Anda di halaman 1dari 158

PERHIMPUNAN DOKTER INTENSIVE CARE INDONESIA

(Indonesia Society of Intensive care Medicine)


Komplek Fakultas Kedokterana Universitas Indonesia (FKUI)
Gedung Makmal Lt.2
Jl. Salemba Raya No. 6, Jakarta 10320, Indonesia
Telp: (021) 68599155, 31909033 Fax. (021) 31909033
Email : info@perdici.org, infoperdici@yahoo.co.id
Website :www.perdici.org
PENATALAKSANAAN INFEKSI PADA
PENDERITA PENYAKIT KRITIS

PERHIMPUNAN DOKTER INTENSIVE CARE INDONESIA


(PERDICI)
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh
isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis.

Diterbitkan pertama kali oleh :


Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia (PERDICI)
Jakarta, 2013

ISBN 978-602-17737-1-0

ii 
KATA PENGANTAR 

Puji syukur kepada Tuhan yang maha kuasa, akhirnya team penyusun dapat
menyelesaikan buku ini dengan judul “Penatalaksanaan Infeksi Pada
Penderita Penyakit Kritis”.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pengetahuan serta penanganan sepsis sejak 15
tahun terakhir ini semakin baik tetapi hingga saat ini masih merupakan
penyebab utama kematian pada penyakit kritis dengan angka mortalitas diantara
30-50% bahkan dilaporkan bahwa angka kematian pertahun sepsis lebih tinggi
dibanding kasus infark miokard akut. Untuk mengatasi ini diperlukan keseriusan
bersama karena penatalaksanaan sepsis memerlukan pendekatan multidisiplin
dan multispesialis. Hampir sejak 10 tahun lalu Surviving Sepsis Campaigne
mengeluarkan suatu pedoman yaitu sepsis bundle dan dilaporkan compliance
sepsis bundle semakin meningkat seiring dengan penurunan angka mortalitas
yang cukup bermakna
Motivasi penulisan buku ini selain masih sedikitnya literatur tentang tatalaksana
infeksi pada penderita kritis tetapi yang lebih penting buku ini diharapkan dapat
membantu agar penatalasanaan infeksi dan sepsis menjadi lebih baik. Adapun isi
buku ini mengenai topik-topik yang dibahas dalam workshop rutin Perhimpunan
Dokter Intensive Care Indonesia (PERDICI) yaitu selain sepsis bundle juga
membahas tentang aspek diagnostik serta pencegahan infeksi dan tatalaksana
infeksi yang sering sebagai penyebab sepsis berat/syok septik sehingga buku ini
dapat digunakan untuk mahasiswa kedokteran, dokter puskesmas maupun dokter
praktisi dalam praktek sehari-hari berhubungan dengan penyakit infeksi.
Melalui kesempatan ini team penyusun mengucapkan banyak terima kasih
kepada dr. Oloan E. Tampubolon, SpAn KIC, KNA, MHKes sebagai Ketua
PERDICI yang terus memotivasi untuk menyelesaikan penyusunan buku ini,
team reviewer PERDICI (dr. Bambang Wahyuprajitno, SpAn KIC, Prof, dr.
Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC, DR. dr Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, MKes,
dr. Rupi’i, SpAn KIC dan dr. Oloan E. Tampubolon, SpAn KIC, KNA,
MHKes) yang mengoreksi isi buku, Ade Sariah dan ibu Ika Setiawati yang
mengetik serta mengedit buku ini
Akhir kata segala kritik, saran, dan masukan demi perbaikan buku ini dengan
senang hati kami tunggu
Semoga buku ini bermanfaat
Team Penyusun,
Frans JV Pangalila

iii 
KATA PENGANTAR 
KETUA PERHIMPUNAN DOKTER INTENSIVE CARE 
INDONESIA 
(PERDICI) 

P uji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kemudahan sehingga kami dapat menerbitkan buku Penatalaksanaan
Infeksi Pada Penderita Penyakit Kritis.
Buku yang ditulis oleh dr. Frans J. V. Pangalila, SpPD KIC bersama
dengan timnya adalah buku materi tentang tatalaksana infeksi pada penderita
penyakit kritis yang dapat digunakan oleh para dokter.
Kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun dari Perhimpunan
Dokter Intensive Care Indonesia (PERDICI) yang terdiri dari: Frans
Pangalila, Anis Karuniawati, Rovina Ruslami, Tonny Loho, Pratista Hendarjana,
Tatang Eka Rahayu, Achsanuddin Hanafie, Samsirun Halim yang telah
meluangkan waktu untuk membuat buku Penatalaksanaan Infeksi Pada
Penderita Penyakit Kritis tersebut.
Kami menyadari bahwa buku ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan buku ini pada edisi selanjutnya.
Semoga buku ini dapat memperkaya pengetahuan kita, khususnya
para dokter yang mengalami kesulitan dalam menangani penyakit infeksi.

Jakarta, Agustus 2013


Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia

Dr. Oloan E.Tampubolon SpAn KIC, KNA, MHKes


Ketua Umum

iv 
DAFTAR PENULIS 

Prof. Dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC


Departemen / SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Univaersitas Sumatera Utara/RSUP. H. Adam Malik
Medan – Sumatera Utara

Dr. Anis Karuniawati, SpMK


Departemen Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN. Cipto Mangunkusumo
Jakarta

Dr. Frans J.V. Pangalila, SpPD KIC


ICU RS Royal Taruma
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Jakarta

Dr. Pratista Hendarjana, SpAn KIC


Departemen Anestesiologi dan Intensive care
RS. Mitra Keluarga
Bekasi Timur

Dr. Rovina Ruslami, SpPD, PhD


Departemen Farmakologi & Terapi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS. Hasan Sadikin
Bandung – Jawa Barat

Dr. Samsirun Halim, SpPD KIC


ICU RSD. Raden Mattaher
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi
Jambi

Dr. Tatang Eka Rahayu, SpB KBD KIC


IGD / ICU RS. Hasan Sadikin
Bandung – Jawa Barat

Dr. Tonny Loho, DMM, SpPK (K)


Divisi Penyakit Infeksi,
Departemen Patologi Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN. Cipto Mangunkusumo
Jakarta


TIM REVIEWER 

Dr. Oloan E. Tampubolon, SpAn KIC, KNA, MHKes


ICU Siloam Hospital Lippo Village
Karawaci - Tangerang

Prof. Dr. Achsanuddin Hanafie, SpAn KIC


Departemen / SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Univaersitas Sumatera Utara
/ RSUP. H. Adam Malik
Medan – Sumatera Utara

Dr. Bambang Wahyuprajitno, SpAn KIC


Departemen Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

DR. dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, MKes


Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RS. Hasan Sadikin
Bandung – Jawa Barat

Dr. Rupi’i, SpAn KIC


ICU – HCU RS. Panti Wilasa Citarum
Semarang- Jawa Tengah

vi 
DAFTAR ISI 

Kata pengantar team penyusun .............................................................. iii


Kata pengantar ketua Perdici ............................................................... iv
Daftar penulis ....................................................................................... v
Team reviewer ....................................................................................... vi
Daftar Isi ............................................................................................... vii

Patofisiologi: sepsis-syok septik ............................................................ 1


Frans Pangalila

Pengantar dasar mikrobiologi ............................................................... 15


Anis Karuniawati

Biomarker infeksi-sepsis ...................................................................... 30


Frans Pangalila

Prinsip penggunaan antimikroba pada penyakit kritis ........................... 47


Rovina Ruslami

Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial ................................ 56


Tonny Loho

Bundel resusitasi sepsis berat dan rekomendasi terapi sepsis 2012 ...... 66
Pratista Hendarjana

Pneumonia ........................................................................................... 81
Pratista Hendarjana

Infeksi Intra abdominal ....................................................................... 110


Tatang Eka dan Frans Pangalila

Catheter-related associated bloodstrem infection ............................... 122


Achsanuddin Hanafie

Infeksi jamur pada pasien sakit kritis .................................................... 140


Samsirun Halim

vii 
PATOFISIOLOGI: SEPSIS–SYOK SEPTIK 
Frans JV Pangalila

PENDAHULUAN

W alaupun perkembangan pengetahuan tentang sepsis semakin baik tetapi


hingga saat ini masih sebagai penyebab utama kematian di ruang
gawat intensif (ICU). Dilaporkan angka kematian di Eropa 150.000 pertahun
sedangkan Amerika lebih dari 200.000 pertahun. Dari banyak publikasi, infeksi
paru masih menempati urutan pertama sebagai penyebab sepsis diikuti secara
berurut bakteremia terkait kateter, infeksi abdomen, infeksi saluran kencing dan
infeksi kulit/jaringan lunak. Akhir-akhir ini dilaporkan pula terjadi pergeseran
pola penyebab sepsis dimana kuman Gram positif semakin meningkat dibanding
Gram negatif, demikian pula infeksi akibat jamur (Candida) semakin
menonjol.3,9 Alberti dkk (2003) melakukan pengamatan selama setahun dengan
melibatkan 28 ICU ternyata dari 14.364 penderita infeksi dalam perjalanan
berkembang menjadi Sepsis (28%), Sepsis berat (24%) dan Syok Septik
(30%) maka dapat disimpulkan bahwa penanganan yang tepat sejak dini
haruslah dilakukan untuk setiap kasus infeksi.(2)


Tabel 1. RISCC score: untuk prediksi akan kemungkinan terjadinya sepsis berat atau
syok septik2

VARIABLE NO. OF POINTS


Bilirubin > 30 Mol/L 3
Heart rate > 120/min. 3
Serum sodium > 145 mMol/L 4
Platelets count < 150 x 109/L 4
Systolic blood pressure < 110 mmHg 4
Temperature > 38.2oC 5
Mechanical ventilation 6.5
Pneumonia 4
Peritonitis 4
Gram-positive cocci 2.5
Aerobic Gram-negative bacilli 3
Primary bacteremia 6
The score ranges from 0 to 50. Patients can be stratified in 4 classes of risk for worsening
within the next 14 days:
- Low risk (score 0-8, median risk 8%):
- Intermediate (score 8.1-16; median risk 15%);
- High (score 16.1-24; median risk 28%);
- And very high risk (score >24: median risk 50%)

INTERAKSI ANTARA MIKROORGANISME PATOGEN DAN


HOST ( TUBUH )

Banyak ahli berpendapat bahwa Sepsis merupakan sindroma klinis yang


terjadi akibat respons tubuh terhadap adanya infeksi (dalam hal ini mikro-
organisma patogen). Respons ini sebenarnya merupakan mekanisme perlindungan
tubuh dengan tujuan mengeliminasi mikroorganisme tersebut tetapi dapat me-
nimbulkan dampak klinis seperti misalnya hanya dalam bentuk peradangan kulit
ringan hingga kearah yang mengancam jiwa yaitu gangguan hemodinamik dan
berpotensi berkembang menjadi multiorgan failure atau sepsis berat. Perjalanan
klinis sepsis sangat dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berinteraksi
satu sama lain misalnya ada tidaknya faktor predisposisi (usia, kelamin, penyakit
penyerta), lokasi sumber infeksi, faktor virulensi kuman atau faktor iatrogenik,
misalnya ventilator induce lung injury.9 Kompleksitas yang terjadi pada sepsis


umumnya didasari oleh dua komponen utama yaitu mikroorganisme dan respons
tubuh(host) karena kedua faktor ini akan melibatkan sistem kekebalan tubuh.
Diketahui bahwa secara klinis sistem kekebalan tubuh dibagi dalam tiga
bagian yaitu physical barrier atau mucocutaneus barrier yang melindungi
organ dalam dari lingkungan eksternal. sistem imun innate yaitu sistem
kekebalan yang akan memberikan respons yang cepat tetapi tidak spesifik,
kemudian sistem imun adaptive dengan respons lebih lambat tetapi spesifik
dan efektifitasnya lebih lama karena mempunyai kemampuan daya ingat
(memory). Respons sistem kekebalan tubuh terhadap infeksi-sepsis diawali
dengan identifikasi mikroorganisme patogen oleh tubuh melalui pattern
recognition receptors (PRRs) dan saat ini diketahui ada 4 kelompok PRRs :
Toll Like Receptors (TLRs), Nucleotide Oligomerization Domain leucine
rich (NOD), cytoplasmic caspase activation seperti Retinoic acid Inducible
Gene-1(RIG-1) dan C-type lectin receptors. PRRs akan merespons struktur
fungsionil yang terpapar pada mikroorganisme patogen yang disebut
patogen associated molecular patterns (PAMPs) atau lebih tepat disebut
microbial associated molecular pattern karena mengandung unsur molekul
mikroorganime tersebut seperti lipopolysaccharide (endotoksin), outermembrane
protein, flagellin, fimbria, peptidoglycan,lipoteichoic acid atau unsur internal
kuman yang terpapar pada saat proses bakteriolisis seperti Heat Shock
Protein atau fragmen DNA. Interaksi antara PRRs dengan PAMPs misalnya
TLR4 dengan lipopolysacharides (LPS) gram negatif, TLR2 dengan
lipoteichoic acid (LTA) gram positif atau antara dectin 1/TLR 2 dengan β
glucans candida akan menginduksi pelepasan mediator inflamasi (TNFα, IL-
1, IL-6, IL-8, IL-10) dan atau alarmins (danger- associated mollecular
patterns/DAMPs) melalui aktifasi transcription nuclear factor- β (NF- β).
Disamping itu, peningkatan konsentrasi alarmins/DAMPs seperti heat shock
protein, protein-S100, hyaluran, fibronectin selain merupakan petanda
adanya hipoperfusi, ischemia-reperfusion injury atau kerusakan jaringan
(seperti pada luka bakar, trauma) bila berinteraksi dengan PRRs (TLRs)
akan mengamplifikasi pelepasan mediator inflamasi dan proses apoptosis.
Melihat uraian tersebut diatas dapat disingkat bahwa respons imun pada
sepsis melalui tiga tahapan yaitu:5,7,8,9,16


 Patogen associated molecular patterns (PAMPs) yang terpapar pada mikro-
organisme patogen akan di identifikasi oleh tubuh (host) melalui pattern
recognition receptors (PRRs) dengan melibatkan sistem imun innate
 Interaksi PRRs dan PAMPs akan mengaktifasi nuclear factor-kβ (NF-kβ)
 Aktifasi NF-kβ akan mengaktifkan jalur signaling intraseluler selanjutnya
menginduksi gen efektor yaitu mediator sitokin dan non sitokin seperti
TNF-α, IL-1, IL-10,TGF-β, nitric oxide, chemokines dan adhesion
molecules (Gambar 1 dan 2)

Gambar 1. Respons imun diawali dengan aktivasi sistem imun innate melalui PRRs
(TLRs) untuk mengidentifikasi PAMPs (misalnya lipopolysacharides, peptidoglycan
atau β-glucans) yang terpapar dalam mikroorganisme patogen.16

Gambar 2. Interaksi PRRs (Toll like Receptors) dengan PAMPs (lipopolysacharides-


endotoksin) akan menginduksi pelepasan mediator-sitokin melalui aktifasi NF-kβ
(dikutip dari presentasi workshop sepsis Perdici 2010 oleh Prof dr Guntur H)


Interaksi PRRs dengan PAMPs merupakan bentuk respons imune dengan
tujuan proteksi terhadap tubuh dari invasi mikroorganisme patogen tetapi
sering menjadi faktor pencetus terjadinya kegagalan multi-organ (multiple
organ failure)

Peranan Nitric Oxide (NO) - Reactive Oxygen Species (ROS) / Reactive


Nitrogen Species (RNS)

NO mempunyai efek vasodilatasi kuat melalui relaksasi otot polos se-


hingga bila konsentrasi berlebihan dapat menimbulkan istilah sepsis meng-
induksi hipotensi, sedangkan ROS pada banyak penulisan mempunyai peran
terhadap terjadinya disfungsi organ pada sepsis dan acute lung injury.Walaupun
demikian, NO/ROS mempunyai efek fisiologis menguntungkan seperti
signalling intraseluler terhadap (beberapa sitokin, growth factor dan hormon)
yang berkaitan dengan respons imun dan pengaturan keseimbangan sistem
redoks. Pelepasan NO-ROS/RNS disebabkan oleh aktifasi netrofil dan
makrofage/monosit akibat rangsangan endotoksin (lipopolysaccharide) atau
mediator proinflamasi melalui nicotinamide adenine dinucleotide phosphate
oxidase complex, myeloperoxidase dan xanthin oxidoreductase yang merupakan
bentuk manifestasi proteksi tubuh (bagian dari sistem imun innate) terhadap
invasi mikroorganisme patogen. Bila reaksi pembentukan ROS/ RNS berlebihan
akan terjadi defisit antioksidan (akibat konsumsi berlebihan) menimbulkan
oxidative/nitrosative stress yang mengakibatkan terbentuknya radikal sitotoksik
seperti Superoxide anion (02-) dan peroxynitrite (ONOO-)1,8,10 Radikal sitotoksik
ini berperan terhadap ketidakstabilan hemodinamik atau disfungsi organ
pada syok septik. ONOO- menyebabkan kerusakan rantai DNA sehingga
merangsang aktifasi enzim poly (ADB-ribose) polymerase (PARP) dengan
tujuan memperbaiki kerusakan DNA tetapi akibat aktifasi PARP akan
mengamplifikasi oxidative/nitrosative stress sehingga akan semakin banyak
terbentuk radikal sitotoksik. Dilaporkan bahwa aktifitas PARP sangat berperan
terhadap patogenesa terjadinya disfungsi kontraktilitas miokard pada syok
septik.1,7,8

Koagulasi

Manifestasi klinis sepsis sering didasari akibat adanya gangguan hemo-


stasis, beberapa studi klinis mengindikasikan sepsis disertai koagulasi intra-


vaskular diseminasi akan memberikan risiko terjadinya kegagalan multiorgan
disertai dengan angka kematian yang sangat tinggi. Diawali dengan proses
inflamasi sistemik dan Interleukin-6 akan mengaktifasi tissue factor dan
tumor necrosis factor-α untuk menekan aktifitas antikoagulan keadaan ini
mengawali proses aktifasi sistim koagulasi (pro-coagulant net).(9,13) Karakteristik
gangguan hemostasis pada sepsis ditandai dengan meningkatnya aktifitas
sistem koagulasi, hambatan sistem fibrinolisis dan menurunnya kemampuan
klirens dari fibrin (deposisi fibrin) sehingga terjadi pembentukan thrombin
yang dominan. Pembentukan thrombin selain mengaktifkan proteases serine
didalam jalur koagulasi itu sendiri juga akan mengaktifkan protease reseptor
(PAR 1-4) terletak pada permukaan sel endotel sehingga merangsang
ekspresi adhesion molecules,p-selectin dan sitokin pro-inflamasi dimana
keadaan ini akan mengamplifikasi proses inflamasi secara keseluruhan. Bila
proses ini berkelanjutan dan tidak terkontrol akan menimbulkan trombosis
mikrosirkulasi disertai deposisi microclot dan penyumbatan mikrosirkulasi
(disfungsi mikrosirkulasi) sehingga berpotensi terjadi gangguan perfusi
jaringan dan disfungsi organ sistemik (Gambar-3).1,8,9,13

Gambar 3. Jalur patogenetik aktifasi sistem koagulasi sepsis : diawali tissue factor akan
mengaktifasi sel endotel dan sel mononuklear sehingga mengakibatkan pelepasan mediator
proinflamasi dan akan mengaktifasi pembentukan thrombin tetapi diikuti penekanan (down-
regulation) mekanisme sistem antikoagulan dan menghambat sistem fibrinolisis (meningkatnya
Prothrombin Activator Inhibition-1/PAI-1) oleh sel endotel.13


Endotel
Vaskular endotel mempunyai peranan sangat penting dalam pengaturan
respons imun dan inflamasi terhadap mikroorganisme patogen. Disfungsi endotel
dan gangguan fungsi mikrosirkulasi pada sepsis sangat berperan terhadap ke-
gagalan multiorgan dan kematian. Pada sepsis, fungsi endotel banyak di-
pengaruhi oleh tekanan biomekanik seperti shear stress, sehingga meng-
akibatkan pelepasan NO dan aktifasi jalur koagulasi. Banyak data membuktikan
terjadi komunikasi aktif antara endotelium dengan sel didalam sirkulasi seperti
eritrosit, trombosit dan lekosit serta sel penyanggah seperti otot polos vaskular,
pericyte dan sel parenkim.7 Pada sepsis, komunikasi antar sel mengalami
gangguan akibat proses inflamasi dan aktifasi sel imun, hipoksia, perubahan
temperatur, ph dan osmolaritas sehingga mengakibatkan perubahan struktural
endotel berupa kontraksi, pembengkakan dan pengelupasan dari jaringan
matrix ekstraseluler. Sepsis memberikan pula efek fungsional pada endotel
berupa meningkatnya ekspresi adhesion molecules dan infiltrasi lekosit, aktifasi
jalur koagulasi yang akan mempengaruhi tonus serta permeabilitas vaskular.
Salah satu fungsi endotel yang penting dalam kaitan dengan sepsis adalah
mengatur permeabilitas vaskular.1,7,8

Epitel
Epitel alveoli membentuk suatu lapisan untuk mengatur secara ketat
pergerakan molekul dan larutan termasuk elektrolit,selain itu menghasilkan
surfactant untuk kestabilan serta mampu mengklirens cairan berlebihan dalam
alveoli. Beberapa ahli berpendapat rangsangan β2-adrenergic dapat meningkatkan
klirens cairan dalam alveoli. Kerusakan epitel alveoli akibat sepsis meng-
akibatkan kebocoran cairan dengan konsentrasi tinggi protein dan menurun-
nya kemampuan mengklirens cairan.7

Apoptosis
Apoptosis (programmed cell death) adalah proses fisiologis dengan
tujuan untuk mengurangi sel yang rusak dalam suatu jaringan dan ini bila
terjadi pada sel efektor sistem imun merupakan gambaran khas dari sepsis.
Pada sepsis sistem sel imun yang sering mengalami apoptosis adalah sel β,
sel CD4T dan sel dendrit folikular terutama pada sistem saluran cerna. Dampak
apoptosis sistem sel imun pada sepsis akan mengakibatkan penurunan respons


sistem imun adaptive diikuti penurunan respons sistem imun innate karena
kedua sistem ini berhubungan erat satu sama lain.(1,8,16) Disamping itu, apoptosis
sel atau sel imun yang meng-uptake apoptosis sel selain menginduksi sitokin
antiinflammatory akan bersifat anergy atau mengalami immunoparalisis,
keadaan ini semakin mengurangi kemampuan respons tubuh terhadap mikro-
organisme patogen. Beberapa studi membuktikan bahwa gradasi apoptosis
limfosit mempunyai korelasi yang sangat kuat sebagai prediktor fatal-outcome
penderita syok septik sehingga apoptosis dapat dipakai sebagai biomarker
sepsis.8,16

Disfungsi mitokondria
Penelitian sepsis baik eksperimental maupun pada manusia menyimpulkan
bahwa gangguan mikrosirkulasi bukan satu satunya mendasari terjadinya
disfungsi organ pada sepsis berat. Konsep yang beranggapan bahwa sepsis
dapat menginduksi gangguan penggunaan oksigen pada tingkat mitokondria
dibuktikan oleh Hotchkiss dkk (1999) melalui penelitiannya menemukan
peningkatan tekanan oksigen jaringan tanpa diikuti dengan peningkatan konsumsi
oksigen sel sehingga mengakibatkan gangguan fungsional dan biokimia yang
kemudian diikuti dengan kematian sel sehingga disimpulkan bahwa per-
masalahannya bukan hanya pada delivery oksigen tetapi pada utilitas oksigen
intrasel.12 Pada sepsis dan syok septik, Brealy dkk (2002) menemukan adanya
ketidakseimbangan sistem redoks ditingkat mitokondria yaitu penurunan
glutathione (intramitokondria antioksidan) dan diikuti dengan peningkatan
bermakna ROS/RNS keadaan ini akan menghambat aktifitas oxydative
phosphorylation intrasel akibatnya terjadi gangguan pembentukan ATP,
gangguan pembentukan ATP ini mengakibatkan defisit energi metabolik
intrinsik sehingga menyebabkan penurunan aktifitas rantai transport elektron
mitokondria ensim kompleks, situasi ini semakin menekan biosintesa ATP
(keadaan ini disebut cytopathic hypoxia) dan berpotensi terjadinya disfungsi
organ pada sepsis.6 Semakin banyak penelitian menyimpulkan bahwa
gangguan mitokondria termasuk mitochondrial permeability transition pore
(MPT) yang mendasari terjadinya kegagalan multi-organ pada sepsis.
Murphy (2009) mengamati bahwa akibat produksi ROS berlebihan dalam
mitokondria terjadi perubahan permeabilitas membran sehingga terlepasnya
cytochrome-c masuk ke sitosol melalui mitochondrial outer membrane
permeabilization (MOMP) sehingga mengaktifasi proses apoptosis(17) (lihat


Gambar-4). Sebelumnya, Halestrap (1998) menyimpulkan bahwa hipoksia,
sitokin dan toksin akan meningkatkan permeabilitas MPT sehingga terlepasnya
cytochrome-c akibatnya terjadi pengaktifan kaskade enzim caspases yang
selanjutnya akan menginduksi proses apoptosis.11 Brealy dkk (2002) mem-
buktikan bahwa gangguan fungsi mitokondria otot lurik mempunyai korelasi
yang kuat dengan perlangsungan serta prognosis dari sepsis.6

Gambar 4. Peningkatan konsentrasi Reactive Oxygen Species (ROS) pada


Mitochondria menimbulkan
- hambatan aktifitas oxydative phosphorylation sehingga terjadi gangguan biosintesa ATP
- perubahan mitochondrial permeability transition pore PTP mengakibatkan peningkatan
aktifitas apoptosis 17

Refleks Inflamasi (cholinergic anti-inflammation reflex)


Sebagaimana pembahasan sebelumnya bahwa respons imunologi pada
sepsis merupakan bentuk mekanisme perlindungan tubuh ditandai dengan
pelepasan mediator-sitokin terutama proinflamasi seperti TNF-α, IL-1, IL-6
dengan tujuan mengeliminasi-membunuh mikroorganisme patogen tetapi disisi
lain dapat menimbulkan efek samping merugikan yaitu kerusakan sel atau
jaringan sehingga berpotensi mengakibatkan terjadinya disfungsi organ.
Mediator proinflamasi ini perlu dikontrol atau dibatasi agar tidak berlebihan
melalui pelepasan mediator antiinflamasi seperti IL-4, IL-10, TGF-β. Sistem


saraf kolinergik melalui aktifasi saraf vagus mempunyai peranan sangat penting
dalam menetralisasi atau mengimbangi respons inflamasi yang terjadi. Diawali
dengan adanya mikroorganisme patogen, kerusakan/iskemia jaringan atau
pelepasan sitokin akan mengaktifasi reseptor vagus pada makrofage untuk
kemudian memberikan input melalui jalur afferent ke inti traktus solitarius
(nucleus tractus solitarius) sistim saraf pusat yang diikuti dengan mengaktifasi
inti dorsal motorik (nucleus dorsal motoric) yang selanjutnya melalui jalur
efferent vagus menghambat pelepasan sitokin (proinflammatory mediator) pada
reseptor α7 nicotinic acethylcholine receptor (α7nAchR) yang terletak pada
makrofage atau sel imun lainnya, jalur vagus ini dikenal dengan “cholinergic
anti-inflammation reflex“ atau inflammatory reflex (Gambar-5).4,9,16

Gambar 5. Inflammatory Reflex : adanya mikroorganisme patogen, jaringan iskemia-


injury atau mediator proinflamasi akan memberikan input melalui jalur afferent ke sistim
saraf pusat (nucleus tractus solitarius) selanjutnya mengaktifasi inti motor dorsal yang
kemudian memberikan output melalui jalur efferent ke reseptor α7 acetylcholine untuk
menghambat pelepasan sitokin 4

Respon imun tubuh pada sepsis didasari oleh interaksi antara inflamasi
(mediator proinflamasi) dalam hal ini dimodulasi oleh sistem saraf simpatis dan
antiinflamasi (mediator antiinflamasi) diatur oleh sistem vagus/parasimpatis
dan diharapkan berjalan seimbang dan terkontrol (balanced and controlled

10 
response) sehingga tercapai resolusi sepsis secara total. Walaupun tidak jarang
terjadi respons yang tidak seimbang (unbalanced response) berupa hiper-
inflamasi atau penekanan sistem imun dengan segala akibatnya (Gambar -6)

Gambar 6. Respons imun tubuh pada sepsis dibagi dalam 2 bentuk : Seimbang (balanced
and controlled response) dan Tidak seimbang (unbalanced response) ditandai dengan
hiperinflamasi (early mortality) atau penekanan sistem imun (late mortality).16

Beberapa mediator penting yang berperan dalam patogenesis sepsis :


- Toll Like Receptors (TLR) adalah PRRs yang merupakan reseptor trans-
membrane surface protein dan mempunyai peranan penting dalam meng-
awali repons sistem imun innate dan mengontrol respons sistem imun
adaptive terhadap infeksi atau kerusakan jaringan. Interaksi antara TLR dan
PAMPs/DAMPs akan menimbulkan signalling intrasel sehingga meng-
aktifkan NF-ĸB

- Nucleotide binding oligomerisation domain 1 dan 2 (NOD 1 dan NOD


2) mikroorganisme patogen yang berhasil masuk hingga ke sitosol sel akan

11 
dikenali oleh PRRs dalam hal ini NOD 1 dan 2. PRRs ini mempunyai efek
apoptosis dan sangat berespons terhadap PAMPs - peptidoglycan yaitu
komponen dinding kuman Gram positif, interaksi ini akan mengaktifkan
NF-ĸB.(5)
- Nuclear Factor-ĸB (NF-ĸB) akan teraktifasi bila terjadi ikatan antara
PAMPs dan PRRs (terutama TLR dan NOD), pengaktifan NF-ĸB ini akan
mengakibatkan up-regulation pro-inflamasi sitokin (IL-1 ,IL-2, TNFα),
adhesion molecule, chemokines (IL-8), disamping mempunyai efek apoptosis.
- Tumor Necrosis Factor (TNF) α merupakan mediator inflamasi utama
terhadap kuman gram negatif atau kuman lainnya terutama disekresi oleh
makrofage dan sel T dengan efek biologik yang ditimbulkan adalah aktifasi
inflamasi atau koagulasi (sel endotel), menimbulkan demam (hipothalamus),
mensintesa acute phase protein (hati), katabolik-cachexia (otot dan lemak)
- Interleukin 1 (IL-1) mempunyai peran fungsi yang sama dengan TNFα
dan bersinergis yaitu sebagai mediator inflamasi terhadap infeksi atau
rangsangan inflamasi lainnya terutama disekresi oleh makrofage, sel
endotel dan beberapa sel epitel lainnya.
- Interleukin 6 (IL-6) berperan terhadap sistem imun innate dan adaptive,
disekresi oleh makrofage, sel endotel dan sel T dengan efek biologik yang
ditimbulkan yaitu sintesa acute phase protein (hati), merangsang sel β
memproduksi-proliferasi antibodi.
- Interleukin 4 (IL-4) mempunyai efek biologik yaitu menstimulasi sel β
untuk berproliferasi menjadi imunoglobulin, menghambat aktifasi IFN-Ỵ
yang berperan mengaktifasi makrofage, terutama disekresi oleh sel T,
basofil dan sel mast.
- Interleukin 10 (IL-10) disekresi terutama oleh makrofage, mempunyai
efek biologik terutama menghambat IL-12 yang dirangsang oleh makrofage,
karena IL-12 merupakan pusat stimulasi IFN-Ỵ yang mempunyai peran
menginduksi sistem imun innate dan sistem imun seluler.
- Transforming Growth Factor-β (TGF-β) disekresi terutama oleh makrofage
dan sel T yang aktif, efek biologik yang ditimbulkan adalah menghambat
aktifasi-proliferasi limfosit dan makrofage.(14)
- Macrophage Migration Inhibitory Factor (MIF) merupakan sitokin
proinflamasi yang diinduksi oleh glukokortikoid dan mempunyai peranan

12 
penting dalam patognesis sepsis. Efek MIF adalah meningkatkan ekspresi
TLR4 pada makrofage sehingga menambah kepekaan sel-sel efektor imun
terhadap rangsangan lipopolisakarida (endotoksin) selain itu MIF
menghambat proses apoptosis sel monosit/makrofage.(8,9,15)
- High-Mobility Group Box-1 Protein (HMGB I) adalah inti protein yang
terdapat dalam inti sel manusia dan berfungsi untuk stabilisasi pembentukan
nucleosome. HMGB I merupakan sitokin proinflamasi mempunyai peranan
penting terutama pada tahap lanjut dari sepsis berat dan aktif disekresi oleh
mononuklear/makrofage, sel dendritik, sel NK atau sel nekrosis. HMGB I
akan terikat pada beberapa reseptor transmembrane seperti RAGE (receptor
for advanced glycation end products), TLR - 2 dan - 4 yang kemudian ikatan
ini akan mengaktifasi NF-kB dan regulasi kinase ½ ekstraseluler. Penelitian
yang dilakukan oleh Tzeng HP dkk (2008) membuktikan bahwa HMGB I
dapat mengurangi kebutuhan energi pada jaringan iskemia sehingga
disimpulkan mempunyai efek proteksi atau pencegahan terhadap perburukan
iskemia miokard disaat suplai ATP sangat rendah tetapi melalui penelitian ini
diungkapkan pula bila konsentrasi HMGB I sangat tinggi akan meng-
akibatkan hiperinflamasi dan penekanan fungsi miokard secara bermakna.
Penelitian pada hewan atau manusia menunjukan bahwa cholinergic anti-
inflammation reflex melalui jalur vagus/persarafan parasimpatis mempunyai
efek netralisasi HMGB I dan sitokin proinflamasi lainnya (1,8,9,15)

RINGKASAN

Saat ini sepsis dan syok septik masih merupakan tantangan bagi para klinisi
dikarenakan morbiditas serta mortalitas yang masih tinggi. Patofisiologi sepsis-
syok septik diawali identifikasi oleh tubuh melalui patogen recognition
receptors (PRRs) terhadap struktur fungsional yang terpapar pada mikro-
organisme patogen yang disebut patogen associated molecular patterns
(PAMPs) atau microbial associated molecular patterns (MAMPs). Interaksi
antara PRRs dengan PAMPs atau MAMPs akan memulai suatu rangkaian
proses yang melibatkan sistem imun innate dan adaptive diikuti dengan interaksi
beberapa sistem lainnya seperti neuroendokrine, koagulasi, epitel-endotel yang
sebenarnya bertujuan untuk melindungi tubuh. Mediator proinflamasi yang
dimodulasi oleh sistem saraf simpatis bertujuan mengeliminasi mikro-

13 
organisme patogen tetapi bila tidak terkontrol dapat menimbulkan kerusakan
jaringan (host tissue). Mediator antiinflamsi melalui sistem vagus/parasimpatis
akan menyeimbangkan mediator proinflamasi tersebut sehingga diharapkan
berjalan seimbang dan terkontrol, interaksi kedua mediator ini akan
menentukan perjalanan klinis dari penderita sepsis atau syok septik

DAFTAR PUSTAKA
1. Abraham E, Singer M. Mechanisms of sepsis-induced organ dysfunction. Crit
Care Med 2007; 35: 1-35
2. Alberti C, Brun-Buisson C, Chevret S. Systemic inflammatory response and
progression to severe sepsis in critically ill infected patients. AJRCMM
2005;171:461-468.
3. Angus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, Clemont G, Carcillo J, Pinsky MJ.
Epidemiology of severe sepsis in the United States analysis of incidence,
outcome, and associated cost of care. Crit Care Med 2001; 29:1303-1310.
4. Annane D, Cavaillon J, Bellissant E. Septic Shock. Lancet 2005; 365: 63-78.
5. Bougle A, Prigent H, Santoli F, Annane D. Pathophysiology of septic shock 25
Years of Progress and Innovation in Intensive Care Med 2007: 163-176.
6. Brealey D, Brand M, Hargreaves I et al. Associated between mitochondrial
dysfunction and severity and outcome of septic shock. Lancet 2002; 360: 219-223.
7. Cinel I, Dellinger P. Advance in pathogenesis and management of sepsis. Curr
Opin in Infect Dis 2007; 20: 345-352.
8. Cinel I, Opal S. Molecular biology of inflammation and sepsis: A primer*. Crit
Care Med 2009; 37: 291-304.
9. Dellinger P, Carlet J et al. Sepsis Handbook-Biomerieux; September-2007.
10. Epstein F. The pathogenesis of Vasodilatory Shock. The NEJM 2001; 345: 588-
595.
11. Halestrap A. The Mitochondrial Permeability Transition. Tissue Oxygenation in
Acute Medicine 1998; 33: 174-192.
12. Hotchkiss R, Karl I. The pathophysiology and Treatment of Sepsis. The NEJM
1999; 348: 138-150.
13. Levi M. The coagulant Response in Sepsis. Clinics in Chest Medicine 2008; 29:
627-642
14. Lichtman A, Abbas K. Effector Mechanisms of Immune Responses. Cellular
and Molecular Immunology 2007-updated edition; elsevier: 241-318.
15. Nduka O, Parrillo J. The pathophysiology of Septic Shock. Crit Care Clinic
2009; 25: 665-702.
16. van der Pool T, Opal S. Host-pathogen interaction in sepsis. Lancet Infect Dis
2008; 8: 32-43.
17. Murphy M. How mitochondria produce oxygen species. Biochem J 2009; 417:
1-13.

14 
PENGANTAR DASAR MIKROBIOLOGI 
Anis Karuniawati

PENGANTAR DASAR MIKROBIOLOGI KLINIK1,2

M ikroba atau mikroorganisme adalah makhluk hidup sangat kecil yang


hanya akan terlihat oleh mata dengan bantuan mikroskop. Berdasarkan
ukuran dan karakteristik lainnya, mikroba terbagi atas beberapa kelompok
yaitu bakteri, jamur (ragi dan kapang), protozoa, alga mikroskopik, serta
virus dan bentuk non-seluler lain yang berada pada batas hidup dan ‘tidak’-
hidup.
Bakteri adalah mikroorganisme sel tunggal (unicellular) dan relatif
sederhana. Materi genetik di dalam sitoplasmanya tidak terbungkus oleh
membran inti sehingga sel bakteri digolongkan prokariot. Selain bakteri,
golongan prokariot lain adalah archaea. Archaea adalah mikroba seperti
bakteri, sebagian memiliki dinding sel yang tidak mengandung peptidoglikan,
hidup pada lingkungan yang ekstrim, dan selama ini tidak pernah ditemukan
sebagai penyebab infeksi pada manusia.
Jamur atau fungi, protozoa, dan algae adalah mikroba yang termasuk
golongan eukariot yaitu inti selnya terbungkus oleh membran inti sehingga
terpisah sebagai organ sel tersendiri di dalam sitoplasma. Virus adalah
mikroba yang bukan sel (acellular) yang hanya bisa dilihat melalui
mikroskop elektron. Mikroba ini memiliki struktur yang sangat sederhana,
yaitu mengandung salah satu asam nukleat, DNA atau RNA saja dan
terbungkus selubung protein (protein coat). Sebagian virus memiliki lapisan
lipid tambahan yang membungkusnya yang disebut envelope. Semua sel
hidup seharusnya memiliki kedua bentuk asam nukleat (DNA dan RNA)
untuk dapat terjadi reaksi kimia dan bereproduksi. Sementara itu, karena
virus hanya memiliki salah satu tipe asam nukleat maka untuk berkembang
biak harus menggunakan organel sel lain yang diinfeksinya. Dengan
mempertimbangkan bahwa salah satu sifat makhluk hidup adalah dapat
berkembang biak, maka ketidakmampuan virus berkembang biak di luar sel

15 
hidup menyebabkan keraguan untuk mengelompokkan virus sebagai
makhluk hidup.
1. Bakteri dapat diklasifikan berdasarkan berbagai hal:1,2
a. Morfologi sel
Sel bakteri memiliki bentuk dasar batang (bacillus), kokus atau bulat
(coccus), dan spiral. Sel-sel tersebut hidup berkelompok dalam
populasi dalam bentuk sel terpisah (individual), berdua (diplo-),
berkelompok seperti bentuk anggur (staphylo-), berantai (strepto-),
atau berfilamen. Bentuk dalam populasi ini mempengaruhi
penamaannya, seperti misalnya Staphylococcus adalah sel bentuk
bulat yang hidup berkelompok seperti anggur; Streptococcus adalah
sel berbentuk bulat yang berantai.
b. Kecepatan pertumbuhan
Berdasarkan kecepatan pertumbuhannya bakteri dibagi atas tumbuh
cepat (rapid grower) dan tumbuh lambat (slow grower). Pada
umumnya bakteri patogen tumbuh cepat, yaitu waktu yang
diperlukan sel untuk membelah dan berkembak biak dari 1 menjadi
2 sel membutuhkan waktu 20 menit (contoh Escherichia coli),
sedangkan sebagian bakteri patogen lainnya termasuk tumbuh
lambat, yaitu membutuhkan waktu hingga +20 jam untuk
berkembak biak dari 1 menjadi 2 sel (contoh Mycobacterium
tuberculosis).
c. Kebutuhan gas oksigen dan karbondioksida
Berdasarkan kebutuhan gas oksigen dan karbondioksida, mikroba
dikelompokkan menjadi:
 Aerob obligat: membutuhkan O2 sebanyak kandungan O2 di udara
(21%)
 Anaerob obligat: tidak membutuhkan O2 untuk metabolismenya
dan bahkan oksigen bersifat toksik, sehingga mikroba akan mati
bila terpapar O2. Hal ini terjadi karena bakteri tidak memiliki
enzim superoksid dismutase dan peroksidase/katalase yang bisa
mengubah oksigen yang toksik menjadi bentuk netral
 Anaerob fakultatif: mikroba dalam kelompok ini memiliki
kemampuan metabolisme melalui reaksi fermentasi bila tidak ada
O2, sehingga dapat hidup dengan atau tanpa oksigen

16 
 Mikroaerofilik: mikroba dalam kelompok ini hanya bisa hidup
dan berkembang biak pada tekanan oksigen yang lebih rendah
dari pada udara, yaitu 5-10%
 Kapnofilik: mikroba yang tumbuh baik bila terdapat karbondioksida
dengan tekanan lebih tinggi (5-10%) dalam lingkungannya.
Sebagian bakteri aerob, anaerob dan anaerob fakultatif juga
bersifat kapnofilik.
d. Pewarnaan diferensial
Pewarnaan Gram dan tahan asam adalah pewarnaan diferensial yang
seringkali digunakan untuk membedakan bakteri dalam 2 kelompok
besar. Pewarnaan Gram, yang metodenya diciptakan oleh Hans
Christian Gram pada tahun1884 mengelompokkan bakteri menjadi
bakteri gram-positif (berwana ungu) dan gram-negatif (berwarna
merah). Sementara itu beberapa jenis pewarnaan tahan asam
(Kinyoun Gabbet, Ziehl Neelsen, Auramine-O, Auramine-rhodamin)
mengelompokkan bakteri menjadi bakteri tahan asam dan tidak
tahan asam.
Pewarnaan Gram menggunakan 2 zat warna dan 2 reagen, yaitu
pewarna gentian ungu sebagai pewarna pertama dan safranin sebagai
pewarna kedua, sedangkan reagen yang digunakan adalah iodin dan
alkohol 95%. Perbedaan warna yang timbul adalah akibat perbedaan
struktur dinding sel kedua kelompok bakteri. Lapisan peptidoglikan
yang cukup tebal pada bakteri gram-positif akan mempertahankan
kompleks zat warna gentian violet dan iodin setelah perlakuan
dengan alkohol 95%. Sementara itu gram-negatif yang memiliki
lapisan peptidoglikan yang lebih tipis dan lapisan lipopolisakarida
yang akan dirusak oleh alkohol, akan melepaskan zat warna gentian
violet-iodin sehingga menjadi tidak berwarna dan tidak terlihat di
bawah mikroskop. Oleh karena itu diperlukan zat warna kedua, yaitu
safranin yang berwarna merah supaya bakteri dapat terlihat di bawah
mikroskop.1
Pewarnaan Gram adalah pewarnaan yang cepat (kurang lebih proses
pewarnaan membutuhkan waktu 15 menit), mudah dan sangat
berguna dalam pemeriksaan mikrobiologi. Namun demikian tidak
semua bakteri dapat diwarnai Gram dengan baik karena bakteri

17 
tersebut tidak dapat menyerap zat warna yang digunakan. Hasil
pewarnaan Gram pada beberapa jenis spesimen dapat digunakan
oleh klinisi sebagai acuan dalam pemberian dan pemilihan terapi
antibiotik empirik. Bagi laboran, hasil pewarnaan ini digunakan
untuk menentukan kualitas spesimen, kemurnian isolat bakteri,
sebagai penentu jenis metode identifikasi selanjutnya, serta kontrol
kualitas hasil biakan.
e. Uji Biokimia
Pada sebagian besar kelompok bakteri, aktifitas enzimatik secara
rutin digunakan untuk membedakan spesies bakteri yang satu dan
lainnya. Sebagai contoh uji yang sering dilakukan adalah penentuan
kemampuan fermentasi beberapa jenis karbohidrat untuk mem-
bedakan spesies di dalam famili Enterobacteriaceae. Selain uji
fermentasi, terdapat uji lainnya yang menyertai untuk dapat
mengidentifikasi bakteri lebih baik. Sebagai contoh sebelum dilaku-
kan uji fermentasi karbohidrat pada bakteri gram-negatif, terlebih
dahulu dilakukan uji oksidase. Bakteri dalam famili Enterobac-
teriaceae (Escherichia coli, Citrobacter sp., Enterobacter sp.,
Shigella sp., Salmonella sp.) dan Acinetobacter sp. bersifat oksidase
negatif sedangkan Pseudomonas sp. bersifat oksidase positif. Uji
lain yang juga dilakukan misalnya adalah koagulase, urease, indol,
merah metil, sitrat, dan sebagainya. Semakin banyak jenis reaksi
yang dilakukan akan semakin meningkatkan spesifisitas uji.
Reagen uji biokimia dapat dibuat di laboratorium atau digunakan
serangkaian uji biokimia yang tersedia secara komersial. Waktu
yang diperlukan untuk melakukan uji sampai dengan membaca hasil
berkisar antara 4-24 jam tergantung metode yang digunakan. Uji
komersial yang saat ini banyak tersedia menggunakan metode
identifikasi numerik, yang memberikan angka untuk setiap hasil uji
yang terlihat lalu disesuaikan dengan database untuk setiap bakteri
yang hasil uji biokimianya telah diketahui.1
f. Serologi
Selain digunakan untuk deteksi adanya antibodi dalam serum, uji
serologi juga digunakan untuk mengidentifikasi adanya antigen
spesifik pada mikroba. Uji serologi tidak hanya mampu mem-

18 
bedakan sampai ke tingkat spesies, namun juga dapat menentukan
serotipe, serovar ataupun biovar. Sebagai contoh penentuan serotipe
adalah deteksi komposisi antigen O dan H pada Enterobacteriaceae.
Metode yang digunakan pada uji serologi antara lain adalah uji
aglutinasi, enzym linked immunosorbent assay (ELISA), dan Western
blotting.
g. Uji Faga
Faga adalah virus yang menginfeksi bakteri dan mengakibatkan lisis
sel bakteri yang sensitif terhadap faga tersebut. Uji ini cukup sensitif
karena jenis faga tertentu hanya menginfeksi spesies bakteri tertentu
bahkan hanya strain tertentu. Sebaliknya suatu strain mungkin
sensitif terhadap dua jenis faga sedangkan strain lain dalam spesies
yang sama sensitif terhadap 2 jenis faga yang sama dan jenis faga
ketiga lainnya.
h. Profil asam lemak
Bakteri menyintesis berbagai macam asam lemak yang bersifat
konstan untuk suatu spesies bakteri tertentu. Suatu sistem komersial
telah dikembangkan untuk mengidentifikasi bakteri melalu
pengujian asam lemak yang dihasilkan dibandingkan dengan profil
asam lemak bakteri yang telah diketahui dalam database.
i. Asam deoksinukleat (DNA)
Susunan dan komposisi DNA seringkali digunakan untuk melihat
adanya kemiripan mikroba secara genotip. Beberapa metode dapat
digunakan seperti uji komposisi basa DNA (DNA base composition)
untuk melihat persentase guanine dan cytosine. Dengan mengetahui
persentase GC maka akan diketahui pula persentase AT karena
GC+AT=100%. Dua jenis bakteri dikatakan sangat mirip bila
memiliki persentase GC yang hampir sama (<10%), artinya kedua
bakteri memiliki gen yang mirip atau hampir identik. Tetapi uji ini
tidak dapat berdiri sendiri, harus disertai uji lain yang mendukung
kemiripan 2 atau lebih bakteri uji.
Uji lain yang dapat dilakukan adalah DNA fingerprinting. Uji ini
dapat membandingkan kemiripan 2 atau lebih mikroba dengan
menggunakan enzim restriksi atau pemotong. Fragmen yang di-
hasilkan kemudian dipisahkan dengan elektroforeses. Perbandingan

19 
jumlah dan ukuran fragmen DNA yang terestriksi atau terpotong
yang terlihat pada hasil elektroforesis akan memberikan informasi
tentang kemiripan atau perbedaan sifat genotip bakteri yang diuji.
Uji ini sering digunakan untuk menentukan sumber infeksi suatu
wabah infeksi di rumah sakit.
Polymerase chain reaction (PCR) adalah suatu metode molekuler
untuk mendeteksi mikroba, terutama yang sulit dibiakkan dengan
metode konvensional. Metode ini sangat sensitif dan spesifik. Mesin
PCR berfungsi untuk memperbanyak DNA mikroba menggunakan
primer yang spesifik yang akan berikatan secara komplementer
dengan DNA mikroba. Hasil reaksi ini kemudian divisualisasikan
diantaranya menggunakan gel elektroforesis.

STRUKTUR BAKTERI1,2

Secara umum struktur bakteri atas 3 bagian yaitu struktur eksternal dari
dinding sel, dinding sel, dan struktur internal dari dinding sel. Struktur
eksternal atau berada di bagian luar dari dinding sel terdiri dari:
 Glycocalyx (=sugar coat) yang menyelubungi sel, yang terutama terdiri
dari polisakharida atau polipeptida atau keduanya. Komposisi kimia
sangat bervariasi diantara spesies bakteri. Bila substansi ini tersusun
teratur dan melekat erat pada dinding sel, disebut sebagai kapsul.
Sebaliknya bila susunan tidak teratur dan tidak terlalu melekat erat pada
dinding sel, disebut sebagai slime layer. Glycocalyx yang terbuat dari
gula disebut sebagai extracellular polysaccharide (EPS) yang sangat
berguna untuk mempertahankan dirinya dengan cara menempel pada
permukaan benda; mencegah dehidrasi dan keluarnya nutrisi dari dalam
sel. Pada beberapa bakteri, kapsul merupakan salah satu faktor virulen
untuk mencegah proses fagositosis selain juga sebagai sumber makanan
cadangan.
 Flagel menyerupai rambut yang berfungsi sebagai alat gerak bakteri.
Flagel terdiri atas 3 bagian yaitu filamen yang mengandung protein
flagelin, hook, dan basal body yang masuk (tertambat) pada dinding sel
dan membrane plasma. Protein flagelin juga disebut sebagai antigen H

20 
yang digunakan sebagai penanda serovar atau variasi dalam spesies pada
bakteri gram-negatif terutama Enterobacteriaceae.
 Axial filaments atau disebut sebagai endoflagella merupaka alat gerak
yang terdapat di dalam sel bakteri Spirochetes, diantaranya Treponema
pallidum penyebab sifilis dan Borrelia burgdorferi penyebab penyakit
Lyme.
 Fimbriae dan pili adalah rambut halus yang lebih pendek, lurus, dan
kecil dari pada flagel. Fimbriae merupakan rambut halus yang terletak
pada ujung sel atau seluruh permukaan sel, sehingga jumlah perselnya
bisa beberapa saja atau sampai ratusan. Fungsi fimbriae adalah untuk
pelekatan pada permukaan benda ataupun sel lain. Pili biasanya lebih
panjang daripada fimbriae dan berjumlah 1-2 saja perselnya. Fungsi pili
selain sebagai pelekatan pada permukaan sel lain juga sebagai jembatan
untuk perpindahan materi genetik dari satu sel ke sel yang lain.

Dinding sel memiliki banyak fungsi diantaranya sebagai pelindung isi


sel, mempertahankan bentuk sel, mengandung faktor virulen penting pada
beberapa spesies dan tempat bekerjanya golongan antibiotik tertentu.
Komposisi kimia dinding sel sangat penting dalam klasifikasi bakteri.
Dinding sel bakteri gram-positif terdiri atas lapisan peptidoglikan
yang tebal dan asam teikoat (teichoic acids). Sedangkan dinding sel bakteri
gram-negatif tersusun dari outer membrane (membrane luar) dan lapisan
peptidoglikan. Peptidoglikan berada di dalam periplasma dan berikatan
dengan lipoprotein yang berada pada outer membrane. Periplasma adalah
ruangan di antara outer membrane dan membran plasma yang berisi cairan
seperti gel mengandung enzim dan protein transport. Dinding sel bakteri
gram-negatif tidak mengandung asam teikolat dan karena peptidoglikan
sangat tipis maka sel bersifat lebih rapuh daripada sel bakteri gram-positif.
Outer membrane pada sel bakteri gram-negatif memiliki banyak
fungsi diantaranya sebagai penghambat proses fagositosis, merupakan barier
untuk masuknya beberapa jenis antibiotik dan mengandung enzim pencerna
seperti lisosim, deterjen, logam berat, logam berat, dan garam empedu.
Struktur ini juga bersifat permeabel karena mengandung protein porin yang
membentuk channels untuk lewatnya nutrisi dan molekul antibiotik.
Komponen lipopolisakharida (LPS) di dalam outer membrane mengandung

21 
polisakharida yang terdiri dari gula dan disebut O polisakharida yang juga
berguna untuk klasifikasi bakteri gram-negatif. Selain itu komponen LPS
juga mengandung endotoksin yang bila terlepas dalam jumlah besar
misalnya di dalam darah, dapat menyebabkan demam dan syok.
Jenis dinding sel lain adalah yang dimiliki sel bakteri tahan asam, yang
mengandung asam mikolat (hydrophobic waxy lipid) dengan konsentrasi
tinggi (60%) sehingga sulit diwarnai dengan pewarnaan Gram. Lapisan asam
mikolat ini terletak di sebelah luar lapisan peptidoglikan dan keduanya
terhubung oleh polisakharida. Jenis bakteri ini dapat diwarnai dengan
pewarnaan tahan asam menggunakan zat warna karbofuksin.
Genus Mycoplasma adalah bakteri dengan ukuran terkecil yang tidak
memiliki dinding sel tapi memiliki membran sel yang mengandung sterol
yang dapat melindungi isi sel.
Struktur internal atau struktur yang berada di bagian lebih dalam dari
dinding sel adalah:
 Membran sitoplasma merupakan lapisan tipis yang terutama mengandung
fosfolipid dan protein tapi tidak mengandung sterol kecuali Mycoplasma.
Membran sitoplasma merupakan barier bersifat semipermeabel yang
mengatur masuk dan keluarnya materi ke- dan dari sitoplasma yang
dibantu oleh molekul tansporter. Selain itu membran juga mengandung
enzim untuk memecah nutrien untuk menghasilkan energi.
Beberapa jenis antibiotik (contoh: polimiksin) dan desinfektan (contoh:
alkohol dan quartenary ammonium) bekerja pada membran plasma, dan
mengingat pentingnya fungsi membran ini maka kerusakannya akan
mengakibatkan kebocoran materi intrasel dan kematian sel.
 Sitoplasma terdiri dari 80% air yang mengandung protein, karbohidrat,
lipid, ion inorganik dan molekul lainnya. Struktur utama sitoplasma
adalah daerah inti sel yang mengandung DNA; ribosom; dan cadangan
makanan yang disebut inklusi.
 Nukleoid adalah suatu area di dalam sitoplasma yang mengandung satu
untaian materi genetik berupa rantai ganda DNA yang panjang dan
melingkar-lingkar disebut kromosom. Kromosom tidak dibungkus
membran seperti pada sel eukariot dan mengandung informasi tentang
struktur dan fungsi sel. Kromosom ini menempati kurang lebih 20%
besar sel.

22 
Selain kromosom, seringkali bakteri juga memiliki elemen genetik
ekstra-kromosom berupa rantai ganda DNA sirkular yang kecil disebut
plasmid. Plasmid hanya memiliki 5-100 gen yang bukan merupakan gen
yang penting untuk kehidupan sel. Plasmid bisa berpindah dari satu sel
ke dalam sel yang lain tanpa menimbulkan kerusakan sel.
 Ribosom berfungsi untuk melakukan sintesis protein, yang terdiri dari 2
sub-unit yang masing-masing terdiri dari protein dan ribosomal RNA
(rRNA). Ribosom pada sel prokariot disebut sebagai 70S ribosom
(S=Svedberg unit) yang terdiri dari 30S subunit mengandung 1 molekul
rRNA dan 50S 2 molekul rRNA.
Beberapa jenis antibiotik bekerja dengan cara menghambat sintesis
protein pada sel prokariot. Sebagai contoh 30S adalah target kerja
streptomisin dan gentamisin sedangkan 50S adalah target kerja
eritromisin dan kloramfenikol sehingga keduanya akan mengakibatkan
sintesis protein terganggu.
 Inklusi adalah cadangan makanan yang akan digunakan bila lingkungan
tidak menyediakan sumber makanan yang cukup. Sebagian jenis inklusi
dimiliki oleh berbagai spesies bakteri dan sebagian lainnya hanya
dimiliki oleh spesies tertentu sehingga dapat digunakan sebagai penanda
identifikasi bakteri.

KERJA ANTIBIOTIK1,2,3

Antibiotik dapat bersifat bakterisid atau bakteriostatik. Antibiotik yang


bakterisid dapat membunuh bakteri secara langsung sedangkan bakterio-
statik hanya menghambat pertumbuhan bakteri, selanjutnya sistem imun
tubuh pejamu yang akan mematikannya.
Berdasarkan aktifitasnya, antibiotik terbagi atas:
1. Menghambat sintesis dinding sel
Antibiotik golongan beta-laktam yaitu penisilin, sefalosporin, basitrasin,
dan vankomisin mencegah sintesis peptidoglikan yang intak sehingga
akan melemahkan dinding sel dan mengakibatkan sel lisis. Oleh karena
yang dihambat adalah proses sintesis, maka hanya sel yang sedang aktif
tumbuhlah yang dapat dibunuh oleh antibiotik ini. Dinding sel manusia

23 
tidak mengandung peptidoglikan sehingga toksisitas golongan antibiotik
ini sangat minimal bagi manusia.
2. Menghambat sintesis protein
Antibiotik yang memiliki target kerja di ribosom 70S adalah kloram-
fenikol, eritromisin, streptomisin, dan tetrasiklin. Seperti telah disebut-
kan sebelumnya bahwa sel bakteri memiliki ribosom 70S, berbeda
dengan sel manusia (eukariot) yang memiliki ribosom 80S, hal ini
mengakibatkan adanya toksisitas selektif pada sel manusia. Selain itu sel
manusia juga memiliki mitokondria yang mengandung ribosom 70S
yang mirip dengan ribosom yang terdapat dalam sel bakteri, sehingga
pemberian antibiotik tersebut akan dapat memberikan efek samping
(advers effect) pada pasien. Antibiotik yang bekerja dengan cara ini
berspektrum luas kecuali eritromisin yang berspektrum sempit untuk
bakteri gram-positif saja karena bakteri ini tidak mampu menembus
dinding bakteri gram-negatif.
Kloramfenikol bekerja pada ribosom 50S, menghambat pembentukan
ikatan peptida. Tetrasiklin bekerja pada ribosom 30S, mengganggu
penempelan rRNA yang membawa asam amino pada ribosom sehingga
mencegah penambahan asam amino pada pembentukan rantai
polipeptida. Antibiotik golongan aminoglikosida seperti gentamisin dan
streptomisin mengganggu tahap awal sintesis protein dengan cara
mengubah bentuk 30S, sehingga perintah mRNA tidak dapat terbaca
dengan benar.
3. Merusak membran sitoplasma
Antibiotik golongan polipeptida, misalnya polimiksin B melekat pada
fosfolipid dalam membran sitoplasma sehingga mengubah permea-
bilitasnya yang berakibat sel kehilangan metabolit sel yang penting.
4. Menghambat sintesis asam nukleat
Rifampin dan golongan kuinolon bekerja dengan mengganggu proses
replikasi dan transkripsi DNA dan toksisitasnya bersifat selektif karena
antibiotik ini juga dapat mengganggu sintesis DNA dan RNA sel
mamalia.
5. Menghambat sintesis metabolit esensial
Aktifitas enzimatik di dalam sel mikroba dapat dihambat secara
kompetitif oleh zat lain. Sebagai contoh adalah inhibisi kompetitif antara

24 
sulfanilamide (golongan sulfa) dan para-aminobenzoic acid (PABA).
PABA adalah zat yang diperlukan dalam reaksi enzimatik sintesis asam
folat, yaitu suatu koenzim untuk sintesis purin dan pirimidin yang
diperlukan dalam pembuatan asam nukleat dan asam amino.
Sulfanilamide akan berkompetisi dengan PABA, sehingga sintesis asam
folat akan terganggu. Antibiotik yang juga memiliki aktifitas
antimetabolit adalah sulfones dan trimethoprim.

PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI3,4

Pemeriksaan mikrobiologi bertujuan untuk mengetahui ada atau


tidaknya mikroba yang diduga merupakan penyebab penyakit infeksi yang
diderita oleh seorang pasien. Bila pemeriksaan membuktikan bahwa terdapat
mikroba patogen penyebab maka dilanjutkan dengan uji kepekaan bakteri
atau jamur terhadap antibiotik atau antijamur. Hasil pemeriksaan harus
diinterpretasi dengan baik, mengingat permukaan tubuh manusia (kulit dan
mukosa) mengandung flora normal yang bisa terambil bersama spesimen
dan teridentifikasi tetapi tidak harus dilaporkan kepada klinisi sebagai
bakteri penyebab infeksi. Bila hasil pemeriksaan mikrobiologi diinterpretasi
dengan salah, maka justru akan menyebabkan diagnosis dan penatalaksanaan
yang salah pula.
Pemeriksaan mikrobiologi terdiri atas tahap pra-analitik, analitik dan pasca-
analitik, dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Fase Pra-analitik:
Fase pra-analitik adalah fase penanganan spesimen yang dimulai sejak
klinisi memutuskan perlunya pemeriksaan mikrobiologi untuk
menegakkan diagnosis infeksi sampai spesimen diterima oleh laboran
mikrobiologi. Beberapa faktor yang harus diperhatikan pada fase ini
untuk untuk mendapatkan hasil yang baik adalah:
 Waktu pengambilan spesimen
Pada prinsipnya spesimen harus segera diambil segera ketika klinisi
memberikan instruksi. Hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan
waktu pengambilan adalah:
 Pengambilan pada saat akut dan sebelum pemberian antibiotik
atau bebas antibiotik selama 3 hari
 Spesimen darah diambil saat pasien demam

25 
Beberapa pengecualian dapat dilakukan namun diperlukan konsultasi
dengan SpMK untuk menentukan jenis spesimen, waktu pengambilan
ataupun jenis medium yang digunakan.
 Jenis spesimen yang diambil
Jenis spesimen ditentukan berdasarkan suspek sumber infeksi pada
tubuh pasien. Dalam hal ini pengetahuan tentang patogenesis atau
perjalanan penyakit sangat diperlukan sehingga dapat dipilih jenis
spesimen yang tepat dan pada waktu yang tepat. Pada keadaan sepsis,
selain pembiakan darah juga digunakan spesimen lain yang diduga
kuat sebagai sumber infeksi.
 Cara pengambilan spesimen
Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan mikrobiologi berbeda dengan
untuk tujuan pemeriksaan hematologi, kimia, patologi anatomi, atau yang
lainnya. Selain itu cara pengambilan yang dilakukan harus sedemikian
sehingga dapat menghindari kontaminasi flora normal atau kolonisasi
mikroba di area pengambilan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
adalah:
 Tenaga kesehatan yang mengambil spesimen menggunakan alat
pelindung diri
 Penggunaan alat dan wadah steril
 Pembersihan kulit dengan antiseptik sebelum pengambilan darah
atau kulit sekitar luka sebelum pengambilan spesimen usap atau
aspirat luka
 Penggunaan antiseptik dan larutan fisiologis steril untuk mencuci luka
sebelum pengambilan spesimen di dasar dan tepi luka. Penggunaan
antiseptik adalah untuk menghindari terambilnya bakteri yang
mengkolonisasi luka, sedangkan pencucian dengan larutan fisiologi
steril untuk mencegah terbawanya antiseptik ke dalam medium
sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
 Jumlah spesimen yang mencukupi
 Edukasi secara jelas dan gamblang (menggunakan gambar) harus
dilakukan kepada pasien yang mengambil spesimennya sendiri,
seperti urin dan feses
 Pemberian label pada wadah spesimen (bukan tutupnya) yang
memberi informasi tentang nama pasien, tanggal lahir atau umur,
nomor rekam medik, jenis spesimen (bila swab disertai tempat

26 
pengambilan), bangsal tempat rawat, dan waktu pengambilan
(tanggal dan jam)
 Penyimpanan dan Pengiriman spesimen
Penyimpanan dan pengiriman yang benar bertujuan untuk
mempertahankan hidup bakteri patogen yang mungkin hanya sedikit
jumlahnya atau merupakan bakteri yang mudah mati. Selain itu
penyimpanan yang benar selama pengiriman penting pada spesimen
yang berasal dari tempat yang tidak steril (sputum, urin, feses, dll)
untuk mencegah pertumbuhan flora normal yang berlebihan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah:
 Penggunaan medium transport yang sesuai jenis spesimen dan
mikroba yang diduga sebagai penyebab infeksi
 Pengiriman secepatnya ke laboratorium, diharapkan dalam 30
menit (ideal) – 2 jam sampai di laboratorium
 Spesimen yang disimpan dalam suhu dingin (refrigerate) adalah
cairan serebrospinal untuk pemeriksaan virus, telinga luar, feses,
sputum, dan urin
 Spesimen yang disimpan dalam suhu ruang adalah aspirat atau
usap abses, lesi, luka, aspirat cairan tubuh, aspirat cairan serebro-
spinal untuk kultur bakteri, aspirat atau usap telinga tengah, usap
genital, usap hidung, usap tenggorok, jaringan

Pengiriman spesimen harus disertai formulir permintaan pemeriksaan


yang diisi lengkap meliputi:
 Identitas pasien (nama, umur, jenis kelamin, bangsal tempat rawat)
 Identitas dokter yang merawat (nama, alamat, nomor telefon yang
mudah dihubungi)
 Keterangan spesimen yang dikirim (jenis, asal pengambilan,
waktu pengambilan meliputi tanggal dan jam)
 Informasi klinis yang relevan (infeksi akut atau kronik, tanda klinis
spesifik yang bisa mengarahkan pada jenis mikroba penyebab)
 Penggunaan antibiotik sebelum atau saat pengambilan spesimen
 Pemeriksaan mikrobiologi yang dikehendaki
 Penilaian spesimen yang memenuhi syarat untuk diperiksa
Penilaian kualitas spesimen dilakukan oleh petugas laboratorium.
Penilaian meliputi:

27 
 Wadah dalam keadaan utuh (tidak bocor) dan tertutup rapat
 Spesimen tidak kering dan disimpan pada suhu yang benar sesuai
jenis spesimen dan tujuan pemeriksaan. Spesimen dalam bentuk
usap (swab kapas) dikirim menggunakan medium transport
 Jarak antara waktu pengambilan dan penerimaan tidak melebihi
ketentuan
 Terdapat label pada wadah
 Formulir diisi dengan lengkap
Pengiriman yang tidak memenuhi persyaratan akan diinformasikan
kepada klinisi yang merawat pasien pemilik spesimen untuk diambil
spesimen ulang atau bila tidak memungkinkan atas persetujuan klinisi
spesimen tetap diperiksa dengan catatan khusus.
2. Analitik:
Tahap analitik meliputi pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan di
laboratorium, yaitu:
 Pemeriksaan mikroskopik
 Pemeriksaan kultur, identifikasi, dan uji kepekaan terhadap
antimikroba
 Pemeriksaan serologi untuk deteksi antibodi atau antigen
 Pemeriksaan biologi molekuler untuk mendeteksi DNA atau RNA
yang spesifik terdapat pada mikroba tertentu
3. Pasca-analitik
Tahap pasca-analitik adalah sejak dilakukan interpretasi hasil di
laboratorium sampai dengan interpretasi klinisi ketika membaca hasil
pemeriksaan mikrobiologi. Tahap ini meliputi:
 Pembacaan dan penulisan hasil pemeriksaan
 Pengiriman hasil kepada klinisi
 Pemahaman hasil oleh klinisi
 Penatalaksanaan lanjutan yang dilakukan berdasarkan hasil tersebut
Dalam menentukan bahwa bakteri yang teridentifikasi dari spesimen
kemungkinan sebagai penyebab infeksi atau bukan maka hal yang
perlu diperhatikan adalah:
 Kualitas spesimen yang diperiksa baik dan kuantitas cukup
 Kesesuaian antara jenis mikroba patogen yang teridentifikasi dengan
organ atau sistem asal spesimen dan tanda klinis yang terjadi. Dalam

28 
hal ini interpretasi mencakup kesimpulan bahwa mikroba atau bakteri
yang diisolasi adalah kolonisasi atau patogen penyebab infeksi
 Bila pada spesimen yang berasal dari tempat steril ditemukan mikroba
lebih dari satu jenis, perlu dicurigai adanya kontaminasi selama
pengambilan, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa
penyebabnya adalah polimikroba.
 Kondisi sistem imun pasien. Pada pasien dengan sistem imun yang
rendah maka sangat mungkin terjadi infeksi oleh bakteri oportunis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tortora Gerard J, BR Funke, CL Case. Microbiology in Introduction. 9th edition.


Pearson Benjamin Cummings. 2007
2. Bauman Robert W. Microbiology with Diseases by Taxonomy. International
Edition. Pearson. 2011
3. Mandell GL, JE Bennett, R Dolin. Mandell, Douglas, Bennett’s Principles and
Practice of Infectious Diseases. 7th edition. Churchill Livingstone Elsevier. 2010
4. Garcia Lynne S, Henry D. Isenberg. Clinical Microbiology Procedures
Handbook. 2nd Edition Update. ASM Press Washington DC. 2007

29 
BIOMARKER INFEKSI­SEPSIS 
Frans JV Pangalila

S elang tiga dekade terakhir ini angka kejadian Sepsis masih cukup tinggi,
dilaporkan melampaui angka kejadian gagal jantung dan bahkan untuk
angka kematian pertahun lebih tinggi dibanding kasus infark miokard akut.
Walaupun penanganan sepsis sejak 15 tahun terakhir semakin membaik tetapi
masih merupakan penyebab utama kematian pada penyakit kritis dengan angka
mortalitas diantara 30-50%. Disamping itu, menurut laporan healthcare cost and
utilization project selang tahun 2001-2007 biaya rawat rumah sakit akibat
infeksi/sepsis meningkat 25% dengan kumulatif mencapai 12.3 juta USD di
tahun 2007(17). Dalam mengatasi keadaan ini diperlukan bukan saja pengadaan
obat obat baru tetapi memperbaiki kualitas prosedur diagnosis agar
penatalaksanaan yang tepat terhadap infeksi-sepsis dilakukan lebih dini. Dalam
keseharian para klinisi sering dihadapi dengan kesulitan untuk membedakan
antara systemic inflammatory responds syndrome (SIRS) dengan sepsis,
terutama pada penyakit kritis sering ditemukan gejala SIRS yang bukan
disebabkan oleh faktor infeksi, misalnya acute respiratory distress syndrome
akan memberikan gejala gangguan respirasi disertai gambaran infiltrat baru
pada paru, demam dan lekositosis, keadaan yang mirip dengan pneumonia
bakterial. Umumnya, dilakukan prosedur diagnostik melalui pemeriksaan
sputum gram tetapi hasilnya sering sulit untuk membedakan antara kontaminasi,
kolonisasi atau infeksi sedangkan pemeriksaan mikrobiologi (biakan kuman)
untuk mendapatkan hasilnya harus menunggu rerata empat hari (time
consuming). Banyak data mendukung bahwa pemberian secara dini antibiotik
yang tepat akan menurunkan mortalitas secara bermakna tetapi disisi lain di
perlukan suatu keseimbangan dimana penggunaan antibiotik secara berlebihan
(overused antibiotic) harus dihindari untuk mencegah meningkatnya resistensi
antibiotik yang disebabkan oleh kuman multidrug resistance patogen. Walaupun
penuh dengan perdebatan, dua dekade terakhir ini para ahli memberikan
perhatian khusus terhadap penggunaan biomarker sebagai metoda untuk
memperbaiki diagnosis infeksi. Selain diagnostik, saat ini dihadapi pula dengan

30 
permasallahan dalam pemantauan ke k efektifan terhadap
t penggobatan, misaalnya
respons infeksi terhhadap pemberrian antibiotiik yang dibberikan. Kaskkade
inflamassi mempunyaai peran sentrral terhadap interaksi anttara tubuh (hhost)
dengan mikroorganissme patogen serta mekaniisme kontrol terhadap inffeksi
sehinggaa mediator inflamasi
i inii dapat juga digunakan sebagai petaanda
terhadapp respons peengobatan. Oleh O karena itu,
i biomarkeer di definisiikan
sebagai sesuatu yangg dapat diukkur secara obbjektif dan diievaluasi sebagai
indikatoor proses paatogenik dann biologik yang normaal atau resppons
farmako ologis terhadap pengobattan, sehinggaa biomarker harus memennuhi
tahapan validasi (mem mpunyai kekaarakteristikan, terstandarisassi dan akurat) dan
kualifika
asi (terintegraasi dengan keadaan
k kliniss serta prosees patologi yang
y
(4,10,13,18)
mendasaari). . Dengan
D menggintegrasikan anamnesis,
a p
pemeriksaan f
fisik
yang baaik disertai penggunaan metoda diagnostik tradiisionil atau non
spesifik dibantu denngan pengguunaan biomarker diharapkan penangaanan
masalah h infeksi-sepsis akan lebihh baik,walauppun saat ini belum b didapattkan
biomark ker yang ideaal tetapi setiddaknya dapatt memenuhi beberapa b kritteria
(4,18)
dibawah h ini :

Pada arttikel ini akann diringkas beberapa


b biommarker terkinni (procalcitoonin,
sTREM--1 dan IL-6) dan
d marker traadisional (C-reeactive proteinn, lekosit-netrrofil/
limfosit)) yang dapat membantu
m peenatalaksanaaan infeksi dalaam praktek kllinik
sehari haari.

31 
Lekosit : netrofil/limfosit
Lekosit diproduksi dalam sumsum tulang kemudian mengalami
“discharge” ke sistem vaskular dan terbagi dalam dua kelompok yaitu
marginal (subendotel/perivaskular) dan sirkulasi, sebagian akan terdistribusi
kedalam jaringan, proses ini disebut leukodiapedesis. Salah satu penyebab
penting leukodiapedesis adalah adanya faktor chemotaxis-adhesion molecule
yang terkait dengan respons fisiologik sistem imun tubuh, yaitu ditandai
dengan pergerakan lekosit kearah konsentrasi sumber chemotaxis (misalnya;
faktor komplemen,lipopolysaccharide-endotoksin, alarmins/heat shock protein)
yang lebih tinggi (lihat gambar 1)(10). Secara morfologi lekosit dibagi 2
kelompok: lekosit bergranular (eosinofil, basofil, netrofil) dan lekosit non-
granular (limfosit, monosit). Pada individu yang sehat jumlah lekosit dalam
sirkulasi relatif stabil dengan komposisi : netrofil 60% (50%-70%) eosinofil
3% (0%-5%) basofil 0.5% (0%-2%) monosit 5% (0%-9%) dan limfosit 30%
(20%-40%). Seperti yang telah diutarakan sebelumnya perubahan dari nilai
normal ini sangat ditentukan oleh respons imun fisiologik terhadap beberapa
stress faktor, misalnya kerusakan jaringan, trauma, pembedahan mayor, luka
bakar dan sindroma sepsis yang ditandai dengan netrofilia dan limfopenia(10).
Zahorec (2001) menyimpulkan bahwa rasio Netrofil dan limfosit (Neutrophil-
Lymphocyte Count Rasio/NLCR) lebih besar 6 mengindikasikan infeksi berat
atau sistemik inflamasi (nilai normal netrofil < 75%, limfosit > 15%, nilai
normal rasio netrofil/limfosit 75 : 15 = 5)(21).

32 
Gambar 1: Lekodiapedesis, pergerakan Lekosit kearah konsentrasi sumber
chemotaxis yang lebih tinggi (leukodiapedesis) untuk mengawali, misalnya suatu
proses fagositosis (10).

Demikian pula penelitian de Jager dkk (2010) mendapatkan bahwa rasio


netrofil-limfosit 20.9 (p < 0.0001) dapat memprediksi terjadinya bakteremia
pada setiap kasus dengan kecurigaan infeksi komunitas di unit gawat darurat
(tabel 1). Analisa receiver operating curve (ROC) menunjukan bahwa rasio
netrofil/limfosit mempunyai nilai tertinggi 0.73 dibanding empat petanda
infeksi lainnya (lekosit, netrofil, limfosit dan CRP) untuk mendeteksi
bakteremia dari non bakteremia pada penderita sepsis (gambar 2)(3). Netrofil
Granular Toksik (NGT) dapat pula digunakan sebagai petanda adanya
inflamasi atau infeksi bakterial akut, terbentuknya NGT ini akibat stimulasi
granulocyte colony-stimulating factor dan IL-6 terhadap prekursor
granulosit pada sumsum tulang. de Veyver dkk (2010) menyimpulkan bahwa
NGT pada darah perifer sangat membantu sebagai petanda untuk menilai
beratnya proses infeksi atau inflamasi (6).

33 
Tabel 1 : Petanda Infeksi antara Kelompok Kohor dan Kontrol (3)

Study cohort Control group P value


(n=92) (n=92)

C-reactive protein level (mg/l) 176 + 138 116 + 103 0.042


9 9
White blood cell count (/l) 13.6 + 6.6 x 10 12.9 + 52 x 10 0.971
Neutrophil count (/l) 12.1 + 6.1 x 109 10.7 + 5.1 x 109 0.261
9 9
Lymphocyte count (/l) 0.8 + 0.5 x 10 1.2 + 0.7 x 10 < 0.0001
Neutrophil-lymphocyte count ratio 20.9 + 13.3 13.2 + 14.1 < 0.0001

Gambar 2: Receiver Operating Curve (ROC) dari lima petanda infeksi


Kurva receiver operating curve NLCR mempunyai nilai tertinggi 0.73 (confidence interval=
0.66-0.80) dalam membedakan bakteremia dengan non bakteremia (3)

C-reactive protein (CRP)


CRP, suatu acute phase protein (pentraxin) yang dihasilkan oleh sel hati
(hepatosit) dan makrofage alveoli setelah di stimulasi oleh sitokin terutama
IL-6 dan IL-1 atau TNF-α. Pada saat tubuh terinfeksi, CRP akan memodulasi
rangkaian sistem komplemen, melakukan opsonisasi bakteri untuk optimalisasi
proses fagositosis. Peningkatan CRP dapat ditemukan pula pada keadaan non
infeksi seperti paska pembedahan dan infark miokard akut. CRP digunakan

34 
sebagai biomarker dikarenakan konsentrasi sangat meningkat 4 hingga 6 jam
setelah merespons terhadap inflamasi, mengalami duplikasi konsentrasi setiap 8
jam dan puncaknya pada 36 hingga 50 jam kemudian dengan half life yang
pendek sekitar 19 jam, sifat kinetik ini yang kurang menguntungkan sebagai
biomarker bila dibandingkan dengan procalcitonin yang lebih konsisten(10,18).
Walaupun mempunyai banyak keterbatasan beberapa penelitian membuktikan
bahwa peningkatan bermakna serum CRP terjadi pada infeksi dan sepsis,
terutama pada 24 jam pertama sejak timbulnya gejala SIRS. Paran dkk
(2009) menyimpulkan bahwa CRP velocity (CRPv) dapat membedakan
acute febrile disebabkan oleh bakteria atau non bakteria terutama bila nilai
konsentrasi absolut CRP masih < 100 mg/L. CRPv didefinisikan sebagai
konsentrasi CRP dalam plasma pada saat demam akut dibagi lamanya riwayat
demam dalam satuan jam, menggunakan nilai cutt off > 1.08 mg/L/jam
didapatkan sensitifitas 88% dan spesifisitas 70% dalam mendeteksi bakteremia
sebagai penyebab demam (lihat tabel 2)(16). Demikian pula, Coelho dkk (2012)
melalui CRP rasio dapat mendeteksi dini akan kemungkinan prognosis jelek
dari suatu pneumonia komunitas yang berat serta menilai ketidak adekuatan
antibiotik yang digunakan. CRP rasio didefinisikan sebagai perbandingan
konsentrasi CRP hari kelima dan pertama, bila < 0.4 menunjukan respons
cepat sedangkan respons lambat bila CRP rasio hari ke lima > 0.4 tetapi hari ke
tujuh nilai CRP rasio < 0.8 sedangkan dikatakan tidak respons terhadap
pengobatan bila CRP rasio > 0.8 pada hari ke tujuh dan bila dikaitkan
dengan angka presentasi mortalitas maka disimpulkan : respons cepat 4.6%,
respons lambat 17.3% dan tidak respons (no responds) 36.4% (p < 0.001)
(lihat gambar 3) (2)

35 
Tabel 2: perbandingan parameter antara demam bakterial dan non bakterial
dengan konsentrasi plasma CRP < 100 mg/L

CRPv 1.08 mg/L/jam atau lebih menunjukan sensitifitas 88% dan spesifitas
70% untuk mendiagnosis demam yang disebabkan oleh infeksi bakteri (16).

Gambar 3: Perjalanan waktu CRP rasio dari ke tiga pola kurva respons untuk
memprediksi outcome serta keefektifan antibiotik selama tujuh hari
pengobatan

CRP rasio hari ke lima dapat memperlihatkan perbedaan bermakna dari ketiga
pola kurva yaitu: respons cepat 0.23, respons lambat 0.74 dan tidak
berespons 1.47 ( p < 0.001) (2)

36 
Procalcitonin (PCT)

PCT adalah propeptida dari calcitonin yang terdiri dari rangkaian 114
hingga 116 asam amino yang terpapar pada seluruh sel parenkim dalam tubuh.
Walaupun secara klasik, PCT merupakan suatu neurohormonal yang
dihasilkan oleh kelenjar tiroid dan berperan dalam hemostasis calcium tubuh
tetapi PCT merupakan salah satu dari beberapa prekursor calcitonin yang
terlibat dalam respons sistem imun tubuh sehingga disebut hormokine. Sifat
hormokine dari PCT ini akan memberikan respons terhadap berbagai macam
proses inflamasi dalam tubuh seperti syok kardiogenik, trauma,
pembedahan, luka bakar, pankreatitis necrotizing dan infeksi (lihat gambar
4)(18)

Gambar 4: sekresi procalcitonin melalui jalur klasik dan alternative


(constitutive)
- Jalur klasik: procalcitonin sebagai propeptida calcitonin (calc-1) akan
mengekspresikan hanya terbatas pada sel neuroendokrine, khususnya sel C
kelenjar tiroid untuk pengaturan metabolisme calcium dan gastrin secara
fisiologis
- Jalur alternative (constitutive) : inflamasi akan menstimulasi procalcitonin
sebagai hormokine dan akan diekspresikan pada seluruh sel parenkim tubuh.
Infeksi bakteri (lipopolysaccharides/endotoksin) menstimulasi pelepasan mediator
proinflamasi (IL-1β, TNFα) yang akan menginduksi CT-mRNA dalam parenkim
sel untuk menghasilkan procalcitonin, sebaliknya infeksi virus melalui interferon Ỵ
akan menghambat sekresi procalcitonin, oleh karena itu infeksi virus akan
memberikan konsentrasi PCT yang rendah atau normal

37 
Diawali inflamasi infeksi, PCT akan terdeteksi 2-4 jam (lebih awal
dibanding CRP) kemudian dengan konsentrasi puncak pada 14-24 jam dan
half life sekitar 22-35 jam. PCT mempunyai beberapa keterbatasan seperti
misalnya pada sepsis disertai kanker dan lekopeni akan didapatkan
konsentrasi PCT yang rendah, gangguan ginjal dengan atau tanpa
hemodialisis konsentrasi PCT tidak dapat memberikan informasi akurat
(nilai false positif atau negatif yang tinggi) atau penyakit autoimun
(sindroma Kawasaki) akan didapatkan nilai PCT yang tinggi tanpa disertai
infeksi. Walaupun demikian, semakin banyak literatur mendukung peranan
PCT sebagai petanda khusus untuk infeksi bakteria bahkan untuk tampilan
klinis dapat membedakan antara sepsis dan SIRS (tabel 3) dimana
konsentrasi PCT yang sangat tinggi didapatkan pada syok septik (12)

Konsentrasi PCT dalam plasma sangat berkorelasi dengan kemungkinan


kegagalan organ akibat sepsis terutama bila konsentrasi PCT yang tinggi
secara menetap dapat memprediksi akan terjadi fatal outcome akibat sepsis.
Bloos F dkk (2011) melibatkan 175 penderita terdiri dari 57 (CAP), 61
(VAP) dan 57 (HAP) mendapatkan nilai awal PCT pada VAP non-survivor
meningkat secara bermakna dibanding yang survivor (nilai cutt-off PCT
survivors 0.6 ng/ml), demikian pula pada CAP didapatkan hal yang sama
yaitu nilai awal PCT non -survivor lebih tinggi dibanding survivor walaupun
tidak bermakna (lihat gambar 5)(1)

38 
Gambar 5: nilai awal PCT pada CAP, HAP terutama VAP dapat memprediksi
akan kemungkinan survivor atau non surviver (1).
*p < 0.05 (surviver vs non-surviver) #p < 0.05 (bonforreni corrected) dibanding VAP
- CAP community-acquired pneumonia HAP hospital-acquired pneumonia VAP ventilator-
associated pneumonia

Sebagaimana kita ketahui bahwa optimalisasi hemodinamik, pengendalian


source controle infeksi merupakan prioritas utama dalam penatalaksanaan awal
sepsis-syok septik tetapi pemberian dini antibiotik spektrum luas intravena
tidaklah kalah penting. Banyak data membuktikan pemberian antibiotik yang
tepat sejak dini dapat mengurangi mortalitas sepsis tetapi dipihak lain
penggunaan antibiotik yang tidak terkontrol (misused atau overused) harus
dihindari untuk mencegah meningkatnya resistensi antibiotik yang
disebabkan oleh kuman multidrug resistance patogen. PCT mempunyai nilai
prediktif negatif yang cukup bermakna untuk menyingkirkan sepsis dan
sepsis berat akibat bakteri sehingga dapat digunakan sebagai pedoman
penggunaan antibiotik pada beberapa penyakit kritis seperti sepsis, sepsis
berat dan syok septik (lihat gambar-6)(12,14). FDA merekomendasikan
penggunaan dalam praktek klinik di US karena PCT mempunyai korelasi
yang baik dengan tingkat keparahan dari sepsis, bahkan surviving sepsis
campaigne 2012 menyarankan penggunaan PCT sebagai pedoman untuk
menghentikan antibiotik yang diberikan secara empiris bila didapatkan
konsentrasi yang rendah dari PCT pada penderita klinis tampak sepsis tetapi
tidak terbukti adanya sumber infeksi (lihat gambar-7)(5,14)

39 
Gambar 6: Pedoman penggunaan PCT pada penderita kecurigaan Sepsis (14)
* Interpretasi hasil PCT harus disesuaikan dengan tampilan klinis penderita
#
perlu menyingkirkan penyebab peningkatan PCT yang disebabkan non - infeksi : trauma,
mayor surgery dan luka bakar

Gambar 7: Pedoman penggunaan PCT pada penatalaksanaan penderita sepsis (14)


- PCT dapat digunakan untuk membantu memonitor ke efektifan penanganan sepsis

40 
Triggering Receptor Expressed on Myeloid Cells -1 (TREM-1)
TREM-1 adalah kelompok imunoglobulin superfamily yang akan
disekresi saat sel fagosit (netrofil dan makrofage) terpapar oleh bakteri atau
jamur. Diawali dengan interaksi toll-like receptor (TLR) pada sel fagosit
dengan mikroorganisme patogen melalui patogen associated molecular
patterns (PAMPs) akan mengaktifasi phosphatidylinositol - 3 kinase (PI3K)
sehingga terjadi upregulated TREM-1 pada membran permukaan sel efektor
diikuti dengan aktifasi signaling intraseluler melalui DAP12 untuk
menghasilkan sitokin-kemokin. TREM-1 akan terlepas dari permukaan sel
efektor, sebagian akan terikat sebagai trem-1ligand yang akan memodulasi
respons inflamasi dan sebagian akan bebas dalam cairan tubuh sebagai soluble
TREM-1 (sTREM-1) untuk digunakan sebagai petanda diagnosis infeksi (lihat
gambar-8)(18). Gibot S dkk melakukan penelitian prospektif pada penderita
dengan mekanikal ventilasi disertai kecurigaan pneumoni, melalui cairan BAL
dilakukan pemeriksaan sTREM-1 dan hasilnya menunjukan indikator yang
baik untuk mendiagnosis pneumonia (sensitifitas 98%; spesifitas 90% dengan
cutt-off > 5 pg/mL). Dari kelompok yang sama melakukan perbandingan antara
sTREM-1 dengan PCT dan CRP dan hasil penelitian ini menunjukan bahwa
sTREM-1 sebagai petanda diagnostik mempunyai hasil yang lebih baik
(sensitifitas 96%; spesifitas 89% dengan cutt-off > 60 ng/mL) dibanding PCT
dan CRP untuk membedakan SIRS dari sepsis atau syok septik (lihat tabel-4)(8,9)

Gambar 8: Jalur TREM-1 pada sel efektor (netrofil-makrofage) - diawali


interaksi antara TLR dan PAMP mengakibatkan upregulated trem-1pada permukaan sel efektor
selanjutnya trem-1akan terpisah (shedding) dari sel efektor sebagian akan membentuk TREM-1
ligand untuk memodulasi respons inflamasi akut seperti IL-8,MCP -1 atau -3 dan sebagian dalam
bentuk soluble TREM-1yang digunakan sebagai petanda infeksi (18)

41 
Tabel 4: Perbandingan uji diagnostik (sTREM-1, PCT, CRP) untuk memprediksi
terjadinya infeksi menurut kriteria ACCP/SCCM*

*penderita infeksi (n= 47) dengan diagnosis sepsis, sepsis berat atau syok septik dan
penderita non-infeksi (n = 29) dengan diagnosis systemic inflammatory response syndrome
kausa non-infeksi (sebagai kontrol)(9).
- ACCP : American College of Chest Physician / SCCM : Society Critical Care Medicine

Walaupun TREM-1 berpotensi sebagai petanda diagnostik untuk sepsis


tetapi dalam menentukan risiko atau prognosis masih memerlukan
pembuktian lebih lanjut. Gibot S dkk (2005) melakukan penelitian pada tikus
bahwa peningkatan sTREM-1 basal mempunyai faktor proteksi terhadap
kematian (OR 0.1,95% CI 0.1-0.8) karena menunjukan akselerasi respons
inflamasi oleh host. Sebaliknya penurunan secara progresif sTREM-1 pada
hari ke 14 menunjukan prognosis yang lebih baik (7). Demikian pula, Tejera
A dkk (2007) dan Muller B dkk (2007) melakukan penelitian pada penderita
pneumonia komunitas (56% dari kasus dengan manifestasi syok septik)
menyatakan bahwa konsentrasi sTREM-1mempunyai korelasi dengan daya
kemampuan untuk hidup (survival), walaupun masih harus di uji melalui
penelitian penelitian lanjut (19,20)

Interleukin-6 (IL-6)
Respons sitokin inflamasi seperti TNF-α, IL-1β, IL-8 dan IL-6 akibat
adanya mikroorganisme patogen atau kerusakan jaringan host akan
menimbulkan SIRS dan kegagalan multi-organ. IL-6 diinduksi oleh TNF-α
mempunyai waktu paruh yang panjang merupakan mediator penting pada

42 
syok septik dan sejak lama diketahui dapat memprediksi tingkat keparahan
serta perlangsungan dari syok septik. Dari beberapa penelitian membuktikan
bahwa penggunaan IL-6 sebagai petanda diagnostik dan prognostik
sangatlah rasionil walaupun tidak sebaik procalcitonin. Oda S dkk (2005)
menunjukan bahwa konsentrasi plasma IL-6 sangat tinggi (660.000 pg/mL)
pada syok septik dibanding tiga kelompok lainnya yaitu SIRS, sepsis dan sepsis
berat (p < 0.001) (lihat gambar 9). Demikian pula nilai rerata IL-6 pada hari ke 3
( > 1000 pg/mL) lebih tinggi secara bermakna pada kelompok non-survivors
dibanding survivors (p < 0.05) (lihat gambar 10) (15).

Gambar 9: Perbandingan konsentrasi plasma IL-6 antara SIRS, sepsis, sepsis berat
dan syok septik saat masuk ICU. Mean ± SD (15)

43 
Gambar 10 : Perbandingan perubahan rerata plasma IL-6 terutama dihari ke 3 rawat
ICU antara kelompok survivor dan non-survivor. Mean ± SD (15)

Sebelumnya, Harbarth dkk (2001) telah melaporkan bahwa IL-6 mempunyai


kemampuan untuk membedakan antara SIRS dan sepsis (area under the
curve 0.75, 95% CI 0.63-0.87) dan bila nilai absolut IL-6 lebih dari 1000
pg/mL memberikan nilai prediksi yang tinggi akan terjadinya kematian
akibat sepsis (11)

RINGKASAN
Walaupun saat ini penanganan sepsis semakin membaik tetapi masih
merupakan penyebab kematian utama pada penyakit kritis dengan angka
kematian antara 30-50%. Dalam keseharian para klinisi sering dihadapi
beberapa pertanyaan seperti apakah pasien saya terinfeksi, dimana sumber
infeksinya dan kuman apa penyebab infeksi dan tidak jarang dalam praktek
klinik sulit membedakan antara sepsis dan sepsis like syndrome.
Konsekuensinya, akibat ketidak jelasan ini diberikan antibiotik tanpa alasan
yang kuat karena hanya didasari oleh ketakutan akan kemungkinan dan
kecurigaan adanya infeksi yang mendasari. Banyak data yang mendukung
bahwa pemberian antibiotik secara dini yang tepat akan menurunkan
mortalitas secara bermakna tetapi disisi lain di perlukan suatu keseimbangan

44 
dimana penggunaan antibiotik secara berlebihan (overused antibiotic) harus
dihindari untuk mencegah meningkatnya resistensi antibiotik. Dua dekade
terakhir ini para ahli memberikan perhatian khusus terhadap penggunaan
biomarker sebagai metoda untuk memperbaiki diagnosis infeksi. Kaskade
inflamasi mempunyai peran sentral terhadap interaksi antara tubuh (host)
dengan mikroorganisme patogen serta mekanisme kontrol terhadap infeksi
sehingga mediator inflamasi ini dapat juga digunakan sebagai petanda
diagnostik termasuk penilaian terhadap respons pengobatan. Melalui
penulisan ini telah dibahas beberapa petanda atau biomarker infeksi (lekosit,
CRP, PCT, sTREM-1 dan interleukin-6), walaupun hingga saat ini tidak ada
biomarker yang sempurna masing masing mempunyai keterbatasan. Oleh
karena itu peran klinisi sangatlah penting dalam mengambil keputusan tetapi
setidaknya dengan bantuan biomarker didukung dengan pemeriksaan klinis
yang baik serta pemeriksaan laboratorium penunjang lainnya maka
penatalaksanaan infeksi-sepsis akan semakin baik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bloos F, Marshal J et al. Multinational, observational study of procalcitonin in
ICU patients with pneumonia requiring mechanical ventilation : a multicenter
observational study. Critical Care 2011;15:2-9
2. Coelho L, Salluh J et al. Patterns of c-reactive protein Ratio response in severe
community-acquired pneumonia: a cohort study. Critical Care 2012;16:2-8
3. de Jager, van Wijk P et al. Lymphocytopenia and neutrophil-lymphocyte count
ratio predict bacteremia better than conventional markers in an emergency care
unit. Critical Care 2010;14:2-8
4. Dellinger P, Carlet J et al. Sepsis Handbook-biomeriux;september 2007
5. Dellinger P, Levy M et al. Surviving Sepsis Campaigne : International
guidelines for management of severe sepsis and septic shock 2012. Critical
Care Medicine 2013; 41: 580-637
6. de Veyver A, Delport E et al. The correlation between C-reactive protein and
toxic granulation of neutrophils in peripheral blood. South African Medicine J
2010;100: 442-444
7. Gibot S, Craivosy A et al. Time-course of sTREMS-1, procalcitonin, C-reactive
protein plasma concentrations during sepsis. Crit Care Med 2005; 33: 792-796
8. Gibot S, Levy B et al. Soluble triggering receptor expressed on myeloid cells
and the diagnosis of pneumonia. N Engl J Med 2004; 350:451-458
9. Gibot S, Sarda K et al. Plasma level of a triggering receptor expressed on
myeloid cells-1: its diagnostic accuracy in patients suspected sepsis. Ann Intern
Med 2004;141:9-15.

45 
10. Hammoudi D. Hematology notes. Blood/Hematology.
HTTP://sinoemedicalassociation. or/AP2/ : 1-94
11. Harbarth S, Holeckova K et al. Diagnostic value of procalcitonin, Interleukin-6
and Interleukin-8 in Critically Ill patients admitted with suspected sepsis.
AJRCCM 2001;164:396-402.
12. Konrad R, Meisner M et al. Biomarkers incritically Ill patient : Procalcitonin.
Crit Care Clinics 2011;27:253-263.
13. Mc Culloh R. Biomarkers in Sepsis and Severe Infection : Where Immunology
Meets Diagnostics.Editorial. J Immunodeficiency and Disorders 2012;1:1-2
14. Meisner M. Procalcitonin-Biochemistry and Clinical Diagnosis 2010. UNI-
MED Verlag 1ed – Bremen :7-122
15. Oda S, Hirasawa H et al. Sequential measurement of IL-6 blood levels in
patients with systemic inflammatory responds syndrome(SIRS)/sepsis. Cytokin
2005; 29:169-175.
17. Paran Y, Yablecovitch D et al.C-reactive protein velocity to distuingish febrile
bacterial infections from non-bacterial febrille illnesses in the emergency
department. Crit Care 2009;13:1-8
18. Povoa P, Salluh J et al. Biomarker-guided antibiotic therapy in adult critically ill
patients: a critical review. Annals of Intensive Care 2012;2:1-9
19. Ventetuolo C, Levy M. Biomarkers : Diagnosis and Risk Assessment in Sepsis.
Clincal Chest Med 2008;29:591-603
20. Tejera A, Santolaria F et al. Prognosis of community acquired pneumonia :
value of triggering receptor expressed on myeloid cells-1(TREM-1) and other
mediators of the inflammatory response. Cytokine 2007;38:117-123
21. Muller B, Mikael G et al. Circulating levels of soluble triggering receptor
expressed on myeloid cells (sTREM)-1in community acquired pneumonia. Crit
Care Med 2007;35:990-991
22. Zahorec R. Clinical report : Ratio of neutrophil to lymphocyte counts-rapid and
simple parameter of systemic inflamation and stress in critically ill. Bratislava
Lek Listy 2001;102:5-14.

46 
PRINSIP PENGGUNAAN ANTIMIKROBA  
PADA PENYAKIT KRITIS 
Rovina Ruslami

PENDAHULUAN

P engobatan infeksi dengan sepsis pada penyakit kritis masih merupakan


tantangan bagi para klinisi karena masih tingginya morbiditas dan
mortalitas. Pada penanganan penyakit kritis pemberian antimikroba (AM)
secara dini dan tepat merupakan salah satu pilar penting disamping
penanganan sumber infeksi1. Oleh karena itu optimalisasi penggunaan AM
merupakan prioritas dalam pengelolaan penyakit kritis. Optimalisasi
penggunaan AM sangat penting untuk memaksimalkan luaran terapi, tanpa
harus meningkatkan resiko mengalami toksisitas dan meminimalkan resiko
resistensi AM. Pemahaman akan konsep farmakokinetik (pharmacokinetic=PK)
dan farmakodinamik (pharmacodynamic=PD) atau yang dikenal dengan
konsep PK/PD suatu AM dapat membantu kita dalam menggunakan AM
secara tepat.

KONSEP PK/PD ANTIMIKROBA

Antimikroba (AM) merupakan obat dengan karakteristik yang khas,


targetnya adalah mikroorganisme, dan daya bunuhnya tergantung kepada
karakter PK/PD nya. Berbicara mengenai PK suatu AM adalah membicarakan
mengenai absorbsi suatu AM (termasuk cara pemberian), bagaimana AM itu
terdistribusi dalam tubuh, dimetabolisme dan dieliminasi dari tubuh. Di
dalam PK dikenal istilah-istilah seperti Cmax(maximum concentration:
konsentrasi puncak), AUC0-24(Area Under the Curve: menggambarkan seberapa
besar tubuh pasien terpapar AM yang diberikan pada rentang waktu 24 jam),
Tmax(waktu yang diperlukan untuk mencapai konsentrasi puncak), Vd
(volume of distribution: menggambarkan seberapa luas suatu AM tersebar
dalam tubuh), T½ (half life = waktu paruh: waktu yang diperlukan untuk
membuat konsentrasi suatu obat menjadi setengahnya); yang berhubungan

47 
dengan Cl (Clearance: menggambarkan besarnya bersihan tubuh dari suatu
AM). Secara skematik dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Parameter Farmakokinetik dan kurva AUC

Sehubungan dengan daya bunuh AM terhadap mikroorganisme, dikenal


istilah MIC (Minimal Inhibitory Concentration: menggambarkan berapa
konsentrasi minimal yang dibutuhkan untuk menekan pertumbuhan mikro-
organisma secara in vitro) dan istilah MPC (Mutant Prevention Concentration:
berapa konsentrasi yang dibutuhkan untuk mencegah terjadinya muatsi suatu
mikroorganisme). MPC lebih besar dari MICdengan konsekuensi logis
dibutuhkan dosis yang lebih besar untuk mencapai suatu MPC (gambar 1).
Berbicara mengenai PD atau daya bunuh AM terhadap mikroorganisme
yang merupakan targetnya, suatu AM bisa bersifat concentration-dependent
dimana daya bunuhnya berhubungan dengan seberapa tinggi konsentrasinya
di dalam tubuh; makin tinggi konsentrasi AM, makin besar daya bunuhnya.
Contoh AM yang bersifat concentration-dependent adalah aminoglikosida2.
AM lain bisa bersifat time-dependent dimana daya bunuhnya lambat
dan terus menerus2,3, karena mekanisme kerjanya adalah menghambat
pertumbuhan mikroorganisme baru. Efeknya berhubungan dengan seberapa
lama AM berada di dalam tubuh dengan kadar tertentu yang efektif menekan
pertumbuhan mikroorganisme; makin lama suatu AM berada di atas kadar

48 
efektif maka makin baik daya penekanan pertumbuhan mikroorganisme.
Contoh AM yang bersifat time-dependent adalah golonganB-lactam. Untuk
AM golongan ini, tidak diperlukan konsentrasi AM yang tinggi; daya bunuh
akan maksimal pada konsentrasi AM sekitar 4-5x MIC4. Jika konsentrasi AM
berada dibawah MIC, mikroorganisme akan langsung mengalami pertumbuhan,
sebaliknya konsentrasi jauh di atas MIC tidak akan memberikan nilai tambah
dari segi efikasi4.
Disamping itu, AM juga mempunyai sifat yang disebut dengan PAE
(Post Antibiotic Effect), dimana AM masih mempunyai kemapuan menekan
pertumbuhan mikroorganisme sekalipun kadarnya di dalam darah sudah
tidak ada. Sifat PAE ini umumnya dimiliki oleh AM yang bersifat
concentration-dependent, sedangkan AM yang bersifat time-dependent tidak
memiliki PAE. PAE berhubungan dengan tingginya Cmax dan lamanya waktu
tubuh bebas dari AM2,4.
Keberhasilan terapi (efikasi) berhubungan dengan besarnya potensi
suatu AM dalam membunuh mikroorganisme. Parameter yang paling tepat
dalam menggambarkan besarnya potensi suatu AM adalah: Cmax/MIC atau
AUC/MIC untuk concentration-dependent AM, (%) T>MIC untuk time-
dependent AM (berapa lama dalam 24 jam suatu AM konsentrasinya
bearada diatas MIC)5.Tabel 1 memperlihatkan profil farmakodinamik yang
berhubungan dengan efikasi suatu AM

Tabel 1. Hubungan profil farmakodinamik dengan efikasi beberapa AM5

49 
Perubahan PK/PD Antimikroba pada penyakit kritis
Pada kondisi sepsis terjadi perubahan fisiologis tubuh yang
menyebabkan berubahnya parameter farmakokinetik, yang selanjutnya akan
mempengaruhi juga farmakodinamik dan efikasi suatu AM5.

Gambar 2. Efek sepsis terhadap kadar AM dalam darah5

Gambar 2 memperlihatkan efek sepsis terhadap konsentrasi AM dalam


darah secara skematis. Pada fase awal terjadi peningkatan hemodinamik
sebagai respons tubuh terhadap infeksi; akibatnya Vd meningkat, Cl juga
meningkat. Kondisi ini menyebabkan lebih rendahnya konsentrasi AM di
dalam darah pada pemberian AM dengan dosis tetap. Sebaliknya pada fase
lanjut dimana sudah terjadi disfungsi organ metabolisme dan ekskresi (hati
dan ginjal) maka Cl akan menurun dan T½ akan memanjang. Kondisi ini
menyebabkan lebih tingginya konsentrasi AM dalam darah pada pemberian
AM dengan dosis yang tetap/sama dibanding pasien yang tidak dalam
kondisi kritis.
Berdasarkan kenyataan di atas, maka pemberian suatu AM perlu
dimodifikasi pada penyakit kritissupaya luaran terapi adalah kesembuhan
bagi pasien, bukan kegagalan terapi akibat kadar yang suboptimal, atau
malah toksisitas5. Pada sepsis tahap awal perlu dipertimbangkan peningkatan

50 
dosis AM supaya konsentrasinya tidak menjadi suboptimal; sedangkan pada
sepsis tahap lanjut perlu dipertimbangkan penyesuaian cara pemberian AM
supaya konsentrasi AM tetap optimal namun tidak menimbulkan toksisitas.

PENYESUAIAN DOSIS AM PADA PASIEN DENGAN KONDISI


KRITIS

Penyesuaian dosis suatu AM adalah berdasarkan karakteristik PK/PD


nya. Prinsip utama adalah tetap memberikan dosis inisial (dosis penuh)
berupa bolus untuk mencapai konsentrasi puncak yang diharapkan dengan
segera, dan dilanjutkan dengan pemberian dosis pemeliharaan yang dihitung
berdasarkan kebutuhan harian pasien dengan mempertimbangkan fungsi
ginjal (klirens kreatinin).Pada AM golongan B-lactam yang relatif lebih
aman, penyesuaian dosis baru dilakukan jika klirens kreatinin menurun
cukup signifikan (biasanya jika sudah <50%).
Untuk AM golongan concentration-dependent (seperti aminoglikosida),
diperlukan konsentrasi AM yang cukup agar efikasinya terjaga. Walaupun
diketahui aminoglikosida bersifat nefrotoksik, diekskresi melalui ginjal, dan
pasien dengan kondisi kritis sering mengalami gangguan fungsi ginjal,
namun penyesuaian dosis yang paling tepat adalah:“dengan tetap memberikan
dosis penuh setiap kali pemberiandengan memperpanjang interval pemberian”6.
Setelah dosis awal diberikan secara bolus, diikuti dengan pemberian dosis
pemeliharaan (setelah dihitung kebutuhan harin) dengan dosis penuh juga,
namun dengan interval yang diperpanjang. Walau interval pemberian diper-
panjang, dengan adanya PAE maka penekanan pertumbuhan AM tetap
terjadi2,4. Pemberian dengan interval yang sama namun dengan dosis yang
lebih kecil akan menghasilkan konsentrasi yang lebih rendah sehingga daya
bunuh terhadap mikroorganisme juga akan lebih rendah (efikasi lebih
rendah) sehingga luaran terapi lebih buruk.
Sedangkan untuk AM yang bersifat time-dependent (seperti B-lactam)
meyakinkan kondisi kadar obat selama mungkin di atas MIC adalah lebih
utama. Hal ini dapat dicapai dengan “pemberian kebutuhan harian (dosis
pemeliharaan) secara continuous infusion setelah pemberian bolus”7-9.
Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah pemilihan cairan pelarut, dan
kestabilan obat pada suhu kamar; kondisi ini tidak sama untuk setiap AM.
Untuk AM yang tidak stabil pada suhu kamar dalam waktu yang lama, tidak

51 
dianjurkan pemberian secara continuous infusion(misalnya amoxicillin,
imipenem)3. Meropenem hanya stabil pada suhu kamar sekitar 8 jam, maka
pemberian untuk AM ini dilakukan secara bolus intermittent3 atau extended
infusion(pemberian selama 3 jam – setiap 8 jam). Pemberian meropenem
secara extended infusion lebih baik dibanding pemberian secara bolus
intermittent10

PEMBERIAN ANTIMIKROBA PADA POPULASI KHUSUS

Pada populasi khusus dimana terdapat perubahan farmakokinetik suatu AM,


maka pemberian suatu AM dengan dosis yang sama akan menghasilkan
konsentrasi AM yang mungkin lebih rendah atau lebih tinggi dari yang
diharapkan. Untuk itu perlu dilakukan penyesuaian dosis pemeliharaan, dan
atau waktu pemberian AM.
1. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal/renal replacement therapy
Untuk AM yang ekskresi utamanya melalui ginjal, dosis pemeliharaan
dihitung sesuai dengan kondisi ginjal (tergambar dari GFR atau klirens
kreatinin); sedangkan untuk AM yang ekskresi terutama melalui sistem
bilier, tidak memerlukan penyesuaian dosis pemeliharaan11.Klirens
kreatinin dihitung dengan memakai rumus Cocroft-Gault12:
Klirens kreatinin = (140-usia) x berat badan (x 0,85 jika pasien wanita)
72 x kreatinin serum
12
Dosis pemeliharaan = dosis normal x klirens kreatinin pasien
klirens kreatinin normal
Cara pemberian dosis pemeliharaan adalah mengikuti karakteristik AM
(concentration-dependent atau time-dependent) seperti telah diuraikan di
atas. Jika pasien mengalami dialisis (renal replacement therapy), perlu
diperhatikan waktu pemberian; untuk AM yang terdialisis (dialyzable)
maka pemberian hendaknya sesudah pasien mengalami dialisis, atau
perlu diberikan dosis tambahan setelah pasien mengalami dialisis.
2. Pasien dengan Obesitas
Pasien dengan obesitas mempunyai jaringan lemak yang lebih banyak,
sehingga obat-obat yang bersifat lipofilik (seperti golongan benzodiazepin)
akan mengalami peningkatan Vd yang akhirnya akan menurunkan
efikasi. Selain itu pada pasien dengan obesitas jumlah cairan interstisial

52 
jugaa meningkat yang menyeebabkan Vd obat yang bersifat b hidrofilik
perti aminogllikosida) jugaa akan meniingkat. Pada obesitas klirens
(sep
ginjal juga meniingkat. Sehinngga pasien dengan obesitas memerluukan
penyyesuaian dosiis yaitu penammbahan dosis13 1
.
Padaa prinsipnya penghitungan
p n dosis inisiall dan dosis peemeliharaan pada
p
pasien dengan obbesitas adalahh sama dengaan pasien lainnnya. Hanya pada p
pasien dengan obesitas, peerhitungan klirens k kreattinin tidak bisa
mennggunakan ruumus Cocrofft-Gault. Unntuk pasien dengan obessitas
(Berrat Badan passien > 130% Berat Badan Ideal) maka klirens kreattinin
dihittung dengan rumus
r Salazaar-Corcoran1131
, yaitu:

Keteerangan:
Wt: berat badan (kg)
(
Ht: tinggi
t badan= =TB (m)
Scr: kreatinin serrum

Sedaangkan penghhitungan beraat badan ideal (BBI) adalahh:


 BBI (laki-lakki) = 50 + 90,555 x [(TB (daalam meter) -1,524)]
 BBI (wanita)) = 45 + 90,555 x [(TB (dalaam meter) -1,524)]

Terapi Deeskalasi
D
Prrinsip terapi deeskalasi HANYA
H diinddikasikan untuk infeksi berat
b
yang bellum diketahui kuman penyeebabnya. Per definisi
d terapi deeskalasi addalah
pemberiian AM yangg lebih powerrful pada tahhap awal teraapi untuk periode
waktu yang
y singkat dan kemuddian segera mengganti
m deengan AM yang y
kurang powerful
p jikaa penyebab innfeksi sudah diketahui dann kondisi inffeksi
terkontrrol (Prinsip “hit hard, hit fast” dan d “magic bullet theorry”).
Disini pemberian
p AMM adalah secara empirik, berdasarkan
b p kuman lookal.
peta

53 
Dengan deeskalasi diharapkan luaran terapi dapat diperbaiki, resistensi AM
dapat ditekan dan juga memperbaiki cost-effectiveness.
Tahapannya adalah14:
1. Pemberian AM inisal yang adekuat dengan cara penggunaan AM dengan
spektrum luas
2. Lalu segera menyesuaikan dengan hasil mikrobiologi (kultur & test
sensitifitas kuman)

Untuk dapat dilaksanakannya terapi deeskalasi ini diperlukan penguatan


infrastruktur berupa sarana lab mikrobiologi yang memadai, meningkatkan
kesadaran seluruh tenaga kesehatan terlibat tentang pentingnya pengambilan
spesimen yang tepat dengan cara yang tepat, dan juga kepatuhan dokter
dalam mengikuti panduan (SOP) yang sudah dibuat tentang penggunaan AM.

RINGKASAN
Pada penyakit kritis terapi empiris hampir selalu menggunakan lebih
dari 1 macam AM dengan sifat PK/PD yang berbeda (concentration- &
time-dependent), dan pada saat inisiasi pemberian AM belum ada hasil
pemeriksaan mikrobiologi. Pada pasien dengan penyakit kritis terjadi
perubahan fisiologis tubuh yang menyebabkan terjadinya perubahan PK/PD
suatu AM. Pemahaman konsep PK/PD akan membantu pencapaian luaran
terapi yang baik tanpa pasien harus mengalami toksisitas dan juga dapat
mencegah resistensi AM. Aplikasi konsep PK/PD pada penyakit kritis
adalah dengan memberikan AM golongan concentration-dependent dengan
dosis penuh dan memperpanjang interval pemberian, sedangkan untuk
golongan time-dependent pemberian secara continuous infusion (atau
extended infusion) lebih baik daripada intermittent bolus.

KEPUSTAKAAN
1. Garnacho-Montero J, Garcia-Garmendia JL, Barrero-Almodovar A, et al. Impact of
adequate empirical antibiotic therapy on the outcome of patients admitted to the
intensive care unit with sepsis. Crit Care Med 2003; 31:2742–2751
2. Craig WA. Pharmacokinetic/pharmacodynamics parameters: Rationale for
antibacterial dosing of mice and men. Clin Infect Dis1998; 26:1–10

54 
3. Mouton JW and Vinks AA. Continuous infusion of beta-lactams. Curropin in
Crit Care Med, 2007; 13: 598-606
4. Craig WA, Ebert SC. Killing and regrowth of bacteria in vitro: a review. Scand
J Infect Dis Suppl 1991;74:63–70.
5. Roberts JA, Lipman J. Pharmacokinetic issues for antibiotocs in the critically ill
patient. Crit Care Med, 2009; 37:840-56
6. Ali MZ, Goetz MB: A meta-analysis of the relative efficacy and toxicity of
single daily dosing versus multiple daily dosing of aminoglycosides. Clin Infect
Dis 1997; 24:796–809
7. Craig WA and Ebert SC. Continuous infusion of B-lactam antibiotics.
Antimicrob Agent Chemother, 1992; 36: 2577-83
8. McKinnon PS, Paladino JA, Schentag JJ. Evaluation of area under the
inhibitory curve (AUIC) and time above the minimum inhibitory concentration
(T _ MIC) as predictors of outcome for cefepime and ceftazidime in serious
bacterial infections. Int J Antimicrob Agents 2008; 31:345–351
9. Sofia K. Kasiakou AK, Lawrence KR, Choulis N, Falagas ME. Continuous
versus Intermittent Intravenous Administration of Antibacterials with Time-
Dependent Action. A Systematic Review of Pharmacokinetic and
Pharmacodynamic Parameters. Drugs 2005; 65 (17): 2499-2511
10. Lomaestro BM and Drusano GL. Pharmacodynamic Evaluation of Extending
the Administration Time of Meropenem using a Monte Carlo Simulation.
Antimicrob Agent Chemother, 2005; 49:461-3
11. Livornese LL, Slavin D, Gilbert B, et al: Use of antibacterial agents in renal
failure. Infect Dis Clin North Am 2004; 18:551–579
12. Dipiro JT, Spruill WJ, Wade WE, Blouin RA, Pruemer JM. Concepts in clinical
pharmacokinetics. 4th ed, 2005, American Society of Helath-System Pharmacist,
Inc.
13. Salazar DE, Corcoran GB: Predicting creatinine clearance and renal drug
clearance in obese patients from estimated fat-free body mass. Am J Med 84:
1053–1060, 1988
14. Kollef M. Why appropriate antimicrobial selection is important: Focus on
outcomes. In: Owens RC Jr, Ambrose PG, Nightingale CH., eds. Antimicrobial
Optimization: Concepts and Strategies in Clinical Practice. New York:Marcel
Dekker Publishers, 2005:41-64

55 
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI 
NOSOKOMIAL 
Tonny Loho

PENDAHULUAN

I nfeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat di rumah sakit atau fasilitas
pelayanan kesehatan yang lain. Dahulu dinamakan infeksi rumah sakit
tetapi kemudian berganti nama menjadi infeksi nosokomial dan akhirnya
berganti nama lagi menjadi infeksi yang terkait pelayanan kesehatan. Mengapa
terjadi pergantian nama karena infeksi yang awal mulanya diperkirakan hanya
terjadi di rumah sakit ternyata dapat juga terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan
yang lain seperti pusat pelayanan kesehatan primer seperti di Puskesmas
maupun di praktek pribadi dokter.1Sebagai contoh, apabila ada seorang bayi
sehat yang dibawa ke Puskesmas untuk vaksinasi DPT (Diphteri, Pertussis,
Tetanus), lalu pada saat yang sama, di ruang tunggu Puskesmas ada seorang
anak yang sedang menderita batuk pilek duduk berdampingan, maka ada
kemungkinan bayi yang sehat itu akan tertular batuk pilek dari anak yang
sakit tadi melalui cara penularan droplet(melalui percikan ludah)
atauairborne(melalui udara). Maka bayi tersebut terkena infeksi yang terkait
pelayanan kesehatan (Health care associated infection). Walaupun definisi
yang resmi saat ini adalah infeksi yang terkait pelayanan kesehatan tetapi
masih banyak petugas kesehatan yang menggunakan istilah infeksi
nosokomial karena lebih pendek sehingga lebih mudah diucapkan.

DAMPAK INFEKSI NOSOKOMIAL

Centers for Disease Control(CDC) dari Amerika Serikat pernah mem-


perkirakan pada tahun 2004, bahwa angka kejadian infeksi nosokomial di
Amerika Serikat adalah 2 juta dengan angka kematian 90.000 dan biaya
tambahan sebesar 4,5 milyar dollar.1Pada tahun yang sama, angka kematian
akibat kecelakaan lalu lintas di Amerika Serikat kira-kira 45.000 per tahun.
Sehingga timbul anekdot bahwa lebih aman mengemudi mobil di jalan tol dari

56 
pada dirawat di rumah sakit. WHO sendiri memperkirakan angka kejadian
infeksi nosokomial di negara maju sebesar 7% dan di negara berkembang10%
pada pasien rawat inap.2Selain menyebabkan meningkatnya biaya perawatan,
infeksi nosokomial juga menyebabkan perpanjangan masa perawatan,
bertambahnya tekanan emosional pada pasien dan keluarga pasien,
meningkatnya angka kecacatan, morbiditas dan mortalitas. 1Selain itu
infeksi nosokomial juga menyebabkan bertambah lamanya penggunaan
antibiotik yang kemudian menyebabkan meningkatnya prevalensi kuman
yang resisten terhadap antibiotik. 3

Tujuan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial


Tujuan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial adalah me-
minimalkan risiko infeksi dan menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial
selama perawatan di fasilitas layanan kesehatan baik di rumah sakit, pusat
layanan kesehatan primer maupun di praktek pribadi.1

Siapa yang dapat tertular infeksi nosokomial dan cara penularannya


Yang dapat tertular infeksi nosokomial adalah pasien, petugas kesehatan,
keluarga pasien dan pengunjung pasien. Pasien yang dirawat dapat tertular
penyakit infeksi dari pasien lain yang dirawat di ruang rawat yang sama.
Penularan ini dapat terjadi dari pasien ke petugas kesehatan lalu ke pasien
lain, misalnya melalui tangan petugas kesehatan yang tidak melakukan cuci
tangan secara benar. Penularan dapat juga terjadi dari petugas kesehatan
ke pasien apa bila petugas kesehatan mengidap penyakit menular pada saat
melakukan perawatan pasien. Misalnya petugas kesehatan sedang menderita
batuk pilek dan tidak memakai masker pada saat merawat pasien, dapat
menularkan batuk pilek ke pasien yang sedang dirawat, terutama bila pasien
mengalami daya tahan tubuh menurun (immunocompromised). Selain itu
dapat juga terjadi penularan penyakit dari pasien ke pengunjung atau dari
pengunjung ke pasien.1
Penularan infeksi nosokomial terutama terjadi melalui kontak (sentuhan)
yaitu terutama melalui tangan petugas kesehatan yang tidak melakukan cuci
tangan dengan benar sesuai anjuran WHO (World Health Organization).
WHO menganjurkan cuci tangan pada lima momen yang penting. Selain itu

57 
penularan infeksi nosokomial dapat juga terjadi melalui butiran ludah
(droplet) ketika pasien, petugas kesehatan atau pengunjung batuk atau
bersin. Selain itu penularan dapat juga terjadi melalui udara (airborne)
terutama pada penyakit tuberkulosis paru, influenza (misalnya flu burung)
dan cacar air (varicella). Khusus petugas kesehatan, infeksi nosokomial
dapat terjadi melalui tusukan benda tajam seperti jarum bekas pakai atau
pisau bedah ketika melakukan pembedahan pasien yang mengidap penyakit
menular seperti HIV (Human Immunodeficiency Virus), HBV (Hepatitis B
Virus) dan HCV (Hepatitis C Virus). Infeksi nosokomial juga dapat terjadi
pada petugas kesehatan yang terpapar pada darah, cairan tubuh, urine dan
feses pasien yang mengandung mikroba infeksius. 4

PATOGENESIS TERJADINYA INFEKSI NOSOKOMIAL

Infeksi nosokomial terjadi karena adanya faktor-faktor risiko yang


mengganggu keseimbangan antara tuan rumah (host), penyebab penyakit
(agent) dan lingkungan (environment). Pada umumnya pasien (tuan rumah)
yang sedang dirawat di rumah sakit mengalami penyakit yang menyebabkan
daya tahan tubuh menurun. Selain itu usia yang tua (geriatri), usia yang sangat
muda (bayi) dan adanya trauma, mempermudah terjadinya infeksi nosokomial.
Penyebab penyakit di rumah sakit adalah kuman-kuman yang sering terkena
antibiotik sehingga banyak kuman yang sudah resisten terhadap berbagai
antibiotik dan menjadi lebih sulit untuk diobati. Selain itu lingkungan di rumah
sakit juga bisa mendukung terjadinya infeksi nosokomial apabila fasilitasnya
tidak memadai. Contohnya bila tindakan sterilisasi alat kesehatan ternyata tidak
bekerja dengan baik sehingga alat bedah tidak steril maka pasien yang dioperasi
akan mengalami infeksi daerah operasi. Juga penggunaan alat-alat medis
invasive membuka port d’entrée bagi masuknya kuman rumah sakit. Contoh
lain apabila pasien immunocompromised dirawat satu kamar dengan pasien
infeksius, maka pasien yang immunocompromised tersebut akan mudah tertular
penyakit dari pasien yang infeksius.5

PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL

Pencegahan infeksi nosokomial dilakukan dengan menerapkan kewaspada-


an standard (standard precautions) yang menganggap semua pasien
berpotensiinfeksius walaupun belum terbukti. Kewaspadaan standard merupakan

58 
gabunganantara kewaspadaan kontak/sentuhan (contact precautions) dan
kewaspadaan butir ludah (droplet precautions). 6
Untuk melindungi dirinya dan pasien, maka petugas kesehatan
diwajibkan menggunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan, masker,
kaca mata (goggles), gaun pelindung (apron) dan melaksanakan cuci tangan
pada 5 momen yang dianjurkan oleh WHO. 6
Contoh penyakit yang penularannya melalui udara (airborne) adalah
penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, measles virus,
varicella virus, avian influenza virus (H5N1), dan Histoplasma capsulatum.
Pencegahan terhadap infeksi melalui udara dilakukan petugas kesehatan
dengan memakai masker N 95 atau masker Respirator (nama masker adalah
respirator dan tidak ada hubungan dengan ventilator). Untuk swine flu
(H1N1), menurut anjuran terbaru dari WHO, masker N 95 tidak diperlukan
lagi kecuali pada tindakan yang menimbulkan aerosol seperti melakukan
aspirasi atau membuka suction saluran napas, termasuk mengambil spesimen
saluran napas bawah, intubasi, resusitasi, bronkoskopi dan autopsi.6
Selain itu dibutuhkan juga kamar isolasi untuk pasien infeksius dan
pasien immunocompromised. Kamar isolasi untuk pasien infeksius
memerlukan persyaratan berupa tekanan negatif, memiliki HEPA (High
Efficiency Particulate Air) filter, memiliki sirkulasi udara 12 kali/jam dan
memiliki ruang serambi (foyer) yang juga bertekanan negatif. Di ruang
serambi, terdapat wastafel cuci tangan dengan sabun antiseptik dan air
mengalir, lemari yang berisi alat pelindung diri seperti masker, sarung
tangan, tutup kepala dan apron. Juga tempat penampungan alat pelindung
diri bekas pakai yang akan dicuci dan disterilisasi ulang dan tempat sampah
infeksius. 7
Kamar isolasi untuk pasien immunocompromised harus bertekanan
positif, dilengkapi HEPA filter dan memiliki perputaran udara 15 kali/jam.
Memiliki serambi (foyer) yang juga memiliki tekanan positif. Ruang serambi
memiliki fasilitas wastafel dengan sabun antiseptik dan air mengalir , lemari
berisi alat pelindung diri. Juga tempat penampungan alat pelindung diri
bekas pakai yang akan dicuci dan disterilisasi ulang dan tempat sampah
infeksius. Contoh pasien immunocompromised adalah pasien yang sedang
menerima khemoterapi, radioterapi atau steroid dosis tinggi dalam jangka

59 
lama. Kamar isolasi untuk pasien transplantasi sumsum tulang membutuhkan
sirkulasi udara yang lebih tinggi. 7
Dalam pelaksanaan aktivitas sehari-hari, tindakan pencegahan infeksi
nosokomial yang terpenting adalah cuci tangan (hand hygiene). Cuci tangan
dengan sabun dan air mengalir dilakukan bila tangan secara kasat mata
tampak kotor. Bila kasat mata tangan tampak bersih maka cuci tangan cukup
dilakukan dengan menggunakan alcohol based hand rubs. 8

MIKROORGANISME YANG ADA DI KULIT

Mikroorganisme yang ada di kulit dapat dibagi 2 : a. residen (penghuni


tetap) yaitu kuman yang hidup dan berkembang biak di permukaan kulit dan
dibawah sel superfisial stratum korneum. Contoh: Staphylococcus
epidermidis, Staphylococcus hominis dan kuman diphteroids. Kuman ini tidak
patogen pd kulit yang utuh tapi mampu menginfeksi rongga tubuh yang
steril, mata dan kulit yang tidak utuh. b. transien (penghuni sementara) yaitu
kuman kontaminan yang hidup hanya dalam waktu terbatas di permukaan
kulit. Contoh : Staphylococcus aureus, E. coli, Enterococcus, fungi dan
virus. Mikroorganisme ini didapat ketika petugas kesehatan kontak dengan
pasien atau benda-benda di lingkungan seperti tempat tidur pasien, seprei,
reling tempat tidur.8,9
Cuci tangan (hand hygiene) akan menghilangkan mikroorganisme
transientetapi mikroorganisme residen sulit dihilangkan karena mereka hidup
dibawah sel superficial stratum korneum kulit.8

Kuman patogen yang sering menyebabkan infeksi nosokomial

Kuman pathogen yang sering menyebabkan infeksi nosokomial dapat


disingkat menjadi ESKAPE yaitu terdiri dari 1. Enterococcus – kuman yang
penting dari genus ini adalah E. faecalis dan E. faecium yang sering menjadi
VRE-Vancomycin resistant Enterococcus 2. Staphylococcus – kumanyang
penting dari genus ini adalah MRSA – Methicillin resistantStaphylococcus
aureus yangresisten terhadap semua antibiotik golongan Beta laktam 3.
Klebsiella pneumoniae – kumanyang penting adalah Klebsiella pneumoniae
yang menghasilkan KPC (Klebsiella pneumoniae Carbapenemase) dan

60 
NDM-1 (New Delhi Metallo Beta Lactamase–1) 4. Acinetobacter sp–
kumanyang penting dari genus ini adalah Acinetobacter baumanii yang
sering menjadi multi drug resistant (resisten terhadap banyak antibiotik) dan
bahkan pan resisten 5. Pseudomonas aeruginosa–kuman inisering menjadi
multi drug resistant danpan resisten. 6. Enterobacter sp–spesies yang
penting dari genus ini adalah Enterobacter cloacae.10

Berbagai tantangan yang dicanangkan oleh WHO


Dalam rangka mencegah dan mengendalikan infeksi nosokomial, pada
tahun 2005 WHO mencanangkan gerakan cuci tangan (hand hygiene) dengan
moto–clean care is safer care.11 Pada tahun 2007 WHO mencanangkan gerakan
– safe surgery saves lives – untuk menghindari operasi yang salah pasien
atau salah daerah operasi. Dan untuk mengendalikan resistensi antimikroba,
WHO pada tahun 2011 mencanangkan gerakan tackling antimicrobial
resistance. Semua tantangan ini ditujukan untuk meningkatkan keselamatan
pasien (patient safety).

Lima langkah cuci tangan WHO


Tindakan yang terpenting dalam pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial adalah cuci tangan. Untuk itu WHO mencanangkan 5 momen
cuci tangan.8
Pertama, sebelum menyentuh pasien -- sebelum kontak dengan pasien
ketika datang dari lingkungan rumah sakit. Contoh: sebelum: a. berjabatan
tangan, b. membantu pasien bergerak, c. memandikan pasien d. menghitung
nadi, mengukur tensi e.melakukan auskultasi palpasi abdomen.
Kedua, sesudah menyentuh pasien – setelah melakukan satu rangkaian
tindakan kontak dengan pasien, sebelum kembali ke lingkungan rumah sakit.
Contoh : setelah a. berjabatan tangan b. membantu pasien bergerak c.
memandikan pasien d. menghitung nadi, mengukur tensi e. melakukan
auskultasi palpasi abdomen.
Ketiga, sebelum melakukan tindakan aseptik. Contoh: sebelum
memasangkateter urin, sebelum memasang infus perifer, sebelum melakukan
penyuntikan.

61 
Keempat, setelah terpapar dengan cairan tubuh pasien yang potensial
infeksius. Contoh: setelah terpapar dengan cairan sendi, cairan otak, cairan
asites, cairan pleura, urin, muntahan pasien.
Kelima, setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien – setelah
menyentuh benda2 yang berdekatan dengan pasien, sebelum kembali ke
lingkungan rumah sakit.Contoh : setelah mengganti seprei tempat tidur
pasien, setelah mengatur kecepatan infus, setelah memeriksa atau mengatur
monitor alarm, setelah memegang reling ranjang dan setelah membersihkan
meja pasien. 8

CARA MELAKUKAN CUCI TANGAN


Cara melakukan cuci tangan dengan alcohol based hands rub dapat
dilihat pada gambar 1.8 Cara melakukan cuci tangan dengan sabun cair dan
air mengalir dapat dilihat pada gambar 2.8

Gambar 1

62 
Gambar 2.

ETIKA BATUK DAN BERSIN

Selain cuci tangan, hal penting untuk mencegah infeksi nosokomial


yang melalui butiran ludah (droplet) adalah melakukan etiket batuk dan
bersin. Etika batuk dan bersin juga membantu pencegahan semua infeksi
saluran napas termasuk influenza.12Pada gambar 3 dapat dilihat cara
melakukan etika batuk dan bersin dengan benar.

63 
Etika batuk harus di lakukan 
oleh setiap tenaga 
kesehatan, pasien dan 
pengunjung

Tujuan: mencegah transmisi 
patogen lewat udara , tangan 
dan lingkungan
Wajib : 

1. di setiap ruangan
2. Poliklinik
3. Tempat pengunjung
4. Ruang Tunggu
5. Lift

Gambar 3.

JENIS INFEKSI NOSOKOMIAL

Infeksi nosokomial terdiri dari: a. infeksi daerah operasi b. infeksi


saluran napas bawah c. infeksi aliran darah primer d. Infeksi saluran kemih
e. Infeksi melalui darah & produk darah. Semua jenis infeksi nosokomial ini
memiliki cara spesifik untuk pengendalian dan pencegahannya sehingga perlu
dibahas secara khusus dalam bab tersendiri. Juga dibutuhkan surveillance untuk
menilai keadaan masing-masing sebelum dilakukan tindakan intervensi dan
sesudah dilakukan tindakan intervensi/perbaikan. 5

RINGKASAN

Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial meliputi berbagai


aspek seperti melakukan kewaspadaan standard–contact & droplet precautions,
melakukan kewaspadaan penularan melalui udara (airborne precautions),
menyediakankamar isolasi untuk pasien infeksius dan pasien immuno-
compromised, melakukan cuci tangan pada 5 momen yang dianjurkan oleh
WHO, melakukan etiket batuk dan bersin, dan surveilens tiap jenis infeksi

64 
nosokomial untuk mengetahui data dasar dan hasil setelah dilakukan
tindakan intervensi.

KEPUSTAKAAN
1. Ostrowsky B. Epidemiology of healthcare-associated infections. In : Jarvis WR.
Ed.Bennett & Brachman’s Hospital Infections. 5th ed. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins; 2007, 3-24.
2. Health care-associated infections
http://www.who.int/gpsc/country_work/gpsc_ccisc_fact_sheet_en.pdf. Diunduh
pada 2 Agustus 2013.
3. Kalenik S, Borg M. Principles of antibiotic policies. In : Friedman C, Newsom
W. eds. Basic concepts of infection control. Portadown, International
Federation of Infection Control, 2007: 57-64.
4. Lynch P, Bryce EA, Thomas E. Occupational health risks for healthcare
workers. In : Friedman C, Newsom W. eds. Basic concepts of infection
control.Portadown, International Federation of Infection Control, 2007:137-48.
5. Emori TG. Epidemiology of health-care associated infections. In : Friedman C,
Newsom W. eds. Basic concepts of infection control. Portadown, International
Federation of Infection Control, 2007: 11-8.
6. ML Ling, TY Ching, WH Seto. Isolations precautions and practices . In : ML
Ling, TY Ching, WH Seto. eds. A hand book of infection control for the Asian
health care worker. 3rd ed. Hong Kong, 2011:31-40.
7. ML Ling, TY Ching, WH Seto. Ventilation system issues . In : ML Ling, TY
Ching, WH Seto. eds. A hand book of infection control for the Asian health
care worker. 3rd ed. Hong Kong, 2011:81-90.
8. Knippenberg-Gordebeke G v, Brenner P. Hand hygiene. In : Friedman C,
Newsom W. eds. Basic concepts of infection control. Portadown, International
Federation of Infection Control, 2007: 65-74
9. Pittet D, Allegranzi B, Sax H. Hand hygiene. In : Jarvis WR. Ed.Bennett &
Brachman’s Hospital Infections. 5th ed. Philadelphia, Lippincott Williams &
Wilkins; 2007, 31-44.
10. Lin M, Weinstein RA, Hayden MK. Multiply drug-resistant pathogens:
Epidemiology and control. In : Jarvis WR. Ed.Bennett & Brachman’s Hospital
Infections. 5th ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins; 2007, 193-222.
11. Lynch P, Rosenthal VD, Borg MA, Eremin SR. Infection control: A global
view. In : Jarvis WR. Ed.Bennett & Brachman’s Hospital Infections. 5th ed.
Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins; 2007, 255-74.
12. Respiratory hygiene/cough etiquette in healthcare settings. Diunduh dari
http://www.cdc.gov/flu/professionals/infectioncontrol/resphygiene.htm pada 2
Agustus 2013.

65 
BUNDEL RESUSITASI SEPSIS BERAT DAN 
REKOMENDASI TERAPI SEPSIS 2012 
Pratista Hendarjana

MEMAHAMI KONSEP BUNDEL

B undel (untuk penyakit tertentu) adalah penggabungan elemen elemen


terapi untuk penyakit tersebut yang dilaksanakan bersamaan. Hasil
yang diperoleh dengan melaksanakan bundel lebih baik dibanding jika
dilaksanakan secara sendiri-sendiri. Elemen elemen didalam bundel di-
dasarkan atas bukti klinis yang terbaik dan kuat, sehingga implementasinya
dianggap sebagai praktek terbaik atau masuk akal dan secara umum dapat
diterima.
Bundel Sepsis berat telah diperbaharui dan disempurnakan pada tahun
2012 sesuai dengan perubahan-perubahan pada pedoman intenasional
pengelolaan sepsis berat dan syok septik. Perubahan dari versi sebelumnya
yaitu memodifikasi bundel resusitasi menjadi dua bundel yaitu : bundel
resusitasi 3 jam pertama untuk sepsis berat dan bundel resusitasi 6 jam
berikutnya untuk syok septik.

Bundel resusitasi sepsis berat 3 Jam :


Target bundel ini harus selesai dalam waktu 3 jam sejak terdiagnosis sepsis
berat.
Terdiri dari :
1. Mengukur kadar laktat darah
2. Mengambil sampel darah untuk pemeriksaan kultur sebelum pemberian
antibiotik
3. Pemberian antibiotik spektrum luas
4. Apabila terjadi hipotensi atau kadar laktat darah ≥ 4 mmol/L diberikan
kristaloid 30 mL/kgbb

66 
Bundel resusitasi syok septik 6 Jam :
Target bundel ini harus selesai dalam waktu 6 jam.
Terdiri dari :
1. Pemberian vasopresor pada keadaan hipotensi yang gagal diatasi dengan
resusitasi cairan agar tekanan arteri rata-rata (MAP ) ≥ 65 mm Hg.
2. Apabila masih terjadi hipotensi arteri meskipun telah dilakukan resusitasi
cairan (syok septik) atau konsentrasi awal laktat darah ≥ 4 mmol / L (36
mg / dL), lakukan:
a . Ukur tekanan vena sentral ( CVP )
b . Ukur saturasi oksigen vena sentral ( ScvO2 )
3. Periksa ulang kadar laktat darah apabila kadarnya meningkat sejak awal.

BUNDEL RESUSITASI SEPSIS BERAT 3 JAM

1. Mengukur konsentrasi laktat


Hiperlaktatemia biasanya timbul pada pasien dengan sepsis berat atau syok
septik yang mungkin terjadi sekunder karena metabolisme anaerobik akibat
hipoperfusi atau faktor lainnya yang komplek. Meningkatnya kadar laktat
darah dan teristimewa yang bertahan lama telah terbukti memiliki nilai
prognostik yang lebih baik daripada variabel oksigen. Memantau kadar
laktat adalah penting untuk mengidentifikasi hipoperfusi jaringan pada
pasien yang belum hipotensi tetapi memiliki resiko terjadi syok septik .
A. Keterbatasan
Penafsiran nilai kadar laktat darah pada pasien sepsis tidak selalu mudah.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kadar laktat darah yang tinggi
mungkin terjadi akibat kegagalan metabolisme seluler dan tidak semata
akibat hipoperfusi global. Kadar laktat darah yang tinggi juga bisa terjadi
akibat penurunan bersihan laktat oleh hati. Apapun penyebabnya,
peningkatan kadar laktat darah pada pasien sepsis mengharuskan untuk
dilakukan resusitasi yang agresif.

67 
B. Implikasi
Mengingat risiko kematian yang tinggi pada pasien dengan syok septik,
maka semua pasien dengan kadar laktat darah > 4 mmol/L (36 mg/dL)
segera dilakukan resusitasi sesuai dengan pedoman early goal-directed
therapy (EGDT) yang merupakan bagian dari bundel resusitasi syok sepik 6
jam, tanpa melihat tekanan darahnya. Bila terjadi hipotensi dan disertai
dengan peningkatan kadar laktat darah (≥ 4 mmol) maka angka kematian
berkisar 46,1%, bila hanya hipotensi saja berkisar 36,7%, dan bila hanya
peingkatan kadar laktat darah saja berkisar 30%.

C. Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil.


Mengingat bahwa pemeriksaan kadar laktat darah merupakan hal yang
sangat penting, maka pemeriksaan ini harus sudah bisa terlaksana dalam
beberapa menit saja. Oleh karenanya rumah sakit harus menyediakan alat
pemeriksa kadar laktat darah, baik yang menyatu dengan mesin pemeriksa
gas darah ataupun yang terpisah sendiri.

D. Sampel darah arteri atau vena ?


Sampai sekarang masih belum ada kesepakatan atau konsensus mengenai hal
ini. Namun pengambilan sampel darah vena biasanya memerlukan waktu
yang lama untuk mendapatkan hasilnya dan seringkali pengambilannya
menggunakan cara pembendungan (tourniquet). Hal demikian tidak
dianjurkan untuk mengelola pasien sepsis/ sakit kritis, karena akan bias.
Walaupun kadar laktat darah yang meningkat bisa disebabkan oleh berbagai
macam keadaan (akibat obat2an, gangguan fungsi hati, hipoperfusi akibat
gagal jantung, dlsb), tetap saja harus ditelusuri untuk selanjutnya ditangani.

2. Pengambilan sampel darah untuk biakan (sebelum pemberian


antibiotik).
Walaupun hanya 30 % sampai 50 % pasien sepsis berat atau syok septik
memiliki biakan darah positif, biakan darah pada setiap pasien sepsis
sebaiknya tetap dikerjakan.

68 
Pengambilan contoh biakan darah sebaiknya sebelum pemberian antibiotika,
sebab bila diambil sesudah pemberian antibiotika maka akan menyebabkan
tidak terjadi pertumbuhan atau lambat terjadi pertumbuhan.

A. Prinsip pengambilan sampel darah.


Minimal dua sampel darah diperlukan untuk kultur, satu pengambilan
langsung dari vena dan yang lainnya dari jalur infus yang terpasang > 48
jam. Bila dicurigai infeksinya sehubungan dengan jalur infus, maka sampel
darah yang diambil harus secara serentak bersamaan dari dua tempat yaitu
yang langsung dan yang melalui sambungan jalur infus. Bila hasil yang
berasal dari jalur infus tumbuh lebih cepat ( 2 jam ) dibanding yang dari
darah, maka kemungkinan besar sumber infeksi adalah dari jalur infus.
Sampel yang berasal dari urine, cairan otak, sekret luka, sekret jalan nafas /
paru dan dari cairan tubuh lainnya yang diduga sebagai sumber infeksi,
kultur sebaiknya dikerjakan secara kuantitatif.

B. Waktu pengambilan.
Pengambilan biakan darah sebaiknya dilakukan pada pasien yang demam,
menggigil, hipotermia, leukositosis, pergeseran neutrofil ke kiri, neutropenia
dan terjadi gangguan fungsi organ yang tidak jelas penyebabnya (misalnya,
gagal ginjal atau tanda-tanda ganguan hemodinamik) Sampel darah
sebaiknya diambil pada saat demam atau menggigil.
Meskipun sulit untuk memprediksi bakteremia pada pasien sepsis,
sebenarnya beberapa parameter klinis dan laboratoris secara independen
berkorelasi dengan bakteremia, seperti menggigil, hipoalbuminemia, gagal
ginjal dan infeksi saluran kemih Tanda lain seperti demam baru ,hipotermia,
leukositosis dan neutrofil bergeser ke kiri, neutropenia, dan tanda-tanda
gangguan hemodinamik. Demam tinggi lebih sensitif dibanding dengan
leukositosis, namun demam yang tidak terlalu tinggi yang terus menerus,
bisa terjadi pada pasien endokarditis .

69 
3 . Pemberian antibiotik spektrum luas
A. Waktu pemberian antibiotik
Antibiotika harus segera diberikan setelah diagnose sepsis ditegakkan.
Pembeian antibiotika awal yang memadai mengurangi kematian akibat
sepsis baik yang disebabkan oleh kuman gram negatif ataupun positif.
Pemberian antibiotika awal adalah secara empiris sambil menunggu
kepastian jenis antibiotika selanjutnya. Walaupun secara empiris, namun
setidaknya harus didasarkan atas perkiraan penyebab sepsis dan jenis kuman
yang sering terjadi.
Penyebab yang sering adalah berasal dari paru (pneumonia) atau infeksi intra
abdomen. Penyebab dari sumber yang lain biasanya < 5%.

B. Pemilihan Antibiotik.
Penentuan jenis antibiotika didasarkan atas pola kuman (pathogen) di sekitar
tempat pasien berada baik yang ada di masyarakat ataupun di rumah sakit.
Selain itu, penentuan antibiotika juga harus melalui pertimbangan keadaan
pasien, penyakit2 yang menyertainya, faktor alergi dan fungsi organ
terutama ginjal dan hati.
Jenis antibiotika awal biasanya golongan spektrum luas agar bisa mencakup
untuk dugaan kuman penyebab.

C. Evaluasi terapi setelah 48 - 72 Jam


Segera setelah kuman penyebab diketahui maka jenis antibiotika harus
diganti sesuai hasil kepekaan. Dan biasanya cukup dengan spektrum sempit
serta obat tunggal (monoterapi). Hal ini penting untuk menghindari
terjadinya kekebalan kuman terhadap obat, mengurangi efek sampingan
serta menekan biaya.
Pemberian obat secara empiris hendaknya tidak > 3–5 hari. Sedang
pemberian obat yang definitive (yang sesuai dengan hasil uji kepekaan)
biasanya 7 – 10 hari. Pada keadaan2 tertentu bisa lebih lama, misalnya pada
pasien yang respon terhadap pengobatan berjalan lama, ada abses yang
belum teralirkan, bakteremia karena S. aureus, infeksi jamur, virus, keadaan
imunitas pasien yang jelak termasuk neutropenia.

70 
D. Dosis
Semua pasien harus menerima dosis awal antibiotika yang cukup. Namun,
karena pasien sepsis atau syok septik sering terganggu fungsi ginjal atau
hatinya dan memiliki volume distribusi yang tidak normal akibat resusitasi
cairan yang agresif , maka sebaiknya ahli farmakologi klinik ikut berperan
agar bisa dijamin kadar obat dalam darah mencukupi sehingga efektifitasnya
cukup

4 . Pemberian cairan kristaloid apabila terjadi hipotensi atau


konsentrasi laktat darah ≥ 4 mmol/L
A. Pemberian cairan awal
Pada kasus yang diduga hipovolemia atau kadar laktat darah > 4 mmol / L,
pemberian cairan harus segera dilakukan (bila perlu sebelum masuk di ICU).
Karena menentukan jumlah cairan yang akan diberikan secara pasti tidaklah
mudah, maka uji coba pemberian cairan perlu dilakukan. Pada awalnya
diberikan sebesar 30 ml / kg dan targetnya CVP ≥ 8 mmHg, Svs ≥ 70% serta
kadar laktat darah cenderung menurun hingga menjadi normal.
Dalam memberikan cairan awal ini harus mempertimbangkan beberapa hal
a.l.:
a. Jenis cairan.
b. Jumlah dan kecepatan pemberian (mis: 500 ml sampai 1000 ml dalam
waktu 30 menit).
c. Target yang ingin dicapai (mis : MAP > 65 mmHg, HR < 110 x / men).
d. Efek sampingan yang perlu diawasi (mis : edema paru).
Setelah pemberian cairan awal selesai dilanjutkan dengan jumlah selanjutnya
sesuai dengan target.

C. Jenis cairan : Kristaloid vs koloid


Sampai sekarang persoalan ini masih belum tuntas benar, karena beberapa
peneltian menunjukkan bahwa pada pasien sepsis yang diberi cairan
kristaloid atau koloid tidak berbeda bermakna dalam hal kematiannya.
Walaupun secara statistik tidak berbeda bermakna namun pemberian
albumin 4% sedikit baik dibanding dengan NaCl 0,9%.
Pada akhir akhir ini penggunaan HES pada pasien sepsis berat atau pasien
sepsis dengan dugaan gangguan fungsi ginjal tidak dianjurkan, karena

71 
penelitian menunjukkan bahwa pasien pasien tersebut lebih banyak
memerlukan dialisa darah.

D. Target akhir resusitasi cairan


Tujuan pemberian cairan awal pada bundel resusitasi sepsis berat 3 jam
adalah untuk mengatasi hipotensi, oleh karena itu tidak menutup
kemungkinan untuk meneruskan pemberian cairan lagi pada bundel
resusitasi sepsis berat 6 jam beikutnya agar target akhir dari resusitasi cairan
tercapai. Pada awalnya target resusitasi adalah CVP dan SmvO2, namun
target akhir ini masih terus berkembang sehubungan dengan ditemukannya
pemantauan mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan. Misalnya, pada awalnya
target akhir adalah SmvO2 65%, namun beberapa penelitian menunjukkan
bahwa hal tersebut sesuai dengan SvsO2 75%. Oleh karena itu besarnya
angka sebagai target akhir dari resusitasi tidaklah mutlak mengingat bahwa
di tingkat regional sangat bervariasi. Yang perlu dicapai pada awalnya
adalah stabilnya hemodinamika dan variabel oksigenasi. Selanjutnya harus
disesuaikan dengan keadaan klinis pasien seperti MAP, produksi urine,
perfusi perifer, tingkat kesadaran dlsb.

E. Efek samping resusitasi cairan.


Pemantauan efek samping resusitasi cairan ( edema paru dlsb) mutlak harus
dilakukan. Tidak mudah untuk menentukan berapa banyak jumlah cairan
yang diperlukan, karena pasien sepsis sangat bervariasi keadaannya. Pasien
sepsis mengalami dilatasi sistem vena, kebocoran kapiler, gangguan fungsi
ginjal dlsb,, oleh karenanya penggunaan balans cairan (perbandingan antara
yang masuk dan keluar) tidak bisa digunakan sebagai pegangan.

BUNDEL RESUSISITASI SYOK SEPTIK 6 JAM


1 . Pemberian Vasopresor
Dasar pemikiran.
Agar terjadi perfusi yang baik diperlukan MAP ≥ 65 mmHg, yang bisa
dicapai dengan pemberian cairan dan atau vasopressor. Pemberian
vasopressor sebaiknya diberikan setelah didahului dengan pemberian cairan
yang diperkirakan sudah cukup namun MAP belum tercapai. Pemberian

72 
vasopressor pada keadaan yang masih hipovolemik akan merugikan bahkan
membahayakan terutama terhadap ginjal dan usus. Demikian juga pada
pasien dengan fungsi jantung yang kurang baik, sebab tekanan darah yang
meningkat akibat penggunaan vasopresor akan memperberat kerja jantung.

A.Pemantauan
Pemantauan hemodinamika pasien sepsis sangat penting karena hipotensi
merupakan ciri yang khas dan sering harus menggunakan vasopresor. Oleh
karena itu diperlukan pemantauan yang akurat serta terus menerus. Untuk
hal demikian pemantauan secara invasif melalui arteri radialis lebih tepat
disamping arteri femoralis. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa pada
keadaan tertentu (pasien masih hipovolemik dan mendapatkan vasopresor)
hasil pemantauan kedua tempat tersebut bisa berbeda.cukup bermakna.

B. Jenis Vasopresor
B.1. Norepinephrine (NE).
Merupakan obat pilihan pertama untuk mengatasi hipotensi pada pasien syok
septik. Obat ini bekerja di reseptor α adrenergic dan sedikit pada β
adrenergic, sehingga akan menyebabkan vasokonstriksi tanpa terlalu banyak
meningkatan HR. Dahulu dipercaya bahwa NE menyebabkan iskhemia pada
ginjal dan usus, namun sekarang terbukti sebaliknya asal pasien dalam
keadaan syok septik yang hiperdinamik. Sebab pada pasien demikian terjadi
penurunan filtrasi ditingkat glomerulus akibat tekanan aliran darah ke
glomerulus menurun. Dengan pemberian NE tekanan aliran darah ke
glomerulus diperbaiki sehingga flitrasinya membaik. Sebaliknya
penggunaan pada pasien yang hipovolemik akan menyebabkan perjelekan
fungsi ginjal walaupun tekanan darah sistemik meningkat.
Dibanding dengan dopamine, NE lebih efektif dalam mengatasi hipotensi
pasien syok septik.

B.2. Dopamin.
Merupakan obat vasopresor alternative setelah NE. Hanya digunakan pada
pasien dengan resiko takhiaritmia yang rendah dan bradiaritmia yang mutlak
atau relatif.

73 
Dopamin akan meningkatkan tekanan darah melalui stroke volume jantung
yang meningkat dan sedikit berefek pada tahanan pembuluh darah tepi.
Efek terhadap sirkulasi splanknik bervariasi. Dopamin dosis rendah akan
meningkatkan penyediaan oksigen sebesar 65% namun hanya meningkatkan
konsumsi oksigen sebesar 16%. Dopamine akan menurunkan pH lambung
dan juga mengganggu motilitas gastroduodenal.
Dopamine akan mempengaruhi respon inflamasi pasien syok septik melalui
pengeluaran beberapa hormone termasuk diantaranya hormone prolactin.
Efek terhadap hormone dari dopamine akan berakibat jelek pada pasien yang
mengalami trauma.
Berdasar beberapa efek dopamin yang masih kontroversi, mungkin
penggunaan pada pasien syok septik kurang baik atau potensial berbahaya.

C. Terapi kombinasi
Penggunaan terapi kombinasi kadang diperlukan. Untuk ini, kombinasi
dobutamin dengan NE lebih baik dibanding dengan kombinasi dopamine
dan NE atau hanya dopamin saja.

2.a. Mempertahankan tekanan vena sentral agar tetap cukup.


Setelah melakukan resusitasi cairan awal minimal 30 ml/kg untuk mengatasi
hipotensi, pemberian cairan mungkin masih harus dipenuhi agar cardiac
output mencukupi (prinsip preload, kontraktilitas dan afterload). Target CVP
≥ 8 mmHg.
Pada pasien yang mengalami hipovolemik dan anemik (Ht < 30%), pemberian
darah akan berefek ganda, yaitu meningkatkan volume dan meningkatkan
Hb, sehingga penyediaan oksigen dalam darah akan meningkat.

Hal yang harus diperhatikan.


Target CVP pada pasien dengan ventilator yang mendapat PEEP ialah 12 –
15 mmHg. Demikian juga bila pasien menunjukkan tekanan rongga perut
yang tinggi.

2.b. Mempertahankan saturasi oksigen vena sentral.


Teknik untuk mempertahankan ScvO2 mencakup dua strategi utama.
Stratedi yang pertama, jika pasien mengalami hipovolemik dan hematokrit

74 
kurang dari 30%, diberikan transfusi sel darah merah dengan syarat
resusitasi cairan telah mencapai nilai CVP > 8 mm Hg. Strategi yang kedua
dengan meningkatkan profil hemodinamik menggunakan inotropik. Dalam
beberapa kasus, curah jantung sendiri dapat berkurang karena disfungsi
jantung yang disebabkan oleh sepsis. Dalam kasus ini, pemberian dobutamin
(sampai maksimal 20 ug/ kgbb/min) diperlukan untuk meningkatkan suplai
oksigen ke jaringan dan mencegah disfungsi organ lebih lanjut karena
hipoperfusi dan iskhemia. Jika setelah terapi dobutamin masih terjadi
hipotensi, terapi norepinephrine harus diberikan untuk melawan efek
vasodilatasi dari dobutamin.
Pemberian inotropik cukup beralasan, karena pada kasus sepsis seringkali
terjadi gangguan fungsi kontraksi otot jantung. Namun perlu diingat bahwa
pemberian iniotropik pada kasus yang tidak menunjukkan penurunan cariac
output (untuk mencapai nilai supra normal) tidak dianjurkan.

3. Pemeriksaan ulangan kadar laktat darah.


Kadar laktat darah merupakan salah satu target keberhasilan resusitasi dan
bisa juga untuk menentukan prognosa. Oleh karena itu apabila pada awalnya
terjadi kenaikan kadar laktat darah pemeriksaan lanjutan sebagai
pemantauan hasil resusitasi harus dilakukan. Walaupun interpertasi
peningkatan kadar laktat darah yang meningkat bisa berbagai macam
kemungkinan, tetap saja pemeriksaan kadar laktat darah dilakukan.

Terapi lainnya yang dianjurkan:


1. Pemberian kortikosteroid
2. Penggunaan darah dan produk darah
3. Imunoglobulin
4. Selenium
5. Ventilasi mekanis pada pasien ARDS karena sepsis
6. Sedasi, Analgesia dan obat pelumpuh otot
7. Menjaga gula darah tetap terkontrol
8. Terapi pengganti ginjal
9. Profilaksis Deep Vein Thrombosis ( DVT )
10. Profilaksis penyakit ulkus peptikum ( PUD )
11. Nutrisi
12. Menetapkan tujuan perawatan

75 
1. Kortikosteroid
1. Jangan menggunakan hidrokortison intravena untuk terapi pasien
dewasa syok septik jika resusitasi cairan dan terapi vasopressor sudah
dapat mengembalikan stabilitas hemodinamik Apabila dengan cara
tersebut tidak bisa mencapai sasaran, bisa diberikan hidrokortison
intravena 200 mg/hari.
2. Tidak perlu melakukan tes stimulasi ACTH pada pasien dewasa syok
septik yang sebenarnya harus mendapatkan hidrokortison.
3. Apabila vasopresor sudah tidak diperlukan lagi, sebaiknya hidrokortison
diturunkan secara bertahap.
4. Kortikosteroid jangan diberikan pada pasien sepsis tanpa syok.
5. Pemberian hidrokortison lebih baik secara kontinyu dengan meng-
gunakan pompa infus dibanding dengan pemberian secara bolus
berulang .

2. Penggunaan darah dan atau produk darah


1. Transfusi sel darah merah diberikan bila kadar Hb < 7 gr% dengan
target 7– 9 gr% kecuali bila ada iskhemia miokardium, hipoksemia
berat, perdarahan akut, atau penyakit jantung koroner.
2. Tidak menggunakan erythropoietin sebagai pengobatan anemia akibat
sepsis berat.
3. Fresh frozen plasma (FFP) tidak digunakan untuk memperbaiki
kelainan pembekuan darah (laboratorium) bila tidak ada perdarahan
atau hanya sebagai persiapan untuk prosedur invasif.
4. Antitrombin tidak digunakan pada sepsis berat dan syok septik.
5. Trombosit profilaksis diberikan bila jumlahnya < 10.000/mm3
(10x109/L) tanpa ada perdarahan atau bila < 20.000/mm3 (20x109/L)
namun terjadi pendarahan. Bila terjadi perdarahan aktif, tindakan
operasi atau tindakan prosedur invasive, sebaiknya jumlah trombosit ≥
50.000 / mm3 ( 50 x 109/L).

3. Immunoglobulin
Imunoglobulin intravena sebaiknya tidak digunakan pada pasien dewasa
yang sepsis berat atau syok septik.

76 
4. Selenium
Selenium intravena tidak digunakan untuk terapi pasien sepsis berat.

5. Pemakaian vetilasi mekanik pada pasien ARDS karena sepsis


1. Volume tidal yang digunakan untuk melakukan ventilasi mekanik
pada pasien ARDS akibat sepsis adalah 6 ml / kg berat badan ideal.
2. Tekanan plateau sebaiknya ≤ 30 cm H2O.
3. Tekanan positif akhir ekspirasi ( PEEP ) sebaiknya diberikan untuk
menghindari alveolar kolap dan terjadi atelektrauma.Dan PEEP tinggi
lebih disarankan disbanding PEEP rendah.
4. Bila terjadi hipoksemia berat yang refrakter sebaiknya dilakukan
tindakan rekruitmen paru dan bila PaO2/FiO2 ≤ 100 mm Hg
disarankan melakukan posisi tengkurap.
5. Untuk mencegah terjadinya ventilator associated pneumonia (VAP),
tempat tidur diposisikan 45o kepala lebih tinggi.
6. Pada sebagian kecil ARDS akibat sepsis, ada yang bisa diventilasi
secara non invasive (NIV), namun perlu dipertimbangakan untung
ruginya.
7. Bila memenuhi kriteria penyapihan hendaknya segera dilakukan
penyapihaan melalu protokol yang baku dengan berkali kali melatih
uji coba nafas spontan (spontaneous breathing trial = SBT).
Kriteria mulai proses penyapihan sebagai berikut :
a) sadar
b) hemodinamik stabil (tanpa vasopressor) ,
c) tidak ada hal baru yang bisa menyebabkan gangguan respirasi akut,
d) dukungan ventilasi dan tekanan akhir ekspirasi minimal dan
e) FiO2 yang rendah dan diprediksi bisa diberikan dengan cara
menggunakan sungkup atau kanul hidung setelah ekstubasi
8. Penggunaan kateter arteri paru untuk pasien ARDS karena sepsis,
secara rutin hendaknya dihindari.
9. Pemberian cairan pada pasien ARDS karena sepsis, sebaiknya dibatasi
kecuali bila ada tanda2 hipoperfusi.
10. Dengan tidak adanya indikasi spesifik seperti bronkospasme, β2
agonist tidak diberikan pada pasien ARDS karena sepsis.

77 
6. Sedasi, Analgesia, dan pelumpuh otot pada pasien sepsis
Pemberian sedasi baik secara kotinyu atau intermiten pada pasien yang
menggunakan ventilasi mekanik hendaknya dititrasi sesuai dengan target
yang ingin dicapai. Penggunaan NMBA pada pasien sepsis yang tidak
disertai ARDS sebaiknya dihindari karena bisa menyebabkan efek yang
berkepanjangan setelah penghentian penggunaannya. Kalau toh terpaksa
digunakan, hendaknya dipantau ketat sesuai target yang diinginkan dengan
menggunakan train of four. Penggunaannya hanya dalam waktu yang
singkat saja (≤ 48 jam) dan pada fase dini ARDS dimana PaO2/FiO2 < 150
mmHg.

7. Pengendalian gula darah


Pengelolaan gula darah dilakukan dengan standard prosedur yang ketat jika
kadar gula darah > 180 mg% dengan menggunakan insulin pompa infus.
Targetnya ialah ≤ 180 mg%. Pemantauan gula darah dilakukan setiap 1–2
jam pada awalnya dan bila keadaan sudah stabil dilakukan setiap 4 jam.
Didalam menginterpertasikan kadar gula darah yang berasal dari kapiler
harus hati-hati karena seringkali validitas untuk menggambarkan kadar gula
darah plasma yang sebenarnya kurang .

8. Terapi pengganti ginjal

Pada pasien yang mengalami gagal ginjal akut dan hemodinamikanya tidak
stabil, seringkali perlu menggunakan terapi pengganti ginjal (baik yang
secara intermiten atau kontinyu) yang sekaligus untuk mengelola terapi
cairannya.

9. Terapi bikarbonat
Pemberian natrium bikarbonat untuk tujuan memperbaiki hemodinamik atau
mengurangi kebutuhan vasopresor pada pasien yang mengalami asidosis
laktatemia (ph < 7,15) akibat hipoperfusi, hendaknya tidak dilakukan.

10. Profilaksis Deep Vein Thrombosis


Untuk mencegah terjadinya tromboemboli, hendaknya diberikan Low
Molecular Weight Heparin (LMWH) subkutan setiap hari. Bila bersihan

78 
ginjal < 30 ml / men, sebaiknya menggunakan dalteparin atau LMWH yang
lain yang tidak terlalu dimetabolisir ginjal.
Sebaiknya pencegahan tromboemboli dilakukan secara mekanik (pneumatic
compression) dan obat2an. Bila ada indikasi kontra penggunaan obat-obatan
(heparin) seperti trombositopenia, gangguan pembekuan darah yang serius,
perdarahan yang masih aktif, perdarahan otak yang baru saja terjadi,
pencegahan DVT bisa dilakukan dengan mekanik saja, yaitu pneumatic
compression atau stocking compression, kecuali bila ada indikasi kontra.

11. Profilaksis stres ulkus peptikum


Pada pasien yang mempunyai resiko terjadi perdarahan lambung akibat
ulkus peptikum, sebaiknya diberikan pencegahan dengan menggunakan PPI
dibanding menggunakan H2 antagonis. Namun bila tidak mempunyai resiko
perdarahan lambung, maka pencegahan tidak perlu diberikan.

12.Nutrisi
1. Dalam waktu 48 jam sejak terdiagnosa sepsis dan pasien bisa toleran,
nutrisi secara oral atau enteral segera diberikan daripada pasien
dipuasakan dan hanya diberikan glukosa intravena
2. Hindari pemberian makan dengan kalori penuh di minggu pertama,
cukup dengan dosis rendah (misalnya 500 kalori per hari ) , yang
kemudian dinaikkan secara bertahap.
3. Dalam waktu 7 hari pertama, menggunakan glukosa intravena dan
nutrisi enteral lebih baik daripada hanya nutrisi parenteral total ( TPN )
saja atau nutrisi parenteral digabung dengan makanan enteral
4. Tidak perlu menggunakan tambahan nutrisi yang bersifat
imunomodulator.

13. Prognosa
Segala rencana pengelolaan pasien hendaknya dikemukakan dan
didiskusikan dengan fihak keluarga, termasuk didalamnya tentang prognosa
pasien. Juga kemungkinan tentang pengakhiran pengelolaan atau penundaan
pengobatan atau dikelola secara paliatif saja. Penjelasan kepada keluarga
hendaknya secepatnya, jangan lebih dari 72 jam sejak masuk ICU.

79 
REFERENSI
1. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, et al. Surviving Sepsis Campaign:
International guidelines for management of severe sepsis and septic shock: 2012.
Critical Care Medicine. 2013 Feb;41(2):580-637.
2. Institute for Healthcare Improvement, Severe Sepsis Bundles (April 2013).
www.ihi.org

80 
P N E U M O N I A 
Pratista Hendarjana

LATAR BELAKANG

P neumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem pernapasan


dimana alveoli (mikroskopik udara mengisi kantong dari paru yang
bertanggung jawab untuk menyerap oksigen dari atmosfer) menjadi radang
dan dengan penimbunan cairan. Pneumonia disebabkan oleh berbagai
macam sebab,meliputi infeksi karena bakteri,virus,jamur atau parasit.
Pneumonia juga dapat terjadi karena bahan kimia atau kerusakan fisik dari
paru-paru,atau secara tak langsung dari penyakit lain seperti kanker paru
atau penggunaan alkohol. Gejala khas yang berhubungan dengan pneumonia
meliputi batuk,nyeri dada demam,dan sesak nafas. Alat diagnosa meliputi
sinar-x dan pemeriksaan sputum. Pengobatan tergantung penyebab dari
pneumonia; pneumonia kerena bakteri diobati dengan antibiotika.
Pneumonia merupakan penyakit yang umumnya terjadi pada semua
kelompok umur, dan menunjukan penyebab kematian pada orang tua dan
orang dengan penyakit kronik.Tersedia vaksin tertentu untuk pencegahan
terhadap jenis pnuemonia.Prognosis untuk tiap orang berbeda tergantung
dari jenis pneumonia, pengobatan yang tepat,ada tidaknya komplikasi dan
kesehatan orang tersebut.

EPIDEMIOLOGI

Pneumonia merupakan suatu penyakit yang terjadi pada semua tempat


di dunia. Merupakan salah satu kasus terbesar penyebab kematian pada
semua kelompok umur. Pneumonia menyumbang hampir 15% dari semua
infeksi di rumah sakit (nosokomial infeksi) dan 24% sampai 27% dari semua
diperoleh di ICCU dan ICU. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) adalah

81 
komplikasi serius dari ventilasi mekanis yang meningkatkan morbiditas,
bertambahnya lama rawat di ICU dan perawatan di rumah sakit sehingga
menambah beban biaya. VAP adalah infeksi yang paling sering terjadi di
ruangan Intensive care dari semua infeksi nosokomial yang berkontribusi
pada mortalitas. Meskipun upaya dunia luas untuk memahami, mencegah
dan mengobati komplikasi ini, tetapi angka kematian masih tinggi sekitar
30%. Beberapa organisasi dan institusi telah merekomendasikan strategi dan
pendekatan dalam upaya untuk mengatasi masalah ini.

KLASIFIKASI TIPE PNEUMONIA

Pneumonia dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara yang berbeda.


Ahli patologi mengklasifikasikan mereka berdasarkan perubahan anatomi
yang ditemukan pada paru-paru selama otopsi.Setelah lebih dikenal
mengenai mikroorganisme penyebab pneumonia, ahli mikrobiologi
mengklasifikasikan kembali dan dengan adanya x-ray, ahli radiologi
mengklasifikasikan sebagaimana dikembangkan. Sistem klasifikasi lain yang
penting digunakan untuk pneumonia adalah klasifikasi klinis kombinasi,
yang mengkombinasikan banyak faktor termasuk usia, faktor resiko untuk
beberapa mikroorganisme, adanya penyakit paru yang mendasari dan
penyakit sistemik yang mendasari, dan apakah dia baru-baru ini menjalani
rawat inap di rumah sakit.
Deskripsi awal dari pneumonia difokuskan pada anatomi atau
penampakan patologi dari paru-paru, baik melalui inspeksi langsung pada
waktu otopsi atau melalui mikroskop. Pneumonia lobarik adalah infeksi
yang hanya melibatkan satu lobus atau bagian dari paru. Pneumonia lobarik
sering disebabkan Streptococcus pneumoniae. Pneumonia multilobar
melibatkan lebih dari satu lobus dan sering merupakan penyakit yang lebih
berat dari pneumonia lobarik. Pneumonia interstisial melibatkan area di
antara alveoli dan munkin disebut sebagai “pneumonia interstisial.
”Pneumonia interstisial lebih sering disebabkan oleh virus atau oleh bakteri
atipikal. Penemuan x-ray membuat menjadi mungkin untuk menentukan
anatomi tipe dari pneumonia tanpa pemeriksaan langsung dari paru pad
otopsi dan mengarah pada perkembangan dari klasifikasi radiologi.
Penyelidikan awal membedakan antara pneumonia lobar dan atipikal

82 
(contoh: Chlamydophila) atau pneumonia yang disebabkan oleh virus
menggunakan lokasi, distribusi dan penampakan dari opasitas yang mereka
lihat pada foto x-ray. Penemuan x-ray dapat digunakan untuk membantu
memprediksi bagian dari penyakit,meskipun tidaklah mungkin untuk secara
jelas menentukan penyebab mikrobiologi dari pneumonia didasarkan hanya
pada x-ray. Dengan datangnya mikrobiologi modern,klasifikasi yang
berdasar penyebab mikroorganisme menjadi mungkin.Menentukan
mikroorganisme mana yang menjadi penyebab pneumonia pada masing-
masing individu merupakan langkah penting dalam menentukan jenis
perawatan dan lamanya.Kultur sputum,kultur darah,tes pada sekret
pernapasan dan tes darah spesifik digunakan untuk menentukan klasifikasi
mikrobiologi.Karena beberapa tes laboratorium umumnya memakan waktu
beberapa hari,klasifikasi mikrobiologi biasanya tidak mungkin pada saat
awal diagnosis.
Umumnya klinisi telah mengklasifikasi pneumonia berdasar
karakteristik klinis, membagi mereka menjadi akut (kurang dari tiga minggu)
dan kronik. Hal ini berguna karena pneumonia kronik cenderung untuk lebih
tidak infeksisus, atau mycobakterial, jamur atau gabungan infeksi bakteri
yang disebabkan oleh obstruksi jalan napas. Pneumonia akut lebih jauh
dibagi menjadi bronchopneumonnia klasik (seperti Streptococcuso
pneumoniae), pneumonia atipikal (seperti pneumonitis interstisial dari
Mycoplasma pneumoniae atau Chlamydia pneumoniae) dan sindroma
aspirasi pneumonia. Kombinasi klasifikasi klinis adalah pola klasifikasi yang
paling sering digunakan sekarang, usaha untuk mengenali faktor resiko
seseorang ketika dia pertama kali datang untuk perhatian medis. Keuntungan
dari pola klasifikasi ini dibandingkan dengan sebelumnya adalah dapat
membantu menunjukkan pilihan terapi awal yang tepat bahkan sebelum
sebab mikrobiologi dari pneumonia diketahui. Terdapat dua kategori besar
dari pneumonia didalam skema ini:
A. Community acquired pneumonia
B. Hospital acquired pneumonia.
C. Healthcare associated pneumonia
D. Healthcare-associated pneumonia

83 
Community acquired pneumonia
Community acquired pneumonia (CAP) adalah pneumonia infeksius
pada seseorang yang tidak menjalani rawat inap di rumah sakit baru-baru ini.
CAP adalah tipe pneumonia yang paling sering. Penyebab paling sering dari
CAP berbeda tergantung usia seseorang, tetapi mereka termasuk
Streptococcus pneumoniae, virus,bakteri atipikal dan Haemophilus
influenzae. Di atas semuanya itu, Streptococcus pneumoniae adalah
penyebab paling umum dari CAP seluruh dunia. Bakteri gram negatif
menyebabkab CAP pada populasi beresiko tertentu.CAP adalah penyebab
paling umum keempat kematian di United Kingdom dan keenam di AS .
Suatu istilah yang ketinggalan jaman,walking pneumonia telah digunakan
untuk mendeskripsikan tipe dari Community acquired pneumonia yang lebih
tidak ganas (karena itu fakta bahwa pasien dapat terus berjalan daripada
membutuhkan perawatan rumah sakit). Walking pneumonia biasanya
disebabkan oleh virus atau bakteri atipikal.

Hospital acquired pneumonia


Hospital acquired pneumonia, juga disebut pneumonia nosokomial
didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi 48 jam atau lebih setelah rawat
inap di rumah sakit dan pasien tersebut sebelumnya tidak mengalami infeksi
paru atau masa inkubasi penyakit pneumonia. Penumonia ini disebabkan
karena penyakit lain atau karena prosedur yang dilakukan. Penyebabnya,
pola kumannya, perawatan dan prognosis berbeda dari community acquired
pneumonia. Pasien rawat inap mungkin mempunyai banyak faktor resiko
untuk terjadinya pneumonia, termasuk pemakaian ventilasi mekanis,
malnutrisi berkepanjangan, penyakit dasar yang beresiko seperti penyakit
jantung dan penyakit paru-paru, penurunan jumlah asm lambung dan
gangguan imun. Sebagai tambahan, mikroorganisme seseorang yang
terekspos di suatu rumah sakit berbeda dengan yang dirumah.
Mikroorganisme di suatu rumah sakit mungkin termasuk bakteri resisten
seperti MRSA, Pseudomonas, Enterobacter, dan Serratia. Karena individu
dengan Hospital acquired pneumonia biasanya memiliki penyakit yang
mendasari dan terekspos dengan bakteri yang lebih berbahaya, cenderung
lebih mematikan daripada Community acquired pneumonia.

84 
Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah bagian dari hospital
acquired pneumonia. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) didefinisikan
sebagai pneumonia yang terjadi 48-72 jam setelah intubasi endotrakeal dan
pemakianan ventilator. Pada awal tahun 1972, penelitian telah menunjukkan
bahwa saluran ventilasi mekanik dengan cepat menjadi tempat kolonisasi
bakteri gram negatif. Sejak saat itu terpikir bahwa patogen berasal dari
peralatan ventilator yang sedang digunakan. Namun, beberapa bukti
terkumpul, bahwa asal bakteri patoge penyebab VAP bisa berasal dari
sumber lain selain dari sirkuit ventilator sebagai jalur utama, juga bisa oleh
karena VAP kombinasi dari dua proses yaitu kolonisasi bakteri dari
aerodigestive (saluran udara bagian atas dan pencernaan atas) dan
selanjutnya terjadi aspirasi ke jalan nafas bagian bawah. Perubahan
kekebalan tubuh yang menurun pada pasien yang sakit berat memungkinkan
bakteri patogen mudah menyebabkan infeksi, keadaan ini tidak akan mudah
terjadi pada individu sehat. Banyak pasien rawat inap mengalami gizi buruk
keadaan hemodinamik yang tidak stabil, sehingga meningkatkan risiko
terkena infeksi selama perawatan di rumah sakit.

Healthcare-associated pneumonia (HCAP) adalah kategori pneumonia


pada pasien yang baru kontak dengan sistem perawatan kesehatan. HCAP
adalah kondisi dimana pasien yang tidak dirawat di rumah sakit (mirip
dengan Community-acquired pneumonia, CAP) namun penyebabnya,
prognosis, pencegahan dan pengobatan yang lebih mirip dengan hospital-
acquired pneumonia (HAP), yang termasuk HCAP spt pasien home care,
pasien haemodialis reguler, pasien dengan kemoterapi. Dibandingkan
dengan pasien dengan CAP, pasien yang terkena pneumonia HCAP lebih
mungkin disebabkan oleh bakteri resisten terhadap antibiotik lini pertama,
patogen yang timbul seperti methicillin-resistant Staphylococcus aureus
(MRSA) atau Pseudomonas aeruginosa. Selanjutnya kita fokuskan
pembahasan ke pneumonia nosokomial infeksi (HAP/VAP).

PATOFISIOLOGI
Pneumonia nosokomial dapat terjadi dengan empat rute, penyebaran
hematogen dari fokus infeksi yang jauh, penyebaran dari sekitarnya
(petugas), menghirup udara terkontaminasi dan aspiras. Aspirasi dari bakteri

85 
gram positif dan gram negatif patogen, kolonisasi dari saluran pencernaan
dan orofaring, merupakan jalur utama. Peran rute lain sangat jarang.
Setelah mikroorganisme mencapai paru distal , mereka berkembang
biak dan menyebabkan penyakit invasif. Pertahanan pasien, termasuk filtrasi
dan humidifikasi udara yang melewati saluran pernapasan bagian atas dan
refleks batuk epiglotik, transportasi silia oleh epitel pernapasan, fagosit dan
opsonins di paru-paru distal serta kekebalan humoral pasien juga aktif untuk
mencegah invasi bakteri. Tetapi pertahanan pasien yang dirawat di ICU
biasanya sudah berubah dan cenderung menurun karena penyakit yang
mendasarinya dan perangkat yang digunakan. Mereka tidak bisa batuk
efisien karena sedasi atau penyakit yang mendasari . Dan juga , ketika
mereka diintubasi , endotrakeal tube menyebabkan pita suara terbuka dan
memfasilitasi aspirasi.

Gambar 1. Sumber mikroorganisme (endogen dan eksogen) penyebab


hospital-acquired pneumonia (HAP) danVentilator Associated Pneumonia (VAP)

FAKTOR RISIKO
Faktor resiko terpenting terjadinya VAP karena pasien diintubasi, karena :
1) menyebabkan sinusitis dan trauma nasofaring
2) terganggu proses menelan
3) bertindak sebagai reservoir untuk bakteri penyebab infeksi
4) meningkatkan bakteri dan kolonisasi saluran napas

86 
5) menimbulkan kehadiran benda asing yang traumatik terhadap epitel
orofaringeal
6) menyebabkan iskemia sekunder karena tekanan cuff
7) merusak ungsi silia dan batuk
8) menyebabkan kebocoran sekresi sekitar cuff
9) membutuhkan penyedotan dapat memindahkan sekret

Mikroorganisme dapat melekat dipermukaan tabung endotrakeal dan


beberapa spesies memproduksi eksopolisakarida yang bertindak sebagai
lendir seperti perekat. Biofilm mikroba pada permukaan tabung
menyediakan reservoir mikroorganisme, dan mereka sangat tahan terhadap
antimikroba dan sistem immun pasien. Pada pasien yang membutuhkan
ventilasi mekanik akan berhubungan dengan peangkat lain seperti
nebulizers, humidifier, yang dapat menjadi sumber mikro-organisme.
Durasi lamanya pasien dengan ventilasi mekanik meningkatkan risiko
infeksi. Masak dkk, melaporkan peningkatan risiko kumulatif VAP dengan
waktu, dengan 3 % per hari pada minggu pertama ventilasi mekanik, 2 %
per hari di minggu kedua, dan 1 % per hari pada minggu ketiga . Dalam
penelitian lain , menunjukkan bahwa risiko pneumonia meningkat dengan
durasi ventilasi,mekanik dan risiko tertinggi adalah selama 8-10 hari
pertama. Kebutuhan reintubasi , intubasi mendesak dan aspirasi besar
didokumentasikan juga terkait dengan tingginya insiden VAP.
Nasogastrik tube mengganggu fungsi sfingter gastro-esofagus dan
meningkatkan risiko sinusitis maksila, kolonisasi orofaringeal dan refluks,
semuanya dapat menyebabkan migrasi bakteri ke paru-paru. Nutrisi enteral
diberikan melalui nasogastrik tube juga meningkatkan risiko VAP. Selain
itu, predisposisi VAP dengan meninggikan pH lambung, menyebabkan
kolonisasi lambung dan meningkatkan risiko refluks dan aspirasi dengan
menyebabkan distensi lambung. Juga transportasi pasien ditemukan faktor
risiko untuk VAP dengan memfasilitasi aspirasi sekresi yang terkontaminasi
dari saluran napas bagian atas atau dari sirkuit ventilator pada posisi pasien
terlentang.

87 
Faktor Resiko Terjadinya Ventilator Associated Pneumonia

Faktor pasien
Umur ≥ 60 tahun
Beratnya penyakit yang menyertai
Gagal organ
Status gizi buruk atau hipoalbuminemia
Pembedahan perut bagian atas atau bagian torak
ARDS
Penyakit paru kronis
Penyakir Neuromuskular
Trauma, luka bakar
Koma, kesadaran menurun
Kondisi pasien harus tudur terlenang
Aspirasi
Kolonisasi di saluran napas atas
Kolonisasi di lambung an pH lambung meningkat
Sinusitis

Faktor intervensi
Memakai ventilasi mekanik
PEEP
Reintubasi
Terlalu sering menggati sirkuit ventilator
Nasogastrik tube
Monitor ICP
Paralytic agents, sedation
Terapi H2 bloker ± antasida
Tranfusin>4 unit produk darah
Transpor keluar ICU

Faktor lain
Musim : semi, dingin

88 
DIAGNOSIS HAP/VAP
Diagnosis pneumonia pada pasien ventilasi mekanik sulit dan tidak ada
metode diagnostik "gold standard". Diagnosis bisa dilakukan dengan
kombinasi gejala klinis, radiologis dan kriteria mikrobiologi, kriteria ini
memiliki sensitivitas dan spesifisitas rendah. Tanda-tanda sistemik (demam,
leukositosis, dll) infeksi dapat dilihat pada kondisi apapun di ICU (edema
paru, infark paru, setelah operasi, trauma, jaringan yang iskemia, luka
terbuka, dll). Dibawah ini beberapa cara mendiagnosis HAP/VAP

1. Gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang.


a. Suhu >38°C or <36°C
b. Leukopenia/leukocytosis
c. Secret tracheal purulen
d. PaO2/saturasi O2 menurun dengan terapi oksigen yang telah dilakukan
sebelumnya
c. Chest X-ray : terlihat infiltrat satu atau kedua lapangan paru
2. Nilai procalcitonin abnormal (PCT) mungkin berguna sebagai penanda
yang akurat dan awal suatu infeksi bakteri yang berat dan bisa di
pergunakan untuk evaluasi terapi.
Procalcitonin (PCT) adalah prekursor peptida dari hormon kalsitonin,
yang terakhir terlibat dengan homeostasis kalsium. Ini terdiri dari 116
asam amino dan diproduksi oleh sel parafollicular (C sel) dari tiroid dan
oleh sel-sel neuroendokrin dari paru-paru dan usus. Tingkat procalcitonin
dalam aliran darah orang sehat berada di bawah batas deteksi pada tes
klinis (10 pg/mL). Level procalcitonin meningkat akibat respon dari
stimulus properadangan, terutama berasal dari bakteri. Tetapi tidak
meningkatkan secara signifikan pada radang yang disebabkan oleh virus
atau non-infeksi. Pada infeksi bakteri yang berat dengan respon sistemik
procalcitonin meningkat sampai 100 ng / ml. Dalam serum darah,
procalcitonin memiliki waktu paruh 25 sampai 30 jam.

3. Skoring
Berapa skoring untuk membantu diagnosa dan untuk memulai pemberian
terapi, lebih cepat dan mudah di gunakan, karena menunggu hasil kultur
memerlukan waktu.

89 
a. Kriteria CDC untuk diagnosis ventilator associated pneumonia
Tiga atau lebih yang memenuh kriteia dibawah :
• Suhu rektal >38°C or <35.5°C
• Lekositosis (>10.103/mm3) dan atau bergeser ke kiri
• Leukopenia (<3.103/mm3)
• Lebih dari 10 lekosit pada pewarnaan gram dengan aspirasi trakea
• Kultur positif dari aspirasi endotrakeal dan
• Infiltral lama, bertambah atau baru pada gambaran radiologi paru

b. skor CPIS ( clinical pulmonary infection score)

skor > 6 di diagnosis sebagai Pneumonia

Keuntungan
• Dapat dengan mudah dihitung di samping tempat tidur pasien
• Tidak ada peralatan khusus yang diperlukan
• Bisa dilakukan oleh perawat atau staf terapi pernafasan
• Dapat dilakukan dengan cepat

90 
Kekurangan
• Semua komponen scoring dapat disebabkan oleh kondisi lain
• Dapat menimbulkan salah atau berlebihan terapi antibiotik
• Tidak sensitif atau spesifik sebagai tindakan diagnostik lainnya
• Antibiotik khusus atau yang narrow spectrum tidak dapat digunakan
karena patogen penyebab tidak diketahui pasti.
• Penggunaan antibiotik spektrum luas bisa menimbulan strain yang
resisten nical f
4. Mikrobiologi
a. Bronchoscopic BAL
Kekhawatiran tentang ketidak telitian dari pendekatan "diagnosis
klinis" seperti sebelumnya dibahas dan kemungkinan kemungkinan
terlalu sering menggunakan antibiotik telah menyebabkan banyak
peneliti menyimpulkan bahwa "khusus" prosedur diagnostik yang
diperlukan yang meliputi kultur kuantitatif dari spesimen yang
diperoleh dari saluran penapasan bagian bawah.
Menggunakan strategi ini, bronchoscopic BAL dikembangkan untuk
mendapatkan sampel dari paru-paru bagian bawah untuk analisis
mikrobiologis kuantitatif-nya. Bronchoscopic BAL telah digunakan
sejak 1988, namun teknik BAL masih belum sepenuhnya standar.
Jumlah cairan di semprotkan ke dalam paru-paru untuk pengambilan
spesimen bervariasi 130-150 ml, dengan sample yang di ambil
pertama yang dibuang terlebih dahulu. Sensitivitas BAL kuantitatif
adalah 42 sampai 93% dengan rata-rata 73%. Spesifisitas adalah 45
sampai 100% dengan rata-rata 82%. Prosedur ini relatif aman dengan
risiko utama desaturasi selama dan prosedur

Gambar 2. Bronchoscope

91 
Keuntungan
• Daerah paru-paru yang terinfeksi bisa divisualisasikan dan diambil
sampelnya
• Lebih akurat dari sample sputum atau dengan cara aspirasi trakea
• Memungkinkan dokter untuk mengidentifikasi lesi non-infeksi
• Mendeteksi organisme intraseluler dalam kultur BAL lebih cepat
dan khusus dengan nilai prediktif sangat tinggi

Kekurangan
• Lebih agresif invasif dibandingkan dengan metode lain
• Mengurangi tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP) selama prosedur
dan beberapa waktu setelahnya
• Terbatas karena diameter bronkoskopi besar, sehingga perlu
endotrakeal tube yang lebih besar ukurannya.
• Perlu personil tambahan untuk membantu selama prosedur
• Harus dilakukan oleh spesialis
• Kemungkinan penundaan karena tidak tersedianya pulmonologist
dan alat bronkoskop
• Sterilisasi daerah prosedur, secara teknis sulit, dan memakan waktu
(penyebaran infeksi karena sterilisasi yang tidak memadai mungkin
terjadi)
• Desaturasi, aritmia jantung, bronkospasme bisa terjadi.
• Mahal (tenaga kerja dan perangkat)

b. Protected Specimen Brush (PSB)


Teknik Protected Specimen Brush untuk diagnosis pneumonia telah
digunakan selama 20 tahun. Teknik bronchoscopic ini menggunakan
sikat pengambil sampel (dilindungi oleh selubung) di dalam saluran
lingkup sampai bagian yang di harapkan tercapai. Sikat ini dioleskan
atau di masukkan ke spesimen yang diinginkan lalu ditarik. Teknik ini
pertama kali dilakukan oleh oleh Wimberly, dkk pada tahun 1979.
Perhatikan gambar di bawah, bahwa hanya sedikit jaringan spesimen
yang diperoleh sehingga dibandingkan dengan metode lavage (BAL),
sensitivitas PSB lebih kecil. Sensitivitas dari PSB adalah 36-95% dan
spesifisitas 50-100%.

92 
Gambar 3. ProBAL© PSB

Keuntungan
• Daerah paru-paru yang terinfeksi bisa divisualisasikan dan diambil
sampelnya
• Memungkinkan dokter untuk mengidentifikasi lesi non-infeksi
• Sangat spesifik
• Lebih akurat dari sample sputum atau dengan cara aspirasi trakea

Kekurangan
• Lebih agresif invasif dibandingkan dengan metode lain
• Terbatas karena diameter bronkoskopi besar, sehingga perlu
endotrakeal tube yang lebih besar ukurannya
• Perlu personil tambahan untuk membantu selama prosedur
• Perlu perlengkapan tambahan (PSB)
• Pneumotoraks bisa terjadi
• Mengurangi PEEP selama prosedur dengan segala pengaruhnya.
• Harus dilakukan oleh spesialis
• Kemungkinan tertundaan karena tidak tersedianya tenaga spesialis,
bronkoskop atau tenaga bantuan.
• Sterilisasi daerah prosedur, secara teknis sulit, dan memakan waktu
(penyebaran infeksi karena sterilisasi yang tidak memadai mungkin
terjadi)
• Kultur dari PSB tidak spesifik sekitar 25% dan memberikan false
positif pada sekitar 20% dari kasus.
• Untuk meningkatkan akurasi, PSB sering ditunda sesuai dengan
keadaan klinis pasien, potensi terjadi penundaan terapi yang tepat
• Mahal (tenaga kerja dan perangkat)

93 
c. Mini-BAL
Disebut juga blind BAL atau non-bronchoscopic BAL, teknik lebih
baru dilakukan dengan bantuan kateter teleskopis. Spesimen
kuantitatif dari Blind BAL dapat digunakan untuk memandu
pendekatan terapi dan lebih aman serta memiliki efek yang lebih kecil
dari BAL bronchoscopic. Mini-BAL secara teknis sederhana, dan
hasil kultur kuantitatif serupa dengan yang diperoleh dengan metode
lavage lainnya, sensitivitasnya 70 sampai 100% sedangkan
spesifitasnya 65 sampai 95%. Deskripsi blind atau non-bronchoscopic
memandu secara manual kateter ke bagian paru-paru yang perlu
diambil samplenya sekretnya.

Gambar 4. Mini-BAL (BAL CATH)

94 
Keuntungan
• Memungkinkan pengumpulan dan pemeriksaan sekret saluran napas
bagian bawah dengan cepat
• Dapat dilakukan oleh Perawat atau Therapist Pernapasan untuk
mengurangi penundaan dan biaya
• Tidak perlu asisten atau peralatan tambahan yang diperlukan
• Sensitivitas dan spesifisitas sebanding dengan BAL- bronchoscopic
dan PSB
• Sensitivitas dan spesifisitas yang jauh lebih baik daripada aspirasi
trakea
• Tidak ada tambahan biaya
• Sample dapat diambil berulang dan digunakan untuk "de-escalate"
penggunaan antibiotik yang lebih tepat.
• Lebih murah dari BAL bronchoscopic atau PSB
• Diameternya kecil mini-BAL kateter dibandingkan dengan
bronkoskopi tradisional memungkinkan digunakan berbagai ukuran
yang lebih besar dari ukuran endotrakeal tube.
Kekurangan
• Blind Prosedur (meskipun masih bisa menentukan paru-paru mana
yang diambil sampelnya)
• Memerlukan pelatihan perawat untuk melakukan.

d. Aspirasi trakea
Pewarnaan Gram (hasil bisa dalam beberapa jam) dapat digunakan
untuk membuat keputusan awal tentang pemakain antibiotik yang
digunakan untuk pengobatan. Keuntungan dan Kerugian dari aspirasi
trakea. Hasil kulturnya mempunyai Spesifisitas 38 hingga 100% dan
Sensitivitas 14 sampai 100%.
Keuntungan
• Mudah dilakukan di samping tempat tidur pasien
• Mungkin dilakukan oleh petugas laborat atau Perawat
• Murah
Kekurangan
• Spesimen mudah terkontaminasi
• Spesifisitas dan Sensitivitas rendah
• Dapat menyebabkan salah pemilihan pemilihan terapi AB

95 
Beberapa penulis menganjurkan menggunakan mini-BAL untuk
diagnosa secepat pada pasien yang diduga VAP karena memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang sebanding dengan BAL bronchoskopik dan PSB. Yang
lain merasa bahwa aspirasi trakea dan / atau pendekatan klinis sama
efektifnya dengan pemeriksaan di atas.
Nilai untuk sekret aspirasi trakeal di nilai secara kuantitatif untuk
mengurangi penilainan yg bias dgn kuman koloni. Dengan ambang 106 unit
pembentuk koloni (cfu) / mL atau lebih, sensitivitasnya metode ini untuk
diagnosa pneumonia bervariasi 38-82%, dengan rata-rata 76 ± 9%, dan nilai
spesivitasnya berkisar antara 72-85%, dengan rata-rata 75 ± 28%.

Faktor resiko VAP bakteri MDR

Health care associated MRSA


COPD
Terapi steroid
Pemakaian ventilasi mekanik > 5 hari
Terapi AB sebelumnya
Tindakan brokoskopi sebelumnya
Kolonisasi MRSA

Community-acquired MRSA (nilai prediksi rendah)


Trauma kulit Skin trauma
Cukur rambut kosmetik
Inkaserasi
Pseudomonas aeruginosa
COPD
Terapi steroid
Pemakaian ventilasi mekanik > 5 hari
Terapi AB sebelumnya
Acinetobacter baumannii
ARDS
Trauma kepala
Tindakan bedah syaraf
Aspirasi
Terapi cephalosporin sebelumnya

96 
PENGENDALIAN INFEKSI

Karena durasi yang lama memakai ventilasi mekanis dan lama dirawat
d ICU, terjadi peningkatan penggunaan antibiotik, biaya yang lebih tinggi
untuk kesehatan dan yang paling penting terjadi peningkatan mortalitas ,
pencegahan VAP adalah prioritas utama . Namun , meskipun kemajuan
dalam patogenesis VAP. Berapa cara dilakukan utuk mencegah dan
mengendalikan infeksi seperti :

1. Cuci tangan
Praktek mencuci tangan, memakai baju yg bersih dan sarung tangan adalah
tindakan yang mungkin dan paling penting dilakukan untuk mengurangi
kolonisasi. Penyebaran mikro organime nosokomial secara efektif dilakukan
oleh tangan dan baju tenaga perawat atau tenaga medis.

2. Mesin ventilasi mekanik dan perangkatnya.


Mesin yang ada mengerakkan ventilator mekanik bukan merupakan faktor
risiko penting terjadinya VAP. Oleh karena itu , menggunakan filter antara
fase inspirasi sirkuit dan pasien tidak perlu. Selain itu, pentingnya filter
saluran ekspirasi dari sirkuit ventilator mekanik dalam mencegah lintas
kontaminasi belum diketahui dan perlu penelitian lebih lanjut. Apabila
perangkat yang digunakan tersebut kontak dengan mukosa saluran
pernapasan perlu dilakukan pembersihan dan disinfeksi apabila peralatan
tersebut digunakan diperlukan kembali. Alat-alat resusitasi , spirometer dan
oksigen analyzer harus dibersihkan dan didisinfeksi sebelum digunakan
untuk menghindari transmisi silang. Dalam beberapa penelitian , rutinitas
perubahan sirkuit ventilator tidak dianjurkan. Penggantian diperlukan ketika
ada kotoran dan kerusakan mekanik. Kondensat cairan dalam sirkuit
ventilator, sering berisi bakteri patogen dan merupakan faktor risiko terjadi
VAP, pemakaiannya harus dihindari secara teratur. Dan drainase yang
disengaja dilakukan kondensat dari dalam saluran napas pasien bisa
menyebabkan kontaminasi selama pemutusan pemakaian ventilator mekanik
atau selama pembuangan kondensat harus dihindari. Dalam perangkat searah
dengan salah satu katup, menempatkan sirkuit sekali pakai, dianjurkan
kondensat dikumpulkan dan dikosongkan secara teratur. Humidifikasi
dudara inspirasi merupakan perawatan penting dalam manajemen ventilator.

97 
Humidifikasi dapat dicapai dengan humidifier aktif atau humidifier pasif
(kondensor buatan higroskopis, sebagai hidung buatan atau menjaga
kelembaban -HME-). Dalam humidifikasi, pembentukan kondensat dalam
pipa dan resiko kolonisasi kondensat dengan mikroorganisme merupakan
faktor risiko penting untuk VAP. HME bisa menjaga suhu dan kelembaban
dan mengurangi pembentukan kondensat dan kolonisasi bakteri di sirkuit.
Selain itu mereka memiliki karakteristik filtrasi bakteri. Tidak perlu diganti
setiap hari dan dapat digunakan untuk setidaknya 48 jam, beberapa waktu
hingga 1 minggu. Juga dengan keuntungan lain (mengurangi beban kerja
perawat, biaya keuangan berkurang, dan keamanan yang lebih baik), HME
adalah perangkat yang menguntungkan untuk perawaan pasien ICU.
Memang beberapa peneliti lain melaporkan tingkat yang lebih rendah terjadi
VAP dalam kelompok HME daripada sistem humidifikasi konvensional,
efek HME tentang pencegahan VAP masih kontroversial dan ada sebuah
studi terbaru menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan terjadinya
VAP pada kedua alat tersebut, HME menambah ruang mati dan tahanan
terhadap proses respirasi, menyebabkan saluran napas tersumbat dan terjadi
penumpukan sekret. Perlu penelitian tambahan diperlukan untuk meng-
identifikasi manfaat HME tentang pengendalian infeksi VAP Nebulizers
yang digunakan terapi atau humidifikasi udara dan ditempatkan pada fase
inspirasi dari sirkuit ventilator mekanik. Alat ini dapat terkontaminasi oleh
kondensat dalam tabung atau dengan menggunakan lauran yang terkonta-
minasi dan memberikan secara langsung partikel aerosol terkontaminasi ke
parenkim paru-paru dan dapat menyebabkan wabah di ICU.
Rekomendasi untuk kontrol infeksi nebulizers adalah:
1. mengisi langsung sebelum digunakan
2. menggunakan air dan obat-obatan steril
3. tidak pernah mengisi ulang saat terapai
4. pembersihan dan desinfeksi alat
5. menggunakan air steril untuk membilas dan keringkan
6. menggunakan nebulizers volume besar untuk pasien tertentu
7. menggunakan masker untuk pasien tertentu pasien tertentu

Penyedotan sekresi dalam trakea adalah pendekatan lain untuk pencegahan


VAP. Dua jenis kateter sedotan trakea digunakan pada pasien dengan

98 
ventilasi mekanik: terbuka, kateter sekali pakai dan tertutup, bisa digunakan
benerapa kali beberapa. Dalam sistem penggunaan tunggal, petugas
kesehatan harus menggunakan secara steril selama membilas kateter ini dan
harus peduli teknik aseptik saat penyedotan sekresi endotrakeal. Dalam
sistem penyedotan tertutup, sekresi dapat disedot tanpa menghentikan
dukungan ventilasi mekanis, mengurangi kejadian hipoksia, hipotensi,
aritmia, dan kontaminasi dari lingkungan sekitarnya kurang. Combes dkk
melaporkan risiko 3,5 kali lebih besar terjadi VAP dengan menggunakan
sistem penyedotan terbuka daripada sistem pengisap tertutup dalam sebuah
studi baru-baru ini. Memang, sadotan kateter tertutup merupakan
perpanjangan dari sirkuit ventilator, penggantian harian kateter ini tidak
diperlukan untuk pengendalian infeksi dan dalam satu studi dilaporkan tidak
ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat terjadinya VAP ketika
dilakukan penggantian harian dibandingkan dengan tanpa perubahan rutin
tiap hari, sehingga dapat menurunkan biaya. Penggunaan sistem hisap
tertutup dianjurkan sebagai bagian dari program pencegahan VAP.

3. Ventilasi non - invasif


Hubungan kuat antara penggunaan perangkat invasif dan pneumonia
nosokomial mengarahkan peneliti menggunakan ventilasi noninvasif untuk
mengurangi terjadinya VAP. Dalam beberapa penelitian, melaporkan risiko
lebih rendah terjadi VAP, penggunaan antibiotik lebih sedikit, dengan lama
rawat ICU lebih pendek dari ICU tinggal, dan dengan kematian yang lebih
rendah dengan penggunaan ventilasi non-invasif. Oleh karena itu,
menggunakan ventilasi mekanik non - invasif dianjurkan lebih sering
digunakan dengan pertimbangan yang sesuai dan untuk mengurangi
frekuensi intubasi trakea.

4. Endotrakeal tube
Pemakaian endotrakeal tube mengubah sistem kekebalan pasien, meng-
ganggu sistem kekebalan mekanik dari saluran pernapasan, menyebabkan
trauma lokal dan peradangan dan memungkinkan penumpukan sekret sekitar
cuff. Tekanan cuff endotrakeal tube harus cukup untuk mencegah kebocoran
koloni sekresi subglottic ke saluran napas bagian bawah. Pengisapan terus
menerus atau intermiten orofaringeal dan sekret saluran pernapasan atas
disekitar cuff endotrakeal dapat mencegah aspirasi. Pemakaian endotrakeal

99 
tube dengan lumen untuk mengisap sekret terpisah diatas cuff, dirancang
untuk menghisap sekresi subglottic terus menerus, mampu menurunkan
kejadian onset awal VAP. Namun, dalam uji coba yang lain secara acak,
tidak ada manfaat melakukan penghisapan sekret subglottic terus-menerus
karena secara keseluruhan frekuensi kejadian ditemukan VAP tidak berubah.
Tindakan ini hanya dapat mengurangi tetapi tidak menghilangkan aspirasi ke
paru-paru. Kurangnya efek pencegahannya, harga yang mahal sehinggan
membatasi pemakaian pada pasien onset lambat pneumonia. Biofilm
mikroba pada permukaan tabung endotrakeal merupakan reservoir untuk
patogen dan mencegah mikroorganisme dari aksi antibiotik. Adair dan rekan
mengusulkan konsentrasi tinggi antibiotik pada permukaan luminal
endotrakeal, dicapai baik oleh nebuliser atau modifikasi permukaan
endotrakeal, akan diharapkan untuk mencegah pembentukan biofilm pada
tabung endotrakeal dan mungkin memiliki peran dalam mengurangi kejadian
VAP, juga meminimalkan paparan antibiotik sistemik. Intubasi nasotrakeal
meningkatkan risiko sinusitis nosokomial, yang mempengaruhi VAP oleh
aspirasi sekresi terinfeksi dari sinus hidung, Oleh karena itu, intubasi
endotrakeal sebaiknya diutamakan untuk mengurangi risiko VAP .

5. Selang nasogastrik dan nutrisi


Seperti halnya intubasi nasotrakeal, selang nasogastrik dapat menyebabkan
kolonisasi orophanryngeal dan sinusitis nosokomial. Bisa merusak fungsi
sfingter esofagus bagian atas, sehingga memfasilitasi refluks bakteri dari
usus, hal itu meningkatkan risiko VAP. Dalam sebuah studi acak,
gastroesofageal reflux dan mikro aspirasi isi lambung ke saluran pernapasan

100 
bagian bawah tidak dipengaruhi oleh ukuran selang nasogastrik. Karena
potensi terjadinya komplikasi dan biaya tinggi, selang ukuran kecil
nasogastrik tidak secara rutin dianjurkan untuk pencegahan VAP .
Status gizi yang buruk dan hipoalbuminemia juga berkontribusi timbulnya
VAP. Untuk alasan tersebut, memulai secara dini nutrisi enteral memiliki
efek pencegahan pada pasien ventilasi mekanik. Selain itu, hal ini membantu
untuk mempertahankan epitel pencernaan dan mengurangi kebutuhan
profilaksis stres ulcer. Namun, karena menggunakan selang nasogastrik dan
alkalinisasi isi labung yang berisi makanan, kolonisasi lambung, refluks
gastrooesophgeal, masih mungkin terjadi aspirasi dan masih mungkin timbul
pneumonia. Dalam penelitian terbaru, penempatan akses enteral dibawah
pylorus meningkatkan toleransi makan lewat selang nasogastrik dan
mengurangi tingkat VAP. Heyland dkk, menggunakan makanan yang
diasamkan pada pasien sakit kritis dan menunjukkan penurunan dramatis
dalam pertumbuhan bakteri dari aspirasi isi lambung dan tingkat yang lebih
rendah dari pertumbuhan bakteri gram negatif dalam sekresi trakea pada
pasien yang menerima makanan yang diasamkan, tetapi tidak penurunan
secara signifikan kejadian nosokomial pneumonia. Tindakan ini tidak dapat
digunakan pada pasien dengan perdarahan aktif gastrointestinal, asidemia
atau gagal ginjal . Selanjutnya masih diperlukan studi dan penelitian lebih
lanjut tentang efek pencegahan yang diperlukan, sebelum digunakan dalam
praktek.
6. Dekontaminasi selektif saluran cerna (SDD) dan perawatan mulut
Dalam beberapa tahun terakhir, dekontaminasi selektif pada saluran
pencernaan (SDD) adalah salah satu yang paling ekstensif dipelajari untuk
strategi pencegahan VAP. SDD didalamnya antimikroba topikal tidak
diserap (biasanya gabungan antara polimiksin, aminoglikosida dan
amfoterisin B) digunakan untuk mencegah kolonisasi saluran cerna dari
mikroorganisme patogen. Untuk erakodasi selektif mikroorganisme patogen
yang potensial menyebabkan infeksi (bakteri gram negatif aerobik usus, S.
aureus dan jamur) dan tidak mempengaruhi flora anaerobik, karena
menghilangkan flora anaerobik menyebabkan peningkatan kolonisasi flora
aerobik gram negatif. Meskipun beberapa peneliti hanya menggunakan
antibiotik topikal yang diberikan di orofaring dan melalui selang nasogastrik,
banyak dari mereka pada awalnya menambahkan terapi sistemik dengan

101 
spektrum luas (misalnya cefotaxime) selama beberapa hari , untuk mencegah
infeksi dini S. pneumoniae, H. influenzae dan S. aureus. Dalam meta analisis
terbaru dari 33 percobaan terkontrol acak yang diterbitkan 1984-1996,
penurunan yang signifikan pada kejadian infeksi saluran pernafasan (65%)
dan menurunkan angka kematian (20%). Juga dalam meta-analisis dan studi
acak lain baru-baru ini, disebutkan dengan hanya menggunakan antibiotik
topikal bisa mengurangi infeksi pernafasan, namun tidak mempengaruhi
kelangsungan hidup. Ancaman pemberian SDD adalah akan menimbulkan
seleksi dan pertumbuhan berlebih dari mikroorganisme resisten antibiotik.
Dalam penelitian terbaru dari Belanda, di mana kejadian MRSA dan
Enterococcus (VRE) tahan vankomisin sangat rendah, dilaporkan terjadi
penurunan kolonisasi bakteri gram negatif yang resisten dan tidak
berpengaruh pada MRSA. Namun penelitian dari ICU di mana MRSA
adalah endemik, peningkatan kejadian MRSA dilaporkan. Oleh karena itu,
pemakaian di ICU yang tinggin insiden mikroorganisme multi-resisten, SDD
tidak dapat digunakan. Di sisi lain, pada pasien trauma dan bedah pasien,
SDD tampaknya lebih efektif daripada pada pasien medis, mungkin karena
kurang kolonisasinya.
Kesimpulanya adalah penggunaan rutin SDD di ICU tidak dianjurkan,
keputusannya harus sesuai dengan populasi dan karakteristik pasien di ICU.
Selain itu, kolonisasi patogen di rongga mulut merupakan faktor risiko
penting timbulnya VAP, masih belum jelas apakah perawatan rongga mulut
dengan klorheksidin mengurangi terjadinya VAP. Juga menjadi perhatian
hubungan antara pemakaian chlorhexidine yang berlebihan dengan
peningkatan kolonisasi bakteri gram negatif.
7. Posisi tubuh dan obat-obatan
Posisi Semi rekumben (45°) untuk mencegah aspirasi dan bagian dari bakteri
ke dalam saluran pernapasa dan lebih disukai pada pasien ICU, jika tidak
ada kontraindikasi.
"Tempat tidur Kinetic " atau Kotinyus Terapi putaran Lateral (CLRT) terus
bergerak dan secara perlahan-lahan dan mengubah posisi pasien. Peneliti
percaya bahwa itu membantu drainase sekresi paru. Namun, tempat tidur
harganya mahal dan efektivitas tidak terbukti menurunkan kejaian VAP.
Jadi, penggunaan rutin tempat tidur ini tidak dianjurkan. Juga, fisioterapi
dada, untuk meningkatkan pembersihan sekresi dan pencegahan VAP tidak

102 
dianjurkan karena terbukti kurangnya bermanfaat dan dibanding risiko yang
terjadi (misalnya, desaturasi oksigen arteri).
Profilaksis ulkus karena stess menjadi faktor risiko karena alkalinisasi isi
lambung. Pengaruh ulkus profilaksis ulkus karena stress dengan H2-
antagonis atau antasida pada VAP masih kontroversial. Dalam beberapa
penelitian, penggunaan sukralfat dikaitkan dengan penurunan kejadian VAP,
namun laporan lain tidak mendukung hal ini. Juga, H2-antagonis yang lebih
efisien untuk profilaksis anti ulkus dibandingkan sukralfat tersebut. Oleh
karena itu, pilihan agen untuk profilaksis harus dilakukan sesuai dengan
pasien dan efektivitas biaya.
Untuk mengurangi aspirasi dari orofaringeal, penggunaan obat penenang
harus dihindari. Kress dkk melaporkan bahwa untuk mengurangi
penggunaan obat penenang, infus obat penenang dievalusi pemakaiannya
tiapmharimsampai pasien sadar, kebutuhan pemakaian ventilasi mekanis
menurun dan lama tinggal di ICU juga berkurang.

Strategi diagnosis dan terapi HAP,VAP dan HCAP

103 
STRATEGI TERAPI

Kombinasi atau monoterapi pada Ventilator - Associated Pneumonia


Pilihan antimikroba empiris harus berdasarkan faktor risiko, penyakit
penyertanya dan kondisi masing-masing pasien, juga mempertimbangkan
data mikrobiologi lokal. Pemberian antibiotik pada VAP early onset/awitan
awal tanpa faktor risiko patogen multidrug resisten bisa menggunakan
sebagian besar antibiotik tunggal spektrum sempit, sedangkan pada episode
VAP awitan lambat kemungkinan terinfeksi organisme multidrug resisten
harus dipertimbangkan terapi dengan antibiotik spektrum yang luas.
Beberapa penulis berpendapat bahwa antibiotik kombinasi meningkatkan
kemungkinan keberhasilan terapi melalui cakupan yang lebih luas untuk
VAP dicurigai monomikrobial dan terutama kalau VAP divurigai
polimikrobial. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa terapi kombinasi
lebih mahal dan terkait dengan toksisitas yang lebih besar dan menimbulkan
multi resisten mikroorganisme.
Baru-baru ini, Heyland dan rekan melaporkan penelitian secara random
membandingkan terapi kombinasi (meropenem ditambah ciprofloxacin)
dibandingkan monoterapi antibiotik spektrum luas (hanya meropenem)
untuk tersangka VAP awitan lambat. Mereka tidak menemukan perbedaan
dalam 28 hari angka kematian antara kombinasi dan kelompok monoterapi,
atau lama tinggal di ICU dan rumah sakit dan respon pengobatan klinis dan
mikrobiologis atau munculnya bakteri resisten antibiotik. Namun, ketika
mengevaluasi subkelompok pasien dengan bakteri multidrug resisten Gram-
negatif, eraikasi organisme menginfeksi secara signifikan lebih tinggi yang
terlihat secara mikrobiologi pada kelompok terapi kombinasi, meskipun
tidak ada perbedaan dalam hasil klinis. Temuan ini dapat dijelaskan oleh
perbedaan statistik yang signifikan antara kelompok dalam hal kecukupan
antibiotik (kombinasi 84,2 % dibandingkan monoterapi 18,8 %). Kelompok
author memgemukakan temuan serupa dalam studi multicenter yang
membandingkan penggunaan monoterapi dibandingkan kombinasi sebagai
terapi empirik untuk episode VAP monomikrobial karena Pseudomonas
aeruginosa. Dalam penelitian tersebut , penggunaan terapi kombinasi kurang
sesuai dibandingkan monoterapi (9,5% vs 43,3%). Juga tidak ada perbedaan
hasil antara kedua kelompok perlakuan. Sebuah meta analisis baru-baru ini

104 
menunjukkan bahwa monoterapi tidak kalah dengan terapi kombinasi untuk
pengobatan empiris VAP. Namun, heterogenitas studi yang dilakukan
membatasi kualitas data dan studi lebih lanjut diperlukan untuk memperjelas
masalah ini.
Dalam praktek klinis, pilihan terapi kombinasi pada pasien dengan
kerentanan tinggi terhadap patogen multidrug resiten seperti Pseudomonas
aeruginosa harus mempertimbangkan data mikrobiologi lokal untuk
memastikan bahwa terapi empirik yang tepat diberikan. Pendekatan ini
adalah penentu utama risiko kematian pada pasien.

Memilih antibiotik
Setelah mempertimbangkan argumen di atas, dokter harus memutuskan
apakah akan memulai pemberian antibiotik tunggal atau kombinasi. Kecuali
pasien immunocompromised, terapi anti-jamur tidak harus berikan. Pada
pasien VAP early onset/awitan awal tanpa faktor risiko ditemukan patogen
MDR, terapi harus mengenai patogen penyebab (Haemophilus influenzae,
Streptococcus pneumoniae dan methicillin Staphylococcus aureus sensitif).
Namun, pada pasien VAP yang memiliki resiko terinfeksi Pseudomonas
spp, Acinetobacter baumannii atau spektrum beta laktamase extended
(ESBL) yang memproduksi Enterobacteriaceae, kesesuaian antibiotik awal
yang lebih tinggi dengan kombinasi terapi perlu diperimbangkan. Pada
pasien beresiko MDR, pendekatan tiga langkah yang direkomendasikan.
Pertama, jika ada risiko kolonisasi methicillian resistant Staphylococcus
Aures (MRSA), disarankan pemberian linezolid sebagai bagian dari terapi
empirik. Vancomycin telah menjadi obat anti-MRSA pilihan selama
beberapa tahun, namun tingkat kematian pasien dengan MRSA VAP yang
diterapi dengan vankomisin dilaporkan cukup tinggi 50%. Penetrasi
vankomisin dalam jaringan paru-paru yang kecil membatasi kemampuannya
untuk mengobati secara optimal pasien VAP meskipun secara in vitro ada
kesesuaian. Meskipun tidak ada uji coba terkontrol acak (RCT)
membandingkan vankomisin vs linezolid pada pasien dengan VAP, hasil
yang dikumpulkan dari dua studi menunjukkan hasil yang lebih baik bagi
pasien yang diberikan terapi linezolid dibandingkan dengan yang diobati
dengan vankomisin. Kedua, jika ada risiko kolonisasi Acinetobacter
baumannii, carbapenem harus dipertimbangkan untuk terapi. Ketiga, jika ada

105 
risiko terinfeksi Pseudomonas aeruginosa, setidaknya ada antipsedomonal,
diberikan sebagai terapi awal. Namun, terapi yang tepat saja tidak cukup.
Sebuah terapi yang berbasis pasien, mempertimbangkan isu-isu yang
berkaitan dengan kompleksitas pasien sakit kritis dan implikasinya
pengobatan merupakan hal mendasar untuk mencapai pengelolaan yang
optimal dari VAP. Konsep yang berhubungan dengan farmakokinetik /
farmakodinamik (PK / PD) , seperti penetrasi jaringan, volume distribusi dan
dosis dihitung secara individual harus dilakukan di ICU sehingga diharapkan
secara klinis memperbaiki kwalitas terapi.

Ketepatan terapi : Pertimbangan farmakokinetik - farmakodinamik


dalam Pengelolaan VAP
Kerentanan in vitro seharusnya tidak menjadi satu-satunya kriteria dalam
pemilihan antibiotik yang tepat. Kegagalan pengobatan dengan antibiotik
yang patogen sensitif secara in vitro sering terjadi.

Faktor pasien
Pada pasien kritis terjadi perubahan fisiologis yang dapat
mempengaruhi konsentrasi obat dalam darah dan jaringan perifer. Situasi
seperti pasien sepsis terjadi peningkatan volume distribusi, menghasilkan
efek yang dikenal sebagai'' third spacing,'' yang mengarah ke penurunan
konsentrasi obat dalam plasma terutama obat yang memiliki sifat hidrofilik.
Perkembangan ini sangat relevan dalam kasus pengunaan antibiotik, karena
probabilitas yang dihasilkan mencapai konsentrasi yang lebih rendah dari
yang diharapkan, sehingga terjadimkekurangan dosis terapi. Selain itu, gagal
ginjal juga sering terjadi pada pasien ICU karena penggunaan obat-obatan
nefrotoksik seperti kontras, terjadi hipovolemia, terjadi depresi miokard
relatif yang umum terjadi pada pasien ktitis. Penurunan laju filtrasi ginjal
berbanding terbalik dengan waktu paruh obat, terutama obat yang
diekskresikan melalui ginjal, yang menyebabkan konsentrasi obat lebih
tinggi dari yang diharapkan baik di plasma atau di jaringan perifer.
Selanjutnya, pasien dengan syok biasanya menerima terapi cairan dan
/atau inotropik sebagai terapi untuk membalikkan keadaan. volume yang
lebih banyak dan peningkatan curah jantung menyebabkan respon yang lebih

106 
tinggi dari preload ginjal, seingga tingkat filtrasi meningkat dan memper-
singkat waktu paruh obat.
Konsentrasi albumin juga penting, karena kejadian pasien di ICU
hipoalbuminemia relatif tinggi. Dom ınguez de Villota dan rekan
melaporkan bahwa 64% dari pasien yang dirawat di ICU mereka memiliki
konsentrasi albumin rendah. Konsekuensi secara langsung adalah penurunan
tekanan osmotik koloid, secara fisiologis akan menyebabkan gerakan cairan
ke ruang ekstravaskular, menimbulkan edema dan konsentrasi obat dalam
darah rendah dari yang diharapkan. Selain itu, obat-obatan dapat mengikat
protein plasma dalam persentase variabel tergantung pada fisikokimia
mereka, dan diketahui bahwa fraksi terikat dibersihkan lebih cepat.
Hipoalbuminemia menyebabkan konsentrasi obat bebas yang lebih tinggi
dan dapat menurunkan waktu paruh obat.

Faktor Antibiotik
Struktur obat antibiotik memiliki implikasi terhadap distribusi , metabolisme
dan ekskresinya, sehingga setiap antibiotik cocok untuk jenis infeksi tertentu
in. Akibatnya, evaluasi kuantitatif penetrasi paru merupakan landasan
penting dalam pemilihan antibiotik yang paling tepat untuk terapi VAP.
Time-dependent antibiotik (Tergantung Waktu) menunjukkan profil yang
lebih baik aktivitas bila diberikan dalam infus kontinyu dalam beberapa
dosis harian bukan dalam dosis bolus sekali sehari. BetaLaktam, carbapenem
dan glikopeptida yang termasuk dalam kelompok ini. Sebaliknya,
concentration-dependent antibiotik (tergantung konsentrasi), seperti
fluoroquinolone, aminoglikosida dan makrolida, mencapai hasil yang lebih
baik bila diberikan dalam dosis tinggi sekali sehari .

Evaluasi respon klinis dan penyesuaian terapi empiris


Respon klinis
Salah satu poin penting adalah penilaian respon terapi dengan melihat
klinisnya. Respon klinis dinilai berdasarkan evaluasi demam, hipoksemia
(diukur sebagai rasio PaO2/FiO2), jumlah leukosit dalam darah perifer,
sekresi trakea, dan infiltrat di rontgen dada.

107 
Selain parameter klinis , biomarker telah diteliti pada pasien dengan
VAP . Procalcitonin dan C - reactive protein ( CRP ) telah terbukti menjadi
alat yang berguna untuk menilai prognosis pada pasien VAP. Selain itu,
penilaian CRP pada hari ke empat VAP adalah penanda kesesuaian dan
respons klinis terhadap terapi antibiotik

Merubah terapi empirik


Ada tiga cara untuk mengubah terapi antibiotik yang ditentukan
sebelumnya: eskalasi ke antibiotik lain, de-eskalasi atau melanjutkan
antibiotik awal. Terapi de-eskalasi, pengobatan dimulai dengan terapi
antibiotik spektrum luas, menyediakan cakupan maksimum dan
meminimalkan terapi empiris yang tidak tepat. Ketika kultur positif tersedia,
dilakukan de-eskalasi memungkinkan pengobatan diubah ke terapi spektrum
sempit untuk meminimalkan risiko munculnya resistensi karena paparan
antibiotik spektrum luas. Tanpa data mikrobiologi, de-eskalasi mustahil
dilakukan, karena penyesuaiankelas antibiotik lebih rendah tidak menjamin
cakupan yang benar tanpa pedoman kultur kuman. Dalam situasi ini, a) jika
terjadi perbaikan klinis, pilihan pertama adalah untuk mempertahankan
antibiotik awal. Namun, b) jika terjadi perburukan klinis, dokter harus
mempertimbangkan tindakan eskalasi terapi, dengan cakupan patogen yang
lebih luas dengan perhatian khusus untuk mikroorganisme multidrug
resisten. Namun, c) jika hasil mikrobiologi tersedia memungkinkan untuk
menentukan pengobatan dan dapat dimodifikasi sesuai dengan hasil kultur,
baik mempertahankan terapi saat ini jika mungkin lakukan de-eskalasi. Dan,
d) jika data mikrobiologi ada dan kondisi pasien memburuk, antibiotik harus
dieskalasi ke spektrum yang lebih luas, atau memberi terapi tambahan yang
meliputi patogen yang tidak tercakup sebelumnya. Akhirnya, seluruh proses
terapi harus dilihat sebagai suatu yang dinamis di mana informasi tersebut
terus diperbarui dan mempertimbangkan diagnosis lain apabila diagnosis
awal salah. Selain itu, pola perbaikan klinis mungkin berbeda antara pasien
dengan atau tanpa ARDS.

Lamanya terapi antibiotik


Durasi optimal terapi antibiotik masih belum jelas . Dalam sebuah studi
multisenter dilakukan untuk menentukan durasi pengobatan antibiotik,

108 
Chastre dan rekan membandingkan 8 sampai 15 hari pengobatan antibiotik
untuk VAP dan tidak menemukan perbedaan. Evaluasi pasien berdasarkan
respon klinis terhadap pengobatan antibiotik, menggunakan variabel klinis
yang dinamis dan biomarker seperti CRP dan procalaitonin (PCT), dapat
membantu untuk mengoptimalkan durasi pengobatan. Meskipun demikian,
strategi ini masih harus divalidasi dalam uji klinis prospektif.

DAFTAR PUSTAKA
1. Alp, E, Voss, A, Ventilator associated pneumonia and infection control, Annals
of Clinical Microbiology and Antimicrobials 2006, 5:7
2. Van Hooser M,Strategies for the Diagnosis of Ventilator-Associated Pneumonia,
Kimberly-Clark Health Care, © 1999
3. Diaz E , Ulldemolins M, Lisboa T, Rello J, ; Management of Ventilator-
Associated Pneumonia ; Infect Dis Clin N Am 23 (2009) 521–533
4. Diaz E, Mun ˜ oz E, Agbaht K, et al. Management of ventilator-associated
pneumonia caused by multiresistant bacteria. Curr Opin Crit Care 2007;13:2548.
5. Guidelines for the Management of Adults with Hospital-acquired, Ventilator-
associated, and Healthcare-associated Pneumonia : Am J Respir Crit Care Med
Vol 171. pp 388–416, 2005

109 
INFEKSI INTRA ABDOMINAL 
Tatang Eka R, Frans JV Pangalila

PENDAHULUAN

A ngka kematian pada sepsis berat (sepsis yang disertai hipoperfusi atau
disfungsi organ) dan septic shock (disertai dengan hipotensi yang tidak
membaik dengan resusitasi cairan) tetap tinggi. Oleh sebab itu resusitasi dan
terapi yang cepat dan adequat yang diberikan dalam 6 jam pertama setelah
diagnosa sepsis ditegakkan sangat mempengaruhi keberhasilan terapi.
Sepsis Intra abdominal mengacu pada sepsis dengan sumber infeksi ber-
asal dari dalam abdomen. Jadi terjadi peradangan di peritoneum, peritonitis,
baik peritonitis yang difus ataupun yang terlokalisir. Saluran cerna sering
disebutkan sebagai “motor of the sepsis” hal ini tidak mengherankan
mengingat begitu banyaknya bakteri yang terdapat dalam saluran cerna.
Oleh sebab itu diagnosa dini infeksi intra abdomen diperlukan agar pasien
tidak jatuh ke dalam fase sepsis yang lebih berat.
Kesulitan dalam mendiagnosa infeksi intra abdomen terjadi karena
dalam keadaan sepsis, seringkali, gejala infeksi intra abdomen menjadi tidak
jelas, keluhan pasien minimal dan temuan kelainan fisik menjadi berkurang.
Khususnya pada pasien geriatric dan pasien ICU yang mendapat obat sedasi
atau pelemas otot. Seringkali pasien hanya menunjukkan gejala Ileus yang
tidak jelas penyebabnya. Pada pasien paska operasi abdomen sering keluhan
nyeri pasien dianggap sebagai nyeri normal akibat operasi, sehingga ke-
waspadaan harus diberikan jika ditemukan ileus paralitik yang berke-
panjangan disertai dengan luka operasi yang tidak baik.
Sebelum ditemukan alat bantu diagnostic, sering dokter bedah
melakukan “blinds laparotomy” pada pasien dengan gejala sepsis disertai
gagal organ tanpa jelas sumber infeksinya.
Keterlambatan dalam menegakkan diagnose dan menghilangkan sumber
infeksi akan meningkatkan angka kematian. Dengan demikian diagnosa dini,
tindakan pembedahan yang cepat dan agresif pada pasien intra abdominal
sepsis sangat penting.

110 
PERITONITIS

Peritonitis Primer
Peradangan intra abdomen dengan sumber infeksi bukan dari intra
abdomen, tapi hematogen dari luar abdomen. Keadaan ini umumnya terjadi
pada pasien dengan gangguan daya tahan tubuh, asites apapun penyebabnya,
atau penderita yang mengalami tindakan dialise peritoneal karena gagal
ginjal.
Mikroorganisme penyebabnya tunggal, secara bakteriologis dibagi
menjadi peritonitis primer spesifik dan peritonitis primer non spesifik.
Peritonitis primer umumnya jarang memerlukan tindakan pembedahan.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan adanya faktor resiko, pemeriksaan fisik
dengan ditemukan tanda peritonitis tapi tidak ditemukan tanda perforasi
hollow viscus, atau adanya gambaran udara bebas pada polos abdomen. Pada
pewarnaan Gram ditemukan satu macam mikroba yang didapat dari cairan
intra abdomen dengan parasentesis. Bakteri yang didapat sering E. Coli, K
pneumoniae, pneumococci, streptococci, enterococci atau C. albican,
meskipun bakteri lain dapat juga ditemukan.

Peritonitis sekunder
Sumber infeksi berasal dari intra abdomen, misalnya karena perforasi
usus, apendisitis, dll.

Peritonitis Tertier
Peritonitis yang terjadi setelah dilakukan tindakan pembedahan (source
control) dan terapi antibiotika, infeksi terus berlanjut atau terjadi super
infeksi, pasien jatuh ke dalam kondisi severe sepsis. Kondisi ini umumnya
terjadi pada pasien yang mengalami gangguan sistem immunitas. Kuman
yang sering ditemukan P.aerugenosa, Enterobakter spec. Proteus sp, MRSA,
enterokokus dan candida.

111 
Tabel 1. Profil peritonitis primer, sekunder dan tersier 17

PATOFISIOLOGI RESPON LOKAL DAN RESPON SISTEMIK


TERHADAP INFEKSI INTRA ABDOMEN.

Secara anatomi rongga peritoneum diselimuti oleh peritoneum yang


dibentuk oleh sel mesotel. Terdapat dua jenis sel mesotel yaitu sel kubus dan
sel gepeng. Di antara sel kubus terdapat stoma dengan usuran Kira-kira 102
µm. Stoma ini membuat rongga peritoneum berhubungan dengan rongga
thorax, perbedaan tekanan akan membuat cairan intra abdomen dapat
berpindah melewati diafragma. Stoma ini akan melebar dalam kondisi
peritonitis. Saluran lymph terdapat di bawah jaringan ikat diafragma, saluran
lymph ini akan mendrainase cairan lymph dari intra abdomen ke duktus
thoracicus kemudian ke sistem vena dan membuang bakteri atau mediator
yang timbul akibat inflamasi dari intra abdomen ke sistem vena.
Mekanisme pertahanan tubuh lainnya adalah adanya macrofag peritoneal
dan adanya neutrofil dan monosit. Sel-sel ini berpartisipasi dalam mengisolasi
bakteri dalam pembentukan abses. Penghancuran mikroorganisme di dalam
rongga abdomen mengakibatkan dikeluarkannya bermacam mediator pro-
inflamasi, termasuk kemokin, sitokin, derivat lemak, oxidan dan enzim lisosomal.

112 
Pelepasan produk proinflamasi ke dalam kelenjar mesenterika, kelenjar
lymph dan saluran vaskuler mengakibatkan gejala sepsis. Jika kondisi ini ver-
langsung terus dapat mengakibatkan disfungsi organ. Disfungsi hati sering
terjadi, IL1, IL6 dan TNF alfa merusak fungsi sel hati.2,3 Disamping meng-
akibatkan pelepasan sitokin dan mediator lainnya proses inflamasi di rongga
abdomen dapat menyebabkan trombosis lokal di pembuluh darah mesenterika.
Pada diagram 2 dibawah tergambar perubahan fisiologi dan respon
imun jika terjadi infeksi intra abdomen.

Diagram 1: Patofisiologi infeksi intraabdominal (2)

113 
METODA DIAGNOSTIK

Anamnesa yang teliti, pemeriksaan klinis yang cermat tetap menjadi


bagian terpenting dalam mendiagnosa abdominal sepsis. Yang menjadi
kendala pada pasien kritis atau pasien di ICU, dokter lebih sulit melakukan
anamnesa yang baik bahkan sama sekali tidak dapat melakukan anamnesa,
atau melakukan pemeriksaan fisik untuk menemukan gejala klinis yang
mengarah kepada tanda-tanda peritonitis. Kehilangan kesadaran atau
hilangnya tanda-tanda perangsangan peritoneum sering mengecoh dokter di
ICU apalagi jika pasien sudah menggunakan ventilator, sehingga diagnosa
dini dan pengelolaan yang adequate tetap menjadi tantangan buat dokter.6,7
Untuk mengurangi angka kematian disebabkan keterlambatan tindakan
pembedahan akibat keterlambatan diagnosa, dianjurkan untuk mengulang
pemeriksaan fisik jika mencurigai sumber intra abdomen sebagai seumber
sepsis. Menurut Gajik dkk7 hampir 95% pasien akut abdomen menunjukkan
nyeri tekan pada pemeriksaan fisik, tapi pada pasien kritis hanya 38%, Sebab
itulah kemungkinan diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosa abdominal sepsis sangat besar.8

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang menjadi modalitas dalam menegakkan


diagnosa adalah infeksi intra abdomen adalah:8
 Foto polos abdomen
 Ultrasonografi abdomen (USG abdomen)
 CT scan abdomen,
 Parasentesis abdomen,
 Diagnostic peritoneal lavage (DPL), dan
 Laparoskopi diagnostik.

Foto polos Abdomen, memberikan gambaran adanya distensi dari usus


halus dan kolon menggambarkan ileus paralitik. Adanya cairan atau pus
intra abdomen juga dapat diperkirakan dari foto polos abdomen. Foto
abdomen tegak atau miring bisa memberikan gambaran “air fluid level” jika
cairan intra lumen cukup banyak. Sebaiknya dilakukan foto abdomen dalam

114 
3 posisi. Posisi datar, detak dan miring karena akan memberikan gambaran
lebih lengkap kepada pemeriksa.

Ultrasonografi Abdomen. Sangat berharga untuk diagnostik bahkan lebih


sensitif daripada CT scan abdomen untuk kasus batu saluran empedu.
Kelebihan USG adalah dapat dilakukan di ICU. Kekurangannya alat ini
sangat tergantung kepada operatornya.

CT scan abdomen mempunyai sensiftifitas dan spesifitas lebih tinggi dalam


menemukan fokus infeksi intra abdomen,12,13 atau menemukan adanya “free
air” dibandingkan dengan foto polos abdomen7,14 CT scan juga dapat
dipakai untuk diagnostik intervensi, misalnya untuk aspirasi mengambil
material yang digunakan untuk kultur atau melakukan drainase abses intra
abdomen.15 CT scan dengan kontras intravena dapat membedakan jaringan
yang viable dan non viable. Kontras yang diberikan per oral, misalnya
diatrizoate meglumine dapat membedakan cairan intra luminal dengan cairan
patologis di intra abdomen. CT scan lebih baik daripada USG dalam evaluasi
rongga retroperitoneal. Pada kasus khusus, misalnya pankreatitis nekrotikan,
pemeriksaan CT scan dengan kontras dapat membedakan kondisi steril dan
terinfeksi dari pankreas, ini sangat penting karena manajemen terapi sangat
berbeda.16 Kelemahan pemeriksaan dengan CT scan adalah pasien kritis
yang tidak dapat dipindahkan menjadi sulit.

PARASENTESIS ABDOMEN. Umumnya dilakukan jika terdapat asites atau


jika ada kecurigaan perforasi organ berongga seperti esophagus, duodenum atau
kolon, tapi secara radiologist tidak ditemukan. Peranan parasentesis ini
sekarang agak jarang karena resiko tindakan dan kemajuan alat bantu
diagnostik yang lain.

DPL, Diagnostic peritoneal lavage. Tindakan ini aman tapi relative kurang
spesifik dan kurang sensitive. Jika ditemukan adanya cairan inta abdomen
yang terlokalisir DPL juga dapat dipandu secara radiologist, misalnya
dengan USG atau CT.17 Seperti juga parasentesis DPL juga jarang digunakan
untuk evaluasi pasien.

115 
Laparoskopi Diagnostik. Berguna untuk beberapa kondisi. Untuk kepentingan
laparotomi, laparoskopi lebih akurat daripada DPL,8 kekurangannya
laparoskopi ini tidak dapat dilakukan di luar kamar operasi.

Diagram 2. Pendekatan tatalaksana kecurigaan infeksi intraabdominal pada


penderita penyakit kritis (17)

PENGELOLAAN

Pengelolaan pada peritonitis primer adalah pemberian antibiotika tanpa


memerlukan tindakan pembedahan, sedangkan pada peritonitis sekindakan
pembedahan dilakukan untuk menghilangkan sumber infeksi intra abdomen.
Persiapan dan resusitasi sebelum operasi harus dilakukan untuk men-
dapatkan kondisi yang layak untuk tindakan operasi dan mencegah gagal

116 
organ. EGDT (early goal direct therapy) yang dilakukan pasien severe
sepsis dalam 6 jam pertama setelah diagnose ditegakkan akan mengurangi
angka mortalitas dan tiap jam keterlambatan angka meningkatkan mortalitas.

Early Goal Direct Therapy (EGDT)


Dalam 6 jam pertama terdapat 4 parameter yang menjadi target
resusitasi yaitu: CVP (central venous pressure) yang menggambarkan
kecukupan volume pre load, MAP (mean arterial pressure), saturasi vena
sentral atau mixed vein dan produksi urine. Pemberian antibiotika diberikan
dalam jam pertama setelah diagnose ditegakkan. Tindakan “source control” ,
tindakan operatif dilakukan dalam 6 jam pertama EGDT.

Pemberian antibiotik
Keputusan untuk melakukan tindakan “source control“ lebih sulit
dibandingkan keputusan dalam pemilihan penggunaan antibiotik pada
infeksi abdomen. Peritonitis primer pilihan awal antibiotik adalah yang aktif
terhadap kuman aerob gram-negatif dan positif, kuman anaerob sangatlah
jarang. Sangat berbeda pada peritonitis sekunder dimana kuman penyebab
lebih bervariasi, beberapa penelitian merekomendasikan penggunaan antibiotik
yang aktif terutama terhadap aerob gram-negatif dan anaerob, dimana kuman
gram-negatif sangat berperan terhadap infeksi abdomen akut sedangkan anaerob
bila disertai dengan pembentukan abses.17 Pemberian antijamur pada infeksi
abdomen komunitas atau terkait healthcare hanya direkomendasikan bila
biakan ditemukan pertumbuhan candida. Pilihan penggunaan antijamur
untuk penyakit kritis adalah echinocandin sedangkan fluconazole dianjurkan
bila pada biakan terbukti candida albicans. Pemberian anti-enterococcal dan
anti-MRSA dianjurkan terutama pada infeksi abdomen terkait healthcare
bila ditemukan masing masing mikroorganime tersebut dalam biakan.
Pemberian antibiotik secara empiris terhadap kedua infeksi tersebut
(enterococcal dan MRSA) apabila infeksi abdomen terkait healthcare
mempunyai risiko tinggi akan terpapar ke dua mikroorganisme tersebut.
Faktor faktor risiko terpapar enterococcal adalah infeksi abdomen terkait
healthcare disertai infeksi post-operative, riwayat penggunaan sefalosporin,
penderita gangguan imun, penyakit katup jantung atau menggunakan materi

117 
prosthetic intravaskular dan pemilihan antibiotik yang direkomendasikan
adalah ampicillin, piperacillin-tazobactam atau vancomycine, sedangkan risiko
MRSA adalah penderita infeksi abdomen terkait healthcare disertai riwayat
kolonisasi MRSA sebelumnya dan vancomycine merupakan antibiotik yang
direkomendasikan(18) Rekomendasi pemilihan antibiotik untuk infeksi
abdomen komunitas atau terkait healthcare dapat dilihat pada tabel 2 dan 3.

Tabel 2. Rekomendasi pemilihan Antibiotik Empiris untuk Infeksi Abdomen


Komunitas Berkomplikasi (infeksi diluar sistem biliaris) Dewasa18

118 
Tabel 3. Rekomendasi pemilihan Antibiotik Empiris untuk Infeksi Abdomen
terkait Healthcare Berkomplikasi 18

Lamanya pemberian antibiotik pada infeksi abdomen belum ada


kesamaan pendapat tetapi hasil dari beberapa penelitian merekomendasikan
rerata 4 – 7 hari dan disesuaikan dengan manifestasi klinis atau pemberian
antibiotik dapat lebih lama bila sulit untuk melakukan souce control yang
optimal . Beberapa rekomendasi yang telah ditetapkan oleh GIS-IDSA (18)
mengenai lamanya pemberian antibiotik pada infeksi abdomen :
- perforasi lambung dan proximalis jejunum akut tanpa penggunaan obat
penekan asam lambung atau tanpa tanda tanda keganasan dan source
control dilakukan dalam kurang dari 24 jam maka cukup diberikan
profilaksis antiinfeksi yang aktif terhadap aerob kokus gram positif untuk
24 jam. ( rekomendasi B-II )
- appendisitis akut tanpa tanda tanda perforasi, abses atau lokal peritonitis
direkomendasikan pemberian profilaksis antibiotik spektrum sempit yang

119 
aktif terhadap kuman aerob dan anaerob fakultatif/obligat dan lama
pemberian cukup 24 jam. ( rekomendasi A-I )
- penderita dengan severe necrotizing pancreatitis tanpa disertai tanda tanda
infeksi aktif maka pemberian profilaksis antibiotik tidak direkomen-
dasikan (rekomendasi A-I)

RINGKASAN
Infeksi abdomen pada penderita kritis merupakan tantangan bagi para klinisi
karena masih memberikan angka morbiditas dan mortalitas yang bermakna.
Tatalaksana infeksi abdomen diawali optimalisasi hemodinamik, keputusan
tepat untuk pengendalian source control dan pemberian antibiotik sistemik
yang adekuat. Kunci keberhasilan tatalaksana infeksi abdomen pada penderita
kritis sangat ditentukan oleh kerja sama yang baik antara ahli bedah terutama
dalam mengoptimalisasi tindakan source control dan intensivist pada saat
perawatan di ICU.

KEPUSTAKAAN
1. Bartlett JG : Intra-Abdominal Sepsis. Med C.in North Am 79:5991995
2. Van deventer SJ. Knepper A.Landsman J. et al : Endotoxin in portal blood.
Hepatogastroenterology 35:223.,1998
3. Moore FAPoggetti R : Gut bacterial translocation via the portal vein : a clinical
perspective with major torso trauma. JTrauma 31:629,1991.
4. Wachs ME< Wolfgang HS : primairy intestinal anastomosis in unsafe in the
general peritonitis, in Simmons RL, Udekwu AO (ed) : Debate in Clinical
Surgery St Louis, Mosby-year book, 1991, p 228.
5. Liebert C, Deese BM : primary resection without anastomosis. Surg Gynecol
Obstr 135:747,1972.
6. Liolios A, Oropello JM, Benjamin E. Gastrointestinal complications in the
intensive care unit. Clin Chest Med. 1999;20:329-324.46
7. Sakorafas GH. Multiple organ failure as an indication for exploratory
laparotomy. Hellenic J of Surg. 1989;56:37-42.
8. Polk HC Jr, Shields CL. Remote organ failure: a valid sign of occult intra-
abdominal infection. Surgery. 1977;81:310-313.
9. Ferraris VA. Exploratory laparotomy for potential abdominal sepsis in patients
with multiple organ failure. Arch Surg 1983;118:1130-1133.
10. Bunt TJ. Non-directed relaparotomy for intra-abdominal sepsis. A futile procedure.
Am Surg. 1986;52:294-298.
11. Canadian Metronidazole-Clindamycin Study Group: Prospective, randomized
comparison of metronidazole and clindamycin, each with gentamicin for the
treatment of serious intra-abdominal infection. Surgery 93:221-229, 1993.

120 
12. Wittmann DH, Walker AP, Condon RE. Peritonitis, intra-abdominal infection,
and intra-abdominal abscess. In: Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC, eds.
Principles of Surgery. 6th ed. New York: McGraw Hill; 1993:1449–1484.
13. Husted TL, Mueller EW,Lasky T, Jafri MA, Solomkin JS : diagnosis and
management of intra abdominal sepsis in intensive care medicine 2008 p1771-
1785. 2008.
14. Wilson S.E., A Critical Analysis of Recent Innovations in the Treatmant of
Intraabdominal Infection, S.G.O., Supplement, 1997, Vol 177 : 11 – 17.
15. Walker AP, Nichols RL, Wilson RF, et al: Efficacy of a beta-lactam inhibitor
combination for serious intraabdominal infections. Ann Surg 217:115-121, 1993.
16. Dellinger P, Levy M, Rhodes A, Opal S et al . Surviving Sepsis Campaign :
International guidelines for management of severe sepsis and septic shock :
2012 . Crit Care Med 2013 ; 41 : 580-637
17. Marshal J. Acute abdominal crises in the critically ill patient: A primer for the
non-surgeon. 25 years of Progress and Innovation in Intensive Care Medicine
2007 : 27-35
18. Solomkin J, Mazuski J, Bradley J et al. Diagnosis and Management of
Complicated Intra-Abdominal Infection in Adults and Children : Guidelines by
Surgical Infection and Society and IDSA. Clinical Infectious Disease 2010; 50:
133-164

121 
CATHETER RELATED ASSOCIATED 
BLOODSTREAM INFECTION (CRABS) 
Achsanuddin Hanafie

PENDAHULUAN

D alam perawatan pasien rawat inap rumah sakit khususnya di ICU,


kanulasi vena sentral (CVC) yang digunakan untuk terapi cairan intra-
vena kontinu, obat-obatan dan produk darah, nutrisi parenteral berkepanjangan,
kemoterapi, pemantauan hemodinamik tekanan darah arteri invasif, tekanan
vena sentral dan tekanan arteri pulmonalis, pengukuran curah jantung, dan
haemodialysis. Teknik pemasangan CVC dan perawatan CVC yang kurang
tepat dapat menyebabkan peningkatan risiko infeksi.
Pendataan dan penanganan infeksi akibat penggunaan kateter vena
(infeksi terkait penggunaan kateter) telah banyak dilakukan. Infeksi ini secara
tidak langsung meningkatkan biaya rumah sakit dan lama rawatan, namun
umumnya tidak langsung dihubungkan dengan peningkatan mortalitas.
Di Amerika Serikat 80.000 kasus infeksi terkait penggunaan kateter
terjadi di ICU dari total 250.000 kasus telah diperkirakan terjadi setiap tahun,
dan dihubungkan dengan tingkat mortalitas berkisar 12-25% dari pasien sakit
kritis 1 dan menghabiskan dana berkisar dari US$ 3.000 - 56.167.
Pada studi analisis tentang biaya penanganan dan pencegahan infeksi,
baik dari segi peningkatan kuantitas dan kualitas sumber daya dan peralatan
telah dilakukan.2 Perencanaan dan aplikasi tindakan pencegahan sistematis
sangat penting untuk mengurangi tingkat infeksi terkait penggunaan kateter
(CRABS) dan meningkatkan kualitas kesehatan. Pengetahuan tentang intervensi
pencegahan dapat berkontribusi terhadap pengurangan risiko infeksi, dan
penelitian tentang epidemiologi dan patogenesis CRABS merupakan aspek
yang fundamental untuk meningkatkan kualitas pasien.
Untuk meningkatkan luaran pasien dan mengurangi biaya kesehatan,
harus multidisiplin, yang melibatkan para profesional kesehatan yang me-
lakukan pemasangan dan pelepasan kateter vena sentral, perawat medis yang

122 
merawat kateter intravaskular, perawat medis yang bertugas dalam pengendalian
infeksi, kepala instalasi yang mengalokasikan sumber daya, dan akhirnya
mungkin dapat diberdayakan yakni pasien mampu membantu dalam perawatan
kateter mereka sendiri.

PATOGENESIS CRABS

Terdapat 4 jalur (port d’entry) sumber kontaminasi infeksi terkait penggunaan


kateter:3
(1) Migrasi mikroorganisme kulit di lokasi insersi menuju jalur kateter dan
disepanjang permukaan kateter dengan kolonisasi dari ujung kateter
(merupakan jalur infeksi yang paling sering ditemukan pada kateter
jangka pendek. 4
(2) Kontaminasi langsung dari kateter atau pangkal kateter dengan tangan
atau kontaminasi cairan atau peralatan
(3) Yang paling jarang, pada kateter dapat dijumpai pertumbuhan kuman dengan
sumber pada lokasi yang berbeda dan beredar melalui pembuluh darah
(4) Cairan infus yang sudah terkontaminasi terlebih dahulu 5.

Gambar 1. Rute kontaminasi mikroorganisme pada kateter vena sentral6


Sumber infeksi yang potensial dari kanulasi intravaskular perkutaneus, flora normal
pada kulit, kolonisasi pada pangkal kateter dan lumen, kontaminasi pada cairan
infuse, kolonisasi pada kanulasi vena perifer dan menyebar secara hematogen.
Sumber :Crnich CJ, Maki DG. The promise of novel technology for the prevention of
intravaskular device-related bloodstream infection. Pathogenesis and short-term devices. Clin
Infect Dis. 2002 May 1;34(9):1232–1242.

123 
Faktor penentu penting predisposisi infeksi terkait penggunaan kateter3
1) Bahan pembuatan kateter
2) Faktor dari tubuh pasien itu sendiri, yang dapat terdiri dari adhesi protein,
seperti fibrin dan fibronektin, yang membentuk selubung disekitar kateter.7
3) Faktor virulensi dari mikroorganisme, termasuk substansi polimerik
ekstraselular (EPS) diproduksi oleh kuman yang melekat.8 Beberapa bahan
pembuatan kateter ada yang memiliki permukaan yang tidak teratur yang
dapat memudahkan terjadinya perlekatan oleh beberapa mikroorganisme
(S. epidermidis and C. albicans ). Kateter yang dibuat dari bahan ini sangat
rentan terhadap kolonisasi mikroba dan infeksi berikutnya.

Oleh karena adanya formasi selubung fibrin, kateter silastik dihubungkan


dengan semakin besarnya resiko infeksi dibandingkan kateter polyurethane7.
Dilain hal, formasi biofilm oleh candida albicans ditemukan lebih sering pada
kateter elastis silikon dibandingkan pada kateter polyurethane. Modifikasi dari
bahan biomaterial pada permukaan kateter telah menunjukkan pengaruh
kemampuan C. albicans untuk membentuk biofilm. Beberapa hal penting
lainnya, pada jenis material dasar kateter yang mudah untuk mencetuskan proses
trombosis, membuat kateter tersebut mudah untuk terjadinya kolonisasi dan
infeksi 9. Hal ini dihubungkan dengan suatu asumsi bahwa dengan mencegah
terbentuknya trombus pada kateter merupakan hal yang sama dalam
menurunkan resiko infeksi terkait penggunaan kateter.
Bahan pelekat yang dikandung oleh mikroorganisme yang melekat
pada faktor tubuh pasien merupakan faktor penyebab yang penting untuk
terjadinya infeksi terkait penggunaan kateter. Sebagai contoh, S. aureus
dapat melekat pada protein tubuh (fibrinogen, fibronektin) umumnya dengan
mengekspresikan faktor clumping (ClfA & ClfB) yang terikat pada protein
adhesin7. Lebih lagi, perlekatan dipermudah melalui produksi mikroorganisme
(seperti staphylococcus koagulase negatif, S. aureus, Pseudomonas aeruginosa,
dan Candida dengan pelepasan substansi polimerik ekstraseluler yang terdiri
dari eksopolisakarida yang membentuk lapisan biofilm mikrobial 8. Matriks
biofilm ini diperkaya dengan kation metalik divalen, seperti kalsium,
magnesium dan besi, dimana dapat menciptakan suatu wadah solid yang berupa
tempat kolonisasi mikroba didalamnya. Biofilm itu sendiri menjadi suatu
tembok pertahanan terhadap sel imun tubuh, seperti proses penghancuran

124 
mikroorganisme oleh sel PMN) atau dengan membuat mikroba menjadi
resisten terhadap antibiotika (membentuk matriks yang dapat memngikat
antibiotik sebelum antibiotik kontak dengan dinding sel mikroorganisme
atau dengan membentuk sel baru yang dikenal dengan “antimicrobial tolerant
"persister" cells).10 Beberapa spesies Candida, dalam cairan dekstrosa, ber-
kembang lebih baik, didukung oleh studi tentang peningkatan infeksi
patogen oleh jamur pada pasien yang mendapat nutrisi parenteral.3

MIKROORGANISME PENYEBAB

Mikroorganisme bakteri gram positif sering menjadi penyebab infeksi terkait


penggunaan kateter, dimana data yang didapatkan melalui nationwide
surveillance study di Amerika Serikat menemukan prevalensi :11
1. Staphylococcus koagulase-negatif 31%
2. Staphylococcus aureus 20%,
3. Enterococcus 9%
4. Candida species 9%
5. Lebih kurang seperempatnya adalah kuman gram negatif, Escherichia
coli (6%) dan Klebsiella pneumoniae, dan Pseudomonas aeruginosa.

RESISTENSI ANTIMIKROBA

Resistensi antimikroba menjadi permasalahan utama yang makin sering


ditemukan diantaranya :3,12
 Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) ditemukan pada 50%
dari isolasi kuman S. aureus di ICU
Resistensi pada golongan Cephalosporin generasi ketiga terutama pada
kuman E. coli dan K.pneumoniae
 Resistensi pada Ceftazidime and imipenem meningkat terutama pada
isolasi kuman P. aeruginosa.
 Resistensi pada Fluconazole meningkat terutama pada spesies Candida

125 
FAKTOR RESIKO

Faktor resiko dapat meliputi faktor intrinsik (karakteristik dari pasien


itu sendiri) ataupun faktor ekstrinsik (Faktor yang dihubungkan dengan
teknik asepsis pemasangan, dan perawatan serta lingkungan disekitar
ruangan perawatan pasien)12

Faktor resiko terjadinya CRABS

Intrinsik Ekstrinsik
Perawatan yang lama di rumah sakit
Usia pasien
sebelum pemasangan kateter vena sentral
Kondisi klinis dan penyakit penyerta Penggunaan kateter vena sentral yang
pada pasien berulang
Jenis kelamin pasien Nutrisi parenteral
Lokasi insersi didaerah femoral dan
jugular)
Kolonisasi mikroorganisme di lokasi
insersi
Kateter vena sentral multilumen
Kurangnya alat pelindung khusus dan
teknik asepsis saat tindakan insersi
Pemasangan dilakukan di ICU atau di
ruang emergensi

DIAGNOSIS 13,14

 Adanya jalur intravena.


 Kondisi klinis infeksi (demam,menggigil, hipotensi, takikardi) dan tidak
tampak sumber infeksi yang jelas (kecuali sumber dari kateter).
 Kultur darah positif (vena perifer) dan dari salah satu dibawah ini :
- Hasil kultur positif dari kateter semikuantitatif (> 15 cfu per segmen
kateter) atau
- Kuantitatif (102 cfu) dari organisme yang sama

126 
- Hasil kultur darah positif dari kateter vena sentral dengan metode
kuantitatif dengan rasio 5:1 (Kateter vena sentral dan perifer) atau waktu
yang berbeda (hasil kultur dari kateter vena sentral didapat setidaknya 2
jam lebih awal dari hasil kultur dari vena perifer. (sensitivitas 94%,
spesifisitas 91%)
 Bila pada keadaan tidak adanya konfirmasi laboratorium, penurunan suhu
tubuh pasien setelah pelepasan kateter vena pada pasien dengan tanda klinis
infeksi, dapat dipertimbangkan bukti klinis infeksi secara tidak langsung.
 Kondisi klinis saja tidak dapat dipercaya untuk menegakkan diagnosa
CRABS

Bila dilakukan pelepasan kateter


A. Kultur semikuantitatif dari segmen kateter
- Kateter segmen dilumuri dalam wadah media agar dan diinkubasi dalam
waktu satu malam
- >15 cfu dinyatakan signifikan
B. Kultur kuantitatif dari segmen kateter (> 102cfu dinyatakan signifikan )

Bila kateter tetap dipertahankan


A. Kultur kuantitatif dari kateter vena sentral dan vena perifer
Teknik sikat endoluminal (Endoluminal brush technique)
- Kawat sikat digunakan untuk mengambil sampel dari dalam lumen kateter
- Kemudian ambil sampel darah dari kateter vena sentral untuk dilakukan
pewarnaan gram dan kultur.
- Sensitifitas >90% dan spesifitas 84%
- Resiko bakteremia transien, aritmia dan emboli.
B. Hasil kultur positif dari dua sumber berbeda, diambil dari waktu yang
berbeda (2 jam lebih awal pada pengambilan dari kateter vena sentral)

127 
Tabel 1. Microbiological diagnostic methods of catheter-related bloodstream
infections

Kriteria diagnostik CRABS menurut hasil kultur mikrobiologi

PENANGANAN CRABS

Manajemen CRABS melibatkan beberapa keputusan:13


1. Apakah CVC harus dilepas atau dipertahankan dengan terapi antibiotik
kunci (antibiotik catheter lock therapy);
2. Tipe antimikroba yang sesuai dengan pola kuman dan resistensi kuman.
3. Durasi dari terapi antimikroba

128 
Keputusan setelah dilakukan suatu diagnosa infeksi terkait kateter, pelepasan
CVC atau tetap mempertahankan CVC dengan terapi antibiotik kunci,
tergantung dari tipe kuman yang menyebabkan infeksi tersebut.

Gambar 2. Diagnosis of acute febrile episode in a patient with central venous


catheter
CVC=central venous catheter, DTP=differential time to positivity. *A blood culture is
considered positive if the ratio of colony forming units growing from simultaneously drawn
central and peripheral blood is > 5.1 or the DTP is > 2 h (central blood culture turns positive
before simultaneously drawn blood culture).

Terapi antibiotik kunci (Antimicrobial catheter lock)3,12,14


Heparin catheter lock telah digunakan luas sebagai antitrombosis pada
penggunaan kateter, dan normal salin juga sama efektifnya dengan heparin
dalam mencegah thrombosis dan phlebitis pada kanulasi vena perifer. Shanks
dkk. menemukan bahwa heparin dan normal salin meningkatkan terbentuknya
biofilm staphylococcal. Beberapa studi acak prospektif menunjukkan bahwa
terapi antimikroba kunci (antimicrobial catheter lock) lebih baik dibandingkan
heparin sendiri sebagai terapi pencegahan infeksi.

129 
Terapi antibiotik kunci terdiri dari 2 ml antimikroba yang dicampur
dengan antikoagulan, yang kemudian digunakan untuk mengisi lumen
kateter.Beberapa studi menunjukkan penurunan yang signifikan infeksi
setelah penggunaan vancomycin dan heparin, walaupun pada studi lainnya
gagal menunjukkan penurunan yang bermakna.
Studi metaanalisis pada tujuh studi acak menunjukkan bahwa penggunaan
vancomycin lock solution” pada pasien kanker dengan CVC jangka panjang
dapat menurunkan CRABS (risk ratio[RR] 0,49, 95% CI 0,26–0,95; p=0,03),
namun sampelnya masih heterogen. Chelator seperti EDTA atau Citrate
dilaporkan meningkatkan aktivitas antimikroba melawan mikroorganisme
yang membentuk biofilm.

Staphylococcus aureus
a. Tiga studi prospektif observasional menunjukkan bahwa pelepasan CVC
pada pasien dengan infeksi S aureus (termasuk pada kasus yang tidak
berkomplikasi) dihubungkan dengan respon terapi antibiotik yang cepat
dan rendahnya tingkat relaps.
b. Pada kasus dimana kateter diimplantasikan dengan tanpa adanya akses
vaskular atau dengan kondisi trombositopenia berat, pertimbangan untuk
mempertahankan CVC dan pemberian terapi antibiotik kunci dilakukan
(Vancomycin dan heparin atau minocycline dan EDTA merupakan dua
kombinasi yang baik ).
c. Durasi terapi antibiotik sesuai dengan tipe komplikasi yang terjadi
- Tanpa komplikasi, durasi 10–14 hari diperlukan bila CVC dilepas.
Prediktor terbaik untuk mengetahui adanya komplikasi bakteremia
akibat S aureus adalah demam dan tanda sepsis tetap dijumpai setelah
lebih dari 72 jam setelah kateter dilepas atau awal terapi antibiotik.
- Bila dijumpai keadaan diatas, Pertimbangkan untuk dilakukan TEE
untuk menyingkirkan endokarditis dan durasi antibiotik sebaiknya
diperpanjang paling tidak 4 minggu.

130 
Rekomendasi Pencegahan 3,14
A. Pendidikan, Pelatihan dan Manajemen Staf
1. Lakukan edukasi paramedis kesehatan mengenai indikasi penggunaan
kateter intravena, dan dengan prosedur yang benar dalam pemasangan
dan perawatan kateter intravena. Kategori IA
2. Diperlukan penilaian mengenai pengetahuan dan pemahaman dokter
dalam pemasangan dan perawatan kateter intravaskular.
3. Penyusunan personil yang sudah dilatih dan memiliki kompetensi dalam
pemasangan dan perawatan kateter Intravena. Kategori IA

131 
4. Pastikan penempatan perawat dengan benar pada masing-masing level di
ICU.
5. Studi observasi menyatakan bahwa peningkatan rasio pasien dengan
perawat dihubungkan dengan CRABS di ICU dimana terdapat peranan
perawat dalam perawatan kanulasi vena sentral. Kategori IB

B. Pemilihan lokasi insersi kateter


Kateter perifer dan kateter vena sentral yang dipasang melalui vena median.
1. Pada orang dewasa, lokasi insersi pada ekstremitas atas merupakan lokasi
terbaik dalam pemasangan kanulasi perifer. Ganti kateter dari ekstremitas
bawah ke ekstremitas atas sesegera mungkin. kategori II
2. Pada pasien anak-anak, ekstremitas atas atau bawah atau kulit kepala (pada
neonatus atau bayi muda) dapat digunakan sebagai tempat pemasangan
kateter kategori II
3. Pilih kateter atas dasar tujuan yang dimaksudkan dan durasi penggunaan,
dikenal komplikasi infeksi dan non-infeksi (misalnya, flebitis dan infiltrasi),
dan pengalaman dari operator kateter individu. kategori IB
4. Hindari penggunaan jarum besi untuk pemberian cairan dan obat-obatan
yang dapat menyebabkan nekrosis jaringan jika terjadi ekstravasasi. kategori
IA
5. Gunakan kateter garis tengah atau perifer dimasukkan kateter sentral (PICC),
bukan kateter perifer singkat, ketika durasi terapi IV kemungkinan akan
melebihi enam hari. kategori II
6. Lakukan evaluasi lokasi insersi kateter setiap hari dengan palpasi melalui
penggantian untuk melihat ketegangan dan dengan pemeriksaan jika
penutup transparan yang digunakan. Kasa dan penutup yang gelap tidak
harus dilepas jika pasien tidak memiliki tanda-tanda klinis infeksi. Jika
terdapat tanda-tanda ketegangan lokal atau tanda-tanda lain dari infeksi
terkait penggunaan kateter, ganti penutup yang gelap dan lokasi tersebut
diperiksa secara visual. (kategori II)
7. Lepas kanulasi vena perifer jika tampak tanda-tanda flebitis (hangat,
tegang, eritema), infeksi, atau kateter rusak. kategori IB

132 
C. Kateter vena sentral
1. Mempertimbangkan risiko dan manfaat dari menempatkan perangkat vena
sentral pada lokasi yang dianjurkan untuk mengurangi komplikasi infeksi
terhadap risiko komplikasi mekanik (misalnya, pneumothorax, tusukan
arteri subklavia, laserasi vena subklavia, stenosis vena subklavia, hemo-
thorax, trombosis, emboli udara, dan salah penempatan kateter). kategori IA
2. Hindari menggunakan vena femoralis untuk akses vena sentral pada
pasien dewasa. kategori 1A
3. Gunakan lokasi subklavia, bukan jugularis atau lokasi femoralis, pada
pasien dewasa untuk meminimalkan risiko infeksi untuk pemasangan
kateter vena sentral. kategori IB.
4. Tidak ada rekomendasi dapat dibuat untuk lokasi disukai pemasangan
untuk meminimalkan risiko infeksi untuk kateter vena sentral.
5. Hindari lokasi subklavia pada pasien hemodialisis dan pasien dengan
penyakit ginjal lanjut, untuk menghindari stenosis vena subklavia.
kategori Ia
6. Gunakan panduan ultrasound untuk menempatkan kateter vena sentral
(jika teknologi ini tersedia) untuk mengurangi jumlah upaya kanulasi
dan komplikasi mekanik. Bimbingan USG hanya boleh digunakan oleh
orang-orang terlatih dalam teknik ini. Kategori 1b
8. Gunakan kateter vena sentral dengan jumlah lumen yang minimal.
Kategori Ib
9. Tidak ada rekomendasi dapat dibuat mengenai penggunaan lumen
ditujukan untuk nutrisi parenteral.
10. Ketika kepatuhan terhadap teknik aseptik tidak dapat dipastikan (yaitu
kateter dimasukkan selama situasi darurat medis), lakukan penggantian
kateter sesegera mungkin, yaitu, dalam waktu 48 jam. kategori IB

D. Tipe material dasar pembuatan kateter


Polytetrafluoroethylene (Teflon ®) atau kateter polyurethane dihubungkan
dengan komplikasi infeksi dibandingkan dengan kateter yang dibuat dari polyvinyl
chloride atau polyethylene. Jarum yang terbuat dari baja memiliki komplikasi
infeksi yang sama dengan kateter yang terbuat dari Teflon®. Namun, peng-
gunaan jarum yang terbuat dari baja sering dihubungkan dengan komplikasi
infiltrasi cairan intravena kedalam jaringan subkutan.

133 
E. Kebersihan Tangan dan Teknik aseptik
1. Lakukan prosedur kebersihan tangan, baik dengan mencuci tangan dengan
sabun dan air atau konvensional dengan alcohol based hand rub (ABHR).
Kebersihan tangan harus dilakukan sebelum dan setelah meraba lokasi
kateter pemasangan serta sebelum dan setelah memasukkan, mengganti,
mengakses, memperbaiki, atau membalut kateter intravaskular. Palpasi
lokasi pemasangan tidak boleh dilakukan setelah penerapan antiseptik,
kecuali teknik aseptik dipertahankan. kategori IB
2. Menjaga teknik aseptik untuk pemasangan dan perawatan kateter intra-
vaskular. kategori IB
3. Kenakan sarung tangan bersih, bukan sarung tangan steril, untuk pemasangan
kateter intravaskular perifer, jika lokasi akses tidak tersentuh setelah
penerapan antiseptik kulit. kategori IC
4. Sarung tangan steril harus dipakai untuk pemasangan arteri, dan kateter
vena sentral. kategori IA

F. Penggunaan alat pelindung yang steril


Gunakan tindakan pencegahan pelindung steril yang maksimal, termasuk
penggunaan topi, masker, gaun steril, sarung tangan steril, dan tirai tubuh
steril penuh, untuk pemasangan kateter vena sentral. Kategori IB

G. Persiapan sebelum pemasangan kanulasi


1. Bersihkan kulit dengan antiseptik (alkohol 70%, tingtur yodium, atau
larutan klorheksidin glukonat alkohol) sebelum pemasangan kateter vena
perifer. Kategori IB
2. Bersihkan kulit dengan klorheksidin> 0,5% dengan alkohol sebelum
kateter vena sentral dan pemasangan kateter arteri perifer dan selama
pergantian penutup. Jika ada kontraindikasi untuk chlorhexidine, tingtur
yodium, iodophor, atau alkohol 70% dapat digunakan sebagai alternatif.
Kategori IA
3. Tidak ada perbandingan telah dibuat antara menggunakan persiapan
klorheksidin dengan alkohol dan povidone-iodine dalam alkohol untuk
mensterilisasi kulit yang bersih.

134 
4. Tidak ada rekomendasi untuk keamanan penggunaan klorheksidin pada
bayi usia <2 bulan.
5. Antiseptik harus dibiarkan kering sebelum memasang kateter. Kategori IB

H. Penutup lokasi pemasangan kanulasi


1. Gunakan baik kasa steril atau steril, transparan, berpakaian semi-
permeabel untuk menutupi lokasi kateter. Kategori IA
2. Jika pasien yg mengeluarkan keringat atau jika pada daerah tersebut
pendarahan atau mengalir, gunakan kasa sampai hal ini dihilangkan.
Kategori II
3. Ganti lokasi insersi kateter jika ganti menjadi lembab, kendur, atau
terlihat kotor. Kategori IB
4. Jangan gunakan salep antibiotik topikal atau krim di lokasi pemasangan,
kecuali untuk kateter dialisis, karena potensi mereka untuk mem-
promosikan infeksi jamur dan resistensi antimikroba. Kategori IB
5. Jangan membasahi kateter atau lokasi kateter dengan air. Mandi harus
diijinkan jika tindakan pencegahan yang diambil untuk mengurangi
kemungkinan organisme masuk ke dalam kateter (misalnya, jika kateter
dan perangkat yang terhubung dilindungi dengan penutup yang kedap
air saat mandi). Kategori IB
6. Ganti penutup yang digunakan pada lokasi kateter vena sentral jangka
pendek setiap 2 hari untuk pembalut kasa. Kategori II
7. Ganti penutup yang digunakan pada lokasi kateter vena sentral jangka
pendek setidaknya setiap 7 hari untuk dressing transparan, kecuali pada
pasien anak-anak di mana risiko untuk mencabut kateter dapat lebih
besar dari manfaat dari mengubah penutup. Kategori IB
8. Ganti dressing transparan digunakan pada lokasi kateter vena sentral
tunneled atau yang ditanamkan tidak lebih dari sekali per minggu
(kecuali kotor atau longgar), hingga lokasi pemasangan telah sembuh.
Kategori II
9. Pastikan bahwa perawatan kateter kompatibel dengan bahan kateter.
Kategori IB
10. Gunakan teknik steril untuk semua perawatan kateter arteri pulmonal.
Kategori IB

135 
11. Gunakan spons–diresapi chlorhexidine untuk sementara pada kateter
jangka pendek pada pasien yang lebih tua dari usia 2 bulan jika tingkat
CRABS tidak menurun meskipun kepatuhan terhadap tindakan
pencegahan dasar, termasuk pendidikan dan pelatihan, penggunaan
yang tepat klorheksidin untuk antisepsis kulit, dan. Kategori 1B
12. Tidak ada rekomendasi yang dibuat untuk jenis lain selain klorheksidin.
13. Memantau lokasi insersi kateter secara visual ketika mengubah penutup,
tergantung pada situasi klinis masing-masing pasien. Jika pasien
memiliki ketegangan di lokasi pemasangan, demam tanpa sumber yang
jelas, atau manifestasi lain yang menunjukkan infeksi lokal atau infeksi
sistemik. Kategori IB
14. Mengedukasi pasien untuk melaporkan setiap perubahan pada lokasi
kateter atau adanya ketidaknyamanan. Kategori II

I. Perawatan pembersihan pasien


Gunakan klorheksidin 2% untuk mencuci atau pembersihan kulit setiap hari
untuk mengurangi resiko infeksi terkait penggunaan kateter. Kategori II

J. Antimicrobial / Antiseptic coated Catheter


Gunakan klorheksidin/silver sulfadiazine atau minocycline/rifampisin melalui
kateter pada pasien yang diperkirakan akan tetap di tempat> 5 hari jika, setelah
keberhasilan pelaksanaan strategi yang komprehensif untuk mengurangi tingkat
CRABS, tingkat CRABS tidak menurun. Strategi yang komprehensif harus
mencakup setidaknya tiga komponen berikut: mendidik tenaga medis yang
memasang dan merawat kateter, pencegahan dengan alat pelindung steril,
dan persiapan chlorhexidine > 0,5% dengan alkohol untuk antisepsis kulit
selama pemasangan kateter vena sentral. Kategori IA

K. Profilaksis antibiotik sistemik


Jangan memberikan antimikroba profilaksis sistemik secara rutin sebelum
pemasangan atau selama penggunaan kateter intravaskular untuk mencegah
kolonisasi pada kateter atau infeksi terkait penggunaan kateter. Kategori IB
L. Salep Antiseptik / Antibiotik
Gunakan salep antiseptik, povidone iodine atau bacitracin/gramicidin/polimiksin
salep B di lokasi pemasangan kateter hemodialisis setelah insersi kateter dan

136 
pada akhir setiap sesi dialisis hanya jika salep ini tidak berinteraksi dengan
bahan kateter hemodialisis menurut rekomendasi produsen. Kategori IB

M. Antibiotik Kunci Profilaksis.


Gunakan larutan profilaksis antimikroba pada pasien dengan kateter jangka
panjang yang memiliki riwayat infeksi terkait penggunaan kateter beberapa
meskipun teknik aseptik maksimal telah optimal dilakukan. Kategori II

N. Antikoagulan
Jangan rutin menggunakan terapi antikoagulan untuk mengurangi resiko
infeksi terkait penggunaan kateter. Kategori II

O. Penggantian Kateter vena perifer dan vena sentral


1. Tidak perlu untuk mengganti kateter perifer lebih sering daripada setiap
72-96 jam untuk mengurangi risiko infeksi dan flebitis pada orang
dewasa. Kategori 1B
2. Tidak ada rekomendasi yang dibuat mengenai penggantian kateter perifer
pada orang dewasa hanya ketika klinis yang ditunjukkan.
3. Ganti kateter perifer pada anak-anak hanya ketika klinis yang
ditunjukkan. Kategori 1B
4. Ganti kateter vena sentral hanya bila ada indikasi tertentu. Kategori II

P. Penggantian kateter vena sentral


1. Jangan rutin mengganti kateter vena sentral untuk mencegah infeksi
terkait penggunaan kateter. Kategori IB
2. Jangan lepaskan kateter vena sentral atas dasar demam saja. Gunakan
penilaian klinis mengenai kelayakan melepas kateter jika infeksi
dibuktikan tempat lain. Kategori II

Q. Kateter Arteri Perifer dan Alat Pemantauan Tekanan Darah Arteri


untuk Pasien Dewasa dan Anak
1. Pada orang dewasa, penggunaan lokasi daerah radial, brakialis atau dorsalis
lebih disukai daripada lokasi femur atau aksila untuk mengurangi risiko
infeksi. Kategori IB

137 
2. Pada anak-anak, lokasi brakialis sebaiknya tidak digunakan. radial dorsalis
pedis, dan lokasi tibialis posterior lebih disukai daripada lokasi femur
atau aksiler pemasangan. Kategori II
3. Memakai topi, masker, sarung tangan steril dan kain penutup kecil steril
harus digunakan selama pemasangan kateter arteri. Kategori IB
4. Selama pemasangan kateter aksilaris atau femoral, tindakan pencegahan
steril maksimal harus digunakan. Kategori II
5. Ganti kateter arteri hanya bila ada indikasi klinis. Kategori II
6. Lepaskan kateter arteri secepat mungkin bila tidak lagi diperlukan.
Kategori II
7. Transduser bila memungkinkan, gunakan sekali pakai, daripada digunakan
kembali. Kategori IB
8. Jangan rutin mengganti kateter arteri untuk mencegah infeksi terkait
penggunaan kateter . Kategori II
9. Ganti transduser atau dapat digunakan kembali pada 96 jam interval.
Ganti komponen lain dari sistem (termasuk tabung, perangkat flush, dan
cairan flush) pada saat transduser diganti . Kategori IB
10. Minimalisasi jumlah manipulasi dan entri ke dalam sistem pemantauan
tekanan. Gunakan sistem flush tertutup (yaitu, flush kontinu), daripada
sistem terbuka (misalnya, yang membutuhkan jarum suntik dan stopcock),
untuk mempertahankan patensi dari kateter pemantauan tekanan. Kategori II
11. Jangan memberikan infus atau larutan yang mengandung dextrose atau
cairan nutrisi parenteral melalui rangkaian pemantauan tekanan darah.
Kategori IA
12. Mensterilkan transduser dapat digunakan kembali sesuai dengan instruksi
produsen 'jika penggunaan transduser tidak layak pakai. Kategori IA

R. Penggantian Set Jalur Infus


1. Pada pasien yang tidak menerima darah, produk darah atau emulsi lemak,
ganti set administrasi yang terus-menerus digunakan tidak lebih sering
daripada interval 96 jam, tapi setidaknya setiap 7 hari. Kategori IA
2. Ganti set yang digunakan untuk pemberian darah, produk darah, atau
emulsi lemak (yang dikombinasikan dengan asam amino dan glukosa
dalam campuran 3-in-1 atau infus secara terpisah) dalam waktu 24 jam
dari memulai infus. Kategori IB
3. Ganti set digunakan untuk mengelola infus propofol setiap 6 atau 12 jam.
Kategori IA

138 
DAFTAR PUSTAKA
1. O’Grady NP, Alexander M, Dellinger EP, et al. Guidelines for the prevention of
intravaskular catheter-related infections. MMWR Recomm Rep 2002; 51: 1–29.
2. Maki DG, Kluger DM, Crnich CJ. The risk of bloodstream infection in adults
with different intravaskular devices: a systematic review of 200 published
prospective studies. Mayo Clin Proc 2006; 81:1159–71.
3. O’Grady NP, Alexander M, Burns LA, Dellinger EP, Garland J, Heard SO,
Lipsett PA, Masur H, Mermel LA, Pearson ML, Raad II, Randolph AG, Rupp
ME, Saint S; Healthcare Infection Control Practices Advisory Committee
(HICPAC). Guidelines for the prevention of intravaskular catheter–related
infections. Clin Infect Dis. 2011 May;52(9):e162–193.
4. Safdar N, Maki DG. The pathogenesis of catheter-related bloodstream infection
with noncuffed short-term central venous catheters. Intensive Care Med 2004;
30:62–7.
5. Raad I, Hanna HA, Awad A, et al. Optimal frequency of changing intravenous
administration sets: is it safe to prolong use beyond 72 hours? Infect Control
Hosp Epidemiol 2001; 22:136–9
6. Crnich CJ, Maki DG. The promise of novel technology for the prevention of
intravaskular device-related bloodstream infection. I.Pathogenesis and short-
term devices. Clin Infect Dis. 2002 May 1;34(9):1232–12423. 3..
7. Mehall JR, Saltzman DA, Jackson RJ, Smith SD. Fibrin sheath enhances central
venous catheter infection. Crit Care Med 2002; 30:908–12.
8. Donlan RM, Costerton JW. Biofilms: survival mechanisms of clinically relevant
microorganisms. Clin Microbiol Rev 2002; 15:167–93.
9. Raad II, Luna M, Khalil SA, Costerton JW, Lam C, Bodey GP. The relationship
between the thrombotic and infectious complications of central venous
catheters. JAMA 1994; 271:1014–6.
10. Donlan RM. Role of biofilms in antimicrobial resistance. ASAIO J 2000;
46:S47–52.
11. Wisplinghoff H, Bischoff T, Tallent SM, Seifert H, Wenzel RP,Edmond MB.
Nosocomial bloodstream infections in US hospitals:Analysis of 24,179 cases
from a prospective nationwide surveillancestudy. Clin Infect Dis. 2004 Aug
1;39(3):309–317.
12. Preventing Central Line–Associated Bloodstream Infections: A Global
Challenge, a Global Perspective. Oak Brook, IL: Joint Commission Resources,
May 2012. diunduh dari :http://www.PreventingCLABSIs.pdf.
13. RaadI, Hanna H, Maki D. Intravaskular catheter-related infections: advances in
diagnosis, prevention, and management. Lancet Infect Dis 2007; 7:645–57.
14. Mermel LA, Allon M, Bouza E, Craven DE,3 Flynn P, O’Grady NP, Raad II,
Rijnders BJA, Sherertz RJ, Warren DK.Clinical Practice Guidelines for the
Diagnosis and Management of Intravaskular Catheter-Related Infection. Update
by the Infectious Diseases Society of America 2009; 49:1–45

139 
INFEKSI JAMUR PADA PASIEN  
SAKIT KRITIS 
Samsirun Halim

PENDAHULUAN

W alaupun banyak kemajuan dalam diagnosis dan pemahaman tentang


patofisiologi sepsis namun mortalitas dan morbiditas masih tetap
tinggi.Guideline yang terbaru dalam penanganan sepsis adalah dengan
menerapkan bundel sepsis baik itu bundel resusitasi maupun bundel
manajemen yang harus dicapai dalam waktu 24 jam. Salah satu fokus dari
penanganan bundel resusitasi adalah penanganan terhadap infeksi. Selama
ini penanganan terhadap infeksi adalah dengan pemberian antibiotik untuk
mengatasi bakteri baik itu gram positif maupun gram negatifakan tetapi
perhatian terhadap infeksi jamur belum merupakan prioritas.
Dulu infeksi jamur hanya ditemukan pada beberapa kondisi tertentu
antara lain pasien neutropenia, pasien yang menjalani transplantasi organ,
pasien yang mendapat kortikosteroid atau obat kemoterapi, akan tetapi
sekarang infeksi jamur makin sering ditemukan pada pasien sakit kritis yang
non neutropenia.1 Candida merupakan spesies yang paling sering ditemukan
pada pasien sakit kritis2. Laporan Health Protection Agency (HPA) dari
Inggris menyebutkan kemungkinan infeksi candida mencapai 5000 kasus
pertahun dan 40%nya terjadi di ICU3. Survey epedemiologi di 6 rumah sakit
sentinel Inggris menunjukkan infeksi candidemia mencapai 45% pada pasien
sakit kritis4. sedangkan di Amerika Serikat candidemia menduduki urutan ke
45 dengan insiden antara 0,5 – 1,4 per 10.000 pasien yang dirawat di rumah
sakit dan antara 2 – 6,9 per 1000 pasien yang dirawat di ICU.6Infeksi jamur
sendiri menyebabkan lama tinggal di rumah sakit dan icu menjadi lebih lama
dengan mortalitas tinggi.7,8
Dengan melihat mortalitas yang tinggi maka diagnosis dini menjadi
sangat penting agar bisa melakukanterapi sejak awal. Masalahnya ialah,
metoda diagnostik yang ada saat ini belum terlalu sensitif dan spesifik

140 
sehinggaa pasien seriing terlambaat atau bahkaan tidak terddiagnosis sam mpai
pasien meninggal.
m
Dalam
D penulisan berikut akkan dibahas teentang faktorr risiko terjadiinya
infeksi jamur, cara melakukan
m diaggnosis dan terrapinya terutaama candidiasis.

PASIEN SAKIT KRITIS


K MA
ANA YANG
G BERISIKO
O UNTUK
INFEK
KSI JAMURR

Beberap
pa faktor yanng secara siggnifikan mem mudahkan teerjadinya inffeksi
jamur paada pasien sakkit kritis terliihat pada tabeel 1

Tabel 1.Faktor risiko terjadinya innfeksi jamur innvasif9

Deteksi dini faktor risiko pada passien sakit krittis ini sangat penting
p agar bisa
10,
memulai terapi empirrik anti jamurr untuk menguurangi mortallitas

Diagno
osis

Diagnosis
D infeeksi jamur sistemik
s serinng menjadi masalah, karrena
tampilann klinis yangg bervariasi dan tak spessifik.Pemerikksaan funduskkopi
untuk menentukan
m addanya infeksii jamur pada fundus sangaat bermakna.L Lesi
kulit dan
n arthritis sepptik dapat terrjadi dan kaddang timbul secara
s mendaadak
dan secaara cepat terjaadi perburukaan. Diagnosiss yang akuratt tergantung pada
p

141
kombinasi temuan klinis dan laboratoris serta ada tidaknya faktor risiko
pada pasien.11
Dasar diagnosis untuk infeksi jamur sistemik sangat tergantung pada
metode klasik mikrobiologi dan teknik diagnostik pencitraan12,13, Penggunaan
kultur mikrobiologi mempunyai keterbatasan karena seringkali kesukaran
dalam mengambil sampel pada pasien yang sakit kritisdan butuh waktu
beberapa hari untuk mendeteksi pertumbuhan. Selain itu jamur merupakan
kuman komensal yang ada ditubuh sehingga mengurangi spesifitas kultur14
Teknik pencitraan terutama CT Scan dengan resolusi tinggi memungkinkan
untuk deteksi infeksi jamur, namun sayangnya bila sudah terlihat pada CT
Scan perjalanan penyakit sudah jauh dan biasanya prognosisnya jelek15
Saat ini metode laboratorium untuk mendiagnosis infeksi jamur
sistemik meliputi cara tradisional ( test mikroskopis langsung, kultur untuk
identifikasi genus dan spesies), histopatologik, imunologik ( -1-3-D-Glucan,
tes galactomanan dan glukuronoxylomannan) dan pendekatan PCR16
Diagnosis dapat ditegakkan bila ditemukan bukti mikroskopis jamur
atau ditemukan elemen jamur dari kultur jaringan yang steril. Sayangnya
untuk kultur terutama darah sangat tidak sensitif sehingga diperlukan teknik
non kultur misalnya dengan cara imunologi.16
Teknik pencitraan misalnya dengan USG, CT Scan atau MRI
diperlukan untuk menuntun melakukan biopsi jaringan ditempat yang
dicurigai terinfeksi jamur. Tampilan radiologis infeksi Aspergillus atau
jamur lainnya pada system saraf pusat sangat bervariasi tergantung status
imun pasien.Gambarannya dapat berupa lesi infark, bentuk tumor, seperti
abses, lesi edematous atau hemoragik.Untuk mendeteksi jumlah lesi atau
mengetahui ada tidaknya infeksi kriptokokus, MRI lebih sensitive dibanding
CT Scan 17,18
Ringkasan kelebihan dan kekurangan teknik diagnosis infeksi jamur
adalah sebagai berikut19

142 
Cara tradisional

1. Kultur dapat mendeteksi semua patogen akan tetapi butuh waktu yang
lebih lama dibandingkan bakteri, dan bisa tidak ditemukan patogen dalam
darah, tidak dapat membedakan kolonisasi dengan infeksi, memerlukan
spesimen yang invasif
2. Histopatologi dapat mendeteksi semua patogen akan tetapi tidak dapat
memastikan identifikasi karena secara morfologi hampir sama dan
memerlukan spesimen yang invasive
3. Radiologi dapat mendeteksi semua patogen tetapi tidak dapat membedakan
patogen spesifik dan kadang sulit untuk membedakan infeksi bakteri atau
penyebab lain; pada pasien imunosupresi dapat memberikan hasil negatif
palsu

Alat Deteksi cepat


1. Galaktomannan hanya untuk Aspergillus, positif palsu dengan pemberian
antibiotik beta laktam, sensitifitasnya rendah pada resipien transplantasi
organ padat, masalah cut-off (> dari 0,5 atau > dari 1) masih kontroversi.
2. Beta Glucan hanya untuk spesies kandida dan aspergillus, positif palsu
pada filter dialisis, perban, albumin, imunoglobin; masalah cut-off antara
60 ug/ml atau 80 ug/ml masih kontroversi.
3. PCR jamur, bisa mendeteksi semua jamur, namun secara komersial
belum ada
4. PNA FISH (peptide nucleid acid fluorescence in situ hybridization) bisa
mendeteksi candida albicands dan glabrata.

KAPAN KITA HARUS CURIGA ADANYA INFEKSI JAMUR


INVASIF ?

Dengan melihat gambaran klinis yang tidak khas dan hasil pemeriksaan
kultur yang tidak menjamin maka dikembangkanlah beberapa cara lain
untuk membantu diagnosa, antara lain :

143
1. Candida Score20
Dikembangkan oleh grup Spanyol sebagai suatu sistem scoring bedsite pada
pasien ICU non neutropenia yang dicuriga candidemia .
Candida score = 0,908 x (TPN= total parenteral nutrition) + 0.997 x
(bedah ) + 1.112 x (kolonisasi multifocal ) + 2.028 x (sepsis berat )
Bila nilainya > 2.5 pemberian dini terapi antijamur cukup menguntungkan
(sensitifitas 81%, spesifitas 74% )

2. Ostrosky Zeichner Score21


Score ini diciptakan oleh Ostrosky- Zeichner dkk untuk menduga adanya
invasi candidiasis, setelah meneliti 2890 pasien dengan insiden kandidiasis 3 %.
Adapun faktor yang berperan penting dalam menduga invasi candidiasis
adalah pemakaian antibiotik , pemakaian kateter vena sentral, ditambah
dengan dua dari beberapa faktor berikut, yaitu : tindakan bedah mayor, TPN,
pankreatitis, pemakaian steroid dan imunosupresi.
Lama tinggal ICU ≥4 hr + penggunaan antibiotika + kateter vena sentral
+ dua dari yang berikut (bedah, TPN, hemodialisis, pankreatitis,
steroids, immunosupresi )
Scoring ini diujikan pada 10 % pasien yang dirawat di ICU lebih dari 4 hari
dan hasilnya 10 % dari populasi ini terbukti atau kemungkinan terjadi invasi
candidiasis. Pada penelitian ini, menunjukan bahwa pasien dengan
kombinasi DM, hemodialis awal , pemakaian TPN dan antibiotika spektrum
luas menderita invasi candidiasis (16,6%) dibanding dengan pasien yang
tanpa kareakteristik tersebut (5,1%).

3. Corrected colonization index (CCi)22


Piarroux dkk memakai metode ini untuk menilai efikasi terapi pre emptif
antijamur pada pasien bedah untuk mencegah terjadinya infeksi invasive
candidiasis. Pada pasien dengan CCi ≥ 0,4 pemberian terapi pre emptive
dengan fluconazole menunjukkan penurunan insiden invasive candidiasis
dari 2,2% menjadi 0%
CCi = ratio dari sampel yang positif kuat / total sampel yang dikultur

144 
Terapi
Skema terapi
t anti jam
mur pada invvasif candidiaasis pasien sakit kritis dapat
d
23
dilihat di
d diagram di bawah
b ini (gaambar 1)

ksis24
Profilak
Terapi profilaksis
p addalah pemberrian antijamurr pada pasienn yang tidak ada
bukti inffeksi.Tujuan terapi
t ini adaalah menguranngi kejadian candidemia.B
c Bukti
25
keberhassilan dari teraapi profilaksiis ini dilaporkkan oleh Egggiman dkk pada
p
pasien bedah abdoomen karenaa perforasi usus atau kebocoran dari
anasmottose, dengan flukonazole
f 4 mg/hari, Pelz dkk26 paada pasien beedah
400
sakit kriitis dengan lamma rawat > 3 hari juga denngan flukonazzole 400 mg/hhari,
d 27, Playforrd dkk28
dan darii hasil metaannalasis Shorr dkk

ptive24
Pre-emp
Terapi pre
p emptive adalah
a pembeerian antijamuur pada pasieen berisiko tinnggi
yang meempunyai bukkti kolonisasii jamur atau hasil positif pada
p serum ß-D-
ß
Glucan namun
n tanpa bukti adanyaa invasive canndidiasis

Keuntun ngan dari terrapi pre empptive ini adaalah menghinndari pemakkaian
antijamu ur pada pasien dengan risiiko rendah caandidemia dann tidak terlam
mbat
ketika taanda infeksi muncul
m pada pasien
p dengann risiko tinggi

145
Empirik24
Terapi empirik adalah pemberian antijamur pada pasien demam yang
menetap atau berulang pada pasien risiko tinggi infeksi jamur.
Terapi ini dimulai 3 dekade yang lalu pada pasien neutropenia yang
manifestasi klinis dan laboratoris penunjang kurang sensitive sehingga
menyebabkan keterlambatan diagnosis dan akibatnya meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.

Terapi target24
Yaitu terapi antijamur yang diberikan pada pasien dengan kultur darah
positif candidemia

OBAT ANTI JAMUR

Secara garis besar ada 4 kelompok mekanisme kerja obat anti jamur seperti
pada gambar 2 (31)

Gambar 2: Macam dan mekanisme kerja obat antijamur3

146 
Tabel 2: Dosis dan beberapa catatan obat anti jamur24

Algoritme pendekatan terapi candidiasis pada pasien sakit kritis seperti tabel
dibawah ini.

Tabel 3: Algoritme terapi invasive candidiasis pada pasien sakit kritis30

147
KESIMPULAN
Insiden infeksi jamur makin meningkat pada pasien sakit kritis yang
dirawat di ruang intensif.Seringkali diagnosisnya terlambat karena
manifestasi klinis yang bervariasi dan keterbatasan pemeriksaan penunjang.
Diagnosa dini sangat diperlukan agar bisa segera memulai terapi antijamur
mengingat mortalitas dan morbiditas infeksi jamur pada pasien sakit kritis
yang tinggi.
Berdasar tingkatan diagnose, terapi antijamur dapat dibedakan menjadi 4
jenis yaitu profilaksis, empirik, pre emptive dan terapi target yang berdasar
bukti kultur. Preparat antijamur yang telah ada terbagi menjadi 3 golongan
besar yaitu derivat azole, polyenes dan echinocandins

DAFTAR PUSTAKA
1. Kauffman CA. Fungal infection. Proc Am Thorac Soc 2006. 3:35-40
2. Lamagni TL, Evans BG, Shigetmasu M, Johnson EM. Emerging trends in the
epidemiology of invasive mycoses in England and Wales (1990-9). Epidemiol
infect 2001, 126:397-414
3. Health Protection Agency (HPA): Fungal diseases in UK. The Current Provision
of Support for Diagnosing and Treatment Assesment and Proposed Network
Solution. Report of a working group of the HPA Advisory Committee for
Fungal Infection and Superficial Parasites London, Health Protection Agency
2006 (http///www,hpa.org.uk/webx/HPAwebFile/HPAweb_C/ 1196942156347)
4. Kibbler CC, Seaton S, Barnes RA. Et.al.Management and outcome of
bloodstreams infections due to Candida species in England and Wales. J Hosp
Infect 2003, 54:18-24
5. Wisplinghoff H, Bischoff T, TallentSM, et al. Nosocomial bloodstream
infections in US Hospital; analysis of 24.179 cases from a prospective
nationwide surveillance study. Clin Infect Dis 2004;39:309-17
6. Marchetti O, Billie J, Fluckiger U et al. Epidemiology of candidemia in Swiss
tertiatry care hospitals; secular trends, 1991-2000. Clin Infect Dis 2004, 38 :
311-20
7. Gudlaugsson O, Gillespie S, Lee K, et al. Attributale mortality of nosocomila
candidemia, revisited. Clin Infect Dis 2003.37;1172-7
8. Wey SB, Mori M, Pfaller MA, et al. Hospital acquired candidemia, the
attributable mortality and excess length of stay. Arch Intern Med 1988; 148
2642-45
9. Ostrosky_Zeichner L, Pappas PG. Invasive candidiasis in the intensive care
unit.Crit Care Med 2006; 34:857-63
10. Ibanez-Nolla J, Nolla-Salas M, Leon MA et al. Early diagnosis of candidiasis
in non neutropenic critically ill patients. J Infect 2004:48:181-92

148 
11. Mer M. Fungal infection in critically ill patients. SAJCC 2003;19; 20-27
12. O”Shaugnessy EM, Shea YM, Witebsky FG. Laboratory diagnosis of invasive
mycosis. Infect Dis Clin North Am 2003;17:135-58
13. Richardson M, Ellis M. Clinical and laboratory diagnosis. Hosp Med
2000;61:610-4
14. Gadea I, Cuenca-EstrellaM, Martin E. et al Microbiological procedures for
diagnosing mycoses and for antifungal susceptibility testing ( in Spanish ).
Enferm Infect Microbiol Clin 2007;25:336-40
15. Gavalda J, Leon O, San Juan R et al. Risk factors for invasive aspergillosis in
solid organ transplant recipient; a case control study . Clin Infect Dis
2005:41:52-9
16. Grossi PA, Gasperina D, Barchiesi F, et al. Italian Guidelines for diagnosis,
prevention, and treatment of invasive fungal infections in solid organ transplant
recipient. Tranplantation proceedings 2011; 43: 2463-71
17. Singh N, Forrest G and the ATS Infectious Diseases Community of Practice:
Cryptococcus in solid organ transplant recipients. Am J Transplant 9:
S192,2009
18. Saag MS, Graybill RJ, Larsen RA. et al, Practice guidelines for the
management of crytoptococal disease. Clin Infect Dis 2000;30;710
19. Dodds Ashley ES. Fungal Infections in the intensive care
unit.www.accp.com/docs/bookstore/psap/p7b02sample02.pdf
20. Leon C, Ruiz Santana S, Saavedra P, et al. A bed site scoring system ‘Candida
Score’ for early antifungal treatment in non-neutropenic critically ill patients
with candida colonization. Crit Care Med 2006;730-7
21. Ostrosky-Zeichner L, Sable C, Sobel et al. Multicentre restropetive
development and validation of a clinical prediction rule for nosocomial
invasive candidiasis in the intensive care setting. Eur J Clin Microbiol Infect
Dis 2007;26:271-6
22. Piarroux R,Grenouilett F, Balvay P et al. Assesment of preemptive treatment to
prevent severe candidiasis om critically ill surgical patients. Crit Care Med
2004:32: 2443-9
23. Zaragoza R, Peman J. The diagnostic and theraupetic approach to fungal
infection in critical care settings. Advances in Sepsis 2008:6:3 : 90 -97
24. Basseti M, Mikulska M, Viscolii C. Bench to bedside review: Therapueutic
management of invasive candidiasis in the intensive care unit. Critical care
2010;14-244
25. Eggimann P, Francioli P, Bille J et al. Fluconazole prophylaxis prevents intra-
abdominal candidiasis in high-risk surgical patients. Crit Care Med
1999;27:1066-72
26. Pelz RK, Hendrix CW, Swoboda SM et al. Double-blind placebo-controlled
trial of fluconazole to prevent candidal infections in critically ill surgical
patients, Ann Surg 2001: 233L 542-48
27. Shorr AF, Chung K, Jackson WL et al. Fluconazole prophylaxis in critically ill
surgical patients; a meta analysis Cri Care Med 2005:33:1928-35
28. Playford EC, Webster AC, Sorrel TC, et al. Antifungal agents for preventing
fungal infections in non neutropenic critically ill and surgical patients :

149
systematic review and meta analyses of randomized clinical trials. J
Antimicrob Chemother 2006;57:628-38
29. Cornely OA, Bassetti M, Calandra T, et al. ESCMID guideline for the
diagnosis and management of Candida diseases 2012 : non neutropenic adult
patients. Clin Microbiol Infect 2012: 18 (suppl 7) 19-37
30. Pappas PG, Kauffman CA et al . Guidelines for the Management of
Candidiasis : 2009 Update by the Infectious Disease Society of America. Clin
Infect Dis 2009 ; 48 : 000-000
31. Gubbins PO, Anaissie EJ . Antifungal Therapy : section one, general principle,
including diagnosis 2009 : 165-199

150 

Anda mungkin juga menyukai