Anda di halaman 1dari 199

i

IMPROVING HEALTHY GUT FOR HEALTHY CHILD


Penyusun :
Agus Firmansyah
Hanifah Oswari
Ade Djanwardi Pasaribu
I Putu Gede Karyana
Jeanette Christiene Manoppo
Pramita Gayatri
Budi Purnomo
Eva Jeumpa Sulaiman
Yuli Yafri Razak
Sulaiman Yusuf
Lulik Inggarwati
Nenny Srimulyani
Ninung Rose Diana
Setya Budi Salekede
Anik Widijanti
Alpha Fardah Athiyah
Titis Widowati
Indrastuti Nurmahayu
Satrio Wibowo
Tata Letak:
Ahmad Abasz
Desain Cover:
Tim PGHNAI
Diterbitkan oleh:
Edulitera (Anggota IKAPI - 29/JTI/2019)
Cetakan 1, 2021
viii+190 hal, 14,8x21 cm
e - ISBN: 978-623-6146-25-5
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Pengantar Ketua Pengurus Pusat
Perhimpunan Gastroenterologi Hepatologi dan Nutrisi Anak
Indonesia

Bismillahirohmanirrohiim
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh,
Salam Sejahtera,
Sejawat dokter dan mitra kegiatan yang kami hormati,
Jutaan anak di Indonesia hidup dengan berbagai masalah pencernaan
dan gangguan nutrisi. Diare masih menjadi salah satu penyebab tersering
kesakitan dan kematian pada anak di Indonesia. Masalah pada saluran
cerna pada anak lainnya, seperti muntah, sakit perut, dan konstipasi, juga
masih menjadi penyebab tersering gangguan saluran cerna. Oleh sebab
itu, pengembangan keilmuan dan kemampuan profesional seorang dokter
dalam meng-update informasi-informasi terkini mengenai kesehatan
saluran cerna anak sangatlah penting.
Pada kesempatan ini Perhimpunan Gastroenterologi, Hepatologi
dan Nutrisi Anak Indonesia (PGHNAI) sebagai perhimpunan seminat
para dokter di bidang saluran cerna, hati dan nutrisi anak, mempersem-
bahkan forum ilmiah Simposium Nasional dalam rangkaian acara Kon-
gres Nasional PGHNAI 2021, dengan tema “Improving Healthy Gut for
Healthy Child”.
Kami berharap kegiatan ini dapat mendukung upaya pencapaian
target-target nasional dalam meningkatkan derajat kesehatan bagi seluruh
anak Indonesia melalui sumbangan pemikiran, peningkatan kemampuan
dan kolaborasi dengan penyedia layanan jasa kesehatan, khususnya dokter
di Indonesia dalam bidang kesehatan saluran cerna, hati dan nutrisi anak
Terimakasih kami ucapkan kepada pengurus PGHNAI cabang Jawa
Timur, dan Panitia dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang yang telah berkolaborasi dan
mengupayakan terselenggaranya rangkaian acara Kongres Nasional VIII
PGHNAI.

iii
Selamat berpartisipasi dalam Simposium Nasional.
Maju terus Dokter Indonesia! Sehat dan sejahtera Anak Indonesia !
Terima kasih

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Salam Sejahtera

dr. Ade Djanwardi Pasaribu Sp.A

iv
Pengantar Ketua Panitia Pelaksana Kongres Nasional
PGHNAI VIII

Bismillahirohmanirrohiim
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh,

Para Sejawat dan Mitra Sponsor yang kami hormati,


Perhimpunan Gastroenterologi Hepatologi dan Nutrisi Anak
Indonesia (PGHNAI) bekerja sama dengan Departemen Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya menyelenggarakan
Kongres Nasional VIII PGHNAI, yang in syaa Allah akan diselenggarakan
secara daring (online) pada Maret 2021.
Tema yang diangkat pada kegiatan Kongres Nasional PGHNAI VIII kali
ini adalah “Improving Healthy Gut For Healthy Child”. Permasalahan
saluran cerna pada anak kini makin meluas tidak hanya pada keluhan
diare, namun juga pada keluhan-keluhan tersering lainnya seperti sakit
perut, muntah, konstipasi, dan bahaya lain yang terkait.
Dalam suasana pandemi yang belum berakhir ini maka Simposium
Nasional dengan tema akan dilaksanakan secara daring (online). Kami
mengundang semua dokter, dokter spesialis, dan praktisi kesehatan untuk
ikut bergabung, mengupdate informasi, berdiskusi, dan berkolaborasi
dengan Perhimpunan Gastroenterologi Hepatologi dan Nutrisi Anak
Indonesia (PGHNAI).
Selamat mengikuti Simposium Nasional Online Perhimpunan
Gastroenterologi Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia VIII.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Salam Sejahtera

dr. Satrio Wibowo, M.Si.Med., SpA(K)

v
DAFTAR ISI

Pengantar Ketua Pengurus Pusat


Perhimpunan Gastroenterologi Hepatologi dan Nutrisi Anak
Indonesia ..................................................................................................iii
Pengantar Ketua Panitia Pelaksana Kongres Nasional PGHNAI VIII .......v
DAFTAR ISI............................................................................................. vi
MASALAH SALURAN CERNA PADA ANAK DI INDONESIA.......... 1
Agus Firmansyah
IMUNISASI HEPATITIS A DAN B PADA ANAK, UPAYA
MENURUNKAN ANGKA KEJADIAN HEPATITIS DI
INDONESIA.............................................................................................. 7
Hanifah Oswari........................................................................................... 7
STUNTING PADA ANAK: BAGAIMANA MENCEGAHNYA?.......... 21
Ade Djanwardi Pasaribu
DIARE PADA ANAK DENGAN HIV.................................................... 25
I Putu Gede Karyana
DIARE CAIR AKUT: STATUS HIDRASI DAN CAIRAN REHIDRASI
ORAL ....................................................................................................... 41
Jeanette I.Ch.Manoppo
MEMILIH CAIRAN INTRAVENA PADA DIARE AKUT.................... 57
Pramita Gayatri
PERAN ZINC PADA DIARE AKUT...................................................... 65
Budi Purnomo
KONSTIPASI FUNGSIONAL PADA ANAK......................................... 71
Eva Jeumpa Sulaiman
LANGKAH PRAKTIS MENANGANI KOLIK INFANTIL................... 79
Yuli Yafri Razak
TATALAKSANA NUTRISI PADA ANAK DENGAN
GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE....................................... 87
Sulaiman Yusuf

vi
PENYAKIT HIRSCHSPRUNG (PENATALAKSANAAN).................. 105
Lulik Inggarwati
IMUNISASI HEPATITIS B DAN TATALAKSANA BAYI BARU LAHIR
DARI IBU HBsAg POSITIF.................................................................. 109
Nenny Srimulyani
TATALAKSANA HEPATITIS A PADA ANAK.................................... 115
Ninung RD Kusumawati, M Fathah, Afriliana Mulyani
MENGENAL HEPATITIS PADA NEONATUS................................... 123
Setia Budi Salekede
INTERPERTASI PEMERIKSAAN SEROLOGI HEPATITIS PADA
ANAK..................................................................................................... 139
Anik Widijanti
INTOLERANSI LAKTOSA: PERLUKAH PENYESUAIAN SUSU
PADA DIARE AKUT..............................................................................161
Alpha Fardah Athiyyah
APA YANG HARUS DILAKUKAN BILA MENJUMPAI BAYI
KUNING................................................................................................ 169
Titis Widowati
PEMERIKSAAN RADIOLOGI UNTUK DISTENSI ABDOMEN
PADA ANAK...........................................................................................177
Indrastuti Normahayu
MANIFESTASI KLINIS INFEKSI CORONA VIRUS PADA SALURAN
CERNA ANAK...................................................................................... 183
Satrio Wibowo

vii
viii
Masalah Saluran Cerna Pada Anak di Indonesia

MASALAH SALURAN CERNA PADA ANAK DI INDONESIA

Agus Firmansyah

PENDAHULUAN
Dalam menentukan masalah berbagai pendekatan dapat dilakukan.
Dalam makalah ini pendekatan dilakukan berdasarkan aspek: morbiditas
dan mortalitas, dampak terhadap tumbuh-kembang anak, mudah
diidentifikasi, tersedia pengobatannya, dan komplikasi berat yang
mungkin ditimbulkannya. Tabel 1 memuat beberapa penyakit atau entitas
klinik yang sesuai dengan pendekatannya. Bahasan akan mencakup alasan,
besaran masalah, dan apa yang harus dilakukan di masa depan.
Tabel 1. Beberapa masalah saluran cerna yang perlu mendapat
perhatian
Masalah Diare
• Diare persisten
• Diare pada penderita AIDS
• Disenteri
• Sinderom malabsorpsi
• Disentri karena antibiotik
• Diare sebagai penyebab stunting
• Emergency foods
• Suplementasi Zn
Penyakit fungsional saluran cerna
• Konstipasi
• Sakit perut berulang
Penyakit refluks gastroesofagus
Perdarahan saluran cerna
• Endoskopi
• Hematemesis
• Hematokesia
Penyakit hati
• Hepatitis vius
• Kolestasis

Improving Healthy Gut For Healthy Child 1


Agus Firmansyah

MASALAH DIARE
Diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia
karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Walaupun
mortalitas diare akut sudah mendekati nol, tetapi masih banyak masalah
diare yang belum ditangani dengan baik.
Diare persisten masih merupakan masalah karena angka kematiannya
yang masih tinggi. Sekitar 5% diare akut akan melanjut menjadi diare
kronik. Banyak faktor risiko yang telah diidentifikasi antara lain: usia <
1 tahun, pemakaian antibiotik, riwayat diare berulang, malnutrisi, dan
lain-lain. Berbagai penyebab diare persisten antara lain intoleransi laktosa,
alergi susu sapi, sindrom malabsorpsi, bacterial overgrowth, antibiotic
associated diarrhea, dan infeksi persisten. Hal yang perlu dilakukan di
masa depan antara lain: melakukan penelitian multisenter tentang faktor
risiko dan penyebab diare persisten dan mengembangkan formula lokal
untuk terapi dietetik.
Diare pada pendeita AIDS juga merupakan masalah yang penting.
Diare pada penderita AIDS dapat disebabkan oleh patogen yang umum
sebagai penyebab diare seperi E. Coli dan Salmonella, atau disebabkan
oleh kuman oportunistik (komensal), atau oleh kuman-kuman lain
seperti Cryptosporidium dan Cytomegalovirus. Kebutuhan mendesak
adalah melakukan studi untuk mencari gambaran penyebab diare pada
anak penderiat AIDS, sehingga diperoleh “cocktail” yang dapat mengobati
diare secara blind sambil menunggu hasil kultur atau deteksi virus.
Masalah yang berkaitan dengan disentri basiler adalah resistensi obat.
Telah terjadi resistensi obat pada banyak kasus terutama di kota besar.
Obat-obatan yang secara konvensional digunakan untuk mengobati
disentri basiler seperti trimetroprim-kotrimoksasol dan ampisilin telah
banyak yang resisten. Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai
resistensi obat pada disenteri di berbagai daerah agar diperoleh obat-
obatan yang sesuai dengan resistensi lokal.
Karena faktor higiene dan sanitasi perorangan dan lingkungan masih
memerlukan perbaikan dan memerlukan waktu, penelitian mengenai
prevalensi infeksi Entamoeba hystolytica dan Giardia lamblia pada
daerah rural dan padat perlu dilakukan. Infeksi Entamoeba hystolytica
pada usus yang asimptomatik pun dapat berkembang menjadi amebiasis
ekstraintestinal, misalnya abses hati. Infeksi Giardia lamblia terjadi pada

2 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Masalah Saluran Cerna Pada Anak di Indonesia

anak imunokompromais yang dapat menyebabkan diare kronik dengan


akibat malnutrisi. Infestasi Dientamoeba fragilis dan Blastocystis hominis
perlu diperhatikan sebagai penyebab sakit perut berulang.
Sindrom malabsorpsi terutama terjadi karena diare yang berulang yang
menyertai malnutrisi. Dukungan nutrisi amat penting untuk memperbaiki
status gizi dengan formula yang terbuat dari bahan-bahan lokal.
Karena meluasnya pemakaian antibiotik yang tidak rasional dan
mudahnya akses mendapatkan antibiotik, diare karena antibiotik perlu
diteliti pada diare anak di komunitas.
Diare sebagai penyebab stunting telah banyak dilaporkan. Perlu
ditekankan pentingnya memberikan terapin optimal pada diare akut
untyk mencegah stunting.
Karena sering terjadinya bencana alam, perlu dikembangkan upaya
membuat emergency food terutama untuk batita dan balita (bukan sekedar
supermie), agar asupan makanan tetap terjamin dan bencana alam tidak
menambah kasus gizi kurang/buruk.
Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF telah merekomendasikan
penggunaan cairan rehidrasi oral dengan osmolaritas lebih rendah dan
terapi Zn pada anak dengan diare. Beberapa perusahaan farmasi nasional
telah mempuat preparat tablet Zn yang dispersibel dan dengan rasa yang
akseptabel. Sosialisasi pemberian oralit dan terapi Zn harus dilakukan
pada semua lapisan masyarakat dan petugas kesehatan.
Defisiensi Zn ditemukan pada 50% balita di Indonesia. Hubungan
diare, defisiensi Zn dan stunting telah banyak dilaporkan. Karena itu,
suplementasi Zn perlu disepakati dan dilaksanakan pada anak di Indonesia.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 3


Agus Firmansyah

Rotavirus merupakan penyebab lebih dari 50 persen kasus diare


pada anak 0-2 tahun. Quicktest dapat mendeteksi rotavirus dalam tinja
dengan cepat, dengan demikian dapat meyakinkan dokter untuk tidak
memberikan antibiotik. Vaksin rotavirus telah dibuktikan efektif dalam
mencegah manifestasi klinis berat infeksi rotavirus perlu diberikan pada
semua bayi di Indonesia. Diagnosis cepat untuk mendeteksi diare virus
(rotavirus, norovirus, torovirus, astrovirus dan adenovirus) perlu dilakukan
pada semua kasus diare anak.
PENYAKIT FUNGSIONAL SALURAN CERNA
Di kota besar di Indonesia telah banyak ditemukan kasus-kasus
penyakit saluran cerna yang tidak jelas penyebab organiknya. Di antara
kasus-kasus tersebut adalah konstipasi dan sakit perut berulang.
Konstipasi merupakan alasan berkonsultasi pada 3 persen kunjungan
ke dokter anak atau 10-15 persen kunjungan ke konsultan gastrohepatologi
anak. Sebanyak 95 persen konstipasi pada anak bersifat fungsional, tanpa
penyebab organik. Kasus-kasus konstipasi fungsional inilah yang bila
tidak ditangani dengan baik akan menjadi konstipasi kronik. Komplikasi
yang ditimbulkan adalah nyeri pada anus dan abdomen, fisura ani,
enkopresis, enuresis, infeksi saluran kemih, obtruksi ureter, prolaps
rekti, ulkus soliter dan sindrom stasis. Akhirnya anak dengan konstipasi
kronik akan mengalami gangguan tumbuh kembang. Masalah yang paling
penting adalah: (1) memilah mana kasus fungsional dan organik, dann
(2) menatalaksana dengan baik kasus konstipasi, baik organik maupun
fungsional.. Peningkatan kemampuan profesi para dokter melalui seminar
dan pelatihan sangat diperlukan. Konsensus mengenai tatalaksana
konstipasi fungsional perlu dibuat dan disebarluaskan. Bantuan disiplin
lain, misalnya neurologi dan rehabilitasi medik, sangat diperlukan dalam
menatalaksana konstipasi kronik yang kompleks. Kerjasama dengan pihak
farmasi dibutuhkan untuk penyediaan obat yang terbukti (evidence based)
bermanfaat dalam tatalaksana konstipasi pada anak, bukan obat campuran
yang tidak jelas bukti manfaatnya.
Sakit perut berulang merupakan entitas klinik sering dijumpai pada
anak. Walaupun 5 persen penyebabnya organik, sebanyak 95 persen
merupakan sakit perut berulang fungsional. Pengalaman menunjukkan
bahwa untuk menyingkirkan penyebab organik telah dilakukan berbagai
prosedur diagnostik yang memakan biaya mahal tetapi hasilnya nihil.

4 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Masalah Saluran Cerna Pada Anak di Indonesia

Memang seringkali hal ini akan membuat frustrasi pasien, orangtua


dan juga dokter. Sebenarnya telah dikembangkan pendekatan diagnosis
berdasarkan symptom-based diagnosis mengacu pada kriteria Roma IV.
Pendekatan diagnosis ini perlu disebarluaskan dalam rangka tatalaksana
sakit perut berulang yang lebih baik di tingkat pelayanan primer. Prevalens
IBS pada remaja cukup tinggi dan perlu ditelitu lebih lanjut faktor
risikodan dampaknya pada remaja.
PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGUS
Penyakit ini memang baru dikenal sejak 30 tahun belakangan ini.
Sekitar 70 persen bayi 0-3 bulan akan mengalami regurgitasi, tetapi
hanya sekitar 5 persen yang akan menjadi masalah pada usia 1 tahun
atau lebih. Sekitar 10 persen kasus refuks gastroesofagus akan mengalami
komplikasi. Komplikasi yang terjadi akan mengganggu tumbuh kembang
anak. Promosi mengenai penyakit ini pada masyarakat perlu digalakkan
dan para dokter ditingkatkan kemampuannya melakukan diagnosis klinis
pada pasien ini.
PERDARAHAN SALURAN CERNA
Perdarahan saluran cerna, baik hematemesis maupun hematokesia,
merupakan masalah di klinik. Merupakan tantangan para klinikus untuk
mencari etiologinya untuk tatalaksana selanjutnya. Karena masalah dana,
paling tidak di setiap pusat pendidikan dokter spesialis anak tersedia
fasilitas endoskopi yang memadai.
PENYAKIT HATI
Hepatitis virus masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia.
Pencegahan hepatitis A dengan perbaikan higiene dan sanitasi perorangan
dan lingkungan perlu digalakkan. Karena keterbatasan dana masyarakat,
perlu disepakati prioritas pemberian vaksinasi hepatitis A pada anak.
Dalam hal hepatitis B, aspek pencegahan merupakan fokus utama,
terutama mencegah penularan transmisi vertikal dari ibu ke bayi. Dalam
hal hepatitis C, penularan melalui ”darah” perlu mendapat perhatian
seius.
Kolestasis pada bayi perlu mendapatkan perhatian yang serius.
Diagnosis atresia bilier harus ditegakkan lebih dini agar prognosisnya
lebih baik. Pelaksanaan operasi Kasai perlu dikelola lebih baik agar
hasilnya lebih baik. Transpantasi hati yang memerlukan dana, sarana dan

Improving Healthy Gut For Healthy Child 5


Agus Firmansyah

sumber daya manusia yang tinggi harus mulai dikembangkan, mungkin


hanya pada 1 atau 2 senter di Indonesia.
KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan, beberapa masalah penyakit saluran cerna telah
diidentifikasi untuk mendapat perhatian semua pihak dalam jangka
pendek. Bila kita dapat meningkatkan perhatian dan memperbaiki
kualitas tatalaksana dalam beberapa masalah/penyakit di atas, tumbuh
kembang anak akan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal and Liver Disease. 4th ed.
Philadelphia, Saunders; 2010.
Mokomane M, Kasvosve I, Melo E, Pernica JM, Goldfarb DM. The global
problem of childhood diarrhea diseases: emerging strategies in
prevention and management. Ther Adv Infectious Dis. 2018;5:29-
43.
Mandeville KL, Krabshuis J, Ladep NG, Mulder CJJ, Quigley EMM, Khan
SA. Gastroenterology in developing countries: Issues and advance.
World J Gastroenterol. 2009;15:2839-54.

6 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Imunisasi Hepatitis A dan B pada Anak

IMUNISASI HEPATITIS A DAN B PADA ANAK, UPAYA


MENURUNKAN ANGKA KEJADIAN HEPATITIS DI
INDONESIA

Hanifah Oswari

PENDAHULUAN
Hepatitis B telah menjadi masalah utama di dunia sejak dulu sampai
sekarang. WHO dalam Global Hepatitis Report tahun 2017 menyebutkan
pada tahun 2015, 257 juta orang hidup dengan hepatitis B kronis.
Prevalensi hepatitis kronis di dunia sekitar 3,5% dan menyebabkan
kematian 887.000 orang setiap tahun.1 Di Indonesia menurut data Riset
Kesehatan Dasar 2013 prevalensi hepatitis B sebesar 7,1% atau berkisar
18 juta orang. Prevalensi hepatitis B pada anak usia kurang dari 4 tahun
4,2%.
Hepatitis B di negara yang endemis hepatitis B, transmisi perinatal
merupakan penyebab utama infeksi hepatitis B kronis. Hal ini disebabkan
tingginya prevalensi hepatitis B pada ibu hamil.2 Oleh sebab itu pencegahan
infeksi vertikal ini sangat penting dilakukan bersama-sama melalui suatu
program nasional untuk dapat melakukan elimanasi virus hepatitis B.
Melihat besarnya permasalahan kasus hepatitis di Indonesia,
Indonesia mengusulkan kepada WHO agar pengendalian hepatitis
menjadi isu di dunia. Dalam sidang World Health Assembly (WHA) ke 63
pada tahun 2010, usul Indonesia ditetapkan menjadi resolusi No.63.18
yang menyebutkan bahwa Hepatitis virus menjadi salah satu prioritas yang
harus ditanggulangi setiap negara.
World Health Assembly (WHA) pada tahun 2016 membuat strategi
kesehatan global untuk mengeliminasi virus hepatitis sebagai ancaman
Kesehatan masyarakat pada tahun 2030 termasuk di dalamnya hepatitis A
dan B.3 Tujuannya adalah mengelimanasi virus hepatitis sebagai ancaman
Kesehatan masyarakat yang utama pada tahun 2030. Target eliminasi
untuk hepatitis B adalah menurunkan 90% infeksi baru dan 65%
kematian akibat hepatitis virus B.1

Improving Healthy Gut For Healthy Child 7


Hanifah Oswari

Virus hepatitis A masih menjadi masalah nasional. Hepatititis A


walaupun umumnya tidak bergejala pada anak usia kurang dari 6 tahun,
virus ini dapat menimbulkan gejala hepatitis akut pada anak yang lebih
besar. Banyak laporan dari tahun ke tahun mengenai terjadinya kejadian
luar biasa (KLB) pada banyak propinsi di Indonesia. Imunisasi hepatitis A
tersedia dan dangat efektif untuk mencegah infeksi hepatitis A.
Tulisan ini membahas faktor-faktor yang berhubungan dengan
transmisi vertikal hepatitis B dan program hepatitis nasional yang sedang
berjalan dan tujuan program ini dan infeksi hepatitis A, dampak untuk
individu dan komunitas dan pencegahannya.
HEPATITIS B
EPIDEMIOLOGI HEPATITIS B KRONIS
Hepatitis B merupakan masalah Kesehatan global dengan 2 milyar
orang seluruh dunia dengan riwayat atau masih terinfeksi hepatitis B.
Kurang lebih 292 juta penduduk dunia dengan hepatitis B kronis, dengan
prevalensi global 3,9% dan menyebabkan kematian pada 600.000 orang
setiap tahun karena hepatitis B.4
Prevalensi pasien dengan hepatitis B kronis berbeda-beda di seluruh
dunia, terutama berhubungan dengan usia saat terjadi infeksi hepatitis
B. Makin muda seseorang terkena infeksi hepatitis B makin tinggi
kemungkinannya untuk menjadi kronis. Bila seseorang terkena infeksi
saat perinatal maka kemungkinannya menjadi kronis kurang lebih 90%.
TRANSMISI HEPATITIS B IBU KE BAYI
Ibu hamil dengan HBsAg positif dapat menularkan bayi yang
dilahirkannya sampai 90% pada bayi yang tidak mendapat pencegahan
immunoglobulin hepatitis B dan vaksinasi saat lahir.5 Walaupun penularan
dapat terjadi saat dalam kandungan, saat lahir dan setelah lahir, tetapi
sebagian besar terjadi pada saat atau sebelum kelahiran bayi.
EFEK INFEKSI HEPATITIS B PADA NEONATUS
Pada banyak negara yang endemis hepatitis B, transmisi perinatal
merupakan transmisi yang paling penting dan menyebabkan infeksi
hepatitis B kronis. Risiko terjadinya hepatitis B kronis setelah terinfeksi
akut hepatitis B tertinggi bila infeksinya terjadi saat baru lahir sampai 90%
bila ibu dengan HBeAg positif yang tidak mendapat immunoglobulin
hepatitis B dan vaksinasi hepatitis B saat lahir.5

8 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Imunisasi Hepatitis A dan B pada Anak

Hepatitis B dapat menjadi kronis bila infeksinya berdasarkan


ditemukannya HBsAg bertahan lebih dari 6 bulan, dengan IgG antiHBc
positif dan IgM anti-HBc negatif. Umumnya anak dengan hepatitis B akan
tetap asimtomatik dan bertumbuh normal. Perjalanan klinis umumnya
pada hepatitis B kronis anak berbeda dengan dewasa, bergantung pada
usia terinfeksi hepatitis B. Bila terjadi infeksi pada usia bayi maka
kemungkinannya menjdi kronis sebesar 90%, sedangkan bila terinfeksi
pada anak sebelum usia 5 tahun risikonya menjadi kronis sebesar 25-30%,
dan bila infeksi pada dewasa 5%.6-9 Kemungkin perbedaan ini karena
adanya perbedaan respons imun anak dibandingkan dewasa.
Fase penyakit hepatitis B kronis terdiri dari fase imun toleran, imun
aktif (klirens), kronik inaktif HBeAg negative dan hilangnya HBsAg, dan
HBeAg negatif imun reaktivasi. Pada fase imun toleran enzim transaminase
normal atau sedikit meningkat (ALT kurang dari 2x batas atas normal),
DNA-HBV > 20.000 IU/mL atau 105 kopi/mL., pada fase ini HBsAg
dan HBeAg positif. Pada fase imun toleran pasien tidak dianjurkan untuk
diterapi.
Fase imun aktif (klirens) ditandai peningkatan serum transaminase
(ALT > 1,5-2 x di atas batas atas normal) dan ditemukan DNA-HBV
>20.000 IU/mL atau 105 kopi/mL. Pada fase ini ada kemungkinan terjadi
serokonversi HBeAg positif menjadi negatif. Pasien yang memanjang pada
fase ini mungkin memerlukan terapi antivirus.
Fase hepatitis B inaktif dengan HBeAg negatif ditemukan serum
transaminase yang normal dan replikasi HBV yang rendah atau tidak
terdeteksi. Pada fase ini HBsAg tetap positif tetapi HBeAg sudah negatif.
Pasien pada fase ini masih mungkin terjadi reaktivasi ke fase imun reaktif
pada 20% pasien. Pada fase ini pasien tetap berisiko untuk terkena
karsinoma hepatoselular.
Pada fase kronik inaktif dengan hilangnya HBsAg, sebagian kecil psien
dengan HbeAg negatif akan hilang HBsAg dan timbul antiHBs. Pada fase
ini jarang sekali terjadi reaktivasi virus, tetapi masih tetap berisiko untuk
terkena karsinoma hepatoselular.
Pada fase imun reaktivasi dengan HBeAg negatif ditemukan
peningkatan DNA-HBV dengan kadar ALT normal atau meningkat,
tetapi HBeAg tetap negatif. Pada fase ini mungkin virus akan lebih
virulen dan pemberian antivirus dapat dipertimbangkan diberikan untuk
meminimalkan kemungkinan kerusakan hati.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 9


Hanifah Oswari

Pada masa anak, jarang sekali terjadi sirosis, hanya terjadi pada 3%
pasien anak pada usia sekitar 4 tahun,10 tetapi penelitian baru-baru ini di
Amerika dan Kanada menemukan anak dengan infeksi hepatitis B karena
transmisi vertikal, ditemukan 31% dengan fibrosis ringan, 61% dengan
fibrosis sedang, 6% dengan fibrosis berat, dan 4% dengan sirosis hati.
Usia, lamanya terinfeksi, tingginya DNA-HBV tidak berhubungan dengan
terjadinya fibrosis, tetapi fibrosis dan inflamasi berhubungan dengan rasio
aspartate aminotransferase/trombosit pasien.11 Hal ini mengarah pada
kemungkinan terjadinya sirosis hati pada masa dewasa yang lebih tinggi.
Pasien anak dengan hepatitis B terdapat risiko yang lebih tinggi untuk
terjadinya karsinoma hepatoselular. Risiko ini meningkat pada pasien
dengan HBeAg positif. Pada dewasa yang mendapat infeksi hepatitis B
perinatal angka kejadian karsinoma hepatoselular meningkat setiap
10 tahun sekitar 5%. Insidens karsinoma hepatoselular sebelum masa
vaksinasi hepatitis B universal angka kejadian KHS 0,7-1986/100.000
penduduk tahun 1981-1986 menurun menjadi 0.36/100.000 penduduk
pada tahun 1990-1994 sesudah imunisasi universal hepatitis B.12
TERAPI HEPATITIS B PADA ANAK
Anjuran terapi hepatitis B saat ini adalah bila pasien masuk dalam
fase imun aktif yang ditandai peningkatan ALT >1,5-2x batas atas normal
yang persisten dan DNA-HBV >20.000 IU/mL atau 105 kopi/mL paling
sedikit selama 4-6 bulan.13 Sayangnya sangat sedikit anak yang masuk
dalam fase imun aktif ini. Anak umumnya berada pada fase imun toleran
yang panjang. Anak mungkin masuk dalam fase imun aktif pada masa
dewasa, walaupun begitu, terapi hepatitis B dengan PEG-interferon atau
analog nukleosida/nukleotida sampai saat ini belum memuaskan. Hal
ini karena adanya ccc-DNA di dalam hepatosit yang sulit dihilangkan
walaupun diberi antivirus yang potent.
Tatalaksana hepatitis B pada anak umumnya berupa konseling untuk
orangtua dan anak dan surveilans perjalanan penyakit terutama detekti
dini karsinoma hepatoselular sambil menunggu kemungkinan untuk
anak dapat diterapi.
PENCEGAHAN HEPATITIS B PADA ANAK
Vaksinasi aktif terhadap hepatitis B merupakan cara terbaik
untuk mencegah infeksi hepatitis B. Vaksinasi hepatitis B sangat aman

10 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Imunisasi Hepatitis A dan B pada Anak

memberikan efikasi >90% untuk mencegah infeksi semua serotipe dan


genotype hepatitis B. Pada banyak negara vaksinasi hepatitis B universal
dianjurkan.
Untuk bayi baru lahir dari ibu dengan HBsAg positif, pemberian
imunisasi aktif adalah langkah penting untuk melakukan eradikasi infeksi
hepatitis B, dan merupakan tindakan yang cost-effective.14 Penelitian di
Taiwan dan Hongkong menemukan bahwa efikasi protektif vaksin saja
tanpa pemberian HBIg untuk mencegah transmisi vertikal dari ibu HBsAg
positif sekitar 75-80%.15
Untuk menurunkan transmisi ibu ke bayi lebih tinggi lagi, bayi yang
lahir dari ibu HBsAg positif bayi perlu mendapat imunisasi aktif dan pasif.
Pemberian HBIG dan vaksin hepatitis B pada saat lahir merupakan cara
yang paling efektif untuk mencegah transmisi hepatitis B dari ibu dengan
HBsAg positif ke bayi dengan efikasi efektif 95%.16-19
PROGRAM PENCEGAHAN HEPATITIS B DAN PENCEGAHAN
INFEKSI TRANSMISI VERTIKAL HEPATITIS B DI INDONESIA
Setiap bayi baru lahir di Indonesia telah mendapatkan vaksinasi
hepatitis B monovalen sebelum usia 24 jam setelah lahir, dilanjutkan
dengan vaksin hepatitis B usia 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan (dengan
vaksin kombinasi) sejak tahun 2016 dan diperkuat dengan diterbitkannya
Permenkes no.52 tahun 2017 yaitu Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Eliminasi  Penularan Human Immunodeficiency Virus, Sifilis, dan Hepatitis
B dari Ibu ke Anak.
Bayi yang terlahir dari ibu dengan HBsAg positif telah diberikan vaksin
hepatitis B 0,5 mL dan HBIG 0,5 mL sebelum 24 jam setelah lahir dan
diperiksa HBsAg pada usia 9-12 bulan. Sejak tahun 2016 Indonesia telah
melaksanakan skrining HBsAg untuk ibu hamil, tahun 2020 skrining
hepatitis B untuk ibu hamil dilakukan bersama dengan sifilis dan HIV
(dalam program tripel eliminasi).
Tujuan umum program hepatitis adalah untuk melakukan eliminasi
hepatitis B pada tahun 2030, menurunkan kejadian infeksi hepatitis B
dari ibu ke anak mulai tahun 2022. Tujuan khusus program ini adalah
untuk menurunkan prevalensi hepatitis B dan menurunkan insidens
hepatitis B terutama pada anak 1-4 tahun (sumber Direktorat P2PML,
Kemenkes RI) dengan target insidens pada anak menjadi kurang dari 50
per 100.000 kelahiran hidup (indikator tripel eliminasi) dan menurunkan

Improving Healthy Gut For Healthy Child 11


Hanifah Oswari

insidens hepatitis B pada populasi umum menjadi 0,1% pada tahun 2030
(indikator RPJMN 2020-2024) untuk mencapai Sustainable Development
Goasl (SDGs) 3.3.4.
Untuk mencapai hal ini Direktorat P2PML, Kemenkes RI melakukan
penyebaran informasi melalui media sosial untuk penguatan kepedulian
masyarakat dan advokasi para pemangku kepentingan melakukan
penguatan data dan surveilans hepatitis dan pengembangan data
elektronik, penguatan Nakes melalui webinar dan platform online, perluasan
jejaring layanan hepatitis B di fasilitas Kesehatan tingkat kesehatan
tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas Kesehatan tingkat lanjutan (FKRTL),
pengembangan studi operasional terkait hepatitis B dan pemutakhiran
kebijakan dan strategi Program Pencegahan Hepatitis berbasis data dan
perkembangan ilmu pengetahuan.
Dari 514 kabupaten/kota, 89,1% kabupaten/kota di Indonesia yang
telah melaksanakan program deteksi dini hepatitis B (DDHB). Sebanyak
45,2% ibu hamil telah masuk dalam program DDHB dan diperiksa HBsAg.
Hasilnya, HBsAg ditemukan pada 2,5% ibu hamil pada tahun 2016 dan
menurun terus sampai 1,7% ibu hamil pada tahun 2020. Pemberian HBIg
dan vaksinasi hepatitis B pada bayi dari ibu reaktif HBsAg telah mencapai
95,8% dari bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif pada tahun
2020. Bayi usia 9-12 bulan yang diperiksa HBsAg, dari 5.339 bayi usia
9-12 bulan yang diperiksa HBsAg didapatkan hasil non reaktif sebanyak
98,4%. Kegagalan pada 1,6% bayi dengan HBsAg positif walaupun telah
mendapat HBIg dan vaksin hepatitis B ini antara lain karena kemungkinan
transmisi hepatitis B terjadi pada saat kehamilan (intra-uterin). Kinerja
lengkap program hepatitis B di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

12 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Imunisasi Hepatitis A dan B pada Anak

TABEL 1. PROGRAM HEPATITIS B DI INDONESIA*


Status 2016 2017 2018 2019 2020
Kabupaten/Kota yang
17,1% 33,7% 69,7% 89,1% 89,1%
melaksanakan DDHB
Estimasi jumlah ibu
5.221.784
Hamil
Ibu hamil yang diperiksa 2.358.322
184.000 585.430 1.643.204 2.576.980
HBsAg (orang) (45,2%)
Ibu hamil reaktif HBsAg 4.526 12.946 30.985 46.944 40.273
(orang) (2,5%) (2.,2%) (1,9%) (1.8%) (1,7%)
Bayi baru lahir dari ibu
29.866
Reaktif HBsAg
Pemberian HBIg pada
28.608
bayi dari ibu reaktif 2.227 6.082 16.816 27.040
(95,8%)
HBsAg
Bayi usia 9-12 bulan 5.339
yang diperiksa HBsAg (18,7%)
Bayi usia 9-12 bulan 5.254
dengan hasil non reaktif (98,4%)
*Data Direktorat P2PML, Kemenkes RI per 23 Januari 2021.
TERAPI ANTIVIRUS UNTUK MENCEGAH KEGAGALAN
INFEKSI INTRA-UTERI.
Walaupun pencegahan transmisi vertikal telah dilakukan dengan
pemberian imunisasi aktif dan pasif, cara pencegahan dengan pemberian
vaksin hepatitis B dan HBIG saat lahir juga mengalami kegagalan sekitar
0-16%.20-24 Transmisi vertikal sebagian besar terjadi pada saat atau setelah
kelahiran. Sebagian kecil terjadi di dalam kandungan. Risiko transmisi
intra uterin ini bergantung pada level DNA virus hepatitis B ibu hamil
tersebut. Trasmisi vertikal intra uterin terjadi pada 9-39% bayi dengan
tingkat viremia tinggi, dan jarang bila HBV-DNA <105- 106 IU/mL.25, 26
Pada ibu dengan HBsAg positif dan HBV-DNA > 2x105 IU/mL
atau >106 copies/mL di samping imunisasi aktif dan pasif standard bila
akan dicegah kemungkinan transmisi intra uterin dapat diberikan obat
antivirus hepatitis B untuk ibu pada saat kehamilan.27, 28
Risiko transmisi hepatitis B intrauterin ini berhubungan dengan
tingkat replikasi DNA virus hepatitis B. Transmisi vertikal terjadi pada

Improving Healthy Gut For Healthy Child 13


Hanifah Oswari

9-39% bayi dengan tingkat viremia tinggi, dan jarang bila HBV-DNA
<105- 106 IU/mL.25, 26
Pada ibu dengan HBsAg positif dan HBV-DNA > 2x105 IU/mL atau
>106 copies/mL di samping imunisasi aktif dan pasif bila akan dilakukan
pencegahan maksimal perlu diberikan obat antivirus pada ibu saat
kehamilan.27, 28
HEPATITIS A
Virus Hepatitis A berbeda dengan hepatitis B, menyebar melalui jalur
fekal-oral, menimbulkan gejala akut dan tidak menyebabkan hepatitis
kronis. Infeksi virus Hepatitis A terjadi di seluruh dunia. Umumnya
seorang anak terinfeksi virus hepatitis A karena kontak dengan orang lain
dengan hepatitis A. Penurunan insidens kasus hepatitis A berhubungan
dengan perbaikan lingkungan, kondisi higienis atau perubahan siklus
epidemik yang sulit dievaluasi.
Hepatitis A terkenal dapat menimbulkan kejadian luar biasa (KLB).
Paling tidak dari tahun 2011, telah dilaporkan kejadian luar biasa hepatitis
A dari 3 propinsi, Jawa Barat, Lampung dan Banten, dengan jumlah kasus
550 orang. Tahun 2012 terdapat 11 propinsi (26 kabupaten melaporkan
terjadinya KLB sebanyak 27 KLB mengenai 2113 orang, tanpa laporan
kematian. Pada tahun 2013 4 propinsi (4 kabupaten melaporkan 4 KLB
mengenai 167 orang, juga tanpa kematian. Yang terbaru pada tahun 2019,
terjadi KLB pada 9 propinsi (16 kabupaten/kota) dengan 3.412 orang
terinfeksi hepatitis A. Dari semua kejadian luar biasa hepatitis A belum
dilaporkan adanya kematian.
GEJALA KLINIS HEPATITIS A
Pada anak yang berusia kurang dari 6 tahun, hanya 30% saja yang
bergejala. Gejala yang timbul adalah kuning yang berlangsung sekitar 2
minggu dan diikuti peningkatan enzim transaminase yang akan menurun
dan kembali normal dalam waktu 2-3 bulan.29
Pada anak usia yang lebih besar sampai dewasa, umumnya virus hepatitis
A menimbulkan gejala klinis selama beberapa minggu. Gejala kuning
terjadi pada 70% anak dan terdapat 80% anak dengan hepatomegali, dan
sekitar 40% memerlukan perawatan di rumah sakit.30
Walaupun jarang (kurang dari 1%), hepatitis A dapat menyebabkan
hepatitis yang berat (fulminan) yang dapat menyebabkan kematian. Pada

14 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Imunisasi Hepatitis A dan B pada Anak

anak kurang dari 14 tahun, dilaporkan 0,3%, pada remaja dan dewasa
muda dilaporkan 0,1% meninggal.
Kadang-kadang hepatitis A dapat menimbulkan gejala ekstrahepatik
seperti artralgia (14%), dan yang lebih jarang lagi seperti vasculitis, artritis,
neuritis optik, myelitis transversa, dan ensefalitis.31 Hepatitis A walaupun
tidak menyebabkan hepatitis kronis, dapat kambuh (relaps) bahkan dapat
membangkitkan hepatitis autoimun pada individu tertentu.32, 33
Pada komunitas seperti sekolah, restoran, hepatitis A dapat
menimbulkan kejadian luar biasa karena adanya kontaminasi air atau
makanan. Di Indonesia hampir tiap tahun sekali dilaporkan kejadian
luar biasa hepatitis A. Kejadian luar biasa terjadi di sekolah maupun di
komunitas umum.
Kejadian luar biasa hepatitis telah dilaporkan sejak lama A di
Indonesia. Pada tahun 2005 telah dilaporkan. KLB di sebuah SMP di
Jakarta.34 Paling sedikit sejak tahun 2011, 3 propinsi (8 kabupaten/kota)
melaporkan 9 KLB dengan jumlah kasus 550 orang. Tahun 2012, 11
propinsi (26 kabupaten/kota) melaporkan 27 KLB dengan jumlah kasus
2113 orang, tahun 2013, 4 propinsi (4 kabupaten/kota) melaporkan 4
KLB dengan jumlah kasus 167 orang. Pada tahun 2019, 9 propinsi (16
kabupaten/kota) melaporkan 16 KLB dengan jumlah kasus 3.421 orang
(Data dari Direktorat P2M PLP, Kemenkes RI). Untungnya dari semua
KLB, walaupun hepatitis A berpotensi menimbulkan hepatitis fulminan
yang mematikan, tidak ada laporan kasus yang meninggal pada KLB yang
terjadi.
DIAGNOSIS HEPATITIS A
Hepatitis A akut dapat ditegakkan dengan cara mendeteksi adanya
IgM anti-HAV. Serum IgM anti-HAV dapat tetap positif selama 4-6 bulan.
PENCEGAHAN HEPATITIS A
Pencegahan umum dapat dilakukan dengan cara memperbaiki sanitasi
dengan menggiatkan praktek mencuci tangan dengan sabun, memasak
makanan dan air.
Pemberian vaksinasi hepatitis sangat imunogenik dan tidak tergantung
merk vaksinasinya. Vaksin hepatitis A jarang sekali gagal menimbulkan
respons imun.35 Vaksin Hepatitis A (inactivated) memiliki riwayat
keamanan yang sangat baik untuk anak dan dewasa. Efek samping vaksin

Improving Healthy Gut For Healthy Child 15


Hanifah Oswari

umumnya ringan dan kebanyakan hanya reaksi lokal di tempat suntikan,


kadang-kadang dilaporkan sakit kepala dan anak menjadi rewel.36
Dalam waktu 2 minggu bila anak mendapat 1 kali vaksin hepatitis A
terjadi serokonversi anti-HAV negatif menjadi positif pada lebih dari 90%
anak yang diberikan vaksinasi.37
Pada anak yang mendapat 2 dosis vaksin hepatitis A (inactivated) dengan
interval 6 bulan, vaksin hepatitis A dapat menimbulkan serokonversi
100% pada anak berusia 1-8 tahun.37
Pada penelitian lain mengunakan vaksin hepatitis A (inactivated)
memberikan efikasi 100% pada anak 2-16 tahun.38
Untuk pencegahan setelah paparan dengan orang dengan hepatitis A,
pada penelitian di Slovakia dan di Italy menunjukkan efikasi proteksi 79%.
Di Israel pemberian vaksinasi hepatitis A satu dosis saja pada saat KLB
dapat menghentikan KLB dalam 2 minggu setelah pemberian vaksinasi.39
PEMBERIAN VAKSINASI HEPATITIS A DI INDONESIA
Vaksinasi hepatitis A belum termasuk vaksin dalam program imunisasi
nasional. Vaksin ini diberikan secara mandiri. Satgas Imunisasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia yang mengeluarkan jadwal imunisasi tahun 2020,
menganjurkan anak mulai usia 1 tahun dan diberikan vaksin hepatitis A
sebanyak 2 kali dengan interval 6-12 bulan.
KESIMPULAN
Hepatitis B menyebabkan hepatitis kronis yang dapat menimbulkan
masalah sirosis hati pada masa dewasa dan karsinoma hati pada masa anak
dan dewasa. Umumnya penularan hepatitis B di Indonesia terjadi melalui
transmisi vertikal dari ibu ke bayi. Terapi untuk hepatitis B sampai saat ini
belum memuaskan, sehingga cara terbaik untuk mengatasi penyakit ini
adalah dengan cara mencegahnya. Imunisasi aktif dengan vaksin hepatitis
B terbukti efektif, tetapi kurang efektif untuk mencegah transmisi vertical.
Untuk itu dibutuhkan penambahan imunisasi pasif berupa pemberian
Imunoglobulin hepatitis B. Vaksin dan HBIg perlu diberikan pada bayi
baru lahir sebelum usia 24 jam. Indonesia telah memulai pemberian vaksin
untuk bayi sebelum usia 24 jam yang diperkuat sejak tahun 2016 dan
makin digalakkan dengan keluarnya Permenkes no.52 tahun 2017. Selain
itu bayi dari ibu HBsAg positif juga telah mendapat HBIg selain vaksin
hepatitis B. Pemeriksaan HBsAg pada ibu hamil juga telah dilaksanakan

16 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Imunisasi Hepatitis A dan B pada Anak

di Indonesia sejak tahun 2016 dan makin bertambah cakupannya pada


tahun 2020 mencapai 45,2% ibu hamil telah diperiksa HBsAg bersama
dengan HIV dan sifilis dalam program tripel eliminasi. Dengan rangkaian
program ini bayi yang lahir dari ibu HBsAg, telah dapat dihindari terinfeksi
hepatitis B sebanyak 98,4%.
Virus hepatitis A menyebabkan infeksi hepatitis A dan menyebabkan
masalah untuk anak. Pada anak berusia di atas 6 tahun dapat
menimbulkan gejala berupa kuning dan peningkatan transaminase.
Kadang-kadang hepatitis A dapat menimbulkan gejala ekstra hepatis
atau hepatitis fulminan. Hepatitis A telah dikenal hampir tiap tahun
menyebabkan kejadian luar biasa di Indonesia. Vaksinasi hepatitis A
telah diketahui sangat efektif untuk mencegah infeksi hepatitis A dan
juga untuk menghentikan kejadian luar biasa. Vaksinasi hepatitis A di
Indonesia belum masuk dalam program nasional, tetapi masuk dalam
imunisasi mandiri. Pada masa depan, agaknya Pemerintah Indonesia perlu
menghitung dan mempertimbangkan apakah imunisasi hepatitis A yang
dilakukan secara universal akan cost effective.
DAFTAR PUSTAKA
Global hepatitis report 2017. In. Geneva: World Health Organization.
Lok AS, McMahon BJ. Chronic hepatitis B: update 2009. Hepatology.
2009;50:661-2.
The L. Towards elimination of viral hepatitis by 2030. Lancet. 2016;388:308.
Polaris Observatory C. Global prevalence, treatment, and prevention
of hepatitis B virus infection in 2016: a modelling study. Lancet
Gastroenterol Hepatol. 2018;3:383-403.
Stevens CE, Beasley RP, Tsui J, Lee WC. Vertical transmission of hepatitis
B antigen in Taiwan. N Engl J Med. 1975;292:771-4.
Beasley RP, Hwang LY. Postnatal infectivity of hepatitis B surface antigen-
carrier mothers. J Infect Dis. 1983;147:185-90.
Beasley RP, Hwang LY, Lin CC, Leu ML, Stevens CE, et al. Incidence of
hepatitis B virus infections in preschool children in Taiwan. J Infect
Dis. 1982;146:198-204.
Coursaget P, Yvonnet B, Chotard J, Vincelot P, Sarr M, et al. Age- and
sex-related study of hepatitis B virus chronic carrier state in infants
from an endemic area (Senegal). J Med Virol. 1987;22:1-5.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 17


Hanifah Oswari

McMahon BJ, Alward WL, Hall DB, Heyward WL, Bender TR, et al. Acute
hepatitis B virus infection: relation of age to the clinical expression
of disease and subsequent development of the carrier state. J Infect
Dis. 1985;151:599-603.
Bortolotti F, Calzia R, Cadrobbi P, Giacchini R, Ciravegna B, et al. Liver
cirrhosis associated with chronic hepatitis B virus infection in
childhood. J Pediatr. 1986;108:224-7.
Rodriguez-Baez N, Murray KF, Kleiner DE, Ling SC, Rosenthal P, et al.
Hepatic Histology in Treatment-naive Children With Chronic
Hepatitis B Infection Living in the United States and Canada. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2020;71:99-105.
Chang MH, You SL, Chen CJ, Liu CJ, Lee CM, et al. Decreased incidence
of hepatocellular carcinoma in hepatitis B vaccinees: a 20-year
follow-up study. J Natl Cancer Inst. 2009;101:1348-55.
Murray KF, Shah U, Mohan N, Heller S, Gonzalez-Peralta RP, et al.
Chronic hepatitis. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2008;47:225-33.
Margolis HS, Coleman PJ, Brown RE, Mast EE, Sheingold SH, et al.
Prevention of hepatitis B virus transmission by immunization.
An economic analysis of current recommendations. JAMA.
1995;274:1201-8.
Poovorawan Y, Sanpavat S, Pongpunlert W, Chumdermpadetsuk S,
Sentrakul P, et al. Protective efficacy of a recombinant DNA
hepatitis B vaccine in neonates of HBe antigen-positive mothers.
JAMA. 1989;261:3278-81.
Stevens CE, Toy PT, Tong MJ, Taylor PE, Vyas GN, et al. Perinatal hepatitis
B virus transmission in the United States. Prevention by passive-
active immunization. JAMA. 1985;253:1740-5.
Ni YH, Chen DS. Hepatitis B vaccination in children: the Taiwan
experience. Pathol Biol (Paris). 2010;58:296-300.
Liaw YF, Chu CM. Hepatitis B virus infection. Lancet. 2009;373:582-92.
Poovorawan Y, Chongsrisawat V, Theamboonlers A, Leroux-Roels G,
Kuriyakose S, et al. Evidence of protection against clinical and
chronic hepatitis B infection 20 years after infant vaccination in a
high endemicity region. J Viral Hepat. 2011;18:369-75.

18 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Imunisasi Hepatitis A dan B pada Anak

Wang FY, Lin P, Zhang HZ. [A randomized controlled trial on effect


of hepatitis B immune globulin in preventing hepatitis B virus
transmission from mothers to infants]. Zhonghua Er Ke Za Zhi.
2008;46:61-3.
Zou H, Chen Y, Duan Z, Zhang H. Protective effect of hepatitis B vaccine
combined with two-dose hepatitis B immunoglobulin on infants
born to HBsAg-positive mothers. PLoS One. 2011;6:e26748.
Wiseman E, Fraser MA, Holden S, Glass A, Kidson BL, et al. Perinatal
transmission of hepatitis B virus: an Australian experience. Med J
Aust. 2009;190:489-92.
Su HX, Zhang YH, Zhang ZG, Li D, Zhang JX, et al. High conservation of
hepatitis B virus surface genes during maternal vertical transmission
despite active and passive vaccination. Intervirology. 2011;54:122-30.
Boot HJ, Hahne S, Cremer J, Wong A, Boland G, et al. Persistent and
transient hepatitis B virus (HBV) infections in children born to
HBV-infected mothers despite active and passive vaccination. J Viral
Hepat. 2010;17:872-8.
Thompson ND, Perz JF, Moorman AC, Holmberg SD. Nonhospital health
care-associated hepatitis B and C virus transmission: United States,
1998-2008. Ann Intern Med. 2009;150:33-9.
Zou H, Chen Y, Duan Z, Zhang H, Pan C. Virologic factors associated
with failure to passive-active immunoprophylaxis in infants born to
HBsAg-positive mothers. J Viral Hepat. 2012;19:e18-25.
Terrault NA, Lok ASF, McMahon BJ, Chang KM, Hwang JP, et al. Update
on Prevention, Diagnosis, and Treatment of Chronic Hepatitis
B: AASLD 2018 Hepatitis B Guidance. Clin Liver Dis (Hoboken).
2018;12:33-34.
Schillie S, Vellozzi C, Reingold A, Harris A, Haber P, et al. Prevention of
Hepatitis B Virus Infection in the United States: Recommendations
of the Advisory Committee on Immunization Practices. MMWR
Recomm Rep. 2018;67:1-31.
Tong MJ, el-Farra NS, Grew MI. Clinical manifestations of hepatitis A:
recent experience in a community teaching hospital. J Infect Dis.
1995;171 Suppl 1:S15-8.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 19


Hanifah Oswari

Gordon SC, Reddy KR, Schiff L, Schiff ER. Prolonged intrahepatic


cholestasis secondary to acute hepatitis A. Ann Intern Med.
1984;101:635-7.
Schiff ER. Atypical clinical manifestations of hepatitis A. Vaccine. 1992;10
Suppl 1:S18-20.
Vento S, Garofano T, Di Perri G, Dolci L, Concia E, et al. Identification of
hepatitis A virus as a trigger for autoimmune chronic hepatitis type
1 in susceptible individuals. Lancet. 1991;337:1183-7.
Skoog SM, Rivard RE, Batts KP, Smith CI. Autoimmune hepatitis preceded
by acute hepatitis A infection. Am J Gastroenterol. 2002;97:1568-9.
Oswari H, Rahayu T, Bisanto J, Soedjatmiko. Kejadian luar biasa hepatitis
A di SMPN-259 Jakarta Timur. Sari Pediatri. 2005;6:172-5.
Garner-Spitzer E, Kundi M, Rendi-Wagner P, Winkler B, Wiedermann G,
et al. Correlation between humoral and cellular immune responses
and the expression of the hepatitis A receptor HAVcr-1 on T cells
after hepatitis A re-vaccination in high and low-responder vaccinees.
Vaccine. 2009;27:197-204.
Cui F, Liang X, Wang F, Zheng H, Hutin YJ, et al. Development,
production, and postmarketing surveillance of hepatitis A vaccines
in China. J Epidemiol. 2014;24:169-77.
Shouval D, Ashur Y, Adler R, Lewis JA, Armstrong ME, et al. Single and
booster dose responses to an inactivated hepatitis A virus vaccine:
comparison with immune serum globulin prophylaxis. Vaccine.
1993;11 Suppl 1:S9-14.
Werzberger A, Mensch B, Kuter B, Brown L, Lewis J, et al. A controlled trial
of a formalin-inactivated hepatitis A vaccine in healthy children. N
Engl J Med. 1992;327:453-7.
Zamir C, Rishpon S, Zamir D, Leventhal A, Rimon N, et al. Control of
a community-wide outbreak of hepatitis A by mass vaccination
with inactivated hepatitis A vaccine. Eur J Clin Microbiol Infect Dis.
2001;20:185-7.

20 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Stunting Pada Anak: Bagaimana Mencegahnya?

STUNTING PADA ANAK: BAGAIMANA MENCEGAHNYA?

Ade Djanwardi Pasaribu

PENDAHULUAN
Stunting (perawakan pendek) merupakan petanda malnutrisi kronik.
Definisi stunting adalah ukuran tinggi menurut umur kurang dari yang
normal. Data Riskesdas 2013 menunjukkan 37,2 persen balita Indonesia
mengalami stunting. Tingginya prevalens stunting di suatu negara merupakan
bencana sosial, kegagalan membangun masyarakat manusia.
Seribu hari pertama kehidupan memang merupakan periode yang
penting dalam tumbuh kembang anak. Sejak konsepsi sampai dua tahun
pertama kehidupan banyak tantangan menghadang tumbuh kembang
anak. Prematuritas, asupan gizi yang tidak adekuat dan infeksi berulang
tentu akan mengganggu tubuh kembang anak. Tentu saja, berbagai
faktor makro seperti kemiskinan, lingkungan hidup, pendidikan, akses
terhadap pelayanan kesehatan, kepadatan penduduk, stabilitas politik dan
urbanisasi mempengaruhi kejadian stunting.
Berbagai penelitian di dunia membuktikan kaitan yang sangat
kuat antara stunting dengan morbiditas dan mortalitas, fungsi kognitif,
produktivitas dan penyakit/kesehatan jangka panjang pada masa dewasa.
Makalah berikut ini akan membahas penyebab stunting secara umum
dan kemudian mengajukan beberapa upaya yang dapat dilakukan
mqasyarakat untuk pencegahannya.
ETIOLOGI STUNTING
Studi epidemiologis di beberapa negera berkembang di dunia
menunjukkan bahwa penyebab stunting adalah menyusui yang tidak
optimal, makanan pendamping ASI yang tidak adekuat, infeksi berulang
terutama diare dan infeksi saluran napas, defisiensi mikronutrien dan
status ibu seperti anemia, hipertensi, dan malnutrisi.
Bagaimana di Indonesia? Riskesdas 2013 memperlihatkan bahwa
exclusive breast-feeding (EBF) di Indonesia pada usia 0. 1, 2, 3, 4, 5, dan 6
berturut-turut 52,7; 48,7; 46,0; 42,2; 41,9; 36,6 dan 30,2. Kurang dari
sepertiga bayi yang menerima EBF.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 21


Ade Djanwardi Pasaribu

Penelitian di dserash rural membuktikan makanan pendamping


buatan rumah tangga ternyata tidak mencapai rekomendasi yang
dianjurkan. Infeksi berulang seperti diare dan infeksi pernapasan masih
tinggi morbiditas dan mortalitasnya. Defisiensi mikronutrien seperti Zn,
Fe, iodium, vitamin A dan D pun masih tinggi. Status ibu seperti anemia,
hipertensi, malnutrisi, eklampsia dan kelahiran prematur juga masih
memprihatinkan.
Berdasarkan uraian di atas bisa disimpulkan bahwa penyebab stunting
di Indonesia sesuai dengan yang terjadi di negara berkembang lain di
dunia.
DIARE SEBAGAI PENYEBAB STUNTING
Berikut akan diambil contoh diare sebagai penyebab stunting.
Diare merupakan masalah kesehatan yang penting di Indonesia karena
morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Diare merupakan salah
satu penyebab terjadinya stunting yang penting di negara berkembang.
Penelitian yang menganalisis data dari berbagai negara berkembang
menyimpulkan bahwa makin tinggi kejadian diare sebelum usia 2 tahun
pertama kehidupan, makin tinggi prevalens stunting pada usia 2 tahun.
Enam puluh juta kasus diare akut diperkirakan terjadi setiap tahun
pada balita di Indonesia. Sembilan juta di antaranya akan berkembang
menjadi diare persisten dengan akibat terjadinya malnutrisi kronik
(stunting). Kerusakan mukosa usus yang berkepanjangan merupakan
penyebab melanjutnya diare akut menjadi diare persisten. Faktor risiko
terjadinya diare persisten usia kurang dari 18 bulan, gizi kurang, riwayat
diare berulang dan anemia defisiensi besi.
Diare akut terutama (80 persen) disebabkan oleh virus. Rotavirus
merupakan penyebab 60 persen kasus diare akut di Indonesia. Virus
memasuki sel usus dan bereplikasi menyebabkan kerusakan mukosa usus.
Infeksi rotavirus pada keadaan malnutrisi akan memperparah kerusakan
mukosa usus.
Kerusakan mukosa usus yang berkepanjangan akan menyebabkan
kerusakan lapisan usus. Kerusakan usus akan mengakibatkan
menurunnya aktivisas enzim usus yang akan menggangu penyerapan
gula susu.. Kerusakan usus akan menurunkan produksi hormon yang
akan menyebabkan ganguan fungsi pankreas dengan akibat gangguan
pencernaan karbohidrat, lemak dan protein. Kerusakan mukosa usus juga

22 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Stunting Pada Anak: Bagaimana Mencegahnya?

akan menyebabkan gangguan permeabilitas usus dengan akibat terjadinya


kebocoran protein; protein dalam darah akan bocor ke usus dan dikeluarkan
melalui tinja. Gangguan permeabilitas juga akan memudahkan terjadinya
translokasi bakteri dan menyebabkan sepsis. Jadi, kerusakan mukosa usus
yang berkepanjangan akibat diare akan menyebabkan malnutrisi kronik
(stunting).
APA YANG DAPAT DILAKUKAN?
Setelah bahasan di atas, beberapa uoaya dapat dilakukan untuk
mencegah dan mengatasi stunting pada anak, yaitu:
1. Masyarakat diikutsertakan dalam upaya mempromosikan ASI
eksklusif.
2. Masyarakat diajarkan membuat MPASI dari bahan lokal tetapi
memenuhi persyaratan gizi bayi.
3. Masyarakat diajarkan tentang pentingnya suplementasi multivitamin
dan mikronutrien; misalnya pada bayi mulai usia 3 bulan diberikan
suplementasi besi untuk mencegah anemia.
4. Obati diare pada anak segera, sekurangnya pemberian oralit dan
makanan.
5. Anak malnutrisi memerlukan dukungan nutrisi yang adekuat
dengan berkonsultasi pada puskesmas.
6. Pantau tumbuh kembang anak secara berkala dengan mengunjungi
posyandu, sehingga gangguan pertumbuhan dapat diketahui lebih
dini.

KESIMPULAN
Stunting pada anak merupakan masalah kesehatan yang penting
di Indonesia dan harus dicegah karena akan menurunkan kualitas
manusia Indonesia. Diare berulang yang melanjut menjadi diare persisten
merupakan salah satu penyebab stunting. Perlu dilakukan upaya untuk
mencegah diare persisten dan malnutrisi. Memantau tumbuh kembang
anak secara berkala harus dilakukan untyuk mengetahui secara dini
gangguan pertumbuhan.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 23


24
Diare Pada Anak dengan HIV

DIARE PADA ANAK DENGAN HIV

I Putu Gede Karyana

PENDAHULUAN
Kasus infeksi Human Immunodeficiency Virus/Aqcuired Immune
Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan masalah global dengan kasus
yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada akhir tahun 2015 jumlah
total penderita HIV/AIDS di seluruh dunia mencapai 36,7 juta, dan 1,8
juta kasus terjadi pada anak.1 Di Indonesia jumlah kasus HIV/AIDS terus
bertambah, jumlah kumulatif kasus HIV sejak tahun 1987 sampai bulan
September 2014 tercatat 150.296 orang, sedangkan total kumulatif kasus
AIDS sebanyak 55.799 orang dengan 3.364 kasus terjadi di bawah usia
20 tahun. Papua menduduki peringkat pertama sebagai provinsi dengan
prevalensi AIDS tertinggi, diikuti Jawa Timur dan DKI Jakarta.2
Virus HIV tidak hanya menyerang orang dewasa saja melainkan juga
pada anak. Penularan ini dapat terjadi karena adanya transmisi virus pada
kehamilan, pada saat melahirkan, maupun pada saat menyusui.3 Saat
virus HIV menjangkiti tubuh, virus akan menyerang dan merusak sel-sel
limfosit T, CD4 sehingga kekebalan penderita rusak dan rentan terhadap
berbagai penyakit infeksi.4 Adanya virus HIV di dalam tubuh tidak hanya
dapat mempengaruhi sistem imun, melainkan juga dapat mempengaruhi
sistem saraf bahkan gastrointestinal (GI). Gangguan GI terlihat pada 50%
pasien AIDS di Amerika Utara atau Eropa dan sebesar 90% pada negara
berkembang. Salah satu manifestasi umum gangguan GI pada pasien
dengan HIV/AIDS adalah diare.5 Data di Zaire menunjukkan bahwa diare
akut, diare rekuren, dan diare persisten semuanya lebih sering terjadi pada
bayi-bayi yang terinfeksi HIV, dengan insiden rasio berturut-turut 1,7, 1,9,
dan 4,8 bila dibandingkan dengan bayi yang tidak terinfeksi.6,7
Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari, dengan atau tanpa
darah dan atau lendir dalam tinja.8 Penyebab diare pada pasien dengan
HIV/AIDS dapat terjadi karena infeksi protozoa, bakteri, virus, helmintik,
fungi, maupun karena efek samping pengobatan dan malnutrisi.5 Diare
dapat mengakibatkan kematian atau kehilangan kemampuan anak apabila
tidak didiagnosis dan ditangani dengan baik.3

Improving Healthy Gut For Healthy Child 25


I Putu Gede Karyana

FAKTOR RISIKO
Derajat keparahan diare dapat bervariasi dari ringan, sedang, atau
yang dapat membutuhkan rawat inap maupun dapat menyebabkan
kematian. Derajat keparahan dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu agen
penyebab, patogenisitas, dan karakteristik host misalnya imunodefisiensi
dan usia. Penurunan sistim imun pada penderita HIV/AIDS sangat
berhubungan erat dengan terjadinya diare. Semakin rendah jumlah sel
CD4 maka semakin tinggi angka kejadian diare. CD4 juga berhubungan
dengan tipe dan durasi diare.9 Diare yang terjadi pada saat penurunan
sistem imun minimal, yaitu pada tahap awal HIV biasanya cenderung
ringan, intermiten, dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Namun
pada tahap lanjut, fungsi imun tubuh semakin menurun, diare menjadi
kronik dan berhubungan dengan morbiditas, penurunan berat badan, dan
malnutrisi.10 Diare kronik biasanya lebih banyak terjadi pada penderita
dengan jumlah sel CD4 yang rendah dan semakin rendah CD4 maka
durasi diare akan semakin panjang. Mekanisme yang terjadi adalah akibat
imunosupresi regional mukosa usus. Imunitas mukosa usus merupakan
faktor penting untuk mencegah terjadinya diare. Kehilangan sel CD4
dalam mukosa usus biasanya lebih banyak dibanding kadar CD4 perifer,
sehingga pada penderita dengan jumlah CD4 perifer yang masih baik
tetap dapat terjadi diare karena imunitas mukosanya sudah rendah.9
PENYEBAB
Penyebab terjadinya diare pada HIV/AIDS multifaktorial dan
kompleks.11 Secara umum dibedakan menjadi penyebab infeksi dan non
infeksi. Penyebab infeksi bisa disebabkan oleh virus HIV itu sendiri atau
oleh berbagai mikroorganisme patogen, seperti bakteri, virus, mikobakteria,
dan parasit yang menyerang usus halus dan usus besar.12 Sekitar 75-80%
kasus diare disebabkan karena infeksi mikroorganisme patogen, baik
yang tipikal (Salmonella, Shigella) maupun atipikal.9 Infeksi bakteri bersifat
invasif dan non-invasif. Bakteri non-invasif mengeluarkan enterotoksin
yang terikat pada mukosa usus halus 15-30 menit setelah diproduksi.
Sedangkan bakteri yang invasif, seperti Salmonella dan Shigella akan merusak
dinding usus sehingga terjadi nekrosis dan ulserasi yang menyebabkan
diare disertai lendir dan darah.13
Infeksi sistemik dapat terjadi bila mikroorganisme patogen menyebar
dari usus, seperti misalnya pada Salmonella, Shigella, Campylobacter. Relaps

26 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Diare Pada Anak dengan HIV

tidak jarang terjadi setelah pengobatan yang berhasil dan terapi dihentikan,
misalnya pada Cytomegalovirus, Salmonella, Shigella, Campylobacter,
Cryptosporidia, Microsporidia, dan Cyclospora. Mikroorganisme patogen pada
umumnya dapat ditemukan pada tinja atau pada biopsi mukosa usus.9,12
Jenis mikroorganisme pathogen yang dapat menjadi penyebab diare pada
penderita HIV/AIDS dapat dilihat pada (Tabel 1).
Tabel 1. Mikroorganisme patogen penyebab diare pada infeksi HIV/
AIDS6,11
Bakteri Parasit Virus Mycobacteria
Eschericia coli Cryptosporidium Cytomegalovirus M. avium
Salmonella parvum Rotavirus complex
Shigella Isospora belli Herpes M. tuberculosis
Campylobacter sp. Enterocystozoon Adenovirus
Yersinia bieneusi Astrovirus
enterocolitica Septata intestinalis Calicivirus
Clostridium Entamoeba hystolitica HIV (AIDS enteropati)
difficile Giardia lamblia
Microsporidia
Strongyloides
Cyclospora spp
Daftar ini bisa bertambah bila ditemukan patogen penyebab yang
baru, dan etiologi ini bisa berbeda jumlah maupun jenisnya pada berbagai
geografi lokal.
Virus HIV dianggap sebagai penyebab patogen terjadinya diare karena
protein virus telah ditemukan dalam saluran pencernaan. Pada sediaan
histologi dari jaringan saluran pencernaan, pada sekitar 40% penderita
dapat ditemukan virus tersebut. Infeksi virus HIV terbatas pada lamina
propria, makrofag dan sel enterokromafin, dan tidak ditemukan pada sel
epitel. Selain itu infeksi virus HIV ini juga dapat memengaruhi imunitas
humoral lokal dan menyebabkan gangguan motilitas melalui efek saraf
autonomi. Infeksi HIV pada usus menyebabkan atrofi mukosa usus
yang berakibat gangguan absorbsi selanjutnya menyebabkan diare dan
penurunan berat badan.14
Pada keadaan diare tanpa ditemukannya mikroorganisme patogen
disebut enteropati HIV/AIDS idiopatik. Hal ini pertama kali
dideskripsikan oleh Kotler dkk pada tahun 1984.12,14 Angka kejadian
enteropati HIV/AIDS sekitar 15-20%.15 Patofisiologi enteropati HIV/
AIDS sangat kompleks dan mungkin merupakan efek tidak langsung dari

Improving Healthy Gut For Healthy Child 27


I Putu Gede Karyana

virus HIV terhadap homeostasis usus.14,15 Pada beberapa kasus terdapat


gangguan dari fungsi barrier epitel, ditemukan terbukanya “tight junction”
di antara sel epitel yang disebabkan oleh pelepasan sitokin yang distimulasi
virus HIV. Hal ini mengakibatkan fungsi sawar epitel usus menjadi lemah,
meningkatnya permeabilitas usus, dan terjadi mekanisme kebocoran yang
terus menerus yang akan menimbulkan diare.12
Jamur merupakan flora normal di saluran pencernaan, saluran
urogenital, dan kulit. Kejadian diare akibat jamur pada anak dengan HIV/
AIDS jarang. Insidens tertinggi infeksi oportunistik jamur disebabkan
oleh kandidiasis.12
Penyebab non infeksi antara lain dapat diakibatkan dari penurunan
sistem imun yang progresif, intoleransi laktosa, dan akibat efek samping
obat-obatan yang digunakan dalam tatalaksana HIV/AIDS, baik terapi
antiretroviral maupun antibiotika, atau karena insufisiensi pankreas
sekunder akibat obat antiretroviral yang menyebabkan malabsorpsi dan
steatorrhea.9,12
Kemajuan dalam pengobatan HIV telah mengubah insiden dan
etiologi diare kronik pada penderita HIV/AIDS. Terapi antiretroviral aktif
(HAART) menyebabkan menurunnya insiden diare dan berkurangnya
infeksi oportunis sebagai penyebab diare pada penderita HIV/AIDS.
Diare kronik bila terjadi, kemungkinan sebagai akibat efek samping
dari antiretroviral sendiri. Beberapa obat yang dapat menyebabkan diare
antara lain: didanosine pada sekitar 28% penderita, lamivudine (3TC)
mencapai 18%, stavudin (d4T) 7%, zidovudine (AZT) 12%, nelfinavir
30%, ritonavir 13%, saquinavir 5%, nevirapine 2%, dan delvidine 11%.16
Efek samping diare akibat terapi antiretroviral aktif biasanya timbul pada
awal pengobatan dan berlangsung dalam jangka waktu kurang lebih satu
sampai empat minggu.17
Cryptosporidium parvum
Sejak dilaporkan pertama kali sebagai penyebab diare pada manusia
pada tahun 1976, Cryptosporidium menjadi enterik patogen penyebab diare
yang paling sering dilaporkan baik pada penderita yang imunokompromais
maupun imunokompeten di seluruh dunia. Infeksi Cryptosporidium lebih
sering terjadi pada penderita imunokompromais, terutama penderita HIV/
AIDS. Di negara maju dilaporkan sebagai penyebab diare pada penderita
HIV/AIDS sebanyak 14% dan di negara berkembang mencapai 24%.9,17-19

28 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Diare Pada Anak dengan HIV

Tetapi angka ini mulai menurun sejak digunakan terapi antiretroviral aktif
(HAART).20
Diare karena Cryptosporidium yang terjadi pada penderita
imunokompeten lebih sering pada anak, dan biasanya sembuh sendiri
dalam waktu 2 minggu. Sebaliknya pada penderita yang imunokompromais
seperti penderita HIV/AIDS, manifestasi klinisnya umumnya lebih
berat, bisa mengenai semua umur, lokasi infeksi bisa intestinal atau
ektraintestinal.21
Gejala intestinal bisa asimtomatik (4%), transien yaitu diare yang
berhenti <2 bulan dan tidak ditemukan lagi Cryptosporidium dalam
tinja (28%), kronik yaitu diare berlangsung 2 bulan atau lebih dengan
Cryptosporidium tetap ditemukan dalam tinja atau sediaan biopsy (60%),
atau fulminant yaitu diare cair dengan volume lebih dari 2 liter/hari
(8%). Umumnya gejala klinik cryptosporidiosis berupa diare cair dengan
volume yang banyak, disertai demam, nyeri perut daerah para umbilical,
penurunan berat badan, mual dan muntah yang berlangsung selama 2
hari sampai waktu yang lama. Beratnya penyakit bila dikaitkan dengan
jumlah CD4 dilaporkan pada penderita dengan CD4 >200 sel/ul bisa
terjadi penyembuhan spontan dari diare, pada CD4 <100 sel/ul sering
berupa diare kronik disertai kelainan ekstraintestinal, pada CD4 <50 sel/
ul bentuk fulminan. Diagnosis crypstosporidiasis biasanya mudah dibuat
dengan pemeriksaan tinja konsentrasi dengan pewarnaan tahan asam
yang dimodifikasi.21
Infeksi Cryptosporidium umumnya terbatas pada brush border enterosit
dan tidak invasif ke dalam jaringan, tetapi mengganggu fungsi brush
border dan menyebabkan atrofi villi dan malabsorpsi. Diare sekresi yang
terjadi menyerupai kolera tetapi lebih ringan, dan di dalam tinja tidak
diketemukan adanya eritrosit atau leukosit.9
Terapi Cryptosporidiosis sangat problematic karena sampai sekarang
tidak ada obat yang benar-benar dapat mengeradikasi Cryptosporidium,
meskipun 40-90% sangat responsive terhadap terapi paromomycin tetapi
relaps sering terjadi. Obat anti parasite lainnya sedang dalam penelitian,
antara lain spiramycin, azithromycin, clarithromycin, dan yang terbaru
nitazoxamide. Terapi yang paling efektif adalah dengan meningkatkan
sistim imun tubuh dengan pemberian terapi antiretroviral aktif (HAART),
diare membaik atau remisi komplit bersamaan dengan menurunnya viral
load dan meningkatnya jumlah CD4 menjadi >200 sel/ul.14,18,21,24

Improving Healthy Gut For Healthy Child 29


I Putu Gede Karyana

Microsporidium
Penyebab lain yang cukup banyak adalah Microsporidiasis dan mencapai
15-20% kasus diare pada HIV/AIDS.17 Microsporidium menimbulkan
kerusakan mukosa lebih berat daripada infeksi oportunistik usus
yang lain, menimbulkan malabsorpsi karbohidrat, lemak, dan nutrisi
esensial.25 Manifestasi klinisnya menyerupai cryptosporodiasis, yaitu diare
cair, penurunan berat badan, dan nyeri perut, tetapi tidak disertai demam
dan anoreksia. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tinja dengan
menggunakan pewarnaan khusus trikrom yang dimodifikasi. Terapi
spesifik tidak ada, secara umum penderita microsporidiasis diterapi secara
empiris dengan obat antidiare dan tunjangan nutrisi. Metronidazole dan
albendazole dilaporkan dapat mengurangi diare dengan cepat tetapi tidak
menghilangkan Microsporidium dalam tinja.18,21
Cytomegalovirus
Cytomegalovirus juga merupakan patogen penyebab diare yang cukup
sering dan angka kejadiannya mencapai 15-20%. Manifestasi klinisnya
khas berupa demam, volume tinja sedikit, diare dengan tinja berdarah,
dan leukosit dalam tinja. Pada infeksi Cytomegalovirus kadang-kadang
dapat terjadi komplikasi perforasi atau toksik megakolon. Selain itu,
Cytomegalovirus juga berhubungan dengan terjadinya obstruksi duktus
biliaris dan kolangitis sklerosis intrahepatik (kolangiopati-AIDS).11
diagnosis membutuhkan biopsy endoskopik yang menunjukkan adanya
inklusi intranuklear Cytomegalovirus pada pengecatan dengan hematoxylin
eosin dari sediaan biopsi mukosa. Terapinya dengan ganciclovir (5 mg/kg 2
kali sehari) intravena atau foscamet (200mg/kg per hari). Cytomegalovirus
enteritis dapat relaps setelah pengobatan dan kekambuhan dapat mengenai
retina dan dapat menyebabkan kebutaan.12,16-18,21
Mycobacterium avium complex (MAC)
Saat ini merupakan salah satu penyebeb utama dari morbiditas dan
mortalitas pada penderita HIV/AIDS, infeksi dapat menyebar ke seluruh
tubuh dan mengenai banyak organ. Mycobacterium avium complex (MAC)
dapat melibatkan seluruh sistem retikuloendotelial. Mycobacterium avium
complex menyebabkan diare, demam, nyeri seluruh perut terutama kuadran
kanan atas karena infiltrasi pada hati, anoreksia, dan dapat menyebar ke
luar usus sehingga menyebabkan infeksi sistemik. Diagnosis ditegakkan
dengan pemeriksaan kultur darah atau kultur tinja atau dengan biopsi
endoskopik yang menunjukkan adanya makrofag pada lamina propria

30 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Diare Pada Anak dengan HIV

yang banyak mengandung mikroorganisme tahan asam. Terapi spesifik


dari MAC menggunakan terapi kombinasi kemoterapi etambutol dan
klarithromisin.12,17,21,26
Isospora belli
Meskipun tidak umum di negara maju, di negara berkembang menjadi
20% penyebab diare pada penderita HIV/AIDS. Parasit ini merusak
enterosit dan menyebabkan diare kronis yang berat. Isospora belli dapat
ditemukan dalam tinja atau pada biopsi usus halus. Terapi spesifik dengan
pyrimethamin dan kotrimoksazol, tetapi relaps pada 50% kasus bila terapi
dihentikan, sehingga terapi perlu diberikan dalam jangka panjang.12,16,18
Cyclospora cayatanensis
Cyclospora cayatanensis menyebabkan diare kronis intemiten pada pasien
HIV/AIDS. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopik
tinja dengan pewarnaan tahan asam yang dimodifikasi. Terapi dengan
kotrimoksazol pada umumnya efektif, tetapi kekambuhan sering terjadi
sehingga diperlukan profilaksis jangka panjang.18
Clostridium difficile
Diare yang berhubungan dengan antibiotika perlu dipertimbangkan
pada penderita HIV/AIDS. Antibiotika dapat mematikan bakteri yang
baik dalam usus dan menimbulkan pertumbuhan yang berlebihan dari
bakteri lain. Clostridium difficile umumnya sebagai penyebab dari diare
yang berkaitan dengan penggunaan antibiotika seperti clindamycin dan
penicillin. Diagnosis ditegakkan dengan esai toksin Clostridium difficile.
Terapi dengan metronidazole terbukti efektif.9,12,18
Virus
Meskipun berbagai macam virus seperti rotavirus, adenovirus,
coronavirus, astrovirus dapat menyebabkan diare pada penderita HIV/
AIDS, namun umumnya sembuh sendiri dan tidak memerlukan terapi
spesifik.12
EVALUASI KLINIS DAN LABORATORIS11,12
Tujuan utama evaluasi adalah untuk melakukan tiga hal utama, yaitu
indentifikasi yang tepat infeksi yang dapat diobati, menghilangkan gejala,
dan mencegah terjadinya malabsorpsi.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 31


I Putu Gede Karyana

Anamnesis yang teliti diperlukan, antara lain tentang riwayat bepergian,


riwayat makanan yang dikonsumsi, obat-obatan yang digunakan, gejala
klinis yang ada, misalnya mual, muntah, demam, dan gejala sistemik
lainnya. Derajat defisiensi imun juga perlu ditentukan. Pada CD4 yang
rendah dan adanya riwayat infeksi oportunistik mengindikasikan status
imunitas yang buruk. Evaluasi dari derajat imunodefisiensi ini berguna
karena merupakan faktor umum yang sering mendasari terjadinya infeksi
oleh bakteri utama penyebab diare pada penderita HIV/AIDS, misalnya
Criptosporidia, Clostridium difficile, Isospora belli, dan Microsporidia sering
pada penderita dengan CD4 yang rendah <100 sel/ul.
Evaluasi juga diharapkan bisa menentukan letak anatomis kelainan,
apakah diare ini akibat penyakit usus halus atau usus besar. Diare usus
halus secara klinis ditandai dengan penurunan berat badan akibat
malabsorpsi yang terjadi, nyeri perut sekitar umbilikus, diare cair dengan
volume yang banyak, frekwensi berak lebih dari sekali dalam sehari, sering
diikuti dehidrasi, tidak didapatkan tenesmus, tidak terdapat leukosit atau
darah dalam tinja. Pasien dengan gejala klasik diare usus halus merupakan
kandidat yang tepat untuk biopsi endoskopik usus halus bila diperlukan.
Kemungkinan infeksi yang sering adalah Criptosporidium, Microsporidium,
Isospora belli, atau Giardia. Diare usus besar tidak disertai malabsorpsi,
biasanya ditandai dengan nyeri perut kwadran kanan bawah atau
suprapubik, volume tinja umumnya tidak banyak sehingga lebih jarang
menyebabkan dehidrasi, sering terdapat tenesmus dan nyeri saat defekasi.
Tinja sering mengandung leukosit dan tampak adanya darah. Pasien
dengan diare usus besar merupakan kandidat yang tepat untuk dilakukan
kolonoskopik dan biopsi. Penyebabnya tersering adalah Cytomegalovirus,
Shigella, atau Campylobacter.
Karakter, frekwensi, warna, dan bau tinja relatif tidak spesifik sehingga
tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab diare yang terjadi.
Pemeriksaan tinja, yaitu kultur dan uji sensitivitas terhadap antiobiotik,
pemeriksaan mikroskopik untuk ova dan parasite (termasuk pewarnaan
tahan asam dan trikrom), dan pemeriksaan esai toksin Clostridium difficile
dapat dilakukan selanjutnya. Untuk ketepatan hasilnya, pemeriksaan tinja
ini perlu diulang tiga kali karena pengeluaran mikroorganisme melalui
tinja sering episodik dan tidak terus menerus. Terapi disesuaikan dengan
mikroorganisme pathogen yang ditemukan.

32 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Diare Pada Anak dengan HIV

Pemeriksaan lain seperti kultur darah, foto rontgen toraks, dan


analisis urin perlu dikerjakan pada penderita diare yang disertai demam.
Pemeriksaan endoskopi dan biopsi diperlukan apabila hasil pemeriksaan
tinja dan pemeriksaan lainnya negatif.
Untuk endoskopi atas selain pemeriksaan histologi dengan biopsi,
dapat juga dilakukan pemeriksaan aspirat duodenum dan pemeriksaan
sitologi dan electron mikroskopik untuk Microsporidia, sedangkan untuk
endoskopi bawah biopsi dengan sigmoidoskopi atau kolonoskopi dan
pemeriksaan mikroskopik electron untuk mencari adenovirus.
Bila diare menetap lebih dari 6-8 minggu siklus diagnostik harus
dimulai lagi dengan pemeriksaan tinja kemudian pemeriksaan endoskopik
dan biopsi.
Tatalaksana
Tatalaksana diare pada HIV/AIDS secara garis besar terdiri dari 2
macam, yaitu tatalaksana umum untuk menghilangan gejala dan terapi
spesifik untuk mengobati etiologi yang dapat diidentifikasi. Terapi
HAART adalah pilihan lain yang bekerja melalui perbaikan imunitas.9,12
Tatalaksana umum merupakan terapi utama dan penting bagi semua
penderita HIV/AIDS dengan diare untuk mencegah dehidrasi, kehilangan
elektrolit, serta terjadinya malnutrisi yang merupakan penyebab terbanyak
morbiditas dan mortalitas. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain
koreksi dehidrasi yang adekwat, mengganti elektrolit yang hilang, koreksi
gangguan keseimbangan asam basa, dan pemberian nutrisi yang adekuat.6
Pasien harus diupayakan mendapat asupan nutrisi yang baik, cukup
mengandung gula, elektrolit, bila perlu diet elemental, rendah lemak dan
bebas laktosa, serta suplemen pengganti mineral dan vitamin termasuk
pemberian vitamin A. Sebuah review sistematik menyatakan terdapat
bukti bahwa pemberian Vitamin A, Zinc, dan profilaksis Kotrimoksasol
pada anak HIV dengan diare bermanfaat. Hal ini sudah melalui seleksi
dan rekomendasi dari berbagai ahli mengenai efek penting dari pemberian
suplemen ini.12,27
Suplementasi Vitamin A dianjurkan untuk semua bayi dan anak yang
terpapar maupun terinfeksi HIV berusia 6 bulan sampai 5 tahun., dosis yang
diberikan setiap 6 bulan (100.000 IU untuk bayi 6-12 bulan dan 200.000
IU untuk anak-anak berusia lebih dari 12 bulan). Pemberian suplemen
Zinc direkomendasikan dalam 10-14 hari, dengan menambahkan jumlah

Improving Healthy Gut For Healthy Child 33


I Putu Gede Karyana

cairan yang dikonsumsi serta melanjutkan pemberian makanan untuk


seluruh bayi dan anak yang terpapar maupun terinfeksi HIV. Dosis Zinc
10 mg/hari untuk bayi < 6 bulan dan 20 mg/hari untuk bayi dan anak >6
bulan.12,27
Terapi simtomatik adalah terapi utama pada diare dengan penyebab
yang tidak ditemukan. Anti diare non narkotik, narkotik, atau antisekretori
dapat digunakan. Probiotik dapat digunakan pada diare anak dengan
HIV/AIDS.12 Trois, 2007 pada penelitiannya di Brazil melaporkan
bahwa terapi probiotik yang mengandung Bifidobacterium bifidum dan
Streptococcus thermophilus selama 2 bulan pada anak usia 2-12 tahun yang
terinfeksi HIV dan menderita diare ternyata dapat membantu sistim
imun dan membantu mengembalikan fungsi absorpsi dan digesti dari
usus, jumlah CD4 meningkat, frekuensi diare cair berkurang, dan jumlah
tinja normal meningkat. Studi ini menunjukkan kemampuan probiotik
sebagai imunostimulator yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk
membantu dalam pengobatan HIV/AIDS dalam memperbaiki kualitas
hidup penderita.28
Terapi spesifik diberikan sesuai dengan pathogen penyebabnya,
misalnya Cryptospordium dengan paromomycin, Cytomegalovirus dengan
gansiklovir atau foscarnet, MAC dengan kombinasi makrolid dan
ethambutol, Clostridium difficile dengan metronidazol.14 Pemakaian
antibiotik jangka panjang dengan antibiotic yang berganti-ganti mungkin
diperlukan pada infeksi berulang pada Salmonella, Shigella, Campylobacter,
atau Isospora. Terapi empiris dengan sulfonamide, siprofloksasin, atau
metronidazole mungkin tepat untuk keadaan ini.12
Di Indonesia untuk tatalasana diare pada anak yang terinfeksi HIV
dimuat dalam Buku Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi
Antiretroviral pada Anak di Indonesia, yang diterbitkan oleh Departemen
Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2008.29

34 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Diare Pada Anak dengan HIV

Gambar 1. Alur tatalaksana diare pada anak dengan HIV/AIDS.29

Diare akut dapat terjadi pada anak dengan infeksi HIV simtomatik.
Kultur feses dapat mengidentifikasi Salmonella, Shigella, dan Vibrio cholera
ataupun bakteri patogen lainnya. Kultur darah dilakukan bila anak demam
atau terdapat tanda toksik. Bakteri seperti Salmonella, Mycobacterium
avium complex atau lainnya sering terdapat pada kultur darah pada anak
dengan infeksi HIV. Evaluasi kondisi anak harus dilakukan setelah 2 hari
terapi untuk memantau dehidrasi yang sebelumnya dialami, menetapnya
darah dalam tinja, atau tidak ada perbaikan gejala. Perbaikan didefinisikan
sebagai penambahan berat badan, hilangnya demam dan darah dalam
tinja, frekuensi diare berkurang dan perbaikan nafsu makan.29
Disentri merupakan diare dengan tinja mengandung darah. Sebagian
besar disebabkan oleh Shigella dan hampir semuanya memerlukan
pengobatan antibiotik. Apabila tersedia, lakukan kultur feses untuk
mengidentifikasi Shigella dan bakteri patogen lainnya. Tanda diagnostik
antara lain adanya darah pada tinja yang dapat terlihat dengan kasat
mata, nyeri abdominal, konvulsi, letargi, prolaps rektal, frekuensi
defekasi meningkat, demam, dehidrasi. Terapi antibiotika oral golongan

Improving Healthy Gut For Healthy Child 35


I Putu Gede Karyana

florokuinolon, yaitu siproflokasin dapat diberikan selama 5 hari.


Kotrimoksazol dan ampisilin tidak efektif karena adanya resistensi yang
luas.29
Diare yang terjadi selama ≥ 14 hari dikategorikan sebagai diare kronik.
Diare kronik umum terjadi pada anak yang terinfeksi HIV. Apabila anak
tidak sakit berat (tidak ada darah pada tinja, afebris, tidak dehidrasi, tidak
malnutrisi), pantau anak dan pertahankan hidrasi dan nutrisi. Penyebab
lain diare termasuk kerusakan mukosa, bakteri tumbuh lampau, diare
asam empedu atau infeksi CMV. Terapi empirik dengan neomisin oral
atau kolistin ditambah kolestiramin dapat meringankan gejala. Infeksi
HIV sendiri dapat menyebabkan diare, yang dapat diatasi dengan terapi
antiretroviral.29
Pemeriksaan mikroskopis untuk mengidentifikasi Candida, Crypto-
sporidium, Microsporidia dan parasit yang dapat menyebabkan diare per-
sisten. Dapat dilakukan apusan feses dengan pewarnaan tahan asam yang
dimodifikasi dan pewarnaan trikrom yang dimodifikasi. Pada apusan feses
dicari adanya darah dan neutrofil. Penemuan ini dapat mendukung diag-
nosis infeksi bakteri (seperti Shigella, Salmonella, Campylobacter). Kultur
feses dapat mengidentifikasi infeksi bakteri.29

36 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Diare Pada Anak dengan HIV

Tabel 2. Tabel Terapi Antibiotika Untuk Diare.29


Etiologi Pengobatan
BAKTERI
Salmonella (non-typhoidal), Shigella Siprofloksasin* 10-15 mg/kgBB, 2x/hari, selama 5
hari
Escherichia coli Tanpa antibiotik
Campylobacter jejuni Eritomisin 12,5 mg/kgBB, 4x/hari, selama 5 hari
atau Siprofloksasin* 10-15 mg/kgBB, 2x/hari,
selama 5 hari
Mycobacterium avium complex Klaritromisin 15 mg/kgBB/hari, 2x/hari, ditambah
Etambutol 15-25 mg/kgBB, 4x/hari, ditambah
Rifabutin# 6mg/kgBB, 1x/hari
Mycobacterium tuberculosis Terapi standar untuk tuberkulosis
Yersinia enterocolitica TMP-SMX (TMP 4 mg/kgBB, SMX 20 mg/kgBB),
2x/hari, selama 5 hari
VIRUS
Cytomegalovirus Terapi suportif (terapi dengan gansiklovir mahal)
Rotavirus Terapi suportif
PROTOZOA
Cryptosporidium Tidak ada terapi yang terbukti efektif,
penyembuhan spontan dapat terjadi setelah
pemberian ARV
Isopora belli TMP-SMX (TMP 4 mg/kgBB, SMX 20 mg/
kgBB), 4x/hari selama 10 hari, kemudian 2x/
hari selama 10 hari. Terapi pemeliharaan dapat
dipertimbangkan
Giardia lamblia Metronidazol 5 mg/kgBB, oral, 3x/hari, selama 5
hari
Entamoeba hystolytica Metronidazol 10 mg/kgBB, oral, 3x/hari, selama
10 hari
Microsporidia Albendazol 10 mg/kgBB, 2x/hari, selama 4 minggu
(maksimum 400 mg/dosis)
PARASIT
Strongyloides Albendazol 10 mg/kgBB, 1x/hari, selama 3 hari
(maksimum 400 mg/dosis)
JAMUR
Candida albicans Nistatin 100.000 IU, oral, 3x/hari, selama 5-7 hari
untuk kasus ringan
Alternatif: Ketokonazol 5 mg/kgBB/dosis 1x/hari
atau 2x/hari atau Flukonazol 3-6 mg/ kgBB 1x/hari
(juga dapat untuk kasus sedang sampai berat
* Tidak dapat digunakan pada bayi dan anak < 5 tahun. Kuinolon
dikonsumsi secara oral dapat menyebabkan masalah tulang pada hewan
dan harus hati-hati bila diberikan pada anak.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 37


I Putu Gede Karyana

# Rifabutin tidak tersedia di kawasan Asia Tenggara.


Semua dosis untuk satu kali pemberian

PENUTUP
Diare merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas pada
penderita HIV/AIDS. Penyebab diare sangat kompleks dan multifaktorial.
Multipel pathogen baik yang tipikal maupun atipikal dapat menyebabkan
diare yang berdampak melemahkan dan menurunkan kualitas hidup
penderita. Tatalaksana diare dibagi menjadi terapi umum dan terapi
spesifik terhadap mikroorganisme patogen penyebab.
DAFTAR PUSTAKA
World Health Organization. Global Health Observatory (GHO) data
HIV/AIDS. 2017. Diunduh dari: http://www.who.int/gho/hiv/
en/. Diakses tanggal 17 Januari 2020.
Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2014. Source: DirGen. Communicable
diseases & environmental health, MoH, RI 17 October 2014 18
November 2014 Statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia Dilapor
s/d September 2014.
United Nations Development Programe (UNDP). Reference guideline for
the clinical management of HIV/AIDS among Somali population.
United Kingdom. 2012. h. 31-73.
Murtiastutik D. Clinical manifestation and management of human
papilloma virus infection in HIV. Seminar Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan (PKB) New perspective of sexually
transmitted infection problems. Surabaya: 7-8 Agustus; 2010.
Treakle A. Diarrhea and HIV in the US in the post-HAART era. US:
Department of internal medicine, University of Mayland Medical
Center. 2008.
Northrup RS, Flanigan TP. Gastroenteritis. Pediatr Rev. 1994;15:461-71.
Thea DM, Louis MES, Atido U, Kanjinga K, Kembo B, Matondo M, dkk.
A prospective study of diarrhea and HIV-1 infection among 429
Zairian infants. N Engl J Med. 1993;329:1696-702.
Pramitasari AI, Achirul B, Nancy P. Pengaruh pemberian vitamin A
terhadap kadar vitamin A dalam darah dan lama diare pada pasien
diare akut di bagian anak RS Muh Hassan Palembang. Sari Pediatri.
2001;3:61-6.
38 Improving Healthy Gut For Healthy Child
Diare Pada Anak dengan HIV

Permatasari SD, Kadim M. Diare pada HIV/AIDS tinjauan pustaka.


Jurnal Gastrohepatologi Anak Indonesia. 2006;1:53-6.
Anastasi JK, Capili B. HIV-related diarrhea and outcome measures. J
Association Nurses in AIDS Care. 2001;12:44-50.
Zacharof AK, AIDS-related diarrhea-pathogenesis, evaluation and
treatment. Annals of Gastroenterology. 2001;14:22-6.
HIV management in selected clinical settings. Diunduh dari www.info.
gov.hk/aids/pdf/g104chp/chp7.pdf. Diakses tanggal 10 Desember
2019.
Bick J. Gastrointestinal complications of HIV disease. 2004. Diunduh
dari http://www.thebody.com/content/ art13071.html. Diakses
pada 10 Desember 2016.
Koch J, Kim LS, Friedman S. Gastrointestinal manifestation of HIV.
HIV InSite Knowledge Base Chaper. 1998. Diunduh dari: http://
hivinsite.ucsf.edu/InSitepage-kkb-04-01-11. Diakses tanggal 10
Desember 2019.
Dikman AE, Schonfeld E, Srisarajivakul NC, Poles MA. Human
Immunodeficiency Virus-Associated Diarrhea: Still an Issue in the
Era of Antiretroviral Therapy. Dig Dis Sci. 2015; 60(8):2236-45.
Kartalija M, Sande MA. Diarrhea and AIDS in the era of highly active
antiretrovial therapy. Clin Infect Dis. 1999;28:701-7.
Brenchley JM, Doueck DC. HIV infection and the gastrointestinal
immune system. Immunology. 2008;1:23-30.
Ramakhrisna BS. Prevalence of intestinal pathogens in HIV patients with
diarrhea: Implication for treatment. Indian J Pediatr. 1999;66:85-
91.
Tumwine JK, Kekitiinwa A, Kitaka SB, Ndeezi G, Downing R, Feng X,
dkk. Cryptosporidiosis and microsporidiosis in Uganda children
with persistent diarrhea with and without concurrent infection
with the human immunodeficiency virus. Am J Trop Med Hyg.
2005;73:921-5.
Bachur TPR, Vale JM, Coelho ICB, Queiros TRB and Chaves CS. Enteric
parasitic infections in HIV/AIDS patients, before and after the
highly active antiretroviral therapy. Braz J Infect Dis. 2008;12:115-
22.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 39


I Putu Gede Karyana

Chen XM, Keithly JS. Paya CV, LaRusso NF. Cryptosporidiosis. Review
Article. N Engl J Med. 2002;346:1723-31.
Speinz E, Maliman R, Barcellos S, Silbert S, Schestatsky G, David DB. AIDS
related cryptosporidial diarrhea: an open study with roxytromycin. J
Antimicrob Chemoter. 1998;41:85-91.
Rossignol JF, Ayoub A, Ayers MS. Treatment of diarrhea caused by
Cryptosporidium parvum: A prospective randomized, double-
blind, placebo-control study of nitazoxanide. Journal Infect Dis.
2001;184:203-6.
Mofenson LM, Oleske J, Sherchuck L, Dyke RV, Wilfret C. Treating
opportunistic infections among HIV exposed and infected children:
Recommendations from CDC, the national institutes of health
and the infectious diseases society of America. Clin Infect Dis.
2005:40:S1-84.
Mor SM, Tumwine JK, Naumova EN, Ndeezi G, Tzipori S. Microsporidiosis
and malnutrition in children with persistent diarrhea, Uganda.
Emerging Infectious Diseases *www.cdc.gov/eid* vol 15 no.1.
Church J. Mycobacterium avium intracellulare complex infection in HIV
infected children. Pediatrics. 1994;94:276.
Vilamor E, Mbise R, Spiegelman D, Hertzmark E, Fataki M, Petersen
EK, dkk. Vitamin supplement ameliorate the adverse effect of
HIV-1, malaria, and diarrhea infection on child growth. Pediatrics.
2002;109:1-10.
Trois L, Cardoso EM, Miura E. Use of probiotics in HIV-infected children:
A randomized double-blind controlled study. J Trop Pediatr.
2007;54:19-24.
Direktorat Jendral PPM & PL Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman Tatalaksana infeksi HIV dan terapi antiretroviral pada
anak di Indonesia. 2008. h.75-8.

40 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Diare Cair Akut: Status Hidrasi dan Cairan Rehidrasi Oral

DIARE CAIR AKUT: STATUS HIDRASI DAN CAIRAN


REHIDRASI ORAL

Jeanette I.Ch.Manoppo

PENDAHULUAN
Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbilitas dan
mortalitas anak di negara yang sedang berkembang. Dalam berbagai hasil
Survei kesehatan Rumah Tangga, diare menempati kisaran urutan ke-2
dan ke-3 berbagai penyebab kematian bayi di Indonesia. Banyak dampak
yang terjadi karena infeksi seluran cerna di antaranya adalah pengeluaran
toksin yang dapat menimbulkan gangguan sekresi dan reabsorpsi cairan
dan elektrolit dengan akibat dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit,
dan keseimbangan asam basa. Invasi dan destruksi sel epitel, penetrasi ke
lamina propria, serta kerusakan mikrovili dapat menimbulkan keadaan
maldigestif dan malabsorpsi. Secara umum, penanganan diare akut
ditujukan untuk mencegah/menanggulangi dehidrasi serta gangguan
keseimbangan elektrolit dan asam basa, kemungkinan terjadinya intolerasi,
mengobati kausa diare yang spesifik, mencegah dan menanggulangi
gangguan gizi serta mengobati penyakit penyerta. Tatalaksana diare harus
dilakukan secara komprehensif, efisien, dan efektif. Pemakaian cairan
rehidrasi oral secara umum efektif dalam mengoreksi keadaan dehidrasi.
Pemberian cairan intravena diperlukan jika terdapat berbagai keadaan
seperti tingginya frekuensi diare, muntah yang tak terkontrol, dan
terganggunya asupan oral oleh karena infeksi.1
Penatalaksanaan diare akut menurut WHO terdiri dari rehidrasi
(cairan oralit dengan osmolaritas rendah), diet, zink, antibiotik selektif
(sesuai indikasi), dan edukasi kepada orang tua pasien.2 Selain itu, beberapa
randomized controlled trials (RCT) dan metaanalisis menyatakan bahwa
pemberian probiotik efektif dalam pencegahan primer maupun sekunder
serta untuk mengobati diare. Diare akut merupakan permasalahan yang
serius jika tidak ditangani dengan cepat dan benar.3

Improving Healthy Gut For Healthy Child 41


Jeanette I. Ch. Manoppo

DEFINISI
Diare ialah buang air besar dengan konsistensi lebih encer/cair dari
biasanya, ≥ 3 kali per hari, tanpa disertai dengan lendir/darah yang
timbul secara mendadak. Diare dapat dibedakan menjadi tiga menurut
waktunya yaitu diare akut (diare berlangsung paling lama 3-5 hari), diare
berkepanjangan (diare berlangsung lebih dari 7 hari) dan diare kronis
(diare berlangsung lebih dari 14 hari).4
ETIOLOGI
Penyebab diare akut pada anak secara garis besar dapat disebabkan
oleh gastroenteritis dan infeksi sistemik. Penyebab diare akut pada anak
paling sering disebabkan oleh infeksi (virus, bakteri dan parasit). Rotavirus
merupakan penyebab utama (60-70%) diare pada anak, sedangkan sekitar
10-20% adalah bakteri, dan kurang dari 10% disebabkan oleh parasit.5
Tabel 1. Etiologi diare akut
Infeksi
1. Enternal
• Bakteri: Shigella sp, E. Coli patogen, Salmonella sp, Vibrio cholera, Yersinia entreo colytica,
Campylobacter jejuni, V. Parahaemoliticus, VNAG Staphylococcus aureus, Streptococcus,
Klebsiella, Pseudomonas, Aeromonas, Proteis, dll
• Virus: Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Norwalk like virus, cytomegalovirus (CMV),
ecgovirus, virus HIV
• Parasit - Protozoa: Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Cryptosporadium parvum,
Balantidium coli
• Worm: A. Lumbricoides, cacing tambang, Trichuris trichura, S. Sterocoralis,
cestodiasis dll.
• Fungus: Kardia/moniliasis

2. Sistemik: Otitis media akut (OMA), pneumonia, Traveler’s diarthea: E.Coli, Giardia
lamblia, Shigella, Entamoeba histolytica, dll
• Intoksikasi makanan: Makanan beracun atau mengandung logam berat, makanan
mengandung bakteri/toksin: Clostridium perfringens, B. Cereus, S. aureus, Streptococcus
anhaemohytivus, dll
• Alergi: susu sapi, makanan tertentu
• Malabsorpsi/maldifesti: karbohidrat: monosakarida (glukosa, galaktosa, fruktosa),
disakarida (laktosa, maltosa, sakarosa), lemak: rantai panjang trigliserida, protein:
asam amino tertentu, celiacsprue gluten malabsorption, protein intolerance, cows
milk, vitamin dan mineral
3. Imunodefisiensi
4. Terapi obat, antibiotikm kemoterapi, antasid, dll
5. Tindakan tertentu seperti gastrektomi, gastroenterostomi, dosis tinggi terapi radiasi
6. Lain-lain: Sindrom Zollinger-Ellisin, neuropati autonomik (neuropatik diabetik)

42 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Diare Cair Akut: Status Hidrasi dan Cairan Rehidrasi Oral

PATOFISIOLOGI
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofiologi, antara lain6:
a. Osmolaritas intraluminal yang meningkat, disebut diare osmotik
b. Sekresi cairan dan elektrolit meningkat, disebut diare sekretorik
c. Gangguan motilitas usus.
Diare tipe osmotik disebabkan oleh peningkatan tekanan osmotik
intralumen usus halus yang disebabkan oleh obat-obatan atau zat kimia
yang hiperosmotik (MgSO4, Mg(OH)2, malabsorbsi umum, dan defek
dalam absorbsi mukosa usus seperti pada keadaan defisiensi disararidase,
malabsorbsi glukosa/galaktosa.6
Diare tipe sekretorik disebabkan oleh meningkatnya sekresi air
maupun elektrolit dari usus dan menurunnya absorbsi nutrisi. Pada diare
sekretorik secara klinis ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak
sekali. Penyebab dari diare tipe ini antara lain karena efek enterotoksin
pada infeksi Vibrio cholerae, atau Escherichia coli, penyakit yang
menghasilkan hormon (VIPoma), reseksi ileum (gangguan absorbsi garam
empedu), dan efek dari obat-obatan laksatif (dioctyl sodium sulfosuksinat,
dll). Diare karena gangguan motilitas usus terjadi akibat adanya gangguan
pada kontrol otonomik seperti pada neuropati diabetikum, post reseksi
usus, serta pada hipertiroid.6
MANIFESTASI KLINIS
Buang air besar yang frekuesinya lebih sering dan konsistensi tinja
lebih encer dari biasanya disertai karakteristik tinja seperti warna tinja
disertai lendir dan atau darah dan juga bau tinja. Pada diare oleh karena
intoleransi, anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya frekuensi
defekasi dan tinja semakin lama semakin asam sebagai akibat dari
banyaknya asam laktat yang berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi
usus selama diare.7
Gejala muntah, anoreksia, kembung dapat terjadi sebelum/sesudah
diare yang disebabkan oleh radang pada gaster atau akibat gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit. Bila penderita telah kehilangan
banyak cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi mulai terlihat seperti
turunnya berat badan, turgor kulit melambat, mata dan ubun-ubun besar
menjadi cowong, selaput lendir, bibir, dan mulut serta kulit yang tampak
kering.7

Improving Healthy Gut For Healthy Child 43


Jeanette I. Ch. Manoppo

Semua anak dengan diare, harus diperiksa tanda-tanda dehidrasi


yang dialami dan diklasifikasikan status dehidrasinya sebagai dehidrasi
berat, dehidrasi ringan sedang, atau tanpa dehidrasi. Dehidrasi
dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan
elektrolitnya. Dehidrasi ringan bila penurunan berat badan kurang dari
5%, dehidrasi sedang bila penurunan berat badan antara 5%-10%, dan
dehidrasi berat bila penurunan lebih dari 10%.7
Tabel 2. Klasifikasi Tingkat Dehidrasi Anak Dengan Diare

Berdasarkan konsentrasi Natrium plasma, tipe dehidrasi dibagi 3


yaitu: dehidrasi hiponatremia (<130 mEq/L), dehidrasi iso-natrema
(130-150 mEq/L) dan dehidrasi hipernatremia (> 150 mEq/L). Pada
umumnya, dehidrasi yang terjadi adalah tipe isonatremia (80%) tanpa
disertai gangguan osmolalitas cairan tubuh, sisanya sebanyak 15% adalah
diare hypernatremia, dan 5% adalah diare hiponatremia.8
Kehilangan bikarbonat bersama dengan diare dapat menimbulkan
asidosis metabolik dengan anion gap yang normal (8-16 mE1/L), biasanya
disertai dengan keadaan hiperkloremia. Selain penurunan bikarbonat
serum terdapat pula penurunan pH darah, dan kenaikan pCO2. Hal

44 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Diare Cair Akut: Status Hidrasi dan Cairan Rehidrasi Oral

ini akan merangsang pusat pernapasan untuk meningkatkan kecepatan


pernapasan sebagai upaya meningkatkan ekskresi dari CO2 melalui paru-
paru. Keadaan dehidrasi berat dengan hipoperfusi ginjal serta eksresi asam
yang menurun dan akumulasi anion asam secara bersamaan menyebabkan
berlanjutnya keadaan asidosis.8
Kadar kalium plasma dipengaruhi oleh keseimbangan asam basa,
sehingga pada keadaan asidosis metebolik dapat terjadi pula hipokalemia.
Kehilangan kalium melalui cairan tinja dan perpindahan kalium ke dalam
sel pada saat dilakukannya koreksi asidosis dapat pula menimbulkan
hipokalemia. Kelemahan otot merupakan manifestasi awal dari
hypokalemia, dapat pula terjadi arefleks, paralisis dan kematian karena
kegagalan pernapasan. Disfungsi otot dapat menimbulkan ileus paralitik
dan dilatasi lambung. Pemeriksaan EKG dapat menunjukkan gelombang
T yang mendatar atau menurun dengan munculnya gelombang U. Pada
ginjal, kekurangan kalium dapat mengakibatkan perubahan vakuola dan
epitel tubulus yang menimbulkan sklerosis ginjal yang berlanjut menjadi
oliguria dan gagal ginjal.8
ANAMNESA
Pada saat anamnesis, perlu ditanyakan mengenai lamanya diare,
frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada/tidak lendir, dan
darah. Bila disertai dengan muntah, perlu ditanyakan mengenai volume
dan frekuensinya. Jumlah BAK biasa, berkurang, jarang, ataukah tidak
BAK dalam 6-8 jam terakhir bila terjadi dehidrasi, makanan dan minuman
yang diberikan selama diare, apakah diare disertai dengan demam atau
penyakit lain yang menyertai seperti batuk, pilek, otitis media, atau
campak. Selain itu, tindakan yang telah dilakukan oleh ibu selama anak
diare seperti memberi oralit, membawa anak berobat ke Puskesmas atau
ke Rumah Sakit, obat-obatan yang diberikan, serta riwayat imunisasinya.7
PEMERIKSAAN FISIK
Abnormalitas yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat berguna
dalam menentukan beratnya diare dibandingkan menentukan penyebab
diare. Pemeriksaan abdomen yang seksama merupakan hal yang penting.
Adanya dan kualitas bising usus serta ada atau tidak adanya distensi
abdomen dan nyeri tekan merupakan tanda penting untuk menentukan
etiologi diare akut.7

Improving Healthy Gut For Healthy Child 45


Jeanette I. Ch. Manoppo

Tabel 3. Gejala dan tanda khas diare akut akibat infeksi

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium7
a. Pemeriksaan tinja
• Makroskopis dan mikroskopis
• pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet
elinitest, bila diduga intoleransi gula.
• Bila perlu lakukan pemeriksaan biakan/uji resistensi.
b. Pemeriksaan Darah Lengkap untuk mengetahui adanya infeksi
sitemik
c. Pemeriksaan Urine Lengkap untuk mengetahui adanya infeksi
saluran kemih
d. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah
dengan analisa gas darah
e. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui fungsi
ginjal
f. Pemeriksaan kadar elektrolit terutama natrium, kalium, kalsium
dan fosfor dalam darah (terutama bila ada kejang)
Tatalaksana
Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan
Tatalaksana Pengobatan diare pada balita yang didukung oleh Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI) dengan merujuk pada panduan WHO.

46 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Diare Cair Akut: Status Hidrasi dan Cairan Rehidrasi Oral

Tatalaksana ini sudah diterapkan pada berbagai tingkatan pelayanan


kesehatan termasuk pelayanan kesehatan primer. Rehidrasi bukanlah
satu-satunya strategi dalam penatalaksanaan diare. Memperbaiki kondisi
usus dan menghentikan diare juga menjadi cara untuk mengobati anak
dengan diare. Untuk itu, Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar
penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare yang diderita anak baik yang
dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah sakit, yaitu9:
1. Rehidrasi
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
3. ASI dan makanan tetap diteruskan
4. Antibiotik selektif
5. Edukasi orang tua.
REHIDRASI
Pengantian cairan dan elektrolit merupakan elemen yang penting
dalam terapi efektif diare akut. Beratnya dehidrasi secara akurat dinilai
berdasarkan berat badan yang hilang sebagai persentasi kehilangan total
berat badan dibandingkan berat badan sebelumnya sebagai baku emas.10
Pemberian terapi cairan dapat dilakukan secara oral maupun
parenteral. Pemberian terapi secara oral dapat dilakukan untuk dehidrasi
ringan sedang dengan menggunakan selang nasogastrik. Bila diare
profuse dengan pengeluaran air tinja yang banyak ( >100 ml/kgBB/hari)
atau muntah hebat sehingga penderita tidak dapat minum sama sekali
sehingga dengan upaya rehidrasi oral, tetap akan terjadi defisit cairan,
dapat dilakukan rehidrasi secara parenteral walaupun sebenarnya rehidrasi
parenteral dilakukan hanya untuk dehidrasi berat atau dengan gangguan
sirkulasi (anak dalam keadaan syok). Keuntungan upaya terapi oral adalah
biayanya yang mudah dijangkau, mudah didapat, dan dapat diberikan
dimana saja. AAP merekomendasikan cairan rehidrasi oral (ORS) untuk
rehidrasi dengan kadar natrium berkisar antara 75-90 mEq/L dan untuk
pencegahan dan pemeliharaan dengan natrium antara 40-60mEq/L.
Anak diare namun tidak mengalami dehidrasi harus dilanjutkan segera
pemberian makanannya sesuai dengan usia.10

Improving Healthy Gut For Healthy Child 47


Jeanette I. Ch. Manoppo

DIARE AKUT TANPA DEHIDRASI10


Beri cairan tambahan, sebagai berikut:
1. Jika anak masih mendapat ASI, nasihati ibu untuk menyusui
anaknya lebih sering dan lebih lama pada setiap pemberian ASI.
Jika anak mendapat ASI eksklusif, berikan larutan oralit sebagai
tambahan ASI dengan menggunakan sendok. Setelah diare
berhenti, lanjutkan kembali pemberian ASI eksklusif kepada
anak,sesuai dengan usia.
2. Pada anak yang tidak mendapat ASI eksklusif, beri satu atau lebih
cairan dibawah ini:
• larutan oralit
• cairan rumah tangga (seperti sup, air tajin, dan kuah sayuran)
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi, nasihati ibu untuk memberi
cairan tambahan – sebanyak yang anak dapat minum:
• Untuk Anak Berumur < 2 Tahun, Berikan tambahan 50-100cc
setiap anak BAB
• Untuk Anak Berumur ≥2 Tahun, Berikan tambahan 100-200cc
setiap anak BAB

48 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Diare Cair Akut: Status Hidrasi dan Cairan Rehidrasi Oral

Bagan 1. Pedoman WHO Rencana Penanganan Diare di Rumah

BAGAN 16: Rencana Terapi A: Penanganan Diare di Rumah

JELASKAN KEPADA IBU TENTANG 4 ATURAN PERAWATAN DI RUMAH:


BERI CAIRAN TAMBAHAN, BERI TABLET ZINC, LANJUTKAN PEMBERIAN MAKAN,
KAPAN HARUS KEMBALI
1. BERI CAIRAN TAMBAHAN (sebanyak anak mau)
JELASKAN KEPADA I BU:
– Pada bayi muda, pemberian ASI merupakan pemberian cairan tambahan yang
utama. Beri ASI lebih sering dan lebih lama pada setiap kali pemberian.
– Jika anak memperoleh ASI eksklusif, beri oralit atau air matang sebagai tambahan.
– Jika anak tidak memperoleh ASI eksklusif, beri 1 atau lebih cairan berikut ini:
oralit, cairan makanan (kuah sayur, air tajin) atau air matang.
Anak harus diberi larutan oralit di rumah jika:
– Anak telah diobati dengan Rencana Terapi B atau C dalam kunjungan ini.
– Anak tidak dapat kembali ke klinik jika diarenya bertambah parah.
AJARI IBU CARA MENCAMPUR DAN MEMBERIKAN ORALIT.
BERI IBU 6 BUNGKUS ORALIT (200 ml) UNTUK DIGUNAKAN DI RUMAH.
TUNJUKKAN KEPADA IBU BERAPA BANYAK CAIRAN TERMASUK ORALIT YANG
HARUS DIBERIKAN SEBAGAI TAMBAHAN BAGI KEBUTUHAN CAIRANNYA
SEHARI-HARI :
< 2 tahun 50 sampai 100 ml setiap kali BAB
≥ 2 tahun 100 sampai 200 ml setiap kali BAB
Katakan kepada ibu:
– Agar meminumkan sedikit-sedikit tetapi sering dari mangkuk/cangkir/gelas.
– Jika anak muntah, tunggu 10 menit. Kemudian lanjutkan lagi dengan lebih lambat.
– Lanjutkan pemberian cairan tambahan sampai diare berhenti.

2. BERI TABLET ZINC


– Pada anak berumur 2 bulan ke atas, beri tablet Zinc selama 10 hari dengan dosis:
o Umur < 6 bulan: ½ tablet (10 mg) per hari
o Umur > 6 bulan: 1 tablet (20 mg) per hari

3. LANJUTKAN PEMBERIAN MAKAN/ASI

4. KAPAN HARUS KEMBALI

Improving Healthy Gut For Healthy Child 49


Jeanette I. Ch. Manoppo

a. Dehidrasi Ringan – Sedang


Rehidrasi pada dehidrasi ringan sedang dapat dilakukan dengan
pemberian oral sesuai dengan defisit yang terjadi dalam 3 jam pertama,
namun jika gagal dapat diberikan secara intravena sebanyak 70 ml/kgBB
selama 5 jam untuk anak umur < 12 bulan dan 2,5 jam untuk anak >12
bulan. Pemberian cairan oral dapat dilakukan setelah anak dapat minum
sebanyak 5ml/kgbb/jam. Biasanya dapat dilakukan setelah 3-4 jam pada
bayi dan 1-2 jam pada anak . Penggantian cairan bila masih ada diare atau
muntah dapat diberikan sebanyak 10ml/kgbb setiap Dehidrasi Berat10
Bagan 2. Pedoman WHO Rencana Penanganan Dehidrasi Ringan
Sedang Dengan Oralit

50 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Diare Cair Akut: Status Hidrasi dan Cairan Rehidrasi Oral

Penderita dengan dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari 10%


untuk bayi dan anak dan menunjukkan gangguan tanda-tanda vital tubuh
(somnolen-koma, pernafasan Kussmaul, gangguan dinamik sirkulasi)
memerlukan pemberian cairan elektrolit parenteral. Penggantian cairan
parenteral menurut panduan WHO diberikan sebagai berikut : Tabel 4.
Tabel 4. Pemberian Cairan Intravena bagi anak dengan Dehidrasi
Berat

Bagan 3. Pedoman WHO Rencana Penanganan Dehidrasi Berat


Dengan Cepat

Improving Healthy Gut For Healthy Child 51


Jeanette I. Ch. Manoppo

PEMILIHAN JENIS CAIRAN


CAIRAN REHIDRASI ORAL
WHO dan UNICEF telah merekomendasikan pemakaian cairan
rehidrasi oral (CRO) atau oralit selama lebih dari 25 tahun untuk
mencegah dan mengobati dehidrasi yang disebabkan oleh diatre tanpa
memandang penyebab dan golongan umur. Cairan rehidrasi oral
mengandung konsentrasi Natrium (Na) 90 mEq/L, glukosa 90 mEq/L
dengan total osmolaritas 311 mOsm/L. Formula ini telah terbukti efektif
mengobati dehidrasi dan mencegah kematian namun masih terdapat
kekurangan yaitu volume feses yang banyak dan masa penyembuhan yang
lama. Cairan ini bersifat hiperosmolar jika dibandingkan dengan plasma
(275 mOsm/L) sehingga memiliki risiko hipernatremia.11
WHO melalui press release pada tahun 2002 memberikan
rekomendasi CRO formula baru dengan osmolaritas rendah yang terdiri
dari Na 75 mMol/L, glukosa 75 mMol/L, klorida 65 mMol/L dengan
total osmolaritas 245 mMol/L. Formula baru ini mempercepat rehidrasi,
menurunkan 20% volume feses, menurunkan 30% frekuensi muntah,
dan menurunkan 33% kemungkinan pemberian cairan intravena, efektif
untuk anak dan dewasa, sehingga memperpendek lama rawat di rumah
sakit.11
CAIRAN PARENTERAL
Cairan parenteral dibutuhkan terutama untuk dehidrasi berat dengan
atau tanpa syok, sehingga dapat mengembalikan dengan cepat volume
darahnya, serta memperbaiki renjatan hipovolemiknya. Cairan Ringer
Laktat (RL) adalah cairan yang banyak diperdagangkan dan mengandung
konsentrasi natrium yang tepat serta cukup laktat yang akan dimetabolisme
menjadi bikarbonat. Namun demikian kosentrasi kaliumnya rendah
dan tidak mengandung glukosa untuk mencegah hipoglikemia. Cairan
fisiologis seperti NaCL dengan atau tanpa dekstrosa dapat dipakai, tetapi
tidak mengandung elektrolit yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup.
Jenis cairan parenteral yang dapat memenuhi kebutuhan sebagai cairan
pengganti diare dengan dehidrasi adalah cairan dengan kandungan
dekstrose, natrium dan juga kalium di dalamnya.10

52 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Diare Cair Akut: Status Hidrasi dan Cairan Rehidrasi Oral

Cairan RL adalah cairan yang sifatnya isotonis, osmolaritasnya


mendekati serum dan terus berada di dalam pembuluh darah, tidak
mempengaruhi konsentrasi elektrolit dalam darah, mengandung
konsentrasi natrium yang tepat, serta cukup laktat yang akan dimetabolisme
menjadi bikarbonat. AAP merekomendasikan cairan rehidrasi oral (ORS)
untuk rehidrasi dengan kadar natrium berkisar antara 75-90 mEq/L dan
untuk pencegahan dan pemeliharaan dengan natrium antara 40-60mEq/L,
pemberian oral sesuai dengan defisit yang terjadi namun jika gagal dapat
diberikan secara intravena sebanyak 75 ml/kgBB/3jam. Pemberian cairan
oral dapat dilakukan setelah anak dapat minum sebanyak 5ml/kgbb/jam.
Biasanya dapat dilakukan setelah 3-4 jam pada bayi dan 1-2 jam pada anak.
Penggantian cairan bila masih ada diare atau muntah dapat diberikan
sebanyak 10ml/kgbb setiap diare atau muntah.10
Dosis zinc untuk anak-anak
Anak di bawah umur 6 bulan : 10 mg (1/2 tablet) per hari
Anak di atas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari

ZINC DIBERIKAN SELAMA 10 HARI BERTURUT-TURUT


Zinc dapat mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat
mengembalikan nafsu makan anak. Penggunaan zinc menjadi popular
beberapa tahun terakhir karena memilik evidence based yang terbukti
baik. Pemberian zinc yang dilakukan pada awal masa diare selama 10 hari
ke depan secara signifikan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien.
Zinc termasuk mikronutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara
kehidupan yang optimal. Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari segi
fisiologis zinc berperan dalam pertumbuhan dan pembelahan sel, anti-
oksidan, perkembangan seksual, kekebalan seluler, fungsi pengecapan,
serta nafsu makan. Zinc berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan
merupakan mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi. Dasar
pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut didasarkan
pada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi
saluran cerna dan terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama
diare. Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan absorpsi air dan
elektrolit oleh usus halus, meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus,
meningkatkan jumlah brush border apical, dan meningkatkan respons
imun yang mempercepat pembersihan pathogen usus. Pengobatan dengan
zinc telah diterapkan di berbagai negara berkembang seperti Indonesia

Improving Healthy Gut For Healthy Child 53


Jeanette I. Ch. Manoppo

yang memiliki banyak masalah kekurangan zinc di dalam tubuh karena


tingkat kesejahteraan yang rendah dan imunitas yang kurang memadai.
Pemberian zinc dapat menurunkan frekuensi dan volume buang air besar
sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak.9
Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah
sembuh dari diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air
matang, ASI, ataupun oralit. Untuk anak yang lebih besar, zinc dapat
dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit.
ASI DAN MAKANAN TETAP DITERUSKAN9
ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu
yang sama pada waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat
badan serta pengganti nutrisis yang hilang. Pada diare berdarah nafsu
makan akan berkurang. Jika anak menyusui, cobalah untuk meningkatkan
frekuensi dan durasi menyusuinya. Pasien diare tidak dianjurkan puasa,
kecuali jika muntah-muntah hebat. Jika curiga diare disebabkan karena
intoleransi laktosa hindari pemberian susu sapi dan susu formula. Adanya
perbaikan nafsu makan menandakan fase penyembuhan. Secara umum,
makanan yang sesuai untuk anak dengan diare adalah sama dengan yang
diperlukan oleh anak-anak yang sehat.
• Bayi segala usia yang menyusui harus tetap diberi kesempatan
untuk menyusui sesering dan selama mereka inginkan. Bayi sering
menyusui lebih dari biasanya dan ini harus didukung.
• Bayi yang tidak disusui harus diberikan susu yang biasa dikonsumsi
(atau susu formula) sekurang-kurangnya setiap tiga jam.
• Jika anak usia minimal 6 bulan atau sudah diberikan makanan
lunak, ia harus diberi sereal, sayuran dan makanan lain, selain susu.
Jika anak di atas 6 bulan dan makanan tersebut belum diberikan,
maka harus dimulai selama episode diare atau segera setelah diare
berhenti. Daging, ikan atau telur harus diberikan, jika tersedia.
Makanan kaya akan kalium, seperti pisang, air kelapa hijau dan jus
buah segar akan bermanfaat. Berikan anak makanan setiap tiga atau
empat jam (enam kali sehari). Makan porsi kecil yang sering lebih
baik dibandingkan pemberian makan banyak tetapi lebih jarang.

54 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Diare Cair Akut: Status Hidrasi dan Cairan Rehidrasi Oral

EDUKASI ORANG TUA9


Pengetahuan yang baik bagi seorang ibu sangat menentukan kesehatan
anak. Edukasi yang diberikan seperti cuci tangan sebelum memberi ASI,
kebersihan payudara, kebersihan makanan termasuk sarana air bersih,
kebersihan peralatan makanan, dan lain-lain. Ibu harus membawa anaknya
ke petugas kesehatan, jika anak:
• Buang air besar cair sering terjadi
• Muntah berulang-ulang
• Sangat haus
• Makan atau minum sedikit
• Demam
• Tinja Berdarah
• Anak tidak membaik dalam tiga hari.
Selain lima penatalaksanaan diare yang dianjurkan menurut
WHO, beberapa randomized controlled trials (RCT) dan metaanalisis
menyatakan bahwa probiotik efektif untuk pencegahan primer maupun
sekunder serta untuk mengobati diare. Probiotik merupakan bakteri
hidup yang mempunyai efek yang menguntungkan pada host dengan
cara meningkatkan kolonisasi bakteri probiotik di dalam lumen saluran
cerna sehingga seluruh epitel mukosa usus telah diduduki oleh bakteri
probiotik melalui reseptor dalam sel epitel usus. Dengan mencermati
fenomena tersebut, bakteri probiotik dapat dipakai dengan cara untuk
pencegahan dan pengobatan diare baik yang disebabkan oleh Rotavirus
maupun mikroorganisme lain, pseudomembran colitis maupun diare
yang disebabkan oleh karena pemakaian antibiotika yang tidak rasional
dan travellers diarrhea. Dosis yang dianjurkan pada penyakit diare akut
yang disebabkan oleh infeksi adalah 1010–1011 CFU, 2 kali sehari.12

Improving Healthy Gut For Healthy Child 55


Jeanette I. Ch. Manoppo

DAFTAR PUSTAKA
Liu L, Oza S, Hogan D, et al. Global, regional, and national causes of
child mortality in 2000–13, with projections to inform post-2015
priorities: an updated systematic analysis. Lancet 2015; 385:430–40
World Health Organization. Integrated Management of Childhood Illness
Chart Booklet. Geneva, Switzerland: World Health Organization;
2014
Kotloff KL, Nataro JP, Blackwelder WC, et al. Burden and aetiology of
diarrhoeal disease in infants and young children in developing
countries (the Global Enteric Multicenter Study, GEMS): a
prospective, case-control study. Lancet 2013;382:209-22
Subagyo B, Santoso NB. Diare Akut. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.2012
Cook G, Zumla A. Manson’s Tropical Disease,22. Aufl [Edinburgh]:
Saunders. 2009
Walker WA. Pediatric Gastrointestinal Disease: Pathophysiology,
Diagnosis, Management. PMPH-USA.2014.
Iskandar WJ. Manifestasi Klinis Diare Akut pada Anak di RSU Provinsi
NTB Mataram Serta Korelasinya dengan Derajat Dehidrasi. Cermin
Dunia Kedokteran.2015;42:567-70
Azmeri S, Khadiza R, Fazlul H, Rita M, Jubaida R, Morsheda K, et al.
Hypernatraemic Dehydration in Children with Acute Diarrhoea:
It’s Clinical Profile and Renal Involvement. BAOJ Pediatrics
2018,4:055
Abbas J, Pandey DC, Verma A, Kumar V. Management of acute diarrhea
in children: is the treatment guidelines is really implemented? Int J
Res Med Sci.2018;6:539-44
Yu CE, Lougee DA, Murno JR. Diarrhea and Dehydration. American
Academy of Pediatrics. 2016
Sayoeti Y, S Risnelly. Cairan Rehidrasi Oral Osmolaritas Rendah
dibandingkan Oralit untuk Pengobatan Diare Akut pada Anak.
Sari Pediatri 2008;9:304-8
Applegate JA, Walker CL, Ambikapathi R, Black RE. Systematic review of
probiotics for the treatment of community-acquired acute diarrhea
in children. BMC Public Health 2013:S16

56 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Memilih Cairan Intravena Pada Diare Akut

MEMILIH CAIRAN INTRAVENA PADA DIARE AKUT

Pramita Gayatri

PENDAHULUAN
Diare akut masih merupakan masalah terutama pada anak di bawah
usia 5 tahun karena merupakan penyebab kematian ketiga secara global.1
Angka kesakitan yang memerlukan perawatan di rumah sakit akibat diare
akut pada anak berusia 1-5 tahun sebesar 150.000 anak per-tahun, yaitu
sekitar 10%, dan biasanya mereka datang ke unit emergensi rumah sakit.2
Penyebab tersering seorang anak dengan diare akut dirawat di rumah
sakit adalah beratnya derajat dehidrasi, atau derajat dehidrasi ringan
namun terdapat faktor sosial yang mengindikasikan perlu perawatan di
rumah sakit.3 Pada saat menghadapi anak dengan diare, harus dicermati
apakah anak mengalami diare akut dengan dehidrasi atau penyebab lain
dengan manifestasi klinis diare (contohnya pada apendisitis, ketoasidosis
diabetik, pielonefritis, ataupun sindrom metabolik). Setelah diagnosis
diare akut tegak apakah akibat infeksi dan/atau sindrom malabsorpsi,
maka seorang dokter baik di Unit Emergensi ataupun poliklinik harus
melakukan Tatalaksana mulai dari rehidrasi, menentukan pemeriksaan
penunjang yang diperlukan, sampai menentukan apakah memerlukan
obat anti-emetik agar upaya rehidrasi oral dapat terlaksana dengan
optimal.3
PENENTUAN DERAJAT DEHIDRASI
Penentuan derajat dehidrasi pada bayi dan anak yang mengalami
diare akut harus dilakukan secara cermat karena menentukan Tatalaksana
awal dan prognosis. Dimulai dengan anamnesis yang cermat mencakup
riwayat diare dan muntah (onset, frekuensi, kuantitas, karakter apakah
disertai lender, darah, ataupun kehijauan), masukan cairan dan makanan,
produksi urin, berat badan sebelum sakit, apakah disertai demam, dan
apakah aktivitas bayi dan anak terganggu atau tidak.3
Pada pemeriksaan fisik perlu dicermati apakah ketika bayi/anak ketika
menangis kedengaran lemah/apatis/kurang reaktif, ubun-ubun besar
cekung, kelopak mata cekung, produksi air mata berkurang/tidak ada,

Improving Healthy Gut For Healthy Child 57


Pramita Gayatri

mulut dan lidah kering, dan ekstremitas teraba dingin. Bila hal tersebut
ditemukan maka secara klinis terjadi dehidrasi akibat kondisi fisiologik
saluran cerna yang abnormal, dan hal ini memerlukan perawatan di
rumah sakit. Tanda obyektif seperti frekuensi dan kualitas napas (dengan/
tanpa Kussmaul), perfusi sistemik dan capillary refill time perlu dievaluasi
dengan cermat.4 Standar baku emas terjadinya dehidrasi adalah terjadinya
penurunan berat badan yang bermakna. Penentuan derajat dehidrasi
akibat diare akut yang terjadi pada seorang bayi/anak dapat dilihat pada
Tabel 1 (berdasarkan WHO, 1995 dan panduan EPSGHAN, 2001).3,5-6
Tabel 1. Gejala dan tanda derajat dehidrasi pada anak dengan diare
(WHO)5-6
Dehidrasi Ringan –
Tanpa Dehidrasi Dehidrasi Berat
Sedang
Gejala (<5% kehilangan (<10% kehilangan
(5 – 10% kehilangan
BB) BB)
BB)
Keadaan Baik, Sadar Normal, rewel, apatis Apatis, letargi, tidak
Umum sadar
Rasa Haus Minum normal Kehausan, minum Sulit/tidak mampu
dengan rakus minum
Denyut Normal Normal – cepat Takikardi, bradikardi
Jantung (pada kasus berat)
Kualitas Nadi Normal Normal – berkurang Lemah atau tidak
teraba
Mata Normal Agak cekung Sangat cekung
Air Mata Ada Menurun Tidak ada
Mulut dan Lembab Kering Kering
Lidah
Napas Normal Normal, cepat Dalam (Kussmaul)
Turgor Baik Turgor kembali <2 detik Turgor kembali >2
detik
Pengisian Normal Memanjang Memanjang, minimal
Kapiler
Ekstremitas Hangat Dingin Dingin, mottled,
sianosis
Produksi Urin Normal/sedikit Menurun Minimal
berkurang
PATOGENESIS TERJADINYA GANGGUAN ELEKTROLIT
AKIBAT DIARE
Pada anak dengan diare dapat terjadi gangguan elektrolit sebesar 79%
dan terbanyak berupa hiponatremia (56%) dan hipokalemia (46%), serta
campuran pada 37%.7 Patogenesis hiponatremia akibat diare adalah akibat

58 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Memilih Cairan Intravena Pada Diare Akut

kehilangan cairan dan elektrolit, serta kehilangan kemampuan untuk


retensi air, sebagai respons untuk mengkompensasi kekurangan cairan.
Kondisi ini dapat terjadi bila anak mengkonsumsi air minum berlebihan
ataupun konsumsi formula yang diencerkan.8,9 Hipernatremia terjadi
bila kehilangan cairan yang sangat banyak ataupun akibat meningkatnya
asupan natrium akibat penyiapan CRO yang tidak tepat.9-11 Hipokalemia
dapat terjadi pada sekitar 20% anak dengan diare.7,12 Kehilangan
bikarbonat akibat diare dapat menyebabkan asidosis metabolik dan
kehilangan bikarbonat dapat menyebabkan pula hipokalemia. Bila
kondisi hipokalemia bersamaan dengan hyponatremia, maka akan
memperburuk prognosis anak.7 Peran kandungan glukosa pada CRO
adalah meningkatkan absorpsi cairan dan Na selama diare akut akibat
infeksi yaitu enterotoksin menginduksi kehilangan cairan dan elektrolit
melalui stimulasi aktif sekresi Cl/HCO3 (dan menghambat pertukaran
Na – H).13
Tatalaksana DIARE AKUT MENURUT WHO
Tatalaksana utama diare akut adalah penggantian cairan, yang
menurut WHO terbagi dalam rencana A, B, dan C sesuai dengan derajat
dehidrasinya (A=tanpa dehidrasi, B=dehidrasi ringan-sedang, C=dehidrasi
berat).14 Rencana A bertujuan untuk mencegah dehidrasi dan malnutrisi
dengan cara memberi cairan lebih banyak dari biasanya. Cairan yang
dapat diberikan adalah cairan rehidrasi oral (CRO, oralit), cairan yang
mengandung gula dan garam, dan sup ayam.14 Prinsip dasar penggantian
cairan adalah menggantinya setiap habis BAB sebanyak 50-100mL untuk
anak di bawah usia 2 tahun, dan 100-200mL untuk anak di atas usia 2
tahun.14
Rencana B direkomendasikan untuk Tatalaksana diare dengan
dehidrasi ringan – sedang menggunakan terapi rehidrasi oral (TRO)
termasuk menggunakan selang lambung. WHO merekomendasikan
pemberian TRO sebanyak 75mL/kg selama 2 – 4 jam.14 Pemberian TRO
menggunakan cairan rehidrasi oral dengan osmolaritas rendah (Natrium
75 mEq/L dan osmolaritas 245 mOsm/L). Cairan TRO tersebut terbukti
secara bermakna menurunkan pengeluaran tinja dan muntah, tanpa
menyebabkan hiponatremia.15
Rencana C oleh WHO direkomendasikan untuk kondisi dehidrasi
berat, syok, atau bila ada kontraindikasi pemberian TRO (muntah

Improving Healthy Gut For Healthy Child 59


Pramita Gayatri

persisten, ileus, distensi abdomen berat, tidak sadar, atau perburukan


derajat dehidrasi walaupun telah diberikan TRO)14,16-8 Rehidrasi
intravena dilakukan secepatnya (6 jam untuk bayi, dan 3 jam untuk
anak).14 WHO dan AAP merekomendasikan pemberian cairan Ringer’s
Lactate (RL),19 sedangkan Komite EPSGHAN menganjurkan pemberian
cairan NaCl 0,9%.17 Pemberian cairan NaCl 0,9% pada syok hipovolemik
hanya digunakan pada saat melakukan terapi bolus.20
Tatalaksana diet sama pentingnya dengan Tatalaksana cairan. Menurut
WHO, bayi/anak yang mengalami diare sebaiknya tetap melanjutkan
menu diet hariannya.14 Lanjutkan pemberian ASI meskipun sedang
dilakukan rehidrasi Rencana B, namun bila sedang dilakukan rehidrasi
cepat (Rencana C) sebaiknya dihentikan dulu. Setelah rehidrasi tercapai
maka pemberian diet pada anak dengan diare adalah sesegera mungkin
serta “porsi kecil dan sering”.
Pemberian anti-diare dengan tujuan mengurangi volume tinja dan
lamanya diare. Hasil penelusuran meta-analisis menunjukkan bahwa
secara umum probiotik (LGG, S boulardii, dan L reuteri), smectite, zinc,
racecadotril, dan sinbiotik memberikan efek yang tidak berbeda pada
menurunkan lamanya diare yaitu antara 18 dan 30 jam.21
ANTIEMETIK DAN ANTIMIKROBA
Pemberian antiemetik pada anak dengan diare akut diindikasikan bila
muntah yang terjadi persisten, sehingga ditakutkan akan mengganggu
proses rehidrasi oral. Hasil penelusuran meta-analisis terhadap 7
antiemetik (deksametason, dimenhidrinat, domperidone, granisetron,
metoklorpropamid, dan ondansentron) menunjukkan bahwa hanya
ondansentron yang memiliki manfaat superior mengurangi muntah
dibandingkan plasebo, sehingga dapat mengurangi lama rawat dan
kebutuhan akan cairan intravena.22 Namun pemberian ondansentron
dapat meningkatkan episode diare.23
Pemberian antibiotik diindikasikan pada diare akut akibat infeksi
Shigella dan V cholera, dan pada kasus-kasus tertentu akibat infeksi non-
typhoidal Salmonella (pada anak usia kurang dari 3 bulan, atau anak dengan
kondisi imunokompromais), Campylobacter (pada kondisi infeksi berat),
dan Cryptosporidium (anak dengan imunokompromais).24-6

60 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Memilih Cairan Intravena Pada Diare Akut

PILIHAN TERAPI INTRAVENA PADA DIARE AKUT


Rekomendasi the American Academy of Pediatrics (AAP) maupun WHO
untuk Tatalaksana anak dengan gastroenteritis dehidrasi ringan-sedang
adalah rehidrasi oral. Penggunaan cairan intravena hanya pada kasus
anak dengan diare dehidrasi berat atau syok atau bila anak tidak dapat
mentoleransi asupan cairan peroral.27,14
Cairan intravena yang dianjurkan adalah Ringer’s Lactate karena
mengandung kadar Na yang adekuat dan cukup kandungan laktat, yang
akan dimetabolisme menjadi bikarbonat untuk mengkoreksi asidosis.
Namun konsentrasi kalium sangat rendah dan tidak mengandung glukosa
untuk mencegah hipoglikemia. Pemberian oralit dan nutrisi secepatnya
akan memenuhi kebutuhan akan kalium dan glukosa.14 Cairan intravena
yang memenuhi kebutuhan ideal rehidrasi pada anak dengan diare akut
adalah KaEN3B (Na 50mEq/L, K 20 mEq/L, Dekstrosa 2,7%). Penelitian
Salwan H dkk (2008)28 menunjukkan bahwa kadar Na dan K saat
dehidrasi mengalami perbaikan (kenaikan) pasca rehidrasi menggunakan
KaEN3B tanpa dipengaruhi oleh status nutrisi (gizi baik vs. gizi kurang/
buruk). Pada penelitian tersebut kadar glukosa sewaktu sebelum dan pasca
rehidrasi sayangnya tidak diperiksa.
Alternatif cairan intravena lainnya adalah NaCl 0,9%, namun
pemakaiannya pada kondisi syok hipovolemia dibatasi pada kebutuhan
bolus intravena. Kandungan natrium terlalu tinggi dan tidak terdapat
kalium maupun prekursor basa.14,17
SIMPULAN
Cairan parenteral yang mengandung glukosa 2,7% serta komposisi
elektrolit Na dan K serta mengandung prekursor basa yang disesuaikan
dengan kadar masing-masing di tinja anak dengan diare adalah yang
paling ideal dipakai sebagai cairan rehidrasi parenteral untuk mengatasi
dehidrasi akibat diare akut.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 61


Pramita Gayatri

DAFTAR PUSTAKA
Liu L, Oza S, Hogan D, Perin J, Rudan I, Lawn JE, et al. Global, regional,
and national causes of child mortality in 2000 – 13, with projection
to inform post-2015 priorities: an updated systemic analysis. The
Lancet. 2015;385(9966):430-40.
Malek MA, Curns AT, Holman RC, Fischer TA, Breese JS, Glass RI, et
al. Diarrhea- And Rotavirus-Associated Hospitalizations Among
Children Less Than 5 Years of Age: United States, 1997 and 2000.
Pediatrics. 2006;117 (6),1887-92.
Colletti JE, Brown KM, Sharieff GQ, Barata IA, Ishimine P. The
management of children with gastroenteritis and dehydration in
the emergency department. J Em Med. 2010;38(5):686-98.
Friedman JN, Goldman RD, Srivastava R, Parkin PC. Development of
a clinical dehydration scale for use in children between 1 and 36
months of age. J Pediatr. 2004;145:201-7.
World Health Organization. The treatment of diarrhoea: a manual for
physicians and other senior health workers. Geneva, Switzerland:
World Health Organization, 1995. Available at http://whqlibdoc.
who.int/publications/2005/9241593180.pdf.
Sandu BK: European Society of Pediatric Gastroenterology Hepatology
and Nutrition Working Group on Acute Diarrhoea. Practical
guidelines for the management of gastroenteritis in children. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2001;33(Suppl 2). S36-9.
Shah GS, Das BK, Kumar S, Sing MK, Bhandari GP. Electrolyte disturbance
in diarrhea. Pediatr Oncall [serial online] 2006 [cited 2012 April
8];3.Art # 39. Diunduh dari: http://www. pediatriconcall.com/
for doctor/medical_original articles/electrolyte_disturbances_
diarrhea.asp
Dugan S, Holliday MA. Water intoxication in two infants following the
voluntary ingestion of excessive fluids. Pediatrics. 1967;39:418–20.
Franz MN, Segar WE. The association of various factors and hypernatremic
diarrheal dehydration. Am J Dis Child. 1959;97:298–302.
Whaley P, Walker-Smith JA. Hypernatraemia and gastroenteritis. Lancet
1977;1:51–2.

62 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Memilih Cairan Intravena Pada Diare Akut

Finberg L. Too little water has become too much. The changing
epidemiology of water balance and convulsions in infant diarrhea.
Am J Dis Child. 1986;140:524.
Singhi S, Gulati S, Prasad SVSS. Frequency and significance of potassium
disturbance in children. Indian Pediatr. 1994;31:460-3.
Binder HJ, Brown I, Ramakrishna BS, Young GP. Oral rehydration therapy
in the second decade of the twenty-first century. Curr Gastroenterol
Rep. 2014;16:376. DOI:10.1007/s1189-014-0376-2.
World Health Organization, editor. The treatment of diarrhoea: a manual
for physicians and other senior health workers. In: World Health
Organization. Geneva; 2005.
Hahn S, Kim Y, Garner P. Reduced osmolarity oral rehydration solution
for treating dehydration caused by acute diarrhoea in children.
Cochrane Database Syst Rev. 2002;1:CD002847. https://doi.
org/10.1002/14651858.CD002847.
American Academy of Pediatrics A. Practice parameter: the management of
acute gastroenteritis in young children. Pediatrics. 1996;97(3):424-
35.
Guarino A, Ashkenazi S, Gendrel D, Vecchio AL, Shamir R, Szajewska
H. European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology,
and Nutrition/European Society for Pediatric Infectious
Diseases evidence-based guidelines for the management of acute
gastroenteritis in children in Europe: update 2014. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2014;59(1):132–52.
Centers for Disease Control and Prevention. Managing acute gastroenteritis
among children: oral rehydration, maintenance, and nutritional
therapy. Pediatrics. 2004;114(2):507.
American Academy of Pediatrics, Provisional Committee on Quality
Improvement, Subcommittee on Acute Gastroenteritis. Practice
parameter: the management of acute gastroenteritis in young
children. Pediatrics. 1996;97:424–35.
Florez ID, Nino-Sema L, Beltran-Arroyave CP. Acute infectious diarrhea
and gastroenteritis in children. Curr Infect Dis Rep. 2020;22:4.
hhtp://doi.org/10.1007/s11908-020-0713-6.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 63


Pramita Gayatri

Florez ID, Veroniki A-A, Al Khalifah R, Yepes-Nuñez JJ, Sierra JM, Vernooij
RW, et al. Comparative effectiveness and safety of interventions for
acute diarrhea and gastroenteritis in children: a systematic review
and network meta-analysis. PLoS One. 2018;13(12):e0207701.
Niño-Serna L, Acosta-Reyes J, Veroniki AA, Florez ID. Antiemetics in
Children with Acute Gastroenteritis: A Meta-Analysis. Pediatrics
2020; forthcoming.
Carter B, Fedorowicz Z. Antiemetic treatment for acute gastroenteritis in
children: an updated Cochrane systematic review with meta-analysis
and mixed treatment comparison in a Bayesian framework. BMJ
Open. 2012;2(4):e000622.
Das JK, Salam RA, Bhutta ZA. Global burden of childhood diarrhea and
interventions. Curr Opin Infect Dis. 2014;27(5):451–8.
Abubakar I, Aliyu SH, Arumugam C, Usman NK, Hunter PR. Treatment
of cryptosporidiosis in immunocompromised individuals: systematic
review and meta-analysis. Br J Clin Pharmacol. 2007;63(4):387–93.
https://doi.org/10.1111/j.1365-2125.2007.02873.x.
Das JK, Ali A, Salam RA, Bhutta ZA. Antibiotics for the treatment of
Cholera, Shigella and Cryptosporidium in children. BMC Public
Health. 2013;13(3):S10. https://doi.org/10.1186/1471-2458-13-s3-s10.
Bhalla P, Eaton FE, Coulter JBS, Amegavie FL, Sills JA, Abernethy LJ.
Hyponatraemic seizures and excessive intake of hypotonic fluids in
young children. Brit Med J. 1999; 319:1554–7.
Salwan H, Firmansyah A, Boediarso A, Hegar B, Kadim M, Alatas FS.
Gambaran kadar Natrium dan Kalium plasma berdasarkan status
nutrisi sebelum dan sesudah rehidrasi pada kasus diare yang dirawat
di Departemen IKA RSCM. Sari Pediatri. 2008;9(6):406-11.

64 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Peran Zinc Pada Diare Akut

PERAN ZINC PADA DIARE AKUT

Budi Purnomo

Diare merupakan penyebab 15% kematian pada anak usia dibawah


5 tahun dan 1,4 juta kematian bayi setiap tahunnya di seluruh dunia.1-3
Kematian akibat diare pada negara berkembang masih cukup tinggi.4
Dehidrasi berat yang terjadi pada diare dapat mengancam nyawa.
Kematian akibat diare dapat diturunkan dengan adanya oral rehydration
solution (ORS) WHO. Namun, ORS ini tidak menurunkan volume,
frekuensi, dan durasi diare.4 Dari semua terapi yang ada, saat ini WHO
merekomendasikan terapi rehidrasi oral dini dan suplementasi zinc untuk
mengatasi diare pada anak usia antara 6 dan 60 bulan.2,5,6 Rekomendasi
ini berdasarkan telaah sistematik yang menunjukkan efek positif terapi
zinc untuk menurunkan durasi dan derajat beratnya episode diare pada
anak kurang dari 5 tahun.5-7
Zinc merupakan trace element untuk kesehatan manusia. Mineral
ini berperan pada lebih dari 300 fungsi biologis dan berpengaruh pada
banyak sistem, termasuk saluran cerna.8,9 Zinc tidak disimpan di dalam
tubuh, sehingga kadarnya ditentukan dari keseimbangan asupan nutrisi,
absorpsi, dan eliminasi. Defisiensi zinc dapat terjadi pada anak dengan
diare akut karena adanya kehilangan zinc di saluran cerna, dan defisiensi
zinc kronik dapat meningkatkan risiko diare.10
Mekanisme kerja zinc pada diare akut antara lain:
1. Zinc mengatur transpor cairan saluran cerna dan integritas mukosa
2. Zinc berperan dalam imunitas
3. Zinc memodifikasi ekspresi gen yang mengkode berbagai zinc-
dependent enzymes, seperti metaloprotease, sitokin, dan uroguanylin
4. Zinc memodulasi stres oksidatif
5. Zinc dapat bertahan terhadap potensi hilangnya zat tersebut pada
kondisi diare

Improving Healthy Gut For Healthy Child 65


Budi Purnomo

PENGARUH ZINC PADA TRANSPOR ION TRANSEPITEL SALU-


RAN CERNA
Berbagai organisme penyebab diare memproduksi dan mensekresi
enterotoksin yang mempengaruhi proses absorpsi dan atau sekresi pada
enterosit tanpa menyebabkan inflamasi akutatau destruksi mukosa.
Beberapa enterotoksin memicu molekul sinyal seperti cyclic AMP (cAMP)
atau cyclic GMP (cGMP), yang akan mengaktivasi kanal Cl-, menyebabkan
peningkatan sekresi Cl- dan air.11-13
Pada model in-vitro, zinc terbukti mencegah sekresi ion yang diinduksi
oleh toksin kolera dengan cara menghambat peningkatan konsentrasi
cAMP intrasel, tetapi tidak bisa menghambat sekresi ion yang dimediasi
oleh cGMP.11 Hal ini menunjukkan bahwa zinc memiliki efek selektif
terhadap patogen saluran cerna (gambar 1).

Gambar 1. Jalur intrasel sekresi ion saluran cerna yang dipengaruhi oleh
zinc.
PENGARUH ZINC TERHADAP INTEGRITAS MUKOSA,
PERTUMBUHAN SEL, DAN DIFERENSIASI SALURAN CERNA
Kadar zinc yang tinggi (>200 µmol/l) dapat menyebabkan apoptosis.
Kadar zinc yang tinggi atau rendah (<10 µmol/l) menghambat proliferasi
enterosit.14 Adapun, sukrase dan laktase merupakan penanda diferensiasi
enterosit dan kadarnya meningkat selama migrasi sel dari kripta ke
ujung villus. Saat dilakukan stimulasi zinc, aktivitas sukrase dan laktase

66 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Peran Zinc Pada Diare Akut

meningkat secara signifikan, menunjukkan bahwa zinc menginduksi


diferensiasi enterosit.8
PENGARUH ZINC TERHADAP MEKANISME PERTAHANAN
SALURAN CERNA
Mekanisme pertahanan saluran cerna terhadap patogen bervariasi,
yang paling utama adalah barier epitel dan imunitas humoral dan seluler.
Respons antibodi primer dan sekunder dilaporkan berkurang pada hewan
coba yang mengalami defisiensi zinc. Zinc dianggap berperan penting
dalam imunitas humoral dan seluler dan homeostasis zinc mempengaruhi
perkembangan dan fungsi sel-sel imun, terutama sel T. Pada manusia
dengan defisiensi zinc ringan dapat terjadi ketidakseimbangan sel Th1
dan Th2, berkurangnya rekruitmen sel T-naive, penurunan jumlah sel T
sitolitik, penurunan aktivitas lisis sel natural killer (NK), dan penurunan
aktivitas thymulin serum.8 (Tabel 1)
Tabel 1. Efek defisiensi zinc terhadap sistem imun

Kemampuan zinc untuk berfungsi sebagai antioksidan dan untuk


menstabilkan membran menunjukkan bahwa zinc berperan dalam
pencegahan stres akibat radikal bebas selama proses inflamasi. O2, H2O2,
dan OH, disebut sebagai reactive oxygen species (ROS), diproduksi secara
kontinyu dalam kondisi aerob. NADPH oxidase merupakan grup enzim
terkait membran plasma yang mengkatalisisr produksi O2- dari oksigen
dengan menggunakan NADPH sebagai donor elektron. Zinc merupakan
inhibitor enzim tersebut. Dismutasi O2- menjadi H2O2 dikatalisasi
oleh enzim super oxide dismutase (SOD),yang mengandung tembaga dan
zinc. Zinc diketahui dapat menginduksi produksi metallothionein dan
pengikat OH yang baik. Ion Fe dan tembaga mengkatalisis produksi OH
dari H2O2. Zinc diketahui berkompetisi dengan Fe dan tembaga untuk
berikatan pada membran sel, sehingga mengurangi produksi OH.15

Improving Healthy Gut For Healthy Child 67


Budi Purnomo

FARMAKOKINETIK ZINC PADA DIARE


Berat molekul zinc elemenntal adalah 65,37. Tiap zinc sulfat
mengandung 3,5 milimoles Zn. Hanya 20-30% zinc yang diabsorpsi di
saluran cerna. Zinc endogen direabsorpsi di ileum dan kolon. Setelah
diabsorpsi zinc berikatan dengan metallothionein protein di usus. Zinc
didistribusikan ke dalam darah dan disimpan terutama di sel darah
merah, sel darah putih, otot, tulang, kulit, ginjal, hati, pankreas, retina,
dan prostat. Sebanyak 60-70% terikat dengan albumin plasma, 30-40%
pada makroglobulin alpha 2, dan 1% pada asam amino seperti histidin
dan sistein. Kadar puncak dalam darah hampir mencapai 2 jam. Zinc
diekskresikan terutama di feses dan sebagian kecil di urin.16
PEMBERIAN ZINC PADA DIARE AKUT
Telaah sistematis menunjukkan bahwa pemberian suplementasi
zinc oral secara signifikan menurunkan durasi diare.1,17 Telaah sistematis
yang dilakukan oleh Galvao pada 1.041 penelitian dengan total 7.314
anak menunjukkan bahwa penurunan durasi diare kurang lebih 20 jam
(MD -20,12 jam; 95%CI -29,15 hingga -11,09).1 Telaah sistematis yang
dilakukan oleh Lazzerini pada 2.581 anak dan 9 penelitian menunjukkan
penurunan diare sebanyak 11 jam (MD -11,46 jam; 95%CI -19,72 hingga
-3,19). Pada anak dengan malnutrisi, efek zinc tampaknya lebih efektif
yaitu menurunkan durasi diare sekitar 1 hari (MD -26,39 jam; 95%CI
-36,54 hingga -16,23, pada 419 anak, 5 penelitian).17 Namun, belum
terdapat cukup evidence dari RCT yang menunjukkan bahwa pemberian
suplementasi zinc pada diare akut menurunkan kematian atau jumlah
anak yang dirawat di rumah sakit. Tidak ada penelitian yang melaporkan
efek simpang yang serius dari pemberian zinc. Namun, pemberian zinc
meningkatkan risiko muntah pada usia <6 bulan dan > 6 bulan.16 Zinc
diberikan dalam bentuk zinc sulfat, zinc asetat, atau zinc glukonat. Semua
komponen ini larut dalam air. WHO dan UNICEF merekomendasikan
pemberian 10 mg hingga 20 mg zinc per hari pada anak yang mengalami
diare sealma 1-14 hari.18

68 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Peran Zinc Pada Diare Akut

KESIMPULAN
Zinc merupakan agen multipoten pada saluran cerna. Zinc
memodulasi transpor ion, menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi
enterosit, menurunkan permeabilitas intestinal, dan meregulasi stres dan
inflamasi oksidatif. Sebagai terapi tambahan dari ORS, zinc meningkatkan
efektivitas Tatalaksana diare akut. Suplementasi zinc bermanfaat bagi anak
yang mengalami malnutrisi.
DAFTAR PUSTAKA
Galvao TF, Thees MFRS, Pontes RF, Silva MT, Pereira MG. Zinc
supplementation for treating diarrhea in children: a systematic
review and meta-analysis. Rev Panam Salud Publica. 2013;33:370–7.
Santosham M, Chandran A, Fitzwater S, Fischer-Walker C, Baqui AH,
Black R. Progress and barriers for the control of diarrhoeal disease.
Lancet. 2010;376:63–7. 

United Nations Children’s Fund, World Health Organization. WHO/
UNICEF levels and trends in child mortality. Report 2011: estimates
developed by the UN Inter-agency Group for Child Mortality
Estimation. New York: UNICEF; 2010. 

Wardlaw T, Salama P, Brocklehurst C, Chopra M, Mason E. Diarrhoea:
why children are still dying and what can be done. Lancet.
2010;375:870–2. 

Walker CLF, Black RE. Zinc for the treatment of diarrhoea: effect on
diarrhoea morbidity, mortality and incidence of future episodes.
Int J Epidemiol. 2010;39:63–9.
Jones G, Steketee RW, Black RE, Bhutta ZA, Morris SS, Bellagio Child
Survival Study G. How many child deaths can we prevent this year?
Lancet. 2003;362:65–71.
Naheed A, Walker CLF, Mondal D, Ahmed S, El Arifeen S, Yunus M, et
al. Zinc therapy for diarrhoea improves growth among Bangladeshi
infants 6 to 11 months of age. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2009;48:89–93. 

Canani RB, Buccigrossi V, Passarielo A. Mechanism of action of zinc in
acute diarrhea. Curr Opin Gastroenterol. 2010;27:8-12.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 69


Budi Purnomo

Larson CP, Roy SK, Khan AI, et al. Zinc treatment to under-five children:
applications to improve child survival and reduce burden of disease.
J Health Popul Nutr. 2008;26:356–65. 

Lucacik M, Thomas RL, Aranda JV. A metanalysis of the effect of oral
zinc in the treatment of acute and persistent diarrhea. Pediatrics.
2008;121:326–36. 

Berni Canani R, Cirillo P, Buccigrossi V, et al. Zinc inhibits cholera toxin-
induced, but not Escherichia coli heat-stable enterotoxin-induced,
ion secretion in human enterocytes. J Infect Dis. 2005;191:1072–7.

Viswanathan VK, Hodges K, Hecht G. Enteric infection meets intestinal
function: how bacterial pathogens cause diarrhea. Nat Rev
Microbiol. 2009;7:110–9.

Navaneethan U, Giannella RA. Mechanisms of infectious diarrhea. Nat
Clin Pract Gastroenterol Hepatol. 2008; 5:637–47.
Overbeck S, Uciechowski P, Ackland ML. Intracellular zinc homeostasis
in leukocyte subsets is regulated by different expression of zinc
exporters ZnT-1 to ZnT-9. J Leukoc Biol. 2008; 83:368–80. 

Shen H, Qin H, Guo J. Cooperation of metallothionein and zinc
transporters for regulating zinc homeostasis in human intestinal
Caco-2 cells. Nutr Res. 2008;28:406–13.

Bajait C, Thawani V. Role of zinc in pediatric diarrhea. Indian J Pharmacol.
2011;43:232-5.
Lazzerini M, Wanzira H. Oral zinc for treating diarrhoea in children.
Cochrane Database Syst Rev. 2016, Issue 12. Art. No: CD005436.
DOI: 10.1002/14651858.CD005436.pub5.
WHO. Zinc supplementation in the management of diarrhea. Diunduh
dari https://www.who.int/elena/titles/zinc_diarrhoea/en/ pada
Januari 2020.

70 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Konstipasi Fungsional Pada Anak

KONSTIPASI FUNGSIONAL PADA ANAK

Eva Jeumpa Sulaiman

Konstipasi fungsional pada anak adalah keadaan sukarnya buang air


besar dengan BAB yang keras dengan frekuensi yang kurang dari 2 kali
perminggu sehingga bisa mengganggu kenyamanan orang sekitarnya.
PREVALENSI
Konstipasi: sering terjadi pada anak. Konstipasi fungsional terjadi pada
1-4% anak prasekolah dan usia sekolah, keadaan ini merupakan 3-5% dari
pasien yang berobat ke spesialis anak dan merupakan 25% pasien poli
gastroenterologi anak. Pada 20-30% anak dengan konstipasi kronik sukar
untuk diatasi dan perlu dirujuk. Semakin cepat intervensi dilakukan
maka akan semakin tinggi angka kesembuhannya. Konstipasi dapat dbagi
menjadi konstipasi fungsional yang terjadi sebanyak 90% kasus konstipasi
dan konstipasi organik sebanyak 10%.
Gejala konstipasi berupa frekuensi defekasi yang kurang dari 2x
seminggu dan keluarnya BAB yang besar dan keras. Karakteristik konstipasi
antara lain adalah:
• Berkurangnya frekuensi defekasi
• Enkoparesis ( keluarnya fese involunter)
• Dikeluarkannya feses dalam volume banyak
• Retentive posturing
• Defekasi yang keras dan kadang nyeri
• Terabanya masa di rektum maupun abdomen pada saat pemeriksaan
fisik.
Mekanisme normal defekasi terjadi dimulai dari terjadinya kontraksi
sigmoid yang disebabkan karena adanya feses di rektum sehingga terjadi
distensi rektal. Adanya rangsangan ini akan menyebabkan relaksasi dari
internal anal sphincter (IAS) yang dimediasi oleh sistem nervus autonom.
Apabila defekasi dapat dilakukan secara nyaman. Akan terjadi kontraksi
diafrgam dan otot abdomen, peningkatan tekanan intrarektal, relaksasi
otot puborektal, relaksasi external anal sphincter (EAS), dan aktifnya sistim

Improving Healthy Gut For Healthy Child 71


Eva Jeumpa Sulaiman

nervus volunter sehingga feses dapat dievakuasi. Jalur lain dapat terjadi
bila adanay kontraksi simultas dari EAS sehingga memberikan waktu
untuk memutuskan apakah akan defekasi atau tidak, sehingga tidak dapat
melakukan defekasi secara nyaman. Hal ini akan menyebabkan kontrakasi
otot puborektal, kontraksi EAE, akomodasi rektum dan aktifasi sistim
saraf volunter sehingga menyebabkan tertundanya defekasi.
Patofisiologi terjadinya konstipasi fungsional adalah bila defekasi
terasa sakit maka akan menyebabkan anak takut untuk defekasi, dan akan
menahan defekasi hal ini akan menyebabkan terjadinya akumulasi masa
fekal di rektum. Akumulasi masa fekal akan menyebabkan megarektum
fungsional, hilangnya sensitvitas rektal, fatique pada otot pelvic floor,
inkontinen sphincter anak, dan inkontinen overflow.
Definisi konstipasi berdasarkan NASPHGAN adalah kesulitan BAB
dengan frekuensi 2 atau kurang per minggu sehingga bisa menyebabkan
distres pada pasien. Berdasarkan kriteria ROME II, konstipasi di
definisikan sebagai paling sedikit 2 minggu BAB keras, seperti kotoran
kambing, atau BAB konsistensi normal frekuensi 2 kali atau kurang per
minggu, tanpa disertai kelainan struktural, endokrin atau metabolik.
Berdasarkan kriteria ROME IV, terdapat beberapa definisi antara lain:
• Infant Dyschezia adalah setidaknya 10 menit tegang dan menangis
yang diikuti dengan berhasilnya dikeluarkknya BAB dengan
konsistensi lunak pada infan sehat dengan usia kurang dari 6 bulan.
• Functional constipation
terjadi pada infan dan anak usia sekolah (usia 1 bulan hingga 6
tahun) setidaknya 2 minggu mengalami skibala, seperti kerikil, feses
yang keras pada kebanyakan feses atau feses yang keras kurang dari
sama dengan 2 kali per minggu dan tidak didapatkannya kelainan
struktural, endokrin, atau metabolik.
• Functional fecal retention
pada infan hingga usia 16 tahun, dengan riwayat setidaknya 12
minggu mengalami pergerakan atau diameter feses yang besar yang
terjadi dalam interval < 2 kai per minggu dan retentive posturing,
menghidari defekasi dengan secara sengaja menahan kontraksi
oto pelvic floor, fatique pada otot, digunakannya otot gluteal dan
bokong untuk menahan.

72 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Konstipasi Fungsional Pada Anak

• Functional nonretentive fecal soiling


Satu kali per minggu atau lebih dalam jangka waktu 12 minggu
pada ana usia lebih dari 4 tahun dengan riwayat defekasi pada
tempat dan waktu yang tidak seharusnya dalam konteks sosial; tidak
didapatkan penyakit struktural dan inflamasi dan tidak adanya
tanda retensi feses.
Penyebab konstipasi non organik berdasarkan North American Society
for Pediatric Gastroenterology and Nutrition 2006 antara lain adalah :
1. Developmental: kongnitif, kelainan kurangnya perhatian
2. Situational: paksaan saat toilet training, toilet phobia, menghibdari
toilet di sekolah, intervensi orang tua yang berlebihan,kekerasan
seksual, dan lain-lain
3. Depresi
4. Constitutional: colonic inertia, predisposisi genetik
5. Berkurangnya volume feses dan kering: diet rendah serat, dehidrasi,
underfeeding/ undernutrisi.
Penyebab konstipasi organik antara lain adalah:
1. Malformasi anatomik : anus imperforasi, stenosis anal, anterior
displaced anus, pelvic mass ( sacral teratoma)
2. Metabolik dan gastrointestinal: hipotiroidism, hiperkalsemia,
hipokalemia, kistik fibrosis, diabetes melitus
3. Neuropatik: abdnormalitas spinal cord, trauma spinal cord,
neurofibromatosis, ensefalopati statik
4. Nervus intestinal atau otot: Hirschsprung disease, neuronal
intestinal displasia, myopathies visceral, neuropathies visceral.
5. Abnormal abdominal muscle: prune belly, gostroschisis, down
syndrome
6. Connective tissue disorders: skleroderma, SLE
7. Ingesti metal berat
8. Intoksikasi vitamin D
9. Intoleransi protein susu sapi
10. Obat-obatan: opiat, phenobarbital, sucralfate, antacids, antuhiper-
tensi, antikolinergik, antidepresan, simpathomimetrik.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 73


Eva Jeumpa Sulaiman

Riwayat konstipasi pada pasien pediatrik dapat diketahui berdasarkan:


• Usia, jenis kelamin, keluhan utama
• Riwayat konstipasi: frekuensi/konsistensi feses, nyeri atau feses
berdarah, nyeri abdomen, usia saat terjadinya, toilet trainig, fecal
soiling, kebiasan menahan, maul/muntah, penurunan berat badan
• Riwayat penyakit keluarga: gastrointestinal (konstipasi, penyakit
Hirschsprung), tiroid, paratiroid
• Riwayat pengobatan sebelumnya: waktu mekonium keluar, penyakit
akut, alergi, pembedahan, terhambatnya pertumbungan, kulit
kering, infeksu saluran kemih berulang
• Riwayat perkembangan: normal/terhambat, performa di sekolah,
riwayat psiko sosial, interaksi dengan teman, temperamen, kegiatan
toilet di sekolah.
Pemeriksaan fisik pada anak dengan konstipasi :
• Tampilan secara keseluruhan
• Tanda vital
• Parameter pertumbuhan
• Pemeriksaan fisik secara menyeluruh; pada abdomen ada tidaknya
distensi, hepar lien teraba atau tidak, dan ada tidaknya fecal mass
• Inspeksi anal: posisi, adanya feses sekitar anus, eritema perianal,
sikn tags, fisura anal
• Pemeriksaan rektum : anal wink, anal tone, fecal mass, adanya
tidaknya feses, konsistensi feses, adanya tidaknya masa lain, feses
yang ekplosiv saat jari dikeluarkan dari dubur, adanya darah di feses
• Pemeriksaanya spine dan punggung: dimple, tuft of hair
• Pemeriksaan neurologi: tone, kekuatan, refleks cremasteric, refleks
tendon dalam.
Tanda bahaya kemungkinan penyebab organik:
• Failure to thrive
• Distensi abdomen
• Gangguan pada bentuk lumbo-sakral
• Pilonial dimple yang ditutupi dengan tuft of hair

74 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Konstipasi Fungsional Pada Anak

• Pigmen di midline spine bawah


• Agenesis sakral
• Bokong rata
• Anteriorly displaced anus
• Patalous anus
• Rektum yang kosong dan sempit
• Feses dan udara dari rektum saat jari dikeluarkan
• Adanya darah samar di feses
• Tidak adanya anal wink, rekflesk cremasterik
• Penurunan tonus atau kekuatan ekstremitas bawah
• Tidak adanya fase relakasai dari refleks tendon dalam dari ektremitas
bawah.
Beberapa penyebab organik beserta gejalanya:
Gejala Penyebab organik
Pasase mekonium > 48 jam setelah Penyakit Hirschsprungs
lahir, feses kecil dan tipis, muntah,
failure to thrive, sphincter anal yang
kuat dengan rektum kosong, distensi
abdomen, eksplosif feses saat jari
dikeluarkan saat pemeriksaan
Distensi abdomen, bilious vomiting, Pseudo-obstruction
ileus
Dimple, tuft of hair, penurunan Abnormalitas spinal cord
refleks dan tonus
Poor growth, kulit kering, bradikardia, Hipotiroidism
hernia umbilikalis, makroglosi
Abnormal posisi atau gambaran anus Malformasi anatomi dari
abnormal pada saat pemeriksaan anorektal

TATALAKSANA
EDUKASI
Edukasi pada keluarga, termasuk menerangkan patogenesis konstipasi.
Jika ada soiling, perlu dievakuasi dahulu.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 75


Eva Jeumpa Sulaiman

DISIMPAKSI
Disimpaksi dapat terjadi oral maupun rektal. Oral dapat berupa
mineral oil dosis tinggi, polyethylene glycol. Pada saat awal dapat
diberikan magnesium hydroksida, magnesium sitrat, laktulosa, sorbitol,
senna atau bisacodyl. Rektal dapat diberikan enema fosfosoda, NaCl
0,9% atau mineral oil. Pada bayi dapat diberikan supositoria gliserin atau
supposutoria bisacodil untuk anak.
Laktulosa merupakan sumber karbohidrat saccharolytic bakteri,
terutama species bifidobacterium dan lactobacillus 18-19. Bakteri ini
meningkatkan masa fekal. Penelitian pada orang sehat didapatkan
bahwa laktulosa bisa meningkatkan jumlah bifidobakteria 3 kali lipat
(dari 109 ke 1012). Konstipasi bisa karena Clostridium di ileum sehingga
meningkatkan absorbsi air yang menyebabkan feses kering.
TERAPI PEMELIHARAAN
• Intervensi diet: pemberian fiber tergantung usia ditambah dengan
5 gram, meningkatkan asupan air, karbohidrat yang mudah dan
sulit diserap, alergi/sensitif/intolerasi makanan.
• Perilaku: toilet training, insentif dan reward, desensitisasi fobia
toilet, management lingkungan
• Kognisi: psikoterapi, terapi kognitif dan keluarga
• Biofeedback: Biofeedback tidak memberikan keuntungna tambahan
pada terapi konvensional (laksatif, toilet training, saran diet) untuk
tatalaksana anak dengan functional faecal incontinence.
• Probiotik: Memberikan efek menguntungkan bagi gejala
gastrointestinal pada pasien dengan konstipasi kronik. Pemberian
probiotik dapat direkomendasikan sebagai terapi adjuktif pada
konstipasi kronik. Namun pada penelitian lain belum terdapa bukti
rekomendasi pemberian probiotik pada anak dengan konstipasi.
• Abdominal massage: abdominal massage untuk konstipasi pada
anak secara klinis berguna untuk menimbulkan aktivitas usus dan
membuat abdomen dan pelvic floor relaks.
• Obat – obatan berupa:

76 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Konstipasi Fungsional Pada Anak

Improving Healthy Gut For Healthy Child 77


78
Langkah Praktis Menangani Kolik Infatil

LANGKAH PRAKTIS MENANGANI KOLIK INFANTIL

Yuli Yafri Razak

DEFINISI
Kolik infantil merupakan perilaku bayi berupa menangis lebih dari 3
jam dalam sehari, selama 3 hari dalam seminggu tanpa alasan yang jelas
atau tanpa penyebab organik, yang telah berlangsung dalam 1 minggu
terakhir.1
Prevalens kolik infantil secara keseluruhan sebesar 5-25% bayi dan
lebih sering pada 4 bulan pertama kehidupan2,3 Prevalens kolik infantil
sama besarnya pada bayi yang mendapat ASI eksklusif maupun susu
formula.4 Meski pada kajian lain didapatkan prevalens kolik infantil yang
lebih tinggi pada kelompok bayi yang mendapat susu formula.2,3 Prevalens
kolik infantil juga lebih besar pada bayi berat badan lahir lebih rendah
dibandingkan dengan berat bayi normal.5
Kolik infantil bukanlah suatu penyakit, berat badan bayi tetap naik
sesuai usianya 24. Hanya sebagian kecil (5-10%) disebabkan oleh gangguan
organik.3 Berbagai faktor dianggap berperan terhadap kolik infantil,
antara lain psikososial dan hubungan ibu dari anak yang kurang baik,
alergi protein susu sapi, atau PRGE.6,7,8
KRITERIA DIAGNOSIS10
1. Usia ≤ 3 bulan
2. Sering reweL marah, atau menangis
3. Episode berlangsung > 3 jam perhari, > 3 hari perminggu dan
terjadi minimal dalam satu minggu
4. Tidak ada gangguan pertumbuhan.
TANDA BAHAYA
Sekitar 5% kolik infantil disebabkan oleh gangguan organik dan
selebihnya akan mengalami resolusi bertahap setelah melewati usia 3-4
bulan. Jika tidak ditemukan tanda bahaya perlu dievaluasi cara pemberian
makan bayi11

Improving Healthy Gut For Healthy Child 79


Yuli Yafri Razak

1. Penyakit Refluks Gastroeosfagus


Penyakit GER dikaitkan dengan kolik infantil bila rnemperlihatkan
gejala klinis sebagai berikut: (a) Bayi sering memperlihatkan posisi
tu­buh sandifer, (b) Hernatemesis, (c) Gagal Tumbuh, atau (d)
Kesulitan dan penolalcan makan.12
2. Alergi
Kolik infantil dikaitkan dengan kondisi alergi terutama terhadap
protein susu sapi, bila didapatkan riwayat atopi pada bayi maupun
dalam keluarga. Menyingkirkan alergi protein susu sapi sebagai
penyebab kolik merupakan tahapan penting dalam menangani bayi
dengan kolik infantil. Walaupun demikian, kolik infantil belum
dapat diangap secara pasti sebagai akibat alergi protein susu sapi.13
3. Intoleransi laktosa
Kolik infantil dikaitkan dengan intoleransi laktosa akibat
fermentasi laktosa yang tidak terhidrolisis di dalam usus halus
oleh bakteri di dalam usus besar. Fermentasi menghasilkan asam
laktat, gas hidro­gen, dan peningkatan tekanan osmosis intralumen
yang menyebabkan distensi usus dan nyeri. Gejala intoleransi
laktosamencakup (a) Kolik,(b) flatus berlebihan, (c) diare cair,
(d) distensi abdomen, (e) ruam perianal. Penditian double-blind
randomized placebo-controlled crossuover memperlihatkan pemberian-
laktase pada 53 bayi kolik infantil menurunkan kadar hidrogen nap
dan waktu menangis sebesar 45%.14,15
4. Psikologi
Kolik infantil tidak hanya menyebabkan kecemasan pada orang
tua, tetapi juga berdampak terhadap interaksi orangtua dan
anak. Menangis yang tidak dapat ditenangkan menyebabkan ibu
stress.16 lbu yang men galami depresi dapat berpengaruh terhadap
perkembangan mental, sosial emosi, dan kognitif bayi selanjutnya.
31-33Beck Depression In­ventory II (BDI-II).
Ibu dengan bayi kolik infantil memiliki skor frustasi/marah lebih
tinggi dan efikasi diri lebih rendah dibanding kontrol. Demikian pula,
gangguan tidur kerap terjadi pada orangtua, pengasuh, dan bayi.34 Kolik
infantil dapat menyebabkan penghentian perawatan bayi, pengenalan
makanan padat lebih dini karena orang tua pengasuh mcnganggap bayi
masih lapar sehingga terus menangis, pemberian ASI terganggu, berganti-
ganti susu formula.20,21

80 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Langkah Praktis Menangani Kolik Infatil

PENDEKATAN TATALAKSANA
Bayi dengan gejala kolik infantil perlu ditapis tanda bahaya kolik.
Tanda bahaya kolik infanril dibagi dalam 4 kelompok kondisi sebagai
penyebab kolik in fantil tersering, yaitu (1) penyakit RG E, (2) alergi protein
susu sapi, (3) intoleransi laktosa dan (4) faktor kecemasan orangtua.
Bayi dengan gejala kolik infantil yang disertai posisi sandifer,
hematemesis, atau gagal tumbuh perlu dipertimbangkan PRGE sebagai
penyebab gejala tersebut. Selanjutnya, Panduan Tatalaksana Regurgitasi
diterapkan pada bayi. Evaluasi klinis berkala menjadi sangat penting
untuk rnendapatkan Tatalaksana yang rasional serta akurat, rnengingat
gejala klinis yang diperlihatan tidak spesifik. Peran konsultasi dengan
Konsultan Gastrohepatologi juga menjadi hal yang perlu ditingkatkan
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih maksimal. Beberapa
penelitian telah rnembuktikan Proton Pump Inhibitor (PPI) tidak
memberikan efikasi terhadap pada bayi rewel (distressed).22,23,24
Bayi dengan gejala kolik infantil yang disertai regurgitasi berlebihan,
gejala saluran napas yang tidak respons dengan Tatalaksana standar, gejala
atopik baik pada dirinya maupun dalam keluarga, perlu dipertimbangkan
peran alergi sebagai penyebab keluhan tersebut. Pertimbangan kondisi
ini rnerekomendasikan bayi ditangani sesuai Panduan Tatalaksana

Improving Healthy Gut For Healthy Child 81


Yuli Yafri Razak

Alergi Protein Susu Sapi. Bayi yang telah mendapat susu formula, maka
eliminasi Protein susu sapi dan menggantinya dengan susu formula
dengan kandunan protein terhidrolisis ekstensif atau susu formula yang
mengandung asam amino sesuai keparahan kondisi menjadi pertimbangan
utama. Pada beberapa kajian ilmiah memperlihatkan efikasi susu formula
dengan kandungan protein terhidrolisis sebagian (partially hydrolisate) pada
kolik infantil Susu formula dengan protein terhidrolisis sebagian dapat
diberikan kepada bayi dengan kolik infantil bila gejala alergi tidak jelas.
Susu formula mengandung soya tidak terbukti kuat memperbaiki gejala.
Kolik infantile tidak menjadi alasan untuk rnenghentikan pemberian
ASI.6,25-27
Udara yang berlebihan di dalam saluran cerna dapat disebabkan
oleh teknik pemberian minum yang kurang tepat atau intoleransi laktosa
akibat masih rendahnya aktivitas enzim laktase. Walaupun demikian, data
publikasi yang memperlihatkan bahwa aktivitas laktase yang rendah dapat
menyebabkan bayi menangis berlebihan masih sangat terbatas. Beberapa
data lain yang tidak mernperlihatkan hubungan tersebut, menjadikan
peran aktivitas laktase pada kolik kecil. Walaupun para ahli di Inggris
menganjurkan pemberian laktase selama 1 minggu, tetapi beberapa RCTs
tidak rnernperlihatkan perbedaan kejadian kolik infantil pada bayi yang
rnendapat enzirn laktase dan plasebo. Dengan demikian, bukti ilmiah
yang rnendukung rekomendasi ini sangat terbatas.7,28,29
Sebuah meta analisis memperlihatkan pemberian strain tertentu
sebagai probiotik pada bayi yang mendapat ASI eksklusif dapat
rnengurangi gejala kolik infantil. Walaupun demikian ada beberapa hal
yang perlu mendapat perhatian, yaitu aksi mekanisme efikasi masih belum
jelas, penemuan ini tidak boleh diekstrapolasi untuk probotik lainnya,
efikasi hanya terlihat pada bayi ASI eksklusif, dan tidak ada data untuk
pemberian probiotik dalam susu forrnula. Dengan demikian pernberian
strain tertentu microflora sebagai probiotik dapat diterapkan sebagai
sebuah ‘pertimbangan’ dan ‘tidak sebagai rekomendasi.6
Pernberian obat pada kolik infantile tidak direkomendasikan.
Simethicone menurunkan gas intralumen saluran cerna. Satu penelitian
multisenter ‘randpmized placebo controlled memperlihatkan tidak ada
perbedaan dengan plasebo, sedangkan 2 ‘randomized controlled tried’
lainnya tidak memperliharkan pengurangan gejala. Kajian sistematis
memperlihatkan efektifitas anticholinergic dibanding plasebo, akan tetapi

82 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Langkah Praktis Menangani Kolik Infatil

juga memberikan efek samping yang serius antara lain letargi , apnu,
sehingga obat ini tidak direkomendasikan pada bayi dibawah usia 6
bulan.30,31
Empati dan reassurance merupakan kunci utama yang harus dilakukan
pertama kali. Anamnesis dan pemeriksaan fisis cermat diperlukan untuk
menyingkirkan penyebab organik dan tanda bahaya kolik infantil.
Menangis pada kolik infantil tidak selalu merupakan respon nyeri, tetapi
lebih kepada bentuk komunikasi bayi dengan pengasuh.32 Pengasuhan
anak dengan interaksi yang baik, pemberian pola makan yang baik dan
rnemberikan pelukan pada anak saat tidur mengurangi gejala kolik
infantil.33 Penanganan yang salah pada kolik infantil dapat menyebabkan
permasalahan pada kondisi fisik dari mental anak/keluarga. Ibu dan
pengasuh perlu cukup istirahat untuk menghindari stress dan depresi.32

DAFTAR PUSTAKA
Hyman PE, Milla PJ, Benninga MA, Davidson GP, Fleisher DF, Taminiau
J. Childhood functional gastrointestinal disorders: neonate/
toddler. Gastroenterology. 2006 Apr;130(5):1519-26.
Waker M, Morton-Allen E, Poulakis Z, Hiscock H, Gallagher S, Oberklaid
F, Prevalence, stability, and outcomes of cry-fuss and sleep problems
in the first 2 years of life: prospective community-based study,
Pediatrics. 2006 Mar;117(3):836-42.
Talachian E, Bidari A, Rezaie MH. Incidence and risk factors for
infantile colic in Iranian infants. World J Gastroenterol. 2008
Aug;14(29):4662-6.
Hide DW, Guyer BM, Prevalence of infant colic. Arch Dis Child. 1982
Jul;57(7):559-60.
Sondergaard C, Skajaa E, Henriksen TB, Fental growth and infantile colic.
Arch Dis Child Fental Neonatal Ed. 2000 Jul;83(1):F44-7.
Cohen-Silver J, Ratnapalan S. Management of infantile colic: a review.
Clin Pediatr (Phila). 2009 Jan;48(1):14-7.
Freedman SB, Al-Harthy N, Thull-Freedman J. The crying infant:
diagnostic testing and frequency of serious underlying disease.
Pediatrics. 2009 Mar;123(3):841-8.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 83


Yuli Yafri Razak

Iacono G, Merolla R, D’Amico D, Bonci E, Cavataio F, Di Prima L,


et al. Gastrointestinal symptoms in infancy: a population-based
prospective study. Dig Liver Dis. 2005 Jun;37(6):432-8.
Vandenplas Y, Abkari A, Bellasiche M, Benninga M, Chouraqui JP,
Cokura F, et al. Prevalence and Health Outcomes of Funtional
Gastrointestinal Symptoms in Infants From Birth to 12 Months of
Age. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2015 Nov;61(5):531-7.
Orenstein SR, Shalaby TM, Cohn JF, Reflux symptoms in 100 normal
infants:diagnostic validity of the infant gastroesophageal reflux
questionnaire. Clin Pediatr (Phila). 1996 Dec;35(12):607-14.
Vandenplas Y, Gutierrez-Castrellon P, Velasco-Benitez C, Palacios J, Jaen
D, Ribeiro H, et al. Practical algorithms for managing common
gastrointestinal symptoms in infants, Nutrition. 2013;29(1):184-94.
Di Lorenzo C. Other Functional Gastrointestinal Disorders
in Infants and Young Children. J Pediatr Gastroenterol
Nutr [Internet]. 2013;57(7):S36-8. Available from:
h t t p : / / c o n t e n t . w k h e a l t h . c o m / l i n k b a ck / o p e n u r l ? s i d =
WKPTLP:landingpage&an=00005176-201312001-00012
Caffarelli C, Baldi F, Bendandi B, Calzone L, Marani M, Pasquinelli
P, Cow’s milk protein allergy in children: a practical guide. Ital J
Pediatr. 2010;36(November 2008):5.
Kanabar D, Randhawa M, Clayton P, Improvement of symptoms in infant
colic following reduction of lacoste load with lactase. J Hum Nutr
Diet. 2001 Oct;14(5):359-63.
Prasetyo D. Infantile Colic : Treat or Not Treat , dalam Naskah Simposium
Paralel dan Temu Ahli Pertemuan Ilmiah Tahunan Ke-7 Ilmu
Kesehatan Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2015;295-306.
Radesky JS, Zuckerman B, Silverstein M, Rivara FP, Barr M, Taylor JA, et
al. Inconsolable infant crying and maternal postpartum depressive
symptoms. Pediatrics. 2013 Jun;131(6):e1857-64.
Chaudron LH, Szilagyi PG, Tang W, Anson E, Talbot NL, Wadkins
HIM, et al. Accuracy of depression screening tools for identifying
postpartum depression among urban mother. Pediatrics. 2010
Mar;125(3):e609-17.

84 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Langkah Praktis Menangani Kolik Infatil

Kingston D, Tough S, Whitfield H. Prenatal and postpartum maternal


psychological distress and infant development: a systematic review.
Child Psychiatry Hum Dev. 2012 Oct;43(5):683-714.
Papousek M, von Hofacker N, Persistent crying in early infancy: a non-trivial
condition of risk for the developing mother-infant relationship.
Child Care Health Dev. 1998 Sep;24(5):395-424.
Rautava P, Lehtonen L, Helenius H, Sillanpaa M. Infantile colic: child and
family three years later. Pediatrics. 1995 Jul;96(1 Pt 1):43-7.
Wolke D, Gray P, Meyer R, Excessive infant crying: a controlled study of
mothers helping mothers. Pediatrics. 1994 Sep;94(3):322-32.
Chen I-L, Gao W-Y, Johnson AP, Niak A, Troiani J, Korvick J, et al. Proton
pump inhibitor use in infants: FDA reviwer experience. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2012 Jan;54(1):8-14.
Gunasekaran TS, Singla S, Dahlberg M. Prescribing proton-pump
inhibitors to irritable infants: Where is the evidence? Ped Health.
2009;3:213-5.
Vandenplas Y, Rudolph C, Di Lorenzo C, Hassal E, Liptak G, Mazur L, et
al. Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines:
Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric
Gastroenterlogy, Hepatology, an Nutrition (NASPGHAN) and the
European Society for Pediatrics Gastroenterlogy, Hepatology, a. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2009;49(4):498-547.
Vandenplas Y, Koletzko S, Isolauri E, Hill D, Oranje AP, Brueton M, et al.
Guidelines for the diagnosis and management of cow’s milk protein
allergy in infants. Arch Dis Child. 2007 Oct;92(10):902-8.
Garrison MM, Christakis DA, A systematic review of threatments for
infant colic. Pediatrics. 2000 Jul;106(1 Pt 2):184-90.
UKK Alergi Imunologi, UKK Gastrohepatologi, UKK Nutrisi dan
Penyakit Metabolik. Rekomendasi diagnosis dan Tatalaksana alergi
susu sapi. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2014.
Gormally S. Clinical clues to organic etiologies in infants with colic. In:
R. Barr, I. St. James-Roberts, M. Keefe (Eds.) New evidence on
unexplained early infant crying: its origins, nature and management.
Vol. 34, Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition.
Johnson & Johnson Pediatric Institute, Skillman (NJ); 2001. p. 133-
49.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 85


Yuli Yafri Razak

Critch J. Infantile colic: Is there a role for dietary intervention? Paediatr


Child Health, 2011 Jan;16(1):47-9.
Metcalf TJ, Irons TG, Sher LD, Young PC. Simethicone in the treatment
of infant colic: a randomized, placebo-controlled, multicentre trial.
Pediatrics. 1994 Jul;94(1):29-34.
Aggett PJ, Agostoni C, Goulet O, Hernell O, Koletzko B, Lafeber HL,
et al. Antifleux or antiregurgitation milk products for infants and
young children: a commentary by the ESPGHAN Committee on
Nutrition. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2002 May;34(5):496-8.
Bellaiche M, Levy M, Jung C. Treatments for Infant Colic. J Pediatr
Gastroenternol Nutr. 2013;57(December):S27-30.

86 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Tatalaksana Nutrisi Pada Anak dengan Gastroesophageal Reflux Disease

TATALAKSANA NUTRISI PADA ANAK


DENGAN GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE

Sulaiman Yusuf

PENDAHULUAN
Gastroesofageal reflux (GER) didefinisikan oleh North American
Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition (NASPGAN) sebagai
perpindahan retrograde isi lambung yang berupa hasil sekresi gaster,
cairan empedu, dan makanan ke esofagus. Refluks dapat terjadi dalam
keadaan normal yang biasanya berhubungan dengan kondisi tertentu,
seperti posisi berbaring setelah makan, pada saat muntah, maupun karena
proses patologis yang disebut Gastroesophageal reflux disease (GERD).1
Penyebab GERD pada populasi ras kulit putih lebih tinggi dibanding
dengan ras yang lainnya dan dari segi geografis dijumpai bervariasi antar
negara dan benua. Peluang pada pria dan wanita yaitu dengan rasio laki-
laki dan wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:1. Sebuah
penelitian di Inggris pada tahun 2000-2005 ditemukan 1000 anak dengan
diagnosis GERD, dengan angka kejadian 70% bayi berumur 3-4 bulan,
5%-12% bayi berumur 9-12 bulan, dan 0-3% anak berumur 2 tahun. Pada
bayi yang terjadinya GER harus dibedakan dengan GERD karena muntah
yang berlebihan terjadi pada 85% pasien selama seminggu pertama
kehidupan, sedangkan 10% lainnya baru timbul dalam waktu 6 minggu.1,2
Tatalaksana nutrisi merupakan salah satu tatalaksana yang harus
dikerjakan oleh setiap penderita GERD dikarenakan esofagitis refluks
dapat dialami seumur hidup dan dimulai sejak masa bayi maupun anak.
Selain itu modifikasi pola hidup dilaporkan dapat menurunkan paparan
asam pada esofagus. Modifikasi pola hidup berupa meninggikan posisi
kepala, punggung, dan pinggang saat tidur (membentuk sudut 45-60 derajat
dengan alas tempat tidur), mengurangi asupan lemak, menghindarkan
posisi berbaring terlentang selama 2-3 jam sesudah makan, dan mengurangi
berat badan pada anak obesitas. Makanan tertentu seperti coklat, alkohol,
pepermint, kopi, makanan berbumbu, dan mungkin bawang serta garlik
harus dihindarkan karena dianggap meningkatkan GERD.1,2

Improving Healthy Gut For Healthy Child 87


Sulaiman Yusuf

Tujuan penulisan ini adalah untuk menjelaskan tatalaksana nutrisi


pada anak dengan penyakit GERD.
DEFINISI
Gastroesofageal reflux (GER) adalah suatu keadaan, dimana
terjadi disfungsi sfingter esofagus bagian bawah sehingga menyebabkan
regurgitasi isi lambung ke dalam esofagus. Gastroesophageal reflux disease
(GERD) adalah GER yang dihubungkan dengan gejala patologis yang
mengakibatkan komplikasi dan gangguan kualitas hidup.1
EPIDEMIOLOGI
GERD terdapat hampir lebih dari 75% pada anak dengan kelainan
neurologi. Hal ini dihubungkan dengan kurangnya koordinasi antara
peristaltik esophagus dan peningkatan tekanan intraabdominal yang
berasal dari hipertonus otot yang dihubungkan dengan spastisitas. Di
Indonesia sendiri insidens GER sampai saat ini belum diketahui, tetapi
menurut beberapa ahli, GER terjadi pada 50% bayi baru lahir dan
merupakan suatu keadaan yang normal.1
Masih sedikit data yang ditemukan mengenai prevalensi dan insidensi
GERD pada anak. Di USA, dilaporkan prevalensi GERD adalah 1139
pasien berusia 3-17 bulan melalui sebuah studi kuesioner dimana 2,26%
per 1.000 orang-tahun untuk anak perempuan dan 1,75% per 1.000
orang-tahun untuk anak laki-laki .2
Gastroesophageal reflux ini paling sering terlihat pada masa bayi,
dengan puncak pada usia 1-4 bulan. Namun. Angka terjadinya GERD di
USA, sekitar 85% dari bayi muntah selama minggu pertama kehidupan,
dan 60-70% bermanifestasi klinis gastroesophageal reflux disease pada
usia 3-4 bulan. Gejala mereda tanpa pengobatan dalam 60% bayi usia 6
bulan. Resolusi gejala terjadi pada sekitar 90% bayi usia 8-10 bulan.2
ETIOLOGI
Inflamasi esophagus bagian distal terjadi ketika cairan lambung dan
duedonum, termasuk asam lambung, pepsin, tripsin, dan asam empedu
mengalami regurgitasi ke dalam esophagus. Penurunan tonus spingter
esophagus bagian bawah dan gangguan motilitas meningkatkan waktu
pengosongan esophagus dan menyebabkan GER. Inflamasi esophagus
nantinya dapat mengakibatkan kedua mekanisme di atas, seperti lingkaran
setan.3

88 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Tatalaksana Nutrisi Pada Anak dengan Gastroesophageal Reflux Disease

Walaupun penurunan tonus spingter bagian bawah terjadi pada bayi


dengan GER, GERD, dan kelainan dismotilitas, akan tetapi ada satu
faktor yang belakangan diakui sebagai patogenesis terpenting pada GERD
adalah terjadinya relaksasi transien spingter esophagus bawah secara
berulang. Faktor yang meningkatkan waktu pengosongan esophagus
termasuk didalamnya interaksi antara postur dan gravitasi, ukuran dan isi
makanan yang dimakan, pengosongan lambung abnormal, dan kelainan
peristaltik esophagus.3
PATOGENESIS
Gastroesophageal reflux adalah suatu proses fisiologis normal yang
mucul beberapa kali sehari pada bayi, anak dan dewasa yang sehat. Pada
umumnya berlangsung kurang dari 3 menit, terjadi setelah makan, dan
menyebabkan beberapa gejala atau tanpa gejala. Hal ini disebabkan oleh
relaksasi sementara pada sfingter esofagus bawah atau inadekuatnya
adaptasi tonus sfingter terhadap perubahan tekanan abdominal. Kekuatan
sfingter esofagus bawah, sebagai barier antirefluks primer, normal pada
kebanyakan anak dengan gastroesophageal reflux.5
Gastroesophageal reflux terjadi secara pasif karena “katup” antara
lambung dan esofagus tidak berfungsi baik, baik karena hipotonia
sfingter esofagus bawah, maupun karena posisi sambungan esofagus
dan kardia tidak sebagaimana lazimnya yang berfungsi sebagai katup.
Kemungkinan terjadinya refluks juga dipermudah oleh memanjangnya
waktu pengosongan lambung.5
Jika sfingter esophagus bagian bawah tidak berfungsi baik, dapat timbul
refluks yang hebat dengan gejala yang menonjol. Meskipun dilaporkan
bahwa tekanan intraabdominal yang meninggi dapat menyebabkan
refluks, tetapi mekanisme yang lebih penting adalah peran tonus sfingter
yang berkurang, baik dalam keadaan akut maupun menahun.5,7
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) terjadi jika isi lambung
refluks ke esofagus atau orofaring dan menimbulkan gejala. Petogenesis
GERD ini multifaktorial dan kompleks, melibatkan frekuensi refluks,
asiditas lambung, pengosongan lambung, mekanisme klirens esofagus,
barier mukosa esofagus, hipersensitivitas visceral, dan respon jalan napas.8
Refluks paling sering terjadi saat relaksasi sementara dari sfingter
esofagus bawah tidak bersamaan dengan menelan, yang memungkinkan
isi lambung mengalir ke esofagus. Proporsi minor episode refluks terjadi

Improving Healthy Gut For Healthy Child 89


Sulaiman Yusuf

ketika tekanan sfingter esofagus bawah gagal meningkat saat peningkatan


mendadak tekanan intraabdominal atau ketika tekanan sfingter
esofagus bawah saat istirahat berkurang secara kronis. Perubahan pada
beberapa mekanisme proteksi memungkinkan refluks fisiologis menjadi
Gastroesophageal Reflux Disease : klirens dan pertahanan refluks
yang tidak memadai, lambatnya pengosongan lambung, kelainan pada
pemulihan dan perbaikan epitel, dan menurunnya reflex protektif neural
pada saluran aerodigestif.8
GEJALA KLINIS
Pada minggu pertama kasus GER mencapai 80% sedangkan pada
usia 1-6 minggu adalah 10% dan pada bayi berusia lebih dari 6 minggu
hanya 1%. Gejala klinis biasanya hanya muntah, tidak proyektil, sehingga
kebanyakan orangtua menganggapnya suatu hal yang normal, dan tidak
merisaukan keadaan bayinya kecuali jika muntahnya terus menerus. Gejala
klinis lainnya adalah gejala infeksi paru berulang tanpa adanya gejala
muntah yang menonjol. 80% gejala GER adalah muntah yang terjadi
bila bayi ditidurkan setelah diberi makan. Bila isi lambung mempunyai
pH rendah (pH < 4), maka sering terjadi esofagitis kemudaian menjadi
striktura dengan gejala disfagia atau perdarahan pada esofagus (muntahan
berisi darah). Bila timbul komplikasi seperti ini penangannya lebih sulit.6,9
Gejala lain yang sering ditemukan pada kasus GER adalah gagal
tumbuh kembang (Failure to thrieve). Gagal tumbuh ini terjadi karena
muntah yang berat dan terus-menerus sehingga makanan yang diperlukan
untuk pertumbuhan bayi terbuang percuma. Keadaan ini merupakan
problema utama pada bayi dan jarang ditemukan pada anak yang lebih
besar. 7,9
Kibel MA mengadakan penelitian terhadap 30 bayi dengan GER
ternyata 7 bayi mengalami penurunan berat badan sampai di bawah
persentil 50 dari kartu kenaikan berat badan. Herbst J. Dkk, menyatakan
ada 3 hal yang dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang yaitu :
(1) Kekurangan diet makanan karena penderita muntah terus-menerus,
(2) Disfagia. perut kembung dan muntah pada saat tidur, (3) Perdarahan
di dalam esofagus karena iritasi. Apabila asam lambung naik sampai ke
faring, kemungkinan dapat terjadi aspirasi pneumonia. Pada penderita
ini gejala muntahnya tidak selalu nampak. Pada bayi terutama prematur,
muntah-muntah kronis pada saat tidur dapat menyebabkan pneumonia.

90 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Tatalaksana Nutrisi Pada Anak dengan Gastroesophageal Reflux Disease

Kadang-kadang infiltrat pada bayi menimbulkan obstruksi sehingga


gejalanya seperti asma.9,10
Kriteria untuk menguatkan hubungan antara GER dan penyakit paru
pada anak adalah : (1) Adanya serangan apnea, (2) Pneumonia berulang,
(3) Batuk pada malam hari yang kronis, (4) Wheezing berulang. (5)
Muntah sering pada malam hari. Pada GER jika didapatkan pH esofagus
< 4, dengan gambaran parenkim paru yang mengalami kerusakan. Bila
terjadi komplikasi pneumonia berulang, akan mengalami kesulitan
dalam penyembuhannya, oleh karena bila aspirasi pneumonia sebagai
penyebabnya, bahan muntahan akan sulit diabsorpsi.9,10
Danus dkk, telah meneliti bronkhitis obstruktif kronik pada penderita
GER. Pada penelitiannya terhadap 242 anak yang mengalami komplikasi
paru sebanyak 17 anak. Beberapa peneliti lain menemukan kejadian
pneumonia berulang dimana penyebabnya tidak diketahui, ternyata pada
pemeriksaan klinik dan laboratorium yang lebih cermat penyebabnya
adalah GER. 9
Pada bayi sering terjadi kasus kematian mendadak (sudden infant
death syndrome=SIDS). Ternyata pada usia 4 bulan kurang lebih 50% dan
40% pada tahun pertama pada pemeriksaan autopsi penyebabnya adalah
GER. Mekanisme terjadinya GER diduga karena imaturitas saluran
pernafasan, sehingga sangat rentan terjadi infeksi, sindroma kesulitan
pernafasan (respiratory distress syndrome), infeksi paru berulang, dan
spasme pada laring.2,7,8
Tabel 1. Gejala pada GERD10
Gejala yang sering ditemukan Gejala yang jarang ditemukan
• Tangisan khas atau tidak khas/gelisah • Peristiwa yang mengancam nyawa/ ALTE
• Apnea/bradikardi (Apparent Life Threatening Event)
• Muntah, regurgitasi • Mengi (wheezing)
• Nyeri perut/dada (heartburn) • Stridor
• Kembung • Pneumonitis berulang
• Kurang nafsu makan • Sakit tenggorokan
• Sandifer sindrom (yaitu, sikap dengan • Batuk kronis
opisthotonus atau torticolis) • Suara serak / laringitis
• Waterbrash • Gigi tidak sehat
• Failure to thrive • Mulut berbau (halitosis).

Improving Healthy Gut For Healthy Child 91


Sulaiman Yusuf

DIAGNOSIS
Pada tahun 1993 dan 1996, Orenstein merumuskan sebuah kuisioner
klinis sebagai metode sederhana untuk mengidentifikasi anak dengan
GERD. Namun oleh Poddar dimodifikasi menjadi pertanyaan sekaligus
skor untuk mendiagnosis GERD. Jika Skor > 7, sensitivitas: 74% dan
spesifisitas: 94% untuk mendiagnosis GERD.10,12
Tabel 2. Modifikasi Kuesioner Orenstein pada Anak-anak dengan
GERD.10
Pertanyaan Poin
1. Seberapa sering bayi biasanya muntah?
•1-3 kali/ hari 1
•3-5 kali/hari 2
•>5 kali/hari 3
2. Berapa kali biasanya bayi muntah?
•1 sendok teh hingga 1 sendok makan 1
•1 sendok teh hingga 1 ons 2
•>1 ons 3
3. Apakah muntah tampak tidak menyenangkan bagi bayi Anda? 2
4. Apakah bayi menolak makan ketika lapar? 1
5. Apakah bayi mengalami kesulitan mendapatkan kenaikan berat badan
1
yang cukup?
6. Apakah bayi banyak menangis selama atau setelah makan? 3
7. Apakah Anda berpikir bayi menangis atau rewel lebih dari biasanya? 1
8. Berapa jam yang bayi menangis atau rewel setiap hari?
•1 hingga 3 jam 1
•>3 jam 2
9. Apakah Anda pikir cegukan bayi Anda lebih banyak dari kebanyakan
1
bayi?
10. Apakah bayi memiliki kebiasaan untuk melengkungkan punggungnya? 2
11. Apakah bayi pernah berhenti bernapas saat terjaga dan berjuang untuk
bernapas atau mengubah biru atau ungu? 6

Total Skor Maksimal 25

92 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Tatalaksana Nutrisi Pada Anak dengan Gastroesophageal Reflux Disease

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada umumnya bila seorang bayi atau anak menderita muntah maka
yang harus dievaluasi segera adalah mekanisme pengeluaran makanan
dari lambung ke duodenum (gastric outlet), apakah normal atau tidak
normal. Bila tidak normal, apakah memerlukan tindakan bedah atau
medis. Sebelum diperkenalkan adanya ultrasonografi, barium per oral
masih merupakan pemeriksaan unggulan yang harus didahulukan. Akan
tetapi akhir-akhir ini ultrasonografi (USG) sudah mendapat tempat yang
pertama harus dilakukan untuk menentukan kelainan di daerah pilorus
lambung. Apabila dengan pemeriksaan USG sudah dapat dideteksi
adanya gangguan di daerah gastric outlet maka selanjutnya dilakukan
pemeriksaan dengan barium per oral. Di Amerika dan Australia bila
dengan pemeriksaan barium per oral belum dapat ditemukan refluks
maka pemeriksaan lanjutan adalah pemeriksaan sintigrafi gastroesofagus.
Apabila dengan pemeriksaan sintigrafi belum ditemukan refluks, maka
dilakukan pemeriksaan pH (Tuttle test).13
Terdapat beberapa modalitas diagnotik untuk mendiagnosa refluks
gastroesofageal secara akurat, tepat dan cermat.5
• Barium per Oral
• Sintigrafi Gastroesofagus
• Ultrasonografi
• pH Probe Monitor / Uji pH
• Esofagoskopi
Tatalaksana NUTRISI
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi
modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan
serta akhir-akhir ini mulai diperkenalkan terapi endoskopik. Target
penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi esofagus,
menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas
hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi. 14,15
Pada referat ini akan dibahas mengenai terapi secara khusus mengenai
terapi nutrisi pada anak yang menderita GERD. Keputusan tentang
memulainya terapi nutrisi biasanya diberikan pada pasien yang telah
terdiagnosis GERD atau pada pasien yang memiliki resiko untuk kearah
GERD. Terapi nutrisi menjadi lebih sulit ketika asupan gizi pada pasien

Improving Healthy Gut For Healthy Child 93


Sulaiman Yusuf

yang bersangkutan tidak diketahui dengan pasti. Sehingga pada situasi


ini, pengambilan keputusan lebih kompleks, terutama mengingat bahwa
memberikan dukungan nutrisi bukannya tanpa risiko sama sekali. Berikut
adalah langkah untuk memulai terapi nutrisi pada pasien GERD. 14,15

Gambar 1. Algoritma pendekatan Tatalaksana GER pada anak1


MENENTUKAN STATUS NUTRISI PADA GERD
Penentuan status nutrisi pada penderita GERD berdasarkan atas
anamnesis, pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan antropometri dan
pemeriksaan laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
baik merupakan cara efektif dalam penentuan status nutrisi penderita.
Pada anamnesis perlu ditanyakan adalah berat badan rata-rata pada 3
bulan terakhir, informasi tentang asupan makanan baik jenis makanan,
kemampuan mengkonsumsi makanan dan hal-hal yang berpengaruh

94 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Tatalaksana Nutrisi Pada Anak dengan Gastroesophageal Reflux Disease

terhadapnya misalnya adanya nyeri, mual-muntah, sulit menelan, luka


berbau dan terapi yang sedang dijalani. 14,15
Pemeriksaan antropometri berupa BB, TB, rasio BB/TB serta body
mass index (BMI) sangat dianjurkan untuk dapat digunakan untuk
menilai status nutrisi penderita. Pemeriksaan ketebalan otot triceps
(triceps skinfold thickness) dan mid-upper-arm mucle circumference
(MUAMC) dapat menilai status otot, kulit dan lemak untuk menentukan
status nutrisi. 14,15
MENENTUKAN KEBUTUHAN NUTRISI
Kebutuhan Zat Gizi dibagi menjadi kebutuhan makronutrien dan
mikronutrien. Makronutrien terdiri dari karbohidrat, lemak dan protein
sedangkan mikronutrien terdiri dari vitamin, mineral dan trace elemen.
Berdasarkan pedoman dari European Society for Clinical Nutrition and
Metabolism (ESPEN) tentang pengeluaran energi total harian atau total
daily energy expenditure (TEE) pada penderita GERD secara praktis
adalah hampir sama dengan orang yang sehat, komposisi diet harus
mengandung karbohidrat 50 – 60%, protein 10 – 15%, lemak 30 – 35%
dan mikronutrien. Sedangkan untuk bisa menentukan jumlah TEE yang
mendekati nilai pengeluaran energi penderita harian, maka dihitung
terlebih dahulu basal energy expenditure (BEE) berdasarkan rumus
Schofield atau menggunakan rumus regresi linear dari WHO dengan
mempertimbangkan faktor stres dan aktifitas fisik dari penderita. 14,15
MENENTUKAN JALUR NUTRISI
Setiap penyimpangan dari kecepatan pertumbuhan harus segera
dievaluasi dan diintervensi. Intervensi yang terlambat akan menyebabkan
semakin beratnya masalah gizi dan akhirnya mempengaruhi potensi
tumbuh kejar anak. Penting sekali memastikan bahwa setiap anak
memperoleh kalori yang cukup. Secara alamiah setiap manusia memiliki
kemampuan untuk memperoleh nutrisi dengan cara mengkonsumsi
makanan melalui mulut. Namun pada kondisi tertentu hal tersebut tidak
dapat dilakukan sehangga dibutuhkan dukungan nutrisi enteral dan
parenteral. Terdapat 3 pilihan dalam pemberian nutrisi yaitu diet oral,
nutrisi enteral dan nutrisi parenteral. 14,15
Diet oral diberikan kepada penderita yang masih bisa menelan cukup
makanan dan keberhasilannya memerlukan kerjasama yang baik antara
dokter, ahli gizi, penderita dan keluarga. 14,15

Improving Healthy Gut For Healthy Child 95


Sulaiman Yusuf

Nutrisi enteral (NE) adalah suatu metode pemberian makanan dalam


bentuk cair melalui saluran cerna diberikan kepada pasien-pasien yang
memiliki sistem saluran pencernaan yang masih berfungsi dengan baik
atau masih berfungsi hanya sebagian tetapi tidak memungkinkan makan
melalui oral, seperti pada penderita gangguan kesadaran sampai disfagia
berat, terpasang pipa endotrakhea, terdapat kelainan di orofaring atau
esofagus dan gaster, serta gangguan psikologi berat (seperti depresi berat
atau anoreksia nervosa). 14,15
Total parenteral nutrisi (TPN) diberikan pada penderita dengan
gangguan proses menelan, gangguan pencernaan dan absorbsi. Nutrisi
parenteral (NP) merupakan salah satu alternatif dukungan nutrisi yang
telah terbukti dapat menunjang tumbuh kembang anak selama sakit.
NP diindikasikan untuk anak sakit yang tidak boleh atau tidak dapat
mengkonsumsi makanan secara oral/enteral. Mengingat komplikasinya
maka pemberian NP harus benar-benar memperhitungkan risk and
benefit. 14,15
MENENTUKAN JENIS MAKANAN UNTUK GERD
PENGATURAN MAKAN UNTUK BAYI
Bayi mulai disusukan sedini mungkin, langsung setelah lahir. Waktu
dan lama menyusui disesuaikan dengan kebutuhan bayi (on demand).
Hindarkanlah pemberian tambahan seperti madu, air, larutan glukosa dan
makanan prelakteal lainnya. Formula hipoalegenik dapat dicoba selama
1-2 minggu pada bayi yang mendapat formula yang mengalami muntah,
karena beberapa bayi memiliki alergi terhadap susu sapi. Selanjutnya bayi
dapat diberikan buah-buahan (papaya, melon, pisang, apel, dan buah
pir) atau biscuit sejak usia 6 bulan sedangkan pemberian makanan lumat
sampai lembik (bubur susu) pada usia 7 bulan. Makanan utama yaitu Air
susu ibu (ASI) dan selain itu dapat diberikan makanan buatan sebagai
pengantinya. 14,15
Penambahan sereal memang belum diketahui secara pasti manfaatnya
pada penderita GERD, namun hal ini diyakini dapat memperlama
waktu pengosongan lambung. Pada susu formula (1-2 sendok teh sereal
setiap 8 ounces susu) ini pada GER, tetapi hal ini dapat dicoba sebelum
memutuskan pemberian obat pada terapi medikamentosa. Beberapa ahli
menyatakan penambahan sereal ini dapat menurunkan episode muntah
dan juga dapat memberikan kalori tambahan, yang menguntungkan bagi
bayi yang berat badannya belum mencukupi. 14,15

96 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Tatalaksana Nutrisi Pada Anak dengan Gastroesophageal Reflux Disease

Makanan pelengkap terdiri dari buah-buahan, biscuit, makanan padat


bayi yaitu bubur susu, nasi tim atau makanan lain yang sejenis. Pada usia
8 bulan keatas bayi dapat diberi nasi tim dapat dibuat dari beras, bahan
makanan sumber protein hewan (hati, daging cincang, telur atau tepung
ikan) dan bahan makanan sumber protein nabati yaitu tahu, tempe, sayuran
hijau (bayam), buah tomat dan kol sebaiknya tidak diberikan karena dapat
memicu timbulnya GERD. Dengan demikian nasi tim merupakan pilihan
makan yang tepat untuk penderita GERD dan mengandung nutrient yang
lengkap bila dibuat dengan bahan-bahan tersebut. 14,15
Waktu untuk memberikan makanan lumat dapat dipilih yang sesuai,
misalnya sekitar jam 09.00 dengan memperhatikan bahwa kira-kira 2 jam
sebelumnya tidak diberikan apa-apa. pada siang hari sebagai makan siang
sekitar jam 13.00 dan pada sore hari sebagai makan malam sekitar jam
17.00-18.00. Bila bayi disusukan sesuai dengan anjuran yaitu melebihi
masa 1 tahun, perlu diperhatikan kemungkinan timbulnya anoreksia14,15
Cara menyusui :
• Bayi hanya menetek pada satu payudara sampai habis.
• Biarkan bayi terus menghisap (walaupun payudara telah kosong)
sampai tertidur. Selama bayi menghisap payudara, gerakan
menghisap lidah bayi merupakan trigger terhadap kontraksi
lambung, sehingga reflux tidak akan terjadi.
• Hindari perlakuan menyusui yang tergesa, memaksa atau perlakuan
yang tidak perlu.
• Setelah menyusui, bayi jangan langsung ditidurkan. Bayi baru
ditidurkan dengan posisi kepala lebih tinggi dan miring ke sebelah
kiri, paling cepat ½ jam setelah menyusu/minum susu formula.
• Hindari paparan asap rokok dan konsumsi kopi pada ibu (kafein
yang berlebihan pada ibu mempengaruhi terjadinya GER pada
bayi).
• Hindari pemakaian baju bayi yang ketat.
• Orang tua harus diberikan pengertian tentang masalah yang
ada, karena penielasan yang tepat diharapkan dapat mengurangi
kecemasan.
Bayi dengan GER berat harus ditidurkan telungkup dengan posisi
kepala lebih tinggi (30°). Pada anak-anak elevasi dan memposisikan kepala
pada sisi kiri tampaknya menguntungkan (bayi normal harus ditidurkan

Improving Healthy Gut For Healthy Child 97


Sulaiman Yusuf

terlentang karena resiko terjadinya sudden infant death syndrome).


Setelah menetek/ minum susu formula bayi digendong setinggi payudara
ibu, dengan muka menghadap dada ibu (seperti metoda kangguru, hanya
baju yang tidak perlu dibuka). Hal ini menyebabkan bayi tenang, sehingga
mengurangi refluks. Mendekap bayi di pundak ternyata saat ini diragukan
manfaatnya. 14,15
Posisi terlentang mengurangi jumlah paparan asam lambung pada
esofagus yang bisa diketahui melalui pemeriksaan PH, dibandingkan
dengan posisi telungkup. Akan tetapi, posisi telentang dan posisi lateral
berhubungan dengan meningkatnya angka kejadian sindrom bayi mati
mendadak atau sudden infant death syndrome (SIDS). Oleh karena risiko
tersebut, maka posisi telentang atau lateral tidak terlalu direkomendasikan
untuk bayi dengan GERD, tetapi sebagian besar bayi usia di bawah 12
bulan lebih disarankan untuk ditidurkan dengan posisi telungkup.1,2,
PENGATURAN MAKAN UNTUK ANAK DAN REMAJA
Pada anak yang lebih besar lebih sulit untuk mengatur pemilihan
makanan karena anak sudah dapat memilih makanan apa yang diinginkan.
Makanan berlemak, coklat, peppermint, dan minuman bersoda dianggap
memperburuk gejala GERD dengan merelaksasi sfingter esofagus bawah
(lower esophageal sphincter atau LES), yaitu cincin otot yang memisahkan
perut dari esofagus. Selain itu, alasan penderita GERD harus menghindari
cokelat dan susu berlemak tinggi adalah karena kadar lemak yang tinggi
serta kafein. Selain itu tomat atau makan berbahan dasar tomat dapat
memperburuk gejala dengan meningkatkan keasaman lambung. Makanan
ini juga bisa mengiritasi lapisan esofagus yang rusak. Pada dewasa, obesitas,
makan berlebih, dan makan pada malam hari sebelum tidur berhubungan
dengan timbulnya gejala GERD. 14,15
Makanan yang harus dihindari pada pasien GERD adalah sebagai
berikut:
• Makanan yang Banyak Mengandung Gas:
Makanan dan minuman yang tidak direkomendasikan untuk
penderita GERD karena diyakini menyebabkan produksi
gas berlebih di dalam organ pencernaan, antara lain lemak
hewani, sawi, kol, nangka, pisang ambon, kedondong, buah yang
dikeringkan dan minuman bersoda.

98 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Tatalaksana Nutrisi Pada Anak dengan Gastroesophageal Reflux Disease

• Makanan yang Merangsang Keluarnya Asam Lambung:


Makanan dan minuman yang merangsang keluarnya asam lambung,
yang sangat tidak direkomendasikan bagi penderita maag, antara
lain kopi, minuman yang mengandung 5-20% alkohol, anggur
putih dan sari buah sitrus.
• Makanan yang Sulit Dicerna Membuat Pengosongan Lambung
Lebih Lambat
Jika pengosongan lambung tertunda lebih dari waktu sewajarnya,
maka membuat kinerja lambung dua kali lebih banyak. Dengan
demikian akan mencetus gas dan akan semakin memperparah
gejala maag yang berpotensi muncul. Berikut ini beberapa makanan
yang membuat pengosongan lambung, diantaranya makanan
berlemak, kue tart dan keju.
• Makanan yang Dapat Merusak Dinding Lambung:
Makanan dan minuman yang dapat menyebabkan rusaknya
dinding lambung, yang sebaiknya dihindari oleh penderita maag
juga, diantaranya cuka, pedas merica dan bumbu yang kuat dan
bersifat asam (acid).
• Makanan yang Melemahkan Klep Kerongkongan Bawah:
Makanan dan minuman yang dapat melemahkan klep kerongkongan
bawah, yang sebaiknya dihindari oleh penderita maag, diantaranya
adalah alkohol / minuman keras, cokelat, makanan tinggi lemak
dan gorengan.
• Sumber karbohidrat
Sumber makanan yang kaya karbohidrat yang harus diwaspadai
oleh penderita maag, diantaranya adalah beras ketan, mie, bihun,
jagung, singkong, tales, serta dodol. Para penderita maag, GERD
dan radang lambung disarankan untuk mempertimbangkan
makanan yang dapat mengurangi serangan nyeri lambung, seperti
kentang, pisang, brokoli, kol, dan bubur.
Mengubah pola makan mengonsumsi lebih sedikit makanan tapi
intensitasnya lebih sering dapat mengurangi tekanan di perut. Tekanan
perut yang lebih tinggi dapat menyebabkan LES relaks, memungkinkan
isi perut mengalir ke esofagus. Memposisikan badan dengan tegak selama
2-3 jam setelah makan, akan mengurangi risiko terjadinya refluks. Posisi
berdiri atau duduk tegak, gravitasi akan membantu menjaga isi perut

Improving Healthy Gut For Healthy Child 99


Sulaiman Yusuf

Anda tidak mengalir ke atas. Kondisi berbaring setelah makan, akan


membuat dengan mudahnya isi  perut naik ke esofagus. Selain itu ketika
perut kenyang, makanan lebih banyak bisa meningkatkan tekanan perut.
Oleh karena itu, jangan sampai tergoda untuk ngemil saat perut masih
kenyang. karena akan meningkatkan tekanan isi perut. Minum diantara
waktu makan juga akan memicu terjadinya GERD karena lambung terlalu
banyak terisi air sehingga tekanan isi lambung akan meningkat, sehingga
diperlukan.
MONITORING
Pemantauan dan evaluasi keefektifan pemberian nutrisi pada pasien
harus selalu ditinjau dari keluhan yang muncul, toleransi terhadap diet dan
pengawasan. Pasien dengan GERD sering memiliki kekurangan nutrisi
dan secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup mereka. Etiologi
yang mendasari dari kondisi malnutrisi pada penderita GERD adalah
ketidak mampuan dari penyerapan nutrisi karena masalah pada saluran.
Data menunjukkan bahwa manfaat dari dukungan nutrisi pada pasien
dengan GERD cukup dengan pemberian secara oral dan enteral. nutrisi
parenteral, jarang diberikan karena mengingat resiko dalam pemberianya.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering ditumbulkan pada GERD, antara lain :
ESOFAGITIS DAN SEKUELENYA
STRIKTURA, BARRET ESOFAGUS, ADENOCARCINOMA
Esofagitis bisa bermanifestasi sebagai irritabilitas, anak tidak mau
makan, nyeri pada dada atau epigastrium pada anak yang lebih tua, dan
jarang terjadi hematemesis, anemia, atau sindrom Sandifer. Esofagitis yang
berkepanjangan dan parah dapat menyebabkan pembentukan striktura,
yang biasanya berlokasi di distal esophagus, yang menghasilkan disfagia,
dan membutuhkan dilatasi esophagus yang berulang dan fundoplikasi.
Esofagitis yang berlangsung lama juga bisa menyebabkan perubahan
metaplasia dari epitel skuamosa yang disebut dengan Barret Esofagus,
suatu precursor untuk terjadinya adenocarcinoma esophagus.13,16,17
GAGAL TUMBUH
Esofagitis dan regurgitasi bisa cukup parah untuk menimbulkan
gagal tumbuh karena defisit kalori. Pemberian makanan melalui enteral

100 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Tatalaksana Nutrisi Pada Anak dengan Gastroesophageal Reflux Disease

(nasogastrik atau nasoyeyunal atau perkutaneus gastrik atau yeyunal) atau


pemberian melalui parenteral terkadang dibutuhkan untuk mengatasi
defisit tersebut.13,17
EXTRA ESOPHAGUS
GERD dapat menimbulkan gejala pernapasan dengan kontak
langsung terhadap refluks dari isi lambung dengan saluran pernapasan
(aspirasi atau mikroaspirasi). Seringnya, terjadi interaksi antara GERD
dan penyakit primer saluran pernapasan, dan terciptalah lingkaran setan
yang semakin memperburuk kedua kondisi tersebut. Terapi untuk GERD
harus lebih intens (biasanya melibatkan PPI) dan lama (biasanya 3 sampai
6 bulan).13
PROGNOSIS
Sebagian besar pasien dengan GERD akan membaik dengan
pengobatan, walaupun relaps mungkin akan muncul setelah terapi dan
memerlukan terapi medis yang lebih lama.6,7
Kebanyakan kasus GER pada bayi dan balita adalah benigna dan
berespon terhadap terapi non farmakologi. 80% gejala berkurang pada
umur 18 bulan. Beberapa pasien memerlukan terapi menurunkan
asam lambung dan hanya sekelompok kecil yang memerlukan tindakan
pembedahan karena gejala GER setelah usia 18 bulan menunjukkan
gejala yang kronik. Risiko jangka panjang juga meningkat. Untuk pasien
yang mengalami GER secara persisten periode akhir usia anak selalunya
memerlukan terapi agen anti sekretori.1,2
Apabila kasus GERD ini disertai komplikasi (seperti striktura, aspirasi,
penyakit saluran nafas, Barrett esophagus), biasanya memerlukan terapi
pembedahan. Prognosis untuk pembedahan biasanya baik. Meskipun
begitu, mortaliti dan morbiditi adalah tinggi pada pasien pembedahan
dengan masalah medis yang kompleks.1
RINGKASAN
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau yang dikenal dengan
Penyakit Refluks Gastroesofageal (PRGE) merupakan suatu keadaan
dimana terjadi gerakan retrogard atau naiknya isi lambung sampai
pada esofagus secara patologis. Kandungan lambung yang asam dapat
mengiritasi mukosa esofagus. Manifestasi klinis adalah rasa nyeri dada
retrosternal atau rasa panas (heartburn) di dada, regurgutasi, disfagia,

Improving Healthy Gut For Healthy Child 101


Sulaiman Yusuf

dan menyebabkan apneu. Penatalaksanaan pada kasus PRGE ini terdapat


beberapa jenis yang dilakukan bertahap yaitu modifikasi gaya hidup,
medikamentosa dan terapi bedah. Selain pendekatan perawatan berupa
konsumsi obat-obatan tertentu, ternyata tatalaksana nutrisi memberikan
dampak yang begitu besar dalam proses pengobatan ini. Perubahan
pola makan bagi penderita GERD adalah dengan mencatat kata kunci
makanan dan minuman apa saja yang perlu dihindari termasuk bagian-
bagiannya yang dapat memperburuk serta faktor pemicu gejala GERD.
DAFTAR PUSTAKA
Yusuf S, Pendekatan Tatalaksana Refluks Gastroesofagus pada Anak,
Jurnal Kedokteran Universitas Syiahkuala , Vol 8, 2 Agustus 2008:
32-41
Hegar B, Mulyani. Esofagitis refluks pada anak. Sari Pediatri, Vol. 8, No.
1, Juni 2006: 43 - 53.
Ulsen M. Muntah Dalam: Buku Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 10. Vol 3.
Jakarta: IDAI, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2000
Sjarif DR,Nasar SS, Devaera S, Tanjung CF. Asuhan Nutrisi Pediatrik,
Editor: UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik. Jakarta: IDAI, 2011
World Health Organization. Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah
Sakit. Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di
Kabupaten/Kota. Jakarta: WHO Indonesia .2009
Price SA, Wilson LM. GERD, Dalam: Buku patofisiologi Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, ed. 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2006.
William l. Fisiologi; Gangguan Gastrointestinal. Dalam: Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Editor: Guyton and Hal, Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2000. 1050
Snell RS. Esofagus. Dalam: Buku Anatomi Klinik untuk Mahasiswa
Kedokteran, edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2012. 244
Langman, Sadler T. W. Esofagus. Dalam: Buku Embriologi kedokteran.
Edisi 10. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2009; 230
Hegar B, Yuliarti K, Gandaputra E. Gastritis, Dalam: Buku Pedoman
Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: IDAI.

102 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Tatalaksana Nutrisi Pada Anak dengan Gastroesophageal Reflux Disease

Jilid 2. 2011.
Bakti Husada, IDAI. Dalam: Formularium Spesialistik Ilmu Kesehatan
Anak, Jakarta; Kemenkes, 2005: 93
Sunoto. Esofagus. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Editor : AH
Markum ; Ismail S, Alatas H, et al. Jakarta : FKUI, 1991; 415-21.
Ruigómez A, Wallander M, Lundborg P, Johansson S, Rodriguez L.
Gastroesophageal reflux disease in children and adolescents in
primary care. Scandinavian Journal Of Gastroenterology. 2010
Yvan V. Pediatric gastroesophageal reflux clinical practice guidelines.
Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition Vol. 49, No. 4,
October 2009 : 498–547.
Ruigómez A, Wallander M, Lundborg P, Johansson S, Rodriguez L.
Gastroesophageal reflux disease in children and adolescents in
primary care. Scandinavian Journal Of Gastroenterology. 2010;
45(2): 139-146.
Orienstein SR, Peters J, Khan S, Youssef N, Hussain Z. The Esophagus.
Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook
of pediatrics.edisi ke-17. Philadelphia : Sounders ; 2004. h.1217-27.
D.J Sugarbaker, R.Bueno, Y,lColson, M.T,Jaklitech, M J, Krasna, S.J
Mentzer, M. Willm, A. addam :Adult Chest Surgery, 2nd Edition:
www.accessurgery.com Copyright © McGraw-Hill Education. All
right.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 103


104
Penyakit Hirschsprung (Penatalaksanaan)

PENYAKIT HIRSCHSPRUNG (PENATALAKSANAAN)

Lulik Inggarwati

LATAR BELAKANG
Penyakit Hirschsprung (HSCR) merupakan penyebab terbanyak
obstruksi usus pada periode neonatal, ditandai oleh tidak terbentuknya
sel-sel ganglion (Meissner dan Auerbach) yang dimulai dari sfingter ani
interna kearah proksimal dengan panjang bervariasi, dengan manifestasi
klinis sebagai obstruksi usus fungsional. Ratio laki-laki:perempuan adalah
4:1. Diklasifikasikan sebagai :
1. Segmen pendek
2. Segmen Panjang
3. Aganglionosis kolon total (TCA).
Hirschsprung-associated enterocolitis (HAEC) masih merupakan
penyebab utama mordiditas dan mortalitas pasien-pasien HSCR ini,
ditandai dengan klinis diare berbau busuk; lethargi; presyok sampai syok
dan distensi hebat abdomen; terkadang sampai gizi buruk. Hipotesa yang
masih dianut sebagai penyebabnya adalah intestinal micribiome dysbiosis,
fungsi barrier mukosa yang terganggu, perubahan respon imun inate
dan traslokasi bakteri. HAEC dapat terjadi disetiap episode kehidupan
pasien-pasien HSCR ini, sebelum atau bahkan setelah dilakukan tindakan
prosedur definitifnya.
Kelompok umur 0-4 tahun masih menduduki tempat paling bawah
dalam data piramida penduduk tahun 2017. Dan HSCR merupakan salah
satu kelaianan bawaan sebagai penyebab terbanyak obstruksi usus yang
dapat berkembang kedalam status gizzi buruk, patut dipertimbangkan
untuk mendapatkan prioritas perhatian dari program-program
Kementerian Kesehatan.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan HSCR sampai dengan saat ini adalah pembedahan
dengan prinsip mengangkat segmen aganglion dan prosedur tarik terobos.
Pada awalnya dilakukan bertahap, diawali dengan tindakan diversi (stoma)

Improving Healthy Gut For Healthy Child 105


Lulik Inggarwati

untuk selanjutnya diteruskan dengan optimalisasi tumbuh kembangnya


dan diakhiri dengan prosedur definitive. Dalam perkembangannya sudah
dilakukan tindakan satu tahap, baik melalui pendekatan abdominoperineal
maupun melalui anus, dengan panduan potong beku PA.
Tindakan prosedur definitive meliputi:
1. Deep anterior colorectal anastomosis (Rehbein)
2. Rektosigmoidektomi (Swenson and Bill)
3. Retrorectal approach (Duhamel)
4. Prosedur Endorektal (Soave).
Prosedur definitive yang dikembangkan akhir-akhir ini meliputi :
1. Lebih fokus pada prosedur yang diperkenalkan oleh Duhamel dan
Soave.
2. Minimal invasive surgery.
3. Satu tahap (tanpa diversi)
4. Bergeser ke periode neonatal.

DAFTAR PUSTAKA
Puri P, Coyle D. 2019. Hirschsprung Disease in Pediatric Surgery. Puri P,
Höllwarth ME(Eds.) 2nd. Springer: 30: 250-9
Gosain A, Frykman PK, Cowles RA, et al. 2017. Guidelines for the diagnosis
and management of the Hirschsprung-associated enterocolitis.
Pediatric Surg Int : 33:517-21.
Demografi. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2017. 2018. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia : 1:3
Murphy F., Menezes M., Puri P. 2008. Enterocolitis Complicating
Hirschsprung`s Disease in Hirschsprung`s Disease and Allied
Disorders. Holschneider AM, Puri P(Eds.) 3rd . Springer-Verlag
Berlin Heidelberg : 10:144-54W
Chun-Lei Jiao, Xu-Yong Chen, Jie-Xiong Feng. 2016. Novel Insights
into the Pathogenesis of Hirschsprung`s-associated Enterocolitis.
Chinese Medical Journal : June 20:129:12:1491-7
Pelaseyed T, Bergstrӧm JH, Gustafsson JK, Ermund A, Birchenough GM,
Schϋtte A, et al. 2014. The mucus and mucins of the goblet cells and
enterocytes provide the first defense line of the gastrointestinal tract

106 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Penyakit Hirschsprung (Penatalaksanaan)

and interact with the immune system. Immunol rev : 260:8-20. Doi:
10.1111/imr.12182
Grosfeld JL. 2008. Hirschsprung`s Disease:A Historical
Perspective-1691-2005:21. Holschneider AM, Puri P(Eds.) In
Hirschsprung`s Disease and Allied Disorders. 3rd Ed.Springer.
Berlin
Puri P. 1993. Hirschsprung`s Disease:Clinical and Experimental
Observations. World J. Surg : 17, 374-84.
Parahita IG, Makhmudi A, Gunadi. 2017. Comparison of Hirschsprung-
associated enterocolitis following Soave and Duhamel Procedures. J
Pediatr Surg. ;htps://doi.org/10.1016/j.jpedsureg.2017.07.010.
ChakravartiA, Lyonnet S. Hirschsprung disease. In: Scriver CR, Beaudet
AL, Valle D, Sly WS, Childs B, Kinzler K, Vogelstein B, editors.
2001. The metabolic and molecular bases of inherited disease. 8th
ed. New York: McGraw-Hill.
Amiel J, Sproat-Emison E, Garcia-Barcelo M, et al. 2008. Hirschsprung
disease associated syndromes and genetics: a review. J Med Genet :
45:1-14.
Haricharan RN, Seo JM, Kelly DR, et al. 2008. Older age at diagnosis of
Hirschsprung disease decreases risk of postoperative enterocolitis,
but resection of additional ganglionated bowel does not. J, Pediatr
Surg : 43:1115-23.
El-Sawaf M, Siddiqui S, Mahmoud M, et al. 2013. Probiotic profilaxis
after pullthrough for Hirschsprung disease to reduce incidence
of enterocolitis: a prospective, randomized, double-blind, placebo
controlled, multicenter trial. J Pediatr Surg : 48:111-7.
Rossi V, Avanzini S, Mosconi M, et al. 2014. Hirschsprung Associated
Enterocolitis. Review Article. J Gastroint Dig syst,4:1.
Doi:10.4172/2161-069X.1000170
Kartono D. 2004. Penyakit Hirschsprung. Cetakan I. Jakarta;Sagung
Seto;:1.
Siyang Cheng, Jun Wang, Weihua Pan, et al. 2017. Pathologically assessed
grade of Hirschsprung-associated enterocolitis in resected colon in
children with Hirschsprung’s disease predicts postoperative bowel
function function. J.PedSurg., 2017. 52:11.  https://doi.org/10.1016/j.
jpedsurg

Improving Healthy Gut For Healthy Child 107


Lulik Inggarwati

Pradeep Bhatia,* Rakesh S Joshi, Jaishri Ramji, et al. 2013. Single Stage
Transanal Pull-Through for Hirschsprung’s Disease in Neonates:
Our Early Experience. Journal of Neonatal Surgery : 2(4):39 EL-
MED-Pub Publishers. http://www.elmedpub.com
Ji J, Ling XB, Zhao Y, et al. 2014. A data-driven algorithm integrating
clinical and laboratory features for the diagnosis and prognosis of
necrotizing enterocolitis. PLoS One 2014;9(02):e89860.

108 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Imunisasi Hepatitis B dan Tatalaksana Bayi Baru Lahir dari Ibu HBsAg Positif

IMUNISASI HEPATITIS B DAN TATALAKSANA BAYI BARU


LAHIR DARI IBU HBsAg POSITIF

Nenny Srimulyani

PENDAHULUAN
Hepatitis B masih merupakan masalah global dan nasional yang
ditunjukkan adanya pencanangan world hepatitis day sejak tahun
2010 setiap tanggal 28 September sekaligus memperingati hari lahirnya
Blumberg, dokter Amerika, penemu virus hepatitis B yang memperoleh
hadiah Nobel pada tahun enam puluhan. Indonesia yang pada pemetaan
bertahun tahun lalu termasuk daerah dengan endemisitas sedang sampai
tinggi dan saat ini prevalensinya turun sehingga masuk katagori sedang atau
intermediate tetapi masih paling tinggi dibanding negara-negara tetangga
lainnya. Perjalaan alamiah hepatitis B kronis adalah menjadi sirosis dan
karsinoma hepatoseluler. Kronisitas ditentuka oleh beberapa factor tetapi
penentu paling penting adalah usia saat terjadi infeksi. Makinmuda usi
makin tinggi risikonya untuk menjadi kronis. Penularannya melalui jalur
vertical dan horizontal. Penularan vertikal adalah penularan dari Ibu ke
bayi saat intrauterine, intrapartum dan post partum. Penularan horizontal
pada usia dibawah 5 tahun juga hal penting. Untuk itu focus pencegahan
adalah melakukan imunisasi hepatitis seawal mungkin untuk mencegah
penularan vertical dan melengkapi dosis 3 kali berikutnya untuk
mencegah penularan pada setiap usia. Ditambah dengan pemberian HBIg
pada bayi yang lahir dari ibu HBsAg pos. Hal itu tentu saja sudah dikenal
dan sudah dilakukan. Pembicaraan ini difokuskan pada hal-hal penting.
Misal tentang virus B, petanda serologi, perjalanan alamiah serta fase-
fase hepatitis kronis yang erat kaitannya dengan alasan pemberian vaksin
hepatitis B seawall mungkin.
JADWAL IMUNISASI HEPATITIS B
Hepatitis B dicanangkan oleh badan Kesehatan sedunia musnah
(0,1%) pada tahun 2030. Upaya pencegahan menjadi focus dan pencegahan
penularan pada awal kehidupan menjadi salah satu prioritas utama. Hal
itu menunjukkan bahwa hepatitis B merupakan masalah global dan juga

Improving Healthy Gut For Healthy Child 109


Nenny Srimulyani

nasional. Pentingnya hal tersebut dibuktikan dengan adanya world hepatitis


day sejak tahun 2010 pada setiap tanggal 28 September syang merupakan
hari lahirnya penemu virus hepatitis B, seorang dokter Amerika penerima
hadiah nobel pada tahun enampuluhan. WHO memberikan rekomendasi
pada policy pencegahan penularan hepatitis B dan diimplementasikan di
negara2 sesuai dengan situasi dan kemampuan masing-masing negara.
Indonesia yang masuk katagori endemisitas sedang sampai tinggi saat
itu memberikan vaksinpada saat lahir pada semua bayi. Kemudian mulai
menambahkan skrining ibu hamil dan memberi tambahan HBIg pada bayi
dari ibu dengan HBsAg pos. Kemudian yang terakhir merekomendasikan
pemberian anti- virus pada ibu hamil trimester 3 untuk meningkatkan
efektivitas pencegahan. Ikatan Dokter Anak Indonesia memberikan
rekomendasi berupa pemberian vaksin hepatitis B pada 12 jam pertama
kehidupan disertai pemberian HBIg apabila bayi lahir dari seorang
ibu dengan HBsAg positif. Kemkes menindak lanjuti dengan hal sama
dengan pemberian vaksin pertama saat lahir yaitu kurang dari 24 jam dan
pemberian HBIg pada bayi lahir dari Ibu dengan HBsAg pos.
PARTIKEL DANE:
Hepatitis B adalah infeksi hati oleh virus hepatitis B atau disebut
partikel Dane. Merupakan anggota family Hepadnaviridae, mempunyai
sampul lipid luar dan inti nukleokapsid yang berbentuk icosahedral
yang tersusun atas protein. Nukleokapsid meliputi DNA virus dan DNA
polymerase. Partikel Dane terdiri dari antigen s, c, e (e merupakan protein
non- structural), DNA, polymerase. S adalah antigen permukaan partikel
Dane. Antigen c didapatkan pada permukaan nukleokapsid core, HBeAg
dan HBeAg dibuat dari open reading frame yang sama. HBcAg adalah
bagian dari partikel, tidak disekresikan dan tidak ada dalam sirkulasi
meski akhirnya diketahui ada juga dalam sirkulasi dengan pemeriksaan
radioimmunoassay tetapi yang jelas ada didalam sel hati. Terdapatnya
HBcAg dan HBeAg menunjukkan adanya replikasi virus (infektif).
Adanya anti terhadap c dan e merujuk adanya penurunan replikasi. HBe
Ag didapatkan diantara nukleokapsid core dan lipid dan merupakan non
partikel atau disebut sebagai factor sekretori. HBeAg berasal dari gena c
dan pre- c pada open reading frame yang sama dengan HBcAg (berasal dari
gena c pada open reading frame).

110 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Imunisasi Hepatitis B dan Tatalaksana Bayi Baru Lahir dari Ibu HBsAg Positif

PETANDA SEROLOGI:
Petanda serologi yang saat ini digunakan adalah HBsAg, anti- HBsAg,
HBeAg, anti HBeAg, anti HBcAg karena HBcAg saat ini hanya dapat
dideteksi di sel hati.
DNA dapat dilihat secara kualitatif dan kuantitatif.
TRANSMISI DAN LUARAN INFEKSI VIRUS HEPATITIS B DAN
PENCEGAHAN:
Penularan hepatitis B adalah secara vertical dan horizontal. Penularan
vertical adalah penularan dari ibu ke bayinya pada saat dalam kandungan
atau intrauterine, intrapartum dan post partum. Penularan intrauterine
dapat tejadi apabila ada kebocoran plasenta, infeksi, amniosintesis, dan
lainnya dan kejadian ini sangat jarang terjadi (< 5%) dari ibu HBsAg positif
dengan HBeAg positif. Penularan intrapartum adalah yang sering terjadi.
Yang terakhir inilah yang merupakan target imunisasi seawal mungkin.
Adapun hepatitis akut dan fulminan masih mungkin pada bayi yang lahir
dari ibu dengan HBsAg pos. tetapi HBeAg neg.
Seseorang yang terinfeksi virus hepatitis B pada umunya dapat
menunjukkan akut kemudian sembuh dan terbentuk anti- HBsAg atau
dapat berlanjut menjadi kronis dengan petanda adanya HBsAg yang
menetap lebih dari 6 bulan, atau menjadi fulminan.
Sebagian besar (90%) bayi lahir dari Ibu HBsAg pos. dan HBeAg pos.
dapat menjadi kronis.
Hepatitis B kronis pada bayi dimulai dengan fase imuntoleran,
ditandai hanya dengan petanda serologi dan DNA yang tinggi tanpa atau
hanya sedikit adanya kerusakan hati (ALT normal atau meningkat sedikit).
Keadaan ini bisa bertahun2 atau puluhan tahun tergantung oleh factor
host, factor virusnya ataupun reaksi host dan virus. Kronisitas hepatitis B
ini ditentukan oleh beberapa factor dan penentu terpenting yang diyakini
saat ini adalah usia saat terinfeksi, makin muda usia makin tinggi riisko
kronisitasnya. Mengapa demikian masih belum diketahui dengan pasti.
Namun mekanisme imuntoleran masih dianut sampai sekarang meski ada
teori lain yang dianggap menggagalkan teori ini tetapi belum konklusif.
HBeAg adalah protein non- structural yang disekresikan kedalam darah dan
dapat menembus placenta. Dengan demikian partikel virus B yang masuk
belakangan tidak dapat direspon oleh sel limfosit T sitotoksik spesifik

Improving Healthy Gut For Healthy Child 111


Nenny Srimulyani

terhadap virus B (HBcAg adalah protein yang diekspresikan dipermukaan


hepatosit) karena c dan e berasal dari gena yang hamper sama ( c berasal
dari gena C sedangkan e berasal dari gena C dan pre- C). Dengan demikian
c yang diekspresikan tersebut tidak data dikenali oleh system imunologi
tubuh. Hal itu mengakibatkan virus tetap berplikasi dalam sel hati tanpa
adanya perlawanan dari host. Dengan demikian tidak ada kerusakan sel hati
yang berakibat tidak adanya transaminase yang meningkat dan tidak ada
gejala yang terjadi karena gejala yang terjadi adalah akibat dari kerusakan
sel hati. Untuk sampai di fase selanjutnya yaitu fase imunaktif ditentukan
oleh faktor-faktor lainnya misal human leukosit antigen, factor hormonal,
dll. Dapat dimengerti bahwa perjalanan alamiah hepatitis B kronis
sangat bervariasi. Hepatitis B kronis dapat berlanjut menjadi sirosis dan
karsinoma hepatoseluler. Dengan demikian dikatakan bahwa karsinoma
yang dapat dicegah dengan imunisasi. Rute transmisi virus B adalah secara
horizontal dan vertical melalui darah atau produk darah dan sampai saat
ini masih diyakini bahwa penularannya adalah bukan secara fecal-oral.
Transmisi vertical adalah rute dari Ibu ke bayinya saat dalam kandungan,
saat persalinan dan post persalinan. Transmisi horizontal adalah diluar
transmisi vertical tersebut. Penularan horizontal pada anak-anak dibawah
5 tahun juga relative tinggi, kemungkinan dikarenakan kedekatan2 saat
bermain. Hepatitis B merupakan masalah besar, global, ditunjukkan
dengan adanya pencanangan bebas hepatitis B tahun 2030 (0,1%) dan
adanya pencanangan world hepatitis day setiap tanggal 28 September.
Oleh karena penularan vertical menjadikan tingginya kronisitas tsb maka
pencegahan penularan vertical ini menjadi sangat penting dalam usaha
memusnahkan hepatitis B ini. Pencegahan transmisi vertical di pandu
oleh WHO dan diimplementasikan di Indonesia melalui rekomendasi
organisasi profesi dalam hal ini IDAI dan dicanangkan oleh kementrian
Kesehatan. Pencegahan tsb antara lain adalah pemberian vaksin saat lahir
atau dalam 12-24 jam pertama kehidupan untuk dapat segera membentuk
antibody yang dapat menetralisir virus B yang masuk. Disertai imunisasi
pasif yaitu memberikan HBIg pada bayi yang lahir dari ibu HBsAg pos.
dengan harapan dapat menetralisir virus sebelum terbentuknya antibody
dari imunisasi. Kemungkinan kegagalan dengan cara ini dapat terjadi
pada bayi-bayi yang sudah tertular intrauterine. Hanya saja kejadian
penularan intrauterine adalah sangat kecil yaitu pada keadaan adanya
kebocoran plasenta, amniosentesis,infeksi pada plasenta itu sendiri yang
memudahkan partikel virus tersebut masuk ke janin. Netralisasi melalui

112 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Imunisasi Hepatitis B dan Tatalaksana Bayi Baru Lahir dari Ibu HBsAg Positif

imunisasi pasif dan aktif sangat bemanfaat terutama pada penularan


vertical intrapartum dan post partum serta horizontal. Hal baru yang
sudah disampaikan oleh Kemkes sesuai dengan WHO yaitu pemberian
antivirus pada ibu hamil trimester 3 dengan viral load pada ambang
tertentu, dengan harapan dapat menurunkan penularan intrauterine.
Semoga hal ini juga sudah diimplementasikan secara konsisten di
Indonesia. Apabila ingin mengetahui efektifitas vaksin terutama pada bayi
lahir dari Ibu HBsAg pos, dapat dilakukan pemeriksaan HBsAg dan anti-
HBsAg pada saat dosis vaksin sudah lengkap dan sebaiknya dilakukan saat
bayi atau anak berusia 9-18 bulan.Kegagalan atau apabila bayi terbukti
terinfeksi maka ditunjukkan dengan adanya HBsAg pos. dan pemeriksaan
dilanjutkan dengan pemeriksaan lainnya yang merujuk adanya infeksi
aktif, misal HBeAg dan DNA-VHB. Apabila masuk dalam kriteria fase
imuntoleran maka anak diberi tatalaksana sesuai dengan hepatitis B
kronis fase imuntoleran. Ada beberapa catatan yang mungkin berguna
untuk diketahui sebagai berikut. HBsAg dalam darah ada 3 bentuk yaitu
bentuk bulat, lonjong dan bentuk lengkap yag ada intinya. Pada HBsAg
pos. maka kemungkinannya adalah diantara ketiganya tersebut, mungkin
positif nya dari bentuk yang tanpa inti. Kalau hanya ada bentuk yang tanpa
inti menunjukkan tidak ada partikel utuh dan tidak infeksius. HBeAg
atau antigen e adalah protein non- structural yang disekresikan pada saat
terjadi replikasi. Adanya HBeAg pos. menunjukkan adanya virus akif
yang bereplikasi. Bayi yang lahir dari Ibu dengan HBsAg pos dan HBeAg
neg. mempunyai kemungkinan besar menjadi fulminan (presentasi besar
hepatitis fulminan pada golongan ini). Bayi yang lahir dari Ibu dengan
HBsAg pos. dan HBeAg pos. itu yang mempunyai risiko besar terjadinya
hepatitis kronis. HBeAg negative juga bisa terjadi pada keadaan mutasi pre-
core, artinya virus mutan tersebut masih infeksius tapi tidak ditemukan
HBeAg seperti virus B pada umumnya. Dengan demikian melakukan
pemeriksaan tambahan HBeAg sebagai skrining juga belum tuntas. Hanya
permasalahannya adalah pemeriksaan-pemeriksaan tersebut dibandingkan
dengan harga HBIg perlu dihitung cost- efektifitasnya? Hal ini yang menjadi
pertanyaan. Berapa presentase mutasi pre- core di Indonesia?. Kecuali
memang HBIg efektif untuk mencegah hepatitis fulminan pada bayi baru
lahir. Semua yang disebut sebagai catatan tersebut adalah sebatas pada
pemikiran kita. Yang penting bagi kita saat ini adalah bahwa bukti ilmiah
imunisasi pada saat lahir adalah dapat menurunkan kejadian transmisi
vertical dan mencegah kejadian hepatitis B pada setiap usia apabila vaksin

Improving Healthy Gut For Healthy Child 113


Nenny Srimulyani

tsb. diberikan secara lengkap 3- 4 kali. Akan lebih baik lagi kalau dapat
dilakukan pemberian anti-virus pada trimester ketiga kehamilan untuk
dapat mencegah transmisi intrauterine.
PENUTUP
Pencegahan penularan vertical merupakn focus dari pemutusan rantai
penularan hepatitis B. Pemberian imunisasi hepatitis B di Indonesia
dimulai dari skrining pada ibu hamil dan pemberian vaksin hepatitis
B saat lahir ditambah pemberian HBIg pada bayi yang lahir dari ibu
dengan HBsAg pos. Pemberian antivirus pada trimester ketiga kehamilan
merupakan strategi yang dicanangkan pada tahun 2020. Pencanangan
bebas hepatitis B di tahun 2030 (0,1%) adalah hal yang sanga mungkin
apabila cakupan imunisasi baik.
DAFTAR PUSTAKA
World Health Organization, Global Health Sector Strategy on viral
hepatitis 2016–2021, towards ending viral hepatitis (2016) Dig
Dis, 10 (1) (1992), pp. 46-52
Natural history and control of perinatally acquired hepatitis B virus infec-
tion Dig Dis, 10 (1) (1992), pp. 46-52
Hepatitis B virus infection in children and adolescents. Lancet Gastroen-
terol Hepatol, 4 (6) (2019), pp. 466-476
Effect of hepatitis B immunisation in newborn infants of mothers positive
for hepatitis B surface antigen: systematic review and meta-analysis
BMJ, 332 (7537) (2006), pp. 328-336
Hepatitis B http://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/hepa-
titis-b

114 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Tatalaksana Hepatitis A Pada Anak

TATALAKSANA HEPATITIS A PADA ANAK

Ninung RD Kusumawati, M Fathah, Afriliana Mulyani

PENDAHULUAN
Hepatitis A merupakan penyakit infeksi virus pada hati yang sangat
menular. Virus ini merupakan salah satu dari berbagai jenis virus hepatitis
yang menyebabkan inflamasi serta mempengaruhi fungsi hati. Tidak
seperti hepatitis B dan C, infeksi hepatitis A tidak menyebabkan penyakit
hati kronis, self – limitting, namun dapat menyebabkan komplikasi gagal
hati akut berat. Penyakit ini sangat dekat hubungannya dengan higiene
makanan, air dan sanitasi. Virus Hepatitis A menyebar secara fecal-oral.
Virus akan menyebar terutama ketika individu menelan makanan atau air
yang terkontaminasi feses penderita hepatitis A. Hal ini bisa terjadi dengan
berbagai cara. Misalnya saat orang yang telah terinfeksi menyiapkan/
memasak makanan untuk orang lain tanpa mencuci tangan terlebih
dahulu dengan baik. Virus Hepatitis A memiliki mekanisme pertahanan
untuk dapat hidup (doormant) dalam makanan walaupun telah melewati
berbagai proses pembuatan makanan.1-5
VIROLOGI
Virus Hepatitis A merupakan bagian dari ordo picornavirus, famili
picornaviridae, genus hepatovirus. Hepatitis A seperti picornavirus lainnya,
tidak berkapsul (noneveloped virus) berukuran 27 nm dan mengandung
RNA tunggal dalam cangkang protein. RNA dibungkus oleh 3 protein
yaitu VP1, VP2, dan VP3.6, 7 Bentuk lain dari Virus Hepatitis A adalah
Virus Hepatitis A berkapsul semu. Virus Hepatitis A terdiri dari satu
serotipe, tiga atau lebih genotipe, dan bereplikasi di sitoplasma hepatosit
yang terinfeksi.
PATOGENESIS
Terdapat dua bentuk virus yang infeksius. HAV tanpa kapsul yang
dikeluarkan bersama feses individu terinfeksi, berukuran lebih kecil,
memiliki protein capsid berbentuk icosahedral yang menyelubungi genom
RNA. Molekul antigenik dari capsid di kenal baik oleh sistem kekebalan.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 115


Ninung RD Kusumawati, M Fathah, Afriliana Mulyani

Bentuk lain adalah virus berkapsul semu yang disekresi dari sel terinfeksi
disebut eHAV. Bentuk ini memilki cangkang semu berupa membran vesikel
yang menyelubungi dan membuat molekul capsid tidak terpapar sistem
kekebalan sehingga tidak menginduksi proses imunologis. Kedua bentuk
ini dapat terdapat dalam tubuh manusia dan mempengaruhi perjalanan
penyakitnya. Pada saat melewati saluran bilier, oleh cairan bilier cangkang
semu tersebut akan lisis, sehingga yang disekresikan bersama dengan
cairan empedu ke saluran pencernaan adalah bentuk HAV. Kerusakan
hepar yang terjadi pada Hepatitis A disebabkan karena mekanisme imun
yang diperantai sel-T.1, 6 ,7, 8

Gambar 1. Garis besar masuk dan keluarnya virus hepatitis A pada


hepatosit8
TRANSMISI
Host infeksi HAV sangat terbatas, hanya manusia dan beberapa
primata yang dapat menjadi host alamiah. Karena tidak ada keadaan
karier, infeksi HAV terjadi melalui transmisi serial dari individu yang
terinfeksi ke individu lain yang rentan, melalui rute fekal-oral. Virus yang
tertelan bereplikasi di intestinum dan bermigrasi melalui vena porta ke
hepar dengan melekat pada reseptor viral yang ada di membran hepatosit.
HAV matur yang sudah bereplikasi kemudian diekskresikan bersama
empedu dan keluar bersama feses.9,10

116 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Tatalaksana Hepatitis A Pada Anak

MANIFESTASI KLINIS
Infeksi HAV akut menyebabkan nekroinflamasi hepar yang akan
membaik dengan sendirinya tanpa adanya sekuele kronis. Gejala hepatitis
dapat ringan hingga berat, berupa demam, lesu, kelelahan, hilang nafsu
makan, diare, mual, tidak nyaman di perut, anoreksia, myalgia, atralgia,
nyeri kepala, urin yang berwarna coklat hingga ikterus.10, 11,12
Pada bayi dan balita, gejala-gejala ini sangat ringan dan jarang dikenali,
jarang terjadi icterus (30%). Sebaliknya pada orang dewasa yang terinfeksi
HAV, hampir semuanya (70%) simtomatik dan dapat menjadi berat.
Dibedakan menjadi 4 stadium yaitu: 10
1. Masa inkubasi, berlangsung selama 18-50 hari (+ 28 hari)
2. Masa prodomal, terjadi selama 4 hari - 1 minggu atau lebih. Gejala:
fatigue, malaise, nafsu makan berkurang, mual, muntah, rasa tidak
nyaman di daerah kanan atas, demam (biasanya < 39°C). Merasa
dingin, sakit kepala, gejala seperti flu. Tanda yang ditemukan
biasanya hepatomegali ringan dengan nyeri tekan.
3. Fase ikterik, dimulai dengan urin yang berwarna kuning tua, seperti
teh, diikuti oleh feses yang berwarna seperti dempul, kemudian
warna sclera dan kulit perlahan-lahan menjadi kuning. Gejala
anoreksia, lesu, mual dan muntah bertambah berat.
4. Fase penyembuhan, ikterus menghilang dan warna feses kembali
normal dalam 4 minggu setelah onset.
Gejala klinis terjadi tidak lebih dari 1 bulan, sebagian besar penderita
sembuh total, tetapi relaps dapat terjadi dalam beberapa bulan.10
DIAGNOSIS
Diagnosis hepatitis A dapat dilihat dari pemeriksaan laboratorium dari
pemeriksaan serologi IgM anti-HAV, antibodi ini ditemukan 1-2 minggu
setelah terinfeksi dan bertahan dalam waktu 3-6 bulan. Sedangkan untuk
pemeriksaan IgG anti-HAV dapat dideteksi dalam waktu 5-6 minggu
setelah terinfeksi dan bertahan sampai beberapa dekade, bahkan memberi
proteksi terhadap HAV seumur hidup. RNA HAV dapat dideteksi dalam
cairan tubuh dan serum menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR)
tetapi biayanya mahal dan dilakukan hanya pada penelitian. Pemeriksaan
ALT dan AST tidak spesifik untuk hepatitis A. Kadar ALT dapat mencapai
5000 U/l, tetapi kenaikan ini tidak berhubungan dengan derajat penyakit.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 117


Ninung RD Kusumawati, M Fathah, Afriliana Mulyani

Pemanjangan waktu protrombin mencerminkan nekrosis sel yang luas


seperti pada bentuk fulminan.5,10,11,12
TATALAKSANA
Tidak ada terapi spesifik, pengobatan saat ini terbatas pada suportif.
Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan rawat inap. Penderita hepatitis
A akut dilakukan rawat inap, dengan indikasi muntah hebat, dehidrasi
dengan kesulitan masukan per-oral, kadar SGOT/SGPT >10 kali nilai
normal, koagulopati, dan ensefalopati. Ketika muntah mereda dan intake
oral pasien sudah kembali baik, pasien dapat dirawat jalan. Pengobatan
meliputi istirahat dan pencegahan terhadap bahan hepatotoksik, misalnya
asetaminofen. Pada penderita tipe kolestatik dapat diberikan kortikosteroid
dalam jangka pendek. Pada tipe fulminan perlu diperlukan rujukan ke
pusat layanan kesehatan tersier yang memiliki pelayanan subspesialis dan
perawatan di ruang perawatan intensif dengan evaluasi waktu protombin
secara periodik. 4,5,8,11,12
Parameter klinis untuk prognosis yang kurang baik adalah 10 :
1. Pemanjangan waktu protrombin lebih dari 30 detik
2. Umur penderita kurang dari 10 tahun atau lebih dari 40 tahun
3. Kadar bilirubin serum lebih dari 17mg/dl atau waktu sejak dari
ikterus menjadi ensefalopati lebih dari 7 hari.
Karena tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap hepatitis A maka
pencegahan lebih diutamakan, terutama terhadap anak di daerah dengan
endemisitas tinggi dan pada orang dewasa dengan risiko tinggi seperti
umur lebih dari 49 tahun yang menderita penyakit hati kronis. Pencegahan
umum meliputi nasihat kepada pasien yaitu : perbaikan hygiene makanan-
minuman, perbaikan sanitasi lingkungan dan pribadi dan isolasi pasien
(sampai dengan 2 minggu sesudah timbul gejala). Pencegahan khusus
dengan cara imunisasi. Terdapat 2 bentuk imunisasi yaitu imunisasi pasif
dengan immunoglobulin, dan imunisasi aktif dengan inactivated vaccines.10
Kebijakan imunisasi hepatitis A lebih bersifat lokal dan individual
dan diberikan pada anak berusia ≥2 tahun. Hal ini disebabkan Indonesia
negara yang endemis, antibotidi maternal juga tinggi, sehingga pemberian
yang terlalu dini kurang efektif dalam pembentukan antibodi. Individu
yang harus mendapatkan imunisasi diantaranya anak usia 12 – 35 bulan,
pasien dengan penyakit hati kronis, pasien pengguna obat suntik, dan

118 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Tatalaksana Hepatitis A Pada Anak

individu dengan pekerjaan yang berisiko terinfeksi atau menularkan HAV


(petugas tata boga, petugas laboratorium, petugas kebun binatang). 4, 5, 8 ,
11, 12

Profilaksis pre exposure dengan vaksin HAV direkomendasikan untuk


individu berusia > 1 tahun yang berpergian pada negara endemis HAV. Jika
perjalanan < 2 minggu, atau jika pasien berusia < 1 tahun, Imunoglobulin
harus diberikan. Dosis ulangan direkomendasikan jika bepergian lebih
dari 5 bulan. Selain berkaitan dengan kunjungan, individu yang perlu
profilaksis post exposure diantaranya adalah individu yang berkontak dengan
alat rumah tangga pasien, kontak seksual dengan pasien, atau kontak
dengan tempat pengasuhan anak selama terjadi kejadian luar biasa.4, 8 , 9, 12
Tabel 1. Dosis vaksinasi yang dianjurkan9, 12
Usia (tahun) Dosis (EL.U) Volume (ml) Jumlah Dosis Waktu (bulan)
2 - 18 720 0.5 2 6 – 12
>18 1440 1.0 2 6 – 12

Tabel 2. Profilaksis pre exposure terhadap pengunjung dari daerah non


endemis9,12
Umur Lama kunjungan Rekomendasi Keterangan
< 2 tahun < 3 bulan Ig 0.02 ml / kg 1 kali
3 – 5 bulan Ig 0.06 ml / kg 1 kali
Jangka panjang Ig 0.06 ml / kg Saat berangkat,
diulang / 5 bln
≥ 2 tahun < 3 bulan Vaksin atau ig 0.02 ml / kg
3 – 5 bulan Vaksin atau ig 0.06 ml / kg
Jangka panjang Vaksin
Ig: immunoglobulin
Profilaksis post exposure terdiri dari pemberian vaksin HAV (diutamakan
pasien berusia > 1 tahun dan <40 tahun) atau pemberian immunoglobulin
pada pasien yang kontak sedini mungkin, kurang dari 2 minggu setelah
paparan. Imunoglobulin diberikan dengan injeksi intramuskuler 0.02 ml
/ kg. Imunoglobulin efektif 80 – 90% mencegah infeksi HAV.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 119


Ninung RD Kusumawati, M Fathah, Afriliana Mulyani

Tabel 3. Rekomendasi profilaksis post – exposure untuk HAV 9,12


Saat paparan Usia Rekomendasi
≤2 minggu < 2 tahun Imunoglobulin
≥ 2 tahun Imunoglobulin dan vaksin
> 2 minggu < 2 tahun Imunoglobulin
≥ 2 tahun Vaksin
KESIMPULAN
Hepatitis virus merupakan masalah kesehatan utama di negara sedang
berkembang dan negara maju. Hepatitis A merupakan penyakit self
limiting dan memberikan kekebalan seumur hidup. Penyebaran terutama
dengan rute fekal-oral. Mekanisme kerusakan sel hati oleh HAV belum
sepenuhnya dapat dijelaskan, namun bukti secara langsung maupun tidak
langsung menyimpulkan adanya suatu mekanisme imunopatogenetik.
Dasar patologis infeksi hepatitis A adalah atas dasar respon imunitas
tubuh. meskipun demikian patologi yang terjadi adalah multi modalitas
dan melibatkan interaksi yang kompleks. Saat ini telah diketahui adanya
virus hepatitis berselubung (HAV) dan berselubung semu (eHAV). Hal
tersebut menjelaskan perjalanan konversi serologi infeksi HAV. Namun
mekanisme infektif terhadap hepatosit masih belum jelas.
Infektivitas, gejala serta prognosis Hepatitis Virus A dipengaruhi oleh
banyak hal. Namun higiene berperan penting dan tampaknya berbanding
terbalik terhadap derajat keparahan infeksi hepatitis A. Higiene yang
meningkat akan mencegah penyebaran hepatitis A.
Infeksi virus hepatitis A sangat menular namun gejalanya bervariasi
dengan sebagian besar memiliki derajat yang ringan dan tidak spesifik.
Infeksi hepatitis A juga dapat sembuh sendiri dan tidak memiliki sekuele
kronis. Gejala klinisnya bedakan menjadi 4 stadium yaitu: Masa inkubasi,
masa prodomal, fase ikterik, fase penyembuhan. Pada pemeriksaan fisik,
didapatkan ikterik pada kulit dan membrana mukosa serta hepatomegali
dan nyeri pada palpasi. Komplikasi yang diakibatkan oleh hepatitis A
diantaranya hepatitis fulminan, dan hepatitis kolestatik.
Hepatitis A merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Imunisasi universal pada anak-anak merupakan cara yang paling efektif
untuk mengendalikan infeksi di keseluruhan populasi.

120 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Tatalaksana Hepatitis A Pada Anak

DAFTAR PUSTAKA
WHO. Hepatitis A. World Health Organization. 2018. Web. 24 April
2019. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/hepatitis-a
CDC. Hepatitis A. Centers for Disease Control and Prevention, 2019.
Web. 24 April 2019. https://www.cdc.gov/hepatitis/hav/afaq.htm
Kojaoglanian, Tsoline. Hepatitis A. Pediatrics in Review 2010, 31 (8) :348
Bennet, NJ. Pediatric hepatitis A. Medscape. 2016. Web. 23 April
2019. https://emedicine.medscape.com/article/964575-
overview#showall
Departemen Kesehatan RI. Situasi dan analisis hepatitis. Jakarta: Pusat
Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI; 2014. H. 2-7.
Stuart DI, Ren J, Wang X, Rao Z, Fry EE. Hepatitis A virus capsid structure.
Cold Spring Harp Perspect Med doi: 10.1101/cshperspect.a031807
Cuthbert J. Hepatitis a: old and new. Clinical Microbiology Reviews, Jan
2001, Vol 14: 38 – 58
Lemon SM, Ott JJ, Damme PV, Shouval D. Type A viral hepatitis: A
summary and update on the molecular virology, epidemiology,
pathogenesis and prevention. Journal of Hepatology 2018. Vol 68
(1) :167 – 184
Arief S. Hepatitis virus dalam Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi
IDAI. Jilid 1. Jakarta: IDAI; 2012. H.285-328.
Herdiana M, Arief S, Setyobudi B. Mengenal hepatitis a pada anak. 2015.
Diunduh dari: http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-
anak /mengenal-hepatitis-a-padaanak
Gillory RK. Hepatitis A. Mescape. 2017. Web. 24 April 2019. https://
emedicine.medscape.com/article/177484-overview
Ranuh G, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita C, Ismoedijanto,
Soedjatmiko. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke 5. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2014. h.247-53,335-40.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 121


122
Mengenal Hepatitis Pada Neonatus

MENGENAL HEPATITIS PADA NEONATUS

Setia Budi Salekede

PENDAHULUAN
Hepatitis Neonatal (HN) atau disebut juga kolestasis intrahepatik,
adalah sindrom klinik yang timbul akibat hambatan sekresi dan/atau aliran
empedu yang terjadi di dalam hati oleh berbagai macam penyebab. Pada
bayi biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan.1 Akibatnya akan
terjadi akumulasi, retensi, serta regurgitasi bahan-bahan yang merupakan
komponen empedu seperti bilirubin, asam empedu serta kolesterol ke
dalam plasma dan pada pemeriksaan histopatologis akan ditemukan
penumpukan empedu di dalam sel hati dan sistem biliaris di dalam hati.
Penumpukan bahan tersebut akan merusak sel hati dengan berbagai
tingkat gejala klinik tergantung lamanya kolestasis berlangsung serta
penyakit primer yang menjadi penyebab kolestasis tersebut. Dikatakan
kolestasis bila bayi berumur 2 minggu terlihat ikterik, urin berwarna lebih
gelap, tinja berwarna lebih pucat sampai dempul2 dan kadar bilirubin
direk ≥ 1 mg/dl.3
Oleh karena itu HN adalah keadaan patologik yang berhubungan
dengan kelainan sistem hepatobilier. Maka perlu di evaluasi dengan
cermat agar dapat mengidentifikasi penyebabnya sehingga terapi yang
sesuai dapat diberikan secara dini agar kerusakan hati lebih lanjut dapat
dicegah dan tumbuh kembang anak dapat optimal.4
Penyebab HN pada bayi lebih beragam dibandingkan anak yang lebih
besar karena hati bayi yang masih imatur. Penyebab tersebut antara lain
infeksi, kelainan genetik, endokrin, metabolik, atau tumor.4,5
Angka kejadian kolestasis pada bayi dapat mencapai 1 dari 2500
kelahiran hidup. Penyebab terbanyak adalah kolestasis intrahepatik (HN)
sebesar 62-73,5%.5
Selanjutnya akan dibahas penyebab hepatitis neonatal pada bayi dan
anak secara umum.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 123


Setia Budi Salekede

FAKTOR TERJADINYA KOLESTASIS PADA NEONATUS


Kolestasis terjadi akibat gangguan sintesis dan atau sekresi asam
empedu akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatik serta
mekanisme transportasinya di dalam hati. Berbagai keadaan / penyakit
yang mengakibatkan gangguan tersebut akan menimbulkan kolestasis.
Pada bayi ukuran pool asam empedu masih kecil dan tranportasi asam
empedu belum efisien sehingga bayi lebih rentan untuk menderita
kolestasis.2,4
Faktor predisposisi neonatus untuk menderita kolestasis.2,4
• Ambilan asam empedu oleh hepatosit serta transportasinya belum
efisien.
• Konjugasi, sulfatisasi, serta glukuronidasi asam empedu masih
sedikit.
• Ukuran bile acid pool kecil.
• Sekresi asam empedu kurang.
• Konsentrasi asam empedu di lumen usus masih rendah.
• Reabsorpsi asam empedu di ileum masih sedikit.
ETIOLOGI
HN dapat disebabkan oleh infeksi, kelainan genetik, metabolik,
endokrin atau imunologi. Biasanya dalam klinik, sukar membedakan
bermacam-macam etiologi HN, sehingga akhirnya lebih dari setengahnya
akan dilabel sebagai “idiopatik”. Penderita kolestasis yang diklasifikasikan
sebagai idiopatik ini makin berkurang dengan kemajuan teknik pencitraan,
bidang virologi serta pemeriksaan biokimia yang canggih.2
DIAGNOSIS DIFERENSIAL HN PADA BAYI DAN UPAYA
DIAGNOSTIKNYA6
Penyakit Upaya Diagnostik
1. Infeksi
-- Toksoplasma IgM-anti toksoplasma
-- Rubella IgM-anti rubella
-- Cytomegalovirus IgM-anti CMV
-- Herpes simpleks Mikroskop elektron, kultur virus

124 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Mengenal Hepatitis Pada Neonatus

Penyakit Upaya Diagnostik


-- Sifilis VDRL, STS
-- Human herpesvirus-6, herpes zoster Serologi
-- Hepatits B HbsAg, IgM-antiHBc, HBV-DNA
-- Hepatitis C HCV-RNA
-- Human immunodeficiency virus CD4, Anti-HIV
-- Tuberkulosis Mantoux, Rö Thorax
-- Sepsis Kultur darah
-- Sepsis virus enterik (echoviruses, Serologik, kultur virus
Coxsackie A dan B, adenovirus)
2. Kelainan genetik
-- Trisomi 18 (21), cat eye syndrome Kariotip
-- Penyakit Byler Tes genetic
3. Kelainan endokrin
-- Hipopituitarism Kortisol ↓, TSH ↓, T4 ↓
-- Hipotiroidism TSH ↑, T4 ↓, T3 ↓
4. Paucity duktus biliaris
-- Sindrom Alagille EKG, embriotokson posterior,
Butterfly vertebrae
-- Paucity duktus non sindromik Paucity pada biopsi
5. Kelainan struktur
-- Carolli disease USG, kolangiografi
6. Kelainan metabolik
-- Def. alfa 1 antitripsin Kadar alfa 1-antitripsin serum
-- Fibrosis kistik Sweat chlorida, immunoreative trypsin
-- Galaktosemia Galaktose 1-6 phospate uridyl
tranferase
-- Tirosinemia Tirosine serum, methionin, AFP
-- Fruktosemia herediter Biopsi hati: aktivitas ensim
-- Glycogen storage disease tipe IV Biopsi hati
-- Niemann-Pick Tipe A Aspirasi sumsum tulang
spingomielinase
-- Niemann-Pick tipe C Storage cells pada aspirasi sumsum
tulang, hati
-- Penyakit Wolman Radiologi kel. adrenal

Improving Healthy Gut For Healthy Child 125


Setia Budi Salekede

Penyakit Upaya Diagnostik


-- Kel.sintesis as.empedu primer Asam empedu urin
-- Sindrom Zellweger Gambaran VLCFA
7. Imunologik
-- L.E. neonatal Antibodi
-- Hepatitis neonatal dengan AHA Coombs’ test, Giant Cell Hepatitis
8. Toksik
-- TPN Riwayat TPN
-- Obat

DIAGNOSIS DIFERENSIAL HN PADA ANAK YANG LEBIH BESAR


• Infeksi virus akut
• Kelainan yang diturunkan
• Keganasan: Leukemia, tumor hati
• Bahan toksik: Obat
• Infeksi parasit: leptospirosis
• Idiopatik /Lesi sekunder: kolitis ulserativa.
Mengingat banyaknya penyebab HN pada bayi, perlu dilakukan
anamnesis yang cermat dan dipilih pendekatan diagnosis dengan biaya
yang seefektif mungkin.
TAHAPAN EVALUASI NH7
1. Bedakan ikterus dari ikterus fisiologis
2. Evaluasi klinik (ananmnesis, pemeriksaan fisis dan warna BAB).
3. Pemeriksaan Bilirubin indirek dan direk.
4. Uji kelainan hepatoseluler dan bilier (ALT, AST, Alakali fosfatase,
GGT)
5. Uji fungsi hati ( albumin serum, PT, glukosa darah)
6. Kultur bakteri, serologi virus
7. FT4 dan TSH
8. USG, Biopsi hati

126 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Mengenal Hepatitis Pada Neonatus

DIAGNOSIS HN DIBUAT BERDASARKAN6:


1. Gejala klinik
Riwayat kolestasis pada saudara kandung, morbiditas selama
kehamilan, riwayat kelahiran, morbiditas perinatal, riwayat pemberian
nutrisi parenteral, tranfusi serta penggunaan obat hepatotoksik dapat
merupakan penyebab kolestasis pada bayi tersebut. Gejala muntah dan
riwayat hipoglikemia, bila penyebabnya sepsis, galaktosemia, intoleransi
fruktosa atau tirosinemia. Keadaan umum penderita HN pada bayi
biasanya tampak sakit berat terutama akibat infeksi kongenital dan
mungkin disertai dengan kelainan non hepatik lain seperti katarak,
kalsifikasi intrakranial, wajah dismorfik, hipotoni atau gejala perinatal
lainnya.
2. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus
-- Kadar bilirubin direk darah meningkat >1,0 mg/dl.
-- Aminotransferase serum seringkali meningkat. ALT dan AST
merupakan tes yang sering dilakukan untuk mengetahui adanya
kerusakan hepatoseluler karena tes ini spesifik untuk mendeteksi
adanya nekrosis hepatosit, akan tetapi tidak spesifik. Dibandingkan
dengan ALT, maka AST lebih spesifik mendeteksi adanya penyakit
hati karena kadar di jaringan lain relatif lebih rendah dibandingkan
kadar di hati.
-- Alkali fosfatase mungkin normal atau agak meningkat. Peningkatan
abnormal enzim ini tidak dapat membedakan kolestasis ekstrahepatik
dengan intrahepatik.
-- Gamma-glutamyl transpeptidase (GGT) mungkin meningkat. GGT
merupaka enzim yang dapat ditemukan pada epitel duktuli biliaris
dan hepatosit hati. Karena enzim ini dapat ditemukan pada banyak
jaringan, peningkatannya tidak pesifik mengindikasikan adanya
penyakit hati.
-- Albumin merupakan protein utama serum yang hanya disintesis di
reticulum endoplasma hepatosit. Penurunan kadar albumin serum
dapat disebabkan karena penurunan produksi akibat penyakit
parenkim hati. Kadar albumin serum yang rendah sering digunakan
sebagai indikator adanya penyakit hati kronis.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 127


Setia Budi Salekede

-- Masa protrombin biasanya normal tetapi mungkin memanjang yang


dapat dikoreksi dengan vitamin K parenteral.
-- Bila ditemukan hipoglikemia harus dicurigai adanya kelainan
metabolik, endokrin atau kelainan hati lanjut.
-- Pemeriksaan serologis untuk mendeteksi infeksi toksoplasma, rubella,
cytomegalovirus dan herpes (TORCH), hepatitis B (pemeriksaan pada
bayi dan ibu), kultur darah dan urin, serta kadar α1-antitripsin dan
fenotipenya sebaiknya dikerjakan.
-- Kelainan oftalmologis yang berupa korioretinitis mungkin ditemukan
pada infeksi cytomegalovirus, toksoplasmosis dan rubella, embriotokson
posterior pada sindrom Alagille, dan katarak pada galaktosemia.
BEBERAPA ETIOLOGI KOLESTASIS INTRAHEPATIK PADA
BAYI4
1. Infeksi
Toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes simpleks (TORCH)
Infeksi kongenital ini memberikan beberapa gambaran klinik
yang serupa, yaitu kuning, hepatosplenomegali, pneumonitis, petekie
atau purpura dan kecenderungan untuk prematur atau pertumbuhan
intrauterin yang terhambat.
Toksoplasmosis
Toksoplasmosis kongenital jarang terjadi. Gambaran klinik
lainnya adalah kelainan yang nyata dari sistem saraf pusat berupa
hidrosefalus, mikrosefalus, kalsifikasi intrakranial, kejang, nistagmus
dan tanda tekanan intrakranial yang meningkat serta kelainan mata
berupa korioretinitis. Gambaran biopsi hati menunjukkan hepatitis
nonspesifik atau fibrosis portal dengan proliferasi duktulus biliaris.
Terapi spiramisin dapat mencegah progresivitas kelainan hati dan
susunan saraf pusat. Prognosis tergantung dari luasnya kelainan mata
dan neurologis yang terjadi.
Rubella
Infeksi kongenital rubella saat ini jarang terjadi karena ada
imunisasi untuk penyakit ini. Gejala klinik lainnya adalah anemia,
trombositopenia, kelainan jantung kongenital (PDA atau stenosis
arteri pulmonal), katarak, korioretinitis, retardasi mental dan tuli

128 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Mengenal Hepatitis Pada Neonatus

neurosensorik. Gambaran histologis hati menunjukkan hepatitis giant


cells yang tipikal.
Sitomegalovirus
Sitomegalovirus adalah penyebab infeksi kongenital yang paling
banyak, dan terjadi pada 1%-2% neonatus, tetapi sebagian besar
asimtomatik. Yang bergejala, selain gejala yang dicantumkan di atas
mungkin pula ada asites; tetapi jarang menimbulkan gagal hati akut.
Gejala lainnya adalah gejala susunan saraf sentral berupa mikrosefali,
kalsifikasi intrakranial dan korioretinitis. Tuli neurosensorik yang
progresif serta cerebral palsy mungkin baru terlihat kemudian. Diagnosis
pasti memerlukan pemeriksaan kultur virus dalam 4 minggu pertama.
Pemeriksaan serologis dan klinis dapat menunjang adanya infeksi
sitomegalovirus, tetapi tidak dapat membedakan antara infeksi
kongenital dan infeksi postnatal dini. Pada sebagian besar anak yang
terinfeksi sitomegalovirus, gejalanya ringan dan sembuh sempurna. Yang
menjadi problem menetap biasanya adalah kelainan perkembangan
neurologis yang mungkin atau sudah terjadi.
Herpes simpleks
Pada neonatus, infeksi virus ini dapat menimbulkan kelainan
multisistem yang sangat berat termasuk gejala ensefalitis, hepatitis berat
atau gagal hati fulminan. Pada biopsi hati dapat dilihat area nekrosis
dengan inklusi virus dalam sel hepatosit yang masih utuh.
Sifilis
Sifilis kongenital saat ini jarang terjadi di negara maju. Gejala yang
timbul juga mengenai multisistem termasuk retardasi perkembangan
intrauterin dan selanjutnya gagal tumbuh, anemia berat dan
trombositopenia, sindrom nefrotik, periostitis, nasal discharge, rash pada
kulit, limfadenopati difus dan hepatomegali. Selain kuning terdapat
rash yang khas pada telapak tangan dan kaki atau hanya ada demam
dengan hepatomegali yang menyolok. Diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan serologis termasuk tes VDRL dan antibodi antitreponema.
Varisela
Varisela mungkin terjadi pada neonatus bila ibu terinfeksi dalam
2 minggu sebelum melahirkan. Manifestasi yang timbul dini serta

Improving Healthy Gut For Healthy Child 129


Setia Budi Salekede

infeksi yang terjadi selama masa kehamilan dapat berakibat fatal. Gejala
klinisnya berupa kuning, kelainan kulit yang luas dan keterlibatan
multisistem terutama pneumonia dan kelainan parenkim hati pada
kasus yang fatal.
Sepsis virus enterik (Echovirus, Coxsackie virus, Adenovirus)
Virus enterik mengakibatkan infeksi virus sistemik pada neonatus
dengan gambaran klinis berupa hepatitis berat dengan gagal hati akut.
Transmisi vertikal yang terjadi sesaat sebelum lahir, mengakibatkan
gejala yang lebih berat pada bayi. Sebagian besar sepsis virus enterik
terjadi pada umur 1-5 minggu. Bayi menjadi letargi dan kuning disertai
kadar aminotransferase yang sangat tinggi, koagulopati hebat dan
biasanya juga disertai meningitis. Selain Echovirus dan virus Coxsackie A
atau B, Adenoviruse juga dapat menimbulkan gejala klinik yang serupa,
hanya miokarditis dan gagal jantung lebih condong akibat infeksi virus
Coxsackie
Infeksi bakteri di luar hati
Gejala kuning dan meningkatnya kadar bilirubin direk darah
mungkin terjadi pula pada infeksi lokal di luar hepar misalnya infeksi
traktus urinarius atau sepsis (streptokokus, stafilokokus atau kuman
Gram negatif).
Tuberkulosis
Tuberkulosis kongenital jarang terjadi. Neonatus mungkin terinfeksi
melalui cairan amnion atau sekret serviks yang terinfeksi pada saat lahir.
Diagnosis tuberkulosis pada neonatus dibuat, bila ada salah satu gejala
berikut: lesi pada minggu pertama kehidupan, kompleks hepatik primer
atau granuloma kaseosa di hati, infeksi tuberkulosis pada plasenta atau
genitalia ibu, dan tidak ada infeksi postnatal. Hepatomegali sering
ditemukan. Gejala lainnya yang sering adalah distres pernafasan,
kesukaran minum, dan demam. Mortalitas mencapai 30%.
2. Hepatitis Neonatal Idiopatik
Etiologi kolestasis pada bayi yang terjadi dalam 3 bulan pertama
tidak dapat ditemukan pada 25% kasus dan kelompok bayi ini disebut
hepatitis neonatal idiopatik yang cenderung merupakan bayi prematur
atau kecil untuk masa kehamilan yang mungkin merefleksikan kelainan

130 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Mengenal Hepatitis Pada Neonatus

genetik atau infeksi intrauterin. Pada 5%-15% kasus, lebih dari 1 anak
dalam keluarga menderita penyakit yang sama. Pada biopsi hati dapat
ditemukan giant cell transformation luas dengan inflamasi, tetapi duktus
bilier biasanya normal.
3. Sindrom Alagille (bile duct paucity syndrome)
Sindrom Alagille (syndromic duct paucity, sindrom Watson-Miller,
displasia arteriohepatik) adalah suatu kelainan genetik dengan transmisi
dominan autosom, tetapi dengan manifestasi klinis yang sangat
bervariasi. Sindrom ini dihubungkan dengan mutasi yang terjadi pada
gen Jagged-1 (JAG 1) pada kromosom 20p. Mutasi ditemukan pada
70% kasus dan diturunkan pada 30%-50% kasus.
a. Gambaran klinis utamanya adalah:
• Kolestasis yang sangat hebat hingga mengakibatkan tinja berwarna
dempul dan disertai pruritus.
• Raut muka khas berupa kening yang lebar, mata dalam,
hipertelorism ringan, dan dagu yang lancip. Raut muka ini
mungkin belum terlihat pada bulan pertama.
• Kelainan tulang berupa bentuk tulang belakang yang seperti
butterfly akibat kegagalan fusi bagian anterior vertebra. Mungkin
pula terlihat jarak interpedikular pada daerah lumbal yang
berkurang, ada spina bifida okulta, falangs distal melengkung dan
ulna yang pendek.
• Kelainan mata yang terjadi dapat sangat beragam. Yang paling
sering dan memerlukan pemeriksaan dengan slit-light adalah
embriotokson posterior dan Schwalbe’s line yang abnormal.
• Kelainan jantung dapat berupa stenosis arteri pulmonal, tetralogi
Fallot, stenosis katup pulmonal, stenosis aorta, dan ASD. Beratnya
kelainan jantung bervariasi.
• Gagal tumbuh yang dihubungkan dengan retardasi intrauterin.
Malnutrisi berat ditemukan pada ± 50% penderita yang mungkin
merupakan bagian dari sindrom Alagille atau sekunder terjadi
akibat malabsorpsi atau refluks gastroesofageal.
b. Gejala minor lain yang mungkin ada adalah:
• Kelainan ginjal, misalnya kelainan struktur dan defek fungsi
pemekatan urin

Improving Healthy Gut For Healthy Child 131


Setia Budi Salekede

• Pubertas yang terlambat atau hipogonadism


• Suara atau tangis abnormal
• Retardasi mental, kesulitan belajar, dan kelakuan antisosial
• Kelainan vaskular termasuk moya-moya disease
• Kelainan neurologis misalnya neuropati perifer akibat defisiensi
vitamin e
• Karena kolestasis kronis hebat
• Hipotiroidisme dan insufisiensi pankreas
• Infeksi paru rekuren akibat refluks gastroesofageal sekunder atau
• Pneumonia aspirasi
• Xanthomata akibat hiperkolesterolemia.
Diagnosis dibuat berdasarkan hasil biopsi hati yang memperlihatkan
paucity duktus biliaris dengan paling sedikit: 3 dari kelainan utama
(kelainan raut muka, mata, vertebra, ginjal dan jantung). Sindrom
ini dapat berkembang menjadi sirosis biliaris pada 15% – 20% kasus.
Prognosis tergantung dari organ yang terlibat. Estimasi mortalitas secara
umum adalah 20% - 25% akibat kelainan jantung, infeksi berulang atau
kelainan hati tahap lanjut.
4. Progressive familial intrahepatic cholestasis
a.
Penyakit Byler (PFIC-1: progressive familial intrahepatic
cholestasis type 1)
Pada penyakit Byler, peningkatan kadar bilirubin direk yang
beragam terjadi pada 3-6 bulan pertama disertai hepatomegali,
retardasi pertumbuhan, diare persisten, pankreatitis dan tanda
defisiensi berat vitamin yang larut dalam lemak termasuk ricketsia.
Pruritus merupakan salah satu problem yang mencolok dan refrakter
terhadap sebagian besar pengobatan. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan nilai GGT dan kolesterol normal tetapi konsentrasi
total asam empedu serum meningkat. Biopsi hati memperlihatkan
inflamasi ringan dengan bile plug di kanalikulus biliaris dengan
pemeriksaan rutin serta gambaran granular yang khas dengan
mikroskop elektron. Mungkin pula ditemukan small duct paucity.
Pada penyakit Byler ini terdapat mutasi di kromosom 18q.

132 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Mengenal Hepatitis Pada Neonatus

b. PFIC- 2
Pada PFIC-2 ini, mutasi terjadi pada kromosom 2q. Gejalanya
sama dengan PFIC-1, hanya tidak ada diare serta pankreatitis.
c. PFIC-3
PFIC-3 adalah jenis lain dari PFIC yang mempunyai kadar GGT
yang meningkat. Kuning kurang mencolok dibandingkan pruritus
dan sistem biliaris dalam batas normal pada pemeriksaan pencitraan.
Pada semua tipe PFIC, diversi biliaris dapat menghilangkan pruritus
bila dikerjakan sebelum terjadi fibrosis hati yang bermakna.
5. Injuri (jejas) toksik
Penyebab injuri toksik yang paling sering menimbulkan kolestasis
pada bayi adalah nutrisi parenteral total. Kolestasis progresif yang terjadi
pada bayi yang mendapat nutrisi parenteral total timbul terutama pada
bayi dalam keadaan kritis dan lebih sering pada bayi prematur karena
mekanisme pembentukan empedunya masih belum berkembang.
Keadaan puasa akan mengganggu sirkulasi enterohepatik, mengurangi
sekresi hormon-hormon intestinal yang diperlukan untuk fungsi normal
hepatobiliaris, dan mempermudah berkembangnya bakteri tumbuh
lampau di usus halus yang berpotensi membentuk endotoksin atau
mengubah asam empedu menjadi lebih toksik. Mungkin pula terjadi
translokasi bakteri. Semua mekanisme ini dipersulit lagi oleh faktor
sistemik seperti hipoksia atau hipoperfusi, infeksi lokal atau sistemik
dan obat-obat yang digunakan. Kolestasis yang terjadi mungkin sangat
hebat sehingga menyerupai obstruksi traktus biliaris ekstrahepatik
dengan tinja berwarna dempul dan GGT serta aminotransferase yang
meningkat. Pada biopsi hati didapatkan kolestasis dengan nekrosis
hepatoselular, lipofusin yang berlebihan, infiltrasi lemak, transformasi
giant cells ringan, infiltrasi inflamasi daerah portal, beberapa proliferasi
duktulus biliaris dengan atau tanpa fibrosis porta.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 133


Setia Budi Salekede

GEJALA KLINIK PADA PENYEBAB HN PADA BAYI:


Penyebab Gejala klinik
1. Infeksi CMV Mikrosefali, kalsifikasi ventrikuler, tuli saraf,
korioretinitis, ventrikulomegali
2. Infeksi Toksoplasma Hidrosefalus, mikrosefali, kalsifikasi intrakrani-
al, korioretinitis, retardasi psikomotor, katarak,
peteki, tuli saraf, kel. Jantung.
3. Infeksi rubella Rash, keratokonjungtivitis, ensefalitis
4. Infeksi Herpes Rash, Rinitis, kelainan tulang
5. Infeksi sifilis Muntah, FTT, perdarahan kulit, sepsis, katarak
6. Galaktosemia Anomali kongenital multipel
7. Trisomi21,18,13 Dismorfik, embriotokson, kel. Jantung, verte-
bra
TATALAKSANA4
Tujuan tatalaksana kolestasis intrahepatik adalah:
1. Memperbaiki aliran empedu dengan cara:
a. Mengobati etiologi HN dengan medikamentosa
b. Menstimulasi aliran empedu dengan:
• Fenobarbital: bermanfaat sebagai antipruritus dan dapat
mengurangi kuning. Mekanisme kerjanya yaitu meningkatkan
aliran empedu dengan cara menginduksi enzim UDP-glukuronil
transferase, sitokrom P-450 dan Na+K+ATP-ase. Tetapi pada
bayi jarang dipakai karena efek sedasinya dan mengganggu
metabolisme beberapa obat diantaranya vitamin D, sehingga
dapat mengeksaserbasi ricketsia. Dosis: 3-10 mg/kgBB/hari dibagi
dalam dua dosis.
• Asam ursodeoksikolat: asam empedu tersier yang mempunyai
sifat lebih hidrofilik serta tidak hepatotoksik bila dibandingkan
dengan asam empedu primer serta sekunder sehingga merupakan
competitive binding terhadap asam empedu toksik. Selain itu asam
ursodeoksikolat ini merupakan suplemen empedu untuk absorpsi
lemak. Khasiat lainnya adalah sebagai hepatoprotektor karena

134 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Mengenal Hepatitis Pada Neonatus

antara lain dapat menstabilkan dan melindungi membran sel hati


serta sebagai bile flow inducer karena meningkatkan regulasi sintesis
dan aktivitas transporter pada membran sel hati. Dosis: 10-20 mg/
kgBB/hari. Efek samping : diare, hepatotoksik.
• Kolestiramin dapat menyerap asam empedu yang toksik sehingga
juga akan menghilangkan gatal. Kolestiramin dapat mengikat
asam empedu di lumen usus sehingga dapat menghalangi sirkulasi
enterohepatik asam empedu serta meningkatkan ekskresinya.
Selain itu, kolestiramin dapat menurunkan umpan balik negative
ke hati, memacu konversi kolesterol menjadi bile acids like cholic acid
yang berperan sebagai koleretik. Kolestiramin biasanya digunakan
pada manajemen jangka panjang kolestasis intrahepatal dan
hiperkolesterolemia. Dosis: 0,25-0,5 g/kgBB/hari. Efek samping:
konstipasi, steatorrhea, asidosis metabolik hiperkloremik.
TATALAKSANA SPESIFIK PADA BEBERAPA PENYEBAB HN
Penyebab Tatalaksana spesifik
Infeksi
- Toksoplasma Spiramisin
- Sitomegalovirus Gansyclovir
- Herpes simpleks Acyclovir
- Sifilis Penicillin
- Sepsis/infeksi bakteri lain Antibiotik sesuai
- Tuberkulosis OAT
Toksik
- Nutrisi parenteral total Asupan oral, Metronidazole, ursodeoksikolat

2. Nutrisi
Kekurangan Energi Protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari
kolestasis (terjadi pada lebih dari 60% pasien). Maka pada bayi dengan
kolestasis diperlukan kalori yang lebih tinggi dibanding bayi normal
untuk mengejar pertumbuhan. Karena itu untuk menjaga tumbuh
kembang bayi, seoptimal mungkin dilakukan terapi nutrisi formula
spesial dengan jumlah kalori 120%-150% dari kebutuhan normal serta
vitamin, mineral dan trace element:

Improving Healthy Gut For Healthy Child 135


Setia Budi Salekede

a. Formula MCT (medium chain triglyceride) karena relatif lebih larut


dalam air sehingga tidak memerlukan garam empedu untuk absorpsi
dan menghindarkan makanan yang banyak mengandung kuprum
(tembaga).
b. Kebutuhan kalori umumnya dapat mencapai 125% kebutuhan bayi
normal sesuai dengan berat badan ideal. Kebutuhan protein : 2-3 gr/
kgBB/ hari.
c. Vitamin yang larut dalam lemak:
- A : 5000-25000 U/hari
- D3 : Calcitriol: 0,05 –0,2 ug/kgBB/hari
- E : 25-50 IU/kgBB/hari
- K : Kl 2,5-5 mg/2-7x/minggu
d. Mineral dan trace element: Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe.
3. Terapi komplikasi yang sudah terjadi misalnya hiperlipidema/
xantelasma dengan kolestipol dan pada gagal hati serta pruritus yang
tidak teratasi adalah transplantasi hati.
4. Dukungan psikologis dan edukasi keluarga terutama untuk penderita
dengan kelainan hati yang progresif yang memerlukan transplantasi
hati.
PROGNOSIS
Prognosis NH 60% baik, kecuali pada kasus familial prognosisnya
kurang baik.
KESIMPULAN
Kolestasis pada bayi adalah suatu kelainan hepatobilier yang harus
diketahui secara dini dengan sindrom klinik berupa ikterus, urin berwarna
lebih gelap dan tinja yang pucat sampai dempul. Mencari penyebab
dan evaluasi dignostik kolestatik intrahepatik (NH) harus cermat, agar
penanganan yang tepat dapat dilakukan sehingga kerusakan hati dapat
dicegah dan tumbuh kembang dipertahankan optimal.

136 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Mengenal Hepatitis Pada Neonatus

Gambar. Algoritma evaluasi kolestasis5

DAFTAR PUSTAKA
Lee Ng V. Neonatal Hepatitis. In: Wyllie R, Hyams JS, Editors. Pediatric
Gastrointestinal and Liver Disease; Third Ed. Philadelphia:
Saunders. 2006: 851-865.
Bisanto, J. Kolestasis pada bayi. Dalam: Hot Tropics in Pediatrics II; PKB
IKA XLV FKUI-RSCM. Cetakan ke 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2002: 84-97.
Fawaz R, Baumann U, Ekong U, et al. Guideline for The Evaluation
of Cholestatic Jaundice in Infants: Joint Recommendation of
ESPGHAN and NASPGHAN. JPGN. Vol 64, No.1, Januari 2017:
154-168.
Robert EA. Neonatal Hepatitis Syndrome. In: Kelly, Editoers. Diseases
of the liver and biliary system in children; Third Ed. Birmingham:
Blackwell. 2008: 60-68.
Bisanto J. Evaluasi diagnosis dan tatalaksana kolestasis pada bayi. Dalam:
Penanganan Optimal Masalah Saluran Cerna dan Hati Pada Anak
Kongres Nasional III BKGAI. Surabaya, 2007: 75-87.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 137


Setia Budi Salekede

Bisanto J. Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak. Buku Ajar


Gastroenterologi-Hepatologi, Jilid 1. UKK Gastroenterologi-
Hepatologi IDAI. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2010: 365-381.
Oswari H. Kolestasis: Atresia bilier dan sindrom hepatitis neonatal.Dalam:
Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengn Gejala Kuning.
PKB IKA LIII FKUI-RSCM. Cetakan I. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 2007: 42-53.

138 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Interpertasi Pemeriksaan Serologi Hepatitis Pada Anak

INTERPERTASI PEMERIKSAAN SEROLOGI HEPATITIS PADA


ANAK

Anik Widijanti

PENDAHULUAN
Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di
dunia termasuk Indonesia. Hepatitis meliputi hepatitis A, B, C, D dan
E, juga dapat disebabkan bakteri, parasit, otoimun dan virus lain, di
mana hepatitis A dan E sering muncul sebagai kejadian luar biasa yang
ditularkan secara fecal oral. Sedangkan hepatitis B, C dan jarang D yang
ditularkan secara parenteral dan sering menjadi kronik, dapat menjadi
sirosis dan kanker hati. Data Dep Kes RI 2014 menunjukkan bahwa Virus
hepatitis B menginfeksi sekitar 2 miliar orang didunia, di mana sekitar
240 juta menjadi kronik, sedangkan hepatitis C sekitar 170 juta orang.
Sekitar 1,5 juta penduduk dunia meninggal karena hepatitis dalam setiap
tahunnya. Indonesia merupakan negara dengan endemisitas tertinggi di
Asia Tenggara, sesudah Myanmar. Dari data riset kesehatan dasar, studi
dan uji saring darah donor didapatkan bahwa 10% orang indonesia telah
terinfeksi hepatitis B dan C.1
Istilah hepatitis dipakai untuk semua jenis keradangan sel hati yang
dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, parasit, obat-obatan, otoimun,
konsumsi alkohol dan perlemakan hati.1 Virus yang dapat menginfeksi
umumnya virus hepatitis A,B,C,E dan jarang D, namun juga dapat virus
dengue dan lain lain virus.1
Dari kenyataan di atas maka pemeriksaan petanda hepatitis dan
interpertasinya menjadi sangat penting untuk mengatasi masalah tersebut,
terlebih pada anak anak, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang
interpertasi pemeriksaan immunoserologi hepatitis, juga pada anak.
HEPATITIS A
Disebabkan oleh virus hepatitis A, penyakit ini distribusinya diseluruh
dunia, endemis di beberapa negara berkembang. Sifatnya ringan, akut,
sembuh spontan / sempurna tanpa gejala sisa, jarang menjadi kronik.
Penularan fecal-oral, perkutaneus, bahkan dapat parenteral (jarang), terjadi

Improving Healthy Gut For Healthy Child 139


Anik Widijanti

pada daerah dengan sanitasi & higiene buruk. Diagnosis hepatitis A akut
berdasar pada ditemukan Ig M anti HAV dalam serum penderita. Gejala
klinik mulai ringan seperti flu biasa sampai ikterik dengan pembengkakan
hati. Tak ada terapi spesifik karena sembuh sendiri (self limited),
pencegahan dengan memperbaiki perilaku hidup bersih, yaitu menjaga
makanan dan minuman, serta vaksinasi.1,2,3 Hepatitis A pada anak sering
asimptomatik, sedangkan pada aldolesen dan dewasa gambaran klinisnya
lebih nyata, di mana dapat terjadi acute liver failure terutama jika sudah
ada penyakit hati yang mendasarinya atau kondisi immunocompromised.
Hepatitis A pada anak yang biasanya asimptomatik, namun dapat juga
memberikaan manifestasi ekstra hepatik, di mana dilaporkan sebanyak
6,4–8% dari kasus. Manifestasinya dapat berupa atralgia, vaskulitis kutan,
cryogloblinaemia, acalculous cholecystitis, pankreatitis, anemia aplastik,
Guillane-Barre syndrome, transvere myelitis, acute tubular necrosis,
sindrom nefrotik, artritis reaktif dan efusi pleura. Hepatitis A pada anak
yang asimptomatik dan tanpa ikterus, 85% akan kembali normal secara
sempurna dalam 3 bulan.4 Mortalitas meningkat dengan peningkatan
usia terutama pada usia lebih dari 40 tahun. Vaksinasi hepatitis A
dianjurkan pada daerah dengan endemisitas tinggi.2 Penelitian di Kashan-
Iran (2013) mendapatkan 3,9% seropositif Hepatitis A pada anak 1-15
tahun, dengan rerata usia ± SD adalah 6.98 ± 4.02 tahun.2 Penelitian
lain Ferreira dkk (1996) mendapatkan terdapat perbedaan nyata angka
prevalensi anak dengan sosial ekonomi rendah (51%) dibandingkan anak
dengan sosial ekonomi lebih baik (11%). Peneliti lain Clemens dkk (2000)
mendapatkan sero prevalensi anti HAV adalah 65% pada usia 1-40 tahun
di Brazilia, di mana pada usia 1-5 tahun sero prevalensi lebih rendah yaitu
35%, sedangkan pada usia lebih tua (31-40 tahun) sero prevalensi nya >
90%.3 Penelitian di Polandia menunjukkan prevalensi anti HAV positif
pada usia 25-44 tahun adalah 47,8%, sedangkan pada usia 45-64 tahun
72,1%. Jadi pada usia lebih tua prevalensi semakin meningkat.5 Di negara
berkembang diperkirakan 212 juta infeksi HAV (2012) di mana 33 juta
kasus simpomatik (2014) dan 35 ribu kematian (2005). Pada anak biasanya
asimptomatik, sedangkan usia makin meningkat gejala nya lebih nyata.
Sehingga di daerah dengan endemisitas tinggi vaksinasi sangat berguna,
dapat memberi proteksi jangka panjang.6
Hepatitis A disebabkan RNA virus family Picorna viridae, genus
Hepatovirus, non envelop, diameter 27 nm, didalam virion. Mempunyai

140 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Interpertasi Pemeriksaan Serologi Hepatitis Pada Anak

6 genotip di mana 4 diantaranya dapat menginfeksi manusia (reservoir).5


Virus menginfeksi hati dan kemudian disekresi ke dalam tinja yang muncul
2 minggu sebelum sampai seminggu sesudah onset gejala. HAV dapat
persisten di area permukaan lingkungan dan resisten terhadap proses
untuk menghilangkan bakteri dari makanan secara umum. Penularan
melalui makanan yang terkontaminasi virus dari dalam tinja penderita
terinfeksi. Vaksinasi dianjurkan pada orang dengan resiko tinggi misalnya
peserta traveling, bekerja di daerah dengan resiko infeksi endemisitas
sedang sampai tinggi, tunawisma, pengguna obat terlarang, pria dengan
pasangan pria, pekerja dengan resiko infeksi tinggi, penderita kelainan
faktor koagulasi.7 Onset penyakit sekitar 4 minggu dengan rentangan
15-50 hari. Sekitar 70% infeksi hepatitis A dewasa memberikan gejala
panas badan, malaise, mual, muntah dan nyeri perut. Diikuti beberapa
hari kemudian dengan kegagalan hati seperti ikterus yang mana terjadi
pada 70% orang yang simptomatik, sklera ikterik, urine gelap, tinja seperti
tanah liat. Secara umum gejala berakhir dalam beberapa minggu, beberapa
kasus dapat berlanjut sampai lebih dari 6 bulan atau kambuh lagi, hal ini
juga disertai virus yang menetap atau kambuh.7
Diagnosis Hepatitis A didasarkan pada pemeriksaan imunoserologi
terhadap antibodi Virus A yang disebut anti HAV baik total, Ig G maupun
Ig M. Pada infeksi akut lebih digunakan Ig M anti HAV yang bisa diperiksa
dengan immunoassay, di mana sudah banyak beredar dipasaran.1,2,5 Ig
M anti HAV dapat dideteksi beberapa hari sebelum muncul gejala dan
masih positif sampai 3-6 bulan sesudah infeksi. Secara umum adanya
Ig G anti HAV tanpa adanya Ig M anti HAV, menunjukkan imunitas
terhadap hepatitis A, dapat terjadi sesudah vaksinasi ataupun akibat
infeksi sebelumnya. Pada infeksi hepatitis A juga dianjurkan pemeriksaan
tambahan terhadap virus HIV.7

Improving Healthy Gut For Healthy Child 141


Anik Widijanti

Tabel 1 : Interpertasi serologi Hepatitis A.7


Hasil tes serologi Kemungkinan interpertasi
Ig M anti HAV positif Infeksi hepatitis akut
Positif palsu
Ig M anti HAV yang persisten ( > 6 bulan) sesudah infeksi :
jarang
Ig G anti HAV positif Sesudah vaksinasi dengan vaksin HAV
Sesudah infeksi HAV
Ig G & Ig M anti HAV Infeksi dengan gejala lambat
positif Infeksi hepatitis kronik yang kambuh
Ig G anti HAV negatif Tak ada imunitas terhadap hepatitis A
Hilangnya antibodi beberapa tahun sesudah vaksinasi, tak
tentu menunjukkan hilangnya imunitas terhadap hepatitis A

HEPATITIS B
Hepatitis B disebabkan oleh virus DNA dengan masa inkubasi 60-
90 hari, penularan dapat terjadi secara vertikal pada masa perinatal (saat
persalinan) dan 5% intra uterin pada ibu dengan hepatitis B.8 Penularan
hepatitis B selain secara vertikal saat persalinan, dapat juga terjadi secara
horisontal melalui transfusi darah, jarum suntik tercemar, pisau cukur,
transplantasi organ, tatto.1 Penularan didominasi oleh perkutaneus
atau lewat mukosa yang terinfeksi darah atau cairan tubuh meliputi air
liur, cairan mestruasi, vagina, dan cairan seminal.8 Di Indonesia angka
pengidap hepatitis B pada populasi sehat diperkirakan mencapai 4.0-
20.3% dengan proporsi diluar pulau Jawa lebih tinggi dari Jawa. Secara
genotip, virus hepatitis B di Indonesia kebanyakan virus dengaan genotip B
(66%), diikuti C (26%), D (7%) dan A (0,8%).9 Peneliti lain menyebutkan
secara klasik masa inkubasi 8-9 minggu infeksi atau 3-5 minggu sebelum
perubahan biokimia tes faal hati (disfungsi hati) serta munculnya gejala
klinik, masih mungkin mendeteksi HBs Ag dalam serum. Ig M anti Hbc
tak terdeteksi lagi dalam 6 bulan, sedangkan Ig G anti HBc bertahan lebih
lama bahkan kadang seumur hidup.10
Serologi marker untuk identifikasi dan klasifikasi infeksi hepatitis
B meliputi 5 macam yaitu : HBs Ag (hepatitis B surface antigen), HBe
Ag (hepatitis B epsilon antigen), anti HBs (antibodi terhadap hepatitis B
surface antigen), anti Hbe (antibodi terhadap hepatitis B epsilon antigen)
dan anti HBc (antibodi terhadap hepatitis B core /nucleocapsid antigen),

142 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Interpertasi Pemeriksaan Serologi Hepatitis Pada Anak

di mana sangat berguna untuk diagnosis dan monitoring infeksi hepatitis


B dan kemanjuran vaksinasi. Selain itu juga ada HBc Ag (nucleocapsid
antigen) yang jarang diperiksa karena titernya dalam darah sangat rendah,
sedangkan antibodinya (anti HBc) dapat berupa Ig G maupun Ig M atau
keduanya yang disebut total anti HBc.10,11 Vaksinasi dapat menurunkan
insidens hepatitis akut pada anak, contohnya di China, angka HBs Ag
carrier rate menurun dari 9,67% pada tahun 1992 menjadi 0,96% pada
tahun 2006 anak usia 1-4 tahun, dan 2,4% anak usia 5-14 tahun.10
Hepatitis B akut gejalanya juga dapat tidak khas seperti rasa lesu,
nafsu makan berkurang, demam ringan, nyeri perut sebelah kanan atas,
dapat juga sampai ikterus dan urine berwarna seperti teh tua. Dapat juga
berkembang menjadi hepatitis kronik, bila penularan terjadi sejak bayi
maka 90-95% akan menjadi kronik, penularan pada saat balita maka
20-30% menjadi kronik, sedangkan penularan pada saat dewasa hanya
5% yang menjadi kronik. Diagnosis hepatitis B akut ditegakkan dengan
ditemukannya peningkatan transaminase serum, HBs Ag dan Ig M anti
HBc positif, di mana disini disebutkan masa inkubasi 2-3 bulan dengan
rentang 1-6 bulan sesudah paparan. Bentuk akut ini biasanya sembuh
sendiri (self limited), di mana 90-95% virusnya dibersihkan dalam 6 bulan.
Infeksi akut menyebabkan inflamasi dan nekrosis sel hati, di mana kasus
fatal hanya 0,5-1%. Sedangkan hepatitis B kronik jika HBs Ag positif lebih
dari 6 bulan, dengan atau tanpa replikasi virus, adanya jejas hepatoselular
dan inflamasi. Di dunia hanya 5-10% kasus hepatitis akut yang berkembang
menjadi kronik, di mana berhubungan dengan morbiditas & mortalitas.
Infeksi kronik yang didapat dari ibu ke anaknya pada awal kehidupan
menyebabkan kanker hati (HCC = hepato-celular carsinoma) dan sirosis
dekompensasi pada 15-25% kasus. Penyakit hepatitis ini banyak terjadi
di Asia, Afrika, Amirika tengah, Eropa timur. Selain HBs Ag juga harus
diperiksa HBe Ag, anti HBe, transaminase serum dan HBV DNA, serta
biopsi hati.1,8,12 Secara global prevalenssi hepatitis B disebut tinggi jika ≥
8%, sedang 2-7%, rendah < 2%.13
Diagnosis infeksi hepatitis B dan hubungannya dengan penyakit
didasarkan pada interpertasi akurat dari gejala klinik, perubahan petanda
biokimia fungsi dan histologi hati serta pemeriksaan imunoserologik.
Pemeriksaan imunoserologi dan NAT (Nucleic Acid Testing) adalah cara uji
saring dan diagnostik untuk mendeteksi infeksi hepatitis B. Pemeriksaan
imunoserologi merupakan lini pertama tes strategi karena biayanya relatif
lebih murah dibanding NAT.8

Improving Healthy Gut For Healthy Child 143


Anik Widijanti

Jika HBs Ag positif harus dipastikan dulu akut atau kronik, jika Ig M anti
HBc positif maka pasien adalah hepatitis B akut, terutama bila ditunjang
dengan kecurigaan klinik dan peningkatan kadar aminotransferase. Pada
orang dewasa hepatitis akut akan terjadi pembersihan (clearance) secara
spontan, hanya 5% yang menjadi kronik. Kurang dari 1% berkembang
menjadi acute hepatic failure (ditandai dengan koagulopati dan
ensefalopati). Pasien hepatitis B kronik menunjukkan HBs Ag positif, Ig
G atau total anti HBc positif, tetapi Ig M anti HBc negatif, hasil anti HBs
biasanya negatif, kecuali pasien dalam proses serokonversi HBs Ag positif
menjadi negatif.12
Table 2 : Schematic representation of hepatitis B virus (HBV) serological
markers, the corresponding antibodies, and the interpretation
of the profile, considering the typical serological profiles in
HBV infection.11
HbcAg HBcAg Anti Anti
HBsAg HBeAg Interpertation
Ig M Ig G Hbe Hbs
pos neg neg neg neg neg Incubation period
pos pos pos pos neg neg Acute infection
HBV infection (acute or
pos neg neg pos neg neg
chronic HBV infection
Chronic HBV infection or
pos neg neg pos Neg/pos neg
end of recent infection
Recent HBV infection.
neg neg pos pos neg neg Begining of the
convalecent period
Past HBV infection
neg neg neg pos neg neg
(immunololical window)
Immune, recent past
neg neg neg pos pos pos
infection
Immune, past infection
neg neg neg pos neg pos (old infection)
Immune, contact HBs Ag,
neg neg neg neg neg pos vaccine response
Susceptible individual,
neg neg neg neg neg neg Never had contact with
HBV

144 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Interpertasi Pemeriksaan Serologi Hepatitis Pada Anak

Jika HBs Ag negatif, anti HBc & anti HBs positif, dikatakan pasien
pernah terpapar virus HBV, di mana Hbs Ag mengalami serokonversi
menjadi anti HBs, dihubungkan dengan resolusi penyakit, perbaikan hasil
klinik, dan imun terhadap reinfeksi. Beberapa pasien dapat berkembang
menjadi sirosis sebelum terjadi serokonversi, yang mana meningkatkan
resiko terjadinya kanker hati. Pasien dengan HBs Ag negatif tetapi anti
HBc positif dapat berupa infeksi tersamar dan dapat timbul resiko
reaktivasi, di mana hepatitis flare-up pada terapi immunosupresan yang
mengandung rituximab. Interpertasi serologi akibat respon terhadap
vaksinasi jika hanya anti HBs saja yang positif.12
Hepatitis B dan C merupakan problem masyarakat karena spektrum
penyakitnya sangat luas mulai asimptomatik, sampai sirosis dan kanker
hati. Pada penelitian di Brasilia di dapatkan reaktif HBs Ag 1,8%,
sedangkan anti HBc total 3,6%, reaktif anti HBs 25.3%. Reaktifitas anti
HBs meningkat dari 6.28% (tahun 1999-2000) menjadi 76,2% (tahun
2001-2012). Imunitas HBV terus meningkat selama penelitian ini,
menunjukkan vaksinasi HBV pada anak cukup efektif untuk mengkontrol
infeksi HBV.14
Indikasi pemeriksaan hepatitis virus. Tes nya meliputi HBs Ag, anti HBc,
dan anti HBs.12
Pasien resiko tinggi di mana sebelumnya pernah terpapar HBV
1. Orang yang lahir didaerah dengan prevalensi hepatitis B kronik
sedang atau tinggi
2. Anak yang lahir dari ibu dengan hepatitis B kronik
3. Saudara, seksual, kontak keluarga dengan penderita infeksi HBV.
4. Dewasa dengan resiko tinggi infeksi HBV (misalnya pos injeksi
pengguna obat, multipel patner seks, pria dengan pasangan seks
pria, pekerja seks komersial).
5. Adanya infeksi lain yang bisa bergabung sebagai sumber infeksi
tambahan (yaitu HCV atau HIV).
6. Pasien dengan kondisi klinik yang relevan untuk hepatitis
7. Pasien dengan faal hati abnormal atau hanya penyakit hati akut/
kronik.
8. Pasien kanker hati (HCC).
9. Wanita hamil pada antenatal skrining rutin

Improving Healthy Gut For Healthy Child 145


Anik Widijanti

10. Pasien yang akan menjalani kemo atau imunosupresan terapi


(resiko reaktivasi HBV).
Pasien hepatitis B yang akan kemoterapi harus di uji saring hepatitis
B, tes meliputi HBs Ag, anti HBc (Ig G maupun total dan bukan Ig M)
karena resiko terjadi reaktivasi selama kemoterapi. Dimana dapat terjadi
hepatitis fulminan, hepatic flare, bahkan kematian.15
HEPATITIS B KRONIK TERJADI DALAM 4 FASE.9,12
1. Immune tolerans : di mana kadar HBV DNA tinggi, tes fungsi hati
normal, Hbe Ag positif, monitor 6-12 bulan.
2. Immune clearance : di mana kadar HBV DNA tinggi, tes fungsi hati
abnormal, Hbe Ag positif, dalam resiko progresi sirosis dan kanker
hati (HCC), karenanya harus dirujuk untuk penetapan terapi.
3. Immune control : (pengidap inaktif) di mana kadar HBV DNA
rendah (< 2000 IU/ml), tes fungsi hati normal, Hbe Ag negatif,
monitor setiap 6-12 bulan, kerusakan hati minimal.
4. Immune escape : (reaktivasi) di mana kadar HBV DNA tinggi (>
2000 IU/ml), inflamasi hati timbul lagi, tes fungsi hati abnormal,
HBe Ag negatif, anti HBe positif. Dalam resiko progresi sirosis &
kanker hati, karenanya harus dirujuk untuk penetapan terapi.
HBV kronik pada anak yang terjadi melalui transmisi vertikal dari ibu
ke anak, ditandai dengan fase jinak penyakit yaitu replikasi HBV yang
tinggi, tidak adanya marker inflamasi [serum alanine (ALT) & amino
transaminase (AST) normal], fase ini disebut imun tolerans. Sehingga
jarang terjadi hepatitis akut pada bayi dan anak, di mana 90% menjadi
kronik. Kemudian diikuti dengan fase penyakit dewasa dengan inflamasi
hati bahkan kadar ALT & viral load fluktuatif, fase ini disebut imun aktif
/ klirens.16
Pasien hepatitis kronik tak semua harus dirujuk ke spesialis,
harus dirujuk ke spesialis jika:12 HBV kronik dengan peningkatan
aminotransferase, atau peningkatan fluktuatif, mengesankan penyakit
aktif dan terdapat resiko menjadi sirosis, tanpa melihat HBe Ag positif
atau negatif.
Gambaran yang mengesankan adanya fibrosis atau sirosis seperti
struktur echo hati abnormal atau splenomegali pada USG, atau hitung

146 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Interpertasi Pemeriksaan Serologi Hepatitis Pada Anak

trombosit rendah, atau menunjukkan kegagalan fungsi hati, misalnya


peningkatan kadar bilirubin, kadar albumin menurun, pemanjangan
waktu protrombin.
Wanita yang seropositif Hbe Ag pada skrining antenatal rutin.
Hepatitis B kronik berhubungan dengan kanker hati, maka
international guidelines menganjurkan surveilance rutin dengan USG
setiap 6 bulan, sehingga dapat segera diketahui adanya tumor sekecil
mungkin, yang memungkinkan terapi dini.12 Infeksi HBV memberikan
berbagai variasi gambaran klinik, mulai dari asimptomatik carrier state
sampai hepatitis akut, hepatitis kronik, sirosis hati, gagal hati, dan
kanker hati. Perkembangan hepatitis kronik menjadi sirosis hati sampai
kanker hati dipengaruhi oleh faktor genetik host, virus dan lingkungan.
Faktor virus meliputi viral load, genotipe, mutasi spesifik virus sangat
mempengaruhi progresi penyakit. HBV adalah virus DNA double stranded
dengan ukuran 3,2 kb, di mana berisi 4 open reading frames encoding
viral polymerase, core & e antigen, protein HBx dan pre s/s gene yang
mengkode 3 antigen permukaan yaitu protein permukaan besar (pre S1 +
pre S2 + S), sedang (pre S2), dan kecil (hanya S). Selama siklus hidup virus
paling sedikit ada 2 fungsi dari pre S domain : menempel dengan membran
hepatosit dan pucuk dari endoplasmik retikulum virus. Beberapa kejadian
menunjukkan delesi mutan pre S akan merubah gambaran biologi virus,
misanya perubahan epitop antigenik virus, virulensi dengn perubahan
replikasi virus, memberikan fasilitasi penetrasi / penempelan sel. Regio
pre S juga mengandung elemen regulasi yang disebut CCAT box, yang
penting untuk regulasi gen S dan mengontrol rasio pre S dan S RNA. Delesi
regio pre S dapat mempengaruhi rasio antara envelope protein besar daan
kecil, yang berakibat stres endoplasmik retikulum, di mana memperburuk
penyakit hati. Bahkan beberapa peneliti mendapatkan bahwa delesi pre
S berhubungan dengan kanker hati, sedangkan peran pre S1 & pre S2
mutan masih kontroversial. Dari penelitian ini didapatkan bahwa delesi
pre S2 memberikan resiko tinggi terjadinya kanker hati (HCC).17
Penularan hepatitis B dari ibu ke anak merupakan penyebab terbanyak
hepatitis B kronik, terutama didaerah endemesitas tinggi seperti Asia
Tenggara dan Afrika. Maka sangat penting pencegahan penularan vertikal
ini, yang dilakukan dengan imunoprofilaksis menggunakan vaksin atau
pemberian hepatitis B imune globulin (HBIG) pada bayi yang dapat
menurunkan transmisi HBV perinatal. Penularan dari ibu ke bayi terutama

Improving Healthy Gut For Healthy Child 147


Anik Widijanti

terjadi segera sesudah lahir, melalui kontak langsung bayi dengan darah
atau cairan tubuh yang infeksius. Penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa operasi cesar dapat menurunkan resiko penularan dari ibu ke
bayinya, di mana bayi lahir per-vaginam resikonya lebih tinggi dibanding
yang lahir lewat operasi cesar. Penelitian lain mengatakan tidak berbeda
bermakna, namun penelitian Hu dkk (2013) mendapatkan bahwa operasi
cesar tidak menurunkan resiko transmisi vertikal tersebut.18
Pemeriksaan HBs Ag kualitatif tak bisa dipakai untuk monitoring
karena hanya memberikan hasil reaktif bukan titer. Hasil hanya dinyatakan
dalam S/ CO atau COI bukan dalam titer. Hasil pemeriksaan HBs Ag
kualitatif dalam S/CO atau COI berbeda untuk tiap metode dan saat
pemeriksaan, sehingga sulit interpertasinya jika dipakai untuk monitoring.
Untuk monitoring HBs Ag dapat dilakukan dengan pemeriksaan HBs
Ag kuantitatif, dimana hasil berupa titer yang dinyatakan dalam IU/ml
dan sudah ada standarnya (sudah distandarisasi WHO). HBs Ag kuantitatif
diharapkan sangat penting untuk prediksi aktifitas penyakit, monitor dan
petunjuk pengobatan terapi antivirus pada hepatitis B kronik.9,19,20
Pada hasil pemeriksaan serologi HBV harus diperhatikan kemungkinan
hasil palsu, misalnya injeksi human imunoglobin dan vaksin influensa
dapat memberikan hasil anti HBc positif palsu.21 Bahkan hasil palsu
dapat terjadi karena penglolaan sampel yang kurang tepat, sehingga
pada pemeriksaan HBs Ag kualitatif dimana hasilnya hanya dinyatakan
sebagi reaktif/non reaktif. Penentuan hasil reaktif/non reaktif dari tes
imunoserologi hanya berdasar nilai S/CO atau COI saja. Hasil dinyatakan
reaktif bila COI atau S/CO berada diatas atau dibawah nilai cut off
(tergantung metode pemeriksaan yang dipakai). Jika didapatkan nilai S/
CO atau COI yang berada disekitar/mendekati nilai cut off, misalnya
untuk pemeriksaan HBs Ag, maka harus dilakukan tes konfirmasi (tugas
dari laboratorium yang melakukan pemeriksaan dan sudah ada petunjuk
dari kit yang dipakai).
HEPATITIS C
Hepatitis C disebabkan oleh virus RNA, masa inkubasi 2-24 minggu,
penularan melalui darah dan cairan tubuh, jarum suntik (pengguna drug
abuse, tato), transplantasi organ, kecelakaan kerja (petugas kesehatan).
Penularan pada masa perinatal dan dari hubungan seks sangat kecil.1,14
Hepatitis C 80% menjadi kronik, merupakan penyebab utama sirosis dan

148 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Interpertasi Pemeriksaan Serologi Hepatitis Pada Anak

kanker hati. Pencegahan nya dengan menghindari faktor resiko karena


sampai saat ini belum ada vaksinnya.1 Pasien terinfeksi Hepatitis C, 20%
berkembang jadi komplikasi serius seperti fibrosis hati, sirosis, penyakit
hati tahap akhir atau kanker hati. Pengobatan anti virus dapat mengatasi
sampai 90% hepatitis C, namun juga tergantung pada genotipnya virus.22
WHO (2014) memperkirakan 240 juta orang menderita HBV kronik
dan 150 juta HCV. Prevalensi infeksi HBV dan HCV pada anak didunia
sangat bervariasi dipengaruhi faktor resiko dan lokasi geografi. Anak
yang menerima transfusi darah multipel sebelum 1992 mempunyai
kemungkinan 50-95% positif HCV.14 Pada penelitian Villar dkk (2014)
di Brasilia didapatkan 20 dari 1217 (0,2%) orang usia 0-18 tahun yang
positif anti HCV, namun hanya 3 orang yang HCV RNA nya positif,
mirip dengan penelitian yang di Taiwan di mana 0,3% anak dengan
anti HCV namun tidak ada viremia nya (HCV RNA positif). Di Brasilia
penelitian terhadap anak usia 10-16 tahun tidak didapatkan kasus HCV,
namun penelitian didaerah Brasilia lainya pada anak usia 10-19 tahun
mendapatkan prevalensi HCV 0,75%. Jadi perbedaan prevalensi bisa
terjadi pada kelompok umur berbeda maupun daerah geografi berbeda.
HCV di Brasilia 75% adalah genotip 1.14
Penelitian lain (2013-2017) memperkirakan di dunia terdapat 71
juta menderita infeksi HCV, di mana diagnosis nya berdasar didapatkan
viremia, sedangkan hepatitis B kronik sebanyak 257 juta, di mana diagnosis
didasarkan pada HBs Ag positif. Infeksi HBV & HCV memberikan
komplikasi sirosis & kanker hati, sehingga diperkirakaan 1.34 juta
kematian (pada tahun 2015). Di dunia diperkirakan 2-3% populasi
terinfeksi hepatitis C, di mana 80% menjadi kronik.23,24,25 Uji saring dapat
dilakukan dengan EIA (enzyme-link immuno assay) atau POCT (point of
care testing) yang disebut juga RDT (rapid diagnostic test). RDT ini bisa
dipakai untuk memeriksa HBs Ag maupun anti HCV dengan sensitifitas
dan spesifitas yang sangat bervariasi, sehingga harus diperhatikan
pemilihannya, sebaiknya dipakai uji yang sudah di prekualifikasi WHO.23
Pemeriksaan HCV RNA dapat pula dilakukan dengan RT PCR (reverse
transcriptase PCR) baik yang kualitatif maupun kuantitatif.26 Sedangkan
untuk tes kofirmasi viremia aktif dapat juga dipakai NAT untuk memeriksa
HBV DNA & HCV RNA, atau menggunakan uji serologi terhadap HCV
core antigen.23,24 Faktor resiko penularan infeksi HCV secara vertikal ke
anak dari ibu dengan antibodi dan HCV RNA positif dan HIV negatif

Improving Healthy Gut For Healthy Child 149


Anik Widijanti

adalah 5,8% (confidence interval 95% : 4,2-7,8%), sedangkan pada ibu


positif HIV adalah 10,8% (confidence interval 95% : 7,6-15,2%). Ibu
terinfeksi HCV dengan koinfeksi HIV positif merupakan determinan
resiko penularan vertikal, di mana odd ratio adalah 2,56 (confidence
interval 95% : 1,50-4,43).25
Sampel dapat diambil dari darah vena maupun (DBS) dried blood spot
sampel, dapat untuk pemeriksaan imuno serologi maupun kuantifikasi
virus HCV.23,26 DBS lebih mudah dalam pelaksanaan pengambilan
sampelnya, transport serta penyimpanan dibanding dengan darah vena.23
Penggunaan DBS untuk HCV mampu menentukan viral load, meskipun
sensitifitasnya lebih rendah, juga dapat menentukan genotif HCV.26
Dalam pemilihan tes uji saring HBV maupun HCV harus diperhatikan
sensitifitas dan spesifitas tes tersebut. Juga diperhatikan faktor lain seperti
metode pemeriksaan, tenaga pelaksana, fasilitas laboratorium serta
prevalensi penyakitnya.
Faktor resiko infeksi hepatitis C:22
1. Penggunaan jarum suntik pada penyalahgunaan obat.
2. Mendapat faktor koagulasi sebelum tahun 1987.
3. Menerima darah atau komponen darah (sel daarah merah,
trombosit, fresh frozen plasma / FFP).
4. Mendapat darah dari donor HCV positif
5. Peningkatan alanine aminotransferase serum berulang atau
intermiten yang tak bisa dijelaskan.
6. Menjalani Hemodialisis dalam waktu lama
7. Petugas kesehatan yang terpapar pasien HCV positif melalui
tusukan jarum suntik, paparan mukosa yang tak di sengaja.
8. Pasien HIV.
9. Anak dari ibu HCV positif.
10. Patner seks multipel atau penulaaran lewat seksual.
HEPATITIS D
Penyakit hepatitis D disebut juga virus delta, paling jarang ditemukan,
namun paling berbahaya. Virus ini membutuhkan virus B untuk
perkembangannya, sehingga hanya ditemukan bersamaan dengan
penderita yang sudah terkena hepatitis B. Tidak ada vaksin khusus untuk

150 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Interpertasi Pemeriksaan Serologi Hepatitis Pada Anak

hepatitis D, namun jika sudah divaksinasi HBV maka akan terhindar dari
infeksi hepatitis D.1
HEPATITIS E
Disebabkan RNA virus hepatitis E, masa inkubasi 2-9 minggu,
penularan fecal oral seperti hepatitis A, dulu disebut juga hepatitis Non
A Non B.1,27 Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan Ig M dan Ig G anti
HEV pada penderita yang terinfeksi. Gejala dapat ringan menyerupai
flu (ringan) dan sembuh sendiri (self limited), kadang pada kasus berat
sampai terjadi subfulminant sampai fullminant hepatitis, dengan ikterus.
Kasus berat biasanya terjadi pada penderita dengan latar belakang
penyakit hati sebelumnya. Secara umum tak berbahaya, belum ada
pengobatan anti virus yang efektif, juga belum ada vaksinasi. Pencegahan
dengan menjaga kebersihan lingkungan, terutama makanan & minuman.
Hepatitis E banyak terjadi pada sosial ekonomi rendah & sedang, dengan
kesehatan lingkungan buruk, getotip 1 & 2 dapat terjadi secara sporadik
maupun outbreak besar hepatitis akut. Sedangkan getotip 3, 4 dikatakan
sebagai infeksi zoonotic di negara berkembang, dapat terinfeksi dengan
mengkonsumsi daging hewan kurang masak atau pekerja yang kontak
dengan individu.1,27 Diagnosis dapat juga dilakukan pemeriksaan reverse
transcriptase PCR (RT-PCR) untuk mendeteksi HEV RNA, juga dapat
dengan NAT, terdapat 4 genotip HEV yaitu 1-4. Infeksi HEV dapat
berkembang ekstra hepatik seperti, simptom neurologi, jejas ginjal,
pankreatitis, trombositopenia dan anemia aplastik. Dapat menimbulkan
kematian lebih tinggi jika menyerang wanita hamil (20-30%) dibanding
dengan populasi umum (0.2-1%), penyebab masih diperdebatkan. HEV
kronik pernah dilaporkan pada penderita immunocompromised seperti
penerima donor organ, HIV, kemoterapi, penggunaan steroid. Infeksi
HEV kronik dapat menyebabkan penyakit hati kronik yang secara cepat
berkembang jadi sirosis pada sekitar 10% kasus dengan resiko kegagalan
hati. Penularan HEV dapat juga terjadi lewat transfusi pada pasien
immunocompromised. Bahkan infeksi yang terjadi pada transplantasi
organ, dapat menimbulkan rejeksi organ hati yang ditransplantasikan.
Pencegahan dapat dilakukan dengan uji saring pada donor darah ataupun
organ didaerah endemis HEV (misalnya Eropa serikat), lebih baik
menggunakan pemeriksaan HEV RNA karena pemeriksaan anti HEV
sensitifitas dan spesifitasnya rendah, meskipun mungkin biayanya relatif
mahal.27,28

Improving Healthy Gut For Healthy Child 151


Anik Widijanti

HEV dapat menimbulkan hepatitis akut. Banyak penelitian HEV di


India utara dan tengah selatan. Hepatitis sporadik dengan data terbatas di
India barat utara. Penelitian ini mendapatkan bahwa HEV menimbulkan
49,7% sporadik hepatitis di India, di mana infeksi campuran HAV-HEV
sebanyak 1.2%, HBV-HEV 6.1%, HCV-HEV 1,7%. Tanpa viral marker
32%.28
Infeksi HEV kebanyakan ringan atau subklinik, tetapi pada
wanita hamil dapat menjadi berat terutama pada trimester 3, dapat
menyebabkan kematian sekitar 20-25%. Infeksi HEV pada wanita hamil
dapat menimbulkan hepatitis fulminant, aborsi spontan dan ruptur
membran. Maternal hepatitis E berhubungan keadaan perinatal kurang
baik , seperti kelahiran prematur, lahir mati dan kematian perinatal.
Juga dilaporkan superinfeksi HEV pada pasien hepatitis B, sehingga
menimbulkan eksaserbasi penyakit hati nya. Ig M anti HEV dideteksi 3-4
minggu sesudah infeksi, dapat tetap ada sampai 4-12 minggu. Sedangkan
Ig G anti HEV segera terdeksi sesudah hilangnya Ig M. Adanya anti Ig
M menunjukkan infeksi akut, dan koeksitensi dengan Ig G anti HEV
menyokong. Adanya Ig G anti HEV saja menunjukkan infeksi terdahulu,
atau fase konvalesen. Penelitian ada yang menunjukkan seroprevalens Ig
G anti HEV pada wanita hamil di Eropa 3,6-29.3%, sedangkan di Afrika
11.6-84.3%. Frekuensi kepositipan Ig M anti HEV paada wanita hamil
di Spanyol 0.67%, sedangkaan di China 2.6%. Data longitudinal kohort
anti HEV pada wanita hamil dan pos partum dengan infeksi HBV masih
sangat terbatas. Data sebelumnya menunjukkan prevalensi infeksi HEV
pada wanita hamil dan pos partum adalah 0.6% hanya subklinis selama
kehamilan. Huang dkk (2016) mendapatkan pada wanita hamil di Jiangsu
China tak ada yang positif Ig M anti HEV, tetapi 10.7% (42 dari 391
subyek) positif Ig G anti HEV. Dalam follow up 3 diantara sero negatif
berubah menjadi seropositif Ig G anti HEV sehingga diperkirakaan
17 per 1000 orang per tahun. Tak ada perbedaan yang nyata pada usia
kehamilan, frekunsi lahir prematur, apgar skor dan berat badan bayi baru
lahir antara wanita hamil dengan Ig G anti HEV maupun wanita hamil
tanpa anti HEV. Pada wanita hamil dengan Ig G anti HEV, bayinya 90,5%
mempunyai Ig G anti HEV pada darah tali pusat bayi, sedangkan pada
wanita hamil tanpa anti HEV, bayinya juga tanpa anti HEV. Dalam follow
up selanjutnya semua bayi diperiksa lagi dengan hasil semua negatif Ig M
maupun Ig G anti HEV. Jadi Ig G anti HEV yang ditransfer ke bayi dari
ibu dengan Ig G anti HEV akan menghilang dalam 10 bulan.29

152 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Interpertasi Pemeriksaan Serologi Hepatitis Pada Anak

Untuk deteksi Ig G anti HEV sangat dipengaruhi oleh kit/metode


yang dipakai, karena perbedaan sensitifitas dan spesifitas kit yang dipakai.
Perbedaan antar kit Ig G anti HEV bisa sampai 4.5- 29.5%.29 Jadi dalam
pemilihan kit kita harus berhati-hati, kalau perlu sebelum menggunakan
kit dapat dilakukan penelitian. Minimal kita ketahui berapa sensitifitas
dan spesifitas kit yang akan kita pakai.
HEPATITIS DENGUE
DD (demam dengue) masih merupakan masalah kesehatan di
Indonesia. Di-dunia diperkirakan terdapat 50 - 100 juta kasus DD, dan
masuk dalam sepuluh besar penyebab kematian di dunia, dengan 25-
150 ribu kematian setiap tahunnya. DD ditularkan oleh nyamuk, virus
mempunyai banyak serotipe (Den 1 - 4), terdapat di-daerah tropis &
subtropis. Asia Tenggara (Indonesia) merupakan daerah hiperendemis,
dengan kasus fatal 0.5 – 3.5%. Pada awalnya penyakit ini lebih banyak
menyerang anak (90%), tetapi saat ini juga menyerang orang dewasa.30,31
Diagnosis DD dilakukan dengan berbagai cara yaitu dengan kriteria
WHO, serologi Ig G & M dengan uji Immunokromatografi (ICT-DFR),
Hemaglutination Inhibition Assay, complement fixation, neutralization
test, Ig M capture enzyme-linked immunosorbent assay, indirect Ig
G ELISA, sampai RNA virus dengan PCR dan penemuan antigen
Nonstructural Protein NS1.30,32,33,34 DD akut klasik biasanya self limited,
ditandai dengan adanya demam mendadak, bersifat bifasik, menetap antar
5-7 hari, disertai gejala prodromal yang khas seperti nyeri kepala, nyeri
tulang otot sendi, mual, muntah, perasaan lelah, ruam kulit, lekopenia dan
trombositopenia. Gambaran pasien sangat bervariasi, dari ringan sampai
sindroma syok dengue, bahkan dapat timbul gambaran hepatitis akut,
ensefalitis, miokarditis, sindroma hemolitik uremia. Pada yang menyerang
hati, menyebabkan peningkatan AST & ALT sampai > 90%, di mana AST
> ALT. Nilai peningkatan rata-rata AST 93.3 U/L dan ALT 86.0 U/L. DD
dengan komplikasi hepatitis akut disertai peningkatan aminotransferase
sering berakibat fatal.35,36 Anik Widijanti dkk (2012) mendapatkan
perubahan bermakna tes fungsi hati antara DD sekunder dan primer pada
ensim GGT dan bilirubin direk (p< 0.05). Korelasi peningkatan terbesar
terjadi pada AST/SGOT dan ALT/SGPT (r =0.838), diikuti ALP & GGT
(r = 0.538). Peningkatan beberapa ensim hati disertai penurunan albumin
dengan atau tanpa peningkatan kadar bilirubin terjadi pada DD sekunder
dan primer, berturut-turut adalah 36.96% dan 36.93%. Perubahan fungsi

Improving Healthy Gut For Healthy Child 153


Anik Widijanti

hati pada DD sekunder maupun primer di mana perubahan bervariasi


antara 17.31% - 85.59%.37 Perubahan faal hati yang paling nyata adalah
peningkatan kadar ensim transaminase. Hal ini dibuktikan oleh Anik
Widijanti dkk (2010) di mana didapatkan perbedaan bermakna kadar
aminotransferase antara dengue sekunder & primer. Pada DD primer dan
sekunder sebagian besar terjadi peningkatan AST lebih tinggi dari ALT.
Peningkatan AST > 20 kali batas normal pada DD sekunder dengan Ig G
positif & Ig M negatif, lebih tinggi dibanding dari kelompok DD sekunder
dengan Ig G & Ig M yang keduanya positif (2.47 vs 2.02%), sedangkan
peningkatan ALT > 20 kali nilai batas atas kelompok DD sekunder
dengan Ig G & Ig M yang keduanya positif, lebih tinggi dari kelompok
DD sekunder dengan Ig G positif & Ig M negatif (5.05 vs 3.86%).38
Peningkatan AST > ALT ini juga terjadi pada penelitian Widijanti dkk,
di mana 52.19% AST > 2 URL sedangkan ALT > 2 URL hanya 40.88%.37
Peningkatan AST > ALT pada DD akut tidak sesuai dengan infeksi
hepatitis akut karena sebab lain, di mana pada hepatitis akut biasanya
AST < ALT (de ritis rasio < 1). Hal ini disebabkan karena pada virus
dengue yang menyerang hati akan menyebabkan perubahan histopatologi
berupa nekrosis sentrolobular, fatty altertrions, hiperplasi sel kuffer,
acidophilic bodies dan infiltrasi monosit dari portal tract. Kemungkinan
mekanisme nya adalah pelepasan AST dari miosit yang rusak. Peneliti
lain mengatakan bahwa virus dengue akan bereplikasi dalam sel
hepatosit, menyebabkan jejas hepar dan menstimulasi apoptosis, steatosis
mikrovesicular dan perkembangan dari Coincilman-Rocha Lima Bodies,
seperti pada infeksi dan penyakit demam kuning & virus demam berdarah
lainnya. Beberapa peneliti lain juga mendapatkan bahwa peningkatkan
ensim aminotranferase di mana peningkatan AST > ALT.35,36,39,40
Peningkatan AST > ALT pada hepatitis akut karena virus dengue
ini berbeda dengan infeksi virus hepatitis A, B atau C. Kadar ensim
aminotranferase pada hepatitis dengue meningkat sekitar 3 hari sesudah
onset penyakit, mencapai puncaknya pada hari ke 7 - 9 dan menjadi normal
kembali dalam 3 – 8 minggu. Meskipun demikian hati bukan merupakan
target organ utama dari virus dengue. Virus dengue yang menyebabkan
hepatitis akut harus di diagnosis banding dengan leptospirosis, demam
kuning, malaria, hepatitis A, B dan C. Penyakit hati kronik, alkoholik
steatonekrosis, kelainan hemoglobin dan obat hepatotoksik dapat menjadi
faktor predisposisi untuk virus dengue menyerang ke sel hati, sehingga

154 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Interpertasi Pemeriksaan Serologi Hepatitis Pada Anak

meningkatkan kejadian jejas hati. Peningkatan ensim aminotransferase


terutama AST biasanya dihubungkan dengan derajat beratnya penyakit
dan dapat memberikan indikator dini infeksi virus dengue, sedangkan
peningkatan ALP & bilirubin lebih jarang terjadi.35,36,39,40 Maka disarankan
pada DD sebaiknya diperiksa kadar ensim aminotransferase.
KESIMPULAN
Terdapat beberapa macam hepatitis virus, yaitu virus hepatitis A, B, C,
D, E, virus dengue dan lainnya. Secara umum diperiksa virusnya dengan
NAT, PCR, sedangkan antibodinya Ig M dan Ig G pada virus A, C, D,
E. Khusus virus hepatitis B terdapat banyak pemeriksaan serologi yaitu
HBs antigen & antibodinya, HBc antigen & antibodinya, HBe antigen &
antibodinya. Sedangkan virus dengue diperiksa Ig G & Ig M anti dengue,
antigen NS-1, PCR dengue. Selain itu terdapat berbagai macam kit yang
beredar dipasaran dengan berbagai sensitifitas serta spesifitasnya. Maka
perlu dipelajari cara interpertasinya supaya diagnosis dan monitoring nya
tepat/akurat, terlebih pada anak.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat data dan informasi kesehatan RI. Situasi Dan Analisis Hepatitis.
2014.
Ardakani AT, Soltani B, Sehat M, Namjoo S, Rezaei MH. Seroprevalence
of anti-hepatitis a antibody among 1 - 15 year old children in
Kashan-Iran. Hepat Mon. 2013;13(5):1–6.
Krebs LS, Ranieri TMS, Kieling CO, Ferreira CT, Da Silveira TR. Shifting
susceptibility to hepatitis A among children and adolescents over
the past decade. J Pediatr (Rio J). 2011;87(3):213–8.
Erdem E, Urganci N, Ceylan Y, Kara N, Ozcelik G, Gulec SG. Hepatitis
a with pleural effusion, ascites and acalculous cholecystitis. Iran J
Pediatr. 2010;20(4):479–82.
Juszczyk G, Czerw AI, Walewska-Zielecka B, Mikos M, Banaś T, Deptała
A, et al. Immunity to hepatitis a virus among working professionals
in poland – results of a 3-year serological survey 2013–2015. Ann
Agric Environ Med. 2018;25(3):572–5.
Mayorga O, Buhler S, Jaeger VK et al. Single-Dose Hepatitis A
Immunization: 7,5-Year Observational Pilot Study in Nicaraguan
Children to Assess Protective Effectiveness and Humoral Immune

Improving Healthy Gut For Healthy Child 155


Anik Widijanti

Memory Response. J Infect Dis. 2016;15 novembe:1498–506.


Gounder P, Schwartz B BS. Clinical Recognition and management of
Hepatitis A in the Context of an Ongoing Outbreak in Los Angeles.
Rx Prev. 2017;7(4).
Ugwuoke C, Yahaya IS, Magaji HK, Sulaiman A. Diagnostic Relevance
and Clinical Interpretation of Hepatitis B Virus Serological Profile
Testing. Int J Trop Dis Heal. 2018;31(4):1–11.
PPHI. Konsensus Nasonal Penalaksanaan Hepatitis B di Indonesia. In
2012. p. 1–56.
Chen X, Shen Y, Xiang W. Distribution characteristics of hepatitis B
serological markers in hospitalized children and adolescents in
Zhejiang, China between 2006 and 2010. Gut Liver. 2011;5(2):210–
6.
Pondé RAA. Atypical serological profiles in hepatitis B virus infection.
Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2013;32(4):461–76.
Davison SA, Strasser SI. Ordering and interpreting hepatitis B serology.
BMJ. 2014;348(May).
Angounda BM, Dzia AB, Magloire L, Boumba A, Ahombo G, Moukassa
D, et al. Prevalence of Serologic Markers and Risk Factors for
Hepatitis B Virus among Pregnant Women in Brazzaville, Congo.
Int J Sci Res. 2016;5(1):1907–12.
Villar LM, Amado LA, De Almeida AJ, De Paula VS, Lewis-Ximenez LL,
Lampe E. Low prevalence of hepatitis B and C virus markers among
children and adolescents. Biomed Res Int. 2014;2014.
Hwang JP, Somerfield MR, Alston-Johnson DE, Cryer DR, Feld JJ, Kramer
BS, et al. Hepatitis B virus screening for patients with cancer before
therapy: American Society of Clinical Oncology provisional clinical
opinion update. J Clin Oncol. 2015;33(19):2212–20.
Bertoletti A HM. Age-dependent immune events during HBV infection
from birth to adulthood: an alternative interpretation. Perspect
Artic. 2014;5(6):1–6.
Li X, Qin Y, Liu Y, Li F, Liao H, Lu S, et al. PreS deletion profiles of
hepatitis B virus (HBV) are associated with clinical presentations
of chronic HBV infection. J Clin Virol [Internet]. 2016;82:27–32.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jcv.2016.06.018

156 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Interpertasi Pemeriksaan Serologi Hepatitis Pada Anak

Hu Y, Chen J, Wen J, Xu C, Zhang S, Xu B, et al. Effect of elective cesarean


section on the risk of mother-to-child transmission of hepatitis B
virus. BMC Pregnancy Childbirth. 2013;13:0–4.
Cornberg M, Wong VWS, Locarnini S, Brunetto M, Janssen HLA, Chan
HLY. The role of quantitative hepatitis B surface antigen revisited.
J Hepatol [Internet]. 2017;66(2):398–411. Available from: http://
dx.doi.org/10.1016/j.jhep.2016.08.009
Wilkinson DE, Seiz PL, Schüttler CG, Gerlich WH, Glebe D, Scheiblauer
H, et al. International collaborative study on the 3rd WHO
International Standard for hepatitis B surface antigen. J Clin Virol.
2016;82:173–80.
Chen X. Misleading hepatitis B serology following rho (D) immune
globulin (human) injection and influenza vaccine. Clin Pract.
2018;8(1):45–6.
Albeldawi M, Ruiz-Rodriguez E, Carey WD. Hepatitis C virus: Prevention,
screening, and interpretation of assays. Cleve Clin J Med.
2010;77(9):616–26.
Lange B, Cohn J, Roberts T, Camp J, Chauffour J, Gummadi N, et al.
Diagnostic accuracy of serological diagnosis of hepatitis C and B
using dried blood spot samples (DBS): Two systematic reviews and
meta-analyses. BMC Infect Dis. 2017;17(Suppl 1).
Gupta E, Bajpai M, Choudhary A. Hepatitis C virus: Screening, diagnosis,
and interpretation of laboratory assays. Asian J Transfus Sci.
2014;8(1):19–25.
Benova L, Mohamoud YA, Calvert C, Abu-Raddad LJ. Vertical transmission
of hepatitis C virus: Systematic review and meta-analysis. Clin Infect
Dis. 2014;59(6):765–73.
Marques BLC, do Espírito-Santo MP, Marques VA, Miguel JC, da Silva
EF, Villela-Nogueira CA, et al. Evaluation of dried blood spot
samples for hepatitis C virus detection and quantification. J Clin
Virol [Internet]. 2016;82:139–44. Available from: http://dx.doi.
org/10.1016/j.jcv.2016.07.009
Pawlotsky JM. Hepatitis E screening for blood donations: An urgent need?
Lancet. 2014;384(9956):1729–30.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 157


Anik Widijanti

Chandra NS, Sharma A RR, B M. Contribution of hepatitis E virus in


acute sporadic hepatitis in nort western India. Indian J Med Res.
2012;136(3):477–82.
Huang H, Xu C, Zhou X, Liu L, Dai Y, Xu B, et al. Incidence and
seroprevalence of hepatitis E virus infection in pregnant women
infected with hepatitis B virus and antibody placental transfer
in infants. J Clin Virol [Internet]. 2016;82:84–8. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jcv.2016.07.010
Gubler DJ. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. Clin Microbiol Rev.
1998;11(3):480–96.
Aryati. Nilai Diagnostik Dengue Rapid Test untuk Diagnosis Demam
Berdarah Dengue. Maajaaalah Kedokt Indones. 2005;55:50–5.
Chew TS, Liem SH, Cuzzubo A DP. Clinical Evaluation of Rapid Immuno
chromatographic Test for the Diagnosis of Dengue Virus Infection.
Clin Diagn Lab Immunol. 1998;5(3):407–9.
Groen J, Koraka P, Velzing J, Copra C OA. Evaluation of six Immunoassay
for Detection of Dengue Virus Specific Immunoglobuin M and G
Antibodies. Clin Diagn Lab Immunol. 2000;7(6):867–71.
Shu Pei-Yun, Chen Li-Kuang, Chang Shu-Fen et all. Potential Application
of Nonstructural Protein NS1 Serotype-Specific Immunoglobulin
G Enzyme-Linked Immunosorbent Assay in the Seroepidemiologic
Study of Dengue Virus Infection : Correlation of Results with
Those of the Plaque Reduction Neutralization Tes. J Clin Microbiol.
2002;40(5):1840–4.
De Souza LJ, Alves JG NR et al. Aminotransferase changes and acute
hepatitis in patients with dengue fever : analysis of 1,585 kasus.
Brazilian J Infect Dis. 2004;8(2):1–11.
Villar Centeno LA, Diaz-Quijano FA M-VR. Biochemical Alterations
as Marker of Dengue Hemorrhagic Fever. Am J Trop Med Hyg.
2008;78(3):370–4.
Widijanti A, Vincentia M. Perubahan tes fungsi hati pada demam dengue.
Med J Kedokt Indones. 2012;XXXVII(3):173–9.
Widijanti A, Sulistyorini. Perbandingan peningkatan enzim
aminotransferase pada demam dengue primer dans sekunder. Med
J Kedokt Indones. 2010;XXXVI(2):90–5.

158 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Interpertasi Pemeriksaan Serologi Hepatitis Pada Anak

Mourao MPG, De Lacerda MVG, Bartos MdS, De Albuquerque BC AW.


Dengue Haemorrhagic Fever and Acute Hepatitis : A Case Report.
November 2004. Brazillian J Infect Dis. 2004;8(6):461–4.
De Souza LJ, Carniero HG FJ et al. Hepatitis in Dengue Shock Syndrome.
Brazilian J Infect Dis. 2002;6(6):322–7.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 159


160
Intoleransi Laktosa: Perlukah Penyesuaian Susu Pada Diare Akut

INTOLERANSI LAKTOSA: PERLUKAH PENYESUAIAN SUSU


PADA DIARE AKUT

Alpha Fardah Athiyyah

PENDAHULUAN
Intoleransi laktosa merupakan kondisi gangguan gastrointestinal
akibat tidak mampu mencerna dan mengabsorpsi laktosa. Laktosa
membutuhkan hidrolisis oleh enzim lactase untuk menjadi D-glukosa
dan D-galaktosa sebelum laktosa dapat diabsorpsi dengan baik. Sekitar
70% populasi dunia mengalami intoleransi laktosa akibat seleksi genetika.
Sejak munculnya kebiasaan konsumsi susu sapi 5000 tahun yang lalu,
dimulailah terjadinya seleksi genomik antara populasi masyarakat yang
bisa mencerna laktosa dan populasi masyarakat yang tidak bisa mencerna
laktosa. Meski demikian, belum diketahui apakah merupakan sebuah
keuntungan bagi masyarakat untuk bisa mencerna laktosa.1
Pada anak-anak dengan diare akut akibat infeksi gastrointestinal,
terutama pada anak usia <2 tahun2,3, sistem percernaan bisa berhenti
sementara memproduksi enzim laktase. Alhasil, anak tersebut tidak untuk
sementara waktu tidak bisa mencerna laktosa, yang mana akhirnya akan
memperpanjang dan memperparah kejadian diare. Pada pembahasan ini,
akan diulas apakah pemberian susu bebas laktosa dapat mempercepat
proses penyembuhan diare.
FISIOLOGI ABSORPSI LAKTOSA
Laktosa merupakan gugus karbohidrat utama pada susu manusia
dan susu mamalia. Susu manusia mengandung sekitar 7,5 gram/100 ml
laktosa, sedangkan susu sapi atau mamalia lain mengandung sekitar 5
gram/100 ml laktosa.4 Seorang bayi lahir aterm dapat mencerna sekitar
60-79 gram latosa per hari, atau sekitar 1 liter ASI. Sedangkan, bayi lahir
preterm tidak akan mencerna seluruh laktosa ASI. Laktosa yang tidak
tercerna akan terfermentasi di kolon menjadi SCFA, hidrogen, karbon
dioksida, dan metana, serta diubah menjadi asam laktat oleh bakteri
Streptococcus lactis.5

Improving Healthy Gut For Healthy Child 161


Alpha Fardah Athiyyah

Peran laktosa pada susu manusia sangat signifikan meningkatkan


produksi energi harian pada bayi ASI eksklusif. Karena adanya proses
hidrolisis oleh enzim laktase, pencernaan laktosa biasanya berlangsung
lebih lama sehingga dapat mempertahankan kadar glukosa dalam darah
stabil. Laktosa pada ASI juga mampu meningkatkan absorpsi kalsium.
Pada bayi yang belum bisa mengabsorpsi seluruh kandungan laktosa
dalam ASI, laktosa yang tidak terabsorpsi akan berperan sebagai prebiotik,
sehingga memberikan efek positif pada keutuhan mukosa kolon dan
sistem imunitas.6-7
Lactase-phlorizin hydrolase, atau yang lazim disebut enzim laktase,
berfungsi memecah laktosa menjadi D-glukosa dan D-galaktosa.8 Laktase
merupakan salah satu anggota kelompok beta-galaktosidase dan hanya
diekspresikan oleh enterosit yang matur, dengan jumlah ekspresi tertinggi
pada jejunum porsi tengah.9
PATOFISIOLOGI MALABSORPSI LAKTOSA
Pada infeksi gastroenteritis, khususnya pada diare akibat rotavirus,
enterosit akan dirusak oleh patogen. Enterosit yang rusak menyebabkan
turunnya produksi laktase pada usus sehingga tidak semua laktosa yang
dikonsumsi dapat diabsorpsi dengan baik oleh usus.2 Manifestasi klinis
yang terjadi pada individu dengan intoleransi laktosa terjadi akibat
terkumpulnya laktosa, sebagai zat osmotik dalam usus, sehingga air
akan tertarik ke lumen usus. Selain itu, juga akan terbentuk gas akibat
sisa metabolisme laktosa, yang kemudian membuat distensi usus. Pasien
dengan intoleransi laktosa akan mengeluhkan adanya nyeri perut,
flatulen, dan diare. Diare akibat intoleransi laktosa biasanya terjadi pada
bayi dan anak-anak karena populasi ini belum mampu mengkompensasi
dengan reabsorpsi di kolon. Pada anak yang lebih besar, sudah bisa terjadi
reabsorpsi SCFA dan laktat di kolon sehingga akan mengurangi beban
osmotik dan dengan demikian mengurangi kejadian diare.10-11
INTOLERANSI LAKTOSA
Ada berbagai istilah yang sering digunakan dan dianggap sama, yaitu
defisiensi laktase, malabsorpsi laktosa, dan intoleransi laktosa. Istilah
defisiensi laktase merujuk pada kondisi berkurangnya ekspresi enzim
laktase pada bayi, dibandingkan bayi normal lainnya. Istilah malabsorpsi
laktosa menunjukkan bahwa tidak semua laktosa yang dimakan dapat
diabsorpsi. Sedangkan istilah intoleransi laktosa berarti malabsorpsi

162 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Intoleransi Laktosa: Perlukah Penyesuaian Susu Pada Diare Akut

laktosa yang disertai gejala gastrointestinal.1 Terdapat 4 jenis intoleransi


laktosa:
1. Developmental lactase deficiency: biasanya tampak pada bayi prematur
akibat defisiensi laktase saat lahir. Namun gejalanya akan membaik
seiring bertambah usia mencapai usia gestasi aterm. Enzim laktase
merupakan disakaridase terakhir yang berkembang selama masa
kehamilan. Sehingga, pada bayi prematur, biasanya terjadi defisiensi
laktase sementara.12 Namun berdasarkan review dari Cochrane,
pemberian suplementasi laktase disebut tidak bermanfaat.13
2. Congenital lactase deficiency (alaktasia): merupakan penyakir
autosomal resesif yang muncul pada bayi baru lahir dengan diare
osmotik berat saat menetek. Ekspresi laktase sama sekali tidak ada
meskipun mukosa usus normal. Gejala yang muncul adalah diare
cair, flatulen, dan gagal tumbuh.14,15
3. Lactase non-persistence (hipolaktasia): menurunnya produksi dan
aktifitas laktase setelah disapih. Jenis ini terjadi pada sekitar 70%
populasi dunia dan merupakan jenis intoleransi laktosa yang paling
sering dijumpai. Tidak ada gejala yang muncul sebelum usia 5 tahun.
Onset gejala biasanya baru muncul pada usia remaja.16 Pada sebuah
studi di Indonesia, gejala hipolaktasia yang muncul pada populasi
usia 3 tahun hanya sekitar 9,1%, meningkat menjadi 28,6% pada
populasi usia 5 tahun, dan mencapai puncak 73% pada populasi
12-14 tahun.17
4. Secondary lactose intolerance: terjadi akibat kerusakan usus halus,
seperti pada gastroenteritis viral, giardiasis, celiac diasease, atau
penyakit Crohn. Aktifitas laktase tampak normal, namun anak
mengalami diare osmotik akibat ketidakmampuan mengabsorpsi
laktosa. Intoleransi laktosa jenis ini akan sembuh sendiri dalam 1-2
bulan, tergantung pada penyakit yang mendasarinya.18
TANDA DAN GEJALA
Diagnosis intoleransi laktosa didasarkan pada tanda dan gejala
klinis. Gejala yang muncul pada bayi dan anak-anak dapat berbeda. Pada
bayi, malabsorpsi laktosa biasanya lebih sering muncul sebagai diare,
dibandingkan dengan anak-anak dan remaja. Gejala muncul 30-60 menit
setelah konsumsi makanan yang mengandung laktosa. Rendahnya pH
feses akibat laktat dapat menyebabkan iritasi perianal dan ekskoriasi, yang

Improving Healthy Gut For Healthy Child 163


Alpha Fardah Athiyyah

tampak sebagai ruam kemerahan sekitar anus. Gejala lain yang muncul
dapat berupa nyeri perut dan distensi abdomen. Akan tetapi, bila hanya
nyeri perut dan distensi abdomen yang muncul, pasien tidak dikategorikan
sebagai intoleransi laktosa dan tidak boleh diberikan susu bebas laktosa.19
Pada anak yang lebih besar dan remaja, gejala intoleransi laktosa yang
sering muncul adalah nyeri perut, kembung, distensi abdomen, flatulen,
borborygmi, dan diare. Pada sebuah studi di remaja Indonesia, nyeri perut
dikeluhkan sebanyak 64,1% pasien, diikuti dengan distensi abdomen
(22,6%), mual (15,1%), flatulen (5,7%), dan diare (1,9%).17
TERAPI INTOLERANSI LAKTOSA
Pedoman diare akut dari berbagai negara hingga hari ini menyatakan
dengan jelas bahwa fokus utama tatalaksana diare akut pada anak adalah
rehidrasi cairan dan elektrolit. Oralit merupakan solusi yang mudah
didapat, mudah diberikan orang tua, terjangkau, dan mengandung glukosa
dan elektrolit dalam jumlah cukup untuk menggantikan cairan yang hilang
selama periode diare. Setelah anak cukup terehidrasi, pedoman diare akut
menganjurkan pemberian nutrisi sesuai usia. Bayi ASI eksklusif dapat terus
diberi ASI, sedangkan bayi/anak yang mengkonsumsi susu formula dapat
diberi makan sesuai usia, termasuk makanan yang mengandung laktosa.
Pemberian makanan sedini mungkin dapat mempercepat regenerasi
enterosit usus dan memperbaiki produksi enzim pencernaan, sehingga
dapat memperpendek durasi diare dan meningkatkan absorpsi nutrisi.
Defisiensi laktase transien dapat terjadi setelah periode diare akut, namun
dianggap kurang kuat untuk menjadi dasar mengganti susu menjadi susu
bebas laktosa.20 Sehingga, pada bayi ASI eksklusif dengan intoleransi
laktosa akibat diare akut, ASI harus tetap dilanjutkan. Sedangkan pada
bayi susu formula, susu bebas laktosa boleh dipertimbangkan.
Pada anak dengan diare persisten, restriksi laktosa dapat memperpendek
durasi diare (2). Meski demikian, susu laktosa harus segera mulai
diberikan kembali dalam kurun waktu 2-4 minggu. Makanan atau susu
yang mengandung laktosa harus dikurangi, namun tidak dieliminasi sama
sekali. Pemberiannya dapat disiasati dengan pemberian terbagi beberapa
kali. Misalnya, pemberian susu dapat diberikan bersama dengan jadwal
makan 3 kali sehari. Dosis terbagi ini akan memperlambat laju ekskresi
laktosa pada usus halus. Metode lain dapat diberikan dengan memberikan
tipe makanan yang berbeda. Kandungan laktosa pada susu sapi jauh lebih

164 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Intoleransi Laktosa: Perlukah Penyesuaian Susu Pada Diare Akut

tinggi daripada yogurt karena pada yogurt sudah terdapat bakteri pemecah
laktosa. Sehingga, anak dengan intoleransi laktosa dapat diberikan yogurt
sebagai sumber laktosa. Pilihan lain adalah melalui keju. Perlu diingat
bahwa terapi intoleransi laktosa tidak boleh berlebihan, karena produk
susu juga tetap diperlukan sebagai sumber kalsium dan vitamin D.21
Pada bayi dengan congenital lactase deficiency, konsumsi ASI dan susu
laktosa harus dihentikan karena konsumsi laktosa dapat menyebabkan
diare berkepanjangan dan gagal pertumbuhan.22 Sedangkan, pada bayi
yang masih bisa memproduksi laktase walau jumlahnya menurun, ASI
dapat tetap diberikan. Pada bayi dengan penyakit penyerta, seperti celiac
disease, restriksi laktosa harus dilakukan sampai kondisi yang mendasari
tersebut sudah dapat ditangani.
KESIMPULAN
Pada sebuah studi Cochrane, disimpulkan bahwa: meskipun kasus
intoleransi laktosa cukup sering ditemui, khususnya intoleransi laktosa
transien akibat gastroenteritis akut, konsumsi laktosa tidak boleh semata-
mata langsung dieliminasi sama sekali. Pada bayi yang masih mengkonsumsi
ASI, pemberian ASI harus tetap dilanjutkan karena manfaatnya lebih besar.
Pada anak-anak yang lebih dewasa, pemberian susu bebas laktosa dapat
mempercepat proses penyembuhan diare. Namun dalam kurun waktu
2-4 minggu, pemberian susu laktosa harus dicoba kembali dalam dosis
terbagi. Pemberian susu laktosa yang diencerkan tidak memberi manfaat.
Akan tetapi, belum ada studi yang dilakukan pada negara berkembang,
dimana angka malnutrisi juga cukup tinggi.2
DAFTAR PUSTAKA
Heine RG, AlRefaee F, Bachina P, De Leon JC, Geng L, Gong S, et al.
Lactose intolerance and gastrointestinal cow’s milk allergy in infants
and children - common misconceptions revisited. World Allergy
Organ J [Internet]. 2017;10(1):41. Available from: http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/pubmed/29270244
MacGillivray S, Fahey T, McGuire W. Lactose avoidance for young children
with acute diarrhoea. Cochrane Database Syst Rev [Internet]. 2013
Oct 31; Available from: http://doi.wiley.com/10.1002/14651858.
CD005433.pub2

Improving Healthy Gut For Healthy Child 165


Alpha Fardah Athiyyah

Davidson GP, Goodwin D, Robb TA. Incidence and duration of lactose


malabsorption in children hospitalized with acute enteritis: Study
in a well-nourished urban population. J Pediatr [Internet]. 1984
Oct;105(4):587–90. Available from: https://linkinghub.elsevier.
com/retrieve/pii/S0022347684804254
Wojcik KY, Rechtman DJ, Lee ML, Montoya A, Medo ET. Macronutrient
Analysis of a Nationwide Sample of Donor Breast Milk. J Am Diet
Assoc [Internet]. 2009 Jan;109(1):137–40. Available from: https://
linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0002822308018853
Bissett DL, Anderson RL. Lactose and D-galactose metabolism in group
N streptococci: presence of enzymes for both the D-galactose
1-phosphate and D-tagatose 6-phosphate pathways. J Bacteriol
[Internet]. 1974 Jan;117(1):318–20. Available from: http://www.
ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/4358045
Abrams SA, Griffin IJ, Davila PM. Calcium and zinc absorption from
lactose-containing and lactose-free infant formulas. Am J Clin Nutr
[Internet]. 2002 Aug;76(2):442–6. Available from: http://www.
ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12145020
Francavilla R, Calasso M, Calace L, Siragusa S, Ndagijimana M, Vernocchi
P, et al. Effect of lactose on gut microbiota and metabolome of infants
with cow’s milk allergy. Pediatr Allergy Immunol [Internet]. 2012
Aug;23(5):420–7. Available from: http://doi.wiley.com/10.1111/
j.1399-3038.2012.01286.x
DAHLQVIST A. Intestinal Carbohydrases of a New-Born Pig. Nature
[Internet]. 1961 Apr;190(4770):31–2. Available from: http://www.
nature.com/articles/190031a0
AURICCHIO S, RUBINO A, MUERSET G. INTESTINAL
GLYCOSIDASE ACTIVITIES IN THE HUMAN EMBRYO,
FETUS, AND NEWBORN. Pediatrics [Internet]. 1965
Jun;35:944–54. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/14296420
Levitt M, Wilt T, Shaukat A. Clinical implications of lactose malabsorption
versus lactose intolerance. J Clin Gastroenterol [Internet]. 2013
Jul;47(6):471–80. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
pubmed/23632346

166 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Intoleransi Laktosa: Perlukah Penyesuaian Susu Pada Diare Akut

Hertzler SR, Savaiano DA. Colonic adaptation to daily lactose feeding in


lactose maldigesters reduces lactose intolerance. Am J Clin Nutr
[Internet]. 1996 Aug;64(2):232–6. Available from: http://www.
ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8694025
Antonowicz I, Lebenthal E. Developmental pattern of small intestinal
enterokinase and disaccharidase activities in the human fetus.
Gastroenterology [Internet]. 1977 Jun;72(6):1299–303. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/558125
Tan-Dy CRY, Ohlsson A. Lactase treated feeds to promote growth and
feeding tolerance in preterm infants. Cochrane database Syst Rev
[Internet]. 2005 Apr 18;(2):CD004591. Available from: http://
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15846722
Diekmann L, Pfeiffer K, Naim HY. Congenital lactose intolerance is
triggered by severe mutations on both alleles of the lactase gene. BMC
Gastroenterol [Internet]. 2015 Dec 21;15(1):36. Available from:
http://bmcgastroenterol.biomedcentral.com/articles/10.1186/
s12876-015-0261-y
Asp N-G, Dahlqvist A, Kuitunen P, Launiala K, Visakorpi JK.
COMPLETE DEFICIENCY OF BRUSH-BORDER LACTASE
IN CONGENITAL LACTOSE MALABSORPTION. Lancet
[Internet]. 1973 Aug;302(7824):329–30. Available from:https://
linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0140673673908416
Rasinperä H, Savilahti E, Enattah NS, Kuokkanen M, Tötterman N,
Lindahl H, et al. A genetic test which can be used to diagnose
adult-type hypolactasia in children. Gut [Internet]. 2004 Nov
1;53(11):1571–6. Available from: http://gut.bmj.com/cgi/
doi/10.1136/gut.2004.040048
Hegar B, Widodo A. Lactose intolerance in Indonesian children. Asia
Pac J Clin Nutr [Internet]. 2015;24 Suppl 1:S31-40. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26715082
Heyman MB, Committee on Nutrition. Lactose intolerance in
infants, children, and adolescents. Pediatrics [Internet]. 2006
Sep;118(3):1279–86. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.
gov/pubmed/16951027
Lucassen PL, Assendelft WJ, Gubbels JW, van Eijk JT, van Geldrop WJ,
Neven AK. Effectiveness of treatments for infantile colic: systematic

Improving Healthy Gut For Healthy Child 167


Alpha Fardah Athiyyah

review. BMJ [Internet]. 1998 May 23;316(7144):1563–9. Available


from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9596593
Saunders N, Friedman JN. Lactose avoidance for young children with acute
diarrhea. Paediatr Child Health [Internet]. 2014 Dec;19(10):529–30.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25587230
Almon R, Sjöström M, Nilsson TK. Lactase non-persistence as a
determinant of milk avoidance and calcium intake in children
and adolescents. J Nutr Sci [Internet]. 2013 Jul 24;2:e26. Available
from: https://www.cambridge.org/core/product/identifier/
S2048679013000116/type/journal_article
Savilahti E, Launiala K, Kuitunen P. Congenital lactase deficiency.
A clinical study on 16 patients. Arch Dis Child [Internet]. 1983
Apr 1;58(4):246–52. Available from: http://adc.bmj.com/cgi/
doi/10.1136/adc.58.4.246

168 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Apa yang Harus Dilakukan Bila Menjumpai Bayi Kuning

APA YANG HARUS DILAKUKAN BILA MENJUMPAI BAYI


KUNING

Titis Widowati

Bayi kuning adalah kondisi yang cukup banyak dijumpai dalam


praktek sehari-hari dan memerlukan tindakan medis segera bahkan sering
kali menjadi indikasi perlunya dirawat inap kembali pada neonatus.
Kuning (Ikterus) adalah warna kuning pada kulit, membrane mukosa dan
sklera yang disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin dalam plasma
sehingga terdeposisi pada jaringan. Secara klinis warna kuning pada kulit
dan sklera akan terlihat jelas oleh mata kita bila kadar bilirubin darah
mencapai 4-5 mg/dl atau sekitar 2 kali batas atas kadar bilirubin normal
pada bayi dan sekitar 2-3 mg/dl pada anak yang lebih besar1,2. Insidensi
ikterus neonatorum diperkirakan sekitar 1 dari 2500 hingga 5000 per
kelahiran hidup.1,3
PATOFISIOLOGI BAYI KUNING
Ikterus bukan penyakit melainkan gejala klinis yang bisa menyertai
berbagai penyakit dengan etiologi berbeda. Ikterus disebabkan oleh
akumulasi bilirubin dalam darah baik bilirubin indirek maupun bilirubin
direk. Bilirubin adalah hasil dari pemecahan heme yang berasal dari
hemoglobin. Sebanyak 30-50% bayi baru lahir cukup bulan pada umumnya
mengalami ikterus neonatorum transien akibat imaturitas hepatic enzyme
glucoronyltransferase yang berperan pada proses glukoronidase bilirubin.
Ikterus neonatorum yang berat terjadi pada 8-20% bayi pada minggu
pertama kehidupan. Faktor yang berhubungan dengan risiko peningkatan
bilirubin berat antara lain breast feeding, penurunan berat badan
perinatal yang berlebihan (> 7% Berat lahir), prematuritas, Diabetes
mellitus maternal, dan riwayat induksi persalinan dengan oxytosin. Pada
umumnya puncak dari klinis ikterus terjadi pada usia 3 hari kehidupan
dan akan menghilang dalam waktu 2 minggu. Mekanisme yang pasti
dari peningkatan bilirubin menjadi berat masih belum jelas. Akumulasi
bilirubin indirek (hiperbilirubinemia indirek) pada ikterus neonatorum
bisa terjadi akibat produksi bilirubin yang berlebihan, gangguan uptake
bilirubin atau peningkatan aktifitas sirkulus enterohepatis 3. Produksi

Improving Healthy Gut For Healthy Child 169


Titis Widowati

bilirubin yang berlebihan terjadi pada penyakit hemolitik karena etiologi


apapun. Gangguan uptake bilirubin oleh hepatosit terjadi akibat imaturitas
ekspresi Ligandin yang berperan memediasi uptake anion organic dan
kondisi imaturitas hepatic enzyme glucoronyltransferase. Ikterus yang
disebabkan oleh hiperbilirubinemia indirek pada umumya merupakan
kondisi fisiologis, hanya sebagian kecil yang merupakan kondisi patologis.
Walaupun jarang namun hiperbilirubinemia indirek yang berat perlu
ditangani segera karena berisiko menimbulkan komplikasi serius berupa
kernicterus yang terjadi akibat ikatan bilirubin pada area ganglia basalis
otak. Kernikterus berakibat fatal dan menyebabkan sequelae neurologis
berupa choreoathetosis, retardasi mental dan ketulian.3,4
Hyperbilirubinemia direk disebabkan oleh gangguan metabolisme
bilirubin dan proses sekresi bilirubin dari hepatosit, sehingga secara
fisiologis terjadi hambatan aliran empedu mulai dari hepatosit hingga ke
muaranya di duodenum (disebut kolestasis). Manifestasi klinis kolestasis
ditandai dengan ikterus yang disebabkan oleh hiperbilirubinemia
direk, tinja akolik/pucat dan air kencing berwarna gelap seperti teh
(sindrom kolestasis). Kolestasis selalu merupakan kondisi patologis
karena berhubungan dengan disfungsi sistem hepatobilier sehingga perlu
penanganan secepatnya untuk mencari etiologinya yang sangat banyak,
sehingga dapat segera mendapatkan terapi yang optimal untuk mencegah
komplikasi dan memperbaiki prognosis.4
ETIOLOGI
Bayi dengan gejala ikterus bisa disebabkan oleh etiologi yang sangat
banyak. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi mulai dari ringan (self-
limiting breast-milk jaundice) hingga berat dan mengancam jiwa (life
threathening) seperti atresia biliaris.
Etiologi hyperbilirubinemia indirek yang terbanyak pada anak-anak adalah
sebagai berikut:4
• Breast -milk jaundice
• Penyakit sistemik:
-- Penyakit hemolitik :
■■ Rhesus dan incompatibility dengan Coombs tes positif,
■■ Defisiensi Glukosa 6 Posghate Dehydrogenase (G 6 PD)
■■ Erythrocyte membrane defect

170 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Apa yang Harus Dilakukan Bila Menjumpai Bayi Kuning

■■ Sperocythosis
-- Sepsis
-- Hypoksia
-- Hipoglikemia
-- Galaktosemia
-- Fruktosa intolerance
• Inherited disorder :
• Crigler- Najjar syndromes tipe 1 dan 2
• Gilbert syndrome.
Etiologi Hiperbilirubinemia direk (kolestasis):
Etiologi kolestasis sangat spesifik tergantung usia. Penyebab kolestasis
yang terbanyak pada anak-anak adalah sebagai berikut :
Tabel 1: Penyebab kolestasis pada bayi dan anak1,2,5
Kolestasis obstruktif
• Atresia biliaris
• Kista duktus koledokus
• Bile duct paucity
• Neonatal sclerosing cholangitis
• Inspissated bile syndrome
• Gallstone/ biliary sludge
• Cystic fibrosis
• Caroli disease
Kolestasis intrahepatal
• Infeksi virus
-- Herpes simplek
-- Citomegalovirus
-- HIV
-- Parvovirus B19
-- Lainnya
• Infeksi bakteri
-- Sepsis
-- Infeksi Saluran Kencing
-- Syphilis

Improving Healthy Gut For Healthy Child 171


Titis Widowati

• Genetic/metaboli disorder
-- Alpha 1-antitripsin
-- Tyrosinemia
-- Galaktosemia
-- Progressive familial intrahepatic cholestasis (PFIC)
-- Sindrom Alagille
-- Dubin-johnson syndrome, Rotor syndrome
-- lainnya
• Endokrin disorder
-- Hypothyroidism
-- Hypopituitarism
• Toksik
-- Drugs
-- Parenteral nutrition
-- Neonatal lupus

Cara mengenali ikterus fisiologis dan ikterus patologis


Kuning yang timbul pada minggu pertama usia kehidupan dan
menghilang dalam 2 minggu adalah ikterus fisiologis. Ikterus fisiologis
biasanya tidak berbahaya, sering berhubungan dengan breast feeding dan
ditandai dengan kenaikan bilirubin indirek (breast - feeding jaundice) 1.
Ikterus dikatakan patologis bila:6,7
• timbul dalam 24 jam pertama,
• disertai peningkatan kadar bilirubin yang cepat (>5 mg/dl dalam
24 jam)
• kadar bilirubin mencapai >12 mg/dl pada bayi cukup bulan dan >
15 mg/dl pada bayi prematur
• ikterus menetap selama 2 minggu atau lebih
• terjadi peningkatan bilirubin direk > 1 mg/dl bila bilirubin total
<5 mg/dl atau bilirubin direk > 20% dari bilirubin total bila kadar
bilirubin total > 5mg/dl.
Pada bayi baru lahir yang mengalami ikterus disertai dengan tanda
berupa perubahan warna tinja (dempul atau pucat) dan urin berwarna
gelap seperti teh harus dicurigai sebagai kolestasis. Bayi dengan kolestasis
selalu merupakan kondisi patologis karena berhubungan dengan disfungsi

172 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Apa yang Harus Dilakukan Bila Menjumpai Bayi Kuning

hepatobilier. Kejadian kolestasis pada bayi adalah 1 per 2500 kelahiran


hidup1,5.Bila terbukti kolestasis harus segera dilakukan pelacakan lebih
lanjut untuk mencari etiologinya terutama etiologi yang bisa diterapi baik
medikamentosa (seperti Infeksi, sepsis) atau tindakan operatif seperti
Atresia Biliaris 1,5
TATALAKSANA BILA MENJUMPAI BAYI KUNING (IKTERUS)
Ikterus umum terjadi pada bayi baru lahir. Dalam praktek sehari
hari penting bagi kita untuk memastikan apakah bayi yang datang pada
kita dengan keluhan ikterus adalah fisiologis atau patologis. Selanjutnya
tentukan apakah bayi mengalami kolestasis ditandai dengan ditemukannya
sindrom kolestasis yaitu hiperbilirubinemia direk, tinja akolik/ pucat dan
air kencing berwarna gelap seperti teh dengan cara melakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang baik serta memeriksa kadar bilirubin. Bila
dijumpai hyperbilirubinemia direk (kolestasis), bayi harus segera dirujuk
ke Rumah Sakit dengan fasilitas yang lebih lengkap untuk mencari
etiologinya terutama penyebab yang harus diterapi secepatnya baik operatif
(seperti Atresia Biliaris) maupun terapi medikamentosa (infeksi, sepsis).
Perlu diingat bahwa bayi dengan kolestasis selalu merupakan kondisi
patologis karena berhubungan dengan disfungsi hepatobilier, sehingga
perlu secepatnya dilakukan evaluasi lebih lanjut dan seawal mungkin
untuk menentukan penyebabnya. Penanganan yang baik dan seawal
mungkin dapat mencegah komplikasi fatal dan memperbaiki luaran.
Etiologi kolestasis sangat banyak ( lihat Tabel 1) dan memerlukan fasilitas
penunjang yang lengkap untuk menentukan etiologinya sehingga perlu
segera dirujuk.5,6
Hiperbilirubinemia indirek pada umumnya fisiologis, hanya sebagian
kecil yang patologis (lihat kriteria patologis), namun demikian bila kadar
bilirubin cenderung meningkat sangat tinggi dalam sirkulasi darah (>
20 mg/dL) akan berisiko menimbulkan toksisitas bilirubin indirek
(neurotoxis) sehingga dapat terjadi komplikasi acute bilirubin encephalopathy
atau kernicterus dengan mortalitas tinggi pada neonatus atau bila survive
akan menimbulkan lifelong neurology sequelae. Untuk itu bayi baru lahir
dengan hiperbilirubinemia indirek perlu dilakukan evaluasi diagnostik
dengan memonitor kadarnya secara serial tergantung klinisnya untuk
mengetahui apakah akan berkembang menjadi berat atau tidak. Bila klinis
bayi sesuai breast-milk jaundice yaitu pertumbuhan berat badan dan klinis

Improving Healthy Gut For Healthy Child 173


Titis Widowati

baik (well baby) dan telah menyingkirkan etiologi lain, maka tidak perlu
pelacakan lebih lanjut karena pada umumnya ikterus akan menghilang
spontan sebelum usia 12 minggu. Etiologi hyperbilirubinemia indirek
yang perlu pelacakan lebih lanjut seperti peyakit hemolitik dan kelainan
genetik.3
BERIKUT ADALAH ALGORITMA BILA KITA MENJUMPAI BAYI
KUNING :

DAFTAR PUSTAKA
Rahhal R.M. Jaundice and neonatal cholestasis. Dalam Bishop W.P.
penyunting. Gastroenterology, McGraw-Hill Company; 2010: 80-90
Suchi F.J. Approach to the infant with cholestasis. Dalam Suchi F.J, Sokol
R.J, Balistreri W.F. penyuinting. Liver disease in children, edisi 3,
Cambridge Uiniversity Press; 2007: 179-89
Chee Y.Y, Chung PHY, Wong RMS, Wong KKY. Jaundice in infant and
Children : Causes, Diagnosis and Management. Hongkong MJ; 2018:
24(3) 285-92
Roberts EA. Neonatal Liver Disease dalam Kelly D. Disease of the Liver
and Biliary System in Children. 3th edition. Wiley – Blackwell;
2008: 57-105

174 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Apa yang Harus Dilakukan Bila Menjumpai Bayi Kuning

Suchi F.J. Neonatal Cholestasis. Pediatrics in Review 2004;25(11):388-95


Moyer V, Freese D.K, Whittington P.F et al. North American Society
for Pediatrics Gastroenterology, Hepatology and Nutrition.
Guideline for the evaluation of cholestatic jaundice in infants:
recommendation of North American Society for Pediatric
gastroenterology, Hepatology and Nutrition. J Pediatr Gastroenterol
Nutr.2004;39(2):115-28
Gourley GR. Jaundice. Dalam Wyllie R, Hyams J.S, penyunting. Pediatric
Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management.
Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders;1999:88-102

Improving Healthy Gut For Healthy Child 175


176
Pemeriksaan Radiologi untuk Distensi Abdomen Pada Anak

PEMERIKSAAN RADIOLOGI UNTUK DISTENSI ABDOMEN


PADA ANAK

Indrastuti Normahayu

Distensi abdomen pada bayi dan anak masih merupakan masalah


dibidang klinis, belum ada definisi yang sesuai untuk distensi abdomen,
harus dibedakan distensi abdomen apakah itu normal atau tidak
normal. Definisi distensi abdomen adalah istilah medis yang terjadi
karena penumpukan cairan atau udara intra abdomen, sehingga ukuran
abdomen menjadi lebih besar dari normal. Penentuan dan penyebab
distensi abdomen masih merupakan masalah pada anak, tergantung pada
anamneses dan pemeriksaan fisik.
Kemungkinan diagnose adalah sangat luas tergantung usia dari bayi
dan anak tersebut. Pada bayi yang sehat kadang ditemui distensi abdomen
yang disebabkan karena aerofagia dan pada anak-anak karena postur
tubuh lordotic dan kelemahan otot dinding abdomen. Distensi abdomen
akut bisa disebabkan adanya cairan ekstraperitoneal, tumor, organo
megali, udara, dan ileus baik fungsional ataupun obstruksi mekanikal,
trauma yang mengakibatkan adanya darah intraperitoneal. Obstruksi non
mekanikal disebut juga ileus paralitik atau pseudo obstruksi. Anak-anak
dan bayi harus dibedakan jenis obstruksi tersebut. Penyebab dari obstruksi
mekanik meliputi post operative karena perlekatan, intususepsi, volvulus,
benda asing, tumor kolon, Chron’s disease, omphalomesenteric duct.
Pasien pediatric dibagi menurut usia meliputi: neonatus, bayi dan
anak-anak. Kelainan intra abdomen meliputi : kelainan bawaan dan
didapat dengan secara klinis terjadi muntah, perut membesar atau tidak
bisa buang air besar . Secara garis besar kelainan abdomen meliputi
kelainan gastro intestinal dan Sistema bilier. Pada neonatus kelainan gastro
intestinal meliputi : hipersalivasi (drooling), muntah, dibedakan menjadi
muntah susu, muntah hijau dan muntah feces, kelambatan pengeluaran
meconium, tidak bisa buang air besar, perut membesar sedang pada
kelainan hepatobilier adalah kolestasis.
Karena penyebab dari distensi sangat banyak maka pemeriksaan
radiologi yang diperlukan untuk membantu menegakkan diagnose
adalah berdasarkan anamneses dan pemeriksaan fisik untuk kendali

Improving Healthy Gut For Healthy Child 177


Indrastuti Normahayu

mutu dan kendali biaya. Pemeriksaan kelainan gastro intestinal


tergantung kelainannya, pada kasus hipersalivasi pemeriksaan radiologi
adalah dipasang OGT (oral gastric tube) kemudian dilakukan imejing
cervico thoracal AP dan lateral. Pada kasus muntah, bila muntah susu,
pemeriksaan awal adalah USG abdomen,bila tidak didapatkan gambaran
HPS, (hipertrophyc pylorus stenosis), dilanjutkan dengan UGI foto, pada
kasus muntah hijau dilakukan imejing foto polos abdomen, bila perlu
dilanjutkan UGI foto (upper gastro intestinal). Pada kasus muntah darah/
hematemesis imejing awal adalah foto polos abdomen, bila diperlukan
dilanjutkan dengan USG Abdomen, demikian juga untuk kasus muntah
fecal, maka pemeriksaan radiologi awal adalah foto polos abdomen.
Selanjutnya adalah pada kasus kelambatan pengeluaran meconium.
Terbanyak adalah karena obstruksi usus letak rendah, diikuti necrotizing
entero colitis. Imejing awal adalah foto polos abdomen, imejing lanjutan
adalah barium enema dengan iodium kontras yang larut air. Hal yang
sama pada kasus sulit buang air besar yaitu dengan pemeriksaan colon
in loop tehnik Hirschprung. Kasus berikutnya yang cukup banyak terjadi
adalah kolestasis. Pada kasus ini pemeriksaan awal adalah USG abdomen
dengan persiapan tidak boleh minum susu minimal 6 jam sebelum
pemeriksaan, boleh minum . larutan glukosa Pada bayi kelainan yang ada
hampir sama, bila pada pemeriksaan USG didapatkan adanya massa, maka
pemeriksaan lanjutan adalah MRI abdomen dengan kontras. Bayi dan
anak-anak, kelainan yang mungkin adalah intususepsi dan appendicitis
dengan keluhan nyeri perut dan muntah, kadang-kadang disertai buang
air besar ada darahnya, jelly stool, pemeriksaan radiologi awal adalah
USG abdomen. Kadang diperlukan pemeriksaan appendicogram untuk
kecurigaan appendicitis dengan keluhan nyeri perut kanan bawah.
Penyebab distensi abdomen biasanya merupakan tanda adanya
obstruksi usus atau tumor intra abdomen, pada bayi bisa terjadi pada
keadaan enteritis, necrotizing entero colitis, perforasi intestinal, ileus
yang berhubungan dengan sepsis, distress nafas, asites atau hypokalemia.
Pada anak-anak bisa karena kelemahan otot dinding abdomen dan organo
megali.
Berikut ini adalah contoh-contoh kasus bayi dan anak dengan distensi
abdomen

178 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Pemeriksaan Radiologi untuk Distensi Abdomen Pada Anak

Gambar 1

Distribusi udara pada


usus halus meningkat
dan udara pada kolon
minimal didapatkan
stepp ledder sign (+)
bentuk memanjang.
Didapatkan pada
pasien dengan
enteritis

Enteritis adalah inflamasi usus halus, biasanya disebabkan oleh


makanan atau minuman yang terkontaminasi dengan mikroba patogen.
Gambaran radiologinya didapatkan adanya penebalan dinding usus halus
,edema submucosa dan dilatasi usus pada kasus yang kronik. Pemeriksaan
lanjutan bila diperlukan adalah CT scan dengan kontras atau MRI
abdomen dengan kontras.
Gambar No. 2

Double bubble sign pada


atresia duodenum, pada
neonatus
Double bubble sign adalah
gambaran dilatasi gaster
dan bulbus duodeni yang
disebabkan karena atresia
duodenum. Pemeriksaan
lanjutan adalah upper
gastro intestinal photo

Improving Healthy Gut For Healthy Child 179


Indrastuti Normahayu

Gambar No. 3

Kneechest position
dan foto polos
abdomen pada
kasus atresia ani.
Pada bayi baru
lahir

Kneechest position adalah pemeriksaan untuk melihat udara paling


rendah yang mengisi rectum untuk menentukan atresia letak tinggi atau
letak rendah. Pemeriksaan lanjutan adalah lopografi distal setelah pasien
dilakukan pemasangan stoma setelah dilakukan colostomy.
Gambar No. 4
Pasien usia 6 tahun
dengan tumor
abdomen dengan
pemeriksaan foto
polos abdomen 2
posisi

Didapatkan gambaran massa pada hemi abdomen kanan atas yang


mendorong udara usus ke lateral kiri dan inferior. Pemeriksaan lanjutan
adalah MRI abdomen dengan kontras.
Gambar No. 5

Laki – laki usia


6 tahun dengan
non paten
stoma

180 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Pemeriksaan Radiologi untuk Distensi Abdomen Pada Anak

Pada foto ini didapatkan gambaran dilatasi usus halus dan udara
kolon minimal sehingga menyebabkan obstruksi usus halus. Tindakan
selanjutnya adalah memperbaiki stoma proksimal.
Gambar No. 6

Bayi usia 24
hari dengan
distesi
abdomen

Pasien didapatkan muntah dan distensi abdomen dengan lekositosis.


Didapatkan dilatasi usus halus disertai penebalan dinding tetapi tidak
didapatkan pneumo intestinalis. Pada pemeriksaan USG didapatkan
retensi cairan pada small intestine dan kolon, tidak tampak cairan bebas
peri intestine.
DAFTAR PUSTAKA
https://pediatriccare.solutions.aap.org/chapter.
aspx?sectionid=107997739&bookid=1626 diakses pada tanggal 25
Januari 2020
https://www.symptoma.com/en/ddx/tympanitic-abdomen diakses pada
tanggal 25 Januari 2020
Willy Robert.Major symptoms and science of digestive track disorder.
Page 1522 -1528. Textbook of Pediatrics 18th Edition. Elsevier.
Philadelphia. 2007.
https://radiopaedia.org/articles/enteritis diakses pada tanggal 8 Februari
2020.

Improving Healthy Gut For Healthy Child 181


182
Manifestasi Klinik Infeksi Corona Virus Pada Saluran Cerna Anak

MANIFESTASI KLINIS INFEKSI CORONA VIRUS PADA


SALURAN CERNA ANAK

Satrio Wibowo

PENDAHULUAN
Sejak diumumkannya infeksi virus Corona sebagai pandemi pada awal
tahun 2020, virus ini telah menjangkiti lebih dari 93 juta manusia dan
menjadi penyebab lebih dari 2 juta kematian di seluruh dunia.1 Salah satu
isu sentral dalam masalah dunia ini adalah efeknya pada anak, baik dari
aspek kesehatan maupun aspek sosial.
Dari seluruh kasus terkonfirmasi covid 19 yang telah dilaporkan
hingga awal tahun 2021, 8% kasus terjadi pada anak usia 0-18 tahun.1
Namun, diduga kasus yang tak terlaporkan cukup tinggi (under reporting),
karena infeksi covid pada anak sering tak bergejala atau bergejala ringan.
Angka perawatan dan kematian baik untuk balita maupun pada secara
keseluruhan anak hingga usia 18 tahun cukup rendah. WHO melaporkan
angka kematian kurang dari 0,1% untuk usia kurang dari 20 tahun,
bahkan CDC menyebutkan angka kurang dari 0,1% untuk usia kurang
dari 18 tahun.2
Di Indonesia kasus Covid 19 yang terkonfirmasi telah mencapai
1 juta kasus dengan lebih dari 27.000 ribu kematian.2 Satuan Tugas
Penganggulangan Covis 16 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
menyebutkan prosentase kasus konfirm untuk anak sampai dengan usia
18 tahun adalah 11,3%, namun 85% kasus bergejala ringan atau bahkan
tanpa gejala.3
PENYEBAB DAN CARA PENULARAN
COVID-19 merupakan penyakit yang disebabkan oleh Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Penyakit ini menyerang
seluruh kelompok usia dari bayi hingga usia lanjut. Spektrum gejala
penyakit ini pun beragam, dari tanpa gejala hingga gejala berat.3,4
Transmisi virus pada manusia umumnya melalui dua cara, yaitu secara
inhalasi droplet saluran napas (dari batuk atau bersin orang yang terinfeksi)
dan kontak langsung. Masa inkubasi penyakit ini berkisar 2-14 hari,

Improving Healthy Gut For Healthy Child 183


Satrio Wibowo

sebagian besar berkisar antara 3 – 7 hari.3,4


GAMBARAN KLINIS INFEKSI COVID 19 PADA ANAK
Pada anak, infeksi SARS-CoV-2 umumnya menimbulkan gejala
ringan atau sedang; jarang bermanifestasi berat bila dibandingkan dengan
manifestasi yang terjadi pada individu dewasa.4,5 Cui, et al, dalam studinya
melaporkan bahwa dari 2597 kasus anak 7,6% adalah kasus asimptomatik,
45,5% bergejala ringan, 41,5% bergejala sedang, 4,4% kasus berat, 0,9%
kasus kritis dan 3 dan kurang dari 0,1%) meninggal dunia.4 Tidak terdapat
perbedaan pada jumlah anak laki-laki dan perempuan yang terinfeksi
COVID-19.5 Manifestasi pada neonatus, khususnya pada bayi prematur,
masih belum diketahui dengan jelas.6,7
Pada kasus simptomatik, gejala klinis yang paling sering pada anak
adalah : demam (59%), batuk (43-52%) dan nyeri tenggorokan (20-40%).
Gejala lain yang lebih jarang antara lain : mialgia (5-7%), hidung tersumbat
(5-30%), atau pilek (7-20%).4,5 Pada keadaan yang lebih berat dapat
terjadi sesak nafas atau nafas cepat (12-28%), bahkan dapat memberat
dengan cepat menjadi sindrom distres pernapasan akut (ARDS), syok
septik, asidosis metabolik refrakter, dan disfungsi koagulasi.8-10
Namun demikian, seperti telah disebutkan di atas, sebagian besar
anak tidak bergejala ataua mengalami gejala yang ringan, dengan prognosis
yang baik dan sembuh dalam 1-2 minggu setelah awal munculnya gejala.11
GAMBARAN KLINIS PADA SALURAN CERNA
Pada sebagian anak dilaporkan adanya gejala pada saluran cerna, antara
lain : rasa tidak nyaman di perut, sakit perut, mual, muntah (6-12%), dan
diare (6-15%).11,12 Data pasien covid-19 anak di RS Saiful Anwar Malang
menunjukkan dari sebanyak dari 440 kasus suspek (kasus dengan Rapid
Test atau Tes Eclia atau Riwayat kontak erat dengan penderita) didapatkan
22 kasus confirm. Duapuluh diantaranya didapatkan gejala pada saluran
pencernaan, berupa anoreksia, diare, mual, muntah dan sakit perut.13
MEKANISME KETERLIBATAN HATI DAN SALURAN CERNA
PADA INFEKSI COVID 19
Patogenesis Pada Hati
Pada analisis studi kasus oleh Musa, 2020, didapatkan angka kejadian
cedera hati (liver injury) pada kasus terkonfirmasi Covid-19, berkisar

184 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Manifestasi Klinik Infeksi Corona Virus Pada Saluran Cerna Anak

antara 14.8%. Sebanyak 78% kasus ditandai dengan adanya peningkatan


kadar AST/ALT dan peningkatan ringan kadar bilirubin. Pada kasus
terkonfiramsi covid-19 dengan klinis yang berat, peningkatan kadar AST/
ALT dan bilirubin menjadi lebih tinggi.14
Terdapat 4 dugaan mekanisme cedera hati pada pasien covid 19. Pertama
adalah kerusakan sel yang secara langsung disebabkan oleh efek sitopatik
virus covid terhadap sel hati. SARS-CoV-2 berikatan dengan reseptor
angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) kemudian masuk ke dalam sel.
Terdapat penelitian yang mendukung bahwa sel-sel saluran empedu atau
duktus kholedokus (cholangio-cytes) kaya akan reseptor ACE2. Sebanyak
59.7% sel pada duktus kholedokus memiliki reseptor ACE2. Angka ini
jauh lebih banyak dibanding pada sel hepar (hepatocytes) sejumlah 2.6%
dari seluruh hepatosit. Hal ini didukung dengan fakta bahwa kadar gamma-
glutamyl transferase (GGT) juga meningkat pada 54% pasien Covid 19.14
Mekanisme kedua adalah melalui mekanisme infkamasi (immune-mediated
inflammation). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
terjadi badai sitokin (inflammatory cytokine) pada pasien Covid. Keadaan
limfopenia pada infeksi SARS-CoV-2 menyebabkan peningkatan kadar
interleukin-6 (IL-6), IL-10, IL-2 and IFN-c dan mengakibatkan respon
inflamasi. Dan terdapat hubungan antara limfopenia dan cedera hati.14
Kemungkinan ketiga adalah karena tingginya tekanan positif
akhir ekspirasi (positive end expiratory pressure) yang dapat menyebabkan
pembengkakan hati (hepatic congestion) melalui peningkatan tekanan
atrium kanan (right atrial pressure) and kelambatan pengisian kembali
pengisian vena (impeding venous return). Disamping itu data mengenai
kadar aminotransferase tidak mendukung teori hypoxic hepatitis.14
Mekanisme terkahir adalah melalui terjadinya drug-induced liver injury
selama tatalaksana COVID-19. Hal ini diduga karena penggunaan obat-
obatan antiviral (lopinavir/ritonavir), antipiretik (acetaminophen),
antibiotik (macrolides, quinolones) dan steroid yang cukup masif dalam
masa pandemi.14
Pasien-pasien dengan pre eksisitng penyakit hati, seperti Hepatitis B,
juga dilaporkan rentan menjadi lebih berat apabila terpapar dengan virus
Covid.14

Improving Healthy Gut For Healthy Child 185


Satrio Wibowo

PATOGENESIS PADA SALURAN CERNA


Sejak RNA virus SARS-CoV-2 terdeteksi pada tinja, maka perhatian
para ahli mulai terfokus pada dampak virus ini terhadap saluran cerna.
Terlebih diperkuat dengan dugaan bahwa asal muasal penyakit ini bermula
dari konsumsi hewan (kelelawar) yang terinfeksi Covid, serta adanya bukti
viral shedding yang lebih lama pada tinja, makin memperkuat asumsi saluran
cerna sebagai rute alternatif dari penyebaran virus ini semakin kuat.14
Penelitian Dong, 2020, menyebutkan 48% pasien mengalami gejala
saluran cerna.5 Dalam laporan lain disebutkan bahwa (56%) pasien
mengalami mual muntah dan 38% mengalami diare.14 Penelitian pada
pasien anak didapatkan data adanya gejala pada saluran cerna, seperti rasa
tidak nyaman di perut, nyeri perut, mual, muntah (6-12%), dan diare (6-
15%).14,15 Pasien-pasien dengan gejala saluran cerna lebih lama sembuh
dibandingkan dengan paasien tanpa gangguan saluran cerna. Diduga
karena replikasi virus yang lebih banyak di saluran cerna.14
Terdapat beberapa dugaan mekanisme terjadinya gejala pada saluran
cerna. Seperti halnya pada hati, keberadaan reseptor ACE2 pada sel sel
enterosit memudahkan interaksi dengan SARS-CoV-2. Diduga ACE2
benyak terdapat pada sel glandular pada lambung dan epitel duodenum
serta pada enterosit. Virus selanjutkan akan mudah menginvasi dan
merusak enterosit, menyebabkan kegagalan absorbs dan sekresi dan
mengaktifkan sistem saraf enteric serta menyebabkan diare.14
Mekanisme lainnya diduga melalui respon inflamasi dan diare karena
penggunaan antibiotika. Teori yang terakhir berhubungan dengan konsep
gut-lung axis, dimana perubahan flora normal pada saluran cerna dapat
mempengaruhi kondisi saluran pernafasan melalui regulasi sistem imun.14
DIAGNOSIS
Sama halnya dengan penyakit yang lain, prosedur diagnotik pada anak
meliputi : anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Kecurigaan bahwa seorang anak terjangkit infeksi Covid-19 diperoleh dari
2 hal : (1) adanya gejala klinis, DAN (2) adanya faktor risiko. Gejala klinis
yang mengarah pada kecurigaan infeksi Covid-19, antara lain : adanya
riwayat demam, sakit kepala, nyeri otot, malaise, adanya gejala salurah
pernafasan seperti :batuk, pilek, nyeri tenggokan, sesak nafas dan/atau
disertai gejala saluran cerna, seperti diare, mual atau rasa tidak enak pada
perut. Sedangkan faktor risiko ada;ah apabila didapatkan adanya riwayat

186 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Manifestasi Klinik Infeksi Corona Virus Pada Saluran Cerna Anak

kontak dengan pasien yang terkonfirmasi Covid-19, dan/atau berada di


daerah dengan bukti adanya transmisi lokal.3,8,9,15
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain pernafasan
cuping hidung, sianosis, retraksi subkostal dan/atau intercostal, suara
paru: ronki, wheezing, ruam virus, dll.3
Pemeriksaan penunjang darah rutin seringkali tidak spesifik. Jumlah
leukosit pada sebagian sebagian besar kasus normal, namun dapat pula
meningkat maupun menurun. Dapat ditemukan adanya trombositopenia.
Laju Endap Darah meningkat pada sebagian besar kasus. Pemeriksaan
penunjang pada ODP dan PDP tanpa pneumonia tidak rutin dilakukan,
tergantung kondisi pasien dan penilaian dari klinisi. Pada foto thoraks
untuk kasus pneumonia pada anak dapat ditemukan gambaran
pneumonia yang ringan sampai berat, seperti ground-glass opacity bilateral
dengan distribusi bagian perifer, subpleural dan/atau konsolidasi.3
Pemeriksaan CT-scan toraks dapat dilakukan jika terindikasi dan
kondisi memungkinkan. Pada tahap awal didapatkan gambaran multiple
small plaques dan interstitial changes, terutama di daerah perifer. Pada
kondisi lanjut bisa didapatkan bilateral multiple ground-glass opacity dan/
atau infiltrat.3
Diagnosis pasti dari infeksi Covid-19 pada anak saat ini adalah
pemeriksaan untuk mendeteksi SARS-CoV-2 dengan metode RT-PCR
dan sequencing. Spesimen yang dikirim untuk pemeriksaan mikrobiologi
adalah swab nasofaring.3
Tabel 1. Kategori kasus infeksi virus corona virus pada anak

Improving Healthy Gut For Healthy Child 187


Satrio Wibowo

PENGOBATAN
Pengobatan anak dengan infeksi Covid-19 dilakukan berdasarkan
kondisi klinis. Anak suspek COVID-19 diisolasi di dalam satu ruangan
tersendiri atau isolasi mandiri di rumah sesuai anjuran dokter. Kasus-
kasus konfirmasi dapat dirawat dalam ruangan yang sama. Kasus kritis
harus segera dirawat di ruang intensif. Apabila dimungkinkan, anak bisa
dirawat di ruangan dengan tekanan negatif.3
Hingga saat ini belum ditemukan terapi definitif untuk mengatasi
infeksi virus Covid 19. IDAI merekomendasikan pemberian vitamin C
dengan dosis maksimal 400mg/hari untuk anak usia 1-3 tahun; 600 mg/
hari untuk anak usia 4 – 8 tahun dan 1,2 gram/hari untuk usia > 9 tahun.
Pemberian Zink 20 mg/hari dapat dipertimbangkan, terutama pada kasus
diare, meskipun bukti penelitian yang ada belum menunjukkan hasil yang
meyakinkan.3
Antibiotika intravena seperti Ceftriaxon IV 80mg/kgBB/24jam
atau Azitromisin 10 mg/kg diberikan bila didapatkan tanda dan bukti
adanya pneumonia atipikal. Penggunaan antivirus potensial dapat
dipertimbangkan berdasarkan kasus per kasus 
 dengan mempertimbangkan
status konfirmasi, progresivitas penyakit, dan komorbid. Pemberian
Oseltamivir dapat dipertimbangkan bila terdapat kecurigaan ko-infeksi
dengan influenza.3
Hingga saat ini belum ada rekomendasi tatalaksana khusus untuk
penanganan kasus covid-19 dengan manifestasi pada saluran cerna. Terapi
pada anak dengan diare pada umumnya tetap mengikuti rekomendasi
tatalaksana diare pada anak dari WHO. Lima prinsip tatalaksana diare dari
WHO tetap menjadi standar acuan utama, yaitu rehidrasi, pemberian zinc,
melanjutkan ASI dan/atau pemberian makanan, pemberian antibiotika
atas indikasi serta komunikasi dan edukasi pada orang tua. Pengenalan
dini tanda-tanda dehidrasi harus dilakukan oleh seorang klinisi pada awal
pemeriksaan. Penentuan derajat dehidrasi akan menentukan tindakan
pada pasien selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
World Health Organization. 2021. Weekly operational update on
COVID-19 - 26 January 2021 [disitasi pada 2021 Januari 27].
Didapatkan dari : https://www.who.int/publications/m/item/
weekly-operational-update-on-covid-19---26-january-2021

188 Improving Healthy Gut For Healthy Child


Manifestasi Klinik Infeksi Corona Virus Pada Saluran Cerna Anak

Central For Disease Control and Prevention (CDC). Weekly Updates by


Select Demographic and Geographic Characteristics, Provisional
Death Counts for Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).
Didapatkan dari : https://www.cdc.gov/nchs/nvss/vsrr/covid19/
index.htm
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Panduan Klinis Tatalaksana Covid Pada
Anak, Edisi 3. 2020
Cui X, Zhang T, Zheng J, Zhang J, Si P, Xu Y, Guo W, et al. Children with
coronavirus disease 2019 (COVID-19): A review of demographic,
clinical, laboratory and imaging features in pediatric patients. J Med
Virol. 2020: 10.1002/jmv.26023. 

Dong Y, Mo X, Hu Y, Qi X, Jiang F, Jiang Z, et al. Epidemiology of COVID-19
among children in China. Pediatrics. 2020;145(6):e20200702
De Rose DU, Piersigilli F, Ronchetti MP, Santisi A, Bersani I, Dotta A, et
al. Novel coronavirus disease (COVID-19) in newborns and infants:
What we know so far. Italian J Pediatr. 2020;46:56
Zimmermann P, Curtis N. COVID-19 in children, pregnancy and
neonates: A review of epidemiologic and clinical features. Pediatr
Infect Dis J. 2020;39(6):469-77
Songa W, Lib J, Zoua N, Guana W, Pana J, Xua W. Clinical features of
pediatric patients with coronavirus disease (COVID-19). J Clin Virol.
2020;127:104377. https:// doi.org/10.1016/j.jcv.2020.104377. 

Chang TH, Wu JL, Chang LY. Clinical characteristics and diagnostic
challenges of pediatric COVID-19: A systematic review and meta-
analysis. J Formos Med Assoc. 2020;119:982-9. https://doi.
org/10.1016/ j.jfma. 2020.04.007
Cau Q, Chen YC, Chen CL, Chiu CH. SARS-CoV-2 infection in children:
Transmission dynamics and clinical characteristics. J Formosan
Med Assoc. 2020;119:670-3
Shen K, Yang Y, Wang T, Zhao D, Jiang Y, Jin R, et al. Diagnosis, treatment,
and prevention of 2019 Novel coronavirus infection in children:
Experts’ consensus statement. World J Pediatr.2020. https://doi.
org/10.1007/ s12519-020-00343-7
Zimmermann P, Curtis N. 2020. Coronavirus Infections in Children
Including COVID-19 An Overview of the Epidemiology, Clinical

Improving Healthy Gut For Healthy Child 189


Satrio Wibowo

Features, Diagnosis, Treatment and Prevention Options in Children. The


Pediatric Infectious Disease Journal • Volume 39, Number 5, May
2020
Wibowo S, Olivianto E, Ratridewi I. Gambaran Kasus Terkonfirmasi
Covid-19 Pada Anak di RS Saiful Anwar Malang. 2021. Unpublished
Musa S. 2020. Hepatic and gastrointestinal involvement in coronavirus
disease 2019 (COVID-19): What do we know till now? Arab Journal
Of Gastroenetrology
Dooki ME, Mehrabani S, et al COVID-19 and Digestive System in
Children: A Retrospective Study Arch Iran Med. November
2020;23(11):782-786 doi 10.34172/aim.2020.104.

190 Improving Healthy Gut For Healthy Child


191

Anda mungkin juga menyukai