Kontributor Tim Redaksi Knowledge and Skill Kontributor Ahli Kesehatan Anak Departemen Ilmu
Update 6 Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga–RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Nando Reza Pratama, S.Ked Adra Pratama Putra Chafid, dr. Sp.A(K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Respirologi
Ihsan Fahmi Rofananda, S.Ked Neurinda Permata Kusumastuti, dr. Sp.A(K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak
Amirah Jasmine, S.Ked Mahendra Tri Arif Sampurna, dr. Sp.A(K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Neonatologi
Anisa Novia Mahestari, S.Ked Dr. Prastiya Indra Gunawan, dr. Sp.A(K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Neurologi
Nabila Putri Wardhani, S.Ked Aina Setyaningtyas, dr. Sp.A(K), M.Kes.
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak
Natasha Hana Savitri, S.Ked Muhammad Faizi, dr. Sp.A(K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Endokrinologi
Pandit Bagus Tri Saputra, S.Ked Nur Rochmah, dr. Sp.A(K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Endokrinologi
Puguh Oktavian, S.Ked Dr. Retno Asih Setyoningrum, dr. Sp.A(K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Respirologi
Putri Aliya Ahadini Taufiq Hidayat, dr. Sp.A(K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Kardiologi
Rosda Rodhiyana Dr. Risa Etika, Sp.A(K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Neonatologi
Ketua LKMI HMI Cabang Surabaya Pembina LKMI HMI Cabang Surabaya
Nizar Al Rhaazi, S.Ked. Dr. Achmad Chusnu Romdhoni, dr., Sp. THT-KL(K),
FICS
Disclaimer
Dengan adannya buku ini diharapkan para peserta dapat menggunakannya sebagai referensi tambahan dan
pelengkap Simposium dan Workshop KSU 6 yang diselenggarakan oleh LKMI-HMI Cabang Surabaya. Buku ini
disusun oleh tim redaksi KSU 6 dengan kolaborasi ahli Ilmu Kesehatan Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD Dr Soetomo. Materi yang tertuang pada buku ini ditulis
berdasarkan referensi-referensi ilmiah. Mengingat ilmu kedokteran adalah ilmu yang selalu berkembang, sangat
dimungkinkan adanya pembaharuan informasi di masa yang akan datang sehingga kami menyarankan para
pembaca agar selalu mengacu pada bukti-bukti ilmiah terkini. Penerapan informasi yang tercantum tetap
menjadi tanggung jawab dari praktisi kesehatan yang bersangkutan. Tatalaksana klinis yang tercantum pada
buku ini tidak bersifat absolut. Kami menyadari adanya keterbatasan dalam pembuatan buku ini sehingga kritik
dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami perlukan.
ii
CONTENT
CONTENT............................................................................................................................................................ iii
FOREWORD ..................................................................................................................................................... iv
Chapter 1
GENERAL APPROACH TO DIAGNOSIS AND TREATMENT OF PEDIATRIC
EMERGENCY AND ITS RELEVANCE TO COVID-19...................................................................... 1
Chapter 2
UPDATES ON PEDIATRIC RESUSCITATION................................................................................ 35
Chapter 3
UPDATES ON NEONATAL RESUSCITATION ............................................................................... 43
Chapter 4
A-Z FROM NEONATAL RESUSCTITATION TO STABILIZATION &
TRANSPORTATION ..................................................................................................................................... 65
Chapter 5
CLINICAL APPROACH TO SEIZURES IN PEDIATRICS........................................................... 82
Chapter 6
IMMEDIATE RECOGNITION AND PROMPT TREATMENT OF SHOCK ........................ 99
Chapter 7
DIABETIC KETOACIDOSIS MANAGEMENT DURING COVID-19 PANDEMIC ......... 110
Chapter 8
FLUID THERAPY IN PEDIATRIC EMERGENCY CASES .........................................................129
Chapter 9
EMERGENCY MANAGEMENT AND INSULIN THERAPY FOR TYPE 1 DIABETES
MELLITUS IN PEDIATRICS ................................................................................................................... 149
Chapter 10
CLINICAL MANAGEMENT OF ASTHMA EXACERBATION ................................................. 158
Chapter 11
CARDIAC ARRHYTMIA EMERGENCY IN PEDIATRICS ........................................................ 166
Chapter 12
ECG READING IN PEDIATRIC EMERGENCY: OVERVIEW AND CASE STUDY ...... 184
Chapter 13
SPECIAL WORKSHOP: KANGAROO MOTHERCARE FOR LOW BIRTH WEIGHT
& PRETERM INFANT AND EARLY INITIATION OF BREASTFEEDING-A
DEMONSTRATION ................................................................................................................................... 200
iii
FOREWORD
Assalammualaikum Wr. Wb.
iv
GENERAL APPROACH TO DIAGNOSIS AND
TREATMENT OF PEDIATRIC EMERGENCY
AND ITS RELEVANCE TO COVID-19
Arda Pratama Putra Chafida, Nando Reza Pratamab
a
Divisi Respirologi Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–
RSUD Dr. Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD Dr. Soetomo
1.1. Pendahuluan
Kematian anak-anak di rumah sakit sering terjadi dalam 24 jam pertama
saat masuk rumah sakit. Banyak dari kematian ini dapat dicegah dengan memulai
identifikasi dan pengobatan segera setelah mereka tiba di fasilitas kesehatan.
Dibutuhkan triase cepat untuk semua pasien anak-anak yang datang ke rumah
sakit untuk menentukan prioritas apakah ada tanda darurat dan memberikan
perawatan darurat yang sesuai.1 Banyak teknik diagnostik dan terapeutik
dianggap sulit dilakukan pada pasien pediatri.2 Selain itu, karena keadaan darurat
pediatrik hanya mencakup 2% hingga 10% dari semua keadaan darurat medis,
sehingga dibutuhkan pengalaman yang memadai bagi dokter yang bekerja pada
perawatan darurat pra-rumah sakit. Anak-anak memiliki kemungkinan yang lebih
rendah untuk terinfeksi langsung dengan SARS-CoV-2.3 Variabilitas presentasi
klinis pasien anak dengan SARS-CoV-2 menjadi tantangan di IGD, sehingga
diperlukan penguasaan teknik darurat dasar termasuk evaluasi klinis anak,
pembentukan akses vena, manajemen jalan napas, resusitasi, dan pemberian
dosis obat untuk keberhasilan perawatan darurat anak-anak yang bertujuan
untuk pengendalian dan pencegahan baik SARS-CoV-2 maupun keadaan darurat
pediatri yang lain.
1.1.1. Epidemiologi
Suatu studi cross-sectional dari Nationwide Emergency Department
Sample di Amerika Serikat mendapatkan tren insiden keadaan darurat pediatri
dari 2008 hingga 2014, dengan kategori pasien dengan usia di bawah 18 tahun,
pada tahun 2008 tercatat sebanyak 1.721 kunjungan per juta orang-tahun. Insiden
ini meningkat menjadi 2020 kunjungan per juta orang-tahun pada tahun 2014.
Kondisi serius yang paling umum adalah distress nafas, septikemia, dan penyakit
neurologis akut. Anafilaksis merupakan keadaan darurat pediatri dengan
peningkatan terbesar yaitu 147%, dari 101 menjadi 249 kunjungan per juta orang-
1
CHAPTER 1
1. Gangguan pernapasan
Keadaan darurat pernafasan pada anak-anak ditandai dengan dua
manifestasi utama, dispnea dan stridor. Jenis stridor sudah dapat
memberikan petunjuk penting untuk diagnosis banding. Obstruksi pada
bagian ekstratoraks trakea menyebabkan stridor inspirasi, sedangkan
obstruksi pada bagian intratoraks menyebabkan stridor ekspirasi atau
gabungan. Penyebab paling umum dari stridor inspirasi onset mendadak
adalah pseudocroup. 10 Trias barking cough, suara serak, dan stridor inspirasi
2
CHAPTER 1
yang khas akan muncul pada anak setelah infeksi saluran pernapasan
bagian atas. Obstruksi tingkat tinggi pada saluran udara yang lebih kecil
dengan stridor ekspirasi biasanya merupakan manifestasi asma bronkial
atau bronkiolitis. Diagnosis banding yang penting untuk stridor inspirasi
atau ekspirasi adalah aspirasi benda asing.
2. Perubahan kesadaran
Perubahan kesadaran pada anak-anak, memiliki penyakit yang mendasari
diagnosis tersebut, antara lain: demam (sepsis, meningitis, heatstroke),
sentralisasi peredaran darah (syok), dan trauma. Perubahan kesadaran juga
dapat disebabkan oleh hipoglikemia, yang muncul sebagai akibat
pengobatan insulin untuk diabetes mellitus, setelah waktu yang lama tanpa
asupan makanan, atau adanya kelainan metabolisme bawaan. Selain
hipoglikemia, hiperglikemia juga menyebabkan gangguan kesadaran,
hiperglikemia simtomatik pada masa kanak-kanak hampir selalu
disebabkan oleh ketoasidosis diabetikum, dan yang terakhir keracunan
dapat terjadi pada semua usia dan dapat menyebabkan perubahan
kesadaran tergantung pada zat yang telah tertelan. 9
3. Kejang
Kejang epilepsi merupakan persentase besar intervensi medis darurat pada
anak-anak; kebanyakan kasus adalah kejang demam. Kejang demam
sering terjadi dan biasanya tidak berbahaya 9, tetapi diagnosis banding yang
lebih jarang, termasuk meningitis, cedera otak traumatis, dan dehidrasi
parah, harus selalu diwaspadai.
4. Syok
Anak-anak, seperti orang dewasa, dapat mengalami syok akibat sejumlah
kondisi umum termasuk trauma, luka bakar, infeksi, gastroenteritis, dan
reaksi anafilaksis. Jenis syok yang paling umum pada anak-anak adalah syok
hipovolemik, yang disebabkan salah satunya karena kehilangan cairan yang
terus-menerus pada gastroenteritis, sedangkan syok septik pada anak-anak
terjadi karena berbagai penyakit yang mendasari.
1.1.4. Klasifikasi
Pada Pedoman Manajemen Terpadu Balita Sakit, klasifikasi pada
kegawatdaruratan anak dimulai dengan memeriksa tanda bahaya umum,
3
CHAPTER 1
kemudian jika terdapat satu atau lebih tanda bahaya umum, maka diklasifikasikan
dalam penyakit sangat berat dan harus segera ditangani.12
Sebuah studi melibatkan 171 anak dengan infeksi SARS-CoV-2 di Rumah Sakit Anak
Wuhan di Cina.12 melaporkan bahwa tanda dan gejala yang paling umum adalah
batuk (48,5% pasien), eritema faring (46,2%), dan demam (41,5%). Tanda dan gejala
lainnya antara lain; diare (8,8% pasien), kelelahan (7,6%), rhinorrhea (7,6%), muntah
(6,4%), hidung tersumbat (5,3%)
1.2. Diagnosis
1.2.1. Anamnesis
Berdasarkan Majamen Terpadu Balita Sakit (MTBS), penilaian, klasifikasi dan
tindakan/pengobatan balita sakit usia 2 bulan sampai 5 tahun dimulai dari
anamnesis pada ibu pasien, tanyakan apakah kunjungan pertama atau kunjungan
ulang, jika kunjungan pertama anamnesis untuk menilai keadaan umum anak
sebagai berikut:
Ada beberapa kondisi khusus pada anak yang perlu ditanyakan sesuai
dengan keluhannya antara lain:
4
CHAPTER 1
5
CHAPTER 1
Jika anak menderita batuk atau sukar bernafas, pemeriksaan fisik yang dapat
dilakukan:
6
CHAPTER 1
• Demam berdasarkan anamnesis ATAU teraba panas ATAU suhu 37,5 derajat
selsius
• Lihat dan periksa apakah ada kaku kuduk
• Lihat adanya penyebab lain dari demam
• Lihat apakah ada tanda-tanda campak saat ini : ruam kemerahan di kulit
yang menyeluruh DAN terdapat salah satu dari batuk, pilek mata merah
• Jika anak menderita campak sekarang atau dalam 3 bulan terakhir
- Lihat adanya luka di mulut apakah dalam/luas?
- LIhat adanya nanah pada mata
- LIhat adanya keruhan pada kornea
• Jika anak dicurigai demam berdarah dengue
- Periksa tanda-tanda syok: ujung ekstremitas teraba dingin dan nadi
sangat lemah/tidak teraba
- LIhat adanya perdarahan dari hidung/gusi
- Bintik perdarahan di kulit
- Lakukan uji torniket bila pasien tidak syok dan tidak ada perdarahan
7
CHAPTER 1
Jika tidak ada komplikasi medis, lakukan penilauan pada anak umur < 6
bulan, apakah ada masalah pemberian ASI?
Anak juga perlu diperiksa apakah anemia dengan cara melihat kepucatan pada
telapak tangan, apakah sangat pucat atau agak pucat.
Pada bayi muda umur kurang dari 2 bulan pemeriksaan awal untuk melihat
adanya kemungkinan penyakit sangat berat atau infeksi bakteri dapat dilakukan
pemeriksaan fisik:
Dilanjutkan dengan pemeriksaan ikterus, lihat adanya icterus pada mata atau
kulit, selain itu apakah ada kekuningan pada telapak kaki bayi.
Jika bayi diare lakukan pemeriksaan fisik dengan melihat keadaan umum bayi:
8
CHAPTER 1
Bayi dengan berat badan rendah kemungkinan terjadi masalah pemberian ASI
sehingga harus diperiksa:
Jika bayi tidak ada indikasi dirujuk, lakukan penilaian tentang cara
menyusui. Lihat apakah bayi menyusui dengan baik, nilai dari posisi bayi yang
benar, perlekatan mulut bayi, dan apakah bayi mengisap denga efektif.
Seorang anak dengan tanda bahaya umum harus segera ditangani. Penilaian
tanda bahaya dapat dilihat pada gambar 1.12
9
CHAPTER 1
1. Hitung nafas dalam 1 menit, ulangi menghitung jika bayi bernapas cepat
(≥60 kali/menit) atau bernapas lambat (<30 kali/menit)
2. Lihat gerakan pada bayi
a. Apakah bayi bergerak atas kemauan sendiri?
b. Bayi bergerak, setelah distimulasi?
c. Apakah bayi tidak bergerak sama sekali?
3. Lihat adanya tarikan dinding dada ke dalam yang sangat kuat?
4. Lihat, adalkah ada pustul di kulit?
5. Lihat apakah mata bernanah? Apakah nanah banyak di mata?
6. Apakah pusar kemerahan/bernanah? Apakah kemerahan meluas sampai
ke dinding perut lebih dari 1 cm?
10
CHAPTER 1
11
CHAPTER 1
Gambar 3. Terapi dan tatalaksana anak dengan batuk atau sukar bernapas.12
12
CHAPTER 1
13
CHAPTER 1
14
CHAPTER 1
Gambar 9. Terapi dan tatalaksana pada bayi muda umur kurang dari 2 bulan
dengan icterus.12
15
CHAPTER 1
Gambar 10. Terapi dan tatalaksana bayi muda umur kurang dari 2 bulan dengan
diare. 12
Jika ibu HIV positif dan mencampur pemberian ASI nya dengan makanan
lain, hentikan ASI dan rujuk ke bagian gizi
Gambar 11. Terapi dan tatalaksana bayi muda umur kurang dari 2 bulan dengan
kemungkinan berat badan rendah dan masalah pemberian ASI. 12
16
CHAPTER 1
17
CHAPTER 1
Multisystem Anak dan remaja 0-19 tahun yang mengalami demam > 3hari
inflammatory DAN disertai dua dari:
syndrome a) Ruam atau konjungtivitis bilateral non purulenta atau
tanda inflamasi mukokutaneus pada mulut, tangan dan
kaki
b) Hipotensi atau syok
c) Gambaran disfungsi miokardium, perikarditis, vaskulitis,
abnormalitas koroner (terdiri atas kelainan pada
ekokardiografi, peningkatan Troponin/NT-proBNP)
d) Bukti adanya koagulopati (dengan peningkatan PT,
APTT, D-dimer)
e) Gejala gastrointestinal akut (diare, muntah, atau nyeri
perut)
DAN
Peningkatan marker inflamasi seperti LED, CRP atau
procalcitonin
DAN
Tidak ada penyebab keterlibatan etiologi bakteri yang
menyebabkan inflamasi meliputi sepsis bakteri, sindrom
syok karena Stafilokokkus atau Streptokokkus
DAN
Terdapat bukti COVID-19 (berupa RT-PCR, positif tes antigen
atau positif serologi) atau kemungkinan besar kontak
dengan pasien COVID-19
18
CHAPTER 1
19
CHAPTER 1
Gambar 13a. Tatalaksana neonates dari ibu yang suspek, probable, atau
terkonfirmasi COVID-19 menurut pedoman tatalaksana COVID-19 edisi 3.13
20
CHAPTER 1
Gambar 13b. Tatalaksana neonates dari ibu yang suspek, probable, atau
terkonfirmasi COVID-19 menurut pedoman tatalaksana COVID-19 edisi 3.13
21
CHAPTER 1
Gambar 14. Algoritma Tata Laksana ARDS pada Anak dengan Infeksi Covid-19.13
22
CHAPTER 1
1.3.3. Pemantauan
Monitoring yang dilakukan sesuai dengan klasifikasi penyakit pada anak sakit
umur 2 bulan sampai 5 tahun yang sudah didiagnosis sebelumnya pada saat
kunjungan pertama. 12
1. Pneumonia
Sesudah 2 hari monitor
• Apakah nafas lebih lambat?
• Ada tarikan dinding dada ke dalam?
• Apakah nafsu makan membaik
• Periksa tanda bahaya umum
• Lakukan penilaian untuk batuk atau sukar bernapas
2. Diare Persisten
Sesudah 3 hari monitor
• Apakah diare sudah berhenti?
• Berapa kali anak mencret setiap hari?
3. Disentri
Sesudah 3 hari monitor
• Apakah mencretnya berkurang?
• Apakah darah dalam tinja berkurang?
• Apakah nafsu makan membaik?
• Lakukan penialaian untuk diare
4. Malaria (Daerah Endemis tinggi atau Endemis Rendah)
Setelah 3 hari jika tetap demam periksa
• Lakukan penilaian ulang lengkap dan rujuk ke laboratorium untuk
pemeriksaan hitung parasite
• Cari penyebab lain dari demam
5. Demam Mungkin Bukan Malaria (Daerah Endemis Tinggi atau Endemis
Rendah Malaria)
Setelah 3 hari jika tetap demam periksa
• Lakukan penilaian untuk demam
• Cari penyebab lain dari demam
6. Demam Bukan Malaria
(Daerah Non Endemis Malaria dan tidak ada kunjungan ke daerah endemis
malaria)
23
CHAPTER 1
24
CHAPTER 1
13. Pemantauan derajat keparahan pasien pada kasus anak dengan COVID-19.13
• Pemantauan derajat keparahan pasien yang disepakati oleh pakar
intensif anak adalah nilai rasio SpO2/FiO2 (SF ratio)
• Pada pasien dengan tunjangan pernapasan non-invasif dapat
digunakan indeks saturasi oksigen (Oxygen Saturation Index/OSI)
• Pada pasien dengan ventilasi mekanik invasif dapat dihitung indeks
oksigenasi (Oxygenation Index/OI)
• Kadar FiO2 disesuaikan untuk mencapai target saturasi perifer atau
SpO2 < 97% agar validitas penghitungan SF rasio dan OSI dapat dijaga
• Prediksi perburukan pirau intrapulmonal dapat dilakukan dengan
menghitung dan memantau AaDO2
• Kriteria P-ARDS yang digunakan sesuai dengan kriteria Pediatric Acute
Lung Injury Conference Consensus (PALICC)
1.4. Penutup
1.4.1. Edukasi
A. Mengajari ibu cara pemberian obat oral di rumah
• Tentukan jenis obat dan dosis yang sesuai berdasarkan barat atau umur
anak
• Jelaskan alasan pembarian obat
• Peragakan bagaimana cara membuat satu dosis
• Perhatikan cara ibu menyiapkan sendiri satu dosis
• Mintalah ibu memberikan dosis pertama pada anak bila obat jarus diberikan
di klinik
• Terangkan dengan jelas cara memberi obat dan tuliskan pada obat
• Jika akan memberikan lebih dari satu obat, bungkus tiap obat secara
terpisah
• Jelaskan bahwa semua obat harus diberikan sesuai anjuran walaupun anak
telah menunjukkan perbaikan cek pemahaman ibu, sebelum ibu
meninggalkan klinik
25
CHAPTER 1
26
CHAPTER 1
Tabel 2. Edukasi ibu cara mengobati infeksi lokal di rumah menurut MTBS.12
A. Mengobati infeksi mata dengan tetes/salep mata12
Bersihkan kedua mata, 3 kali sehari:
• Cucilah tangan
• Mintalah anak untuk memejamkan mata
• Gunakan kapas basah untuk membersihkan nanah
Berikan obat tetes/salep mata kloramfenikol/tetrasiklin 3 kali sehari:
• Mintalah anak melihat ke atas. Tarik kelopak mata bawah perlahan
ke arah bawah
• Teteskan obat tetes mata atau oleskan sejumlah kecil salep di
bagian
• dalam kelopak mata
• Cuci tangan kembali
Catatan:
• Obati sampai kemerahan hilang
• Jangan menggunakan salep/tetes mata yang mengandung
kortikosteroid atau memberi sesuatu apapun di mata
B. Perawatan telinga12
Mengeringkan Telinga dengan Bahan Penyerap:
• Keringkan telinga sekurang-kurangnya 3 kali sehari
• Gulung selembar kain penyerap bersih dan lunak atau kertas tissu
yang kuat, menjadi sebuah sumbu. Jangan gunakan lidi kapas
• Masukkan sumbu tersebut ke dalam telinga anak
• Keluarkan sumbu jika sudah basah
• Ganti sumbu dengan yang baru dan ulangi langkah di atas sampai
telinga anak kering
Untuk infeksi telinga:
• Teteskan 3-5 tetes larutan H2O2 3% pada telinga yang sakit, lalu
keringkan dengan kertas tissu. Lakukan hal ini 3 kali sehari.
• Sesudah mengeringkan telinga, teteskan derivat Quinolon 2-3
tetes/kali dan biarkan selama 10 menit. Berikan 2x sehari, pagi dan
malam selama 14 hari.
C. Perawatan mulut12
Mengobati Luka di Mulut dengan antiseptik mulut:
• Obati luka di mulut 2 kali sehari selama 5 hari
• Cucilah tangan
• Basuhlah mulut anak dengan jari yang dibungkus kain bersih yang
telah dibasahi larutan garam
• Oleskan antiseptik mulut
• Cuci tangan kembali
D. Meredakan batuk dan melegakan tenggorok dengan bahan yang aman
Bahan aman yang dianjurkan:
• ASI eksklusif sampai umur 6 bulan
• Kecap manis atau madu dicampur dengan air jeruk nipis (madu
tidak dianjurkan untuk anak umur < 1 tahun)
Obat yang tidak dianjurkan
• Semua jenis obat batuk yang dijual bebas yang mengandung
atropine, codein, dan derivatnya atau alcohol
• Obat-obatan dekongestan oral dan nasal
27
CHAPTER 1
Gambar 15. Edukasi untuk mencegah agar gula darah tidak turun.12
D. Edukasi terkait pemberian makan
28
CHAPTER 1
29
CHAPTER 1
30
CHAPTER 1
31
CHAPTER 1
Tabel 5. Asuhan dasar bayi muda kurang dari 2 bulan menurut panduan MTBS12
A. Mencegah Infeksi
• Cuci tangan sebelum atau sesudah memegang bayi
• Bersihkan tali pusat jika basah atau kotor dengan air matang,
kemudian keringkan dengan kain yang bersih dan kering.
INGATKAN ibu supaya menjaga tali pusat selalu bersih dan kering
• Jaga kebersihan tubuh bayi dengan memandikannya setelah suhu
stabil.
• Gunakan sabun dan air hangat, bersihkan seluruh tubuh dengan
hati-hati
• Hindarkan bayi baru lahir kontak dengan orang sakit, karena sangat
rentan tertular penyakit.
• Minta ibu untuk memberikan kolostrum karena mengandung zat
kekebalan tubuh.
• Anjurkan ibu untuk menyusui sesering mungkin hanya ASI saja
sampai 6 bulan. Bila bayi tidak bisa menyusu, beri ASI perah dengan
menggunakan cangkir/sendok. Hindari pemakaian botol dan
dot karena dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi saluran
cerna
B. Memberi ASI saja sesering mungkin
• Cuci tangan sebelum dan sesudah memegang bayi
• Minta ibu untuk memberi ASI saja sesering mungkin minimal 8 kali
sehari, siang ataupun malam.
• Menyusui dengan payudara kiri dan kanan secara bergantian
• Berikan ASI dari satu payudara sampai kosong sebelum pindah ke
payudara lainnya
• Jika bayi telah tidur selama 2 jam, minta ibu unntuk
membangunkannya dan langsung disusui
• Minta ibu untuk meletakkan bayi di dadanya sesering mungkin dan
tidur bersama ibu
• Ingatkan ibu dan anggota keluarga lain untuk membaca kembali
hal-hal tentang pemberian ASI di Buku KIA
• Minta ibu untuk menanyakan hal-hal yang kurang dipahami
C. Menjaga bayi mmuda selalu hangat
• Cuci tangan sebelum dan sesudah memegang bayi
• Setiap kali bayi basah, segera keringkan tubuhnya dan ganti
pakaian/kainnya dengan yang kering.
• Baringkan di tempat yang hangat dan jauh dari jendela atau pintu.
Beri alas kain yang bersih dan kering di tempat untuk pemeriksaan
bayi, termasuk timbangan bayi.
32
CHAPTER 1
33
CHAPTER 1
34
UPDATES ON PEDIATRIC RESUSCITATION
Neurinda Permata Kusumastuti
Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga-RSUD dr. Soetomo
2.1. Pendahuluan
Coronavirus disease 2019 (COVID-19), yang menyebabkan acute respiratory
syndrome yang berat, dinyatakan sebagai pandemi global oleh Organisasi
Kesehatan Dunia pada 11 Maret 2020. Pada 20 Mei 2020, COVID-19 telah didiagnosis
di 216 negara dan wilayah1 dengan lebih dari 4,9 juta kasus COVID-19 yang
dikonfirmasi di seluruh dunia dan lebih dari 1,5 juta kasus dan 92.000 kematian di
Amerika Serikat saja2. Dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih tua, anak-
anak memiliki proporsi kasus COVID-19 yang rendah dan biasanya memiliki
perjalanan penyakit yang lebih ringan3-4. Bayi dan anak dengan penyakit penyerta
mungkin lebih rentan terhadap penyakit parah.5 Dalam serial kasus anak terbesar,
yang saat ini dipublikasikan (CDC China 01/16 - 02/08; n = 2143) 5,2% mengalami
penyakit yang berat (didefinisikan sebagai 'dispnea, sianosis sentral dan saturasi
oksigen kurang dari 92%'), dan 0,6% mangalami sakit kritis.5-6 Namun, banyak
patogen dan / atau etiologi lain yang mungkin mendasari dapat menyebabkan
gagal napas pada anak-anak dan diagnosis yang tepat mungkin sulit ditegakkan.5,7
Selain gagal napas, saat ini didapatkan Multisystem Inflamatory Syndrome (MIS-
C) terkait COVID-19 pada anak-anak8, yang menyebabkan peningkatan keparahan
pada anak dengan COVID-19 terus berkembang.4
Kondisi pandemi ini telah menciptakan tantangan penting untuk upaya
resusitasi tersebut dan memerlukan modifikasi potensial dari proses dan praktik
yang sudah ada. Padahal selama 2 dekade terakhir, peningkatan angka
kelangsungan hidup setelah kejadian henti jantung meningkat dengan stabil,
baik yang terjadi di dalam maupun di luar rumah sakit1 dan keberhasilan tersebut
bergantung pada inisiasi intervensi resusitasi yang terbukti, seperti kompresi dada
dan defibrilasi berkualitias tinggi yang dilakukan dalam hitungan detik hingga
menit setelah pasien mengalami henti jantung. Jadi tantangannya adalah
memastikan bahwa pasien dengan atau tanpa COVID-19 yang mengalami
serangan jantung mendapatkan kesempatan terbaik untuk bertahan hidup tanpa
mengorbankan keselamatan penolong, yang akan dibutuhkan untuk merawat
pasien di masa depan. Yang memperumit kondisi ini adalah karena COVID-19 ini
35
CHAPTER 2
36
CHAPTER 2
37
CHAPTER 2
38
CHAPTER 2
Sebelum mempelajari algoritma bantuan hidup dasar (BHD) pada anak, kita
harus mengetahui pembagian cara melakukan BHD ini sesuai usia, yaitu:
Satu yang harus diperhatikan dalam melakukan BHD pada anak adalah
High-quality cardiopulmonary resuscitation merupakan fondasi dari keberhasilan
resusitasi, untuk mendapatkan hasil yang maksimal. yang disebut sebagai High-
quality cardiopulmonary resuscitation adalah :12
39
CHAPTER 2
Gambar 2. Algoritma BHD pada henti jantung anak dengan COVID-19 untuk 1
orang penolong9,11
40
CHAPTER 2
Gambar 3. Algoritma BHD henti jantung pada anak dengan COVID-19 untuk 2
orang penolong9,11
Dari kedua algoritma di atas secara umum dapat kita lihat bahwa alur
pemberian bantuan hidup dasar tidak jauh berbeda dengan penanganan pasien
secara umum atau alur BHD yang sebelumnya, namun beberapa langkah yang
dimodifikasi adalah pemakaian APD dan alat bantu sungkup-balon dengan filter
dan penutup ketat.
2.4. Kesimpulan
41
CHAPTER 2
42
UPDATES ON NEONATAL RESUSCITATION
Mahendra Tri Arif Ampurnaa, Natasha Hana Savitrib, Anisa Novia
Mahestarib
a
Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr Soetomo
3.1. Pendahuluan
Sebagian bayi baru lahir (10%) memerlukan bantuan untuk memulai
pernapasan sedangkan hanya 1% bayi yang memerlukan resusitasi lebih lanjut
(intubasi, kompresi dada, dan pemberian obat). Setiap bayi baru lahir senantiasa
mengalami proses transisi dari kehidupan intrauterin menuju ekstrauterin yang
melibatkan hampir semua sistem organ tubuh. Di antara berbagai sistem organ
tersebut, perubahan sistem pernapasan dan sirkulasi segera setelah lahir
memainkan peranan penting agar bayi dapat beradaptasi pada lingkungan
ekstrauterin. Perubahan fisiologis tersebut penting untuk dipahami oleh setiap
penolong resusitasi bayi baru lahir agar dapat menentukan tindakan yang tepat
apabila terjadi gangguan selama masa transisi.
3.1.1. Epidemiologi
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), jumlah kematian
neonatus menurun dari 4,4 juta pada tahun 1990 menjadi 3 juta pada tahun 2011.
Angka kematian neonatus menurun dari 32/1000 kelahiran hidup menjadi 22/1000
kelahiran hidup pada periode yang sama, mengalami penurunan lebih dari 30%.
Angka kematian neonatus di Indonesia pada tahun 2002 dilaporkan 20 per 1000
kelahiran hidup, yang menurut WHO mirip dengan rata-rata untuk negara-negara
Asia Tenggara lainnya (19 per 1.000 kelahiran hidup). Sementara menurut Survei
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, angka kematian bayi (AKB) 32/1000
kelahiran hidup. Penyebab utama kematian neonatal pada minggu pertama (0-6
hari) adalah asfiksia (36%), BBLR/ prematuritas (32%), serta sepsis (12%). Sementara
penyebab kematian neonatus (7-28 hari) adalah sepsis (22%), kelainan kongenital
(18%), dan pneumonia (17%). Sementara itu, di RSUD Dr. Soetomo pada tahun 2017
juga pernah dilakukan penelitian dan dikatakan bahwa didapatkan 101 kematian
neonatus dari 807 kelahiran neonatus, baik yang lahir di RSUD dr. Soetomo (50,5%)
maupun lahir di rumah sakit lain (34,7%), bidan praktek swasta (9,9%), rumah atau
tempat lain (5%).
43
CHAPTER 3
44
CHAPTER 3
3.1.3. Patofisiologi
Selama kehidupan janin, plasenta memegang peranan penting dalam
pertukaran gas dan sisa metabolisme. Alveolus paru janin belum berfungsi dan
masih terisi cairan yang disekresi oleh sel epitel paru. Cairan tersebut diperlukan
untuk memertahankan volume paru mendekati kapasitas residu fungsional (KRF)
yaitu sekitar 30 mL/kgBB guna mencapai pertumbuhan paru yang normal pada
saat bayi dilahirkan.
Perbedaan fisiologis juga terlihat pada sistem kardiovaskular janin. Sirkulasi
janin bersifat paralel dan shunt-dependent yaitu terdapat kombinasi kerja kedua
ventrikel jantung untuk memompa darah ke dalam sirkulasi sistemik. Pirau terjadi
di intrakardiak (foramen ovale) maupun ekstrakardiak (duktus venosus dan duktus
arteriosus). Sirkulasi ini memungkinkan sebagian darah kaya oksigen dari vena
umbilikalis melewati hati masuk ke vena kava inferior (melalui duktus venosus),
atrium kanan, atrium kiri (melalui foramen ovale), ventrikel kiri, lalu dipompa
menuju otak, miokardium, dan bagian atas tubuh. Sisa darah kaya oksigen dari
vena umbilikalis memasuki sirkulasi hati dan bercampur dengan darah yang
memiliki tekanan oksigen lebih rendah pada vena kava inferior lalu bercampur
dengan darah dari vena kava superior dan sinus koronarius masuk ke atrium
kanan, ventrikel kanan dan dipompa menuju bagian bawah tubuh serta arteri
umbilikalis untuk mengalami reoksigenasi di plasenta. Darah dari ventrikel kanan
juga memasuki sirkulasi paru namun hanya dalam jumlah kecil (± 12%) akibat
tahanan pembuluh darah paru yang tinggi, adanya duktus arteriosus, dan tahanan
pembuluh darah sistemik yang rendah.
Setelah lahir terjadi serangkaian peristiwa fisiologis yang unik sehingga bayi
dapat beradaptasi dengan lingkungan ekstrauterin. Cairan dalam alveolus paru
akan segera digantikan oleh udara sehingga paru bayi dapat berfungsi dengan
optimal (gambar 1). Pada awal persalinan kala 1 sekresi cairan paru akan berhenti
karena stimulasi katekolamin yang beredar dalam sirkulasi janin sedangkan
kontraksi uterus akan meningkatkan tekanan rongga dada janin dan mendorong
cairan paru keluar sehingga membantu pengosongan cairan paru. Sebelum
memasuki persalinan kala 2 sebagian besar cairan paru sudah diabsorpsi. Berbagai
faktor (penurunan pO2, pH, dan peningkatan pCO2 akibat pemutusan hubungan
dengan sirkulasi umbilikal, perubahan suhu, serta adanya rangsang taktil,
audiovisual, dan proprioseptif) akan merangsang bayi melakukan tarikan napas
45
CHAPTER 3
46
CHAPTER 3
Masalah yang dapat terjadi selama transisi adalah paru tidak terisi udara
meskipun sudah ada pernapasan spontan (ventilasi tidak adekuat), tidak terjadi
peningkatan tekanan darah sistemik (hipotensi sistemik), dan arteri pulmonal
tetap konstriksi setelah kelahiran.
Tanda bahaya pada neonatus yang dapat dijumpai saat resusitasi neonatus
adalah depresi pernapasan (kurangnya oksigen ke otak), tonus otot buruk
47
CHAPTER 3
48
CHAPTER 3
• Suhu
49
CHAPTER 3
50
CHAPTER 3
• Ventilasi
- Balon mengembang sendiri/self-inflating bag (contoh: balon
volume 250 ml) dan sungkup wajah berbagai ukuran (lihat
gambar 2.15), dilengkapi dengan katup tekanan positif akhir
ekspirasi/positive end-expiratory pressure (PEEP).
- T-piece resuscitator adalah alat yang dapat memberikan tekanan
inspirasi positif / Positive Inspiratory Pressure (PIP) dan PEEP
terukur secara konstan sehingga bayi dapat meningkatkan
volume paru dan mencapai kapasitas residu fungsional. T-piece
resuscitator dapat memberikan ventilasi tekanan positif dan
tekanan napas positif berkelanjutan/ Continuous Positive Airway
Pressure (CPAP) dini.
- Balon tidak mengembang sendiri/Flow-inflating bag (contoh:
sungkup anestesi, Jackson-Rees) merupakan alat yang dapat
memberikan PEEP terukur secara konstan, sehingga dapat
memberikan CPAP dini, namun tidak direkomendasikan untuk
pemberian ventilasi tekanan positif
- Peralatan intubasi (laringoskop, pipa endotrakeal, stilet)
- Sungkup laring / Laryngeal Mask Airway (LMA)
- Sungkup wajah
• Akses sirkulasi
- Perlengkapan untuk memasang akses vena perifer
- Kateter umbilikal
- Obat-obatan resusitasi (adrenalin, atropin), cairan (garam
fisiologis dan darah)
• Transportasi: inkubator transpor yang telah dihangatkan atau peralatan
metode kanguru
• Pelengkap
- Stetoskop bayi
- Alat periksa gula darah
- Pulse oximetry
- Stopwatch, timer
• Sumber gas
• APD: handschoen, masker, topi, gaun OK, sepatu
51
CHAPTER 3
Bila jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah ‘ya’ maka bayi hanya
memerlukan perawatan rutin, yaitu mengeringkan bayi, memosisikan bayi kontak
kulit dengan kulit (skin-to-skin) dengan ibunya, dan menyelimuti bayi dengan
linen kering untuk memertahankan suhu. Tenaga kesehatan tetap melakukan
pemantauan pernapasan, aktivitas dan warna kulit bayi selama perawatan rutin.
Jika terdapat gangguan pernapasan (distress nafas), maka bayi perlu diberikan
tekanan positif berkelanjutan pada jalan nafas (CPAP/ Continuous Positive Airway
Pressure).
Bila ada jawaban “tidak” dari kedua pertanyaan tersebut, maka dilanjutkan
dengan langkah awal stabilisasi meliputi:
52
CHAPTER 3
1. Memberi kehangatan
Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan bayi dibawah radiant
warmer, menggunakan alas/matras penghangat tambahan, terutama
pada bayi-bayi kecil. Pada bayi dengan berat kurang dari 1000 gram
disarankan membungkus bayu dengan matras penghangat atau plastic.
2. Membuka jalan napas bayi
Bayi diposisikan dalam keadaan setengah ekstensi, agar jalan napas
terbuka (posisi menghidu).
3. Mengeringkan dan merangsang taktil bayi
Bayi dikeringkan dengan kain linen bersih, sambil mengeringkan, beri
rangsang taktil pada bayi berupa gosokan lembut pada punggung bayi
atau menyentil/menepuk telapak kaki bayi.
4. Posisikan kembali bayi pada posisi menghidu
3.2.3. Penilaian
Lakukan penilaian kembali upaya napas dan laju denyut jantung bayi untuk
memastikan bayi sudah dalam kondisi dtabil atau bahkan mengalami
perburukan. Laju denyut jantung pada bayi baru lahir normalnya sekitar 130 kali
per menit, dapat bervariasi antara 110 hingga 160 kali per menit. Laju denyut
jantung dpat dievaluasi dengan meraba pulsasi pada dasar tali pusat atau dengan
menggunakan pulse oximetry.
Setelah melakukan penilaian dan langkah awal pada 30 detik pertama,
penolong resusitasi perlu menilai kembali usaha bernapas dan laju denyut
jantung. Bila penilaian menunjukkan bayi gagal mencapai pernapasan regular
yang adekuat, atau laju denyut jantung di bawah 100 kali per menit, lakukan
resusitasi dengan mengintegrasikan komponen airway (membuka jalan napas),
breathing (ventilasi), circulation (kompresi dada) dan drugs (pemberian cairan dan
obat-obatan).
Airway (Membuka Jalan Nafas)
Untuk membuka jalan nafas, yg harus dilakukan pertama kali adalah
menempatkan bayi pada posisi telentang dan kepala di tengah. Selimut atau
handuk setebal 2 cm ditempatkan di bawah bahu bayi untuk membantu
mempertahankan posisi kepala bayi, terutama jika terjadi moulding yang cukup
besar setelah lahir. Pada bayi dengan hipotonia, jaw thrust atau pemasangan
oropharingeal airway dapat membantu membuka jalan napas.
53
CHAPTER 3
54
CHAPTER 3
memberikan tekanan positif terhadap jalan napas dari bayi yang bernapas
spontan sepanjang siklus ekspirasi. Untuk menilai usaha napas bayi, dapat
menggunakan skor Downe.
55
CHAPTER 3
Bila bayi gagal mencapai pernapasan spontan yang efektif atau dalam
kondisi apnu sekunder, atau laju denyut jantung di bawah 100 kali per menit,
lakukan VTP. VTP dilakukan apabila pada penilaian pasca langkah awal didapatkan
salah satu keadaan, yaitu apnue, frekuensi jantung < 100 kali/menit, atau tetap
sianosis sentral walaupun telah diberikan oksigen aliran bebas. Berikut
merupakan langkah dalam melakukan VTP, yaitu:
56
CHAPTER 3
6. Pastikanlah bahwa dada bergerak naik turun tidak terlalu tinggi secara
simetris.
7. Lakukan penilaian setelah VTP 30 detik.
1. Apabila bayi masih tidak bernapas dan denyut jantung 100 kali per
menit maka lanjutkan dengan pemberian PEEP
2. Apabila bayi bernapas adekuat dan denyut jantung >100 kali per menit
maka lanjutkan dengan perawatan pasca- resusitasi
3. Apabila bayi masih tidak bernapas dan denyut jantung turun <60 kali
per menit maka pastikan ventilasi sudah adekuat dan kompresi dada
dapat dimulai.
Circulation (Kompresi Dada)
Kompresi dada diindikasikan jika laju denyut jantung di bawah 60 kali per
menit walau ventilasi tekanan positif telah diberikan secara adekuat selama 30
detik (ditandai dengan dinding dada turut bergerak setiap inflasi). Kompresi
dilakukan dengan perbandingan 3 kompresi : 1 ventilasi dengan total 90 kali
kompresi dan 30 napas setiap menitnya. Kompresi dilakukan dengan dua ibu jari
57
CHAPTER 3
atau jari tengah dan telunjuk atau jari tengah dan jari manis. Lokasi kompresi
ditentukan dengan menggerakkan jari sepanjang tepi iga terbawah menyusur ke
atas sampai mendapatkan sifoid, letakkan ibu jari atau jari-jari pada tulang dada
sedikit di atas sifoid. Berikan topangan pada bagian belakang bayi. Tekan sedalam
1/3 diameter anteroposterior dada.
Penilaian laju denyut jantung dilakukan setelah 60 detik koordinasi ventilasi
tekanan positif dan kompresi dada. Perbaikan kondisi bayi ditandai dengan
denyut jantung yang terdengar saat auskultasi, pulsasi spontan pada oksimetri,
peningkatan saturasi oksigen, dan pergerakan atau napas spontan.
Drugs (Pemberian Cairan dan Obat-obatan)
Pemberian obat-obatan dapat dipertimbangkan apabila denyut jantung
bayi <60 kali per menit setelah pemberian VTP dengan oksigen 100% dan kompresi
dada yang adekuat selama 60 detik. Pemberian obat-obatan dan cairan dapat
diberikan melalui jalur vena umbilikalis, endotrakeal, atau intraoseus. Obat-obatan
dan cairan yang digunakan dalam resusitasi, yaitu:
58
CHAPTER 3
3.3. Pemantauan
Upaya untuk memertahankan kondisi stabil pada bayi pasca resusitasi
berpegang pada prinsip STABLE, yaitu:
1. Sugar and Safe Care (kadar gula darah dan perawatan yang aman)
Suhu aksila normal pada bayi baru lahir berkisar antara 36,5-37,50 C.
Pemantauan suhu perlu dilakukan setiap 15-30 menit hingga suhu berada
pada rentang normal dan minimal setiap jam sampai bayi dipindahkan.
Setiap bayi berisiko mengalami hipotermia namun bayi kurang bulan, berat
lahir rendah (terutama < 1500 gram) dan kecil masa kehamilan memiliki
risiko yang lebih besar. Risiko hipotermia juga dimiliki oleh bayi yang
membutuhkan resusitasi berkepanjangan terutama disertai hipoksia, bayi
dengan penyakit akut (masalah infeksi, jantung, neurologi, endokrin, dan
memerlukan pembedahan terutama dengan defek dinding tubuh), serta
59
CHAPTER 3
bayi yang kurang aktif atau hipotoni akibat obat sedatif, analgesik, paralitik,
atau anestesi.
60
CHAPTER 3
Bayi baru lahir rentan untuk mengalami infeksi akibat sistem imun yang
belum sempurna. Evaluasi dan tatalaksana infeksi merupakan hal penting
dalam masa stabilisasi terutama pada bayi dengan faktor risiko infeksi.
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan untuk diperiksa sebelum bayi
ditranspor disingkat dengan 4B yang meliputi blood count, blood culture,
blood glucose, dan blood gas. Pemeriksaan laboratorium pasca transpor
disesuaikan dengan riwayat, faktor risiko, dan manifestasi klinis bayi.
3.4. Penutup
Setelah bayi stabil dan dilakukan perawatan rutin pasca resusitasi, maka
dapat diberikan edukasi kepada orangtua bahwa bayi dapat dipulangkan apabila
memenuhi kriteria, yaitu bayi bernafas tanpa kesulitan, tidak mengalami masalah
61
CHAPTER 3
lain yang berkelanjutan yang tidak dapat ditangani dengan rawat jalan, suhu
tubuh bayi dapat dipertahankan dalam rentang 36,50 C - 37,50 C, ibu percaya diri
mengenai kemampuannya merawat bayi, bayi menyusu dengan baik atau ibu
percaya diri dalam menggunakan metode pemberian makan alternatif, dan bayi
mengalami penambahan berat badan. Berikan juga edukasi kepada orangtua
agar ibu kembali bersama bayi dengan segera apabila bayi mengalami masalah
seperti kesulitan pemberian makan atau bernapas, konvulsi, atau suhu tubuh yang
tidak normal.
Untuk tindak lanjut pada bayi yang sakit serius, bayi yang sangat kecil (BB
<1,5 kg pada saat lahir atau lahir sebelum usia gestasi 32 minggu), atau bayi yang
makan dengan metode pemberian makan alternatif pada waktu pemulangan,
maka dapat diberikan edukasi kepada orangtua untuk melakukan minimal satu
kali kunjungan tindak lanjut setelah pemulangan. Pada setiap kunjungan dapat
dilakukan pengkajian pada bayi untuk mengetahui adanya masalah spesifik yang
membutuhkan tindak lanjut serta memastikan masalah tersebut telah teratasi,
pengkajian terhadap keadaan umum bayi, penimbangan berat badan bayi dan
mengkaji pertumbuhannya, pengkajian terhadap tindakan menyusui atau
pemberian makan alternatif serta pemberian saran kepada ibu mengenai
pemberian ASI eksklusif, pemberian penyuluhan kepada orangtua mengenai
perawatan bayi baru lahir dan tanda-tanda bahaya, dan pemberian penyuluhan
mengenai pemberian imunisasi sesuai dengan usia bayi.
3.4.1. Prognosis
Prognosis resusitasi bayi baru lahir sangat bergantung pada kecepatan dan
ketepatan tindakan penolong. Keterlambatan penanganan di awal akan
mengakibatkan keterlambatan perbaikan klinis bayi. Usaha napas pertama dapat
tertunda dan hipoksia lama dapat diakibatkan oleh denyut jantung yang rendah.
Para penolong juga harus memiliki koordinasi yang baik, mampu bekerja sama
dan memiliki bahasa medis sama sehingga tidak ada keterlambatan, tidak saling
bertabrakan kerjanya, tidak saling menunggu atau malah menonton penolong
lainnya melakukan resusitasi. Selain itu, penilaian komponen resusitasi harus
dilakukan setiap 30 detik sekali sepanjang resusitasi. Selain berfungsi untuk
memandu penolong menentukan tindakan dan perawatan selanjutnya, penilaian
berulang juga membantu penolong untuk memantau apakah ada perbaikan atau
62
CHAPTER 3
63
CHAPTER 3
64
A-Z FROM NEONATAL RESUSCTITATION
TO STABILIZATION & TRANSPORTATION
Mahendra Tri Arif Ampurnaa, Natasha Hana Savitrib, Anisa Novia
Mahestarib
a
Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD Dr Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD Dr Soetomo
4.1. Pendahuluan
Sebagian bayi baru lahir (10%) memerlukan bantuan untuk memulai
pernapasan sedangkan hanya 1% bayi yang memerlukan resusitasi lebih lanjut
(intubasi, kompresi dada, dan pemberian obat). Berdasarkan data World Health
Organization (WHO), jumlah kematian neonatus menurun dari 4,4 juta pada
tahun 1990 menjadi 3 juta pada tahun 2011. Angka kematian neonatus menurun
dari 32/1000 kelahiran hidup menjadi 22/1000 kelahiran hidup pada periode yang
sama, mengalami penurunan lebih dari 30%. Angka kematian neonatus di
Indonesia pada tahun 2002 dilaporkan 20 per 1000 kelahiran hidup, yang menurut
WHO mirip dengan rata-rata untuk negara-negara Asia Tenggara lainnya (19 per
1.000 kelahiran hidup). Sementara menurut Survei Demografi Kesehatan
Indonesia (SDKI) 2012, angka kematian bayi (AKB) 32/1000 kelahiran hidup.
Penyebab utama kematian neonatal pada minggu pertama (0-6 hari) adalah
asfiksia (36%), BBLR/ prematuritas (32%), serta sepsis (12%). Sementara penyebab
kematian neonatus (7-28 hari) adalah sepsis (22%), kelainan kongenital (18%), dan
pneumonia (17%). Sementara itu, di RSUD Dr. Soetomo pada tahun 2017 juga
pernah dilakukan penelitian dan dikatakan bahwa didapatkan 101 kematian
neonatus dari 807 kelahiran neonatus, baik yang lahir di RSUD dr. Soetomo (50,5%)
maupun lahir di rumah sakit lain (34,7%), bidan praktek swasta (9,9%), rumah atau
tempat lain (5%).
Inti
65
CHAPTER 4
66
CHAPTER 4
67
CHAPTER 4
68
CHAPTER 4
b. Pengisap / Suction
- Suction dengan tekanan negatif (tidak boleh melebihi 100 mmHg)
Gambar 4. Suction/penghisap
- Kateter suction
69
CHAPTER 4
- Aspirator mekoneum
c. Ventilasi
- Balon mengembang sendiri/Self-inflating bag (contoh: balon volume
250 ml) dan sungkup wajah berbagai ukuran (lihat gambar 2.15),
dilengkapi dengan katup tekanan positif akhir ekspirasi/positive end-
expiratory pressure (PEEP) .
70
CHAPTER 4
71
CHAPTER 4
- Sungkup wajah
d. Akses sirkulasi
- Perlengkapan untuk memasang akses vena perifer
- Kateter umbilikal
72
CHAPTER 4
f. Pelengkap
- Stetoskop bayi
- Alat periksa gula darah
- Pulse oximetry
- Stopwatch, timer
73
CHAPTER 4
g. Sumber gas
h. Alat Pelindung Diri:: handschoen, masker, topi, surgical gown, shoe
cover
74
CHAPTER 4
75
CHAPTER 4
1. Memberi kehangatan
2. Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan bayi dibawah radiant
warmer, menggunakan alas/matras penghangat tambahan, terutama pada
bayi-bayi kecil. Pada bayi dengan berat kurang dari 1000 gram disarankan
membungkus bayu dengan matras penghangat atau plastic.
3. Membuka jalan napas bayi
4. Bayi diposisikan dalam keadaan setengah ekstensi, agar jalan napas
terbuka (posisi menghidu).
5. Mengeringkan dan merangsang taktil bayi
6. Bayi dikeringkan dengan kain linen bersih, sambil mengeringkan, beri
rangsang taktil pada bayi berupa gosokan lembut pada punggung bayi
atau menyentil/menepuk telapak kaki bayi.
7. Posisikan kembali bayi pada posisi menghidu
8. Penilaian
Lakukan penilaian kembali upaya napas dan laju denyut jantung bayi untuk
memastikan bayi sudah dalam kondisi dtabil atau bahkan mengalami
perburukan. Laju denyut jantung pada bayi baru lahir normalnya sekitar 130 kali
per menit, dapat bervariasi antara 110 hingga 160 kali per menit. Laju denyut
jantung dpat dievaluasi dengan meraba pulsasi pada dasar tali pusat atau dengan
menggunakan pulse oximetry.
76
CHAPTER 4
1. Sungkup
Pastikan menggunakan ukuran sungkup yang sesuai, dengan sungkup
melekat rapat pada wajah bayi, cara memegang yang benar dan pantau
adanya kebocoran. Pilih sungkup yang menutupi ujung dagu, mulut dan
hidung.
2. Reposisi
3. Isap/Suction
4. Buka mulut
77
CHAPTER 4
5. Tekanan dinaikkan
6. Alternatif jalan napas
Lakukan penilaian kembali pada denyut jantung, usaha napas, dan saturasi.
Jika usaha napas masih negatif, denyut jantung dan saturasi dibawah nilai normal
maka pertimbangkan intubasi dan lakukan kombinasi VTP dan kompresi dada
dengan perbandingan 3 kompresi dan 1 napas. Lakukan penilaian pada denyut
jantung dan usaha napas tiap 60 detik.
Gambar 19. Proses intubasi Gambar 20. Cara melakukan kompresi dada
4.4. Penutup
4.4.1. Indikasi Rujukan
Masalah bayi baru lahir yang tidak dapat ditangani di sarana pelayanan
kesehatan dimana bayi dilahirkan, harus dikenali oleh penolong persalinan supaya
dapat memutuskan untuk segera merujuk. Rujukan dapat dilakukan oleh dokter
dan perawat, maupun perawat saja. Keadaan yang membutuhkan rujukan oleh
78
CHAPTER 4
dokter dan perawat adalah bayi yang memerlukan perawatan intensif, bayi
dengan berat kurang dari 1000 gram, bayi dengan usia gestasi kurang dari 28
minggu dan usia postnatal kurang dari 48 jam, bayi dengan CPAP nasal dalam 2
hari setelah ekstubasi, bayi dengan ketergantungan tinggi dan tidak stabil, bayi
dengan masalah jantung kompleks, bayi dengan masalah bedah kompleks, bayi
dengan masalah neurologis yang memerlukan pemantauan dan terapi untuk
memertahankan stabilitas, bayi yang dirujuk untuk intervensi dalam satu hari.
Rujukan yang dapat dilakukan oleh perawat saja adalah bayi perawatan khusus
yang stabil, bayi dengan ketergantungan tinggi yang telah stabil selama 48 jam
tanpa peningkatan kebutuhan oksigen dan tanpa bradikardia atau desaturasi
signifikan, bayi dengan CPAP nasal yang telah stabil selama 48 jam, bayi yang
dirujuk untuk pembedahan dan dalam kondisi stabil sebelum transport dan tidak
membutuhkan intervensi untuk memertahankan stabilitas, bayi dengan kelainan
neurologi yang telah stabil selama 48 jam, bayi yang telah diekstubasi selama 24
jam dari intubasi elektif untuk pembedahan dan stabil sebelum intervensi, bayi
stabil yang memerlukan konsultasi rawat jalan dan wakti tunggu tidak melebihi 1
jam.
4.4.2. Prognosis
Prognosis resusitasi bayi baru lahir sangat bergantung pada kecepatan dan
ketepatan tindakan penolong. Keterlambatan penanganan di awal akan
mengakibatkan keterlambatan perbaikan klinis bayi. Penolong juga harus
memiliki koordinasi yang baik, mampu bekerja sama dan memiliki bahasa medis
sama sehingga tidak ada kendala saat melakukan resusitasi.
79
CHAPTER 4
80
CHAPTER 4
81
CLINICAL APPROACH TO SEIZURES IN
PEDIATRICS
Prastiya Indra Gunawan
Divisi Neurologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUD Dr Soetomo-
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya
Abstrak
Kejang akut dan Status epileptikus (SE) termasuk salah satu kegawatdaruratan
anak dengan angka mortalitas yang tinggi. Pengenalan aktivitas kejang, mobilisasi
ke sentra kesehatan yang memadai, serta pemberian antikonvulsan secara cepat
dan tepat sangat diperlukan. Telaah pustaka ini disusun untuk merangkum tata
laksana emergensi kejang dan SE sesuai penelitian dan rekomendasi praktik
terkini. Rekomendasi saat ini menekankan pentingnya algoritme terapi SE yang
mencakup terapi lini pertama, kedua, hingga ketiga guna menghindari kegagalan
terapi dalam situasi darurat. Pilihan yang termasuk penggunaan dosis anestesi
yang agresif ketika dosis obat kedua telah dititrasi.
82
CHAPTER 5
5.1. Pendahuluan
Kejang adalah gangguan aktivitas listrik di otak. Kondisi ini sering kali
ditandai oleh gerakan tubuh yang tidak terkendali dan disertai hilangnya
kesadaran. Kejang bisa menjadi tanda adanya penyakit pada otak, atau kondisi
lain yang mempengaruhi fungsi otak. Kejang adalah bagian dari kondisi status
epileptikus. International League Against Epilepsy (ILAE) mendefinisikan status
epileptikus (SE) sebagai aktivitas kejang yang berlangsung selama 30 menit terus-
menerus, atau dua atau lebih kejang selama suatu periode waktu tertentu tanpa
pemulihan pasien seutuhnya. Secara patologis, neuron hipokampus mulai
mengalami kerusakan setelah kejang lebih dari 30 menit yang menetap.1 Batasan
dari definisi tersebut mengandung makna bahwa terapi tidak boleh ditunda
sampai terjadi kerusakan patologis. Namun, definisi operasional terbaru
menyatakan bahwa kejang lebih dari 5 menit sepertinya sulit akan berhenti sendiri
sehingga harus segera diterapi. Dengan kata lain, terapi SE tidak boleh ditunda. 2
5.2. Klasifikasi
Pada dasarnya, SE dapat diklasifikasikan menjadi compulsive atau non-
compulsive SE. Status epileptikus umum atau generalized convulsive status
epilepticus (GCSE) adalah bentuk yang paling sering dari SE. Sementara itu, non-
convulsive SE (NCSE) dapat mengawali status konvulsi yang umum atau dapat
terjadi pada status konvulsi sebagian.3,4
Salah satu bentuk paling umum dari NCSE ialah complex partial status
epilepticus (CPSE). Tipe SE ini pada mulanya bersifat fokal, tetapi akan menyebar
dengan cepat ke bagian lain dari otak. Pasien dapat menunjukkan gejala bingung
atau "twilight state" ditandai dengan perilaku aneh dan otomatisasi. Awalnya
CPSE dianggap jinak, namun bukti penelitian yang lebih baru telah menunjukkan
bahwa pengobatan yang agresif diperlukan untuk menghindari kerusakan seluler
dan neuropsikologis jangka panjang.5,6
Identifikasi pasien NCSE seperti ini menjadi penting, terutama setelah adanya
laporan bahwa mayoritas pasien trauma kepala mengalami NCSE selama di ruang
rawat intensif.5 Claassen5 menemukan adanya perubahan elektrogram kejang
pada sepertiga pasien dengan perdarahan intraserebral melalui pemantauan EEG
kontinu. Kejadian kejang pada perdarahan kortikal atau luas dapat berdampak
pada prognosis yang lebih buruk.5
83
CHAPTER 5
5.3. Epidemiologi
Insidens SE di Amerika Serikat telah diperkirakan sekitar 60 kasus per
100.000 penduduk dengan angka kematian dari 9 pasien per 100.000 populasi.4
Angka tersebut relatif tinggi dibandingkan data lokal di RS dr Soetomo, Surabaya,
yang hanya menemukan 71 kasus SE pada anak selama tahun 2009.7
Pola insidens SE umumnya bersifat bimodal, sebagian besar terjadi pada
pasien umur kurang dari 1 tahun atau lebih dari 60 tahun. Namun, angka
mortalitas bervariasi antara 7% pada kelompok anak hingga 28% pada orang tua.
Angka mortalitas tersebut dipengaruhi oleh usia, durasi SE, dan penyebab yang
mendasari. Prognosis buruk telah didokumentasikan pada kondisi pasca-anoksia
global, stroke akut, trauma, infeksi, serta gangguan metabolik. Sebaliknya, pasien
dengan alkohol atau lepas antikonvulsan, tumor, dan riwayat epilepsi sebelumnya
memiliki hasil yang lebih baik.8
5.4. Patofisiologi
Kejadian SE diawali oleh stimulasi eksitasi neuron secara ekstentif, namun
pada fase pemeliharaan (maintenance), supresi mediator asam aminobutirat
(GABA) lebih dominan. Kegagalan untuk menekan fokus rangsang tersebut
mungkin karena perkembangan perubahan isoform GABA, terutama pada kejang
yang berkelanjutan. Secara klinis, fenomena perubahan isoform GABA dapat
menjelaskan resistensi terhadap benzodiazepin selama SE. Di samping itu, SE
dapat dipertahankan melalui rangsang eksitasi N-metil-D-aspartat (NMDA) yang
memediasi stimulasi neuron. Antagonis NMDA telah diusulkan sebagai strategi
farmakologis dalam pengobatan SE.9
84
CHAPTER 5
85
CHAPTER 5
86
CHAPTER 5
dapat dicapai dengan lorazepam, meski tidak ditemukan hasil yang berbeda jauh
dibandingkan benzodiazepin lainnya. Efek samping hipotensi pada lorazepam
lebih rendah, dan umumnya mampu ditoleransi pasien dibandingkan diazepam.
Namun, preparat lorazepam injeksi di Indonesia masih belum tersedia.13
87
CHAPTER 5
Fosfenitoin merupakan obat ester fosfat dari fenitoin yang dibuat untuk
meringankan efek samping fenitoin. Obat ini larut air sehingga dapat diberikan
intramuskular; umumnya diberikan hingga kecepatan 150 mg/menit. Dosis
awalnya sama dengan fenitoin dan mungkin memiliki efek samping
kardiovaskular yang lebih ringan. Penggunaan fosfenitoin lebih dianjurkan karena
dapat diberikan intramuskular, serta dapat diberikan dengan kecepatan lebih
tinggi dan dengan efek samping yang lebih ringan. Fosfenitoin intramuskular
belum diteliti pada status epileptikus.13-15
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada status epileptikus adalah
asam valproat dan levetiracetam. Asam valproat merupakan asam lemak rantai
pendek yang mengurangi kejang dengan memperlambat pemulihan kanal
sodium yang dipengaruhi listrik dan dengan mempengaruhi metabolisme GABA.
Asam valproat dapat diberikan secara intravena maupun per rektal. Dosis awal
ialah 20 mg/kg intravena dengan kecepatan maksimal 6 mg/kg/menit.
Dibandingkan antikejang lain, asam valproat lebih unggul karena tidak
menimbulkan gangguan hemodinamik. Akan tetapi, penelitian yang
menjabarkan efeknya pada status epileptikus masih sedikit. Ada satu penelitian
yang menyebutkan bahwa asam valproat sama efektifnya dengan fenitoin pada
status epileptikus. Karena asam valproat memiliki efek kardiovaskular
penggunaannya pada SE dibatasi sebagai obat lini kedua, sebelum memberikan
fenobarbital atau memulai pengobatan SER.14
Tabel 2. Pengobatan Intravena untuk Status Epileptikus Refrakter
Pengobatan Dosis
Midazolam Awal 0,2 mg/kg
Rumatan 0,05 – 2 mg/kg/jam
Pentobarbital Awal 5 – 15 mg/kg
Rumatan 0,5 – 1 mg/kg/jam
Tiopental Awal 75 - 125 mg
Rumatan 1 – 5 mg/kg/jam
Propofol Awal 3 – 5 mg/kg
Rumatan 1 – 15 mg/kg/jam
5.7.3. Pengobatan lini ketiga
Fenobarbital dianggap sebagai pegobatan lini ketiga SE. Fenobarbital
merupakan barbiturat dengan kerja mirip dengan benzodiazepin, namun juga
mampu mengaktifkan berbagai isoform dari reseptor GABAa. Karena waktu
paruhnya yang panjang dan efek samping depresan kardiorespiratorik, maka
fenobarbital jarang digunakan. 13
88
CHAPTER 5
89
CHAPTER 5
90
CHAPTER 5
91
CHAPTER 5
Timeline Intervensi untuk Instalasi Gawat Darurat, rawat inap, atau fasilitas kesehatan tingkat
pertama dengan tenaga paramedis yang telah terlatih
Benzodiazepine adalah terapi pilihan lini pertama (Level A) : Jika pasien kembali
Pilih salah satu dari 3 opsi dari obat pilihan pertama yang setara
dengan pemberian dosis dan frekwensi : seperti keadaan awal,
1. Midazolam intramuscular (10 mg untuk > 40 kg, 5mg untuk maka terapi
13-40 kg, dosis tunggal, Level A) ATAU
5-20 menit 2. Lorazepam intravena (0.1mg/kg/dosis/, maksimal :
Fase Terapi 4mg/dosis, dapat diulang 1 kali dosis, Level A) ATAU
3. Diazepam intravena (0.15-0.2mg/kg/dosis, maksimal :
Awal 10mg/dosis, dapat diulang 1 kali dosis, Level A)
Jika tidak ada dari 3 opsi di atas yang tersedia, pilih salah satu berikut
ini :
1. Phenobarbital intravena (15mg/kg/dosis, dosis tunggal,
Level A) ATAU
2. Diazepam rectal (0.2-0.5mg/kg, maksimal : 20mg/dosis,
dosis tunggal, Level B) ATAU
3. Midazolam intranasal (Level B), midazolam buccal (Level B)
Ya Tidak
Apakah kejang
Tidak ada bukti ilmiah pilihan terapi kedua yang lebih disukai (Level Jika pasien kembali
U) : seperti keadaan awal,
Pilih salah satu opsi dari obat lini kedua berikut ini dan berikan
sebagai dosis tunggal : maka terapi
1. Fosphenytoin intravena (20mg PE/kg, maksimal : 1500mg
PE/dosis, dosis tunggal, Level U) ATAU
2. Valproic acid intravena (40mg/kg, maksimal :
3000mg/dosis, dosis tunggal, Level B) ATAU
20-40 menit 3. Levetiracetam intravena (60mg/kg, maksimal :
4500mg/dosis, dosis tunggal, Level U)
Fase Terapi Jika tidak ada dari opsi di atas yang tersedia, pilih opsi di bawah
Kedua berikut ini (bila belum diberikan) :
- Phenobarbital intravena (15mg/kg, maksimal dosis, Level B)
40-60 menit Tidak ada bukti ilmiah yang jelas dalam panduan terapi pada fase ini Jika pasien kembali
(Level U)
Fase Terapi Pilihannya meliputi : mengulangi terapi lini kedua atau berikan dosis seperti keadaan awal,
Ketiga anestesi yaitu thiopental, midazolam, pentobarbital, atau propofol maka terapi
(semuanya dengan pemantauan EEG secara terus menerus)
92
CHAPTER 5
93
CHAPTER 5
94
CHAPTER 5
MRI. Durasi rata-rata pola kejang adalah 196 menit dalam kelompok di mana
subklinis kejang diobati berdasarkan pemantauan aEEG, dibandingkan dengan
503 menit pada kelompok di mana tidak dilakukan pemantauan aEEG. Ada
hubungan yang signifikan antara durasi pola kejang dan skor MRI dalam regresi
linier yang didapatkan hanya pada kelompok kedua. Mereka menyimpulkan
bahwa ada kecenderungan untuk pengurangan durasi kejang dan keparahan
cedera otak ketika kejang klinis dan subklinis diobati. 24
Di sisi lain, Freeman
menyatakan perhatian yang kuat untuk penerapan pemantauan aEEG untuk
mendeteksi kejang subklinis. 25 Saat ini, efektivitas obat untuk pengobatan kejang
pada bayi baru lahir belum ditetapkan. Oleh karena itu, konsekuensi dari
pengenalan EEG otomatis untuk mendeteksi subklinis kejang neonatal
cenderung mirip dengan yang terlihat setelah pengenalan pemantauan jantung
janin selama persalinan. Freeman memperingatkan para klinisi untuk berhati-hati
terhadap konsekuensi yang tidak diinginkan. Indikasi untuk pengobatan
antiepilepsi harus tergantung pada etiologi kejang neonatal. Kejang subklinis
dengan gejala akut seperti cedera otak hipoksik-iskemik cenderung sembuh
dengan sendirinya dan mungkin tidak memerlukan pemberian obat antiepilepsi
tambahan. Di sisi lain, kejang subklinis seperti malformasi otak harus ditangani
dengan benar, karena kejang ini dapat diklasifikasikan sebagai ensefalopati
epilepsi.
Juga tidak jelas apakah gejala motorik paroksismal non-epilepsi harus
diobati. Berbagai jenis fenomena ini telah salah didiagnosis sebagai kejang karena
epilepsi. Neonatologists mungkin menjadi marah ketika ahli syaraf bersikeras
bahwa tidak ada pengobatan yang diperlukan dalam kasus ini. Secara rasional,
pengobatan antiepilepsi tidak efektif atau berbahaya dan terapi khusus
berdasarkan etiologi harusnya lebih disukai.
Pemilihan obat antiepilepsi juga menjadi masalah. Saat ini, tidak ada bukti
yang menunjukkan obat antiepilepsi mana yang harus digunakan untuk kejang
neonatal. Phenobarbital dan phenytoin sering digunakan sebagai obat awal di
seluruh dunia. Namun, tidak ada agen yang tampaknya lebih efektif daripada yang
lain, dan tidak seefektif pemikiran sebelumnya. Di Jepang, midazolam juga sering
digunakan sebagai obat awal untuk kejang neonatal, tetapi keampuhannya
belum dievaluasi secara memadai.
95
CHAPTER 5
Jika setidaknya satu kejang yang dikonfirmasi EEG dan tidak ada
penyebab yang dapat segera diperbaiki:
PHENOBARBITAL 20mg/kg iv
dan mulai rumatan phenobarbital 5mg/kg/hari terbagi 2 kali sehari Respon EEG dan klinis harus
atau 4 kali sehari
dinilai setelah 15-20 menit untuk
Memperoleh level mulai pemantauan EEG setiap loading pemberian obat
phenobarbital dalam 1-2 berkelanjutan jika belum
jam pasca loading dilakukan
phenobarbital Jika kejang berlanjut :
*Mempertimbangkan manfaat dan risiko dari masing-
tambahkan masing dari tiga opsi :
PHENOBARBITAL - Potensi efikasi
20mg/kg IV - Potensi toksisitas/efek samping langsung
- Meminimalkan tingkat sedasi/risiko depresi
pernapasan
Jika kejang berlanjut : - Kecepatan antispasi terhadap respon
Tiga opsi*: - Potensi interaksi antar obat
- Kebutuhan untuk pengambilan darah dalam
pemantauan kadar
obat
- Kemudahan/kemampuan untuk melanjutkan obat
PHENYTOIN/FOSPHENYTOIN 20mg/kg LIDOCAINE 2mg/kg IV bolus,
LEVETIRACETAM 50mg/kg IV yang dimulai
Kemudian rumatan IV dan memulai pengobatan rumatan Kemudian 6mg/kg/jam drip,
kedua (phenytoin 5mg/kg/hari terbagi sebagai obat rumatan
40mg/kg/hari lalu titrasi diturunkan
(terbagi 2 kali sehari) tiap 8 jam. Atau pertimbangkan 2mg/kg/jam tiap 12 jam
- Membatasi paparan beberapa AED yang berbeda
levetiracetam 40mg/kg/hari untuk hingga habis. Juga mulai (menggunakan dengan salah satu yang dapat
KAMI LEBIH MENYUKAI menghindari pemantauan kadar serum pengobatan rumatan kedua dilanjutkan)
secara terus menerus dan kemungkinan (seperti levetiracetam
terjadinya toksisitas 40mg/kg/hari)
96
CHAPTER 5
5.11. Kesimpulan
Kejang akut dan SE adalah kegawatdaruratan neurologis yang sering
dihadapi di rumah sakit. Keberhasilan terapi tergantung dari ketersediaan sumber
daya dan kecepatan pemberian obat antikonvulsan. Dengan pilihan agen
farmakologis saat ini, strategi terapi SE tetap mengutamakan pemberian obat
sesegera mungkin dengan rute apapun yang tersedia saat ini. Pada beberapa
kondisi tertentu, terapi SE refrakter memerlukan obat-obatan anestesi sebagai
obat antikonvulsan. Diagnosis dan penatalaksanaan kejang neonatal merupakan
tantangan masalah masa depan. Kejang neonatal harus didiagnosis berdasarkan
temuan iktal EEG / temuan aEEG dan efikasi pengobatan harus dievaluasi
menggunakan EEG/ aEEG. Untuk membuat pengobatan yang efektif,
pemantauan menggunakan EEG / aEEG dan tindak lanjut jangka panjang
diperlukan.
97
CHAPTER 5
98
IMMEDIATE RECOGNITION AND PROMPT
TREATMENT OF SHOCK
Arina Setyaningtyasa, Neurinda Permata Kusumasutia, Ira Dharmawatia,
Ihsan Fahmi Rofanandab
a
Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga-RSUD dr. Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlanga-RSUD dr. Soetomo
Abstract
Shock is characterized by a significant, systemic reduction in tissue
perfusion, resulting in decreased tissue oxygen delivery. Shock can be caused by
lack of oxygen delivery (anemia, hypoxia, or ischemia), lack of glucose substracte
delivery (glycopenia); or mitochondrial dysfunction (cellular dysoxia). Millions of
children die of shock due to various etiologies each year. Several different
etiologies of shock in pediatric from hypovolemia to severe infection. Early
recognition and timely intervention to restore the intravascular volume and
reverse the biochemical cascade are critical for successful treatment for pediatric
shock.
99
CHAPTER 6
6.1. Pendahuluan
Syok adalah keadaan kegagalan penggunaan energi secara akut yang
disebabkan kurangnya produksi adenosine triphosphate (ATP) yang mendukung
fungsi seluler sistemik. Syok dapat disebabkan oleh menurunnya hantaran
oksigen (anemia, hipoksia, atau iskemia); berkurangnya pengiriman substrat
glukosa (glikopenia); atau disfungsi mitokondria (dysoxia seluler)1. Bryce pada
studinya mengemukakan penyebab terbanyak syok pada anak dibawah 5 tahun
adalah pneumonia (19%), diare (18%), malaria (8%) neonatal pneumonia atau sepsis
(10%), lahir premature (10%) dan asfiksia (8%)2,3.
6.2. Patofisiologi
Syok terjadi ketika hantaran oksigen sistemik dan nutrisi menjadi sangat
tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme sistem organ tubuh.
Fungsi utama dari sistem kardiovaskular adalah untuk menyediakan oksigen dan
substrat lain ke sel. Parameter yang menentukan hantaran oksigen yang
memadai ke jaringan adalah aliran darah ke jaringan (curah jantung),
keseimbangan regional aliran darah dengan kebutuhan metabolik, dan
kandungan oksigen darah (konsentrasi hemoglobin dan persentase hemoglobin
yang jenuh dengan oksigen)4,5. Sedangkan variabel fisiologis merupakan
kompensasi tubuh untuk mengimbangi perfusi yang terganggu meliputi: Curah
jantung (volume aliran darah per unit waktu) adalah hasil perkalian dari stroke
volume dan frekuensi irama jantung. Takikardia merupakan tanda umum dari
penurunan perfusi dan syok dini. Bayi memiliki stroke volume yang relatif tetap
dan sangat bergantung pada frekuensi irama jantung untuk meningkatkan curah
jantung; Curah sekuncup (Stroke volume) ditentukan oleh preload, kontraksi
jantung dan afterload. Mekanisme kompensasi untuk meningkatkan stroke
volume meliputi peningkatan tonus otot polos vena (peningkatan preload untuk
mengalirkan darah ke jantung) dan peningkatan kontraktilitas jantung;
Peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik (vasokonstriksi) untuk
mempertahankan tekanan fusi (diukur sebagai tekanan darah) meskipun curah
jantung menurun. Selain itu, darah dialirkan dari sistem perifer (termasuk kulit,
otot, ginjal, dan organ splanknikus) ke jantung dan sistem saraf pusat. Sehingga,
anak-anak dengan syok kompensasi pada awalnya memiliki tekanan darah
normal, meskipun ada tanda-tanda perfusi yang buruk (seperti penurunan denyut
nadi perifer dan takikardia)5.
100
CHAPTER 6
101
CHAPTER 6
• Syok hipovolemik - adalah jenis syok yang paling umum dijumpai pada
anak-anak. Disebabkan karena penurunan preload akibat kehilangan
cairan ekstravaskular (contohnya diare atau kondisi diuresis osmotik) atau
kehilangan cairan intravaskular (seperti kebocoran kapiler atau
perdarahan). Karena preload adalah salah satu penentu komponen stroke
volume, maka curah jantung akan turun saat preload turun.
• Syok distributif - disebabkan karena vasodilatasi akibat penurunan SVR,
dengan distribusi aliran darah yang abnormal dalam mikrosirkulasi dan
perfusi jaringan yang tidak memadai. Hal ini dapat menyebabkan
hipovolemia fungsional dengan penurunan preload4,5,9,10. Syok distributif
umumnya dikaitkan dengan curah jantung yang normal atau meningkat.
Penyebab syok distributif meliputi: sepsis, anafilaksis, atau neurogenik.
• Syok kardiogenik - terjadi akibat kegagalan pompa, yang dimanifestasikan
secara fisiologis sebagai penurunan fungsi sistolik dan penurunan curah
jantung5,11. Syok kardiogenik jarang terjadi pada anak-anak, dibandingkan
dengan orang dewasa, Mekanisme syok kardiogenik beragam dan dapat
dibagi menjadi dua kategori umum: kardiomiopati dan aritmia5,12,13.
• Syok obstruktif - terjadi jika aliran darah terhalang secara fisik. Penyebab
syok obstruktif yang didapat seperti tamponade jantung, pneumotoraks
tegangan, dan emboli paru masif. Bayi dengan lesi jantung kongenital yang
bergantung pada duktal, seperti koarktasio aorta dan sindrom ventrikel kiri
hipoplastik, dapat mengalami syok ketika duktus arteriosus menutup
selama beberapa minggu pertama kehidupan5,14.
102
CHAPTER 6
Pada anak, hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik yang kurang dari
persentil kelima dari usia normal4,5:
103
CHAPTER 6
5 menit
Liver tidak membesar? Liver membesar?
15 menit
hingga 60 ml/kg, bila dicurigai ml/kg, mulai pemberian infus prostaglandin (pada
104
CHAPTER 6
105
CHAPTER 6
metaanalisis oleh Menon dan rekan menunjukkan tidak ada perbedaan dalam
angka kematian antara pasien yang menerima dan tidak menerima steroid 17,28
.
Untuk syok yang resistan terhadap katekolamin, dosis hidrokortison 50 sampai 100
mg/m2/hari atau 2 sampai 4 mg/kg/hari, meskipun beberapa peneliti
menganjurkan dosis 50 mg/kg/hari pada syok refrakter 17,24. Idealnya, kadar kortisol
dasar harus ditentukan sebelum pemberian dosis hidrokortison17.
106
CHAPTER 6
107
CHAPTER 6
6.6. Ringkasan
Syok adalah keadaan patofisiologis yang tidak stabil yang disebabkan
perfusi jaringan yang tidak adekuat yang harus diidentifikasi dan ditangani segera.
Kegagalan untuk mengenali dan mengatasi syok dapat menyebabkan luaran
yang buruk pada anak dengan syok. Di ruang gawat darurat, tata laksana awal
syok harus selalu di evaluasi dan dititrasi untuk memperbaiki tanda-tanda vital.
Bila resusitasi awal dengan cairan dan obat vasoaktif tidak memulihkan keadaan
syok, diperlukan pemantauan hemodinamik lanjutan untuk memandu
pengobatan (goal directed therapy). Pengenalan dini dan resusitasi dapat
menurunkan mortalitas dan memperbaiki hasil akhir pasien syok pediatrik.
108
CHAPTER 6
109
DIABETIC KETOACIDOSIS MANAGEMENT
DURING COVID-19 PANDEMIC
Muhammad Faizia, Nur Rochmaha, Yuni Hisbiyahb, Amirah Jasmineb
a
Divisi Endokrinologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD dr. Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlanga-RSUD dr. Soetomo
Abstract
Guidelines for type-1 diabetes mellitus (DM) sufferers with diabetic ketoacidosis
(KAD) recommend the use of intravenous insulin with close monitoring in the
intensive care unit (UPI). The COVID-19 pandemic has increased the need for UPI
services, therefore it is very important to regulate their use for those who are most
in need by taking into account the risk of infection transmission. The treatment of
KAD patients in non-UPI wards is expected to reduce the risk of being exposed to
COVID-19 infection at UPI. The use of subcutaneous rapid acting insulin for mild to
moderate cases of KAD without complications has been shown to be used safely
in low-care wards. This paper aims to discuss the principles of safe KAD
management related to the COVID-19 pandemic in terms of limited ICU resources
by referring to the KAD management agreement. In principle, the management
of KAD aims to: 1. Improve dehydration, 2. Improve acidosis and prevent ketosis,
and restore blood glucose levels to normal levels, 3. Improve electrolyte disorders,
4. Prevent complications of KAD and due to therapy, 5. Recognize and eliminate
the trigger factor. Subcutaneous insulin (SC) is a safe and effective alternative
method in the management of mild to moderate KAD without complications,
reducing the occupancy of UPI. However, for infants and children <2 years, the use
of SC insulin is not recommended, due to limited evidence. Subcutaneous fast
acting insulin analogues (lispro or aspart) are given at an initial dose of 0.15 U / kg,
1 hour after initiation of fluid therapy, then every 2 hours until resolution of KAD.
The dose is reduced to 0.1 U / kg every 2 hours if the blood glucose level continues
to decrease> 5 mmol / L (90 mg / dL) per hour even after adding 5% dextrose to IV
fluids. Short acting insulin (regular insulin) with a starting dose of 0.13 - 0.17 U / kg
/ dose every 4 hours (0.8 - 1 U / kg / day given in divided doses) subcutaneously is
also a safe alternative. It is effective for use in children with KAD with a pH ≥ 7.1.
The dose can be increased or decreased gradually by 10% - 20% based on the
blood glucose level before insulin injection. The dose frequency can be increased
to every 2 or 3 hours if the acidosis does not improve. SC insulin therapy is
inappropriate in patients who are severely dehydrated and in patients whose
tissue perfusion continues to decline after fluid resuscitation or in patients with
serious comorbid conditions.
KEY WORDS: subcutaneous insulin, management of Diabetic Ketosidosis, COVID-
19 pandemic
110
Abstrak
Protokol tatalaksana pasien diabetes melitus (DM) tipe-1 dengan
ketoasidosis diabetes (KAD) merekomendasikan penggunaan insulin intravena
disertai monitoring ketat di unit perawatan intensif (UPI). Pandemi COVID-19
meningkatkan kebutuhan layanan UPI, sehingga penting melakukan manajemen
okupansi peruntukan UPI dengan mempertimbangkan risiko penularan infeksi.
Perawatan pasien KAD di bangsal non-UPI di harapkan menurunkan risiko
paparan infeksi COVID-19 di UPI. Penggunaan insulin kerja cepat subkutan untuk
KAD ringan sampai sedang tanpa komplikasi telah terbukti dapat digunakan
secara aman di ruang perawatan ‘low care’. Penulisan makalah ini adalah untuk
membahas prinsip tatalaksana KAD yang aman dikaitkan masa pandemi COVID-
19 dalam kaitannya keterbatasan sumberdaya ICU dengan mengacu pada
konsensus manajemen KAD. Tatalaksana KAD secara prinsip bertujuan untuk: 1.
Memperbaiki dehidrasi, 2. Melakukan koreksi asidosis dan mencegah ketosis, dan
mengembalikan kadar glukosa darah senormal mungkin, 3. Mengoreksi
gangguan elektrolit, 4. Mencegah komplikasi KAD serta akibat terapi, 5. Mengenali
dan menghilangkan faktor pencetus. Pemberian insulin subkutan (SK) merupakan
metode alternatif yang aman dan efektif dalam pengelolaan KAD ringan hingga
sedang tanpa komplikasi sehingga mengurangi okupansi UPI. Namun untuk bayi
dan anak usia < 2 tahun, penggunaan insulin SK tidak direkomendasikan, karena
terbatasnya bukti. Insulin analog kerja cepat (lispro atau aspart) subkutan dosis
awal 0,15 U/kg diberikan 1 jam setelah dimulainya terapi cairan, selanjutnya setiap
2 jam sampai resolusi KAD. Dosis insulin analog SK dikurangi menjadi 0,1 U/kg
setiap 2 jam jika kadar glukosa darah turun sebesar >5 mmol/L (90 mg/dL) per jam
bahkan setelah penambahan 5% dextrose. Insulin kerja pendek (insulin reguler)
dosis 0,13 - 0,17 U/kg/dosis setiap 4 jam (0,8 - 1 U/kg/hari yang diberikan dalam dosis
terbagi) subkutan juga alternatif yang aman dan efektif digunakan pada anak KAD
dengan pH ≥ 7,1. Dosis dapat dinaikkan atau diturunkan bertahap 10% - 20%
berdasarkan kadar glukosa darah sebelum injeksi insulin. Frekuensi dosis dapat
ditingkatkan menjadi setiap 2 atau 3 jam jika asidosis tidak membaik. Terapi insulin
SK tidak tepat pada pasien yang mengalami dehidrasi berat dan pada keadaan
penurunan perfusi jaringan menetap setelah resusitasi cairan atau pada pasien
dengan kondisi komorbid serius.
KATA KUNCI : insulin subkutan, tatalaksana Ketosidosis Diabetikum, pandemi
COVID-19
111
7.1. Pendahuluan
Peningkatan jumlah penderita COVID-19 di masa pandemi ini
mengakibatkan peningkatan okupansi bed di unit perawatan intensif di hampir
seluruh rumah sakit di belahan dunia.(1) Keterbatasan sarana, sumber daya
manusia, serta penerapan protokol penanganan khusus pada pasien-pasien
COVID-19 menjadi ‘menyulitkan’ penatalaksanaan pasien-pasien diabetes melitus
(DM) tipe-1 yang menglami ketoasidosis diabetes (KAD).(1)
Protokol tatalaksana KAD berat yang merekomendasikan penggunaan
insulin intravena dengan monitoring yang ketat di ruang intensif (ICU) menjadi
sulit diterapkan tanpa harus mengabaikan risiko penularan COVID-19 antar
manusia.(1) Penggunaan insulin kerja cepat subkutan untuk kasus-kasus KAD
ringan sampai sedang tanpa komplikasi telah terbukti dapat digunakan secara
aman di ruang perawatan ‘low care’.(1–3)
Penulisan makalah ini adalah untuk membahas prinsip tatalaksana KAD
yang aman dikaitkan masa pandemi COVID-19 dalam kaitannya keterbatasan
sumberdaya ICU dengan mengacu pada konsensus manajemen KAD yang telah
digunakan The International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes
(ISPAD) tahun 2018.
• Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL).
• Asidosis, bila pH darah vena < 7,3 atau kadar bikarbonat < 15 mmol/L).
• Ketonemia (ß-hidroksibutirat > 3 mmol/L), atau ketonuria moderat/berat.
• Ringan - sedang: bila pH darah > 7,1 hingga < 7,3 atau kadar bikarbonat
serum > 5 – 15 mmol/L
112
• Berat: bila pH darah < 7,1 atau bikarbonat < 5 mmol/L. .
• Perbaikan KAD: pH darah > 7,3 atau bikarbonat serum > 15 mmol/L, ß-
hidroksibutirat < 1 mmol/L, dan anion gap mendekati normal (Anion gap =
Na − (Cl + HCO3); nilai normal= 12 + 2 mmol/L).
113
hidroksibutirat dan asetoasetat merupakan merupakan asam kuat yang dapat
menyebabkan asidosis metabolik.(5,7) Secara lebih utuh patogenesis terjadinya KAD
terlihat pada gambar 1.
114
Gambar 2: (a) Peningkatan lipolysis menghasilkan acetylCoA yang
berasal dari asam lemak, sebagai bahan dasar sintesis badan keton
di hati (asotoasetat, ß-hidroksibutirat, dan aseton). Tidak adanya
insulin menurunkan utilisasi glukosa dan menurunkan produksi
oksaloasetat. (b) Jumlah oksaloasetat yang tersedia untuk
kondensasi acetylCoA menurun; sehingga (c) acetylCoA yang
seharusnya bekondensasi dengan oksaloasetat dalam siklus TCA
(tricarboxylic acid) berpindah (d) mengalami kondensasi
membentuk asetoasetat yang kemudian mengalami reduksi
menjadi ß-hidroksibutirat.(7)
Insulin sendiri pada kadar yang rendah lebih merupakan anti-lipolisis
daripada untuk uptake glukosa. Keberadaan insulin inilah yang merupakan salah
satu faktor penentu terjadinya KAD atau status hiperglikemi hiperosmolar (SHH)
pada penderita DM.(5,7,8)
115
obat-obatan tertentu misalnya seperti steroid. Tanyakan juga apakah ada riwayat
infeksi atau sakit sebelumnya.
116
time memanjang, turgor kulit menurun, hyperpnea, tanda dehidrasi lain seperti
membran mukus yang kering, mata cekung, dan tidak ada air mata. Dehidrasi
lebih dari 10% atau berat yaitu jika ada tanda seperti nadi yang lemah, hipotensi
dan oliguria. Pernapasan kussmaul, yaitu napas cepat dan dalam juga dapat
ditemukan. Selain itu periksa juga apakah napas bau keton. Timbang berat badan
pasien, gunakan berat badan aktual untuk kebutuhan cairan ataupun kebutuhan
insulin.23
117
Pandemi COVID-19 telah menciptakan kebutuhan yang belum pernah
terjadi sebelumnya untuk layanan UPI. Oleh karena itu penting sekali melakukan
manajemen okupansi peruntukan UPI bagi mereka yang benar-benar
membutuhkan, dengan mempertimbangkan risiko penularan infeksi.(1) Perawatan
pasien KAD di bangsal non-UPI di harapkan dapat menurunkan risiko paparan
mereka terhadap infeksi COVID-19 di UPI.(1)
Tatalaksana KAD secara prinsip bertujuan untuk:(1,4,5,10,11) 1. Memperbaiki
dehidrasi, 2. Melakukan koreksi asidosis dan mencegah ketosis, dan
mengembalikan kadar glukosa darah senormal mungkin, 3. Mengoreksi
gangguan elektrolit, 4. Mencegah komplikasi KAD serta akibat terapi, 5. Mengenali
dan menghilangkan faktor pencetus. Secara garis besar sebagaimana algoritma
pada gambar 3.(4)
118
untuk menghindari hipoglikemia sementara infus insulin harus tetap
dipertahankan untuk menghambat ketosis dan asidosis.(1,4,5,10) Kecepatan
penurunan kadar glukosa darah sebaiknya 75-100 mg/dL dan kadar glukosa darah
dipertahankan antara 150-250 mg/dL untuk menghindari hypoglikemia dan
diuresis osmotik.(1,4,5)
Pemberian insulin subkutan (SK) merupakan metode alternatif yang aman
dan efektif dalam pengelolaan KAD ringan hingga sedang tanpa komplikasi
sehingga mengurangi okupansi UPI.(1,3,10,12–14) Di samping itu perawatan KAD di
bangsal non-UPI akan mempersingkat lama rawat inap.(1) Beberapa bukti
penggunaan insulin subkutan dalam manajemen KAD ringan-sedang tanpa
komplikasi terangkum pada table 1.(1,12–14) Namun untuk bayi dan anak usia < 2
tahun, penggunaan insulin SK tidak direkomendasikan, karena terbatasnya
bukti.(1–3,10)
Insulin analog kerja cepat (lispro atau aspart) subkutan:
Dosis awal yang disarankan adalah 0,15 U/kg, 1 jam setelah dimulainya terapi
cairan. Dosis SK selanjutnya harus diberikan setiap 2 jam sampai resolusi KAD.
Dosis insulin analog SK dapat dikurangi menjadi 0,1 U/kg setiap 2 jam, jika kadar
glukosa darah terus berkurang sebesar >5 mmol/L (90 mg/dL) per jam bahkan
setelah menambahkan 5% dextrose ke cairan IV.(1,12–14)
Kadar glukosa darah harus dipantau setiap 1 hingga 2 jam yang bertujuan
untuk mencapai kadar mendekati 11 mmol/L (200 mg/dL) hingga perbaikan KAD.
Terapi insulin SK mungkin tidak tepat pada pasien yang mengalami dehidrasi
berat (dibuktikan dengan kurangnya output urin, ekstremitas kering dan dingin,
tekanan darah rendah atau tidak terdeteksi, denyut nadi yang lemah, potensial
gagal ginjal, letargia, penurunan kesadaran, atau koma). Insulin SK mungkin juga
tidak tepat pada keadaan penurunan perfusi jaringan (waktu isi ulang kapiler >3
detik) menetap setelah resusitasi cairan atau pada pasien dengan kondisi
komorbid serius.(1,4,14)
Insulin kerja pendek (insulin reguler) subkutan:
Pemberian insulin reguler setiap 4 jam juga alternatif yang aman dan efektif
digunakan pada anak KAD dengan pH ≥ 7,1. Dosis awal yang disarankan adalah 0,13
- 0,17 U/kg/dosis setiap 4 jam (0,8 - 1 U/kg/hari yang diberikan dalam dosis terbagi);
dapat dinaikkan atau diturunkan bertahap sebesar 10% - 20% berdasarkan kadar
glukosa darah sebelum injeksi insulin. Frekuensi dosis dapat ditingkatkan menjadi
setiap 2 atau 3 jam jika asidosis tidak membaik.(1,4,13)
119
Algoritma Managemen Ketoasidosis Diabetik
Anamnesis:
Pemeriksaan fisik: Laboratorium:
•Poliuria •Ketonuria
•Polidipsia •Tentukan derajat dehidrasi •Hiperglikemia > 300 mg/dl
•Penurunan BB •Nafas cepat & dalam (Kussmaul) •Asidosis metabolik
•Nyeri perut •Nafas bau ‘keton’ •Pemeriksaan lain:
•Lemas/lemah •Lethargy/drowsiness & muntah Elektrolit darah, BUN,
•Muntah-muntah SC
•Pusing
Diabetes Ketoasidosis
•Klinis sedang
•Bisa makan/minum
•Syok +, Dehidrasi berat •Dehidrasi > 5%
•Penurunan kesadaran •Asidosis (hiperventilasi)
•Syok –
•Muntah •Berikan insulin SK
•Rehidrasi oral
Resusitasi:
•Airway/nasogastric tube
•Berikan oksigen masker 100%
IVFD: Tidak ada
•Terapi syok: NS 20ml/kg (bisa diulang)
•Tentukan kebutuhan cairan + defisit perbaikan
•Koreksi defisit dalam 48 jam.
•Menggunakan Normal Salin
•EKG
•Tambahkan KCl 40 mmol/L cairan
Oservasi ketat:
Kesadaran menurun, sakit kepala,
Asidosis tidak membaik
•Kadar gula darah setiap 1 jam penurunan HR, iritable/gelisah,
•Balans cairan setiap 1 jam
•Status neurologis inkontinensia, ‘specific neurological sign’.
•Elektrolit darah
•EKG: perubahan gel T ?
Evaluasi kembali: •Pastikan bukan hipoglikemia
•Balans cairan? •Edema cerebri?
KGD 200-300 mg/dl
•Insulin: dosis, macet? atau
•Infeksi, sepsis? Penurunan KGD > 100 mg/dl/jam
•Konsul Neurologi Anak
•Pertimbangkan: Manitol 1g/kg
BB dalam 20 menit
IVFD:
•Restriksi cairan 50%
•Ganti cairan dengan D5 0,45 atau 0,9 Salin
•Tambahkan dekstrosa 5-12,5%
•Turnkan dosis insulin (jangan < 0,05 u/kg/jam)
•Periksa elektrolit darah → koreksi bila perlu
* Larutkan insulin 50 unit dalam NS add 50 ml Sumber: Modifikasi Consensus Guidelines 2018 ( ISPAD
120
Tabel 1: Rangkuman bukti studi tersamar ganda penggunaan insulin intravenous vs subkutan pada
kasus KAD ringan-sedang anak dan dewasa.(1,14)
Refere Pembanding/ Karakteristik Derajat Kekurangan Keunggulan
nsi dosis kelompok KAD
pembanding (n, (pH)
rata-rata usia ±
SD)
Razavi dkk SK aspart: 0.15 U/kg q2h n = 25, 8.6 ± 0.8 tahun > 7.1 - Masa tinggal lebih
singkat untuk
DKA sedang (3,4
vs 4,4 hari)
Della dkk SK lispro: 0.15 U/kg q2h, n = 30, median 11.3 tahun, 7.17 ± 0.10 Kontrol glukosa -
lalu q4h kisaran 3-17 tahun sub-optimal
dengan insulin SK
q4h
Karoli dkk SK lispro: SK bolus 0.3 n = 25, 35 ± 11 tahun 7.16 ± 0.11 - -
U/kg, lalu 0.2 U/kg 1 jam
kemudian dan 0.2 U/kg
q2h berikutnya.
Dikurangi menjadi 0.1
U/kg q2h jika BG <13.8
mmol/L
Ersoz dkk SK lispro: bolus insulin n = 10, 38.7 ± 19.7 tahun 7.15 ± 0.11 - -
reguler IV 0.15 U/kg,
kemudian SK lispro 0.075
IU/kg q1h
Umpierrez SK lispro: SK Bolus 0.3 n = 20, 37 ± 12 tahun 7.17 ± 0.10 - Biaya rumah sakit
dkk U/kg diikuti oleh 0.1 U/kg lebih murah pada
q1h hingga BG <13.8 kelompok SK non-
mmol/L, lalu 0.05 hingga ICU
0.1 U/kg q1h
Umpierrez SK aspart-1 n = 15 di setiap kelompok 7.12 ± 0.12 - -
dkk Bolus SK: 0.3 U/kg SK aspart-1: 36 ± 8 tahun
Kemudian 0.1 U/kg q1h SK aspart-2: 38 ± 12 tahun
Kemudian 0.05 U/kg q1h
pada BG <13.8 mmol/L
SK aspart-2:
Bolus SK: 0.3 U/kg
Kemudian 0.2 U/kg 1 jam
kemudian dan q2h
Kemudian 0.1 U/kg q1h
pada BG <13.8 mmol/L
121
Namun harus dipastikan tidak adanya gangguan fungsi renal sebelum pemberian
Kalium.(4,5,7,11)
Koreksi Natrium (Na) dilakukan secara individual tergantung pengukuran
serum elektrolit. Kadar Na yang terukur adalah lebih rendah, akibat efek dilusi
hiperglikemia yang terjadi; sebenarnya terdapat peningkatan kadar Na sebesar 1,6
mmol/L setiap peningkatan kadar glukosa sebesar 100 mg/dL di atas 100 mg/dL.
Harus ditentukan corrected Na yang dapat dihitung dengan formula: (4,5,11)
Bila corrected Na > 150 mmol/L (hipernatremia), rehidrasi dilakukan dalam >
48 jam. Bila corrected Na < 125 mmol/L atau cenderung menurun lakukan koreksi
dg NaCl dan evaluasi kecepatan hidrasi.(4,5,11) Kondisi hiponatremia merupakan
indikasi overhidrasi dan meningkatkan resiko edema serebri.(4,5,11,15)
Penggantian bikarbonat: Bikarbonat sebaiknya tidak dipergunakan secara
rutin sebagai koreksi asidosis pada anak-anak dengan KAD.(4,5,11,15,16) Asidosis yang
berat pada KAD akan membaik dengan pemberian cairan dan insulin. Di samping
itu terapi hipovolemi akan memperbaiki perfusi jaringan dan fungsi ginjal,
sehingga meningkatkan ekskresi asam organik dan mengurangi asidosis
laktat.(4,5,11,15,16) Pemberian bikarbonat juga meningkatkan kemungkinan
hipokalemia selama terapi KAD, secara teori dapat meningkatkan hipoksia
jaringan akibat bergesernya kurva dissosiasi oksigen-hemoglobin ke kiri, asidosis
serebral, dan excessive osmolar load.(4,5,16)
122
Demikian juga hipokalemia dapat dicegah dengan monitoring ketat dan
penambahan kalium pada cairan rehidrasinya.(4)
Komplikasi terberat yang harus diwaspadai selama terapi KAD adalah
edema serebri dengan kejadian 0,7-1% dan mortalitas sekitar 57-87%.(4,15) Pada
penelitian di RSUD Dr. Soetomo, kami dapatkan 2 (3.4%) dari 58 penderita KAD
yang mengalami edema serebri.(17) Hingga saat ini patogenesis terjadinya edema
serebri ini masih belum jelas, diduga kuat terutama melibatkan proses vasogenik
dan sebagai akibat aktivasi ion tranporter di blood-brain barrier; adanya
hipoperfusi serebri, efek langsung ketosis atau sitokin inflamasi pada fungsi
endotel blood brain barrier diduga sebagai pemicu proses tersebut.(4,5,15) Cara yang
paling efektif mengurangi risiko edema serebri selama terapi KAD adalah:
menghindari hidrasi yang berlebihan serta fluktuasi kadar glukosa darah yang
ekstrim, menjaga keseimbangan elektrolit, melakukan monitoring ketat, dan
mengenali tanda-tanda dini edema serebri.(4,5,15)
Komplikasi lain yang dapat terjadi selama terapi adalah asidosis metabolik
hiperkloremia. Hiperkloremia ini terjadi akibat pemberian NaCl 0,9% yang
mengandung sekitar 154 mmol/L Natrium dan Klorida, sehingga terjadi kelebihan
54 mmol/L dari 100 mmol/L Klorida di dalam serum. Asidosis ini tidak berbahaya
pada kondisi klinik penderita dan akan terkoreksi dalam 24-48 jam melalui
ekskresi ginjal.(4,5,16)
123
1. Menjamin agar jangan sampai terjadi defisiensi insulin (tidak menghentikan
pemberian insulin, managemen insulin yang tepat disaat sakit).
2. Menghindari stress.
3. Menghindari puasa yang berkepanjangan.
4. Mencegah dehidrasi.
5. Mengobati infeksi secara adekwat.
6. Melakukan pemantauan kadar gula darah/keton secara mandiri.
124
Gambar 4: Algoritma penatalaksanaan KAD pada fasilitas terbatas. (1)
125
7.9. Poin Penting Tatalaksana KAD.(1,4,10–14)
• Infus insulin IV adalah standar tatalaksana KAD.
• Pemberian insulin analog atau regular SK dapat dipertimbangkan sebagai
alternatif yang aman pada KAD ringan – sedang di bangsal non-UPI.
• Terapi cairan dan elektrolit, serta pemantauan disesuaikan menurut respon
klinis, dan dapat mengacu pada pedoman yang sudah ada (ISPAD 2018).
• Untuk insulin ANALOG kerja cepat SK (lispro atau aspart), dosis awal yang
disarankan adalah 0,15 U/kg, diberikan 1 jam setelah dimulainya
penggantian cairan IV, dan kemudian diberikan setiap 2 jam hingga
perbaikan KAD. Setelah kadar glukosa darah mencapai 14-17 mmol/L (250-
300 mg/dL), harus ditambahkan cairan dekstrosa 5%. Dosis insulin ANALOG
SK dapat dikurangi menjadi 0,1 U/kg setiap 2 jam, jika kadar glukosa darah
terus berkurang >5 mmol/L (90 mg/dL) per jam.
• Untuk insulin REGULAR SK, dosis awal yang disarankan adalah 0,13 hingga
0,17 U/kg/dosis setiap 4 jam, dapat dinaikkan atau diturunkan secara
bertahap 10% hingga 20% berdasarkan kadar glukosa darah sebelum injeksi
insulin. Frekuensi dosis dapat ditingkatkan menjadi setiap 2 jam jika asidosis
tidak membaik.
• Kadar glukosa darah harus dipantau setiap 1 hingga 2 jam, dengan tujuan
mempertahankan kadar glukosa darah 11 mmol/ L (200 mg/dL) sampai KAD
teratasi.
• Terapi insulin SK tidak dianjurkan pada usia anak dengan dehidrasi berat,
perfusi jaringan buruk (waktu isi ulang kapiler >3 detik) yang menetap
setelah resusitasi cairan, pada pasien usia < 2 tahun, atau pada mereka
dengan kondisi komorbid serius dengan indikasi perawatan UPI.
126
4. Wolfsdorf JI, Glaser N, Agus M, Fritsch M, Hanas R, Rewers A, et al. ISPAD
Clinical Practice Consensus Guidelines 2018: Diabetic ketoacidosis and the
hyperglycemic hyperosmolar state. Pediatr Diabetes. 2018;19(October):155–
77.
5. Maletkovic J, Drexler A. Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic
Hyperosmolar State. Endocrinol Metab Clin North Am [Internet].
2013;42(4):677–95. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ecl.2013.07.001
6. Sheikh-Ali M, Karon BS, Basu A, Kudva YC, Muller LA, Xu J, et al. Can serum β-
hydroxybutyrate be used to diagnose diabetic ketoacidosis? Diabetes Care.
2008;31(4):643–7.
7. Piva JP, Czepielewski M, Garcia PCR, Machado D. Current perspectives for
treating children with diabetic ketoacidosis. J Pediatr (Rio J). 2007;0(0):119–
27.
8. Hanas R. Type 1 Diabetes in Children, Adolescents and Adults [Internet].
Second Edi. Hanas R, editor. Class Publishing. London: Class Publishing;
2004. 25–30 p. Available from: www.class.co.uk
9. Codner E, Acerini CL, Craig ME, Hofer SE, Maahs DM. ISPAD Clinical Practice
Consensus Guidelines 2018: Limited Care Guidance Appendix. Pediatr
Diabetes. 2018;19(October):328–38.
10. Hanas R, Kim CD, Klingensmith G, Swift PGF, Colagiuri S, Brink SJ, et al.
Diabetes in Childhood and Adolescence in Under-Resourced Countries.
2013;1–56.
11. Australian Pediatric Endocrine Group-Australian Diabetes Society, Craig ME,
Twigg SM, Donaghue KC, Cheung NW, Cameron FJ, et al. National evidence-
based clinical care guidelines for type 1 diabetes in children, adolescents and
adults. Diabetes [Internet]. 2011;1–276. Available from: www.apeg.org.au
12. Ljunghag LA. Subcutaneous Insulin in the Treatment of Diabetic
Ketoacidosis in the Pediatric Population Subcutaneous Insulin in the
Treatment of Diabetic Ketoacidosis in the. 2016;
13. Cohen M, Leibovitz N, Shilo S, Zuckerman-Levin N, Shavit I, Shehadeh N.
Subcutaneous regular insulin for the treatment of diabetic ketoacidosis in
children. Pediatr Diabetes. 2017;18(4):290–6.
14. Razavi Z, Maher S, Fredmal J. Comparison of subcutaneous insulin aspart
and intravenous regular insulin for the treatment of mild and moderate
diabetic ketoacidosis in pediatric patients. Endocrine [Internet].
2018;61(2):267–74. Available from: http://dx.doi.org/10.1007/s12020-018-1635-z
15. Muir A, Quisling R, Yang M, Rosenbloom A. Cerebral Edema in Childhood
Diabetic. Diabetes Care. 2004;27(7):1541–6.
16. Chua H, Schneider A, Bellomo R. Bicarbonate in diabetic ketoacidosis - a
systematic review. Ann Intensive Care. 2011;1(1):23.
17. Nazara A, Kusumawati Y, Rochmah N, Faizi M. Clinical profiles of children
with diabetic ketoacidosis in Dr. Soetomo Hospital during 2002-2013. In:
Poster PIT Ilmu Kesehatan Anak VI. Surakarta; 2013.
18. Laffel LM, Limbert C, Phelan H, Virmani A, Wood J, Hofer SE. ISPAD Clinical
Practice Consensus Guidelines 2018: Sick day management in children and
adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes. 2018;19(October):193–204.
127
19. Usher-Smith J, Thompson M, Ercole A, Walter F. Variation between countries
in the frequency of diabetic ketoacidosis at first presentation of type 1
diabetes in children: a systematic review. Diabetologia. 2012;55(11):2878-
2894.
20. Kao K, Islam N, Fox D, Amed S. Incidence Trends of Diabetic Ketoacidosis in
Children and Adolescents with Type 1 Diabetes in British Columbia, Canada.
The Journal of Pediatrics. 2020;221:165-173.e2.
21. Pulungan A, Juwita E, Pudjiadi A, Rahmayanti S, Tsaniya I. Diabetic
Ketoacidosis in Adolescents and Children: A Prospective Study of Blood
versus Urine Ketones in Monitoring Therapeutic Response. Acta Medica
Indonesiana. 2018;5(1):46-52.
22. Jain S, Iverson L. Glasgow Coma Scale. 2020;. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513298/
23. Yati N, Soesanti F, Tridjaja A.A.P. B. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri
pada Diabetes Melitus Tipe-1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2017.
Available from: http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-
content/uploads/2017/03/Panduan-Praktik-Klinis-Ketoasidosis-Diabetik-
dan-Edema-Serebri.pdf
128
FLUID THERAPY IN PEDIATRIC
EMERGENCY CASES
Arina Setyaningtyasa, Puguh Oktavianb, Rosda Rodhiyanab
a
Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga-RSUD dr. Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlanga
8.1. Pendahuluan
Menjaga volume cairan dan komposisi elektrolit dalam keadaan
seimbang merupakan proses yang sangat penting untuk menjaga
homestasis. Air merupakan komponen penting dalam proses
berlangsungnya kehidupan. Hal ini disebabkan sebagian besar tubuh
manusia disusun oleh cairan. Persentase total cairan atau total body water
(TBW) tubuh sangat bervariasi dan bergantung berdasarkan jenis kelamin
dan jumlah adipose. TBW pada orang dewasa memiliki rentang 50%-70%.
Pada wanita akan memiliki jumlah cairan lebih sedikit dibanding laki-laki
dikarenakan wanita memiliki jumlah jaringan adipose lebih banyak.
Sedangkan pada anak-anak jumlah cairan ini sedikit lebih tinggi dari orang
dewasa yaitu berkisar 70%-80%. Selain air, komponen yang tidak kalah
penting yaitu elektrolit yang merupakan molekul-molekul positif dan
negatif yang berada di dalam tubuh. Salah satu fungsi elektrolit adalah
membantu proses transport antara extracellular fluid (ECF) dengan
intracellular fluid (ICF), mempertahankan pH, dan neuromuskular[1].
129
CHAPTER 8
130
CHAPTER 8
1. Apabila berat badan anak 7 kg, maka kebutuhan air dalam 24 jam
adalah 700 mL
2. Apabila berat badan anak 17 kg, maka kebutuhan air dalam 24 jam
adalah 1350 mL
3. Apabila berat badan anak 25 kg, maka kebutuhan air dalam 24 jam
adalah 1600 mL
131
CHAPTER 8
keterangan:
Na+ = Konsentrasi Na+ dalam plasma (mEq/L)
Glukosa = Konsentrasi glukosa dalam plasma (mg/dL)
BUN = Konsentrasi blood urea nitrogen (mg/dL)
132
CHAPTER 8
133
CHAPTER 8
134
CHAPTER 8
135
CHAPTER 8
136
CHAPTER 8
8.3.2. Pemberian cairan pada anak syok anak dengan malnutrisi berat :
Berikan perawatan ini hanya ketika terdapat tanda-tanda syok
(biasanya ditandai dengan penurunan kesadaran, misalnya anak menjadi
letargi atau hingga hilang kesadaran):
137
CHAPTER 8
138
CHAPTER 8
2. Penilaian ulang dilakukan setiap 1–2 jam. Jika status hidrasi tidak
membaik, berikan infus lebih cepat.
Setelah anak dapat minum, rehidrasi oral harus segera dilakukan
dengan cairan ORS (dosis 5m/kg per jam). Pemberian bisa dilakukan
dengan perlahan, misalnya dengan sendok. Biasanya, pasien sudah bisa
minum setelah 3-4 jam (pada bayi) atau 1–2 jam (pada anak-anak).
Kemudian, penilaian status dehidrasi dilakukan setelah 6 jam (untuk bayi)
atai 3 jam (untuk anak-anak). Rencana terapi dipilih sesuai status dehidrasi
pasien sesuai rencana A, B atau C (pada tabel dibawah) untuk melanjutkan
rencana terapi.
Jika memungkinkan, amati anak setidaknya selama 6 jam pasca
rehidrasi untuk memastikannya bahwa sang ibu juga memberikan larutan
oralit kepada pasien.
139
CHAPTER 8
• Tanpa Dehidrasi diberikan cairan rumah tangga (air, teh, ASI, kuah
sup, dll). Tidak harus ORS → Rencana Terapi A
• Dehidrasi ringan-sedang diberikan cairan ORS oral atau HSD IV (jika
pasitn tidak bisa minum) → Rencana Terapi B
140
CHAPTER 8
• Mulai berikan cairan intravena segera. Pada saat infus disiapkan, beri
larutan oralit jika anak bisa minum
141
CHAPTER 8
8.4.4. Pemantauan
Penilaian dilakukan setiap 15 – 30 menit hingga denyut nadi radial
anak teraba. Jika hidrasi tidak mengalami perbaikan, beri tetesan infus lebih
cepat. Selanjutnya, nilai kembali anak dengan memeriksa turgor, tingkat
kesadaran dan kemampuan anak untuk minum, sedikitnya setiap jam,
untuk memastikan bahwa telah terjadi perbaikan hidrasi. Mata yang
cekung akan membaik lebih lambat dibanding tanda-tanda lainnya dan
tidak begitu bermanfaat dalam pemantauan.
Jika jumlah cairan intravena seluruhnya telah diberikan, nilai kembali status
hidrasi anak. Pemberian cairan selanjutnya adalah sesuai dengan status
hidrasi anak saat ini.
142
CHAPTER 8
143
CHAPTER 8
144
CHAPTER 8
145
CHAPTER 8
8.5. Komplikasi
Hiponatremia, hipernatremia, dan hipoglikemia dapat terjadi pada
anak-anak dengan dehidrasi akibat penyakit atau komplikasi dari terapi
penggantian cairan.
Hiponatremia
Meskipun dehidrasi isonatremia paling umum, hiponatremia atau
hipernatremia dapat terjadi. Hiponatremia didefinisikan sebagai
konsentrasi natrium plasma kurang dari 135 mEq/L. Ini adalah kelainan
elektrolit yang umum pada anak-anak yang menerima cairan infus. Ini
disebabkan oleh kekurangan natrium atau kelebihan air bebas. Pada anak
yang rawat inap, terjadi pelepasan ADH yang berlebihan. Ini mungkin
memerlukan penyesuaian penggantian air atau natrium. Hiponatremia
dapat terjadi karena pemberian larutan hipotonik. Telah ditemukan dengan
garam normal 0,2% dan 0,45%. Tingkat natrium serum memperkirakan
keseimbangan air; kadar natrium normal tidak menilai kecukupan status
volume.
Kelebihan cairan
Umumnya, ginjal mampu mempertahankan euvolemia; namun,
pemberian cairan yang agresif dapat menyebabkan kelebihan cairan[9].
Sangat penting untuk menghindari pemberian cairan yang berlebihan; ini
terutama lebih penting pada bayi. Pemberian cairan yang berlebihan dapat
menyebabkan hidrasi berlebihan yang signifikan secara klinis. Oleh karena
itu, penting untuk menilai tanda-tanda kelebihan cairan seperti edema atau
penambahan berat badan yang berlebihan. Banyak penyakit penyerta
kronis tertentu yang dapat meningkatkan risiko kelebihan cairan. Ini
termasuk kehilangan protein karena penyakit hati atau ginjal, gagal jantung
kongestif, dan gagal ginjal[10].
Hipernatremia
Hipernatremia, kadar natrium serum lebih dari 145 mEq/L. Hal ini
menunjukkan kehilangan air karena kehilangan natrium. Ada kekurangan
natrium total tubuh meskipun konsentrasi natrium meningkat. Namun,
dengan pemberian cairan isotonik, risiko hipernatremia menjadi rendah[10].
Secara umum, bayi berisiko tinggi karena penggantian air yang tidak
memadai. Ini biasanya terjadi dengan diare atau menyusui yang buruk.
146
CHAPTER 8
8.6. Penutup
Dehidrasi sering terjadi pada anak-anak. Temuan klinis dari dehidrasi
merupakan manifestasi dari hilangnya volume ekstraseluler. Masalah cairan
dan elektrolit bisa menjadi tantangan. Kemampuan untuk mengidentifikasi
dehidrasi dengan benar memiliki implikasi klinis yang penting. Gambaran
klinis dehidrasi kurang sensitif dan spesifik untuk memperkirakan derajat
dehidrasi pada anak. Oleh karena itu, mendiagnosis dehidrasi
membutuhkan indeks kecurigaan yang tinggi.
147
CHAPTER 8
IV : Intravena
ORS : Oral rehydration solution
SIADH: Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone
TBW : Total body water
148
EMERGENCY MANAGEMENT AND INSULIN
THERAPY FOR TYPE 1 DIABETES MELLITUS
IN PEDIATRICS
Nur Rochmaha, Amirah Jasmineb
a
Divisi Endokrinologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD dr. Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlanga-RSUD dr. Soetomo
9.1. Pendahuluan
Pravelensi Diabetes Mellitus (DM) tipe-1 pada anak di Indonesia terus
meningkat meskipun angka sebenarnya tidak diketahui pasti dikarenakan
tingginya jumlah misdiagnosis.1 DM tipe-1 merupakan suatu kelainan sistemik
karena terjadinya gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh
hiperglikemia kronis. Keadaan ini terjadi akibat kerusakan sel beta pankreas yang
bisa disebabkan karena proses autoimun maupun idiopatik sehingga produksi
insulin berkurang bahkan terhenti. Sekresi insulin yang rendah ini bisa
menyebabkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein.Faktor genetik dan lingkungan berperan dalam patogenesis DM tipe-1.
Faktor genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu. HLA berperan sebagai suatu
faktor kerentanan, tetapi ini bukan merupakan faktor satu-satunya pada
terjadinya DM tipe-1. Perlu adanya faktor pemincu lain yang berasal dari
lingkungan seperti infeksi virus ataupun toksin sampai timbulnya gejala klinis DM
tipe-1 pada seseorang yang rentan. Autoantibodi yang berikatan dalam diabetes
adalah glutamicacid decarboxylase 65 autoantibodies (GAD); tyrosine
phosphatase-like insulin autoantibodies (IAA); B-Cell-specific zin transporter 8
autoantibodies (ZnT8). Ditemukan satu atau lebih dari autoantibodi ini membantu
konfirmasi dari DM tipe-1. Komplikasi DM Tipe-1 terbagi menjadi komplikasi akut
dan komplikasi kronis. Komplikasi akut atau jangka pendek yang sering terjadi
adalah hipoglikemia dan ketoasidosis diabetik, sedangkan komplikasi kronis yaitu
mikrovaskuler (contoh: Retinopati dan nefropati diabetik) dan makrovaskuler
(contoh : penyakit jantung, stroke, penyakit pembuluh darah perifer).2
149
CHAPTER 9
150
CHAPTER 9
a
Dalam keadaan tidak adanya hiperglikemia yang jelas, diagnosis
diabetes berdasarkan kriteria ini harus dikonfirmasi dengan pengujian
ulang
b
Nilai kurang dari 6.5 % tidak mengecualikan diabetes yang didagnosis
menggunakan glukosa. Peran HbA1c sendiri dalam diagnosis DM tipe-1
pada anak tidak jelas.
1. Injeksi Insulin
2. Monitoring gula darah
3. Nutrisi
4. Aktivitas fisik
5. Edukasi
151
CHAPTER 9
a
The duration of action may be shorter
b
biosimilar glargine approved in some countries
c
Not yet approved worldwide or not for pediatric indication
Dosis selama fase remisi parsial, total dosis harian insulin <0,5
IU/Kg/hari. Prepubertas (diluar fase remisi parsial) dosis kisaran
0,7-1 IU/Kg/hari. Selama pubertas dosis 1.2-2 IU/kg/hari.3
Prinsip Kerja Insulin:
152
CHAPTER 9
Injeksi dua kali sehari menggunakan gabungan dari insulin kerja cepat atau
pendek dengan kerja menengah yang diinjeksikan sebelum makan pagi dan
makan malam/makan malam utama.3
153
CHAPTER 9
kebersihan merupakan suatu masalah. Infeksi pada area injeksi sangat jarang
ditemukan.3
Koreksi Hiperglikemia dapat dilakukan dengan rumus 1800 jika
menggunakan insulin kerja cepat dan rumus 1500 jika menggunakan insulin kerja
pendek. Angka 1800 atau 1500 dibagi dengan insulin total harian hasilnya dalam
mg/dL. Hasil perhitungan bersifat individual dan harus mempertimbangkan faktor
lain misalnya latihan.2
9.2.3. Nutrisi
Nutrisi yang cukup dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan
yang optimal, serta untuk mencegah terjadinya komplikasi akut dan kronis. Pasien
disarankan untuk mengkonsumsi nutrisi seimbang yang terdiri dari sayur, buah,
gandum utuh, produk olahan susu dan daging rendah lemak. Asupan kalori harian
bisa dihitung berdarakna bedan badan ideal dan rekomendasi asupan kalori. 4,7
Distribusi makronutrien berupa karbohidrat 40-20 % dari total energi, lemak < 35
% dari total energi, protein 15-20 % dari total energi. Pasien dan keluarga harus
diedukasi untuk mengatur dosis insulin berdasarkan konsumsi karbohidrat untuk
meningkatkan kontrol glikemik dan kualitas hidup.7 Perhitungan Karbohidrat dan
koreksi insulin berkolerasi dengan penurunan level HbA1c secara signifikan.8
154
CHAPTER 9
9.2.5. Edukasi
Edukasi tahap pertama dilakukaan saat pasien pertama terdiagnosis
(biasanya selama perawatan di rumah sakit). Edukasi meliputi pengetahuan dasar
tentang DM tipe-1, pengaturan makanan, insulin (seperti jenis, cara pemberian,
efek samping dan penyesuaian dosis sederhana). Selain itu penting juga untuk
edukasi pertolongan pertama pada kedaruratan medik akibat DM tipe-1. Edukasi
tahap kedua dilakukan selama konsultasi di poliklinik. Pada tahap ini dijelaskan
lebih terperinci tentang patofisiologi, olahraga, komplikasi, pengulangan terhadap
apa yang pernah diberikan dan juga bagaimana menghadapi lingkungan sosial. 9
9.3. Penutup
9.3.1. Indikasi Rujukan
Jika ditemukan keton yang signifikan di darah dan urin, penanganan yang
cepat diperlukan dan anak harus dirujuk ke spesialis untuk penanganan diabetes
pada hari yang sama untuk mencegah terjadinya ketoasidosis diabetikum. 11
9.3.2. Prognosis
DM tipe-1 memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Angka harapan
hidup berkurang 10-20 tahun bagi banyak orang. Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa komplikasi seperti hipoglikemi dan ketoasidosis diabetikum. Anak-anak
khususnya meninggal karena ketoasidosis diabetikum terutama karena
keterlambatan diagnosis.12
155
CHAPTER 9
156
CHAPTER 9
157
CLINICAL MANAGEMENT OF ASTHMA
EXACERBATION
Retno Asih Setyoningruma, Putri Aliya Ahadinib
a
Divisi Respirologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
10.1. Pendahuluan
Asma adalah penyakit saluran respiratorik dengan dasar inflamasi kronik
yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktifitas saluran respiratori dengan
derajat bervariasi. Asma merupakan penyakit saluran respiratorik kronik yang
sering dijumpai baik pada anak maupun dewasa. Namun asma pada anak
berbeda dengan dewasa. Meskipun tidak menempati peringkat teratas sebagai
penyebab kesakitan atau kematian pada anak, asma merupakan masalah
kesehatan yang penting karena jika tidak ditangani dengan baik, asma dapat
menurunkan kualitas hidup anak, membatasi aktivitas sehari-hari, mengganggu
kualitas tidur, meningkatkan angka absensi sekolah dan menyebabkan prestasi
akademik di sekolah menurun.
Penegakkan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis
medis yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis memegang peranan penting mengingat diagnosis asma pada anak
Sebagian besar ditegakkan secara klinis. Manifestasi klinis asma dapat berupa
batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau
berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan
biasanya timbul jika ada pencetus. Chronic recurrent cough (batuk kronik
berulang) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma dengan
karakteristik yang khas meliputi: gejala timbul secara episodik atau berulang,
variabilitas yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam
24 jam, biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal), reversibilitas
yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat pereda
asma, timbul bila ada faktor pencetus, adanya riwayat alergi pada pasien atau
keluarga.
Pemeriksaan fisik yang ditemukan adalah sesak, napas cuping hidung,
takikardi, saturasi oksigen menurun <90% (terutama pada serangan asma derajat
berat), retraksi otot pernapasan, dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar
langsung (audible wheezing) atau yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu
perlu dicari gejala alergi lain pada pasien seperti dermatitis atopi atau rhinitis
158
CHAPTER 10
alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau
geographic tongue. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menunjukkan
adanya gangguan aliran napas akibat obstruksi, hiperreaktivitas dan inflamasi
saluran respiratori atau adanya atopi pada pasien. Pada masa pandemi sebaiknya
menghindari penggunaan spirometri pada pasien konfirmasi/suspek COVID-19
dikarenakan spirometri dapat menyebarkan partikel virus ke tenaga kesehatan
maupun pasien lain.
Klasifikasi asma pada anak berdasarkan kekerapan timbulnya gejala dibagi
menjadi intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat.
Sedangkan berdasarkan derajat beratnya serangan dibagi menjadi asma
serangan ringan sedang, asma serangan berat dan serangan asma dengan
ancaman henti napas.
159
CHAPTER 10
1. Berikan agonis 2 kerja pendek serial via spacer dengan dosis : 2-4
semprot. Berikan satu semprot obat kedalam spacer diikuti 6-8 terikan
napas melalui antar muka (interface) spacer berupa masker atau
mouthpiece. Bila belum ada respons berikan semprot berikutnya
dengan siklus yang sama.
2. Jika membaik dengan dosis 4 semprot, inhalasi dihentikan.
3. Jika gejala tidak membaik dengan dosis 4 semprot, segera bawa ke
fasyankes.
Pemberian agonis 2 kerja pendek via MDI + Spacer mempunyai efektivitas
yang sama dengan pemberian nebulizer, dengan catatan:
• Pasien tidakk dalam serangan asma berat atau ancaman henti napas
• Pasien bisa dapat menggunakan MDI dengan spacer
• Sebaiknya menggunakan spacer yang baru atau sebelumnya dicuci
dengan air deterjen dan dikeringkan di udara kamar
• Bila tidak tersedia spacer, bisa dapat digunakan botol atau gelas plastik
500 mL sebagai pengganti spacer
Untuk tata laksana di fasilitas pelayanan kesehatan primer, sebelum
menentukan terapi, harus mengetahui derajat serangan asma (tabel 1) yang
dialami pasien terlebih dahulu. Lakukan anamnesis yang singkat dan terfokus
serta pemeriksaan fisik yang relevan bersamaan dengan pemberian terapi awal.
160
CHAPTER 10
Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik harus dicatat di rekam medis. Jika
pasien menunjukkan tanda serangan berat atau mengancam nyawa, segera rujuk
ke fasyankes yang lebih tinggi.
Tabel 1. Derajat keparahan serangan asma.
Serangan asma
Asma serangan
Asma serangan berat dengan ancaman
ringan-sedang
henti napas
• Bicara dalam kalimat • Bicara dalam kata • Mengantuk
• Lebih senang duduk • Duduk bertopang • Letargi
daripada berbaring lengan • Suara napas tak
• Tidak gelisah • Gelisah terdengar
• Frekuensi napas • Frekuensi napas
meningkat meningkat
• Frekuensi nadi meningkat • Frekuensi nadi
• Retraksi minimal meningkat
• SpO2 (udara kamar): 90 – • Retraksi jelas
95% • SpO2 (udara kamar) <
• PEF > 50% prediksi atau 90%
terbaik • PEF < 50% prediksi atau
terbaik
161
CHAPTER 10
162
CHAPTER 10
Untuk tatalaksana asma pada masa pandemi, Global Initiative for Asthma
(GINA) merekomendasikan untuk menghindari penggunaan nebulizer sebisa
mungkin karena dapat meningkatkan penyebaran partikel virus secara aerosol,
dan lebih menekankan penggunaan metered dose inhaler (MDI) dengan spacer
sebagai tatalaksana asma saat eksaserbasi dengan penggunaan mouthpiece atau
masker ysang sesuai dengan ukuran jika diperlukan. Global Initiative for Asthma
163
CHAPTER 10
164
CHAPTER 10
165
CARDIAC ARRHYTMIA EMERGENCY IN
PEDIATRICS
Taufiq Hidayata, Pandit Bagus Tri Saputrab
a
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo
11.1. Pendahuluan
Aritmia adalah kondisi adanya gangguan listrik jantung yang dapat
menimbulkan kelainan laju dan/atau ritme jantung, baik dengan atau tanpa gejala
klinis. Walaupun aritmia lebih banyak terjadi pada dewasa, kelainan ini tidak jarang
pu;a ditemui pada anak di praktik klinis. Sekitar 5% kasus anak yang dibawa ke
instalasi gawat darurat adalah aritmia simtomatis. Sayangnya aritmia sering lolos
dari diagnosis, atau bahkan sekedar suspek, dan dapat menyebabkan gejala gagal
jantung.
Anak dengan kelainan jantung bawaan dan postoperasi jantung
merupakan kelompok yang berisiko tinggi mengalami aritmia. Sebagai gambaran
prevalensi aritmia postoperasi jantung mencapai 27% sampai 48%. Insiden aritmia
pada anak diprediksi akan terus meningkat seiring semakin tinggi insiden anak
dengan kelainan jantung bawaan.
166
CHAPTER 11
Tabel 2. Laju jantung normal pada anak berdasarkan usia dan aktivitas (Rohit dan
Kasinaduni, 2020).
Tiga jenis aritmia paling banyak pada anak adalah sinus takikardi, takikardi
supraventrikel dan bradikardi. Sedangkan 3 gejala paling banyak aritmia pada
167
CHAPTER 11
anak yang dibawa ke instalasi gawat darurat adalah palpitasi, kelelahan dan
presinkop/sinkop. Walaupun begitu gejala aritmia mungkin tidak spesifik dan
berbeda pada tiap jenjang usia.
Pada artikel ini pembahasan lebih berfokus ke karateristik esensial dari
masing-masing jenis aritmia dalam rangka diagnosis dan tatalaksana. Adapun hal
yang bersifat umum, seperti primary survey pada pasien dan hal lain, tidak kami
tuliskan dalam artikel ini karena merupakan kaidah umum pada seluruh kasus
kegawat-daruratan.
Pasien dengan takiaritmia dieveluasi lebih lanjut berdasarkan durasi QRS
kompleks dan ritme (Gambar 2). Umumnya takiaritmia ventrikel ditandai dengan
pelebaran QRS kompleks. Pasien takiritma yang berasal dari ventrikel relatif lebih
jarang namun lebih berbahaya dibandingkan takiaritimia supraventrikular. Ritme
pasien dapat regular maupun irregular.
168
CHAPTER 11
Reentry adalah penyebab paling sering yang disebabkan oleh lengkung sirkuit
abnormal, baik di tingkat atrium (fibrilasi atrium), nodus AV (AV node re-entry
tachycardia) maupun jalur asesoris (AV re-entry tachycardia). Sedangkan
otomatisasi merupakan peningkatan aktivitas fokus, baik pada fokus natural
seperti nodus AV (sinus takikardia) maupun fokus abnormal.
169
CHAPTER 11
170
CHAPTER 11
171
CHAPTER 11
dengan komplek QRS yang mungkin normal atau QRS tumpang tindih dengan
gelombang P. Rasio AV mungkin mencapai 1:1.
Gambar 5. EKG pada anak dengan sindrom WPW yang menunjukan ritme
sinus (Rohit dan Kasinaduni, 2020).
172
CHAPTER 11
dilakukan evaluasi oleh kardiologis. Terapi definitive SVT adalah abalasi kateter
yang lebih ditujukan pada pasien diatas 5 tahun.
Gambar 6. Gambaran kepak atrium pada anak baru lahir dengan gambaran khas
sawtooth appearance. Konduksi AV >1:1 dengan laju atrium 375 dan laju ventrikel
185 (Carla dan Jane, 2010).
Terapi pada pasien yang stabil menggunakan manuver vagal dan
farmakologis. Terapi farmakologi dengan amiodaron ditujukan untuk terminasi
aritmia atau mengontrol ritme pada pasien yang stabil. Alternatif selain
mengontrol ritme adalah mengontrol laju, menggunakan penyekat beta atau
penyekat kanal kalsium. Jika pasien memiliki respon ventrikel yang cepat dengan
penurunan kardiak output (tidak stabil), kardioversi DC dilakukan mulai dengan
0,5J/kg dan dapat dinaikan menjadi 1-2J/kg jika diperlukan. Sedangkan pada
173
CHAPTER 11
174
CHAPTER 11
EAT tidak merespon dengan baik oleh adenosin (Gambar 7) dan kardioversi
DC. Tatalaksana lini pertama adalah amiodaron IV dengan loading dose 5mg/kg
diberikan secara bolus lambat dalam 20-60 menit, dapat diikuti dengan
maintenance dose 10-15mg/kg/hari secara drip. Pasien dengan simtom yang
minimal tidak memerlukan tatalaksana akut. Takikardia dapat mengalami resolusi
spontan pada 30-50% anak, terutama pada anak usia kurang dari 3 tahun. Pasien
yang lebih tua dan tidak membaik dengan terapi medis optimal diindikasikan
menjalani ablasi kateter.
175
CHAPTER 11
pada lead V1. Rasio AV seringkali >1:1 dengan regularitas (ritmisitas) laju ventrikel
seringkali berubah mulai 110 sampai 200x/menit. Pada kasus WPW, rasio AV dapat
mencapai 1:1 disertai penampakan QRS komplek yang tidak normal (lebar dengan
gelombang delta).
Gambar 8. Fibrilasi atium asimtomatis pada anak usia 2,5 tahun. Didapatkan p
wave yang tidak normal dan QRS irregular (Carla dan Jane, 2010).
176
CHAPTER 11
dengan sindrom pre-eksitasi seperti pada WPW). Asal kelainan dapat dibedakan
dengan pemasangan 12 lead EKG. Mengingat VT adalah kondisi lebih berbahaya
maka semua takikardi dengan pelebaran QRS seyogyanya diterapi dengan terapi
VT sampai terbukti sebaliknya.
Gambar 9. Hasil EKG dari pasien ToF yang menunjukan takikardi ventrikel (Carla
dan Jane, 2010).
177
CHAPTER 11
178
CHAPTER 11
179
CHAPTER 11
11.6. Bradikardi
Sedangkan tatalaksana awal pada berbagai kasus bradiaritimia dengan nadi
mengikuti Gambar 11.
180
CHAPTER 11
berkaitan dengan kerusakan nodus SA, salah satu yang paling sering postoperasi
jantung. Apabila terjadi reentry atrium dapat terjadi sindroma bradi-takikardi.
Sinus bradikardi pada anak tanpa kelainan struktural mungkin tidak memerlukan
manajemen akut. Pada pasien yang kritis sinus bradikardi harus dievaluasi
penyebabnya. Atropine dan epinefrin dapat digunakan untuk meningkatkan laju
sinus pada kebanyakan kasus. Namun pasien simtomatis dengan disfungsi nodus
SA dan/atau dengan takikardi mungkin memerlukan implantasi pacemaker
elektif.
11.6.2. AV Block
AV block disebabkan abnormalitas konduksi nodus AV. AV block dibagi
menjadi AV block derajat 1, 2 dan 3. AV block derajat 1 ditandai dengan
pemanjangan interval PR tanpa kelainan konduksi dan tidak menyebabkan
bradikardi maupun instabilitas hemodinamik. Penyebab AV block derajat 1
bervariasi, baik faktor intrakardiak maupun ekstrakardiak, mulai dari operasi
kardiak, miopati, karditis dan hipotiroidisme.
AV block derajat 2 merujuk pada kegagalan konduksi nodus AV secara
intermiten. Kondisi ini diklasifikasikan menjadi Mobitz tipe I (Wenckebach) dan II.
Mobitz tipe I ditandai dengan kegagalan konduski yang didahului oleh
pemanjangan interval PR secara gradual. Mobitz tipe II ditandai oleh kegagalan
konduksi tanpa perubahan pada interval PR sebelumnya. Mobitz tipe II relatif lebih
berbahaya dibandingkan tipe I. Tatalaksana difokuskan dengan menghilangkan
penyebab yang reversibel seperti pada AV block derajat 1. Pasien yang simtomatis
atau progress menjadi AV block yang lebih berat mungkin mendapatkan manfaat
dengan pemberian atropine atau isoproterenol. Mobitz tipe II dinilai lebih
berpotensi menjadi blok komplit sehingga disarankan implantasi pacemaker
terutama pada pasien simtomatis.
Pada AV block derajat 3 tidak ada konduksi yang dialirkan dari atrium ke
ventrikel sehingga ditandai dengan disosiasi atrium dan ventrikel. Durasi QRS
dapat normal atau memanjang. AV block derajat 3 berkaitan dengan kerusakan
struktur jantung, seperti pada penyakit jantung kongenital, pembedahan jantung,
atau miokarditis dan kelainan metabolik.
181
CHAPTER 11
Gambar 12. EKG menunjukan disosiasi AV komplit (Rohit dan Kasinaduni, 2020).
182
CHAPTER 11
183
ECG READING IN PEDIATRIC EMERGENCY:
OVERVIEW AND CASE STUDY
Taufiq Hidayat
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo
12.I. Pendahuluan
Rekaman aktivitas listrik jantung mempunyai peran yang sangat penting
dalam kardiologi. Pencatatan aktivitas listrik jantung atas dasar perbedaan
potensial listrik yang diperoleh dengan bantuan elektroda yang ditempel di
permukaan tubuh seseorang disebut elektrokardiogram (EKG). Elektrokardiograf
sendiri sebenarnya adalah suatu alat yang sederhana, relatif murah, praktis dan
dapat dibawa ke mana-mana.
Cukup banyak manfaat yang diperoleh dari rekaman EKG, oleh karena itu
kita dituntut agar mampu membaca dengan baik hasil suatu rekaman EKG.
Penilaian EKG seyogyanya dilakukan berurutan melalui langkah-langkah
sistematis sehingga bila terdapat abnormalitas tidak terlewatkan. Irama jantung,
laju jantung, aksis, bentuk dan ukuran gelombang, interval dan segmen dinilai
satu persatu sehingga dapat diketahui bila terdapat abnormalitas.
Berikut ini akan diuraikan mengenai cara membuat rekaman EKG, sandapan EKG
serta deskripsi rekaman EKG normal pada anak.
184
CHAPTER 12
185
CHAPTER 12
186
CHAPTER 12
merupakan vektor, maka rekaman perlu dilakukan dari berbagai sudut. Oleh
karena itulah dibuat rekaman dari berbagai sandapan.
Dikenal 12 sandapan EKG. Enam sandapan dinamakan sandapan
ekstremitas yakni I,II,III, aVR, aVL dan aVF. Sandapan-sandapan ini diperoleh dari
rekaman dengan elektroda yang diletakkan di ekstremitas. Keenam sandapan
ekstremitas dibagi lagi menjadi 2 subkelompok yaitu sandapan ekstremitas
bipolar (I,II,III) dan sandapan ekstremitas unipolar (aVR,aVL dan aVF). Sandapan I
adalah beda potensial antara lengan kiri positif dan lengan kanan negatif. Orientasi
sudutnya adalah 00. Sandapan II adalah beda potensial antara tungkai kiri positif
dan lengan kanan negatif dengan orientasi sudutnya adalah 600. Sandapan III
adalah beda potensial antara tungkai kiri positif dan lengan kiri negatif dengan
orientasi sudutnya adalah 1200. Sandapan aVL adalah beda potensial antara
lengan kiri positif dan ekstremitas lain negatif dan orientasi sudutnya –300.
Sandapan aVR adalah beda potensial antara lengan kanan positif dan ekstremitas
lain negatif dengan orientasi sudutnya –1500.. Sandapan aVF adalah beda
potensial antara tungkai positif dan ekstremitas lain negatif dengan orientasi
sudutnya +900. Aksis I memperlihatkan hubungan kiri dan kanan dengan kiri
positif kanan negatif. AvF memperlihatkan hubungan superior dan inferior
dengan positif inferior dan negatif superior.
Gelombang R pada setiap sandapan menunjukkan kekuatan depolarisasi
yang mengarah ke pole positif; gelombang Q dan S adalah depolarisasi yang
mengarah ke pole negatif. Dengan demikian gelombang R pada I menunjukkan
kekuatan kiri dan gelombang S menunjukkan kekuatan kanan. Gelombang R
pada sandapan aVF menunjukkan kekuatan inferior dan gelombang S
menunjukkan kekuatan superior. Hal yang sama pada sandapan II gelombang R
menunjukkan kekuatan inferior dan kiri sedangkan gelombang R di III
menunjukkan kanan dan bawah. Gelombang R di aVR menunjukkan kekuatan di
kanan dan superior dan gelombang R di aVL menunjukkan kekuatan di kiri dan
superior. Arah vektor listrik jantung tampak pada Gambar 3.
187
CHAPTER 12
188
CHAPTER 12
189
CHAPTER 12
kotak kecil yang berukuran 1 x 1 mm; kotak besar yang terdiri dari 5 kotak kecil x 5
kotak kecil (5 x 5 mm)
1 mm= 0,04 detik
5 mm= 0,20 detik
30 mm= 1,2 detik (terdiri dari 6 kotak besar)
Laju jantung dapat dihitung dengan beberapa cara:
1. Hitung interval RR secara langsung dalam detik, bagilah 60 dengan interval
tersebut. Contoh: interval RR 0,36 detik (9 x 0,04=0,36), maka laju
jantung=167 kali/menit (60:0,35=166,7)
2. Bila denyut jantung cepat, hitung siklus RR pada 6 buah kotak besar (12
detik), kalikan dengan 50.
3. Bila denyut jantung lambat, hitung jumlah kotak besar diantara dua
gelombang R, bagilah 300 dengan jumlah kotak besar antara dua R
tersebut.
4. Perkiraan laju jantung dengan mengingat interval RR dalam skala tertentu
Interval RR Laju Jantung
5 300
10 150
15 100
20 75
25 60
5. Seringkali dalam praktek sehari-hari laju jantung dinilai dengan cara membagi
1500 dengan banyaknya kotak kecil diantara dua R.
Laju jantung normal berdasarkan usia:
• Bayi baru lahir : 145 (90-180)
• 6 bulan : 145 (105-185)
• 1 tahun : 132 (105-170)
• 2 tahun : 120 (90-150)
• 4 tahun : 108 (72-135)
• 6 tahun : 100 (65-135)
• 10 tahun : 90 (65-130)
• 14 tahun : 85 (60-120)
190
CHAPTER 12
191
CHAPTER 12
Metode sektor dilakukan jika tidak ada lead yang ekuifasik, sumbu QRS
dapat juga dilaporkan dalam rentang nilai yang ada di dalam sektor. Pada metoda
ini sumbu QRS terletak di antara 2 lead dengan rentang kelipatan 30 derajat,
misalnya antara 0 dan +30, anatar +30 dan +60 dst.
Contoh cara penghitungan berdasarkan metode sektor:
1. Misalnya pada lead I positif (kuadran I dan IV), lead aVF positif (kuadran I dan
II), maka resultannya adlah kuadran I. Jadi sumbu QRS terletak pada
kuadran I (antara 0 sampai +90). Kuadran I dapat diperkecil lagi menjadi 3
sektor oleh lead aVR dan lead II menjadi sektor A (antara 0 dan +30), sektor
B (antara +30 dan +60) dan sektor C (antara +60 dan+90)
2. Tentukan apakah sumbu QRS di sektor A (anatar 0 dan +30) atau di sektor
B (antara +30 dan +60) dengan melihat lead III (lead yang tegak lurus
192
CHAPTER 12
dengan aVR). Jika jumlah aljabar R dan S di lead III negative, maka sumbu
QRS terletak di sektor A (antara) dan +30). Sebaliknya jika jumlah aljabar R
dan S di lead III positif maka sumbu QRS bisa di sektor B (antara +30 dan
+60) atau sektor C (antara +60 dan +90) dengan melihat lead aVL (lead yang
tegak lurus dengan lead II)
3. Lihat lead aVL, jika QRS di lead aVLpositif, maka aksis QRS terletak di sektor
B (antara +30 dan +60). Sebaliknya jika di lead aVL negative, maka aksis QRS
terletak di sektor C (antara +60 dan +90).
193
CHAPTER 12
kurang dari 90, dan aksis T ada dikuadran I. Disebut strain jika sudut QRS dan T
lebih dari 90 dan aksis T berada di luar kuadran I.
12.5.4. Gelombang P
Merupakan depolarisasi atrium. Arah vektor depolarisasi atrium ke kiri
bawah. Oleh karena itu gelombang P di sandapan I, II, avF, aVL dan V5, V6 terlihat
positif (karena impuls mendekati), sedangkan di aVR negatif (karena impuls
menjauhi). Di sandapan III walaupun di sandapan inferior namun lebih ke kanan
sehingga gelombang P terlihat bifasik. Demikian juga halnya dengan V1 yang
terletak di kanan jantung.
Bentuk gelombang P yang normal adalah bulat, tidak runcing atau
membentuk lekukan. Amplitudo gelombang P yang normal < 3 mm. Bila
amplitudo >3 mm disebut P pulmonal. P pulmonal menunjukkan hipertropi
atrium kanan. Durasi gelombang P yang normal 0,06 + 0,02 detik. Gelombang P
yang durasinya memanjang disebut P mitral. P mitral menunjukkan hipertropi
atrium kiri. Bila gelombang P dengan amplitudo tinggi dan durasi yang lebar
menunjukkan hipertropi atrium kiri dan kanan.
12.5.5. Interval PR
Diukur dari permulaan gelombang P sampai permulaan kompleks QRS.
Interval PR adalah interval paling pendek, yang merupakan waktu yang diperlukan
rangsang listrik jantung dari nodus SA, menyebar ke atrium sampai di nodus AV.
Durasi interval PR bervariasi tergantung pada usia dan frekuensi denyut jantung
(dapat dilihat pada Tabel 1).
194
CHAPTER 12
195
CHAPTER 12
196
CHAPTER 12
Rasio R/S biasanya dihitung pada lead V1. Pada hipertropi ventrikel kanan,
rasio R/S di V1 tersebut lebih dari nilai batas atas normal, sedangkan pada
hipertropi ventrikel kiri rasio R/S di V1 kurang dari nilai minimal.
Kriteria RVH:
1. R di V1 lebih dari maksimal
2. S di V6 lebih dari maksimal
3. R/S di V1 lebih dari maksimal
4. T positif di V1 setelah hari ke -3
Kriteria LVH:
1. R di V6 lebih maksimal
2. S di V1 lebih dari maksimal
3. R/S di V1 kurang dari minimal
4. T terbalik di V5-V6
5. Q dalam di V5- V6
197
CHAPTER 12
12.5.9. Segmen ST
Adalah bagian rekaman EKG, mulai dari akhir kompleks QRS sampai awal
gelombang T. Bagian ini merupakan awal repolarisasi ventrikel. Biasanya
isoelektris (setinggi segmen PQ). Segmen ST bervariasi sampai + 1 mm di sandapan
ekstremitas dan sampai 2 mm di sandapan prekordial.
12.5.10. Gelombang T
Gelombang T menunjukkan repolarisasi ventrikel. Pada umumnya arah
defleksi gelombang T sama dengan arah defleksi terbesar gelombang QRS.
Amplitudo gelombang T paling baik dilihat di hantaran prekordial kiri. Amplitudo
gelombang T biasanya:
V5 < 1 th: 7 mm
> 1 th: 11 mm
V6 < 1 th: 5 mm
> 1 th: 7 mm
12.5.11. Interval QT
Interval ini diukur dari permulaan kompleks QRS sampai akhir gelombang
T. Interval QT terutama menunjukkan bahwa ventrikel yang baru saja terstimulasi
telah kembali kekeadaan semula (istirahat). Nilai normal interval QT sangat
dipengaruhi oleh laju jantung. Bila laju jantung meningkat, interval QT akan
memendek, sebaliknya bila laju jantung menurun, interval QT akan memanjang.
Oleh karena itu beberapa ahli melakukan koreksi terhadap laju jantung ( Bazett
formula):
𝑄𝑇
𝑄𝑇𝑐 =
√𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 𝑅𝑅
198
CHAPTER 12
12.5.12. Gelombang U
Gelombang U terlihat setelah gelombang T. Bentuk puncaknya membulat.
Arti gelombang U sampai saat ini tidak jelas, tetapi gelombang U yang menonjoll
dapat terlihat pada hipokalemia. Biasanya gelombang U searah dengan
gelombang T.
12.6. Kesimpulan
Membaca EKG pada anak dilakukan secara sistematis. Penilaian dilakukan
pada tiap gelombang, meliputi bentuk gelombang, amplitudo, durasi dan interval.
Nilai normal pada anak bervariasi menurut usia.
199
SPECIAL WORKSHOP: KANGAROO MOTHERCARE
FOR LOW BIRTH WEIGHT & PRETERM INFANT
AND EARLY INITIATION OF BREASTFEEDING-A
DEMONSTRATION
Risa Etikaa, Nabila Putri Wardhanib
a
Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr Soetomo
13.1. Pendahuluan
Kangaroo Mother Care (KMC) atau Perawatan Metode Kanguru adalah cara
perawatan untuk bayi berat lahir rendah (BBLR) terutama dengan berat lahir
<2000 gram. KMC adalah kontak kulit ke kulit antara ibu dan bayinya dimulai
ditempat perawatan diteruskan dirumah, dikombinasi dengan pemberian ASI 1
WHO telah mendefinisikan KMC sebagai kontak kulit-ke-kulit (skin-to-skin
contact) dini, berkelanjutan, dan berkepanjangan antara ibu dan bayi prematur;
ASI eksklusif atau ASI; pulang lebih awal setelah KMC dimulai dari rumah sakit dan
dilanjutkan di rumah; serta dukungan dan tindak lanjut yang memadai bagi para
ibu di rumah2
Inisiasi Menyusui Dini (IMD) adalah inisiasi atau permulaan menyusui yang
terjadi pada satu jam pertama setelah bayi lahir3
13.1.1. Epidemiologi
Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia pada tahun 2017, angka
kematian neonatus (AKB) adalah sebanyak 15 bayi per 1000 kelahiran hidup, angka
kematian bayi (AKB) adalah sebanyak 24 bayi 1000 kelahiran hidup, Angka
kematian balita (AKBA) 32 anak per 1000 kelahiran hidup. Tren angka kematian
neonatus, bayi, dan balita, turun jika dibandingkan dengan survei nasional pada
tahun 2012.4,5 Meskipun tren kematian neonatus, bayi, dan balita sudah menurun,
namun angka tersebut masih berada di atas standar angka kematian bayi yang
disepakati.
AKB merupakan salah satu indikator derajat kesehatan dalam Sustainable
Development Goal (SDGs) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019. Goal SDGs ke tiga yaitu Good Health and Well-being
menjelaskan bahwa salah satu dampak yang diharapkan yaitu dituntaskannya
kematian bayi yang dapat dicegah, yang ditargetkan pada tahun 2030. Semua
negara diharapkan berpartisipasi untuk menekan angka kematian bayi menjadi
12/1.000 kelahiran hidup.6
200
CHAPTER 13
Gambar 1. Tren AKN, AKB, dan AKBA selama periode survei 5 tahunan4
1. Prolaktin
Prolaktin disekresi oleh hipofisis anterior. Prolaktin berperan penting
dalam sekresi ASI di alveoli. Kadar prolaktin meningkat pesat selama
201
CHAPTER 13
202
CHAPTER 13
13.2.2. Klasifikasi11
1. KMC Intermiten→ 2x perhari, >2 jam/kali
2. KMC Kontinyu→ 24 jam skin-to-skin contact, hanya pada bayi stabil dengan
support alat
203
CHAPTER 13
Decrease
infection
(43%)
Growth
Decrease
Decrease
mortality 40% Bonding Hypothermi
(77%)
Hospital LoS
Increase
exclusife
breasfeeding
204
CHAPTER 13
Semua ibu pada dasarnya dapat memberikan KMC, terlepas dari usia,
paritas, pendidikan, budaya, dan agama. KMC mungkin dapat bermanfaat
secara khusus pada ibu usia remaja atau ibu dengan faktor risiko sosial. Berikut
adalah poin yang harus dipertimbangkan saat penyuluhan mengenai KMC: 10
205
CHAPTER 13
Hampir semua bayi kecil dapat dirawat dengan metode KMC. Bayi dengan
penyakit berat atau memerlukan perawatan spesial harus menunggu hingga
masa penyembuhan sebelum memulai KMC kontinyu. KMC kontinyu hanya
dapat diberikan pada kondisi bayi yang stabil dan dapat bernafas spontan
tanpa bantuan alat maupun support oksigen. Kemampuan untuk makan
bukanlah merupakan prasyarat bagi bayi, KMC dapat dimulai selama tube-
feeding.10
206
CHAPTER 13
207
CHAPTER 13
208
CHAPTER 13
209
CHAPTER 13
Ketika ibu perlu menjauh dari bayinya, bayi dapat dibungkus dengan kain dan
ditempatkan dengan baik di ranjang yang hangat, jauh dari angin, ditutupi
selimut hangat, atau diletakkan di bawah alat penghangat yang sesuai, jika
tersedia. Selama istirahat tersebut anggota keluarga (ayah atau pasangan, nenek,
dll.), Atau teman dekat, juga dapat membantu merawat bayi dalam posisi
kanguru.10
Ketika ibu dan bayi merasa nyaman, kontak kulit-ke-kulit dapat dilanjutkan
selama mungkin. Hal ini dapat bertahan hingga bayi mencapai usia cukup bulan
(usia kehamilan sekitar 40 minggu) atau saat berat bayi mencapai 2500 gram.
Pada saat itu, kebutuhan bayi akan KMC juga meningkat. Pada saat ini sebaiknya
ibu mulai diedukasi untuk menyapih bayi secara bertahap dari KMC. Menyusui
dapat terus berlanjut. Ibu dapat kembali melakukan KMC atau skin-to-skin contact
sesekali, setelah memandikan bayi, pada saat malam hari yang dingin, atau saat
bayi membutuhkan kenyamanan.10
210
CHAPTER 13
2. Menyusui
Posisi kanguru merupakan posisi yang ideal untuk menyusui. Berikut
adalah tatacara memposisikan bayi untuk menyusui
211
CHAPTER 13
3. Temperatur bayi stabil pada posisi kanguru (selama minimal 3 hari berturut-
turut)
4. Ibu mampu dan percaya diri melakukan KMC, dan dapat datang secara
rutin untuk follow-up
5. Ibu mampu menyusui bayinya secara eksklusif, secara mandiri, bayi dapat
minum dengan baik, dan
6. Dukungan dari keluarga untuk menjalankan KMC di rumah
212
CHAPTER 13
213
CHAPTER 13
214
CHAPTER 13
215