Sekretariat PKB 9
IDAI
Cabang
Sumatera
Utara
Jln.
Jamin
Gin9ng
Komplek
Citra
Garden
Blok
B1
No.
17,
Pendidikan
Kedokteran
Medan
-‐Sumatera
Utara
Berkelanjutan 9
Telp:
061-‐8219200
Medan,
18-‐19
Februari
2017
Email:
pkbsumutjanuari2017@gmail.com
Kata Sambutan
Penyunting
Daftar Penulis
UPDATE ASMA PADA ANAK : IMPLEMENTASI PEDOMAN NASIONAL ASMA ANAK 2015
Yazid Dimyati
Pendahuluan
Kejang demam adalah penyakit yang sering dijumpai pada anak. Terjadi pada 2% sampai 5%
pada anak usia 6 bulan sampai 60bulan.1,2 Dahulu, kejang demam dikarenakan epilepsi
dengan prognosis yang buruk. Kejang demam dapat dapat menyebabkan kerusakan otak dan
menyebabkan epilepsi. Tatalaksana yang tepat diperlukan agar dapat mencegah terjadinya
kerusakan pada otak yang berlebihan.3
Status epileptikus (SE) adalah keadaan darurat medis yang mengancam jiwa yang
memerlukan pengenalan dan pengobatan yang tepat. SE bukan merupakan penyakit khusus,
tetapi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) atau gangguan sistemik yang
menyebabkan gangguan SSP. Tata laksana yang tepat adalah identifikasi dan pengobatan
penyebab yang mendasarinya sehingga kejang akan terkontrol dan mencegah kerusakan yang
terjadi.4,5
Defenisi
Menurut rekomendasi Ikatan Neurologi Anak Jepang tahun 2015, kejang demam adalah
kejang yang disertai demam (peningkatan suhu 38oC atau lebih tinggi) yang bukan
disebabkan oleh infeksi SSP, yang terjadi pada anak usia 6 bulan sampai 60 bulan.6
Berdasarkan American Academy Pediatrics (AAP) tahun 2008, kejang demam adalah kejang
pada anak usia 6 bulan sampai 60 bulan yang tidak memiliki infeksi intrakranial, gangguan
metabolik dan riwayat kejang demam.7 Sedangkan menurut Rekomendasi UKK Neurologi
IDAI tahun 2016, kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur
6bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38oC,
denganmetode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.8
Definisi status epileptikus (SE) sampai saat ini belum memiliki keseragaman karena
International League Againts Epilepsy (ILAE) hanya menyatakan bahwa SE adalah kejang
yang berlangsung terus-menerus selama periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai
pulihnya kesadaran diantara kejang. Kekurangan definisi menurut ILAE tersebut adalah
batasan lama kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat
kesepakatan batasan waktunya adalah selama 30 menit atau lebih.9,10
Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5 tahun.Dengan insiden puncak
pada usia 18 bulan dan kejadian terendah sebelum usia 6 bulan atau setelah usia 3 tahun. Dan
tidak ada perbedaan jenis kelamin.7,8
Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per 100.000 anak. Status
epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang dari 1 tahun
dengan estimasi insidens 1 per 1000 bayi.9,10
1
Etiologi
Penyebab kejang demam dianggap multifaktorial, salah satunya adalah faktor lingkungan dan
faktor genetik.11
Secara umum, etiologi SE dibagi menjadi:9
1. Simtomatis : penyebab diketahui
a. Akut : infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit, trauma
kepala, perdarahan, atau stroke.
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya : ensefalopati hipoksik-iskemik
(EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak kongenital
c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, otoimun (contohnya
vaskulitis)
d. Epilepsi
2. Idiopatik/kriptogenik : penyebab tidak dapat diketahui
Klasifikasi
Klasifikasi dari kejang demam adalah kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung singkat
(kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang
dalam waktu 24jam.3,6,8
Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan salah satu ciri berikut :3,6,8
1. Kejang lama (>15 menit)
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.
Klasifikasi SE berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE) 2015
adalah :10
1) Dengan gejala motorik yang menonjol
a. SE konvulsif (SE tonik klonik) : Kejang umum, kejang fokal menjadi umum dan
tidak diketahui apakah fokal atau umum
b. SE mioklonik : Dengan koma dan tanpa koma
c. SE fokal : Kejang fokal (Jacksonian), epilepsia partialis continua (EPC), status
adversive dan status okuloklonik dan iktal paresis (yaitu, fokus penghambatan SE)
d. Status tonik
e. SE hiperkinetik
2) Tanpa gejala motorik yang menonjol (misalnya, SE nonkonvulsif)
a. SE nonkonvulsif dengan koma
b. SE nonkonvulsif tanpa koma
i. Umum : status absans tipikal, status absans atipikal, status absans mioklonik
ii. Fokal : Tanpa penurunan kesadaran (continua aura, dengan otonom, sensorik,
visual, penciuman, pengecapan, emosional / psikis atau gejala pendengaran),
afasik, kesadaran terganggu
iii. Tidak diketahui apakah fokal atau umum : SE otonom
2
Patofisiologi
Kejang dan status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk membatasi
penyebaran kejang baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi yang berlebihan dan atau
aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif. Neurotransmiter eksitasi utama tersebut
adalah neurotran dan asetilkolin, sedangkan neurotransmiter inhibisi adalah gamma-
aminobutyric acid (GABA).3,5,9
Awalnya terjadi mekanisme kompensasi otak, khususnya hipertensi dengan
peningkatan aliran darah ke otak untuk mencegah kerusakan otak. Status epileptikus yang
berlangsung lama menyababkan : hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi dan hipertermia, dengan
penurunan tekanan oksigen otak. Ketidakkeseimbangan antara kebutuhan oksigen dan
glukosa tinggi menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan penurunan glukosa dan
oksigen otak.3,5
Kompensasi otak membutuhkan aliran udara, napas, sirkulasi dan aliran darah otak
yang cukup dan kompensasi ini terjadi pada stadium awal. Kematian dan kesakitan terjadi
akibat gagalnya mekanisme kompensasi. Hipoksia terjadi karena gangguan ventilasi, air liur
yang berlebihan, sekresi trakeobronkial, dan peningkatan kebutuhan oksigen. Hipoksia
disertai kejang yang lama dan asidosis menyebabkan fungsi ventrikel jantung menurun,
menurunkan curah jantung, hipotensi, yang mengganggu fungsi sel jaringan dan neuron.
Selain itu sering terjadi asidosis metabolik dan respiratorik.3,5,10
Saat terjadi SE, dikeluarkan hormon katekolamin dan perangsangan saraf simpatis
yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, denyut jantung, dan tekanan vena sentral.
Edema otak yang terjadi akibat adanya hipoksia, asidosis, danhipotensi dapat menyebabkan
herniasi. Serum glukosa pun dapat menurun. Kejang yang tidak dapat teratasi, dapat
menyebabkan hiperpireksia, mioglobinuria, dan peningkatan kreatinin fosfokinase akibat
rabdomiolisis.3,10
Komplikasi tersering adalah hipoksia, asidosis laktat, hiperkalemia, hipoglikemia,
syok, hiperpireksia, gagal ginjal, dan gagal napas. Pada kerusakan jaringan otak, kematian
disebabkan gagalnya mekanisme kompensasi.3,10
Pemeriksaan Penunjang
Menurut Rekomendasi UKK Neurologi IDAI 2016, pemeriksaan laboratorium tidak
dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas
indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah.8
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi
lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia < 12 bulan yang mengalami kejang
demam sederhana dengan keadaan umum baik.8,11 Indikasi dari pungsi lumbal adalah terdapat
tanda dan gejala rangsang meningeal, terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan klinis serta dapat dipertimbangkan pada anak dengan kejang
disertai demam yang sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut
dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.3
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak diperlukan untuk kejang demam,
KECUALI apabila bangkitan bersifat fokal. Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI
3
kepala) tidak rutin dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan
tersebut dilakukan bila terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap,
misalnya hemiparesis atau paresis nervus kranialis.8
Pada SE pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mengetahui penyebab terjadinya.
Pemeriksaan laboratorium pada anak dengan kejang ditujukan selain untuk mencari etiologi
kejang, juga untuk mencari komplikasi akibat kejang yang lama. Jenis pemeriksaan
laboratorium ditentukan sesuai kebutuhan.9 Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan
kejang pertama kali adalah kadar glukosa darah, elektrolit, hitung jenis, dan protrombin
time.9,10 Beberapa peneliti lain menganjurkan standar pemeriksaan laboratorium yaitu darah
tepi lengkap, elektrolit serum, glukosa, ureum, kreatinin, kalsium, dan magnesium. Pada
kejang demam beberapa peneliti mendapatkan kadar yang normal pada pemeriksaan
laboratorium tersebut, oleh karenanya tidak diindikasikan pada kejang demam, kecuali bila
didapatkan kelainan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bila dicurigai adanya meningitis
bakterial, lalukan pemeriksaan kultur darah, dan kultur cairan serebrospinal. Bila dicurigai
adanya ensefalitis, lakukan pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) terhadap virus
herpes simpleks.10
Pungsi lumbal dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kejang disertai penurunan
status kesadaran / mental, perdarahan kulit, kuduk kaku, kejang lama, gejala infeksi, paresis,
peningkatan sel darah putih, atau tidak adanya faktor pencetus yang jelas. Pungsi lumbal
ulang dapat dilakukan dalam 48 atau 72 jam untuk memastikan adanya infeksi SSP. Bila
didapatkan kelainan neurologis fokal dan adanya peningkatan tekanan intrakranial,
dianjurkan memeriksakan CT scan kepala terlebih dahulu, untuk mencegah terjadinya risiko
herniasi.11,12 Menurut rekomendasi American Academy of Pediatrics, pungsi lumbal sangat
dianjurkan pada serangan pertama kejang disertai demam pada anak usia di bawah 12 bulan,
karena meningitis pada kelompok usia ini dapat menunjukkan gejala klinis yang minimal atau
bahkan tidak ada. Pada anak usia 12 – 18 bulan lumbal pungsi dianjurkan, sedangkan pada
usia lebih dari 18 bulan lumbal pungsi dilakukan bila ada kecurigaan adanya infeksi
intrakranial (meningitis).12
Pemeriksaan CT scan kepala dilakukan pada anak dengan kecurigaan trauma kepala,
infeksi susunan saraf pusat, tumor, perdarahan intrakranial pada kelainan pembekuan darah
(APCD – aquired prothrombine complexdeficiency). MRI dilakukan bila kelainannya
mengenai batang otak, atau dicurigai adanya adanya tumor otak atau gangguan
mielinisasi.11,12
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) segera setelah kejang dalam 24 sampai 48
jam, atau sleep deprivation dapat memperlihatkan berbagai macam kelainan. Beratnya
kelainan EEG tidak selalu berhubungan dengan beratnya manifestasi klinis. Gambaran EEG
akan memperlihatkan gelombang iktal epileptiform. Normal atau kelainan ringan pada EEG
merupakan indikasi baik terhadap kemungkinan bebasnya kejang setelah obat antiepilepsi
dihentikan.10
Tatalaksana
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus dilakukan
seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat serta dosis anti-
4
konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi. Berdasarkan Advanced
Paediatric Life Support (APLS) adalah sebagai berikut :12
Berikut ini adalah algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus
berdasarkan Konsensus UKK Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.9
5
Gambar 2. Algoritme kejang akut dan status epileptikus menurut UKK Neurologi IDAI9
Keterangan:
Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit.
Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan yang
sama
Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis yang
diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan teteskan pada
buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan kelompok usia :
2,5 mg (usia 6 – 12 bulan); 5 mg (usia 1 – 5 tahun); 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun); 10 mg (usia ≥
10 tahun)
Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah
pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan
kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang.
Midazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan
dengan kondisi rumah sakit
Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak
kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10mg/kg IV dilanjutkan dengan
pemberian rumatan bila diperlukan.
6
Pada kejang demam setelah dilakukan tatalaksana kejang akut, dilakukan pemberian
antipiretik meskipun tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam. Dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap
dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 sampai 15 mg/kg/kali
diberikan tiap 4 sampai 6 jam. Dosis ibuprofen 5 sampai 10 mg/kg/kali, 3 sampai 4 kali
sehari.8
Yang dimaksud dengan pemberian obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada
kejang demam dengan salah satufaktor risiko di bawah ini:8
• Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
• Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
• Usia < 6 bulan
• Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39oC
• Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan cepat.
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oralatau rektal 0,5
mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg), sebanyak
3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan
selama 48 jam pertama demam.8
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat
dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumat hanya
diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek. Indikasi pengobatan rumat:8
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya palsi
serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan
risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat
menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat adalah 15 sampai 40 mg/kg/hari
dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3 sampai 4 mg/kg/hari dalam 1 sampai 2 dosis.
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk kejang demam
tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.2,8
Komplikasi
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik
umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada
anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut menegaskan pentingnya terminasi kejang
demam yang berpotensi menjadi kejang lama.2,3,8
Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron dan memicu
reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik, perubahan reseptor glutamat dan
GABA, serta perubahan lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem jaringan
7
neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang berulang dapat
menyebabkan komplikasi sistemik. Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE
konvulsif dapat menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal.
Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme anaerob dan memicu asidosis.
Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi sarafotonom dan fungsi jantung (hipertensi,
hipotensi, gagal jantung, atau aritmia). Metabolisme otak pun terpengaruh; mulanya terjadi
hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa
akan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi,
dan bila tidak terpenuhi akan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat terjadi
akibat proses inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar darah-otak.4,5,9
Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah depresi napas
serta hipotensi, terutama golongan benzodiazepin dan fenobarbital. Efek samping propofol
yang harus diwaspadai adalah propofol infusion syndrome yang ditandai dengan
rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta asidosis metabolik.
Pada sebagian anak, asam valproat dapat memicu ensefalopati hepatik dan hiperamonia.
Selain efek samping akibat obat antikonvulsan, efek samping terkait perawatan intensif dan
imobilisasi seperti emboli paru, trombosis vena dalam, pneumonia, serta gangguan
hemodinamik dan pernapasan harus diperhatikan. 4,9
Daftar Pustaka
1. Gupta A. Febrile seizures. Continuum. 2016: 22; 51-9.
2. Carapetian S, Hageman J, Lyons E, Leonard D, Janies K,dkk. Emergency department
evaluation and management of children with simple febrile seizures. Clin Ped. 2015:
54; 992-8.
3. Shinnar Shlomo. Febrile seizures. Dalam: Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM,
Schor NF, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology principle and practices. 2012.
Edisi ke-lima. Philadelphia : Saunders-Elsevier.hal.790-7.
4. Riviello JJ. Convulsive status epilepticus. Dalam: Duchowny M, Cross
JH,Arzimanoglou A, penyunting. Pediatric Epilepsy. New York: Mc Graw
HillMedical, 2013. h. 288-96.
5. Morton LD, Pellock JM. Status epilepticus. Dalam : Swaiman, KF, Ashwal S,Ferriero
DM, Schor NF, penyunting. Swaiman’s Pediatric neurology principlesand practice.
Edisi ke-5. China: Elsevier Saunders, 2012. h. 798-810.
6. Natsume J, Hamano S, Iyoda K, Kanemura H, Kubota M,dkk. New guidelines for
management of febrile seizures in Japan. Brain & Develp. 2017: 39; 2-9.
7. Kimia AA, Bachur RG, Torres A, Harper MB. Febrile seizures: emergency medicine
perspective. Curr Opin Pediatr. 2015: 27;292-7.
8. UKK Neurologi. Rekomendasi penatalaksanaan trauma kepala. Dalam:
Mangunatmadja I, Handryastuti S, Dewi MR, penyunting. Rekomendasi
penatalaksanaan kejang demam. 2016. Jakarta : IDAI.hal.1-11.
8
9. UKK Neurologi. Rekomendasi penatalaksanaan trauma kepala. Dalam:
Mangunatmadja I, Handryastuti S, Dewi MR, penyunting. Rekomendasi
penatalaksanaan status epileptikus. 2016. Jakarta : IDAI.hal.1-7.
10. Trinka E, Cock H, Hesdorffer D, Rossetti AO, Scheffer IE. A defenition and
classification of status epilepticus – report of ILAE task force on classification of
status epilepticus. Epilepsia. 2015: 56; 1515-23.
11. Patel N, Ram D, Swirderska N, Mewasingh LD,Newton RW, Offringa M. Febrile
seizures. BMJ. 2015: 351; 27-31.
12. Ram D, Martland. Management of convulsive status epilepticus in children. J Paed.
2015: 06; 1-6
9
GLOBAL DEVELOPMENTAL DELAY
Hardiono D. Pusponegoro
Outline
1. Pendahuluan
2. Definisi dan pengertian
3. Etiologi
4. Algoritme penegakkan diagnosis dan mencari etiologi
a. Manifestasi klinis
b. Pemeriksaan terhadap IOM
c. Pemeriksaan kromosom dan genetik
d. Pemeriksaan lain
5. Terapi
6. Prognosis
7. Kesimpulan
Pendahuluan
Dalam bidang perkembangan anak, istilah delay harus dibedakan dengan disorder.
Pengertian delay berarti bahwa perkembangan anak terlambat dibandingkan anak sebayanya.
Sebagian di antara anak-anak tersebut secara alamiah memang dapat menyusul keterlambatan
perkembangan tersebut, namun pada sebagian anak lain keterlambatan merupakan gejala dari
suatu gangguan atau disorder. Disorder berarti anak tersebut mengalami suatu penyakit atau
gangguan spesifik. Dalam hal ini, istilah Global Developmental Delay (GDD) merupakan hal
yang unik. Sebagian di antaranya dapat menyusul, sedangkan sebagian merupakan gangguan
yang akhirnya menjadi disabilitas intelektual (DI). Dalam makalah ini akan dibahas
mengenai cara menegakkan diagnosis GDD dengan etiologi yang sulit.
menunjukkan prevalensi 17 per 1000 kelahiran hidup. Pada anak Aborigin, prevalensi adalah
39 per 1000 kelahiran hidup.6 Di Taiwan dilaporkan prevalensi DI sebesar 5,9 per 1000 anak
berumur 3-17 tahun.7
Etiologi
Etiologi dapat dibagi menurut klasifikasi Finnish.8,9 Sebagai tambahan digunakan beberapa
klasifikasi yang lebih baru.3,5
1. Genetik
Kromosom Trisomy 21,13,18 Cri du chat del 5p)
Mutasi gen Tuberous sclerosis, phenylketonuria, Tay-
Sachs, Hunter, Smith-Lemli-Opitz,
FraX-syndrome
Mikrodelesi Angelman, Prader-Willi, Williams
Multifaktor Familial pure ID/MR, Neural tube defects
Ensefalopati genetik
Rett syndrome (4 MECP2 and 2 CDKL5
mutations)
Dravet spectrum disorder with SCN1A
mutation
Inborn Errors of Metabolism Mitochondrial diseases
(IOM) Lysosomal diseases
Disorders of intermediary metabolism
X-ALD
IEM lain
2. Malformasi
Malformasi SSP Holoprosencephaly, lissencephaly
Malformasi multipel Goldenhaar, Sotos
3. Gangguan prenatal eksternal
Infeksi maternal Rubella, cytomegalovirus, human
immunodeficiency virus
Obat/ toksin Alcohol/hydantoin
Nutrisi, IUGR, Prematuritas Placental insufficiency, toxaemia
Lain-lain Diabetes, radiation, trauma, stroke
4. Pranatal/ neonatal
Infeksi Meningitis, herpes
Proses persalinan Asphyxia, trauma
Komplikasi neonatal Hypoglycaemia,hyperbilirubinemia
5. Pascanatal
3
Melihat klasifikasi tersebut, sebagian merupakan gangguan yang jelas penyebabnya dan
diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis ditambah MRI dan
pemeriksaan kromosom biasa. Diagnosis yang mudah ditegakkan adalah palsi serebral,
epilepsi, spasme infantil, kejang neonatus, autisme, mikro/ makrosefali. 5 Apabila diagnosis
sudah dapat ditegakkan, tidak disebut sebagai GGD lagi. Kasus-kasus tersebut tidak
dibahas dalam makalah ini.
Pada 20-62% kasus GDD, etiologi tetap tidak dapat ditegakkan, yang umumnya disebabkan
penyakit genetik, gangguan kromosom atau metabolik.2,3,10 Dari klasifikasi pada tabel 1,
terlihat bahwa banyak sekali etiologi yang sulit ditegakkan. Akibatnya, berbagai spesialis
secara sendiri-sendiri meminta berbagai pemeriksaan yang tidak terarah. Untuk menghindari
hal ini, sebaiknya dibuat tim multidisiplin yang melakukan pemeriksaan awal sebelum
melakukan pemeriksaan lanjutan.10 Dengan cara ini, diagnosis dapat ditegakkan pada 46%
kasus dan kemungkinan diagnosis kerja untuk pemeriksaan berikutnya pada 38% kasus
lainnya.10
Global Developmental Delay ditandai keterlambatan perkembangan dua bidang atau lebih.
Bila kita melakukan skrining secara periodik, hal ini sangat mudah dideteksi. Namun, bila
kita hanya melakukan observasi, seringkali kecurigaan terlambat ditegakkan. American
Academy of Pediatrics menganjurkan agar melakukan skrining pediatri umum pada umur 9,
18 dan 30 bulan.11
Tujuan evaluasi GDD adalah 1) konfirmasi dan penentuan derajat GDD, 2) mencari etiologi,
3) merujuk anak untuk terapi dan rehabilitasi, 4) konseling keluarga dan 5) penatalaksanaan
masalah medis dan perilaku.7 American Academy of Neurology telah menerbitkan suatu
algoritme untuk menegakkan diagnosis GDD yang masih valid tetapi memerlukan beberapa
penambahan (gambar 1).1
4
Manifestasi klinis
Pada 17,2% sampai 34,2% kasus, etiologi GDD dapat ditentukan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisis.1 Anamnesis yang perlu dilakukan termasuk riwayat keluarga,
konsanguinitas, adanya kematian neonatal dini dalam keluarga, dan anak dengan riwayat
penyakit sama.7 Riwayat regresi perkembangan dapat menjadi petunjuk IOM atau penyakit
neurodegeneratif lain.7
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi gejala neurologis dan non-neurologis.12 Gejala
neurologis yang mencurigakan ke arah IOM misalnya ataksia, gangguan perilaku, demensia,
distonia, ensefalopati, epilepsi, gangguan dengar, hipotonia/miopati, kelainan MRI,
neuropati, gangguan gerak bola mata, gangguan psikiatrik, spastisitas, stroke, gangguan
penglihatan. Gejala non-neurologis ditemukan pada 69% kasus, meliputi beberapa organ
misalnya tulang dan sendi, dermatologi, endokrinologi, mata, dismorfisme, pertumbuhan,
jantung, gastrointestinal, hematologi, imunologi, ginjal, hati, bau urine.12 Adanya
dismorfologi, hepatomegali dan lesi kulit harus dicari. 7Demikian pula dengan ada-tidaknya
gangguan pendengaran dan penglihatan. Gangguan penglihatan ditemukan pada 13% - 50%
kasus, sedangkan gangguan pendengaran ditemukan pada 18% kasus.1 Tidak mungkin
seorang dokter dapat mengingat semua gejala tersebut.
Saya sering menemukan wajah dismorfik, namun tidak selalu jelas mengarah kepada
diagnosis tertentu. Lingkar kepala normal, berbeda dengan palsi serebral yang sering
menunjukkan lingkar kepala yang kecil. Anak seringkali memperlihatkan gejala hipotonia
sentral, yaitu kurangnya tonus yang dapat diperiksa dengan horizontal suspension, vertical
suspension dan traction response. Terlihat pula joint laxity yaitu gerakan otot di persendian
yang berlebihan. Berbeda dengan lesi lower motor neuron yang juga menunjukkan hipotonia,
pada kasus GDD refleks fisiologis tetap positif. Hati membesar dapat menjadi petunjuk
penyakit metabolik. Anak seringkali mengalami gangguan bicara dan kognitif.
Uji rutin yang biasa saya lakukan adalah darah tepi lengkap, fungsi tiroid bila belum
dilakukan skrining saat bayi lahir. Pemeriksaan tiroid menghasilkan diagnosis sekitar 4% di
negara yang belum melakukan skrining hipotiroid.1 Menurut pengalaman saya, cukup banyak
kasus hipotiroid yang ditemukan. Di Indonesia, walaupun sudah ada peraturan menteri
kesehatan untuk melakukan skrining hipotiroid, baru dilakukan skrining terhadap 100.000
anak setiap tahun.
Belum ada rekomendasi mengenai perlunya pemeriksaan EEG terhadap semua anak dengan
GDD.1 Pengalaman saya adalah EEG hanya dilakukan bila ada kejang atau regresi
perkembangan. EEG dilakukan saat tidur dan bangun, sehingga kadang-kadang kita dapat
menemukan pola electrical activity during slow-wave sleep (ESES). EEG rutin hanya
menghasilkan diagnosis sebanyak 0,4%. Autisme sering disertai GDD. Terkadang sulit
membedakan autisme dengan disabilitas intelektual karena sebagian di antara anak autisme
juga menunjukkan keterlambatan gerak.13 Hal yang dapat digunakan untuk membedakan
5
autisme dan GDD adalah adanya gangguan interaksi dan perilaku stereotipik dan repetitif
pada autisme.14
CT-Scan menunjukkan hasil 30% sedangkan MRI menunjukkan hasil yang jauh lebih baik
yaitu 48,6% - 65,5%.1 Saya berpendapat bahwa pada anak dengan GDD lebih baik dilakukan
MRI dahulu sebelum melakukan pemeriksaan laboratorium, karena seringkali ditemukan
petunjuk dari MRI.
Pemeriksaan lain
Pemeriksaan terhadap plumbum ditujukan terhadap anak dengan kemungkinan terpapar
plumbum dari lingkungan dengan keadaan sosioekonomi yang kurang. Keterlambatan biasa
bukan merupakan indikasi pemeriksaan plumbum, kecuali tinggal di lingkungan dengan 12%
anak menunjukkan kadar plumbum lebih dari 10g/dl atau 27% rumah dibangun sebelum
tahun 1950, anak minoritas, anak imigran, anak yang terpapar obat alternatif, anak dengan
defisiensi besi, terpapar debu atau tanah terkontaminasi.1,16
6
Apakah ada keluarga dekat dengan GDD (saudara kandung, paman/ bibi, sepupu?
1. Karena gangguan metabolik, genetik atau struktural SSP
2. GDD tidak diketahui penyebabnya
Tidak
Ya Apakah ada gejala spesifik mengarah suatu
diagnosis?
A. Anamnesis atau pemeriksaan fisis
(dismorfik) sindrom Down, Fragile-x,
sindrom Rett, hipotiroid, penyakit genetik
lain?
1. Pemeriksaan spesifik ke arah
B. Anamnesis (asfiksia), pemeriksaan fisis
gangguan tersebut
(mikrosefali, CP, gejala fokal), kejang fokal
2. Skrining sitogenetik
yang menarah ke kerusakan SSP atau
malformasi
C. Risiko keracunan timbal (plumbum)
D. Regresi, konsanguinitas, abortus berulang
Ya Tidak
Evaluasi komprehensif
1. MRI
Uji spesifik MRI (lebih
Skrining 2. Skrining metabolik
diagnosis baik dari
plumbum 3. EEG
tersebur CT Scan)
4. Skrining sitogenetik
5. Konsultasi genetik
Evaluasi berjenjang
1. MRI
2. Skrining sitogenetik/ Fragile-x
3. Metabolik
4. Subtelometrik
5. Sindrom Rett
Terapi
Terapi GDD tergantung etiologi. Apabila disebabkan palsi serebral, dilakukan fisioterapi.
Meta-analisis menunjukkan bahwa hasil fisioterapi pada palsi serebral kurang
menggembirakan.17,18 Khusus untuk stimulasi kognitif saya belum menemukan terapi yang
tepat. Teknik floor-time19 atau thera-play mungkin dapat digunakan sebagai program
bermain, namun mungkin tidak ada laporan bahwa terapi ini dapat meningkatkan
kemampuan kognitif pada GDD. Terapi perilaku dan stimulasi dengan okupasi mungkin pula
dapat digunakan.
Prognosis
Istilah GDD menunjukkan adanya kemungkinan catch-up, tetapi 4 tahun setelah diagnosis,
60/62 (97%) anak dengan GDD yang tetap menunjukkan berbagai keterlambatan. 20 Suatu
laporan lain menunjukkan bahwa di antara 93 anak yang pernah di diagnosis sebagai GDD,
sebanyak 73% menunjukkan IQ 70 atau lebih.21 Tentunya angka tersebut tidak dapat
digunakan sebagai nilai rujukan, karena prognosis sangat tergantung etiologi.
Kesimpulan
Global Developmental Delay merupakan istilah yang tidak konsisten karena mempunyai
konotasi dapat terjadi catch-up, tetapi sebagian di antara GDD menunjukkan gejala menetap
dan menjadi disabilitas intelektual pada umur lebih dari 5 tahun. Kasus GDD yang sudah
dapat diketahui etiologinya jangan disebut sebagai GDD lagi. Sebagian lagi tidak
memperlihatkan faktor risiko dan etiologi yang jelas. Di antara mereka, gangguan kromosom,
genetik, dan metabolik menjadi perhatian utama. Sayangnya, banyak di antara pemeriksaan
tersebut belum tersedia di Indonesia, dan harganya mahal.
Daftar rujukan
3. Eun SH, Hahn SH. Metabolic evaluation of children with global developmental delay.
Korean J Pediatr 2015;58:117-22.
4. Thomaidis L, Zantopoulos GZ, Fouzas S, Mantagou L, Bakoula C, Konstantopoulos
A. Predictors of severity and outcome of global developmental delay without
definitive etiologic yield: A prospective observational study. BMC Pediatr
2014;14:40.
5. Lopez-Pison J, Garcia-Jimenez MC, Monge-Galindo L, Lafuente-Hidalgo M, Perez-
Delgado R, Garcia-Oguiza A, Peña-Segura JL. Our experience with the aetiological
diagnosis of global developmental delay and intellectual disability: 2006-2010.
Neurología (English Edition) 2014;29:402-7.
6. Bourke J, de Klerk N, Smith T, Leonard H. Population-Based prevalence of
intellectual disability and autism spectrum disorders in western australia: A
comparison with previous estimates. Medicine (Baltimore) 2016;95:e3737.
7. Foo YL, Chow JC, Lai MC, Tsai WH, Tung LC, Kuo MC, Lin SJ. Genetic evaluation
of children with global developmental delay-current status of network systems in
taiwan. Pediatr Neonatol 2015;56:213-9.
8. Wilska ML, Kaski MK. Why and how to assess the aetiological diagnosis of children
with intellectual disability/mental retardation and other neurodevelopmental
disorders: Description of the finnish approach. Eur J Paediatr Neurol 2001;5:7-13.
9. Wong VC, Chung B. Value of clinical assessment in the diagnostic evaluation of
global developmental delay (GDD) using a likelihood ratio model. Brain Dev
2011;33:548-57.
10. Van Karnebeek C, Murphy T, Gainnasi W, Thomas M, Connoly M, Stockler-
Ipsiroglu S. Diagnostic value of a multidisciplinary clinic for intellectual disability.
Can J Neurosci 2014;41:333-45.
11. Medical Home Initiatives for Children With Special Needs Project Advisory
Committee. Identifying infants and young children with developmental disorders in
the medical home: An algorithm for developmental surveillance and screening.
Pediatrics 2006;118:405-20.
12. Van Karnebeek CD, Stockler S. Treatable inborn errors of metabolism causing
intellectual disability: A systematic literature review. Mol Genet Metab
2012;105:368-81.
13. Blacher J, Kasari C. The intersection of autism spectrum disorder and intellectual
disability. J Intellect Disabil Res 2016;60:399-400.
14. Pedersen AL, Pettygrove S, Lu Z, Andrews J, Meaney FJ, Kurzius-Spencer M, et al.
DSM criteria that best differentiate intellectual disability from autism spectrum
disorder. Child Psychiatry Hum Dev 2016. Published online 24 August 2016.
15. Van Karnebeek CD, Shevell M, Zschocke J, Moeschler JB, Stockler S. The metabolic
evaluation of the child with an intellectual developmental disorder: Diagnostic
algorithm for identification of treatable causes and new digital resource. Mol Genet
Metab 2014;111:428-38.
16. Control CFD, Prevention. Low level lead exposure harms children: A renewed call
for primary prevention. Report of Advisory Committee on Childhood Lead Poisoning
Prevention. Atlanta, GA: CDC 2012.
9
17. Hielkema T, Hamer EG, Reinders-Messelink HA, Maathuis CG, Bos AF, Dirks T, et
al. LEARN 2 MOVE 0-2 years: Effects of a new intervention program in infants at
very high risk for cerebral palsy; a randomized controlled trial. BMC Pediatr
2010;10:76-84.
18. Ketelaar M, Kruijsen AJ, Verschuren O, Jongmans MJ, Gorter JW, Verheijden J, et
al. LEARN 2 MOVE 2-3: A randomized controlled trial on the efficacy of child-
focused intervention and context-focused intervention in preschool children with
cerebral palsy. BMC Pediatr 2010;10:80-90.
19. Iwanaga R, Honda S, Nakane H, Tanaka K, Toeda H, Tanaka G. Pilot study: Efficacy
of sensory integration therapy for japanese children with high-functioning autism
spectrum disorder. Occup Ther Int 2014;21:4-11.
20. Webster RI, Majnemer A, Platt RW, Shevell MI. Child health and parental stress in
school-age children with a preschool diagnosis of developmental delay. J Child
Neurol 2008;23:32-8.
21. Riou EM, Ghosh S, Francoeur E, Shevell MI. Global developmental delay and its
relationship to cognitive skills. Dev Med Child Neurol 2009;51:600-6.
PENATALAKSANAAN TRAUMA KEPALA PADA ANAK
Johannes H Saing
Pendahuluan
Trauma kepala merupakan salah satu penyebab tersering kematian pada anak dan telah
menjadi masalah besar di dunia. Trauma kepala enam kali lebih sering menyebabkan
kematian daripada infeksi HIV pada anak dan dua puluh kali lebih sering daripada asma. 1 Di
Amerika Serikat terdapat 600 000 kasus anak dengan trauma kepala datang ke Unit Gawat
Darurat, 60 000 kasus di rawat inap dan lebih dari 6000 kasus mengalami kematian pada anak
dibawah usia 19 tahun.2 Insidensi terbanyak didapati pada usia remaja, dimana anak laki-laki
lebih banyak daripada perempuan. Penyebab trauma kepala paling banyak karena jatuh dan
kecelakaan lalu lintas. Trauma kepala sedang dan berat dapat menyebabkan kematian,
gangguan kognitif dan neurologi yang menetap.1,3,4 Terdapat perbedaan pada trauma kepala
anak dengan dewasa, yaitu ukuran proporsi kepala dan tubuh anak, tengkorak lebih compliant
dari orang dewasa dan leher anak yang relatif lebih lemah daripada orang dewasa.3
Jenis trauma
Menurut hukum Monroe-Kellie volume intrakranial adalah konstan yang terdiri dari otak
(80%), darah (12%) dan cairan serebrospinal (8%). Apabila terdapat gangguan pada salah
satu komponen maka komponen yang lain akan melakukan kompensasi untuk menjaga agar
tekanan intrakranial tetap, apabila kompensasi ini gagal akan terjadi peningkatan tekanan
intrakranial.5 Pada trauma kepala, terdapat dua jenis trauma berdasarkan mekanismenya yaitu
trauma primer dan trauma sekunder.3
Trauma Primer
Trauma primer adalah kerusakan pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi saat
trauma. Beberapa anak dengan trauma kepala dapat mengalami luka pada superfisial saja,
seperti laserasi pada kulit kepala atau hematoma, atau dapat berupa fraktur tengkorak tanpa
trauma intrakranial. Fraktur tengkorak yang bersifat menekan, terbuka ataupun fraktur basis
kranii berhubungan dengan trauma intrakranial. Trauma pada otak dapat berupa extra-axial
(perdarahan epidural, subdural, subarachnoid, intraventikular) atau intra-axial (kontusio
serebral, perdarahan intrasereberal, diffuse axonal injury). Gabungan dari keduanya dapat
juga terjadi secara bersamaan.2,3
• Perdarahan epidural berupa perdarahan yang terjadi antara tengkorak dengan duramater.
Meskipun pada tipe klasik akibat dari perdarahan arteri meningeal, dapat juga terjadi
akibat perdarahan pada vena. Hal ini jarang terjadi pada bayi dan anak kecil. Biasanya
terjadi akibat jatuh dari tempa tinggi ataupun pukulan langsung ke kepala dan dapat
terjadi tanpa adana fraktur tengkorak. Dari CT-scan kepala dapat terlihat gambaran
berbentuk lensa konveks yang tidak melewati sutura.
• Perdarahan subdural berupa perdarahan vena kortikal yang terletak diantara dura dan
membran arachnoid. Mekanisme terjadinya akibat percepatan atau deselerasi pada kepala.
1
Sering terjadi pada anak yang lebih kecil. Dapat terjadi dengan atau tanpa adanya fraktur
tengkorak. Dari CT-scan kepala terdapat gambaran bulat sabit dan dapat melewati sutura.
• Perdarahan subarachnoid akibat perdarahan dari pembuluh pial kecil akibat trauma
tumpul atau gesekan. Sering terdistribusi secara luas namun tidak mengakibatkan efek
berat.
• Perdarahan intraventrikular akibat perdarahan intraserebral, perdarahan subarachnoid
yang luas, atau robeknya vena subependimal atau struktur periventricular. Biasanya
berhubungan dengan trauma lain. Bayi prematur sering mengalami perdarahan
intraventrikular yang spontan.
• Kontusio sereberal adalah perdarahan yang terlokalisir pada trauma neuronal. Terjadi
akibat trauma tumpul pada kepala yang mengakibatkan benturan dari otak dan tengkorak.
•
Perdarahan intrasereberal terjadi akibat perdarahan pembuluh intraparenkim. Dapat
mengakibatkan efek yang berat.
• Diffuse axonal injury adalah kerusakan luas pada beberapa akson di otak dan biasanya
akibat dari akselerasi/deselerasi atau rotasi kepala. Biasanya terjadi pada kecelakaan lalu
lintas.
Trauma Sekunder
Trauma sekunder adalah kerusakan pada neuron akibat hipoksia, hipoperfusi, gangguan
metabolik, dan peningkatan tekanan intracranial, yang terjadi beberapa saat setelah trauma
dan dapat berlangsung lama, yang akan mengakibatkan kebutuhan oksigen dan glukosa
neuron meningkat dan sampai kematian sel. Trauma sekunder ini dapat berupa herniasi otak,
edema serebri, infark dan hidrosefalus.3
Trauma kepala dapat menyebabkan pelepasan glutamat, fluktuasi metabolisme
glukosa di serebral (awalnya meningkat, kemudian menurun) dan perubahan tekanan darah.
Kemudian akan terjadi kerusakan aksonal sehingga menyebabkan terputusnya stimulus,
peningkatan jumlah neurotransmiter dan kematian sel. Peningkatan neurotransmiter eksitatori
terjadi bersamaan dengan meningkatnya kadar glukosa di serebral dan menunjukkan klinis
kejang. Hal ini akan mengakibatkan kematian sel saraf. Maka dibutuhkan suatu usaha untuk
menyeimbangkan antara neurotransmiter eksitatori dan inhibitori.1,6
2
1. Depolarisasi sel
2. Pelepasan neurotransmiter
3. Pelepasan Kalium
4. Peningkatan pumping Kalium
5. Hiperglikolisis
6. Akumulasi laktat
7. Disfungsi mitokondria dan
penyerapan Calsium
8. Fosforilasi oksidatif
9. Apoptosis
3
0 – 7 memiliki resiko tinggi kematian, skor 8 – 14 memiliki resiko sedang, dan skor 15 – 16
memiliki risiko rendah terhadap kematian. 9
Tabel 1. Skala Koma Glasgow Pediatrik dan Full of Unresponsiveness Score (FOUR)3,9
SKG Pediatrik FOUR score
Respon Mata Respon Mata
4 Spontan 4 Kelopak mata terbuka atau pernah terbuka
dan mengikuti arah atau berkedip oleh
perintah
3 Terhadap perintah 3 Kelopak mata terbuka namun tidak
mengikuti arah
2 Terhadap nyeri 2 Kelopak mata tertutup namun terbuka jika
mendengar suara keras
1 Tidak respon 1 Kelopak mata tertutup namun terbuka oleh
rangsang nyeri
0 Jika kelopak tetap tertutup dengan
rangsang nyeri
4
Trauma kepala pada anak dapat juga dibagi berdasarkan umur, yaitu anak usia kurang
dari 2 tahun dan anak usia lebih dari 2 tahun. Pembagian ini perlu karena trauma pada anak
kurang dari 2 tahun mempunyai karakteristik pemeriksaan klinis yang lebih sulit, kerusakan
intrakranial umumnya asimtomatik, sering terjadi keretakan tulang akibat trauma kepala
ringan dan sering terjadi kerusakan otak.10-12
Penilaian Awal
Pada semua kasus trauma kepala pada anak, lakukan terlebih dahulu survei primer dengan
prinsip berikut :5,10
A: Penilaian terhadap jalan nafas dan imobilisasi pada trauma leher
B: Penilaian jalan nafas, pemberian oksigen apabila dibutuhkan
C: Penilaian sirkulasi, resusitasi cairan apabila dibutuhkan
D: Penilaian derajat kesadaran menggunakan Skala Koma Glasgow Pediatrik
E: Penilaian kadar glukosa darah
Evaluasi diagnosis dilakukan secara simultan atau segera setelah survei primer untuk
menentukan tatalaksana pada pasien.10
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis dan
pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Anamnesis yang dapat ditanyakan kepada orangtua pada anak dengan trauma kepala adalah
sebagai berikut :10
• Tanyakan secara rinci mekanisme trauma pada anak, seperti ketinggian jatuh, apakah
kepala membentur sesuatu. Jika kecelakaan lalu lintas tanyakan mekanisme
kecelakaan, apakah anak memakai helm pelindung, apakah anak terlempar, posisi
jatuh, terbentur atau tidak
• Bagian tubuh mana yang mengalami trauma, apakah terdapat trauma multipel
• Apakah anak menangis setelah trauma, apakah terdapat penurunan kesadaran, berapa
lama terjadi penurunan kesadaran
• Adakah kehilangan ingatan (amnesia), sampai berapa lama penderita tidak dapat
mengingat kejadian
• Apakah ada sakit kepala, muntah-muntah, kejang, perdarahan/keluar cairan dari
hidung, telinga atau mulut
• Adakah benjolan kepala setelah jatuh, adakah tanda tulang yang retak
• Apakah terdapat patah tulang leher, bahu maupun ekstremitas
• Apakah sudah terdapat gangguan neurologis sebelum trauma
• Apakah terdapat gangguan perdarahan
• Apakah terdapat penyalahgunaan obat atau alkohol (pada anak remaja)
• Pada bayi dan anak, jika terdapat inkonsistensi antara riwayat trauma dengan kondisi
anak pikirkan kemungkinan child abuse
5
Pemeriksaan Fisik dan Neurologis
Pemeriksaan fisik dan neurologis yang dilakukan pada anak dengan trauma kepala adalah
sebagai berikut:5,10
• Nilai kesadaran anak dengan Skala Koma Glasgow Pediatrik
• Pemeriksaan fisik :
- Kepala : hematoma, laserasi, penumpukan cairan, depresi tulang
- Fraktur tengkorak : otorea, hemotimpanum, rinorea, racoon eye, battle sign
- Leher : deformitas, kekakuan atau nyeri
- Jejas trauma di bagian tubuh lain : dada, abdomen dan ekstremitas
• Status mental : sadar penuh, orientasi, bingung, gaduh gelisah, tidak responsif
• Saraf kranial : Refleks pupil (N.II, N.III), Doll’s eye response (N.III, N.IV, N.VI),
respon okulomotor kalorik (N.III, N.IV, N.VI, N.VIII), refleks kornea dan seringai
wajah (N.V, N.VII), refleks muntah (N.IX, N.X)
• Pemeriksaan sensorimotor : Asimetri, gerakan (spontan/menuruti perintah), tonus
otot, koordinasi (jika memungkinkan), reaksi terhadap nyeri (menarik/withdrawal,
deserebrasi, dekortikasi, tidak ada respon)
• Pemeriksaan refleks fisiologis, patologis, klonus
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada anak dengan trauma kepala adalah
sebagai berikut :6,10
• Pemeriksaan darah tepi lengkap
• Pemeriksaan protein S 100 B yang bertujuan untuk menilai adakah indikasi
pemeriksaan CT-scan dan untuk menentukan prognosis
• Pemeriksaan CT-scan kepala
6
Di Indonesia terdapat pedoman indikasi CT-scan kepala pada anak dengan trauma
kepala yang dibuat oleh UKK Neurologi, yaitu sebagai berikut:10
7
Keterangan *
Risiko terjadi cedera otak traumatik
Keterangan **
Untuk kondisi di atas dapat dipertimbangkan langsung melakukan CT scan kepala atau
observasi terlebih dahulu tergantung dari :
1. Apakah hanya satu atau lebih dari kondisi-kondisi di atas yang ditemukan
2. Saat diobservasi di ruang emergensi nampak perburukan (perubahan kesadaran, sakit
kepala, muntah)
3. Pengalaman dokter yang merawat
4. Permintaan orang tua
5. Usia kurang dari tiga bulan
Keterangan ***
Untuk semua anak, apabila diputuskan akan diobservasi terlebih dahulu, dapat dipilih untuk
diobservasi di rumah (rawat jalan) atau di rumah sakit, tergantung apakah dokter yakin bahwa
orang tua cukup kompeten untuk mengobservasi anak di rumah.
• Lama observasi minimal adalah 24 jam
• Perhatikan apakah ada gejala/tanda gangguan intrakranial. Apabila ditemukan harus
segera konsultasi dengan spesialis yang sesuai, CT scan kepala segera dan rujuk ke
pusat kesehatan dengan fasilitas bedah syaraf
8
Algoritme Evaluasi Anak dan Remaja dengan Trauma Kepala Ringan
9
Algoritme Evaluasi Anak Usia Kurang 2 Tahun dengan Cedera Kepala Ringan
Tatalaksana
Apabila terdapat kondisi dibawah ini, maka harus diberikan tatalaksana sesuai dengan kondisi
masing-masing secara lebih spesifik pada pusat layanan kesehatan yang sesuai:10
• Ada trauma multipel
• Dicurigai atau diketahui adanya trauma servikal
• Adanya gangguan neurologis sebelumnya
• Adanya diatesis hemoragik
• Trauma kepala yang disengaja
10
• Adanya kendala bahasa antara pasien/orangtua dengan dokter
• Penyalahgunaan obat atau alkohol
Apabila tidak ada kondisi diatas, nilai apakah penderita:10
• Terdapat kelainan pada tulang tengkorak
• Terdapat kelainan pada pemeriksaan mata
• Terdapat kelainan pada pemeriksaan neurologis
Apabila ditemukan harus segera dilakukan konsultasi dengan spesialis yang sesuai,
pemeriksaan CT scan kepala segera dan rujuk ke pusat kesehatan dengan fasilitas bedah
syaraf. Selanjutnya pertimbangan melakukan CT scan atau observasi terlebih dahulu dapat
dilihat dari algoritma di atas.10
Indikasi operasi
Operasi diindikasikan pada perdarahan epidural, atau perdarahan akut subdural yang telah
dikonfirmasi dari hhasil CT-scan. Untuk kontusio serebri atau perdarahan intraserebral yang
minimal dianjurkan untuk terapi konservatif, operasi dapat dilakukan jika perdarahan
intrasereberal luas yang tampak pada CT-scan. Pada fraktur tengkorak yang menekan dan
terbuka atau jika fraktur luas dan sudah menimbulkan gejala klinis yang berat harus segera
dilakukan tindakan operasi.11
Indikasi spesifik untuk dilakukan operasi pada pasien dengan trauma kepala adalah: 11
a) Perburukan klinis
b) Ukuran > 1 cm pada ekstrasereberal dan > 25 – 30 ml perdarahan intrasereberal
c) Pergeseran midline > 5 mm
d) Pembesaran ventrikel secara kontralateral (tanduk temporal)
e) Tidak adanya gambaran ventrikel ketiga
f) Peningkatan tekanan intrakranial
Medikamentosa
• Dapat diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri
• Tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial dan kejang (jika da kejang)
• Bila terdapat peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan obat penurun
tekanan intrakranial seperti Manitol 20% 0.5 – 1 gram/kg tiap 8 jam atau NaCl 3%
dengan dosis inisial 2 – 6 ml/kgBB dilanjutkan dengan infus kontinyu 0.1 – 1
ml/kgBB/jam dengan monitoring tekanan intrakranial. NaCl 3% dapat juga
diberikan dengan dosis inisial 5ml/kgBB dilanjutkan dengan 2ml/kgBB tiap 6
jam. Pemantauan kadar elektrolit dan diuresis diperlukan jika pasien diberikan
cairan hipertonis. Hindari/seminimal mungkin tindakan invasif dan hal-hal yang
dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
• Lakukan pemantauan klinis yang ketat selama 12 – 48 jam
• Tatalaksana demam
11
• Selama observasi di rumah sebaiknya anak tidak minu obat anti muntah, karena dapat
menutupi gejala perburukan yaitu muntah. Analgetik diberikan jika perlu
• Pengawasan dilakukan dengan memeriksa anak tiap 2 – 3 jam sampai 72 jam setelah
trauma
• Anak segera dibawa ke rumah sakit apabila selama observasi didapatkan:
- Anak tampak tidur terus menerus atau tidak sadar
- Anak menjadi gelisah, bingung atau delirium
- Kejang pada wajah atau ekstremitas
- Anak mengeluh sakit kepala yang menetap dan bertambah berat atau adanya
kekakuan di leher
- Muntah yang menetap terutama di pagi hari13
- Keluar cairan/darah dari hidung atau telinga
- Ubun-ubun besar yang menonjol
- Terdapat gangguan gerak ekstremitas
Daftar Pustaka
1. Lerner JT, Giza CC. Traumatic brain injury in children. Dalam: Swaiman KF, Ashwal
S, Ferriero DM, Schor NF, penyunting. Swaiman’s pediatric neurology principle and
practices. 2012. Edisi ke-lima. Philadelphia : Saunders-Elsevier.hal.1087-1125.
2. Schneier AJ, Shield BJ, Hostetler SG, Xiang H, Smith GA. Pediatric traumatic brain
injury and associated hospital resource utilization in the United States. Pediatrics.
2005: 118; 483-92.
3. Wing R, James C. Pediatric head injury and concussion. Emerg Med Clin N Am.
2013: 31; 653-675.
4. Marret S, Martin LM, Picaud JC, Hascoet JM, Arnaud C,dkk. Brain injury in very
preterm children and neurosensory and cognitive disabilities during childhood: the
EPIPAGE cohort study. Plos One. 2013: 8; 1-9.
5. Mazzola CA, Adelson D. Critical care management of head trauma in children. Crit
Care Med. 2002: 30; 1-9.
6. Kochaneck PM, Berger RP, Fink EL, Au AK, Bayir H,dkk. The potential for bio-
mediators and biomarkers in pediatric traumatic brain injury and neurocritical care.
Front Neurol. 2013: 4; 1-10.
7. Holmes JF, Palchak MJ, MacFarlane T, Kuppermsn N. Performance of the pediatric
glasgow coma scale in children with blunt head trauma. Acad Emerg Med. 2005: 12;
815-9.
8. Heather NL, Derraik JGB, Beca J, Hofmann PL, Dansey R,dkk. Glasgow coma scale
and outcomes after structural traumatic head injury in early childhood. Plos One.
2013: 8; 1-8.
9. Dewi R, Mangunatmadja I, Yuniar I. Perbandingan full outline of unresponsiveness
score dengan glasgow coma scale dalam menentukan prognostik pasien sakit kritis.
Sari Pediatri. 2011: 13; 215-20.
12
10. UKK Neurologi. Rekomendasi penatalaksanaan trauma kepala. Dalam:
Mangunatmadja I, Handryastuti S, Dewi MR, penyunting. Rekomendasi
penatalaksanaan trauma kepala. 2016. Jakarta : IDAI.hal.1-9.
11. Schutzman SA, Barnes P, Duhaime AC, Greenes D, Homer C,dkk. Evaluation and
management of children younger than two years old with apparently minor head
trauma: proposed guidelines. Pediatrics. 2001: 107; 983-93.
12. Maas AI, Dearden M, Teasdale GM, Braakman R, Cohadon F,dkk. EBIC-Guidelines
for management of severe head injury in adults. Acta Neurochir. 1997: 139; 286-94.
13. Dayan PS, Holmes JF, Atabaki S, Hoyle J, Tunik MG,dkk. Association of traumatic
brain injuries with vomiting in children with blunt head trauma. Pediatrics. 2014: 63;
657-65.
13
TATALAKSANA MALARIA BERAT PADA ANAK
Ayodhia Pitaloka Pasaribu
Malaria merupakan salah satu penyebab penyakit infeksi terbanyak didunia yang disebabkan
oleh parasit protozoa dari genus Plasmodium. Dari kelima spesies Plasmodium yang
menginfeksi manusia, Plasmodium falsiparum merupakan jenis yang paling virulen dan
penyebab kematian akibat malaria terbanyak. Namun Plasmodium vivaks dan knowlesi juga
dapat menyebabkan malaria berat dan kematian walaupun tidak terlalu banyak.
Secara global angka kejadian malaria berat diperkirakan sebanyak 2 juta kasus per
tahunnya. Berdasarkan laporaan World Health Organization (WHO, 2013) ada sebanyak 627
000 kasus kematian akibat malaria di seluruh dunia. Pada wilayah dimana transmisi
malarianya tinggi maka kejadian malaria berat sering dijumpai pada anak dibawaah usia 5
tahun dan berkurang setelah usia lebih besar dan dewasa karena adanya imunitas yang
didapat yang memberikan proteksi parsial. Sekitar 90% kasus malaria berat diperkirakan
terjadi pada anak-anak kecil di Sub Sahara Afrika. Pada daerah dengan endemisitas lebih
rendah kejadian malaria berat bisa didapati pada anak dan dewasa.
Setiap pasien dengan sangkaan malaria harus dinilai secara tepat dan mendapat
pengobatan secara cepat. Penderita malaria yang tidak mendapat pengobatan yang adekuat
dan memiliki bukti disfungsi organ ataupun jumlah parasit yang tinggi, berisiko untuk
menjadi berat.
Manifestasi malaria berat pada anak dan dewasa berbeda, penyebabnya masih belum
pasti apakah akibat pengaruh usia, karakteristik host ataupun parasit. Hal ini disebabkan data
malaria berat pada anak hanya sedikit yang didapat dari penelitian terutama diluar Afrika.
Pada populasi dengan transmisi tinggi, anemia berat merupakan manifestasi yang sering
dijumpai pada bayi dan anak kecil sedangkan pada transmisi rendah dan musiman, malaria
serebral lebih sering dijumpai dan biasanya pada anak yang lebih besar. Tabel 1
memperlihatkan perbedaan manifestasi malaria akibat Plasmodium falsiparum pada anak dan
dewasa.
Tabel 1. Perbedaan manifestasi malaria akibat Plasmodium falsiparum pada anak dan
dewasa.
Indikator laboratorium
Anemia berat +++ +
Hipoglikemia +++ ++
Asidosis +++ ++
Hiperlaktatemia +++ ++
Gangguan ginjal + +++
Hiperparasitemia ++ +
Penting memberikan dosis antimalaria parenteral atau rektal yang efektif secara cepat sebagai
talaksana awal malaria berat. Selanjutnya, diikuti oleh dosis lengkap Artemisinin Based
Combination Therapy (ACT) secara oral. Ada 2 jenis obat malaria parenteral yang digunakan
pada malaria berat: derivat artemisinin (artesunat dan artemeter) dan alkaloid kinkona (kina
dan kinidin).
Berikan artesunat secara intravena atau intramuskular sedikitnya 24 jam. Pemberian
ACT secara oral boleh diberikan bila pasien sudah bisa toleransi pemberiann oral dan sudah
24 jam diberikan dosis parenteral. Suatu penelitian uji klinis yang membandingkan antara
artesunat dan kinin menunjukkan bahwa artesunat secara bermakna lebih unggul baik dari
segi efikasi maupun keamanan. Apabila sediaan artesunat parenteral tidak tersedia maka bisa
digunakan artemeter secara intramuskular. Dosis artesunat yang diberikan adalah
2.4mg/kg/dosis pada jam ke 0, 12, 24 kemudian dilanjutkan per 24 jam. Untuk anak dibawah
20kg harus mendapat dosis yang lebih tinggi yaitu 3mg/kg/dosis. Artesunat bisa diberikan
secara intravena ataupun intramuskular. Untuk artemeter pertama sekali diberikan dosis
initial 3.2mg/kg/dosis dilanjutkan dengan dosis maintenance 1.6mg/kg/dosis 12 jam setelah
yang pertama kemudian jam ke-24 dan tiap 24 jam sekali. Artemeter diberikan secara
intramuskular sehingga sedikit tidak nyaman dibandingkan artesunat.
Kina merupakan pilihan kedua apabila artesunat/artemeter tidak tersedia. Dosis yang
diberikan dengan dosis initial 20mg/kg dilanjutkan dengan dosis maintenance 10mg/kg tiap 8
jam selanjutnya. Pemberikan kina tdak boleh dilakukan secara cepat karena bisa
menyebabkan hipotensi. Pemberian dengan dosis berlebih bisa menyebabkan kebutaan dan
ketulian.
Gangguan kesadaran terjadi akibat masuknya parasit ke mikrovaskular dan pembuluh darah
kecil di otak. Sebelum digunakan skala koma, istilah malaria serebral digunakan pada pasien
dengan gangguan kesadaran atau orang yang tidak mampu menunjukkan dimana lokasi sakit.
Skala koma Blantyre digunakan pada anak yang belum bisa bicara (tabel 2). Skala < 3
dianggap indikasi terrjadinya gangguan kesadaran. Banyak pasien malaria kembali sadar
setelah kejang. Secara klasifikasi, malaria serebral adalah koma yang bertahan lebih dari 1
jam setelah kejang tidak berkaitan dengan pemberian antikonvulsan.
Tabel 2. Skala koma Blantyre
Kejang berulang ditandai dengan terjadinya episode kejang lebih dari 2 kali dalam waktu 24
jam. Delapan puluh persen kejang terjadi pada saat masuk rumah sakit dan 60% berhenti
setelah perawatan. Tatalkasan yang diberikan yaitu dengan diazepam intravena 0.3mg/kg,
maksimum10mg atau lorazepam 0.1mg/kg dengan bolus lambat selama 2 menit. Bila tidak
ada sediaan intravena maka bisa diberikan secara rektal 0.5mg/kg. Pada kondisi kejang
berulang maka pemberian fenitoin atau fenobarbital bisa dipikirkan, namun monitor
pernafasan perlu diperhatikan.
Syok
Syok tekompensasi ditandai dengan pengisian kapiler > 3 detik tanpa adanya hipotensi.
Sedangkan syok dekompensasi ditandai bila tekanan darah < 70mmHg, dengan adanya
gangguan perfusi yang ditandai oleh akral dingin dan pengisian kapiler yang lama. Pemberian
bolus cepat pada syok akibat malaria berat tidak boleh diberikan walaupun dalam keadaan
hipotensi, dehidrasi berat ataupun asidosis metabolik karena bisa menyebabkan kolaps
kardiovaskular yang berakhir dengan kematian. Koreksi cairan dilakukan secara lambat
selama 3-4 jam menggunakan normal saline 3-5ml/kg/jam kemudian dilanjutkan dnegan
dekstrose 5% 2-3ml/kg/jam.
Asidosis metabolik
Keadaan ini ditandai dengan kadar bikarbonat <15mmol/L atau laktat ≥ 5mmol/L dan klinis
berupa pernapasan yang cepat, dalam dan distres penfasan. Pemberian bikarbonat tidak
dianjurkan pada keadaan asidosis metabolik akibat malaria berat, dan hanya diberikan bila
pH < 7.1 karena bisa menyebabkan fungsi vital berbahaya. Tatalaksana utama adalah
melakukan koreksi pada penyebab asidosis metabolik yaitu hipoglikemia, anemia ,
hipovolemia dan septikemia.
Anemia Berat
Anemia pada malaria terjadi karena berbagai faktor. Hancurnya eritrosit yang terinfeksi
parasit merupakan penyebab utama. Selain itu kemampuan limpa “pitting” dengan
memfagosit eritrosit yang berisi parasit juga merupakan faktor lain. Tatalaksana pada anemia
berat dibagi berdasarkan transmisi malaria. Pada kondisi transmisi tinggi dimana anak lebih
toleransi terhadap kadar hemoglobin yang lebih rendah, maka transfusi diberikan pada kadar
hemoglobin <5gr/dL. Sedangkan pada daerah transmisi rendah maka transfusi dilakukan bila
kadar hemoglobin < 7gr/dL.
Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi karena parasit malaria memerlukan glukosa untuk hidup dengan
mengambil glukosa dari tubuh host. Hipoglikemia ditandai dengan kadar glukosa < 40mg/dL.
Tatalaksana yang dilakukan adalah dengan memberikan bolus dengan glukosa 20% sebanyak
2ml/kg selama 10 menit. Jika tidak tersedia maka glukosa 50%, 1ml/kg selama 10 menit.
Pemeriksaan kadar gula darah dilakukan setiap jam sampai kondisi stabil dan pemberian
cairan dextrose 10% diberikan sebagai cairan maintenance.
Malaria berat bisa menyebabkan risiko terjadinya infeksi bakteri invasif seperti
pneumonia atau bakteremia, dan kondisi ini lebih sering terjadi pada anak daripada dewasa.
Apabila malaria berat ditandai dengan manifestasi malaria serebral, asidosis metabolik
ataupun anemia berat maka antibiotik perlu ditambahkan. Antibiotik yang diberikan perlu
disesuaikan dengan pola kuman setempat, namun antibiotik yang bersifat spektrum luas
seperti golongan sefalosporin generasi 3 sangat dianjurkan sebagai terapi empirik.
Kesimpulan
Malaria berat merupakan gangguan multisistem dengan berbagai komplikasi dengan risiko
kematian cukup besar. Diagnosis yang ditegakkan secara cepat dan tatalaksana yang efektif
dengan pemberian artesunat secara intravena atau intramuskular sebagai antimalaria pilihan
utama akan membantu menyebabkan banyak nyawa.
Referensi
1. World Health Organization 2015. Guidelines for the treatment of malaria. Ed 3rd.
Hal.75-92.
2. Day N, Dondorp M. The management of patients with severe malaria. Am J Trop
Med Hyg 2007; 77 (suppl 6): 29-35
3. Taylor CRJ, Whitten RO. Pathophysiology of fatal falciparum malaria in African
children. Am J Trop Med Hyg 1998; 58(5): 673-83
4. Wassmer SC, Taylor TE, Rathod PK, et al. Investigating the pathogenesis of severe
malaria: a multidisciplinary and cross-geographical approach. Am J Trop Med Hyg
2015; 93(suppl 3): 42-56
5. Mailand K. Management of severe pediatric malaria in resource limited settting. BMC
2015;13-42
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK SECARA RASIONAL
PADA BAYI DAN ANAK
Djatnika Setiabudi
Dipresentasikan oleh Dwiyanti Puspitasari
Pendahuluan
Antibiotik merupakan salah satu obat yang paling sering digunakan termasuk pada bayi dan
anak, baik di rumah sakit maupun di fasilitas kesehatan lainnya. Dalam penggunaan
antibiotik ada dua istilah yang sering dipakai yaitu penggunaan antibiotik secara rasional dan
penggunaan antibiotik secara bijak (prudent use). Penggunaan antibiotik yang tidak rasional
dan atau tidak bijak sering juga disebut sebagai penggunaan yang tidak tepat. Hal tersebut
mempunyai dampak terhadap kesembuhan pasien, meningkatnya kejadian efek samping,
penghamburan sumber dana, serta yang paling penting adalah peningkatan kejadian bakteri
yang resisten terhadap satu atau lebih antibiotik.1,2
Penggunaanantibiotiktidaktepat yang paling seringadalah pemberian antibiotik
padasetiap pasien dengan demam tinggi, infeksi saluran napas atas (radang tenggorokan), dan
pasien diare (yang disebabkan oleh infeksi virus).3Menurut catatan WHO, khususnya di
regional Asia Tenggara, data yang terhimpun antara tahun 1990 – 2007, didapatkan 50%
infeksi saluran napas atas yang disebabkan oleh virus mendapat antibiotik. Untuk diare akut
(yang sebenarnya tidak perlu mendapat antibotik) mencapai angka 54%.4
Hasil penelitian di bangsal perawatan anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta pada periode 1 Januari – 30 Juni 2009 menunjukan 49,2% pasien mendapat
antibiotik. Dari semua pasien yang mendapat antibiotik, hanya 39,6% yang mendapat
antibiotik tepat secara kualitatif. Pemberian antibiotik tanpa indikasi sebesar 3,3%.5Penelitian
yang hampir sama di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso Jakarta pada
periode tahun 2010, 41,7% pasien mendapat antibiotik. Dari semua pasien yang mendapat
antibiotik,sebesar 40,9% yang penggunaannya tepat secara kualitatif. Pemberian antibiotik
tanpa indikasi yang jelas sebesar 14,4%.6
Anak bukan semata-mata dewasa yang kecil, sehingga dalam penggunaan antibiotik
pada bayi dan anak terdapat berbagai perbedaan jika dibandingkan dengan pada dewasa.
Perbedaan tersebut disebabkan karena bayi dan anak merupakan individu yang masih
mengalami pertumbuhan dan perkembangan, baik anatomis (biologis) maupun fisiologis. Hal
tersebut mempunyai dampak terhadap farmakokinetik (PK) dan farmakodinamik (PD) obat
(antibiotik) yang diberikan. Farmakokinetik meliputi rangkaian kejadian mulai dari absorbsi,
distribusi, metabolisme sampai dengan eliminasi (ekskresi) obat, sedang PD membahas
tentang hubungan antara obat (antibiotik) dan efek terapinya.
Definisi
Pada dasarnya istilah penggunaan antibiotik secara rasional dan penggunaan secara bijak
hampir sama. Penggunaan obat secara rasional dapat didefinisikan sebagai pemberian obat
yang tepat (benar), dengan dosis yang tepat (adekuat) dan lamanya pemberian yang cukup,
1
sesuai indikasi klinis atau kebutuhan pasien dengan harga yang paling rendah.7Sedangkan
penggunaan antibiotik secara bijak (prudent use of antibiotics) mengandung tiga komponen
yaitu pemberian antibiotik secara rasional, sesuai dengan kebijakan dan pedoman nasional
(lokal), dan mempertimbangkan kaidah untuk mencegah timbulnya resistensi bakteri terhadap
antibiotik.8Di Indonesia sendiri, Kementrian Kesehatan dalam Buku Pedoman Penggunaan
Antibiotik dipakai istilah penggunaan antibiotik bijak (prudent), yaitu penggunaan antibiotik
dengan spektrum sempit, pada indikasi yang ketat, dengan dosis yang adekuat, interval dan
lama pemberian yang tepat.9 Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan
menegakkan diagnosis penyakit infeksi (bakteri), menggunakan informasi klinis dan hasil
pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. Menurut
WHO, kriteria pemakaian obat yang rasional (termasuk antibiotik), antara lain:
1. Sesuai dengan indikasi penyakit: pengobatan didasarkan atas keluhan individual dan hasil
pemeriksaan fisik yang akurat
2. Diberikan dengan dosis yang tepat: pemberian obat memperhitungkan umur, berat badan
dan perjalanan (kronologis) penyakit
3. Cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat: jarak minum obat sesuai
dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan
4. Lama pemberian yang tepat:pada kasus tertentu memerlukan pemberian obat dalam jangka
waktu tertentu
5. Obat yang diberikan harus efektif dengan mutu terjamin: hindari pemberian obat yang
kedaluarsa dan tidak sesuai dengan jenis penyakit
6. Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau: jenis obat mudah didapatkan dengan
biaya relatif murah
7. Meminimalkan efek samping dan reaksi alergi obat
2
Tabel 1. Perubahan Farmakokinetik Beberapa Antibiotik pada Neonatus dan Anak
Parameter Nama Efek Mekanisme
PK antibiotik
3
diduga menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.
Indikasi ditemukan sindroma klinis berat yang mengarah pada keterlibatan bakteri
tertentu. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik:
1) Dugaan bakteri yang paling sering menjadi penyebab infeksi berdasarkan data
epidemiologi dan pola resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah
sakit setempat.
2) Kondisi klinis pasien.
3) Ketersediaan antibiotik.
4) Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam jaringan/organ yang terinfeksi.
5) Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat digunakan
antibiotik kombinasi.
Lama pemberian antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam.
Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis
pasien serta data penunjang lainnya.9
2. Antibiotik untuk Terapi Definitif
Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotik pada kasus
infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya. Tujuan
pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi atau penghambatan
pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi, berdasarkan pemeriksaan
mikrobiologi. Indikasi sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab
infeksi. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik:
1) Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.
2) Pola uji kepekaan bakteri.
3) Biaya.
4) Kondisi klinis pasien.
5) Diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit.
6) Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit).
7) Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang terkini.
8) Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.
Rute pemberian antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi
infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan
antibiotik parenteral. Jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian antibiotik
parenteral harus segera diganti dengan antibiotik per oral. Lama pemberian antibiotik
definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal
yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data
mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya.9
3. Antibiotik Profilaksis
Antibiotik profilaksis adalah antibiotik digunakan bagi pasien yang belum terkena
infeksi, tetapi diduga mempunyai peluang besar untuk mendapatkannya, atau bila
terkena infeksi dapat menimbulkan dampak buruk bagi pasien. Obat-obatan profilaksis
harus diarahkan terhadap organisme yang mempunyai kemungkinan terbesar dapat
menyebabkan infeksi, tetapi tidak harus membunuh atau melemahkan seluruh patogen.9
Secara umum penggunaan antibiotik profilaksis terdiri dari penggunaan antibiotik
profilaksis bedah dan antibiotik profilaksis untuk berbagai kondisi medis.
4
1) Antibiotik profilaksis bedah
Pemberian antibiotik dilakukan sebelum (30–60 menit sebelum insisi pertama), saat
(bila operasi berlangsung lama, dapat diulang tiap 3 – 4 jam) dan hingga 24 jam
pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi
dengan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan pada saat
operasi, konsentrasi antibiotik di jaringan target operasi sudah mencapai kadar
optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri kulit dan lingkungan.
2) Antibiotik profilaksis untuk berbagai kondisi medis
Pemberian antibiotik profilaksis pada berbagai kondisi medis dapat diberikan pada
keadaan:
a. Pencegahan demam rematik rekuren, bisa berupa:
- Primer dilakukan pada individu yang berisiko timggi mengalami paparan atau
kontak terhadap infeksi streptokokus (khususnya anak-anak dan remaja) karena
hidup dalam situasi yang berdesakan (misalnya asrama).
- Pencegahan sekunder dilakukan pada individu yang pernah menderita serangan
demam rematik yang berisiko tinggi untuk mengalami rekurensi sesudah
faringitis Streptococcus beta-hemoliticus grup A.
- Pencegahan untuk pasien dengan riwayat pasti demam rematik dan yang dengan
bukti definitif penyakit jantung rematik.
b. Pencegahan endokarditis infektif (bakteri), diberikan pada individu yang
mempunyai kelainan/penyakit jantung yang berisiko tinggi untuk terjadi
endokarditis, seperti:
- Katup jantung prostetik
- Riwayat menderita endokarditis infektif sebelumnya
- Penyakit jantung bawaan
- Penerima transplantasi jantung yang mengalami valvulopati jantung
- Profilaksis dianjurkan untuk semua prosedur gigi yang melibatkan manipulasi
- jaringangingiva atau daerah periapikal gigi atau perforasi mukosa mulut.
c. Pencegahan pada meningitis: tujuan mencegah meningitis akibat kontak dengan
pasien, khususnya meningitis bakterialis yang disebabkan oleh meningococcus
dan H.influenzae
d. Pencegahan infeksi bakteri khusus pada keadaan imunokompromais (berat)
seperti neutropenia pada keganasan atau pada penderita HIV yang status
imunologisnya buruk.
5
yang optimal. Pengetahuan tentang sifat aktifitas ini juga penting kalau kita mau
memberikan antibotik kombinasi. Pemberian kombinasi antibiotik yang bersifat
bakteriostatik bersamaan dengan antibiotik bakterisidal akan mengurangi
efektivitasantibiotik bakterisidal.
Untuk infeksi yang berat atau pada keadaan pertahanan tubuh pasien yang
terganggu (imunokompromais), seperti malnutrisi berat, atau pada keganasan maka
sebaiknya dipilih antibiotik yang bersifat bakterisidal.
C. Spektrum Antibiotik
Berdasarkan jenis/macam atau kelompok mikroorganisma (bakteri) yang dapat dihambat
atau dieradikasinya, antibiotik dibagi menjadi:
1. Antibiotik spektrum luas: bila dapat menghambat atau membunuh baik bakteri gram
positif maupun gram negatif.
Contoh: Penisilin spektrum luas: Ampisilin, Amoksisilin (dapat di pakai untuk gram
positif dan gram negatif yang tidak memproduksi betalaktamase).
Sefalosporin generasi tiga dan empat, meropenem, karbopenem, ipimenem.
2. Antibiotik spektrum sempit : antibiotik yang menghambat atau membunuh kelompok
bakteri tertentu.
Contoh: Penisillin untuk Stafilokokus: Metisilin, Kloksasilin, Flukloksasilin ( kelompok
ini stabil terhadap betalaktamase)
Penisilin Antipseudomonas: Tikarsilin, Carbenisilin, Piperasilin.
Metronidazol:hanya berkhasiat terhadap kuman-kuman anaerob
Untuk pemakaian terapi antibiotik empiris biasanya diberikan antibiotik spektrum luas,
sedangkan untuk terapi definitif atau untuk profilaksis dipakai antibiotik spektrum sempit.
6
• Waktu paruh (t1/2) yang berbanding lurus dengan kecepatan eliminasi
Untuk jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut :
Pola aktivitas antibiotik berdasarkan parameter PK/PD dapat dilihat pada tabel berikut:
7
Tabel 2. Pola Aktivitas Antibiotik berdasarkan Parameter PK/PD
Mekanisme efek Antibiotik Parameter PK/PD Tujuan terapi
bakterisidal yang
berdasarkan data in berhubungan
vitro dengan efikasi
Tipe I.
Concentration Aminoglikosid Rasio Memaksimalkan
dependence dan efek Fluorokuinolon Cmax/KHM kadar obat:
persisten yang lama Ketolid tingkatkan dosis
(Metronidazol)
Rasio AUC - 24
jam/KHM
Tipe II
Time dependence dan Karbapenem Waktu > KHM Memaksimalkan
efek persisten minimal Sefalosporin durasi paparan:
Eritromisin tingkatkan lamanya
Linezolid infus atau frekwensi
Penisilin pemberian
Tipe III
Time dependence dan Azitromisin Rasio AUC - 24 Memaksimalkan
efek persisten sedang Klindamisin jam/KHM jumlah obat:
sampai lama Oksazolidinon tingkatkan dosis,
Tetrasiklin frekuensi pemberian
Vankomisin atau lamanya infus
8
- Usia lebih dari 28 hari (meskipun < 28 hari bukan kontra indikasi mutlak, biasanya
absorbsi kurang baik)
3) Availabilitas obat baik:
- Antibiotik yang diberikan efektif terhadap bakteri penyebab infeksi
- Antibiotik tersedia dalam formula yang cocok untuk anak (misalnya bentuk sirup)
- Antibiotik mempunyai penetrasi yang baik pada jaringan/organ yang terkena infeksi
4) Faktor kepraktisan
- Kepatuhan (aderens) yang baik bila diberikan per oral
- Orangtua pasien setuju dengan rencana switching
Contoh lama pemberian antibiotik dan kapan waktu switching yang tepat untuk
beberapa penyakit infeksi yang sering ditemukan pada bayi dan anak dapat dilihat pada tabel
3 dan 4.
9
viridans yang benzylpenicillin
sensitif (ceftriaxone)
MIC > 0: 12–2 mg/L: 4–6
minggu
MIC >4 mg/L: > 6 minggu
Staphylococcus aureus
MSSA uncomplicated: 4
minggu
MSSA complicated atau
MRSA:
6 minggu
Tabel 4. Lama Pemberian dan Switching Antibiotik pada Infeksi di Organ Paru
Penyakit Infeksi Lama Kriteria switch Total Lama pemberian
Pemberian ke oral (minimum)
i.v (minimum)
Community- Ringan: - --- 3 hari
acquired pneumonia
Sedang –berat: Perbaikan klinis Tidak ada komplikasi:: ≤7
pengobatan awal hari
(tergantung
10
klinis)
11
Pembatasan Pemakaian Antibiotik pada Anak
Pada umumnya indikasi pemakaian antibiotik pada bayi dn anak hampir sama dengan pada
dewasa. Hal yang sangat berbeda adalah dalam hal dosis dan interval pemberian sehubungan
dengan perbedaan kematangan anatomi (biologis) organ dan fisiologisnya. Ada beberapa
antibiotik yang tidak boleh diberikan pada anak sehubungan dengan efek samping yang
ditimbulkan atau belum ada data keamanannya. Beberapa jenis antibiotik yang tidak boleh
diberikan pada bayi dan anak dapat dilihat pada tabel 5.
Penutup
Sampai saat ini masih banyak penggunaan antibiotik pada bayi dan anak yang tidak tepat
(tidak rasional atau tidak bijak). Hal tersebut mempunyai dampak terhadap kesembuhan
pasien, meningkatnya kejadian efek samping, penghamburan sumber dana, serta yang paling
penting adalah peningkatan kejadian bakteri yang resisten terhadap satu atau lebih antibiotik.
Untuk menanggulangi atau mengendalikan keadaan demikian diperlukan pemahaman tentang
penggunan antibiotik yang rasional.
Hal penting adalah bahwa anak bukanlah dewasa mini, tetapi merupakan individu
yang masih tumbuh berkembang baik fisik (anatomis atau biologis) maupun fisiologisnya,
sehingga penggunaan antibiotik pada bayi dan anak harus mempertimbangkan PK/PD obat
yang diberikan. Penghitungan dosis antibiotik pada anak berdasarkan per kilogram berat
badan ideal sesuai dengan usia dan petunjuk yang ada dalam formularium dengan ketentuan
dosis harian tidak boleh melebihi dosis pada dewasa.
12
Daftar Pustaka
1. Bajcetic M, Jovanovic I. Current aspects of rational antibiotic use in pediatrics.
Pediatrics Today.2012;8(2):79–80.
2. Principi N, Esposito S. Antimicrobial stewardship in pediatrics.BMC Infect Dis.
2016;16:424.
3. Weissman J, Besser RE. Promoting appropriate antibiotic use for pediatric patients: a
social ecological framework. Semin Pediatr Infect Dis. 2004;15:41–51.
4. Holloway KA. Promoting the rational use of antibiotics. Regiobal Health Forum.
2011;15(1):122–30.
5. Satari HI, Firmansyah A, Theresia. Qualitative evaluation of antibiotic usage in pediatric
patients. Paediatr Indones. 2011;51:303–10.
6. Katarnida SS, Murniati D, Katar Y. Evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif di
RS Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta.Sari Pediatri. 2014;15(6):369–76.
7. Yewale VN, Dharmapalan D. Promoting appropriate use of drugs in children. Int J
Pediatr. 2012; Article ID 906570.
8. Philips I. Prudent use of antibiotics: are our expectations justified? Clin Infect
Dis.2001;33(Suppl.3):S130–2.
9. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Pedoman Umum Penggunaan
Antibiotik. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.2011
10. Kearns GL, Abdel-Rahman SM, Alander SW, Blowey DL, Leeder JS, Kauffman RE.
Developmental pharmacology — drug disposition, action, and therapy in Infants and
children. N Engl J Med. 2003;349:1157–67.
11. Strolin BM, Baltes EL. Drug metabolism and disposition in children. FundamClin
Pharmacol.2003;17:281–99.
12. Kline JM, Wietholter JP, Kline VT, Confer J. Pediatric antibiotic use: a focused review
of fluoroquinolones and tetracyclines. US Pharm.2012;37(8):56–9.
13. Batchelor HK, Marriott JF. Paediatric pharmakokinetics:key consideration.Br J Clin
Pharm.2013;79(3):395–404.
14. O’Hara K. Paediatric pharmakokinetics and drug doses. Aust Prescr.2016;39:208–10
15. Downes KJ, Hahn A, Wiles J, Courter JD, Vinks AA. Dose optimisation of antibiotics in
children: application of pharmacokinetics/pharmacodynamics in paediatrics. Int J
Antimicrob Agents. 2014;43(3):223–30.
16. Barker CIS, Germovsek E, Hoare RL, Lestner JM, Lewis J, Standing JF.
Pharmacokinetic/pharmacodynamic modelling approaches in paediatric infectious
diseases and immunology. Advanced Drug Delivery Rev.2014;73:127–39.
17. McMullan BJ, Andresen D, Blyth CC, Avent ML, Bowen AC, Britton PN, et al.
Antibiotic duration and timing of the switch fromintravenous to oral route for bacterial
infections in children: systematic review and guidelines. Lancet Infect Dis 2016;16:
e139–52.
18. American Academy of Pediatrics Committee on Infectious Diseases. The use of systemic
fluoroquinolones.Pediatrics.2006;118:1287–92.
19. Adefurin A, Sammons H, Jacqz-Aigrain E, Choonara I. Ciprofloxacin safety in
paediatrics: a systematic review. Arch Dis Child.2011;96:874–80.
13
14
APAKAH ALGORITME TATALAKSANA RENJATAN MENJAWAB
MASALAH DI PICU?
Antonius H. Pudjiadi
Secara tradisional renjatan dimaknai, secara klinis, dengan penurunan pefusi jaringan disertai
peningkatan kinerja sistim hemodinamik. Karena itu diagnosis renjatan ditegakkan bila
dijumpai penurunan kesadaran, penurunan produksi urine, disertai peningkatan laju jantung,
tekanan nadi yang sempit, perabaan nadi yang kecil, akral ekstremitas yang dingin, dan
pemanjangan waktu pengisian kapiler.
Tatalaksana klinis renjatan berkembang dengan pesat setelah penemuan kateter arteri
pulmonalis, yang juga dikenal dengan kateter Swan-Ganz.1 Pengukuran dengan kateter ini
memungkinkan pengukuran dan topangan lebih rinci berdasar parameter hemodinamik yang
terganggu (gambar 1). Renjatan kemudian didefinisikan sebagai kegagalan pasokan oksigen
(DO2) memenuhi kebutuhan oksigen jaringan (VO2). Berdasar konsep ini, renjatan terbagi
menjadi renjatan hipovolemik, akibat gangguan preload, renjatan kardiogenik, akibat
kegagalan pompa jantung, dan renjatan distributif, akibat gangguan tonus vaskular. Renjatan
yang disebabkan karena obstruksi aliran darah dari ventrikel jantung disebut renjatan
obstruktif.
Saturasi vena sentral (SvO2) bergantung pada kadar oksigen darah arteri dikurangi oksigen
yang digunakan jaringan. Sesuai persamaan Fick:
SaO2 adalah saturasi oksigen darah arteri, dipengaruhi fungsi pernapasan, Q adalah aliran
darah, dipengaruhi fungsi hemodinamik, VO2 adalah konsumsi oksigen, dipengaruhi
metabolisme tubuh dan Hb, hemoglobin adalah pengangkut oksigen.
Ketika pasokan oksigen menurun, tubuh akan melakukan kompensasi dengan meningkatkan
laju jantung, vasokonstriksi, untuk redistribusi darah ke organ yang lebih vital, dan berbagai
mekanisme lain termasuk peningkatan ekstraksi oksigen di jaringan (O2ER, oxygen
extraction ratio). Peningkatan O2ER akan berakibat penurunan SvO2. Bila mekanisme ini
gagal mengatasi kebutuhan oksigen, akan terjadi metabolisme anaerob dengan akibat
peningkatan asam laktat (gambar 2).
Laktat
Bila oksigen tidak mencukupi, kompensasi pertama yang dilakukan tubuh adalah glikolisis
anaerobik. Proses ini dapat menunda kekurangan energi yang tidak tercukupi karena
ketidaktersediaan oksigen. Pada tahap selanjutnya, bila oksigen tetap tidak tersedia maka
akan terjadi peningkatan kadar laktat. Namun demikian peningkatan kadar laktat dapat juga
terjadi pada keadaan aerob, misalnya akibat pengaruh epinephrine pada aktivitas Na+/K+
ATPase5,6 atau pada gangguan bersihannya (clearance).7 Bersihan laktat terjadi di hati
melalui perubahan menjadi pyruvat, melalui siklus Krebs, atau menjadi glukosa, proses
gluconeogenesis. Konversi 1 mol glukosa menjadi laktat menghasilkan 2 mol ATP,
sementara konversi 2 mol laktat menjadi 1 mol glukosa membutuhkan 6 mol ATP. Proses ini
sering tidak terpenuhi pada anak sakit kritis karena tidak tersedianya ATP yang cukup.7
Keberhasilan Shoemaker dengan konsep supra normal dapat dipahami karena praktek ini
dikerjakan untuk pasien bedah dengan sistim organ yang berfungsi baik. Proses
glikogenolisis maupun bersihan laktat berlangsung normal. Algoritme Rivers maupun
Brierley dikerjakan saat pasien di ruang gawat darurat (emergency). Pada dasarnya algoritme
tersebut hanya menerangkan bahwa bila saturasi vena sentral dapat ditingkatkan hingga
≥70% atau kadar laktat dapat diturunkan, prognosis pasien baik. Semua algoritme ini tidak
menjawab kegagalan ketidakcukupan energi pada anak sakit gawat di PICU.
DaftarPustaka
1. Swan HJ, Ganz W, Forrester J, et al. Catheterization of the heart in man with use of a flow-
directed balloon-tipped catheter. N Engl J Med 1970;283(9):447-51. doi:
10.1056/NEJM197008272830902
2. Shoemaker WC, Appel PL, Kram HB, et al. Prospective trial of supranormal values of
survivors as therapeutic goals in high-risk surgical patients. Chest 1988;94(6):1176-
86.
3. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, et al. Early goal-directed therapy in the treatment of
severe sepsis and septic shock. N Engl J Med 2001;345(19):1368-77. doi:
10.1056/NEJMoa010307
4. Brierley J, Carcillo JA, Choong K, et al. Clinical practice parameters for hemodynamic
support of pediatric and neonatal septic shock: 2007 update from the American
College of Critical Care Medicine. Critical care medicine 2009;37(2):666-88. doi:
10.1097/CCM.0b013e31819323c6
5. James JH, Luchette FA, McCarter FD, et al. Lactate is an unreliable indicator of tissue
hypoxia in injury or sepsis. Lancet 1999;354(9177):505-8. doi: 10.1016/S0140-
6736(98)91132-1
6. Bundgaard H, Kjeldsen K, Suarez Krabbe K, et al. Endotoxemia stimulates skeletal muscle
Na+-K+-ATPase and raises blood lactate under aerobic conditions in humans. Am J
Physiol Heart Circ Physiol 2003;284(3):H1028-34. doi: 10.1152/ajpheart.00639.2002
7. Levraut J, Ichai C, Petit I, et al. Low exogenous lactate clearance as an early predictor of
mortality in normolactatemic critically ill septic patients. Critical care medicine
2003;31(3):705-10. doi: 10.1097/01.CCM.0000045561.85810.45
DO AND DON’T IN TYPHOID FEVER
Kiki MK Samsi
Daftar Pustaka
1. Clearly TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics; edisi ke-16. Philadelphia: W.B.Saunders, 2000;842-8.
2. Cunha BA. Antibiotic Essential edisi ke 10. Sudbury: Jones and Barleets, 2010
3. Hayani KC, Pickering LK. Salmonella infections. Dalam: Feigen RD, Cherry JD, penyunting.
Textbook of pediatric infectious diseases; edisi ke-3. Philadelphia: W.B. Saunders, 1992;620-
36.
4. Nagshetty K , Channappa CT and Gaddad SM. Antimicrobial susceptibility of Salmonella
Typhi in India. J Infect Dev Ctries 2010; 4(2):070-073
5. Steele RW. Clinical Handbook of pediatric infectious disease, edisi ke-3. New Orleans:
Informa Health care, 2007.
6. WHO. Background document:The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever.
WHO, 2003. www.who.int/vaccines-documents/. Ordering code: WHO/V&B/03.07
7. Ley et al.. Evaluation of the Widal tube agglutination test for the diagnosis of typhoid fever
among children admitted to a rural hdospital in Tanzania and a comparison with previous
studies. BMC
8. Infectious Diseases 2010, 10:180. http://www.biomedcentral.com/1471-2334/10/180
STUNTING : WHAT SHOULD WE DO ?
Aman B. Pulungan
Orangtua selalu khawatir tentang pertumbuhan anaknya dan sering bertanya-tanya
berapa tinggi anaknya kelak setelah dewasa. Kekhawatiran tersebut semakin
bertambah bila anak tampak lebih pendek dibanding teman-teman sebayanya.
Berbagai upaya pun ditempuh untuk menambah tinggi badan sang anak. Walaupun,
sering sekali ternyata tinggi anak tersebut dalam kisaran normal potensi genetik.
Pertumbuhan merupakan indikator sensitif kesehatan anak, status nutrisi dan latar
belakang genetiknya. Perawakan tubuh, dalam hal ini tinggi badan sangat dipengaruhi
oleh faktor genetik, endokrin dan lingkungan. Faktor lingkungan yang paling berperan
dalam pertumbuhan adalah faktor nutrisi, baik nutrisi selama intrauterin maupun
ekstrauterin. Adanya gangguan, hambatan, atau penyimpangan yang terjadi sewaktu-
waktu sepanjang masa pertumbuhan akan sangat merugikan anak. Masa pertumbuhan
bayi dan anak hingga remaja berlangsung dalam fase-fase sebagai berikut.
Fase-fase pertumbuhan
a. Fase bayi (infant)
Pertumbuhan pasca-natal lebih ditentukan oleh faktor genetik dan dipengaruhi
oleh faktor nutrisi, kesehatan, dan keadaan psikis yang baik. Pada dua-pertiga
bayi normal, pertumbuhan mencari kanalisasi genetik akan terjadi pada usia 12-18
bulan. Dalam satu tahun pertama kehidupan, terjadi pertumbuhan sangat cepat dan
bervariasi antara 23-28 cm pertahun. Pada fase ini, hormon pertumbuhan belum
berperan dan peran insulin–like growth factors (IGF) pun belum jelas. Pada bayi
kecil akan terjadi kejar tumbuh (catch up) untuk mencapai keadaan normal dan
mengalami akselerasi pertumbuhan pada 6 bulan pertama setelah kelahiran. Jika
kejar tumbuh tidak terjadi pada fase bayi, maka akan terjadi perawakan pendek.
Pada bayi besar dan panjang yang potensi genetiknya kecil akan cenderung terjadi
perlambatan pertumbuhan (catch down).
1
pertambahan tinggi badan 5-6,5 cm pertahun dan biasanya tidak banyak berubah
sampai awal fase pubertas. Pertumbuhan pada masa ini dipengaruhi oleh hormon
pertumbuhan dan tiroid. Selain itu, faktor psikososial juga berperan pada fase ini.
c. Fase pubertas
Pada fase pubertas terjadi dua perubahan yaitu: akselerasi kecepatan tumbuh
tinggi badan yang sangat pesat dan peningkatan maturasi tulang dengan hasil
akhirnya penutupan epifisis. Pacu tumbuh pada fase ini ditentukan oleh interaksi
beberapa hormon yaitu hormon pertumbuhan, IGF-1, dan seks steroid (testosteron
dan estradiol). Rata-rata penambahan tinggi badan terbesar pada perempuan 8,3
cm dan pada laki-laki 9,5 cm pertahun. Pada masa dewasa terdapat perbedaan
tinggi sekitar 13 cm yang disebabkan pertumbuhan pada perempuan lebih cepat
berhenti. Pertumbuhan berhenti jika tulang sudah mencapai maturasi. Tulang
belakang masih akan tumbuh beberapa saat sesudah pertumbuhan tulang panjang
berhenti. Pertumbuhan dikatakan berhenti jika penambahan tinggi badan kurang 1
cm dalam 1 tahun.
Potensi genetik merupakan kisaran angka target tinggi badan setelah dikurang dan
ditambah 8,5 cm. Idealnya tinggi badan anak sesuai dengan target tinggi badannya
atau dalam kisaran potensi genetiknya.
Berbagai keadaan dapat menyebabkan anak menjadi pendek. Salah satu klasifikasi
penyebab perawakan pendek adalah:
1. Variasi normal perawakan pendek
1.1 Perawakan pendek familial
2
1.2 Constitutional delayed in growth and puberty (CDGP)
1.3 Perawakan pendek idiopatik
4. Kelainan endokrin
4.1 Defisiensi hormon pertumbuhan (Growth hormone deficiency)
4.2 Defisiensi hormon tiroid
4.3 Diabetes Mellitus
4.4 Kelebihan kortikosteroid
3
penurunan fungsi kognitif yang akan berdampak pada rendahnya performa akademi,
menurunnya produktivitas ekonomi, dan meningkatnya penyakit degeneratif di masa
mendatang. Oleh karena itu, stunting merupakan parameter tingkat kesejahteraan
suatu populasi. Jika di suatu negara banyak ditemukan stunting, maka hal itu
menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan di negara tersebut belum baik.
Gambar 1. Persentase balita dengan tinggi badan menurut umur (TB/U) di bawah
normal berdasarkan provinsi (Riskesdas 2013).
4
Gambar 2. Prevalensi status gizi balita menurut gabungan indikator tinggi badan
menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) (Riskesdas
2013).
Perawakan pendek akibat suboptimal health dan/atau malnutrisi dapat ditapis dengan
pengukuran BB/TB. Pemeriksaan lanjutan yang dapat digunakan untuk mengetahui
penyebab utama perawakan pendek pada anak adalah:
5
latihan fisik, setelah makan (saat kadar glukosa darah menurun), dan
selama tidur dalam. Oleh karena itu, mengukur nilai GH serum sekali dan
sewaktu saja tidak bermanfaat dalam evaluasi anak yang pendek.
• Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan:
o Pemeriksaan darah lengkap untuk penyakit hematologi.
o Laju endap darah.
o Kadar tiroksin serum total (T4 total) dan tirotropin (TSH) untuk
hipotiroidisme.
Tata laksana
Setiap anak dengan perawakan pendek harus diketahui penyebabnya dan keluarga
perlu dijelaskan mengenai potensi normal pertumbuhan seorang anak sesuai dengan
potensi genetiknya. Sebagian kasus tidak perlu langsung diterapi dan dapat ditata
laksana hanya dengan pemantauan berkala, namun sebagian kasus yang jelas
penyebabnya dapat diterapi sesuai penyebabnya.
Kasus yang jelas penyebabnya seperti perawakan pendek akibat malnutrisi dan
penyakit kronis harus segera diobati sesuai penyebabnya. Begitupun dengan
perawakan pendek akibat kelainan endokrin antara lain seperti GHD dan defisiensi
hormon tiroid dapat segera diobati.
Untuk perawakan pendek yang tidak diketahu penyebabnya (idiopatik) akhir-akhir ini
banyak senter yang juga memberikan hormon pertumbuhan untuk perawakan pendek
idiopatik dengan hasil yang bervariasi. Penelitian terakhir di Belanda, hormon
pertumbuhan diberikan pada kelompok anak perawakan pendek idiopatik, hasilnya
dapat menambah tinggi akhir anak 7 cm dari tinggi sebelumnya.
Kesimpulan
Perawakan pendek merupakan masalah klinis anak dan remaja yang sering dijumpai
yang dapat merupakan variasi normal atau gangguan pertumbuhan. Pendek
merupakan suatu gejala, bukan suatu penyakit. Jadi pendek ini dapat merupakan
bagian dari penyakit lain.
Setiap anak yang pertumbuhannya melambat, turun dari garis persentil kurvanya
setelah umur 3 tahun, tinggi badan di bawah persentil 3 atau jelas di bawah potensi
genetik dapat dicurigai sebagai gangguan pertumbuhan dan harus segera
ditindaklanjuti.
Tidak semua anak dengan perawakan pendek dikategorikan sebagai stunting. Deteksi
gangguan pertumbuhan dapat dilakukan dengan pengukuran panjang/tinggi dan berat
badan secara berkala sesuai rekomendasi. Tindakan terpenting yang harus dilakukan
orang tua dan tenaga kesehatan adalah deteksi dini. Hal ini dilakukan dengan
pengukuran panjang/tinggi dan berat badan secara berkala, setiap bulan untuk anak
6
berusia 1 tahun, 3 bulan sampai umur 3 tahun dan 6 bulan atau minimal setiap tahun
untuk anak yang lebih besar. Bila terlambat didiagnosis dan tata laksana, maka anak
dengan perawakan pendek akan gagal mencapai potensi tinggi genetiknya sehingga
tinggi akhir dewasanya pendek.
*Makalah ini sudah pernah ditampilkan dalam PKB Departemen Ilmu Kesehatan
Anak FKUI-RSCM tahun 2015
Daftar Pustaka
1. Pulungan AB, Delemarre HA. Management of growth disorders. Paediatr
Indones. 2002;42:225-38
2. Cole TJ. The secular trend in human physical growth: a biological view. Econ
Hum Biol. 2003;1:161-8.
3. Gerver WJ, De Bruin R. Relationship between height, sitting height and
subischial leg length in Dutch Children: Presentation of normal values. Acta
Paediatr. 1995;84:532-35
4. Gerver WJM, De Bruin R. Pediatric Morphometric: a reference manual.
Maastricht: University Press Maastricht;2001.
5. Kalberg J. On the construction of the infancy-Childhood-Puberty growth
standard. Acta Paed Scan. 1989:26–37.
6. Tanner JM. Foetus into man. Physical growth from conception to maturity.
London: Open Book Publishing Ltd;1978.
7. Tanner JM. Growth as a mirror of condition of society. Dalam: Demirjian A,
penyunting. Secular trends and class distintions: human growth-a
multidisciplinar review. London: Taylor and Francis;1986.
8. De Muink Keizer-scharma SMPF, Boukes FS, Oosdijk W, Rikken B.
Diagnostiek kleine lichaamslengte bij kinderen. Uitkomsten CBO
Consensusbijeenkomst;1998
9. Rosenfeld RG, Cohen P. Disorders of Growth Hormone/Insulin-like Growth
Factor Secretion and action. Dalam: Sperling MA, penyunting. Pediatric
Endocrinology. Edisi 3. Philadelphia: Saunders, 2008; 254-334.
10. Lem AJ, Jobse I, van der Kaay DC, de Ridder MA, Raat H, Hokken-Koelega
AC. Health-related quality of life in short children born small for gestational
age: effects of growth hormone treatment and postponement of puberty. Horm
Res Paediatr. 2012;77:170-9.
11. Geisler A, Lass N, Reinsch N, Uysal Y, Singer V, Ravens-Sieberer U dkk.
Quality of life in children and adolescents with growth hormone deficiency:
association with growth hormone treatment. Horm Res Paediatr. 2012;78:94-
9.
12. Cowell, CT. The short child. Dalam: Brook, C. G., penyunting. Clinical
paediatric endocrinology. Edisi ke-3. Oxford: Blacwell; 1995. h.136-72.
13. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta.
7
14. Hari Kumar K., Baruah MM. Nutritional endocrine disorders. J Med Nutr
Nutraceut. 2012;1:5-8.
15. Portale, A. A., Miller, W. L. Hereditary defects in vitamin D metabolisme and
function. Dalam: Pescovitz, O. H., Eugster, E. A., penyunting. Pediatric
Endocrinology: Mechanism, manifestations and management. Edisi ke-
Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins; 200. h.
16. Lango Allen H, Estrada K, Lettre G. Hundreds of variants clustered in
genomic loci and biological pathways affect human height. Nature.
2010;467:832-8.
17. Cianfarani S, Germani LD. IGF-1 and IGFBP-3 assesment in the management
of childhood onset growth hormone deficiency. Endocr Dev Basel. 2005;9:66-
75.
18. Wit JM, van Duyvenvoorde HA, Scheltinga SA, de Bruin S, Hafkenscheid L,
Kant SG. Genetic analysis of short children with apparent growth hormone
insensitivity. Horm Res Paediatr. 2012;77:320-33.
19. Jacob T, Indriati E, Soejono RP, Hsu K, Frayer DW, Eckhardt RB dkk.
Pygmoid Australomelanesian Homo sapiens skeletal remains from Liang Bua,
Flores: population affinities and pathological abnormalities. Proc Natl Acad
Sci U S A. 2006;103:13421-6.
20. Tommaseo-Ponzetta M, Mona S, Calabrese F, Konrad G, Vacca E,
Attimonelli M. Mountain pygmies of Western New Guinea: a morphological
and molecular approach. Hum Biol. 2013;85:285-308.
21. Migliano AB, Vinicius L, Lahr MM. Life history trade-offs explain the
evolution of human pygmies. Proc Natl Acad Sci U S A. 2007;104:20216-9.
22. Merimee TJ, Rimoin DL, Cavalli-Sforza LL. Metabolic studies in the African
pygmy. J Clin Invest. 1972;51:395-401.
23. Meazza C, Pagani S, Bozzola M. The pygmy short stature enigma. Pediatr
Endocrinol Rev. 2011;8:394-9.
24. Davila N, Shea BT, Omoto K, Mercado M, Misawa S, Baumann G. Growth
hormone binding protein, insulin-like growth factor-I and short stature in two
pygmy populations from the Philippines. J Pediatr Endocrinol Metab.
2002;15:269-76.
8
PENGARUH GADGET TERHADAP TUMBUH KEMBANG
ANAK BALITA
Ahmad Suryawan
PENDAHULUAN
Modernitas teknologi saat ini menimbulkan konsekuensi dalam pola pengasuhan anak. Bayi,
anak balita dan pra-sekolah saat ini tumbuh dan berkembang dalam suasana variasi
lingkungan tradisional dan teknologi tinggi yang menawarkan berbagai kemudahan dan
kecepatan dalam menyerap informasi dari lingkungan. (Kabali et al., 2015). Namun
demikian, harapan adanya potensi positif yang bersifat mempercepat pendidikan anak dari
penggunaan media teknologi tinggi, juga disertai dengan kekhawatiran adanya potensi negatif
tentang pengaruh penggunaan media yang berlebihan terhadap perkembangan otak anak di
masa periode kritis pada usia dini. Sementara itu, meskipun riset tentang permasalahan
tersebut masih terbatas. (AAP, 2016a dan 2016b)
Rekomendasi yang diberikan para ahli dengan didasarkan atas studi yang ada tentang
potensi manfaat dalam edukasi dan juga potensi kekhawatiran pengaruh negatif terhadap
kesehatan dan tumbuh kembang dari penggunaan media teknologi di masa anak usia 0-5
tahun, seperti TV, video, teknologi mobile atau yang dikenal secara luas dengan istilah
gadget. Rekomendasi tersebut dapat digunakan oleh dokter dan orangtua sebagai petunjuk
atau pedoman dalam mengelola penggunaan media untuk anak, seperti dalam hal:
pembatasan waktu penggunaan, pemilihan konten yang berkualitas, pentingnya interaksi
orangtua-anak dalam hal penggunaannya, dan pemberian kesempatan yang cukup agar anak
masih terlibat dalam berbagai aktivitas yang sehat untuk tumbuh kembangnya (AAP, 2016a;
Reid, 2016).
Pada makalah ini, istilah “gadget” kami perluas dengan menggunakan istilah
“media”, yaitu segala peralatan elektronik teknologi tinggi yang mempunyai layar tayang
yang memungkinkan untuk diberikan ke anak sebagai sarana interaksi atau bermain.
Sehingga istilah “media” di dalam makalah ini juga termasuk TV, video, HP, tablet dan
perangkat mobile lainnya yang dikenal dengan isitlah “gadget”
Saat ini banyak orangtua yang menggunakan video-chat (mis; FaceTime, Skype, dsb)
sebagai media interaktif untuk berkomunikasi dengan keluarga lainnya yang berjauhan
lokasi. Keterlibatan bayi dan anak usia dibawah 2 tahun dalam aktivitas video-chat, yang
harus secara interaktif bersama orangtua, ternyata dapat meningkatkan kemampuan untuk
mengerti terhadap apa yang mereka lihat (McClure, 2016).
Para ahli menyimpulkan bahwa manfaat positif dari penggunaan media digital untuk
membantu proses belajar bagi bayi dan anak berusia dibawah dua tahun masih belum terbukti
dengan cukup jelas. Untuk itu orangtua diharapkan tetap mengutamakan interaksi sosial
secara langsung dengan anak, dan mewaspadai dampak negatif dari penggunaan media yang
berlebihan untuk anaknya.
Sebagian besar program aplikasi media digital didalam apps-store dengan kategori
“bernilai edukasi” untuk anak-anak pra-sekolah, ternyata tidak mempunyai efikasi yang
berbasis bukti, hanya bertujuan meningkatkan kemampuan akademik secara hapalan, tidak
berdasarkan pada kurikulum yang sudah ditetapkan, dan tidak melibatkan pendapat para ahli
perkembangan anak atau para pendidik. Sebagian besar program aplikasi tersebut juga tidak
dirancang untuk interaktif antara orangtua dan anak (Hirsh-Pasek, 2015).
Studi juga membuktikan bahwa penggunaan media dalam bentuk buku digital atau
eBook (buku yang dibaca pada layar) untuk anak, efek visual pada layar berpotensi dapat
menurunkan tingkat pemahaman akan konten yang dibaca dan juga menurunkan daya
interaksi dialogis antara orangtua dan anak (Bus, 2015). Untuk itu orangtua dihimbau agar
tetap mengadalan interaksi dengan anak bila menggunakan media eBook seperti halnya
mereka membacakan buku versi cetak ke anaknya.
OBESITAS
Penggunaan media yang berlebihan pada anak berusia pra-sekolah mempunyai hubungan
dengan peningkatan signifikan dari BMI, dan juga peningkatan berat badan pada masa usia
anak selanjutnya (Cox, 2012; Taveras, 2013; Suglia, 2013). Beberapa studi memang sudah
menggunakan batas penggunaan media selama 2 jam sebagai titik cutoff untuk menilai risiko
obesitas, namun ternyata masih didapatkan hasil adanya peningkatan BMI untuk setiap jam
per minggu dari penggunaan media (Wen, 2014). Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh
adanya paparan iklan makanan dan penggunaan media selama anak makan (Mazarello, 2015;
Bellissimo, 2007).
Pola Tidur
Peningkatan durasi paparan media, seperti TV, komputer, tablet, atau HP di dalam kamar
tidur anak, mempunyai kaitan dengan menurunnya durasi tidur per malam (Cespedes, 2014).
Bahkan pada bayi yang terpapar layar media pada jam-jam malam menunjukkan durasi lama
tidur malam yang signifikan lebih pendek dibandingkan bayi yang tidak terpapar layar media
pada jam malam hari (Vijakkhana, 2015). Hal tersebut disinyalir disebabkan oleh pengaruh
konten materi dalam media tersebut dan supresi melatonin endogen oleh emisi cahaya biru
yang dikeluarkan oleh layar media (Garrison, 2011; Salti, 2006).
Perkembangan Anak
Berbagai studi komunitas tetap konsisten menunjukkan adanya keterkaitan antara lamanya
durasi penggunaan media yang berlebihan di masa anak usia dini dengan gangguan kognitif
(Tomopoulos, 2010; Schmidt, 2009; Lin, 2015), gangguan bicara-bahasa (Zimmerman, 2007;
Duch, 2013), gangguan sosial-emosi (Tomopoulos, 2007; Hinkley, 2014; Pagani, 2010;
Conners-Burrow, 2011), yang nampaknya disebabkan sekunder karena penurunan interaksi
antara orangtua dan anak pada saat menggunakan media dan memburuknya fungsi keluarga
di dalam rumah tangga dengan waktu penggunaan media yang sangat tinggi (Christakis
2009).
Beberapa faktor disinyalir menjadi prediktor indipenden signifikan terhadap buruknya
fungsi eksekutif anak usia pra-sekolah, antara lain: sedini apa usia awal dikenalkan media,
durasi total jam lamanya penggunaan media, dan konten materi didalam media tersebut
(Nathanson 2014). Konten atau isi program di dalam media sangatlah penting, karena studi
membuktikan bahwa perubahan konten dari yang berisi kandungan materi kekerasan ke
konten materi yang lebih bersifat edekuatif dapat menghasilkan perbaikan yang signifikan
gejala-gejala perilaku anak (Christakis, 2013).
IMPLIKASI KLINIS
Kekhawatiran akan penggunaan media digital (apapun jenis dan macamnya) yang berlebihan
terhadap kesehatan dan semua aspek perkembangan anak, terus saja terjadi hingga saat ini.
Berdasarkan bukti ilmiah yang cukup, maka para ahli memberikan rekomendasi untuk
melakukan pembatasan lamanya durasi penggunaan media untuk anak usia 2-5 tahun tidak
lebih dari 1 jam per-hari supaya memberi kesempatan anak mempunyai waktu yang cukup
untuk melakukan interaksi dan berbagai beraktivitas yang sehat untuk mendukung tumbuh
kembangnya, serta untuk mendidik anak agar mempunyai kebiasaan menggunakan media
secara baik agar terhindar dari risiko obesitas di kemudian hari (AAP, 2016a dan 2016b;
Reid, 2016).
Permasalahan penggunaan media digital teknologi tinggi ini di masa depan akan terus
menggema (Altenburg, 2016; Wu, 2016), sehingga dokter anak dituntut dapat mendampingi
dan memberi petunjuk kepada orangtua tidak hanya mengenai pembatasan durasi dan konten
materi saja, tetapi juga beberapa hal di bawah ini, antara lain:
1. Mengkreasi waktu dan ruang tertentu di dalam rumah yang anak terbebas dari
penggunaan media elektronik
2. Kecanggihan teknologi media hendaknya digunakan untuk meningkatkan kreativitas
dalam bersosialisasi.
3. Pentingnya untuk menjaga agar penggunaan media tidak menggusur aktivitas tidur,
olahraga dan bermain, membaca bersama, dan interaksi sosial.
4. Akan lebih baik lagi, bila dokter anak juga mengetahui cara membimbing orangtua
dalam hal menemukan informasi tentang konten materi yang sesuai dengan anaknya,
cara memantau dan mengadakan pembatasan, mengkreasi ide bentuk permainan dan
kegiatan anak selain menggunakan media, dan cara-cara orangtua untuk membatasi
penggunaan media untuk dirinya sendiri. Sebagai contoh di negara USA, dokter anak
dapat menganjurkan orangtua untuk mengakses Family Media Use Plan yang dibuat
oleh American Pediatrics Academy melalui situs
www.healthychildren.org/MediaUsePlan.
REKOMENDASI
Rekomendasi regulasi penggunaan gadget diusia balita telah diberikan oleh AAP dengan
beberapa revisi dibandingkan rekomendasi sebelumnya (AAP, 2016a; Reid, 2016)
Daftar Pustaka
Endah Citraresmi
PENDAHULUAN
Reaksi simpang terhadap obat (adverse drug reaction, ADR) meliputi semua efek
farmakologi yang tidak diinginkan dari obat yang bukan merupakan kegagalan terapetik,
overdosis yang disengaja, penyalahgunaan obat, atau kesalahan dalam pemberian.
Dikelompokkan menjadi dua kelompok, reaksi yang dapat diramalkan (predictable) atau tipe
A, dan yang tidak dapat diramalkan (unpredictable) atau tipe B. Reaksi tipe A biasanya
tergantung dosis, berhubungan dengan kerja farmakologi obat yang sudah diketahui, dan
terjadi pada individu sehat. Sebanyak 80% ADR merupakan reaksi tipe A. Reaksi tipe B
biasanya tidak tergantung dosis, tidak berhubungan dengan aksi farmakologi obat, dan terjadi
hanya pada individu yang rentan. Reaksi tipe B selanjutnya terbagi menjadi intoleransi obat,
idiosinkrasi obat, alergi obat, dan reaksi pseudoalergi.1
Alergi dan reaksi hipersensitivitas obat adalah reaksi simpang terhadap zat
farmakologi atau zat tambahan dari obat yang diperantarai sistem imun. Secara sederhana,
hipersensitivitas obat dikelompokkan menjadi dua tipe: (1) reaksi tipe cepat (immediate) -
terjadi kurang dari satu jam setelah pemberian obat terakhir - biasanya bermanifestasi
urtikaria, angioedema, rinitis, konjungtivitis, bronkospasme, dan anafilaksis atau syok
anafilaksis; (2) reaksi tipe lambat (non-immediate) - gejala kulit yang bervariasi yang terjadi
lebih dari 1 jam dan bisa sampai beberapa hari setelah pemberian obat terakhir - dengan
contoh, urtikaria tipe lambat, erupsi makulopapular, erupsi obat fikstum, vaskulitis, nekrolisis
epidermal toksik, sindrom Stevens-Johnson, atau drug reaction with eosinophilia and
systemic symptoms (DRESS).2
Semua obat diasumsikan mampu menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Namun,
frekuensi pada tiap jenis obat sangat berbeda. Antibiotik, obat antiinflamasi non steroid
(AINS), antiepileptik, dan anti-HIV adalah kelompok obat yang paling sering menimbulkan
reaksi hipersensitivitas (tabel 1).2
EPIDEMIOLOGI
Dugaan hipersentivitas obat sering dilaporkan pada anak dan remaja, dengan prevalens
mencapai 10%.3 Suatu survei potong lintang yang besar menunjukkan bahwa insidens alergi
antibiotik sendiri mencapai 2.5 - 10.2% pada anak.4 Namun, hanya sedikit reaksi tersebut
yang dapat dikonfirmasi sebagai alergi/hipersensitivitas obat setelah pemeriksaan diagnostik.
Beberapa studi mengkonfirmasi bahwa alergi obat pada anak sering overdiagnosis.5,6
Diagnosis banding tersering dari hipersensitivitas obat pada anak adalah infeksi virus.
Infeksi virus dapat menyebabkan erupsi kulit (urtikaria dan makulopapular) dan menyerupai
hipersensitivitas obat, jika pada saat yang sama pasien sedang mengkonsumsi obat. Virus
juga dapat berinteraksi dengan obat, menyebabkan erupsi ringan, seperti pada kasus ruam
akibat terapi aminopenisilin saat infeksi virus Epstein-Barr.7-9 Karena tidak ada tes spesifik
untuk membedakan antara infeksi virus dan reaksi hipersensitivitas obat pada fase akut,
pemeriksaan diagnostik harus dilakukan pada semua anak yang dicurigai hipersensitivitas,
idealnya dua bulan kemudian.8,10
DIAGNOSIS
Pendekatan sistematik untuk mengevaluasi dugaan reaksi hipersensitivitas obat pada pasien
yang mendapatkan berbagai obat dimulai dengan pertanyaan berikut: 1,2,7,11,12
• Apakah tampilannya konsisten dengan hipersensitivitas obat? Tipe mana? Apakah
keluhan dan gejala mengarah pada respons imunologi (hipersensitivitas obat)? Apakah
obat yang sedang diberikan pada pasien diketahui menyebabkan gejala tersebut, atau
apakah biasanya menyebabkan reaksi pseudoalergi?
• Seberapa berat reaksi dan ogan apa yang terkena? Dapat dinilai dengan pemeriksaan
kulit yang teliti, diikuti dengan evaluasi sistem organ yang tampaknya terkena.
Pemeriksaan darah tepi lengkap dengan hitung jenis dan pemeriksaan fungsi hati dan
ginjal harus dilakukan jika ditemukan eksantema yang nyata, bulosa atau pustulosa,
menyatu, melibatkan luas permukaan tubuh yang cukup besar, atau terdapat gejala
sistemik (malaise, nyeri kulit, limfadenopati).
• Obat mana yang menjadi penyebab? Penilaian ini dapat dilakukan dalam beberapa tahap:
o Tahap 1 - Gali informasi. Dapat menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh
EAACI (European Academy of Allergy and Clinical Immunology).13
o Tahap 2 - Periksa rekam medis untuk menilai adanya hubungan waktu antara gejala
dan pemberian obat spesifik.
o Tahap 3 - Untuk masing-masing obat yang dicurigai, pertimbangkan
kecenderungannnya menyebabkan tipe reaksi alergi yang ditemukan, berdasarkan
literatur.
o Tahap 4 - Stop atau ganti semua obat yang dicurigai yang diketahui memiliki potensi
alergi dan menunjukkan hubungan waktu dengan gejala. Amati konsekuensi setelah
menghentikan obat tersebut.
• Apakah dapat dilakukan tes?
o Tahap 5 - Untuk reaksi yang dicurigai diperantarai IgE, pertimbangkan tes kulit. Tes
kulit maupun tes in vitro (jika tersedia) untuk mengidentifikasi obat penyebab
biasanya dilakukan jika reaksi sudah sepenuhnya hilang.
o Tahap 6 - Jika terdapat keraguan pada obat yang mencetuskan reaksi imunologi dan
berbagai obat dihentikan, harus dibuat rencana untuk melakukan evaluasi setelah
penyembuhan pasien, terutama jika obat tersebut mungkin diperlukan di masa depan.
Tes kulit
Tes kulit (dengan skin prick atau intradermal) memiliki nilai prediktif hanya pada kelompok
kecil reaksi alergi obat yang diperantarai IgE. Sampai saat ini, hanya penisilin yang sudah
diidentifikasi isotop imunogeniknya (bagian dari molekul yang dikenali oleh sistem imun),
terdiri dari determinan mayor (merupakan 95% dari metabolit hasil degradasi penisilin) dan
determinan minor (merupakan 5% dari metabolit). Pengujian determinan mayor dan minor
dilakukan dengan skin prick test, diikuti oleh tes intradermal jika skin prick test negatif.1,14
Studi di AS menunjukkan bahwa hasil tes yang negatif pada pasien dengan riwayat klinis
yang belum jelas menindikasikan bahwa penisilin dapat diberikan dengan risiko reaksi tipe
cepat kurang dari 4% (serupa dengan risiko pada populasi umum). 15
Untuk sebagian besar reaksi hipersensitivitas obat, tidak ada tes kulit yang tervalidasi
yang memiliki nilai prediktif. Hal ini disebabkan reaksi yang bukan diperantarai IgE, atau
epitop imunogenik yang terkait (yang mungkin berasal dari metabolit obat yang belum
teridentifikasi atau produk pemecahan) belum bisa diidentifikasi. 14
Provokasi obat
Provokasi obat digunakan untuk mendiagnosis alergi obat jika tidak dapat disimpulkan dari
tes kulit atau tes darah. Prinsip umum dari provokasi obat adalah memulai pemberian obat
dari dosis sangat kecil (jauh di bawah dosis terapetik normal) dan diberikan pemberian ulang
dengan dosis yang meningkat sampai muncul gejala objektif pertama kali. Jika tidak ada
gejala muncul, provokasi dihentikan saat dosis terapetik dicapai. Provokasi harus dilakukan
di klinik spesialis atau rumah sakit yang memiliki protokol baku dan fasilitas resusitasi, dan
tidak boleh dilakukan pada pasien dengan riwayat alergi berat seperti sindrom vaskuiltis,
dermatitis eksfoliatif, eritema multiforme mayor (SJS atau NET), DRESS.2,12
TATA LAKSANA
Reaksi akut
Anafilaksis harus diterapi segera dan dengan tepat, dan semua obat yang dicurigai harus
dihentikan. JIka pasien mengalami reaksi non-anafilaksis, obat yang dicurigai harus
dihentikan jika risiko melanjutkan obat melebihi manfaatnya. Penghentian obat harus
dilakukan jika terdapat gejala bahaya/berat (tabel 3). 7
Tabel 3. Tanda bahaya klinis dan biologis yang mengarah pada reaksi kulit dan/atau
sistemik berat7
TANDA BAHAYA SEGERA CARI
Gejala, pengukuran Diagnosis
Gejala multisistem* yang Tekanan darah turun
muncul mendadak
Syok anafilaksis
(*respiratori, kulit dan
mukosa)
Dispnea inspiratori
Disfonia Edema laring
Sialorea
Kulit nyeri Blister kulit, bullae
Lesi target atipik Tanda Nikolsky
Erosi mukosa (2 membran Darah tepi (leukopenia,
SJS/TEN
mukosa) trombositopenia)
Fungsi ginjal (peningkatan ureum,
kreatinin)
Demam >38.5C Limfadenopati (2 tempat)
Luas kulit >50% Darah tepi (eosinofilia, limfosit
Edema sentrofasial atipik)
HSS/DRESS/DIHS
Tes fungsi hati (peningkatan
transaminase hati)
Proteinuria
Papul terinfiltrasi purpura Darah tepi (eksklusi
Nekrosis trombositopenia)
Fungsi ginjal (proteinuria, Vaskulitis
peningkatan ureum, kreatinin)
Hipokomplementemia
SJSStevens–Johnson syndrome; TEN, toxic epidermal necrolysis. HSS/DRESS/DiHS,
hypersensitivity syndrome/drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms/drug-
induced hypersensitivity syndrome,
Pemberian obat lain yang tidak berhubungan - merupakan pilihan paling aman dan
efektif. Namun, terapi lini kedua mungkin memiliki risiko lain, seperti toksisitas dan biaya
yang lebih tinggi. Pasien yang dilabel alergi penisilin sering mendapat antibiotik non-beta-
laktam, yang lebih mahal, terdapat efek samping, dan pada beberapa kasus, efikasinya
kurang. Sering pasien mendapat vankomisin atau kuinolon. Penggunaan obat dengan
spektrum lebar ini berperan pada muncul dan menyebarnya bakteri yang resisten terhadap
obat.
Pemberian obat yang berhubungan - merupakan alternatif kedua pada pasien dengan
hipersensitivitas obat. Pasien mendapat obat yang serupa, tetapi tidak identik dengan obat
penyebab. Kecenderungan reaktivitas silang di antara obat yang serupa sebagian tergantung
pada tipe reaksi alergi. Pasien dengan eksantema yang diperantarai sel T terhadap amoksisilin
memiliki risiko rendah untuk bereaksi terhadap sefalosporin, sedangkan pasien dengan
anafilaksis diperantarai IgE terhadap amoksisilin memiliki peningkatan risiko jika mendapat
sefalosporin. Obat yang berhubungan tersebut dapat dilakukan skin test atau diberikan
dengan provokasi bertahap (graded challenge).
*Reaksi non-immediate sistemik berat meliputi eritema multiforme mayor (sindrom Stevens-
Johnson) dan nekrolisis epidermal toksik.
KESIMPULAN
Diagnosis reaksi hipersensitivitas obat memerlukan pendekatan sistematik dan teliti.
Diagnosis sebagian besar dibuat berdasarkan gejala klinis, dan tes alergi yang tersedia untuk
obat tertentu. Provokasi obat merupakan baku emas dalam menentukan diagnosis, namun
memerlukan keahlian serta memiliki risiko tertentu, sehingga dilakukan di rumah sakit
dengan sumber daya yang lengkap. Provokasi obat tidak dilakukan pada reaksi kulit berat.
Tata laksana pada reaksi akut adalah mengatasi kegawatan sesuai diagnosis,
mengidentifikasi serta menghentikan obat yang dicurigai. Konfirmasi diagnosis harus
dilakukan setelah memasuki masa pemulihan, untuk menghindari memberikan label alergi
yang tidak perlu. Pemilihan obat selanjutnya harus disesuaikan dengan pilihan obat yang ada.
Jika tidak ada pilihan obat lain, dapat dilakukan desensitisasi untuk memodifikasi reaksi
terhadap obat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Joint Task Force on Practice P, American Academy of Allergy, Asthma and
Immunology, American College of Allergy, Asthma and Immunology, Joint Council
of Allergy, Asthma and Immunology, et al. Drug allergy: an updated practice
parameter. Annals of allergy, asthma & immunology: official publication of the
American College of Allergy, Asthma, & Immunology. 2010;105:259-73.
2. B Kevin Park DJN, Pascal Demoly. Drug hypersensitivity. 2012 [cited 2017 February
06]. In: Allergy [Internet]. China: Saunders Ltd. 4th. [cited 2017 February 06].
3. Romano A, Caubet JC. Antibiotic allergies in children and adults: from clinical
symptoms to skin testing diagnosis. The journal of allergy and clinical immunology In
practice. 2014;2:3-12.
4. Thong BY, Tan TC. Epidemiology and risk factors for drug allergy. British journal of
clinical pharmacology. 2011;71:684-700.
5. Gomes ER, Brockow K, Kuyucu S, Saretta F, Mori F, Blanca-Lopez N, et al. Drug
hypersensitivity in children: report from the pediatric task force of the EAACI Drug
Allergy Interest Group. Allergy. 2016;71:149-61.
6. Caubet JC, Eigenmann PA. Managing possible antibiotic allergy in children. Current
opinion in infectious diseases. 2012;25:279-85.
7. Demoly P, Adkinson NF, Brockow K, Castells M, Chiriac AM, Greenberger PA, et
al. International Consensus on drug allergy. Allergy. 2014;69:420-37.
8. Caubet JC, Kaiser L, Lemaitre B, Fellay B, Gervaix A, Eigenmann PA. The role of
penicillin in benign skin rashes in childhood: a prospective study based on drug
rechallenge. The Journal of allergy and clinical immunology. 2011;127:218-22.
9. Shiohara T, Kano Y. A complex interaction between drug allergy and viral infection.
Clinical reviews in allergy & immunology. 2007;33:124-33.
10. Atanaskovic-Markovic M, Gaeta F, Medjo B, Gavrovic-Jankulovic M, Cirkovic
Velickovic T, Tmusic V, et al. Non-immediate hypersensitivity reactions to beta-
lactam antibiotics in children – our 10-year experience in allergy work-up. Pediatric
Allergy and Immunology. 2016;27:533-8.
11. Demoly P, Bousquet J. Drug allergy diagnosis work up. Allergy. 2002;57 Suppl
72:37-40.
12. Atanaskovic-Markovic M, Caubet JC. Management of drug hypersensitivity in the
pediatric population. Expert review of clinical pharmacology. 2016:1-9.
13. Demoly P, Kropf R, Bircher A, Pichler WJ. Drug hypersensitivity: questionnaire.
EAACI interest group on drug hypersensitivity. Allergy. 1999;54:999-1003.
14. Thien FC. 3. Drug hypersensitivity. The Medical journal of Australia. 2006;185:333-
8.
15. Macy E, Mangat R, Burchette RJ. Penicillin skin testing in advance of need:
multiyear follow-up in 568 test result-negative subjects exposed to oral penicillins.
The Journal of allergy and clinical immunology. 2003;111:1111-5.
UPDATE ASMA PADA ANAK:
IMPLEMENTASI PEDOMAN NASIONAL ASMA ANAK 2015
Bambang Supriyatno
Dipresentasikan oleh Darmawan Budi Setyanto
Pendahuluan
Asma merupakan penyakit respiratorik kronik yang sering dijumpai pada anak. Prevalens asma
pada anak usia 6-7 tahun di Indonesia sekitar 10%.1,2 Dengan kemajuan industri dan
meningkatnya polusi udara baik indoor maupun outdoor, maka akan terjadi kenaikan prevalens
asma.3,4
Pada tatalaksana asma terdapat dua hal yang penting yaitu tatalaksana serangan asma dan
jangka panjang.3 Umumnya anak datang ke pelayanan kesehatan (termasuk dokter) adalah pada
saat serangan asma.Tatalaksana serangan yang tidak adekuat dapat menimbulkan komplikasi yang
berat bahkan kematian. Setelah tatalaksana serangan asma, maka perlu diikuti tatalaksana jangka
panjang pada asma persiten ringan, sedang, dan berat.5-7
Serangan asma
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif dari gejala-gejala batuk, sesak
napas, mengi, rasa dada tertekan atau berbagai kombinasi dari gejala tersebut. Derajat
serangan asma dapat mulai dari serangan ringan-sedang hingga serangan berat yang dapat
mengancam jiwa.2,3,7
Dalam Konsensus Asma tahun 2004,2 serangan asma dibagi menjadi serangan asma
ringan, sedang, dan berat; sedangkan pada konsensus yang baru (Konsensus Penanganan Asma
Anak tahun 2015), hanya dibagi dalam 2 kelompok yaitu serangan ringan-sedang, dan serangan
berat.7 Pembagian di atas dimaksudkan untuk mempermudah diagnosis dan tatalaksana.
Pembagian serangan asma didasarkan pada tanda, gejala dan pemeriksaan penunjang (Tabel 1).
Pada saat serangan asma tejadi obstruksi jalan napas secara luas yang merupakan
kombinasi atau gabungan antara spasme otot polos bronkus (bronkokonstriksi), edem mukosa
karena inflamasi dan hipersekresi mukus. Obstruksi saluran napas dapat menimbulkan
terperangkapnya udara (air trapping), distensi paru yang berlebih (hiperinflasi), pneumotoraks,
hiperkapnia, gangguan asam-basa (dapat berupa alkalosis respiratorik, asidosis respiratorik,
asidosis metabolik), dan atelektasis.3,7,8 Asma pada anak dibedakan dalam dua kelompok
besar yaitu derajat penyakit asma (kekerapan) dan derajat serangan asma. Derajat penyakit
asma diklasifikasikan sebagai asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan
asma persisten berat (dahulu episodik jarang, episodik sering, dan persisten). Pembagian ini
bertujuan untuk pemberian obat tatalaksana jangka panjang atau maintenans atau pengendali atau
controller. Pada asma intermiten tidak diperlukan controller, sedangkan pada asma persisten baik
ringan, sedang, maupun berat perlu diberikan controller.3,7,8
1
Tabel 1. Derajat serangan asma7
SERANGAN
Variabel Ancaman henti
Ringan-sedang Berat napas
Bicara Kalimat Kata-kata
Posisi Lebih senang duduk Dudukbertopang
daripada berbaring lengan Kriteria asma
Gelisah Tidak ada Ada serangan berat
RR* Meningkat Meningkat terpenuhi
FN* Meningkat Meningkat ditambah
Retraksi Minimal dengan:
SpO2 90-95% <90% - Mengantuk
PEF >50% prediksi <50% prediksi - Letargi
- Suara napas
tak terdengar
*)RR: respiration rate(frekuensi napas); FN: frekuensi nadi; SpO saturasi oksigen; PEF: peak
2:
expiratory flow
Derajat serangan asma dibagi menjadi serangan ringan-sedang, dan serangan berat
(dahulu serangan ringan, sedang, dan berat).2,7 Tujuan pembagian ini untuk tatalaksana yang
adekuat dan cepat agar tidak terjadi komplikasi yang lebih berat.
Persistensi penyakit tidak berhubungan secara linear dengan derajat serangan, dengan kata
lain pada asma intermiten tidak selalumengalami serangan ringan-sedang tetapi dapat juga
mengalami serangan berat. Demikian sebaliknya pada asma persisten berat tidak selalu harus
mengalami serangan berat tetapi dapat juga mengalami serangan ringan-sedang.2,3,7
Tatalaksana serangan
Tatalaksana serangan dibagi dalam serangan ringan-sedang dan serangan berat.
Serangan ringan-sedang
Tujuan umum tatalaksana asma adalah tetap menjaga kualitas hidup dengan tetap melakukan
aktifitas sesuai dengan potensi genetiknya. Tujuan tatalaksana serangan asma adalah meredakan
obstruksi jalan napas secepat mungkin, mengurangi hipoksemia, mengembalikan fungsi paru ke
keadaan normal secepatnya, dan merencanakan tatalaksana untuk mencegah kekambuhan.3,7
Tatalaksana serangan asma dapat dibagi menjadi 2 yaitu saat di rumah dan di fasilitas
kesehatan. Tatalaksana di rumah bergantung pada faktor pendidikan, pengetahuan, dan kooperasi
orangtua dalam memahami asma (dalam hal ini serangan asma). Orangtua diberi pemahaman
tentang asma secara singkat seperti definisi, tanda serangan asma, tanda kegawat-daruratan, dan
komplikasi yang mungkin timbul.3,7,9
Pada serangan ringan-sedang, di rumah dapat diberikan 2-agonis secara inhalasi (dapat
dengan MDI (metered dose inhaler) atau nebulizer) dan kortikosteroid oral. Pemberian MDI
sebanyak 2-4 puff(semprot) dengan menggunakan alat bantu spacer atau dengan nebulizer 2-
2
agonis. Pemberian ini dapat diulang sebanyak 2 kali dengan interval diatas 30 menit. Apabila
perbaikan maka dapat diteruskan dengan 2-agonis oral, tetapi bila tidak ada perbaikan yang nyata
maka dianjurkan mencari pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan atau dokter.7
Tatalaksana di fasilitas kesehatan dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu belum pernah
diberikan 2- agonis di rumah dan sudah diberikan 2-agonis sebelumnya. Pada keadaan belum
diberikan 2-agonis maka sama dengan tatakalasana di rumah yaitu 2-agonis inhalasi dan
kortikosteroid oral dan bila gagal maka diberikan kombinasi antara 2-agonis dan ipratropium
bromidasecara inhalasi serta kortikosteroid oral.7,8,10
Pada keadaan sudah diberikan 2-agonis sebelumnya maka langsung diberikan inhalasi 2-
agonis dengan MDI sebanyak 6-10 semprot atau kombinasi antara 2-agonis bersama dengan
ipratropium bromida secara inhalasi.7
Perbedaan tatalaksana serangan asma yang dahulu dengan yang baru adalahdalam hal
pemberian kortikosteroid oral. Dahulu kortikosteroid oral tidak diberikan pada serangan ringan
dan baru diberikan pada serangan sedang. Pada konsensus yang baru, kortikosteroid oral langsung
diberikan pada serangan asma ringan-sedang sedangkan kortikosteroid injeksi diberikan pada
serangan berat.2,3,7
Pemberian kortikosteroid oral pada serangan asma ringan-sedang, menimbulkan
kekhawatiran terjadinyadrug abuseuntuk kortikosteroid. UKK Respirologi menekankan bahwa
pemberian kortikosteroid oral hanya berlangsung 3-5 hari dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dibagi
3 dosis tanpa tappering off.7Gangguan pertumbuhan dapat terjadi pada pemberian kortikosteroid
yang berulang dan waktu yang lama.3
Serangan berat
Pasien yang kurang/tidak menunjukkan respons (poor response) dengan tatalaksana serangan
ringan-sedang, disebut sebagai serangan berat (dahulu dikenal status asmatikus) dan pasien harus
dirawat di Ruang Rawat Inap. Pasien diberikan oksigen sejak awal termasuk saat nebulisasi,
cairan parenteral dan foto toraks. Pada serangan berat,pemberian inhalasi langsung 2-
agonisbersama dengan ipratropium bromida. Pada serangan berat harus dicari penyebab
kegagalan tatalaksana standar seperti keadaan dehidrasi, asidosis, dan gangguan ventilasi akibat
atelektasis.3,5,11
3
- sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml.
• Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam.
Kortikosteroid dan aminofilin dapat diberikan peroral.
• Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat 2-
agonis (hirupan atau oral), yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Kortikosteroid
peroral diberikan hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk
reevaluasi tatalaksana. Jika pasien sebelumnya sudah mendapat obat pencegahan atau rumatan
(controller), maka obat tersebut juga diteruskan.
• Jika dengan tatalaksana di atas tidak berhasil, bahkan pasien menunjukkan tanda ancaman
henti napas, maka pasien dialihrawat ke Ruang Rawat Intensif.
• Indikasi perawatan di ruang intensif adalah perburukan yang cepat, ancaman henti napas, tidak
menunjukkan perbaikan dengan tatalaksana serangan berat yang standar.
• Pada keadaan pemberian obat standar untuk serangan berat tidak respons secara bermakna
dapat diberikan obat lain seperti MgSO4 50mg/kgBB dalam 20 menit, dilanjutkan dengan 30
mg/kgBB/jam atau maksimal sebanyak 2 gram.6,12,13
Obat lain
Beberapa obat lain yang digunakan pada serangan asma adalah:
1. Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid inhalasi dapat diberikan bersama 2-agonis pada serangan ringan-sedang tetapi
tidak dianjurkan pada serangan berat. Indikasi pemberian kortikosteroid inhalasi adalah pada
keadaan kontra indikasi pemberian kortikosteroid oral. Dosis kortikosteroid inhalasi yang
diberikan harus dosis tinggi yaitu sekitar 2000-2400 mcg. Pemberian kortikosteroid inhalasi
dosis rendah untuk serangan asma tidak mempunyai efek terapetik.3,7
2. Mukolitik
Mukolitik tidak dianjurkan pada serangan berat karena dapat memperberat serangannya. Pada
serangan ringan-sedang dapat diberikan meskipun efek terapetiknya masih kontroversial. 2,3,7
3. Antibiotik
Antibiotik tidak dianjurkan pada serangan asma kecuali terdapat pneumonia (baik atipik
maupun pneumonia yang klasik).3,7
4. Anti leukotrien
Antileukotrien tidak dianjurkan pada serangan asma. Antileukotrien diberikan untuk
tatalaksana jangka panjang (sendiri maupun bersama kortikosteroid). 14,15
4
Pada tatalaksana jangka panjang terdapat tahapan (step) yaitu tahap 1, 2, 3,dan 4. Tahap 1
adalah pada asma intermiten yang tidak memerlukan controller. Pada asma persiten ringan, dapat
diberikan controller(tahap 2) yaitu kortikosteroid inhalasi dosis rendah (100-200 mcg) atau
antileukotrien oral. Pemberian kortikosteroid inhalasi merupakan pilihan utama pada tahap 2,
namun apabila terdapat kontraindikasi atau kekuatiran terhadap pemberian kortikosteroid, maka
dapat digantikan dengan antileukotrien oral.7
Pada keadaan tatalaksana tahap 2yang tidak atau kurang respons maka meningkat ke tahap
3 yaitupemberian kortikosteroid inhalasi dosis medium (200-400 mcg) atau kortikosteroid inhalasi
dosis rendah ditambah LABA (long acting beta-2 agonist), atau kortikosteroid inhalasi dosis
rendah ditambah antileukotrien (ALTR) oral, atau kortikosteroid inhalasi dosis rendah ditambah
theophylline slow release=TSR).7
Pada keadaan tahap 3 tidak respons, maka ditingkatkan ke tahap 4 yaitu pemberian
kortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>400 mcg), atau kortikosteroid dosis medium ditambah
LABA (long acting beta-2 agonist), atau kortikosteroid inhalasi dosis medium ditambah
antileukotrien (ALTR) oral, atau kortikosteroid inhalasi dosis medium ditambah theophylline slow
release=TSR) atau pemberian anti IgE.3,7
Pada tatalaksana jangka panjang dikenal istilah up dan down regulation atau ”naik kelas”
dan ”turun kelas”. ”Naik kelas” berarti dari tahapan 1 meningkat menjadi tahapan 2, 3, atau 4
yaitu pada keadaan tidak respons terhadap obat yang diberikan. Untuk ”naik kelas”, diperlukan
evaluasi yang berlangsung kurang dari 2 bulan. Pada ”turun kelas”, yang berarti dari tahapan 4 ke
tahap 3, 2, atau 1 perlu evaluasi yang lebih lama yaitu sekitar 2-3 bulan untuk menentukan tahap
berikutnya.3,7
Pemberian controller pada asma persisten mempunyai efek keberhasilan secara bermakna
dalam hal berkurangnya gejala, berkurangnya obat reliever, peningkatan uji fungsi paru, dan
peningkatan kualitas hidup. Gejala yang membaik adalah berkurangnya gangguan tidur berupa
terbangun karena batuk, sesak, dan batu yang berulang. 3,7,8
Pada pemberian kortikosteroid inhalasi dan LABA, atau penambahan ALTR, atau
penambahan TSR tidak respons maka pemberian anti IgE dapat dipertimbangkan. Anti IgE
(omalizumab) dapat diberikan pada asma persisten berat. Sebelum pemberian anti IgE, perlu
diperiksa kadar IgE untuk menentukan dosis omalizumab. Dosis omalizumab ditentukan
berdasarkan berat badan dan kadar anti IgE.16
Selain pemberian controller, upaya pencegahan terhadap alergen merupakan tatalaksana
yang paling utama dalam tatalaksana jangka panjang. Alergen yang dapat menyebabkan
timbulnya serangan asma adalah asap rokok, debu (tungau debu rumah), dan makanan tertentu
berdasarkan pemantauan pasien dan/atau keluarga.3,7,8
Tantangan masa mendatang
Dimasa mendatang tatalaksana asma lebih kompleks karena meskipun telah ditemukan berbagai
cara untuk mengatasi inflamasi yang terjadi tetapi proses inflamasi dan remodeling tetap berjalan.
Proses inflamasi kronis merupakan ciri khas asma sehingga tatalaksana asma jangka panjang
adalah mencegah terjadinya inflamasi akut yang akan memperberat inflamasi dan remodeling
yang terus berjalan. Upaya pencegahan terhadap alergen (pencetus) merupakan salah satu yang
dianjurkan meskipun sulit untuk dijalankan karena umumnya bersifat multifaktor.17
Proses inflamasi kronis yang terjadi berusaha dicegah dengan pemberian kortikosteroid
inhalasi sebagai antiinflamasi, tetapi selain proses inflamasi terjadi juga secara bersamaan proses
5
remodeling yang tidak dapat dicegah oleh kortikosteroid. Sampai saat ini belum ditemukan obat
anti remodeling yang efektif dan bermakna.16,18
Di sisi lain mengingat asma berhubungan dengan Ig E, berbagai upaya untuk menekan
tingginya IgE dengan anti IgE (omalizumab). Diharapkan pemberian IgE dapat mengurangi
kejadian asma atau mengurangi persistensi asma menjadi lebih ringan. Namun pemberian anti IgE
ini belum sepenuhnya diterima mengingat beberapa penelitian belum menunjukkan hasil yang
optimal disamping harga yang cukup mahal serta ketersediaannya.3,16
Disamping masalah tatalaksana asma dengan inflamasi kronis dan remodeling yang
semakin sulit diatasi, adanya penyakit penyerta lebih mempersulit lagi (difficult asthma).
Beberapa penyakit penyerta yang mempersulit tatalaksana adalah GERD (gastroesophageal reflux
disease), OSAS (obstructive sleep apnea syndrome), rinosinusitis, pneumonia atipik, obesitas, dan
penyakit jantung.19,20
Adanya penyakit penyerta dapat mempersulit tatalaksana serangan maupun tatalaksana
jangka panjang. Penggunaan pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis
seperti foto Rontgent, polisomnografi, ekokardiografi, CT scan, dan lain-lain.8,19
Dengan keterangan di atas, terlihat bahwa tatalaksana asma ke depan masih merupakan
tantangan yang berat untuk mencegah terjadinya asma dan tatalaksana difficult asthma. Selain
faktor di atas, kesulitan tatalaksana asma kemungkinan berhubungan dengan faktor genetik dan
tipe inflamasi yang terjadi pada asma.17
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah terjadinya asma baik berupa pencegahan
primer, sekunder, maupun tersier. Pencegahan primer bertujuanmencegah terjadinya sensitisasi
yang dapat dilakukan pranatal dan pasca-natal. Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah
terjadinya inflamasi/asma pada bayi/anak yang sudah tersensitisasi. Sedangkan pencegahan tersier
bertujuan mencegah terjadinya serangan akut atau eksaserbasi pada bayi/anak asma. 3,7,17
Selain tantangan di atas masalah asma pada anak di bawah lima tahun masih merupakan
misteri yang harus diungkap baik dalam menentukan diagnosis maupun tatalaksana yang
memerlukan diskusi secara mendalam. Kesulitan tatalaksana asma di bawah lima tahun terjadi
bukan hanya di Indonesia tetapi berlaku di seluruh negara sehingga GINA membuat buku saku
untuk memudahkan diagnosis dan tatalaksananya.20
Dalam tatalaksana asma baik serangan maupun tatalaksana jangka panjang, penggunaan
inhalasi merupakan pilihan utama dibandingkan peroral. Namun demikian penggunaannya masih
belum optimal meskipun pada keadaan serngan asma yang ringan sedang penggunaan MDI
(metered dose inhaler) dengan spacer sama dengan penggunaan nebulizer. Penggunaan MDI
dengan spacer masih perlu sosialisasi yang lebih paripurna.21
Simpulan
Tatalaksana asma dibagi menjadi saat serangan asma dan di luar serangan asma (jangka panjang).
Serangan asma dibagi dalam serangan ringan-sedang, dan serangan berat. Penanganan serangan
asma dapat dilakukan di rumah yang dilakukan oleh pasien dan/atau keluarganya dan di luar
rumah (rumah sakit) yang dilakukan petugas kesehatan (dokter). Serangan asma yang tidak
ditanggulangi dengan baik dapat mengakibatkan kematian.
Pada tatalaksana jangka panjang, pencegahan terhadap alergen merupakan tatalaksana yang
paling utama. Selain pencegahan diperlukan controller pada asma persisten ringan, persisten
6
sedang, dan persisten berat. Obat controller yang digunakan adalah kortikosteroid inhalasi dengan
atau tambahan obat lain seperti LABA, ALTR, TSR, atau anti IgE.
Di masa mendatang, tatalaksana asma semakin kompleks dan perlu pendekatan secara
multidisiplin karena asma merupakan penyakit yang melibatkan disiplin lain. Tatalaksana secara
dini, cepat, dan tepat dapat mengurangi kompleksitas tatalaksana asma sehingga difficultasthma
dapat dicegah.
Daftar pustaka
1. Wantania JM. Tinjauan hasil penelitian multisenter mengenai prevalensi asma pada anak
sekolah dasar di Indonesia. Disampaikan pada KONIKA IX, Semarang, 13-17 Juni 1993.
2. UKK Pulmonologi IDAI, Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi 2004.
3. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. 2015.
4. Koenig JQ. Air pollution and asthma. J Allergy Clin Immunol. 1999; 104:717-22.
5. Schuh S, Johnson DW, Callahan S, CannyG, Levison H. Efficacy of frequent nebulized
ipratropium bromide added to frequent high- dose albuterol therapy in severe childhood
asthma. J Pediatr. 1995;126:639-45.
6. Bittar TM, Guerra SD. Use of intravenous magnesium sulfate for the treatment of severe
acute asthma in children in emergency department. Rev Brasil Ter Intens. 2012;24:86-90.
7. UKK Respirologi. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Respirologi. 2015.
8. Robinson PD, Van Asperen P. Asthma in childhood. Pediatr Clin N Am. 2009;56:191-226.
9. Mitra A, Bassler D, Goodman K, Lasserson TJ, Ducharme FM. Intravenous aminophylline
for acute severe asthma in children over two years receiving inhaled bronchodilators. The
Cochrane database of systematic reviews. 2005;2:Cd001276.
10. Harumdini M, Supriyatno B, Sekartini R. Efficacy of salbutamol-ipratropium bromide
nebulizationcompared to salbutamol alone in children with mild to moderate asthma attacks.
Pediatr Indones. 2012;52:200-8.
11. Griffiths B, Ducharme FM. Combined inhaled anticholinergics and short-acting beta2-
agonists for initial treatment of acute asthma in children. The Cochrane database of
systematic reviews. 2013;8:Cd000060.
12. Supriyatno B, Dewi R, Indawati W. Penggunaan MgSO4 pada asma serangan berat: Laporan
kasus. Sari Pediatr. 2009;11:155-8.
13. Corrales AY. Management of severe asthma in children. Australian Fam Physic. 2011;40:35-
38.
14. Price D, Musgrave SD, Shepstone L, Hillyer EV, Sims EJ, Gilbert RFT. Antileukotrien
antagonist as a first-line or add-on asthma control therapy. N Eng J Med. 2011;364:1695-707.
15. Bush A. Montelukast in paediatric asthma: where we are now and what still needs to be
done? Paediatr Respir Rev. 2015;16:97-100.
16. Lai T, Wang S, Xu Z, Zhang C, Zhao Y, Hu Y, et al. Long-term efficacy and safety of
omalizumab in patients with persistent uncontrolled allergic asthma: a systematic review and
metaanalysis. Sci Rep. 2015;5:8191-9.
17. Elwood P, Asher MI, Bjorksten B, Burr M, Pearce N, Robertson CF, et al. Diet and asthma,
allergic rhinoconjunctivitis and allergic eczema symptom prevalence: an ecological analysis
of the International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) data. Eur Respi J.
2001;17:436-43.
18. Strek ME. Difficult asthma. Proc Am Thorac Soc. 2006;3:116-23.
19. DG Jain, GB Jain, RK Singal. Optimal management of difficult asthma. Med Update.
2007;137:801-12.
20. Pocket guide for asthma management and prevention (for children 5 years and younger). A
Guide for Health Care Professionals. Global Initiative for Asthma (GINA); 2015.
7
21. Cates CJ, Welsh EJ, Rowe BH. Holding chambers (spacers) versus nebulisers for beta-
agonist treatment of acute asthma. The Cochrane database of systematic reviews.
2013;9:Cd000052.
8
PNEUMONIA PADA ANAK, RAWAT JALAN ATAU RAWAT INAP?
Wisman Dalimunthe
Pendahuluan
Infeksi saluran pernapasan akut yang lebih dikenal dengan ISPA dapat terjadi pada setiap
bagian dari sistem pernapasan, mulai dari rongga hidung sampai faring yang disebut dengan
ISPA atas yang terdiri dari faringitis, rinitis, otitis media serta sinusitis, dan mulai epiglotis
sampai alveolus yang disebut dengan ISPA bawah yang terdiri dari epiglotitis, laringitis,
trakeitis, bronkitis, bronkiolitis sampai pneumonia.
Pneumonia merupakan infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang
mengenai alveolus yang serius pada anak-anak dan sering mengakibatkan anak menjalani
rawat inap. Pneumonia menyebabkan morbiditas sistem pernafasan serta mortalitas terutama
pada anak-anak di negara berkembang. Di seluruh dunia, pneumonia adalah penyebab utama
kematian pada anak-anak usia kurang dari lima tahun. Faktor-faktor yang menyebabkan
peningkatan insiden serta keparahan dari pneumonia pada anak termasuk prematuritas,
kekurangan gizi, status sosial ekonomi rendah, paparan asap rokok, dan kehadiran pengasuh
anak.
Diagnosis pneumonia dapat ditegakkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik
pada anak demam dengan gejala dan tanda gangguan pernapasan. Radiografi dada,
pemeriksaan darah dan pemeriksaan kuman penyebab sangat membantu penegakan
diagnosis.
Epidemiologi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan ada 156 juta kasus pneumonia setiap
tahun pada anak dan Asia Tenggara. Diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di negara
berkembang, dan 0,05 episode per anak-tahun di negara-negara maju. Sekitar 156 juta
episode baru setiap tahun di seluruh dunia, 151 juta diantaranya terjadi di negara
berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), Cina (21 juta) dan Pakistan (10 juta),
selanjutnya Bangladesh, Indonesia dan Nigeria (masing-masing 6 juta).1
Faktor risiko yang paling sering terhadap kejadian pneumonia adalah kurangnya
ASI eksklusif, gizi, polusi udara dalam ruangan, berat badan lahir rendah, kepadatan, dan
kurangnya imunisasi campak.1-3
Definisi
Pneumonia, yang selanjutnya ditujukan untuk istilah pneumonia komunitas (community
acquired pneumonia),dapat didefinisikan secara klinis sebagai adanya tanda-tanda dan gejala
pneumonia pada anak yang sebelumnya sehat akibat infeksi yang diperoleh di luar rumah
sakit.2
Paru-paru terdiri dari ribuan cabang bronkus yang membagi ke dalam saluran yang
lebih kecil lagi (bronkiolus), yang berakhir pada kantung kecil yang disebut alveoli. Alveoli
merupakan tempat yang mengandung banyak kapiler dimana terjadi proses pertukaran gas
antara oksigen dan karbondioksida. Ketika anak menderita pneumonia, cairan (atau pus) akan
mengisi alveoli pada satu atau kedua paru-paru, sehingga mengganggu proses penyerapan
oksigen yang membuat anak jadi sulit bernapas. Infeksi saluran pernapasan bisa berasal dari
penyakit ringan, seperti selesma (common cold), namun karena kerentanan dan daya tahan
tubuh anak, infeksi yang dimulai dengan gejala ringan bisa menyebabkan penyakit yang lebih
berat, seperti pneumonia.4
Pneumonia dapat dipastikan dengan adanya konsolidasi pada pemeriksaan
radiologi. Sedangkan di daerah dengan fasilitas terbatas untuk akses radiografi, dalam
penegakan diagnosa yang lebih praktis menggunakan tanda dan gejala ISPA bawah. Idealnya,
definisi ini juga mencakup isolasi organisme penyebab. Namun, jelas dari banyak penelitian
sangat sulit dilakukan.4
Etiologi
Banyak mikrorganisme yang menjadi penyebab pneumonia, seperti virus, bakteri, dan jamur.
Kuman penyebab pneumonia tergantung pada usia anak. Pada neonatus biasanya penyebab
pneumonia adalah kuman/flora dari ibu seperti streptococcus grup B dan bakteria gram
negatif yang merupakan transmisi vertikal. Tetapi secara umum, untuk semua usia
Streptococcus pneumoniae adalah bakteri penyebab yang paling umumm dijumpai disamping
virus dan jamur.5,6 Pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun, virus juga berperan besar sebagai
penyebab pneumonia, Sementara pada usia sekolah (>5 tahun), kuman atypical seperti M
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae menjadi penyebab yang umum dijumpai.7
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, serta Staphylococcus aureus,
sebagai bakteri penyebab pneumonia yang berat terutama di negara berkembang. Pada kasus
yang lebih ringan, selain bakteri di atas, juga sering disebabkan oleh respiratory syncytial
virus sebagai patogen utama yang terkait dengan pneumonia pada anak, terutama usia <5
tahun. Selain itu juga oleh bakteri yang jarang serta jamur. 8
Pendekatan diagnostik9
Seperti halnya pada penyakit lain, pendekatan diagnostik pada pneumonia juga dilakukan
dengan anamnesa yang baik, pemeriksaan fisik yang sempurna serta pemerikssaan penunjang
yang sesuai.
a. Anamnesa
Anamnesa yang baik pada pneumonia meliputi pertanyaan tentang :
- Batuk : biasanya berlangsung singkat antara 3-5 hari
- Demam : durasinya juga hampir sama, biasanya tinggi >390C
- Riwayat kontak dengan penderita Tb
- Riwayat tersedak atau batuk yang tiba-tiba untuk menyingkirkan kemungkinan
aspirasi benda asing
- Riwayat menderita HIV pada ibu
- Riwayat imunisasi
- Riwayat asma pada keluarga
- Riwayat menderita campak sebelumnya
- Penilaiann tumbuh kembang
- Penilaian tanda-tanda kegawatan seperti kejang dan penurunan kesadaran
b. Pemeriksaan fisik
Penilaian awal pada pemeriksaan fisik yang penting dalam diagnosa pneumonia pada
anak meliputi :
- Tanda kegawatan seperti tidak bisa makan, penurunan kesadaran, sianosis dan stridor
pada saat istirahat
- Tanda distres nafas seperti grunting (merintih)
- Laju pernafasan
- Retraksi atau penarikan dinding dada
- Tinggi dan berat badan
- Pernafasan cuping hidung
- Wheezing (mengi)
- Head nodding
- Penonjolan vena jugularis
- Pucat
Sedangkan pemeriksaan dada meliputi :
- Frekwensi pernafasan ketika anak tidur atau sedang istirahat
Disebut nafas cepet sesuai dengan kriteria WHO apabila10:
o ≥ 60 kali permenit pada anak dibawah 2 bulan
o ≥ 50 kali permenit pada anak usia 2 – 11 bulan
o ≥ 40 kali permenit pada anak usia 1 – 5 tahun
- Retraksi dinding dada
- Kedalaman pernafasan
- Pergeseran trakea atau mediastinum
- Krepitasi (cracles atau rales)/ronki pada auskultasi
- Perkusi
- Bising jantung atau irama gallop pada kelainan jantung
c. Pemeriksaan penunjang
Jika memungkinkan untuk dilaksanakan, pemeriksaan penunjang sangat membantu
untuk menegakkan diagnosa, menyingkirkan komplikasi serta menilai keparahan
pneumonia.
Foto toraks
Foto toraks sangat perlu dilakukan dalam menegakkan diagnosa pneumonia terutama
pada kasus-kasus yang berat, selain juga menyingkirkan kemungkinan penyebab lain
seperti gagal jantung, juga untuk mengidentifikasi adanya komplikasi seperti
empiema atau abses.
Pulse oximetry harus dilakukan untuk menentukan apakah anak membutuhkan terapi
oksigen dan juga membantu menentukan apakah oksigen akan dihentikan.
Penatalaksanaan
a. Manajemen anak pneumonia dengan rawat jalan
Pemilihan antibiotik untuk pengobatan empiris pneumonia pada rawat jalan
haruslah mencakup organisme yang secara umum menjadi penyebab
terjadinya pneumonia, yaitu Streptococcus pneumonia dan Haemofilus
influenzae.
Antibiotik yang digunakan secara luas untuk itu adalah amoksisilin dan co-
trimoxazole (trimetophrim dan sulfamethoxazole fixed dose combination).
Namun belakangan diketahui bahwa angka resistensi kuman terhadap co-
trimoxazole meningkat, sehingga penanganan terbaru hanya menggunakan
amoksisilin untuk pengobatan lini pertama.
Adapun antibiotik lini kedua pada keadaan resisten terhadap amoksisilin dapat
menggunakan amoksisilin-clavulanat dosis tinggi, kloramfenikol, tetrasiklin,
atau golongan macrolide seperti eritromisin, klaritromisin, atau
azitromisin.4,9,12
c. Pneumonia persisten
Pada pasienn yang tidak respon dengan pengobatan di atas, pertimbangkan
kemungkinan pneumonia atipikal, tuberkulosis, atau pneumocystosis (infeksi
HIV dan AIDS). Penyebab yang umum pada pneumonia atipikal adalah
Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydophila pneumoniae. Jika dugaannya
ini, maka pilihan utama antibiotiknya adalah azithromycin per oral 10 mg/kg
once daily (maks. 500 mg/hari) untuk 5 hari. Jika tidak terdapat azithromycin,
maka pilihan berikutnya adalah erythromycin PO 30-40 mg/kg/hari dibagi
dalam 4 dosis untuk 10 sampai 14 hari.
d. Terapi suportif
Terapi suportif menjadi bagian pengobatan yang sangat penting tetapi sangat
sering dilupakan. Pemberian diet yang adekuat sangat perlu diperhatikan
mengingat peningkatan kebutuhan nutrisi akibat peningkatan kerja nafas pada
anak pneumonia. Kebutuhan cairan juga merupakan hal yang sangat perlu
diperhatikan, walaupun hal ini masihh merupakan perdebatan, tetapi
setidaknya anak akan membutuhkan cairan tambahan akibat kekurangan
cairan disebabkan kenaikan suhu tubuhnya. Pemberian oksigen serta
pemantauannya merupakann terapi yang sangat penting mengingat salah satu
komplikasi penting pada penderita pneumonia yaitu hypoxaemia. Idealnya
setiap anak pneumonia membutuhkan pemantauan saturasi oksigen secara
berkala dengan pulse oksimetri untuk menentukan kebutuhan oksigennya.
Biasanya anak dengan saturasi oksigen <90% memerlukan pemberian
oksigen.4
Daftar Pustaka
1. Rudan I, Boschi-Pinto C, Biloglav Z, et al. Epidemiologi and etiologi
of childhood pneumonia. Bull World Health Organ 2008;86:408.
2. World Health Organization. Pneumonia. Fact sheet No. 331. April
2013. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/