Bismillahirohmanirrohiim
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh,
Salam Sejahtera,
Sejawat dokter dan mitra kegiatan yang kami hormati,
Jutaan anak di Indonesia hidup dengan berbagai masalah pencernaan
dan gangguan nutrisi. Diare masih menjadi salah satu penyebab tersering
kesakitan dan kematian pada anak di Indonesia. Masalah pada saluran
cerna pada anak lainnya, seperti muntah, sakit perut, dan konstipasi, juga
masih menjadi penyebab tersering gangguan saluran cerna. Oleh sebab
itu, pengembangan keilmuan dan kemampuan profesional seorang dokter
dalam meng-update informasi-informasi terkini mengenai kesehatan
saluran cerna anak sangatlah penting.
Pada kesempatan ini Perhimpunan Gastroenterologi, Hepatologi
dan Nutrisi Anak Indonesia (PGHNAI) sebagai perhimpunan seminat
para dokter di bidang saluran cerna, hati dan nutrisi anak, mempersem-
bahkan forum ilmiah Simposium Nasional dalam rangkaian acara Kon-
gres Nasional PGHNAI 2021, dengan tema “Improving Healthy Gut for
Healthy Child”.
Kami berharap kegiatan ini dapat mendukung upaya pencapaian
target-target nasional dalam meningkatkan derajat kesehatan bagi seluruh
anak Indonesia melalui sumbangan pemikiran, peningkatan kemampuan
dan kolaborasi dengan penyedia layanan jasa kesehatan, khususnya dokter
di Indonesia dalam bidang kesehatan saluran cerna, hati dan nutrisi anak
Terimakasih kami ucapkan kepada pengurus PGHNAI cabang Jawa
Timur, dan Panitia dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang yang telah berkolaborasi dan
mengupayakan terselenggaranya rangkaian acara Kongres Nasional VIII
PGHNAI.
iii
Selamat berpartisipasi dalam Simposium Nasional.
Maju terus Dokter Indonesia! Sehat dan sejahtera Anak Indonesia !
Terima kasih
Salam Sejahtera
iv
Pengantar Ketua Panitia Pelaksana Kongres Nasional
PGHNAI VIII
Bismillahirohmanirrohiim
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh,
Salam Sejahtera
v
DAFTAR ISI
vi
PENYAKIT HIRSCHSPRUNG (PENATALAKSANAAN).................. 105
Lulik Inggarwati
IMUNISASI HEPATITIS B DAN TATALAKSANA BAYI BARU LAHIR
DARI IBU HBsAg POSITIF.................................................................. 109
Nenny Srimulyani
TATALAKSANA HEPATITIS A PADA ANAK.................................... 115
Ninung RD Kusumawati, M Fathah, Afriliana Mulyani
MENGENAL HEPATITIS PADA NEONATUS................................... 123
Setia Budi Salekede
INTERPERTASI PEMERIKSAAN SEROLOGI HEPATITIS PADA
ANAK..................................................................................................... 139
Anik Widijanti
INTOLERANSI LAKTOSA: PERLUKAH PENYESUAIAN SUSU
PADA DIARE AKUT..............................................................................161
Alpha Fardah Athiyyah
APA YANG HARUS DILAKUKAN BILA MENJUMPAI BAYI
KUNING................................................................................................ 169
Titis Widowati
PEMERIKSAAN RADIOLOGI UNTUK DISTENSI ABDOMEN
PADA ANAK...........................................................................................177
Indrastuti Normahayu
MANIFESTASI KLINIS INFEKSI CORONA VIRUS PADA SALURAN
CERNA ANAK...................................................................................... 183
Satrio Wibowo
vii
viii
Masalah Saluran Cerna Pada Anak di Indonesia
Agus Firmansyah
PENDAHULUAN
Dalam menentukan masalah berbagai pendekatan dapat dilakukan.
Dalam makalah ini pendekatan dilakukan berdasarkan aspek: morbiditas
dan mortalitas, dampak terhadap tumbuh-kembang anak, mudah
diidentifikasi, tersedia pengobatannya, dan komplikasi berat yang
mungkin ditimbulkannya. Tabel 1 memuat beberapa penyakit atau entitas
klinik yang sesuai dengan pendekatannya. Bahasan akan mencakup alasan,
besaran masalah, dan apa yang harus dilakukan di masa depan.
Tabel 1. Beberapa masalah saluran cerna yang perlu mendapat
perhatian
Masalah Diare
• Diare persisten
• Diare pada penderita AIDS
• Disenteri
• Sinderom malabsorpsi
• Disentri karena antibiotik
• Diare sebagai penyebab stunting
• Emergency foods
• Suplementasi Zn
Penyakit fungsional saluran cerna
• Konstipasi
• Sakit perut berulang
Penyakit refluks gastroesofagus
Perdarahan saluran cerna
• Endoskopi
• Hematemesis
• Hematokesia
Penyakit hati
• Hepatitis vius
• Kolestasis
MASALAH DIARE
Diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia
karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Walaupun
mortalitas diare akut sudah mendekati nol, tetapi masih banyak masalah
diare yang belum ditangani dengan baik.
Diare persisten masih merupakan masalah karena angka kematiannya
yang masih tinggi. Sekitar 5% diare akut akan melanjut menjadi diare
kronik. Banyak faktor risiko yang telah diidentifikasi antara lain: usia <
1 tahun, pemakaian antibiotik, riwayat diare berulang, malnutrisi, dan
lain-lain. Berbagai penyebab diare persisten antara lain intoleransi laktosa,
alergi susu sapi, sindrom malabsorpsi, bacterial overgrowth, antibiotic
associated diarrhea, dan infeksi persisten. Hal yang perlu dilakukan di
masa depan antara lain: melakukan penelitian multisenter tentang faktor
risiko dan penyebab diare persisten dan mengembangkan formula lokal
untuk terapi dietetik.
Diare pada pendeita AIDS juga merupakan masalah yang penting.
Diare pada penderita AIDS dapat disebabkan oleh patogen yang umum
sebagai penyebab diare seperi E. Coli dan Salmonella, atau disebabkan
oleh kuman oportunistik (komensal), atau oleh kuman-kuman lain
seperti Cryptosporidium dan Cytomegalovirus. Kebutuhan mendesak
adalah melakukan studi untuk mencari gambaran penyebab diare pada
anak penderiat AIDS, sehingga diperoleh “cocktail” yang dapat mengobati
diare secara blind sambil menunggu hasil kultur atau deteksi virus.
Masalah yang berkaitan dengan disentri basiler adalah resistensi obat.
Telah terjadi resistensi obat pada banyak kasus terutama di kota besar.
Obat-obatan yang secara konvensional digunakan untuk mengobati
disentri basiler seperti trimetroprim-kotrimoksasol dan ampisilin telah
banyak yang resisten. Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai
resistensi obat pada disenteri di berbagai daerah agar diperoleh obat-
obatan yang sesuai dengan resistensi lokal.
Karena faktor higiene dan sanitasi perorangan dan lingkungan masih
memerlukan perbaikan dan memerlukan waktu, penelitian mengenai
prevalensi infeksi Entamoeba hystolytica dan Giardia lamblia pada
daerah rural dan padat perlu dilakukan. Infeksi Entamoeba hystolytica
pada usus yang asimptomatik pun dapat berkembang menjadi amebiasis
ekstraintestinal, misalnya abses hati. Infeksi Giardia lamblia terjadi pada
Hanifah Oswari
PENDAHULUAN
Hepatitis B telah menjadi masalah utama di dunia sejak dulu sampai
sekarang. WHO dalam Global Hepatitis Report tahun 2017 menyebutkan
pada tahun 2015, 257 juta orang hidup dengan hepatitis B kronis.
Prevalensi hepatitis kronis di dunia sekitar 3,5% dan menyebabkan
kematian 887.000 orang setiap tahun.1 Di Indonesia menurut data Riset
Kesehatan Dasar 2013 prevalensi hepatitis B sebesar 7,1% atau berkisar
18 juta orang. Prevalensi hepatitis B pada anak usia kurang dari 4 tahun
4,2%.
Hepatitis B di negara yang endemis hepatitis B, transmisi perinatal
merupakan penyebab utama infeksi hepatitis B kronis. Hal ini disebabkan
tingginya prevalensi hepatitis B pada ibu hamil.2 Oleh sebab itu pencegahan
infeksi vertikal ini sangat penting dilakukan bersama-sama melalui suatu
program nasional untuk dapat melakukan elimanasi virus hepatitis B.
Melihat besarnya permasalahan kasus hepatitis di Indonesia,
Indonesia mengusulkan kepada WHO agar pengendalian hepatitis
menjadi isu di dunia. Dalam sidang World Health Assembly (WHA) ke 63
pada tahun 2010, usul Indonesia ditetapkan menjadi resolusi No.63.18
yang menyebutkan bahwa Hepatitis virus menjadi salah satu prioritas yang
harus ditanggulangi setiap negara.
World Health Assembly (WHA) pada tahun 2016 membuat strategi
kesehatan global untuk mengeliminasi virus hepatitis sebagai ancaman
Kesehatan masyarakat pada tahun 2030 termasuk di dalamnya hepatitis A
dan B.3 Tujuannya adalah mengelimanasi virus hepatitis sebagai ancaman
Kesehatan masyarakat yang utama pada tahun 2030. Target eliminasi
untuk hepatitis B adalah menurunkan 90% infeksi baru dan 65%
kematian akibat hepatitis virus B.1
Pada masa anak, jarang sekali terjadi sirosis, hanya terjadi pada 3%
pasien anak pada usia sekitar 4 tahun,10 tetapi penelitian baru-baru ini di
Amerika dan Kanada menemukan anak dengan infeksi hepatitis B karena
transmisi vertikal, ditemukan 31% dengan fibrosis ringan, 61% dengan
fibrosis sedang, 6% dengan fibrosis berat, dan 4% dengan sirosis hati.
Usia, lamanya terinfeksi, tingginya DNA-HBV tidak berhubungan dengan
terjadinya fibrosis, tetapi fibrosis dan inflamasi berhubungan dengan rasio
aspartate aminotransferase/trombosit pasien.11 Hal ini mengarah pada
kemungkinan terjadinya sirosis hati pada masa dewasa yang lebih tinggi.
Pasien anak dengan hepatitis B terdapat risiko yang lebih tinggi untuk
terjadinya karsinoma hepatoselular. Risiko ini meningkat pada pasien
dengan HBeAg positif. Pada dewasa yang mendapat infeksi hepatitis B
perinatal angka kejadian karsinoma hepatoselular meningkat setiap
10 tahun sekitar 5%. Insidens karsinoma hepatoselular sebelum masa
vaksinasi hepatitis B universal angka kejadian KHS 0,7-1986/100.000
penduduk tahun 1981-1986 menurun menjadi 0.36/100.000 penduduk
pada tahun 1990-1994 sesudah imunisasi universal hepatitis B.12
TERAPI HEPATITIS B PADA ANAK
Anjuran terapi hepatitis B saat ini adalah bila pasien masuk dalam
fase imun aktif yang ditandai peningkatan ALT >1,5-2x batas atas normal
yang persisten dan DNA-HBV >20.000 IU/mL atau 105 kopi/mL paling
sedikit selama 4-6 bulan.13 Sayangnya sangat sedikit anak yang masuk
dalam fase imun aktif ini. Anak umumnya berada pada fase imun toleran
yang panjang. Anak mungkin masuk dalam fase imun aktif pada masa
dewasa, walaupun begitu, terapi hepatitis B dengan PEG-interferon atau
analog nukleosida/nukleotida sampai saat ini belum memuaskan. Hal
ini karena adanya ccc-DNA di dalam hepatosit yang sulit dihilangkan
walaupun diberi antivirus yang potent.
Tatalaksana hepatitis B pada anak umumnya berupa konseling untuk
orangtua dan anak dan surveilans perjalanan penyakit terutama detekti
dini karsinoma hepatoselular sambil menunggu kemungkinan untuk
anak dapat diterapi.
PENCEGAHAN HEPATITIS B PADA ANAK
Vaksinasi aktif terhadap hepatitis B merupakan cara terbaik
untuk mencegah infeksi hepatitis B. Vaksinasi hepatitis B sangat aman
insidens hepatitis B pada populasi umum menjadi 0,1% pada tahun 2030
(indikator RPJMN 2020-2024) untuk mencapai Sustainable Development
Goasl (SDGs) 3.3.4.
Untuk mencapai hal ini Direktorat P2PML, Kemenkes RI melakukan
penyebaran informasi melalui media sosial untuk penguatan kepedulian
masyarakat dan advokasi para pemangku kepentingan melakukan
penguatan data dan surveilans hepatitis dan pengembangan data
elektronik, penguatan Nakes melalui webinar dan platform online, perluasan
jejaring layanan hepatitis B di fasilitas Kesehatan tingkat kesehatan
tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas Kesehatan tingkat lanjutan (FKRTL),
pengembangan studi operasional terkait hepatitis B dan pemutakhiran
kebijakan dan strategi Program Pencegahan Hepatitis berbasis data dan
perkembangan ilmu pengetahuan.
Dari 514 kabupaten/kota, 89,1% kabupaten/kota di Indonesia yang
telah melaksanakan program deteksi dini hepatitis B (DDHB). Sebanyak
45,2% ibu hamil telah masuk dalam program DDHB dan diperiksa HBsAg.
Hasilnya, HBsAg ditemukan pada 2,5% ibu hamil pada tahun 2016 dan
menurun terus sampai 1,7% ibu hamil pada tahun 2020. Pemberian HBIg
dan vaksinasi hepatitis B pada bayi dari ibu reaktif HBsAg telah mencapai
95,8% dari bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif pada tahun
2020. Bayi usia 9-12 bulan yang diperiksa HBsAg, dari 5.339 bayi usia
9-12 bulan yang diperiksa HBsAg didapatkan hasil non reaktif sebanyak
98,4%. Kegagalan pada 1,6% bayi dengan HBsAg positif walaupun telah
mendapat HBIg dan vaksin hepatitis B ini antara lain karena kemungkinan
transmisi hepatitis B terjadi pada saat kehamilan (intra-uterin). Kinerja
lengkap program hepatitis B di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
9-39% bayi dengan tingkat viremia tinggi, dan jarang bila HBV-DNA
<105- 106 IU/mL.25, 26
Pada ibu dengan HBsAg positif dan HBV-DNA > 2x105 IU/mL atau
>106 copies/mL di samping imunisasi aktif dan pasif bila akan dilakukan
pencegahan maksimal perlu diberikan obat antivirus pada ibu saat
kehamilan.27, 28
HEPATITIS A
Virus Hepatitis A berbeda dengan hepatitis B, menyebar melalui jalur
fekal-oral, menimbulkan gejala akut dan tidak menyebabkan hepatitis
kronis. Infeksi virus Hepatitis A terjadi di seluruh dunia. Umumnya
seorang anak terinfeksi virus hepatitis A karena kontak dengan orang lain
dengan hepatitis A. Penurunan insidens kasus hepatitis A berhubungan
dengan perbaikan lingkungan, kondisi higienis atau perubahan siklus
epidemik yang sulit dievaluasi.
Hepatitis A terkenal dapat menimbulkan kejadian luar biasa (KLB).
Paling tidak dari tahun 2011, telah dilaporkan kejadian luar biasa hepatitis
A dari 3 propinsi, Jawa Barat, Lampung dan Banten, dengan jumlah kasus
550 orang. Tahun 2012 terdapat 11 propinsi (26 kabupaten melaporkan
terjadinya KLB sebanyak 27 KLB mengenai 2113 orang, tanpa laporan
kematian. Pada tahun 2013 4 propinsi (4 kabupaten melaporkan 4 KLB
mengenai 167 orang, juga tanpa kematian. Yang terbaru pada tahun 2019,
terjadi KLB pada 9 propinsi (16 kabupaten/kota) dengan 3.412 orang
terinfeksi hepatitis A. Dari semua kejadian luar biasa hepatitis A belum
dilaporkan adanya kematian.
GEJALA KLINIS HEPATITIS A
Pada anak yang berusia kurang dari 6 tahun, hanya 30% saja yang
bergejala. Gejala yang timbul adalah kuning yang berlangsung sekitar 2
minggu dan diikuti peningkatan enzim transaminase yang akan menurun
dan kembali normal dalam waktu 2-3 bulan.29
Pada anak usia yang lebih besar sampai dewasa, umumnya virus hepatitis
A menimbulkan gejala klinis selama beberapa minggu. Gejala kuning
terjadi pada 70% anak dan terdapat 80% anak dengan hepatomegali, dan
sekitar 40% memerlukan perawatan di rumah sakit.30
Walaupun jarang (kurang dari 1%), hepatitis A dapat menyebabkan
hepatitis yang berat (fulminan) yang dapat menyebabkan kematian. Pada
anak kurang dari 14 tahun, dilaporkan 0,3%, pada remaja dan dewasa
muda dilaporkan 0,1% meninggal.
Kadang-kadang hepatitis A dapat menimbulkan gejala ekstrahepatik
seperti artralgia (14%), dan yang lebih jarang lagi seperti vasculitis, artritis,
neuritis optik, myelitis transversa, dan ensefalitis.31 Hepatitis A walaupun
tidak menyebabkan hepatitis kronis, dapat kambuh (relaps) bahkan dapat
membangkitkan hepatitis autoimun pada individu tertentu.32, 33
Pada komunitas seperti sekolah, restoran, hepatitis A dapat
menimbulkan kejadian luar biasa karena adanya kontaminasi air atau
makanan. Di Indonesia hampir tiap tahun sekali dilaporkan kejadian
luar biasa hepatitis A. Kejadian luar biasa terjadi di sekolah maupun di
komunitas umum.
Kejadian luar biasa hepatitis telah dilaporkan sejak lama A di
Indonesia. Pada tahun 2005 telah dilaporkan. KLB di sebuah SMP di
Jakarta.34 Paling sedikit sejak tahun 2011, 3 propinsi (8 kabupaten/kota)
melaporkan 9 KLB dengan jumlah kasus 550 orang. Tahun 2012, 11
propinsi (26 kabupaten/kota) melaporkan 27 KLB dengan jumlah kasus
2113 orang, tahun 2013, 4 propinsi (4 kabupaten/kota) melaporkan 4
KLB dengan jumlah kasus 167 orang. Pada tahun 2019, 9 propinsi (16
kabupaten/kota) melaporkan 16 KLB dengan jumlah kasus 3.421 orang
(Data dari Direktorat P2M PLP, Kemenkes RI). Untungnya dari semua
KLB, walaupun hepatitis A berpotensi menimbulkan hepatitis fulminan
yang mematikan, tidak ada laporan kasus yang meninggal pada KLB yang
terjadi.
DIAGNOSIS HEPATITIS A
Hepatitis A akut dapat ditegakkan dengan cara mendeteksi adanya
IgM anti-HAV. Serum IgM anti-HAV dapat tetap positif selama 4-6 bulan.
PENCEGAHAN HEPATITIS A
Pencegahan umum dapat dilakukan dengan cara memperbaiki sanitasi
dengan menggiatkan praktek mencuci tangan dengan sabun, memasak
makanan dan air.
Pemberian vaksinasi hepatitis sangat imunogenik dan tidak tergantung
merk vaksinasinya. Vaksin hepatitis A jarang sekali gagal menimbulkan
respons imun.35 Vaksin Hepatitis A (inactivated) memiliki riwayat
keamanan yang sangat baik untuk anak dan dewasa. Efek samping vaksin
McMahon BJ, Alward WL, Hall DB, Heyward WL, Bender TR, et al. Acute
hepatitis B virus infection: relation of age to the clinical expression
of disease and subsequent development of the carrier state. J Infect
Dis. 1985;151:599-603.
Bortolotti F, Calzia R, Cadrobbi P, Giacchini R, Ciravegna B, et al. Liver
cirrhosis associated with chronic hepatitis B virus infection in
childhood. J Pediatr. 1986;108:224-7.
Rodriguez-Baez N, Murray KF, Kleiner DE, Ling SC, Rosenthal P, et al.
Hepatic Histology in Treatment-naive Children With Chronic
Hepatitis B Infection Living in the United States and Canada. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2020;71:99-105.
Chang MH, You SL, Chen CJ, Liu CJ, Lee CM, et al. Decreased incidence
of hepatocellular carcinoma in hepatitis B vaccinees: a 20-year
follow-up study. J Natl Cancer Inst. 2009;101:1348-55.
Murray KF, Shah U, Mohan N, Heller S, Gonzalez-Peralta RP, et al.
Chronic hepatitis. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2008;47:225-33.
Margolis HS, Coleman PJ, Brown RE, Mast EE, Sheingold SH, et al.
Prevention of hepatitis B virus transmission by immunization.
An economic analysis of current recommendations. JAMA.
1995;274:1201-8.
Poovorawan Y, Sanpavat S, Pongpunlert W, Chumdermpadetsuk S,
Sentrakul P, et al. Protective efficacy of a recombinant DNA
hepatitis B vaccine in neonates of HBe antigen-positive mothers.
JAMA. 1989;261:3278-81.
Stevens CE, Toy PT, Tong MJ, Taylor PE, Vyas GN, et al. Perinatal hepatitis
B virus transmission in the United States. Prevention by passive-
active immunization. JAMA. 1985;253:1740-5.
Ni YH, Chen DS. Hepatitis B vaccination in children: the Taiwan
experience. Pathol Biol (Paris). 2010;58:296-300.
Liaw YF, Chu CM. Hepatitis B virus infection. Lancet. 2009;373:582-92.
Poovorawan Y, Chongsrisawat V, Theamboonlers A, Leroux-Roels G,
Kuriyakose S, et al. Evidence of protection against clinical and
chronic hepatitis B infection 20 years after infant vaccination in a
high endemicity region. J Viral Hepat. 2011;18:369-75.
PENDAHULUAN
Stunting (perawakan pendek) merupakan petanda malnutrisi kronik.
Definisi stunting adalah ukuran tinggi menurut umur kurang dari yang
normal. Data Riskesdas 2013 menunjukkan 37,2 persen balita Indonesia
mengalami stunting. Tingginya prevalens stunting di suatu negara merupakan
bencana sosial, kegagalan membangun masyarakat manusia.
Seribu hari pertama kehidupan memang merupakan periode yang
penting dalam tumbuh kembang anak. Sejak konsepsi sampai dua tahun
pertama kehidupan banyak tantangan menghadang tumbuh kembang
anak. Prematuritas, asupan gizi yang tidak adekuat dan infeksi berulang
tentu akan mengganggu tubuh kembang anak. Tentu saja, berbagai
faktor makro seperti kemiskinan, lingkungan hidup, pendidikan, akses
terhadap pelayanan kesehatan, kepadatan penduduk, stabilitas politik dan
urbanisasi mempengaruhi kejadian stunting.
Berbagai penelitian di dunia membuktikan kaitan yang sangat
kuat antara stunting dengan morbiditas dan mortalitas, fungsi kognitif,
produktivitas dan penyakit/kesehatan jangka panjang pada masa dewasa.
Makalah berikut ini akan membahas penyebab stunting secara umum
dan kemudian mengajukan beberapa upaya yang dapat dilakukan
mqasyarakat untuk pencegahannya.
ETIOLOGI STUNTING
Studi epidemiologis di beberapa negera berkembang di dunia
menunjukkan bahwa penyebab stunting adalah menyusui yang tidak
optimal, makanan pendamping ASI yang tidak adekuat, infeksi berulang
terutama diare dan infeksi saluran napas, defisiensi mikronutrien dan
status ibu seperti anemia, hipertensi, dan malnutrisi.
Bagaimana di Indonesia? Riskesdas 2013 memperlihatkan bahwa
exclusive breast-feeding (EBF) di Indonesia pada usia 0. 1, 2, 3, 4, 5, dan 6
berturut-turut 52,7; 48,7; 46,0; 42,2; 41,9; 36,6 dan 30,2. Kurang dari
sepertiga bayi yang menerima EBF.
KESIMPULAN
Stunting pada anak merupakan masalah kesehatan yang penting
di Indonesia dan harus dicegah karena akan menurunkan kualitas
manusia Indonesia. Diare berulang yang melanjut menjadi diare persisten
merupakan salah satu penyebab stunting. Perlu dilakukan upaya untuk
mencegah diare persisten dan malnutrisi. Memantau tumbuh kembang
anak secara berkala harus dilakukan untyuk mengetahui secara dini
gangguan pertumbuhan.
PENDAHULUAN
Kasus infeksi Human Immunodeficiency Virus/Aqcuired Immune
Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan masalah global dengan kasus
yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada akhir tahun 2015 jumlah
total penderita HIV/AIDS di seluruh dunia mencapai 36,7 juta, dan 1,8
juta kasus terjadi pada anak.1 Di Indonesia jumlah kasus HIV/AIDS terus
bertambah, jumlah kumulatif kasus HIV sejak tahun 1987 sampai bulan
September 2014 tercatat 150.296 orang, sedangkan total kumulatif kasus
AIDS sebanyak 55.799 orang dengan 3.364 kasus terjadi di bawah usia
20 tahun. Papua menduduki peringkat pertama sebagai provinsi dengan
prevalensi AIDS tertinggi, diikuti Jawa Timur dan DKI Jakarta.2
Virus HIV tidak hanya menyerang orang dewasa saja melainkan juga
pada anak. Penularan ini dapat terjadi karena adanya transmisi virus pada
kehamilan, pada saat melahirkan, maupun pada saat menyusui.3 Saat
virus HIV menjangkiti tubuh, virus akan menyerang dan merusak sel-sel
limfosit T, CD4 sehingga kekebalan penderita rusak dan rentan terhadap
berbagai penyakit infeksi.4 Adanya virus HIV di dalam tubuh tidak hanya
dapat mempengaruhi sistem imun, melainkan juga dapat mempengaruhi
sistem saraf bahkan gastrointestinal (GI). Gangguan GI terlihat pada 50%
pasien AIDS di Amerika Utara atau Eropa dan sebesar 90% pada negara
berkembang. Salah satu manifestasi umum gangguan GI pada pasien
dengan HIV/AIDS adalah diare.5 Data di Zaire menunjukkan bahwa diare
akut, diare rekuren, dan diare persisten semuanya lebih sering terjadi pada
bayi-bayi yang terinfeksi HIV, dengan insiden rasio berturut-turut 1,7, 1,9,
dan 4,8 bila dibandingkan dengan bayi yang tidak terinfeksi.6,7
Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari, dengan atau tanpa
darah dan atau lendir dalam tinja.8 Penyebab diare pada pasien dengan
HIV/AIDS dapat terjadi karena infeksi protozoa, bakteri, virus, helmintik,
fungi, maupun karena efek samping pengobatan dan malnutrisi.5 Diare
dapat mengakibatkan kematian atau kehilangan kemampuan anak apabila
tidak didiagnosis dan ditangani dengan baik.3
FAKTOR RISIKO
Derajat keparahan diare dapat bervariasi dari ringan, sedang, atau
yang dapat membutuhkan rawat inap maupun dapat menyebabkan
kematian. Derajat keparahan dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu agen
penyebab, patogenisitas, dan karakteristik host misalnya imunodefisiensi
dan usia. Penurunan sistim imun pada penderita HIV/AIDS sangat
berhubungan erat dengan terjadinya diare. Semakin rendah jumlah sel
CD4 maka semakin tinggi angka kejadian diare. CD4 juga berhubungan
dengan tipe dan durasi diare.9 Diare yang terjadi pada saat penurunan
sistem imun minimal, yaitu pada tahap awal HIV biasanya cenderung
ringan, intermiten, dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Namun
pada tahap lanjut, fungsi imun tubuh semakin menurun, diare menjadi
kronik dan berhubungan dengan morbiditas, penurunan berat badan, dan
malnutrisi.10 Diare kronik biasanya lebih banyak terjadi pada penderita
dengan jumlah sel CD4 yang rendah dan semakin rendah CD4 maka
durasi diare akan semakin panjang. Mekanisme yang terjadi adalah akibat
imunosupresi regional mukosa usus. Imunitas mukosa usus merupakan
faktor penting untuk mencegah terjadinya diare. Kehilangan sel CD4
dalam mukosa usus biasanya lebih banyak dibanding kadar CD4 perifer,
sehingga pada penderita dengan jumlah CD4 perifer yang masih baik
tetap dapat terjadi diare karena imunitas mukosanya sudah rendah.9
PENYEBAB
Penyebab terjadinya diare pada HIV/AIDS multifaktorial dan
kompleks.11 Secara umum dibedakan menjadi penyebab infeksi dan non
infeksi. Penyebab infeksi bisa disebabkan oleh virus HIV itu sendiri atau
oleh berbagai mikroorganisme patogen, seperti bakteri, virus, mikobakteria,
dan parasit yang menyerang usus halus dan usus besar.12 Sekitar 75-80%
kasus diare disebabkan karena infeksi mikroorganisme patogen, baik
yang tipikal (Salmonella, Shigella) maupun atipikal.9 Infeksi bakteri bersifat
invasif dan non-invasif. Bakteri non-invasif mengeluarkan enterotoksin
yang terikat pada mukosa usus halus 15-30 menit setelah diproduksi.
Sedangkan bakteri yang invasif, seperti Salmonella dan Shigella akan merusak
dinding usus sehingga terjadi nekrosis dan ulserasi yang menyebabkan
diare disertai lendir dan darah.13
Infeksi sistemik dapat terjadi bila mikroorganisme patogen menyebar
dari usus, seperti misalnya pada Salmonella, Shigella, Campylobacter. Relaps
tidak jarang terjadi setelah pengobatan yang berhasil dan terapi dihentikan,
misalnya pada Cytomegalovirus, Salmonella, Shigella, Campylobacter,
Cryptosporidia, Microsporidia, dan Cyclospora. Mikroorganisme patogen pada
umumnya dapat ditemukan pada tinja atau pada biopsi mukosa usus.9,12
Jenis mikroorganisme pathogen yang dapat menjadi penyebab diare pada
penderita HIV/AIDS dapat dilihat pada (Tabel 1).
Tabel 1. Mikroorganisme patogen penyebab diare pada infeksi HIV/
AIDS6,11
Bakteri Parasit Virus Mycobacteria
Eschericia coli Cryptosporidium Cytomegalovirus M. avium
Salmonella parvum Rotavirus complex
Shigella Isospora belli Herpes M. tuberculosis
Campylobacter sp. Enterocystozoon Adenovirus
Yersinia bieneusi Astrovirus
enterocolitica Septata intestinalis Calicivirus
Clostridium Entamoeba hystolitica HIV (AIDS enteropati)
difficile Giardia lamblia
Microsporidia
Strongyloides
Cyclospora spp
Daftar ini bisa bertambah bila ditemukan patogen penyebab yang
baru, dan etiologi ini bisa berbeda jumlah maupun jenisnya pada berbagai
geografi lokal.
Virus HIV dianggap sebagai penyebab patogen terjadinya diare karena
protein virus telah ditemukan dalam saluran pencernaan. Pada sediaan
histologi dari jaringan saluran pencernaan, pada sekitar 40% penderita
dapat ditemukan virus tersebut. Infeksi virus HIV terbatas pada lamina
propria, makrofag dan sel enterokromafin, dan tidak ditemukan pada sel
epitel. Selain itu infeksi virus HIV ini juga dapat memengaruhi imunitas
humoral lokal dan menyebabkan gangguan motilitas melalui efek saraf
autonomi. Infeksi HIV pada usus menyebabkan atrofi mukosa usus
yang berakibat gangguan absorbsi selanjutnya menyebabkan diare dan
penurunan berat badan.14
Pada keadaan diare tanpa ditemukannya mikroorganisme patogen
disebut enteropati HIV/AIDS idiopatik. Hal ini pertama kali
dideskripsikan oleh Kotler dkk pada tahun 1984.12,14 Angka kejadian
enteropati HIV/AIDS sekitar 15-20%.15 Patofisiologi enteropati HIV/
AIDS sangat kompleks dan mungkin merupakan efek tidak langsung dari
Tetapi angka ini mulai menurun sejak digunakan terapi antiretroviral aktif
(HAART).20
Diare karena Cryptosporidium yang terjadi pada penderita
imunokompeten lebih sering pada anak, dan biasanya sembuh sendiri
dalam waktu 2 minggu. Sebaliknya pada penderita yang imunokompromais
seperti penderita HIV/AIDS, manifestasi klinisnya umumnya lebih
berat, bisa mengenai semua umur, lokasi infeksi bisa intestinal atau
ektraintestinal.21
Gejala intestinal bisa asimtomatik (4%), transien yaitu diare yang
berhenti <2 bulan dan tidak ditemukan lagi Cryptosporidium dalam
tinja (28%), kronik yaitu diare berlangsung 2 bulan atau lebih dengan
Cryptosporidium tetap ditemukan dalam tinja atau sediaan biopsy (60%),
atau fulminant yaitu diare cair dengan volume lebih dari 2 liter/hari
(8%). Umumnya gejala klinik cryptosporidiosis berupa diare cair dengan
volume yang banyak, disertai demam, nyeri perut daerah para umbilical,
penurunan berat badan, mual dan muntah yang berlangsung selama 2
hari sampai waktu yang lama. Beratnya penyakit bila dikaitkan dengan
jumlah CD4 dilaporkan pada penderita dengan CD4 >200 sel/ul bisa
terjadi penyembuhan spontan dari diare, pada CD4 <100 sel/ul sering
berupa diare kronik disertai kelainan ekstraintestinal, pada CD4 <50 sel/
ul bentuk fulminan. Diagnosis crypstosporidiasis biasanya mudah dibuat
dengan pemeriksaan tinja konsentrasi dengan pewarnaan tahan asam
yang dimodifikasi.21
Infeksi Cryptosporidium umumnya terbatas pada brush border enterosit
dan tidak invasif ke dalam jaringan, tetapi mengganggu fungsi brush
border dan menyebabkan atrofi villi dan malabsorpsi. Diare sekresi yang
terjadi menyerupai kolera tetapi lebih ringan, dan di dalam tinja tidak
diketemukan adanya eritrosit atau leukosit.9
Terapi Cryptosporidiosis sangat problematic karena sampai sekarang
tidak ada obat yang benar-benar dapat mengeradikasi Cryptosporidium,
meskipun 40-90% sangat responsive terhadap terapi paromomycin tetapi
relaps sering terjadi. Obat anti parasite lainnya sedang dalam penelitian,
antara lain spiramycin, azithromycin, clarithromycin, dan yang terbaru
nitazoxamide. Terapi yang paling efektif adalah dengan meningkatkan
sistim imun tubuh dengan pemberian terapi antiretroviral aktif (HAART),
diare membaik atau remisi komplit bersamaan dengan menurunnya viral
load dan meningkatnya jumlah CD4 menjadi >200 sel/ul.14,18,21,24
Microsporidium
Penyebab lain yang cukup banyak adalah Microsporidiasis dan mencapai
15-20% kasus diare pada HIV/AIDS.17 Microsporidium menimbulkan
kerusakan mukosa lebih berat daripada infeksi oportunistik usus
yang lain, menimbulkan malabsorpsi karbohidrat, lemak, dan nutrisi
esensial.25 Manifestasi klinisnya menyerupai cryptosporodiasis, yaitu diare
cair, penurunan berat badan, dan nyeri perut, tetapi tidak disertai demam
dan anoreksia. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tinja dengan
menggunakan pewarnaan khusus trikrom yang dimodifikasi. Terapi
spesifik tidak ada, secara umum penderita microsporidiasis diterapi secara
empiris dengan obat antidiare dan tunjangan nutrisi. Metronidazole dan
albendazole dilaporkan dapat mengurangi diare dengan cepat tetapi tidak
menghilangkan Microsporidium dalam tinja.18,21
Cytomegalovirus
Cytomegalovirus juga merupakan patogen penyebab diare yang cukup
sering dan angka kejadiannya mencapai 15-20%. Manifestasi klinisnya
khas berupa demam, volume tinja sedikit, diare dengan tinja berdarah,
dan leukosit dalam tinja. Pada infeksi Cytomegalovirus kadang-kadang
dapat terjadi komplikasi perforasi atau toksik megakolon. Selain itu,
Cytomegalovirus juga berhubungan dengan terjadinya obstruksi duktus
biliaris dan kolangitis sklerosis intrahepatik (kolangiopati-AIDS).11
diagnosis membutuhkan biopsy endoskopik yang menunjukkan adanya
inklusi intranuklear Cytomegalovirus pada pengecatan dengan hematoxylin
eosin dari sediaan biopsi mukosa. Terapinya dengan ganciclovir (5 mg/kg 2
kali sehari) intravena atau foscamet (200mg/kg per hari). Cytomegalovirus
enteritis dapat relaps setelah pengobatan dan kekambuhan dapat mengenai
retina dan dapat menyebabkan kebutaan.12,16-18,21
Mycobacterium avium complex (MAC)
Saat ini merupakan salah satu penyebeb utama dari morbiditas dan
mortalitas pada penderita HIV/AIDS, infeksi dapat menyebar ke seluruh
tubuh dan mengenai banyak organ. Mycobacterium avium complex (MAC)
dapat melibatkan seluruh sistem retikuloendotelial. Mycobacterium avium
complex menyebabkan diare, demam, nyeri seluruh perut terutama kuadran
kanan atas karena infiltrasi pada hati, anoreksia, dan dapat menyebar ke
luar usus sehingga menyebabkan infeksi sistemik. Diagnosis ditegakkan
dengan pemeriksaan kultur darah atau kultur tinja atau dengan biopsi
endoskopik yang menunjukkan adanya makrofag pada lamina propria
Diare akut dapat terjadi pada anak dengan infeksi HIV simtomatik.
Kultur feses dapat mengidentifikasi Salmonella, Shigella, dan Vibrio cholera
ataupun bakteri patogen lainnya. Kultur darah dilakukan bila anak demam
atau terdapat tanda toksik. Bakteri seperti Salmonella, Mycobacterium
avium complex atau lainnya sering terdapat pada kultur darah pada anak
dengan infeksi HIV. Evaluasi kondisi anak harus dilakukan setelah 2 hari
terapi untuk memantau dehidrasi yang sebelumnya dialami, menetapnya
darah dalam tinja, atau tidak ada perbaikan gejala. Perbaikan didefinisikan
sebagai penambahan berat badan, hilangnya demam dan darah dalam
tinja, frekuensi diare berkurang dan perbaikan nafsu makan.29
Disentri merupakan diare dengan tinja mengandung darah. Sebagian
besar disebabkan oleh Shigella dan hampir semuanya memerlukan
pengobatan antibiotik. Apabila tersedia, lakukan kultur feses untuk
mengidentifikasi Shigella dan bakteri patogen lainnya. Tanda diagnostik
antara lain adanya darah pada tinja yang dapat terlihat dengan kasat
mata, nyeri abdominal, konvulsi, letargi, prolaps rektal, frekuensi
defekasi meningkat, demam, dehidrasi. Terapi antibiotika oral golongan
PENUTUP
Diare merupakan penyebab penting morbiditas dan mortalitas pada
penderita HIV/AIDS. Penyebab diare sangat kompleks dan multifaktorial.
Multipel pathogen baik yang tipikal maupun atipikal dapat menyebabkan
diare yang berdampak melemahkan dan menurunkan kualitas hidup
penderita. Tatalaksana diare dibagi menjadi terapi umum dan terapi
spesifik terhadap mikroorganisme patogen penyebab.
DAFTAR PUSTAKA
World Health Organization. Global Health Observatory (GHO) data
HIV/AIDS. 2017. Diunduh dari: http://www.who.int/gho/hiv/
en/. Diakses tanggal 17 Januari 2020.
Ditjen PP & PL Kemenkes RI. 2014. Source: DirGen. Communicable
diseases & environmental health, MoH, RI 17 October 2014 18
November 2014 Statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia Dilapor
s/d September 2014.
United Nations Development Programe (UNDP). Reference guideline for
the clinical management of HIV/AIDS among Somali population.
United Kingdom. 2012. h. 31-73.
Murtiastutik D. Clinical manifestation and management of human
papilloma virus infection in HIV. Seminar Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan (PKB) New perspective of sexually
transmitted infection problems. Surabaya: 7-8 Agustus; 2010.
Treakle A. Diarrhea and HIV in the US in the post-HAART era. US:
Department of internal medicine, University of Mayland Medical
Center. 2008.
Northrup RS, Flanigan TP. Gastroenteritis. Pediatr Rev. 1994;15:461-71.
Thea DM, Louis MES, Atido U, Kanjinga K, Kembo B, Matondo M, dkk.
A prospective study of diarrhea and HIV-1 infection among 429
Zairian infants. N Engl J Med. 1993;329:1696-702.
Pramitasari AI, Achirul B, Nancy P. Pengaruh pemberian vitamin A
terhadap kadar vitamin A dalam darah dan lama diare pada pasien
diare akut di bagian anak RS Muh Hassan Palembang. Sari Pediatri.
2001;3:61-6.
38 Improving Healthy Gut For Healthy Child
Diare Pada Anak dengan HIV
Chen XM, Keithly JS. Paya CV, LaRusso NF. Cryptosporidiosis. Review
Article. N Engl J Med. 2002;346:1723-31.
Speinz E, Maliman R, Barcellos S, Silbert S, Schestatsky G, David DB. AIDS
related cryptosporidial diarrhea: an open study with roxytromycin. J
Antimicrob Chemoter. 1998;41:85-91.
Rossignol JF, Ayoub A, Ayers MS. Treatment of diarrhea caused by
Cryptosporidium parvum: A prospective randomized, double-
blind, placebo-control study of nitazoxanide. Journal Infect Dis.
2001;184:203-6.
Mofenson LM, Oleske J, Sherchuck L, Dyke RV, Wilfret C. Treating
opportunistic infections among HIV exposed and infected children:
Recommendations from CDC, the national institutes of health
and the infectious diseases society of America. Clin Infect Dis.
2005:40:S1-84.
Mor SM, Tumwine JK, Naumova EN, Ndeezi G, Tzipori S. Microsporidiosis
and malnutrition in children with persistent diarrhea, Uganda.
Emerging Infectious Diseases *www.cdc.gov/eid* vol 15 no.1.
Church J. Mycobacterium avium intracellulare complex infection in HIV
infected children. Pediatrics. 1994;94:276.
Vilamor E, Mbise R, Spiegelman D, Hertzmark E, Fataki M, Petersen
EK, dkk. Vitamin supplement ameliorate the adverse effect of
HIV-1, malaria, and diarrhea infection on child growth. Pediatrics.
2002;109:1-10.
Trois L, Cardoso EM, Miura E. Use of probiotics in HIV-infected children:
A randomized double-blind controlled study. J Trop Pediatr.
2007;54:19-24.
Direktorat Jendral PPM & PL Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman Tatalaksana infeksi HIV dan terapi antiretroviral pada
anak di Indonesia. 2008. h.75-8.
Jeanette I.Ch.Manoppo
PENDAHULUAN
Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbilitas dan
mortalitas anak di negara yang sedang berkembang. Dalam berbagai hasil
Survei kesehatan Rumah Tangga, diare menempati kisaran urutan ke-2
dan ke-3 berbagai penyebab kematian bayi di Indonesia. Banyak dampak
yang terjadi karena infeksi seluran cerna di antaranya adalah pengeluaran
toksin yang dapat menimbulkan gangguan sekresi dan reabsorpsi cairan
dan elektrolit dengan akibat dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit,
dan keseimbangan asam basa. Invasi dan destruksi sel epitel, penetrasi ke
lamina propria, serta kerusakan mikrovili dapat menimbulkan keadaan
maldigestif dan malabsorpsi. Secara umum, penanganan diare akut
ditujukan untuk mencegah/menanggulangi dehidrasi serta gangguan
keseimbangan elektrolit dan asam basa, kemungkinan terjadinya intolerasi,
mengobati kausa diare yang spesifik, mencegah dan menanggulangi
gangguan gizi serta mengobati penyakit penyerta. Tatalaksana diare harus
dilakukan secara komprehensif, efisien, dan efektif. Pemakaian cairan
rehidrasi oral secara umum efektif dalam mengoreksi keadaan dehidrasi.
Pemberian cairan intravena diperlukan jika terdapat berbagai keadaan
seperti tingginya frekuensi diare, muntah yang tak terkontrol, dan
terganggunya asupan oral oleh karena infeksi.1
Penatalaksanaan diare akut menurut WHO terdiri dari rehidrasi
(cairan oralit dengan osmolaritas rendah), diet, zink, antibiotik selektif
(sesuai indikasi), dan edukasi kepada orang tua pasien.2 Selain itu, beberapa
randomized controlled trials (RCT) dan metaanalisis menyatakan bahwa
pemberian probiotik efektif dalam pencegahan primer maupun sekunder
serta untuk mengobati diare. Diare akut merupakan permasalahan yang
serius jika tidak ditangani dengan cepat dan benar.3
DEFINISI
Diare ialah buang air besar dengan konsistensi lebih encer/cair dari
biasanya, ≥ 3 kali per hari, tanpa disertai dengan lendir/darah yang
timbul secara mendadak. Diare dapat dibedakan menjadi tiga menurut
waktunya yaitu diare akut (diare berlangsung paling lama 3-5 hari), diare
berkepanjangan (diare berlangsung lebih dari 7 hari) dan diare kronis
(diare berlangsung lebih dari 14 hari).4
ETIOLOGI
Penyebab diare akut pada anak secara garis besar dapat disebabkan
oleh gastroenteritis dan infeksi sistemik. Penyebab diare akut pada anak
paling sering disebabkan oleh infeksi (virus, bakteri dan parasit). Rotavirus
merupakan penyebab utama (60-70%) diare pada anak, sedangkan sekitar
10-20% adalah bakteri, dan kurang dari 10% disebabkan oleh parasit.5
Tabel 1. Etiologi diare akut
Infeksi
1. Enternal
• Bakteri: Shigella sp, E. Coli patogen, Salmonella sp, Vibrio cholera, Yersinia entreo colytica,
Campylobacter jejuni, V. Parahaemoliticus, VNAG Staphylococcus aureus, Streptococcus,
Klebsiella, Pseudomonas, Aeromonas, Proteis, dll
• Virus: Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Norwalk like virus, cytomegalovirus (CMV),
ecgovirus, virus HIV
• Parasit - Protozoa: Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Cryptosporadium parvum,
Balantidium coli
• Worm: A. Lumbricoides, cacing tambang, Trichuris trichura, S. Sterocoralis,
cestodiasis dll.
• Fungus: Kardia/moniliasis
2. Sistemik: Otitis media akut (OMA), pneumonia, Traveler’s diarthea: E.Coli, Giardia
lamblia, Shigella, Entamoeba histolytica, dll
• Intoksikasi makanan: Makanan beracun atau mengandung logam berat, makanan
mengandung bakteri/toksin: Clostridium perfringens, B. Cereus, S. aureus, Streptococcus
anhaemohytivus, dll
• Alergi: susu sapi, makanan tertentu
• Malabsorpsi/maldifesti: karbohidrat: monosakarida (glukosa, galaktosa, fruktosa),
disakarida (laktosa, maltosa, sakarosa), lemak: rantai panjang trigliserida, protein:
asam amino tertentu, celiacsprue gluten malabsorption, protein intolerance, cows
milk, vitamin dan mineral
3. Imunodefisiensi
4. Terapi obat, antibiotikm kemoterapi, antasid, dll
5. Tindakan tertentu seperti gastrektomi, gastroenterostomi, dosis tinggi terapi radiasi
6. Lain-lain: Sindrom Zollinger-Ellisin, neuropati autonomik (neuropatik diabetik)
PATOFISIOLOGI
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofiologi, antara lain6:
a. Osmolaritas intraluminal yang meningkat, disebut diare osmotik
b. Sekresi cairan dan elektrolit meningkat, disebut diare sekretorik
c. Gangguan motilitas usus.
Diare tipe osmotik disebabkan oleh peningkatan tekanan osmotik
intralumen usus halus yang disebabkan oleh obat-obatan atau zat kimia
yang hiperosmotik (MgSO4, Mg(OH)2, malabsorbsi umum, dan defek
dalam absorbsi mukosa usus seperti pada keadaan defisiensi disararidase,
malabsorbsi glukosa/galaktosa.6
Diare tipe sekretorik disebabkan oleh meningkatnya sekresi air
maupun elektrolit dari usus dan menurunnya absorbsi nutrisi. Pada diare
sekretorik secara klinis ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak
sekali. Penyebab dari diare tipe ini antara lain karena efek enterotoksin
pada infeksi Vibrio cholerae, atau Escherichia coli, penyakit yang
menghasilkan hormon (VIPoma), reseksi ileum (gangguan absorbsi garam
empedu), dan efek dari obat-obatan laksatif (dioctyl sodium sulfosuksinat,
dll). Diare karena gangguan motilitas usus terjadi akibat adanya gangguan
pada kontrol otonomik seperti pada neuropati diabetikum, post reseksi
usus, serta pada hipertiroid.6
MANIFESTASI KLINIS
Buang air besar yang frekuesinya lebih sering dan konsistensi tinja
lebih encer dari biasanya disertai karakteristik tinja seperti warna tinja
disertai lendir dan atau darah dan juga bau tinja. Pada diare oleh karena
intoleransi, anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya frekuensi
defekasi dan tinja semakin lama semakin asam sebagai akibat dari
banyaknya asam laktat yang berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi
usus selama diare.7
Gejala muntah, anoreksia, kembung dapat terjadi sebelum/sesudah
diare yang disebabkan oleh radang pada gaster atau akibat gangguan
keseimbangan asam basa dan elektrolit. Bila penderita telah kehilangan
banyak cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi mulai terlihat seperti
turunnya berat badan, turgor kulit melambat, mata dan ubun-ubun besar
menjadi cowong, selaput lendir, bibir, dan mulut serta kulit yang tampak
kering.7
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium7
a. Pemeriksaan tinja
• Makroskopis dan mikroskopis
• pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet
elinitest, bila diduga intoleransi gula.
• Bila perlu lakukan pemeriksaan biakan/uji resistensi.
b. Pemeriksaan Darah Lengkap untuk mengetahui adanya infeksi
sitemik
c. Pemeriksaan Urine Lengkap untuk mengetahui adanya infeksi
saluran kemih
d. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah
dengan analisa gas darah
e. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui fungsi
ginjal
f. Pemeriksaan kadar elektrolit terutama natrium, kalium, kalsium
dan fosfor dalam darah (terutama bila ada kejang)
Tatalaksana
Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan
Tatalaksana Pengobatan diare pada balita yang didukung oleh Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI) dengan merujuk pada panduan WHO.
DAFTAR PUSTAKA
Liu L, Oza S, Hogan D, et al. Global, regional, and national causes of
child mortality in 2000–13, with projections to inform post-2015
priorities: an updated systematic analysis. Lancet 2015; 385:430–40
World Health Organization. Integrated Management of Childhood Illness
Chart Booklet. Geneva, Switzerland: World Health Organization;
2014
Kotloff KL, Nataro JP, Blackwelder WC, et al. Burden and aetiology of
diarrhoeal disease in infants and young children in developing
countries (the Global Enteric Multicenter Study, GEMS): a
prospective, case-control study. Lancet 2013;382:209-22
Subagyo B, Santoso NB. Diare Akut. Jakarta: Balai Penerbit IDAI.2012
Cook G, Zumla A. Manson’s Tropical Disease,22. Aufl [Edinburgh]:
Saunders. 2009
Walker WA. Pediatric Gastrointestinal Disease: Pathophysiology,
Diagnosis, Management. PMPH-USA.2014.
Iskandar WJ. Manifestasi Klinis Diare Akut pada Anak di RSU Provinsi
NTB Mataram Serta Korelasinya dengan Derajat Dehidrasi. Cermin
Dunia Kedokteran.2015;42:567-70
Azmeri S, Khadiza R, Fazlul H, Rita M, Jubaida R, Morsheda K, et al.
Hypernatraemic Dehydration in Children with Acute Diarrhoea:
It’s Clinical Profile and Renal Involvement. BAOJ Pediatrics
2018,4:055
Abbas J, Pandey DC, Verma A, Kumar V. Management of acute diarrhea
in children: is the treatment guidelines is really implemented? Int J
Res Med Sci.2018;6:539-44
Yu CE, Lougee DA, Murno JR. Diarrhea and Dehydration. American
Academy of Pediatrics. 2016
Sayoeti Y, S Risnelly. Cairan Rehidrasi Oral Osmolaritas Rendah
dibandingkan Oralit untuk Pengobatan Diare Akut pada Anak.
Sari Pediatri 2008;9:304-8
Applegate JA, Walker CL, Ambikapathi R, Black RE. Systematic review of
probiotics for the treatment of community-acquired acute diarrhea
in children. BMC Public Health 2013:S16
Pramita Gayatri
PENDAHULUAN
Diare akut masih merupakan masalah terutama pada anak di bawah
usia 5 tahun karena merupakan penyebab kematian ketiga secara global.1
Angka kesakitan yang memerlukan perawatan di rumah sakit akibat diare
akut pada anak berusia 1-5 tahun sebesar 150.000 anak per-tahun, yaitu
sekitar 10%, dan biasanya mereka datang ke unit emergensi rumah sakit.2
Penyebab tersering seorang anak dengan diare akut dirawat di rumah
sakit adalah beratnya derajat dehidrasi, atau derajat dehidrasi ringan
namun terdapat faktor sosial yang mengindikasikan perlu perawatan di
rumah sakit.3 Pada saat menghadapi anak dengan diare, harus dicermati
apakah anak mengalami diare akut dengan dehidrasi atau penyebab lain
dengan manifestasi klinis diare (contohnya pada apendisitis, ketoasidosis
diabetik, pielonefritis, ataupun sindrom metabolik). Setelah diagnosis
diare akut tegak apakah akibat infeksi dan/atau sindrom malabsorpsi,
maka seorang dokter baik di Unit Emergensi ataupun poliklinik harus
melakukan Tatalaksana mulai dari rehidrasi, menentukan pemeriksaan
penunjang yang diperlukan, sampai menentukan apakah memerlukan
obat anti-emetik agar upaya rehidrasi oral dapat terlaksana dengan
optimal.3
PENENTUAN DERAJAT DEHIDRASI
Penentuan derajat dehidrasi pada bayi dan anak yang mengalami
diare akut harus dilakukan secara cermat karena menentukan Tatalaksana
awal dan prognosis. Dimulai dengan anamnesis yang cermat mencakup
riwayat diare dan muntah (onset, frekuensi, kuantitas, karakter apakah
disertai lender, darah, ataupun kehijauan), masukan cairan dan makanan,
produksi urin, berat badan sebelum sakit, apakah disertai demam, dan
apakah aktivitas bayi dan anak terganggu atau tidak.3
Pada pemeriksaan fisik perlu dicermati apakah ketika bayi/anak ketika
menangis kedengaran lemah/apatis/kurang reaktif, ubun-ubun besar
cekung, kelopak mata cekung, produksi air mata berkurang/tidak ada,
mulut dan lidah kering, dan ekstremitas teraba dingin. Bila hal tersebut
ditemukan maka secara klinis terjadi dehidrasi akibat kondisi fisiologik
saluran cerna yang abnormal, dan hal ini memerlukan perawatan di
rumah sakit. Tanda obyektif seperti frekuensi dan kualitas napas (dengan/
tanpa Kussmaul), perfusi sistemik dan capillary refill time perlu dievaluasi
dengan cermat.4 Standar baku emas terjadinya dehidrasi adalah terjadinya
penurunan berat badan yang bermakna. Penentuan derajat dehidrasi
akibat diare akut yang terjadi pada seorang bayi/anak dapat dilihat pada
Tabel 1 (berdasarkan WHO, 1995 dan panduan EPSGHAN, 2001).3,5-6
Tabel 1. Gejala dan tanda derajat dehidrasi pada anak dengan diare
(WHO)5-6
Dehidrasi Ringan –
Tanpa Dehidrasi Dehidrasi Berat
Sedang
Gejala (<5% kehilangan (<10% kehilangan
(5 – 10% kehilangan
BB) BB)
BB)
Keadaan Baik, Sadar Normal, rewel, apatis Apatis, letargi, tidak
Umum sadar
Rasa Haus Minum normal Kehausan, minum Sulit/tidak mampu
dengan rakus minum
Denyut Normal Normal – cepat Takikardi, bradikardi
Jantung (pada kasus berat)
Kualitas Nadi Normal Normal – berkurang Lemah atau tidak
teraba
Mata Normal Agak cekung Sangat cekung
Air Mata Ada Menurun Tidak ada
Mulut dan Lembab Kering Kering
Lidah
Napas Normal Normal, cepat Dalam (Kussmaul)
Turgor Baik Turgor kembali <2 detik Turgor kembali >2
detik
Pengisian Normal Memanjang Memanjang, minimal
Kapiler
Ekstremitas Hangat Dingin Dingin, mottled,
sianosis
Produksi Urin Normal/sedikit Menurun Minimal
berkurang
PATOGENESIS TERJADINYA GANGGUAN ELEKTROLIT
AKIBAT DIARE
Pada anak dengan diare dapat terjadi gangguan elektrolit sebesar 79%
dan terbanyak berupa hiponatremia (56%) dan hipokalemia (46%), serta
campuran pada 37%.7 Patogenesis hiponatremia akibat diare adalah akibat
DAFTAR PUSTAKA
Liu L, Oza S, Hogan D, Perin J, Rudan I, Lawn JE, et al. Global, regional,
and national causes of child mortality in 2000 – 13, with projection
to inform post-2015 priorities: an updated systemic analysis. The
Lancet. 2015;385(9966):430-40.
Malek MA, Curns AT, Holman RC, Fischer TA, Breese JS, Glass RI, et
al. Diarrhea- And Rotavirus-Associated Hospitalizations Among
Children Less Than 5 Years of Age: United States, 1997 and 2000.
Pediatrics. 2006;117 (6),1887-92.
Colletti JE, Brown KM, Sharieff GQ, Barata IA, Ishimine P. The
management of children with gastroenteritis and dehydration in
the emergency department. J Em Med. 2010;38(5):686-98.
Friedman JN, Goldman RD, Srivastava R, Parkin PC. Development of
a clinical dehydration scale for use in children between 1 and 36
months of age. J Pediatr. 2004;145:201-7.
World Health Organization. The treatment of diarrhoea: a manual for
physicians and other senior health workers. Geneva, Switzerland:
World Health Organization, 1995. Available at http://whqlibdoc.
who.int/publications/2005/9241593180.pdf.
Sandu BK: European Society of Pediatric Gastroenterology Hepatology
and Nutrition Working Group on Acute Diarrhoea. Practical
guidelines for the management of gastroenteritis in children. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2001;33(Suppl 2). S36-9.
Shah GS, Das BK, Kumar S, Sing MK, Bhandari GP. Electrolyte disturbance
in diarrhea. Pediatr Oncall [serial online] 2006 [cited 2012 April
8];3.Art # 39. Diunduh dari: http://www. pediatriconcall.com/
for doctor/medical_original articles/electrolyte_disturbances_
diarrhea.asp
Dugan S, Holliday MA. Water intoxication in two infants following the
voluntary ingestion of excessive fluids. Pediatrics. 1967;39:418–20.
Franz MN, Segar WE. The association of various factors and hypernatremic
diarrheal dehydration. Am J Dis Child. 1959;97:298–302.
Whaley P, Walker-Smith JA. Hypernatraemia and gastroenteritis. Lancet
1977;1:51–2.
Finberg L. Too little water has become too much. The changing
epidemiology of water balance and convulsions in infant diarrhea.
Am J Dis Child. 1986;140:524.
Singhi S, Gulati S, Prasad SVSS. Frequency and significance of potassium
disturbance in children. Indian Pediatr. 1994;31:460-3.
Binder HJ, Brown I, Ramakrishna BS, Young GP. Oral rehydration therapy
in the second decade of the twenty-first century. Curr Gastroenterol
Rep. 2014;16:376. DOI:10.1007/s1189-014-0376-2.
World Health Organization, editor. The treatment of diarrhoea: a manual
for physicians and other senior health workers. In: World Health
Organization. Geneva; 2005.
Hahn S, Kim Y, Garner P. Reduced osmolarity oral rehydration solution
for treating dehydration caused by acute diarrhoea in children.
Cochrane Database Syst Rev. 2002;1:CD002847. https://doi.
org/10.1002/14651858.CD002847.
American Academy of Pediatrics A. Practice parameter: the management of
acute gastroenteritis in young children. Pediatrics. 1996;97(3):424-
35.
Guarino A, Ashkenazi S, Gendrel D, Vecchio AL, Shamir R, Szajewska
H. European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology,
and Nutrition/European Society for Pediatric Infectious
Diseases evidence-based guidelines for the management of acute
gastroenteritis in children in Europe: update 2014. J Pediatr
Gastroenterol Nutr. 2014;59(1):132–52.
Centers for Disease Control and Prevention. Managing acute gastroenteritis
among children: oral rehydration, maintenance, and nutritional
therapy. Pediatrics. 2004;114(2):507.
American Academy of Pediatrics, Provisional Committee on Quality
Improvement, Subcommittee on Acute Gastroenteritis. Practice
parameter: the management of acute gastroenteritis in young
children. Pediatrics. 1996;97:424–35.
Florez ID, Nino-Sema L, Beltran-Arroyave CP. Acute infectious diarrhea
and gastroenteritis in children. Curr Infect Dis Rep. 2020;22:4.
hhtp://doi.org/10.1007/s11908-020-0713-6.
Florez ID, Veroniki A-A, Al Khalifah R, Yepes-Nuñez JJ, Sierra JM, Vernooij
RW, et al. Comparative effectiveness and safety of interventions for
acute diarrhea and gastroenteritis in children: a systematic review
and network meta-analysis. PLoS One. 2018;13(12):e0207701.
Niño-Serna L, Acosta-Reyes J, Veroniki AA, Florez ID. Antiemetics in
Children with Acute Gastroenteritis: A Meta-Analysis. Pediatrics
2020; forthcoming.
Carter B, Fedorowicz Z. Antiemetic treatment for acute gastroenteritis in
children: an updated Cochrane systematic review with meta-analysis
and mixed treatment comparison in a Bayesian framework. BMJ
Open. 2012;2(4):e000622.
Das JK, Salam RA, Bhutta ZA. Global burden of childhood diarrhea and
interventions. Curr Opin Infect Dis. 2014;27(5):451–8.
Abubakar I, Aliyu SH, Arumugam C, Usman NK, Hunter PR. Treatment
of cryptosporidiosis in immunocompromised individuals: systematic
review and meta-analysis. Br J Clin Pharmacol. 2007;63(4):387–93.
https://doi.org/10.1111/j.1365-2125.2007.02873.x.
Das JK, Ali A, Salam RA, Bhutta ZA. Antibiotics for the treatment of
Cholera, Shigella and Cryptosporidium in children. BMC Public
Health. 2013;13(3):S10. https://doi.org/10.1186/1471-2458-13-s3-s10.
Bhalla P, Eaton FE, Coulter JBS, Amegavie FL, Sills JA, Abernethy LJ.
Hyponatraemic seizures and excessive intake of hypotonic fluids in
young children. Brit Med J. 1999; 319:1554–7.
Salwan H, Firmansyah A, Boediarso A, Hegar B, Kadim M, Alatas FS.
Gambaran kadar Natrium dan Kalium plasma berdasarkan status
nutrisi sebelum dan sesudah rehidrasi pada kasus diare yang dirawat
di Departemen IKA RSCM. Sari Pediatri. 2008;9(6):406-11.
Budi Purnomo
Gambar 1. Jalur intrasel sekresi ion saluran cerna yang dipengaruhi oleh
zinc.
PENGARUH ZINC TERHADAP INTEGRITAS MUKOSA,
PERTUMBUHAN SEL, DAN DIFERENSIASI SALURAN CERNA
Kadar zinc yang tinggi (>200 µmol/l) dapat menyebabkan apoptosis.
Kadar zinc yang tinggi atau rendah (<10 µmol/l) menghambat proliferasi
enterosit.14 Adapun, sukrase dan laktase merupakan penanda diferensiasi
enterosit dan kadarnya meningkat selama migrasi sel dari kripta ke
ujung villus. Saat dilakukan stimulasi zinc, aktivitas sukrase dan laktase
KESIMPULAN
Zinc merupakan agen multipoten pada saluran cerna. Zinc
memodulasi transpor ion, menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi
enterosit, menurunkan permeabilitas intestinal, dan meregulasi stres dan
inflamasi oksidatif. Sebagai terapi tambahan dari ORS, zinc meningkatkan
efektivitas Tatalaksana diare akut. Suplementasi zinc bermanfaat bagi anak
yang mengalami malnutrisi.
DAFTAR PUSTAKA
Galvao TF, Thees MFRS, Pontes RF, Silva MT, Pereira MG. Zinc
supplementation for treating diarrhea in children: a systematic
review and meta-analysis. Rev Panam Salud Publica. 2013;33:370–7.
Santosham M, Chandran A, Fitzwater S, Fischer-Walker C, Baqui AH,
Black R. Progress and barriers for the control of diarrhoeal disease.
Lancet. 2010;376:63–7.
United Nations Children’s Fund, World Health Organization. WHO/
UNICEF levels and trends in child mortality. Report 2011: estimates
developed by the UN Inter-agency Group for Child Mortality
Estimation. New York: UNICEF; 2010.
Wardlaw T, Salama P, Brocklehurst C, Chopra M, Mason E. Diarrhoea:
why children are still dying and what can be done. Lancet.
2010;375:870–2.
Walker CLF, Black RE. Zinc for the treatment of diarrhoea: effect on
diarrhoea morbidity, mortality and incidence of future episodes.
Int J Epidemiol. 2010;39:63–9.
Jones G, Steketee RW, Black RE, Bhutta ZA, Morris SS, Bellagio Child
Survival Study G. How many child deaths can we prevent this year?
Lancet. 2003;362:65–71.
Naheed A, Walker CLF, Mondal D, Ahmed S, El Arifeen S, Yunus M, et
al. Zinc therapy for diarrhoea improves growth among Bangladeshi
infants 6 to 11 months of age. J Pediatr Gastroenterol Nutr.
2009;48:89–93.
Canani RB, Buccigrossi V, Passarielo A. Mechanism of action of zinc in
acute diarrhea. Curr Opin Gastroenterol. 2010;27:8-12.
Larson CP, Roy SK, Khan AI, et al. Zinc treatment to under-five children:
applications to improve child survival and reduce burden of disease.
J Health Popul Nutr. 2008;26:356–65.
Lucacik M, Thomas RL, Aranda JV. A metanalysis of the effect of oral
zinc in the treatment of acute and persistent diarrhea. Pediatrics.
2008;121:326–36.
Berni Canani R, Cirillo P, Buccigrossi V, et al. Zinc inhibits cholera toxin-
induced, but not Escherichia coli heat-stable enterotoxin-induced,
ion secretion in human enterocytes. J Infect Dis. 2005;191:1072–7.
Viswanathan VK, Hodges K, Hecht G. Enteric infection meets intestinal
function: how bacterial pathogens cause diarrhea. Nat Rev
Microbiol. 2009;7:110–9.
Navaneethan U, Giannella RA. Mechanisms of infectious diarrhea. Nat
Clin Pract Gastroenterol Hepatol. 2008; 5:637–47.
Overbeck S, Uciechowski P, Ackland ML. Intracellular zinc homeostasis
in leukocyte subsets is regulated by different expression of zinc
exporters ZnT-1 to ZnT-9. J Leukoc Biol. 2008; 83:368–80.
Shen H, Qin H, Guo J. Cooperation of metallothionein and zinc
transporters for regulating zinc homeostasis in human intestinal
Caco-2 cells. Nutr Res. 2008;28:406–13.
Bajait C, Thawani V. Role of zinc in pediatric diarrhea. Indian J Pharmacol.
2011;43:232-5.
Lazzerini M, Wanzira H. Oral zinc for treating diarrhoea in children.
Cochrane Database Syst Rev. 2016, Issue 12. Art. No: CD005436.
DOI: 10.1002/14651858.CD005436.pub5.
WHO. Zinc supplementation in the management of diarrhea. Diunduh
dari https://www.who.int/elena/titles/zinc_diarrhoea/en/ pada
Januari 2020.
nervus volunter sehingga feses dapat dievakuasi. Jalur lain dapat terjadi
bila adanay kontraksi simultas dari EAS sehingga memberikan waktu
untuk memutuskan apakah akan defekasi atau tidak, sehingga tidak dapat
melakukan defekasi secara nyaman. Hal ini akan menyebabkan kontrakasi
otot puborektal, kontraksi EAE, akomodasi rektum dan aktifasi sistim
saraf volunter sehingga menyebabkan tertundanya defekasi.
Patofisiologi terjadinya konstipasi fungsional adalah bila defekasi
terasa sakit maka akan menyebabkan anak takut untuk defekasi, dan akan
menahan defekasi hal ini akan menyebabkan terjadinya akumulasi masa
fekal di rektum. Akumulasi masa fekal akan menyebabkan megarektum
fungsional, hilangnya sensitvitas rektal, fatique pada otot pelvic floor,
inkontinen sphincter anak, dan inkontinen overflow.
Definisi konstipasi berdasarkan NASPHGAN adalah kesulitan BAB
dengan frekuensi 2 atau kurang per minggu sehingga bisa menyebabkan
distres pada pasien. Berdasarkan kriteria ROME II, konstipasi di
definisikan sebagai paling sedikit 2 minggu BAB keras, seperti kotoran
kambing, atau BAB konsistensi normal frekuensi 2 kali atau kurang per
minggu, tanpa disertai kelainan struktural, endokrin atau metabolik.
Berdasarkan kriteria ROME IV, terdapat beberapa definisi antara lain:
• Infant Dyschezia adalah setidaknya 10 menit tegang dan menangis
yang diikuti dengan berhasilnya dikeluarkknya BAB dengan
konsistensi lunak pada infan sehat dengan usia kurang dari 6 bulan.
• Functional constipation
terjadi pada infan dan anak usia sekolah (usia 1 bulan hingga 6
tahun) setidaknya 2 minggu mengalami skibala, seperti kerikil, feses
yang keras pada kebanyakan feses atau feses yang keras kurang dari
sama dengan 2 kali per minggu dan tidak didapatkannya kelainan
struktural, endokrin, atau metabolik.
• Functional fecal retention
pada infan hingga usia 16 tahun, dengan riwayat setidaknya 12
minggu mengalami pergerakan atau diameter feses yang besar yang
terjadi dalam interval < 2 kai per minggu dan retentive posturing,
menghidari defekasi dengan secara sengaja menahan kontraksi
oto pelvic floor, fatique pada otot, digunakannya otot gluteal dan
bokong untuk menahan.
TATALAKSANA
EDUKASI
Edukasi pada keluarga, termasuk menerangkan patogenesis konstipasi.
Jika ada soiling, perlu dievakuasi dahulu.
DISIMPAKSI
Disimpaksi dapat terjadi oral maupun rektal. Oral dapat berupa
mineral oil dosis tinggi, polyethylene glycol. Pada saat awal dapat
diberikan magnesium hydroksida, magnesium sitrat, laktulosa, sorbitol,
senna atau bisacodyl. Rektal dapat diberikan enema fosfosoda, NaCl
0,9% atau mineral oil. Pada bayi dapat diberikan supositoria gliserin atau
supposutoria bisacodil untuk anak.
Laktulosa merupakan sumber karbohidrat saccharolytic bakteri,
terutama species bifidobacterium dan lactobacillus 18-19. Bakteri ini
meningkatkan masa fekal. Penelitian pada orang sehat didapatkan
bahwa laktulosa bisa meningkatkan jumlah bifidobakteria 3 kali lipat
(dari 109 ke 1012). Konstipasi bisa karena Clostridium di ileum sehingga
meningkatkan absorbsi air yang menyebabkan feses kering.
TERAPI PEMELIHARAAN
• Intervensi diet: pemberian fiber tergantung usia ditambah dengan
5 gram, meningkatkan asupan air, karbohidrat yang mudah dan
sulit diserap, alergi/sensitif/intolerasi makanan.
• Perilaku: toilet training, insentif dan reward, desensitisasi fobia
toilet, management lingkungan
• Kognisi: psikoterapi, terapi kognitif dan keluarga
• Biofeedback: Biofeedback tidak memberikan keuntungna tambahan
pada terapi konvensional (laksatif, toilet training, saran diet) untuk
tatalaksana anak dengan functional faecal incontinence.
• Probiotik: Memberikan efek menguntungkan bagi gejala
gastrointestinal pada pasien dengan konstipasi kronik. Pemberian
probiotik dapat direkomendasikan sebagai terapi adjuktif pada
konstipasi kronik. Namun pada penelitian lain belum terdapa bukti
rekomendasi pemberian probiotik pada anak dengan konstipasi.
• Abdominal massage: abdominal massage untuk konstipasi pada
anak secara klinis berguna untuk menimbulkan aktivitas usus dan
membuat abdomen dan pelvic floor relaks.
• Obat – obatan berupa:
DEFINISI
Kolik infantil merupakan perilaku bayi berupa menangis lebih dari 3
jam dalam sehari, selama 3 hari dalam seminggu tanpa alasan yang jelas
atau tanpa penyebab organik, yang telah berlangsung dalam 1 minggu
terakhir.1
Prevalens kolik infantil secara keseluruhan sebesar 5-25% bayi dan
lebih sering pada 4 bulan pertama kehidupan2,3 Prevalens kolik infantil
sama besarnya pada bayi yang mendapat ASI eksklusif maupun susu
formula.4 Meski pada kajian lain didapatkan prevalens kolik infantil yang
lebih tinggi pada kelompok bayi yang mendapat susu formula.2,3 Prevalens
kolik infantil juga lebih besar pada bayi berat badan lahir lebih rendah
dibandingkan dengan berat bayi normal.5
Kolik infantil bukanlah suatu penyakit, berat badan bayi tetap naik
sesuai usianya 24. Hanya sebagian kecil (5-10%) disebabkan oleh gangguan
organik.3 Berbagai faktor dianggap berperan terhadap kolik infantil,
antara lain psikososial dan hubungan ibu dari anak yang kurang baik,
alergi protein susu sapi, atau PRGE.6,7,8
KRITERIA DIAGNOSIS10
1. Usia ≤ 3 bulan
2. Sering reweL marah, atau menangis
3. Episode berlangsung > 3 jam perhari, > 3 hari perminggu dan
terjadi minimal dalam satu minggu
4. Tidak ada gangguan pertumbuhan.
TANDA BAHAYA
Sekitar 5% kolik infantil disebabkan oleh gangguan organik dan
selebihnya akan mengalami resolusi bertahap setelah melewati usia 3-4
bulan. Jika tidak ditemukan tanda bahaya perlu dievaluasi cara pemberian
makan bayi11
PENDEKATAN TATALAKSANA
Bayi dengan gejala kolik infantil perlu ditapis tanda bahaya kolik.
Tanda bahaya kolik infanril dibagi dalam 4 kelompok kondisi sebagai
penyebab kolik in fantil tersering, yaitu (1) penyakit RG E, (2) alergi protein
susu sapi, (3) intoleransi laktosa dan (4) faktor kecemasan orangtua.
Bayi dengan gejala kolik infantil yang disertai posisi sandifer,
hematemesis, atau gagal tumbuh perlu dipertimbangkan PRGE sebagai
penyebab gejala tersebut. Selanjutnya, Panduan Tatalaksana Regurgitasi
diterapkan pada bayi. Evaluasi klinis berkala menjadi sangat penting
untuk rnendapatkan Tatalaksana yang rasional serta akurat, rnengingat
gejala klinis yang diperlihatan tidak spesifik. Peran konsultasi dengan
Konsultan Gastrohepatologi juga menjadi hal yang perlu ditingkatkan
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih maksimal. Beberapa
penelitian telah rnembuktikan Proton Pump Inhibitor (PPI) tidak
memberikan efikasi terhadap pada bayi rewel (distressed).22,23,24
Bayi dengan gejala kolik infantil yang disertai regurgitasi berlebihan,
gejala saluran napas yang tidak respons dengan Tatalaksana standar, gejala
atopik baik pada dirinya maupun dalam keluarga, perlu dipertimbangkan
peran alergi sebagai penyebab keluhan tersebut. Pertimbangan kondisi
ini rnerekomendasikan bayi ditangani sesuai Panduan Tatalaksana
Alergi Protein Susu Sapi. Bayi yang telah mendapat susu formula, maka
eliminasi Protein susu sapi dan menggantinya dengan susu formula
dengan kandunan protein terhidrolisis ekstensif atau susu formula yang
mengandung asam amino sesuai keparahan kondisi menjadi pertimbangan
utama. Pada beberapa kajian ilmiah memperlihatkan efikasi susu formula
dengan kandungan protein terhidrolisis sebagian (partially hydrolisate) pada
kolik infantil Susu formula dengan protein terhidrolisis sebagian dapat
diberikan kepada bayi dengan kolik infantil bila gejala alergi tidak jelas.
Susu formula mengandung soya tidak terbukti kuat memperbaiki gejala.
Kolik infantile tidak menjadi alasan untuk rnenghentikan pemberian
ASI.6,25-27
Udara yang berlebihan di dalam saluran cerna dapat disebabkan
oleh teknik pemberian minum yang kurang tepat atau intoleransi laktosa
akibat masih rendahnya aktivitas enzim laktase. Walaupun demikian, data
publikasi yang memperlihatkan bahwa aktivitas laktase yang rendah dapat
menyebabkan bayi menangis berlebihan masih sangat terbatas. Beberapa
data lain yang tidak mernperlihatkan hubungan tersebut, menjadikan
peran aktivitas laktase pada kolik kecil. Walaupun para ahli di Inggris
menganjurkan pemberian laktase selama 1 minggu, tetapi beberapa RCTs
tidak rnernperlihatkan perbedaan kejadian kolik infantil pada bayi yang
rnendapat enzirn laktase dan plasebo. Dengan demikian, bukti ilmiah
yang rnendukung rekomendasi ini sangat terbatas.7,28,29
Sebuah meta analisis memperlihatkan pemberian strain tertentu
sebagai probiotik pada bayi yang mendapat ASI eksklusif dapat
rnengurangi gejala kolik infantil. Walaupun demikian ada beberapa hal
yang perlu mendapat perhatian, yaitu aksi mekanisme efikasi masih belum
jelas, penemuan ini tidak boleh diekstrapolasi untuk probotik lainnya,
efikasi hanya terlihat pada bayi ASI eksklusif, dan tidak ada data untuk
pemberian probiotik dalam susu forrnula. Dengan demikian pernberian
strain tertentu microflora sebagai probiotik dapat diterapkan sebagai
sebuah ‘pertimbangan’ dan ‘tidak sebagai rekomendasi.6
Pernberian obat pada kolik infantile tidak direkomendasikan.
Simethicone menurunkan gas intralumen saluran cerna. Satu penelitian
multisenter ‘randpmized placebo controlled memperlihatkan tidak ada
perbedaan dengan plasebo, sedangkan 2 ‘randomized controlled tried’
lainnya tidak memperliharkan pengurangan gejala. Kajian sistematis
memperlihatkan efektifitas anticholinergic dibanding plasebo, akan tetapi
juga memberikan efek samping yang serius antara lain letargi , apnu,
sehingga obat ini tidak direkomendasikan pada bayi dibawah usia 6
bulan.30,31
Empati dan reassurance merupakan kunci utama yang harus dilakukan
pertama kali. Anamnesis dan pemeriksaan fisis cermat diperlukan untuk
menyingkirkan penyebab organik dan tanda bahaya kolik infantil.
Menangis pada kolik infantil tidak selalu merupakan respon nyeri, tetapi
lebih kepada bentuk komunikasi bayi dengan pengasuh.32 Pengasuhan
anak dengan interaksi yang baik, pemberian pola makan yang baik dan
rnemberikan pelukan pada anak saat tidur mengurangi gejala kolik
infantil.33 Penanganan yang salah pada kolik infantil dapat menyebabkan
permasalahan pada kondisi fisik dari mental anak/keluarga. Ibu dan
pengasuh perlu cukup istirahat untuk menghindari stress dan depresi.32
DAFTAR PUSTAKA
Hyman PE, Milla PJ, Benninga MA, Davidson GP, Fleisher DF, Taminiau
J. Childhood functional gastrointestinal disorders: neonate/
toddler. Gastroenterology. 2006 Apr;130(5):1519-26.
Waker M, Morton-Allen E, Poulakis Z, Hiscock H, Gallagher S, Oberklaid
F, Prevalence, stability, and outcomes of cry-fuss and sleep problems
in the first 2 years of life: prospective community-based study,
Pediatrics. 2006 Mar;117(3):836-42.
Talachian E, Bidari A, Rezaie MH. Incidence and risk factors for
infantile colic in Iranian infants. World J Gastroenterol. 2008
Aug;14(29):4662-6.
Hide DW, Guyer BM, Prevalence of infant colic. Arch Dis Child. 1982
Jul;57(7):559-60.
Sondergaard C, Skajaa E, Henriksen TB, Fental growth and infantile colic.
Arch Dis Child Fental Neonatal Ed. 2000 Jul;83(1):F44-7.
Cohen-Silver J, Ratnapalan S. Management of infantile colic: a review.
Clin Pediatr (Phila). 2009 Jan;48(1):14-7.
Freedman SB, Al-Harthy N, Thull-Freedman J. The crying infant:
diagnostic testing and frequency of serious underlying disease.
Pediatrics. 2009 Mar;123(3):841-8.
Sulaiman Yusuf
PENDAHULUAN
Gastroesofageal reflux (GER) didefinisikan oleh North American
Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition (NASPGAN) sebagai
perpindahan retrograde isi lambung yang berupa hasil sekresi gaster,
cairan empedu, dan makanan ke esofagus. Refluks dapat terjadi dalam
keadaan normal yang biasanya berhubungan dengan kondisi tertentu,
seperti posisi berbaring setelah makan, pada saat muntah, maupun karena
proses patologis yang disebut Gastroesophageal reflux disease (GERD).1
Penyebab GERD pada populasi ras kulit putih lebih tinggi dibanding
dengan ras yang lainnya dan dari segi geografis dijumpai bervariasi antar
negara dan benua. Peluang pada pria dan wanita yaitu dengan rasio laki-
laki dan wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:1. Sebuah
penelitian di Inggris pada tahun 2000-2005 ditemukan 1000 anak dengan
diagnosis GERD, dengan angka kejadian 70% bayi berumur 3-4 bulan,
5%-12% bayi berumur 9-12 bulan, dan 0-3% anak berumur 2 tahun. Pada
bayi yang terjadinya GER harus dibedakan dengan GERD karena muntah
yang berlebihan terjadi pada 85% pasien selama seminggu pertama
kehidupan, sedangkan 10% lainnya baru timbul dalam waktu 6 minggu.1,2
Tatalaksana nutrisi merupakan salah satu tatalaksana yang harus
dikerjakan oleh setiap penderita GERD dikarenakan esofagitis refluks
dapat dialami seumur hidup dan dimulai sejak masa bayi maupun anak.
Selain itu modifikasi pola hidup dilaporkan dapat menurunkan paparan
asam pada esofagus. Modifikasi pola hidup berupa meninggikan posisi
kepala, punggung, dan pinggang saat tidur (membentuk sudut 45-60 derajat
dengan alas tempat tidur), mengurangi asupan lemak, menghindarkan
posisi berbaring terlentang selama 2-3 jam sesudah makan, dan mengurangi
berat badan pada anak obesitas. Makanan tertentu seperti coklat, alkohol,
pepermint, kopi, makanan berbumbu, dan mungkin bawang serta garlik
harus dihindarkan karena dianggap meningkatkan GERD.1,2
DIAGNOSIS
Pada tahun 1993 dan 1996, Orenstein merumuskan sebuah kuisioner
klinis sebagai metode sederhana untuk mengidentifikasi anak dengan
GERD. Namun oleh Poddar dimodifikasi menjadi pertanyaan sekaligus
skor untuk mendiagnosis GERD. Jika Skor > 7, sensitivitas: 74% dan
spesifisitas: 94% untuk mendiagnosis GERD.10,12
Tabel 2. Modifikasi Kuesioner Orenstein pada Anak-anak dengan
GERD.10
Pertanyaan Poin
1. Seberapa sering bayi biasanya muntah?
•1-3 kali/ hari 1
•3-5 kali/hari 2
•>5 kali/hari 3
2. Berapa kali biasanya bayi muntah?
•1 sendok teh hingga 1 sendok makan 1
•1 sendok teh hingga 1 ons 2
•>1 ons 3
3. Apakah muntah tampak tidak menyenangkan bagi bayi Anda? 2
4. Apakah bayi menolak makan ketika lapar? 1
5. Apakah bayi mengalami kesulitan mendapatkan kenaikan berat badan
1
yang cukup?
6. Apakah bayi banyak menangis selama atau setelah makan? 3
7. Apakah Anda berpikir bayi menangis atau rewel lebih dari biasanya? 1
8. Berapa jam yang bayi menangis atau rewel setiap hari?
•1 hingga 3 jam 1
•>3 jam 2
9. Apakah Anda pikir cegukan bayi Anda lebih banyak dari kebanyakan
1
bayi?
10. Apakah bayi memiliki kebiasaan untuk melengkungkan punggungnya? 2
11. Apakah bayi pernah berhenti bernapas saat terjaga dan berjuang untuk
bernapas atau mengubah biru atau ungu? 6
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada umumnya bila seorang bayi atau anak menderita muntah maka
yang harus dievaluasi segera adalah mekanisme pengeluaran makanan
dari lambung ke duodenum (gastric outlet), apakah normal atau tidak
normal. Bila tidak normal, apakah memerlukan tindakan bedah atau
medis. Sebelum diperkenalkan adanya ultrasonografi, barium per oral
masih merupakan pemeriksaan unggulan yang harus didahulukan. Akan
tetapi akhir-akhir ini ultrasonografi (USG) sudah mendapat tempat yang
pertama harus dilakukan untuk menentukan kelainan di daerah pilorus
lambung. Apabila dengan pemeriksaan USG sudah dapat dideteksi
adanya gangguan di daerah gastric outlet maka selanjutnya dilakukan
pemeriksaan dengan barium per oral. Di Amerika dan Australia bila
dengan pemeriksaan barium per oral belum dapat ditemukan refluks
maka pemeriksaan lanjutan adalah pemeriksaan sintigrafi gastroesofagus.
Apabila dengan pemeriksaan sintigrafi belum ditemukan refluks, maka
dilakukan pemeriksaan pH (Tuttle test).13
Terdapat beberapa modalitas diagnotik untuk mendiagnosa refluks
gastroesofageal secara akurat, tepat dan cermat.5
• Barium per Oral
• Sintigrafi Gastroesofagus
• Ultrasonografi
• pH Probe Monitor / Uji pH
• Esofagoskopi
Tatalaksana NUTRISI
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi
modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan
serta akhir-akhir ini mulai diperkenalkan terapi endoskopik. Target
penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi esofagus,
menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas
hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi. 14,15
Pada referat ini akan dibahas mengenai terapi secara khusus mengenai
terapi nutrisi pada anak yang menderita GERD. Keputusan tentang
memulainya terapi nutrisi biasanya diberikan pada pasien yang telah
terdiagnosis GERD atau pada pasien yang memiliki resiko untuk kearah
GERD. Terapi nutrisi menjadi lebih sulit ketika asupan gizi pada pasien
Jilid 2. 2011.
Bakti Husada, IDAI. Dalam: Formularium Spesialistik Ilmu Kesehatan
Anak, Jakarta; Kemenkes, 2005: 93
Sunoto. Esofagus. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Editor : AH
Markum ; Ismail S, Alatas H, et al. Jakarta : FKUI, 1991; 415-21.
Ruigómez A, Wallander M, Lundborg P, Johansson S, Rodriguez L.
Gastroesophageal reflux disease in children and adolescents in
primary care. Scandinavian Journal Of Gastroenterology. 2010
Yvan V. Pediatric gastroesophageal reflux clinical practice guidelines.
Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition Vol. 49, No. 4,
October 2009 : 498–547.
Ruigómez A, Wallander M, Lundborg P, Johansson S, Rodriguez L.
Gastroesophageal reflux disease in children and adolescents in
primary care. Scandinavian Journal Of Gastroenterology. 2010;
45(2): 139-146.
Orienstein SR, Peters J, Khan S, Youssef N, Hussain Z. The Esophagus.
Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook
of pediatrics.edisi ke-17. Philadelphia : Sounders ; 2004. h.1217-27.
D.J Sugarbaker, R.Bueno, Y,lColson, M.T,Jaklitech, M J, Krasna, S.J
Mentzer, M. Willm, A. addam :Adult Chest Surgery, 2nd Edition:
www.accessurgery.com Copyright © McGraw-Hill Education. All
right.
Lulik Inggarwati
LATAR BELAKANG
Penyakit Hirschsprung (HSCR) merupakan penyebab terbanyak
obstruksi usus pada periode neonatal, ditandai oleh tidak terbentuknya
sel-sel ganglion (Meissner dan Auerbach) yang dimulai dari sfingter ani
interna kearah proksimal dengan panjang bervariasi, dengan manifestasi
klinis sebagai obstruksi usus fungsional. Ratio laki-laki:perempuan adalah
4:1. Diklasifikasikan sebagai :
1. Segmen pendek
2. Segmen Panjang
3. Aganglionosis kolon total (TCA).
Hirschsprung-associated enterocolitis (HAEC) masih merupakan
penyebab utama mordiditas dan mortalitas pasien-pasien HSCR ini,
ditandai dengan klinis diare berbau busuk; lethargi; presyok sampai syok
dan distensi hebat abdomen; terkadang sampai gizi buruk. Hipotesa yang
masih dianut sebagai penyebabnya adalah intestinal micribiome dysbiosis,
fungsi barrier mukosa yang terganggu, perubahan respon imun inate
dan traslokasi bakteri. HAEC dapat terjadi disetiap episode kehidupan
pasien-pasien HSCR ini, sebelum atau bahkan setelah dilakukan tindakan
prosedur definitifnya.
Kelompok umur 0-4 tahun masih menduduki tempat paling bawah
dalam data piramida penduduk tahun 2017. Dan HSCR merupakan salah
satu kelaianan bawaan sebagai penyebab terbanyak obstruksi usus yang
dapat berkembang kedalam status gizzi buruk, patut dipertimbangkan
untuk mendapatkan prioritas perhatian dari program-program
Kementerian Kesehatan.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan HSCR sampai dengan saat ini adalah pembedahan
dengan prinsip mengangkat segmen aganglion dan prosedur tarik terobos.
Pada awalnya dilakukan bertahap, diawali dengan tindakan diversi (stoma)
DAFTAR PUSTAKA
Puri P, Coyle D. 2019. Hirschsprung Disease in Pediatric Surgery. Puri P,
Höllwarth ME(Eds.) 2nd. Springer: 30: 250-9
Gosain A, Frykman PK, Cowles RA, et al. 2017. Guidelines for the diagnosis
and management of the Hirschsprung-associated enterocolitis.
Pediatric Surg Int : 33:517-21.
Demografi. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2017. 2018. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia : 1:3
Murphy F., Menezes M., Puri P. 2008. Enterocolitis Complicating
Hirschsprung`s Disease in Hirschsprung`s Disease and Allied
Disorders. Holschneider AM, Puri P(Eds.) 3rd . Springer-Verlag
Berlin Heidelberg : 10:144-54W
Chun-Lei Jiao, Xu-Yong Chen, Jie-Xiong Feng. 2016. Novel Insights
into the Pathogenesis of Hirschsprung`s-associated Enterocolitis.
Chinese Medical Journal : June 20:129:12:1491-7
Pelaseyed T, Bergstrӧm JH, Gustafsson JK, Ermund A, Birchenough GM,
Schϋtte A, et al. 2014. The mucus and mucins of the goblet cells and
enterocytes provide the first defense line of the gastrointestinal tract
and interact with the immune system. Immunol rev : 260:8-20. Doi:
10.1111/imr.12182
Grosfeld JL. 2008. Hirschsprung`s Disease:A Historical
Perspective-1691-2005:21. Holschneider AM, Puri P(Eds.) In
Hirschsprung`s Disease and Allied Disorders. 3rd Ed.Springer.
Berlin
Puri P. 1993. Hirschsprung`s Disease:Clinical and Experimental
Observations. World J. Surg : 17, 374-84.
Parahita IG, Makhmudi A, Gunadi. 2017. Comparison of Hirschsprung-
associated enterocolitis following Soave and Duhamel Procedures. J
Pediatr Surg. ;htps://doi.org/10.1016/j.jpedsureg.2017.07.010.
ChakravartiA, Lyonnet S. Hirschsprung disease. In: Scriver CR, Beaudet
AL, Valle D, Sly WS, Childs B, Kinzler K, Vogelstein B, editors.
2001. The metabolic and molecular bases of inherited disease. 8th
ed. New York: McGraw-Hill.
Amiel J, Sproat-Emison E, Garcia-Barcelo M, et al. 2008. Hirschsprung
disease associated syndromes and genetics: a review. J Med Genet :
45:1-14.
Haricharan RN, Seo JM, Kelly DR, et al. 2008. Older age at diagnosis of
Hirschsprung disease decreases risk of postoperative enterocolitis,
but resection of additional ganglionated bowel does not. J, Pediatr
Surg : 43:1115-23.
El-Sawaf M, Siddiqui S, Mahmoud M, et al. 2013. Probiotic profilaxis
after pullthrough for Hirschsprung disease to reduce incidence
of enterocolitis: a prospective, randomized, double-blind, placebo
controlled, multicenter trial. J Pediatr Surg : 48:111-7.
Rossi V, Avanzini S, Mosconi M, et al. 2014. Hirschsprung Associated
Enterocolitis. Review Article. J Gastroint Dig syst,4:1.
Doi:10.4172/2161-069X.1000170
Kartono D. 2004. Penyakit Hirschsprung. Cetakan I. Jakarta;Sagung
Seto;:1.
Siyang Cheng, Jun Wang, Weihua Pan, et al. 2017. Pathologically assessed
grade of Hirschsprung-associated enterocolitis in resected colon in
children with Hirschsprung’s disease predicts postoperative bowel
function function. J.PedSurg., 2017. 52:11. https://doi.org/10.1016/j.
jpedsurg
Pradeep Bhatia,* Rakesh S Joshi, Jaishri Ramji, et al. 2013. Single Stage
Transanal Pull-Through for Hirschsprung’s Disease in Neonates:
Our Early Experience. Journal of Neonatal Surgery : 2(4):39 EL-
MED-Pub Publishers. http://www.elmedpub.com
Ji J, Ling XB, Zhao Y, et al. 2014. A data-driven algorithm integrating
clinical and laboratory features for the diagnosis and prognosis of
necrotizing enterocolitis. PLoS One 2014;9(02):e89860.
Nenny Srimulyani
PENDAHULUAN
Hepatitis B masih merupakan masalah global dan nasional yang
ditunjukkan adanya pencanangan world hepatitis day sejak tahun
2010 setiap tanggal 28 September sekaligus memperingati hari lahirnya
Blumberg, dokter Amerika, penemu virus hepatitis B yang memperoleh
hadiah Nobel pada tahun enam puluhan. Indonesia yang pada pemetaan
bertahun tahun lalu termasuk daerah dengan endemisitas sedang sampai
tinggi dan saat ini prevalensinya turun sehingga masuk katagori sedang atau
intermediate tetapi masih paling tinggi dibanding negara-negara tetangga
lainnya. Perjalaan alamiah hepatitis B kronis adalah menjadi sirosis dan
karsinoma hepatoseluler. Kronisitas ditentuka oleh beberapa factor tetapi
penentu paling penting adalah usia saat terjadi infeksi. Makinmuda usi
makin tinggi risikonya untuk menjadi kronis. Penularannya melalui jalur
vertical dan horizontal. Penularan vertikal adalah penularan dari Ibu ke
bayi saat intrauterine, intrapartum dan post partum. Penularan horizontal
pada usia dibawah 5 tahun juga hal penting. Untuk itu focus pencegahan
adalah melakukan imunisasi hepatitis seawal mungkin untuk mencegah
penularan vertical dan melengkapi dosis 3 kali berikutnya untuk
mencegah penularan pada setiap usia. Ditambah dengan pemberian HBIg
pada bayi yang lahir dari ibu HBsAg pos. Hal itu tentu saja sudah dikenal
dan sudah dilakukan. Pembicaraan ini difokuskan pada hal-hal penting.
Misal tentang virus B, petanda serologi, perjalanan alamiah serta fase-
fase hepatitis kronis yang erat kaitannya dengan alasan pemberian vaksin
hepatitis B seawall mungkin.
JADWAL IMUNISASI HEPATITIS B
Hepatitis B dicanangkan oleh badan Kesehatan sedunia musnah
(0,1%) pada tahun 2030. Upaya pencegahan menjadi focus dan pencegahan
penularan pada awal kehidupan menjadi salah satu prioritas utama. Hal
itu menunjukkan bahwa hepatitis B merupakan masalah global dan juga
PETANDA SEROLOGI:
Petanda serologi yang saat ini digunakan adalah HBsAg, anti- HBsAg,
HBeAg, anti HBeAg, anti HBcAg karena HBcAg saat ini hanya dapat
dideteksi di sel hati.
DNA dapat dilihat secara kualitatif dan kuantitatif.
TRANSMISI DAN LUARAN INFEKSI VIRUS HEPATITIS B DAN
PENCEGAHAN:
Penularan hepatitis B adalah secara vertical dan horizontal. Penularan
vertical adalah penularan dari ibu ke bayinya pada saat dalam kandungan
atau intrauterine, intrapartum dan post partum. Penularan intrauterine
dapat tejadi apabila ada kebocoran plasenta, infeksi, amniosintesis, dan
lainnya dan kejadian ini sangat jarang terjadi (< 5%) dari ibu HBsAg positif
dengan HBeAg positif. Penularan intrapartum adalah yang sering terjadi.
Yang terakhir inilah yang merupakan target imunisasi seawal mungkin.
Adapun hepatitis akut dan fulminan masih mungkin pada bayi yang lahir
dari ibu dengan HBsAg pos. tetapi HBeAg neg.
Seseorang yang terinfeksi virus hepatitis B pada umunya dapat
menunjukkan akut kemudian sembuh dan terbentuk anti- HBsAg atau
dapat berlanjut menjadi kronis dengan petanda adanya HBsAg yang
menetap lebih dari 6 bulan, atau menjadi fulminan.
Sebagian besar (90%) bayi lahir dari Ibu HBsAg pos. dan HBeAg pos.
dapat menjadi kronis.
Hepatitis B kronis pada bayi dimulai dengan fase imuntoleran,
ditandai hanya dengan petanda serologi dan DNA yang tinggi tanpa atau
hanya sedikit adanya kerusakan hati (ALT normal atau meningkat sedikit).
Keadaan ini bisa bertahun2 atau puluhan tahun tergantung oleh factor
host, factor virusnya ataupun reaksi host dan virus. Kronisitas hepatitis B
ini ditentukan oleh beberapa factor dan penentu terpenting yang diyakini
saat ini adalah usia saat terinfeksi, makin muda usia makin tinggi riisko
kronisitasnya. Mengapa demikian masih belum diketahui dengan pasti.
Namun mekanisme imuntoleran masih dianut sampai sekarang meski ada
teori lain yang dianggap menggagalkan teori ini tetapi belum konklusif.
HBeAg adalah protein non- structural yang disekresikan kedalam darah dan
dapat menembus placenta. Dengan demikian partikel virus B yang masuk
belakangan tidak dapat direspon oleh sel limfosit T sitotoksik spesifik
tsb. diberikan secara lengkap 3- 4 kali. Akan lebih baik lagi kalau dapat
dilakukan pemberian anti-virus pada trimester ketiga kehamilan untuk
dapat mencegah transmisi intrauterine.
PENUTUP
Pencegahan penularan vertical merupakn focus dari pemutusan rantai
penularan hepatitis B. Pemberian imunisasi hepatitis B di Indonesia
dimulai dari skrining pada ibu hamil dan pemberian vaksin hepatitis
B saat lahir ditambah pemberian HBIg pada bayi yang lahir dari ibu
dengan HBsAg pos. Pemberian antivirus pada trimester ketiga kehamilan
merupakan strategi yang dicanangkan pada tahun 2020. Pencanangan
bebas hepatitis B di tahun 2030 (0,1%) adalah hal yang sanga mungkin
apabila cakupan imunisasi baik.
DAFTAR PUSTAKA
World Health Organization, Global Health Sector Strategy on viral
hepatitis 2016–2021, towards ending viral hepatitis (2016) Dig
Dis, 10 (1) (1992), pp. 46-52
Natural history and control of perinatally acquired hepatitis B virus infec-
tion Dig Dis, 10 (1) (1992), pp. 46-52
Hepatitis B virus infection in children and adolescents. Lancet Gastroen-
terol Hepatol, 4 (6) (2019), pp. 466-476
Effect of hepatitis B immunisation in newborn infants of mothers positive
for hepatitis B surface antigen: systematic review and meta-analysis
BMJ, 332 (7537) (2006), pp. 328-336
Hepatitis B http://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/hepa-
titis-b
PENDAHULUAN
Hepatitis A merupakan penyakit infeksi virus pada hati yang sangat
menular. Virus ini merupakan salah satu dari berbagai jenis virus hepatitis
yang menyebabkan inflamasi serta mempengaruhi fungsi hati. Tidak
seperti hepatitis B dan C, infeksi hepatitis A tidak menyebabkan penyakit
hati kronis, self – limitting, namun dapat menyebabkan komplikasi gagal
hati akut berat. Penyakit ini sangat dekat hubungannya dengan higiene
makanan, air dan sanitasi. Virus Hepatitis A menyebar secara fecal-oral.
Virus akan menyebar terutama ketika individu menelan makanan atau air
yang terkontaminasi feses penderita hepatitis A. Hal ini bisa terjadi dengan
berbagai cara. Misalnya saat orang yang telah terinfeksi menyiapkan/
memasak makanan untuk orang lain tanpa mencuci tangan terlebih
dahulu dengan baik. Virus Hepatitis A memiliki mekanisme pertahanan
untuk dapat hidup (doormant) dalam makanan walaupun telah melewati
berbagai proses pembuatan makanan.1-5
VIROLOGI
Virus Hepatitis A merupakan bagian dari ordo picornavirus, famili
picornaviridae, genus hepatovirus. Hepatitis A seperti picornavirus lainnya,
tidak berkapsul (noneveloped virus) berukuran 27 nm dan mengandung
RNA tunggal dalam cangkang protein. RNA dibungkus oleh 3 protein
yaitu VP1, VP2, dan VP3.6, 7 Bentuk lain dari Virus Hepatitis A adalah
Virus Hepatitis A berkapsul semu. Virus Hepatitis A terdiri dari satu
serotipe, tiga atau lebih genotipe, dan bereplikasi di sitoplasma hepatosit
yang terinfeksi.
PATOGENESIS
Terdapat dua bentuk virus yang infeksius. HAV tanpa kapsul yang
dikeluarkan bersama feses individu terinfeksi, berukuran lebih kecil,
memiliki protein capsid berbentuk icosahedral yang menyelubungi genom
RNA. Molekul antigenik dari capsid di kenal baik oleh sistem kekebalan.
Bentuk lain adalah virus berkapsul semu yang disekresi dari sel terinfeksi
disebut eHAV. Bentuk ini memilki cangkang semu berupa membran vesikel
yang menyelubungi dan membuat molekul capsid tidak terpapar sistem
kekebalan sehingga tidak menginduksi proses imunologis. Kedua bentuk
ini dapat terdapat dalam tubuh manusia dan mempengaruhi perjalanan
penyakitnya. Pada saat melewati saluran bilier, oleh cairan bilier cangkang
semu tersebut akan lisis, sehingga yang disekresikan bersama dengan
cairan empedu ke saluran pencernaan adalah bentuk HAV. Kerusakan
hepar yang terjadi pada Hepatitis A disebabkan karena mekanisme imun
yang diperantai sel-T.1, 6 ,7, 8
MANIFESTASI KLINIS
Infeksi HAV akut menyebabkan nekroinflamasi hepar yang akan
membaik dengan sendirinya tanpa adanya sekuele kronis. Gejala hepatitis
dapat ringan hingga berat, berupa demam, lesu, kelelahan, hilang nafsu
makan, diare, mual, tidak nyaman di perut, anoreksia, myalgia, atralgia,
nyeri kepala, urin yang berwarna coklat hingga ikterus.10, 11,12
Pada bayi dan balita, gejala-gejala ini sangat ringan dan jarang dikenali,
jarang terjadi icterus (30%). Sebaliknya pada orang dewasa yang terinfeksi
HAV, hampir semuanya (70%) simtomatik dan dapat menjadi berat.
Dibedakan menjadi 4 stadium yaitu: 10
1. Masa inkubasi, berlangsung selama 18-50 hari (+ 28 hari)
2. Masa prodomal, terjadi selama 4 hari - 1 minggu atau lebih. Gejala:
fatigue, malaise, nafsu makan berkurang, mual, muntah, rasa tidak
nyaman di daerah kanan atas, demam (biasanya < 39°C). Merasa
dingin, sakit kepala, gejala seperti flu. Tanda yang ditemukan
biasanya hepatomegali ringan dengan nyeri tekan.
3. Fase ikterik, dimulai dengan urin yang berwarna kuning tua, seperti
teh, diikuti oleh feses yang berwarna seperti dempul, kemudian
warna sclera dan kulit perlahan-lahan menjadi kuning. Gejala
anoreksia, lesu, mual dan muntah bertambah berat.
4. Fase penyembuhan, ikterus menghilang dan warna feses kembali
normal dalam 4 minggu setelah onset.
Gejala klinis terjadi tidak lebih dari 1 bulan, sebagian besar penderita
sembuh total, tetapi relaps dapat terjadi dalam beberapa bulan.10
DIAGNOSIS
Diagnosis hepatitis A dapat dilihat dari pemeriksaan laboratorium dari
pemeriksaan serologi IgM anti-HAV, antibodi ini ditemukan 1-2 minggu
setelah terinfeksi dan bertahan dalam waktu 3-6 bulan. Sedangkan untuk
pemeriksaan IgG anti-HAV dapat dideteksi dalam waktu 5-6 minggu
setelah terinfeksi dan bertahan sampai beberapa dekade, bahkan memberi
proteksi terhadap HAV seumur hidup. RNA HAV dapat dideteksi dalam
cairan tubuh dan serum menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR)
tetapi biayanya mahal dan dilakukan hanya pada penelitian. Pemeriksaan
ALT dan AST tidak spesifik untuk hepatitis A. Kadar ALT dapat mencapai
5000 U/l, tetapi kenaikan ini tidak berhubungan dengan derajat penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
WHO. Hepatitis A. World Health Organization. 2018. Web. 24 April
2019. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/hepatitis-a
CDC. Hepatitis A. Centers for Disease Control and Prevention, 2019.
Web. 24 April 2019. https://www.cdc.gov/hepatitis/hav/afaq.htm
Kojaoglanian, Tsoline. Hepatitis A. Pediatrics in Review 2010, 31 (8) :348
Bennet, NJ. Pediatric hepatitis A. Medscape. 2016. Web. 23 April
2019. https://emedicine.medscape.com/article/964575-
overview#showall
Departemen Kesehatan RI. Situasi dan analisis hepatitis. Jakarta: Pusat
Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI; 2014. H. 2-7.
Stuart DI, Ren J, Wang X, Rao Z, Fry EE. Hepatitis A virus capsid structure.
Cold Spring Harp Perspect Med doi: 10.1101/cshperspect.a031807
Cuthbert J. Hepatitis a: old and new. Clinical Microbiology Reviews, Jan
2001, Vol 14: 38 – 58
Lemon SM, Ott JJ, Damme PV, Shouval D. Type A viral hepatitis: A
summary and update on the molecular virology, epidemiology,
pathogenesis and prevention. Journal of Hepatology 2018. Vol 68
(1) :167 – 184
Arief S. Hepatitis virus dalam Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi
IDAI. Jilid 1. Jakarta: IDAI; 2012. H.285-328.
Herdiana M, Arief S, Setyobudi B. Mengenal hepatitis a pada anak. 2015.
Diunduh dari: http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-
anak /mengenal-hepatitis-a-padaanak
Gillory RK. Hepatitis A. Mescape. 2017. Web. 24 April 2019. https://
emedicine.medscape.com/article/177484-overview
Ranuh G, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita C, Ismoedijanto,
Soedjatmiko. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke 5. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2014. h.247-53,335-40.
PENDAHULUAN
Hepatitis Neonatal (HN) atau disebut juga kolestasis intrahepatik,
adalah sindrom klinik yang timbul akibat hambatan sekresi dan/atau aliran
empedu yang terjadi di dalam hati oleh berbagai macam penyebab. Pada
bayi biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan.1 Akibatnya akan
terjadi akumulasi, retensi, serta regurgitasi bahan-bahan yang merupakan
komponen empedu seperti bilirubin, asam empedu serta kolesterol ke
dalam plasma dan pada pemeriksaan histopatologis akan ditemukan
penumpukan empedu di dalam sel hati dan sistem biliaris di dalam hati.
Penumpukan bahan tersebut akan merusak sel hati dengan berbagai
tingkat gejala klinik tergantung lamanya kolestasis berlangsung serta
penyakit primer yang menjadi penyebab kolestasis tersebut. Dikatakan
kolestasis bila bayi berumur 2 minggu terlihat ikterik, urin berwarna lebih
gelap, tinja berwarna lebih pucat sampai dempul2 dan kadar bilirubin
direk ≥ 1 mg/dl.3
Oleh karena itu HN adalah keadaan patologik yang berhubungan
dengan kelainan sistem hepatobilier. Maka perlu di evaluasi dengan
cermat agar dapat mengidentifikasi penyebabnya sehingga terapi yang
sesuai dapat diberikan secara dini agar kerusakan hati lebih lanjut dapat
dicegah dan tumbuh kembang anak dapat optimal.4
Penyebab HN pada bayi lebih beragam dibandingkan anak yang lebih
besar karena hati bayi yang masih imatur. Penyebab tersebut antara lain
infeksi, kelainan genetik, endokrin, metabolik, atau tumor.4,5
Angka kejadian kolestasis pada bayi dapat mencapai 1 dari 2500
kelahiran hidup. Penyebab terbanyak adalah kolestasis intrahepatik (HN)
sebesar 62-73,5%.5
Selanjutnya akan dibahas penyebab hepatitis neonatal pada bayi dan
anak secara umum.
infeksi yang terjadi selama masa kehamilan dapat berakibat fatal. Gejala
klinisnya berupa kuning, kelainan kulit yang luas dan keterlibatan
multisistem terutama pneumonia dan kelainan parenkim hati pada
kasus yang fatal.
Sepsis virus enterik (Echovirus, Coxsackie virus, Adenovirus)
Virus enterik mengakibatkan infeksi virus sistemik pada neonatus
dengan gambaran klinis berupa hepatitis berat dengan gagal hati akut.
Transmisi vertikal yang terjadi sesaat sebelum lahir, mengakibatkan
gejala yang lebih berat pada bayi. Sebagian besar sepsis virus enterik
terjadi pada umur 1-5 minggu. Bayi menjadi letargi dan kuning disertai
kadar aminotransferase yang sangat tinggi, koagulopati hebat dan
biasanya juga disertai meningitis. Selain Echovirus dan virus Coxsackie A
atau B, Adenoviruse juga dapat menimbulkan gejala klinik yang serupa,
hanya miokarditis dan gagal jantung lebih condong akibat infeksi virus
Coxsackie
Infeksi bakteri di luar hati
Gejala kuning dan meningkatnya kadar bilirubin direk darah
mungkin terjadi pula pada infeksi lokal di luar hepar misalnya infeksi
traktus urinarius atau sepsis (streptokokus, stafilokokus atau kuman
Gram negatif).
Tuberkulosis
Tuberkulosis kongenital jarang terjadi. Neonatus mungkin terinfeksi
melalui cairan amnion atau sekret serviks yang terinfeksi pada saat lahir.
Diagnosis tuberkulosis pada neonatus dibuat, bila ada salah satu gejala
berikut: lesi pada minggu pertama kehidupan, kompleks hepatik primer
atau granuloma kaseosa di hati, infeksi tuberkulosis pada plasenta atau
genitalia ibu, dan tidak ada infeksi postnatal. Hepatomegali sering
ditemukan. Gejala lainnya yang sering adalah distres pernafasan,
kesukaran minum, dan demam. Mortalitas mencapai 30%.
2. Hepatitis Neonatal Idiopatik
Etiologi kolestasis pada bayi yang terjadi dalam 3 bulan pertama
tidak dapat ditemukan pada 25% kasus dan kelompok bayi ini disebut
hepatitis neonatal idiopatik yang cenderung merupakan bayi prematur
atau kecil untuk masa kehamilan yang mungkin merefleksikan kelainan
genetik atau infeksi intrauterin. Pada 5%-15% kasus, lebih dari 1 anak
dalam keluarga menderita penyakit yang sama. Pada biopsi hati dapat
ditemukan giant cell transformation luas dengan inflamasi, tetapi duktus
bilier biasanya normal.
3. Sindrom Alagille (bile duct paucity syndrome)
Sindrom Alagille (syndromic duct paucity, sindrom Watson-Miller,
displasia arteriohepatik) adalah suatu kelainan genetik dengan transmisi
dominan autosom, tetapi dengan manifestasi klinis yang sangat
bervariasi. Sindrom ini dihubungkan dengan mutasi yang terjadi pada
gen Jagged-1 (JAG 1) pada kromosom 20p. Mutasi ditemukan pada
70% kasus dan diturunkan pada 30%-50% kasus.
a. Gambaran klinis utamanya adalah:
• Kolestasis yang sangat hebat hingga mengakibatkan tinja berwarna
dempul dan disertai pruritus.
• Raut muka khas berupa kening yang lebar, mata dalam,
hipertelorism ringan, dan dagu yang lancip. Raut muka ini
mungkin belum terlihat pada bulan pertama.
• Kelainan tulang berupa bentuk tulang belakang yang seperti
butterfly akibat kegagalan fusi bagian anterior vertebra. Mungkin
pula terlihat jarak interpedikular pada daerah lumbal yang
berkurang, ada spina bifida okulta, falangs distal melengkung dan
ulna yang pendek.
• Kelainan mata yang terjadi dapat sangat beragam. Yang paling
sering dan memerlukan pemeriksaan dengan slit-light adalah
embriotokson posterior dan Schwalbe’s line yang abnormal.
• Kelainan jantung dapat berupa stenosis arteri pulmonal, tetralogi
Fallot, stenosis katup pulmonal, stenosis aorta, dan ASD. Beratnya
kelainan jantung bervariasi.
• Gagal tumbuh yang dihubungkan dengan retardasi intrauterin.
Malnutrisi berat ditemukan pada ± 50% penderita yang mungkin
merupakan bagian dari sindrom Alagille atau sekunder terjadi
akibat malabsorpsi atau refluks gastroesofageal.
b. Gejala minor lain yang mungkin ada adalah:
• Kelainan ginjal, misalnya kelainan struktur dan defek fungsi
pemekatan urin
b. PFIC- 2
Pada PFIC-2 ini, mutasi terjadi pada kromosom 2q. Gejalanya
sama dengan PFIC-1, hanya tidak ada diare serta pankreatitis.
c. PFIC-3
PFIC-3 adalah jenis lain dari PFIC yang mempunyai kadar GGT
yang meningkat. Kuning kurang mencolok dibandingkan pruritus
dan sistem biliaris dalam batas normal pada pemeriksaan pencitraan.
Pada semua tipe PFIC, diversi biliaris dapat menghilangkan pruritus
bila dikerjakan sebelum terjadi fibrosis hati yang bermakna.
5. Injuri (jejas) toksik
Penyebab injuri toksik yang paling sering menimbulkan kolestasis
pada bayi adalah nutrisi parenteral total. Kolestasis progresif yang terjadi
pada bayi yang mendapat nutrisi parenteral total timbul terutama pada
bayi dalam keadaan kritis dan lebih sering pada bayi prematur karena
mekanisme pembentukan empedunya masih belum berkembang.
Keadaan puasa akan mengganggu sirkulasi enterohepatik, mengurangi
sekresi hormon-hormon intestinal yang diperlukan untuk fungsi normal
hepatobiliaris, dan mempermudah berkembangnya bakteri tumbuh
lampau di usus halus yang berpotensi membentuk endotoksin atau
mengubah asam empedu menjadi lebih toksik. Mungkin pula terjadi
translokasi bakteri. Semua mekanisme ini dipersulit lagi oleh faktor
sistemik seperti hipoksia atau hipoperfusi, infeksi lokal atau sistemik
dan obat-obat yang digunakan. Kolestasis yang terjadi mungkin sangat
hebat sehingga menyerupai obstruksi traktus biliaris ekstrahepatik
dengan tinja berwarna dempul dan GGT serta aminotransferase yang
meningkat. Pada biopsi hati didapatkan kolestasis dengan nekrosis
hepatoselular, lipofusin yang berlebihan, infiltrasi lemak, transformasi
giant cells ringan, infiltrasi inflamasi daerah portal, beberapa proliferasi
duktulus biliaris dengan atau tanpa fibrosis porta.
2. Nutrisi
Kekurangan Energi Protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari
kolestasis (terjadi pada lebih dari 60% pasien). Maka pada bayi dengan
kolestasis diperlukan kalori yang lebih tinggi dibanding bayi normal
untuk mengejar pertumbuhan. Karena itu untuk menjaga tumbuh
kembang bayi, seoptimal mungkin dilakukan terapi nutrisi formula
spesial dengan jumlah kalori 120%-150% dari kebutuhan normal serta
vitamin, mineral dan trace element:
DAFTAR PUSTAKA
Lee Ng V. Neonatal Hepatitis. In: Wyllie R, Hyams JS, Editors. Pediatric
Gastrointestinal and Liver Disease; Third Ed. Philadelphia:
Saunders. 2006: 851-865.
Bisanto, J. Kolestasis pada bayi. Dalam: Hot Tropics in Pediatrics II; PKB
IKA XLV FKUI-RSCM. Cetakan ke 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2002: 84-97.
Fawaz R, Baumann U, Ekong U, et al. Guideline for The Evaluation
of Cholestatic Jaundice in Infants: Joint Recommendation of
ESPGHAN and NASPGHAN. JPGN. Vol 64, No.1, Januari 2017:
154-168.
Robert EA. Neonatal Hepatitis Syndrome. In: Kelly, Editoers. Diseases
of the liver and biliary system in children; Third Ed. Birmingham:
Blackwell. 2008: 60-68.
Bisanto J. Evaluasi diagnosis dan tatalaksana kolestasis pada bayi. Dalam:
Penanganan Optimal Masalah Saluran Cerna dan Hati Pada Anak
Kongres Nasional III BKGAI. Surabaya, 2007: 75-87.
Anik Widijanti
PENDAHULUAN
Penyakit Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di
dunia termasuk Indonesia. Hepatitis meliputi hepatitis A, B, C, D dan
E, juga dapat disebabkan bakteri, parasit, otoimun dan virus lain, di
mana hepatitis A dan E sering muncul sebagai kejadian luar biasa yang
ditularkan secara fecal oral. Sedangkan hepatitis B, C dan jarang D yang
ditularkan secara parenteral dan sering menjadi kronik, dapat menjadi
sirosis dan kanker hati. Data Dep Kes RI 2014 menunjukkan bahwa Virus
hepatitis B menginfeksi sekitar 2 miliar orang didunia, di mana sekitar
240 juta menjadi kronik, sedangkan hepatitis C sekitar 170 juta orang.
Sekitar 1,5 juta penduduk dunia meninggal karena hepatitis dalam setiap
tahunnya. Indonesia merupakan negara dengan endemisitas tertinggi di
Asia Tenggara, sesudah Myanmar. Dari data riset kesehatan dasar, studi
dan uji saring darah donor didapatkan bahwa 10% orang indonesia telah
terinfeksi hepatitis B dan C.1
Istilah hepatitis dipakai untuk semua jenis keradangan sel hati yang
dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, parasit, obat-obatan, otoimun,
konsumsi alkohol dan perlemakan hati.1 Virus yang dapat menginfeksi
umumnya virus hepatitis A,B,C,E dan jarang D, namun juga dapat virus
dengue dan lain lain virus.1
Dari kenyataan di atas maka pemeriksaan petanda hepatitis dan
interpertasinya menjadi sangat penting untuk mengatasi masalah tersebut,
terlebih pada anak anak, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang
interpertasi pemeriksaan immunoserologi hepatitis, juga pada anak.
HEPATITIS A
Disebabkan oleh virus hepatitis A, penyakit ini distribusinya diseluruh
dunia, endemis di beberapa negara berkembang. Sifatnya ringan, akut,
sembuh spontan / sempurna tanpa gejala sisa, jarang menjadi kronik.
Penularan fecal-oral, perkutaneus, bahkan dapat parenteral (jarang), terjadi
pada daerah dengan sanitasi & higiene buruk. Diagnosis hepatitis A akut
berdasar pada ditemukan Ig M anti HAV dalam serum penderita. Gejala
klinik mulai ringan seperti flu biasa sampai ikterik dengan pembengkakan
hati. Tak ada terapi spesifik karena sembuh sendiri (self limited),
pencegahan dengan memperbaiki perilaku hidup bersih, yaitu menjaga
makanan dan minuman, serta vaksinasi.1,2,3 Hepatitis A pada anak sering
asimptomatik, sedangkan pada aldolesen dan dewasa gambaran klinisnya
lebih nyata, di mana dapat terjadi acute liver failure terutama jika sudah
ada penyakit hati yang mendasarinya atau kondisi immunocompromised.
Hepatitis A pada anak yang biasanya asimptomatik, namun dapat juga
memberikaan manifestasi ekstra hepatik, di mana dilaporkan sebanyak
6,4–8% dari kasus. Manifestasinya dapat berupa atralgia, vaskulitis kutan,
cryogloblinaemia, acalculous cholecystitis, pankreatitis, anemia aplastik,
Guillane-Barre syndrome, transvere myelitis, acute tubular necrosis,
sindrom nefrotik, artritis reaktif dan efusi pleura. Hepatitis A pada anak
yang asimptomatik dan tanpa ikterus, 85% akan kembali normal secara
sempurna dalam 3 bulan.4 Mortalitas meningkat dengan peningkatan
usia terutama pada usia lebih dari 40 tahun. Vaksinasi hepatitis A
dianjurkan pada daerah dengan endemisitas tinggi.2 Penelitian di Kashan-
Iran (2013) mendapatkan 3,9% seropositif Hepatitis A pada anak 1-15
tahun, dengan rerata usia ± SD adalah 6.98 ± 4.02 tahun.2 Penelitian
lain Ferreira dkk (1996) mendapatkan terdapat perbedaan nyata angka
prevalensi anak dengan sosial ekonomi rendah (51%) dibandingkan anak
dengan sosial ekonomi lebih baik (11%). Peneliti lain Clemens dkk (2000)
mendapatkan sero prevalensi anti HAV adalah 65% pada usia 1-40 tahun
di Brazilia, di mana pada usia 1-5 tahun sero prevalensi lebih rendah yaitu
35%, sedangkan pada usia lebih tua (31-40 tahun) sero prevalensi nya >
90%.3 Penelitian di Polandia menunjukkan prevalensi anti HAV positif
pada usia 25-44 tahun adalah 47,8%, sedangkan pada usia 45-64 tahun
72,1%. Jadi pada usia lebih tua prevalensi semakin meningkat.5 Di negara
berkembang diperkirakan 212 juta infeksi HAV (2012) di mana 33 juta
kasus simpomatik (2014) dan 35 ribu kematian (2005). Pada anak biasanya
asimptomatik, sedangkan usia makin meningkat gejala nya lebih nyata.
Sehingga di daerah dengan endemisitas tinggi vaksinasi sangat berguna,
dapat memberi proteksi jangka panjang.6
Hepatitis A disebabkan RNA virus family Picorna viridae, genus
Hepatovirus, non envelop, diameter 27 nm, didalam virion. Mempunyai
HEPATITIS B
Hepatitis B disebabkan oleh virus DNA dengan masa inkubasi 60-
90 hari, penularan dapat terjadi secara vertikal pada masa perinatal (saat
persalinan) dan 5% intra uterin pada ibu dengan hepatitis B.8 Penularan
hepatitis B selain secara vertikal saat persalinan, dapat juga terjadi secara
horisontal melalui transfusi darah, jarum suntik tercemar, pisau cukur,
transplantasi organ, tatto.1 Penularan didominasi oleh perkutaneus
atau lewat mukosa yang terinfeksi darah atau cairan tubuh meliputi air
liur, cairan mestruasi, vagina, dan cairan seminal.8 Di Indonesia angka
pengidap hepatitis B pada populasi sehat diperkirakan mencapai 4.0-
20.3% dengan proporsi diluar pulau Jawa lebih tinggi dari Jawa. Secara
genotip, virus hepatitis B di Indonesia kebanyakan virus dengaan genotip B
(66%), diikuti C (26%), D (7%) dan A (0,8%).9 Peneliti lain menyebutkan
secara klasik masa inkubasi 8-9 minggu infeksi atau 3-5 minggu sebelum
perubahan biokimia tes faal hati (disfungsi hati) serta munculnya gejala
klinik, masih mungkin mendeteksi HBs Ag dalam serum. Ig M anti Hbc
tak terdeteksi lagi dalam 6 bulan, sedangkan Ig G anti HBc bertahan lebih
lama bahkan kadang seumur hidup.10
Serologi marker untuk identifikasi dan klasifikasi infeksi hepatitis
B meliputi 5 macam yaitu : HBs Ag (hepatitis B surface antigen), HBe
Ag (hepatitis B epsilon antigen), anti HBs (antibodi terhadap hepatitis B
surface antigen), anti Hbe (antibodi terhadap hepatitis B epsilon antigen)
dan anti HBc (antibodi terhadap hepatitis B core /nucleocapsid antigen),
Jika HBs Ag positif harus dipastikan dulu akut atau kronik, jika Ig M anti
HBc positif maka pasien adalah hepatitis B akut, terutama bila ditunjang
dengan kecurigaan klinik dan peningkatan kadar aminotransferase. Pada
orang dewasa hepatitis akut akan terjadi pembersihan (clearance) secara
spontan, hanya 5% yang menjadi kronik. Kurang dari 1% berkembang
menjadi acute hepatic failure (ditandai dengan koagulopati dan
ensefalopati). Pasien hepatitis B kronik menunjukkan HBs Ag positif, Ig
G atau total anti HBc positif, tetapi Ig M anti HBc negatif, hasil anti HBs
biasanya negatif, kecuali pasien dalam proses serokonversi HBs Ag positif
menjadi negatif.12
Table 2 : Schematic representation of hepatitis B virus (HBV) serological
markers, the corresponding antibodies, and the interpretation
of the profile, considering the typical serological profiles in
HBV infection.11
HbcAg HBcAg Anti Anti
HBsAg HBeAg Interpertation
Ig M Ig G Hbe Hbs
pos neg neg neg neg neg Incubation period
pos pos pos pos neg neg Acute infection
HBV infection (acute or
pos neg neg pos neg neg
chronic HBV infection
Chronic HBV infection or
pos neg neg pos Neg/pos neg
end of recent infection
Recent HBV infection.
neg neg pos pos neg neg Begining of the
convalecent period
Past HBV infection
neg neg neg pos neg neg
(immunololical window)
Immune, recent past
neg neg neg pos pos pos
infection
Immune, past infection
neg neg neg pos neg pos (old infection)
Immune, contact HBs Ag,
neg neg neg neg neg pos vaccine response
Susceptible individual,
neg neg neg neg neg neg Never had contact with
HBV
Jika HBs Ag negatif, anti HBc & anti HBs positif, dikatakan pasien
pernah terpapar virus HBV, di mana Hbs Ag mengalami serokonversi
menjadi anti HBs, dihubungkan dengan resolusi penyakit, perbaikan hasil
klinik, dan imun terhadap reinfeksi. Beberapa pasien dapat berkembang
menjadi sirosis sebelum terjadi serokonversi, yang mana meningkatkan
resiko terjadinya kanker hati. Pasien dengan HBs Ag negatif tetapi anti
HBc positif dapat berupa infeksi tersamar dan dapat timbul resiko
reaktivasi, di mana hepatitis flare-up pada terapi immunosupresan yang
mengandung rituximab. Interpertasi serologi akibat respon terhadap
vaksinasi jika hanya anti HBs saja yang positif.12
Hepatitis B dan C merupakan problem masyarakat karena spektrum
penyakitnya sangat luas mulai asimptomatik, sampai sirosis dan kanker
hati. Pada penelitian di Brasilia di dapatkan reaktif HBs Ag 1,8%,
sedangkan anti HBc total 3,6%, reaktif anti HBs 25.3%. Reaktifitas anti
HBs meningkat dari 6.28% (tahun 1999-2000) menjadi 76,2% (tahun
2001-2012). Imunitas HBV terus meningkat selama penelitian ini,
menunjukkan vaksinasi HBV pada anak cukup efektif untuk mengkontrol
infeksi HBV.14
Indikasi pemeriksaan hepatitis virus. Tes nya meliputi HBs Ag, anti HBc,
dan anti HBs.12
Pasien resiko tinggi di mana sebelumnya pernah terpapar HBV
1. Orang yang lahir didaerah dengan prevalensi hepatitis B kronik
sedang atau tinggi
2. Anak yang lahir dari ibu dengan hepatitis B kronik
3. Saudara, seksual, kontak keluarga dengan penderita infeksi HBV.
4. Dewasa dengan resiko tinggi infeksi HBV (misalnya pos injeksi
pengguna obat, multipel patner seks, pria dengan pasangan seks
pria, pekerja seks komersial).
5. Adanya infeksi lain yang bisa bergabung sebagai sumber infeksi
tambahan (yaitu HCV atau HIV).
6. Pasien dengan kondisi klinik yang relevan untuk hepatitis
7. Pasien dengan faal hati abnormal atau hanya penyakit hati akut/
kronik.
8. Pasien kanker hati (HCC).
9. Wanita hamil pada antenatal skrining rutin
terjadi segera sesudah lahir, melalui kontak langsung bayi dengan darah
atau cairan tubuh yang infeksius. Penelitian terdahulu menunjukkan
bahwa operasi cesar dapat menurunkan resiko penularan dari ibu ke
bayinya, di mana bayi lahir per-vaginam resikonya lebih tinggi dibanding
yang lahir lewat operasi cesar. Penelitian lain mengatakan tidak berbeda
bermakna, namun penelitian Hu dkk (2013) mendapatkan bahwa operasi
cesar tidak menurunkan resiko transmisi vertikal tersebut.18
Pemeriksaan HBs Ag kualitatif tak bisa dipakai untuk monitoring
karena hanya memberikan hasil reaktif bukan titer. Hasil hanya dinyatakan
dalam S/ CO atau COI bukan dalam titer. Hasil pemeriksaan HBs Ag
kualitatif dalam S/CO atau COI berbeda untuk tiap metode dan saat
pemeriksaan, sehingga sulit interpertasinya jika dipakai untuk monitoring.
Untuk monitoring HBs Ag dapat dilakukan dengan pemeriksaan HBs
Ag kuantitatif, dimana hasil berupa titer yang dinyatakan dalam IU/ml
dan sudah ada standarnya (sudah distandarisasi WHO). HBs Ag kuantitatif
diharapkan sangat penting untuk prediksi aktifitas penyakit, monitor dan
petunjuk pengobatan terapi antivirus pada hepatitis B kronik.9,19,20
Pada hasil pemeriksaan serologi HBV harus diperhatikan kemungkinan
hasil palsu, misalnya injeksi human imunoglobin dan vaksin influensa
dapat memberikan hasil anti HBc positif palsu.21 Bahkan hasil palsu
dapat terjadi karena penglolaan sampel yang kurang tepat, sehingga
pada pemeriksaan HBs Ag kualitatif dimana hasilnya hanya dinyatakan
sebagi reaktif/non reaktif. Penentuan hasil reaktif/non reaktif dari tes
imunoserologi hanya berdasar nilai S/CO atau COI saja. Hasil dinyatakan
reaktif bila COI atau S/CO berada diatas atau dibawah nilai cut off
(tergantung metode pemeriksaan yang dipakai). Jika didapatkan nilai S/
CO atau COI yang berada disekitar/mendekati nilai cut off, misalnya
untuk pemeriksaan HBs Ag, maka harus dilakukan tes konfirmasi (tugas
dari laboratorium yang melakukan pemeriksaan dan sudah ada petunjuk
dari kit yang dipakai).
HEPATITIS C
Hepatitis C disebabkan oleh virus RNA, masa inkubasi 2-24 minggu,
penularan melalui darah dan cairan tubuh, jarum suntik (pengguna drug
abuse, tato), transplantasi organ, kecelakaan kerja (petugas kesehatan).
Penularan pada masa perinatal dan dari hubungan seks sangat kecil.1,14
Hepatitis C 80% menjadi kronik, merupakan penyebab utama sirosis dan
hepatitis D, namun jika sudah divaksinasi HBV maka akan terhindar dari
infeksi hepatitis D.1
HEPATITIS E
Disebabkan RNA virus hepatitis E, masa inkubasi 2-9 minggu,
penularan fecal oral seperti hepatitis A, dulu disebut juga hepatitis Non
A Non B.1,27 Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan Ig M dan Ig G anti
HEV pada penderita yang terinfeksi. Gejala dapat ringan menyerupai
flu (ringan) dan sembuh sendiri (self limited), kadang pada kasus berat
sampai terjadi subfulminant sampai fullminant hepatitis, dengan ikterus.
Kasus berat biasanya terjadi pada penderita dengan latar belakang
penyakit hati sebelumnya. Secara umum tak berbahaya, belum ada
pengobatan anti virus yang efektif, juga belum ada vaksinasi. Pencegahan
dengan menjaga kebersihan lingkungan, terutama makanan & minuman.
Hepatitis E banyak terjadi pada sosial ekonomi rendah & sedang, dengan
kesehatan lingkungan buruk, getotip 1 & 2 dapat terjadi secara sporadik
maupun outbreak besar hepatitis akut. Sedangkan getotip 3, 4 dikatakan
sebagai infeksi zoonotic di negara berkembang, dapat terinfeksi dengan
mengkonsumsi daging hewan kurang masak atau pekerja yang kontak
dengan individu.1,27 Diagnosis dapat juga dilakukan pemeriksaan reverse
transcriptase PCR (RT-PCR) untuk mendeteksi HEV RNA, juga dapat
dengan NAT, terdapat 4 genotip HEV yaitu 1-4. Infeksi HEV dapat
berkembang ekstra hepatik seperti, simptom neurologi, jejas ginjal,
pankreatitis, trombositopenia dan anemia aplastik. Dapat menimbulkan
kematian lebih tinggi jika menyerang wanita hamil (20-30%) dibanding
dengan populasi umum (0.2-1%), penyebab masih diperdebatkan. HEV
kronik pernah dilaporkan pada penderita immunocompromised seperti
penerima donor organ, HIV, kemoterapi, penggunaan steroid. Infeksi
HEV kronik dapat menyebabkan penyakit hati kronik yang secara cepat
berkembang jadi sirosis pada sekitar 10% kasus dengan resiko kegagalan
hati. Penularan HEV dapat juga terjadi lewat transfusi pada pasien
immunocompromised. Bahkan infeksi yang terjadi pada transplantasi
organ, dapat menimbulkan rejeksi organ hati yang ditransplantasikan.
Pencegahan dapat dilakukan dengan uji saring pada donor darah ataupun
organ didaerah endemis HEV (misalnya Eropa serikat), lebih baik
menggunakan pemeriksaan HEV RNA karena pemeriksaan anti HEV
sensitifitas dan spesifitasnya rendah, meskipun mungkin biayanya relatif
mahal.27,28
PENDAHULUAN
Intoleransi laktosa merupakan kondisi gangguan gastrointestinal
akibat tidak mampu mencerna dan mengabsorpsi laktosa. Laktosa
membutuhkan hidrolisis oleh enzim lactase untuk menjadi D-glukosa
dan D-galaktosa sebelum laktosa dapat diabsorpsi dengan baik. Sekitar
70% populasi dunia mengalami intoleransi laktosa akibat seleksi genetika.
Sejak munculnya kebiasaan konsumsi susu sapi 5000 tahun yang lalu,
dimulailah terjadinya seleksi genomik antara populasi masyarakat yang
bisa mencerna laktosa dan populasi masyarakat yang tidak bisa mencerna
laktosa. Meski demikian, belum diketahui apakah merupakan sebuah
keuntungan bagi masyarakat untuk bisa mencerna laktosa.1
Pada anak-anak dengan diare akut akibat infeksi gastrointestinal,
terutama pada anak usia <2 tahun2,3, sistem percernaan bisa berhenti
sementara memproduksi enzim laktase. Alhasil, anak tersebut tidak untuk
sementara waktu tidak bisa mencerna laktosa, yang mana akhirnya akan
memperpanjang dan memperparah kejadian diare. Pada pembahasan ini,
akan diulas apakah pemberian susu bebas laktosa dapat mempercepat
proses penyembuhan diare.
FISIOLOGI ABSORPSI LAKTOSA
Laktosa merupakan gugus karbohidrat utama pada susu manusia
dan susu mamalia. Susu manusia mengandung sekitar 7,5 gram/100 ml
laktosa, sedangkan susu sapi atau mamalia lain mengandung sekitar 5
gram/100 ml laktosa.4 Seorang bayi lahir aterm dapat mencerna sekitar
60-79 gram latosa per hari, atau sekitar 1 liter ASI. Sedangkan, bayi lahir
preterm tidak akan mencerna seluruh laktosa ASI. Laktosa yang tidak
tercerna akan terfermentasi di kolon menjadi SCFA, hidrogen, karbon
dioksida, dan metana, serta diubah menjadi asam laktat oleh bakteri
Streptococcus lactis.5
tampak sebagai ruam kemerahan sekitar anus. Gejala lain yang muncul
dapat berupa nyeri perut dan distensi abdomen. Akan tetapi, bila hanya
nyeri perut dan distensi abdomen yang muncul, pasien tidak dikategorikan
sebagai intoleransi laktosa dan tidak boleh diberikan susu bebas laktosa.19
Pada anak yang lebih besar dan remaja, gejala intoleransi laktosa yang
sering muncul adalah nyeri perut, kembung, distensi abdomen, flatulen,
borborygmi, dan diare. Pada sebuah studi di remaja Indonesia, nyeri perut
dikeluhkan sebanyak 64,1% pasien, diikuti dengan distensi abdomen
(22,6%), mual (15,1%), flatulen (5,7%), dan diare (1,9%).17
TERAPI INTOLERANSI LAKTOSA
Pedoman diare akut dari berbagai negara hingga hari ini menyatakan
dengan jelas bahwa fokus utama tatalaksana diare akut pada anak adalah
rehidrasi cairan dan elektrolit. Oralit merupakan solusi yang mudah
didapat, mudah diberikan orang tua, terjangkau, dan mengandung glukosa
dan elektrolit dalam jumlah cukup untuk menggantikan cairan yang hilang
selama periode diare. Setelah anak cukup terehidrasi, pedoman diare akut
menganjurkan pemberian nutrisi sesuai usia. Bayi ASI eksklusif dapat terus
diberi ASI, sedangkan bayi/anak yang mengkonsumsi susu formula dapat
diberi makan sesuai usia, termasuk makanan yang mengandung laktosa.
Pemberian makanan sedini mungkin dapat mempercepat regenerasi
enterosit usus dan memperbaiki produksi enzim pencernaan, sehingga
dapat memperpendek durasi diare dan meningkatkan absorpsi nutrisi.
Defisiensi laktase transien dapat terjadi setelah periode diare akut, namun
dianggap kurang kuat untuk menjadi dasar mengganti susu menjadi susu
bebas laktosa.20 Sehingga, pada bayi ASI eksklusif dengan intoleransi
laktosa akibat diare akut, ASI harus tetap dilanjutkan. Sedangkan pada
bayi susu formula, susu bebas laktosa boleh dipertimbangkan.
Pada anak dengan diare persisten, restriksi laktosa dapat memperpendek
durasi diare (2). Meski demikian, susu laktosa harus segera mulai
diberikan kembali dalam kurun waktu 2-4 minggu. Makanan atau susu
yang mengandung laktosa harus dikurangi, namun tidak dieliminasi sama
sekali. Pemberiannya dapat disiasati dengan pemberian terbagi beberapa
kali. Misalnya, pemberian susu dapat diberikan bersama dengan jadwal
makan 3 kali sehari. Dosis terbagi ini akan memperlambat laju ekskresi
laktosa pada usus halus. Metode lain dapat diberikan dengan memberikan
tipe makanan yang berbeda. Kandungan laktosa pada susu sapi jauh lebih
tinggi daripada yogurt karena pada yogurt sudah terdapat bakteri pemecah
laktosa. Sehingga, anak dengan intoleransi laktosa dapat diberikan yogurt
sebagai sumber laktosa. Pilihan lain adalah melalui keju. Perlu diingat
bahwa terapi intoleransi laktosa tidak boleh berlebihan, karena produk
susu juga tetap diperlukan sebagai sumber kalsium dan vitamin D.21
Pada bayi dengan congenital lactase deficiency, konsumsi ASI dan susu
laktosa harus dihentikan karena konsumsi laktosa dapat menyebabkan
diare berkepanjangan dan gagal pertumbuhan.22 Sedangkan, pada bayi
yang masih bisa memproduksi laktase walau jumlahnya menurun, ASI
dapat tetap diberikan. Pada bayi dengan penyakit penyerta, seperti celiac
disease, restriksi laktosa harus dilakukan sampai kondisi yang mendasari
tersebut sudah dapat ditangani.
KESIMPULAN
Pada sebuah studi Cochrane, disimpulkan bahwa: meskipun kasus
intoleransi laktosa cukup sering ditemui, khususnya intoleransi laktosa
transien akibat gastroenteritis akut, konsumsi laktosa tidak boleh semata-
mata langsung dieliminasi sama sekali. Pada bayi yang masih mengkonsumsi
ASI, pemberian ASI harus tetap dilanjutkan karena manfaatnya lebih besar.
Pada anak-anak yang lebih dewasa, pemberian susu bebas laktosa dapat
mempercepat proses penyembuhan diare. Namun dalam kurun waktu
2-4 minggu, pemberian susu laktosa harus dicoba kembali dalam dosis
terbagi. Pemberian susu laktosa yang diencerkan tidak memberi manfaat.
Akan tetapi, belum ada studi yang dilakukan pada negara berkembang,
dimana angka malnutrisi juga cukup tinggi.2
DAFTAR PUSTAKA
Heine RG, AlRefaee F, Bachina P, De Leon JC, Geng L, Gong S, et al.
Lactose intolerance and gastrointestinal cow’s milk allergy in infants
and children - common misconceptions revisited. World Allergy
Organ J [Internet]. 2017;10(1):41. Available from: http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/pubmed/29270244
MacGillivray S, Fahey T, McGuire W. Lactose avoidance for young children
with acute diarrhoea. Cochrane Database Syst Rev [Internet]. 2013
Oct 31; Available from: http://doi.wiley.com/10.1002/14651858.
CD005433.pub2
Titis Widowati
■■ Sperocythosis
-- Sepsis
-- Hypoksia
-- Hipoglikemia
-- Galaktosemia
-- Fruktosa intolerance
• Inherited disorder :
• Crigler- Najjar syndromes tipe 1 dan 2
• Gilbert syndrome.
Etiologi Hiperbilirubinemia direk (kolestasis):
Etiologi kolestasis sangat spesifik tergantung usia. Penyebab kolestasis
yang terbanyak pada anak-anak adalah sebagai berikut :
Tabel 1: Penyebab kolestasis pada bayi dan anak1,2,5
Kolestasis obstruktif
• Atresia biliaris
• Kista duktus koledokus
• Bile duct paucity
• Neonatal sclerosing cholangitis
• Inspissated bile syndrome
• Gallstone/ biliary sludge
• Cystic fibrosis
• Caroli disease
Kolestasis intrahepatal
• Infeksi virus
-- Herpes simplek
-- Citomegalovirus
-- HIV
-- Parvovirus B19
-- Lainnya
• Infeksi bakteri
-- Sepsis
-- Infeksi Saluran Kencing
-- Syphilis
• Genetic/metaboli disorder
-- Alpha 1-antitripsin
-- Tyrosinemia
-- Galaktosemia
-- Progressive familial intrahepatic cholestasis (PFIC)
-- Sindrom Alagille
-- Dubin-johnson syndrome, Rotor syndrome
-- lainnya
• Endokrin disorder
-- Hypothyroidism
-- Hypopituitarism
• Toksik
-- Drugs
-- Parenteral nutrition
-- Neonatal lupus
baik (well baby) dan telah menyingkirkan etiologi lain, maka tidak perlu
pelacakan lebih lanjut karena pada umumnya ikterus akan menghilang
spontan sebelum usia 12 minggu. Etiologi hyperbilirubinemia indirek
yang perlu pelacakan lebih lanjut seperti peyakit hemolitik dan kelainan
genetik.3
BERIKUT ADALAH ALGORITMA BILA KITA MENJUMPAI BAYI
KUNING :
DAFTAR PUSTAKA
Rahhal R.M. Jaundice and neonatal cholestasis. Dalam Bishop W.P.
penyunting. Gastroenterology, McGraw-Hill Company; 2010: 80-90
Suchi F.J. Approach to the infant with cholestasis. Dalam Suchi F.J, Sokol
R.J, Balistreri W.F. penyuinting. Liver disease in children, edisi 3,
Cambridge Uiniversity Press; 2007: 179-89
Chee Y.Y, Chung PHY, Wong RMS, Wong KKY. Jaundice in infant and
Children : Causes, Diagnosis and Management. Hongkong MJ; 2018:
24(3) 285-92
Roberts EA. Neonatal Liver Disease dalam Kelly D. Disease of the Liver
and Biliary System in Children. 3th edition. Wiley – Blackwell;
2008: 57-105
Indrastuti Normahayu
Gambar 1
Gambar No. 3
Kneechest position
dan foto polos
abdomen pada
kasus atresia ani.
Pada bayi baru
lahir
Pada foto ini didapatkan gambaran dilatasi usus halus dan udara
kolon minimal sehingga menyebabkan obstruksi usus halus. Tindakan
selanjutnya adalah memperbaiki stoma proksimal.
Gambar No. 6
Bayi usia 24
hari dengan
distesi
abdomen
Satrio Wibowo
PENDAHULUAN
Sejak diumumkannya infeksi virus Corona sebagai pandemi pada awal
tahun 2020, virus ini telah menjangkiti lebih dari 93 juta manusia dan
menjadi penyebab lebih dari 2 juta kematian di seluruh dunia.1 Salah satu
isu sentral dalam masalah dunia ini adalah efeknya pada anak, baik dari
aspek kesehatan maupun aspek sosial.
Dari seluruh kasus terkonfirmasi covid 19 yang telah dilaporkan
hingga awal tahun 2021, 8% kasus terjadi pada anak usia 0-18 tahun.1
Namun, diduga kasus yang tak terlaporkan cukup tinggi (under reporting),
karena infeksi covid pada anak sering tak bergejala atau bergejala ringan.
Angka perawatan dan kematian baik untuk balita maupun pada secara
keseluruhan anak hingga usia 18 tahun cukup rendah. WHO melaporkan
angka kematian kurang dari 0,1% untuk usia kurang dari 20 tahun,
bahkan CDC menyebutkan angka kurang dari 0,1% untuk usia kurang
dari 18 tahun.2
Di Indonesia kasus Covid 19 yang terkonfirmasi telah mencapai
1 juta kasus dengan lebih dari 27.000 ribu kematian.2 Satuan Tugas
Penganggulangan Covis 16 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
menyebutkan prosentase kasus konfirm untuk anak sampai dengan usia
18 tahun adalah 11,3%, namun 85% kasus bergejala ringan atau bahkan
tanpa gejala.3
PENYEBAB DAN CARA PENULARAN
COVID-19 merupakan penyakit yang disebabkan oleh Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Penyakit ini menyerang
seluruh kelompok usia dari bayi hingga usia lanjut. Spektrum gejala
penyakit ini pun beragam, dari tanpa gejala hingga gejala berat.3,4
Transmisi virus pada manusia umumnya melalui dua cara, yaitu secara
inhalasi droplet saluran napas (dari batuk atau bersin orang yang terinfeksi)
dan kontak langsung. Masa inkubasi penyakit ini berkisar 2-14 hari,
PENGOBATAN
Pengobatan anak dengan infeksi Covid-19 dilakukan berdasarkan
kondisi klinis. Anak suspek COVID-19 diisolasi di dalam satu ruangan
tersendiri atau isolasi mandiri di rumah sesuai anjuran dokter. Kasus-
kasus konfirmasi dapat dirawat dalam ruangan yang sama. Kasus kritis
harus segera dirawat di ruang intensif. Apabila dimungkinkan, anak bisa
dirawat di ruangan dengan tekanan negatif.3
Hingga saat ini belum ditemukan terapi definitif untuk mengatasi
infeksi virus Covid 19. IDAI merekomendasikan pemberian vitamin C
dengan dosis maksimal 400mg/hari untuk anak usia 1-3 tahun; 600 mg/
hari untuk anak usia 4 – 8 tahun dan 1,2 gram/hari untuk usia > 9 tahun.
Pemberian Zink 20 mg/hari dapat dipertimbangkan, terutama pada kasus
diare, meskipun bukti penelitian yang ada belum menunjukkan hasil yang
meyakinkan.3
Antibiotika intravena seperti Ceftriaxon IV 80mg/kgBB/24jam
atau Azitromisin 10 mg/kg diberikan bila didapatkan tanda dan bukti
adanya pneumonia atipikal. Penggunaan antivirus potensial dapat
dipertimbangkan berdasarkan kasus per kasus
dengan mempertimbangkan
status konfirmasi, progresivitas penyakit, dan komorbid. Pemberian
Oseltamivir dapat dipertimbangkan bila terdapat kecurigaan ko-infeksi
dengan influenza.3
Hingga saat ini belum ada rekomendasi tatalaksana khusus untuk
penanganan kasus covid-19 dengan manifestasi pada saluran cerna. Terapi
pada anak dengan diare pada umumnya tetap mengikuti rekomendasi
tatalaksana diare pada anak dari WHO. Lima prinsip tatalaksana diare dari
WHO tetap menjadi standar acuan utama, yaitu rehidrasi, pemberian zinc,
melanjutkan ASI dan/atau pemberian makanan, pemberian antibiotika
atas indikasi serta komunikasi dan edukasi pada orang tua. Pengenalan
dini tanda-tanda dehidrasi harus dilakukan oleh seorang klinisi pada awal
pemeriksaan. Penentuan derajat dehidrasi akan menentukan tindakan
pada pasien selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
World Health Organization. 2021. Weekly operational update on
COVID-19 - 26 January 2021 [disitasi pada 2021 Januari 27].
Didapatkan dari : https://www.who.int/publications/m/item/
weekly-operational-update-on-covid-19---26-january-2021