“Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
dengan cara dan bentuk apapun tanpa seijin penulis.”
Salam sehat,
Tim editor
DR. Ahmad Suryawan, dr, SpA(K) Diana Amilia Susilo, dr, IBCLC, SpA
Divisi Tumbuh Kembang – Pediatri Sosial RSIA Kendangsari Surabaya,
Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Anak IDAI Cabang Jawa Timur
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/
RSUD Dr. Soetomo Surabaya
IDAI Cabang Jawa Timur
DR. Irene Ratridewi, dr, SpA(K) Neurinda Permata Kusumastuti, dr, SpA(K)
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Anak Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya/ Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang RSUD Dr. Soetomo Surabaya
IDAI Cabang Jawa Timur IDAI Cabang Jawa Timur
Kartika Darma Handayani, dr, SpA(K) DR. Meta Herdiana Hanindita,dr, SpA(K)
Divisi Neonatologi Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik
Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Anak Departemen/KSM Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
RSUD Dr. Soetomo Surabaya RSUD Dr. Soetomo Surabaya
IDAI Cabang Jawa Timur IDAI Cabang Jawa Timur
Kata Pengantar ii
Daftar Penulis iii
Daftar Isi vi
COVID-19 in Infant 71
Dr.Ery Olivianto, SpA(K)
PENDAHULUAN
Pandemi COVID-19 telah membuat perubahan dalam
pelayanan kesehatan dan manajemen klinis ibu hamil dan
bayi baru lahir. Perubahan tersebut disesuaikan dengan
ketersediaan tenaga kesehatan, tingkat infeksi dan data
ilmiah yang terus berkembang. Severe acute respiratory
syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) merupakan agen
penyebab pandemi COVID-19 di seluruh dunia. SARS-
CoV-2 merupakan bagian dari keluarga Corornaviridae
yang pertama kali ditemukan tahun 1960an.1 Sejak awal
ditemukannya hingga saat ini terdapat 7 jenis coronavirus
yang berhubungan dengan infeksi klinis yang relevan, 3
diantaranya yaitu, severe acute respiratory syndrome coronavirus
(SARS-CoV), Middle East respiratory syndrome coronavirus,
dan (SARS-CoV-2) yang memiliki kapabilitas menyebabkan
infeksi pernafasan dengan morbiditas dan mortalitas yang
berat. Transmisi zoonotik terjadi setelah virus mengalami
mutasi genetik sehingga mampu menginfeksi sel manusia.
Receptor-binding domain (RBD) dari protein spike coronavirus
PENDAHULUAN
Lebih dari setahun pandemi COVID-19 telah dan
masih berlangsung, dengan segala tantangan, kendala, dan
adaptasinya. Banyak perubahan yang terjadi antara lain
adanya adaptasi kebiasaan baru, membaiknya alur dan
metode diagnosis yang menjadi makin cepat dan aksesibel,
telah dimulainya pemberian vaksinasi, cepatnya informasi
berkembang dan tersebar, serta kemudahan akses (open
access) pada sebagian besar publikasi penelitian baru dalam
hal COVID-19, termasuk penelitian-penelitian tentang ASI
dan menyusui.
Bagaimana dengan perubahan yang terjadi dengan
praktik menyusui dan pemberian ASI di masa pandemi?
Meskipun belum ada data yang lengkap tentang breastfeeding
rates di masa pandemi ini, praktik menyusui, pemberian ASI,
serta dukungan menyusui nyata sangat terpengaruh terutama
pada populasi ibu bersalin dan menyusui yang terpapar
COVID-19. UNICEF dan WHO dalam Pekan Menyusui
Sedunia tahun 2020 menyerukan kepada Pemerintah dan semua
pemangku kepentingan untuk mendukung ibu menyusui
48
Tabel 3. Manajemen laktasi/nutrisi pada ibu bersalin terkait COVID-19 menurut WHO, Kemenkes,
dan IDAI
Panduan Consent Menyusui Klinis ibu berat/ Klinis ibu ringan/sedang Klinis ibu tidak bergejala/
langsung tak dapat menyusui ringan
langsung
WHO Ya. Ibu dengan Ya, bila ibu Alternatif: • Tidak disebutkan khusus • Tidak disebutkan khusus
COVID dapat mampu • ASI perah • Menyusui langsung bila • Menyusui langsung bila
memilih untuk • ASI donor mampu mampu
menyusui bayinya • Ibu susu • Masker medis atau etika • Masker medis atau etika
batuk batuk
• Dada dicuci bila ibu batuk • Dada dicuci bila ibu batuk
ke dada. ke dada.
• Payudara tidak perlu dicuci • Payudara tidak perlu dicuci
sebelum menyusui sebelum menyusui
Kemenkes • Konseling • Klinis • Ibu tidak mungkin • Ibu memilih mengurangi • Ibu memilih memberikan
(Sept 2020) kebaikan dan ibu tidak memerah risiko penularan dan ASI menyusui langsung
risiko berat • Pemisahan mempertahankan kedekatan • Masker bedah
• - Ibu/ • Bayi sementara ASI perah • Cuci tangan
keluarga sehat • Pilihan: • Masker medis • Bersihkan payudara dengan
ingin * ASI donor • Cuci tangan sebelum sabun dan air
menyusui yang layak memerah • Edukasi risiko penularan
dan patuh (pasteurisasi) • Bersihkan pomp dan wadah • Jarak 2 m bila tidak
Nakes * susu formula • ASI diberikan oleh Nakes menyusui
membantu atau keluarga yang tidak
edukasi dan sakit
pengawasan • Faskes menjamin ASI perah
tidak terkontaminasi, bila
tidak lakukan pasteurisasi
49
diperah namun tidak
diberikan
IDAI Ibu/keluarga Menyusui • Ibu tidak mungkin • Keluarga dan nakes • Atau bila sarana tidak
(Des 2020) ingin menyusui bila klinis memerah memilih mengurangi resiko memungkinkan perawatan
dan patuh tidak berat • Pemisahan penularan mempertahankan terpisah.
Nakes sementara kedekatan • Keluarga dan nakes
membantu • Pilihan: • Masker, cuci tangan sebelum menerima risiko tertular
edukasi dan * ASI perah memerah menolak pemisahan
pengawasan * ASI donor yg • Bersihkan pompa dan wadah sementara
layak • ASI perah diberikan oleh • Menyusui langsung
* ibu susu nakes atau keluarga yang • Masker beda
(penapisan tidak sakit • Cuci tangan
medis) • Bersihkan payudara dengan
* susu formula sabun dan air
• Bantuan relaktasi • Jarak 2 meter bila tidak
pasca pulih menyusui
• Perah ASI untuk
mempertahankan
produksi,
• ASI diberikan
sebagai asupan
PENUTUP
Demikianlah telah dipaparkan tentang praktik dan
dukungan menyusui di masa pandemi, tantangan, peluang
dan usulan solusi ke depan yang memerlukan peran serta
seluruh pihak terutama tenaga kesehatan untuk peningkatan
ASI dan menyusui bagi ibu dan anak Indonesia.
Ery Olivianto
PENDAHULUAN
Sejak masuk ke Indonesia satu tahun yang lalu, sebanyak
1,4 juta orang terinfeksi COVID-19 dan menyebabkan 38.230
kematian.[1] Berbeda dengan negara negara lain, proporsi
penderita anak (usia 0 - <18 tahun) di Indonesia jauh lebih
besar, yaitu 11,5%.[1-3]
Secara global, prosentase penderita anak lebih rendah
dibanding dewasa. Kelompok bayi (usia <1 tahun) dan
neonatus adalah yang paling kecil proporsi kejadiannya.
Banyak penjelasan hipotetik yang diajukan, termasuk lebih
sedikitnya reseptor ACE2. Imaturitas respon imun pada
anak mungkin tidak dapat menghasilkan badai sitokin
sebagaimana orang dewasa, sehingga anak lebih cenderung
asimtomatik.[3,4] Dengan kejadian COVID-19 pada anak
yang lebih besar dibanding negara lain, kondisi di Indonesia
berbeda. Satu penelitian dari menunjukkan proporsi pada
anak balita sebesar 45,2%, dengan kelompok usia di bawah 1
tahun sebesar 18,5%.[5]
Anak dengan COVID-19 yang simtomatik terutama
mengalami gejala pernafasan yang bervariasi dari gejala
saluran nafas atas yang ringan sampai penyakit saluran nafas
Gambar 2. Distribusi RT-PCR SARS-CoV-2 dari swab nasofaring pada pasien anak
dan dewasa. Diadaptasi dari Heald-Sargent et al 2020
VAKSINASI COVID-19
Vaksin COVID-19 dengan berbagai platform telah
diproduksi dan diaplikasikan pada golongan risiko tinggi,
Seperti tenaga kesehatan dan lansia. Anak, walaupun lebih
banyak simtomatik dan ber gejala ringan, bukan berarti
mereka tidak berisiko. Hanya soal waktu, vaksin COVID-19
seharusnya juga diberikan pada anak dan bayi.[32]
Walaupun vaksin produksi Sinovac, China belum
diberikan pada kelompok anak, vaksin lain seperti vaksin
RNA produksi Pfizer dan Moderna telah diujicobakan pada
kelompok remaja <18 tahun, vaksin produksi AstraZeneca-
Oxford juga menyusul.[33]
PENUTUP
Sebagai penutup, COVID-19 pada bayi merupakan bagian
dari masalah besar penanggulangan penyakit ini, terlebih
di Indonesia dengan proporsi COVID-19 pada anak yang
lebih tinggi dibanding negara lain. Pemenuhan kebutuhan
kesehatan dan timbuh kembang bayi tidak boleh terabaikan
dalam menghadapi pandemi COVID-29. Untuk itu, penularan
dari anggota keluarga harus ditekan dengan cara mengurangi
transmisi virus di masyarakat. Penerapan protokol kesehatan
dan vaksinasi adalah harapan untuk dapat mengurangi
kesakitan pada bayi.
PENDAHULUAN
Coronavirus-19 (COVID-19), yang disebabkan oleh
SARS-CoV-2, dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Maret 2020. Hingga saat
ini, virus ini telah merenggut lebih dari 1 juta nyawa dan
menginfeksi lebih dari 50 juta di seluruh dunia1,2. COVID-19
berdampak pada cara pengobatan dan penyediaan layanan
kesehatan di semua spesialisasi2.
Usia sangat berpengaruh pada keparahan penyakit dan
mortalitas yang secara konsisten telah ditunjukkan sejak fase
awal pandemi2,3. Sebuah tinjauan sistematis terhadap 1.065
anak yang terinfeksi SARS-CoV-2, menunjukkan bahwa anak
menderita penyakit dengan tingkat keparahan ringan, dengan
gejala pernapasan ringan pula4.
Meskipun studi awal menunjukkan bahwa anak-anak
dan remaja dapat terhindar dari penyakit parah, tetapi sejak
laporan ini diterbitkan telah didapatkan laporan tentang anak
dengan sakit berat sehingga perlu dirawat di rumah sakit atau
meninggal karena COVID-192.
CARA MEMERIKSA:10
1. Penampilan
Karakteristik Hal yang dinilai
Tonus Apakah anak bergerak aktif atau menolak
pemeriksaan dengan kuat? Apakah tonus otot baik
atau lumpuh?
Interaksi Bagaimana kesadarannya? Apakah berespon
terhadap stimulus suara? Apa anak malas
berinteraksi dengan pengasuh atau pemeriksa?
Kenyamanan Apakah anak dapat ditenangkan oleh pengasuh
atau pemeriksa? Atau anak menangis dan sulit
ditenangkan, terlihat agitasi sekalipun dilakukan
pendekatan yang lembut?
Pandangan Apakah anak dapat memfokuskan pengelihatan
pada wajah pemeriksa atau pengasuh? Atau
pandangan kosong?
Kekuatan bicara/ Apakah anak berbicara atau menangis dengan
menangis kuat, lemah, atau parau?
2. Pernapasan
Karakteristik
Suara napas tambahan Mengorok, parau, stridor, merintih, mengi
Posisi tubuh abnormal Sniffing, tripoding, menolak berbaring
Retraksi Supraklavikula, interkosta, substernal, head
bobbing
Cuping Hidung Napas cuping hidung
PENDAHULUAN
Peningkatan jumlah penderita COVID-19 di masa
pandemi ini mengakibatkan peningkatan okupansi bed di
unit perawatan intensif di hampir seluruh rumah sakit di
belahan dunia.1 Keterbatasan sarana, sumber daya manusia,
serta penerapan protokol penanganan khusus pada pasien-
pasien COVID-19 menjadi ‘menyulitkan’ penatalaksanaan
pasien-pasien diabetes melitus (DM) tipe-1 yang mengalami
ketoasidosis diabetes (KAD).1
Protokol tatalaksana KAD berat yang merekomendasikan
penggunaan insulin intravena dengan monitoring yang ketat
di ruang intensif (ICU) menjadi sulit diterapkan tanpa harus
mengabaikan risiko penularan COVID-19 antar manusia.1
Penggunaan insulin kerja cepat subkutan untuk kasus-kasus
KAD ringan sampai sedang tanpa komplikasi telah terbukti
dapat digunakan secara aman di ruang perawatan ‘low care’.1–3
Penulisan makalah ini adalah untuk membahas prinsip
tatalaksana KAD yang aman dikaitkan masa pandemi
COVID-19 dalam kaitannya keterbatasan sumberdaya ICU
KETOASIDOSIS DIABETES
Ketoasidosis diabetes (KAD) adalah kondisi yang
mengancam jiwa, disebabkan penurunan kadar insulin efektif
didalam tubuh, atau berkaitan dengan resistensi insulin, dan
peningkatan produksi hormon-hormon kontra regulator
yakni: glukagon, katekolamin, kortisol dan growth hormone.(1,4
Diagnosis KAD didasarkan atas adanya “trias biokimia”
yakni: hiperglikemia, ketonemia, dan asidosis. Kriteria
diagnosis yang telah disepakati luas adalah sebagai berikut:(1,4)
• Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L
(> 200 mg/dL).
• Asidosis, bila pH darah vena < 7,3 atau kadar bikarbonat
< 15 mmol/L).
• Ketonemia (ß-hidroksibutirat > 3 mmol/L), atau ketonuria
moderat/berat.
Derajat berat-ringannya asidosis diklasifikasikan sebagai
berikut:(1)
• Ringan - sedang: bila pH darah > 7,1 hingga < 7,3 atau
kadar bikarbonat serum > 5 – 15 mmol/L.
• Berat: bila pH darah < 7,1 atau bikarbonat < 5 mmol/L.
• Perbaikan KAD: pH darah > 7,3 atau bikarbonat serum >
15 mmol/L, ß-hidroksibutirat < 1 mmol/L, dan anion gap
mendekati normal (Anion gap = Na − (Cl + HCO3); nilai
normal= 12 + 2 mmol/L).
Dominicus Husada
PENDAHULUAN
Dunia dilanda pandemi virus SARS-CoV-2 sejak akhir
tahun 2019 yang dimulai dari Wuhan, China.1,2 Beruntung
per Maret 2021 telah tersedia beberapa vaksin berkekuatan
bagus untuk membantu mengatasi pandemi ini. Beberapa
obat digunakan dalam perawatan penderita namun memang
belum ditemukan anti virus yang sangat kuat.3,4 Jumlah
penderita anak di seluruh dunia relatif sangat sedikit
dibandingkan dewasa dan kedua kelompok umur tersebut
mempunyai beberapa perbedaan yang bermakna.1,2,4,5,6 Salah
satu perbedaan menyangkut manifestasi klinis. Pada anak,
manifestasi penyakit yang oleh World Health Organization
(WHO) disebut sebagai COVID-19 (Coronavirus Infectious
Diseases 2019) dikatakan lebih beragam dari pada dewasa
dan tidak mempunyai pola dominan.1,5-9 Dominasi gejala
dan tanda saluran pernafasan, misalnya, tidak sejelas pada
kelompok dewasa.1,6,8 Pada anak juga didapatkan spektrum
klinik khusus yang menyerupai penyakit Kawasaki (Kawasaki
Disease=KD) dan Toxic Shock Syndrome (TSS).7,10-12 Spektrum
NAMA PENYAKIT
Saat ini dikenal berbagai nama untuk menyebut penyakit
ini. Royal College of Paediatric and Child Health (RCPCH)
di Inggris menamakannya Pediatric Multisystem Inflammatory
Syndrome Temporarily Associated with COVID-19.20 Centre for
Disease Control and Prevention (CDC) dan American College
of Rheumatology (ACR) di Amerika Serikat (AS) menyebut
Multisystem Inflammatory Syndrome in Children Associated with
COVID-19 (MIS-C).21,22 European CDC (ECDC) memberi
LAPORAN AWAL
Laporan pertama MIS-C berasal dari Inggris (25 April
2020) ketika National Health Service (NHS) memperingatkan
jajarannya terhadap kasus kritis dengan gambaran TSS,
atipikal Kawasaki, dan infeksi COVID-19 yang berat.25-27
Secara resmi RCPCH mengeluarkan pedoman pada tanggal
1 Mei 2020 yang khusus membahas penyakit ini.20 Publikasi
dari Inggris dilanjutkan dengan penerbitan di jurnal Lancet
pada tanggal 6 Mei 2020 (Riphagen dkk) yang membahas 8
kasus anak.15
Dari Bergamo, salah satu episentrum COVID-19 di Italia
Utara, muncul publikasi pada waktu yang sama tentang
10 kasus yang mirip KD dan atau TSS.11 Delapan anak di
antaranya mempunyai hasil pemeriksaan imunoglobulin
SARS-CoV-2 yang positif. Selama 2 bulan pengamatan sejak
Februari 2020, angka penyakit yang serupa dengan KD di
kawasan tersebut lebih tinggi 30 kali lipat jika dibandingkan
dengan periode yang sama di masa sebelumnya. Penderita
pada tahun 2020 juga relatif lebih tua dan lebih banyak yang
mengalami syok.11
EPIDEMIOLOGI
Berbagai laporan kasus telah dipublikasi dari banyak
negara.4,7,9,13,29 Seluruh Eropa Barat boleh dibilang telah
PATOGENESIS MISC
Sama dengan pada KD, patogenesis MISC belum
sepenuhnya diketahui.4,9,45,46 Yang jelas, penderita sebelumnya
telah terinfeksi SARS-CoV-2 dan hal ini dibuktikan
dengan pemeriksaan imunoglobulin yang sebagian besar
positif.4,10,11,16,27,30,32,40,47,48 Sekalipun demikian tidak satupun
dari mereka yang pernah mengalami gejala dan tanda yang
berat sebelum episode sakit tersebut. Hal itu mengindikasikan
infeksi SARS-CoV-2 sebelumnya berlangsung asimtomatik
atau dengan gejala yang ringan sehingga tidak terlalu disadari
oleh penderita maupun orang tua. Hasil pemeriksaan PCR
pada seluruh penderita MIS-C lebih banyak negatif, sekalipun
ada pula publikasi yang melaporkan angka positif sebesar
69%.27 Artinya pada sebagian besar anak, pada saat menderita
MIS-C tidak ada lagi virus SARS-CoV-2 dalam tubuh. Jarak
ASPEK LABORATORIUM
Seperti juga pada KD, tidak ada tes untuk mendiagnosis
secara pasti MIS-C.18,20-22,27 Beberapa pedoman menyebut
semua kasus menunjukkan: abnormalitas fibrinogen, CRP/
D-Dimer/Feritin yang tinggi, hipoalbumin, limfopenia,
netrofil biasanya rendah, dan tidak ada bukti infeksi
mikroorganisme tertentu. Sebagian dari mereka juga
mempunyai gambaran laboratorium: acute kidney injury,
anemia, koagulopati, peningkatan IL-10 dan IL-6, netrofilia,
proteinuria, peningkatan CK dan LDH, trombositopenia,
dan transaminitis. Hal ini sesuai dengan publikasi dari
berbagai negara.12,18,20-22,27,33,43,50,60-63,77-81 ACR menyarankan 2
tahap pemeriksaan laboratorium untuk menunjukkan skala
prioritas dan pertimbangan waktu.22
Laporan dari Italia, Perancis, Inggris, dan AS juga
menyebutkan anak dengan MIS-C menunjukkan limfopenia
dan trombositopenia yang signifikan, koagulopati,
peningkatan enzim jantung seperti troponin, hiponatremia,
hipoalbuminemia, serta kenaikan laktat dehidrogenase dan
feritin. Fenomen ini hanya sedikit dijumpai pada penderita
KD.7,10,11,16,17,33,40,50,77,82
Abrams menyebut sedikitnya 75% penderita mempunyai
kadar CRP, IL-6, dan fibrinogen yang tinggi.27 Gambaran
5 sitokin (IFN-γ, IL-10, IL-6, IL-8, dan TNF-α) yang telah
DIAGNOSIS
Tidak ada tes khusus untuk menegakkandiagnosis MIS-C.
Kriteria inkusi atau definisi kasus bisa bervariasi tergantung
pedoman yang diikuti. Hasil pemeriksaan laboratorium juga
dapat bervariasi.27,60 Diagnosis MIS-C lebih bersifat syndromic
diagnosis.9
Pedoman untuk definisi kasus menurut Guideline RCPCH
2020 adalah anak dengan demam, inflamasi (netrofilia,
peningkatan CRP, dan limfopenia), dan bukti disfungsi satu
atau lebih organ (syok, jantung, respirasi, renal, gastrointestinal,
atau kelainan sistem saraf) ditambah beberapa manifestasi
tambahan (klinis, laboratoris, pencitraan, elektrokardiogram).
Pedoman ini juga menyebut “termasuk gambaran Penyakit
Kawasaki lengkap maupun parsial”. Kasus MIS-C harus
mengeksklusi infeksi bakterial termasuk Staphylococcus dan
Streptococcus yang akan menyebabkan TSS, serta infeksi virus
yang berhubungan dengan miokarditis, seperti enterovirus.
RCPCH tidak mengharuskan pemeriksaan PCR dengan hasil
negatif.20
TATALAKSANA
Selama masa pandemi terapi kasus dengan kelainan
jantung menjadi agak terbengkalai sebab penderita jantung
takut datang ke rumah sakit dan karena dokter mungkin
sangat terkonsentrasi pada COVID-19 sehingga agak
“melupakan” kasus lain.25,88
Tujuan tatalaksana MIS-C adalah menurunkan inflamasi
sistemik dan memulihkan fungsi organ untuk menurunkan
risiko kematian dan sekuelae jangka panjang (seperti
gangguan jantung).60,89 Sebagian ahli menyarankan tata
laksana yang sesuai dengan kemiripan manifestasi klinis.
Kelompok terbesar, yang menyerupai Kawasaki diberi tata
laksana seperti tata laksana KD, sedangkan kelompok yang
menyerupai TSS diberi tata laskana seperti pada TSS.60
Pada masa pandemi, tatalaksana umum PIMS mencakup
penggunaan alat pelindung diri yang memadai, resusitasi
sesuai standar, terapi suportif, dan di beberapa tempat
disebutkan antibiotika empiris (didahului pengambilan
sampel untuk kultur darah). Pada semua kasus harus
diperhitungkan adanya infeksi SARS-CoV-2 sehingga
penggunaan alat pelindung diri adalah sebuah keharusan.9
Karena perburukan keadaan bisa cepat diperlukan pe-
ngawasan ketat untuk kardiorespirasi termasuk continuous
saturation and EKG dengan monitor tekanan darah. Pemerik-
saan EKG diindikasikan sejak awal penderita datang.20,21,60,89
Pada kondisi yang mirip Kawasaki dapat diberikan
imunoglobulin intravena dengan dosis 2 gram/kgBB. Imuno-
PENYULIT
Penyulit utama KD maupun MIS-C adalah dilatasi arteri
koronaria. Insidens komplikasi ini berkisar 20-25% pada kedua
penyakit.15 Pada kohort inggris bahkan ada 36% kasus dengan
PROGNOSIS
Prognosis penderita MIS-C relatif baik dan kesembuhan
terjadi lebih cepat.13,17,19,22,40,91-93 Dari yang mengalami dilatasi
arteri koronaria sebagian besar juga sembuh seperti sedia kala
dalam waktu singkat. Hingga saat ini belum dapat dipastikan
apakah MIS-C adalah varian yang berat dari KD dipicu infeksi
SARS-CoV-2 ataukah MIS-C adalah penyakit terpisah yang
bisa ringan hingga berat dan menyerupai KD atau TSS.13,19,27,93
Klinisi menduga kedua penyakit adalah entitas yang berbeda
dengan kesamaan beberapa aspek fenotip.19,27,47,60,94
Data AS menunjukkan seluruh atau sedikitnya sebagian
besar pasien akan kembali dalam aktifitas normal paling
lambat sebulan setelah keluar dari rumah sakit.93 Jumlah
kematian dari berbagai negara pada anak dengan MIS-C relatif
sedikit.11,12,16,27,32,95 Hanya dua dari 78 anak yang dirawat di PICU
di Inggris meninggal dunia. Satu di antaranya mengalami
PADA DEWASA
Belakangan ditemukan beberapa kasus pada orang dewasa
dengan gambaran menyerupai multisystem inflammatory
syndrome pada anak. Penderita dewasa di AS bahkan ada
yang meninggal karena keadaan ini.96
Saptadi Yuliarto
PENDAHULUAN
Pandemi coronavirus disease 2019 (COVID-19) membawa
dampak besar bagi layanan kesehatan, terutama pada negara
dengan sarana prasarana terbatas. Dampak tersebut berkaitan
dengan kapasitas rawat inap, jumlah tenaga kesehatan, dan
alat-alat medis. Hal ini diperberat oleh tidak meratanya
layanan kesehatan yang layak sebagai tempat perawatan
COVID-19 di Indonesia.
Data tahun 2017 menunjukkan rasio tempat tidur rumah
sakit terhadap jumlah penduduk Indonesia adalah 1 per 1000
penduduk; jauh lebih kecil dibandingkan Jepang 13,1 per 1000
penduduk, yang merupakan rasio terbesar di dunia. Rasio ini
tidak merata, DKI Jaya memiliki rasio terbesar 2/1000, diikuti
oleh Sulawesi Selatan 1,53/1000, Jawa Tengah 1,15/1000, dan
Jawa Timur 1,07/1000. Bahkan di beberapa provinsi besar,
rasio ini di bawah 1/1000, yaitu: Riau 0,98/1000, Kalimantan
Tengah 0,91/1000, Banten 0,87/1000, dan Jawa Barat 0,85/1000.
Kurangnya pemerataan fasilitas kesehatan, khususnya
di era pandemi COVID-19, menyebabkan beban perawatan
terpusat rumah sakit (RS) rujukan, terutama perawatan
DEFINISI
Transportasi pasien anak sakit kritis adalah proses
pemindahan pasien anak antar RS, terutama ke RS dengan
fasilitas lebih lengkap.4 Proses transportasi dapat pula berarti
pemindahan pasien antar ruangan di dalam RS.
RINGKASAN
• Masalah transportasi dan rujukan pada pasien COVID-19
anak adalah: (1) tidak meratanya RS yang mempunyai
ruang isolasi memadai, (2) transportasi dengan konsep
pencegahan transmisi, (3) variasi geografis tiap daerah.
PENDAHULUAN
Sejak Maret 2020, Indonesia dihadapkan dengan virus
novel corona (SARS-CoV-2). Virus ini pertama kali ditemukan
di Wuhan, Cina dan menyebar secara cepat ke seluruh
dunia. World Health Organization (WHO) mendeklarasikan
sebagai pandemi pada Maret 2020 dan masih berlangsung
sampai sekarang.. Di awal pandemi, literatur sebagian besar
menyatakan infeksi saluran pernapasan atas, pneumonia dan
gejala gastrointestinal sebagai gejala yang dominan infeksi
SARS-CoV-2 pada anak. Kemudian muncul multi-system
inflammatory syndrome in children (MIS-C), sindroma inflamasi
sistemik sebagai salah satu manifestasi lain dari infeksi SARS-
CoV-2. Manifestasi klinis pada dewasa umumnya lebih berat
dibandingkan anak. Meskipun kondisi berat jarang dilaporkan
pada anak dibandingkan dengan dewasa, komplikasi yang
mengancam jiwa, dan kematian terkait penyakit COVID-19
pada anak mulai banyak dilaporkan.1,2
MANIFESTASI KLINIS
Berbagai penelitian telah berupaya untuk mempelajari
manifestasi penyakit COVID-19 pada anak-anak. Namun,
presentasi klinis COVID-19 yang khas pada anak-anak belum
banyak disimpulkan. Bahkan studi yang ada menunjukkan
temuan yang bertentangan. Misalnya, sebuah penelitian dari
Cina menunjukkan bahwa anak-anak dengan COVID-19
mungkin memiliki gejala yang berbeda dengan orang dewasa.
Sebaliknya, penelitian lain melaporkan bahwa COVID-19
memiliki manifestasi yang serupa baik pada anak-anak
maupun orang dewasa.4
Mukosa saluran pernapasan merupakan awal SARS-
CoV-2 bisa sampai ke paru. Dari paru, virus masuk ke
dalam sirkulasi darah dan mencapai organ yang berbeda.
SARS ‐ CoV ‐ 2 dapat menggunakan angiotensin ‐ converting
enzyme 2 (ACE2) sebagai reseptor pejamu untuk masuk dan
menyebabkan infeksi pada manusia. Reseptor ini banyak
ditemukan di berbagai organ, seperti saluran pencernaan,
paru, jantung, dan ginjal. Organ-organ ini menjadi sasaran
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Berdasarkan data saat ini, hasil temuan laboratorium
yang khas pada anak-anak belum dapat disimpulkan. Hasil
laboratorium bervariasi sesuai dengan tingkat keparahan
penyakit COVID-19. Pada waktu awal setelah timbulnya
penyakit, jumlah sel lekosit normal atau menurun dan jumlah
limfosit sedikit meningkat. Mayoritas pasien memiliki jumlah
neutrofil yang normal. Kasus yang berat dapat disertai dengan;
peningkatan penanda inflamasi serum seperti D-dimer,
prokalsitonin, kreatin kinase, dan interleukin-6 dan limfosit
yang semakin menurun. Tabel 2 merangkum perubahan
laboratorium yang diamati pada kasus COVID-19 ringan dan
berat pada anak-anak.4
PENUTUP
Pandemi COVID-19 saat ini merupakan masalah
kesehatan global. Penelitian yang terkait berkembang dengan
sangat pesat. Pengetahuan tentang COVID-19 pada anak
terus berkembang dari waktu ke waktu. Meskipun lebih
sedikit anak-anak dengan COVID-19, mereka lebih berisiko
daripada orang dewasa untuk terinfeksi virus. Manifestasi
klinis COVID-19 pada anak-anak tidak spesifik dan seringkali
ringan atau tanpa gejala. Kondisi yang berat, seperti
komplikasi yang mengancam jiwa dan kematian dilaporkan.
terapi masih belum menunjukkan evidence yang meyakinkan
terkait dengan efikasinya.
EPIDEMIOLOGI
Tingkat infeksi COVID-19 lebih rendah pada anak
dimana didapatkan sebanyak 220 anak kasus konfirmasi
di seluruh Inggris Raya, dimana 44,4% mempunyai
penyakit dasar lainnya dan 2 orang diantaranya menderita
PGK.4 Penelitian prospektif selama periode Maret sampai
Juli 2020 didapatkan 5 anak di Inggris dengan kasus
konfirmasi COVID-19, termasuk PGK stadium 4 dan 5D.
DEFINISI
Kelainan ginjal sebagai sasaran infeksi COVID-19
akibat invasi langsung oleh virus SARS-CoV-2 ke dalam
tubulus dan jaringan interstisial ginjal dengan manifestasi
klinis berupa munculnya proteinuria dan hematuria, dan
dapat berlanjut sampai terjadinya gangguan ginjal akut
(acute kidney injury, AKI).16-18,34,35,38
EPIDEMIOLOGI
Penelitian terbaru mendapatkan peningkatan
gangguan ginjal pada pasien terinfeksi COVID-19. Li
dkk melakukan pemeriksaan fungsi ginjal pada 59 pasien
COVID-19 yang terdiri dari 28 pasien sakit berat dan 3
ETIOPATOGENESIS
Penelitian terbaru mendapatkan adanya virus RNA
pada urine dan jaringan ginjal pasien yang terinfeksi
COVID-19. Hal ini membuktikan bahwa jaringan ginjal
juga menjadi sasaran infeksi virus COVID-19 dan mungkin
terjadi invasi langsung oleh virus ke dalam tubulus dan
jaringan interstisial ginjal.16-18,34,35,38
Sindrom badai sitokin yang menyebabkan sepsis
pada infeksi COVID-19 dapat berlanjut merusak sel
ginjal pula secara tidak langsung yang mengakibatkan
gangguan fungsi ginjal akut. Gangguan fungsi ginjal telah
diketahui merupakan faktor risiko terhadap morbiditas
dan mortalitas pada pasien rawat inap yang terkonfirmasi
terinfeksi COVID-19.
Virus Corona ini masuk ke dalam tubuh manusia
melalui ikatan dengan reseptor angiotensin I converting
enzyme 2 (ACE2) pada permukaan berbagai sel. Sasaran
utama virus COVID-19 ini adalah sel pneumosit tipe II
dan enterosit, akan tetapi dapat pula mengenai sel epitel
PROGNOSIS
AKI pada COVID-19 tidak hanya meningkatkan
tingkat mortalitas, tetapi juga merupakan faktor risiko
yang kuat untuk berlanjut menjadi PGK. Hendaknya
dilakukan pemantauan terhadap proteinuria dan semua
aspek PGK setelah pulih dari COVID-19.16-21 Sebesar
30,6% pasien tetap memerlukan dialisis saat keluar rumah
sakit. Adanya PGK sebelum rawat inap merupakan satu-
satunya faktor risiko (OR 9,3, CI 95% 2,3-37,8) yang terkait
dengan dialisis berkepanjangan saat dipulangkan dari
rumah sakit. Hal ini menunjukkan fungsi ginjal sebagian
besar pasien sakit berat COVID-19 akan kembali normal,
tetapi pemantauan jangka panjang diperlukan terutama
untuk pasien PGK yang sudah ada sebelumnya dan
untuk pasien dengan tanda kerusakan ginjal persisten
(hematuria dan/atau proteinuria).6
D. KESIMPULAN
Keterlibatan ginjal pada infeksi COVID-19 disebabkan
oleh proses yang kompleks dan tidak sering didapatkan, akan
tetapi dapat meningkatkan tingkat morbiditas dan mortalitas
secara signifikan. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut
tentang dampak virus COVID-19 ini pada kerusakan ginjal
dalam berbagai aspeknya. Vaksinasi COVID-19 perlu
diprioritaskan untuk diberikan pada pasien ginjal, terutama
bila vaksin untuk anak telah tersedia.
Teddy Ontoseno
Fontan-type circulation
●● Central venous catheters can be placed as usual, but pressures
will be equivalent to pulmonary arterial pressures.
●● Small fenestrations to the systemic ventricles are often present
and may increase risk of air/paradoxical embolism.
●● Pulmonary blood flow sensitive to increases in pulmonar
vascular resistance.
●● An increased risk of pulmonary arterial thrombosis in the case
of ARDS could be expected.
KETERBATASAN
1. Keterbatasan data pasien dengan infeksi COVID-19 pada
pasien dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB/CHD) dan
Adult Congenital Heart Disease (ACHD) termasuk disini
pasien PJB/CHD yang belum/sudah dilakukan intervensi
bedah/non bedah sehingga bisa mencapai usia dewasa.
2. Belum ada guidelines tatalaksana COVID-19 pada pasien
dengan PJB yang telah disepakati Bersama.
PENELITIAN MENDATANG
Risiko yang berkaitan dengan infeksi COVID -19 pada
pasien dengan PJB dan ACHD menjadi topik penelitian yang
sangat menarik dimasa mendatang. Diperlukan penelitian
kohort, multisenter, jumlah kasus, dengan melibatkan
variabel umur, komorbiditas, terapi yang diberikan dan
berpengaruh terhadap derajat gangguan hemodinamik PJB
nya, progresivitasnya serta prognosis COVID-19.
GEJALA
Gejala umum yang ditimbulkan akibat terjadinya badai
sitokin adalah demam, kelelahan, kehilangan nafsu makan,
PENYEBAB
Belum diketahui secara pasti perihal penyebab terjadinya
Badai Sitokine pada seseorang, namun hal ini dikaitkan dengan
karkteristik dari sistem kekebalan tubuh yang dimiliki oleh
seseorang kemampuan dalam pengendalian stress, istirahat
yang cukup, kebugaran, selalu gembira serta gizi yang baik.
PENCEGAHAN UMUM
Penapisan awal dapat dilakukan di poliklinik dengan
menerapkan sistem triase. Penapisan triase meliputi
pertanyaan tentang identifikasi kondisi pasien saat ini, deteksi
dan deteksi adanya gejala COVID-19 misalnya panas, batuk
atau gejala respirasi lain, riwayat bepergian ke daerah zona
kuning/merah serta riwayat adanya kontak dengan orang
terkonfirmasi COVID-19. Skrining tersebut dapat dilakukan
melalui telefon sebelum pasien datang ke RS. Semua pasien
yang memiliki gejala curiga COVID-19 seperti panas,
batuk, nyeri tenggorokan, anosmia dan lain-lain, sebaiknya
dianggap sebagai tersangka COVID-19 sehingga mereka
harus rawat inap di ruang isolasi sementara dan dilakukan
pemeriksaan swab PCR SARS CoV 2. Jika telah terkonfirmasi
PENDAHULUAN
Sejak munculnya virus Corona jenis baru, SARS CoV-
2 yang dikenal sebagai Severe Acute Respiratory Syndrome
Coronavirus-2 di akhir tahun 2019, penyakit Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19) telah menyebar dengan pesat ke
seluruh dunia1. Anak-anak yang terinfeksi oleh SARS-CoV-2
dilaporkan lebih sering asimtomatik dan memiliki risiko
relatif kecil untuk menjadi penyakit berat2.
Sebelum COVID-19, dunia sebetulnya sudah ketinggalan
untuk memenuhi target pada Sustainable Development Goals
yang ke-2, yaitu mengeliminasi kelaparan dan malnutrisi pada
20303. Pandemi COVID-19 menyebabkan target ini semakin
jauh tertinggal karena kondisi sosial, ekonomi, gangguan
sistem distribusi makanan, gangguan sistem kesehatan
justru dapat mengeksaserbasi kekurangan nutrisi pada anak,
terutama di negara berpenghasilan menengah ke bawah4.
Pada anak, risiko paling serius yang ditimbulkan oleh
pandemi COVID-19 bukanlah risiko penyakit itu sendiri
melainkan karena “collateral damage”. Kerusakan yang
dimaksud meliputi kekurangan nutrisi dengan risiko
Irene Ratridewi
LATAR BELAKANG
Imunisasi adalah cara yang paling efektif dan aman untuk
menurunkan angka kejadian penyakit infeksi di seluruh
dunia dan makin banyak anak dan bayi yang diimunisasi
karena program yang masif di hampir semua negara. Salah
satu contoh adalah polio dan campak yang angka kejadiannya
semakin menurun kecuali di daerah endemis yang tidak
melaksanakan imunisasi ini dengan baik karena berbagai hal.
WHO dan UNICEF mencatat setidaknya 100 negara di dunia
yang telah melaksanakan imunisasi secara lengkap kepada
anak.
Imunisasi merupakan program yang terjadwal untuk
mencapai kadar antibodi yang protektif, dimana booster adalah
faktor yang sangat penting, untuk itu maka sangat tidak
disarankan untuk menunda imunisasi terutama pemberian
booster. Jadwal imunisasi kadang tidak dapat dipenuhi tepat
pada waktunya karena berbagai hal, dan saat ini disebabkan
karena pandemi covid-19. Karantina dan penundaan imunisasi
akibat ketakutan masyarakat atau menurunnya ketersediaan
vaksin telah menyebabkan sekitar 80 juta anak usia < 1 tahun
RINGKASAN
Pandemi COVID-19 berpengaruh terhadap berbagai
sektor kesehatan termasuk imunisasi bayi dan anak. Penyakit-
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi diperkirakan
akan mengalami peningkatan pascapandemi karena
cakupan menurun akibat ketakutan orangtua membawa
anak imunisasi, pembatasan sosial berskala besar, mobilisasi
petugas kesehatan ke unit layanan COVID-19, distribusi
Ahmad Suryawan
PENDAHULUAN
Pandemi COVID-19 yang melanda dunia, termasuk
Indonesia, baru saja melewati masa satu tahun. Pandemi
ini telah mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan
manusia: tidak hanya aspek kesehatan semata, namun juga
aspek ekonomi dan pendidikan menjadi sektor kehidupan
yang paling terkena imbas dari pandemi ini. Selama perjalanan
satu tahun pertama di masa pandemi, dan meskipun program
vaksinasi COVID-19 di beberapa negara saat ini telah dimulai,
namun tidak ada satupun pihak otoritas yang berwenang
di sebuah negara yang dapat memprediksi dengan tepat
kapan pandemi ini akan melandai dan kemudian berakhir.
Salah satu aspek yang paling banyak dibahas oleh para ahli
saat ini adalah masalah pembukaan kembali sekolah bagi
anak yang telah mengalami disrupsi selama masa pandemi.
Pertimbangan pembukaan sekolah di masa pandemi
merupakan permasalahan yang sangat pelik dalam dunia
pendidikan anak saat ini. Keseimbangan antara hak anak
untuk mendapat pendidikan, terutama selama masa periode
308
(Sumber: UNESCO, 2021)5
Pada studi di beberapa negara tentang dampak dibuka
kembalinya sekolah pada masa pandemi COVID-19, tidak
didapatkan sebuah kesimpulan yang konklusif. Terdapat
studi yang melaporkan pembukaan kembali sekolah tanpa
peningkatan kasus pada siswa dan guru.6 Namun, sebaliknya
juga terdapat studi melaporkan adanya peningkatan kasus
dan terjadinya outbreak yang berhubungan dengan pembukaan
kembali sekolah, seperti yang terjadi di Chili dan Israel.7,8
Anak-anak disinyalir mempunyai tingkat kerawanan
30-50 % lebih rendah dibandingkan orang dewasa,8 dan bila
terinfeksi akan menampakkan tanpa gejala atau bergejala
ringan saja,9 maka sebagian besar wabah yang terjadi di
lingkungan sekolah cenderung terjadi dalam skala terbatas.10
Namun demikian, sekolah dianggap mempunyai kontribusi
pada besarnya penularan yang terjadi di komunitas. Sehingga,
sebagian ahli epidemiologi berpendapat bahwa tindakan
penutupan sekolah untuk sementara waktu adalah salah
satu komponen terpenting dalam pengendalian pandemi.
Namun demikian, sebagian ahli juga berpendapat bahwa
sekolah bukanlah tempat yang akan mempercepat transmisi
penularan, dan kasus penularan yang terjadi di lingkungan
sekolah hanyalah merupakan cerminan prevalensi penularan
kasus di dalam komunitas lokal setempat.11,12
Transmisi penularan yang terjadi di sekolah pernah
dilaporkan terjadi antar murid, antara guru dan murid,
maupun diantara tenaga kependidikan yang ada di sekolah.7
Kekhawatiran terbesar dari adanya wabah di sekolah adalah
adanya transmisi penularan dari anak-anak sekolah ke
orangtua dan/atau kakek/nenek yang berusia lanjut, yang
sangat rawan akan mengalami infeksi COVID-19 dalam
bentuk gejala klinis berat.