (vena pulmonalis
komunis bermuara ke vena cava superior melalui vena vertikalis dan
vena inominata); 2) Tipe kardiak (vena pulmonalis komunis bermuara
ke dalam sinus coronarius atau vena pulmonalis masing-masing
bermuara ke atrium kanan); 3) Tipe infrakardiak (vena pulmonalis
komunis bermuara ke vena porta, duktus venosus, vena hepatica, atau
vena cava inferior. Vena pulmonalis komunis menembus diafragma
melalui hiatus esofagus); 4) Tipe campuran (kombinasi tipe-tipe
lainnya).15
Manifestasi klinis bergantung pada ada atau tidaknya obstruksi
aliran vena pulmonalis. Mayoritas pasien dengan TAPVD
suprakardiak, kardiak, dan infrakardiak mengalami hipertensi pulmonal
sekunder karena obstruksi aliran balik vena pulmonalis. TAPVD tanpa
obstruksi vena pulmonalis akan menunjukkan sianosis ringan sejak
lahir, tanda gagal jantung, pada auskultasi jantung didapatkan irama
quadriple khas: S2 terpisah lebar dan menetap; P2 mengeras; bising
ejeksi sistolik grade 2-3/6 biasanya terdengar pada tepi sternal kiri
atas; dan bising mid diastolic rumble selalu terdengar pada tepi sternal
kiri bawah. Pada TAPVD dengan obstruksi didapatkan sianosis yang
berat, temuan pada jantung mungkin minimal (S2 tunggal-keras,irama
derap), dan terdapat ronki basah halus, serta hepatomegali.18
Bayi tanpa obstruksi vena pulmonalis harus diberikan digitalis
dan diuretik. Pada beberapa pasien dengan hipertensi pulmonal,
PGE1 dapat meningkatkan aliran darah sistemik dengan tetap
membuka duktus. Pada tipe infrakardiak, PGE1 dapat membantu
mempertahankan duktus venosus tetap terbuka. Semua bayi dengan
obstruksi harus segera dilakukan operasi. Tindak lanjut setelah
operasi dilakukan setiap 6-12 bulan. Pembatasan aktifitas dan
profilaksis endokarditis tidak diperlukan, kecuali terdapat obstruksi
vena pulmonalis.15,18,19
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 35
Hypoplastic Left Heart Syndrome (HLHS)
Kondisi di mana jantung kiri mengalami hipoplasia dan tidak
berkembang, disertai dengan adanya stenosis atau atresia katup mitral
dan katup aorta yang berat (lihat Gambar 5). Terjadi penurunan aliran
darah dari atrium kiri (LA) ke ventrikel kiri (LV) dan dari LV ke aorta.
Ventrikel kiri mengalami hipoplasia dan hal ini dikaitkan dengan
hipoplasia pada aorta asending. Sirkulasi sistemik bergantung pada
PDA. PGE1 diperlukan untuk menjaga PDA tetap terbuka.15
th
36 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Gambar 5. Diagram menunjukkan tempat dan hubungan anastomosis
ventrikel tunggal dengan menggunakan model HLHS. 1a) rekonstruksi
neoaorta dengan menggunakan hipoplasia aorta asending
sebagaimana arteri pulmonal yang normal, untuk menjaga kestabilan
vaskularisasi sistemik. 1b) lokasi mBTT shunt untuk mengalirkan
darah secara langsung dari arteri subklavian kanan ke sirkulasi
pulmonal (shunt akan dilepas setelah prosedur Glenn dilakukan). 2)
Tahap akhir, yaitu anastomosis Fontan. 3) Mencegah sisa darah
rendah oksigen agar tidak masuk ke vena cava inferior dan
mengalirkannya melalui Fontan conduit ke sirkulasi pulmonal15
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 37
Manajemen PJB
Pencegahan dapat dilakukan sebelum dan selama proses
kehamilan dengan menghindari faktor-faktor risiko dan suplementasi
asam folat yang adekuat.2,6 Pada pasien dengan PJB sianotik
direkomendasikan untuk melakukan tes genetik terutama pada
keluarga yang memiliki riwayat d-tranposition, tertralogy of fallot,
truncus arteriosus, interrupted aorta arch type B, dan berguna untuk
mengeliminasi sindrom Di George/sindrom velocardiofasial.14
Pada bayi dengan PJB, pemberian oksigenasi harus dilakukan,
namun untuk pemasangan ventilasi mekanik sebaiknya diberikan pada
bayi baru lahir yang mengalami penurunan perfusi sistemik. Terapi
cairan harus diawasi dengan ketat, termasuk pencatatan urin output
(terutama pada PJB kritis). Pengawasan terhadap kadar elektrolit dan
gula darah juga harus diperhatikan meskipun pada 1-2 hari awal
kehidupan, kadarnya tergolong normal.2
PGE1 diberikan pada bayi sianosis dengan kondisi duct-
dependent dengan perencanaan tindakan operatif yang bersifat
semielektif. Tindakan operatif dapat menjadi pilihan utama pada
kondisi total obstruksi vena pulmonal dan harus dilakukan sesegera
mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Kondisi hipoksemia berat pada
d-transposition of the great artery with restrictive patent foramen ovale
memerlukan septostomi ballon arterial segera. Namun, tindakan
operasi koreksi defek sebaiknya ditunda hingga kondisi organ-organ
lain mulai membaik. Tindakan operatif dilakukan pada kondisi PJB
yang kompleks atau ketika tindakan kateterisasi tidak dapat
mengoreksi defek.2
th
38 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
2. Kateterisasi jantung
Merupakan tindakan yang dilakukan dengan memasukkan kateter
ke dalam jantung dan pembuluh darah di sekitar jantung.
Kateterisasi jantung dapat bersifat diagnostik maupun intervensi
sebagai terapi.2 Setelah tindakan kateterisasi, mobilisasi bertahap
sebaiknya dilakukan mulai 2-6 jam paska tindakan dan mobilisasi
hingga aktivitas penuh dalam 3-5 hari.15
3. Arterial Switch Procedure
Merupakan prosedur yang dilakukan pada kasus TGA dan
sebaiknya dilakukan di minggu-minggu awal kehidupan setelah
diagnosis tegak.2
4. Prosedur Norwood
Diterapkan pada neonatus dengan atrium atau ventrikel
tunggal. Prosedur ini dapat menjadi bagian dari sebuah rangkaian
operasi yang meliputi rekonstruksi aorta, pemasangan BT-shunt,
pemasangan Bi-directional Glenn Shunt, dan prosedur fenestrated
fontan.2
5. Transplantasi jantung
Merupakan tindakan yang dilakukan pada gagal jantung terminal.
Memerlukan pemberian inotropik intravena kontinu dan mechanical
circulatory support. Dilakukan jika operasi repair lebih berisiko
daripada transplantasi jantung, terdapat penurunan kondisi
meskipun terapi telah diberikan secara optimal, terjadi aritmia
maligna atau henti jantung yang tidak berespon terhadap obat,
kateter ablasi, serta automatic implantable defibrillator, dan
hipertensi pulmonal progesif.2
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 39
Hypercyanotic spell
Hypercyanotic spell/hypoxy spell/cyanotic spell/paroxysmal
dyspnea merupakan episode sianosis sentral akibat terjadinya
hambatan total pada aliran ventrikel kanan pada penderita PJB,
terutama TOF.20 Hypercyanotic spell dikarakteristikan dengan adanya
hiperapnea (laju respirasi yang cepat dan dalam), iritabilitas, anak
menangis tanpa berhenti, terjadi peningkatan sianosis, bising jantung
dapat tidak terdengar, dan dapat berakibat pada kelumpuhan, kejang,
defisit neurologis, hingga kematian.20
Hypercyanotic spell cenderung muncul di pagi hari dan disertai
faktor pemicu seperti kecemasan, demam, anemia, infeksi, atau dapat
terjadi secara spontan. Hypercyanotic spell pada bayi secara khas
ditandai dengan anak yang rewel, sulit ditenangkan, yang kemudian
terjadi sianosis dan hiperapnea. Pada anak yang lebih besar, mereka
cenderung akan berjongkok untuk mengurangi serangan. Kondisi PJB
lain yang dapat memicu hypercyanotic spell adalah trikuspid atresia
dengan stenosis pulmonal, TGA dengan stenosis pulmonal, dan
ventrikel tunggal dengan stenosis atau atresia pulmonal.20
Terdapat 5 mekanisme pada patogenesis spell, yaitu: 1)
akselerasi denyut jantung, 2) peningkatan curah jantung dan aliran
balik vena, 3) peningkatan pirau kanan-ke-kiri, 4) kerusakan pada
pusat pengaturan pernapasan, dan 5) kontraksi infundibular.
Hypercyanotic spell nenurunkan saturasi oksigen sistemik sehingga
terjadi asidosis metabolik dan peningkatan katekolamin sehingga
kontraktilitas miokard meningkat seperti pada Gambar 6 di bawah ini.
2. Oksigenasi
Pemberian oksigen tidak terlalu bermanfaat karena penyebab
utama spell adalah penurunan vaskularisasi pulmonal.
3. Morfin sulfat
Dosis yang diberikan 0,1 mg/kg (IM atau IV). Pemberian morfin
sulfat akan menurunkan kerja pusat pernapasan dan menurunkan
aliran balik vena sistemik.
4. Koreksi asidosis (lakukan pengecekan pH darah)
a. Injeksi sodium bikarbonat (1-2 meq/kg IV)
Berguna menurunkan stimulasi pusat pernafasan akibat
asidosis metabolik dan menurunkan resistensi vaskular paru
akibat asidosis dan hipoksia.
b. Propanolol 0,1 mg/kg IV pelan (dapat diulang setiap 15 menit)
Pemberian propanolol dapat menurunkan kontraktilitas
miokardium dan obstruksi aliran infundibular ventrikel kanan.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 41
Pemberian sebanyak 2-4 mg/kg/hari secara oral dapat
mencegah spell. Penggunaan propanolol jangka panjang
berefek menstabilkan reaktivitas vaskularisasi perifer.
c. Atau injeksi esmolol 0,5 mg/kgBB selama 1 menit dan
dilanjutkan 50 mcg/kg/menit (selama 4 menit).
d. Atau injeksi metoprolol 0,1 mg/kgBB selama 5 menit, dapat
diulang setiap 5 menit (maksimal 3 dosis), dan dilanjutkan infus
dengan dosis 1-5 mcg/kg/menit.
e. Phenylephrine dengan dosis 5-20 mcg/kg IV setiap 10-15
menit.
Berguna meningkatkan resistensi vaskular sistemik, memaksa
aliran darah masuk ke paru. Berikan secara kontinu untuk
menjaga SpO2 di atas 90%. Pemberian secara drip dengan
dosis 01-0,5 mcg/kg/menit bermanfaat sebagai vasokonstriktor
poten (menurunkan perfusi renal dan mesenterik).
f. Ketamin 0,25-1 mg/kgBB IV atau IM berguna sebagai sedasi
dan dapat meningkatkan resistensi vaskular sistemik.
g. Methoxamine 0,1 mg/kgBB IV selama 5-10 menit dapat
meningkatkan resistensi vaskular sistemik.
5. Pemberian cairan (kristaloid/koloid)
Dapat diberikan bolus inisial 10-20 ml/kgBB (maksimal 60 ml/kgBB)
bermanfaat memaksimalkan preload dan sebaiknya diberikan
sebelum pemberian obat-obatan yang berefek hipotensi.
6. Koreksi anemia
7. Pertimbangkan tindakan operatif
th
42 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Pasien berusia <12 bulan dengan PJB asianotik yang belum
menjalani operasi atau yang mendapat terapi diuretik juga harus
diberikan profilaksis berupa palivizumab. Pasien yang memenuhi
kriteria pemberian profilaksis virus respiratory syncytial setelah
menjalani operasi paliatif termasuk cardiopulmonary bypass dapat
dipertimbangkan pemberian palivizumab paska operasi sebanyak 15
mg/kg.21
Pasien yang akan menjalani operasi jantung maupun
kateterisasi perlu diberikan profilaksis SBE (Subacute Bacterial
Endocarditis) selama 6 bulan paska operasi dan dapat diberikan
secara berkelanjutan jika terdapat defek residual di sekitar device atau
patch yang dipasang. Profilaksis SBE juga diberikan pada semua
pasien yang defek jantungnya tidak terkoreksi. Anak dengan katup
prostetik, bioprostetik, device percutaneus, riwayat endokarditis, dan
penyakit katup jantung juga harus diberikan profilaksis SBE.21
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 43
PJB sianotik berakibat pada gangguan peningkatan BB, PB atau TB.4
Penurunan curah jantung akibat pirau kiri ke kanan dan gagal jantung
karena pirau kiri ke kanan (terutama pada gagal jantung kanan)
menyebabkan peningkatan vena sistemik sehingga dinding dan
mukosa usus mengalami edema sehingga terjadi malabsorbsi dan
gangguan aliran limfatik.23
Penelitian yang dilakukan oleh Shrivastava (2008) menjelaskan
bahwa pasien PJB dengan peningkatan vaskularisasi pulmonal dan
gagal jantung akan berisiko lebih tinggi mengalami malnutrisi dan FTT
akibat hipoksia. Pada PJB sianotik, ditemukan eritrositosis sekunder
akibat mekanisme kompensasi dari hipoksemia jaringan yang kronis.
Jaringan yang mengalami hipoksemia kronis akan menstimulsi
eritropoiesis di sumsum tulang akibat kadar oksigen arterial rendah
sehingga terjadi peningkatan eritrosit, hematokrit, dan viskositas
darah. Di sisi lain,peningkatan eritrosit dan viskositas darah justru
menghambat kecepatan aliran dan perfusi oksigen ke jaringan.3
Asupan makan yang tidak adekuat berhubungan dengan
penurunan nafsu makan yang disebabkan oleh kondisi hipoksemia
kronis. Hipoksemia kronis menyebabkan anak mengalami napas cepat
hingga sesak napas. Selain itu, kondisi hipoksia kronis dengan kadar
SpO2 yang rendah menyebabkan kadar glukosa darah menjadi rendah
dan menstimulasi rerata sekresi insulin sehingga anak mudah lelah
saat makan.4 Ketika asupan kalori tidak tercukupi, BB akan lebih
dahulu terpengaruhi, kemudian PB/TB, dan kemudian LK.9
Pembatasan cairan dan terapi diuretik pada anak PJB dengan
gagal jantung secara tidak langsung berefek pada kondisi anoreksia
karena alkalosis metabolik dan hipokalemia atau akibat terjadinya
penghambatan anabolisme protein yang efektif.23
Anak dengan PJB sianotik menderita malnutrisi kronis.
Gangguan pertumbuhan yang terjadi bergantung pada keparahan
hipoksemia dan derajat adaptasi tubuh terhadap kondisi tersebut.
Gangguan pertumbuhan berefek seimbang pada BB dan PB/TB
(terutama pada kombinasi defek septum dan pirau kiri ke kanan).23
Dinleyici dkk. (2013) menemukan bahwa terdapat penurunan kadar
IGF-1 (hormon anabolik penting) terutama pada PJB sianotik.9 Pada
PJB sianotik juga ditemukan kadar ghrelin yang lebih tinggi di dalam
darah. Tingginya kadar ghrelin dalam darah dipercaya sebagai
penanda malnutrisi. Hormon ghrelin merupakan poten stimulator
hormon pertumbuhan yang disekresi langsung ke sirkulasi darah.
th
44 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Ghrelin berfungsi meningkatkan asupan makanan dan menurunkan
katabolisme lemak.22 Sedangkan, pada PJB asianotik, malnutrisi yang
terjadi bersifat akut dan gangguan lebih berefek pada defisit BB.23
Adapted from Van hare GF, Ackerman MJ, Evangelista JA, et al, Eligibility
and disqualification recommendations for competitive athletes with
cardiovascular abnormalities task force 4: congenital heart disease : a
scientific statement from the American Heart Association and American
College of Cardiology J Am Coll Cardiol 2015.66(21)2372-2384
recommendations may vary by individual patient. HTN, hypertension.
Kesimpulan
1. Penyakit jantung bawaan (PJB) menduduki peringkat teratas
penyakit pada bayi dengan jumlah PJB sianotik lebih tinggi
daripada PJB asianotik, di mana 25% dari keseluruhan termasuk
PJB kritis.
2. Keterlambatan deteksi dan penanganan dapat meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas, terutama pada negara-negara
berkembang.
3. Etiologi pasti PJB belum diketahui. Namun, terdapat berbagai faktor
risiko terkait PJB, yaitu terkait kondisi ibu selama hamil, faktor
lingkungan, genetik, dan riwayat PJB pada keluarga.
4. Manifestasi klinis dapat bervariasi, bergantung pada jenis dan besar
defek jantung. Penanganan dan terapi juga akan menyesuaikan
terhadap gejala yang timbul.
5. Tipe PJB sianotik terbanyak adalah TOF. TOF dan tipe PJB sianotik
lainnya dapat memunculkan episode serangan spell pada
penderitanya. Serangan ini harus ditangani dengan tepat agar tidak
berujung pada kematian.
6. PJB sianotik dilaporkan lebih berisiko menderita malnutrisi hingga
FTT dan lebih mudah terinfeksi endokarditis.
7. Follow-up jangka panjang harus tetap dilaksanakan pada seluruh
pasien PJB baik yang menjalani ataupun tidak menjalani tindakan
operatif.
Daftar pustaka
1. Rubia B, Kher A. Anthropometric assessment in children with congenital
heart disease. Int J Contemp Pediatr. 2018;5(2):634-639.
2. Setty HSSN, Patil SSG, Ramegowda RT, Vijaykumar, Vijayalakshmi IB,
Manjunath CN. Comprehensive approach to congenital heart defects. J
Cardiovasc Disease Res. 2017;8(1):1-5.
3. Hermawan BJ, Hariyanto D, Aprilia D. Profil penyakit jantung bawaan di
instalasi rawat inap anak RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari
2013 Desember 2015. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018;7(1).142-148.
th
46 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
4. Wulandari AP, Ontoseno T, Umiastuti P. Hubungan status gizi anak usia
2-5 tahun dengan kelainan jantung bawaan biru di RSUD Dr Soetomo
Surabaya. Sari Pediatri. 2018;20(2):65-9.
5. Wanni KA, Shahzad N, Ashraf M, Ahmed K, Jan M, Rasool S. Prevalence
and spectrum of congenital heart diseases in children. Heart India.
2014;2(3):76-79.
6. Abqari A, Gupta A, Shahab T, Rabbani MU, Ali SM, Firdaus U. Profile and
risk factors for congenital heart defects: A study in a tertiary care hospital.
Ann Pediatr Cardiol. 2016;9(3):216–221.
7. Ilham Safutra (Ed.). Angka penyakit jantung bawaan anak di Indonesia
tinggi, mengapa?. Diunduh dari:
www.jawapos.com/kesehatan/childrens/17/03/2017/angkapenyakitjantung
-bawaan-anak-di-indonesia-tinggi-mengapa (Diakses 1 Desember 2018).
8. Diller CL, Kelleman MS, Kupke KG, Quary SC, Kochilas LK, Oster ME. A
modified algorithm for critical congenital heart disease screening using
pulse oximetry. Pediatrics. 2018;141(5). pii: e20174065.
9. Daymont C, Neal A, Prosnitz A, Cohen MS. Growth in children with
congenital heart disease. Pediatrics. 2013;131:236–242.
10. Putra ST. Penyakit jantung bawaan pada bayi baru lahir: Pengenalan dini,
pengobatan awal, dan tata laksana. Dalam: Management of pediatric
heart disease for practitioners: From early detection to intervention.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2009. h.1-17.
11. Ontoseno T. Critical congenital heart disease in newborn.
12. Blue GM, Kirk EP, Giannoulatou E, Sholler GF, Dunwoodie SL, Harvey
RP, Winlaw DS. Advances in the genetics of congenital heart disease a
clinician’s guide. JACC. 2017:69(7):859-870.
13. Rahayuningsih SE, Hamanoue H, Matsumoto N. Peran mutasi gen
CRELD1 pada defek septum ventrikel dan hubungannya dengan
manifestasi klinis. Sari Pediatri. 2008;10(4):225-229.
14. Lantin-Hermoso MR, Berger S, Bhatt AB, Richerson JE, Morrow R, Freed
MD, Beekman III RH. The care of children with congenital heart disease in
their primary medical home. Cardiac Surgery. Pediatrics. 2017;140(5):
e20172607.
15. Puri K, Allen HD, Qureshi AM. Congenital heart disease. Pediatrics in
Review. 2017;38(10):471-486.
16. Xiao-jing Hu, Xiao-jing Ma, Qu-ming Zhao, Wei-li Yan, Xiao-ling Ge, Bing
Jia, Fang Liu, dkk. Pulse oximetry and auscultation for congenital heart
disease detection. Pediatrics. 2017;140(4).pii: e20171154.
17. Myung KP. Flow diagram. Dalam: Pediatric cardiology for practitioners.
Edisi ke-4. Elsevier Health Sciences. 2008. h.60-61.
18. Park MK. Total anomalous pulmonary venous return. In Pediatric
cardiology for practitioner. 5th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier. 2008.
h.240-254.
19. Keane JF, Fyler DC. Total anomalous pulmonary venous return. In Keane
20. JF,Lock JE,Fyler DC. Nadas’ pediatric cardiology,second edition.
Saunders Elsevier. 2006. h.773-781.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 47
21. Taksande A, Gautami V, Padhi S, Bakshi K. Hypercyanotic spells. J
MGIMS. 2009;14:7–9.
22. Jortveit J, Klcovansky J, Eskedal L, dkk. Endocarditis in children and
adolescents with congenital heart defects: A Norwegian nationwide
register-based cohort study. Arch Dis Child. 2018;103(7):670–674.
23. Al-Asy HM, Donia AA, El-Amrosy DM, Rabee E, Bendary AA. The levels
of ghrelin in children with cyanotic and acyanotic congenital heart disease.
Journal of Pediatric Sciences. 2014;6:2-6.
24. Sjarif DR, Anggriawan SL, Putra ST, Djer MM. Anthropometric profiles of
children with congenital heart disease. Med J Indones. 2011;20(1):40-45.
25. Moradian M, Pouraliakbar H, Mahdavi M, Ghadrdoost B, Faritous Z, Fard
MS. Failure to thrive and bone growth retardation in cyanotic and
acyanotic congenital heart diseases with and without pulmonary
hypertension. Iranian Heart Journal. 2017;18(3).35-41.
26. Dewi LGAP, Yantie NPVK, Gunawijaya E. Cardiac catheterization and
percutaneus catheter in grown-up congenital heart diseases: Single
center experience at developing country. Med J Indones. 2018;27:38–43.
th
48 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Infeksi Saluran Nafas Bawah Berulang pada PJB
dan Tatalaksananya
Pendahuluan
Pada orang sehat, dijumpai hubungan erat antara fungsi
kardiovaskular dan respirasi, namun adanya kelainan sirkulasi bawaan
membuat jalinan ini terganggu.1,2 Pada kondisi seperti ini kemampuan
jantung untuk meningkatkan aliran darah sistemik dan/atau pulmonal
jadi terbatas, PO2 arterial menurun karena adanya pirau dari lesi, dan
penghantaran O2 tidak dapat mencukupi kebutuhan jaringan. Keadaan
patologis di kedua sistem ini sering muncul bersamaan dan saling
mempengaruhi satu dengan yang lain, akibatnya diagnosis dan
tatalaksana pasien jadi lebih menantang.1
Kebanyakan penyakit jantung pada anak adalah bawaan.
Dijumpai 8 per 1000 bayi lahir hidup memiliki malformasi jantung, 30%
darinya memerlukan intervensi di tahun pertama kehidupan. Terdapat
9 jenis lesi yang paling sering muncul, menyumbang sekitar 80% dari
keseluruhan penyakit jantung bawaan/PJB (Ventricular Septal
Defect/VSD 30%, Patent Ductus Arteriosus/PDA 12%, Atrial Septal
Defect/ASD 7%, Tetralogy of Fallot 5%, Transposition Great
Artery/TGA 5%, Complete Atrioventricular Septal Defect/AVSD 2%,
Pulmonary Stenosis/PS 7%, Aortic Stenosis/AS 5% dan Coarctatio
Aorta 5%).3
Anak-anak dengan PJB mengalami komplikasi di beberapa
organ sistem, dan sistem respirasi adalah komplikasi yang paling
utama. Infeksi saluran nafas bawah adalah alasan utama terjadinya
morbiditas dan mortalitas,4 memanjangnya masa rawatan di rumah
sakit, gagal nafas, memanjangnya pemakaian ventilasi mekanik, dan
tertundanya operasi defenitif.5 Karenanya, deteksi dini PJB pada
infeksi saluran nafas bawah berulang dan tatalaksananya yang sesuai
dapat memberikan anak waktu yang cukup untuk tumbuh kembang,
mengurangi risiko morbiditas dan mortalitas, mengurangi beban biaya
dan menghindari morbiditas jangka panjang.2
Infeksi saluran nafas bawah yang diulas dalam tulisan ini
dibatasi hanya pada 2 jenis infeksi tersering ditemukan berkaitan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 49
dengan PJB yaitu bronkiolitis dan pneumonia berulang serta
tatalaksananya.
th
50 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Pasien-pasien dengan PJB sianosis dapat mengalami
intensifikasi pada level dasar sianosisnya akibat bronchiolitis-related
reductions pada volume paru dan airway diameter superimposed pada
aliran paru yang sudah berkurang, dan akibat pirau kanan ke kiri.
Anak-anak dengan PJB juga mengalami kegagalan fungsi ventrikel
yang mengakibatkan peninggian tekanan vena pulmonalis, kebocoran
kapiler, dan edema paru yang selanjutnya berkontribusi meningkatkan
ventilation-perfusion mismatch.8
1. Bronkiolitis
Bronkiolitis adalah infeksi saluran nafas bawah yang paling
sering pada anak,9 dan infeksi saluran nafas yang paling serius pada
bayi, dimana 2-3% dari seluruh bayi usia 1-9 bulan menjalani rawat
inap karena penyakit ini setiap tahunnya di musim dingin.10 Di negara-
negara beriklim tropis, penyakit ini sering datang saat musim
penghujan, dan musimnya juga lebih beragam sepanjang tahun.9,11
Respiratory Synctitial Virus/RSV adalah penyebab bronkiolitis pada
sekitar 50-80 kasus.10,12
Secara global setiap tahunnya diperkirakan ada 33,8 juta kasus
infeksi saluran nafas bawah karena RSV pada anak di bawah 5 tahun,
mengakibatkan 3,4 juta rawatan di rumah sakit dan 66 hingga 199 ribu
kematian (kebanyakan di negara-negara berpendapatan rendah dan
sedang).13 Risiko untuk menderita bronkiolitis meningkat pada keadan
tertentu (lahir prematur RR 1.89, fibrosis kistik RR 2.45, PJB RR 3.35,
penyakit paru kronis RR 1.61, immunodefisiensi RR 1.73, sindroma
Down RR 2.53, dan Palsi Serebral RR 2.43.9 PJB yang paling sering
menyebabkan bronkiolitis adalah PJB asianotik pada usia 1-5 tahun.2
Diagnosis bronkiolitis ditegakkan secara klinis. Interpretasi
klinis yang bervariasi pada gejala dan temuan fisik, mengakibatkan
ketidakkonsistenan dalam diagnosis khususnya pada kasus-kasus
yang lebih ringan pada anak di atas 1 tahun.9 Bronkiolitis akut ditandai
dengan adanyanya obstruksi bronkiolar oleh edema, lendir, dan debris
selular.12 Rinorea muncul 2-4 hari disertai demam di bawah 39oC.9
Gambaran lainnya pada pemeriksaan fisik adalah: batuk kering
dengan mengi, takipnu dan takikardia, hiperinflasi dada, retraksi
subkostal dan intrakostal, suara ronki di akhir inspirasi, dan mengi
bersuara tinggi. Pulse oximetry harus dilakukan pada semua kasus.
Tidak ada pemeriksaan lainnya yang secara rutin dianjurkan. Foto
dada dan analisis gas darah diindikasikan hanya bila gagal nafas
dicurigai.10
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 51
Bronkiolitis pada penderita PJB bisa berakibat gagal nafas akut
dan pasien umumnya memerlukan terapi suportif seperti oksigen dan
continuous positive airway pressure (CPAP). Syukurnya kematian
akibat RSV pada PJB sudah menurun dalam 40 tahun terakhir oleh
karena penanganan yang higienis dan isolasi pasien di ruang
tersendiri. Beberapa jenis PJB memerlukan operasi di waktu yang
sangat terbatas. Masalahnya, operasi yang dilakukan pada saat infeksi
RSV meningkatkan risiko komplikasi pascaoperasi.11
Meskipun RSV telah dikenal sebagai penyebab paling sering
bronkiolitis, diluar masalah infeksi saluran nafas, virus ini sendiri
ternyata dapat mengakibatkan beberapa masalah pada jantung seperti
blok sinoatrial, takiaritmia, blok atrioventrikular, perikarditis,
miokarditis, blok jantung total, dan menurunnya fungsi ventrikel
kanan.14
Terapi Bronkiolitis
Terapi bronkiolitis dalam beberapa dekade tetap sama yaitu
terapi secara suportif dengan mempertahankan saturasi oksigen dan
mencegah terjadinya dehidrasi. Intervensi dukungan nafas pada
pasien-pasien dengan bronkiolitis berat sedang diuji untuk mengurangi
penggunaan ventilasi mekanik. Uji terhadap heated, humidified, high-
flo nasal cannula (HFNC) memperlihatkan pengurangan yang
signifikan sebesar 68% kebutuhan untuk intubasi.14 Tidak ada terapi
farmakologis yaag terbukti efektif untuk RSV.9 Tidak ada bukti bahwa
penggunaan uap, nebulisasi dengan garam hipertonik, antibiotika,
kortikosteroid, nebulisasi dengan bronkodilator seperti salbutamol atau
ipratropium dapat mengurangi keparahan atau durasi penyakit.10
Ribavirin, antivirus yang diberikan secara aerosol pernah
digunakan pada bayi dengan RSV yang menderita PJB dan penyakit
paru kronis, namun tidak didapati bukti yang meyakinkan mempunyai
efek yang positif pada luaran pasien seperti mortalitas dan lama
rawatan.12 Khusus pada infeksi RSV yang mengalami gagal nafas,
kejadian pneumonia bakterialis bisa mencapai 20% atau lebih. Pada
kondisi seperti ini ada alasan untuk mulai memberikan antibiotika
empiris 24 sampai 48 jam sebelum hasil kultur didapat.15 Tabel 2
berikut adalah petunjuk American Academy of Pediatric/AAP dalam
tatalaksana infeksi RSV yang berfokus pada pencegahan dan
pengobatan beserta tingkat evidence-nya.16
th
52 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 2. Rekomendasi AAP untuk pengobatan bronkiolitis16
Terapi Rekomendasi AAP Level evidence
Bronkodilator Seharusnya tidak B
inhalasi(seperti albuterol, digunakansecara rutin
nebulisasi efinefrin)
Kortikosteroid Seharusnya tidak B
digunakansecara rutin
Ribavirin Seharusnya tidak B
digunakansecara rutin
Profilaksis palivizumab Diberikan secara selektif A
(bayi prematur <35
minggu, anak PJB dan
penyakit paru bawaan)
Antibakteri Hanya diberikan pada B
anak dengan komorbid
infeksi bakteri yang jelas
Cairan oral atau intravena Harus menilai status X
hidrasi
Terapi dada Seharusnya tidak B
digunakan secara rutin
Oksigen Diindikasikan jika saturasi D
O2 tetap <90% pada udara
ruang
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 53
kanan ke kiri.17 Rekomendasi immunoprofilaksis palivizumab dari AAP
pada penderita PJB dapat dilihat pada Tabel 3.18
2. Pneumonia Berulang
Pneumonia didefiniskan sebagai peradangan paru diakibatkan
oleh agen infeksius yang merangsang respon yang akhirnya
mengakibatkan kerusakan jaringan paru. Community-acquired
th
54 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
pneumonia (CAP) adalah salah satu masalah kesehatan yang penting
yang menyerang seluruh anak di dunia, penyebab tersering kematian
pada anak berusia kurang dari 5 tahun, terutama di negara-negara
berpendapatan rendah-sedang. Setiap tahunnya, ada 4-5 juta
kematian anak-anak di bawah usia 5 tahun, 1 juta darinya karena
pneumonia.19
Pneumonia diakibatkan oleh berbagai virus dan bakteri. Virus
banyak menyerang anak kecil, sedangkan bakteri lebih sering pada
anak yang lebih tua. Dalam praktek sehari-hari sulit membedakan
antara penumonia karena virus dan pneumonia karena bakteri. Tabel
4 menunjukkan penyebab pneumonia berdasarkan umur.10
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 55
turun naik. Ronki kasar terdengar di akhir inspirasi, perkusi redup,
saturasi oksigen bisa menurun.
Foto dada memberikan konfirmasi diagnostik namun tidak
dapat membedakan antara penumonia bakterialis dan virus.10 Temuan
infiltrat pada foto dada yang dicurigai sebagai pneumonia terkadang
dibingungkan dengan gambaran radiologis yang mirip karena edema
paru, yang biasanya ini adalah gambaran peningkatan corakan
vaskular paru.Pada praktek sehari-hari, temuan kardiomegali disertai
peningkatan corakan paru pada foto dada pada anak-anak dengan
pneumonia adalah indikasi untuk mengevaluasi kemungkinan adanya
PJB.21 Pemeriksaan darah biasanya tidak begitu membantu untuk
membedakan dua penyebab penumonia ini. Efusi pleura bisa muncul
pada sebagian kecil kasus.10
Pneumonia berulang didefenisikan sebagai adanya episode
pneumonia ≥2 dalam 1 tahun, atau ≥3 episode di semua rentang
waktu, dengan gambaran densitas radiologi yang bersih diantara
episode.22 Pneumonia berulang dapat terjadi pada pasien dengan
penyakit tertentu seperti aspirasi paru, PJB, penyakit-penyakit
neuromuskular, immunodefisiensi, dll.23 Beberapa jenis PJB yang
mengakibatkan peningkatan aliran darah ke paru adalah adalah faktor
predisposisi utama untuk menderita pneumonia pada anak.24 VSD,
PDA, dan AVSD adalah PJB asianotik yang paling sering
mengakibatkan pneumonia, sedangkan untuk PJB sianotik adalah
adalah truncus arteriosus (TA) dan total anomalous pulmonary venous
return (TAPVR).25 Pada semua PJB diatas terjadi sirkulasi berlebihan
ke paru yang memicu edema paru.26 Ukuran defek memainkan peran
penting untuk terjadinya gagal jantung dan pneumonia, sehingga PJB
terbanyak penyebab pneumonia adalah PJB dengan ukuran lesi
sedang hingga besar.25 Edema paru mengakibatkan terjadinya gagal
jantung kongestif dan menjadi tempat infeksi (nidus) bagi saluran
nafas bawah.27
Terapi Pneumonia
Evidence-based guidelines untuk tatalaksana pneumonia pada
anak telah dipublikasikan oleh British Thoracic Society. Kebanyakan
anak-anak yang sakit bisa dirawat di rumah namun indikasi rawatnya
ada jika saturasi O2 <92%, adanya apnu berulang, mengorok,
dan/atau bila tidak dapat mempertahankan asupan makanan dan
minuman yang adekuat. Terapi suportif O2 diberikan untuk mengatasi
th
56 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
hipoksia, diberikan analgetik bila dijumpai nyeri, cairan intravena
diberikan untuk mengkoreksi dehidrasi dan mempertahankan hidrasi
yang adekuat. Fisioterapi tidak terbukti ada peranan.10
Terapi terhadap pneumonia yang diduga karena bakteri
adalah berdasarkan dugaan, umur, dan tampilan klinis anak. Anak
sakit ringan tidak memerlukan rawat inap, dan amoxicilin disarankan.20
Bayi baru lahir memerlukan antibiotik spektrum luas secara intravena.
Anak yang lebih tua cukup dirawat dengan amoxicilin oral. Antibiotika
berspektrum lebih luas seperti co-amoxiclav untuk kasus-kasus
pneumonia yang berkomplikasi atau tidak responsif. Untuk anak lebih
dari 5 tahun, baik amoxicilin atau makrolida oral seperti eritromisin
adalah pilihan utama. Tidak ada keuntungan pemberian antibiotika
intravena dibanding oral pada pneumonia ringan hingga sedang.10
Pilihan terapi antibiotika pada pneumonia dapat dilihat pada tabel 5
dan Tabel 6.19
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 57
Tabel 6. Pilihan terapi antibiotika untuk CAP berdasarkan usia dan
gambaran klinis19
Usia/Gambaran Klinis Rawat Inap Rawat Jalan
Bayi baru lahir Ampicillin + Gentamicin -
a
1 bulan sampai 5 tahun Penicillin atau ampicillin Amoxicillina
5 tahun dan lebih Penicillin atau ampicillin; -
tua:infiltrat alveolar, tambahkan makrolida jika
efusi pleura, gambaran tidak ada respon
toksik
5 tahun dan lebih tua: Makrolida; pertimbangkan Makrolida
infiltrat interstisial menambahkan beta
laktam jika tidak ada
respon
Necrotizing pneumonia Oxacillin/nafcillin;
vancomycin.
Pertimbangkan
menambahkan
cephalosporin generasi
ke-3
a
Makrolida jika dicurigai pneumonia atipikal
th
58 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
kanan, namun tidak berpengaruh terhadap episode sakit pneumonia.
Terdapat peningkatan kadar zink serum setelah pemberian
suplementasi. Disarankan untuk memberikan suplementasi zink pada
anak PJB pirau kiri ke kanan sehingga dapat memperbaiki kadar seng
serum dan status imunitas tubuh.31
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 59
Daftar Pustaka
1. Healy F, Hanna BD, Zinman R. Clinical practice. The impact of lung
disease on the heart and cardiac disease on the lungs. Eur J Pediatr
2010;169:1-6
2. Singh PK, Chaudhuri PK, Chaudhary AK. Incidence of congenital heart
disease in children with recurrent respiratory tract infection in tertiary
hospital. IOSR-JDMS 2017;16(9): 42-4
3. Tulloh RM. Cardiac disorders. Dalam: Lissauer T, Carroll W, penyunting.
Illustrated textbook of paediatrics, edisi ke-5 Elsevier London 2018, h:320-
43
4. Sahan YO, Kilicoglu E, Tutar ZU. Evaluation of children with congenital
heart disease hospitalized with diagnosis of lower respiratory tract
infection. J Pediatr Res 2018;5(1):32-6
5. Healy F, Hanna BD, Zinman R. Pulmonary complications of congenital
heart disease. Paediatric Respiratory Reviews 2012;13:10-5
6. Lanata CF, Rudan I, Boschi-Pinto C, dkk. Methodological and quality
issues in epidemiological studies of acute lower respiratory infection in
children in developing countries. Int J Epidemiol 2004;33:1362-72
7. Subramanyam L. Recurrent respiratory tract infection-an approach. Indian
J Pract Pediatr 2012;14(3):245-57
8. Cabalka AK. Physiologic risk factors for respiratory viral infections and
immunoprophylaxis for respiratory syncytial virus in young children with
congenital heart disease. Pediatr Infect Dis J 2004;23(1):S41-S45
9. Cunningham S. Bronchiolitis. Dalam: Wilmott RM, Deterding R, Li A, dkk.
Kendig’s disorders of the respiratory tract in children, edisi ke-9. Elsevier,
Philadelphia 2019. h:1567-96
10. Carroll W. Respiratory disorders. Dalam: Lissauer T, Carroll W,
penyunting. Illustrated textbook of paediatrics, edisi ke-5 Elsevier London
2018, h:294-319
11. Granbom E. Respiratory tract infections in children with congenital heart
disease. Umea Universitet 2016:1-31
12. Coates BM, Camarda LE, Goodman DM. Wheezing in infants:
Bronchiolitis. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St Geme III JW, Schor
NF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics, edisi ke-20. Elsevier
Philadelphia 2016. h: 2044-8
13. Nair H, Nokes DJ, Gessner BD, dkk. Global burden of acute lower
respiratory infections due to respiratory syncytial virus in young children: a
systematic review and meta-analysis. Lancet 2010;375(9725):1545-55
14. Geskey JM, Cyran SE. Managing the morbidity associated with
respiratory viral infections in children with congenital herat disease.Int J
Pediatr 2012;1-8
15. Levin D, Tribuzio M, Green-Wrzesinki, dkk. Empiric antibiotics are justified
for infants with respiratory syncytial virus lower respiratory tract infection
presenting with respiratory failure: a prospective study and evidence
review. Ped Critic Care Med 2010; 11(3):390-5
th
60 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
16. Turner TF, Kopp BT, Paul G, Landgrave LC, Hayes D, Thompson R.
Respiratory syncytial virus: current and emerging treatment options.
Clinico-Economics and Outcome Research 2014;6:217-25
17. Simoes EAF, Sondheimer HM, Top FH, dkk. Respiratory syncytial virus
immune globulin for prophylaxis against respiratory syncytial virus disease
infants and children with congenital heart disease. J Pediatr
1998;133(4):4929
18. American Academy of Pediatrics. Policy Statement. Updated guidance for
palivizumab prophylaxis among infants and young children at increased
risk of hospitalization for respiratory syncytial virus infection. Pediatrics
2014; 134:415-20
19. Scotta MC, Marostica PJC, Stein RT. Pneumonia in children. Dalam:
Wilmott RM, Deterding R, Li A, dkk. Kendig’s disorders of the respiratory
tract in children, edisi ke-9. Elsevier, Philadelphia 2019. h:1597-1644
20. Kelly MS, Sandora TJ. Community-acquired pneumonia. Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, St Geme III JW, Schor NF, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics, edisi ke-20. Elsevier Philadelphia 2016. h: 2088-94
21. Sandora TJ, Harper MB. Pneumonia in hospitalized children. Pediatr Clin
N Am 2005;52: 1059-81
22. Wald E. Recurrent and nonresolving pneumonia in children. Semin Respir
Infect 1993;8:46-58
23. Hughes D. Recurrent pneumonia...Not!. Paediatr Child Health
2013;9:459-60
24. Owayad AF, Campbell DM, Wang EE. Underlying causes of recurrent
pneumonia in children. Arch Pediatr Adolesc Med 2000;154:190-4
25. Sadoh WE, Osarogiagbon WO. Underlying congenital heart disease in
Nigerian children with pneumonia. African Health Science
2013;13(3):607-12
26. Patel HT. Basic pathophysiology: left to right shunts. Dalam: Koenig P,
Hijazi ZM, Zimmerman F, penyunting. Essensial pediatric cardiology.
McGraw-Hill Medical Publishing London. 2004, h.77-87
27. Sadoh WE. Natural history of ventricular septal defect in Nigerian
children. South Afr J Child Hlth 2010;4:16-9
28. Dardenne M. Zinc and immune function. Eur J Cli Nutr 2002;56:20-3.
29. Cunningham-Rundles S. Zinc and immune function. IZA 2005:1-4.
30. Bhandari N, Bahl R, Teneja S, Strand T, Molbak K, Ulvik RJ, et al. Effect
of routine zinc supplementation on pneumonia in children aged 6 months
to 3 years: randomized controlled trial in urban slum. BMJ 2002;324.
31. Suryanti E, Priyatno A, Wajayahadi N. Pengaruh suplementasi seng
terhadap kejadian pneumonia pada penyakit jantung bawaan pirau kiri ke
kanan. Sari Pediatri 2014; 16 (4): 221-8.
32. Luo H, Qin G, Wang L, Ye Z, Pan Y, Pan Y, Huang L. Outcomes of infant
cardiac surgery for congenital heart disease concomitant with persistent
pneumonia: a retrospective cohort study. J Cardiothorac Vasc Anesth
2019; 33: 428-32
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 61
33. Khongphattanayothin A, Wong PC, Samara Y, dkk. Impact of respiratory
syncytial virus infection on surgery for congenital heart disease:
postoperative course and outcome. Crit Care Med 1999;27:1974-81
34. Murni IK, MacLaren G, Morrow D, Iyer P, Duke T. Perioperative infections
in congenital heart disease. Cardiol in the Young 2017;27(Suppl.6):S14-
S21
th
62 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Nyeri Dada pada Anak, Apakah Berbahaya?
Alit Utamayasa
Divisi Kardiologi Anak RSUD Dr. Soetomo/FK Unair-Surabaya
Pendahuluan
Nyeri dada pada anak merupakan salah satu penyebab
tersering dari kunjungan di luar jadwal pada tenaga medis tingkat
pertama maupun instalasi gawat darurat sekitar 0,3-0,6%, dengan
median usia adalah 12-13 tahun (Jenifer, 2010). Dilaporkan rasio
antara wanita dan laki-laki dengan keluha nyeri dada adalah 1,6 : 1.
Meskipun sering kali membuat orang tua perhatian, nyeri dada pada
anak sering kali tidak disebabkan oleh penyakit yang serius dan
berlangsung singkat yaitu kurang dari 1 hari (Gestasi et al, 2003).
Nyeri dada merupakan hal kedua tersering yang menyebabkan
rujukan ke ahli jantung anak setelah murmur jantung. Nyeri dada pada
anak dapat diklasifikasi secara luas menjadi nyeri dada jantung dan
non-jantung. Nyeri dada non-jantung, sejauh ini, merupakan penyebab
paling sering dari nyeri dada pada anak dan remaja. Pada makalah ini
akan dibahas penyebab paling sering dari nyeri dada pada anak dan
remaja, dengan penekanan yang disebabkan oleh jantung dan
memberikan panduan dalam mengevaluasi anak atau remaja yang
memiliki nyeri dada.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 63
A. Nyeri Dada Non-Jantung
Nyeri dada non-jantung mencakup kurang lebih 69% dari
seluruh keluhan nyeri dada pada anak dan remaja yang datang ke unit
gawat darurat. Penyebab nyeri dada non-jantung dapat diklasifikasikan
menjadi muskuloskeletal, pulmonal, gastrointestinal, dan lain-lain (Lin
et al, 2008).
4. Lain-lain
Nyeri dada psikogenik pada anak-anak yang lebih besar sering
ditemukan pada kasus-kasus yang disebabkan oleh kecemasan
maupun reaksi konversi yang dicetuskan oleh adanya stressor baik
personal maupun keluarga. Pantell dan Goodman melaporkan sekitar
sepertiga remaja yang berkunjung ke instalasi rawat jalan dengan
keluhan nyeri dada, biasanya memiliki riwayat yang cukup berat
mengenai masalah di sekolah maupun keluarga. Nyeri dada
psikogenik sering berhubungan dengan keluhan somatik lainnya
begitu juga dengan adanya gangguan pada pola tidur.
Hiperventilasi karena kecemasan atau rasa panik, dapat
menyebabkan nyeri dada yang disertai dengan keluhan kesulitan
dalam bernafas, rasa pusing, atau parastesi. Spasme dari otot
diafragma, distensi gaster karena aerofagi, dan konstriksi pembuluh
darah koroner karena alkalosis hipokapnea merupakan penjalasan
untuk kasus nyeri dada karena hiperventilasi.
Nyeri dada karena masalah terkait payudara memiliki
prevalensi sebesar 1% sampai 5%. Gadis pascamenarke mungkin
mengeluhkan adanya nyeri dada yang bedenyut atau panas, yang
disebabkan oleh mastitis, penyakit fibrokistik, ataupun kehamilan. Laki-
laki muda dengan ginekomasti mungkin akan datang dengan keluhan
nyeri dada unilateral ataupun bilateral.
Infeksi herpes zoster pada dinding dada mungkin akan muncul
dengan keluhan nyeri yang panas begitu juga parastesi dengan pola
sesuai dermatom kulit, yang diikuti dengan ruam pada beberapa hari
selanjutnya.
Anak-anak yang memiliki skoliosis atau deformitas lainnya
mungkin dapat menyebabkan penekanan pada medulla spinalis
ataupun cabang-cabang saraf medulla spinalis sehingga mungkin
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 67
menyebabkan keluhan nyeri dada sebagai tanda awal dan sebaiknya
dirujuk ke ahli tulang untuk evaluasi dan penanganan lebih lanjut.
1. Penyebab Inflamasi
Perikarditis dengan atau tanpa efusi perikardial biasanya
bersifat infeksius. Perikarditis akan menampilkan nyeri dada
retrosternal yang tajam dan sering menjalar ke bahu kiri, diperberat
ketika pasien berbaring telentang atau mengambil nafas dalam, dan
diperingan dengan miring ke depan. Miokarditis atau endocarditis juga
dapat menyebabkan nyeri dada.
2. Gangguan miokard
Nyeri dada mungkin merupakan keluhan pertama yang
menunjukkan adanya defek anatomi pada jantung yang tidak
diketahui. Nyeri dada yang berhubungan dengan palpitasi, rasa
pusing, atau rasa panik, mungkin merupakan tanda yang ditunjukkan
pada beberapa pasien dengan prolapse katup mitral (Sindrom Barlow).
Prolapse katup mitral biasanya berkaitan dengan bising klik midsistolik
dan kemudian murmur sistolik pada apikal. Bisset et al. melaporkan
bahwa hanya 18% pasien pada sekelompok anak yang berjumlah 119,
yang ditemukan kelainan prolapse katup mitral dengan ke luhan nyeri
dada atipikal.
Pasien yang memiliki obstruksi aliran keluar pada ventrikel kiri
dalam bentuk stenosis pada katup aorta, katup subaorta, atau katup
supraaorta, ataupun koarktasio aorta mungkin akan menunjukkan
keluhan nyeri dada dengan rasa pusing dan lelah. Pada stenosis katup
aorta, dapat terdengan murmur yang keras pada saat ejeksi sistolik
dengan pemanjangan suara sampai leher melalui auskultasi. Sebuah
klik ejeksi karena stenosis katup aorta juga mungkin dapat terdengar.
Nyeri dada yang berkaitan dengan intoleransi aktivitas berat dan
kelelahan mungkin merupakan keluhan awal pada pasien yang
memiliki kardiomiopati hipertrofi maupun dilatasi.
th
68 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
3. Kelainan arteri koroner
Nyeri dada yang disebabkan iskemi dari miokard dapat muncul
pada pasien dengan kelainan anatomi arteri koroner, seperti kelainan
kongenital pada arteri coroner (ALCAPA), fistula arteri koroner,
stenosis atau atresia pada ostium arteri kororner. Kelainan arteri
koroner merupakan peringkat kedua setelah kardiomiopati hipertrofi
sebagai penyebab kematian mendadak karena jantung di antara
remaja.
Pasien-pasien menjelaskan nyeri dada iskemik dengan kualitas
seperti diremas, sesak, ditekan, dikonstriksi, terbakar, ataupun penuh
di bagian dada. Salah satu contoh nyeri dada yang disebabkan iskemi
miokard adalah kondisi dimana pembuluh darah arteri koroner utama
kiri ataupun arteri desenden anterior kiri mendapatkan aliran yang
berasal dari sinus kanan Valsava atau arteri koroner kanan, dan jalur
antara arteri pulmonal dan aorta. Pada saat kelelahan, arteri pulmonal
dan aorta akan menekan arteri koroner kiri utama atau arteri desenden
anterior kiri, menyebabkan iskemik miokard, yang kemudian
menyebabkan kematian mendadak pada remaja. Bayi yang
mengalami insufisiensi koroner karena kelainan aliran arteri koroner
kiri dari arteri pulmonal biasanya menunjukkan keluhan tidak bias
diam, menarik lutut lebih dekat ke abdomen setelah diberi makan,
pucat, diaphoresis, dan mengalami syok pada sirkulasi. Bayi-bayi ini
juga sering kali terjadi misdiagnosis sebagai kolik abdomen.
Anak yang memiliki riwayat pembedahan jantung atau
transplantasi jantung juga rentan terhadap iskemi miokard dan
mungkin menunjukkan keluhan nyeri dada sebagai keluhan awal.
Setelah tahun pertama transplantasi, keganasan sekunder dan
vaskulopati koroner karena transplantasi merupakan penyebab
mortalitas tersering pada pasien ini. Di antara pasien yang mengalami
transplantasi jantung ortotopik, nyeri dada mungkin merupakan tanda
dari penolakan atau vaskulopati arteri koroner yang lebih cepat
dengan iskemi miokard. Pasien yang mengalami pembedahan
pergantian arteri untuk transposisi arteri besar atau d-transportation of
the great arteries (d-TGA) memiliki risiko untuk terjadinya stenosis
ostium arteri koroner.
Komplikasi jangka panjang dari penyakit Kawasaki adalah
stenosis arteri koroner. Aneurisma arteri koroner yang besar pada
penyakit Kawasaki akan memiliki risiko terjadi ruptur, oklusi karena
thrombosis, ataupun stenosis yang akhirnya menyebabkan iskemi
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 69
maupun infark pada miokard. Kato et al. pada sebuah penelitian yang
terdiri dari anak berusia 10 sampai 21 tahun, melaporkan bahwa 46%
pasien yang memiliki penyakit Kawasaki dan riwayat aneurisma besar
pada arteri koroner, ditemukan mengalami stenosis atau obstruksi
komplit dan sebanyak 67% mengalami infark miokard, dengan angka
mortalitas sebesar 50%. Faktor risiko berkembangnya aneurisma arteri
koroner, tromosis, dan stenosis adalah jenis kelamin laki-laki, usia
yang muda (<6 bulan), atau usia yang lebih besar (>5 tahun) pada
saat didiagnosis.
Penyakit arteri koroner juga terlihat pada pasien dengan
riwayat keluarga akan hiperkolesterolemia, tetapi anak-anak dan
remaja jarang ditmeukan obstruksi yang cukup besar yang mampu
menyebabkan nyeri dada karena iskemi. Penyakit arteri koroner
mungkin dapat muncul pada 2 dekade pertama pada pasien yang
terlahir dengan hiperkolesterolemia familial homozigot, sedangkan
mereka yang terlahir dengan hiperkolesterolemia familial heterozigot,
penyakit arteri koroner mungkin baru muncul setelah dekade kelima.
Menurut panduan pencegahan tenaga medis oleh American Academy
of Pediatrics (AAP), setiap anak sebaiknya menjalani pemeriksaan
risiko dislipidemia yang dimulai saat berusia 2 tahun, dan penilaian
sebaiknya diulangi setiap 2 tahun sampai usia 10 tahun, kemudian
diulangi tiap tahun. Untuk anak-anak dan remaja yang memiliki riwayat
keluarga akan hiperkolesterolemia, AAP menyarankan untuk
mengukur konsentrasi kolesterol serum total tanpa puasa sebagai uji
skrining awal, diikuti dengan profil lipid puasa bila nilai kolesterol total
ditemukan tidak normal.
4. Penyebab lain
Ketika pasien mengeluhkan adanya nyeri dada yang sangat
berat atau seperti dirobek pada dada tengah yang menembus ke
belakang, diagnosis berupa diseksi aorta sebaiknya dipertimbangkan.
Pasien anak yang memiliki sindrom Marfan, memiliki risiko terjadi
diseksi aneurisma aorta yang mungkin tiba-tiba muncul dengan nyeri
dada yang sangat hebat. Diseksi aorta juga dapat terlihat pada pasien
dengan sindrom Turner, sindrom Ehlers-Danlos tipe IV, dan
homositeinuria.
Anak-anak yang tidak mampu menjelaskan palpitasi karena
aritmia juga mungkin mengeluhkan nyeri dada dengan menunjuk pada
sternum. Nyeri dada pada anak atau remaja yang memiliki penyakit
th
70 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
jantung kongenital dan mengalami prosedur Fontan atau Mustard atau
Senning pada kasus d-TGA mungkin mengalami aritmia aliran balik
intra-atrial (atrial flutter lambat).
Hipertensi pulmonal primer maupun sekunder mungkin
menunjukkan keluhan nyeri dada yang berhubungan dengan
kelelahan, sesak, ataupun pingsan.
Anamnesis
Anamnesis sebaiknya menekankan pada deskripsi dari nyeri,
keluhan yang menyertai, dan faktor-faktor yang mencetuskan,
memperberat, dan memperingan. Nyeri dada akut dapat disebabkan
oleh trauma, emboli paru, asma, dan masalah jantung, seperti diseksi
aorta atau ataupun nyeri iskemia yang dikarenakan kelainan arteri
koroner. Nyeri dada kronis biasanya disebabkan oleh masalah non-
kardiak, dan penyebabnya dapat dari muskuloskeletal, gastrointestinal,
psikogenik, ataupun idiopatik.
Lokasi dari nyeri terkadang membantu dalam membedakan
penyebab nyeri. Nyeri yang lokal atau dapat ditunjuk biasanya
mengarah pada dinding dada atau pleura; nyeri dada menyeluruh
biasanya lebih mengarah pada penyakit organ dalam seperti paru atau
jantung. Penyebaran nyeri dada ke suatu area tertentu juga membantu
dalam membedakan penyebab spesifiknya. Nyeri dada karena iskemi
miokard biasanya menjalar ke leher, tenggorok, rahang bawah, gigi,
ekstrimitas atas, ataupun bahu. Pada kasus kolesistitis akut, nyeri
dada akan menjalar sampai ke bahu kanan, sedangkan pada pasien
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 71
dengan perikarditis, nyeri dada akan menjalar ke bahu kiri. Nyeri dada
pada kasus diseksi aorta akan menjalar ke belakang di antara kedua
scapula.
Beberapa faktor yang mencetuskan maupun memperberat
mungkin dapat membantu dalam mengenali penyebab dari nyeri dada.
Nyeri dada karena muskuloskeletal akan bertambah berat ketika
dalam posisi tubuh tertentu, bergerak, dan bernafas dalam. Nyeri dada
yang bertambah berat karena makan atau berhubungan dengan
muntah, regurgitasi, ataupun menelan mungkin mencerminkan
penyebab pada sistem saluran cerna. Nyeri dada yang dicetuskan
oleh kelelahan maupun berhubungan dengan sesak dapat disebabkan
oleh penyakit jantung atau paru. Sebuah riwayat akan infeksi saluran
nafas atas dengan demam dan keluhan nyeri dada sebaiknya dicurigai
akan sebuah perikarditis. Nyeri dada yang berhubungan dengan
beberapa keluhan somatic seperti nyeri kepala, nyeri perut, atau nyeri
yang berlebihan dapat disebabkan oleh psikogenik. Nyeri dada
dengan kepala yang pusing dan parastesi dapat dikaitkan dengan
hiperventilasi. Aritmia dapat muncul pada kasus nyeri dada dengan
palpitasi.
Riwayat akan asma sebaiknya menjadi perhatian tenaga
kesehatan terhadap bronkospasme sebagai penyebab nyeri dada.
Asma yang disebabkan latihan fisik sebaiknya dipertimbangkan bila
pasien mengeluhkan adanya batuk, nyeri dada, dan kesulitan bernafas
setelah aktivitas fisik.
Remaja dengan nyeri dada mungkin dapat memiliki riwayat
akan trauma, latihan angkat beban berat, atau mengalami tegang otot
saat olahraga. Riwayat akan konsumsi rokok ataupun obat-obatan
untuk rekreasi juga sebaiknya digali. Bronchitis merupakan salah satu
penyebab tersering dari nyeri dada pada kasus-kasus perokok. Kokain
dan obat-obatan simpatomimetik lain juga merupakan salah satu agen
vasokonstriktor sehingga penggunaan obat-obat ini dapat
menyebabkan iskemi miokard.
Riwayat memiliki penyakit Kawasaki atau operasi pergantian
arteri pada kasus d-TGA di masa lampau seharusnya memberi
peringatan pada tenaga medis mengenai kemungkinan stenosis
ostium arteri koroner yang menyebabkan iskemi miokard. Pasien yang
menjalani pemasangan transkateter atau alat untuk menutup defek
septum atrium maupun ventrikel mungkin juga akan mengeluhkan
adanya nyeri dada terkait embolisasi alat ataupun ketidakcocokan dari
th
72 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
struktur terkait. Nyeri dada angina mungkin menunjukkan keluhan
pada pasien yang lahir dengan kelainan arteri koroner, vaskulopati
arteri koroner pada pasien transplantasi jantung, dan penyempitan
arteri koroner karena hiperkolesterolemia familial. Sindroma koroner
akut pada pasien yang memiliki penyakit sickle cell, juga dapat
menjadi penyebab nyeri dada. Riwayat akan sakit Crohn, sistemik
lupus eritematus, atau penyakit autoimun lain sebaiknya menjadi
perhatian bagi tenaga medis akan perikarditis sebagai penyebab nyeri
dada.
Riwayat keluarga akan beberapa kelainan genetik atau
jaringan ikat, seperti sindrom Marfan, sebaiknya dilakukan evaluasi
secara spesifik mengenai keluhan terkait penyakit tersebut.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada anak-anak yang mengeluh nyeri dada
selalu dimulai dari pemeriksaan tanda-tanda vital dan pengukuran
antropometri. Postur yang tinggi mungkin menunjukkan adanya
penyebab genetik (sindrom Marfan). Demam dan takipnea mungkin
membantu dalam mengkonfirmasi kelaianan infeksi terutama pada
paru meskipun jarang pada jantung juga bias, terutama bila nyeri dada
juga diikuti dengan takikardi yang makin memburuk bila berbaring
telentang (perikarditis dengan atau tanpa efusi). Peningkatan tekanan
vena jugularis atau hipotensi mungkin menunjukkan adanya disfungsi
sistolik atau diastolik dari jantung (miokarditis atau kardiomiopati).
Adanya dismorfisme pada wajah atau kelainan lensa mata juga
sebaiknya diperhatikan (sindrom Marfan). Inspeksi visual dari dinding
dada penting untuk melihat adanya abnormalitas pada tulang seperti
pektus ekskavatum maupun karinatum, scoliosis, atau luka bekas
operasi. Telarche pada anak perempuan maupun ginekomasti pada
anak laki-laki dapat menyebabkan nyeri dada. Rasa hangat, warna
kemerahan, nyeri tekan di sekitar puting atau payudara dapat
menunjukkan keadaan mastitis. Perhatian khusus sebaiknya diberikan
bila ada nyeri yang makin meningkat bila ditekan, dengan intensitas
yang sama seperti nyeri dada, pada pemeriksaan palpasi dinding
dada. Batuk, crackle, maupun mengi mungkin menunjukkan jalan
nafas bronkial yang hiperaktif (asma) atau sebuah proses pneumonia
pada paru.
Sebuah pemeriksaan kardiovaskular yang menyeluruh
sebaiknya dilakukan termasuk pemeriksaan palpasi dari getaran
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 73
precordium (getaran ventrikel kanan karena hipertensi pulmonal) atau
trill (lesi katup yang bersifat obstruktif). Perhatian juga harus diberikan
saat auskultasi bising jantung. Ketika suara jantung terdengar jauh
atau sulit didengar maka diagnosis dari efusi perikardium sebaiknya
diperhatikan. Suara jantung yang keras di sepanjang batas kiri dan
atas sternum mungkin menunjukkan hipertensi pulmonal. Gesekan
perikardium mungkin terdengar pada efusi perikardium yang ringan
sampai sedang.
Pasien yang memiliki miokarditis mungkin menunjukkan gejala
takikardi, suara jantung yang rendah, ritme gallop, dan murmur
regurgitasi dari katup mitral. Suara klik waktu ejeksi sistolik terdengar
pada stenosis aorta dan suara klik midsistolik terdengar pada prolapse
katup mitral. Sebuah murmur kasar midsistolik terdengar pada pasien
dengan obstruksi aorta yang disebabkan stenosis valvula, subvalvula,
supravalvula, maupun kardiomiopati hipertrofi. Pada pasien yang
mengalami prolapse katub mitral, klik midsistolik mungkin dapat
disertai murmur keras mid sampai akhir sistolik pada apeks. Murmur
berkelanjutan dapat didengar pada pasien yang memiliki fistula pada
arteri koroner atau pada rupture sinus Valsava. Detak yang lemah
pada arteri femoralis mungkin menunjukkan hipertensi tungkai atas
dan sebuah murmur aliran yang berkelanjutan di batas kiri bawah
scapula mencirikan sebuah koarktasio aorta. Hepatomegali, asites,
dan edema perifer mungkin dapat menunjukkan sebuah penyebab
berupa gagal jantung kongestif.
Pemeriksaan lanjut
Pasien yang memiliki tanda-tanda klinis dari nyeri dada karena
muskuloskeletal dan tidak ditemukan kelainan apapun, maka tidak
perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut maupun rujukan. Pasien-pasien
yang memiliki riwayat atau kelainan yang signifikan pada pemeriksaan
fisik membutuhkan evaluasi diagnosis lebih lanjut dan sebaiknya
dirujuk ke ahli jantung anak bila dicurigai penyakit jantung. Evaluasi
dilakukan berdasarkan masing-masing individu terkait dengan tiap
keluhan dan tanda klinis. Sebuah foto radiologi pada dada sebaiknya
dilakukan untuk melihat adanya lesi pada tulang, kardiomegali,
kelainan jalan nafas, maupun lesi pada paru ataupun pleura. EKG
merupakan pemeriksaan yang berguna untuk mengevaluasi
kecepatan, ritme, dan kelainan jantung baik iskemi, perikarditis,
maupun pembesaran ruang jantung. Pemeriksaan lebih lanjut lagi
th
74 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
sebaiknya tidak dilakukan menunggu instruksi dari ahli jantung anak.
Ketika pembacaan EKG dasar normal, maka dapat dilakukan uji stress
fisik untuk menilai adanya aritmia atau iskemia selama aktivitas fisik
yang berat. Uji stress sendiri bersama dengan uji fungsi paru mungkin
perlu dilakukan pada pasien yang mengalami nyeri dada bersama
dengan kelelahan yang diikuti oleh keluhan jantung lainnya.
Ekhokardiografi dapat dilakukan pada pusat pemeriksaan anak
yang dilakukan oleh ahli jantung anak. Pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan yang sangat berharga dalam mendeteksi anatomi
jantung. Diagnosis dari efusi perikardium, diseksi aorta, lesi obstruktif
pada sisi kiri, kardiomiopati, hipertensi pulmonal, dan disfungsi
ventrikel mungkin dapat ditetapkan melalui ekhokardiografi 2 dimensi.
Ekhokardiografi juga dapat membantu untuk mengenali kelainan pada
koroner seperti kelainan muara dan aliran dari arteri koroner,
aneurisma koroner, dan fistula arteri koroner. Dulu, angiografi koroner
merupakan pemeriksaan terbaik dalam mengevaluasi kelainan muara
dan aliran dari arteri koroner. Akan tetapi, pemeriksaan terbaru, yakni
computed tomography-scan (CT Scan) 64 potongan atau magnetic
resonance angiography dapat digunakan untuk menjelaskan kelainan
anatomi arteri koroner. Kemudian, pemeriksaan elektrofisiologi
mungkin dapat membantu mendiagnosis aritmia yang mendasari.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 75
Merujuk pasien ke Ahli Jantung Anak
Konsultasi dengan ahli jantung anak sangat direkomendasikan
pada anak-anak atau remaja yang mengalami nyeri dada disertai
keluhan kelelahan, palpitasi, pingsan mendadak (terutama saat
aktivitas tinggi), atau penemuan abnormal lain pada pemeriksaan
jantung ataupun EKG; sebuah riwayat di masa lampau terkait
pembedahan atau intervensi; riwayat keluarga akan sindrom genetik,
aritmia, kematian mendadak, atau risiko tinggi akan penyakit arteri
koroner . Pasien yang memiliki riwayat penyakit Kawasaki, penyakit
jantung kongenital, pembedahan jantung, atau transplantasi jantung
memiliki risiko terjadinya penyakit jantung koroner. Pasien
transplantasi jantung yang mengalami iskemi miokard mungkin tidak
akan mengeluhkan nyeri dada karena adanya denervasi simpatis dari
jantung yang tertransplantasi tetapi justru akan mengeluarkan keluhan
yang tidak spesifik seperti mual, muntah, dan peningkatan denyut nadi
saat beristirahat. Pasien yang pernah menjalani prosedur Mustard
atau Senning karena d-TGA atau pernah menjalani prosedur Fontan
karena masalah ventrikel tunggal, memiliki risiko yang tinggi untuk
terjadinya takikardi intra-atrial re-entry (disebut juga atrial flutter
lambat) dan sebaiknya dirujuk ke ahli jantung anak.
Anak-anak atau remaja yang baru saja menjalani intervensi
transkateter kardiak, seperti alat penutup atau pemasangan stent,
sebaiknya dievaluasi oleh ahli jantung terkait embolisasi alat atau
kompresi dari struktur sekitarnya. Keluhan nyeri dada pada pasien
yang baru saja menjalani koreksi penyakit jantugn kongenital
sebaiknya ditangani dengan serius. Dada pasien sebaiknya diinspeksi
untuk menyingkirkan adanya infeksi pada insisi sternotomi maupun
tempat pemasangan selang dada. Riwayat terkait demam, nyeri dada
yang memberat bila telentang, suara jantung yang menjauh pada
auskultasi cenderung curiga mengarah ke sindrom postperikardiotomi.
Pasien yang menjalani operasi pergantian arteri untuk d-TGA dan
mereka yang memiliki riwayat penyakit Kawasaki memiliki risiko
terjadinya stenosis arteri koroner ataupun atresia yang kemudian
menyebabkan iskemi miokard bahkan infark. Mendapatkan hasil
pemeriksaan EKG merupakan langkah awal yang baik dalam melihat
tanda iskemi.
th
76 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Ringkasan
• Setiap pasien yang mengeluhkan nyeri dada membutuhkan
pemeriksaan yang menyeluruh. Biasanya, anamnesis dan
pemeriksaan fisik sudah cukup untuk mendiagnosis penyebab dari
nyeri dada.
• Berdasarkan bukti penelitian-penelitian yang kuat, nyeri dada yang
disebabkan muskuloskeletal merupakan penyebab nyeri dada
paling sering pada populasi anak. Memberikan edukasi dan
penjelasan kepada pasien dan keluarganya mengenai sifat nyeri
dada yang disebabkan oleh muskuloskeletal adalah ringan,
merupakan hal yang paling penting.
• Berdasarkan beberapa penelitian terkini begitu juga dengan
beberapa konsensus, nyeri dada yang disebabkan oleh kelainan
kardiak lebih mungkin bila nyeri tersebut disertai dengan rasa
kelelahan. Bila keluhan yang menyertai cenderung mengarah ke
iskemi miokard ataupun penemuan abnormal jantung lainnya, maka
segera dirujuk ke ahli jantung anak.
Referensi
Aeschimann AKM. Tietze’s syndrome:a critical review. Clin Exp
Rheumathol.1990;8:407.
Gasteri LM, Fernandez LA, Mintegi RS, et al. Chest pain in pediatric
emergency department: a usually benign process. An Pediatr
2003;59:234-8.
Lin CH, Lin WC, Ho YJ, et al. Children with chest pain visiting the emergency
department. Pediatr Neonatol 2008;49: 26-9.
Massin MM, Montesari J, Gerad P,et al. Spectrum and frequency of illness
presenting to a pediatric emergency department. Acta Clin Belg 2006;61:
161-5.
Surendranath R, Veeram R, Herinder RS. Chest pain in children and
adolescents. Pediatric in Riview 2010;31: 1-9.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 77
th
78 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Identification of Arrhythmias in Children: Tips and Tricks
Mulyadi M. Djer
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak
Aritmia atau lebih tepatnya disebut dengan disritmia, merupakan
kelainan irama jantung yang cukup sering ditemukan pada praktek
sehari-hari. Gejala klinisnya bervariasi dari yang paling ringan tanpa
gejala sampai bentuk yang paling berat dengan tanda gagal sirkulasi.
Jenis aritmia dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu takiaritmia dan
bradiaritmia. Untuk menegakkan diagnosis aritmia, EKG merupakan
baku emas, sehingga tata laksana sudah dapat diberikan. Sebagai
praktisi, harus mampu mengenal 3 jenis aritmia yang sering ditemukan
yaitu takikardia supraventrikel, takikardia ventrikel dan blok AV total.
Ke 3 jenis aritmia ini kalau terlambat ditata laksana akan menimbulkan
dampak klinis yang bermakna. Tata laksana meliputi tata laksana
segera dengan menggunakan perasat atau obat-batan, tata laksana
jangka panjang dan tata laksana invasif. Dalam menegakkan
diagnosis, langkah pertama adalah menentukan jenis aritmia apakah
takiaritmia atau bradiaritmia. Pada jenis takiaritmia, langkah berikutnya
adalah menentukan asal/fokus iramanya apakah di atas, pada atau di
bawah hubungan atrio-ventrikel (AV junction) dengan melihat
kompleks QRS. Jika komplek QRS sempit artinya fokus ada di atas
hubungan atrio-ventrikel, jika QRS lebar fokus ada di bawah hubungan
atrio-ventrikel. Pada blok AV, langkah pertama yang perlu dilakukan
adalah mengukur interval PR. Pada blok AV derajad 1, interval PR
konstan tapi memanjang. Pada blok AV derajad 2, interval PR konstan
kecuali Mobitz I. Pada blok AV total, interval PR tidak konstan.
Pendahuluan
Aritmia merupakan kelainan irama jantung yang sering
dijumpai pada praktek sehari-hari. Manifestasi klinis aritmia bervariasi
dari bentuk ringan (benigna) tanpa keluhan sampai dengan bentuk
aritmia berat (maligna). Pada aritmia berat dengan gangguan
hemodinamik, jika tidak ditata laksana segera akan menimbulkan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 79
gagal sirkulasi dan berakhir dengan kematian. Untuk menegakkan
diagnosis aritmia diperlukan pemeriksaan EKG. EKG merupakan baku
emas untuk menegakkan diagnosis aritmia sehingga tata laksana
sudah dapat diberikan.1
Tujuan makalah ini adalah untuk membahas tips dan tricks
untuk menegakkan diagnosis aritmia dan membahas tata laksana
aritmia yang sering ditemukan pada anak.
Irama sinus
Irama jantung normal adalah irama sinus. Pada irama sinus,
impuls listrik yang dihasilkan nodus SA dihantarkan ke nodus AV
melalui dinding atrium sehingga pada EKG terekam sebagai
gelombang P. Sesampainya di nodus AV, impuls listrik mengalami
perlambatan sehingga pada EKG terekam sebagai garis isoelektrik.
Dari nodus AV impuls dihantarkan lagi secara cepat melalui berkas His
dan Purkinje, pada EKG terekam sebagai gelombang QRS, kemudian
disusul dengan repolarisasi ventrikel dan pada EKG terekam sebagai
gelombang T (Gambar 1).
Jenis aritmia
Jenis aritmia yang sering ditemukan sehari-hari yang
mempunyai dampak pada hemodinamik dibagi atas 2 kelompok
yaitu:2,3
1. Taki-aritmia, laju jantung di atas laju jantung pada irama sinus
normal
- Takikardia supraventrikel
- Takikardia ventrikel
- Fibrilasi ventrikel
2. Bradi-aritmia, laju jantung di bawah laju jantung pada irama sinus
normal
- Irama nodal
- Blok atrioventricular
- Disfungsi nodus sino-atrial
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 81
Gambar 2. Berbagai jenis irama prematur yang dapat berasal dari
atrium, nodus AV atau ventrikel
Takikardia supraventrikular
th
82 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Gambar 3. Mekanisme reentry pada SVT
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 83
Irama nodal
Pada irama nodal atau junctional, asal irama (pacu jantung)
adalah nodus AV bukan dari nodus SA. Laju jantung akibat pacu
jantung dari nodus AV lebih lambat dari normal (bradikardia). Gambar
EKG yang khas adalah tidak tampak gelombang P (Gambar 5).
Blok atrioventrikular
Pada blok atrioventrikular (AV blok), terdapat hambatan
penjalaran impuls listrik di nodus AV (Gambar 6). Bentuk blok AV yang
paling ringan (derajat 1) hanya ditemukan pemanjangan interval PR,
dan interval PR konstan. Blok AV derajat 1 merupakan gejala minor
pasien demam reumatik akut.
Pada bentuk blok AV derajat 2 (parsial AV blok), impuls listrik
dari nonus SA ada yang dihantarkan ke ventrikel dan ada yang tidak
dihantarkan ke ventrikel, namun pacu jantung masih berasal dari
nodus SA.
Disfungsi nodus SA
Disfungsi nodus SA (sick sinus syndrome) merupakan kelainan
pada nodus SA sebagai pacu jantung utama. Gambaran EKG yang
khas adalah adanya periode bradikardia diikuti oleh periode takikardia
(Gambar 7). Disfungsi nodus SA sering ditemukan pasca-operasi
jantung yang melibatkan atrium seperti pasca-operasi Fontan.
Tata laksana
Tala laksana aritmia terdiri dari tata laksana segera dan tata
laksana jangka panjang. Tata laksana segera bertujuan untuk
mengkonversi irama ke irama sinus agar curah jantung kembali
normal. Tata laksana jangka panjang bertujuan untuk mencegah agar
serangan tidak berulang. Pada anak agar anak tidak menggunakan
obat-obatan terus menerus sekarang ini dikembangkan terapi ablasi
radiofrekuensi untuk membakar jaras asesoris seperti pada SVT.
Algoritme tata laksana pada takiaritmia dapat dilihat pada Gambar 8.11
Tata laksana aritmia meliputi:
Perasat vagus
Perasat vagus (vagal manuver) merupakan tindakan untuk
meningkatkan aktivitas saraf parasimpatis sehingga menurunkan laju
jantung. Perasat vagus dilakukan dengan meletakkan kantong plastik
berisi es di atas muka. Tindakan ini dilaporkan efektif 25% dalam
mengatasi SVT pada bayi.9
Kardioversi
Kadioversi dilakukan pada semua aritmia dengan hemodinamik
tidak stabil seperti pada takikardia ventrikel (VT) atau fibrilasi ventrikel
(VF). Pada bentuk aritmia yang jalur reentry-nya tidak melibatkan
nodus AV seperti pada flutter atrium, kardioversi cukup efektif.
th
86 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Dosisnya untuk aritmia atrium adalah 1-2 Joule/kg, sedangkan untuk
aritmia ventrikel dosisnya 3-4 Joule/kg. Akibat kardioversi akan terjadi
asistole sehingga reentry-nya akan mengalami terminasi.12
Obat-obatan
Menurut Vaughn dan William, obat anti-aritmia dikelompokkan
menjadi 4 klas yaitu: (1) Klas I bekerja dengan menghambat kanal ion
natrium. Contoh obatnya adalah: kuinidin lignokain, dan flekainid. (2)
Klas II bekerja sebagai penyekat beta, seperti propranolol. (3) Klas III
bekerja memperpanjang repolarisasi fase III dari potensial aksi
jantung. Contoh: amiodaron. (4) Klas IV adalah antagonis kalsium,
sebagai contoh adalah verapamil. Di samping itu ada obat yang sering
dipakai pada aritmia yang bekerja pada nodus AV yaitu adenosin dan
digoksin. Obat ini efektif pada aritmia yang jalurnya melibatkan nodus
AV seperti pada atrioventricular reentrant tachycardia (AVRT) atau
atrioventricular nodal reentrant tachycardia (AVNRT) (Tabel 1).12-15
th
88 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Ablasi radiofrekuensi
Ablasi radiofrekuensi (ARF) adalah tindakan invasif untuk
membakar jalur asesori yang berperan pada reentry. Dari beberapa
meta-analysis didapatkan angka keberhasilan rata-rata ARF pada SVT
adalah 90-98% dengan angka kekambuhan sekitar 2-5%. Angka
penyulit rata-rata adalah sekitar 1%. Oleh karena itu ARF merupakan
tindakan definitif pada kasus aritmia untuk menghindari penggunaan
obat-obatan jangka lama.16-18
Kesimpulan
Aritmia merupakan kelainan irama jantung yang sering
ditemukan pada praktek sehari-hari, manifestasi klinisnya bervariasai
dari bentuk yang ringan (benigna) sampai bentuk yang berat (maligna)
dengan berbagai konsekwensi gangguan hemodinamik. Pada bentuk
aritmia berat dengan gangguan hemodinamik jika tidak ditata laksana
secepatnya, akan terjadi gagal sirkulasi dan pasien akan meninggal.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 89
Untuk menegakkan diagnosis dan memastikan jenis aritmia diperlukan
pemeriksaan EKG. Tata laksana meliputi perasat vagus, kardioversi,
obat-obatan, ablasi radiofrekuensi atau pemasangan pacu jantung
tergantung pada jenis aritmianya.
Dalam menegakkan diagnosis, langkah pertama adalah
menentukan jenis aritmia apakah takiaritmia atau bradiaritmia. Pada
jenis takiaritmia, langkah berikutnya adalah menentukan asal/fokus
iramanya apakah di atas, pada atau di bawah hubungan atrio-ventrikel
(AV junction) dengan melihat kompleks QRS. Jika komplek QRS
sempit artinya fokus ada di atas hubungan atrio-ventrikel, jika QRS
lebar fokus ada di bawah hubungan atrio-ventrikel.
Pada blok AV, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah
mengukur interval PR. Pada blok AV derajad 1, interval PR konstan
tapi memanjang. Pada blok AV derajad 2, interval PR konstan kecuali
Mobitz I. Pada blok AV total, interval PR tidak konstan.
Daftar pustaka
1. Djer MM. Cara mudah dan cepat membaca EKG pada anak. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015; h. 108-40.
2. Ladusans EJ. Diagnosis, evaluation and treatment of cardiac arrhythmias.
Pediatr Child Health. 2008;19:30-36.
3. Kannankeril PJ, Fish FA. Management of common arrhythmias and
conduction abnormalities. Progress Pediatric Cardiology. 2003;17:1-52.
4. Antzelevitch C. Basic mechanism of reentrant arrhythmias. Curr Opin
Cardiol. 2001;16:1-7.
5. Fitzsimmons PJ, McWhirter PD, Peterson DW, Kruyer WB. The natural
history of Wolff-Parkinson-White syndrome in 228 military aviators: A
long-term follow-up of 22 years. Am Heart J. 2001;142:530-6.
6. Schlechte EA, Boramanand N, Funk M. Supraventricular tachycardia in
the pediatric primary care setting: age-related presentation, diagnosis,
and management. J Pediatr Health Care. 2008;22:289-99.
7. Deal BJ. Supraventricular tachycardia mechanism and natural histori.
Dalam: Deal BJ, Wolff GS, Gelband H, penyunting. Current concepts in
diagnosis and management of arrhythmias in infants and children. New
York: Futura Publishing Company; 1998. h. 117-43.
8. Ming-Long Y, Deal BJ, Wolff GS. Supraventricular tachycardia-
electrophysiologic evaluation and treatment. Dalam: Deal BJ, Wolff GS,
Gelband H, penyunting. Current concepts in diagnosis and management
of arrhythmias in infants and children. New York: Futura Publishing
Company; 1998. h. 145-79.
9. Madiyono B. Penanalaksanaan takikardia supraventrikular. Dalam:
Sastroasmoro S, Madiyono B, penyunting. Penatalaksanaan kedaruratan
th
90 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
kardiovaskular pada anak. Naskah lengkap PKB IKA XX FKUI/RSCM.
Jakarta: Bagian IKA FKUI/RSCM; 1989. h. 124-35.
10. Van Hare GF. Supraventricular tachycardia. Dalam: Garson A, Gillet PC,
penyunting. Clinical pediatric arrhythmias. Edisi ke-2. Philadelphia: WB
Saunders Company; 1999. h. 97-120.
11. Delacretaz E. Supraventricular tachycardia. N Engl J Med.
2006;354:1039-51.
12. Park MK. Pediatric cardiology for practitioner. Edisi ke-5. Philadelphia:
Mosby; 2008. h. 417-44.
13. Park MK. Pediatric cardiology for practitioner. Edisi ke-5. Philadelphia:
Mosby; 2008. h. 445-57.
14. Suyatna FD. Rational use of drugs in pediatric cardiology. Dalam: Putra
ST, Djer MM, Roeslani RD, Endyarni B, Yuniar I, penyunting.
Management of pediatric heart disease for practitioners: From early
detection to intervention. Naskah lengkap PKB IKA ke LVII. Jakarta:
Departemen IKA FKUI-RSCM; 2008. h. 115-40.
15. Van Hare GF, Chiesa AC, Campbell RM, Kanter RJ, Cecchin F.
Atrioventricular nodal reentrant tachycardia in children. J Cardiovasc
Electrophysiol. 2002;13:203-9.
16. Drago F. New technologies for the transcatheter treatment of arrhythmias.
Pediatrcs Child Health. 2007;17:536-8.
17. Calkins H. Radiofrequency catheter ablation of supraventricular
arrhythmias. Heart. 2001;85:594-600.
18. Brugada J, Closas R, Ordonez A, Mabrok M, Grecu M, Merce J, Mortera
C. Radiofrequency catheter ablation of an incessant supraventricular
tachycardia in a premature neonate. PACE. 2002;25:866-8.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 91
th
92 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Syok Septik vs Syok Kardiogenik pada Anak: Pendekatan
Praktis Diagnosis dan Tatalaksana
Rizky Adriansyah
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU/
RSUP Haji Adam Malik Medan
Pendahuluan
Syok merupakan salah satu kegawatdaruratan yang sering
terjadi pada anak. Syok septik dan syok kardiogenik merupakan jenis
syok yang paling sering mengakibatkan kematian di rumah sakit. Syok
septik disebabkan oleh sepsis berat disertai disfungsi kardiovaskular.
Sedangkan syok kardiogenik disebabkan oleh penurunan curah
jantung (cardiac output, CO) dengan volume intravaskular yang
adekuat.Berdasarkan manifestasi klinisnya, syok septik dibagi atas
syok hangat (warm shock) dan syok dingin (cold shock).
Beberapa kondisi klinis dan hemodinamikpada syok septik dan
syok kardiogenik banyak memiliki kesamaan (Tabel 1).Namun
penyebab syok septik dan syok kardiogenik berbeda yang berdampak
pada penegakan diagnosis dini dan tatalaksananya. Keterlambatan
resusitasi cairan dan pemberian antibiotik spektrum luas pada syok
septikakan meningkatkan mortalitas. Sedangkan pemberian resusitasi
cairan berlebihan akan memperburuk keadaan pada syok kardiogenik.
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas pendekatan
praktis diagnosis dan tatalaksana kedua jenis syok tersebut pada
anak.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 93
Tabel 1. Parameter hemodinamik pada syok sepsis dan syok
kardiogenik
Syok Sepsis Syok
Parameter
Syok hangat Syok dingin Kardiogenik
Syok septik
Syok septik merupakan sepsis berat yang sering terjadi. Syok septik
juga merupakan jenis syok yang paling banyak dijumpai di ruang rawat
intensif (57% kasus). Lima tanda awal yang harus dikenali pada syok
septik (kompensata) adalah gangguan status mental, takikardia,
takipnea, akral dingin, dan waktu pengisian kapiler memanjang.
Oliguria dan hipotensi merupakan tanda syok lanjut (dekompensata).
Penegakan diagnosis syok septik berdasarkan kriteria menurut
Goldstein dkk dan Sepanski dkk, seperti pada Tabel 2.
th
94 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 2. Kriteria sepsis dan syok septik menurut Goldstein dkk. dan
Sepanski dkk.
Kondisi Kriteria
SIRS Dua atau lebih gejala berikut ini, salah satunya harus
(systemic terdiri dari abnormalitas suhu atau jumlah leukosit :
inflammatory - Suhu tubuh sentral > 38.5 C atau < 36 C
respons - Takikardia, didefinisikan sebagai denyut jantung
syndrome) meningkat di atas 2 SD sesuai usia, tanpa ada
stimulus eksternal seperti obat-obatan, rangsang
nyeri, atau peningkatan denyut jantung yang tidak
dapat dijelaskan selama 0,5 – 4 jam
- Takipnea, didefinisikan sebagai peningkatan laju
nafas di atas 2 SD, atau menggunakan ventilasi
mekanik untuk proses akut yang bukan disebabkan
penyakit neuromuskular atau anestesi umum
- Leukositosis atau lekopenia sesuai usia (yang tidak
berhubungan dengan kemoterapi) atau neutrofil
imatur lebih dari 10%
Revised Pediatric Severe Sepsis Screening Tool
SIRS ditegakkan jika ditemukan 2 pengukuran abnormal,
salah satunya harus denyut jantung atau laju nafas. Salah
satunya lagi adalah temperatur, leukosit, atau neutrofil
imatur.
Infeksi Kecurigaan atau terbukti infeksi melalui pemeriksaan
laboratorium (kultur darah, pewarnaan jaringan, PCR)
yang disebabkan oleh patogen atau sindroma klinis yang
berhubungan dengan kemungkinan infeksi yang tinggi.
Bukti klinis infeksi dapat diperoleh dari pemeriksaan fisik,
pencitraan, maupun pemeriksaan laboratorium (leukosit
pada cairan tubuh steril, perforasi organ interna, rontgen
dada yang menggambarkan pneumonia), ptekie atau
purpura berat.
Sepsis SIRS disertai bukti atau kecurigaan infeksi
Sepsis berat Sepsis dengan satu gejala berikut: disfungsi
kardiovaskular, atau sindroma respiratori akut, atau dua
atau lebih disfungsi organ lain (saraf, darah, ginjal, dan
hati)
Syok septik Sepsis dengan disfungsi organ kardiovaskular
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 95
Kriteria disfungsi organ kardiovaskular pada syok septik adalah
walaupun setelah pemberian cairan intravena 40 ml/kg dalam kurang
dari 1 jam, masih dijumpai keadaan:
- Hipotensi (penurunan tekanan darah < persentil 5 sesuai usia
atau penurunan tekanan darah sistolik < persentil 5 sesuai usia),
atau
- Memerlukan obat vasoaktif untuk mempertahankan tekanan
darah pada rentang normal (dopamin dosis >5 mcg/kg/menit,
atau dobutamin, epinefrin, norepinefrin pada dosis berapapun),
atau
- Ditemukan minimal dua tanda berikut:
• Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan (defisit
basa <5.0 meq/L)
• Peningkatan kadar laktat arteri (2 kali batas atas nilai
normal)
• Oliguria (luaran urin <0.5 ml/kg/jam)
• Waktu pengisian kapiler >5 detik
• Selisih antara suhu tubuh sentral dan perifer > 3 C
Syok kardiogenik
Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan kegagalan
sirkulasi akutdengan volume intravaskular adekuat yang disebabkan
oleh penurunan curah jantung (cardiac output, CO), sehingga terjadi
penurunan penghantaran oksigen ke jaringan(delivery oxygen, DO2).
Selain faktor curah jantung, DO2 juga dipengaruhi oleh kadar
hemoglobin dan oksigenasi, yang dirumuskan dengan formula:DO2 =
CO x (1.36 x Hb X SaO2) + (0.003 x PO2).
th
96 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Penyebab syok kardiogenik yang sering pada anak adalah
kardiomiopati (27% kasus), miokarditis, aritmia, penyakit jantung
bawaan, riwayat pasca-bedah jantung, endokarditis infektif, demam
rematik akut/penyakit jantung rematik, dan penyakit Kawasaki. Selain
itu juga dapat disebabkan oleh beberapa penyakit ekstrakardiak,
seperti penyakit autoimun, intoksikasi, sepsis yang menginduksi gagal
miokard, emboli pulmonal, pneumotoraks, dan tamponade jantung.
Sepsis dan disfungsi organ lain (infeksi paru, infeksi susunan saraf
pusat, gagal ginjal, gagal hati) merupakan komorbiditas yang sering
meningkatkan mortalitas.
Ada tiga keadaan patofisiologis yang dapat terjadi pada syok
kardiogenik menurut konsep Warner-Stevenson, yakni:
1. Cold and wet: kontraktilitas miokard menurun dan tekanan
pengisian ventrikel kiri meningkat (disfungsi sistolik dan
diastolik)
2. Cold and dry: kontraktilitas miokard menurun dan tekanan
pengisian ventrikel kiri menurun (disfungsi sistolik)
3. Warm and wet: kontraktilitas miokard normal dan tekanan
pengisian ventrikel kiri meningkat (disfungsi diastolik)
Gejala dan tanda syok kardiogenik dibagi atas tiga yakni klinis,
etiologis, dan para-klinis (penunjang). Gejala dan tanda klinis tidak ada
yang spesifik dan sulit dibedakan dengan syok dingin (cold
shock).Umumnya ditemukan kesadaran menurun, hipotensi, pulsasi
lemah, hipoksemia, akral dingin, dan manifestasi klinis gagal jantung
kongestif (mudah lelah, dispnea, sianosis, irama gallop, ronki,
distensivena jugular, hepatomegali, edema, dan oliguria/anuria).
Gejala dan tanda etiologis adalah murmur pada beberapa jenis
penyakit jantung bawaan dan penyakit jantung didapat, suara jantung
lemah pada tamponade jantung, gangguan irama jantung (takiaritmia
atau bradiatmia), atau riwayat pasca-bedah jantung. Sedangkan gejala
para-klinis terdiri dari hasil pemeriksaan laboratorium (NT-proBNP,
BNP, CPK-MB, troponin I/T, analisis gas darah, kadar laktat, elektrolit
darah), rontgen dada (ditemukan kardiomegali), elektrokardiografi, dan
ekokardiografi.
Tatalaksana kegawatdaruratan syok kardiogenik mengikuti
algoritma bantuan hidup dasar (basic life support, BLS) dan lanjutan
(advanced life support, ALS). Obat-obatan untuk mengatasi gagal
jantung (diuretik, vasodilator, dan inotropik) diberikan sesuai kondisi
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 97
klinis dan gangguan hemodinamik yang dijumpai. Jika ditemukan
takikardia supraventrikular, takikardia ventrikular, atau fibrilasi atrium,
tatalaksana syok kardiogenik sesuai dengan algoritma dari gangguan
irama tersebut. Antiaritmia (seperti adenosin, amiodaron, sulfas
atropin, lidokain, dan lain-lain) serta defibrilasi (DC-Shock) diberikan
sesuai indikasi. Pada AV Blok maupun bradiaritmia lainnya, mungkin
diperlukan pemasangan pacemaker temporer atau permanen. Anemia,
hipoglikemia, dan gangguan elektrolit (hipokalsemia, hipo/
hiperkalemia, atau hipomagnesemia) harus segera dikoreksi. Jika
ditemukan tension pneumotoraks, harus segera dilakukan
tindakanpleural drainage. Pada tamponade jantung, harus segera
dilakukan perikardiosintesis. Intervensi kardiologi non-bedah/bedah
jantungsudah dapat dilakukan di beberapa rumah sakit rujukan.
Sedangkan tindakan transplantasi jantung sebagai terapi definitif pada
kardiomiopati belum dapat dilakukan di Indonesia.
Pada bayi baru lahir yang mengalami penyakit jantung bawaan
tergantung duktus (duct dependent lesion), prostaglandin intravena
kontinu (5–10 ng/kg/menit) harus segera diberikan untuk mencegah
syok kardiogenik. Berbeda dengan penyebab syok kardiogenik
lainnya, pemberian oksigen dosis tinggi pada kasus seperti ini akan
memperburuk kondisi klinis dan hemondinamik. Pada kasus TGA-IVS,
tindakan balloon atrial septostomy (BAS) harus segera dilakukan
setelah selambatnya 24 jam pemberian prostaglandin intravena
kontinu.
th
98 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Pada syok kardiogenik, pemberian bolus cairan resusitasi
merupakan kontraindikasi karena akan memperberat kondisi gagal
jantung dan meningkatkan tanda-tanda kongestif. Diuretik (furosemid)
diberikan pada syok septik jika setelah ditemukan tanda-tanda
kelebihan cairan (hepatomegali, edema paru, efusi pleura, atau
asites). Sedangkan pada syok kardiogenik, diuretik diberikan pada
fase awal untuk mengatasi manifestasi klinis gagal jantung
kongestif.Tatalaksana syok kardiogenik sangat terkait dengan
penyebabnya, apakah struktur jantung normal/tidak normal, atau
ada/tidaknya gangguan irama jantung.
Inotropik lini pertama pada syok septik adalah dopamin (10
mcg/kg/menit). Pada syok hangat, dapat ditambahkan norepinefrin
(0.05–0.3 mcg/kg/menit). Pada syok dingin, dapat ditambahkan
vasopresor seperti epinefrin (Gambar 1). Sedangkan pada syok
kardiogenik, inotropik lini pertama adalah dobutamin (5–15
mcg/kg/menit) atau milrinon (0.375–0.75 mcg/kg/menit) yang bekerja
sebagai inodilator (Gambar 2). Jika resisten terhadap
dobutamin/milrinon, dapat ditambahkan norepinefrin yang bersifat
vasopressor. Dopamin kurang direkomendasikan sebagai lini pertama
untuk mengatasi syok kardiogenik. Namun pada kasus pasca-bedah
jantung, dopamin (5–15 mcg/kg/menit) lebih efektif untuk mencegah
dan mengatasi curah jantung yang rendah (LCOS, low cardiac output
syndrome).
2
(diameter LVOT)
Stroke volume (SV)= π x x LVOT VTI
2
th
100 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
2. Penilaian kontraktilitas jantung
Fungsi sistolik ventrikel kiri dinilai dengan mengukur
fraksi ejeksi ventrikel kiri (left ventricular ejection fraction,
LVEF). Nilai normal LVEF >55%. Fungsi sistolik ventrikel kanan
dinilai dengan mengukur TAPSE (tricuspid annular plane
systolic excursion). Nilai normal TAPSE ≥16 mm. Secara
praktis, pengukuran LVEF dan TAPSE dengan menggunakan
M-Mode ekokardiografi. Fungsi diastolik ventrikel kiri dinilai
dengan mengukurrasio MV E/A. Normal rasio MV E/A 1–2.
Selain itu, secara praktis ekokardiografi juga dapat
menentukan indeks performa miokard (myocardial performance
index, MPI). Nilai MPI adalah perbandingan antara jumlah
waktu kontraksi isovolumetrik (isovolumetric contraction times,
ICT) dan waktu relaksasi isovolumetrik (isovolumetric
relaxation times, IRT), dibagi dengan waktu ejeksi ventrikel
(ventricular ejection time, VET).
MPI = ((ICT + IRT) / VET
Nilai normal MPI adalah 3.5–4.5. Pada kardiomiopati dilatasi,
nilai MPI >0.6.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 101
Tabel 3. Perbedaan manajemen syok septik dan syok kardiogenik
pada anak
Jenis syok Patofisiologi Manifestasi klinis Tatalaksana
Syok septik CO <, SVR > HR >, normotensi Bolus cairan kristaloid
(60% kasus) atau hipotensi 20 cc/kg, mungkin
(pada kasus sampai 60 cc/kg
terlambat), CRT >, dalam 1 jam pertama,
denyut nadi <, epinefrin jika resisten
kesadaran dopamin dan cairan.
menurun
CO >, SVR < HR >, hipotensi, Bolus cairan kristaloid
(20% kasus) CRT >, denyut 20-60 cc/kg dalam 1
nadi >, kesadaran jam pertama, dopamin
menurun jika resisten cairan,
norepinefrin jika
resisten dopamin dan
cairan.
CO <, SVR < HR >, hipotensi, Bolus cairan kristaloid
(20% kasus) CRT >, denyut 20-60 cc/kg dalam 1
nadi <, hiperpnea, jam pertama, dopamin
kesadaran jika resisten cairan,
menurun epinefrin jika resisten
dopamin dan cairan.
Syok CO <, SVR > HR >, hipotensi, Kontraindikasi bolus
Kardiogenik atau N CRT >, denyut cairan,
nadi <, Dobutamin sebagai
hepatomegali, lini pertama, alternatif
ronki, oliguria milrinon dan dopamin
Penutup
Diagnosis dan tatalaksana awal syok septik dan syok
kardiogenik sangat menentukan prognosis. Keterlambatan pemberian
antibiotikdan resusitasi cairan pada syok septik,sertaketerlambatan
mengatasi penyebab syok kardiogenik akan meningkatkan mortalitas.
Pada kasus yang belum diketahui penyebab syok, maka penilaian
tanda vital, hemodinamik, dan beberapa manifestasi klinis serta
pemeriksaan penunjang menjadi pertimbangan yang sangat penting
dalam memberikan tatalaksana awal syok septik maupun syok
kardiogenik. Jika penyebabnya telah diketahui, tatalaksananya
mengikuti algoritma masing-masing.
th
102 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Kepustakaan
1. Fisher JD, Nelson DG, Bayersdorf H, Satkowiak LJ. Clinical spectrum of
shock in pediatric emergency department. 2010;26:622-5.
2. Brissaud O, Botte E, Cambonie G, Dauger S, Blanquat LS, Durand P,
dkk. Experts’ recommendations for the management of cardiogenic shock
in children. Ann Intensive Care. 2016;6:14
3. Kar SS. Pediatric cardiogenic shock: Current perspectives. Arch Med
Health Sci. 2015;3:252-65.
4. Saugel B, Huber W, Nierhaus A, Kluge S, Reuter DA, Wagner JY.
Advanced hemodynamic management in patient with septic shock.
Biomed Res Int. 2016;8268569
5. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, dkk.
Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of
severe sepsis and septic shock: 2012. Crit Care Med;41:580-637.
6. Breitkerutz R, Walcher F, Seeger F. Focused echocardiographic
evaluation in resuscitationmanagement: Concept of an advanced life
support–conformedalgorithm. Crit Care Med. 2007;35(Suppl):S150-61.
7. Sethuraman U, Bhaya N. Pediatric shock. Therapy. 2008;5:405-23.
8. Lee EP, Hsia SH, Lin JJ, Chan OW, Lee J, Lin CY, dkk. Hemodynamic
analysis of pediatric septic shock and cardiogenic shock using
transpulmonary thermodilution. Biomed Res Int. 2017:3613475.
9. Lim HS. Cardiogenic shock: Failure of oxygen delivery and oxygen
utilization. Clin Cardiol. 2016;39:477-83.
10. Fathi EM, Narchi H, Fares C. Noninvasive hemodynamic monitoring of
septic shock in children. World J Methodol. 2018;8:1-8.
11. Singh Y. Echocardiographic evaluation hemodynamic in neonates and
children. Front Pediatr. 2017;5:201
12. Singh Y, Katheria AC, Vora F. Advances in diagnosis and management of
hemodynamic instability in neonatal shock. Front Pediatr. 2018;6:2
13. Chen L, Kim Y, Santucci KA. Use of ultrasound measurement of the
inferior vena cava diameter as an objective tool in the assessment of
children with clinical dehydration. Acad Emerg Med. 2007;14:841-5.
14. Kwon H, Lee JH, Kim K, Kwak YH, Kim DK. Measurement of inferior vena
cava and aorta with bedside ultrasound to assess degree of dehydration
in children. Crit Ultrasound J. 2015;7(Suppl):A23.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 103
Gambar 1. Algoritme tatalaksana syok sepsis pada anak, berdasarkan
SSC 2012
th
104 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Gambar 2. Algoritme tatalaksana syok kardiogenik pada anak
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 105
th
106 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Peran Imunoglobulin pada Tata Laksana Penyakit Kawasaki
Najib Advani
Pendahuluan
Penyakit Kawasaki (PK) merupakan suatu vaskulitis sistemik
yang umumnya terjadi pada bayi dan anak serta biasanya menyerang
arteri ukuran sedang. Diagnosis PK ditegakkan berdasarkan gejala
klinis dan ditunjang oleh data laboratorium yang menunjukkan
inflamasi sistemik yang berat.1 Saat pertama kali dilaporkan pada
tahun 1967 oleh Tomisaku Kawasaki2, potensi komplikasi aneurisme
koroner belum diketahui begitu juga terapi imunoglobuin seperti yang
ini dilakukan saat ini. Kriteria gejala dan tanda klinis pada fase akut PK
yang menjadi dasar diagnosis adalah:1
1. Demam selama 5 hari atau lebih
2. Konjungtivitis bilateral, tanpa eksudat
3. Kelainan pada mulut: bibir merah dan lidah merah seperti
stroberi, eritema rongga mulut
4. Eritema pada edema pad tangan dan kaki, pada fase akut dan
deskuamasi pada fase subakut.
5. Eksantema yang polimorfik
6. Limfadenopati servikal unilateral (diameter >1.5 cm)
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 107
dapat dijelaskan penyebabnya atau tanda inflamasi sistemik
bersamaan dengan meningkatnya laju endap darah (≥40 mm/jam) dan
CRP (≥30 g/dl) atau adanya aneurisme koroner (diameter luminal
dengan Z score >2,5). Tetapi untuk anak dengan PK yang sudah tidak
demam lagi dan hasil lab juga normal, tidak diperlukan lagi pemberian
IGIV.1
th
108 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Manfaat imunoglobulin pada penyakit Kawasaki
Efektivitas pemberian IGIV pada fase akut PK saat ini sudah
terbukti secara luas. Pada dasarnya terapi IGIV ditujukan untuk
mencegah terjadinya aneurisme koroner dan mengatasi inflamasi
pada fase akut. Berbagai penelitian lain maupun metaanalisis
membuktikan bahwa IGIV menurunkan risiko aneurisme koroner
secara bermakna. 7,8 Systematic review yang terbaru dari Cochrane
Collaboration menyatakan bahwa timbulnya lesi koroner dapat dicegah
dengan pemberian imunoglobulin dosis tunggal 2 g/kg BB jika
diberikan pada 10 hari pertama awitan.9
Mengingat harganya yang mahal, secara teoritis, harusnya
dapat dilakukan stratifikasi untuk terapi PK dan menentukan faktor
risiko kemungkinan timbulnya aneurisme koroner sehingga dapat
ditentukan pasien mana yang harus diberikan IGIV maupun mana
yang tidak. Namun demikian, hingga saat ini belum ada kriteria yang
dapat dipercaya dan akurat untuk menentukan pasien mana yang
berisiko untuk terjadi komplikasi yang berat dan mana yang tidak. Atas
dasar ini, semua pasien PK akut, baik yang komplit maupun inkomplit
sebaiknya diberikan IGIV.10
Berbagai uji klinis sekitar tahun 80 an mendapatkan bahawa
pemberian IGIV dosis tinggi bersama dengan aspirin pada 10 hari
pertama demam, dapat mengurangi angka kejadian aneurisme
koroner dari 25% menjadi 5%.8,11 Meski diberikan IGIV dosis tinggi
dalam 10 hari pertama, sekitar 5% pasien PK terkena setidaknya
dilatasi sementara arteri korner dan 1% menunjukkan aneurisme
raksasa (giant aneurysms).11,12
Dulu sempat dianjurkan pemberian 400 mg/kgBB/hari selama 4
hari, namun ternyata hasil meta analisis membuktikan bahwa dosis
tunggal 2 g/kgBB lebih unggul dalam mencegah terjadinya kelainan
koroner.8 Dosis total IGIV berbanding terbalik dengan kejadian
kelainan koroner dan dosis 2 g/kgBB adalah dosis optimal, sedangkan
dosis aspirin tidak berpengaruh.11 Atas dasar ini untuk pasien yang
tidak sanggup membeli IGIV dosis 2 g/kgBB, dapat dicoba dengan
dosis separuhnya dulu. Penulis pernah mencoba pada beberapa
pasien dengan hasil yang relatif baik. Hal ini lebih baik dari pada
sama sekali tidak diberikan IGIV. Jadi pemberian IGIV pada PK
tidaklah bersifat all or none.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 109
Resistensi imunoglobulin pada penyakit Kawasaki
Meski mayoritas pasien memberi reaksi positif dengan
pemberian IGIV berupa penurunan suhu dan perbaikan gejala klinis
dan penanda laboratorium, sekitar 10-20% akan mengalami ‘resisten’
terhadap IGIV yang diartikan sebagai demam yang menetap atau
kambuh kembali dalam waktu 36 jam setelah selesai pemberian
immunoglobulin. Pasien yang resiten IGIV ini mempunyi risiko yang
lebih tinggi terhadap terjadinya aneurisme koroner.13 Penelitian Advani
pada pasien PK mendapatkan bahwa 93% pasien di Indonesia
responsif terhadap pemberian IGIV regimen awal dan hanya 7 % yang
demam menetap setelah 48 jam pemberian IGIV selesai sehingga
perlu pengobatan tambahan.14 Mekanisme terjadinya resistensi
terhadap IGIV belum diketahui, mungkin juga akibat mekanisme kerja
IGIV pada PK yang belum jelas diketahui. Hingga saat ini belum ada
data yang cukup meyakinkan yang dapat digunakan sebagai pedoman
pemberian terapi pada pasein dengan resisten IGIV. Banyak ahli yang
menganjurkan pemberian ulang IGIV dengan dosis yang sama.
Pemberian steroid, infliximab, siklosporin dan siklofosfamid hingga
metotreksat juga digunakan dan hingga saat ini belum ada protokol
terapi yang sama antara tiap senter.1
Cara pemberian
Imunoglobulin diberikan 2 g/kgBB secara intravena selama 10-
12 jam. Pemberian yang terlalu cepat dengan volume berlebih harus
dihindari karena dapat mengakibatkan gangguan fungsi jantung. Jika
dibutuhkan dalam volume yang banyak, maka pemilihan preparat
dengan konsentrasi yang lebih tinggi (10%) mungkin lebih aman. Pada
30-60 menit pertama dilakukan pemantauan tanda tanda vital dan
th
110 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
mulai dengan tetesan agak lambat. Hal ini mengingat adanya
kemungkinan terjadinya berbagai reaksi termasuk anafilaksis.
Pemberian IGIV yang ideal adalah dalam 10 hari pertama awitan
demam dan yang terbaik adalah pada hari ke 5-7.1 Sebagian peneliti
mendapatkan bahwa pemberian IGIV sebelum hari ke 5 hasilnya tidak
lebih baik dari pemberian hari 5-9 awitan dan bahkan cenderung untuk
terjadinya pengulangan dosis.16,17
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 111
Umumnya derajat efek samping pada pemberian IGIV tidak
berat. Jika terjadi reaksi yang tidak diinginkan kecepatan pemberian
sebaiknya dikurangi. Biasanya kecepatan pemberian adalah 0,01-0,02
ml/kg/menit dan dapat ditingkatkan menjadi 0,1 ml/kg/menit.
th
112 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 3. Survei pasca-pemasaran efek samping IGIV pada penyakit
Kawasaki (n = 7259)20
Rujukan
1. McCrindle BW, Rowley AH, Newburger JW, Burns JC, Bolger AF, Gewitz
M, et al. Diagnosis, treatment, and long-term management of Kawasaki
disease. Circulation. 2017;135:927–99.
2. Kawasaki T. Acute febrile mucocutaneous lymphnode syndrome with
accompanying specific peeling of fingers and toes. Japanese J Allergy.
1967;16:178–82.
3. Kato H, Koike S, Yokoyama T. Kawasaki disease: effect of treatment on
coronary artery involvement. Pediatrics. 1979;63:175–9.
4. Bruton, OC. Agammaglobulinemia. Pediatrics 1952;9:722-28.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 113
5. Furusho K, Kamiya T, Nakano H, Kiyosawa N, Shinomiya K, Hayashidera
T, et al. High-dose intravenous gammaglobulin for Kawasaki disease.
Lancet. 1984;2:1055–8.
6. Newburger JW, Takahashi M, Burns JC, Beiser AS, Chung KJ, Duffy CE,
et al. The Treatment of Kawasaki syndrome with Intravenous gamma
globulin. N Engl J Med 1986;315:341–7.
7. Yellen ES, Gauvreau K, Takahashi M, Burns JC, Shulman S, Baker AL, et
al. Performance of 2004 American Heart Association recommendations
for treatment of Kawasaki disease. Pediatrics. 2010;125:e234–41.
8. Newburger JW, Takahashi M, Beiser AS, Burns JC, Bastian J, Chung KJ,
et al. A single intravenous infusion of gamma globulin as compared with
four infusions in the treatment of acute Kawasaki syndrome. N Engl J Me.
1991;324:1633–9.
9. Oates-Whitehead RM, Baumer JH, Haines L, Love S, Maconochie IKI,
Gupta A, et al. Intravenous immunoglobulin for the treatment of Kawasaki
disease in children. Cochrane Database Syst Rev . 2003;CD004000.
10. Burns JC, Glodé MP. Kawasaki syndrome. Lancet. 2004;364.
11. Terai M and Shulman ST. Prevalence of coronary artery abnormalities in
Kawasaki disease is highly dependent on gamma globulin dose but
independent of salicylate dose. J Pediatr. 1997;131:888–93.
12. Durongpisitkul K, Gururaj VJV, Park JMJJ, Martin CFCF, . The prevention
of coronary artery aneurysm in Kawasaki disease: a meta-analysis on the
efficacy of aspirin and immunoglobulin treatment. Pediatrics.
1995;96:1057–61
13. Hwang JY, Lee KY, Rhim JW, Youn YS, Oh JH, Han JW, et al.
Assessment of intravenous immunoglobulin non-responders in Kawasaki
disease. Arch Dis Child. 2011;96:1088–90.
14. Advani N. Penyakit Kawasaki: Faktor risiko terjadinya aneurisme koroner ,
perjalanan klinisnya, serta jumlah dan kualitas sel progenitor endotel.
Universitas Indonesia, Jakarta; 2014.
15. Burns JC, Franco A. The immunomodulatory effects of intravenous
immunoglobulin therapy in Kawasaki disease. Expert Rev Clin Immunol.
2015;11:819–25.
16. Muta H, Ishii M, Egami K, Furui J, Sugahara Y, Akagi T, et al. Early
intravenous gamma-globulin treatment for Kawasaki disease: The
nationwide surveys in Japan. J Pediatr. 2004:144: 496–9.
17. Fong NC, Hui YW, Li CK, Chiu MC. Evaluation of the efficacy of treatment
of Kawasaki disease before day 5 of Illness. Pediatr Cardiol. 2004;25:31–
4.
18. Newburger JW, Sanders SP, Burns JC, Parness IA , Beiser AS, Colan
SD. Left ventricular contractility and function in Kawasaki syndrome:
Effect of intravenous γ-globulin. Circulation. 1989;79:1237–46.
19 Mark SM. Comparison of intravenous immunoglobulin formulations:
Product, formulary, and cost. Hosp Pharm 2011:46:668-76.
20 Saji BT and Kobayashi T. Overview of the new Japanese guideline 2012
for the medical treatment of the acute stage of Kawasaki disease. Pediatr
Int. 2014: 56:135- 58.
th
114 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Diagnosis dan Tatalaksana Hipotensi pada Neonatus
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 117
Tabel 1. Variasi tekanan darah rerata berdasar berat lahira pada 3
sampai 96 jam pasca lahir2
Berat Usia Pasca Natal (jam)
Badan
(g) 3 12 24 36 48 60 72 84 96
500 35/23 36/24 37/25 38/26 39/28 41/29 42/30 43/31 44/33
600 35/24 36/25 37/26 39/27 40/28 41/29 42/31 42/31 45/33
700 36/24 37/25 38/26 39/28 42/29 42/30 43/31 43/31 45/34
800 36/25 37/26 39/27 40/28 41/29 42/31 44/32 44/32 46/34
900 37/25 38/26 39/27 40/29 42/30 43/31 44/32 44/32 47/35
1000 38/26 39/27 40/28 41/29 42/31 43/32 45/33 45/33 47/35
1100 38/27 39/27 40/29 42/30 43/31 44/32 45/34 45/34 48/36
1200 39/27 40/28 41/29 42/30 43/32 45/33 46/34 46/34 48/37
1300 39/28 40/29 41/30 43/31 44/32 45/33 46/35 46/35 49/37
1400 40/28 41/29 42/30 43/32 44/33 46/34 47/35 47/35 49/38
1500 40/29 42/30 43/31 44/32 45/33 46/35 48/36 48/36 50/38
a th
nilai menunjukan rerata tekanan darah/ persentil 10
Kent dkk. mengukur tekanan darah pada 406 bayi cukup bulan
di bangsal selama 4 hari pertama pascanatal.9 Nilai median tekanan
sistolik, diastolik dan rerata pada hari pertama pascanatal secara
berurutan adalah 65, 45, dan 48 mmHg. Pada hari ke-4 nilai ini
meningkat menjadi 70, 46 dan 54 mmHg. Kent dkk. juga mengevaluasi
pengukuran tekanan darah noninvasif pada sekelompok bayi dengan
usia gestasi 28 sampai 36 minggu.10 Mereka melakukan pengukuran
tekanan darah pada hari ke-1, 2, 3, 4, 7, 14, 21 dan 28 pada 147 bayi.
Dari data tersebut mereka menemukan bahwa bayi prematur akan
menstabilkan rerata tekanan darah setelah 14 hari pertama kehidupan
pasca natal, dan pada saat itu bayi-bayi ini memiliki tekanan darah
yang sama seperti bayi cukup bulan. Peneliti lain juga menunjukan
adanya peningkatan tekanan darah selama beberapa hari pertama
kehidupan pasca natal.2,8
Nilai absolut tunggal dari rerata tekanan darah merupakan
“rentang normal” lain yang sering digunakan untuk penentuan
intervensi, dan lebih dipilih dibandingkan dengan rentang yang luas
dari usia gestasi. Nilai yang sering digunakan adalah rerata tekanan
darah kurang dari 30 mmHg.11 Pendekatan ini didasarkan pada
temuan yang menunjukan bahwa batas terbawah dari kurva
th
118 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
autoregulasi tekanan darah adalah sekitar 28 sampai 30 mmHg pada
model bayi hewan sama seperti pada bayi prematur.12
Tabel 2. Nilai terendah dari rerata tekanan darah arteri dalam 24 jam
pertama dan usia gestasi13
Usia Gestasi Jumlah Rerata Tekanan Darah Arteri
(minggu) Bayi Terendah (mmHg; Median [IOR])
22 25 21 (18-25)
23 178 21 (19-24)
24 339 22 (20-25)
25 431 24 (21-26)
26 583 24 (21-26)
27 666 26 (22-29)
28 725 27 (24-31)
29 725 29 (25-32)
30 709 30 (27-34)
31 526 31 (27-35)
Total 4907 27 (23-31)
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 119
betametason dibandingkan dengan tidak sama sekali dapat
menurunkan kebutuhan vasopresor-inotropik (odd ratio [OR], 0.35;
95% confidence interval [CI], 0.14, 0.85; p < 0.02) dan tingkat P/IVH
(OR, 0.42; 95% CI, 0.19, 0.92; p <0.03).16 Pada uji terkontrol acak
selanjutnya yang membandingkan betametason dan deksametason,
mereka menemukan bahwa tidak ada perbedaan pada insidensi
kebutuhan kebutuhan vasopresor-inotropik di antara keduanya.17
th
120 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
4.3 Tekanan Jalan Napas Positif
Ventilasi mekanik dapat menyebabkan hipotensi melalui
mekanisme, mengurangi venous return dan pengisian ventrikel.
Kluckow dan Evans mengamati tingginya efek samping pemberian
tekanan jalan napas positif pada tekanan darah bayi prematur yang
membutuhkan ventilasi mekanik.24 Efek perubahan tekanan ekspirasi
positif (PEEP) dari 5 menjadi 8 cm H2O, menunjukan penurunan yang
signifikan dari curah jantung kiri.25 Penggunaan ventilasi noninvasif
menghasilkan penurunan insidensi hipotensi dan penurunan curah
jantung.26 De Waal dkk meneliti bayi yang mendapat INSURE
(Intubasi, Surfaktan dan Ekstubasi) menemukan kejadian hipotensi
sebesar 16% dan membutuhkan penanganan sebesar 10%. Data
serupa dipaparkan pula dalam Avoidance of Mechanical Ventilation
Trial27 dimana 17-18% pasien mengalami hipotensi. Terdapat dua efek
samping lain yang memengaruhi kejadian hipotensi dan berkaitan
dengan ventilasi mekanik: penghisapan endotrakheal dan penggunaan
sedasi. Penghisapan endotrakheal dikaitkan dengan perubahan
tekanan darah. Dalam Neopain Trial, penggunaan morfin juga
dikaitkan dengan kejadian hipotensi.28 Oleh karena itu, strategi untuk
meminimalkan penggunaan ventilasi mekanik seharusnya memegang
peranan penting dalam penilaian dan tatalaksana hipotensi pada bayi
prematur.
th
122 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
5.3 Laju jantung
Peningkatan laju jantung biasanya mengindikasikan
hipovolemia pada pasien dewasa. Mekanisme ini bergantung pada
sistem saraf autonom yang sudah matur, dimana ketika terdeteksi
adanya penurunan tekanan darah oleh baroreseptor maka
selanjutnya akan terjadi peningkatan heart rate sebagai usaha
untuk mempertahankan curah jantung agar tetap sesuai. Pada
neonatus, terutama pada bayi prematur, memiliki batas bawah laju
jantung yang lebih tinggi akibat sistem miokardium dan sistem
saraf autonom yang masih imatur, sehingga akan memengaruhi
respon kardiovaskular terhadap hipovolemia. Pengukuran laju
jantung tidak dapat diandalkan sebagai penilaian yang akurat dari
status kardiovaskular.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 125
kebutuhan sirkulasi organ-organ target. Bila di dapati tekanan
darah di bawah batas normal, pastikan bukan karena faktor
eksternal seperti overdistensi paru atau kesalahan pengukuran.
Setelah itu dibutuhkan pengukuran curah jantung sistemik (left
ventricular cardiac output/LVO) menggunakan echocardiography.
Curah jantung kiri diukur dengan menggunakan rumus:
th
126 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Gambar 1. Algoritma tatalaksana hipotensi pada bayi prematur
6.3 Dopamin
Dopamin merupakan hormon katekolamin alami yang
merupakan prekursor noradrenalin. Efek klinis dopamin sangat
bergantung pada dosis. Pada dosis rendah (2 sampai 4
µg/kg/menit), dopamin menstimulasi reseptor dopaminergik yang
menyebabkan vasodilatasi pada sistem arteri koroner, renal dan
th
128 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
mesenterika. Pada dosis sedang (5 sampai 10 µg/kg/menit),
dopamin meningkatkan kontraktilitas miokardium dan laju jantung
dengan menstimulasi reseptor β1, β2, dan α. Pada dosis tinggi (10
sampai 20 µg/kg/menit), dopamin menstimulasi α-adrenergik
pembuluh darah menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh
darah sistemik dan mungkin juga pulmonal.
Dalam beberapa uji klinis yang meneliti efek dopamin
terhadap dengan tekanan darah, disimpulkan bahwa dopamin
lebih efektif dibandingkan volume expander atau dobutamin dalam
meningkatkan tekanan darah dan kemampuannya setara dengan
epinefrin, steroid, dan vasopresin. Efek dopamin pada peningkatan
tekanan darah lebih diakibatkan karena efek vasopresornya.
Sayangnya, bukti ilmiah mengenai dampak pemberian dopamin
pada aliran darah sistemik dan serebral neonatus masih tidak
konsisten. Dalam sebuah studi kohort pada bayi prematur maupun
cukup bulan yang mengalami asfiksia, dopamin pada dosis antara
4 dan 10 µg/kg/menit dapat meningkatkan curah jantung.49 Zhang
dkk. menunjukan tidak adanya dampak yang signifikan dopamin
terhadap curah jantung bayi prematur yang mengalami hipotensi.50
Sementara, Roze dkk. menunjukan penurunan curah ventrikel kiri
dengan pemberian dosis dopamin yang cukup untuk
menormalisasi tekanan darah.51 Osborn dkk. menyimpulkan tidak
ada perubahan pada aliran darah vena cava superior (VCS)
dengan pemberian dopamin meskipun terjadi peningkatan yang
signifikan pada tekanan darah.44 Studi ini menunjukan terjadi
peningkatan tegangan dinding LV (saat afterload) ketika terjadi
peningkatan dosis dopamin dari 10 menjadi 20 µg/kg/menit, yang
sejalan dengan efek α-adrenergik.52 Tidak ada bukti bahwa
vasokonstriksi ini akan mengganggu aliran darah serebral secara
signifikan. Studi pada bayi prematur yang mengalami hipotensi
dan menggunakan NIRS sebagai pengganti penanda aliran darah
serebral, menunjukan bahwa tidak terjadi perubahan aliran darah
serebral setelah pemberian dopamin.
Lie dkk. menunjukan berbagai dampak pada rasio tekanan
sistemik-terhadap-pulmonal, tetapi secara keseluruhan tidak ada
perubahan pada rasio tersebut.53 Bouissou dkk. menunjukan
bahwa pemberian dopamin 8 µg/kg/menit akan meningkatkan
tekanan arteri pulmonal. Mereka juga menunjukan adanya
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 129
peningkatan pada aliran VCS, yang diduga dapat berkaitan
dengan menurunnya pirau PDA.
Singkatnya, dopamin dapat diandalkan dalam
meningkatkan tekanan darah, dan mungkin kejadian ini
diakibatkan karena peningkatan resistensi pembuluh darah
sistemik, bukan aliran darah sistemik. Bukti klinis menunjukan
dopamin mungkin meningkatkan aliran darah serebral tetapi dosis
yang tinggi dari dopamin harus diberikan secara hati-hati, karena
akan peningkatan afterload yang tinggi baik pada sirkulasi sistemik
maupun pulmonal sehingga memiliki efek membahayakan. Selain
itu dopamin memiliki efek yang lebih luas pada organ lain,
termasuk efeknya dalam inhibisi produksi thyroid stimulating
hormone pada hipofisis.
6.4 Dobutamin
Dobutamin merupakan katekolamin sintetik yang
dimodifikasi dari isoprenalin untuk mengurangi efek
kronotropiknya. Dobutamin memiliki waktu paruh sekitar 2 menit
pada anak dan dewasa dan b pada bekerja pada reseptor β1 dan
β2 dengan hanya sedikit efek pada reseptor α, yang akan
menyebabkan peningkatan kontraktilitas miokardium dan laju
jantung serta sedikit penurunan pada resisestensi pembuluh darah
perifer. Mungkin efek vasodilatasi ini yang mengakibatkan banyak
studi menyatakan bahwa dobutamin tidak sebaik dopamin dalam
memperbaiki tekanan darah pada bayi prematur yang mengalami
hipotensi. Namun, pada beberapa studi yang telah melakukan
perhitungan efek tersebut, dobutamin tampaknya lebih baik
dibandingkan dopamin dalam memperbaiki tekanan darah.44 Satu
uji coba acak yang membandingkan dobutamin dengan plasebo
pada bayi dengan aliran darah sistemik yang rendah menunjukan
aliran darah sistemik membaik pada kedua kelompok; meskipun,
marker perfusi lainnya secara signifikan lebih baik pada bayi yang
diberikan dobutamin.54 Studi ini tidak dapat menunjukan
perbedaan atau perubahan pada penanda NIRS dari aliran darah
serebral baik dengan dobutamin maupun plasebo. Studi
observasional lainnya menunjukan adanya dampak dari
pemberian dobutamin pada penanda Doppler dari aliran darah
organ dan juga aliran darah serebral,55 tetapi efek plasebo dalam
studi yang dilakukan oleh Bravo dkk.54 mengingatkan kita bahwa
th
130 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
banyak dari parameter aliran darah akan membaik secara spontan
setelah bayi-bayi prematur ini berusia 12 jam. Efek dari dobutamin
juga bergantung terhadap dosis, dengan dosis yang kecil (<5
µg/kg/menit) dobutamin memiliki efek yang kecil namun ketika
dosis ditingkatkan menjadi 5 sampai 20 µg/kg/menit Osborn dkk.
dalam studinya menunjukan penurunan yang kontinyu tegangan
dinding LV (saat afterload) sehingga mengakibatan rendahnya
aliran darah sistemik. Namun efek dari dobutamin ini tampaknya
tidak efektif saat hipotensi terjadi karena proses vasodilatasi.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 131
6.6 Norepinefrin (Noradrenalin)
Norepinefrin merupakan amino simpatomimetik yang
muncul secara alami dan memiliki efek agonis yang kuat pada
reseptor-α namun sedikit efek stimulasi pada reseptor β2.
Norepinefrin dikatakan memiliki kemampuan vasokonstriktor yang
poten. Tidak ada bukti dari uji klinis dan hanya sedikit data studi
observasional mengenai penggunaan norepinefrin pada bayi baru
lahir. Sebuah studi retrospektif mengenai penggunaan norepinefrin
pada 48 bayi yang lahir sebelum usia gestasi 33 minggu
menunjukan normotensi dapat dicapai pada semua bayi kecuali
satu bayi dengan pemberian norepinefrin pada dosis 0,5
µg/kg/menit. Selain takikardia (pada 31%), tidak ada efek samping
segera yang timbul. Satu studi kohort menunjukan terjadi
perbaikan tekanan darah setelah pemberian norepinefrin pada
bayi cukup bulan yang mengalami syok septik yang refrakter
terhadap pemberian dopamin dan dobutamin.57 Studi
observasional pada bayi cukup bulan dengan hipertensi pulmonal
menyatakan bahwa norepinefrin memiliki efek yang
menguntungkan baik pada hemodinamik sistemik maupun
pulmonal karena norepinefrin memicu vasokonstiksi pembuluh
darah sistemik namun vasodilatasi pembuluh darah pulmonal.58
Tidak ada data mengenai keamanan jangka panjang dari
penggunaan norepinefrin, tetapi ia mungkin berperan dalam syok
yang refrakter terhadap vasodilator dan bayi baru lahir dengan
hipertensi pulmonal (PPHN) dan hipotensi.
6.7 Vasopresin
Vasopresin merupakan hormon alami yang secara utama
berperan dalam regulasi osmolaritas ekstraselular, meskipun ia
juga memiliki peran dalam mengatur fungsi kardiovaskular.
Vasopresin memiliki efek vasokonstriksi yang poten, dan efeknya
inilah yang digunakan dalam terapi hipotensi. Ada satu uji coba
acak (n = 20) yang membandingkan dopamin dengan vasopresin
pada bayi prematur yang mengalami hipotensi.59 Hasil dari studi ini
terbatas pada parameter fisiologis dan kedua agen memiliki efek
yang serupa dalam meningkatkan tekanan darah, meski
vasopresin memiliki efek takikardia yang lebih minimal. Selain itu
terdapat sebuah studi kasus mengenai perbaikan tekanan darah
pada bayi prematur dengan hipotensi yang refrakter inotropik.60
th
132 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Ada bukti dari studi hewan bahwa vasopresin juga memiliki efek
vasodilatasi pada pembuuh darah pulmonal.61 Hal ini sesuai
dengan laporan observasional mengenai penggunaan vasopresin
pada 10 bayi dengan PPHN refrakter terhadap inhalasi nitrit oksida
(iNO).62 Infus vasopresin memperbaiki tekanan darah,
menurunkan indeks oksigenasi, dan memperbaiki produksi urin.
Tidak ada cukup bukti mengenai keamanan dari penggunaan
vasopresin secara rutin, tetapi ia mungkin memiliki peran dalam
mengobati vasodilatorik syok refrakter terhadap vasopresor-
inotropik.
6.8 Milrinone
Milrinone merupakan inhibitor fosfodiesterase-3 yang
menghambat degradasi siklik adenosin monofosfat (cAMP).
Dengan meningkatkan konsentrasi cAMP, milrinone memperkuat
kontraktilitas miokardium, memicu relaksasi miokardium, dan
menurunkan tonus pembuluh darah dalam sirkulasi sistemik
maupun pulmonal. Milrinone diketahui dapat mencegah dan
mengobati sindrom low-cardiac-output (LCOS) yang terjadi setelah
operasi bypass jantung. Sebuah uji coba acak terkontrol
menunjukan bahwa milrinone secara signifikan menurunkan
kejadian LCOS pada neonatus maupun anak-anak.63 Kemiripan
aliran darah sistemik antara LCOS dan postnatal drop pada bayi
prematur mengakibatkan milrinone dipilih untuk mencegah
hipotensi pada bayi prematur.64 Sebuah studi menunjukan tidak
ada perbedaan insidensi hipotensi pada penggunaan milrinone
dibandingkan dengan plasebo, meskipun milrinone meningkatkan
kebutuhan inotropik-vasopresor untuk mendukung tekanan darah
dan tampaknya secara perlahan mengkonstriksi duktus arteriosus.
Dalam penelitian ini juga ditemukan fakta mengenai farmakokinetik
milrinone yang mengalami pemanjangan waktu paruh pada bayi
prematur dibandingkan bayi cukup bulan (10 jam vs 4 jam).65
Komponen penurunan afterload dari milrinone diteliti dalam studi
observasional yang menduga bahwa milrinon dapat mencegah
efek negatif dari afterload setelah ligasi PDA pada bayi prematur.66
Komponen vasodilatasi pulmonal juga dapat menjelaskan
pengamatan mengenai perbaikan oksigenasi dan hemodinamik
pada bayi dengan PPHN yang refrakter terhadap iNO.67 Milrinone
mungkin memiliki peran dalam manajamen hemodinamik yang
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 133
berkaitan dengan vasokonstriksi pulmonal dan sistemik, tetapi
tidak cukup data mengenai keamanan penggunaannya. Milrinone
harus digunakan secara hati-hati pada bayi prematur karena waktu
paruhnya yang lama dan risiko hipotensi.
6.9 Hidrokortison
Dalam ulasan terbaru dari dukungan sirkulasi di Amerika
Serikat,68 hidrokortison disebut sebagai obat kedua setelah
dopamin yang paling sering digunakan pada bayi dengan berat
lahir sangat rendah (dopamin 83% vs hidrokortison 33%). Tidak
banyak diketahui mengenai dampak hemodinamik hidrokortison
selain dampaknya pada tekanan darah, dan hanya ada sedikit
informasi mengenai efek jangka panjangnya ketika digunakan
secara dini untuk memperbaiki tekanan darah. Bouchier dkk.
dalam uji coba acaknya pada bayi prematur yang mengalami
hipotensi mendapati bahwa hidrokortison dan dopamin memiliki
efek yang serupa pada tekanan darah.69 Ng dkk. melakukan uji
coba acak pada bayi prematur yang membutuhkan dopamin lebih
dari 10 µg/kg/menit digantikan dengan hidrokortison atau plasebo
dan ia menunjukan bahwa terjadi weaning inotropik yang lebih
cepat pada mereka yang diterapi hidrokortison.70 Effird dkk.
melakukan uji coba acak pula pada bayi prematur, dan membagi
bayi-bayi ini kedalam dua kelompok yaitu hidrokortison atau
plasebo. Dari studinya ia mengkonfirmasi bahwa penggunaan
vasopresor berkurang dengan pemberian hidrokortison.71 Hanya
ada satu studi yang melihat efek hemodinamik hidrokortison, yaitu
sebuah studi kohort pada 15 bayi prematur dan 5 bayi cukup bulan
yang mengalami hipotensi dan membutuhkan dopamin dosis tinggi
yang dilakukan oleh Boori dkk. Dalam studinya ini, ia menunjukan
bahwa efek segera dari hidrokortison pada tekanan darah
dimediasi melalui peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik
tanpa adanya perubahan dalam curah jantung dan isi sekuncup.
Bagaimanapun, nantinya, dengan weaning pada dopamin, akan
ada peningkatan dalam curah jantung dan isi sekuncup.72
Tidak ada salah satu dari studi ini yang melihat efek jangka
panjang dari hidrokortison, dan ulasan Cochrane terbaru
mengenai kortikosteroid untuk mengatasi hipotensi pada bayi
prematur yang sangat membutuhkan penanganan, menyimpulkan
bahwa: “Karena kurangnya data keamanan dan keuntungan
th
134 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
jangka panjang, steroid tidak direkomendasikan digunakan secara
rutin untuk terapi hipotensi pada bayi prematur.73 Selain itu, ada
bukti bahwa terjadi peningkatan risiko perforasi gastrointestinal,
terutama saat penggunaan hidrokortison bersama indomethacin.
Sehingga disarankan untuk tidak menggunakan kedua obat ini
secara bersamaan.
Daftar Pustaka
1. Lee J, Rajadurai VS, Tan KW. Blood pressure standards for very low
birthweight infants during the first day of life. Archives of Disease in
Childhood - Fetal and Neonatal Edition. 1999 Nov 1;81(3):F168–70.
2. Watkins AMC, West CR, Cooke RWI. Blood pressure and cerebral
haemorrhage and ischaemia in very low birthweight infants. Early Human
Development. 1989 May;19(2):102–10.
3. Darnall R. Blood-pressure monitoring. In: Physiological Monitoring and
Instrument Diagnosis in Perinatal and Neonatal Medicine. Cambridge:
University Press; 1995. p. 246–66.
4. Korotkoff N. On methods of studying blood pressure. Bull Imperial Mil
Med Acad. 1905;11:365–7.
5. Cunningham S, Symon A, McIntosh N. Changes in mean blood pressure
caused by damping of the arterial pressure waveform. Early Human
Development. 1994;36(1):27–30.
6. Versmold T, Kitterman A, Phibbs H. Aortic Blood Pressure During the
First 12 Hours of Life in Infants with Birth Weight 610 to 4,220 Grams. :9.
7. Spinazzola RM, Harper RG, de Soler M, Lesser M. Blood pressure values
in 500- to 750-gram birthweight infants in the first week of life. Journal of
Perinatology. 1991;11(2):147–51.
8. Hegyi T, Carbone MT, Anwar M, Ostfeld B, Hiatt M, Koons A, et al. Blood
pressure ranges in premature infants. I. The first hours of life. The Journal
of Pediatrics. 1994;124(4):627–33.
9. Kent AL, Kecskes Z, Shadbolt B, Falk MC. Normative blood pressure data
in the early neonatal period. Pediatric Nephrology. 2007 Sep;22(9):1335–
41.
10. Kent AL, Meskell S, Falk MC, Shadbolt B. Normative blood pressure data
in non-ventilated premature neonates from 28-36 weeks gestation.
Pediatric Nephrology. 2009 Jan;24(1):141–6.
11. Bada HS, Korones SB, Perry EH, Arheart KL, Ray JD, Pourcyrous M, et
al. Mean arterial blood pressure changes in premature infants and those
at risk for intraventricular hemorrhage. The Journal of Pediatrics. 1999
Oct;117(4):607–14.
12. Munro MJ, Walker AM, Barfield CP. Hypotensive Extremely Low Birth
Weight Infants Have Reduced Cerebral Blood Flow. PEDIATRICS. 2004
Dec 1;114(6):1591–6.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 135
13. Faust K, Härtel C, Preuß M, Rabe H, Roll C, Emeis M, et al. Short-term
outcome of very-low-birthweight infants with arterial hypotension in the
first 24 h of life. Archives of Disease in Childhood - Fetal and Neonatal
Edition. 2015 Sep;100(5):F388–92.
14. Moise AA, Wearden ME, Kozinetz CA, Gest AL, Welty SE, Hansen TN.
Antenatal steroids are associated with less need for blood pressure
support in extremely premature infants. Pediatrics. 1995 Jun;95(6):845–
50.
15. Demarini S, Dollberg S, Hoath SB, Ho M, Donovan EF. Effects of
Antenatal Corticosteroids on Blood Pressure in Very Low Birth Weight
Infants During the First 24 Hours of Life. Journal of Perinatology. 1999
Sep;19(6):419–25.
16. Elimian A. Antenatal corticosteroids: are incomplete courses beneficial?
Obstetrics & Gynecology. 2003 Aug;102(2):352–5.
17. Elimian A, Garry D, Figueroa R, Spitzer A, Wiencek V, Quirk JG.
Antenatal Betamethasone Compared With Dexamethasone (Betacode
Trial): A Randomized Controlled Trial. Obstetrics & Gynecology. 2007
Jul;110(1):26–30.
18. Rabe H, Diaz-Rossello JL, Duley L, Dowswell T. Effect of timing of
umbilical cord clamping and other strategies to influence placental
transfusion at preterm birth on maternal and infant outcomes. Cochrane
Pregnancy and Childbirth Group, editor. Cochrane Database of
Systematic Reviews [Internet]. 2012 Aug 15 [cited 2019 Feb 14];
Available from: http://doi.wiley.com/10.1002/14651858.CD003248.pub3
19. Sommers R, Stonestreet BS, Oh W, Laptook A, Yanowitz TD, Raker C, et
al. Hemodynamic Effects of Delayed Cord Clamping in Premature Infants.
PEDIATRICS. 2012 Mar 1;129(3):e667–72.
20. Popat H, Robledo KP, Sebastian L, Evans N, Gill A, Kluckow M, et al.
Effect of Delayed Cord Clamping on Systemic Blood Flow: A Randomized
Controlled Trial. The Journal of Pediatrics. 2016 Nov;178:81-86.e2.
21. Katheria AC, Leone TA, Woelkers D, Garey DM, Rich W, Finer NN. The
Effects of Umbilical Cord Milking on Hemodynamics and Neonatal
Outcomes in Premature Neonates. The Journal of Pediatrics. 2014
May;164(5):1045-1050.e1.
22. Al-Wassia H, Shah PS. Efficacy and Safety of Umbilical Cord Milking at
Birth: A Systematic Review and Meta-analysis. JAMA Pediatrics. 2015
Jan 1;169(1):18.
23. Katheria AC, Truong G, Cousins L, Oshiro B, Finer NN. Umbilical Cord
Milking Versus Delayed Cord Clamping in Preterm Infants. PEDIATRICS.
2015 Jul 1;136(1):61–9.
24. Kluckow M, Evans N. Relationship between blood pressure and cardiac
output in preterm infants requiring mechanical ventilation. The Journal of
Pediatrics. 1996 Oct;129(4):506–12.
25. de Waal KA, Evans N, Osborn DA, Kluckow M. Cardiorespiratory effects
of changes in end expiratory pressure in ventilated newborns. Archives of
Disease in Childhood - Fetal and Neonatal Edition. 2007 Nov
1;92(6):F444–8.
th
136 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
26. Lakkundi A, Wright I, de Waal K. Transitional hemodynamics in preterm
infants with a respiratory management strategy directed at avoidance of
mechanical ventilation. Early Human Development. 2014 Aug;90(8):409–
12.
27. Göpel W, Kribs A, Ziegler A, Laux R, Hoehn T, Wieg C, et al. Avoidance
of mechanical ventilation by surfactant treatment of spontaneously
breathing preterm infants (AMV): an open-label, randomised, controlled
trial. The Lancet. 2011 Nov;378(9803):1627–34.
28. Hall RW. Morphine, Hypotension, and Adverse Outcomes Among Preterm
Neonates: Who’s to Blame? Secondary Results From the NEOPAIN Trial.
PEDIATRICS. 2005 May 1;115(5):1351–9.
29. Strozik KS, Pieper CH, Roller J. Capillary refilling time in newborn babies:
normal values. Archives of Disease in Childhood - Fetal and Neonatal
Edition. 1997 May 1;76(3):F193–6.
30. Schriger DL, Baraff L. Defining normal capillary refill: Variation with age,
sex, and temperature. Annals of Emergency Medicine. 1988
Sep;17(9):932–5.
31. Tibby SM, Hatherill M, Murdoch IA. Capillary refill and core-peripheral
temperature gap as indicators of haemodynamic status in paediatric
intensive care patients. Archives of Disease in Childhood. 1999 Feb
1;80(2):163–6.
32. Osborn DA. Clinical detection of low upper body blood flow in very
premature infants using blood pressure, capillary refill time, and central-
peripheral temperature difference. Archives of Disease in Childhood -
Fetal and Neonatal Edition. 2004 Mar 1;89(2):168F – 173.
33. Linshaw MA. Concentration of the urine. In: Fetal and neonatal
physiology. Philadelphia: Saunders; 1998. p. 1634–58.
34. Miletin J, Pichova K, Dempsey EM. Bedside detection of low systemic
flow in the very low birth weight infant on day 1 of life. European Journal
of Pediatrics. 2009 Jul;168(7):809–13.
35. Cady LJ, Weil MH, Afifi A. Quantitation of severity of critical illness with
special reference to blood lactate. Critical Care Medicine. 1973;1(2):75–
80.
36. Beca JP, Scopes JW. Serial Determinations of Blood Lactate in
Respiratory Distress Syndrome. Archives of Disease in Childhood. 1972
Aug 1;47(254):550–7.
37. Butt W, Hilary W. Blood pressure monitoring in neonates: comparison of
umbilical and peripheral artery catheter measurements. The Journal of
Pediatrics. 1984 Oct;105(4):630–2.
38. Nuntnarumit P, Yang W, Bada-Ellzey HS. Blood pressure measurements
in the newborn. Clinics in Perinatology. 1999 Dec;26(4):962–96.
39. Walther J, Siassi B, Ramadan A, Ananda K, Wu PVK. Pulsed Doppler
Determinations of Cardiac Output in Neonates: Normal Standards for
Clinical Use. :7.
40. Groves AM. Cardiac magnetic resonance in the study of neonatal
haemodynamics. Seminars in Fetal and Neonatal Medicine. 2011
Feb;16(1):36–41.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 137
41. Stark MJ, Clifton VL, Wright IMR. Microvascular flow, clinical illness
severity and cardiovascular function in the preterm infant. Archives of
Disease in Childhood - Fetal and Neonatal Edition. 2007 Apr
3;93(4):F271–4.
42. Takahashi S, Kakiuchi S, Nanba Y, Tsukamoto K, Nakamura T, Ito Y. The
perfusion index derived from a pulse oximeter for predicting low superior
vena cava flow in very low birth weight infants. Journal of Perinatology.
2010 Apr;30(4):265–9.
43. Stranak Z, Barrington K, O’Donnell C, Marlow N, Naulaers G, Dempsey E.
International survey on diagnosis and management of hypotension in
extremely preterm babies. European Journal of Pediatrics. 2014
Jun;173(6):793–8.
44. Osborn D, Evans N, Kluckow M. Randomized trial of dobutamine versus
dopamine in preterm infants with low systemic blood flow. The Journal of
Pediatrics. 2002 Feb;140(2):183–91.
45. Kooi EMW, van der Laan ME, Verhagen EA, Van Braeckel KNJA, Bos
AF. Volume Expansion Does Not Alter Cerebral Tissue Oxygen Extraction
in Preterm Infants with Clinical Signs of Poor Perfusion. Neonatology.
2013;103(4):308–14.
46. Da O, Nj E. Early volume expansion for prevention of morbidity and
mortality in very preterm infants. 2009;31.
47. Oca MJ, Nelson M, Donn SM. Randomized Trial of Normal Saline versus
5% Albumin for the Treatment of Neonatal Hypotension. Journal of
Perinatology. 2003 Sep;23(6):473–6.
48. Lynch SK, Mullett MD, Graeber JE, Polak MJ. A comparison of albumin-
bolus therapy versus normal saline-bolus therapy for hypotension in
neonates. Journal of Perinatology. 2008 Jan;28(1):29–33.
49. Walther FJ, Siassi B, Ramadan NA, Wu PY-K. Cardiac output in newborn
infants with transient myocardial dysfunction. The Journal of Pediatrics.
1985 Nov;107(5):781–5.
50. Zhang J, Penny DJ, Kim NS, Yu VYH, Smolich JJ. Mechanisms of blood
pressure increase induced by dopamine in hypotensive preterm neonates.
Archives of Disease in Childhood - Fetal and Neonatal Edition. 1999 Sep
1;81(2):F99–104.
51. Roze JC, Tohier C, Maingueneau C, Lefevre M, Mouzard A. Response to
dobutamine and dopamine in the hypotensive very preterm infant.
Archives of Disease in Childhood. 1993 Jul 1;69(1 Spec No):59–63.
52. Osborn DA, Evans N, Kluckow M. Left Ventricular Contractility in
Extremely Premature Infants in the First Day and Response to Inotropes.
Pediatric Research. 2007 Mar;61(3):335–40.
53. Liet J-M, Boscher C, Gras-Leguen C, Gournay V, Debillon T, Rozé J-C.
Dopamine effects on pulmonary artery pressure in hypotensive preterm
infants with patent ductus arteriosus. The Journal of Pediatrics. 2002
Mar;140(3):373–5.
54. Bravo MC, López-Ortego P, Sánchez L, Riera J, Madero R, Cabañas F,
et al. Randomized, Placebo-Controlled Trial of Dobutamine for Low
th
138 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Superior Vena Cava Flow in Infants. The Journal of Pediatrics. 2015
Sep;167(3):572-578.e2.
55. Robel-Tillig E, Knüpfer M, Pulzer F, Vogtmann C. Cardiovascular impact
of dobutamine in neonates with myocardial dysfunction. Early Human
Development. 2007 May;83(5):307–12.
56. Pellicer A. Cardiovascular Support for Low Birth Weight Infants and
Cerebral Hemodynamics: A Randomized, Blinded, Clinical Trial.
PEDIATRICS. 2005 Jun 1;115(6):1501–12.
57. Tourneux P, Rakza T, Abazine A, Krim G, Storme L. Noradrenaline for
management of septic shock refractory to fluid loading and dopamine or
dobutamine in full-term newborn infants. Acta Paediatrica. 2008
Feb;97(2):177–80.
58. Tourneux P, Rakza T, Bouissou A, Krim G, Storme L. Pulmonary
Circulatory Effects of Norepinephrine in Newborn Infants with Persistent
Pulmonary Hypertension. The Journal of Pediatrics. 2008
Sep;153(3):345–9.
59. Rios DR, Kaiser JR. Vasopressin versus Dopamine for Treatment of
Hypotension in Extremely Low Birth Weight Infants: A Randomized,
Blinded Pilot Study. The Journal of Pediatrics. 2015 Apr;166(4):850–5.
60. Bidegain M, Greenberg R, Simmons C, Dang C, Cotten CM, Smith PB.
Vasopressin for Refractory Hypotension in Extremely Low Birth Weight
Infants. The Journal of Pediatrics. 2010 Sep;157(3):502–4.
61. Walker BR, Haynes J, Wang HL, Voelkel NF. Vasopressin-induced
pulmonary vasodilation in rats. American Journal of Physiology-Heart and
Circulatory Physiology. 1989 Aug;257(2):H415–22.
62. Mohamed A, Nasef N, Shah V, McNamara PJ. Vasopressin as a Rescue
Therapy for Refractory Pulmonary Hypertension in Neonates: Case
Series. Pediatric Critical Care Medicine. 2014 Feb;15(2):148–54.
63. Hoffman TM, Wernovsky G, Atz AM, Kulik TJ, Nelson DP, Chang AC, et
al. Efficacy and Safety of Milrinone in Preventing Low Cardiac Output
Syndrome in Infants and Children After Corrective Surgery for Congenital
Heart Disease. Circulation. 2003 Feb 25;107(7):996–1002.
64. Paradisis M, Evans N, Kluckow M, Osborn D. Randomized Trial of
Milrinone Versus Placebo for Prevention of Low Systemic Blood Flow in
Very Preterm Infants. The Journal of Pediatrics. 2009 Feb;154(2):189–95.
65. Paradisis M, Jiang X, McLachlan AJ, Evans N, Kluckow M, Osborn D.
Population pharmacokinetics and dosing regimen design of milrinone in
preterm infants. Archives of Disease in Childhood - Fetal and Neonatal
Edition. 2007 May 1;92(3):F204–9.
66. EL-Khuffash AF, Jain A, Weisz D, Mertens L, McNamara PJ. Assessment
and Treatment of Post Patent Ductus Arteriosus Ligation Syndrome. The
Journal of Pediatrics. 2014 Jul;165(1):46-52.e1.
67. McNamara PJ, Shivananda S, Sahni M, Freeman D, Taddio A.
Pharmacology of milrinone in neonates with persistent pulmonary
hypertension of the newborn and suboptimal response to inhaled nitric
oxide. Pediatric Critical Care Medicine. 2013 Jan;14(1):74–84.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 139
68. Rios DR, Moffett BS, Kaiser JR. Trends in Pharmacotherapy for Neonatal
Hypotension. The Journal of Pediatrics. 2014 Oct;165(4):697-701.e1.
69. Bourchier D, Weston PJ. Randomised trial of dopamine compared with
hydrocortisone for the treatment of hypotensive very low birthweight
infants. Archives of Disease in Childhood - Fetal and Neonatal Edition.
1997 May 1;76(3):F174–8.
70. Ng PC. A Double-Blind, Randomized, Controlled Study of a “Stress Dose”
of Hydrocortisone for Rescue Treatment of Refractory Hypotension in
Preterm Infants. PEDIATRICS. 2006 Feb 1;117(2):367–75.
71. Efird MM, Heerens AT, Gordon PV, Bose CL, Young DA. A Randomized-
Controlled Trial of Prophylactic Hydrocortisone Supplementation for the
Prevention of Hypotension in Extremely Low Birth Weight Infants. Journal
of Perinatology. 2005 Feb;25(2):119–24.
72. Noori S, Friedlich P, Wong P, Ebrahimi M, Siassi B, Seri I. Hemodynamic
Changes After Low-Dosage Hydrocortisone Administration in
Vasopressor-Treated Preterm and Term Neonates. PEDIATRICS. 2006
Oct 1;118(4):1456–66.
73. Baud O, Maury L, Lebail F, Ramful D, El Moussawi F, Nicaise C, et al.
Effect of early low-dose hydrocortisone on survival without
bronchopulmonary dysplasia in extremely preterm infants (PREMILOC): a
double-blind, placebo-controlled, multicentre, randomised trial. The
Lancet. 2016 Apr;387(10030):1827–36.
th
140 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Current Evidence of Pharmacotherapy to Close Patent
Ductus Arteriosus in Preterm Infant
Pendahuluan
Duktus arteriosus (DA) kemungkinan mengalami penutupan
secara spontan pada hari ke-7 kehidupan pada 70% bayi dengan
berat antara 1000-1500 gram1 dan 30-50% bayi dengan berat <1000
gram.2 Patensi duktus arteriosus menyebabkan komplikasi yang cukup
sering pada bayi kurang bulan seperti sindrom distres napas yang
berujung pada gagal napas, mortalitas yang tinggi, meningkatnya
risiko perdarahan intraventrikular (IVH, intraventricular hemorrhage),
displasia bronkopulmoner (BPD, bronchopulmonary dysplasia),
enterokplitis nekrotikans (EKN), dan 60-70% bayi dengan usia
kehamilan (UK) <28 minggu menerima terapi medikamentosa atau
pembedahan sebagai tata laksana duktus arteriosus paten (DAP).3
Tata laksana terkini DAP meliputi 2 langkah yakni pertama
Farmakoterapi menggunakan obat antiinflamasi nonsteroid, dan
kedua, jika gagal dengan langkah pertama, dilakukan intervensi
pembedahan yang sebaiknya dihindari karena banyak menimbulkan
komplikasi.4 Farmakoterapi standar saat ini adalah indometasin,
ibuprofen, atau parasetamol dengan angka penutupan DAP sebesar
70-80%.5-8 Obat-obatan tersebut memiliki beberapa efek samping
seperti perdarahan saluran cerna, penurunan fungsi ginjal,
menganggu agregrasi trombosit, hiperbilirubin.9,10 Kegagalan
penutupan DAP dengan farmakoterapi akan meningkatkan risiko
penyakit paru kronis pada DAP yang signifikan (hs-PDA,
hemodinamically significant patent ductus arteriosus).11 Keberhasilan
dan keamanan terapi farmakologi menentukan pilihan obat yang akan
kita gunakan. Pemilihan farmakoterapi serta dosis berdasar efiksi dan
efek samping masih menjadi perdebatan.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 143
Tata laksana
Tabel 1. Kekurangan dan kelebihan beberapa tata laksana DAP20
Pilihan terapi Kelebihan Kekurangan
Restriksi cairan Mengurangi pajanan Menunda terapi akan
dan menunggu agen farmakologis menurunkan respons
inhibitor COX sehingga
dapat menurunkan
kesuksesan terapi
Tata laksana Angka keberhasilan Efek samping yang
farmakologis tinggi berhubungan dengan
agen farmakologis
1. Terapi suportif
Restriksi cairan digunakan secara luas dalam tata laksana
DAP pada bayi baru lahir, meskipun belum banyak bukti yang
mendukung. Restriksi cairan diberikan dengan asupan cairan
maksimum 130 mL/kg/hari dan target penurunan berat badan <2 %
per hari. Status hidrasi dipantau dengan mempertahankan jumlah
urin 1-3 mL/kg/jam, berat jenis urin antara 1,005 - 1,012, dan kadar
natrium 135-145 meq/L.21
Furosemid tidak direkomendasikan, karena dapat
merangsang pembentukan prostaglandin dan mengurangi efek
medikamentosa, namun bukti yang menyatakan hal ini belum
cukup. Furosemid kemungkinan berperan dalam patensi DA
melalui stimulasi PGE2 pada ginjal.20 Suatu uji klinis acak
menunjukkan kombinasi furosemid dengan indometasin akan
meningkatkan terjadinya acute kidney injury (AKI) dibandingkan
tanpa furosemid dan tidak memengaruhi keberhasilan penutupan
DAP.22
th
144 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
2. Current pharmacotherapy evidence
Klasifikasi pengobatan medikamentosa dengan inhibitor COX yang
merupakan antiprostaglandin pada BKB, yakni23
a. Pengobatan profilaksis pada 24 jam pertama, dilakukan jika
bayi < 1000 gram,
b. Pengobatan presimtomatik dini (early presymptomatic
treatment), dilakukan pada usia 2-3 hari dengan parameter
dijumpai kriteria ekokardiografi (diameter DA >1,5 mm, rasio
LA/Ao > 1, pirau kiri-ke-kanan, end diastolic reversal aliran
darah aorta, fungsi jantung yang menurun) dan dijumpai gejala
klinis,
c. Pengobatan terapeutik (therapeutic treatment), dilakukan pada
usia 3-7 hari dengan parameter dijumpai kriteria ekokardiografi
(diameter DA >1,5 mm, rasio LA/Ao >1, pirau kiri-ke-kanan, end
diastolic reversal dari aliran darah aorta, fungsi jantung yang
menurun) dan dijumpai gejala klinis,
d. Pengobatan terapeutik lanjut (late therapeutic treatment),
dilakukan pada usia >7 hari.
Berbagai macam jenis farmakoterapi yang telah dilakukan
penelitian dan digunakan secara luas untuk penutupan DAP
pada bayi kurang bulan seperti indometasin, ibuprofen, atau
parasetamol. Berikut berbagai evidens terkini mengenai
efektivitas dan keamanan penggunaan farkamoterapi tersebut
yang disajikan pada Tabel 2.
Indometasin
Indometasin merupakan non-selective cyclooxygenase
inhibitors dan menurunkan sintesis prostaglandin sehingga dapat
memicu penutupan permanen dari DAP sebesar 70% pada
pemberian 1 siklus dan 50% pada pengulangan siklus. Beberapa
efek samping setelah pemberian indometasin, seperti dampak dari
imaturitas mukosa lambung. Terdapat perdebatan antara
pemberian indometasi dan kejadian EKN akibat dari gangguan
aliran darah karena DAP sendiri atau penurunan aliran darah
akibat indometasin. Selain itu terdapat penurunan aliran darah
ginjal setelah 30 menit-2 jam pemberian indometasin sehingga
menyebabkan peningkatan urea dan kretainin.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 145
Ibuprofen
Ibuprofen merupakan non-selective cyclooxygenase
inhibitors24 dan menurunkan sintesis prostaglandin sehingga dapat
memicu penutupan permanen dari Dap sebesar 60-80%. Ibuprofen
tidak menurunkan perfusi otak, namun terdapat sedikit efek dalam
perfusi ginjal dan saluran cerna. Beberapa perdebatan atau
kontroversial mengenai penggunaan ibuprofen adalah sebagai
berikut:
a) Penggunaan ibuprofen sebagai profilaksis
Pemberian profilaksis ibuprofen untuk menutup DAP dapat
menurunkan kejadian DAP serta kebutuhan akan terapi rescue
atau terapi intervensi, namun tidak memberikan keuntungan
jangka pendek dan diberikan pada semua pasien yang mungkin
DAP dapat menutup spontan dan juga kemungkinan efek
samping pada ginjal dan saluran cerna. Dilaporkan pada pasien
NKB ekstrim didapatkan penutupan DAP spontan pada 24-
58%.24
b) Dosis ibuprofen
Dosis umum ibuprofen adalah 10 mg/kg pada hari 1, diikuti
dengan 5 mg/kg pada hari 2 dan 3, terdapat beberapa variasi
dosis tergantung usia setelah kelahiran (14-7-7 mg/kg pada
usia 4-7 hari dan 20-10-10 mg untuk usia >7 hari) berdasar
peningkatan clearance ibuprofen setelah lahir. Penurunan
angka kegagalan penutupan DAP terjadi pada dosis tinggi
dibanding dosis rendah (RR 0,27; IK 95% 0,11-0,64). Dosis 20-
10-10 mg/kg memiliki angka penutupan sebesar 70% dibanding
dosis 10-5-5 mg/kg sebesar 37% dengan efek samping pada
ginjal dan saluran cerna serupa.25
Cara pemberian disebutkan bahwa pemberian dengan infus
atau drip kontinu lebih tinggi angka penutupan dibandingkan
dengan bolus (86% dibanding 68%). Pemberian oral atau
intravena memiliki efektivitas serupa begitupula dengan efek
samping.26,27
Parasetamol
Parasetamol bekerja melalui penghambatan POX yang bekerja
untuk mengkonversi prostaglandin G2 menjadi prostaglandin H2.
Tidak memiliki efek vasokonstriksi, sehingga lebih menguntungkan
dibanding inhibitor COX. Dosis umum yang digunakan adalah 15
th
146 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
mg/kg/kali tiap 6 jam selama 2-7 hari, namun efek terhadap luaran
neonatus lainnya dan perkembangan saraf belum sepenuhnya
diketahui. Efikasi pemberian dalam jangka waktu lama masih
kontroversi karena penutupan DAP dipengaruhi oleh waktu
pemberian.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 147
Penelitian
Farmako
(tahun, Subjek Efektivitas Keamanan
terapi
desain)
Mitra S, UK<37 Bervariasi: Kejadian EKN
30
dkk , minggu Rute (oral, IV) secara
Systematic Dosis keseluruhan:
review (uji 68 uji klinis 8,7%
pada 4802 (standar,
klinis), 2018 dosis tinggi, Plasebo: 6,5%
bayi
prolong) Terendah
Metode pada
(bolus, ibuprofen infus
kontinu) kontinu
Tertinggi pada
Indometasin ibuprofen
IV standar IV,
0,1 to 0,3 ibuprofen
mg/kg IV tiap dosis tinggi IV,
12 sampai 24 indometasin IV
jam, 3 dosis
Kejadian
Ibuprofen IV BPD:
atau oral Terendah
Dosis pada
standar:10-5-5 ibuprofen oral
mg/kg tiap 12- standar
24 jam, 3
dosis. Kejadian IVH:
Terendah
Dosis tinggi: pada
20-7,5/10- ibuprofen oral
7,5/10 mg/kg dosis tinggi
tiap 12-24 jam
Parasetamol
Ohlsson A NKB <37 Parasetamol Parasetamol Parasetamol
dan Shah minggu, (IV atau oral) (oral/IV) vs (oral/IV) vs
24
PS. berat lahir berbagai dosis ibuprofen ibuprofen
Systematic <2.500 dibandingkan (oral/IV) (oral/IV)
review, gram plasebo atau Kegagalan Risiko terjadi
2018 inhibitor penutupan gangguan
prostaglandin setalah 1 perkembangan
MEDLINE lainnya siklus neurologi,
via PubMed pemberian RR mortalitas, re-
(1966 to 6 0,95 (IK 95% eopening,
November 0,75-1,21), perdarahan paru,
2017), serupa BPD, IVH, EKN,
Embase gangguan GIT
(1980 to 6 Parasetamol serupa
November (oral/IV) vs
2017), dan plasebo (IV) Parasetamol
CINAHL atau tanpa (oral/IV) vs
(1982 to 6 intervensi plasebo (IV) atau
November Kegagalan tanpa intervensi
2017) penutupan Oliguria,
setalah 4/5 kematian, serupa
th
148 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Penelitian
Farmako
(tahun, Subjek Efektivitas Keamanan
terapi
desain)
hari pemberian Parasetamol
pemberian RR (oral/IV) vs
0,49 (IK 95% indometasin (IV)
0,24-1,00). Serum kreatinin
serupa lebih tinggi pada
Parasetamol parasetamol
(oral/IV) vs namun produksi
indometasin urin lebih tinggi
(IV) secara bermakna.
Kegagalan
penutupan
setalah 1
siklus serupa
RR 0,96 (IK
95% 0,55-
1,65)
Hossain J, BKB, Hs- Parasetamol Parasetamol Tidak ada data
Shabuj PDA, 15 mg/kg tiap oral vs IV:
31
MKH Duktus >1,4 6 jam oral/IV Tidak terdapat
Meta- mm/kg Selama 3-7 perbedaan
analysis LA/Ao >1,4 hari proprorsi
:Medline, penutupan
Embase, 14 DAP
Google penelitian
scholar 3,75% (IK
95%, −5,08–
2018 11,64), (p=
0,37),
Simpulan
Perbedaan pilihan tata laksana farmakoterapi pada BKB
merupakan tantangan bagi klinisi saat memutuskan berdasar evidens
setelah mendiagnosis DAP yang bermakna secara hemodinamik (hs-
PDA). Dilema yang ada apakah hanya menggunakan farmakoterapi
saja, dan jika dipilih farmakoterapi maka pemilihan farmakoterapi yang
ideal untuk pasien adalah dilema berikutnya. Dari evidens tertinggi
yakni sistematik review dan meta-analisis dapat diaplikasikan bahwa
penggunaan ibuprofen dan parasetamol baik oralatau intravena
memiliki efikasi dan efek samping serupa. Pada meta-analisis
menunjukkan ibuprofen dosis tinggi (15-20 mg/kg diikuti oleh 7,5-10,0
mg/kg tiap12-24 jam dengan total of 3 dosis) memiliki angka
penutupan lebih tinggi dibandingkan ibuprofen/indometasin dosis
standar dengan efek samping rendah.
Daftar Pustaka
1. Nemerofsky SL, Parravicini E, Bateman D, Kleinman C, Polin RA, Lorenz
JM. The Ductus arteriosus rarely requires treatment in infants >1000
grams. Am J Perinatol. 2008; 25:661-6.
2. Koch J, Hensley G, Roy L, Brown S, Ramaciotti C, Rosenfeld CR.
Prevalence of spontaneous closure of the ductus arteriosus in neonates
at a birth weight of 1000 grams or less. Pediatrics. 2006;117:1113-21.
3. Hamrick SE, Hansmann G. Patent ductus arteriosus of the preterm
infant.Pediatrics. 2010;125:1020–30.
th
150 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
4. Raval MV, Laughon MM, Bose CL, Phillips JD. Patent ductus arteriosus
ligation in premature infants: who really benefits, and at what cost? J
Pediatr Surg.2007;42:69–75.
5. Itabashi K, Ohno T, Nishida H. Indomethacin responsiveness of patent
ductus arteriosus and renal abnormalities in preterm infants treated with
indomethacin. J Pediatr. 2003;143:203–7.
6. Ohlsson A, Walia R, Shah SS. Ibuprofen for the treatment of patent
ductus arteriosus in preterm and/or low birth weight (or both) infants.
Cochrane Database Syst Rev. 2015;2,CD003481.
7. Hammerman C, Bin-Nun A, Markovitch E, Schimmel MS, Kaplan M, Fink
D.Ductal closure with paracetamol: a surprising new approach to patent
ductus arteriosus treatment. Pediatrics. 2011;128:e1618–21.
8. Oncel MY, Yurttutan S, Uras N, Altug N, Ozdemir R, Ekmen S, et al. An
alternative drug (paracetamol) in the management of patent ductus
arteriosus in ibuprofen-resistant or contraindicated preterm infants. Arch
Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2013;98:F94.
9. Rheinlaender C, Helfenstein D, Walch E, Berns M, Obladen M, Koehne
P.Total serum bilirubin levels during cyclooxygenase inhibitor treatment
for patent ductus arteriosus in preterm infants. Acta Paediatr. 2009;98:36–
42.
10. Johnston PG, Gillam-Krakauer M, Fuller MP, Reese J. Evidence-based
use of indomethacin and ibuprofen in the neonatal intensive care unit. Clin
Perinatol. 2012;39:111–36.
11. Adrouche-Amrani L, Green RS, Cluck KM, Jing Lin. Failure of a repeat
course of cyclooxygenase inhibitor to close a PDA is a risk factor for
developing chronic lung disease in ELBW infant. BMC Pediatrics.
2012;12:1-10.
12. Hermes-DeSantis ER, Clyman RI. Patent ductus arteriosus:
pathophysiology and management. J Perinatol. 2006;26:14-8.
13. Clyman RI. Mechanisms regulating the ductus arteriosus. Biol Neonate.
2006;89:330-5.
14. Hammerman C, Kaplan M. Comparative tolerability of pharmacological
treatments for patent ductus arteriosus. Drug safety 2001:24;537-551.
15. Waleh N, Seidner S, McCurnin D, Yoder B, Liu BM, Roman C et al. The
role of monocyte-derived cells and inflammation in baboon ductus
arteriosus remodeling. Pediatr Res. 2005;57:254-262.
16. Echtler K, Stark K, Lorenz M, Kerstan S, Walch A, Jennen L, dkk.
Platelets contribute to postnatal occlusion of the ductus arteriosus. Nat
Med. 2010;16:75-81.
17. Texas Department of State Health Services Borth Defects Epidemiology
and Surveillence. Birth defect risk factor series: patent ductus arteriosus.
Austin, Texas. March 2006. h. 1-8.
18. McNamara PJ. Prematurity and cardiac disease. Dalam: Anderson RH,
Baker EJ, Penny D, Redington AN, Rigby ML, Wernovsky G, penyunting.
Pediatric Cardiology. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2010. h. 181-95.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 151
19. Brissaud O, Guichoux J. Patent ductus arteriosus in the preterm infant: A
survey of clinical practices in French Neonatal Intensive Care Units.
Pediatr Cardiol. 2011;97:574-8.
20. Dice JE, Bhatia J. Patent ductus arteriosus: an overview. J Pediatr
Pharmacol Ther. 2007;12:138-146.
21. Phillips JB. Management of patent ductus arteriosus in infants. July 2013
23; [diakses: 2013 August 10]. Diunduh dari: http://www. uptodate.
com/contents.
22. Lee BS, Byun SY, Chung ML, Chang JY, Kim HY, Kim EA, dkk. Effect of
furosemide on ductal closure and renal function in indomethacin-treated
preterm infants during the early neonatal period. Neonatology.
2010;98:191-9.
23. Clyman RI, Chorne N. Patent ductus arteriosus: evidence for and against
treatment. J Pediatr. 2007;150:216-9
24. Ohlsson A, Shah SS. Ibuprofen for prevention of patent ductus arteriosus
in preterm and/or low birth weight infants. Cohrane database syst Rev.
2011;7:CD004213
25. Pourarian S, Takmil F, Cheriki S, et al. The effect of oral high dose
ibuprofen on patent ductus arteriosus closure in preterm infants.
Cochrace database syst rev. CD003481. 2015
26. Lago P, Salvadori S, Opocher F, et al. Continuous infusion of ibuprofen
and indomethacin for early-targeted treatment of patent ductus arteriosus
in extremely premature infants: a randomized controlled trial. Arch Dis
Child Fetal Neonatal. Ed 93; 94-99. 2008
27. Asadpour N, Harandi PS, Hamidi M, Ahmadi MRM, Malekpur-tehrani A.
Comparison of the effect of oral acetaminophen and ibuprofen on patent
ductus arteriosus closure in premature infants reffered to Hajar Hospital in
Shahrekord in 2016-2017. J Clin Neonatol. 2018;7:224-30.
28. ElHassan NO, Bird TM, King AJ, Ambadwar PB, Jaquiss RDB, Kaiser JR,
Robbins JM. Ariation and comparative effectiveness of patent ductus
arteriosus pharmacotheraphy in extremely low birth weight infants.
Journal of neonatal-perinatal medicine. 2014;7:229-235.
29. Dash SK, Kabra NS, Avatashi BS, Sharma SR, Padhi P, Ahmed J.
Enteral paracetamol or intravenous indomethacin for closure of patent
ductus arteriosus in preterm neonates: a randomized controlled trial.
Indian Pediatrics. 2015;52:573-8.
30. Mitra S, Florez ID, Tamayo ME, Mbuagbaw L, Vanniyasingam T, Veroniki
AA, dkk. Association of placebo, indomethacin, ibuprofenm and
acethaminophen with closure of hemodynamically significant patent
ductus arteriosus in preterm infants a systematic review and meta-
analysis. JAMA.2018;319:1221-1238.
31. Hossain J, Shaby MKH. Oral Paracetamol versus intravenous
paracetamol in the patent ductus arteriosus: a proportion meta-analysis. J
Clin Neonatol. 2018;7:121-4.
32. Mehta SK, Younoszai A, Pietz J, Achanti BP. Pharmacological closure of
patnet ductus arteriosus. Pediatr Cardiol. 2003;5:1-5.
th
152 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
33. Sorensen CM, Steensberg JN, Greisen G. Surgical ligation of patent
ductus arteriosus in premature infants. Dan Med Bul. 2010;57:4160-3.
34. Sekar KC. Protective strategies to prevent patent ductus arteriosus. Clin
Med J. 2010;123:2914-8.
35. Narin N, Pamukcu O, Baykan A, Argun M, Ozyurt A, Bayram A, Uzum K.
Transcatheter closure of PDA in premature babies less than 2 kg. Anatol
J Cardiol. 2017;17:147-153.
36. Morville P, Douchin S, Bouvaist H, Dauphin C. Transcatheter occlusion of
the patent ductus arteriosus in premature infants weighing less than 1200
g. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2018;103:F198-201.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 153
th
154 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Hipertensi Pulmoner dan Prematuritas
Nikmah S. Idris
Departemen Ilmu Kesehatan Anak – Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Pulmonary Hypertension Unit, Great Ormond Street Hospital,
London, UK
Pendahuluan
Hipertensi pulmoner (pulmonary hypertension, selanjutnya
disingkat PH) adalah kelainan yang ditandai dengan peningkatan
tekanan darah di sirkulasi paru. PH dapat terjadi pada semua umur,
mulai dari bayi hingga dewasa. Secara umum PH merupakan
penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan dan PH jenis
tertentu dapat bersifat ireversibel. Melalui berbagai mekanisme, bayi
prematur berisiko untuk mengalami PH yang dapat berkontribusi pada
luaran buruk prematuritas. Kelahiran bayi prematur sendiri merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang menjadi penyebab morbiditas
dan mortalitas utama di seluruh dunia. Komplikasi prematuritas
merupakan penyebab terbesar kematian neonatal yang mencakup
35% kematian di seluruh dunia per tahunnya dan menjadi penyebab
kematian kedua terbesar untuk anak balita setelah pneumonia.[1]
Tulisan ini akan membahas PH pada bayi prematur dengan
sistematika sebagai berikut:
1. Definisi hipertensi pulmoner (PH)
2. Tipe dan penyebab PH pada bayi prematur
3. Pendekatan diagnosis dan tata laksana
th
156 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
curah jantung kanan, tetapi juga penurunan curah jantung kiri atau
sistemik
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 159
Tabel 2. Klasifikasi klinis PH (NICE 2018)
Grup
1 Hipertensi arteri pulmoner (pulmonary arterial hypertension,
PAH)
1.1 PAH idiopatik
1.2 Heritable PAH (BMPR2, ALK-1, ENG, Smad 9, dll)
1.3 PAH yang dipicu obat atau toksin (drug and toxin-induced)
1.4 PAH berhubungan dengan
1.4.1 Penyakit jaringan ikat
1.4.2 Infeksi HIV
1.4.3 Hipertensi portal
1.4.4 Penyakit jantung kongenital:
1.4.4.1 Sindrom Eisenmenger
1.4.4.2 Left-to-right shunts (dapat diperbaiki atau
tidak dapat diperbaiki)
1.4.4.3 PAH with coincidental CHD
1.4.4.4 PAH pascaoperasi
1.4.5 Schistosomiasis
1.5 PAH dengan respons jangka panjang terhadap calcium
channel blocker (obat penghambat kanal kalsium)
1.6 PAH dengan keterlibatan kapiler/vena yang jelas (PVOD
atau PCH)
1.7 Persistent PH of the newborn syndrome (PPHN)
2 PH akibat penyakit jantung bagian kiri
3 PH akibat penyakit paru dan/ atau hipoksia
3.1 Penyakit paru obstruktif
3.2 Penyakit paru restrisktif
3.3 Penyakit paru lainnya dengan pola kombinasi restriktif dan
obstruktif
3.4 Hipoksia tanpa kelainan paru
3.5 Developmental lung disorder (kelainan perkembangan paru)
4 PH karena obstruksi arteri pulmoner
4.1 Hipertensi pulmoner tromboembolik kronis (CTEPH)
4.2 Obstruksi arteri pulmoner lain
5 PH dengan mekanisme tidak jelas dan/atau multifaktorial
5.1 Kelainan hematologis
5.2 Kelainan sistemik dan metabolik
5.3 Lain-lain
5.4 Penyakit jantung bawaan kompleks
Catatan: PVOD = pulmonary vascular obstructive disease; PCH = pulmonary capillary
haemangiomatosis
th
160 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Pendekatan diagnosis tata laksana
Dalam menghadapi bayi prematur dengan diagnosis atau
kecurigaan PH, terdapat lima pertanyaan yang harus kita tanyakan
berulang untuk menuntun diagnosis dan tata laksana:
1. Apakah bayi memiliki PH?
2. Apa jenis atau tipe PH? (lihat Tabel 2)
3. Apa penyebabnya?
4. Bagaimana tingkat keparahannya?
5. Apakah terapi yang sesuai?
th
162 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 3B. Parameter ekokardiografi yang dapat mengindikasikan PH
selain pengukuran kecepatan maksimal jet regurgitasi
trikuspid pada tabel 3A. *Nilai relevan untuk populasi anak
besar atau remaja.
C: Vena kava inferior
A: Ventrikel B: Arteri pulmoner
dan atrium kanan
Ventrikel kanan/kiri Pulmonary acceleration Diameter cava inferior
memiliki rasio diameter time <105 milidetik >21 mm* dengan
basal >1.0 dan/ atau dengan penurunan kolaps saat
Doppler (PW) inspirasi (<50%
menunjukan pola dengan sniffing atau
midsystolic notching <20% pada
pernapasan biasa).
Pendataran septum Kecepatan regurgitasi Area atrial kanan (end-
interventrikular (indeks pulmoner pada awal systole)>18 cm2*
eksentrisitas ventrikel diastolik > 2,2 m/ det
kiri> 1,1 pada saat
sistolik dan/atau
diastolik)
Diameter PA >25mm*
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 163
pada PVOD dan PCH, obat vasodilator pulmoner biasanya tidak
bermanfaat dan bahkan dapat memperburuk kondisi pasien. Stenosis
atau kelainan vena pulmonalis juga dapat dievaluasi secara lebih jelas
pada CT. Selain evaluasi penyebab PH, CT toraks juga berguna untuk
minilai apakah derajat PH proporsional terhadap kelainan paru yang
ada. Jika bayi/anak memiliki PH berat, sedangkan kelainan paru
bersifat minimal, maka kemungkinan penyebab PH yang lain perlu
dieksplorasi lebih lanjut.
Selain pemeriksaan ekokardiografi dan CT toraks,
pemeriksaan darah diperlukan untuk menyingkirkan penyebab PH
yang lain, seperti infeksi HIV, kelainan darah, atau penyakit jaringan
ikat/autoimun. Ultrasonografi abdomen merupakan pemeriksaan yang
dianjurkan untuk menyingkirkan pirau portosistemik, hipertensi portal,
atau penyakit liver kronik.
Tingkat keparahan PH
Derajat PH ditentukan berdasarkan parameter klinis,
ekokardiografi, pengukuran tekanan dengan kateterisasi.
Pemeriksaan penunjang lain, seperti NT pro-BNP, cardiopulmonary
exercise test, dan MRI juga dapat membantu dalam menentukan dan
memantau derajat PH. MRI kardiak berguna untuk mendapatkan
informasi yang lebih akurat mengenai fungsi dan dimensi ventrikel
kanan dan kiri, kuantifkasi pirau jantung, serta estimasi tekanan rerata
paru (mPAP) melalui pengukuran kurva septum.[10]
Secara umum, bayi/anak dengan PH berat adalah mereka
yang sangat simtomatik (mengalami kolaps/episode (pre)sinkop,
memiliki kelas fungsional WHO 3/4, gagal tumbuh, gagal jantung
kanan) dan mengalami peninggian tekanan/resistensi paru yang
signifikan disertai disfungsi ventrikel kanan (Tabel 4). Selain itu,
terdapat pula klasifikasi derajat PH berdasarkan tekanan arteri paru
(PH ringan: mPAP 20-30 mmHg atau systolic PAP 30-45 mmHg; PH
sedang: mPAP 30-40 mmHg atau systolic PAP 46-60 mmHg; PH
berat: mPAP >40 mmHg atau systolic PAP >60 mmHg), namun
sayangnya dasar penentuan klasifkasi tersebut dan implikasinya
terhadap prognosis tidak terlalu jelas.
th
164 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 4. Stratifikasi risiko atau tingkat keparahan PH[11]
Risiko Rendah Determinan risiko Risiko tinggi
Tidak Tanda klinis gagal Ya
jantung kanan
Tidak Gejala lanjutan Ya
Tidak Pingsan Ya
Kesimpulan
Hipertensi pulmoner (PH) merupakan salah satu komorbiditas
penting bayi prematur yang perlu dideteksi dan ditangani secara
adekuat, terlebih dengan meningkatnya kesintasan bayi prematur.
Mengingat PH pada bayi prematur sebagian besar disebabkan oleh
th
166 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
gangguan pertumbuhan paru atau displasia bronkopulmoner, maka
tata laksana utama adalah dengan mengoptimalkan pertumbuhan
paru, antara lain dengan nutrisi adekuat, dan melindungi paru dari
jejas pascanatal, seperti infeksi dan aspirasi. Selain itu, faktor-faktor
lain yang dapat berkontribusi terhadap PH, seperti PJB dengan pirau
kiri-ke-kanan, juga perlu ditangani dengan adekuat. Terapi spesifik PH,
seperti sildenafil, mungkin bermanfaat untuk perbaikan klinis dan
penurunan tekanan paru pada PH terkait CLD/BPD.
Bibliography
1. Blencowe H, Cousens S, Chou D, Oestergaard M, Say L, Moller AB,
Kinney M, Lawn J. Born too soon: the global epidemiology of 15 million
preterm births. Reprod Health 2013: 10 Suppl1: S2.
2. Galie N, McLaughlin VV, Rubin LJ, Simonneau G. An overview of the 6th
World Symposium on Pulmonary Hypertension. Eur Respir J 2019: 53(1).
3. Simonneau G, Montani D, Celermajer DS, Denton CP, Gatzoulis MA,
Krowka M, Williams PG, Souza R. Haemodynamic definitions and
updated clinical classification of pulmonary hypertension. Eur Respir J
2019: 53(1).
4. Hernandez-Diaz S, Van Marter LJ, Werler MM, Louik C, Mitchell AA. Risk
factors for persistent pulmonary hypertension of the newborn. Pediatrics
2007: 120(2): e272-282.
5. Kumar VHS. Diagnostic approach to pulmonary hypertension in
premature neonates. Children (Basel) 2017: 4(9).
6. Lammers A, Hager A, Eicken A, Lange R, Hauser M, Hess J. Need for
closure of secundum atrial septal defect in infancy. J Thorac Cardiovasc
Surg 2005: 129(6): 1353-1357.
7. Drossner DM, Kim DW, Maher KO, Mahle WT. Pulmonary vein stenosis:
prematurity and associated conditions. Pediatrics 2008: 122(3): e656-661.
8. Laux D, Rocchisani MA, Boudjemline Y, Gouton M, Bonnet D, Ovaert C.
Pulmonary hypertension in the preterm infant with chronic lung disease
can be caused by pulmonary vein stenosis: a must-know entity. Pediatr
Cardiol 2016: 37(2): 313-321.
9. Hilgendorff A, Apitz C, Bonnet D, Hansmann G. Pulmonary hypertension
associated with acute or chronic lung diseases in the preterm and term
neonate and infant. The European Paediatric Pulmonary Vascular
Disease Network, endorsed by ISHLT and DGPK. Heart 2016: 102 Suppl
2: ii49-56.
10. Pandya B, Quail MA, Steeden JA, McKee A, Odille F, Taylor AM,
Schulze-Neick I, Derrick G, Moledina S, Muthurangu V. Real-time
magnetic resonance assessment of septal curvature accurately tracks
acute hemodynamic changes in pediatric pulmonary hypertension. Circ
Cardiovasc Imaging 2014: 7(4): 706-713.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 167
11. Ivy DD, Abman SH, Barst RJ, Berger RM, Bonnet D, Fleming TR,
Haworth SG, Raj JU, Rosenzweig EB, Schulze Neick I, Steinhorn RH,
Beghetti M. Pediatric pulmonary hypertension. J Am Coll Cardiol 2013:
62(25 Suppl): D117-126.
12. Mourani PM, Sontag MK, Ivy DD, Abman SH. Effects of long-term
sildenafil treatment for pulmonary hypertension in infants with chronic lung
disease. J Pediatr 2009: 154(3): 379-384, 384.e371-372.
th
168 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Basic View for Fetal Cardiac Screening
Introduction
Fetal cardiac screening plays an important role in early
diagnosis of CHD. Patients with prenatal diagnosis has been shown to
have better O2 sat at presentation, fewer adverse perioperative
neurologic events and better preoperative condition in prenatally
diagnosed HLHS but not associated with decreased hospital mortality.
Unfortunately, the prenatal detection rate in this region is still very low
due to limited resources and trained personnel.
Detection rate of CHD varies depending on level of experience
and type of screening practice. Fetal cardiac screening using 4
chamber view alone detects only 50% of cardiac lesions. The detection
rate increased to 90% when the screening includes the outflow tracts
and 3-vessel views. (5)
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 169
Standard Fetal Echocardiogram Protocol
Fetal echocardiogram should adopt a systematic, step-by step
segmental analysis approach
1. 4 Chamber view:
a) Cardiac position, size and axis
b) Abominal situs: site of liver, stomach, IVC and abdominal aorta
c) Atrium: situs, size, anatomy of septum (PFO size and flow
direction)
d) Ventricles: size with R&L comparison, function and VSD
e) Systemic and pulmonary veins (connection, flow)
f) Atrioventricular valves (compare size of right to left,
regurgitation)
2. Outflow tract view
a. Criss-crossing great arteries
b. Semilunar valves (compare size right to left, valve mobility,
thickening, flow direction, acceleration)
3. 3VV and 3VT
a. Great arteries: size; and position to each other and to trachea
b. Ductus arteriosus: size, flow direction
c. Ductus: ithmus size ratio
d. Aortic arch
4. Heart rate, rhythm and Doppler studies
th
170 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Abnormal findings include: dextrocardia or mesocardia
(suggestive of CCTGA)
Abominal situs
Obtain the axial view of the abdomen, just below the heart.
Slide down the probe slightly towards fetal abdomen from the 4
chamber view.
Normal: the stomach shadow is on the left, liver on the right,
abdominal aorta to the left of spine and IVC to the right of the spine.
Abnormal Abdominal: situs inversus, heterotaxy
4 CHAMBER VIEW
After determine the abdominal situs, slide back the probe
toward’s fetal head to obtain the 4 chamber view.
Normal 4 chamber view:
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 171
Abnormal 4-chamber view includes:
1) Septal defects: VSD, AVSD
2) Right sided chamber abnormalities:
a) Small right heart: PAIVS, tricuspid atresia
b) Big right heart: Ebstein’s anomaly TV dysplasia
3) Left sided chamber abnormalities: Mitral atresia, coarctation of
aorta, HLHS
4) Other lesions: Single ventricle lesions e.g. DILV, TAPVD
th
172 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
3-VESSEL VIEW (3VV)
Slide the probe slightly towards the fetal head. This will give a
cross section from right to left, posterior to anterior: SVC, aorta and
pulmonary artery. See figure 3 below.
Normal 3VV: the SVC is slightly smaller than the aorta. The
aorta is slightly smaller than the pulmonary artery. The pulmonary
artery is determined by its branching into right and left pulmonary
arteries.
Abnormalities: marked discrepancy between aorta and
pulmonary artery (e.g. in pulmonary atresia) or abnormal arrangement
e.g. triangle arrangement in TGA (aorta is anterior to PA)
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 173
Obtained just slightly higher position from the 3VV, at the level
of transverse arch. In this view, you will view the merging of the PDA
and the ithmus of the aorta. Normally the size of the ithmus and PDA is
almost equal. It is important to assess the flow direction in the PDA
and aorta. A reverse flow into aorta suggest systemic duct dependent
lesion (e.g. HLHS) and a reverse flow into PDA suggest a pulmonary
duct dependent lesions (e.g. pulmonary atresia)
Other structures that can be seen on this view are trachea and
thymus. The trachea lies to the right of the transverse arch.
Abnormal 3VT includes:
1. Small aorta: HLHS, hypoplastic aortic arch or coarctation of aorta
2. Small PA: include Conotruncal lesions, PAIVS
3. Only 2 Vessel present: TGA, Pulmonary atresia VSD.
4. Other abnormalities include: bilateral SVC, double aortic arch,
aberrant subclavian arteries.
Summary
Basic views for fetal echo includes: 4-chamber view, outflow
tract view, 3-vessel (3VV) and 3-vessel trachea view (3VT).
Checklist for normal heart:
1. Position: heart and stomach on the left
2. 4 chamber: heart 1/3 of thorax, equal size ventricles (3rd trimester
RV>LV), PFO flow R to left, pulmonary veins to LA, look for VSD,
AV valves regurgitation
3. Outflow tracts: crossing, almost equal size, valves opening and
flow
4. 3VV: position: right to left: SVC<Ao<PA (branching)
5. 3VT: PDA:ithmus size (almost 1:1), trachea to the right of aorta,
same flow direction
6. HR and rhythm
7. Doppler: DV, UA, UV
th
174 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Adult Congenital Heart Disease:
Optimal Care in Limited Resources
Teddy Ontoseno
Cardiology Division
Departemen of Child Health Airlangga University
RSUD Dr. Soetomo
Abstract
Successful treatment of children with congenital heart disease (CHD)
has led to an increasing number of adults with unoperated, palliated,
and repaired CHD entering the general adult cardiology practice.
Children with CHD are more frequently living into adulthood as their
survival has improved due to availability of better medical and surgical
management in recent times. That have created a new population of
adults with CHD (ACHD) and the management emerging as new
challenge in the field of medical science. As the growing number of
patients with ACHD, the availability of regional centers that specialize
in the treatment and follow-up care of ACHD bears a great importance.
Following the diagnosis, four different type of treatments were provided
to patients: 1) Interventional catheterization, 2) Surgery, 3) Medical
treatment, or 4) No intervention.
The issues of possible complications or residual lesions of repaired
heart defects as well as the necessary long term follow-up care for
those with complex CHD place a high demand for tertiary care centers
equipped with highly trained specialists and staff with complex
knowledge of CHD. Establishing paediatric cardiology service in a
country with limited resources are at risk for a number of problems
such as rhythme disturbances, ventricular impairment, cyanosis,
anatomical residual defect, coronary disease, pulmonary or systemic
hypertension, heart failure, bacterial endocarditis and high risk
pregnancy. Organization of cardiology practice as pediatric and adult
cardiologists, and limited communication between these two specialist
groups, resulted in increasing number of patients struggling to find
optimal care for their conditions as they reach adulthood and admit to
hospital with complex problems. Specialized tertiary care facilities have
to develop in response to the increasing numbers of ACHD.
Key words: Adult congenital heart disease,continued follow-up care a
great importance
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 175
Latar belakang
Di negara berkembang, termasuk Indonesia, masih banyak
pasien dengan penyakit jantung bawaan (PJB) yang tidak atau belum
mendapat kesempatan untuk dilakukan intervensi korektif atau paliatif.
Sementara pasien bisa bertahan hidup mencapai usia dewasa dengan
segala permasalahannya. Di negara yang sudah maju, kemajuan
IPTEK DOK dibidang kardiologi anak berkembang dengan pesat
dalam 10 tahun terakhir. Perkembangan teknik bedah jantung,
intervensi non bedah dan terapi medikamentosa telah menciptakan
populasi baru yaitu penyakit jantung bawaan usia dewasa (Adult
Congenital Heart Disease/ACHD). Fenomena ini mendorong
tersedianya sarana, pengetahuan, penelitian baru dan tim ahli untuk
menentukan tatalaksana lanjutan serta prioritas dalam layanan jantung
terutama di daerah dengan sarana layanan jantungnya yang masih
terbatas.
Angka keberhasilan perawatan PJB pada usia dini sebanding
dengan angka kejadian ACHD. Perlu dipahami, meskipun mayoritas
pasien PJB dapat bertahan sampai dewasa, bukan berarti telah
sembuh dari penyakit jantungnya. Munculnya berbagai penyulit akan
mengubah perjalanan penyakit dan prognosa PJB setelah mencapai
usia dewasa.
Bedah jantung korektif merupakan terapi definitif untuk
beberapa jenis PJB yaitu dengan mengembalikan anatomi jantung
semaksimal dan sedini mungkin untuk mendekati antomi jantung
normal. Namun tidak semua bisa menyelesaikan masalah dengan
tuntas, pada PJB yang komplek perlu operasi beberapa kali, masih
memerlukan operasi paliatif sebelumnya, untuk memperbaiki
gangguan hemodinamik yang akan ataupun sudah terjadi.
Memungkinkan sekali pasien pada kelompok ini masih
memiliki:
1) Residua, yaitu sisa gangguan anatomi dan hemodinamik akibat
cacat anatomi jantung. Gangguan konduksi pada TGA, regurgitasi
aorta pada VSD, bikuspidal katup aorta, regurgitasi katup trunkus,
perubahan morfologi dan masa serta sistem konduksi ventrikel
setelah operasi Fontan (univentrikel) atau setelah operasi Norwood
(hipolastik jantung kiri), tersisanya stenosis arteri pulmonalis pada
operasi koreksi tetralogy Fallot. Keterlambatan perkembangan
intelegensia dan fisik akibat hipoksi menahun pada pasien PJB
biru yang komplek.
th
176 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
2) Sequelea, yaitu konsekuensi anatomi dan hemodinamik yang
tidak dapat dihindari akibat tindakan/ operasi jantung yaitua;
terpotongnya jaringan konduksi saat operasi jantung, timbulnya
regurgitasi arteri pulmonalis saat indfundibulektomi pada tetralogy
Fallot, timbulnya trombo emboli/endokarditis setelah pemasangan
material prostetik, tumbuhnya aneurisma atau jaringan parut bekas
sayatan ventrikulotomi atau atriotomi.
Patofisiologi ACHD
Defek anatomi PJB mengakibatkan gangguan hemodinamik
yang spesifik dan akan berubah dalam perjalanan mencapai usia
dewasa. Beban volume dan atau beban tekanan menimbulkan
perubahan struktur miokard, berupa peningkatan masa miokard atau
pelebaran ruangan jantung. Sehingga menimbulkan gangguan fungsi
sistolik dan atau diastolik. Juga melibatkan beban miosit maupun
neurohormonal (norephinefrin, angiotensin), sitokin inflamasi (tumor
th
178 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
necrosis factor-alpha [TNF-α]), peptide dan faktor pertumbuhan
(endothelin) serta reaktif spesies oksigen (superoksida, NO).
Rangsangan ini meningkat secara sistemik maupun didalam miokard
sebagai respons terhadap kegagalan sirkulasi, sehingga menjadi
dasar timbulnya kegagalan jantung yang progresif.
Pada beberapa jenis ACHD yang mengalami gagal jantung,
curah jantung normal bahkan meningkat, namun karena penurunan
kadar oksigen akibat anemia akan meningkatkan kebutuhan oksigen
bila terjadi hiperventilasi, hipertiroidisme atau metabolisme tubuh yang
meningkat.
Pada PJB sianosis, kadar oksigen yang rendah merangsang
terjadinya polisitemia (eritositosis sekender) secara pelan namun
semakin nyata pada usia dewasa (respons fisiologis terhadap hipoksia
menahun). Fenomena ini mengakibatkan penurunan tekanan perfusi
koroner karena hiperviskositas sehinga berisiko untuk timbulnya
oklusi, iskemia dan fibrosis miokard, penurunan volume akhir diastolik
serta volume sekuncup, akhirnya timbul gagal jantung.
Proses adaptasi selama masa tumbuh kembang menjadi usia
dewasa diperlukan remodeling untuk kelangsungan hidup namun bisa
memunculkan perubahan patologis berupa kalsifikasi katup, timbulnya
disritmia, meningkatnya volume akhir diastolik untuk mempertahankan
volume sekuncup dan fungsi ventrikel terutama pada PJB hipoksik
risiko terjadinya kerusakan ventrikel yang permanen. Selain itu, setiap
pasien ACHD dengan katup buatan mempunyai risiko embolisasi,
endokarditis gangguan pembekuan darah serta imunitas.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 179
Permasalahan ACHD di daerah dengan sarana layanan jantung
yang masih terbatas
Problem menjelang pernikahan
Calon pasangan jelang pernikahan sering merasa rendah diri,
sering merahasiakan dan tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk
mengungkapkan bahwa mereka mempunyai masalah pada
jantungnya, selalu disertai perasaan takut mendapat penolakan dari
calon pasangannya. Khususnya pasien wanita dengan PJB sianosis
sering mendapat kesulitan dalam masalah sistem reproduksinya,
keterlambatan atau terganggunya masa menstruasi. Hal ini
menambah perasaan rendah diri dan takut untuk hamil. Masalah ini
perlu pemahaman yang jelas dari tim medik terutama dokter jantung
yang merawatnya sejak usia dini.
Konseling genetik
Calon suami istri dengan ACHD yang akan nikah memerlukan
konseling tentang transmisi genetik jauh sebelum memperoleh
kehamilan. Risiko transmisi genetik jauh lebih tinggi dibanding
populasi normal. Fetal ekokardiografi dianjurkan pada usia kehamilan
antara 16–20 minggu untuk identifikasi dini adanya PJB yang
kompleks guna menentukan apa kehamilan harus diterminasi atau
diteruskan namun dengan waktu dan cara persalinan yang sesuai
dengan derajat defek jantung janinnya. Hal ini juga memerlukan
koordinasi tim dokter sesuai dengan keahliannya.
th
182 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
gangguan pertumbuhan janin, prematuritas, dan kematian janin lebih
besar, dan kehamilan sebaiknya diakhiri (kemungkinan bayi lahir hidup
hanya 12%).
Stratifikasi pasien dari anamnesa dan pemeriksaan fisik sangat
dibutuhkan untuk merencanakan tatalaksana yang optimal. Harus
dipertimbangkan kapasitas fungsional pasien, toleransi latihan,
klasifikasi New York Heart Association (NYHA), derajat hipoksemia,
kebutuhan obat, dan riwayat aritmia. Langkah berikutnya adalah
mengetahui anatomi dan fisiologi proses penyakit, khususnya dengan
evaluasi ekokardiografi. Modalitas lain yang dapat mendukung yaitu
dengan magnetic resonance imaging (MRI), CT scan, uji latih, dan
elektrokardiogram ambulatori.
Berdasarkan struktur dan fungsi jantungnya, wanita hamil
dengan PJB dapat dibedakan menjadi lima kelompok:
1. Ventrikel kanan sebagai ventrikel sistemik, seperti pada kasus
transposition of the great arteries yang telah menjalani arterial
switch, atau pada diskordansi ganda. Jika terdapat aritmia yang
diinduksi oleh pembedahan, maka terdapat risiko berupa gangguan
fungsi ventrikel kanan dengan peningkatan regurgitasi
atrioventrikular, yang kadangkala bersifat menetap setelah
kehamilan. Beberapa studi melaporkan perkembangan kehamilan
yang baik pada wanita yang telah menjalani arterial switch dan
dengan diskordansi ganda.
2. Beban ventrikel kanan tinggi yang disebabkan oleh regurgitasi
dan/atau obstruksi pulmonal. Hal ini sering terjadi pada kasus TOF
yang terkoreksi, conduit pulmonal yang digunakan untuk
memperbaiki trunkus arteriosus atau atresia pulmonal dengan
ventricular septal defect (VSD), atau malposisi arteri besar dengan
VSD. Situasi ini seringkali dapat ditoleransi, bahkan pada kasus
dengan regurgitasi pulmonal berat, dan dapat dilakukan persalinan
normal. Jika status fungsional sebelum hamil mengalami
gangguan, kadangkala dilakukan penggantian katup pulmonal pra-
kehamilan untuk menghindari terjadinya aritmia ventrikel atau
atrial.
3. Pasien sianotik dengan anomali Ebstein, paliatif atresia pulmonal
dengan VSD, fisiologi jantung univentrikel, tetapi tidak termasuk
reaksi Eisenmenger. Vasodilatasi yang terpicu oleh kehamilan
umumnya akan memperberat hipoksia. Selain itu, hipoksemia akan
menyebabkan kegagalan pertumbuhan janin dan berkaitan dengan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 183
tingginya angka abortus jika saturasi oksigen kurang dari 85% atau
apabila hemoglobin lebih dari 18 g/dl (11.2 mmol/l). Hipoksia
sedang sampai berat akan meningkatkan insiden berat badan lahir
rendah dan kelahiran prematur, demikian juga dengan
meningkatnya kejadian tromboemboli maternal.
4. Perubahan moderat dari fungsi ventrikel kiri. Dibutuhkan adanya
evaluasi rutin selama kehamilan, dan terminasi dini dapat
dipertimbangkan apabila terjadi perburukan yang progresif dari
ventrikel kiri.
5. Residual koarktasio aorta atau obstruksi sedang left ventricle
outflow tract (LVOT). Pada kasus residual koarktasio, adanya
tekanan sistemik ekstremitas atas yang tinggi memerlukan
pengobatan yang tepat untuk hipertensinya yang dapat memicu
gangguan sirkulasi aliran darah ke plasenta. Pasien dengan
obstruksi sedang dari LVOT sebaiknya menjalani tirah baring di
rumah sakit. Dibutuhkan kerjasama dari bidang obstetri, anestesi,
dan kardiologi untuk melakukan pengawasan ketat selama
kehamilan. Risiko kardiak untuk maternal umumnya dapat berupa
aritmia (kelompok 1,2, dan 3), gagal jantung (kelompok 1,3, dan 4),
hipoksemia yang memberat (kelompok 3), dan kejadian
tromboemboli (kelompok 3 dan 4).
th
184 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
jantung dan kematian selama kehamilan dan pada satu bulan pertama
paska kelahiran. Kelompok ini termasuk sindroma Eisenmenger,
hipertensi pulmonal berat, stenosis aorta berat atau obstruksi left
ventricular outflow tract, sindroma Marfan dengan dilatasi aorta lebih
dari 4 cm, atau disfungsi ventrikular sistemik dengan fraksi ejeksi
<40%. Pada kelompok ini sebaiknya disarankan untuk tidak hamil. Jika
kehamilan terjadi maka membutuhkan pengawasan ketat dari tim
medis yang berpengalaman ditunjang sarana yang lengkap.
Pemberian terapi pada wanita hamil dengan ACHD
menimbulkan permasalahan keamanan, di satu sisi memberikan
manfaat untuk ibu, di sisi lain membayakan untuk janin. Golongan
angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors dan angiotensin
receptors blocker merupakan obat-obatan kategori D untuk kehamilan
terkait dengan efek samping berupa gangguan fungsi ginjal pada janin,
peningkatan morbiditas dan kematian janin dan neonatus, terutama
saat trimester kedua dan ketiga. Sebaiknya pasien disarankan untuk
menghentikan obat-obat tersebut sebelum konsepsi untuk
meminimalkan risiko abnormalitas janin. Pada masa ini pasien
dilakukan evaluasi ekokardiografi berkala untuk menilai fungsi ventrikel
dan kapasitas latihan. Stabilitas pada fraksi ejeksi dapat memberikan
gambaran pasien tersebut lebih toleran terhadap beban cairan semasa
kehamilan.
Penyekat beta memberikan profil keamanan yang lebih baik
dan tidak ada efek teratogenik, kecuali atenolol yang dikaitkan dengan
insiden berat badan lahir rendah pada neonates (BBLR). Golongan
diuretik dapat menurunkan volume plasma pada awal gestasi
sehingga membahayakan janin. Apabila pasien memiliki indikasi
pemberian diuretik, maka harus diberikan dengan bijaksana.
Spironolakton tidak direkomendasikan untuk kehamilan karena adanya
efek antiandrogenik dan feminisasi janin laki-laki. Amiodaron dikaitkan
dengan 9% insiden hipotiroidisme janin dan 21% intrauterine growth
retardation sehingga penggunannya harus dibatasi pada kasus aritmia
ventrikular refrakter.
Obat-obatan yang termasuk kategori bahaya untuk kehamilan
adalah sebagai berikut:
• Antikoagulan, antagonis vitamin K melewati plasenta dan potensi
fetotoksik. Risiko dan manfaat penggunaannya sebaiknya
didiskusikan sebelum kehamilan terjadi.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 185
• Antagonis reseptor endotelin (bosentan, ambrisentan, dan
macitentan).
• Statin, alasan tidak direkomendasikan pemberian statin adalah
karena kurangnya bukti manfaat mengobati hiperlipidemia pada
masa kehamilan, selain itu kolesterol juga dibutuhkan untuk
perkembangan embrio.
Terminasi kehamilan
Pasien dengan PJB kompleks yang meneruskan
kehamilannya, pertimbangan untuk terminasi kehamilan harus
didiskusikan. Tetapi mengingat tindakan tersebut juga meningkatkan
risiko maternal berdasarkan metodenya seiring dengan peningkatan
usia kehamilan, maka kebijaksanaan untuk mempertimbangkan pilihan
dari pasien sangat penting. Keuntungan terapetik dari terminasi pada
pasien dengan usia kehamilan ≥20 minggu masih kontroversial karena
adaptasi kardiopulmonal telah terjadi.
Sindroma Eisenmenger
Pasien Eisenmenger membutuhkan perhatian khusus karena
adanya komplikasi tambahan berupa hipoksemia, pirau dari kanan ke
kiri, dan emboli paradoksal. Selama kehamilan, vasodilatasi sistemik
th
186 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
akan meningkatkan pirau kanan ke kiri dan menurunkan aliran ke
pulmonal, sehingga memperberat derajat hipoksia dan penurunan
curah jantung. Angka mortalitas maternal dapat mencapi 20-50% dan
meskipun terminasi juga memiliki risiko, tetapi sangat penting untuk
dipertimbangkan. Pada kondisi Eisenmenger, sering terjadi abortus
yang dapat disebabkan oleh kondisi hipoksemia maternal.
Prinsip pengelolaan pasien hampir sama seperti PH non-
Eisenmenger, namun memiliki risiko trombositopeni dan defisiensi
vitamin K. Pemberian terapi antiplatelet dan LMWH harus mendapat
pengawasan ketat. Sildenafil dan golongan inhibitor fosfodiesterase
lainnya sering digunakan dengan penambahan prostanoid apabila
pasien masih simtomatik. Harus diperhatikan pemberian obat yang
dapat menyebabkan vasodilatasi sistemik secara mendadak atau
risiko emboli udara paradoksikal (terapi intravena).
Masalah psikologis
Gangguan hemodinamik,kekurangan gizi, penurunan
kemampuan fisik, prestasi pendidikan dan dampak psikologis
merupakan ancaman untuk kesempatan mendapat pekerjaan dan
merupakan masalah utama yang harus segera diantisipasi pada
pasien ACHD di negara yang berkembang.
Pasien ACHD mengalami berbagai tekanan psikologis akibat
peristiwa-peristiwa yang telah dialaminya. Proses operasi/intervensi
jantung, terdapatnya berbagai jaringan parut di permukaan dada,
seringnya mendapat perawatan atau intervensi serta banyaknya
dokter yang terlibat dalam proses perawatannya, aktifitas fisik yang
dibatasi, banyaknya obat dan pemberiannya dalam jangka panjang,
proteksi yang berlebihan atau belum terbiasanya terhadap perawatan
yang dilakukan oleh SpJP. Tidak jarang memerlukan konsultasi dari
psikolog untuk mendapat perawatan secara holistik.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 187
ini membutuhkan pasokan zat besi yang meningkat untuk
pembentukan hemoglobin, bilamana kebutuhan zat besi ini tidak
terpenuhi maka menimbulkan defisiensi besi yang bersifat relatif serta
hiperviskositas. Timbul bahaya penurunan deformabilitas eritrosit
akibat tertimbunnya ROS (reactive oxygen species) karena
kekurangan enzim yang dibentuk oleh zat besi untuk menetralisir
H2O2 sebagai hasil metabolism oksigen di dalam eritrosit. Selain itu
hiperviskositas yang terjadi akan mengaktifasi trombosit, kedua
keadaan ini memudahkan timbulnya tromboemboli terutama di
sirkulasi otak dan paru. Oleh karena itu penting memantau kadar zat
besi pada pasien dengan sianosis ACHD dengan memantau ketat
saturasi transferrin, ratio kadar hemoglobin dan hematokrit serta
gangguan faal pembekuan darah.
Plebotomi tidak dianjurkan karena akan memperberat
timbulnya defisiensi besi yang relatif serta hipovolemi. Sangat selektif
pada pasien yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya stroke atau
timbul perdarahan paru yang masif, bisa disarankan plebotomi asal
dengan pemantauan ketat kadar zat besi didalam darah dan volume
intravaskuler.
Tidak dianjurkan untuk execrcise test karena akan terjadi
penurunan saturasi O2 yang lebih berat, kehamilan juga akan
menurunkan saturasi O2 dan melahirkan bayi prematur atau berat
badan lahir rendah, sehingga tidak direkomendasikan kehamilan pada
wanita dengan PJB sianosis. Berpergian dengan pesawat terbang
tidak boleh melebihi ketinggian 5000 sampai 7500 feet walaupun
dengan sudah tersedianya tabung oksigen, cegah dehidrasi selama
penerbangan, dianjurkan berjalan-jalan setiap 1-2 jam, dan dilarang
minum alkohol selama penerbangan.
Rutin pemeriksaan gigi setiap 6 bulan dan pencegahan
endokarditis pada setiap tindakan medis yang memberikan risiko
bakteremia transien.
Transplantasi jantung/ jantung-paru dan xeno-transplantatiion
(non-human organs) memberikan harapan hidup yang lebih baik.
Daftar Pustaka
1. Andrew S. Mackie, MD, SM, FRCPC Canadian Journal of Cardiology 34
(2018): Psychosocial Interventions for Adults With Congenital Heart
Disease Division of Cardiology,698e699 Editorial Body and Mind Stollery
Children’s Hospital, Edmonton, Alberta, Canada See article by Kovacs et
al., pages 766e773 of this issue.
2. Anup Kumar Singh1, Nick Patel2, Kevin Leung3, Purvesh Patel2 and
Arunabh Talwar2 Manifestations of Pulmonary Disease in Adults with
Congenital Heart Disease2,2013;Vol.55 The Indian Journal of Chest
Diseases & Allied Sciences
3. Anup Kumar Singh1, Nick Patel2, Kevin Leung3, Purvesh Patel2 and
Arunabh Talwar2, Manifestations of Pulmonary Disease in Adults with
Congenital Heart Disease 2013;Vol.55 The Indian Journal of Chest
Diseases & Allied Sciences
4. Babu-Narayan SV, Gatzoulis MA. Management of Adults with Operated
Tetralogy of Fallot. Curr Treat Options Cardiovasc Med 2003; 5(5):389-
398.
5. Barnes PJ. Therapy of chronic obstructive pulmonary disease. Pharmacol
Ther 2003; 97(1):87-94.
6. Bolger AP Sharma R, Li W and Leenard M. Neurohormonal Activation
and the Chronic Heart Failure Syndrome in Adults With Congenital Heart
Disease. Circulation 2002 (2): 92-99.
7. Bolger AP, Coats AJ, Gatzoulis MA. Congenital heart disease: the original
heart failure syndrome. Eur Heart J 2003; 24(10):970-976.
8. Child J. Sand Perloff JK. Natural Survival Patterns. In Congenital Heart
Disease In Adult. Ed Perloff JK .and Child JS WB Saunders. Harcourt
Brace. Janovich, Inc The curtis Center Independence Square West
Philadelphia, PA 19106. 1991 ; 21– 59.
9. Coats AJ. Adult congenital heart disease in the International Journal of
Cardiology. Int J Cardiol 2003; 88(2-3):125-126.
10. Doreen DeFaria Yeh & Mary Etta King Curr Congenital Heart Disease in
the Adult: What Should the Adult Cardiologist Know? Cardiol Rep (2015)
17: 25 DOI 10.1007/s11886-015-0579-7
th
192 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
11. Ferit Onur Mutluer1, Alpay Çeliker2 J Balkan 3, General Concepts in
Adult Congenital Heart Disease .2018, Med J 2018;35:18-29n
12. Findlow D and Doyle E. Congenital Hear Disease in Adult. Review Article.
British Journal of Anasthesia. 1997; 78 : 416-430.
13. Gatzoulis MA, Graham TP, Jr. International Society for Adult Congenital
Cardiac Disease: an introduction to the readership and an invitation to
join. Int J Cardiol 2003; 88(2-3):127-128.
14. Gatzoulis MA. Adult with Congenital Heart Disease: Multiple Needs of a
Fast Growing Cardiac Patient Group. Hellenic J Cardiol 2003;44: 9-13.
15. George E. Sarris, MD , Surgery of congenital heart anomalies in countries
with limited financial resources Athens Heart Surgery Institute Mitera
Children’s Hospital‐Hygeia Group 9th Annual Meeting of the Euro‐Asian
Bridge
16. Georgiadou P, Babu-Narayan SV , Francis DP, Kremastinos D T,
Gatzoulis M A. Periodic breathing as a feature of right heart failure in
congenital heart disease. 12 May 2005 heart.bmjjournals.com
Downloaded.
17. Giordano FJ. Oxygen, oxidative stress, hypoxia, and heart failure. The
Journal of Clinical Investigation 2005;115 (3) : 500-5008.
18. Kalra PR, Collier T, Cowie MR, Fox KF, Wood DA, Poole-Wilson PA,
Coats AJ, Sutton GC. Haemoglobin concentration and prognosis in new
cases of heart failure. Lancet 2003; 362(9379):211-212.
19. Kaplan S., Perlof JK. Survival Pattern after surgery or interventional
catheterization. Congenital Heart Disease in Adults ed. Perloff JK., Child
JS WB Saunders Co. The Curtis Center Philadelphia, PA 19106. 1991;
60-90.
20. Lukenheimer PP, Redmann K, Cryer CW, Wubbeling F, Konertz W,
Batista RJV, Ho SY, Anderson RH. The relationship between structure
and function: why does reshaping the left ventricle surgically not always
result in functional improvement? Computers in Biology and Medicine
2003; 33:185-196.
21. Lukenheimer PP, Redmann K, Kimaun D, Cryer CW, Wubbeling F,
Konertz W, Zytowsky A, Hotz H, Ho SY, Anderson RH. A critical
evaluation of results of partial left ventriculectomy. J Card Surg 2003;
18(3):225-235.
22. Mantovan R, Gatzoulis MA, Pedrocco A, Ius P, Cavallini C, De Leo A,
Zecchel R, Calzolari V, Valfre C, Stritoni P. Supraventricular arrhythmia
before and after surgical closure of atrial septal defects: spectrum,
prognosis and management. Europace 2003; 5(2):133-138.
23. Mi-Yeon Kim1, Mohammed Omar Galal2, Jameel Al-Ata2, Amjad Kouatli2
and Milad El-Segaier3Pattern of Adult Congenital Heart Disease in a
Tertiary Care Hospital in Saudi Arabia., journal health care. 2 (2):17
24. Mullen MJ. Coarctation of the aorta in adults: do we need surgeons?
Heart 2003; 89(1):3-5.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 193
25. Ohuchi H, Takasugi H and Ohashi H. Stratification of Pediatric Heart
Failure on the Basis of Neurohormonal and Cardiac Nervous Activities in
Patients With Congenital Heart Disease.Circulation 2003; Nov 11:2368-
2376.
26. Ontoseno T. The Pattern of Congenital Heart Disease in Adult. Buletin
Ilmu Kesehatan Anak 2001; 2 : 14-23.
27. Pablo Ávila, MD, Lise-Andree Mercier, MD, Annie Dore, MD, François
Marcotte, MD, François-Pierre Mongeon, MD, MS, Reda Ibrahim, MD,
Anita Asgar, MD, Joaquim Miro, MD, Gregor Andelfinger, MD, Blandine
Mond!esert, MD, Pierre de Guise, MD, Nancy Poirier, MD, and Paul
Khairy, MD, PhD. Adult Congenital Heart Disease: A Growing Epidemic,
28. Pankaj Madan, MD,* Yuli Y. Kim, MD. Training in Adult Congenital Heart
Disease 2015. Journal Of The American Colleg E Of Card I Ology Vol . 6
5 , No.20 , By The American Colleg E Of Cardiology Foundation
29. Perloff JK Non Cardiac Surgery in Adults with In Congenital Heart
Disease. In Congenital Heart Adults. ed Perloff JK., Child JSWB Saunders
, The Curtis Center Philadelphia, PA 19106. 1991 ; 239 – 248.
30. Perloff JK. A Brief Historical Perspective. In Congenital Heart Disease in
Adults Ed. Perloff JK and Child JS WB Saunders Co. Philadelphia. 1991 ;
3 – 6.
31. Perloff JK. Special Faccilities for the Comprenhensive Care of Adult with
Congenital Heart Disease. Multidisciplinary Requirements. . In Congenital
Heart Disease in Adults Ed. Perloff JK and Child JS WB Saunders Co.
Harcourt Brace. Jovanovich, Inc. The Curtis Center Independence Square
West Philadelphia, PA 19106. 1991; 7 – 10.
32. Prapas SN. Congenital Heart disease in Adult Patients. Hellenic JCardiol
2005;46: 135-138.
33. Sulafa K.M. Ali, *REVIEW ARTICLE Paediatric cardiology programs in
countries with limited resources: how to bridge the gap University of
Khartoum, Faculty of Medicine,2010, Department of Paediatrics and Child
Health, P.O. Box 102, , Sudan Department of Pediatric Cardiology, Sudan
Heart Center, P.O. Box 11917, Khartoum Erkaweit, Sudan Received 10
March 2010; accepted 26 April 2010. King Saud University Journal of the
Saudi Heart Association
34. Swan L, Goyal S, Hsia C, Hechter S, Webb G, Gatzoulis MA. Exercise
systolic blood pressures are of questionable value in the assessment of
the adult with a previous coarctation repair. Heart 2003; 89(2):189-192.
35. Territo MC, Rosove M., Perloff. JK Cyanotic Congenital Heart Disease.
Hematologic Management, Renal Function, and Urate Metabolism. In
Congenital Heart Disease in Adults. ed Perloff JK, and Child JSWB
Saunders Co. The Curtis Center. Philadelphia, PA 19106. 1991 ; 93 –
110.
36. Timothy B. Cotts, MD, Guideline for Adults With Congenital Heart
Disease,2018 FACC 8 AHA/ACC Aug 16, 2018 , American college of
Cardiology
th
194 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
37. Usman Rashid, Ahmad U Qureshi, [...], and Masood Sadiq ,2016,Pattern
of congenital heart disease in a developing country tertiary care center:
Factors associated with delayed diagnosis
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5007928/# Ann ped card
2016 sept-des 210-215
38. Usman Rashid, Ahmad U Qureshi, [...], and Masood Sadiq. 2014,
Canadian Journal of Cardiology Volume 30 2014. Pattern of congenital
heart disease in a developing country tertiary care center: Factors
associated with delayed diagnosis
39. Vonder M, I, Cumming G, Gatzoulis MA. Risky business: insuring adults
with congenital heart disease. Eur Heart J 2003; 24(17):1595-1600
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 195
th
196 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Meningkatkan Kualitas Pelayanan Pasien:
Scientific Evidence atau Real World Evidence?
Sudigdo Sastroasmoro
Pendahuluan
Sudah hampir tiga dasawarsa kita mengenal paradigma
evidence-based medicine (EBM) dalam pelayanan kesehatan.
Meskipun penerapan EBM belum mencapai tingkat yang memuaskan,
namun konsep tersebut terus menerus berkembang. Bahkan EBM
yang semula dimaksud untuk tata laksana pasien secara individual,1
dengan cepat dimanfaatkan oleh semua aspek pelayanan kesehatan,
dari promosi, prevensi, penegakan diagnosis, terapi, prognosis,
rehabilitasi, dan pelayanan jangka panjang. Hal-hal di luar pelayanan
praktis terhadap pasien juga memanfaatkan konsep EBM, sehingga
semua langkah dalam bidang tertentu, termasuk panduan praktik
klinis, health technology assessment atau penilaian teknologi
kesehatan, audit klinis juga memanfaatkan paradigma EBM.2 Setiap
ada diskusi yang berkaitan dengan kesehatan, misalnya tentang
manfaat sesuatu program untuk tujuan kesehatan tentu akan
dipertanyakan apakah ada evidence yang mendukung program yang
direncanakan tersebut.
Pada awalnya evidence yang dimaksud dalam EBM senantiasa
hanya mengacu kjepada scientific evidence, yang merupakan hasil
penelitian ilmiah, baik dalam bidang prevensi, penegakan diagnosis,
pemberian pengobatan, maupun prediksi prognosis. Oleh karena
itulah, penekanan topik dalam pelbagai workshop EBM terutama
dilakukan terhadap studi uji diagnostik, terapi, dan prognosis.2 Dari
ketiga isu tersebut yang paling sering dibahas dan dimanfaatkan
dalam praktik adalah studi tentang terapi, dengan baku emas uji klinis
terandomisasi (UKR) atau randomized controlled trial (RCT).
Dalam beberapa tahun terakhir mulai hangat dibicarakan real
world evidence (RWE) untuk dimanfaatkan dalam pengembangan
perbaikan tata laksana pasien, oleh karena uji klinis selain memiliki
kekuatan juga memiliki keterbatasan yang dapat dilengkapi dengan
data lain yang diperoleh dari sumber bukan UKR.3,4 Diskusi tentang
masalah ini masih berlangsung dan berkembang, namun sudah
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 197
tampak beberapa kesepakatan dalam penggunaan, bahkan dalam
sistem regulasi obat dan alat kesehatan.
Scientific evidence
Dalam uji klinis tradisional yang dilakukan oleh para peneliti
ilmiah, segala sesuatunya dilakukan dengan terencana dan
dilaksanakan dengan cermat agar diperoleh hasil studi yang tinggi
tingkat kesahihannya. Sejak awal dibuat proposal yang mencakup
latar belakang mengapa perlu dilakukan uji klinis, apa yang menjadi
masalah, apa yang telah diketahui, apa yang belum diketahui, dan apa
yang diharapkan dari uji klinis yang direncanakan. Pertanyaan
penelitian dan hipotesis kemudian dirumuskan. Selanjutnya dipilih
desain yang sesuai untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Rekrutmen subyek penelitian dilakukan dengan ketat, melalui
kriteria inklusi dan eksklusi yang jelas dan tidak bermakna ganda.
Pemilihan subyek tentu didasarkan atas penyakit yang diteliti, namun
dengan kriteria ketat, misalnya umur, jenis kelamin, penegakan
diagnosis dengan cara tertentu, harus dipastikan tidak ada penyakit
lain (co-morbidity) yang bermakna, belum pernah diberikan obat yang
diteliti sebelumnya, tidak sedang menerima obat rutin yang lain, dan
mungkin masih banyak lagi kriteria yang harus dipenuhi untuk dapat
direkrut menjadi peserta UKR. Jumlah subyek yang diperlukan juga
dikalkulasi dengan mempertimbangkan banyak hal termasuk
kemungkinan untuk memvalidasi hipotesis dengan tingkat ketepatan
yang diinginkan.
Selanjutnya dilakukan proses randomisasi yang dilakukan
dengan cermat, dan dalam protokol harus disebut siapa yang
melakukan, dengan cara apa, berapa perbandingan subyek antar
kelompok, bagaimana tabel randomisasi disembunyikan, dan
seterusnya. Pada UKR dengan penyamaran (blinding) juga harus
dirinci bagaimana penyamaran dilakukan, dan bagaimana mencegah
kegagalan penyamaran. Pemberian obat atau intervensi juga
dilakukan dengan standar yang tinggi, berapa dosis yang diberikan,
kapan diberikan, dalam bentuk apa, dengan cara apa, dan seterusnya.
Untuk uji klinis yang berupa prosedur (medis atau bedah) tertentu
harus pula dipastikan siapa yang melakukan. Pemantauan terhadap
intervensi dan hasil intervensi juga dilaksanakan dengan cermat,
apakah ada perubahan klinis atau laboratorium, apakah ada efek
samping tertentu, dan seterusnya dimonitor dengan ketat selama
th
198 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
waktu yang ditentukan. Penilaian luaran (outcome) juga dilakukan
dengan cermat, dengan definisi operasional tertentu, siapa yang
melakukan, kapan dilakukan, dengan cara apa, apakah dilakukan
secara tersamar (blinded) dan seterusnya.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 199
dilaksanakan dalam praktik secara tepat. Akibatnya UKR pragmatik
pun tidak begitu saja dapat diterapkan dalam praktik sehari-hari.5
th
200 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Perbedaan RWE dan uji klinis dapat dilihat pada tabel berikut.
th
202 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
RWE dalam ranah praktis dan dalam regulasi
RWE dapat diamnfaatkan secara lokal dalam tata laksana
pasien di suatu rumah sakit, yakni dengan memanfaatkannya menjadi
bagian dari panduan praktik klinis (PPK), tentu dengan persyaratan
tertentu. Salah satu “syarat utama” adalah kelengkapan rekam medis
yang dapat dilaksanakan dengan penggunaan rekam medis elektronik
(RME). RME telah dilaksanakan pada hampir 100% rumah sakit di
Amerika Serikat; di Eropa lebih kecil penggunaannya, namun
diprediksi akan dilaksanakan maksimal dalam tahun-tahun pertama
dasawarsa 2020. Banyak rumah sakit di Asia juga telah
menggunakannya, namun belum nampak banyak digunakan di
Indonesia. Bila penggunaan RME menjadi salah satu syarat akreditasi
rumah sakit besar di Indonesia, niscaya dapat diperoleh data besar
yang dapat membantu peningkatan tata laksana pasien.
Di Amerika Serikat RWE bahkan sudah mulai dipertimbangkan
untuk diresmikan dalam regulasi oleh Food and Drug Administration,
namun dengan persyaratan yang amat ketat.8 FDA mendefinisikan
RWE sebagai “bukti klinis tentang penggunaan serta potensi manfaat
arau risiko produk medis dengan melakukan analisis RWD”. Analisis
yang dilakukan terhadap RWD harus dilakukan dengan metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ilmiah. Untuk penggunaan
obat atau prosedur medis, meskipun sebagian besar studi RWE
merupakan studi observasional, yang dapat dilakukan secara
retrospekstif maupun prospekstif, hendaknya mendekati persyaratan
yang dilakukan dalam UKR tradisional. Studi formal dengan proposal,
latar belakang, hipotesis, pengumpulan data dan analisisnya
hendaknya mengacu pada penelitian ilmiah tradisional. Yang dapat
diberi kelonggaran adalah pemilihan subyek penelitian yang ada
dalam praktik klinis sehari-hari. Diskusi tentang hal ini masih berlanjut,
dan aspek ini menjadi lebih dianggap penting dengan penerapan
jaminan kesehatan nasional (JKN) yang ada si hampir semua negara
saat ini.7,8-11,12
Daftar Pustaka
1. Straus SE, Glasziou P, Richardson WS, dkk. Evidence-based medicine.
How to practice and teach it. Edinburg: Churchill Livingstone, 2011.
2. Sastroasmoro S, penyunting. Menelusur asas dan kaidah evidence-based
medicine. Jakarta: Sagung Seto, 2014.
3. Sherman RE, Anderson SA, Dal Pan GJ, dkk. Real-world evidence —
What is it and what can it tell us? N Engl J Med. 2016;375:2294-7.
4. Katkade VB, Sanders KN, Zou KH. Real world data: an opportunity to
supplement existing evidence for the use of long-established medicines in
health care decision making. J Multidiscip Healthc 2018:11:295–304.
5. Dal-Ré R, Janiaud P, Ioannidis JPA. Real-world evidence: How pragmatic
are randomized controlled trials labeled as pragmatic? BMC Medicine.
2018;16:49-55.
6. ERT. Using patient generated real-world data to drive better informed
healthcare decisions. https://www.ert.com/wp-
content/uploads/2017/05/ERT-Patient-Generated-RWD-eBook-Pt1_May-
2017.pdf
7. Dreyer NA. Advancing a framework for regulatory use of real-world
evidence: When real is reliable. Ther Innov Regul Sci. 2018;52:362-8.
th
204 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
8. Belson NA. Regulatory applications of real world evidence.
https://www.thejournalofprecision medicine.com/wp-
content/uploads/2018/04/JPM-MARCH-APRIL-2018-Belsen.pdf
9. Ali A, Kanth AV, Mohanty R, dkk. Real world evidence: An overview of its
importance in the current scenario. Int J Pharm Sci Rev Res.
2016;39:251-254.
10. Yuan H, Ali S, Brouwer ES. Real-World Evidence: What It is and what it
can tell us according to the International Society for
Pharmacoepidemiology (ISPE) Comparative Effectiveness Research
(CER) Special Interest Group (SIG). Pharmacol Therap 2018 | www.cpt-
journal.com
11. Corrigan-Curay J, Sacks L, Woodcock J. Real-world evidence and real-
world data for evaluating drug safety and effectiveness. JAMA.
2018;320:867-868.
12. Chan KA. Real world evidence in Asia Pacific: are we ready? Is it helpful
for decision makers? https://www.ispor.org/docs/default-
source/.../taiwan=2nd-plenary –for-handouts.pdf?
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 205
th
206 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Rheumatic Fever: Primary versus Secondary Prophylaxis in
Clinical Practice
th
208 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
There are 2 methods to prevent the occurrence of RHD:
primary and secondary prophylaxis. Primary prophylaxis is achieved
by disrupting the initial transmission of GAS or by blocking the
progression of GAS infection to rheumatic fever. Secondary
prophylaxis is given following the attack of rheumatic fever to prevent
the progression to cardiac disease.8,9 The implementation of ARF
prophylaxis significantly reduce the burden of disease for RHD and it’s
following complications.10
Resume
RHD is a prevalent acquired heart disease in adolescents in
developing country. It occurs following ARF and carries high burden of
disease. Primary or secondary prophylaxis is effective and efficient to
th
210 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
prevent ARF. Several antibiotics are recommended for prophylaxis
with different route of administration, dose, and duration of therapy.
Reference
1. Seckeler MD, Hoke TR. The worldwide epidemiology of acute rheumatic
fever and rheumatic heart disease. Clin Epidemiol. 2011; 3:67-84
2. Gasse B, Baroux N, Rouchon B, Meunier J, Fremicourt ID, D’Ortenzio E.
Determinants of poor adherence to secondary antibiotic prophylaxis for
rheumatic fever recurrence on Lifou, New Caledonia: a retrospective
cohort study. BMC Public Health. 2013; 13:131
3. Park MK. Acute rheumatic fever. In: Park’s pediatric cardiology for
practitioners. Park MK, editor. Philadelphia: Elsevier, 2014. p.604-13
4. Al-Jazairi A, Al-Halees Z, Shahid M, Al-Jufran M, Al-Mayouf S, Al-Rajhi A,
et al. Guidelines for the secondary prophylaxis of rheumatic heart disease
endorsed by Saudi Pediatric Infectious Disease Society (SPIDS). IJPAM.
2017; 4:47-50
5. Okello E, Longenecker CT, Beaton A, Kamya MR, Lwabi P. Rheumatic
heart disease in Uganda: predictors of morbidity and mortality one year
after presentation. BMC Public Health. 2013; 13: 131
6. Eroglu AG. Update on diagnosis of acute rheumatic fever: 2015 Jones
criteria. Turk Pediatri Ars. 2016; 51:1-7
7. Park MK. Congestive heart failure. In: Park’s pediatric cardiology for
practitioners. Park MK, editor. Philadelphia: Elsevier, 2014. p.737-59
8. Robertson KA, Volmink JA, Mayosi BM. Antibiotics for the primary
prevention of acute rheumatic fever: a meta-analysis. BMC Cardiovasc
Disord. 2005; 5:11
9. World Health Organization. WHO model prescribing information: drugs
used in the treatment of streptococcal pharyngitis and prevention of
rheumatic fever. Geneva: World Health Organization. 1999. p.5-13
10. Zulkhe LJ. Karthikeyan G. Primary prevention for rheumatic fever. Glob
Heart. 2013; 8:221-6
11. Wyber R, Taubert K, Marko S, Kaplan EL. Benzathine penicillin G for the
management of RHD. Glob Heart. 2013; 3:227-34
12. Yadav DK, Anand P, Bhutta E. Failure of secondary prophylaxis with
erythromycin in rheumatic heart disease. Indian Pediatr. 2013; 50:1058-9
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 211
th
212 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Diphtheritic Myocarditis: Old Enemy Has Back
Abstrak
Difteri adalah penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh Corynebacterium diphtheria yang ditandai adanya pembentukan
pseudomembran pada kulit dan atau mukosa. Penyulit difteri dapat
terjadi sebagai akibat obstruksi jalan napas, aktivitas eksotoksin,
ataupun karena infeksi sekunder bakteri lain. Penanganan yang
terlambat pada difteri dapat menyebabkan timbulnya komplikasi
seperti miokarditis.
Miokarditis adalah sindroma klinis yang ditandai dengan peradangan
miosit jantung akibat dari infeksi, toksis atau autoimun. Pada
miokarditis difteria kerusakan miokardium disebabkan toksik yang
dikeluarkan hasil mikrobakteri. Toksin difteri akan menghambat
sintesis protein dan secara mikroskopis akan didapatkan miosit
dengan infiltrasi lemak serat otot jantung mengalami nekrosis hialin.
Miokarditis menjadi salah satu komplikasi difteri yang paling ditakuti
dan penyebab utama kematian pada pasien difteri dimana 50% pasien
difteri yang meninggal disebabkan miokarditis difteri. Angka kejadian
miokarditis difter bertambah pada populasi anak yang tidak
mendapatkan imunisasi DPT.
Deteksi dini dan inisiasi terapi awal menjadi salah satu langkah yang
penting dalam penanganan miokarditis difteri untuk menentukan
prognostik pasien sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas anak dengan difteri.
Kata kunci: Difteri, miokarditis
Pendahuluan
Miokarditis adalah sindroma klinis yang ditandai dengan
peradangan miosit jantung yang disebabkan karena infeksi, toksik atau
autoimun. Patofisiologi miokarditis belum sepenuhnya dimengerti.1
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 213
Miokarditis jarang terjadi tetapi memiliki tingkat kematian yang
tinggi dan seringkali sulit didiagnosis karena sering tanpa disertai
gejala atau hadir dengan tanda dan gejala yang menyerupai penyakit
lain.1-3 Miokarditis memiliki gejala dan tanda yang bervariasi mulai dari
gagal jantung kongesti hingga syok kardiogenik. Temuan yang paling
umum ditemui pada anak-anak dengan miokarditis adalah takipnea,
retraksi interkostal, takikardia, dan grunting. Mortalitas miokarditis
pada bayi dan anak-anak cukup tinggi yakni sekitar 75% pada bayi
dan 25% pada anak.1,4
Salah satu miokarditis yang penting untuk dideteksi dini pada
negara berkembang adalah miokarditis karena kuman difteria, yang
disebut miokarditis difteria. 10-20% anak dengan difteri dapat
mengalami kejadian miokarditis difteria. Angka kejadian miokarditis
infeksi semakin meningkat terutama pada populasi anak yang tidak
mendapatkan imunisasi difteri sebelumnya dengan angka kematian
yang tinggi.5,6
Pada miokarditis difteria kerusakan miokardium disebabkan
toksik yang dikeluarkan hasil mikrobakteri.7 Toksin difteri akan
menghambat sintesis protein dan secara mikroskopis akan didapatkan
miosit dengan infiltrasi lemak serat otot jantung mengalami nekrosis
hialin. Miokarditis menjadi salah satu komplikasi difteri yang paling
ditakuti dan penyebab utama kematian pada pasien difteri dimana
50% pasien difteri yang meninggal disebabkan miokarditis difteri.
Deteksi dini dan inisiasi terapi awal menjadi salah satu langkah yang
penting dalam penanganan miokarditis difteri untuk menentukan
prognostik pasien sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas.5,8
Miokarditis difteria terjadi pada 10-20% penderita dipteri
orofaring dan mempunyai angka kematian yang tinggi dan umumnya
terjadi pada anak-anak.9 Selama tahun 2017 di Indonesia KLB Difteri
terjadi di 170 kabupaten/kota dan di 30 provinsi, dengan jumlah
sebanyak 954 kasus, dengan kematian sebanyak 44 kasus.
Sedangkan pada tahun 2018 (hingga 9 Januari 2018), terdapat 14
laporan kasus dari 11 kab/kota di 4 propinsi (DKI, Banten, Jabar dan
Lampung), dan tidak ada kasus yang meninggal.10
Pada tahun 2018 tidak ada penambahan Kabupaten/Kota yang
melaporkan adanya KLB Difteri. Data terakhir, terdapat 85 kab/kota
dari total 170 kab/kota yang sudah tidak melaporkan kasus baru. Itu
artinya KLB di 85 Kabupaten Kota tersebut bisa dikatakan berakhir.10
th
214 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Kematian pada anak dengan difteri pada umumnya disebabkan
komplikasi dari miokarditis yang berupa total AV blok, gagal jantung
dan oleh karena sumbatan jalan napas.11
Miokarditis
Miokarditis merupakan penyakit inflamasi pada miokard, yang
bisa disebabkan karena infeksi maupun non-infeksi. Patofisiologi
miokarditis belum sepenuhnya dimengerti, miokarditis primer diduga
karena infeksi virus akut atau respon autoimun pasca infeksi viral.
Miokarditis sekunder adalah inflamasi miokard yang disebabkan
pathogen spesifik. Patogen ini mencakup bakteri, spiroseta, riketsa,
jamur, protozoa, obat, bahan kimia, obat fisika, dan penyakit inflamasi
lain seperti lupus erimatosus sistemik.
Pada sebagian besar pasien, miokarditis tak dapat diduga
karena disfungsi jantung bersifat subsklinis, asimtomatk dan sembuh
sendiri (self limited). Oleh karena miokarditis biasanya asimtomatik,
maka data epidemiologi yang ada berasal dari penelitian pasca
mortem. Pada pemeriksaan pasca mortem miokarditis ditemukan
sekitar 1-9%, sehingga diduga miokarditis adalah penyebab
utamakematian mendadak1,2
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 215
• Non-infeksi:
- Obat-obatan yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas:
o Antibiotik: sulfonamide, penicillin, kloramfenikol, amfoterisin B,
tetrasiklin, streptomisin
o Antituberkulosis: isoniazid, para-aminosalicylic acid
o Antikonvulsan: penindion, fenitoin, karbamazepin
o Anti-inflamasi: indometasin, fenibutason
o Diuretik: asetazolamid, klortalidon, hidroklorotiazid,
spironolakton
o Lain-lain: amitriptilin, metildopa, sulfonilurea
- Obat-obatan yang tidak menyebabkan reaksi
hipersensitivitas:
o Kokain, siklofosfamid, litium, interferon alpha
- Penyebab selain obat-obatan:
o Radiasi, giant-cells, myocarditis.
Miokarditis Difteri
Penyakit difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh
spesies dari Corynebacterium diptheriae.12 Penyakit difteri sangat
menular dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada
mukosa orofaring.7 Corynebacterium diphtheriae merupakan kuman
batang Gram-positif, tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, mati pada pemanasan 60oC, tahan dalam keadaan
beku dan kering. Dengan pewarnaan, kuman bisa tampak dalam
susunan palisade, bentuk V, L atau Y, atau merupakan kelompok
dengan formasi mirip huruf Cina. Dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu
gravis, mitis dan intermediet, yang paling ganas adalah tipe gravis.
Kuman tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi
lebih baik dalam media yang mengandung K-tellurit atau media
Loeffler13
th
216 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Pseudomembran pada tonsil
Meskipun insidensi penyakit ini menurun di seluruh dunia,
namun difteria masih terjadi pada negara berkembang dengan tingkat
imunisasi yang buruk dalam melawan difteria.12 Pada waktu terjadinya
endemis difteria, terutama menyerang anak <15 tahun. dengan
diperkenalkannya imunisasi toxoid, penyakit ini berpindah ke orang
dewasa yang tidak memiliki kekebalan alami terhadap C. diptheriae
yang toksigenik pada era vaksin dan pada individu yang memiliki
tingkat booster imunisasi yang rendah.9,14
Manifestasi penyakit difteri tergantung pada berbagai faktor,
bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai hipertoksik serta fatal.
Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,
virulensi serta toksigenitas C. diphteriae (kemampuan kuman
membentuk toksin) dan lokasi penyakit secara anatomis.1 Difteria
mempunyai masa tunas 2-6 hari. Pasien umumnya datang untuk
berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam
jarang melebih 38,9oC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada
lokalisasi penyakit difteria.
Diagnosis penyakit difteri ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
klinis dan laboratoris, namun pengobatan diberikan tanpa menunggu
hasil laboratorium karena komplikasinya yang cepat. Untuk
memudahkan dilapangan dan tatalaksana diagnosis dibagi menjadi 1.
Suspek difteri,2.probable difteri dan 3.kasus konfirmasi laboratorium
difteri,4 kasus konfirmasi hubungan epidemiologi, 5. Kasus kompatibel
klinis, 6. Kasus kontak, 7.kasus karier. Beberapa hal yang
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 217
menyebabkan kembalinya insiden penyakit difteri a.l: adanya program
imunisasi yang tidak lengkap, program imunisasi yang tak tercapai
sempurna, adanya gerakan antivaksin di masyarakat, tidak adanya
pelaksanaan vaksin tiap kurun waktu 10 tahun, dan kesadaran
masyarakat yang sangat kurang tentang bahaya penyakit difteri.
Miokarditis difteri merupakan komplikasi kardiovaskular dari
difteri yang merupakan infeksi respiratorik akut yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheria. Penyakit ini ditandai oleh adanya
tonsillitis faringeal dan/atau laryngitis, membentuk suatu tipikal
pseudomembran faringitis warna abu-abu dan simptom yang terjadi
disebabkan oleh exotoxin.3
th
218 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
dilakukan selama 3 bulan dengan angka kesembuhan kurang lebih
50%.4
Insidensi
Miokarditis difterika dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:
1. Virulensi biotipe difteri (mitis, gravis atau intermedia); semakin
virulen akan semakin tinggi komplikasi jantung , gravis biasanya
lebih berat.
2. Lokasi kuman
Walaupun dapat terjadi pada semua keadaan, komplikasi pada
sistem kardiovaskular yang terbanyak didapatkan pada tonsilitis
difterika dengan bullneck
3. Vaksinasi difteri yang telah didapat sebelumnya
Bila anak telah mendapatkan vaksinasi, biasanya tidak didapatkan
adanya komplikasi pada sistem kardiovaskular.
4. Pengaruh Kortikosteroid terhadap miokarditis belum dapat
dibuktikan.
Secara umum insiden komplikasi difteri pada sistem kardiovaskular
sekitar 10-20% dan 50% kasus difteri meninggal disertai adanya
komplikasi kardiovaskular.15
Patogenesis
Toksin Difteri, yang disekresi oleh strain toksigenik dari C.
diphtheriae, adalah polipeptida tunggal Mr 58.342. Strain toksigenik C.
diphtheriae membawa struktur gen tox yang ditemukan di lisogenik
corynebacteriophages β tox+, γ tox+, dan ω tox+. Strain yang sangat
toksik mempunyai dua atau tiga gen tox+ yang dimasukkan ke genom.
Ekspresi gen diatur oleh bakteri host dan tergantung zat besi. Pada
konsentrasi zat besi yang rendah, regulator gen dihambat,
mengakibatkan peningkatan produksi toksin. Toksin diekskresikan dari
sel bakteri dan mengalami pembelahan untuk membentuk dua rantai,
A dan B, yang diikat bersama oleh ikatan disulfida yang merantaikan
antara residu sistein pada posisi 186 dan 201. Peningkatan
konsentrasi toksin, efek toksik melebihi daerah setempat disebabkan
oleh distribusi toksin di sirkulasi. Toksin difteri tidak memiliki organ
target khusus, tapi miokardium dan saraf perifer yang paling
terpengaruh. Setelah invasi oleh bakteriofag, patogen menghasilkan
eksotoksin yang menghambat elongasi intraseluler faktor 2 dan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 219
sintesis protein. Kerusakan pada jantung meliputi edema, kongesti,
infiltrasi oleh sel mononuklear, dan perubahan lemak dalam serat otot
dan sistem konduksi. Toksin dapat mengurangi ambang eksitasi dari
miokardium yang rusak16
Mekanisme kerusakan miokardium akibat miokarditis difteria
akibat dari pelepasan toksin oleh basilus difteria, yang menyebabkan
gangguan konversi asam amino dari asam ribonukleat terlarut menjadi
struktur polipeptida, sehingga menghambat sintesis protein.6,15
Gambaran Klinis
Penyakit ini umumnya terjadi pada anak-anak, terutama pada
musim dingin dan musim semi. Penyakit ini ditularkan melalui droplet
dan dapat juga secara tidak langsung melalui mainan, pakaian dan
peralatan yang digunakan. Umumnya simptom yang muncul sebagai
berikut:17
1. Tanda infeksi seperti demam, mual, muntah, adanya
pseudomembran difteria yang terbentuk pada faring, tenggorokan,
hidung, biasanya dapat juga muncul pada kulit dan disertai
pembesaran nodus limfatikus lokalis atau disebut dengan istilah
“bovine neck”, difteria dapat muncul sebagai tanda obstruktif pada
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 221
traktus respiratorius, buzzing pada saat inspirasi atau tanda
“concave tiga”.
2. Keterlibatan sistem sirkulasi termasuk fatigue, pucat, sianosis,
dyspnea, dan symptom lainnya. Pemeriksaan jantung
menunjukkan adanya pembesaran ringan sampai moderate pada
jantung, bunyi jantung yang jauh dan melemah, takikardia atau
bradikardia (terutama terjadinya blok pada konduksi
atrioventricular), bising sistolik yang halus di apikal dan bunyi
gallop diastolic dapat terjadi pada regio apikal, kardiomiopati
ekstensif dapat menyebabkan shock kardiogenik, terutama pada
periode 2 minggu pertama setelah onset, sering kulit tampak pucat,
mual, muntah, keluhan seperti nyeri perut, diikuti oleh ekstremitas
inferior yang teraba dingin, pulsasi yang lemah, penurunan tekanan
darah. Selain itu, pengaruh toksik exotoxin difteria terhadap
pembuluh darah perifer dan pusat vasomotor dapat menjadi
penyebab shock. Beberapa keluhan lain juga dapat muncul seperti
gagal jantung kongestif, termasuk tanda dan gejala dari kongestif
pulmonal dan kongestif sistemik.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah. Pada pemeriksaan ini mungkin menunjukkan
adanya peningkatan jumlah leukosit dengan proporsi neutrophil
yang meningkat. Pada kasus yang berat, partikel toksik mungkin
dapat dilihat pada leukosit dan neutrophil.
2. Pemeriksaan hapusan bakteri. Pemeriksaan swab pada jaringan
yang menghubungkan pseudomembran dan membrane mukosa,
pemeriksaan hapusan dan kultur bakteri, sering menemukan
adanya gambaran basilus gram positif atau basilus diteria, kultur
bakteri dapat pula memberikan hasil positif, jika diperlukan dapat
melakukan pemeriksaan toksin dan virulensi bakteri.
3. Adanya pseudomembran lain yang muncul dan jika diperiksa
dengan hapusan dengan cairan kalium ferrate yang menunjukkan
bahwa pseudomembran yang lain akan menunjukkan warna hitam.
4. Pemeriksaan EKG. Pada pemeriksaan EKG dapat terlihat adanya
ST depresi awal, gelombang T flat, atau T inversi, sering tampak
gambar sinus takikardia diikuti oleh berbagai variasi AV blok
dengan derajat yang bervariasi, kejadian blok konduksi komplit
memberikan prognosis yang kurang baik terutama pada fase akut
th
222 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
kematian, kondisi lain seperti blok bundle branch, sinus
bradikardia, premature ventricular contraction, paroxysmal
takikardia, atrial flutter atau kelainan EKG karena gemetar.
5. Pemeriksaan X-Ray dan echocardiografi jantung. Pemeriksaan ini
memberikan gambaran ukuran jantung apakah terjadi pembesaran
mulai ringan sampai moderate, fungsi jantung secara keseluruhan,
seperti cardiac output pasien, penurunan fraksi ejeksi jantung dan
fungsi lainnya.
6. Echocardiografi
Tidak ada gambaran ekokardiografi yang spesifik untuk miokarditis.
Namun, echocardiografi memungkinkan evaluasi ukuran ruang
jantung dan tebal dinding sebagai penanda fungsi sistolik dan
diastolik pada pasien dengan miokarditis.
7. Pemeriksaan enzyme jantung:
Pemeriksaan yang dapat dikerjakan untuk membantu diagnosis
Miokarditis difteri a.l SGOT, CKMB, Troponin T dimana pada
pemeriksaan tersebut akan terlihat kenaikan kadar enzim.
Creatinin Kinase MB (CKMB)
CKMB adalah enzim jantung yaitu creatinine kinase (CK) yang
disusun oleh sub unit M dan atau B. Creatin kinase berperan
sebagai pengatur produksi fosfat berenergi tinggi dan
pemanfaatannya untuk kontraksi jaringan. Secara umum CK ini
berperan sebagai perantara ikatan fosfat berenergi tinggi melalui
kreatin fosfat dari mitokondria ke sitoplasma. CKMB banyak
ditemukan di otot jantung. Bila ada kerusakan pada otot jantung
CK dan CKMB akan meningkat tetapi namun CKMB lebih spesifik.
Kadar CKMB normal <24 U/L. enzim dan bila terjadi cidera miokard
akan meningkat.
Troponin T
Troponin T merupakan protein spesifik yang berasal dari miokard
terdiri dari 3 subunit yaitu T, I, C dimana fungsinya adalah regulasi
kontraksi otot jantung dan otot rangka khususnya pada regulasi
aktin dan myosin. Troponin T yang terdapat di interseluler
berikatan dengan myofibril di miosit jantung, sehingga Troponin T
yang terdapat di Cytosolic pool sebesar 6-8% saja, fungsi cytosolic
pool adalah sumber keluarnya Troponin apabila ada cedera.
Pelepasan Troponin T dimulai pada 4-6 jam setelah cidera dan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 223
mencapai puncaknya pada 12-24 jam dan akan menjadi normal
kembali setelah 7-10 hari.
Diagnosis
Pasien yang menunjukkan tanda infeksi dan adanya lesi
pseuromembran pada tenggorokan mungkin muncul dengan berbagai
manifestasi adanya keterlibatan miokardium, termasuk kelainan
gambaran ekg, gangguan sirkulasi, atau gagal jantung kongestif.
Miokarditis akibat difteria dapat dipertimbangkan dan pemeriksaan
bakteriologi positif mungkin membantu untuk mengkonfirmasi
diagnosis tersebut.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 225
dosis konvensional untuk mencegah inhibisi yang berlebihan
terhadap miokardium. Selain itu, perhatian harus diberikan untuk
menjaga keseimbangan antara cairan dan elektrolit.3
Prognosis
Prognosis miokarditis difterika tergantung kepada berat
ringannya penyakit, kelainan EKG, tingginya kadar SGOT yang
menunjukkan derajat kerusakan miokard. Angka kematian berkisar
antara 20-70% dengan angka rata-rata sebesar 50%. Pada kasus
dengan kelainan EKG berupa perubahan ST-T prognosis lebih baik.
th
226 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Pada kasus gangguan konduksi, umumnya prognosis lebih buruk.
Gangguan konduksi yang berat misalnya blok A-V komplet, disosiasi
AV umumnya berakhir fatal, walaupun telah dicoba dengan berbagai
macam obat anti-aritmia 5,8
Pada miokarditis, angka kematiannya masih tinggi. Bila
penderita dengan gangguan konduksi ringan dapat sembuh sempurna
tanpa gejala sisa maka umumnya penderita dengan gangguan
konduksi berat berakhir dengan kematian. Makin dini terjadi komplikasi
makin buruk prognosisnya. Dengan kemajuan tekhnologi, alat pacu
jantung diharapkan dapat menggantikan obat anti-aritmia tadi dan
kiranya dapat memperbaiki prognosis yang fatal1,6
Pencegahan
Secara umum pencegahan yang dilakukan sama dengan
pencegahan terhadap difteri. Pencegahan miokarditis difteria meliputi12
1. Untuk melindungi populasi yang rawan, kendalikan sumber infeksi,
isolasi pasien yang diobati sampai symptom menghilang, dan hasil
pemeriksaan swab tenggorokan menunjukkan hasil negative.
2. Potong jalur transmisi
3. Untuk meningkatkan imunitas tubuh dapat digunakan vaksin
ataupun injeksi toksoid difteria.
Kesimpulan
Miokarditis difteri merupakan salah satu komplikasi penyakit
difteri yang mortalitasnya masih cukup tinggi. Di Indonesia penyakit
difteri masih menjadi masalah kesehatan masyarakat (kejadian luar
biasa dan endemis dibeberapa kabupaten) walaupun telah dilakukan
program imunisasi DPT. Penyakit yang insidennya pernah menurun (th
1990) dengan cakupan program imunisasi yang tinggi namun timbul
kembali tahun 2009 dan berangsur angsur meningkat dibeberapa
tempat di Indonesia. Meningkatnya kasus difteri juga akan
meningkatkan kejadian miokarditis dan akan meningkatkan kematian.
Daftar Pustaka
1. Tavli V, Guven B. Myocarditis in Childhood: An Update on Etiology,
Diagnosis and Management. Myocarditis: InTech; 2011.
2. Schultheiss H-P, Kühl U, Cooper LT. The management of myocarditis.
European heart journal 2011;32:2616-25.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 227
3. Mahfoud F, Cooper BT, Barth C, et al. Update on myocarditis. Journal of
the American College of Cardiology 2012.
4. Shamna R, Lalitha A, Lini B. Myocarditis in children. The Indian Journal of
Pediatrics 2014;81:397-400.
5. Sayers EG. Diphtheritic myocarditis with permanent heart damage.
Annals of internal medicine 1958;48:146-57.
6. Boyer NH, Weinstein L. Diphtheritic myocarditis. New England Journal of
Medicine 1948;239:913-9.
7. Brady WJ, Ferguson JD, Ullman EA, Perron AD. Myocarditis: emergency
department recognition and management. Emergency Medicine Clinics
2004;22:865-85.
8. Dung NM, Kneen R, Kiem N, et al. Treatment of severe diphtheritic
myocarditis by temporary insertion of a cardiac pacemaker. Clinical
infectious diseases 2002;35:1425-9.
9. Rintani A, Mintarsih T, Muliawan YMRB, Siregar JS, Widodo AP. Faktor-
faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian luar biasa difteri di
negara berkembang. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat 2018;9.
10. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pemerintah optimis klb difteri
bisa teratasi. 2018, Januari 13.
11. Krugman S, Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL. Krugman's infectious
diseases of children: Mosby Inc; 2003.
12. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BM. Nelson textbook of
pediatrics: Elsevier Health Sciences; 2007.
13. Efstratiou A, Engler KH, Mazurova IK, Glushkevich T, Vuopio-Varkila J,
Popovic T. Current Approaches to the Laboratory Diagnosis of Diphtheria.
The Journal of Infectious Diseases 2000;181:S138-S45.
14. Jain A, Samdani S, Meena V, Sharma MP. Diphtheria: It is still prevalent!!!
International journal of pediatric otorhinolaryngology 2016;86:68-71.
15. Warthin AS. The myocardial lesions of diphtheria. The Journal of
Infectious Diseases 1924:32-66.
16. Hadfield TL, McEvoy P, Polotsky Y, Tzinserling VA, Yakovlev AA. The
pathology of diphtheria. Journal of Infectious Diseases 2000;181:S116-
S20.
17. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Edisi Kedua, Badan Penerbit IDAI, Jakarta 2008:122-7.
18. Soetono S, Soeroso S, Sutikno W. Effect of carnitine in diphtheria: A
preliminary report. Paediatrica Indonesiana 1999;39:102-7.
19. Ramos A, Barrucand L, Elias P, Pimentel A, Pires V. Carnitine
supplementation in diphtheria. Indian pediatrics 1992;29:1501-5.
20. Ramos ACMF, Elias PRP, Barrucand L, Da Silva JAF. The protective
effect of carnitine in human diphtheric myocarditis. Pediatric research
1984;18:815.
th
228 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Practical Approach of Endocarditis Prevention in Daily
Practices
Epidemiologi
Endokarditis Infektif lebih jarang terjadi pada anak dari pada
orang dewasa. Angka kejadiannya sekitar 1 per 1280 pasien anak
yang dirawat di Rumah Sakit dalam satu tahun.10 Endokarditis Infektif
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 229
lebih sering terjadi akibat komplikasi penyakit jantung bawaan seperti
defek septum ventrikel, duktus arteriosus persisten, Tetralogi Falot,
abnormalitas katup aorta, dan penyakit jantung reumatik, namun
penyakit ini juga dapat terjadi pada anak tanpa adanya kelainan
jantung.10,11
Etiologi
Pada umumnya organisme yang menyebabkan EI pada anak
adalah kokus gram positif, terutama kelompok Streptococcus viridans
(seperti S. sanguis, S. mitis, S. mutans), Stafilokokus dan
Enterokokus. Endokarditis Infektif yang disebabkan kelompok
Streptococcus viridans sering terjadi setelah tindakan gigi dan
mulut.12,13
Patogenesis
Endotelium jantung yang intak merupakan stimulator yang
buruk untuk terjadinya koagulasi darah dan bakteri tidak mudah
menempel. Endotelium yang rusak atau hilang berpotensi
menyebabkan trombogenesis dan membentuk sarang yang menjadi
tempat menempelnya bakteri dan membentuk vegetasi yang terinfeksi.
Pada anak dengan penyakit jantung berhubungan dengan adanya
aliran darah bertekanan tinggi yang dapat merusak endotelium.
Trombogenesis terjadi pada tempat tersebut dan menyebabkan
deposisi trombosit, fibrin, sel darah merah dan membentuk
endokarditis trombotik nonbakterial. Bila terjadi bakteriemia maka
bakteri akan melekat pada lesi endokarditis trombotik nonbakterial
tersebut. Trombosit dan fibrin akan terkumpul disekitar organisme dan
menyebabkan pembesaran vegetasi serta melindungi organisme
tersebut dari sel fagositik dan mekanisme pertahanan tubuh lain.8,10
Adanya pembengkakan, perdarahan atau perubahan warna,
konsistensi dan kontur dari gusi dapat mengakibatkan bakteriemi yang
potensial menyebabkan endokarditis infektif.
Manifestasi klinik
Gejala klinis EI biasanya tidak jelas, berupa panas badan yang
lama dan tidak begitu tinggi, cepat capai, atralgia, mialgia, penurunan
berat badan, splenomegali dan anemia.10,13,14 Manisfestasi klinik
terdapat pada Tabel 1
th
230 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 1. Manifestasi klinik endokarditis infektif
Riwayat:
- Penyakit jantung bawaan atau penyakit jantung rematik
- Setelah tindakan gigi dan mulut, saluran urogenital atau
gastrointestinal
- Pemakaian obat-obatan intravena
- Pemasangan kateter vena sentral
- Katup jantung buatan
Gejala klinis:
Demam, nyeri dada dan perut, artralgia atau mialgia, sesak nafas, malaise,
keringat malam, berat badan menurun, gejala neurologis.
Tanda klinis:
Demam, takikardia, petekie, nodus Osler, Splinter hemorhage, Roth’s spot,
lesi Janeway, murmur baru/perubahan murmur, splenomegali, jari tabuh,
artritis, glomerulonefritis, abses miokard, gagal jantung.
Pemeriksaan Penunjang
Mikrobiologi
Kultur darah diperiksa 3 kali dengan pengambilan darah vena
yang terpisah pada hari pertama dan 2 kali pada hari kedua.10 Pada
Endokarditis Infektif dapat ditemukan kultur darah negatif (5-7%)
namun mempunyai gejala dan ekokardiografi menunjukan adanya EI.
Penyebab utama kultur negatif pada EI umumnya disebabkan
penderita telah mendapat terapi antibiotika. Kultur darah sebaiknya
diulang 1 sampai 2 kali setelah 8 minggu pengobatan antibiotika
selesai untuk memastikan penyembuhan dan mendeteksi rekurensi.10
Ekokardiografi
Ekokardiografi dapat menunjukkan adanya vegetasi, abses,
insufisiensi katup yang baru, dan perubahan pola aliran intrakardiak.8
Pemeriksaan lain
Dapat ditemukan anemia yang bersifat hemolitik. Leukositosis
tidak selalu ditemukan, pada tipe yang akut leukositosis lebih nyata
daripada yang subakut. Pada penderita dengan glomerulonefritis
dapat ditemukan hematuria dan proteinuria.4,5 Pada penderita EI juga
terjadi peningkatan CRP dan hipergamaglobulin.4,14 Pemeriksaan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 231
radiologi berupa foto torak untuk memastikan kardiomegali pada
penderita Endokarditis Infektif dengan gagal jantung.8
Diagnosis
Diagnosis Endokarditis Infektif ditegakkan berdasarkan kriteria
Duke yang dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.10
Ditolak
1. Tegaknya diagnosis alternatif untuk manifestasi endokarditis atau
2. Manifestasi endokarditis menghilang dengan terapi antibiotik selama ≤
4 hari atau
3. Tidak terdapat kelainan patologi saat operasi atau otopsi setelah
pemberian terapi antibiotik selama ≤4 hari
8
Dikutip dari
Tata Laksana
Medikamentosa
Pengobatan EI diberikan segera setelah kultur darah diambil,
dan sambil menunggu organisme dapat diidentifikasi maka
pengobatan harus diberikan untuk organisme yang dicurigai. Bila
kuman sudah dapat diidentifikasi maka pemberian antibiotika harus
disesuaikan dengan kuman penyebab.12,13
Operatif
Tindakan Operatif pada Endokarditis Infektif dilakukan atas indikasi
emboli yang rekuren, gagal jantung sedang-berat, timbulnya
aneurisma, obstruksi valvular, perluasan infeksi perivalvular, EI yang
disebabkan oleh jamur, bakteriemia yang persisten dengan terapi
antibiotika, ruptur septum ventrikel.12,13
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 233
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada Endokarditis Infektif adalah:
1. Gagal jantung8,12,13
Gagal jantung yang terjadi pada Endokarditis Infektif sebesar 55%
dan merupakan komplikasi yang paling sering menyebabkan
kematian. Gagal jantung disebabkan adanya regurgitasi katup,
perforasi daun katup yang terutama mengenai katup aorta dan
mitral.
2. Embolisasi 8,12,13
Komplikasi emboli pada EI terutama terjadi pada lesi yang besar
(vegetasi >10 mm). Infeksi stafilokokus dan jamur mempunyai
risiko lebih besar untuk terjadinya emboli. Komplikasi ini biasanya
terjadi pada minggu kedua sampai keempat terapi. Pada EI yang
akut dapat terjadi komplikasi emboli sebesar 50 - 60%, sedangkan
pada yang subakut sebesar 12-35%.
3. Manifestasi neurologi8
Manifestasi neurologi yang terjadi pada Endokarditis Infektif
sebesar 40 -50%. Manifestasi neurologi terjadi karena emboli pada
susunan saraf pusat berupa meningismus, perdarahan intrakranial,
infark arteri serebri, abses otak.
4. Aneurisma mikotik8,12,13
Aneurisma mikotik yang terjadi pada Endokarditis Infektif sebesar
3-15%. Biasanya terletak pada aorta bagian proksimal/Sinus
Valsava, arteri serebri, arteri viscera dan arteri ekstremitas.
Aneurisma mikotik dapat mengakibatkan ruptur.
5. Komplikasi lain10
Abses miokard, aritmia, gagal ginjal, bakteriemia atau fungemia
persisten.
Pencegahan
Tindakan pencegahan perlu dilakukan pada berbagai prosedur
yang menyebabkan bakteriemia, sehingga menurunkan insidensi EI.
Semua anak yang mempunyai faktor risiko sebaiknya menjaga
kebersihan rongga mulut untuk mengurangi sumber bakteriemia.9
Indikasi pemberian profilaksis antibiotika yang direkomendasikan
th
234 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
American Heart Assosciation dan pemberian antibiotika profilaksis
dapat dilihat pada Tabel 8, 9 dan 10. 10
Pencegahan endokarditis infektif tidak hanya ditujukan
terhadap bakteriemi yang timbul akibat tindakan di ruang praktek
dokter gigi, namun juga yang timbul akibat kebersihan mulut yang
rendah dan gigi yang tidak terawat. Sehingga penting sekali bagi
praktisi kesehatan untuk memahami pedoman American Heart
Association tentang pemberian antibiotika pencegahan terhadap
endokarditis infektif demikian juga dengan perawatan gigi sehari hari
untuk menjaga kesehatan sekitar mulut sehingga mengurangi
bakteriemi dan endokarditis.
1. Risiko tinggi:
a. Katup jantung buatan
b. Menderita EI sebelumnya
c. PJB sianotik kompleks (seperti tetralogi falot, ventrikel tunggal,
transposisi arteri besar)
d. Shunt sistemik-paru
2. Risiko sedang
a. Hampir semua PJB (selain yang diatas dan yang dibawah ini)
b. Disfungsi katup didapat (seperti penyakit jantung rematik)
c. Kardiomiopati hipertropik
d. Prolaps katup mitral dengan regurgitasi katup dan/atau penipisan
daun katup
Dikutip dari 10
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 235
Tabel 5. Prosedur gigi yang memerlukan profilaksis terhadap
Endokarditis Infektif
Rekomendasi Pencegahan*
- Ekstraksi gigi
- Prosedur periodontal meliputi pembedahan, skeling, root planing,
probing dan pemeliharaan
- Penempatan dental implant dan reimplantasi gigi yang avulsi
- Instrumentasi endodontik (root canal) atau pembedahan diatas
apeks
- Pemasangan fiber antibiotik subginggival
- Pemasangan awal orthodontic bands, tetapi bukan bracket
- Injeksi anestesi lokal intraligamentum
- Pembersihan pencegahan pada gigi atau implant apabila terdapat
perdarahan
th
236 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 6. Regimen profilaksis pada tindakan gigi, mulut, saluran nafas
atas dan esophagus
Keadaan Obat Dosis
Profilaksis standar Amoksilin 50 mg/kgBB po 1 jam sebelum
tindakan
Tidak dapat minum Ampisilin 50 mg/kgBB IV/IM 30 menit
obat sebelum tindakan
Alergi penisilin Klindamisin 20 mg/kgBB po 1 jam sebelum
atau tindakan
Sefaleksin/ 50 mg/kgBB po 1 jam sebelum
sefadroksil tindakan
atau
Azitromisin/ 15 mg/kgBB po 1 jam sebelum
Klaritromisin tindakan
Alergi penisilin dan Klindamisin 20 mg/kgBB IV 30 menit sebelum
tidak dapat minum atau tindakan
obat Sefazolin 25 mg/kgBB IV/IM 30 menit
sebelum tindakan
12,13
Dikutip dari
th
238 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Perawatan gigi sehari-hari
Perawatan gigi sehari hari pada anak dengan penyakit jantung
sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya Endokarditis
Infektif. Kebersihan mulut yang buruk akan mengakibatkan gingivitis
kronis dan penyakit periodontium, atau abses yang mengakibatkan
kerusakan gigi yang akan berdampak terhadap timbulnya bakteriemi
walaupun tanpa adanya tindakan perawatan gigi. Sebelumnya,
diyakini bahwa setengah kasus Endokarditis Infektif disebabkan oleh
bakteriemi yang disebabkan oleh tindakan medis atau tindakan
perawatan gigi oleh dokter gigi. Ternyata hanya 10% dari seluruh
kasus Endokarditis Infektif yang disebabkan oleh tindakan medis atau
gigi. Sedangkan yang berhubungan dengan tindakan perawatan gigi
saja hanya 4% dari seluruh kasus endokarditis infektif. Kondisi mulut
yang tidak sehat yang mengakibatkan gingivitis, perdarahan gusi,
penyakit periodontium dan abses yang berakibat pembusukan gigi
dapat menimbulkan bakteriemia yang terjadi ketika menyikat gigi,
ketika flossing, ketika penggunaan tusuk-gigi, atau ketika makan yang
akhirnya dapat menimbulkan kasus endokarditis infektif. Sehingga
penting sekali untuk menjaga kesehatan gigi pada anak yang
mempunyai rrisiko untuk terkena endokarditis infektif.1,2
Karies gigi pada anak dapat terjadi akibat minum susu, atau
minuman lain dengan botol dimalam hari. Karena pada saat itu
produksi saliva menurun dan kavitas oral menjadi kering. Sedangkan
pada anak dengan penyakit jantung cenderung mempunyai gizi yang
buruk sehingga perlu asupan gizi yang baik. Sehingga melarang anak
untuk tidak minum susu dimalam hari juga bukan tindakan yang
bijaksana. Tetapi mungkin yang perlu diperhatikan adalah orang tua
tidak membiarkan botol susu sepanjang malam berada didalam
mulut.1,2
Setelah diagnosis kelainan jantung ditegakkan maka perlu
segera dilakukan evaluasi terhadap kesehatan gigi. Pada keadaan gigi
yang sehat rujukan ke dokter gigi direkomendasikan pada saat anak
berusia 6 hingga 12 bulan yang merupakan periode erupsi gigi
pertama. Setelah anak berusia diatas 2 tahun dianjurkan untuk
dilakukan pemeriksaan rutin gigi setiap 6-12 bulan. Karena anak
dengan penyakit jantung mempunyai kecenderungan mengalami
gangguan pada gigi. 20% pasien jantung sianotik menunjukkan
pertumbuhan gigi yang terlambat. Hipoksemia kronis merupakan
predisposisi untuk terjadinya karies gigi. Karies gigi juga ditimbulkan
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 239
oleh obat obatan sirup yang mengandung kadar 30% sukrosa dan
dapat menyebabkan efek kariogenik pada anak anak tertentu. Anak
anak dengan penyakit jantung bawaan tipe sianotik sering
membutuhkan suplemen besi yang dapat menyebabkan pewarnaan
gigi, sering mengalami polisitemia yang akan menimbulkan trombosis
dan perdarahan gusi dan sering memerlukan terapi antikogulan,
misalnya pada anak paska operasi pemasangan BT shunt pada
kelainan Tetralogy fallot, yang akan menyebabkan perdarahan gusi.1,2
Anak anak dengan kelainan jantung bawaan atau didapat
sering disertai dengan hipoplastik email gigi yang akan menyebabkan
lebih cepatnya terjadi pembusukan gigi.1,2
Prognosis
Sebelum era antibiotik, mortalitas Endokarditis Infektif
mendekati 100 % dan setelah penemuan penisilin mortalitas menurun
tetapi dengan adanya kuman yang resisten terhadap antibiotik serta
infeksi jamur angka morbiditas dan mortalitas meningkat kembali. Saat
ini mortalitas yang dilaporkan menurut Danilowicz, 1995 sebesar 20-
30%.15 Endokarditis infektif yang disebabkan streptokokus angka
kematiannya 7-11%, EI yang disebabkan strafilokakos angka
kematiannya sekitar 25%, sedangkan angka kematian EI karena jamur
75-90%. Prognosis penderita Endokarditis Infektif juga bergantung
kepada kuman penyebab dan komplikasi yang terjadi.8 Pada
penderita EI yang mengalami gagal jantung angka kematian pasca
operasi mencapai 41%.14
th
240 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Daftar Pustaka
1. Dube VK: Dentistry. Dalam: Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR,
penyunting.The science and practice of pediatric cardiology, edisi ke-2.
Baltimore, Williams & Wilkins, 1998, 2907-2910
2. Bennett CG, Primosch RE. Dental issues for the primary care physician.
Dalam: Gessner IH, Victorica BE, penyunting. Pediatric cardiology.
Philadelphia,WB. Saunders Company, 1993, 229-236.
3. Madiyono B. Kardiologi anak masa lampau,kini dan masa mendatang;
perannya dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit
kardiovaskular. Pidato pengukuhan guru besar tetap dalam ilmu
kardiologi anak. FKUI, Jakarta, 11 Juni 1997
4. Goldmuntz E. The epidemiology and genetic of congenital heart disease.
Pediatr Clin Nort Am 2001;28: 1-10.
5. Rosenthal G:Prevalence of congenital heart disease. Dalam: Garson A,
Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR, penyunting.The science and practice of
pediatric cardiology, edisi ke-2. Baltimore, Williams & Wilkins, 1998, 1083-
1106.
6. Ibrahim AM, Siddique MS. Subacute Bacterial Endocarditis (SBE)
Prophylaxis StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2018 Jan-2018 Oct 26.
7. Bisno AL, Dismukes WE, Durack DT, Kaplan EL, Karchmer AW, Kaye D,
dkk. Antimicrobial treatment of infective endocarditis due to viridans
streptococci, enterococci and staphylococci. JAMA 1989; 1471 - 7.
8. Durack DT. Infective and noninfective endocarditis. Dalam : Schlant RC,
Alexander RW, penyunting. The heart arteries and veins. Edisi ke-8. New
York: McGraw-Hill Inc, 1994; 1681-704.
9. Dennis J. Infective endocarditis prevention: advice for children and adults
with heart abnormalities. http://www.dsmig.org.uk/library/articles/infective-
endocarditis-prevention. html. 24 Agustus, 2002.
10. Ferrieri P, Gewitz MH, Gerber MA, Newburger JW, Dajani AS, Shulman
ST, dkk. Unique features of infective Endocarditis in Chilhood. Pediatr
2002; 109: 931-43.
11. Bernstein D. Infective endocarditis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-16.
Philadelphia: WB Saunders Company, 2000; 1337 – 428
12. Jomaa W, Ben Ali I, Abid D, Hajri Ernez S, Abid L, Triki F, et al. Clinical
Features of Infective Endocarditis in Children : Insights from a Tunisian
Multicentre Registry. Arch Cardiovasc Dis. 2017;110(12):676–81.
13. Esposito S, Mayer A, Krzysztofiak A, Garazzino S, Lipreri R, Galli L, et al.
Infective Endocarditis in Children in Italy from 2000 to 2015. Expert Rev
Anti Infect Ther. 2016;14(3):353–8.
14. Moges T, Gedlu E, Isaakidis P, Kumar A, Van Den Berge R, Khogali M, et
al. Infective endocarditis in Ethiopian children: A hospital based review of
cases in Addis Ababa. Pan Afr Med J. 2015;20:1–10.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 241
15. Baltimore RS, Gewitz M, Baddour LM, Beerman LB, Jackson MA,
Lockhart PB, et al. Infective endocarditis in childhood: 2015 update: A
scientific statement from the American Heart Association. Circulation.
2015;132(15):1487–515.
16. Xu H, Cai S, Dai H. Characteristics of Infective Endocarditis in a Tertiary
Hospital in East Chinia. 2016; hal 1-9.
17. Galyfos G, Giannakakis S, Kerasidis S, Geropapas G, Kastrisios G.
Infective endocarditis as a rare cause for acute limb ischemia.
2016;7(3):231–3.
18. Thom K, Hanslik A, Russell JL, Williams S, Sivaprakasam P, Allen U, et
al. Incidence of infective endocarditis and its thromboembolic
complications in a pediatric population over 30 years. Int J Cardiol.
2018;252:74–9.
th
242 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Asuhan Nutrisi untuk Anak dengan Penyakit Jantung
Kongenital
Julius Anzar
Pendahuluan
Penyakit jantung kongenital (PJK) merupakan kelainan
kongenital terbanyak di antara seluruh kelainan kongenital yang terjadi
pada anak. Delapan dari 1000 anak di dunia menderita penyakit
jantung kongenital.1 Sekitar 49,1% anak dengan PJK ini akan
mengalami gangguan pertumbuhan,2 dengan perbandingan
persentase antara anak yang mengalami gangguan berat sehingga
mengalami gagal tumbuh dan dengan yang mengalami gangguan
ringan, 64,9% berbanding 35,1%.3
Faktor-faktor yang menyebabkan gagal tumbuh pada anak
dengan PJK yaitu tipe penyakit jantungnya (sianotik atau asianotik),
adanya gagal jantung, hipermetabolisme, gangguan fungsi
gastrointestinal, adanya kelainan/penyakit penyerta seperti adanya
sindrom misalnya Sindrom Down dan Sindrom Turner serta
menurunnya kemampuan untuk menerima nutrisi yang cukup. 4,5,6,7,8
Kemampuan anak PJK menerima asupan makanan biasanya hanya
76% dibandingkan anak normal.9
Bersamaan dengan gagal tumbuh, anak dengan PJK akan
mengalami gangguan-gangguan lain seperti disfungsi miokardial,
disfungsi endothelial vaskular, atrofi otot skeletal, imunosupresi,
resistensi insulin, dan lipolisis. 9,10,11
Oleh karena kemampuan anak dengan PJK menerima asupan
makanan lebih rendah dibandingkan anak normal sedangkan jumlah
kebutuhannya lebih tinggi maka sangat diperlukan suatu asuhan
nutrisi yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan pemberian
makan pada anak dengan PJK. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk
menjelaskan cara pemberian asuhan nutrisi pada anak dengan PJK
berupa prinsip-prinsip pemberian asuhan nutrisi secara umum serta
cara penanganan khusus kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam
pemberian asuhan nutrisi pada anak dengan penyakit jantung
kongenital.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 243
Faktor-faktor penyebab gagal tumbuh pada anak dengan penyakit
jantung kongenital
Bayi dengan PJK bisa lahir dengan berat badan normal
terutama bayi dengan kelainan defek jantung yang sederhana, namun
selanjutnya bayi-bayi ini akan mengalami kesulitan oleh karena
penyakit jantungnya sehingga kemudian menjadi gagal tumbuh.
Berbagai faktor dapat menyebabkan kegagalan petumbuhan. Faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan pertumbuhan pada
anak dengan PJK antara lain hipermetabolisme, gagal jantung
kongestif, pirau kiri ke kanan, hipertensi pulmonal, hipoksia jaringan
saluran cerna yang menyebabkan malabsorbsi dan asupan nutrisi
yang tidak adekuat.5,6,12
Laju metabolisme pada anak dengan PJK biasanya meningkat
atau terjadi hipermetabolisme. Peningkatan laju metabolisme terjadi
karena kerja jantung dimaksimalkan. Hipermetabolisme ditandai oleh
Total Energy Expenditure (TDEE) yang meningkat. TDEE anak
dengan PJK lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal, bisa
mencapai 101 ± 3 kkal/kg/hari, sedangkan anak normal hanya 67 ± 14
kkal/kg/hari.11 Selain kerja jantung yang tinggi, penyebab
hipermetabolisme lainnya adalah cadangan lemak dalam tubuh yang
menipis, jumlah sel per volume massa tubuh yang bertambah, serta
kerja paru yang meningkat pada anak dengan PJK.9
Pada kondisi gagal jantung kongestif, laju metabolisme juga
mengalami peningkatan. Beberapa kejadian yang dapat menyebabkan
gagal jantung kongestif sehingga terjadi hipermetabolisme yaitu defek
atrioventrikular, kardiomiopati, hipoksemia kronik dan hipertensi
pulmonal dengan pirau kiri ke kanannya.13
Adanya pirau dari kiri ke kanan serta penyakit jantung obstruktif
juga akan meyebabkan gagal tumbuh. Hasil suatu penelitian dari
Mehrizi dkk. menyebutkan bahwa anak dengan pirau jantung kiri ke
kanan akan mengalami gagal tumbuh sebesar 83%.14 Sedangkan
kelainan jantung obstruktif, seperti stenosis pulmonal dan koartasio
aorta, kegagalan pertumbuhannya lebih cendrung ke pertumbuhan
linear dibandingkan kegagalan untuk meningkatkan berat badan.13,15,16
Pada penyakit jantung sianotik terjadi insufisiensi aliran darah
ke paru sehingga laju metabolik basalnya akan lebih tinggi. Anak
dengan PJK sianotik dengan pirau kiri ke kanannya akan mengalami
kegagalan pertumbuhan tinggi badan dan berat badan lebih besar
dibandingkan dengan anak dengan PJK yang asianotik.15
th
244 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 1. Jenis penyakit jantung kongenital berdasarkan adanya
sianosis1
Sianotik Asianotik
Ebstein’s Anomaly of the Tricuspid Atrial Septal Defect (ASD)
Valve
Hypoplastic Left Heart Syndrome Atrioventricular Septal Defect
(HLHS)
Pulmonary Atresia with Intact Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Ventricular Septum (PA/IVS
Pulmonary Stenosis (PS) Truncus Arteriosus
Tetralogy of Fallot (TOF) Ventricular Septal Defect (VSD)
Total Anomalous Pulmonary Venous Aortic Stenosis (AS)
Return (TAPVR)
Transportation of the Great Arteries Coarctation of the Aorta (CoA)
(TGA)
Tricuspid Atresia Interrupted Aortic Arch (IAA)
th
246 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Pasien baru Penyakit Jantung
Kongenital
Penilaian / assessment
Apakah ada masalah Ya
makan?
Tidak Nutrisi
Enteral/
Parenteral
Evaluasi kemampuan minum per oral
per 24 jam
Rawat jalan
Evaluasi 1-2
minggu
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 247
Tabel 2. Hambatan dan Strategi untuk mengoptimalkan nutrisi4
Strategi untuk
Hambatan pemberian nutrisi optimal
mengoptimalkan nutrisi
Asupan tidak adekuat:
• Kesulitan makan • Nutrisi enteral
• Koordinasi menghisap menelan buruk • Makanan tinggi-kalori
• Dismotilitas pita suara • Nutrisi parenteral
• Menolak makan • Rujuk ke subspesialis
• Cepat kenyang
Ketidakmampuan menyerap nutrisi:
• Gastroesophageal reflux disease • Tangani GERD
(GERD) • Tangani gagal jantung
• Intoleransi makan
• Gangguan fungsi usus karena gagal
jantung
Faktor rawat inap/perioperatif:
• Restriksi cairan • Makanan tinggi-kalori
• Suplementasi dengan
nutrisi parenteral
Interupsi makan yang sering:
• Gangguan hemodinamik • Nutrisi enteral
• Laktat tinggi • Nutrisi parenteral
• Ketergantungan ventilator tinggi
• Hiperglikemia
• Enterokolitis nekrotik (NEC)/iskemik
usus
• Prosedur radiologi
• Prosedur bedah (termasuk
insersi/pembuangan chest tube,
kateterisasi jantung, dll)
• Intubasi dan ekstubasi
Estimasi energi:
• Perhitungan energy expenditure yang • Penilaian nutrisi yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah akurat dan teratur
• Peresepan nutrisi individual
Kondisi khusus:
• Chylothorax • Tangani kondisi yang
• Kerusakan ginjal akut/oliguria mendasari
th
248 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Langkah-langkah asuhan nutrisi pada anak PJK adalah
sebagai berikut:
1. Penilaian (assessment)
Penilaian meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik (termasuk
pengukuran antropometri) dan pemeriksaan penunjang.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada anamnesis berupa
pertanyaan mengenai (jumlah, frekuensi, kualitas) asupan makan,
adakah alergi/intoleransi terhadap suatu makanan, keterampilan
oromotor, berat badan dan panjang badan lahir dan
pertambahan/penurunan berat badan yang terjadi.
Penentuan status antropometri meliputi: berat badan
menurut umur, panjang badan atau tinggi badan menurut umur
serta berat badan menurut panjang badan atau tinggi badan. Grafik
pertumbuhan yang digunakan sebagai acuan ialah grafik WHO
2006 untuk anak kurang dari atau sama dengan 5 tahun dan grafik
CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun.18
Pemeriksaan laboratorium dilakukan sesuai indikasi klinis.
Dalam keadaan di mana berat badan dan panjang/tinggi badan
tidak dapat dinilai secara akurat, misalnya terdapat organomegali,
edema anasarka, spondilitis atau kelainan tulang, sindrom tertentu,
maka status gizi ditentukan dengan menggunakan parameter lain,
misalnya lingkar lengan atas, knee height, arm span, dan lain-lain.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 249
Tabel 3. Rumus Schofield untuk Menghitung Basal Metabolic Rate
pada Anak-Anak19
Laki-Laki
0-3 tahun REE = 0,167W + 15,174H – 617,6
3-10 tahun REE = 19,59W + 1,303H + 414,9
tahun REE = 16,25W + 1,372H + 515,5
>18 tahun REE = 15,057W + 1,004H + 705,8
0-3 tahun REE = 0,167W + 15,174H – 617,6
Perempuan
0-3 tahun REE = 16,252W + 10,232H – 413,5
3-10 tahun REE = 16,969W + 1,618H + 371,2
10-19 tahun REE = 8,365W + 4,65H + 200
>18 tahun REE = 13,623W + 23,8H + 98,2
Faktor stres19:
• Kelaparan : 0,9
• Demam : 12% per derajat
>37oC
• Gagal jantung : 1,15-1,25
• Bedah mayor : 1,20-1,30
• Sepsis : 1,40-1,50
• Mengejar ketinggalan pertumbuhan, terbakar : 1,5-2,0
th
250 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
b. Kondisi tidak sakit kritis (non critical illness)
Kebutuhan kalori ditentukan berdasarkan rumus:
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 251
3. Penentuan cara pemberian
Anak dengan PJK biasanya jumlah asupan nutrisi per oralnya
sangat berkurang sehingga perlu segera dipertimbangkan cara
pemberian makan melalui jalur enteral (menggunakan selang
makanan) maupun parenteral untuk mencukupi asupan makanannya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan apabila makanan diberikan
tetap melalui oral adalah kestabilan hemodinamika, fungsi saluran
cerna dan keadaan neurogisnya. Juga perlu pengawasan terhadap
sistem kardiorespiratori, kemampuan oromotor dan adanya disfagia.
Napas cepat pada anak dengan PJK dapat menyebabkan inkoordinasi
menghisap dan menelan. Begitu juga refleks menelan yang lambat,
penurunan input sensori, hipoksemia dan iskemia saluran cerna dapat
mengganggu fungsi saluran cerna.18
Cara pemberian nutrisi enteral dapat dengan cara intermittent
maupun dengan cara continuous feeding. Dengan cara continuous
feeding asupan nutrisi akan lebih meningkat karena makanan
diberikan sedikit-sedikit dalam waktu lebih lama. Dari hasil beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan dengan cara
continuous feeding akan meningkatkan jumlah asupan kalori dan
peningkatan berat badan. Penelitian RCT terhadap 19 bayi
menunjukkan bahwa pemberian nutrisi enteral dengan cara continuous
feeding efektif meningkatkan status gizi. Pada penelitian ini, subyek
penelitian dibagi dalam 3 kelompok: kelompok enteral kontinyu 24 jam,
kelompok enteral kontinyu 12 jam pada malam hari + oral siang hari,
dan kelompok yang hanya mendapatkan makanan per oral. Waktu
penelitian selama 5 bulan. Hasilnya adalah kelompok yang mendapat
diet enteral kontinyu 24 jam menunjukkan peningkatan berat badan
lebih baik dibandingkan dengan kedua kelompok lainnya.22
th
252 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
Tabel 5. Pedoman Pemberian Nutrisi Enteral19
Usia Awal Akhir Target
Kontinyu
Prematur 1-2 ml/kg/jam 10-20 ml/kg/hari 120-175
ml/kg/hari
0-12 bulan 1-2 ml/kg/jam 1-2 ml/kg q 2-8 6 ml/kg/jam
jam
1-6 tahun 1 ml/kg/jam 1 ml/kg q 2-8 4-5 ml/kg/jam
jam
>7 tahun 25 ml/kg/jam 25 ml q 2-8 jam 100-150 ml/jam
Bolus/Intermiten
Prematur 2-4 ml/kg/kali 2-4 ml/kali 120-17
(>1200 g) ml/kg/hari
0-12 bulan 10-15 ml/kg q 2- 10-30 ml/kali 20-30 ml/kg q 4-
3 jam 5 jam
1-6 tahun 5-10 ml/kg q 2-3 30-45 ml/kali 15-20 ml/kg q 4-
jam 5 jam
>7 tahun 90-120 ml q 3-4 60-90 ml/kali 330-480 ml q 4-5
jam jam
Reproduced with permission from Davis A. Transitional and combination feeds. In:
Baker SB, Baker RD, Davis A, editors. Pediatric enteral nutrition. New York: Chapman
and Hall;1994.p.146.
th
254 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
5. Pengawasan dan Evaluasi
Aspek-aspek yang perlu diawasi dan dievaluasi ketika
melakukan asuhan nutrisi pada anak dengan PJK adalah aseptabilitas,
toleransi dan efektifitas.
Penerimaan atau aseptabilitas anak terhadap nutrisi yang
diberikan tentu perlu diperhatikan namun apabila faktor aseptabilitas
ini akan mengganggu tujuan lain seperti tujuan untuk mencapai target
pertumbuhan tertentu maka rasa ketidaknyamanan maupun
ketidaksukaan terhadap rasa makanan tersebut dapat diabaikan.
Anak dengan PJK umumnya mempunyai toleransi yang jelek
terhadap makanan yang diberikan. Untuk itu diperlukan kesabaran dan
ketelitian dalam pemberian makanannya. Pada keadaan-keadaan
tertentu dibutuhkan cara agar jumlah, jenis dan cara memberikan
makanan sesuai dengan yang kita butuhkan. Pada anak PJK dengan
toleransi yang buruk biasanya diberikan makanan dengan jumlah
sedikit-sedikit dalam waktu pemberian yang lama. Agar kebutuhan
akan nutrisi terpenuhi gunakan semua cara pemberian makanan.
Dalam kondisi pemberian cairan yang dibatasi, gunakan formula tinggi
kalori. Dalam hal adanya gangguan absorbsi gunakan formula khusus
dengan cara pemberian sedikit sedikit dalam jangka waktu pemberian
tertentu agar makanan yang diberikan dapat diserap dengan baik.
Kesimpulan
Anak-anak dengan PJK berisiko tinggi untuk mengalami
malnutrisi. Sangat diperlukan suatu pemeriksaan rutin dan berkala
pada anak dengan PJK terhadap kemampuan makannya. Asuhan
nutrisi yang baik pada anak dengan PJK tidak saja sangat penting
tetapi juga akan memengaruhi keberhasilan tatalaksana penanganan
anak dengan PJK secara keseluruhan. Tujuan dari asuhan nutrisi
pada anak dengan PJK adalah agar anak dengan PJK dapat tumbuh
dan berkembang layaknya anak normal.
Daftar Pustaka
1. van der Linde D, Konings EEM, Slager MA, et al. Birth prevalence of
congenital heart disease worldwide: a systematic review and meta-
analysis. J Am Coll Cardiol. 2011;58(21):2241–2247.
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 255
2. Ain N, Hariyanto D, Rusdan S. Karakteristik Penderita Penyakit Jantung
Bawaan pada Anak di RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari 2010
– Mei 2012. Jurnal Kesehatan Andalas. 2015;4(3):928-935.
3. Sjarif DR, Shirley LA, Sukman TP, Mulyadi MD. Anthropometric profiles of
children with congenital heart disease. Med J Indones. 2011;20(1):40–5.
4. Wong JJM, Cheifetz IM, Ong C, Nakao M, Lee JH. Nutrition Support for
Children Undergoing Congenital Heart Surgeries: A Narrative Review.
World Journal for Pediatric and Congenital Heart Surgery. 2015;6(3):443-
454.
5. Nydegger A, Bines JE. Energy metabolism in infants with congenital heart
disease. Nutrition (Burbank, Los Angeles County, Calif). 2006;22(7-
8):697-704.
6. Mitchell IM, Davies PS, Day JM, Pollock JC, Jamieson MP. Energy
expenditure in children with congenital heart disease, before and after
cardiac surgery. J Thorac Cardiovasc Surg. 1994;107(2):374-80.
7. Ackerman IL, Karn CA, Denne SC, Ensing GJ, Leitch CA. Total but not
resting energy expenditure is increased in infants with ventricular septal
defects. Pediatrics. 1998;102(5):1172-1177.
8. Leitch CA. Growth, nutrition and energy expenditure in pediatric heart
failure. Prog Pediatr Cardiol. 2000;11:195202.
9. Barton JS, Hindmarsh PC, Scrimgeour CM, et al. Energy expenditure in
congenital heart. Archives of Disease in Childhood. 1994;70:5-9.
10. Huse DM, Feldt RH, Nelson RA, et al. Infants with congenital heart
disease. Am J Dis Child. 1975;129:65-69.
11. Krieger I. Growth failure and congenital heart disease. Energy and
nitrogen balance in infants. Am J Dis Child. 1970;120:497-502.
12. Hansen SR, Derrup I. Energy and nutrient intakes in congenital heart
disease. Acta Paediatr 1993;82:166-72.
13. Varan B, Tokel K, Yilmaz G. Malnutrition and growth failure in out
pulmonary hypertension. Arch Dis Child. 1999;81(1):49-52.
14. Villasis-Keever MA, Aquilez Pineda-Cruz R, Halley-Castillo E, et al.
Frequency and risk factors associated with malnutrition in children with
congenital cardiopathy. Saluda Publica Mex. 2001;43:313-323.
15. Mehrizi A, Drash A. Growth disturbance in congenital heart disease. J
Pediatr. 1962;61:418-429.
16. Stranway A, Fowler R, Cunningkan K, et al. Diet and growth in congenital
heart disease. Pediatrics. 1976;57:75-86.
17. Savoca M, Nagle M, Konek S. Chapter 14: Cardiology. In: Samour PQ,
King K. Pediatric Nutritio-4th ed. 2012. Canada:Jones & Bartlett Learning.
P313-328.
18. UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia: Asuhan Nutrisi Pediatrik (Pediatric Nutrition Care). 2011.
19. Hendricks KM, Duggan C, Walker WA. Manual of Pediatric Nutrition. 3rd
ed.2000. BC Decker Hamilton London 173-185.
th
256 Pediatric Cardiology Update 7 Palembang
20. Bechard LJ, Parrott JS, Mehta NM. Systematic review of the influence of
energy and protein intake on protein balance in critically ill children. J
Pediatr. 2012;161(2): 333-339. e1.
21. Wu PY, Edwards N, Storm MC. Plasma amino acid pattern in normal term
breast-fed infants. J Pediatr. 1986;109(2):347-349.
22. Grant J, Denne SC. Effect of intermittent versus continuous enteral
feeding on energy expenditure in premature infants. J Pediatr.
1991;118:928-32.
23. Kuwata S, Iwamoto Y, Ishido H, Taketadu M, Tamura M, Senzaki H.
Duodenal tube feeding: an alternative approach for effectively promoting
weight gain in children with gastroesophageal reflux and congenital heart
disease. Gastroenterol Res Pract. 2013;181604.
24. Pillo-Blocka F, Adatia I, Sharieff W, McCrindle BW, Zlotkin S. Rapid
advancement to more concentrated formula in infants after surgery for
congenital heart disease reduces duration of hospital stay: a randomized
clinical trial. J Pediatr. 2004;145(6): 761-766.
25. Jackson M, Poskitt EM. The effects of high-energy feeding on energy
balance and growth in infants with congenital heart disease and failure to
thrive. Br J Nutr. 1991;65(2):131-143
th
Pediatric Cardiology Update 7 Palembang 257