Anda di halaman 1dari 221

i

Kontributor Tim Redaksi Knowledge and Skill Kontributor Ahli Kesehatan Anak Departemen Ilmu
Update 6 Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga–RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Nando Reza Pratama, S.Ked Adra Pratama Putra Chafid, dr. Sp.A(K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Respirologi
Ihsan Fahmi Rofananda, S.Ked Neurinda Permata Kusumastuti, dr. Sp.A(K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak
Amirah Jasmine, S.Ked Mahendra Tri Arif Sampurna, dr. Sp.A(K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Neonatologi
Anisa Novia Mahestari, S.Ked Dr. Prastiya Indra Gunawan, dr. Sp.A(K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Neurologi
Nabila Putri Wardhani, S.Ked Aina Setyaningtyas, dr. Sp.A(K), M.Kes.
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak
Natasha Hana Savitri, S.Ked Muhammad Faizi, dr. Sp.A(K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Endokrinologi
Pandit Bagus Tri Saputra, S.Ked Nur Rochmah, dr. Sp.A(K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Endokrinologi
Puguh Oktavian, S.Ked Dr. Retno Asih Setyoningrum, dr. Sp.A(K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Respirologi
Putri Aliya Ahadini Taufiq Hidayat, dr. Sp.A(K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Kardiologi
Rosda Rodhiyana Dr. Risa Etika, Sp.A(K)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Divisi Neonatologi

Ketua LKMI HMI Cabang Surabaya Pembina LKMI HMI Cabang Surabaya
Nizar Al Rhaazi, S.Ked. Dr. Achmad Chusnu Romdhoni, dr., Sp. THT-KL(K),
FICS

Ketua KSU 6 Pembimbing KSU 6


Rakha Rahmatullah Ibrahim, S.Ked Muhammad Faizi, dr., Sp.A(K)

Disclaimer
Dengan adannya buku ini diharapkan para peserta dapat menggunakannya sebagai referensi tambahan dan
pelengkap Simposium dan Workshop KSU 6 yang diselenggarakan oleh LKMI-HMI Cabang Surabaya. Buku ini
disusun oleh tim redaksi KSU 6 dengan kolaborasi ahli Ilmu Kesehatan Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD Dr Soetomo. Materi yang tertuang pada buku ini ditulis
berdasarkan referensi-referensi ilmiah. Mengingat ilmu kedokteran adalah ilmu yang selalu berkembang, sangat
dimungkinkan adanya pembaharuan informasi di masa yang akan datang sehingga kami menyarankan para
pembaca agar selalu mengacu pada bukti-bukti ilmiah terkini. Penerapan informasi yang tercantum tetap
menjadi tanggung jawab dari praktisi kesehatan yang bersangkutan. Tatalaksana klinis yang tercantum pada
buku ini tidak bersifat absolut. Kami menyadari adanya keterbatasan dalam pembuatan buku ini sehingga kritik
dan saran yang membangun dari pembaca sangat kami perlukan.

LKMI-HMI Cabang Surabaya: Surabaya, Jawa Timur

ii
CONTENT
CONTENT............................................................................................................................................................ iii
FOREWORD ..................................................................................................................................................... iv
Chapter 1
GENERAL APPROACH TO DIAGNOSIS AND TREATMENT OF PEDIATRIC
EMERGENCY AND ITS RELEVANCE TO COVID-19...................................................................... 1
Chapter 2
UPDATES ON PEDIATRIC RESUSCITATION................................................................................ 35
Chapter 3
UPDATES ON NEONATAL RESUSCITATION ............................................................................... 43
Chapter 4
A-Z FROM NEONATAL RESUSCTITATION TO STABILIZATION &
TRANSPORTATION ..................................................................................................................................... 65
Chapter 5
CLINICAL APPROACH TO SEIZURES IN PEDIATRICS........................................................... 82
Chapter 6
IMMEDIATE RECOGNITION AND PROMPT TREATMENT OF SHOCK ........................ 99
Chapter 7
DIABETIC KETOACIDOSIS MANAGEMENT DURING COVID-19 PANDEMIC ......... 110
Chapter 8
FLUID THERAPY IN PEDIATRIC EMERGENCY CASES .........................................................129
Chapter 9
EMERGENCY MANAGEMENT AND INSULIN THERAPY FOR TYPE 1 DIABETES
MELLITUS IN PEDIATRICS ................................................................................................................... 149
Chapter 10
CLINICAL MANAGEMENT OF ASTHMA EXACERBATION ................................................. 158
Chapter 11
CARDIAC ARRHYTMIA EMERGENCY IN PEDIATRICS ........................................................ 166
Chapter 12
ECG READING IN PEDIATRIC EMERGENCY: OVERVIEW AND CASE STUDY ...... 184
Chapter 13
SPECIAL WORKSHOP: KANGAROO MOTHERCARE FOR LOW BIRTH WEIGHT
& PRETERM INFANT AND EARLY INITIATION OF BREASTFEEDING-A
DEMONSTRATION ................................................................................................................................... 200

iii
FOREWORD
Assalammualaikum Wr. Wb.

Dengan mengucapkan puji syukur, kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang


Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya kami dapat
menyelesaikan dengan baik Handbook "Current Pediatric Emergency
Management in Primary Care".
Dalam rangka memperkaya bahan bacaan ilmiah bagi mahasiswa
kedokteran dan para dokter maka kami dari panitia Knowledge and Skill Update
(KSU) 6 berinisiatif menyusun bahan ajar terkait kegawatdaruratan anak.
Seorang dokter diharapkan mampu menyelesaikan kasus-kasus gawat
darurat sesuai kompetensinya, termasuk kasus-kasus kegawatdaruratan anak.
Buku ini bersifat pelengkap materi KSU 6 yang termuat ke dalam 13 bab, mengenai
kegawatdaruratan anak di bidang emergensi dan rawat intensif anak,
endokrinologi, kardiologi, neonatologi, neurologi, dan respirologi. Pada buku ini
juga tercantum satu bahasan khusus mengenai inisiasi menyusui dini dan
Kangaroo Mother Care (KMC). Kami berinisiatif membahas materi tersebut karena
pentingnya insiasi menyusui dini pada semua neonatus serta pentingnya manfaat
KMC pada bayi-bayi prematur.
Kami menyadari masih banyak kekurangan sehingga kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat diharapkan demi perbaikan buku ini.
Kami mengucapkan terima kasih yang setulusnya serta rasa bangga
disampaikan pada seluruh tim penyusun dan editor serta para kontributor dari
panitia KSU 6 yang telah bekerja keras menyelesaikan Handbook ini tepat waktu
dan baik. Semoga Handbook ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua,
khususnya bagi mahasiswa kedokteran dan para dokter.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Surabaya, 2 April 2021


Ketua Panitia KSU VI

Rakha Rahmatullah Ibrahim, S.Ked

iv
GENERAL APPROACH TO DIAGNOSIS AND
TREATMENT OF PEDIATRIC EMERGENCY
AND ITS RELEVANCE TO COVID-19
Arda Pratama Putra Chafida, Nando Reza Pratamab
a
Divisi Respirologi Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–
RSUD Dr. Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD Dr. Soetomo

1.1. Pendahuluan
Kematian anak-anak di rumah sakit sering terjadi dalam 24 jam pertama
saat masuk rumah sakit. Banyak dari kematian ini dapat dicegah dengan memulai
identifikasi dan pengobatan segera setelah mereka tiba di fasilitas kesehatan.
Dibutuhkan triase cepat untuk semua pasien anak-anak yang datang ke rumah
sakit untuk menentukan prioritas apakah ada tanda darurat dan memberikan
perawatan darurat yang sesuai.1 Banyak teknik diagnostik dan terapeutik
dianggap sulit dilakukan pada pasien pediatri.2 Selain itu, karena keadaan darurat
pediatrik hanya mencakup 2% hingga 10% dari semua keadaan darurat medis,
sehingga dibutuhkan pengalaman yang memadai bagi dokter yang bekerja pada
perawatan darurat pra-rumah sakit. Anak-anak memiliki kemungkinan yang lebih
rendah untuk terinfeksi langsung dengan SARS-CoV-2.3 Variabilitas presentasi
klinis pasien anak dengan SARS-CoV-2 menjadi tantangan di IGD, sehingga
diperlukan penguasaan teknik darurat dasar termasuk evaluasi klinis anak,
pembentukan akses vena, manajemen jalan napas, resusitasi, dan pemberian
dosis obat untuk keberhasilan perawatan darurat anak-anak yang bertujuan
untuk pengendalian dan pencegahan baik SARS-CoV-2 maupun keadaan darurat
pediatri yang lain.

1.1.1. Epidemiologi
Suatu studi cross-sectional dari Nationwide Emergency Department
Sample di Amerika Serikat mendapatkan tren insiden keadaan darurat pediatri
dari 2008 hingga 2014, dengan kategori pasien dengan usia di bawah 18 tahun,
pada tahun 2008 tercatat sebanyak 1.721 kunjungan per juta orang-tahun. Insiden
ini meningkat menjadi 2020 kunjungan per juta orang-tahun pada tahun 2014.
Kondisi serius yang paling umum adalah distress nafas, septikemia, dan penyakit
neurologis akut. Anafilaksis merupakan keadaan darurat pediatri dengan
peningkatan terbesar yaitu 147%, dari 101 menjadi 249 kunjungan per juta orang-

1
CHAPTER 1

tahun.4 Sebanyak 5.835 pasien kegawatdaruratan pediatri tahun 2011 di Rumah


Sakit Umum Daerah Soetomo memiliki kelompok usia terbanyak yaitu anak-anak
prasekolah (usia 1 tahun sampai 5 tahun) sebesar 1.956 (33,5%), kelompok neonatus
sebanyak 10,9%, kelompok bayi usia 29 hari-1 tahun berjumlah 30,4%, kelompok
anak usia 5–10 tahun sebesar 16,3%, dan kelompok anak > 10 tahun sebesar 8,9%.
Diantara 5.835 subyek, 3.445 (58,5%) adalah laki-laki. Hampir 40% pasien yang
datang ke IRD mengalami infeksi saluran pernafasan atas, diikuti kemudian
dengan diare, kasus neonatologi dan neurologi. 5 Jumlah kasus COVID-19 yang
telah didiagnosis pada anak-anak lebih sedikit daripada orang dewasa, dan
sebagian besar kasus pada pasien pediatri memiliki manifestasi klinis ringan, data
dari akhir Oktober 2020 menunjukkan bahwa hanya 9% dari semua kasus COVID-
19 yang dilaporkan ke Centers for Disease Control and Prevention (CDC) terjadi
pada anak-anak (per 29 Oktober 2020).6

1.1.2. Faktor Risiko


Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan kegawatdaruratan
pediatri, mayoritas diantaranya adalah infeksi, trauma, gangguan pernafasan akut,
gangguan pencernaan, gangguan neurologis, penyakit jantung bawaan dan
keganasan. Suatu penelitian menemukan bahwa balita usia di bawah 2 tahun
dengan insufisiensi pernafasan memiliki risiko kematian tinggi di ruang resusitasi. 7
Faktor risiko utama yang dilaporkan untuk populasi anak yang terinfeksi COVID-
19 adalah kontak dekat dengan anggota keluarga yang terinfeksi dan riwayat
perjalanan atau tempat tinggal di daerah endemik.8

1.1.3. Manifestasi Klinis


Keadaan darurat pediatrik non-trauma dibagi menjadi empat manifestasi
utama.9

1. Gangguan pernapasan
Keadaan darurat pernafasan pada anak-anak ditandai dengan dua
manifestasi utama, dispnea dan stridor. Jenis stridor sudah dapat
memberikan petunjuk penting untuk diagnosis banding. Obstruksi pada
bagian ekstratoraks trakea menyebabkan stridor inspirasi, sedangkan
obstruksi pada bagian intratoraks menyebabkan stridor ekspirasi atau
gabungan. Penyebab paling umum dari stridor inspirasi onset mendadak
adalah pseudocroup. 10 Trias barking cough, suara serak, dan stridor inspirasi

2
CHAPTER 1

yang khas akan muncul pada anak setelah infeksi saluran pernapasan
bagian atas. Obstruksi tingkat tinggi pada saluran udara yang lebih kecil
dengan stridor ekspirasi biasanya merupakan manifestasi asma bronkial
atau bronkiolitis. Diagnosis banding yang penting untuk stridor inspirasi
atau ekspirasi adalah aspirasi benda asing.
2. Perubahan kesadaran
Perubahan kesadaran pada anak-anak, memiliki penyakit yang mendasari
diagnosis tersebut, antara lain: demam (sepsis, meningitis, heatstroke),
sentralisasi peredaran darah (syok), dan trauma. Perubahan kesadaran juga
dapat disebabkan oleh hipoglikemia, yang muncul sebagai akibat
pengobatan insulin untuk diabetes mellitus, setelah waktu yang lama tanpa
asupan makanan, atau adanya kelainan metabolisme bawaan. Selain
hipoglikemia, hiperglikemia juga menyebabkan gangguan kesadaran,
hiperglikemia simtomatik pada masa kanak-kanak hampir selalu
disebabkan oleh ketoasidosis diabetikum, dan yang terakhir keracunan
dapat terjadi pada semua usia dan dapat menyebabkan perubahan
kesadaran tergantung pada zat yang telah tertelan. 9
3. Kejang
Kejang epilepsi merupakan persentase besar intervensi medis darurat pada
anak-anak; kebanyakan kasus adalah kejang demam. Kejang demam
sering terjadi dan biasanya tidak berbahaya 9, tetapi diagnosis banding yang
lebih jarang, termasuk meningitis, cedera otak traumatis, dan dehidrasi
parah, harus selalu diwaspadai.
4. Syok
Anak-anak, seperti orang dewasa, dapat mengalami syok akibat sejumlah
kondisi umum termasuk trauma, luka bakar, infeksi, gastroenteritis, dan
reaksi anafilaksis. Jenis syok yang paling umum pada anak-anak adalah syok
hipovolemik, yang disebabkan salah satunya karena kehilangan cairan yang
terus-menerus pada gastroenteritis, sedangkan syok septik pada anak-anak
terjadi karena berbagai penyakit yang mendasari.

1.1.4. Klasifikasi
Pada Pedoman Manajemen Terpadu Balita Sakit, klasifikasi pada
kegawatdaruratan anak dimulai dengan memeriksa tanda bahaya umum,

3
CHAPTER 1

kemudian jika terdapat satu atau lebih tanda bahaya umum, maka diklasifikasikan
dalam penyakit sangat berat dan harus segera ditangani.12

1.1.5. Tanda dan Gejala


Pada penilaian awal terdapat beberapa tanda bahaya umum pada pasien
kegawatdaruratan pediatri antara lain:

• Tidak bisa minum atau menyusui


• Memuntahkan semua makanan dan/atau minuman
• Pernah atau sedang mengalami kejang
• Letargis atau tidak sadar
• Gelisah
• Ada stridor
• Tampak biru (sianosis)
• Ujung tangan dan kaki tampak pucat dan dingin

Sebuah studi melibatkan 171 anak dengan infeksi SARS-CoV-2 di Rumah Sakit Anak
Wuhan di Cina.12 melaporkan bahwa tanda dan gejala yang paling umum adalah
batuk (48,5% pasien), eritema faring (46,2%), dan demam (41,5%). Tanda dan gejala
lainnya antara lain; diare (8,8% pasien), kelelahan (7,6%), rhinorrhea (7,6%), muntah
(6,4%), hidung tersumbat (5,3%)

1.2. Diagnosis
1.2.1. Anamnesis
Berdasarkan Majamen Terpadu Balita Sakit (MTBS), penilaian, klasifikasi dan
tindakan/pengobatan balita sakit usia 2 bulan sampai 5 tahun dimulai dari
anamnesis pada ibu pasien, tanyakan apakah kunjungan pertama atau kunjungan
ulang, jika kunjungan pertama anamnesis untuk menilai keadaan umum anak
sebagai berikut:

• Apakah anak bisa minun atau menyusu?


• Apakah anak memuntahkan semua makanan dan/atau minuman?
• Apakah anak pernah kejang selama sakit ini?

Ada beberapa kondisi khusus pada anak yang perlu ditanyakan sesuai
dengan keluhannya antara lain:

1. Anak dengan keluhan batuk dan atau sukar bernapas

4
CHAPTER 1

• Berapa lama batuk berlangsung?


2. Anak dengan keluhan diare
• Sudah berapa lama?
• Adakah darah dalam tinja?
3. Anak dengan keluhan demam
• Tanyakan apakah tinggal di daerah endemis malaria atau tidak, jika
tinggal di daerah non endemis, tanyakan Riwayat berpergian ke area
endemis malaria dalam 1-2 minggu terakhir
• Sudah berapa lama anak demam?
• Jika lebih dari 7 hari apakah demam setiap hari?
• Apakah pernah menderita malaria atau minum obat malaria?
• Apakah anak menderita campak dalam jangka waktu 3 bulan terakhir?

Klasifikasikan demam untuk demam berdarah dengue, hanya jika demam


atau Riwayat demam 2 sampai dengan 7 hari, tanyakan :

• Apakah demam mendadak tinggi dan terus menerus?


• Apakah ada nyeri ulu hati atau anak gelisah?
• Apakah badan anak dingin?
• Apakah ada muntah, jika ya apakah sering? Apakah muntah dengan
darah atau seperti kopi?
• Apakah ada perdarahan (di kulit, hidung, saat buang air besar)
• Apakah berak berwarna hitam?
• Apakah dilingkungan ada yang terinfeksi DBD?
4. Anak dengan masalah telinga
• Apakah ada nyeri telinga?
• Adakah rasa penuh di telinga?
(anak rewel, menarik-narik telinga)
• Adakah cairan/nanah keluar dari telinga, jika ya berapa lama?

Penilaian klasifikasi dan Tindakan/pengobatan bayi muda umur kurang dari


2 bulan diperlukan pula anamnesis kepada ibu bayi tersebut, tanyakan apakah
kunjungan ini merupakan kunjungan pertama atau kunjungan ulang, pada
kunjungan pertama harus ditanyakan:

• Apakah bayi tidak mau minum atau memuntahkan semua?


• Apakah bayi kejang?

5
CHAPTER 1

Kemudian dilanjutkan pada pemeriksaan ikterus, tanyakan apakah bayi


kuning, jika ya, pada umur berapa pertama kali timbul kuning?

1.2.2. Pemeriksaan Fisik


Dalam menilai tanda bahaya umum dapat dilakukan pemeriksaan fisik:

• Anak gelisah atau letargis?


• Kejang?
• Terdengar stridor?
• Tampak biru (sianosis)?
• Ujung tangan dan kaki pucat dan dingin?

Jika anak menderita batuk atau sukar bernafas, pemeriksaan fisik yang dapat
dilakukan:

• Hitung napas dalam 1 menit:


- Pada anak umur 2 bulan ≤ 12 bulan nafas cepat apabila 50x atau lebih per
menit
- Pada anak umur 12 bulan ≤ 5 tahun nafas cepat apabila 40x atau lebih
per menit
• Tarikan dinding dada ke dalam?
• Terdengar Wheezing?
• Periksa saturasi oksigen dengan pulse oximeter

Anak diare dapat dilakukan pemeriksaan fisik:

• Letargis atau tidak sadar?


• Rewel/ mudah marah?
• LIhat apakah matanya cekung?
• Beri anak minum, apakah
- Tidak bisa minum atau malas minum
- Haus, minum dengan lahap?
• Cubit kulit perut untuk mengetahui turgor, apakah kembalinya sangat
lambat (<2 detik) atau lambar (masih sempat terlihat lipatan kulit)
• Kemudian nilai derajat dehidrasi anak

Anak dengan keluhan demam:

6
CHAPTER 1

• Demam berdasarkan anamnesis ATAU teraba panas ATAU suhu 37,5 derajat
selsius
• Lihat dan periksa apakah ada kaku kuduk
• Lihat adanya penyebab lain dari demam
• Lihat apakah ada tanda-tanda campak saat ini : ruam kemerahan di kulit
yang menyeluruh DAN terdapat salah satu dari batuk, pilek mata merah
• Jika anak menderita campak sekarang atau dalam 3 bulan terakhir
- Lihat adanya luka di mulut apakah dalam/luas?
- LIhat adanya nanah pada mata
- LIhat adanya keruhan pada kornea
• Jika anak dicurigai demam berdarah dengue
- Periksa tanda-tanda syok: ujung ekstremitas teraba dingin dan nadi
sangat lemah/tidak teraba
- LIhat adanya perdarahan dari hidung/gusi
- Bintik perdarahan di kulit
- Lakukan uji torniket bila pasien tidak syok dan tidak ada perdarahan

Anak dengan keluhan telinga:

• LIhat adakah cairan/nanah keluar dari telinga?


• Raba apakah ada pembengkakan yang nyeri di belakang telinga?

Pada keadaan tertentu didapatkan kasus kegawatdaruratan pediatri karena gizi


buruk, maka pemeriksaan fisik yang harus dilakukan antara lain:

• Lihat apakah anak tampak sangat kurus


• Lihat dan raba adanya edema pada kedua punggung kaku
• Tentukan berat badan (BB) menurut Panjang badan (PB) atau tinggi badan
(TB) sesuai dengan umur dan jenis kelamin

BB/PB (TB) < -3SD


BB/PB (TB) -3 SD sampai -2 SD
BB/PB (TB) antara -2 SD sampai +2SD
• Ukur LILA pada anak umur ≥ 6 bulan. Jika BB/PB (TB) < -3 SD ATAU LILA <
11,5 cm maka
Periksa salah satu atau lebih tanda-tanda komplikasi medis berikut
- Apakah ada tanda bahaya umum
- Apakah ada klasifikasi berat

7
CHAPTER 1

Jika tidak ada komplikasi medis, lakukan penilauan pada anak umur < 6
bulan, apakah ada masalah pemberian ASI?

Anak juga perlu diperiksa apakah anemia dengan cara melihat kepucatan pada
telapak tangan, apakah sangat pucat atau agak pucat.
Pada bayi muda umur kurang dari 2 bulan pemeriksaan awal untuk melihat
adanya kemungkinan penyakit sangat berat atau infeksi bakteri dapat dilakukan
pemeriksaan fisik:

• Lihat gerakan pada bayi


- Apakah bayi bergerak atas kemauan sendiri?
- Bayi Bergerak, setelah di stimulasi?
- Apakah bayi tidak bergerak sama sekali?
• HItung napas dalam 1 menit, ulangi menghitung jika bayi bernapas cepat ≥
60 kali per menit atau bernapas lambat <40 kali per menit
• Lihat adanya tarkan dinding dadake dalam yang sagat kuat
• Ukur suhu aksiler
• Lihat apakah mata bernana? Apakah nanah banyak di mata?
• Apakah pusar kemerahan/bernanah? Dan jika ada, apakah kemerahan
meluas sampai ke dinding perut lebih dari 1 cm
• Lihat apakah ada pustul dikulit

Dilanjutkan dengan pemeriksaan ikterus, lihat adanya icterus pada mata atau
kulit, selain itu apakah ada kekuningan pada telapak kaki bayi.
Jika bayi diare lakukan pemeriksaan fisik dengan melihat keadaan umum bayi:

• Lihat keadaan umum bayi


- Apakah bayi bergerak atas kemauan sendiri?
- Bayi Bergerak, setelah di stimulasi?
- Apakah bayi tidak bergerak sama sekali?
- Apakah bayi gelisah/rewel?
• Lihat apakah matanya cekung?
- Cubit kulit perut untuk mengetahui turgor, apakah kembalinya
sangat lambat (<2 detik) atau lambar (masih sempat terlihat lipatan
kulit)

8
CHAPTER 1

Bayi dengan berat badan rendah kemungkinan terjadi masalah pemberian ASI
sehingga harus diperiksa:

• Tentukan berat badan menurut umur


• Adakah luka atau bercak putih (thrush) di mulut
• Apakah celah bibir/ langit-langit

Jika bayi tidak ada indikasi dirujuk, lakukan penilaian tentang cara
menyusui. Lihat apakah bayi menyusui dengan baik, nilai dari posisi bayi yang
benar, perlekatan mulut bayi, dan apakah bayi mengisap denga efektif.

1.2.3. Pemeriksaan penunjang


Diagnosis kegawatdaruratan pada anak harus segera ditegakkan Ketika
pasien datang, sehingga hanya sedikit pemeriksaan penunjang yang dilakukan
pada kasus ini menurut pedoman MTBS pemeriksaan penunjang ditujukan untuk
anak dengan keluhan demam untuk membedakan kausa demam karena dengue
atau malaria yaitu dengan pemeriksaan malaria RDT dan mikroskopis. Anak
dengan keluhan diare atau anak presentasi klinis anemis dapat dilakukan
pemeriksaan feses lengkap untuk menemukan apakah parasit di dalam fesesnya.

1.2.4. Alur Diagnosis


Memeriksa tanda bahaya umum pada balia usia 2 bulan sampai 5 tahun12
Tanyakan:

1. apakah anak bisa minum atau menyusu?


2. apakah anak memuntahkan semua makanan dan/atau minuman?
3. Apakah anak pernah kejang selama sakit ini?

Lihat dan dengar:

1. Apakah anak rewel atau gelisah, letargis atau tidak sadar?


2. Apakah anak mengalami kejang saat ini?
3. Apakah anak terdengar stridor?
4. Apakah anak tampak biru (sianosis)?
5. Apakah ujung tangan dan kaki pucat dan dingin?

Seorang anak dengan tanda bahaya umum harus segera ditangani. Penilaian
tanda bahaya dapat dilihat pada gambar 1.12

9
CHAPTER 1

Gambar 1. Alur diagnosis balita sakit umur 2 bulan sampai 5 tahun.12

Memeriksa balita sakit umur kurang dari 2 bulan12


Tanyakan:

1. Apakah bayi tidak mau minum atau memuntahkan semua?


2. Apakah bayi kejang?

Lihat, dengar, dan rasakan:

1. Hitung nafas dalam 1 menit, ulangi menghitung jika bayi bernapas cepat
(≥60 kali/menit) atau bernapas lambat (<30 kali/menit)
2. Lihat gerakan pada bayi
a. Apakah bayi bergerak atas kemauan sendiri?
b. Bayi bergerak, setelah distimulasi?
c. Apakah bayi tidak bergerak sama sekali?
3. Lihat adanya tarikan dinding dada ke dalam yang sangat kuat?
4. Lihat, adalkah ada pustul di kulit?
5. Lihat apakah mata bernanah? Apakah nanah banyak di mata?
6. Apakah pusar kemerahan/bernanah? Apakah kemerahan meluas sampai
ke dinding perut lebih dari 1 cm?

10
CHAPTER 1

Gambar 2. Alur diagnosis balita sakit umur kurang dari 2 bulan.12

11
CHAPTER 1

1.3. Terapi dan tatalaksana


1.3.1. Tatalaksana Menurut MTBS:

Gambar 3. Terapi dan tatalaksana anak dengan batuk atau sukar bernapas.12

Gambar 4. Terapi dan tatalaksana anak dengan diare.12

12
CHAPTER 1

Gambar 5a. Terapi dan tatalaksana anak dengan demam

Gambar 5b. Terapi dan tatalaksana anak dengan demam.12

13
CHAPTER 1

Gambar 6. Terapi dan tatalaksana anak dengan masalah telinga.12

Gambar 7. Terapi dan tatalaksana anak dengan masalah gizi.12

14
CHAPTER 1

Gambar 8. Terapi dan tatalaksana anak dengan anemia.12

Gambar 9. Terapi dan tatalaksana pada bayi muda umur kurang dari 2 bulan
dengan icterus.12

15
CHAPTER 1

Gambar 10. Terapi dan tatalaksana bayi muda umur kurang dari 2 bulan dengan

diare. 12
Jika ibu HIV positif dan mencampur pemberian ASI nya dengan makanan
lain, hentikan ASI dan rujuk ke bagian gizi

Gambar 11. Terapi dan tatalaksana bayi muda umur kurang dari 2 bulan dengan
kemungkinan berat badan rendah dan masalah pemberian ASI. 12

16
CHAPTER 1

1.3.2. Terapi dan Tatalaksana COVID-19


Menurut pedoman tatalaksana COVID-19 edisi 3, pembagian klasifikasi klinis
berdasarkan pada tabel 1:13
Tabel 1. Klasifikasi Klinis COVID-1913
Klasifikasi Definisi
Tanpa gejala Hasil uji SARS-CoV-2 positif tanpa ada tanda dan gejala klinis.
Ringan Gejala infeksi saluran napas atas seperti demam, fatigue,
mialgia, batuk, nyeri tenggorokan, pilek, dan bersin.
Beberapa kasus mungkin tidak disertai demam, dan lainnya
mengalami gejala saluran pencernaan seperti mual, muntah,
nyeri perut, diare, atau gejala non-respiratori lainnya.
Sedang Gejala dan tanda klinis pneumonia. Demam, batuk, takipnu*,
dapat disertai ronki atau wheezing pada auskultasi paru
tanpa distres napas dan hipoksemia.
*Takipnu = Frekuensi nafas pada:
<2 bulan: ≥60x/menit,
2–11 bulan: ≥50x/menit,
1–5 tahun: ≥40x/menit,
>5 tahun: ≥30x/menit
Berat • Gejala dan tanda klinis pneumonia berat berupa napas
cuping hidung, sianosis, retraksi subkostal, desaturasi
(saturasi oksigen <92%).
• Adanya tanda dan gejala bahaya umum seperti kejang,
penurunan kesadaran, muntah profuse, tidak dapat
minum, dengan atau tanpa gejala respiratori.
Kritis Pasien mengalami perburukan dengan cepat menjadi acute
respiratory distress syndrome (ARDS) atau gagal napas atau
terjadi syok, ensefalopati, kerusakan miokard atau gagal
jantung, koagulopati, gangguan ginjal akut, dan disfungsi
organ multipel atau manifestasi sepsis lainnya. Kriteria gagal
napas dengan pediatric acute respiratory distress syndrome
(PARDS) dapat dilihat pada gambar di bawah

17
CHAPTER 1

Multisystem Anak dan remaja 0-19 tahun yang mengalami demam > 3hari
inflammatory DAN disertai dua dari:
syndrome a) Ruam atau konjungtivitis bilateral non purulenta atau
tanda inflamasi mukokutaneus pada mulut, tangan dan
kaki
b) Hipotensi atau syok
c) Gambaran disfungsi miokardium, perikarditis, vaskulitis,
abnormalitas koroner (terdiri atas kelainan pada
ekokardiografi, peningkatan Troponin/NT-proBNP)
d) Bukti adanya koagulopati (dengan peningkatan PT,
APTT, D-dimer)
e) Gejala gastrointestinal akut (diare, muntah, atau nyeri
perut)
DAN
Peningkatan marker inflamasi seperti LED, CRP atau
procalcitonin
DAN
Tidak ada penyebab keterlibatan etiologi bakteri yang
menyebabkan inflamasi meliputi sepsis bakteri, sindrom
syok karena Stafilokokkus atau Streptokokkus
DAN
Terdapat bukti COVID-19 (berupa RT-PCR, positif tes antigen
atau positif serologi) atau kemungkinan besar kontak
dengan pasien COVID-19

18
CHAPTER 1

Gambar 12. Tatalaksana koagulopati pada anak dengan COVID-19.13

19
CHAPTER 1

Gambar 13a. Tatalaksana neonates dari ibu yang suspek, probable, atau
terkonfirmasi COVID-19 menurut pedoman tatalaksana COVID-19 edisi 3.13

20
CHAPTER 1

Gambar 13b. Tatalaksana neonates dari ibu yang suspek, probable, atau
terkonfirmasi COVID-19 menurut pedoman tatalaksana COVID-19 edisi 3.13

21
CHAPTER 1

Gambar 14. Algoritma Tata Laksana ARDS pada Anak dengan Infeksi Covid-19.13

22
CHAPTER 1

1.3.3. Pemantauan
Monitoring yang dilakukan sesuai dengan klasifikasi penyakit pada anak sakit
umur 2 bulan sampai 5 tahun yang sudah didiagnosis sebelumnya pada saat
kunjungan pertama. 12

1. Pneumonia
Sesudah 2 hari monitor
• Apakah nafas lebih lambat?
• Ada tarikan dinding dada ke dalam?
• Apakah nafsu makan membaik
• Periksa tanda bahaya umum
• Lakukan penilaian untuk batuk atau sukar bernapas
2. Diare Persisten
Sesudah 3 hari monitor
• Apakah diare sudah berhenti?
• Berapa kali anak mencret setiap hari?
3. Disentri
Sesudah 3 hari monitor
• Apakah mencretnya berkurang?
• Apakah darah dalam tinja berkurang?
• Apakah nafsu makan membaik?
• Lakukan penialaian untuk diare
4. Malaria (Daerah Endemis tinggi atau Endemis Rendah)
Setelah 3 hari jika tetap demam periksa
• Lakukan penilaian ulang lengkap dan rujuk ke laboratorium untuk
pemeriksaan hitung parasite
• Cari penyebab lain dari demam
5. Demam Mungkin Bukan Malaria (Daerah Endemis Tinggi atau Endemis
Rendah Malaria)
Setelah 3 hari jika tetap demam periksa
• Lakukan penilaian untuk demam
• Cari penyebab lain dari demam
6. Demam Bukan Malaria
(Daerah Non Endemis Malaria dan tidak ada kunjungan ke daerah endemis
malaria)

23
CHAPTER 1

Setelah 2 hari jika tetap demam


• Lakukan penilaian untuk demam
• Cari penyebab lain dari demam
7. Campak Dengan Komplikasi Pada Mata Atau Mulut
Setelah 3 hari periksa
• Apakah mata anak merah atau bernanah
• Apakah ada luka di mulut
8. Infeksi Telinga Akut Atau Kronis
Sesudah 5 hari periksa
• Lakukan penilaian ulang masalah telinga
• Ukur suhu tubuh anak
9. Mungkin Demam Berdarah Dengue Demam Mungkin Bukan Demam
Berdarah Dengue
Sesudah hari 1 (untuk klasifikasi mungkin DBD)
Sesudah 2 hari (untuk klasifikasi demam mungkin bukan DBD)
Periksa:
• Lakukan penilaian ulang untuk demam, jika tetap demam, cari
penyebab lain dari demam
10. Masalah Pemberian Makan
Sesudah 7 hari periksa penliaian ulang cara pemberian makan
11. Gizi Kurus
Sesudah 30 hari monitor
• Lakukan pemeriksaan BB/TB, BB/PB dan LILA seperti pada
kunjungan pertama
• Lakukan penilaian ulang cara pemberian makan
• Periksa edema tungkai
12. Gizi Sangat Kurus Tampa Komplikasi
Sesudah 7 hari monitor
• Lakukan penilaian lengkap
• Lakukan pemeriksaan BB/TB dan LILA seperti pada kunjungan
pertama
• Periksa adanya edema pada tungkai
• Nilau nafsu makan anak
• Lakukan penilaian ulang tentang cara pemberian makanan

24
CHAPTER 1

13. Pemantauan derajat keparahan pasien pada kasus anak dengan COVID-19.13
• Pemantauan derajat keparahan pasien yang disepakati oleh pakar
intensif anak adalah nilai rasio SpO2/FiO2 (SF ratio)
• Pada pasien dengan tunjangan pernapasan non-invasif dapat
digunakan indeks saturasi oksigen (Oxygen Saturation Index/OSI)
• Pada pasien dengan ventilasi mekanik invasif dapat dihitung indeks
oksigenasi (Oxygenation Index/OI)
• Kadar FiO2 disesuaikan untuk mencapai target saturasi perifer atau
SpO2 < 97% agar validitas penghitungan SF rasio dan OSI dapat dijaga
• Prediksi perburukan pirau intrapulmonal dapat dilakukan dengan
menghitung dan memantau AaDO2
• Kriteria P-ARDS yang digunakan sesuai dengan kriteria Pediatric Acute
Lung Injury Conference Consensus (PALICC)

1.4. Penutup
1.4.1. Edukasi
A. Mengajari ibu cara pemberian obat oral di rumah

• Tentukan jenis obat dan dosis yang sesuai berdasarkan barat atau umur
anak
• Jelaskan alasan pembarian obat
• Peragakan bagaimana cara membuat satu dosis
• Perhatikan cara ibu menyiapkan sendiri satu dosis
• Mintalah ibu memberikan dosis pertama pada anak bila obat jarus diberikan
di klinik
• Terangkan dengan jelas cara memberi obat dan tuliskan pada obat
• Jika akan memberikan lebih dari satu obat, bungkus tiap obat secara
terpisah
• Jelaskan bahwa semua obat harus diberikan sesuai anjuran walaupun anak
telah menunjukkan perbaikan cek pemahaman ibu, sebelum ibu
meninggalkan klinik

25
CHAPTER 1

B. Mengajari ibu cara mengobati infeksi lokal di rumah


Secara umum, berikut hal-hal yang perlu dijelaskan kepada ibu
• Jelaskan alasan pemberian obat
• Uraikan langkah-langkah pengobatan sebagaimana tercantum dalam
kotak yang sesuai
• Amati cara ibu melakukan pengobatan di klinik
• Jelaskan berapa kali dia harus mengerjakannya di rumah
• Berikan obat yang telah digunakan dalam peragaan untuk dilanjutkan di
rumah
• Cek pemahaman ibu

26
CHAPTER 1

Tabel 2. Edukasi ibu cara mengobati infeksi lokal di rumah menurut MTBS.12
A. Mengobati infeksi mata dengan tetes/salep mata12
Bersihkan kedua mata, 3 kali sehari:
• Cucilah tangan
• Mintalah anak untuk memejamkan mata
• Gunakan kapas basah untuk membersihkan nanah
Berikan obat tetes/salep mata kloramfenikol/tetrasiklin 3 kali sehari:
• Mintalah anak melihat ke atas. Tarik kelopak mata bawah perlahan
ke arah bawah
• Teteskan obat tetes mata atau oleskan sejumlah kecil salep di
bagian
• dalam kelopak mata
• Cuci tangan kembali
Catatan:
• Obati sampai kemerahan hilang
• Jangan menggunakan salep/tetes mata yang mengandung
kortikosteroid atau memberi sesuatu apapun di mata
B. Perawatan telinga12
Mengeringkan Telinga dengan Bahan Penyerap:
• Keringkan telinga sekurang-kurangnya 3 kali sehari
• Gulung selembar kain penyerap bersih dan lunak atau kertas tissu
yang kuat, menjadi sebuah sumbu. Jangan gunakan lidi kapas
• Masukkan sumbu tersebut ke dalam telinga anak
• Keluarkan sumbu jika sudah basah
• Ganti sumbu dengan yang baru dan ulangi langkah di atas sampai
telinga anak kering
Untuk infeksi telinga:
• Teteskan 3-5 tetes larutan H2O2 3% pada telinga yang sakit, lalu
keringkan dengan kertas tissu. Lakukan hal ini 3 kali sehari.
• Sesudah mengeringkan telinga, teteskan derivat Quinolon 2-3
tetes/kali dan biarkan selama 10 menit. Berikan 2x sehari, pagi dan
malam selama 14 hari.
C. Perawatan mulut12
Mengobati Luka di Mulut dengan antiseptik mulut:
• Obati luka di mulut 2 kali sehari selama 5 hari
• Cucilah tangan
• Basuhlah mulut anak dengan jari yang dibungkus kain bersih yang
telah dibasahi larutan garam
• Oleskan antiseptik mulut
• Cuci tangan kembali
D. Meredakan batuk dan melegakan tenggorok dengan bahan yang aman
Bahan aman yang dianjurkan:
• ASI eksklusif sampai umur 6 bulan
• Kecap manis atau madu dicampur dengan air jeruk nipis (madu
tidak dianjurkan untuk anak umur < 1 tahun)
Obat yang tidak dianjurkan
• Semua jenis obat batuk yang dijual bebas yang mengandung
atropine, codein, dan derivatnya atau alcohol
• Obat-obatan dekongestan oral dan nasal

27
CHAPTER 1

C. Mencegah agar gula darah tidak turun

Gambar 15. Edukasi untuk mencegah agar gula darah tidak turun.12
D. Edukasi terkait pemberian makan

Gambar 16. Edukasi ibu tentang masalah pemberian makan.12

28
CHAPTER 1

E. Edukasi rencana terapi cairan untuk diare

Gambar 17. Edukasi ibu rencana terapi diare di rumah.12

Gambar 18. Edukasi ibu tentang cara pemberian cairan.12

29
CHAPTER 1

F. Menasehati ibu tentang kesehatan dirinya12

• Jika ibu sakit, berikan perawatan untuk ibu atau RUJUK


• Jika ibu mempunyai masalah payudara (missal: bengkak, nyeri pada putting
susu, infeksi payudara), berikan perawatan atau RUJUK untuk pertolongan
lebih lanjut
• Nasihati ibu agar makan dengan baik untuk menjaga kesehatan
• Periksa satatus imunisasi ibu, jika dibutuhkan berikan imunisasi Tetanus
Toksoid (TT)
• Pastikan bahwa ibu memperoleh informasi dan pelayanan terhadap:
o Program keluarga berencana
o Konseling peruhal penyakit menular seksual dan pencegahan
HIV/AIDS

G. Menasehati tentang penggunaan kelambu untuk pencegahan malaria 12

• Ibu dan anak tidur dengan menggunakan kelambu


• Kelambu yang tersedia mengandung obat anti nyamuk yang dapat
membunuh nyamuk tapia man bagi manusia
• Gunakan kelambu pada malam hari, walaupun diduga tak ada nyamuk
• Gunakan paku dan tali untuk menggantung kelambu
• Ujung kelambu harus ditempatkan di bawah Kasur atau tikar
• Cuci kelambu bila kotor, tapi jangan lakukan di saluran air atau di sungai
karena obat anti nyamuk tidak baik untuk ikan
• Perhatikan juga hal berikut:
o Jangan menggantung pakaian di dalam kamar tidur
o Jika berada di luar rumah, gunakan pakaian lengan Panjang dan
celana/rok Panjang
o Bila memungkinkan, semprot kamar tidur dengan obat anti nyamuk
dan oleskan obat anti nyamuk saat bepergian
o SEGERA BEROBAT BILA ANAK DEMAM

30
CHAPTER 1

H. Menasehati ibu terkait waktu untuk kembali


Tabel 3. Tanda-tanda agar bayi segera dibawa ke petugas Kesehatan menurut
MTBS.12
Nasihati ibu agar segera kembali jika ditemukan tanda-tanda berikut
Setiap anak sakit - Tidak bisa minum atau menyusu
- Bertambah parah
- Timbul demam
Anak dengan Batuk: bukan - Nafas cepat
pneumonia juga kembali jika - Sukar bernapas
Jika anak DIARE, juga kembali - Tinja campur darah
jika: - Malas minum
Jika anak: MUNGKIN DBD atau - Ada tanda-tanda pendarahan
DEMAM MUNGKIN BUKAN - Nyeri ulu hati
DBD, juga kembali jika: - Muntah yang terus-menerus
- Gelisah
- Ada penurunan kesadaran
- Kejang
Catatan:
Kejadian ini bisa terjadi pada saat demam
turun, pada umumnya pada hari ke 3-5

Tabel 4. Waktu untuk kembali untuk pemantauan menurut MTBS.12


A Kunjungan ulang pasti ada anak dengan Kunjungan ulang
1 Pneumonia 2 hari
2 Disentri 3 hari
3 Campak dengan komplikasi pada mata atau mulut 3 hari
4 Diare persisten 3 hari
5 Mungkin DBD 1 hari
6 Infeksi telinga akut 5 hari
7 Infeksi telinga kronik 5 hari
8 Masalah pemberian makan 7 hari
9 Gizi sangat kurus tanpa komplikasi 7 hari
10 Anemia 14 hari
11 Gizi kurus 30 hari
B Kunjungan ulang bila tidak ada perbaikan Kunjungan ulang
1 BATUK BUKAN PNEUMONIA 2 hari
Jika tidak ada perbaikan
2 DIARE DEHIDRASI RINGAN-SEDANG 3 hari
Jika tidak ada perbaikan
3 DIARE TANPA DEHIDRASI 3 hari
Jika tidak ada perbaikan
4 DEMAM MALARIA 3 hari
Jika tetap demam
5 DEMAM MUNGKIN BUKAN MALARIA 3 hari
Jika tetap demam
6 DEMAM BUKAN MALARIA 2 hari
Jika tetap demam
7 DEMAM MUNGKIN BUKAN DBD 2 hari
Jika tetap demam

31
CHAPTER 1

C Kunjungan berikutnya untuk anak sehat


Nasehati ibu kapan harus membawa anaknya Kembali untuk imunisasi
dan vitamin A berikutnya, sesuai JADWAL YANG DITETAPKAN

I. Asuhan dasar bayi muda


Edukasi kepada ibu pada saat kunjungan rumah atau pemeriksaan di
klinik. Pastikan ibu dapat melakukan tindakan menurut tabel 4.

Tabel 5. Asuhan dasar bayi muda kurang dari 2 bulan menurut panduan MTBS12
A. Mencegah Infeksi
• Cuci tangan sebelum atau sesudah memegang bayi
• Bersihkan tali pusat jika basah atau kotor dengan air matang,
kemudian keringkan dengan kain yang bersih dan kering.
INGATKAN ibu supaya menjaga tali pusat selalu bersih dan kering
• Jaga kebersihan tubuh bayi dengan memandikannya setelah suhu
stabil.
• Gunakan sabun dan air hangat, bersihkan seluruh tubuh dengan
hati-hati
• Hindarkan bayi baru lahir kontak dengan orang sakit, karena sangat
rentan tertular penyakit.
• Minta ibu untuk memberikan kolostrum karena mengandung zat
kekebalan tubuh.
• Anjurkan ibu untuk menyusui sesering mungkin hanya ASI saja
sampai 6 bulan. Bila bayi tidak bisa menyusu, beri ASI perah dengan
menggunakan cangkir/sendok. Hindari pemakaian botol dan
dot karena dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi saluran
cerna
B. Memberi ASI saja sesering mungkin
• Cuci tangan sebelum dan sesudah memegang bayi
• Minta ibu untuk memberi ASI saja sesering mungkin minimal 8 kali
sehari, siang ataupun malam.
• Menyusui dengan payudara kiri dan kanan secara bergantian
• Berikan ASI dari satu payudara sampai kosong sebelum pindah ke
payudara lainnya
• Jika bayi telah tidur selama 2 jam, minta ibu unntuk
membangunkannya dan langsung disusui
• Minta ibu untuk meletakkan bayi di dadanya sesering mungkin dan
tidur bersama ibu
• Ingatkan ibu dan anggota keluarga lain untuk membaca kembali
hal-hal tentang pemberian ASI di Buku KIA
• Minta ibu untuk menanyakan hal-hal yang kurang dipahami
C. Menjaga bayi mmuda selalu hangat
• Cuci tangan sebelum dan sesudah memegang bayi
• Setiap kali bayi basah, segera keringkan tubuhnya dan ganti
pakaian/kainnya dengan yang kering.
• Baringkan di tempat yang hangat dan jauh dari jendela atau pintu.
Beri alas kain yang bersih dan kering di tempat untuk pemeriksaan
bayi, termasuk timbangan bayi.

32
CHAPTER 1

• Jika tidak ada tanda-tanda hipotermia, mandikan bayi 2 kali sehari


(tidak boleh lebih).
• Selesai memandikan, segera keringkan tubuh bayi.
• Kenakan pakaian bersih dan kering, topi, kaus tangan, kaus kaki
dan selimut jika perlu
• Minta ibu untuk meletakkan bayi di dadanya sesering mungkin dan
tidur bersama ibu.
• Pada BBLR atau suhu < 35,5 °C, hangatkan bayi dengan METODA
KANGURU atau dengan lampu 60-watt berjarak minimal 60 cm
dari bayi.
D. Imunisasi
• Segera beri imunisasi HB0 sebelum bayi berumur 7 hari
• Beri imunisasi BCG dan Polio 1 ketika bayi berumur 1 bulan (kecuali
bayi lahir di Rumah Sakit, imunisasi diberikan sebelum
dipulangkan)
• Tunda pemberian imunisasi pada Bayi Muda yang mempunyai
klasifikasi merah.

1.5. Take-home Message


Pengetahuan tentang diagnosis dasar pada kegawatdaruratan pediatri
memungkinkan dokter melakukan tatalaksana dengan percaya diri saat
menangani keadaan darurat pediatrik. Ditemukannya perubahan parameter
fisiologis tahun pertama kehidupan seorang anak merupakan dasar penilaian
kondisi yang mengancam jiwa.

1.6. Daftar Singkatan


ASI : Air Susu Ibu
BB : Berat Badan
COVID-19 : Coronavirus disease
DBD : Demam Berdarah Dengue
IRD : Instalasi Rawat Darurat
LILA : Lingkar Lengan Atas
MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit
ODP : Orang Dalam Pengawasan
PB : Panjang Badan
PDP : Pasien Dalam Pengawasan
RDT : Rapid Diagnostic Test
SARS-CoV-2 : severe acute respiratory syndrome coronavirus 2
SD : Simpang Deviasi
TB : Tinggi Badan

33
CHAPTER 1

1.7. Daftar Pustaka


1. World Health Organization. Guideline: Updates on Paediatric Emergency
Triage, Assessment and Treatment: Care of Critically-Ill Children. World
Heal Organ Geneva, Switz. 2016;1–88.
2. Meyburg J, Bernhard M, Hoffmann GF, Motsch J. Grundlagen für die
behandlung von notfällen im kindesalter. Dtsch Arztebl. 2009;106(45):739–
48.
3. Bialek S, Gierke R, Hughes M, McNamara LA, Pilishvili T, Skoff T. Coronavirus
disease 2019 in children: Current status - Morbidity and Mortality Weekly
Report. 2020;69(14):422–6. Available from:
https://www.cdc.gov/mmwr/volumes/69/wr/pdfs/mm6914e4-H.pdf
4. Michelson KA, Hudgins JD, Burke LG, Lyons TW, Monuteaux MC, Bachur
RG, et al. Trends in severe pediatric emergency conditions in a National
Cohort, 2008 to 2014. Pediatr Emerg Care. 2020;36(11):e620–1.
5. Dharmawati I, Setyaningtyas A, Kusumastuti NP. Profil pasien di gawat
darurat medik anak di RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2011. J Ners.
2012;7(2):131–5.
6. CDC. Demographic trends of COVID-19 cases and deaths in the US
reported to CDC. Centers for Disease Control and Prevention. 2020.
Available from: https://covid.cdc.gov/covid-data-tracker/#demographics.
7. Claudet I, Bounes V, Federici S, Laporte E, Pajot C, Micheau P, et al.
Epidemiology of admissions in a pediatric resuscitation room. Pediatr
Emerg Care. 2009;25(5):312–6.
8. Feldstein LR, Rose EB, Horwitz SM, Collins JP, Newhams MM, Son MBF, et
al. Multisystem Inflammatory Syndrome in U.S. Children and Adolescents.
N Engl J Med. 2020;383(4):334–46.
9. Meyburg J, Bernhard M, Hoffmann GF, Motsch J. Grundlagen für die
behandlung von notfällen im kindesalter. Dtsch Arztebl. 2009;106(45):739–
48.
10. Cherry J. Clinical Practice Croup. New Engl J Med. 2008;358:384–389.
11. Lu X, Zhang L, Du H, et al. SARS-CoV-2 infection in children. N Engl J Med.
2020;382 (17):1663-65.
12. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Manajemen Terpadu Balita
Sakit (MTBS). 2018. Available from:
https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/mpk/article/download/125
/546/
13. Erlina B, Agus DS, Sally AN, Eka G, Ceva WP, Adityo S, et al. Protokol
Tatalaksana COVID-19. 2020. Available from: https://www.idai.or.id/tentang-
idai/pernyataan-idai/pedoman-tatalaksana-covid-19-edisi-3-desember-
2020

34
UPDATES ON PEDIATRIC RESUSCITATION
Neurinda Permata Kusumastuti
Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga-RSUD dr. Soetomo

2.1. Pendahuluan
Coronavirus disease 2019 (COVID-19), yang menyebabkan acute respiratory
syndrome yang berat, dinyatakan sebagai pandemi global oleh Organisasi
Kesehatan Dunia pada 11 Maret 2020. Pada 20 Mei 2020, COVID-19 telah didiagnosis
di 216 negara dan wilayah1 dengan lebih dari 4,9 juta kasus COVID-19 yang
dikonfirmasi di seluruh dunia dan lebih dari 1,5 juta kasus dan 92.000 kematian di
Amerika Serikat saja2. Dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih tua, anak-
anak memiliki proporsi kasus COVID-19 yang rendah dan biasanya memiliki
perjalanan penyakit yang lebih ringan3-4. Bayi dan anak dengan penyakit penyerta
mungkin lebih rentan terhadap penyakit parah.5 Dalam serial kasus anak terbesar,
yang saat ini dipublikasikan (CDC China 01/16 - 02/08; n = 2143) 5,2% mengalami
penyakit yang berat (didefinisikan sebagai 'dispnea, sianosis sentral dan saturasi
oksigen kurang dari 92%'), dan 0,6% mangalami sakit kritis.5-6 Namun, banyak
patogen dan / atau etiologi lain yang mungkin mendasari dapat menyebabkan
gagal napas pada anak-anak dan diagnosis yang tepat mungkin sulit ditegakkan.5,7
Selain gagal napas, saat ini didapatkan Multisystem Inflamatory Syndrome (MIS-
C) terkait COVID-19 pada anak-anak8, yang menyebabkan peningkatan keparahan
pada anak dengan COVID-19 terus berkembang.4
Kondisi pandemi ini telah menciptakan tantangan penting untuk upaya
resusitasi tersebut dan memerlukan modifikasi potensial dari proses dan praktik
yang sudah ada. Padahal selama 2 dekade terakhir, peningkatan angka
kelangsungan hidup setelah kejadian henti jantung meningkat dengan stabil,
baik yang terjadi di dalam maupun di luar rumah sakit1 dan keberhasilan tersebut
bergantung pada inisiasi intervensi resusitasi yang terbukti, seperti kompresi dada
dan defibrilasi berkualitias tinggi yang dilakukan dalam hitungan detik hingga
menit setelah pasien mengalami henti jantung. Jadi tantangannya adalah
memastikan bahwa pasien dengan atau tanpa COVID-19 yang mengalami
serangan jantung mendapatkan kesempatan terbaik untuk bertahan hidup tanpa
mengorbankan keselamatan penolong, yang akan dibutuhkan untuk merawat
pasien di masa depan. Yang memperumit kondisi ini adalah karena COVID-19 ini

35
CHAPTER 2

sangat mudah menular, terutama saat resusitasi, karena melibatkanaerosol


generating procedure (AGP) yang menyebabkan peningkatan penyebaran dari
virus, dan penyakit ini memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. 4,9-10

Untuk itulah beberapa lembaga kesehatan telah membuat suatu algoritma


untuk melakukan resusitasi pada anak yang diduga atau terkonfirmasi COVID-19,
yang salah satunya kemudian di adopsi untuk petugas kesehatan di Indonesia. 11

2.2. Prinsip Dasar Resusitasi pada Pasien yang Diduga atau


Terkonfirmasi COVID-19
Petugas kesehatan sudah menjadi profesi dengan risiko tertinggi untuk
tertular penyakit. Risiko ini diperparah dengan kekurangan alat pelindung diri
(APD) di seluruh dunia.9
Diperlukan cara yang tepat untuk tetap bisa melakukan resusitasi yang
optimal dan mengurangi resiko tertular dari ternaga kesehatan yang melakukan
resusitasi, yaitu dengan cara mengurangi Paparan Tenaga Medis terhadap COVID-
19: 9,10

• Sebelum memasuki lokasi, semua tenaga medis harus mengenakan


APD untuk menjaga dari kontak dengan partikel udara dan droplet.
Konsultasikan standar sistem layanan kesehatan atau layanan medis
darurat (EMS) individu karena rekomendasi APD dapat sangat
bervariasi berdasarkan data dan ketersediaan epidemiologi saat ini.
• Batasi personel di dalam ruangan atau di tempat kejadian hanya
yang penting untuk perawatan pasien.
Tiga anggota tim membuat segitiga resusitasi dengan tanggung
jawab tambahan.
✓ Peran 1: Airway (bertindak sebagai pemimpin juga)
✓ Peran 2: Pijat jantung untuk bergantian dengan anggota 3
✓ Peran 3: Defibrilator eksternal otomatis (AED) atau defibrilator /
berikan obat / bantuan
Anggota tim lain yang bertanggung jawab untuk mencatat acara
atau konseling harus tetap berada di luar ruang resusitasi atau pada
jarak yang aman dari lokasi. Komunikasikan status COVID-19 dengan
jelas kepada tenaga medis baru yang akan melakukan resusitasi

36
CHAPTER 2

lanjutan sebelum kedatangan mereka di tempat kejadian atau


penerimaan pasien saat mentransfer ke tempat lainnya.
1. Prioritaskan Strategi Oksigenasi dan Ventilasi Dengan Risiko Aerosolisasi
Lebih Rendah.
• Pasang filter HEPA dengan benar, jika tersedia, pasang juga ke
perangkat ventilasi manual atau mekanis di jalur gas yang
dihembuskan sebelum memberikan bantuan napas atau ventilasi
tekanan positif.
• Amankan jalan napas menggunakan tracheal tube (TT) atau
laryngeal mask airway (LMA). Untuk meminimalkan risiko pajanan
ke petugas kesehatan, hubungkan filter virus atau heat moisture
exchanger (HME) dengan kapasitas penyaringan virus antara TT /
LMA dan ujung Y dari tabung ventilator / kantong self-inflating [5]
saat diluar rumah sakit atau jika intubasi / penyisipan LMA harus
ditunda sampai pasien ditransfer ke dalam rumah sakit, gunakan
ventilasi kantong dan masker dengan filter virus dan segel yang rapat
untuk meminimalkan kebocoran udara.

Filter Virus Hidrofobik

Kedua tangan memegang


masker dengan bentuk
huruf
PlastikV menutupi kepala,
leher dan dada
Gambar 1. Cara pemberian sungkup Oksigen manual dengan bag and
mask11

• Setelah tenaga kesehatan menilai irama jantung dan melakukan


defibrilasi pada kondisi aritmia yang shockable, pasien yang
mengalami henti jantung harus diintubasi dengan TT dengan cuffed
sedini mungkin. Sambungkan selang endotrakeal ke ventilator
dengan filter HEPA jika tersedia. Minimalkan kemungkinan upaya
intubasi yang gagal dengan cara berikut:

37
CHAPTER 2

a. Menetapkan tenaga medis yang memiliki kemungkinan terbesar


berhasil dalam melakukan intubasi (dalam 1 kali tindakan)
b. Saat melakukan intubasi, kompresi dihentikan
• Pertimbangkan penggunaan Laringoskopi video saat intubasi untuk
mengurangi paparan intubator terhadap partikel aerosol jika
tersedia.
• Sebelum intubasi, gunakan perangkat bag-mask (atau potongan T
pada neonatus) dengan filter HEPA dan segel yang rapat.
• Jika intubasi tertunda, pertimbangkan ventilasi manual ventilasi
tekanan positif dengan bag and mask yang disambung dengan filter
HEPA.
• Setelah kita merangkai sirkuit yang tertutup pada pasien,
minimalkan pemutusan untuk mengurangi aerosolisasi (misal
melakukan suction).
2. Pertimbangkan Kesesuaian Memulai dan Melanjutkan Resusitasi
• Lihat tujuan perawatan pada pasien dengan COVID-19 untuk
mengantisipasi potensi kebutuhan peningkatan tingkat perawatan.
Pertimbangkan derajat keparahan penyakit.
• Sistem perawatan kesehatan dan EMS harus membuat kebijakan
untuk memandu garda terdepan dalam menentukan kesesuaian
saat memulai dan menghentikan resusitasi jantung paru (RJP) untuk
pasien dengan COVID-19, dengan mempertimbangkan faktor risiko
yang dimiliki oleh pasien untuk memperkirakan kemungkinan
kelangsungan hidup.

38
CHAPTER 2

2.3. Algoritma Bantuan Hidup Dasar pada Anak

Sebelum mempelajari algoritma bantuan hidup dasar (BHD) pada anak, kita
harus mengetahui pembagian cara melakukan BHD ini sesuai usia, yaitu:

• Panduan untuk bayi berlaku pada bayi dibawah 1 tahun


• Panduan untuk anak diaplikasikan atau berlaku untuk anak yang
berusia di atas 1 tahun hingga pubertas (pubertas didefinisikan
sebagai berkembangnya payudara pada wanita dan tumbuhnya
rambut aksila pada pria)
• Untuk anak yang telah menunjukkan tanda pubertas dan seterusnya,
pedoman untuk bantuan hidup dasar sesuai dengan dewasa

Satu yang harus diperhatikan dalam melakukan BHD pada anak adalah
High-quality cardiopulmonary resuscitation merupakan fondasi dari keberhasilan
resusitasi, untuk mendapatkan hasil yang maksimal. yang disebut sebagai High-
quality cardiopulmonary resuscitation adalah :12

1. Push Hard (dengan kedalaman  1/3 diameter antero-posterior dinding


dada).
2. Push Fast (kecepatan 100 – 120 kali per menit)
3. Minimize interuption saat melakukan kompresi
4. Hindari ventilasi eksesif

39
CHAPTER 2

Gambar 2. Algoritma BHD pada henti jantung anak dengan COVID-19 untuk 1
orang penolong9,11

40
CHAPTER 2

Gambar 3. Algoritma BHD henti jantung pada anak dengan COVID-19 untuk 2
orang penolong9,11

Dari kedua algoritma di atas secara umum dapat kita lihat bahwa alur
pemberian bantuan hidup dasar tidak jauh berbeda dengan penanganan pasien
secara umum atau alur BHD yang sebelumnya, namun beberapa langkah yang
dimodifikasi adalah pemakaian APD dan alat bantu sungkup-balon dengan filter
dan penutup ketat.

2.4. Kesimpulan

High-quality cardio-pulmonary resuscitation merupakan fondasi dari


keberhasilan resusitasi. Tetapi jangan lupa untuk tetap memperhatikan prinsip
pemberian resusitasi pada pasien anak yang dicurigai atau terdiagnosis COVID-19,
yaitu: kurangi paparan terhadap tenaga kesehatan yang melakukan BHD,

41
CHAPTER 2

prioritaskan untuk melakukan strategi pemberian oksigenasi dan ventilasi dengan


resiko aerosol yang rendah dan pertimbangkan kesesuaian kapan harus memulai
dan menghentikan resusitasi. Karena tujuan dari pemberian resusitasi adalah
mendapatkan luaran pasien yang terbaik.

2.5. Daftar Pustaka

1. World Health Organization: Coronavirus Disease (COVID-19) Pandemic.


2020. Diunduh dari: https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-
coronavirus-2019, tanggal 1 Februari 2021
2. Johns Hopkins University: Maps and Trends. Coronavirus Resource Center.
2020. Diunduh dari: https://coronavirus.jhu.edu/data, tanggal 1 Februari
2021
3. Wu Z, McGoogan JM. Characteristics of and important lessons from the
coronavirus disease 2019 (COVID-19) outbreak in China: Summary of a
report of 72314 cases from the Chinese Center for Disease Control and
Prevention. JAMA 2020; 323:1239–1242
4. Morgan RW, Kienzle M, Sen AI, Kilbaugh TJ, Dewan M, Raymond TT, et al.
Pediatric resuscitation practices during the coronavirus disease 2019
pandemic. Pediatr Crit Care Med 2020; XX:1-10.
5. de Voorde PV, Biarent D, Bingham B, Brissaud O, De Lucas N, Djakow J, et
al. Pediatric basic and advance life support. Dalam: European
Resuscitation Council COVID-19 Guidelines, edisi 1, 24 April 2020.
6. Dong Y, Mo X, Hu Y, Qi X, Jiang F, Jiang Z, et al. Epidemiological
characteristics of 2143 pediatric patients with 2019 coronavirus disease in
China. Pediatrics 2020. https://doi.org/10.1542/peds.2020-0702.
7. Liu W, Zhang Q, Chen J, Xiang R, Song H, Shu S, et all. Detection of COVID-
19 in Children in Early January 2020 in Wuhan, China. N Engl J Med.
2020;382(14):1370–1371
8. Belhadjer Z, Meot M, Bajolle F, et al: Acute heart failure in multisystem
inflammatory syndrome in children (MIS-C) in the context of global SARS-
CoV-2 pandemic. Circulation 2020 May 17.
9. Edelson DP, Sasson C, Chan PS, Atkins DL, Aziz K, Becker LB, et al. Interim
Guidance for Basic and Advanced Life Support in Adults, Children, and
Neonates With Suspected or Confirmed COVID-19. Circulation.
2020;141:e933–e943. DOI: 10.1161/CIRCULATIONAHA.120.047463
10. Tiwari L, Taneja LN, Gupta S. IAP ALS Update on Resuscitation Guidelines
During COVID-19 Pandemic. Indian J. Pediatr 2020; 27: 1-7.
11. Panduan klinis tatalaksana COVID-19 pada anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Edisi-3. 14 Juni 2020
12. Topjian AA, Raymond TT, Atkins D, Chan M, Duff JP, Joyner Jr BJ, et al. Part
4: Pediatric Basic and Advanced Life Support 2020 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Pediatrics. 2020; doi: 10.1542/peds.2020-038505D

42
UPDATES ON NEONATAL RESUSCITATION
Mahendra Tri Arif Ampurnaa, Natasha Hana Savitrib, Anisa Novia
Mahestarib
a
Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr Soetomo

3.1. Pendahuluan
Sebagian bayi baru lahir (10%) memerlukan bantuan untuk memulai
pernapasan sedangkan hanya 1% bayi yang memerlukan resusitasi lebih lanjut
(intubasi, kompresi dada, dan pemberian obat). Setiap bayi baru lahir senantiasa
mengalami proses transisi dari kehidupan intrauterin menuju ekstrauterin yang
melibatkan hampir semua sistem organ tubuh. Di antara berbagai sistem organ
tersebut, perubahan sistem pernapasan dan sirkulasi segera setelah lahir
memainkan peranan penting agar bayi dapat beradaptasi pada lingkungan
ekstrauterin. Perubahan fisiologis tersebut penting untuk dipahami oleh setiap
penolong resusitasi bayi baru lahir agar dapat menentukan tindakan yang tepat
apabila terjadi gangguan selama masa transisi.

3.1.1. Epidemiologi
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), jumlah kematian
neonatus menurun dari 4,4 juta pada tahun 1990 menjadi 3 juta pada tahun 2011.
Angka kematian neonatus menurun dari 32/1000 kelahiran hidup menjadi 22/1000
kelahiran hidup pada periode yang sama, mengalami penurunan lebih dari 30%.
Angka kematian neonatus di Indonesia pada tahun 2002 dilaporkan 20 per 1000
kelahiran hidup, yang menurut WHO mirip dengan rata-rata untuk negara-negara
Asia Tenggara lainnya (19 per 1.000 kelahiran hidup). Sementara menurut Survei
Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, angka kematian bayi (AKB) 32/1000
kelahiran hidup. Penyebab utama kematian neonatal pada minggu pertama (0-6
hari) adalah asfiksia (36%), BBLR/ prematuritas (32%), serta sepsis (12%). Sementara
penyebab kematian neonatus (7-28 hari) adalah sepsis (22%), kelainan kongenital
(18%), dan pneumonia (17%). Sementara itu, di RSUD Dr. Soetomo pada tahun 2017
juga pernah dilakukan penelitian dan dikatakan bahwa didapatkan 101 kematian
neonatus dari 807 kelahiran neonatus, baik yang lahir di RSUD dr. Soetomo (50,5%)
maupun lahir di rumah sakit lain (34,7%), bidan praktek swasta (9,9%), rumah atau
tempat lain (5%).

43
CHAPTER 3

3.1.2. Faktor Risiko


Faktor risiko dapat dijumpai pada ibu dan janin selama kehamilan maupun
persalinan, sehingga hal ini harus cepat dikenali untuk mengantisipasi masalah
yang mungkin timbul.
Tabel 1. Faktor risiko yang dapat dijumpai pada neonatus yang perlu dilakukan
resusitasi
Faktor Risiko Ibu Faktor Janin Faktor Intrapartum
Ketuban pecah dini >18 Kehamilan multiple Pola denyut jantung
jam (ganda atau triplet) janin yang meragukan
pada CTG
Perdarahan pada Prematur (usia gestasi Presentasi abnormal
trimester 2 dan 3 <35 minggu)
Hipertensi dalam Postmatur (usia gestasi Prolaps tali pusat
kehamilan >41 minggu)
Hipertensi Kronik Besar masa kehamilan Persalinan/kala 2
memanjang
Penyalahgunaan obat Pertumbuhan janin Persalinan yang sangat
terhambat cepat
Konsumsi obat (lithium, Penyakit hemolitik Perdarahan antepartum
magnesium, aloimun (misal anti-D, (misal solusio plasenta,
penghambat adrenergic, anti-Kell, terutama jika plasenta previa, vasa
narkotika) terdapat anemia/hidrops previa)
fetalis)
Diabetes Mellitus Polihidramnion atau Ketuban bercampur
oligohidramnion meconium
Penyakit Kronik (anemia, Gerakan janin berkurang Pemberian obat
PJB sianotik) sebelum persalinan narkotika untuk
mengurangi rasa nyeri
pada ibu dalam 4 jam
proses persalinan
Demam Kelainan kongenital Kelahiran dengan
yang memengaruhi forceps
pernapasan, fungsi
kardiovaskular, atau
proses transisi lainnya
Infeksi Infeksi intrauterine Kelahiran dengan
vakum
Korioamnionitis Hidrops fetalis Penerapan anestesi
umum pada ibu
Sedasi berat Presentasi bokong Bedah kaisar yang
bersifat darurat
Kematian janin Distosia bahu
sebelumnya
Tidak pernah melakukan
pemeriksaan antenatal

44
CHAPTER 3

3.1.3. Patofisiologi
Selama kehidupan janin, plasenta memegang peranan penting dalam
pertukaran gas dan sisa metabolisme. Alveolus paru janin belum berfungsi dan
masih terisi cairan yang disekresi oleh sel epitel paru. Cairan tersebut diperlukan
untuk memertahankan volume paru mendekati kapasitas residu fungsional (KRF)
yaitu sekitar 30 mL/kgBB guna mencapai pertumbuhan paru yang normal pada
saat bayi dilahirkan.
Perbedaan fisiologis juga terlihat pada sistem kardiovaskular janin. Sirkulasi
janin bersifat paralel dan shunt-dependent yaitu terdapat kombinasi kerja kedua
ventrikel jantung untuk memompa darah ke dalam sirkulasi sistemik. Pirau terjadi
di intrakardiak (foramen ovale) maupun ekstrakardiak (duktus venosus dan duktus
arteriosus). Sirkulasi ini memungkinkan sebagian darah kaya oksigen dari vena
umbilikalis melewati hati masuk ke vena kava inferior (melalui duktus venosus),
atrium kanan, atrium kiri (melalui foramen ovale), ventrikel kiri, lalu dipompa
menuju otak, miokardium, dan bagian atas tubuh. Sisa darah kaya oksigen dari
vena umbilikalis memasuki sirkulasi hati dan bercampur dengan darah yang
memiliki tekanan oksigen lebih rendah pada vena kava inferior lalu bercampur
dengan darah dari vena kava superior dan sinus koronarius masuk ke atrium
kanan, ventrikel kanan dan dipompa menuju bagian bawah tubuh serta arteri
umbilikalis untuk mengalami reoksigenasi di plasenta. Darah dari ventrikel kanan
juga memasuki sirkulasi paru namun hanya dalam jumlah kecil (± 12%) akibat
tahanan pembuluh darah paru yang tinggi, adanya duktus arteriosus, dan tahanan
pembuluh darah sistemik yang rendah.
Setelah lahir terjadi serangkaian peristiwa fisiologis yang unik sehingga bayi
dapat beradaptasi dengan lingkungan ekstrauterin. Cairan dalam alveolus paru
akan segera digantikan oleh udara sehingga paru bayi dapat berfungsi dengan
optimal (gambar 1). Pada awal persalinan kala 1 sekresi cairan paru akan berhenti
karena stimulasi katekolamin yang beredar dalam sirkulasi janin sedangkan
kontraksi uterus akan meningkatkan tekanan rongga dada janin dan mendorong
cairan paru keluar sehingga membantu pengosongan cairan paru. Sebelum
memasuki persalinan kala 2 sebagian besar cairan paru sudah diabsorpsi. Berbagai
faktor (penurunan pO2, pH, dan peningkatan pCO2 akibat pemutusan hubungan
dengan sirkulasi umbilikal, perubahan suhu, serta adanya rangsang taktil,
audiovisual, dan proprioseptif) akan merangsang bayi melakukan tarikan napas

45
CHAPTER 3

pertama. Tarikan napas tersebut menghasilkan tekanan negatif inspiratori yang


tinggi, mencapai 70-110 cmH2O, untuk mengembangkan paru serta mendorong
sebagian besar cairan paru ke dalam ruang perivaskular. Pengembangan paru dan
peningkatan kadar oksigen dalam alveoli akan mengurangi tahanan pembuluh
darah paru diikuti peningkatan aliran darah paru dan penyerapan cairan paru ke
dalam sirkulasi. Penyerapan cairan paru juga berlangsung melalui sistem limfatik
paru bayi. Penyerapan cairan paru dipengaruhi oleh sistem transport aktif,
terutama natrium, dan gradien osmotik antara cairan paru dan cairan interstitial.
Pada bayi cukup bulan dan bugar proses penyerapan berlangsung sampai kurang
lebih 2 jam.

Gambar 1. Transisi sistem pernapasan, cairan dalam alveolus digantikan oleh


udara

Di dalam kandungan janin hidup dengan saturasi oksigen kurang lebih


60%, dan setelah lahir bayi bugar memerlukan waktu transisi untuk mencapai
tingkat saturasi oksigen 90%. Bayi prematur umumnya membutuhkan waktu
sekitar 6,5 menit (antara 4,9 hingga 9,8 menit) dan bayi cukup bulan sekitar 4,7
menit (antara 3,3 hingga 6,4 menit) untuk mencapai saturasi oksigen di atas 90%.
Penjepitan tali pusat setelah bayi lahir akan memutuskan hubungan
sirkulasi bayi dari sirkulasi plasenta yang memiliki tahanan rendah. Hal ini
mengakibatkan peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik bayi serta
penurunan aliran darah yang melewati duktus venosus. Duktus venosus akan
menutup secara pasif dalam waktu 3-7 hari diikuti penurunan aliran darah ke vena
kava inferior. Peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik bersamaan dengan
penurunan resistensi pembuluh darah paru akan meningkatkan tekanan pada
atrium kiri serta menurunkan tekanan pada atrium kanan. Perubahan tekanan
pada kedua atrium tersebut akan diikuti dengan perubahan arah pirau dari kiri ke
kanan dan penutupan foramen ovale secara fungsional dalam beberapa tarikan

46
CHAPTER 3

napas pertama. Peningkatan pO2 dalam darah disertai penurunan kadar


prostaglandin yang beredar segera setelah lahir menyebabkan konstriksi duktus
arteriosus. Penutupan fungsional duktus arteriosus terjadi dalam 60 jam pada 93%
bayi cukup bulan sedangkan penutupan secara permanen menjadi ligamentum
arteriosum umumnya terjadi dalam 4-6 minggu setelah lahir. Sistem
kardiovaskular bayi selanjutnya menjadi suatu rangkaian, ventrikel kiri memompa
darah ke seluruh sirkulasi sistemik dan ventrikel kanan memompa darah ke
sirkulasi paru (gambar 2).

Gambar 2. Perbedaan sirkulasi sebelum lahir dan setelah lahir

3 Perubahan Transisi Normal:

1. Cairan alveoli diserap oleh jaringan paru,


digantikan oleh udara
2. Arteri dan vena umbilikalis konstriksi
sehingga meningkatkan tekanan darah
sistemik
3. Pembuluh darah paru relaksasi. Tahanan
terhadap aliran darah menurun,
meningkatkan aliran darah paru

Masalah yang dapat terjadi selama transisi adalah paru tidak terisi udara
meskipun sudah ada pernapasan spontan (ventilasi tidak adekuat), tidak terjadi
peningkatan tekanan darah sistemik (hipotensi sistemik), dan arteri pulmonal
tetap konstriksi setelah kelahiran.
Tanda bahaya pada neonatus yang dapat dijumpai saat resusitasi neonatus
adalah depresi pernapasan (kurangnya oksigen ke otak), tonus otot buruk

47
CHAPTER 3

(berkurangnya oksigen ke otak), bradikardia, takipneu, sianosis, dan tekanan darah


yang rendah.
Masalah perinatal yang sering dijumpai adalah apneu primer dan sekunder.
Apneu primer adalah keadaan ketika janin/bayi kekurangan oksigen, terjadi
periode awal usaha bernapas cepat. Pada apneu primer, bayi berespon terhadap
rangsang taktil. Sedangkan apneu sekunder terjadi jika kekurangan oksigen yang
berlangsung lebih lama, sehingga bayi berusaha bernapas (megap-megap). Pada
apneu sekunder, bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan taktil.

3.2. Tindakan Resusitasi


3.2.1. Indikasi Mulainya Tindakan
Jika didapatkan salah satu jawaban ‘tidak’ dari pertanyaan awal, yaitu,
apakah bayi bernapas atau menangis, dan apakah tonus otot bayi baik.

3.2.2. Alur Tindakan


Persiapan resusitasi neonatus mencakup pengenalan faktor risiko,
persiapan tim, persiapan lingkungan resusitasi, persiapan perlengkapan alat
resusitasi, dan pencegahan penularan infeksi yang mungkin timbul saat
melakukan resusitasi.

1. Pembentukan Tim Resusitasi

Setelah mengumpulkan informasi tentang faktor risiko dan keadaan


terakhir ibu dan janin, pembagian tugas yang jelas perlu diingatkan sesaat
sebelum melakukan resusitasi untuk mengurangi kesalahan yang mungkin
akan terjadi. Anggota tim resusitasi pada bayi baru lahir dapat dilakukan
oleh dokter spesialis anak konsultan neonatologi/ dokter spesialis anak/
dokter spesialis anestesi/ dokter spesialis kandungan/ dokter umum/
perawat/ bidan, namun perlu dipahami bahwa bantuan resusitasi tidak
dapat dilakukan seorang diri, terutama pada persalinan risiko tinggi.
Sebaiknya penolong sudah menguasai pelatihan resusitasi neonatus dasar
dengan anggota tim idealnya minimal 3 orang.

• Penolong pertama = kapten/pemimpin jalannya resusitasi


- Posisi: di atas kepala bayi

48
CHAPTER 3

- Memiliki pengetahuan dan kompetensi resusitasi yang paling


tinggi dan lengkap serta dapat menginstruksikan tugas kepada
anggota tim lainnya.
- Tanggung jawab utama: ventilasi (airway dan breathing).
• Penolong kedua = asisten sirkulasi
- Posisi: sisi kiri bayi (posisi ini tidak terlalu mengikat, dibolehkan
bertukar posisi antara penolong kedua dan ketiga, dengan
catatan fungsi tidak tumpang tindih)
- Tanggung jawab: sirkulasi bayi
- Meliputi: mendengarkan laju denyut jantung bayi, mengatur
kebutuhan tekanan inspirasi positif (positive inspiratory
pressure/PIP) dan fraksi oksigen (FiO2), memberikan kompresi
jantung, memasang kateter umbilikal untuk resusitasi cairan
• Penolong ketiga = asisten peralatan dan obat
- Posisi: sisi kanan bayi (posisi ini tidak terlalu mengikat, dibolehkan
bertukar posisi antara penolong kedua dan ketiga, dengan
catatan fungsi tidak tumpang tindih)
- Tanggung jawab: menyalakan tombol pencatat waktu,
memasang monitor saturasi, monitor suhu, menyiapkan
peralatan suction, persiapan obat-obatan dan alat-alat lainnya.
2. Lingkungan Resusitasi Ruangan
• Ruangan

Ruang resusitasi harus sangat berdekatan dengan ruang bersalin/


kamar operasi agar tim resusitasi dapat segera melakukan pertolongan.
Hal-hal yang harus diperhatikan pada ruang resusitasi yaitu: ruangan
harus cukup hangat untuk mencegah bayi baru lahir kehilangan panas
tubuhnya, cukup terang untuk dapat menilai status klinis ibu-bayi, dan
cukup besar untuk tim resusitasi bergerak. Bila terdapat persalinan
multipel maka diperlukan ruangan yang lebih besar dengan pemancar
panas (infant warmer) dan set resusitasi sejumlah bayi yang akan lahir.

• Suhu

Keadaan hipotermi atau hipertermi akibat proses konduksi, konveksi,


evaporasi maupun radiasi harus dicegah karena akan memengaruhi

49
CHAPTER 3

efektivitas termoregulasi selama resusitasi. Keadaan tersebut dapat


dihindari dengan menjaga suhu tubuh bayi antara 36,5-37,50 C. Upaya
pengaturan suhu antara lain:

- Mengatur suhu ruangan yang hangat (24 - 260 C)


- Meletakkan bayi tidak di bawah pendingin ruangan
- Infant warmer dihangatkan sebelum bayi lahir (untuk
menghangatkan matras, kain, topi, dan selimut bayi)
- Menggunakan kain yang hangat dan kering untuk mengeringkan
bayi
- Menggunakan plastik bening untuk membungkus bayi dengan
berat < 1500 gram
- Memakaikan topi pada kepala bayi sesuai dengan ukurannya
- Bayi di bawah 1000 gram menggunakan matras penghangat/
blanket roll
- Menggunakan inkubator transpor yang sudah dihangatkan atau
transportasi dengan kontak kulit dengan kulit (metode kangguru)
pada fasilitas terbatas untuk memindahkan bayi ke ruang perawatan
3. Perlengkapan Resusitasi
Tidak semua bayi baru lahir memerlukan tindakan resusitasi, namun
peralatan yang lengkap tetap harus disiapkan untuk mengantisipasi
kemungkinan terburuk. Kondisi perlengkapan resusitasi harus selalu
dicatat dan diperiksa agar dapat berfungsi dengan baik ketika diperlukan.
• Penghangat/ Warmer
- Kain pengering dan topi
- Handuk hangat/ pembungkus
- Kantung plastik untuk neonatus < 1500 gram
- Penghangat kepala (overhead heater) atau infant warmer
• Pengisap / Suction
- Suction dengan tekanan negatif (tidak boleh melebihi 100
mmHg)
- Kateter suction
- Aspirator mekoneum

50
CHAPTER 3

• Ventilasi
- Balon mengembang sendiri/self-inflating bag (contoh: balon
volume 250 ml) dan sungkup wajah berbagai ukuran (lihat
gambar 2.15), dilengkapi dengan katup tekanan positif akhir
ekspirasi/positive end-expiratory pressure (PEEP).
- T-piece resuscitator adalah alat yang dapat memberikan tekanan
inspirasi positif / Positive Inspiratory Pressure (PIP) dan PEEP
terukur secara konstan sehingga bayi dapat meningkatkan
volume paru dan mencapai kapasitas residu fungsional. T-piece
resuscitator dapat memberikan ventilasi tekanan positif dan
tekanan napas positif berkelanjutan/ Continuous Positive Airway
Pressure (CPAP) dini.
- Balon tidak mengembang sendiri/Flow-inflating bag (contoh:
sungkup anestesi, Jackson-Rees) merupakan alat yang dapat
memberikan PEEP terukur secara konstan, sehingga dapat
memberikan CPAP dini, namun tidak direkomendasikan untuk
pemberian ventilasi tekanan positif
- Peralatan intubasi (laringoskop, pipa endotrakeal, stilet)
- Sungkup laring / Laryngeal Mask Airway (LMA)
- Sungkup wajah
• Akses sirkulasi
- Perlengkapan untuk memasang akses vena perifer
- Kateter umbilikal
- Obat-obatan resusitasi (adrenalin, atropin), cairan (garam
fisiologis dan darah)
• Transportasi: inkubator transpor yang telah dihangatkan atau peralatan
metode kanguru
• Pelengkap
- Stetoskop bayi
- Alat periksa gula darah
- Pulse oximetry
- Stopwatch, timer
• Sumber gas
• APD: handschoen, masker, topi, gaun OK, sepatu

51
CHAPTER 3

3.2.3. Penilaian dan Langkah Awal


Penilaian yang harus dilakukan segera setelah bayi lahir dan berlanjut
sepanjang resusitasi adalah pernapasan, tonus otot, dan laju denyut jantung.
Sedangkan komponen yang dinilai pada evaluasi lanjutan sepanjang resusitasi
berlangsung adalah laju denyut jantung bayi, pernapasan, tonus otot dan
oksigenasi
Setiap penolong resusitasi harus dapat melakukan penilaian awal untuk
menentukan kebutuhan resusitasi pada bayi baru lahir. Penilaian awal tersebut
meliputi:

1. Menangis atau bernapas?


Pernapasan merupakan komponen yang penting untuk dinilai karena
tanda yang pertama kali muncul pada bayi dengan gangguan
kardiorespirasi adalah penurunan upaya bernapas. Pernapasan
mungkin sulit dinilai pada satu atau dua menit pertama setelah lahir
karena setelah upaya bernapas awal, pernapasan bayi dapat berhenti
selama beberapa detik diikuti oleh pernapasan regular yang cukup
untuk memertahankan laju denyut jantung lebih dari 100 kali per menit.
Pada bayi yang bernapas spontan perlu dinilai ada tidaknya tanda
distress pernapasan, ditandai dengan adanya retraksi costa dan
sternum, serta adanya merintih.
2. Tonus otot baik?
Tonus otot merupakan penilaian yang subyektif dan bergantung pada
masa gestasi bayi, namun cukup akurat untuk memrediksi kebutuhan
resusitasi pada neonatus.

Bila jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah ‘ya’ maka bayi hanya
memerlukan perawatan rutin, yaitu mengeringkan bayi, memosisikan bayi kontak
kulit dengan kulit (skin-to-skin) dengan ibunya, dan menyelimuti bayi dengan
linen kering untuk memertahankan suhu. Tenaga kesehatan tetap melakukan
pemantauan pernapasan, aktivitas dan warna kulit bayi selama perawatan rutin.
Jika terdapat gangguan pernapasan (distress nafas), maka bayi perlu diberikan
tekanan positif berkelanjutan pada jalan nafas (CPAP/ Continuous Positive Airway
Pressure).
Bila ada jawaban “tidak” dari kedua pertanyaan tersebut, maka dilanjutkan
dengan langkah awal stabilisasi meliputi:

52
CHAPTER 3

1. Memberi kehangatan
Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan bayi dibawah radiant
warmer, menggunakan alas/matras penghangat tambahan, terutama
pada bayi-bayi kecil. Pada bayi dengan berat kurang dari 1000 gram
disarankan membungkus bayu dengan matras penghangat atau plastic.
2. Membuka jalan napas bayi
Bayi diposisikan dalam keadaan setengah ekstensi, agar jalan napas
terbuka (posisi menghidu).
3. Mengeringkan dan merangsang taktil bayi
Bayi dikeringkan dengan kain linen bersih, sambil mengeringkan, beri
rangsang taktil pada bayi berupa gosokan lembut pada punggung bayi
atau menyentil/menepuk telapak kaki bayi.
4. Posisikan kembali bayi pada posisi menghidu

3.2.3. Penilaian
Lakukan penilaian kembali upaya napas dan laju denyut jantung bayi untuk
memastikan bayi sudah dalam kondisi dtabil atau bahkan mengalami
perburukan. Laju denyut jantung pada bayi baru lahir normalnya sekitar 130 kali
per menit, dapat bervariasi antara 110 hingga 160 kali per menit. Laju denyut
jantung dpat dievaluasi dengan meraba pulsasi pada dasar tali pusat atau dengan
menggunakan pulse oximetry.
Setelah melakukan penilaian dan langkah awal pada 30 detik pertama,
penolong resusitasi perlu menilai kembali usaha bernapas dan laju denyut
jantung. Bila penilaian menunjukkan bayi gagal mencapai pernapasan regular
yang adekuat, atau laju denyut jantung di bawah 100 kali per menit, lakukan
resusitasi dengan mengintegrasikan komponen airway (membuka jalan napas),
breathing (ventilasi), circulation (kompresi dada) dan drugs (pemberian cairan dan
obat-obatan).
Airway (Membuka Jalan Nafas)
Untuk membuka jalan nafas, yg harus dilakukan pertama kali adalah
menempatkan bayi pada posisi telentang dan kepala di tengah. Selimut atau
handuk setebal 2 cm ditempatkan di bawah bahu bayi untuk membantu
mempertahankan posisi kepala bayi, terutama jika terjadi moulding yang cukup
besar setelah lahir. Pada bayi dengan hipotonia, jaw thrust atau pemasangan
oropharingeal airway dapat membantu membuka jalan napas.

53
CHAPTER 3

Jika usaha bernapas ada namun tidak menghasilkan ventilasi efektif


(ditandai dengan laju denyut jantung tidak meningkat di atas 100 kali per menit),
jalan napas kemungkinan mengalami obstruksi. Tindakan yang perlu dilakukan
untuk menjaga patensi jalan napas adalah menyokong rahang bawah, membuka
mulut, atau untuk beberapa kondisi dapat dipertimbangkan untuk mengisap
jalan napas atas.
Pengisapan pada mulut dan faring dilakukan hanya jika jalan napas
mengalami obstruksi. Secara umum pengisapan hanya dilakukan pada bayi tidak
bugar dan menunjukkan gejala obstruksi yang jelas, seperti tampaknya
mekoneum atau darah pada jalan napas, terdapat suara napas tambahan, distres
napas, dan laju denyut jantung di bawah 100 kali per menit. Pengisapan faring juga
dapat dilakukan selama intubasi agar plika vokalis terlihat lebih jelas. Kateter isap
besar harus dimasukkan dengan kedalaman tidak lebih dari 5 cm dari mulut pada
bayi cukup bulan, dan tidak boleh lebih lama dari beberapa detik. Tekanan negatif
yang digunakan tidak boleh melebihi 100 mmHg (13 kPa, 133 cmH2O, 1,9 Psi.)
Breathing (Ventilasi)
Setelah membuka jalan napas, langkah selanjutnya adalah membantu bayi
bernapas. Pertama, bedakan apakah bayi bernapas spontan atau tidak. Apabila
bayi tidak bernapas/megap-megap, lakukan ventilasi tekanan positif (VTP),
sedangkan apabila bayi bernapas spontan namun mengalami distres napas,
berikan tekanan positif berkelanjutan pada jalan napas (continuous positive
airway pressure/CPAP).
Ventilasi optimal dapat dicapai apabila sungkup wajah melekat rapat pada
wajah bayi, ditentukan dengan ukuran sungkup yang tepat, cara memegang yang
benar sesuai dengan jenis sungkup, dan memantau kebocoran udara yang dapat
dirasakan di sekeliling sungkup, serta dibuktikan dengan pengembangan dada
yang baik. Sungkup wajah untuk bayi baru lahir terdiri dari berbagai ukuran
(diameter) dan harus disesuaikan dengan ukuran wajah bayi. Sungkup wajah yang
baik harus menutupi ujung dagu, mulut dan hidung.
Prinsip untuk membantu bayi bernapas dapat disimpulkan menjadi dua
hal, yaitu pada bayi tidak bernapas spontan atau megap-megap, berikan VTP dan
pada bayi yang bernapas spontan, jangan lakukan ventilasi tekanan positif,
melainkan berikan CPAP dini.
Pada bayi yang bernapas spontan namun disertai dengan distres napas,
berikan tekanan positif berkelanjutan pada jalan napas (CPAP). Metode CPAP

54
CHAPTER 3

memberikan tekanan positif terhadap jalan napas dari bayi yang bernapas
spontan sepanjang siklus ekspirasi. Untuk menilai usaha napas bayi, dapat
menggunakan skor Downe.

Tabel 2. Skor Downe dan interpretasinya


0 1 2
Frekuensi napas <60x/menit 60-80x/menit >80x/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada sianosis Sianosis hilang Sianosis menetap
dengan O2 walau diberi O2
Air entry Udara masuk Penurunan ringan Tidak ada udara
udara masuk masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar Dapat didengar
dengan stetoskop dengan alat
bantu
Interpretasi Skor
Skor <4 Distress Pernapasan Ringan (CPAP)
Skor 4-5 Distress Pernapasan Sedang (CPAP)
Skor ≥6 Distress Pernapasan Berat
(Pertimbangkan Intubasi)

Cara memberikan ventilasi dengan CPAP di ruang bersalin adalah sebagai


berikut:

1. Sebelum memulai penggunaan katup T-piece resuscitator, penolong


harus mengatur tekanan positif akhir ekspirasi/ positive end-expiratory
pressure (PEEP) yang akan diberikan antara 5-8 cm H2O (umumnya
dimulai dari 7 cm H2O) hingga di manometer angka menunjukkan PEEP
yang diinginkan.
2. Kapten tim yang bertanggung jawab atas airway dan breathing
melekatkan sungkup yang sesuai.
3. Asisten sirkulasi mengamati saturasi oksigen dan laju denyut jantung
yang tercatat pada pulse oximetry
4. Apabila setelah pemberian CPAP saturasi oksigen masih belum naik,
maka jangan terburu-buru menaikkan FiO2.
5. Pemberian oksigen selalu dimulai dari konsentrasi 21% kemudian
dinaikkan atau dipertahankan berdasarkan target saturasi sesuai usia
bayi.

55
CHAPTER 3

6. Pemberian CPAP di fasilitas terbatas dapat menggunakan alat Jackson-


Rees. Besarnya PEEP diukur dengan menggunakan manometer jarum
tambahan dan dapat diatur dengan katup CPAP.
7. Hubungkan sungkup wajah dengan T-piece resuscitator atau Jackson-
Rees. Pastikan mulut bayi tidak dalam keadaan terbuka agar tekanan
yang diatur pada alat sesuai dengan tekanan yang diperoleh bayi.
8. Kunci keberhasilan pemberian CPAP adalah sumber gas cukup dengan
memerhatikan tekanan yang tampak pada manometer. Apabila
tekanan berkurang curigai sumber gas berkurang. Perhatikan tidak ada
kebocoran udara melalui sungkup, melalui nasal prong atau melalui
sirkuit CPAP. Kebocoran melalui sungkup dapat dideteksi melalui ada
tidaknya udara yang keluar di sekitar sungkup. Bila menggunakan pipa
endotrakeal, pastikan menggunakan ukuran pipa yang tepat menutupi
lubang hidung bayi.
9. Apabila retraksi masih ada maka PEEP dapat dinaikkan sampai
maksimal 8 cmH2O, sebelum memutuskan untuk melakukan intubasi.

Bila bayi gagal mencapai pernapasan spontan yang efektif atau dalam
kondisi apnu sekunder, atau laju denyut jantung di bawah 100 kali per menit,
lakukan VTP. VTP dilakukan apabila pada penilaian pasca langkah awal didapatkan
salah satu keadaan, yaitu apnue, frekuensi jantung < 100 kali/menit, atau tetap
sianosis sentral walaupun telah diberikan oksigen aliran bebas. Berikut
merupakan langkah dalam melakukan VTP, yaitu:

1. Sebelum VTP diberikan pastikan posisi kepala dalam keadaan setengah


tengadah.
2. Pilihlah ukuran sungkup. Ukuran 1 untuk bayi berat normal, ukuran 0
untuk bayi berat lahir rendah (BBLR).
3. Sungkup harus menutupi hidung dan mulut, tidak menekan mata dan
tidak menggantung di dagu
4. Tekan sungkup dengan jari tangan. Jika terdengar udara keluar dari
sungkup, perbaiki perlekatan sungkup. Kebocoran yang paling umum
adalah antara hidung dan pipi.
5. VTP menggunakan balon sungkup diberikan selama 30 detik dengan
kecepatan 40- 60 kali/menit atau 20-30 kali/30 detik.

56
CHAPTER 3

6. Pastikanlah bahwa dada bergerak naik turun tidak terlalu tinggi secara
simetris.
7. Lakukan penilaian setelah VTP 30 detik.

Indikator utama keberhasilan ventilasi tekanan positif adalah


pengembangan dada. Apabila pengembangan dada terlihat berlebihan maka
tekanan awal inspirasi dapat diturunkan.
Bila dada tidak bergerak dengan inflasi, cek manometer untuk memastikan
apakah tekanan target tercapai. Jika tidak, kemungkinan masalahnya adalah
kebocoran atau aliran udara tidak adekuat. Pada kondisi demikian maka jika
menggunakan balon tidak mengembang sendiri, pastikan aliran udara diaktifkan
sebesar 5 L/menit atau 8 L/menit (5-10L/menit) untuk alat T-piece resuscitator.
Perbaiki lekatan di antara sungkup dan wajah Jika tekanan target masih belum
tercapai, cek apakah terdapat kebocoran pada sirkuit. Jika tekanan target sudah
tercapai, jalan napas kemungkinan tersumbat atau compliance paru sangat
rendah, oleh karena itu sesuaikan posisi kepala-leher bila perlu dan pastikan
rahang bawah disokong. Kemudian pertimbangkan mengisap jalan napas,
tingkatkan tekanan inflasi hingga dada turut mengembang setiap inflasi, dan
pertimbangkan penggunaan oral airway, intubasi atau sungkup laring.

Menilai keberhasilan ventilasi dapat dilihat sebagai berikut:

1. Apabila bayi masih tidak bernapas dan denyut jantung 100 kali per
menit maka lanjutkan dengan pemberian PEEP
2. Apabila bayi bernapas adekuat dan denyut jantung >100 kali per menit
maka lanjutkan dengan perawatan pasca- resusitasi
3. Apabila bayi masih tidak bernapas dan denyut jantung turun <60 kali
per menit maka pastikan ventilasi sudah adekuat dan kompresi dada
dapat dimulai.
Circulation (Kompresi Dada)

Kompresi dada diindikasikan jika laju denyut jantung di bawah 60 kali per
menit walau ventilasi tekanan positif telah diberikan secara adekuat selama 30
detik (ditandai dengan dinding dada turut bergerak setiap inflasi). Kompresi
dilakukan dengan perbandingan 3 kompresi : 1 ventilasi dengan total 90 kali
kompresi dan 30 napas setiap menitnya. Kompresi dilakukan dengan dua ibu jari

57
CHAPTER 3

atau jari tengah dan telunjuk atau jari tengah dan jari manis. Lokasi kompresi
ditentukan dengan menggerakkan jari sepanjang tepi iga terbawah menyusur ke
atas sampai mendapatkan sifoid, letakkan ibu jari atau jari-jari pada tulang dada
sedikit di atas sifoid. Berikan topangan pada bagian belakang bayi. Tekan sedalam
1/3 diameter anteroposterior dada.
Penilaian laju denyut jantung dilakukan setelah 60 detik koordinasi ventilasi
tekanan positif dan kompresi dada. Perbaikan kondisi bayi ditandai dengan
denyut jantung yang terdengar saat auskultasi, pulsasi spontan pada oksimetri,
peningkatan saturasi oksigen, dan pergerakan atau napas spontan.
Drugs (Pemberian Cairan dan Obat-obatan)
Pemberian obat-obatan dapat dipertimbangkan apabila denyut jantung
bayi <60 kali per menit setelah pemberian VTP dengan oksigen 100% dan kompresi
dada yang adekuat selama 60 detik. Pemberian obat-obatan dan cairan dapat
diberikan melalui jalur vena umbilikalis, endotrakeal, atau intraoseus. Obat-obatan
dan cairan yang digunakan dalam resusitasi, yaitu:

1. Epinefrin 1:10.000, dilakukan melalui jalur intravena atau intraoseus dengan


dosis 0,1-0,3 mL/kgBB (0,01-0,03 mg/kgBB). Pemberian melalui jalur
endotrakea kurang efektif, namun dapat dilakukan bila jalur intravena /
intraoseus tidak tersedia. Pemberian epinefrin melalui jalur trakea
membutuhkan dosis lebih besar, yaitu 0,5-1 ml/kgBB (0,05-0,1 mg/kgBB).
2. Cairan, diberikan bila terdapat kecurigaan kehilangan darah fetomaternal
akut akibat perdarahan vasa previa, perdarahan pervaginam, laserasi
plasenta, trauma, prolaps tali pusat, lilitan tali pusat, perdarahan tali pusat,
atau bayi memperlihatkan tanda klinis syok dan tidak memberikan respons
adekuat terhadap resusitasi. Cairan yang dapat digunakan antara lain
darah, albumin, dan kristaloid isotonis, sebanyak 10 ml/kgBB dan diberikan
secara bolus selama 5-10 menit.
3. Bikarbonat, bukan merupakan terapi rutin dalam resusitasi neonatus. Tidak
dianjurkan memberikan sodium bikarbonat terlalu dini, dapat diberikan
pada kondisi henti jantung berkepanjangan yang tidak responsif terhadap
terapi lainnya, dan diberikan setelah ventilasi dan sirkulasi adekuat. Dosis
yang dianjurkan adalah 1-2 mmol/kg (2-4 mL dari larutan bikarbonat 4,2%)
diberikan dengan suntikan intravena lambat.

58
CHAPTER 3

4. Nalokson, diberikan dengan dosis 0,01-0,04 mg/kgBB secara intravena atau


intramuskular dengan dosis 0,1 mg/kgBB. Jalur pemberian melalui
endotrakea tidak direkomendasikan. Pemberian nalokson tidak dianjurkan
sebagai terapi awal pada bayi baru lahir yang mengalami depresi napas di
kamar bersalin. Sebelum nalokson diberikan, penolong harus
mengoptimalkan bantuan ventilasi terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian nalokson dapat dipertimbangkan bila bayi dari ibu
dengan riwayat penggunaan opiat tetap mengalami apneu walaupun telah
diberikan ventilasi apneu.

3.3. Pemantauan
Upaya untuk memertahankan kondisi stabil pada bayi pasca resusitasi
berpegang pada prinsip STABLE, yaitu:

1. Sugar and Safe Care (kadar gula darah dan perawatan yang aman)

Bayi pasca resusitasi rentan mengalami hipoglikemia. Kondisi ini berkaitan


dengan luaran neurodevelopmental yang buruk terutama pada bayi
dengan asfiksia, bayi yang memperoleh resusitasi, serta bayi prematur.
Kadar gula darah pada bayi baru lahir harus senantiasa diupayakan dalam
rentang normal, yaitu antara 50-110 mg/dL. Pemeriksaan kadar gula darah
pada bayi sakit atau bayi dengan risiko hipoglikemia harus segera dilakukan
dalam 30-60 menit setelah lahir dan dapat diulang dalam 1-3 jam sesuai
hasil pemeriksaan kadar gula darah dan kondisi bayi.

2. Temperature (suhu tubuh)

Suhu aksila normal pada bayi baru lahir berkisar antara 36,5-37,50 C.
Pemantauan suhu perlu dilakukan setiap 15-30 menit hingga suhu berada
pada rentang normal dan minimal setiap jam sampai bayi dipindahkan.
Setiap bayi berisiko mengalami hipotermia namun bayi kurang bulan, berat
lahir rendah (terutama < 1500 gram) dan kecil masa kehamilan memiliki
risiko yang lebih besar. Risiko hipotermia juga dimiliki oleh bayi yang
membutuhkan resusitasi berkepanjangan terutama disertai hipoksia, bayi
dengan penyakit akut (masalah infeksi, jantung, neurologi, endokrin, dan
memerlukan pembedahan terutama dengan defek dinding tubuh), serta

59
CHAPTER 3

bayi yang kurang aktif atau hipotoni akibat obat sedatif, analgesik, paralitik,
atau anestesi.

3. Airway (jalan napas)

Evaluasi distres napas harus senantiasa dilakukan selama periode stabilisasi.


Komponen yang dievaluasi, yaitu laju napas, usaha napas, kebutuhan
oksigen, saturasi oksigen, dan gas darah. Laju napas normal pada bayi
berkisar antara 40-60 kali per menit. Laju napas kurang dari 30 kali per
menit disertai penggunaan otot napas tambahan menandakan bayi
mengalami kelelahan bernapas. Napas megap-megap dapat menjadi
tanda ancaman henti napas. Sementara itu, usaha napas meliputi penilaian
air entry, retraksi, merintih, napas cuping hidung, dan apnea. Kebutuhan
oksigen disesuaikan dengan kondisi klinis bayi dan saturasi oksigen. Titrasi
oksigen dilakukan untuk memertahankan target saturasi oksigen. Saturasi
oksigen dipertahankan antara 88-92%. Pengukuran saturasi oksigen
sebaiknya dilakukan pada pre-duktal (tangan kanan) dan post-duktal (salah
satu kaki). Perbedaan saturasi preduktal dan postduktal lebih dari 10%
menandakan adanya pirau. Pemeriksaan gas darah terutama dilakukan jika
bayi membutuhkan oksigen atau kemungkinan mengalami syok.
Stabilisasi jalan napas perlu dilakukan untuk memertahankan jalan napas
tetap terbuka. Hal ini dapat dilakukan dengan mengganjal bahu dengan
gulungan kain. Bayi juga dapat diposisikan telentang dengan sedikit
tengadah untuk memosisikan faring, laring dan trakea dalam satu garis
lurus, sehingga udara dapat masuk dengan mudah. Posisi telentang ini juga
merupakan posisi terbaik untuk melakukan ventilasi dengan balon-
sungkup ataupun pemasangan pipa endotrakeal.

4. Blood Pressure (tekanan darah)

Bayi dapat mengalami gangguan sirkulasi berupa syok selama masa


stabilisasi. Syok merupakan suatu keadaan kompleks berupa disfungsi
sirkulasi yang mengakibatkan pengangkutan oksigen dan nutrisi tidak
adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Secara umum syok
dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu syok hipovolemik, kardiogenik, dan
septik. Tatalaksana syok diawali dengan identifikasi penyebab syok, yang
diikuti dengan identifikasi dan koreksi masalah yang menimbulkan

60
CHAPTER 3

gangguan fungsi jantung seperti hipovolemia, tamponade, gangguan


elektrolit, hipoglikemia, hipoksemia, aritmia, dan lain-lain. Tatalaksana syok
secara umum bertujuan untuk menormalkan pH, menurunkan
pembentukan asam laktat dan metabolisme anaerob, meningkatkan
oksigenasi dan perfusi jaringan, serta meningkatkan curah jantung.
Perawatan suportif harus segera diberikan yaitu menjaga patensi jalan
napas, memberikan terapi oksigen, serta memasang akses intravaskular
atau intraoseus. Tatalaksana selanjutnya disesuaikan dengan masing-
masing bentuk syok yang terjadi.

5. Lab Work (pemeriksaan laboratorium)

Bayi baru lahir rentan untuk mengalami infeksi akibat sistem imun yang
belum sempurna. Evaluasi dan tatalaksana infeksi merupakan hal penting
dalam masa stabilisasi terutama pada bayi dengan faktor risiko infeksi.
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan untuk diperiksa sebelum bayi
ditranspor disingkat dengan 4B yang meliputi blood count, blood culture,
blood glucose, dan blood gas. Pemeriksaan laboratorium pasca transpor
disesuaikan dengan riwayat, faktor risiko, dan manifestasi klinis bayi.

6. Emotional Support (dukungan emosional)

Dukungan bagi orangtua atau keluarga sebaiknya diberikan sejak awal


hingga bayi menjalani perawatan seperti mengijinkan ibu untuk melihat
bayi, mengucapkan selamat atas kelahiran bayi dan memanggil bayi
dengan nama yang sudah dipersiapkan oleh keluarga, mengambil foto dan
jejak kaki bayi, menawarkan dukungan dari pihak lain seperti kerabat atau
pemuka agama, memberikan penjelasan secara sederhana namunakurat
kepada orangtua mengenai keadaan bayi dan rencana tatalaksana,
memberikan kesempatan kepada orangtua untuk bertanya mengenai
keadaan bayi, dan melibatkan orangtua dalam perawatan bayi serta dalam
pengambilan keputusan terkait tatalaksana.

3.4. Penutup
Setelah bayi stabil dan dilakukan perawatan rutin pasca resusitasi, maka
dapat diberikan edukasi kepada orangtua bahwa bayi dapat dipulangkan apabila
memenuhi kriteria, yaitu bayi bernafas tanpa kesulitan, tidak mengalami masalah

61
CHAPTER 3

lain yang berkelanjutan yang tidak dapat ditangani dengan rawat jalan, suhu
tubuh bayi dapat dipertahankan dalam rentang 36,50 C - 37,50 C, ibu percaya diri
mengenai kemampuannya merawat bayi, bayi menyusu dengan baik atau ibu
percaya diri dalam menggunakan metode pemberian makan alternatif, dan bayi
mengalami penambahan berat badan. Berikan juga edukasi kepada orangtua
agar ibu kembali bersama bayi dengan segera apabila bayi mengalami masalah
seperti kesulitan pemberian makan atau bernapas, konvulsi, atau suhu tubuh yang
tidak normal.
Untuk tindak lanjut pada bayi yang sakit serius, bayi yang sangat kecil (BB
<1,5 kg pada saat lahir atau lahir sebelum usia gestasi 32 minggu), atau bayi yang
makan dengan metode pemberian makan alternatif pada waktu pemulangan,
maka dapat diberikan edukasi kepada orangtua untuk melakukan minimal satu
kali kunjungan tindak lanjut setelah pemulangan. Pada setiap kunjungan dapat
dilakukan pengkajian pada bayi untuk mengetahui adanya masalah spesifik yang
membutuhkan tindak lanjut serta memastikan masalah tersebut telah teratasi,
pengkajian terhadap keadaan umum bayi, penimbangan berat badan bayi dan
mengkaji pertumbuhannya, pengkajian terhadap tindakan menyusui atau
pemberian makan alternatif serta pemberian saran kepada ibu mengenai
pemberian ASI eksklusif, pemberian penyuluhan kepada orangtua mengenai
perawatan bayi baru lahir dan tanda-tanda bahaya, dan pemberian penyuluhan
mengenai pemberian imunisasi sesuai dengan usia bayi.

3.4.1. Prognosis
Prognosis resusitasi bayi baru lahir sangat bergantung pada kecepatan dan
ketepatan tindakan penolong. Keterlambatan penanganan di awal akan
mengakibatkan keterlambatan perbaikan klinis bayi. Usaha napas pertama dapat
tertunda dan hipoksia lama dapat diakibatkan oleh denyut jantung yang rendah.
Para penolong juga harus memiliki koordinasi yang baik, mampu bekerja sama
dan memiliki bahasa medis sama sehingga tidak ada keterlambatan, tidak saling
bertabrakan kerjanya, tidak saling menunggu atau malah menonton penolong
lainnya melakukan resusitasi. Selain itu, penilaian komponen resusitasi harus
dilakukan setiap 30 detik sekali sepanjang resusitasi. Selain berfungsi untuk
memandu penolong menentukan tindakan dan perawatan selanjutnya, penilaian
berulang juga membantu penolong untuk memantau apakah ada perbaikan atau

62
CHAPTER 3

perburukan kondisi bayi sehingga penolong dapat segera menentukan tindakan


selanjutnya.

3.5. Take-home Message


1. Resusitasi neonatus membutuhkan antisipasi dan persiapan oleh tenaga
medis yang terlatih dan pentingnya untuk bekerjasama tim.
2. Kebanyakan neonatus tidak memerlukan klem umbilicus segera setelah
lahir atau setelah resusitasi. Hal ini dapat dievaluasi dan dimonitor selama
kontak kulit ke kulit dengan ibu setelah lahir.
3. Ventilasi paru merupakan prioritas pada bayi baru lahir yang membutuhkan
bantuan dasar setelah lahir.
4. Peningkatan denyut jantung merupakan indikator paling penting untuk
mengetahui apakah ventilasi yang diberikan telah efektif dan melihat
respons setelah dilakukan intervensi saat resusitasi.
5. Pulse oximetry digunakan untuk panduan memberikan terapi oksigan
untuk memenuhi target saturasi oksigen.
6. Kompresi dada dilakukan jika denyut jantung masih tidak membaik setelah
dilakukan ventilasi dan koreksi. Kompresi dada dilakukan setelah dilakukan
pemasangan intubasi endotrakeal.
7. Respons denyut jantung terhadap kompresi dada dan obat-obatan harus
dimonitor dengan ekokardiografi.
8. Jika respons terhadap kompresi dada tidak membaik, perlu ditambahkan
dengan epinefrin, lebih baik via intravena.
9. Kegagalan respons terhadap epinefrin pada bayi baru lahir dengan riwayat
adanya kehilangan darah memerlukan tambahan volume.
10. Jika seluruh langkah resusitasi efektif sudah lengkap dan tidak ada respons
denyut jantung dalam 20 menit maka perlu didiskusikan dengan tim dan
keluarga.

3.6. Daftar Singkatan


BBLR : Bayi Berat Lahir Rendah
CPAP : Continous Positive Airway Pressure
FiO2 : Fraksi oksigen
LMA : Laryngeal Mask Airway
PEEP : Positive end-expiratory pressure

63
CHAPTER 3

PIP : Positive Inspiratory Pressure


VTP : Ventilasi Tekanan Positif

3.7. Daftar Pustaka


1. Aziz, K., Lee, H., Escobedo, M., Hoover, A., Kamath-Rayne, B., Kapadia, V.,
Magid, D., Niermeyer, S., Schmölzer, G., Szyld, E., Weiner, G., Wyckoff, M.,
Yamada, N. and Zaichkin, J., 2020. Part 5: Neonatal Resuscitation: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, [online] 142(16_suppl_2).
Available at:
<https://www.ahajournals.org/doi/10.1161/CIR.0000000000000902>
[Accessed 1 March 2021].
2. Burhan E, Susanto A, Nasution S, Ginanjar E, Pitoyo C, Susilo A et al. Protokol
Tatalaksana COVID-19. 1st ed. Jakarta: PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, IDAI;
2020.
3. Djajakusli S, Harianto A, Etika R, TU M. Profil Kematian Neonatus di RSUD dr.
Soetomo. Sari Pediatri. 2017;18(6):474.
4. Elshazzly M, Anekar A, Caban O. Physiology, Newborn [Internet].
Ncbi.nlm.nih.gov. 2020 [cited 3 March 2021]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499951/
5. Iskandar A, Yunanto A, Primadi A, Oeswadi C, Nurissama E, Indrasanto E et
al. Resusitasi Neonatus. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014.
6. Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2019.
7. PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN TATA LAKSANA
ASFIKSIA. Kementrian Kesehatan Indonesia; 2019.
8. Pocket book of hospital care for children. Geneva: World Health
Organization; 2012.

64
A-Z FROM NEONATAL RESUSCTITATION
TO STABILIZATION & TRANSPORTATION
Mahendra Tri Arif Ampurnaa, Natasha Hana Savitrib, Anisa Novia
Mahestarib
a
Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD Dr Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–RSUD Dr Soetomo

4.1. Pendahuluan
Sebagian bayi baru lahir (10%) memerlukan bantuan untuk memulai
pernapasan sedangkan hanya 1% bayi yang memerlukan resusitasi lebih lanjut
(intubasi, kompresi dada, dan pemberian obat). Berdasarkan data World Health
Organization (WHO), jumlah kematian neonatus menurun dari 4,4 juta pada
tahun 1990 menjadi 3 juta pada tahun 2011. Angka kematian neonatus menurun
dari 32/1000 kelahiran hidup menjadi 22/1000 kelahiran hidup pada periode yang
sama, mengalami penurunan lebih dari 30%. Angka kematian neonatus di
Indonesia pada tahun 2002 dilaporkan 20 per 1000 kelahiran hidup, yang menurut
WHO mirip dengan rata-rata untuk negara-negara Asia Tenggara lainnya (19 per
1.000 kelahiran hidup). Sementara menurut Survei Demografi Kesehatan
Indonesia (SDKI) 2012, angka kematian bayi (AKB) 32/1000 kelahiran hidup.
Penyebab utama kematian neonatal pada minggu pertama (0-6 hari) adalah
asfiksia (36%), BBLR/ prematuritas (32%), serta sepsis (12%). Sementara penyebab
kematian neonatus (7-28 hari) adalah sepsis (22%), kelainan kongenital (18%), dan
pneumonia (17%). Sementara itu, di RSUD Dr. Soetomo pada tahun 2017 juga
pernah dilakukan penelitian dan dikatakan bahwa didapatkan 101 kematian
neonatus dari 807 kelahiran neonatus, baik yang lahir di RSUD dr. Soetomo (50,5%)
maupun lahir di rumah sakit lain (34,7%), bidan praktek swasta (9,9%), rumah atau
tempat lain (5%).
Inti

4.2. Peralatan dan Persiapan


Persiapan resusitasi neonatus mencakup pengenalan faktor risiko,
persiapan tim, persiapan lingkungan resusitasi, persiapan perlengkapan alat
resusitasi, dan pencegahan penularan infeksi yang mungkin timbul saat
melakukan resusitasi.

65
CHAPTER 4

4.1. Pembentukan Tim Resusitasi


Anggota tim resusitasi pada bayi baru lahir dapat dilakukan oleh dokter
spesialis anak konsultan neonatologi/ dokter spesialis anak/ dokter spesialis
anestesi/ dokter spesialis kandungan/ dokter umum/ perawat/ bidan, namun perlu
dipahami bahwa bantuan resusitasi tidak dapat dilakukan seorang diri, terutama
pada persalinan risiko tinggi. Sebaiknya penolong sudah menguasai pelatihan
resusitasi neonatus dasar dengan anggota tim idealnya minimal 3 orang.
• Penolong pertama = kapten/pemimpin jalannya resusitasi
- Posisi: di atas kepala bayi
- Memiliki pengetahuan dan kompetensi resusitasi yang paling
tinggi dan lengkap serta dapat menginstruksikan tugas
kepada anggota tim lainnya.
- Tanggung jawab utama: ventilasi (airway dan breathing).
• Penolong kedua = asisten sirkulasi
- Posisi: sisi kiri bayi (posisi ini tidak terlalu mengikat, dibolehkan
bertukar posisi antara penolong kedua dan ketiga, dengan
catatan fungsi tidak tumpang tindih)
- Tanggung jawab: sirkulasi bayi
- Meliputi: mendengarkan laju denyut jantung bayi, mengatur
kebutuhan tekanan inspirasi positif (positive inspiratory
pressure/PIP) dan fraksi oksigen (FiO2), memberikan kompresi
jantung, memasang kateter umbilikal untuk resusitasi cairan
• Penolong ketiga = asisten peralatan dan obat
- Posisi: sisi kanan bayi (posisi ini tidak terlalu mengikat,
dibolehkan bertukar posisi antara penolong kedua dan ketiga,
dengan catatan fungsi tidak tumpang tindih)

66
CHAPTER 4

- Tanggung jawab: menyalakan tombol pencatat waktu,


memasang monitor saturasi, monitor suhu, menyiapkan
peralatan suction, persiapan obat-obatan dan alat-alat lainnya.

Gambar 1. Tim Resusitasi

4.2. Lingkungan Resusitasi


• Ruangan
Ruang resusitasi harus sangat berdekatan dengan ruang bersalin/ kamar
operasi agar tim resusitasi dapat segera melakukan pertolongan. Hal-hal
yang harus diperhatikan pada ruang resusitasi yaitu: ruangan harus cukup
hangat untuk mencegah bayi baru lahir kehilangan panas tubuhnya, cukup
terang untuk dapat menilai status klinis ibu-bayi, dan cukup besar untuk
tim resusitasi bergerak.
• Suhu
Keadaan hipotermi atau hipertermi akibat proses konduksi, konveksi,
evaporasi maupun radiasi harus dicegah karena akan memengaruhi
efektivitas termoregulasi selama resusitasi. Keadaan tersebut dapat
dihindari dengan menjaga suhu tubuh bayi antara 36,5-37,50 C. Upaya
pengaturan suhu antara lain:
- Mengatur suhu ruangan yang hangat (24 - 260 C)
- Meletakkan bayi tidak di bawah pendingin ruangan
- Infant warmer dihangatkan sebelum bayi lahir (untuk
menghangatkan matras, kain, topi, dan selimut bayi)

67
CHAPTER 4

- Menggunakan kain yang hangat dan kering untuk mengeringkan


bayi
- Menggunakan plastik bening untuk membungkus bayi dengan
berat < 1500 gram
- Memakaikan topi pada kepala bayi sesuai dengan ukurannya
- Bayi di bawah 1000 gram menggunakan matras penghangat/
blanket roll
- Menggunakan inkubator transpor yang sudah dihangatkan atau
transportasi dengan kontak kulit dengan kulit (metode kangguru)
pada fasilitas terbatas untuk memindahkan bayi ke ruang perawatan

4.3. Perlengkapan Resusitasi


Tidak semua bayi baru lahir memerlukan tindakan resusitasi, namun
peralatan yang lengkap tetap harus disiapkan untuk mengantisipasi
kemungkinan terburuk. Kondisi perlengkapan resusitasi harus selalu
dicatat dan diperiksa agar dapat berfungsi dengan baik ketika diperlukan.
a. Penghangat/ Warmer
- Kain pengering dan topi
- Handuk hangat/ pembungkus
- Kantung plastik untuk neonatus < 1500 gram
- Penghangat kepala (overhead heater) atau infant warmer

Gambar 2. Topi dan plastik untuk menghangatkan bayi

68
CHAPTER 4

Gambar 3. Infant warmer

b. Pengisap / Suction
- Suction dengan tekanan negatif (tidak boleh melebihi 100 mmHg)

Gambar 4. Suction/penghisap

- Kateter suction

Gambar 5. Suction kateter

69
CHAPTER 4

- Aspirator mekoneum

Gambar 6. Aspirator mekoneum

c. Ventilasi
- Balon mengembang sendiri/Self-inflating bag (contoh: balon volume
250 ml) dan sungkup wajah berbagai ukuran (lihat gambar 2.15),
dilengkapi dengan katup tekanan positif akhir ekspirasi/positive end-
expiratory pressure (PEEP) .

Gambar 7. Balon dan sungkup dengan katup PEEP

Gambar 8. T-piece resuscitator

- T-piece resuscitator adalah alat yang dapat memberikan tekanan


inspirasi positif / Positive Inspiratory Pressure (PIP) dan PEEP terukur
secara konstan sehingga bayi dapat meningkatkan volume paru dan
mencapai kapasitas residu fungsional. T-piece resuscitatordapat

70
CHAPTER 4

memberikan ventilasi tekanan positif dan tekanan napas positif


berkelanjutan/ Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) dini.
- Balon tidak mengembang sendiri/Flow-inflating bag (contoh:
sungkup anestesi, Jackson-Rees) merupakan alat yang dapat
memberikan PEEP terukur secara konstan, sehingga dapat
memberikan CPAP dini, namun tidak direkomendasikan untuk
pemberian ventilasi tekanan positif

Gambar 9. Jackson Rees

- Peralatan intubasi (laringoskop, pipa endotrakeal, stilet)


- Sungkup laring / Laryngeal Mask Airway (LMA)

Gambar 10. Sungkup laring

71
CHAPTER 4

- Sungkup wajah

Gambar 11. Sungkup wajah dengan berbagai ukuran

d. Akses sirkulasi
- Perlengkapan untuk memasang akses vena perifer
- Kateter umbilikal

Gambar 12. Kateter umbilical

- Obat-obatan resusitasi (adrenalin, atropin), cairan (garam fisiologis


dan darah)
e. Transportasi: inkubator transpor yang telah dihangatkan atau
peralatan metode kanguru

72
CHAPTER 4

Gambar 13. Transpor dengan metode kangguru

Gambar 14. Inkubator transpor

f. Pelengkap
- Stetoskop bayi
- Alat periksa gula darah
- Pulse oximetry
- Stopwatch, timer

73
CHAPTER 4

Gambar 15. Pulse oximetry

g. Sumber gas
h. Alat Pelindung Diri:: handschoen, masker, topi, surgical gown, shoe
cover

74
CHAPTER 4

4.3. Alur Resusitasi

Gambar 16. Alur Resusitasi Neonatus

75
CHAPTER 4

Sebelum bayi dilahirkan, perlu dilakukan konseling antenatal untuk


mengetahui faktor risiko baik dari ibu, janin, dan proses intrapartum. Saat bayi lahir
maka perlu menanyakan apakah bayi bernapas atau menangis dan bagaimana
tonus otot bayi? Bila jawaban untuk kedua pertanyaan tersebut adalah ‘ya’ maka
bayi hanya memerlukan perawatan rutin, yaitu mengeringkan bayi, memosisikan
bayi kontak kulit dengan kulit (skin-to-skin) dengan ibunya, dan menyelimuti bayi
dengan linen kering untuk memertahankan suhu. Tenaga kesehatan tetap
melakukan pemantauan pernapasan, aktivitas dan warna kulit bayi selama
perawatan rutin. Jika terdapat gangguan pernapasan (distress nafas), maka bayi
perlu diberikan tekanan positif berkelanjutan pada jalan nafas (CPAP/ Continuous
Positive Airway Pressure).
Bila ada jawaban “tidak” dari kedua pertanyaan tersebut, maka dilanjutkan
dengan langkah awal stabilisasi meliputi :

1. Memberi kehangatan
2. Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan bayi dibawah radiant
warmer, menggunakan alas/matras penghangat tambahan, terutama pada
bayi-bayi kecil. Pada bayi dengan berat kurang dari 1000 gram disarankan
membungkus bayu dengan matras penghangat atau plastic.
3. Membuka jalan napas bayi
4. Bayi diposisikan dalam keadaan setengah ekstensi, agar jalan napas
terbuka (posisi menghidu).
5. Mengeringkan dan merangsang taktil bayi
6. Bayi dikeringkan dengan kain linen bersih, sambil mengeringkan, beri
rangsang taktil pada bayi berupa gosokan lembut pada punggung bayi
atau menyentil/menepuk telapak kaki bayi.
7. Posisikan kembali bayi pada posisi menghidu
8. Penilaian

Lakukan penilaian kembali upaya napas dan laju denyut jantung bayi untuk
memastikan bayi sudah dalam kondisi dtabil atau bahkan mengalami
perburukan. Laju denyut jantung pada bayi baru lahir normalnya sekitar 130 kali
per menit, dapat bervariasi antara 110 hingga 160 kali per menit. Laju denyut
jantung dpat dievaluasi dengan meraba pulsasi pada dasar tali pusat atau dengan
menggunakan pulse oximetry.

76
CHAPTER 4

Setelah melakukan penilaian dan langkah awal pada 30 detik pertama,


penolong resusitasi perlu menilai kembali usaha bernapas, laju denyut jantung,
tonus dan saturasi. Apabila denyut jantung lebih dari 100 kali per menit dan target
saturasi oksigen tercapai tanpa alat bantu napas maka lanjutkan ke perawatan
observasi, namun jika diperlukan alat bantu napas maka lanjutkan ke perawatan
pasca resusitasi. Jika bayi tidak bernapas dan atau denyut jantung kurang dari 100
kali per menit maka berikan ventilasi tekanan positif (VTP) dengan hitungan satu..
lepas.. lepas.. selama 30 detik. Selanjutnya, lakukan penilaian VTP dengan melihat
usaha napas, denyut jantung, tonus otot, dan saturasi. Jika denyut jantung tidak
naik dan didapatkan dada tidak mengembang, maka perlu dilakukan evaluasi VTP
dengan evaluasi:

1. Sungkup
Pastikan menggunakan ukuran sungkup yang sesuai, dengan sungkup
melekat rapat pada wajah bayi, cara memegang yang benar dan pantau
adanya kebocoran. Pilih sungkup yang menutupi ujung dagu, mulut dan
hidung.

Gambar 17. Pemilihan sungkup wajah yang sesuai

Gambar 18. Cara memegang sungkup dengan metode OK Rim Hold

2. Reposisi
3. Isap/Suction
4. Buka mulut

77
CHAPTER 4

5. Tekanan dinaikkan
6. Alternatif jalan napas

Lakukan penilaian kembali pada denyut jantung, usaha napas, dan saturasi.
Jika usaha napas masih negatif, denyut jantung dan saturasi dibawah nilai normal
maka pertimbangkan intubasi dan lakukan kombinasi VTP dan kompresi dada
dengan perbandingan 3 kompresi dan 1 napas. Lakukan penilaian pada denyut
jantung dan usaha napas tiap 60 detik.

Gambar 19. Proses intubasi Gambar 20. Cara melakukan kompresi dada

Kompresi dada dilakukan diantara xiphoid pada sepertiga bawah sternum


(garis di antara putting) dan kedalaman sepertiga dari diameter antero-posterior
dada. Teknik yang direkomendasikan adalah dua ibu jari di sternum,
berdampingan dengan jari lain mengelilingi toraks untuk menyokong punggung.
Neonatus yang terlahir dari ibu dengan COVID-19, pada periode golden
hour, resusitasi, stabilisasi dan transport dilakukan di ruang isolasi khusus COVID-
19, tim resusitasi dengan APD tingkat-3. Jika bayi dalam kondisi bugar maka
lanjutkan observasi dan perawatan di ruang transisi, isolasi khusus COVID-19. Jika
terjadi asfiksi neonatorum maka lanjutkan perawatan di unit perawatan intensif
neonatal isolasi khusus COVID-19 dengan tim khusus.

4.4. Penutup
4.4.1. Indikasi Rujukan
Masalah bayi baru lahir yang tidak dapat ditangani di sarana pelayanan
kesehatan dimana bayi dilahirkan, harus dikenali oleh penolong persalinan supaya
dapat memutuskan untuk segera merujuk. Rujukan dapat dilakukan oleh dokter
dan perawat, maupun perawat saja. Keadaan yang membutuhkan rujukan oleh

78
CHAPTER 4

dokter dan perawat adalah bayi yang memerlukan perawatan intensif, bayi
dengan berat kurang dari 1000 gram, bayi dengan usia gestasi kurang dari 28
minggu dan usia postnatal kurang dari 48 jam, bayi dengan CPAP nasal dalam 2
hari setelah ekstubasi, bayi dengan ketergantungan tinggi dan tidak stabil, bayi
dengan masalah jantung kompleks, bayi dengan masalah bedah kompleks, bayi
dengan masalah neurologis yang memerlukan pemantauan dan terapi untuk
memertahankan stabilitas, bayi yang dirujuk untuk intervensi dalam satu hari.
Rujukan yang dapat dilakukan oleh perawat saja adalah bayi perawatan khusus
yang stabil, bayi dengan ketergantungan tinggi yang telah stabil selama 48 jam
tanpa peningkatan kebutuhan oksigen dan tanpa bradikardia atau desaturasi
signifikan, bayi dengan CPAP nasal yang telah stabil selama 48 jam, bayi yang
dirujuk untuk pembedahan dan dalam kondisi stabil sebelum transport dan tidak
membutuhkan intervensi untuk memertahankan stabilitas, bayi dengan kelainan
neurologi yang telah stabil selama 48 jam, bayi yang telah diekstubasi selama 24
jam dari intubasi elektif untuk pembedahan dan stabil sebelum intervensi, bayi
stabil yang memerlukan konsultasi rawat jalan dan wakti tunggu tidak melebihi 1
jam.

4.4.2. Prognosis
Prognosis resusitasi bayi baru lahir sangat bergantung pada kecepatan dan
ketepatan tindakan penolong. Keterlambatan penanganan di awal akan
mengakibatkan keterlambatan perbaikan klinis bayi. Penolong juga harus
memiliki koordinasi yang baik, mampu bekerja sama dan memiliki bahasa medis
sama sehingga tidak ada kendala saat melakukan resusitasi.

4.5. Take-home message


1. Resusitasi neonatus membutuhkan antisipasi dan persiapan oleh tenaga
medis yang terlatih dan pentingnya untuk bekerjasama tim.
2. Kebanyakan neonatus tidak memerlukan klem umbilicus segera setelah
lahir atau setelah resusitasi. Hal ini dapat dievaluasi dan dimonitor selama
kontak kulit ke kulit dengan ibu setelah lahir.
3. Ventilasi paru merupakan prioritas pada bayi baru lahir yang membutuhkan
bantuan dasar setelah lahir.

79
CHAPTER 4

4. Peningkatan denyut jantung merupakan indikator paling penting untuk


mengetahui apakah ventilasi yang diberikan telah efektif dan melihat
respons setelah dilakukan intervensi saat resusitasi.
5. Pulse oximetry digunakan untuk panduan memberikan terapi oksigan
untuk memenuhi target saturasi oksigen.
6. Kompresi dada dilakukan jika denyut jantung masih tidak membaik setelah
dilakukan ventilasi dan koreksi. Kompresi dada dilakukan setelah dilakukan
pemasangan intubasi endotrakeal.
7. Respons denyut jantung terhadap kompresi dada dan obat-obatan harus
dimonitor dengan ekokardiografi.
8. Jika respons terhadap kompresi dada tidak membaik, perlu ditambahkan
dengan epinefrin, lebih baik via intravena.
9. Kegagalan respons terhadap epinefrin pada bayi baru lahir dengan riwayat
adanya kehilangan darah memerlukan tambahan volume.
10. Jika seluruh langkah resusitasi efektif sudah lengkap dan tidak ada respons
denyut jantung dalam 20 menit maka perlu didiskusikan dengan tim dan
keluarga.

4.6. Daftar singkatan


CPAP : Continuous Positive Airway Pressure
VTP : Ventilasi Tekanan Positif

4.7. Daftar Pustaka


1. Aziz, K., Lee, H., Escobedo, M., Hoover, A., Kamath-Rayne, B., Kapadia, V.,
Magid, D., Niermeyer, S., Schmölzer, G., Szyld, E., Weiner, G., Wyckoff, M.,
Yamada, N. and Zaichkin, J., 2020. Part 5: Neonatal Resuscitation: 2020
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, [online] 142(16_suppl_2).
Available at:
<https://www.ahajournals.org/doi/10.1161/CIR.0000000000000902>
[Accessed 1 March 2021].
2. Burhan E, Susanto A, Nasution S, Ginanjar E, Pitoyo C, Susilo A et al. Protokol
Tatalaksana COVID-19. 1st ed. Jakarta: PDPI, PERKI, PAPDI, PERDATIN, IDAI;
2020.
3. Djajakusli S, Harianto A, Etika R, TU M. Profil Kematian Neonatus di RSUD dr.
Soetomo. Sari Pediatri. 2017;18(6):474.
4. Iskandar A, Yunanto A, Primadi A, Oeswadi C, Nurissama E, Indrasanto E et
al. Resusitasi Neonatus. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014.

80
CHAPTER 4

5. Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran


EGC; 2019.
6. PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN KEDOKTERAN TATA LAKSANA
ASFIKSIA. Kementrian Kesehatan Indonesia; 2019.
7. Pocket book of hospital care for children. Geneva: World Health
Organization; 2012.

81
CLINICAL APPROACH TO SEIZURES IN
PEDIATRICS
Prastiya Indra Gunawan
Divisi Neurologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUD Dr Soetomo-
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

Abstrak
Kejang akut dan Status epileptikus (SE) termasuk salah satu kegawatdaruratan
anak dengan angka mortalitas yang tinggi. Pengenalan aktivitas kejang, mobilisasi
ke sentra kesehatan yang memadai, serta pemberian antikonvulsan secara cepat
dan tepat sangat diperlukan. Telaah pustaka ini disusun untuk merangkum tata
laksana emergensi kejang dan SE sesuai penelitian dan rekomendasi praktik
terkini. Rekomendasi saat ini menekankan pentingnya algoritme terapi SE yang
mencakup terapi lini pertama, kedua, hingga ketiga guna menghindari kegagalan
terapi dalam situasi darurat. Pilihan yang termasuk penggunaan dosis anestesi
yang agresif ketika dosis obat kedua telah dititrasi.

Kata Kunci: Kejang Status epileptikus, anak, neonatus, kegawatdaruratan

82
CHAPTER 5

5.1. Pendahuluan
Kejang adalah gangguan aktivitas listrik di otak. Kondisi ini sering kali
ditandai oleh gerakan tubuh yang tidak terkendali dan disertai hilangnya
kesadaran. Kejang bisa menjadi tanda adanya penyakit pada otak, atau kondisi
lain yang mempengaruhi fungsi otak. Kejang adalah bagian dari kondisi status
epileptikus. International League Against Epilepsy (ILAE) mendefinisikan status
epileptikus (SE) sebagai aktivitas kejang yang berlangsung selama 30 menit terus-
menerus, atau dua atau lebih kejang selama suatu periode waktu tertentu tanpa
pemulihan pasien seutuhnya. Secara patologis, neuron hipokampus mulai
mengalami kerusakan setelah kejang lebih dari 30 menit yang menetap.1 Batasan
dari definisi tersebut mengandung makna bahwa terapi tidak boleh ditunda
sampai terjadi kerusakan patologis. Namun, definisi operasional terbaru
menyatakan bahwa kejang lebih dari 5 menit sepertinya sulit akan berhenti sendiri
sehingga harus segera diterapi. Dengan kata lain, terapi SE tidak boleh ditunda. 2

5.2. Klasifikasi
Pada dasarnya, SE dapat diklasifikasikan menjadi compulsive atau non-
compulsive SE. Status epileptikus umum atau generalized convulsive status
epilepticus (GCSE) adalah bentuk yang paling sering dari SE. Sementara itu, non-
convulsive SE (NCSE) dapat mengawali status konvulsi yang umum atau dapat
terjadi pada status konvulsi sebagian.3,4
Salah satu bentuk paling umum dari NCSE ialah complex partial status
epilepticus (CPSE). Tipe SE ini pada mulanya bersifat fokal, tetapi akan menyebar
dengan cepat ke bagian lain dari otak. Pasien dapat menunjukkan gejala bingung
atau "twilight state" ditandai dengan perilaku aneh dan otomatisasi. Awalnya
CPSE dianggap jinak, namun bukti penelitian yang lebih baru telah menunjukkan
bahwa pengobatan yang agresif diperlukan untuk menghindari kerusakan seluler
dan neuropsikologis jangka panjang.5,6
Identifikasi pasien NCSE seperti ini menjadi penting, terutama setelah adanya
laporan bahwa mayoritas pasien trauma kepala mengalami NCSE selama di ruang
rawat intensif.5 Claassen5 menemukan adanya perubahan elektrogram kejang
pada sepertiga pasien dengan perdarahan intraserebral melalui pemantauan EEG
kontinu. Kejadian kejang pada perdarahan kortikal atau luas dapat berdampak
pada prognosis yang lebih buruk.5

83
CHAPTER 5

Jenis lainnya ialah mioklonik SE, yang bermanifestasi sebagai multifocal


myoclonus. Hal tersebut terjadi setelah kerusakan neurologis berat, termasuk
anoksia dan kelainan metabolik. Prognosis umumnya bersifat buruk, tetapi masih
menjadi perdebatan mengenai apakah hal ini merupakan bentuk nyata dari SE
atau petanda untuk kematian dan degenerasi neuron.6

5.3. Epidemiologi
Insidens SE di Amerika Serikat telah diperkirakan sekitar 60 kasus per
100.000 penduduk dengan angka kematian dari 9 pasien per 100.000 populasi.4
Angka tersebut relatif tinggi dibandingkan data lokal di RS dr Soetomo, Surabaya,
yang hanya menemukan 71 kasus SE pada anak selama tahun 2009.7
Pola insidens SE umumnya bersifat bimodal, sebagian besar terjadi pada
pasien umur kurang dari 1 tahun atau lebih dari 60 tahun. Namun, angka
mortalitas bervariasi antara 7% pada kelompok anak hingga 28% pada orang tua.
Angka mortalitas tersebut dipengaruhi oleh usia, durasi SE, dan penyebab yang
mendasari. Prognosis buruk telah didokumentasikan pada kondisi pasca-anoksia
global, stroke akut, trauma, infeksi, serta gangguan metabolik. Sebaliknya, pasien
dengan alkohol atau lepas antikonvulsan, tumor, dan riwayat epilepsi sebelumnya
memiliki hasil yang lebih baik.8

5.4. Patofisiologi
Kejadian SE diawali oleh stimulasi eksitasi neuron secara ekstentif, namun
pada fase pemeliharaan (maintenance), supresi mediator asam aminobutirat
(GABA) lebih dominan. Kegagalan untuk menekan fokus rangsang tersebut
mungkin karena perkembangan perubahan isoform GABA, terutama pada kejang
yang berkelanjutan. Secara klinis, fenomena perubahan isoform GABA dapat
menjelaskan resistensi terhadap benzodiazepin selama SE. Di samping itu, SE
dapat dipertahankan melalui rangsang eksitasi N-metil-D-aspartat (NMDA) yang
memediasi stimulasi neuron. Antagonis NMDA telah diusulkan sebagai strategi
farmakologis dalam pengobatan SE.9

5.5. Prinsip-prinsip Umum


Fokus utama pengobatan adalah penghentian kejang sesegera munkin.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa mengendalikan kejang secara dini dapat
meningkatkan luaran (outcome) klinis jangka panjang. Selain itu, kejang dapat
resisten terhadap pengobatan apabila SE masih berlanjut.10

84
CHAPTER 5

Pengobatan harus secepatnya dimulai setelah obat tersedia dengan rute


apapun yang memungkinkan. Akses intravena sangat penting, tetapi dalam
beberapa keadaan mungkin tidak bisa segera dilakukan terutama pada bayi.
Beberapa obat dapat diberikan intramuskular, rektal, atau sublingual. Tabel 1
memperlihatkan dosis obat yang dapat diberikan dengan rute yang umum
digunakan ketika akses intravena tidak segera tersedia. Evaluasi secara bersamaan
identifikasi penyebab yang mendasari terjadinya kejang dan pengobatan
komplikasi sekunder juga harus dimulai.10
Tabel 1. Dosis dan Rute Pemberian Obat Status Epileptikus
Nama Obat Rute Dosis
Lorazepam Intravena 0,1-0,2 mg/kg awal
Diazepam Intravena 0,15 mg/kg awal
Diazepam Rektal gel 0,2-0,5 mg/kg awal
Midazolam Intramuskular 0,07-0,3 mg/kg awal
Fenitoin Intravena 20-30 mg/kg awal
Fosfenitoin Intravena 20-30 EF/kg awal
Fosfenitoin Intramuskular 500-1500 PE awal
Fenobarbital Intravena 20-30 mg/kg awal
Valproat Intravena 20 mg/kg awal
Levetiracetam Intravena 1000-2500 mg awal
EF, ekuivalen fenitoin.

5.6. Prinsip Manajemen


Manajemen SE anak sesuai prinsip bantuan hidup (life support). Manajemen
jalan napas pertama-tama dilakukan dengan memposisikan pasien, diikuti
ventilasi yang adekuat. Ventilasi dengan bag-mask dengan tambahan oksigen
biasanya adekuat untuk menghindari hipoksia. Namun perlu diwaspadai, kejang
berkepanjangan dapat menyebabkan obstruksi jalan napas akut dan risiko tinggi
aspirasi. Akses intravena memang penting untuk pemberian obat, tetapi relatif
sulit pada pasien kejang. Oleh sebab itu, obat sebaiknya diberikan secara
intramuskular atau sublingual apabila akses intravena belum terpasang. 1
Pada prinsipnya, obat-obat yang diberikan untuk SE dapat mengganggu
hemodinamik sehingga obat-obatan SE idealnya diberikan sesegera mungkin.
Studi membuktikan, implementasi protokol standar dapat mempersingkat waktu
pengendalian aktivitas kejang.2
EEG darurat diputuskan secara klinis dan sering didasarkan pada sumber
daya yang tersedia di rumah sakit. Apabila semua tanda klinis SE dapat
dihilangkan segera dengan obat line pertama atau kedua, maka aktivitas kejang

85
CHAPTER 5

berkelanjutan jarang terjadi. Namun, pengobatan berkepanjangan dan adanya


tanda kemungkinan aktivitas kejang yang tersamar memerlukan evaluasi EEG
yang cepat. Ketika monitoring EEG tidak tersedia dan ada kemungkinan pasien
dalam keadaan NCSE, beberapa pakar menganjurkan pemberian anestesi kerja
pendek hingga fase pemantauan (monitoring). Keputusan untuk melakukan
anestesi tersebut harus mempertimbangkan efek samping yang mungkin terjadi. 1

5.7. Pengobatan Farmakologis


5.7.1. Pengobatan lini pertama
Benzodiazepin merupakan pengobatan lini pertama dan yang utama pada
SE. Obat tersebut bekerja dengan menstimulasi subunit reseptor GABA sehingga
terjadi inhibisi transmisi neural melalui kanal klorida dan membran sel menjadi
hiperpolar. Pada dosis tinggi, fungsi benzodiazepin sama dengan fenitoin. 11
Terdapat tiga jenis benzodiazepin yang sering digunakan dalam pengobatan
SE: diazepam, lorazepam, dan midazolam. Setiap obat memiliki sedikit perbedaan
dan rute pemberian. Diazepam mencapai konsentrasi tinggi di otak dengan
awitan (onset) 30 detik. Kendati demikian, karena sifatnya yang larut lemak, obat
ini juga gampang terdistribusi, kadarnya dalam otak relatif cepat menurun,
efektivitas klinis hanya 20 menit, serta angka kekambuhannya juga tinggi. Bila
diazepam digunakan sebagai terapi lini pertama, maka akan diperlukan
tambahan obat lini kedua.11
Midazolam bukan pilihan pertama untuk SE, tetapi biasa digunakan untuk
infus kontinu dalam penanganan SER. Midazolam juga dapat diberikan pada
keadaan akut, telah dipakai secara luas, dan memiliki banyak rute untuk masuk ke
tubuh pasien, seperti intramuskular, rektal, sublingual, bukkal, dan nasal.
Midazolam bisa dipakai pada rawat jalan, serta mudah digunakan oleh orang tua.
Akan tetapi, waktu paruh midazolam relatif pendek dan angka kekambuhannya
cukup tinggi.12 Penelitian Gunawan PI, et al11,12 di RSUD Dr Soetomo Surabaya
menunjukkan bahwa midazolam intramuskular dan intranasal efektif untuk
digunakan pada kejang akut.
Lorazepam merupakan obat benzodiazepin pilihan pertama untuk kejang
tunggal ataupun status epileptikus. Waktu awitannya sedikit lebih lambat, kurang
lebih dua menit, tetapi lebih tidak larut lemak dibanding diazepam, namun
mampu bertahan hingga 12 jam. Penelitian yang dilakukan Veteran Affairs Status
Epilepticus Cooperative Study Group menunjukkan, kontrol kejang yang baik

86
CHAPTER 5

dapat dicapai dengan lorazepam, meski tidak ditemukan hasil yang berbeda jauh
dibandingkan benzodiazepin lainnya. Efek samping hipotensi pada lorazepam
lebih rendah, dan umumnya mampu ditoleransi pasien dibandingkan diazepam.
Namun, preparat lorazepam injeksi di Indonesia masih belum tersedia.13

5.7.2. Pengobatan lini kedua


Fenitoin atau fosfenitoin, obat dasar ester fosfatnya, dianggap sebagai
pengobatan lini kedua yang paling sering digunakan pada SE. Fenitoin
merupakan zat yang mirip barbiturat yang dapat mengontrol kejang dengan
memperlambat waktu pemulihan kanal natrium yang diaktivasi oleh gelombang
listrik. Fenitoin sangat mudah terikat oleh protein, dan hanya bentuk bebas yang
aktif. Fenitoin dimetabolisme di hati dan memiliki farmakokinetik khusus. Obat-
obatan yang mempengaruhi ikatan protein juga akan berdampak pada tingkat
aktivitas fenitoin bebas. Oleh karena itu, kadar fenitoin harus dimonitor dengan
ketat.13
Dosis awal fenitoin ialah 20 mg/kg, dan harus diberikan pada cairan yang
tidak mengandung glukosa. Bila setelah dosis ini masuk kejang masih belum
berhenti, dosis dapat ditambahkan 10 mg/kg. Secara farmakologis, pemberian
fenitoin ditujukan hingga kadar supraterapeutik (25-30 µg/mL) sebelum
mempertimbangkan obat tambahan lainnya. Kekhawatiran overdosis fenitoin
sebenarnya terlalu berlebihan karena seluruh efek samping akan hilang setelah
kadarnya dalam darah menurun. Pasien yang sudah pernah mendapat fenitoin
sebelumnya sebaiknya diberi dosis awal separuh biasanya, apabila kadar fenitoin
dalam darah tidak dapat diukur.14
Efek samping fenitoin umumnya berhubungan dengan sistem
kardiovaskular, antara lain hipotensi, bradikardia, dan pemanjangan gelombang
QT. Penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 10 mmHg merupakan temuan
umum pada pasien yang memperoleh fosfenitoin. Hal tersebut seringkali
diakibatkan oleh kecepatan infus (kecepatan maksimum 50 mg/menit) dan akan
berkurang bila dilakukan penyesuaian kecepatan infus. Oleh sebab itu,
penggunaan obat ini harus dilakukan pemantauan EKG berkesinambungan. Efek
samping berbahaya lain dari fenitoin ialah nekrosis jaringan, apabila terjadi
ekstravasasi obat.14

87
CHAPTER 5

Fosfenitoin merupakan obat ester fosfat dari fenitoin yang dibuat untuk
meringankan efek samping fenitoin. Obat ini larut air sehingga dapat diberikan
intramuskular; umumnya diberikan hingga kecepatan 150 mg/menit. Dosis
awalnya sama dengan fenitoin dan mungkin memiliki efek samping
kardiovaskular yang lebih ringan. Penggunaan fosfenitoin lebih dianjurkan karena
dapat diberikan intramuskular, serta dapat diberikan dengan kecepatan lebih
tinggi dan dengan efek samping yang lebih ringan. Fosfenitoin intramuskular
belum diteliti pada status epileptikus.13-15
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada status epileptikus adalah
asam valproat dan levetiracetam. Asam valproat merupakan asam lemak rantai
pendek yang mengurangi kejang dengan memperlambat pemulihan kanal
sodium yang dipengaruhi listrik dan dengan mempengaruhi metabolisme GABA.
Asam valproat dapat diberikan secara intravena maupun per rektal. Dosis awal
ialah 20 mg/kg intravena dengan kecepatan maksimal 6 mg/kg/menit.
Dibandingkan antikejang lain, asam valproat lebih unggul karena tidak
menimbulkan gangguan hemodinamik. Akan tetapi, penelitian yang
menjabarkan efeknya pada status epileptikus masih sedikit. Ada satu penelitian
yang menyebutkan bahwa asam valproat sama efektifnya dengan fenitoin pada
status epileptikus. Karena asam valproat memiliki efek kardiovaskular
penggunaannya pada SE dibatasi sebagai obat lini kedua, sebelum memberikan
fenobarbital atau memulai pengobatan SER.14
Tabel 2. Pengobatan Intravena untuk Status Epileptikus Refrakter
Pengobatan Dosis
Midazolam Awal 0,2 mg/kg
Rumatan 0,05 – 2 mg/kg/jam
Pentobarbital Awal 5 – 15 mg/kg
Rumatan 0,5 – 1 mg/kg/jam
Tiopental Awal 75 - 125 mg
Rumatan 1 – 5 mg/kg/jam
Propofol Awal 3 – 5 mg/kg
Rumatan 1 – 15 mg/kg/jam
5.7.3. Pengobatan lini ketiga
Fenobarbital dianggap sebagai pegobatan lini ketiga SE. Fenobarbital
merupakan barbiturat dengan kerja mirip dengan benzodiazepin, namun juga
mampu mengaktifkan berbagai isoform dari reseptor GABAa. Karena waktu
paruhnya yang panjang dan efek samping depresan kardiorespiratorik, maka
fenobarbital jarang digunakan. 13

88
CHAPTER 5

5.8. Status Epileptikus Refrakter (SER)


Istilah SER digunakan bila dosis awal standar antikejang tidak mampu
menghentikan kejang. SER terjadi pada sepertiga pasien yang diobati sebagai SE.
Persentase tinggi tersebut mungkin disebabkan oleh keterlambatan terapi.
Beberapa peneliti berpendapat SER dapat dicegah dengan pengobatan yang
lebih dini dan lebih agresif.16
Midazolam merupakan benzodizepin kerja pendek yang dianggap sebagai
pengobatan lini pertama untuk SER. Obat ini memang cepat menginduksi dan
memiliki efek samping kardiorespiratorik lebih jarang daripada propofol maupun
barbiturat kerja pendek. Dosis awal 0,2 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan
0,05 hingga 0,2 mg/kg/jam. Suatu penelitian yang membandingkan kerja
midazolam dengan propofol pada SER menunjukkan bahwa midazolam lebih
unggul.17
Propofol merupakan obat anastetik non-barbiturat kerja pendek yang
digunakan untuk induksi. Keunggulannya adalah induksi dan eliminasi yang
cepat. Propofol mudah ditemukan di semua instalasi gawat darurat maupun
ruang rawat intensif. Dosis awalnya 3-5 mg/kg dengan rumatan 1-15 mg/kg/jam.
Penggunaan pada anak merupakan kontraindikasi black box karena bisa
menyebabkan asidosis metabolik yang berujung pada hipotensi, rabdomiolisis,
dan hiperlipidemia. Sindrom tersebut diduga akibat kekurangan enzim
mitokondria.17
Pentobarbital merupakan barbiturat kerja pendek yang sering digunakan
pada SER. Obat tersebut diberikan dengan dosis awal 5-15 mg/kg selama 1 jam,
yang dilanjutkan dengan kecepatan 0,5-15 mg/kg/jam. Pentobarbital sebenarnya
memiliki lama kerja pendek, namun pada penggunaan terdahulu, lama kerjanya
akan memanjang hingga mendekati fenobarbital. Pentobarbital memiliki efek
samping kardiovaskular yang relatif tinggi, dan seringkali membutuhkan
pemberian vasopresor. Semua jenis barbiturat memiliki sifat imunosupresif dan
dapat meningkatkan infeksi nosokomial.10

5.9. Pengobatan Status Epileptikus


Tujuan pengobatan ini adalah penghentian kejang sesegera mungkin.
Pengobatan juga harus memperhitungkan pencegahan kekambuhan, mencari
penyebab dan mengobati semua komplikasi yang terjadi. Sumber daya yang

89
CHAPTER 5

terlibat antara lain tenaga keperawatan, farmasi, tim kegawatdaruratan, dan/atau


staf medis yang lain.18 Pendekatan terapi dan diagnosis dilakukan secara runut,
seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Algoritme Penanganan Status Epileptikus


(Sumber: Manno EM, et al. Neurohospitalist. 2011;1(1):23-31)
Terapi dapat diberikan pada beberapa jalur yang berbeda untuk terminasi
kejang yang paling cepat.

Lorazepam adalah obat dari golongan benzodiazepin yang dipilih sebagai


terapi permulaan dalam kasus kejang karena farmakokinetik dan keamanannya.
Dosis permulaan 4-10 mg intravena; namun dapat diberikan 0,1-0,2 mg/kg jika
kejang tidak berhenti dalam 2-3 menit. Diazepam atau midazolam dapat juga
diberikan tetapi jika menggunakan obat ini akan membutuhkan tambahan obat
lini kedua. Jika tidak ada akses intravena, benzodiazepin per rektal, sublingual, atau
intramuskular dapat diberikan. Kondisi tersebut serupa dengan fosfenitoin yang
dapat diberikan intramuskular sambil menunggu akses intravena tersedia.19
Penggunaan benzodiazepin perlu diantisipasi dengan manajemen jalan napas
yang baik, jika perlu lakukan intubasi. Jika kejang masih berlanjut, sangat
direkomendasikan untuk terapi RSE (lihat jalur 1 pada Gambar 1).19
Alternatif kedua adalah dengan memberikan obat lini kedua untuk terapi
RSE (jalur 2, Gambar 1). Pilihan ini banyak dipilih oleh beberapa peneliti untuk
menghindari prosedur intubasi pada kondisi depresi napas akibat penggunaan

90
CHAPTER 5

benzodiazepin. Pada prinsipnya, para pakar menganjurkan agar tidak terjadi


keterlambatan penanganan kejang hanya karena menunggu ketersediaan obat
lini kedua untuk mencegah tindakan intubasi. Kelompok peneliti yang
mendukung hal tersebut berpendapat bahwa penggunaan obat lini kedua dan
ketiga akan menurunkan efektifitas terapi SE.19
Pilihan ketiga adalah segera memberikan dosis awal fenobarbital jika
pemberian obat lini kedua belum juga memberikan tanda perbaikan (lihat jalur 3,
Gambar 1). Mayer, et al16 berpendapat bahwa inefektivitas obat lini kedua dan
ketiga mungkin mencerminkan keterlambatan terapi yang diberikan untuk
mengontrol kejang dan lebih sulit untuk dilakukan.16
Jika pengobatan lini kedua dan ketiga tidak efektif, maka algoritme terapi
pindah ke jalur untuk RSE. Hal ini membutuhkan pemantauan EEG dan titrasi obat
anestesi. Opini yang menyarankan terapi berkepanjangan dengan propofol,
dibandingkan midazolam, sudah mulai ditinggalkan. Kendati demikian,
perbandingan penggunaan kedua macam obat tersebut belum pernah diteliti
secara luas.16
Hingga saat ini, terapi optimal RSE masih menyisakan sejumlah pertanyaan,
misalnya tentang kedalaman induksi obat anestesi. Pada kenyataannya,
penggunaan obat biasanya dititrasi untuk menekan gambaran ‘burst’ pada EEG.
Smith dan Bleck20 berpendapat bahwa semua jenis kejang harus ditekan dan
semua terapi dianggap belum adekuat apabila belum tampak gambaran ‘flat line’
pada EEG.20

91
CHAPTER 5

Timeline Intervensi untuk Instalasi Gawat Darurat, rawat inap, atau fasilitas kesehatan tingkat
pertama dengan tenaga paramedis yang telah terlatih

1. Stabilisasikan pasien (jalan napas, pernapasan, sirkulasi, kelumpuhan-pemeriksaan


neurologis
2. Waktu kejang dari onsetnya, pantau vital sign
3. Menilai oksigenasi, berikan oksigen lewat nasal kanul/masker, pertimbangkan intubasi
bila dibutuhkan bantuan pernapasan
0-5 menit 4. Mulai pemantauan EKG
Fase 5. Periksa kadar gula darah di jari tangan dengan stick blood glucose. Bila kadar gula
darah < 60mg/dl maka :
Stabilisasi - Dewasa : 100mg thiamine IV kemudian 50ml D50% IV
- Anak ≥ 2 tahun : 2ml/kg D25% IV
- Anak < 2 tahun : 4ml/kg D12.5% IV
6. Usahakan pasang akses IV dan periksa kadar elektrolit, hematologi, skrining
toksikologi, (bila sesuai) kadar obat anti kejang
Ya Tidak
Apakah kejang

Benzodiazepine adalah terapi pilihan lini pertama (Level A) : Jika pasien kembali
Pilih salah satu dari 3 opsi dari obat pilihan pertama yang setara
dengan pemberian dosis dan frekwensi : seperti keadaan awal,
1. Midazolam intramuscular (10 mg untuk > 40 kg, 5mg untuk maka terapi
13-40 kg, dosis tunggal, Level A) ATAU
5-20 menit 2. Lorazepam intravena (0.1mg/kg/dosis/, maksimal :
Fase Terapi 4mg/dosis, dapat diulang 1 kali dosis, Level A) ATAU
3. Diazepam intravena (0.15-0.2mg/kg/dosis, maksimal :
Awal 10mg/dosis, dapat diulang 1 kali dosis, Level A)
Jika tidak ada dari 3 opsi di atas yang tersedia, pilih salah satu berikut
ini :
1. Phenobarbital intravena (15mg/kg/dosis, dosis tunggal,
Level A) ATAU
2. Diazepam rectal (0.2-0.5mg/kg, maksimal : 20mg/dosis,
dosis tunggal, Level B) ATAU
3. Midazolam intranasal (Level B), midazolam buccal (Level B)

Ya Tidak
Apakah kejang

Tidak ada bukti ilmiah pilihan terapi kedua yang lebih disukai (Level Jika pasien kembali
U) : seperti keadaan awal,
Pilih salah satu opsi dari obat lini kedua berikut ini dan berikan
sebagai dosis tunggal : maka terapi
1. Fosphenytoin intravena (20mg PE/kg, maksimal : 1500mg
PE/dosis, dosis tunggal, Level U) ATAU
2. Valproic acid intravena (40mg/kg, maksimal :
3000mg/dosis, dosis tunggal, Level B) ATAU
20-40 menit 3. Levetiracetam intravena (60mg/kg, maksimal :
4500mg/dosis, dosis tunggal, Level U)
Fase Terapi Jika tidak ada dari opsi di atas yang tersedia, pilih opsi di bawah
Kedua berikut ini (bila belum diberikan) :
- Phenobarbital intravena (15mg/kg, maksimal dosis, Level B)

Ya Apakah kejang Tidak

40-60 menit Tidak ada bukti ilmiah yang jelas dalam panduan terapi pada fase ini Jika pasien kembali
(Level U)
Fase Terapi Pilihannya meliputi : mengulangi terapi lini kedua atau berikan dosis seperti keadaan awal,
Ketiga anestesi yaitu thiopental, midazolam, pentobarbital, atau propofol maka terapi
(semuanya dengan pemantauan EEG secara terus menerus)

Gambar 2. Algoritma pengobatan yang dianjurkan untuk status epileptikus


Sumber : Glauser T et al, Epilepsy Curr 2016;16(1):48-61.

92
CHAPTER 5

5.10. Manajemen Kejang Neonatal


Dua aspek harus dipertimbangkan dalam pengobatan kejang neonatal:
pengobatan kejang itu sendiri dan pengobatan sesuai etiologi yang mendasari.
Kejang neonatal membutuhkan terapi darurat, karena kejang dapat
mempengaruhi keluaran jangka panjang pada bayi. Selain itu, terapi khusus
berdasarkan etiologi penting untuk mencegah cedera otak lebih lanjut.
Menstabilkan kondisi umum bayi diperlukan sebelum memulai pengobatan. Jalan
napas dan akses ke sistem peredaran darah harus memadai pada awal dimulainya
pengobatan.
Terapi khusus berdasarkan etiologi lebih disukai. Hal ini terutama untuk
kejang yang terkait dengan gangguan metabolik akut termasuk hipoglikemia dan
hipokalsemia, dan yang terkait dengan sistem saraf pusat atau infeksi sistemik
seperti meningitis bakteri, sepsis, dan infeksi herpes simplex. Kelainan metabolik
yang jarang namun dapat diobati seperti pyridoxine dependency, folinic acid-
responsive seizures, dan gangguan transportasi glukosa juga harus
dipertimbangkan sebelum diberikan pengobatan antiepilepsi. Kecuali apabila
etiologi yang mendasarinya ditangani dengan tepat, kejang neonatal tidak akan
dikontrol oleh pengobatan dengan obat antiepilepsi. Sehingga prosedur
diagnostik, termasuk kimia darah, skrining metabolik, kultur bakteri, studi virologi
seperti polymerase chain reaction, dan neuroimaging, harus dilakukan untuk
menentukan etiologi yang mendasarinya. EEG konvensional kemungkinan juga
bisa membantu.
Pengobatan dengan obat antiepilepsi dapat dipertimbangkan hanya
setelah tersedia bantuan untuk sitem pernapasan dan sirkulasi dan terapi khusus
berdasarkan etiologi telah teridentifikasi. Tipe kejang (epilepsi versus nonepilepsi),
jika memang benar epilepsi, durasi kejang dan keparahan harus dipertimbangkan
sebelum memutuskan apakah akan memulai pengobatan antiepilepsi. Obat
antiepilepsi harus digunakan untuk mengobati kejang neonatal yang disebabkan
oleh epilepsi dan bukan yang nonepilepsi, sebab pengobatan ini tidak efektif
untuk kejadian paroksismal nonepilepsi. Hal ini menunjukkan bahwa iktal
EEG/perekaman aEEG harus dilakukan untuk menentukan apakah kejangnya
epilepsi atau nonepilepsi sebelum memulai pengobatan dengan obat antiepilepsi.
Tidak perlu untuk mengobati semua kejang neonatal akibat epilepsi,
karena beberapa ada yang berlangsung singkat, jarang, dan sembuh dengan

93
CHAPTER 5

sendirinya. Secara teoritis, pengobatan antiepilepsi tidak dibenarkan pada bayi


dengan kejang yang dapat sembuh dengan sendirinya. Namun, tidak selalu
mudah untuk menentukan apakah ini kejang yang dapat sembuh dengan
sendirinya pada masing-masing individu selama beberapa jam pertama setelah
onset kejang. Pengobatan yang berlebihan dapat terjadi selama periode akut,
terutama ketika kejang terkait dengan tanda-tanda vital yang memburuk seperti
bradikardia, hipotensi, dan desaturasi. Namun, bahkan di beberapa kasus ini,
pengobatan kronis yang tidak perlu dengan obat antiepilepsi harus dihindari.21
Efikasi pengobatan harus dievaluasi oleh EEG secara terus-
menerus/pemantauan aEEG. Subklinis kejang sangat umum setelah kejang
dengan manifestasi klinis terkontrol oleh pengobatan antiepilepsi. Ini membuat
pengobatan antiepilepsi untuk kejang neonatal menjadi lebih rumit. Tidak ada
yang bisa menentukan khasiat pengobatan antiepilepsi tanpa EEG secara terus-
menerus /pemantauan aEEG. Untuk alasan ini, bukti efektivitas obat antiepilepsi
terbatas. Glass et al, menyelidiki pada kejang neonatal yang didiagnosis secara
klinis berhubungan dengan keluaran neurodevelopmental pada bayi dengan
hipoksia iskemia setelah mengontrol kejang dan tingkat keparahan cedera otak
yang terlihat pada MRI. Bayi dengan kejang neonatal memiliki hasil motorik dan
kognitif yang lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang tidak kejang.
Mereka menyimpulkan bahwa kejang neonatal pada bayi yang lahir dengan
asfiksia berhubungan dengan keluaran neurodevelopmental yang buruk, tidak
tergantung pada keparahan cedera otak akibat hipoksia-iskemik. 22
Kwon et al
melaporkan hasil yang berlawanan. Mereka menganalisis hubungan antara
kejang neonatal dan keluaran pada usia 18 bulan. Saat penyesuaian dibuat untuk
studi pengobatan dan tingkat keparahan ensefalopati, kejang tidak berhubungan
dengan kematian, cacat sedang atau berat, atau nilai yang lebih rendah pada
Bayley Skor Indeks Perkembangan Mental pada 18 bulan kehidupan.23 Kedua studi
ini memiliki kekurangan substansial, kejang yang didiagnosis berdasarkan
pengamatan klinis, dimana pada beberapa penelitian telah terbukti tidak cukup
dan tidak benar. Untuk memperjelas efektivitas obat-obatan antiepilepsi, studi
berdasarkan EEG secara terus-menerus/ pemantauan aEEG merupakan hal yang
sangat penting.
Tidak jelas sebenarnya apakah kejang subklinis harus diobati. Van Rooij et
al. mempelajari apakah pengobatan segera pada kejang klinis dan subklinis
menghasilkan pengurangan total durasi kejang dan penurunan cedera otak pada

94
CHAPTER 5

MRI. Durasi rata-rata pola kejang adalah 196 menit dalam kelompok di mana
subklinis kejang diobati berdasarkan pemantauan aEEG, dibandingkan dengan
503 menit pada kelompok di mana tidak dilakukan pemantauan aEEG. Ada
hubungan yang signifikan antara durasi pola kejang dan skor MRI dalam regresi
linier yang didapatkan hanya pada kelompok kedua. Mereka menyimpulkan
bahwa ada kecenderungan untuk pengurangan durasi kejang dan keparahan
cedera otak ketika kejang klinis dan subklinis diobati. 24
Di sisi lain, Freeman
menyatakan perhatian yang kuat untuk penerapan pemantauan aEEG untuk
mendeteksi kejang subklinis. 25 Saat ini, efektivitas obat untuk pengobatan kejang
pada bayi baru lahir belum ditetapkan. Oleh karena itu, konsekuensi dari
pengenalan EEG otomatis untuk mendeteksi subklinis kejang neonatal
cenderung mirip dengan yang terlihat setelah pengenalan pemantauan jantung
janin selama persalinan. Freeman memperingatkan para klinisi untuk berhati-hati
terhadap konsekuensi yang tidak diinginkan. Indikasi untuk pengobatan
antiepilepsi harus tergantung pada etiologi kejang neonatal. Kejang subklinis
dengan gejala akut seperti cedera otak hipoksik-iskemik cenderung sembuh
dengan sendirinya dan mungkin tidak memerlukan pemberian obat antiepilepsi
tambahan. Di sisi lain, kejang subklinis seperti malformasi otak harus ditangani
dengan benar, karena kejang ini dapat diklasifikasikan sebagai ensefalopati
epilepsi.
Juga tidak jelas apakah gejala motorik paroksismal non-epilepsi harus
diobati. Berbagai jenis fenomena ini telah salah didiagnosis sebagai kejang karena
epilepsi. Neonatologists mungkin menjadi marah ketika ahli syaraf bersikeras
bahwa tidak ada pengobatan yang diperlukan dalam kasus ini. Secara rasional,
pengobatan antiepilepsi tidak efektif atau berbahaya dan terapi khusus
berdasarkan etiologi harusnya lebih disukai.
Pemilihan obat antiepilepsi juga menjadi masalah. Saat ini, tidak ada bukti
yang menunjukkan obat antiepilepsi mana yang harus digunakan untuk kejang
neonatal. Phenobarbital dan phenytoin sering digunakan sebagai obat awal di
seluruh dunia. Namun, tidak ada agen yang tampaknya lebih efektif daripada yang
lain, dan tidak seefektif pemikiran sebelumnya. Di Jepang, midazolam juga sering
digunakan sebagai obat awal untuk kejang neonatal, tetapi keampuhannya
belum dievaluasi secara memadai.

95
CHAPTER 5

Kejang yang dicurigai pada neonatus beresiko tinggi :

Konfirmasi kejang dengan EEG (apabila tersedia) dan mulai


EEG berkelanjutan jika memungkinkan

Periksa penyebab yang bisa diperbaiki: glukosa, elektrolit

Mulai antibiotik jika demam atau berisiko tinggi terjadi


infeksi SSP. LP dilakukan segera setelah kejang dan stabil

Jika setidaknya satu kejang yang dikonfirmasi EEG dan tidak ada
penyebab yang dapat segera diperbaiki:

PHENOBARBITAL 20mg/kg iv
dan mulai rumatan phenobarbital 5mg/kg/hari terbagi 2 kali sehari Respon EEG dan klinis harus
atau 4 kali sehari
dinilai setelah 15-20 menit untuk
Memperoleh level mulai pemantauan EEG setiap loading pemberian obat
phenobarbital dalam 1-2 berkelanjutan jika belum
jam pasca loading dilakukan
phenobarbital Jika kejang berlanjut :
*Mempertimbangkan manfaat dan risiko dari masing-
tambahkan masing dari tiga opsi :
PHENOBARBITAL - Potensi efikasi
20mg/kg IV - Potensi toksisitas/efek samping langsung
- Meminimalkan tingkat sedasi/risiko depresi
pernapasan
Jika kejang berlanjut : - Kecepatan antispasi terhadap respon
Tiga opsi*: - Potensi interaksi antar obat
- Kebutuhan untuk pengambilan darah dalam
pemantauan kadar
obat
- Kemudahan/kemampuan untuk melanjutkan obat
PHENYTOIN/FOSPHENYTOIN 20mg/kg LIDOCAINE 2mg/kg IV bolus,
LEVETIRACETAM 50mg/kg IV yang dimulai
Kemudian rumatan IV dan memulai pengobatan rumatan Kemudian 6mg/kg/jam drip,
kedua (phenytoin 5mg/kg/hari terbagi sebagai obat rumatan
40mg/kg/hari lalu titrasi diturunkan
(terbagi 2 kali sehari) tiap 8 jam. Atau pertimbangkan 2mg/kg/jam tiap 12 jam
- Membatasi paparan beberapa AED yang berbeda
levetiracetam 40mg/kg/hari untuk hingga habis. Juga mulai (menggunakan dengan salah satu yang dapat
KAMI LEBIH MENYUKAI menghindari pemantauan kadar serum pengobatan rumatan kedua dilanjutkan)
secara terus menerus dan kemungkinan (seperti levetiracetam
terjadinya toksisitas 40mg/kg/hari)

Periksa kadar phenytoin bebas dan


total dalam 1 jam, dan ulangi
pemeriksaan kadar PHB pada saat
yang bersamaan karena berpotensi
terjadi interaksi

Jika kejang berlanjut :


Pertimbangkan penggunaan pyridoxine,
lalu :

MIDAZOLAM 0.15mg/kg IV bolus lalu 1 mikrogram/kg/menit drip, Ketika kejang berhenti :


titrasi dinaikkan sesuai kebutuhan hingga maksimal 18 - Pantau EEG setidaknya hingga 24 jam bebas kejang
mikrogram/kg/menit. - Jika sedang dalam rumatan phenobarbital, periksa
Mulai diturunkan setelah 24 jam bebas kejang dari gambaran di EEG.
kadar hingga dalam waktu 4-5 hari
Lanjutkan kebutuhan rumatan lainnya yang telah dimulai - Lanjutkan pemeriksaan untuk mengklarifikasi
sebelumnya. etiologi kejang: pertimbangkan pencitraan otak
(MRI kapanpun memungkinkan), LP untuk
pemeriksaan rutin dan/atau neurotransmitter,
pengujian untuk kelainan genetik atau metabolik
sesuai indikasi
Jika kejang berlanjut : - Berusaha untuk menyapih ke salah satu obat kejang
Pertimbangkan PENTOBARBITAL drip, atau jika rumatan sebelum pulang dari Rumah Sakit jika
belum pernah mencoba dapat menggunakan memungkinkan
LIDOCAINE drip (kecuali phenytoin/fosphenytoin - Pertimbangkan menyapih seluruh obat kejang
telah digunakan.
sebelum pulang dari Rumah Sakit jika kejang
tunggal atau jarang, dan jika bebas kejang
setidaknya 48-72 jam, dan tidak berisiko tinggi
berulangnya kejang

Gambar 3. Algoritma pengobatan yang disarankan untuk kejang neonatal berulang.


Panah menunjukkan langkah berikutnya jika kejang yang dikonfirmasi dengan EEG
sedang berlangsung (klinis atau subklinis).
Singkatan: CSF = cairan serebrospinal, SSP = sistem saraf pusat, EEG =
electroencephalogram, IV = intravena, LP = pungsi lumbal, MRI = magnetic resonance
imaging.
Sumber: Slaughter LA, Patel AD, Slaughter JL. J Child Neurol 2013;28(3):351-64.

96
CHAPTER 5

5.11. Kesimpulan
Kejang akut dan SE adalah kegawatdaruratan neurologis yang sering
dihadapi di rumah sakit. Keberhasilan terapi tergantung dari ketersediaan sumber
daya dan kecepatan pemberian obat antikonvulsan. Dengan pilihan agen
farmakologis saat ini, strategi terapi SE tetap mengutamakan pemberian obat
sesegera mungkin dengan rute apapun yang tersedia saat ini. Pada beberapa
kondisi tertentu, terapi SE refrakter memerlukan obat-obatan anestesi sebagai
obat antikonvulsan. Diagnosis dan penatalaksanaan kejang neonatal merupakan
tantangan masalah masa depan. Kejang neonatal harus didiagnosis berdasarkan
temuan iktal EEG / temuan aEEG dan efikasi pengobatan harus dievaluasi
menggunakan EEG/ aEEG. Untuk membuat pengobatan yang efektif,
pemantauan menggunakan EEG / aEEG dan tindak lanjut jangka panjang
diperlukan.

5.12. Daftar Pustaka


1. Epilepsy Foundation of America’s Working Group on Status Epilepticus.
Treatment of convulsive status epilepticus: recommendations of the
Epilepsy Foundation of America’s Working Group on Status Epilepticus.
JAMA. 1993;270:854-9.
2. Fallahian F, Hashemian SMR. Critical management of status epilepticus. J
Clin Intensive Care Med 2017;2:1-15.
3. Brophy GM, Bell R, Claasen J, Allredge B, Bleck TP, Glauser T et al.
Guidelines for the evaluation and management of status epilepticus.
Neurocrit Care 2012;s12028.
4. Au CC, Branco RG, Tasker RC. Management protocols for status epilepticus
in the pediatric emergency room: systematic review article. J Pediatr.
2017;93:84-94.
5. Claassen J, Jette N, Chum F, Green R, Schmidt M, Choi H, et al.
Electrographic seizures and periodic discharges after intracerebral
hemorrhage. Neurology. 2007;69:1356-65.
6. Rossetti AO, Oddo M, Liaudet L, Kaplan PW. Predictors of awakening from
postanoxic status epilepticus after therapeutic hypothermia. Neurology.
2009;72:744-9.
7. Gunawan PI. Etiology and outcome of status epilepticus in Dr Soetomo
Hospital. Pediatrica Indonesiana. 2010;50(2):S282.
8. Waterhouse EJ. Epidemiology of status epilepticus. Dalam: Drislane FW,
penyunting. Status epilepticus: a clinical perspective. New York: Humana
Press; 2005. h.55-75.
9. Noe K, Manno EM. Mechanisms underlying status epilepticus. Drugs Today.
2005;41:257-66.
10. Manno EM. New management strategies in the treatment of status
epilepticus. Mayo Clin Proc. 2003;78:508-18.

97
CHAPTER 5

11. Gunawan PI, Rulian F, Saharso D. Comparison of intranasal midazolam and


rectal diazepam as anticonvulsant in Children. J Nepal Ped Soc.
2015;35(2):116-21.
12. Gunawan PI, Kurniawan MR, Saharso D. The efficacy of intramuscular
midazolam compared with rectal diazepam for anticonvulsant in children.
Pak Ped J. 2015;39(4):217-21.
13. Treiman DM, Meyers PD, Walton N. Veterans affairs status epilepticus
cooperative study group a comparison of four treatments for generalized
status epilepticus. N Engl J Med. 1998;339:792-79.
14. McNamara JO. Drugs effective in the therapy of the epilepsies. Dalam:
Hardman JG, Limbird LE, Gilman AG, penyunting. Goodman & Gilman's The
pharmacologic basis of therapeutics. Edisi ke 10. New York: McGraw-Hill;
2001. h.521-47.
15. Kassala MY, Lobeck IN, Majid A, Xie Y, Farooq MV. Blood pressure changes
after intravenous fosphenytoin and levitiracetam in patients after acute
cerebral symptoms. Epilepsy Res. 2009;87:268-71.
16. Mayer SA, Claassen J, Lokin J, Mendelsohn F, Dennis LJ, Fitzsimmons BF.
Refractory status epilepticus: frequency, risk factors, and impact on
outcome. Arch Neurol. 2002;59:205-10.
17. Friedman JA, Manno EM, Fulgham JR. Propofol use in the neuro ICU. J
Neurosurg. 2002;96:1161-2
18. Shih T, Bazil CW. Treatment of generalized convulsive status epilepticus.
Dalam: Drislane FW, penyunting. Status epilepticus: a clinical perspective.
New York: Humana Press; 2005. h.265-88.
19. Manno EM. Status epilepticus current treatment strategies.
Neurohospitalist. 2011;1(1):23-31.
20. Glauser T, Shinnar S, Gloss D, Allredge B, Arya R, Bainbridge J, et al.
Evidence-based guideline: Treatment of convulsive status epilepticus in
children and adults: report of the guideline committee of American
Epilepsy Society. Epilepsy Curr 2016;16(1):48-61.
21. Okumura A. The diagnosis and treatment of neonatal seizures. Chang
Gung Med J 2012;35:365-72.
22. Glass HC, Glidden D, Jeremy RJ, Barkovich AJ, Ferriero DM, Miller SP.
Clinical neonatal seizures are independently associated with outcome in
infants at risk for hypoxic-ischemic brain injury. J Pediatr 2009;155:318-23.
23. Kwon JM, Guillet R, Shankaran S, Laptook AR, McDonald SA, Eherenkranz
RA et al. Clinical seizures in neonatal hypoxic ischeic encephalopathy have
no independent impact on neurodevelopmental outcome: secondary
analyses of data from the neonatal research network hypothermia trial. J
Child Neurol 2011;26:322-8.
24. Van Roooij LG, Toet MC, van Huffelen AC, Groenendaal F, Laan W, Zecic A et
al. Effect of treatment of subclinical neonatal seizures detected with aEEG;
randomized, controlled trial. Pediatrics 2010;125:e358-66.
25. Freeman JM. Beware: the misuse of technology and the law of unintended
consequences. Neurotherapeutics 2007;4:549-54.
26. Slaughter LA, Patel AD, Slaughter JL. Pharmacological treatment of
neonatal seizure: a systematic review. J Child Neurol 2013;28(3):351-64.

98
IMMEDIATE RECOGNITION AND PROMPT
TREATMENT OF SHOCK
Arina Setyaningtyasa, Neurinda Permata Kusumasutia, Ira Dharmawatia,
Ihsan Fahmi Rofanandab
a
Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga-RSUD dr. Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlanga-RSUD dr. Soetomo

Abstract
Shock is characterized by a significant, systemic reduction in tissue
perfusion, resulting in decreased tissue oxygen delivery. Shock can be caused by
lack of oxygen delivery (anemia, hypoxia, or ischemia), lack of glucose substracte
delivery (glycopenia); or mitochondrial dysfunction (cellular dysoxia). Millions of
children die of shock due to various etiologies each year. Several different
etiologies of shock in pediatric from hypovolemia to severe infection. Early
recognition and timely intervention to restore the intravascular volume and
reverse the biochemical cascade are critical for successful treatment for pediatric
shock.

99
CHAPTER 6

6.1. Pendahuluan
Syok adalah keadaan kegagalan penggunaan energi secara akut yang
disebabkan kurangnya produksi adenosine triphosphate (ATP) yang mendukung
fungsi seluler sistemik. Syok dapat disebabkan oleh menurunnya hantaran
oksigen (anemia, hipoksia, atau iskemia); berkurangnya pengiriman substrat
glukosa (glikopenia); atau disfungsi mitokondria (dysoxia seluler)1. Bryce pada
studinya mengemukakan penyebab terbanyak syok pada anak dibawah 5 tahun
adalah pneumonia (19%), diare (18%), malaria (8%) neonatal pneumonia atau sepsis
(10%), lahir premature (10%) dan asfiksia (8%)2,3.

6.2. Patofisiologi
Syok terjadi ketika hantaran oksigen sistemik dan nutrisi menjadi sangat
tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme sistem organ tubuh.
Fungsi utama dari sistem kardiovaskular adalah untuk menyediakan oksigen dan
substrat lain ke sel. Parameter yang menentukan hantaran oksigen yang
memadai ke jaringan adalah aliran darah ke jaringan (curah jantung),
keseimbangan regional aliran darah dengan kebutuhan metabolik, dan
kandungan oksigen darah (konsentrasi hemoglobin dan persentase hemoglobin
yang jenuh dengan oksigen)4,5. Sedangkan variabel fisiologis merupakan
kompensasi tubuh untuk mengimbangi perfusi yang terganggu meliputi: Curah
jantung (volume aliran darah per unit waktu) adalah hasil perkalian dari stroke
volume dan frekuensi irama jantung. Takikardia merupakan tanda umum dari
penurunan perfusi dan syok dini. Bayi memiliki stroke volume yang relatif tetap
dan sangat bergantung pada frekuensi irama jantung untuk meningkatkan curah
jantung; Curah sekuncup (Stroke volume) ditentukan oleh preload, kontraksi
jantung dan afterload. Mekanisme kompensasi untuk meningkatkan stroke
volume meliputi peningkatan tonus otot polos vena (peningkatan preload untuk
mengalirkan darah ke jantung) dan peningkatan kontraktilitas jantung;
Peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik (vasokonstriksi) untuk
mempertahankan tekanan fusi (diukur sebagai tekanan darah) meskipun curah
jantung menurun. Selain itu, darah dialirkan dari sistem perifer (termasuk kulit,
otot, ginjal, dan organ splanknikus) ke jantung dan sistem saraf pusat. Sehingga,
anak-anak dengan syok kompensasi pada awalnya memiliki tekanan darah
normal, meskipun ada tanda-tanda perfusi yang buruk (seperti penurunan denyut
nadi perifer dan takikardia)5.

100
CHAPTER 6

Hantaran oksigen ditentukan oleh persamaan berikut:


kandungan oksigen (1,36 × % hemoglobin × saturasi oksigen - 0.0003 × PaO2) ×
aliran (Cardiac index: CI). Syok anemia terjadi bila konsentrasi hemoglobin terlalu
rendah, syok hipoksia terjadi bila saturasi oksigen terlalu rendah, dan syok iskemik
terjadi bila aliran terlalu rendah1.

6.2.1. Tahap Syok


Sindrom syok ditandai dengan rangkaian tahapan fisiologis yang dimulai
dengan kejadian awal yang menyebabkan gangguan sistemik pada perfusi
jaringan. Selanjutnya, syok dapat berkembang melalui tiga tahap, jika tidak
berhasil diatasi, akan menyebabkan kerusakan organ akhir, syok ireversibel, dan
kematian5,6,7.
Syok kompensasi – merupakan mekanisme homeostatis tubuh untuk
mengatasi perfusi yang inadekuat dan mempertahankan tekanan darah sistolik
dalam rentang normal4,5. Denyut jantung pada awalnya meningkat. Tanda-tanda
vasokonstriksi perifer (seperti kulit dingin, denyut nadi perifer menurun, dan
oliguria) dapat diketahui saat perfusi semakin terganggu.
Syok hipotensi – merupakan tahap dimana mekanisme kompensasi tidak dapat
mengatasi kondisi syok. Tanda dan gejala disfungsi organ (seperti perubahan
status mental akibat perfusi otak yang buruk) muncul. Tekanan darah sistolik
turun4,5,8. Bila hipotensi telah terjadi, kondisi anak biasanya cepat memburuk dan
menjadi kolaps dan henti jantung.
Meskipun hipotensi umumnya merupakan temuan akhir pada anak dengan syok,
pasien yang mengalami syok distributif dini (seperti pada sepsis) dapat mengalami
hipotensi karena penurunan tahanan pembuluh darah sistemik (Sistemic
vascular resistance : SVR). Perfusi organ vital awalnya dipertahankan dengan
peningkatan curah jantung.
Irreversible Syok - Pada tahap ini, telah terjadi disfungsi organ progresif yang
menyebabkan kerusakan organ yang tidak dapat diperbaiki dan kematian5.

6.3. Klasifikasi Syok


Secara umum syok diklasifikasikan menjadi 4 jenis syok yaitu:
hipovolemik, distributif, kardiogenik, dan obstruktif.
Untuk setiap kondisi tertentu yang dapat menyebabkan syok, klasifikasi
dapat beragam. Pasien dengan syok distributif, khususnya, seringkali memiliki
beberapa kelainan fisiologis. Sebagai contoh, anak-anak dengan syok distributif

101
CHAPTER 6

yang disebabkan sepsis mungkin juga mengalami kehilangan volume (dari


muntah, diare, asupan yang buruk, atau peningkatan kehilangan cairan yang tidak
dapat disadari dari takipnea dan demam) dan depresi miokard dari efek mediator
inflamasi yang dilepaskan sebagai respons terhadap infeksi 4,5.

• Syok hipovolemik - adalah jenis syok yang paling umum dijumpai pada
anak-anak. Disebabkan karena penurunan preload akibat kehilangan
cairan ekstravaskular (contohnya diare atau kondisi diuresis osmotik) atau
kehilangan cairan intravaskular (seperti kebocoran kapiler atau
perdarahan). Karena preload adalah salah satu penentu komponen stroke
volume, maka curah jantung akan turun saat preload turun.
• Syok distributif - disebabkan karena vasodilatasi akibat penurunan SVR,
dengan distribusi aliran darah yang abnormal dalam mikrosirkulasi dan
perfusi jaringan yang tidak memadai. Hal ini dapat menyebabkan
hipovolemia fungsional dengan penurunan preload4,5,9,10. Syok distributif
umumnya dikaitkan dengan curah jantung yang normal atau meningkat.
Penyebab syok distributif meliputi: sepsis, anafilaksis, atau neurogenik.
• Syok kardiogenik - terjadi akibat kegagalan pompa, yang dimanifestasikan
secara fisiologis sebagai penurunan fungsi sistolik dan penurunan curah
jantung5,11. Syok kardiogenik jarang terjadi pada anak-anak, dibandingkan
dengan orang dewasa, Mekanisme syok kardiogenik beragam dan dapat
dibagi menjadi dua kategori umum: kardiomiopati dan aritmia5,12,13.
• Syok obstruktif - terjadi jika aliran darah terhalang secara fisik. Penyebab
syok obstruktif yang didapat seperti tamponade jantung, pneumotoraks
tegangan, dan emboli paru masif. Bayi dengan lesi jantung kongenital yang
bergantung pada duktal, seperti koarktasio aorta dan sindrom ventrikel kiri
hipoplastik, dapat mengalami syok ketika duktus arteriosus menutup
selama beberapa minggu pertama kehidupan5,14.

6.4. Gambaran Klinis


Gambaran klinis syok bervariasi. Gambaran umum dapat dijumpai
takikardia dan tanda-tanda perfusi organ yang terganggu (kulit, otak, dan ginjal).
Anak dengan syok sering mengalami takikardi sebelum terjadi hipotensi5.

• Takikardia – merupakan gejala yang tidak spesifik. Banyak kondisi umum


pada anak-anak seperti demam, nyeri, dan kecemasan dapat menyebabkan

102
CHAPTER 6

takikardia tanpa gangguan peredaran darah. Denyut jantung normal


dengan tanda-tanda syok kompensasi dapat terjadi dengan cedera tulang
belakang dan bradikardia sebagai akibat dari hipoksia.
• Perubahan kulit – terjadi karena penurunan perfusi jaringan yang efektif.
Mekanisme akibat vasokonstriksi menyebabkan aliran darah dari
pembuluh darah perifer, splanknikus, dan ginjal berkurang untuk
mempertahankan perfusi koroner dan serebral. Akibatnya, kulit biasanya
menjadi dingin, lembab, pucat, atau berbintik-bintik. Pada syok distributif
dini ditandai dengan kulit yang memerah, hiperemik dan vasodilatasi
perifer.
• Status kesadaran – Status mental biasanya memburuk menjadi obtundasi
dan koma saat keadaan syok memburuk. Anak-anak dengan gangguan
perfusi serebral tidak mudah dideteksi, biasanya anak tampak tidak dapat
berinteraksi dengan pengasuh.
• Oliguria – filtrasi glomerulus yang menurun akibat dari penurunan aliran
darah ginjal ke organ vital lainnya dan penurunan tekanan intraglomerular
untuk mendorong filtrasi glomerulus.
• Asidosis laktat – gangguan perfusi jaringan yang progresif berhubungan
dengan perkembangan asidosis laktat.
• Hipotensi – biasanya ditemukan di antara anak yang mengalami syok.

Pada anak, hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik yang kurang dari
persentil kelima dari usia normal4,5:

• Kurang dari 60 mmHg pada neonatus cukup bulan (0 sampai 28 hari)


• Kurang dari 70 mmHg pada bayi (1 bulan sampai 12 bulan)
• Kurang dari 70 mmHg + (2 x usia dalam tahun) pada anak-anak 1 sampai 10
tahun
• Kurang dari 90 mmHg pada anak-anak berusia 10 tahun atau lebih

6.4. Tatalaksana Syok

Pengenalan dini dan intervensi tepat waktu sangat penting dalam


mengobati syok dan mencegah perkembangan aliran syok. Kecepatan dan
ketepatan terapi dalam 1 jam pertama merupakan kunci untuk menurunkan
mortalitas akibat syok15. Strategi early goal directed therapy, yaitu resusitasi dini

103
CHAPTER 6

dengan target normalisasi kondisi fisiologis telah terbukti menurunkan mortalitas


pada orang dewasa dan anak-anak (gambar 1)3,16.
Pada syok, masalahutama adalah hantaran oksigen yang inadekuat,
sehingga setiap anak yang mengalami syok harus mendapatkan terapi oksigenasi.
Bila sarana memadai, segera dilakukan pemasangan monitor kardiorespirasi,
pulse oximetry dan dipasang akses intravena sesegera mungkin, pemeriksaan
kadar gula darah dan kadar kalsium17. Tatalaksana airway dan dukungan ventilator
seringkali dibutuhkan pada anak dengan syok. Intubasi seringkali diperlukan pada
anak syok dengan hemodinamik yang tidak stabil17.

Rekomendasi Tahapan Tatalaksana Syok pada 1 jam pertama

0 menit Identifikasi Syok, pertahankan jalan napas, Pasang akses

5 menit
Liver tidak membesar? Liver membesar?
15 menit

Berikan cairan resusitasi Berikan cairan resusitasi kristaloid isotonik10

hingga 60 ml/kg, bila dicurigai ml/kg, mulai pemberian infus prostaglandin (pada

syok hemoragik berikan PRC neonatus) dan atau dobutamine, hingga

20 ml/kg pemeriksaan echocardiogram untuk mengetahui


apakah ada gangguan ductal dependent

Berikan epihenphrin 0,05-0,3 mcg/kg/min (Bila neonatus


dengan PPHN, pertimbangkan nitric oxide

Syok resisten katekolamin

Waspada kemungkinan insufisiensi adrenal, hidrocortison


60 menit 2-50 mg/kg/dl

Gambar 1. Tahapan tatalaksana awal dukungan hemodinamik pada syok1

Pada bayi dan anak-anak, tingkat kelangsungan hidup meningkat


sebanyak 9 kali lipat ketika resusitasi agresif dimulai lebih awal 15,17. Tujuan dari
resusitasi adalah untuk mengatasi gangguan sirkulasi dan memperbaiki

104
CHAPTER 6

hipoperfusi. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa resusitasi cairan dini


meningkatkan kadar ATP jaringan pada syok akibat luka bakar17,18.
Cairan kristaloid isotonik merupakan pilihan cairan resusitasi pada anak
dengan syok Pada kondisi dimana sumber daya terbatas, pemberian cairan
resusitasi intra vena perlu perhatian khusus seperti pada kasus malaria, anemia,
dan malnutrisi. Penggunaan koloid (albumin 5%) dan transfusi dini untuk kasus
anemia memerlukan pertimbangan khusus17,19,20. Resusitasi cairan pada syok
dimulai dengan bolus cairan 20 mL/kg, meskipun tekanan darah masih normal,
dan dapat diberikan bolus cairan kembali jika perfusi sistemik belum membaik.
Monitoring perlu dilakukan setiap waktu untuk mengevaluasi tanda-tanda
kelebihan cairan, seperti hepatomegali, adanya suara S3 gallop, atau rales/crackles
paru. Volume cairan resusitasi pada kondisi hipovolemia dan sepsis biasanya
membutuhkan 40 sampai 60 ml/kg, tetapi bila diperlukan dapat hingga 200
ml/kg. Bila pasien anak tetap dalam kondisi syok setelah 60 ml/kg cairan IV, perlu
dipertimbangkan pemberian vasoaktif. Pemilihan jenis vasoaktif bergantung
pada kondisi klinis17.
Dopamin telah lama menjadi pilihan pertama pada syok pediatrik;
Namun, beberapa penelitian terbaru pada pasien dewasa dan anak-anak telah
mengemukakan hal yang berbeda17,21,22,23. Pada orang dewasa, dopamin dikaitkan
dengan peningkatan mortalitas dan terjadinya aritmia dibandingkan dengan
norepinefrin17,21. Dua studi penelitian pediatrik mengevaluasi penggunaan
epinefrin versus dopamin pada syok septik. Satu studi pada pasien syok septik
anak yang resisten cairan menerima epinefrin dibanding dopamin memiliki
tingkat kematian yang lebih rendah (7% vs 20%). Kedua kelompok studi
menggunakan jalur intravena perifer untuk pemberian obat vasoaktif hingga
jalur vena sentral dapat dipasang17,22. Studi penelitian lainnya menunjukkan tidak
ada perbedaan dalam kematian, tetapi pasien anak dalam kelompok epinefrin
memiliki perbaikan syok yang lebih cepat dan disfungsi organ yang lebih sedikit
disbanding kelompok studi yang menerima dopamin17,23. Berdasar studi penelitian
ini dan studi penelitian lainnya, panduan ACCM terbaru merekomendasikan
epinefrin sebagai pengobatan lini pertama untuk cold shock refrakter cairan,
dipertimbangkan penggunaan dopamin (5–10 mcg/kg/menit) bila epinefrin tidak
tersedia17,24.
Warm shock lebih jarang dijumpai pada pasien anak dibanding pasien
dewasa (di mana warm shock lebih dominan). Untuk pasien anak yang mengalami

105
CHAPTER 6

warm shock, norepinefrin direkomendasikan sebagai terapi lini pertama. Dopamin


dapat digunakan jika norepinefrin tidak tersedia, dan umumnya membutuhkan
dosis yang lebih tinggi dibandingkan dengan cold shock (10-20 mcg/kg/menit).
Pada pasien dewasa dengan syok septik, kadar vasopresin seringkali rendah dan
hal ini diduga berkontribusi pada vasodilatasi. Keadaan ini belum ditemukan
secara konsisten pada anak-anak17,25. Pemberian vasopresin sebagai terapi
tambahan dipertimbangkan pada syok vasodilatasi refrakter yang tidak responsif
terhadap norepinefrin17.

Pemberian antibiotik spektrum luas dalam 1 jam pertama


dipertimbangkan pada anak dengan syok septik. Dalam sebuah penelitian pada
pasien dewasa dengan sepsis, setiap jam penundaan pemberian antibiotik
berhubungan dengan penurunan rata-rata kelangsungan hidup sebesar 7,6% 17, 26.
Bila pasien masih mengalami syok meskipun telah diberikan obat
vasoaktif dengan dosis tinggi (syok yang resistan terhadap katekolamin),
dipertimbangkan pemberian kortikosteroid. Pasien yang dicurigai mengalami
insufisiensi adrenal (pada penggunaan steroid dalam 6 bulan terakhir, kelainan
hipofisis atau adrenal, atau sepsis dengan purpura fulminan) dipertimbangkan
pemberian hidrokortison dosis stres sesegera mungkin setelah syok teridentifikasi.
Studi penelitian penggunaan steroid pada syok pediatrik masih terbatas dan
menunjukkan hasil yang bertentangan. Dalam sebuah studi penelitian, anak-anak
dengan sepsis yang menerima kortikosteroid tidak mengalami perbaikan dalam
mortalitas, penggunaan obat vasoaktif, atau durasi rawat inap . Studi
17,27

metaanalisis oleh Menon dan rekan menunjukkan tidak ada perbedaan dalam
angka kematian antara pasien yang menerima dan tidak menerima steroid 17,28
.
Untuk syok yang resistan terhadap katekolamin, dosis hidrokortison 50 sampai 100
mg/m2/hari atau 2 sampai 4 mg/kg/hari, meskipun beberapa peneliti
menganjurkan dosis 50 mg/kg/hari pada syok refrakter 17,24. Idealnya, kadar kortisol
dasar harus ditentukan sebelum pemberian dosis hidrokortison17.

6.5. Target Akhir Resusitasi


Pemulihan kondisi syok tergantung pada perbaikan hantaran oksigen yang cukup
ke seluruh tubuh. The Surviving Sepsis Campaign mengemukakan target akhir
resusitasi syok pediatrik yaitu tercapainya pemulihan CRT kurang dari 2 detik,
tekanan darah normal untuk usia, denyut nadi normal, ekstremitas hangat,
produksi urin normal, dan status mental normal 17.

106
CHAPTER 6

6.5.1. Goal Directed Therapy


Selain target akhir resusitasi, Surviving Sepsis Campaign dan The
American College of Critical Care Medicine (ACCM) merekomendasikan bahwa
resusitasi syok septik pada anak seharusnya mencapai target saturasi mixed
venous (SvO2)  70%, tekanan perfusi (tekanan arteri rata-rata - tekanan vena
sentral) berdasar usia adalah minimal 55 + (1,5 x usia tahun), dan cardiac index
antara 3,3 - 6,0 L / menit / m2. Curah jantung yang rendah dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas pada anak dengan syok septik; cardiac index antara 3,3 -
6,0 L / menit / m2 berhubungan dengan luaran yang baik pada pasien syok septik
pediatrik dibandingkan pasien tanpa syok dengan cardiac index di atas
2,0L/menit/m2. Pengukuran curah jantung dapat diukur secara invasif atau
noninvasif dengan berbagai perangkat. Selain itu , untuk memaksimalkan
hantaran oksigen dan glukosa untuk membantu memperbaiki syok, ACCM
merekomendasikan pemberian transfusi untuk mencapai konsentrasi
hemoglobin lebih dari 10 g/dL dan pemberian cairan rumatan yang mengandung
D10 (D10 normal saline atau D10 ½ normal saline)17,24,29. Pada panduan Surviving
Sepsis Campaign untuk pasien dewasa, pemeriksaan konsentrasi laktat lebih dari
4 mmol / L menunjukkan tanda hipoperfusi jaringan, dan normalisasi laktat
merupakan target utama resusitasi. Beberapa studi pediatrik telah menunjukkan
bahwa peningkatan kadar laktat dan kegagalan pembersihan laktat berkorelasi
dengan mortalitas dan disfungsi organ17,30,31. Akan tetapi, pembersihan laktat tidak
dimasukkan pada pedoman pediatrik sebagai target akhir resusitasi pada anak
yang mengalami syok karena kadar laktat dapat normal ataupun meningkat
karena berbagai sebab selain hipoksia seluler17.
Resusitasi dengan tujuan early goal directed therapy (EGDT) nampaknya
kurang sesuai dengan algoritme pediatrik, tetapi untuk saat ini ACCM tetap
menganjurkan untuk titrasi terapi ke tujuan SvO2, tekanan perfusi, dan indeks
jantung. Dalam manajemen di ruang gawat darurat, bila pemantauan invasif tidak
dapat digunakan, maka monitoring secara terus menerus dan detil perlu
dilakukan. Pengenalan dini dengan penberian cairan IV dan antibiotik yang cepat
dan tepat serta evaluasi ulang secara terus menerus sangat penting. Perlu
dipertimbangkan tren peningkatan laktat dan penggunaan monitoring non-
invasif untuk menilai kecukupan resusitasi 17.

107
CHAPTER 6

6.6. Ringkasan
Syok adalah keadaan patofisiologis yang tidak stabil yang disebabkan
perfusi jaringan yang tidak adekuat yang harus diidentifikasi dan ditangani segera.
Kegagalan untuk mengenali dan mengatasi syok dapat menyebabkan luaran
yang buruk pada anak dengan syok. Di ruang gawat darurat, tata laksana awal
syok harus selalu di evaluasi dan dititrasi untuk memperbaiki tanda-tanda vital.
Bila resusitasi awal dengan cairan dan obat vasoaktif tidak memulihkan keadaan
syok, diperlukan pemantauan hemodinamik lanjutan untuk memandu
pengobatan (goal directed therapy). Pengenalan dini dan resusitasi dapat
menurunkan mortalitas dan memperbaiki hasil akhir pasien syok pediatrik.

6.7. Daftar Pustaka


1. Carcillo JA, Han K, Lin J, Orr R. Goal-Directed management of pediatric shock
in the emergency department. Clin Pediatr Emerg Med, 2007; 165-75.
2. Bryce J, Boschi-Pinto C, Shibuya K, Black RE. WHO estimates of the causes of
death in children. Lancet, 2005; 365:1147-52.
3. Arikan AA, Citak A. Pediatric Shock. Sign Vitae, 2008;3: 13-3.
4. American Heart Association. Pediatric advanced life support provider manual,
Chameides L, Samson RA, Schexnayder SM, Hazinski MF (Eds), Dallas, 2011; 69.
5. Pomerantz WJ, Roback MG. Physiology and classification of shock in children.
In: UpToDate, Post TW (Ed), UpToDate, Waltham, MA. (Accessed on February
10th, 2021).
6. Abboud FM. Pathophysiology of hypotension and shock. In: The Heart, Hurst
JW (Ed), McGraw-Hill, New York, 1982; 452.
7. Kristensen SR. Mechanisms of cell damage and enzyme release. Dan Med Bull,
1994; 41:423.
8. Schwaitzberg SD, Bergman KS, Harris BH. A pediatric trauma model of
continuous hemorrhage. J Pediatr Surg, 1988; 23:605.
9. Chittock DR, Russell JA. Oxygen delivery and consumption during sepsis. Clin
Chest Med, 1996; 17:263.
10. Tobin RT, Wetzel RC. Shock and multiple system organ failure. In: Textbook of
Pediatric Intensive Care, Rogers MC (Ed), Williams & Wilkins, Baltimore, 1996;
555.
11. Rodgers KG. Cardiovascular shock. Emerg Med Clin North Am, 1995; 13:793.
12. Witte MK, Hill JH, Blumer JL. Shock in the pediatric patient. Adv Pediatr, 1987;
34:139.
13. Bengur AR, Meliones JN. Cardiogenic shock. New Horiz, 1998; 6:139.
14. American Heart Association. Pediatric advanced life support provider manual,
Chamedes L, Samson RA, Schexnayder SM, Hazinski MF (Eds), Dallas 2012; 79.
15. Han YY, Carcillo JA, Dragotta MA, et al. Early reversal of pediatric-neonatal
septic shock by community physicians is associated with improved outcome.
Pediatrics, 2003; 112: 793-9.
16. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, et al. Early goal-directed therapy in the
treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl J Med, 2001;345(19):1368-
77.

108
CHAPTER 6

17. Mendelson J. Emergency department management of pediatric shock. Emerg


Med Clin N Am, 2018; 36:2:427-40.
18. Xia ZF, He F, Barrow RE, Broemeling LD, Herndon DN. Reperfusion injury in
burned rats after delayed fluid resuscitation. J Burn Care Rehabil, 1991;12:5:430-
6.
19. Maitland K, Kiguli S, Opoka RO, et al. Mortality after fluid bolus in African
children with severe infection. N Engl J Med, 2011;364:2483–95.
20. De Caen AR, Berg MD, Chameides L, et al. Part 12: pediatric advanced life sup-
port: 2015 American Heart Association guidelines update for cardiopulmonary
resuscitation and advanced emergency cardiovascular care. Circulation, 2015;
132:S526–42.
21. De Backer D, Biston P, Devriendt J, et al. SOAP II Investigators. Comparison of
dopamine and norepinephrine in the treatment of shock. N Engl J Med, 2010;
362:779–89.
22. Ventura AM, Shieh HH, Bousso A, et al. Double-blind prospective randomized
controlled trial of dopamine versus epinephrine as first-line vasoactive drugs
in pediatric septic shock. Crit Care Med, 2015;43:2292–302.
23. Ramaswamy KN, Singhi S, Jayashree M, et al. Double-blind randomized clinical
trial comparing dopamine and epinephrine in pediatric fluid-refractory
hypoten- sive septic shock. Pediatr Crit Care Med, 2016; 17: 502–12.
24. Davis AL, Carcillo JA, Aneja RK, et al. American College of Critical Care
Medicine clinical practice parameters for hemodynamic support of pediatric
and neonatal septic shock. Crit Care Med, 2017; 45: 1061–93.
25. Choong K, Bohn D, Fraser DD, et al. Canadian Critical Care Trials Group. Vaso-
pressin in pediatric vasodilatory shock: a multicenter randomized controlled
trial. Am J Respir Crit Care Med, 2009; 180: 632–9.
26. Kumar A, Roberts D, Wood KE, et al. Duration of hypotension before initiation
of effective antimicrobial therapy is the critical determinant of survival in
human septic shock. Crit Care Med, 2006; 34:1589–96.
27. Zimmerman JJ, Williams MD. Adjunctive corticosteroid therapy in pediatric
severe sepsis: observations from the RESOLVE study. Pediatr Crit Care Med,
2011;12:2–8.
28. Menon K, McNally D, Choong K, et al. A systematic review and meta-analysis
on the effect of steroids in pediatric shock. Pediatr Crit Care Med, 2013;14: 5:
474–80.
29. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, et al. Surviving sepsis campaign:
International guidelines for management of severe sepsis and septic shock:
2012. Crit Care Med, 2013;41: 580–637.
30. Choudhary R, Sitaraman S, Choudhary A. Lactate clearance as a predictor of
outcome in pediatric septic shock. J Emerg Trauma Shock, 2017;10:2:55–9.
31. Scott HF, Brou L, Deakyn SJ, et al. 30-day mortality in clinically suspected
sepsis in children. JAMA Pediatr, 2017;171:3:249–55.

109
DIABETIC KETOACIDOSIS MANAGEMENT
DURING COVID-19 PANDEMIC
Muhammad Faizia, Nur Rochmaha, Yuni Hisbiyahb, Amirah Jasmineb
a
Divisi Endokrinologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD dr. Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlanga-RSUD dr. Soetomo

Abstract
Guidelines for type-1 diabetes mellitus (DM) sufferers with diabetic ketoacidosis
(KAD) recommend the use of intravenous insulin with close monitoring in the
intensive care unit (UPI). The COVID-19 pandemic has increased the need for UPI
services, therefore it is very important to regulate their use for those who are most
in need by taking into account the risk of infection transmission. The treatment of
KAD patients in non-UPI wards is expected to reduce the risk of being exposed to
COVID-19 infection at UPI. The use of subcutaneous rapid acting insulin for mild to
moderate cases of KAD without complications has been shown to be used safely
in low-care wards. This paper aims to discuss the principles of safe KAD
management related to the COVID-19 pandemic in terms of limited ICU resources
by referring to the KAD management agreement. In principle, the management
of KAD aims to: 1. Improve dehydration, 2. Improve acidosis and prevent ketosis,
and restore blood glucose levels to normal levels, 3. Improve electrolyte disorders,
4. Prevent complications of KAD and due to therapy, 5. Recognize and eliminate
the trigger factor. Subcutaneous insulin (SC) is a safe and effective alternative
method in the management of mild to moderate KAD without complications,
reducing the occupancy of UPI. However, for infants and children <2 years, the use
of SC insulin is not recommended, due to limited evidence. Subcutaneous fast
acting insulin analogues (lispro or aspart) are given at an initial dose of 0.15 U / kg,
1 hour after initiation of fluid therapy, then every 2 hours until resolution of KAD.
The dose is reduced to 0.1 U / kg every 2 hours if the blood glucose level continues
to decrease> 5 mmol / L (90 mg / dL) per hour even after adding 5% dextrose to IV
fluids. Short acting insulin (regular insulin) with a starting dose of 0.13 - 0.17 U / kg
/ dose every 4 hours (0.8 - 1 U / kg / day given in divided doses) subcutaneously is
also a safe alternative. It is effective for use in children with KAD with a pH ≥ 7.1.
The dose can be increased or decreased gradually by 10% - 20% based on the
blood glucose level before insulin injection. The dose frequency can be increased
to every 2 or 3 hours if the acidosis does not improve. SC insulin therapy is
inappropriate in patients who are severely dehydrated and in patients whose
tissue perfusion continues to decline after fluid resuscitation or in patients with
serious comorbid conditions.
KEY WORDS: subcutaneous insulin, management of Diabetic Ketosidosis, COVID-
19 pandemic

110
Abstrak
Protokol tatalaksana pasien diabetes melitus (DM) tipe-1 dengan
ketoasidosis diabetes (KAD) merekomendasikan penggunaan insulin intravena
disertai monitoring ketat di unit perawatan intensif (UPI). Pandemi COVID-19
meningkatkan kebutuhan layanan UPI, sehingga penting melakukan manajemen
okupansi peruntukan UPI dengan mempertimbangkan risiko penularan infeksi.
Perawatan pasien KAD di bangsal non-UPI di harapkan menurunkan risiko
paparan infeksi COVID-19 di UPI. Penggunaan insulin kerja cepat subkutan untuk
KAD ringan sampai sedang tanpa komplikasi telah terbukti dapat digunakan
secara aman di ruang perawatan ‘low care’. Penulisan makalah ini adalah untuk
membahas prinsip tatalaksana KAD yang aman dikaitkan masa pandemi COVID-
19 dalam kaitannya keterbatasan sumberdaya ICU dengan mengacu pada
konsensus manajemen KAD. Tatalaksana KAD secara prinsip bertujuan untuk: 1.
Memperbaiki dehidrasi, 2. Melakukan koreksi asidosis dan mencegah ketosis, dan
mengembalikan kadar glukosa darah senormal mungkin, 3. Mengoreksi
gangguan elektrolit, 4. Mencegah komplikasi KAD serta akibat terapi, 5. Mengenali
dan menghilangkan faktor pencetus. Pemberian insulin subkutan (SK) merupakan
metode alternatif yang aman dan efektif dalam pengelolaan KAD ringan hingga
sedang tanpa komplikasi sehingga mengurangi okupansi UPI. Namun untuk bayi
dan anak usia < 2 tahun, penggunaan insulin SK tidak direkomendasikan, karena
terbatasnya bukti. Insulin analog kerja cepat (lispro atau aspart) subkutan dosis
awal 0,15 U/kg diberikan 1 jam setelah dimulainya terapi cairan, selanjutnya setiap
2 jam sampai resolusi KAD. Dosis insulin analog SK dikurangi menjadi 0,1 U/kg
setiap 2 jam jika kadar glukosa darah turun sebesar >5 mmol/L (90 mg/dL) per jam
bahkan setelah penambahan 5% dextrose. Insulin kerja pendek (insulin reguler)
dosis 0,13 - 0,17 U/kg/dosis setiap 4 jam (0,8 - 1 U/kg/hari yang diberikan dalam dosis
terbagi) subkutan juga alternatif yang aman dan efektif digunakan pada anak KAD
dengan pH ≥ 7,1. Dosis dapat dinaikkan atau diturunkan bertahap 10% - 20%
berdasarkan kadar glukosa darah sebelum injeksi insulin. Frekuensi dosis dapat
ditingkatkan menjadi setiap 2 atau 3 jam jika asidosis tidak membaik. Terapi insulin
SK tidak tepat pada pasien yang mengalami dehidrasi berat dan pada keadaan
penurunan perfusi jaringan menetap setelah resusitasi cairan atau pada pasien
dengan kondisi komorbid serius.
KATA KUNCI : insulin subkutan, tatalaksana Ketosidosis Diabetikum, pandemi
COVID-19

111
7.1. Pendahuluan
Peningkatan jumlah penderita COVID-19 di masa pandemi ini
mengakibatkan peningkatan okupansi bed di unit perawatan intensif di hampir
seluruh rumah sakit di belahan dunia.(1) Keterbatasan sarana, sumber daya
manusia, serta penerapan protokol penanganan khusus pada pasien-pasien
COVID-19 menjadi ‘menyulitkan’ penatalaksanaan pasien-pasien diabetes melitus
(DM) tipe-1 yang menglami ketoasidosis diabetes (KAD).(1)
Protokol tatalaksana KAD berat yang merekomendasikan penggunaan
insulin intravena dengan monitoring yang ketat di ruang intensif (ICU) menjadi
sulit diterapkan tanpa harus mengabaikan risiko penularan COVID-19 antar
manusia.(1) Penggunaan insulin kerja cepat subkutan untuk kasus-kasus KAD
ringan sampai sedang tanpa komplikasi telah terbukti dapat digunakan secara
aman di ruang perawatan ‘low care’.(1–3)
Penulisan makalah ini adalah untuk membahas prinsip tatalaksana KAD
yang aman dikaitkan masa pandemi COVID-19 dalam kaitannya keterbatasan
sumberdaya ICU dengan mengacu pada konsensus manajemen KAD yang telah
digunakan The International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes
(ISPAD) tahun 2018.

7.2. Ketoasidosis Diabetes


Ketoasidosis diabetes (KAD) adalah kondisi yang mengancam jiwa,
disebabkan penurunan kadar insulin efektif didalam tubuh, atau berkaitan
dengan resistensi insulin, dan peningkatan produksi hormon-hormon kontra
regulator yakni: glukagon, katekolamin, kortisol dan growth hormone.(1,4)
Diagnosis KAD didasarkan atas adanya "trias biokimia" yakni: hiperglikemia,
ketonemia, dan asidosis. Kriteria diagnosis yang telah disepakati luas adalah
sebagai berikut:(1,4)

• Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL).
• Asidosis, bila pH darah vena < 7,3 atau kadar bikarbonat < 15 mmol/L).
• Ketonemia (ß-hidroksibutirat > 3 mmol/L), atau ketonuria moderat/berat.

Derajat berat-ringannya asidosis diklasifikasikan sebagai berikut:(1)

• Ringan - sedang: bila pH darah > 7,1 hingga < 7,3 atau kadar bikarbonat
serum > 5 – 15 mmol/L

112
• Berat: bila pH darah < 7,1 atau bikarbonat < 5 mmol/L. .
• Perbaikan KAD: pH darah > 7,3 atau bikarbonat serum > 15 mmol/L, ß-
hidroksibutirat < 1 mmol/L, dan anion gap mendekati normal (Anion gap =
Na − (Cl + HCO3); nilai normal= 12 + 2 mmol/L).

7.3. Epidemiologi Ketoasidosis Diabetes


Setiap tahunnya di dunia ada sekitar 65.000 anak yang terdiagnosis DM
tipe-1, lebih dari 80 % mengalami KAD.19 Usia yang lebih muda saat diagnosis (<5
tahun) dikaitkan dengan risiko KAD yang lebih besar pada saat terdiagnosis DM
tipe-1 dan anak -anak yang lebih tua ( >10 tahun) memiliki risiko KAD yang lebih
besar setelah terdiagnosis DM tipe-1.20 Jumlah angka kematian akibat KAD di
RSCM pada penelitian bulan Januari 2002-Mei 2006 sekitar 19,3 %, sedangkan pada
penelitian bulan Juni 2006-Maret 2011 berjumlah sekitar 2,5 %.21

7.4. Patogenesis Ketoasidosis Diabetes


Adanya defisiensi insulin baik secara relatif maupun absolut yang disertai
peningkatan hormon-hormon kontra regulator yakni: glukagon, katekolamin,
kortisol, dan growth hormone, menyebabkan hiperglikemia disertai peningkatan
lipolisis dan produksi keton.(4–7) Defisiensi insulin absolut atau relatif menyebabkan
hiperglikemia melalui 3 proses: peningkatan glukoneogenesis yang terjadi di hati
dan ginjal, peningkatan glikogenolisis, dan gangguan utilisasi glukosa oleh
jaringan perifer.(4–7) Adanya hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotik, hal ini
akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan mineral dan elektrolit (Na, K, Ca, Mg,
Cl, dan PO4).(5) Nilai ambang ginjal terhadap kadar glukosa darah (+ 200 mg/dL) dan
keton akan terlampaui, sehingga terjadi ekskresi glukosa melalui ginjal yang
mencapai 200 g/hari dan keton urine yang mencapai + 20 – 30 g/hari, dengan total
osmolaritas urine + 2000 mOsm.(5,7) Efek osmotik dari glukosuria menyebabkan
terganggunya reabsorbsi NaCl dan H2O tubulus proksimal dan loop of Henle.(4,5,7)
Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontra regulator
menyebabkan aktifasi "hormone-sensitive lipase" pada jaringan lemak.(7)
Peningkatan aktifitas lipase pada jaringan lemak ini menyebabkan pemecahan
trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas.(5,7) Gliserol merupakan
prekursor glukoneogenesis di jaringan hati, sedangkan asam lemak bebas setelah
mengalami oksidasi di hati dengan melalui stimulasi glukagon akan diubah
menjadi keton yang terdiri atas: asetoasetat, ß-hidroksibutirat dan aseton. ß-

113
hidroksibutirat dan asetoasetat merupakan merupakan asam kuat yang dapat
menyebabkan asidosis metabolik.(5,7) Secara lebih utuh patogenesis terjadinya KAD
terlihat pada gambar 1.

Gambar 1: Konsekwensi metabolic defisiensi insulin yang menyebabkan


ketoasidosis.(7)
Keton disintesis di hati dengan bahan baku asam lemak bebas;
penumpukan keton bisa diakibatkan oleh adanya peningkatan lipolisis,
ketogenesis, dan penurunan utilisasi keton akibat kadar insulin di dalam
darah yang rendah.(4,6–8) Produksi keton secara singkat seperti dalam
gambar 2.(7)
Terdapat 3 bentuk keton di dalam darah: ß-hidroksibutirat,
asetoasetat, dan aseton. Aseton memberikan bau napas khas “keton” pada
penderita KAD, namun tidak berkontribusi pada asidosisnya; sedangkan ß-
hidroksibutirat dan asetoasetat bersifat asam.(5–7) Pada keadaan normal
rasio ß-hidroksibutirat : asetoasetat adalah 1:1, yang akan meningkat
menjadi 10:1 atau lebih pada keadaan KAD; jadi ß-hidroksibutirat
merupakan komponen utama penyebab asidosis pada KAD.(5–8) Pada KAD
yang membaik ß-hidroksibutirat akan dioksidasi menjadi asetoasetat dan
diekskresi melalui urine.(5–7)

114
Gambar 2: (a) Peningkatan lipolysis menghasilkan acetylCoA yang
berasal dari asam lemak, sebagai bahan dasar sintesis badan keton
di hati (asotoasetat, ß-hidroksibutirat, dan aseton). Tidak adanya
insulin menurunkan utilisasi glukosa dan menurunkan produksi
oksaloasetat. (b) Jumlah oksaloasetat yang tersedia untuk
kondensasi acetylCoA menurun; sehingga (c) acetylCoA yang
seharusnya bekondensasi dengan oksaloasetat dalam siklus TCA
(tricarboxylic acid) berpindah (d) mengalami kondensasi
membentuk asetoasetat yang kemudian mengalami reduksi
menjadi ß-hidroksibutirat.(7)
Insulin sendiri pada kadar yang rendah lebih merupakan anti-lipolisis
daripada untuk uptake glukosa. Keberadaan insulin inilah yang merupakan salah
satu faktor penentu terjadinya KAD atau status hiperglikemi hiperosmolar (SHH)
pada penderita DM.(5,7,8)

7.5. Anamnesis KAD


Pada anak dengan KAD dapat ditemukan adanya penurunan kesadaran.
Keluhan lain yang bisa ditemukan adalah muntah, mual, nyeri perut. Selain itu
anak juga mengalami gejala klasik diabetes seperti sering haus, sering buang air
kecil, dan penurunan berat badan. Perlu ditanyakan juga riwayat apakah pernah
terdiagnosis DM sebelumnya dan apakah menggunakan insulin serta bagaimana
keteraturan penggunannya. Serta bisa ditanyakan apakah ada penyakit keturunan
seperti diabetes dalam keluarga. Selain itu tanyakan apakah anak mengkonsumsi

115
obat-obatan tertentu misalnya seperti steroid. Tanyakan juga apakah ada riwayat
infeksi atau sakit sebelumnya.

7.6. Pemeriksaan Fisik KAD


Penilaian kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS). 22

Respons mata terbaik :

1. Tidak ada respons


2. Mata terbuka dengan rangsang nyeri
3. Mata terbuka dengan perintah verbal
4. Mata terbuka secara spontan

Respons verbal terbaik (anak pre-verbal, kurang dari 2 tahun) :

1. Tidak ada respons


2. Mengerang dengan rangsang nyeri
3. Menangis dengan rangsang nyeri
4. Mudah tersinggung atau menangis
5. Membuat suara atau ocehan (coos dan babbles)

Respons verbal terbaik (anak diatas 2 tahun) :

1. Tidak ada respons


2. Suara yang tak bisa dimengerti
3. Kata-kata yang tak bisa dimengerti
4. Bingung
5. Orientasi baik

Respons motorik terbaik :

1. Tidak ada respons


2. Ekstensi dengan rangsangan nyeri
3. Fleksi dengan rangsangan nyeri
4. Menjauhi rangsangan nyeri
5. Melokalisir nyeri
6. Mengikuti perintah

Penilaian derajat dehidrasi harus dilakukan, dehidrasi dianggap sedang jika


dehidrasinya mencapai 5%-9%, tanda-tanda dehidrasi diantaranya capillary refill

116
time memanjang, turgor kulit menurun, hyperpnea, tanda dehidrasi lain seperti
membran mukus yang kering, mata cekung, dan tidak ada air mata. Dehidrasi
lebih dari 10% atau berat yaitu jika ada tanda seperti nadi yang lemah, hipotensi
dan oliguria. Pernapasan kussmaul, yaitu napas cepat dan dalam juga dapat
ditemukan. Selain itu periksa juga apakah napas bau keton. Timbang berat badan
pasien, gunakan berat badan aktual untuk kebutuhan cairan ataupun kebutuhan
insulin.23

7.7. Pemeriksaan Penunjang KAD


Lakukan pemeriksaan kadar glukosa darah dan kadar beta hidroksi
butirat/BOH (atau keton urin) dengan alat bedside. Selain itu lakukan juga
pemeriksaan setidaknya glukosa plasma, elektrolit serum (perhitungan anion
gap), analisis gas darah (pH, HCO3-, dan pCO2) vena, kadar BOHB, dan darah tepi
lengkap. Pemeriksaan tambahan lain yang biasa diperlukan meliputi serum
kreatinin, osmolalitas plasma, serum albumin, fosfor, dan magnesium. Periksa juga
HbA1c, urinalisis, dan jika demam dapat dilakukan pemeriksaan untuk mencari
sumber infeksi seperti misalnya kultur (darah, urin, atau spesimen lainnya).
Lakukan juga pemeriksaan EKG untuk membantu menentukan jika ada
hiperkalemia atau hipokalemia.23

7.8. Prinsip Tatalaksana KAD


Semua kasus KAD sebaiknya dikelola di rumah sakit, di ruang perawatan
intensif untuk dapat melakukan monitoring klinik dan laboratorium yang sangat
penting untuk dapat memberikan penanganan yang optimal. ISPAD
merekomendasikan unit perawatan dengan persyaratan:(1,3,4,9)

a. Mempunyai staf perawatan yang terlatih dalam tatalaksana dan monitoring


KAD pada anak dan remaja.
b. Mempunyai protocol tertulis, dan jika memungkinkan terdapat akses
internet pada sumber rujukan KAD pada anak.
c. Mempunyai akses laboratorium yang siap setiap waktu diperlukan.

Ketiga persyaratan di atas idealnya dilakukan dalam ‘setting’ unit


perawatan intensif (UPI), hanya kasus KAD ringan hingga sedang dan tanpa
komplikasi yang diperkenankan dilakukan perawatan di unit ‘low care’.(1,3,4,9,10)

117
Pandemi COVID-19 telah menciptakan kebutuhan yang belum pernah
terjadi sebelumnya untuk layanan UPI. Oleh karena itu penting sekali melakukan
manajemen okupansi peruntukan UPI bagi mereka yang benar-benar
membutuhkan, dengan mempertimbangkan risiko penularan infeksi.(1) Perawatan
pasien KAD di bangsal non-UPI di harapkan dapat menurunkan risiko paparan
mereka terhadap infeksi COVID-19 di UPI.(1)
Tatalaksana KAD secara prinsip bertujuan untuk:(1,4,5,10,11) 1. Memperbaiki
dehidrasi, 2. Melakukan koreksi asidosis dan mencegah ketosis, dan
mengembalikan kadar glukosa darah senormal mungkin, 3. Mengoreksi
gangguan elektrolit, 4. Mencegah komplikasi KAD serta akibat terapi, 5. Mengenali
dan menghilangkan faktor pencetus. Secara garis besar sebagaimana algoritma
pada gambar 3.(4)

7.8.1. Terapi cairan.


Terapi cairan ditujukan untuk memperbaiki status hidrasi, menggunakan
cairan 0,9% salin atau cairan isotonik lainnya yang diperuntukkan untuk
mengembalikan perfusi jaringan yang adequat dan hemodinamik yang
stabil.(4,5,10,11) Dalam keadaan syok dapat diberikan bolus 10-20 mL/kg berat badan
bila diperlukan.(4,10,11) Pada keadaan perfusi dan hemodinamik yang cukup baik,
tidak diperlukan pemberian cairan bolus. Adanya diuresis osmotik, sering
menyulitkan perkiraan derajat dehidrasi; pengalaman empirik paling sesuai
menggunakan derajat dehidrasi sedang (+7-9% berat badan).(4,5,10,11) Penggantian
cairan defisit dan rumatan dapat diberikan dalam 36-48 jam.(4,5) Dengan rehidrasi
ini, dalam beberapa jam kadar glukosa darah akan menurun mendekati nilai
ambang resorbsi renal, sehingga perhitungan penggantian cairan “ongoing
losses” akibat diuresis osmotik tidak diperlukan.(4,5,10,11)

7.8.2. Terapi insulin dan dekstrosa.


Terapi insulin pada KAD diutamakan untuk mengatasi asidosis disamping
juga untuk hiperglikeminya, melalui penghambatan ketogenesis,
glukoneogenesis, dan glikogenolisis; serta untuk meningkatkan uptake dan
metabolisme glukosa di perifer.(4,5,10) Standar terapi insulin pada KAD adalah
intravena (IV), dan penggunaan insulin IV memerlukan monitoring ketat menjadi
alasan utama pasien KAD untuk masuk UPI. Kadar glukosa sering mencapai
normal lebih awal sebelum ketosis dan asidosis teratasi. Bila kadar glukosa
menurun mencapai 250-300 mg/dL, larutan dektrosa sudah harus ditambahkan

118
untuk menghindari hipoglikemia sementara infus insulin harus tetap
dipertahankan untuk menghambat ketosis dan asidosis.(1,4,5,10) Kecepatan
penurunan kadar glukosa darah sebaiknya 75-100 mg/dL dan kadar glukosa darah
dipertahankan antara 150-250 mg/dL untuk menghindari hypoglikemia dan
diuresis osmotik.(1,4,5)
Pemberian insulin subkutan (SK) merupakan metode alternatif yang aman
dan efektif dalam pengelolaan KAD ringan hingga sedang tanpa komplikasi
sehingga mengurangi okupansi UPI.(1,3,10,12–14) Di samping itu perawatan KAD di
bangsal non-UPI akan mempersingkat lama rawat inap.(1) Beberapa bukti
penggunaan insulin subkutan dalam manajemen KAD ringan-sedang tanpa
komplikasi terangkum pada table 1.(1,12–14) Namun untuk bayi dan anak usia < 2
tahun, penggunaan insulin SK tidak direkomendasikan, karena terbatasnya
bukti.(1–3,10)
Insulin analog kerja cepat (lispro atau aspart) subkutan:
Dosis awal yang disarankan adalah 0,15 U/kg, 1 jam setelah dimulainya terapi
cairan. Dosis SK selanjutnya harus diberikan setiap 2 jam sampai resolusi KAD.
Dosis insulin analog SK dapat dikurangi menjadi 0,1 U/kg setiap 2 jam, jika kadar
glukosa darah terus berkurang sebesar >5 mmol/L (90 mg/dL) per jam bahkan
setelah menambahkan 5% dextrose ke cairan IV.(1,12–14)
Kadar glukosa darah harus dipantau setiap 1 hingga 2 jam yang bertujuan
untuk mencapai kadar mendekati 11 mmol/L (200 mg/dL) hingga perbaikan KAD.
Terapi insulin SK mungkin tidak tepat pada pasien yang mengalami dehidrasi
berat (dibuktikan dengan kurangnya output urin, ekstremitas kering dan dingin,
tekanan darah rendah atau tidak terdeteksi, denyut nadi yang lemah, potensial
gagal ginjal, letargia, penurunan kesadaran, atau koma). Insulin SK mungkin juga
tidak tepat pada keadaan penurunan perfusi jaringan (waktu isi ulang kapiler >3
detik) menetap setelah resusitasi cairan atau pada pasien dengan kondisi
komorbid serius.(1,4,14)
Insulin kerja pendek (insulin reguler) subkutan:
Pemberian insulin reguler setiap 4 jam juga alternatif yang aman dan efektif
digunakan pada anak KAD dengan pH ≥ 7,1. Dosis awal yang disarankan adalah 0,13
- 0,17 U/kg/dosis setiap 4 jam (0,8 - 1 U/kg/hari yang diberikan dalam dosis terbagi);
dapat dinaikkan atau diturunkan bertahap sebesar 10% - 20% berdasarkan kadar
glukosa darah sebelum injeksi insulin. Frekuensi dosis dapat ditingkatkan menjadi
setiap 2 atau 3 jam jika asidosis tidak membaik.(1,4,13)

119
Algoritma Managemen Ketoasidosis Diabetik
Anamnesis:
Pemeriksaan fisik: Laboratorium:
•Poliuria •Ketonuria
•Polidipsia •Tentukan derajat dehidrasi •Hiperglikemia > 300 mg/dl
•Penurunan BB •Nafas cepat & dalam (Kussmaul) •Asidosis metabolik
•Nyeri perut •Nafas bau ‘keton’ •Pemeriksaan lain:
•Lemas/lemah •Lethargy/drowsiness & muntah Elektrolit darah, BUN,
•Muntah-muntah SC
•Pusing

Diabetes Ketoasidosis

•Klinis sedang
•Bisa makan/minum
•Syok +, Dehidrasi berat •Dehidrasi > 5%
•Penurunan kesadaran •Asidosis (hiperventilasi)
•Syok –
•Muntah •Berikan insulin SK
•Rehidrasi oral
Resusitasi:

•Airway/nasogastric tube
•Berikan oksigen masker 100%
IVFD: Tidak ada
•Terapi syok: NS 20ml/kg (bisa diulang)
•Tentukan kebutuhan cairan + defisit perbaikan
•Koreksi defisit dalam 48 jam.
•Menggunakan Normal Salin
•EKG
•Tambahkan KCl 40 mmol/L cairan

Insulin iv: 0,1 u/kg/jam (0,05 u/kg/jam bila < 2th)*

Oservasi ketat:
Kesadaran menurun, sakit kepala,
Asidosis tidak membaik
•Kadar gula darah setiap 1 jam penurunan HR, iritable/gelisah,
•Balans cairan setiap 1 jam
•Status neurologis inkontinensia, ‘specific neurological sign’.
•Elektrolit darah
•EKG: perubahan gel T ?
Evaluasi kembali: •Pastikan bukan hipoglikemia
•Balans cairan? •Edema cerebri?
KGD 200-300 mg/dl
•Insulin: dosis, macet? atau
•Infeksi, sepsis? Penurunan KGD > 100 mg/dl/jam
•Konsul Neurologi Anak
•Pertimbangkan: Manitol 1g/kg
BB dalam 20 menit
IVFD:
•Restriksi cairan 50%
•Ganti cairan dengan D5 0,45 atau 0,9 Salin
•Tambahkan dekstrosa 5-12,5%
•Turnkan dosis insulin (jangan < 0,05 u/kg/jam)
•Periksa elektrolit darah → koreksi bila perlu

Klinis membaik, bisa makan/minum per-oral

Perubahan Insulin: berikan sc → stop insulin iv 60 menit kemudian

* Larutkan insulin 50 unit dalam NS add 50 ml Sumber: Modifikasi Consensus Guidelines 2018 ( ISPAD

Gambar 3: Algoritma tatalaksana ketoasidosis diabetes.(4)

120
Tabel 1: Rangkuman bukti studi tersamar ganda penggunaan insulin intravenous vs subkutan pada
kasus KAD ringan-sedang anak dan dewasa.(1,14)
Refere Pembanding/ Karakteristik Derajat Kekurangan Keunggulan
nsi dosis kelompok KAD
pembanding (n, (pH)
rata-rata usia ±
SD)
Razavi dkk SK aspart: 0.15 U/kg q2h n = 25, 8.6 ± 0.8 tahun > 7.1 - Masa tinggal lebih
singkat untuk
DKA sedang (3,4
vs 4,4 hari)
Della dkk SK lispro: 0.15 U/kg q2h, n = 30, median 11.3 tahun, 7.17 ± 0.10 Kontrol glukosa -
lalu q4h kisaran 3-17 tahun sub-optimal
dengan insulin SK
q4h
Karoli dkk SK lispro: SK bolus 0.3 n = 25, 35 ± 11 tahun 7.16 ± 0.11 - -
U/kg, lalu 0.2 U/kg 1 jam
kemudian dan 0.2 U/kg
q2h berikutnya.
Dikurangi menjadi 0.1
U/kg q2h jika BG <13.8
mmol/L
Ersoz dkk SK lispro: bolus insulin n = 10, 38.7 ± 19.7 tahun 7.15 ± 0.11 - -
reguler IV 0.15 U/kg,
kemudian SK lispro 0.075
IU/kg q1h
Umpierrez SK lispro: SK Bolus 0.3 n = 20, 37 ± 12 tahun 7.17 ± 0.10 - Biaya rumah sakit
dkk U/kg diikuti oleh 0.1 U/kg lebih murah pada
q1h hingga BG <13.8 kelompok SK non-
mmol/L, lalu 0.05 hingga ICU
0.1 U/kg q1h
Umpierrez SK aspart-1 n = 15 di setiap kelompok 7.12 ± 0.12 - -
dkk Bolus SK: 0.3 U/kg SK aspart-1: 36 ± 8 tahun
Kemudian 0.1 U/kg q1h SK aspart-2: 38 ± 12 tahun
Kemudian 0.05 U/kg q1h
pada BG <13.8 mmol/L
SK aspart-2:
Bolus SK: 0.3 U/kg
Kemudian 0.2 U/kg 1 jam
kemudian dan q2h
Kemudian 0.1 U/kg q1h
pada BG <13.8 mmol/L

7.8.3. Mengoreksi gangguan elektrolit.


Pemberian insulin dan perbaikan asidosis menyebabkan pergerakan
Kalium (K) dari ekstrasel ke intrasel sehingga kadar Kalium akan menurun drastis,
maka perlu penambahan Kalium intravena dengan konsentrasi 30-40 mEq/L.

121
Namun harus dipastikan tidak adanya gangguan fungsi renal sebelum pemberian
Kalium.(4,5,7,11)
Koreksi Natrium (Na) dilakukan secara individual tergantung pengukuran
serum elektrolit. Kadar Na yang terukur adalah lebih rendah, akibat efek dilusi
hiperglikemia yang terjadi; sebenarnya terdapat peningkatan kadar Na sebesar 1,6
mmol/L setiap peningkatan kadar glukosa sebesar 100 mg/dL di atas 100 mg/dL.
Harus ditentukan corrected Na yang dapat dihitung dengan formula: (4,5,11)

• Corrected Na = Na terukur + 1,6 (glukosa – 100 )


100
• Osmolalitas efektif plasma (mOsm/kg) = 2 (Na+K) + glukosa + BUN
18 3

Catatan: glukosa dan BUN dalam mg/dL

Bila corrected Na > 150 mmol/L (hipernatremia), rehidrasi dilakukan dalam >
48 jam. Bila corrected Na < 125 mmol/L atau cenderung menurun lakukan koreksi
dg NaCl dan evaluasi kecepatan hidrasi.(4,5,11) Kondisi hiponatremia merupakan
indikasi overhidrasi dan meningkatkan resiko edema serebri.(4,5,11,15)
Penggantian bikarbonat: Bikarbonat sebaiknya tidak dipergunakan secara
rutin sebagai koreksi asidosis pada anak-anak dengan KAD.(4,5,11,15,16) Asidosis yang
berat pada KAD akan membaik dengan pemberian cairan dan insulin. Di samping
itu terapi hipovolemi akan memperbaiki perfusi jaringan dan fungsi ginjal,
sehingga meningkatkan ekskresi asam organik dan mengurangi asidosis
laktat.(4,5,11,15,16) Pemberian bikarbonat juga meningkatkan kemungkinan
hipokalemia selama terapi KAD, secara teori dapat meningkatkan hipoksia
jaringan akibat bergesernya kurva dissosiasi oksigen-hemoglobin ke kiri, asidosis
serebral, dan excessive osmolar load.(4,5,16)

7.8.4. Mencegah komplikasi.


Sebelum era penggunaan insulin dosis rendah seperti saat ini dua
komplikasi yang paling sering dijumpai selama terapi adalah hipoglikemia dan
hipokalemia dengan angka kejadian hingga + 25%.(5) Dengan penggunaan insulin
dosis rendah (seperti era sekarang ini) hipoglikemia dapat dihindari dengan
monitoring dan evaluasi yang lebih ketat, serta penggantian cairan rehidrasi
dengan dekstrosa 5% dalam ½ salin bila kadar glukosa darah < 250 mg/dL.(4,5,11)

122
Demikian juga hipokalemia dapat dicegah dengan monitoring ketat dan
penambahan kalium pada cairan rehidrasinya.(4)
Komplikasi terberat yang harus diwaspadai selama terapi KAD adalah
edema serebri dengan kejadian 0,7-1% dan mortalitas sekitar 57-87%.(4,15) Pada
penelitian di RSUD Dr. Soetomo, kami dapatkan 2 (3.4%) dari 58 penderita KAD
yang mengalami edema serebri.(17) Hingga saat ini patogenesis terjadinya edema
serebri ini masih belum jelas, diduga kuat terutama melibatkan proses vasogenik
dan sebagai akibat aktivasi ion tranporter di blood-brain barrier; adanya
hipoperfusi serebri, efek langsung ketosis atau sitokin inflamasi pada fungsi
endotel blood brain barrier diduga sebagai pemicu proses tersebut.(4,5,15) Cara yang
paling efektif mengurangi risiko edema serebri selama terapi KAD adalah:
menghindari hidrasi yang berlebihan serta fluktuasi kadar glukosa darah yang
ekstrim, menjaga keseimbangan elektrolit, melakukan monitoring ketat, dan
mengenali tanda-tanda dini edema serebri.(4,5,15)
Komplikasi lain yang dapat terjadi selama terapi adalah asidosis metabolik
hiperkloremia. Hiperkloremia ini terjadi akibat pemberian NaCl 0,9% yang
mengandung sekitar 154 mmol/L Natrium dan Klorida, sehingga terjadi kelebihan
54 mmol/L dari 100 mmol/L Klorida di dalam serum. Asidosis ini tidak berbahaya
pada kondisi klinik penderita dan akan terkoreksi dalam 24-48 jam melalui
ekskresi ginjal.(4,5,16)

7.8.5. Mengenali dan menghilangkan faktor pencetus.


Dua faktor yang paling berperan pada timbulnya KAD adalah terapi insulin
yang tidak adekwat dan infeksi.(4,5,8) Pengalaman di RSUD Dr. Soetomo
mendapatkan sekitar 25% faktor pencetusnya diakibatkan terapi insulin yang tidak
adekwat, sedangkan 75% sisanya adalah akibat infeksi.(17) Dari pengalaman di
negara maju keduanya dapat diatasi dengan memberikan hotline / akses yang
mudah bagi penderita untuk mencapai fasilitas kesehatan, komunikasi yang
efektif antara petugas kesehatan dengan penderita dan keluarganya di saat sakit,
serta edukasi.(1,3,18)
Langkah-langkah pencegahan efektif yang dapat dilakukan pada penderita
DM tipe-1 agar tidak terjadi KAD adalah deteksi awal adanya dekompensasi
metabolik dan penatalaksanaan yang tepat.(10,18) Hal praktis yang dapat dilakukan
adalah: (3,4,9,11,18)

123
1. Menjamin agar jangan sampai terjadi defisiensi insulin (tidak menghentikan
pemberian insulin, managemen insulin yang tepat disaat sakit).
2. Menghindari stress.
3. Menghindari puasa yang berkepanjangan.
4. Mencegah dehidrasi.
5. Mengobati infeksi secara adekwat.
6. Melakukan pemantauan kadar gula darah/keton secara mandiri.

Secara praktis, ISPAD (International Society for Pediatric and


Adolescent Diabetes) telah memberikan guideline penatalaksanaan KAD
untuk fasilitas terbatas, dan dapat dijadikan rujukan selama masa
pandemic COVID-19 sebagaimana yang terangkum dalam algoritma
gambar 4.(1)

124
Gambar 4: Algoritma penatalaksanaan KAD pada fasilitas terbatas. (1)

125
7.9. Poin Penting Tatalaksana KAD.(1,4,10–14)
• Infus insulin IV adalah standar tatalaksana KAD.
• Pemberian insulin analog atau regular SK dapat dipertimbangkan sebagai
alternatif yang aman pada KAD ringan – sedang di bangsal non-UPI.
• Terapi cairan dan elektrolit, serta pemantauan disesuaikan menurut respon
klinis, dan dapat mengacu pada pedoman yang sudah ada (ISPAD 2018).
• Untuk insulin ANALOG kerja cepat SK (lispro atau aspart), dosis awal yang
disarankan adalah 0,15 U/kg, diberikan 1 jam setelah dimulainya
penggantian cairan IV, dan kemudian diberikan setiap 2 jam hingga
perbaikan KAD. Setelah kadar glukosa darah mencapai 14-17 mmol/L (250-
300 mg/dL), harus ditambahkan cairan dekstrosa 5%. Dosis insulin ANALOG
SK dapat dikurangi menjadi 0,1 U/kg setiap 2 jam, jika kadar glukosa darah
terus berkurang >5 mmol/L (90 mg/dL) per jam.
• Untuk insulin REGULAR SK, dosis awal yang disarankan adalah 0,13 hingga
0,17 U/kg/dosis setiap 4 jam, dapat dinaikkan atau diturunkan secara
bertahap 10% hingga 20% berdasarkan kadar glukosa darah sebelum injeksi
insulin. Frekuensi dosis dapat ditingkatkan menjadi setiap 2 jam jika asidosis
tidak membaik.
• Kadar glukosa darah harus dipantau setiap 1 hingga 2 jam, dengan tujuan
mempertahankan kadar glukosa darah 11 mmol/ L (200 mg/dL) sampai KAD
teratasi.
• Terapi insulin SK tidak dianjurkan pada usia anak dengan dehidrasi berat,
perfusi jaringan buruk (waktu isi ulang kapiler >3 detik) yang menetap
setelah resusitasi cairan, pada pasien usia < 2 tahun, atau pada mereka
dengan kondisi komorbid serius dengan indikasi perawatan UPI.

7.10. Daftar Pustaka.


1. Priyambada L, Wolfsdorf JI, Brink SJ, Fritsch M, Codner E, Donaghue KC, et
al. ISPAD Clinical Practice Consensus Guideline: Diabetic ketoacidosis in the
time of COVID-19 and resource-limited settings-role of subcutaneous
insulin. Pediatr Diabetes. 2020;21(8):1394–402.
2. Danne T, Phillip M, Buckingham BA, Jarosz-Chobot P, Saboo B, Urakami T, et
al. ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2018: Insulin treatment in
children and adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes. 2018;19(July):115–
35.
3. Codner E, Acerini C, Craig ME, Hofer S, Maahs DM. ISPAD Clinical Practice
Consensus Guidelines 2018: Introduction to the Limited Care guidance
appendix. Pediatr Diabetes. 2018;19(October):326–7.

126
4. Wolfsdorf JI, Glaser N, Agus M, Fritsch M, Hanas R, Rewers A, et al. ISPAD
Clinical Practice Consensus Guidelines 2018: Diabetic ketoacidosis and the
hyperglycemic hyperosmolar state. Pediatr Diabetes. 2018;19(October):155–
77.
5. Maletkovic J, Drexler A. Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic
Hyperosmolar State. Endocrinol Metab Clin North Am [Internet].
2013;42(4):677–95. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ecl.2013.07.001
6. Sheikh-Ali M, Karon BS, Basu A, Kudva YC, Muller LA, Xu J, et al. Can serum β-
hydroxybutyrate be used to diagnose diabetic ketoacidosis? Diabetes Care.
2008;31(4):643–7.
7. Piva JP, Czepielewski M, Garcia PCR, Machado D. Current perspectives for
treating children with diabetic ketoacidosis. J Pediatr (Rio J). 2007;0(0):119–
27.
8. Hanas R. Type 1 Diabetes in Children, Adolescents and Adults [Internet].
Second Edi. Hanas R, editor. Class Publishing. London: Class Publishing;
2004. 25–30 p. Available from: www.class.co.uk
9. Codner E, Acerini CL, Craig ME, Hofer SE, Maahs DM. ISPAD Clinical Practice
Consensus Guidelines 2018: Limited Care Guidance Appendix. Pediatr
Diabetes. 2018;19(October):328–38.
10. Hanas R, Kim CD, Klingensmith G, Swift PGF, Colagiuri S, Brink SJ, et al.
Diabetes in Childhood and Adolescence in Under-Resourced Countries.
2013;1–56.
11. Australian Pediatric Endocrine Group-Australian Diabetes Society, Craig ME,
Twigg SM, Donaghue KC, Cheung NW, Cameron FJ, et al. National evidence-
based clinical care guidelines for type 1 diabetes in children, adolescents and
adults. Diabetes [Internet]. 2011;1–276. Available from: www.apeg.org.au
12. Ljunghag LA. Subcutaneous Insulin in the Treatment of Diabetic
Ketoacidosis in the Pediatric Population Subcutaneous Insulin in the
Treatment of Diabetic Ketoacidosis in the. 2016;
13. Cohen M, Leibovitz N, Shilo S, Zuckerman-Levin N, Shavit I, Shehadeh N.
Subcutaneous regular insulin for the treatment of diabetic ketoacidosis in
children. Pediatr Diabetes. 2017;18(4):290–6.
14. Razavi Z, Maher S, Fredmal J. Comparison of subcutaneous insulin aspart
and intravenous regular insulin for the treatment of mild and moderate
diabetic ketoacidosis in pediatric patients. Endocrine [Internet].
2018;61(2):267–74. Available from: http://dx.doi.org/10.1007/s12020-018-1635-z
15. Muir A, Quisling R, Yang M, Rosenbloom A. Cerebral Edema in Childhood
Diabetic. Diabetes Care. 2004;27(7):1541–6.
16. Chua H, Schneider A, Bellomo R. Bicarbonate in diabetic ketoacidosis - a
systematic review. Ann Intensive Care. 2011;1(1):23.
17. Nazara A, Kusumawati Y, Rochmah N, Faizi M. Clinical profiles of children
with diabetic ketoacidosis in Dr. Soetomo Hospital during 2002-2013. In:
Poster PIT Ilmu Kesehatan Anak VI. Surakarta; 2013.
18. Laffel LM, Limbert C, Phelan H, Virmani A, Wood J, Hofer SE. ISPAD Clinical
Practice Consensus Guidelines 2018: Sick day management in children and
adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes. 2018;19(October):193–204.

127
19. Usher-Smith J, Thompson M, Ercole A, Walter F. Variation between countries
in the frequency of diabetic ketoacidosis at first presentation of type 1
diabetes in children: a systematic review. Diabetologia. 2012;55(11):2878-
2894.
20. Kao K, Islam N, Fox D, Amed S. Incidence Trends of Diabetic Ketoacidosis in
Children and Adolescents with Type 1 Diabetes in British Columbia, Canada.
The Journal of Pediatrics. 2020;221:165-173.e2.
21. Pulungan A, Juwita E, Pudjiadi A, Rahmayanti S, Tsaniya I. Diabetic
Ketoacidosis in Adolescents and Children: A Prospective Study of Blood
versus Urine Ketones in Monitoring Therapeutic Response. Acta Medica
Indonesiana. 2018;5(1):46-52.
22. Jain S, Iverson L. Glasgow Coma Scale. 2020;. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513298/
23. Yati N, Soesanti F, Tridjaja A.A.P. B. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri
pada Diabetes Melitus Tipe-1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2017.
Available from: http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-
content/uploads/2017/03/Panduan-Praktik-Klinis-Ketoasidosis-Diabetik-
dan-Edema-Serebri.pdf

128
FLUID THERAPY IN PEDIATRIC
EMERGENCY CASES
Arina Setyaningtyasa, Puguh Oktavianb, Rosda Rodhiyanab
a
Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga-RSUD dr. Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlanga

8.1. Pendahuluan
Menjaga volume cairan dan komposisi elektrolit dalam keadaan
seimbang merupakan proses yang sangat penting untuk menjaga
homestasis. Air merupakan komponen penting dalam proses
berlangsungnya kehidupan. Hal ini disebabkan sebagian besar tubuh
manusia disusun oleh cairan. Persentase total cairan atau total body water
(TBW) tubuh sangat bervariasi dan bergantung berdasarkan jenis kelamin
dan jumlah adipose. TBW pada orang dewasa memiliki rentang 50%-70%.
Pada wanita akan memiliki jumlah cairan lebih sedikit dibanding laki-laki
dikarenakan wanita memiliki jumlah jaringan adipose lebih banyak.
Sedangkan pada anak-anak jumlah cairan ini sedikit lebih tinggi dari orang
dewasa yaitu berkisar 70%-80%. Selain air, komponen yang tidak kalah
penting yaitu elektrolit yang merupakan molekul-molekul positif dan
negatif yang berada di dalam tubuh. Salah satu fungsi elektrolit adalah
membantu proses transport antara extracellular fluid (ECF) dengan
intracellular fluid (ICF), mempertahankan pH, dan neuromuskular[1].

Total cairan tubuh


(60% berat tubuh)

Cairan intraselular Cairan ekstraselular


(40% berat badan) (20% berat badan)

Cairan interstitial Plasma


(15% berat badan) (5% berat badan)

Gambar 1. Distribusi cairan antar kompatemen tubuh

129
CHAPTER 8

Persentase volume cairan pada anak-anak lebih tinggi sehingga


kebutuhan cairan setiap kilogram berat badannya lebih banyak dibanding
orang dewasa. Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan hal tersebut,
diantaranya; fungsi ginjal yang belum sempurna sehingga proses
pemekatan urin belum optimal, luas permukaan tubuh anak relatif besar,
dan frekuensi nafas yang lebih cepat dibandingkan orang dewasa[2,3].
Persentase serta peranan air di dalam tubuh sangat besar. Apabila
terjadi ketidakseimbangan antara jumlah yang masuk dan keluar akan
menyebabkan berbagai masalah klinis. Air sendiri dapat diperoleh dari
mengkonsumsi makanan, minuman, dan hasil metabolisme. Sedangkan
untuk kehilangan cairan dapat terjadi akibat proses fisiologis tubuh
seeperti; urine, uap saat bernafas, dan berkeringat. Kehilangan cairan akibat
ptoses patologis termasuk pendarahan, diare, muntah, luka bakar dll[3].
Untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh dibutuhkan panduan
atau formula kebutuhan cairan minimal pada anak-anak dalam waktu 24
jam. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu kebutuhan cairan ini dapat
berubah-ubah tergantung dari aktivitas fisik, perubahan suhu dll. Untuk
menentukanya terdapat berbagai metode, namun yang paling sering
digunakan adalah berdasarkan usia dan berat badan[3,4].
Tabel 1. Kebutuhan air minimal berdasarkan rantang usia4

Usia Kecukupan cairan untuk laki- Kecukupan cairan untuk


laki (mL/hari) perempuan (mL/hari)
Dari Dari Total Dari Dari Total
makanan minuman makanan minuman
0-6 bulan* 0 700 700 0 700 700
7-12 bulan 200 600 800 200 600 800
1-3 tahun 400 900 1300 400 900 1300
4-8 tahun 500 1200 1700 500 1200 1700
9-13 tahun 600 1800 2400 500 1600 2100
14-18 tahun 700 2600 3300 500 1800 2300
*kebutuhan air dapat dipenuhi dengan pemberian ASI eksklusif

130
CHAPTER 8

Tabel 2. Kebutuhan air minimal berdasarkan berat badan (formula Holliday-


Segar)5

Berat badan (kg) Kebutuhan cairan dalam 24 jam


<10 100 mL/kgBB
10-20 1000 + 50 mL/kgBB
untuk setiap kilogram kenaikan berat badan diatas 10 kg
>20 1500 + 20 mL/kgBB
untuk setiap kilogram kenaikan berat badan diatas 20 kg
Contoh penerapan formula Holllday-Segar:

1. Apabila berat badan anak 7 kg, maka kebutuhan air dalam 24 jam
adalah 700 mL
2. Apabila berat badan anak 17 kg, maka kebutuhan air dalam 24 jam
adalah 1350 mL
3. Apabila berat badan anak 25 kg, maka kebutuhan air dalam 24 jam
adalah 1600 mL

Gangguan dalam proses keseimbanagan air dan elektrolit dapat


menyebabkan beberapa manifestasi klinis dari yang ringan hingga berat.
Untuk memahami perubahan yang terjadi, berikut merupakan konsep
dasar yang perlu diperhatikan[1]:

1. Jumlah volume setiap kompartemen bergantung pada jumlah


elektrolit yang ada di dalamnya. Sebagai contoh volume pada
kompartemen ECF jumlah volume yang ada di dalamnya
bergantung pada total NaCl dan NaHCO3, hal ini disebabakan
mayoritas eletrolit yang berada di kompartemen tersebut adalah
kation Na+ dan anion yang menyertainya Cl- dan HCO3-. Sehingga
euvolemic berarti tidak ada perubahan pada volume ECF;
hypovolemic/volume contraction berarti terjadi penurunan volume
pada ECF; hypervolemic/volume expansion berarti terjadi
peningkatan volume pada ECF.
2. Osmolaritas merupakan jumlah partikel yang osmotik aktif yang
terdapat dalam suatu larutan. Nilai normal osmolaritas tubuh
manusia adalah 290 mOsm/L. Osmolaritas plasma dapat
diperkirakan dari konsentrasi Na+, konsentrasi glukosa, dan blood

131
CHAPTER 8

urea nitrogen (BUN). Sehingga isoosmotic berarti tidak adanya


perubahan osmolaritas pada ECF; hypoosmotic berarti terjadi
penurunan osmolaritas ECF; hyperosmotic berarti terjadi
peningkatan osmolaritas pada ECF.
𝑔𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 𝐵𝑈𝑁
Osmolaritas = 2 x Na+ plasma + +
18 2,8

keterangan:
Na+ = Konsentrasi Na+ dalam plasma (mEq/L)
Glukosa = Konsentrasi glukosa dalam plasma (mg/dL)
BUN = Konsentrasi blood urea nitrogen (mg/dL)

3. Dalam kondisi keseimbangan, osmolaritas ICF setara dengan


osmolaritas ECF. Untuk mempertahankan kondisi keseimbangan
tersebut maka air akan berpindah secara bebas antar kompartemen
mealui membran sel. Sehingga apabila terjadi osmolaritas pada
kompatemen ECF, air akan berpindah melewati membran sel agar
osmolaritas ICF setara dengan osmolaritas ECF.
4. Molekul yang berukuran besar seperti NaCl, NaHCO3, dan mannitol
tidak dapat melewati membran sel. Sehingga apabila seseorang
megonsumsi NaCl, maka NaCl yang baru saja ditambahkan akan
tetap berada di kompartemen ECF.
Untuk memahami dengan mudah mengenai proses perubahan
keseimbangan, terdapat 3 langkah yang harus ditentukan. Pertama,
tentukan perubahan yang terjadi pada ECF (contoh; Apakah terdapat zat
terlarut yang ditambahkan pada ECF? Apakah terjadi kehilangan cairan
pada ECF?). Kedua, tentukan apakah perubahan tersebut tidak merubah,
meningkatkan, atau menurunkan osmolaritas ECF. Ketiga, apabila terjadi
perubahan osmolaritas ECF, tentukan arah pergerakan air apakah keluar
atau masuk sel.
Berikut merupakan tipe-tipe perubahan volume antar kompartemen
tubuh[1]:

1. Isosmotic volume contraction


Pada gangguan keseimbangan cairan tipe ini, dikarenakan cairan
yang hilang dari ECF ini bersifat isosmotic maka pada new steady
state akan didapatkan penurunan volume pada ECF tetapi pada ICF

132
CHAPTER 8

tetap tidak berubah. Sedangkan pada osmolaritas kedua


kompartemen sama-sama tidak mengalami perubahan.
Konsekuensi lain dalam keadaan new steady state ini adalah
peningkatan hematokrit dan konsentrasi protein plasma. Hal ini
dikarenakan sel darah dan protein tetap di dalam pembuluh darah.
Contoh kasus gangguan keseimbangan pada tipe ini adalah diare.

2. Hyperosmotic volume contraction


Pada gangguan keseimbangan cairan tipe ini adalah kehilangan
cairan lebih banyak dibandingkan kehilangan zat terlarut sehingga
menyebabkan peningkatan osmolaritas ECF. Perbedaan osmolaritas
yang terjadi mengakibatkan air dari ICF mengalir ke ECF hingga
keseimbangan baru terjadi. Pada kondisi new steady state ini akan
didapatkan penurunan volume pada ECF dan ICF, peningkatan
osmolaritas ECF, ICF, dan konsentrasi plasma ptotein, sedangkan
hematokrit tidak berubah. Contoh kasus pada gangguan tipe ini
adalah dehidrasi.

3. Hyposmotic volume contaction


Gangguan tipe ini disebabkan karena kehilangan zat terlarut jauh
lebih banyak dibandingkan kehilangan cairan, sehingga
menyebabkan penurunan osmolaritas pada ECF. Perubahan
osmolaritas yang terjadi menyebabkan air akan berpindah dari ECF
menuju ICF. Pada kondisi new steady state akan didapatkan
penurunan volume pada ECF, peningkatan volume pada ICF,
penurunan osmolaritas pada kedua kompartemen, dan peningkatan
hematokrit dan konsentrasi plasma protein. Contoh pada kasus ini
adalah orang dengan adrenal insufficiency.

133
CHAPTER 8

Gambar 2. Perpindahan air antar kompartemen1

4. Isosmotic volume expansion


Contoh pada kasus ini adalah seseorang yang menerima cairan infus
NaCl isotonik. Dikarenakan cairan yang digunakan adalah isotonis
maka dalam kondisi new steady state akan didapatkan peningkatan
volume pada ECF tetapi pada ICF tidak mengalami perubahan.
Osmolaritas pada kedua kompartemen tidak mengalami perubahan,
sedangkan hematokrit dan konsentrasi protein plasma akan
berkurang karena proses dilusi.

5. Hyperosmotic volume expansion


Ketika seseorang mengonsumsi dry NaCl maka akan mengakibatkan
jumlah total zat terlarut pada ECF mengalami peningkatan. Dengan
zat terlarut yang lebih tinggi maka akan mengakibatkan
peningkatan osmolaritas pada ECF yang mengakibatkan air akan
berpindah dari ICF menuju ECF. Pada kondisi new steady state maka
akan didapatkan penurunan volume pada ICF, peningkatan volume
ECF, peningkatan osmolaritas pada kedua kompartemen, dan
penurunan hematokrit dan konsentrasi protein plasma.

134
CHAPTER 8

6. Hyposmotic volume expansion


Pada kasus syndrome of inappropriate antidiuretic hormone
(SIADH), yaitu kelainan sekresi hormon antidiuretic hormone (ADH)
mengalami peningkatan, sehingga berpengaruh pada proses
reabsorbsi cairan yang berlebihan pada collecting duct. Pada kondisi
seperti ini akan menyebabakan osmolaritas ECF berkurang sehingga
air berjalan dari ECF menuju ICF. Pada kondisi new steady state
maka akan didapatkan peningkatan volume ICF dan ECF, penurunan
osmolaritas pada kedua kompartemen, penurunan konsentrasi
protein plasma, namun hematokrit tidak mengalami perubahan.
Tabel 3. Perubahan keseimbangan cairan tubuh1

8.2. Indikasi Tindakan


Pada anak-anak gastroenteritis akut menyebabkan muntah, diare,
dan berkurangnya asupan cairan oral sehingga dapat terjadi dehidrasi.
Seorang anak dengan dehidrasi berat memerlukan rehidrasi secara
intravena secara cepat namun dengan pengawasan yang ketat agar tidak
terjadi overload cairan. Rehidrasi bisa dilanjutkan secara oral segera setelah
kondisi anak membaik. Rehidrasi oral menggunakan larutan yang
mengandung natrium dan glukosa serta osmolaritas yang sesuai. Rehidrasi
oral adalah cara yang mudah dan aman. Namun, terapi rehidrasi oral jarang
digunakan.[1]

135
CHAPTER 8

Kebutuhan cairan secara intravena atau secara oral bergantung pada


kondisi anak. Pada keadaan dehidrasi berat, maka rehidrasi dilakukan
secara intravena. Namun, pada dehidrasi ringan-sedang, rehidrasi
sebaiknya dilakukan secara oral. Pemberian cairan intravena dapat juga
dilakukan apabila rehidrasi oral gagal atau tidak dapat dilakukan.

8.3. Alur Tatalaksana Syok


8.3.1. Pemberian cairan pada anak syok tanpa malnutrisi berat:
Rehidrasi pada anak malnutrisi dengan anak yang tidak malnutrisi berbeda.
Oleh sebab itu, pastikan anak tidak sedang menderita malnutrisi berat

1. Masukkan saluran infus (dan ambil darah untuk investigasi darurat


laboratorium).
2. Pasang Ringer Lactate atau normal saline; pastikan infusnya berjalan
dengan baik.
3. Infus 20 mL/kg secepat mungkin.

Gambar 3. Kebutuhan volume cairan infus berdasarkan usia1


Nilai kembali anak tersebut setelah volume yang masuk sesuai kebutuhan.
Tabel 4. Penilaian pasca pemberian infus
Penilaian ulang - Jika tidak ada perbaikan, ulangi pemberian 10-
setelah dosis 20 mL/kg sebisanya secepat mungkin.
pertama: - Jika terjadi perdarahan, berikan transfusi darah
dengan pemberian 20 mL/kg selama 30 menit,
dan amati dengan seksama.
Penilaian ulang Jika tidak ada perbaikan dengan tanda-tanda
setelah dosis dehidrasi (seperti diare atau kolera), ulangi
kedua: pemberian 20 mL/kg Ringer Lactate atau
normal saline.
- Jika tidak ada perbaikan, curiga syok septik,
ulangi pemberian 20 mL/kg dan
pertimbangkan adrenalin atau dopamin jika
tersedia.
- Jika tidak ada perbaikan, lihat pedoman
pengobatan khusus penyakit. Anda harus sudah
membuat provisional diagnosis sekarang.

136
CHAPTER 8

Tanda-tanda menunjukkan adanya perbaikan:

- Volume denyut nadi meningkat


- Denyut jantung melambat
- Tekanan darah meningkat 10% atau menjadi normal
- Pengisian kapiler lebih cepat <2 detik)
Catatan: Pada anak dengan kecurigaan infeksi malaria atau anemia dengan
syok, cairan infus harus segera diberikan secara hati-hati, atau sebagai
gantinya transfusi darah perlu diberikan jika terdapat anemia berat.

8.3.2. Pemberian cairan pada anak syok anak dengan malnutrisi berat :
Berikan perawatan ini hanya ketika terdapat tanda-tanda syok
(biasanya ditandai dengan penurunan kesadaran, misalnya anak menjadi
letargi atau hingga hilang kesadaran):

1. Masukkan saluran infus.


2. Timbang anak (atau perkirakan beratnya) untuk menghitung volume
cairan yang akan diberikan.
3. Berikan cairan IV pada 15 mL/kg selama 1 jam.

Gambar 4. Kebutuhan volume cairan infus berdasarkan berat badan1


Pilihan cairan yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:

- Ringer Lactate dengan 5% glukosa (dekstrosa);


- Half-strength Darrow’s solution dengan glukosa 5% (dekstrosa);
- 0,45% NaCl ditambah 5% glukosa (dekstrosa).
Pemberian cairan pada anak dengan malnutrisi harus dilakukan
secara hati-hati agar tidak terjadi overload cairan. Maka, pengukuran
denyut nadi, volume cairan, dan laju pernapasan dilakukan setiap 5–10
menit.

137
CHAPTER 8

Jika ada tanda-tanda perbaikan (denyut nadi turun, volume nadi


meningkat atau laju pernapasan turun) dan tidak ada bukti edema paru :

1. Ulangi infus IV dengan 15 mL/kg dalam 1 jam; kemudian


2. Mulai berikan rehidrasi secara oral atau melalui pipa nasogastrik
dengan cairan ReSoMal dengan dosis 10 ml/kg per jam hingga
selama 10 jam,
3. Mulai pemberian F-75.
Jika anak gagal membaik setelah dua kali pemberian IV bolus 15 mL/kg:

1. Berikan cairan pemeliharaan IV (4 mL/kg per jam) sambil menunggu


darah;
2. Bila darah tersedia, transfusi darah segar dengan kecepatan 10 mL/kg
secara perlahan selama 3 jam (gunakan sel yang dikemas jika anak
mengalami gagal jantung); kemudian
3. Mulai pengisian ulang dengan starter F-75;
4. Mulai pengobatan antibiotik IV.
Jika kondisi anak memburuk selama rehidrasi IV (laju pernapasan
meningkat 5 kali/menit dan denyut nadi meningkat 15 kali/menit, hati
membesar, ronki halus di seluruh bidang paru-paru, tekanan vena jugularis
meningkat, ritme jantung berderap berkembang), hentikan infus, karena
cairan IV dapat memperburuk kondisi anak dan dapat memicu terjadinya
edema paru.

8.3.3. Pemberian cairan dehidrasi berat pasca manajemen awal syok :


Untuk anak-anak dengan dehidrasi berat tetapi tanpa syok, lakukan
ke Rencana Terapi C. Anak dengan syok harus dilakukan resusitasi cairan
sesuai dengan gambar 1 dan 2.
Apabila syok sudah teratasi (saat denyut nadi anak menjadi lebih lambat
atau pengisian kapiler lebih cepa) berikan tatalaksana berikut:

1. Berikan 70 mL/kg larutan Ringer Lactate (Hartmann’s) (atau, jika


tidak tersedia, normal saline) dalam 5 jam (usia <12 bulan) atau 2,5 jam
(usia 12 bulan - 5 tahun).

138
CHAPTER 8

Gambar 5. Kebutuhan volume cairan infus berdasarkan berat badan1

2. Penilaian ulang dilakukan setiap 1–2 jam. Jika status hidrasi tidak
membaik, berikan infus lebih cepat.
Setelah anak dapat minum, rehidrasi oral harus segera dilakukan
dengan cairan ORS (dosis 5m/kg per jam). Pemberian bisa dilakukan
dengan perlahan, misalnya dengan sendok. Biasanya, pasien sudah bisa
minum setelah 3-4 jam (pada bayi) atau 1–2 jam (pada anak-anak).
Kemudian, penilaian status dehidrasi dilakukan setelah 6 jam (untuk bayi)
atai 3 jam (untuk anak-anak). Rencana terapi dipilih sesuai status dehidrasi
pasien sesuai rencana A, B atau C (pada tabel dibawah) untuk melanjutkan
rencana terapi.
Jika memungkinkan, amati anak setidaknya selama 6 jam pasca
rehidrasi untuk memastikannya bahwa sang ibu juga memberikan larutan
oralit kepada pasien.

139
CHAPTER 8

8.4. Alur Tatalaksana Dehidrasi


8.4.1. Diagnosis status dehidrasi
Penggolongan dehidrasi dapat dinilai melalui tabel berikut:
Tabel 5. Penentuan derajat cairan menurut MMWR 2003

8.4.2. Kebutuhan jumlah cairan pada anak dehidrasi


Secara prinsip, jumlah cairan memperhitungkan 3 hal, yaitu:

1. Maintenance → Rumus Haliday-Segar:


2. Ongoing loss pada diare -> ≤ 2 tahun 50-100mL; > 2 tahun 100-200mL
3. Derajat dehidrasi -> Sesuai dengan Rencana Terai A, B, atau C

Kebutuhan cairan TOTAL: maintenance + ongoing loss + derajat dehidrasi


Jenis cairan berdasarkan derajat dehidrasi:

• Tanpa Dehidrasi diberikan cairan rumah tangga (air, teh, ASI, kuah
sup, dll). Tidak harus ORS → Rencana Terapi A
• Dehidrasi ringan-sedang diberikan cairan ORS oral atau HSD IV (jika
pasitn tidak bisa minum) → Rencana Terapi B

Tabel 6. Jumlah cairan dehidrasi ringan-sedang pada anak8

Usia <4 bulan 4 hingga <12 12 bulan hingga 2 tahun hingga


bulan <2 tahun <5 tahun
<6 kg 6 hingga <10kg 10 hingga <12 kg 12 hingga 19 kg
Berat
200-400mL 400-700mL 700-900mL 900-1400mL

140
CHAPTER 8

Jika BB tidak diketahui, berikan cairan 75 ml/kgBB dalam 4 jam.


• Dehidrasi berat (10%) → Rencana Terapi C
Usia < 1 tahun: 30 mL/kgBB dalam 1 jam, selanjutnya 70 mL/kgBB
dalam 5 jam
Usia 1-5 tahun: 30 mL/kgBB dalam 30 menit, selanjutnya 70 mL/kgBB
dalam 2.5 jam

Catatan: penilaian tanda-tanda overload cairan: (mata menjadi


bengkak kurangi kecepatan drip IV atau hentikan sementara), frekuensi
napas meningkat 5x/menit dan frekuensi nadi 15x/menit (tunggu 1 jam
selanjutnya); pada diare berat, kalau anak sudah bisa minum rehidrasi oral
pakai ORS bisa dilakukan, agar tidak muntah berikannya perlahan misalnya
menggunakan sendok teh dan jumlahnya diberikan sesuai yang anak
inginkan.

8.4.3. Tatalaksana Dehidrasi


Anak dengan dehidrasi berat harus diberi rehidrasi intravena secara
cepat yang diikuti dengan terapi rehidrasi oral.

• Mulai berikan cairan intravena segera. Pada saat infus disiapkan, beri
larutan oralit jika anak bisa minum

Catatan: larutan intravena yang paling baik adalah larutan Ringer


Lactate (disebut pula larutan Hartman untuk penyuntikan). Tersedia juga
larutan Ringer Asetat. Jika larutan Ringer Lactate tidak tersedia, larutan
garam normal (NaCl 0.9%) dapat digunakan. Larutan glukosa 5% (dextrosa)
tunggal tidak efektif, sehingga sebaiknya jangan digunakan.

• Pemberian 100 mL/kg larutan dilakukan sesuai Tabel 2 berikut ini.

Tabel 7. Pemberian Cairan Intravena bagi Anak dengan Dehidrasi Berat


Pertama, berikan Selanjutnya, berikan
30 mL/kg dalam: 70 mL/kg dalam:
Umur <12 bulan 1 jam 5 jam
Umur >12 bulan 30 menit 2,5 jam

Pemberian caira pada dehidrasi berat dilakukan sesuai dengan


Rencana Terapi C.

141
CHAPTER 8

8.4.4. Pemantauan
Penilaian dilakukan setiap 15 – 30 menit hingga denyut nadi radial
anak teraba. Jika hidrasi tidak mengalami perbaikan, beri tetesan infus lebih
cepat. Selanjutnya, nilai kembali anak dengan memeriksa turgor, tingkat
kesadaran dan kemampuan anak untuk minum, sedikitnya setiap jam,
untuk memastikan bahwa telah terjadi perbaikan hidrasi. Mata yang
cekung akan membaik lebih lambat dibanding tanda-tanda lainnya dan
tidak begitu bermanfaat dalam pemantauan.
Jika jumlah cairan intravena seluruhnya telah diberikan, nilai kembali status
hidrasi anak. Pemberian cairan selanjutnya adalah sesuai dengan status
hidrasi anak saat ini.

• Jika anak masih dalam keadaan dehidrasi berat, ulangi pemberian


cairan intravena seperti yang telah diuraikan sebelumnya sesuai
Rencana Terapi C. Dehidrasi berat yang menetap (persisten) setelah
pemberian rehidrasi intravena jarang terjadi; hal ini biasanya terjadi
ketika anak terus menerus BAB cair selama rehidrasi berlangsung.
• Jika anak masih dalam keadaan dehidrasi ringan-sedang, hentikan
cairan infus. Berikan cairan oralit selama 3-4 jam (lihat Rencana Terapi
B). Jika anak masih memerlukan ASI, tindakan suportif kepada ibu
juga perlu dilakukan agar sang ibu bisa menyusui dengan baik. Sang
ibu ikut disemangati untuk memberikan ASI lebih sering pada
anaknya.
• Jika tidak terdapat tanda dehidrasi, ikuti pedoman pada Rencana
Terapi A. Jika bisa, anjurkan ibu untuk menyusui anaknya lebih sering.
Lakukan observasi pada anak setidaknya 6 jam sebelum pulang dari
rumah sakit, untuk memastikan bahwa ibu dapat meneruskan
penanganan hidrasi anak dengan memberi larutan oralit.

Ketika anak sudah bisa minum, maka oralit (5 mL/kgBB/jam) harus


segera diberikan. Ketika dehidrasi berat teratasi, berikan tablet zinc.

142
CHAPTER 8

143
CHAPTER 8

144
CHAPTER 8

145
CHAPTER 8

8.5. Komplikasi
Hiponatremia, hipernatremia, dan hipoglikemia dapat terjadi pada
anak-anak dengan dehidrasi akibat penyakit atau komplikasi dari terapi
penggantian cairan.
Hiponatremia
Meskipun dehidrasi isonatremia paling umum, hiponatremia atau
hipernatremia dapat terjadi. Hiponatremia didefinisikan sebagai
konsentrasi natrium plasma kurang dari 135 mEq/L. Ini adalah kelainan
elektrolit yang umum pada anak-anak yang menerima cairan infus. Ini
disebabkan oleh kekurangan natrium atau kelebihan air bebas. Pada anak
yang rawat inap, terjadi pelepasan ADH yang berlebihan. Ini mungkin
memerlukan penyesuaian penggantian air atau natrium. Hiponatremia
dapat terjadi karena pemberian larutan hipotonik. Telah ditemukan dengan
garam normal 0,2% dan 0,45%. Tingkat natrium serum memperkirakan
keseimbangan air; kadar natrium normal tidak menilai kecukupan status
volume.
Kelebihan cairan
Umumnya, ginjal mampu mempertahankan euvolemia; namun,
pemberian cairan yang agresif dapat menyebabkan kelebihan cairan[9].
Sangat penting untuk menghindari pemberian cairan yang berlebihan; ini
terutama lebih penting pada bayi. Pemberian cairan yang berlebihan dapat
menyebabkan hidrasi berlebihan yang signifikan secara klinis. Oleh karena
itu, penting untuk menilai tanda-tanda kelebihan cairan seperti edema atau
penambahan berat badan yang berlebihan. Banyak penyakit penyerta
kronis tertentu yang dapat meningkatkan risiko kelebihan cairan. Ini
termasuk kehilangan protein karena penyakit hati atau ginjal, gagal jantung
kongestif, dan gagal ginjal[10].
Hipernatremia
Hipernatremia, kadar natrium serum lebih dari 145 mEq/L. Hal ini
menunjukkan kehilangan air karena kehilangan natrium. Ada kekurangan
natrium total tubuh meskipun konsentrasi natrium meningkat. Namun,
dengan pemberian cairan isotonik, risiko hipernatremia menjadi rendah[10].
Secara umum, bayi berisiko tinggi karena penggantian air yang tidak
memadai. Ini biasanya terjadi dengan diare atau menyusui yang buruk.

146
CHAPTER 8

Dalam situasi seperti itu, derajat dehidrasi mungkin diremehkan; cairan


bergeser dari kompartemen intraseluler ke ekstraseluler. Ini menjaga
volume plasma dan cairan interstitial. Berhati-hatilah karena tanda-tanda
umum dehidrasi intravaskular seperti takikardia, atau denyut nadi lemah
terjadi jika ada dehidrasi parah. Karena ruang intravaskuler relatif terjaga,
syok dapat terjadi terlambat dan dapat tiba-tiba.
Balita lebih berisiko mengalami diare daripada orang dewasa. Balita
memilki komposisi tubuh yang lebih banyak mengandung air dibanding
orang dewasa sehingga balita lebih rentan mengalami diare. Apabila balita
mengalami diare, mereka akan lebih berisiko terkena dehidrasi dan
komplikasi lainnya yang dapat mengarah pada malnutrisi hingga terjadi
kematian[11].

8.6. Penutup
Dehidrasi sering terjadi pada anak-anak. Temuan klinis dari dehidrasi
merupakan manifestasi dari hilangnya volume ekstraseluler. Masalah cairan
dan elektrolit bisa menjadi tantangan. Kemampuan untuk mengidentifikasi
dehidrasi dengan benar memiliki implikasi klinis yang penting. Gambaran
klinis dehidrasi kurang sensitif dan spesifik untuk memperkirakan derajat
dehidrasi pada anak. Oleh karena itu, mendiagnosis dehidrasi
membutuhkan indeks kecurigaan yang tinggi.

8.7. Take-home Message


Pemantauan anak dengan hipovolemia adalah pendekatan tim. Ini
termasuk berat badan, masukan dan keluaran cairan. Pengenalan dini
sangat penting untuk penyediaan kombinasi cairan dan elektrolit yang
tepat dalam waktu dan kecepatan yang tepat. Pemantauan sangat penting
untuk keselamatan pasien sambil menyesuaikan laju rehidrasi.

8.7. Daftar Singkatan


ASI : Air Susu Ibu
ADH : Antidiuretic hormone
BUN : Blood urea nitrogen
ECF : Extracellular fluig
NaCl : Natrium klorida
ICF : Intracellular fluid

147
CHAPTER 8

IV : Intravena
ORS : Oral rehydration solution
SIADH: Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone
TBW : Total body water

8.9. Daftar Pustaka


1. Costanzo LS. Physiology. 6th ed. Philadelphia, PA: Elsevier; 2018.
2. Fusch C, Hungerland E, Scharrer B, Moeller H. Water turnover of
healthy children measured by deuterated water elimination. Eur J
Pediatr. 1993 Feb 1;152(2):110–4.
3. Scientific Opinion on Dietary Reference Values for water. EFSA J.
2010;8(3):1459.
4. Dietary Reference Intakes for Water, Potassium, Sodium, Chloride,
and Sulfate | The National Academies Press [Internet]. [cited 2021 Mar
4]. Available from: https://www.nap.edu/catalog/10925/dietary-
reference-intakes-for-water-potassium-sodium-chloride-and-sulfate
5. Holliday MA, Segar WE. The Maintenance Need for Water in
Parenteral Fluid Therapy. Pediatrics. 1957 May 1;19(5):823–32.
6. Feld L, Neuspiel D, Foster B, Leu M, Garber M, Austin K et al. Clinical
Practice Guideline: Maintenance Intravenous Fluids in Children.
Pediatrics. 2018;142(6):e20183083.
7. Bellemare S, Hartling L, Wiebe N, Russell K, Craig W, McConnell D et
al. Oral rehydration versus intravenous therapy for treating
dehydration due to gastroenteritis in children: a meta-analysis of
randomised controlled trials. BMC Medicine. 2004;2(1).
8. Infant and young child feeding [Internet]. World Health Organization.
2021 [cited 4 March 2021]. Available from:
https://www.who.int/maternal_child_adolescent/documents/978924
1597494/en/
9. Steiner M. Is This Child Dehydrated?. JAMA. 2004;291(22):2746.
10. Diare dengan dehidrasi berat | ICHRC [Internet]. Ichrc.org. 2021 [cited
3 March 2021]. Available from: https://www.ichrc.org/521-diare-
dengan-dehidrasi-berat
11. Widoyono, 2011. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan,
Pencegahan & Pemberantasannya. Edisi Kedua. Erlangga. Ciracas:
193-199.

148
EMERGENCY MANAGEMENT AND INSULIN
THERAPY FOR TYPE 1 DIABETES MELLITUS
IN PEDIATRICS
Nur Rochmaha, Amirah Jasmineb
a
Divisi Endokrinologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD dr. Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlanga-RSUD dr. Soetomo

9.1. Pendahuluan
Pravelensi Diabetes Mellitus (DM) tipe-1 pada anak di Indonesia terus
meningkat meskipun angka sebenarnya tidak diketahui pasti dikarenakan
tingginya jumlah misdiagnosis.1 DM tipe-1 merupakan suatu kelainan sistemik
karena terjadinya gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh
hiperglikemia kronis. Keadaan ini terjadi akibat kerusakan sel beta pankreas yang
bisa disebabkan karena proses autoimun maupun idiopatik sehingga produksi
insulin berkurang bahkan terhenti. Sekresi insulin yang rendah ini bisa
menyebabkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein.Faktor genetik dan lingkungan berperan dalam patogenesis DM tipe-1.
Faktor genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu. HLA berperan sebagai suatu
faktor kerentanan, tetapi ini bukan merupakan faktor satu-satunya pada
terjadinya DM tipe-1. Perlu adanya faktor pemincu lain yang berasal dari
lingkungan seperti infeksi virus ataupun toksin sampai timbulnya gejala klinis DM
tipe-1 pada seseorang yang rentan. Autoantibodi yang berikatan dalam diabetes
adalah glutamicacid decarboxylase 65 autoantibodies (GAD); tyrosine
phosphatase-like insulin autoantibodies (IAA); B-Cell-specific zin transporter 8
autoantibodies (ZnT8). Ditemukan satu atau lebih dari autoantibodi ini membantu
konfirmasi dari DM tipe-1. Komplikasi DM Tipe-1 terbagi menjadi komplikasi akut
dan komplikasi kronis. Komplikasi akut atau jangka pendek yang sering terjadi
adalah hipoglikemia dan ketoasidosis diabetik, sedangkan komplikasi kronis yaitu
mikrovaskuler (contoh: Retinopati dan nefropati diabetik) dan makrovaskuler
(contoh : penyakit jantung, stroke, penyakit pembuluh darah perifer).2

149
CHAPTER 9

Gambar 1. Manifestasi Klinis dari DM13

Gambar 2. Skema perjalanan alamiah evolusi insulin-dependent diabetes


mellitus dengan kerusakan beta cell progresif.14
Diagnosis DM berdasarkan kriteria diagnosis ISPAD 2018 dapat ditegakkan
apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut3

• Gejala klasik diabetes atau krisis hiperglikemik dengan kadar glukosa


plasma sewaktu > 200 mg/dL (11.1 mmol/L), atau
• Kadar glukosa plasma puasa > 126 mg/dL (7 mmol/L) puasa yaitu tidak
ada masukan kalori minimal 8 jama, atau
• Kadar glukosa plasma > 200 mg/dL (11.1 mmol/L) pada jam ke-2 TTGO (tes
toleransi Glukosa Oral)a, atau
• HbA1c > 6.5 % b(dengan standar NGSP dan DCCT)

150
CHAPTER 9

a
Dalam keadaan tidak adanya hiperglikemia yang jelas, diagnosis
diabetes berdasarkan kriteria ini harus dikonfirmasi dengan pengujian
ulang
b
Nilai kurang dari 6.5 % tidak mengecualikan diabetes yang didagnosis
menggunakan glukosa. Peran HbA1c sendiri dalam diagnosis DM tipe-1
pada anak tidak jelas.

9.2. Tatalaksana Diabetes Mellitus


Tujuan manajemen diabetes adalah untuk mencapai kontrol metabolik
optimal, mencegah komplikasi akut dan komplikasi kronis, serta meningkatkan
aspek psikologis pasien dan keluarga4
Lima pilar manajemen diabetes mellitus4

1. Injeksi Insulin
2. Monitoring gula darah
3. Nutrisi
4. Aktivitas fisik
5. Edukasi

9.2.1. Injeksi Insulin


Tabel 1. Tipe preparat insulin dan profil kerja untuk administrasi subkutan 3
Insulin type Onset of Peak of Duration of
action (h) action (h) action (h)
Ultra-rapid acting 0.1-0.2 1-3 3-5
analog (faster
aspart)a,c
Rapid-acting 0.15-0.35 1-3 3-5
analogs (aspart,
glulisine, and lispro)
Regular/soluble 0.5-1 2-4 5-8
(short acting)
NPH* 2-4 4-12 12-24a
Basal long-acting
analogs
Glargineb 2-4 8-12 22-24a
Detemir 1-2 4-7 20-24a
Glargine U300*+* 2-6 Minimal 30-36
peak
Degludecc 0.5-1.5 Minimal >42
peak
Singkatan: NPH, neutral protamine Hagedorn insulin. Insulin yang
digunakan harus sesusai dengan standar yang telah ditetapkan.

151
CHAPTER 9

a
The duration of action may be shorter
b
biosimilar glargine approved in some countries
c
Not yet approved worldwide or not for pediatric indication
Dosis selama fase remisi parsial, total dosis harian insulin <0,5
IU/Kg/hari. Prepubertas (diluar fase remisi parsial) dosis kisaran
0,7-1 IU/Kg/hari. Selama pubertas dosis 1.2-2 IU/kg/hari.3
Prinsip Kerja Insulin:

a. Basal Bolus Regimen


Regimen yang digunakan adalah insulin kerja cepat/pendek yang diberikan
sebelum makan utama dan juga insulin kerja menengah yang diberikan
pagi hari dan malam hari atau bisa dengan insulin basal (Glargine, detemir)
yang diberikan sekali sehari yaitu pagi hari atau malam hari.Komponen
basal yaitu 40-60% dari kebutuhan total insulin, bisa diberikan menjelang
tidur malam atau sebelum makan pagi atau siang atau diberikan dua kali,
yaitu sebelum makan pagi dan makan malam. Sedangkan sisanya sebagai
komponen bolus, Jika menggunakan insulin reguler dapat diberikan 20-30
menit sebelum makan, sedangakan jika menggunakan analog insulin kerja
cepat bisa diberikan segera (15-20 menit) sebelum makan atau sesudah
makan untuk mendapatkan efek maksimal.2
b. Pump thrapy (Continous Subcutaneous Insulin Infusion (CSII))
Pompa Insulin hanya boleh dengan analog insulin kerja cepat yang
diprogram sebagai insulin basal sesuai dengan kebutuhan pasien (biasanya
sekitar 40-60 % dari total insulin harian). Pasien dapat mengaktifkan pompa
insulin dan memberikan dosis insulin bolus untuk koreksi hiperglikemia
saat makan.2
c. Sensor-augmented therapies
Continuous glucose monitoring systems (CGM) digunakan bersama
dengan CSII atau multiple daily injections (MDI) dapat ditoleransi dengan
baik pada anak-anak dengan diabetes, tetapi penggunaannya dari waktu
ke waktu menurun dalam penelitian.3
d. Less-Intensive Regimens
Injeksi tiga kali sehari menggunakan gabungan dari insulin kerja cepat atau
pendek dengan insulin kerja menengah sebelum makan pagi. Insulin kerja cepat
atau insulin regular saja sebelum makan siang atau makan malam/makan utama
malam. Insulin kerja menengah sebelum tidur atau variasinya.

152
CHAPTER 9

Injeksi dua kali sehari menggunakan gabungan dari insulin kerja cepat atau
pendek dengan kerja menengah yang diinjeksikan sebelum makan pagi dan
makan malam/makan malam utama.3

Semua regimen dapat optimal dengan sering melakukan penilaian glukosa


darah sendiri pemantauan gula darah mandiri (PGDM) atau CGM.3
Dosis Insulin bergantung dari beberapa faktor seperti usia, berat badan, tahap
pubertas, durasi dan fase diabetes, keadaan tempat injeksi, masukan dan distribusi
nutrisi, pola latihan, rutinitas harian, hasil pemantauan glukosa darah dan glycated
hemoglobin, dan penyakit penyerta.3
Komplikasi kulit dari terapi insulin berupa lipoatrophy kulit, lipohypertrophy
kulit, alergi Insulin, edema kulit, komplikasi lain yang bisa juga terjadi diantaranya
Indurasi terlokalisir, ulcer, pembentukan jaringan parut, dan pembentukan keloid
dapat terjadi pada teknik injeksi yang salah.5

Gambar 3. Lokasi Injeksi Insulin3


Lokasi Injeksi insulin diantaranya abdomen (lokasi yang dipilih saat absorpsi
yang cepat dibutuhkan, selain itu injeksi di abdomen berpengaruh kecil terhadap
aktivitas otot atau olahraga), paha depan atau paha lateral (lokasi yang dipilih
untuk insulin kerja panjang dengan absorpsi lebih lambat), kuadran atas lateral
bokong (seluruh kuadran atas berguna), dan bisa juga pada aspek lateral lengan
(pada anak kecil dengan lemak subkutan yang sedikit, injeksi intramuscular lebih
mungkin menyebabkan memar). Rotasi situs injeksi juga penting dalam area
injeksi yang sama. Disinfeksi kulit sebenarnya tidak diperlukan kecuali jika

153
CHAPTER 9

kebersihan merupakan suatu masalah. Infeksi pada area injeksi sangat jarang
ditemukan.3
Koreksi Hiperglikemia dapat dilakukan dengan rumus 1800 jika
menggunakan insulin kerja cepat dan rumus 1500 jika menggunakan insulin kerja
pendek. Angka 1800 atau 1500 dibagi dengan insulin total harian hasilnya dalam
mg/dL. Hasil perhitungan bersifat individual dan harus mempertimbangkan faktor
lain misalnya latihan.2

9.2.2. Pemantauan gula darah


Pemantauan mencakup Pemantauan Gula Darah Mandiri (PGDM), HbA1c,
keton dan glukosa darah berkelanjutan. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia,
PGDM dilakukan paling tidak 4-6 kali perhari yaitu (1) pagi hari saat bangun tidur,
(2) sebelum makan, (3) 1,5-2 jam setelah makan, dan (4) malam hari. Pengukuran
HbA1c dilakukan paling tidak tiga bulan sekali dengan target yang
direkomendasikan oleh IDAI dan ADA yaitu < 7,5 %, sementara ISPAD
menargetkan < 7 %. Pemantuan gula darah kontinu dengan menggunakan alat
minimal invasive yang bisa mengukur glukosa cairan interstitial subkutan 1-5
menit. Alat ini bisa memberikan peringatan ke pasien jika diperkirakan dalam 10-
30 menit akan meningkat atau menurun dari target.6 Pemeriksaan keton darah
dan urin dilakukan pada kondisi hiperglikemia tidak terkontrol, kondisi sakit, dan
adanya tanda-tanda KAD.

9.2.3. Nutrisi
Nutrisi yang cukup dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan
yang optimal, serta untuk mencegah terjadinya komplikasi akut dan kronis. Pasien
disarankan untuk mengkonsumsi nutrisi seimbang yang terdiri dari sayur, buah,
gandum utuh, produk olahan susu dan daging rendah lemak. Asupan kalori harian
bisa dihitung berdarakna bedan badan ideal dan rekomendasi asupan kalori. 4,7
Distribusi makronutrien berupa karbohidrat 40-20 % dari total energi, lemak < 35
% dari total energi, protein 15-20 % dari total energi. Pasien dan keluarga harus
diedukasi untuk mengatur dosis insulin berdasarkan konsumsi karbohidrat untuk
meningkatkan kontrol glikemik dan kualitas hidup.7 Perhitungan Karbohidrat dan
koreksi insulin berkolerasi dengan penurunan level HbA1c secara signifikan.8

154
CHAPTER 9

9.2.4. Aktivitas fisik


Aktivitas fisik penting untuk meningkatkan sensitivitas insulin dan
menurunkan kebutuhan akan insulin. Aktivitas fisik yang direkomendasikan untuk
anak dengan DM tipe-1 sama dengan populasi umum yaitu >60 menit setiap
harinya mencakup aktivitas aerobik, menguatkan otot dan tulang. Aktivitas yang
paling sering dilakukan sebaiknya adalah aktivitas aerobik, untuk menguatkan
otot dan tulang paling tidak dilakukan tiga kali per minggu. Sebelum melakukan
aktivitas fisik perlu memperhatikan beberapa kondisi seperti peningkatan keton,
(1) kadar keton darah > 1,5 mmol/L atau urin 2+ merupakan kontraindikasiaktivitas
fisik, (2) riwayat hipoglikemia, (3) pemantauan gula darah, sebaiknya dilakukan
pengukuran gula darah sebelum, saat dan setelah aktivitas fisik, (4) ketersediaan
karbohidrat jika terjadi hipoglikemia, dan (5) keamanan dan komunikasi,
contohnya anak bisa menggunakan identitas diabetes .9,10

9.2.5. Edukasi
Edukasi tahap pertama dilakukaan saat pasien pertama terdiagnosis
(biasanya selama perawatan di rumah sakit). Edukasi meliputi pengetahuan dasar
tentang DM tipe-1, pengaturan makanan, insulin (seperti jenis, cara pemberian,
efek samping dan penyesuaian dosis sederhana). Selain itu penting juga untuk
edukasi pertolongan pertama pada kedaruratan medik akibat DM tipe-1. Edukasi
tahap kedua dilakukan selama konsultasi di poliklinik. Pada tahap ini dijelaskan
lebih terperinci tentang patofisiologi, olahraga, komplikasi, pengulangan terhadap
apa yang pernah diberikan dan juga bagaimana menghadapi lingkungan sosial. 9

9.3. Penutup
9.3.1. Indikasi Rujukan
Jika ditemukan keton yang signifikan di darah dan urin, penanganan yang
cepat diperlukan dan anak harus dirujuk ke spesialis untuk penanganan diabetes
pada hari yang sama untuk mencegah terjadinya ketoasidosis diabetikum. 11

9.3.2. Prognosis
DM tipe-1 memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Angka harapan
hidup berkurang 10-20 tahun bagi banyak orang. Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa komplikasi seperti hipoglikemi dan ketoasidosis diabetikum. Anak-anak
khususnya meninggal karena ketoasidosis diabetikum terutama karena
keterlambatan diagnosis.12

155
CHAPTER 9

9.4. Take-home Message


Tatalaksana dari diabetes mellitus tipe-1 membutuhkan lima pilar yaitu (1)
Injeksi Insulin (2) monitoring gula darah (3) nutrisi (4) aktivitas fisik (5) edukasi.
Regimen insulin bersifat individual, sehingga antar pasien bisa berbeda.
Pengobatan insulin harus dilakukan secara rutin agar terhindar dari komplikasi
DM tipe-1.

9.5. Daftar Singkatan


DM Tipe-1 : Diabetes Mellitus Tipe-1
HbA1c : Glycosylated haemoglobin type A1c
PGDM : Pemantauan gula darah mandiri
HLA : Human Leukocyte Antigen
GAD : glutamicacid decarboxylase 65 autoantibodie
IAA : tyrosine phosphatase-like insulin autoantibodies
ZnT8 : B-Cell-specific zin transporter 8 autoantibodies
CSII : Continous Subcutaneus Insulin Infusion
CGM : Continous Glucose Monitoring
MDI : Multiple Daily Injections

9.6. Daftar Pustaka


1. Pulungan AB, Fadiana G, Annisa D. Type 1 diabetes mellitus in children:
experience in Indonesia. Clinical Pediatric Endocrinology. 2021;30(1):11–8.
2. Tridjaya B, Yati NP, Faizi M, Marzuki ANS, Moelyo AG, Soesanti F. konsensus
nasional pengelolaan diabetes mellitus tipe 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2015.
3. Zelinska NB. ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2018. Chapter 9.
Insulin treatment in children and adolescents with diabetes. Ukrainian
Journal of Pediatric Endocrinology. 2020;(4):39–60.
4. Pulungan AB, Fadiana G, Annisa D. Type 1 diabetes mellitus in children:
experience in Indonesia. Clinical Pediatric Endocrinology. 2021;30(1):11–8.
5. Dawood AS, Qadori MS. International Journal of Advanced Research in
Biological Sciences (IJARBS). Cutaneous Complications of Insulin Therapy
In Insulin Dependent Diabetes Mellitus. 2018;5(7).
6. Paschou, S., Papadopoulou-Marketou, N., Chrousos, G. and Kanaka-
Gantenbein, C., 2018. On type 1 diabetes mellitus pathogenesis. Endocrine
Connections, 7(1), pp.R38-R46.
7. Smart, C., Annan, F., Higgins, L., Jelleryd, E., Lopez, M. and Acerini, C., 2018.
ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines 2018: Nutritional
management in children and adolescents with diabetes. Pediatric
Diabetes, 19, pp.136-154.
8. Hatun, Ş., Demirbilek, H., Darcan, Ş., Yüksel, A., Binay, C., Şimşek, D., Kara, C.,
Çetinkaya, E., Ünüvar, T., Uçaktürk, A., Tütüncüler, F., Cesur, Y., Bundak, R.,

156
CHAPTER 9

Sağlam, H., Şimşek, E. and Bereket, A., 2016. Evaluation of therapeutics


management patterns and glycemic control of pediatric type 1 diabetes
mellitus patients in Turkey: A nationwide cross-sectional study. Diabetes
Research and Clinical Practice, 119, pp.32-40.
9. Pulungan, A., Annisa, D. and Imada, S., 2019. Diabetes Melitus Tipe-1 pada
Anak : Situasi di Indonesia dan Tata Laksana. Sari Pediatri, [online] 20(6).
Available at: <https://saripediatri.org/index.php/sari-
pediatri/article/view/1502/0> [Accessed 1 March 2021].
10. Adolfsson, P., Riddell, M., Taplin, C., Davis, E., Fournier, P., Annan, F.,
Scaramuzza, A., Hasnani, D. and Hofer, S., 2018. ISPAD Clinical Practice
Consensus Guidelines 2018: Exercise in children and adolescents with
diabetes. Pediatric Diabetes, 19, pp.205-226.
11. Mayer-Davis, E., Kahkoska, A., Jefferies, C., Dabelea, D., Balde, N., Gong, C.,
Aschner, P. and Craig, M., 2018. ISPAD Clinical Practice Consensus
Guidelines 2018: Definition, epidemiology, and classification of diabetes in
children and adolescents. Pediatric Diabetes, 19, pp.7-19.
12. Los, E. and Wilt, A., 2020. Diabetes Mellitus Type 1 in Children. [ebook]
StatPearls. Available at: <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441918/>
[Accessed 1 March 2021].
13. Ogle G, Middlehurst A, Silink M, Hanas R. Management of Diabetic
Ketoacidosis. In: pocketbook for management of diabetes in childhood and
adolescence in under-resourced countries. 2nd ed. Brussels, B:
International Diabetes Federation; 2017. p. 10–20.
14. Sperling, M., Weinzimer, S., Tamborlane, W., Tadej, B., Stuart A, W. and
Morse, P., 2008. Pediatric Endocrinology. 3rd ed. Philadelphia: Saunders,
p.85.

157
CLINICAL MANAGEMENT OF ASTHMA
EXACERBATION
Retno Asih Setyoningruma, Putri Aliya Ahadinib
a
Divisi Respirologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

10.1. Pendahuluan
Asma adalah penyakit saluran respiratorik dengan dasar inflamasi kronik
yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktifitas saluran respiratori dengan
derajat bervariasi. Asma merupakan penyakit saluran respiratorik kronik yang
sering dijumpai baik pada anak maupun dewasa. Namun asma pada anak
berbeda dengan dewasa. Meskipun tidak menempati peringkat teratas sebagai
penyebab kesakitan atau kematian pada anak, asma merupakan masalah
kesehatan yang penting karena jika tidak ditangani dengan baik, asma dapat
menurunkan kualitas hidup anak, membatasi aktivitas sehari-hari, mengganggu
kualitas tidur, meningkatkan angka absensi sekolah dan menyebabkan prestasi
akademik di sekolah menurun.
Penegakkan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis
medis yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis memegang peranan penting mengingat diagnosis asma pada anak
Sebagian besar ditegakkan secara klinis. Manifestasi klinis asma dapat berupa
batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau
berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan
biasanya timbul jika ada pencetus. Chronic recurrent cough (batuk kronik
berulang) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma dengan
karakteristik yang khas meliputi: gejala timbul secara episodik atau berulang,
variabilitas yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam
24 jam, biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal), reversibilitas
yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat pereda
asma, timbul bila ada faktor pencetus, adanya riwayat alergi pada pasien atau
keluarga.
Pemeriksaan fisik yang ditemukan adalah sesak, napas cuping hidung,
takikardi, saturasi oksigen menurun <90% (terutama pada serangan asma derajat
berat), retraksi otot pernapasan, dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar
langsung (audible wheezing) atau yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu
perlu dicari gejala alergi lain pada pasien seperti dermatitis atopi atau rhinitis

158
CHAPTER 10

alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau
geographic tongue. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menunjukkan
adanya gangguan aliran napas akibat obstruksi, hiperreaktivitas dan inflamasi
saluran respiratori atau adanya atopi pada pasien. Pada masa pandemi sebaiknya
menghindari penggunaan spirometri pada pasien konfirmasi/suspek COVID-19
dikarenakan spirometri dapat menyebarkan partikel virus ke tenaga kesehatan
maupun pasien lain.
Klasifikasi asma pada anak berdasarkan kekerapan timbulnya gejala dibagi
menjadi intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat.
Sedangkan berdasarkan derajat beratnya serangan dibagi menjadi asma
serangan ringan sedang, asma serangan berat dan serangan asma dengan
ancaman henti napas.

10.2. Tatalaksana Serangan Asma


Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif (perburukan)
dari gejala-gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai
kombinasi gejala tersebut. Serangan asma menunjukkan gagalnya tata laksana
asma jangka panjang, atau adanya pajanan terhadap pencetus.
Serangan asma akut merupakan suatu kegawatdaruratan medis. Tujuan
tata laksana serangan asma adalah untuk mengatasi penyempitan saturan
respiratori secepat mungkin, mengurangi hipoksemia, mengembalikan fungsi
paru ke keadaan normal secepatnya, mengevaluasi dan memperbarui tata
laksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.
Tatalaksana serangan asma dapat dilakukan di rumah oleh pasien/orangtua
pasien dan di fasilitas pelayanan kesehatan. Tata laksana serangan asma di rumah
dilakukan oleh pasien yang mempunyai pendidikan cukup dan tidak termasuk
kelompok pasien risiko tinggi. Pasien risiko tinggi yaitu pasien dengan riwayat:

• Serangan asma yang mengancam nyawa


• Intubasi karena serangan asma
• Pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum
• Serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama
• Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenti)
• Kunjungan ke UGD atau perawatan RS karena asma dalam setahun
terakhir

159
CHAPTER 10

• Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi


• Berkurangnya persepsi tentang sesak napas
• Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial.
• Alergi makanan
Tatalaksana serangan asma di rumah bisa menggunakan nebulizer atau
MDI + spacer. Jika diberikan via nebulizer

1. Berikan agoinis 2 kerja pendek, lihat responsnya. Bila gejala (sesak


napas dan wheezing) menghilang, cukup diberikan satu kali.
2. Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi pemberian sekali
lagi.
3. Jika dengan 2 kali pemberian agonis 2 kerja pendek via nebulizer
belum membaik, segera ke fasyankes.
Jika diberikan via MDI + spacer

1. Berikan agonis 2 kerja pendek serial via spacer dengan dosis : 2-4
semprot. Berikan satu semprot obat kedalam spacer diikuti 6-8 terikan
napas melalui antar muka (interface) spacer berupa masker atau
mouthpiece. Bila belum ada respons berikan semprot berikutnya
dengan siklus yang sama.
2. Jika membaik dengan dosis  4 semprot, inhalasi dihentikan.
3. Jika gejala tidak membaik dengan dosis 4 semprot, segera bawa ke
fasyankes.
Pemberian agonis 2 kerja pendek via MDI + Spacer mempunyai efektivitas
yang sama dengan pemberian nebulizer, dengan catatan:

• Pasien tidakk dalam serangan asma berat atau ancaman henti napas
• Pasien bisa dapat menggunakan MDI dengan spacer
• Sebaiknya menggunakan spacer yang baru atau sebelumnya dicuci
dengan air deterjen dan dikeringkan di udara kamar
• Bila tidak tersedia spacer, bisa dapat digunakan botol atau gelas plastik
500 mL sebagai pengganti spacer
Untuk tata laksana di fasilitas pelayanan kesehatan primer, sebelum
menentukan terapi, harus mengetahui derajat serangan asma (tabel 1) yang
dialami pasien terlebih dahulu. Lakukan anamnesis yang singkat dan terfokus
serta pemeriksaan fisik yang relevan bersamaan dengan pemberian terapi awal.

160
CHAPTER 10

Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik harus dicatat di rekam medis. Jika
pasien menunjukkan tanda serangan berat atau mengancam nyawa, segera rujuk
ke fasyankes yang lebih tinggi.
Tabel 1. Derajat keparahan serangan asma.

Serangan asma
Asma serangan
Asma serangan berat dengan ancaman
ringan-sedang
henti napas
• Bicara dalam kalimat • Bicara dalam kata • Mengantuk
• Lebih senang duduk • Duduk bertopang • Letargi
daripada berbaring lengan • Suara napas tak
• Tidak gelisah • Gelisah terdengar
• Frekuensi napas • Frekuensi napas
meningkat meningkat
• Frekuensi nadi meningkat • Frekuensi nadi
• Retraksi minimal meningkat
• SpO2 (udara kamar): 90 – • Retraksi jelas
95% • SpO2 (udara kamar) <
• PEF > 50% prediksi atau 90%
terbaik • PEF < 50% prediksi atau
terbaik

161
CHAPTER 10

Alur tata laksana serangan asma di fasyankes primer ditunjukkan di Gambar 1a


dan Gambar 1b.

Gambar 1.a. Alur Tatalaksana Asma

162
CHAPTER 10

Gambar 1.b. Alur Tatalaksana Asma

Untuk tatalaksana asma pada masa pandemi, Global Initiative for Asthma
(GINA) merekomendasikan untuk menghindari penggunaan nebulizer sebisa
mungkin karena dapat meningkatkan penyebaran partikel virus secara aerosol,
dan lebih menekankan penggunaan metered dose inhaler (MDI) dengan spacer
sebagai tatalaksana asma saat eksaserbasi dengan penggunaan mouthpiece atau
masker ysang sesuai dengan ukuran jika diperlukan. Global Initiative for Asthma

163
CHAPTER 10

tidak lagi merekomendasikan penggunaan short-acting bronkodilator saja


sebagai manajemen asma pada remaja, namun disertai pemberian steroid
inhalasi sebagai controller untuk mengurangi risiko eksaserbasi derajat berat.
UKK Respirologi mengeluarkan rekomendasi terapi inhalasi ddan
didalamnya termasuk rekomendasi untuk serangan asma. Pada asma serangan
ringan-sedang, direkomendasikan diberikan inhalasi β2 agonist kerja pendek
(short-acting β2 agonist SABA). Untuk anak di atas 5 tahun, selain β2 agonist juga
diberikan kartikosteroid sistemik atau kortikosteroid inhalasi dosis tinggi sebagai
pereda. Untuk anak balita, jika menunjukkan perbaikan klinis setelah terapi
dengan inhalasi SABA, kortikosteroid tidak perlu diberikan rekomendasi 1).
Rekomendasi 2 terapi inhalasi pada serangan asma menyatakan bahwa
pemberian obat pereda inhalasi menggunakan pMDI+spacer sama efektifnya
dengan pemberian melalui nebulizer. Pemberian kortikosteroid ampul harus
diberikan dengan nebuliser jet, tidak boleh dengan nebuliser ultrasonik dan cara
inhalasi dengan DPI tidak sebaik nebuliser atau pMDI+spacer.
Rekomendasi 3 menyatakan bahwa pasien anak asma yang mengalami
serangan asma berat, diberi inhalasi kombinasi SABA dan antikolinergik ditambah
dengan kortikosteroid sistemik intravena sebagai pereda. Jika setelah terapi tidak
ada perbaikan, maka selanjutnya ditambah dengan kortikosteroid inhalasi dosis
tinggi
Rekomendasi 4 menyebutkan bahwa pasien anak asma yang mengalami
serangan asma berat dengan ancaman henti napas, diberikan inhalasi kombinasi
SABA dan antikolinergik ditambah dengan kortikosteroid sistemik intravena dan
kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yang keduanya diberikan sebagai obat pereda.
Rekomendasi 5 menyebutkan bahwa terapi inhalasi pada asma serangan berat
dan ancaman henti napas diberikan dengan menggunakan nebulizer. Sedangkan
antikolinergik tidak digunakan sebagai terapi tunggal dalam tatalaksana
serangan asma (Rekomendasi 6)

10.3. Take-home Message


Asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik
yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan
derajat bervariasi. Serangan asma adalah perburukan dari gejala asma yang
menunjukkan gagalnya tata laksaana jangka Panjang atau adanya pajanan
pencetus. Tata laksana serangan asma bisa dilakukan di rumah atau fasyankes. Di

164
CHAPTER 10

fasilitas pelayanan kesehatan primer, sebelum menentukan terapi, harus


mengetahui derajat serangan asma, dan dilakukan tata laksana sesuai dengan
alur yang telah ditentukan.

10.4. Daftar Pustaka


1. Rahajoe N., Kartasasmita CB., Suprayitno B., Setyanto DB. Pedoman Nasional
Asma Anak Edisi ke-2. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016.
2. Serebrisky D., Wiznia A. Pediatric Asthma: A global epidemic. Annals of Global
Health. 2019; 85(1):6.1-6.
3. for Asthma Management and Prevention. Global Initiative for Asthma (GINA);
2020.
4. Rekomendasi Terapi Inhalasi pada Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2019

165
CARDIAC ARRHYTMIA EMERGENCY IN
PEDIATRICS
Taufiq Hidayata, Pandit Bagus Tri Saputrab
a
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo

11.1. Pendahuluan
Aritmia adalah kondisi adanya gangguan listrik jantung yang dapat
menimbulkan kelainan laju dan/atau ritme jantung, baik dengan atau tanpa gejala
klinis. Walaupun aritmia lebih banyak terjadi pada dewasa, kelainan ini tidak jarang
pu;a ditemui pada anak di praktik klinis. Sekitar 5% kasus anak yang dibawa ke
instalasi gawat darurat adalah aritmia simtomatis. Sayangnya aritmia sering lolos
dari diagnosis, atau bahkan sekedar suspek, dan dapat menyebabkan gejala gagal
jantung.
Anak dengan kelainan jantung bawaan dan postoperasi jantung
merupakan kelompok yang berisiko tinggi mengalami aritmia. Sebagai gambaran
prevalensi aritmia postoperasi jantung mencapai 27% sampai 48%. Insiden aritmia
pada anak diprediksi akan terus meningkat seiring semakin tinggi insiden anak
dengan kelainan jantung bawaan.

11.1. Faktor Risiko dan Patofisiologi


Aritimia berkaitan erat dengan gangguan struktural jantung seperti pada
penyakit jantung bawaan, kardiomiopati dan postoperasi jantung. Hal ini
disebabkan kerusakan struktural berkaitan dengan kerusakan sirkuit yang dapat
menyebabkan reentry, automaticity, triggered activity maupun block. Pasien
dengan kelainan jantung kongenital memiliki resiko tinggi mengalami aritmia.
Menariknya, terdapat korelasi antara jenis penyakit jantung bawaan/postoperasi
jantung dan tipe aritmia yang dapat dilihat pada Tabel 1.

166
CHAPTER 11

Tabel 1. Asosiasi jenis penyakit jantung bawaan/postoperasi dan tipe aritmia


Penyakit Jantung Bawaan / Tipe aritmia
postoperasi
Tetralogi of Fallot Takikardi atrium
Double outlet right ventricle Takikadi ventrikel
Disfungsi nodus
sinus
Transposition of the great Aritmia ventrikel
arteries Blok AV
Ebstein's anomaly SVT
Ventricular septal defect repair Blok jantung
Aritmia ventrikel
Atrialseptal defect Takikardi atrium

Atrial septal defect repair Disfungsi nodus


sinus

11.3. Klasifikasi dan Alur Diagnosis


Terdapat berbagai jenis aritmia pada anak, yang dibahas pada tulisan ini
adalah aritmia yang sering ditemukan di lapangan. Berdasarkan lajunya, aritmia
dibedakan menjadi takiaritmia, bradiaritmia dan aritmia tanpa denyut (cardiac
arrest). Standar laju atau denyut pada anak berbeda dengan dewasa, dapat dilihat
di Table 2 untuk menghindari misdiagnosis. Apabila laju atau denyut jantung lebih
cepat dari standar tersebut maka disebut sebagai takikardi dan apabila lebih
lambat disebut sebagai bradikardi.

Tabel 2. Laju jantung normal pada anak berdasarkan usia dan aktivitas (Rohit dan
Kasinaduni, 2020).

Umur Tidur Terjaga Aktivitas fisik atau


menangis

Neonate 80–160 100–180 Up to 220

One week to 3 80–200 100–220 Up to 220


mo

3 mo to 2 y 70–120 80–170 Up to 200

2 to 10 y 60–90 70–110 Up to 200

10 y and above 50–90 55–90 Up to 200

Tiga jenis aritmia paling banyak pada anak adalah sinus takikardi, takikardi
supraventrikel dan bradikardi. Sedangkan 3 gejala paling banyak aritmia pada

167
CHAPTER 11

anak yang dibawa ke instalasi gawat darurat adalah palpitasi, kelelahan dan
presinkop/sinkop. Walaupun begitu gejala aritmia mungkin tidak spesifik dan
berbeda pada tiap jenjang usia.
Pada artikel ini pembahasan lebih berfokus ke karateristik esensial dari
masing-masing jenis aritmia dalam rangka diagnosis dan tatalaksana. Adapun hal
yang bersifat umum, seperti primary survey pada pasien dan hal lain, tidak kami
tuliskan dalam artikel ini karena merupakan kaidah umum pada seluruh kasus
kegawat-daruratan.
Pasien dengan takiaritmia dieveluasi lebih lanjut berdasarkan durasi QRS
kompleks dan ritme (Gambar 2). Umumnya takiaritmia ventrikel ditandai dengan
pelebaran QRS kompleks. Pasien takiritma yang berasal dari ventrikel relatif lebih
jarang namun lebih berbahaya dibandingkan takiaritimia supraventrikular. Ritme
pasien dapat regular maupun irregular.

Gambar 2. Algoritma identifikasi takikardi pada anak (Rohit dan Kasinaduni,


2020).

11.4. Takikardi dengan QRS normal


Takikardi dapat disertai gambaran QRS yang sempit atau melebar. Takikardi
dengan QRS sempit mengindikasikan aritmia berasal dari bundle of His atau
diatasnya. Takikardi dengan QRS lebar mengindikasikan aritmia berasal dari
ventrikel. Takikardia dapat disebabkan karena re-entry atau otomatisasi fokus.

168
CHAPTER 11

Reentry adalah penyebab paling sering yang disebabkan oleh lengkung sirkuit
abnormal, baik di tingkat atrium (fibrilasi atrium), nodus AV (AV node re-entry
tachycardia) maupun jalur asesoris (AV re-entry tachycardia). Sedangkan
otomatisasi merupakan peningkatan aktivitas fokus, baik pada fokus natural
seperti nodus AV (sinus takikardia) maupun fokus abnormal.

11.4.1. Sinus Takikardi


Sinus takikardi didefinisikan dengan pembentukan impuls pada nodus SA
yang lebih cepat dari lajur normal berdasarkan usia. Kondisi ini dapat merupakan
respon fisiologis kebutuhan metabolik yang meningkat dan berkaitan dengan
faktor diluar jantung seperti demam, anemia, tirotoksikosis, infeksi, kondisi
hipovolemi dan pengobatan yang meningkatkan konsentrasi katekolamin. Sinus
takikardi umumnya tidak berkorelasi dengan kelainan struktural jantung.

Gambar 3. Berikut adalah gambaran EKG neonatus. EKG (A) menunjukan


gambaran sinus takikardi dengan morfologi gelombang P yang normal.
Sedangkan EKG (B) menunjukanan gelombang P dengan axis yang tidak normal
pada SVT. (Carla dan Jane, 2010)

Sinus takikardi dapat dibedakan dengan SVT dengan adanya gelombang P


sinus normal sebelum kompleks QRS. Laju bervariasi antara <180x/menit pada
anak, dan <220x/menit pada bayi. Tatalaksana utama sinus takikardi adalah

169
CHAPTER 11

mengatasi pencetus. Tabel 3 menunjukan perbedaan antara sinus takikardi dan


SVT
Tabel 3. Perbedaan mendasar antara sinus takikardi dan SVT

11.4.2. Atrioventricular dan atrioventricular node re-entry tachycardia


Atrioventricular reentry tachycardia (AVRT) merupakan jenis
supraventricular tachycardia (SVT) yang paling sering ditemui pada anak-anak,
sekaligus merupakan 80% kasus aritmia pada bayi. Kondisi ini berkaitan dengan
jalur aksesorius (seperti sindroma WPW) yang memungkinkan setidaknya 2 atau
lebih jalur berbeda yang menghubungkan atrium dan ventrikel. Aliran listrik dapat
bersifat anterograde (jarang) atau retrograde (sering). Lebih jauh, tipe retrograde
dibagi menjadi orthrodromik dan antidromik. Jenis orhtrodromik ditandai dengan
gelombang QRS yang normal sedangkan jenis antirdromik ditandai dengan
komplek QRS yang lebar (Gambar 4). AVRT yang kembali ke ritme sinus
(anterograde) memiliki gelombang delta pada EKG seperti pada sindroma WPW.

170
CHAPTER 11

Gambar 4. Ilustrasi EKG pada sindroma WPW. A. Gambaran aliran


anterograde dengan ritme sinus, pemendekan interval PR,
gelombang delta dan pelebaran kompleks QRS. B. Kontraksi atrium
prematur pada aliran retrograde tipe otrhodomik ditandai dengan
gelombang P retrograde dan kompleks QRS yang mungkin normal.
C. Tipe aliran retrograde jenis antidromic ditandai dengan
gelombang P retrograde namun dengan QRS yang melebar. (Lily,
2011)

Atrioventricular node re-entry tachycardia (AVNRT) mirip dengan AVRT,


namun pada kasus ini nodus AV terlibat dalam jalur aksesorius. Kondisi ini
merupakan 15% dari SVT pada pediaitri, jarang pada bayi namun meningkat seiring
usia. AVRT dan AVNRT sulit dibedakan secara klinis dan dapat ditoleransi dengan
baik pada kebanyakan pasien. Namun AVRT yang sering terjadi pada bayi
mungkin tidak dapat dikenali dalam waktu yang lama sehingga menghasilkan
deteroasi kardiovaskular secara gradual. Kabar baiknya, kedua kondisi tersebut
memiliki terapi inisial yang identic.
Klinis pasien tergantung pada usia. Pada bayi terdapat riwayat makan yang
buruk, letargi, iritabilitas, palor bahkan gejala gagal jantung kongestif. Pada anak
yang lebih dewasa didapatkan riwayat palpitasi, nyeri dada, sinkop dan sesak.
Keluhan sering memiliki onset dan terminasi yang mendadak. Pemeriksaan EKG
didapatkan laju ventrikel >220x/menit pada bayi dan >180x/menit pada anak-anak

171
CHAPTER 11

dengan komplek QRS yang mungkin normal atau QRS tumpang tindih dengan
gelombang P. Rasio AV mungkin mencapai 1:1.

Gambar 5. EKG pada anak dengan sindrom WPW yang menunjukan ritme
sinus (Rohit dan Kasinaduni, 2020).

Tatalaksana pertama pasien stabil dengan manuver vagal. Apabila tidak


berhasil berikan adenosin 100mcg/kg secara bolus cepat, dan ulangi dengan
peningkatan dosis jika diperlukan. Dosis maksimum adalah 400mcg/kg pada bayi.
Dua dosis adenosis pada umumnya dapat menterminasi 95% SVT. SVT yang 2 tidak
dapat diterminasi dengan 2 dosis adenosin disebut sebagai refrakter. Pasien yang
refrakteratau memiliki hemodinamik tidak stabil sejak awal dilakukan
synchronized DC cardioversion dimulai 0,5J/kg. Efek samping adenosin yang
jarang namun mungkin terjadi mekiputi bronkospasme, apnea, asistol dan
konduksi AV jalur aksesoris yang cepat.
Verapamil dan diltiazem IV dapat menterminasi sampai 90% kasus, namun
merupakan kontraindikasi anak usia <2 tahun, sindroma WPW dan pasien yang
sudah diberikan penyekat beta. Pemberian amiodaron dapat menjadi alternatif
dan dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berpengalaman.
Prognosis bergantung pada usia saat onset. Kebanyakan anak usia kurang
dari 1 tahun berhasil diterapi, dibandingkan hanya 33% pada anak dengan usia
lebih dari 1 tahun. Pasien dengan SVT prolong atau rekuren diberikan penyekat
beta, alternatif lain menggunakan flecainide dan amiodaron. Pemberian digoxin
dan penyekat kanal kalsium sebaiknya dihindari pada pasien WPW sebelum

172
CHAPTER 11

dilakukan evaluasi oleh kardiologis. Terapi definitive SVT adalah abalasi kateter
yang lebih ditujukan pada pasien diatas 5 tahun.

11.4.3. Kepak Atrium (Atrial Flutter)


Kepak atrium umum terjadi pada fetus dan hari-hari pertama setelah
kelahiran. Kondisi ini jarang menetap kecuali pada populasi dengan kelainan
jantung kongenital dan operasi jantung. Sekitar 80% anak dengan kepak atrium
memiliki kelainan jantung kongenital dan/atau riwayat operasi jantung. Kelainan
hemodinamik ditentukan oleh durasi kepak atrium dan respon ventrikel. Pasien
dengan konduksi AV 1:1 (seluruh depolarisasi atrium diteruskan ke ventrikel oleh
nodus AV) berkaitan dengan hemodinamik yang tidak stabil.
Pada pemeriksaan EKG didapatkan laju atrium 240-360x/menit dengan
kompleks QRS normal. Rasio AV >1:1 dan seringkali regular dengan laju ventrikel
120-240x/menit. Gambaran khas pada EKG adalah sawtooth appearance yang
sering ditemukan pada lead II, III dan aVF.

Gambar 6. Gambaran kepak atrium pada anak baru lahir dengan gambaran khas
sawtooth appearance. Konduksi AV >1:1 dengan laju atrium 375 dan laju ventrikel
185 (Carla dan Jane, 2010).
Terapi pada pasien yang stabil menggunakan manuver vagal dan
farmakologis. Terapi farmakologi dengan amiodaron ditujukan untuk terminasi
aritmia atau mengontrol ritme pada pasien yang stabil. Alternatif selain
mengontrol ritme adalah mengontrol laju, menggunakan penyekat beta atau
penyekat kanal kalsium. Jika pasien memiliki respon ventrikel yang cepat dengan
penurunan kardiak output (tidak stabil), kardioversi DC dilakukan mulai dengan
0,5J/kg dan dapat dinaikan menjadi 1-2J/kg jika diperlukan. Sedangkan pada

173
CHAPTER 11

pasien dengan pacemaker, terminasi sebaiknya dilakukan oleh kardiologis. Pasien


dengan kepak atrium >48 jam, atau tidak diketahui, diindikasikan pemberian
antikoagulan dan seyogyanya tidak dilakukan kardioversi sampai terbukti tidak
ada thrombus di atrium kiri.
Pada pasien dengan kelainan struktural jantung dan/atau kepak atrium
yang rekuren,mungkin memerlukan terapi jangka panjang. Manajemen ditujukan
dengan mengontrol ritme (amiodaron atau flecainide), namun hal tersebut tidak
efektif pada pasien dengan kelainan jantung bawaan sehingga lebih dipilih
mengotrol laju. Kontrol laju ventrikel dapat menggunakan golongan penyekat
kanal kalsium, penyekat beta atau digoxin. Ablasi kateter memiliki tingkat
keberhasilan yang lebih tinggi dan resiko yang lebih rendah seiring peningkatan
usia anak.

11.4.4. Ectopic atrial tachycardia


Ectopic atrial tachycardia (EAT) merupakan 10% kasus SVT pada anak.
Kondisi ini disebabkan karena adanya otomatisitas pada satu atau lebih folus di
atrium di luar nodus SA. EAT banyak ditemukan pada anak dengan struktur
jantung yang normal. Gejala klinis dapat berupa nyeri dada, palpitasi dan sinkop
serta pada anak yang lebih besar mungkin didapatkan limitasi aktivitas atau
bahkan asimtomatis. bayi mungkin datang dengan riwayat pola makan yang
buruk, diaphoresis saat makan atau distress napas yang sekunder terhadap
takikardi kronik.
Pemeriksaan EKG didapatkan laju atrium (120-300x/menit), yang lebih
tinggi daripada umurnya. Morfologi dan axis gelombang P yang tampak tidak
normal merupakan petunjuk untuk membedakan dengan sinus takikardi.
Konduksi AV >1:1 yang mungkin diamati saat pasien istirahat atau tidur.

174
CHAPTER 11

Gambar 7. Pemberian adenosin menghasilkan AV block namun tidak


menghentikan aritmia sehingga masuk ke dalam kelompok AV node
independent SVT. (Rohit dan Kasinaduni, 2020)

EAT tidak merespon dengan baik oleh adenosin (Gambar 7) dan kardioversi
DC. Tatalaksana lini pertama adalah amiodaron IV dengan loading dose 5mg/kg
diberikan secara bolus lambat dalam 20-60 menit, dapat diikuti dengan
maintenance dose 10-15mg/kg/hari secara drip. Pasien dengan simtom yang
minimal tidak memerlukan tatalaksana akut. Takikardia dapat mengalami resolusi
spontan pada 30-50% anak, terutama pada anak usia kurang dari 3 tahun. Pasien
yang lebih tua dan tidak membaik dengan terapi medis optimal diindikasikan
menjalani ablasi kateter.

11.4.5. Fibrilasi atrium


Fibrilasi atrium banyak didapatkan pada anak dengan kelainan jantung
struktural atau riwayat operasi jantung. Fibrilasi atrium dapat pula berkaitan
dengan kardiomiopati, miokarditis, perikarditis, hipertiroid dan mungkin kelainan
genetik. Pada anak tanpa kelainan struktural jantung, fibrilasi atrium berkaitan
dengan jalur aksesori seperti pada WPW. Fibrilasi atrium seringkali melibatkan
multiple reentry pada atrium kiri.
Pasien mungkin menunjukan simtom. Hipotensi dan sinkop berkaitan
dengan peningkatan laju ventrikel mengikuti laju atrium. Gejala klinis lain dapat
berupa palpitasi, dengan atau tanpa kelemahan, dan tanda-tanda gagal jantung.
Anak dengan gejala sinkop dicurigai kuat memiliki jalur aksesoris seperti WPW.
Pada EKG ditemukan laju atrium 350-600x/menit dengan gelombang P
yang uniform. Gelombang P mungkin terlihat irregular dan paling mudah dilihat

175
CHAPTER 11

pada lead V1. Rasio AV seringkali >1:1 dengan regularitas (ritmisitas) laju ventrikel
seringkali berubah mulai 110 sampai 200x/menit. Pada kasus WPW, rasio AV dapat
mencapai 1:1 disertai penampakan QRS komplek yang tidak normal (lebar dengan
gelombang delta).

Gambar 8. Fibrilasi atium asimtomatis pada anak usia 2,5 tahun. Didapatkan p
wave yang tidak normal dan QRS irregular (Carla dan Jane, 2010).

Pasien yang stabil diberikan farmakoterapi untuk mengontrol ritme dan


laju. Amiodaron dan ibutilid IV digunakan untuk mengontrol ritme. Pasien dengan
respon ventrikel cepat dan penurunan kardiak output atau hemodinamik tidak
stabil dilakukan DC kardioversi mulai dengan 2J/kg. Kardioversi pada pasien yang
stabil dengan durasi AF >48 jam atau tidak diketahui seyogyanya ditunda sampai
dapat dilakukan penilaian thrombus menggunakan ekokardiografi. Pasien
tersebut diberikan antikoagulan.
Rekurensi sering terjadi meskipun diberikan terapi farmakologis. Intervensi
diperlukan untuk menghilangkan rekurensi AF. Walaupun komplikasi trombus di
atrium dan stroke emboli lebih tinggi pada dewasa dibandingkan anak-anak,
pasien dengan AF persisten atau rekuren tetap memerlukan antikoagulan jangka
panjang. Ablasi nodus AV dan implantasi pacemaker mungkin diperlukan pada
beberapa kasus yang refrakter.

11.5. Takikardi dengan QRS lebar


Walaupun takikardi dengan kompleks QRS lebar lebih sering pada dewasa
namun dapat pula terjadi pada anak-. Kondisi ini tidak hanya disebabkan karena
kelainan pada ventrikel (takikardi ventrikel) melainkan juga dapat dilihat pada
kelainan yang berasal dari atrium (AVT dengan bundle branch block atau SVT

176
CHAPTER 11

dengan sindrom pre-eksitasi seperti pada WPW). Asal kelainan dapat dibedakan
dengan pemasangan 12 lead EKG. Mengingat VT adalah kondisi lebih berbahaya
maka semua takikardi dengan pelebaran QRS seyogyanya diterapi dengan terapi
VT sampai terbukti sebaliknya.

11.5.1. Takikardi ventrikel


Takikardia ventrikel adalah jarang didapatkan pada populasi anak namun
bersifat mengancam nyawa. Episode dapat berlangsung kurang dari 30 detik
(non-sustained VT) atau lebih dari 30 detik (sustained VT). Berdasarkan morfologi,
VT diklasifikasikan menjadi VT monomorfik (laju regular dan QRS yang uniform)
dan VT polimorfik (laju dan QRS yang irregular). Mekanisme yang mendasari dapat
karena automatisitas, re-entry dan triggered tachycardia. Etiologi VT meliputi
idiopatik, obat-obatan, kardiomiopati, miokarditis dan kelainan metabolik.
Simtom bervariasi mulai dari pusing, palpitasi, presinkop/sinkop sampai
henti jantung. Laju ventrikel bervariasi mulai 110 sampai >200 x/menit. Ditemukan
tanda khas berupa QRS yang lebar dan rasio AV <1:1 (laju ventrikel lebih tinggi
dibandingkan atrium). Walaupun begitu, rasio AV 1:1 tidak dapat mengeksklusi VT.
Pada kasus VT polimorfik kompleks QRS memiliki morfologi yang bervariasi.

Gambar 9. Hasil EKG dari pasien ToF yang menunjukan takikardi ventrikel (Carla
dan Jane, 2010).

177
CHAPTER 11

Manajemen akut pada kasus stabil menggunakan amiodaron 5 mg/kg IV


selama 30-60 menit atau procainamide 15 mg/kg IV selama 30-60 menit. Pada
kasus tidak stabil dilakukan synchronized cardioversion dimulai 2J/kg dan diulangi
(dengan peningkatan dosis jika diperlukan).
Pasien tanpa kelainan struktural jantung, stabil dan VT monomorfik, sering
memiliki simtom yang minimal dilakukan follow up jangka pendek tanpa terapi
farmakologis. Penyekat beta mungkin bermanfaat untuk mengurangi ektopi pada
beberapa pasien. Tatalaksana jangka Panjang tergantung pada laju, durasi,
simtom, tipe VT dan kelainan genetik kanal sel seperti long QT syndrome. Terapi
antiaritmia yang agresif dengan penggunaan ICD biasanya digunakan dalam
keadaan mengancam nyawa.

11.5.2. Long QT Syndrome


Congenital Long QT Syndrome adalah kelainan genetik pada kanal ion
(kannalopati) miokardium yang menyebabkan pemanjangan repolarisasi jantung.
Pasien beresiko tinggi mengalami takikardi ventrikel polimorfik (Torsdes de
pointes) sampai kematian mendadak. Stimulus adrenergik adalah salah satu
pencetus yang paling sering menyebabkan takikardi ventrikel. Meskipun faktor
lain seperti obat-obatan, kondisi medis pasien dan kelainan eletrolit juga dapat
menjadi faktor pencetus.

Gambar 10. Hasil EKG mengarah ke Torsade de pointes (takikardi ventrikel


polimorfik) pada anak dengan pemanjangan QT interval (Rohit dan Kasinaduni,
2020).

178
CHAPTER 11

Pasien mungkin mengeluh presinkop, sinkop, kejang bahkan henti jantung.


Keluhan mungkin didahului dengan aktivitas fisik (khususnya berenang), stres
emosional, paparan suara bising dan bahkan tidur. Kondisi ini jarang terjadi pada
bayi dan jika terjadi dapat menyebabkan pola makan yang buruk atau episode
letargi dengan sianosis atau perfusi yang buruk.

Pada EKG didapatkan gambaran ritme sinus dan pemanjangan QTc.


Pemanjangan QTc didefinisikan >460 ms pada perempuan postpubertas dan >450
ms pada anak lainya. Perhitungan paling bagus dilakukan pada lead II
menggunakan Bazett Formula, yaitu QTc= QT Interval/√-RR. Hasil borderline (QTc
>440 ms) dengan gejala klinik dan/atau riwayat keluarga seyogyanya dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut. Tanda lain mungkin gelombang T yang abnormal atau
bahkan Torsades de pointes saat serangan.

Gambar 11. EKG menunjukan pemanjangan interval QT pada anak dengan


keluhan sinkop (Rohit dan Kasinaduni, 2020).

Manajemen pasien dengan torsades de pointes dilakukan defibriliasi


emergensi diikuti pemberian magnesium sulfat atau mungkin lidokain. Setelah itu
menghilangkan faktor pencetus. Pemberian penyekat beta mungkin mengurangi
tonus adrenergik. Prognosis pasien simtomatis yang tidak diterapi adalah buruk,
dengan mortalitas tahunan sebesar 20%. Pemberian penyekat beta jangka
Panjang tidak menghilangkan secara sempurna, namun memberikan penurunan
mortalitas tahunan yang signifikan menjadi 6%. Pasien resiko tinggi dapat
dilakukan implantasi ICD.

179
CHAPTER 11

11.6. Bradikardi
Sedangkan tatalaksana awal pada berbagai kasus bradiaritimia dengan nadi
mengikuti Gambar 11.

Gambar 12. Tatalaksana awal bradikardia pada anak (AHA, 2020)

Bersamaan dengan dilakukanya tatalaksana gawat darurat, klinisi mencari


jenis dan penyebab aritmia untuk merencanakan tatalaksana yang lebih spesifik.
Bradikardia tersering pada anak meliputi, namun tidak terbatas, proses yang
melibatkan disfungsi nodus SA dan kelainan konduksi nodus AV.

11.6.1. Sinus bradikardi


Sinus bradikardi dapat disebabkan oleh berbagai faktor,yang kebanyakan
bukan berasal dari kardiak, kecuali disfungsi nodus SA. Disfungsi nodus SA

180
CHAPTER 11

berkaitan dengan kerusakan nodus SA, salah satu yang paling sering postoperasi
jantung. Apabila terjadi reentry atrium dapat terjadi sindroma bradi-takikardi.
Sinus bradikardi pada anak tanpa kelainan struktural mungkin tidak memerlukan
manajemen akut. Pada pasien yang kritis sinus bradikardi harus dievaluasi
penyebabnya. Atropine dan epinefrin dapat digunakan untuk meningkatkan laju
sinus pada kebanyakan kasus. Namun pasien simtomatis dengan disfungsi nodus
SA dan/atau dengan takikardi mungkin memerlukan implantasi pacemaker
elektif.

11.6.2. AV Block
AV block disebabkan abnormalitas konduksi nodus AV. AV block dibagi
menjadi AV block derajat 1, 2 dan 3. AV block derajat 1 ditandai dengan
pemanjangan interval PR tanpa kelainan konduksi dan tidak menyebabkan
bradikardi maupun instabilitas hemodinamik. Penyebab AV block derajat 1
bervariasi, baik faktor intrakardiak maupun ekstrakardiak, mulai dari operasi
kardiak, miopati, karditis dan hipotiroidisme.
AV block derajat 2 merujuk pada kegagalan konduksi nodus AV secara
intermiten. Kondisi ini diklasifikasikan menjadi Mobitz tipe I (Wenckebach) dan II.
Mobitz tipe I ditandai dengan kegagalan konduski yang didahului oleh
pemanjangan interval PR secara gradual. Mobitz tipe II ditandai oleh kegagalan
konduksi tanpa perubahan pada interval PR sebelumnya. Mobitz tipe II relatif lebih
berbahaya dibandingkan tipe I. Tatalaksana difokuskan dengan menghilangkan
penyebab yang reversibel seperti pada AV block derajat 1. Pasien yang simtomatis
atau progress menjadi AV block yang lebih berat mungkin mendapatkan manfaat
dengan pemberian atropine atau isoproterenol. Mobitz tipe II dinilai lebih
berpotensi menjadi blok komplit sehingga disarankan implantasi pacemaker
terutama pada pasien simtomatis.
Pada AV block derajat 3 tidak ada konduksi yang dialirkan dari atrium ke
ventrikel sehingga ditandai dengan disosiasi atrium dan ventrikel. Durasi QRS
dapat normal atau memanjang. AV block derajat 3 berkaitan dengan kerusakan
struktur jantung, seperti pada penyakit jantung kongenital, pembedahan jantung,
atau miokarditis dan kelainan metabolik.

181
CHAPTER 11

Gambar 12. EKG menunjukan disosiasi AV komplit (Rohit dan Kasinaduni, 2020).

Kebanyakan anak bersifat asimtomatis saat diagnosis sedangkan bayi


dengan simtom seringkali datang dengan kenampakan sakit berat. Simtom pada
anak yang lebih dewasa berupa intoleransi aktivitas, kelelahan, pusing, presinkop
atau sinkop dan tanda-tanda gagal jantung. Kematian mendadak mungkin
terjadi. Implantasi pacemaker diperlukan pada kebanyakan pasien. Penggunaan
pacemaker sementara diperuntukan pada kasus dengan penyebab yang
reversibel.

11.7. Daftar Pustaka


1. Alam, S., Jain, A., Viralam, S., Sharique, T., & Kapoor, S. (2019). Incidence, risk
factors, and outcome of cardiac arrhythmia postcardiac surgery in children.
Heart Views, 20(2), 47. doi: 10.4103/heartviews.heartviews_88_18
2. American Heart Association. 2020. Pediatric Life Support.
3. CDC. (2021). Data and Statistics on Congenital Heart Defects. Retrieved 9
March 2021, from https://www.cdc.gov/ncbddd/heartdefects/data.html
4. de Caen AR, Kleinman ME, Chameides L, Atkins DL, Berg RA, Berg MD, Bhanji
F, Biarent D, Bingham R, Coovadia AH, Hazinski MF, Hickey RW, Nadkarni VM,
Reis AG, Rodriguez-Nunez A, Tibballs J, Zaritsky AL, Zideman D; Paediatric
Basic and Advanced Life Support Chapter Collaborators. Part 10: Paediatric
basic and advanced life support: 2010 International Consensus on
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science
with Treatment Recommendations. Resuscitation. 2010 Oct;81 Suppl 1:e213-59.
doi: 10.1016/j.resuscitation.2010.08.028. PMID: 20956041.
5. Doniger SJ, Sharieff GQ. Pediatric dysrhythmias. Pediatr Clin North Am. 2006
Feb;53(1):85-105, vi. doi: 10.1016/j.pcl.2005.10.004. PMID: 16487786.
6. Escudero C, Carr R, Sanatani S. The medical management of pediatric
arrhythmias. Curr Treat Options Cardiovasc Med. 2012 Oct;14(5):455-72. doi:
10.1007/s11936-012-0194-5. PMID: 22907424.
7. Garson A Jr, Bink-Boelkens M, Hesslein PS, Hordof AJ, Keane JF, Neches WH,
Porter CJ. Atrial flutter in the young: a collaborative study of 380 cases. J Am
Coll Cardiol. 1985 Oct;6(4):871-8. doi: 10.1016/s0735-1097(85)80497-6. PMID:
4031302.

182
CHAPTER 11

8. Hanash, C. R., & Crosson, J. E. (2010). Emergency diagnosis and management


of pediatric arrhythmias. Journal of emergencies, trauma, and shock, 3(3), 251–
260. https://doi.org/10.4103/0974-2700.66525
9. Jat, K.R., Lodha, R. & Kabra, S.K. Arrhythmias in Children. Indian J Pediatr 78,
211–218 (2011). https://doi.org/10.1007/s12098-010-0276-x
10. Ko JK, Deal BJ, Strasburger JF, Benson DW Jr. Supraventricular tachycardia
mechanisms and their age distribution in pediatric patients. Am J Cardiol.
1992 Apr 15;69(12):1028-32. doi: 10.1016/0002-9149(92)90858-v. PMID: 1561973.
11. Manole MD, Saladino RA. Emergency department management of the
pediatric patient with supraventricular tachycardia. Pediatr Emerg Care
2007;23(3):176-185; quiz 186-179.
12. Mehta AV, Sanchez GR, Sacks EJ, Casta A, Dunn JM, Donner RM. Ectopic
automatic atrial tachycardia in children: clinical characteristics, management
and follow-up. J Am Coll Cardiol. 1988 Feb;11(2):379-85. doi: 10.1016/0735-
1097(88)90106-4. PMID: 3339178.
13. Rankin AC, Rae AP, Houston A. Acceleration of ventricular response to atrial
flutter after intravenous adenosine. Br Heart J. 1993 Mar;69(3):263-5. doi:
10.1136/hrt.69.3.263. PMID: 8461228; PMCID: PMC1024993.
14. Rhodes LA, Wernovsky G, Keane JF, Mayer JE Jr, Shuren A, Dindy C, Colan SD,
Walsh EP. Arrhythmias and intracardiac conduction after the arterial switch
operation. J Thorac Cardiovasc Surg. 1995 Feb;109(2):303-10. doi: 10.1016/S0022-
5223(95)70392-6. PMID: 7853883.
15. Rohit, M., Kasinadhuni, G. Management of Arrhythmias in Pediatric
Emergency. Indian J Pediatr 87, 295–304 (2020). https://doi.org/10.1007/s12098-
020-03267-2
16. Salerno JC, Kertesz NJ, Friedman RA, Fenrich AL Jr. Clinical course of atrial
ectopic tachycardia is age-dependent: results and treatment in children < 3 or
> or =3 years of age. J Am Coll Cardiol. 2004 Feb 4;43(3):438-44. doi:
10.1016/j.jacc.2003.09.031. PMID: 15013128.
17. Sekar R. P. (2008). Epidemiology of arrhythmias in children. Indian pacing and
electrophysiology journal, 8(Suppl. 1), S8–S13.
18. Walsh E. and Frank C. Arrhythmias in Adult Patients With Congenital Heart
Disease. Circulation. 2007;115:534–545.
https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.105.592410

183
ECG READING IN PEDIATRIC EMERGENCY:
OVERVIEW AND CASE STUDY
Taufiq Hidayat
Divisi Kardiologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo

12.I. Pendahuluan
Rekaman aktivitas listrik jantung mempunyai peran yang sangat penting
dalam kardiologi. Pencatatan aktivitas listrik jantung atas dasar perbedaan
potensial listrik yang diperoleh dengan bantuan elektroda yang ditempel di
permukaan tubuh seseorang disebut elektrokardiogram (EKG). Elektrokardiograf
sendiri sebenarnya adalah suatu alat yang sederhana, relatif murah, praktis dan
dapat dibawa ke mana-mana.
Cukup banyak manfaat yang diperoleh dari rekaman EKG, oleh karena itu
kita dituntut agar mampu membaca dengan baik hasil suatu rekaman EKG.
Penilaian EKG seyogyanya dilakukan berurutan melalui langkah-langkah
sistematis sehingga bila terdapat abnormalitas tidak terlewatkan. Irama jantung,
laju jantung, aksis, bentuk dan ukuran gelombang, interval dan segmen dinilai
satu persatu sehingga dapat diketahui bila terdapat abnormalitas.
Berikut ini akan diuraikan mengenai cara membuat rekaman EKG, sandapan EKG
serta deskripsi rekaman EKG normal pada anak.

12.2. Cara Membuat Rekaman EKG


Rekaman EKG dicatat pada kertas khusus. Kertas ini merupakan kertas
grafik dengan garis-garis horizontal dan vertikal. Garis-garis vertikal dan horizontal
tersebut membentuk kotak-kotak kecil bujur sangkar dengan sisi 1 mm. Setiap 5
mm garis vertikal maupun horizontal terdapat garis yang lebih tebal. Garis yang
lebih tebal ini membentuk kotak bujur sangkar dengan sisi 5 mm, Gambar 1. Yang
harus diperhatikan dalam merekam EKG adalah kecepatan kertas dan stardarisasii
amplitudo.

184
CHAPTER 12

Gambar 1. Kertas EKG.


Kecepatan baku yang biasa digunakan adalah 25 mm/detik sehingga tiap
mm kertas menunjukkan 0,04 detik. Tiap kotak besar (5 mm) menunjukkan 0,20
detik.

Standarisasi amplitudo baku yang biasa dipakai adalah 1, artinya tiap 1 cm


defleksi vertikal menunjukkan 1 mV. Bila gambaran EKG terlalu besar sehingga
seluruh defleksi gelombang QRS tidak tertangkap, maka standarisasi dapat
diturunkan menjadi ½ (dalam hal ini 1 mV sama dengan 0,5 cm atau 5 mm).
Teknik pencatatan EKG dilakukan dengan posisi pasien berbaring tenang karena
gerakan tubuh dan kontraksi otot mempengaruhi hasil rekaman. Perlekatan
elektrode pada kulit harus baik yaitu dengan memberi jelly sedikit pada kulit.
Elektrode harus diletakkan ditempat yang benar seperti terlihat pada Gambar 2.

185
CHAPTER 12

Gambar 2. Letak elektrode di ekstremitas dan dinding dada.

Elektroda diletakkan di berbagai posisi di dinding dada. Pada sandapan V1,


elektroda diletakkan di ruang interkostal empat garis parasternal kanan. Pada
sandapan V2, elektroda diletakkan di ruang interkostal empat garis parasternal kiri,
sedangkan pada sandapan V4, elektroda diletakkan di ruang interkostal lima garis
midklavikuler kiri. Pada sandapan V3, elektroda diletakkan antara V2 dan V4. Pada
sandapan V5 dan V6, elektroda diletakkan sejajar dengan elektroda V4. Untuk
sandapan V5, elektroda diletakkan di garis aksilaris anterior, sedangkan sandapan
V6 di garis aksilaris media.
Pada keadaan tertentu seperti di ICU, kadang-kadang tidak perlu kita
merekam dengan sandapan seperti disebutkan diatas (12 sandapan). Pada
keadaan seperti ini pemantauan EKG diperlukan untuk analisis denyut per denyut
hanya dari satu alat pantau. Biasanya ada 3 elektroda. Satu ditempatkan di V1, satu
lagi dibahu kiri dan lainnya di bahu kanan. Rekaman di alat monitor ini biasanya
digunakan untuk pemantauan aritmia jantung.

12.3. Sandapan EKG


Aliran listrik jantung mempunyai besaran dan arah (vektor). Oleh karena
tubuh merupakan konduktor listrik yang cukup baik, maka rekaman yang
dilakukan melalui elektroda yang diletakkan di permukaan tubuh yang jauh
letaknya dari jantung tetap dapat dilakukan. Oleh karena aliran listrik jantung

186
CHAPTER 12

merupakan vektor, maka rekaman perlu dilakukan dari berbagai sudut. Oleh
karena itulah dibuat rekaman dari berbagai sandapan.
Dikenal 12 sandapan EKG. Enam sandapan dinamakan sandapan
ekstremitas yakni I,II,III, aVR, aVL dan aVF. Sandapan-sandapan ini diperoleh dari
rekaman dengan elektroda yang diletakkan di ekstremitas. Keenam sandapan
ekstremitas dibagi lagi menjadi 2 subkelompok yaitu sandapan ekstremitas
bipolar (I,II,III) dan sandapan ekstremitas unipolar (aVR,aVL dan aVF). Sandapan I
adalah beda potensial antara lengan kiri positif dan lengan kanan negatif. Orientasi
sudutnya adalah 00. Sandapan II adalah beda potensial antara tungkai kiri positif
dan lengan kanan negatif dengan orientasi sudutnya adalah 600. Sandapan III
adalah beda potensial antara tungkai kiri positif dan lengan kiri negatif dengan
orientasi sudutnya adalah 1200. Sandapan aVL adalah beda potensial antara
lengan kiri positif dan ekstremitas lain negatif dan orientasi sudutnya –300.
Sandapan aVR adalah beda potensial antara lengan kanan positif dan ekstremitas
lain negatif dengan orientasi sudutnya –1500.. Sandapan aVF adalah beda
potensial antara tungkai positif dan ekstremitas lain negatif dengan orientasi
sudutnya +900. Aksis I memperlihatkan hubungan kiri dan kanan dengan kiri
positif kanan negatif. AvF memperlihatkan hubungan superior dan inferior
dengan positif inferior dan negatif superior.
Gelombang R pada setiap sandapan menunjukkan kekuatan depolarisasi
yang mengarah ke pole positif; gelombang Q dan S adalah depolarisasi yang
mengarah ke pole negatif. Dengan demikian gelombang R pada I menunjukkan
kekuatan kiri dan gelombang S menunjukkan kekuatan kanan. Gelombang R
pada sandapan aVF menunjukkan kekuatan inferior dan gelombang S
menunjukkan kekuatan superior. Hal yang sama pada sandapan II gelombang R
menunjukkan kekuatan inferior dan kiri sedangkan gelombang R di III
menunjukkan kanan dan bawah. Gelombang R di aVR menunjukkan kekuatan di
kanan dan superior dan gelombang R di aVL menunjukkan kekuatan di kiri dan
superior. Arah vektor listrik jantung tampak pada Gambar 3.

187
CHAPTER 12

Gambar 3. Arah vektor pada bidang frontal /sistem referensi hexaxial.

Enam sandapan lainnya adalah sandapan precordial, Gambar 4. Sandapan


ini diperoleh dengan meletakkan elektroda di dinding dada. Aksis V2
memperlihatkan hubungan anterior dan posterior dengan anterior positif dan
posterior negatif. Aksis V6 memperlihatkan hubungan kiri-kanan dengan kiri
positif dan kanan negatif. Dengan demikian gelombang R di V6 menunjukkan
kekuatan kiri dan gelombang R di V2 kekuatan kanan/anterior. Sebaliknya
gelombang S di V6 menunjukkan kekuatan kanan dan gelombang S di V2
menunjukkan kekuatan posterior. Gelombang R di V1, V3R dan V4R menunjukkan
kekuatan anterior dan kanan dan gelombang S pada sandapan ini menunjukkan
kekuatan posterior dan kiri. Gelombang R di V5 umumnya menunjukkan kekuatan
kiri sedangkan gelombang R di V3 dan V4 merupakan daerah transisi antara
sandapan kiri dan kanan.

Gambar 4. Arah vektor pada bidang horizontal.

12.4. Konfigurasi EKG


Irama jantung yang normal adalah irama sinus. Pada irama sinus, pacu
jantung berasal dari nodus sinoaurikuler (nodus SA). Pada saat terjadi depolarisasi
di nodus SA, rekaman pada EKG masih isoelektrik. Dari nodus SA, impuls

188
CHAPTER 12

diteruskan ke nodus AVmelalui dinding atrium. Pada saat terjadi depolarisasi


atrium, pada rekaman EKG terbentuk gelombang P. Di nodus AV terjadi
perlambatan impuls, sehingga pada EKG terbentuk garis isoelektrik kembali. Dari
nodus AV, impuls diteruskan ke berkas His- Purkinye sehingga terjadi depolarisasi
ventrikel. Pada saat depolarisasi ventrikel, pada EKG terbentuk gelombang QRS.
Kemudian diikuti dengan repolarisasi ventrikel dan pada EKG terbentuk
gelombang T. Sedangkan gelombang U terjadi setelah repolarisasi ventrikel dan
asalnya belum diketahui. Konfigurasi EKG yang berasal dari nodus SA tampak
pada Gambar 5.

Gambar 5. Konfigurasi EKG.

12.5. Menilai Normalitas EKG


Membaca EKG untuk menilai normalitasnya dilakukan secara sistematis
berurutan yaitu menilai laju jantung, irama jantung, aksis P, QRS dan T serta sudut
QRS-T, gelombang P, interval PR, zona transisi, kompleks QRS, interval QRS,
segmen ST, gelombang T, sudut QRS-T, interval QT dan gelombang U.

12.5.1. Laju jantung


Penilaian laju jantung untuk menentukan terdapatnya takikardi atau bradikardi,
dinilai berdasarkan standar menurut usia pasien. Rekaman EKG rutin umumnya
dilakukan dengan kecepatan 25 mm/detik. Kertas rekaman EKG memiliki gambar

189
CHAPTER 12

kotak kecil yang berukuran 1 x 1 mm; kotak besar yang terdiri dari 5 kotak kecil x 5
kotak kecil (5 x 5 mm)
1 mm= 0,04 detik
5 mm= 0,20 detik
30 mm= 1,2 detik (terdiri dari 6 kotak besar)
Laju jantung dapat dihitung dengan beberapa cara:
1. Hitung interval RR secara langsung dalam detik, bagilah 60 dengan interval
tersebut. Contoh: interval RR 0,36 detik (9 x 0,04=0,36), maka laju
jantung=167 kali/menit (60:0,35=166,7)
2. Bila denyut jantung cepat, hitung siklus RR pada 6 buah kotak besar (12
detik), kalikan dengan 50.
3. Bila denyut jantung lambat, hitung jumlah kotak besar diantara dua
gelombang R, bagilah 300 dengan jumlah kotak besar antara dua R
tersebut.
4. Perkiraan laju jantung dengan mengingat interval RR dalam skala tertentu
Interval RR Laju Jantung
5 300
10 150
15 100
20 75
25 60

5. Seringkali dalam praktek sehari-hari laju jantung dinilai dengan cara membagi
1500 dengan banyaknya kotak kecil diantara dua R.
Laju jantung normal berdasarkan usia:
• Bayi baru lahir : 145 (90-180)
• 6 bulan : 145 (105-185)
• 1 tahun : 132 (105-170)
• 2 tahun : 120 (90-150)
• 4 tahun : 108 (72-135)
• 6 tahun : 100 (65-135)
• 10 tahun : 90 (65-130)
• 14 tahun : 85 (60-120)

190
CHAPTER 12

12.5.2. Irama Jantung


Irama jantung normal adalah irama sinus. Irama sinus ditandai dengan
sikus yang dimulai dari nodus sinoaurikuler (SA node), pada EKG akan nampak
satu (hanya satu saja) gelombang P tegak (upright) di lead I II, dan aVF, terbalik
(inverted) di aVR. Gambaran tersebut menunjukkan arah depolarisasi atrium
sesuai dengan arah konduksi listrik yang berjalan dari nodus SA ke nodus AV. Aksis
P normal adalah 0 sampai 120 derajat pada semua umur. Abnormalitas irama
jantung (irama nonsinus) ditunjukkan bila:
1. Terdapat abnormalitas aksis P
2. Tidak dijumpai gelombang P
3. Jumlah gelombang P yang abnormal (lebih dari satu) tiap kompleks QRS
4. Arah aksis P berubah-ubah

12.5.3. Aksis QRS, P dan T


Aksis (sumbu) QRS berguna untuk menentukan posisi jantung apakah
normal, bergeser ke kanan (RAD) atau bergeser ke kiri (LAD). Aksis QRS dapat
dihitung dengan beberapa cara yaitu metode grafik, metode aproksimasi dan
metode sektor.
Pada metode grafik, diperlukan 2 lead ekstremitas mana saja, namun lebih
mudah jika menggunakan lead I dan aVF karena kedua lead ini membentuk sudut
saling tegak lurus seperti sumbu X dan sumbu Y pada grafik koordinat.

Gambar 6. Diagram sandapan ekstremitas.

Contoh cara penghitungan axis P, QRS dan T

191
CHAPTER 12

1. Hitung jumlah aljabar defleksi lead I, kemudian di plotkan pada lead I


2. Hitung jumlah aljabar defleksi lead aVF, kemudian di plotkan pada lead aVF
3. Dibuat garis tegak lurus lead I dan aVF melalui kedua titik tersebut
4. Hubungkan titik potong kedua garis tegak lurus tersebut dengan pusat
lingkaran; garis yang terakhir ini akan memotong lingkaran, dan sumbu
QRS dapat dilihat pada angka yang ada pada busur lingkaran tersebut atau
sudut yang terbentuk juga dapat dihitung secara manual
5. Hitung sudut yang dibentuk garis tadi dengan sumbu horizontal dengan
menggunakan rumus: Tangen Alfa= y/x maka alfa dapat dihitung dengan
menggunakan tabel logaritma atau kalkulator yang ada tangennya.
Disamping itu alfa dapat juga dihitung dengan cara cepat menggunakan
rumus alfa= (y/y+x) X 90
Metode aproksimasi dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah
sebagi berikut:
1. Tentukan kuadran menggunakan lead I dan aVF
2. Cari lead yang ekuifasik, yaitu lead yang defleksi positif (gelombang R) dan
defleksi negative (gelombang S) yang sama. Jika ada, berarti sumbu QRS
nya tegak lurus dengan lead tersebut. Jika tidak ada yang ekuifasik,
lanjutkan dengan langkah 3
3. Cari lead yang defleksinya paling besar, bisa positif (gelombang R), bisa
negative (gelombang S). Aksis QRS terletak dekat dengan lead yang
defleksinya paling besar tersebut.

Metode sektor dilakukan jika tidak ada lead yang ekuifasik, sumbu QRS
dapat juga dilaporkan dalam rentang nilai yang ada di dalam sektor. Pada metoda
ini sumbu QRS terletak di antara 2 lead dengan rentang kelipatan 30 derajat,
misalnya antara 0 dan +30, anatar +30 dan +60 dst.
Contoh cara penghitungan berdasarkan metode sektor:
1. Misalnya pada lead I positif (kuadran I dan IV), lead aVF positif (kuadran I dan
II), maka resultannya adlah kuadran I. Jadi sumbu QRS terletak pada
kuadran I (antara 0 sampai +90). Kuadran I dapat diperkecil lagi menjadi 3
sektor oleh lead aVR dan lead II menjadi sektor A (antara 0 dan +30), sektor
B (antara +30 dan +60) dan sektor C (antara +60 dan+90)
2. Tentukan apakah sumbu QRS di sektor A (anatar 0 dan +30) atau di sektor
B (antara +30 dan +60) dengan melihat lead III (lead yang tegak lurus

192
CHAPTER 12

dengan aVR). Jika jumlah aljabar R dan S di lead III negative, maka sumbu
QRS terletak di sektor A (antara) dan +30). Sebaliknya jika jumlah aljabar R
dan S di lead III positif maka sumbu QRS bisa di sektor B (antara +30 dan
+60) atau sektor C (antara +60 dan +90) dengan melihat lead aVL (lead yang
tegak lurus dengan lead II)
3. Lihat lead aVL, jika QRS di lead aVLpositif, maka aksis QRS terletak di sektor
B (antara +30 dan +60). Sebaliknya jika di lead aVL negative, maka aksis QRS
terletak di sektor C (antara +60 dan +90).

Gambar 7. Penentuan aksis jantung melihat lead I dan aVF


Dari perhitungan aksis QRS di atas dapat ditentukan posisi jantung sebagai
berikut:
Posisi RAD : aksis > 110
Vertikal : aksis +75 smpai +110
Semi vertical : aksis +45 sampai + 75
Intermediate : aksis +15 sampai +45
Semihorizontal : aksis 0 sampai +15
Horizontal : aksis -30 sampai 0
LAD : aksis < - 30

Aksis P berguna untuk menentukan irama jantung. Irama normal adalah


irama sinus, artinya sumber listrik hanya berasal dari nodus SA dan seluruh bagian
jantung berdenyut dibawah kendali nodus SA.
Aksis T berguna untuk menentukan strain atau tidak. Strain adalah
hipertropi dan dilatasi ventrikel. Dalam keadaan normal sudut antara QRS dan T

193
CHAPTER 12

kurang dari 90, dan aksis T ada dikuadran I. Disebut strain jika sudut QRS dan T
lebih dari 90 dan aksis T berada di luar kuadran I.

12.5.4. Gelombang P
Merupakan depolarisasi atrium. Arah vektor depolarisasi atrium ke kiri
bawah. Oleh karena itu gelombang P di sandapan I, II, avF, aVL dan V5, V6 terlihat
positif (karena impuls mendekati), sedangkan di aVR negatif (karena impuls
menjauhi). Di sandapan III walaupun di sandapan inferior namun lebih ke kanan
sehingga gelombang P terlihat bifasik. Demikian juga halnya dengan V1 yang
terletak di kanan jantung.
Bentuk gelombang P yang normal adalah bulat, tidak runcing atau
membentuk lekukan. Amplitudo gelombang P yang normal < 3 mm. Bila
amplitudo >3 mm disebut P pulmonal. P pulmonal menunjukkan hipertropi
atrium kanan. Durasi gelombang P yang normal 0,06 + 0,02 detik. Gelombang P
yang durasinya memanjang disebut P mitral. P mitral menunjukkan hipertropi
atrium kiri. Bila gelombang P dengan amplitudo tinggi dan durasi yang lebar
menunjukkan hipertropi atrium kiri dan kanan.

12.5.5. Interval PR
Diukur dari permulaan gelombang P sampai permulaan kompleks QRS.
Interval PR adalah interval paling pendek, yang merupakan waktu yang diperlukan
rangsang listrik jantung dari nodus SA, menyebar ke atrium sampai di nodus AV.
Durasi interval PR bervariasi tergantung pada usia dan frekuensi denyut jantung
(dapat dilihat pada Tabel 1).

194
CHAPTER 12

Tabel 1. Nilai normal interval PR menurut usia dan frekuensi jantung

12.5.6. Zona transisi


Zona transisi secara kasar menunjukkan letak septum ventrikel. Zona ini
ditentukan dengan mencari pada lead dada, yang mempunyai defleksi R dan S
yang sama (ekuifasik/ekuipotensial). Pada keadaan normal, biasanya zona ini
terletak di V2 atau V3. Bila tidak ada yang ekuifasik, zona ini terletak di antara 2 lead
peralihan dari positif ke negative atau sebaliknya. Pada hipertropi ventrikel kanan,
zona transisi bergeser searah jarum jam, dan pada hipertropi ventrikel kiri zona
transisi bergeser kea rah berlawanan jarum jam. Jika ditemukan zona transisi
(daerah yang ekuifasik) pada lebih dari satu lead disebut fenomena Katz-Wachtel.
Fenomena ini menunjukkan adanya hipertropi biventrikuler.

12.5.7. Kompleks QRS


Kompleks QRS merupakan manifestasi depolarisasi ventrikel. Tinggi
gelombang R atau S dihitung dari titik isoelektrik (segmen P-R) sampai puncak
gelombang R atau S. Biasanya gelombang R atau S dihitung pada lead V1 dan V6.
Pada hipertropi ventrikel kanan, gelombang R di V1 dan atau S di V6 lebih dari nilai
batas atas normal. Sebaliknya pada hipertropi ventrikel kiri, tinggi gelombang R di
V6 dan atau S di V1 lebih dari nilai batas atas normal.
Tidak semua kompleks QRS mempunyai gelombang Q. Demikian pula tidak
semua kompleks QRS mempunyai gelombang R dan S. Bilamana awal kompleks

195
CHAPTER 12

QRS merupakan defleksi negatif, maka gelombang itu dinamakan gelombang Q.


Bila kompleks QRS mempunyai defleksi positif maka disebut gelombang R. Bila
kompleks QRS mempunyai lebih dari satu defleksi negatif maka defleksi negatif
kedua dinamakan gelombang S. Defleksi positif kedua dinamakan gelombang R’.
Variasi kompleks QRS tampak pada Gambar 8.

Gambar 8. Variasi kompleks QRS.


Gelombang Q menandakan depolarisasi septum ventrikel, yang dalam
keadaan normal berlangsung dari kiri ke kanan atas. Terjadinya gelombang Q ini
akibat aktifasi septal. Gelombang Q dalamnya kurang dari 5 mm, biasanya hanya
sekitar 1 mm dan durasinya 0,02 detik. Gelombang Q dapat terlihat di I,II,III, aVF,V5
dan V6.
Tabel 2a. Amplitudo gelombang R dan S menurut usia
Voltase R berdasarkan tempat sandapan dan usia: rerata (dan batas atas
normal)

196
CHAPTER 12

Tabel 2b. Amplitudo gelombang R dan S menurut usia


Voltase S berdasarkan tempat sandapan dan usia: rerata (dan batas atas
normal)

Rasio R/S biasanya dihitung pada lead V1. Pada hipertropi ventrikel kanan,
rasio R/S di V1 tersebut lebih dari nilai batas atas normal, sedangkan pada
hipertropi ventrikel kiri rasio R/S di V1 kurang dari nilai minimal.
Kriteria RVH:
1. R di V1 lebih dari maksimal
2. S di V6 lebih dari maksimal
3. R/S di V1 lebih dari maksimal
4. T positif di V1 setelah hari ke -3

Kriteria LVH:
1. R di V6 lebih maksimal
2. S di V1 lebih dari maksimal
3. R/S di V1 kurang dari minimal
4. T terbalik di V5-V6
5. Q dalam di V5- V6

12.5.8. Interval QRS


Interval yang diukur dari permulaan gelombang Q (R bila Q tidak ada)
sampai akhir gelombang S. Biasanya dinilai pada lead V1 dan V6. Bilamana
penyebaran rangsang di ventrikel lambat maka terjadi pemanjangan intervall QRS
seperti pada gangguan hantaran intraventrikular. Nilai normal interval QRS dapat
dilihat pada tabel 4. Jika interval QRS antara 0,10 dan 0,12 detik disebut blok
inkomplit, dan jika lebih dari 0,12 detik disebut blok komplit.

197
CHAPTER 12

Tabel 3. Interval QRS normal menurut usia


Durasi QRS berdasarkan usia; rerata (batas atas normal)

12.5.9. Segmen ST
Adalah bagian rekaman EKG, mulai dari akhir kompleks QRS sampai awal
gelombang T. Bagian ini merupakan awal repolarisasi ventrikel. Biasanya
isoelektris (setinggi segmen PQ). Segmen ST bervariasi sampai + 1 mm di sandapan
ekstremitas dan sampai 2 mm di sandapan prekordial.

12.5.10. Gelombang T
Gelombang T menunjukkan repolarisasi ventrikel. Pada umumnya arah
defleksi gelombang T sama dengan arah defleksi terbesar gelombang QRS.
Amplitudo gelombang T paling baik dilihat di hantaran prekordial kiri. Amplitudo
gelombang T biasanya:

V5 < 1 th: 7 mm
> 1 th: 11 mm
V6 < 1 th: 5 mm
> 1 th: 7 mm

12.5.11. Interval QT
Interval ini diukur dari permulaan kompleks QRS sampai akhir gelombang
T. Interval QT terutama menunjukkan bahwa ventrikel yang baru saja terstimulasi
telah kembali kekeadaan semula (istirahat). Nilai normal interval QT sangat
dipengaruhi oleh laju jantung. Bila laju jantung meningkat, interval QT akan
memendek, sebaliknya bila laju jantung menurun, interval QT akan memanjang.
Oleh karena itu beberapa ahli melakukan koreksi terhadap laju jantung ( Bazett
formula):
𝑄𝑇
𝑄𝑇𝑐 =
√𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 𝑅𝑅

198
CHAPTER 12

Tabel 4. Interval QT berdasarkan laju jantung: rerata (batas atas normal)

12.5.12. Gelombang U
Gelombang U terlihat setelah gelombang T. Bentuk puncaknya membulat.
Arti gelombang U sampai saat ini tidak jelas, tetapi gelombang U yang menonjoll
dapat terlihat pada hipokalemia. Biasanya gelombang U searah dengan
gelombang T.

12.6. Kesimpulan
Membaca EKG pada anak dilakukan secara sistematis. Penilaian dilakukan
pada tiap gelombang, meliputi bentuk gelombang, amplitudo, durasi dan interval.
Nilai normal pada anak bervariasi menurut usia.

12.7. Daftar Pustaka


1. Park MK, Guntheroth WG. How to read pediatric ECGs. Edisi ke-7.
Philadelphia: Mosby;2021. h.31-49.
2. Thaler MS. The only EKG Book you’ll ever need. Edisi ke-2. Philadelphia: JB
lippincott company;1995. h. 9-58.
3. Garson A. Electrocardiography. Dalam: Garson A, Bricker JT, Fisher DJ,
Neish SR, Penyunting. The science and practice of pediatric cardiology.
Second edition. Baltimore: Williams&Wilkins; 1998. h.735-88.

199
SPECIAL WORKSHOP: KANGAROO MOTHERCARE
FOR LOW BIRTH WEIGHT & PRETERM INFANT
AND EARLY INITIATION OF BREASTFEEDING-A
DEMONSTRATION
Risa Etikaa, Nabila Putri Wardhanib
a
Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr Soetomo
b
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr Soetomo

13.1. Pendahuluan
Kangaroo Mother Care (KMC) atau Perawatan Metode Kanguru adalah cara
perawatan untuk bayi berat lahir rendah (BBLR) terutama dengan berat lahir
<2000 gram. KMC adalah kontak kulit ke kulit antara ibu dan bayinya dimulai
ditempat perawatan diteruskan dirumah, dikombinasi dengan pemberian ASI 1
WHO telah mendefinisikan KMC sebagai kontak kulit-ke-kulit (skin-to-skin
contact) dini, berkelanjutan, dan berkepanjangan antara ibu dan bayi prematur;
ASI eksklusif atau ASI; pulang lebih awal setelah KMC dimulai dari rumah sakit dan
dilanjutkan di rumah; serta dukungan dan tindak lanjut yang memadai bagi para
ibu di rumah2
Inisiasi Menyusui Dini (IMD) adalah inisiasi atau permulaan menyusui yang
terjadi pada satu jam pertama setelah bayi lahir3

13.1.1. Epidemiologi
Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia pada tahun 2017, angka
kematian neonatus (AKB) adalah sebanyak 15 bayi per 1000 kelahiran hidup, angka
kematian bayi (AKB) adalah sebanyak 24 bayi 1000 kelahiran hidup, Angka
kematian balita (AKBA) 32 anak per 1000 kelahiran hidup. Tren angka kematian
neonatus, bayi, dan balita, turun jika dibandingkan dengan survei nasional pada
tahun 2012.4,5 Meskipun tren kematian neonatus, bayi, dan balita sudah menurun,
namun angka tersebut masih berada di atas standar angka kematian bayi yang
disepakati.
AKB merupakan salah satu indikator derajat kesehatan dalam Sustainable
Development Goal (SDGs) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019. Goal SDGs ke tiga yaitu Good Health and Well-being
menjelaskan bahwa salah satu dampak yang diharapkan yaitu dituntaskannya
kematian bayi yang dapat dicegah, yang ditargetkan pada tahun 2030. Semua
negara diharapkan berpartisipasi untuk menekan angka kematian bayi menjadi
12/1.000 kelahiran hidup.6

200
CHAPTER 13

Dua pertiga kematian neonatus terjadi di Asia dengan penyumbang terbanyak


berasal dari Pakistan. Pakistan menyumbang 7% dari kematian neonatus global.
Penyebab terbanyak kematian neonatus adalah infeksi (36%), kelahiran prematur
(28%), dan asfiksia (23%).7

Gambar 1. Tren AKN, AKB, dan AKBA selama periode survei 5 tahunan4

13.1.2. Faktor Risiko


Penelitian yang dilakukan di Nusa Tenggara Timur menunjukkan faktor risiko
yang berperan dalam kematian neonatus adalah sebagai berikut:8

1. Komplikasi pada saat kelahiran


2. Gangguan kesehatan neonatus yang membutuhkan penanganan tenaga
kesehatan
3. Kurangnya pengetahuan orang tua terhadap tanda bahaya neonatus
4. Skor APGAR rendah
5. Komplikasi kehamilan saat ini
6. Riwayat komplikasi kehamilan sebelumnya
7. Persalinan yang dilakukan di rumah
8. Tidak melakukan KMC (Kangaroo Mother Care)
9. Tidak melakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD)
10. Kehamilan risiko tinggi
11. Usia ibu saat hamil.

13.1.3. Fisiologi Laktasi


Terdapat dua hormon utama yang berperan dalam proses menyusui, yaitu9:

1. Prolaktin
Prolaktin disekresi oleh hipofisis anterior. Prolaktin berperan penting
dalam sekresi ASI di alveoli. Kadar prolaktin meningkat pesat selama

201
CHAPTER 13

kehamilan dan menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan jaringan


payudara, namun pada saat ini sekresi ASI tidak terjadi sebab kadar
estrogen dan progestron menginhibisi aksi dari hormon prolaktin.
Saat bayi menghisap puting (suckling), kadar prolaktin di darah
meningkat, dan menstimulasi produksi ASI oleh sel alveoli. Kadar prolaktin
lebih tinggi pada malam hari. Suckling mempengaruhi pengeluaran
hormone GnRH, FSH, dan LH yang kemudian berperan dalam pencegahan
ovulasi dan menstruasi.

Gambar 2. Fisiologi hormon prolaktin9


2. Oksitosin
Oksitosin disekresi oleh hipofisis posterior. Oksitosin berperan untuk
menstimulasi kontraksi sel mioepitel di sekitar alveoli, sehingga ASI yang
sudah terkumpul di alveoli dapat mengalir dan mengisi duktus. Refleks
oksitosin disebut juga dengan “letdown reflex” atau “milk ejection reflex”.
Selain itu oksitosin juga berperan dalam kontraksi uterus, yang dapat
membantu untuk mengurangi perdarahan pasca persalinan. Oksitosin juga
memiliki efek psikologis. Pada manusia oksitosin dapat memberikan
ketenangan dan mengurangi stress. Selain itu oksitosin juga berperan
dalam bonding antara ibu dan anak

202
CHAPTER 13

Gambar 3. Fisiologi hormon oksitosin9

13.2. Kangaroo Mother Care


13.2.1. Komponen Kangaroo Mother Care10
1. Posisi: skin-to-skin contact dini dan terus menerus antara ibu dan bayi
2. Nutrisi: menyusui secara eksklusif
3. Early Discharge: Ibu diharapkan dapat pulang dari Rumah Sakit lebih awal
dan dapat meneruskan KMC di rumah.
4. Support: dukungan tenaga kesehatan untuk ibu memberikan perawatan di
RS, dukungan keluarga untuk ibu melakukan KMC di rumah, serta follow-
up dan monitoring rutin.

13.2.2. Klasifikasi11
1. KMC Intermiten→ 2x perhari, >2 jam/kali
2. KMC Kontinyu→ 24 jam skin-to-skin contact, hanya pada bayi stabil dengan
support alat

13.2.3. Manfaat KMC11


A. Manfaat Bagi Bayi:
1. Stabilitas suhu, denyut jantung, dan pola nafas
2. ASI eksklusif
3. Mengurangi infeksi
4. Waktu tidur lebih lama
5. Mengurangi kebutuhan kalori
6. Berat badan lebih cepat meningkat
7. Perkembangan otak optimal
8. Mengurangi tangisan
B. Manfaat Bagi Ibu:

203
CHAPTER 13

1. Sebagai sarana bonding antara ibu dan anak


2. Meningkatkan kepercayaan diri ibu dalam merawat bayi
3. Keberhasilan menyusui
C. Manfaat Bagi Ayah
1. Sebagai sarana bonding antara ayah dan anak
2. Peran ayah pada perawatan bayinya,
D. Manfaat Bagi RS
1. Kebutuhan staf, alat, dan ruangan lebih minimal
2. Bayi lebih cepat pulang
3. Hemat/murah
E. Manfaat Bagi Pemerintah:
1. Menghemat anggaran
2. Menurunkan morbiditas dan mortalitas

Decrease
infection
(43%)

Growth
Decrease
Decrease
mortality 40% Bonding Hypothermi
(77%)
Hospital LoS

Increase
exclusife
breasfeeding

Gambar 4. Manfaat dari Kangaroo Mother Care12


Berdasarkan beberapa penelitian, manfaat dari KMC yaitu:

1. Menurunkan tingkat infeksi,12


2. Menurunkan risiko hipotermia,12
3. Menurunkan mortalitas, 12
4. Meningkatkan kecenderungan ibu untuk menyusui secara eksklusif, 12
5. Sarana bonding antara ibu dan anak, 12
6. Pertumbuhan lebih baik, 12
7. Menurunkan length of stay bayi di rumah sakit 12
8. Detak jantung yang lebih stabil, 13
9. Pola nafas yang lebih reguler, 13

204
CHAPTER 13

10. Memperbaiki tingkat saturasi oksigen,14


11. Temperatur lebih stabil14
12. Periode tidur bayi lebih panjang15
13. Pengeluaran kalori bayi lebih sedikit15
14. Peningkatan berat badan lebih cepat16
15. Perkembangan otak lebih cepat17
16. Bayi lebih sedikit menengis18
17. Episode menyusui lebih sukses19
18. Durasi menyusui lebih lama20
19. Lebih cepat pulang dari RS21
20. Mencegah hipoglikemia pada bayi22

13.2.4. Waktu Untuk Memulai KMC10


1. Bayi dengan berat lahir 1800 gram atau lebih (dengan masa kehamilan 30-
34 minggu atau lebih) dapat mengalami masalah terkait prematuritas,
seperti respiratory distress syndrome (RDS), namun pada umumnya KMC
dapat dimulai segera setelah bayi lahir
2. Bayi dengan berat lahir 1200-1799 gram (dengan usia gestasional 28-32
minggu), masalah terkait prematuritas seperti RDS lebih sering terjadi. Pada
kasus seperti ini, kelahiran harus dilakukan di sarana dengan fasilitas yang
memadai. Skin-to-skin contact merupakan metode transportasi yang baik
dalam kasus ini. KMC biasanya dapat dimulai setelah 1 minggu atau lebih.
3. Bayi dengan berat lahir kurang dari 1200 gram (usia gestasional dibawah 30
minggu), masalah terkait prematuritas berat sering kali terjadi. Pada kasus
ini, KMC baru dapat diinisiasi setelah beberapa minggu.
A. Kriteria Ibu

Semua ibu pada dasarnya dapat memberikan KMC, terlepas dari usia,
paritas, pendidikan, budaya, dan agama. KMC mungkin dapat bermanfaat
secara khusus pada ibu usia remaja atau ibu dengan faktor risiko sosial. Berikut
adalah poin yang harus dipertimbangkan saat penyuluhan mengenai KMC: 10

1. Kesediaan (willingness): ibu harus bersedia memberikan KMC;


2. Ketersediaan penuh untuk memberikan perawatan (full time availability to
provide care): anggota keluarga lain dapat menawarkan kontak kulit-ke-
kulit secara intermiten tetapi mereka tidak bisa menyusui;

205
CHAPTER 13

3. Kesehatan umum (general health): jika ibu mengalami komplikasi selama


kehamilan atau persalinan atau sakit, ibu harus pulih sebelum memulai
KMC;
4. Dekat dengan bayi (being close to the baby): Ibu harus bisa tinggal di rumah
sakit sampai keluar atau kembali saat bayinya siap untuk KMC;
5. Dukungan keluarga (supportive family): Ibu akan membutuhkan dukungan
untuk menangani tanggung jawab lain di rumah;
6. Dukungan komunitas (supportive community): ini sangat penting ketika
ada kendala sosial, ekonomi atau keluarga.
B. Kriteria Bayi

Hampir semua bayi kecil dapat dirawat dengan metode KMC. Bayi dengan
penyakit berat atau memerlukan perawatan spesial harus menunggu hingga
masa penyembuhan sebelum memulai KMC kontinyu. KMC kontinyu hanya
dapat diberikan pada kondisi bayi yang stabil dan dapat bernafas spontan
tanpa bantuan alat maupun support oksigen. Kemampuan untuk makan
bukanlah merupakan prasyarat bagi bayi, KMC dapat dimulai selama tube-
feeding.10

13.2.5. Persiapan KMC10


1. Setting: KMC dapat dilakukan pada berbagai macam fasilitas kesehatan
dengan tingkat perawatan yang berbeda. Namun pada umumnya tempat
pelaksanaan KMC adalah pada tempat pelayanan maternitas (berisi bidan
terlatih, namun minim fasilitas khusus) dan rumah sakit rujukan (dengan
tenaga terlatih seperti perawat dan bidan terlatih, dokter spesialis anak dan
kandungan, atau paling tidak dokter umum terlatih).
2. Kebijakan/Protokol
3. Staffing: staf dilatih mengenai kapan dan cara menginisiasi KMC, cara
memposisikan bayi, cara memberikan nutrisi pada BBLR dan bayi prematur,
cara menyusui ASI, metode pemberian nutrisi alternatif, cara melibatkan ibu
pada segala aspek perawatan bayi termasuk cara memonitor tanda vital
dan mengetahui tanda bahaya, mengambil tindakan yang sesuai saat ada
masalah, menentukan kepulangan, dan memiliki kemampuan untuk
mendorong dan mendukung ibu dan keluarga.
4. Ibu: edukasi ibu mengenai kelebihan dan kekurangan berbagai metode
perawatan. Edukasikan mengenai keuntungan KMC serta kekurangannya

206
CHAPTER 13

(Ibu diharuskan tinggal lebih lama di rumah sakit, melanjutkan metode


yang sama di rumah, dan datang untuk control secara rutin).
5. Fasilitas, peralatan dan bahan:
1. Ruangan yang memadai, hangat (22-24oC)
2. Pakaian ibu: tidak ada ketentuan khusus namun pastikan pakaian tidak
ketat.
3. Kain pengikat: kain yang lembut, sekitar 1 meter kuadrat, dilipat secara
diagonal menjadi 2 dan diikat di bagian ketiak. Baju khusus atau carrying
pouches seperti gambar. dibawah ini juga dapat digunakan apabila
tersedia.

Gambar 5. Carrying pouches sebagai kain pengikat10


4. Pakaian bayi: apabila suhu ruangan 22-24oC, bayi tidak perlu
menggunakan pakaian selain popok, topi, dan kaus kaki (Gambar 5. Kiri).
Namun apabila suhu dibawah 22OC, bayi harus menggunakan pakaian
katun yang tidak berlengan, dengan bagian dada yang tetap terbuka
supaya skin-to-skin contact tetap terjadi (Gambar 5. Kanan).

Gambar 6. Panduan pakain bayi saat melakukan skin-to-skin contact10

207
CHAPTER 13

5. Peralatan lainnya: termometer, timbangan, alat resusitasi, obat-obatan


khusus untuk masalah bayi premature.

13.3. Pelaksanaan Kangaroo Mother Care (KMC)10


13.3.1. Inisiasi KMC
1. Tentukan waktu yang tepat dan nyaman bagi Ibu dan bayi
2. Minta ibu untuk menggunakan pakaian yang ringan dan longgar.
3. Gunakan tempat yang privat dan hangat.
4. Dorong ibu untuk mengikutsertakan pasangan atau pendamping
pilihannya jika ibu berkehendak.

13.3.2. Posisi Kanguru


1. Posisikan bayi diantara payudara, tegak, dada bayi menempel ke dada ibu

Gambar 7. Cara memposisikan bayi10

2. Amankan posisi bayi dengan kain panjang/baju kanguru


3. Kepala bayi dipalingkan ke salah satu sisi dengan sedikit tengadah
(ekstensi), pastikan jalan nafas bayi terjamin tetap terbuka (Gambar. 6).
Posisi ekstensi dapat mempertahankan jalan nafas tetap terbuka dan
memungkinkan kontak mata antara ibu dan anak.
4. Posisikan pangkal paha dan lutut bayi fleksi (seperti katak). Tangan bayi
dalam posisi fleksi (posisi fetus) (Gambar. 6)
5. Ikatkan kain cukup kencang supaya saat ibu berdiri, bayi tidak bergeser.
Pastikan bagian yang kencang berada di dada bayi. Kemudian kancingkan
kembali pakaian ibu (Gambar. 7)
6. Pastikan bagian perut bayi tidak tertekan dan terletak di epigastrium ibu

208
CHAPTER 13

Gambar 8. Posisi kangguru10

Gambar 9. Cara Menggunakan Selendang 11


Tugas dokter dan perawat adalah untuk mengawasi posisi bayi dan tanda
vital tiap 3 jam dan setelah pemberian minum. Durasi KMC minimal 2 jam 11

13.3.3. Durasi KMC


Skin-to-skin contact dimulai secara bertahap, dengan transisi yang baik dari
perawatan konvensional ke KMC berkelanjutan. Setiap sesi dianjurkan paling tidak
berdurasi lebih dari 60 menit karena perubahan yang sering terlalu sering
membuat bayi stres. Lamanya kontak kulit-ke-kulit dapat secara bertahap
ditingkatkan menjadi terus menerus (kontinyu), siang dan malam, berhenti hanya
untuk mengganti popok, terutama jika tidak ada alat pengatur suhu atau
penghangat lain yang tersedia.10

209
CHAPTER 13

Ketika ibu perlu menjauh dari bayinya, bayi dapat dibungkus dengan kain dan
ditempatkan dengan baik di ranjang yang hangat, jauh dari angin, ditutupi
selimut hangat, atau diletakkan di bawah alat penghangat yang sesuai, jika
tersedia. Selama istirahat tersebut anggota keluarga (ayah atau pasangan, nenek,
dll.), Atau teman dekat, juga dapat membantu merawat bayi dalam posisi
kanguru.10
Ketika ibu dan bayi merasa nyaman, kontak kulit-ke-kulit dapat dilanjutkan
selama mungkin. Hal ini dapat bertahan hingga bayi mencapai usia cukup bulan
(usia kehamilan sekitar 40 minggu) atau saat berat bayi mencapai 2500 gram.
Pada saat itu, kebutuhan bayi akan KMC juga meningkat. Pada saat ini sebaiknya
ibu mulai diedukasi untuk menyapih bayi secara bertahap dari KMC. Menyusui
dapat terus berlanjut. Ibu dapat kembali melakukan KMC atau skin-to-skin contact
sesekali, setelah memandikan bayi, pada saat malam hari yang dingin, atau saat
bayi membutuhkan kenyamanan.10

Gambar 10. Ayah juga dapat melakukan skin-to-skin contact10

13.3.4. Merawat Bayi pada Posisi Kanguru


1. Tidur dan berbaring
Ibu dapat tidur bersama bayi dengan posisi kanguru dengan cara
posisi berbaring kurang lebih 15 derajat dengan bantuan beberapa bantal.
Posisi ini dapat membantu untuk menurunkan resiko henti nafas pada
bayi23

210
CHAPTER 13

Gambar 11. Skin-to-skin contact pada posisi berbaring10

2. Menyusui
Posisi kanguru merupakan posisi yang ideal untuk menyusui. Berikut
adalah tatacara memposisikan bayi untuk menyusui

1. Pastikan kepala dan badan bayi lurus,


2. Arahkan wajah bayi ke payudara ibu, hidung bayi berlawanan dengan
puting,
3. Dekatkan badan bayi ke tubuh ibu,
4. Sangga seluruh badan bayi.

Gambar 12. Posisi menyusui selama KMC10

13.4. Indikasi Bayi Dipulangkan10


1. Keadaan umum bayi baik, tanda vital stabil dan berat badan naik paling
tidak 15g/kg/hari (20 gram/kgBB/hari) minimal 3 hari berturut-turut
2. Berat badan bayi >1800 gram

211
CHAPTER 13

3. Temperatur bayi stabil pada posisi kanguru (selama minimal 3 hari berturut-
turut)
4. Ibu mampu dan percaya diri melakukan KMC, dan dapat datang secara
rutin untuk follow-up
5. Ibu mampu menyusui bayinya secara eksklusif, secara mandiri, bayi dapat
minum dengan baik, dan
6. Dukungan dari keluarga untuk menjalankan KMC di rumah

13.5. Sepuluh Langkah Keberhasilan KMC24


1. Memiliki kebijakan Perawatan Metode Kangguru yang secara rutin
dikomunikasikan pada staf
2. Melatih keterampilan semua staf kesehatan yang diperlukan untuk
melaksanakan kebijakan
3. Memberitahu semua ibu hamil tentang manfaat dan pengelolaan
Perawatan Metode Kangguru
4. Bantu ibu dari bayi yang lahir tepat waktu untuk menginisasi perawatan
kangguru dalam beberapa menit setelah kelahiran; bayi cesar sebaiknya
secepatnya dalam waktu 1 jam setelah kelahiran; bayi kurang bulan atau
bayi sakit dapat ditoleransi – pantau untuk memastikan toleransi fisiologis
dan perilaku
5. Tunjukkan pada ibu cara memposisikan perawatan kangguru (kepala bayi
di antara payudara, tidak tertekuk atau terlalu diregangkan, kontak kulit,
bayi tidak dapat jatuh atau keluar dari posisi perawatan kangguru)
6. Mempraktekan perawatan kangguru 24 jam sehari, 7 hari/minggu
7. Memberikan bayi baru lahir dan bayi setidaknya 1 jam per sesi jika tidak
terus menerus 24/7
8. Perawatan kangguru mendukung semua kebutuhan kehangatan dan
kenyamanan bayi
9. Berikan insulasi termal yang cukup (tutup kepala, selimut yang hangat jika
dibutuhkan)
10. Dukung perawatan kangguru melalui poster, rekaman perawatan
kangguru, dukungan kelompok setelah meninggalkan rumah sakit

13.6. Sepuluh Langkah Skin-to-skin Contact Pada 1 Jam


Pertama kelahiran25
1. Pastikan ibu pada posisi yang nyaman (setengah bersandar)

212
CHAPTER 13

2. Setelah bayi lahir dikeringkan, angkat bayi secara lembut, kemudian


posisikan telungkup dengan kepala bayi pada dada ibu diatas payudara
3. Tutup bayi dengan kain atau selimut, pastikan wajah tidak tertutup
4. Pastikan hidung dan mulut tidak terhalang payudara Ibu atau selimut,
posisikan kepala bayi ke salah satu sisi
5. Berikan kesempatan bayi untuk menggunakan refleksnya untuk
mengangkat kepala agar hidung dan mulutnya bisa leluasa
6. Puting Ibu harus dapat dijangkau oleh bayi yang baru lahir.
7. Tunjukkan kepada orang tua bagaimana cara menopang payudara untuk
mengamankan jalan nafas bayi bebas terutama pada saat bayi mulai
mencari payudara.
8. Ingatkan orang tua untuk fokus pada bayi baru lahir dan ikuti perilaku bayi
pastikan orang tua mengikuti 9 tahapan tersebut.
9. Perhatian lebih diperlukan pada Ibu yang diberikan obat sedasi setelah
melahirkan serta selama penjahitan pascapartum.
10. Obat-obatan persalinan dapat mempengaruhi bayi dan dapat
menghambat refleks di atas. Bayi-bayi dengan Ibu yang mendapat obat-
obatan tersebut harus dipantau terus-menerus.

13.7. Take-home Messages Oleh Dr. Risa Etika, dr., Sp.A(K)


• The First Golden Hours: Resusitasi Neonatus, STABLE (Sugar, Temperature,
Airway, Blood pressure, Lab. Work & Emotional support)
• Metode Tepat Guna (Breastfeeding and KMC) dapat menurunkan
mortalitas sebesar 22%
• Aware Infection control dan Universal Precaution

13.8. Daftar Singkatan


AKB : Angka Kematian Bayi
AKBA : Angka Kematian Balita
AKN : Angka Kematian Neonatus
ASI : Air Susu Ibu
IMD : Inisiasi Menyusu Dini
KMC : Kangaroo Mother Care
WHO : World Health Organization

213
CHAPTER 13

13.9. Daftar Pustaka


1. Depkes RI. Manajemen masalah pada bayi baru lahir untuk dokter, bidan,
dan perawat di Rumah Sakit, 2004.
2. Practical Guide KMC. World Health Organization [Internet]. 2003. Available
from: https://www.who.int/publications/i/item/9241590351
3. WHO/UNICEF. Global strategy on infant and young child feeding [Internet].
WHO; 2003. Available from:
https://www.who.int/nutrition/publications/infantfeeding/9241562218/en/
4. Kemenkes RI. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia [Internet]. 2012.
Available from: http://kesga.kemkes.go.id /imagespedoman/SDKI%202012-
Indonesia.pdf.
5. Kemenkes RI. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia [Internet]. 2017.
Available from: https://e- koren.bkkbn.go.id/wp-
content/uploads/2018/10/Laporan- SDKI-2017WUS.pdf.
6. United Nations. Sustainable Development Goals [Internet]. Available from:
https://sdgs.un.org.
7. World Health Organization. World health report 2005: Make every mother
and child count. 2005.
8. Abdullah A, Hort K, Butu Y, Simpson L. Risk factors associated with
neonatal deaths: a matched case–control study in Indonesia. Global Health
Action [Internet]. 2016;6. Available from:
http://dx.doi.org/10.3402/gha.v9.30445
9. World Health Organization. The physiological basis of breastfeeding. In:
Infant and Young Child Feeding: Model Chapter for Textbooks for Medical
Students and Allied Health Professionals [Internet]. Geneva: World Health
Organization; 2009. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK148970/#session2.r2
10. World Health Organization Department of Reproductive Health and
Research. Kangaroo Mother Care: a practical guide [Internet]. Genève,
Switzerland: World Health Organization; 2003. Available from:
https://www.who.int/publications/i/item/9241590351
11. Etika R. Kangaroo Mother Care for Low Birth Weight & Preterm Infant and
Early Initiation of Breastfeeding – A Demonstration. 2021.
12. Conde‐Agudelo A, Diaz-Rosello J. Kangaroo mother care to reduce
morbidity and mortality in low birthweight infants. Cochrane Database of
Systematic Review. 2016;(8).
13. Ludington – Hoe SM, Swinth JV, Thimpson C, Hadeed AJ. Randomized
controlled trial of kangaroo care: cardiorespiratory and thermal effects on
healthy preterm infants. Neonatal Netw. 2004;23:39-48
14. Acolet D, Sleath K, Whitelaw A. Oxygenation, heart rate, and temperature
in very low birthweight infant during skin-to-skin contact with their
mothers. Acta Pediatr Scand. 1989;78:189-193.
15. Ludington-Hoe SM, Kasper CE.A physiologic method of monitoring
preterm infants during kangaroo care. J Nurs Manag. 1995;3:13-29
16. Charpak N, Ruiz-Pelaez JG, Figueroa de CZ, charpak Y. A randomized,
controlled trial of kangaroo mother care: result of a follow-up at one year
of corrected age. Pediatrics.2001;108:1072-1079
17. Feldman R, Eidelman A, Sirota L, Weller A. Comparison of skin-to-skin
Kangaroo and traditional care: parenting outcomes and preterm infant
development. Pediatrics.2002;110:16-26

214
CHAPTER 13

18. Ludington-Hoe SM, Cong X, Hashemi F. Infant crying: nature, physiologic


consequences, and select intervention. Neonatal Netw. 2002;21:29-36
19. Whitelaw A, Heisterkanp G, Sleath K, et. al. Skin-to-skin contact for very low
birthweight infants and their mothers. Arch Dis Child. 1988;63:1377-1381.
20. Hurst NM, Valentine CJ, Renfro L, et al. skin-to-skin holding in the neonatal
intensive care unit influences maternal milk volume. J Perinatol 1997;17:213-
217.
21. Charpak N, Ruiz-Pelaez JG, Figueroa de CZ, charpak Y. A randomized,
controlled trial of kangaroo mother care: result of a follow-up at one year of
correcred age. Pediatrics. 2001;108:1072-79.
22. Suman RP, Udani R, Nanavati R. Kangaroo mother care for low birth weight
infants: a randomized controlled trial. Indian Pediatr. 2008 Jan;45(1):17-23.
PMID: 18250500.
23. Jenni OG, et al. Effect of nursing in the head elevated tilt position (15
degrees) on the incidence of bradycardic and hypoxemic episodes in
preterm infants. Pediatrics, 1997, 100:622-625.
24. Ludington-Hoe SM, Susan M. A Clinical Guideline for Implementation of
Kangaroo Care With Premature Infants of 30 or More Weeks’
Postmenstrual Age. Advances in Neonatal Care. 2008;8.
25. Widström AM, Brimdyr K, Svensson K, Cadwell K, Nissen E. Skin-to-skin
contact the first hour after birth, underlying implications and clinical
practice. Acta Paediatr. 2019;108(7):1192-1204. doi:10.1111/apa.147

215

Anda mungkin juga menyukai