Anda di halaman 1dari 338

PEDIATRIC CARE DURING COVID-19 PANDEMIC:

CHALLENGES & OPPORTUNITIES

Editor: : Ahmad Suryawan


Dwiyanti Puspitasari
Gani Wangunhardjo

ISBN : 978-623-91407-8-6
Cetakan Pertama : 2021

“Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
dengan cara dan bentuk apapun tanpa seijin penulis.”

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


ii Challenges & Opportunities
Kata Pengantar

Selama era pandemi COVID-19, upaya dan sumber daya


di bidang kesehatan hamper seluruhnya dikerahkan untuk
penanggulangan pandemi tersebut sehingga berdampak terhadap
berkurangnya perhatian untuk upaya / program kesehatan
lainnya termasuk kesehatan anak. Kondisi ini dapat menyebabkan
timbulnya permasalahan kesehatan baru pada saat pandemi
COVID-19 mulai terkendali, yang merupakan tantangan tersendiri.
Di sisi lain masa pandemi COVID-19, juga membuka peluang
munculnya kesempatan untuk inovasi di bidang pelayanan
sehingga derajat kesehatan anak tidak terlalu terdampak.
Oleh karena itu, Dokter Anak dituntut untuk dapat mengatasi
tantangan yang ada dengan segera melakukan inovasi pelayanan
berdasarkan bukti ilmiah yang sahih, sehingga dalam situasi sulit
akibat pandemi tetap dapat memberikan kontribusi besar dalam
mempertahankan derajat kesehatan anak.
Dalam buku berjudul “Pediatric care during COVID-19
pandemi” ini kami mencoba menyajikan berbagai topik yang
dapat dihadapi sebagai tantangan dan kesempatan oleh dokter
anak selama pandemi COVID-19. Semoga buku ini dapat menjadi
acuan yang membantu sejawat dokter anak dalam menghadapi
pandemi yang sudah berlangsung selama satu tahun.

Salam sehat,

Tim editor

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities iii
Daftar Penulis

DR. Ahmad Suryawan, dr, SpA(K) Diana Amilia Susilo, dr, IBCLC, SpA
Divisi Tumbuh Kembang – Pediatri Sosial RSIA Kendangsari Surabaya,
Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Anak IDAI Cabang Jawa Timur
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/
RSUD Dr. Soetomo Surabaya
IDAI Cabang Jawa Timur

DR. Dominicus Husada, dr, SpA(K) Ery Olivianto, dr, SpA(K)


Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Divisi Respirologi
Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Anak Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya/
RSUD Dr. Soetomo Surabaya RSUD Dr. Saiful Anwar Malang 
IDAI Cabang Jawa Timur IDAI Cabang Jawa Timur

DR. Irene Ratridewi, dr, SpA(K) Neurinda Permata Kusumastuti, dr, SpA(K)
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya/ Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang  RSUD Dr. Soetomo Surabaya
IDAI Cabang Jawa Timur IDAI Cabang Jawa Timur

Kartika Darma Handayani, dr, SpA(K) DR. Meta Herdiana Hanindita,dr, SpA(K)
Divisi Neonatologi Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik
Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Anak Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
RSUD Dr. Soetomo Surabaya RSUD Dr. Soetomo Surabaya
IDAI Cabang Jawa Timur IDAI Cabang Jawa Timur

DR. Mia Ratwita Andarsini,dr, SpA(K) Muhammad Faizi, dr, SpA(K)


Divisi Hematologi dan Onkologi Divisi Endokrinologi
Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Anak Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
RSUD Dr. Soetomo Surabaya RSUD Dr. Soetomo Surabaya
IDAI Cabang Jawa Timur IDAI Cabang Jawa Timur

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


iv Challenges & Opportunities
DR. Retno Asih Setyoningrum, dr, SpA(K) DR. Risky Vitria Prasetyo, dr,SpA(K)
Divisi Respirologi Divisi Nefrologi
Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Anak Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
RSUD Dr. Soetomo Surabaya RSUD Dr. Soetomo Surabaya
IDAI Cabang Jawa Timur

Saptadi Yuliarto,dr, SpA(K), M.Kes Prof. DR.Teddy Ontoseno, dr, SpA(K),


Divisi Emergensi dan Rawat Intensif SpJP
Anak Divisi Kardiologi
Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Anak Departemen / KSM Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Fakultas Kedokteran Universitas
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang  Airlangga /
IDAI Cabang Jawa Timur RSUD Dr. Soetomo Surabaya
IDAI Cabang Jawa Timur

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities v
Daftar Isi

Kata Pengantar ii
Daftar Penulis iii
Daftar Isi vi

COVID-19: Neonatal-Perinatal Perspective 1


Dr. Kartika Darma Handayani, SpA(K)

Breastfeeding Practices During Pandemic Era 27


Dr. Diana Amilia Susilo, SpA

COVID-19 in Infant 71
Dr.Ery Olivianto, SpA(K)

Emergency in Pediatric COVID-19 89


Dr. Neurinda Permata Kusumastuti, SpA(K)

Diabetic Ketoacidosis Management During COVID-19 Pancemic 105


Dr. Muhammad Faizi, SpA(K)

Multisystem Inflammatory Syndrome in Children (MIS-C) 125


DR.Dr. Dominicus Husada,SpA(K)

Referral Management for Children with COVID-19 165


Dr. Saptadi Yuliarto, SpA(K), M.Kes

Recognizing COVID-19 in Children 177


DR.Dr. Retno Asih Setyoningrum, SpA(K)

Pengaruh Era Pandemi COVID-19 pada Penyakit Ginjal Anak 189


DR.Dr. Risky Vitria Prasetyo, SpA(K)

Congenital Heart Diseases in The Era COVID-9 Pandemic 231


Prof.DR.Dr. Teddy Ontoseno, SpA(K), SpJP

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


vi Challenges & Opportunities
Pediatric Hematology-Oncology Care in During Pandemic Era 269
DR.Dr.Mia Ratwita Andarsini,SpA(K)

Nutrional Impact on Children During COVID-19 Pandemic 279


DR. Dr. Meta Herdiana Hanindita, SpA(K)

Vaccine Preventable Pediatric Infectious Diseases During


Pandemic Era 289
DR.Dr.Irene Ratridewi,SpA(K)

School Re-opening Consideration: Pediatrician Perspective 305


DR.Dr.Ahmad Suryawan, SpA(K)

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities vii
Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:
viii Challenges & Opportunities
COVID-19: NEONATAL-PERINATAL
PERSPECTIVE

Kartika Darma Handayani, Mahendra TAS, Dina Angelika, Martono TU,


Risa Etika, Agus Hariant

PENDAHULUAN
Pandemi COVID-19 telah membuat perubahan dalam
pelayanan kesehatan dan manajemen klinis ibu hamil dan
bayi baru lahir. Perubahan tersebut disesuaikan dengan
ketersediaan tenaga kesehatan, tingkat infeksi dan data
ilmiah yang terus berkembang. Severe acute respiratory
syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) merupakan agen
penyebab pandemi COVID-19 di seluruh dunia. SARS-
CoV-2 merupakan bagian dari keluarga Corornaviridae
yang pertama kali ditemukan tahun 1960an.1 Sejak awal
ditemukannya hingga saat ini terdapat 7 jenis coronavirus
yang berhubungan dengan infeksi klinis yang relevan, 3
diantaranya yaitu, severe acute respiratory syndrome coronavirus
(SARS-CoV), Middle East respiratory syndrome coronavirus,
dan (SARS-CoV-2) yang memiliki kapabilitas menyebabkan
infeksi pernafasan dengan morbiditas dan mortalitas yang
berat. Transmisi zoonotik terjadi setelah virus mengalami
mutasi genetik sehingga mampu menginfeksi sel manusia.
Receptor-binding domain (RBD) dari protein spike coronavirus

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 1
berada pada bagian kapsid virus yang mampu berikatan
dengan permukaan sel angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2)
dan menginisiasi masuknya virus.2
Ekspresi ACE2 di permukaan sel epitelial saluran nafas
atas dan bawah membuat virus dapat memasuki sel dan
menjadi awal infeksi saluran napas.3 Selain berikatan dengan
ACE2, siklus hidup SARS-CoV-2 membutuhkan aktivitas
proteolitik serine protease inang, protease transmembran, dan
serine 2 (TMPRSS2) untuk masuknya virus.4 SARS-CoV-2
masuk kedalam sitoplasma melalui endositosis atau fusi
langsung dengan membran sel inang.5 RNA virus kemudian
ditranslasikan oleh mesin sintesis protein inang. Hasil dari
translasi berupa polyprotein berukuran besar yang akan
dibelah oleh protease virus menjadi protein virus individual.6
Replikasi virus juga membutuhkan RNA-dependent RNA
polymerase untuk mensintesis RNA intermediet yang
berfungsi untuk membuat lebih banyak untai RNA positif
SARS-CoV-2.7
Setelah masuknya virus ke dalam sel inang, terdapat
sebuah hipotesis yang menyatakan mengenai inisiai awal
virus dan aktivasi imun melalui Toll-like receptors, reseptor
retinoic acid-inducible gene I-like, dan aktivasi inflamasi.8,9
Respon imun terhadap infeksi virus dianggap menjadi
penyebab patologi dan klinis penyakit pada infeksi SARS-
CoV-2, dimana respon imun yang terlalu kuat dapat memicu
timbulnya klinis penyakit yang lebih berat. Sebuah studi
membandingkan respon inflamasi antara penyintas dewasa
dan bukan penyintas infeksi SARS-CoV-2 di Wuhan, China,
menunjukkan kadar IL-6, ferritin dan lactate dehydrogenase
yang secara signifikan lebih tinggi serta nilai hitung limfosit

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


2 Challenges & Opportunities
yang lebih rendah baik pada saat awal masuk rumah sakit dan
saat dirawat di rumah sakit.10 Etiologi mengenai menurunnya
tingkat infeksi dan berkurangnya respon imun pada neonatus
dan anak-anak dengan usia yang lebih tua masih menjadi
perdebatan. Salah satu kemungkinan penyebabnya yaitu
adanya variasi ekspresi ACE2 sesuai usia, evolusi sistem imun
dan respon terhadap infeksi.11

COVID-19, NEONATAL DAN PERINATAL


Bukti ilmiah mengenai transmisi vertikal COVID-19
pada bayi baru lahir masih sangat terbatas. Secara umum
telah diketahui bahwa penularan SARS-CoV-2 adalah
melalui droplet saluran pernapasan. Bukti ilmiah lain
mengidentifikasi adanya virus viable pada feses pasien yang
menderita COVID-19. Namun, belum ada studi kuat yang
mendukung bahwa virus SARS-CoV-2 ada pada ASI, cairan
amnion maupun darah umbilical.12 Studi kasus oleh Sisman
dkk pada bayi prematur dengan gejala demam dan infeksi
saluran napas ringan pada hari kedua. Bayi tersebut kemudian
menjalani pemeriksaan swab nasofaring SARS-CoV-2 pada
24 dan 48 jam pertama kehidupan dan menunjukkan hasil
yang positif. Pengamatan SARS-CoV-2 pada histopatologi
plasenta dengan menggunakan mikroskop elektron dan
imunohistokimia tampak adanya histiosit intervilus dan
villitis yang berhubungan dengan villous karyorrhexis dan
nekrosis. Manajemen perawatan neoantus pada penelitian
tersebut dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan
COVID-19 yaitu dengan melakukan resusitasi dengan jarak,
tidak ada penundaan pemotongan tali pusat serta tidak
dilakukan IMD.13

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 3
Kehamilan meningkatkan resiko infeksi khususnya
infeksi pada saluran pernapasan. Tingkat infeksi SARS-
CoV-2 pada ibu hamil bervariasi secara geografis. Data dari
Centers for Disease Control (CDC) menunjukkan bahwa ibu
hamil dengan COVID-19 meningkatkan resiko rawat inap
dan masuk ICU jika dibandingkan dengan wanita tidak hamil
pada usia reproduktif.14 Beberapa studi menunjukkan adanya
komplikasi pada janin dari ibu yang menderita infeksi SARS-
CoV-2 diantaranya yaitu kelahiran prematur, pertumbuhan
terhambat, dan abortus.15 Komplikasi pada janin ini
dikaitkan dengan hipotesis mengenai hiperkoagubilitas
yang menyebabkan berkurangnya perfusi maternal dan/atau
janin.16
Rekomendasi dari American College of Obstetricians and
Gynecologists (ACOG) bahwa perawatan prenatal tidak
membutuhkan modifikasi yang signifikan baik terhadap
keberadaan infeksi SARS-CoV-2 itu sendiri ataupun
disesuaikan dengan kondisi ibu hamil.17 Apabila teridentifikasi
infesi SARS-CoV-2 pada trisemeter pertama kehamilan,
ACOG merekomendasikan untuk tambahan pemeriksaan
ultrasonography pada pertengahan trisemester untuk
mengevaluasi anatomi janin.18 Namun, apabila infeksi terjadi
pada trisemester 2 atau 3, ACOG merekomendasikan adanya
tambahan pemeriksaan untuk penilaian pertumbuhan pada
trisemester ketiga.
Saat ini ACOG merekomendasikan pemberian steroid
antenatal untuk semua ibu hamil yang beresiko terhadap
kelahiran preterm dalam 7 hari untuk usia kehamilan <33
6/7minggu serta late preterm (34 0/7 sampai 36 6/7 minggu).18
Laporan terbaru menunjukkan bahwa penggunaan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


4 Challenges & Opportunities
dexamethasone menurunkan mortalitas pada 28 hari pertama
pada pasien rawat inap COVID-19 yang menggunakan
ventilator atau mendapat terapi oksigen.19 Sampai saat ini,
pedoman ACOG merekomendasikan bahwa status SARS-
CoV-2 bukan menjadi penentu keputusan pemberian
kortikosteroid antenatal.18
Pertimbangan persalinan pun mengalami perubahan
selama pandemi COVID-19 untuk melindungi keaamanan
ibu hamil, tenaga kesehatan, dan bayi baru lahir. ACOG saat
ini merekomendasikan untuk memprioritaskan tes bagi ibu
hamil dengan status suspek COVID-19 atau mengalamai
gejala COVID-19 yang akan melakukan persalinan saat proses
admisi. ACOG menyarankan untuk pertimbangan skrining
universal dan penggunaan tes polymerase chain reaction
(PCR) di daerah dengan prevalensi COVID-19 yang tinggi
(17). Pencegahan lainnya meliputi pembatasan pengunjung,
penempatan pasien SARS-CoV-2 di ruang bertekanan negatif,
atau minimal ruangan dengan daya absorbsi yang tinggi jika
ruangan tekanan negatif tidak tersedia.20 ACOG menyatakan
bahwa infeksi SARS-CoV-2 itu sendiri bukan merupakan
indikasi untuk persalinan preterm atau section caesarean,
dan waktu untuk persalinan harus diinformasikan bahwa
bergantung pada keparahan penyakit, komorbid ibu, usia
kehamilan, status ibu dan janin yang sebagian besar infeksi
SARS-CoV-2 asimtomatik atau dengan gejala ringan.21,22
Pada pasien dengan gejala berat atau kritis, persalinan bayi
prematur atau terminasi pada kehamilan yang non-viable
mungkin dibutuhkan dengan pertimbangan mengurangi
resiko kematian baik pada ibu maupun janin.22 Persalinan
lebih awal juga mungkin dibutuhkan pada kasus hipoksemia

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 5
maternal refraktori dan peningkatan konsumsi oksigen
maternal akibat hipoksemia dan acidemia kritis janin. Studi
yang dilakukan Della dkk23 pada 51 kasus infeksi SARS-
CoV-2 pada ibu hamil melaporkan peningkatan indikasi
kelahiran prematur dan persalinan sectio caesarea. Sebanyak
96% pada studi tersebut merupakan persalinan sectio caesarea
dengan median usia kehamilan 36.5 minggu dengan indikasi
akibat pneumonia COVID-19 sebesar 55.9%, ruptur membran
prematur sebesar 26.5% dan fetal distress 17.6%.
Adaptasi pelayanan antenatal, persalinan dan perawatan
selama pandemi COVID-19 meningkuti Pedoman Pelayanan
Antenatal, Persalinan, Nifas, dan Bayi Baru Lahir yang
diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indoneisa.
Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya juga memiliki Panduan
Praktik Klinis COVID-19 yang juga berisi mengenai pelayanan
selama periode perinatal dan neonatal saat pandemi
COVID-19. Pedoman pelayanan antenatal yang diterbitkan
oleh Kemenkes memberikan alur pelayanan antenatal di
rumah sakit. Ibu yang akan melakukan kunjungan antenatal
diwajibkan untuk melakukan perjanjian pertemuan atau
telegrasi melalui media komunikasi. Tenaga kesehatan
melakukan skrining adanya gejala atau riwayat paparan
terhadap COVID-19 saat janji temu. Apabila skrining negatif,
maka ibu dapat melakukan kunjungan sesuai jadwal dan saat
kunjungan pasien harus melewati skrining di pintu rumah
sakit dan masuk rumah sakit dengan melakukan tindakan
pencegahan rutin. Namun, apabila saat janji temu ditemukan
skrining COVID-19 positif, tenaga kesehatan menanyakan
apakah ada resiko atau komplikasi baik pada ibu maupun
janin. Jika terdapat resiko pada kehamilan maka ibu dan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


6 Challenges & Opportunities
keluarga tetap datang ke rumah sakit dengan menggunakan
masker dan cuci tangan. Ibu wajib menginformasikan kepada
tim petugas kesehatan supaya tim dapat memakai APD yang
sesuai. Namun, apabila saat skrining resiko kehamilan tersebut
negatif, maka kunjungan antenatal dapat ditunda setelah 14
hari dan lakukan konseling pada pasien untuk monitor gejala
dan kondisi tertentu ketika pasien harus datang ke IGD.24
Penapisan terhadap setiap ibu hamil terhadap COVID-19
berbasis MEOWS (Modified Early Obstetric Warning Score)
dijelaskan juga pada pedoman yang dikeluarkan oleh
Kemenkes. Skor MEOWS tersebut terdiri dari beberapa
indikator yaitu saturasi oksigen, laju nafas, nadi, tekanan darah
sistolik/diastolik, diuresis, suhu dan sistem saraf pusat. Skor
MEOWS kemudian diklasifikasikan menjadi 4 yaitu MEOWS
0-1 (normal), 2-3 (normal dan stabil), 4-5 (abnormal dan tidak
stabil, harus dievaluasi tiap 30 menit), serta MEOWS ≥ 6
(abnormal dan tidak stabil, harus dievaluasi dalam 10 menit).24
Ibu dengan status suspek / kontak erat COVID-19 tanpa gejala
atau gejala ringan dapat melakukan isolasi mandiri di rumah
atau tempat yang ditunjuk khusus. Ibu dengan status suspek
gejala sedang atau berat harus segera dirawat di rumah sakit
(berdasarkan pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi
covid-19). Ibu dengan status suspek/terkonfirmasi COVID-19
harus dirawat di ruang isolasi khusus di rumah sakit. Apabila
rumah sakit tidak memiliki ruangan isolasi khusus yang
memenuhi syarat Airborne Infection Isolation Room (AIIR),
pasien harus dirujuk secepat mungkin ke fasilitas dengan
isolasi khusus. Diperlukan koordinasi lintas sektor dan
pemerintah daerah untuk menangani ibu hamil yang diduga/
diketahui COVID-19 ditempat isolasi khusus di kab/kotanya.24

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 7
Saat ibu hamil datang ke IGD dan tidak diketahui status
COVID-19nya, maka ibu hamil diarahkan untuk ke triage
IGD. Semua ibu sebaiknya memakai masker dan menjalani
prosedur skrining. Skrining meliputi gejala klinis (batuk,
demam, dan sesak napas), Riwayat kontak atau riwayat
perjalanan, tes serologis, CT scan toraks atau foto toraks. Hasil
skrining kemudian dikonsulkan ke Satgas COVID-19 rumah
sakit atau dokter spesialis paru. Apabila termasuk kasus
suspek COVID-19 maka dilakukan pemeriksaan diagnostik
RT-PCR. Jika terdapat indikasi obstetrik untuk rawat inap
atau MEOWS positif atau sesuai dengan keparahan gejala,
maka ibu hamil dapat di rawat inapkan di ruang isolasi
obstetrik dan pasien dianggap positif COVID-19 sampai hasil
swab menyatakan sebaliknya.24,25
Data menunjukkan bahwa tingkat infeksi COVID-19
dapatan yang rendah diantara bayi yang lahir dari ibu dengan
terkonfirmasi SARS-CoV-2. Sebuah studi review sistematik
yang melibatkan 27 studi di US, China, Italia, Swedia, Korea
Selatan, dan Honduras, hanya terdapat 4 dari 137 neonatus
(3%) yang yang memiliki hasil positif PCR COVID-19 yang
dilahirkan oleh ibu terkonfimasi SARS-CoV-2.26 Hasil tidak
jauh berbeda, kami dapatkan di RSUD Dr. Soeotmo, yaitu dari
109 ibu yang memiliki hasil RT-PCR COVID-19 positif, hanya
terdapat 2 bayi yang memiliki pemeriksaan PCR COVID-19
positif.27 Penelitian kohort di Spanyol, infeksi dapatan
perinatal terdapat 5 neoantus dengan hasil RT-PCR positif
dari 72 bayi yang dilahirkan dari ibu terkonfimasi COVID-19
(6.9%) dan tidak ada perbedaan yang signifikan antara yang
dilahirkan secara pervaginam dan sectio caesarean.28 Disisi lain,
data yang disampaikan oleh National Registry for Surveillance

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


8 Challenges & Opportunities
and Epidemiology of Perinatal COVID-19 Infection (NPC-19)
ditemukan sebanyak 44/2287 (1.9%) neonatus memiliki hasil
positif yang terlahir dari ibu terkonfimasi COVID-19.29
Transmisi perinatal SARS-CoV-2 dari ibu kepada bayinya
mungkin melalui rute transplasenta atau melalui paparan
lingkungan partikel droplet setelah lahir. Beberapa laporan
melaporkan potensi transmisi transplasenta menunjukkan
adanya IgG dan IgM antiSARS-CoV-2 pada neonatus yang
lahir dari ibu dengan COVID-19, namun pada studi tersebut
semua bayi memiliki hasil PCR yang negatif.30,31 Antibodi
IgM spesifik SARS-CoV-2 pada neonatus mungkin dapat
mengindikasikan adanya infeksi intrauterine dimana IgM
tidak melewati plasenta dan titer IgG pada neonatus dapat
merefleksikan infeksi maternal atau neonatal.31,32 Analisis
histologi dari plasenta ditemukan adanya tanda inflamasi
intervillous akut dan kronik serta pemeriksaan RT-PCR pada
jaringan positif SARS-CoV-2.33 Studi lain juga menunjukkan
adanya SARS-CoV-2 pada analisis sampel plasenta yang ke-
mungkinan dapat mengindikasikan trasnimsi transplasenta,
namun penelitian tersebut tidak dapat mengeksklusi adanya
kontaminasi saat persalinan.34,35 Transmisi kontak postnatal
melalui kontaminasi lingkungan juga memungkinkan
adanya virus SARS-CoV-2 hidup yang diisolasi dari sampel
urin dan feses.35 Kemungkinan transmisi melalui ASI saat ini
masih menjadi perdebatan. Sebuah studi di rumah sakit New
York pada 120 neonatus yang lahir dari ibu terinfeksi SARS-
CoV-2 seluruhnya menunjukkan hasil yang negatif pada
pemeriksaan RT-PCR SARS-CoV-2 pada 24 jam pertama
kehidupan, usia 5-7 hari dan usia 14 hari. Pada studi tersebut,
78% bayi masih menyusu eksklusif pada usia 5-7 hari dan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 9
menggunakan protokol pencegahan saat proses menyusui,
kontak kulit-ke-kulit (skin-to-skin contact), serta penggunaan
isolet tertutup ketika sedang tidak menyusui.36 Faktor resiko
transmisi maternal dan infeksi dapatan pada neonatus masih
belum dapat dijelaskan dan belum ada bukti ilmiah kuat
yang mendukung bahwa tingkat keparahan penyakit ibu,
waktu perolehan infeksi pada neonatus, usia kehamilan saat
persalinan, dan cara persalinan berkontribusi untuk resiko
transmisi. Transimisi horizontal dapat menjadi sumber
penularan COVID-19 pada neonatus. Penerapan protokol
kesehatan terbukti efektif untuk mencegah penularan
COVID-19 pada bayi baru lahir.37
Presentasi klinis neonatus yang terinfeksi SARS-CoV-2
bervariasi secara geografis mulai dari asimtomatik hingga ke
penyakit kritis. Sebuah sistematik review pada 25 kasus infeksi
SARS-CoV-2 anak-anak dan bayi baru lahir menunjukkan
bahwa neonatus merupakan kelompok yang paling banyak
dilakukan tes swab RT-PCR karena terlahir dari ibu dengan
riwayat COVID-19 (84%). Dari 25 kasus tersebut, 20%
merupakan asimtomatik dengan proporsi neonatus yang
lebih tinggi pada klinis berat dibandingkan dengan anak usia
lebih dari 1 bulan (12% vs 2%). Pada neonatus asimtomatik,
presentasi klinis yang paling banyak dijumpai yaitu distres
pernapasan (40%), demam (32%), dan intoleransi makanan
(24%). Hasil laboratorium menunjukkan adanya peningkatan
sel darah putih (20%), creatinine phosphokinase (20%),
enzim liver (16%) dan CRP dan/atau prokalsitonin (12%).38
Salah satu kasus dalam sistematik review tersebut juga
menjelaskan kasus mengenai 2 neonatus yang mengalami
disseminated intravascular coagulation (DIC) dan 1 neonatus

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


10 Challenges & Opportunities
dengan disfungsi multi organ yang selanjutnya menyababkan
kematian neonatal. Namun neonatus tersebut memiliki hasil
tes amplifikasi asam nukleat negatif.39 Meskipun studi yang
ada masih terbatas, namun neonatus merupakan kelompok
resiko tinggi untuk mengalami gejala yang berat jika
dibandingkan dengan anak dengan usia yang lebih tua.
Pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis infeksi
SARS-CoV-2 saat ini adalah dengan RT-PCR menggunakan
sampel saluran pernpasan. Namun, pada pasien asimtomatik
atau pasien dengan gejala ringan (sering terjadi pada bayi
dan neonatus), sensitivitas pemeriksaan berkurang dan
cenderung berpotensi negatif palsu.39 Pemeriksaan tes serologi
pada neonatus masih menjadi perdebatan karena adanya
transmisi transplasental IgG dan IgM maternal menimbulkan
negatif palsu maupun positif palsu, sehingga keberadaan
antibodi tersebut dapat sebagai respon janin adanya infeksi
intrauterine dan bukan pemeriksaan baku emas untuk infeksi
kongenital. Adanya antibodi IgG dan IgM masih tidak jelas
apakah infeksi terjadi transplasenta atau postnatal, namun
adanya peningkatan titer IgG pada pemeriksaan serial
menunjukkan adanya infeksi yang aktif.32 Manajemen infeksi
SARS-CoV-2 pada neonatus sebagian besar merupakan terapi
suportif yang meliputi dukungan respirasi, oksigen, cairan
dan elektrolit dan antibiotik empiris apabila terbukti adanya
ko-infeksi bakterial.
Pada alur pemulangan bayi baru lahir dari ibu suspek/
probable/terkonfimasi COVID-19 yang diterbitkan oleh
Kemenkes RI, dibedakan menjadi 2 yaitu alur pemulangan bayi
baru lahir dengan gejala dan tanpa gejala. Alur pemulangan
bayi tanpa gejala yang lahir dari ibu suspek/probable/

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 11
terkonfimasi COVID-19 diawali dengan dilakukannya tes
swab RT-PCR. Apabila fasilitas tersebut tersedia dan hasilnya
positif maka disarankan untuk pemeriksaan tes swab ulang.
Swab ulang dilakukan setiap 3-7 hari atau tergantung
kapasitas fasilitas kesehatan. Bayi dapat dipulangkan dari RS
setelah hasil swab RT-PCR negatif 2 kali berturut-turut dengan
interval minimal 24 jam. Namun apabila tidak ada fasilitas
yang mendukung untuk dilakukan tes swab ulangan, maka
bayi ditempatkan di ruang isolasi faskes selama 10-14 hari.
Apabila, RS tidak memiliki sarana untuk isolasi neonatus,
maka bayi dapat dipulangkan dari RS dengan catatan tenaga
kesehatan harus memberikan informasi mengenai resiko
penularan, melakukan isolasi mandiri selama 10-14 hari dan
RS atau fasilitias kesehatan terkait melakukan pemantauan
terhadap tanda dan gejala yang tidak normal serta melakukan
koordinasi dengan Puskesmas setempat.24
Alur yang berbeda ditunjukkan pada bayi bergejala yang
lahir dari ibu suspek/propable/terkonfiamsi COVID-19. Bayi
dengan gejala dilakukan pemeriksaan swab RT-PCR. Apabila
RT-PCR pertama positif dan bayi menunjukkan gejala yang
berat, maka dilakukan pemeriksaan ulangan swab RT-PCR
pada hari ke-7 dan apabila hasilnya positif dilakukan tes
swab ulangan lagi pada hari ke-14. Jika RT-PCR ketiga ini
positif, maka dipertimbangkan untuk pemeriksaan CT value
dan menilai kondisi klinis bayi.24 Apabila pada pemeriksaan
swab RT-PCR ulangan yang ke-2 dan ke-3 menunjukkan hasil
negatif atau pada saat RT-PCR yang pertama hasilnya positif
dengan gejala ringan-sedang dan memiliki hasil tes swab
negatif pada 2 kali pemeriksaan dengan interval minimal
24 jam, maka bayi dapat dipulangkan/alih rawat non isolasi

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


12 Challenges & Opportunities
untuk tatalaksana penyakit non-COVID. Namun, jika rumah
sakit tersebut tidak mendukung fasilitas test swab RT-
PCR, maka bayi dilakukan isolasi di faskes minimal 10 hari
ditambah 3 hari bebas gejala.24
Alat pelindung diri (APD) menjadi hal yang sangat krusial
dalam pelayanan antenatal, persalinan, nifas dan perawatan
bayi baru lahir di era pandemi COVID-19. Alat pelindung
diri yang tepat dan sesuai tidak hanya untuk memberikan
proteksi bagi tenaga kesehatan yang bertugas, tetapi juga
untuk mencegah transmisi SARS-CoV-2 dari ibu ke tenaga
kesehatan maupun sebaliknya. CDC merekomendasikan alat
pelindungi diri minimal yang wajib dipakai di era pandemi
COVID-19 meliputi, penutup kepala, pelindung mata atau
wajah misalnya kacatama atau face shield, sarung tangan sekali
pakai, gaun sekali pakai, masker respiratoar yang telah terjamin
keamanannya (masker N-95), dan alas kaki atau sepatu
pelindung. Alat pelindung diri level 2 yaitu alat pelindung
yang penggunannya untuk di triage COVID-19, ruang
isolasi termasuk isolasi ICU, tenaga kesehatan yang hendak
melakukan pemeriksaan imaging untuk pasien suspek atau
terkonfimasi, saat akan melakukan pemeriksaan spesimen
non-respiratori dari pasien suspek atau terkonfirmasi, dan
saat akan melakukan pembersihan instrument medis yang
telah digunakan oleh pasien suspek/terkonfirmasi. Alat
pelindung diri level 2 ini terdiri dari penutup kepala/headcap,
kacamata atau google, masker N-95, handscoon sekali pakai,
apron/gown, dan alas kaki.40 Hal-hal yang perlu diperhatikan
saat menggunakan APD yaitu saat menggunakan baju kerja
atau scrub suit, melakukan cuci tangan sebelum dan sesudah
memakai APD, mandi setelah selesai memakai APD, semua

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 13
APD bekas harus dilepas dan dimasukkan dalam kantong
plastik, serta pembersihan dan desinfeksi ruang bersaling
serta peralatannya.24 Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo
Surabaya sendiri telah menerapkan protokol penggunaan
alat pelindung diri di ruang bersalin Instalasi Gawat Darurat
RSUD Dr. Soetomo. Alat pelindung diri minimal yang
harus digunakan saat akan melakukan pemeriksaan cairan
tubuh atau darah yaitu amsker bedah, face shield, penutup
kepala, apron plastik, dan sarung tangan. Alat pelindung
diri minimal yang dipakai tenaga kesehatan di RSUD Dr.
Soeotomo saat akan melakukan tindakan obstetrik dan
ginekologi yaitu kacamata pelindung, non-surgical gown,
sepatu boots. Sedangkan untuk tindakan atau perawatan bagi
pasien terkonfirmasi COVID-19 wajib menggunakan coverall
gown. Beberapa tempat yang berpotensi untuk menimbulkan
transmisi penularan SARS-CoV-2 diantaranya yaitu ruang
ganti baju (ruang isolasi atau kamar bedah), kantin, kamar
mandi/wc, dan ruang praktik dokter.
Masker merupakan salah satu bagian dari alat pelindung
diri yang wajib dipakai tidak hanya untuk kegiatan medis saja
namun juga non-medis. Hal ini mengingat penularan SARS-
CoV-2 melalui droplet saluran pernapasan. Terdapat beberapa
hal yang harus diperhatikan saat menggunakan masker. Cara
menggunakan masker yang aman dan benar meliputi:
1. Mencuci tangan sebelum menyentuh masker.
2. Periksa apakah ada robekan atau lubang pada masker.
3. Temukan sisi atas dimana terdapat potongan logam yang
kaku, pastikan sisi berwarna menghadap keluar.
4. Letakkan potongan logam atau ujung yang kaku tepat
diatas hidung.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


14 Challenges & Opportunities
5. Masker harus menutup mutlut, hidung dan dagu.
6. Sesuaikan masker dengan wajah, tanpa meninggalkan
celah di samping.
7. Hindari untuk menyentuh masker.
8. Lepas masker dari bagian belakang telinga atau belakang.
9. Jauhkan masker dari anda saat melepasnya.
10. Buang masker segera ke tempat sampah tertutup.
11. Cuci tangan setelah membuang masker.41
Terdapat beberapa kesalahan saat memakai masker
yang sering terjadi dan harus dihindari. Kesalahan tersebut
diantaranya yaitu menggunkan masker yang sudah lembab
atau robek, memakai masker dibawah dagu atau tidak
menutupi mulut dan hidung sepenuhnya, ukuran masker
yang longgar, sering menyentuh bagian dalam masker,
melepas masker saat akan berbicara dengan seseorang atau
melakukan hal lain yang mengharuskan menyentuh masker,
meninggalkan masker bekas pakai yang mudah dijangkau
oleh orang lain dan masker bekas yang digunakan kembali.41
Resusitasi neonatus pada bayi yang lahir dari ibu dengan
status suspek/probable/terkonfirmasi COVID-19 dilakukan
di ruangan yang terpisah atau di ruangan yang sama dengan
jarak lebih 2 meter dari ibu dan bisa dipertimbangkan
penggunaan tirai pelindung. Tatalaksana neonatus pada kasus
tersangka COVID-19 dapat menggunakan APD tingkat-2
dalam melakukan tindakan dan perawatan isolasi fisik.
Pada kasus ibu terkonfirmasi COVID-19 maka tatalaksana
neonatus dengan menggunakan APD tingkat-3 di ruang isolasi
terutama apabila melakukan tindakan yang menghasilkan
aerosol. Sedangkan bayi yang lahir dari ibu dengan status

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 15
COVID-19 yang belum jelas maka menggunakan APD
tingkat-2 digunakan jika melakukan tindakan dan perawatan
dalam isolasi fisik serta APD tingkat-3 di ruang isolasi jika
akan melakukan tindakan yang menghasilkan aerosol (IDAI,
2020). Resusitasi neonatus dan perawatan lebih lanjut di
ruangan terpisah diikuti dengan mandi apabila kondisi
stabil serta penempatan di inkubator merupakan salah stau
strategi isolasi yang ketat untuk membatasi resiko penularan
ke neonatus. Resusitasi neonatus di ruangan yang sama
dengan ibu dilakukan dengan memberi jarak 2 meter dari
ibu serta dapat dipertimbangkan penggunaan penghalang
fisik seperti tirai. Hal ini merupakan salah satu strategi untuk
mempromosikan ikatan bayi dengan ibu. Beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam persiapan ruangan resusitasi yaitu
pembatasan jumlah tenaga kesehatan di dalam ruangan
idealnya 2 orang yang bertugas untuk resusitasi. Resusitasi
idealnya dilakukan di ruangan bertekanan negatif, dan
apabila status ibu merupakan terkonfirmasi COVID-19 maka
sebaiknya minimal 1 tenaga kesehatan dengan menggunakan
APD level 3.43 Peralatan resusitasi yang perlu dipersiapkan
yaitu, videolaringoskop jika tersedia, a high-efficiency
particulate air (HEPA) filter digunakan diantara T-piece/
BVM, suction dengan menggunakan closed suction, transfer
bayi dengan menggunakan inkubator transport. Resusitasi
neonatus pada bayi baru lahir dari ibu dengan suspek/
probable/terkonfimasi COVID-19, pemberian dukungan
jalan napas sebaiknya diberikan oleh 2 orang dengan tujuan
untuk mengurangi kebocoran sungkup. Penting untuk
memastikan bahwa perlekatan CPAP baik dan matikan aliran
T-piece resuscitator saat melepaskan sungkup dari bayi atau

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


16 Challenges & Opportunities
saat melepaskannya dari ETT. Dalam pencegahan transmisi
SARS-CoV-2 maka minimalkan tindakan yang menghasilkan
aerosol. Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan status suspek/
probable/terkonfirmasi COVID-19, tidak ada penundaan
dalam hal pemotongan tali pusat. Inisiasi menyusu dini atau
IMD dapat dilakukan dengan syarat ketat yaitu, menerapkan
prinsip higienitas seperti memakai masker medis dengan
benar dan mencuci tangan terutama sebelum memegang bayi
serta pengawasan oleh tenaga kesehatan selama 24 jam.25
Pemberian nutrisi pada neonatus merupakan hal yang
juga sangat penting selain resusiatsi neonatus. Pilihan nutrisi
bagi bayi yang lahir dari ibu dengan suspek/probable/
terkonfirmasi COVID-19 didasarkan pada kondisi ibu.
Klasifikasi kondisi ibu dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Klinis ibu berat dan atau fasilitas kesehatan yang memadai
Keluarga dan tenaga kesehatan memilih untuk
mencegah resiko penularan maka dilakukan pemisahan
antara ibu dan bayi. Pada kondisi seperti ini maka
bayi dapat diberikan ASI perah (bila ibu mampu).
ASI perah diberikan oleh tenaga kesehatan/ anggota
keluarga yang tidak menderita COVID-19. Alternatif
lain yaitu penggunaan ASI donor atau bila ibu tidak bisa
memberikan ASI perah atau kesulitan mendapat ASI
donor yaitu pertimbangkan ibu susuan atau susu formula.
2. Klinis ibu sedang
Keluarga dan tenaga kesehatan memilih mengurangi
resiko penularan dan mempertahankan kedekatan ibu
dan bayi maka dapat dilakukan melalui pemberian ASI
perah dimana ibu tetap diminta melaksanakan protokol
kesehatan saat memerah ASI

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 17
3. Klinis ibu tidak bergejala/gejala ringan dan atau fasiliats
kesehatan tidak memadai. Pada kondisi tersebut maka
ibu dapat menysui langsung dan untuk mengurangi
resiko penularan maka selama tidak menyusui bayi,
harus berbagi jarak sebesar 2 meter.
Beberapa organisasi dunia seperti CDC, WHO, American
Academy of Pediatrics (AAP), American Academy of Family
Physicians (AAFP), dan the Association of Women’s Health, Obstetric
and Neonatal Nurses (AWHONN) memberikan rekomendasi
terkait manajemen resiko infeksi COVID-19 pada neonatus.
Berdasarkan data yang menunjukkan bahwa resiko infeksi
adalah sama antara bayi yang dipisah dari ibu dan dirawat
gabung. Oleh karena itu. AAP saat ini merekomendasikan
bahwa ibu dan bayi baru lahir dapat dirawat gabung.44 CDC
melanjutkan rekomendasi untuk pemisahan sementara
antara ibu yang positif atau suspek infeksi SARS-CoV-2
dengan bayi mereka yang baru lahir. Pemisahan sementara
yang dimaksud yaitu dengan memastikan bahwa ruangan
terpisah, jarak antara ibu dan bayi adalah 6 feet atau lebih,
atau dengan menempatkan bayi baru lahir dalam isolasi suhu
yang terkontrol jika bayi tetap berada di kamar ibu.73 Baik AAP
maupun CDC merekomendasikan barrier atau penghalang
antara ibu dan bayinya minimal 6 feet jika memungkinkan.44,45
WHO hingga saat ini belum merekomendasikan pemisahan
antara ibu dan bayi dengan pertimbangan keuntungan yang
lebih besar dari menyusui dan kontak kulit-ke-kulit (skin-to-
skin contact) dibandingkan resiko transmisi COVID-19 dari
ibu ke bayi.46 Rekomendasi AAFP juga tidak jauh berbeda
yaitu mempromosikan ASI eksklusif dan bonding antara ibu
dan bayi dan menghindari adanya pemisahan antara ibu dan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


18 Challenges & Opportunities
bayinya jika memungkinkan, meskipun mereka menyarankan
pembatasan kontak antara ibu yang terinfeksi COVID-19 dan
bayinya ketika sedang tidak menyusui secara langsung.47
Salah satu masalah etik utama yang muncul dari pandemi
COVID-19 adalah mengenai pemisahan antara ibu suspek/
terkonfirmsi COVID-19 dengan bayinya setelah melahirkan.
Implikasi pemisahan setelah lahir secara medis maupun
psikososial masih menjadi perdebatan. Pemisahan ibu dan bayi
segera setelah lahir dianggap mengganggu keberlangsungan
proses menyusui dan menyebabkan menurunnya bonding
antara ibu dan bayinya yang tidak menutup kemungkinan
memiliki efek jangka panjang.48 Pemisahan ibu dan bayi tanpa
keterlibatan orang tua yang memadai dalam pengambilan
keputusan menimbulkan hilangnya kepercayaan pada sistem
pelayanan kesehatan. Hal ini menyebabkan beberapa ibu
hamil mengubah rencana persalinan karena takut dipisahkan
dengan bayi mereka saat lahir, tidak mampu untuk memilih
seseorang yang menunggu atau memberikan dukungan saat
persalinan serta takut untuk terinfeksi SARS-CoV-2 saat di
rumah sakit.49
Kesimpulan mengenai perspektif perinatal-neonatal pada
pandemi COVID-19 ini yaitu bahwa resiko transmisi neonatus
dan manifestasi klinis COVID-19 pada neoantus bervariasi dari
asimtomatik sampai gejala ringan. Manajemen bayi baru lahir
tidak hanya berdasarkan manifestasi klinisnya saja, namun
juga perlu mempertimbangkan keuntungan dilakukannya
insiasi menyusu dini, menyusui secara langsung, dan rawat
gabung ibu dan bayi berdasarkan kondisi ibu.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 19
DAFTAR PUSTAKA

1. Wu F, Zhao S, Yu B, Chen YM, Wang W, Song ZG, et al.


A new coronavirus associated with human respiratory
disease in China. Nature. 2020;579:265–9.
2. Zhou P, Yang XL, Wang XG, Hu B, Zhang L, Zhang W, et al.
A pneumonia outbreak associated with a new coronavirus
of probable bat origin. Nature. 2020;579:270–3.
3. Li MY, Li L, Zhang Y, Wang XS. Expression of the SARS-
CoV2 cell receptor gene ACE2 in a wide variety of human
tissues. Infect Dis Poverty. 2020;9:45.
4. Hoffmann M, Kleine-Weber H, Schroeder S, Kruger N,
Herrler T, Erichsen S, et al. SARS-CoV-2 cell entry depends
on ACE2 and TMPRSS2 and is blocked by a clinically
proven protease inhibitor. Cell. 2020;181:271–80. e8.
5. Ou X, Liu Y, Lei X, Li P, Mi D, Ren L, et al. Characterization
of spike glycoprotein of SARS-CoV-2 on virus entry and its
immune cross-reactivity with SARS-CoV. Nat Commun.
2020;11:1620.
6. Zhang L, Lin D, Sun X, Curth U, Drosten C, Sauerhering
L, et al. Crystal structure of SARS-CoV-2 main protease
provides a basis for design of improved alpha-ketoamide
inhibitors. Science. 2020;368:409–12.
7. Shereen MA, Khan S, Kazmi A, Bashir N, Siddique
R. COVID19 infection: origin, transmission, and
characteristics of human coronaviruses. J Adv Res.
2020;24:91–8.
8. Park A, Iwasaki A. Type I and Type III interferons—
induction, signaling, evasion, and application to combat
COVID-19. Cell Host Microbe. 2020;27:870–8.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


20 Challenges & Opportunities
9. Yap JKY, Moriyama M, Iwasaki A. Inflammasomes
and pyroptosis as therapeutic targets for COVID-19. J
Immunol. 2020;205:307–12.
10. Zhou F, Yu T, Du R, Fan G, Liu Y, Liu Z, et al. Clinical
course and risk factors for mortality of adult inpatients
with COVID-19 in Wuhan, China: a retrospective cohort
study. Lancet. 2020;395:1054–62.
11. Bunyavanich S, Do A, Vicencio A. Nasal gene expression
of angiotensin-converting enzyme 2 in children and
adults. JAMA. 2020;323:2427–29.
12. Karen MP, Mark LH, David WK, James C. Management
of infant born to mothers with covid-19 date of document:
april 2, 2020. American academy of pediatrics committee
on fetus and newborn, section on neonatal perinatal
medicine, and committee on infectious diseases.
13. Sisman J, Jaleel MA, Moreno W, et al. Intrauterine
Transmission of SARS-COV-2 Infection in a Preterm
Infant. The Pediatric Infectious Disease Journal. 2020
Sep;39(9):e265-e267. DOI: 10.1097/inf.0000000000002815.
14. Ellington S, Strid P, Tong VT, Woodworth K, Galang
RR, Zambrano LD, et al. Characteristics of women of
reproductive age with laboratory-confirmed SARS-CoV-2
infection by pregnancy status—United States, January 22-
June 7, 2020. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2020;69:769–
75.
15. Dashraath P, Wong JLJ, Lim MXK, Lim LM, Li S, Biswas
A, et al. Coronavirus disease 2019 (COVID-19) pandemi
and pregnancy. Am J Obstet Gynecol. 2020;222:521–31.
16. Shanes ED, Mithal LB, Otero S, Azad HA, Miller ES,
Goldstein JA Placental pathology in COVID-19. medRxiv.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 21
2020; preprint ahead of print 12 May 2020; https://doi.
org/10.1101/2020.05.08. 20093229.
17. COVID-19 FAQs for Obstetrician-Gynecologists,
Obstetrics: The American College of Obstetricians
and Gynecologists. https://www.acog.org/clinical-
information/physician-faqs/covid19-faqs-for-ob-gyns-
obstetrics.
18. Antenatal corticosteroid therapy for fetal maturation.
Committee Opinion No. 713. American College of
Obstetricians and Gynecologists. Obstet Gynecol.
2017;130:e102–9.
19. Recovery Collaborative Group, Horby P, Lim WS,
Emberson JR, Mafham M, Bell JL, et al. Dexamethasone in
hospitalized patients with Covid-19—Preliminary Report.
N Engl J Med. 2020; epub ahead of print July 2020. https://
doi.org/10.1056/NEJMoa 2021436.
20. Miller E, Leffert L, Landau R. Society for maternal-fetal
medicine and society for obstetric and anesthesia and
perinatology labor and delivery COVID-19 considerations.
Society for maternal fetal medicine society for obstetric
anesthesia and perinatology. 2020;9:67–83.
21. Stephens AJ, Barton JR, Bentum NA, Blackwell SC,
Sibai BM. General guidelines in the management of an
obstetrical patient on the labor and delivery unit during
the COVID-19 pandemi. Am J Perinatol. 2020;37:829–36.
22. Liang H, Acharya G. Novel corona virus disease
(COVID-19) in pregnancy: what clinical recommendations
to follow? Acta Obstet Gynecol Scand. 2020;99:439–42.
23. Della Gatta AN, Rizzo R, Pilu G, Simonazzi G. Coronavirus
disease 2019 during pregnancy: a systematic review of
reported cases. Am J Obstet Gynecol. 2020;223:36–41.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


22 Challenges & Opportunities
24. Panduan Pelayanan Kesehatan Balita pada Masa
Pandemi COVID-19 bagi Tenaga Kesehatan. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia 2020.
25. Trevisanuto D, Moschino L, Doglioni N, Roehr C, C,
Gervasi M, T, Baraldi E: Neonatal Resuscitation Where
the Mother Has a Suspected or Confirmed Novel
Coronavirus (SARS-CoV-2) Infection: Suggestion for a
Pragmatic Action Plan. Neonatology 2020;117:133-140.
doi: 10.1159/000507935.
26. Shalish W, Lakshminrusimha S, Manzoni P, Keszler M,
Sant’Anna GM. COVID-19 and neonatal respiratory care:
current evidence and practical approach. Am J Perinatol.
2020;37:780–91.
27. Etika R, Handayani KD, Hartiastuti SM, Diana V, Harahap
A, Prasetya O, Masturina M. Cilical Outcomes and
Characteristics of Neonate with Mother Coronavirus-19
)COVID-19) Confirmed at The Dr. Soetomo Hospital.
SariPediatri.
28. Martinez-Perez O, Vouga M, Cruz Melguizo S, Forcen
Acebal L, Panchaud A, Munoz-Chapuli M, et al.
Association between mode A. Barrero-Castillero et al.
of delivery among pregnant women with COVID-19
and maternal and neonatal outcomes in Spain. JAMA.
2020;324:296–9.
29. SONPM National Registry for Surveillance and
Epidemiology of Perinatal COVID-19 Infection: Section
on Neonatal-Pernatal Medicine. American Academy of
Pediatrics. 2020. https://my. visme.co/view/ojq9qq8e-npc-
19-registry.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 23
30. Zeng H, Xu C, Fan J, Tang Y, Deng Q, Zhang W, et al.
Antibodies in infants born to mothers with COVID-19
pneumonia. JAMA. 2020;323:1848–9.
31. Dong L, Tian J, He S, Zhu C, Wang J, Liu C, et al. Possible
vertikal transmission of SARS-CoV-2 from an infected
mother to her newborn. JAMA. 2020;323:1846–8.
32. Kimberlin DW, Stagno S. Can SARS-CoV-2 Infection Be
Acquired In Utero?: More Definitive Evidence Is Needed.
JAMA. 2020;323:1788–9.
33. Vivanti AJ, Vauloup-Fellous C, Prevot S, Zupan V, Suffee
C, Do Cao J, et al. Transplacental transmission of SARS-
CoV-2 infection. Nat Commun. 2020;11:3572.
34. Penfield CA, Brubaker SG, Limaye MA, Lighter J,
Ratner AJ, Thomas KM, et al. Detection of SARS-COV-2
in placental and fetal membran samples. Am J Obstet
Gynecol MFM. 2020; epub ahead of print May 2020.
https://doi.org/10.1016/j.ajogmf. 2020.100133.
35. Patane L, Morotti D, Giunta MR, Sigismondi C, Piccoli MG,
Frigerio L, et al. Vertikal transmission of COVID-19: SARS-
CoV2 RNA on the fetal side of the placenta in pregnancies
with COVID-19 positive mothers and neonates at birth.
Am J Obstet Gynecol MFM. 2020; e-pub ahead of print
May 2020. https://doi. org/10.1016/j.ajogmf.2020.100145.
36. Salvatore CM, Han JY, Acker KP, Tiwari P, Jin J, Brandler
M, et al. Neonatal management and outcomes during the
COVID-19 pandemi: an observation cohort study. Lancet
Child Adolesc Health. 2020;4:721–7.
37. arrero-Castillero, A., Beam, K.S., Bernardini, L.B. et
al. COVID-19: neonatal–perinatal perspectives. J Perinatol 
(2020). https://doi.org/10.1038/s41372-020-00874-x.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


24 Challenges & Opportunities
38. Liguoro I, Pilotto C, Bonanni M, Ferrari ME, Pusiol A,
Nocerino A, et al. SARS-COV-2 infection in children
and newborns: a systematic review. Eur J Pediatr.
2020;179:1029–46.
39. Zhu H, Wang L, Fang C, Peng S, Zhang L, Chang G, et
al. Clinical analysis of 10 neonates born to mothers with
2019-nCoV pneumonia. Transl Pediatr. 2020;9:51–60.
40. CDC. What law enforcement personnel need to know
about coronavirus disease 2019 (COVID-19). 2019. https://
www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/community/
guidance-law-enforcement.html.
41. World Health Organization. Coronavirus disease
(COVID-19) advice for the public: When and how to use
mask. 2019. https://www.who.int/emergencies/diseases/
novel-coronavirus-2019/advice-for-public/when-and-
how-to-use-masks.
42. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Update Pedoman
Tatalaksana COVID-19 pada Anak. 2020.
43. Chandrasekharan, Praveen & Vento, Máximo &
Trevisanuto, Daniele & Partridge, Elizabeth &
Underwood, Mark & Wiedeman, Jean & Katheria,
Anup & Lakshminrusimha, Satyan. (2020). Neonatal
Resuscitation and Post-resuscitation Care of Infants
Born To Mothers with Suspected or Confirmed SARS-
CoV-2 Infection. American Journal of Perinatology.
https://www.thieme-connect.com/products/ejournals/
html/10.1055/s-0040-1709688. 10.1055/s-0040-1709688.
44. American Academcy of Pediatrics. FAQs: Management
of Infants Born to Mothers with Suspected or Confirmed
COVID-19. https:// services.aap.org/en/pages/2019-novel-

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 25
coronavirus-covid-19- infections/clinical-guidance/faqs-
management-of-infants-born-tocovid-19-mothers/.
45. Centers for Disease Control and Prevention. Evaluation
and Management Considerations for Neonates At Risk for
COVID-19. https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/
hcp/caring-for-new borns.html.
46. Clinical managment of COVID-19: Interim guidance.
World Health Organization. May 27, 2020. Report No.:
WHO/2019- nCoV/clinical/2020.5
47. AAFP Statement on Breastfeeding and COVID-19. The
American Academy of Family Physicians. 2020. https://
www.aafp.org/a bout/policies/all/breastfeeding-covid19.
html
48. Moore ER, Bergman N, Anderson GC, Medley N. Early
skin-toskin contact for mothers and their healthy newborn
infants. Cochrane Database Syst Rev. 2016;11:CD003519
49. Davis-Floyd R, Gutschow K, Schwartz DA. Pregnancy,
birth and the COVID-19 Pandemi in the United States.
Med Anthropol. 2020;39:413–27

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


26 Challenges & Opportunities
BREASTFEEDING PRACTICES
DURING PANDEMIC ERA

Diana Amilia Susilo

PENDAHULUAN
Lebih dari setahun pandemi COVID-19 telah dan
masih berlangsung, dengan segala tantangan, kendala, dan
adaptasinya. Banyak perubahan yang terjadi antara lain
adanya adaptasi kebiasaan baru, membaiknya alur dan
metode diagnosis yang menjadi makin cepat dan aksesibel,
telah dimulainya pemberian vaksinasi, cepatnya informasi
berkembang dan tersebar, serta kemudahan akses (open
access) pada sebagian besar publikasi penelitian baru dalam
hal COVID-19, termasuk penelitian-penelitian tentang ASI
dan menyusui.
Bagaimana dengan perubahan yang terjadi dengan
praktik menyusui dan pemberian ASI di masa pandemi?
Meskipun belum ada data yang lengkap tentang breastfeeding
rates di masa pandemi ini, praktik menyusui, pemberian ASI,
serta dukungan menyusui nyata sangat terpengaruh terutama
pada populasi ibu bersalin dan menyusui yang terpapar
COVID-19. UNICEF dan WHO dalam Pekan Menyusui
Sedunia tahun 2020 menyerukan kepada Pemerintah dan semua
pemangku kepentingan untuk mendukung ibu menyusui

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 27
di Indonesia selama pandemi COVID-19. Karena pandemi
ini, akses pelayanan kesehatan seperti konseling menyusui
dan pelaksanaan RS Sayang Bayi menjadi terganggu, dan
juga terjadi misinformasi tentang keamanan menyusui
yang menyebabkan praktik menyusui menurun akibat ibu
yang kuatir bahwa dengan menyusui akan membahayakan
bayinya.1 Kebijakan dan implementasi konsep pencegahan
penularan COVID-19 dengan melakukan karantina dan
isolasi yang bermakna separasi/pemisahan, berlawanan
dengan konsep dan kebijakan menyusui2, yang secara prinsip
membutuhkan ketidakterpisahan dan kedekatan ibu dan bayi
sebagai dyad.
Mengapa ketidakterpisahan ini menjadi hal yang
sangat krusial pada bayi/anak terutama di awal-awal
kehidupannya? Telah banyak penelitian dan systematic review
yang menunjukkan keterkaitan antara waktu untuk memulai
menyusui pada bayi baru lahir dengan mortalitas pada
bayi, ditunjukkan dengan angka mortalitas yang meningkat
pada neonatus dan bayi muda pada kelompok yang tidak
memulai menyusu sejak awal terutama <24 jam pertama
kehidupan.3-5 Lebih lanjut lagi, menyusui secara eksklusif
yang identik dengan kelekatan dan kedekatan ibu dan
bayi, telah dibuktikan dalam penelitian Lancet Breastfeeding
Series dapat menyelamatkan kehidupan dan meningkatkan
kualitas kesehatan pada anak dan ibu. Meningkatkan praktik
menyusui akan menyelamatkan 823.000 kehidupan per tahun
dan 87%nya adalah bayi dibawah usia 6 bulan. Terpisahnya
bayi dan ibu di usia awal kehidupan sangat beresiko
meningkatkan kegagalan menyusui dan ini akan membawa
konsekuensi mortalitas dan morbiditas jangka panjang.6

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


28 Challenges & Opportunities
Kita perlu selalu mengingat untuk tetap konsisten
mempertahankan dukungan menyusui pada ibu bersalin dan
menyusui yang TIDAK terkait COVID-19. Di sisi yang lain kita
berupaya menempatkan semua ibu bersalin dan menyusui
yang terpapar COVID-19 TIDAK dalam posisi yang selalu sama
di salah satu ujung konsep kebijakan, baik itu konsep isolasi-
separasi maupun konsep ketidakterpisahan dan kedekatan,
tapi dengan bijak menimbang-nimbang resiko, keuntungan,
dan kerugian baik jangka pendek maupun jangka panjang
bagi ibu dan bayi/anak, dengan tetap mempertimbangkan
dan meningkatkan kondisi dan kemampuan sumber daya
dan tenaga kesehatan di tempat pelayanan masing-masing.
Dengan banyaknya tantangan dan kendala dalam praktik
menyusui dan pemberian ASI serta dukungan menyusui
pada masa pandemi ini, semua tenaga kesehatan akan
diminta untuk beradaptasi dan harus tetap termotivasi untuk
bergerak ke arah yang lebih baik dan memikirkan cara untuk
meningkatkan praktik dan dukungan menyusui bagi semua
ibu-bayi (dyad) di masa yang tidak mudah ini.
Dalam tulisan ini akan dibahas sedikit tentang penelitian
terkait transmisi vertikal COVID-19, virus SARS-CoV-2
di dalam ASI, dan antibodi terhadap virus di dalam ASI.
Dipaparkan juga bagaimana rekomendasi WHO dan di
sejumlah negara serta praktik dan dukungan menyusuinya,
juga di Indonesia. Disampaikan juga survei dukungan
menyusui oleh Dokter Anak Konselor Menyusui di Jawa
Timur, tantangan dan usulan untuk solusi ke depan.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 29
PENELITIAN TENTANG TRANSMISI VERTIKAL, VIRUS DALAM
ASI, DAN ANTIBODI DALAM ASI
WHO dalam Scientific Brief tanggal 8 Februari 2021
mengemukakan kondisi peningkatan angka ibu hamil dengan
COVID-19 secara global, sehingga kejadian transmisi vertikal
lebih menjadi perhatian. Saat ini belum ada bukti yang cukup
tentang transmisi vertikal dan kapan terjadinya, dikarenakan
keterbatasan terkait sensitivitas dan spesifisitas tes diagnosis,
kesulitan untuk pengambilan spesimen yang baik dan di
waktu yang sesuai. Dalam tulisan tersebut, kekurangan
bukti data adalah sebagian karena tidak ada definisi yang
terstandar. Maka WHO telah menetapkan definisi standar
dan sistem klasifikasi sehingga data baru kedepannya bisa
dianalisa dan dibandingkan.7 Penelitian Etika dkk di RSUD dr
Soetomo Surabaya yang dipublikasikan pada Februari 2021
melaporkan bahwa dari 109 ibu dengan konfirmasi positif
COVID-19 berdasarkan RT-PCR, terdapat hanya 2 bayi yang
hasil RT-PCRnya positif, dan kesimpulannya belum dapat
membuktikan adanya penularan COVID-19 secara vertikal.8
Systematic review yang dilakukan oleh peneliti Cornell
University, Ithaca, New York dan WHO tentang transmisi virus
melalui ASI dan menyusui, menunjukkan bahwa dari 37 artikel
yang melaporkan analisa terhadap ASI, didapatkan 68 sampel
ASI dari ibu terkonfirmasi positif, dimana pada 9 sampel dari
seluruh sampel tersebut didapatkan RNA yang positif, dan
pada bayi yang terpapar ASI yang mengandung RNA virus,
4 bayi positif dan 2 bayi negatif. Peneliti menyimpulkan,
belum cukup data adanya transmisi virus melalui ASI, dan
diperlukan studi dengan pemantauan yang lebih panjang
untuk mendapatkan bukti adanya virus di dalam ASI.9

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


30 Challenges & Opportunities
Penelitian Pace dkk yang dipublikasikan 9 Februari
2021 terhadap 37 sampel ASI dari 18 ibu dengan COVID-19
melaporkan kesemuanya tidak didapatkan SARS-CoV-2
RNA. Di sisi lain, ada 76% sampel yang mengandung IgA
SARS-CoV-2-spesifik, dan 80% mengandung IgG SARS-
CoV-2-spesifik. Ditambahkan pula bahwa 62% dari sampel
ASI ternyata mampu menetralisir infeksi virus SARS-CoV-2
secara in vitro, dibandingkan dengan sampel ASI yang
diambil sebelum pandemi. Disimpulkan bahwa penelitian
tersebut tidak mendukung adanya transmisi dari ibu ke bayi
melalui ASI, dan yang lebih penting lagi adalah bahwa ASI
yang diproduksi oleh ibu yang terinfeksi COVID-19 sangat
bermanfaat untuk proteksi pada bayi dengan adanya IgA
dan IgG yang terbukti menetralisir aktivitas virus. Hasil
ini mendukung rekomendasi untuk tetap menyusui dalam
kondisi ibu yang sakit ringan-sedang.10
Fungsi protektif riwayat mendapatkan ASI atau disusui
di masa lampau terhadap infeksi COVID-19 juga telah diteliti
oleh Didikoglu dkk. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
dengan menyusu saat bayi terdapat 12% peluang (odds) yang
lebih rendah untuk seseorang dapat terinfeksi COVID-19.11

REKOMENDASI, PRAKTIK, DAN DUKUNGAN MENYUSUI WHO


DAN BEBERAPA NEGARA
WHO dalam sejumlah publikasinya sejak saat me-
nyatakan status COVID-19 sebagai pandemi di bulan Maret
2020 sampai dengan Oktober 2020, telah secara konsisten
menegaskan bahwa ibu bersalin dan menyusui yang
terkait dengan COVID-19 tetap direkomendasikan untuk
memberikan ASI secara langsung dengan memperhatikan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 31
higiene pernafasan yaitu menggunakan masker dengan baik,
mencuci tangan dengan benar, dan melakukan desinfeksi area
permukaan di sekitar ibu. Ibu bersalin dan bayi baru lahir
direkomendasikan tetap melakukan kontak kulit ke kulit sejak
awal kehidupan, dan menjalani rawat gabung, dengan tetap
disiplin melakukan protokol higiene pernafasan. Bukti-bukti
menunjukkan bahwa keuntungan dengan melakukan kontak
kulit ke kulit dan menyusui, secara substansial melebihi
potensi resiko transmisi dan sakit yang terkait COVID-19.12-16
Panduan praktis dan aplikatif tentang alur pengambilan
keputusan telah dipaparkan oleh WHO dalam Decision Tree
for breastfeeding in context of COVID-19: Guidance for health care
and community settings, yang memasukkan juga pertimbangan
kondisi sakit ibu yang membuat tidak dapat menyusui secara
langsung dan alternatif asupan nutrisi yang tersedia, seperti
tercantum di Gambar 1. 13
Dalam publikasi Coronavirus Update 38 tanggal 28 Oktober
2020, WHO menyebutkan bahwa neonatus dan bayi memiliki
resiko rendah untuk mengalami infeksi COVID-19, dan dari
sejumlah kecil yang sakit ini, sebagian besar sakit ringan
ataupun tanpa gejala. Virus SARS-CoV-2 tidak terdeteksi
dalam ASI ibu dengan suspek dan confirmed COVID-19,
dan tidak ada bukti transmisi virus melalui ASI.16 WHO
mengutip mengacu pada pendekatan kesehatan masyarakat
menggunakan program Lives Saved Tools dan analisis ilustratif
oleh Rollin dkk, yang harus menjadi perhatian adalah
diperkirakan bahwa kematian bayi di negara penghasilan
rendah dan menengah akan meningkat 60 kali lebih besar bila
ibu dengan COVID-19 dipisahkan dari bayinya sehingga bayi
tidak menyusu.17

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


32 Challenges & Opportunities
Gambar 1. Decision Tree for breastfeeding in context of COVID-19 dari WHO13

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 33
American Academy of Pediatrics (AAP) pertama kali
mengeluarkan panduan manajemen bayi baru lahir dari
ibu terkait COVID-19 pada tanggal 2 April 2020 dengan
rekomendasi pemisahan sementara ibu dan bayi. Dalam
perjalanannya, dengan adanya data dari National Perinatal
COVID-19 Registry yang mencakup lebih dari 7000 dyad
ibu-bayi, didapatkan bahwa kemungkinan seorang bayi
untuk menjadi positif PCRnya adalah sama antara bayi
yang dirawat terpisah dari ibunya dibandingkan bayi yang
dirawat gabung yang menggunakan protokol kesehatan yang
konsisten. Data tersebut menunjukkan bahwa resiko seorang
bayi untuk menjadi sakit selama rawat inap pasca bersalin
adalah rendah sejauh protokol dilaksanakan konsisten untuk
melindungi dari sekresi saluran nafas ibu. Dengan data ini
AAP kemudian merevisi rekomendasinya pada 22 Juli 2020
dengan memperbolehkan ibu dan bayi dengan kondisi baik
untuk dilakukan rawat gabung.18
Bersesuaian dengan itu, sebuah survei longitudinal
selama 4 periode pada sekitar 40% dari 368 NICU di Amerika
Serikat, dengan periode terbagi mulai Maret sampai dengan
Agustus 2020, dilaporkan prevalens bayi yang masuk di
NICU dengan COVID-19 sangat rendah sebesar 0,03%-0,44%.
Rumah sakit yang mengisolasi bayi dari ibu positif COVID-19
menurun dari 46% menjadi 20%, dan yang memperbolehkan
dilakukan menyusui langsung meningkat dari 17% menjadi
47%.19
Bagaimana dengan survei praktik menyusui di Amerika
Serikat? Pada bulan November 2020, Centers for Disease Control
and Prevention (CDC) mengeluarkan laporan survei selama
bulan Juli–Agustus 2020 tentang implementasi praktik di RS

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


34 Challenges & Opportunities
yang mendukung menyusui dalam konteks COVID-19. Dari
1344 RS yang mengikuti survei (66,6% response rate dari 2039
RS), ternyata 14% tidak menyarankan dan 6,5% melarang
kontak kulit ke kulit, 37,8% tidak menyarankan dan 5,3%
melarang rawat gabung. Menyusui langsung tidak disarankan
pada 20,1% RS tapi diperbolehkan bila ibu memilih untuk
menyusui, 12,7% RS tidak mendukung menyusui langsung
tapi mendukung ASI perah. Namun di sisi lain, ternyata ada
13,3% RS menyarankan untuk dilakukan kontak kulit ke
kulit, dan prosentase terbesar yaitu 66,1% RS menentukan
pelaksanaan kontak kulit ke kulit berdasarkan kasus dan
keputusan bersama dengan ibu. Lebih dari separuh (54,4%)
RS menyarankan rawat gabung dengan menjaga jarak. Sekitar
2/3 (66,9%) mendukung menyusui langsung dengan menjaga
protokol. Jadi RS di Amerika Serikat mengimplementasikan
praktik menyusui yang bervariasi pada periode tersebut.
Dalam jurnal disebutkan pula tentang meningkatnya kasus
stres emosional pada ibu akibat pemisahan/separasi dengan
bayinya, sehingga sejumlah RS akhirnya merevisi kebijakannya
dengan memperbolehkan ibu tanpa gejala untuk melakukan
rawat gabung dan menyusui langsung.20
Tidak hanya di Amerika Serikat saja terjadi variasi atau
ketidasesuaian implementasi rekomendasi, terutama dalam
hal ini rekomendasi WHO. Dalam suatu penelitian oleh Hoang
dkk yang dipublikasi November 2020 terhadap panduan dari
33 negara, tidak satupun panduan mengadopsi penuh semua
aspek rekomendasi WHO. Sebagian besar panduan tidak
merekomendasikan rawat gabung dan menyusui langsung.
Dan sangat sedikit panduan yang merekomendasikan
dukungan psikologis bagi ibu dan bayi yang terpisahkan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 35
karena isolasi. Dari penelitian tersebut dinyatakan bahwa
kebijakan bahwa ibu dan bayi dirawat secara terpisah dan
tidak didukung untuk menyusui adalah karena kekhawatiran
terhadap penularan virus dari ibu ke bayi. Disebutkan bahwa
kebijakan terkait rawat gabung dan menyusui didasarkan
pada panduan organisasi yang mengkhawatirkan adanya
penularan, bukan berbasis bukti ilmiah. Disebutkan masih
belum diketahui ke depannya, bagaimana implikasi dari
perubahan praktik menyusui ini dari segi mikrobiom untuk
kesehatan bayi, morbiditas dan mortalitas bayi, kondisi
kesehatan ibu, dan dampak lain secara jangka panjang.21

PEDOMAN/PANDUAN, PRAKTIK, DAN DUKUNGAN MENYUSUI


DI INDONESIA
Pedoman, Panduan, dan Protokol yang terkait praktik dan
dukungan menyusui pada ibu menyusui dan bersalin dengan
COVID-19 di Indonesia telah dikeluarkan oleh Kementerian
Kesehatan, organisasi profesi seperti IDAI dalam Panduan
nya serta Protokol yang disusun bersama dengan sejumlah
organisasi profesi lain.
Untuk ibu menyusui yang terkait COVID-19, Kementerian
Kesehatan telah menyusun dan mendiseminasikan pada
bulan Agustus 2020 publikasi dan infografis:
1. Booklet Panduan Busui di masa Pandemi COVID-19
2. Poster Menyusui di Masa Pandemi COVID-19 (1)
3. Poster Menyusui di Masa Pandemi COVID-19 (2)
Untuk penatalaksanaan ibu bersalin yang terkait
COVID-19, Direktorat Kesehatan Keluarga Kementerian
Kesehatan RI pada 26 Maret 2020 telah meluncurkan Pedoman
Bagi Ibu Hamil, Ibu Nifas dan Bayi Baru Lahir selama Social

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


36 Challenges & Opportunities
Distancing, dan telah dilakukan revisi pada 8 Mei 2020 dan
kemudian revisi ke-2 pada 16 September 2020.22-24 Beberapa
hal terkait menyusui dan ASI dari Pedoman Kementerian
Kesehatan RI revisi ke-2 tersebut adalah:24
l Bayi baru lahir dari ibu yang BUKAN suspek, probable,
atau terkonfirmasi COVID-19 tetap mendapatkan
pelayanan neonatal esensial saat lahir (0 – 6 jam), yaitu
pemotongan dan perawatan tali pusat, Inisiasi Menyusu
Dini (IMD) dan lain-lain, dan juga ASI eksklusif.
Sedangkan prosedur klinis pada bayi baru lahir dari ibu
dengan status suspek, probable, dan terkonfirmasi COVID-19
terkait menyusui adalah:
1. Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
Tenaga kesehatan harus melakukan konseling
terlebih dahulu mengenai bahaya dan risiko penularan
COVID-19 dari ibu ke bayi, manfaat IMD, serta manfaat
menyusui (dilakukan pada saat antenatal atau menjelang
persalinan). IMD dilakukan atas keputusan bersama
orang tua. IMD dapat dilakukan apabila status ibu adalah
kontak erat/suspek, dan dapat dipertimbangkan pada
ibu dengan status probable/ konfirmasi tanpa gejala/gejala
ringan dan klinis ibu maupun bayi baru lahir dinyatakan
stabil. Apabila pilihan tetap melakukan inisiasi menyusu
dini, wajib dituliskan dalam informed consent, dan
tenaga kesehatan wajib memfasilitasi dengan prosedur
semaksimal mungkin untuk mencegah terjadinya
penularan droplet. Ibu harus melakukan protokol/
prosedur untuk pencegahan penularan COVID-19
dengan menggunakan masker bedah, mencuci tangan,
dan membersihkan payudara.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 37
2. Rawat Gabung
Periode 6–48 jam pasca lahir (golden days) di Rumah
Sakit atau Kunjungan Neonatal 1: dapat dilakukan Rawat
Gabung dengan prosedur rawat gabung dilaksanakan
berdasarkan tingkat keparahan gejala ibu penderita
COVID-19 (suspek, probable, atau terkonfirmasi) serta
kapasitas ruang rawat gabung isolasi COVID-19 dan non-
COVID-19 di RS.
Neonatus tanpa gejala yang lahir dari ibu suspek,
probable, atau terkonfirmasi COVID-19 tanpa gejala atau
gejala ringan, dapat rawat gabung dan menyusu langsung
dengan mematuhi pencegahan penularan melalui droplet,
di ruang rawat gabung isolasi khusus COVID-19.
3. Manajemen Laktasi
a. Menyusui sangat bermanfaat bagi kesehatan dan
kelangsungan hidup anak. Efek perlindungan ASI
sangat kuat dalam melawan infeksi penyakit melalui
peningkatan daya tahan tubuh anak.
b. ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi baru
lahir sehat maupun sakit. Sampai saat ini, penularan
COVID-19 melalui ASI masih belum diketahui secara
pasti. Namun, harus diperhatikan risiko utama saat
bayi menyusu adalah kontak dekat dengan ibu, yang
cenderung terjadi penularan melalui droplet.
c. Apabila ibu dan keluarga menginginkan untuk
menyusui dan dapat patuh melakukan pencegahan
penularan COVID-19, maka tenaga kesehatan akan
membantu melalui edukasi dan pengawasan terhadap
risiko penularan COVID-19. Menyusui langsung dapat
dilakukan bila klinis ibu tidak berat dan bayi sehat.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


38 Challenges & Opportunities
d. Terkait cara pemberian nutrisi bagi bayi baru lahir dari
ibu Suspek, Probable, dan Terkonfirmasi COVID-19
ditentukan oleh klinis ibunya:
• Pada kondisi klinis ibu berat sehingga tidak me-
mungkinkan ibu memerah ASI dan terdapat
sarana-prasarana fasilitas pelayanan kesehatan
yangmemadai:
- Keluarga dan tenaga kesehatan memilih
mencegah risiko penularan dengan melakukan
pemisahan sementara antara ibu dan bayi.
- Makanan pilihan bagi bayi adalah ASI donor
yang layak (dipasteurisasi) atau susu formula.
• Pada kondisi klinis ibu ringan/sedang dimana
keluarga tenaga kesehatan memilih mengurangi
risiko penularan dan mempertahankan kedekatan
ibu dan bayi maka pilihan nutrisinya adalah ASI
perah.
- Ibu memakai masker medis selama memerah
dan harus mencuci tangan menggunakan air
dan sabun selama minimal 20 detik sebelum
memerah. Ibu harus membersihkan pompa
serta semua alat yang bersentuhan dengan ASI
dan wadahnya setiap selesai digunakan. ASI
perah diberikan oleh tenaga kesehatan atau
keluarga yang tidak menderita COVID-19.
- Fasilitas kesehatan harus dapat menjamin
agar ASI perah tidak terkontaminasi. Apabila
fasilitas kesehatan tidak dapat menjamin
ASI perah tidak terkontaminasi, maka ASI

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 39
harus dipasteurisasi terlebih dahulu sebelum
diberikan kepada bayi.
- Bayi dapat diberikan ASI perah selama
ibu tidak mendapatkan obat–obatan yang
dapat keluar dari ASI dan belum terjamin
keamanannya bagi bayi. Keamanan obat yang
dikonsumsi oleh ibu menyusui dapat dilihat
pada Tabel (dalam buku Pedoman). Untuk
tetap mempertahankan produksi ASI, ibu
dapat tetap memerah namun tidak diberikan
kepada bayi.
• Pada kondisi klinis ibu tidak bergejala/ringan
maka ibu dapat memilih memberikan ASI dengan
cara menyusui langsung.
- Ibu menggunakan masker bedah dan harus
mencuci tangan dan membersihkan payudara
dengan sabun dan air.
- Ibu dapat menyusui bayinya namun diberikan
edukasi bahwa bayi berisiko tertular walaupun
belum diketahui secara pasti.
- Untuk mengurangi risiko ini, jika
memungkinkan ibu harus menjaga jarak
2 meter dengan bayinya pada saat tidak
menyusui.
e. Ibu dapat menghubungi tenaga kesehatan untuk
mendapatkan layanan konseling menyusui, dukungan
dasar psikososial dan dukungan Praktik Pemberian
Makan Bayi dan Anak (PMBA) dan lainnya melalui
telepon atau media komunikasi lainnya.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


40 Challenges & Opportunities
f. Apabila ibu tidak mampu memerah ASI maka:
• Ibu dapat menghubungi tenaga kesehatan untuk
berkonsultasi tentang keadaannya melalui media
komunikasi yang tersedia
• Pemberian ASI melalui donor ASI hanya
disarankan jika dalam pengawasan tenaga
kesehatan.
• Bayi dapat diberikan pengganti ASI dengan
pengawasan tenaga kesehatan.

Panduan dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)


pertama kali dikeluarkan pada awal Maret 2020, yang
kemudian direvisi dalam edisi ke-2 tanggal 21 Maret 2020,
dan edisi ke-3 tanggal 14 Juni 2020 dan sampai saat tulisan ini
dibuat di bulan Maret 2021 belum ada panduan edisi terbaru,
sedangkan panduan edisi ke-3 tersebut menggunakan definisi
kasus yang lama yang sudah tidak digunakan lagi, yaitu
Orang Dalam Pengawasan, Pasien Dalam Pengawasan, Kasus
probabel, dan Kasus konfirmasi.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 41
Gambar 2. Persyaratan Rawat Gabung sesuai Pedoman Kementerian Kesehatan
RI revisi 2 tanggal 28 September 202024

Rekomendasi IDAI terbaru untuk tatalaksana COVID-19


pada anak terkait ASI dan menyusui, tercantum dalam Protokol
Tatalaksana COVID-19 yang disusun oleh berbagai organisasi
profesi yaitu Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI),
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
(PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


42 Challenges & Opportunities
Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan
Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN), dan Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI). Protokol pertama kali dikeluarkan
tanggal 17 April 2020, dan edisi ke-3 disusun pada bulan
Desember 2020. Dalam Protokol edisi ke-3 tersebut
dipaparkan beberapa hal terkait ASI dan menyusui dalam
konteks COVID-19:25
1. Inisiasi menyusu dini (IMD)
• Diskusikan dengan orang tua mengenai keuntungan
dan kerugian IMD, serta cara penularan virus
COVID-19.
• IMD dilakukan atas keputusan bersama dengan orang
tua IMD dapat dilakukan bila status ibu adalah kontak
erat atau kasus suspek, dan dapat dipertimbangkan
pada ibu dengan status kasus konfirmasi (simtomatik
ringan/asimtomatik), DAN klinis ibu maupun bayi
baru lahir dinyatakan stabil.
• Inisiasi menyusu dini dilakukan dengan
mengutamakan pencegahan penularan COVID-19
yaitu ibu menggunakan APD minimal masker.
2. Rawat gabung
• Bayi sehat dari ibu kasus suspek dapat dirawat
gabung dan menyusu langsung dengan mematuhi
protokol pencegahan secara tepat.
• Bayi dari ibu kasus konfirmasi atau kasus probable
dilakukan perawatan bayi di ruang isolasi khusus
terpisah dari ibunya (tidak rawat gabung).
• Jika kondisi ibu tidak memungkinkan merawat
bayinya maka anggota keluarga lain yang kompeten

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 43
dan tidak terinfeksi COVID-19 dapat merawat bayi
termasuk membantu pemberian ASI perah selama ibu
dalam perawatan isolasi khusus.

Rawat gabung untuk ibu suspek dapat dilakukan bila:


• Fasilitas kesehatan mempunyai kamar rawat
gabung perorangan (1 kamar hanya ditempati 1
orang ibu dan bayinya)
• Perawatan harus memenuhi protokol kesehatan
ketat, yaitu jarak antara ibu dengan bayi minimal
2 meter. Bayi dapat ditempakan di inkubator atau
cots yang dipisahkan dengan tirai.
• Ibu rutin dan disiplin mencuci tangan sebelum
dan sesudah memegang bayi.
• Ibu memberlakukan perilaku hidup bersih dan
sehat.
• Ibu harus memakai masker bedah.
• Ruangan rawat gabung memiliki sirkulasi yang
baik.
• Lingkungan disekitar ibu juga harus rutin
dibersihkan dengan cairan disinfektan.
• Edukasi dan informasi tentang cara penularan
virus penyebab COVID-19.

Rawat gabung tidak dianjurkan bila:


• Ruang rawat gabung berupa ruangan/bangsal
bersama pasien lain.
• Ibu sakit berat sehingga tidak dapat merawat
bayinya.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


44 Challenges & Opportunities
3. Nutrisi
Bila ibu dan keluarga menginginkan menyusui dan
dapat patuh melakukan pencegahan penularan virus
SARS-CoV-2 maka tenaga kesehatan akan membantu
melalui edukasi dan pengawasan terhadap risiko
penularan COVID-19. Menyusui ASI terutama bila klinis
ibu tidak berat sehingga memungkinkan langkah tersebut.
Terdapat 3 pilihan pemberian nutrisi pada bayi yang lahir
dari ibu yang tersangka dan terkonfirmasi COVID-19
(tergantung klinis ibu):
a. Pilihan pertama, pada kondisi klinis ibu berat
sehingga ibu tidak memungkinkan memerah
ASI dan/atau terdapat sarana-prasarana fasilitas
kesehatan yang memadai. Keluarga dan tenaga
kesehatan memilih mencegah risiko penularan,
dengan melakukan pemisahan sementara antara ibu
dan bayi. Jika ASI perah atau ASI donor yang layak
tidak tersedia, maka pertimbangkan: ibu susuan
(dengan penapisan medis untuk menghindari risiko
transmisi penyakit) atau susu formula bayi yang
sesuai dengan memastikan penyiapan yang benar,
aman dan diikuti bantuan relaktasi setelah ibu pulih.
Selama perawatan isolasi khusus, ibu dapat tetap
memerah ASI untuk mempertahankan produksi dan
ASI perah tetap dapat diberikan sebagai asupan bayi.
Selama perawatan isolasi khusus, ibu dapat tetap
memerah ASI untuk mempertahankan produksi
dan ASI perah tetap dapat diberikan sebagai asupan
bayi. Ibu memakai masker selama memerah. Ibu
mencuci tangan menggunakan air dan sabun selama

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 45
minimal 20 detik sebelum memerah (disiplin dalam
menjaga kebersihan tangan serta higienitas diri). Ibu
harus membersihkan pompa serta semua alat yang
bersentuhan dengan ASI dan wadahnya setiap selesai
(sesuai manufaktur pabrik). ASI perah diberikan oleh
tenaga kesehatan atau anggota keluarga yang tidak
menderita COVID-19.
b. Pilihan kedua, pada kondisi klinis ibu sedang.
Keluarga dan tenaga kesehatan memilih mengurangi
risiko penularan, mempertahankan kedekatan ibu
dan bayi. Pilihan nutrisinya adalah ASI perah. Ibu
memakai masker selama memerah. Ibu menerapkan
protokol pencegahan infeksi seperti poin a di atas.
c. Pilihan ketiga, pada kondisi klinis ibu tidak bergejala/
ringan dan atau sarana-prasarana terbatas atau tidak
memungkinkan perawatan terpisah. Keluarga dan
tenaga kesehatan menerima risiko tertular dan menolak
pemisahan sementara ibu dan bayi. Pilihan nutrisinya
adalah menyusui langsung. Ibu menggunakan masker
bedah. Ibu mencuci tangan dan membersihkan
payudara dengan sabun dan air. Ibu menyusui
bayinya. Orang tua harus mengerti bayi berisiko
tertular walaupun belum diketahui secara pasti.
Untuk mengurangi risiko penularan pada pilihan ini,
jika memungkinkan ibu harus menjaga jarak 2-meter
dengan bayinya selama tidak menyusui. Ibu tersangka
atau terkonfirmasi COVID-19 dapat menyusui
kembali apabila sudah memenuhi kriteria bebas
isolasi seperti panduan di atas. Rekomendasi untuk
penggunaan obat untuk tata laksana COVID-19 pada

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


46 Challenges & Opportunities
ibu hamil dan menyusui yang terinfeksi COVID-19
berdasar kajian literatur Lactmed, terangkum dalam
tabel (dalam buku Protokol Tata Laksana COVID-19
edisi ke 3).

Rangkuman perbandingan Rekomendasi WHO, Pedoman


Kementerian Kesehatan RI, dan Protokol sesuai yang disusun
oleh IDAI, terkait IMD dan Rawat Gabung, dapat dilihat
dalam Tabel 1 s/d 3 di bawah ini.

Tabel 1. IMD pada ibu bersalin terkait COVID-19 menurut


WHO, Kemenkes, dan IDAI
Panduan IMD / kontak Prosedur IMD IMD sesuai status
kulit ke kulit ibu
WHO Ya • tidak • tidak disebutkan
disebutkan khusus
khusus
Kemenkes Ya dengan • Masker bedah, • Ya pada kontak
(Sept 2020) konseling dan • Mencuci tangan erat/suspek
keputusan • Membersihkan • Pertimbangkan
bersama payudara pada probable/
• Informed konfirmasi tanpa
consent gejala /ringan
• Klinis ibu & bayi
stabil
IDAI Ya dengan • Protokol • Ya pada kontak
(Des 2020) konseling dan pencegahan erat/suspek
keputusan penularan • Pertimbangkan
bersama • APD minimal pada konfirmasi
masker ringan /
asimptomatik
• Klinis ibu & bayi
stabil

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 47
Tabel 2. Rawat gabung dan pemisahan pada ibu bersalin terkait COVID-19 menurut WHO,
Kemenkes dan IDAI
Panduan Rawat Gabung Isolasi khusus/ Perawatan bayi Persyaratan rawat gabung Tidak rawat gabung
pemisahan bila
WHO Tidak ada Tidak ada Tidak disebutkan Tidak ada Tidak disebutkan
pemisahan khusus khusus
Kemenkes • Berdasarkan: • Bayi baru lahir • Tidak disebutkan • Kamar perorangan • Bangsal bersama
(Sept 2020) • - keparahan bergejala dan khusus • Jarak ibu bayi min 2 m pasien lain
• - kapasitas ruang memerlukan • Bayi dalam inkubator/ • Ibu sakit berat
isolasi khusus tindakan medik cots sehingga tidak
RG • Dipisahkan tirai dapat merawat bayi
• Bayi tanpa gejala • Protokol kesehatan
dari ibu suspek/ (masker bedah, cuci
probable/ tangan, desinfektan)
konfirmasi dapat • Sirkulasi baik
rawat gabung

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


IDAI • Bayi sehat • Ibu probable • Bila kondisi ibu • Kamar perorangan • Bangsal bersama
(Des 2020) • Ibu suspek • Ibu konfirmasi tidak mungkin • Jarak ibu bayi min 2 m pasien lain
• Menyusu merawat • Bayi dalam inkubator/ • Ibu sakit berat

Challenges & Opportunities


langsung • Oleh anggota cots sehingga tidak
• Protokol keluarga yang • Dipisahkan tirai dapat merawat bayi
kesehatan tidak terinfeksi • Protokol kesehatan
dan kompeten (masker bedah, cuci
• Pemberian ASI tangan, desinfektan)
perah • Sirkulasi baik

48
Tabel 3. Manajemen laktasi/nutrisi pada ibu bersalin terkait COVID-19 menurut WHO, Kemenkes,
dan IDAI
Panduan Consent Menyusui Klinis ibu berat/ Klinis ibu ringan/sedang Klinis ibu tidak bergejala/
langsung tak dapat menyusui ringan
langsung
WHO Ya. Ibu dengan Ya, bila ibu Alternatif: • Tidak disebutkan khusus • Tidak disebutkan khusus
COVID dapat mampu • ASI perah • Menyusui langsung bila • Menyusui langsung bila
memilih untuk • ASI donor mampu mampu
menyusui bayinya • Ibu susu • Masker medis atau etika • Masker medis atau etika
batuk batuk
• Dada dicuci bila ibu batuk • Dada dicuci bila ibu batuk
ke dada. ke dada.
• Payudara tidak perlu dicuci • Payudara tidak perlu dicuci
sebelum menyusui sebelum menyusui
Kemenkes • Konseling • Klinis • Ibu tidak mungkin • Ibu memilih mengurangi • Ibu memilih memberikan
(Sept 2020) kebaikan dan ibu tidak memerah risiko penularan dan ASI menyusui langsung
risiko berat • Pemisahan mempertahankan kedekatan • Masker bedah
• - Ibu/ • Bayi sementara  ASI perah • Cuci tangan
keluarga sehat • Pilihan: • Masker medis • Bersihkan payudara dengan
ingin * ASI donor • Cuci tangan sebelum sabun dan air
menyusui yang layak memerah • Edukasi risiko penularan
dan patuh (pasteurisasi) • Bersihkan pomp dan wadah • Jarak 2 m bila tidak
Nakes * susu formula • ASI diberikan oleh Nakes menyusui
membantu atau keluarga yang tidak
edukasi dan sakit
pengawasan • Faskes menjamin ASI perah
tidak terkontaminasi, bila
tidak lakukan pasteurisasi

Challenges & Opportunities


Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:
sebelum diberikan
• Catatan pada obat-obatan
ibu, bila perlu ASI tetap

49
diperah namun tidak
diberikan
IDAI Ibu/keluarga Menyusui • Ibu tidak mungkin • Keluarga dan nakes • Atau bila sarana tidak
(Des 2020) ingin menyusui bila klinis memerah memilih mengurangi resiko memungkinkan perawatan
dan patuh tidak berat • Pemisahan penularan mempertahankan terpisah.
Nakes sementara kedekatan • Keluarga dan nakes
membantu • Pilihan: • Masker, cuci tangan sebelum menerima risiko tertular
edukasi dan * ASI perah memerah menolak pemisahan
pengawasan * ASI donor yg • Bersihkan pompa dan wadah sementara
layak • ASI perah diberikan oleh • Menyusui langsung
* ibu susu nakes atau keluarga yang • Masker beda
(penapisan tidak sakit • Cuci tangan
medis) • Bersihkan payudara dengan
* susu formula sabun dan air
• Bantuan relaktasi • Jarak 2 meter bila tidak
pasca pulih menyusui
• Perah ASI untuk
mempertahankan
produksi,
• ASI diberikan
sebagai asupan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


bayi
• Protokol memerah

Challenges & Opportunities


50
PRAKTIK PELAKSANAAN PEDOMAN DAN PROTOKOL DI
INDONESIA
Bagaimana pelaksanaan rekomendasi ASI dan menyusui
berdasarkan Pedoman Kementerian Kesehatan dan Protokol
Tata Laksana COVID-19 dari IDAI dan juga dukungan
menyusui selama pandemi? Untuk mengetahui kondisi di
lapangan, dilakukan sebuah survei online sederhana tentang
Dukungan Menyusui di Masa Pandemi pada populasi
terbatas yaitu Dokter Spesialis Anak yang juga sekaligus
Konselor Menyusui di IDAI Jawa Timur.26 Populasi berjumlah
65 subyek, dan sejak dimulainya survei tanggal 11 Maret 2021
sampai dengan penulisan makalah ini pada 15 Maret 2021,
response rate pengisian kuesioner survei sebesar 41 responden
alias 63% dengan 5 pria (12,2%) dan 36 wanita (87,8%).
Sebagian besar yaitu 40 (97,6%) responden yang masih aktif
bekerja di RS atau fasilitas kesehatan, masih aktif melakukan
konseling menyusui. Domisili responden tersebar di 11 kota
di Jawa Timur, terbanyak di Surabaya (26 responden) dan
Malang (4 responden), dan dari Magetan, Madiun, Tulung
Agung, Kediri, Jombang, Mojokerto, Sidoarjo, Jember, sampai
Situbondo. Lebih dari separuh (51,2%) responden bekerja
di 2 RS/faskes, dan 36,6% bekerja di 3 RS/faskes atau lebih.
Sebanyak 38 responden (92,7%) bekerja di RS/faskes yang
merawat ibu terkait COVID-19 dan juga bayi/anak terkait
COVID-19.
Terkait kendala dalam melakukan konseling menyusui
selama masa pandemi, 53,7% mengaku mengalami kendala,
sedangkan 41,5% tidak mengalami kendala, dan 2 orang
menjawab ragu-ragu tentang kendala dalam melakukan
konseling menyusui. Respon terkait kendala yang dialami

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 51
dalam konseling menyusui terkait penggunaan APD, bervariasi
dari sangat mengganggu sebesar 17,1%, mengganggu 31,7%,
sedikit mengganggu 36,6%, dan tidak mengganggu sebesar
14,6%, jadi bisa disimpulkan kurang lebih separuh merasa
penggunaan APD menjadi pengganggu saat melakukan
konseling dan kurang lebih separuh lagi tidak merasakan
terganggu. Dalam hal waktu untuk melakukan konseling
menyusui, 51,2% merasakan kurang nya waktu, dan bahkan
12,2% merasakan sangat kurang waktu untuk melakukan
konseling menyusui, sedangkan lebih dari sepertiga
responden (36,6%) merasakan agak kurang dan tidak
kurang waktu untuk melakukan konseling menyusui. Tidak
dieksplorasi penyebab kurangnya waktu untuk melakukan
konseling ini. Salah satu faktor yang mungkin adalah karena
beban kerja yang meningkat, dan juga faktor pengurangan
waktu konsultasi sesuai anjuran untuk membatasi interaksi
dokter dan klien di rawat jalan demi meminimalkan resiko
paparan dan kerumunan.
Terkait tempat untuk melakukan konseling, 36,6%
responden menyatakan memadai, namun 21,9% menyatakan
tidak tersedia tempat, dan sisanya 41,5% menyatakan tersedia
namun tidak memadai. Sebesar 65,9% menyampaikan kadang
terjadi penolakan dari ibu saat dilakukan konseling menyusui
oleh konselor, 7,3% mengalami seringnya ada penolakan
dari ibu, dan 26,8% tidak pernah mengalami penolakan dari
ibu untuk dilakukan konseling menyusui. Demikian juga
penolakan dari keluarga, 65,9% mengalami kadang-kadang
ditolak oleh keluarga, 12,2% sering, dan 21,9% tidak pernah.
Terkait pelayanan Klinik Laktasi, 70,7% tetap dibuka, dan 19,5%
tutup, dan 19,8% RS/faskes belum memiliki Klinik Laktasi.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


52 Challenges & Opportunities
Terkait perlindungan terhadap penularan COVID-19,
semua responden menyatakan sudah ada protokol pencegahan
COVID-19 secara umum dari RS/faskes, 90,2% menyatakan
APD tersedia memadai, namun 9,8% masih menyatakan APD
belum tersedia memadai.
Tentang persetujuan responden terhadap protokol yang
dikeluarkan oleh RS terkait menyusui di masa pandemi
COVID-19, 51,2% menyatakan setuju, 24,4% menyatakan
sangat setuju, 14,6% ragu-ragu, dan 2 responden (4,9%)
menyatakan tidak setuju terhadap protokol menyusui dari
RS di masa pandemi. Dan ada 2 responden (4,9%) yang
menyatakan tidak mengetahui adanya protokol menyusui di
masa COVID dari RS/faskes tempat bekerja. Terkait motivasi
dalam melakukan konseling menyusui, 56,1% responden
menyatakan masih baik, 24,4% sangat baik, 9,8% ragu-ragu,
dan 9,8% merasa motivasinya kurang baik. Di sisi lain, terkait
kekuatiran terpapar COVID-19 saat melakukan konseling,
sebesar 19,5% menyatakan sangat tinggi alias sangat kuatir,
48,8% merasa kuatir, 17,1% ragu-ragu antara kuatir dan tidak,
14,6% dengan kekuatiran yang rendah, tidak ada yang sangat
tidak kuatir.
Tentang dukungan menyusui pada Ibu dan bayi TIDAK
terkait COVID-10, sebesar 26,8% responden menyatakan
bahwa ada perubahan protokol/SOP terkait persalinan
dan menyusui pada ibu dan bayi/anak yang TIDAK terkait
COVID-19. Belum dieksplorasi lebih lanjut perubahan apa
yang terjadi pada protokol/SOP tersebut. Selama pandemi,
ada 5 (12,1%) responden yang menyatakan bahwa TIDAK
dilakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) pada ibu bersalin dan
bayi baru lahir yang TIDAK terkait COVID-19, dan sisanya

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 53
87,8% menyatakan masih TETAP dilakukan IMD. Dalam
hal rawat gabung ada 2 (4,9%) responden yang menyatakan
TIDAK dilakukan rawat gabung, sedangkan 95,1% TETAP
melakukan rawat gabung. Terkait pemberian ASI eksklusif
kecuali ada indikasi medis, 1 responden menyatakan TIDAK
diberikan ASI eksklusif pada bayi yang TIDAK terkait
COVID-19, sedangkan 97,6% TETAP memberikan ASI
eksklusif pada bayi TIDAK terkait COVID-19. (Gambar 3)

Gambar 3. Praktik menyusui pada Non-COVID-19 selama pandemi

Selanjutnya terkait dukungan menyusui pada ibu dan


bayi yang terkait COVID-10, terdapat 36 responden yang
mengisi survei. Pada ibu bersalin terkait COVID-19 dengan
kondisi ringan-sedang, sebesar 77,8 responden menyatakan
tidak dilakukan IMD, 69,4% tidak dilakukan rawat gabung,
63,9% menyatakan ibu tidak menyusui langsung, dan 16,7%
menyatakan tidak pernah ada ibu yang memerah ASI bila
tidak menyusui langsung. Di sisi lain, ada 3 (8,3%) responden
yang menyatakan bahwa ibu bersalin terkait COVID-19
kondisi ringan sedang SELALU dilaksanakan IMD di RS/
faskesnya, 2 (5,6%) responden menyatakan SERING dilakukan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


54 Challenges & Opportunities
IMD, dan 3 (8,3%) responden menyatakan JARANG, dengan
akumulasi 22,2% responden menyatakan masih dilakukan
IMD. Sebesar 2 (5,6%) responden SELALU melakukan rawat
gabung pada ibu bersalin dengan COVID-19 kondisi ringan-
sedang, 5 (13,9%) responden menyatakan SERING melakukan
rawat gabung, dan 4 (11,1%) menyatakan JARANG, dengan
akumulasi 30,5% menyatakan masih melakukan rawat
gabung. Terkait menyusui langsung, 2 (5,6%) responden
menyatakan SELALU dilakukan menyusui langsung, pada
ibu bersalin COVID-19 dengan kondisi ringan-sedang, 5
(13,9%) responden menyatakan SERING, dan 6 (16,7%)
menyatakan JARANG, dengan akumulasi 36,1% responden
yang menyatakan masih memperbolehkan ibu bersalin
dengan COVID-19 menyusui langsung bayinya. Tentang
pemerahan ASInya, masing-masing ada 10 (27,8%) responden
menyatakan ibu SELALU, SERING, dan JARANG memerah
ASI bila tidak menyusui langsung, dengan akumulasi 83,3%
responden yang menyatakan ibu bersalin dengan COVID-19
dapat memerah ASI bila tidak menyusui langsung. (Gambar
4)

Gambar 4. Praktik menyusui pada ibu COVID-19 kondisi ringan-sedang

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 55
Terkait pemerahanASI pada ibu bersalin dengan COVID-10
yang memerah dengan pompa, 86,1% responden menyatakan
pompa yang digunakan adalah milik pribadi ibu, 1 responden
menyatakan pompa milik RS, dan 3 responden menyatakan ibu
belum diperkenankan memompa. Sebesar 44,4% responden
menyatakan tidak tersedia tempat penyimpanan ASI perah
ibu di RS, 25% disimpan di kulkas RS khusus COVID-19,
16,7% disimpan di kamar masing-masing ibu (dengan cooler
bag atau kulkas), dan 11,1% disimpan di kulkas RS yang tidak
khusus COVID-19. Sebesar 36,1% responden menyatakan
SELALU bayi diperkenankan menerima ASI perah dari
ibunya, 16,7% SERING, 33,3% KADANG-KADANG, dan ada
11,1% responden yang menyatakan bayi TIDAK PERNAH
diperkenankan menerima ASI dari ibunya.
Menggali tentang alternatif asupan nutrisi bayi, 41,7%
responden menyatakan ASI perah SELALU sebagai anjuran,
25% menyatakan ASI perah SERING dianjurkan, 19,4%
menyatakan ASI perah KADANG-KADANG dianjurkan, dan
ada responden yang menyatakan ASI perah TIDAK PERNAH
dianjurkan sebagai alternatif asupan bayi. Sebesar 11,1%
responden menyatakan SERING menganjurkan ASI donor,
16,7% KADANG-KADANG menganjurkan, 58,3% TIDAK
PERNAH menganjurkan ASI donor. Terkait susu formula
sebagai alternatif asupan nutrisi bayi, 13,9% responden
menyatakan SELALU sebagai alternatif yang dianjurkan,
25%, SERING, dan 58,3% KADANG-KADANG, dan ada
1 responden yang TIDAK PERNAH menganjurkan susu
formula sebagai alternatif asupan nutrisi bayi pada ibu terkait
COVID-19. (Gambar 5)

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


56 Challenges & Opportunities
Gambar 5. Anjuran alternatif asupan nutrisi bayi pada ibu COVID-19 yang tidak
menyusu langsung

Terkait apakah selama dirawat dilakukan konseling


menyusui pada Ibu COVID-19 kondisi ringan-sedang, 36,1%
menyatakan selalu dilakukan, 25% sering, 38,9% kadang-
kadang. Demikian juga apabila ibu diijinkan pulang setelah
perawatan, sebesar 55,6% ibu mendapatkan konseling
menyusui, 22,2% sering, dan 22,2% juga kadang-kadang
mendapatkan konseling tentang ASI dan menyusui.
Terkait SOP/Protokol tentang ibu bersalin/menyusui
terkait COVID-19, 54,3% responden terlibat dalam pe-
nyusunannya, 22,9% responden tidak terlibat, dan 22,9%
menyatakan belum ada SOP/Protokol. Terkait dukungan nakes
terhadap rekomendasi untuk menyusui dan memberikan
ASI pada terkait COVID-19, sebagian besar menyatakan
dukungannya cukup dan baik, 8 responden (22,2%) menyatakan
secara keseluruhan dukungan RS terhadap rekomendasi ibu
untuk bisa menyusui dan memberikan ASI adalah kurang
baik. Kendala-kendala yang dihadapi oleh responden yang
mengganggu optimalnya dukungan menyusui pada ibu
bersalin/menyusui terkait COVID-19 adalah:

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 57
1. Keterbatasan sarana, prasarana, fasilitas: jumlah ruangan,
ruangan isolasi yang jauh, dan terpisah bahkan berbeda
gedung.
2. Keterbatasan sumber daya tenaga kesehatan dari segi
jumlah, dan seringnya rotasi sehingga sulit koordinasi,
beban kerja yang tinggi, untuk bisa mendukung menyusui
dan memberikan ASI.
3. Permasalahan komunikasi dan koordinasi antara nakes,
manajemen RS, dan dukungan sejawat SpA lain.
4. Ketakutan nakes tertular COVID-19.
5. Ketakutan bayi tertular dari ibu bila menyusui, dan
penolakan keluarga, stigma.
6. Konseling yang tidak efektif, kemauan ibu dan kemauan
petugas yang kurang untuk bisa mendukung ASI dan
menyusui pada ibu dengan COVID-19
7. Belum adanya SOP/protokol terkait menyusui di RS

Terkait dengan follow-up ibu bersalin/menyusui pasca


COVID-19 terkait menyusuinya, 51,2% responden melakukan
konseling lanjutan saat ibu dan bayi kontrol di rawat jalan,
31,7% merujuk ke Puskesmas terdekat dari rumah ibu, 12,2%
tidak memberikan saran dan ibu bebas memilih untuk follow-
up lanjutan, dan 2 responden menyarankan untuk konseling
lanjutan ke konselor menyusui dan kelompok pendukung
ASI.
Untuk usulan solusi ke depan, 85,4% responden setuju bila
dilakukan registry atau pengumpuan data ibu dan bayi/anak
dengan COVID-19 terkait dengan ASI dan menyusuinya, dan
14,6% menyatakan ragu-ragu. Hampir 100 persen responden
setuju bila diadakan koordinasi antar RS/faskes yang merawat

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


58 Challenges & Opportunities
ibu dan bayi/anak dengan COVID-19 khusus untuk dukungan
menyusui, dengan tujuan untuk saling berbagi informasi dan
dukungan, kecuali 1 responden yang menyatakan ragu-ragu.

TANTANGAN, PELUANG DAN USULAN SOLUSI


Dari paparan rekomendasi dari WHO, dan Pedoman dan
Protokol di Indonesia yang disesuaikan dengan kondisi di
negara kita sehingga tidak mengadopsi penuh rekomendasi
WHO, masih banyak tantangan yang dihadapi. Dari hasil
survei di atas, beberapa tantangan yang mungkin dapat
diidentifikasi dan perlu diatasi untuk menuju ke dukungan
menyusui sesuai Pedoman/Protokol di Indonesia adalah:
1. Masih belum didapatkan gambaran mendalam dan
menyeluruh tentang praktik dan dukungan menyusui
di masa pandemi di masing-masing RS/faskes di Jawa
Timur dan bahkan di Indonesia. Diperlukan kolaborasi
dan koordinasi serta penelitian/registry untuk mengetahui
benar kondisi di lapangan dan kemudian merancang
rencana tindak lanjut.
2. Masih perlu dioptimalkan proses konseling dan informed
consent pada ibu dan keluarga untuk terlibat dalam
pengambilan keputusan (misal dalam menentukan
dilakukannya IMD, rawat gabung, dan pemilihan
pemberian asupan nutrisi) sesuai dengan yang tercantum
dalam Pedoman/Protokol di Indonesia.
3. Ketidaktersediaan ruangan isolasi khusus dan tenaga
untuk perawatan untuk ibu bersalin/menyusui dengan
COVID-19 sehingga tidak dapat dilaksanakan upaya
terbaik yaitu rawat gabung sesuai persyaratan Pedoman/
Protokol di Indonesia, terkait dalam hal ini tantangan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 59
dalam sosialisasi, koordinasi, dan advokasi kepada
manajemen RS dan tenaga kesehatan, serta semua
pemangku kepentingan yang terkait

SPEKTRUM DUKUNGAN MENYUSUI di MASA PANDEMI


Mari kita menganalisa spektrum kompleksitas dukungan
menyusui pada masa pandemi dengan beberapa faktor yang
mempengaruhi yaitu status ibu menyusui, bersalin, terkait
atau tidak terkait COVID-19, dan derajat sakit ibu.
1. Spektrum yang paling minimal kompleksitasnya adalah
pada ibu menyusui tidak terkait COVID-19. Edukasi yang
penting adalah untuk tetap mempertahankan menyusui
sebagai perlindungan kepada bayi/anak, konseling
terhadap masalah menyusui yang muncul, dan edukasi
disiplin menjaga protokol kesehatan.
2. Spektrum yang lebih kompleks adalah pada ibu hamil dan
kemudian bersalin tidak terkait COVID-19. Protokol yang
terlah berkembang semakin baik adalah skrining COVID
pada saat hamil sebelum melahirkan sesuai rekomendasi
sebagai prosedur pencegahan penularan saat persalinan,
dengan tantangan pelaksanaannya di lapangan.
Tantangan konseling yang dihadapi adalah melakukan
konseling pasca bersalin di awal masa kehidupan bayi
yang membutuhkan waktu dan interaksi yang cukup
intens antara konselor menyusui dengan ibu-bayi selama
masa perawatan, dengan tetap harus menjaga protokol
kesehatan dan penggunaan APD yang dapat menjadi
penghalang.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


60 Challenges & Opportunities
Kedua spektrum ibu Non-COVID-19 di atas secara
ideal seharusnya mendapatkan dukungan menyusui yang
“business as usual” artinya tidak ada perubahan baik sebelum
dan sesudah adanya pandemi, konseling menyusui tetap
harus seperti biasa dengan maksimal dan konsisten meskipun
ada protokol kesehatan menjaga jarak, terbatas waktu untuk
interaksi, dan penggunaan APD.
3. Spektrum yang ketiga, adalah pada ibu yang sedang
menyusui dan terkait COVID-19, dan bergantung juga
pada derajat sakit, ringan atau sedang kondisi ibu dan
apakah ibu harus menjalani isolasi terpisah dari bayinya.
Edukasi yang diperlukan adalah bahwa ibu menyusui
sedapat mungkin tetap menyusui langsung, dan apabila
harus terpisahkan maka dapat memerah dan tetap
memberikan ASI perahnya, semuanya dengan disiplin
menjaga protokol kesehatan saat menyusui langsung
atau memerah, dan pasca perawatan isolasi COVID-19
dapat langsung menyusui kembali.
4. Spektrum keempat yang lebih kompleks lagi adalah pada
ibu bersalin dengan COVID-19 dengan tanpa gejala atau
gejala ringan-sedang, dimana masa pasca bersalin sendiri
seorang ibu membutuhkan dukungan dari keluarga
dan orang di sekitarnya padahal dengan status COVID-
19nya ibu harus menjalani isolasi, ditambah lagi bila
persalinan dilakukan dengan metode operasi sesar yang
membutuhkan waktu untuk pemulihan dan mobilisasi,
tantangan fisik dan mental terkait kondisi COVID-19,
dan juga bila merupakan pengalaman persalinan
pertama bagi ibu. Yang sangat diperlukan adalah empati
dan dukungan psikologis, selain edukasi dan konseling

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 61
tentang rekomendasi tetap diperbolehkan menyusui dan
memberikan ASI, dan semua alternatif bila tidak memilih
menyusui secara langsung, konseling tentang pemerahan
ASI, serta meyakinkan ibu untuk bisa menyusui dan
relaktasi bila memang di hari-hari awal tidak dapat
menyusui secara langsung.
5. Spektrum paling ujung yang paling kompleks untuk
dukungan menyusui adalah pada Ibu dengan COVID-19
dengan gejala berat, dimana kondisi sakit ibu akan
sangat mungkin mempengaruhi kemampuan menyusui
dan memproduksi ASI. Kondisi sakit beratnya ibu juga
berpotensi menjadi hambatan bagi tenaga kesehatan
dalam melakukan pemerahan ASI yang bertujuan
meningkatkan dan mempertahankan produksi ASI.
Konseling pada ibu dan keluarga lebih difokuskan
pada dukungan psikologis untuk pemulihan kondisi
menuju ke derajat sakit yang lebih baik dan kemudian
mendapatkan konseling lanjutan, dan edukasi ibu dan
keluarga untuk meningkatkan dan mempertahankan ASI
dengan memerah.

Pada 3 spektrum terakhir di atas yang terkait COVID-19,


yang sangat penting dan terutama adalah dukungan
psikologis untuk ibu dan keluarga, yang seringkali mengalami
stres, ketakutan, merasa sendiri dan kesepian, kesedihan
karena terpisah dari bayi/anak, dan stigmatisasi. Ibu perlu
diyakinkan bahwa terinfeksi COVID-19 bukan menjadi
cap buruk atau menurunkan derajat seorang manusia, dan
sebagian besar bersifat temporer dan sembuh dengan baik.
Dengan memperhatikan ke 5 analisa spektrum diatas tenaga

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


62 Challenges & Opportunities
kesehatan diharapkan untuk selalu ingat untuk mengetahui
di spektrum mana ibu tersebut berada, kemudian melakukan
dukungan menyusui terbaik untuk masing-masing ibu, dan
menghindari melakukan pendekatan yang menyamaratakan
semua ibu dengan COVID-19.
Dari survei di atas, ada sejumlah usulan untuk peningkatan
dukungan menyusui dan praktik pemberian ASI pada ibu
bersalin dan menyusui dengan COVID-19:
1. Pedoman/protokol nasional
a. Protokol yang sekarang dilanjutkan
b. Pedoman/Protokol nasional yang diharapkan disusun
dengan jelas dan konkrit, tidak ambigu, bisa diapli-
kasikan dengan terstandar sama di seluruh RS.
c. Dinamis terhadap kondisi di lapangan yang berbeda-
beda, no guideline fits all, safety first
d. Diaplikasikan di RS dengan dipahami dan disepakati
oleh semua
2. Sosialisasi:
a. Sosialisasi, edukasi, yang gencar/intens kepada
masyarakat luas dan konseling kepada ibu, tentang
ASI, menyusui dan pedoman/protokol menyusui di
masa pandemi, via media massa, media elektronik,
medsos, webinar, konseling perorangan.
b. Sosialisasi protokol dan alur kepada nakes mulai
faskes tingkat pertama sd rujukan supaya sepakat
sepaham untuk kebijakan.
c. Sosialisasi protokol kepada dokter anak, dan dokter
lain selain dokter anak dan SpOG supaya juga ikut
mendukung.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 63
3. Pelatihan:
a. Pelatihan konseling menyusui untuk SpA diprio-
ritaskan, wajib menjadi konselor.
b. Workshop tentang menyusui di masa pandemi
COVID-19 untuk nakes.
c. Pelatihan nakes untuk meningkatkan rasa percaya
diri dan motivasi.
4. Koordinasi berbagai pihak untuk dukungan efektif
a. antar nakes dalam RS.
b. antar RS/faskes untuk berbagi informasi, semangat
dan dukungan.
c. advokasi dengan manajemen RS supaya mendukung.
d. dari RS dengan puskesmas/perifer, supaya peman-
tauan berkesinambungan sbg unit yang dekat dengan
ibu.
e. data yang bisa di akses antar faskes supaya ibu dapat
terpantau.
5. Perbaikan sarana prasarana dan ruangan supaya bisa IMD
dan ASI eksklusif, terkait advokasi dengan manajemen
RS.
6. Peningkatan sumber daya manusia/tenaga, terkait
advokasi dengan manajemen RS.
7. Dibentuk komunitas ibu COVID yang saling mendukung.
8. Mengerahkan semua konselor, untuk memberikan
konseling yang intens.
9. Dibangun 1 RS khusus bersalin dengan ruangan memadai
untuk menerima ibu melahirkan dengan COVID sehingga
ibu dan bayi bisa dirawat gabung, dapat menyusui
langsung.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


64 Challenges & Opportunities
Harapannya adalah usulan-usulan solusi dari sejawat
Dokter Spesialis Anak yang juga Konselor Menyusui yang
benar-benar memahami kondisi terkait COVID-19 di
lapangan dan di daerah dapat menjadi bahan diskusi dalam
menentukan langkah dan tindakan konkrit ke depan dari
IDAI dan tenaga kesehatan untuk meningkatkan praktik dan
dukungan menyusui bagi ibu dan anak di masa pandemi.

PENUTUP
Demikianlah telah dipaparkan tentang praktik dan
dukungan menyusui di masa pandemi, tantangan, peluang
dan usulan solusi ke depan yang memerlukan peran serta
seluruh pihak terutama tenaga kesehatan untuk peningkatan
ASI dan menyusui bagi ibu dan anak Indonesia.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 65
DAFTAR PUSTAKA

1.. WHO News Release. World Breastfeeding Week: UNICEF


and WHO call on the Government and employers to
support breastfeeding mothers in Indonesia during
COVID-19. 3 Agustus 2020. Diakses 12 Des 2020. https://
www.unicef.org/indonesia/press-releases/world-
breastfeeding-week-unicef-and-who-call-government-
and-stakeholders-support-breastfeeding-mothers.
2. Tomori, C., Gribble, K., Palmquist, A. E. L., Ververs, M.‐T.,
& Gross, M. S. (2020). When separation is not the answer:
Breastfeeding mothers and infants affected by COVID‐19.
Maternal & Child Nutrition, 16(4), e13033. https://doi.
org/10.1111/mcn.13033.
3. Debes AK, Kohli A, Walker N, Edmond K, Mullany LC.
Time to initiation of breastfeeding and neonatal mortality
and morbidity: a systematic review. BMC Public Health.
2013;13(Suppl 3):S19. doi: 10.1186/1471-2458-13-S3-S19.
4. NEOVITA Study Group. Timing of initiation, patterns of
breastfeeding, and infant survival: prospective analysis
of pooled data from three randomised trials. Lancet
Glob Health. 2016;4:e266–e275. doi: 10.1016/S2214-
109X(16)00040-1.
5. Smith ER, Hurt L, Chowdhury R, Sinha B, Fawzi W,
Edmond KM, Neovita Study G. Delayed breastfeeding
initiation and infant survival: a systematic review and
meta-analysis. PLoS One. 2017;12(7):e0180722. doi:
10.1371/journal.pone.0180722.
6. Victora CG, Bahl R, Barros AJD, Franca GVA, Horton
Sm, et al, for The Lancet Breastfeeding Series Group.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


66 Challenges & Opportunities
Breastfeeding in the 21st century: epidemiology,
mechanisms, and lifelong effect. Lancet. 2016;387:475-90.
7. WHO. Definition and categorization of the timing of
mother-to-child transmission of SARS-CoV-2. Scientific
brief. 8 Februari 2021.
8. Etika R, Handayani KD, Hariastuti SM, Diana V, Harahap
A, et al. Gambaran Klinik dan Karakteristik Neonatus
dari Ibu Terkonfirmasi COVID-19 di Rumah Sakit Dr.
Soetomo. Sari Pediatri. 2021; 22(5):285-9.
9. Centeno-Tablante E, Medina-Rivera M, Finkelstein JL,
Rayco-Solon P, Garcia-Casal MN, et al. Transmission of
SARS–CoV-2 through breast milk and breastfeeding: a
living systematic review. Ann NY Acad Sci. 2020; 1484
(2021): 32-54. doi:10.1111/nyas.14477.
10. Pace RM, Williams JE, Jarvinen KM, Belfort MB, Pace CDW,
et al. Characterization of SARS-CoV RNA, Antibodies,
and Neutralizing Capacity in Milk Produced by Women
with COVID-19. Am Soc Microbiol. 2021;12(1):e03192-20.
11. Didikoglu A, Maharani A, Pendleton N, Canal MM, Payton
A. Early life factors and COVID-19 infection in England:
A prospective analysis of UK Biobank participants. Early
Hum Dev 2021; 155: 105326. https://doi.org/10.1016/j.
earlhumdev.2021.105326.
12. WHO. Clinical management of severe acute respiratory
infection (SARI) when COVID-19 disease is suspected. 13
Maret 2020.
13. WHO. Frequently Asked Questions: Breastfeeding and
COVID-19 For health care workers. 28 April 2020.
14. WHO. Clinical management of COVID-19. Interim
Guidance. 27 Mei 2020.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 67
15. WHO. Breastfeeding and COVID-19. Scientific Brief. 23
June 2020
16. WHO. What we know about Breastfeeding and newborn
care in the context of COVID-19. Coronavirus Update 38.
12 Oktober 2020. www.who.int › risk-comms-updates ›
update-38
17. Rollins N, Minckas N, Jehan F, Lodha R, Raiten D, Thorne
C, et al, on behalf of the WHO-COVID-19 Maternal,
Newborn, Child and Adolescent Health Research Network,
Newborn and Infant Feeding Working Group. A public
health approach for deciding policy on infant feeding
and mother-infant contact in the context of COVID-19.
Modelling in progress using 2019 demographic data and
infant and child mortality in low and middle–income
settings. Lancet Glob Health. Dipublikasi secara daring
pada 22 Februari 2021. https://doi.org/10.1016/S2214-
109X(20)30538-6.
18. AAP FAQs: Management of Infants Born to Mothers with
Suspected or Confirmed COVID-19. Updated 11 Feb 2021.
19. Ahmad KA, Darcy-Mahoney A, Kellehr AS, Ellsbury
DL, Tolia VN, Clark RH. 2020. Longitudinal Survey of
COVID-19 Burden and Related Policies in U.S. Neonatal
Intensive Care Units. Am J Perinatol. 2021;38:93-98.
Dipublikasi secara daring 19 Oktober 2020.
20. Perrine CG, Chiang KV, Anstey EH, Grossniklaus DA,
Boundy EO, et al. Implementation of Hospital Practices
Supportive of Breastfeeding in the context of COVID-19 –
United States, July 15-August 20, 2020. MMWR. 2020; 69
(47):1767-70.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


68 Challenges & Opportunities
21. Hoang DV, Cashin J, Gribble K, Marinelli K, Mathisen
R. Misalignment of global COVID-19 breastfeeding and
newborn care guidelinse with World Health Organizaiton
recommendations. BMJ Nutr Prev Health. 2020;0.
doi:10.1136/bmjnph-2020-000184.
22. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Bagi Ibu Hamil,
Ibu Nifas, dan Bayi Baru Lahir Selama Social Distancing.
26 Maret 2020. https://covid19.kemkes.go.id/protokol-
covid-19/pedoman-bagi-ibu-hamil-ibu-nifas-dan-bbl-
selama-social-distancing
23. Kementerian Kesehatan RI. Revisi 1 Pedoman bagi Ibu
Hamil, Bersalin, Nifas, dan Bayi Baru Lahir di Era Pandemi
COVID-19. 8 Mei 2020.
24. Kementerian Kesehatan RI. Revisi 2 Pedoman Pelayanan
Antenatal, Persalinan, Nifas, dan Bayi Baru Lahir di Era
Adaptasi Kebiasaan Baru. 16 September 2020.
25. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI),
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
(PAPDI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi
Intensif Indonesia (PERDATIN), dan Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI). Pedoman Tatalaksana COVID-19 Edisi
ke-3. Desember 2020.
26. Susilo DA. Survei online “Dukungan Menyusui di Masa
Pandemi” terhadap Dokter Anak Konselor Menyusui
IDAI Jawa Timur. Maret 2021. Belum dipublikasi.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 69
Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:
70 Challenges & Opportunities
COVID-19 in INFANTS

Ery Olivianto

PENDAHULUAN
Sejak masuk ke Indonesia satu tahun yang lalu, sebanyak
1,4 juta orang terinfeksi COVID-19 dan menyebabkan 38.230
kematian.[1] Berbeda dengan negara negara lain, proporsi
penderita anak (usia 0 - <18 tahun) di Indonesia jauh lebih
besar, yaitu 11,5%.[1-3]
Secara global, prosentase penderita anak lebih rendah
dibanding dewasa. Kelompok bayi (usia <1 tahun) dan
neonatus adalah yang paling kecil proporsi kejadiannya.
Banyak penjelasan hipotetik yang diajukan, termasuk lebih
sedikitnya reseptor ACE2. Imaturitas respon imun pada
anak mungkin tidak dapat menghasilkan badai sitokin
sebagaimana orang dewasa, sehingga anak lebih cenderung
asimtomatik.[3,4] Dengan kejadian COVID-19 pada anak
yang lebih besar dibanding negara lain, kondisi di Indonesia
berbeda. Satu penelitian dari menunjukkan proporsi pada
anak balita sebesar 45,2%, dengan kelompok usia di bawah 1
tahun sebesar 18,5%.[5]
Anak dengan COVID-19 yang simtomatik terutama
mengalami gejala pernafasan yang bervariasi dari gejala
saluran nafas atas yang ringan sampai penyakit saluran nafas

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 71
bawah yang parah, pneumonia berat. Tidak heran, mirip
dengan epidemiologi pneumonia pada umumnya, morbiditas
dan kematian terjadi lebih sering pada kelompok anak usia di
bawah lima tahun.[6,7]
Tentu saja, bayi perlu mendapat perhatian lebih karena
beban kesakitan terbesar pada mereka. Apalagi kelompok
anak, khususnya balita, di negara kita lebih terdampak oleh
COVID-19 dibanding negara-negara lain. Mungkin sedikitnya
bayi yang terkonfirmasi COVID-19, secara global, disebabkan
kebanyakan tanpa gejala atau bergejala ringan saja sehingga
luput dari kecurigaan dan identifikasi kasus.[8,9] Bahkan gejala
pada bayi seringkali tidak khas seperti kembung, diare atau
tidak mau makan.[4]
Tulisan ini akan membahas COVID-19 pada bayi,
sedangkan COVID-19 pada neonatus akan dibahas pada
bagian lain.

TRANSMISI VIRUS SARS-COV-2 PADA BAYI


Semestinya kelompok bayi adalah kelompok yang kecil
kemungkinan untuk tertular, karena mereka relatif tidak
berinteraksi di masyarakat umum.[8] Layanan kunjungan
bayi di fasilitas kesehatan pun telah diatur sedemikian rupa
selama pandemi untuk mengurangi kemungkinan penularan.
Namun, mereka masih bisa tertular dari orang tua yang bekerja
di luar rumah dengan mengabaikan upaya pencegahan
penularan. Penelitian pada awal-awal pandemi menunjukkan
besarnya penularan dalam keluarga, dan kebanyakan anak
dengan COVID-19 didapatkan kontak kasus positif dalam
keluarganya.[8,10-12]

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


72 Challenges & Opportunities
Sebaliknya, walaupun bukti paling mutakhir menun-
jukkan anak dengan infeksi SARS-CoV-2 sama menularnya
dengan orang dewasa, belum ada bukti bahwa bayi
menularkan virus ini ke individu yang lain.[10] Satu penelitian
di Amerika pada awal wabah menunjukkan angka infeksi
sekunder pada anak mirip dengan dewasa, sementara
penularan dari anak ke dewasa sebesar 20% dan dari anak ke
anak sebesar 17%.[13] Ini kemungkinan karena secara umum
kelompok anak mempunyai viral load yang sama dengan
orang dewasa, walaupun sebagian besar mereka asimtomatik
(Gambar 2).[14,15]
Bagaimanapun, perlu dicatat bahwa pada sebagian anak
bergejala yang terkonfirmasi COVID-19 tidak teridentifikasi
siapa sumber penularannya.[11]

Gambar 2. Distribusi RT-PCR SARS-CoV-2 dari swab nasofaring pada pasien anak
dan dewasa. Diadaptasi dari Heald-Sargent et al 2020

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 73
MANIFESTASI KLINIS COVID-19 PADA BAYI
Sebagaimana anak pada kelompok umur yang lain, pada
bayi sebagian besar adalah tidak bergejala.[16] Namun pada
kelompok ini morbiditas dan mortalitasnya adalah yang
terbesar dibandingkan anak kelompok umur yang lebih tua
(Gambar 1). Penelitian di Indonesia bahkan mendapatkan 4
kasus kematian dari 27 anak usia <1 tahun.[5] Manifestasi klinis
simtomatik berat dan kritis pada usia <1 tahun sebesar 10,7%,
lebih tinggi dibandingkan kelompok umur 1-5 tahun dan 6-10
tahun, yang masing-masing 7,3% dan 4,2%.[6] Gejala paling
sering adalah batuk dan demam, sebagian lagi mengalami
pilek. Sesak terjadi pada keadaan yang lebih berat. Gejala non-
respirasi juga umum terjadi seperti gejala gastro intestinal.[10]
Inflamasi multiorgan yang parah dari COVID-19, multisystem
inflammatory syndrome in children (MIS-C), juga dapat terjadi.
[17]

Bayi dan anak yang mempunyai kelainan komorbid lebih


berisiko menderita gejala respirasi yang lebih berat, bahkan
hingga membutuhkan perawatan intensif di PICU. Komorbid
yang paling sering pada usia yang lebih muda adalah kelainan
medis yang kompleks, seperti kelainan neuromuskular
kongenital. Bayi dengan kelainan jantung bawaan lebih sering
membutuhkan perawatan di PICU. Keganasan dan defisiensi
imun merupakan komorbid yang sering dijumpai pada semua
kelompok umur anak yang membutuhkan perawatan PICU.
[18,19]

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


74 Challenges & Opportunities
Gambar 1. Proporsi derajat keparahan COVID-19 pada anak. Morbiditas
terbesar adalah pada kelompok usia <1 tahun dengan 10,7% adalah simtomatik
berat dan kritis, sedangkan 56,1% adalah asimtomatik dan simtomatik ringan.
Diadaptasi dari Dong et al, 2020.

Tidak ada gambaran laboratorium yang khas pada


kelompok bayi, tetapi secara umum profil laboratorium pada
anak dapat menunjukkan lekosit yang normal atau menurun
dengan penurunan neutrofil atau limfosit. Pada bayi, justru
ditemukan lekosit yang meningkat yang menggambarkan
bahwa kelompok ini berisiko untuk menderita manifestasi
penyakit yang lebih berat.[20] Limfopenia yang sering
didapatkan pada pasien dewasa, hanya didapatkan pada
3% bayi dengan COVID-19.[21] Walaupun biasanya normal,
trombositosis juga dapat terjadi (catatan: hati-hati dengan
kemungkinan infeksi dengue atau ko-infeksi). Kadar
c-reactive protein (CRP) dan prokalsitonin seringkali

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 75
normal. Pada kasus berat, SGOT, SGPT, dan LDH mungkin
meningkat; selain itu, gangguan faal pembekuan darah dan
kenaikan D-dimer dapat terjadi.[16,22] Sebagai catatan, tidak
ada satupun dari gambaran laboratorium darah ini yang
konsisten pada penderita anak, apalagi pada bayi.[23] Klinisi
harus memandang perubahan pada gambaran laboratorium
ini sebagai modalitas untuk menilai derajat inflamasi yang
terjadi pada pasien. Prokalsitonin sering meningkat pada
penderita anak dapat menjadi penanda adanya koinfeksi
bakterial atau perburukan penyakit.[20]
Gambaran foto thoraks pada anak biasanya menunjukkan
infiltrat, perubahan interstitial dan penebalan peribronkial.
Pada kasus berat dapat tampak konsolidasi, dan opasitas
ground glass multipel bilateral. bagaimanapun perlu
diperhatikan bahwa gambaran foto thoraks pada anak dengan
COVID-19 tidak spesifik.[24] Gambaran CT scan thoraks
kebanyakan konsolidasi segmental bilateral dan opasitas
ground glass, terutama di perifer paru.[11,16,22] Bagaimanapun,
pada anak gambaran CT thoraks normal dan ringan lebih
banyak dibanding pada dewasa. Dengan mempertimbangkan
besarnya radiasi, CT scan thoraks sebaiknya tidak rutin
dilakukan pada anak dengan COVID-19 kecuali atas indikasi
yang nyata, seperti adanya perburukan klinis atau respon
terapi yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.[25]

DIAGNOSIS COVID-19 PADA BAYI


Diagnosis COVID-19 pada bayi mengikuti kaidah
pedoman WHO dan organisasi profesi.[26] Bayi kita curigai
COVID-19 apabila terdapat gejala klinis (demam dan batuk
akut, atau >3 gejala respiratori maupun non-respiratori) dan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


76 Challenges & Opportunities
risiko epidemiologis (tinggal di dalam daerah dengan risiko
penularan yang tinggi); atau mengalami infeksi saluran nafas
akut berat (severe acute respiratory infection, SARI). Semua bayi
yang dicurigai COVID-19 harus diisolasi dan diawasi.[4] Secara
klinis bayi dengan suspek COVID-19 tersebut terkonfirmasi
apabila hasil tes PCR SARS-CoV-2 positif, atau hasil tes cepat
antigen SARS-CoV-2 positif.[27]
Secara definisi kasus bayi disebut probable COVID-19
(baca: terdiagnosis COVID-19 secara klinis) apabila terdapat
gejala klinis dan berkontak erat dengan kasus terkonfirmasi
atau probable COVID-19, tentunya yang paling mungkin
adalah orang tua atau pengasuhnya. Anosmia dan ageusia
juga tidak dapat dicermati oleh orang tua. Apakah penurunan
nafsu makan bayi berkaitan dengan gejala tersebut, juga tidak
dapat dijadikan ukuran. Semua pasien dengan definisi kasus
probable harus dilakukan tes PCR atau tes cepat antigen.
Sambil menunggu tes dan hasilnya, pasien harus diisolasi
dan mendapat terapi yang sesuai.[27]

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 77
Tabel 1. Definisi kasus suspek, probable dan terkonfirmasi
COVID-19 menurut WHO dan Ikatan Dokter Anak Indonesia
Kasus suspek adalah seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria beri-
kut:
A. Seseorang yang memenuhi salah satu kriteria klinis dan salah satu
kriteria epidemiologis.
• Kriteria klinis:
- demam akut (>38 °C) /demam dan batuk, atau
- terdapat >3 gejala / tanda akut berikut: demam / riwayat
demam, batuk, kelelahan (fatigue), sakit kepala, mialgia,
nyeri tenggoroka, coryza / pilek /hidung buntu, sesak nafas,
anoreksia/muntah/mual, diare, penurunan kesadaran.
Dan
• Kriteria epidemiologis:
- dalam 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki
riwayat tinggal atau bekerja di tempat berisiko tinggi penu-
laran, atau
- dalam 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki ri-
wayat tinggal atau berpergian di negara / wilayah Indone-
sia yang melaporkan transmisi lokal, atau
- dalam 14 hari terakhir sebelum timbul gejala bekerja di
fasilitas pelayanan kesehatan, baik melakukan pelayanan
medis, dan non medis, serta petugas yang melaksanakan
kegiatan investigasi, pemantauan kasus dan kontak.
B. Seseorang dengan ISPA berat
C. Seseorang tanpa gejala (asimtomatik) yang tidak memenuhi kriteria
epidemiologis dengan hasil rapid antigen SARS-CoV-2 positif.
Kasus probable adalah seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria krite-
ria berikut:
A. Seseorang memenuhi kriteria klinis dan memiliki riwayat kontak erat
dengan kasus probable atau terkonfirmasi atau berkaitan dengan
klaster COVID-19
B. Kasus suspek dengan gambaran radiologis sugestif ke arah
COVID-19
C. Seseorang dengan gejala akut anosmia (hilangnya kemampuan In-
dra penciuman) atau ageusia (hilangnya kemampuan indra perasa)
dengan tidak ada penyebab lain yang dapat diidentifikasi.
D. Seseorang yang meninggal dengan distres nafas dan memiliki
riwayat kontak erat dengan kasus probable atau konfirmasi, atau
berkaitan dengan klaster COVID-19

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


78 Challenges & Opportunities
Kasus terkonfirmasi adalah seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus
COVID-19 dengan kriteria sebagai berikut:
A. Seseorang dengan hasil RT-PCR positif
B. Seseorang dengan hasil rapid antigen SARS-CoV-2 positif dan me-
menuhi kriteria definisi kasus probable atau kasus suspek (kriteria A
atau B)
C. Seseorang tanpa gejala (asimtomatik) dengan hasil rapid antigen
SARS-CoV-2 positif dan memiliki riwayat kontak erat dengan kasus
probable atau terkonfirmasi.
Kasus konfirmasi dibagi menjadi dua:
a. kasus konfirmasi dengan gejala (simtomatik)
b. kasus konfirmasi tanpa gejala (asimtomatik)
sumber: Pedoman Tatalaksana COVID-19 Edisi ke-3

Pada bayi yang memenuhi kriteria klinis dan kriteria


epidemiologis, bayi dengan ISPA berat, dan pada bayi yang
kontak erat dengan kasus probabel atau terkonfirmasi,
konfirmasi dapat terpenuhi cukup dengan tes cepat antigen
SARS-CoV-2.[27] Tetapi mengingat sensitivitas tes antigen
yang lebih rendah, lebih baik menggunakan RT-PCR (atau tes
cepat molekuler lain) apabila pemeriksaan ini tersedia.

TATA LAKSANA BAYI DENGAN COVID-19


Prinsip tata laksana COVID-19 adalah isolasi dan mengatasi
kerusakan akibat inflamasi. Pada bayi, isolasi penderita harus
memperhitungkan kebutuhan bayi, termasuk ASI dan asuhan
ibu. Pada kasus asimtomatik dan simtomatik ringan tidak
diperlukan ruangan isolasi khusus. Isolasi mandiri dilakukan
di rumah dengan asuhan oleh ibu dengan pemantauan oleh
petugas kesehatan. Bila tidak terjadi perburukan gejala, maka
isolasi dapat selesai dalam 10 hari atau 3 hari bebas demam,
dan bayi tidak perlu di periksa swab tenggorokan. Selama
bayi bergejala dapat diberikan obat obat simtomatis, vitamin
dan bahan imunomodulator. ASI harus tetap diberikan.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 79
Bayi yang bergejala sedang sampai berat harus dirawat
di ruang isolasi khusus di rumah sakit. Pada praktiknya,
biasanya ibu ikut menunggu bayi di dalam ruang isolasi
dengan menerapkan upaya pencegahan agar tidak ikut
tertular, seperti memakai masker selama di dalam ruangan
dan sering mencuci tangan. Bila secara klinis gejalanya berat
dan membutuhkan alat bantu ventilator, bayi harus dirawat
di rumah sakit yang mempunyai fasilitas ruang PICU isolasi
dengan tekanan negatif.[27]
Pada kasus dengan pneumonia, selain suplementasi
oksigen juga diberikan antibiotik, lebih disukai adalah
seftriakson dosis tunggal.[27] Walaupun beberapa melaporkan
pemakaian pada bayi, pemberian anti-virus seperti remdesivir
tidak dianjurkan pada pasien anak karena evidens yang
terbatas. Pemberiannya dipertimbangkan pada kasus yang
berat. Para ahli penyakit infeksi anak menyarankan pemakaian
remdesivir untuk kasus berat dan kritis saja.[28] Food and
Drug Administration (FDA) Amerika Serikat memberikan
ijin darurat untuk pemakaian remdesivir pada anak usia <12
tahun dengan berat badan > 3,5 kg.[29]
Pemberian anti inflamasi seperti dexamethason diberikan
pada kasus sedang sampai berat. Pemberian anti inflamasi
pada MIS-C harus mempertimbangkan efektivitas obat dan
ketersediaan. Pada kasus seperti ini kortikosteroid dapat
dipilih, seperti dexamethason atau metil prednisolon. Obat-
obat seperti anakinra (anti IL-1) atau tocilizumab (anti IL-
6) sangat mahal, pemberiannya harus mempertimbangkan
status imunologi dari pasien.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


80 Challenges & Opportunities
MENYUSUI PADA BAYI DENGAN COVID-19
Satu review menyimpulkan bukti transmisi virus
SARS-CoV-2 melalui ASI kepada neonatus maupun bayi
sangat rendah, meskipun beberapa penelitian melaporkan
terdeteksinya virus ini di ASI.[30]
WHO menyarankan tetap menginisiasi ibu melahirkan
untuk menyusui bayi baru lahir, demikian juga pada periode
di luar itu selama bayi membutuhkan ASI. Keluarga harus
diyakinkan bahwa manfaat dan keunggulan ASI lebih besar
ketimbang risiko penularan COVID-19. Perlekatan (bounding)
antara ibu dan bayi harus dipertahankan, termasuk
penggunaan perawatan ibu kanguru (KMC), baik bila ibu
maupun bayinya terkonfirmasi COVID-19.[31] Tentunya,
dengan tetap melakukan upaya-upaya pencegahan penularan
virus, seperti memakai masker dan memperhatikan higiene
tangan dan peralatan bayi.

VAKSINASI COVID-19
Vaksin COVID-19 dengan berbagai platform telah
diproduksi dan diaplikasikan pada golongan risiko tinggi,
Seperti tenaga kesehatan dan lansia. Anak, walaupun lebih
banyak simtomatik dan ber gejala ringan, bukan berarti
mereka tidak berisiko. Hanya soal waktu, vaksin COVID-19
seharusnya juga diberikan pada anak dan bayi.[32]
Walaupun vaksin produksi Sinovac, China belum
diberikan pada kelompok anak, vaksin lain seperti vaksin
RNA produksi Pfizer dan Moderna telah diujicobakan pada
kelompok remaja <18 tahun, vaksin produksi AstraZeneca-
Oxford juga menyusul.[33]

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 81
Vaksin pada anak penting untuk memutuskan mata rantai
penularan, karena sebagaimana disebutkan di atas bahwa
anak sama menularnya dengan dewasa. Tidak kalah penting,
anak dan bayi merupakan kelompok yang rentan mengalami
manifestasi yang berat dari COVID-19.

PENUTUP
Sebagai penutup, COVID-19 pada bayi merupakan bagian
dari masalah besar penanggulangan penyakit ini, terlebih
di Indonesia dengan proporsi COVID-19 pada anak yang
lebih tinggi dibanding negara lain. Pemenuhan kebutuhan
kesehatan dan timbuh kembang bayi tidak boleh terabaikan
dalam menghadapi pandemi COVID-29. Untuk itu, penularan
dari anggota keluarga harus ditekan dengan cara mengurangi
transmisi virus di masyarakat. Penerapan protokol kesehatan
dan vaksinasi adalah harapan untuk dapat mengurangi
kesakitan pada bayi.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


82 Challenges & Opportunities
DAFTAR PUSTAKA

1. Peta Sebaran COVID-19. Jakarta, Satuan Tugas Penanganan


COVID-19 (2021, diunduh pada 12 Maret 2021). Diunduh
dari: https://covid19.go.id/peta-sebaran-covid19.
2. Wu Z dan McGoogan JM. Characteristics of and
important lessons from the coronavirus disease 2019
(COVID-19) outbreak in China: summary of a report of
72 314 cases from the Chinese Center for Disease Control
and Prevention. JAMA 2020; 323:1239-42. DOI.10.1001/
jama.2020.2648
3. Kammoun R dan Masmoudi K. Paediatric aspects of
COVID-19: an update. Respir Med Res 2020; 78:100765.
DOI.10.1016/j.resmer.2020.100765
4. De Rose DU, Piersigilli F, Ronchetti MP, et al. Novel
coronavirus disease (COVID-19) in newborns and
infants: what we know so far. Ital J Pediatr 2020; 46(1):56.
DOI.10.1186/s13052-020-0820-x
5. Indriyani SAK, Dewi NE, Kartasasmita CB. Characteristics
and outcomes of children with COVID-19: evidence
from West Nusa Tenggara Province, Indonesia. Arch
Pediatr Infect Dis. in press 2021:e111762. DOI.10.5812/
pedinfect.111762
6. Dong Y, Hu Y, Qi X, Fan Jiang, Jiang Z, Tong S.
Epidemiology of COVID-19 among children in China.
Pediatrics 2020; 145:e20200702. DOI.10.1542/peds.2020-0702
7. WHO. Pneumonia. Jenewa, World Health Organization
(2021, diunduh pada 13 Maret 2021). Diunduh dari:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/
pneumonia.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 83
8. Hong H, Wang Y, Chung HT, Chen CJ. Clinical
characteristics of novel coronavirus disease 2019
(COVID-19) in newborns, infants and children. Pediatr
Neonatol 2020; 61:131-2. DOI.10.1016/j.pedneo.2020.03.001
9. de Souza TH, Nadal JA, Nogueira RJN, Pereira RM,
Brandão MB. Clinical manifestations of children with
COVID-19: a systematic review. Pediatr Pulmonol 2020;
55:1892-9. DOI.10.1002/ppul.24885
10. Yu Y dan Chen P. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19)
in neonates and children from China: a review. Front
Pediatr 2020; 8:287. DOI.10.3389/fped.2020.00287
11. Lu X, Zhang L, Du H, et al. SARS-CoV-2 infection in
children. N Engl J Med 2020; 382:1663-5. DOI.10.1056/
NEJMc2005073
12. Li J, Thoon KC, Chong CY, et al. Comparative analysis of
symptomatic and asymptomatic SARS-CoV-2 infection in
children. Ann Acad Med Singap 2020; 49:530-7.
13. Laws RL, Chancey RJ, Rabold EM, et al. Symptoms and
transmission of SARS-CoV-2 among children - Utah and
Wisconsin, March-May 2020. Pediatrics 2021; 147:027268.
DOI.10.1542/peds.2020-027268
14. Colson P, Tissot-Dupont H, Morand A, et al. Children
account for a small proportion of diagnoses of SARS-
CoV-2 infection and do not exhibit greater viral loads
than adults. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 2020; 39:1983-7.
DOI.10.1007/s10096-020-03900-0
15. Heald-Sargent T, Muller WJ, Zheng X, Rippe J, Patel AB,
Kociolek LK. Age-related differences in nasopharyngeal
severe acute respiratory syndrome coronavirus 2
(SARS-CoV-2) levels in patients with mild to moderate

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


84 Challenges & Opportunities
coronavirus disease 2019 (COVID-19). JAMA Pediatr 2020;
174:902-3. DOI.10.1001/jamapediatrics.2020.3651
16. Zimmermann P dan Curtis N. Coronavirus infections
in children including COVID-19: an overview of the
epidemiology, clinical features, diagnosis, treatment and
prevention options in children. Pediatr Infect Dis J 2020;
39:355-68. DOI.10.1097/inf.0000000000002660
17. Panigrahy N, Policarpio J, Ramanathan R. Multisystem
inflammatory syndrome in children and SARS-CoV-2:
a scoping review. J Pediatr Rehabil Med 2020; 13:301-16.
DOI.10.3233/prm-200794
18. Shekerdemian LS, Nabihah R. Mahmood, Wolfe KK, et al.
Characteristics and outcomes of children with coronavirus
disease 2019 (COVID-19) infection admitted to US and
Canadian pediatric intensive care units. JAMA Pediatr
2020; 174(9):868-73. DOI.10.1001/jamapediatrics.2020.1948
19. Götzinger F, Santiago-García Ba, Noguera-Julián A, et
al. COVID-19 in children and adolescents in Europe: a
multinational, multicentre cohort study. Lancet 2020; 4:1-
9. DOI.10.1016/S2352-4642(20)30177-2
20. Henry BM, Benoit SW, de Oliveira MHS, et al. Laboratory
abnormalities in children with mild and severe
coronavirus disease 2019 (COVID-19): a pooled analysis
and review. Clin Biochem 2020; 81:1-8. DOI.10.1016/j.
clinbiochem.2020.05.012
21. Henry BM, Lippia G, Plebani M. Laboratory abnormalities
in children with novel coronavirus disease 2019. Clin Chem
Lab Med 2020; 58:1135-8. DOI.10.1515/cclm-2020-0272
22. Chen Z-M, Fu J-F, Shu Q, et al. Diagnosis and treatment
recommendations for pediatric respiratory infection

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 85
caused by the 2019 novel coronavirus. World J Pediatr
2020; 16:240-6. DOI.10.1007/s12519-020-00345-5
23. Yagnik PJ, Umscheid J, Khan AW, Ali M, Bhatt P, Desai
PH. Pediatric characteristics of 2019 novel coronavirus:
review of available published literature. Clin Pediatr 2020;
59:849-52. DOI.10.1177/0009922820920017
24. Serrano CO, Alonso E, Andres M, et al. Pediatric chest
x-ray in COVID-19 infection. Eur J Rad 2020; 131:109236.
DOI.10.1016/j.ejrad.2020.109236
25. Cui X, Zhang T, Zheng J, et al. Children with coronavirus
disease 2019: A review of demographic, clinical,
laboratory, and imaging features in pediatric patients. J
Med Virol 2020; 92:1501-10. DOI.10.1002/jmv.26023
26. WHO. Public Health Surveillance for COVID-19: Interim
Guidance. Jenewa: World Health Organization; 2020.
27. Pedoman Tatalaksana COVID-19. Edisi ke- 3. Jakarta:
PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, dan IDAI; 2020. hal.88-
115.
28. Downey Jr K. Panel suggests remdesivir as preferred
antiviral for pediatric COVID-19 patients. Healio (2020,
diunduh pada 13 Maret 2021). Diunduh dari: https://
www.healio.com/news/pediatrics/20200423/panel-
suggests-remdesivir-as-preferred-antiviral-for-pediatric-
covid19-patients.
29. FDA Approves First Treatment for COVID-19. Food and
Drug Administration (2020, diunduh pada 13 Maret 2021).
Diunduh dari: https://www.fda.gov/news-events/press-
announcements/fda-approves-first-treatment-covid-19.
30. Centeno‐Tablante E, Medina‐Rivera M, Finkelstein JL,
et al. Transmission of SARS-CoV-2 through breast milk

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


86 Challenges & Opportunities
andbreastfeeding: a living systematic review. Ann N Y
Acad Sci 2021; 1484:32-54. DOI.10.1111/nyas.14477
31. WHO. Breastfeeding and COVID-19. Jenewa, World Health
Organization (2020, diunduh pada 12 Maret 2021). Diunduh
dari: https://www.who.int/news-room/commentaries/detail/
breastfeeding-and-covid-19.

32. Klass P dan Ratner AJ. Vaccinating children against Covid-19


— the lessons of measles. N Engl J Med 2021; 384:589-91.
DOI.10.1056/NEJMp2034765

33. Couzin-Frankel J. Vaccine trials ramp up in children and


adolescents. Science 2021; 371:874. DOI.10.1126/sci-
ence.371.6532.874

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 87
Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:
88 Challenges & Opportunities
EMERGENCY IN PEDIATRIC
COVID-19

Neurinda Permata Kusumastuti, Arina Setyaningtyas, Ira Dharmawati,


Latief Azis, Dwi Putri lestari

PENDAHULUAN
Coronavirus-19 (COVID-19), yang disebabkan oleh
SARS-CoV-2, dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret 2020. Hingga saat
ini, virus ini telah merenggut lebih dari 1 juta nyawa dan
menginfeksi lebih dari 50 juta di seluruh dunia1,2. COVID-19
berdampak pada cara pengobatan dan penyediaan layanan
kesehatan di semua spesialisasi2.
Usia sangat berpengaruh pada keparahan penyakit dan
mortalitas yang secara konsisten telah ditunjukkan sejak fase
awal pandemi2,3. Sebuah tinjauan sistematis terhadap 1.065
anak yang terinfeksi SARS-CoV-2, menunjukkan bahwa anak
menderita penyakit dengan tingkat keparahan ringan, dengan
gejala pernapasan ringan pula4.
Meskipun studi awal menunjukkan bahwa anak-anak
dan remaja dapat terhindar dari penyakit parah, tetapi sejak
laporan ini diterbitkan telah didapatkan laporan tentang anak
dengan sakit berat sehingga perlu dirawat di rumah sakit atau
meninggal karena COVID-192.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 89
Bayi dan anak kecil menderita penyakit yang relatif lebih
parah daripada anak yang lebih tua. Sesuai dengan studi
besar di Cina dan Amerika Serikat, tinjauan penelitian pada
pasien anak terbesar di Cina, yang melaporkan 2143 anak
(34,1% dikonfirmasi laboratorium dan 65,9% kasus yang
dicurigai pada 7 Februari 2020), 5,6% anak-anak dengan gejala
pernapasan yang berat, 0,6% mengalami sindrom gangguan
pernapasan akut (ARDS), dan 1 meninggal5,6. Di Amerika
Serikat, pasien anak-anak hanya 1,7% dari total kasus dari 12
Februari hingga 2 April, hanya 20% dari yang membutuhkan
rawat inap, 2% membutuhkan rawat inap di unit perawatan
intensif (ICU) dan tiga meninggal5,7. Dimana penelitian
tersebut bahwa anak di bawah 1 tahun memiliki risiko yang
lebih besar untuk dirawat di rumah sakit. Selain usia, faktor
yang terkait dengan luaran yang buruk adalah kondisi paru
yang mendasari, dan keadaan imunokompromis5.
Untuk itulah kita harus mengetahui tatalaksana
kegawatdaruratan anak dengan COVID-19 sejak di triase
sampai di instalasi gawat darurat (IGD) agar segera dapat
melakukan transfer pasien ke unit perawatan intensif di
dalam rumah sakit atau melakukan rujukan ke rumah sakit
lain dengan baik dan mendapatkan hasil yang optimal dan
aman bagi penolong.

KEGAWATDARURATAN ANAK DENGAN COVID-19


Pada dasarnya kegawatadaruratan tidak berbeda antara
anak yang menderita COVID-19 dengan yang tidak,
tetapi pada era pandemi COVID-19 kita harus melakukan
triase yang baik, karena seperti dewasa manifestasi klinis
COVID-19 pada anak meliputi gejala pernapasan, demam,
flu-like atau gejala pencernaan seperti diare (lebih sering dari
dewasa) dan muntah dimana gejala pernapasan inilah yang

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


90 Challenges & Opportunities
akan menimbulkan droplet yang menimbulkan penularan,
sehingga perlu prosedur yang tepat dalam penanganan
kegawatdaruratan pada anak dengan COVID-19. Gejala
pernapasan bervariasi mulai dari yang ringan sampai yang
berat, yaitu Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)8.
Selain kegawatdaruratan napas, pada COVID-19 anak ini
juga berhubungan dengan kegawatdaruratan sirkulasi, yaitu
syok, gagal jantung, disfungsi otot jantung serta Multisystem
Infamatory Syndrome (MIS) yang akan dibahas pada bab lain
di buku ini5.
Urutan penilaian kegawatdaruratan pada pasien anak
pada masa pandemi juga berbeda dengan saat normal.
Tetapi walaupun agak berbeda urutan dalam rangkapan
pemeriksaan pasien anak pada era pandemi ini, tetapi tetap
harus memenuhi prinsip etika kedokteran. Saat ini setelah
kita melakukan triase di kamar terima pasien dengan
menggunakan Pediatric Assessment Triangle (PAT) sehingga
dapat mengelompokkan dalam hijau, kuning dan merah
tanpa menggunakan alat, dan dalam waktu yang singkat
sehingga mengurangi paparan pada masa pandemi ini, kita
langsung melakukan secondary survey untuk memisahkan
pasien yang tersangka COVID-19 dan yang tidak, sebelum
pasien dimasukkan dalam ruang pemeriksaan dalam IGD,
baru setelah itu melakukan primary survey untuk mengetahui
apakah membutuhkan resusitasi atau tidak.

TRIASE PADA ANAK DI MASA PANDEMI COVID-19


Tindakan harus setara antara pasien yang dicurigai
atau terbukti COVID-19 dengan pasien yang lain. Triase
pada masa pandemi ini dibutuhkan bukan hanya untuk
memisahkan ke zona merah, kuning hijau, tetapi juga untuk
menapiskan apakah pasien ini tersangka COVID-19 atau

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 91
tidak (gambar 1). Jadi setelah kita melakukan pengenalan dini
kegawatdaruratan selanjutnya adalah melakukan secondary
survey9.
Dalam melakukan pengenalan dini kegawatdaruratan
anak kita menggunakan PAT. Pada PAT ini kita menilai 3
aspek, yaitu tampilan (untuk menilai kesadaran), upaya napas
(untuk menilai pernapasan) dan sirkulasi10.

CARA MEMERIKSA:10

1. Penampilan
Karakteristik Hal yang dinilai
Tonus Apakah anak bergerak aktif atau menolak
pemeriksaan dengan kuat? Apakah tonus otot baik
atau lumpuh?
Interaksi Bagaimana kesadarannya? Apakah berespon
terhadap stimulus suara? Apa anak malas
berinteraksi dengan pengasuh atau pemeriksa?
Kenyamanan Apakah anak dapat ditenangkan oleh pengasuh
atau pemeriksa? Atau anak menangis dan sulit
ditenangkan, terlihat agitasi sekalipun dilakukan
pendekatan yang lembut?
Pandangan Apakah anak dapat memfokuskan pengelihatan
pada wajah pemeriksa atau pengasuh? Atau
pandangan kosong?
Kekuatan bicara/ Apakah anak berbicara atau menangis dengan
menangis kuat, lemah, atau parau?

2. Pernapasan
Karakteristik
Suara napas tambahan Mengorok, parau, stridor, merintih, mengi
Posisi tubuh abnormal Sniffing, tripoding, menolak berbaring
Retraksi Supraklavikula, interkosta, substernal, head
bobbing
Cuping Hidung Napas cuping hidung

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


92 Challenges & Opportunities
3. Sirkulasi
Karakteristik Hal yang dinilai
Pucat Kulit atau mukosa tampak kurang merah karena
kurangnya aliran darah ke daerah tersebut
Mottling Kulit berbercak kebiruan akibat vasokontriksi
Sianosis Kulit dan mukosa biru

Tanda bahaya yang sering kita dapatkan pada anak dengan


COVID-19 adalah tidak berespon terhadap rangsang, gelisah dan
sesak atau peningkatan frekuensi napas dan sianosis11. Jadi bila
dikaitkan dengan PAT maka akan didapatkan abnormal pada
penampilan dan upaya napas, dimana dari hasil pemeriksaan
ini dapat disimpulkan anak dalam kondisi GAWAT NAPAS atau
GAGAL NAPAS atau RENJATAN atau GAGAL JANTUNG PARU
(tabel 1).

Tabel 1. Kesimpulan PAT


Komponen Stabil Gangguan Pernapasan: Gangguan Gangguan Kegagalan
Sirkulasi: SSP/ jantung-
Metabolik paru
Gawat Gagal Renjatan
Napas Napas
Penampilan Normal Normal Abnormal Abnormal Abnormal Abnormal
Upaya Napas Normal Abnormal Abnormal Normal/ Normal Abnormal
Abnormal
Sirkulasi Normal Normal Normal/ Abnormal Normal Abnormal
Abnormal

Dari hasil pemeriksaan ketiga komponen PAT tersebut,


kita dapat menyimpulkan apakah anak tersebut dalam kondisi
gawatdarurat atau tidak. Bila kita mendapatkan normal dari
ketiga komponen tersebut maka dimasukkan dalam kategori
HIJAU, bila ada minimal satu komponen yang tidak normal
dan 1 komponen normal maka kita kategorikan KUNING

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 93
dan bila semua komponen abnormal maka masuk dalam
MERAH.
Setelah melakukan PAT tahap selanjutnya saat pasien
masih di kamar terima maka kita melakukan secondary survey
untuk memisahkan pasien yang tersangka COVID-19 dan
bukan. Perawat atau dokter umum yang bekerja di kamar
terima harus menanyakan gejala yang berhubungan dengan
COVID-19, seperti demam, batuk, nyeri telan, sesak napas,
lalu menghitung frekuensi napas dan mengukur saturasi
oksigen, harus ditanyakan juga mengenai penyakit penyerta
yang diderita atau imunodefisiensi.

Gambar 1. Alur pemeriksaan

TATALAKSANA KEGAWATDARURATAN ANAK SESUAI HASIL


PAT PADA ANAK DENGAN COVID 19
Bila kita dapatkan pasien COVID-19 dengan kesimpulan
PAT GAWAT NAPAS atau GAGAL NAPAS atau RENJATAN,
maka segera masukkan pasien ke ruang Isolasi, dengan
pemeriksa dan perawat menggunakan alat pelindung diri
sesuai standar.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


94 Challenges & Opportunities
Tatalaksana pada pasien dengan gawat napas dan renjatan
tersebut menurut WHO adalah segera memberikan suplementasi
oksigen dengan target saturasi perifer (SpO2) > 94%. Oksigen
yang diberikan sesuai dengan kebutuhan penderita. Oksigen
yang digunakan dapat dimulai dengan oksigen nasal, yang
dapat ditingkatkan menjadi masker sederhana hingga aliran
oksigen 5 – 6 liter per menit (lpm) dan masker wajah dengan
kantong reservoir dengan aliran oksigen 10 – 15 lpm apabila
target saturasi tidak tercapai. Lakukan evaluasi upaya napas dan
saturasi oksigen. Tetapi apabila pada penilaian PAT didapatkan
pasien dengan gagal napas dalam hal ini di istilahkan sebagai
pediatric acute respiratory distress syndrome atau pasien dengan
gawat napas setelah menggunakan masker wajah dengan
kantong reservoir dengan aliran oksigen 10 – 15 lpm tetapi
tetap didapatkan peningkatan upaya napas dan target saturasi
tidak tercapai, maka perlu dipikirkan untuk meningkatkan
oksigen, menjadi high flow nasal canulla (HFNC) atau non-
invasive ventilation (NIV) sesuai dengan kebutuhan dan alat
yang tersedia di ruang resusitasi IGD. Penggunaan NIV lebih
dianjurkan oleh karena tekanan jalan napas lebih terjamin dan
resiko kontaminasi aerosol lebih rendah12,13. Sedangkan menurut
rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, tahun 2020,
penggunaan HFNC dan NIV dapat diberikan lebih awal, jika
sudah menemukan pasien dengan sesak dengan peningkatan
frekuensi napas (>+2DD sesuai usia) dengan/tanpa peningkatan
upaya napas atau memerlukan suplementasi oksigen untuk
mempertahankan SpO2> 88% dan oxygenation index (OI) <5 atau
oxygen saturation index (OSI) <514.
Evaluasi frekuensi napas dan upaya napas serta saturasi
pada penggunaan HFNC atau NIV ini harus dilakukan setiap

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 95
60 – 90 menit untuk mengetahui keberhasilan penggunaannya.
Apabila dianggap gagal karena terjadi peningkatan upaya
napas atau terjadi hipoksemia maka pertimbangkan untuk
pemasangan pipa endotrakheal atau apabila kesulitan dan
tersedia dapat dilakukan pemasangan Laryngeal mask (LMA).
Urutan pemilihan jenis suplementasi oksigen tinggi sesuai
algoritma tatalaksana ARDS (gambar 3)12,13.
Hal yang harus diperhatikan saat pemasangan pipa
endotrakeal:12
1. Persiapkan alat dan personil sebelum melakukan intubasi.
2. Intubasi dilakukan oleh yang paling berpengalaman
dalam tim.
3. Menggunakan APD sesuai standar.
4. Gunakan kotak aerosol yang terbuat dari plastik atau
akrilik transparan untuk menghindari aerosol (gambar
4a) atau kalau memiliki dapat menggunakan video
laringoskop.
5. Lakukan preoksigenasi dengan masker dan balon
resusitasi yang telah dipasang filter virus hidrofobik
(gambar 4b).
6. Gunakan pipa endotrakheal yang menggunakan cuffed.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


96 Challenges & Opportunities
Gambar 3. Algoritma tatalaksana ARDS pada anak dengan COVID-1912

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 97
(a) (b)
Gambar 4. a. Pemasangan pipa endotrakheal dengan kotak akrilik, b.
Preoksigenasi dengan filter virus12

RESUSITASI PADA PASIEN DENGAN COVID-19


Resusitasi pada pasien anak dengan COVID-19 dilakukan
bila dari hasil kesimpulan PAT yang dilanjutkan dengan
primary survey (pemeriksaan ABCDE) didapatkan gagal
jantung paru.
Prinsip resusitasi pada pasien anak dengan COVID-19
adalah:15
1. Mengurangi paparan tenaga medis terhadap COVID-19:
Tenaga medis menggunakan APD sesuai standar dan
jumlah tim dibatasi
2. Prioritaskan strategi oksigenasi dan ventilasi dengan risiko
aerosolisasi lebih rendah, dengan segera mengamankan
jalan napas menggunakan pipa endotrakheal atau LMA
dihubungkan dengan filter virus atau heat moisture
exchanger (HME) sebelum menghubungkan ke balon
resusitasi.
3. Pertimbangkan kesesuaian memulai dan melanjutkan
resusitasi dengan mempertimbangkan derajat keparahan
penyakit.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


98 Challenges & Opportunities
Satu yang harus diperhatikan dalam melakukan resusitasi
pada anak adalah High-quality cardiopulmonary resuscitation
merupakan fondasi dari keberhasilan resusitasi, untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Yang disebut sebagai
High-quality cardiopulmonary resuscitation adalah :16
1. Push Hard (dengan kedalaman ≥ 1/3 diameter antero-posterior
dinding dada).
2. Push Fast (kecepatan 100 – 120 kali per menit)
3. Minimize interuption saat melakukan kompresi
4. Hindari eksesif ventilasi

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 99
Gambar 5. Algoritma tatalaksana henti jantung pada anak dengan suspek atau
konfirmasi COVID-19

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


100 Challenges & Opportunities
RINGKASAN
Tatalaksana kegawatdaruratan pada anak dengan
COVID-19 pada dasarnya tidak berbeda dengan pasien biasa.
Tetapi di era pandemi ini urutan tatalaksana yang sedikit
berubah, dimulai dari triase pasien dengan menggunakan PAT
dan langsung secondary survey sebagai penapisan terhadap
pasien COVID-19, dilanjutkan dengan primary survey untuk
mengetahui kebutuhan resusitasi dari pasien. Penggunaan
oksigen disesuaikan dengan kebutuhan pasien, lakukan
evaluasi berkala untuk mengetahui peningkatan kebutuhan
oksigenasi. Gunakan APD sesuai standar baik saat melakukan
pemeriksaan maupun resusitasi, dan pada saat melakukan
resusitasi batasi jumlah petugas serta gunakan sungkup dan
balon resusitasi yang dihubungkan dengan filter dan segera
persiapkan intubasi untuk menghindari kontaminasi aerosol.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 101
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization: Coronavirus Disease


(COVID-19) Pandemic. 2020. Diunduh dari: https://www.
who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019,
tanggal 1 Februari 2021
2. Chong SL, Soo J, Allen JC, Ganapathy S, Lee KP, Tyebally
A, et al. Impact of COVID-19 on pediatric emergencies
and hospitalizations in Singapore. BMC Pediatr  20,  562
(2020). https://doi.org/10.1186/s12887-020-02469-z
3. Wu Z, McGoogan JM. Characteristics of and important
lessons from the coronavirus disease 2019 (COVID-19)
outbreak in China. JAMA. 2020. https://doi.org/10.1001/
jama.2020.2648.
4. Castagnoli R, Votto M, Licari A. Severe acute respiratory
syndrome coronavirus (SARS-CoV-2) infection in
children and adolescents. JAMA Pediatr. 2020.  https://
doi.org/10.1001/jamapediatrics.2020.1467.
5. Kache S, Chisti MJ, Gumbo F, Mupere E, Zhi X, Nallasamy
K, et al. COVID-19 PICU guidelines: for high- and limited-
resource Settings. PediatricResearch (2020)88:705–16
6. Dong Y, Mo X, Hu Y, Qi X, Jiang F, Jiang Z, et al.
Epidemiological characteristics of 2143 pediatric patients
with 2019 coronavirus disease in China. Pediatrics 2020.
https://doi.org/10.1542/peds.2020-0702.
7. C. D. C. COVID-19 Response Team et al. Coronavirus
disease 2019 in children— United States, February 12–
April 2, 2020. MMWR Morb. Mortal. Wkly. Rep. 69, 422–
426 (2020).

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


102 Challenges & Opportunities
8. Rismenberger PC, Kneyber MC, Deep A, BansaL M,
Hoskote A, Javouhey E, et al. Caring for Critically Ill
Children With Suspected or Proven Coronavirus Disease
2019 Infection: Recommendations by the Scientific
Sections’ Collaborative of the European Society of
Pediatric and Neonatal Intensive Care. PCCM journal
2020. DOI: 10.1097/PCC.0000000000002599
9. Dadashzadehh A, Alamdari NG, Ala A, Dehghannejad J,
Jabbarzadeh F, Babaie N. Triage guidelines for emergency
department patients with COVID-19. J Res Clin Med, 2020,
8: 12 doi: 10.34172/jrcm.2020.012
10. Latief A, Pudjiadi A, Prawira Y, penyunting. Advanced
Pediatric Resuscitation course. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 2019.h.16-19.
11. China National Health Commision. Chinese Clinical
Guidance for COVID-19 Pneumonia Diagnosis and
Treatment (7th edition). Diunduh dari http://kjfy.
meetingchina.org/msite/news/show/cn/3337.html,
tanggal 10 Maret 2020.
12. Panduan klinis tatalaksana COVID-19 pada anak. Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Edisi-3. 14 Juni 2020
13. World Health Organisation. WHO Clinical management of
severe acute respiratory infection (SARI) when COVID-19
disease is suspected. World Health Organization
2020.  https://apps.who.int/iris/handle/10665/331446.
License: CC BY-NC-SA 3.0 IGO
14. Tatalaksana covid-19 pada anak, remaja dan neonatus.
Pedoman tatalaksana COVID-19. Edisi 3. Desember 2020

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 103
15. Edelson DP, Sasson C, Chan PS, Atkins DL, Aziz K, Becker
LB, et al. Interim Guidance for Basic and Advanced Life
Support in Adults, Children, and Neonates With Suspected
or Confirmed COVID-19. Circulation. 2020;141:e933–e943.
DOI: 10.1161/CIRCULATIONAHA.120.047463
16. Topjian AA, Raymond TT, Atkins D, Chan M, Duff JP,
Joyner Jr BJ, et al.. Part 4: Pediatric Basic and Advanced
Life Support 2020 American Heart Association Guidelines
for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Pediatrics. 2020; doi: 10.1542/
peds.2020-038505D

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


104 Challenges & Opportunities
DIABETIC KETOACIDOSIS
MANAGEMENT DURING COVID-19
PANDEMIC

Muhammad Faizi, Nur Rochmah, Yuni Hisbiyah

PENDAHULUAN
Peningkatan jumlah penderita COVID-19 di masa
pandemi ini mengakibatkan peningkatan okupansi bed di
unit perawatan intensif di hampir seluruh rumah sakit di
belahan dunia.1 Keterbatasan sarana, sumber daya manusia,
serta penerapan protokol penanganan khusus pada pasien-
pasien COVID-19 menjadi ‘menyulitkan’ penatalaksanaan
pasien-pasien diabetes melitus (DM) tipe-1 yang mengalami
ketoasidosis diabetes (KAD).1
Protokol tatalaksana KAD berat yang merekomendasikan
penggunaan insulin intravena dengan monitoring yang ketat
di ruang intensif (ICU) menjadi sulit diterapkan tanpa harus
mengabaikan risiko penularan COVID-19 antar manusia.1
Penggunaan insulin kerja cepat subkutan untuk kasus-kasus
KAD ringan sampai sedang tanpa komplikasi telah terbukti
dapat digunakan secara aman di ruang perawatan ‘low care’.1–3
Penulisan makalah ini adalah untuk membahas prinsip
tatalaksana KAD yang aman dikaitkan masa pandemi
COVID-19 dalam kaitannya keterbatasan sumberdaya ICU

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 105
dengan mengacu pada konsensus manajemen KAD yang telah
digunakan The International Society for Pediatric and Adolescent
Diabetes (ISPAD) tahun 2018.

KETOASIDOSIS DIABETES
Ketoasidosis diabetes (KAD) adalah kondisi yang
mengancam jiwa, disebabkan penurunan kadar insulin efektif
didalam tubuh, atau berkaitan dengan resistensi insulin, dan
peningkatan produksi hormon-hormon kontra regulator
yakni: glukagon, katekolamin, kortisol dan growth hormone.(1,4
Diagnosis KAD didasarkan atas adanya “trias biokimia”
yakni: hiperglikemia, ketonemia, dan asidosis. Kriteria
diagnosis yang telah disepakati luas adalah sebagai berikut:(1,4)
• Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L
(> 200 mg/dL).
• Asidosis, bila pH darah vena < 7,3 atau kadar bikarbonat
< 15 mmol/L).
• Ketonemia (ß-hidroksibutirat > 3 mmol/L), atau ketonuria
moderat/berat.
Derajat berat-ringannya asidosis diklasifikasikan sebagai
berikut:(1)
• Ringan - sedang: bila pH darah > 7,1 hingga < 7,3 atau
kadar bikarbonat serum > 5 – 15 mmol/L.
• Berat: bila pH darah < 7,1 atau bikarbonat < 5 mmol/L.
• Perbaikan KAD: pH darah > 7,3 atau bikarbonat serum >
15 mmol/L, ß-hidroksibutirat < 1 mmol/L, dan anion gap
mendekati normal (Anion gap = Na − (Cl + HCO3); nilai
normal= 12 + 2 mmol/L).

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


106 Challenges & Opportunities
PATOGENESIS KETOASIDOSIS DIABETES
Adanya defisiensi insulin baik secara relatif maupun
absolut yang disertai peningkatan hormon-hormon kontra
regulator yakni: glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth
hormone, menyebabkan hiperglikemia disertai peningkatan
lipolisis dan produksi keton.4–7 Defisiensi insulin absolut
atau relatif menyebabkan hiperglikemia melalui 3 proses:
peningkatan glukoneogenesis yang terjadi di hati dan ginjal,
peningkatan glikogenolisis, dan gangguan utilisasi glukosa
oleh jaringan perifer..4–7 Adanya hiperglikemia menyebabkan
diuresis osmotik, hal ini akan menyebabkan dehidrasi dan
kehilangan mineral dan elektrolit (Na, K, Ca, Mg, Cl, dan
PO4).5 Nilai ambang ginjal terhadap kadar glukosa darah
(+ 200 mg/dL) dan keton akan terlampaui, sehingga terjadi
ekskresi glukosa melalui ginjal yang mencapai 200 g/hari
dan keton urine yang mencapai + 20 – 30 g/hari, dengan
total osmolaritas urine + 2000 mOsm.5,7 Efek osmotik dari
glukosuria menyebabkan terganggunya reabsorbsi NaCl dan
H2O tubulus proksimal dan loop of Henle.4,5,7
Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan hormon
kontra regulator menyebabkan aktifasi “hormone-sensitive
lipase” pada jaringan lemak.7 Peningkatan aktifitas lipase
pada jaringan lemak ini menyebabkan pemecahan trigliserida
menjadi gliserol dan asam lemak bebas.5,7 Gliserol merupakan
prekursor glukoneogenesis di jaringan hati, sedangkan asam
lemak bebas setelah mengalami oksidasi di hati dengan
melalui stimulasi glukagon akan diubah menjadi keton
yang terdiri atas: asetoasetat, ß-hidroksibutirat dan aseton.
ß-hidroksibutirat dan asetoasetat merupakan merupakan
asam kuat yang dapat menyebabkan asidosis metabolik.5,7

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 107
Secara lebih utuh patogenesis terjadinya KAD terlihat pada
gambar 1.

Gambar 1: Konsekwensi metabolic defisiensi insulin yang menyebabkan


ketoasidosis.7

Keton disintesis di hati dengan bahan baku asam lemak


bebas; penumpukan keton bisa diakibatkan oleh adanya
peningkatan lipolisis, ketogenesis, dan penurunan utilisasi
keton akibat kadar insulin di dalam darah yang rendah.(,6–8
Produksi keton secara singkat seperti dalam gambar 2.7
Terdapat 3 bentuk keton di dalam darah: ß-hidroksibutirat,
asetoasetat, dan aseton. Aseton memberikan bau napas khas
“keton” pada penderita KAD, namun tidak berkontribusi pada
asidosisnya; sedangkan ß-hidroksibutirat dan asetoasetat
bersifat asam.5–7 Pada keadaan normal rasio ß-hidroksibutirat:
asetoasetat adalah 1:1, yang akan meningkat menjadi 10:1 atau
lebih pada keadaan KAD; jadi ß-hidroksibutirat merupakan
komponen utama penyebab asidosis pada KAD.5–8 Pada KAD
yang membaik ß-hidroksibutirat akan dioksidasi menjadi
asetoasetat dan diekskresi melalui urine.5–7

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


108 Challenges & Opportunities
Gambar 2: (a) Peningkatan lipolysis menghasilkan acetylCoA yang berasal dari
asam lemak, sebagai bahan dasar sintesis badan keton di hati (asotoasetat,
ß-hidroksibutirat, dan aseton). Tidak adanya insulin menurunkan utilisasi
glukosa dan menurunkan produksi oksaloasetat. (b) Jumlah oksaloasetat yang
tersedia untuk kondensasi acetylCoA menurun; sehingga (c) acetylCoA yang
seharusnya bekondensasi dengan oksaloasetat dalam siklus TCA (tricarboxylic
acid) berpindah (d) mengalami kondensasi membentuk asetoasetat yang
kemudian mengalami reduksi menjadi ß-hidroksibutirat.7

Insulin sendiri pada kadar yang rendah lebih merupakan


anti-lipolisis daripada untuk uptake glukosa. Keberadaan
insulin inilah yang merupakan salah satu faktor penentu
terjadinya KAD atau status hiperglikemi hiperosmolar (SHH)
pada penderita DM.5,7,8

PRINSIP TATALAKSANA KAD


Semua kasus KAD sebaiknya dikelola di rumah sakit,
di ruang perawatan intensif untuk dapat melakukan
monitoring klinik dan laboratorium yang sangat penting

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 109
untuk dapat memberikan penanganan yang optimal. ISPAD
merekomendasikan unit perawatan dengan persyaratan:1,3,4,9
a. Mempunyai staf perawatan yang terlatih dalam
tatalaksana dan monitoring KAD pada anak dan remaja.
b. Mempunyai protokol tertulis, dan jika memungkinkan
terdapat akses internet pada sumber rujukan KAD pada
anak.
c. Mempunyai akses laboratorium yang siap setiap waktu
diperlukan.
Ketiga persyaratan di atas idealnya dilakukan dalam ‘setting’
unit perawatan intensif (UPI), hanya kasus KAD ringan
hingga sedang dan tanpa komplikasi yang diperkenankan
dilakukan perawatan di unit ‘low care’.1,3,4,9,10
Pandemi COVID-19 telah menciptakan kebutuhan yang
belum pernah terjadi sebelumnya untuk layanan UPI. Oleh
karena itu penting sekali melakukan manajemen okupansi
peruntukan UPI bagi mereka yang benar-benar membutuhkan,
dengan mempertimbangkan risiko penularan infeksi.1
Perawatan pasien KAD di bangsal non-UPI di harapkan
dapat menurunkan risiko paparan mereka terhadap infeksi
COVID-19 di UPI.1
Tatalaksana KAD secara prinsip bertujuan untuk:1,4,5,10,11
1. Memperbaiki dehidrasi, 2. Melakukan koreksi asidosis dan
mencegah ketosis, dan mengembalikan kadar glukosa darah
senormal mungkin, 3. Mengoreksi gangguan elektrolit, 4.
Mencegah komplikasi KAD serta akibat terapi, 5. Mengenali
dan menghilangkan faktor pencetus. Secara garis besar
sebagaimana algoritma pada gambar 3.4

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


110 Challenges & Opportunities
4.1 Terapi cairan
Terapi cairan ditujukan untuk memperbaiki
status hidrasi, menggunakan cairan 0,9% salin atau
cairan isotonik lainnya yang diperuntukkan untuk
mengembalikan perfusi jaringan yang adequat dan
hemodinamik yang stabil.(4,5,10,11) Dalam keadaan syok
dapat diberikan bolus 10-20 mL/kg berat badan bila
diperlukan.4,10,11 Pada keadaan perfusi dan hemodinamik
yang cukup baik, tidak diperlukan pemberian cairan
bolus. Adanya diuresis osmotik, sering menyulitkan
perkiraan derajat dehidrasi; pengalaman empirik
paling sesuai menggunakan derajat dehidrasi sedang
(+7-9% berat badan).4,5,10,11 Penggantian cairan defisit dan
rumatan dapat diberikan dalam 36-48 jam.4,5 Dengan
rehidrasi ini, dalam beberapa jam kadar glukosa darah
akan menurun mendekati nilai ambang resorbsi renal,
sehingga perhitungan penggantian cairan “ongoing losses”
akibat diuresis osmotik tidak diperlukan.4,5,10,11
4.2 Terapi insulin dan dekstrosa
Terapi insulin pada KAD diutamakan untuk me-
ngatasi asidosis disamping juga untuk hiperglikeminya,
melalui penghambatan ketogenesis, glukoneogenesis,
dan glikogenolisis; serta untuk meningkatkan uptake dan
metabolisme glukosa di perifer.4,5,10 Standar terapi insulin
pada KAD adalah intravena (IV), dan penggunaan insulin
IV memerlukan monitoring ketat menjadi alasan utama
pasien KAD untuk masuk UPI. Kadar glukosa sering
mencapai normal lebih awal sebelum ketosis dan asidosis
teratasi. Bila kadar glukosa menurun mencapai 250-
300 mg/dL, larutan dektrosa sudah harus ditambahkan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 111
untuk menghindari hipoglikemia sementara infus insulin
harus tetap dipertahankan untuk menghambat ketosis
dan asidosis.1,4,5,10 Kecepatan penurunan kadar glukosa
darah sebaiknya 75-100 mg/dL dan kadar glukosa darah
dipertahankan antara 150-250 mg/dL untuk menghindari
hypoglikemia dan diuresis osmotik.1,4,5
Pemberian insulin subkutan (SK) merupakan metode
alternatif yang aman dan efektif dalam pengelolaan
KAD ringan hingga sedang tanpa komplikasi sehingga
mengurangi okupansi UPI.1,3,10,12–14 Di samping itu
perawatan KAD di bangsal non-UPI akan mempersingkat
lama rawat inap.(1) Beberapa bukti penggunaan insulin
subkutan dalam manajemen KAD ringan-sedang tanpa
komplikasi terangkum pada tabel 1.1,12–14 Namun untuk
bayi dan anak usia < 2 tahun, penggunaan insulin SK
tidak direkomendasikan, karena terbatasnya bukti.1–3,10

Insulin analog kerja cepat (lispro atau aspart) subkutan:


Dosis awal yang disarankan adalah 0,15 U/kg, 1 jam
setelah dimulainya terapi cairan. Dosis SK selanjutnya
harus diberikan setiap 2 jam sampai resolusi KAD. Dosis
insulin analog SK dapat dikurangi menjadi 0,1 U/kg
setiap 2 jam, jika kadar glukosa darah terus berkurang
sebesar >5 mmol/L (90 mg/dL) per jam bahkan setelah
menambahkan 5% dextrose ke cairan IV.1,12–14
Kadar glukosa darah harus dipantau setiap 1
hingga 2 jam yang bertujuan untuk mencapai kadar
mendekati 11 mmol/L (200 mg/dL) hingga perbaikan
KAD. Terapi insulin SK mungkin tidak tepat pada pasien
yang mengalami dehidrasi berat (dibuktikan dengan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


112 Challenges & Opportunities
kurangnya output urin, ekstremitas kering dan dingin,
tekanan darah rendah atau tidak terdeteksi, denyut nadi
yang lemah, potensial gagal ginjal, letargia, penurunan
kesadaran, atau koma). Insulin SK mungkin juga tidak
tepat pada keadaan penurunan perfusi jaringan (waktu isi
ulang kapiler >3 detik) menetap setelah resusitasi cairan
atau pada pasien dengan kondisi komorbid serius.1,4,14

Insulin kerja pendek (insulin reguler) subkutan:


Pemberian insulin reguler setiap 4 jam juga alternatif yang
aman dan efektif digunakan pada anak KAD dengan pH
≥ 7,1. Dosis awal yang disarankan adalah 0,13-0,17 U/kg/
dosis setiap 4 jam (0,8-1 U/kg/hari yang diberikan dalam
dosis terbagi); dapat dinaikkan atau diturunkan bertahap
sebesar 10%-20% berdasarkan kadar glukosa darah
sebelum injeksi insulin. Frekuensi dosis dapat ditingkatkan
menjadi setiap 2 atau 3 jam jika asidosis tidak membaik.1,4,13

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 113
Gambar 3: Algoritma tatalaksana ketoasidosis diabetes.4

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


114 Challenges & Opportunities
Tabel 1: Rangkuman bukti studi tersamar ganda penggunaan
insulin intravenous vs subkutan pada kasus KAD ringan-
sedang anak dan dewasa.1,14
Karakteristik
kelompok
Derajat
Referensi Pembanding/dosis pembanding Kekurangan Keunggulan
KAD (pH)
(n, rata-rata
usia ± SD)
Razavi dkk SK aspart: 0.15 U/kg n = 25, 8.6 ± > 7.1 - Masa tinggal
q2h 0.8 tahun lebih singkat
untuk DKA
sedang (3,4
vs 4,4 hari)
Della dkk SK lispro: 0.15 U/kg n = 30, median 7.17 ± 0.10 Kontrol -
q2h, lalu q4h 11.3 tahun, glukosa
kisaran 3-17 sub-optimal
tahun dengan
insulin SK
q4h
Karoli dkk SK lispro: SK bolus 0.3 n = 25, 35 ± 11 7.16 ± 0.11 - -
U/kg, lalu 0.2 U/kg 1 tahun
jam kemudian dan 0.2
U/kg q2h berikutnya.
Dikurangi menjadi
0.1 U/kg q2h jika BG
<13.8 mmol/L
Ersoz dkk SK lispro: bolus n = 10, 38.7 ± 7.15 ± 0.11 - -
insulin reguler IV 0.15 19.7 tahun
U/kg, kemudian SK
lispro 0.075 IU/kg q1h
Umpierrez SK lispro: SK Bolus 0.3 n = 20, 37 ± 12 7.17 ± 0.10 - Biaya rumah
dkk U/kg diikuti oleh 0.1 tahun sakit lebih
U/kg q1h hingga BG murah pada
<13.8 mmol/L, lalu kelompok
0.05 hingga 0.1 U/ SK non-ICU
kg q1h
Umpierrez SK aspart-1 n = 15 di 7.12 ± 0.12 - -
dkk Bolus SK: 0.3 U/kg setiap
Kemudian 0.1 U/kg kelompok
q1h SK aspart-1: 36
Kemudian 0.05 U/kg ± 8 tahun
q1h pada BG <13.8 SK aspart-2: 38
mmol/L ± 12 tahun
SK aspart-2:
Bolus SK: 0.3 U/kg
Kemudian 0.2 U/kg
1 jam kemudian dan
q2h
Kemudian 0.1 U/kg
q1h pada BG <13.8
mmol/L

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 115
4.3 Mengoreksi gangguan elektrolit
Pemberian insulin dan perbaikan asidosis menye-
babkan pergerakan Kalium (K) dari ekstrasel ke intrasel
sehingga kadar Kalium akan menurun drastis, maka perlu
penambahan Kalium intravena dengan konsentrasi 30-40
mEq/L. Namun harus dipastikan tidak adanya gangguan
fungsi renal sebelum pemberian Kalium.4,5,7,11
Koreksi Natrium (Na) dilakukan secara individual
tergantung pengukuran serum elektrolit. Kadar Na
yang terukur adalah lebih rendah, akibat efek dilusi
hiperglikemia yang terjadi; sebenarnya terdapat
peningkatan kadar Na sebesar 1,6 mmol/L setiap
peningkatan kadar glukosa sebesar 100 mg/dL di atas
100 mg/dL. Harus ditentukan corrected Na yang dapat
dihitung dengan formula:4,5,11

Bila corrected Na > 150 mmol/L (hipernatremia),


rehidrasi dilakukan dalam > 48 jam. Bila corrected Na <
125 mmol/L atau cenderung menurun lakukan koreksi
dg NaCl dan evaluasi kecepatan hidrasi.4,5,11 Kondisi
hiponatremia merupakan indikasi overhidrasi dan
meningkatkan resiko edema serebri.4,5,11,15
Penggantian bikarbonat: Bikarbonat sebaiknya tidak
dipergunakan secara rutin sebagai koreksi asidosis pada
anak-anak dengan KAD.4,5,11,15,16 Asidosis yang berat
pada KAD akan membaik dengan pemberian cairan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


116 Challenges & Opportunities
dan insulin. Di samping itu terapi hipovolemi akan
memperbaiki perfusi jaringan dan fungsi ginjal, sehingga
meningkatkan ekskresi asam organik dan mengurangi
asidosis laktat.4,5,11,15,16 Pemberian bikarbonat juga
meningkatkan kemungkinan hipokalemia selama terapi
KAD, secara teori dapat meningkatkan hipoksia jaringan
akibat bergesernya kurva dissosiasi oksigen-hemoglobin
ke kiri, asidosis serebral, dan excessive osmolar load.4,5,16
4.4 Mencegah komplikasi
Sebelum era penggunaan insulin dosis rendah seperti
saat ini dua komplikasi yang paling sering dijumpai
selama terapi adalah hipoglikemia dan hipokalemia
dengan angka kejadian hingga + 25%.5 Dengan
penggunaan insulin dosis rendah (seperti era sekarang
ini) hipoglikemia dapat dihindari dengan monitoring
dan evaluasi yang lebih ketat, serta penggantian cairan
rehidrasi dengan dekstrosa 5% dalam ½ salin bila kadar
glukosa darah < 250 mg/dL.4,5,11 Demikian juga hipokalemia
dapat dicegah dengan monitoring ketat dan penambahan
kalium pada cairan rehidrasinya.4
Komplikasi terberat yang harus diwaspadai selama
terapi KAD adalah edema serebri dengan kejadian 0,7-1%
dan mortalitas sekitar 57-87%.4,15 Pada penelitian di RSUD
Dr. Soetomo, kami dapatkan 2 (3.4%) dari 58 penderita
KAD yang mengalami edema serebri.17 Hingga saat ini
patogenesis terjadinya edema serebri ini masih belum
jelas, diduga kuat terutama melibatkan proses vasogenik
dan sebagai akibat aktivasi ion tranporter di blood-brain
barrier; adanya hipoperfusi serebri, efek langsung ketosis
atau sitokin inflamasi pada fungsi endotel blood brain

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 117
barrier diduga sebagai pemicu proses tersebut.4,5,15 Cara
yang paling efektif mengurangi risiko edema serebri
selama terapi KAD adalah: menghindari hidrasi yang
berlebihan serta fluktuasi kadar glukosa darah yang
ekstrim, menjaga keseimbangan elektrolit, melakukan
monitoring ketat, dan mengenali tanda-tanda dini edema
serebri.4,5,15
Komplikasi lain yang dapat terjadi selama terapi
adalah asidosis metabolik hiperkloremia. Hiperkloremia
ini terjadi akibat pemberian NaCl 0,9% yang mengandung
sekitar 154 mmol/L Natrium dan Klorida, sehingga terjadi
kelebihan 54 mmol/L dari 100 mmol/L Klorida di dalam
serum. Asidosis ini tidak berbahaya pada kondisi klinik
penderita dan akan terkoreksi dalam 24-48 jam melalui
ekskresi ginjal.4,5,16
4.5 Mengenali dan menghilangkan faktor pencetus
Dua faktor yang paling berperan pada timbulnya KAD
adalah terapi insulin yang tidak adekuwat dan infeksi.4,5,8
Pengalaman di RSUD Dr. Soetomo mendapatkan sekitar
25% faktor pencetusnya diakibatkan terapi insulin yang
tidak adekwat, sedangkan 75% sisanya adalah akibat
infeksi.17 Dari pengalaman di negara maju keduanya dapat
diatasi dengan memberikan hotline/akses yang mudah bagi
penderita untuk mencapai fasilitas kesehatan, komunikasi
yang efektif antara petugas kesehatan dengan penderita
dan keluarganya di saat sakit, serta edukasi.1,3,18
Langkah-langkah pencegahan efektif yang dapat
dilakukan pada penderita DM tipe-1 agar tidak terjadi
KAD adalah deteksi awal adanya dekompensasi metabolik

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


118 Challenges & Opportunities
dan penatalaksanaan yang tepat.10,18 Hal praktis yang
dapat dilakukan adalah:3,4,9,11,18
1. Menjamin agar jangan sampai terjadi defisiensi
insulin (tidak menghentikan pemberian insulin,
manajemen insulin yang tepat disaat sakit).
2. Menghindari stress.
3. Menghindari puasa yang berkepanjangan.
4. Mencegah dehidrasi.
5. Mengobati infeksi secara adekuwat.
6. Melakukan pemantauan kadar gula darah/keton
secara mandiri.
Secara praktis, ISPAD (International Society for Pediatric
and Adolescent Diabetes) telah memberikan guideline
penatalaksanaan KAD untuk fasilitas terbatas, dan dapat
dijadikan rujukan selama masa pandemic COVID-19
sebagaimana yang terangkum dalam algoritma gambar
4.1

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 119
Gambar 4: Algoritma penatalaksanaan KAD pada fasilitas terbatas.1

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


120 Challenges & Opportunities
POIN PENTING TATALAKSANA KAD.1,4,10–14
Infus insulin IV adalah standar tatalaksana KAD.
• Pemberian insulin analog atau regular SK dapat
dipertimbangkan sebagai alternatif yang aman pada
KAD ringan – sedang di bangsal non-UPI.
• Terapi cairan dan elektrolit, serta pemantauan disesuaikan
menurut respon klinis, dan dapat mengacu pada pedoman
yang sudah ada (ISPAD 2018).
• Untuk insulin ANALOG kerja cepat SK (lispro atau
aspart), dosis awal yang disarankan adalah 0,15 U/
kg, diberikan 1 jam setelah dimulainya penggantian
cairan IV, dan kemudian diberikan setiap 2 jam hingga
perbaikan KAD. Setelah kadar glukosa darah mencapai
14-17 mmol/L (250-300 mg/dL), harus ditambahkan cairan
dekstrosa 5%. Dosis insulin ANALOG SK dapat dikurangi
menjadi 0,1 U/kg setiap 2 jam, jika kadar glukosa darah
terus berkurang >5 mmol/L (90 mg/dL) per jam.
• Untuk insulin REGULAR SK, dosis awal yang disarankan
adalah 0,13 hingga 0,17 U/kg/dosis setiap 4 jam, dapat
dinaikkan atau diturunkan secara bertahap 10% hingga
20% berdasarkan kadar glukosa darah sebelum injeksi
insulin. Frekuensi dosis dapat ditingkatkan menjadi
setiap 2 jam jika asidosis tidak membaik.
• Kadar glukosa darah harus dipantau setiap 1 hingga
2 jam, dengan tujuan mempertahankan kadar glukosa
darah 11 mmol/ L (200 mg/dL) sampai KAD teratasi.
• Terapi insulin SK tidak dianjurkan pada usia anak dengan
dehidrasi berat, perfusi jaringan buruk (waktu isi ulang
kapiler >3 detik) yang menetap setelah resusitasi cairan,
pada pasien usia < 2 tahun, atau pada mereka dengan
kondisi komorbid serius dengan indikasi perawatan UPI.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 121
DAFTAR PUSTAKA

1. Priyambada L, Wolfsdorf JI, Brink SJ, Fritsch M, Codner


E, Donaghue KC, et al. ISPAD Clinical Practice Consensus
Guideline: Diabetic ketoacidosis in the time of COVID-19
and resource-limited settings-role of subcutaneous
insulin. Pediatr Diabetes. 2020;21(8):1394–402.
2. Danne T, Phillip M, Buckingham BA, Jarosz-Chobot
P, Saboo B, Urakami T, et al. ISPAD Clinical Practice
Consensus Guidelines 2018: Insulin treatment in
children and adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes.
2018;19(July):115–35.
3. Codner E, Acerini C, Craig ME, Hofer S, Maahs DM. ISPAD
Clinical Practice Consensus Guidelines 2018: Introduction
to the Limited Care guidance appendix. Pediatr Diabetes.
2018;19(October):326–7.
4. Wolfsdorf JI, Glaser N, Agus M, Fritsch M, Hanas R,
Rewers A, et al. ISPAD Clinical Practice Consensus
Guidelines 2018: Diabetic ketoacidosis and the
hyperglycemic hyperosmolar state. Pediatr Diabetes.
2018;19(October):155–77.
5. Maletkovic J, Drexler A. Diabetic Ketoacidosis and
Hyperglycemic Hyperosmolar State. Endocrinol Metab
Clin North Am [Internet]. 2013;42(4):677–95. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ecl.2013.07.001
6. Sheikh-Ali M, Karon BS, Basu A, Kudva YC, Muller LA, Xu
J, et al. Can serum β-hydroxybutyrate be used to diagnose
diabetic ketoacidosis? Diabetes Care. 2008;31(4):643–7.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


122 Challenges & Opportunities
7. Piva JP, Czepielewski M, Garcia PCR, Machado D.
Current perspectives for treating children with diabetic
ketoacidosis. J Pediatr (Rio J). 2007;0(0):119–27.
8. Hanas R. Type 1 Diabetes in Children, Adolescents and
Adults [Internet]. Second Edi. Hanas R, editor. Class
Publishing. London: Class Publishing; 2004. 25–30 p.
Available from: www.class.co.uk
9. Codner E, Acerini CL, Craig ME, Hofer SE, Maahs DM.
ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2018:
Limited Care Guidance Appendix. Pediatr Diabetes.
2018;19(October):328–38.
10. Hanas R, Kim CD, Klingensmith G, Swift PGF, Colagiuri
S, Brink SJ, et al. Diabetes in Childhood and Adolescence
in Under-Resourced Countries. 2013;1–56.
11. Australian Pediatric Endocrine Group-Australian
Diabetes Society, Craig ME, Twigg SM, Donaghue KC,
Cheung NW, Cameron FJ, et al. National evidence-based
clinical care guidelines for type 1 diabetes in children,
adolescents and adults. Diabetes [Internet]. 2011;1–276.
Available from: www.apeg.org.au
12. Ljunghag LA. Subcutaneous Insulin in the Treatment
of Diabetic Ketoacidosis in the Pediatric Population
Subcutaneous Insulin in the Treatment of Diabetic
Ketoacidosis in the. 2016;
13. Cohen M, Leibovitz N, Shilo S, Zuckerman-Levin N,
Shavit I, Shehadeh N. Subcutaneous regular insulin for
the treatment of diabetic ketoacidosis in children. Pediatr
Diabetes. 2017;18(4):290–6.
14. Razavi Z, Maher S, Fredmal J. Comparison of subcutaneous
insulin aspart and intravenous regular insulin for the

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 123
treatment of mild and moderate diabetic ketoacidosis in
pediatric patients. Endocrine [Internet]. 2018;61(2):267–
74. Available from: http://dx.doi.org/10.1007/s12020-018-
1635-z
15. Muir A, Quisling R, Yang M, Rosenbloom A. Cerebral
Edema in Childhood Diabetic. Diabetes Care.
2004;27(7):1541–6.
16. Chua H, Schneider A, Bellomo R. Bicarbonate in diabetic
ketoacidosis - a systematic review. Ann Intensive Care.
2011;1(1):23.
17. Nazara A, Kusumawati Y, Rochmah N, Faizi M. Clinical
profiles of children with diabetic ketoacidosis in Dr.
Soetomo Hospital during 2002-2013. In: Poster PIT Ilmu
Kesehatan Anak VI. Surakarta; 2013.
18. Laffel LM, Limbert C, Phelan H, Virmani A, Wood J, Hofer
SE. ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2018:
Sick day management in children and adolescents with
diabetes. Pediatr Diabetes. 2018;19(October):193–204.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


124 Challenges & Opportunities
MULTISYTEM INFLAMMATORY
SYNDROME IN CHILDREN (MIS-C)

Dominicus Husada

PENDAHULUAN
Dunia dilanda pandemi virus SARS-CoV-2 sejak akhir
tahun 2019 yang dimulai dari Wuhan, China.1,2 Beruntung
per Maret 2021 telah tersedia beberapa vaksin berkekuatan
bagus untuk membantu mengatasi pandemi ini. Beberapa
obat digunakan dalam perawatan penderita namun memang
belum ditemukan anti virus yang sangat kuat.3,4 Jumlah
penderita anak di seluruh dunia relatif sangat sedikit
dibandingkan dewasa dan kedua kelompok umur tersebut
mempunyai beberapa perbedaan yang bermakna.1,2,4,5,6 Salah
satu perbedaan menyangkut manifestasi klinis. Pada anak,
manifestasi penyakit yang oleh World Health Organization
(WHO) disebut sebagai COVID-19 (Coronavirus Infectious
Diseases 2019) dikatakan lebih beragam dari pada dewasa
dan tidak mempunyai pola dominan.1,5-9 Dominasi gejala
dan tanda saluran pernafasan, misalnya, tidak sejelas pada
kelompok dewasa.1,6,8 Pada anak juga didapatkan spektrum
klinik khusus yang menyerupai penyakit Kawasaki (Kawasaki
Disease=KD) dan Toxic Shock Syndrome (TSS).7,10-12 Spektrum

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 125
yang unik ini dilaporkan dari sangat banyak literatur dari
seluruh dunia.13
Sebenarnya penyakit yang terjadi setelah infeksi SARS-
CoV-2 terdiri dari beberapa jenis yang seluruhnya merupakan
manifestasi imunologis dan inflamasi. Kondisi ini mencakup
penyakit Kawasaki-like, Kawasaki disease shock syndrome, toxic
shock syndrome, miokarditis, dan sindroma aktivasi makrofag
(Macrophage activation syndrome = MAS). Seluruh spektrum ini
kemudian dikelompokkan menjadi satu dan disebut sebagai
Multisystem Inflammatory Syndrome in Children (MIS-C) atau
Pediatric Inflammatory Multisystem Syndrome (PIMS).11,14-18
Sebagian klinisi juga menyebut MIS-C sebenarnya terdiri
dari 3 kelompok besar yaitu kelompok yang ditandai dengan
shock, kelompok Kawasaki Disease, dan kelompok demam
dengan inflamasi.10,19
Hingga akhir Juni 2020 saja ditemukan lebih dari 1400
publikasi menyangkut MIS-C di beberapa sumber data
dunia, termasuk preprint. Jumlah yang besar menunjukkan
kasus terjadi di beberapa tempat di dunia dan memancing
kepedulian banyak klinisi.9

NAMA PENYAKIT
Saat ini dikenal berbagai nama untuk menyebut penyakit
ini. Royal College of Paediatric and Child Health (RCPCH)
di Inggris menamakannya Pediatric Multisystem Inflammatory
Syndrome Temporarily Associated with COVID-19.20 Centre for
Disease Control and Prevention (CDC) dan American College
of Rheumatology (ACR) di Amerika Serikat (AS) menyebut
Multisystem Inflammatory Syndrome in Children Associated with
COVID-19 (MIS-C).21,22 European CDC (ECDC) memberi

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


126 Challenges & Opportunities
nama Pediatric Inflammatory Multisystem Syndrome-Temporally
Associated with SARS-CoV-2 (PIMS-TS).18 Beberapa nama
tersebut ditujukan untuk spektrum klinik yang sama. WHO
mempublikasi istilah Multisystem Inflammatory Disorder in
Children and Adolescents pada tanggal 15 Mei 2020.23
Mengingat spektrum penyakit tidak satu dan relatif
kompleks, penggunaan nama yang tepat sangat penting
supaya tidak terjadi perbedaan penafsiran.24 Pada tulisan ini,
untuk keseragaman, nama yang digunakan adalah MIS-C.

LAPORAN AWAL
Laporan pertama MIS-C berasal dari Inggris (25 April
2020) ketika National Health Service (NHS) memperingatkan
jajarannya terhadap kasus kritis dengan gambaran TSS,
atipikal Kawasaki, dan infeksi COVID-19 yang berat.25-27
Secara resmi RCPCH mengeluarkan pedoman pada tanggal
1 Mei 2020 yang khusus membahas penyakit ini.20 Publikasi
dari Inggris dilanjutkan dengan penerbitan di jurnal Lancet
pada tanggal 6 Mei 2020 (Riphagen dkk) yang membahas 8
kasus anak.15
Dari Bergamo, salah satu episentrum COVID-19 di Italia
Utara, muncul publikasi pada waktu yang sama tentang
10 kasus yang mirip KD dan atau TSS.11 Delapan anak di
antaranya mempunyai hasil pemeriksaan imunoglobulin
SARS-CoV-2 yang positif. Selama 2 bulan pengamatan sejak
Februari 2020, angka penyakit yang serupa dengan KD di
kawasan tersebut lebih tinggi 30 kali lipat jika dibandingkan
dengan periode yang sama di masa sebelumnya. Penderita
pada tahun 2020 juga relatif lebih tua dan lebih banyak yang
mengalami syok.11

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 127
Dari Perancis, publikasi yang dibuat ECDC terbit pada
tanggal 12 Mei 2020.18 Laporan ini menyebut 125 kasus pada
anak. Publikasi dari Paris menyebutkan 17 kasus pada laporan
awal.16
Laporan CDC di Amerika Serikat pada tanggal 14 Mei
2020 menyebutkan deteksi pertama terjadi pada tanggal 7
April 2020 pada seorang bayi berusia 6 bulan. Selama sebulan
pengawasan dijumpai 3 kematian. Pada periode 17 April
hingga 4 Mei 2020 terdeteksi 15 kasus dengan 4 kasus masih
menunjukkan hasil PCR yang positif. Enam dari 10 kasus
dengan PCR negatif mempunyai antibodi SARS-CoV-2. Pada
tanggal 10 Mei 2020 jumlah kasus sudah mencapai 85 dengan
3 kematian. Pada tanggal 12 Mei 2020 dilaporkan total 102
kasus. Usia 5-9 tahun mencapai 29% sedangkan 10-14 tahun
sebesar 28%.21
Laporan European CDC (ECDC) pada tanggal 15 Mei
2020 menyebut 224 kasus di seluruh Eropa dan Inggris Raya
dengan 2 kematian (1 di Inggris dan 1 di Perancis).18 Hingga
tanggal itu belum ada kasus di beberapa negara lain seperti
Jepang, Yunani, dan Swedia.
Hingga akhir Juni diperkirakan sudah terlaporkan 1000
kasus MIS-C di berbagai negara. Berbagai laporan tersebut
menggunakan definisi kasus yang bervariasi.28 Systematic
review Februari 2021 menggunakan 918 publikasi pada tahap
awal. Review ini akhirnya memasukkan 68 publikasi dengan
953 pasien.7

EPIDEMIOLOGI
Berbagai laporan kasus telah dipublikasi dari banyak
negara.4,7,9,13,29 Seluruh Eropa Barat boleh dibilang telah

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


128 Challenges & Opportunities
mengidentifikasi kasus ini. Di Amerika Serikat, laporan
datang dari berbagai negara bagian di seluruh negeri dengan
episentrum utama di New York. Banyak publikasi juga muncul
dari Timur Tengah. Uniknya, laporan dari Australia, Selandia
Baru, dan Asia Timur relatif terbatas.13 Mayoritas penderita
kasus MIS-C, berbeda dengan pada Kawasaki, lebih banyak
berasal dari latar belakang Afrika, Afrika-Amerika, maupun
Afro-Karibia.10,27,30-34 Di AS, kelompok Hispanik menjadi yang
terbanyak terkena.31,32,35 Perbedaan ras bisa disebabkan oleh
faktor genetik maupun sosial seperti kondisi ekonomi serta
derajat paparan.22,33
Dalam systematic review yang ditulis Abrams, dkk, sejak
akhir April hingga akhir Juni 2020 sedikitnya ada 440 kasus
yang dilaporkan dalam 8 publikasi. Dua publikasi berasal
dari AS dan 6 sisanya dari Eropa.10,11,15-17,27,31-33 Hanya laporan
di atas 5 kasus yang dimasukkan dalam penelitian ini.27
Usia penderita KD relatif lebih muda dibandingkan MIS-C.
Jika KD lebih banyak menyerang anak berusia kurang
dari 2 tahun maka rerata usia penderita MIS-C adalah 10
tahun.10,11,17,27,33,34,36-39
Cheung memperkirakan insiden MIS-C 2 per 100 ribu
individu di bawah 21 tahun.37 Dari Queens, New York,
publikasi oleh Capone dkk menyebutkan 33 anak dari
satu rumah sakit saja.40 Pada kohort AS yang lebih besar
dengan 186 anak, tidak satupun yang berusia di bawah 1
tahun yang menunjukkan hasil IgG yang positif.31 Publikasi
MMWR mengumpulkan data dari seluruh wilayah Amerika
Serikat hingga tanggal 29 Juli 2020 dan mendapatkan 570
kasus dengan median usia 8 tahun, dominasi laki-laki, dari
kelompok Hispanik atau Latino.41

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 129
Data hingga akhir Mei 2020 di Perancis mendapatkan 156
kasus MIS-C. Seluruh kasus dapat dikelompokkan menjadi 4
bagian yaitu kasus confirmed SARS-CoV-2 (79), probable (16),
possible (13), dan not related/inconclusive (48). Serologi positif
didapatkan pada 42/156 kasus, dengan median usia 8 tahun.
Hasil PCR positif ada pada 28 kasus.42
Di Spanyol, laporan dari 47 PICU mendapatkan 74
kasus MISC hingga Juni 2020.43 Laporan dari Amerika Latin
mendapati 409 anak dengan median usia 3 tahun. Sekitar 12%
dari pasien ini memerlukan perawatan intensif. Keadaan di
Amerika Latin mungkin memang lebih buruk dari pada di
Eropa dan AS.29 Dari Indonesia sempat terpublikasi laporan
kasus penderita infeksi ganda MISC dengan dengue yang
berat dan berakhir dengan kematian.44

PATOGENESIS MISC
Sama dengan pada KD, patogenesis MISC belum
sepenuhnya diketahui.4,9,45,46 Yang jelas, penderita sebelumnya
telah terinfeksi SARS-CoV-2 dan hal ini dibuktikan
dengan pemeriksaan imunoglobulin yang sebagian besar
positif.4,10,11,16,27,30,32,40,47,48 Sekalipun demikian tidak satupun
dari mereka yang pernah mengalami gejala dan tanda yang
berat sebelum episode sakit tersebut. Hal itu mengindikasikan
infeksi SARS-CoV-2 sebelumnya berlangsung asimtomatik
atau dengan gejala yang ringan sehingga tidak terlalu disadari
oleh penderita maupun orang tua. Hasil pemeriksaan PCR
pada seluruh penderita MIS-C lebih banyak negatif, sekalipun
ada pula publikasi yang melaporkan angka positif sebesar
69%.27 Artinya pada sebagian besar anak, pada saat menderita
MIS-C tidak ada lagi virus SARS-CoV-2 dalam tubuh. Jarak

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


130 Challenges & Opportunities
antara keberadaan virus dengan munculnya gejala dan tanda
sekitar 4 minggu.4,7,16,32,40,49,50 Feldstein menemukan selisih 22
hari.31 Pada publikasi dengan PCR positif yang tinggi, semua
penderita menunjukkan viral load yang rendah.36 Kohort
Inggris (8 kasus) yang menjalani pemeriksaan isotipe IgG
ternyata mempunyai kadar IgG1 dan 3 yang terdeteksi namun
tidak IgG2 dan 4. Hal ini berbeda dengan hasil pemeriksaan
pada dewasa.51
Proses yang terjadi pada episode MIS-C relatif berat yang
merupakan manifestasi respon imun yang tertunda dengan
inflamasi yang tidak terkendali. Hasil akhir yang tampak
adalah kerusakan jaringan inang.52
Infeksi memang diketahui sejak lama menjadi salah satu
pemicu penyakit inflamasi maupun autoimun, yang terutama
diduga melalui jalur mimikri molekuler.14 Laporan ECDC
menyebutkan adanya mikroorganisma yang ditemukan pada
pasien dengan MIS-C yang mungkin terjadi belakangan
dan merupakan pemia MIS-C tersebut tanpa berhubungan
langsung dengan infeksi SARS-CoV-2.18 Hingga saat ini belum
jelas mekanisme mana yang sesungguhnya terjadi. Yang juga
belum diketahui adalah apakah ada hubungan MIS-C dengan
genetik virus SARS-CoV-2.53
Coronavirus dikenal mampu memblok respon interferon
tipe I dan III dengan kemungkinan tertundanya badai sitokin
pada penderita dengan respon imun yang tidak dapat
mengendalikan replikasi virus dan ditandai dengan viral load
yang tinggi.46,54-56 Hal ini mungkin juga terjadi pada MIS-C.
Baik pada KD maupun MIS-C dijumpai adanya vaskulitis
yang dipicu infeksi.10,46,56 Semua proses inflamasi pada MIS-C
lebih berat dari pada yang dijumpai pada KD.10,11,15,16,22

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 131
Fenomena badai sitokin pada COVID-19 ditandai dengan
peningkatan sitokin proinflamasi serta aktivasi makrofag.
Pada KD peningkatan sitokin proinflamasi juga tampak
seperti juga pada penyakit autoimun lain.26,46,56
Aspek genetik diperkirakan memegang peran dalam
MIS-C seperti yang juga dialami penderita Kawasaki.10,28,57
Dari aspek genetik ini, peran gen TMEM 173 yang mengatur
fungsi STING diduga mempunyai peran seperti yang
diketahui pada kelelawar serta pada herpes virus. Kondisi ras
tertentu yang mempunyai proporsi lebih besar menambah
dugaan peran faktor genetik.4,7,29,58,59
Menjadi pertanyaan apakah SARS-CoV-2 secara
langsung memicu MIS-C ataukah hanya menjadi primer
intermediate atau co-stimulatory agent, atau barangkali
SARS-CoV-2 menyediakan pintu masuk bagi pemia yang
sebenarnya?45 Nakra berpendapat bahwa MIS-C adalah
tahap II dari perjalanan COVID-19, atau fenomena imunologi
yang tertunda yang berhubungan dengan inflamasi. Fase
I dan II dalam perjalanan COVID-19 adalah fase akut dan
fase pulmoner.60 Infeksi langsung oleh SARS-CoV-2 kurang
berperan dalam MIS-C.60
Cukup banyak kemajuan pengetahuan dalam hal
Kawasaki sekalipun lebih banyak lagi yang belum terungkap.
Beberapa perbedaan dan persamaan antara MIS-C dan
Kawasaki pun masih memerlukan eksplorasi untuk menguak
lebih jauh.45,61

GEJALA DAN TANDA KLINIK MISC


Gejala dan tanda klinik MISC sebagian besar mirip dengan
KD atau TSS atau simtom pencernaan yang tidak lazim yang
disertai marker inflamasi yang sangat tinggi.7,10,11,13,16,27,40,60

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


132 Challenges & Opportunities
American College of Rheumatology menyebut gejala klinis
yang sering ditemukan adalah demam, gejala mukokutaneus
(ruam, konjungtivitis, edema telapak, bibir kering dan pecah,
dan lidah strawberi), gangguan miokard, gangguan konduksi
jantung, gejala gastrointestinal, serta pembesaran kelenjar.22
Manifestasi lain mencakup aspek neurologi berupa nyeri
kepala, kelumpuhan saraf kranial, perubahan status mental,
ataupun meningismus.22
Rumah Sakit Anak Prebysterian di New York, dan disetujui
oleh banyak klinisi, menyebutkan 5 hal yang bisa didapatkan
pada penderita PIMS yaitu inflamasi sistemik (demam,
mialgia, takikardia, hipo atau hiperperfusi, dan imfadenopati),
kardiopulmoner (distres nafas, nyeri dada), neurologi (nyeri
kepala, perubahan status mental, meningismus, defisit fokal,
dan kejang), mukokutaneus (ruam, pembengkakan bibir,
bibir pecah, lidah strawberry, pembengkakan ekstremitas,
konjungtivitis, dan blisters atau erosi), dan gastrointestinal
(nausea, muntah, diare, atau nyeri perut). Rumah sakit tersebut
juga membagi derajat klinis atas 3 yaitu mild, moderate, dan
severe. Dasar yang digunakan adalah kebutuhan vasoaktif,
dukungan untuk pernafasan, dan adanya jejas organ.62,63
Pedoman RCPCH menyebutkan seluruh kasus datang
dengan demam 38,5oC atau lebih, mayoritas di antaranya
dengan hipoksia dan hipotensi. Gambaran klinis yang bisa
didapatkan mencakup: nyeri perut, konjungtivitis, batuk,
diare, nyeri kepala, kebingungan, pembesaran kelenjar,
perubahan mukosa, pembengkakan leher, ruam, gejala
saluran nafas, sore throat, pembengkakan tangan dan kaki,
dan muntah.20 Sebagian besar isi pedoman di atas disebutkan
pula dalam review oleh Aronoff dkk.63

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 133
Systematic review oleh Abrams dkk menyebutkan
87% kasus dengan gejala dan tanda gastrointestinal, 73%
dermatologi/mukoutaneus, dan 71% kardiovaskular.27 Hanya
47% penderita mempunyai gejala dan tanda respirasi.
Beberapa laporan kasus yang muncul belakangan juga
menyebut manifestasi psikiatri dan neurologis yang cukup
sering dijumpai (21%).27
Systematic review oleh Hoste, dkk. menemukan demam,
serta gejala dan tanda gastrointestinal dan kardiologi sebagai
temuan yang utama.7 Publikasi dari Perancis pada 35 anak
dengan MIS-C disertai acute heart failure mendapatkan
dominasi gejala pencernaan (80%).17 Pada publikasi lain yang
melaporkan 156 anak di Perancis, sekitar 2/3 menunjukkan
gambaran seperti Kawasaki dan menderita miokarditis.42
Laporan Loke dkk dari 130 anak dengan MIS-C di 5 negara
(Italia, Perancis, Swis, AS, dan Inggris) serta publikasi oleh
Capone dkk dari New York, AS, juga mendapatkan dominasi
gejala dan tanda gastrointestinal.26,40 Hal ini berbeda dengan
Kawasaki.17,26
Kelainan gastrointestinal dapat berupa muntah, diare,
dan atau nyeri perut.15 Pankreatitis juga pernah dilaporkan.64
Nyeri perut pada MIS-C tak bisa diabaikan sebab pada
publikasi Tullie dkk sebagian besar anak dicurigai menderita
apendisitis ketika mereka tiba di rumah sakit. Pemeriksaan
radiologi merupakan penentu yang membuat klinisi lebih
waspada akan hal ini.65 Beberapa kasus telah menjalani operasi
karena dugaan awal dan pada mereka ditemukan gambaran
mesenteric lymphadenitis dan apendisitis.60
Pada laporan Whittaker yang mencantumkan 58
anak yang seluruhnya datang dengan panas, nyeri perut
didapatkan pada sekitar separuh kasus. Diare dan ruam juga

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


134 Challenges & Opportunities
berada pada proporsi yang sama.10 Ada 3 kelompok yang
diamati pada publikasi tersebut yaitu yang dengan demam
dan peningkatan petanda inflamasi namun tanpa gambaran
lengkap Kawasaki, TSS maupun kegagalan organ, kelompok
dengan syok dan gangguan jantung kiri, serta kelompok yang
memenuhi kriteria Kawasaki.10
Gangguan kardiovaskular dapat berupa disfungsi jantung
kiri, dilatasi arteri koronaria, dan gangguan konduksi.17,22 Yang
membedakan dengan penyakit Kawasaki adalah dominasi
gangguan fungsi jantung yang tidak terlalu dominan pada
Kawasaki.17,22,26,40,66
Gejala dan tanda mukokutaneus termasuk yang banyak
didapatkan.59,67,68 Yang termasuk sering dijumpai dari
kelompok ini adalah mata kemerahan, kemerahan pada
telapak tangan dan kaki, bibir hiperemi, edema dan eritema
periorbital, dan lidah strawberi. Pada umumnya gejala dan
tanda ini dijumpai hari ketiga setelah onset demam, dan tidak
berhubungan dengan derajat severitas.59,67,68
Gejala neurologis dan syok yang juga ditemukan
pada MIS-C bukan fenomena utama di Kawasaki.22 Gejala
neurologis dapat berupa status epileptikus.69,70 Pada kasus
yang dipaparkan Schupper, penderita juga menujukkan
multifocal ethnogenicity, dan infark pada beberapa bagian arteri
serebral.70 Laporan lain menyebut penderita dengan restless,
agitated, dan confused.71 Pada kasus lain dijumpai diffuse brain
hemosiderosis dan klonus.72 Ada juga nyeri kepala, iritability,
dan encephalopathy.60 Peningkatan tekanan intrakranial pernah
dilaporkan dalam penelitian di AS.73,74
Kohort besar dari AS mendapatkan 365/1695 anak dengan
MISC mempunyai gejala dan atau tanda neurologis yang

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 135
berupa ensefalopati, stroke, demyelinisasi, infeksi SSP, edema
serebri, dan varian Guillain Barre.74
Data AS mendapatkan 490/570 kasus melibatkan
sedikitnya 4 organ. Ada 99/570 kasus yang melibatkan minimal
6 sistem organ (dengan proporsi sistem kardiovaskular
100% dan gastrointestinal 97,5%). Sekitar 98% kelompok ini
mempunyai data serologi SARS-CoV-2 yang positif. Sekitar
2/3 kasus tidak mempunyai komorbid. Organ yang terlibat
adalah gastrointestinal (90%), kardiovaskular (86,5%), dan
mukokutaneus (70,9%). Gejala dan tanda klinis terbanyak
adalah nyeri perut, muntah, ruam, diare, hipotensi, dan mata
merah.41 Kelompok dengan dominasi gejala sistem respirasi
mungkin sebagian masih disebabkan oleh COVID-19. Pasien
mengalami batuk, sesak, pneumonia, dan sindroma gagal
napas. Sebagian kelompok ini masih menunjukkan hasil
PCR yang positif tanpa serologi yang positif. Kematian pada
kelompok ini lebih tinggi.41 Kelompok yang didominasi
ruam dan gejala mukokutaneus berusia lebih rendah dan
mempunyai dilatasi arteri koronaria yang lebih banyak.
Kelompok ini lebih banyak yang memenuhi persyaratan
sebagai Kawasaki yang lengkap.41
Ketika kohort diperbesar pada 539/1116 penderita
anak dengan MISC di AS, didapatkan gejala dan tanda
kardiorespiratori, gastrointestinal, dan mukokutaneous
sebagai yang tetap paling dominan.12 Kohort New York (33
kasus) mendapatkan demam dan muntah sebagai keluhan
utama34, sedangkan kohort Paris pada 21 anak dan remaja
mendapatkan 12/21 datang dengan Kawasaki shock syndrome,
16/21 dengan miokarditis, dan seluruhnya memiliki keluhan
gastrointestinal pada awal sakit.16

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


136 Challenges & Opportunities
Manifestasi telinga-hidung-tenggorok pada MIS-C juga
cukup banyak, seperti otalgi, vertigo, tinnitus, rhinorhea,
anosmia, disgeusia, disfagia, mengorok, tonsilitis, keilitis,
dan sebagainya.75 Ada pula laporan kasus yang mendapatkan
gangguan pembuluh darah kapiler.76

ASPEK LABORATORIUM
Seperti juga pada KD, tidak ada tes untuk mendiagnosis
secara pasti MIS-C.18,20-22,27 Beberapa pedoman menyebut
semua kasus menunjukkan: abnormalitas fibrinogen, CRP/
D-Dimer/Feritin yang tinggi, hipoalbumin, limfopenia,
netrofil biasanya rendah, dan tidak ada bukti infeksi
mikroorganisme tertentu. Sebagian dari mereka juga
mempunyai gambaran laboratorium: acute kidney injury,
anemia, koagulopati, peningkatan IL-10 dan IL-6, netrofilia,
proteinuria, peningkatan CK dan LDH, trombositopenia,
dan transaminitis. Hal ini sesuai dengan publikasi dari
berbagai negara.12,18,20-22,27,33,43,50,60-63,77-81 ACR menyarankan 2
tahap pemeriksaan laboratorium untuk menunjukkan skala
prioritas dan pertimbangan waktu.22
Laporan dari Italia, Perancis, Inggris, dan AS juga
menyebutkan anak dengan MIS-C menunjukkan limfopenia
dan trombositopenia yang signifikan, koagulopati,
peningkatan enzim jantung seperti troponin, hiponatremia,
hipoalbuminemia, serta kenaikan laktat dehidrogenase dan
feritin. Fenomen ini hanya sedikit dijumpai pada penderita
KD.7,10,11,16,17,33,40,50,77,82
Abrams menyebut sedikitnya 75% penderita mempunyai
kadar CRP, IL-6, dan fibrinogen yang tinggi.27 Gambaran
5 sitokin (IFN-γ, IL-10, IL-6, IL-8, dan TNF-α) yang telah

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 137
dianalisis untuk membedakan MIS-C dan KD menemukan
perbedaan signifikan hanya pada TNF-α dan IL-10.82
Data laboratorium pasien AS menunjukkan gambaran
yang berbeda antar kelompok. Kelompok dengan
keterlibatan 6 atau lebih organ yang didominasi gejala dan
tanda gastrointestinal dan kardiovaskular menunjukkan
D-dimer, troponin, BNP, proBNP, dan feritin yang lebih
tinggi. Kelompok ini mempunyai limfosit yang lebih rendah.
Kelompok yang mempunyai gejala dominan mukokutaneus
mempunyai kadar D-dimer, troponin, BNP, proBNP, CRP,
dan feritin yang paling rendah, namun kadar limfositnya
tertinggi.41
Feritin dan D-dimer meningkat pada separuh penderita.
CRP, IL-6, dan fibrinogen bahkan meningkat pada 75%
penderita.12,27,50 Peningkatan petanda kerusakan jantung
seperti troponin dan brain natriuretic peptide (BNP) bahkan
mencapai 100% dalam beberapa publikasi.27,50
Verdoni melaporkan penderita MIS-C mempunyai kadar
leukosit dan trombosit yang lebih rendah dibandingkan
penderita Kawasaki, namun dengan CRP dan feritin yang
lebih tinggi.11 Whittaker dkk melaporkan penderita MIS-C
mempunyai kadar netrofil, CRP, feritin, troponin, dan D-dimer
yang lebih tinggi namun dengan limfosit dan trombosit
yang lebih rendah.10 Hal serupa ditunjukkan pada penelitian
Belhajer dkk.17 Kohort 33 anak di New York menunjukkan
peningkatan CRP, prokalsitonin, D-Dimer, dan proBNP.34
Kohort Inggris sebanyak 15 kasus dengan gejala dan
tanda kardiovaskular menunjukkan peningkatan CRP,
feritin, troponin, cratin kinase, dan proBNP.83 Ada 10/15 kasus
dengan regurgitasi katup dan 12/15 menunjukkan penurunan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


138 Challenges & Opportunities
ejeksi fraksi ventrikel kiri. Sebanyak 14/15 kasus menunjukkan
kelainan arteri koronaria namun abnormalitas EKG hanya
didapatkan pada 6/15.83 Kohort Spanyol melaporkan kadar
limfosit dan LDH yang rendah, kadar CRP, PCT, netrofil,
dan rasio netrofil/limfosit meningkat. Peningkatan juga
ditunjukkan kadar troponin dan NT-proBNP.43
Gambaran radiologi dapat berupa infiltrat yang patchy dan
efusi pleura (Foto polos dada, CT Scan thorax). USG abdomen
dapat menunjukkan adanya kolitis, ileitis, limfadenopati,
asites, dan hepatosplenomegali. Hasil ekokardiografi dan
EKG dapat berupa miokarditis, valvulitis, efusi perikardial,
dan dilatasi arteri koroner.18,20-22 Sebagian pasien yang
masuk rumah sakit di awal tidak menunjukkan pola EKG yang
spesifik. Belakangan baru anak-anak tersebut memburuk dan
sebagian harus berada di PICU.17,40
Foto polos dada dan CT scan diperlukan bukan saja dalam
kerangka MIS-C namun juga untuk mendeteksi COVID-19.22
Dari 16 anak di AS lainnya, gambaran radiologis dada yang
banyak didapatkan berupa kardiomegali, edema pulmonum
atau congestive heart failure, atelektasis, efusi pleura, dan
pneumonia.84 Hasil pemeriksaan ekokardiografi di AS
selain aneurisma arteri koronaria juga banyak menunjukkan
gambaran disfungsi jantung kiri dan atau jantung kanan, efusi
perikardial, dan mitral regurgitation.85 Di Perancis, gambaran
MRI jantung pada kohort di Paris menunjukkan gambaran
yang bervariasi sedangkan ekokardiografi mendapatakan
fungsi jantung kiri yang rendah atau normal rendah.86
Separuh kohort Spanyol mengalami tanda disfungsi ventrikel
sekalipun hanya 3 anak yang dilaporkan mengalami dilatasi
arteria koronaria.43

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 139
Pemeriksaan laboratorium 15 anak di Mount Sinai New
York mendapatkan 87% dengan manifestasi gastrointestinal
termasuk muntah, nyeri perut dan diare. Hanya kurang dari
separuh yang menunjukkan gambaran KD. Takikardia dan
hipotensi dijumpai pada 87% kasus.87 Keterlibatan jantung
dijumpai pada 87% kasus yang mencakup kenaikan troponin
serum atau proBNP. Limfopenia didapatkan pada 87%
sedangkan trombositopenia dan hipoalbuminemia hanya ada
pada sekitar setengah kasus. Peningkatan fibrinogen dialami
93% kasus.87

DIAGNOSIS
Tidak ada tes khusus untuk menegakkandiagnosis MIS-C.
Kriteria inkusi atau definisi kasus bisa bervariasi tergantung
pedoman yang diikuti. Hasil pemeriksaan laboratorium juga
dapat bervariasi.27,60 Diagnosis MIS-C lebih bersifat syndromic
diagnosis.9
Pedoman untuk definisi kasus menurut Guideline RCPCH
2020 adalah anak dengan demam, inflamasi (netrofilia,
peningkatan CRP, dan limfopenia), dan bukti disfungsi satu
atau lebih organ (syok, jantung, respirasi, renal, gastrointestinal,
atau kelainan sistem saraf) ditambah beberapa manifestasi
tambahan (klinis, laboratoris, pencitraan, elektrokardiogram).
Pedoman ini juga menyebut “termasuk gambaran Penyakit
Kawasaki lengkap maupun parsial”. Kasus MIS-C harus
mengeksklusi infeksi bakterial termasuk Staphylococcus dan
Streptococcus yang akan menyebabkan TSS, serta infeksi virus
yang berhubungan dengan miokarditis, seperti enterovirus.
RCPCH tidak mengharuskan pemeriksaan PCR dengan hasil
negatif.20

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


140 Challenges & Opportunities
Di lain pihak CDC membuat batasan kasus sebagai
berikut: individu berusia di bawah 21 tahun dengan demam,
bukti laboratorium yang menunjukkan inflamasi, serta bukti
kondisi klinis serius yang memerlukan perawatan di rumah
sakit, dengan lebih dari 2 organ yang terlibat (kardiak, renal,
respirasi, hematologi, gastrointestinal, dermatologi, dan
neurologi), serta tidak adanya diagnosis lain yang mungkin,
dan adanya bukti infeksi SARS-CoV-2 dengan RT-PCR,
serologi, tes antigen, maupun paparan dalam waktu 4 minggu
sebelum munculnya gejala atau tanda klinik.21
Pernyataan WHO pada tanggal 15 Mei 2020 menyebut
kriteria sebagai berikut: anak berusia kurang dari 19 tahun
dengan riwayat demam lebih dari 3 hari, disertai minimal
2 dari tanda (1) ruam atau konjungtivitis bilateral non
purulen atau tanda inflamasi mukokutaneus (pada mulut,
tangan, atau kaki), (2) hipotensi atau syok, (3) disfungsi
miokard, perikarditis, valvulitis, atau abnormalitas koroner
(termasuk hasil ekokardiografi atau peningkatan troponin/
NT-proBNP), (4) bukti koagulopati (PT, PTT, peningkatan
D-dimer), (5) problema gastrointestinal akut (diare, muntah,
atau nyeri abdomen), ditambah adanya peningkatan petanda
inflamasi seperti laju endap darah, CRP, atau prokalsitonin,
ditambah tidak ada bukti nyata mikroba sebagai penyebab
inflamasi (termasuk sepsis bakterial dan staphylococcal atau
streptococcal shock syndrome), ditambah bukti infeksi SARS-
CoV-2 (RT-PCR, tes antigen atau serologi) atau paparan
dengan pasien COVID-19.23
Baik CDC maupun WHO mensyaratkan adanya bukti
infeksi SARS-CoV-2 atau paparan dengan penderita
sebelumnya. Hal ini tentu saja cukup problematik mengingat
jumlah kasus asimtomatik serta keterbatasan metode

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 141
diagnostik.28 Hoste menyebutkan sepertiga pasien yang
dilaporkan menunjukkan hasil PCR positif.7

TATALAKSANA
Selama masa pandemi terapi kasus dengan kelainan
jantung menjadi agak terbengkalai sebab penderita jantung
takut datang ke rumah sakit dan karena dokter mungkin
sangat terkonsentrasi pada COVID-19 sehingga agak
“melupakan” kasus lain.25,88
Tujuan tatalaksana MIS-C adalah menurunkan inflamasi
sistemik dan memulihkan fungsi organ untuk menurunkan
risiko kematian dan sekuelae jangka panjang (seperti
gangguan jantung).60,89 Sebagian ahli menyarankan tata
laksana yang sesuai dengan kemiripan manifestasi klinis.
Kelompok terbesar, yang menyerupai Kawasaki diberi tata
laksana seperti tata laksana KD, sedangkan kelompok yang
menyerupai TSS diberi tata laskana seperti pada TSS.60
Pada masa pandemi, tatalaksana umum PIMS mencakup
penggunaan alat pelindung diri yang memadai, resusitasi
sesuai standar, terapi suportif, dan di beberapa tempat
disebutkan antibiotika empiris (didahului pengambilan
sampel untuk kultur darah). Pada semua kasus harus
diperhitungkan adanya infeksi SARS-CoV-2 sehingga
penggunaan alat pelindung diri adalah sebuah keharusan.9
Karena perburukan keadaan bisa cepat diperlukan pe-
ngawasan ketat untuk kardiorespirasi termasuk continuous
saturation and EKG dengan monitor tekanan darah. Pemerik-
saan EKG diindikasikan sejak awal penderita datang.20,21,60,89
Pada kondisi yang mirip Kawasaki dapat diberikan
imunoglobulin intravena dengan dosis 2 gram/kgBB. Imuno-

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


142 Challenges & Opportunities
globulin diberikan secara perlahan dengan pengawasan
kondisi klinik yang adekuat. Aspirin 30 mg/kgBB juga
diberikan dan dipertahankan sampai penderita pulang
dari rumah sakit atau hingga gambaran inflamasi sudah
membaik.7,18,20-22,45,50 Hoste menyebutkan sebagian besar kasus
memerlukan immunoglobulin intravena.7 Imunoglobulin
pada MIS-C sering memerlukan pengulangan.26,27,36 Kohort
Paris, misalnya, mendapatkan 10/16 anak memerlukan terapi
ulangan.36 Systematic review oleh Hosted kk. mendapatkan
angka 11% membutuhkan terapi immunoglobulin ulangan.7
Terapi lain yang diberikan di berbagai publikasi adalah
steroid (52% kasus) dan imunomodulator.27,60 Laporan Belhajer
dkk menyebutkan 25/35 anak menerima imunoglobulin
dan setengah dari mereka itu juga menerima steroid.17
Kohort Harvard di Boston, AS, melaporkan 71% menerima
imunoglobulin, 61% menerima steroid, dan 18% mendapat
anakinra.50 DI New York, dari 44 anak, steroid diberikan
pada 95%, imunoglobulin pada 81%, dan 90% mendapatkan
antikoagulan.77 Kohort Inggris menemukan pemakaian
imunoglobulin dan steroid pada lebih dari 70% penderita.33
Dari kohort AS, imunoglobulin diterima 80,5% dan
62,8% mendapat steroid. Sekitar 40% kasus memperoleh
antikoagulan dan obat vasoaktif.41 Dari 33 anak di New York,
separuh mendapat imunoglobulin, separuh juga mendapat
steroid, dan separuh pulalah yang mendapat vasopresor.
Lima orang mendapat ventilasi mekanik.34 Dari 21 anak
di Paris, seluruhnya mendapat imunoglobulin, dan 10/21
juga mendapat steroid.16 Seluruh penderita membaik. Pada
kohort 17 anak di New York ada 13 anak yang menerima
imunoglobulin dan 14 menerima steroid.37

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 143
Studi kohort retrospektif di Perancis mendapatkan
pemberian immunoglobulin intravena disertai metilpred-
nisolone memberi hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
immunoglobulin saja. Evaluasi dilakukan dengan parameter
utama kecepatan penurunan demam, serta frekuensi relaps
demam. Sekalipun demikian, diperlukan penelitian yang
lebih terstruktur untuk mengambil kesimpulan yang lebih
kuat.89
Kohort New York dengan 191 kasus menunjukkan 62%
menerima vasopressor, dan 80% harus masuk PICU. Dua
penderita meninggal.32 Kohort AS dengan 186 kasus dari 26
negara bagian menunjukkan 80% penderita masuk PICU, 48%
mendapat vasopressor, dan hanya 20% yang memerlukan
ventilasi mekanik. Imunoglobulin diberikan pada 77%, steroid
pada 44%, dan inhibitor IL-6 atau 1RA pada 20% kasus.12
Beberapa laporan kasus mencoba juga modalitas terapi lain
seperti defibrotide.90
Sebanyak 26% penderita harus menggunakan ventilator
dan 6% bahkan membutuhkan extracorporeal membrane
oxygenation (ECMO).27 Dari kohort Inggris, hanya 3/78 anak
memerlukan ECMO.33 Data 156 kasus di Perancis mendapatkan
67% memerlukan perawatan PICU. Dari jumlah itu 2/3
mendapat vasopresor dan ½ memperoleh vantilasi mekanik.
Pada kohort 8 pasien di Inggris, 6/8 memerlukan perawatan
di PICU.51

PENYULIT
Penyulit utama KD maupun MIS-C adalah dilatasi arteri
koronaria. Insidens komplikasi ini berkisar 20-25% pada kedua
penyakit.15 Pada kohort inggris bahkan ada 36% kasus dengan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


144 Challenges & Opportunities
dilatasi arteri koronaria.33 Jumlah yang mengalami aneurisma
berukuran besar pada MIS-C relatif sedikit. Sebagian besar
kasus MIS-C dapat sembuh dalam waktu yang relatif cepat
dan jarang mengalami perburukan.11,13,15,16 Efek samping
jangka panjang belum diketahui.13
Data AS menunjukkan penyulit terbanyak adalah
disfungsi jantung (40,6%), syok 35,4%, miokarditis, dilatasi
arteri koronaria, dan acute kidney injury.41 Seluruh anak
dalam penelitian Belhajer bahkan mengalami penyulit payah
jantung (35/35) namun akhirnya membaik.17 Dari kohort USA
di atas, sekitar dua pertiga pasien masuk di PICU. Insidens
penyulit lebih tinggi pada kelompok yang lebih muda dan
menampakkan gejala dan tanda mukokutaneus.41

PROGNOSIS
Prognosis penderita MIS-C relatif baik dan kesembuhan
terjadi lebih cepat.13,17,19,22,40,91-93 Dari yang mengalami dilatasi
arteri koronaria sebagian besar juga sembuh seperti sedia kala
dalam waktu singkat. Hingga saat ini belum dapat dipastikan
apakah MIS-C adalah varian yang berat dari KD dipicu infeksi
SARS-CoV-2 ataukah MIS-C adalah penyakit terpisah yang
bisa ringan hingga berat dan menyerupai KD atau TSS.13,19,27,93
Klinisi menduga kedua penyakit adalah entitas yang berbeda
dengan kesamaan beberapa aspek fenotip.19,27,47,60,94
Data AS menunjukkan seluruh atau sedikitnya sebagian
besar pasien akan kembali dalam aktifitas normal paling
lambat sebulan setelah keluar dari rumah sakit.93 Jumlah
kematian dari berbagai negara pada anak dengan MIS-C relatif
sedikit.11,12,16,27,32,95 Hanya dua dari 78 anak yang dirawat di PICU
di Inggris meninggal dunia. Satu di antaranya mengalami

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 145
aritmia yang diikuti infark serebri.15,33,47 Dua laporan lain
datang dari New York.10,26 Kematian total di seluruh AS 10
kasus.41 Kelompok yang menunjukkan kematian lebih tinggi
adalah yang menunjukkan gejala dan tanda sistem respirasi.41

PADA DEWASA
Belakangan ditemukan beberapa kasus pada orang dewasa
dengan gambaran menyerupai multisystem inflammatory
syndrome pada anak. Penderita dewasa di AS bahkan ada
yang meninggal karena keadaan ini.96

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


146 Challenges & Opportunities
DAFTAR PUSTAKA

1. Chen J, Zhang ZZ, Chen YK, et al. The clinical and


immunological features of pediatric Covid-19 patients
in China. Genes&Diseases 2020; https://doi.org/10.1016/j.
gendis.2020.03.008
2. Ge H, Wang X, Yuan X, Xiao G, Wang C, Deng T, Yuan Q,
Xiao X. The epidemiology and clinical information about
Covid-19. Eur J Clin Microbiol Infect Dis.2020; https://doi.
org/10.1007/s10096-020-03874-z.
3. Husada D. Vaccine for SARS-CoV-2: a review. Media
Kedokteran Indonesia 2020; 70(10): DOI:  https://doi.
org/10.47830/jinma-vol.70.10-2020-254
4. Jiang L, Tang K, Levin M, et al. Covid-19 and multisystem
inflammatory syndrome in children and adolescents.
Lancet Infect Dis.2020; 20: e276-88
5. Zimmermann P, Curtis N. COVID-19 in Children,
Pregnancy and Neonates: A Review of Epidemiologic and
Clinical Features. Pediatr Infect Dis J.2020; 39(6): 469-77.
6. Dong Y, Mo X, Hu Y, Qi X, Jiang F, Jiang Z, Tong S. Clinical
characteristics of 2143 pediatric patients with 2019 novel
coronavirus-infected pneumonia in Wuhan, China. J Am
Med Assoc.2020; 323(11): 1061-9.
7. Hoste L, Van Paemel R, Haerynck F. Multisystem
inflammatory syndrome in children related to Covid-19:
a systematic review. Eur J pediatr.2021; https://doi.
org/10.1007/s00431-021-03993-5
8. Lu X, Zhang L, Du H, et al. SARS-CoV-2 infection in
children. N Engl J Med.2020: doi:10.1056/NEJMMc2005073.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 147
9. Husada D. Multisystem inflammatory syndrome in
children. Jurnal Widya Medika 2020; 6(2): doi: https://doi.
org/10.33508/jwm.v6i2.2788
10. Whittaker E, Banford A, Kenny J, Kaforou M, Jones CE,
Shah P, Ramnarayan P, Fraisse A, Miller O, Davies P,
Kucera F, Brierley J, McDougall M, Carter M, Tremoulet
A, Shimizu C, Herberg J, Burns JC, Lyall H, Levin M.
Clinical characteristics of 59 children with a pediatric
inflammatory multisystem syndrome temporally
associated with SARS-CoV-2. J Am Med Assoc.2020;
doi:10.1001/jama.2020.10369.
11. Verdoni L, Mazza A, Gervasoni A, Martelli L, Ruggeri
M, Ciuffreda M, Bonanomi E, D’Antiga L. An outbreak
of severe Kawasaki-like disease at the Italian epicentre
of the SARS-CoV-2 epidemic: an observational cohort
study. Lancet 2020; https://doi.org/10.1016/S0140-
6736(20)31103-X.
12. Feldstein LR, Tenforde MW, Friedman KG, et al.
Characteristics and outcomes of US children and
adolescents with multisystem inflammatory syndrome in
children (MIS-C) compared with severe acute Covid-19. J
Am Med Assoc.2021; doi:10.1001/jama.2021.2091
13. Singh-Grewal D, Lucas R, McCarthy K, Cheng AC, Wood
N, Ostring G, Britton P, Crawford N, Burgner D. Update
on the COVID-19 associated inflammatory syndrome
in children and adolescents; paediatric inflammatory
multisystem syndrom-temporally associated with SARS-
CoV-2. J Paediatr Child Health.2020; doi:10.1111/jpc15049.
14. Galeotti C, Bayry J. Autoimmune and inflammatory
diseases following COVID-19. Nature Rev.2020; https://
doi.org/10.1038/s41584-020-0448-7

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


148 Challenges & Opportunities
15. Riphagen S, Gomez X, Gonsalez-Martinez C, Wilkinson
N, Theocharis P. Hyperinflammatory shock in children
during Covid-19 pandemic. Lancet 2020; 395: https://doi.
org/10.1016/S0140-6736(20)331094-1.
16. Toubiana J, Poirault C, Corsia A, Bajolle F, Fourgeaud J,
Angoulvant F, Debray A, Basmaci R, Salvador E, Biscardi
S, Frange P, Chalumeau M, Casanova JL, Cohen JF, Allali
S. Kawasaki-like multisystem inflammatory syndrome in
children during the COVID-19 pandemic in Paris, France:
prospective observational study. Br Med J.2020; 369:
m2094. doi:10.1136/bmj.m2094.
17. Belhadjer Z, Bonnet D. Acute heart failure in multisystem
inflammatory syndrome in children in the context of
global SARS-CoV-2 pandemic. Circulation 2020; 142: 429-
36. Doi:10.1161/CIRCULATIONAHA.120.048360.
18. European Centre for Disease Prevention and Control.
Paediatric inflammatory multisystem syndrome and
SARS-CoV-2 infection in children. Rapid risk assessment.
18 May 2020. ECDC: Stockholm; 2020.
19. Yeung RSM, Ferguson PJ. Is multisystem inflammatory
syndrome in children on the Kawasaki syndrome
spectrum? J Clin Invest.2020; https://doi.org/10.1172/
JCI141718.
20. Royal College of Paediatrics and Child Health. Guidance:
paediatric multisystem inflammatory syndrome
temporarily associated with COVID-19. Diunduh pada 20
Mei 2020. Tersedia di https://www.rcpch.ac.uk/resources/
guidance-paediatric-multisystem-inflammatory-
syndrome-temporally-associated-covid-19-pims

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 149
21. Centers for Disease Control and Prevention. Multisystem
inflammatory syndrome in children (MIS-C) associated
with coronavirus disease 2019 (COVID-19). Diunduh
pada 12 Juni 2020. Tersedia di https://emergency.cdc.gov/
han/2020/han00432.asp
22. Henderson LA, Behrens EM, Schulert GS, Karp D.
American College of Rheumatology guidance for
pediatric patients with multisystem inflammatory
syndrome in children (MIS-C) associated with SARS-
CoV-2 and hyperinflammation in COVID-19. Version 1.
Xxx Doi:10.1002/art.41454
23. World Health Organization. Multisystem inflammatory
syndrome in children and adolescent temporally related
with COVID-19. Scientific brief 15 May 2020. Diunduh
tanggal 10 Juni 2020. Tersedia di https://www.who.
int/news-room/commentaries/detail/multisystem-
inflammatory-syndrome-in-children-and-adolescents-
with-covid-19
24. Kone-Paut I, Cimaz R. Is it Kawasaki shock syndrome,
Kawasaki-like disease or pediatric inflammatory
multisystem disease? The importance of semantic in the
era of COVID-19 pandemic. Rheumatic&Musculoskeletal
Diseases Open 2020; 6: e001333. Doi:10.1136/
rmdopen-2020-001333.
25. Harasheh AS, Dahdah N, Newburger JW, Portman MA,
Piram M, Tulloh FR, McCrindle BW, de Ferranti SD, Cimaz
R, Truong DT, Burns JC. Missed or delayed diagnosis
of Kawasaki disease during the 2019 novel coronavirus
disease (Covid-19) pandemic. J Pediatr.2020; 222: https://
doi.org/10.1016/j.jpeds.2020.04.052

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


150 Challenges & Opportunities
26. Loke YH, Berul CI, Harahsheh AS. Multisystem
inflammatroy syndrome in children: is there a linkage
to Kawasaki disease. Trends in Cardiovasc Med.2020;
https://doi.org/10.1016/j.tcm.2020.07.004
27. Abrams JY, Godfred-Cato SE, Oster ME, Chow EJ,
Koumans EH, Bryant B, Leung JW, Belay ED. Multisystem
inflammatroy syndrome in children (MIS-C) ssociated
with SARS-CoV-2: a systematic review. J Pediatr.2020;
https://doi.org/10.1016/j. jpeds.2020.08.003
28. Levin M. Childhood multisystem inflammatory syndrome
– a new challenge in the pandemic. Editorial. N Engl J
Med.2020; doi:10.1056/NEJMe2023158.
29. Antunez-Montes OY, Escamilla MI, Figueroa-Uribe AF, et
al. Covid-19 and multisystem inflammatory syndrome in
latin american children. Ped Infect Dis J.2021; 40: e1-6.
30. Uehara R, Belay ED. Epidemiology of Kawasaki Disease
in Asia, Europe, and the United States. J Epidemiol. 2012;
22: 79-85.
31. Feldstein LR, Horwitz SM, Collins JP, Newhams MM,
Son MBF, Newburger JW, Kleinman LC, Heidemann SM,
Martin AA, Singh AR, Li S, Tarquinio KM, Jaggi P, Oster
ME, Zackai SP, Gillen J, Ratner AJ, Walsh RF, Fitzgerald
JC, Keenaghan MA, Alharash H, Doymaz S, Clouser KN,
Giuliano JS, Gupta A, Parker RM, Maddux AB, Havalad
V, Ramsingh S, Bukulmez H, Bradford TT, Smith LS,
Temforde MW, Caroll CL, Riggs BJ, Gertz SJ, Daube A,
Lansell A, Munoz AC, Hobbs CV, Marohn KL, Halasa
NB, Patel MM, Randolph AG. Multisystem inflammatory
syndrome in US children and adolescents. N Engl J
Med.2020. DOI:10.1056/NEJMoa2021680.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 151
32. Dufort EM, Koumans EH, Chow EJ, Rosenthal EM, Muse
A, Rowlands J, Barranco MA, Maxted EM, Rosenberg ES,
Easton D, Udo T, Kumar J, Pulver W, Smith L, Hutton B,
Blog D, Zucker H. Multisystem inflammatory syndrome
in children in New York State. N Engl J Med.2020.
DOI:10.1056/NEJMoa2021756.
33. Davies P, Evanc C, Kanthimathinathan HK, Lillie J,
Brierley J, Waters G, Johnson M, Griffiths B, du Pre P,
Mohammad Z, Deep A, Playfor S, Singh D, Inwald D,
Jardine M, Ross O, Shetty N, Worrall M, Sinha R, Koul
A, Whittaker E, Vyas H, Scholefield BR, Ramnarayan P.
Intensive care admissions of children with paediatric
inflammatory multisystem syndrome temporarily
associated with SARS-CoV-2 (PIMS-TS) in the UK: a
multicentre observational study. Lancet Child Adolesc
Health.2020; https://doi.org/10.1016/S2352-4642(20)30215-
7
34. Kaushik S, Aydin SI, Derespina KR, Bansal PB, Kowalsky
S, Trachtman R, Gillen JK, Perez MM, Soshnick SH,
Conway, Jr. EE, Bercow A, Seiden HS, Pass RH, Ushay HM,
Ofori-Amanfo G, Medar SS. Multisystem inflammatory
syndrome in children (MIS-C) associated with SARS-
CoV-2 infection: a multi-institutional study from New
York City. J Pediatr.2020; https://doi.org/10.1016/j.
jpeds.2020.06.045.
35. Rosenberg ES, Dufort EM, Udo T, Wilberschied LA,
Kumar J, Tesoriero J, Weinberg P, Kirkwood J, Muse A,
DeHovitz J, Blog DS, Hutton B, Holtgrave DR, Zucker
HA. Association of treatment with hydroxuchloroquine
or azithromycin with in-hospital mortality in patients

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


152 Challenges & Opportunities
with Covid-19 in New York State. J Am Med Assoc.2020;
323(24): 2493-502.
36. Pouletty M, Borocco C, Ouldali N, Caseris M, Basmaci R,
Lachaume N, Bensaid P, Pichard S, Kouider H, Morelle
G, Craiu I, Pondarre C, Deho A, Maroni A, Oualha M,
Amoura Z, Haroche J, Chommeloux J, Bajolle F, Bbeyler
C, Bonacorsi S, Carcelain G, Kone-Paut I, Bader-Meunier
B, Faye A, Meinzer U, Galeotti C, Melki I. Pediatric
multisystem inflammatory syndrome temporally
associated with SARS-CoV-2 mimicking Kawasaki disease
(Kawa-COVID-19): a multicentre cohort. Ann Rheum
Dis.2020; 0: 1-8. Doi:10.1136/annrheumdis-2020-217960.
37. Cheung EW, Zachariah P, Gorelik M, Boneparth A, Kernie
SG, Orange JS, Milner JD. Multisystem inflammatory
syndrome related to COVID-19 in previously healthy
children and adolescents in New York City. J Am Med
Assoc.2020; doi:10.1001/jama.2020.10374.
38. Simpson JM, Newburger JW. Multisystem inflammatory
syndrome in children in association with Covid-19.
Circulation 2020; 142: 437-40.
39. Dasgupta K, Finch SE. A case of pediatric multisystem
inflammatory syndrome temporally associated with
COVID-19 in South Dakota. South Dakota Med.2020;
73(6): 246-51.
40. Capone CA, Subramony A, Sweberg T, Schneider J, Shah
S, Rubin L, Schleien C, Epstein S, Johnson JC, Kessel
A, Misra N, Mitchell E, Palumbo N, Rajan S, Rocker J,
Williamson K, Davidson KW. Characteristic cardiac
involvement and outcomes of multisystem inflammatory
disease of childhood (MIS-C) associated with SARS-

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 153
CoV-2 infection. J Pediatr.2020; https://doi.org/10.1016/j.
jpeds.2020.06.044.
41. Godfred-Cato S, Bryant B, Leung J, Oster ME, Conklin L,
Abrams J, Roguski K, Wallace B, Prezzato E, Koumans
EH, Lee EH, Geevarughese A, Lash MK, Reilly KH, Pulver
WP, Thomas D, Feder KA, Hsu KK, Plipat N, Richardson
G, Reid H, Lim S, Schmitz A, Pierce T, Hrapcak S, Datta D,
Morris SB, Clarke K, Belay E, California MIS-C Response
Team. COVID-19 associated multisystem inflammatory
syndrome in children – United States, March-July 2020.
Morb Mortal Weekly Report 2020; 69: 1-7.
42. Belot A, Antona D, Renolleau S, Javouhey E, Hentgen
V, Angoulvant F, Delacourt C, Irlart X, Ovaert C, Bader-
Meunier B, Kone-Paut I, Levy-Bruhl D. ARS-CoV-2
related paediatric inflammatory multisystem syndrome,
an epidemiological study, France, 1 March to 17 May
2020. Euro Surveill.2020; pii=2001010. https://doi.
org/10.2807/1560-7917.ES.2020.25.22.2001010.
43. Garcia-Salido A, Vicente JCC, Hofheinz SB, et al. Severe
manifestations of SARS-CoV-2 in children and adolescents:
from Covid-19 pneumonia to multisystem inflammatory
syndrome: a multicentre study in pediatric intensive care
units in Spain. Crit Care.2020; 24: 666.
44. Somasetia DH, Malahayati TT, Andriyani FM, Setiabudi D,
Nataprawira HM. A fatal course of multiple inflammatory
syndrome in children coinfection with dengue. A case
report from Indonesia. ID Cases 2020; https://dx.doi.
org/10.1016/j.idcr.2020.e01002
45. McCrindle BW, Manlhiot C. SARS-CoV-2 related
inflammatory multisystem syndrome in children.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


154 Challenges & Opportunities
Different or shared etiology and pathophysiology as
Kawasaki Disease? J Am Med Assoc.2020; 324(3): 246-8.
46. Haslak F, Yildiz M, Adrovic A, Sahin S, Barut K,
Kasapcopur O. A recently explored aspect of the iceberg
named Covid-19: multisystem inflammatory syndrome in
children (MIS-C). Turkish Arch Pediatr.2020; doi:10.5152/
TurkArchPediatr.2020.20245
47. Shulman ST. Pediatric coronavirus disease-2019-
associated multisystem inflammatory syndrome. J Ped
Infect Dis Soc.2020; doi:10.1093/jpids/piaa062.
48. Viner RM, Whittaker E. Kawasaki-like disease:emerging
complication during the COVID-19 pandemic. Lancet
2020; https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)31129-6
49. Mahase E. Covid-19: concerns grow over inflammatory
syndrome emerging in children. Br Med J.2020; 369:
m1710. Doi:10.1136/bmj.m1710.
50. Lee PY, Day-Lewis M, Henderson LA, Friedman KG, Lo
J, Roberts JE, Lo MS, Platt CD, Chou J, Hoyt KJ, Baker AL,
Banzon TM, Chang MH, Cohen E, deFerranti SD, Dionne
A, Habiballah S, Halyabar O, Hausmann JS, Hazen MM,
Janssen E, Meidan E, Nelson RW, Nguyen AA, Sundel
RP, Dedeoglu F, Nigrovic PA, Newburger JW, Son MBF.
Distinct clinical and immunological features of SARS-
CoV-2 induced multisystem inflammatory syndrome
in children. J Clin Invest.2020; https://doi.org/10.1172/
JCI141113.
51. Perez-Toledo M, Faustini SE, Jossi SE, Shields AM,
Kanthimathinathan HK, Allen JD, Watanabe Y, Goodall
M, Wraith DC, Veenith TV, Drayson MT, Jyothish D, Al-
abdi E, Chikermane A, Welch SB, Masilamani K, Hackett

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 155
S, Crispin M, Scholefield BR, Cunningham AF, Richter
AG. Serology confirms SARS-CoV-2 infection in PCR-
negative children presenting with pediatric inflammatory
multi-system syndrome. Preprint. MedRxiv 2020. https://
doi.org/10.1101/2020.06.05.20123117.
52. Pain CE, Felsenstein S, Cleary G, et al. Novel paediatric
presentation of COVID-19 with ARDS and cytokine
storm syndrome without respiratory symptoms.
Lancet Rheumatol.2020; https://doi.org/10.1016/s2665-
9913(20)30137-5.
53. Parsons E, Timlin M, Starr C, et al. MIS-C in February 2020
and implications of genomic sequencing for SARS-CoV-2.
J Pediatr Infect Dis Soc.2020; doi:10.1093/jpids/piaa167
54. Park A, Iwasaki A. Type I and III onterferoms – induction,
signalling, evasion, and application to combat COVID-19.
Cell Host Microbe.2020; 27: 870-8.
55. Rowley AH. Understanding SARS-CoV-2 related
multisystem inflammatory syndrome in children. Nature
Rev.2020; https://doi.org/10.1038/s41577-020-0367-5
56. Hobbs CV, Khaitan A, Kirmse BM, Borkowsky W.
Covid-19 in children: a review and parallels to other
hyperinflammatory syndromes. Front. Pediatr.2020;
https://doi.org/10.3389/fped.2020.593455
57. Onouchi Y. The genetics of Kawasaki Disease. Int J Rheum
Dis.2018; 21: 26-30.
58. Lee EH, Kepler KL, Geevarughese A, et al. Race/ethnicity
among children with Covid-19 associated multisystem
inflammatory syndrome. JAMA Network Open 2020;
3(11): e20302803

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


156 Challenges & Opportunities
59. Young TK, Shaw KS, Shah JK, et al. Mucocutaneous
manifestations of multisystem inflammatory syndrome in
children during the Covid-19 pandemic. J Am Med Assoc
Dermatol.2021; 157(2): 207-12.
60. Nakra NA, Blumberg DA, Herrera-Guerra A,
Lakshminrusimha S. Multi-system inflammatory
syndrome in children (MIS-C) following SARS-CoV-2
infection: review of clinical presentation, hypothetical
pathogenesis, and proposed management. Children 2020;
7: 69. Doi:10.3390/children7070069.
61. Rowley AH. Diagnosisng SARS-CoV-2 related multisystem
inflammatory syndrome in children (MIS-C): focus on the
gastrointestinal tract and teh myocardium. Clin Infect
Dis.2020; https://doi.org/10.1093/cid/ciaa1080/5876871.
62. Jonat B, Cheung E. New York Prebysterian Kids Hospital:
Pediatric guidelines for COVID-19 multi-system
inflammatory syndrome. Diunduh tanggal 20 Mei 2020.
63. Aronoff SA, Hall A, DelVecchio MT. The natural history of
severe acute respiratory syndrome coronavirus 2-related
multisystem inflammatory syndrome in children: a
systematic review. J Ped Infect Dis Soc.2020; 9(6): 746-51
64. Stevens JP, Brownell JN, Freeman AJ, Bashaw H. COVID-19
associated multisystem inflammatory syndrome in children
presenting as acute pancreatitis. J Pediatr Gastroenterol
Nutr.2020; doi:10.1097/MPG.0000000000002860.
65. Tullie L, Ford K, Bisharat M, Watson T, Thakkar H,
Mullassery D, et al. Gastrointestinal features in children
with COVID-19: an observation of varied presentation
in eight children. Lancet Child Adolesc Health.
2020;4:e19-e20.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 157
66. Piciche M. Cardiac involvement in SARS-CoV-2 associated
inflammatory syndromes. Trends in Cardiovascular
Med.2020; https://doi.org/10.1016/j.tcm.2020.07.004
67. Rekhtman S, Tannenbaum R, Strunk A, Birabaharan M,
Wright S, Garg A. Mucocutaneous disease and related
clinical characteristics in hospitalized children and
adolescents with Covid-19 and multisystem inflammatory
syndrome in children. J Am Acad Dermatol.2020; https://
doi.org/10.1016/j.jaad.2020.10.060
68. Blatz AM, Oboite M, Chiotos K, Castello-Soccio L, John
ARO, the Children’s Hospital of Philadelphia MIS-C
Research Collaborative. Cutaneous findings in SARS-
CoV-2-associated multisystem inflammatory disease
in children (MIS-C). Open Forum Infect Dis. 2021;
doi: 10.1093/ofid/ofab074
69. Shenker J, Trogen B, Schroeder L, Ratner AJ, Kahn
P. Multisystem inflammatory syndrome n children
associated with status epilepticus. J Pediatr.2020; https://
doi.org/10.1016/j.jpeds.2020.07.062
70. Schupper AJ, Yaeger KA, Morgenstern PF. Neurological
manifestations of pediatric multi-system inflammatory
syndrome potentially associated with COVID-19. Child’s
Nervous System 2020; https://doi.org/10.1007/s00381-020-
04755-8
71. Hutchinson L, Plichta Am, Lorea Y, Madora M, Ushay
HM. Neuropsychiatric symptoms in an adolescent boy
with multisystem inflammatory syndrome in children.
Psychosomatics 2020.
72. Regev T, Antebi M, Eytan D, Shachor-Meyouhas Y,
Ilivitzki A, Aviel YB, Ben-Ari J. Pediatric inflammatory

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


158 Challenges & Opportunities
multisystem syndrome with central nervous system
involvement and hypocomplementemia following SARS-
CoV-2 infection. Pediatr Infect Dis J.2020; 39(8): e206.
73. Baccarella A, Linder A, Spencer R, et al. Increased
intracranial pressure in the setting of multisystem
inflammatory syndrome in children, associated with
Covid-19. Pediatr Neurol.2020; https://doi.org/10.1016/j.
pediatrneurol.202011.008
74. LaRovere KL, Riggs BJ, Poussaint TY, et al. Neurologic
involvement in children and adolescents hospitalized
in the United States for Covid-19 or multisystem
inflammatory syndrome. J Am Med Assoc Neurol.2021;
doi:10.1011/jamaneurol.2021.0504
75. Cheong RCT, Jephson C, Frauenfelder C, et al.
Otolaryngologic manifestations in pediatric inflammatory
multisystem syndrome temporally associated with
Coivd-19. Letter. J Am Med Assoc.2020; doi:10.1001/
jamaoto.2020.5698
76. Tamez-Rivera O, Villareal-Trevino AV, Castaneda-
Macazaga T, Britton-Robles SC, Ramos-Gomez LI, Rubio-
Perez NE. Abnormal nailfold capillaroscopy in a patient
with multisystem inflammatory syndrome in children.
Ped Infect Dis J.2020; 40(3): e113-5.
77. Miller J, Cantor A, Zachariah P, Ahn D, Martinez M,
Margolis K. Gastrointestinal symptoms as a major
presentation component of a novel multisystem
inflammatory syndrome in children (MIS-C) that is
related to COVID-19: a single center experience of 44
cases. Gastroenterol.2020; https://doi.org/10.1053/j.
gastro.2020.05.079

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 159
78. Feng Z, Bao Y, Yang Y, Zheng Y, Shen K. Severe acute
respiratory syndrome coronavirus 2-induced multisystem
inflammatory syndrome in children. Pediatr Investig.
2020; 4(4): 257-62.
79. Henderson LA, Yeung RSM. MIS-C: early lessons from
immune profiling. Nat Rev Rheumatol.2020; https://doi.
org/10.1038/s41584-020-00566-y
80. Kabeerdoos J, Pilania RK, Karkhele R, Kumar TS, Danda
D, Singh S. Severe COVID19, multisystem infammatory
syndrome in children, and Kawasaki disease:
immunological mechanisms, clinical manifestations
and management. Rheumatology International 2020;
https://doi.org/10.1007/s00296-020-04749-4
81. Teo JT, Abidin NH, Cheah FC. Severe acute respiratory
syndrome-coronavirus-2 infection: A review of the clinical-
pathological correlations of coronavirus disease-19 in
children. Malaysia J Pathol. 2020; 42(3): 349 – 61.
82. Diorio C, Henrickson SE, Vella LA, McNerney KO, Chase
J, Burudpakdee C, Lee JH, Jaen C, Balamuth F, Barrett DM,
Banwell BL, Bernt KM, Blatz AM, Chiotos K, Fisher BT,
Fitzgerald JC, Gerber JS, Gollomp K, Gray C, Grupp SA,
Harris RM, Kilbaugh TJ, John ARO, Lambert M, Liebling
EJ, Paessler ME, Petrosa W, Phillips C, Reilly AF, Romberg
ND, Seif A, Sesok-Pizzini DA, Sullivan KE, Vardaro
J, Behrens EM, Teachey DT, Bassiri H. Multisystem
inflammatory syndrome in children and COVID-19 are
distinct presentations of SARS-CoV-2. J Clin Invest.2020;
https://doi.org/10.1172/JCI140970
83. Ramcharan T, Nolan O, Lai CY, Prabhu N, Krisnamurthy
R, Richter AG, Jyothish D, Kanthimathinathan HK, Welch

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


160 Challenges & Opportunities
SB, Hackett S, Al-Abadi E, Scholefield BR, Chikermane
A. Pediatric inflammatory multisystem syndrome:
temporally associated with SARS-CoV-2 (PIMS-TS):
cardiac features, maagement and short-term outcomes
at a UK tertiary pediatric hospital. Pediatr Cardiol.2020;
https://doi.org/10.1007/s00246-020-02391-2
84. Blumfield E, Levin TL, Kurian J, Lee EY, Liszewski MC.
Imaging findings in multisystem inflammatory syndrome
in children (MIS-C) associated with COVID. AJR.2020;
doi:10.2214/AJR.20.24032.
85. Jhaveri S, Ahluwalia N, Kausnik S, Trachtman R, Kowalsky
S, Aydin S, Stern K. Longitudinal echocardiographic
assessment of coronary arteries and left ventricular
function following multisystem inflammatory syndrome in
children (MIS-C). J Pediatr.2020; https://doi.org/10.1016/j.
jpeds.2020.08.002
86. Blondiaux E, Parisot P, Redheuil A, Tzaroukian L, Levy Y,
Sileo C, Schnuriger A, Lorrot M, Guedj R, Le Pointe HD.
Cardiac MRI of children with multisystem inflammatory
syndrome (MIS-C) associated with COVID-19: case series.
Radiology 2020; https://doi.org/10.1148/radiol.2020202288.
87. Paniz-Mondolfi A, Bryce C, Grimes Z, Gordon RE, Reidy
J, Lednicky J, Sordillo EM, Fowkes M. Central nervous
system involvement by severe acute respiratory syndrome
coronavirus‐2 (SARS‐CoV‐2). J Med Virol.2020; https://
doi.org/10.1002/jmv.25915
88. Bassareo PP, Calcaterra G, Fanos V. Covid-19, Kawasaki
disease, and multisystem inflammatory syndrome
in children. J Pediatr.2020; https://doi.org/10.1016/j/
jpeds.2020.06.033.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 161
89. Ouldali N, Toubiana J, Antona D, et al. Association of
intravenous immunoglobulin plus methylprednisolone
vs immunoglobulins alone with course of fever in
multisystem inflammatory syndrome in children. J Am
Med Assoc.2021; 325(9): 855-64.
90. Lang P, Eichholz T, Bakchoul T, et al. Defibrotide for
the treatment of pediatric inflammatory multisystem
syndrome temporally associated with severe acute
respiratory syndrome coronavirus 2 infection in 2 pediatric
patients. J ped Infect Dis Soc.2020; 9(5): 622-5.
91. Klocperk A, Parackova A, Dissou J, Malcova H, Pavlicek P,
Vymazal T, Dolezalova P, Sediva A. Case report: Systemic
inflammatory response and fast recovery in a pediatric
patient with COVID-19. Front. Immunol.2020; 11: 1665.
Doi:10.3389/fimmu.2020.01665.
92. Dhanalakshmi K, Venkataraman A, Balasubramanian S,
Madhusudan M, Amperayani S, Putilibai S, Sadasivsam
K, Ramachandran B, Ramanan AV. Epidemiological and
clinical profile of pediatric inflammatory multisystem
syndrome-temporarily associated with SARS-CoV-2
(PIMS_TS) in Indian children. Indian Pediatr.2020;
S097475591600220.
93. Clouser KN, Gadhavi J, Bhavsar SM, et al. Short-term
outcomes after multisystem inflammatory syndrome in
children treatment. J Ped Infect Dis Soc.2021; 10(1): 52-6.
94. Kam KQ, Ong JSM, Lee JH. Kawasaki disease in the
COVID-19 era: a distinct clinical phenotype? Lancet
Child Adolesc Health.2020; https://doi.org/10.1016/S2352-
4642(20)30175-9.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


162 Challenges & Opportunities
95. Moraleda C, Serna-Pascual M, Soriano-Arandes A, et al.
Multi-Inflammatory Syndrome in Children related to
SARS-CoV-2 in Spain. Clin Infect Dis 2020.
96. Vogel TP, Top KA, Karatzios C, et al. Multisystem
inflammatory syndrome in children and adults (MIS-
C/A): Case definition & guidelines for data collection,
analysis, and presentation of immunization safety data.
Vaccine 2021; https://doi.org/10.1016/j.vaccine.2021.01.054

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 163
Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:
164 Challenges & Opportunities
REFERRAL MANAGEMENT FOR
CHILDREN WITH COVID-19

Saptadi Yuliarto

PENDAHULUAN
Pandemi coronavirus disease 2019 (COVID-19) membawa
dampak besar bagi layanan kesehatan, terutama pada negara
dengan sarana prasarana terbatas. Dampak tersebut berkaitan
dengan kapasitas rawat inap, jumlah tenaga kesehatan, dan
alat-alat medis. Hal ini diperberat oleh tidak meratanya
layanan kesehatan yang layak sebagai tempat perawatan
COVID-19 di Indonesia.
Data tahun 2017 menunjukkan rasio tempat tidur rumah
sakit terhadap jumlah penduduk Indonesia adalah 1 per 1000
penduduk; jauh lebih kecil dibandingkan Jepang 13,1 per 1000
penduduk, yang merupakan rasio terbesar di dunia. Rasio ini
tidak merata, DKI Jaya memiliki rasio terbesar 2/1000, diikuti
oleh Sulawesi Selatan 1,53/1000, Jawa Tengah 1,15/1000, dan
Jawa Timur 1,07/1000. Bahkan di beberapa provinsi besar,
rasio ini di bawah 1/1000, yaitu: Riau 0,98/1000, Kalimantan
Tengah 0,91/1000, Banten 0,87/1000, dan Jawa Barat 0,85/1000.
Kurangnya pemerataan fasilitas kesehatan, khususnya
di era pandemi COVID-19, menyebabkan beban perawatan
terpusat rumah sakit (RS) rujukan, terutama perawatan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 165
intensif untuk pasien yang membutuhkan tunjangan napas
dan hemodinamik. Akibatnya, transportasi menjadi proses
kunci dalam kesinambungan perawatan pasien. Terbatasnya
jumlah RS rujukan memadai dalam 1 provinsi, menimbulkan
kesulitan transportasi antar RS terkait jarak dan proses
transfer. Variasi kondisi geografis di Indonesia membuat moda
transportasi menjadi suatu masalah. Ditambah pula, proses
transfer pasien COVID-19 harus memperhatikan pencegahan
transmisi ke petugas dan lingkungan sekitar. Secara
keseluruhan, transportasi menjadi proses yang menantang.
Untuk menjamin keselamatan pasien selama transportasi,
perlu dilakukan langkah-langkah terencana dan terstruktur
yang dipahami oleh RS rujukan dan perujuk, sehingga
menghasilkan suatu layanan pasien kritis terintegrasi.1,2
Ketiadaan protokol atau alur sistematis menyebabkan
kelambatan manajemen pra-hospital dan pra-rujukan.3

DEFINISI
Transportasi pasien anak sakit kritis adalah proses
pemindahan pasien anak antar RS, terutama ke RS dengan
fasilitas lebih lengkap.4 Proses transportasi dapat pula berarti
pemindahan pasien antar ruangan di dalam RS.

PRINSIP TRANSPORTASI ANAK SAKIT KRITIS


Tujuan transportasi anak sakit kritis adalah: (1) melanjutkan
tindakan resusitasi atau stabilisasi, (2) menghubungkan
layanan kegawatan dasar dengan rawat intensif lanjutan, dan
(3) mencegah penurunan kondisi respirasi dan hemodinamik
pasien.4,5 Oleh karena itu, sebelum memutuskan tindakan
transportasi pada anak sakit kritis, harus diperhatikan dan
dipenuhi prinsip-prinsip berikut:5

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


166 Challenges & Opportunities
1. Pasien mendapatkan keuntungan bila ditransfer ke rumah
sakit rujukan. Ini merupakan syarat mutlak dan penting
dipenuhi.
2. Risiko transportasi harus lebih kecil daripada manfaat.
Jika risikonya lebih besar, sebaiknya jangan melakukan
transfer.
3. RS rujukan mempunyai kesiapan fasilitas dan modalitas
untuk mempercepat kesembuhan pasien.
4. Komunikasi antara kedua institusi.
5. Pasien harus dalam keadaan stabil, atau paling tidak
kondisi bahaya sudah dikelola lebih dulu.
6. Pengambil keputusan harus melibatkan Dokter Penanggung
Jawab Pelayanan (DPJP) dan orang tua (atau keluarga).
7. Diperlukan personel yang terlatih dan kompeten, serta
peralatan dan kendaraan khusus.
8. Stabilisasi pasien, kontinuitas terapi, dan keperawatan
selama proses transportasi.
9. Serah terima harus menjamin kontinuitas terapi dan
keperawatan.
Berbeda dengan pasien dewasa, sebagian besar pasien
anak kritis tidak membutuhkan intervensi canggih.
Tunjangan oksigen, resusitasi cairan, atau obat-obatan
vasoaktif merupakan tatalaksana utama.4,6 Banyak penelitian
menunjukkan kecepatan transportasi bukan penentu utama
keberhasilan tatalaksana pasien kritis anak, sehingga tindakan
resusitasi dan stabilisasi harus dilakukan secepat mungkin
sebelum rujukan dan memastikan pasien dalam kondisi
“stabil” saat transfer. Kadang stabilisasi perlu dilanjutkan
selama proses transfer untuk menjamin kondisi pasien

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 167
tetap stabil sampai di RS rujukan; hal ini membutuhkan tim
spesialisasi kegawatan anak dan alat memadai.4,5
Untuk transportasi pasien COVID-19, ada beberapa
prinsip tambahan yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Proses transfer harus menghindari risiko transmisi
kepada petugas dan lingkungan:
a. Mengurangi aerosol generating procedure (AGP)
b. Penggunaan isolation stretcher
c. Penggunaan APD level 3 pada petugas
d. Mengurangi jumlah tempat transit pasien
e. Dekontaminasi ambulans dan alat medis
f. Penanganan berkas rekam medis pasien
2. Adanya sistem komunikasi yang baik antar RS atau antar
petugas:
a. RS rujukan harus mempunyai jalur telepon yang
diketahui secara umum
b. RS rujukan harus mempunyai alur komunikasi dan
alur pasien yang diketahui oleh RS perujuk
c. RS perujuk harus memberikan data selengkapnya
kepada RS rujukan
3. Sedapatnya RS perujuk melakukan skrining atau
penegakan diagnosis pra-rujukan untuk mengurangi
beban diagnostik RS rujukan.

PROSES TRANSPORTASI DENGAN MINIMAL TRANSMISI


Beberapa prosedur kegawatan termasuk dalam aerosol
generating procedure (AGP), antara lain: intubasi-ekstubasi,
penghisapan jalan napas terbuka (open suctioning), ventilasi
dengan balon dan sungkup, ventilasi non-invasif, nebulisasi,

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


168 Challenges & Opportunities
resusitasi jantung paru sebelum intubasi atau saat intubasi,
dan setiap prosedur yang harus melepas sambungan
ventilator. Selama proses transportasi, beberapa prosedur
tersebut mungkin dilakukan bila terdapat perburukan klinis
pasien. Untuk itu, beberapa hal harus diperhatikan untuk
mencegah risiko transmisi atau aerosol:
1. Seluruh petugas menggunakan APD level 3 sejak kontak
dengan pasien sampai ambulans di-dekontaminasi
2. Seluruh alat ventilasi (balon sungkup, pipa ventilator)
dihubungkan dengan filter high-efficiency particulate air
(HEPA)
3. Menghindari ventilasi mouth to mouth/mask saat melakukan
bantuan hidup dasar.
4. Stabilisasi pasien harus dilakukan sebelum rujukan,
terutama pada pasien dengan gawat napas. Advanced
airway (laryngeal mask airway/LMA atau pipa endotrakeal)
sebaiknya dipasang di RS perujuk.
5. Menggunakan sistem penghisapan tertutup (closed
suction)
6. Mempunyai protokol transportasi dan strategi bila
sewaktu-waktu diperlukan AGP
Isolation stretcher (brancard tertutup) telah dikembangkan
untuk mencegah transmisi droplet dari pasien ke lingkungan;
beberapa telah dilengkapi dengan tekanan negatif.7 Isolation
stretcher sebaiknya memiliki beberapa lubang akses di
dindingnya untuk memudahkan prosedur, tanpa harus
membuka penutup. Selain itu, juga sebaiknya memiliki desain
yang memudahkan mobilisasi dengan atau tanpa ambulans,
serta memudahkan dalam proses pemeriksaan radiologi (CT

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 169
scan atau foto rontgen). Sampai saat ini belum ada standar
baku tentang desain dan penggunaan; begitu pula belum ada
bukti penelitian tentang efektivitasnya.8 Namun, alat ini telah
banyak digunakan dalam proses transfer pasien.
Rekam medis pasien berpotensi sebagai sumber penularan.
Saat ini belum ada protokol baku mengenai penanganan
rekam medis, namun perlu dilakukan upaya pemisahan
berkas rekam medis dengan pasien. Rekam medis elektronik
(paperless) sangat ideal, walaupun mungkin menjadi masalah
dari segi hukum. RS perujuk sedapat mungkin menangani
rekam medis di ruang yang terpisah dengan ruang perawatan
pasien, serta tidak melibatkan keluarga pasien dalam
pengurusannya. Saat melakukan rujukan, rekam medis pasien
harus dibungkus dalam plastik tertutup dan tidak diletakkan
di samping tubuh pasien. Hal ini akan mengurangi transmisi
penularan pada petugas di RS rujukan.
Setelah transfer selesai, sangat penting melakukan
dekontaminasi atau disinfeksi terhadap seluruh area yang
bersentuhan dengan pasien di ambulans. Disinfeksi dapat
dilakukan dengan larutan 0.5% natrium hipoklorit (setara
dengan 5000 ppm) dengan perbandingan 1 bagian disinfektan
untuk 9 bagian air.9

SISTEM KOMUNIKASI RUJUKAN


Secara umum, komunikasi dilakukan oleh RS (dokter)
perujuk kepada RS rujukan, serta antara RS perujuk
dan keluarga. RS perujuk harus memberitahukan: (1)
indikasi rujukan, (2) identitas pasien, (3) riwayat penyakit
(anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang),
(4) intervensi selama fase stabilisasi dan respon pasien, (5)
temuan pemeriksaan fisik, (6) terapi yang sedang berjalan,

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


170 Challenges & Opportunities
dan (7) kemungkinan penyulit selama transportasi. Secara
khusus, pada pasien COVID-19 perlu diinformasikan hasil
pemeriksaan serologis, antigen, atau PCR sehingga RS rujukan
dapat menyiapkan tempat perawatan yang sesuai.
RS rujukan harus memiliki jalur telepon (hotline) yang
diketahui secara umum untuk memudahkan masyarakat atau
RS lain dalam berkonsultasi. RS rujukan harus mendiskusikan
dan mengkonfirmasi ketersediaan fasilitas yang dibutuhkan
dan terapi tambahan untuk stabilisasi sebelum transfer.
Dengan kemudahan teknologi informasi saat ini, pembuatan
chat group (Whatsapp, Telegram) atau komunikasi virtual
(zoom, Google meet) memudahkan diskusi pra-rujukan.
Protokol dan alur manajemen pasien di RS rujukan sebaiknya
diketahui oleh RS perujuk untuk menghindari ambulans
melakukan kesalahan alur atau lokasi saat mengantar pasien.
Hal ini juga memudahkan RS perujuk dalam memberikan
informasi rencana penanganan kepada keluarga pasien.
Komunikasi dengan keluarga merupakan tantangan
tersendiri. Waktu yang singkat dan kebutuhan melakukan
tindakan emergensi, menyebabkan komunikasi menjadi
terburu-buru. Ditambah pula masih banyak mispersepsi
COVID-19 di masyakat. RS perujuk harus berkomunikasi
dengan keluarga mengenai (1) alasan dan manfaat
rujukan dan (2) risiko atau kemungkinan penyulit selama
transportasi. Untuk persetujuan transportasi, keluarga harus
menandatangani informed consent.
Sebelum memulai transfer, RS perujuk harus benar-benar
paham tentang: (1) alasan dan kebutuhan perawatan pasien,
(2) status COVID pasien, (3) lokasi pengantaran pasien, (4)
risiko atau penyulit selama transportasi, (5) protokol dan
alur yang digunakan oleh RS rujukan. RS perujuk juga harus

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 171
memberitahu waktu keberangkatan dan estimasi kedatangan
agar RS rujukan dapat menyiapkan tempat dan petugas.
Kesiapan RS rujukan penting untuk mengurangi kemungkinan
pasien melalui beberapa tempat transit, yang akibatnya
meningkatkan risiko penularan. Sedapat mungkin, pasien
langsung dibawa ke ruang isolasi tanpa harus menunggu
pengurusan administrasi atau melalui perawatan IGD, kecuali
untuk pasien yang memerlukan stabilisasi. Penilaian triage
pasien dapat dilakukan melalui komunikasi selama proses
transfer; lebih baik bila menggunakan komunikasi virtual.
Bila tim transportasi akan tiba di RS rujukan, perlu
dikomunikasikan bahwa dalam waktu dekat pasien akan tiba,
sehingga petugas IGD telah siap menerima dan menunjukkan
jalan ke PICU. Begitu pula pintu-pintu akses sudah siap
dibuka. Petugas administrasi juga harus mengetahui adanya
transportasi pasien kritis ini. Perawat dan dokter PICU juga
harus siap menerima pasien. Langkah-langkah yang harus
dilakukan adalah:
1. Kontinuitas perawatan & pengobatan
2. Pengurusan administrasi kepindahan
3. Serah terima rekam medis
4. Serah terima alat kesehatan dan obat
5. Serah terima hasil pemeriksaan penunjang dan informed
consent
6. Memperkenalkan orang tua kepada tim RS rujukan

SISTEM KLUSTER WILAYAH


Sistem kluster wilayah merupakan konsep pembentukan
jejaring regional antar RS di suatu wilayah atau provinsi.
Sebuah kluster terdiri atas RS tipe A sebagai pusat rujukan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


172 Challenges & Opportunities
dengan beberapa RS tipe B-C dan Puskesmas sebagai satelit.
RS tipe A adalah RS yang mampu menyediakan layanan ruang
isolasi intensif untuk pasien yang membutuhkan tunjangan
napas (ventilasi mekanis invasif) dan tunjangan lanjut lainnya
(hemodinamik, ruang operasi, layanan diagnostik canggih).
Sedangkan, RS tipe B-C diharapkan mampu menyediakan
layanan intermediate atau semi-intensif untuk pasien kritis
derajat sedang, antara lain: ventilasi mekanis non-invasif,
hemodinamik, dan layanan diagnostik dasar. RS tipe C-D
atau Puskesmas diharapkan mampu menyediakan ruang
isolasi untuk pasien dengan derajat sakit ringan.
Bila sejumlah kluster dapat terbentuk di 1 provinsi,
dapat mengurangi beban layanan RS rujukan utama, yang
biasanya hanya berjumlah 1-2. RS rujukan utama provinsi
dapat berkonsentrasi menangani pasien dengan masalah
kompleks atau pasien derajat berat yang membutuhkan
layanan intensif canggih (ventilasi mekanis invasif, ECMO,
CRRT). Hal ini juga dapat mengurangi kelelahan petugas
kesehatan karena layanan pasien terdistribusi merata. Terkait
masalah transportasi, sistem kluster dapat memperpendek
jarak transport pasien dan mengurangi kebutuhan moda
transportasi udara atau air, kecuali pada daerah dengan
kondisi geografis sulit.

RINGKASAN
• Masalah transportasi dan rujukan pada pasien COVID-19
anak adalah: (1) tidak meratanya RS yang mempunyai
ruang isolasi memadai, (2) transportasi dengan konsep
pencegahan transmisi, (3) variasi geografis tiap daerah.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 173
• Kunci keberhasilan transportasi dan rujukan pasien
COVID-19 adalah: (1) stabiliasi dan manajemen pra-
rujukan. (2) komunikasi intensif, (3) protokol/alur rujukan
dan manajemen pasien yang jelas.
• Sistem kluster wilayah merupakan salah satu alternatif
pemecahan masalah layanan dan transportasi pasien
COVID-19.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


174 Challenges & Opportunities
DAFTAR PUSTAKA

1. Bredmose PP, Diczbalis M, Butterfield E, et al. Decision


support tool and suggestions for the development of
guidelines for the helicopter transport of patients with. sc
2020;28(43):1–8.
2. Tien H, Sawadsky B, Lewell M, Peddle M. Critical care
transport in the time of COVID-19. Can J Emerg Med
2020;22(Suppl. 2):S84–8.
3. Ageta K, Naito H, Yorifuji T, et al. Delay in Emergency
Medical Service Transportation Responsiveness during
the COVID-19 Pandemic in a Minimally Affected Region.
Acta Med Okayama 2020;74(6):513–20.
4. Felmet K, Orr RA, Han YY, Roth KR. Pediatric Transport:
Shifting the Paradigm to Improve Patient Outcome. In:
Fuhrman BP, Zimmerman JJ, Clark RSB, et al., editors.
Fuhrman & Zimmerman’s Pediatric Critical Care.
Philadelphia: 2017.
5. Kleinman ME, Donoghue AJ, Orr RA, Kissoon N.
Stabilization and Transport. In: Nichols DG, Shaffner
DH, editors. Roger’s Textbook of Pediatric Intensive Care.
Philadelphia: Wolters Kluwer; 2016.
6. Han YY, Carcillo JA, Dragotta MA, et al. Early Reversal
of Pediatric-Neonatal Septic Shock by Community
Physicians Is Associated With Improved Outcome.
Pediatrics 2003;112(4):793–9.
7. Albrecht R, Knapp J, Theiler L, Eder M, Pietsch U.
Transport of COVID-19 and other highly contagious
patients by helicopter and fixed-wing air ambulance : a

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 175
narrative review and experience of the Swiss air rescue
Rega. Scand J Trauma Resusc Emerg Med 2020;28(40):1–6.
8. Kim SC, Kong SY, Park GJ, et al. Effectiveness of negative
pressure isolation stretcher and rooms for SARS-CoV-2
nosocomial infection control and maintenance of South
Korean emergency department capacity. Am J Emerg
Med 2020;
9. Kementrian Kesehatan. Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19). 2020.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


176 Challenges & Opportunities
RECOGNIZING COVID 19 IN
CHILDREN

Retno Asih Setyoningrum, Rika Hapsari, Arda Pratama Putra Chafid,


Budiman

PENDAHULUAN
Sejak Maret 2020, Indonesia dihadapkan dengan virus
novel corona (SARS-CoV-2). Virus ini pertama kali ditemukan
di Wuhan, Cina dan menyebar secara cepat ke seluruh
dunia. World Health Organization (WHO) mendeklarasikan
sebagai pandemi pada Maret 2020 dan masih berlangsung
sampai sekarang.. Di awal pandemi, literatur sebagian besar
menyatakan infeksi saluran pernapasan atas, pneumonia dan
gejala gastrointestinal sebagai gejala yang dominan infeksi
SARS-CoV-2 pada anak. Kemudian muncul multi-system
inflammatory syndrome in children (MIS-C), sindroma inflamasi
sistemik sebagai salah satu manifestasi lain dari infeksi SARS-
CoV-2. Manifestasi klinis pada dewasa umumnya lebih berat
dibandingkan anak. Meskipun kondisi berat jarang dilaporkan
pada anak dibandingkan dengan dewasa, komplikasi yang
mengancam jiwa, dan kematian terkait penyakit COVID-19
pada anak mulai banyak dilaporkan.1,2

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 177
EPIDEMIOLOGI
Di dunia hingga 15 Desember 2020, terdapat 73,8 juta
pasien dengan konfirmasi positif COVID-19, 1,6 juta pasien
meninggal dan 51,8 juta diantaranya telah dinyatakan
sembuh. Indonesia menjadi negara nomor 1 terbanyak di Asia
Tenggara yang terdampak COVID-19 yaitu 629.429 pasien
dengan konfirmasi positif, 19.111 pasien meninggal dunia,
dan 516.656 pasien dinyatakan sembuh. Sedangkan sampai
Januari 2021 di RSUD Dr. Soetomo, terdapat 121 pasien bayi
dan anak yang terkonfirmasi positif, 15 pasien diantaranya
meninggal dunia.
Anak-anak segala usia bisa tertular COVID-19. Anak-anak,
terutama mereka yang berusia dibawah 12, tampaknya lebih
jarang terkena dibandingkan orang dewasa. Data berbagai
negara menunjukkan anak-anak yang terkonfirmasi positif
mencapai 13% dari keseluruhan kasus yang terkonfirmasi. Di
Amerika Serikat kasus yang dilaporkan ke Centre for Disease
Control and Prevention (CDC), kasus anak-anak usia <18 tahun
mencapai sekitar 10-12% dari kasus yang terkonfirmasi.3

BAGAIMANA ANAK-ANAK TERTULAR COVID-19?


Di awal pandemi, kebanyakan kasus pada anak-anak
diakibatkan oleh pajanan rumah tangga, biasanya dengan
orang dewasa sebagai pasien indeks. Kemungkinan
penularan dari guru atau staf sekolah ke siswa dan diantara
siswa di lingkungan sekolah juga telah dilaporkan, selain juga
dikaitkan dengan penggunaan masker yang tidak konsisten
di sekolah.3

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


178 Challenges & Opportunities
APAKAH ANAK BISA MENULARKAN KE YANG LAINNYA?
Anak-anak segala usia dapat menularkan SARS-CoV-2
kepada orang lain, tetapi tingkat penularan oleh anak kecil
tidak pasti. Anak-anak dan remaja yang lebih tua berpotensi
lebih menularkan SARS-CoV-2. Anak-anak yang terinfeksi
menyebarkan virus SARS-CoV-2 dengan viral load nasofaring
sebanding atau lebih tinggi dibandingkan dewasa. Penularan
oleh anak-anak dan remaja tanpa gejala tampaknya jarang
terjadi ketika pengujian kontak kasus berlangsung efektif dan
strategi pengendalian epidemi betul-betul diterapkan.3

MANIFESTASI KLINIS
Berbagai penelitian telah berupaya untuk mempelajari
manifestasi penyakit COVID-19 pada anak-anak. Namun,
presentasi klinis COVID-19 yang khas pada anak-anak belum
banyak disimpulkan. Bahkan studi yang ada menunjukkan
temuan yang bertentangan. Misalnya, sebuah penelitian dari
Cina menunjukkan bahwa anak-anak dengan COVID-19
mungkin memiliki gejala yang berbeda dengan orang dewasa.
Sebaliknya, penelitian lain melaporkan bahwa COVID-19
memiliki manifestasi yang serupa baik pada anak-anak
maupun orang dewasa.4
Mukosa saluran pernapasan merupakan awal SARS-
CoV-2 bisa sampai ke paru. Dari paru, virus masuk ke
dalam sirkulasi darah dan mencapai organ yang berbeda.
SARS ‐ CoV ‐ 2 dapat menggunakan angiotensin ‐ converting
enzyme 2 (ACE2) sebagai reseptor pejamu untuk masuk dan
menyebabkan infeksi pada manusia. Reseptor ini banyak
ditemukan di berbagai organ, seperti saluran pencernaan,
paru, jantung, dan ginjal. Organ-organ ini menjadi sasaran

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 179
SARS-CoV. Hal ini menyebabkan munculnya hipotesis
penyakit COVID-19 dengan gejala extrapulmoner.5
Sebagian besar anak yang terinfeksi mengalami gejala
ringan dan memiliki prognosis yang lebih baik. Meskipun
alasannya belum jelas, beberapa teori telah diajukan untuk
menjelaskannya. Salah satu kemungkinan bahwa anak-anak
dianggap memiliki lebih sedikit reseptor ACE2 dan TMPRSS2
di jaringan hidung mereka daripada orang dewasa. Reseptor
ini membantu masuknya virus ke tubuh pejamu. Itulah alasan
mengapa pneumonia dan ARDS tidak umum terjadi pada
anak-anak dengan COVID-19 dibandingkan dengan orang
dewasa. Penjelasan lain yang mungkin terkait dengan respons
imun, mediator inflamasi paru yang disebut sebagai badai
sitokin jarang terjadi pada anak-anak. Respons imun yang
berlebihan bisa berakhir pada inflamasi yang berat, sehingga
pada akhirnya menyebabkan kerusakan yang lebih parah.
Anak-anak, dengan sistem kekebalan yang belum matang,
tampaknya kurang mampu untuk meningkatkan badai
sitokin yang menunjukkan mengapa anak-anak tampaknya
tidak bermanifestasi berat.4
Penyakit COVID-19 pada dewasa memiliki gejala sistem
pernapasan mulai dari pneumonia sampai severe acute
respiratory distress syndrome (ARDS). Sedangkan gejala pada
anak lebih ringan dan bervariasi.6 Pada dewasa dilaporkan
case fatality rate mencapai 15 % dibandingkan pada anak <1%.
Pada studi kohort di Cina melibatkan 110 anak memiliki
gejala asimptomatik dengan durasi terdeteksi virus yang
relatif pendek (11-17 hari).7
Manifestasi gejala COVID-19 pada anak sangat beragam,
tergantung dari fase sakit, kondisi kesehatan sebelumnya,

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


180 Challenges & Opportunities
adanya penyakit komorbid, serta gambaran spesifik lainnya
seperti kelainan bawaan atau kelainan dismorfik. Pada anak,
gejala demam adalah yang paling sering yaitu 41,5- 60% kasus
dibandingkan batuk atau gejala sistem pernapasan lainnya.8
Namun studi lain menunjukkan, 4,4% anak asimptomatis,
55,3% memiliki gejala rinofaringitis (demam, batuk, pilek),
dan 8-10% anak memiliki gejala saluran pencernaan seperti
nyeri perut, diare, muntah.9
Derajat penyakit ditentukan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka
klasifikasi klinis dibagi menjadi tanpa gejala, gejala ringan,
sedang, berat dan kritis seperti dijelaskan pada tabel 1.10

Tabel 1. Klasifikasi klinis


Klasifikasi Definisi
Tanpa gejala Hasil uji SARS-CoV-2 positif tanpa ada tanda dan gejala
klinis.
Ringan Gejala infeksi saluran pernapasan atas seperti demam,
fatigue, mialgia, batuk, nyeri tenggorokan, pilek, dan
bersin. Beberapa kasus mungkin tidak disertai demam,
namun mengalami gejala saluran pencernaan seperti mual,
muntah, nyeri perut, diare atau gejala non-respiratori
lainnya.
Sedang Gejala dan tanda klinis pneumonia. Demam, batuk,
takipnue, dapat disertai ronki atau wheezing pada
auskultasi paru tanpa distress napas dan hipoksemia.
Berat Takipneu= frekuensi napas <2 bulan : ≥60x/menit , 2-11
bulan : ≥50x/menit, 1-5 tahun : 30x/menit, >5 tahun : ≥30x/
menit.
Kritis Gejala dan tanda klinis pneumonia berat berupa napas
cuping hidung, sianosis, retraksi subcostal, desaturasi
(saturasi oksigen <92%),
Multisystem Adanya tanda dan gejala bahaya umum seperti kejang,
inflammatory penurunan kesadaran, muntah profus, tidak dapat minum,
syndrome dengan atau tanpa gejala respiratori.
(MIS-C)

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 181
Pasien mengalami perburukan dengan cepat menjadi acute
respiratory distress syndrome (ARDS) atau gagal napas
atau terjadi syok, ensefalopati, kerusakan miokard atau
gagal jantung, koagulopati, gangguan ginjal akut, dan
disfungsi organ multipel atau manifestasi sepsis lainnya.
Anak dan remaja 0-19 tahun yang mengalami demam ≥3
hari DAN disertai dua dari :
a. Ruam atau konjungtivitis bilateral non purulenta atau
tanda inflamasi mukokutaneus pada mulut, tangan dan
kaki
b. Hipotensi atau syok
c. Gambaran disfungsi miokardium, pericarditis,
vaskulitis, abnormalitas koroner (terdiri atas kelainan
pada ekokardiografi, peningkatan Troponin/NT-
proBNP)
d. Bukti adanya koagulopati (peningkatan PT, APTT,
D-dimer)
e. Gejala gastrointestinal akut (diare, muntah, atau nyeri
perut)
DAN
Peningkatan marker inflamasi seperti LED, CRP atau
prokalsitonin
DAN
Tidak ada penyebab keterlibatan etiologi bakteri yang
menyebabkan inflamasi meliputi sepsis bakteri, sindrom
syok karena Stafilokokkus atau Streptokokkus
DAN
Terdapat bukti COVID-19 atau kemungkinan besar kontak
dengan pasien COVID-19.

Selain gejala respiratori, perkembangan penyakit


COVID-19 pada anak juga menunjukkan gejala sistemik
atau Multisystem inflammatory syndrome in Children (MIS-C ).
Pada studi meta analisis oleh Ahmed, dari 662 anak dengan
diagnosis MIS-C, sebanyak 662 anak (100%) memiliki keluhan
demam, 488 anak (73,7%) mengeluh nyeri perut dan diare,
dan 452 anak (68,3%) mengeluh muntah. Telah dilaporkan
sebelumnya bahwa gejala MIS-C hampir serupa dengan
penyakit Kawasaki dan Toxic Shock Syndrome (TSS), sebanyak

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


182 Challenges & Opportunities
343 anak (51,8%) terdapat gejala konjungtivitis dan 372 anak
(56,2%) terdapat rash.11
Selain itu, beberapa laporan kasus di dunia menunjukkan
adanya gejala neurologis pada penyakit COVID-19 pada
anak. Pada dewasa, adanya badai sitokin dan reaksi
thrombosis menyebabkan risiko terjadinya stoke iskemik dan
perdarahan intraserebral. Sebaliknya, kasus neurologis pada
anak dengan COVID-19 jarang dilaporkan. Terdapat 38 anak
dilaporkan dari beberapa negara di Eropa, Amerika dan India,
didapatkan gambaran abnormal enhancement pada gambaran
MRI mengarah pada acute disseminated encephalomyelitis
(ADEM) sebanyak 29%, neuritis sebanyak 71%.12

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Berdasarkan data saat ini, hasil temuan laboratorium
yang khas pada anak-anak belum dapat disimpulkan. Hasil
laboratorium bervariasi sesuai dengan tingkat keparahan
penyakit COVID-19. Pada waktu awal setelah timbulnya
penyakit, jumlah sel lekosit normal atau menurun dan jumlah
limfosit sedikit meningkat. Mayoritas pasien memiliki jumlah
neutrofil yang normal. Kasus yang berat dapat disertai dengan;
peningkatan penanda inflamasi serum seperti D-dimer,
prokalsitonin, kreatin kinase, dan interleukin-6 dan limfosit
yang semakin menurun. Tabel 2 merangkum perubahan
laboratorium yang diamati pada kasus COVID-19 ringan dan
berat pada anak-anak.4

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 183
Tabel 2. Gambaran laboratorium berdasar derajat keparahan
Mild COVID-19 Severe COVID-19
Lymphocytes Lymphocytes
WBC Count WBC Count
Neutrophils
ESR
CK-MB CK-MB
Procalcitonin Procalcitonin
ALT ALT
LDH LDH
AST
IL-10
CRP CRP
D-dimer D-dimer

Notes: $ Decreased, 1 no change, # increase


Abbreviations: LDH, lactate dehydrogenase; WBC, white blood cell count; ALT,
alanine aminotransferase; AST, aspartate aminotransferase; ESR, erythrocyte
sedimentation rate; CRP, c-reactive protein; IL-10, interleukin-10; CK-MB,
creatine kinase-MB

Hasil pemeriksaan laboratorium pada anak hampir


sama pada semua kasus infeksi SARS CoV 2. Kadar leukosit
cenderung meningkat disertai dengan penurunan jumlah
limfosit. Trombositopenia dapat terjadi pada beberapa
kasus. Adanya peningkatan kadar C-reactive protein (CRP)
dan prokalsitonin. Pada beberapa kasus, melaporkan adanya
peningkatan fungsi hati, ferritin, laktat dehidrogenase dan
fungsi koagulasi yang tidak normal serta meningkatnya
D-Dimer, troponin dan BNP.13 Pada serial kasus COVID-19
pada anak didapatkan leukosit normal sebanyak 83%
dan limfopenia sebanyak 3%. Peningkatan kadar laktat
dehidrogenase sebanyak 30% dan peningkatan C-reactive
protein dan prokalsitonin hanya 3%.14
Laporan laboratorium pada anak-anak berbeda dengan
orang dewasa. Berbeda dengan orang dewasa, jumlah sel

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


184 Challenges & Opportunities
darah putih anak-anak semuanya normal, dengan penurunan
jumlah neutrofil dan peningkatan jumlah limfosit. Nilai
prokalsitonin tidak menunjukkan perbedaan antara anak-anak
dan orang dewasa, namun, peningkatan kadar CRP dan IL-6
terlihat pada orang dewasa, tetapi tidak pada anak-anak. Anak
memiliki kadar LDH yang lebih tinggi dibandingkan dengan
orang dewasa. Perbandingan karakteristik hasil laboratorium
pada anak dan dewasa dirangkum pada tabel 3.4

Tabel 3. Perbandingan laboratorium anak dan dewasa


Laboratory Finding Children Adult
White blood cell count Normal Abnormal
Nautrophil Decreased Increased
Lymphocytes Increased Decreased
Abnormal ALT Higher Lower
Abnormal AST Similar Similar
Abnormal CK Lower Higher
Abnormal Myo Higher Lower
Abnormal PT Higher Lower
Abnormal D-dimer Similar Similar
LDH Significantly increased Increased
CRP Decreased Significantly increase
IL-6 Decreased Significantly increase

Abbreviations: ALT, alanine aminotransferase; AST, aspartate aminotransferase;


CRP, c-reactive protein; PT, prothrombin time; CK, creatine kinase; LDH, lactate
dehydrogenase; IL-6, interleukin-6

Pada pemeriksaan radiologi sering menunjukkan


gambaran konsolidasi bilateral pada perifer paru, penebalan
peribronkial dan ground-glass opacities. Pemeriksaan CT scan
toraks menunjukkan multiple patchy inflitrat di bilateral paru,
konsolidasi dan nodular ground-glass opacities, atau bayangan
infiltrat di tengah dan luar area paru atau dibawah pleura.
Gambaran radiologi pada anak lebih tidak spesifik dan lebih
ringan dibandingkan pada gambaran pada dewasa.14

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 185
TERAPI
Terapi COVID-19 pada anak terdiri dari non medika-
mentosa dan medikamentosa. Anak harus dilakukan
perawatan dan pemantauan di ruangan isolasi, pemberian
nutrisi adekuat dan edukasi orang tua terkait dengan tindakan
yang akan dilakukan. Suplementasi oksigen diberikan jika
ada gejala pneumonia pada anak atau kondisi komorbid
lainnya dengan kebutuhan oksigenasi meningkat. Untuk
terapi medikamentosa antara lain : Pemberian Vit C (1-3
tahun maksimal 400mg/hari; 4-8 tahun maksimal 600mg/hari;
9-13 tahun maksimal 1,2gram/hari; 12-18 tahun maksimal
1,8gram/hari); Zink 20mg/hari atau obat suplemen lain dapat
dipertimbangkan untuk diberikan meskipun evidence belum
menunjukkan hasil yang meyakinkan.10 Efikasi pemberian
obat antivirus juga belum belum menunjukkan evidence yang
konsisten.1

PENUTUP
Pandemi COVID-19 saat ini merupakan masalah
kesehatan global. Penelitian yang terkait berkembang dengan
sangat pesat. Pengetahuan tentang COVID-19 pada anak
terus berkembang dari waktu ke waktu. Meskipun lebih
sedikit anak-anak dengan COVID-19, mereka lebih berisiko
daripada orang dewasa untuk terinfeksi virus. Manifestasi
klinis COVID-19 pada anak-anak tidak spesifik dan seringkali
ringan atau tanpa gejala. Kondisi yang berat, seperti
komplikasi yang mengancam jiwa dan kematian dilaporkan.
terapi masih belum menunjukkan evidence yang meyakinkan
terkait dengan efikasinya.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


186 Challenges & Opportunities
DAFTAR PUSTAKA

1. Christophers B, Marin BG, Oliva R, Powell WT, Savage5


TJ and Michelow IC. Trends in clinical presentation of
children with COVID-19: a systematic review of individual
participant data. Pediatric Research Sept 2020
2. García-Salido A, de Carlos Vicente JC, Belda Hofheinz S,
Balcells Ramírez J, Slöcker Barrio M, Leóz Gordillo I, et
al. Severe manifestations of SARS-CoV-2 in children and
adolescents: from COVID-19 pneumonia to multisystem
inflammatory syndrome: a multicentre study in pediatric
intensive care units in Spain. Crit Care. 2020;24:1-13.
3. Deville JG, Song E, Ouellette CP. Coronavirus disease
2019 (COVID-19): Clinical manifestations and diagnosis
in children. Uptodate. 2020.
4. Tiruneh FT. Clinical Profile of Covid-19 in Children,
Review of Existing Literatures. Pediatr Heal Med Ther.
2020;Volume 11:385–92.
5. Pousa PA, Mendonça TSC, Oliveira EA, Simões-e-Silva
AC. Extrapulmonary manifestations of COVID-19 in
children: a comprehensive review and pathophysiological
considerations. J Pediatr (Rio J). 2020;8:1-23.
6. Rabha AC, Oliveira Junior FI de, Oliveira TA de, Cesar
RG, Fongaro G, Mariano RF, et al. Clinical Manifestations
of Children and Adolescents With Covid-19: Report of the
First 115 Cases From Sabará Hospital Infantil. Rev Paul
Pediatr. 2021;39.
7. Hobbs C V., Khaitan A, Kirmse BM, Borkowsky W.
COVID-19 in Children: A Review and Parallels to Other
Hyperinflammatory Syndromes. Front Pediatr. 2020;8:1–11.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 187
8. Ciuca IM. COVID-19 in children: An ample review. Risk
Manag Healthc Policy. 2020;13:661–9.
9. Dong Y, Dong Y, Mo X, Hu Y, Qi X, Jiang F, et al.
Epidemiology of COVID-19 among children in China.
Pediatrics. 2020;145.
10. Erlina B, Agus SD, Nasution SA, Ginanjar E, Pitoyo CW,
Susilo A, et al. Pedoman Tatalaksana COVID-19 Ed 2. Edisi
3. Erlina Burhan, Agus Dwi Susanto, Fathiyah Isbaniah,
Sally Aman Nasution E, Ginanjar, Ceva Wicaksono
Pitoyo, Adityo Susilo, Isman Firdaus AS, Dafsah Arifa
Juzar, Syafri Kamsul Arif, Navy G.H Lolong Wulung FM,
Aman B Pulungan, Hikari Ambara Sjakti, Yogi Prawira
NDP, editors. Pedoman Tatalaksana COVID-19. Jakarta;
2020.
11. Wang E, Brar K. COVID-19 in Children : An Epidemiology
Study from China. J Allergy Clin Immunol Pr.
2020;8(8):2218–20.
12. Ahmed M, Advani S, Moreira A, Zoretic S, Martinez J,
Chorath K, et al. Multisystem inflammatory syndrome
in children: A systematic review. EClinicalMedicine.
2020;26:100527.
13. Lindan CE, Mankad K, Ram D, Kociolek LK, Silvera
VM, Boddaert N, et al. Neuroimaging manifestations in
children with SARS-CoV-2 infection : a multinational ,
multicentre collaborative study. Lancet Child Adolesc
Heal. 2020;2:1–11.
14. Zimmermann P, Curtis N. COVID-19 in Children,
Pregnancy and Neonates: A Review of Epidemiologic and
Clinical Features. Pediatr Infect Dis J. 2020;39:469–77.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


188 Challenges & Opportunities
PENGARUH ERA PANDEMI COVID-19
PADA PENYAKIT GINJAL ANAK

Risky Vitria Prasetyo

Penyakit Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah


penyakit menular yang disebabkan oleh virus Severe Acute
Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2). Pandemi
global COVID-19 telah ditetapkan oleh World Health
Organization (WHO) sejak 11 Maret 2020 dimana saat ini
terdapat lebih dari 121 juta kasus konfirmasi di 221 negara
dan hampir 2,7 juta orang telah meninggal dunia di seluruh
dunia. Penyakit COVID-19 mulai masuk ke Indonesia pada
bulan Februari 2020 dan kemudian dinyatakan sebagai
bencana nasional sejak 14 Maret 2020.1
Dalam perjalanan 1 tahun pandemi ini, telah terjadi
perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat secara
global. Situasi pandemi COVID-19 menjadi pembelajaran
bagi Indonesia, khususnya di bidang kesehatan. Problematika
di bidang kesehatan menjadi semakin terlihat jelas di
era pandemi ini. Kondisi ini menyebabkan timbulnya
kekhawatiran bagi seluruh masyarakat Indonesia terkait
dengan upaya pengendalian dan penanggulangan pandemi
COVID-19 di Indonesia.
Bagi pasien dengan penyakit kronik seperti penyakit
ginjal, jantung, hematologi-onkologi dan lainnya, situasi ini

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 189
membawa keresahan dan ketidakpastian tentang tata cara
kunjungan ke rumah sakit, baik untuk kontrol rutin maupun
rawat inap, tata cara pengambilan obat, dan lain-lain. Pasien
anak dengan penyakit kronik tentunya tidak lepas dari
masalah ini, terutama pasien dengan penyakit ginjal kronik
(PGK) stadium akhir (end-stage kidney disease, ESKD) yang
menjalani dialisis dan transplantasi ginjal.
Demikian pula harus dipikirkan tentang efek kerusakan
ginjal akibat serangan virus SARS-CoV-2 secara sistemik.
Pasien dapat jatuh ke gangguan ginjal akut (acute kidney injury,
AKI) dan/atau berlanjut ke PGK.
Masalah pengaruh Pandemi COVID-19 terhadap berbagai
spektrum penyakit ginjal anak inilah yang akan dibahas lebih
lanjut pada makalah ini.

A. COVID-19 DAN PENYAKIT GINJAL


Perjalanan penyakit COVID-19 ini telah diketahui
akan lebih berat dengan adanya faktor risiko seperti
pasien PGK, pasien yang menjalani dialisis dan resipien
transplantasi ginjal. Masih belum banyak informasi tentang
risiko pada pasien penyakit ginjal yang terkait imunologi
yang mendapatkan terapi obat imunosupresan.2
Konsorsium berbagai perkumpulan ahli nefrologi
di dunia, termasuk nefrologi anak, bersama-sama
mengeluarkan pernyataan bersama pada awal era
pandemi COVID-19: 3
1. Memastikan proses diagnostik dan terapi pasien
dengan gangguan ginjal akut dan kronik tetap berjalan
dengan baik dan tidak tertunda, termasuk akses
mendapatkan pengobatan yang esensial, dialisis, dan
transplantasi ginjal yang aman.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


190 Challenges & Opportunities
2. Memastikan ketersediaan alat pelindung diri (APD)
yang sesuai dalam jumlah cukup untuk melindungi
tenaga kesehatan dan pasien melalui pengendalian
sistem pembelian, distribusi, persediaan dan
penggunaan secara rasional.
3. Memastikan perbaikan kapasitas jumlah uji
COVID-19.
4. Meningkatkan strategi pelatihan cepat untuk tenaga
kesehatan dalam memberikan pelayanan untuk
pasien dengan gangguan ginjal akut dan kronik,
baik di rumah maupun di rumah sakit, dan strategi
penggunaan APD, termasuk dalam berbagai variasi
situasi dan kondisi.
5. Mendukung penelitian kolaborasi dan pengumpulan
dan analisis data, serta penyebaran informasi tentang
COVID-19 terkait AKI dan ESKD secara luas ke
seluruh dunia.
6. Membagikan hasil dari semua kegiatan yang telah
dilakukan secara luas untuk menginisiasi terbitnya
petunjuk (guidelines) dan rekomendasi yang relevan
dengan kapasitas pelayanan kesehatan di tiap negara.

EPIDEMIOLOGI
Tingkat infeksi COVID-19 lebih rendah pada anak
dimana didapatkan sebanyak 220 anak kasus konfirmasi
di seluruh Inggris Raya, dimana 44,4% mempunyai
penyakit dasar lainnya dan 2 orang diantaranya menderita
PGK.4 Penelitian prospektif selama periode Maret sampai
Juli 2020 didapatkan 5 anak di Inggris dengan kasus
konfirmasi COVID-19, termasuk PGK stadium 4 dan 5D.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 191
Median umurnya 11 tahun dan didominasi oleh laki-laki.
Dapat disimpulkan bahwa infeksi COVID-19 pada anak
dengan penyakit kronik jarang ditemukan.4
Di Indonesia, angka kejadian COVID-19 pada pasien
ginjal anak sebesar 10 (6,1%) dari 164 pasien bayi dan
anak yang terinfeksi COVID-19 di RSUD Dr Soetomo
Surabaya Indonesia. Sebagian besar pasien tersebut tidak
menunjukkan gejala COVID-19, sebagian menunjukkan
gejala ringan (demam, batuk dan pilek). Tidak ada pasien
yang sakit berat atau meninggal dunia.5
Prevalensi infeksi COVID-19 pada pasien dialisis
bervariasi antara 3-6% di Eropa dan Amerika Serikat.
Registri Prancis melaporkan insidensi sebesar 6% dari
seluruh pasien dialisis dengan sumber penularan dari
komunitas. Tingkat mortalitas pasien dialisis yang
terinfeksi COVID-19 mencapai 20%. Tingkat mortalitas
akibat COVID-19 meningkat pada pasien dialisis
dan resipien transplantasi ginjal sesuai dengan hasil
registri >4000 pasien dimana risiko mortalitas setelah
28 hari meningkat 21,1 kali lipat pada 3285 pasien
dialisis. Sedangkan tingkat mortalitas sebesar 19,9%
pada 1013 resipien transplantasi ginjal jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan 0,2% pada kelompok kontrol.
Faktor risiko kematian lebih tinggi bila berusia >75 tahun
dengan tingkat mortalitas sebesar 31,4% pada pasien
dialisis dan 44,3% pada resipien transplantasi ginjal. Jenis
kelamin laki-laki juga lebih berisiko, dapat berkaitan
dengan faktor hormonal, tingkah laku dan genetik.6,7

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


192 Challenges & Opportunities
PASIEN GINJAL AUTOIMUN
Penggunaan imunosupresan, hipertensi dan PGK
merupakan faktor risiko yang secara signifikan berkaitan
dengan derajat keparahan COVID-19 pada populasi
dewasa. Tingkat mortalitas orang berusia lebih dari 75
tahun meningkat mnejadi 5% atau lebih tinggi.8,9
Pada populasi pasien dewasa, penggunaan kortikos-
teroid dengan dosis 10 mg atau lebih ternyata telah
terbukti menjadi faktor risiko terhadap mortalitas.10 Akan
tetapi penelitian RECOVERY melaporkan penggunaan
Deksametason dengan dosis 6 mg terbukti dapat
mencegah mortalitas terkait COVID-19.11 Kontroversi ini
menunjukkan bahwa mekanisme perjalanan penyakit
COVID-19 berbeda pada tiap pasien. Ditambah dengan
tingkat mortalitas yang tinggi, hal ini bisa menjadi dasar
bahwa vaksinasi COVID-19 perlu diprioritaskan pada
pasien dengan penyakit ginjal terkait imunologi.12
Penelitian Melgosa dkk di Spanyol mendapatkan 2 dari
16 anak sindrom nefrotik dependen steroid mengalami
kekambuhan dan 8 anak harus menjalani rawat inap
tetapi tidak membutuhkan oksigen dan semuanya pulih
sempurna dalam 1 bulan. Dari data ini terbukti bahwa
nfeksi COVID-19 dapat memicu kekambuhan pada anak
dengan sindrom nefrotik.13
Penelitian Mastrangelo dkk pada 1572 pasien
ginjal anak (67% populasi anak dengan gangguan
ginjal di Italia) mendapatkan 71% mendapatkan terapi
imunosupresan sehingga rentan untuk terinfeksi virus
dan 14% mendapatkan 3 atau lebih macam obat sekaligus.
Responden penelitian ini terdiri dari 29% pasien PGK

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 193
stadium 3-5 dan 93 anak menjalani dialisis. Hipertensi
didapatkan pada 20% anak. Hasil pemeriksaan swab PCR
untuk SARS-CoV-2 hanya positif pada 3 pasien (0,19%)
yang semuanya bertempat tinggal di area yang transmisi
komunitasnya tinggi. Dari 3 pasien tersebut, 1 pasien
mendapatkan imunosupresan untuk Henöch-Schönlein
purpura, sedangkan 2 pasien lainnya menderita kelainan
kongenital ginjal dan saluran kemih. Gejala ringan
(demam dan kulit merah) didapatkan pada 2 pasien dan
tidak ada pasien yang mengalami leukopenia.8
Penelitian multisenter oleh Marlais dkk yang
tergabung dalam European Rare Kidney Disease Reference
Network dan dilengkapi dengan peneliti dari Eropa,
Asia dan beberapa negara lainnya mendapatkan 113
anak dari 30 negara terinfeksi COVID-19. Mereka semua
mendapatkan terapi imunosupresan untuk berbagai
penyakit ginjal autoimun (sindrom nefrotik, nefritis
lupus, dan transplantasi ginjal) dengan median usia 13
tahun. Imunosupresan yang didapatkan didominasi oleh
glukokortikoid (76%), takrolimus/siklosporin A (58%),
mikofenolat mofetil (54%), dan rituksimab/ofatumumab
(11%). Sebanyak 6 anak mengalami perjalanan penyakit
COVID-19 yang berat sampai memerlukan ventilator
dan akhirnya 4 diantaranya meninggal dunia. Tidak ada
perbedaan signifikan antara status dialisis, jenis penyakit
ginjal primer, dan jumlah obat imunosupresan yang
diminum terhadap derajat keparahan COVID-19 pada
anak. Tidak ada yang mengalami komplikasi berat pada
penelitian ini. Tetap perlu dilakukan upaya pencegahan
seperti pembatasan sosial pada anak.9

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


194 Challenges & Opportunities
Rekomendasi dari Indian Society of Pediatric Nephrology
menyatakan untuk meneruskan dosis imunosupresan
pada anak dengan penyakit ginjal autoimun karena
risiko kekambuhan penyakit primer jauh lebih besar
daripada risiko infeksi COVID-19 pada anak. Pasien
harus mempunyai persediaan obat imunosupresan dan
obat lainnya di rumah minimal selama 4 minggu. Pasien
dipastikan untuk memahami pentingnya hidrasi yang
cukup. Kunjungan rutin ke rumah sakit dapat digantikan
dengan pelayanan medis secara daring. Pemberian dosis
rituksimab atau siklofosfamid secara intravena dapat
ditunda pada pasien yang sudah dalam remisi dan
berisiko rendah untuk kekambuhan.14
Rekomendasi Canadian Association of Pediatric
Nephrologists COVID-19 Rapid Response Team terhadap
pasien anak dengan penyakit glomerular kronik selama
pandemi COVID-19 adalah pentingnya upaya pencegahan
transmisi infeksi, mengurangi beban sistem pelayanan
kesehatan yang berlebihan, membuat rencana mitigasi
untuk akibat dari penundaan diagnosis dan terapi, serta
optimalisasi imunosupresan.15
Data penelitian tersebut melengkapi bukti bahwa
pada populasi anak sehat maupun anak sakit kronik,
ternyata pola infeksinya berbeda dari populasi dewasa.
Hampir tidak ada pasien PGK anak yang terinfeksi
COVID-19, bahkan pasien PGK anak stadium lanjut atau
pasien anak yang sedang mendapatkan imunosupresan.
Bila ada yang terinfeksi maka gejala klinisnya ringan atau
tanpa gejala. Tingkat mortalitas terkait COVID-19 untuk
anak imunkompromais hampir sama dengan anak sehat,
yaitu kurang dari 1%.8,9

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 195
PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK DAN DIALISIS
Pada pasien PGK yang terkena infeksi COVID-19 terjadi
peningkatan tingkat morbiditas dan mortalitas. Oleh sebab itu
pasien PGK stadium 3-5 harus melakukan upaya tambahan
untuk mencegah infeksi COVID-19 ini karena risiko lebih
tinggi untuk menjadi sakit kritis bila terinfeksi.16-21
Selain itu, infeksi COVID-19 membawa ancaman
tersendiri untuk 2-3 juta pasien dialisis di seluruh dunia.
Pasien dengan uremia lebih rentan terhadap infeksi
dan dapat menunjukkan variasi yang lebih luas dalam
manifestasi klinisnya. Risiko penyebaran infeksi dalam
unit hemodialisis juga lebih tinggi, terutama penularan ke
tenaga medis dan pekerja lainnya dalam unit hemodialisis,
sesama pasien, keluarga pasien, dan lain-lain.21 Selain itu,
masalah teknis dan keterbatasan logistik medis akibat
pandemi ini menjadi hambatan bagi akses dialisis, terapi
imunosupresan dan kunjungan rutin ke rumah sakit bagi
para pasien ESKD.22
Sebanyak 37 dari 230 pasien hemodialisis dan 4 dari
33 staf unit dialisis di Renmin Hospital di Wuhan China
terinfeksi COVID-19 selama periode Januari-Februari 2020.
Didapatkan 7 pasien hemodialisis meninggal dunia yang
disebabkan oleh faktor kardiovaskular. Pasien hemodialisis
yang terinfeksi COVID-19 tidak terlalu berat mengalami
limfopenia dengan kadar sitokin inflamasi yang lebih
rendah dan perjalanan klinis yang lebih ringan.21
Penelitian Zhao dkk yang melibatkan 5 pusat utama
dialisis anak di China melalui survei daring pada
pasien dialisis dan transplantasi ginjal anak bersama
keluarganya mendapatkan 220 keluarga menjadi

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


196 Challenges & Opportunities
responden dengan 113 anak menjalani dialisis dan 107
anak merupakan resipien transplantasi ginjal. Tidak ada
pasien dan keluarga yang terinfeksi COVID-19 pada saat
survei. Sebanyak 61% keluarga pasien dialisis anak dan
79% keluarga pasien transplantasi ginjal anak menjumpai
kesulitan dan kekhawatiran dalam menghadapi pandemi
ini. Depresi dilaporkan terjadi pada 13% pengasuh para
pasien anak ini, dan 24% menderita kecemasan.22
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) cepat
tanggap dalam menghadapi pandemi global ini dan
segera mengeluarkan panduan tata kelola unit dialisis
selama pandemi COVID-19 pada bulan April 2020 yang
terbagi menjadi:23
1. Panduan umum skrining untuk mengurangi transmisi
COVID-19 pada unit dialisis
2. Panduan pencegahan transmisi COVID-19 untuk
pasien dan pengunjung
3. Panduan pencegahan transmisi COVID-19 untuk unit
dialisis
4. Panduan pencegahan transmisi COVID-19 untuk staf
dialisis
5. Panduan ruangan pelayanan hemodialisis
6. Alat pelindung diri (APD) yang harus digunakan
7. Panduan desinfeksi peralatan medis dan ruang
pelayanan
8. Pertimbangan unit dialisis untuk memindahkan
pasien hemodialisis ke tempat alternatif untuk
perawatan
9. Panduan untuk pelayanan peritoneal dialisis (PD).

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 197
Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi
COVID-19 di unit dialisis anak di China yang
dipublikasikan April 2020 juga mencakup beberapa hal:24
1. Tata kelola staf, meliputi pelatihan berkala tentang
COVID-19, surveilans epidemiologi, pemantauan
suhu tubuh, APD, kebersihan tangan, cukup istirahat.
2. Tata kelola pasien dialisis, meliputi pendidikan
tentang COVID-19 dan cara pencegahan infeksi,
pelayanan medis jarak jauh, surveilans epidemiologi,
pemantauan suhu tubuh, APD, pembatasan pengantar
pasien, menghindari transfer pasien antar unit dialisis.
3. Tata kelola unit dialisis, meliputi meningkatkan
frekuensi disinfeksi unit, disinfeksi semua barang,
lantai dan udara, tiap pasien anak menggunakan
mesin yang sama, memberi jarak 1 meter antar pasien
di unit dialisis.
4. Tata kelola PD di rumah meliputi tata kelola
lingkungan rumah pasien, pendidikan tentang
COVID-19 dan cara pencegahan infeksi, pelayanan
medis daring, disinfeksi carian drainase PD, APD,
kebersihan tangan.
5. Protokol khusus bila didapatkan pasien dialisis anak/
kontak erat/staf unit dialisis yang dicurigai atau
terkonfirmasi terinfeksi COVID-19.
Rekomendasi tata kelola unit dialisis di India
dikeluarkan Indian Society of Pediatric Nephrology pada Mei
2020 dan secara umum mengatur alur pasien, staf unit
dialisis, unit dialisis dan APD yang disesuaikan dengan
kondisi pasien.14

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


198 Challenges & Opportunities
Masalah fisik, mental, medis, logistik, finansial dan
kekhawatiran tentang masa depan menjadi hal utama
yang harus dihadapi oleh pasien anak yang menjalani
terapi pengganti ginjal (dialisis dan transplantasi ginjal)
beserta keluarganya selama pandemi COVID-19. Masalah
utama bagi pasien dialisis anak adalah kekurangan
persediaan alat dan bahan dialisis (hemodialisis dan
dialisis peritoneal), kesulitan mendapatkan injeksi
Eritropoeitin, dan kekurangan persediaan masker wajah.
Sedangkan masalah utama bagi pasien transplantasi ginjal
anak adalah kesulitan melakukan pemeriksaan darah,
kekurangan persediaan masker wajah, dan kesulitan
melakukan kunjungan rutin ke beberapa klinik spesialis.22
Strategi untuk menyelesaikan masalah tersebut,
antara lain adalah: 22
1. Metode tradisional untuk memberikan pelayanan
kesehatan melalui telepon.
2. Metode intervensi daring, seperti platform farmasi
daring (untuk meminimalisir kemungkinan pasien
dan keluarganya kontak dengan pasien COVID-19
bila harus melakukan kunjungan ke rumah sakit, dan
untuk mencegah tertundanya terapi.
3. Memastikan situasi dan kondisi tiap pasien anak
melalui telepon, sekaligus memeriksa kelengkapan
obat-obatan dan bahan medis lainnya.
4. Memberikan informasi, konsultasi, dan petunjuk
dalam menggunakan platform farmasi daring, atau
pengiriman alat dan bahan medis sesuai keperluan
tiap pasien.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 199
5. Mengurangi kekhawatiran keluarga pasien dengan
mendorong mereka melakukan evaluasi diri dan
melaporkan secara aktif pada tim dokter bila
ada perubahan gejala dan tanda klinis atau hasil
laboratorium untuk mendapatkan saran dan referensi
secara daring.
6. Memberikan dukungan psikologis melalui telepon
untuk pasien dan keluarganya supaya dapat lebih
kuat secara mental dalam menghadapi situasi
pandemi ini.

Strategi tersebut memungkinkan tim dokter


melakukan intervensi jarak jauh untuk pasien dialisis
dan transplantasi ginjal anak yang berada di rumah dan
memastikan keamanan dan keselamatan secara medis
para pasien tersebut bila terpaksa tidak dapat melakukan
kunjungan rutin ke rumah sakit akibat pandemi. Harus
dipastikan ketersediaan sumber daya di pusat dialisis
dengan transmisi COVID-19 di komunitas yang tinggi
di sekitarnya, baik secara daring maupun luring. Bila
diperlukan, hendaknya disiapkan platform daring untuk
berbagai pelayanan kesehatan di rumah sakit agar bisa
melayani lebih banyak pasien dengan menjaga privasi
dan data pasien.22

PASIEN TRANSPLANTASI GINJAL
Pandemi COVID-19 membawa perubahan besar pada
sistem dan kebijaksanaan program transplantasi ginjal di
seluruh dunia. Perubahan ini terjadi berdasarkan beberapa
alasan, antara lain: (1) kekhawatiran bahwa resipien
transplantasi ginjal mempunyai risiko lebih besar untuk

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


200 Challenges & Opportunities
terkena infeksi COVID-19 dengan luaran klinis yang lebih
berat; (2) resipien transplantasi ginjal merupakan pasien
dengan status imunokompromais karena harus menjalani
pengobatan dengan imunosupresan sehingga dapat
berisiko lebih sulit dan lama untuk mengeluarkan virus
dari dalam tubuh bila terinfeksi, dan dengan demikian
meningkatkan risiko transmisi virus di masyarakat
umum; dan (3) kekhawatiran bahwa rumah sakit tidak
mempunyai cukup sumber daya untuk melakukan
prosedur transplantasi ginjal dengan aman dengan
pelayanan optimal sesudah operasi.25,26
Program transplantasi ginjal untuk pasien dewasa di
Amerika Serikat telah dilaporkan terkena dampak dari
pandemi COVID-19 berupa penurunan penambahan
calon resipien di daftar tunggu dan penurunan
pelaksanaan prosedur transplantasi di sebagian besar
pusat transplantasi ginjal di Amerika Serikat. Terjadi
penundaan pada 72% prosedur transplantasi ginjal
dari donor hidup dan pembatasan pada 84% prosedur
transplantasi ginjal dari donor kadaver pada April
2020.27,28
Pengaruh pandemi pada program transplantasi ginjal
anak juga cukup besar. Anak yang terinfeksi COVID-19
pada umumnya asimptomatik atau gejala ringan saja.
Bahkan pada populasi anak yang imunokompromais
karena mendapat terapi imunosupresan, klinisnya
tetap lebih ringan daripada populasi dewasa umum
dan klinisnya sama dengan anak sehat lainnya.9,13,29
Penundaan transplantasi ginjal untuk anak membawa
konsekuensi peningkatan morbiditas dan mortalitas serta

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 201
memperpanjang risiko infeksi COVID-19 selama paparan
di unit dialisis.30,31
Di Amerika Serikat, data menunjukkan penurunan
prosedur transplantasi ginjal anak dari donor hidup
sebesar 82% dan dari donor kadaver sebesar 47% pada
awal pandemi. Daftar tunggu resipien transplantasi ginjal
menjadi tidak aktif dan bahkan dikeluarkan dari daftar
sebanyak 152% dan 189%. Penambahan calon resipien
ke daftar tunggu juga bergantung pada berat ringannya
aktivitas COVID-19 di daerah sekitarnya; terjadi
penurunan bermakna pada daerah yang masih aktif
transmisi COVID-19. Resipien transplantasi ginjal lebih
banyak mendapatkan ginjal melalui donor hidup selama
pandemi. Dampak terhadap program transplantasi ginjal
anak ini bersifat sementara, selanjutnya didapatkan
peningkatan prosedur kembali sejak Mei 2020.32

DAMPAK PSIKOSOSIAL PADA PASIEN GINJAL
Infeksi COVID-19 berdampak negatif terhadap aspek
mental dan sosial pasien dengan ESKD yang menjalani
hemodialisis kronik yang sudah mempunyai beban
psikologis berat sejak awal. Penelitian Lee dkk (2020)
pada 49 pasien ESKD yang menjalani hemodialisis
kronik mendapatkan hampir 80% pasien mengeluhkan
kecemasan sedang sampai berat tentang efek pandemic
pada kesehatan mental/emosional dan hubungan
interpersonal. Lebih dari 85% khawatir tentang terapi
dialisis karena risiko infeksi dari kontak dekat selama
di unit dialisis atau selama perjalanan ke unit dialisis.
Sebanyak 27% mengalami depresi klinis dan 33% pasien

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


202 Challenges & Opportunities
melaporkan kualitas tidur yang menurun. Sedangkan
30% pasien mengalami stress dan 85% merasa kewalahan
dengan berbagai masalah akibat pandemi COVID-19.33

B. COVID-19 ASSOCIATED NEPHROPATHY


COVID-19 merupakan penyakit virus yang terutama
menyerang saluran pernafasan dan paru, akan tetapi
dapat menyebar ke berbagai organ lainnya seperti sistem
saraf, pencernaan, darah, ginjal dan jantung. Manifestasi
klinis penyakit ini bisa ringan (pada pasien yang tidak
mempunyai keluhan gejala apapun) sampai berat yang
dapat berakibat kematian (biasanya berupa sindrom
kegawatan nafas akut). Perjalanan penyakit yang berat
pada umumnya didapatkan pada pasien yang sudah
mempunyai faktor ko-morbiditas berupa penyakit primer
kronik seperti penyakit hati, jantung dan ginjal serta
keganasan.34-38

DEFINISI
Kelainan ginjal sebagai sasaran infeksi COVID-19
akibat invasi langsung oleh virus SARS-CoV-2 ke dalam
tubulus dan jaringan interstisial ginjal dengan manifestasi
klinis berupa munculnya proteinuria dan hematuria, dan
dapat berlanjut sampai terjadinya gangguan ginjal akut
(acute kidney injury, AKI).16-18,34,35,38

EPIDEMIOLOGI
Penelitian terbaru mendapatkan peningkatan
gangguan ginjal pada pasien terinfeksi COVID-19. Li
dkk melakukan pemeriksaan fungsi ginjal pada 59 pasien
COVID-19 yang terdiri dari 28 pasien sakit berat dan 3

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 203
pasien meninggal dunia. Proteinuria didapatkan pada 63%
pasien, peningkatan kadar kreatinin dan urea nitrogen
ditemukan pada 19% dan 27% pasien. Hasil CT scan
ginjal pada 27 pasien menunjukkan inflamasi dan edema
parenkim ginjal di semua pasien tersebut.16 Penelitian lain
di Wuhan oleh Cheng dkk pada 710 pasien terkonfirmasi
infeksi COVID-19 mendapatkan proteinuria pada 44%
pasien, hematuria pada 26,9% dan peningkatan kadar
kreatinin pada 15,5% serta peningkatan urea nitrogen pada
14,1% pasien. AKI didapatkan pada 3,2% pasien. Analisis
kesintasan Kaplan-Meier menunjukkan bahwa gangguan
fungsi ginjal meningkatkan risiko mortalitas pasien
rawat inap dengan COVID-19. Analisis regresi model
Cox mendapatkan faktor AKI, proteinuria, hematuria,
peningkatan kreatinin dan urea nitrogen merupakan
faktor risiko independen untuk memprediksi mortalitas
pasien rawat inap dengan COVID-19.35 Penelitian lain
mendapatkan tingkat insidensi AKI sebesar 38,4 tiap
1000-hari-pasien dari >9600 pasien COVID-19.6 Penelitian
di New York mendapatkan 36,6% pasien COVID-19
menderita AKI yang menunjukkan korelasi kuat dengan
indikasi ventilasi mekanik.39,40 Sedangkan di RSUD Dr
Soetomo Surabaya didapatkan 1 pasien dari 164 pasien
bayi dan anak (0,6%) terinfeksi COVID-19 yang menderita
gangguan fungsi ginjal akibat COVID-19 dan akhirnya
meninggal dunia.5
Analisis dari Registri Internasional Infeksi COVID-19
Pada Glomerulonefritis (International Registry of COVID
Infection in Glomerulonephritis, IRoc-GN) mendapatkan
adanya peningkatan tingkat mortalitas (15%) dan kejadian

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


204 Challenges & Opportunities
gangguan ginjal akut (acute kidney injury) (39%) pada 40
pasien glomerulonefritis yang juga menderita COVID-19
bila dibandingkan dengan kontrol.41
Secara keseluruhan, insidensi AKI terkait COVID-19
bervariasi luas, sekitar 3-30% dari seluruh kasus COVID-19
karena perbedaan genetik, metode penelitian kohort dan
sistem pelayanan kesehatan. AKI akan memperburuk
prognosis pasien COVID-19 secara signifikan karena
gangguan fungsi ginjal telah terbukti menjadi faktor
risiko untuk mortalitas pasien rawat inap.16-18,21,34,35,39,42,43

ETIOPATOGENESIS
Penelitian terbaru mendapatkan adanya virus RNA
pada urine dan jaringan ginjal pasien yang terinfeksi
COVID-19. Hal ini membuktikan bahwa jaringan ginjal
juga menjadi sasaran infeksi virus COVID-19 dan mungkin
terjadi invasi langsung oleh virus ke dalam tubulus dan
jaringan interstisial ginjal.16-18,34,35,38
Sindrom badai sitokin yang menyebabkan sepsis
pada infeksi COVID-19 dapat berlanjut merusak sel
ginjal pula secara tidak langsung yang mengakibatkan
gangguan fungsi ginjal akut. Gangguan fungsi ginjal telah
diketahui merupakan faktor risiko terhadap morbiditas
dan mortalitas pada pasien rawat inap yang terkonfirmasi
terinfeksi COVID-19.
Virus Corona ini masuk ke dalam tubuh manusia
melalui ikatan dengan reseptor angiotensin I converting
enzyme 2 (ACE2) pada permukaan berbagai sel. Sasaran
utama virus COVID-19 ini adalah sel pneumosit tipe II
dan enterosit, akan tetapi dapat pula mengenai sel epitel

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 205
tubulus, glomerulus dan interstisial ginjal. Reseptor
ACE2 didapatkan secara ekstensif di sel ginjal (terutama
tubulus proksimal dan podosit) dan saluran pencernaan
(seperti duodenum dan ileum) dalam jumlah 100 kali lipat
lebih banyak daripada reseptor ACE2 di paru dan saluran
pernafasan. Podosit ginjal terbukti dapat mengekspresikan
ACE2 dan infeksi COVID-19 dapat menyebabkan jejas
podosit. Jejas podosit ini yang menyebabkan timbulnya
proteinuria dan pelepasan mediator pro inflamasi
seperti transforming growth factor-β (TGF-β), vascular
endothelial growth factor (VEGF), platelet-derived growth
factor (PDGF), dan chemokine ligand 1 (CXCL1) yang
kemudian menyebabkan deposisi matriks mesangial,
sklerosis, hialinosis, dan fibrosis glomerulus. Peningkatan
filtrasi glomerulus akibat kelainan barrier menyebabkan
peningkatan laju filtrasi glomerulus nefron tunggal yang
akhirnya mengakibatkan hipertrofi. Hiperfiltrasi juga
memicu timbulnya stress oksidatif yang memperburuk
jejas pada glomerulus dan menyebabkan deposisi
matriks mesangial dan fibrosis. Jaringan fibrotik memicu
pelepasan mediator inflamasi pro fibrosis yang kemudian
menyebabkan kerusakan ginjal yang progresif.44,45 Hal
ini membuktikan bahwa sel ginjal merupakan sasaran
dan dapat terinfeksi langsung oleh virus COVID-19.
Efek sitopati langsung pada jaringan ginjal seperti sel
epitel dan endotel glomerulus serta sel tubulus tersebut
telah terbukti pada penelitian sebelumnya. Jejas tubulus
proksimal difus dan endotelitis tampak pada biopsi ginjal
pasien COVID-19. Perubahan struktur glomerulus dan
histologi jaringan ginjal yang menyerupai nefritis telah

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


206 Challenges & Opportunities
ditemukan pada biopsi postmortem pasien COVID-19.
Gangguan glomerulus akibat virus ini tidak banyak
ditemukan, tetapi deposit kompleks imun partikel virus
dapat terbentuk atau kelainan imunologi spesifik yang
diinduksi virus COVID-19 ini dapat muncul.16-18,34,35,39,46,47
AKI pada COVID-19 disebabkan oleh multifaktorial,
terutama aktivasi sistem imun melalui peningkatan kadar
kemokin dan mediator inflamasi, sitokin pro-inflamasi,
induksi nitrit oksida sintetase oleh makrofag M1 yang
kemudian membentuk peroksinitrit sitotoksik, dimana
semua mediator tersebut dapat menyebabkan kerusakan
ginjal. Hal ini merupakan bukti bahwa sindrom badai
sitokin berperan penting pada kerusakan berbagai organ
yang dimediasi oleh infeksi, termasuk ginjal.16-18,34,35,43
Teori lain menyebutkan faktor yang terlibat dalam
mekanisme AKI pada COVID-19 antara lain adalah sepsis
viral, pneumonia, respon inflamasi yang meningkat,
kerusakan endotel, hiperoagulabilitas, disfungsi
miokard, obat nefrotoksik, dan efek hipoksia general dan
dehidrasi terhadap perfusi jaringan ginjal. Pemeriksaan
histopatologi pasien AKI pada COVID-19 mendapatkan
kerusakan tubulus dan vaskular ginjal, serta collapsing
glomerulopathy.6
Faktor dehidrasi akibat demam atau menurunnya
asupan cairan dapat pula memperburuk kerusakan
ginjal pada pasien COVID-19. Bila iskemia jaringan
akibat dehidrasi ini menetap, maka dapat terjadi nekrosis
tubular ginjal akut. Rabdomiolisis dan hipoksia juga
dapat mempercepat kerusakan ginjal. Penggunaan obat
anti inflamasi non steroid juga dapat merusak ginjal.17,46,48

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 207
Faktor genetik berperan penting pada perjalanan
penyakit COVID-19 associated nephropathy. Penelitian oleh
Shetty dkk (2020) pada 6 pasien terinfeksi COVID-19
dengan proteinuria masif, dan biopsi ginjal menunjukkan
gambaran podositopati, collapsing glomerulopathy¸atau
keduanya. Tes genetik pada 3 pasien tersebut
mendapatkan genotip APOL-1 risiko tinggi. APOL1
merupakan apolipoprotein yang terlibat pada imunitas
innate. Genotip APOL1 risiko tinggi membawa mutasi
missense dan berperan pada risiko timbulnya ESKD
terkait hipertensi, penyakit glomerular primer, lupus,
penyakit sickle cell, dan HIV. Gen APOL1 ini menyebabkan
toksisitas sel secara langsung dan kematian podosit di
glomerulus. Kelainan ginjal yang terjadi pada pasien
COVID-19 tampaknya tidak berhubungan dengan derajat
keparahan gejala saluran pernafasan. Histopatologi ginjal
pasien COVID-19 dengan gejala klinis lebih ringan belum
pernah dilaporkan.39,49

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS


Tanda klinis pasien COVID-19 associated nephropathy
meliputi AKI, nefrosis glomerular, dan progresivitas
PGK seperti hipertensi, gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit, asidosis atau alkalosis metabolik, dan
bengkak.45 Proteinuria dan hematuria merupakan tanda
klinis utama adanya keterlibatan ginjal pada pasien
COVID-19. Manifestasi klinis keterlibatan ginjal pada
COVID-19 lebih luas daripada pasien dengan penurunan
laju filtrasi glomerulus akibat tubular nekrosis akut.39

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


208 Challenges & Opportunities
Pada penelitian terhadap 59 pasien terinfeksi
COVID-19 didapatkan 34% pasien mengalami proteinuria
masif pada hari pertama rawat inap dan 63% sisanya
juga menjadi proteinuria selama rawat inap.17 Penelitian
terhadap 701 pasien COVID-19 di Wuhan China
mendapatkan 5,1% pasien dengan AKI, dimana lebih dari
40% pasien mengalami proteinuria dan 25% hematuria.39
Penelitian Rachmadi dkk (2020) di RSUP Hasan Sadikin
Bandung, didapatkan bahwa dari 16 pasien anak yang
terinfeksi COVID-19, terdapat penurunan fungsi ginjal
pada kelompok anak yang sakit berat akibat COVID-19
tetapi tidak bermakna secara statistik. Hal ini menunjukkan
bahwa infeksi COVID-19 dapat mempengaruhi ginjal
berupa penurunan fungsi ginjal.50
Urinalisis pasien COVID-19 dapat digunakan sebagai
prediktor terjadinya sindrom kebocoran kapiler (capillary
leak syndrome) yang biasanya berlanjut menjadi kelebihan
cairan, gagal nafas, perlunya perawatan intensif, dan
kematian. Hal ini berdasarkan pengamatan Gross dkk
di University Medical Center Göttingen, Jerman pada
3 pasien dengan urinalisis normal sebelum terinfeksi
COVID-19 dan kemudian didapatkan hematuria,
proteinuria dan lekosituria setelah terinfeksi COVID-19.51
Proteinuria dan hematuria yang terjadi pada COVID-19
masih belum bisa dipastikan hubungannya satu sama lain;
apakah ini suatu proses yang sementara (transient), atau
apakah hematuria berasal dari kelainan glomerular atau
non-glomerular, atau apakah proteinuria berhubungan
dengan hematuria.39

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 209
TATA LAKSANA
Pada pasien COVID-19 yang juga menderita sindrom
nefritik, perlu dipantau kondisinya secara berkala
untuk risiko timbulnya edema interstisial paru akibat
kelebihan cairan; imunokompromais akibat hilangnya
immunoglobulin di ginjal; insufisiensi sirkulasi akibat
hypoalbuminemia; respon yang buruk terhadap
pengobatan akibat gangguan pengikatan protein plasma;
dan tromboemboli akibat defisiensi antitrombin.51
Tata laksana pasien COVID-19 dengan AKI terbagi
menjadi tata laksana umum dan suportif, serta terapi
pengganti ginjal. Prinisp tata laksana tersebut meliputi:21,52
1. Tata laksana umum dan suportif
Semua pasien terkonfirmasi COVID-19 harus
dikarantina. APD yang sesuai harus digunakan
dengan rasional. Perawatan intensif sedini mungkin
diperlukan bila kondisi memberat. Terapi suportif
seperti tirah baring, pemberian cairan dan nutrisi,
serta mempertahankan tekanan darah normal
dan oksigenasi yang adekuat sangat penting pada
pasien sakit berat. Langkah pencegahan dan terapi
komplikasi dan mencegah infeksi sekunder harus
terus diupayakan.
2. Terapi antivirus
Belum ada terapi antivirus yang efektif untuk
COVID-19. Dapat dilakukan inhalasi aerosol
interferon alfa dan lopinavir/ritonavir. Tingkat
efikasi dan keamanan terapi inhalasi ini masih dalam
penelitian.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


210 Challenges & Opportunities
3. Terapi ekstrakorporeal
Continuous Renal Replacement Therapy (CRRT) telah
berhasil dilakukan pada terapi pasien SARS, MERS
dan sepsis. Hemofiltrasi dapat menghilangkan sitokin
inflamasi (IL-6). Pada penggunaan Extracorporeal
Membrane Oxygenation (ECMO) pada 1035 pasien
COVID-19, tingkat kematian dalam 90 hari setelah
ECMO sebesar 37,4% dan 39% pada saat keluar
rumah sakit. Insidensi kematian pasien terkait gagal
nafas yang menggunakan ECMO adalah sebesar 38%.
4. Terapi glukokortikoid
Pasien yang memerlukan steroid dosis tinggi pada
kasus infeksi SARS dan sepsis serta MERS biasanya
memerlukan ventilasi mekanik, vasopressor dan
terapi pengganti ginjal. Meta analisis penggunaan
steroid pada pasien SARS mendapatkan bukti efek
buruk steroid (psikosis, diabetes, nekrosis avascular,
dan klirens virus yang tertunda). Oleh karena itu
penggunaan steroid masih kontroversial dan tidak
direkomendasikan WHO.
5. Terapi plasma konvalesen
Pemberian plasma konvalesen sedini mungkin
dapat mempercepat penyembuhan klinis.
6. Terapi antibodi monoklonal
Antibodi monoklonal mempunyai efek netralisasi
in vitro, tetapi antibodi monoklonal terhadap
COVID-19 masih diteliti. Tocilizumab (antibodi
terhadap IL-6) telah menunjukkan hasil perbaikan
klinis yang menjanjikan tetapi masih memerlukan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 211
penelitian lebih lanjut pada aspek efikasi dan
keamanan.

PROGNOSIS
AKI pada COVID-19 tidak hanya meningkatkan
tingkat mortalitas, tetapi juga merupakan faktor risiko
yang kuat untuk berlanjut menjadi PGK. Hendaknya
dilakukan pemantauan terhadap proteinuria dan semua
aspek PGK setelah pulih dari COVID-19.16-21 Sebesar
30,6% pasien tetap memerlukan dialisis saat keluar rumah
sakit. Adanya PGK sebelum rawat inap merupakan satu-
satunya faktor risiko (OR 9,3, CI 95% 2,3-37,8) yang terkait
dengan dialisis berkepanjangan saat dipulangkan dari
rumah sakit. Hal ini menunjukkan fungsi ginjal sebagian
besar pasien sakit berat COVID-19 akan kembali normal,
tetapi pemantauan jangka panjang diperlukan terutama
untuk pasien PGK yang sudah ada sebelumnya dan
untuk pasien dengan tanda kerusakan ginjal persisten
(hematuria dan/atau proteinuria).6

C. VAKSINASI PADA PASIEN GINJAL DAN ANAK


Program vaksinasi COVID-19 menjadi strategi utama
dalam penanggulangan penyebaran infeksi COVID-19. Akan
tetapi pemberian vaksinasi pada populasi khusus seperti
pasien yang mendapatkan terapi obat imunosupresan dan
pasien anak harus mendapat perhatian khusus.12

VAKSINASI COVID-19 PADA PASIEN GINJAL


Mekanisme perjalanan penyakit COVID-19 terbukti
berbeda pada tiap pasien. Ditambah dengan tingkat
mortalitas yang tinggi, hal ini bisa menjadi dasar bahwa

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


212 Challenges & Opportunities
vaksinasi COVID-19 perlu diprioritaskan pada pasien
dengan penyakit ginjal autoimun. Vaksin mRNA dan
vaksin yang merusak replikasi virus cukup aman
diberikan pada pasien ginjal. Respon imun terhadap
vaksin yang lebih rendah menyebabkan perlunya dipilih
vaksin yang potensi tinggi pada pasien ginjal.12,53
Vaksin COVID-19 telah disetujui sebagai penggunaan
darurat di berbagai belahan dunia. Efikasi vaksin
COVID-19 telah dilaporkan bervariasi, berkisar antara
50,4% pada vaksin inaktif sampai 91,6% pada vaksin
Gam-COVID-Vac, 94,1% pada vaksin mRNA-1273,
dan 95% pada vaksin BN162b2. Akan tetapi penelitian
yang menggunakan berbagai vaksin tersebut tidak
menyertakan pasien autoimun yang memerlukan terapi
obat imunomodulasi atau imunosupresi yang sifatnya
kronik sehingga belum ada data efikasi vaksin COVID-19
pada pasien dengan penyakit ginjal terkait imunologi.12
Rekomendasi dari Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) menyatakan bahwa vaksinasi COVID-19
pada pasien dengan status imunokompromais masih
dimungkinkan bila tidak ada kontraindikasi terhadap
vaksin tersebut. Akan tetapi harus dilakukan konseling
terlebih dahulu tentang profil keamanan vaksin dan
efektivitas pada populasi imunokompromais yang masih
belum diketahui dan potensi terjadinya penurunan respon
imun setelah vaksinasi.54 Pertimbangan kemungkinan
terjadinya manfaat peningkatan imunitas yang dapat
melindungi terhadap beratnya perjalanan penyakit
COVID-19 pada umumnya lebih besar daripada potensi
risiko pada sebagian besar pasien.12

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 213
Beberapa kondisi terkait status imunokompromais
yang berhubungan dengan vaksinasi COVID-19, antara
lain: 12
1. Status terinfeksi COVID-19
Antibodi yang timbul dari infeksi COVID-19
akan terus menurun seiring waktu, sehingga
vaksinasi dapat bermanfaat untuk orang yang sudah
pernah menderita infeksi COVID-19, terutama untuk
mencegah terjadinya re-infeksi. Infeksi COVID-19
yang persisten telah dilaporkan pada pasien yang
menerima terapi imunosupresan, terutama Rituximab.
Data penelitian mendapatkan dosis tunggal vaksin
COVID-19 telah cukup untuk membentuk respon
imun yang adekuat dan dapat melindungi terhadap
risiko re-infeksi. Penelitian pada pasien status
imunokompromais dapat menimbulkan respon imun
yang cukup atau bahkan melebihi individu normal
tanpa kondisi autoimun setelah dosis kedua.
2. Pengobatan imunosupresan
Kondisi imunodefisiensi, baik herediter maupun
didapat, dapat menurunkan respon imun setelah
vaksinasi. Rituximab yang baru diberikan atau masih
mendapatkan imunosupresan lainnya dengan dosis
yang lebih tinggi akan menyebabkan penurunan
respon terhadap vaksin. Lebih baik pemberian vaksin
ditunda sampai dosis steroid sudah diturunkan
dibawah 20 mg Prednison per hari atau 6 bulan
setelah dosis Rituximab terakhir.
Perhatian khusus selama Pandemi COVID-19
adalah pemberian Rituximab pada beberapa penyakit

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


214 Challenges & Opportunities
ginjal autoimun. Analisis The COVID-19 Global
Rheumatology Alliance mendapatkan 21,9% pasien
dengan terapi Rituximab meninggal dunia akibat
COVID-19. Rituximab diketahui dapat menghambat
sistem imunitas humoral dan menurunkan respon
terhadap vaksin dalam 1 bulan setelah pemberian
vaksin. Bila vaksin COVID-19 diberikan dalam
6-10 bulan setelah dosis Rituximab terakhir,
didapatkan respon IgG yang bermakna (2,8 kali lipat)
dibandingkan dengan kelompok pasien yang diberi
vaksin dalam 4-8 minggu setelah dosis Rituximab
terakhir. Interval waktu beberapa bulan tersebut
diperlukan untuk menunggu proses repopulasi sel B
sebagai indikator respon humoral terhadap vaksin.
Masih belum jelas pula peran imunitas seluler dalam
perlindungan terhadap COVID-19.
Pada pasien transplantasi ginjal, didapatkan
penurunan respon serologi setelah vaksinasi influenza
yang tergantung dosis, terutama pada pasien yang
diterapi mikofenolat mofetil (MMF). Pada pasien
anak dengan sindrom nefrotik yang diberi vaksin
hepatitis B tidak menunjukkan perbedaan antara
yang mendapatkan steroid (dosis 0,4-0,5 mg/kg selang
sehari) dan tanpa steroid.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa respon
antibodi dari vaksin akan menurun pada pasien yang
baru mendapatkan Rituximab. Sedangkan efek steroid
dosis tinggi masih belum bisa dipastikan tetapi tidak
direkomendasikan untuk memberi vaksin COVID-19
pada pasien yang masih memerlukan steroid dosis
tinggi.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 215
3. Induksi aktivasi penyakit imunologi dasar
Pada awalnya pasien dengan kelainan autoimun
tidak diikutsertakan pada penelitian tentang efikasi
dan keamanan berbagai vaksin COVID-19. Penelitian
terdahulu tentang pemberian vaksin lainnya pada
populasi pasien autoimun tidak mendapatkan
peningkatan risiko kekambuhan penyakit dasarnya.
Demikian pula tidak didapatkan peningkatan
skor aktivitas penyakit lupus (Systematic Lupus
Erythematosus Disease Activity Index, SLEDAI) pada
30 hari setelah menerima vaksin influenza tanpa
memandang regimen terapi tiap pasien. Pada
pasien vaskulitis anti-neutrophil cystoplasmic antibody
(ANCA) tidak didapatkan perubahan titer ANCA
atau parameter inflamasi lainnya sesudah pemberian
vaksin influenza. Secara umum dapat disimpulkan
bahwa risiko untuk munculnya penyakit autoimun
baru atau risiko kekambuhan penyakit autoimun
sesudah pemberian vaksin COVID-19 tampaknya
cukup rendah. Jalur TLR7 atau produksi Interferon
tipe I yang terkait dengan respon imun dari vaksin
juga terinduksi pada penyakit autoimun seperti SLE
dan mungkin dapat merupakan faktor predisposisi
kekambuhan. Diperlukan registri yang fokus
utamanya adalah pada penyakit ginjal yang terkait
imunologi untuk memperkirakan risiko individual
terhadap kekambuhan penyakit dasar setelah
pemberian vaksin COVID-19.
4. Riwayat penyakit dasar alergi
Vaksin COVID-19 tidak dianjurkan diberikan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


216 Challenges & Opportunities
pada pasien yang telah diketahui mempunyai alergi
terhadap PEG (dalam vaksin BNT162b2 dan mRNA-
1273) atau polisorbat (dalam vaksin ChAdOx1 nCov-
19 dan Ad26.COV2.S) atau komponen apapun lainnya
dalam vaksin COVID-19. Sedangkan pada pasien yang
telah diketahui mempunyai alergi lainnya, sebaiknya
pasien dimonitor selama 30 menit sesudah pemberian
vaksin COVID-19, sedangkan pasien lain yang tidak
mempunyai alergi hanya perlu dimonitor selama 15
menit. Reaksi anafilaksis amat jarang terjadi, tetapi
pasien yang mempunyai alergi terhadap PEG harus
dinilai risikonya untuk timbulnya reaksi anafilaksis.
Bila pasien mengalami reaksi anafilaksis setelah dosis
pertama vaksin COVID-19, dapat dipertimbangkan
untuk menunda doses kedua atau melakukan uji kulit
terhadap PEG terlebih dahulu untuk menentukan
keamanan pemberian dosis kedua. Mungkin dapat
diberikan vaksin lainnya pada pasien yang mengalami
reaksi anafilaksis berat.
5. Interaksi vaksin dengan obat imunosupresan
Sesuai pemahaman tentang cara kerja vaksin yang
telah disetujui pemberiannya sejauh ini, diharapkan
tidak ada interaksi antara vaksin COVID-19 dan obat
imunosupresan pada pasien ginjal terkait imunologi.
6. Pemberian vaksin penyakit lainnya dalam waktu
bersaaman
Pada pemberian vaksin COVID-19 perlu
diberikan interval waktu minimal 2 minggu sebelum
atau sesudah pemberian vaksin lainnya. Vaksinasi
lainnya yang tidak bersifat urgent hendaknya ditunda

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 217
dahulu, kecuali vaksinasi terhadap Meningococcal/
Pneumococcal terutama pada pasien penyakit ginjal
terkait imunologi yang mendapat terapi Rituximab/
Eculizumab.
Vaksinasi berkala atau tahunan masih dapat
diberikan. Pemberian vaksinasi influenza pada
tenaga kesehatan dan populasi umum terbukti
dapat menurunkan insidensi infeksi COVID-19. Hal
ini merupakan bukti bahwa imunitas yang sudah
terlatih berperan penting pada kerentanan individual
terhadap infeksi COVID-19.

VAKSINASI COVID-19 PADA ANAK


Program perlindungan anak terhadap infeksi
COVID-19 ini merupakan kewajiban etik dan kebutuhan
klinis praktis. Anak tetap perlu mendapatkan vaksin
COVID-19 ini dalam rangka mencapai kekebalan
komunitas (herd immunity) sebagai strategi untuk dapat
menghentikan pandemi global ini. Populasi anak berusia
kurang dari 18 tahun cukup besar, hampir seperempat dari
jumlah penduduk total di Amerika Serikat dan persentase
ini mungkin lebih besar di negara lainnya. Untuk itu
diperlukan vaksinasi pada anak untuk keberhasilan
mencapai herd immunity.55,56
Risiko infeksi COVID-19 pada anak tidak terlalu
tinggi sehingga sebagian orang tua merasa tidak ada
urgensi untuk memberikan vaksinasi COVID-19 pada
anak-anaknya. Diperlukan strategi khusus untuk
memotivasi para orang tua supaya mau memberikan
vaksinasi COVID-19 pada anaknya. Penyebarluasan data

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


218 Challenges & Opportunities
keamanan vaksin, terutama pada populasi anak, dan
keputusan bersama tentang aspek sosial masyrakat seperti
pembukaan kembali sekolah untuk anak, peraturan
tentang izin sakit yang fleksibel, akses uji COVID-19 yang
lebih luas, dan berbagai skema bantuan finansial untuk
orang tua, guru dan pengasuh anak lainnya akan dapat
membantu orang tua untuk membuat keputusan di masa
sulit ini. Sejarah panjang perjalanan perintis program
vaksin polio, campak, rubella dan MMR harus diingat
kembali untuk dijadikan pelajaran supaya dapat membuat
strategi kampanye yang lebih baik pada program vaksin
COVID-19 pada anak ini.55
Bila sudah tersedia vaksin COVID-19 untuk anak,
program sekolah baik berupa kegiatan intrakurikuler yang
masuk ruang kelas lagi, maupun ekstrakurikuler dimana
ada kontak yang dekat seperti band musik, olahraga
tim dan paduan suara akan bisa dimulai lagi. Orang tua
perlu diingatkan juga untuk tetap memberikan vaksinasi
penyakit lainnya pada anak, seperti campak, HPV, tetanus
dan pertussis.55,56 Manfaat langsung pemberian vaksin
COVID-19 pada anak adalah perlindungan anak dari
infeksi COVID-19 yang berat dan kondisi pascainfeksi
seperti sindrom inflamasi multisistem (multisystem
inflammatory syndrome in children, MIS-C). Sedangkan
manfaat tidak langsung dari vaksin antara lain adalah
melindungi orang lain di sekitarnya melalui penurunan
penyebaran rantai infeksi, mengurangi beban keluarga
lebih lanjut yang selam ini sudah terbebani dengan orang
tua yang sakit, kondisi ekonomi yang memburuk, dan
stres kronik.55

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 219
Saat ini vaksin COVID-19 mulai diujicobakan
di penelitian klinik oleh produsen vaksin Pfizer dan
Moderna pada populasi anak berusia 12 tahun dan lebih
tua. Bila hasilnya baik maka mungkin dapat dilanjutkan
pada kelompok umur yang lebih muda. Perusahaan
produsen vaksin COVID-19 lainnya seperti Johnson &
Johnson, Novavax dan AstraZeneca juga mulai berencana
melakukan ujicoba pada anak.56
Beberapa vaksin yang berfungsi mencegah penyakit
seperti infeksi bakteri Pneumococcal atau Meningococcal
atau Rotavirus diujicobakan pada populasi anak terlebih
dahulu karena penyakit tersebut seringkali ditemukan
pada masa anak. Pada vaksin COVID-19, ujicoba
diprioritaskan pada kelompok dewasa karena risiko sakit
berat dan kematian akibat COVID-19 meningkat sesuai
dengan pertambahan usia. 56
Vaksin BioNTech yang diproduksi Pfizer telah
disetujui pada bulan Desember 2020 untuk diberikan
pada anak berusia 16 tahun dan lebih tua. Saat ini Pfizer
sedang meneliti efek vaksin terhadap 2259 anak remaja
berusia 12-15 tahun. Populasi remaja ini berisiko 2x lebih
tinggi untuk terkena infeksi COVID-19 bila dibandingkan
populasi anak lebih muda. Penelitian pada anak lebih
muda ini membutuhkan modifikasi formulasi dan dosis
serta jadwal vaksinasi. Sedangkan vaksin Moderna yang
juga sudah disetujui pemakaiannya pada Desember
2020, saat ini sedang meneliti efek vaksin pada sekitar
3000 anak berusia 12-17 tahun. Hasil penelitian kedua
produsen vaksin ini diharapkan dapat dipublikasikan
pada pertengahan tahun 2021. Bila hasilnya baik, Moderna

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


220 Challenges & Opportunities
berencana untuk melanjutkan penelitian pada populasi
anak berusia 6 bulan sampai 11 tahun. 56
Saat ini The Joint Committee on Vaccination and
Immunisation (JCVI) telah memberi rekomendasi
pemberian vaksin COVID-19 (Pfizer BioNTech atau
AstraZeneca) pada populasi anak berusia >12 tahun yang
mempunyai risiko tinggi terhadap paparan dan luaran
yang berat bila terinfeksi COVID-19, seperti anak dengan
kelainan saraf yang berat, dan infeksi paru berulang yang
seringkali memerlukan rawat inap di rumah sakit.57
Bayi mungkin mendapatkan sebagian antibodi
dari ibu yang terinfeksi COVID-19 atau ibu yang telah
mendapat vaksinasi COVID-19, tetapi proteksi antibodi
maternal ini biasanya tidak bertahan lebih dari 1 tahun.
Sistem imunitas bayi biasanya masih belum cukup kuat
sehingga bayi rentan terinfeksi COVID-19 bila transmisi
komunitas di sekitarnya cukup tinggi.56

D. KESIMPULAN
Keterlibatan ginjal pada infeksi COVID-19 disebabkan
oleh proses yang kompleks dan tidak sering didapatkan, akan
tetapi dapat meningkatkan tingkat morbiditas dan mortalitas
secara signifikan. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut
tentang dampak virus COVID-19 ini pada kerusakan ginjal
dalam berbagai aspeknya. Vaksinasi COVID-19 perlu
diprioritaskan untuk diberikan pada pasien ginjal, terutama
bila vaksin untuk anak telah tersedia.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 221
DAFTAR PUSTAKA

1. Komite Koordinasi Pendidikan RSUD Dr Soetomo/


Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
Buku Panduan Perlindungan Bagi PPDS Dalam Perawatan
Pasien Selama Pandemi COVID-19. Surabaya: RSUD Dr
Soetomo. 2020.
2. Turner-Stokes T, Jiang E, Johnson N, et al. Serological
screening for COVID-19 in patients with glomerular
disease. Kidney Int Rep 2021. Online ahead of print.
3. International Pediatric Nephrology Association.
COVID-19: a joint statement of the Pediatric Nephrology
Societies. Diunduh dari: theipna.org.
4. Plumb L, Benoy-Deeney F, Casula A, Braddon FEM, Tse
Y, Inward C, et al. COVID-19 in children with chronic
kidney disease: findings from the UK renal registry. Arch
Dis Child 2021; 106(3): e16.
5. Instalasi Rawat Inap Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya.
Data pasien rawat inap 2020-2021. Tidak dipublikasikan.
6. Bruchfeld A. The COVID-19 pandemic: consequences for
nephrology. Nature Rev Nephrol 2021; 17: 81-2.
7. Jager KJ. Results from ERA-EDTA Registry indicate a
high mortality due to COVID-19 in dialysis patients and
kidney transplant recipients across Europe. Kidney Int
2020. doi: 10.1016/j.kint.2020.09.006
8. Mastrangelo A, Morello W, Vidal E, Guzzo I, Petruzzelli
LA, Benetti E, et al. Impact of COVID-19 pandemic in
children with CKD or immunosuppression. Clin J Assoc
Nephrol 2021; 16. doi: 10.2215/CJN.13120820.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


222 Challenges & Opportunities
9. Marlais M, Wlodkowski T, Al-Akash S, Ananin P, Bandi
VK, Baudouin V, et al. COVID-19 in children treated with
immunosuppressive medication for kidney diseases. Arch
Dis Child 2020; 0: 1-4.
10. Strangfeld A, Schäfer M, GIanfrancesco MA, et al. Factors
associated with COVID-19-related death in people with
rheumatic diseases: results from the COVID-19 Global
Rheumatology Alliance physician-reported registry. Ann
Rheum Dis 2021. Online ahead of print.
11. RECOVERY Collaborative Group. Dexamethasone in
hospitalized patients with COVID-19: preliminary report.
N Engl J Med 2020; NEJMoa2021436. Online ahead of
print.
12. Kronbicher A, Anders HJ, Fernandez-Juarez GM, Floege
J, Goumenos D, Segelmark M, et al. Recommendations for
the use of COVID-19 vaccines in patients with immune-
mediated kidney diseases. Immunonephrology Working
Group of the ERA-EDTA (European Renal Association-
European Dialysis and Transplant Association). London:
Oxford University Press, 2021.
13. Melgosa M, Madrid A, Alvarez O, et al. SARS-CoV-2
infection in Spanish children with chronic kidney
pathologies. Pediatr Nephrol 2020; 35: 1521-4.
14. Vasudevan A, Mantan M, Krishnamurthy S, Pais P,
Mathew G, Hari P, et al. Managing children with renal
diseases during COVID-19 pandemic. Indian Pediatr
2020. E-pub ahead of print.
15. Robinson C, Ruhl M, Kirpalani A, Alabbas A, Noone
D, Chia WT, et al. Management of Canadian pediatric
patients with glomerular diseases during the COVID-19

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 223
pandemic: recommendations from The Canadian
Association of Pediatric Nephrologists COVID-19 Rapid
Response Team. Can J Kidney Health Dis 2020; 7: 1-17.
16. Li Z, Wu M, Guo J, Yao J, Liao X, Song S, et al. Caution
on kidney dysfunctions of 2019-nCoV Patients. medRxiv
preprint. Doi: 10.1101/2020.02.08.20021212
17. Li W, Moore MJ, Vasilieva N, Sui J, Wong SK, Berne MA,
et al. Angiotensin-converting enzyme 2 is a functional
receptor for the SARS coronavirus. Nature. 2003;
426(6965):450-4.
18. Chu KH, Tsang WK, Tang CS, Lam MF, Lai FM, To KF, et al.
Acute renal impairment in coronavirus associated severe
acute respiratory sy ndrome. Kidney Int.2005;67(2):698-
705.
19. Fan C, Li K, Ding Y, Lu WL, Wang J. ACE2 expression
in kidney and testis may cause kidney and testis damage
after 2019-nCoV Infection.
20. Singbartl K, Formeck CL, Kellum JA. Kidney-immune
system crosstalk in AKI. Semin Nephrol. 2019;39(1):96-
106.
21. Naicker S, Yang CW, Hwang SJ, Liu BC, Chen JH, Jha
V. The novel Coronavirus 2019 epidemic and kidneys.
Kidney Int. 2020.
22. Zhao R, Zhou Q, Wang XQ, Liu CH, Wang M, Yang Q,
et al. COVID-19 outbreak and management approach for
families with children on long-term kidney replacement
therapy. Clin J Assoc Nephrol 2020; 15: 1259-66.
23. Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Panduan Pencegahan
Transmisi Covid-19 Di Unit Dialisis. Jakarta. April 2020.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


224 Challenges & Opportunities
24. Shen Q, Wang M, Che R, Li Q, Zhou J, Wang F, et al.
Consensus recommendations for the care of children
receiving chronic dialysis in association with the
COVID-19 epidemic. Pediatr Nephrol 2020. doi: 10.1007/
s00467-020-04555-x.
25. Massie AB, Boyarsky BJ, Werbel WA, Bae S, Chow EK,
Avery RK, et al. Identifying scenarios of benefit or harm
from kidney transplantation during the COVID-19
pandemic: a stochastic simulation and machine learning
study. Am J Transplant. 2020 https://doi.org/10.1111/
ajt.16117
26. de Vries APJ, Alwayn IPJ, Hoek RAS, van den Berg AP,
Ultee FCW, Vogelaar SM, et al. Immediate impact of
COVID-19 on transplant activity in the Netherlands.
Transpl Immunol 2020; 61:101304.
27. Holshue ML, DeBolt C, Lindquist S, Lofy KH, Wiesman J,
Bruce H, et al. First case of 2019 novel coronavirus in the
United States. N Engl J Med 2020; 382:929–936.
28. Michaels MG, La Hoz RM, Danziger-Isakov L, Blumberg
EA, Kumar D, Green M, et al. Coronavirus disease 2019:
implications of emerging infections for transplantation.
Am J Transplant 2020. https://doi.org/10.1111/ajt.15832
29. Zachariah P, Johnson CL, Halabi KC, Ahn D, Sen AI,
Fischer A, et al. Epidemiology, clinical features, and
disease severity in patients with coronavirus disease 2019
(COVID-19) in a children’s hospital in New York City,
New York. JAMA Pediatr. 2020 https://doi.org/10.1001/
jamapediatrics.2020.2430
30. Weaver DJ Jr, Somers MJG, Martz K, Mitsnefes MM.
Clinical outcomes and survival in pediatric patients

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 225
initiating chronic dialysis: a report of the NAPRTCS
registry. Pediatr Nephrol 2017; 32:2319–2330.
31. Prezelin-Reydit M, Combe C, Harambat J, Jacquelinet C,
Merville P, Couzi L, et al. Prolonged dialysis duration is
associated with graft failure and mortality after kidney
transplantation: results from the French transplant
database. Nephrol Dial Transplant 2019; 34:538–45.
32. Charnaya O, Chiang TPY, Wang R, Motter JD, Boyarsky
BK, King EA, et al. Effects of COVID-19 pandemic on
pediatric kidney transplant in the United States. Pediatr
Nephrol 2021; 36: 143-51.
33. Lee J, Steel J, Roumelioti ME, Erickson S, Myaskovsky
L, Yabes JG, et al. Psychosocial impact of COVID-19
pandemic on patients with end-stage kidney disease on
hemodialysis. Kidney360 2020; 1(12): 1390-7.
34. Tam CF, Cheung KS, Lam S, Wong A, Yung A, Sze M, et al.
Impact of Coronavirus disease 2019 (COVID-19) outbreak
on ST-segment-elevation myocardial infarction care in
Hong Kong, China. Circ Cardiovasc Qual Outcomes.
2020.
35. Cheng Y, Luo R, Wang K, Zhang M, Wang Z, Dong L, et al.
Kidney impairment is associated with in-hospital death
of COVID-19 patients. Kidney Int 2020; 97: 829-38.
36. Huang Y, Li XJ, Li YQ, Dai W, Shao T, Liu WY, wt al.
Clinical and pathological findings of SARSCoV-2 infection
and concurrent IgA nephropathy: a case report. BMC
Nephrology (2020) 21:504.
37. Zhou P, Yang XL, Wang XG, Hu B, Zhang L, Zhang W, et al.
A pneumonia outbreak associated with a new coronavirus
of probable bat origin. Nature. 2020; 579(7798):270-273.
doi: 10.1038/s41586-020-2012-7.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


226 Challenges & Opportunities
38. Jiang S, Xia S, Ying T, Lu L, A novel coronavirus (2019-
nCoV) causing pneumonia-associated respiratory
syndrome. Cell Mol Immunol. 2020 Feb 5. doi: 10.1038/
s41423-020-0372-4.
39. Meijers B, Hilbrands LB. The clinical characteristics
of coronavirus-associated nephropathy. Nephrol Dial
Transplant 2020; 35: 1279-81.
40. Hirsch JS, Ng JH, Ross DW, et al. Acute kidney injury in
patients hospitalized with COVID-19. Kidney Int 2020;
98: 209-18.
41. Waldman M, Soler MJ, Garcia-Carro C, et al. Results
from the IRoc-GN international registry of patients
with COVID-19 and glomerular disease suggest close
monitoring. Kidney Int 2021; 99(1): 227-37.
42. Mubarak M, Nasri H. COVID-19 nephropathy: an
emerging condition encountered by novel coronavirus
infection. J Nephropathol 2020; 9(3): e21.
43. Nadim M, Forni LG, Mehta RL, Connor Jr MJ, Liu KD,
Ostermann M, et al. COVID-19 associated acute kidney
injury: consensus report of the 25th Acute Disease Quality
Initiative (ADQI) Workgroup. Nature Rev Nephrol 2020;
16: 747-64.
44. Harris RC. Podocyte ACE2 protects against diabetic
nephropathy. Kidney Int 2012; 82: 255-6.
45. Widiasta A, Sribudiani Y, Nugrahapraja H, Hilmanto D,
Sekarwana N, Rachmadi D. Potential role of ACE2-related
microRNAs in COVID-19-associated nephropathy. Non-
coding RNA Res 2020; 5: 153-66.
46. Valizadeh R, Baradaran A, Mirzazadeh A, Bhaskar
LVKS. Coronavirus-nephropathy: renal involvement in
COVID-19. J Renal Inj Prev 2020; 9(2): e18.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 227
47. Su H, Yang M, Wan C, Yi LX, Tag F, Zhu HY, et al. Renal
histopathological analysis of 25 postmortem findings of
patients with COVID-19 in China. Kidney Int 2020; 98(1):
219-27.
48. Hamming I, Timens W, Bulthuis ML, Lely AT, Navis G,
van Goor H. Tissue distribution of ACE2 protein, the
functional receptor for SARS coronavirus: a first step in
understanding SARS pathogenesis. J Pathol 2004; 203:
631-7.
49. Shetty AA, Tawhari I, Safar-Boueri L, Seif N, Alahmadi
A, Gargiulo R, et al. COVID-19-associated glomerular
disease. J Am Soc Nephrol 2021; 32: 33-40.
50. Rachmadi D, Widiasta A, Sukandar H, Sekarwana N,
Hilmanto D. Covid-19 in children: is there any correlation
with renal function and severity of the disease? medRxiv
doi: 10.1101/2020.10.20.20216440.
51. Gross O, Moerer O, Weber M, Huber TB, Scheithauer S.
COVID-19-associated nephritis: early warning for disease
severity and complications? Lancet 2020; 395: e87-8.
52. Barbaro RP, MacLaren G, Boonstra PS, Iwashyna TJ, Slutsky
AS, Fan E, et al. Extracorporeal membrane oxygenation
support in COVID-19: an international cohort study of the
Extracorpoeal Life Support Organization registry. Lancet
2020; 396(10): 1071-8.
53. Windpessl M, Bruchfeld A, Anders HJ, Kramer H,
Waldman M, Renia L, et al. COVID-19 vaccines and kidney
disease. Nature Rev Nephrol. https://doi.org/10.1038/
s41581-021-00406-6.
54. Centers for Disease Control and Prevention. https://www.
cdc.gov/vaccines/covid-19/info-by-product/clinical-
considerations.html

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


228 Challenges & Opportunities
55. Klass P, Ratner AJ. Vaccinating children against Covid-
19-the lessons of measles. N Engl J Med 2021; 384: 589-91.
56. Mandavilli A. Covid vaccines for kids are coming, but
nor for many months. The New York Times. Updated
18 Februari 2021. Diunduh dari: https://www.nytimes.
com/2021/02/12/health/covid-vaccines-children.html
57. Foyle & West. Covid-19 vaccine plan ‘has forgotten’
clinically vulnerable children. BBC News. Updated 17
Maret 2021. Diunduh dari: bbc.co.uk.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 229
Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:
230 Challenges & Opportunities
CONGENITAL HEART DISEASE IN
THE ERA OF COVID-9 PANDEMIC

Teddy Ontoseno

Penyakit virus Corona 2019 (COVID-19) adalah penyakit


akibat severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-
CoV-2) secara pandemik dilaporkan pertama kali di Wuhan,
China, desember 2019 . Selain telah menimbulkan jutaan
kematian, namun data masih terlalu sedikit dan banyak
penelitian yang sedang berlangsung sehingga banyak
hal yang belum jelas. Situasi ini mempengaruhi kenaikan
mortalitas dan morbiditas serta penurunan pelayanan
penyakit jantung bawaan (PJB/ Congenital Heart Disease
(CHD) usia <18 tahun). Perkembangan diagnostik/intervensi
non bedah/bedah koreksi Sehingga banyak pasien yang bisa
hidup sampai > 18 tahun disebut sebagai Adult Congenital
Heart Disease (ACHD) termasuk penundaan bedah koreksi
yang elektif atau reoperasi pada CHD yang masih bersifat
paliatif atau masih mempunyai sequelae/residu. Walaupun
keberadaan PJB nya sudah di operasi koreksi namun masih
tetap terjadi risiko komplikasi yang berat bila terkena infeksi
COVID-19, hal ini karena hemodinamik belum stabil selain
respons immune nya masih belum kembali optimal.
Gejala SARS-CoV-2 tidak hanya berkaitan dengan
gangguan respirasi saja namun juga melibatkan multi-

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 231
organ, terutama jantung, gastrointestinal, hematologi,
ginjal dan neurologi. Oleh karena itu, perlu sekali
pemahaman tentang Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus-2 (SARS-Cov-2) dampaknya pada PJB pada usia
anak (CHD) dan usia dewasa (ACHD).
Hasil beberapa penelitian terbaru ternyata SARS‐CoV‐2
sangat berkaitan dengan meningkatnya angka kematian dan
derajat gangguan hemodinamik pasien PJB yang terinfeksi
COVID-19. Terbanyak akibat timbulnya gagal jantung, aritmia
dan injuri akut pada miokard.
Sebatino, (Italia, Februari-April 2020)telah membuktikan
adanya hubungan antara gejala yang tidak khas serta faktor
risiko kematian pada pasien PJB ( 4 pasien dibawah usia 18
tahun/CHD dan 72 pasien dewasa/ACHD) yang terinfeksi
COVID-19. Dengan rincian gagal jantung (9%), aritmia (3%),
transient ischemic attack (3%), nyeri dada (1%), miokarditis (1%),
efusi perikard (1%) dan sisanya dengan timbul/memberatnya
hipertensi pulmonal.
COVID-19 langsung masuk ke dalam masuk ke sel dengan
mengikat reseptor ACE2 terutama pada alveolar epithelial type
II cells pada paru selain itu juga pada jantung, ginjal, usus dan
lapisan endotel vaskuler.
Efek yang signifikan, COVID-19 pada jantung pasien PJB
menimbulkan risiko yang tinggi untuk terjadinya komplikasi.
Telah dibuktikan dari beberapa hasil penelitian tentang
prognosa COVID-19 pada PJB anak (Congenital Heart Disease)
dan PJB dewasa (Adult Congenital Heart Disease/ACHD). Secara
ilmiah, bisa dijelaskan bahwa virus Corona secara langsung
menginvasi dan merusak organ jantung.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


232 Challenges & Opportunities
Prognosa COVID-19 buruk pada PJB dengan hipok-
semia yang memberat bahkan sudah disertai gangguan fungsi
yang refrakter dari multi organ. Dengan manifestasi klinis
nafas menjadi lebih cepat dan pendek, makin memburuknya
gangguan hemodinamik dan memberatnya hipoksemia,
disertai palpitasi dan panas.
Beberapa penelitian terbaru menyokong bahwa komplikasi
infeksi COVID-19 melibatkan multiorgan namun yang paling
fatal adalah komplikasi pada jantung. Pada usia anak (<18
tahun) menimbulkan komplikasi yang cenderung lebih ringan
dan prognosis yang lebih baik dibanding usia dewasa.
Pada infeksi COVID-19, sistem kekebalan tubuh bisa
menjadi tidak teratur/disregulasi, dan berlebihan. Tubuh
memiliki sel-T, yaitu salah satu sel imunitas untuk melawan
infeksi. Saat diaktifkan, sel-T akan memproduksi sitokin,
untuk memicu pembentukan lebih banyak sel-T lagi; salah
satunya Sel-T sitotoksik / pembunuh sel.
Sel-T sitotoksik akan beredar ke seluruh tubuh bersama
aliran darah dan menghancurkan sel-sel yang sudah rusak
atau terinfeksi. Dalam kondisi “chaos,” sel-T sitotoksik ini
tidak bisa mengenali antara sel yang sehat dan yang sudah
terinfeksi, akhirnya merusak semua sel, termasuk sel yang
sehat. Kondisi ini diistilahkan cytokine storm (badai sitokin).
Kekebalan tubuh menyerang diri sendiri, jika merusak
jantung, terjadilah apa yang disebut miokarditis.

CARDIOVASCULAR INVOLVEMENT IN CHILDREN WITH


COVID-19 BUT WITHOUT A PRE-EXISTING HEART DISEASE
Pediatric multisystemic inflammatory syndrome (PMIS)
sering berkaitan dengan COVID-19, walaupun belum

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 233
ada kesepakatan tentang definisi maupun kriteria
laboratoriumnya. Beberapa penelitian menemukan bahwa
PMIS mempunyai gejala klinis seperti penyakit Kawasaki /
KD (nyeri perut, panas tinggi, gangguan fungsi miokard,
dilatasi arteria koronaria, syok kardiogenik ) dengan PCR
COVID-19 positip. Namun masih belum jelas patofisiologinya.
Diduga sebagai proses post-infectious cytokine-mediated hyper-
inflammatory yang dipicu oleh infeksi COVID-19. Khas
ditandai oleh kejadian cytokine storm, hyper-inflammation,
dan kerusakan multi organ. Disertai kelainan laboratorium
berupa kenaikan CRP yang tinggi, erythrocyte sedimentation
rate (ESR), procalcitonin, ferritin, Dimer-D, interleukin (IL)-6,
Troponin dan kadar pro B-type natriuretic peptide (proBNP).
Pada autopsy ditemukan bukti direk injuri pada miosit
sehingga menimbulkan nekrosis yang bisa dilihat pada MRI.
Ditemukan juga partikel virus COVID-19 pada sel endotel
endokardium, ini membuktikan telah terjadinya penyebaran
virus COVID-19 secara hematogen keseluruh organ tubuh.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


234 Challenges & Opportunities
Tabel 1.
Description of the case or caseseries of cardiac involvement
in pediatric patients without pre-existing heart disease and
COVID-19
Cardiology in the Young, 2020, December.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 235
Tabel 2
Differential characteristic between Kawasaki disease and the
novel Pediatrics Multisystem Inflamatory syndrome in children
with SARS CoV2 Infection (PMIS).
The Japanese Association for Thoracic Surgery 2020.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


236 Challenges & Opportunities
COVID-19 IN PEDIATRIC CHD PATIENTS
Populasi umum pada usia anak manifestasi infeksi
COVID-19 lebih ringan dibanding dewasa, dari tanpa gejala
sampai flu-like symptoms. Kecuali bila terjadi pada pasien
PJB, maka akan timbul komplikasi serius pada sistem
kardiovaskuler, berupa gagal jantung, aritmia, stroke, jejas
miokard, efusi perikard atau hipertensi pulmonal. Manifestasi
klinis berupa nyeri dada, sianosis atau sesak yang memberat
disertai palpitasi sering merupakan tanda awal komplikasi
sistem kardiovaskuler pasien PJB akibat infeksi COVID-19.
Pasien PJB dengan infeksi COVID-19 selalu memer-
lukan perawatan intensif di ICCU dengan bantuan ventilator.
Terutama PJB sianosis, sering disertai memberatnya hipok-
semia dan penurunan perfusi jaringan. Semakin komplek
jenis dan derajat gangguan hemodinamiknya maka semakin
berat depresi kontraksi miokard, hipertensi pulmonal serta
timbulnya gangguan sistem kekebalan tubuhnya.
Pemberian azithromycin, hydroxychloroquine, dexame-
thasone, remdesivir, dan immunotherapies bukan sebagai
terapi standard.
Beberapa waktu ini, terdapat isu terkait keamanan
penggunaan obat golongan ACE inhibitors (ACEi) dan
angiotensin receptor blockers (ARB) selama pandemi COVID-19.
Obat ini diduga dapat menyebabkan peningkatan ekspresi
ACE2 pada berbagai jaringan, termasuk jantung. Karena SARS-
CoV-2 mengikat ACE2 untuk dapat memasuki sel manusia,
sehingga dikhawatirkan terdapat potensi peningkatan
risiko memberatnya derajat penyakit yang lebih bahkan
mempercepat kematian pada pasien yang telah mendapatkan
terapi ACEi atau ARB. Namun, disisi lain, penghentian

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 237
mendadak penggunaan ACEi atau ARB pada pasien dengan
penyakit kardiovaskular seperti hipertensi, penyakit jantung
koroner, penyakit jantung bawaan atau gagal jantung dapat
menyebabkan peningkatan ekspresi ACE2.
Heart failure Society of America (HFSA), American College
of Cardiology (ACC), American Heart Association (AHA), dan
European Society of Cardiology (ESC) melarang penghentian
pemberian angiotensin converting enzyme inhibitors (ACE-i)
dan angiotensin II receptor blockers (ARB).
Selain itu rekomendasi terbaru, semua cardiac medications
( Aspirin, antikoagulan, beta-blockers, dan antiaritmia ) harus
diteruskan selama terinfeksi COVID-19.
Pada pasien dengan PJB yang terdiagnosis COVID-19,
keputusan tatalaksananya bersifat individual, perlu
dipertimbangkan berdasarkan status hemodinamik dan
presentasi klinisnya.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


238 Challenges & Opportunities
Tabel 3.
Hypothesized Pathophysiology of COVID-19 and cardiovas-
cular system
International Journal of Health Sciences and Research (www.ijhsr.org) 140
Vol.10; Issue: 5; May 2020.

ACE2: Angiotensin-converting enzyme 2; COVID-19: Coronavirus disease-2019;


SARS-CoV-2: Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2; IFN: Interferon;
TNF: Tumor necrosis factor; IL: Interleukin

Walaupun penyebab komplikasi kardiovaskuler akibat


infeksi COVOID -19 belum jelas, sementara dianggap bahwa
virus Corona mengikat ACE2 receptors sebagai tempat
masuknya kedalam miosit dan menyebabkan injuri pada
miokard.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 239
Sistem renin-angiotensin (SRA) berperan penting dalam
sistem kardiovaskular dan berkontribusi terhadap penyakit
kardio-vaskular seperti hipertensi, PJB, penyakit jantung
koroner, dan gagal jantung. Komponen SRA terdiri dari
angiotensinogen, renin, angio-tensin II, reseptor angiotensin
II (AT1 dan AT2), dan angiotensin-converting enzyme (ACE).
Telah diketahui bahwa ACE merupakan enzim yang berperan
dalam katalisis konversi angiotensin I menjadi angiotensin II
yang berperan dalam vasokonstriksi dan peningkatan tekanan
darah.
Pada dua dekade terakhir, ditemukan homolog
baru ACE, yaitu ACE2, bahan ini merupakan enzim
counterregulatory yang dapat mendegradasi angiotensin II
menjadi angiotensin-(1-7) yang bersifat vasodilator, sehingga
mengurangi efek vasokonstriksi, retensi natrium, dan fibrosis.
Meskipun angiotensin II merupakan substrat primer ACE2,
enzim ini juga dapat mendegradasi angiotensin I menjadi
angiotensin-(1-9) dan berperan dalam hidrolisis peptida. Aksis
ACE2 / angiotensin-(1-7) berperan dalam mekanisme fisiologik
protektif melawan aktivasi SRA klasik.
Selain berperan penting dalam sistem kardiovaskular,
ACE2 juga berperan sebagai reseptor fungsional coronavirus
yang dapat mengikat protein spike permukaan virus secara
langsung. COVID -19 memasuki sel inang melalui reseptor
ACE2 yang banyak terdapat di paru-paru (terutama pada sel
alveolus tipe II), juga banyak terdapat pada jantung. Selain
itu, ACE2 juga ditemukan di epitel usus, endotel pembuluh
darah, dan ginjal; hal ini menjadi dasar mekanisme disfungsi
multiorgan yang dapat terjadi pada infeksi COVID -19. Pasien
dengan komorbid kardiovaskular lebih rentan terinfeksi
COVID -19 dan dapat mengalami manifestasi klinis yang lebih

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


240 Challenges & Opportunities
berat diduga karena berhubungan dengan meningkatnya
ekspresi ACE2 pada kelompok ini dibandingkan pasien tanpa
komorbid kardiovaskular.
Infeksi COVID -19 terjadi ketika protein spike permukaan
virus tersebut mengikat reseptor ACE2 setelah diaktivasi oleh
transmembrane protease serine 2 (TMPRSS2). Pengikatan protein
spike virus pada reseptor ACE2 akan menyebab-kan terjadinya
down regulation aktivitas ACE2 pada permukaan sel sehingga
efek protektif enzim tersebut menjadi hilang. Infeksi dan
replikasi virus yang berkelanjutan akan menyebabkan ekspresi
ACE2 semakin berkurang. Down-regulation akti-vitas ACE2
di paru-paru dapat memfasilitasi infiltrasi neutrofil sebagai
respon terhadap endotoksin dan menyebabkan akumulasi
unopposed angiotensin II dan aktivasi lokal SRA berlebihan
yang dapat memicu terjadi-nya jejas paru dan miokardium.
ACE2 receptors sebagai tempat masuknya kedalam miosit
dan menyebabkan injuri pada miokard melalui berbagai
mekanisme. Diantaranya peningkatan kebutuhan oksigen
pada miokard sebagai respons terhadap hipoksia yang berat.
Selain itu diduga ada beberapa mekanisme lain yaitu :
1. Virus COVID -19 juga menyebabkan injuri pada miokard
melalui cytokine storm (badai sitokin) yang terjadi sebagai
respons terhadap sistem immune yang berlebihan selama
infeksi.
2. Terjadinya distress pernafasan
3. Direk injuri virus COVID -19 pada miokard menyebabkan
kegagalan jantung kanan dan kongesti paru. Ditandai
dengan terjadinya peningkatan cardiac troponin terutama
pada kondisi yang kritis.
4. Virus COVID -19 menyebabkan eksaserbasi gagal jantung
dan endokarditis.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 241
Gambar 1. Keberadaan PJB pada infeksi COVID -19 terjadi perubahan
keseimbangan yaitu terjadi kecenderungan timbulnya risiko komplikasi
sistem kardiovaskuler dibanding pada pasien dengan jantung sehat.
Int J Cardio. 2020.,7: 190

Pasien anak dengan PJB sangat memerlukan edukasi


tentang protokol kesehatan dan gejala dini dari COVID-19.
Pentingnya telemedicine pada semua pasien PJB terhadap
ancaman infeksi COVID-19.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


242 Challenges & Opportunities
Tabel 4.
Klasifikasi tatalaksana medis dengan rencana restriksi/proteksi
pasien PJB yang terinfeksi COVID -19 berdasarkan kompleksitas
defek dan derajat gangguan hemodinamik jantung terhadap
risiko timbulnya penyulit system kardiovaskuler.
World Journal of Pediatrics

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 243
Clinical course of CHD cases with COVID-19
Faktor terpenting untuk memprediksi prognosa COVID-19
pada pasien PJB adalah derajat hipoksemia dan timbulnya
disfungsi yang refrakter dari multiorgan. Memburuknya
kondisi PJB akibat COVID-19 secara klinis ditandai dengan
timbulnya panas, palpitasi, nafas yang memendek, disertai
tanda-tanda hiperpermeabilitas vaskuler dan kegagalan
fungsi multi organ. Hal ini akibat disregulasi sistem immune
serta produksi cytokine yang berlebihan.
Tanda-tanda hiperaktivasi sistem koagulasi dan gangguan
fungsi trombosit sebagai tanda makin memburuknya infeksi
COVID-19.
Angiotensin‐converting enzyme 2 (ACE2) adalah enzim
yang diekspresi pada jantung, ginjal, usus, arteri dan
yang terpenting pada epitel sistem saluran nafas. Terbukti
merupakan entry point dari COVID -19 kedalam sel host.
Beberapa penelitian telah membuktikan terjadinya down
regulates SARS‐CoV‐2 yang menyebabkan akumulasi
angiotensin‐II yang memberikan efek membahayakan untuk
terjadinya acute respiratory distress syndrome (ARDS). Juga
terbukti bahwa COVID-19 juga memberikan penyulit pada
ginjal selain jantung berupa aritmia dan gagal jantung.
Namun, pasien PJB pada usia anak (<18 tahun) kurang
sensitif terhadap infeksi COVID -19 dengan berbagai dugaan.
Kemungkinan kadar ACE2 yang tinggi, adanya innate trained
immunity dan belum adanya co-morbidities.
Berbagai jenis PJB dengan derajat gangguan hemodinamik
yang berbeda dan manifestasi klinis yang berbeda pula
menyebabkan kesulitan untuk mempridiksi keberhasilan dan
tatalaksana pasien CHD-COVID-19-positive. Masih sangat

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


244 Challenges & Opportunities
diperlukan penelitian lebih lanjut dengan subyek yang besar
untuk membuktikan hubungan antara jenis dan derajat
gangguan hemodinamik PJB serta prognosis pada pasien
yang terserang COVOD-19.

KOMPLIKASI YANG TIMBUL PADA PASIEN PJB YANG TERINFEKSI


COVID-19
Hipertensi pulmonal Acute respiratory distress syndrome
akibat COVID-19 akan meningkatkan tahanan saluran nafas,
memperberat hipoksemia, vasokonstriksi arteria pulmonalis,
hal ini akan memperburuk pasien PJB dengan memberatnya
hipertensi pulmonal, peningkatan tekanan ventrikel kanan
akhirnya menimbulkan gagal jantung kanan.
Aritmia, terjadi pada 16.7% pasien PJB yang terinfeksi
COVID-19, diperberat dengan terjadinya gangguan
keseimbangan elektrolit (K, Mg, Ca) karena pemberian
diuretik yang kronis juga akibat pemberian chloroquine atau
macrolides (untuk terapi SARS-CoV-2). Timbul perpanjangan
QTc interval (corrected QT interval) dapat menimbulkan aritmia
yang serius. Sehingga perlu dipertimbangkan dan penelitian
lebih lanjut penggunaan chloroquine atau macrolides untuk
terapi SARS-CoV-2.
Hipoksemia, terutama bila saturasi oksigen <85%,
pada pasien dengan PJB sianosis, terjadi metabolism
anaerob, merangsang hypoxic inducing factor , meningkatkan
eritrositosis di sumsum tulang, gangguan pembentukan
oxygen free radicals, yang sangat penting untuk proses aktivasi
metabolism sel serta imunitas.
Khas pada SARS-CoV-2, terjadi persistent hypoxemia, “happy
hypoxia”; terutama pada stadium awal dari infeksi dengan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 245
gejala desaturasi berat tanpa distres nafas. Reaksi inflamasi
pada pembuluh darah paru merupakan rangsangan dari
rangkaian molekul protein untuk menimbulkan gangguan
sistem koagulasi yang sangat memperburuk proses oksigenasi
darah.
Gagal jantung, terutama kegagalan ventrikel kanan
akibat Acute respiratory distress syndrome karena COVID-19,
injuri miokard atau aritmia. Hampir 25% pasien yang opname
karena SARS-CoV-2 ditemukan gagal jantung.
Systemic arterial hypertension, data terakhir dari
pandemik afinitas virus Covid-19 terhadap ACE2
menyarankan bahwa terapi dengan ACE inhibitor dan atau
angiotensin II receptor blockers (ARBs) memberikan risiko besar
pada pasien dengan infeksi COVID-19. Namun hal ini masih
diperdebatkan.
Gangguan imunitas, ada beberapa jenis PJB terutama yang
disertai 22q11 deletion syndrome sering disertai hipokalsemia
dan primary immunodeficientioncy.
Thymic hypoplasia atau aplasia menimbulkan gangguan
lymphocyte subpopulation, terjadi gangguan jumlah dan fungsi
dari T lymphocytes, B lymphocytes, NKs dan monocytes.
Proinflammatory state in CHD, pada PJB sianosis
maupun non sianosis terjadi peningkatan ekspresi cytokines
like TNF-α, ghrelin dan IL-6 akibat gagal jantung dan hipoksia
menahun.
Gangguan hematologi, pada PJB sianosis terjadi
mekanisme kompensasi terhadap hipoksia menahun akan
terjadi trombositopenia dan trombopathi serta eritrositosis.
Menimbulkan defisiensi besi yang relative, hiperviskositas
dan deformabilitas dinding eritrosit sehingga menurunkan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


246 Challenges & Opportunities
kecepatan sirkulasi darah dan thrombosis kapiler paru, hal
ini diperberat oleh hipoksemia, hipertensi pulmonal oleh
adanya infeksi COVID-19.
Selain itu juga terjadi thrombosis makrovaskuler
memperberat kerusakan alveolar paru, reaksi inflamasi dan
thrombosis mikrovaskuler paru, terjadi progressive endothelial
thrombo inflammatory syndrome pada semua organ. Kondisi
ini memperburuk prognosis COVID-19 dengan timbulnya
prolonged prothrombin time, kenaikan D dimer, activated partial
thromboplastin time , prolonged prothrombin time, elevated D
dimer, serta activated partial thromboplastin time. Inilah yang bisa
menjawab mengapa pada COVID-19 terjadi thrombus pada
arteri dan vena pada semua organ. Namun belum pernah
dilaporkan berapa insidennya.
Pada PJB sianosis, terjadinya defisiensi besi yang relatif,
menurunkan kadar hemoglobin serta pengikatan oksigen
akan memperberat hipoksemia pada COVID-19 disertai
peningkatan eritrositosis di sumsum tulang Sehingga timbul
hiperviskositas yang memperburuk perfusi jaringan.
Decreased functional respiratory capacity, timbul sebagai
akibat gangguan hemodinamik sehingga menurunkan
kapasitas ventilasi dan aliran sistem limpatik pada saluran
nafas sebagai akibat terjadinya peningkatan tekanan
hidrostatik. Hal ini menimbulkan berbagai derajat edema
paru, peningkatan tahanan bronkhi dan cabang-cabangnya.

EVIDENCE SUPPORTING WORSE OUTCOMES IN CHD-COVID-19


PATIENTS
Berdasarkan hasil penelusuran beberapa literatur,
EMBASE, Medline, Scopus, dan Global Health data bases, pasien

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 247
PJB pada usia anak (CHD) dan dewasa (ACHD) mempunyai
prognosa buruk bila terkena COVID -19 dibanding pada
pasien yang tanpa PJB.
Faktor terpenting untuk memprediksi prognosis infeksi
COVID -19 adalah jenis (sianosis dan non sianosis) serta
beratnya gangguan hemodinamik akibat PJB. Ditandai dengan
memberatnya derajat hipoksemia, gagal jantung, gangguan
fungsi miokard dan aritmia. Disfungsi multi organ, nafas
cepat dan memendek, palpitasi, serta panas tinggi. Timbulnya
gejala hiperpermeabilitas vaskuler serta kegagalan fungsi
multi organ yang refrakter menunjukkan telah timbulnya
disregulasi sistem immune dan produksi yang berlebihan
dari cytokine.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan aktivasi yang
berlebihan dari sistem koagulasi serta gangguan fungsi
trombosit. Pada akhirnya ditandai gagal nafas dan kematian.
Evidence-based recommendations, sementara belum ada
rekomendasi yang sudah disepakati, perawataan difokuskan
untuk mempertahankan saturasi oksigen, kejadian gagal
jantung kanan, perfusi perifer dan beban volume jantung /
curah jantung.

IS THERE A CORRELATION BETWEEN SPECIFIC CHD AND


COVID-19 OUTCOMES?
Walaupun belum didukung data yang cukup, hubungan
antara jenis PJB yang spesifik dengan prognosa COVID-19
masih belum jelas, namun sangat diduga bahwa semakin
berat dan kompleksitas nya PJB (beratnya hipoksemia, dan
gangguan hemodinamik serta hipertensi pulmonal) semakin
buruk pula prognosa COVID -19.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


248 Challenges & Opportunities
Hasil penelitian lain menunjukkan adanya hubungan
antara PJB dengan kejadian inflammatory multi-system
syndrome exposure oleh SARSCoV-2. Hampir 100% timbul
komplikasi pada jantung berupa gangguan fungsi ventrikel
kiri, regurgitasi katub dan gangguan arteri koroner. Penelitian
lain menunjukkan terdapat hubungan antara awal gejala
timbulnya penyakit Kawasaki yang ternyata dengan disertai
positip COVID -19.

SPECIFIC CONSIDERATIONS FOR SEVERELY AFFECTED CHD


PATIENTS
Infeksi COVID -19 perlu dicurigai pada pasien dengan PJB
yang timbul gejala panas, sesak yang memberat, penurunan
saturasi oksigen perifer, penurunan fungsi ventrikel yang
tidak jelas penyebabnya, timbulnya aritmia yang bisa disertai
syok kardiogenik. Perlu segera dilakukan pemeriksaan EKG,
jumlah sel darah lengkap, NT-Pro-BNP dan troponin. Foto
polos dada, EKG, dan CT scan paru serta ekokardiografi sangat
segera dilakukan. Jangan dilupakan terjadinya endokarditis,
sehingga perlu pemeriksaan transesophageal echocardiography
(TEE).
Rencana operasi koreksi PJB cito atau elektif sebaiknya
ditunda.

EVIDENCE SUPPORTING WORSE OUTCOMES IN CHD-COVID-19


PATIENTS
Dalam kaitannya dengan Adult Congenital Heart Disease
(ACHD), Sebatino(Italia, 2020) mendapatkan data bahwa
semua pasien dengan ACHD yang terinfeksi COVID-19
menunjukkan prognosa yang buruk. Terjadi gagal jantung,
stroke dan aritmia. Hal ini memperkuat pendapat bahwa

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 249
pasien dengan PJB yang terinfeksi COVID-19 lebih sering
menimbulkan komplikasi dibanding populasi umum.

KEY ISSUES FOR CRITICAL CARE MANAGEMENT OF COVID-19


PATIENTS WITH CHD
General considerations
●● Admit to secondary or tertiary adults with congenital heart
disease (ACHD) centre.
●● Blood pressure readings affected by some surgical procedures. In
this case, measurements should be taken from the contralateral
side.
●● Central venous access may be difficult due to chronic vascular
occlusion or anomalous veins.
●● Arrhythmias are frequent and can lead to rapid deterioration.
Compare ECG with baselines.
●● Impairment of lung function is prevalent in ACHD patients
and should be expected to negatively influence disease course.
●● Patients with Down syndrome are at higher risk for pulmonary
infections and acute respiratory distress syndrome (ARDS).

Fontan-type circulation
●● Central venous catheters can be placed as usual, but pressures
will be equivalent to pulmonary arterial pressures.
●● Small fenestrations to the systemic ventricles are often present
and may increase risk of air/paradoxical embolism.
●● Pulmonary blood flow sensitive to increases in pulmonar
vascular resistance.
●● An increased risk of pulmonary arterial thrombosis in the case
of ARDS could be expected.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


250 Challenges & Opportunities
Cyanotic heart disease
●● Oxygen saturations <90% at rest or with exercise are the norm.
●● Treatment guided by oxygen saturation compared with baseline,
respiratory rates and lactate levels.
●● Haemoglobin levels should not be lowered by venesections.
●● Increased risk for thromboembolic complications as well as
bleeding.
●● Expected to deteriorate with even milder degrees of pulmonary
involvement.
●● Air filters on all venous cannulas in patients with right-to Left
shunts to prevent stroke.

Patients with right heart dilatation or dysfunction


●● Potentially at increased risk of right heart failure. Patients
with pulmonary arterial hypertension may be at higher risk of
developing ARDS.
●● Mechanical ventilation and ARDS can lead to increase in
pulmonary arterial pressures.
●● Limit positive end expiratory pressure to a minimum.
●● Prone positioning can be beneficial in reducing right ventricular
pressure overload.
●● In severe right heart failure, pharmacological reduction of
pulmonary arterial pressures and extracorporeal membrane.
Summary of the potential cardiac complications and
recommended cardiac work-up and management of cardiac
complications for patients that require hospitalization due
to severe coronavirus disease-2019.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 251
Why do children react differently to adults?
Angiotensin-converting enzyme II (ACE2), bertanggung
jawab untuk mengubah angiotensin II menjadi angiotensin
1–7. Angiotensin II sebagai pro-inflamasi dan pro-fibrotik
berperan menjadi vasokonstriktor. Sedangkan angiotensin
1–7 penting sebagai anti inflamasi dan anti oksidan, berperan
sebagai vasodilator ringan, memproteksi jantung dan paru
dari injuri. Kadar angiotensin II meningkat dengan terjadinya
SARS-CoV-2, sementara kadar ACE2 yang tinggi tidak terlalu
dipengaruhi infeksi virus, namun kadar menurun sebanding
dengan bertambahnya umur, hal ini yang menerangkan
bahwa semakin tua semakin berisiko tinggi untuk timbulnya
bentuk penyakit yang parah.
Bila kadar ACE2 rendah, terjadi penumpukan angiotensin
II sehingga meningkatkan efek proinflamasi pada kasus yang
berat.
Adanya Innate trained immunity, jumlah limfosit yang
tinggi serta pengalaman terhadap infeksi virus menyebabkan
prognosa SARS-CoV-2 pada usia anak lebih baik dibanding
dewasa. Selain itu pada usia anak belum ditemukan co-morbid.

Service provision and telemedicine for CHD patients


Telah disepakati pasien PJB mempunyai risiko tinggi
untuk timbulnya komplikasi bila terinfeksi COVID-19. Pasien
dengan komorbid kardiovaskular berisiko yang lebih tinggi
untuk morbiditas dan mortalitas terkait COVID-19 sehingga
pasien harus memahami rekomendasi WHO tentang proteksi
dasar terhadap COVID-19. Protokol kesehatan meliputi cara
cuci tangan secara teratur dengan hand rub berbasis alkohol
atau sabun dan air; hindari menyentuh daerah mata, hidung,

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


252 Challenges & Opportunities
dan mulut; melakukan etika batuk atau bersin; gunakan
masker; dan social distancing dengan menjaga jarak. Petugas
penanganan COVID-19 harus menggunakan alat pelindung
diri yang lengkap sebelum menangani pasien. Pengunaan
telepon atau telemedicine dapat menjadi alternatif kunjungan
rutin ke fasilitas kesehatan bagi pasien dengan penyakit
kardiovaskular stabil di daerah risiko tinggi penularan COVID
Oleh karena itu, sangat diperlukan sarana telemedicine/
Online consultations dan peningkatan pelayanan kesehatan
untuk pasien dengan PJB sebagai sarana edukasi tentang
infeksi SARS-COV-2. Idealnya harus diisolasi mandiri,
perhatian ditujukan pada ACHD/CHD phenotype and baseline
cardiac status, berkaitan dengan terapi yang diberikan
termasuk PJB dengan gangguan hemodinamik ringan atau
sedang. Bagi tenaga kesehatan diperlukan patokan The triage
algorithm, yaitu five “ACHD phenotypes”: CHD with pulmonary
hypertension (CHD-PAH), cyanotic CHD, single ventricle/Fontan
anatomy, right heart failure, dan systemic right ventricle.
Klinisi perlu memahami bahwa dalam konteks COVID-19,
tanda dan gejala klasik PJB semakin bervariasi mungkin
menjadi tidak khas. Pada pasien dengan gagal jantung yang
memberat, volume/pressure overload, pemberian cairan yang
berlebihan perlu dihindari serta diperlukan pemantauan
balans cairan secara ketat dan berkala. Setiap pasien PJB
yang bertambah sesak, penurunan saturasi oksigen dan syok
selama pandemic patut dicurigai adanya infeksi Covid-19.
Pasien dengan penyakit kardiovaskular berat yang telah
disingkirkan kemungkinan COVID-19 dapat ditangani secara
lokal, sedangkan pasien yang terkonfirmasi COVID-19 harus

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 253
dirujuk segera ke rumah sakit rujukan COVID-19 untuk
karantina dan tatalaksana lanjutan.

KETERBATASAN
1. Keterbatasan data pasien dengan infeksi COVID-19 pada
pasien dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB/CHD) dan
Adult Congenital Heart Disease (ACHD) termasuk disini
pasien PJB/CHD yang belum/sudah dilakukan intervensi
bedah/non bedah sehingga bisa mencapai usia dewasa.
2. Belum ada guidelines tatalaksana COVID-19 pada pasien
dengan PJB yang telah disepakati Bersama.

PENELITIAN MENDATANG
Risiko yang berkaitan dengan infeksi COVID -19 pada
pasien dengan PJB dan ACHD menjadi topik penelitian yang
sangat menarik dimasa mendatang. Diperlukan penelitian
kohort, multisenter, jumlah kasus, dengan melibatkan
variabel umur, komorbiditas, terapi yang diberikan dan
berpengaruh terhadap derajat gangguan hemodinamik PJB
nya, progresivitasnya serta prognosis COVID-19.

CYTOKINE DYSREGULATION IN COVID-19


Sangat menarik untuk dipahami tentang analisa cytokine
dysregulation pada pasien COVID 19. Telah terjadi upregulation
dari beberapa cytokines spesifik yang berkorelasi dengan
memburuknya gejala COVID -19. Yaitu IL-2, IL-7, IL-10, IL-
6 G-CSF, IP-10, MCP-1, MIP-1A dan TNF-α. Hasil beberapa
penelitian telah dilaporkan bahwa pemberian imunoterapi
memberikan hasil yang baik.
Ketika seseorang yang sudah memilki potensi sitokin rilis
kemudian terinfeksi dengan virus COVID-19; maka sitokin

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


254 Challenges & Opportunities
rilis seolah olah dipicu dan dibangunkan; maka terjadilah
pelepasan sitokin yang tidak terkendali.
Banyak hipotesa yang telah diajukan namun ada satu
hipotesa yang menjadi andalan yaitu timbulnya replikasi
virus yang sangat cepat mengarah terjadinya apoptosis
sel menyebabkan pelepasan yang massive dari mediator
inflamasi (“cell pyroptosis”), suatu bentuk pro-inflamasi sel
apoptosis.
Badai sitokin menciptakan peradangan yang melemahkan
pembuluh darah di paru-paru dan menyebabkan cairan
meresap ke alveoli, membanjiri pembuluh darah dan akhirnya
menciptakan masalah sistemik di banyak organ, yang dapat
mengakibatkan kerusakan multi organ.  
Badai sitokin di paru menimbulkan penumpukan cairan
dan makrofag menyebabkan penyumbatan jalan napas
menimbulkan sesak napas dan kematian.
Sebagian besar pasien dengan COVID-19 memiliki
prognosis yang baik, tetapi ada beberapa individu yang masuk
dalam keadaan kritis dan bahkan kematian. Adult Respiratory
Distress Syndrome (ARDS) dan kegagalan multi-organ terjadi
dengan cepat, yang mengakibatkan kematian dalam waktu
singkat. Badai sitokin dianggap sebagai salah satu penyebab
utama ARDS dan kegagalan multi organ.
Badai sitokin mengacu pada pelepasan sitokin
proinflamasi yang berlebihan dan tidak terkontrol karena
adanya hiperaktivasi sel imun. Mekanisme imunologis badai
sitokin yang disebabkan oleh virus Corona tidak sepenuhnya
dapat dijelaskan. Belum diketahui secara pasti perihal
penyebab terjadinya Badai Sitokin pada seseorang, namun
hal ini dikaitkan dengan karakteristik dari sistem kekebalan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 255
tubuh yang dimiliki oleh seseorang. Ini terjadi ketika sejumlah
besar sel darah putih diaktifkan dan melepaskan sitokin
inflamasi, yang pada gilirannya mengaktifkan lebih banyak
lagi keterlibatan sel darah putih. Badai Sitokin dipicu oleh
berbagai faktor; dan salah satunya adalah infeksi oleh virus.
Jika virus yang masuk bersifat baru (belum adanya memori
dalam sistem kekebalan tubuh) dan daya patogennya tinggi;
maka cenderung pelepasan sitokin menjadi tidak terkendali.
Virus COVID-19 mengaktifkan sistem imun bawaan
dan sistem imun adaptif, menghasilkan pelepasan sejumlah
besar sitokin seperti IL-6 dan IL-1β, IL-2, IL-8, IL-17, G-CSF,
GM-CSF, IP10, MCP1,dan TNF. Selain itu, karena peran
faktor-faktor proinflamasi ini, permeabilitas pembuluh
darah meningkat, sejumlah besar cairan dan sel darah
masuk ke dalam alveoli, mengakibatkan sesak dan bahkan
kegagalan pernapasan. Oleh karena tingginya kadar sitokin
pro-inflamasi, sebagian pasien COVID-19 akan jatuh dalam
stadium paling  berat, yang bermanifestasi sebagai sindrom
hiperinflamasi sistemik ekstra-paru. Pada stadium ini penanda
inflamasi sistemik terlihat sangat tinggi. Oleh karena itu,
memblokir badai sitokin sangat penting untuk mengurangi
tingkat kematian COVID-19.
Timbulnya komplikasi di luar paru diduga berkaitan
dengan adanya komorbid. Seseorang yang telah memiliki
gangguan sistem kardiovaskuler, ginjal, hipertensi, diabetes,
timbul kecenderungan kejadian kegagalan multi organ.

GEJALA
Gejala umum yang ditimbulkan akibat terjadinya badai
sitokin adalah demam, kelelahan, kehilangan nafsu makan,

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


256 Challenges & Opportunities
nyeri otot dan persendian, mual, muntah, diare, ruam,
pernapasan cepat, detak jantung yang cepat, tekanan darah
rendah, kejang, sakit kepala, kebingungan, halusinasi,
delirium, tremor, serta kehilangan koordinasi.

PENYEBAB
Belum diketahui secara pasti perihal penyebab terjadinya
Badai Sitokine pada seseorang, namun hal ini dikaitkan dengan
karkteristik dari sistem kekebalan tubuh yang dimiliki oleh
seseorang kemampuan dalam pengendalian stress, istirahat
yang cukup, kebugaran, selalu gembira serta gizi yang baik.

DIAGNOSIS OF CYTOKINE STORM SYNDROME IN COVID-19


Cytokine strom syndrome pada COVID- 19 khas ditandai
dengan peningkatan IL-2, IL-7, granulocyte colony stimulating
factor, interferon-γ, inducible protein 10, monocyte chemoattractant
protein 1, macrophage inflammatory protein 1-α, tumour necrosis
factor-α, ferritin (mean 1297·6 ng/ml in non-survivors vs 614·0 ng/
ml in survivors; p<0·001) and IL-6 (p<0·0001). Bahkan bisa dipakai
sebagai prediktor derajat beratnya reaksi hiperinflamasi
COVID-19. Gambaran tersebut mirip dengan apa yang
terjadi pada secondary haemophagocytic lymphohistiocytosis
(sHLH) yang juga dipicu oleh adanya infeksi virus/ 3.7-4.3%
akibat sepsis untuk menimbulkan hypercytokinaemia dengan
kegagalan fungsi multi organ.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 257
Gambar 2. Pathogenesis of COVID-19: 1. SARS-COV2 entry, replication and
release. The virus binds to its ACE2 cell receptor by means of its spike glycoprotein
(S protein) and then enters the cell cytoplasm where it releases its RNA genome,
begins to replicate, and forms and releases new viral particles. 2. Antigen
presentation. The viral antigen is presented to antigen-presenting cells (APCs)
that present the antigenic peptides by means of the major histocompatibility
complex (MHC). Antigen presentation stimulates both (3) cellular and (4)
humoral immunity. 3. Immune effector cells release large amounts of cytokines
and chemokines (a cytokine storm) that may rapidly provoke acute respiratory
distress syndrome (ARDS), single or multiple organ failure, and eventually death.
(International Journal of Health Sciences and Research Vol.10; Issue: 5; May
2020).

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


258 Challenges & Opportunities
Gambar 3. Virus SARS-CoV-2 masuk ke dalam sel manusia melalui reseptor ACE2,
memperbanyak diri (replikasi), setelah matur, keluar dari sel dalam jumlah yang
besar, dan mengalir ke seluruh tubuh bersama aliran darah.
(International Journal of Health Sciences and Research Vol.10; Issue: 5; May
2020).

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 259
Gambar 4. Proses invasi SARS-CoV-2, mulai dari masuknya sel ke dalam tubuh,
dan merusak organ vital (paru-paru dan jantung), kemudian aktivasi respon
imunitas tubuh untuk melawan SARS-CoV-2.
Terlihat gambaran cytokine storm (badai sitokin), yaitu abnormalitas sistem
kekebalan dengan membentuk banyak protein sitokin, akibatnya peradangan
sistemik menjadi tidak terkontrol. Efek akhirnya adalah kerusakan jantung,
serangan jantung (sindroma koroner akut), gagal jantung (heart failure), dan
gangguan irama (aritmia). (European Society of Cardiology).

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


260 Challenges & Opportunities
COVID-19 INFECTION AND ITS ASSOCIATION WITH KAWASAKI
DISEASE
Data internasional menunjukkan terbentuknya proin-
flammatory syndrome mirip Kawasaki disease (KD) atau toxic
shock syndrome (TSS) pada anak-anak yang ada kaitannya
dengan COVID-19. Penelitian terdahulu menunjukkan adanya
kaitan antara virus Corona dengan KD. Toxic shock syndrome
merupakan manifestasi cytokine storm (panas, lymphopenia,
peningkatan transaminases, lactate dehydrogenase, D-dimer,
dan ferritin).
Pasien yang terinfeksi COVID-19 terjadi peningkatan IL-
2R, IL-18, CXCL 9 cytokines, IFN-γ dan IL-6, IL-10 IL-8, hal
ini juga terjadi pada KD.

CLINICAL COURSE OF CARDIAC MANIFESTATION IN PEDIATRIC


CASES WITH COVID-19
Manifestasi klinis gangguan kardiovaskuler pada usia anak
dengan infeksi Covid-19 berupa miokarditis atau Kawasaki like
disease. Hal ini sebagai massive immune response terhadap infeksi
virus, ditandai dengan kenaikan kadar inflammatory markers
(kenaikan CRP, pro-calcitonin dan ferritin). Kawasaki-like disease
mengakibatkan gangguan jantung akibat kerusakan miokard,
SARS-CoV-2 masuk kedalam miosit melalui reseptor ACE2,
terjadi infiltrasi dan reaksi inflamasi sehingga menimbulkan
miokarditis bahkan syok kardiogenik.
Bila sebelumnya sudah ada PJB atau sequelae dari operasi
korektif jantung sebelumnya, perjalanan klinisnya lebih
buruk, sering disertai aritmia yang gawat (takikardia atau
fibrilasi ventrikel, bundle branch blocks, first-degree AV block)
dan selalu membutuhkan perawatan intensif di ICCU.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 261
SIMPULAN
Pasien dengan PJB mempunyai risiko tinggi untuk
terjadinya komplikasi akibat infeksi COVID-19 yang selalu
membutuhkan perawatan di ICCU. Pasien dengan komorbid
PJB memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami manifestasi
lebih berat jika terinfeksi COVID-19 karena diduga berhu-
bungan dengan meningkatnya ekspresi ACE2 pada kelompok
ini dibandingkan pasien tanpa komorbid kardiovaskular.
Namun pada usia anak kurang rentan terhadap infeksi
COVID-19 dibanding usia dewasa. Hal ini oleh karena
tingginya kadar ACE2, innate trained immunity dan tidak
adanya co-morbidities.
Bermacam variasi defek anatomi struktur jantung
dan gangguan hemodinamik sehingga menimbulkan
bervariasinya manifestasi klinis akan menyulitkan membuat
prediksi dan tatalaksana PJB yang terinfeksi COVID-19.
Masih diperlukan data yang lebih banyak, penelitian kohort
dan multisenter. Selama pandemi, pencegahan dan kontrol
merupakan prioritas yang harus dilakukan. Pada pasien PJB,
optimalisasi terapi medis konser-vatif, protokol kesehatan
perlu diprioritaskan.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


262 Challenges & Opportunities
DAFTAR PUSTAKA

1. Adityo Susilo1,2, C. Martin Rumende1,2, Ceva W


Pitoyo1,2, Widayat Djoko Santoso1,2, Mira Yulianti1,2,
Herikurniawan1,2, Robert Sinto1,2, Gurmeet Singh1,2,
Leonard Nainggolan1,2, Erni J Nelwan1,2, Lie Khie
Chen1,2, Alvina Widhani2, Edwin Wijaya2, Bramantya
Wicaksana2, Maradewi Maksum2, Firda Annisa2, Chyntia
OM Jasirwan2, Evy Yunihastuti2
Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini
Tim Penanganan Kasus pasien dengan Penyakit Infeksi
New Emerging dan Re-emerging Disease (PINERE) RSUPN
dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia - RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
2. Ahmed Mamunul Huq.,dr (Md Cardiology) Covid And
Heart (According To Esc Guidance 2020) National Institute
Of Cardiovascular Diseases Dhaka, Bangladesh.
3. Ana Alina Haiduc1, Michael Ogunjimi2, Rohma
Shammus1, Saira Mahmood1, Ramesh Kutty3, Attilio
Lotto3,5,6, Rafael Guerrero3, Amer Harky3,4,5,7 and Ram
Dhannapuneni3. COVID-19 and congenital heart disease:an
insight of pathophysiology and associated risks. Cardiology in
the Young 31: 233–240. doi: 10.1017/S1047951120003741
International Journal of Health Sciences and Research
(www.ijhsr.org) 140 Vol.10; Issue: 5; May 2020.
4. Aoife Cleary1 , Sian Chivers2, Piers E. Daubeney2,3 and
John M. Simpson1 DO 1, Catherine Collins, MD2, Dustin
B. Nash, MD3, Laurie E. Panesar, MD4, and Matthew
E. Oster, MD, MPH. Impact of COVID-19 on patients
with congenital heart disease. 1Department of Paediatric

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 263
Cardiology, Evelina London Children’s Hospital, UK;
2Department of Paediatric Cardiology, Royal Brompton
Hospital, UK and 3National Heart and Lung Institute,
Imperial College, London, UK. Cardiology in the Young
Coronavirus Disease 2019 Infection in Children with Pre-
Existing Heart Disease, The Journal of Pediatric.
5. Dasdo Antonius Sinaga, dr.SpJP(K) Dokter ahli konsultan
Jantung dan Pembuluh Darah Rumah Sakit Awal Bros
Pekanbaru Ketua Perhimpunan Dokter Kardiovaskular
Indonesia (PERKI) cabang Pekanbaru, dr. Andi Raga
Ginting, M.Ked, Sp.PD, K-R Dokter Spesialis Penyakit
Dalam, Badai sitokin pada COVID-19.
6. Elmira Haji Esmaeil Memar1, Babak Pourakbari2 ·
Mojtaba Gorgi1 · Meisam Sharifzadeh Ekbatani ·Amene
Navaeian · Mahmoud Khodabandeh · Shima Mahmoudi2
· Setareh Mamishi., COVID-19 and congenital heart disease:
a case series of nine children. World Journal of Pediatrics
https://doi.org/10.1007/s12519-020-00397-7.
7. El-Saiedi, PHD,a,* Christiane Haeffele, MD,b,c* Baher
M. Hanna, PHD,a George K. Lui, MDb,c Francisco Javier
Ruperti-Repilado,b and Markus Schwerzmannb. The
Hidden Victims of the COVID-19 Pandemic Congenital Heart
Disease Patients Sonia A. Editorial Adults with congenital
heart disease during the coronavirus disease 2019 (COVID-19)
pandemic: are they at risk? Adultos con cardiopatı´a conge´
nita durante la pandemia de COVID-19: ?poblacio´n
de riesgo? Pastora Gallego,a *a Adult Congenital Heart
Disease Unit, Department of Cardiology, Hospital
Universitario Virgen del Rocı´o, Instituto de BioMedicina
de Sevilla (IBIS), Seville, Spain b Center for Congenital
Heart Disease, Cardiology, University Hospital Inselspital,
University of Bern, Bern, Switzerland

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


264 Challenges & Opportunities
8. Francesco Vetta1*, Giampaolo Vetta1 and Leonardo
Marinaccio2, Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) and
Cardiovascular Disease: A Vicious Circle. Department of
Cardiology, Rome American Hospital, Rome, Italy 2
Department of Cardiology, Presidio Ospedaliero di Piove
di Sacco, (PD), Italy *Corresponding Author: Francesco
Vetta, Department of Cardiology, Rome American
Hospital, Rome, Italy.
9. Gerhard-Paul Diller 1,2,3*, Michael A. Gatzoulis2,4,5,
Craig S. Broberg6, Jamil Aboulhosn7, Margarita Brida 3,8,
Markus Schwerzmann 9, Massimo Chessa10, Adrienne
H. Kovacs6, and Jolien Roos-Hesselink 11. Coronavirus
disease 2019 in adults with congenital heart disease a position
paper from the ESC working group of adult congenital
heart disease, and the International Society for Adult
Congenital Heart Disease 1Department of Cardiology III –
Adult Congenital and Valvular Heart Disease, University
Hospital Muenster, Albert Schweitzer Campus 1,
Muenster, Germany; 2Adult Congenital Heart Centre and
National Centre for Pulmonary Arterial Hypertension,
Royal Brompton and Harefield NHS Trust, Sydney
Street, SW3 6NP London, UK; 3School of Cardiovascular
Medicine & Sciences, Kings College, WC2R 2LS London,
UK; 4National Heart & Lung Institute, Imperial College,
Dovehouse Street, SW3 6LY London, UK; International
Journal of Health Sciences and Research Vol.10; Issue: 5;
May 2020 Website: www.ijhsr.org Review Article ISSN:
2249-9571
10. Herick A. Willim,1 Infan Ketaren,2 Alice I. Supit2 Dampak
Coronavirus Disease 2019 terhadap Sistem Kardiovaskular
1Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Agoesdjam, Kabupaten
Ketapang, Kalimantan Barat 2Departemen Kardiologi

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 265
dan Kedokteran Vaskular, Rumah Sakit Umum Daerah
Dr. Soedarso, Pontianak, Kalimantan Barat. Email: herick_
alvenus@yahoo.co.id doi.org/10.35790/ecl.8.2.2020.30540
Available from: https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/
eclinic
11. J Lewis MD MPH †* and Brett R Anderson MD MBA MS
‡*, Michael Fremed MD ‡, Melissa Argenio NP†, Usha
Krishnan MD ‡, Rachel Weller MD ‡, Stéphanie Levasseur
MD ‡, Robert Sommer MD†, Irene D Lytrivi MD ‡, Emile
A. Bacha MD §, Julie Vincent MD ‡,Wendy K Chung MD
PhD† ‡, Erika B. Rosenzweig MD ‡, Thomas J Starc MD
‡** and Marlon Rosenbaum MD, Matthew. The Impact
of Coronavirus disease 2019 (COVID-19) on Patients with
Congenital Heart Disease across the Lifespan: The Experience
of an Academic Congenital Heart Disease Center in New York
City Running title: COVID-19 and Congenital Heart Disease
†**On behalf of the CUIMC Pediatric/Adult Congenital
Heart Research Collaborative***
12. John Jairo Araujo, MD1,2* 1Cardiologist-Echocardilogist,
Department of Pediatric and Adult Congenital Heart
Disease, Somer in Care Cardiovascular Center, Colombia.
Impact of the SARS-Cov-2 Virus Pandemic on Children and
Adultswith Congenital Heart Disease: Its Burden and Risk
Factors, Cochair Adult Congenital Heart Disease Council,
Inter American Society of Cardiology, Colombia Short Review
Check. Int J Clin Cardiol 2020, 7:190.
13. Jolanda Sabatino 1 , Paolo Ferrero 2, Massimo Chessa 3,
Francesco Bianco 4 , Paolo Ciliberti 5, Aurelio Secinaro 6,
Lilia Oreto 7, Martina Avesani 8, Valentina Bucciarelli 9,
Giuseppe Maria Pia Calabrò 10, Maria Giovanna Russo
11, Pier Paolo Bassareo 12, Paolo Guccione 5*,Ciro Indolfi

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


266 Challenges & Opportunities
13 and Giovanni Di Salvo 8*.COVID-19 and Congenital
Heart Disease:Results from a Nationwide Survey.
14. Megan Simpson, DO1, Catherine Collins, MD2, Dustin
B. Nash, MD3, Laurie E. Panesar, MD4, and Matthew E.
Oster, MD, MPH1,5. Coronavirus Disease 2019 Infection in
Children with Pre-Existing Heart Disease. J Pediatr 2020;-:1-
6.
15. Michael A. Gatzoulis a,b,c,*, Natali Chung a,c, Paolo
Ferrero d, Massimo Chessa e,George Giannakoulas b,
f, Aphrodite Tzifa g,h, Gerhard P. Diller a, i, Margarita
Brida a, j,, Cardiology in the Young:Adult congenital heart
care in the COVID-19 era, and beyond: A call for action.
International Journal of Cardiology Congenital Heart
Disease ELSEVIER.
16. Moises Rodriguez-Gonzalez, Ana Castellano-Martinez,
Helena Maria Cascales-Poyatos, Alvaro Antonio Perez-
Reviriego. Cardiovascular impact of COVID-19 with a focus
on children: A systematic review.
17. Ontoseno T. Mekanisme deformabilitas eritrosit pada pasien
PJB sianosis (tetralogy Fallot) yang mengalami defisiensi besi.
Program Pasca Sarjana Ilmu Kedokteran FK Unair. 2004.
18. Raffaele Giordano1 Massimiliano Cantinotti. Congenital
heart disease in the era of COVID‑19 pandemic, The Japanese
Association for Thoracic Surgery 2020.
19. Rana O. Zareef 1†, Nour K. Younis 1†, Fadi Bitar 1,2, Ali
H. Eid3,4,5* and Mariam Arabi, COVID-19 in Pediatric
Patients: A Focus on CHD Patients 1,2* Faculty of Medicine,
American University of Beirut Medical Center, Beirut, Lebanon,
2 Division of Pediatric Cardiology, Pediatric Department,
American University of Beirut Medical Center, Beirut,
Lebanon, 3 Department of Basic Medical Sciences, College

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 267
of Medicine, Qatar Univrsity, Doha University, Qatar,
4 Biomedical and Pharmaceutical Research Unit, QU
Health, Qatar University, 5 Department of Pharmacology
and Toxicology, American University of Beirut, Beirut,
Lebanon.
20. Robert M Radke ,1 Tim Frenzel 2, Helmut Baumgartner,1
Gerhard-Paul Diller. Adult congenital heart disease and
the COVID-19 pandemic. Heart 2020;0:1–8. doi:10.1136/
heartjnl-2020-317258.
21. Sachin Maggo1, Pawan Dhull2, Amba Prasad Dubey3, Dick
Brashier4, Awanish Karan5, Nilabh Kumar Singh6, Kapil
Joshi7. Cytokine Storm Syndrome in COVID-19: Diagnosis
and Management Strategies. World Cases 2020 November
6; 8(21): 5250-5283,DOI: 10.12998/wjcc.v8.i21.5250 ISSN
2307-8960 (online).
22. Shima Mahmoudi. COVID-19 and congenital heart disease: a
case series of nine children Article in World Journal of Pediatrics
· January 2021. Tehran University of Medical Sciences 113
PUBLICATIONS 901 CITATIONS International Journal of
Health Sciences and Research Vol.10; Issue: 5; May 2020
Website: www.ijhsr.org Review Article ISSN: 2249-9571
International Journal of Health Sciences and Research
(www.ijhsr.org) 140 Vol.10; Issue: 5; May 2020.
23. Weiyi Tan *, Jamil Aboulhosn. The cardiovascular burden
of coronavirus disease 2019 (COVID-19) with a focus on
congenital heart disease. International Journal of Cardiology.
309 (2020)70-77.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


268 Challenges & Opportunities
PEDIATRIC HEMATOLOGY-
ONCOLOGY CARE DURING
PANDEMIC ERA

Mia Ratwita Andarsini

Adanya Pandemi COVID-19 menyebabkan layanan


kesehatan terfokus pada penanganan pasien COVID-19.
Terdapat penurunan jumlah pasien yang datang ke poliklinik
maupun rawat inap jika dibandingkan dengan masa
sebelum pandemi dengan alasan takut terinfeksi COVID-19,
pembatasan perjalanan dan transportasi publik dan dampak
ekonomi.1,2 Trehan (2020) melaporkan hanya sepertiga pasien
hematologi onkologi anak di India tetap rutin berobat di RS.
Sebagian besar pasien tersebut domisili di kota atau pasien
yang selama pengobatan tinggal di kota tersebut.3
Penanganan pasien non COVID seakan-akan diabaikan
termasuk anak dengan keganasan dan kelainan darah
kronis yang mengalami hambatan dalam kelangsungan
tata laksana mereka.2 Mereka berpotensi untuk mengalami
keterlambatan penanganan, pengobatan terganggu atau
dimodifikasi. Keterlambatan dalam diagnosis menyebabkan
stadium penyakit menjadi lebih tinggi, menurunkan angka
kesembuhan dan memperburuk prognosis. Pengobatan yang
terganggu atau mengalami modifikasi akan menyebabkan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 269
kegagalan terapi dan meningkatkan angka kekambuhan.
Berbagai hambatan pada penanganan pasien hematologi
onkologi antara lain akibat dari gangguan suplai obat,
ketersediaan produk darah, penundaan operasi dan
radioterapi, penurunan jumlah tempat tidur rawat inap serta
penurunan fasilitas terapi suportif dan paliatif. 1
Pasien hematologi onkologi anak juga memiliki risiko tinggi
terkena infeksi SARS CoV 2 dengan morbiditas dan mortalitas
yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh pasien
hematologi onkologi anak menjalani masa rawat inap 4 kali
lebih lama dibandingkan dengan pasien lain seusianya,
sehingga RS harus dapat memberikan perawatan yang aman
untuk mereka.4 Fokus makalah ini adalah memaparkan
rangkuman dari berbagai penelitian dan rekomendasi yang
telah dikeluarkan untuk mengatasi kondisi ini.

PENCEGAHAN UMUM
Penapisan awal dapat dilakukan di poliklinik dengan
menerapkan sistem triase. Penapisan triase meliputi
pertanyaan tentang identifikasi kondisi pasien saat ini, deteksi
dan deteksi adanya gejala COVID-19 misalnya panas, batuk
atau gejala respirasi lain, riwayat bepergian ke daerah zona
kuning/merah serta riwayat adanya kontak dengan orang
terkonfirmasi COVID-19. Skrining tersebut dapat dilakukan
melalui telefon sebelum pasien datang ke RS. Semua pasien
yang memiliki gejala curiga COVID-19 seperti panas,
batuk, nyeri tenggorokan, anosmia dan lain-lain, sebaiknya
dianggap sebagai tersangka COVID-19 sehingga mereka
harus rawat inap di ruang isolasi sementara dan dilakukan
pemeriksaan swab PCR SARS CoV 2. Jika telah terkonfirmasi

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


270 Challenges & Opportunities
positif, anak tersebut akan dialihrawatkan di R Isolasi Khusus
pasien COVID-19.4,5 Telemonitoring dan telekonsultasi dapat
dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif isolasi mandiri
pada anak dengan kondisi stabil.2,4
Untuk mencegah penularan infeksi, diperlukan edukasi
untuk melakukan berbagai tindakan pencegahan diantaranya
sering cuci tangan dengan cara yang benar, larangan menyentuh
mulut, hidung dan mata serta selalu menggunakan masker
baik di dalam maupun di luar RS. Kunjungan keluarga dan
tenaga sosial pada pasien yang sedang opname di RS harus
dibatasi. Beberapa RS memberlakukan aturan hanya 1 orang
tua yang diijinkan untuk menjaga anaknya untuk mencegah
penularan COVID-19.4

TATA LAKSANA PASIEN KEGANASAN


1. Penegakkan Diagnosis
Anak yang dicurigai menderita keganasan harus
segera dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis tanpa mengalami penundaan
namun disesuaikan dengan fasilitas yang tersedia.
Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, biopsy, FNAB
serta pemeriksaan radiologi seperti foto thoraks, USG,
CT Scan dan MRI tetap dilakukan untuk menegakkan
diagnosis, menentukan stadium dan stratifikasi risiko.
Pemeriksaan penunjang yang memerlukan anestesi
general dapat ditunda jika pasien mengalami panas
dan gejala yang mengarah kecurigaan COVID-19. Pada
pasien yang dicurigai menderita keganasan namun
terkonfirmasi COVID-19, jika gejala klinis yang timbul
tidak memberikan manifestasi gawat darurat seperti

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 271
massa abdominal, retinoblastoma intraokular atau
limfoma Hodgkin stadium awal, maka pemeriksaan
diagnostik dapat ditunda sampai pasien sembuh. 2,6
2. Operasi
Selama era pandemi COVID-19 terjadi penundaan
kegiatan operasi akibat pembatasan fasilitas dan adanya
tenaga medis yang terinfeksi sehingga tindakan operasi
primer atau biopsi sering kali tidak bisa terlaksana.
Jika didapatkan kondisi seperti ini dapat dilakukan
kemoterapi neoajuvan terlebih dahulu. Nefrektomi pada
pasien tumor Wilms’ yang biasanya dilakukan pada
minggu kelima dapat ditunda sampai 4 minggu pada
pasien tanpa metastasis. Namun pada pasien dengan
riwayat tumor progresif, operasi harus segera dilakukan
meskipun telah dilakukan kemoterapi neoajuvan.6
3. Radioterapi
Pandemi COVID-19 memiliki dampak langsung
terhadap unit radioterapi akibatnya dari berkurangnya
jumlah staf karena lockdown atau adanya staf yang terinfeksi.
Jumlah pasien anak yang memerlukan radioterapi
tidak banyak namun tetap dibutuhkan pengamanan
untuk mencegah paparan terhadap pasien dewasa yang
menggunakan fasilitas radioterapi yang sama. Tumor
otak seperti medulloblastoma dan PNET bersifat sangat
agresif memerlukan operasi eksisi secara urgen. Jika
operasi tidak dapat segera dilaksanakan, pemberian
radioterapi ajuvan memiliki peran yang sangat penting
mengingat jenis tumor ini bersifat radiosensitif. Dalam
situasi dimana pasien tidak dapat menjangkau fasilitas
radioterapi maka dapat dipertimbangkan pemberian

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


272 Challenges & Opportunities
kemoterapi neoajuvan dan sesegera mungkin untuk
melakukan radioterapi jika kondisi memungkinkan. 6
4. Kemoterapi
Pada pasien LLA fase induksi dan intesifikasi,
kemoterapi dilakukan sesuai dengan protokol tanpa
mengalami penundaan. Pada fase rumatan tidak
direkomendasikan untuk modifikasi protokol namun
diperlukan penyesuaian jadwal kunjungan poliklinik
dengan pemantauan melalui telemedisin untuk
memastikan kepatuhan pengobatan dan mencegah putus
obat.2,6 Sahi dan Chandra (2021) mempertimbangkan
untuk penurunan dosis obat, penundaan kemoterapi yang
intensif, memperpanjang jarak antar siklus dan konversi
obat kemoterapi injeksi menjadi oral untuk mengurangi
kunjungan pasien ke RS. 2
Pemberian kemoterapi neoajuvan sebanyak 2-3 siklus
sangat disarankan pada pasien dengan tumor solid
sebelum dilakukan operasi. Namun pada pasien yang
telah mengalami metastasis disarankan untuk melakukan
kemoterapi paliatif dengan protokol kemoterapi yang
tidak agresif. 2
Terdapat beda pendapat tentang pemberian
kemoterapi pada pasien COVID 19 asimptomatik
karena belum terdapat banyak bukti kalau kemoterapi
dapat memberikan dampak membahayakan mereka.
Wu dkk (2020) merekomendasikan untk menghentikan
kemoterapi pada pasien anak terkonfirmasi COVID-19
dengan atau tanpa gejala.7 Yang (2020) dan Balduzzi (2020)
merekomendasikan jika pasien tersebut dalam kondisi
stabil atau tidak bergejala, dapat diberikan kemoterapi

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 273
dengan regimen yang lebih ringan dan durasi yang
lebih pendek.8,9 Husrak dkk pada tahun 2020 melakukan
survey pada 25 negara mendapatkan hasil bahwa tidak
ada pasien anak terkonfirmasi COVID-19 yang mendapat
kemoterapi dan imunosupresan mengalami perburukan
kondisi terkait dengan infeksinya. Sehingga peneliti
ini merekomendasikan pada pasien anak terkonfirmasi
COVID yang sedang dalam pemulihan kondisi paska
kemoterapi serta pasien yang sedang dalam kemoterapi
rumatan, kemoterapi dapat ditunda tidak lebih dari 14
hari.10
5. Transfusi Darah
Transfusi darah merupakan salah satu bagian penting
tata laksana pasien hematologi onkologi anak. Pada era
pandemi ini, ketersediaan donor merupakan masalah
krusial diakibatkan adanya ketakutan untuk datang ke RS
melakukan donor darah. Dukungan sosial media seperti
Fecebook, grup Whattsap sangat penting untuk mencari
pedonor. Produk darah yang memiliki masa kadaluarsa
lama seperti komponen darah merah, fresh frozen plasma
dan kriopresipitat tidak terlalu memberikan masalah
dalam pengadaan doror. Akan tetap permasalahan timbul
pada produk darah yang memiliki masa kadaluarsa
pendek seperti konsentrat trombosit.6
Selama pandemi COVID-19, WHO mengeluarkan
panduan transfusi darah dengan menurunkan nilai
ambang kebutuhan transfusi. Pada pasien asimptomatik,
nilai ambang transfusi sel darah merah jika Hb <7,0 g/d.
Nilai ambang untuk transfusi trombosit profilaksis pada
pasien tanpa tanda perdarahan adalah jumlah trombosit <

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


274 Challenges & Opportunities
10.000/cmm. Nilai ambang jumlah trombosit untuk punksi
lumbal sebesar 50.000/cmm pada kasus baru dan 20.000/
cmm untuk punksi lumbal berikutnya. Untuk tindakan
aspirasi sumsum tulang, dibutuhkan nilai trombosit >
10.000/cmm. Kebutuhan transfusi untuk operasi sangat
bervariasi tergantung dari jenis operasi yang dilakukan
sehingga perlu didiskusikan lebih lanjut.11

TATA LAKSANA PASIEN THALASEMIA


Hingga saat ini belum ada rekomendasi perubahan
tata laksana transfusi pada pasien thalassemia, masih tetap
menggunakan panduan nilai ambang kadar Hb yang sama
dengan sebelum pandemic COVID-19. Pemeriksaan kadar
Hb dan ferritin tetap dilaksanakan seperti biasa. Pada pasien
Thalasemia yang terkonfirmasi COVID-19 dengan gejala,
pemberian deferipron dapat dihentikan sementara karena
memiliki efek samping limfopenia dan agranulositosis. Pada
pasien thalassemia menderita panas, obat kelasi besi dapat
dihentikan sementara hingga penyebabnya diketahui.2

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 275
DAFTAR PUSTAKA

1. Saab R, Obeid A, Gachi F, et al. Impact of the coronavirus


disease 2019 (COVID-19) pandemic on pediatric oncology
care in the middle east, north afrika and west asia region: a
report fom the pediatric oncology east and Mediterranean
(POEM) group. Cancer, 2020;0:1-11.
2. Sahi PK, Chandra J. Pediatric hemato-oncology care amid
the COVID-19 pendemic. Indian J Pediatr, 2021. Diakses
dari https://doi.org/10.1007/s12098-020-03577-5.
3. Trehan A, Jain R, Bansal D. Oncology care in a lower
middle-income country during the COVID-19 pandemic.
Pediatr Blood Cancer, 2020;67:e28438.
4. Amicucci M, Mastronuzzi A, Ciaralli I, et al. The
management of children with cancer during the COVID-19
pandemic: a rapid review. J Clin Med 2020;9:3756-71.
5. Saitini L, Biffi A. How we deal with the COVID-19 epidemic
in an Italian paediatric onco-hematology clinic located in
a region with a high density of cases. BJH, 2020;189:640-2.
6. Ranjit Kumar CS, Reghu KS, Anil A, et al. Management of
hemato-oncology chidren during covid-19 crisis. Int J Res
Pharm Sci, 2020;11(SPL)(1):369-75.
7. Wu XY. Standardized management guideline for pediatric
wards of hematology and oncology during the epidemic
of coronavirus disease 2019. Chin J Contemp Pediatr,
2020;22:177-82.
8. Yang C, Li C, Wang S; National Clinical Research Centre
for Child Helath and Disordersand Children’s Oncology
Committee of Chinese Research Hospital Association.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


276 Challenges & Opportunities
Clinical stragies for trating pediatric cancer during the
outbreak of novel coronavirus infection. Pediatr Blood
Cancer, 2020;67:e28248
9. Balduzzi A, Brivio E, Rovelli A, et al. Leson after the early
management of the COVID-19 outbreak in a pediatric
transplant and hemato-oncology center embedded within
a COVID-19 dedicated in Lombardia Italy. Bone Marrow
Transplant, 2020;55:1900-5.
10. Hrusak O, Kalina T, Wolf J, et al. Flash survey on severe
acute repiratory syndrome coronavirus-2 infection in
paediatric patients on anticancer treatment. Eur J Cancer,
2020;132:11-16.
11. WHO. Maintanin a safe and adequate blood dupply
during the pandemic outbreak of coronavirus disesase
(COVID-19). Diakses dari https://apps.who.int/iris/
handle/10665/331523

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 277
Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:
278 Challenges & Opportunities
NUTRIONAL IMPACT ON CHILDREN
DURING COVID-19 PANDEMIC

Meta Herdiana Hanindita

PENDAHULUAN
Sejak munculnya virus Corona jenis baru, SARS CoV-
2 yang dikenal sebagai Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus-2 di akhir tahun 2019, penyakit Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19) telah menyebar dengan pesat ke
seluruh dunia1. Anak-anak yang terinfeksi oleh SARS-CoV-2
dilaporkan lebih sering asimtomatik dan memiliki risiko
relatif kecil untuk menjadi penyakit berat2.
Sebelum COVID-19, dunia sebetulnya sudah ketinggalan
untuk memenuhi target pada Sustainable Development Goals
yang ke-2, yaitu mengeliminasi kelaparan dan malnutrisi pada
20303. Pandemi COVID-19 menyebabkan target ini semakin
jauh tertinggal karena kondisi sosial, ekonomi, gangguan
sistem distribusi makanan, gangguan sistem kesehatan
justru dapat mengeksaserbasi kekurangan nutrisi pada anak,
terutama di negara berpenghasilan menengah ke bawah4.
Pada anak, risiko paling serius yang ditimbulkan oleh
pandemi COVID-19 bukanlah risiko penyakit itu sendiri
melainkan karena “collateral damage”. Kerusakan yang
dimaksud meliputi kekurangan nutrisi dengan risiko

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 279
overweight atau underweight, ketergantungan pada gawai,
kurangnya aktivitas fisik, kesehatan mental, isolasi sosial dan
sebagainya. Krisis yang terjadi selama pandemi COVID-19
dapat memiliki konsekuensi jangka panjang pada anak5.
Krisis yang dipicu oleh COVID-19, baik sosial maupun
ekonomi global akan menimbulkan risiko besar terhadap status
gizi dan kelangsungan hidup dari anak-anak, terutama di
negara berpenghasilan menengah ke bawah. Perhatian khusus
diberikan pada peningkatan angka malnutrisi anak, termasuk
wasting, dikarenakan penurunan pendapatan rumah tangga
yang tajam, perubahan pada kesediaan dan keterjangkauan
makanan bergizi seimbang serta gangguan terhadap layanan
kesehatan, nutrisi serta perlindungan sosial5,6.
Headey menunjukkan bahwa tanpa tindakan tepat waktu,
angka kejadian wasting pada anak dapat meningkat secara
mengejutkan sebesar 14,3%. Dengan perkiraan 47 juta balita di
dunia sebelum pandemi COVID-19 mengalami wasting, maka
diperkirakan ada tambahan 6-7 juta anak dengan wasting
dalam setahun pertama masa pandemi, dimana 80%-nya
terdapat di Afrika Sub Sahara, dan Asia Tenggara. Selain itu,
diperkirakan pula akan ada tambahan 10.000 kematian anak
per bulannya dalam periode ini8,9. Perkiraan peningkatan
angka kejadian wasting pada anak hanyalah puncak gunung
es. Pandemi COVID-19 diperkirakan juga akan meningkatkan
bentuk lain malnutrisi pada anak seperti stunting, defisiensi
mikronutrien dan overweight atau obesitas10.
Penelitian yang ada hingga saat ini mendukung
pentingnya peran status nutrisi sebagai pertahanan infeksi
dan mediator dari efeknya11,12. Kecukupan asupan energi,
makronutrien dan mikronutrien berperan kritis dalam fungsi
imun13. Sebaliknya, kekurangan nutrisi dapat menyebabkan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


280 Challenges & Opportunities
disfungsi imun dan meningkatkan kerentanan terhadap
penyakit infeksi. Respons imun terhadap infeksi akan
meningkatkan kebutuhan nutrisi, mengurangi nafsu makan
dan menghambat penyerapan nutrisi yang membuat hal ini
menjadi lingkaran setan.14 COVID-19 menempatkan anak-
anak yang kekurangan nutrisi ini menjadi lebih tinggi risiko
mortalitasnya, dan untuk anak yang dapat bertahan, risiko
lebih tinggi untuk gangguan pertumbuhan, perkembangan
serta kognitif15.
Pandemi COVID-19 telah mengubah kebiasaan seperti
pola makan dan gaya hidup banyak orang. Selain lockdown
yang berulang kali diterapkan, krisis ekonomi global telah
mengganggu aktivitas mata pencaharian jutaan orang di
seluruh dunia, terutama mereka yang bekerja di bidang
perekonomian informal. Penutupan sekolah sejak awal pandemi
juga menyebabkan gangguan program makanan sehat subsidi
pemerintah yang diberikan secara gratis di berbagai sekolah
10,16
. Pada negara-negara berpenghasilan rendah, gangguan
dalam program bantuan gizi dan pelayanan kesehatan
menambah kemiskinan yang semakin mengakar8,13,17. Masalah
finansial yang dialami banyak keluarga selama masa pandemi
COVID-19 dapat mendorong lebih banyak keluarga ke dalam
kemiskinan dan memaksa mereka membuat makanan yang
lebih murah namun tidak sehat17,18.
Berbagai penelitian yang telah dilakukan untuk menun-
jukkan efek dari krisis COVID-19 terhadap nutrisi dan gaya
hidup anak-anak masih sangat jarang dan kebanyakan
diadakan di negara berpenghasilan menengah ke atas.
Di Jerman, penelitian berupa survey yang dilakukan pada
1000 orangtua dengan minimal 1 anak berusia di bawah 14
tahun menunjukkan bahwa 10%-nya melaporkan peningkatan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 281
pembelian makanan dengan sistem antar dan penurunan
pembelian makanan dengan sistem takeout. Sebanyak 27%
orangtua melaporkan mengalami peningkatan berat badan
sejak awal pandemi dengan proporsi yang seimbang antara
ibu dan bapak, tanpa hubungan yang jelas dengan pendapatan
atau usia anak. Peningkatan berat badan anak selama pandemi
dilaporkan sebanyak 9% dimana hal ini lebih banyak dialami
oleh anak dari orangtua dengan tingkat pendidikan rendah
(Durasi pendidikan <10 tahun). Peningkatan berat badan
tidak terlalu banyak dilaporkan pada anak usia preschool
namun paling tinggi dialami oleh anak usia sekolah, terutama
usia 10-12 tahun, dimana jumlah anak laki-laki lebih banyak
dibandingkan anak perempuan. Pengurangan aktivitas fisik
dilaporkan pada 38% dari semua anak, dan hampir 60% pada
anak usia 10 tahun ke atas. Peningkatan konsumsi sayuran
dilaporkan sebesar 14%, buah 20% sementara asupan daging
menurun 13%. Pada saat bersamaan, konsumsi camilan asin
meningkat sebanyak 18%, camilan manis sebesar 20% dan
minuman bersoda sebesar 18%18.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


282 Challenges & Opportunities
Tabel 1. Prevalensi perubahan yang terjadi pada 6 bulan
pertama masa pandemi COVID-19 dilaporkan oleh 1000
orangtua dengan setidaknya 1 anak berusia sampai 14 tahun
dan tinggal di rumah yang sama di Jerman.

Di Italia, sebuah survey yang dilakukan selama 3


minggu terhadap 41 anak berusia 6-18 tahun yang obesitas
menunjukkan asupan keripik kentang, daging merah dan
minuman manis meningkat signifikan selama lockdown
(P-value range: 0.005 to <0.001), sementara waktu yang
dihabiskan berolahraga dan waktu tidur menurun signifikan.
Selain itu screen time juga dilaporkan meningkat signifikan (P
< 0.001)19.
Senada dengan penelitian tersebut, sebuah survey
internasional yang dilaksakan di Italia, Spanyol, Chile.
Colombia dan Brasil pada 820 orang remaja melaporkan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 283
peningkatan signifikan pada konsumsi makanan manis dan
gorengan selama pandemi COVID-19 dengan angka kejadian
lebih tinggi pada remaja yang memiliki ibu berpendidikan
rendah20.
Overweight dan obesitas beserta semua komorbiditas
terkait seperti diabetes dan penyakit jantung diketahui sebagai
faktor risiko COVID-19 yang dapat meningkatkan risiko
infeksi maupun komplikasi berat21. Obesitas secara signifikan
juga berhubungan dengan tatalaksana penyakit kritis pada
anak yang masuk rumah sakit dengan COVID-1922. Inflamasi
kronik berhubungan dengan obesitas telah diketahui dapat
mengganggu respons imun adaptif maupun innate, dan
bukti ilmiah menunjukkan hal ini juga yang terjadi pada
COVID-1923.
Untuk mengoptimalkan nutrisi pada anak selama masa
pandemi COVID-19 ini, WHO menganjurkan ibu untuk tetap
melakukan standar emas pemberian makan pada bayi dan
anak yang meliputi Inisiasi Menyusui Dini, ASI eksklusif,
pemberian MPASI sementara ASI dapat dilanjutkan hingga
2 tahun atau lebih. Selain itu, WHO juga menganjurkan
pemberian buah-buahan secara rutin. Untuk anak berusia 2-3
tahun sekitar 1 cangkir buah/hari, anak berusia 4-13 tahun
sekitar 1,5 cangkir buah/hari, remaja putri berusia 14-18 tahun
sekitar 1,5 cangkir/hari dan remaja putra berusia 14-18 tahun
sekitar 2 cangkir buah-buahan/hari.
WHO juga menganjurkan konsumsi sayur mayur secara
rutin. Untuk anak berusia 2-3 tahun sekitar 1 cangkir sayuran/
hari, 4-8 tahun 1,5 cangkir sayuran/hari. Remaja putri berusia
9-13 tahun membutuhkan 2 cangkir sayuran/hari, remaja putra
berusia 9-13 tahun membutuhkan 2,5 cangkir sayuran/hari.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


284 Challenges & Opportunities
Sayuran yang diberikan bervariasi termasuk yang berdaun
hijau, berwarna merah dan oranye. Protein diberikan 2-3 porsi/
hari untuk anak dimana ikan sebaiknya disajikan paling sedikit
2x/minggu dan salah satunya adalah ikan yang berminyak
(seperti salmon, mackerel atau trout). Kacang-kacangan juga
terhitung sebagai protein dan direkomendasikan untuk anak
di atas 5 tahun. Susu dianjurkan diberikan 3 porsi per hari.
Untuk anak di bawah 2 tahun susu yang diberikan dalam
bentuk whole milk atau yoghurt, sementara di atas 2 tahun,
anak yang pola makannya baik dapat diberikan semi-skimmed.
Anak di bawah usia 6 tahun sebaiknya tidak mengonsumsi
jus buah lebih dari setengah cangkir/harinya. Pastikan 100%
jus buah bukan minuman buah dengan tammbahan gula.
Di atas usia 7 tahun, batasi pemberian jus buah maksimal
355 ml/hari. Buah segar adalah pilihan terbaik. WHO pun
menganjurkan pemberian camilan berupa sayuran dan buah
segar dibandingkan makanan yang tinggi kandungan gula,
garam atau lemak24.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 285
DAFTAR PUSTAKA

1. Chen N, Zhou M, Dong X, Qu J, Gong F, Han Y et al.


Epidemiological and clinical characteristics of 99 cases of
2019 novel coronavirus pneumonia in Wuhan, China: A
descriptive study. Lancet. 2020;395:507-13.
2. Klein JD, Koletzko B, El-Shabrawi MH, Hadjipanayis A,
Thacker N, Bhutta Z. Promoting and supporting children’s
health and healthcare during COVID-19: International
Paediatric Association Position Statement. Arch Dis Child.
2020;105(7):620–4.
3. Development Initiatives. 2020 Global Nutrition Report:
Action on equity to end malnutrition. The Global
Nutrition Report’s Independent Expert Group. 2020.
https://globalnutritionreport.org/documents/566/2020_
Global_Nutrition_Report_2hrssKo.pdf
4. Osendarp S, Akuoku J, Black R, Headey D, Ruel M,
Scott N et al. The potential impacts of COVID-19 crisis
on maternal and child malnutrition in low and middle
income countries. 11 December 2020, PREPRINT. https://
doi.org/10.21203/rs.3.rs-123716/v1.
5. Raman S, Harries M, Nathawad R, Kyeremateng R, Seth
R, Lonne B. Where do we go from here? A child rights-
based response to COVID-19. BMJ Paediatr Open. 2020;
4:e000714.
6. Akseer N, Kandru G, Keats EC, Bhutta ZA. COVID-19
pandemic and mitigation strategies: implications for
maternal and child health and nutrition. Am J Clin Nutr.
2020; 112(2):251–6.
7. Gehri M, Masserey E, Knob C, Pellaton R. A hidden side
of the COVID-19 pandemic in children: the double burden

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


286 Challenges & Opportunities
of undernutrition and overnutrition. Int J Equity Health.
2021;20:44.
8. Headey D, Heidkamp R, Osendarp S, Ruel M, Scott N, Black
R et al. Impacts of COVID-19 on childhood malnutrition
and nutrition-related mortality. Lancet. 2020;396:519-21.
9. UNICEF WHO. World Bank Group Joint malnutrition
estimates, 2020 edition. https://www.who.int/
publications/i/item/jme-2020-edition.
10. Fore HH, Dongyu Q, Beasley DM, Ghebreysus TA. Child
malnutrition and COVID-19:the time to act is now. Lancet.
2020;396:517-8.
11. Belanger MJ, Hill MA, Angelidi AM, Dalamaga M, Sowers
JR, Mantzoros CS. Covid-19 and disparities in nutrition
and obesity. N Engl J Med. 2020;383:e69.
12. Mehta S. Nutritional status and COVID-19: an opportunity
for lasting change?Clin Med (Lond )2020;20:270-3.
13. Naja F, Hamadeh R. Nutrition amid the COVID-19
pandemic: a multi-level framework for action. Eur J Clin
Nutr. 2020;74:1117-21.
14. Bourke CD, Berkley JA, Prendergast AJ. Immune
dysfunction as a cause and consequence of malnutrition.
Trends Immunol. 2016;37:386-98.
15. UNICEF WHO. Supporting children’s nutrition during the
COVID-19 pandemic, 2020 edition. https://www.unicef.
org/media/68521/file/Supporting-children%E2%80%99s-
nutrition-during-COVID-19-2020.pdf.
16. Dooley DG, Bandealy A, Tschudy MM. Low-income
children and coronavirus disease 2019 (COVID-19) in the
US. JAMA Pediatr. 2020;174(10):922–3.
17. Panthi B, Khanal P, Dahal M, Maharjan S, Nepal S. An
urgent call to address the nutritional status of women and

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 287
children in Nepal during COVID-19 crises. Int J Equity
Health. 2020;19:87.
18. Koletzko B, Holzapfel, Schneider U, Jauner H. Lifestyle and
body weight consequences of the COVID-19 pandemic in
children: Increasing disparity. Ann Nutr Metab. 2021;26:1-
3.
19. Pietrobelli A, Pecoraro L, Ferruzzi A, Heo M, Faith M,
Zoller T et al. Effects of COVID-19 lockdown on lifestyle
behaviors in children with obesity living in Verona, Italy:
A longitudinal study. Obesity. 2020;28(8):1382–5.
20. Ruiz-Roso MB, de Carvalho PP, Mantilla-Escalante
DC, Ulloa N, Brun P, Acevedo-Correa D et al. Covid-19
confinement and changes of adolescent’s dietary trends
in Italy, Spain, Chile, Colombia and Brazil. Nutrients.
2020;12: 1807.
21. Tan M, He FJ, MacGregor GA. Obesity and covid-19: the
role of the food industry. BMJ. 2020;369:m2237.
22. Swann OV, Holden KA, Turtle L, Pollock L, Fairfield
CJ, Drake TM et al. Clinical characteristics of children
and young people admitted to hospital with covid-19 in
United Kingdom: prospective multicentre observational
cohort study. BMJ. 2020;370:m3249.
23. Chiappetta S, Sharma AM, Bottino V, Stier C. COVID-19
and the role of chronic inflammation in patients with
obesity. Int J Obes (Lond)2020;44:1790-2.
24. WHO. Feeding babies and young children during the
COVID-19 outbreak, 2020. http://www.emro.who.int/
nutrition/nutrition-infocus/feeding-babies-and-young-
children-during-the-covid-19-outbreak.html.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


288 Challenges & Opportunities
VACCINE PREVENTABLE PEDIATRIC
INFECTIOUS DISEASES DURING
PANDEMIC ERA

Irene Ratridewi

LATAR BELAKANG
Imunisasi adalah cara yang paling efektif dan aman untuk
menurunkan angka kejadian penyakit infeksi di seluruh
dunia dan makin banyak anak dan bayi yang diimunisasi
karena program yang masif di hampir semua negara. Salah
satu contoh adalah polio dan campak yang angka kejadiannya
semakin menurun kecuali di daerah endemis yang tidak
melaksanakan imunisasi ini dengan baik karena berbagai hal.
WHO dan UNICEF mencatat setidaknya 100 negara di dunia
yang telah melaksanakan imunisasi secara lengkap kepada
anak.
Imunisasi merupakan program yang terjadwal untuk
mencapai kadar antibodi yang protektif, dimana booster adalah
faktor yang sangat penting, untuk itu maka sangat tidak
disarankan untuk menunda imunisasi terutama pemberian
booster. Jadwal imunisasi kadang tidak dapat dipenuhi tepat
pada waktunya karena berbagai hal, dan saat ini disebabkan
karena pandemi covid-19. Karantina dan penundaan imunisasi
akibat ketakutan masyarakat atau menurunnya ketersediaan
vaksin telah menyebabkan sekitar 80 juta anak usia < 1 tahun

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 289
di seluruh dunia tidak mendapatkan vaksinasi penyakit
berbahaya dengan semestinya (campak, difteri, dan polio)
(WHO, 2020). Pada akhirnya dunia akan menghadapi lonjakan
kasus penyakit infeksi yang tadinya telah dapat dikendalikan
dengan baik, sehingga terjadi re-emerging diseases.

PENYAKIT INFEKSI YANG DAPAT DICEGAH DENGAN IMUNISASI


WHO telah menyetujui imunisasi yang dapat mencegah
terjadinya penyakit infeksi sebagai program wajib di tiap
negara yaitu difteri, HiB (haemophilus influenzae tipe B), Hepatitis
B, HPV (human papilloma virus), influenza, campak, rubella,
mumps, pertussis, IPD (invasive pneumococcal disease), polio,
rotavirus, tetanus dan TBC. Sedangkan CDC mencantumkan
lebih banyak lagi dengan tambahan varicella, hepatitis A dan
meningococcal disease.
Disamping itu juga terdapat imunisasi yang wajib
diberikan pada daerah tertentu atau jika akan bepergian
ke daerah/negara tertentu yang diwajibkan oleh CDC bagi
warga negara Amerika Serikat bagi warga negaranya (tifoid,
JE/Japanese B encephalitis, rabies, adenovirus, yellow fever,
anthrax, kolera, cacar/small pox). Rekomendasi CDC sama
dengan WHO.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


290 Challenges & Opportunities
Gambar 1. Jadwal imunisasi anak menurut CDC, 2021

Gambar 2. Jadwal imunisasi remaja menurut CDC 2021

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 291
Gambar 3. Jadwal imunisasi anak-remaja di Indonesia yang terdaftar di WHO
2021

Gambar 4. Jadwal imunisasi anak-remaja di Thailand yang terdaftar di WHO


2021

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


292 Challenges & Opportunities
Gambar 4. Jadwal imunisasi anak dan remaja di USA menurut catatan WHO
2021

Jika kita amati memang Indonesia masih tertinggal jauh


dari negara maju dalam hal imunisasi, dari sisi cakupan
dan jenis vaksin juga masih belum sempurna. Di Thailand
beberapa vaksin yang diberikan untuk mengejar jumlah yang
diharapkan masih belum diberikan secara luas di Indonesia
(Kementrian Kesehatan RI) seperti Rotavirus, Invasive
Pneumococcal Disease, dan JE.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 293
DAMPAK PANDEMI COVID-19 TERHADAP IMUNISASI SECARA
UMUM DI DUNIA
WHO telah mengeluarkan jadwal vaksinasi terhadap
penyakit infeksi yang dapat dicegah atau diturunkan
derajat keparahannya dengan imunisasi. Terdapat beberapa
penyakit yang telah lama dapat dikendalikan insidensnya
dengan imunisasi seperti campak, difteri, pertussis, tetanus
neonatorum, polio, varicella, dan mumps. Sejak Maret 2020
imunisasi rutin mengalami kemunduran yang bermakna
dimana 53% dari 129 negara melaporkan kemunduran sedang
sampai dengan parah terutama selama Maret-April 2020.
Fakta ini sangat mengkhawatirkan mengingat kampanye
imunisasi secara masif yang dilaksanakan sejak 1970 telah
menghasilkan penurunan kasus infeksi fatal secara signifikan.
Penurunan jumlah anak dan frekuensi imunisasi rutin terjadi
karena keengganan orangtua membawa anak ke tempat
imunisasi, tenaga kesehatan yang berkurang karena ada
pembatasan jumlah tenaga atau pengalihan tenaga kesehatan
untuk merawat covid-19 (perubahan skala priorita instalasi
kesehatan/rumah sakit), transportasi vaksin terhambat karena
PSBB/lockdown/karantina lokal, dan pembatasan penerbangan
yang biasa membawa vaksin/bahan vaksin ke suatu negara.
Terdapat setidaknya 3 penyakit utama yang dikhawatirkan
akan menjadi reemerging-diseases terkait kemunduran program
imunisasi rutin ini yaitu campak, polio, dan difteri. Negara-
negara yang terdampak terparah akibat pandemi Covid-19
adalah 10 negara berkembang dan negara miskin yang pada
2019 terdapat 14 juta anak yang tidak diimunisasi sama sekali,
yaitu Angola, Brazil, Republik Demokratik Congo, Ethiopia,
India, Indonesia, Mexico, Nigeria, Pakistan, dan Filipina.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


294 Challenges & Opportunities
Dirjen WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan
bahwa akan muncul kembali penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi yaitu campak akibat kemunduran imunisasi
ini, tetapi seharusnya imunisasi rutin dapat dikerjakan dengan
aman selama pandemi Covid-19.

DAMPAK PANDEMI COVID-19 TERHADAP IMUNISASI DI


BERBAGAI BENUA DI DUNIA
PAHO (Pan America Health Organization) mencatat
wabah (outbreak) campak dan difteri di beberapa area.
Imunisasi yang tidak berjalan dengan baik selama pandemic
Covid-19 menyebabkan peningkatan kasus ini. PAHO
mencatat setidaknya 8726 kasus konfirmasi campak selama
pandemi covid-19, termasuk 11 kematian; Argentina (61
kasus dengan 1 kematian), Bolivia (2 kasus), Brazil (8448 kasus
dengan 10 kematisn), Kanada (1 kasus), Uruguay (2 kasus),
Chile (2 kasus), Colombia (1 kasus), Mexico (196 kasus), USA
(13 kasus). Kasus terbanyak ada di Brazil, dari 8448 kasus
campak terkonfirmasi, 4892 (58%) kasus tidak diimunisasi.
Kasus Covid-19 cukup tinggi di Brazil dan terdapat kasus
koinfeksi dengan campak pada remaja dan dewasa. Difteri
juga masih menjadi masalah di benua Amerika, tercatat
kejadian 80 kasus terkonfirmasi di 5 negara yaitu Brazil (2
kasus), Republik Dominica (3 kasus dengan 2 kematian),
Haiti (66 kasus dengan 16 kematian), Peru (4 kasus dengan 1
kematian), Venezuela (5 kasus dengan 2 kematian).
Profil cakupan imunisasi di negara-negara ini masih
kurang terutama difteri di Haiti dan campak di Brazil. Di
USA sendiri terdapat 13 kasus campak pada 2020 yang
ditemukan di 8 negara bagian (PAHO tidak menyebutkan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 295
negara bagian mana saja, tetapi pada tahun 2019 terjadi wabah
campak di USA yang sangat mengejutkan (sebelum pandemi
COVID-19) yang diduga akibat aktivitas kelompok antivaksin
di sana. Pada 2020 kasus campak menurun karena berbagai
hal termasuk lockdown yang diberlakukan di USA meskipun
kelompok antivaksin masih berkeliaran sehingga eradikasi
campak menjadi sulit di USA. Haiti memiliki cakupan imunisasi
yang buruk juga terutama untuk difteri karena berbagai hal
termasuk penolakan vaksin karena angka kejadian difteri dan
fatalitasnya hampir sama antara tahun 2019 (sebelum pandemi
COVID-19) dan 2020 (saat pandemi COVID-19) (PAHO, 2021).
Jadi dapat disimpulkan bahwa pandemi covid-19 memang
berpengaruh terhadap kejadian penyakit infeksi yang dapat
dicegah dengan imunisasi karena menurunnya cakupan,
tetapi lockdown juga berpengaruh terhadap interaksi antaranak
sehingga transmisi dapat diturunkan. Kombinasi keduanya
pasti akan meningkatkan kejadian penyakit infeksi yang dapat
dicegah dengan imunisasi dan koinfeksi dengan COVID-19.
Di Eropa tidak ada catatan khusus tentang kejadian
wabah dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
seperti campak dan difteri. Fakta yang dikemukakan oleh
WHO regio Eropa adalah pada 2018 terdapat kira-kira 527.000
anak tidak mendapatkan vaksin campak dosis pertama (awal)
dan setahun kemudian (2019) terdapat pajanan virus campak
dan menginfeksi lebih dari 100.000 orang dari berbagai usia.
Hambatan melakukan imunisasi selama pandemi covid19
akan menempatkan Eropa pada posisi yang lebih buruk di
tahun 2021.
Pelayanan imunisasi mengalami penundaan dan
keengganan orangtua meningkat selama awal pandemi

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


296 Challenges & Opportunities
(Maret-April 2020) di USA dan beberapa tempat yang
tercatat di dunia. Di USA pandemi COVID-19 diumumkan
pada Februari 2020 dan sejak saat ini layanan imunisasi di
berbagai pusat kesehatan ditunda sampai dengan April 2020,
hal ini menyebabkan keterlambatan imunisasi campak dan
meningkatkan jumlah bayi yang tidak diimunisasi dosis
pertama DTaP. Penundaan imunisasi juga terjadi di Lombardy
Italia (episentrum pandemi) pada bulan Februari dan baru
dibuka lengkap 14 April 2020 dan menyebabkan bayi-bayi
tertinggal imunisasi baik dosis pertama maupun ulangan
selama periode tersebut.
Di Afrika, penelitian oleh Abbas K, dkk (2020) yang
dibiayai oleh Gavi (organisasi Vaccine alliance) dan Bill and
Melinda Gates Foundation, menyimpulkan bahwa penularan
penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
selama pandemi menurun, tetapi risiko morbiditas setelah
masa pandemi selesai (kontak antarpasien meningkat) akan
meningkat karena tertinggalnya jadwal imunisasi. Penelitian
ini juga menghitung risiko tertular COVID-19 selama
pandemi jika imunisasi rutin tetap dikerjakan baik di tempat
imunisasi maupun saat transportasi. Di negara Afrika yang
imunisasinya terdampak paling besar dari COVID-19 adalah
yang berpenghasilan paling rendah seperti Sierra Leon dimana
sarana layanan kesehatan masih minim bahkan ketersediaan
air bersih dan listrik juga sangat terbatas, orangtua makin
enggan membawa anak untuk imunisasi termasuk OPV1 dan
BCG; cakupan imunisasi di sana menurun 50-85% selama
2020 dibandingkan 2019.
India mencatat setidaknya 5 juta bayi dan anak tertinggal
imunisasi di pedesaan selama 2 bulan saat pandemi karena

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 297
penduduk sulit mendapatkan layanan imunisasi yang
diselenggarakan hanya oleh pusat layanan Kesehatan di
rumah sakit saja selama pandemi; sementara pemerintah
Nepal menyelenggarakan imunisasi yang dilayani juga oleh
bidan desa agar tidak terlalu banyak bayi dan anak tertinggal
imunisasinya terutama di pedesaan.

DAMPAK PANDEMI COVID-19 TERHADAP IMUNISASI DI


INDONESIA
Pandemi COVID-19 di Indonesia dimulai pada bulan
Maret 2020 dan sejak saat itu terjadi pembatasan berskala
besar terutama di perkotaan di Indonesia. Laju mobilitas
menjadi sangat terbatas, mobilisasi petugas kesehatan ke unit
perawatan COVID, dan tutupnya sejumlah fasilitas layanan
primer yang bertanggungjawab terhadap imunisasi. Berikut
adalah gambar kebutuhan imunisasi dengan sarana yang
tersedia.

Gambar 5. Fenomena bottle neck layanan imunisasi akibat COVID-19.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


298 Challenges & Opportunities
Berdasarkan gambar tersebut, dari seluruh fasilitas
terdapat 84% yang dapat diakses tapi terjadi penutupan
fasilitas sebesar 64%nya ditutup terkait pandemi, sehingga
otomatis fasilitas yang dapat diakses berkurang. Penyebab
dari ditutupnya fasilitas tersebut adalah karena ketakutan
petugas faskes terhadap covid 19 (50%), mobilisasi petugas
ke unit layanan covid (34%), terbatasnya APD petugas (67%),
menurunnya suplai (22%), dan pemindahan pendanaan
(11%). Semuanya dapat berkontribusi terhadap menurunnya
cakupan imunisasi terutama DPT dan Campak yang
diwajibkan untuk diberikan dan seharusnya tersedia di pusat
layanan primer. Sebuah studi di Indonesia pada Agustus
2020 yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan dan Unicef
terhadap 12.641 responden di 34 provinsi dengan 2/3nya di
Jawa (60% populasi di Indonesia), menyajikan data tentang
persepsi komunitas terhadap layanan imunisasi selama
pandemi COVID-19.

Gambar 6. Gambar tempat layanan imunisasi yang dipilih pasien selama


pandemi COVID-19.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 299
Sebelum pandemi, sekitar 90% anak diimunisasi di
tempat layanan publik seperti posyandu (75%), puskesmas
(10%), dan polindes (5%), sementara sisanya (10%) dikerjakan
di rumah sakit swasta dan dokter praktik pribadi. Tetapi
selama pandemi terjadi pergeseran tempat pilihan imunisasi
yaitu rumah sakit swasta dan dokter praktik pribadi menjadi
>43%, puskesmas (23%), dan posyandu (21%). Pemerintah
dan organisasi profesi seperti IDI dan IDAI telah melakukan
edukasi mengenai imunisasi baik jadwal maupun jenis dan
protokol kesehatan yang harus dijalankan selama imunisasi.
Masyarakat juga memberikan respons terhadap sumber dari
informasi tentang imunisasi dari berbagai sumber.

Gambar 7. Sumber informasi mengenai imunisasi aman yang diperoleh


responden.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


300 Challenges & Opportunities
Dari hasil studi tersebut menunjukkan bahwa peran media
sosial dominan dalam menyebarkan informasi mengenai
imunisasi, dari jumlah tersebut kelompok Whatsapp menempati
urutan tertinggi disusul oleh Instagram, facebook, twitter,
dan yang lainnya. Seiring dengan semakin meningkatnya
pengetahuan masyarakat mengenai COVID-19 dan imunisasi
maka kunjungan imunisasi di tahun 2021 diramalkan mulai
mendekati jumlah awal seperti sebelum pandemi.
Indonesia melaporkan wabah difteria pada tahun 2017
dan sejak saat itu dilakukan imunisasi rutin anak sekolah
dan menggiatkan imunsisasi ulangan 18 bulan. Tahun 2020
(tahun pandemi COVID) program imunisasi anak sekolah
terhadap difteri dan campak juga mengalami penundaan;
pada kondisi dimana tidak banyak interaksi antar murid dan
antar manusia serta berlakunya protokol kesehatan memang
menurunkan kejadian infeksi penyakit menular; tetapi saat
pandemi selesai dan kehidupan kembali seperti semula maka
dikhawatirkan kelompok yang tidak mendapatkan imunsasi
ulangan atau imunisasi anak sekolah akan rentan terhadap
penyakit-penyakit tersebut; seperti juga hal yang sama
diperkirakan terjadi di seluruh dunia.

RINGKASAN
Pandemi COVID-19 berpengaruh terhadap berbagai
sektor kesehatan termasuk imunisasi bayi dan anak. Penyakit-
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi diperkirakan
akan mengalami peningkatan pascapandemi karena
cakupan menurun akibat ketakutan orangtua membawa
anak imunisasi, pembatasan sosial berskala besar, mobilisasi
petugas kesehatan ke unit layanan COVID-19, distribusi

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 301
vaksin yang menurun dan pada area tertentu keterbatasan
APD memadai sehingga pusat layanan kesehatan takut
melayani imunisasi. Negara yang tercatat terdampak sangat
parah akibat pandemi dari segi cakupan imunisasi adalah
Brazil, India, dan negara-negara Afrika terutama Sierra
Leon. Sedangkan dari jenis vaksin yang diberikan yang
mendapatkan perhatian terbesar adalah polio, difteri, dan
campak. Edukasi yang diberikan oleh pemerintah dalam
hal ini Kementrian Kesehatan harus dilakukan secara terus
menerus dan sistematis serta menggunakan sarana yang
paling dikenal masyarakat yaitu media sosial. Pergeseran
pilihan tempat imunisasi juga terjadi pada masa pandemi
dari pusat layanan publik pemerintah menjadi swasta karena
ketakutan orangtua membawa anaknya ke puskesmas,
posyandu, dan rumah sakit pemerintah.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


302 Challenges & Opportunities
DAFTAR PUSTAKA

1. Abbas K., Procter S.R., Zandvoort K.V., Clark A., Funk


S., Mengistu T., Hogan D., Danserau E., Jit M., Flasche
S., 2020. Routine childhood immunization during the
Covid-19 pandemic inf Africa: a benefit-risk analysis of
health benefits versus excess risk of SARS-Cov-2 infection.
Lancet Globaal Health 8: e1264-1272.
2. Abebe G.M., 2020. Emerging and Re-Emerging
Viral Diseases: The Case of Corona Virus Disease-19
(COVID-19). Int J Virol AIDS 7:1-13.
3. Benecke O. dan DeYoung S.E., 2019. Anti-Vaccine
Decision-Making and Measles Resurgence in the United
States. Global Pediatric Health 6: 1-5
4. Bramer C.A., Kimmins L.M., Swanson R., Kuo J., Vranesich
P., Jacuqes-Carroll L.A, Shem A.K., 2020. Deciline in Child
Vaccination Coverage During the Covid-19 Pandemic –
Michigan Care Improvement Registry, May 2016-May
2020.US Department of Health and Human Services 69(20):
630-640
5. Buonsenso D., Cinicola B., Kallon M.N., Iodice F., 2020.
Child Healthcare and Immunization in Sub-Saharan Africa
During the Covid-19 Pandemic. Frontiers in Pediatrics 8: 1-4.
6. Hossain M., Phil M., Abdulla F., Karimuzzaman., Rahman
A., 2020. Routine Vaccination Disruption in Low-Income
Countries: An Impact of Covid-19 Pandemic. Asia Pacific
Journal of Public Health 32(8): 509-510.
7. Khatiwada A.P., Shrestha N., Shresta S., 2021. Will
Covid-19 Lead to a Resurgence of Vaccine-Preventable
Diseases? Infection and Drug Resistance 14: 119-124.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 303
8. Lassi Z.S., Naseem R., Salam R.A., Siddiqui F., Das
J.K., 2021. The Impact of the Covid-19 Pandemic on
Immunization Campagins and Programs: A Systematic
Review. Int J. Environt Res Public Health 18: 1-23.
9. Madhav A., Mehrotra T., Sinha P., Mutreja A., 2020.
Vaccines for neglected, emerging, and re-emerging
diseases. Seminars in Immunooogy 50: 1-7.
10. PAHO/WHO.2021. Epidemiological Update Measles and
Diphteria. Update: 1 Februari 2021.Washington, D.C.
https://bit.ly/3tfF2A6.
11. Sabin N.S., Calliope A.S., Simpson S.V., Arima H., Ito H.,
Nishimura T., Yamamoto T., 2020. Implications of human
activities for (re)emerging infectious diseases, including
Covid-19. Journal of Physiological Anthropology 39: 1-12.
12. Smyth D.S.,2020. Covid-19, Ebola, and Measles: Achieving
Sustainability in the Era of Emerging and Reemergin
Infectious Disease. Environment Science and Policy for
Sustainable Development 62(6): 31-40.
13. Suwantika A.A., Boersma C., Postma M.J., 2020.
The potential impact of COVID-19 pandemic on the
immunization perfprmance in Indonesia. Expert Review of
Vaccines 19(8): 687-690.
14. The Ministry of Health Indonesia and UNICEF Indonesia.
Routine Immunization for Children during the Covid-19
Pandemic in Indonesia: Perceptions of Parents and
Caregivers. 1 Maret 2021. https://www.unicef.org/
indonesia/reports/rapid-assesment-immunization-
services-indonesia.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


304 Challenges & Opportunities
SCHOOL RE-OPENING
CONSIDERATION: PEDIATRICIAN
PERSPECTIVE

Ahmad Suryawan

PENDAHULUAN
Pandemi COVID-19 yang melanda dunia, termasuk
Indonesia, baru saja melewati masa satu tahun. Pandemi
ini telah mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan
manusia: tidak hanya aspek kesehatan semata, namun juga
aspek ekonomi dan pendidikan menjadi sektor kehidupan
yang paling terkena imbas dari pandemi ini. Selama perjalanan
satu tahun pertama di masa pandemi, dan meskipun program
vaksinasi COVID-19 di beberapa negara saat ini telah dimulai,
namun tidak ada satupun pihak otoritas yang berwenang
di sebuah negara yang dapat memprediksi dengan tepat
kapan pandemi ini akan melandai dan kemudian berakhir.
Salah satu aspek yang paling banyak dibahas oleh para ahli
saat ini adalah masalah pembukaan kembali sekolah bagi
anak yang telah mengalami disrupsi selama masa pandemi.
Pertimbangan pembukaan sekolah di masa pandemi
merupakan permasalahan yang sangat pelik dalam dunia
pendidikan anak saat ini. Keseimbangan antara hak anak
untuk mendapat pendidikan, terutama selama masa periode

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 305
plastisitas otaknya, dengan hak anak untuk dilindungi dari
penularan penyakit, membutuhkan berbagai pertimbangan
matang tidak hanya dari para ahli pendidikan anak saja,
namun membutuhkan berbagai pertimbangan dari banyak
aspek keilmuan, termasuk pertimbangan medis dari otoritas
kesehatan,1 termasuk dari kalangan profesi dokter anak.2,3,4

SITUASI UNIVERSAL SAAT INI


Data dari UNESCO yang dilansir tanggal 25 Januari
2021 menunjukkan bahwa selama kurun waktu satu tahun
pertama pandemi COVID-19 diperkirakan lebih dari 800 juta
anak sekolah (lebih dari setengah populasi anak sekolah di
dunia) mengalami disrupsi dalam pendidikan mereka. Setiap
negara mengambil sikap berbeda-beda dalam pengendalian
pandemi yang terkait dengan penutupan sekolah. Penutupan
sekolah secara penuh dialami oleh 31 negara, sementara 48
negara lainnya memilih mengurangi jadwal akademik atau
menutup sekolah secara parsial.5

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


306 Challenges & Opportunities
Gambar 1. Durasi lamanya penutupan sekolah selama pandemi COVID-19 di
berbagai regio dunia (Sumber: UNESCO, 2021)5

Penutupan sekolah di Perancis hanya berkisar rata-rata


10 minggu, bahkan di Norwegia hanya 7 minggu. Sementara
Jerman dan Inggris melakukan penutupan sekolah lebih
lama, dengan rata-rata berkisar 19-21 minggu (Gambar 1).5
Sementara Indonesia dari data UNESCO tersebut mengalami
penutupan sekolah rata-rata selama 43,6 minggu, yang berarti
hampir total sepenuhnya sekolah di Indonesia ditutup selama
1 tahun pertama masa pandemi (Gambar-2).5

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 307
Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:
Challenges & Opportunities
Gambar 2. Rerata durasi lamanya penutupan sekolah selama pandemi COVID-19 di Indonesia dan berbagai negara di dunia

308
(Sumber: UNESCO, 2021)5
Pada studi di beberapa negara tentang dampak dibuka
kembalinya sekolah pada masa pandemi COVID-19, tidak
didapatkan sebuah kesimpulan yang konklusif. Terdapat
studi yang melaporkan pembukaan kembali sekolah tanpa
peningkatan kasus pada siswa dan guru.6 Namun, sebaliknya
juga terdapat studi melaporkan adanya peningkatan kasus
dan terjadinya outbreak yang berhubungan dengan pembukaan
kembali sekolah, seperti yang terjadi di Chili dan Israel.7,8
Anak-anak disinyalir mempunyai tingkat kerawanan
30-50 % lebih rendah dibandingkan orang dewasa,8 dan bila
terinfeksi akan menampakkan tanpa gejala atau bergejala
ringan saja,9 maka sebagian besar wabah yang terjadi di
lingkungan sekolah cenderung terjadi dalam skala terbatas.10
Namun demikian, sekolah dianggap mempunyai kontribusi
pada besarnya penularan yang terjadi di komunitas. Sehingga,
sebagian ahli epidemiologi berpendapat bahwa tindakan
penutupan sekolah untuk sementara waktu adalah salah
satu komponen terpenting dalam pengendalian pandemi.
Namun demikian, sebagian ahli juga berpendapat bahwa
sekolah bukanlah tempat yang akan mempercepat transmisi
penularan, dan kasus penularan yang terjadi di lingkungan
sekolah hanyalah merupakan cerminan prevalensi penularan
kasus di dalam komunitas lokal setempat.11,12
Transmisi penularan yang terjadi di sekolah pernah
dilaporkan terjadi antar murid, antara guru dan murid,
maupun diantara tenaga kependidikan yang ada di sekolah.7
Kekhawatiran terbesar dari adanya wabah di sekolah adalah
adanya transmisi penularan dari anak-anak sekolah ke
orangtua dan/atau kakek/nenek yang berusia lanjut, yang
sangat rawan akan mengalami infeksi COVID-19 dalam
bentuk gejala klinis berat.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 309
Langkah-langkah mitigasi yang efektif dikatakan dapat
menekan terjadinya wabah baru di sekolah, baik dalam
ukuran jumlah dan skala sebarannya,12 Namun dengan
munculnya varian baru, menyebabkan situasi menjadi
lebih tidak menentu dan penuh ketidak pastian.13 Dengan
demikian, pembukaan kembali sekolah tidak dapat dilakukan
dengan gegabah, dan membutuhkan banyak pertimbangan
yang mungkin akan lebih banyak berskala lokal dan regional
daripada skala nasional. Sehingga akan tercipta kondisi
dimana sekolah dapat tetap terbuka tanpa menjadi cluster
baru transmisi penularan COVID-19.11
Keputusan untuk membuka kembali sekolah di masa
pandemi mutlak harus melalui sebuah kajian pengendalian
infeksi yang sangat matang dari otoritas kesehatan setempat.
Disrupsi proses pendidikan dengan ditutupnya sekolah
selama pandemi memang mengakibatkan kerugian besar
pada anak dan remaja. Kerugian tersebut tidak saja terbatas
pada pencapaian pendidikan bagi mereka, namun lebih jauh
lagi juga dapat menyebabkan berbagai gangguan sosial,
gangguan mental, gangguan kecemasan,14,15,16 hingga sampai
pada peningkatan kasus percobaan bunuh diri.17
Keputusan membuka kembali sekolah pada saat pandemi,
dimana masih terdapat risiko adanya transmisi penularan
di komunitas, harus disertai prosedur mitigasi risiko yang
efektif dan kontinyu.18 Melakukan kegiatan skrining gejala
pada anak sekolah dan staf kependidikan di sekolah saja
tidaklah cukup untuk mencegah penularan dari mereka yang
terinfeksi namun tanpa gejal.12 WHO-Unicef-Unesco juga
melansir protokol yang wajib dipersiapkan terlebih dahulu
sebelum diputuskan untuk membuka kembali sekolah

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


310 Challenges & Opportunities
dalam rangka menekan serendah mungkin kemungkinan
terjadinya transmisi penularan, seperti: pengelompokan
murid, mengatur jarak fisik antar murid baik ketika di dalam
atau di luar kelas, meningkatkan ventilasi untuk pengaturan
sirkulasi dalam ruangan, pembersihan secara teratur semua
permukaan benda yang berada di dalam kelas, kemudahan
akses dan penyediaan sarana untuk kebersihan tangan, dan
juga pemahaman pengetahuan bagi murid dan staf sekolah
dalam hal etika batuk atau bersin.18 Protokol kesehatan secara
ketat hendaknya tidak hanya diberlakukan di lingkungan
kelas saja, namun juga di lingkungan luar kelas, terutama
transportasi ke dan dari sekolah, dan juga selama waktu
penjemputan dan pengantaran anak sekolah.18
Selain itu juga harus dipersiapkan terlebih dahulu dengan
matang prosedur baku kegiatan pelacakan kontak (tracing)
dan karantina bagi kontak erat bila dijumpai kasus positif
di sekolah. Tidak kalah pentingnya adalah adanya langkah-
langkah yang terukur dan terkoordinasi untuk mendukung
orangtua atau wali murid yang sedang merawat anak yang
terinfeksi sehingga harus dilakukan karantina.11
Meskipun kegiatan vaksinasi untuk orang dewasa telah
dimulai, namun pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat di
sekolah lebih penting dilakukan dalam rangka pengendalian
penularan di lingkungan sekolah. Pembukaan kembali sekolah
harus dilakukan secara bertahap, dengan memperhatikan
dan memperhitungkan pengendalian tingkat penularan di
komunitas. Oleh karena itu keputusan pembukaan kembali
sekolah harus diambil dengan pertimbangan yang bersifat
berjenjang mulai dari skala universal, regional, nasional
hingga skala lokal dengan menyesuaikan kondisi penyebaran

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 311
dan transmisi penularan setempat. Tidak kalah penting
adalah juga melakukan berbagai persiapan matang sesuai
dengan protokol yang ditetapkan otoritas kesehatan setempat
termasuk dari kalangan profesi dokter anak.

PANDANGAN IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA (IDAI)


TENTANG KEGIATAN BELAJAR TATAP MUKA DI SEKOLAH.3,4
Sejak pandemi terjadi di awal tahun 2020, IDAI
memberikan perhatian khusus terhadap kegiatan belajar
tatap muka di sekolah. Hal tersebut dinyatakan dalam bentuk
berbagai Pandangan, Pendapat, atau Rekomendasi, yang selalu
dilakukan pembaruan secara kontinyu menyesuaikan dengan
berbagai perubahan kondisi terbaru di Indonesia maupun
berdasarkan berbagai bukti studi penelitian, antara lain:
1. Anjuran Ikatan Dokter Anak Indonesia Mengenai
Kegiatan Belajar Mengajar di Masa Pandemi COVID-19
(Tanggal 30 Mei 2020)
Dengan memperhatikan jumlah kasus konfirmasi
COVID-19 yang masih terus bertambah, mulai
melonggarnya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB),
kemungkinan terjadi lonjakan jumlah kasus kedua dan
masih sulitnya menerapkan pencegahan infeksi pada
anak-anak, maka Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
menganggap perlu memberikan anjuran sebagai berikut:
a. IDAI mendukung dan mengapresiasi kebijakan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk
menjadikan rumah sebagai sekolah dan melibatkan
peran aktif siswa, guru dan orang tua dalam proses
belajar mengajar.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


312 Challenges & Opportunities
b. IDAI menganjurkan agar kegiatan belajar mengajar
tetap dilaksanakan melalui skema pembelajaran jarak
jauh (PJJ) baik secara dalam jaringan maupun luar
jaringan, menggunakan modul belajar dari rumah
yang sudah disediakan oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.
c. Anjuran melanjutkan PJJ ini akan dievaluasi secara
berkala mengikuti perkembangan kasus COVID-19
di Indonesia. Dengan mempertimbangkan antisipasi
lonjakan kasus kedua, sebaiknya sekolah tidak dibuka
setidaknya sampai bulan Desember 2020. Pembukaan
kembali sekolah-sekolah dapat dipertimbangkan jika
jumlah kasus COVID-19 telah menurun.
d. Apabila sudah memenuhi syarat epidemiologi untuk
kembali membuka sekolah, maka IDAI menghimbau
agar semua pihak dapat bekerja sama dengan
cabang-cabang IDAI sesuai dengan area yang sudah
memenuhi syarat pembukaan. Perencanaan meliputi
kontrol epidemi, kesiapan sistem layanan kesehatan
dan sistem surveilans kesehatan untuk mendeteksi
kasus baru dan pelacakan epidemiologi.
e. Untuk keperluan ekstrapolasi data secara akurat
maka IDAI menyarankan agar pemerintah dan pihak
swasta melakukan pemeriksaan rt-PCR secara masif
(30 kali lipat dari jumlah kasus konfirmasi COVID-19)
termasuk juga pada kelompok usia anak.
2. Rekomendasi IDAI selama Anak Menjalani Sekolah
dari Rumah (Tanggal 24 Juli 2020)
Rekomendasi dalam hal regulasi screen time tidak
dapat berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian integral

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 313
yang komprehensif bersama dengan regulasi akftifitas
fisik, regulasi aktivitas sedentarian, dan regulasi tidur
yang sesuai dengan tahapan usia anak.
Pada masa pandemi seperti saat ini, dimana
anak lebih banyak harus tinggal di dalam rumah dan
juga belajar/sekolah dari rumah (SFH), durasi waktu
screen time berisiko akan mengalami peningkatan,
sehingga diperlukan perhatian khusus untuk menjaga
keseimbangan antara aktivitas fisik, screen time, dan masa
tidur, yang merupakan kebutuhan dasar untuk tumbuh
kembang anak optimal
a. Usia Sekolah Dasar (6-12 tahun)
• Screen time: Tidak lebih dari 1-1½ jam (90 menit)
• Diskusikan dengan sekolah, sebaiknya PJJ daring
tidak lebih dari 1½ jam (90 menit) dalam sehari.
• Konsisten untuk menerapkan pembatasan lama
screen time dan jenis media / acara yang ditonton
• Pastikan penggunaan media atau screen time tidak
menjadi sebuah kebiasaan sebelum mengerjakan
pekerjaan sekolah
• Cobalah untuk menemukan keseimbangan
antara waktu untuk berkreativitas dengan waktu
bersantai
• Orangtua dapat secara bertahap memberi kesem-
patan kepada anak untuk memilih sendiri dengan
leluasa untuk mengatur penggunaan waktunya.
• Pastikan bahwa penggunaan media tidak
mengantikan waktu untuk tidur, aktivitas fisik dan
kegiatan-kegiatan harian yang penting lainnya.
• Masa tidur berkualitas: 9-11 jam

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


314 Challenges & Opportunities
b. Usia Sekolah Menengah (12-18 tahun)
• Screen time: Tidak lebih dari 2 Jam
• Diskusikan dengan sekolah, sebaiknya PJJ daring
tidak lebih dari 2 jam dalam sehari.
• Pada usia ini anak sudah mengerti konsep
keseimbangan waktu, sehingga orangtua dapat
membantu mereka untuk mengelola screentime
yang sesuai dengan jadwal anak sendiri
• Masa tidur berkualitas: 8-10 jam
Anjuran Umum untuk Orangtua/Keluarga
• Jangan pernah membiarkan anak melakukan screen
time sendirian, tetapi harus dilakukan dengan
pendampingan dan interaksi dengan anak.
• Berikan hanya konten materi yang berkualitas, dan
hindarkan anak terpapar dari materi kekerasan.
• Matikan semua perangkat media berlayar bila sedang
tidak digunakan.
• Jangan menggunakan media berlayar hanya untuk
menenangkan perilaku anak.
• Bebaskan anak dari media berlayar di kamar tidur
anak, dan juga pada saat makan atau saat bermain.
• Jangan memberikan media berlayar selama proses
makan, dan pada 1 jam sebelum tidur.
• Menciptakan berbagai aktivitas alternatif untuk
membatasi waktu screen time dan untuk menenangkan
perilaku anak.
• Berpartisipasi dalam aktivitas fisik reguler bersama –
berjalan santai, naik sepeda, perjalanan ke taman, dll.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 315
• Orangtua harus menjadi model untuk anak
– misalnya: orangtua juga membatasi waktu
screentime bagi diri sendiri tidak lebih dari 2 jam
per hari.
• Tentukan waktu bebas media bersama, seperti
di di meja makan, di dalam mobil, dll., untuk
mencapai keseimbangan.
3. Tanggapan Ikatan Dokter Anak Indonesia Terkait
Pembukaan Sekolah Untuk Pembelajaran Tatap Muka
(Tanggal 17 Agustus 2020)
Pandemi COVID-19 saat ini belum teratasi, walaupun
demikian berbagai kegiatan dalam adaptasi kehidupan baru
telah dimulai, termasuk pelaksanaan pembukaan sekolah
untuk pembelajaran tatap muka secara bertahap. Untuk
itu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memandang
perlu untuk memberikan tanggapan sebagai berikut:
a. Indonesia adalah negara dengan case fatality rate
(CFR) tertinggi pada anak akibat COVID-19 di
kawasan Asia Pasifik. Case fatality rate usia 0-18 tahun
akibat COVID-19 berdasarkan data dari Gugus Tugas
Percepatan Penanganan COVID-19 pada tanggal
16 Agustus adalah 1,1%, lebih tinggi dari Tiongkok
(<0,1%), Italia (<0,1%), dan Amerika Serikat (<0,1%).
Angka kematian anak akibat COVID-19 di Eropa
adalah 0,03%, jauh di bawah Indonesia. Selain itu,
proporsi angka kejadian COVID-19 pada anak di
Indonesia (9,1%) lebih tinggi dibandingkan dengan
Tiongkok (0,9%), Italia (1,2%), dan Amerika Serikat
(5%). Perbandingan dengan negara di kawasan Asia
Pasifik menunjukkan angka kejadian COVID-19 pada

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


316 Challenges & Opportunities
anak di Australia sebesar 1% (0-9 tahun) dan 3% (10-
19 tahun), serta di Selandia Baru 2% (0-9 tahun) dan
8% (10-19 tahun). Karena itu, IDAI menganjurkan
bahwa berbagai kebijakan terkait anak yang bertujuan
untuk mencegah penularan infeksi di Indonesia harus
disusun secara lebih agresif dan tegas dibanding
dengan kebijakan di negara-negara tetangga.
b. Ikatan Dokter Anak Indonesia mengapresiasi
disusunnya kurikulum darurat dalam kondisi khusus,
dan mendorong semua pihak bekerja sama agar
pendidikan anak dapat tetap berlangsung di tengah
upaya pencegahan pemberantasan wabah COVID-19.
c. Orangtua dan anggota keluarga dewasa lainnya
hendaknya tetap melakukan upaya pencegahan
penularan secara seksama dan menghindarkan risiko
pajanan infeksi yang tidak perlu terhadap anak.
Berbagai anjuran yang telah diterbitkan IDAI tetap
berlaku selama masa pandemi berlangsung.
4. Pandangan IDAI mengenai Pencegahan Infeksi
COVID-19 pada Anak (Tanggal 26 Agustus 2020)
Dengan mempertimbangkan masih tingginya angka
kesakitan dan kematian akibat COVID-19 pada anak
maupun dewasa di Indonesia, dan mempertimbangkan
keadaan lokal, kultural, serta aspek-aspek perkembangan
anak dalam membangun kebiasaan kesehatan dan interaksi
sosial, maka IDAI tetap tidak merekomendasikan anak
untuk keluar rumah termasuk kegiatan tatap muka
di sekolah sampai situasi COVID-19 di Indonesia
memenuhi kriteria epidemiologi WHO, kecuali ada
kebutuhan yang mendesak seperti ke rumah sakit.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 317
5. Pendapat IDAI mengenai Rencana Trasnsisi
Pembelajaran Tatap Muka (1 Desember 2020)
Wabah COVID-19 telah berlangsung hampir satu
tahun sejak kasus pertama dilaporkan. Dalam satu
tahun ini terjadi banyak perubahan drastis pada hampir
seluruh tatanan kehidupan di seluruh dunia, termasuk
di Indonesia. Salah satu perubahan yang berdampak
signifikan terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak
Indonesia adalah ditutupnya sekolah sehingga anak
belajar dari rumah. Pelaksanaan kegiatan belajar dari
rumah merupakan hal yang sulit namun sangat perlu
diterapkan, mengingat saat ini jumlah kasus konfirmasi
COVID-19 di Indonesia masih terus meningkat. Satu dari
sembilan kasus konfirmasi COVID-19 di Indonesia adalah
anak usia 0-18 tahun. Data tanggal 29 November 2020
menunjukkan proporsi kematian anak akibat COVID-19
dibanding seluruh kasus kematian di Indonesia sebesar
3,2% dan merupakan yang tertinggi di Asia Pasifik saat
ini. Anak yang tidak bergejala atau bergejala ringan dapat
menjadi sumber penularan kepada orang di sekitarnya.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa anak juga dapat
mengalami gejala COVID-19 yang berat dan mengalami
suatu penyakit peradangan hebat yang diakibatkan
infeksi COVID-19 yang ringan yang dialami sebelumnya.
Pembukaan sekolah untuk kegiatan belajar mengajar
tatap muka mengandung risiko tinggi terjadinya lonjakan
kasus COVID-19 karena anak masih berada dalam masa
pembentukan berbagai perilaku hidup yang baik agar
menjadi kebiasaan rutin di kemudian hari, termasuk
dalam menerapkan perilaku hidup bersih sehat. Ketika

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


318 Challenges & Opportunities
protokol kesehatan dilanggar, baik sengaja maupun tidak,
maka risiko penularan infeksi COVID-19 akan meningkat
sangat tinggi. Peningkatan jumlah kasus yang signifikan
pasca pembukaan sekolah telah dilaporkan di banyak
negara sekalipun negara maju (Korea Selatan, Prancis,
Amerika, Israel) termasuk di Indonesia. Penundaan
sekolah dikatakan dapat menurunkan transmisi. Semua
warga sekolah, termasuk guru dan staf, dan juga
masyarakat memiliki risiko yang sama untuk tertular dan
menularkan COVID-19. Namun demikian, didapatkan
berbagai laporan selama pandemi berlangsung tentang
meningkatnya tingkat stres pada anak dan keluarga,
perlakuan salah, pernikahan dini, ancaman putus sekolah,
serta berbagai hal yang juga mengancam kesehatan dan
kesejahteraan anak yang secara umum di alami di negara-
negara berkembang. Hal ini juga membutuhkan perhatian
dan penanganan khusus oleh seluruh pihak.
Sehubungan dengan rencana dimulainya transisi
pembelajaran tatap muka pada bulan Januari 2021, maka
lkatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memandang perlu
untuk menyampaikan pendapat sebagai berikut:
a. Upaya bersama yang mendukung kesehatan
dan kesejahteraan anak Indonesia perlu terus
diperjuangkan, baik melalui pembelajaran tatap
muka maupun saat belajar dari rumah.
b. Seluruh pemangku kepentingan, baik orangtua,
masyarakat, maupun pemerintah, berkewajiban
memenuhi Hak Anak sesuai dengan Konvensi Hak
Anak Tahun 1990 yaitu hak untuk hidup, hak untuk
bertumbuh dan berkembang dengan baik, serta

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 319
hak untuk mendapatkan perlindungan. Pemenuhan
kebutuhan kesehatan dasar anak seperti nutrisi lengkap
seimbang, imunisasi lengkap sesuai usia, kasih sayang,
stimulasi perkembangan, keseimbangan aktivitas fisik
dan tidur, serta perlindungan dari berbagai risiko
gangguan keselamatan dan tumbuh kembang dimulai
dari lingkungan rumah dan keluarga. Orangtua dan
anggota keluarga dewasa di rumah diharapkan dapat
memeriksa apakah kebutuhan anak telah terpenuhi
dan mencari bantuan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut ke fasilitas layanan terdekat.
c. Pendidikan disiplin hidup bersih sehat serta
penerapan protokol kesehatan dimulai dari rumah
sebagai lingkungan terdekat anak, terlepas dari
apakah anak menghadiri kegiatan belajar tatap muka
atau tidak. Orangtua dan anggota keluarga dewasa
diharapkan mulai memperkenalkan 3M; kebiasaan
cuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak
sejak dini. Pengenalan kebiasaan mencuci tangan
dapat dimulai dari kebiasaan sederhana memberi
contoh secara rutin dan membersihkan tangan bayi
sejak usia mulai MPASI, lalu ditingkatkan secara
bertahap. Pemakaian masker dengan cara yang benar
dapat mulai dikenalkan sejak usia 2 tahun, dengan
durasi semampu anak, kemudian ditingkatkan secara
bertahap. Ketika anak belum mampu hendaknya
tidak dimarahi, melainkan diberi apresiasi ketika
ia mampu melakukan dengan benar, serta terus
diberikan contoh, kesempatan, dan bimbingan secara
berulang-ulang hingga lancar dan menjadi kebiasaan.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


320 Challenges & Opportunities
d. Menimbang dan memperhatikan panduan dari
World Health Organization (WHO), publikasi ilmiah,
publikasi di media massa, dan data COVID-19 di
Indonesia maka saat ini IDAI memandang bahwa
pembelajaran melalui sistem jarak jauh (PJJ) lebih
aman.
e. Pada kelompok anak yang tinggal di sekolah
berasrama, peran keluarga sebagai komunitas
terdekat anak terbagi antara keluarga di rumah
dengan lingkungan sekolah dan asrama, sehingga
penting bagi pihak penyelenggara sekolah untuk
melaksanakan pemenuhan kebutuhan dasar tumbuh
kembang, bimbingan dan pendidikan perilaku
sesuai yang telah diuraikan sebelumnya. Sebaiknya
dilakukan pengaturan keluar masuk lingkungan
sekolah dengan tujuan meminimalkan risiko
penyebaran penyakit.
f. Keputusan membuka sekolah untuk memulai
kegiatan tatap muka dapat berbeda-beda dari satu
daerah dengan daerah lainnya di Indonesia, karena
dipengaruhi berbagai faktor. Namun demikian,
sedapatnya keputusan membuka dan menutup
kembali sekolah dalam waktu singkat dihindari,
karena berdampak pada rutinitas keseharian anak
dan keluarga. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan
yang disesuaikan dengan kondisi setempat, juga
melibatkan berbagai pihak yang terkait dalam upaya
kesehatan dan kesejahteraan anak.
g. Kebijakan pembukaan sekolah di masing-masing
daerah harus meminta pertimbangan dinas kesehatan

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 321
dan organisasi profesi kesehatan setempat dengan
memperhatikan apakah angka kejadian dan angka
kematian COVID-19 di daerah tersebut masih
meningkat atau tidak.
h. Pihak sekolah hendaknya pertama-tama memenuhi
standar protokol kesehatan dengan memastikan
dukungan fasilitas yang memadai sesuai anjuran atau
petunjuk teknis yang berlaku sebelum merencanakan
mulainya pembelajaran tatap muka dan dipastikan
dapat terpenuhi selama kegiatan berlangsung. Perlu
adanya mekanisme pemantauan pemenuhan standar
protokol kesehatan. Pihak sekolah perlu memiliki
standar prosedur operasional apabila terdapat
murid, guru, dan/atau staf yang sakit dan konfirmasi
COVID-19.
i. Bagi orangtua yang mempertimbangkan persetujuan
kegiatan pembelajaran tatap muka dalam masa
pandemi ini disampaikan pertimbangan sebagai
berikut:
1) Sebaiknya tetap mendukung kegiatan belajar dari
rumah, baik sebagian maupun sepenuhnya.
2) Pertimbangkan apakah partisipasi anak dalam
kegiatan tatap muka lebih bermanfaat atau justru
meningkatkan risiko penularan dari hal-hal berikut:
• Apakah anak sudah mampu melaksanakan
kebiasaan cuci tangan, memakai masker, dan
menjaga jarak dengan memadai?
• Apakah anak masih sangat memerlukan
pendampingan orangtua saat sekolah? Bila

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


322 Challenges & Opportunities
masih, maka sebaiknya anak masih di rumah
dulu saja.
• Apakah anak memiliki kondisi komorbid yang
dapat meningkatkan risiko sakit parah apabila
tertular COVID-19? Bila ada, sebaiknya anak
belajar dari rumah.
• Adakah kelompok lanjut usia dan risiko tinggi
di rumah yang mungkin tertular apabila
banyak anggota keluarga yang beraktivitas di
luar rumah?
3) Periksa apakah sekolah sudah memenuhi standar
protokol kesehatan yang berlaku.
4) Apabila akan menyetujui partisipasi anak
dalam kegiatan belajar tatap muka, persiapkan
pula kebutuhan penunjangnya, seperti rencana
transportasi, bekal makanan dan air minum,
masker, pembersih tangan, serta persiapan tindak
lanjut apabila mendapat kabar dari sekolah
bahwa anak sakit (di antaranya fasilitas kesehatan
yang akan dituju untuk perawatan selanjutnya,
asuransi kesehatan, dll).
5) Ajarkan anak untuk mengenali tanda dan gejala
awal sakit, serta untuk melapor kepada guru
apabila diri sendiri atau teman sepertinya ada
tanda dan gejala sakit.
6) Ajarkan anak untuk berganti baju, mandi, dan
membersihkan perlengkapannya setiap pulang
dari sekolah, sebagaimana orang dewasa yang
beraktivitas di luar rumah.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 323
j. Apabila dalam kasus tertentu manfaat partisipasi
kegiatan pembelajaran tatap muka dipandang lebih
besar daripada anak tetap tinggal di rumah, misalnya
dalam kasus anak terancam perlakuan salah, maka
disampaikan pertimbangan sebagai berikut:
1) Anak dan keluarga yang bermasalah perlu
dibantu lebih dari sekedar mengizinkan anak
berpartisipasi dalam kegiatan belajar tatap muka,
sehingga sebaiknya masyarakat serta perangkat
dan dinas terkait turut melakukan pendekatan
tata laksana sesuai panduan yang berlaku.
2) Dalam membuat keputusan partisipasi anak
untuk ikut pembelajaran tatap muka, sebaiknya
mengacu pada pertimbangan dan persiapan yang
telah diuraikan sebelumnya.
3) Semua pihak hendaknya bahu-membahu dari
semua lapisan untuk mewujudkan rumah dan
lingkungan ramah anak.
k. Dalam rangka menciptakan lingkungan sekolah yang
aman dan sehat maka diperlukan revitalisasi dan
penyesuaian program Usaha Kesehatan Sekolah yang
berfokus pada pencegahan infeksi, pengenalan tanda
dan gejala sakit yang memerlukan rujukan, serta
penetapan alur rujukan yang memadai.
l. Peningkatan kapasitas contact tracing dan tata laksana
kasus COVID-19 perlu terus diupayakan.
Perubahan besar yang terjadi selama masa pandemi akan
menjadi bagian dari potret kehidupan anak yang sedang
beranjak dewasa. Kebutuhan untuk membentuk perilaku

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


324 Challenges & Opportunities
sehat yang konsisten adalah suatu keniscayaan yang perlu
ditanamkan sejak dini, agar menjadi kebiasaan rutin di
kemudian hari. Karena itu peran orangtua, keluarga,
guru, serta lingkungan terdekat anak untuk mendidik
dengan sabar dan konsisten sejak dini sangatlah penting.
Semoga anak Indonesia selamat melewati pandemi ini.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 325
DAFTAR PUSTAKA
1. Center for Disease Control and Prevention. Transitioning
from CDC’s Indicators for Dynamic SchoolDecision-
Making (released September 15, 2020) to CDC’s
Operational Strategy for K-12 Schools through Phased
Mitigation (released February 12, 2021) to Reduce
COVID-19 (Updated Feb 18, 2021)
2. American Academy of Pediatrics. Covid-19 Guidance for
Safe School. Update 5 Jan 2021. https://services.aap.org/
en/pages/2019-novel-coronavirus-covid-19-infections/
clinical-guidance/covid-19-planning-considerations-
return-to-in-person-education-in-schools/
3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pendapat Ikatan Dokter
Anak Indonesia Mengenai Rencana Transisi Pembelajaran
Tatap Muka. 1 Desember 2020. https://www.idai.
or.id/tentang-idai/pernyataan-idai/pendapat-ikatan-
dokter-anak-indonesia-mengenai-rencana-transisi-
pembelajaran-tatap-muka
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pandangan Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI) Mengenai Pencegahan Infeksi
COVID-19 Pada Anak. 26 Agustus 2020. https://www.idai.
or.id/tentang-idai/pernyataan-idai/pandangan-ikatan-
dokter-anak-indonesia-mengenai-pencegahan-infeksi-
covid-19-pada-anak
5. United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization. UNESCO figures show two thirds of
an academic year lost on average worldwide due to
Covid-19 school closures. 2021. https://en.unesco.org/
news/unesco-figures-show-two-thirds-academic-year-
lost-averageworldwide-due-covid-19-school.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


326 Challenges & Opportunities
6. Fontanet A, Grant R, Tondeur L, dkk. SARS-CoV-2
infection in primary schools in northern France: A
retrospective cohort study in an area of high transmission.
medRxiv 2020.06.25.20140178 (2020) doi:10.1101/2020.06.2
5.20140178.
7. Torres JP, Piñera C, De La Maza V, dkk. SARS-CoV-2
antibody prevalence in blood in a large school community
subject to a Covid-19 outbreak: a cross-sectional study.
Clin Infect Dis 2020:ciaa955. doi: 10.1093/cid/ciaa955
pmid: 32649743.
8. Stein-Zamir C, Abramson N, Shoob H, dkk. A large
COVID-19 outbreak in a high school 10 days after schools’
reopening, Israel, May 2020. Euro Surveill 2020;25:
2001352. doi: 10.2807/1560-7917.ES.2020.25.29.2001352
pmid: 32720636
9. Dong Y, Mo X, Hu Y, dkk. Epidemiology of covid-19
among children in China. Pediatrics 2020;145:e20200702.
doi: 10.1542/peds.2020-0702 pmid: 32179660
10. Otte Im Kampe E, Lehfeld AS, Buda S, Buchholz U, Haas
W. Surveillance of COVID-19 school outbreaks, Germany,
March to August 2020. Euro Surveill 2020;25:2001645. doi:
10.2807/1560-7917.ES.2020.25.38.2001645 pmid: 32975186.
11. Fontanet A, Grant R, Greve-Isdahl M, Sridhar D. Covid-19:
Keeping schools as safe as possible. BMJ 2021;372:n524
12. European Centre for Disease Prevention and Control.
COVID-19 in children and the role of school settings in
transmission—first update. 2020. https://www.ecdc.
europa.eu/en/publications-data/children-and-school-
settingscovid-19-transmission.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


Challenges & Opportunities 327
13. Volz E, Mishra S, Chand M, dkk. Transmission of
SARS-CoV-2 lineage B.1.1.7 in England: Insights from
linking epidemiological and genetic data.MedRxiv 2021.
[Preprint.] doi: 10.1101/2020.12.30.20249034.
14. Lee J. Mental health effects of school closures during
COVID-19. Lancet Child Adolesc Health 2020;4:421.doi:
10.1016/S2352-4642(20)30109-7 pmid: 32302537
15. Newlove-Delgado T, McManus S, Sadler K, etal Mental
Health of Children and Young People group. Child mental
health in England before and during the COVID-19
lockdown. Lancet Psychiatry 2021:S2215-0366(20)30570-8.
doi: 10.1016/ S2215-0366(20)30570-8. pmid: 33444548.
16. Leeb RT, Bitsko RH, Radhakrishnan L, Martinez P,
Njai R, Holland KM. Mental health-related emergency
department visits among children aged <18 years during
the covid-19 pandemic - United States, January 1-October
17, 2020. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 2020;69:1675-80.
doi: 10.15585/mmwr.mm6945a3 pmid: 33180751
17. Hill RM, Rufino K, Kurian S, Saxena J, Saxena K, Williams
L. Suicide ideation and attempts in a pediatric emergency
department before and during COVID-19. Pediatrics
2020:e2020029280. doi: 10.1542/peds.2020-029280 pmid:
33328339
18. World Health Organization, Unicef, Unesco.
Considerations for school-related public health measures
in the context of COVID-19: annex to considerations
in adjusting public health and social measures in the
context of COVID-19. 2020. https://apps.who.int/iris/
handle/10665/334294.

Pediatric Care During COVID-19 Pandemic:


328 Challenges & Opportunities

Anda mungkin juga menyukai