Anda di halaman 1dari 109

IKATAN

 DOKTER  ANAK  INDONESIA  CABANG  SUMATERA  UTARA  &  


DEPARTEMEN  ILMU  KESEHATAN  ANAK  FK  USU  
 
PENDIDIKAN  KEDOKTERAN  BERKELANJUTAN  IX  

Update on Pediatric Diagnostic and


Management Practices

Sekretariat PKB 9
IDAI  Cabang  Sumatera  Utara    
Jln.  Jamin  Gin9ng  Komplek  Citra  Garden  Blok  B1  No.  17,   Pendidikan
Kedokteran
Medan  -­‐Sumatera  Utara     Berkelanjutan 9
Telp:  061-­‐8219200  
Medan,    18-­‐19  Februari  2017  
Email:  pkbsumutjanuari2017@gmail.com  
Kata Sambutan

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
berkah kepada kita. Pendidikan Dokter Berkelanjutan (PKB) IX ini merupakan ajang pertemuan
ilmiah bagi para dokter anak, calon dokter anak, dan professional lain yang terkait untuk
meningkatkan kualitas dan profesionalisme. Pada PKB ini akan dibicarakan topik-topik
kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan di bidang Ilmu Kesehatan Anak.
Pendidikan Dokter Berkelanjutan (PKB) IXdengan tema “Update on Pediatric
Diagnostic and Management Practices 2017” diselenggarakan oleh Ikatan Dokter Anak
Indonesia Cabang Sumatera Utara bekerjasama dengan Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK
USU dan Ikatan Alumni IPDSA FK USU.
Kami mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada para pembicara serta tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada panitia pelaksana
serta seluruh pihak yang telah berpartisipasi untuk terselenggaranya acara PKB ke IX dengan
tema “Update on Pediatric Diagnostic and Management Practices 2017. Akhirnya kami
ucapkan selamat mengikuti kegiatan Pendidikan Dokter Berkelanjutan.

Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Medan, 7 Februari 2017


Ketua IDAI Cabang Sumatera Utara

Prof. dr. H. Munar Lubis, Sp.A(K)


Kata Sambutan

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh


Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
berkah kepada kita. Salawat dan salam kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari dunia yang gelap ke dunia terang menderang.
Dengan rasa berbahagia kami menyambut penerbitan Buku Ilmiah “Update on Pediatric
Diagnostic and Management Practices 2017” dalam rangka kegiatan ilmiah Pendidikan Dokter
Berkelanjutan (PKB) IX Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU. Acara ini terdiri dari
kegiatan simposium dan pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan dalam pengenalan diagnosa dan tatalaksana praktis berdasarkan ilmu terbaru
khususnya dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak.
Diharapkan dengan terbitnya buku ini, pengetahuan dan keterampilan yang diberikan
pada saat acara PKB IX pada tanggal 18-19 Februari 2017 di Hotel Santika Dyandra Medan
dapat melekat erat dan dapat dengan mudah diaplikasikan pada kegiatan pelayanan sehari-hari
kepada pasien anak.
Kami mengucapkan terima kasih dan memberikan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada para pembicara serta tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada panitia pelaksana
serta seluruh pihak yang telah berpartisipasi untuk terselenggaranya acara PKB ke IX dengan
tema “Update on Pediatric Diagnostic and Management Practices 2017. Akhirnya kami
ucapkan selamat mengikuti kegiatan simposium dan pelatihan ini.

Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Medan, 7 Februari 2017


Ketua Pendidikan Dokter Berkelanjutan IX

Dr. Khainir Akbar, Sp.A


Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
berkah kepada kita, sehingga buku “Update on Pediatric Diagnostic and Management Practices
2017”ini dapat terbit.
Buku ini merupakan kumpulan makalah lengkap para pembicara pada kegiatan
Pendidikan Dokter Berkelanjutan (PKB) IX yang dilaksanakan oleh Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI) Cabang Sumatera Utara di Hotel Santika Dyandra Medan, pada tanggal 18-19
Februari 2017. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan professionalism para
dokter anak, dokter umum, dan profesi kesehatan lain yang terkait.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh pakar yang telah menjadi penulis
dan pembicara pada kegiatan PKB “Update on Pediatric Diagnostic and Management Practices
2017” yang secara tidak langsung telah memberikan sumbangan yang besar di bidang kesehatan,
khususnya kesehatan anak. Pada penyusunan dan pencetakan buku ini kami menyadari ada
beberpa kekurangan yang ditemukan, sehingga kami masih menanti kritik dan saran dari
pengguna buku ini untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Semoga buku ini bermanfaat bagi para pengguna dan dapat meningkatkan kesejahteraan
anak Indonesia.
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Penyunting
Daftar Penulis

Dr. Yazid Dimyati, M.Ked(Ped),Sp.A(K) Divisi Neurologi


Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK USU – RSUP Haji Adam Malik
Medan
Prof.DR.dr. Hardiono D Pusponegoro, Sp.A(K) Divisi Neurologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK UI – RSCM Jakarta
D Dr. Johannes H. Saing, M.Ked(Ped), Sp.A(K) Divisi Neurologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK USU – RSUP Haji Adam Malik
Medan
Dr.Ayodhia P Pasaribu, M.Ked(Ped),Sp.A,Ph.D(CTM) Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK USU – RSUP Haji Adam Malik
Medan
DR. Dr. Djatnika Setiabudi, MCTM, Sp.A.(K) Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis
FK UNPAD – RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung
Dr. Antonius Pudjiadi. Sp.A(K) Divisi ERIA
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK UI – RSCM Jakarta
Dr. Kiki M.K.Samsi, Sp.A(K), M.Kes UKK Infeksi dan Penyakit Tropis

DR.dr. Aman B Pulungan, Sp.A(K) Divisi Endokrinologi


Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK UI – RSCM Jakarta
Dr. Ahmad Suryawan, Sp.A(K) Divisi TK-Pedsos
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK UNAIR – RSU Dr Soetomo
Surabaya
Dr. Endah Citraresmi, Sp.A(K) Divisi Alergi Imunologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK UI
Prof. Dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K) Divisi Respirologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK UI – RSCM Jakarta
Dr. Wisman Dalimunthe, M.Ked(Ped), Sp.A(K) Divisi Respirologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FK USU – RSUP Haji Adam Malik
Medan
Daftar Isi

Kata Sambutan ............................................................................................................................. iii

Kata Pengantar ............................................................................................................................. iv

Daftar Penulis ............................................................................................................................... v

Daftar Isi ...................................................................................................................................... vi

PENATALAKSANAAN KEJANG DEMAM DAN STATUS EPILEPTIKUS

Yazid Dimyati ..............................................................................................................................

GLOBAL DEVELOPMENTAL DELAY

Hardiono D. Pusponegoro ............................................................................................................

PENATALAKSANAAN TRAUMA KEPALA PADA ANAK

Johannes H. Saing .........................................................................................................................

PENATALAKSANAAN MALARIA BERAT PADA ANAK

Ayodhia P. Pasaribu ......................................................................................................................

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK SECARA RASIONAL PADA BAYI DAN ANAK

Djatnika Setiabudi ......................................................................................................................

APAKAH ALGORITME TATALAKSANA RENJATAN MENJAWAB MASALAH DI


PICU?

Antonius Pudjiadi ..........................................................................................................................

DO AND DONT TYPHOID IN CHILDREN

Kiki M.K. Samsi .............................................................................................................................

STUNTING, WHAT SHOULD WE DO ?

Aman B. Pulungan ..........................................................................................................................

PENGARUH GADGET PADA TUMBUH KEMBANG ANAK BALITA


Ahmad Suryawan ...........................................................................................................................

MANAJEMEN HIPERSENSITIVITAS OBAT PADA ANAK

Endah Citraresmi ............................................................................................................................

UPDATE ASMA PADA ANAK : IMPLEMENTASI PEDOMAN NASIONAL ASMA ANAK 2015

Bambang Supriyatno .......................................................................................................................

BRONKOPNEUMONI: RAWAT INAP ATAU RAWAT JALAN ?

Wisman Dalimunthe ........................................................................................................................


PENATALAKSANAAN KEJANG DEMAM DAN STATUS
EPILEPTIKUS

Yazid Dimyati

Pendahuluan
Kejang demam adalah penyakit yang sering dijumpai pada anak. Terjadi pada 2% sampai 5%
pada anak usia 6 bulan sampai 60bulan.1,2 Dahulu, kejang demam dikarenakan epilepsi
dengan prognosis yang buruk. Kejang demam dapat dapat menyebabkan kerusakan otak dan
menyebabkan epilepsi. Tatalaksana yang tepat diperlukan agar dapat mencegah terjadinya
kerusakan pada otak yang berlebihan.3
Status epileptikus (SE) adalah keadaan darurat medis yang mengancam jiwa yang
memerlukan pengenalan dan pengobatan yang tepat. SE bukan merupakan penyakit khusus,
tetapi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) atau gangguan sistemik yang
menyebabkan gangguan SSP. Tata laksana yang tepat adalah identifikasi dan pengobatan
penyebab yang mendasarinya sehingga kejang akan terkontrol dan mencegah kerusakan yang
terjadi.4,5

Defenisi
Menurut rekomendasi Ikatan Neurologi Anak Jepang tahun 2015, kejang demam adalah
kejang yang disertai demam (peningkatan suhu 38oC atau lebih tinggi) yang bukan
disebabkan oleh infeksi SSP, yang terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 60 bulan.6
Berdasarkan American Academy Pediatrics (AAP) tahun 2008, kejang demam adalah kejang
pada anak usia 6 bulan sampai 60 bulan yang tidak memiliki infeksi intrakranial, gangguan
metabolik dan riwayat kejang demam.7 Sedangkan menurut Rekomendasi UKK Neurologi
IDAI tahun 2016, kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur
6bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38oC,
denganmetode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.8
Definisi status epileptikus (SE) sampai saat ini belum memiliki keseragaman karena
International League Againts Epilepsy (ILAE) hanya menyatakan bahwa SE adalah kejang
yang berlangsung terus-menerus selama periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai
pulihnya kesadaran diantara kejang. Kekurangan definisi menurut ILAE tersebut adalah
batasan lama kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat
kesepakatan batasan waktunya adalah selama 30 menit atau lebih.9,10

Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5 tahun.Dengan insiden puncak
pada usia 18 bulan dan kejadian terendah sebelum usia 6 bulan atau setelah usia 3 tahun. Dan
tidak ada perbedaan jenis kelamin.7,8
Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per 100.000 anak. Status
epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang dari 1 tahun
dengan estimasi insidens 1 per 1000 bayi.9,10

1
Etiologi
Penyebab kejang demam dianggap multifaktorial, salah satunya adalah faktor lingkungan dan
faktor genetik.11
Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi:9
1. Simtomatis : penyebab diketahui
a. Akut : infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit, trauma
kepala, perdarahan, atau stroke.
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya : ensefalopati hipoksik-iskemik
(EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak kongenital
c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, otoimun (contohnya
vaskulitis)
d. Epilepsi
2. Idiopatik/kriptogenik : penyebab tidak dapat diketahui

Klasifikasi
Klasifikasi dari kejang demam adalah kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat
(kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang
dalam waktu 24jam.3,6,8
Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan salah satu ciri berikut :3,6,8
1. Kejang lama (>15 menit)
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.
Klasifikasi SE berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE) 2015
adalah :10
1) Dengan gejala motorik yang menonjol
a. SE konvulsif (SE tonik klonik) : Kejang umum, kejang fokal menjadi umum dan
tidak diketahui apakah fokal atau umum
b. SE mioklonik : Dengan koma dan tanpa koma
c. SE fokal : Kejang fokal (Jacksonian), epilepsia partialis continua (EPC), status
adversive dan status okuloklonik dan iktal paresis (yaitu, fokus penghambatan SE)
d. Status tonik
e. SE hiperkinetik
2) Tanpa gejala motorik yang menonjol (misalnya, SE nonkonvulsif)
a. SE nonkonvulsif dengan koma
b. SE nonkonvulsif tanpa koma
i. Umum : status absans tipikal, status absans atipikal, status absans mioklonik
ii. Fokal : Tanpa penurunan kesadaran (continua aura, dengan otonom, sensorik,
visual, penciuman, pengecapan, emosional / psikis atau gejala pendengaran),
afasik, kesadaran terganggu
iii. Tidak diketahui apakah fokal atau umum : SE otonom

2
Patofisiologi
Kejang dan status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi
penyebaran kejang baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi yang berlebihan dan atau
aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif. Neurotransmiter eksitasi utama tersebut
adalah neurotran dan asetilkolin, sedangkan neurotransmiter inhibisi adalah gamma-
aminobutyric acid (GABA).3,5,9
Awalnya terjadi mekanisme kompensasi otak, khususnya hipertensi dengan
peningkatan aliran darah ke otak untuk mencegah kerusakan otak. Status epileptikus yang
berlangsung lama menyababkan : hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi dan hipertermia, dengan
penurunan tekanan oksigen otak. Ketidakkeseimbangan antara kebutuhan oksigen dan
glukosa tinggi menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan penurunan glukosa dan
oksigen otak.3,5
Kompensasi otak membutuhkan aliran udara, napas, sirkulasi dan aliran darah otak
yang cukup dan kompensasi ini terjadi pada stadium awal. Kematian dan kesakitan terjadi
akibat gagalnya mekanisme kompensasi. Hipoksia terjadi karena gangguan ventilasi, air liur
yang berlebihan, sekresi trakeobronkial, dan peningkatan kebutuhan oksigen. Hipoksia
disertai kejang yang lama dan asidosis menyebabkan fungsi ventrikel jantung menurun,
menurunkan curah jantung, hipotensi, yang mengganggu fungsi sel jaringan dan neuron.
Selain itu sering terjadi asidosis metabolik dan respiratorik.3,5,10
Saat terjadi SE, dikeluarkan hormon katekolamin dan perangsangan saraf simpatis
yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung, dan tekanan vena sentral.
Edema otak yang terjadi akibat adanya hipoksia, asidosis, danhipotensi dapat menyebabkan
herniasi. Serum glukosa pun dapat menurun. Kejang yang tidak dapat teratasi, dapat
menyebabkan hiperpireksia, mioglobinuria, dan peningkatan kreatinin fosfokinase akibat
rabdomiolisis.3,10
Komplikasi tersering adalah hipoksia, asidosis laktat, hiperkalemia, hipoglikemia,
syok, hiperpireksia, gagal ginjal, dan gagal napas. Pada kerusakan jaringan otak, kematian
disebabkan gagalnya mekanisme kompensasi.3,10

Pemeriksaan Penunjang
Menurut Rekomendasi UKK Neurologi IDAI 2016, pemeriksaan laboratorium tidak
dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas
indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah.8
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi
lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia < 12 bulan yang mengalami kejang
demam sederhana dengan keadaan umum baik.8,11 Indikasi dari pungsi lumbal adalah terdapat
tanda dan gejala rangsang meningeal, terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan klinis serta dapat dipertimbangkan pada anak dengan kejang
disertai demam yang sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut
dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.3
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak diperlukan untuk kejang demam,
KECUALI apabila bangkitan bersifat fokal. Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI

3
kepala) tidak rutin dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan
tersebut dilakukan bila terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap,
misalnya hemiparesis atau paresis nervus kranialis.8
Pada SE pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mengetahui penyebab terjadinya.
Pemeriksaan laboratorium pada anak dengan kejang ditujukan selain untuk mencari etiologi
kejang, juga untuk mencari komplikasi akibat kejang yang lama. Jenis pemeriksaan
laboratorium ditentukan sesuai kebutuhan.9 Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan
kejang pertama kali adalah kadar glukosa darah, elektrolit, hitung jenis, dan protrombin
time.9,10 Beberapa peneliti lain menganjurkan standar pemeriksaan laboratorium yaitu darah
tepi lengkap, elektrolit serum, glukosa, ureum, kreatinin, kalsium, dan magnesium. Pada
kejang demam beberapa peneliti mendapatkan kadar yang normal pada pemeriksaan
laboratorium tersebut, oleh karenanya tidak diindikasikan pada kejang demam, kecuali bila
didapatkan kelainan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bila dicurigai adanya meningitis
bakterial, lalukan pemeriksaan kultur darah, dan kultur cairan serebrospinal. Bila dicurigai
adanya ensefalitis, lakukan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) terhadap virus
herpes simpleks.10
Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kejang disertai penurunan
status kesadaran / mental, perdarahan kulit, kuduk kaku, kejang lama, gejala infeksi, paresis,
peningkatan sel darah putih, atau tidak adanya faktor pencetus yang jelas. Pungsi lumbal
ulang dapat dilakukan dalam 48 atau 72 jam untuk memastikan adanya infeksi SSP. Bila
didapatkan kelainan neurologis fokal dan adanya peningkatan tekanan intrakranial,
dianjurkan memeriksakan CT scan kepala terlebih dahulu, untuk mencegah terjadinya risiko
herniasi.11,12 Menurut rekomendasi American Academy of Pediatrics, pungsi lumbal sangat
dianjurkan pada serangan pertama kejang disertai demam pada anak usia di bawah 12 bulan,
karena meningitis pada kelompok usia ini dapat menunjukkan gejala klinis yang minimal atau
bahkan tidak ada. Pada anak usia 12 – 18 bulan lumbal pungsi dianjurkan, sedangkan pada
usia lebih dari 18 bulan lumbal pungsi dilakukan bila ada kecurigaan adanya infeksi
intrakranial (meningitis).12
Pemeriksaan CT scan kepala dilakukan pada anak dengan kecurigaan trauma kepala,
infeksi susunan saraf pusat, tumor, perdarahan intrakranial pada kelainan pembekuan darah
(APCD – aquired prothrombine complexdeficiency). MRI dilakukan bila kelainannya
mengenai batang otak, atau dicurigai adanya adanya tumor otak atau gangguan
mielinisasi.11,12
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) segera setelah kejang dalam 24 sampai 48
jam, atau sleep deprivation dapat memperlihatkan berbagai macam kelainan. Beratnya
kelainan EEG tidak selalu berhubungan dengan beratnya manifestasi klinis. Gambaran EEG
akan memperlihatkan gelombang iktal epileptiform. Normal atau kelainan ringan pada EEG
merupakan indikasi baik terhadap kemungkinan bebasnya kejang setelah obat antiepilepsi
dihentikan.10

Tatalaksana
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus dilakukan
seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis anti-

4
konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi. Berdasarkan Advanced
Paediatric Life Support (APLS) adalah sebagai berikut :12

Gambar 1. Algoritma kejang akut dan status epileptikus menurut APLS12

Berikut ini adalah algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus
berdasarkan Konsensus UKK Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.9

5
Gambar 2. Algoritme kejang akut dan status epileptikus menurut UKK Neurologi IDAI9

Keterangan:
Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit.
Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan yang
sama
Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis yang
diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan teteskan pada
buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan kelompok usia :
2,5 mg (usia 6 – 12 bulan); 5 mg (usia 1 – 5 tahun); 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun); 10 mg (usia ≥
10 tahun)
Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah
pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan
kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
Midazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan
dengan kondisi rumah sakit
Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak
kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10mg/kg IV dilanjutkan dengan
pemberian rumatan bila diperlukan.

6
Pada kejang demam setelah dilakukan tatalaksana kejang akut, dilakukan pemberian
antipiretik meskipun tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam. Dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap
dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 sampai 15 mg/kg/kali
diberikan tiap 4 sampai 6 jam. Dosis ibuprofen 5 sampai 10 mg/kg/kali, 3 sampai 4 kali
sehari.8
Yang dimaksud dengan pemberian obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada
kejang demam dengan salah satufaktor risiko di bawah ini:8
• Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
• Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
• Usia < 6 bulan
• Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39oC
• Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan cepat.
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oralatau rektal 0,5
mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak
3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan
selama 48 jam pertama demam.8
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat
dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumat hanya
diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Indikasi pengobatan rumat:8
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya palsi
serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan
risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15 sampai 40 mg/kg/hari
dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3 sampai 4 mg/kg/hari dalam 1 sampai 2 dosis.
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk kejang demam
tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.2,8

Komplikasi
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik
umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada
anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan pentingnya terminasi kejang
demam yang berpotensi menjadi kejang lama.2,3,8
Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu
reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor glutamat dan
GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem jaringan

7
neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang berulang dapat
menyebabkan komplikasi sistemik. Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE
konvulsif dapat menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal.
Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme anaerob dan memicu asidosis.
Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi sarafotonom dan fungsi jantung (hipertensi,
hipotensi, gagal jantung, atau aritmia). Metabolisme otak pun terpengaruh; mulanya terjadi
hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa
akan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi,
dan bila tidak terpenuhi akan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat terjadi
akibat proses inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak.4,5,9
Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah depresi napas
serta hipotensi, terutama golongan benzodiazepin dan fenobarbital. Efek samping propofol
yang harus diwaspadai adalah propofol infusion syndrome yang ditandai dengan
rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta asidosis metabolik.
Pada sebagian anak, asam valproat dapat memicu ensefalopati hepatik dan hiperamonia.
Selain efek samping akibat obat antikonvulsan, efek samping terkait perawatan intensif dan
imobilisasi seperti emboli paru, trombosis vena dalam, pneumonia, serta gangguan
hemodinamik dan pernapasan harus diperhatikan. 4,9

Daftar Pustaka
1. Gupta A. Febrile seizures. Continuum. 2016: 22; 51-9.
2. Carapetian S, Hageman J, Lyons E, Leonard D, Janies K,dkk. Emergency department
evaluation and management of children with simple febrile seizures. Clin Ped. 2015:
54; 992-8.
3. Shinnar Shlomo. Febrile seizures. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM,
Schor NF, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology principle and practices. 2012.
Edisi ke-lima. Philadelphia : Saunders-Elsevier.hal.790-7.
4. Riviello JJ. Convulsive status epilepticus. Dalam: Duchowny M, Cross
JH,Arzimanoglou A, penyunting. Pediatric Epilepsy. New York: Mc Graw
HillMedical, 2013. h. 288-96.
5. Morton LD, Pellock JM. Status epilepticus. Dalam : Swaiman, KF, Ashwal S,Ferriero
DM, Schor NF, penyunting. Swaiman’s Pediatric neurology principlesand practice.
Edisi ke-5. China: Elsevier Saunders, 2012. h. 798-810.
6. Natsume J, Hamano S, Iyoda K, Kanemura H, Kubota M,dkk. New guidelines for
management of febrile seizures in Japan. Brain & Develp. 2017: 39; 2-9.
7. Kimia AA, Bachur RG, Torres A, Harper MB. Febrile seizures: emergency medicine
perspective. Curr Opin Pediatr. 2015: 27;292-7.
8. UKK Neurologi. Rekomendasi penatalaksanaan trauma kepala. Dalam:
Mangunatmadja I, Handryastuti S, Dewi MR, penyunting. Rekomendasi
penatalaksanaan kejang demam. 2016. Jakarta : IDAI.hal.1-11.

8
9. UKK Neurologi. Rekomendasi penatalaksanaan trauma kepala. Dalam:
Mangunatmadja I, Handryastuti S, Dewi MR, penyunting. Rekomendasi
penatalaksanaan status epileptikus. 2016. Jakarta : IDAI.hal.1-7.
10. Trinka E, Cock H, Hesdorffer D, Rossetti AO, Scheffer IE. A defenition and
classification of status epilepticus – report of ILAE task force on classification of
status epilepticus. Epilepsia. 2015: 56; 1515-23.
11. Patel N, Ram D, Swirderska N, Mewasingh LD,Newton RW, Offringa M. Febrile
seizures. BMJ. 2015: 351; 27-31.
12. Ram D, Martland. Management of convulsive status epilepticus in children. J Paed.
2015: 06; 1-6

9
GLOBAL DEVELOPMENTAL DELAY

Hardiono D. Pusponegoro

Outline

1. Pendahuluan
2. Definisi dan pengertian
3. Etiologi
4. Algoritme penegakkan diagnosis dan mencari etiologi
a. Manifestasi klinis
b. Pemeriksaan terhadap IOM
c. Pemeriksaan kromosom dan genetik
d. Pemeriksaan lain
5. Terapi
6. Prognosis
7. Kesimpulan

Pendahuluan

Dalam bidang perkembangan anak, istilah delay harus dibedakan dengan disorder.
Pengertian delay berarti bahwa perkembangan anak terlambat dibandingkan anak sebayanya.
Sebagian di antara anak-anak tersebut secara alamiah memang dapat menyusul keterlambatan
perkembangan tersebut, namun pada sebagian anak lain keterlambatan merupakan gejala dari
suatu gangguan atau disorder. Disorder berarti anak tersebut mengalami suatu penyakit atau
gangguan spesifik. Dalam hal ini, istilah Global Developmental Delay (GDD) merupakan hal
yang unik. Sebagian di antaranya dapat menyusul, sedangkan sebagian merupakan gangguan
yang akhirnya menjadi disabilitas intelektual (DI). Dalam makalah ini akan dibahas
mengenai cara menegakkan diagnosis GDD dengan etiologi yang sulit.

Definisi dan pengertian

Seorang anak disebut mengalami GDD apabila ia menunjukkan keterlambatan perkembangan


dalam 2 bidang perkembangan atau lebih, termasuk gerak kasar, gerak halus, bicara atau
bahasa, kognitif, pesonal-sosial, dan aktivitas dalam kehidupan sehari-hari.1-3 Yang dimaksud
dengan keterlambatan adalah kurang dari 2SD dibandingkan populasi normal. Yang paling
sering saya temukan adalah anak mengalami keterlambatan gerak kasar dan keterlambatan
bicara.
Istilah GDD hanya digunakan untuk anak berumur kurang dari 5 tahun. Bila telah lebih dari 5
tahun masih menunjukkan keterlambatan disebut sebagai disabilitas intelektual (DI).1-3
Diperkirakan sebanyak 5-10% anak di negara maju mengalami keterlambatan perkembangan,
dengan angka yang lebih besar di negeri sedang berkembang. 4,5 Disabilitas intelektual juga
menunjukkan prevalensi yang sangat tinggi. Suatu laporan dari Western Australia
2

menunjukkan prevalensi 17 per 1000 kelahiran hidup. Pada anak Aborigin, prevalensi adalah
39 per 1000 kelahiran hidup.6 Di Taiwan dilaporkan prevalensi DI sebesar 5,9 per 1000 anak
berumur 3-17 tahun.7

Etiologi

Etiologi dapat dibagi menurut klasifikasi Finnish.8,9 Sebagai tambahan digunakan beberapa
klasifikasi yang lebih baru.3,5

Tabel 1. Etiologi Global Developmental Delay

1. Genetik
Kromosom Trisomy 21,13,18 Cri du chat del 5p)

Mutasi gen Tuberous sclerosis, phenylketonuria, Tay-
Sachs, Hunter, Smith-Lemli-Opitz,
FraX-syndrome

Mikrodelesi Angelman, Prader-Willi, Williams
Multifaktor Familial pure ID/MR, Neural tube defects
Ensefalopati genetik
Rett syndrome (4 MECP2 and 2 CDKL5
mutations)
Dravet spectrum disorder with SCN1A
mutation
Inborn Errors of Metabolism Mitochondrial diseases

(IOM) Lysosomal diseases
Disorders of intermediary metabolism
X-ALD
IEM lain
2. Malformasi
Malformasi SSP Holoprosencephaly, lissencephaly
Malformasi multipel Goldenhaar, Sotos
3. Gangguan prenatal eksternal
Infeksi maternal Rubella, cytomegalovirus, human
immunodeficiency virus
Obat/ toksin Alcohol/hydantoin
Nutrisi, IUGR, Prematuritas Placental insufficiency, toxaemia
Lain-lain Diabetes, radiation, trauma, stroke
4. Pranatal/ neonatal
Infeksi Meningitis, herpes

Proses persalinan Asphyxia, trauma
Komplikasi neonatal Hypoglycaemia,hyperbilirubinemia
5. Pascanatal
3

Infeksi Meningitis, encephalitis



Kerusakan SSP Toxic agents, brain tumor, hipoxia, stroke
Psikososial Deprivation, poverty
Nutrisi Nutrition
Psikosis, non-familial
6. Tidak diketahui
Pure non familial No history/no findings

Gejala CNS ID/MR+cerebral palsy; ID/MR+epilepsy
ID/MD+autism; cause?
7. Tak dapat diklasifikasi

Melihat klasifikasi tersebut, sebagian merupakan gangguan yang jelas penyebabnya dan
diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis ditambah MRI dan
pemeriksaan kromosom biasa. Diagnosis yang mudah ditegakkan adalah palsi serebral,
epilepsi, spasme infantil, kejang neonatus, autisme, mikro/ makrosefali. 5 Apabila diagnosis
sudah dapat ditegakkan, tidak disebut sebagai GGD lagi. Kasus-kasus tersebut tidak
dibahas dalam makalah ini.

Global Developmental Delay dengan etiologi yang sulit ditegakkan

Pada 20-62% kasus GDD, etiologi tetap tidak dapat ditegakkan, yang umumnya disebabkan
penyakit genetik, gangguan kromosom atau metabolik.2,3,10 Dari klasifikasi pada tabel 1,
terlihat bahwa banyak sekali etiologi yang sulit ditegakkan. Akibatnya, berbagai spesialis
secara sendiri-sendiri meminta berbagai pemeriksaan yang tidak terarah. Untuk menghindari
hal ini, sebaiknya dibuat tim multidisiplin yang melakukan pemeriksaan awal sebelum
melakukan pemeriksaan lanjutan.10 Dengan cara ini, diagnosis dapat ditegakkan pada 46%
kasus dan kemungkinan diagnosis kerja untuk pemeriksaan berikutnya pada 38% kasus
lainnya.10

Algoritme penegakkan diagnosis dan mencari etiologi GDD

Global Developmental Delay ditandai keterlambatan perkembangan dua bidang atau lebih.
Bila kita melakukan skrining secara periodik, hal ini sangat mudah dideteksi. Namun, bila
kita hanya melakukan observasi, seringkali kecurigaan terlambat ditegakkan. American
Academy of Pediatrics menganjurkan agar melakukan skrining pediatri umum pada umur 9,
18 dan 30 bulan.11
Tujuan evaluasi GDD adalah 1) konfirmasi dan penentuan derajat GDD, 2) mencari etiologi,
3) merujuk anak untuk terapi dan rehabilitasi, 4) konseling keluarga dan 5) penatalaksanaan
masalah medis dan perilaku.7 American Academy of Neurology telah menerbitkan suatu
algoritme untuk menegakkan diagnosis GDD yang masih valid tetapi memerlukan beberapa
penambahan (gambar 1).1
4

Manifestasi klinis
Pada 17,2% sampai 34,2% kasus, etiologi GDD dapat ditentukan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisis.1 Anamnesis yang perlu dilakukan termasuk riwayat keluarga,
konsanguinitas, adanya kematian neonatal dini dalam keluarga, dan anak dengan riwayat
penyakit sama.7 Riwayat regresi perkembangan dapat menjadi petunjuk IOM atau penyakit
neurodegeneratif lain.7

Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi gejala neurologis dan non-neurologis.12 Gejala
neurologis yang mencurigakan ke arah IOM misalnya ataksia, gangguan perilaku, demensia,
distonia, ensefalopati, epilepsi, gangguan dengar, hipotonia/miopati, kelainan MRI,
neuropati, gangguan gerak bola mata, gangguan psikiatrik, spastisitas, stroke, gangguan
penglihatan. Gejala non-neurologis ditemukan pada 69% kasus, meliputi beberapa organ
misalnya tulang dan sendi, dermatologi, endokrinologi, mata, dismorfisme, pertumbuhan,
jantung, gastrointestinal, hematologi, imunologi, ginjal, hati, bau urine.12 Adanya
dismorfologi, hepatomegali dan lesi kulit harus dicari. 7Demikian pula dengan ada-tidaknya
gangguan pendengaran dan penglihatan. Gangguan penglihatan ditemukan pada 13% - 50%
kasus, sedangkan gangguan pendengaran ditemukan pada 18% kasus.1 Tidak mungkin
seorang dokter dapat mengingat semua gejala tersebut.

Saya sering menemukan wajah dismorfik, namun tidak selalu jelas mengarah kepada
diagnosis tertentu. Lingkar kepala normal, berbeda dengan palsi serebral yang sering
menunjukkan lingkar kepala yang kecil. Anak seringkali memperlihatkan gejala hipotonia
sentral, yaitu kurangnya tonus yang dapat diperiksa dengan horizontal suspension, vertical
suspension dan traction response. Terlihat pula joint laxity yaitu gerakan otot di persendian
yang berlebihan. Berbeda dengan lesi lower motor neuron yang juga menunjukkan hipotonia,
pada kasus GDD refleks fisiologis tetap positif. Hati membesar dapat menjadi petunjuk
penyakit metabolik. Anak seringkali mengalami gangguan bicara dan kognitif.

Uji rutin yang biasa saya lakukan adalah darah tepi lengkap, fungsi tiroid bila belum
dilakukan skrining saat bayi lahir. Pemeriksaan tiroid menghasilkan diagnosis sekitar 4% di
negara yang belum melakukan skrining hipotiroid.1 Menurut pengalaman saya, cukup banyak
kasus hipotiroid yang ditemukan. Di Indonesia, walaupun sudah ada peraturan menteri
kesehatan untuk melakukan skrining hipotiroid, baru dilakukan skrining terhadap 100.000
anak setiap tahun.

Belum ada rekomendasi mengenai perlunya pemeriksaan EEG terhadap semua anak dengan
GDD.1 Pengalaman saya adalah EEG hanya dilakukan bila ada kejang atau regresi
perkembangan. EEG dilakukan saat tidur dan bangun, sehingga kadang-kadang kita dapat
menemukan pola electrical activity during slow-wave sleep (ESES). EEG rutin hanya
menghasilkan diagnosis sebanyak 0,4%. Autisme sering disertai GDD. Terkadang sulit
membedakan autisme dengan disabilitas intelektual karena sebagian di antara anak autisme
juga menunjukkan keterlambatan gerak.13 Hal yang dapat digunakan untuk membedakan
5

autisme dan GDD adalah adanya gangguan interaksi dan perilaku stereotipik dan repetitif
pada autisme.14
CT-Scan menunjukkan hasil 30% sedangkan MRI menunjukkan hasil yang jauh lebih baik
yaitu 48,6% - 65,5%.1 Saya berpendapat bahwa pada anak dengan GDD lebih baik dilakukan
MRI dahulu sebelum melakukan pemeriksaan laboratorium, karena seringkali ditemukan
petunjuk dari MRI.

Pemeriksaan terhadap IOM


Bila pemeriksaan metabolik dilakukan terhadap semua kasus hanya menghasilkan 0,6-1,3%
diagnosis.1 Pemeriksaan metabolik selektif atas indikasi (misalnya riwayat keluarga,
konsanguinitas, dan retardasi mental) menghasilkan 5% diagnosis. 1 Adanya gagal tumbuh,
regresi perkembangan, gangguan hilang-timbul episodik, wajah kasar, hepatosplenomegali,
gejala neurologis dan oftalmologis meningkatkan keberhasilan sampai 14%. 1,3 Di banyak
negara, skrining penyakit metabolik sudah dilakukan secara rutin dengan Tandem Mass
Spectometry atau yang lebih canggih, sehingga sebagian kasus sudah ditemukan pada masa
neonatal.3
Algoritme awal untuk mencari etiologi IOM yang dianjurkan adalah:15
1. Darah : amonia. Laktat, asam amino plasma, homosistein total, profil acylcarnitin,
cuprum dan ceruloplasmin.
2. Urine : asam organik, purin dan pirimidin, metabolit kreatin, oligosakarida,
glycosaminoglycans
3. Dapat disusul dengan pemeriksaan lain yang lebih selektif.

Pemeriksaan kromosom dan genetik


Pemeriksaan sitogenetik rutin menghasilkan 3,7% diagnosis, dan dianjurkan untuk dilakukan
secara rutin. Pada anak dengan keterlambatan perkembangan sedang dan berat,
pertimbangkan pemeriksaan kromosom dengan teknik baru, misalnya Fluorescence in situ
hybridization (FISH), atau chromosome microarray.3,5
Gen FMR1 digunakan untuk menegakkan diagnosis Sindrom Fragile-x terutama pada anak
lelaki.3 Sindrom Fragile-x dapat diperiksa di laboratorium Prof. Sulthana di Semarang. Saya
temukan pada 3 anak yang menunjukkan gejala autism disertai disabilitas intelektual.
Pemeriksaan gen MECP2 terhadap sindrom Rett apabila ada gejala pada anak perempuan.
Sangat jarang terjadi pada anak lelaki. Berbagai gen lain diperiksa atas indikasi.

Pemeriksaan lain
Pemeriksaan terhadap plumbum ditujukan terhadap anak dengan kemungkinan terpapar
plumbum dari lingkungan dengan keadaan sosioekonomi yang kurang. Keterlambatan biasa
bukan merupakan indikasi pemeriksaan plumbum, kecuali tinggal di lingkungan dengan 12%
anak menunjukkan kadar plumbum lebih dari 10g/dl atau 27% rumah dibangun sebelum
tahun 1950, anak minoritas, anak imigran, anak yang terpapar obat alternatif, anak dengan
defisiensi besi, terpapar debu atau tanah terkontaminasi.1,16
6

Global Developmental Delay

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisis


2. Pemeriksaan auditori dan oftalmologi
3. Skrining tiroid bila belum dilakukan
4. EEG bila dicurigai kejang/ epilepsi
5. Skrining autisme atau gangguan bahasa

Apakah ada keluarga dekat dengan GDD (saudara kandung, paman/ bibi, sepupu?
1. Karena gangguan metabolik, genetik atau struktural SSP
2. GDD tidak diketahui penyebabnya

Tidak
Ya Apakah ada gejala spesifik mengarah suatu
diagnosis?
A. Anamnesis atau pemeriksaan fisis
(dismorfik) sindrom Down, Fragile-x,
sindrom Rett, hipotiroid, penyakit genetik
lain?
1. Pemeriksaan spesifik ke arah
B. Anamnesis (asfiksia), pemeriksaan fisis
gangguan tersebut
(mikrosefali, CP, gejala fokal), kejang fokal
2. Skrining sitogenetik
yang menarah ke kerusakan SSP atau
malformasi
C. Risiko keracunan timbal (plumbum)
D. Regresi, konsanguinitas, abortus berulang

Ya Tidak
Evaluasi komprehensif
1. MRI
Uji spesifik MRI (lebih
Skrining 2. Skrining metabolik
diagnosis baik dari
plumbum 3. EEG
tersebur CT Scan)
4. Skrining sitogenetik
5. Konsultasi genetik

Evaluasi berjenjang
1. MRI
2. Skrining sitogenetik/ Fragile-x
3. Metabolik
4. Subtelometrik
5. Sindrom Rett

Gambar 1. Algoritme penegakkan diagnosis dan mencari etiologi


Global Developmental Delay1
7

Terapi

Terapi GDD tergantung etiologi. Apabila disebabkan palsi serebral, dilakukan fisioterapi.
Meta-analisis menunjukkan bahwa hasil fisioterapi pada palsi serebral kurang
menggembirakan.17,18 Khusus untuk stimulasi kognitif saya belum menemukan terapi yang
tepat. Teknik floor-time19 atau thera-play mungkin dapat digunakan sebagai program
bermain, namun mungkin tidak ada laporan bahwa terapi ini dapat meningkatkan
kemampuan kognitif pada GDD. Terapi perilaku dan stimulasi dengan okupasi mungkin pula
dapat digunakan.

Infeksi intrauterin disebabkan toksoplasmosis dan cytomegalovirus dapat diberi pengobatan.


Demikian pula dengan GDD yang disebabkan faktor nutrisi atau penyebab sosial-ekonomi.
Tidak ada pengobatan untuk sebagian besar kasus yang disebabkan gangguan genetik,
kromosom atau IOM. Apabila anak sudah berumur 5 tahun dan didiagnosis sebagai
disabilitas intelektual fokus penatalaksanaan adalah terhadap pendidikan.

Prognosis

Istilah GDD menunjukkan adanya kemungkinan catch-up, tetapi 4 tahun setelah diagnosis,
60/62 (97%) anak dengan GDD yang tetap menunjukkan berbagai keterlambatan. 20 Suatu
laporan lain menunjukkan bahwa di antara 93 anak yang pernah di diagnosis sebagai GDD,
sebanyak 73% menunjukkan IQ 70 atau lebih.21 Tentunya angka tersebut tidak dapat
digunakan sebagai nilai rujukan, karena prognosis sangat tergantung etiologi.

Kesimpulan

Global Developmental Delay merupakan istilah yang tidak konsisten karena mempunyai
konotasi dapat terjadi catch-up, tetapi sebagian di antara GDD menunjukkan gejala menetap
dan menjadi disabilitas intelektual pada umur lebih dari 5 tahun. Kasus GDD yang sudah
dapat diketahui etiologinya jangan disebut sebagai GDD lagi. Sebagian lagi tidak
memperlihatkan faktor risiko dan etiologi yang jelas. Di antara mereka, gangguan kromosom,
genetik, dan metabolik menjadi perhatian utama. Sayangnya, banyak di antara pemeriksaan
tersebut belum tersedia di Indonesia, dan harganya mahal.

Daftar rujukan

1. Shevell M, Ashwal S, Donley D, Flint J, Gingold M, Hirtz D, et al. Practice


parameter: Evaluation of the child with global developmental delay: Report of the
quality standards subcommittee of the american academy of neurology and the
practice committee of the child neurology society. Neurology 2003;60:367-80.
2. Jimenez-Gomez A, Standridge SM. A refined approach to evaluating global
developmental delay for the international medical community. Pediatr Neurol
2014;51:198-206.
8

3. Eun SH, Hahn SH. Metabolic evaluation of children with global developmental delay.
Korean J Pediatr 2015;58:117-22.
4. Thomaidis L, Zantopoulos GZ, Fouzas S, Mantagou L, Bakoula C, Konstantopoulos
A. Predictors of severity and outcome of global developmental delay without
definitive etiologic yield: A prospective observational study. BMC Pediatr
2014;14:40.
5. Lopez-Pison J, Garcia-Jimenez MC, Monge-Galindo L, Lafuente-Hidalgo M, Perez-
Delgado R, Garcia-Oguiza A, Peña-Segura JL. Our experience with the aetiological
diagnosis of global developmental delay and intellectual disability: 2006-2010.
Neurología (English Edition) 2014;29:402-7.
6. Bourke J, de Klerk N, Smith T, Leonard H. Population-Based prevalence of
intellectual disability and autism spectrum disorders in western australia: A
comparison with previous estimates. Medicine (Baltimore) 2016;95:e3737.
7. Foo YL, Chow JC, Lai MC, Tsai WH, Tung LC, Kuo MC, Lin SJ. Genetic evaluation
of children with global developmental delay-current status of network systems in
taiwan. Pediatr Neonatol 2015;56:213-9.
8. Wilska ML, Kaski MK. Why and how to assess the aetiological diagnosis of children
with intellectual disability/mental retardation and other neurodevelopmental
disorders: Description of the finnish approach. Eur J Paediatr Neurol 2001;5:7-13.
9. Wong VC, Chung B. Value of clinical assessment in the diagnostic evaluation of
global developmental delay (GDD) using a likelihood ratio model. Brain Dev
2011;33:548-57.
10. Van Karnebeek C, Murphy T, Gainnasi W, Thomas M, Connoly M, Stockler-
Ipsiroglu S. Diagnostic value of a multidisciplinary clinic for intellectual disability.
Can J Neurosci 2014;41:333-45.
11. Medical Home Initiatives for Children With Special Needs Project Advisory
Committee. Identifying infants and young children with developmental disorders in
the medical home: An algorithm for developmental surveillance and screening.
Pediatrics 2006;118:405-20.
12. Van Karnebeek CD, Stockler S. Treatable inborn errors of metabolism causing
intellectual disability: A systematic literature review. Mol Genet Metab
2012;105:368-81.
13. Blacher J, Kasari C. The intersection of autism spectrum disorder and intellectual
disability. J Intellect Disabil Res 2016;60:399-400.
14. Pedersen AL, Pettygrove S, Lu Z, Andrews J, Meaney FJ, Kurzius-Spencer M, et al.
DSM criteria that best differentiate intellectual disability from autism spectrum
disorder. Child Psychiatry Hum Dev 2016. Published online 24 August 2016.
15. Van Karnebeek CD, Shevell M, Zschocke J, Moeschler JB, Stockler S. The metabolic
evaluation of the child with an intellectual developmental disorder: Diagnostic
algorithm for identification of treatable causes and new digital resource. Mol Genet
Metab 2014;111:428-38.
16. Control CFD, Prevention. Low level lead exposure harms children: A renewed call
for primary prevention. Report of Advisory Committee on Childhood Lead Poisoning
Prevention. Atlanta, GA: CDC 2012.
9

17. Hielkema T, Hamer EG, Reinders-Messelink HA, Maathuis CG, Bos AF, Dirks T, et
al. LEARN 2 MOVE 0-2 years: Effects of a new intervention program in infants at
very high risk for cerebral palsy; a randomized controlled trial. BMC Pediatr
2010;10:76-84.
18. Ketelaar M, Kruijsen AJ, Verschuren O, Jongmans MJ, Gorter JW, Verheijden J, et
al. LEARN 2 MOVE 2-3: A randomized controlled trial on the efficacy of child-
focused intervention and context-focused intervention in preschool children with
cerebral palsy. BMC Pediatr 2010;10:80-90.
19. Iwanaga R, Honda S, Nakane H, Tanaka K, Toeda H, Tanaka G. Pilot study: Efficacy
of sensory integration therapy for japanese children with high-functioning autism
spectrum disorder. Occup Ther Int 2014;21:4-11.
20. Webster RI, Majnemer A, Platt RW, Shevell MI. Child health and parental stress in
school-age children with a preschool diagnosis of developmental delay. J Child
Neurol 2008;23:32-8.
21. Riou EM, Ghosh S, Francoeur E, Shevell MI. Global developmental delay and its
relationship to cognitive skills. Dev Med Child Neurol 2009;51:600-6.
PENATALAKSANAAN TRAUMA KEPALA PADA ANAK

Johannes H Saing

Pendahuluan
Trauma kepala merupakan salah satu penyebab tersering kematian pada anak dan telah
menjadi masalah besar di dunia. Trauma kepala enam kali lebih sering menyebabkan
kematian daripada infeksi HIV pada anak dan dua puluh kali lebih sering daripada asma. 1 Di
Amerika Serikat terdapat 600 000 kasus anak dengan trauma kepala datang ke Unit Gawat
Darurat, 60 000 kasus di rawat inap dan lebih dari 6000 kasus mengalami kematian pada anak
dibawah usia 19 tahun.2 Insidensi terbanyak didapati pada usia remaja, dimana anak laki-laki
lebih banyak daripada perempuan. Penyebab trauma kepala paling banyak karena jatuh dan
kecelakaan lalu lintas. Trauma kepala sedang dan berat dapat menyebabkan kematian,
gangguan kognitif dan neurologi yang menetap.1,3,4 Terdapat perbedaan pada trauma kepala
anak dengan dewasa, yaitu ukuran proporsi kepala dan tubuh anak, tengkorak lebih compliant
dari orang dewasa dan leher anak yang relatif lebih lemah daripada orang dewasa.3

Jenis trauma
Menurut hukum Monroe-Kellie volume intrakranial adalah konstan yang terdiri dari otak
(80%), darah (12%) dan cairan serebrospinal (8%). Apabila terdapat gangguan pada salah
satu komponen maka komponen yang lain akan melakukan kompensasi untuk menjaga agar
tekanan intrakranial tetap, apabila kompensasi ini gagal akan terjadi peningkatan tekanan
intrakranial.5 Pada trauma kepala, terdapat dua jenis trauma berdasarkan mekanismenya yaitu
trauma primer dan trauma sekunder.3

Trauma Primer
Trauma primer adalah kerusakan pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi saat
trauma. Beberapa anak dengan trauma kepala dapat mengalami luka pada superfisial saja,
seperti laserasi pada kulit kepala atau hematoma, atau dapat berupa fraktur tengkorak tanpa
trauma intrakranial. Fraktur tengkorak yang bersifat menekan, terbuka ataupun fraktur basis
kranii berhubungan dengan trauma intrakranial. Trauma pada otak dapat berupa extra-axial
(perdarahan epidural, subdural, subarachnoid, intraventikular) atau intra-axial (kontusio
serebral, perdarahan intrasereberal, diffuse axonal injury). Gabungan dari keduanya dapat
juga terjadi secara bersamaan.2,3
• Perdarahan epidural berupa perdarahan yang terjadi antara tengkorak dengan duramater.
Meskipun pada tipe klasik akibat dari perdarahan arteri meningeal, dapat juga terjadi
akibat perdarahan pada vena. Hal ini jarang terjadi pada bayi dan anak kecil. Biasanya
terjadi akibat jatuh dari tempa tinggi ataupun pukulan langsung ke kepala dan dapat
terjadi tanpa adana fraktur tengkorak. Dari CT-scan kepala dapat terlihat gambaran
berbentuk lensa konveks yang tidak melewati sutura.
• Perdarahan subdural berupa perdarahan vena kortikal yang terletak diantara dura dan
membran arachnoid. Mekanisme terjadinya akibat percepatan atau deselerasi pada kepala.

1
Sering terjadi pada anak yang lebih kecil. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya fraktur
tengkorak. Dari CT-scan kepala terdapat gambaran bulat sabit dan dapat melewati sutura.
• Perdarahan subarachnoid akibat perdarahan dari pembuluh pial kecil akibat trauma
tumpul atau gesekan. Sering terdistribusi secara luas namun tidak mengakibatkan efek
berat.
• Perdarahan intraventrikular akibat perdarahan intraserebral, perdarahan subarachnoid
yang luas, atau robeknya vena subependimal atau struktur periventricular. Biasanya
berhubungan dengan trauma lain. Bayi prematur sering mengalami perdarahan
intraventrikular yang spontan.
• Kontusio sereberal adalah perdarahan yang terlokalisir pada trauma neuronal. Terjadi
akibat trauma tumpul pada kepala yang mengakibatkan benturan dari otak dan tengkorak.

Perdarahan intrasereberal terjadi akibat perdarahan pembuluh intraparenkim. Dapat
mengakibatkan efek yang berat.
• Diffuse axonal injury adalah kerusakan luas pada beberapa akson di otak dan biasanya
akibat dari akselerasi/deselerasi atau rotasi kepala. Biasanya terjadi pada kecelakaan lalu
lintas.

Trauma Sekunder
Trauma sekunder adalah kerusakan pada neuron akibat hipoksia, hipoperfusi, gangguan
metabolik, dan peningkatan tekanan intracranial, yang terjadi beberapa saat setelah trauma
dan dapat berlangsung lama, yang akan mengakibatkan kebutuhan oksigen dan glukosa
neuron meningkat dan sampai kematian sel. Trauma sekunder ini dapat berupa herniasi otak,
edema serebri, infark dan hidrosefalus.3
Trauma kepala dapat menyebabkan pelepasan glutamat, fluktuasi metabolisme
glukosa di serebral (awalnya meningkat, kemudian menurun) dan perubahan tekanan darah.
Kemudian akan terjadi kerusakan aksonal sehingga menyebabkan terputusnya stimulus,
peningkatan jumlah neurotransmiter dan kematian sel. Peningkatan neurotransmiter eksitatori
terjadi bersamaan dengan meningkatnya kadar glukosa di serebral dan menunjukkan klinis
kejang. Hal ini akan mengakibatkan kematian sel saraf. Maka dibutuhkan suatu usaha untuk
menyeimbangkan antara neurotransmiter eksitatori dan inhibitori.1,6

2
1. Depolarisasi sel
2. Pelepasan neurotransmiter
3. Pelepasan Kalium
4. Peningkatan pumping Kalium
5. Hiperglikolisis
6. Akumulasi laktat
7. Disfungsi mitokondria dan
penyerapan Calsium
8. Fosforilasi oksidatif
9. Apoptosis

Gambar 2. Kaskade neurometabolik setelah trauma1

Klasifikasi Trauma Kepala


Skala Koma Glasgow (SKG) adalah suatu sistem skoring yang digunakan untuk
mengevaluasi kesadaran pada trauma kepala. Penilaian ini berdasarkan respon membuka
mata, verbal dan motorik, dan bersifat subjektif. 7 Berdasarkan skoring SKG, trauma kepala
dibagi menjadi trauma kepala ringan (SKG 13 – 15), trauma kepala sedang (SKG 9 – 12) dan
trauma kepala berat (SKG 3 – 8). Kelemahan dari skoring ini adalah sulit dilakukan pada
anak yang lebih muda dan pada pasien yang mendapat sedasi. 8 Untuk pasien yang mendapat
sedasi akan sulit menilai komponen verbal jika menggunakan SKG, maka dapat digunakan
penilaian Full Outline of Unresponsiveness Score (FOUR). Skor FOUR diciptakan untuk
memenuhi kebutuhan akan skala penilaian tanda-tanda neurologis yang cepat dan mudah
digunakan pada pasien dengan penurunan kesadaran. Skala ini mengabaikan disorientasi atau
delirium pada penilaian verbal, namun memberikan kemampuan penilaian yang baik untuk
pergerakan mata, refleks batang otak, dan usaha napas pada pasien dengan ventilator.
Kelebihan lain dari skor FOUR adalah tetap dapat digunakan pada pasien dengan gangguan
metabolik akut, syok, atau kerusakan otak nonstruktural lain karena dapat mendeteksi
perubahan kesadaran lebih dini. Dengan skala penilaian 0 sampai 16 yang menunjukkan
semakin rendah skala penilaian, maka akan semakin menurun tingkat kesadaran. Skor FOUR

3
0 – 7 memiliki resiko tinggi kematian, skor 8 – 14 memiliki resiko sedang, dan skor 15 – 16
memiliki risiko rendah terhadap kematian. 9

Tabel 1. Skala Koma Glasgow Pediatrik dan Full of Unresponsiveness Score (FOUR)3,9
SKG Pediatrik FOUR score
Respon Mata Respon Mata
4 Spontan 4 Kelopak mata terbuka atau pernah terbuka
dan mengikuti arah atau berkedip oleh
perintah
3 Terhadap perintah 3 Kelopak mata terbuka namun tidak
mengikuti arah
2 Terhadap nyeri 2 Kelopak mata tertutup namun terbuka jika
mendengar suara keras
1 Tidak respon 1 Kelopak mata tertutup namun terbuka oleh
rangsang nyeri
0 Jika kelopak tetap tertutup dengan
rangsang nyeri

Respon Verbal Respon Motorik


5 Senyum, dapat berinteraksi, dapat 4 Ibu jari terangkat, atau mengepal, atau
berorientasi terhadap suara tanda “damai” (peace sign)
4 Menangis 3 Melokalisasi nyeri
3 Menangis akibat respon nyeri 2 Memberi respon fleksi pada rangsang nyeri
2 Mengerang akibat respon nyeri 1 Respon ekstensi
1 Tidak respon 0 Tidak ada respon terhadap nyeri atau status
mioklonus umum

Respon Motorik Refleks Batang Otak


6 Spontan 4 Terdapat refleks pupil dan kornea
5 Respon terhadap sentuhan 3 Salah satu pupil melebar terus menerus
4 Respon terhadap nyeri 2 Tidak ada refleks pupil atau kornea
3 Fleksi terhadap nyeri 1 Tidak ada refleks pupil dan kornea
2 Ekstensi terhadap nyeri 0 Tidak ada refleks pupil, kornea, atau batuk
1 Tidak respon
Respirasi
4 Pola nafas regular, tidak terintubasi
3 Pola cheyne-stokes, tidak terintubasi
2 Pola nafas ireguler, tidak terintubasi
1 Nafas dengan kecepatan diatas ventilator,
diintubasi
0 Apnea atau pernafasan dengan kecepatan
ventilator

4
Trauma kepala pada anak dapat juga dibagi berdasarkan umur, yaitu anak usia kurang
dari 2 tahun dan anak usia lebih dari 2 tahun. Pembagian ini perlu karena trauma pada anak
kurang dari 2 tahun mempunyai karakteristik pemeriksaan klinis yang lebih sulit, kerusakan
intrakranial umumnya asimtomatik, sering terjadi keretakan tulang akibat trauma kepala
ringan dan sering terjadi kerusakan otak.10-12

Penilaian Awal
Pada semua kasus trauma kepala pada anak, lakukan terlebih dahulu survei primer dengan
prinsip berikut :5,10
A: Penilaian terhadap jalan nafas dan imobilisasi pada trauma leher
B: Penilaian jalan nafas, pemberian oksigen apabila dibutuhkan
C: Penilaian sirkulasi, resusitasi cairan apabila dibutuhkan
D: Penilaian derajat kesadaran menggunakan Skala Koma Glasgow Pediatrik
E: Penilaian kadar glukosa darah
Evaluasi diagnosis dilakukan secara simultan atau segera setelah survei primer untuk
menentukan tatalaksana pada pasien.10

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis dan
pemeriksaan penunjang.

Anamnesis
Anamnesis yang dapat ditanyakan kepada orangtua pada anak dengan trauma kepala adalah
sebagai berikut :10
• Tanyakan secara rinci mekanisme trauma pada anak, seperti ketinggian jatuh, apakah
kepala membentur sesuatu. Jika kecelakaan lalu lintas tanyakan mekanisme
kecelakaan, apakah anak memakai helm pelindung, apakah anak terlempar, posisi
jatuh, terbentur atau tidak
• Bagian tubuh mana yang mengalami trauma, apakah terdapat trauma multipel
• Apakah anak menangis setelah trauma, apakah terdapat penurunan kesadaran, berapa
lama terjadi penurunan kesadaran
• Adakah kehilangan ingatan (amnesia), sampai berapa lama penderita tidak dapat
mengingat kejadian
• Apakah ada sakit kepala, muntah-muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan dari
hidung, telinga atau mulut
• Adakah benjolan kepala setelah jatuh, adakah tanda tulang yang retak
• Apakah terdapat patah tulang leher, bahu maupun ekstremitas
• Apakah sudah terdapat gangguan neurologis sebelum trauma
• Apakah terdapat gangguan perdarahan
• Apakah terdapat penyalahgunaan obat atau alkohol (pada anak remaja)
• Pada bayi dan anak, jika terdapat inkonsistensi antara riwayat trauma dengan kondisi
anak pikirkan kemungkinan child abuse

5
Pemeriksaan Fisik dan Neurologis
Pemeriksaan fisik dan neurologis yang dilakukan pada anak dengan trauma kepala adalah
sebagai berikut:5,10
• Nilai kesadaran anak dengan Skala Koma Glasgow Pediatrik
• Pemeriksaan fisik :
- Kepala : hematoma, laserasi, penumpukan cairan, depresi tulang
- Fraktur tengkorak : otorea, hemotimpanum, rinorea, racoon eye, battle sign
- Leher : deformitas, kekakuan atau nyeri
- Jejas trauma di bagian tubuh lain : dada, abdomen dan ekstremitas
• Status mental : sadar penuh, orientasi, bingung, gaduh gelisah, tidak responsif
• Saraf kranial : Refleks pupil (N.II, N.III), Doll’s eye response (N.III, N.IV, N.VI),
respon okulomotor kalorik (N.III, N.IV, N.VI, N.VIII), refleks kornea dan seringai
wajah (N.V, N.VII), refleks muntah (N.IX, N.X)
• Pemeriksaan sensorimotor : Asimetri, gerakan (spontan/menuruti perintah), tonus
otot, koordinasi (jika memungkinkan), reaksi terhadap nyeri (menarik/withdrawal,
deserebrasi, dekortikasi, tidak ada respon)
• Pemeriksaan refleks fisiologis, patologis, klonus

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada anak dengan trauma kepala adalah
sebagai berikut :6,10
• Pemeriksaan darah tepi lengkap
• Pemeriksaan protein S 100 B yang bertujuan untuk menilai adakah indikasi
pemeriksaan CT-scan dan untuk menentukan prognosis
• Pemeriksaan CT-scan kepala

Indikasi CT-scan Kepala


Terdapat tiga pedoman yang dapat digunakan untuk menentukan indikasi CT-scan pada anak
dengan trauma kepala yaitu, pedoman CHALICE (Children’s Head Injury Algorithm for the
Prediction of Important Clinical Events), CACTH (Canadian Assesment of Tomography for
Childhood Head Injury), dan PECARN (Pediatric Emergency Care Applied Research
Network).
Pedoman dari PECARN untuk indikasi CT-scan kepala pada anak dengan trauma
kepala adalah:3
Anak usia dibawah 2 tahun Anak usia 2 tahun atau lebih
SKG 14 SKG 14
Penurunan kesadaran Penurunan kesadaran
Adanya fraktur pada tengkorak Adanya tanda fraktur basis kranii
Atau terdapat gambaran dibawah ini :
Hematoma Riwayat kehilangan kesadaran
Riwayat penurunan kesadaran lebih dari 5 detik Riwayat muntah
Mekanisme trauma yang berat Mekanisme trauma yang berat
Perubahan perilaku Nyeri kepala

6
Di Indonesia terdapat pedoman indikasi CT-scan kepala pada anak dengan trauma
kepala yang dibuat oleh UKK Neurologi, yaitu sebagai berikut:10

7
Keterangan *
Risiko terjadi cedera otak traumatik

Keterangan **
Untuk kondisi di atas dapat dipertimbangkan langsung melakukan CT scan kepala atau
observasi terlebih dahulu tergantung dari :
1. Apakah hanya satu atau lebih dari kondisi-kondisi di atas yang ditemukan
2. Saat diobservasi di ruang emergensi nampak perburukan (perubahan kesadaran, sakit
kepala, muntah)
3. Pengalaman dokter yang merawat
4. Permintaan orang tua
5. Usia kurang dari tiga bulan

Keterangan ***
Untuk semua anak, apabila diputuskan akan diobservasi terlebih dahulu, dapat dipilih untuk
diobservasi di rumah (rawat jalan) atau di rumah sakit, tergantung apakah dokter yakin bahwa
orang tua cukup kompeten untuk mengobservasi anak di rumah.
• Lama observasi minimal adalah 24 jam
• Perhatikan apakah ada gejala/tanda gangguan intrakranial. Apabila ditemukan harus
segera konsultasi dengan spesialis yang sesuai, CT scan kepala segera dan rujuk ke
pusat kesehatan dengan fasilitas bedah syaraf

8
Algoritme Evaluasi Anak dan Remaja dengan Trauma Kepala Ringan

9
Algoritme Evaluasi Anak Usia Kurang 2 Tahun dengan Cedera Kepala Ringan

Tatalaksana
Apabila terdapat kondisi dibawah ini, maka harus diberikan tatalaksana sesuai dengan kondisi
masing-masing secara lebih spesifik pada pusat layanan kesehatan yang sesuai:10
• Ada trauma multipel
• Dicurigai atau diketahui adanya trauma servikal
• Adanya gangguan neurologis sebelumnya
• Adanya diatesis hemoragik
• Trauma kepala yang disengaja

10
• Adanya kendala bahasa antara pasien/orangtua dengan dokter
• Penyalahgunaan obat atau alkohol
Apabila tidak ada kondisi diatas, nilai apakah penderita:10
• Terdapat kelainan pada tulang tengkorak
• Terdapat kelainan pada pemeriksaan mata
• Terdapat kelainan pada pemeriksaan neurologis
Apabila ditemukan harus segera dilakukan konsultasi dengan spesialis yang sesuai,
pemeriksaan CT scan kepala segera dan rujuk ke pusat kesehatan dengan fasilitas bedah
syaraf. Selanjutnya pertimbangan melakukan CT scan atau observasi terlebih dahulu dapat
dilihat dari algoritma di atas.10

Indikasi operasi
Operasi diindikasikan pada perdarahan epidural, atau perdarahan akut subdural yang telah
dikonfirmasi dari hhasil CT-scan. Untuk kontusio serebri atau perdarahan intraserebral yang
minimal dianjurkan untuk terapi konservatif, operasi dapat dilakukan jika perdarahan
intrasereberal luas yang tampak pada CT-scan. Pada fraktur tengkorak yang menekan dan
terbuka atau jika fraktur luas dan sudah menimbulkan gejala klinis yang berat harus segera
dilakukan tindakan operasi.11
Indikasi spesifik untuk dilakukan operasi pada pasien dengan trauma kepala adalah: 11
a) Perburukan klinis
b) Ukuran > 1 cm pada ekstrasereberal dan > 25 – 30 ml perdarahan intrasereberal
c) Pergeseran midline > 5 mm
d) Pembesaran ventrikel secara kontralateral (tanduk temporal)
e) Tidak adanya gambaran ventrikel ketiga
f) Peningkatan tekanan intrakranial
Medikamentosa
• Dapat diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri
• Tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial dan kejang (jika da kejang)
• Bila terdapat peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan obat penurun
tekanan intrakranial seperti Manitol 20% 0.5 – 1 gram/kg tiap 8 jam atau NaCl 3%
dengan dosis inisial 2 – 6 ml/kgBB dilanjutkan dengan infus kontinyu 0.1 – 1
ml/kgBB/jam dengan monitoring tekanan intrakranial. NaCl 3% dapat juga
diberikan dengan dosis inisial 5ml/kgBB dilanjutkan dengan 2ml/kgBB tiap 6
jam. Pemantauan kadar elektrolit dan diuresis diperlukan jika pasien diberikan
cairan hipertonis. Hindari/seminimal mungkin tindakan invasif dan hal-hal yang
dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
• Lakukan pemantauan klinis yang ketat selama 12 – 48 jam
• Tatalaksana demam

Nasehat untuk orang tua


• Trauma kepala ringan tanpa penurunan kesadaran dapat dirawat di rumah
• Tirah baring selama 3 hari

11
• Selama observasi di rumah sebaiknya anak tidak minu obat anti muntah, karena dapat
menutupi gejala perburukan yaitu muntah. Analgetik diberikan jika perlu
• Pengawasan dilakukan dengan memeriksa anak tiap 2 – 3 jam sampai 72 jam setelah
trauma
• Anak segera dibawa ke rumah sakit apabila selama observasi didapatkan:
- Anak tampak tidur terus menerus atau tidak sadar
- Anak menjadi gelisah, bingung atau delirium
- Kejang pada wajah atau ekstremitas
- Anak mengeluh sakit kepala yang menetap dan bertambah berat atau adanya
kekakuan di leher
- Muntah yang menetap terutama di pagi hari13
- Keluar cairan/darah dari hidung atau telinga
- Ubun-ubun besar yang menonjol
- Terdapat gangguan gerak ekstremitas

Daftar Pustaka
1. Lerner JT, Giza CC. Traumatic brain injury in children. Dalam: Swaiman KF, Ashwal
S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology principle and
practices. 2012. Edisi ke-lima. Philadelphia : Saunders-Elsevier.hal.1087-1125.
2. Schneier AJ, Shield BJ, Hostetler SG, Xiang H, Smith GA. Pediatric traumatic brain
injury and associated hospital resource utilization in the United States. Pediatrics.
2005: 118; 483-92.
3. Wing R, James C. Pediatric head injury and concussion. Emerg Med Clin N Am.
2013: 31; 653-675.
4. Marret S, Martin LM, Picaud JC, Hascoet JM, Arnaud C,dkk. Brain injury in very
preterm children and neurosensory and cognitive disabilities during childhood: the
EPIPAGE cohort study. Plos One. 2013: 8; 1-9.
5. Mazzola CA, Adelson D. Critical care management of head trauma in children. Crit
Care Med. 2002: 30; 1-9.
6. Kochaneck PM, Berger RP, Fink EL, Au AK, Bayir H,dkk. The potential for bio-
mediators and biomarkers in pediatric traumatic brain injury and neurocritical care.
Front Neurol. 2013: 4; 1-10.
7. Holmes JF, Palchak MJ, MacFarlane T, Kuppermsn N. Performance of the pediatric
glasgow coma scale in children with blunt head trauma. Acad Emerg Med. 2005: 12;
815-9.
8. Heather NL, Derraik JGB, Beca J, Hofmann PL, Dansey R,dkk. Glasgow coma scale
and outcomes after structural traumatic head injury in early childhood. Plos One.
2013: 8; 1-8.
9. Dewi R, Mangunatmadja I, Yuniar I. Perbandingan full outline of unresponsiveness
score dengan glasgow coma scale dalam menentukan prognostik pasien sakit kritis.
Sari Pediatri. 2011: 13; 215-20.

12
10. UKK Neurologi. Rekomendasi penatalaksanaan trauma kepala. Dalam:
Mangunatmadja I, Handryastuti S, Dewi MR, penyunting. Rekomendasi
penatalaksanaan trauma kepala. 2016. Jakarta : IDAI.hal.1-9.
11. Schutzman SA, Barnes P, Duhaime AC, Greenes D, Homer C,dkk. Evaluation and
management of children younger than two years old with apparently minor head
trauma: proposed guidelines. Pediatrics. 2001: 107; 983-93.
12. Maas AI, Dearden M, Teasdale GM, Braakman R, Cohadon F,dkk. EBIC-Guidelines
for management of severe head injury in adults. Acta Neurochir. 1997: 139; 286-94.
13. Dayan PS, Holmes JF, Atabaki S, Hoyle J, Tunik MG,dkk. Association of traumatic
brain injuries with vomiting in children with blunt head trauma. Pediatrics. 2014: 63;
657-65.

13
TATALAKSANA MALARIA BERAT PADA ANAK
Ayodhia Pitaloka Pasaribu

Malaria merupakan salah satu penyebab penyakit infeksi terbanyak didunia yang disebabkan
oleh parasit protozoa dari genus Plasmodium. Dari kelima spesies Plasmodium yang
menginfeksi manusia, Plasmodium falsiparum merupakan jenis yang paling virulen dan
penyebab kematian akibat malaria terbanyak. Namun Plasmodium vivaks dan knowlesi juga
dapat menyebabkan malaria berat dan kematian walaupun tidak terlalu banyak.

Secara global angka kejadian malaria berat diperkirakan sebanyak 2 juta kasus per
tahunnya. Berdasarkan laporaan World Health Organization (WHO, 2013) ada sebanyak 627
000 kasus kematian akibat malaria di seluruh dunia. Pada wilayah dimana transmisi
malarianya tinggi maka kejadian malaria berat sering dijumpai pada anak dibawaah usia 5
tahun dan berkurang setelah usia lebih besar dan dewasa karena adanya imunitas yang
didapat yang memberikan proteksi parsial. Sekitar 90% kasus malaria berat diperkirakan
terjadi pada anak-anak kecil di Sub Sahara Afrika. Pada daerah dengan endemisitas lebih
rendah kejadian malaria berat bisa didapati pada anak dan dewasa.

Setiap pasien dengan sangkaan malaria harus dinilai secara tepat dan mendapat
pengobatan secara cepat. Penderita malaria yang tidak mendapat pengobatan yang adekuat
dan memiliki bukti disfungsi organ ataupun jumlah parasit yang tinggi, berisiko untuk
menjadi berat.

Manifestasi malaria berat pada anak dan dewasa berbeda, penyebabnya masih belum
pasti apakah akibat pengaruh usia, karakteristik host ataupun parasit. Hal ini disebabkan data
malaria berat pada anak hanya sedikit yang didapat dari penelitian terutama diluar Afrika.
Pada populasi dengan transmisi tinggi, anemia berat merupakan manifestasi yang sering
dijumpai pada bayi dan anak kecil sedangkan pada transmisi rendah dan musiman, malaria
serebral lebih sering dijumpai dan biasanya pada anak yang lebih besar. Tabel 1
memperlihatkan perbedaan manifestasi malaria akibat Plasmodium falsiparum pada anak dan
dewasa.
Tabel 1. Perbedaan manifestasi malaria akibat Plasmodium falsiparum pada anak dan
dewasa.

Manifestasi Klinis Anak Dewasa

Gangguan kesadaran +++ ++


Distres pernafasan +++ ++
Kejang berulang +++ +
Kelemahan +++ +++
Syok + +
Edema pulmonum +/- +
Perdarahan abnormal +/- +
Jaundice + +++

Indikator laboratorium
Anemia berat +++ +
Hipoglikemia +++ ++
Asidosis +++ ++
Hiperlaktatemia +++ ++
Gangguan ginjal + +++
Hiperparasitemia ++ +

Tatalaksana malaria berat


Antimalaria

Penting memberikan dosis antimalaria parenteral atau rektal yang efektif secara cepat sebagai
talaksana awal malaria berat. Selanjutnya, diikuti oleh dosis lengkap Artemisinin Based
Combination Therapy (ACT) secara oral. Ada 2 jenis obat malaria parenteral yang digunakan
pada malaria berat: derivat artemisinin (artesunat dan artemeter) dan alkaloid kinkona (kina
dan kinidin).
Berikan artesunat secara intravena atau intramuskular sedikitnya 24 jam. Pemberian
ACT secara oral boleh diberikan bila pasien sudah bisa toleransi pemberiann oral dan sudah
24 jam diberikan dosis parenteral. Suatu penelitian uji klinis yang membandingkan antara
artesunat dan kinin menunjukkan bahwa artesunat secara bermakna lebih unggul baik dari
segi efikasi maupun keamanan. Apabila sediaan artesunat parenteral tidak tersedia maka bisa
digunakan artemeter secara intramuskular. Dosis artesunat yang diberikan adalah
2.4mg/kg/dosis pada jam ke 0, 12, 24 kemudian dilanjutkan per 24 jam. Untuk anak dibawah
20kg harus mendapat dosis yang lebih tinggi yaitu 3mg/kg/dosis. Artesunat bisa diberikan
secara intravena ataupun intramuskular. Untuk artemeter pertama sekali diberikan dosis
initial 3.2mg/kg/dosis dilanjutkan dengan dosis maintenance 1.6mg/kg/dosis 12 jam setelah
yang pertama kemudian jam ke-24 dan tiap 24 jam sekali. Artemeter diberikan secara
intramuskular sehingga sedikit tidak nyaman dibandingkan artesunat.

Kina merupakan pilihan kedua apabila artesunat/artemeter tidak tersedia. Dosis yang
diberikan dengan dosis initial 20mg/kg dilanjutkan dengan dosis maintenance 10mg/kg tiap 8
jam selanjutnya. Pemberikan kina tdak boleh dilakukan secara cepat karena bisa
menyebabkan hipotensi. Pemberian dengan dosis berlebih bisa menyebabkan kebutaan dan
ketulian.

Tatalaksana komplikasipada malaria berat


Gangguan kesadaran

Gangguan kesadaran terjadi akibat masuknya parasit ke mikrovaskular dan pembuluh darah
kecil di otak. Sebelum digunakan skala koma, istilah malaria serebral digunakan pada pasien
dengan gangguan kesadaran atau orang yang tidak mampu menunjukkan dimana lokasi sakit.
Skala koma Blantyre digunakan pada anak yang belum bisa bicara (tabel 2). Skala < 3
dianggap indikasi terrjadinya gangguan kesadaran. Banyak pasien malaria kembali sadar
setelah kejang. Secara klasifikasi, malaria serebral adalah koma yang bertahan lebih dari 1
jam setelah kejang tidak berkaitan dengan pemberian antikonvulsan.
Tabel 2. Skala koma Blantyre

Respon motorik Skala


Mampu melokalisasi sakit 2
Menarik tungkai dari sakit 1
Tidak ada respon/ tidak spesifik 0
Respon verbal
Menangis 2
Merintih 1
Tidak ada 0
Pergerakan mata
Langsung (mengikut petunjuk) 1
Tidak terarah 0
TOTAL 0-5

Tatalaksana gangguan kesadaran akibat malaria berat dilakukan dengan mempertahankan


jalan nafas, koreksi penyebab gangguan kesadaran (hipoglokemia, infeksi bakteri), hindari
pengobatan yang tidak diperlukan. Apabila diperlukan intubasi bisa dilakukan.
Kejang berulang

Kejang berulang ditandai dengan terjadinya episode kejang lebih dari 2 kali dalam waktu 24
jam. Delapan puluh persen kejang terjadi pada saat masuk rumah sakit dan 60% berhenti
setelah perawatan. Tatalkasan yang diberikan yaitu dengan diazepam intravena 0.3mg/kg,
maksimum10mg atau lorazepam 0.1mg/kg dengan bolus lambat selama 2 menit. Bila tidak
ada sediaan intravena maka bisa diberikan secara rektal 0.5mg/kg. Pada kondisi kejang
berulang maka pemberian fenitoin atau fenobarbital bisa dipikirkan, namun monitor
pernafasan perlu diperhatikan.
Syok

Syok tekompensasi ditandai dengan pengisian kapiler > 3 detik tanpa adanya hipotensi.
Sedangkan syok dekompensasi ditandai bila tekanan darah < 70mmHg, dengan adanya
gangguan perfusi yang ditandai oleh akral dingin dan pengisian kapiler yang lama. Pemberian
bolus cepat pada syok akibat malaria berat tidak boleh diberikan walaupun dalam keadaan
hipotensi, dehidrasi berat ataupun asidosis metabolik karena bisa menyebabkan kolaps
kardiovaskular yang berakhir dengan kematian. Koreksi cairan dilakukan secara lambat
selama 3-4 jam menggunakan normal saline 3-5ml/kg/jam kemudian dilanjutkan dnegan
dekstrose 5% 2-3ml/kg/jam.
Asidosis metabolik
Keadaan ini ditandai dengan kadar bikarbonat <15mmol/L atau laktat ≥ 5mmol/L dan klinis
berupa pernapasan yang cepat, dalam dan distres penfasan. Pemberian bikarbonat tidak
dianjurkan pada keadaan asidosis metabolik akibat malaria berat, dan hanya diberikan bila
pH < 7.1 karena bisa menyebabkan fungsi vital berbahaya. Tatalaksana utama adalah
melakukan koreksi pada penyebab asidosis metabolik yaitu hipoglikemia, anemia ,
hipovolemia dan septikemia.
Anemia Berat

Anemia pada malaria terjadi karena berbagai faktor. Hancurnya eritrosit yang terinfeksi
parasit merupakan penyebab utama. Selain itu kemampuan limpa “pitting” dengan
memfagosit eritrosit yang berisi parasit juga merupakan faktor lain. Tatalaksana pada anemia
berat dibagi berdasarkan transmisi malaria. Pada kondisi transmisi tinggi dimana anak lebih
toleransi terhadap kadar hemoglobin yang lebih rendah, maka transfusi diberikan pada kadar
hemoglobin <5gr/dL. Sedangkan pada daerah transmisi rendah maka transfusi dilakukan bila
kadar hemoglobin < 7gr/dL.
Hipoglikemia

Hipoglikemia terjadi karena parasit malaria memerlukan glukosa untuk hidup dengan
mengambil glukosa dari tubuh host. Hipoglikemia ditandai dengan kadar glukosa < 40mg/dL.
Tatalaksana yang dilakukan adalah dengan memberikan bolus dengan glukosa 20% sebanyak
2ml/kg selama 10 menit. Jika tidak tersedia maka glukosa 50%, 1ml/kg selama 10 menit.
Pemeriksaan kadar gula darah dilakukan setiap jam sampai kondisi stabil dan pemberian
cairan dextrose 10% diberikan sebagai cairan maintenance.
Malaria berat bisa menyebabkan risiko terjadinya infeksi bakteri invasif seperti
pneumonia atau bakteremia, dan kondisi ini lebih sering terjadi pada anak daripada dewasa.
Apabila malaria berat ditandai dengan manifestasi malaria serebral, asidosis metabolik
ataupun anemia berat maka antibiotik perlu ditambahkan. Antibiotik yang diberikan perlu
disesuaikan dengan pola kuman setempat, namun antibiotik yang bersifat spektrum luas
seperti golongan sefalosporin generasi 3 sangat dianjurkan sebagai terapi empirik.

Kesimpulan
Malaria berat merupakan gangguan multisistem dengan berbagai komplikasi dengan risiko
kematian cukup besar. Diagnosis yang ditegakkan secara cepat dan tatalaksana yang efektif
dengan pemberian artesunat secara intravena atau intramuskular sebagai antimalaria pilihan
utama akan membantu menyebabkan banyak nyawa.

Referensi
1. World Health Organization 2015. Guidelines for the treatment of malaria. Ed 3rd.
Hal.75-92.
2. Day N, Dondorp M. The management of patients with severe malaria. Am J Trop
Med Hyg 2007; 77 (suppl 6): 29-35
3. Taylor CRJ, Whitten RO. Pathophysiology of fatal falciparum malaria in African
children. Am J Trop Med Hyg 1998; 58(5): 673-83
4. Wassmer SC, Taylor TE, Rathod PK, et al. Investigating the pathogenesis of severe
malaria: a multidisciplinary and cross-geographical approach. Am J Trop Med Hyg
2015; 93(suppl 3): 42-56
5. Mailand K. Management of severe pediatric malaria in resource limited settting. BMC
2015;13-42
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK SECARA RASIONAL
PADA BAYI DAN ANAK

Djatnika Setiabudi
Dipresentasikan oleh Dwiyanti Puspitasari

Pendahuluan
Antibiotik merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan termasuk pada bayi dan
anak, baik di rumah sakit maupun di fasilitas kesehatan lainnya. Dalam penggunaan
antibiotik ada dua istilah yang sering dipakai yaitu penggunaan antibiotik secara rasional dan
penggunaan antibiotik secara bijak (prudent use). Penggunaan antibiotik yang tidak rasional
dan atau tidak bijak sering juga disebut sebagai penggunaan yang tidak tepat. Hal tersebut
mempunyai dampak terhadap kesembuhan pasien, meningkatnya kejadian efek samping,
penghamburan sumber dana, serta yang paling penting adalah peningkatan kejadian bakteri
yang resisten terhadap satu atau lebih antibiotik.1,2
Penggunaanantibiotiktidaktepat yang paling seringadalah pemberian antibiotik
padasetiap pasien dengan demam tinggi, infeksi saluran napas atas (radang tenggorokan), dan
pasien diare (yang disebabkan oleh infeksi virus).3Menurut catatan WHO, khususnya di
regional Asia Tenggara, data yang terhimpun antara tahun 1990 – 2007, didapatkan 50%
infeksi saluran napas atas yang disebabkan oleh virus mendapat antibiotik. Untuk diare akut
(yang sebenarnya tidak perlu mendapat antibotik) mencapai angka 54%.4
Hasil penelitian di bangsal perawatan anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta pada periode 1 Januari – 30 Juni 2009 menunjukan 49,2% pasien mendapat
antibiotik. Dari semua pasien yang mendapat antibiotik, hanya 39,6% yang mendapat
antibiotik tepat secara kualitatif. Pemberian antibiotik tanpa indikasi sebesar 3,3%.5Penelitian
yang hampir sama di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso Jakarta pada
periode tahun 2010, 41,7% pasien mendapat antibiotik. Dari semua pasien yang mendapat
antibiotik,sebesar 40,9% yang penggunaannya tepat secara kualitatif. Pemberian antibiotik
tanpa indikasi yang jelas sebesar 14,4%.6
Anak bukan semata-mata dewasa yang kecil, sehingga dalam penggunaan antibiotik
pada bayi dan anak terdapat berbagai perbedaan jika dibandingkan dengan pada dewasa.
Perbedaan tersebut disebabkan karena bayi dan anak merupakan individu yang masih
mengalami pertumbuhan dan perkembangan, baik anatomis (biologis) maupun fisiologis. Hal
tersebut mempunyai dampak terhadap farmakokinetik (PK) dan farmakodinamik (PD) obat
(antibiotik) yang diberikan. Farmakokinetik meliputi rangkaian kejadian mulai dari absorbsi,
distribusi, metabolisme sampai dengan eliminasi (ekskresi) obat, sedang PD membahas
tentang hubungan antara obat (antibiotik) dan efek terapinya.

Definisi
Pada dasarnya istilah penggunaan antibiotik secara rasional dan penggunaan secara bijak
hampir sama. Penggunaan obat secara rasional dapat didefinisikan sebagai pemberian obat
yang tepat (benar), dengan dosis yang tepat (adekuat) dan lamanya pemberian yang cukup,

1
sesuai indikasi klinis atau kebutuhan pasien dengan harga yang paling rendah.7Sedangkan
penggunaan antibiotik secara bijak (prudent use of antibiotics) mengandung tiga komponen
yaitu pemberian antibiotik secara rasional, sesuai dengan kebijakan dan pedoman nasional
(lokal), dan mempertimbangkan kaidah untuk mencegah timbulnya resistensi bakteri terhadap
antibiotik.8Di Indonesia sendiri, Kementrian Kesehatan dalam Buku Pedoman Penggunaan
Antibiotik dipakai istilah penggunaan antibiotik bijak (prudent), yaitu penggunaan antibiotik
dengan spektrum sempit, pada indikasi yang ketat, dengan dosis yang adekuat, interval dan
lama pemberian yang tepat.9 Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan
menegakkan diagnosis penyakit infeksi (bakteri), menggunakan informasi klinis dan hasil
pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. Menurut
WHO, kriteria pemakaian obat yang rasional (termasuk antibiotik), antara lain:
1. Sesuai dengan indikasi penyakit: pengobatan didasarkan atas keluhan individual dan hasil
pemeriksaan fisik yang akurat
2. Diberikan dengan dosis yang tepat: pemberian obat memperhitungkan umur, berat badan
dan perjalanan (kronologis) penyakit
3. Cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat: jarak minum obat sesuai
dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan
4. Lama pemberian yang tepat:pada kasus tertentu memerlukan pemberian obat dalam jangka
waktu tertentu
5. Obat yang diberikan harus efektif dengan mutu terjamin: hindari pemberian obat yang
kedaluarsa dan tidak sesuai dengan jenis penyakit
6. Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau: jenis obat mudah didapatkan dengan
biaya relatif murah
7. Meminimalkan efek samping dan reaksi alergi obat

Perubahan Fisiologis pada Anak


Dalam pemberian obat-obatan (khususnya antibiotik) pada pasien anak, harus selalu
diperhatikan bahwa proses farmakokinetik (pharmacokinetic) dan farmakodinamik
(pharmacodynamic) berbeda pada anak dengan dewasa.Selama perkembangan masa kanak-
kanak terjadi perubahan yang jelas dalam hal absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi
obat-obatan yang diberikan, sehingga perlu dilakukan penyesuain dosis obat sesuai dengan
usia.10
Absorbsi obat sangat dipengaruhi oleh perkembangan saluran cerna, seperti
perubahan pH system gastrointestinal selama masa perkembangan. Distribusi obat dalam
darah bergantung kepada ikatan dengan plasma binding protein yang kadarnya mengalami
perubahan sesuai perkembangan anak. Ikatan dengan protein tersebut yang rendah akan
memperpanjang waktu paruh (half-life) dari beberapa antibiotik. Perubahan enzim-enzim
yang berperan dalam metabolisme (fase II) dan kematangan fungsi hati akan berpengaruh
dalam metabolisme obat. Begitu juga kematangan fungsi ginjal akan berpengaruh terhadap
eliminasi atau ekskresi beberapa jenis antibiotik.10,11
Berikut contoh tentang perubahan PK yang berhubungan dengan efek beberapa antibiotik
(tabel 1).

2
Tabel 1. Perubahan Farmakokinetik Beberapa Antibiotik pada Neonatus dan Anak
Parameter Nama Efek Mekanisme
PK antibiotik

Absorbsi Penisilin G Peningkatan Interaksi antara obat dan


bioavailabilitas peningkatan pH lambung

Distribusi Ko-trimoksazol Ikterus (Kernicterus) Terlepasnya ikatan


dan Seftriakson bilirubin dari albumin
Eritromisin Meningkatnya obat bebas Predominan berikatan
dengan alpha-1-
glycoprotein (A1G) yang
kadarnya rendah pada saat
bayi
Aminoglikosida Meningkatnya volume of Dosis yang lebih tinggi
(water-soluble) distribution (Vd) diperlukan karena
persentase kandungan air
pada neonatus lebih besar

Metabolisme Kloramfenikol Peningkatan risiko Kerja enzim CYP450 yang


komplikasi kardiovaskular memanjang (fase II
pada neonatus metabolisme) dapat
meningkatkan efek toksik

Ekskresi Aminoglikosida Meningkatnya risiko Kematangan fungsi ginjal


(bila diberikan gangguan fungsi ginjal dan sekresi tubulus belum
bersamaan (bila diberikan bersamaan cukup sampai awal masa
indometasin, dengan obat-obatan yang kanak-kanak
dopamine, ekskresi utamanya melalui
betametason) ginjal)
Sumber: daftar pustaka no.12 (dengan modifikasi)

Pemilihan jenis antibiotik


Sebelum kita memilih dan menggunakan antibiotik adabeberapa hal yang perlu
dipertimbangkan, yaitu apa indikasi pemberian (apakah terapeutik atau profilaksis),
bagaimana sifat antibiotik ditinjau dari segi kerjanya menghambat pertumbuhan bakteri
(bakterisid atau bakteriostatik), dan bagaimana spektrumnya (luas atau sempit).
A. Indikasi atauTujuan Pemberian Antibiotik
Secara umum tujuan pemberian antibiotik terdiri dari pemberian untuk tujuan terapeutik
dan profilaksis. Pemberian terapeutik meliputi terapi empiris dan terapi definitif.
1. Antibiotik untuk Terapi Empiris
Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotik pada kasus
infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya. Tujuan pemberian antibiotik
untuk terapi empiris adalah eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang

3
diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.
Indikasi ditemukan sindroma klinis berat yang mengarah pada keterlibatan bakteri
tertentu. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik:
1) Dugaan bakteri yang paling sering menjadi penyebab infeksi berdasarkan data
epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah
sakit setempat.
2) Kondisi klinis pasien.
3) Ketersediaan antibiotik.
4) Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam jaringan/organ yang terinfeksi.
5) Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat digunakan
antibiotik kombinasi.
Lama pemberian antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam.
Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis
pasien serta data penunjang lainnya.9
2. Antibiotik untuk Terapi Definitif
Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus
infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya. Tujuan
pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi atau penghambatan
pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi, berdasarkan pemeriksaan
mikrobiologi. Indikasi sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab
infeksi. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik:
1) Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.
2) Pola uji kepekaan bakteri.
3) Biaya.
4) Kondisi klinis pasien.
5) Diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit.
6) Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit).
7) Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang terkini.
8) Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.
Rute pemberian antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi
infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan
antibiotik parenteral. Jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian antibiotik
parenteral harus segera diganti dengan antibiotik per oral. Lama pemberian antibiotik
definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal
yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data
mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya.9
3. Antibiotik Profilaksis
Antibiotik profilaksis adalah antibiotik digunakan bagi pasien yang belum terkena
infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkannya, atau bila
terkena infeksi dapat menimbulkan dampak buruk bagi pasien. Obat-obatan profilaksis
harus diarahkan terhadap organisme yang mempunyai kemungkinan terbesar dapat
menyebabkan infeksi, tetapi tidak harus membunuh atau melemahkan seluruh patogen.9
Secara umum penggunaan antibiotik profilaksis terdiri dari penggunaan antibiotik
profilaksis bedah dan antibiotik profilaksis untuk berbagai kondisi medis.

4
1) Antibiotik profilaksis bedah
Pemberian antibiotik dilakukan sebelum (30–60 menit sebelum insisi pertama), saat
(bila operasi berlangsung lama, dapat diulang tiap 3 – 4 jam) dan hingga 24 jam
pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi
dengan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan pada saat
operasi, konsentrasi antibiotik di jaringan target operasi sudah mencapai kadar
optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri kulit dan lingkungan.
2) Antibiotik profilaksis untuk berbagai kondisi medis
Pemberian antibiotik profilaksis pada berbagai kondisi medis dapat diberikan pada
keadaan:
a. Pencegahan demam rematik rekuren, bisa berupa:
- Primer dilakukan pada individu yang berisiko timggi mengalami paparan atau
kontak terhadap infeksi streptokokus (khususnya anak-anak dan remaja) karena
hidup dalam situasi yang berdesakan (misalnya asrama).
- Pencegahan sekunder dilakukan pada individu yang pernah menderita serangan
demam rematik yang berisiko tinggi untuk mengalami rekurensi sesudah
faringitis Streptococcus beta-hemoliticus grup A.
- Pencegahan untuk pasien dengan riwayat pasti demam rematik dan yang dengan
bukti definitif penyakit jantung rematik.
b. Pencegahan endokarditis infektif (bakteri), diberikan pada individu yang
mempunyai kelainan/penyakit jantung yang berisiko tinggi untuk terjadi
endokarditis, seperti:
- Katup jantung prostetik
- Riwayat menderita endokarditis infektif sebelumnya
- Penyakit jantung bawaan
- Penerima transplantasi jantung yang mengalami valvulopati jantung
- Profilaksis dianjurkan untuk semua prosedur gigi yang melibatkan manipulasi
- jaringangingiva atau daerah periapikal gigi atau perforasi mukosa mulut.
c. Pencegahan pada meningitis: tujuan mencegah meningitis akibat kontak dengan
pasien, khususnya meningitis bakterialis yang disebabkan oleh meningococcus
dan H.influenzae
d. Pencegahan infeksi bakteri khusus pada keadaan imunokompromais (berat)
seperti neutropenia pada keganasan atau pada penderita HIV yang status
imunologisnya buruk.

B. Sifat Aktifitas Antibiotik


Berdasarkan efek atau aktifitasnya terhadap pertumbuhan bakteri dibagi menjadi:
1. Bakteriostatik: menghambat pertumbuhan bakteri yaitu antibotik yang mempunyai cara
kerja dengan menghambat sintesa protein atau metabolisme sel bakteri
2. Bakterisidal: membunuh bakteri yaitu antibiotik yang mempunyai cara kerja dengan
merusak dinding sel atau menghambat sintesa asam nukleat bakteri.
Masing-masing antibiotik mempunyai kadar hambat minimal (KHM) atau
minimum inhibitory concentration (MIC) atau kadar bunuh minimal (KBM). Hal ini
penting untuk penentuandosis antibiotik yang akan diberikan supaya menghasilkan efek

5
yang optimal. Pengetahuan tentang sifat aktifitas ini juga penting kalau kita mau
memberikan antibotik kombinasi. Pemberian kombinasi antibiotik yang bersifat
bakteriostatik bersamaan dengan antibiotik bakterisidal akan mengurangi
efektivitasantibiotik bakterisidal.
Untuk infeksi yang berat atau pada keadaan pertahanan tubuh pasien yang
terganggu (imunokompromais), seperti malnutrisi berat, atau pada keganasan maka
sebaiknya dipilih antibiotik yang bersifat bakterisidal.

C. Spektrum Antibiotik
Berdasarkan jenis/macam atau kelompok mikroorganisma (bakteri) yang dapat dihambat
atau dieradikasinya, antibiotik dibagi menjadi:
1. Antibiotik spektrum luas: bila dapat menghambat atau membunuh baik bakteri gram
positif maupun gram negatif.
Contoh: Penisilin spektrum luas: Ampisilin, Amoksisilin (dapat di pakai untuk gram
positif dan gram negatif yang tidak memproduksi betalaktamase).
Sefalosporin generasi tiga dan empat, meropenem, karbopenem, ipimenem.
2. Antibiotik spektrum sempit : antibiotik yang menghambat atau membunuh kelompok
bakteri tertentu.
Contoh: Penisillin untuk Stafilokokus: Metisilin, Kloksasilin, Flukloksasilin ( kelompok
ini stabil terhadap betalaktamase)
Penisilin Antipseudomonas: Tikarsilin, Carbenisilin, Piperasilin.
Metronidazol:hanya berkhasiat terhadap kuman-kuman anaerob
Untuk pemakaian terapi antibiotik empiris biasanya diberikan antibiotik spektrum luas,
sedangkan untuk terapi definitif atau untuk profilaksis dipakai antibiotik spektrum sempit.

Dosis dan Interval Pemberian


Untuk penentuan dosis antibiotik yang tepat pada bayi dan anak, khususnya neonatus tidak
mudah, karena uji klinik tentang hal trersebut hampir seluruhnya dilakukan pada dewasa.
Seperti kita ketahui bahwa anak masih mengalami tumbuh kembang yang mempunyai
dampak pada farmakokinetik dan farmakodinamik obat-obatan (termasuk antibiotik) yang
diberikan. Pada umumnya dosis antibiotik pada anak merupakan hasil ekstrapolasi dari dosis
pada dewasa. Penghitungan dosis antibiotik pada anak berdasarkan per kilogram berat badan
ideal sesuai dengan usia dan petunjuk yang ada dalam formularium dengan ketentuan dosis
harian tidak boleh melebihi dosis pada dewasa.13,14
Dahulu dosis antibiotik hanya ditentukan oleh parameter PK saja, tapi ternyata PD
juga mempunyai peran yang sama, atau bahkan lebih penting. Ukuran utama aktivitas
antibiotik adalah kadar hambat minimal (KHM, minimum inhibitory concentration (MIC).
KHM adalah kadar terendah antibiotik yang secara sempurna menghambat pertumbuhan
suatu mikroorganisme (bakteri) secara in vitro.

Terdapat tiga parameter PK penting yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan


antibiotik, yaitu:
• Kadar puncak atau kadar maksimum (Cmax)
• Area Under the Curve (AUC) adalah jumlah obat yang ada dalam sirkulasi sistemik.

6
• Waktu paruh (t1/2) yang berbanding lurus dengan kecepatan eliminasi
Untuk jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 1. Parameter Farmakokinetik/Farmakodinamik

Aktivitas antibiotik dapat dikuantifikasi dengan mengintegrasikan parameter-


parameter PK/PD dengan KHM.Tiga parameter PK/PD penting yang sangat berhubungan
dengan efikasi klinis berbagai kelompok antibiotik adalah:
1) Rasio kadar puncak terhadap KHM (Cmax/MIC ratio) untuk obat concentration-
dependence (tergantung konsentrasi)
2) Persentase interval dosis diatas KHM ( T>MIC) untuk obat time dependence (tergantung
waktu) denganpost antibiotic effect (PAE) atau efek persisten yang minimal. PAE adalah
supresi pertumbuhan bakteri secara persisten sesudah paparan antibiotik. Antibiotik yang
mempunyai PAE masih memberikan efek meskipun konsentrasi dalam darah di bawah
MIC.
3) Rasio AUC dalam 24 jam terhadap KHM (AUC-24/MIC) untuk obat time dependence
(tergantung waktu) dengan post antibiotic effect (PAE) atau efek persisten yang sedang
sampai lama.

Pola aktivitas antibiotik berdasarkan parameter PK/PD dapat dilihat pada tabel berikut:

7
Tabel 2. Pola Aktivitas Antibiotik berdasarkan Parameter PK/PD
Mekanisme efek Antibiotik Parameter PK/PD Tujuan terapi
bakterisidal yang
berdasarkan data in berhubungan
vitro dengan efikasi
Tipe I.
Concentration Aminoglikosid Rasio Memaksimalkan
dependence dan efek Fluorokuinolon Cmax/KHM kadar obat:
persisten yang lama Ketolid tingkatkan dosis
(Metronidazol)
Rasio AUC - 24
jam/KHM

Tipe II
Time dependence dan Karbapenem Waktu > KHM Memaksimalkan
efek persisten minimal Sefalosporin durasi paparan:
Eritromisin tingkatkan lamanya
Linezolid infus atau frekwensi
Penisilin pemberian

Tipe III
Time dependence dan Azitromisin Rasio AUC - 24 Memaksimalkan
efek persisten sedang Klindamisin jam/KHM jumlah obat:
sampai lama Oksazolidinon tingkatkan dosis,
Tetrasiklin frekuensi pemberian
Vankomisin atau lamanya infus

Sumber : daftarpustaka no.15 dan 16(denganmodifikasi)

Lama Pemberian dan Switching ke pemberian oral


Lama pemberian antibiotik dipengaruhi oleh lokasi infeksi, jenis infeksi (meskipun dalam
satu organ), etiologi (jenis bakteri), serta beratnya penyakit. Meskipun jenis bakteri penyebab
sama, juga dapat dipengaruhi oleh KHM masing-masing bakteri dan uji sensitivitas terhadap
antibiotik tertentu. Mengenai kapan waktu yang tepat pengalihan (switching) dari pemberian
intravena ke pemberian oral juga sangat bergantung kepada jenis penyakit infeksi, beratnya
penyakit dan respons klinis. Secara umum panduan switching pemberian antibiotik dari
intravena ke pemberian oral adalah sebagai berikut: 17
1) Kondisi klinis: secara klinis stabil, tanpa ada tanda-tanda infeksi berat atau sepsis (masih
terdapat demam saja bukan alasan untuk menunda switching)

2) Kemampuan untuk absorbsi (per oral):


- Obat dapat masuk dengan baik bila diberikan melalui mulut (tidak ada muntah)
- Tidak ada gangguan absorbsi (misalnya terdapat mukositis)

8
- Usia lebih dari 28 hari (meskipun < 28 hari bukan kontra indikasi mutlak, biasanya
absorbsi kurang baik)
3) Availabilitas obat baik:
- Antibiotik yang diberikan efektif terhadap bakteri penyebab infeksi
- Antibiotik tersedia dalam formula yang cocok untuk anak (misalnya bentuk sirup)
- Antibiotik mempunyai penetrasi yang baik pada jaringan/organ yang terkena infeksi
4) Faktor kepraktisan
- Kepatuhan (aderens) yang baik bila diberikan per oral
- Orangtua pasien setuju dengan rencana switching
Contoh lama pemberian antibiotik dan kapan waktu switching yang tepat untuk
beberapa penyakit infeksi yang sering ditemukan pada bayi dan anak dapat dilihat pada tabel
3 dan 4.

Tabel 3. Lama Pemberian dan Switching Antibiotik pada Berbagai Infeksi


Penyakit Lama Pemberian Kriteria switch Total Lama pemberian
Infeksi i.v (minimum) ke oral (minimum)
Bacteraemia
Meningococcus 4–5 hari No oral switch 4–5 hari

Pneumococcus Occult febrile Bebas demam, 7–10 hari


dalam 24 jam: 1 perbaikan klinis
hari

Non-occult/septic: No oral switch 7–10 hari


7–10 hari

Staphylococcus 7–14 hari No oral switch MSSA: 7–14 hari


aureus MRSA: 14 hari, bisa
diperpanjang bila kultur darah
positif persisten atau ada
komplikasi

Gram-negative 10 hari No oral switch 10 hari; khusus untuk:


pseudomonas: 14 hari
non-typhoidal salmonellae: 7
hari

Endokarditis 4–6 minggu No oral switch Viridans streptococci :


bakterialis bergantung pada MIC ≤0: 12 mg/L:
etiologi dan - 2 minggu untuk
antibiotik yang benzylpenicillin
diberikan; kecuali (ceftriaxone) + gentamicin
untuk streptokokus - 4 minggu bila hanya

9
viridans yang benzylpenicillin
sensitif (ceftriaxone)
MIC > 0: 12–2 mg/L: 4–6
minggu
MIC >4 mg/L: > 6 minggu
Staphylococcus aureus
MSSA uncomplicated: 4
minggu
MSSA complicated atau
MRSA:
6 minggu

Meningitis 7–21 hari No oral switch Neisseria meningitidis: 5–7


Bakterialis bergantung etiologi hari Haemophilus influenzae:
7–10 hari Streptococcus
pneumoniae: 10–14 hari
Group B streptococci: 14–21
hari
Gram-negative bacilli: 21 hari
Listeria monocytogenes: 21
hari

Abses serebri 2–4 minggu Perbaikan klinis 6 minggu


dan empyema (Bebas demam,
subdural tingkat
kesadaran
normal), CRP
normall

Artritis septik 2–4 hari Bebas demam, 2–3 minggu


perbaikan klinis
Penurunan CRP
Sumber: daftar pustaka no.17(dengan modifikasi)

Tabel 4. Lama Pemberian dan Switching Antibiotik pada Infeksi di Organ Paru
Penyakit Infeksi Lama Kriteria switch Total Lama pemberian
Pemberian ke oral (minimum)
i.v (minimum)
Community- Ringan: - --- 3 hari
acquired pneumonia
Sedang –berat: Perbaikan klinis Tidak ada komplikasi:: ≤7
pengobatan awal hari
(tergantung

10
klinis)

Ventilator- Pengobatan awal Tidak ada Respons klinis baik: 7 hari


associated (tergantung bakteremia, Bila dalam sputum
pneumonia klinis) perbaikan klinis, ditemukan:
Toleransi per oral Pseudomonas spp,
baik Acinetobacter spp: 10 hari

Empyema Pengobatan awal Bebas demam 1– 7 hari (dapat diperpanjang


(tergantung 2 hari drainase sampai dengan 6 minggu)
klinis) sudah dicabut bergantung beratnya
penyakit

Absces paru Pengobatan awal Bebas demam, 4–6 minggu


(tergantung perbaikan klinis
klinis)

Sumber: daftar pustaka no.17 (dengan modifikasi)

Penggunaan Terapi Antibiotik Kombinasi


Penggunaan terapi antibiotik kombinasi adalah pemberian antibiotik lebih dari satu jenis
untuk mengatasi infeksi. Tujuan pemberian antibiotik kombinasi adalah pada keadaan:
1. Terdapat infeksi bakteri campuran yang tidak dapat ditanggulangi oleh satu jenis antibiotik
saja
2. Jika kedua antibiotik yang dipergunakan dapat memberi efek sinergisme
3. Untuk mencegah resistensi bakteri bila antibiotik diberikan monoterapi
4. Jika sumber infeksi belum diketahui dan terapi antibiotik spektrum luas perlu segera
diberikan karena keadaan pasien sakit berat
5. Pada kasus endokarditis yang disebabkan oleh Enterococcus

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan kombinasi antibiotik:


1. Pengetahuan jenis infeksi, data mikrobiologi dan antibiotik diperlukan untuk mendapatkan
kombinasi bijak dengan hasil efektif.
2. Kombinasi antibiotik yang bekerja pada target yang berbeda dapat mempengaruhi
efektivitas antibiotik (sinergis atau antagonis).
3. Suatu kombinasi antibiotik dapat memiliki toksisitas yang bersifat aditif. Contoh:
Vankomisin secara tunggal memiliki efek nefrotoksik minimal, tetapi pemberian bersama
aminoglikosida dapat meningkatkan toksisitasnya.
4. Hindari penggunaan kombinasi antibiotik untuk terapi empiris jangka lama.
5. Pertimbangkan peningkatan biaya.

11
Pembatasan Pemakaian Antibiotik pada Anak
Pada umumnya indikasi pemakaian antibiotik pada bayi dn anak hampir sama dengan pada
dewasa. Hal yang sangat berbeda adalah dalam hal dosis dan interval pemberian sehubungan
dengan perbedaan kematangan anatomi (biologis) organ dan fisiologisnya. Ada beberapa
antibiotik yang tidak boleh diberikan pada anak sehubungan dengan efek samping yang
ditimbulkan atau belum ada data keamanannya. Beberapa jenis antibiotik yang tidak boleh
diberikan pada bayi dan anak dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Daftar Antibiotik yang Tidak Boleh Diberikan pada Anak


Nama Obat Kelompok Usia Alasan
Kloramfenikol Neonatus Menyebabkan Gray baby syndrome
Tiamfenikol Neonatus Menyebabkan Gray baby syndrome
Azitromisin Neonatus Tidak ada data keamanan
Linkomisin HCl Neonatus Tidak ada data keamanan
Piperasikin- Neonatus Tidak ada data keamanan
Tazobaktam
Spiramisin Neonatus dan bayi Tidak ada data keamanan
Kotrimoksazol Bayi kurang 2 bulan Tidak ada data efektivitas dan keamanan
Tetrasiklin Anak kurang dari 4 tahun Diskolorisasi gigi, gangguan
atau pada dosis tinggi pertumbuhan tulang
Siprofloksasin Anak kurang dari 12 tahun Merusak tulang rawan
Norfloksasin Anak kurang dari 12 tahun (cartillage disgenesis)
Tigesiklin Anak kurang dari 18 tahun Tidak ada data keamanan
Sumber: daftar pustaka no.9 (dengan modifikasi)

Khusus mengenai penggunaan antibiotik kuinolon pada anak telah banyak


kesepakatan yaitu boleh digunakan dengan sangat terbatas pada keadaan sakit berat yang
mengancam jiwa dan tidak ada lagi antibiotik lain yang dapat diberikan.18,19

Penutup
Sampai saat ini masih banyak penggunaan antibiotik pada bayi dan anak yang tidak tepat
(tidak rasional atau tidak bijak). Hal tersebut mempunyai dampak terhadap kesembuhan
pasien, meningkatnya kejadian efek samping, penghamburan sumber dana, serta yang paling
penting adalah peningkatan kejadian bakteri yang resisten terhadap satu atau lebih antibiotik.
Untuk menanggulangi atau mengendalikan keadaan demikian diperlukan pemahaman tentang
penggunan antibiotik yang rasional.
Hal penting adalah bahwa anak bukanlah dewasa mini, tetapi merupakan individu
yang masih tumbuh berkembang baik fisik (anatomis atau biologis) maupun fisiologisnya,
sehingga penggunaan antibiotik pada bayi dan anak harus mempertimbangkan PK/PD obat
yang diberikan. Penghitungan dosis antibiotik pada anak berdasarkan per kilogram berat
badan ideal sesuai dengan usia dan petunjuk yang ada dalam formularium dengan ketentuan
dosis harian tidak boleh melebihi dosis pada dewasa.

12
Daftar Pustaka
1. Bajcetic M, Jovanovic I. Current aspects of rational antibiotic use in pediatrics.
Pediatrics Today.2012;8(2):79–80.
2. Principi N, Esposito S. Antimicrobial stewardship in pediatrics.BMC Infect Dis.
2016;16:424.
3. Weissman J, Besser RE. Promoting appropriate antibiotic use for pediatric patients: a
social ecological framework. Semin Pediatr Infect Dis. 2004;15:41–51.
4. Holloway KA. Promoting the rational use of antibiotics. Regiobal Health Forum.
2011;15(1):122–30.
5. Satari HI, Firmansyah A, Theresia. Qualitative evaluation of antibiotic usage in pediatric
patients. Paediatr Indones. 2011;51:303–10.
6. Katarnida SS, Murniati D, Katar Y. Evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif di
RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta.Sari Pediatri. 2014;15(6):369–76.
7. Yewale VN, Dharmapalan D. Promoting appropriate use of drugs in children. Int J
Pediatr. 2012; Article ID 906570.
8. Philips I. Prudent use of antibiotics: are our expectations justified? Clin Infect
Dis.2001;33(Suppl.3):S130–2.
9. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.2011
10. Kearns GL, Abdel-Rahman SM, Alander SW, Blowey DL, Leeder JS, Kauffman RE.
Developmental pharmacology — drug disposition, action, and therapy in Infants and
children. N Engl J Med. 2003;349:1157–67.
11. Strolin BM, Baltes EL. Drug metabolism and disposition in children. FundamClin
Pharmacol.2003;17:281–99.
12. Kline JM, Wietholter JP, Kline VT, Confer J. Pediatric antibiotic use: a focused review
of fluoroquinolones and tetracyclines. US Pharm.2012;37(8):56–9.
13. Batchelor HK, Marriott JF. Paediatric pharmakokinetics:key consideration.Br J Clin
Pharm.2013;79(3):395–404.
14. O’Hara K. Paediatric pharmakokinetics and drug doses. Aust Prescr.2016;39:208–10
15. Downes KJ, Hahn A, Wiles J, Courter JD, Vinks AA. Dose optimisation of antibiotics in
children: application of pharmacokinetics/pharmacodynamics in paediatrics. Int J
Antimicrob Agents. 2014;43(3):223–30.
16. Barker CIS, Germovsek E, Hoare RL, Lestner JM, Lewis J, Standing JF.
Pharmacokinetic/pharmacodynamic modelling approaches in paediatric infectious
diseases and immunology. Advanced Drug Delivery Rev.2014;73:127–39.
17. McMullan BJ, Andresen D, Blyth CC, Avent ML, Bowen AC, Britton PN, et al.
Antibiotic duration and timing of the switch fromintravenous to oral route for bacterial
infections in children: systematic review and guidelines. Lancet Infect Dis 2016;16:
e139–52.
18. American Academy of Pediatrics Committee on Infectious Diseases. The use of systemic
fluoroquinolones.Pediatrics.2006;118:1287–92.
19. Adefurin A, Sammons H, Jacqz-Aigrain E, Choonara I. Ciprofloxacin safety in
paediatrics: a systematic review. Arch Dis Child.2011;96:874–80.

13
14
APAKAH ALGORITME TATALAKSANA RENJATAN MENJAWAB
MASALAH DI PICU?

Antonius H. Pudjiadi

Secara tradisional renjatan dimaknai, secara klinis, dengan penurunan pefusi jaringan disertai
peningkatan kinerja sistim hemodinamik. Karena itu diagnosis renjatan ditegakkan bila
dijumpai penurunan kesadaran, penurunan produksi urine, disertai peningkatan laju jantung,
tekanan nadi yang sempit, perabaan nadi yang kecil, akral ekstremitas yang dingin, dan
pemanjangan waktu pengisian kapiler.

Tatalaksana klinis renjatan berkembang dengan pesat setelah penemuan kateter arteri
pulmonalis, yang juga dikenal dengan kateter Swan-Ganz.1 Pengukuran dengan kateter ini
memungkinkan pengukuran dan topangan lebih rinci berdasar parameter hemodinamik yang
terganggu (gambar 1). Renjatan kemudian didefinisikan sebagai kegagalan pasokan oksigen
(DO2) memenuhi kebutuhan oksigen jaringan (VO2). Berdasar konsep ini, renjatan terbagi
menjadi renjatan hipovolemik, akibat gangguan preload, renjatan kardiogenik, akibat
kegagalan pompa jantung, dan renjatan distributif, akibat gangguan tonus vaskular. Renjatan
yang disebabkan karena obstruksi aliran darah dari ventrikel jantung disebut renjatan
obstruktif.

Gambar 1. Hubungan antara parameter hemodinamik. SVR = systemic vascular resistance;


Hb = kadar hemoglobin; SpO2 = saturasi oksigen darah arteri; MAP = mean arterial pressure
(tekanan darah); DO2 = pasokan oksigen
Padat ahun 1988, Shoemaker dan rekan melaporkan curah jantung pasien pasca bedah yang
hidup lebih tinggi dari yang meninggal.2 Penelitian ini menghasilkan konsep ‘supra normal’
yang menargetkan curah jantung sebagai target pencapaian tatalaksana renjatan. Rivers dan
rekan secara berurutan menargetkan tekanan vena sentral, untuk memaksimalkan preload,
tekanan darah, transfusi darah, untuk meningkatkan kadungan oksigen darah, dan, kemudian
inotropik untuk meningkatkan DO2, mencapai saturasi vena sentral >70%.3 Brierley dan
rekan menargetkan cardiac index antara 3.3-6 L/menit/m2 dalam tatalaksana renjatan pada
anak.4

Parameter Kecukupan Pasokan Oksigen

Saturasi vena sentral

Saturasi vena sentral (SvO2) bergantung pada kadar oksigen darah arteri dikurangi oksigen
yang digunakan jaringan. Sesuai persamaan Fick:

SvO2 = SaO2 – VO2/Q x 1/(1.36 x Hb)

SaO2 adalah saturasi oksigen darah arteri, dipengaruhi fungsi pernapasan, Q adalah aliran
darah, dipengaruhi fungsi hemodinamik, VO2 adalah konsumsi oksigen, dipengaruhi
metabolisme tubuh dan Hb, hemoglobin adalah pengangkut oksigen.

Ketika pasokan oksigen menurun, tubuh akan melakukan kompensasi dengan meningkatkan
laju jantung, vasokonstriksi, untuk redistribusi darah ke organ yang lebih vital, dan berbagai
mekanisme lain termasuk peningkatan ekstraksi oksigen di jaringan (O2ER, oxygen
extraction ratio). Peningkatan O2ER akan berakibat penurunan SvO2. Bila mekanisme ini
gagal mengatasi kebutuhan oksigen, akan terjadi metabolisme anaerob dengan akibat
peningkatan asam laktat (gambar 2).

Penurunan SvO2 umumnya cukup sensitif untuk mendeteksi ketidakcukupan pasokan


oksigen. Namun demikian SvO2 yang normal tidak berarti tidak terjadi hipoksia jaringan.
Gambar 2. Hubungan antara DO2, VO2, O2ER dan Laktat

Laktat

Bila oksigen tidak mencukupi, kompensasi pertama yang dilakukan tubuh adalah glikolisis
anaerobik. Proses ini dapat menunda kekurangan energi yang tidak tercukupi karena
ketidaktersediaan oksigen. Pada tahap selanjutnya, bila oksigen tetap tidak tersedia maka
akan terjadi peningkatan kadar laktat. Namun demikian peningkatan kadar laktat dapat juga
terjadi pada keadaan aerob, misalnya akibat pengaruh epinephrine pada aktivitas Na+/K+
ATPase5,6 atau pada gangguan bersihannya (clearance).7 Bersihan laktat terjadi di hati
melalui perubahan menjadi pyruvat, melalui siklus Krebs, atau menjadi glukosa, proses
gluconeogenesis. Konversi 1 mol glukosa menjadi laktat menghasilkan 2 mol ATP,
sementara konversi 2 mol laktat menjadi 1 mol glukosa membutuhkan 6 mol ATP. Proses ini
sering tidak terpenuhi pada anak sakit kritis karena tidak tersedianya ATP yang cukup.7

Telaah Praktek Tatalaksana Renjatan

Keberhasilan Shoemaker dengan konsep supra normal dapat dipahami karena praktek ini
dikerjakan untuk pasien bedah dengan sistim organ yang berfungsi baik. Proses
glikogenolisis maupun bersihan laktat berlangsung normal. Algoritme Rivers maupun
Brierley dikerjakan saat pasien di ruang gawat darurat (emergency). Pada dasarnya algoritme
tersebut hanya menerangkan bahwa bila saturasi vena sentral dapat ditingkatkan hingga
≥70% atau kadar laktat dapat diturunkan, prognosis pasien baik. Semua algoritme ini tidak
menjawab kegagalan ketidakcukupan energi pada anak sakit gawat di PICU.

Medan, 8 Februari 2017

DaftarPustaka

1. Swan HJ, Ganz W, Forrester J, et al. Catheterization of the heart in man with use of a flow-
directed balloon-tipped catheter. N Engl J Med 1970;283(9):447-51. doi:
10.1056/NEJM197008272830902
2. Shoemaker WC, Appel PL, Kram HB, et al. Prospective trial of supranormal values of
survivors as therapeutic goals in high-risk surgical patients. Chest 1988;94(6):1176-
86.
3. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, et al. Early goal-directed therapy in the treatment of
severe sepsis and septic shock. N Engl J Med 2001;345(19):1368-77. doi:
10.1056/NEJMoa010307
4. Brierley J, Carcillo JA, Choong K, et al. Clinical practice parameters for hemodynamic
support of pediatric and neonatal septic shock: 2007 update from the American
College of Critical Care Medicine. Critical care medicine 2009;37(2):666-88. doi:
10.1097/CCM.0b013e31819323c6
5. James JH, Luchette FA, McCarter FD, et al. Lactate is an unreliable indicator of tissue
hypoxia in injury or sepsis. Lancet 1999;354(9177):505-8. doi: 10.1016/S0140-
6736(98)91132-1
6. Bundgaard H, Kjeldsen K, Suarez Krabbe K, et al. Endotoxemia stimulates skeletal muscle
Na+-K+-ATPase and raises blood lactate under aerobic conditions in humans. Am J
Physiol Heart Circ Physiol 2003;284(3):H1028-34. doi: 10.1152/ajpheart.00639.2002
7. Levraut J, Ichai C, Petit I, et al. Low exogenous lactate clearance as an early predictor of
mortality in normolactatemic critically ill septic patients. Critical care medicine
2003;31(3):705-10. doi: 10.1097/01.CCM.0000045561.85810.45
DO AND DON’T IN TYPHOID FEVER

Kiki MK Samsi

Latar Belakang dan Tujuan


Do and don’t yang dimaksud dalam tulisan ini adalah “rambu-rambu” dalam mewaspadai adanya
“pitfall” dalam menghadapi demam tifoid. Walaupun demam tifoid sudah lama dikenal oleh
klinisi di Indonesia namun ternyata masih terdapat permasalahan atau faktor-faktor yang tidak
terduga dan mempersulit (pitfall) tatalaksana demam tifoid khususnya tatalaksana perawatan di
Rumah Sakit. Dalam makalah ini akan dibahas beberapa rambu rambu untuk mewaspadai pitfall
dalam perawatan demam tifoid yang meliputi pitfall dalam diagnosis dan tatalaksan komplikasi.

Pitfall dalam Diagnosis


Dalam praktek sehari-hari tidak jarang kita mendiagnosis pasien sebagai penderita demam tifoid
namun setelah pemberian obat 1-2 hari panas sudah turun (hal ini menunjukkan respons klinis
yang tidak sesuai dengan demam tifoid). Tidak jarang pula penderita yang didiagnosis demam
tifoid setiap kali demam (23x dalam setahun). Sebaliknya beberapa penderita yang dianggap
bukan penderita demam tifoid ternyata menunjukkan gejala tifoid dengan komplikasi. Kejadian-
kejadian ini terjadi akibat adanya ketidak-tepatan anamnesis, pemeriksaasn fisik yang sulit,
pemeriksaan penunjang yang tidak optimal, dan kesalahan interpretasi pemeriksaan penunjang.
Perlu diingat kembali bahwa demam tifoid (severe enteric fever) adalah sindroma klinis
sistemik akibat infeksi Salmonella typhi, yang harus dibedakan dengan enteric fever oleh
salmonellosis lain (demam paratifoid, mild enteric fever), infeksi lokal Salmonella typhi, occult
bakteriemia (sebagian litertur menulis: septicemia), infeksi salmonella asimtomatik, dan infeksi
kronik. Berdasarkan spektrum klinis ini kita dapat simpulkan bahwa untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid harus ada 2 komponen yang terpenuhi yaitu ditemukannya sindroma
klinis enteric fever dan ditemukan bukti kuat adanya infeksi Salmonella typhi baik dari
pemeriksaan kultur (standar baku emas) maupun dari serologi (table 1-2).
Adapun pitfall dalam diagnosis adalah sebagai berikut:
1. Klinisi cenderung untuk mendiagnosis BUKAN DEMAM TIFOID pada penderita yang
menunjukkan sindroma klinis enteric fever namun pemeriksaan serologis dan/atau
bakteriologi tidak menunjukkan adanya Salmonella typhi. WHO mendifinisikan penderita
dengan sindroma klinis enteric fever namun laboratorium negatif sebagai penderita DEMAM
TIFOID KLINIS (clinical typhoid fever). Kesalahan dalam pemeriksaan (negatif palsu) dapat
menyebabkan penderita demam tifoid tidak didiagnosis sebagai demam tifoid.
Kesalahan pemeriksaan dapat disebabkan oleh karena waktu pengambilan dan jenis sampel
yang tidak tepat. Sampel darah untuk kultur sebaiknya diambil pada minggu pertama,
sedangkan minggu kedua dan ketiga sampel darah kultur sebaiknya dari feses. Sampel darah
kultur setelah minggu ke tiga sebaiknya menggunakan bahan dari cairan sumsum tulang.
Untuk pemeriksaan serologi seharusnya dilakukan hari ke 5 atau lebih, dilakukan 2 kali
dengan selang waktu 5-7 hari dengan menilai peningkatan nilai serologis, terutama pada
widal nilai negatif apabila tidak terjadi peningkatan 4 kali.
Salah satu faktor penyebab hasil serologi negatif palsu adalah kesalahan orang tua dalam
menentukan lamanya hari sakit. Pemeriksaan serologi baik widal atau IgM anti S.typhi,
memberi hasil yang tepat bila dilakukan hari ke 5 atau lebih. Sehingga bila kita melakukan
pemeriksaan di hari ke-1 sampai hari ke-4 maka hasil negatif yang terjadi sangat mungkin
merupakan negatif palsu. Penting bagi kita untuk memastikan kapan hari pertama sakit, bila
perlu dengan menunjukkan kalender atau meminta orang tua mengingat kejadian lain selain
panasnya pasien (misal: anak saya sakit mulai hari rabu, saya ingat karena seharusnya saya
rapat di Bandung hari Rabu itu, dsb).
Hasil negatif dari kultur S.typhi tidak serta merta berarti tidak ada S.typhi dalam tubuh
penderita. Pemeriksaan bakteriologi dipengaruhi oleh “keberuntungan terambilnya” kuman
saat pengambilan sediaan, ketepatan menentukan tempat pengambilan sediaan, transportasi
dan pengolahan sediaan, dan pengaruh fisik - kimia pada sediaan (missal suhu, antibiotik).
Bahkan pada masa bakteriemia S.typhi, angka keberhasilan kultur hanya 60-80%, artinya
masih ada 20-40% penderita demam tifoid dengan hasil kultur negatif.
2. Penderita yang menunjukkan sindroma klinis enteric fever namun dari bukti infeksi hanya
didapatkan infeksi Salmonella paratyphi tidak jarang dinamakan “gejala demam tifoid”.
Seharusnya didiagnosis sebagai DEMAM PARATIFOID. Umumnya sindroma klinis demam
paratifoid lebih ringan daripada demam tifoid sehingga literature menyebutnya dengan mild
enteric fever atau demam enterik ringan.
3. Penderita dengan hasil laboratorium serologi positif infeksi Salmonella typhi, namun tidak
menunjukan sindroma klinis enteric fever sering didiagnosis sebagai DEMAM TIFOID.
Kondisi ini perlu dipertimbangkan kemungkinan terjadinya positif palsu akibat salah
interpretasi (menentukan nilai positif). Hasil widal positif tidak boleh ditentukan hanya
dengan 1 kali pemeriksaan apalagi dengan nilai yang rendah 1/80–1/160. Perlu penelitian
berkala untuk menentukan berapa angka widal terendah yang dapat dijadikan titik positif.
Hasil positif yang digunakan adalah bila dalam 2 kali pemeriksaan berselang minimal 5-7
hari menunjukkan peningkatan 4 kali.

Tabel 1. Sindroma Klinis Enteric Fever


Demam tifoid pada masa neonatus biasanya terjadi3 hari setelah lahir. Gejala yang sering
timbul adalah muntah, diare dan distensi abdomen. Suhu tubuh bervariasi, tetapi dapat tinggi
mencapai 400C. Tanda lain adalah kejang, hepatomegali, ikterus dan penurunan kesadaran.
Kejadian demam enterik jarang didapatkan pada bayi dan anak usia < 5 tahun. Gejala yang
timbul biasanya ringan, sehingga mempersulit penegakkan diagnosis. Demam ringan dan
rasa lesu/lemah sering kali disalahartikan sebagai viral syndrome pada bayi dengan kultur
S.typhi yang positif. Gejala umum yang sering tampak adalah diare dan gejala infeksi saluran
nafas bagian bawah.
Pada anak usia sekolah dan remaja, gejala timbul secara mendadak. Gejala awal berupa panas
badan remiten yang semakin lama semakin tinggi (membentuk gambaran seperti anak
tangga) pada minggu pertama, kemudian menetap selama minggu kedua dan menurun setelah
minggu ketiga. Gejala lain yang timbul pada hari kedua dan ketiga adalah lesu/lemah, nafsu
makan menurun, nyeri otot, sakit kepala dan nyeri perut yang semakin bertambah sejalan
dengan beratnya perjalanan penyakit. Selama minggu kedua, dapat timbul gangguan status
mental berupa disorientasi, letargi, delirium dan stupor. Pada pemeriksaan fisis didapatkan
bradikardia relatif. Gejala yang sering didapat adalah hepatosplenomegali dan distensi
abdomen disertai tegang abdomen yang difus. Pada hari ketujuh hingga hari kesepuluh, pada
sekitar 50% penderita dapat ditemukan adanya Rose spot (ruam makulopapular) di daerah
dada dan abdomen, biasanya diskret, eritematus dengan diameter 1-5 mm, sedikit menonjol,
hilang pada penekanan dan membentuk kelompok (10-15 lesi). Ruam ini menghilang setelah
2-3 hari dan meninggalkan warna kecoklatan pada kulit. Hasil dari kultur positif S.typhi pada
lesi ini mencapai 60%.
Bila terjadi komplikasi maka manifestasi klinik yang terjadi tergantung dari bentuk
komplikasinya. Bila tidak terjadi komplikasi, gejala tersebut di atas akan membaik dalam 2-4
minggu, tetapi rasa lesu/lemah dan letargi menetap selama 1-2 bulan.

Pitfall dalam Tatalaksana


Tidak semua penderita demam tifoid harus dirawat di Rumah Sakit. Umumnya penderita demam
tifoid masih dapat dirawat di rumah bila kedaan umum baik, pemberian obat optimal, pola makan
terpenuhi dan dapat dilakukan tirah baring. Perawatan di Rumah Sakit diperlukan bagi penderita
dengan komplikasi, keadaan umum yang buruk, penderita usia < 3 bulan, penderita yang
memerlukan pengobatan antibiotika intra vena dan penderita imunodefisiensi.
Pengobatan penderita demam tifoid mencakup tirah baring, pemberian cairan adekuat,
dukungan nutrisi optimal dan pemberian antibiotika. Pitfall dalam perawatan penderita demam
tifoid di Rumah Sakit adalah:
1. Pemilihan antibiotika.
Antibiotika terpilih untuk demam tifoid adalah kloramfenikol. Beberapa klinisi akhir-
akhir ini cenderung untuk langsung memberikan sefalosporin generasi III terutama
seftriakson. Informasi bahwa telah terjadi resistensi yang tinggi terhadap kloramfenikol di
Indonesia merupakan informasi yang tidak tepat. Hingga saat ini, penelitian dari RS Pusat
Pendidikan di banyak daerah di Indonesia masih melaporkan sensitifitas yang baik terhadap
kloramfenikol (70-100%), bahkan laporan departmenmikrobiologi FK UI melaporkan
sensitifitas kloramfenikol masih mencapai 100%. Oleh karena itu UKK Infeksi dan Penyakit
Tropis IDAI masih menganjurkan kloramfenikol sebagai drug of choice / lini pertama
antibiotika untuk demam tifoid.
Selain kloramfenikol, banyak klinisi menggunakan thiamfenikol (metal-sulfonil
kloramfenikol) sebagai pengobatan demam tifoid menggantikan kloramfenikol. Artikel
tentang thiamfenikol yang dimuat dalam majalah international sangat terbatas. Bahkan bila
kita mencari di MEDLINE (pubmed) hanya ada 5 artikel yang memuat hubungan antara
thiamfenikol dengan demam tifoid namun artikel terakhir tahun 1983. Oleh karena itu banyak
ahli yang lebih menganjurkan penggunaan kloramfenikol.
2. Cara pemberian antibiotika
Ada kecenderungan klinisi memilih obat intra vena terutama sefalosporin generasi ke
3 untuk semua pasien demam tifoid yang dirawat. Sebenarnya pemberian kloramfenikol per
oral masih bisa dilakukan terhadap penderita demam tifoid yang dirawat di RS dengan hasil
yang baik. pemberian obat intravena hanya diberikan bila toleransi per oral tidak baik
(gangguan kesadaran atau muntah-muntah) atau bila kita harus memberi lini kedua antibiotika
yaitu sefalosporin generasi 3 misalnya seftriakson.
3. Menentukan respons terapi dan perubahan terapi
Penentuan respons terapi merupakan hal penting dalam menentukan langkah terapi
selanjutnya. Jangan terlalu cepat mengganti terapi terutama antibiotika karena respons terapi
ini juga tergantung dari jenis antibiotika yang diberikan. Perbaikan klinis terjadi setelah
pemberian kloramfenikol 3-5 hari, atau ampisilin 5-7 hari, atau sefalosporin 3-6 hari. Bila
klinis tidak membaik setelah waktu yang seharusnya pertimbangkan untuk mengganti
antibiotika dengan tetap mempertimbangkan kemungkinan tatalaksana pendukung yang tidak
adekuat seperti dukungan nutrisi. Penting juga untuk menentukan perburukan klinis. Sikap
perubahan terapi dapat dilakukan lebih cepat (1-3) hari bila klinis memburuk.
Harus dibedakan penyebab perburukan. Antibiotika diganti bila ada bukti atau
setidaknya dugaan kuat efektifitas antibiotika lini pertama tidak optimal atau gagal. Umumnya
bila lini pertama gagal (ada komplikasi, ada perburukan atau setidaknya gagal menunjukan
perbaikan dalam waktu yg sudah diperkirakan) maka pemberian lini kedua dipilih ceftriason
atau cefotaxim hingga hasil uji resistensi di dapat. Perlu diingat bahwa kegagalan terapi tidak
hanya dipengaruhi oleh resistensi tetapi juga dipengaruhi absorbsi, distribusi, penetrasi,
metabolism dan eliminasi obat
Tabel 2. Obat Antibiotika Untuk Eradikasi Kuman S.typhi
Kloramfenikol 50-75 mg/kgBB/hari, PO, atau 75 mg/kgBB/hari, IV, setiap 6 jam, selama 2
minggu; dosis maks. 3 g/hari
Ampisilin 200 mg/kgBB/hari, IV, setiap 6 jam, selama 2 minggu; dosis maks. 8 g/hari
Amoksisilin 100 mg /kgBB/hari, PO, setiap 4-6 jam, selama 2 minggu
TMP-SMX TMP 10 mg/kbBB/hari + SMX 50 mg/kgBB/hari, PO, setiap 12 jam, selama
2 minggu; dosis maks. TMP 160 mg/12jam + SMX 800 mg/12jam
Seftriakson 50 mg/kgBB/hari, IM, selama 5 hari. untuk keadaan resisten : 100
mg/kgBB/hari, IVatau IM, dosis tunggal atau setiap 12 jam, selama 2
minggu; dosis maks. 4 g/hari
Sefotaksim 150 mg/kgBB/hari, IV, setiap 12 jam, selama 2 minggu; dosis maks. 12
Sefiksim g/hari
Ofloksasin 20 mg/kgBB/hari, PO, setiap 12 jam, selama 8 hari
15 mg/kgBB/hari, PO, selama 2 hari
Dikutip dari Hayani dan Pickering, 1992 dan Clearly, 2000

4.Deteksi dan tatalaksana komplikasi


Monitoring ketat diperlukan untuk memantau tanda awal komplikasi demam tifoid.
Komplikasi demam tifoid dapat terjadi intraintestinal atau ekstraintestinal. Komplikasi demam
tifoid dapat dilihat pada tabel 3. di bawah ini.
Tabel 3. Komplikasi Demam Tifoid
Komplikasi intra intestinal
• Ulkus
• Perforasi usus
• Perdarahan intra abdomen
• Paralisis segmental
• Peritonitis
Komplikasi ektra intestinal
• Pneumonia • Khorea • Sindroma nefrotik
• Bronhitis • Afasia • Nekrosis sumsum tulang
• Miokarditis • Ketulian • Osteomielitis
• Endokarditis • Neuritis optik dan perifer • Arthritis septik
• Meningitis • Hepatitis • Parotitis
• TTIK • Pankreatitis • Orkhitis
• Trombosis serebral • Kolesistitis • Limfadenitis supuratif
• Ataksia serebral akut, • Pielonefritis
Dikutip dari Hayani dan Pickering, 1992; Clearly, 2000

Faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan antibiotika pada komplikasi


demam tifoid adalah kemampuan antibiotika berpenetrasi ke lokasi infeksi. Secara umum,
seftriakson memiliki penetrasi jaringan lebih baik dari pada kloramfenikol, kecuali penetrasi
ke otak kloramfenikol lebih baik dari pada seftriakson. Sebaliknya kemampuan penetrasi
ampisilin ke duktus empedu lebih baik bila dibandingkan kloramfenikol ataupun seftriakson,
dan menjadikan ampisilin iv sebagai pilihan pertama kolesistitis (table 4).
Tabel 3. Penetrasi Beberapa Antibiotika di Jaringan
Antibiotik / Rasio Jaringan:Serum LCS LCS Duktus
(normal) Meningitis bilier
Ampicillin 1% 10% 3000%
Amoxicilin 1% 1% 3000%
Azitromycin <10% <10% > 3000%
Cefepime 1% 15% 10%
Cefixime <10% <10% 800%
Cefoperazone 1% 10% 1200%
Cefotaxime 1% 10% 75%
Ceftazidime 1% 20% 50%
Ceftriaxone 1% 10% 500%
Chloramphenicol 90% 90% 0%
Meropenem 10% 15% 40-75%
Dikutip dari Cunha 2010

Pemberian antibiotika tidak jarang menimbulkan gejala yang menyerupai


perburukanklinis. Pada anak besar seringkali dijumpai efek sampingseftriakson berupa shock
like, maka sebaiknya diberikan melalui drip (infus dalam NaCl 09% 100 ml).
Sebagai tambahan terhadap terapi antibiotika, pemberian deksametason jangka pendek
dengan dosis awal 3 mg/kgBB diikuti 1 mg/kgBB setiap 6 jam selama 48 jam, menghasilkan
peningkatan angka kemungkinan hidup pada penderita demam tifoid dengan syok,
obtundation, stupor, atau koma. Pemberian deksametason ini tidak meningkatkan insiden
komplikasi bila terapi antibiotika cukup adekuat (Clearly, 2000).
Terapi suportif dan menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit perlu diperhatikan.
Bila terjadi perdarahanintra abdomen yang berat perlu diberikan tranfusi darah segar.
Tindakan bedah diperlukan bila terjadi perforasi usus. Selain itu perlu dipertimbangkan
pemberian tranfusi trombosit pada keadaan trombositopenia berat yang dapat menimbulkan
perdarahan intra abdomen atau bila diperlukan tindakan bedah.
Kematian pada demam tifoid dapat disebabkan oleh gangguan sistem pernafasan
(pneumonia), gangguan sistem sirkulasi (seperti syok kardiogenik, syok sepsis atau syok
hipovolemik), dan gangguan sistem saraf (meningitis, meningoensefalitis, ensefalopati)
(Hayani dan Pickering, 1992; Clearly, 2000). Kurang kewaspadaan dalam menentukan
mekanisme komplikasi dapat berakibat fatal. Saat penderita demam tifoid mengalami syok,
maka kita jangan hanya menganggap syok terjadi akibat perdarahan atau sepsis saja yang
artinya kita akan memberikan cairan dalam volume besar sesuai standard tatalaksana syok.
Perlu diingat bahwa demam tifoid dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi dan berlanjut
menjadi syok kardiogenik yang justru akan mengalami perburukan bila mendapat kelebihan
cairan. Observasi ketat dan penilaian ulang perjalanan penyakit dapat menghindarkan situasi
seperti ini.
Penderita demam tifoid berat sering menunjukan adanya gangguan kesadaran seperti
obtundated atau delirium, kondisi ini harus dapat ditentukan mekanismenya karena bisa
disebabkan oleh gangguan keseimbangan elektrolit, meningitis, psikosis, ataupun koma
hepatikum akibat severe hepatitis typhosa. Masing-masing mekanisme memiliki prinsip
pengobatan berbeda. Pemeriksaan fisik dan penunjang yang optimal dapat mengurangi risiko
pengobatan yang salah.
5.Memulangkan pasien dan menghentikan pengobatan
Pasien demam tifoid ringan-sedang yang dirawat, dapat dipulangkan setelah 2-3 hari
bebas panas. Sedangkan penderita demam tifoid berat sebaiknya dirawat hingga komplikasi
dapat diatasi atau setidaknya 5 hari bebas demam.
Lamanya pengobatan tergantung dari jenis antibiotika (table 2) ataupun respons klinis.
Untuk penderita karier kronik, dianjurkan pemberian ampisilin atau amoksisilin ditambah
probenesid (dosis awal 25 mg/kgBB ditingkatkan menjadi 40 mg/kgBB/hari, po, setiap 6 jam)
atau TMP-SMX selama 4-6 minggu. Dalam keadaan disfungsi saluran empedu (kolesistitis
atau kolelitiasis) diperlukan tindakan kolesistektomi selama pemberian antibiotika (Clearly,
2000).

Daftar Pustaka
1. Clearly TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-16. Philadelphia: W.B.Saunders, 2000;842-8.
2. Cunha BA. Antibiotic Essential edisi ke 10. Sudbury: Jones and Barleets, 2010
3. Hayani KC, Pickering LK. Salmonella infections. Dalam: Feigen RD, Cherry JD, penyunting.
Textbook of pediatric infectious diseases; edisi ke-3. Philadelphia: W.B. Saunders, 1992;620-
36.
4. Nagshetty K , Channappa CT and Gaddad SM. Antimicrobial susceptibility of Salmonella
Typhi in India. J Infect Dev Ctries 2010; 4(2):070-073
5. Steele RW. Clinical Handbook of pediatric infectious disease, edisi ke-3. New Orleans:
Informa Health care, 2007.
6. WHO. Background document:The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever.
WHO, 2003. www.who.int/vaccines-documents/. Ordering code: WHO/V&B/03.07
7. Ley et al.. Evaluation of the Widal tube agglutination test for the diagnosis of typhoid fever
among children admitted to a rural hdospital in Tanzania and a comparison with previous
studies. BMC
8. Infectious Diseases 2010, 10:180. http://www.biomedcentral.com/1471-2334/10/180
STUNTING : WHAT SHOULD WE DO ?
Aman B. Pulungan
Orangtua selalu khawatir tentang pertumbuhan anaknya dan sering bertanya-tanya
berapa tinggi anaknya kelak setelah dewasa. Kekhawatiran tersebut semakin
bertambah bila anak tampak lebih pendek dibanding teman-teman sebayanya.
Berbagai upaya pun ditempuh untuk menambah tinggi badan sang anak. Walaupun,
sering sekali ternyata tinggi anak tersebut dalam kisaran normal potensi genetik.

Ketika anak mulai memperluas lingkup interaksi sosialnya, pencapaian keberhasilan


dalam lingkungan akan ditunjang oleh sikap percaya diri. Salah satu yang dapat
menganggu rasa percaya diri seorang anak adalah penampilan fisik, antara lain
perawakan pendek. Sebenarnya perawakan pendek tidak perlu menyebabkan
gangguan rasa percaya diri mengingat beberapa tokoh dunia juga pendek, misalnya
Napoleon Bonaparte. Namun demikian, keadaan tersebut dapat mengakibatkan
seorang anak frustrasi karena berkurangnya bermacam kesempatan akibat tinggi
tubuhnya.

Pertumbuhan merupakan indikator sensitif kesehatan anak, status nutrisi dan latar
belakang genetiknya. Perawakan tubuh, dalam hal ini tinggi badan sangat dipengaruhi
oleh faktor genetik, endokrin dan lingkungan. Faktor lingkungan yang paling berperan
dalam pertumbuhan adalah faktor nutrisi, baik nutrisi selama intrauterin maupun
ekstrauterin. Adanya gangguan, hambatan, atau penyimpangan yang terjadi sewaktu-
waktu sepanjang masa pertumbuhan akan sangat merugikan anak. Masa pertumbuhan
bayi dan anak hingga remaja berlangsung dalam fase-fase sebagai berikut.

Fase-fase pertumbuhan
a. Fase bayi (infant)
Pertumbuhan pasca-natal lebih ditentukan oleh faktor genetik dan dipengaruhi
oleh faktor nutrisi, kesehatan, dan keadaan psikis yang baik. Pada dua-pertiga
bayi normal, pertumbuhan mencari kanalisasi genetik akan terjadi pada usia 12-18
bulan. Dalam satu tahun pertama kehidupan, terjadi pertumbuhan sangat cepat dan
bervariasi antara 23-28 cm pertahun. Pada fase ini, hormon pertumbuhan belum
berperan dan peran insulin–like growth factors (IGF) pun belum jelas. Pada bayi
kecil akan terjadi kejar tumbuh (catch up) untuk mencapai keadaan normal dan
mengalami akselerasi pertumbuhan pada 6 bulan pertama setelah kelahiran. Jika
kejar tumbuh tidak terjadi pada fase bayi, maka akan terjadi perawakan pendek.
Pada bayi besar dan panjang yang potensi genetiknya kecil akan cenderung terjadi
perlambatan pertumbuhan (catch down).

b. Fase anak (childhood)


Pada tahun kedua dan ketiga, kecepatan pertumbuhan akan menurun dengan
cepat sekitar 7,5 – 13 cm pertahun. Pada akhir tahun ketiga rata-rata pertumbuhan
akan menetap dan berlanjut hingga fase anak berlangsung. Pada anak sehat,

1
pertambahan tinggi badan 5-6,5 cm pertahun dan biasanya tidak banyak berubah
sampai awal fase pubertas. Pertumbuhan pada masa ini dipengaruhi oleh hormon
pertumbuhan dan tiroid. Selain itu, faktor psikososial juga berperan pada fase ini.

c. Fase pubertas
Pada fase pubertas terjadi dua perubahan yaitu: akselerasi kecepatan tumbuh
tinggi badan yang sangat pesat dan peningkatan maturasi tulang dengan hasil
akhirnya penutupan epifisis. Pacu tumbuh pada fase ini ditentukan oleh interaksi
beberapa hormon yaitu hormon pertumbuhan, IGF-1, dan seks steroid (testosteron
dan estradiol). Rata-rata penambahan tinggi badan terbesar pada perempuan 8,3
cm dan pada laki-laki 9,5 cm pertahun. Pada masa dewasa terdapat perbedaan
tinggi sekitar 13 cm yang disebabkan pertumbuhan pada perempuan lebih cepat
berhenti. Pertumbuhan berhenti jika tulang sudah mencapai maturasi. Tulang
belakang masih akan tumbuh beberapa saat sesudah pertumbuhan tulang panjang
berhenti. Pertumbuhan dikatakan berhenti jika penambahan tinggi badan kurang 1
cm dalam 1 tahun.

Memprediksi tinggi seorang anak


Rumus prediksi tinggi akhir anak sesuai potensi genetiknya berdasarkan data tinggi
badan orangtua dengan asumsi semuanya tumbuh optimal sesuai potensinya adalah:

Anak perempuan : (tinggi ayah – 13) + tinggi ibu  8,5 cm


2

Anak laki-laki : (tinggi ibu + 13 ) + tinggi ayah  8,5 cm


2

Potensi genetik merupakan kisaran angka target tinggi badan setelah dikurang dan
ditambah 8,5 cm. Idealnya tinggi badan anak sesuai dengan target tinggi badannya
atau dalam kisaran potensi genetiknya.

Pendek atau stunting?


Perawakan pendek bukan merupakan diagnosis klinis. Perawakan pendek merupakan
keadaan tinggi badan seseorang di bawah ukuran normal sesuai umur dan jenis
kelamin, serta mudah diketahui segera. Seorang anak memiliki perawakan pendek
apabila tinggi badan berada di bawah 2 standar deviasi (SD) dari rata-rata populasi,
atau di bawah persentil 3 kurva pertumbuhan sesuai usia dan jenis kelamin.

Berbagai keadaan dapat menyebabkan anak menjadi pendek. Salah satu klasifikasi
penyebab perawakan pendek adalah:
1. Variasi normal perawakan pendek
1.1 Perawakan pendek familial

2
1.2 Constitutional delayed in growth and puberty (CDGP)
1.3 Perawakan pendek idiopatik

2. Gangguan pertumbuhan primer


2.1 Pertumbuhan janin terhambat
2.2 Displasia skeletal
2.3 Sindrom/kelainan kromosom

3. Gangguan pertumbuhan sekunder


3.1 Malnutrisi
3.2 Penyakit kronik

4. Kelainan endokrin
4.1 Defisiensi hormon pertumbuhan (Growth hormone deficiency)
4.2 Defisiensi hormon tiroid
4.3 Diabetes Mellitus
4.4 Kelebihan kortikosteroid

Perawakan pendek turunan (familial) merupakan diagnosis yang paling sering


dijumpai di tempat praktek/klinik. Biasanya keadaan ini ditunjang dengan riwayat
adanya perawakan pendek pada orangtua ataupun keluarga lainnya seperti paman,
bibi ataupun kakek/nenek. Tinggi badan anak berada di bawah rata-rata, akan tetapi
kecepatan tumbuh sesuai untuk umurnya (normal), berat badan akan menyesuaikan
tinggi badan yang tampak juga seolah di bawah normal dan usia tulang sesuai dengan
usianya. Pada masa dewasa, biasanya anak tetap pendek.

Penyebab perawakan pendek lainnya yang sering ditemukan terutama di negara


berkembang adalah malnutrisi. Defisiensi nutrisi yang terjadi secara berkepanjangan
menyebabkan deselerasi kecepatan pertumbuhan akibat defisiensi kalori, protein, dan
nutrien lain yang berperan dalam pertumbuhan seperti kalsium, vitamin D, dan seng.
Asupan kalsium adekuat penting untuk pertumbuhan normal tulang, sedangkan kadar
vitamin D adekuat berfungsi untuk mengoptimalkan absorpsi kalsium di saluran
cerna. Kedua nutrien tersebut saling bekerja sama untuk menjaga pertumbuhan tulang
yang normal.

Menurut WHO, perawakan pendek akibat malnutrisi dan/atau suboptimal health,


disebut stunting. Stunting merupakan indikator masalah status gizi anak akibat
malnutrisi kronis yang terkait keadaan lingkungan dan status sosioekonomi. Di
Indonesia, angka nasional balita stunting berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013 adalah 37,2%. (Gambar 1) Hal tersebut berarti kira-kira 1 dari
setiap 3 anak Indonesia mengalami stunting. Dampak buruk yang ditimbulkan
stunting terutama dalam 1000 hari pertama kehidupan anak bersifat ireversibel. Beban
yang dapat ditimbulkan akibat stunting adalah meningkatnya morbiditas dan

3
penurunan fungsi kognitif yang akan berdampak pada rendahnya performa akademi,
menurunnya produktivitas ekonomi, dan meningkatnya penyakit degeneratif di masa
mendatang. Oleh karena itu, stunting merupakan parameter tingkat kesejahteraan
suatu populasi. Jika di suatu negara banyak ditemukan stunting, maka hal itu
menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan di negara tersebut belum baik.

Gambar 1. Persentase balita dengan tinggi badan menurut umur (TB/U) di bawah
normal berdasarkan provinsi (Riskesdas 2013).

Namun demikian, berdasarkan data Riskesdas 2013, bila dilakukan penggabungan


indikator TB/U dan BB/TB, didapatkan bahwa balita yang mengalami pendek dan
kurus adalah 2.5% (Gambar 2). Balita dengan TB/U dan BB/TB di bawah normal
menunjukkan adanya pendek yang disertai malnutrisi.

4
Gambar 2. Prevalensi status gizi balita menurut gabungan indikator tinggi badan
menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Riskesdas
2013).

Pendekatan diagnosis perawakan pendek atau stunting?


Untuk menghindari pemborosan pemeriksaan serta sebaliknya kemungkinan
terlewatkan diagnosis patologik yang dapat menyebabkan hilangnya kesempatan
untuk meningkatkan tinggi badan, maka langkah awal adalah menentukan apakah
perawakan pendek pada anak merupakan patologis atau normal.

Kriteria awal untuk melakukan pemeriksaan terhadap anak pendek:


1. Tinggi badan terletak di bawah persentil 3 atau di bawah tinggi rata-rata
populasi.
2. Kecepatan tumbuh di bawah persentil 25 kurva kecepatan tumbuh atau kurang
5 cm/tahun pada anak berumur 3 – 10 tahun.
3. Prakira tinggi dewasa di bawah potensi tinggi genetiknya.
4. Kecepatan tumbuh melambat setelah umur 3 tahun dan turun menyilang garis
persentilnya pada kurva panjang/tinggi badan.

Perawakan pendek akibat suboptimal health dan/atau malnutrisi dapat ditapis dengan
pengukuran BB/TB. Pemeriksaan lanjutan yang dapat digunakan untuk mengetahui
penyebab utama perawakan pendek pada anak adalah:

• Pengukuran kadar insulin-like growth factor-I (IGF-I) serum, dan IGFBP-3


o Pemeriksaan ini bermanfaat untuk diagnosis GHD.
o Pasien dengan neoplasma susunan saraf pusat tertentu mungkin cenderung
memiliki kadar faktor pertumbuhan yang normal, terutama saat pubertas.
o Pertimbangkan uji stimulasi untuk fungsi hipofisis pada setiap pasien yang
memiliki fungsi tiroid normal namun dicurigai GHD.
o Interpretasikan konsentrasi serum IGF-I yang rendah dengan teliti oleh
karena keadaan gizi buruk dikaitkan dengan konsentrasi IGF-I yang
rendah.
o Konsentrasi IGFBP-3 serum memiliki spesifisitas yang lebih besar
dibandingkan konsentrasi IGF-I serum dalam diagnosis GHD.
• Kariotipe
o Pola 45,X ditemukan pasien dengan sindrom Turner.
o Oleh karena 10% pasien dengan sindrom Turner mempunyai kariotipe
mosaik (misalnya 45,X; 46,XX), maka pemeriksaan terhadap sedikitnya
30 sel mengecilkan kemungkinan kegagalan dalam identifikasi pasien
dengan sindrom Turner mosaik.
• Mengukur kadar hormon pertumbuhan serum
o Setelah satu bulan pertama kehidupan, GH endogen disekresi dalam sifat
pulsatil. Kadar puncak yang intermiten tersebut paling tinggi setelah

5
latihan fisik, setelah makan (saat kadar glukosa darah menurun), dan
selama tidur dalam. Oleh karena itu, mengukur nilai GH serum sekali dan
sewaktu saja tidak bermanfaat dalam evaluasi anak yang pendek.
• Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan:
o Pemeriksaan darah lengkap untuk penyakit hematologi.
o Laju endap darah.
o Kadar tiroksin serum total (T4 total) dan tirotropin (TSH) untuk
hipotiroidisme.

Tata laksana
Setiap anak dengan perawakan pendek harus diketahui penyebabnya dan keluarga
perlu dijelaskan mengenai potensi normal pertumbuhan seorang anak sesuai dengan
potensi genetiknya. Sebagian kasus tidak perlu langsung diterapi dan dapat ditata
laksana hanya dengan pemantauan berkala, namun sebagian kasus yang jelas
penyebabnya dapat diterapi sesuai penyebabnya.

Kasus yang jelas penyebabnya seperti perawakan pendek akibat malnutrisi dan
penyakit kronis harus segera diobati sesuai penyebabnya. Begitupun dengan
perawakan pendek akibat kelainan endokrin antara lain seperti GHD dan defisiensi
hormon tiroid dapat segera diobati.

Untuk perawakan pendek yang tidak diketahu penyebabnya (idiopatik) akhir-akhir ini
banyak senter yang juga memberikan hormon pertumbuhan untuk perawakan pendek
idiopatik dengan hasil yang bervariasi. Penelitian terakhir di Belanda, hormon
pertumbuhan diberikan pada kelompok anak perawakan pendek idiopatik, hasilnya
dapat menambah tinggi akhir anak 7 cm dari tinggi sebelumnya.

Kesimpulan
Perawakan pendek merupakan masalah klinis anak dan remaja yang sering dijumpai
yang dapat merupakan variasi normal atau gangguan pertumbuhan. Pendek
merupakan suatu gejala, bukan suatu penyakit. Jadi pendek ini dapat merupakan
bagian dari penyakit lain.

Setiap anak yang pertumbuhannya melambat, turun dari garis persentil kurvanya
setelah umur 3 tahun, tinggi badan di bawah persentil 3 atau jelas di bawah potensi
genetik dapat dicurigai sebagai gangguan pertumbuhan dan harus segera
ditindaklanjuti.

Tidak semua anak dengan perawakan pendek dikategorikan sebagai stunting. Deteksi
gangguan pertumbuhan dapat dilakukan dengan pengukuran panjang/tinggi dan berat
badan secara berkala sesuai rekomendasi. Tindakan terpenting yang harus dilakukan
orang tua dan tenaga kesehatan adalah deteksi dini. Hal ini dilakukan dengan
pengukuran panjang/tinggi dan berat badan secara berkala, setiap bulan untuk anak

6
berusia 1 tahun, 3 bulan sampai umur 3 tahun dan 6 bulan atau minimal setiap tahun
untuk anak yang lebih besar. Bila terlambat didiagnosis dan tata laksana, maka anak
dengan perawakan pendek akan gagal mencapai potensi tinggi genetiknya sehingga
tinggi akhir dewasanya pendek.

*Makalah ini sudah pernah ditampilkan dalam PKB Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM tahun 2015

Daftar Pustaka
1. Pulungan AB, Delemarre HA. Management of growth disorders. Paediatr
Indones. 2002;42:225-38
2. Cole TJ. The secular trend in human physical growth: a biological view. Econ
Hum Biol. 2003;1:161-8.
3. Gerver WJ, De Bruin R. Relationship between height, sitting height and
subischial leg length in Dutch Children: Presentation of normal values. Acta
Paediatr. 1995;84:532-35
4. Gerver WJM, De Bruin R. Pediatric Morphometric: a reference manual.
Maastricht: University Press Maastricht;2001.
5. Kalberg J. On the construction of the infancy-Childhood-Puberty growth
standard. Acta Paed Scan. 1989:26–37.
6. Tanner JM. Foetus into man. Physical growth from conception to maturity.
London: Open Book Publishing Ltd;1978.
7. Tanner JM. Growth as a mirror of condition of society. Dalam: Demirjian A,
penyunting. Secular trends and class distintions: human growth-a
multidisciplinar review. London: Taylor and Francis;1986.
8. De Muink Keizer-scharma SMPF, Boukes FS, Oosdijk W, Rikken B.
Diagnostiek kleine lichaamslengte bij kinderen. Uitkomsten CBO
Consensusbijeenkomst;1998
9. Rosenfeld RG, Cohen P. Disorders of Growth Hormone/Insulin-like Growth
Factor Secretion and action. Dalam: Sperling MA, penyunting. Pediatric
Endocrinology. Edisi 3. Philadelphia: Saunders, 2008; 254-334.
10. Lem AJ, Jobse I, van der Kaay DC, de Ridder MA, Raat H, Hokken-Koelega
AC. Health-related quality of life in short children born small for gestational
age: effects of growth hormone treatment and postponement of puberty. Horm
Res Paediatr. 2012;77:170-9.
11. Geisler A, Lass N, Reinsch N, Uysal Y, Singer V, Ravens-Sieberer U dkk.
Quality of life in children and adolescents with growth hormone deficiency:
association with growth hormone treatment. Horm Res Paediatr. 2012;78:94-
9.
12. Cowell, CT. The short child. Dalam: Brook, C. G., penyunting. Clinical
paediatric endocrinology. Edisi ke-3. Oxford: Blacwell; 1995. h.136-72.
13. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta.

7
14. Hari Kumar K., Baruah MM. Nutritional endocrine disorders. J Med Nutr
Nutraceut. 2012;1:5-8.
15. Portale, A. A., Miller, W. L. Hereditary defects in vitamin D metabolisme and
function. Dalam: Pescovitz, O. H., Eugster, E. A., penyunting. Pediatric
Endocrinology: Mechanism, manifestations and management. Edisi ke-
Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins; 200. h.
16. Lango Allen H, Estrada K, Lettre G. Hundreds of variants clustered in
genomic loci and biological pathways affect human height. Nature.
2010;467:832-8.
17. Cianfarani S, Germani LD. IGF-1 and IGFBP-3 assesment in the management
of childhood onset growth hormone deficiency. Endocr Dev Basel. 2005;9:66-
75.
18. Wit JM, van Duyvenvoorde HA, Scheltinga SA, de Bruin S, Hafkenscheid L,
Kant SG. Genetic analysis of short children with apparent growth hormone
insensitivity. Horm Res Paediatr. 2012;77:320-33.
19. Jacob T, Indriati E, Soejono RP, Hsu K, Frayer DW, Eckhardt RB dkk.
Pygmoid Australomelanesian Homo sapiens skeletal remains from Liang Bua,
Flores: population affinities and pathological abnormalities. Proc Natl Acad
Sci U S A. 2006;103:13421-6.
20. Tommaseo-Ponzetta M, Mona S, Calabrese F, Konrad G, Vacca E,
Attimonelli M. Mountain pygmies of Western New Guinea: a morphological
and molecular approach. Hum Biol. 2013;85:285-308.
21. Migliano AB, Vinicius L, Lahr MM. Life history trade-offs explain the
evolution of human pygmies. Proc Natl Acad Sci U S A. 2007;104:20216-9.
22. Merimee TJ, Rimoin DL, Cavalli-Sforza LL. Metabolic studies in the African
pygmy. J Clin Invest. 1972;51:395-401.
23. Meazza C, Pagani S, Bozzola M. The pygmy short stature enigma. Pediatr
Endocrinol Rev. 2011;8:394-9.
24. Davila N, Shea BT, Omoto K, Mercado M, Misawa S, Baumann G. Growth
hormone binding protein, insulin-like growth factor-I and short stature in two
pygmy populations from the Philippines. J Pediatr Endocrinol Metab.
2002;15:269-76.

8
PENGARUH GADGET TERHADAP TUMBUH KEMBANG
ANAK BALITA

Ahmad Suryawan

PENDAHULUAN

Modernitas teknologi saat ini menimbulkan konsekuensi dalam pola pengasuhan anak. Bayi,
anak balita dan pra-sekolah saat ini tumbuh dan berkembang dalam suasana variasi
lingkungan tradisional dan teknologi tinggi yang menawarkan berbagai kemudahan dan
kecepatan dalam menyerap informasi dari lingkungan. (Kabali et al., 2015). Namun
demikian, harapan adanya potensi positif yang bersifat mempercepat pendidikan anak dari
penggunaan media teknologi tinggi, juga disertai dengan kekhawatiran adanya potensi negatif
tentang pengaruh penggunaan media yang berlebihan terhadap perkembangan otak anak di
masa periode kritis pada usia dini. Sementara itu, meskipun riset tentang permasalahan
tersebut masih terbatas. (AAP, 2016a dan 2016b)

Rekomendasi yang diberikan para ahli dengan didasarkan atas studi yang ada tentang
potensi manfaat dalam edukasi dan juga potensi kekhawatiran pengaruh negatif terhadap
kesehatan dan tumbuh kembang dari penggunaan media teknologi di masa anak usia 0-5
tahun, seperti TV, video, teknologi mobile atau yang dikenal secara luas dengan istilah
gadget. Rekomendasi tersebut dapat digunakan oleh dokter dan orangtua sebagai petunjuk
atau pedoman dalam mengelola penggunaan media untuk anak, seperti dalam hal:
pembatasan waktu penggunaan, pemilihan konten yang berkualitas, pentingnya interaksi
orangtua-anak dalam hal penggunaannya, dan pemberian kesempatan yang cukup agar anak
masih terlibat dalam berbagai aktivitas yang sehat untuk tumbuh kembangnya (AAP, 2016a;
Reid, 2016).

Pada makalah ini, istilah “gadget” kami perluas dengan menggunakan istilah
“media”, yaitu segala peralatan elektronik teknologi tinggi yang mempunyai layar tayang
yang memungkinkan untuk diberikan ke anak sebagai sarana interaksi atau bermain.
Sehingga istilah “media” di dalam makalah ini juga termasuk TV, video, HP, tablet dan
perangkat mobile lainnya yang dikenal dengan isitlah “gadget”

BAYI DAN ANAK DIBAWAH 2 TAHUN


Otak bayi dan anak usia kurang dari 2 tahun masih mempunyai kemampuan yang masih
imatur untuk dapat mengenali berbagai simbol, menyimpan memori, dan kemampuan atensi,
sehingga mereka tidak mempunyai kemampuan belajar dari media tradisional, seperti TV,
dibandingkan bila mereka berinteraksi langsung dengan pengasuh. Perkembangan
kemampuan anak berusia dibawah 2 tahun dalam hal motorik, bicara-bahasa, kognitif, dan
emosi-sosial, membutuhkan eksplorasi dan interaksi sosial secara langsung dengan orangtua
atau pengasuh sehari-hari. (Anderson, 2005). Selain itu, otak mereka juga mempunyai
kemampuan yang terbatas untuk mentransfer pengetahuan mereka dalam bentuk tiga dimensi
(Barr, 2013). Studi membuktikan bahwa penggunaan media komersial untuk memfasilitasi
proses belajar anak berusia dibawah 3 tahun (dimulai pada usia sekitar 15 bulan) harus
melalui cara interaksi bersama dengan orangtua dan kemudian orangtua mengajarkan materi
dalam media tersebut secara berulang-ulang (DeLoache, 2010; Richert, 2010).

Saat ini banyak orangtua yang menggunakan video-chat (mis; FaceTime, Skype, dsb)
sebagai media interaktif untuk berkomunikasi dengan keluarga lainnya yang berjauhan
lokasi. Keterlibatan bayi dan anak usia dibawah 2 tahun dalam aktivitas video-chat, yang
harus secara interaktif bersama orangtua, ternyata dapat meningkatkan kemampuan untuk
mengerti terhadap apa yang mereka lihat (McClure, 2016).

Penggunaan media berfasilitas layar sentuh (touchscreen) umumnya digunakan untuk


mengidentifikasi akurasi respons dari anak terhadap apa yang sudah diajarkan sebelumnya.
Studi membuktikan bahwa anak berusia 24 bulan mempunyai kemampuan belajar berbagai
kata-kata baru dari aktivitas bermain yang menggunakan media layar sentuh (Kirkorian,
2016) dan juga dari kegiatan live video-chatting (Roseberry, 2014). Meskipun demikian, anak
yang sejak berusia 15 bulan dapat belajar kata-kata baru dari media layar sentuh yang
diajarkan kepadanya, akan tetapi mereka ternyata masih mempunyai kesulitan dalam
mentransfer kemampuannya tersebut ke dalam bentuk 3-dimensi (Zack, 2013).

Para ahli menyimpulkan bahwa manfaat positif dari penggunaan media digital untuk
membantu proses belajar bagi bayi dan anak berusia dibawah dua tahun masih belum terbukti
dengan cukup jelas. Untuk itu orangtua diharapkan tetap mengutamakan interaksi sosial
secara langsung dengan anak, dan mewaspadai dampak negatif dari penggunaan media yang
berlebihan untuk anaknya.

ANAK USIA PRA-SEKOLAH


Orangtua harus mengetahui bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi dan berbagai fungsi
eksekutif yang penting untuk kesuksesan sekolah, seperti: ketekunan, kontrol reaksi, regulasi
emosi, kreatifitas, dan daya pikir yang fleksibel, sebaiknya diajarkan melalui kegiatan
bermain secara sosial dan tidak terstruktur, dan juga dalam bentuk interaksi orangtua-anak
yang bersifat responsif (Shaheen 2014; Blair, 2011).

Sebagian besar program aplikasi media digital didalam apps-store dengan kategori
“bernilai edukasi” untuk anak-anak pra-sekolah, ternyata tidak mempunyai efikasi yang
berbasis bukti, hanya bertujuan meningkatkan kemampuan akademik secara hapalan, tidak
berdasarkan pada kurikulum yang sudah ditetapkan, dan tidak melibatkan pendapat para ahli
perkembangan anak atau para pendidik. Sebagian besar program aplikasi tersebut juga tidak
dirancang untuk interaktif antara orangtua dan anak (Hirsh-Pasek, 2015).

Namun demikian, beberapa program TV yang dirancang dengan mengutamakan


kualitas tinggi untuk anak, seperti misalnya program “Sesame Street”, ternyata dapat
meningkatkan kemampuan kognitif, literasi, dan emosi-sosial anak berusia 3-5 tahun.
Program-program tersebut saat ini terus diupayakan dikembangkan untuk menjawab
kekhawatiran tentang dampaknya terhadap kesehatan dan perkembangan anak, seperti
kekhawatiran akan obesitas dan gangguan ketahanan tubuh anak (Anderson 2001; Christakis
2013).

Studi juga membuktikan bahwa penggunaan media dalam bentuk buku digital atau
eBook (buku yang dibaca pada layar) untuk anak, efek visual pada layar berpotensi dapat
menurunkan tingkat pemahaman akan konten yang dibaca dan juga menurunkan daya
interaksi dialogis antara orangtua dan anak (Bus, 2015). Untuk itu orangtua dihimbau agar
tetap mengadalan interaksi dengan anak bila menggunakan media eBook seperti halnya
mereka membacakan buku versi cetak ke anaknya.

KEKHAWATIRAN PADA ASPEK KESEHATAN DAN PERKEMBANGAN ANAK

OBESITAS
Penggunaan media yang berlebihan pada anak berusia pra-sekolah mempunyai hubungan
dengan peningkatan signifikan dari BMI, dan juga peningkatan berat badan pada masa usia
anak selanjutnya (Cox, 2012; Taveras, 2013; Suglia, 2013). Beberapa studi memang sudah
menggunakan batas penggunaan media selama 2 jam sebagai titik cutoff untuk menilai risiko
obesitas, namun ternyata masih didapatkan hasil adanya peningkatan BMI untuk setiap jam
per minggu dari penggunaan media (Wen, 2014). Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh
adanya paparan iklan makanan dan penggunaan media selama anak makan (Mazarello, 2015;
Bellissimo, 2007).

Pola Tidur
Peningkatan durasi paparan media, seperti TV, komputer, tablet, atau HP di dalam kamar
tidur anak, mempunyai kaitan dengan menurunnya durasi tidur per malam (Cespedes, 2014).
Bahkan pada bayi yang terpapar layar media pada jam-jam malam menunjukkan durasi lama
tidur malam yang signifikan lebih pendek dibandingkan bayi yang tidak terpapar layar media
pada jam malam hari (Vijakkhana, 2015). Hal tersebut disinyalir disebabkan oleh pengaruh
konten materi dalam media tersebut dan supresi melatonin endogen oleh emisi cahaya biru
yang dikeluarkan oleh layar media (Garrison, 2011; Salti, 2006).

Perkembangan Anak
Berbagai studi komunitas tetap konsisten menunjukkan adanya keterkaitan antara lamanya
durasi penggunaan media yang berlebihan di masa anak usia dini dengan gangguan kognitif
(Tomopoulos, 2010; Schmidt, 2009; Lin, 2015), gangguan bicara-bahasa (Zimmerman, 2007;
Duch, 2013), gangguan sosial-emosi (Tomopoulos, 2007; Hinkley, 2014; Pagani, 2010;
Conners-Burrow, 2011), yang nampaknya disebabkan sekunder karena penurunan interaksi
antara orangtua dan anak pada saat menggunakan media dan memburuknya fungsi keluarga
di dalam rumah tangga dengan waktu penggunaan media yang sangat tinggi (Christakis
2009).
Beberapa faktor disinyalir menjadi prediktor indipenden signifikan terhadap buruknya
fungsi eksekutif anak usia pra-sekolah, antara lain: sedini apa usia awal dikenalkan media,
durasi total jam lamanya penggunaan media, dan konten materi didalam media tersebut
(Nathanson 2014). Konten atau isi program di dalam media sangatlah penting, karena studi
membuktikan bahwa perubahan konten dari yang berisi kandungan materi kekerasan ke
konten materi yang lebih bersifat edekuatif dapat menghasilkan perbaikan yang signifikan
gejala-gejala perilaku anak (Christakis, 2013).

Kualitas pengasuhan dari orangtua juga mempunyai pengaruh besar dalam


memodifikasi dampak negatif penggunaan media terhadap perkembangan anak. Studi
membuktikan bahwa konten materi yang tidak mendidik ditambah dengan kualitas
pengasuhan yang inkonsisten, secara kumulatif akan berdampak negatif terhadap fungsi
eksekutif anak pra-sekolah. Sebaliknya bila kualitas pengasuhan orangtua yang hangat
ditambah dengan konten materi media yang mendidik maka akan menghasilkan manfaat
positif tambahan dari penggunaan media (Linebarger, 2014).

Karakteristik perkembangan anak juga terkait dengan durasi lamanya anak


penggunaan media. Bayi dan anak yang menonton TV dengan lama durasi yang berlebihan
akan mempunyai temperamen yang lebih sulit (Thompson, 2013; Sugawara, 2015), problem
regulasi dan pengendalian diri (Radesky, 2014a), dan gangguan sosial-emosional bila
diberikan gadget dalam rangka untuk membuat anak diam (Radesky, 2016).

PENGGUNAAN MEDIA OLEH ORANGTUA SENDIRI


Orangtua pengguna media dapat menurunkan interaksi orang-tua dan pola bermain dengan
anak (Kirkorian, 2009; Schmidt, 2008). Orangtua yang sangat sering menggunakan perangkat
mobile atau gadget dapat berdampak pada berkurangnya interaksi verbal dan non-verbal dan
lebih sering mengalami periode konflik dengan anak (Radesky, 2015; Radesky, 2014b).
Faktor orangtua pengguna media merupakan faktor prediktor yang kuat terhadap kebiasaan
anak untuk menggunakan media, sehingga dengan mengurangi penggunaan media oleh
orangtua sendiri akan berdampak positif terhadap kualitas interaksi dengan anak dan faktor
yang sangat menentukan untuk dapat merubah perilaku anak (Jago, 2012).

IMPLIKASI KLINIS
Kekhawatiran akan penggunaan media digital (apapun jenis dan macamnya) yang berlebihan
terhadap kesehatan dan semua aspek perkembangan anak, terus saja terjadi hingga saat ini.
Berdasarkan bukti ilmiah yang cukup, maka para ahli memberikan rekomendasi untuk
melakukan pembatasan lamanya durasi penggunaan media untuk anak usia 2-5 tahun tidak
lebih dari 1 jam per-hari supaya memberi kesempatan anak mempunyai waktu yang cukup
untuk melakukan interaksi dan berbagai beraktivitas yang sehat untuk mendukung tumbuh
kembangnya, serta untuk mendidik anak agar mempunyai kebiasaan menggunakan media
secara baik agar terhindar dari risiko obesitas di kemudian hari (AAP, 2016a dan 2016b;
Reid, 2016).
Permasalahan penggunaan media digital teknologi tinggi ini di masa depan akan terus
menggema (Altenburg, 2016; Wu, 2016), sehingga dokter anak dituntut dapat mendampingi
dan memberi petunjuk kepada orangtua tidak hanya mengenai pembatasan durasi dan konten
materi saja, tetapi juga beberapa hal di bawah ini, antara lain:
1. Mengkreasi waktu dan ruang tertentu di dalam rumah yang anak terbebas dari
penggunaan media elektronik
2. Kecanggihan teknologi media hendaknya digunakan untuk meningkatkan kreativitas
dalam bersosialisasi.
3. Pentingnya untuk menjaga agar penggunaan media tidak menggusur aktivitas tidur,
olahraga dan bermain, membaca bersama, dan interaksi sosial.
4. Akan lebih baik lagi, bila dokter anak juga mengetahui cara membimbing orangtua
dalam hal menemukan informasi tentang konten materi yang sesuai dengan anaknya,
cara memantau dan mengadakan pembatasan, mengkreasi ide bentuk permainan dan
kegiatan anak selain menggunakan media, dan cara-cara orangtua untuk membatasi
penggunaan media untuk dirinya sendiri. Sebagai contoh di negara USA, dokter anak
dapat menganjurkan orangtua untuk mengakses Family Media Use Plan yang dibuat
oleh American Pediatrics Academy melalui situs
www.healthychildren.org/MediaUsePlan.

REKOMENDASI

Rekomendasi regulasi penggunaan gadget diusia balita telah diberikan oleh AAP dengan
beberapa revisi dibandingkan rekomendasi sebelumnya (AAP, 2016a; Reid, 2016)

Untuk Dokter Anak

• Berdiskusi dengan orangtua untuk mengetahui penggunaan media dalam keluarga,


kebiasaan anak untuk menggunakan media, dan lokasi penggunaan media
• Membantu orangtua mengembangkan sebuah “perencanaan penggunaan media” untuk
setiap anak dan juga untuk orangtua sendiri
• Memberikan edukasi kepada orangtua tentang perkembangan otak anak usia dini dan
pentingnya interaksi sosialisasi langsung dengan anak yang bersifat hands-on dan tidak
terstruktur, untuk membentuk kemampuan bicara, kognitif, dan sosial-emosi anak.
• Untuk orangtua anak berusia <18 bulan: doronglah orangtua untuk tidak menggunakan
media untuk anaknya, kecuali dalam bentuk video-chatting.
• Untuk orangtua anak berusia 18-24 bulan: berikan nasehat tentang tatacara mengenalkan
media untuk anaknya:
o Hanya memilih konten program yang berkualitas untuk anak
o Hendaknya dimainkan bersama orangtua sehingga anak dapat mengetahui cara
terbaik untuk menggunakannya
o Hindarkan anak menggunakan media sendirian tanpa pendampingan orangtua
• Untuk orangtua anak berusia > 24 bulan:berikan nasehat tentang tatacara mengenalkan
media untuk anaknya:
o Batasi penggunaan media tidak lebih dari 1 jam per hari
o Hanya memilih konten program yang berkualitas untuk anak
o Hendaknya dimainkan bersama orangtua untuk meningkatkan proses belajar
anak, memperbanyak interaksi, dan mengatur pembatasan waktu penggunaan
media
o Jangan mengunakan media selama proses makan, dan pada 1 jam sebelum
waktunya tidur
o Mempunyai berbagai alternatif aktivitas lain dalam rangka membatasi waktu
penggunaan media, belajar memecahkan masalah, dan untuk menenangkan
perilaku anak.

Untuk Orangtua dan Keluarga


• Hindari penggunaan media pada anak berusia kurang dari 18-24 bulan, kecuali dalam
bentuk video-chating
• Bila ingin mengenalkan media digital untuk anak berusia 18-24 bulan, pilihlah hanya
program yang berkualitas untuk anak, gunakanlah secara interaksi dengan anak, dan
jangan membiarkan anak menggunakannya sendirian.
• Untuk anak berusia 2-5 tahun, batasi penggunaan media tidak lebih dari 1 jam per hari,
dan hanya memberikan konten materi yang berkualitas, dilakukan dengan cara interaksi
bersama orangtua untuk anak mengerti terhadap apa yang mereka lihat dan membantu
anak untuk mengaplikasikannya dalam dunia kehidupan sehari-hari. Hindarkan anak dari
konten materi yang terlalu banyak distraksi, dan konten materi kekerasan
• Matikan semua TV dan perangkat media bila sedang tidak digunakan
• Jangan menggunakan media dengan tujuan untuk menenangkan perilaku anak.
• Berupaya agar kamar tidur, waktu saat makan, dan waktu bermain dengan anak, semuanya
terbebas dari penggunaan media layar elektronik.

Daftar Pustaka

AAP COUNCIL ON COMMUNICATIONS AND MEDIA. Media and Young


Minds. Pediatrics 2016a;138(5):e20162591.
AAP COUNCIL ON COMMUNICATIONS AND MEDIA. Media Use in School-
Aged Children and Adolescents. Pediatrics 2016b;138(5):e20162592
Altenburg TM, Holthe JK, Chinapaw MJM. Effectiveness of intervention strategies
exclusively targeting reductions in children’s sedentary time: a systematic review of the
literature. Int J Behavior Nut and Phys Act 2016;13(65):1-18.
Anderson DR, Huston AC, Schmitt KL, Linebarger DL, Wright JC. Early childhood
television viewing and adolescent behavior: the recontact study. Monogr Soc Res Child Dev
2001;66(1):I–VIII, 1–147
Anderson DR, Pempek TA. Television and very young children. Am Behav Sci
2005;48(5):505–522
Barr R. Memory constraints on infant learning from picture books, television, and
touchscreens. Child Dev Perspect 2013;7(4):205–210
Bellissimo N, Pencharz PB, Thomas SG, Anderson GH. Effect of television viewing
at mealtime on food intake after a glucose preload in boys. Pediatr Res. 2007;61(6):745–749
Blair C, Granger DA, Willoughby M, et al; FLP Investigators. Salivary cortisol
mediates effects of poverty and parenting on executive functions in early childhood. Child
Dev 2011;82(6):1970–1984
Bus AG, Takacs ZK, Kegel CA. Affordances and limitations of electronic storybooks
for young children’s emergent literacy. Dev Rev 2015;35:79–97
Cespedes EM, Gillman MW, Kleinman K, Rifas-Shiman SL, Redline S, Taveras EM.
Television viewing, bedroom television, and sleep duration from infancy to mid-childhood.
Pediatrics. 2014;133(5):e1163
Christakis DA, Garrison MM, Herrenkohl T, et al. Modifying media content for
preschool children: a randomized controlled trial. Pediatrics 2013;131(3):431–438
Christakis DA, Gilkerson J, Richards JA, et al. Audible television and decreased adult
words, infant vocalizations, and conversational turns: a populationbased study. Arch Pediatr
AdolescMed 2009;163(6):554–558
Conners-Burrow NA, McKelvey LM, Fussell JJ. Social outcomes associated with
media viewing habits of lowincome preschool children. Early EducDev 2011;22(2):256–273
Cox R, Skouteris H, Rutherford L, Fuller-Tyszkiewicz M, Dell’ Aquila D, Hardy LL.
Television viewing, television content, food intake, physical activity and body mass index: a
cross-sectional study of preschool children aged 2-6 years. Health Promot J Austr
2012;23(1):58–62
DeLoache JS, Chiong C, Sherman K, et al. Do babies learn from baby media? Psychol
Sci 2010;21(11):1570–1574
Duch H, Fisher EM, Ensari I, et al. Association of screen time use and language
development in Hispanic toddlers: a cross-sectional and longitudinal study. Clin Pediatr
(Phila) 2013;52(9):857–865
Garrison MM, Liekweg K, Christakis DA. Media use and child sleep: the impact of
content, timing, and environment. Pediatrics 2011;128(1):29–35
Hinkley T, Verbestel V, Ahrens W, et al; IDEFICS Consortium. Early childhood
electronic media use as a predictor of poorer well-being: a prospective cohort study. JAMA
Pediatr 2014;168(5):485–492
Hirsh-Pasek K, Zosh JM, Golinkoff RM, Gray JH, Robb MB, Kaufman J. Putting
education in “educational” apps: lessons from the science of learning. Psychol Sci Public
Interest 2015;16(1):3–34
Jago R, Stamatakis E, Gama A, et al. Parent and child screen-viewing time and home
media environment. Am JPrev Med. 2012;43(2):150–158
Kabali HK, Irigoyen MM, Nunez-Davis R, et al. Exposure and use of mobile devices
by young children. Pediatrics 2015;136(6):1044–1050
Kirkorian HL, Choi K, Pempek TA. Toddlers’ Word Learning From Contingent and
Noncontingent Video on Touch Screens. Child Dev 2016;87(2):405–413
Kirkorian HL, Pempek TA, Murphy LA, Schmidt ME, Anderson DR. The impact of
background television on parent-child interaction. Child Dev 2009;80(5):1350–1359
Lin LY, Cherng RJ, Chen YJ, Chen YJ, Yang HM. Effects of television exposure on
developmental skills among young children. Infant Behav Dev 2015;38:20–26
Linebarger DL, Barr R, Lapierre MA, Piotrowski JT. Associations between parenting,
media use, cumulative risk, and children’s executive functioning. JDev Behav Pediatr
2014;35(6):367–377
Mazarello Paes V, Ong KK, Lakshman R. Factors influencing obesogenic dietary
intake in young children (0-6 years): systematic review of qualitative evidence. BMJ Open.
2015;5(9):e007396
McClure ER, Chentsova-Dutton YE, Barr RF, Holochwost SJ, Parrott WG. “Facetime
doesn’t count”: video-chat as an exception to media restrictions for infants and toddlers. Int J
ChildComput Interact 2016;6:1–6
Nathanson AI, Aladé F, Sharp ML, Rasmussen EE, Christy K. The relation between
television exposure and executive function among preschoolers. Dev Psychol
2014;50(5):1497–1506
Pagani LS, Fitzpatrick C, Barnett TA, Dubow E. Prospective associations between
early childhood television exposure and academic, psychosocial, and physical well-being by
middle childhood. Arch Pediatr Adolesc Med 2010;164(5):425–431
Radesky J, Miller AL, Rosenblum KL, Appugliese D, Kaciroti N, Lumeng JC.
Maternal mobile device use during a structured parent-child interaction task. Acad Pediatr
2015;15(2):238–244
Radesky JS, Kistin CJ, Zuckerman B, et al. Patterns of mobile device use by
caregivers and children during meals in fast food restaurants. Pediatrics2014b;133(4):e843
Radesky JS, Peacock-Chambers E, Zuckerman B, Silverstein M. Use of mobile
technology to calm upset children: associations with socialemotional development. JAMA
Pediatr 2016;170(4):397–399
Radesky JS, Silverstein M, Zuckerman B, Christakis DA. Infant self-regulation and
early childhood media exposure. Pediatrics 2014a;133(5):e1172
Reid Chassiakos Y, Radesky J, Christakis D, et al., AAP COUNCIL ON
COMMUNICATIONS AND MEDIA. Children and Adolescents and Digital Media.
Pediatrics 2016;138(5):e20162593
Richert RA, Robb MB, Fender JG, Wartella E. Word learning from baby videos. Arch
Pediatr Adolesc Med 2010;164(5):432–437
Roseberry S, Hirsh-Pasek K, Golinkoff RM. Skype me! Socially contingent
interactions help toddlers learn language. Child Dev 2014;85(3):956–970
Salti R, Tarquini R, Stagi S, et al. Age-dependent association of exposure to television
screen with children’s urinary melatonin excretion? Neuroendocrinol Lett 2006;27(1-2):73–
80
Schmidt ME, Pempek TA, Kirkorian HL, Lund AF, Anderson DR. The effects of
background television on the toy play behavior of very young children. ChildDev
2008;79(4):1137–1151
Schmidt ME, Rich M, Rifas-Shiman SL, Oken E, Taveras EM. Television viewing in
infancy and child cognition at 3 years of age in a US cohort. Pediatrics 2009;123(3);e370
Shaheen S. How child’s play impacts executive function—related behaviors. Appl
Neuropsychol Child 2014;3(3):182–187
Sugawara M, Matsumoto S, Murohashi H, Sakai A, Isshiki N. Trajectories of early
television contact in Japan: Relationship with preschoolers’ externalizing problems. J Child
Media 2015;9(4):453–471
Suglia SF, Duarte CS, Chambers EC, Boynton-Jarrett R. Social and behavioral risk
factors for obesity in early childhood. J Dev Behav Pediatr 2013;34(8):549–556
Taveras EM, Gillman MW, Kleinman KP, Rich-Edwards JW, Rifas-Shiman SL.
Reducing racial/ethnic disparities in childhood obesity: the role of early life risk factors.
JAMA Pediatr 2013;167(8):731–738
Thompson AL, Adair LS, Bentley ME. Maternal characteristics and perception of
temperament associated with infant TV exposure. Pediatrics 2013;131(2);e390
Tomopoulos S, Dreyer BP, Berkule S, Fierman AH, Brockmeyer C, Mendelsohn AL.
Infant media exposure and toddler development. Arch PediatrAdolesc Med
2010;164(12):1105–1111
Tomopoulos S, Dreyer BP, Valdez P, et al. Media content and externalizing behaviors
in Latino toddlers. AmbulPediatr 2007;7(3):232–238
Vijakkhana N, Wilaisakditipakorn T, Ruedeekhajorn K, Pruksananonda C,
Chonchaiya W. Evening media exposure reduces night-time sleep. ActaPaediatr
2015;104(3):306–312
Wen LM, Baur LA, Rissel C, Xu H, Simpson JM. Correlates of body mass index and
overweight and obesity of children aged 2 years: findings from the healthy beginnings trial.
Obesity(Silver Spring) 2014;22(7):1723–1730
Wu L, Sun S, He Y, Jiang B. The effect of interventions targeting screen time
reduction - A systematic review and meta-analysis. Medicine 2016:95(27):e4029
Zack E, Gerhardstein P, Meltzoff AN, Barr R. 15-month-olds’ transfer of learning
between touch screen and real-world displays: language cues and cognitive loads. Scand J
Psychol 2013;54(1):20–25
Zimmerman FJ, Christakis DA, Meltzoff AN. Associations between media viewing
and language development in children under age 2 years. J Pediatr 2007;151(4):364–368
MANAJEMEN HIPERSENSITIVITAS OBAT PADA ANAK

Endah Citraresmi

PENDAHULUAN
Reaksi simpang terhadap obat (adverse drug reaction, ADR) meliputi semua efek
farmakologi yang tidak diinginkan dari obat yang bukan merupakan kegagalan terapetik,
overdosis yang disengaja, penyalahgunaan obat, atau kesalahan dalam pemberian.
Dikelompokkan menjadi dua kelompok, reaksi yang dapat diramalkan (predictable) atau tipe
A, dan yang tidak dapat diramalkan (unpredictable) atau tipe B. Reaksi tipe A biasanya
tergantung dosis, berhubungan dengan kerja farmakologi obat yang sudah diketahui, dan
terjadi pada individu sehat. Sebanyak 80% ADR merupakan reaksi tipe A. Reaksi tipe B
biasanya tidak tergantung dosis, tidak berhubungan dengan aksi farmakologi obat, dan terjadi
hanya pada individu yang rentan. Reaksi tipe B selanjutnya terbagi menjadi intoleransi obat,
idiosinkrasi obat, alergi obat, dan reaksi pseudoalergi.1
Alergi dan reaksi hipersensitivitas obat adalah reaksi simpang terhadap zat
farmakologi atau zat tambahan dari obat yang diperantarai sistem imun. Secara sederhana,
hipersensitivitas obat dikelompokkan menjadi dua tipe: (1) reaksi tipe cepat (immediate) -
terjadi kurang dari satu jam setelah pemberian obat terakhir - biasanya bermanifestasi
urtikaria, angioedema, rinitis, konjungtivitis, bronkospasme, dan anafilaksis atau syok
anafilaksis; (2) reaksi tipe lambat (non-immediate) - gejala kulit yang bervariasi yang terjadi
lebih dari 1 jam dan bisa sampai beberapa hari setelah pemberian obat terakhir - dengan
contoh, urtikaria tipe lambat, erupsi makulopapular, erupsi obat fikstum, vaskulitis, nekrolisis
epidermal toksik, sindrom Stevens-Johnson, atau drug reaction with eosinophilia and
systemic symptoms (DRESS).2
Semua obat diasumsikan mampu menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Namun,
frekuensi pada tiap jenis obat sangat berbeda. Antibiotik, obat antiinflamasi non steroid
(AINS), antiepileptik, dan anti-HIV adalah kelompok obat yang paling sering menimbulkan
reaksi hipersensitivitas (tabel 1).2

Tabel 1. Kelompok obat yang sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas 2


Kelompok Obat Contoh Obat
Antiepileptik Karbamazepin, fenitoin, lamotrigine
Antibiotik Penisilin, sefalosporin, sulfonamid, tetrasiklin,
kuinolon
Obat anti HIV Abacavir, nevirapine
AINS Ibuprofen, diklofenak, piroksikam, celecoxib
Anestetik umum Agen penghambat neuromuscular
Anestetik lokal Lidokain, mepivakain
Media kontras dan pewarna Iohexol, iomeprol, patent blue

EPIDEMIOLOGI
Dugaan hipersentivitas obat sering dilaporkan pada anak dan remaja, dengan prevalens
mencapai 10%.3 Suatu survei potong lintang yang besar menunjukkan bahwa insidens alergi
antibiotik sendiri mencapai 2.5 - 10.2% pada anak.4 Namun, hanya sedikit reaksi tersebut
yang dapat dikonfirmasi sebagai alergi/hipersensitivitas obat setelah pemeriksaan diagnostik.
Beberapa studi mengkonfirmasi bahwa alergi obat pada anak sering overdiagnosis.5,6
Diagnosis banding tersering dari hipersensitivitas obat pada anak adalah infeksi virus.
Infeksi virus dapat menyebabkan erupsi kulit (urtikaria dan makulopapular) dan menyerupai
hipersensitivitas obat, jika pada saat yang sama pasien sedang mengkonsumsi obat. Virus
juga dapat berinteraksi dengan obat, menyebabkan erupsi ringan, seperti pada kasus ruam
akibat terapi aminopenisilin saat infeksi virus Epstein-Barr.7-9 Karena tidak ada tes spesifik
untuk membedakan antara infeksi virus dan reaksi hipersensitivitas obat pada fase akut,
pemeriksaan diagnostik harus dilakukan pada semua anak yang dicurigai hipersensitivitas,
idealnya dua bulan kemudian.8,10

MEKANISME HIPERSENSITIVITAS OBAT


Menurut klasifikasi hipersentivitas Gell-Coombs, reaksi hipersensitivitas obat selanjutnya
dapat dikelompokkan menjadi: diperantarai IgE (tipe I), sitotoksik (tipe II), kompleks imun
(tipe III), dan diperantarai selular (tipe IV). Suatu modifikasi diajukan yang membagi reaksi
tipe IV ke dalam 4 kategori meliputi aktivasi dan rekrutmen monosit (IVa), eosinofil (IVb),
sel T CD4+ atau CD8+ (IVc), dan neutrofil (IVd).1 (tabel 2).

Tabel 2. Klasifikasi reaksi hipersensitivitas obat2


Tipe Tipe respons Patofisiologi Gejala klinis Kronologi reaksi
imun
I IgE Degranulasi sel mast Syok anafilaksis Beberapa menit
dan basophil Angioedema sampai 1 jam
Urtikaria setelah pemberian
Bronkospasme obat terakhir
II IgG dan FcR Kematian sel yang Sitopenia 5-15 hari setelah
tergantung FcR mulai terapi
III IgM atau IgG Deposisi kompleks Serum sickness 7-8 hari untuk
dan komplemen imun Urtikaria serum sickness
atau FcR Vaskulitis 7-21 hari setelah
mulai terapi untuk
vaskulitis
IVa Th1 (IFN) Inflamasi monosit Eczema 5-21 hari setelah
mulai terapi
IVb Th2 (IL-5 dan Inflamasi eosinofil Eksantema 2-6 minggu setelah
IL-4) makulopapular, mulai terapi untuk
eksantema DRESS
bulosa

Tipe Tipe respons Patofisiologi Gejala klinis Kronologi reaksi


imun
IVc Sel T sitotoksik Kematian keratinosit Eksantema 2 hari setelah mulai
(perforin, diperantarai oleh makulopapular, terapi untuk erupsi
granzyme B, CD4 atau CD8 eksantema obat fikstum, 7-21
FasL) bulosa, hari setelah mulai
eksantema terapi untuk
pustular Stevens-Johnson
dan TEN
IVd Sel T (IL- Inflamasi neutrofil Acute Kurang dari 2 hari
8/CXCL8) generalized
exanthematous
pustulosis

DIAGNOSIS
Pendekatan sistematik untuk mengevaluasi dugaan reaksi hipersensitivitas obat pada pasien
yang mendapatkan berbagai obat dimulai dengan pertanyaan berikut: 1,2,7,11,12
• Apakah tampilannya konsisten dengan hipersensitivitas obat? Tipe mana? Apakah
keluhan dan gejala mengarah pada respons imunologi (hipersensitivitas obat)? Apakah
obat yang sedang diberikan pada pasien diketahui menyebabkan gejala tersebut, atau
apakah biasanya menyebabkan reaksi pseudoalergi?
• Seberapa berat reaksi dan ogan apa yang terkena? Dapat dinilai dengan pemeriksaan
kulit yang teliti, diikuti dengan evaluasi sistem organ yang tampaknya terkena.
Pemeriksaan darah tepi lengkap dengan hitung jenis dan pemeriksaan fungsi hati dan
ginjal harus dilakukan jika ditemukan eksantema yang nyata, bulosa atau pustulosa,
menyatu, melibatkan luas permukaan tubuh yang cukup besar, atau terdapat gejala
sistemik (malaise, nyeri kulit, limfadenopati).
• Obat mana yang menjadi penyebab? Penilaian ini dapat dilakukan dalam beberapa tahap:
o Tahap 1 - Gali informasi. Dapat menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh
EAACI (European Academy of Allergy and Clinical Immunology).13
o Tahap 2 - Periksa rekam medis untuk menilai adanya hubungan waktu antara gejala
dan pemberian obat spesifik.
o Tahap 3 - Untuk masing-masing obat yang dicurigai, pertimbangkan
kecenderungannnya menyebabkan tipe reaksi alergi yang ditemukan, berdasarkan
literatur.
o Tahap 4 - Stop atau ganti semua obat yang dicurigai yang diketahui memiliki potensi
alergi dan menunjukkan hubungan waktu dengan gejala. Amati konsekuensi setelah
menghentikan obat tersebut.
• Apakah dapat dilakukan tes?
o Tahap 5 - Untuk reaksi yang dicurigai diperantarai IgE, pertimbangkan tes kulit. Tes
kulit maupun tes in vitro (jika tersedia) untuk mengidentifikasi obat penyebab
biasanya dilakukan jika reaksi sudah sepenuhnya hilang.
o Tahap 6 - Jika terdapat keraguan pada obat yang mencetuskan reaksi imunologi dan
berbagai obat dihentikan, harus dibuat rencana untuk melakukan evaluasi setelah
penyembuhan pasien, terutama jika obat tersebut mungkin diperlukan di masa depan.
Tes kulit
Tes kulit (dengan skin prick atau intradermal) memiliki nilai prediktif hanya pada kelompok
kecil reaksi alergi obat yang diperantarai IgE. Sampai saat ini, hanya penisilin yang sudah
diidentifikasi isotop imunogeniknya (bagian dari molekul yang dikenali oleh sistem imun),
terdiri dari determinan mayor (merupakan 95% dari metabolit hasil degradasi penisilin) dan
determinan minor (merupakan 5% dari metabolit). Pengujian determinan mayor dan minor
dilakukan dengan skin prick test, diikuti oleh tes intradermal jika skin prick test negatif.1,14
Studi di AS menunjukkan bahwa hasil tes yang negatif pada pasien dengan riwayat klinis
yang belum jelas menindikasikan bahwa penisilin dapat diberikan dengan risiko reaksi tipe
cepat kurang dari 4% (serupa dengan risiko pada populasi umum). 15
Untuk sebagian besar reaksi hipersensitivitas obat, tidak ada tes kulit yang tervalidasi
yang memiliki nilai prediktif. Hal ini disebabkan reaksi yang bukan diperantarai IgE, atau
epitop imunogenik yang terkait (yang mungkin berasal dari metabolit obat yang belum
teridentifikasi atau produk pemecahan) belum bisa diidentifikasi. 14

Tes IgE spesifik darah


Tesradioallergosorbent (RAST) dan ELISA merupakan tes in-vitro yang tersedia untuk
mendeteksi antibodi IgE spesifik serum. Tes ini hanya tersedia untuk beberapa antibiotik β-
lactam, karena epitop imunogenik untuk sebagian besar tidak diketahui. Seperti tes in vitro
lain, tes ini umumnya lebih spesifik tetapi kurang sensitif dibandingkan tes kulit. Sehingga
mereka memiliki nilai duga negatif yang buruk tetapi memiliki nilai duga positif yang lebih
baik dan digunakan bersama dengan evaluasi klinis dan tes kulit. Tes transformasi limfosit
mendeteksi sel T spesifik obat, yang mungkin terlibat dalam sebagian hipersensitifitas obat
tipe lambat, tetapi penggunaannya dalam klinis sangat terbatas. 14

Provokasi obat
Provokasi obat digunakan untuk mendiagnosis alergi obat jika tidak dapat disimpulkan dari
tes kulit atau tes darah. Prinsip umum dari provokasi obat adalah memulai pemberian obat
dari dosis sangat kecil (jauh di bawah dosis terapetik normal) dan diberikan pemberian ulang
dengan dosis yang meningkat sampai muncul gejala objektif pertama kali. Jika tidak ada
gejala muncul, provokasi dihentikan saat dosis terapetik dicapai. Provokasi harus dilakukan
di klinik spesialis atau rumah sakit yang memiliki protokol baku dan fasilitas resusitasi, dan
tidak boleh dilakukan pada pasien dengan riwayat alergi berat seperti sindrom vaskuiltis,
dermatitis eksfoliatif, eritema multiforme mayor (SJS atau NET), DRESS.2,12

TATA LAKSANA
Reaksi akut
Anafilaksis harus diterapi segera dan dengan tepat, dan semua obat yang dicurigai harus
dihentikan. JIka pasien mengalami reaksi non-anafilaksis, obat yang dicurigai harus
dihentikan jika risiko melanjutkan obat melebihi manfaatnya. Penghentian obat harus
dilakukan jika terdapat gejala bahaya/berat (tabel 3). 7
Tabel 3. Tanda bahaya klinis dan biologis yang mengarah pada reaksi kulit dan/atau
sistemik berat7
TANDA BAHAYA SEGERA CARI
Gejala, pengukuran Diagnosis
Gejala multisistem* yang Tekanan darah turun
muncul mendadak
Syok anafilaksis
(*respiratori, kulit dan
mukosa)
Dispnea inspiratori
Disfonia Edema laring
Sialorea
Kulit nyeri Blister kulit, bullae
Lesi target atipik Tanda Nikolsky
Erosi mukosa (2 membran Darah tepi (leukopenia,
SJS/TEN
mukosa) trombositopenia)
Fungsi ginjal (peningkatan ureum,
kreatinin)
Demam >38.5C Limfadenopati (2 tempat)
Luas kulit >50% Darah tepi (eosinofilia, limfosit
Edema sentrofasial atipik)
HSS/DRESS/DIHS
Tes fungsi hati (peningkatan
transaminase hati)
Proteinuria
Papul terinfiltrasi purpura Darah tepi (eksklusi
Nekrosis trombositopenia)
Fungsi ginjal (proteinuria, Vaskulitis
peningkatan ureum, kreatinin)
Hipokomplementemia
SJSStevens–Johnson syndrome; TEN, toxic epidermal necrolysis. HSS/DRESS/DiHS,
hypersensitivity syndrome/drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms/drug-
induced hypersensitivity syndrome,

Pemilihan obat berikutnya


Terdapat tiga pilihan untuk terapi mendatang pada pasien yang sudah dikonfirmasi
mengalami hipersensitivitas obat:1
• Pemberian obat lain yang tidak berhubungan
• Pemberian obat yang berhubungan dengan hati-hati
• Desensitisasi dari obat penyebab.

Pemberian obat lain yang tidak berhubungan - merupakan pilihan paling aman dan
efektif. Namun, terapi lini kedua mungkin memiliki risiko lain, seperti toksisitas dan biaya
yang lebih tinggi. Pasien yang dilabel alergi penisilin sering mendapat antibiotik non-beta-
laktam, yang lebih mahal, terdapat efek samping, dan pada beberapa kasus, efikasinya
kurang. Sering pasien mendapat vankomisin atau kuinolon. Penggunaan obat dengan
spektrum lebar ini berperan pada muncul dan menyebarnya bakteri yang resisten terhadap
obat.

Pemberian obat yang berhubungan - merupakan alternatif kedua pada pasien dengan
hipersensitivitas obat. Pasien mendapat obat yang serupa, tetapi tidak identik dengan obat
penyebab. Kecenderungan reaktivitas silang di antara obat yang serupa sebagian tergantung
pada tipe reaksi alergi. Pasien dengan eksantema yang diperantarai sel T terhadap amoksisilin
memiliki risiko rendah untuk bereaksi terhadap sefalosporin, sedangkan pasien dengan
anafilaksis diperantarai IgE terhadap amoksisilin memiliki peningkatan risiko jika mendapat
sefalosporin. Obat yang berhubungan tersebut dapat dilakukan skin test atau diberikan
dengan provokasi bertahap (graded challenge).

Desensitisasi terhadap obat penyebab - merupakan pilihan ketiga. Desensitisasi dilakukan


dengan melanjutkan pemberian obat berulang dengan dosis yang naik setelah provokasi obat
menunjukkan hasil positif, sampai dicapai dosis terapetik. Proses desensitisasi identik dengan
provokasi obat, kecuali pada provokasi proses dihentikan jika terjadi reaksi positif,
sedangkan pada desensitisasi, pemberian obat diteruskan meskipun terdapat reaksi awal yang
ringan. Mekanisme desensitisasi obat tidak dipahami sepenuhnya, namun mungkin
melibatkan pengendalian degranulasi sel mast. Kondisi desensitisasi tidak bersifat permanen
(berbeda dengan imunoterapi alergen), dan hanya dapat dipertahankan dengan pemberian
harian dosis obat tersebut. Penghentian dosis pemeliharaan akan menyebabkan munculnya
kembali hipersensitivitas, biasanya dalam beberapa hari, dan pemberian obat berikutnya
memerlukan pengulangan proses desensitisasi. Secara garis besar, tata laksana reaksi
hipersensitivitas obat dijelaskan dalam algoritme (gambar 1).14
Gambar 1. Algoritme tata laksana reaksi hipersensivitas obat (modifikasi dari 14)

*Reaksi non-immediate sistemik berat meliputi eritema multiforme mayor (sindrom Stevens-
Johnson) dan nekrolisis epidermal toksik.

KESIMPULAN
Diagnosis reaksi hipersensitivitas obat memerlukan pendekatan sistematik dan teliti.
Diagnosis sebagian besar dibuat berdasarkan gejala klinis, dan tes alergi yang tersedia untuk
obat tertentu. Provokasi obat merupakan baku emas dalam menentukan diagnosis, namun
memerlukan keahlian serta memiliki risiko tertentu, sehingga dilakukan di rumah sakit
dengan sumber daya yang lengkap. Provokasi obat tidak dilakukan pada reaksi kulit berat.
Tata laksana pada reaksi akut adalah mengatasi kegawatan sesuai diagnosis,
mengidentifikasi serta menghentikan obat yang dicurigai. Konfirmasi diagnosis harus
dilakukan setelah memasuki masa pemulihan, untuk menghindari memberikan label alergi
yang tidak perlu. Pemilihan obat selanjutnya harus disesuaikan dengan pilihan obat yang ada.
Jika tidak ada pilihan obat lain, dapat dilakukan desensitisasi untuk memodifikasi reaksi
terhadap obat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Joint Task Force on Practice P, American Academy of Allergy, Asthma and
Immunology, American College of Allergy, Asthma and Immunology, Joint Council
of Allergy, Asthma and Immunology, et al. Drug allergy: an updated practice
parameter. Annals of allergy, asthma & immunology: official publication of the
American College of Allergy, Asthma, & Immunology. 2010;105:259-73.
2. B Kevin Park DJN, Pascal Demoly. Drug hypersensitivity. 2012 [cited 2017 February
06]. In: Allergy [Internet]. China: Saunders Ltd. 4th. [cited 2017 February 06].
3. Romano A, Caubet JC. Antibiotic allergies in children and adults: from clinical
symptoms to skin testing diagnosis. The journal of allergy and clinical immunology In
practice. 2014;2:3-12.
4. Thong BY, Tan TC. Epidemiology and risk factors for drug allergy. British journal of
clinical pharmacology. 2011;71:684-700.
5. Gomes ER, Brockow K, Kuyucu S, Saretta F, Mori F, Blanca-Lopez N, et al. Drug
hypersensitivity in children: report from the pediatric task force of the EAACI Drug
Allergy Interest Group. Allergy. 2016;71:149-61.
6. Caubet JC, Eigenmann PA. Managing possible antibiotic allergy in children. Current
opinion in infectious diseases. 2012;25:279-85.
7. Demoly P, Adkinson NF, Brockow K, Castells M, Chiriac AM, Greenberger PA, et
al. International Consensus on drug allergy. Allergy. 2014;69:420-37.
8. Caubet JC, Kaiser L, Lemaitre B, Fellay B, Gervaix A, Eigenmann PA. The role of
penicillin in benign skin rashes in childhood: a prospective study based on drug
rechallenge. The Journal of allergy and clinical immunology. 2011;127:218-22.
9. Shiohara T, Kano Y. A complex interaction between drug allergy and viral infection.
Clinical reviews in allergy & immunology. 2007;33:124-33.
10. Atanaskovic-Markovic M, Gaeta F, Medjo B, Gavrovic-Jankulovic M, Cirkovic
Velickovic T, Tmusic V, et al. Non-immediate hypersensitivity reactions to beta-
lactam antibiotics in children – our 10-year experience in allergy work-up. Pediatric
Allergy and Immunology. 2016;27:533-8.
11. Demoly P, Bousquet J. Drug allergy diagnosis work up. Allergy. 2002;57 Suppl
72:37-40.
12. Atanaskovic-Markovic M, Caubet JC. Management of drug hypersensitivity in the
pediatric population. Expert review of clinical pharmacology. 2016:1-9.
13. Demoly P, Kropf R, Bircher A, Pichler WJ. Drug hypersensitivity: questionnaire.
EAACI interest group on drug hypersensitivity. Allergy. 1999;54:999-1003.
14. Thien FC. 3. Drug hypersensitivity. The Medical journal of Australia. 2006;185:333-
8.
15. Macy E, Mangat R, Burchette RJ. Penicillin skin testing in advance of need:
multiyear follow-up in 568 test result-negative subjects exposed to oral penicillins.
The Journal of allergy and clinical immunology. 2003;111:1111-5.
UPDATE ASMA PADA ANAK:
IMPLEMENTASI PEDOMAN NASIONAL ASMA ANAK 2015

Bambang Supriyatno
Dipresentasikan oleh Darmawan Budi Setyanto

Pendahuluan
Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang sering dijumpai pada anak. Prevalens asma
pada anak usia 6-7 tahun di Indonesia sekitar 10%.1,2 Dengan kemajuan industri dan
meningkatnya polusi udara baik indoor maupun outdoor, maka akan terjadi kenaikan prevalens
asma.3,4
Pada tatalaksana asma terdapat dua hal yang penting yaitu tatalaksana serangan asma dan
jangka panjang.3 Umumnya anak datang ke pelayanan kesehatan (termasuk dokter) adalah pada
saat serangan asma.Tatalaksana serangan yang tidak adekuat dapat menimbulkan komplikasi yang
berat bahkan kematian. Setelah tatalaksana serangan asma, maka perlu diikuti tatalaksana jangka
panjang pada asma persiten ringan, sedang, dan berat.5-7

Serangan asma
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif dari gejala-gejala batuk, sesak
napas, mengi, rasa dada tertekan atau berbagai kombinasi dari gejala tersebut. Derajat
serangan asma dapat mulai dari serangan ringan-sedang hingga serangan berat yang dapat
mengancam jiwa.2,3,7
Dalam Konsensus Asma tahun 2004,2 serangan asma dibagi menjadi serangan asma
ringan, sedang, dan berat; sedangkan pada konsensus yang baru (Konsensus Penanganan Asma
Anak tahun 2015), hanya dibagi dalam 2 kelompok yaitu serangan ringan-sedang, dan serangan
berat.7 Pembagian di atas dimaksudkan untuk mempermudah diagnosis dan tatalaksana.
Pembagian serangan asma didasarkan pada tanda, gejala dan pemeriksaan penunjang (Tabel 1).
Pada saat serangan asma tejadi obstruksi jalan napas secara luas yang merupakan
kombinasi atau gabungan antara spasme otot polos bronkus (bronkokonstriksi), edem mukosa
karena inflamasi dan hipersekresi mukus. Obstruksi saluran napas dapat menimbulkan
terperangkapnya udara (air trapping), distensi paru yang berlebih (hiperinflasi), pneumotoraks,
hiperkapnia, gangguan asam-basa (dapat berupa alkalosis respiratorik, asidosis respiratorik,
asidosis metabolik), dan atelektasis.3,7,8 Asma pada anak dibedakan dalam dua kelompok
besar yaitu derajat penyakit asma (kekerapan) dan derajat serangan asma. Derajat penyakit
asma diklasifikasikan sebagai asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan
asma persisten berat (dahulu episodik jarang, episodik sering, dan persisten). Pembagian ini
bertujuan untuk pemberian obat tatalaksana jangka panjang atau maintenans atau pengendali atau
controller. Pada asma intermiten tidak diperlukan controller, sedangkan pada asma persisten baik
ringan, sedang, maupun berat perlu diberikan controller.3,7,8

1
Tabel 1. Derajat serangan asma7
SERANGAN
Variabel Ancaman henti
Ringan-sedang Berat napas
Bicara Kalimat Kata-kata
Posisi Lebih senang duduk Dudukbertopang
daripada berbaring lengan Kriteria asma
Gelisah Tidak ada Ada serangan berat
RR* Meningkat Meningkat terpenuhi
FN* Meningkat Meningkat ditambah
Retraksi Minimal dengan:
SpO2 90-95% <90% - Mengantuk
PEF >50% prediksi <50% prediksi - Letargi
- Suara napas
tak terdengar
*)RR: respiration rate(frekuensi napas); FN: frekuensi nadi; SpO saturasi oksigen; PEF: peak
2:
expiratory flow

Derajat serangan asma dibagi menjadi serangan ringan-sedang, dan serangan berat
(dahulu serangan ringan, sedang, dan berat).2,7 Tujuan pembagian ini untuk tatalaksana yang
adekuat dan cepat agar tidak terjadi komplikasi yang lebih berat.
Persistensi penyakit tidak berhubungan secara linear dengan derajat serangan, dengan kata
lain pada asma intermiten tidak selalumengalami serangan ringan-sedang tetapi dapat juga
mengalami serangan berat. Demikian sebaliknya pada asma persisten berat tidak selalu harus
mengalami serangan berat tetapi dapat juga mengalami serangan ringan-sedang.2,3,7

Tatalaksana serangan
Tatalaksana serangan dibagi dalam serangan ringan-sedang dan serangan berat.

Serangan ringan-sedang
Tujuan umum tatalaksana asma adalah tetap menjaga kualitas hidup dengan tetap melakukan
aktifitas sesuai dengan potensi genetiknya. Tujuan tatalaksana serangan asma adalah meredakan
obstruksi jalan napas secepat mungkin, mengurangi hipoksemia, mengembalikan fungsi paru ke
keadaan normal secepatnya, dan merencanakan tatalaksana untuk mencegah kekambuhan.3,7
Tatalaksana serangan asma dapat dibagi menjadi 2 yaitu saat di rumah dan di fasilitas
kesehatan. Tatalaksana di rumah bergantung pada faktor pendidikan, pengetahuan, dan kooperasi
orangtua dalam memahami asma (dalam hal ini serangan asma). Orangtua diberi pemahaman
tentang asma secara singkat seperti definisi, tanda serangan asma, tanda kegawat-daruratan, dan
komplikasi yang mungkin timbul.3,7,9
Pada serangan ringan-sedang, di rumah dapat diberikan  2-agonis secara inhalasi (dapat
dengan MDI (metered dose inhaler) atau nebulizer) dan kortikosteroid oral. Pemberian MDI
sebanyak 2-4 puff(semprot) dengan menggunakan alat bantu spacer atau dengan nebulizer  2-

2
agonis. Pemberian ini dapat diulang sebanyak 2 kali dengan interval diatas 30 menit. Apabila
perbaikan maka dapat diteruskan dengan  2-agonis oral, tetapi bila tidak ada perbaikan yang nyata
maka dianjurkan mencari pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan atau dokter.7
Tatalaksana di fasilitas kesehatan dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu belum pernah
diberikan  2- agonis di rumah dan sudah diberikan  2-agonis sebelumnya. Pada keadaan belum
diberikan  2-agonis maka sama dengan tatakalasana di rumah yaitu  2-agonis inhalasi dan
kortikosteroid oral dan bila gagal maka diberikan kombinasi antara  2-agonis dan ipratropium
bromidasecara inhalasi serta kortikosteroid oral.7,8,10
Pada keadaan sudah diberikan  2-agonis sebelumnya maka langsung diberikan inhalasi 2-
agonis dengan MDI sebanyak 6-10 semprot atau kombinasi antara  2-agonis bersama dengan
ipratropium bromida secara inhalasi.7
Perbedaan tatalaksana serangan asma yang dahulu dengan yang baru adalahdalam hal
pemberian kortikosteroid oral. Dahulu kortikosteroid oral tidak diberikan pada serangan ringan
dan baru diberikan pada serangan sedang. Pada konsensus yang baru, kortikosteroid oral langsung
diberikan pada serangan asma ringan-sedang sedangkan kortikosteroid injeksi diberikan pada
serangan berat.2,3,7
Pemberian kortikosteroid oral pada serangan asma ringan-sedang, menimbulkan
kekhawatiran terjadinyadrug abuseuntuk kortikosteroid. UKK Respirologi menekankan bahwa
pemberian kortikosteroid oral hanya berlangsung 3-5 hari dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dibagi
3 dosis tanpa tappering off.7Gangguan pertumbuhan dapat terjadi pada pemberian kortikosteroid
yang berulang dan waktu yang lama.3

Serangan berat
Pasien yang kurang/tidak menunjukkan respons (poor response) dengan tatalaksana serangan
ringan-sedang, disebut sebagai serangan berat (dahulu dikenal status asmatikus) dan pasien harus
dirawat di Ruang Rawat Inap. Pasien diberikan oksigen sejak awal termasuk saat nebulisasi,
cairan parenteral dan foto toraks. Pada serangan berat,pemberian inhalasi langsung  2-
agonisbersama dengan ipratropium bromida. Pada serangan berat harus dicari penyebab
kegagalan tatalaksana standar seperti keadaan dehidrasi, asidosis, dan gangguan ventilasi akibat
atelektasis.3,5,11

Penanganan serangan asma berat di Ruang Rawat Inap adalah:3,7,9


• Pemberian oksigen
• Koreksi cairan dan/atau gangguan asam basa bila terjadi dehidrasi dan asidosis.
• Kortikosteroid intravena secara bolus setiap 6-8 jam, dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari.
• Nebulisasi  2-agonis+antikolinergik (ipratropium bromida) dengan oksigen tiap 1-2 jam, jika
dalam 4-6 kali pemberian telah terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian menjadi tiap 4-6 jam.
• Aminofilin intravena dengan dosis sebagai berikut:
- bila pasien belum mendapat aminofilin/teofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis awal
(inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam fisiologis sebanyak
20 ml, diberikan dalam 20-30 menit. Jika pasien telah mendapat aminofilin/teofilin
(kurang dari 8 jam), dosis awal aminofilin diberikan 1/2nya.
- selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.

3
- sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml.
• Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam.
Kortikosteroid dan aminofilin dapat diberikan peroral.
• Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat  2-
agonis (hirupan atau oral), yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Kortikosteroid
peroral diberikan hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk
reevaluasi tatalaksana. Jika pasien sebelumnya sudah mendapat obat pencegahan atau rumatan
(controller), maka obat tersebut juga diteruskan.
• Jika dengan tatalaksana di atas tidak berhasil, bahkan pasien menunjukkan tanda ancaman
henti napas, maka pasien dialihrawat ke Ruang Rawat Intensif.
• Indikasi perawatan di ruang intensif adalah perburukan yang cepat, ancaman henti napas, tidak
menunjukkan perbaikan dengan tatalaksana serangan berat yang standar.
• Pada keadaan pemberian obat standar untuk serangan berat tidak respons secara bermakna
dapat diberikan obat lain seperti MgSO4 50mg/kgBB dalam 20 menit, dilanjutkan dengan 30
mg/kgBB/jam atau maksimal sebanyak 2 gram.6,12,13

Obat lain
Beberapa obat lain yang digunakan pada serangan asma adalah:
1. Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid inhalasi dapat diberikan bersama  2-agonis pada serangan ringan-sedang tetapi
tidak dianjurkan pada serangan berat. Indikasi pemberian kortikosteroid inhalasi adalah pada
keadaan kontra indikasi pemberian kortikosteroid oral. Dosis kortikosteroid inhalasi yang
diberikan harus dosis tinggi yaitu sekitar 2000-2400 mcg. Pemberian kortikosteroid inhalasi
dosis rendah untuk serangan asma tidak mempunyai efek terapetik.3,7
2. Mukolitik
Mukolitik tidak dianjurkan pada serangan berat karena dapat memperberat serangannya. Pada
serangan ringan-sedang dapat diberikan meskipun efek terapetiknya masih kontroversial. 2,3,7
3. Antibiotik
Antibiotik tidak dianjurkan pada serangan asma kecuali terdapat pneumonia (baik atipik
maupun pneumonia yang klasik).3,7
4. Anti leukotrien
Antileukotrien tidak dianjurkan pada serangan asma. Antileukotrien diberikan untuk
tatalaksana jangka panjang (sendiri maupun bersama kortikosteroid). 14,15

Tatalaksana jangka panjang


Setelah tatalaksana serangan, pasien harus ditentukan klasifikasi berdasarkan kekerapannya yaitu
intermiten, persisten ringan, sedang, dan berat. Pada asma intermiten tidak memerlukan obat
controller, sedangkan pada asma persisten diberikan controller. Dahulu controller yang
digunakan adalah antiinflamasi non steroid, antihistamin, dan disodium cromoglicate yang saat ini
tidak digunakan lagi. Berdasarkan Pedoman Asma yang baru, obat yang digunakan ebagai
controller utama adalah kortikosteroid inhalasi dengan atau tanpa tambahan obat lain. 7

4
Pada tatalaksana jangka panjang terdapat tahapan (step) yaitu tahap 1, 2, 3,dan 4. Tahap 1
adalah pada asma intermiten yang tidak memerlukan controller. Pada asma persiten ringan, dapat
diberikan controller(tahap 2) yaitu kortikosteroid inhalasi dosis rendah (100-200 mcg) atau
antileukotrien oral. Pemberian kortikosteroid inhalasi merupakan pilihan utama pada tahap 2,
namun apabila terdapat kontraindikasi atau kekuatiran terhadap pemberian kortikosteroid, maka
dapat digantikan dengan antileukotrien oral.7
Pada keadaan tatalaksana tahap 2yang tidak atau kurang respons maka meningkat ke tahap
3 yaitupemberian kortikosteroid inhalasi dosis medium (200-400 mcg) atau kortikosteroid inhalasi
dosis rendah ditambah LABA (long acting beta-2 agonist), atau kortikosteroid inhalasi dosis
rendah ditambah antileukotrien (ALTR) oral, atau kortikosteroid inhalasi dosis rendah ditambah
theophylline slow release=TSR).7
Pada keadaan tahap 3 tidak respons, maka ditingkatkan ke tahap 4 yaitu pemberian
kortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>400 mcg), atau kortikosteroid dosis medium ditambah
LABA (long acting beta-2 agonist), atau kortikosteroid inhalasi dosis medium ditambah
antileukotrien (ALTR) oral, atau kortikosteroid inhalasi dosis medium ditambah theophylline slow
release=TSR) atau pemberian anti IgE.3,7
Pada tatalaksana jangka panjang dikenal istilah up dan down regulation atau ”naik kelas”
dan ”turun kelas”. ”Naik kelas” berarti dari tahapan 1 meningkat menjadi tahapan 2, 3, atau 4
yaitu pada keadaan tidak respons terhadap obat yang diberikan. Untuk ”naik kelas”, diperlukan
evaluasi yang berlangsung kurang dari 2 bulan. Pada ”turun kelas”, yang berarti dari tahapan 4 ke
tahap 3, 2, atau 1 perlu evaluasi yang lebih lama yaitu sekitar 2-3 bulan untuk menentukan tahap
berikutnya.3,7
Pemberian controller pada asma persisten mempunyai efek keberhasilan secara bermakna
dalam hal berkurangnya gejala, berkurangnya obat reliever, peningkatan uji fungsi paru, dan
peningkatan kualitas hidup. Gejala yang membaik adalah berkurangnya gangguan tidur berupa
terbangun karena batuk, sesak, dan batu yang berulang. 3,7,8
Pada pemberian kortikosteroid inhalasi dan LABA, atau penambahan ALTR, atau
penambahan TSR tidak respons maka pemberian anti IgE dapat dipertimbangkan. Anti IgE
(omalizumab) dapat diberikan pada asma persisten berat. Sebelum pemberian anti IgE, perlu
diperiksa kadar IgE untuk menentukan dosis omalizumab. Dosis omalizumab ditentukan
berdasarkan berat badan dan kadar anti IgE.16
Selain pemberian controller, upaya pencegahan terhadap alergen merupakan tatalaksana
yang paling utama dalam tatalaksana jangka panjang. Alergen yang dapat menyebabkan
timbulnya serangan asma adalah asap rokok, debu (tungau debu rumah), dan makanan tertentu
berdasarkan pemantauan pasien dan/atau keluarga.3,7,8
Tantangan masa mendatang
Dimasa mendatang tatalaksana asma lebih kompleks karena meskipun telah ditemukan berbagai
cara untuk mengatasi inflamasi yang terjadi tetapi proses inflamasi dan remodeling tetap berjalan.
Proses inflamasi kronis merupakan ciri khas asma sehingga tatalaksana asma jangka panjang
adalah mencegah terjadinya inflamasi akut yang akan memperberat inflamasi dan remodeling
yang terus berjalan. Upaya pencegahan terhadap alergen (pencetus) merupakan salah satu yang
dianjurkan meskipun sulit untuk dijalankan karena umumnya bersifat multifaktor.17
Proses inflamasi kronis yang terjadi berusaha dicegah dengan pemberian kortikosteroid
inhalasi sebagai antiinflamasi, tetapi selain proses inflamasi terjadi juga secara bersamaan proses

5
remodeling yang tidak dapat dicegah oleh kortikosteroid. Sampai saat ini belum ditemukan obat
anti remodeling yang efektif dan bermakna.16,18
Di sisi lain mengingat asma berhubungan dengan Ig E, berbagai upaya untuk menekan
tingginya IgE dengan anti IgE (omalizumab). Diharapkan pemberian IgE dapat mengurangi
kejadian asma atau mengurangi persistensi asma menjadi lebih ringan. Namun pemberian anti IgE
ini belum sepenuhnya diterima mengingat beberapa penelitian belum menunjukkan hasil yang
optimal disamping harga yang cukup mahal serta ketersediaannya.3,16
Disamping masalah tatalaksana asma dengan inflamasi kronis dan remodeling yang
semakin sulit diatasi, adanya penyakit penyerta lebih mempersulit lagi (difficult asthma).
Beberapa penyakit penyerta yang mempersulit tatalaksana adalah GERD (gastroesophageal reflux
disease), OSAS (obstructive sleep apnea syndrome), rinosinusitis, pneumonia atipik, obesitas, dan
penyakit jantung.19,20
Adanya penyakit penyerta dapat mempersulit tatalaksana serangan maupun tatalaksana
jangka panjang. Penggunaan pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis
seperti foto Rontgent, polisomnografi, ekokardiografi, CT scan, dan lain-lain.8,19
Dengan keterangan di atas, terlihat bahwa tatalaksana asma ke depan masih merupakan
tantangan yang berat untuk mencegah terjadinya asma dan tatalaksana difficult asthma. Selain
faktor di atas, kesulitan tatalaksana asma kemungkinan berhubungan dengan faktor genetik dan
tipe inflamasi yang terjadi pada asma.17
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah terjadinya asma baik berupa pencegahan
primer, sekunder, maupun tersier. Pencegahan primer bertujuanmencegah terjadinya sensitisasi
yang dapat dilakukan pranatal dan pasca-natal. Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah
terjadinya inflamasi/asma pada bayi/anak yang sudah tersensitisasi. Sedangkan pencegahan tersier
bertujuan mencegah terjadinya serangan akut atau eksaserbasi pada bayi/anak asma. 3,7,17
Selain tantangan di atas masalah asma pada anak di bawah lima tahun masih merupakan
misteri yang harus diungkap baik dalam menentukan diagnosis maupun tatalaksana yang
memerlukan diskusi secara mendalam. Kesulitan tatalaksana asma di bawah lima tahun terjadi
bukan hanya di Indonesia tetapi berlaku di seluruh negara sehingga GINA membuat buku saku
untuk memudahkan diagnosis dan tatalaksananya.20
Dalam tatalaksana asma baik serangan maupun tatalaksana jangka panjang, penggunaan
inhalasi merupakan pilihan utama dibandingkan peroral. Namun demikian penggunaannya masih
belum optimal meskipun pada keadaan serngan asma yang ringan sedang penggunaan MDI
(metered dose inhaler) dengan spacer sama dengan penggunaan nebulizer. Penggunaan MDI
dengan spacer masih perlu sosialisasi yang lebih paripurna.21

Simpulan
Tatalaksana asma dibagi menjadi saat serangan asma dan di luar serangan asma (jangka panjang).
Serangan asma dibagi dalam serangan ringan-sedang, dan serangan berat. Penanganan serangan
asma dapat dilakukan di rumah yang dilakukan oleh pasien dan/atau keluarganya dan di luar
rumah (rumah sakit) yang dilakukan petugas kesehatan (dokter). Serangan asma yang tidak
ditanggulangi dengan baik dapat mengakibatkan kematian.
Pada tatalaksana jangka panjang, pencegahan terhadap alergen merupakan tatalaksana yang
paling utama. Selain pencegahan diperlukan controller pada asma persisten ringan, persisten

6
sedang, dan persisten berat. Obat controller yang digunakan adalah kortikosteroid inhalasi dengan
atau tambahan obat lain seperti LABA, ALTR, TSR, atau anti IgE.
Di masa mendatang, tatalaksana asma semakin kompleks dan perlu pendekatan secara
multidisiplin karena asma merupakan penyakit yang melibatkan disiplin lain. Tatalaksana secara
dini, cepat, dan tepat dapat mengurangi kompleksitas tatalaksana asma sehingga difficultasthma
dapat dicegah.

Daftar pustaka
1. Wantania JM. Tinjauan hasil penelitian multisenter mengenai prevalensi asma pada anak
sekolah dasar di Indonesia. Disampaikan pada KONIKA IX, Semarang, 13-17 Juni 1993.
2. UKK Pulmonologi IDAI, Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi 2004.
3. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. 2015.
4. Koenig JQ. Air pollution and asthma. J Allergy Clin Immunol. 1999; 104:717-22.
5. Schuh S, Johnson DW, Callahan S, CannyG, Levison H. Efficacy of frequent nebulized
ipratropium bromide added to frequent high- dose albuterol therapy in severe childhood
asthma. J Pediatr. 1995;126:639-45.
6. Bittar TM, Guerra SD. Use of intravenous magnesium sulfate for the treatment of severe
acute asthma in children in emergency department. Rev Brasil Ter Intens. 2012;24:86-90.
7. UKK Respirologi. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Respirologi. 2015.
8. Robinson PD, Van Asperen P. Asthma in childhood. Pediatr Clin N Am. 2009;56:191-226.
9. Mitra A, Bassler D, Goodman K, Lasserson TJ, Ducharme FM. Intravenous aminophylline
for acute severe asthma in children over two years receiving inhaled bronchodilators. The
Cochrane database of systematic reviews. 2005;2:Cd001276.
10. Harumdini M, Supriyatno B, Sekartini R. Efficacy of salbutamol-ipratropium bromide
nebulizationcompared to salbutamol alone in children with mild to moderate asthma attacks.
Pediatr Indones. 2012;52:200-8.
11. Griffiths B, Ducharme FM. Combined inhaled anticholinergics and short-acting beta2-
agonists for initial treatment of acute asthma in children. The Cochrane database of
systematic reviews. 2013;8:Cd000060.
12. Supriyatno B, Dewi R, Indawati W. Penggunaan MgSO4 pada asma serangan berat: Laporan
kasus. Sari Pediatr. 2009;11:155-8.
13. Corrales AY. Management of severe asthma in children. Australian Fam Physic. 2011;40:35-
38.
14. Price D, Musgrave SD, Shepstone L, Hillyer EV, Sims EJ, Gilbert RFT. Antileukotrien
antagonist as a first-line or add-on asthma control therapy. N Eng J Med. 2011;364:1695-707.
15. Bush A. Montelukast in paediatric asthma: where we are now and what still needs to be
done? Paediatr Respir Rev. 2015;16:97-100.
16. Lai T, Wang S, Xu Z, Zhang C, Zhao Y, Hu Y, et al. Long-term efficacy and safety of
omalizumab in patients with persistent uncontrolled allergic asthma: a systematic review and
metaanalysis. Sci Rep. 2015;5:8191-9.
17. Elwood P, Asher MI, Bjorksten B, Burr M, Pearce N, Robertson CF, et al. Diet and asthma,
allergic rhinoconjunctivitis and allergic eczema symptom prevalence: an ecological analysis
of the International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) data. Eur Respi J.
2001;17:436-43.
18. Strek ME. Difficult asthma. Proc Am Thorac Soc. 2006;3:116-23.
19. DG Jain, GB Jain, RK Singal. Optimal management of difficult asthma. Med Update.
2007;137:801-12.
20. Pocket guide for asthma management and prevention (for children 5 years and younger). A
Guide for Health Care Professionals. Global Initiative for Asthma (GINA); 2015.

7
21. Cates CJ, Welsh EJ, Rowe BH. Holding chambers (spacers) versus nebulisers for beta-
agonist treatment of acute asthma. The Cochrane database of systematic reviews.
2013;9:Cd000052.

8
PNEUMONIA PADA ANAK, RAWAT JALAN ATAU RAWAT INAP?

Wisman Dalimunthe

Pendahuluan
Infeksi saluran pernapasan akut yang lebih dikenal dengan ISPA dapat terjadi pada setiap
bagian dari sistem pernapasan, mulai dari rongga hidung sampai faring yang disebut dengan
ISPA atas yang terdiri dari faringitis, rinitis, otitis media serta sinusitis, dan mulai epiglotis
sampai alveolus yang disebut dengan ISPA bawah yang terdiri dari epiglotitis, laringitis,
trakeitis, bronkitis, bronkiolitis sampai pneumonia.
Pneumonia merupakan infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang
mengenai alveolus yang serius pada anak-anak dan sering mengakibatkan anak menjalani
rawat inap. Pneumonia menyebabkan morbiditas sistem pernafasan serta mortalitas terutama
pada anak-anak di negara berkembang. Di seluruh dunia, pneumonia adalah penyebab utama
kematian pada anak-anak usia kurang dari lima tahun. Faktor-faktor yang menyebabkan
peningkatan insiden serta keparahan dari pneumonia pada anak termasuk prematuritas,
kekurangan gizi, status sosial ekonomi rendah, paparan asap rokok, dan kehadiran pengasuh
anak.
Diagnosis pneumonia dapat ditegakkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik
pada anak demam dengan gejala dan tanda gangguan pernapasan. Radiografi dada,
pemeriksaan darah dan pemeriksaan kuman penyebab sangat membantu penegakan
diagnosis.

Penyebab pneumonia pada umumnya berbeda-beda tergantung pada usia anak.


Infeksi virus dan bakteri Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab yang paling umum
pada anak usia prasekolah, sedangkan Mycoplasma pneumoniae merupakan penyebab pada
anak-anak yang lebih tua.
Pemberian pengobatan dengan antibiotik pada anak pneumonia masih merupakan
tantangan bagi tenaga kesehatan, terutama dengan meningkatnya prevalensi koinfeksi virus
dan bakteri, sedangkan keputusan untuk menjalani rawat inap anak dengan pneumonia
biasanya didasarkan pada berat ringannya penyakit yang diderita yang ditandai dengan gejala
dan tanda klinis usia < 5 tahun, sebanyak 20 juta merupakan kasus yang cukup berat sehingga
memerlukan perawatan di rumah sakit. Pneumonia merupakan penyebab tunggal kematian
utama pada anak usia kurang dari 5 tahun, dimana lebih dari 70% mengambil tempat di sub-
Sahara Afrika yang muncul.

Epidemiologi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan ada 156 juta kasus pneumonia setiap
tahun pada anak dan Asia Tenggara. Diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di negara
berkembang, dan 0,05 episode per anak-tahun di negara-negara maju. Sekitar 156 juta
episode baru setiap tahun di seluruh dunia, 151 juta diantaranya terjadi di negara
berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), Cina (21 juta) dan Pakistan (10 juta),
selanjutnya Bangladesh, Indonesia dan Nigeria (masing-masing 6 juta).1
Faktor risiko yang paling sering terhadap kejadian pneumonia adalah kurangnya
ASI eksklusif, gizi, polusi udara dalam ruangan, berat badan lahir rendah, kepadatan, dan
kurangnya imunisasi campak.1-3

Definisi
Pneumonia, yang selanjutnya ditujukan untuk istilah pneumonia komunitas (community
acquired pneumonia),dapat didefinisikan secara klinis sebagai adanya tanda-tanda dan gejala
pneumonia pada anak yang sebelumnya sehat akibat infeksi yang diperoleh di luar rumah
sakit.2
Paru-paru terdiri dari ribuan cabang bronkus yang membagi ke dalam saluran yang
lebih kecil lagi (bronkiolus), yang berakhir pada kantung kecil yang disebut alveoli. Alveoli
merupakan tempat yang mengandung banyak kapiler dimana terjadi proses pertukaran gas
antara oksigen dan karbondioksida. Ketika anak menderita pneumonia, cairan (atau pus) akan
mengisi alveoli pada satu atau kedua paru-paru, sehingga mengganggu proses penyerapan
oksigen yang membuat anak jadi sulit bernapas. Infeksi saluran pernapasan bisa berasal dari
penyakit ringan, seperti selesma (common cold), namun karena kerentanan dan daya tahan
tubuh anak, infeksi yang dimulai dengan gejala ringan bisa menyebabkan penyakit yang lebih
berat, seperti pneumonia.4
Pneumonia dapat dipastikan dengan adanya konsolidasi pada pemeriksaan
radiologi. Sedangkan di daerah dengan fasilitas terbatas untuk akses radiografi, dalam
penegakan diagnosa yang lebih praktis menggunakan tanda dan gejala ISPA bawah. Idealnya,
definisi ini juga mencakup isolasi organisme penyebab. Namun, jelas dari banyak penelitian
sangat sulit dilakukan.4

Etiologi
Banyak mikrorganisme yang menjadi penyebab pneumonia, seperti virus, bakteri, dan jamur.
Kuman penyebab pneumonia tergantung pada usia anak. Pada neonatus biasanya penyebab
pneumonia adalah kuman/flora dari ibu seperti streptococcus grup B dan bakteria gram
negatif yang merupakan transmisi vertikal. Tetapi secara umum, untuk semua usia
Streptococcus pneumoniae adalah bakteri penyebab yang paling umumm dijumpai disamping
virus dan jamur.5,6 Pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun, virus juga berperan besar sebagai
penyebab pneumonia, Sementara pada usia sekolah (>5 tahun), kuman atypical seperti M
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae menjadi penyebab yang umum dijumpai.7
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, serta Staphylococcus aureus,
sebagai bakteri penyebab pneumonia yang berat terutama di negara berkembang. Pada kasus
yang lebih ringan, selain bakteri di atas, juga sering disebabkan oleh respiratory syncytial
virus sebagai patogen utama yang terkait dengan pneumonia pada anak, terutama usia <5
tahun. Selain itu juga oleh bakteri yang jarang serta jamur. 8

Pendekatan diagnostik9
Seperti halnya pada penyakit lain, pendekatan diagnostik pada pneumonia juga dilakukan
dengan anamnesa yang baik, pemeriksaan fisik yang sempurna serta pemerikssaan penunjang
yang sesuai.
a. Anamnesa
Anamnesa yang baik pada pneumonia meliputi pertanyaan tentang :
- Batuk : biasanya berlangsung singkat antara 3-5 hari
- Demam : durasinya juga hampir sama, biasanya tinggi >390C
- Riwayat kontak dengan penderita Tb
- Riwayat tersedak atau batuk yang tiba-tiba untuk menyingkirkan kemungkinan
aspirasi benda asing
- Riwayat menderita HIV pada ibu
- Riwayat imunisasi
- Riwayat asma pada keluarga
- Riwayat menderita campak sebelumnya
- Penilaiann tumbuh kembang
- Penilaian tanda-tanda kegawatan seperti kejang dan penurunan kesadaran
b. Pemeriksaan fisik
Penilaian awal pada pemeriksaan fisik yang penting dalam diagnosa pneumonia pada
anak meliputi :
- Tanda kegawatan seperti tidak bisa makan, penurunan kesadaran, sianosis dan stridor
pada saat istirahat
- Tanda distres nafas seperti grunting (merintih)
- Laju pernafasan
- Retraksi atau penarikan dinding dada
- Tinggi dan berat badan
- Pernafasan cuping hidung
- Wheezing (mengi)
- Head nodding
- Penonjolan vena jugularis
- Pucat
Sedangkan pemeriksaan dada meliputi :
- Frekwensi pernafasan ketika anak tidur atau sedang istirahat
Disebut nafas cepet sesuai dengan kriteria WHO apabila10:
o ≥ 60 kali permenit pada anak dibawah 2 bulan
o ≥ 50 kali permenit pada anak usia 2 – 11 bulan
o ≥ 40 kali permenit pada anak usia 1 – 5 tahun
- Retraksi dinding dada
- Kedalaman pernafasan
- Pergeseran trakea atau mediastinum
- Krepitasi (cracles atau rales)/ronki pada auskultasi
- Perkusi
- Bising jantung atau irama gallop pada kelainan jantung
c. Pemeriksaan penunjang
Jika memungkinkan untuk dilaksanakan, pemeriksaan penunjang sangat membantu
untuk menegakkan diagnosa, menyingkirkan komplikasi serta menilai keparahan
pneumonia.
Foto toraks
Foto toraks sangat perlu dilakukan dalam menegakkan diagnosa pneumonia terutama
pada kasus-kasus yang berat, selain juga menyingkirkan kemungkinan penyebab lain
seperti gagal jantung, juga untuk mengidentifikasi adanya komplikasi seperti
empiema atau abses.
Pulse oximetry harus dilakukan untuk menentukan apakah anak membutuhkan terapi
oksigen dan juga membantu menentukan apakah oksigen akan dihentikan.

Menentukan tingkat keparahan pneumonia


Setelah menegakkan diagnosa pneumonia, perlu ditentukan tingkat keparahan pneumonia
untuk menentukan penanganan yang sesuai.
Sebagian besar anak dengan pneumonia bisa ditangani di rumah dengan pemberian
antibiotik oral. Tetapi untuk pneumonia yang berat diperlukan perawatan di rumahsakit untuk
pemberian oksigen, antibiotik parenteral, dan perawatan suportif.
Tidak ada pembagian atau klasifikasi keparahan pneumonia yang benar-benar dapat
diterima. Berdasarkan gejala fisik, WHO mengklasifikasikan pneumonia pada anak
berdasarkan adanya batuk atau kesulitan bernafas, atas11:
- Pneumonia, memerlukan antibiotik : nafas cepat atau retraksi dinding dada
- Pneumonia berat, memerlukan rujukan : natuk atau sesak nafas disertai :
o Saturasi oksigen < 90% atau sianosis sentral
o Distres pernafasan berat seperti merintih, retraksi berat
o Pneumonia dengan tanda bahaya seperti kesulitan minum, letargi atau
penurunan kesadaran, serta kejang.

Kapan anak pneumonia perlu rawat inap?4,12


Sebagian besar anak dengan pneumonia bisa ditangani di rumah dengan pemberian antibiotik
oral. Alasan utama anak dirujuk untuk dirawat di rumahsakit antara lain :
- Memerlukan pemberian antibiotik parenteral
- Dikhawatirkan akan mengalami perburukan
- Membutuhkan monitoring intensif
- Memerlukan oksigen
- Akses intra vena dan/atau dukungan nutrisi
- Membutuhkan prosedur invasif seperti WSD
Alasan ini didasarkan pada penilaian klinis adanya:
- Pernafasan bronkial atau tanda-tanda efusi pleura
- Grunting/merintih, head nodding atau nafas cuping hidung
- Nafas sangat cepat (RR > 70 kali permenit)
- Malnutrisi
- Usia anak masih sangat muda (<2 bulan) atau prematur

Penatalaksanaan
a. Manajemen anak pneumonia dengan rawat jalan
Pemilihan antibiotik untuk pengobatan empiris pneumonia pada rawat jalan
haruslah mencakup organisme yang secara umum menjadi penyebab
terjadinya pneumonia, yaitu Streptococcus pneumonia dan Haemofilus
influenzae.
Antibiotik yang digunakan secara luas untuk itu adalah amoksisilin dan co-
trimoxazole (trimetophrim dan sulfamethoxazole fixed dose combination).
Namun belakangan diketahui bahwa angka resistensi kuman terhadap co-
trimoxazole meningkat, sehingga penanganan terbaru hanya menggunakan
amoksisilin untuk pengobatan lini pertama.
Adapun antibiotik lini kedua pada keadaan resisten terhadap amoksisilin dapat
menggunakan amoksisilin-clavulanat dosis tinggi, kloramfenikol, tetrasiklin,
atau golongan macrolide seperti eritromisin, klaritromisin, atau
azitromisin.4,9,12

b. Manajemen anak pneumonia di rawat inap.


Selain kondisi klinis yang mengindikasikan anak dirawat inap, pemasangan
pulse oximetry harus segera dilakukan untuk menentukan adanya hipoksia
yang merupakan tanda penting. Jika SaO2 <90% anak merupakan resiko
tinggi dan harus segera diberi oksigen. Pada keadaan tidak ada pulse oximetry,
kondisi klinis juga bisa dijadikan parameter indikasi pemberian oksigen.
Karena tingginya resiko kematian pada anak dengan pneumonia berat,
pemilihan antibiotik empiris spektrum luas yang tepat sangat dibutuhkan.
Rekomendasi pemilihan antibiotik menurut WHO adalah4,12 :
- Ampisilin (50 mg/kg IM setiap 6 jam) dan Gentamisin (7,5 mg/kg IM
sekali sehari) selama 5 hari
- Jika tidak terlihat perbaikan selama 48 jam dan diduga penyebabnya
Stafilococcus pneumonia, ganti ke Gentamisin 7,5 mg/kg IM atau IV
sekali sehari dan kloksasilin 50 mg/kg IM atau IV setiap 6 jam
- Pada kondisi gagal terapi lini pertama, gunakan seftriakson 80 mg/kg
IM atau IV
Setelah sebelumnya pemberian kloramfenikol efektif diberikan, beberapa
tahun belakangan ini pemberian antibiotik gabungan ampisilin dengan
gentamisin terbukti memberikan efektifitas yang sangat tinggi dalam
pengobatan pneumonia yang diakibatkan kuman bakteri gram positif dan gram
negatif kecuali Staphylococcus aureus.13
Antibiotik lain boleh diberikan seperti sefalosforin generasi ke-3 seperti
seftriakson atau sefotaksim tetapi kurang efektif terhaddap kuman S.aureus.
Ceftazidim mempunyai aktivitas yang sangat tinggi terhadap kuman
pseudomonas. Imipenem diberikan sebagai antibiotik spektrum luas dalam
keadaan khusus.
Pada keadaan dimana terjadi resistensi kuman S.pneumoniae, maka
vancomycin merupakan pengobatan pilihan, namun obat ini sangat mahal
harganya.
Selama perawatan di rumahsakit, pemantauan yang ketat sangat diperlukan
baik oleh dokter maupun oleh perawat. Pemantauan ini meliputi pengamatan
terhadap laju nafas, retraksi, penilaian saturasi oksigen dengan pulse
oksimeter, tingkat kesadaran, kemampuan makan/minum, dan keseimbangan
cairan.

c. Pneumonia persisten
Pada pasienn yang tidak respon dengan pengobatan di atas, pertimbangkan
kemungkinan pneumonia atipikal, tuberkulosis, atau pneumocystosis (infeksi
HIV dan AIDS). Penyebab yang umum pada pneumonia atipikal adalah
Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydophila pneumoniae. Jika dugaannya
ini, maka pilihan utama antibiotiknya adalah azithromycin per oral 10 mg/kg
once daily (maks. 500 mg/hari) untuk 5 hari. Jika tidak terdapat azithromycin,
maka pilihan berikutnya adalah erythromycin PO 30-40 mg/kg/hari dibagi
dalam 4 dosis untuk 10 sampai 14 hari.

d. Terapi suportif
Terapi suportif menjadi bagian pengobatan yang sangat penting tetapi sangat
sering dilupakan. Pemberian diet yang adekuat sangat perlu diperhatikan
mengingat peningkatan kebutuhan nutrisi akibat peningkatan kerja nafas pada
anak pneumonia. Kebutuhan cairan juga merupakan hal yang sangat perlu
diperhatikan, walaupun hal ini masihh merupakan perdebatan, tetapi
setidaknya anak akan membutuhkan cairan tambahan akibat kekurangan
cairan disebabkan kenaikan suhu tubuhnya. Pemberian oksigen serta
pemantauannya merupakann terapi yang sangat penting mengingat salah satu
komplikasi penting pada penderita pneumonia yaitu hypoxaemia. Idealnya
setiap anak pneumonia membutuhkan pemantauan saturasi oksigen secara
berkala dengan pulse oksimetri untuk menentukan kebutuhan oksigennya.
Biasanya anak dengan saturasi oksigen <90% memerlukan pemberian
oksigen.4
Daftar Pustaka
1. Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, et al. Epidemiologi and etiologi
of childhood pneumonia. Bull World Health Organ 2008;86:408.
2. World Health Organization. Pneumonia. Fact sheet No. 331. April
2013. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/

3. Harris M, Clark J, Coote N, et al. British Thoracic Society guideline


for the management of community acquired pneumonia in children:
update 2011. Thorax 2011;66supl;2ii1
4. Mulholland K, Weber MW. Pneumonia in Children. Epidemiology,
Prevention and Treatment. Pinter and Martin Ltd 2016

5. Shah S, Sharieff GQ. Pediatric respiratory infections. Emerg Med


Clin North Am. 2007;25(4):961–979, vi
6. Lynch JP III, Zhanel GG. Streptococcus pneumoniae: epidemiology
and risk factors, evolution of antimicrobial resistance, and impact of
vaccines. Curr Opin Pulm Med. 2010;16(3):217–225
7. Nohynek H, Madhi S, Grijalva CG. Childhood bacterial respiratory
diseases: past, present, and future. Pediatr Infect Dis J. 2009;28(10
Suppl):S127–S132
8. Buletin WHO 2008; 86: 408-416
9. Gereige RS, Laufer PM. Pneumonia. Pediatrics in Review Vol.34
No.10 October 2013:438-455

10. UNICEF/WHO, Pneumonia: The forgotten killer of children, 2006

11. WHO. Pocket book of hospital care for children. 2 nd


ed.Geneva:WHO;2013
12. Médecins sans Fontiéres. Clinical Guidelines - Diagnosis and
Treatment Manual. 2016 edition
13. Asghar R, Banajeh S, Egas J, Hibberd P, Iqbal I, Katep-Bwalya M et
al. Chloramfenicol versus ampicillin plus gentamicin for community
acquired very severe pneumonia among children age 2-59 months in
low research setting: multicentre randomised control trial (SPEAR
study). BMJ 2008 January 12;336(7635):80-4

Anda mungkin juga menyukai