Anda di halaman 1dari 289

MODUL

NEUROINFEKSI

Kelompok Studi Neuroinfeksi


Perhimpunan Dokter Saraf Seluruh Indonesia
Editor:
Paulus Sugianto
A. Rizal Ganiem
Badrul Munir

2019
SAMBUTAN KETUA UMUM
PENGURUS PUSAT PERHIMPUNAN
DOKTER SARAF INDONESIA
(PP-PERDOSSI)
Assalaamualaikum wr, wb
Salam Sejahtera untuk Kita Semua
Perkembangan ilmu neurologi semakin cepat membutuhkan alat bantu yang baik untuk
mengikutinya, maka dibutuhkan sebuah sarana dan prasarana yang baik agar kita
bukan hanya bisa mengikuti perkembangan ilmu neurologi namun juga kita mampu
menemukan sesuatu hal yang baru yang bisa berkontribusi perkembangan terhadap
ilmu ini.
Salah satu sarana yang diperlukan adalah tersedianya buku modul atau referensi
lainnya yang bersifat nasional yang lebih menggambarkan kondisi riil di negeri ini,
maka pembuatan modul, buku ajar, jurnal dan lainnya sangat baik dan sangat kami
dukung demi kemajuan neurologi Indonesia
Dengan diterbitkannya buku modul neuroinfeksi ini sebagai bukti nyata bahwa
kita terus memberi kontribusi positif bagi perkembangan ilmu neurologi ini, maka
kami menyambut baik dan mengucapkan terima kasih atas buku modul ini. Kami
berharap banyak manfaat yang bisa diambil oleh semua pihak terutama para peserta
Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS] Neurologi dan lainnya untuk mengasah
dan mencapai kompetensi yang telah ditentukan.
Kami mengucapkan kepada semua penulis dan tim editor atas jernih payahnya
untuk menghasilkan buku modul yang sangat berkualitas ini, semoga Allah SWT
membalas kebaikan anda semua dan kami berharap terus berkarya demi negeri ini
khususnya di bidang ilmu neurologi.

i
Akhirnya kami mengucapkan selamat mempelajari dan mengambil
manfaat dari buku modul ini
Wassalaamualaikum wr, wb.

ii
SAMBUTAN KETUA KOLEGIUM
NEUROLOGI INDONESIA
Sebagai ketua Kolegium Neurologi Indonesia (KNI) kami berbahagia dan menyambut
dengan baik diterbitkan buku modul neuroinfeksi ini, hal ini dikarenakan dengan terus
diterbitkannya buku modul baru menandakan upaya menjaga kompetensi neurologi
Indonesia yang terus berkembang dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan
ilmu kedokteran yang begitu cepat
Kami mengucapkan terima kasih kepada para penulis dari pokdi
neuroinfeksi-imunologi yang bekerja keras menyelesaikan modul ini dengan hasil
yang sangat baik, hal ini bisa kita lihat dari tata cara penulisan maupun referensi
mengacu ke standar internasional. Modul ini akan menjadi bahan pembelajaran baku
bagi para residen neurologi di Indonesia sekaligus manjadi acuan dalam diagnosis dan
tata laksana kasus neuroinfeksi di Indonesia.
Kami menyarankan agar modul ini segera ditidaklanjuti dengan karya ilmiah
berikutnya baik dalam bentuk buku, penelitian dan lainnya yang bisa dipublikasikan
baik nasional maupun internasional yang menunjukan perkembangan neurologi
Indonesia sudah bisa bersaing di era global.
Akhirnya kami mengucapkan selamat diterbitkan modul neuroinfeksi ini semoga
bisa memberi manfaat bagi kita semua dalam bidang pendidikan, pelayanan dan
penelitian. Semoga Allah SWT memberi petunjuk bagi kita semua

Ketua Kolegium Neurologi Indonesia

Dr. Diatri Nari Lastri Sp.S (K)

3
SAMBUTAN KETUA KELOMPOK STUDI NEUROINFEKSI
Kami sebagai ketua kelomok studi (pokdi) Neuroinfeksi-Neuroimunologi
mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan merasa sangat
berbahagia dengan diterbitkan buku modul ini yang merupakan salah satu program
kerja kepengurusan kelompok studi neuroinfeksi-neuroimunologi.
Kami mengucapkan penghargaan dan terima kasih kepada semua teman sejawat
yang bersedia berkontribusi menyusun makalah sesuai dengan tugas masing-masing
dan ini sangat membantu bagi kami untuk menciptakan modul yang berkualitas dan
bisa dipertanggung jawabkan baik secara akademik maupun moral
Kami berharap, banyak manfaat yang bisa diambil dari buku modul ini, terutama
untuk adik-adik PPDS Neurologi yang sedang mempelajari ilmu neurologi khususnya
neuroinfeksi, kami berharap buku ini bisa membimbing dan membantu peserta didik
untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Tentunya juga bisa dipelajari oleh
semua orang yang ingin memperdalam kasus neuroinfeksi yang masih banyak terjadi
di negeri ini.
Kami juga mohon maaf bilamana ada kekurangan dalam pembuatan modul ini
khususnya waktu pembuatan yang melebihi dari target yang sudah kita tetapkan.
Akhirnya selamat mempelajari buku modul ini semoga Tuhan yang Maha Esa
selalu memberkahi kita semua
Ketua Kelompok Studi Neuroinfeksi-Neuroimunologi Pengurus Pusat
Perhimpunan Dokter Saraf Seluruh Indonesia
Dr.dr. Paulus Sugianto Sp.S (K)

4
PRAKATA

Puji Syukur kepada Allah SWT akhirnya buku modul neuroinfeksi ini bisa diterbitkan,
dengan terbitnya buku ini diharapkan bisa mempermudah dalam pembelajaran peserta
didik program pendidikan dokter spesialis neurologi (PPDS Neurologi) sehingga
didapatkan keseragaman pemahaman dalam diagnosis dan tata laksana kasus-kasus
neuroinfeksi di Indonesia.
Kasus neuroinfeksi masih menjadi masalah yang serius di negeri ini, hal ini
dikarenakan masih tingginya kejadian penyakit infeksi di bidang neurologi, disamping
juga keterbatasan fasilitas dalam penegakan diagnosis dan terapi yang optimal
sehingga dibutuhkan sebuah buku modul sebagai panduan para peserta didik sehingga
mereka mencapai kompetensi yang dibutuhkan.
Buku disusun secara bersama oleh para pakar neuroinfeksi dari semua pusat
pendidikan spesialis neurologi yang ada di Indonesia berdasarkan perkembangan
kedokteran terbaru yang diambil dari referensi terkini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas terbitnya buku ini
terutama kepada para kontributor makalah yang meluangkan waktunya menyusun
buku ini dengan baik di sela-sela kesibukan sehari-hari
Buku ini tidak lepas dari kekurangan maka dari itu saran, kritik konstruktif
sangat kami harapkan untuk perbaikan ke depan dan semoga buku modul ini membawa
manfaat bagi kita semua dalam rangka mencerdaskan anak bangsa dan meningkatkan
derajat kesehatan rakyat Indonesia, sebagai perwujudan cinta tanah air, bangsa dan
negara

5
DAFTAR KONTRIBUTOR
NAMA INSTITUSI PENDIDIKAN
A.A. Raka Sudewi Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana-RS
Sanglah Denpasar
Abdulloh Machin Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD
dr.Soetomo Surabaya
A Rizal Ganiem Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP
Hasan Sadikin Bandung
Aris Catur Bintoro Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro-
RSUP Dr Kariadi Semarang
Arthur H.P. Mawuntu Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi-RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou
Manado
Baarid Luqman Hamidi Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas
Maret-RSUD dr. Moewardi Solo
Badrul Munir Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya-RSUD
Saiful Anwar Malang
Darma Imran Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia-RSUP
Cipto Mangunkusumo Jakarta
Devi Ariani Sudibyo Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD
dr.Soetomo Surabaya
Kartika Maharani Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia-RSUP
Cipto Mangunkusumo Jakarta

6
NAMA INSTITUSI PENDIDIKAN
Hanindya Prabaningtyas Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya-RSU
Abdul Muluk Palembang
Kiking Ritarwan Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera
Utara-RSUP Adam Malik Medan
Lidya Susanti Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas-RS dr. M.
Djamil Padang
Meiti Frida Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas-RS dr. M.
Djamil Padang
Ni Made Susilawathi Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana-RSUP
Unud Jimbaran Bali
0. S. Hartanto Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret
-RSUD Moewardi Solo
Paulus Sugianto Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD
dr.Soetomo Surabaya
Riwanti Estiasari Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia-RSUP
Cipto Mangunkusumo Jakarta
Sekar Satiti Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah
Mada-RSUP Dr. Sardjito Jogjakarta
Sofiati Dian Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran-RSUP
Hasan Sadikin Bandung

vii
DAFTAR ISI

SAMBUTAN KETUA UMUM PENGURUS PUSAT PERHIMPUNAN


DOKTER SARAF INDONESIA (PP-PERDOSSI) ............................................... i
SAMBUTAN KETUA KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA ...................... iii
SAMBUTAN KETUA KELOMPOK STUDI NEUROINFEKSI ......................... iv
PRAKATA ............................................................................................................ v
DAFTAR KONTRIBUTOR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................... viii
BAB 1 PUNGSI LUMBAL .................................................................................... 1
BAB 2 NEUROSISTISERKOSIS .......................................................................... 17
BAB 3 ENSEFALITIS TOKSOPLASMA ............................................................. 26
BAB 4 MENINGITIS TUBERKULOSIS .............................................................. 42
BAB 5 ABSES SEREBRI ...................................................................................... 69
BAB 6 SPONDILITIS TUBERKULOSIS ............................................................. 83
BAB 7 ENSEFALITIS VIRUS .............................................................................. 98
BAB 8 MALARIA SEREBRAL ............................................................................ 132
BAB 9 RABIES ...................................................................................................... 205
BAB 10 MENINGITIS BAKTERIAL ................................................................... 219
BAB 11 NEURO-AIDS .......................................................................................... 244
BAB 12 TETANUS ................................................................................................ 262

viii
BAB 1

PUNGSI LUMBAL
Aris Catur Bintoro

1
PUNGSI LUMBAL
I. KERANGKA MODUL
A. Kompetensi
1. Melakukan tindakan pungsi lumbal [lumbar puncture/h?) dengan benar
2. Mempunyai kompetensi menyeluruh tentang jenis pemeriksaan ini, meliputi
indikasi dan kontra indikasi, prosedur dan pemeriksaan cairan serebrospinal
(CSS).
B. Metode Pencapaian Kompetensi
Metdde Waktu
Sesi Dalam Minggu 1
Kelas Sesi kuliah tatap muka: sesuai bahan ajar
Sesi Dengan Minggu 2:
Fasilitasi Sesi diskusi kasus:
Pembimbing - Kasus infeksi meningitis dengan penekanan pada
aspek pemeriksaan lumbal pungsi dan
penatalaksanaan,
- kasus perdarahan subaraknoid (PSA) dengan CT
scan tidak tampak, klinis mendukung suatu PSA
- kasus Sindrom Guillain-Barre (SGB).
Sesi praktikum:
- Mengidentifikasi anatomi sistem CSS
- mengindentifikasi tempat dilakukan lumbal
pungsi.
- Menginterpretasikan hasil pemeriksaan CSS
Sesi Praktik Minggu 3-4:
Sesi praktik klinis: melakukan tindakan lumbal
pungsi di bawah supervisi
C. Indikator Hasil Pembelajaran
Setelah menyelesaikan modul pembelajaran ini, peserta didik mampu memiliki
keterampilan pungsi lumbal meliputi:
1. Menjelaskan teknik tindakan pungsi lumbal
2. Menguasai anatomi dan fisiologi tulang vertebra
3. Menjelaskan indikasi dan kontraindikasi
4. Mengetahui efek samping trauma akibat pungsi lumbal
5. Menentukan posisi penderita sewaktu akan dilakukan tindakan
6. Menentukan daerah desinfeksi
7. Menentukan posisi penusukan jarum spinal

2
8. Mengetahui cara anestesi lokal pada intervertebra
9. Menentukan jumlah cairan serebrospinal yang akan dibuat sampel
10.Mengeluarkan cairan serebrospinal sesuai yang dibutuhkan
11.Mengetahui teknik perlakuan terhadap cairan sererbrospinal yang telah diambil
secara benar, termasuk rencana pengiriman spesimen ke laboratorium sesuai
dengan indikasi (jenis dan jumlah sel, protein, glukosa, serologi, mikrobiologi]
D. Persiapan Sesi
1. Ruangkuliah.
2. Peralatan audiovisual.
3. Peralatan telekonferensi dan aplikasinya.
4. Peralatan laboratorium.
5. Laporan kasus untuk pembelajaran:
a. Meningoensefalitis.
b. Psa (Perdarahan Subaraknoid)
c. Sgb (Sindrom Guillain Barre)
6. Koneksi internet.
7. Silabus.
8. Daftar hadir dan berita acara kuliah.
9. Materi presentasi kuliah.
10. Penuntunbelajar.
11. Daftar tilik kompetensi.
12. Lembar-lembar penilaian.
13. Lembar umpan balik.
14. Contoh soal.
E. Keterampilan
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
1. Memahami cara edukasi dan menjelaskan persetujuan tindakan LP
2. Melakukan persiapan dan pemeriksaan pungsi lumbal
3. Menginterpretasikan hasil pemeriksaan LP.
4. Menguasai tata laksana dan pengelolaan pasien pasca LP

3
5. Mengetahui efek samping tindakan LP
6. Membangun kerja sama yang baik dengan teman sejawat dari disiplin ilmu lain
seperti Patologi Klinik, Mikrobiologi, Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Kesehatan
Anak.
F. Gambaran Umum
Pelatihan dengan modul ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan dan
praktik keterampilan dalam hal teknik pungsi lumbal secara benar dengan
memperhatikan asepsis dan antisepsis serta sesuai dengan prosedur. Peserta didik
belajar mandiri tentang anatomi dan fisiologi cairan serebrospinal.
1. Contoh Kasus
Laki-laki, 27 tahun pekerjaan buruh, diantar ke IGD dengan keluhan utama nyeri
kepala hebat sejak 2 hari SMRS. Nyeri
kepala disertai dengan muntah, kadang bicara kacau. Kejang,
kelemahan sesisi disangkal. Demam (+] sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga
mengeluhkan mulut sariawan dan lidah menjadi terdapat selaput putih. Pasien
pengguna narkoba suntik sejak 5 tahun lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, kesadaran apatis-somnolen. TD: 140/90, N:
96x/menit P: 20x/menit, Suhu: 38,5° C. Lain-lain dalam batas normal. Kulit: tatto
[+], needle track (+]. Status neurologis, GCS: E3M6V4. Kaku kuduk (+}.
Funduskopi: pupil batas jelas, tidak hiperemis, cupping (-), A:V:1:3. R Babinski-/-.
2. Diskusi
a. Apakah tindakan pungsi lumbal ini berbahaya ?
b. Di mana lokasi yang paling aman untuk melakukan tindakan
LP ini
c. Komplikasi apa yang mungkin terjadi saat melakukan dan
setelah melakukan tindakan ini
3. Rangkuman
Tindakan pungsi lumbal dilakukan untuk diagnosis penyakit infeksi SSP. Walaupun
demikian tindakan harus berdasarkan indikasi dan memperhatikan kontraindikasi
serta informed consent dan memberikan pengertian tentang maksud dan tujuan
tindakan ini. Apabila telah dikerjakan maka penderita harus berbaring selama 2 jam
dan mengingatkan pada penderita atau keluarganya bahwa kemungkinan nyeri
kepala dapat timbul yang dapat diatasi dengan pemberian analgetik Keadaan lain
yang memperburuk umumnya disebabkan oleh penyakitnya, bukan karena
tindakannya.
4. Penilaian kompetensi
a. Hasil observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan

4
b. Hasil kuesioner
c. Hasil penilaian peragaan keterampilan
5. Tujuan Pembelajaran
a. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi tindakan LP
b. Mengetahui komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat LP
c. Dapat menangani komplikasi dari tindakan LP
d. Mengetahui perlu tidaknya pemeriksaan CT scan sebelum
tindakan LP
e. Mengetahui peralatan apa saja yang diperlukan untuk
tindakan ini
f. Dapat melakukan tindakan LP dengan benar dan lege artis
g. Mengetahui teknik perlakuan terhadap cairan
serebrospinalis (CSS] yangtelah diambil secara benar
h. Dapat menjelaskan kepada pasien maupun keluarga pasien tentang tindakan ini
(indikasi, prosedur, komplikasi, pemeriksaan CSS
6. Kasus untuk proses pembelajaran
Seorang laki-laki usia 35 tahun, pekerja bangunan, datang ke rumah sakit dengan
keluhan nyeri kepala hebat, demam disertai kejang seluruh tubuh. Sebelumnya
penderita pernah demam disertai batuk dan berkeringat sewaktu malam hari. Di
puskesmas penderita mendapat obat beberapa macam. sejak makan obat tersebut,
buang air kecil berwarna kemerahan. Penderita merasa lebih baik dan tidak kontrol lagi
setelah makan obat selama 3 bulan. Selang berapa lama penderita mulai demam dan
batuk yang kadang-kadang mengeluarkan riak berwarna merah.
7. Hasil pemeriksaan fisik
a. Kesadaran: delirium
b. Tekanan darah: 130/80 mmHg, Nadi 105 x/menit, Suhu
38°C
c. Respirasi: 23 x/menit
d. KGB leher: scrofuloderma +/-
e. Jantung dalam batas normal, paru: vbs ki=ka, rhonki +/+,
wheezing -/-
f. Abdomen supel, hepar dan lien tidak teraba
g. Ekstremitas tidak ada edema
h. Status neurologik:
• Glasgow Coma Scale: E4M5V4

5
• Pupil bulat isokor diameter 3 mm/3mm RCL +/+
• Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk positif, Brudzinsky 1 positif, Kernig
>135/>135, Brudzinsky II dan III (-]
• Sarafkranial: paresis (-)
• Motorik: hemiparesis (-]
• Sensorik: belum dapat dinilai
• Refleks fisiologik: ++/++
• Refleks patologik: -/-
• Klonus: -/-
• Saraf otonom: dalam batas normal
8. Hasil pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
b. Pemeriksaan foto thoraks
c. Pemeriksaan CT scan
9. Monitoring
a. Kesadaran
b. Tanda vital
c. Defisitfokal
10. Diskusi
a. Apakah tindakan pungsi lumbal segera dilakukan tanpa
persetujuan keluarga
b. Apakah pengobatan segera setelah diagnosis sementara
ditegakkan
c. Apakah kegawatdaruratan yang mungkin timbul sebelum
atau sesudah tindakan pungsi lumbal
11. Rangkuman
Pengobatan empirik pada penderita segera harus dilakukan walaupun pungsi
lumbal belum dilakukan, karena angka kematian tinggi apabila kondisi penderita lebih
berat. Walaupun demikian pelaksanaan pungsi lumbal tetap dianjurkan untuk
memastikan diagnosis yang sesuai dengan tindakan terapi. Pemantauan penderita harus
diperhatikan karena gejala-gejala yang timbul bisa menjadi lebih progresif.

6
II. MATERI BAKU PUNGSI LUMBAL
Teknik pungsi lumbal [lumbar puncture/LP) atau spinal tap pertama kali
diperkenalkan oleh Quinke pada tahun 1891. Meskipun memiliki beberapa risiko
yang perlu diperhatikan namun sebenarnya tindakan LP ini sederhana dan setiap
spesialis neurologi harus menguasai. Secara umum tindakan LP dilakukan untuk
tujuan diagnostik dan terapi.
A. Pungsi Lumbal Diagnostik Indikasi
1. Infeksi susunan saraf pusat (meningitis, ensefalitis)
Umumnya ditemukan peningkatan tekanan, pleositosis, kadar glukosa menurun,
dan konsentrasi protein meningkat.
2. Meningitis aseptik
Didapatkan perubahan non spesifik pada cairan serebrospinal (CSS), pleositosis
dan peningkatan protein.
3. Infeksi parameningeal dan abses
Pada CSS hanya tampak perubahan non spesifik. Evaluasi lebih baik dengan
pencitraan.
4. Perdarahan subaraknoid (Sub arachnoid hemorrhage/SAH]
Ditemukan CSS dengan sel darah merah dan tampak santokrom. Pada SAH
tindakan LP hanya dilakukan bila dengan CT scan diagnostik belum dapat
ditegakkan, CT scan tidak tersedia, masih dicurigai meningitis.
CSS d-dimer dapat membedakan LP traumatik dengan SAH.
5. Penyakit demielinisasi
Ditemukan abnormalitas IgG yang dapat mendukung diagnosis.
6. Inflammatory polyneuropathies
Terjadi peningkatan protein CSS imunoglobulin mendukung diagnosis kelainan
imunologis.
7. Leptomeningeal metastasis
Pleositosis, peningkatan protein, menurunnya kadar glukosa. Pemeriksaan
sitologi CSS dengan LP berulang mempunyai spesifisitas yang tinggi dan
sensitivitas yang bervariasi sesuai jenis keganasan. Pemeriksaan tumor marker
pada CSS dan mengkonfirmasi diagnosis tetapi tidak spesifik untuk neoplasma.
8. Sindrom paraneoplastik
Tampak abnormalitas ringan pada CSS sering disertai dengan autoantibodi yang
spesifik.
9. Tumor otak
Gambaran CSS nonspesifik, beberapa memilliki marker spesifik:
• -Trophoblastic metastasis dan germ cell: human chorionic gonadotropin,
• Germ cell: a fetoprotein.
10. Pseudotumor serebri

7
LP diperlukan untuk mengetahui peningkatan tekanan intrakranial dan
menyingkirkan meningitis.
11. Normal pressure hydrocephalus
Perbaikan klinis setelah pengambilan 50 ml CSS dapat
memprediksi respons yang baik untuk tindakan shunting.
12. Emboli serebral septik
Tampak pleositosis.
13. Lupus eritematosa sistemik
Ditemukan kadar C4 yang menurun dan peningkatan respons imun intratekal.
14. Ensefalopati hepatik
Dapat diidentifikasi dengan cukup spesifik dan sensitif bila ditemukan
peningkatan konsentrasi glutamin CSS.
Kontraindikasi
1. Peningkatan tekanan intrakranial yang menyertai adanya massa intrakranial atau
penyumbatan aliran CSS yang berisiko herniasi serebri dan kematian.
2. Infeksi di lokasi LP
3. Trombositopeni [<50.000/uL] atau pemanjangan PT dan APTT yang tidak
terkoreksi, atau INR >1,4
4. Trauma medula spinalis akut
Komplikasi
1. Herniasi serebri
Dapat dicegah dengan tidak melakukan tindakan LP pada pasien yang berisiko atau
dengan pemberian antiedema sebelum LP.
2. Postspinal positional headache
Merupakan komplikasi tersering. Biasanya sakit kepala muncul 72 jam setelah LP
dan menghilang kurang dari 5 hari. Nyeri dirasakan bilateral terutama pada posisi
berdiri dan batuk.
Berdasarkan patofisiologinya pada postspinal positional headache terjadi robekan
dura pada lokasi penusukan jarum spinal. Robekan ini mengakibatkan kebocoran
LCS keluar dari dura sehingga tekanan akan menurun. Akibatnya otak akan
bergeser turun dan terjadi traksi pada area sensitif nyeri seperti bridging vessels,
dura dan saraf yang menyebabkan rasa nyeri. Pada posisi supine tekanan di
sepanjang kolumna spinalis sama sehingga otak tidak bergeser ke bawah dan tidak
terjadi traksi pada area sensitif nyeri.
Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri kepala ini. Gunakan jarum
spinal berukuran kecil. Semakin kecil jarum semakin kecil pula robekan dura yang
ditimbulkan. Memasang mandrein kembali ke dalam jarum sebelum mencopot
jarum spinal dapat menurunkan insiden nyeri kepala hingga 50%. Nyeri kepala

8
sendiri dapat diatasi dengan analgesik dan berbaring.
3. Nyeri punggung lokal
Kurang lebih 1/3 pasien mengeluhkan nyeri punggung lokal setelah tindakan LP
yang berlangsung selama beberapa hari. Hal ini terjadi akibat trauma lokal jaringan
lunak sekitar lokasi LP.
4. Perdarahan lokal
Dapat dicegah dengan menunda pemberian antikoagulan, mengoreksi status
koagulasi dan menggunakan jarum kecil.
5. Infeksi lokal
Dapat dicegah dengan tindakan asepsis dan antisepsis sebelum tindakan.
B. Pungsi Lumbal Terapeutik Indikasi
1. Infeksi
Meningitis Kriptokokus dengan peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter.
Tindakan LP dapat dilakukan berulang kali untuk menurunkan tekanan intrakranial
2. Neoplasma
Beberapa jenis keganasan seperti leukemia serebral, leptomeningeal limfoma dan
meningeal karsinomatosis memerlukan kemoterapi intratekal.
3. Nyeri
Nyeri hebat yang sulit diatasi terutama pasca operasi dan nyeri pada kanker dapat
disuntikkan morfin dosis kecil ke rongga subaraknoid.
4. Nyeri kepala pada hipertensi intrakranial idiopatik
Tindakan LP dapat mengurangi nyeri kepala dengan mengeluarkan sejumlah CSS.
Kontraindikasi
Sama dengan kontraindikasi LP diagnostik. Perlu diperhatikan apakah pasien
alergi terhadap obat yang akan disuntikkan. Dosis, jenis obat dan pelarut harus tepat.
Beberapa obat dapat menyebabkan chemical meningitis.
Pungsi Lumbal insidental
Untuk pemeriksaan mielografi LP perlu dilakukan untuk menyuntikkan kontras.
Dilakukan dengan kontrol fluoroskopi setelah sebelumnya dilakukan foto vertebra.
Sebaiknya tindakan menghindari daerah yang diduga lesi. Analisis CSS tidak harus
dilakukan kecuali ada indikasi untuk LP diagnostik.
Pertimbangan CT Scan sebelum LP
Tidak semua pasien yang terindikasi tindakan LP harus menjalani pemeriksaan
CT Scan.
C. Anatomi Meningen, Ventrikel dan Cairan
Serebrospinal Meningen
Otak dan medula spinalis dilindungi oleh 3 selaput otak yaitu:
1. Duramater

9
2. Araknoid
3. Piamater

Lapisan kedua setelah duramater adalah araknoid. Strukturnya halus dan


kuat serta terdiri dari membran seluler luar dan lapisan jaringan ikat dalam di
mana melekat jaringan longgar trabekula yang tipis. Jaringan ini
melintasi rongga

10
subaraknoid seperti sarang laba-laba [granulationes pachioni atau villi, araknoidea).
Araknoid tidak terikat pada dura kecuali daerah sepanjang sinus duralis, di mana
araknoid melekat melalui
Piamater adalah lapisan yang menutupi semua permukaan otak dan medula
spinalis baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, kecuali permukaan ventrikel.
Membran ini mengikuti semua pembuluh darah yang memasuki atau meninggalkan
parenkim saraf dan merupakan batas perifer dari spasium perivaskular
Virchow-Robin.
Rongga subaraknoid berisi cairan serebrospinal yang bersirkulasi. Semua
pembuluh darah dan saraf otak dan medula spinalis melewati cairan ini. Area pada
rongga yang melebar disebut sisterna.
D. Ventrikel dan Cairan Serebrospinal
Sistem ventrikel otak terdiri atas dua ventrikel lateral, ventrikel ketiga dan ventrikel
keempat. Masing-masing ventrikel lateral mempunyai kornu anterior, sela media,
kornu posterior dan kornu inferior atau temporal. 4 Kedua ventrikel tersebut
berhubungan dengan ventrikel ketiga melalui foramen Monro atau foramen
interventrikularis. Akuaduktus sylvii menghubungkan ventrikel ketiga dan keempat.
Ventrikel keempat berhubungan dengan rongga subaraknoid melalui tiga foramen
yaitu dua foramen Luschka dan satu foramen Magendie. Foramen ini terletak di
belakang medula dan menghadap sisterna magna.
Cairan serebrospinal (CSS] diproduksi oleh pleksus koroid yang terdapat pada
dinding ventrikel. CSS memasuki rongga subaraknoid melalui foramen Luschka dan
Magendie. Di dalam rongga subaraknoid CSS bersirkulasi ke atas dan mengitari otak
serta ke bawah mengitari medula spinalis. CSS jernih seperti air mengandung sangat
sedikit sel (± 2 sel/mm3) dan sedikit protein. Volume total CSS dalam ventrikel dan
rongga subaraknoid dalam otak orang dewasa sekitar 130-150 ml. Kira-kira 400-500
ml diproduksi setiap 24 jam. Tekanan CSS normal dalam posisi terlentang adalah
antara 70-120 mml-hO. CSS akan diresorbsi oleh villi araknoidalis ke dalam aliran
darah di sinus-sinus duralis.

11
12
13
E. Anatomi Pungsi Lumbal
Pada tindakan LP, jarum spinal ditusukkan distal dari vertebra L2 untuk mencegah
trauma pada medula spinalis. Hal ini berarti jarum spinal akan masuk ke rongga
subaraknoid pada tingkat kauda ekuina yang mobile. Jarum spinal akan menembus
kulit, jaringan subkutis, ligamentum supraspinal, ligamentum interspinal, ligamentum
flavum, duramater, araknoid dan masuk ke ruang subaraknoid.

Lokasi penusukan LP biasanya dilakukan pada tingkat L3-4 atau L4-5. Ruang
intervertebra L3-4 kurang lebih setinggi krista iliaka posterior.

14
F. Peralatan Pungsi Lumbal
Peralatan yang diperlukan untuk tindakan pungsi lumbal adalah sebagai berikut.
1. Alat pelindung diri
2. Sarung tangan steril
3. Cairan iodine
4. Alkohol
5. Kassa steril
6. Duk
7. Lidocaine (1%)
8. Syringe 5 ml
9. Jarum spinal (22G)
10. Manometer
11. Three way stopcock
12. TabungCSS
13. Reagen Nonne dan Pandy
14. Plester
G. Tindakan Pungsi Lumbal
Agar LP berhasil posisi pasien haruslah tepat. Biasanya LP dilakukan dengan pasien
pada posisi lateral dekubitus. Pasien berbaring di tepi tempat tidur membelakangi
pemeriksa. Vertebra lumbalis difleksikan maksimal agar ruang intervertebra terbuka.
Panggul dan bahu dipertahankan tetap pada bidang vertikal. Hiperfleksi leher tidak
perlu dilakukan karena tidak akan menambah fleksi pada punggung.
Setelah pasien berada pada posisi yang tepat, tentukan tempat penusukan. Ruang
intervertebra L3-4 dapat ditentukan dengan menarik garis imajiner dari krista iliaka
posterior kanan dan kiri.
Pastikan semua perlengkapan berada dalam jangkauan tangan pemeriksa.

15
Sesuaikan tinggi kursi dengan tempat tidur pasien untuk memudahkan prosedur
penusukan.
Selanjutnya pakai sarung tangan steril. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis
pada lokasi penusukan dan sekitarnya dengan menggunakan cairan iodine dilanjutkan
dengan alkohol.
Kemudian dilakukan tindakan anestesi lokal dengan lidocain 1%. Setelah itu
siapkan jarum spinal. Dengan mandrein terpasang tusukkan jarum spinal pada lokasi
yang telah ditentukan dengan jarum pararel permukaan tempat tidur dan mengarah ke
sefalik atau ke umbilikus. Bevel dari jarum harus menghadap ke atas.
Jarum ditusukkan sampai menembus dura (sampai terasa "pop"]. Setelah itu tarik
mandrein untuk melihat apakah CSS sudah mengalir. Bila CSS telah mengalir segera
masukkan kembali mandrein lalu siapkan manometer. Pasangkan manometer pada
jarum spinal dan ukur opening pressure. Selanjutnya masukkan CSS ke dalam tabung
penampung. Setelah jumlah yang diinginkan terpenuhi masukkan kembali mandrein
dan tarik jarum spinal dengan 1 kali tarikan. Bersihkan lokasi LP dan tutup dengan
kassa steril dan plester. Anjurkan pasien untuk tetap berbaring 1-2 jam untuk
menghindari sakit kepala pasca LP.

Daftar Pustaka
1. Baehr M. Covering of the Brain and SpinalCord; Cerebrospinal Fluid and
Ventricular System. In: Duus ' Topical Diagnosis in Neurology. 5th ed. New
York: Thieme; 2012. p. 260-266.
2. Irani DN. Cerebrospinal Fluid in Clinical Practice. Philadelphia: Saunders;
2009. p. 1-2097.
3. Brodbelt A, Stoodley M. An Anatomical and Physiological Basis For CSF
Pathway Disorder. In: Mallucci C, editor. Cerebrospinal Fluid Disorder. New
York; CRC Press: 2009. p. 1-20.
4. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Disturbances of Cerebrospinal Fluid,
Including Hydrocephalus, Pseudotumor Cerebri, and low Pressure Syndromes.
In: Adam and Victor's Principles of Neurology, 10th ed. New York; McGraw
Hill Education: 2014. p. 617-695.
5. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Imaging, electrophysiologic, and
laboratory techniques for neurologic diagnosis. In: Adam and Victor's
Principles of Neurology, 10th ed. New York; McGraw Hill Education: 2014. p.
13-19.

16
BAB 2

NEUROSISTISERKOSIS
Meiti Frida Lidya Susanti

17
NEUROSISTISERKOSIS
I. KERANGKA MODUL
A. Kompetensi:
Menegakkan diagnosis dan tata laksana neurosistiserkosis mencakup epidemiologi,
etiologi, klasifikasi, patogenesis dan patofisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan
penunjang dan interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu.

Mengembangkan Kompetensi Waktu

Sesi di dalam kelas Minggu 1 & 2: Classroom - introduksi


neurosistiserkosis,
tentang patofisiologi,
diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan
patogenesis,
penunjang, dan manajemen terapi disertai
pelatihan pemeriksaan pasien dan
kegawatdaruratan.
mengatasi
Minggu 3: clinical practice session diskusi
neurosistiserkosis dan mengelola
kasus
Minggu 4:
komplikasi clinical practice session

B. Persiapan sesi:
1. Ruangkuliah
2. Peralatan audiovisual
3. Kasus pembelajaran
4. Mat bantu latih
5. Materi belajar
6. Penuntun belajar
7. Daftar tilik kompetensi
C. Keterampilan
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki
keterampilan
1. Menguasai mekanisme terjadinya neurosistiserkosis
2. Identifikasi, anamnesis dan diagnosis sistiserkosis
3. Menguasai tata laksana dan pengelolaan pasien dengan
neurosistiserkosis
4. Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada neurosistiserkosis
5. Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada neurosistiserkosis
D. Gambaran Umum:
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen

18
neurosistiserkosis. Subjekyang dipelajari mandiri dan aktif oleh peserta didik tentang
terjadinya neurosistiserkosis, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi.
1. Contohkasus:
Laki-laki usia 35 tahun, suku Batak, mengalami kejang berulang seluruh tubuh
sejak 1 hari yang lalu. Kejang diawali dengan kaku seluruh tubuh selama 20 detik,
diikuti dengan kelonjotan seluruh tubuh selama 2 menit. Saat kejang dan setelah
kejang pasien tidak sadar. Ini merupakan kejang pertama. Satu minggu sebelumnya
pasien demam yang tidak terlalu tinggi, tidak disertai batuk dan flu. Pasien juga
mengeluh nyeri pada kepala.
2. Hasil pemeriksaan fisik:
a. Kesadaran: somnolen
b. Tekanan darahnya: 120/80 mmHg
c. Frekuensi nadi: 95x/menit
d. Suhu:37,8°C
e. Respirasi: 20x/menit
f. Jantung dan Paru dalam batas normal
g. Abdomen : normal
h. Ekstremitas: tidak ada edema
i. Status Neurologis
• Glasgow Coma Scale: E3 M6 V4
• Status Mental: belum dapat dinilai
• Tanda rangsang meningeal negatif
• Pupil isokor, refleks cahaya OD positif/OS positif lemah
• Funduskopi: papil batas tegas, av 2:3, cup disc (+), av crossing (-], perdarahan
dan eksudat (-), dijumpai subretinal parasit +
• Saraf kranial: paresis (-)
• Motorik: dalam batas normal
• Sensorik: masih sulit dinilai
• Refleks fisiologis: ++/++
• Refleks patologis :-/-

19
• Klonus: -/-
• Saraf Otonom: dalam batas normal
3. Hasil pemeriksaan penunjang:
a. Pemeriksaan laboratorium: darah perifer lengkap, hitung
jenis, laju endap darah, AGD: semua normal
b. Pemeriksaan antigen: EITB [enzyme-linked immunotransfer
blot) untukantisistiserkosis: hasil positif
c. Pemeriksaan pencitraan: CT scan otak dengan kontras:
tampak area kistik isodens.
4. Monitoring
a. Kesadaran
b. Tanda Vital
c. Kejang
5. Diskusi:
a. Apakah diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis?
b. Bagaimana diagnosis pasien berdasarkan kriteria Del
Bruto?
c. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada
pasien neurosistiserkosis?
d. Bagaimanakah parasit masuk ke tubuh pasien sehingga
sampai ke intrakranial pada pasien neurosistiserkosis?
e. Bagaimana tata laksana seseorang dengan
neurosistiserkosis?
f. Kapan dan berapa lama pemberian antiparasit pada kasus
di atas?
g. Kapan diperlukan tindakan operatif pada kasus
neurosistiserkosis?
h. Bagaimana pencegahan neurosistiserkosis?
II. MATERI BAKU NEUROSISTISERKOSIS
A. Pendahuluan
Neurosistiserkosis adalah penyakit infeksi yang menjadi endemik di beberapa
negara di belahan dunia yang disebabkan oleh Taenia solium. Diagnosis
Neurosistiserkosis mulai ditegakkan seiring dengan berkembangnya fasilitas
kesehatan, terutama modalitas pencitraan. Parasit Taenia solium memiliki 2
bentuk, intestinal tapeworm yang terdapat pada sistem gastrointestinal manusia,
dan bentuk larva yang disebut dengan sistiserkosis yang biasanya ditemukan pada

20
babi.
Neurosistiserkosis biasanya ditemukan di negara dengan higiene sanitasi
yang buruk. Beberapa negara merupakan negara endemik neurosistiserkosis, di
antaranya Amerika Latin, Sub Sahara Afrika, Cina dan beberapa negara di Asia
Tenggara seperti Indonesia.
B. Siklus Hidup Taenia solium

Taenia solium membutuhkan 2 inang (inang definitif dan inang perantara) dan 2
bentuk utama. Sistiserkosis ditemukan pada otot babi yang merupakan inang
perantara. Manusia merupakan inang definitif bagi cacing pita pada saluran cerna
(taeniasis] dengan mengonsumsi daging babi yang terkontaminasi dengan Taenia
solium. Setelah dicerna, scolex (atau kepala] melekat ke usus kecil dengan
menggunakan kait. Cacing pita ini kemudian bereproduksi seksual menghasilkan telur
dan menyimpan telur pada proglotid. Proglotid berkembang dari bagian dasar dari
scolex.
Sistiserkosis pada manusia terjadi ketika manusia termakan telur yang terdapat
pada babi. Seperti yang juga terjadi pada babi. Pada babi, telur menetas pada saluran
cerna, memasuki aliran darah, bermigrasi ke jaringan, termasuk otot, otak dan mata,
menjadi matang membentuk sistiserkosis. Kebanyakan studi epidemiologi
menunjukan kontak yang dekat atau mengkonsumsi daging babi yang tidak matang

21
sempurna berhubungan dengan neurosistiserkosis. Inang perantara (babi] juga bisa
menginfeksi dirinya sendiri, kemungkinan melalui jalur fekal oral, tapi sistiserkosis
tidak dapat diperoleh langsung dari daging babi.
C. Patogenesis dan Patologi
Walaupun sistiserkosis mencapai ukuran maksimal dalam beberapa minggu, terdapat
periode yang cukup lama antara infeksi dan onset. Terdapatnya parasit dalam sistem
saraf pusat tidak selalu bergejala. Hasil autopsi dari seseorang dengan sistiserkosis
terdapat sistiserkosis di otak yang mirip di otot babi. Pada otopsi pasien
neurosistiserkosis dengan keluhan utama kejang terlihat dominasi infiltrat inflamasi.
Sebuah studi mengelaborasi sejumlah molekul yang berperan dalam proses inflamasi.
Pada sebuah studi juga didapatkan bahwa kejang bukan disebabkan oleh parasit,
namun lebih disebabkan oleh granuloma yang terbentuk, sehingga dapat disimpulkan
bahwa kejang terjadi lebih disebabkan oleh respons host daripada parasit. Sistiserkosis
menginfiltrasi dan dikelilingi oleh sel-sel inflamasi host seperti eosinophil dan netrofil.
Temuan terkini mendapatkan substasi P adalah mediator kritikal untukkejang pada
neurosistiserkosis.
Pada pencitraan otak, invasi ke sistem saraf pusat dan perkembangan awal
neurosistiserkosis menunjukkan area edema fokal atau penyengatan. Terdapatnya
sistiserkosis tampak sebagai area kistik isodens. Dinding kista memiliki densitas yang
sama dengan parenkim otak dikelilingi oleh minimal edema dan penyengatan setelah
pemberian kontras. Saat sistiserkosis terinflamasi, maka edema akan semakin luas dan
terdapat peningkatan penyengatan. Cairan kista meningkatkan densitas CT scan. Saat
sistiserkosis menjadi fibrosis atau kolaps, studi pencitraan menunjukkan area
penyengatan fokal, yang diduga suatu granuloma. Sistiserkosis juga ditemukan pada
ventrikel dan mengapung pada CSS, sehingga dapat menyebabkan hidrosefalus
obstruksi.
Neuropatologi neurosistiserkosis menyimpan scolex invaginate yang dikelilingi
oleh cairan vesikular transparan. Sistiserkosis tetap bertahan pada fase ini sampai
bertahun-tahun, dan ia berdegenerasi setelah ada respons imun dari host. Saat
sistiserkosis memasuki sistem saraf pusat, mereka berada pada stadium vesikular,
dengan parasit.
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinis neurosistiserkosis sangat heterogen, tergantung kepada jumlah, ukuran,
fase dari parasit dan respons imun pasien. Kejang dan epilepsi merupakan gejala klinis
yang paling sering ditemukan. Beberapa gejala neurologis lain juga dapat ditemukan,
namun sering kali tidak dikenali sebagai bagian dari gejala neurosistiserkosis, terutama
di negara dengan sumber daya rendah yang belum memiliki fasilitas imaging.
Di bawah ini ada beberapa gejala klinis neurosistiserkosis yang paling sering

22
ditemui pada sebuah systematic review.

E. Diagnosis
Sulit untuk menegakan diagnosis karena gejala neurosistiserkosis hampir
menyerupai gejala gangguan neurologi lainnya. Hal ini menjadi dasar dibentuknya
sebuah konsensus untuk menegakkan diagnosis berdasarkan temuan neuroimaging,
serologi, riwayat klinis dan paparan. Pasien dengan satu kategori absolut atau 2
kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor atau kriteria epidemiologi dianggap
sebagai definit neurosistiserkosis. Sementara 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria
lain atau 2 kriteria minor ditambah riwayat terpapar dianggap merupakan probable
neurosistiserkosis.

23
F. Tata Laksana
Modalitas terapi pada kasus neurosistiserkosis seperti terapi simptomatik,
antiparasit, antiinflamasi dan terapi operatif. Terapi simptomatik yang paling sering
adalah untuk mengatasi kejang. Obat antikejang yang biasa dipakai adalah fenitoin
atau karbamazepin, walaupun saat ini levetiracetam atau okskarbazepin juga dinilai
cukup efektif, namun ketersediaannya cukup sulit. Studi neuroimaging dapat
digunakan untuk menilai prognosis kejang. Pasien dengan pemeriksaan pencitraan
menjadi normal setelah terapi dapat diberikan obat antikejang jangka pendek saja,
sementara hasil pencitraan yang masih menyisakan gambaran kalsifikasi perlu
pemberian antikejang jangka panjang.
Pemberian kortikosteroid untuk kasus-kasus yang mengancam jiwa, seperti
ensefalitis sistiserkosis, subaraknoid sistiserkosis, atau hidrosefalus.
Antiparasit: Praziquantel merupakan antiparasit pertama yang efektif. Sudah
digunakan secara luas sejak tahun 1980-an. Metabolismenya meningkat oleh
obat-obat antiepilepsi (fenitoin, karbamazepin] dan bisa dihambat dengan pemberian
simetidin. Dosis yang dianjurkan 50 mg/kgBB per hari dibagi menjadi 3 dosis
selama 14 hari.
Albendazole merupakan agen antihelmintik agen spektrum luas yang efektif
melawan nematoda dan cestoda. Dosis albendazole 15 mg/kgBB per hari dengan dosis
terbagi 2. Albendazole menghancurkan 75-90% kista di otak dan lebih superior
dibanding praziquantel, termasuk kemampuannya menghancurkan sistiserkosis di
meningen dan ventrikel. Pengontrolan kejang akan lebih mudah setelah pemberian

24
obat-obatan sistisid.
Antiparasit tidak dianjurkan bagi pasien yang dari studi pencitraan terdapat
gambaran kalsifikasi, yang menandakan parasit sudah tidak ada lagi.
Hidrosefalus sekunder akibat sistiserkosis araknoiditis memerlukan tindakan
shunting. Komplikasi yang dapat terjadi akibat tindakan ini adalah disfungsi shunting
yang meningkatkan angka kematian sekitar 50%.
G. Pencegahan
Infeksi pada manusia oleh cacing pita dewasa bisa dicegah dengan membekukan atau
memasak daging babi sampai matang. Selain itu juga dengan meningkatkan sanitasi
peternakan babi, sehingga babi tidak mengkonsumsi kotoran manusia.
H. Prognosis
Pengobatan dengan praziquantel dilaporkan keberhasilannya sebesar 99-100%.
Namun prognosis juga sangat dipengaruhi oleh lokasi dan jumlah lesi di otak.
Daftar pustaka
1. Scheld WM, Whitley RJ, Marra CM. Infection of the central nervous system,
4thed. Philadelphia: Lippincot; 2014.
2. Infeksi Sistem Saraf Pusat. Kelompok Studi Neuroinfeksi. Jakarta: PERDOSS1;
2011.
3. Flisser A. Epidemiology of Neurocystisercosis in Mexico: From a Public Health
Problem to Its control. 2013...
4. World Health Organization. Landscape analysis: Management Of
Neurocystisercosis With An Emphasis On Low And Middle Income Countries.
2015.
5. Carabin et al. Clinical Manifestation Associated with Neurocysticercosis: A
Systematic Review. PIos. 2011;5(5).
6. Del Brutto et al. Revised diagnostic criteria for neurocystisercosis: review article.
Journal of the Neurological Science. 2017;372:202-210.

25
BAB 3

ENSEFALITIS TOKSOPLASMA

Paulus Sugianto
Abdulloh Machin
Devi Ariani Sudibyo

26
ENSEFALITIS TOKSOPLASMA
I. KERANGKA MODUL
A. Kompetensi
Menegakkan diagnosis dan tata laksana ensefalitis toksoplasma, mencakup
epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik,
pemeriksaan penunjang dan interpretasinya, serta manajemen pengobatan terpadu.
B. Keterampilan
Peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
1. Menguasai mekanisme terjadinya ensefalitis toksoplasma
2. Identifikasi, anamnesis, dan diagnosis ensefalitis toksoplasma
3. Menguasai tata laksana dan pengelolaan pasien dengan ensefalitis
toksoplasma
4. Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada ensefalitis
toksoplasma
5. Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada ensefalitis toksoplasma

27
C. Persiapan Sesi
1. Ruangkuliah
2. Peralatan audiovisual
3. Kasus pembelajaran
4. Alat bantu latih ; alat bantu : sarung tangan, tutup mulut dan alat-alat lumbal pungsi
5. Materi presentasi
6. Penuntun belajar
7. Daftar tilik kompetensi
D. Gambaran Umum
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktik dan manajemen
infeksi susunan saraf pusat secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus
(case based learning]. Subjek yang dipelajari mandiri dan aktif oleh peserta didik
tentang terjadinya ensefalitis toksoplasma, diagnosis, dan evaluasi serta terapi
farmakologi.
1. Contoh Kasus
Kasus1
Laki-laki, 40 tahun, seorang supir bus antar kota dengan keluhan kejang. Hari ini
kejang 3 kali. Kejang baru pertama kali. Tipe kejang mata melirik ke kiri, lengan
dan tungkai kiri menghentak-hentak, durasi ± 1 menit, saat kejang pasien sadar.
Tidak didapatkan adanya aura. Pasien mengeluh nyeri kepala 1 bulan ini, bertambah
berat terutama di bagian dahi. Skala nyeri [NPRS] 5. Demam sejak 1 bulan ini
hilang timbul. Tidak didapatkan mual dan muntah, pandangan ganda, bicara pelo,
perot, kelemahan separuh badan dan rasa tebal. Didapatkan riwayat sakit gigi dan
radang tenggorokan 2 bulan lalu. Didapatkan tato pada punggung pasien. Merokok
2 pak/hari. Tidak didapatkan riwayat diabetes, hipertensi, kejang, kontak
TB. Kebiasaan seks bebas dan konsumsi minuman beralkohol disangkal.
Kasus 2
Laki-laki 41 tahun, seorang buruh bangunan dengan penurunan kesadaran sejak 12
jam yang lalu. Didapatkan nyeri kepala 3 hari yang lalu disertai mual muntah.
Demam sejak 2 minggu lalu dan 1 minggu ini sering melamun. Pasien mengalami
kelemahan separuh badan kanan sejak 3 hari lalu. Riwayat darah tinggi, diabetes,
stroke, narkoba dan konsumsi minuman beralkohol disangkal. Pasien sudah
berhenti merokok sejak 2 tahun ini. Pada gambaran CT scan kepala dengan kontras
didapatkan gambaran perifokal edema pada area thalamus kiri, kapsula interna,
basal ganglia hingga sentrum semiovale kiri yang menyebabkan penyempitan
ventrikel lateralis kiri dan midline shift ± 1,2 cm ke sisi kanan.

28
Kasus 3
Laki-laki, 39 tahun, seorang karyawan bank dengan keluhan kelemahan separuh
badan kiri sejak 1 minggu lalu, bertambah berat 2 hari ini. Pasien juga merasakan
demam sejak 1 bulan ini disertai dengan nyeri kepala. Nyeri kepala terus-menerus,
berkurang dengan minum obat. Riwayat batuk lama, penurunan berat badan
disangkal. Tidak didapatkan pelo, perot, rasa tebal, kejang. Pasien merokok sejak
SMA, 1 pak per hari. Riwayat diabetes, hipertensi, stroke disangkal. Kebiasaan seks
bebas dan konsumsi minuman beralkohol disangkal. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan hasil reaktif pada HIV rapid test.
2. Diskusi
a. Apakah ensefalitis toksoplasma dapat menyebabkan
kejang?
b. Apakah ensefalitis toksoplasma dapat menyebabkan
penurunan kesadaran dan peningkatan tekanan
intrakranial?
c. Apakah ensefalitis toksoplasma dapat menyebabkan hemiparesis dan nyeri
kepala?
3. Rangkuman
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara
anamnesis, pemeriksaan fisik neurologis, pemeriksaan
penunjang, diagnosis klinis, topis, etiologi, patologi anatomi
dan diagnosis banding
b. Kompetensi pengobatan dicapai dengan cara keragaman
epidemiologi berdasarkan usia, pungsi lumbal, empiris
E. Tujuan Pembelajaran
1. Mengetahui epidemiologi ensefalitis toksoplasma.
2. Mengetahui siklus hidup virus toksoplasma.
3. Mengetahui patogenesis infeksi virus toksoplasma pada SSP.
4. Mengetahui gejala klinis infeksi virus toksoplasma pada SSP.
5. Mengetahui pemeriksaan penunjang infeksi virus toksoplasma pada SSP.
6. Mengetahui cara mendiagnosis infeksi virus toksoplasma pada SSP.
7. Mengetahui cara pencegahan infeksi virus toksoplasma pada SSP.
8. Mengetahui komplikasi infeksi virus toksoplasma pada SSP.
9. Mengetahui prognosis infeksi virus toksoplasma pada SSP.
F. Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu
neurologi pada dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk

29
memiliki professional behavior.
1. Kasus untuk pembelajaran
Laki-laki, usia 36 tahun, dibawa ke rumah sakit dengan keluhan penurunan
kesadaran. Satu minggu sebelum masuk ke rumah sakit, pasien sering bicara
melantur, tidak menjawab sesuai dengan apa yang ditanyakan disertai kelemahan
separuh tubuh kanan. Lima hari sebelumnya pasien tampak diam dan tidak respons
ketika diajak bicara. Didapatkan riwayat nyeri kepala hebat yang dirasakan di
seluruh bagian kepala sejak 2 minggu yang lalu. Pasien bekerja sebagai supir truk
sebuah perusahaan ekspedisi barang dengan riwayat seks bebas.
2. Dari hasil pemeriksaan fisik:
a. Kesadaran somnolen
b. Tekanan darah 100/70 raraHg
c. Frekuensi nadi 108 x/menit
d. Respirasi 28 x/menit
e. Suhu37,8°C
/ Didapatkan candidiasis oris
g. Jantung dan paru dalam batas normal
h. Abdomen supel, hepar dan lien tidak teraba
i. Ekstremitas tidak ada edema, terdapat tato di lengan kanan
j. Status neurologis :
• Glasgow Coma Scale E 3 V 2 M 5
• Status mental belum dapat dinilai
• Tanda rangsang meningeal negatif
• Pupil isokor, refleks cahaya positif/positif
• Nervus kranialis: parese N. VII kanan tipe UMN
• Motorik: hemiparesis dekstra

30
• Sensorik belum dapat dinilai
• Refleks fisiologis ++/++
• Refleks patologis -/-
• Klonus -
• Saraf otonom dalam batas normal
3. Hasil pemeriksaan penunjang:
a. Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, hitung jenis
leukosit, laju endap darah, CD4, tes HIV
b. Pemeriksaan foto thoraks
c. Pemeriksaan CT scan kepala dengan kontras
4. Monitoring
a. Kesadaran
b. Tanda vital
c. Defisit fokal
5. Diskusi
a. Apakah penurunan kesadaran dapat terjadi pada ensefalitis
toksoplasma?
b. Apakah hemiparesis dapat terjadi pada ensefalitis
toksoplasma?
c. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
penunjang?
d. Bagaimanakah tata laksana ensefalitis toksoplasma?
e. Apakah terapi antiretroviral diberikan segera atau setelah
berapa lama pengobatan ensefalitis toksoplasma?
6. Rangkuman
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara:
• Anamnesis
• Pemeriksaan fisik/neurologis
• Diagnosis banding
• Diagnosis (Minis, topis, etiologi, patologi anatomi)
• Pemeriksaan penunjang

31
• Sistem rujukan
b. Penilaian kompetensi
• Hasil observasi selama alih pengetahuan dan
keterampilan

II. MATERI BAKU ENSEFALITILIS TOKSOPLASMA


A. Pendahuluan
Ensefalitis toksoplasma ini merupakan infeksi yang disebabkan oleh Toxoplasma
gondii dan jaringan otak. Toksoplasma ini merupakan parasit intraseluler yang
obligat. Infeksi yang ditimbulkan memberikan gambaran klinis yang amat bervariasi
baik pada manusia maupun pada hewan. Toksoplasma ini mempunyai host definitif
pada kucing. Sering kali infeksi toksoplasma ini disebabkan oleh reaktivasi dari
penyakit yang telah ada sebelumnya. Pada umumnya menyerang penderita dengan
sistem imun yang menurun. Dengan makin meningkatnya jumlah penderita
HIV/AIDS, maka jumlah kasus ensefalitis toksoplasma ini juga makin meningkat.
Pada penderita dengan sistem imun yang baik, infeksi toksoplasma ini biasanya
tidak memberikan gejala (asimptomatik), hanya pada sebagian kecil akan
menimbulkan gejala limfadenitis, korioretinitis, miokarditis ataupun polimiositis.
Sekitar 3-40% dari penderita AIDS menderita ensefalitis toksoplasma, hal ini
bergantung kepada daerah masing-masing1. Infeksi ini sering kali merupakan
komplikasi pada penderita HIV stadium lanjut dan biasanya terjadi pada saat kadar
CD45. Kelainan ini pada umumnya disebabkan reaktivasi dari lesi di sistem saraf
pusat atau karena penyebaran hematogen pada infeksi yang sudah ada sebelumnya.
Pada umumnya didapatkan lesi fokal di parenkim otak.
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat dan negara Eropa angka seroprevalensi meningkat sesuai dengan
usia dan kontak yang ada. Di Amerika Serikat seroprevalensi pada usia 10-19 tahun
berkisar 5-30% dan pada usia di atas 50 tahun berkisar 10-67% dan diperkirakan
seroprevalensi ini akan meningkat sekitar 1% setiap tahunnya 3. Insiden penyakit ini
sangat menurun setelah penggunaan highly
active antiretroviral therapy (HAART] untuk pengobatan penderita HIV6.
C. Siklus Hidup
Terdapat 2 macam siklus hidup dari Toxoplasma gondii ini, yaitu siklus seksual yang
terjadi pada host definitif (kucing) dan siklus aseksual yang terjadi pada host sekunder
(mamalia yang lain, termasuk manusia dan pada beberapa jenis burung] dan terjadi
ekstraintestinal.
Pada kondisi yang menguntungkan, misalnya panas dan lembab, maka terjadilah
sporogoni di dalam ookis. Ookis yang mengalami sporulasi bersifat menular dan bila

32
termakan oleh rodensia (hewan pengerat], kucing atau binatang kecil lainnya akan
mengeluarkan sporozoit di dalam usus halus, sporozoit ini akan berpenetrasi di dinding
usus melakukan replikasi dan menyebar secara hematogen pada hampir semua
jaringan. Sekali berada di dalam sel, maka sporozoit ini akan membelah sampai sel
inangnya robek dan melepaskan sporozoit yang akan menginfeksi sel-sel di sekitarnya.
D. Patogenesis3-7
Dalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi tinja kucing yang
terinfeksi atau melalui ookis yang mengkontaminasi makanan kurang masak yang
terbawa oleh kecoak atau lalat atau dapat pula disebabkan karena memakan daging
(sapi, kambing atau babi) yang kurang masak.
Sering juga terjadi penularan melalui plasenta. Setelah memasuki usus, maka
dinding kista akan dirusak oleh enzim pencernaan dan akan dilepaskan sporozoit yang
bentuknya lonjong dan kecil. Sporozoit ini akan membentuk tachyzoit dan bradyzoit
(terdapat dalam jaringan dan berkembang lambat]. Tachyzoit ini akan menginduksi
pembentukan IgA yang spesifik terhadap adanya parasit [parasite spesific secretory
IgA response). Dari dalam usus parasit ini akan menyebar ke berbagai organ, terutama
ke jaringan limfe, otot skelet, miokard, retina, plasenta dan sistem saraf pusat. Parasit
akan menginfeksi sel dan bereplikasi yang akan mengakibatkan kematian dari sel, serta
terjadinya nekrosis fokal yang dikelilingi dengan inflamasi di sekitarnya.
Pada penderita yang imunokompeten, baik sistem imun seluler maupun humoral
akan mengontrol infeksi yang terjadi. Infeksi Toxoplasma gondii ini akan merangsang
dengan kuat pada Th-1 untuk memproduksi sitokin proinflamasi yaitu IL-12,
interferon y, TNF-a. Sitokin proinflamasi ini dan mekanisme imunologi yang lain akan
menghambat replikasi tachyzoit dan perubahan patologi yang lain. Setelah masuk ke
dalam enterosit Toxoplasma gondii akan menginfeksi APC [Antigen Presenting Cell)
lamina propria usus dan menginduksi terjadinya respons lokal Th-18.
T limfosit CD4+ dan CD8+ yang tersensitisasi bersifat sitotoksik terhadap sel
yang telah terinfeksi oleh Toxoplasma gondii dan akan menghancurkan parasit yang
berada di ekstraseluler, serta sel yang terinfeksi. Setelah fase akut ini lewat, maka akan
terdapat bradizoit di dalam jaringan, terutama di sistem saraf pusat dan retina. Belum
diketahui mekanisme terjadinya toksoplasma yang dapat bertahan hidup dalam
makrofag jaringan.
Pada penderita yang imunokompeten penyakit ini tidak membahayakan,
sedangkan pada penderita dengan penurunanan kekebalan penyakit ini akan
membahayakan, terutama pada penderita dengan kelainan pada sel T limfosit. Seperti
pada janin, keganasan pada darah, sumsum tulang, penderita transplantasi organ, bayi
baru lahir, dan penderita dengan penurunan kekebalan, misalnya HIV/AIDS. Lesi yang
terjadi pada umumnya di mata, otak dan organ-organ yang lain.

33
Kerusakan pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii
memberikan gambaran yang khas, yaitu lesi yang banyak/multipel dengan nekrosis
luas dan nodul mikroglia. Pada bayi (infant) adanya gambaran nekrosis dan vaskulitis
pada daerah periventrikular dan periaquaduktus merupakan ciri khas toksoplasma.
Area nekrotik ini dapat mengalami kalsifikasi dan memberikan gambaran radiologis
yang nyata, tapi tidak khas untuk toksoplasma. Apabila terjadi penyumbatan pada
aquaductus Sylvii atau foramen Monroe dapat mengakibatkan terjadinya hidrosefalus.
Tachyzoit dan kista berada di dekat area nekrotik atau nodul glia, area perivaskuler
akan tetapi jaringan serebrum tidak berubah oleh karena inflamasi.
Gambaran abses yang multipel merupakan gambaran khas ensefalitis
toksoplasma pada penderita dengan defisiensi imun yang berat.
Manifestasi klinis yang terjadi sering kali berupa korioretinitis dan
meningoensefalitis. Setelah pandemi HIV/AIDS pada awal tahun 1980 toksoplasmosis
menjadi salah satu penyebab tersering lesi massa di serebral.
E. Gejala Klinis
Gejala klinis infeksi toxoplasma tergantung kepada sistem imun penderita. 80% kasus
primer tanpa gejala (asimptomatik) 3. Masa inkubasi periode berlangsung sekitar 1-2
minggu, yang selanjutnya baik yang timbul gejala ataupun tanpa gejala akan berlanjut
menjadi fase kronik. Biasanya gejala klinis fase akut yang timbul tidak khas, gejala
klinis yang paling sering adalah limfadenopati servikal, kadang didapatkan sedikit
peningkatan suhu tubuh, nyeri otot, nyeri telan, sakit kepala, urtika, kemerahan pada
kulit dan hepatosplenomegali, sehingga perlu pemeriksaan yang lebih cermat. Pada
penderita yang simptomatik ini gejala biasanya akan menghilang dalam waktu
beberapa bulan9. Reaktivasi dari infeksi ini dapat terjadi apabila terdapat penurunan
kekebalan dari penderita.
Reaktivasi dari penyakit akan menimbulkan berbagai gejala dan diperkirakan
sekitar 50% dari penderita ini menderita ensefalitis toksoplasma dengan gejala klinis
berupa ensefalitis, meningoensefalitis atau suatu lesi massa pada otak.
Gejala klinis dari ensefalitis toksoplasma dapat berupa gangguan status mental,
panas badan yang dapat terus menerus atau hilang timbul, sakit kepala, defisit
neurologis fokal, gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, kadang didapatkan
kejang, gangguan penglihatan, selain itu dapat pula didapatkan tanda iritasi selaput
otak. Terjadinya defisit neurologis fokal adalah akibat adanya lesi massa intrakranial,
seperti hemiparese, afasia, parese nervus kranialis, kejang fokal, defisit sensoris,
kadang juga didapatkan adanya gerakan involunter, seperti distonia, chorea, athethosis,
hemibalismus dan mioklonus. Pada beberapa penderita dapat timbul pneumonia dan
miokarditis. Sering kali didapatkan gejala meningoensefalitis seperti kejang, gangguan
mental, iritasi meningeal, koma dan pleositosis limfositik atau peningkatan protein

34
LCS.
Sedangkan manifestasi klinis toksoplasma yang timbul pada penderita
HIV/AIDS biasanya bersifat subakut dapat mengenai sistem saraf pusat dengan gejala
lesi fokal (58-89%) atau bukan lesi fokal. Pada sekitar 15-25% kasus dapat terjadi
kejang atau perdarahan otak yang sifatnya mendadak. Gejala yang sering tampak
berupa nyeri kepala, defisit neurologis fokal yang berupa kelemahan satu sisi tubuh
(lateralisasi) dan gangguan bicara dapat disertai panas ataupun tanpa panas 10,
sedangkan gejala lain yang juga sering didapatkan berupa gangguan mental, kejang,
gangguan saraf kranialis, gangguan gerakan [movement disorders) dan gejala
neuropsikiatri, seperti paranoid, psikosis, demensia, cemas, dan agitasi dapat juga
merupakan gejala utama.
Apabila lesi timbul pada batang otak maka akan timbul gangguan pada saraf
kranial, disorientasi, penurunan kesadaran dan bahkan sampai koma. Terkadang
didapatkan gejala parkinsonism, distonia fokal, tremor, hemikorea, hemibalismus,
diabetes insipidus, panhypopituitarism, syndrome of inappropriate antidiuretic
hormone (SIADH).
Lesi pada medulla spinalis memberikan gejala klinis yang menyerupai tumor
pada medulla spinalis, dapat berupa gangguan motorik atau sensoris pada satu atau
beberapa anggota gerak, disfungsi bladder atau bowel atau keduanya disertai
timbulnya nyeri lokal.
F. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pasti adalah dengan ditemukannya Toxoplasma gondii dalam darah,
jaringan, atau cairan tubuh. Pemeriksaan antibodi terhadap toksoplasma seperti
Imunoglobulin (Ig] M untuk mendeteksi adanya infeksi akut pada minggu pertama,
dan titer IgM toksoplasma ini akan menurun setelah minggu pertama. Pemeriksaan
IgM antibodi dengan menggunakan ELISA bersifat lebih sensitif dan dapat
menunjukkan adanya infeksi dalam 2-3 bulan10. Untuk fase kronik dapat dilakukan
pemeriksaan IgG avidity11 yang akan masih tampak dalam beberapa bulan12.
Pemeriksaan pungsi lumbal pada fase akut pada penderita dengan dugaan adanya
meningoensefalitis atau ensefalitis toksoplasma didapatkan gambaran adanya
peningkatan tekanan intrakranial, pleiositosis mononuklear (10-50 sel/mL], sedikit
adanya peningkatan kadar protein, kadar glukosa biasanya normal dan PCR
Toxoplasma gondii yang positif. Akan tetapi pada fase kronik pemeriksaan pungsi
lumbal tidak memberikan diagnostik yang berarti 3.
Pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras didapatkan gambaran isodens atau
hipodens area di beberapa tempat dengan predileksi pada basal ganglia atau pada
corticomedullary junction disertai edema yang memberikan efek massa (edema
vasogenik). MRI kepala tanpa atau dengan kontras dapat memberikan gambaran yang

35
lebih jelas daripada CT scan, Sering kali didapatkan gambaran lesi ini bervariasi dari 1
cm dan dapat sampai lebih dari 3 cm. Gambaran MRI tampak adanya lesi dengan
gambaran adanya cincin yang multipel, walaupun pada beberapa kasus didapatkan lesi
tunggal. Pada penambahan kontras didapatkan gambaran cincin, padat atau bentukan
nodul yang jelas (menyengat kontras)1314.

G. Diagnosis
Diagnosis berdasarkan kepada gejala klinis, tingkat risiko, pemeriksaan IgG
terhadap Toxoplasma gondii dan hasil dari pemeriksaan radiologi yang menunjang,
selain itu dugaan diagnosis dapat pula didasarkan adanya respons klinis pengobatan
terhadap toksoplasma. Sebagai diagnosis banding dari kelainan ini adalah, tumor
metastasis, tuberkuloma, abses otak. Untuk membedakan dengan PCNSL dapat
dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 Diagnosis Banding antara Ensefalitis Toksoplasma dengan
PCNSL14.

36
H. Penatalaksanaan
Pemberian terapi kortikosteroid sebagai terapi tambahan untuk mengatasi
edema16, akan tetapi apabila ensefalitis toksoplasma ini terjadi karena adanya
infeksi oportunistik, maka harus dipertimbangkan pemberian kortikosteroid. Pada
kasus ini sebaiknya hanya diberikan untuk jangka pendek, agar tidak mengurangi
imunitas penderita.
Terapi empiris ensefalitis toksoplasma dapat diberikan pada penderita HIV
dengan CD4 yang kurang dari 100/mm3 dan didapatkan gambaran abses otak
dengan seropositif dari Toxoplasma2.
Terapi fase akut3-101718, selain ini dapat pula digantikan preparat lain
sebagai alternatif, yaitu trimethoprim sulfamethoxazole 5 mg/kg/12 jam (dosis
maksimum 15-20 mg/kg/hari), azithromycin (1,2-1,5 g/hari], clarithromycin 1000
mg diberikan per oral tiap 12 jam atau atovaquone 1,5 mg per oral tiap 12 jam,
minocyclin 150-200 mg diberikan tiap 12 jam atau doksisiklin diberikan 300-400
mg/hari. Kombinasi pemberian pyrimethamin dengan sulfadiazin
dibandingkan kombinasi pyrimethamin dengan clindamycin memberikan
hasil yang tidak berbeda19.

37
Gambar2 Algoritma Tata Laksana Lesi Massa Intrakranial pada Penderita
HIV/AIDS
Terapi fase perawatan10'14' erapat kali per hari dan juga diberikan asam folat
bersama-sama. Apabila penderita tidak tahan atau alergi terhadap sulfadiazine dapat
diganti dengan clindamycin 1200 mg diberikan 3 kali per hari. Pada penderita yang
mendapat terapi HAART, terapi perawatan ini dapat dihentikan apabila
kadar CD4 lebih 200/|iL selama 3 bulan pencegahan primer dan selama 6 bulan
pencegahan sekunder.
Pada penderita dengan diagnosis presumtif dapat diterapi dengan sulfadiazine
oral (mulai 4 g, kemudian dilanjutkan 4-6 g tiap hari] dan pyrimethamin (mulai 200mg,
kemudian 50-100mg tiap hari]. Leukovorin, 15-20mg harus diberikan setiap hari untuk
mengurangi efek antifolat dari pyrimethamin. Pengobatan harus diberikan selama
minimal 6 minggu. Pada penderita dengan AIDS, terapi pada dosis rendah dilanjutkan
hingga CD4 melewati 200-250/(iL selama 6 bulan atau lebih, terapi harus diberikan

38
sepanjang hidup untuk mencegah relaps.
I. Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan cara menghindari makanan yang tidak dimasak atau,
maka tempat kotoran untuk kucing harus dicuci dan dibersihkan setiap hari dan harus
mencuci tangan setelah membersihkannya. Mengusahakan agar kucing peliharaan
tetap di rumah. Cuci tangan setelah bekerja di kebun atau sesudah membersihkan
tempat kotoran kucing.
Untuk pencegahan primer ini dapat diberikan pyrimethamine dengan
sulfadiazine dan apabila penderita mengalami alergi terhadap sulfadiazine, maka dapat
digunakan pyrimethamine dengan clindamycin. Pilihan kedua dapat menggunakan
trimethoprim sulfametoxazole atau dapat juga menggunakan pyrimethamine dengan
dapsone, pilihan yang lain adalah pyrimethamine dengan atovaquone. Profilaksis
monoterapi dengan menggunakan pyrimethamine atau dapsone atau azithromycin atau
clarithromycin tidak dianjurkan, karena penggunaan profilaksis monoterapi tidak akan
memberikan hasil yang memadai untuk pencegahannya.
Pencegahan sekunder selesai apabila penderita sudah tidak tampak gejala
(asimptomatik) dan kadar CD4+ > 200/JUL selama 6 bulan setelah pemberian
antiretroviral.
J. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi kadang berupa kejang, defisit neurologis fokal dan penurunan
kesadaran. Pada toksoplasma kongenital dapat terjadi banyak komplikasi, antara lain
retardasi mental, kejang, tuli, dan kebutaan.
K. Prognosis
Pada umumnya prognosis baik, sehingga prognosisnya baik. Angka kematian berkisar
1-25% pada penderita yang mendapatkan penanganan dengan baik. Pada penderita
dengan defisiensi imun, terdapat kemungkinan terjadinya kekambuhan bila
pengobatan profilaksis dihentikan.
Daftar Pustaka
1. Cabre P, Smadja D, Newton CRJC, et ah. HTLV-1 and HIV infections of the
central nervous system in tropical area. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2000; 68:
550-557
2. Johnson RT, Griffin JW, McArthur JC: Current Therapy in Neurologic disease
7th edition. Mosby Inc, Philadelphia; 2006: 144-154.
3. Kasper LH: Toxoplasma infections. In Fauci AS, Braunwald D, Kasper DL:
Harrison's Principles of Internal Medicine 17th ed. McGraw Hill Companies,
Inc, New York; 2008: 1305-1311.
4. Power C, Gill MJ, Johnson RT. Progress in clinical neurosciences: The
neuropathogenesis of HIV infection: host-virus interaction and the impact of
therapy. Can ] NeurolSci. 2002 Feb;29(l):19-32.

39
5. Aminoff MJ, Daroff RB: Encyclopedia of the Neurological Sciences Vol 4.
Academic Press, San Diego; 2003: 544-549.
6. Maschke M, Kastrup 0, Esser S, et ah Incidence and prevalence of neurological
disorders associated with HIV since the introduction of highly active
antiretroviral therapy [HAARTJ./ Neurol Neurosurg Psychiatry 2000;
69:376-380.
7. Montoya JG, Liesenfeld 0 : Toxoplasmosis. The Lancet Vol 363; June 12,2004:
1965-1976.
8. Chardes T, Buzoni-Gatel D, Lepage A, et al : Toxoplasma gondii oral infection
induces spesific cytotoxic CD8ot/p+ Thy-1+ gut intraepithelial lymphocytes ,
lytic for parasite-infected enterocytes. J. Immunol 1994; 198: 1819-1829.
9. Goldsmith RS: Infectious Diseases: Protozoal & Helminthic. In Tierney LM,
McPhee SJ, Papadakis MA: Current Medical Diagnosis and Treatment. Prentice
Hall International, Inc; 1998:1324-1387.
10. Verma A: Infection of the nervous system. In Bradley WG, Daroff RB, Fenichel
GM et al : Neurology in Clinical Practise. Principles of Diagnosis and
Management 4th ed, Vol. I Butterworth Heinemann, Philadelphia; 2004:
1471-1630.
11. Remington JS, Thulliez P, Montoya JG: Recent Developments for Diagnosis of
Toxoplasmosis. J Clin Microbiol. 2004 March; 42(3): 941-945.
12? Lappalainen M, Hedman K. Serodiagnosis of toxoplasmosis. The impact of
measurement of IgG avidity. Ann 1st Super Sanita. 2004;40(l):81-8.
13. Sklar EML, Ruiz A, Quencer RM : Structural neuroimaging. In Bradley WG,
Daroff RB, Fenichel GM et al : Neurology in Clinical Practise. Principles of
Diagnosis and Management 4th ed, Vol. I Butterworth Heinemann, Philadelphia;
2004: 521-597.
14. Brust J. CM: Current Diagnosis and Treatment Neurology. Lange Medical
Book/Mc-Graw Hill, New York; 2007: 462-476.
15. Fauci A.S, Lane HC: HIV Neurology. In Hauser SL, et al: Harrison's Neurology
in Clinical Medicine. Mc-Graw Hill Companies, Inc, San Francisco; 2006:
467-480.
16. Weller IVD, Williams IG: ABC of AIDS. Treatment of Infections. BMJ
2Q01;322: 1350-4.
17. Protozoal Infection. Kasper DL, Braunwald E, Fauci A.S, et ah Harrison's
Manual of Medicine 16th ed. The McGraw-Hill Co, New York; 2005: 569-580.
18. Marra CM: Infection of the Central Nervous System. In Samuels MA: Manual of
neurologic therapeutics 7th ed. Lippincot Williams & Wilkins, Boston; 2004:
520-540.

40
19. Dedicoat M, Livesley N. Management of toxoplasmic encephalitis in
HIV-infected adults - a review. S Afr Med J. Jan 2008; 98(1): 31-2.
20. Hammers SM: Management of Newly Diagnosed HIV Infection. NEJM; 2005:
353; 16:1702-1710.
21. Rooper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and Victor's principles of Neurology
tenth edition. Mc-Graw Hill, New York; 2014: 978-0-07-180091-4.

41
BAB 4

MENINGITIS TUBERKULOSIS
A Rizal Ganiem Sofiati Dian

42
MENINGITIS TUBERKULOSIS

I. KERANGKA MODUL
A. Kompetensi Yang Hendak Dicapai
1. Menegakkan diagnosis dan tata laksana meningitis tuberkulosis [meningitis TB]
mencakup epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, patofisiologi, gambaran
klinik, pemeriksaan penunjang dan interpretasinya.
2. Memahami keterkaitan meningitis TB dengan infeksi HIV dan dapat
menyelenggarakan manajemen pengobatan terpadu.
B. Keterampilan
Setelah mempelajari modul ini, peserta didik diharapkan dapat memiliki keterampilan:
1. Menguasai mekanisme terjadinya meningitis TB, dan kaitan antara meningitis TB
dengan infeksi HIV.
2. Memahami cara menegakkan diagnosis meningitis TB, mencakup anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang; dapat menentukan diagnosis
definite dan probable/possible melalui sistem skoring yang sudah disepakati.
3. Memahami kepentingan pengambilan spesimen cairan serebrospinal (CSS) untuk
diagnosis meningitis secara umum, dan secara khusus meningitis TB.
4. Memahami pengelolaan spesimen CSS untuk diagnosis meningitis TB, dan
memahami prinsip pemeriksaan bakteriologi yang tersedia.
5. Dapat mendeskripsikan perbedaan profil CSS penderita meningitis TB
dibandingkan dengan meningitis karena sebab lain.
6. Menguasai tata laksana meningitis TB, mencakup pemberian oral antituberculosis
(OAT], steroid dan antiretroviral (ARV) pada pasien meningitis TB dengan
koinfeksi HIV.
7. Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada meningitis TB, dan
memahami indikasi operasi pada kasus meningitis TB.
8. Melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi kepada pasien/keluarga terkait
penyakit meningitis TB.
9. Melakukan konseling pemeriksaan HIV dengan pendekatan Provider-Initiated
Testing and Counseling (PITC).
10. Membangun kerja sama dengan teman sejawat dari disiplin
ilmu lain serta dengan profesi pemberi pelayanan kesehatan
lain.
Mengembangkan kompetensi
Perlu pembagian waktu pengembangan kompetensi (kegiatan dalam kelas, kegiatan
dengan fasilitasi pembimbing) -> akan dilengkapi
C. Persiapan Sesi

43
1. Kasus pembelajaran
a. Contoh kasus meningitis TB
b. Status pasien rawat inap/rawat jalan pasien dengan
meningitis TB
2. Alat bantu latih:
a. Peralatan dan perlengkapan pungsi lumbal
b. Contoh CT scan khas untuk meningitis TB (Penyangatan
basal, hidrosefalus, infark)
c. Formulir sistem storing marais
3. Materi presentasi
4. Penuntun belajar
5. Daftar tilik kompetensi
6. Lembar umpan balik
7. Contoh soal
D. Tujuan Pembelajaran
1. Mengetahui epidemiologi meningitis TB.
2. Mengetahui patogenesis dan patofisiologi meningitis TB.
3. Mengetahui gejala dan tanda meningitis TB.
4. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis meningitis
TB, khususnya pengambilan spesimen CSS dan pemeriksaan neuroradiologi (CT
scan/MRl).
5. Mengetahui kriteria diagnosis dan sistem skoring diagnosis meningitis TB.
6. Mengetahui pengobatan meningitis TB, mencakup pemberian obat anti tuberkulosis
(OAT], steroid, dan ARV pada pasien koinfeksi HIV-TB.
7. Mengetahui komplikasi dan indikasi operasi pada meningitis TB.
8. Mengetahui prognosis meningitis TB.
Tujuan akhir dari pembelajaran adalah pencapaian kompetensi dan pengamalan
ilmu neurologi sehingga dihasilkan spesialis yang memiliki perilaku profesional yang
ditunjukkan dengan
1. Advokasi kesehatan
2. Profesionalisme
3. Performance
E. Metode Pembelajaran
Kasus untuk metode pembelajaran

44
1. Kasus 1
Seorang wanita, usia 37 tahun dibawa keluarga ke UGD rumah sakit dengan
keluhan utama penurunan kesadaran memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit (SMRS)
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien menurun kesadaran pasien perlahan sejak 3 hari SMRS. Awalnya pasien
bicara tidak nyambung namun masih buka mata spontan. Sejak 1 hari SMRS pasien
menjadi lebih banyak tertidur dan tidak menjawab pertanyaan, kadang terlihat
gelisah.
Sejak 3 bulan SMRS, pasien mengeluhkan adanya nyeri kepala yang semakin
memberat 1 bulan terakhir. Keluhan juga disertai demam tidak terlalu tinggi, hilang
timbul. Pasien belum berobat. Saat dibawa ke RS tampak adanya kelemahan
anggota gerak kanan. Baal-baal anggota gerak sebelah (-], muntah (-), kejang (-],
keluhan bicara pelo (+], mulut mencong (-), keluhan pandangan ganda/gelap
sesaat/pusing berputar/telinga berdenging/baal seputar mulut (-). Pasien masih
diberi makan dan minum lewat mulut di rumah dan tidak tersedak.
Riwayat Penyakit Dahulu:
a. Riwayat batuk-batuk lama, penurunan berat badan, keringat
malam disangkal
b. Riwayat TB organ lain atau kontak TB disangkal
c. Riwayat keluar cairan dari telinga, gigi berlubang, dikorek-
korek disangkal
d. Riwayat tato, seks bebas, narkoba suntik disangkal
e. Riwayat trauma kepala disangkal
f. Keluhan DM/hiperurisemia/hiperkolesterolemia/penyakit
jantung/penyakit ginjal disangkal
g. Riwayat stroke /transient ischemic attack disangkal
h. Riwayat kejang [-) Diskusi
a. Apakah hal yang perlu ditanyakan dalam anamnesis dan
diperiksa dalam pemeriksaan fisik?
b. Apakah diagnosis dan diagnosis banding?
c. Pemeriksaan penunjang apa saja yang menunjang
diagnosis?
d. Bagaimana interpretasi pemeriksaan penunjang?
e. Bagaimana patogenesis terjadinya gejala neurologi pada
pasien ini?
f. Bagaimana penatalaksanaan pasien ini? Apa saja yang perlu
menjadi pertimbangan?
g. Bagaimana follow up pasien ini?

45
h. Kapan dinyatakan sembuh? Apa indikator yang bisa dipakai?
i. Faktor-faktor apa saja yang bisa memperburuk prognosis?
2. Kasus 2
Seorang pria, 28 tahun, dibawa ke RS karena kelemahan anggota gerak sisi kiri
sejak 1 minggu SMRS. Keluhan pertama kali muncul 3 minggu SMRS, berupa nyeri
kepala yang dirasakan di seluruh bagian kepala, terus-menerus, terasa ditusuk tusuk,
intensitas sedang (vas 4-5) semakin lama tidak semakin bertambah. Nyeri kepala
terutama di bagian belakang kepala, tidak berkurang dengan istirahat dan minum
obat, fotofobia [-). fonofobia [-]. Pasien tetap sadar, keluhan muntah [+) tidak
menyemprot, didahului mual, kejang (-).
Keluhan disertai demam yang mulai dirasakan 3 bulan SMRS, tidak terlalu tinggi,
terutama sore dan malam hari. Batuk sejak 2 bulan, berdahak putih. Karena keluhan
nyeri kepalanya pasien minum obat antinyeri hingga 4 tablet/hari. Keluhan juga
disertai lemah anggota gerak kiri dan sesak nafas sejak 1 minggu SMRS. Keluhan
pandangan ganda/gelap sesaat/pusing berputar/telinga berdenging/baal seputar
mulut disangkal. Pasien berobat ke RS Paru 2 hari SMRS, di lakukan foto dada,
dikatakan TB paru, diberi obat yang membuat kencing jadi merah. Karena
keluhannya tidak berkurang, pasien ke RSHS.
Riwayat Penyakit Dahulu :
a. Riwayat batuk lama (+) disertai sesak/keringat malam (+) sejak 3 bulan/penurunan
BB (+] hingga 20 kg selama 1 bulan/KP [+), diketahui 2 hari sebelumnya, minum
OAT kategori I sudah 2 hari.
b. KontakKP(-)
c. Riwayat DM disangkal, gejala sering haus (+], sering kencing (+), sering lapar (+),
gatal pada kemaluan [-), mudah lelah(-]
d. Riwayat narkoba suntik/seks bebas disangkal, tattoo tidak
ada.
e. Riwayat nyeri telinga/gangguan pendengaran/keluar cairan dari telinga/telinga
dikorek hingga berdarah (-)
f. Riwayat nyeri kepala kronik progresif (-)
g. Riwayat trauma kepala (-)
h. Riwayat stroke/TIA sebelumnya (-)
i. Riwayat penyakit jantung/DM/ginjal/asam urat/kolesterol
(-) Diskusi
a. Apakah yang perlu ditanyakan dalam anamnesis dan diperiksa dalam pemeriksaan
fisik terkait diagnosis dan terkait komplikasi

46
b. Apakah diagnosis dengan menyebutkan komplikasi yang terjadi dan diagnosis
banding
c. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis, jik perlu pemeriksaan
tambahan terkait komplikasi
d. Bagaimana interpretasi pemeriksaan penunjang
e. Bagaimana patogenesis terjadinya komplikasi pada pasien
f. Bagaimana terapi pada pasien ini?
g. Bagaimana follow up terapi pada pasien ini?
Evaluasi
Evaluasi mencakup pencapaian jumlah kasus meningitis TB selama proses
pembelajaran sesuai standar dari KNI dan evaluasi kompetensi kognitif
a. Evaluasi kompetensi kognitif mencakup
• Portofolio: sesuai jumlah kasus minimal (standar KNI)
• Esai: 3-5 pengetahuan teoretis
• MCQ: 15 - 20 soal penngetahuan teoretis
• Ujian lisan
• Ujian pasien
• Presentasi kasus dan diskusi selama prose pembelajaran
b. Evaluasi keterampilan mencakup
• DOPS (termasuk DOPS tindakan pungsi lumbal)
• Mini-CEX: melihat kemampuan pemeriksaan Fisik anamnesis, atau
keterampilan klinis lain
3. Contoh soal MCQ
♦ Seorang pria 32 tahun datang dengan keadaan tidak sadar (sopor). Pada pemeriksaan
didapat kaku kuduk, funduski normal. Hasil CT scan kepala menunjukkan intensitas
yang menyangat kontras di seputar Circulus willisi.
Apakah diagnosis yang paling mungkin pada penderita ini?
A. Meningitis
B. Perdarahan subarachnoid
C. Hidrosefalus obstruktif
D. Perdarahan otak
E. Tumor otak
♦ Seorang wanita, 24 tahun, dibawa ke RS Hasan Sadikin dengan keluhan utama
penurunan kesadaran. Keluhan dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit
Didapatkan riwayat panas badan yang tidak terlalu tinggi disertai nyeri kepala sejak

47
2. Jika dari pemeriksaan radiologi tidak dijumpai adanya lesi desak ruang, apakah
penyebab hemiparesis yang paling mungkin pada pasien ini?
A. Arteritis
B. Hidrosefalus
C. SIADH
D. Sumbatan sistem ventrikel
E. Perdarahan intraserebral

48
II. MATERI BAKU MENINGOENSEFALITIS
TUBERKULOSIS

A. Pendahuluan
Tuberkulosis penyakit yang menimbulkan masalah kesehatan masyarakat. WHO
memperkirakan terdapat 10 juta (9-11 juta] orang menderita TB pada tahun 2017,
90% merupakan pasien usia dewasa. Indonesia merupakan negara ke-3 dengan
jumlah kasus tuberkulosis terbanyak di bawah India dan Cina, sebanyak 2/3 penderita
TB tersebar di beberapa negara (Tabel l]. 1 Sebanyak 1-6% kasus TB manifes sebagai
TB ekstraparu, dan meningitis TB merupakan manifestasi infeksi tuberkulosis yang
paling berat, menimbulkan kematian dan kecatatan pada 50% penderitanya.2 Gejala
awal meningitis TB sering kali tidak spesifik, sehingga tidak jarang pasien datang
dalam stadium yang berat dengan komplikasi.
Pada tahun 2017, TB secara umum menyebabkan 1.3 juta kematian (1.2-1.4
juta) diantara penduduk dengan HIV negatif, dengan penambahan sekitar 300.000
kematian lagi dari TB dehgan HIV positif. 1 Adanya epidemi HIV memperbanyak
kejadian TB meningitis, dengan luaran yang lebih buruk. Data cohort di Bandung
sejak 2006-2017, angka kematian 1 tahun TB meningitis pada pasien HIV negatif
adalah 41% dan 60% untuk pasien dengan HIV positif. 3 Insidensi meningitis TB
meningkat pada populasi pasien yang mengidap HIV. HIV merupakan faktor risiko
terjadinya meningitis TB. Meningitis TB merupakan salah satu penyebab kematian
yang utama pada pasien HIV, dan sebaliknya HIV merupakan salah satu penyebab
kematian yang utama pada pasien meningitis TB. 4 (Sumber : Global TB Report 2018)
Data yang terkumpul dari RS Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2009 - 2016
mendapatkan kejadian meningitis TB adalah sekitar 80% dari seluruh kasus infeksi
SSP yang dirawat, dan 18% di antaranya mempunyai koinfeksi dengan HIV. 5 Data
serupa didapatkan di Jakarta, di mana meningitis TB merupakan 55% dari pasien
yang dirawat, dengan angka koinfeksi HIV yang jauh lebih tinggi yatu 54%.6
Sebagian besar pasien datang dalam keadaan lanjut (lebih dari 90% datang dengan
grade 2 dan 3); angka kematian dalam perawatan mencapai lebih dari 40%. 6-7
B. Bakteriologi
Mycobacterium tuberculosis (Mtb) berasal dari genus Mycobacterium, keluarga
Mycobacteriaceae, dan ordo Actinomycetales, dan dapat menyebabkan penyakit TB
pada manusia dan hewan. Mtb sendiri merupakan penyebab utama dari infeksi TB di
dunia. Mtb berasal dari jaman kuno awalnya bersifat tidak terlalu infeksius, hanya
terdapat pada populasi dengan densitas yang rendah, terisolasi pada tempat-tempat
terpencil, tidak menyebabkan infeksi kronis pada pasien dengan daya tahan tubuh yang
baik, dan jarang terjadi reaktivasi. Mtb berevolusi dan disebut dengan Mtb modern
yang bersifat lebih infeksius dan tersebar di seluruh dunia dan ditemukan pada

49
kebanyakan kasus TB yang ada di dunia sekarang ini. Mtb strain Beijing merupakan
salah satu dari Mtb modern yang banyak didapatkan di seluruh dunia.
Patogenesis dari Mtb dipengaruhi oleh:
1. Karakteristik Mtb yang dimiliki:
a. Membran Mtb berupa dua lapisan lipid [lipid bilayer) yang
terbentuk dari lapisan asam lemak panjang [mycolic acid)
dengan lapisan glikolipid pada lapisan luarnya.
b. Rantai protein yang dipengaruhi oleh DosR {dormancy
survival regulon) dan berperan penting dalam respons Mtb
pada kondisi hipoksia dan kondisi lain yang tidak
bersahabat, misalnya ketika Mtb berada di dalam makrofag.
Kondisi lingkungan yang tidak mendukung tersebut
mengaktivasi respons:
♦ Berhenti membelah,
♦ Menurunkan metabolisme sel,
♦ Mengaktivasi metabolisme anaerob,
c. Rpf [resuscitating promoting factor) bekerja pada peptidoglikan untuk
menstimulus rangkaian even dalam pertumbuhan Mtb untuk bangun dari fase
dorman.9
2. Genotip host
a. Toll-interleukin 1 receptor domain containing adaptor
protein (TIRAP]
Pada pasien dengan polimorfisme dari gene TIRAP C558T cenderung untuk
menderita TB paru, sementara lebih spesifik ke gene TIRAP SNP 558T [single
nucleotide protein) pasien memiliki kerentanan untuk terkena meningitis TB
daripada TB paru.10 Genotip 558T berhubungan dengan penurunan produksi
interleukin-6 yang mendukung kerentanan terhadap infeksi TB dengan
menghambat respons inflamasi sehingga lebih lanjut berperan serta terhadap
penyebaran infeksi TB ke meningen.11
b. Toll-like receptor 2genotip T597C [TLR2 T597C)
Pada pasien dengan polimorfisme dari TLR2 T597C rentan untuk terjadi
diseminasi dari infeksi TB. TLR2 T597C cenderung untuk berperan dalam
terjadinya meningitis TB dan TB paru milier dan mempengaruhi tingginya
stadium meningitis TB.1112
c. Leukotrien A4 hidrolase (LTA4H)
LTA4H berperan dalam mengontrol respons inflamasi sehingga berpengaruh
terhadap respons terapi dan angka kematian. Respons inflamasi tersebut

50
berhubungan dengan eikosanoid yang berperan dalam mengatur keseimbangan
antara respons proinflamasi dan antiinflamasi. Hal ini menjelaskan adanya
perbaikan signifikan dan meningkatnya angka survival pada pasien meningitis
TB dengan pemberian kortikosteroid.1113
3. Genotip Mtb "-14
a. Rantai Non-Beijing (rantai Indo-Oceanic, rantai Euro-
American, dan rantai East-African)
Berdasarkan analisa yang dilakukan, didapatkan hubungan erat rantai
non-Beijing dengan kejadian tinggi TB paru dan kecil perkembangan kearah
meningitis TB.
b. Rantai Beijing (rantai East-Asian)
Rantai Beijing memiliki angka prevalensi yang tinggi di Asia dan banyak
didapatkan pada kasus multi drug resistance (MDR TB] di dunia. Rantai Beijng
memiliki sifat hipervirulensi dan evolusi yang cepat dibandingkan rantai
non-Beijing. Selain itu Mtb rantai Beijing juga bekerja dengan cara menghambat
kerja pertahanan tubuh saat pertama kali terinfeksi oleh Mtb, maka mudah terjadi
infeksi dan penyebaran ekstraparu di mana salah satunya adalah meningitis TB.
Tetapi hasil penelitian terbaru yang dilakukan berdasarkan analisis whole
genome sequencing sampel pasien meningitis TB dan TB paru di Bandung
mengungkapkan hasil yang berbeda, bahwa kejadian meningitis TB tidak berkaitan
dengan strain TB tertentu, dan masing-masing strain TB mempunyai andil yang sama
terhadap kejadian meningitis TB. Dalam analisis lebih lanjut terhadap sampel kohort
tersebut juga tidak didapatkan kecenderungan meningitis TB maupun TB paru
berdasarkan mutasi dari phenotype Mtb yang didapatkan (Rv0218, Rv3433c, dan
nanK). Sehingga muncul teori bahwa variasi genetik yang terjadi pada meningitis TB
muncul setelah infeksi awal dari Mtb, di mana strain Mtb bermutasi yang berhubungan
dengan kemampuan untuk menyebabkan penetrasi ke blood brain barrier.15
C. Patofisiologi
Kuman Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui droplet
penderita TB paru aktif. Bakteri selanjutnya akan masuk ke dalam paru-paru hingga
ke alveolus. Di dalam alveolus terjadi fagositosis oleh makrofag untuk membentuk
fokus Gohn, dan pada fase bakteriemia, kuman ini akan menyebar ke seluruh tubuh
dan kemudian menetap terutama di area dengan kadar oksigen tinggi, misalnya di
otak. Kuman yang bersifat dorman akan diam di dalam otak dalam bentuk fokus
Rich, yang jika mengalami ruptur ke dalam ruang subaraknoid akan menyebabkan
proses inflamasi difus yang disebut dengan meningitis.

51
D. Manifestasi Klinis
Dapat dijumpai (sebagai tanda adanya peningkatan tekanan intrakranial)
Tabel 1 Stadium Klinis Berdasarkan BMRC

E. Penegakan Diagnosis
1. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Merupakan pemeriksaan yang paling penting untuk diagnosis meningitis
tuberkulosis. Gambaran analisis cairan serebrospinal dapat memperlihatkan:
a. Sel yang predominan adalah limfosit. Pada keadaan anergi,
biasanya jumlah sel dapat sangat sedikit, namun biasanya
sementara. Hitung sel normal juga dapat ditemukan
terutama pada pasien imunokompromais, seperti HIV.
b. Protein CSS, terutama pada level spinal konsenstrasi protein
sangat tinggi hingga > 1 g/dL.
c. Glukosa rendah <40 mg %, atau rasio glukosa CSS:serum
< 50%.
d. Terdapat hipokloremi.

52
e. Pewarnaan bakteri tahan asam (BTA) dengan pewarnaan
Ziehl-Nielsen.
f. Kultur bakteri tahan asam, kultur positif pada 75% kasus
selama 6 minggu untuk melihat pertumbuhan.
g. Rasio glukosa CSS:serum < 50% dan adanya jumlah sel yang
meningkat > 10 sel/mm3 menjadi penunjuk yang cukup
signifikan untuk keberhasilan diagnosis mikrobakteriologi
pada kasus yang dicurigai meningitis TB18.
2. Pemeriksaan darah/sputum
a. Hitung jenis dengan predominan monosit
b. BTA bisa ditemukan pada sputum
3. Fototoraks
a. Kemungkinan adanya penyebaran miliar dan infiltrat padat di apeks paru
Selain prosedur tersebut di atas dilakukan tes-tes mikrobiologi
lain:

a. Indentifikasi komponen kimia atau antigen basil, antara lain


♦ PCR
♦ Rapid molecular test, Xpert@MTB/Rif assay yang bisa mendeteksi
antigen TB sekaligus memberikan informasi mengenai resistensi terhadap
rifampisin yang merupakan obat anti-TB yang paling bersifat bakterisid
♦ Menentukan fragmen mikrobakterial DNA dalam LSS. Permeriksaan
yang cepat dan alat diagnostik yang sensitif untuk mikrobakterium tbc,
walaupun bukan merupakan pemeriksaan yang rutin.

53
54
Algoritma diagnosis meningitis TB seperti yang dibuat oleh British Infection
Society tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar l.19 Kotak A (faktor risiko TB SSP)
dan Kotak B (gejala klinis) menentukan apakah kita dapat mulai mencurigai
adanya TB SSP. Kotak C merangkum gejala dan tanda klinis yang mengarah pada
diagnosis meningitis TB, sedangkan kotak D merangkum pemeriksaan CSS yang
biasa digunakan untuk menegakkan diagnosis meningitis TB dan menyingkirkan
diagnosis banding. Algoritma yang tersedia dapat membantu penegakan diagnosis
dan menentukan kapan memulai terapi.
Pada perkembangan selanjutnya, karena kesulitan menganalisis temuan pada
penelitian meningitis TB karena perbedaan kriteria diagnosis, dikembangkan
sistem skoring klinis yang merupakan konsensus konsorsium ahli meningitis TB
yang dikenal dengan sistem skoring Marais.20 Sistem skoring ini mengkuantifikasi
kriteria klinis, analisis CSS dan hasil radiologi secara lebih detail, sehingga
diharapkan dapat menjaring diagnosis meningitis TB dengan lebih baik, seperti
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Sistem skoring meningitis TB probable dan possible, serta keadaan yang
menyingkirkan kemungkinan meningitis TB (modifikasi dari Marais et
al20)

55
56
F. Gambaran Neuroradiologi
Pemeriksaan neuroradiologi membantu membedakan meningitis tuberkulosis
dari infeksi oportunistik lain atau proses neoplasma pada pasien dengan AIDS.
Gambaran yang paling sering ditemukan adalah penyangatan leptomeningeal,
hidrosefalus, tuberkuloma, dan infark. Pemeriksaan MRI jauh lebih sensitif
daripada pemeriksaan CT scan untuk mendeteksi adanya infark terutama pada
ganglia basal. Dengan pemeriksaan MRI yang teliti juga dapat dilihat proses
penjeratan saraf kranial yang biasanya ditandai dengan penyangatan kontras.
Gambaran Foto Kepala
Foto polos kepala tidak memberi informasi yang cukup untuk diagnosis
meningitis TB. Terutama pada pasien anak-anak, dapat dijumpai kalsifikasi di
meningen basal dekat fossa posterior atau dalam parenkim otak, namun tidak
spesifik untuk meningitis TB.
Gambaran CT scan
CT scan kepala dengan penambahan kontras merupakan prosedur radiologi
yang standar dilakukan pada infeksi SSP. Kelainan radiologi yang dapat dideteksi
dari CT scan antara lain hidrosefalus, penyangatan basal meningeal,
tuberkuloma, infark dan hiperdensitas basal prakontras.
Pengukuran hidrosefalus yang paling sering dilakukan adalah pengukuran
indeks Evan;22 caranya adalah dengan membandingkan jarak antara 2 cornu
anterior ventrikel lateral

57
terhadap diameter dalam terpanjang dari tabula interna, dan dikatakan ada hidrosefalus
jika rasionya > 0,5.
Tuberkuloma ditandai dengan adanya massa berbentuk cincin [biasanya
konfluens/bergerombol) yang menyangat dengan pemberian zat kontras. 23'24 Massa
tuberkuloma dapat berbentuk milier (<2mm), non-milier (>2mm), atau berupa pseudo
abses.25 Gambaran awal tuberkuloma pada otak adalah 4 S [small, subcortical
surrounding edema, solid enhacement); kadang-kadang tampak daerah isodens dan
hipodens dengan penyangatan cincin. CT scan serial akan memperlihatkan resolusi
setelah 12-15 minggu pengobatan antituberkulosis
Infark dapat ditandai dengan adanya daerah hipodensitas. Tempat infark yang
paling sering adalah daerah supraclinoid dari arteri krotis interna dan bagian proksimal
dari arteri serebri anterior dan media.26'27 Adanya hiperdensitas basal prakontras dan
penyangatan kontras di daerah basal meningeal merupakan hal yang sering ditemukan.
Gambaran MRI
MRI memberikan informasi yang lebih detail pada meningitis TB, dan dianggap
sebagai standar baku. Kelebihan MRI dari Ct scan terutama untuk melihat
tuberkuloma dan infark. Diffusion-weighted MRI memberi gambaran yang lebih detail
pada pembentukan infark dan borderzone necrosis dan lebih sensitif dari pada MRI
biasa untuk menemukan adanya infark dan iskemia. 28
Penyangatan meningeal biasanya ditandai dengan penyangatan linear dan/atau
nodular pada Tl aksial MRI dengan kontras di satu atau lebih lokasi berikut ini:
meningen di daerah basal (yaitu pada sisterna-sisterna seperti sisterna basal, ambiens,
quadrigeminal, prepontine, serebelopontin, suprasellar dan premedullary), fissura
sylvii, konveksitas/sulkus-sulkus serebral atau serebelar, dan sisterna ventrikuler.
Hidrosefalus ditandai dengan adanya satu atau lebih gambaran berikut: dilatasi
temporal horns dari ventrikel lateral, ballooning cornu frontalis dari ventrikel lateral,
ballooning ventrikel 3, penyempitan sudut korpus kalosum [callosal angle), dan pada
pemeriksaan T2W didapatkan gambaran hilangnya sinyal MRI akibat adanya aliran
CSS yang meningkat di aquaductus Sylvii [flow void).29 Indeks Evan juga dapat diukur
pada pemeriksaan MRI.
Sama dengan pada pemeriksaan CT scan, tuberkuloma pada MRI ditandai
dengan adanya massa berbentuk cincin pada Tl yang serinngkali bergerombol dan
menyangat dengan pemberian zat kontras. 30 Gambaran milier, non milier dan
pseudo-abses tampak lebih nyata pada MRI.31
Dapat juga ditemukan infark, yang sering kali didapatkan pada daerah
supraclinoid dari arteri krotis interna dan bagian proksimal dari arteri serebri anterior
dan media.2627 Infark yang ada dapat bersifat akut atau kronis,31 dan membedakannya
dapat dengan memperhatikan gambaran dari pemeriksaan T2, diffusion weighted

58
image (DWI) dan fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR). Pada lesi akut
biasanya dijumpai restricted diffusion pada DWI dan peningkatan intensitas sinyal
pada T2 dan FLAIR; sedangkan infark yang kronik ditandai dengan adanya lesi
hiperintens pada T2 dan FLAIR tanpa gambaran restricted diffusion pada DWI.26.30
Penjeratan saraf kranial biasanya dapat ditemukan dengan pemeriksaan MRI
yang teliti, biasanya berupa penyangatan pada saraf-saraf kranial, yang paling sering
adalah saraf okulomotor, trigeminal, abduscens, facialis dan vestibulocochlear. 32
G. Komplikasi
1. Neurologis
a. Edema serebral,
b. Infark/vaskulitis,
c. Hidrosefalus,
d. Penjeratan saraf otak di basis kranial,
e. Penjeratan radiks dan medula spinalis (Arachnoiditis
spinalis),
f. Penjeratan saraf optikus (Arachnoiditis optochiasmatic).
2. Non neurologis
a. Dekubitus,
b. Infeksi saluran kemih,
c. Trombosis vena dalam.
3. Paradoksikal
Reaksi paradoksikal pada meningitis TB didefinisikan sebagai: (1) perburukan
defisit neurologis, (2) memberatnya lesi tuberkulosis yang sudah ada, atau (3)
munculnya lesi baru pada pasien yang pernah memberikan respons baik pada
pemberian OAT. Memahami definisi ini sangat penting untuk membedakan dengan
multi drug resistance meningitis TB yang umumnya tidak akan memberikan
perbaikan gejala Minis pada awal pemberian OAT, dan dengan angka kematian
yang lebih tinggi pula.
H. Tata Laksana
Meningitis TB adalah keadaan emergency, dan pengobatan dilakukan secepatnya
setelah dugaan tuberkulosis tanpa menunggu hasil kultur. 19 Prinsip seleksi obat
didasarkan sifat farmakologik (bakterisid/bakteriostatik), konsentrasi CSS, interaksi
obat dan toksisitas.
Terdapat beberapa regimen yang dianjurkan
1. Kelompok Oxford (Inggris)
Memberikan isoniazid (INH), Rifampisin [RIF], Pyrazinamid [PZA) dan

59
streptomisin (STREP), termasuk streptomisin intratekal 50 mg/kg dan selang hari
sampai dengan minggu ke II. Selain itu untuk mencegah pembentukan eksudat
diberikan PPD [purified protein desensitify) intratekal
2. Hongkong dan Bangkok
Menganjurkan memberikan 4 obat: INH, RIF, PZA dan STREP
3. Kelompok Amerika
Pemberian INH, RIF dan PZA selama 2 bulan kemudian dilanjutkan dengan INH
dan RIF untuk 7 bulan. Bila ada resistensi obat tambahkan STREP atau etambutol
(ETH],
4. American Thoracic Society
Mengusulkan pemberian selama 6 bulan. INH - RIF - PZA selama 2 bulan,
selanjutnya 4 bulan INH dan RIF saja tiap hari atau 2 kali seminggu.
5. Pedoman terapi yang diusulkan berdasarkan temuan terakhir:
Rifampisin 900-1350 mg per oral per hari selama 1 bulan pertama kemudian 450
untuk bulan kedua, diberikan bersama dengan INH, PZA, dan Ethambutol;
dilanjutkan dengan Rifampisin 450 mg dan INH untuk 7 bulan selanjutnya.18
Kuinolon pada beberapa uji Minis terbaru tidak memberikan efikasi yang
bermakna.33'34
Tabel 3 menunjukkan rejimen pengobatan TB menurut Pedoman Pengobatan TB
Nasional 2013. Rejimen ini terdiri dari 2 bulan tahap intensif dengan pengobatan
RHEZ setiap hari, dilanjutkan dengan tahap lanjutan 3 kali seminggu selama 16
minggu OAT yang mengandung RH. Rejimen ini merupakan rejimen yang masih
berlaku di Indonesia, dan meskipun pada panduan nasional disebutkan pengobatan TB
ekstraparu membutuhkan pengobatan setidaknya 12 bulan, program nasional TB
melalui penyediaan obat DOTS belum memfasilitasi pengadaan obat kombinasi dosis
tetap (KDT). Pedoman terapi TB dari WHO tahun 2014 merekomendasikan pemberian
rejimen terapi TB setiap hari sepanjang waktu pengobatan, antara lain karena lebih
rendahnya angka kegagalan pengobatan dan angka relaps pengobatan
pada kelompok penderita yang mendapat terapi setiap hari dibandingkan yang
mendapat terapi 3 kali seminggu. Juga didapatkan angka resistensi obat dapatan yang
lebih tinggi pada kelompok yang mendapat terapi 3 kali seminggu. 35
Di beberapa negara telah dipergunakan rejimen pengobatan meningitis TB
dengan fase rumatan yang lebih lama (minimum 7 bulan], dan RH diberikan setiap
hari. Tabel 5 merupakan rejimen pengobatan meningitis TB yang dipergunakan di
Afrika Selatan.36

60
Pemberian steroid (deksametason] pada meningitis TB telah dilakukan sejak
lama, namun penelitian RCT yang melibatkan lebih dari 400 orang penderita
dilakukan di Vietnam dan dipublikasikan pada tahun 2004,37 dengan dosis
deksametason seperti dapat dilihat pada Tabel 6. Deksametason diberikan selama
6-8 minggu sesuai dengan derajat berat penyakit. Pada penelitian ini
kelompok yang mendapat deksametason mempunyai survival yang lebih baik
dan lebih sedikit mengalami efek samping pemberian OAT, namun pada follow up
jangka panjang (5 tahun) didapatkan bahwa efek memperbaiki survival ini ternyata
hanya bertahan pada kelompok yang datang dengan grade penyakit yang lebih
ringan.38 Penelitian lebih lanjut mendapati bahwa efek protektif deksametason ini
terpengaruh dengan polimorfisme LTA4H, di mana efek deksametason hanya nyata
pada kelompok yang secara genetik bersifat proinflamasi; 39 meskipun hasil yang
serupa tidak didapatkan pada populasi lain.3

61
I. Meningitis TB dan HIV
Pasien HIV mempunyai risiko terkena meningitis TB lebih dari 20 kali dari pada
orang tanpa HIV. Presentasi klinis penderita meningitis TB dengan dan tanpa HIV
tidak berbeda bermakna, namun gambaran inflamasi pada pemeriksaan CSS dapat
tampak lebih ringan pada pasien HIV. 7.40'41 Insidensi meningitis TB dalam
tahun-tahun terakhir ini meningkat, dan ini sebagian disebabkan oleh karena
meningkatnya prevalensi HIV di populasi. Di penelitian cohort di Bandung,
sekitar 18-20% pasien meningitis TB diketahui menderita HIV; dan hanya kurang
dari 25% dari pasien HIV ini yang mengetahui status HIV sebelum dirawat. 7
Penelitian cohort di Jakarta bahkan menemukan prevalensi HIV yang jauh lebih
tinggi, yaitu sekitar 50% dari pasien yang datang dengan kecurigaan infeksi SSP. 6
Karena tingginya kejadian HIV pada pasien yang datang dan dirawat dengan
diagnosis meningitis TB, dalam Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan
disebutkan bahwa setiap pasien yang diduga atau terbukti menderita TB sususan
saraf pusat dianjurkan untuk ditawarkan pemeriksaan status HIV. 21 Pendekatan
yang bisa dilakukan adalah pendekatan Provider Initiated Testing and Counseling
(PITC), di mana petugas kesehatan/dokter menginisiasi anjuran pemeriksaan dan
tidak menunggu permintaan pasien.
Prinsip diagnosis dan tata laksana meningitis TB sama antara pasien dengan dan
tanpa HIV, meskipun adanya HIV memperluas diagnosis banding dan adanya interaksi
OAT dengan ARV membuat penanganan lebih sulit dan risiko efek samping
pengobatan menjadi lebih tinggi.
Selalu terdapat perbedaan pendapat tentang waktu memulai ARV pada pasien
meningitis TB yang diketahui menderita HIV. Pada penelitian RCT terhadap 253
penderita meningitis TB ko-infeksi HIV di Veitnam, pemberian ARV segera tidak
terbukti meningkatkan survival; bahkan didapatkan lebih banyak efek samping grade 4
dan IRIS pada kelompokyang segera mendapat ARV dibandingkan dengan yang
ditunda sampai 8 minggu.42
Rekomendasi WHO terakhir tentang pemberian ARV pada pasien HIV dengan

62
infeksi meningitis TB adalah sebagai berikut:43
1. Seluruh pasien TB yang diketahui menderita HIV harus segera memulai ARV tanpa
memperhatikan kadar CD4.
2. ARV diberikan dalam 8 minggu pertama pemberian OAT.
3. Jika CD4 < 50, pemberian ARV dilakukan dalam 2 minggu setelah memulai OAT.
4. Pada meningitis TB, pemberian ARV yang terlalu cepat berhubungan dengan
kejadian efek samping yang lebih berat; dianjurkan pemberian ARV setelah 8
minggu pemberian OAT.

Sebagai tambahan, jika pada pasien yang diketahui menderita HIV didapatkan
tanda meningitis TB, maka terapi TB dapat dimulai kapan saja.
J. Terapi untuk Komplikasi
1. Hidrosefalus dan tekanan tinggi intrakranial
Infiltrat yang dihasilkan dari infeksi meningitis TB dan menyumbat aliran CSS dan
menyebabkan hidrosefalus. Hidrosefalus yang terjadi dapat bersifat komunikans
maupun non komunikans. Hidrosefalus komunikans dapat diterapi dengan
obat-obatan, sedangkan yang non-komunikans umumnya memerlukan tindakan
operatif segera. Tindakan yang paling sering dilakukan untuk mengatasi
hidrosefalus adalah pemasangan shunt ventrikuloperitoneal. Derajat hidrosefalus
dan adanya infeksi HIV mempengaruhi prognosis tindakan.44
Tekanan tinggi intrakranial paling sering disebabkan oleh hidrosefalus. Edema
sitotoksik dan vasogenik yang menyertai proses inflamasi, juga proses metabolik
yang menyertai dapat juga menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial.
Penanganan tekanan tinggi intrakranial biasanya diawali dengan monotoring dan
koreksi keadaan metabolik. Obat yang dapat diberikan untuk mengatasi tekanan
intrakranial antara lain manitol.44
2. Hiponatremia
Hiponatremia sangat sering dijumpai pada pasien meningitis TB, namun
penyebabnya belum diketahui pasti. Penyebab hiponatremia yang paling sering
adalah SIADH, namun diagnosisnya sulit dibedakan dari cerebral salt wasting
syndrome (CSWS), sementara terapi untuk keduanya berbeda/bertolak belakang.
SIADH biasanya diterapi dengan membatasi intake cairan, sedangkan CSWS
memerlukan pemberian cairan.44 Namun penerapan pembatasan cairan pada pasien
harus dipertimbangkan secara seksama karena kondisi dehidrasi akan memperburuk
luaran pasien meningitis TB.
3. Tuberkuloma
Tuberkuloma dapat timbul bersamaan dengan meningitis, namun dapat juga timbul
terpisah. Sering dijumpai sebagai gejala dan tanda paradoxical reaction pada pasien
yang baru mulai berobat TB. Pengobatan medikamentosa yang pernah dicobakan

63
untuk mengatasi tuberkuloma adalah talidomid. Kadang diperlukan tindakan
operasi; jika keadaannya memungkinkan.
4. Vaskulitis dan Stroke
Angka kejadian stroke pada pasien meningitis TB cukup sering (sampai lebih dari
50%), dan penyebab utamanya adalah vaskulitis. Vaskulitis sering kali juga
terlambat dideteksi karena pasien kondisi klinis pasien meningitis TB umumnya
sudah berat. Hingga hari ini belum ada tindakan pencegahan atau pengobatan yang
sudah disepakati bersama untuk mengatasi stroke pada pasien meningitis TB.
Beberapa obat pernah dicobakan, antara lain aspirin. Di India aspirin dosis rendah
didapatkan mengurangi risiko stroke, namun penelitian ini tidak mempunyai desain
yang baik.45 Penelitian di Afrika Selatan membandingkan aspirin dosis tinggi
dengan dosis rendah pada populasi anak penderia TB meningitis, namun penelitian
ini dihentikan di tengah jalan akibat adanya efek samping.46 Sebuah RCT double
blind yang dikerjakan di Vietnam membandingkan aspirin dosis rendah, dosis tinggi
dan plasebo. Penelitian ini mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan di antara ke-3
kelompok dalam hal timbulnya efek samping, namun terdapat perbedaan antara
kelompok yang diberi dan tidak diberi aspirin dalam hal pembentukan infark baru
dan kematian.
5. Prognosis
Dari berbagai penelitian, didapatkan beberapa hal yang berhubungan dengan
prognosis/mortalitas akibat meningitis TB, antara lain derajat berat penyakit saat
pertama berobat ke rumah sakit, resistensi obat, infeksi HIV, jumlah sel dan kadar
glukosa yang rendah pada CSS, serta hitung CD4 yang rendah pada pasien
HIV.3'7'34'37-4748 Faktor prognosis lain adalah stadium, demam, dan tingginya jumlah
neutrofil dalam darah dan CSS.4"
Mortalitas secara umum dilaporkan sebesar 30%, dan lebih tinggi pada populasi
HIV-positif;41 ko-infeksi dengan HIV dan multidrug resistance bahkan
menyebabkan kematian hampir 100%.44
Sequele neurologi yang dapat dijumpai, seperti hemiparesis, paraparesis, hemiplegi,
gangguan kognitif, dan lain lain, semakin berat stadium saat masuk, umumnya
sequele semakin berat. Komplikasi meningitis TB seperti hidrosefalus, infark, dan
herniasi serebri membuat prognosis menjadi semakin buruk.44 Oleh karena itu,
diagnosis dan tata laksana dini, serta manajemen komplikasi perawatan yang baik
merupakan kunci untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas pasien dengan
meningitis TB.
Daftar Pustaka
1. World Health Organization. Global tuberculosis report 2017. Geneva: World
Health Organization., 2017.

64
2. Wilkinson RJ, Rohlwink U, Misra UK, et al. Tuberculous meningitis. Nat Rev
Neurol 2017; 13(10): 581-98.
3. van Laarhoven A, Dian S, Ruesen C, et al. Clinical Parameters, Routine
Inflammatory Markers, and LTA4H Genotype as Predictors of Mortality Among
608 Patients With Tuberculous Meningitis in Indonesia. / Infect Dis 2017; 215[7):
1029-39.
4. van Laarhoven A, Dian S, Aguirre-Gamboa R, et al. Cerebral tryptophan
metabolism and outcome of tuberculous meningitis: an observational cohort
study. Lancet Infect Dis 2018; 18(5): 526-35.
5. Chaidir L, Annisa J, Dian S, et al. Microbiological diagnosis of adult tuberculous
meningitis in a ten-year cohort in Indonesia. Diagn Microbiol Infect Dis 2018;
91(1]: 42-6.
6. Imran D, Estiasari R, Maharani K, et al. Presentation, etiology, and outcome of
brain infections in an Indonesian hospital: A cohort study. Neurol Clin Pract
2018; 8(5): 379-88.
7. Ganiem AR, Parwati I, Wisaksana R, et al. The effect of HIV infection on adult
meningitis in Indonesia: a prospective cohort study.4/DS2009; 23(17): 2309-16.
8. John E. Bennett RD, Martin J. Blaser. Mandell, Douglas, and Bennett's Principles
and Practice of Infectious Diseases 8th edition. 2015.
9. Delogu G, Sali M, Fadda G. The Biology of Mycobacterium Tuberculosis
Infection. Mediterranean Journal of Hematology and Infectious Diseases 2013;
5(1): 2013070.
10. Hawn TR, Dunstan SJ, Thwaites GE, al. e. A polymorphism in Toll-interleukin 1
receptor domain containing adaptor protein is associated with susceptibility to
meningeal tuberculosis.//n/ectD/s 2006; 194:1127-34.
11. Torok ME. Tuberculous meningitis: advances in diagnosis and treatment. British
Medical Bulletin 2015; 113(1): 117-31.
12. Thuong NT, Hawn TR, Thwaites GE, al. e. A polymorphism in human TLR2 is
associated with increased susceptibility to tuberculous meningitis. Genes Immun
2007; 8:422-8.
13. Tobin DM, Roca FJ, Oh SF, al e. Host genotype-specific therapies can optimize
the inflammatory responsse to mycobacterial infections. Cell 2012; 148.
14. Caws M, Dunstan S, et al.. The influence of host and bacterial genotype on the
development of disseminated disease with Mycobacterium tuberculosis. PLoS
Pathog 2008; 4:el000034.
15. Carolien Ruesen, Lidya Chaidir, Arjan van Laarhoven, et al. Large-scale genomic
analysis shows association between homoplastic genetic variation in
Mycobacterium tuberculosis genes and meningeal or pulmonary tuberculosis.

65
BMC Genomics 2018; 19: 122.
16. Be NA, Kim KS, Bishai WR, Jain SK. Pathogenesis of central nervous system
tuberculosis. Curr Mol Med 2009; 9(2]: 94-9.
17. British Medical Research Council. Streptomycin Treatment of Tuberculous
Meningtis The Lancet 1948; April (17): 582-96.
18. Dian S, Yunivita V, Ganiem AR, et al. Double-Blind, Randomized,
Placebo-Controlled Phase II Dose-Finding Study To Evaluate High-Dose
Rifampin for Tuberculous Meningitis. Antimicrob Agents Chemother 2018;
62(12).
19. Thwaites G, Fisher M, Hemingway C, et al. British Infection Society guidelines
for the diagnosis and treatment of tuberculosis of the central nervous system in
adults and children./Infect 2009; 59(3): 167-87.
20. Marais S, Thwaites G, Schoeman JF, et al. Tuberculous meningitis: a uniform case
definition for use in clinical research. Lancet Infect Dis 2010; 10(11): 803-12.
21. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kesehatan:"" Tata laksana Tuberkulosis. Jakarta; 2013.
22. Toma AK, Holl E, Kitchen ND, Watkins LD. Evans' index revisited: the need for
an alternative in normal pressure hydrocephalus. Neurosurgery 2011; 68(4):
939-44.
23. Kim TK, Chang KH, Kim CJ, Goo JM, Kook MC, Han MH. Intracranial
tuberculoma: comparison of MR with pathologic findings. AJNR Am J
Neuroradiol 1995; 16(9): 1903-8.
24. Osborn A. Osborn's brain: imaging, pathology and anatomy. 1st ed. New York:
Amirsys Publishing, Inc.; 2013.
25. Zhao Y, Bu H, He JY. Intracranial miliary tuberculomas. QJM 2016; 109(1):
65-6.
26. Tai MS, Viswanathan S, Rahmat K, et ah Cerebral infarction pattern in
tuberculous meningitis. Sci Rep 2016; 6: 38802.
27. Garg RK, Malhotra HS, Jain A. Neuroimaging in tuberculous meningitis. Neurol
India 2016; 64(2): 219-27.
28. Wilkinson RJ, Rohlwink U, Misra UK, et al. Tuberculous meningitis. Nat Rev
Neurol 2017; 13(10): 581-98.
29. Misra UK, Kalita J, Maurya PK. Stroke in tuberculous meningitis.; Neurol Sci
2011; 303(1-2): 22-30.
30. Ahluwalia WS, D.;Singh, T.P.; Arora, N.; Narayan, S.; Singh, M.M. . MRI
spectrum of CNS tuberculosis. Indian Academy of Clinical Medicine 2013; 14(1):
83-90.
31. Bugnone AN, Hartker F, Shapiro M, Pineless HS, Velez G. Acute and .chronic

66
brain infarcts on MR imaging in a 20-year-old woman with acute posterior
multifocal placoid pigment epitheliopathy. AJNRAmJ Neuroradiol 2006; 27(1):
67-9.
32. Saremi F, Helmy M, Farzin S, Zee CS, Go JL. MRI of cranial nerve enhancement.
AJR Am J Roentgenol 2005; 185(6): 1487-97.
33. Ruslami R, Ganiem AR, Dian S, et al. Intensified regimen containing rifampicin
and moxifloxacin - for tuberculous meningitis: an open-label, randomised
controlled phase 2 trial. Lancet Infect Dis 2013; 13(1): 27-35.
'34. Heemskerk AD, Bang ND, Mai NT, et al. Intensified Antituberculosis Therapy in
Adults with Tuberculous Meningitis. N Engl J Med 2016; 374(2): 124-34.
35. World Health Organization. Treatment of Tuberculosis Guidelines (4th Edition).
2010. (accessed.
36. Health SADo. National Tuberculosis Control Programme. In: Health Do, editor.;
2014.
37. Thwaites GE, Nguyen DB, Nguyen HD, et al. Dexamethasone for the treatment of
tuberculous meningitis in adolescents and adults. N Engl J Med 2004; 351(17]:
1741-51.
38. Torok ME, Nguyen DB, Tran TH, et al. Dexamethasone and long-term outcome
of tuberculous meningitis in Vietnamese adults and adolescents. PLoS One 2011;
6(12]: e27821.
39. Tobin DM, Roca FJ, Oh SF, et al. Host genotype-specific therapies can optimize
the inflammatory responsse to mycobacterial infections. Cell 2012; 148(3]:
434-46.
40. Marais S, Pepper D], Marais B], Torok ME. HIV-associated tuberculous
meningitis-diagnostic and therapeutic challenges. Tuberculosis (Edinb) 2010;
90(6]: 367-74.
41. Marais S, Pepper DJ, Schutz C, Wilkinson RJ, Meintjes G. Presentation and
outcome of tuberculous meningitis in a high HIV prevalence setting. PLoS One
2011; 6(5]: e20077.
42. Torok ME, Yen NT, Chau TT, et al. Timing of initiation of antiretroviral therapy
in human immunodeficiency virus (HIV]-associated tuberculous meningitis. Clin
Infect Dis 2011; 52(11]: 1374-83.
43. World Health Organization. Universal antiretroviral therapy (ART] for all
HIV-infected TB patients2019.
https://www.who.int/hiv/topics/tb/art_hivpatients/en/(acc essed.
44. Davis A, Meintjes G, Wilkinson RJ. Treatment of Tuberculous Meningitis and Its
Complications in Adults. Curr Treat Options Neurol 2018; 20(3]: 5.
45. Misra UK, Kalita J, Nair PP. Role of aspirin in tuberculous meningitis: a

67
randomized open label placebo controlled trial./ NeurolSci 2010; 293(1-2]: 12-7.
46. Schoeman JF, Janse van Rensburg A, Laubscher JA, Springer P. The role of
aspirin in childhood tuberculous meningitis. / Child Neurol 2011; 26(8): 956-62.
47. Erdem H, Ozturk-Engin D, Tireli H, et al. Hamsi scoring in the prediction of
unfavorable outcomes from tuberculous meningitis: results of Haydarpasa-Il
study. / Neurol 2015; 262(4): 890-8.
48. Tho DQ, Torok ME, Yen NT, et al. Influence of antituberculosis drug resistance
and Mycobacterium tuberculosis lineage on outcome in HIV-associated
tuberculous meningitis. Antimicroh Agents Chemother 2012; 56(6): 3074-9.
49. van Laarhoven A, Dian S, Ruesen C, et al. Clinical Parameters, Routine
Inflammatory Markers, and LTA4H Genotype as Predictors of Mortality Among
608 Patients With Tuberculous Meningitis in Indonesia. / Infect Dis 2017; 215(7):
1029-39.

68
BAB 5

ABSES SEREBRI
Kiking Ritarwan Hanindya Prabaningtyas

69
ABSESSEREBRI
I. KERANGKA MODUL A.
Kompetensi
Mampu melakukan penatalaksanaan kasus abses serebri secara holistik sesuai
standar prosedur operasional dan panduan praktik Minis.
Metode Pencapaian Kompetensi
Metode Waktu
Sesi Dalam Kelas Minggul&2:
Sesi kuliah tatap muka: sesuai bahan ajar
Sesi Dengan Fasilitasi Minggu 3:
Pembimbing Sesi diskusi kasus:
Kasus abses serebri dengan penekanan
aspek
pada diagnostik dan penatalaksanaan
Mengidentifikasi tindakan operasi pada
serebri abses
Sesi Praktik Minggu 4:
Sesi praktik Minis: Merawat pasien
supervisi
dibawah
Indikator Hasil Pembelajaran
1. Mampu menjelaskan definisi abses serebri.
2. Memahami patogenesis abses serebri.
3. Mampu menguraikan manifestasi klinis abses serebri.
4. Mampu menegakkan diagnosis abses serebri dan membuat diagnosis bandingnya.
5. Memahami aspek farmakologis obat-obat abses serebri termasuk efek
sampingnya.
6. Mampu melakukan penatalaksanaan abses serebri
7. Mampu melakukan kolaborasi dengan profesional pemberi asuhan lain dalam
penanganan pasien abses serebri
8. Mampu memberikan komunikasi, informasi, edukasi secara empati dan efektif
kepada pasien dan keluarga.
9. Mampu menerapkan prinsip-prinsip keselamatan pasien dan menghargai hak pasien
dan keluarga dalam perawatan pasien.
B. Persiapan Sesi
1. Ruangkuliah.
2. Peralatan audiovisual.
3. Peralatan telekonferensi dan aplikasinya.
4. Peralatan laboratorium.
5. Laporan kasus untuk pembelajaran: Abses Serebral

70
C. Keterampilan
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
1. Memahami mekanisme terjadinya abses serebri.
2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk membuat diagnosis kerja abses
serebri dan diagnosis bandingnya.
3. Merencanakan dan menginterpretasikan hasil pemeriksaan penunjang yang relevan
untuk menegakkan diagnosis abses serebri dan menyingkirkan diagnosis
bandingnya.
4. Menguasai tata laksana dan pengelolaan pasien dengan abses serebri.
5. Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada abses serebri.
6. Memprediksi dan mengelola penyulit yang terjadi pada abses serebri
7. Melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi kepada pasien/keluarga pasien
terkait penyakit abses serebri.
D. Gambaran Umum
Modul ini bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan praktik dan tata laksana
abses serebri melalui pendekatan berbasis kasus. Peserta didik sebelumnya harus
sudah memiliki dasar pengetahuan medis tentang abses serebri
Sebelum sesi dimulai, peserta didik perlu mempelajari secara aktif dan mandiri
tentang topik patogenesis, metode dan kriteria, serta terapi farmakologis abses serebri.
1. Contoh Kasus
Ilustrasi Kasus 1
Seorang pria 18 th dengan keluhan nyeri kepala sejak 3 minggu terakhir disertai
demam.
2. Tugas:
Lakukan anamnesis [riwayat OMSK dijumpai), lakukan pemeriksaan kaku kuduk
(pada pasien tidak dijumpai], interpretasi hasil penunjang [head CT scan kontras
menunjukkan lesi isodens dengan ring enhancement berukuran lebih dari 2 cm di
lobus occipital kiri dengan midline shift dan efek massa minimal. Kesan: suatu
abses serebral di lobus occipital), tentukan diagnosis etiologi dan diagnosis klinis
pasien, tentukan tata laksana yang paling tepat untuk pasien tersebut.
3. Diskusi
a. Apakah hal-hal yang perlu ditanyakan dalam anamnesis dan
pemeriksaan fisik?
b. Apakah diagnosis kerja dan diagnosis bandingnya?
c. Apakah pemeriksaan penunjang yang perlu dikerjakan
untuk menegakkan diagnosis?
d. Bagaimanakah patogenesis terjadinya gangguan neurologis
pada pasien ini?
e. Hal-hal apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam

71
penatalaksanaan pasien ini?

II. MATERI BAKU ABSES SEREBRI


A. Definisi
Abses serebri adalah infeksi fokal intra serebral yang berasal dari area serebritis yang
terlokalisir dan berkembang berubah sekumpulan pus yang dibatasi oleh kapsul yang
tervaskularisasi dengan baik.
B. Epidemiologi
Lokasi abses serebri dominan [80%) berada di lobus frontal, serebellum dan batang
otak. Lesi pada umumnya tunggal hanya 30% kasus dijumpai multipel dan melibatkan
lebih dari satu lobus otak. Insiden abses serebri berkisar antara 0.3 -1.3 per 100.000
per tahun dengan rasio pria dan wanita antara 2:1 sampai 3:1. Abses serebri lebih
umum dijumpai di negara berkembang dengan infeksi golongan mikobakterium dan
salmonella, terutama negara-negara miskin dengan kasus tuberkulosa dan infeksi
gastrointestinal yang besar. Faktor predisposisi abses serebri berbeda antara
anak-anak dan dewasa. Pasien dengan abses serebri sekitar 30-34% didasari oleh
penyakit jantung, 6-51% dengan penyakit jantung kongenital sianotik dan 15-30%
kasus tidak diketahui penyebabnya. Adanya defek pada jantung menyebabkan
right-to-left shunting dan meningkatkan risiko terjadinya abses otak akibat emboli
paradoksikal. Penyakit jantung lain yang merupakan faktor predisposisi adalah.
C. Etiologi
Abses serebri terjadi ketika bakteri piogenik mendapat akses ke sistem saraf pusat
melalui perluasan langsung dari otitis media, mastoiditis, sinusitis paranasal pada
banyak kasus. Terkadang infeksi dapat berkembang dari osteomielitis pada tulang
kranial atau akibat trauma kapitis dan prosedur operasi yang melalui daerah yang
terinfeksi. Penyebaran hematogen dari fokus septik terutama dari abses paru,
bronkiektasis atau empiema merupakan penyebab tambahan dari abses serebri.
Endokarditis akut dan subakut atau right to left shunt dapat menimbulkan

emboli multiple septic yang cenderung menyebabkan abses serebri biasanya terlokasi
di white-gray matter junction yang terdistribusi oleh arteri serebri media.
Beberapa organisme secara spesifik terlibat dalam proses abses. Pada sepertiga
pasien lebih dari dari satu organisme dijumpai dan pada umumnya merupakan bakteri
piogenik yang mencakup golongan streptokokus [anerob dan aerob), golongan
staphylococcus. Organisme selain bakteri piogenik dapat menyebabkan abses
misalnya Mikobakterium tuberkulosis, non tuberculous mycobacteria, jamur, parasit,
dan spesies aktinomises dan nokardia. Infeksi fokal intrakranial akibat salmonella
jarang dan berkaitan dengan hasil positif pada kultur darah beberapa pasien.
Mikroba patogen yang berperan menyebabkan abses otak bervariasi dan

72
tergantung pada sumber infeksi dari penyakit dasarnya. Kokus Gram positif seperti
spesies Staphylococci, Streptococci dan Peptostreptococci merupakan kuman
penyebab yang paling sering pada anak-anak, diikuti oleh basil gram negatif termasuk
spesies Klebsiella, Eschericia coli, Salmonella, Bacteroides, Haemophilus dan
Proteus.
1. Infeksi sinus-gigi : Streptokokus aerobik dan anaerobik, basil gram negatif
anaerobik (seperti Prevotella, Porphyromonas, Bakterioides), Fusobakterium,
Stapilokokus aureus, Enterobakteriaseae.
2. Infeksi pulmoner : Streptokokus aerobik dan anaerobik, basil gram negatif
anaerobik (seperti Prevotella, Porphyromonas, Bakterioides], Fusobakterium,
Aktinomises, Nokardia.
3. Penyakit Jantung Kongenital: Streptokokus aerobik dan mikroaeropilik,
Staphylococcus aureus.
4. Trauma tembus: Stapilokokus aureus, Streptokokus aerobik, Enterobakteriaseae,
klostridium.
5. Transplantasi: basil gram negatif aerobik, Aspergillus, Kandida, Mucorales.
6. Infeksi HIV : T. Gondii, Mycobacterium, Cryptococcus, Nokardia, Listeria
monocytogenes.
D. Patogenesis
Penyebaran secara hematogen merupakan penyebab pada 9% hingga 43% kasus abses
serebri. Penyebaran langsung dari infeksi gigi, sinus, telinga atau mastoiditis
merupakan penyebab pada 14-58% abses serebri. Prosedur bedah saraf invasif menjadi
faktor risiko pembentukan abses serebri pada 3-18% kasus. Laporan serial kasus
terbaru menunjukkan abses yang tidak diketahui sumber infeksinya (kriptogenik)
terjadi pada 4,6% hingga 43, 4% kasus (Patel & Clifford, 2014)
E. Patologi
Secara histologi terjadinya abses dapat dibagi menjadi empat stadium yaitu:
1. Reaksi terhadap bahan-bahan infeksius berlanjut menjadi late cerebritis. Infeksi
menjadi lebih fokal dengan daerah nekrosis. Pembuluh darah mengelilingi
proliferasi infeksi. Bagian tengah dari infeksi mengalami nekrosis, dikelilingi oleh
berbentuk cincin, makrofag, jaringan granulasi dan fibroblast. Stadium ini
berlangsung pada hari ke 4-9.
2. Stadium Pembentukan Kapsul Dini [The Early Capsule Stage]. Dengan mulainya
stadium pembentukan kapsul, kolagen dan retikulum membentuk kapsul berbatas
jelas. Bagian inti jaringan nekrotik dan debris inflamasi. Kapsul semakin menebal
dengan bertambahnya kolagen. Adanya pembentukan kapsul berbatas tegas, efek
massa dan edema yang mengelilinginya mulai berkurang. Selanjutnya gliosis
disekitar pinggir abses mempertegas area ini. Stadium ini berlangsung hari ke

73
10-13.
3. Stadium Pembentukan Kapsul Lanjut [The Late Capsule Stage). Secara patologi
dinding dari gliotik. Lapisan kolagen memegang peranan penting dalam
pengkapsulan jaringan otak yang terinfeksi yang berasal dari fibroblast. Stadium ini
terjadi setelah hari ke 14 ke atas dan dapat berlangsung selama berbulan-bulan.
F. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis abses serebri bervariasi tergantung pada tingkat penyakit, virulensi
penyebab infeksi, status imun pasien, lokasi abses, jumlah lesi, dan ada tidaknya
meningitis atau ventrikulitis.
Manifestasi klinis abses serebri dapat terbagi dalam 3 kelompok:
1. Sistemik: demam subfebril, kurang dari 50% kasus.
2. Serebral umum: sering dikaitkan dengan peningkatan TIK, yaitu :
a. Nyeri kepala kronik progresif (> 50%]
b. Mual, muntah
c. Penurunan kesadaran
d. Papil edema
3. Serebral fokal:
a. Kejang, sering general (40%]
b. Perubahan status mental [50%]
c. defisit neurologi fokal motorik, sensorik, nervus kranialis
[50%]
G. Prosedur Diagnostik
Laboratorium
Jumlah leukosit darah tepi bisa normal atau meningkat. Peningkatan sedimentasi
eritrosit dijumpai pada dua pertiga kasus. Jumlah platelet dapat tinggi atau rendah.
Kadar natrium serum dapat menurun sebagai akibat produksi antidiuretik hormon yang
tidak sesuai kultur darah positif dilaporkan pada 10% kasus
Pemeriksaan CSF menunjukkan hasil yang bervariasi, Studi imaging, ring
enhancement dan edema serebri disekelilingnya. Pada Tl-weighted kapsul abses
enhance dan pada T2-weighted dapat menunjukkan zona yang edema disekeliling
abses. Dengan adanya CT scan dan MRI angka kematian telah menurun hingga
90%,

74
H. Diagnosis Banding
1. Space occupying lession lainnya (metastase tumor, glioblastoma]
2. Meningitis
I. Pengobatan
Harus atasi edema serebri dan pengobatan infeksi primer lokal. Prinsip umum
dalam pemberian antibiotika pada abses serebral meliputi:
1. Antibiotika diberikan segera, baik dengan atau tanpa tindakan pembedahan dan
telah dilakukan pengambilan sampel kultur darah
2. Terapi Antibiotika empiris harus memiliki spektrum luas
3. Abses serebri yang kemungkinan berasal dari komunitas disarankan pemberian
antibiotika golongan sefalosporin generasi III (misalnya ceftriaxone 4g/hari
atau cefotaxime 8-12g/hari] dikombinasi dengan metronidazole l,5g/hari untuk
bakteri anaerob (Sonneville etal., 2017]
Jenis dan dosis antibiotik yang lazim diberikan pada abses serebri:

75
Antibiotika lini pertama untuk patogen yang diisolasi dari Abses serebri
(Sonneville et al., 2017).
Tindakan bedah drainase atau eksisi pada abses serebri diindikasikan untuk:
terapi medikamentosa saja tanpa tindakan operatif dipertimbangkan pada kondisi
seperti:
Pembedahan dianjurkan bila diameter abses > 2,5 cm, abses mengandung
gas, multilokulated, lokasi di fossa posterior, atau teridentifikasi adanya jamur.
Drainase surgikal memberikan hasil terapi yang paling optimal. Prosedur ini
dilakukan dengan melakukan aspirasi melalui suatu burr hole dan eksisi komplit
setelah kraniotomi. dilakukan drainase ventrikuler dikombinasi dengan pemberian
antimikroba secara intravena atau intratekal atau kedua-duanya. Dengan
diperkenalkannya

76
77
78
K. Algoritme Penanganan Abses Otak

Dikutip dari : Brain Abscess Treatment Aprroach. From the collection of Water Hall,
SUNY Upstate Medical University. Available from : URL: HYPERLINK
https://online.epocrates.com
Pengobatan abses serebri biasanya merupakan kombinasi antara pembedahan
dan medikamentosa untuk eradikasi organisme invasif.
Lama pengobatan antibiotika tergantung pada kondisi klinis pasien, namun
biasanya diberikan intra vena selama 6-8 minggu (Sonneville et al., 2017]. CT scan
kepala ulang dilakukan untuk melihat respons terapi. Kortikosteroid penggunaannya
masih kontroversial.

L. Komplikasi
Abses serebri jarang (<12%) sebagai komplikasi meningitis bakterial, dan hanya 3%
akibat infeksi endokarditis. Komplikasi abses serebri terbanyak berupa :
1. Abses ruptur ke dalam ventrikel atau lapisan subarakhnoid.
2. Sequela neurologik jangka lama seperti hemiparesis, kejang yang mencapai 50%
3. Abses berulang
4. Kejang, perlu diberikan terapi profilaksis kadang dalam periode lama.
Dengan semakin membaiknya penatalaksanaan maka angka survival abses
serebri semakin baik. Prognosis baik antara lain ditentukan oleh:
1. Usiamuda

79
2. Tidak dijumpai defisit neurologi atau penurunan kesadaran pada awal penyakit.
3. Tak dijumpai penyakit komorbid
Sedangkan beberapa faktor yang memperburuk prognosis bila dijumpai:
Daftar Pustaka
1. Kolegium Neurologi Indonesia. Modul Neuroinfeksi Program Pendidikan
Dokter Spesialis Saraf, Jakarta, 2008
2. Alderson D, Strong AJ, Ingham AR, et al. Fifteen-year review of the mortality of
brain abscess. Neurosurgery Jan 1981;8(l):l-6
3. Carpenter J, Stapleton S, Holliman R. Retrospective analysis of 49 cases of brain
abscess and review of the literature. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. Jan 2007;
26(1)1-11
4. Mathiesen GE, Johnson JP. Brain abscess. Clin Infect Dis 1997;25:763-781
5. Kao P-T, Tseng H-S, Liu C-P, Su S-C, Lee C-M. Brain abscess; clinical analysis
of 53 cases. / Microbiol Immunol infect 36:129-136
6. Mampalam TJ, Rosemblum ML. Trends in the management of bacterial brain
abscesses: a review of 102 cases over 17 years. Neurosurgery 1988; 23: 451-8
7. Bernardini GL. Focal infections, in : Rowland LP. Merritt's Neurology. 10th ed.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia 2000; 127-134
8. Mamelak AN, Mampalam TJ, Obana WG, et al. Improved management of
multiple brain abscess : a combined surgical and medical approach.
Neurosurgery. 1995;36[1): 76-85
9. Gilroy J. Basic Neurology, 3rd ed, McGraw-Hill, New York, 2000; 439-447
10. Hernando Alvis Miranda, Sandra Milena Castellar Leones, Mohammed Awad
Elzain , Luis Rafael Moscote-Salazar, Brain abscess: Current management
[review article]. Journal of Neurosciences in Rural Practice 2013 Vol 4
Supplement 1
11. Seydoux C, Francioli P. Bacterial brain abscesses : factors influencing mortality
and sequelae. Clin Infect Dis. Sep 1992; 15(3):394-401
12. Vidal JE, Oliveira AC, Filho FB, et al. Tuberculous brain abscess in AIDS
patients : report of three cases and literature review. Int J Infect Dis
2005;9(4):201-7 '
13. Massimo Arlotti et al. Consensus document on controversial issues for the
treatment of infectionsof the central nervous system: bacterial brain abscesses
International Journal of Infectious Diseases 14S4 (2010) S79-S92
14. Saez-Llorens X. Brain abscess in children. Semin Pediatr Infect Dis. April 2003
;14(2) :108-14

80
15. Bernardini GL. Diagnosis and management of brain abscess and subdural
empyema. Curr Neurol Neurosci Rep. Nov 2004;4[6]:448-56
16. Yang KY, Chang WN, Ho JT, et al. Postneurosurgical nosocomial bacterial brain
abscess in adult . Infection. Oct 2006;34(5): 247-51
17. Adam RD, Victor M, Ropper AH. Principle of neurology. 6th ed. McGraw-Hill,
New York, 1997; 712-16
18. Baxter JD, Dinubile MJ. Brain Abscess, in:Weiner WJ. Emergent and Urgent
Neurology, JB Lippincott Co, Philapdelphia, 1992; 217-237
19. Mathisen GE, Johnson JP, Brain abscess in children. Clin Infect Dis. Oct 1997;25
(4):763-79; quiz 780-1
20. Kao P, Tseng HK, Liu CP, Su SC, Lee CM. Brain abscess : clinical analysis of 53
cases. J Microbiol Immunol Infect 2003;36:129-36
21. Borrego RR, Navarro M, Gomez JA, Carreras J. Brain abscess in children. Ann
Pediatr (Bare) 2005; 63: 253-8.
22. Sharma R, Mohandas K, Cooke RP. Intracranial abscesses : changes in
epidemio-logy and management over five decades in Merseyside. Infection. Feb
2009;37 (1)39-43
23. Kao PT, Tseng HK, Liu CP, et al. Brain abscess : clinical analysis of 53 cases./
Microbiol Immunol Infect. Jun 2003; 36 (2): 129-36
24. Cavusoglu H, Kaya RA, Turkmenoglu ON, Colak I, Aidin Y, Brain abscess :
analysis of results in a series of 51 patients with a combined surgical and medical
approach during an 11-year period. Neurosurg focus 2008; 24(6):E9
25. Bagian Neurologi FK Undip/RSUP Dr Kariadi : Arsip kasus bangsal, Semarang,
2010. (tak dipublikasikan)
26. Lu CH, Chang WN, Lui CC. Strategies for the management of bacterial brain
abscess. / Clin Neurosci. Dec 2006;13 (10): 979-85
27. Thomas LE, Goldstein JN. Brain abscess, May 2010. http://emedicine.
medscape. com/article/7 8102'1-overview
28. Schliamser SE, Backman K, Norrby SR. Intracranial abscess in adults: an
analysis of 54 consecutive cases. Scand J Infect Dis 1988; 20:1-9
29. Hakan T. Management of bacterial brain abscesses. Neurosurg Focus.
2008;24(6]:E4
30. Boviatsis EJ, Kouyialis AT, Stranjalis G, et al. CT-guided stereotactic aspiration
of brain abscesses. Neurosurg Rev. Jul 2003;26(3):206-9
31. Kurschel S, Mohia A, Weigi V, et al. Hyperbaric oxygen therapy for the
treatment of brain abscess in children. Child NervSyst. 2005;May5:
32. Kutlay M, Colak A, Yildiz S, et al. Stereotactic aspiration and antibiotic
treatment combined with hyperbaric oxygen therapy in the management of

81
bacterial brain abscess. Neurosurgery. Dec 2005;57(6)1140-6
33. Eze KC, Salami TAT, Eze CU, Alikah SO. Computed tomography study of
complicated bacterial meningitis. Nigerian Journal of Clinical Practice
2008;ll(4):351-354
34. Coral I, Martin-Davila P, Centela T, Moya JL. Trends in neurological
complications of endocarditis. / Neurol 2007; 254:1253-1259
35. Lee TH, Chang WN, Su TM, et al. Clinical features and predictive factors of
intraventricular rupture in patients who have bacterial brain abscess. / Neurol
Neurosurg Psichiatry. Mar 2007; 78 (3): 303-9
36. Xiao F, Tseng MY, Teng LJ, et al. Brain abscess : clinical experience and
analysis of prognostic factors. Surg Neurol. May 2005;63(5):442-9; discussion
449-50
37. Demir MK, Hakan T, Kilicoglu G, et al. Bacterial brain abscesses : prognostic
value of an imaging severity index. Clin Radiol. Jun 2007; 62 [6): 564-72
38. Smith SJ, Ughratdar I, MacArthur DC. Never go to sleep on undrained pus : a
retrospective review of surgery for intraparenchymal cerebral abscess. Br J
Neurosurg. Aug 2009;23(4):412-7
39. Kennedy KJ, Chung KH, Bowden FJ, et al. A cluster of nocardial brain abscess.
Surg Neurol Jul 2007;68(l):43-9; discussion 49
40. Hakan T, Ceran N, Erdem I, et el. Bacterial brain abscess : an evaluation of 96
cases.//n/ect. May 2006;52(5):359-66
41. Patel K. Clifford DB. Bacterial brain abscess. The Neurohospitalist. 2014, Vol.
4(4] 196-204
42. Sonneville R. Ruimy R. Benzonana N. Riffaud L. Carsin A. Tadi JM. Piau C.
Revest M. Tattevin P. the ESCMID Study Group for Infection Disease of the
brain (ESGIB]. An update on bacterial brain abscess in immunocompetent
patients. Clinical Microbiology and Infection 23. 2017 614-620

82
BAB 6

SPONDILITIS TUBERKULOSIS
O. S. Hartanto Baarid Luqman Hamidi

83
SPONDIUTIS TUBERKULOSIS

I. KERANGKA MODUL
A. Kompetensi
Menegakkan diagnosis dan tata laksana spondilitis mencakup epidemiologi,
etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinis, pemeriksaan
penunjang dan interpretasinya, disertai manajemen pengobatan terpadu.

Peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:


1. Menguasai mekanisme terjadinya spondilitis.
2. Mampu melakukan identifikasi, anamnesis, dan diagnosis
spondilitis.
3. Menguasai tata laksana dan pengelolaan pasien dengan
spondilitis.
4. Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada spondilitis.
5. Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada spondilitis.

B. Persiapan Sesi
1. Ruangkuliah.
2. Peralatan audiovisual.
3. Kasus pembelajaran.
4. Mat bantu latih.
5. Materi presentasi.
6. Penuntun belajar.
7. Daftar tilik kompetensi.
C. Gambaran Umum

84
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktik dan manajemen
spondilitis secara komprehensif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya infeksi
susunan saraf pusat, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi.
1. Contoh kasus
Perempuan, usia 24 tahun, tidak bekerja, datang dengan keluhan utama kelemahan
pada kedua tungkainya sejak 1 bulan terakhir. Keluhan diawali dengan riwayat
nyeri seperti terikat pada bagian perut dan dada pasien. Keluhan kadang disertai
demam yang tidak terlalu tinggi, terutama malam hari, dan disertai penurunan berat
badan. Kemudian keluhan dirasakan memberat hingga pasien mengeluh tungkainya
terasa berat kalau berjalan dan 1 bulan terakhir pasien menjadi sulit berjalan. Lebih
kurang 6 bulan terakhir, pasien menjalani terapi pengobatan TB paru tetapi tidak
teratur pengobatannya
2. Diskusi
a. Mengapa terjadi suatu kelemahan kedua tungkai pada
spondilitis?
b. Apakah terdapat spastisitas pada kedua tungkai yang
mengalami kelemahan?
c. Apakah diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis
untuk melakukan pengobatan segera?
d. Apakah pungsi lumbal perlu segera dilakukan untuk?
e. Apakah CT scan/MRI vertebra dapat dilakukan setelah atau
sebelum pungsi lumbal?
D. Rangkuman
1. Kompetensi pendekatan klinis dicapai dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik
neurologis, pemeriksaan penunjang, diagnosis klinis, topis, etiologi, patologi
anatomi, dan diagnosis banding.
2. Kompetensi pengobatan dicapai dengan cara keragaman epidemiologi
berdasarkan usia, empiris.
E. Tujuan Pembelajaran
1. Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.
2. Mengetahui penyebab spondilitis.
3. Menjelaskan epidemiologi spondilitis.
4. Mengetahui komplikasi.
5. Mengetahui indikasi pemeriksaan Rontgen polos vertebra dan CT scan dan MRI
torakal dan lumbal.
6. Melakukan dan menjelaskan manajemen terapi spondilitis.
7. Mempertimbangkan/menganjurkan tindakan operatif.

85
Tujuan - 1: Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik
a. Mengetahui cara melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
umum pada kasus spondilitis.
b. Mengetahui cara melakukan pemeriksaan fisik neurologis pada
kasus spondilitis.

Tujuan- 2: Mengetahui penyebab spondilitis


a. Mengetahui jenis kuman penyebab spondilitis dan
patomekanismenya.
Tujuan - 3: Menjelaskan epidemiologi spondilitis
a. Mengetahui tentang prevalensi tuberkulosis dan spondilitis TB.
b. Mengetahui distribusi spondilitis TB berdasarkan usia, jenis
kelamin, dan geografi.
c. Mengetahui faktor-faktor risiko spondilitis TB.
d. Mengetahui kebijakan kesehatan pemerintah terkait tata
laksana tuberkulosis.
Tujuan 4: Mengetahui komplikasi
a. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada spondilitis.
b. Menjelaskan komplikasi awal, intermedial spesifik, dan jangka
panjang.
c. Mengetahui cara mengatasi komplikasi.
d. Mengantisipasi kelainan otonom.
Tujuan 5: Mengetahui indikasi pemeriksaan Rontgen polos vertebral, CT scan,
dan MRI vertebra torakal
a. Mengetahui interpretasi pemeriksaan rontgen polos vertebra.
b. Mengetahui kelainan khas dan interpretasi CT scan dan MRI
vertebra
Tujuan 6: Melakukan dan menjelaskan manajemen terapi spondilitis dan
manajemen
a. Mengetahui manajemen dan pengobatan spondilitis.
b. Mengetahui farmakologi obat, termasuk OAT, dan efek
samping.
c. Mampu melakukan tindakan emergency untuk kasus
spondilitis.
d. Mampu membuat pertimbangan terapi empirik.
e. Mampu melakukan upaya pencegahan terjadinya resistensi
antibiotik
f. Mengetahui pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk
mengetahui resistensi OAT.

86
g. Mampu mengevaluasi hasil terapi.
Tujuan 7: Mempertimbangkan/menganjurkan tindakan operatif
a. Memahami indikasi, kontraindikasi, manfaat, dan risiko tindakan operatif serta
menganjurkan tindakan operatif dengan pertimbangan yang tepat.
F. Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi, dan pehgamalan ilmu
neurologi pada dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk
memiliki profesional behaviour.
G. Kasus pembelajaran
1. Deskripsi Kasus
Laki-laki 24 tahun, tidak bekerja, datang ke rumah sakit keluhan utama nyeri seperti
terikat pada dada dan perutnya. Sejak 1 bulan terakhir pasien mengeluh nyeri seperti
terikat pada bagian perut dan dada pasien. Keluhan kadang disertai demam yang
tidak terlalu tinggi, terutama malam hari dan disertai penurunan berat badan.
Keluhan kemudian dirasakan memberat hingga pasien mengeluh tungkainya terasa
berat jika berjalan dan pasien kesulitan memakai sandal. Keluhan terkadang disertai
gangguan saat buang air kecil dan buang air besar. Lebih kurang 6 bulan terakhir
pasien menjalani terapi TB paru tetapi tidak teratur pengobatannya.
Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut:
a. Kesadaran compos mentis.
b. Tekanan darah : 110/70 mmHg.
c. Frekuensi nadi 85 x/menit.
d. Suhu37°C.
e. Respirasi 21 x/menit.
f. Jantung dan paru dalam batas normal.
g. Abdomen supel, hepar dan lien tak teraba.
h. Punggung daerah torakal teraba gibus dan tidak terasa nyeri.
i. Ekstremitas tidak ada edema.
j. Status neurologis:
♦ Glasgow Coma Scale : E4M 6V5 .
♦ Status mental dalam batas normal.
♦ Tanda rangsangan meningeal negatif.
♦ Pupil bulat isokor, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya langsung dan

87
konsensual +/+.
♦ Nervus kraniales: Intak.
♦ Motorik:
Kekuatan Otot: 5/5/5/5 | 5/5/5/5 Tonus Otot:: Nornal |
Normal. 1/2/2/2 | 2/2/2/1 Normal | Normal.
♦ Refleks fisiologis:
Bisep: ++/++; Brakioradialis: ++/++;
Trisep: ++/++. Patela: ++++/++++;
Achilles: ++++/++++.
♦ Refleks patologis: Hoffman-Tromner -/-.
Babinsky Group: +/+.
♦ Klonus: Patela: +/+; Kaki: +/+.
♦ Sensorik: Hipestesi setinggi dermatom torakal VII ke bawah.
♦ Saraf otonom: Retensi urin positif.
2. Hasil pemeriksaan penunjang:
a. Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung
jenis, dan laju endap darah.
b. Pemeriksaan foto toraks dan vertebra.
c. Pemeriksaan CT scan dan MRI vertebral dengan kontras.
3. Monitoring:
a. Kesadaran.
b. Tanda vital.
c. Defisit fokal.
4. Diskusi
a. Mengapa terjadi kelemahan kedua tungkai pada spondilitis?
b. Apakah terdapat spastisitas pada kedua tungkai yang
mengalami kelemahan?
c. Apakah diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis
untuk melakukan pengobatan segera?
d. Apakah pungsi lumbal segera dilakukan?

88
e. Apakah CT scan/MRl vertebra dapat dilakukan setelah atau sebelum pungsi
lumbal?
H. Rangkuman
1. Kompetensi pendekatan klinis dicapai dengan cara:
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan fisik/neurologis
c. Diagnosis banding
d. Diagnosis (klinis, topis, etiologi, patologi-anatomi)
e. Pemeriksaan penunjang
f. Sistem rujukan
2. Penilaian kompetensi
Hasil observasi selama alih pengembangan dan keterampilan.

89
II. MATERI BAKU SPONDILITIS TUBERKULOSIS
Spondilitis tuberkulosis (TB]/Pott telah terdokumentasi pada mumi dari Mesir dan
Peru dan merupakan penyakit tertua pada manusia. Penyakit ini disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1779, Percivall Pott menggambarkan
deskripsi klasik dari tuberkulosis spinal. Sejak penemuan obat antituberkulosis
(OAT), tuberkulosis tulang belakang mulai jarang ditemukan di negara maju, namun
masih banyak ditemukan di negara berkembang. Dari seluruh kasus TB 17,9%-19,4%
adalah kasus ekstrapulmonal. Sebelas persennya melibatkan osteoartikuler.
A. Patogenesis dan Patofisiologi
Tulang vertebra yang berdekatan dapat terkena karena distribusi suplai arteri
vertebralisnya. Selain itu didapatkan penyebaran limfogen yang berasal dari
tuberkulosis ginjal yang tidak bermanifestasi.
Tuberkulosis menyebar dari fokus tulang belakang melalui penyebaran
langsung melalui ruang diskus. Bila abses paravertebral terbentuk, penyakit kemudian
menyebar melalui ligamentum longitudinalis anterior/posterior hingga ruang pleura.
Abses dapat juga menyebar melalui fasia menimbulkan abses psoas atau menyebar ke
posterior membentuk abses ekstradural.
B. Gejala dan Tanda
Nyeri lokal memiliki karakteristik dalam, seperti dibor, dan seperti menyakitkan
[deep, boring, aching). Nyeri ini dibangkitkan oleh stres mekanik pada vertebra.
Tirah baring biasanya dapat mengurangi nyeri. Nyeri lokal timbul sebagai akibat dari
iritasi pada vertebra pada bagian yang memiliki persarafan (periosteum, ligamen,
duramater, apophiseal joint] dan struktur-struktur penunjangnya.
Umumnya pasien spondilitis TB mengalami nyeri punggung bawah dan
paraparesis upper motorneuron (UMN) level torakolumbal karena lesi
umumnya terjadi di daerah torakal bawah atau lumbal atas. Namun demikian, dapat
ditemukan juga spondilitis servikal yang menyebabkan nyeri leher dan tetraparesis
UMN. Selain itu, dapat ditemukan kelumpuhan tipe lower motorneuron (LMN),
radikulopati, gangguan berjalan, dan gangguan defekasi/berkemih. Pada lesi di
lumbal bawah, dapat ditemukan klinis sindrom kauda ekuina atau sindrom konus
medularis. Harus diingat bahwa terdapat spondilitis TB multisegmen nonkontinu. Hal
ini berhubungan dengan dua atau lebih lokasi lesi yang memberikan gambaran klinis
yang tumpang tindih. Demikian juga dengan kompresi medula spinalis dan kompresi
radiks yang akan memberikan gambaran mielopati dan radikulopati.
C. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium memberikan hasil peningkatan laju endap darah (LED],
dan tes tuberkulin positif. Kadar C-reactive protein (CRP] yang meningkat
menunjukkan telah terbentuk pus (abses). Tes Mantoux biasanya positif (84-95%)

90
namun hal ini hanya menunjukkan riwayat pernah terpapar kuman tuberkulosis.
Selain itu juga pemeriksaan ini juga tidak spesifik karena pada orang-orang yang
pernah terinfeksi mycobacterium nontuberkulosis juga akan memberikan hasil yang
positif. Kultur sampel urin pagi positif bila ada tuberkulosis renal. Pemeriksaan
sputum positif hanya bila ada infeksi paru-paru akut. Pemeriksaan laboratorium
yang memastikan penyakit adalah kultur positif dari hasil biopsi lesi vertebra.

Tampak destruksi pada korpus vertebra lumbal 3 (L3) dan lumbal 4 (L4) dengan
pedikel yang masih intak.
2. Foto polos vertebra
Permintaan foto vertebra servikal, torakal, atau lumbal dibuat sesuai temuan
klinis. Pada foto vertebra dapat ditemukan gambaran yang mengarah ke spondilitis
TB berupa:
a. Destruksi litik bagian anterior korpus vertebra dengan

91
fenomena baji ke arah anterior.
b. Korpus vertebra yang kolaps.
c. Destruksi atau penipisan diskus intervertebralis dengan tepi yang tidak rata.
d. Pedikel relatif intak.
e. Bayangan paravertebral berbentuk fusiformis yang
menandakan abses paravertebra.
f. Lesi pada tulang ditemukan pada dua vertebra yang
berdekatan.
g. Bayangan psoas yang membesar yang menandakan abses
psoas.
h. Contoh hasil foto polos vertebra spondilitis TB
diperlihatkan dalam Gambar 1.
3. Pencitraan CT scan dan MRI
Pencitraan resonansi magnetik [magnetic resonance imaging /MRI] merupakan
pilihan pencitraan karena dapat melihat baik tulang maupun jaringan lunak yang
terkena dan penyebaran di bawah ligamentum longitudinal anterior dan posterior,
juga dapat membedakan antara tuberkulosis dan piogenik.
Spondilitis TB umumnya hanya terjadi pada satu vertebra atau dua sampai tiga
vertebra yang berdekatan. Namun demikian dikenal juga suatu bentuk spondilitis
TB atipikal yang mengenai dua atau lebih vertebra tanpa destruksi dari korpus
vertebra atau diskus intervertebralis di antaranya. Bentuk ini disebut spondilitis TB
multilevel nonkotinu. Kasusnya sangat jarang dilaporkan. Laporan-laporan
sebelumnya melaporkan insidens yang bervariasi antara 1,6 - 16%. Sistem vena
vertebra bertanggung jawab terhadap penyebaran infeksi ke beberapa vertebra
nonkontinu.
Lebih jauh, beberapa peneliti berpendapat bahwa kasus spondilitis TB multilevel
nonkotinu mungkin lebih banyak daripada yang dipikirkan selama ini. Suatu
penelitian retrospektif di Britania Raya yang menggunakan data dari kasus-kasus
spondilitis TB yang diperiksa menggunakan MRI spinal menyeluruh menemukan
bahwa insidens spondilitis TB multilevel nonkontinu adalah sebesar 71,4%. Jauh
lebih besar daripada laporan sebelumnya yang angkanya berkisar antara 1,6 - 16%
(Kaila dkk, 2007). Banyak pasien yang memiliki spondilitis TB multilevel
nonkontinu yang asimptomatik. Hal ini akan sulit diidentifikasi apabila tidak
dikerjakan MRI spinal. Padahal identifikasi lokasi, jumlah, dan perluasan lesi
penting dalam menentukan strategi terapi dan prognosis. Di lain pihak, MRI spinal
menyeluruh cukup mahal sehingga mungkin tidak bisa dikerjakan pada semua
pasien. Hal ini masih menjadi tantangan yang perlu dijawab. Apabila mampu
laksana, MRI spinal menyeluruh sebaiknya dikerjakan apabila ditemukan lesi yang

92
dicurigai spondilitis TB pada MRI spinal segmental.
Contoh hasil MRI vertebra yang sesuai dengan spondilitis TB diperlihatkan
dalam Gambar 2.

MRI lumbosakral sekuens T2WI sagital tanpa kontras. Tampak


destruksi pada korpus vertebra L3 dan L4 serta diskus intervetebralis L3-4. Destruksi
menyebabkan efek penekanan ke kantong dura dan kauda ekuina.
D. Diagnosis Banding
Infeksi mikobakterium lainnya (misalnya Mycobacterium avium, dan
Mycobacterium kansasii). Beberapa diagnosis banding spondilitis tuberkulosis ini
diperlihatkan dalam Tabel 1.

93
Tabel 1 Diagnosis Banding Spondilitis Tuberkulosis

94
E. Penatalaksanaan
Dosis yang digunakan diperlihatkan dalam Tabel 2.

95
Penatalaksanaan nyeri juga penting. Pengobatan akut dapat menggunakan
antiinflamasi nonsteroid, inhibitor cyclooxygenase 2 (COX-2), atau opioid lemah
[kodein dan tramadol). Bila masih timbul nyeri dapat diberikan opioid yang kuat
(morfin dan oksikodon). Bila timbul nyeri kronik dapat diberikan antidepresan
trisiklik atau antikejang. Fisioterapi untuk mengatasi nyeri dilakukan terapi
ultrasound, massotherapy, transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS),
dan akupunktur dengan memperhatikan kondisi penyakit. Pasien juga diajarkan
teknik relaksasi dengan biofeedback, guided imagery, meditasi. Kadang-kadang
diperlukan konseling psikologi.
Penatalaksanaan bedah dilakukan pada pasien bila terdapat defisit
neurologis, deformitas tulang belakang dengan instabilitas, tidak ada respons
terhadap terapi medikamentosis (misalnya destruksi tulang progresif meski sudah
dalam terapi OAT), tidak patuh minum obat, abses paraspinal yang luas atau
ukurannya tidak berkurang meski sudah dalam terapi OAT, instabilitas vertebra,
pencegahan kifosis berat pada anak dengan lesi dorsal luas, dan diagnosis belum
jelas. Di lain pihak, pembedahan dikontraindikasikan jika prolaps tulang vertebra
tidak besar (korpus vertebra yang kolaps kurang dari 50% atau deformitas tulang
belakang kurang dari 5°.
Teknik operasi yang sering digunakan adalah debridemen radikal fokal
anterior dan stabilisasi posterior. Selain itu dapat juga dilakukan debridemen
radikal anterior, dekompresi, fusi menggunakan instrumentasi tulang belakang
anterior, dan penggantian dengan alograf dari fibula. Darwish, dkk (2001)
berpendapat bahwa dalam penatalaksanaan penyakit ini,
kombinasi kemoterapi dengan pembedahan merupakan kombinasi
terbaik.
Fisioterapi diperlukan untuk mencegah timbulnya dekubitus serta pencegahan
fraktur dan deformitas tulang belakang yang lebih berat. Kadang-kadang diperlukan
frame, plaster bed, plaster jacket, dan brace. Pasien dilatih untuk mobilisasi aktif
namun dengan menjaga stabilitas tulang belakang direncanakan pemasangan korset
torakolumbal.

96
Daftar Pustaka
1. Kolegium Neurologi Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Spesialis Neurologi
Indonesia. KNI:Jakarta;2015.
2. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor's Principles of Neurology. Edisi ke-8.
New York: McGraw-Hill; 2005. Hal. 11-3.
3. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor's Principles of Neurology. Edisi ke-8.
New York: McGraw-Hill; 2005. Hal.541-2.
4. Scheld WM, Whitley RJ, Marra CM. Editor. Infections of the Central Nervous
System. Edisi ke-4. Philadelphia. Wolters-Kluwer.20U.Hal 10-2.
5. Weiner WJ, Shulman LM. Emergent and urgent neurology. Edisi ke-2.
Lippincott Williams and Wilkins; 1999.
6. Esteves S, Catarino I, Lopes D, Sousa C. Spinal tuberculosis: rethinking an old
disease./ourno/ of Spine. 2017;6(1):358.
7. Wood M, Anderson M. Neurological infections. WB Saunders Co; 1988.
8. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 tahun 2016
tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan RI: Jakarta;
2016.
9. Garg RK, Somvanshi DS. Spinal tuberculosis: A review. The Journal of Spinal
Cord Medicine 2011;34:440-54.
10. Kaila R, Malhi AM, Mahmood B, Saifuddin A. The incidence of multiple level
noncontiguous vertebral tuberculosis detected using whole spine MRI. / Spinal
Disord Tech 2007;20:78-81.
11. WHO. Guidelines for treatment of drug-susceptible tuberculosis and patient care.
2017 update. WHO: Jenewa; 2017.
12. Thwaites G, Fisher M, Hemingway C, Scott G, Solomon T, Innes J. British
infection society guidelines for the diagnosis and treatment of tubeculosis of the
central nervous system in adults and children./ourna/ of Infection. 2009.
59:167-87.
13. Lewinsohn DM, Leonard MK, LoBue PA, Cohn DL, Daley CL, Desmond E,
Keane J, Lewinsohn DA, Loeffler AM, Mazurek GH, O'Brien RJ. Official
American Thoracic Society/Infectious Diseases Society of America/Centers for
Disease Control and Prevention clinical practice guidelines: diagnosis of
tuberculosis in adults and children. Clinical Infectious Diseases. 2017 Jan
15;64(2):el-33.

97
BAB 7

ENSEFAUTIS VIRUS
Badrul Munir

98
ENSEFALITIS VIRUS
I. KERANGKA MODUL
A. Keterampilan
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
1. Memahami mekanisme terjadinya ensefalitis virus.
2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk membuat diagnosis kerja
ensefalitis virus dan diagnosis bandingnya.
3. Merencanakan dan menginterpretasikan hasil pemeriksaan penunjang yang relevan
untuk menegakkan diagnosis ensefalitis virus dan menyingkirkan diagnosis
bandingnya.
4. Menguasai tata laksana dan pengelolaan pasien dengan ensefalitis virus.
5. Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada ensefalitis virus.
6. Memprediksi dan mengelola penyulit yang terjadi pada ensefalitis virus.
7. Melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi kepada pasien/keluarga pasien
terkait penyakit ensefalitis virus.
8. Membangun kerja sama yang baik dengan teman sejawat dari disiplin ilmu dengan
profesional pemberi asuhan lain dalam memberikan perawatan pada pasien.
B. Gambaran Umum
Modul ini bertujuan untuk memberikan bekal pengetahuan praktik dan tata laksana
ensefalitis virus melalui pendekatan berbasis kasus. Peserta didik sebelumnya harus
sudah memiliki dasar pengetahuan medis tentang ensefalitis virus.
Peserta didik perlu mempelajari secara aktif dan mandiri tentang topik patogenesis
ensefalitis virus, metode dan kriteria , serta terapi farmakologis ensefalitis virus
sebelum sesi dimulai.
1. Contoh Kasus
Ilustrasi Kasus 1
Seorang lelaki usia 50 tahun datang dengan keluhan kesadaran menurun secara
perlahan sejak 3 hari yang lalu, awalnya bingung, sulit berbahasa dan batuk. Tidak
ada riwayat trauma kepala sebelumnya, saat datang di UGD GCS 334 suhu 38,5°
dengan hemodinamik stabil, pupil bulat isokor dengan refleks cahaya +/+, tonus
normal, refleks normal pada semua ekstremitas.
Diskusi
a. Apakah hal-hal yang perlu ditanyakan dalam anamnesis dan
pemeriksaan fisik?
b. Apakah diagnosis kerja dan diagnosis bandingnya?
c. Apakah pemeriksaan penunjang yang perlu dikerjakan
untuk menegakkan diagnosis?
d. Bagaimanakah interpretasi pemeriksaan penunjang yang

99
menunjang diagnosis?
e. Bagaimanakah patogenesis terjadinya gangguan neurologis pada pasien ini?
f. Hal-hal apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam
penatalaksanaan pasien ini?
g. Bagaimana pemantauan lanjut dan kriteria kesembuhannya?
h. Faktor-faktor apa saja yang dapat memperburuk prognosis pasien ini?

Ilustrasi Kasus 2
Laki-Iaki 57 tahun datang keluhan utama kesadaran menurun secara bertahap yang
diawali dengan bingung dan agitasi. Sebelumnya didapat sakit kepala, kaku leher
dan demam. Pasien menderita infeksi zooster di punggung sebelah kanan 6 hari
yang lalu dan menyebar dengan cepat. Tidak ada riwayat perjalanan sebelumnya,
tidak ada riwayat kontak dengan hewan, tidak ada terapi kortikosteroid dan radiasi
sebelumnya. Riwayat penyakit dahulu : Diabetus mellitius
Pemeriksaan: tekanan darah 151/66 mmHg nadi 75x/menit, RR 20 x/menit suhu
38,5°C. Didapatkan kaku kuduk dan ruam eritomatus vasikuopapular di 3 regio
lumbar. Pemeriksaan sensoris di daerah ruam menurun, klonus didapat di
ekstrimitas kanan kiri, pemeriksaan neurologi lainnya normal
Diskusi
a. Apa saja penyebab penurunan kesadaran pada pasien ini?
Bagaimana mekanismenya?
b. Apakah masalah utama yang ditemui dalam
penatalaksanaan kasus sesuai ilustrasi kasus di atas?
c. Pemeriksaan penunjang apa yang perlu dikerjakan dan
bagaimana hasil yang diharapkan?
d. Apakah penatalaksanaan lanjut untuk pasien ini?
e. Bagaimana komplikasi yang bisa terjadi?
f. Bagaimana prognosis pasien di atas?
g. Langkah apa yang perlu dilakukan bila pasien sudah
sembuh
C. Rangkuman
Kompetensi pendekatan klinis dicapai dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik
umum, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan
penyakit termasuk pemberian obat antivirus dan pemantauannya.

100
D. Tujuan Pembelajaran
1. Menjelaskan epidemiologi ensefalitis virus:
a. Menjelaskan tentang situasi epidemiologi.
2. Memahami agen penyebab ensefalitis virus:
a. Menjelaskan pembagian virus penyebab ensefalitis.
b. Menjelaskan virulensi dari agen penyebab ensefalitis.
c. Menjelaskan penyebab tersering di Indonesia.
3. Memahami patogenesis ensefalitis virus:
a. Memahami tentang mekanisme penularan dari agen
penyebab ensefalitis virus.
b. Memahami patofisiologi ensefalitis virus.
c. Memahami tentang imunitas terhadap virus.
4. Menguraikan manifestasi klinis ensefalitis virus:
a. Mengetahui manifestasi klinis umum ensefalitis virus dan
berbagai variasinya.
b. Memahami manifestasi klinis spesifik ensefalitis virus
tertentu.
c. Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik umum, dan
pemeriksaan neurologis yang relevan.
5. Menegakkan diagnosis ensefalitis virus dan membuat diagnosis
bandingnya.
a. Mengetahui kriteria diagnosis ensefalitis virus.
b. Mengetahui berbagai metode, indikasi, dan kontraindikasi
pemeriksaan penunjang yang perlu dikerjakan untuk
menegakkan diagnosis, termasuk pungsi lumbal dan analisis
cairan serebrospinal serta pencitraan otak.
c. Mengetahui pemeriksaan tambahan yang spesifik untuk
mendeteksi agen penyebab ensefalitis virus dan
mengiterprestasinya.
6. Memahami aspek farmakologis obat-obat ensefalitis virus
a. Mengetahui berbagai jenis antiviral, cara kerja, dosis, interaksi, dan cara
pemberiannya.
b. Mengetahui berbagai efek sampingnya obat antiviral, termasuk pencegahan,
deteksi, dan penanganannya.

101
7. Melakukan penatalaksanaan ensefalitis virus secara
menyeluruh:
a. Merencanakan dan memberikan obat viral secara parenteral dan oral serta
menangani efek samping yang timbul.
b. Melalukan penatalaksanaan suportif dan simtomatis.
8. Melakukan kolaborasi dengan profesional pemberi asuhan lain dalam penanganan
pasien:
a. Melakukan konsultasi dan menjawab konsultasi ke dan dari dokter bidang
ilmu lain dengan tepat.
b. Melakukan kerja sama dan pembagian kerja dengan petugas • paramedis dalam
menangani pasien.
c. Melakukan rujukan vertikal atau horizontal dengan tepat.
d. Mengetahui posisi dan tugasnya dalam tim penanganan pasien.
9. Memberikan komunikasi, informasi, edukasi secara empati dan
efektif kepada pasien dan keluarga:
a. Di awal pembicaraan mampu menyapa dan emperkenalkan diri dengan
baik serta memperlihatkan empati dan rasa hormat yang layak kepada pasien dan
keluarga. Selanjutnya di akhir pembicaraaan mengucapkan terima kasih dan
menutup pembicaraan.
b. Mampu memberi penjelasan terkait diagnosis, dasar diagnosis, rencana
penanganan, dan prognosis dengan bahasa yang mudah dimengerti.
c. Mampu menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang yang diperlukan.
d. Mampu memberikan informasi terkait patogenesis penyakit dengan bahasa yang
mudah dipahami.
e. Mampu memberikan edukasi terkait pencegahan malaria.
f. Meminta persetujuan atas tindakan medis invasif seperti pungsi lumbal dengan
baik.
10. Menerapkan prinsip-prinsip keselamatan pasien dan menghargai hak pasien dan
keluarga dalam perawatan pasien:
a. Menerapkan enam sasaran keselamatan pasien.
b. Mengetahui hak pasien dan keluarga.
c. Mengetahui tugas dan wewenang sebagai dokter, baik dokter penanggung
jawab pelayanan maupun residen.
d. Mengetahui kewajiban dan cara membuat laporan insiden kejadian tidak
diharapkan.
11. Membuat laporan tentang kejadian ensefalitis virus sesuai ketentuan pemerintah:
a. Mengetahui tentang kewajiban memberikan laporan terkait
temuan kasus ensefalitis virus di unit pelayanan kesehatan.
b. Mengetahui tentang cara pelaporan temuan kasus

102
ensefalitis viral.
E. Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi, dan pengamalan ilmu
neurologi pada dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk
memiliki perilaku profesional yang ditunjukkan dengan:
1. Kepakaran medis/pembuatan keputusan klinis.
2. Komunikator.
3. Kolaborator.
4. Manajer.
5. Advokasi kesehatan.
6. Kesarjanaan.
7. Profesionalisme.
8. Performa. Persiapan Sesi

103
II. MATERI BAKU ENSEFALITIS VIRUS A.
Epidemologi
Data epidemologi sangat bervariasi antar negara satu dengan negara lainnya, di
Amerika Serikat insiden ensefalitis viral penduduk per tahun, data memperkirakan
sekitar 20.000 kasus baru ensefalitis di seluruh Amerika Serikat. Ada 2 penyebab
tersering ensefalitis di Amerika serikat antara lain HSV dan virus rabies. HSV virus
merupakan penyebab utama ensefalitis dengan insiden 2-4 kasus per 1 juta penduduk
per tahun dan tercatat 10% dari semua ensefalitis di Amerika Serikat.
Namun data secara internasional tidak seragam terutama untuk negara
berkembang, hal ini karena kesulitan mendeteksi virus patogen, data di Finlandia
menyebutkan insiden ensefalitis 1,4 kasus per 100.000 per tahun dengan penyebab
ensefalitis HSV 16%, kemudian VZV 5% dan Mumps virus (4%) serta influensa virus
(4%).
Anak-anak dan dewasa muda merupakan kelompok umur yang paling sering
terserang ensefalitis, namun tingkat keparahan lebih banyak di kelompok bayi dan usia
tua. Untuk tingkat kekambuhan paling sering adalah HSE yakni sekitar 25%. Tidak ada
perbedaan ras dalam insiden ensefalitis walaupun predileksi genetik terhadap tingkat
keparahan infeksi susunan saraf pusat.
B. Manifestasi Klinik
Pada umumnya ensefalitis ditandai dengan panas yang bersifat akut, dan pada
umumnya juga mengenai keterlibatan iritasi leptomenigeal dengan gejala sakit kepala,
demam dan kaku kuduk. Selain itu juga bisa menunjukan gejala defisit neurologi
fokal, kejang dan penurunan kesadaran yang dimulai dengar letargia, konfusi, stupor
dan koma.
Ensefalitis juga bisa menyebabkan gangguan perilaku dar berbahasa, namun
gangguan gerak sangat jarang, bila melibatkar hipotalamus atau pituitari dapat
menyebabkan hipertermia.
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik saja sulit dijadikan acuan untuk menegakan diagnosis. Ensefalitis
viral bisa menimbulkan gejala neurologi fokal seperti opistotonus, parese, tremor,
ataxia, hipotonia, diplopia. Peningkatan refleks dan abnormalitas dari gerakan kadang
muncul seperti tremor, ensefalitis juga bisa meningkatkan tekanan intrakranial dan
papil edem serta parese nervus kranialis.
D. Gejala Klinis yang Spesifik untuk Virus Tertentu.
Ensefalitis disebabkan oleh karena arbovirus sering kali memunculkan gejala defisit
fokal yang prominen juga bisa menyebabkan keterlibatan medula spinalis
(ensefalomielitis), Japanese ensefalitis sering ditandai dengan munculnya gejala
ekstrapiramidal; sindroma wajah seperti gerakan tremor, choreoatetosis, kepala

104
cenderung tertunduk dan rigiditas, kelemahan flasid khususnya ekstremitas bawah
yang disebabkan kerusakan dari kornu anterior dari medula spinalis
Enfelitis karena enterovirus 71 (Rhombenecephalitis) sering menimbulkan gejala
mioklonus, tremor, ataxia, parese nervus kranialis, edema paru neurogenik dan koma.
Ensefalitis karena virus nipah disamping memunculkan gejala klasik ensefalitis juga
sering menimbulkan gejala cerebelar dan batang otak seperti mioklonis segmental,
hipertensi yang berat, dan takikardia. Ensefalitis virus nipah sering timbul 4 bulan
setelah terpapar virus ini yang mirip dengan fenotipe dari sub akut sklerosing
panensefalitis (SSPE]. Ensefalitis karena zika virus selama kehamilan sering
menyebabkan mikrosefali pada anak yang dilahirkan.(Gondim 2016]
E. Patofisiologi
Mengetahui reseptor virus di dinding sel untuk replikasi siklus virus sesuatu yang
sangat penting untuk memahami penyebaran virus, tropisme virus, dan patogenesis.
Berikut ini beberapa reseptor virus yang penting untuk diketahui
• Virus measles- CD46
• Virus Polio-CD 155
• Virus Herpes Vrius Simplex (HSV) -Heparin sulfate : Hve A,B, dan C. Tumor
Necrosis factor reseptor supervamili 14
• Virus rabies - Achr=NCAM dan NGRF
• Virus HIV-CD4, CCR5/3 dan CXCR4
• Virus JV-Nlinked glycoprotein dan 2-6 sialilic acid
• Virus west Nile-Cholesterol-rich membrean microdomiains
Penyebaran virus ke susunan saraf pusat melalui:
1. Penyebaran Hematogen
Penyebaran hematogen merupakan penyebaran tersering, pada umumnya manusia
hanya host insidental dari beberapa virus yang menyebabkan ensefalitis. Host
utamanya sering di hewan seperti artoproda atau beberapa variasi hewan vetebrata
khususnya burung dan roden (hewan pengerat].
Infeksi virus dimulai pada sistem retikular endotelia dan otot, kemudian virus
bereplikasi dan menyebar ke organ lain termasuk CNS yang menimbulkan kondisi
fatal.
Pemeriksaan histopatologi menemukan beberapa kelainan:
Pemeriksaan makroskopis didapatkan temuan radang meningeal, edema serebri,
kongesti dan perdarahan otak, sedangkan pemeriksaan mikroskopis didapatkan
leptomeningitis dengan infiltrasi sel, perdarahan kecil di perivaskular, nodul lekosit
atau mikroglia, demielinating akibat kerusakan oligodendrosit atau keterlibatan sel
ependimal yang menyebabkan hidraencefali. Kerusakan neuron tampak seperti

105
chromatolisis dan neuronophagia. Area nekrosis bisa sangat luas khususnya karena
virus eastern equin encephalitis [EEE] dan Japanese encephalitis fJE].
2. Penyebaran Retrograde Neural
Virus rabies menyebar ke CNS melaui retrogede dari saraf tepi, kemudian masuk ke
dalam lobus temporal yang merupakan tropisme.
Herpes simples virus (HSV) juga menyebar secara retrogade melalui nervus
olfactorius dan masuk ke dalam lobus temporalis dan pons dan dapat mengalami
perluasan ke area lain otak.
Analisis LCS
Ensefalitis viral menghasilkan pleositosis limfositik, biasanya dalam kisaran 10
sampai 100 sel/mm3 dengan protein sedikit meningkat dan glukosa CSF normal.
Leukosit PMN terkadang meningkat lebih dari 50% selama 24 sampai 36 jam dari
infeksi,dan hal ini dapat berubah bila dilakukan LP ulang. Pada beberapa pasien
dengan infeksi coxsackievirus dari SSP, leukosit PMN dapat merupakan 90% dari
sel-sel pada awal infeksi, dan dominasi PMN leukosit dapat bertahan selama lebih dari
24 jam.
Protein meningkat pada kisaran 50 sampai 100 mg/dL tapi kadang-kadang
mungkin lebih tinggi. Glukosa biasanya normal, tetapi penurunan glukosa ke tingkat
mendekati meningitis bakteri telah dilaporkan pada infeksi dengan HSV-2, herpes
zoster virus, mumps, dan limfositik virus choriomeningitis.
CSF harus rutin dikirim untuk analisis PCR untuk enterovirus, termasuk
parechoviruses dan HSV. Pada pasien yang memiliki ruam vesikuler, virus
varicella-zoster PCR juga harus dikirim. Kedua CSF dan serum harus dibekukan untuk
pengujian serologi masa depan.
F. Penegakan Diagnosis
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak begitu membantu penegakan diagnosis kecuali
identifikasi agen virus. Pada pemeriksaan darah lengkap ada peningkatan limfosit
sebagai predominan. Beberapa pemeriksaan untuk evaluasi meliputi CBC, test fungsi
ginjal, dan liver. Penegakan diagnosis harus secara cepat berdasarkan gejala klinis
yang kadang dikaburkan dengan penyakit penyebab panas lainnya atau intoksikasi.
Analisis CSF sangat penting meliputi polymerase chain reaction [PCR] karena
pemeriksaan magnetic resonance imaging [MRI] hanya bisa mendiagnosis ensefalitis
tetapi tidak dapat membedakan agen etiologi virus.
Kultur darah dan kulit
Semua pasien curiga ensefalitis dilakukan kultur darah untuk mengeluarkan
penyebab bakteri dan jamur. Pada kasus khusus diperlakukan kultur dari sputum,
nasofaring, atau feses. Biopsi kulit dapat digunakan untuk seperti Rocky Mountain
spottes fever dan biopsi kulit dalam untuk pewarnaan axon sensoris pada kasus rabies.
Tes serologis

106
Beberapa penyebab ensefalitis dapat didagnosis dari deteksi serum antibodi IgM
terutama (varisella dan arbovirus).
Komplikasi
Komplikasi tersering dari enfelitis virus antara lain infeksi saluran nafas dan
saluran kencing, komplikasi ini tergantung dari beratnya ensefalitis. Pada pasien yang
recovery akan ada bukti kerusakan dan kematian neuron yang menyebabkan defisit
neurologi, penurunan kecerdasan dan gangguan psikiatri dan beratnya ini sangat
tergantung dari agen penyebab virus itu sendiri.
Sequele terjadi 30-40% pada pasien usia 5-40 tahun dan meliputi gejala ekstra
piramidal sindroma (khususnya distonia dan parkinsonisme] kelemahan dan
bangkitan. Sequele dilaporkan hanya 3-10% dari kasus JE di Jepang.
Hiponatremia berhubungan dengan syndrome of inappropiate antidiuretic
hormone (SIADH) sering terjadi pada Ensefalitis St Loius. Komplikasi lain dehidrasi,
komplikasi respiratori, infeksi nosokomial dan dekubitus.
G. Tata Laksana
Pemberian antiviral sangat penting untuk memperpendek gejala klinis, mencegah
komplikasi, mencegah perpanjangan penyakit dan menurunkan angka kekambuhan,
menurunkan penyebaran transmisi dari virus itu sendiri.
Beberapa antiviral yang bisa diberikan antara lain
1. Acyclovir
Acyclovir menunjukan mampu menginhibisi aktifitas dari HSV-1 dan HSV 2,
sebelum pemberian acyclovir angka kematian ensefalitis virus 60-70% menurun
menjadi 30% setelah pemberian acyclovir, acyvlovir juga efektif untuk pengobatan
ensefalitis VZV.
Dosis untuk herpes simpleks virus 10-15 mg/kg IV q 8 jam selama 10 hari; kadang
perlu diteruskan sampai 14-21 hari.
2. Ribavirin
Ribavirin merupakan analog dari guanosine yang menginhibisi dari replikasi virus
dengan menginhibisi sintesis DNA dan RNA. Penelitian klinis ribavirin bermanfaat
mengobati infeksi arena virus.
H. Prognosis
Kematian pasien ensefalitis sangat tergantung dari agen penyebab ensefalitis itu
sendiri. Mortalitas dari HSE 70% pada pasien yang tidak diterapi, dan kecacatan berat
bagi yang bisa hidup. Western equine encephalomyelitis (WEE) sequel jarang terjadi di
pasien dewasa namun sering terjadi di anak-anak, sequel tersering antara lain konvulsi
motorik, perubahan perilaku yang mengenai hampir separuh pasien anak-anak yang
terserang ensefalitis WEE di bawah usia 1 bulan.

107
Komplikasi Eastern Equine Encephalitis Virus (EEE) lebih sering mengenai
pasien di atas 40 tahun yang bertahan hidup sedangkan pada anak-anak di bawah 5
tahun dengan gejala sisa berupa retardasi mental, kejang dan paralisis.
Mortalitas rendah ada di Ensefalitis VEE, California Enchepalitis (CE) dan
ensefalitis colodaro tick fever, namun tingkat mortalitas tinggi di ensefalitis JE yakni
sekitar 50% pada pasien di atas 50 tahun dan 20% pada pasien anak-anak.
Penelitian yang mengamati selama 20 tahun kejadian kejang tanpa provokasi
sebanyak 22% di pasien dengan ensefalitis virus yang berhubungan dengan kejang
onset awal dan 10% pada pasien tanpa onset awal kejang. Secara umum tingkat
kejadian epilepsi paska infeksi ensefalitis berkisar antara 18-80% dengan epilepsi
refrakter.
I. Edukasi Pasien
Edukasi dan informasi sangat penting untuk membantu menegakkan diagnosis
ensefalitis secara dini, khususnya daerah endemik, lesi HSV-2 muncul setelah infeksi
primer dan bisa menyebabkan ensefalitis. Dokter harus menyadari bahwa awal dari
wabah bisa muncul kapan pun bisa tahunan setelah infeksi.

III. MATERI BAKU ENSEFALITIS HERPES


A. Definisi
Ensefalitis merupakan inflamasi pada parenkim otak yang dapat disebabkan oleh virus,
bakteri maupun infeksi lain. Ensefalitis biasanya diikuti dengan disfungsi neurologis,
dapat diakibatkan oleh karena infeksi, post infeksi dan non infeksi. Sekitar 50% kasus
adalah karena infeksi.
Sedangkan menurut Howes, et al, Ensefalitis merupakan peradangan parenkim
otak, timbul sebagai disfungsi neuropsikologis difus dan atau fokal, terutama
melibatkan otak dan meninges (meningoencephalitis]. Biasanya ditandai dengan
inflamasi pada meningeal, seperti fotofobia, nyeri kepala atau kaku pada leher.
B, Epidemiologi
Infeksi HSE merupakan infeksi sporadik nonepidemik yang dapat menyebabkan
kematian tersering. Infeksi HSV-1 sering terjadi dengan seropositif pada usia lebih tua
dan telah diperkirakan 60-90% di seluruh dunia. Survei dari tahun 2005 sampai 2010
termasuk orang Amerika berusia antara 14 dan 49 tahun di Amerika Serikat
memperkirakan seropositif HSV-1 sekitar 54% dan seropositif HSV-2 sekitar 16%
(Bradley, 2014). Sedangkan HSV-2 juga mampu menyebabkan ensefalitis (terutama
pada immunocompromised host), HSV-1 bertanggung jawab sekitar 90% dari
Encephalitis HSV pada orang dewasa dan anak-anak.
Kejadian HSVE di seluruh dunia diperkirakan berada antara 2-4 kasus/1.000.000
penduduk (Scheld, 2014). Puncak kejadiannya pada usia sangat muda (sampai usia 3
tahun), dan pada orang dewasa berusia >50 tahun, namun sebagian besar kasus terjadi

108
pada mereka yang berusia di atas 50 tahun. HSE pada pasien muda biasanya mewakili
infeksi primer, sedangkan HSE pada orang tua biasanya mencerminkan reaktivasi
infeksi laten. Tidak ada perbedaan antara kedua jenis kelamin, meskipun herpes genital
mungkin lebih jelas pada laki-laki karena anatominya. Tidak ada kecenderungan ras
pada HSE.
C. Etiologi dan Virulogi HSV
HSV-2, atau HHV-2, untuk sejumlah kecil kasus, terutama pada pasien
immunocompromis. HSV-1 menyebabkan lesi oral, penyakit ini berespons dengan
obat antivirus meskipun dapat remisi secara spontan dalam kebanyakan kasus. HSV-2
menyebabkan lesi genital. HSV-2 dapat diobati dengan obat antivirus.
Pada orang dewasa, respons imun dengan faktor virus, menentukan derajat invasi
dan virulensi. Derajat invasi HSV-1 varian glikoprotein dikendalikan oleh respons
host. Status sosial ekonomi dan geografi dapat mempengaruhi tingkat seropositif virus.
Namun, korelasi klinis sulit, karena HSE dapat terjadi setiap saat, terlepas dari status
sosial ekonomi pasien, usia, ras, atau jenis kelamin.
D. Patofisiologi
HSV-1 adalah 1 dari 8 virus herpes manusia (HHV), termasuk HSV- 2, virus varicella
zoster (VZV; HHV-3), virus Epstein-Barr (HHV-4), cytomegalovirus (HHV-5),
HHV-6, HHV-7, dan HHV-8. Virus herpes memiliki DNA yang besar dan berantai
ganda, jarang menyebabkan kematian dari host, dan juga mudah menyebar antar
individu (Bradshaw dan Venkatesan, 2016]. HSV mendapat akses ke jaringan inang
melalui selaput lendir atau kulit yang rusak. Setelah infeksi primer pada epitel mukosa
atau kulit, virus menginfeksi neuron sensorik melalui interaksi dengan sel-permukaan
glikosaminoglikan seperti heparin sulfat, dan molekul adhesi sel seperti nektin-1, dan
berjalan ke sel tubuh neuronal di akar dorsal ganglion melalui transportasi akson cepat
secara retrograde. Mekanisme di mana HSV memperoleh akses ke pusat sistem saraf
(SSP] pada manusia masih belum jelas.
Saraf trigeminal menginervasi meningen dan menyebar ke lobus orbitofrontal,
infeksi bisa terjadi melalui rute ini. HSE dapat terjadi melalui reaktivasi virus laten atau
yang disebabkan oleh infeksi primer, Mekanisme patogen termasuk reaktivasi HSV
laten pada gangren trigeminal dengan penyebaran infeksi ke lobus temporal dan
frontal, infeksi SSP primer, atau mungkin reaktivasi virus laten di dalam parenkim otak
itu sendiri (Steiner, 2011]. Setidaknya setengah dari kasus HSVE, strain virus yang
berperan pada ensefalitis berbeda dari strain yang menyebabkan lesi kulit herpetik
pada pasien yang sama. Infeksi dengan HSV memicu respons yang kuat dari sistem
kekebalan bawaan sampai kekebalan adaptif untuk mampu membantu dalam
membersihkan infeksi aktif. Pada awal masa kekebalan tubuh respons terhadap HSV,
pola reseptor pengenalan, disebut Toll like reseptor (TLRs], terletak di sel-sel

109
kekebalan sistem bawaan, mengenali dan mengikat virus yang diketahui sebagai pola
molekuler terkait patogen. Hal ini memicu dimerisasi TLRs, yang kemudian
mengaktifkan jalur sinyal yang memproduksi proinflammatory sitokin seperti
interferon (IFNs], faktor nekrosis tumor, dan berbagai interleukin. IFN berkontribusi
pada hambatan host untuk proliferasi virus melalui aktivasi jalur sinyal Jak-Stat, dan
dengan memicu produksi enzim RNAse yang menghancurkan sel RNA [host dan
virus] dan double-stranded RNA-dependent protein kinase, yang menghentikan
transkripsi seluler. Kekurangan kekebalan tubuh menanggapi HSV (misalnya cacat
pada jalur TLR-3, termasuk TLR3 sendiri, UNC93B1, TIR-domain-contains Adaptor
yang merangsang IFN-p, reseptor faktor nekrosis tumor faktor-3, TANK-binding
kinase 1, atau peraturan IFN faktor-3] mengakibatkan host rentan terhadap HSVE.
Peradangan yang merekrut kekebalan sel bawaan dan imunitas adaptif primer, dapat
menyebabkan nekrosis dan apoptosis sel yang terinfeksi. Sedangkan respons imun sel
inang sangat penting untuk pengendalian virus, respons inflamasi, khususnya
rekrutmen leukosit yang teraktivasi, dapat berkontribusi untuk kerusakan
jaringan dan akibatnya terjadi sequela neurologis [Bradshaw dan Venkatesan, 2016).
Setelah infeksi primer, virus membentuk keadaan laten untuk kehidupan sel
inang dan dalam keadaan diam kecuali diaktifkan kembali. Untuk mempertahankan
dan memelihara latensi, sejumlah proses kompleks harus seimbang. Hal tersebut
termasuk membungkam fase litik gen virus, pembatalan mekanisme pertahanan sel
inang (misalnya apoptosis], dan penghindaran kekebalan sel inang, termasuk
tanggapan imun bawaan dan yang didapat (misalnya penekanan ekspresi kompleks
histokompatibilitas utama). Sel CD8+spesifik HSV dipasang di ganglia trigeminal dan
berkontribusi untuk mempertahankan virus laten yang masuk. Selama reaktivasi,
ekspresi gen virus terjadi dalam mode yang teratur secara temporer. Setelah diaktifkan
kembali, virus bisa menginfeksi neuron tetangga dan melakukan perjalanan ke jaringan
yang diinervasi oleh dorsal akar ganglia yang terinfeksi menyebabkan penyakit
berulang dan partikel virus dapat menular ke orang lain.
E. Gejala Klinis
Selain demam akut dengan tanda keterlibatan meningeal sebagai karakter dari
meningitis, pasien dengan ensefalitis umumnya mengalami perubahan tingkat
kesadaran (kebingungan, perubahan perilaku], atau penurunan tingkat kesadaran mulai
dari letargi ringan hingga koma, disertai bukti adanya gejala neurologis fokal atau difus
(Roos dan Tyler, 2013).Perubahan status mental biasanya terjadi dalam waktu > 24
jam. Temuan yang mendukung peradangan otak meliputi demam, kejang baru, tanda
neurologis fokal, pleositosis serebrospinal (CSF) pleositosis (>5 PMN/ml), dan
kelainan radiologis dan/atau neurofisiologis (misalnya, penyangatan kontras pada MRI
atau temuan abnormal pada electroencephalography (EEG) (Bradshaw dan

110
Venkatesan, 2016). Pasien dengan ensefalitis dapat mengalami halusinasi, agitasi,
perubahan kepribadian, kelainan perilaku, dan terkadang gejala psikotik. Kejang fokal
atau general sering kali terjadi pada pasien ensefalitis. Hampir semua jenis gangguan
neurologis fokal telah dilaporkan pada ensefalitis virus; tanda dan gejala
mencerminkan lokasi infeksi dan inflamasi.
Gejala neurologis fokal yang paling sering terjadi adalah aphasia, ataksia,
kelemahan neuron motorik atas atau bawah, involuntary movement (sepeti Myoclonic
jerks, tremor), dan defisit nervus kranialis (misalnya, palsi okuli, kelemahan wajah).
Keterlibatan axis hipotalamus-hipofisis dapat menyebabkan disregulasi suhu, diabetes
insipidus, atau munculnya syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic
hormone (SIADH) [Roos dan Tyler, 2013). Meskipun virus neurotropik biasanya
menyebabkan cedera patologis di daerah SSP tertentu, variasi presentasi klinis yang
ada menyebabkan ketidakmungkinan untuk menentukan secara pasti etiologi dari
kasus ensefalitis berdasarkan presentasi klinis saja.
Banyak pasien ensefalitis mengalami gejala prodromal, seperti infeksi saluran
pernapasan bagian atas atau infeksi sistemik lainnya. Tanda dan gejala ensefalitis
kemudian berkembang dalam beberapa hari setelah infeksi.
Pasien immunocompromised cenderung tidak mengalami gejala prodromal atau
defisit neurologis fokal. Kelompok ini mengalami keterlibatan otak lebih luas diluar
lobus temporal tidak jarang ditemukan tidak adanya pleositosis di CSF. Morbiditas
dan mortalitas secara signifikan lebih tinggi pada kelompok immunocompromised,
dengan mortalitas 35,7% dibandingkan dengan kelompok imunokompeten dengan
angka kematian 6,7%. Otopsi pada 3 pasien dengan immunocompromised yang
meninggal karena ensefalitis HSV menunjukkan pola histologis atipikal,
noninflammatory, dan "pseudoischemic".
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan CSF
Pemeriksaan CSF harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan ensefalitis virus
kecuali terdapat kontraindikasi seperti adanya peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
berat. Karakteristik profil CSF virus tidak dapat dibedakan dari meningitis virus. Profil
CSF biasanya menunjukkan pleositosis limfositik, konsentrasi protein yang sedikit
meningkat, dan konsentrasi glukosa yang normal. Pleositosis CSF (> 5 sel/uL] terjadi
pada >95% pasien imunokompeten dengan ensefalitis virus. Terdapat kasus di mana
tidak ditemukan pleiositosis pada lumbal pungsi (LP] awal namun muncul pada LP
selanjutnya, namun kasus semacam ini jarang terjadi. Pada pasien
immunocompromised karena infeksi HIV, penggunaan glukokortikoid atau obat
imunosupresan lainnya, kemoterapi, atau keganasan limforetikular dapat gagal
membentuk proses inflamasi pada CSF.

111
Jumlah sel CSF melebihi 500/(iL hanya terjadi pada sekitar 10% pasien ensefalitis.
Limfosit atipikal di CSF dapat ditemui pada infeksi EBV dan jarang terjadi pada virus
lain, termasuk CMV, HSV, dan enterovirus. Pada sekitar 20% pasien dengan
ensefalitis akan ditemukan sejumlah besar sel darah merah (> 500/uL] di CSF pada
nontraumatic tap (Roos dan Tyler, 2013].
Konsentrasi glukosa CSF yang menurun tidak biasa terjadi pada ensefalitis virus dan
lebih mengarah pada infeksi bakteri, jamur, tuberkulosis, parasit, leptospiral, sifilis,
sarkoid, atau meningitis neoplastik. Pada ensefalitis HSV lanjut dapat ditemukan
konsentrasi glukosa CSF yang rendah walaupun jarang. ,
Polymerase Chain Reaction Cerebrospinal Fluid (PCR CSF)
Sensitivitas (~96%] dan spesifisitas (-99%) PCR CSF HSV setara bahkan dapat
melebihi biopsi otak. Penting untuk diketahui bahwa interpretasi hasil PCR CSF
HSV dilakukan setelah mempertimbangkan kemungkinan penyakit pada pasien, waktu
tes dalam hubungan dengan onset gejala, dan penggunaan terapi antiviral sebelumnya
Hasil negatif dari PCR CSF HSV yang dilakukan oleh laboratorium yang memenuhi
syarat, pada waktu yang tepat, pada pasien dengan kemungkinan besar mengalami
ensefalitis HSV, berdasarkan gejala klinis dan laboratorium, secara signifikan
mengurangi kemungkinan ensefalitis HSV, namun tidak mengeksklusikan diagnosis
tersebut. Sebagai contoh, pada pasien dengan probabilitas pretest 35% mengalami
ensefalitis HSV, PCR CSF HSV negatif mengurangi probabilitas post test menjadi
—2%, dan untuk pasien dengan probabilitas pretest 60%, tes negatif mengurangi
probabilitas post test menjadi —6%. Pada kedua situasi tersebut, tes positif membuat
diagnosis hampir pasti (98-99%).
Terdapat beberapa laporan terbaru mengenai tes PCR CSF HSV awal dengan hasil
negatif yang diperoleh <72 jam setelah onset gejala dan hasil PCR menjadi positif saat
diulang 1-3 hari kemudian. Frekuensi PCR CSF HSV positif pada pasien dengan
herpes ensefalitis juga menurun seiring dengan durasi penyakit, dengan hanya -20%
kasus dengan PCR positif setelah >14 hari. Hasil PCR umumnya tidak berubah oleh
terapi antiviral <1 minggu. Terdapat sebuah penelitian yang menyebutkan 98%
spesimen CSF tetap positif selama minggu pertama terapi antiviral, namun jumlahnya
turun menjadi -50% pada 8-14 hari dan mencapai 15% pada >15 hari setelah
dimulainya terapi antiviral.
2. KulturCSF
Kultur CSF pada umumnya merupakan pemeriksaan penunjang yang terbatas dalam
diagnosis ensefalitis virus akut. Kultur cenderung tidak sensitif (>95% pasien
dengan ensefalitis HSV memiliki hasil kultur CSF negatif) dan
sering kali membutuhkan waktu terlalu lama yang secara signifikan dapat
mempengaruhi inisiasi terapi.

112
3. Pemeriksaan Serologi dan Deteksi Antigen
Pada pasien dengan ensefalitis HSV, antibodi terhadap glikoprotein dan antigen
glikoprotein HSV-1 dapat terdeteksi di CSF. Deteksi optimal antibodi dan antigen
HSV biasanya terjadi setelah minggu pertama penyakit. Hal inilah yang membatasi
kegunaan pemeriksaan penunjang ini dalam diagnosis akut. Meskipun demikian,
pengujian antibodi HSV CSF dapat bermanfaat pada pasien tertentu dengan durasi
penyakit >1 minggu dan dengan PCR CSF HSV yang negatif.
4. MRI, CT, EEG
Pasien dengan dugaan ensefalitis hampir selalu perlu menjalani pemeriksaan
neuroimaging dan EEG. Pemeriksaan ini membantu mengidentifikasi atau
mengeksklusi diagnosis alternatif dan membantu menentukan proses ensefalitis
yang terjadi fokal atau difus. Setiap temuan fokal pada ensefalitis, perlu dicurigai
sebagai ensefalitis HSV. Contoh temuan fokal meliputi: (1) Peningkatan intensitas
sinyal di area frontotemporal, cingulate, atau insular otak pada MRI T2-weighted,
FLAIR, atau diffusion-weighted (Gambar 2.7); [2] daerah fokal penyerapan rendah,
efek massa, dan penyangatan kontras pada CT; [3] lonjakan lobus temporal fokal
periodik pada latar belakang aktivitas amplitudo lambat atau rendah ^flattened")
pada EEG.
Pencitraan CT scan pada ensefalitis bermanfaat untuk evaluasi cepat untuk
kecurigaan adanya edema dan/atau pergeseran kompartemen otak yang mungkin
memerlukan intervensi serta menjadi kontraindikasi LP. MRI lebih superior
dibandingkan CT scan untuk diagnostik, pada CT scan kasus ensefaltis didapatkan
hasil abnormal pada kira-kira setengah dari semua kasus, sementara MRI abnormal
pada hampir semua pasien dengan ensefalitis HSV.
Sekitar 10% pasien dengan ensefalitis HSV yang didiagnosis dengan PCR
menunjukkan hasil MRI normal, walaupun hampir 80% akan mengalami kelainan
pada lobus temporal, dan 10% tambahan di daerah ekstratemporal. Lesi biasanya
hiperintens pada gambar T2-weighted. Penambahan gambar FLAIR dan
diffusion-weighted pada MRI standar dapat meningkatkan sensitivitas. Anak-anak
dengan ensefalitis HSV dapat mengalami pola atipikal pada lesi MRI dan sering
kali didapatkan keterlibatan daerah selain frontotemporal. CT kurang sensitif
dibanding MRI dan normal pada 20-35% pasien.

113
Kelainan EEG terjadi pada >75% kasus diagnosis HSV dengan PCR; Biasanya
temuan EEG melibatkan lobus temporal namun sering kali tidak spesifik.
Beberapa pasien dengan ensefalitis HSV memiliki pola EEG yang khas yang
terdiri dari kompleks periodik, stereotip, tajam dan lambat yang berasal dari
satu atau kedua lobus temporal dan berulang dengan interval reguler 2-3 detik.
Kompleks periodik ini biasanya tercatat antara hari ke 2 dan 15 dan muncul
pada dua pertiga kasus ensefalitis HSV yang terbukti secara patologis .
G. Biopsi otak
Biopsi otak saat ini umumnya diperuntukkan bagi pasien dengan pemeriksaan PCR
CSF yang tidak dapat mengarahkan pada diagnosis spesifik, dengan kelainan fokal
pada MRI, dan yang terus menunjukkan kemunduran Minis progresif meskipun
diobati dengan acyclovir dan terapi suportif.
H. Penegakan Diagnosis
Pada kasus dengan dugaan ensefalitis, nilai anamnesa dan pemeriksaan fisik tidak

114
terlalu besar untuk diagnosis, namun tetap penting untuk mempersempit diagnosis
banding. Elemen kunci dari anamnesa dimaksudkan untuk mengidentifikasi penyebab
alternatif ensefalitis, termasuk pengobatan atau penyakit yang dapat menekan sistem
imun, riwayat berpergian, dan paparan terhadap nyamuk/kutu. Penurunan berat badan
dan gejala infeksi, termasuk demam ringan, ruam, kelainan neurologis atau psikiatri
seperti afasia, perubahan perilaku dan aktivitas yang mirip dengan bangkitan juga
perlu ditanyakan. Pemeriksaan neurologis dan medis umum secara menyeluruh sangat
penting dan dapat mengarahkan diagnosis. Pola difisit neurologis dapat membantu
mengetahui etiologi, misalnya defisit nervus kranialis dan instabilitas otonom
mengarah pada ensefalitis di batang otak, tremor, movement disorders, atau tanda lain
mengarah ^pada gangguan di ganglia basal juga dapat membantu dalam membimbing
perbedaannya.
Ensefalitis HSV harus dipertimbangkan jika secara klinis menunjukkan
keterlibatan area inferomedial frontotemporal, termasuk halusinasi olfaktori atau
gustatory yang menonjol, anosmia, perilaku tidak biasa atau aneh atau perubahan
kepribadian, atau gangguan ingatan. Pemeriksaan penunjang diagnostik utama untuk
ensefalitis HSV adalah PCR CSF HSV.
Ensefalitis HSV harus selalu dicurigai pada pasien dengan tanda dan gejala yang
sesuai dengan ensefalitis akut dengan temuan fokal pada pemeriksaan klinis,
pemeriksaan neuroimaging, atau EEC
Sekitar 80% pasien yang terbukti ensefalitis HSV memiliki kelainan MRI yang
melibatkan lobus temporal. Persentase ini kemungkinan meningkat menjadi >90% jika
dilakukan pemeriksaan FLAIR dan DW1 MR dilakukan. Tidak adanya keterlibatan
lobus temporal pada MR mengurangi kemungkinan ensefalitis HSV dan perlu
dipertimbangkan kemungkinan diagnostik lainnya. Tes PCR CSF HSV mungkin
negatif pada 72 jam pertama gejala ensefalitis HSV. Pemeriksaan ulang perlu
dipertimbangkan pada pasien dengan PCR awal yang negatif di mana kecurigaan
diagnosis ensefalitis HSV tetap tinggi dan belum ada diagnosis alternatif.
Deteksi sintesis antibodi spesifik HSV intratekal dapat berguna untuk diagnosis
ensefalitis HSV pada pasien yang baru bisa didapatkan spesimen CSFnya >1 minggu
setelah onset dan pada kasus dengan pemeriksaan PCR negatif. Pemeriksaan tunggal
dengan serologi serum, tidak memiliki nilai dalam diagnosis ensefalitis HSV karena
tingginya seroprevalensi pada populasi umum. Kultur virus CSF negatif tidak dapat
mengeksklusi diagnosis ensefalitis HSV.
Menegakkan diagnosis ensefalitis pada orang tua dan immunocompromised akan
lebih sulit. Pemeriksaan penunjang, baik laboratorium dan neuroimaging dapat sangat
membantu penegakan diagnostik.

115
I. Tata Laksana
Terapi antiviral spesifik harus segera dimulai apabila diagnosis telah tegak.
Tanda-tanda vital, termasuk respirasi dan tekanan darah, harus dipantau secara berkala
dan diatasi apabila diperlukan. Pada tahap awal ensefalitis, kebanyakan pasien
memerlukan perawatan di intensive care unit (ICU) (Roos dan Tyler, 2013).
Penurunan kesadaran, komorbiditas berat, dan disfungsi otonom adalah
beberapa indikasi untuk perawatan di ICU [Bradshaw dan Venkatesan, 2016].
Pengelolaan dasar dan terapi suportif harus mencakup pemantauan TIK, pembatasan
cairan, menghindari larutan intravena hipotonik, dan pencegahan demam. Kejang
harus diatasi dengan antikonvulsan standar, dan terapi profilaksis harus
dipertimbangkan mengingat frekuensi kejang tinggi pada kasus ensefalitis yang parah.
Kejang sangat sering terjadi pada ensefalitis. Pemberian antiepileptic drug
(AED] profilaksis masih menjadi kontroversi. Para klinisi yang setuju mengenai
pemberian profilaksis menyebutkan bahwa pada kelompok dengan risiko tinggi terjadi
kejang terutama apabila kejang kemungkinan dapat meningkatkan risiko morbiditas
dan mortalitas maka penggunan AED profilaksis dapat sangat berguna. Namun bukti
Minis mengenai kelompok berisiko sendiri masih terbatas, sehingga masih belum ada
rekomendasi penggunaan AED profilaksis.
Penanganan kejang status epileptikus pada ensefalitis sama seperti pada kejang
karena penyebab lain. Perlu dilakukan stabilisasi jalan nafas, oksigenasi dan pemberian
AED seperti lorazepam intravena atau diazepam rektal atau intravena. Pasien yang
tidak berespons terhadap tata laksana tersebut perlu disedasi dan diintubasi.
Acyclovir bermanfaat dalam pengobatan HSV dan merupakan antibiotik empiris
pada pasien dengan dugaan ensefalitis virus, terutama jika didapatkan temuan fokal,
sambil menunggu hasil pemeriksaan penunjang diagnostik. Dosis acyclovir untuk
dewasa adalah 10 mg/kg secara intravena setiap 8 jam (dosis total per hari 30 mg/kg]
selama 14-21 hari. PCR CSF dapat diulang setelah pengobatan selesai, pengobatan
tambahan dapat diberikan jika hasil PCR masih positif, dilanjutkan dengan tes PCR
yang berulang. Infeksi CNS HSV pada neonatal kurang responsif terhadap terapi
acyclovir dibandingkan ensefalitis HSV pada orang dewasa; Dosis acyclovir yang
dianjurkan untuk neonatus dengan ensefalitis HSV adalah 20 mg/kg setiap 8 jam [total]
dosis per hari 60 mg/kg] minimal 21 hari. Pengobatan dengan acyclovir berkaitan
dengan penurunan angka mortalitas yang signifikan bila dibandingakan dengan
vidarabine.
Pada pemberian intravena, acyclovir harus diencerkan dengan konsentrasi <7
mg/mL. Contohnya seseorang dengan berat badan 70 kg memerlukan dosis 700 mg,
yang akan diencerkan dengan volume 100 mL. Setiap dosis harus diinfuskan perlahan
minimal selama 1 jam, bukan dengan infus cepat atau bolus untuk meminimalkan

116
risiko gangguan fungsi ginjal. Diperlukan kehati-hatian dalam pemberian acyclovir
untuk menghindari ekstravasasi atau pemberian secara intramuskular atau subkutan.
Acyclovir memiliki pH basa dan dapat menyebabkan infamasi serta flebitis lokal (9%).
Dosis penyesuaian diperlukan pada pasien dengan gangguan filtrasi glomerulus (Roos
dan Tyler, 2013).
Bioavailabilitas acyclovir oral sekitar 15-30% dan mencapai penetrasi jaringan
dan cairan tersebar luas dengan konsentrasi CSF sekitar 50% dari serum. Waktu paruh
plasma kira-kira 2-3 jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal tetapi lebih lama
pada pasien dengan insufisiensi ginjal, sehingga dosis perlu dikurang.
Penetrasi acyclovir ke CSF sangat baik, dengan tingkat serum dari obat rata-rata
-50%. Efek samping acyclovir meliputi peningkatan kadar nitrogen urea darah dan
kreatinin (5%), trombositopenia (6%), toksisitas gastrointestinal [mual, muntah, diare)
(7%), dan neurotoksisitas (letargi atau obtundasi, disorientasi, kebingungan, agitasi,
halusinasi, tremor, kejang) [1%) (Roos dan Tyler, 2013], Acyclovir diekskresi melalui
fdtrasi glomerulus dan sekresi tubular serta dapat terpresipitasi di tubulus ginjal
sehingga dapat menyebabkan nefropati obstruktif. Hal ini biasa terjadi setelah
beberapa hari terapi dan dapat terjadi pada sekitar 20% pasien, namun secara umum
reversible.
Pasien dengan klirens kreatinin (CrCl) 25-50 ml/menit/1,73 m2 perlu
penyesuaian dosis acyclovir menjadi 10 mg/kg ql2 jam; CrCl 10-25 ml/menit/1,73 m2,
10 mg/kg q24 jam; dan CrCl <10 ml/menit/1,73 m2 5 mg/kg q24 jam. Pasien dengan
hemodialisis tiga kali seminggu perlu penyesuaian dosis menjadi 2,5-5,0 mg/kg q24
jam, sedangkan pada dialisis peritoneal dosis menjadi 10 mg/kg q24 jam. Sekitar 15%
[9-22% dalam 1 studi] obat terikat pada protein serum dan oleh karena itu sebagian
besar obat dapat dikeluarkan dengan dialisis. Tidak ada penyesuaian dosis yang
diperlukan pada pasien dengan gangguan hati.
Acyclovir termasuk kategori kehamilan B menurut Food and Drug
Administration AS, yang mengindikasikan tidak ada risiko yang jelas pada manusia.
Setidaknya 1 penelitian observasional besar yang melibatkan 1804 maternal dengan
paparan acyclovir, valacyclovir, atau famcyclovir selama trimester pertama
menunjukkan tidak ada korelasi antara paparan dan peningkatan risiko defek pada
janin.
Karena meningoencephalitis bakteri sering tidak dapat dieksklusikan secara
klinis, dan ensefalopati septik secara umum mirip dengan HSV, direkomendasikan
penambahan antibiotik spektrum luas sampai infeksi bakteri dapat dieksklusi.
Pedoman Inggris untuk pengelolaan ensefalitis empiris mendukung pendekatan ini.
J. Komplikasi dan Prognosis
Selain insufisiensi pernafasan dan sirkulasi, komplikasi neurologis akut ensefalitis

117
yang penting termasuk kejang dan peningkatan tekanan intrakranial yang berkaitan
dengan edema otak dan herniasi.
Insiden dan keparahan sequela pada pasien yang bertahan dari ensefalitis virus
bervariasi. Informasi terperinci tentang sequela pada pasien dengan ensefalitis HSV
dengan pengobatan acyclovir dijelaskan pada penelitian NIAID-Collaborative
Antiviral Study Group (CASG). Dari 32 pasien yang diobati dengan acyclovir, 26
bertahan (81%). Dari 26 orang yang selamat, 12 [46%] tidak mengalami atau
hanya mengalami sekuel ringan, 3 (12%) mengalami gangguan
moderat (dapat bekerja namun tidak berfungsi sebagaimana sebelum sakit],
dan 11 (42%) mengalami gangguan berat (memerlukan perawatan suportif). Kejadian
dan tingkat keparahan sequela berhubungan dengan usia dan tingkat kesadaran pada
saat inisiasi terapi. Hampir semua pasien dengan gangguan neurologis berat [skor
koma Glasgow 6) pada saat inisiasi terapi, meninggal atau bertahan dengan gejala sisa
yang parah.
Pasien muda (<30 tahun] dengan fungsi neurologis yang baik pada saat inisiasi
terapi secara substansial memiliki prognosis yang lebih baik (100% bertahan hidup,
62% tidak mengalami sequela atau mengalami sequela ringan) dibandingkan dengan
pasien dengan usia lebih tua (>30 tahun; 64% bertahan hidup, 57% tidak ada sequela
atau sequela ringan]. Beberapa penelitian terbaru menggunakan tes PCR CSF HSV
kuantitatif menunjukkan bahwa prognosis setelah pengobatan juga berkorelasi dengan
jumlah DNA HSV yang ada di CSF sebelum terapi.
Seperti semua pasien dengan penyakit berat, terimobilisasi dengan tingkat
kesadaran yang berubah, pasien ensefalitis berisiko mengalami pneumonia aspirasi,
ulkus stasis dan dekubitus, kontraktur, trombosis vena dalam dan komplikasinya, serta
infeksi dari keteter vena dan urine
IV. MATERI BAKU ENSEFALITIS DENGUE VIRUS
A. Pendahuluan
Infeksi dengue menjadi penyakit endemik lebih dari 100 negara, dan insidennya
meningkat secara drastis dalam beberapa dekade terakhir, WHO memperkirakan 390
juta penduduk dunia terinfeksi dengue setiap tahunnya dan sekitar 2,5% berakhir
dengan kematian.
Dengue merupakan penyakit tersering kedua akibat gigitan nyamuk yang
menyerang manusia, bermacam manifestasi akibat gigitan ini yakni sidroma febris
self limited syndrome [dengue fever), dengue hamorrhage fever (DHF) dan dengue
schok syndroma (DSS), namun WHO pada tahun 2009 mengeluarkan klasifikasi
terbaru berkenaan derajat infeksi dengue yakni: dengue tanpa tanda membahayakan,
dengue dengan tanda membahayakan dan dengue berat (DSS) beberapa tanda yang
membahayakan antara nyeri perut pembesaran liver, letargi, muntah persisten,

118
akumulasi cairan, perdarahan mukosa, peningkatan hematokrit dengan penurunan
trombosit. Sedangkan dengue berat meliputi plasma leakege, perdarahan dan atau
gagal organ, komplikasi susunan saraf pusat juga masuk dalam dengue berat.

Beberapa manifestasi di bidang neurologi akibat infeksi dengue antara lain


ensefalopati dengue (akibat liver faillure, atau metabolik), ensefalitis (invasi
virus], immune-mediated neurologi syndrome, neuromuskular, cerebrovascular,
dan kelainan neuro-optalmic.
B. Virologi Virus Dengue (DENV)
Virus dengue (DENV) termasuk dalam famili flaviviridae dan genus flavivirus,
virus ini berbentuk Spherical envelop dengan diameter kira 40-60nm, dengan

119
termasuk genom single-stranded Positive-sense RNA yang terdiri dari
nucleocapsid dan dikelilingi oleh lipid envelopa yang terdiri dari glikoprotein, ada
4 serotipe yang terkenal yang disebut dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4, di mana semua seroptipe mempunyai RNA genom single stranded dengan
panjang 11 kbp, dalam perjalanannya didapatkan serotipe bari DEVV-5 yang
ditemukan di Malaysia. Virus ini ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopidus, dengan masa inkubasi 8-12 hari walaupun demikian bisa juga
ditularkan lewat tranfusi darah, transplantasi organ atau dari ibu ke anaknya
walaupun sangat jarang.
Aedes aegepti merupakan penyebar utama virus dengue dari afrika sampai
negara tropis dan subtropis lainnya, sedangkan nyamuk Aedes albopictus asalnya
dari hutan-hutan di Asia Tenggara yang ikut ke kota atau sub urban, pada tahun
1979 terdeteksi di Albania Eropa dan akhirnya menyebar ke negara sekitarnya.

C. Epidemologi Ensefalitis Dengue


Data epidemologi menunjukan 5-21% pasien dengue yang dirawat di rumah sakit
bermanifestasi ensefalitis dengue dan sekitar 4-47% di daerah endemik dengue
yang bermanifestasi ensefalitis. (Medicus, Citation, & Expanded, 2018)

120
Data lain menunjukan ensefaltilis dengue di Vietnam 5-6% dari seluruh
kasus ensefalitis, India 15% dan Thailand 20%, di Brazil saat endemik infeksi
dengue, ensefalitis dengue merupakan penyebab tertinggi terjadinya ensefalitis
viral yakni 47% dan juga menyebakan meningitis yakni 10% , sedangkan data di
Indonesia tidak ada. (Javier, Artal, & Read, 2018)
D. Patofisiologi
Teori tentang infeksi sekunder dari dengue merupakan penyebab dari terjadinya
manifestasi neurologi akibat dengue, ini berhubungan dengan adanya perbedaan
serotipe virus yang terjadi di infeksi sekunder dengan antibodi yang terbentuk, hal ini
dibuktikan dengan beberapa penelitian yang menyebitkan bahwa kebanyakan
ensefalitis dengue terjadi saat infeksi kedua dari DENV. Bila infeksi kedua dengan
sero tipe yang sama maka DENV akan dinetralisir oleh antibodi dan terbentuk proteksi
imun, tetapi bila infeksi kedua mempunyai serotipe berbeda maka DENV tidak mampu
dinetralisir oleh antibodi yang kemudian akan mengaktifkan sel fagosit seperti
monosit, DENV bisa melakukan replikasi virus di monosit dan akhirnya menyebabkan
manisetasi klinis seperti DHF, Dengue shock syndrome termasuk manifestasi
neurologi.
Penyebaran dengue sampai ke otak diduga melalui 2 mekanisme yakni
hematogen dan retrograde axonal, Kemampuan mikroorganisme menginvasi sistem
saraf disebut neuroinvasif. Penyebaran lewat hematologi sangat penting sampai virus
ini sampai sistem saraf yang disebut verimia, virus dapat sebagai partikel bebas atau
ikut dalam sel yang terinfeksi yang dikenal sebagai Trojan-horse mechanism,
penelitian di tikus menunjukan virus (DENV) mampu merusak blood brain barrier
(BBB), susunan BBB yang tersusun oleh sel endotel di pembuluh darah otak, selama
infeksi terjadi ekspresi berlebihan dari sitokin yang menyebabkan terganggunya
permeabilitas endotelium yang mengganggu tight junction, kerusakan BBB ini
berhubungan dengan tingginya kadar metalloproteinase-9 (MMP-9) di dalam plasma,

121
adanya MMP-9 ini menyebabkan virus yang bebas di plasma dan yang di dalam sel
terinfeksi bisa masuk ke dalam jaringan otak. Ada beberapa perbedaan ekspresi dari
beberapa serotipe DENV-2 lebih cenderung mengekspresi monocyte chemoattractant
protein-1 (MCP-1), secara in vitro protein ini mampu dalam kenyataannya kadar
ekspresi, hipotesis lain masuk virus ini ke dalam otak degan menerobos yang disebut
transcytosis, mekanisme, kemampuan virus menembus ke jaringan otak sangat
tergantung kemampuan replikasi dan kadar zat yang mempengaruhinya sama dengan
infeksi virus flavivirus lainnya, hipitesis lainnya menunjukan virus bisa masuk ke
dalam cairan LCS melewati blood-CSF barrier, yang dilakui dengan sel endotel
vaskular melalui plexus choroid dengan fasilitas neuroinvasi, secara genetik
karakteristik DENV-4 di LCS 99,99% mirip dengan yang ada di serum.

Hipotesa lain tentang masuknya dengue ke dalam otak melalui rute


transpor aksonal retrograde, menunjukan transmisi elektron mikroskop,
DENV mampu memetrasi dan menginfeksi susunan saraf pusat dan susunan
saraf tepi baik di motor neuron, akson dan sel ependimal] di model tikus putih.
Penelitian lain menunjukan virus mengisi viron yang merupakan alat
transportasi virus memgisi membran pre-sinaps semakin menguatkan teori
tranport aksonal ini. Hal ini semakin didukung temuan negatif di serum tetapi
positif di LCS pada pemeriksaan yang sama mengindikasikan adanya transport
akson ini.

122
E. Neurotropisme dengue
Kemampuan agen menginfeksi dan bereplikasi di sel saraf disebut neurotropimse,
agen virus dapat dideteksi dengan pemeriksaan immunohistochemistry di jaringan
otak. DENV dapat menginfeksi manusia dan hewan meliputi neuron, astrosit,
mikroglia, dan sel purkinje begitu juga dengan pleksus choroid dan sel endotel.
Protein Hsp70 dan Hsp90 sangat memungkinkan ditangkap reseptor kompleks dari
DENV masuk ke dalam sel monosit dan neuroblastoma, reseptor lainnya dengan BM
65.000 protein. Penelitian salazar menunjukan bahwa antigen NS1 dengue dapat
mengikat di sel yang berbeda di otak dan LCS pada individu terinfeksi, pada awal
infeksi hanya sedikit virion yang terdeteksi di retikulum endoplasmik system (RES)
seperti RER-derived vesicle dan aparatus golgi di neuron, beberapa data menunjukan
adanya deteksi DENV neurotrofims bahwa DENV-2,-3 dan -4 di LCS menyebabkan
terjadinya ensefalitis, meningitis, dan mielitis.(Aug, 2018]
F. Neurovirulansi dengue
Neurovirulansi adalah kemampuan virus menyebakan terjadinya penyakit neurologi,

123
DENV menyebabkan apoptosis sel neuron yang menyebakan kematian. apoptosis
kemungkinan disebabkan oleh stress selular yang disebabkan oleh akumulasi protein
virus di membran sel, sebagai contoh akumulasi strain BR/90 menyebabkan beberapa
mutasi yang mencegah terjadinya maturasi protein di membran sel yang akhirnya
terjadi proses apoptosis, sehingga virus tersebut menstimulus terjadinya respon imun
yang berkontribusi kerusakan sel saraf hal ini juga berkorelasi dengan ekspresi sintesis
nitric oxide pada hewan coba. Walaupun demikian ada virus yang walaupun
menginfeksi tetapi tidak menyebabkan kerusakan saraf karena dari hasil otopsi tidak
didapatkan adanya reaksi inflamasi secara histopatologi.(Aug, 2018)
Yang menarik adanya perubahan genomik selama proses neuroadaptif virus
dengue yang menyebakan terjadinya ensefalitis pada tikus. Beberapa analisis mutasi
gen virus telah dipetakan dan ketika terjadi mutasi protein E menyebakan
neuropatogenesitas hal ini dikarenakan perubahan titik lekat atau tempat masuknya
virus ke dalam sel neuron. Mutasi NS3 menyebabkan peningkatan kapasitas replikasi
dari DENV yang dapat menerangkan tingginya load virus yang diobservasi di
FGA/NA, penelitian lain menunjukan protein E dan NS3 berhubungan dengan
neurovirulensi dan ini sebagai marker virulensi ini.
Ensefalitis merupakan komplikasi infeksi dengue yang sering dilaporkan di
seluruh dunia, ensefalitis ini sering muncul di pasien dengue saat puncak ependemik
dengue baik di 3 sub tipe ini. Ada beberapa mekanisme yang diduga baik sebagai
mekanisme tunggal atau mekanisme gabungan dari infeksi ini antara lain
mekansime tidak langsung akibat gagal ginjal.
Disfungsi, hipoksia-iskemik dan gangguan metabolik lainnya ditambah adanya
keterlibatan virus secara langsung di otak. Namun ada beberapa patologis berat yang
berhubungan dengan ensefalitis dengue antara lain ischemic like stroke, hemorrhage
like stroke, sinus trombosis serebral dan akut disseminated encephalomyeilitis.

124
G. Gejala klinis dan Onset
Dari beberapa review jurnal didapatkan gejala klinis yang paling umum terjadi
ada ensefalitis dengue antara lain demam, nyeri kepala, penurunan kesadaran, dan
kejang, beberapa gejala lain yang kadang bisa muncul antara lain menigismus,
plantar ekstensor, abnormal postur, parese nervus cranial, serta tetraparesis.

125
Ensefalitis dengue bisa sebagai infeksi primer atau infeksi sekunder dari
infeksi dengue sendiri beberapa penelitian memberi data yang berbeda, namun
rerata onset berkisar antara 3-7 hari setelah muncul demam (Gambar 7).

Gejala klinis yang paling sering muncul di ensefalitis dengue antara lain
didahului dengan gejala infeksi dengue fever atau DHF seperti demam, nyeri
sendi, sakit kepala, manifestasi perdarahan dan lainnya untuk manifestasi
ensefalitis dengue ditandai dengan gejala demam. Penurunan kesadaran, nyeri
kepala, kejang dan

126
kejang umum. Dan ditambah dengan adanya bukti dengue di cairan LCS

H. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi untuk mendiagnosis ensefalitis dengue pilihan MRI
merupakan modalitas yang lebih dipilih dibanding CT scan, hal ini dikarenakan
kemampuan melihat kelainan lebih baik daripada CT scan terutama untuk kelainan
fosa posterior, temuan MRI sesuai ensefalitis viral antara lain adanya edema
serebri, perubahan white matter, dan adanya nekrosis dan brain atropi, kadang
terdapat gambaran infark atau perdarahan, adanya kerusakan BBB akan terlihat dari
penyangatan kontras, sedangkan pada pemeriksaan CT scan pada umumnya normal
pada awal infeksi. Bila ada kelainan fokal merupakan penanda kemungkinan
adanya ensefalitis dari pada ensefalopati, ada neurotropism virus tertentu menjadi
petanda tertentu.

Berdasarkan gejala kinis dan patofisiologi maka gambaran imajing apa


unsefalitis bervariasi tergantung lokasi dan jenis manifestasinya

127
I. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan baku ensefalitis virus dengan mendeteksi adanya virus dengan kultur
tetapi ini sangat sulit, beberapa metode baru untuk mendeteksi virus RNA dengan
polymerase chain reaction (PCR] lebih cepat dan lebih sering digunakan dengan
sensivitas 70% dan spesifitas 100% bilamana sampel diambil pada 5 hari pertama
gejala demam. Pemeriksaan lainnya adalah dengan deteksi antigen viral metode
immunochemistry dengan sensitivitas 89% untuk antigen NS1. Deteksi serologi
lebih sering dilakukan metode MAC-ELISA (IgM antibodi] "dengue spesifik"
IgM, walaupun ada kekurangan bahwa metode ini hanya bisa mendeteksi infeksi
dalam 24 minggu terakhir, sensifitas test ini 69% dan spesifitas 80%.
J. Penegakan Diagnosis
Ensefalitis dengue ditegakan dengan menggabungkan gejala Minis, temuan
laboratoris dan radiologis, gejala klinis antara lain demam, nyeri kepala,
penurunan kesadaran, siezure, dengan menyingkirkan adanya gejala gagal liver
akut, syok dan gangguan eletrolit serta adanya perdarahan intra kranial. Adanya
dengan kolaborasi adanya virus dengue atau IgM di serum atau CSF dan adanya

128
kecurigaan imaging ke arah ensefalitis.

K. Tata Laksana
Tata laksana infeksi dengue secara umum dengan bed rest total untuk memonitor
secara ketat dan mengganti cairan intravaskular dan kehilangan eletrolit. Rehidrasi
oral sangat penting, demikian juga mengobservasi hematokrit dan jumlah
trombosit untuk mengantisipasi berkembang ke arah DHF atau DSS, bila sudah
jatuh ke DHF maka sangat dibutuhkan rehidrasi oral dan
parenteral untuk mencegah jatuhnya ke arah syok dengue, jika dengue syok terjadi
maka sangat dibutuhkan rehidrasi kristaloid untuk menstabilkan kadar plasma.
Pemberian kristaloid dengan volume 10-20 mg/kg bolus kemudian dimonitor
secara ketat, bila cairan kristaloid tidak membantu maka dibutuhkan tranfusi darah
terutama untuk mengoreksi DIC. Sehingga perawatan di ruang intensif sangat
dibutuhkan. Mengukur kebutuhan cairan dan mengoreksi secara tepat bila ada
kekurangan perhari merupakan sesuatu yang sangat penting hal ini juga
dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan adanya overload. WHO
merekomendasikan 10 mg/kg BB penambahan cairan setiap adanya kehilangan
1% cairan berat badan.
Tata laksana umum untuk ensefalitis dengue hampir sama dengan ensefalitis
dengue meliputi monitoring dan maintanence saluran nafas dan oksigenasi yang
adekuat, dehidrasi dan nutrisi, bila ada kejang maka diberi protokol standar
antiepileptik, peningkatan tekanan intrakranial dapat ditangani dengan head up
elevation, manitol dan steroid, pada kasus endemik penyakit infeksi susunan saraf
puast seperti malaria serebral, toxoplasmosis, neurosistiserkosis, HIV dan
tuberkulosis maka perlu dipastikan sudah tersingkirkan.
Penanganan spesifik ensefalitis viral dengan pemberian antivirus sperti HSV
ensefalitis memberi keuntungan dan menurunkan kematian namun sampai saat ini
belum ada terapi antivirus dengue untuk ensefalitis yang benar-benar memberi bukti
kuat, kedepan penelitian tentang patogenesis infeksi dengue yang semakin maju

129
memberi harapan akan adanya temuan terapi spesifik baru, beberapa obat yang
berpotensi bisa memberi terapi baru di ensefalitis dengue antara lain ribavirin,
morpholine oligomer, terapi genetik dan mengeblok envelop protein virus.
L. Keluaran Klinis
Belum banyak penelitian yang menjelaskan keluaran klinis pasien dengan
ensefalitis dengue ini akan tetap beberapa penelitian yang pemah dipublikasi
memberi angka yang berbeda, hal ini karena sampel masih kecil namun secara umum
memberi keluaran yang bagus, penelitian Kankirawatana dari 8 pasien ensefalitis
semua mengalami penyembuhan total dengan rerata 9 hari, penelitian Kuaratne 2008
dari 6 pasien semua sembuh sempurna dalam 2 hari paska infeksi ensefalitis, berbeda
dengan penelitian Misro et al dari 11 pasien 3 pasien meninggal, 3 pasien tidak
sembuh sempurna sampai 1 bulan hal ini sama dengan penelitian Solomon dari 9
pasien 6 pasien sembuh sempurna dan 3 pasien mengalami gejala sisa tetapi akan
sembuh sempurna dalam 6 bulan.
Daftar Pustaka
1. Aug, P. (2018). Arquivos de Neuro - Psiquiatria Advances and new insights in
the neuropathogenesis of dengue infection Avancos e novos aspectos na
neuropatogenese da, 4-11.
2. Aravinthan V (2010] Encephalitis in the clinical spectrum of dengue infection
(review article) , Neurology India Vol 58, page 585-591Garg, R. K., Rizvi, I.,
Ingole, R., Jain, A., Malhotra, H. S, & Kumar, N. (2018). Cortical laminar
necrosis in dengue encephalitis — a case report Case presentation, 1-7.
https://doi.org/10.1186/sl2883
3. B. Munir, 2018. Encephalitis due to Dengue haemorrhage fever Infection (in)
Holistic approach in Neuroinfection Continuing Neurological Education
Neurology Airlangga University Joint meeting Asia South Neurological
Assosiation (ASNA) page 85-108.
4. Bradley H, Markowitz LE, Gibson T, McQuillan GM.Seroprevalence of herpes
simplex virus types 1 and 2-United States, 1999-2010. J Infect Dis
2014;209:325-333.
5. Bradshaw. MJ., Venkatesan. A. 2016. Herpes Simplex Virus-1 Encephalitis in
Adults: Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Neurotherapeutics.
13:493-508 DOI 10.1007/sl3311-016-0433-7
6. Francisco JCA [2013], Neurological complications of dengue virus infection.
The Lancet Neurology Volume 12, No. 9, p906-919, DOI:
https://doi.org/10.1016/S1474-4422(13)70150-9
7. Javier, F., Artal, C, & Read, M. (2018]. Neurological complications of dengue
virus infection Popular Articles, 4422(13), 2017-2018.

130
8. George BP, Schneider EB, Venkatesan A. Encephalitis hospitalizationrates and
inpatient mortality in the United States, 2000- 2010. PLCS CM? 2014;9:el04169.
9. Madi, D., Achappa, B., Ramapuram, J. T., Chowta, N., & Laxman, M. (2018).
Dengue encephalitis-A rare manifestation of dengue fever, 4(Suppl 1),
4-7. https://doi.Org/10.12980/APJTB.4.2014C1006
10. Medicus, I., Citation, S., & Expanded, I. (2018). 5/27/2018 Encephalitis in the
clinical spectrum of dengue infection Varatharaj A Neurol India, (4), 1-17.
https://doi.org/10.4103/0028.
11. Notes, S. (2018). Dengue virus: structure , serotypes and mode of transmission
Dengue virus: structure, serotypes and mode of transmission Introduction
Structure of Dengue virus: Serotypes of Dengue Mode of transmission :, 3-5.
12. Parinding, IT. 2012. Diagnosis dan Tata Laksana Ensefalitis HerpesSimpleks.
CDK-193/vol. 39 no. 5, th. 2012
13. Pasternak B, Hviid A. 2010. Use of acyclovir, valacyclovir, and famciclovir in
the first trimester of pregnancy and the risk of birth defects. JAMA; 304:859-866.
14. Roos KL, Tyler KL, 2013. Harrison's neurology in clinical medicine. Hauser
(Ed). Third edition. McGraw-Hill Education. California, p.508-514
15. Scheld WM, Whitley RJ, Marra CM. Infections of the centralnervous system.
4th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health; 2014. 907 p.
16. Sili U, Kaya A, Mert A, Group HSVES. 2014. Herpes simplex virus
encephalitis: clinical manifestations, diagnosis and outcome in 106 adult
patients./ Clin Virol; 60:112-118.
17. Singh TD, Fugate JE, Hocker S, Wijdicks EF, Aksamit AJ, Jr., Rabinstein AA.
2016. Predictors of outcome in HSV encephalitis./Neurol; 263:277-289.
18. Solomon T, Michael BD, Smith PE, et al. 2012. Management of suspected viral
encephalitis in adults—Association of British Neurologists and British Infection
Association National Guidelines.]Infect; 64:347-373.
19. Steiner I, Benninger F. Update on herpes virus infections of thenervous system.
Curr Neurol Neurosci Rep 2013;13:414.
20. Steiner I. Herpes simplex virus encephalitis: new infection or reactivation?
CurrOpin Neurol 2011;24:268-274.
"21. Venkatesan A, Tunkel AR, Bloch KC, et ai 2013. Case definitions, diagnostic
algorithms, and priorities in encephalitis: consensus statement of the
international encephalitis consortium. Clin Infect Dis ;57-.1114-1128.

131
BAB 8

MALARIA SEREBRAL
Arthur H.P. Mawuntu

132
MALARIA SEREBRAL

I. KERANGKA MODUL
A. Kompetensi
Mampu melakukan penatalaksanaan kasus malaria serebral secara holistik sesuai
standar prosedur operasional dan panduan praktik klinis.
Metode Pencapaian Kompetensi

B; Indikator Hasil Pembelajaran


1. Mampu menjelaskan epidemiologi malaria serebral di Indonesia
dan dunia.
2. Memahami patogenesis malaria dan malaria serebral.
3. Mampu menguraikan manifestasi klinis malaria serebral.
4. Mampu mengenali berbagai tahap Plasmodium falciparum saat diberikan
sediaan tetes darah tebal dan tetes darah tipis.
5. Mampu menegakkan diagnosis malaria serebral dan membuat diagnosis
bandingnya.
6. Memahami aspek farmakologis obat-obat antimalaria termasuk efek
sampingnya.
7. Mampu melakukan penatalaksanaan malaria serebral secara menyeluruh,
termasuk melakukan penatalaksanaan malaria serebral pada populasi khusus
seperti perempuan hamil, anak, dan pasien imunodefisiensi.

133
8. Mampu melakukan kolaborasi dengan profesional pemberi asuhan lain dalam
penanganan pasien.
9. Mampu merencanakan dan memberikan obat antimalaria secara parenteral dan
oral serta menangani efek samping yang timbul.
10. Mampu melakukan pemantauan perawatan pasien malaria serebral termasuk
membuat keputusan sembuh atau gagal pengobatan.
11. Mampu memberikan komunikasi, informasi, edukasi secara empati dan efektif
kepada pasien dan keluarga.
12. Mampu menerapkan prinsip-prinsip keselamatan pasien dan menghargai hak
pasien dan keluarga dalam perawatan pasien.
13. Mampu menjelaskan berbagai metode pencegahan malaria dan memberikan
edukasi malaria.
14. Mampu membuat laporan tentang kejadian malaria sesuai ketentuan
pemerintah.
C. Persiapan Sesi
1. Ruangkuliah.
2. Peralatan audiovisual.
3. Peralatan telekonferensi dan aplikasinya.
4. Peralatan laboratorium.
5. Contoh foto fundus pasien malaria serebral.
6. Contoh preparat hapusan darah tebal skizon, trofozoit, sporozoit, dan gametosit
Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium
malariae, dan Plasmodium knowlesi.
7. Laporan kasus untuk pembelajaran:
a.Malaria serebral.
b. Malaria serebral dengan gagal pengobatan dini,
c.Malaria serebral pada kehamilan dan hipoglikemia.
8. Koneksi internet.
9. Silabus.
10. Daftar hadir dan berita acara kuliah.
11. Materi presentasi kuliah.
12. Penuntun belajar.
13. Daftar tilik kompetensi.

134
14. Lembar-lembar penilaian.
15. Lembar umpan balik.
16. Contoh soal.
D. Keterampilan
Setelah menyelesaikan modul ini, diharapkan memiliki
keterampilan:
1. Memahami mekanisme terjadinya malaria serebral.
2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk membuat kerja malaria
serebral dan diagnosis bandingnya.
3. Merencanakan dan menginterpretasikan hasil pemeriksaan penunjang yang
relevan untuk menegakkan malaria serebral dan menyingkirkan diagnosis
bandingnya.
4. Menguasai tata laksana dan pengelolaan pasien dengan malaria serebral.
5. Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada malaria serebral.
6. Memprediksi dan mengelola penyulit yang terjadi pada malaria serebral.
7. Melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi kepada pasien/keluarga pasien
terkait penyakit malaria serebral.
8. Membangun kerja sama yang baik dengan teman sejawat dari disiplin ilmu lain
seperti Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Kesehatan Anak serta dengan profesional
pemberi asuhan lain dalam memberikan perawatan pada pasien.
E. Gambaran Umum
Maksud modul ini adalah untuk memberikan bekal pengetahuan praktik dan tata
laksana malaria serebral melalui pendekatan berbasis kasus. Peserta didik
sebelumnya harus sudah memiliki dasar pengetahuan medis tentang malaria.
Sebelum sesi dimulai, peserta didik perlu mempelajari secara aktif dan
mandiri tentang topik patogenesis malaria serebral, metode dan kriteria, serta
terapi farmakologis malaria serebral.
1. Contoh Kasus 1
Ilustrasi
Seorang laki-laki, 26 tahun dibawa teman-temannya ke UGD dengan keluhan
demam tinggi yang naik turun sejak lima hari yang lalu. Ditemukan pula riwayat
menggigil dan berkeringat setelah demam. Dua hari yang lalu pasien mulai terlihat
mengantuk dan berbicara kacau. Pasien adalah seorang dokterPTT di salah satu desa
di Papua yang baru ditempatkan di sana selama dua bulan. Pada pemeriksaan
ditemukan GCS E3MsV4=12; dan suhu badan 38,5°C. Konjungtiva pucat dan
teraba splenomegali Schuffner 2. Pada pemeriksaan neurologis tidak ditemukan
kaku kuduk namun tonus otot secara umum meningkat.

135
Diskusi
a. Apakah hal-hal yang perlu ditanyakan dalam anamnesis dan
pemeriksaan fisik?
b. Apakah diagnosis kerja dan diagnosis bandingnya?
c. Gambaran funduskopi seperti apa saja yang dapat
mendukung diagnosis?
d. Apakah pemeriksaan penunjang yang perlu dikerjakan
untuk menegakkan diagnosis?
e. Bagaimanakah interpretasi pemeriksaan penunjang
mikroskopik yang menunjang diagnosis?
f. Bagaimanakah patogenesis terjadinya gangguan neurologis
pada pasien ini?
g. Hal-hal apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam
penatalaksanaan pasien ini?
h. Bagaimana pemantauan lanjut dan kriteria
kesembuhannya?
i. Faktor-faktor apa saja yang dapat memperburuk prognosis pasien ini?
2. Contoh Kasus 2
Ilustrasi
Seorang laki-laki, 54 tahun dibawa keluarganya ke UGD dengan keluhan demam
tinggi sejak lima hari yang lalu disertai penurunan kesadaran. Hasil pemeriksaan
tetes darah tebal ditemukan parasit Plasmodium falciparum bentuk ring dengan
hitung parasit 60.000/ul. Dibuat diagnosis malaria serebral. Pasien diberikan terapi
kina drips intravena. Pada hari ke tiga, kesadaran masih menurun dan pasien masih
demam naik-turun. Pada pemeriksaan tetes darah tebal ditemukan hitung parasit
80.000/ul.
Diskusi
a. Apa saja penyebab penurunan kesadaran pada pasien ini?
Bagaimana mekanismenya?
b. Apakah masalah utama yang ditemui dalam
penatalaksanaan kasus sesuai ilustrasi kasus di atas?
c. Perlukah dikerjakan pencitraan otak dan pungsi lumbal
pada kasus ini?
d. Apakah penatalaksanaan lanjut untuk pasien ini?
e. Bagaimana pemantauan terapi yang baik?
f. Faktor-faktor apa saja yang bisa menyebabkan masalah
tersebut?

136
3. Contoh Kasus 3
Ilustrasi
Seorang perempuan, 33 tahun, G2P1A0 hamil 35-36 minggu dibawa
teman-temannya ke UGD dengan keluhan demam tinggi sejak tiga hari yang lalu.
Dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dibuat diagnosis malaria
tropika dalam kehamilan. Pada pasien diberikan terapi kina drips intravena. Delapan
jam setelah mulai pemberian kina drips intravena, pasien mulai terlihat mengantuk
dan berbicara kacau. Selanjutnya pasien mengalami kejang umum satu kali dan
setelah kejang pasien tidak sadar.
Diskusi
a. Apa saja kemungkinan penyebab kejang pada pasien ini?
b. Pemeriksaan fisik apa yang perlu dilakukan?
c. Pemeriksaan penunjang apa yang perlu dilakukan?
d. Bagaimana penatalaksanaan lanjutan pada pasien ini?
e. Bagaimana prognosis pasien ini?
F. Rangkuman
Kompetensi pendekatan klinis dicapai dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik
umum, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan
penyakit termasuk pemberian obat antimalaria dan pemantauannya.
G. Tujuan Pembelajaran
1. Menjelaskan epidemiologi malaria serebral di Indonesia dan dunia:
a. Menjelaskan tentang situasi epidemiologi malaria di Indonesia.
b. Menjelaskan tentang situasi epidemiologi malaria di dunia dan resistensi obat
antimalaria.
c. Menjelaskan tentang pelaporan malaria dan surveilans malaria di Indonesia.
2. Memahami patogenesis malaria dan malaria serebral:
a. Memahami tentang daur hidup Plasmodium.
b. Memahami tentang teori mekanik dan teori sitokin/toksin serta bagaimana kedua
teori itu menjelaskan patologi otak yang terjadi pada malaria serebral.
c. Memahami tentang imunitas terhadap malaria.
3. Menguraikan manifestasi klinis malaria serebral:
a. Mengetahui manifestasi klinis umum malaria dan berbagai variasinya.
b. Memahami manifestasi klinis malaria serebral termasuk ciri-ciri retinopati
malaria.

137
c. Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik umum, dan pemeriksaan neurologis
yang relevan.
4. Mengenali berbagai tahap Plasmodium falciparum saat diberikan
sediaan tetes darah tebal dan tetes darah tipis.
a. Mengetahui jenis-jenis pemeriksaan penunjang untuk malaria.
b. Mengetahui ciri-ciri sediaan darah yang baik.
c. Memahami cara mendeteksi parasit pada tetes darah tipis dan tebal.
d. Memahami cara menghitung parasit pada tetes darah tipis dan tebal baik dengan
metode semi kuantitatif maupun kuantitatif.
e. Mengenali ciri-ciri Plasmodium falciparum pada berbagai tahap
perkembangannya pada pemeriksaan tetes tipis.
f. Mengetahui fungsi pemeriksaan hitung parasit untuk pemantauan keberhasilan
pengobatan.
g. Mengetahui cara melakukan rapid diagnostic test.
5. Menegakkan diagnosis malaria serebral dan membuat diagnosis
bandingnya.
a. Mengetahui kriteria diagnosis malaria
b. Mengetahui kriteria diagnosis malaria serebral.
c. Mengetahui berbagai metode, indikasi, dan kontraindikasi pemeriksaan
penunjang yang perlu dikerjakan untuk menegakkan diagnosis, termasuk pungsi
lumbal dan analisis cairan serebrospinal serta pencitraan otak.
6. Memahami aspek farmakologis obat-obat antimalaria
termasuk efek sampingnya:
a. Mengetahui berbagai jenis obat antimalaria, cara kerja, dosis, interaksi, dan cara
pemberiannya.
b. Mengetahui tentang pemberian obat antimalaria kombinasi
dan resistensi obat antimalaria.
c. Mengetahui berbagai efek sampingnya obat antimalaria,
termasuk pencegahan, deteksi, dan penanganannya.
7. Melakukan penatalaksanaan malaria serebral secara
menyeluruh:
a. Merencanakan dan memberikan obat antimalaria secara parenteral dan oral serta
menangani efek samping yang timbul.
b. Melakukan penatalaksanaan suportif dan simtomatis.
c. Melakukan penatalaksanaan malaria serebral pada populasi khusus seperti
perempuan hamil, anak, dan pasien imunodefisiensi.
d. Melakukan pemantauan perawatan pasien malaria serebral termasuk membuat
keputusan sembuh atau gagal pengobatan.

138
8. Melakukan kolaborasi dengan profesional pemberi asuhan lain dalam penanganan
pasien:
a. Melakukan konsultasi dan menjawab konsultasi ke dan dari dokter bidang ilmu
lain dengan tepat.
b. Melakukan kerja sama dan pembagian kerja dengan petugas paramedis dalam
menangani pasien.
c. Melakukan rujukan vertikal atau horizontal dengan tepat.
d. Mengetahui posisi dan tugasnya dalam tim penanganan pasien.
9. Memberikan komunikasi, informasi, edukasi secara empati dan
efektif kepada pasien dan keluarga:
a. Di awal pembicaraan mampu menyapa dan memperkenalkan diri dengan baik
serta memperlihatkan empati dan rasa hormat yang layak kepada pasien dan
keluarga. Selanjutnya di akhir pembicaraaan mengucapkan terima kasih
dan menutup pembicaraan.
b. Mampu memberi penjelasan terkait diagnosis, dasar diagnosis, rencana
penanganan, dan prognosis dengan bahasa yang mudah dimengerti.
c. Mampu menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang yang diperlukan.
d. Mampu memberikan informasi terkait pathogenesis penyakit dengan bahasa
yang mudah dipahami.
e. Mampu memberikan edukasi terkait pencegahan malaria.
f. Meminta persetujuan atas tindakan medis invasif seperti pungsi lumbal dengan
baik.
10. Menerapkan prinsip-prinsip keselamatan pasien dan menghargai hak pasien dan
keluarga dalam perawatan pasien:
a. Menerapkan enam sasaran keselamatan pasien.
b. Mengetahui hak pasien dan keluarga.
c. Mengetahui tugas dan wewenang sebagai dokter, baik dokter penanggung
jawab pelayanan maupun residen.
d. Mengetahui kewajiban dan cara membuat laporan insiden kejadian tidak
diharapkan.
11. Membuat laporan tentang kejadian malaria sesuai ketentuan
pemerintah:
a. Mengetahui tentang kewajiban memberikan laporan terkait temuan kasus
malaria di unit pelayanan kesehatan.
b. Mengetahui tentang cara pelaporan temuan kasus malaria.
H. Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi, dan pengamalan ilmu
neurologi pada dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini

139
untuk memiliki perilaku profesional yang ditunjukkan dengan:
1. Kepakaran medis/pembuatan keputusan klinis.
2. Komunikator.
3. Kolaborator.
4. Manajer.
5. Advokasi kesehatan.
6. Kesarjanaan.
7. Profesionalisme.
8. Performa.
I. Kasus Untuk Metode Pembelajaran
1. Kasus 1
Ilustrasi
Seorang laki-laki, 26 tahun dibawa teman-temannya ke UGD dengan keluhan
demam tinggi yang naik turun sejak lima hari yang lalu. Ditemukan pula riwayat
menggigil dan berkeringat setelah demam. Dua hari yang lalu pasien mulai terlihat
mengantuk dan berbicara kacau. Pasien adalah seorang dokter PTT di salah satu
desa di Papua yang baru ditempatkan di sana selama dua bulan. Pada pemeriksaan
ditemukan GCS E3M5V4=12; tekanan darah 110/70 mmHg; nadi 92 x/menit
regular isi cukup; pernafasan 22 x/menit; dan suhu badan 38,5°C. Konjungtiva
pucat dan teraba splenomegali Schuffner 2. Pada pemeriksaan neurologis tidak
ditemukan kaku kuduk namun tonus otot secara umum meningkat.
Diskusi
a. Apakah hal-hal yang perlu ditanyakan dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik?
b. Apakah diagnosis kerja dan diagnosis bandingnya?
c. Gambaran funduskopi seperti apa saja yang dapat mendukung
diagnosis?
d. Apakah pemeriksaan penunjang yang perlu dikerjakan untuk
menegakkan diagnosis?
e. Bagaimanakah interpretasi pemeriksaan penunjang mikroskopik
yang menunjang diagnosis?
f. Bagaimanakah patogenesis terjadinya gangguan neurologis pada pasien ini?
g. Hal-hal apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam
penatalaksanaan pasien ini?
h. Bagaimana pemantauan lanjut dan kriteria kesembuhannya?
i. Faktor-faktor apa saja yang dapat memperburuk prognosis pasien ini?

140
2. Kasus 2
Ilustrasi
Seorang laki-laki, 54 tahun dibawa keluarganya ke UGD dengan keluhan demam
tinggi sejak lima hari yang lalu disertai penurunan kesadaran. Hasil pemeriksaan
tetes darah tebal ditemukan parasit Plasmodium falciparum bentuk ring dengan
hitung parasit 60.000/ul. Dibuat diagnosis malaria serebral. Pasien diberikan terapi
kina drips intravena. Pada hari ke tiga, kesadaran masih menurun dan pasien masih
demam naik-turun. Pada pemeriksaan tetes darah tebal ditemukan hitung parasit
80.000/ul.
Diskusi
a. Apa saja penyebab penurunan kesadaran pada pasien ini?
Bagaimana mekanismenya?
b. Apakahmasalah utama yang ditemui dalam penatalaksanaan kasus sesuai
ilustrasi kasus di atas?
c. Perlukah dikerjakan pencitraan otak dan pungsi lumbal pada kasus ini?
d. Apakah penatalaksanaan lanjut untuk pasien ini?
e. Bagaimana pemantauan terapi yang baik?
f. Faktor-faktor apa saja yang bisa menyebabkan masalah tersebut?
3. Kasus 3
Ilustrasi
Seorang perempuan, 33 tahun, G2P1A0 hamil 35-36 minggu dibawa
teman-temannya ke UGD dengan keluhan demam tinggi sejak tiga hari yang lalu.
Dari hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dibuat diagnosis malaria
tropika dalam kehamilan. Pada pasien diberikan terapi kina drips intravena.
Delapan jam setelah mulai pemberian kina drips intravena, pasien mulai terlihat
mengantuk dan berbicara kacau. Selanjutnya pasien mengalami kejang umum satu
kali dan setelah kejang pasien tidak sadar.
Diskusi
a. Apa saja kemungkinan penyebab kejang pada pasien ini?
b. Pemeriksaan fisik apa yang perlu dilakukan?
c. Pemeriksaan penunjang apa yang perlu dilakukan?
d. Bagaimana penatalaksanaan lanjutan pada pasien ini?
e. Bagaimana prognosis pasien ini?

141
J. Evaluasi
1. Komponen Pengetahuan
a. Esai : 3 - 5 soal pengetahuan teoretis
b. MCQ : 10 - 20 soal pengetahuan teoretis
c. CBD : 3 - 5 kasus
d. OSCE : 1 kasus
e. Portofolio: minimal 10 kasus
f. SOOCA : 1 kasus
2. Komponen Keterampilan
a. DOPS: Membaca preparat tetes darah tebal dan tetes darah tipis, melakukan
rapid diagnostic test, dan melakukan pungsi lumbal serta analisis cairan
serebrospinal.
b. Mini-CEX: Penilaian GCS, funduskopi, tanda-tanda rangsangan meningeal, dan
tanda-tanda lateralisasi.
3. Kompetensi Konatif
a. Multisource Feedback. CONTOH SOAL
MCQ
1. Seorang perempuan, 22 tahun, dibawa ke UGD oleh orang tuanya dengan
keluhan utama penurunan kesadaran sejak satu hari yang lalu. Penurunan
kesadaran disertai kejang umum. Ada riwayat demam sejak tujuh hari yang lalu,
hilang-timbul. Suhu badan aksilar 39°C. GCS E2M4V4=10.
Tidak ada kaku kuduk, ada kesan papiledema bilateral dini, dan tidak ada kesan
hemiparesis. Karena ada riwayat bepergian ke Papua maka dilakukan
pemeriksaan rapid check Plasmodium falciparum dan hasilnya positif. Hasil
pemeriksaan darah tebal ditemukan skizon positif 1.
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan Hb 10,2 g/dl. Apa penyebab utama
anemia pada pasien ini?
A. Perdarahan lambung.
B. Inhibisi hematopoiesis.
C. Kebocoran plasma dari kapiler.
D. Destruksi eritrosit oleh Plasmodium.
E. Inhibisi pada enzim tetrahidrofolat reductase.

142
2, Laki-laki, 24 tahun, dibawa ke UGD oleh teman-temannya
dengan keluhan utama penurunan kesadaran sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Terdapat riwayat demam tinggi yang naik-turun sejak 6 hari sebelum MRS.
Pada pemeriksaan didapatkan GCS E2M3V2=7. Hasil pemeriksaan hapusan
darah memperlihatkan trofozoit Plasmodium falciparum. Glukosa darah sewaktu
158 g/dl.
Apa penyebab utama penurunan GCS pada kasus ini?
A. Hidrosefalus obstruktif.
B. Terlepasnya endotoksin.
C. Hidrosefalus non obstruktif.
D. Neurotoksisitas komponen patogen.
E. Sekuestrasi dan kongesti mikrovaskuler.
3. Perempuan, 34 tahun, dibawa oleh suaminya ke UGD dengan keluhan utama
penurunan kesadaran sejak tiga hari yang lalu yang sifatnya makin lama makin
memberat.Penurunan kesadaran disertai demam dan menggigil sejak lima hari
yang lalu. Pada pemeriksaan fisik ditemukan GCS E3M5V4=12. Tidak terdapat
kaku kuduk. Hasil pemeriksaan darah tepi ditemukan Hb 11,2 g/dl, platelet
44.000 sel/mm3, leukosit 5.300 sel/mm3. Hasil CT scan otak dengan kontras
dalam batas normal. Pungsi lumbal tidak jadi dilakukan.
Mengapa pungsi lumbal dikontraindikasikan pada pasien?
A. Platelet 44.000 sel/mm3.
B. Nilai GCS kurang dari 13.
C. Belum dikerjakan tes HIV.
D. Penebalan leptomeningen.
E. Nyeri kepala hebat 1 minggu.
4. Seorang perempuan, 22 tahun, dibawa ke UGD oleh orang tuanya dengan
keluhan utama penurunan kesadaran sejak satu hari yang lalu. Penurunan
kesadaran disertai kejang umum. Ada riwayat demam sejak tujuh hari yang lalu,
hilang-timbul. Suhu badan aksilar 39°C. Berat badan 65kg. GCS E2M4V4=10.
Tidak ada kaku kuduk, ada bercak-bercak putih di retina dan papiledema bilateral
pada pemeriksaan funduskopi, dan tidak ada kesan hemiparesis. Karena ada
riwayat bepergian ke Papua maka dilakukan pemeriksaan rapid check
Plasmodium falciparum dan hasilnya positif. Hasil pemeriksaan darah tebal
ditemukan skizon positif 1.
Apa terapi lini pertama untuk pasien ini?
A. Artersunate intravena.

143
B. Kina drips intravena.
C. Piperakuin oral.
D. Primakuin oral.
E. Meflokuin oral.
5. Seorang perempuan, 55 tahun, diantar ke Klinik Neurologi dengan keluhan utama
bicara kacau. Keluhan ini dialami sejak dua hari sebelum masuk RS. Pasien ada
riwayat demam sejak seminggu yang lalu. Pemeriksaan kesadaran menunjukkan
bahwa pasien dapat membuka mata jika diperintah tetapi setelah itu pasien
menutup mata kembali. Pasien dapat melokalisasi nyeri jika diberikan
rangsangan nyeri tetapi tidak bisa mengikuti perintah. Bicaranya kacau dan
jawaban yang diberikan berbentuk kalimat namun tidak sesuai dengan
pertanyaan yang diajukan pemeriksa.
Berapa Skala Koma Glasgow pasien ini?
A. E4M6V5
B. E4M6V4
C. E4M5V4
D. E3M5V3
E. E3M4V3

CONTOH SOAL OSCE


Seorang laki-laki, 26 tahun dibawa teman-temannya dengan keluhan demam
tinggi sejak tiga hari yang lalu disertai penurunan kesadaran. Ditemukan pula riwayat
menggigil dan berkeringat setelah demam. Pada pemeriksaan ditemukan GCS
E3MsV4=12 dan suhubadan 38,5°C.
Diskusi
1. Lakukan anamnesis yang relevan dengan keluhan utama pada pasienini!
2. Lakukan pemeriksaan funduskopi pada pasien! Apa yang Anda temukan?
3. Apakah pemeriksaan penunjang yang dapat dibuat untuk menegakkan diagnosis?
Apa interpretasi Anda?
4. Bagaimanakan penatalaksanaan pada pasien ini?

144
II. MATERI BAKU MALARIA SEREBRAL
Tahun 1927 Julius Wagner-Jauregg mendapat hadiah
Nobel untuk penemuannya mengenai nilai terapeutik
inokulasi malaria untuk terapi demensia paralitika.
Tahun 2015 Hadiah Nobel bidang kedokteran diberikan
pada para pakar parasitologi dan salah satunya adalah
Tu Youyou dari RRC yang mengisolasi Artemisinin, obat
antimalaria baru, dari tumbuhan Qingha
(Artemisia annua).
A. Pendahuluan
Sebelum kita mempelajari bahan ajar ini lebih lanjut, menurut hemat kami, ada
beberapa pertanyaan perlu dijawab terlebih dahulu. Mengapa topik ini penting bagi
seorang neurolog? Mengapa seorang neurolog perlu mempelajari malaria serebral?
Apakah yang dapat diberikan neurologi dalam penatalaksanaan malaria serebral?
Mari kita melihat beberapa hal berikut untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi.
Meskipun manusia telah membuat banyak pencapaian terkait pengendalian
malaria, tetapi dalam tahun 2016, WHO melaporkan masih terdapat 200 juta pasien
malaria dengan angka kematian 400.000. Di Indonesia, malaria masih menjadi salah
satu prioritas utama untuk dieliminasi. Meski angka annual parasite incidence (API]
nasional Indonesia tahun 2016 sudah mengalami penurunan, tetapi perlu diingat
bahwa mobilisasi pendudukyang semakin cepat antar daerah dan fenomena
penghangatan global dapat memicu timbulnya kasus-kasus baru. Selain itu, beberapa
peneliti telah melaporkan munculnya resistensi di tingkat gen maupun resistensi klinis
untuk obat antimalaria [OAM] baru. Sebagian kasus resistensi obat tersebut
disebabkan oleh cara pemberian terapi yang tidak tepat. Di lain pihak, riset OAM
sendiri membutuhkan proses yang sangat panjang. Oleh karena itu, peperangan
terhadap malaria membutuhkan peran aktif seluruh unsur profesional kesehatan
termasuk para neurolog. Kesadaran dan kompetensi unsur-unsur tersebut terhadap
penyakit malaria tentu akan membantu eradikasi malaria.
Malaria serebral didefinisikan sebagai adanya penurunan kesadaran/koma pada
pasien yang mengalami parasitemia Plasmodium falciparum (WHO, 2011]. Definisi
ini menjadi masalah pada daerah-daerah yang memiliki angka hiperparasitemia
asimptomatik tinggi karena pasien dengan penyebab penurunan kesadaran yang lain
dapat disalah duga sebagai malaria serebral karena mereka juga mengalami
hiperparasitemia Plasmodium falciparum. Pada kasus seperti ini, peran seorang
neurolog menjadi penting dalam menegakkan diagnosis. Informasi dari pemeriksaan
neurologis seperti funduskopi dan pungsi lumbal dapat mendukung diagnosis malaria
serebral atau justru alternatif diagnosis lain.

145
Beberapa penelitian mengungkapkan adanya tekanan tinggi intrakranial hingga
herniasi otak pada pasien malaria serebral. Ada beberapa patomekanisme untuk hal
ini. Namun demikian, tata laksananya tentu membutuhkan kompetensi neurologis.
Selain itu, banyak pertanyaan terkait patomekanisme malaria serebral dari sudut
pandang neurosains yang masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Sebagai salah satu penyakit neurologis yang banyak ditemui di Indonesia dan
dunia, malaria serebral tidak hanya memberikan gambaran neurologis pada fase
akutnya semata tetapi juga dapat menyebabkan sequela neurologis maupun sindrom
neurologis pascamalaria seperti gangguan tumbuh kembang pada anak atau epilepsi.
Dengan demikian, setelah lewat fase akut pun seorang neurolog tetap hams
memberikan kompetensinya untuk penanganan pasien.
Hal-hal di atas menjelaskan mengapa seorang neurolog, khususnya yang bekerja
di Indonesia, perlu memahami malaria serebral. Melalui bahan ajar malaria serebral,
kami ingin memberikan pengetahuan teoretis terkait malaria serebral yang diperlukan
bagi kita sebelum memberikan penatalaksanaan. Bagian selanjutnya dari
bahan ajar ini akan membahas tentang malaria serebral dari sudut pandang neurologi.
B. Definisi
Kata malaria berasal dari bahasa Italia mal aria yang berarti udara kotor. Saat itu,
bangsa Romawi kuno menganggap bahwa penyakit ini berasal dari asap berbau busuk
dari rawa-rawa. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
plasmodium. Gejala dan tanda utamamya adalah demam menggigil, anemia, dan
hepatosplenomegali. Gigitan nyamuk anopheles betina merupakan metode penularan
alami pada manusia. Namun demikian, penularan vertikal dari ibu ke janinnya juga
bisa terjadi.
C. Etiologi
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penyebab infeksi malaria ialah parasit
plasmodium. Parasit ini, seperti halnya toxoplasma, termasuk dalam filum
apicomplexa.
D. Epidemiologi
Malaria merupakan salah satu penyakit infeksi yang memberikan morbiditas yang
cukup tinggi di dunia. Sekitar 106 negara masih menangani infeksi malaria, khususnya
negara-negara di daerah tropis dan yang sedang berkembang di Afrika, sebagian besar
Asia, dan Amerika Latin. Laporan malaria World Health Organization (WHO) tahun
2017 memperlihatkan bahwa ada stagnasi dalam kemajuan eradikasi malaria di dunia.
Dilaporkan bahwa tahun 2016, terdapat sekitar 216 juta kasus malaria. Meningkat
sekitar lima juta kasus dibandingkan tahun sebelumnya. Angka kematian di tahun
2016 adalah sekitar 445.000 kasus. Mirip dengan tahun 2015.
Di Indonesia, program eliminasi penyakit malaria masih merupakan salah satu

146
program utama Kementerian Kesehatan. Daerah-daerah dengan endemisitas tinggi di
Papua dan Kalimantan sudah berkurang. Peta endemisitas malaria di Indonesia tahun
2015 memperlihatkan bahwa daerah dengan endemisitas tinggi hanya tinggal 2,2%;
daerah endemisitas sedang 8,5%; dan daerah dengan endemisitas ringan 15,3%.
Sisanya merupakan daerah bebas malaria. Angka annual parasite incidence (API)
nasional pada Februari 2016 ialah 0,85 per 1000 penduduk. Menurun dibandingkan
tahun 2009 yang angkanya adalah 1,96 per 1000 penduduk.
Ada delapan provinsi dengan API di atas angka nasional pada tahun 2016 yaitu
Sulawesi Utara, Bangka-Belitung, Bengkulu, Maluku Utara, Maluku, Nusa Tenggara
Timur, Papua Barat, dan Papua. API di provinsi Papua adalah yang paling tinggi,
mencapai 31,9 per 1000 penduduk.
Annual parasite incidence negara kita memang sudah menurun. Namun
demikian kita perlu juga mempertimbangkan faktor makin cepatnya mobilisasi
manusia di Indonesia, perilaku pemberian obat yang keliru, perubahan parasit dan
vektor, dan juga perubahan iklim yang cenderung menghangat. Hal-hal ini berpotensi
menimbulkan peningkatan kasus malaria di masa mendatang.
Pemerintah senantiasa melakukan surveilans malaria di seluruh Indonesia
dengan berbagai metode. Ketepatan kita sebagai klinisi dalam membuat diagnosis dan
pemantauan pasien sangat penting dalam menjaga kualitas surveilans. Pelaporan kasus
malaria dilaksanakan berjenjang mulai dari berbagai unit pelayanan kesehatan (UPK)
melaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
melaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi. Selanjutnya laporan diteruskan ke
Kementerian Kesehatan RI (Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit], Pelaporan ini mencakup laporan rutin dan laporan pada situasi kejadian luar
biasa. Hasil analisis laporan sangat penting dalam menentukan strategi penanganan
malaria.
E. Patogenesis
1. Daur Hidup Parasit Malaria
Daur hidup parasit malaria melalui dua stadium seksual di tubuh nyamuk dan
stadium aseksual di tubuh manusia. Pada stadium nyamuk terjadi siklus sporogoni.
Pada stadium manusia terjadi siklus ekstraeritrositik dan siklus intraeritrositik.
Ringkasan daur hidup ini diperlihatkan dalam Gambar 1.

147
Pada awal siklus sporogoni di tubuh nyamuk, nyamuk anopheles betina
menggigit pejamu dan mengisap mikrogametosit dan makrogametosit hasil
dari stadium aseksual di tubuh pejamu ke tubuh nyamuk. Mikrogametosit
kemudian memasuki tubuh makrogametosit dan membentuk ookinete.
Ookinete akan berkembang menjadi oocyst yang berisi sporozoit. Oocyst
kemudian pecah dan melepaskan sporozoit yang beredar dalam tubuh
nyamuk. Sporozoit akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan siap
menginfeksi saat nyamuk menggigit manusia.
Saat nyamuk anopheles betina kembali menggigit manusia pejamu, vektor
tersebut akan melepaskan sporozoit Plasmodium ke dalam pembuluh
darah. Sebagian besar trofozoit akan menuju ke hepar dan sebagian kecil mati.
Stadium aseksual dimulai saat trofozoit masuk dalam sel parenkim hepar. Tahap
ini juga dikenal dengan nama siklus ekstraeritrositik, intrahepatic schizogony, atau
pre-erythrocytes schizogony. Pada Plasmodium falciparum, tahap ini berlangsung
lima setengah hari. Di akhir siklus ekstraeritrositik, trofozoit telah menjadi bentuk
skizon yang berisi suatu struktur yang dinamakan merozoit. Skizon-skizon yang
pecah mengeluarkan merozoit ke sirkulasi darah. Merozoit yang dilepaskan akan
mengalami fagositosis oleh fagosit mononuklear di limpa dan mengalami filtrasi.
Merozoit yang lolos dari fagositosis dan filtrasi di limpa akan menginvasi eritrosit.

148
Keluarnya merozoit juga menyebabkan pelepasan sejumlah zat antigen/toksin
yang memulai rangkaian produksi sitokin dari kelompok sel fagosit dan endotel.
Fenomena ini juga yang mendasari teori sitokin dan toksin dalam patogenesis
malaria serebral yang akan kita bahas kemudian. Selain itu, Plasmodium
falciparum juga ternyata mampu menghasilkan mediator inflamasi seperti
prostaglandin yang dapat menyebabkan panas dan penurunan kesadaran secara
langsung.
Pada P. vivax dan ovale, sebagian parasit di dalam sel hepar akan menjadi
hipnozoit. Hipnozoit ini dapat bertahan sampai bertahun-tahun dan menyebabkan
terjadinya relaps pada malaria. Hal ini tidak ditemukan pada Plasmodium
falciparum.
Setelah berada dalam sirkulasi darah merozoit akan menyerang eritrosit dan
masuk setelah berikatan dengan reseptor permukaan eritrosit. Reseptor untuk
Plasmodium falciparum diduga suatu glikoforin. Masuknya merozoit ke eritrosit
menandai dimulainya siklus intraeritrositik atau intraerythrocytic schizogony.
Dalam waktu kurang dari 12 jam parasit berubah menjadi bentuk cincin
yang dinamakan trofozoit. Pada Plasmodium falciparum menjadi bentuk stereo
headphones yang mengandung kromatin dalam intinya yang dikelilingi
sitoplasma. Parasit tumbuh setelah memakan hemoglobin dan dalam
metabolismenya membentuk pigmen yang disebut hemozoin yang dapat dilihat
secara mikroskopik.
Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit (eritrosit berparasit = EP] bertanggung
jawab dalam patogenesis terjadinya malaria pada manusia. EP menjadi lebih
elastik dan dindingnya berubah menjadi lonjong. Pada dinding eritrosit terinfeksi
Plasmodium falciparum akan timbul tonjolan-tonjolan ke luar yang disebut knob.
Knob perperan penting dalam proses sitoadherensi dan rosetting yang menjadi
dasar dari teori mekanik dalam patogenesis malaria serebral [akan dijelaskan
nanti]. Setelah 36 jam invasi ke dalam eritrosit, trofozoit berkembang menjadi
skizon. Setiap skizon yang pecah akan mengeluarkan 6-36 merozoit dan siap
menginfeksi eritrosit yang lain.
Trofozoit juga dapat berkembang menjadi makrogametosit dan mikrogametosit
yang selanjutnya akan diisap oleh nyamuk. Demikianlah siklus aseksual
Plasmodium. Siklus aseksual ini pada Plasmodium falciparum, P. vivax, dan P.
ovale berlangsung dalam 48 jam sedangkan pada P. malariae 72 jam.
2. Patogenesis Malaria Tropika/falciparum
Patogenesis malaria yang akan kita bahas adalah patogenesis malaria tropika atau
yang juga disebut malaria falciparum (sesuai nama spesies Plasmodium yang
menyebabkannya]. Pemahaman patogenesis ini penting karena berhubungan

149
dengan timbulnya malaria berat, termasuk malaria serebral. Patogenesis malaria
tropika dipengaruhi oleh parasit dan pejamu. Faktor parasit yang mempengaruhi
patogenesis adalah intensitas transmisi, densitas parasit, dan virulensi parasit.
Sedangkan faktor pejamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal,
genetik, umur, status nutrisi, dan status imunologi.
3. Sekuestrasi Parasit di Dalam Darah
Tedapat beberapa hipotesis mengenai patogenesis malaria berat. Hipotesis yang
paling banyak diterima adalah teori mekanik. Menurut teori ini terdapat beberapa
fenomena penting dalam rangkaian patogenesis malaria berat.

a. Sitoadherensi
Kompleks molekul adhesif PfEMP-1 penting untuk kita ketahui. Kompleks ini
merupakan protein-protein hasil ekspresi genetik oleh sekelompok gen yang
berada di permukaan knob. Kelompok gen ini disebut gen VAR. Gen VAR
mempunyai kapasitas variasi antigenik yang sangat besar. Luasnya variasi
antigenik ini membawa konsekuensi sulitnya P. falciparum lolos dari
penghancuran sistem imun dan sulitnya mengembangkan vaksin dan obat untuk
parasit ini.
b. Sekuestrasi
Eritrosit yang bersirkulasi hingga ke tingkat kapiler seharusnya masuk ke vena
dan dan terus beredar dalam sirkulasi darah. Namun demikian, sitoadherensi
menyebabkan mereka tidak beredar kembali dan tertinggal di pembuluh
kapiler. Sekuestrasi menurunkan perfusi jaringan otak dan dapat menyebabkan
penurunan kesadaran melalui hipoksia. Penurunan perfusi jaringan otak juga
menyebabkan peningkatan aliran darah otak sebagai respons adaptif terhadap
penurunan perfusi jaringan.

150
c. Rosetting
Selain sitoadherensi, parasit dalam eritrosit stadium matur dapat juga membentuk
kelompok dengan eritosit-eritrosit lain yang tidak terinfeksi Plasmodium.
Fenomena ini disebut pembentukan roset/rosetting. Rosetting berperan penting
dalam virulensi parasit dan ditemukan juga pada infeksi Plasmodium yang lain.
Sehingga mempermudah terjadinya sitoadherensi. Pembentukan roset sendiri
dapat dihambat oleh antibodi Plasmodium falciparum histidine rich protein-1
(Pf.HRP-1). Selain rosetting, kita juga mengenal istilah lain dalam patogenesis
malaria tropika yaitu aglutinasi. Aglutinasi adalah perlekatan dua atau lebih
eritrosit yang sudah terinfeksi parasit.
4. Sitokin, Kemokin, dan Eksitotoksisitas
Sitokin dan kemokin memiliki peran yang rumit dalam patogenesis malaria serebral.
Efek inflamasi dan eksitotoksisitas kelompok substansi ini menjadi dasar teori
sitokin/toksin dalam malaria serebral. Sitokin-sitokin penting ' yang diproduksi pada
infeksi malaria tropika adalah tumor necrosis factor a (TNF-a), interleukin 1 (11-1),
interleukin-3 [II-3), interleukin 6 [11-6), leukotrien, dan interferon y (IFN-y). Salah
satu kemokin yang penting adalah regulated on activation normal T cell expressed
and secreted (RANTES). Produksi sitokin berkorelasi dengan parasitemia dan
rosetting. Semakin tinggi parasitemia dan rosetting semakin tinggi kadar sitokin
proinflamasi yang diproduksi.
Sebenarnya, selain efek merusak, sitokin dan kemokin juga memiliki efek protektif.
Dengan demikian, keseimbangan antara mediator-mediator inflamasi ini penting
dalam pengendalian parasit.
Tumor necrosis factor alpha, salah satu sitokin yang paling banyak dipelajari dalam
patogenesis malaria serebral sepertinya bersifat protektif pada fase awal patogenesis
tetapi kadar TNF-ff yang terus-menerus tinggi akan menyebabkan kerusakan
jaringan. Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa pasien malaria serebral yang
meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar
TNF-oc yang tinggi. Di lain pihak, pada malaria tanpa komplikasi kadar TNF-oc,
11-1, dan 11-6 serumnya lebih rendah. Walaupun demikian, hasil ini tidak konsisten
karena dijumpai juga pasien malaria yang meninggal dengan kadar TNF-oc
normal/rendah atau malaria serebral yang hidup dengan kadar sitokin proinflamasi
yang tinggi. Kadar kemokin regulated on activation normal T cell expressed and
secreted (RANTES) yang rendah berhubungan dengan peningkatan angka kematian.
Peran oksida nitrat [nitric oxide = NO), yang dalam lingkup pembicaraan ini disebut
juga endothelial-derived relaxing factor (EDRF), masih kontroversial. NO disintesis
secara endogen dari asam amino L-arginin, oksigen, dan NADPH dengan bantuan
sintase oksida nitrat [nitric oxide synthase = NOS]. Lapisan endotel pembuluh darah

151
menggunakan NO sebagai pembawa pesan untuk merelaksasi otot-otot polos
pembuluh darah di sekitarnya sehingga menyebabkan * vasodilatasi dan peningkatan
aliran darah. Selain itu, NO juga mampu mempengaruhi proses neurotransmisi.
Fagosit juga mensintesis NO sebagai radikal bebas sebagai bagian dari respons imun.
Fagosit memiliki suatu isozim NOS yang disebut inducible nitric oxide synthase
(iNOS] yang dapat diaktivasi oleh TNF-oc yang disekresi saat terjadi inflamasi. NO
bersifat toksik terhadap bakteri dan parasit intraselular seperti malaria.
Di lain pihak, iNOS dapat menyebabkan fagosit mensintesis NO dalam jumlah besar.
Hal ini selanjutnya dapat memicu apoptosis sel, termasuk sel-sel di sekitar fagosit.
Tujuannya mungkin untuk membatasi inflamasi dan mempercepat pembersihan
sel-sel proinflamasi dari jaringan yang mengalami inflamasi.
Senyawa NO ini juga berkontribusi terhadap cedera reperfusi. Saat terjadi reperfusi
(yang terjadi setelah periode iskemia], sejumlah besar NO disintesis. NO akan
bereraksi dengan superoksida membentuk senyawa oksidan peroksinitrat yang
merusak. Di otak, mikroglia dan neuron akan mensintesis NO dalam jumlah besar
setelah keadaan iskemia jaringan. Hal ini malahan memicu apoptosis dan perluasan
daerah infark di otak.
Pada patogenesis malaria serebral, NO berperan dalam imunitas pejamu,
mempertahankan status vaskular, proses neurotransmisi, dan menjadi efektor TNF.
Sitokin-sitokin proinflamasi meningkatkan aktivitas iNOS di sel-sel endotel
pembuluh darah otak yang menyebabkan peningkatan sintesis NO. NO dapat
melintas sawar darah otak dan masuk ke jaringan otak. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, NO dapat mengganggu proses neurotransmisi. Diduga, hal tersebut
yang bertanggung jawab terhadap koma reversibel yang terjadi. Meskipun begitu,
beberapa penelitian yang meneliti hal ini tidakmemberikan hasil yang konklusif.
Zat toksin yang penting dalam patogenesis malaria serebral adalah sejenis glikolipid
bernama glycosylphosphatidylinositols (GPI). GPI berasal dari parasit. Glikolipid ini
akan berikatan dengan reseptornya (CD14). Pengikatan GPI dengan CD14
mengaktifkan makrofag dan sel-sel imun lain untuk menghasilkan TNF-a.
Selain itu, produk reaksi inflamasi berupa asam kuinolinat dan asam kinurenik
mungkin juga berperan penting dalam patogenesis malaria serebral. Asam
kuinolinat adalah agonis reseptor N-metil-D-aspartat [NMDA] yang bersifat
eksitotoksik. Senyawa ini mampu mencetuskan bangkitan pada model binatang
percobaan. Asam kinurenik sendiri merupakan antagonis reseptor NMDA dan
diduga memiliki sifat neuroprotektif.
5. Cedera Endotel, Apoptosis, Disfungsi Sawar Darah Otak, dan Hipertensi
Intrakranial
Keadaan iskemia yang disebabkan oleh sekuestrasi akan menyebabkan fenomena

152
eksitotoksisitas. Fenomena ini dipicu oleh peningkatan sekresi glutamat (yang
memang akan meningkat pada keadaan iskemia otak) dan aktivasi reseptor-reseptor
patologisnya di neuron seperti NMDA maupun karena adanya produk reaksi
inflamasi seperti asam kuinolinat yang bersifat eksitotoksik. Mikroglia dan neuron
juga mensekresikan NO pada keadaan iskemia yang juga memicu apotosis.
Anak-anak memiliki akson yang lebih rentan terhadap keadaan ini. Dengan
demikian, akson pada anak akan lebih cepat rusak pada keadaan iskemia dan
inflamasi daripada akson pada orang dewasa. Hal tersebut mungkin menjelaskan
secara sebagian tentang lebih tingginya kejadian bangkitan maupun sequela
neurologis pada pasien anak daripada orang dewasa.
Gangguan sawar darah otak yang telah disebutkan tadi terjadi karena reaksi
inflamasi yang merenggangkan taut kedap pada sawar darah otak. Perenggangan ini
terutama terjadi pada pasien anak. Gangguan ini terjadi di daerah yang mengalami
sitoadherensi. Meskipun belum begitu jelas, namun paparan sitokin-sitokin dari
plasma ke jaringan otak akan menyebabkan inflamasi jaringan otak yang diikuti
edema otak dan penurunan perfusi otak. Hal ini juga menyebabkan penurunan
perfusi otak dan iskemia yang akan direspons dengan peningkatan aliran darah otak.
Edema dan peningkatan aliran darah otak menyebabkan hipertensi intrakranial.
Peran kebocoran plasma ke dalam jaringan otak yang menambah volume otak dan
meningkatkan hipertensi intrakranial tidak begitu signifikan.
Hipertensi intrakranial menyebabkan penurunan perfusi otak, nutrisi, dan
penghantaran oksigen. Hal ini turut memperparah cedera iskemik global.
Selanjutnya hipertensi intrakranial juga dapat menyebabkan herniasi, kompresi
batang otak, bahkan kematian.
6. Gangguan Aliran Darah dan Perfusi Jaringan Otak
Pasien malaria serebral akan mengalami peningkatan aliran darah otak sebagai suatu
respons adaptif terhadap penurunan perfusi dan peningkatan kebutuhan nutrisi dan
oksigen. Namun demikian, secara regional, ada juga daerah-daerah otak yang
mengalami penurunan aliran darah. Keadaan ini berhubungan dengan tanda-tanda
klinis lateralisasi seperti hemiparesis. Jika kemampuan autoregulasi hilang, maka
peningkatan aliran darah otak juga dapat menyebabkan hipertensi intrakranial yang
memperburuk prognosis.
Dari aspek patogenesis yang telah kita bahas tadi, terlihat bahwa berbagai faktor
dapat memainkan fungsi protektif maupun merusak. Khususnya berbagai sitokin
dan kemokin. Berbagai proses dapat menghasilkan satu hasil akhir atau saling
memperkuat efek. Di lain pihak, satu proses dapat menyebabkan beberapa hasil
yang berbeda. Proses-proses ini saling berinteraksi dan pemicunya bersifat
multifaktor. Beberapa mekanisme belum dapat dibuktikan secara jelas sehingga

153
masih diragukan peranannya.
Belum ada agen neuroprotektif yang terbukti ampuh untuk menghentikan proses
iskemia dan inflamasi ini. Meskipun demikian, terdapat beberapa penelitian yang
dikerjakan untuk memanipulasi proses ini. Berdasarkan hal-hal yang telah kita
pelajari tadi maka sepertinya penatalaksanaan segera sangat penting guna
menghindari cedera otak sekunder dan memperbaiki prognosis, khususnya pada
pasien anak.
7. Patologi Otak Pada Malaria Serebral
Penelitian menggunakan magnetic resonance imaging (MRI) otak analisis cairan
serebrospinal [CSS), dan analisis postmortem memperlihatkan patologi yang terjadi
pada pasien dengan malaria serebral. Pembuluh kapiler tersumbat oleh EP (Gambar
2). Sumbatan yang terjadi menyebabkan penurunan perfusi jaringan. Hal ini
selanjutnya menyebabkan hipoksia, respons adaptif peningkatan aliran darah otak,
edema, lalu iskemia otak pada pasien dengan berbagai konsekuensinya.
Edema otak difus yang diikuti herniasi otak ditemukan pada beberapa pasien yang
meninggal. Kadar laktat (petanda iskemia) CSS meningkat pada pasien malaria
serebral dan peningkatan ini merupakan salah satu petanda prognosis yang buruk.
Hal ini menandakan bahwa pada malaria serebral, edema otak memicu iskemia otak.
Pada pasien yang selamat, terlihat bahwa tetap ada sedikit peningkatan volume otak
pada masa akut dibanding masa pemulihan (dianalisis dari pemeriksaan MRI otak
sekuensial). Peningkatan volume otak ini terjadi akibat peningkatan aliran darah
otak. Selanjutnya, pada pasien yang berespons cepat terhadap terapi, gambaran MRI
hanya memperlihatkan sedikit fokus infark. Hal ini berkorelasi dengan defisit
neurologis yang minimal. Namun demikian, pada pasien dengan sequela berat, MRI
otak memperlihatkan fokus-fokus infark otak hingga atrofi otak.

154
Keterangan:
A. Perubahan mendadak dari substansia grisea ke substansia alba;
B. Perdarahan berbentuk cincin pada substansia grisea dan substansia alba
serebelum;
C. Sekuestrasi hebat pada pembuluh darah, terlihat eritrosit berparasit dan
tidak berparasit bersama-
sama menyebabkan kongesti;
D. Perdarahan bentuk cincin yang
mengandung fibrin di bagian tengah; E. Sekuestrasi dengan
trofozoit-trofozoit muda (kurang berpigmen); F. Sekuestrasi
dengan trofozoit-trofozoit muda (kurang berpigmen).
Retina secara embriologis adalah bagian dari susunan saraf pusat. Struktur sel dan
sawar jaringan-otaknya mirip dengan susunan saraf pusat. Dengan demikian,
malaria yang menyebabkan gangguan pada mikrovaskulerisasi dan jaringan otak

155
juga dapat mengganggu mikrovaskulerisasi dan jaringan retina. Perubahan pada
retina terjadi karena penurunan aliran darah retina akibat obstruksi mikrovaskuler.
Pada pemeriksaan histologis terlihat adanya eritrosit yang mengalami
itoadherensi dalam mikrovaskuler retina. Pada pemeriksaan dengan angiografi
fluoresensi retina secara in vivo ditemukan adanya penurunan perfusi darah dalam
retina. Area yang tidak menerima perfusi darah terlihat sebagai bercak-bercak
putih dalam retina. Kebanyakan berlokasi di daerah perifer fundus.
8. Imunitas Terhadap Malaria
Bentuk imunitas terhadap malaria dapat dibedakan atas:
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit malaria tergantung pada faktor pejamu, parasit,
dan lingkungan (Gambar 3). Manifestasi klinis ini dapat bervariasi dari
asimtomatik hingga mematikan. Umumnya pada infeksi malaria ditemukan
demam periodik. Namun demikian gejala demam dapat disalah duga dengan
berbagai penyebab demam yang lain. Oleh karena itu, anamnesis dan
pemeriksaan flsik umum berperan penting dalam mengarahkan diagnosis.

Kita akan membahas terlebih dahulu manifestasi klinis penyakit malaria tanpa
komplikasi. Setelah itu kita akan membahas tentang manifestasi klinis malaria
serebral. Perlu diingat bahwa malaria serebral adalah salah satu jenis malaria berat atau
malaria dengan komplikasi. Komplikasi malaria lain seperti syok dan cedera ginjal
akut juga dapat timbul bersamaan dengan malaria serebral dan hal ini tidak boleh
dikesampingkan.
1. Manifestasi Malaria Tanpa Komplikasi
Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia dan
splenomegali. Gejala prodromal dapat terjadi sebelum timbul demam yang berupa
kelesuan, malaise, nyeri kepala, nyeri otot, nyeri sendi dan tulang, demam ringan,
anoreksia, perut tak enak, diare ringan, dan kadang-kadang rasa kedinginan.

156
Keluhan prodromal sering terjadi pada P. vivax dan ovale, sedang pada P.
falciparum dan malariae keluhan prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat
mendadak.
Dikenal adanya gejala-gejala klasik pada malaria yang disebut "trias malaria".
Trias ini terdiri dari:
Trias malaria lebih sering terjadi pada infeksi P. vivax. Pada P. falciparum
menggigil dapat berlangsung berat ataupun tidak ada. Periode tidak panas
berlangsung 12 jam pada P. falciparum, 36 jam pada P. vivax dan ovale, dan 60 jam
pada P. malariae. Namun demikian, kadang-kadang kita menemukan keluhan yang
tidak spesifik pada pasien seperti rasa lemas dan cepat capek yang ternyata
penyebabnya adalah malaria.
Anemia merupakan temuan yang sering dijumpai pada infeksi malaria.
Penyebabnya antara lain adalah destruksi eritrosit oleh parasit, hambatan
eritropoiesis sementara, dan hemolisis. Selain itu eritrofagositosis, penghambatan
pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin juga dapat menyebabkan anemia.
Pembesaran limpa (splenomegali) sering dijumpai pada pasien malaria. Limpa akan
teraba setelah tiga hari dari serangan infeksi akut. Limpa akan menjadi bengkak,
nyeri, dan hiperemis. Karakteristik klinis dari beberapa Plasmodium yang
menyerang manusia diperlihatkan dalam Tabel 1.

157
Malaria tropika merupakan bentuk yang paling berat, ditandai dengan
demam yang iregular, anemia, splenomegali, sering dijumpainya
parasitemia, dan sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi penyakit berkisar
antara 9-14 hari. Gejala prodromal yang sering dijumpai yaitu sakit kepala,
nyeri otot, lesu, perasaan dingin, mual, muntah, dan diare. Berlangsungnya
penyakit umumnya cepat dibanding jenis malaria lain. Demam biasanya
iregular dan tidak periodik. Sering terjadi hiperpireksia dengan temperatur di
atas 40°C. Gejala lain berupa kejang dan banyak keringat walaupun suhu
badan normal. Parasitemianya tinggi dan menyerang semua bentuk eritrosit.
Splenomegali dijumpai lebih sering dibandingkan hepatomegali dan nyeri
pada perabaan. Pembesaran hepar dapat disertai timbulnya ikterus. Kelainan

158
urin dapat berupa albuminuria, adanya kristal hialin, dan kristal yang
granuler. Anemia lebih menonjol dengan leukopenia dan monositosis.
2. Manifestasi Klinis Malaria Serebral
Malaria serebral tentu ditandai oleh manifestasi neuropsikiatrik. Manifestasi
neuropsikiatrik malaria serebral umumnya diklasifikasikan menjadi tiga kelompok
utama, yaitu:
a. Gambaran neuropsikiatrik yang menonjol pada fase akut seperti psikosis, ataksia
serebelar, bangkitan, gangguan ekstrapiramidal, dll.
b. Sequela malaria serebral seperti hemiparesis, paresis nervus-nervus kranial,
sindrom medula spinalis, gangguan serebelar, dan psikosis.
c. Sindrom neurologis pascamalaria seperti ataksia serebelar, psikosis, dan tremor.
Kita akan membahas beberapa manifestasi klinis tersebut dalam beberapa bagian
dari tulisan ini. Dalam bagian ini, kita akan lebih banyak membahas manifestasi
klinis di fase akut.
3, Gangguan Kesadaran
Penurunan kesadaran merupakan salah satu kriteria diagnosis malaria serebral.
Walaupun begitu, penurunan kesadaran pada malaria serebral dapat merupakan
akibat dari suatu status pascaiktal yang memanjang, status epileptikus nonkonvulsif,
ensefalopati karena gangguan metabolik berat, dan atau suatu sindrom neurologis
primer. Tekanan tinggi intrakranial yang terjadi pada edema otak menyebabkan
penurunan kesadaran yang disertai tanda-tanda disfungsi batang otak.
Sindrom neurologis primer dapat terjadi karena beberapa hal seperti perdarahan
intrakranial dan oklusi arteri serebral. Mekanisme imunologis dan gangguan
koagulasi darah berperan dalam menyebabkan sindrom neurologis primer ini,
Selain itu, penurunan kesadaran dapat juga disebabkan karena salah diagnosis
malaria serebral. Keadaan ini sering ditemukan pada daerah endemik dengan angka
parasitemia asimtomatik tinggi. Penurunan kesadaran pada pasien ini disebabkan
oleh penyebab lain dan pemberian OAM tidak akan memperbaiki penurunan
kesadarannnya.
Penurunan kesadaran umumnya hingga ke tahap sopor hingga koma. Penurunan
kesadaran pada malaria serebral bersifat akut dan dapat disertai tanda-tanda
kelumpuhan upper motor neuron simetris. Tonus dan refleks tendon meningkat dan
dapat ditemukan klonus maupun refleks patologis. Adanya lateralisasi seperti
hemiparesis atau deviasi konjugat bola mata menandakan telah terjadi suatu sindrom
neurologis primer seperti infark atau perdarahan. Selain itu, tanda lateralisasi berupa
anisokoritas pupil mungkin menandakan adanya herniasi otak.
Pada pasien malaria serebral dengan penurunan kesadaran, tanda-tanda rangsangan
meningeal jarang ditemukan. Papiledema juga jarang ditemukan pada orang dewasa

159
tetapi cukup sering ditemukan pada anak. Jika ditemukan, maka papiledema
berhubungan dengan tekanan tinggi intrakranial yang memiliki prognosis buruk.
Kasus berat, penurunan kesadaran dapat disertai tanda-tanda desebrasi berupa sikap
ekstensi. Hal ini merupakan tanda disfungsi batang otak. Dapat juga ditemukan
deviasi mata ke atas, gerakan seperti mengunyah (mirip bruksisme), atau refleks
mencucu. Umumnya pola nafas mendengkur periodik namun jika telah terjadi
disfungsi batang otak maka pola nafas akan menjadi lebih kacau.
Manifestasi psikiatrik telah dilaporkan dalam literatur-literatur kedokteran kuno
pada zaman Hipokrates dan Galen. Pada masa perang dunia pertama, manifestasi
psikiatrik malaria makin banyak dilaporkan. Meskipun demikian, laporan-laporan
yang datang dari era ini menggambarkan gejala psikiatrik yang sangat beragam
antara lain keadaan mirip bermimpi, amnesia anterograd, kesulitan berkonsentrasi,
disorientasi dan mudah lupa, psikosis konfusional, demensia, melankolia, mania,
delirium, dan psikosis intermiten. Beberapa gambaran astenia seperti depresi,
iritabilitas, ansietas, dan insomnia juga dilaporkan pada malaria ringan yang
intermiten atau kronik.
Di kemudian hari, para peneliti mulai meragukan apakah gejala-gejala psikiatrik
yang sangat bervariasi ini memang disebabkan oleh malaria. Apalagi kebanyakan
laporan memang berasal dari para serdadu yang berperang yang bisa saja
mengalami gangguan psikiatrik karena sebab lain. Lebih jauh, kriteria diagnosis
malaria serebral modern memberikan batasan hanya pada gangguan neurologis
akut, dalam hal ini penurunan kesadaran dan bangkitan/kejang.
Meskipun demikian, manifestasi psikiatrik tetap menjadi gambaran klinis yang
dapat ditemui pada malaria serebral. Salah satu manifestasi psikiatrik malaria
serebral yaitu psikosis, manifestasinya meliputi paranoia, depresi, dan mania pada
fase akut. Bisa juga timbul halusinasi, kebingungan, dan delirium. Lebih lanjut,
agitasi dan kebingungan dapat timbul setelah pasien pulih dari koma. Manifestasi di
fase akut dapat berlanjut menjadi sequela psikiatrik seperti demensia dan perubahan
kepribadian.
4. Retinopati
Gangguan retina pada malaria sudah dideskripsikan sejak tahun 1878. Namun
demikian, baru pada tahun 1990-an retinopati yang khas untuk malaria dapat
diidentifikasi. Patologinya telah kita bahas sebelumnya. Di bagian ini kita akan
lebih banyak membahas manifestasi klinis retinopati pada malaria atau retinopati
malaria. Tentu saja, pemeriksaan funduskopi berperan penting dalam
mendeskripsikan retinopati malaria.

160
Visualisasi bercak-bercak putih dan pemudaran warna pembuluh darah retina
yang khas untuk retinopati malaria lebih baik dicari dengan funduskopi indirek.
Hal ini dikarenakan letaknya yang kebanyakan di daerah perifer fundus.
Papiledema dan perdarahan retina mudah ditemukan dengan pemeriksaan
funduskopi direk. Pemeriksaan funduskopi harus selalu diupayakan untuk dibuat
pada kasus-kasus yang dicurigai malaria serebral.
a. Bercak-bercak putih di retina
Pembentukan bercak-bercak putih yang khas di retina dapat mengenai makula
atau area di luar makula. Pemutihan retina yang mengenai makula disebut
pemutihan makula. Jika fenomena ini terjadi di luar makula maka disebut
pemutihan perifer. Pemutihan makula berbentuk bercak-bercak opak di retina
yang berpusat di fovea tetapi tidak mengenai foveola. Bercak-bercak opak ini
sering meluas ke arah temporal di antara alur-alur pembuluh darah dan
berkonfluesensi (Gambar 4.A).

161
Keterangan:
A: Pemutihan makula berat (panah padat) yang telah melingkari foveola secara
keseluruhan. B: Pemutihan makula di sekitar bagian inferior fovea dan makula bagian
temporal (panah hitam padat). Bercak-bercak Roth terlihat di sisi temporal diskus dan
makula superior. Pemutihan perifer terlihat di luar alur-alur vaskular (panah putih
padat). Panah berongga menunjukkan kilau cahaya.
Gambar 4.B memperlihatkan pemutihan perifer fundus. Penampakannya mirip
dengan pemutihan makula tetapi timbul di luar alur-alur vaskular area temporal
fundus atau bisa terlihat lebih berpola mozaik di daerah perifer fundus.
Gambaran ini berbeda dengan bercak-bercak cotton wool yang juga bisa terlihat
tetapi lebih jarang. Bercak-bercak pemutihan perifer yang khas untuk retinopati
malaria biasanya terlihat lebih kurang jelas, lebih kurang putih menyala, dan
lebih luas distribusinya dibandingkan bercak-bercak cotton wool. Pemutihan
retina mirip dengan bercak putih akibat iskemia retina (suatu temuan yang
jarang pada oklusi vena retina sentral) tetapi distribusinya berbeda.
b. Perubahan warna pembuluh darah retina
Perubahan vaskular seperti pemudaran warna pembuluh darah retina menjadi
oranye atau putih yang terutama terjadi fundus perifer diperlihatkan dalam
Gambar 5.A. Perubahan ini dapat mengenai satu segmen tertentu dari
pembuluh darah atau mengenai suatu jalinan pembuluh darah. Kita dapat
melihat fenomena tramlining putih atau oranye (kontinyu atau terputus-putus)
dalam pembuluh darah besar. Fenomena tramlining adalah penampakan alur
putih di sisi dalam pembuluh darah besar yang mengikuti lekukan pembuluh
darah besar tersebut. Fenomena ini menandakan penyempitan pada rongga
pembuluh darah besar (Gambar 5.B). Perubahan pada pembuluh kapiler
membuat pembuluh kapiler menjadi memutih dan tampak jelas dari latar
belakangnya.

Keterangan:
A: Pembuluh darah retina berubah warna menjadi putih dalam daerah-daerah
pemutihan perifer retina yang sudah berkonfluensi. B: Fenomena tramlining

162
dan pembuluh darah berwarna oranye (panah berogga).
c. Perdarahan retina
Perdarahan retina umumnya berbentuk bercak, berinti putih, dan terletak
intraretinal. Gambaran ini mirip dengan bercak Roth (perdarahan retina
berbentuk bercak dengan inti berwarna putih) yang biasanya ditemukan pada
perdarahan retina yang terjadi akibat vaskulitis yang diperantarai mekanisme
imunologis (lihat Gambar 6). Pada kasus-kasus yang berat, bercak-bercak
perdarahan ini menjadi sangat banyak (>120 di tiap mata) dan saling
bertumpang tindih seperti yang diperlihatkan Gambar 6. Perdarahan berbentuk
lidah api juga sering ditemukan.

Keterangan: Tampak bercak-bercak Roth, pemutihan makula (kepala


panah), dan pemudaran warna pembuluh darah menjadi oranye
(panah).
d. Papiledema
Papiledema tidak spesifik pada malaria dan dapat terjadi pada berbagai
kelainan. Papiledema dapat menyertai gambaran gangguan retina malaria
serebral pada banyak kasus dan keberadaannya memperburuk prognosis. Jika
papiledema terlihat tanpa pemutihan retina, pemudaran warna pembuluh
darah, atau bercak perdarahan berinti bulat, pemeriksa perlu
mempertimbangkan penyebab tekanan tinggi intrakranial yang lain.
5. Bangkitan/Kejang
Bangkitan atau kejang berulang meningkatkan risiko sequela neurologis dan
memperburuk prognosis. Penyebab bangkitan pada malaria serebral dapat akibat
hipoksia serebral, demam, hipoglikemia, dan atau asidosis laktat. Plasmodium
falciparum bersifat epileptogenik dan risiko bangkitan meningkat pada
hiperparasitemia parasit ini.
Tipe bangkitan pada malaria serebral lebih banyak bangkitan umum daripada
bangkitan parsial. Bangkitan umumnya lebih sulit dikendalikan dengan

163
pemberian obat antiepilepsi dan dapat menjadi status epileptikus baik konvulsif
atau nonkonvulsif. Serangan tidak hanya terjadi saat fase demam.
Kita perlu berhati-hati dalam menganalisis etiologi bangkitan atau kejang
beberapa kelompok pasien seperti ibu hamil, anak-anak, pasien dengan epilepsi,
atau pasien dengan komorbiditas lain yang berpotensi menyebabkan bangkitan.
Kejang pada ibu hamil dapat terjadi karena eklampsi. Kejang pada anak dengan
demam dapat disebabkan oleh kejang demam. Sindrom Reye pada anak, meski
jarang ditemui saat ini, dapat juga memberikan gambaran klinis kejang.
Obat antimalaria sendiri juga dapat menyebabkan bangkitan. Salah satu obat
malaria yaitu meflokuin bersifat epilelptogenik. Oleh karena itu, obat ini
dikontraindikasikan secara relatif pada pasien dengan riwayat epilepsi.
6. Sindrom Serebelar
Membicarakan sindrom serebelar sebenarnya membicarakan gambaran
neurologis pada malaria secara umum. Artinya tidak terbatas pada malaria
serebral saja. Sindrom serebelar adalah manifestasi neurologis paling konsisten
yang dapat terjadi baik pada malaria tanpa komplikasi maupun malaria berat.
Penyebabnya adalah karena sel-sel Purkinje di serebelum mudah rusak pada
keadaan hiperpireksia. Dengan demikian, pasien malaria tanpa komplikasi juga
dapat memperlihatkan gambaran gangguan serebelar seperti juga pada malaria
serebral. Tanda serebelar yang umum ditemukan adalah ataksia. Tremor dan
nistagmus juga dapat ditemukan. Tanda-tanda serebelar ini biasanya menghilang
bersamaan dengan pulihnya malaria serebral.
Meskipun begitu adanya juga pasien yang gangguan serebelarnya berlangsung
lama (beberapa literatur menyebutnya sindrom serebelar tertunda pada malaria).
Pada keadaan ini, timbul ataksia akut yang terjadi tanpa adanya gejala serebral
yang nyata. Ataksianya adalah ataksia trunkal dan ataksia langkah. Kebanyakan
pasien mengalami periode afebris sebelum timbul ataksia. Kasus ini selalu
berhubungan dengan infeksi P. falciparum. Mekanismenya masih belum jelas
tetapi diduga melibatkan faktor imunologis. Gangguan gerak seperti distonia dan
opsoklonus-mioklonus juga pernah dilaporkan pada malaria.
7. Miopati, Neuropati, dan Mielopati
Miopati pada malaria serebral sering dilaporkan memberikan gambaran paralisis
periodik. Kelemahan umumnya dimulai pada ekstremitas inferior yang dengan
cepat menyebar ke seluruh tubuh. Namun demikian, otot-otot pernafasan jarang
terkena. Pasien tetap sadar selama paralisis. Perbaikan mulai terjadi dalam waktu
4-6 jam dan pulih sempurna dalam waktu 8-10 jam. Keadaan ini mungkin
disebabkan oleh peningkatan sepintas dari kadar kalium serum akibat lisis
eritrosit dan kontraksi otot berlebihan saat menggigil. Fenomena ini jarang

164
ditemukan dan mungkin memiliki predisposisi genetik.
Beberapa jenis neuropati yang berhubungan dengan malaria adalah
polineuropati, poliradikuloneuropati, mononeuropati, sindrom Guillain-Barre,
dan neuropati kranial. Temuan klinis ini sudah jarang ditemui saat ini.
Patogenesis pasti dari neuropati pada malaria belum diketahui tetapi mungkin
berhubungan dengan kerusakan kapiler yang diperantarai sistem imun, radikal
oksigen toksik, TNF, obstruksi vasa nervorum, pelepasan neurotoksin, dan
gangguan nutrisional atau metabolik.
Sindrom-sindrom medula spinalis dilaporkan ditemukan pada malaria serebral.
Beberapa peneliti menganggapnya sebagai gejala sisa yang timbul lambat karena
sebagian besar perlangsungannya lama. Ada laporan yang menggambarkan suatu
mielopati posterior yang mirip tabes dorsalis pada malaria serebral namun tidak
disertai pupil Argyll-Robertson. Jika terjadi secara akut dan bersamaan dengan
ensefalopati maka gambaran klinisnya menyerupai ensefalomielitis diseminta
akut. Seperti halnya neuropati, patogenesis mielopati pada malaria serebral
belum diketahui pasti.
Klorokuin dapat menyebabkan hipotensi postural, gangguan serebelar,
halusinasi, bahkan psikosis. Umumnya gejala ini berlangsung sementara.
Pemberian meflokuin harus berhati-hati pada pasien epilepsi karena sifatnya
yang epileptogenik. Meflokuin juga pernah dilaporkan mencetuskan reaksi
neuropsikatrik berat namun hanya berlangsung sementara.
Pemberian artersunat dari golongan artemisinin dapat memberikan efek samping
ataksia dan bicara pelo. Efek neuropsikiatrik golongan artemisinin belum diteliti
dengan baik karena penggunaannya yang begitu luas saat ini dan karena
seringnya obat ini dikombinasikan dengan OAM lain. Namun demikian efek
neuropsikiatrik ini mungkin saja terjadi.
8. Sequela dan Sindrom Neurologis Pascamalaria
Sekule dan sindrom neurologis pascamalaria merupakan dua bentuk manifestasi
neuropsikiatrik pada malaria tropika. Hal ini akan kita bahas di bagian lain dari
tulisan ini.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menegakkan diagnosis,
menyingkirkan diagnosis banding, memantau kompliksasi, dan melihat
keberhasilan terapi. Tidak semua pemeriksaan penunjang akan didiskusikan di
sini. sebagai neurolog, selain memahami tentang pemeriksaan mikroskopik
malaria, kita juga perlu memahami tentang elektroensefalografi, pencitraan
radiologis, dan analisis CSS.

165
Sebelah kiri adalah hapusan tipis dan kanan hapusan tebal.
1. Pemeriksaan Hapusan Darah Untuk Malaria
Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit
malaria sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan darah tepi
perlu dibuat tiga kali dengan hasil negatif untuk menyingkirkan diagnosis
malaria. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan oleh tenaga laboratoriim yang
berpengalaman dalam pemeriksaan parasit malaria. Pemeriksaan pada saat
pasien demam atau panas dapat meningkatkan kemungkinan ditemukannya
parasit. Adapun pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan melalui:
a. Tetes/hapusan darah tebal: Merupakan cara terbaik untuk menemukan
parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat
darah tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya untuk studi di lapangan.
Ketebalan yang ideal dalam membuat sediaan perlu untuk memudahkan
identifikasi parasit (Gambar 7). Pemeriksaan parasit dilakukan selama
lima menit (diperkirakan 100 lapangan pandang dengan pembesaran
kuat). Preparat dinyatakan negatif bila setelah diperiksa 200 lapangan
pandang dengan pembesaran kuat tidak ditemukan parasit. Hitung parasit
dapat dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung jumlah parasit per
200 leukosit. Bila leukosit 10.000/ul maka hitung parasitnya ialah jumlah
parasit dikalikan 50 merupakan jumlah parasit per mikroliter darah.
b. Tetes/hapusan darah tipis: Digunakan untuk identifikasi jenis
Plasmodium (Gambar 8 dan Tabel 2) bila dengan preparat darah tebal
sulit ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung parasit

166
[parasite count). Kepadatan parasit dapat dilakukan berdasar jumlah
eritrosit yang mengandung parasit per 1000 sel darah merah. Bila
jumlah parasit > 100.000/ul darah menandakan infeksi yang berat.
Pengecatan Giemsa yang umum dipakai pada beberapa laboratorium
dan merupakan pengecatan yang mudah dengan hasil yang cukup baik.
Perbandingan trofozoit pada tetes darah tebal dan tipis diperlihatkan
pada Gambar 8.

167
168
Tampak trofozoit berbentuk cincin [ring-form) dari P. falciparum yang
umumnya tipis dan rapuh, berukuran kurang lebih seperlima dari
diameter eritrosit. Bentuk cincin ini dapat memiliki satu atau dua bintik
kromatin. Trofozoit dapat ditemukan di bagian perifer eritrosit [accole,
applique) dan tidak jarang ditemukan eritrosit yang terinfeksi >1
trofozoit. Umumnyan tidak ada pembesaran ukuran eritrosit yang
terinfeksi.
2. Tes Molekular
Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi
asam deosksiribonukleat [deoxyribonucleic acid = DNA] Sensitivitas
maupun spesifitasnya tinggi. Keunggulan tes ini adalah walaupun
jumlah parasitnya sangat sedikit, masih dapat memberikan hasil positif.
Tes ini baru dipakai sebagai
sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan rutin.
■ ------ ,

169
3. Pungsi Lumbal dan Analisis Cairan Serebrospinal
Pungsi lumbal dan analisis CSS bermanfaat terutama untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti infeksi otak. Pemeriksaan ini perlu dikerjakan jika kita
mendiagnosis banding malaria serebral dengan infeksi otak, tentu dengan
memperhatikan adanya kontraindikasi. Beberapa literatur menyebutkan peran
pengukuran asam laktat CSS untuk menentukan prognosis namun pemeriksaan
tersebut tidak lazim kami kerjakan.
4. Pencitraan Neurologis
Pencitraan otak dikerjakan untuk membantu menyingkirkan diagnosis banding pada
keadaan-keadaan tertentu, mencari kelainan otak primer yang dapat terjadi pada
malaria serebral, dan membantu mencari kontraindikasi pungsi lumbal.
Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) otak adalah pemeriksaan terpilih.
MRI otak juga mampu memperlihatkan tanda-tanda infark awal, penyangatan
parenkim dan leptomeningen, edema otak, hidrosefalus, maupun herniasi otak
dengan baik. Namun demikian, pemeriksaan MRI otak berlangsung lebih lama dan
cukup mahal. Pemeriksaan computerized tomography scan (CT scan) otak dapat
menjadi pilihan jika MRI otak tidak memungkinkan.
Pemeriksaan Doppler bermanfaat untuk mengevaluasi aliran darah regional otak
maupun memantau tanda-tanda hipertensi intrakranial progresif.
5. Elektroensefalografi
Gambaran elektroensefalografi (EEG) pada pasien malaria serebral tidak spesifik.
EEG terutama diperlukan untuk mendiagnosis status epileptikus nonkonvulsif, dan
alat bantu evaluasi terapi status epileptikus. Pada pasien dengan sequela epilepsi,
pemeriksaan EEG memiliki fungsi yang sama dengan fungsi EEG untuk
kasus-kasus epilepsi lainnya.

H. Penegakan Diagnosis Malaria


Diagnosis malaria ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan parasitologis. Temuan
klinis saja sering bervariasi dan tidak spesifik sehingga diagnosis yang hanya
berdasarkan temuan klinis mempunyai nilai spesifitas yang rendah. Adanya riwayat
pasien tinggal atau berkunjung ke daerah endemik malaria sangat membantu dalam
memperkirakan adanya infeksi malaria.
World Health Organization (WHO) merekomendasikan diagnosis berdasarkan
gambaran klinis dibagi menjadi dua petunjuk:
1. Bila risiko infeksi malaria rendah dan kemungkinan transmisi malaria minimal,
diagnosis berdasarkan adanya demam selama tiga hari dan tidak ditemukan
penyebab infeksi lainnya.
2. Bila risiko malaria tinggi dan transmisi malaria sangat tinggi, diagnosis berdasarkan
adanya demam satu hari disertai adanya anemia. Pada anak sering ditandai dengan

170
pucat di telapak tangan.
Diagnosis parasitologis untuk menemukan adanya parasit malaria ditegakkan
dengan pemeriksaan mikroskopis sebagai standar baku dan, bila tidak dimungkinkan,
dibantu dengan tes diagnosis cepat (rapid diagnostic test = RDT).
Definisi malaria serebral yang lebih ketat biasanya kita gunakan dalam
penelitian. Definisinya adalah ditemukan butir ke-1 sampai 3 dan bisa ditambah butir
ke-4, sebagai berikut:
1. Koma yang tidak dapaL dibangunkan: Glasgow Coma Scale <10 pada orang
dewasa atau Blantyre Coma Scale <2 pada anak-anak (dan tidak dialami setelah
suatu bangkitan umum dan tidak membaik dengan koreksi hipoglikemia].
2. Ditemukannya bentuk aseksual P. falciparum dalam hapusan darah.
3. Penyebab koma yang lain telah dieksklusi melalui pemeriksaan klinis (mis.
spektrum ensefalitis, ensefalopati metabolik, ensefalopati septik, lesi desak
ruang intrakranial, toksisitas, dan trauma], analisis CSS, atau pemeriksaan lain yang
relevan.
4. Pada kasus kematian: Konfirmasi dengan menemukan gambaran histopatologi khas
dari spesimen yang diambil dari otak melalui biopsi jarum, berupa eritrosit-eritrosit
yang mengalami sekuestrasi.

171
1. Diagnosis Banding Malaria Serebral
a. Infeksi susunan saraf pusat: pasien demam dengan riwayat nyeri kepala yang
progresif, hilangnya kesadaran, kaku

172
kuduk, bangkitan/kejang, dan gejala neurologis lainnya. Pada pasien dapat
dilakukan pungsi lumbal dan analisis CSS dan atau pencitraan otak.
Kemungkinan ke arah ensefalitis virus perlu dipikirkan pada pasien yang
didiagnosis klinis malaria serebral tetapi tidak memperlihatkan respons yang
baikterhadap OAM.
b. Stroke: pasien dengan tanda-tanda neurologis fokal ataupun global dan
berlangsung cepat. Umumnya tidak ditemukan demam kecuali disertai infeksi
atau gangguan pada pusat regulasi suhu tubuh sentral.
c. Ensefalopati tifoid: pasien dengan demam dan gambaran klinis demam tifoid
yang disertai dengan penurunan kesadaran. Pemeriksaan penunjang mendukung
ke arah demam tifoid.
d. Hepatitis A: pasien menunjukkan gambaran prodromal hepatitis (demam, mual,
nyeri pada hepar, muntah, tidak bisa makan, dan diikuti dengan timbulnya ikterus
tanpa panas], mata atau kulit kuning, dan urin seperti air teh. Kadar SGOT dan
SGPT meningkat >5kali tanpa gejala klinis atau meningkat >3 kali dengan gejala
klinis.
e. Leptospirosis berat/penyakit Weil: pada pasien terdapat demam dengan ikterus,
nyeri pada betis, nyeri tulang, riwayat pekerjaan yang menunjang adanya
transmisi leptospirosis (pembersih selokan, sampah, dan lain lain, leukositosis,
dan gagal ginjal. Insidens penyakit ini meningkat biasanya setelah banjir.
f. Sepsis: pasien dengan demam dan fokus infeksi yang jelas, penurunan kesadaran,
gangguan sirkulasi, leukositosis dengan granula-toksik yang didukung hasil
biakan mikrobiologis.
g. Demam berdarah dengue atau Dengue shock syndrome: pasien dengan demam
tinggi terus menerus selama 2-7 hari dengan atau tanpa syok, yang disertai nyeri
kepala, nyeri tulang, nyeri ulu hati, manifestasi perdarahan (epistaksis, gusi,
petekia, purpura, hematom, hemetemesis, dan melena), sering muntah,
penurunan jumlah platelet, dan peningkatan hematokrit. Uji serologi positif
[antigen dan antibodi}.
I. Penatalaksanaan
1. Obat Antimalaria Kombinasi di Indonesia
Obat antimalaria adalah obat yang diindikasikan untuk tujuan kuratif, profilaktik,
dan prevensi intermiten infeksi malaria. Sebagai penyegar, Tabel 3 memperlihatkan
ringkasan beberapa OAM yang pernah kita pelajari. Beberapa dari obat-obat
tersebut akan kita pelajari dalam penatalaksanaan malaria tropika tanpa komplikasi
dan malaria serebral.
Pengobatan malaria di Indonesia menggunakan OAM kombinasi. Yang dimaksud
dengan pengobatan kombinasi adalah penggunaan dua atau lebih OAM yang

173
farmakodinamik dan farmakokinetiknya sesuai, bersinergi dalam bekerja, dan
berbeda dalam hal cara terjadinya resistensi. Tujuan terapi kombinasi ini adalah
untuk pengobatan yang lebih baik dan mencegah terjadinya resistensi Plasmodium
terhadap OAM.
Saat ini yang digunakan program nasional adalah kombinasi derivat artemisinin dan
golongan aminokuinolin, yaitu: kombinasi dosis tetap [fixed dose combination =
FDC] yang terdiri atas dihidroartemisinin (DHA) dan piperakuin [PPQ] yang
disingkat DHP. Kombinasi ini ditambah dengan primakuin dosis tunggal. Untuk
malaria tropika, primakuin diberikan satu hari saja sedangkan untuk malaria vivaks
diberikan selama 14 hari. Primakuin tidak diberikan pada bayi berumur kurang
daripada enam bulan atau pada pasien yang diketahui mengalami defisiensi enzim
G6PD

174
175
176
177
2. Penatalaksanaan Malaria Tropika Tanpa Komplikasi
Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria dengan
membunuh semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh manusia, termasuk
stadium gametosit. Adapun tujuan pengobatan radikal untuk mendapat
kesembuhan klinis dan parasitologis serta memutuskan rantai penularan.
Prinsip pengobatan malaria:
a. Pasien tergolong malaria biasa (tanpa komplikasi) diobati
dengan terapi kombinasi berbasis artemisinin [artemisinin
based combination therapy = ACT].
b. Penderita malaria berat/dengan komplikasi diobati dengan
artesunat intravena/intramuscular atau artemeter intramuskular. Bila keduanya
tidak tersedia bisa langsung diberikan Kina HC1.

178
c. Pemberian pengobatan dengan ACT harus berdasarkan
hasil pemeriksaan darah mikroskopis atau tes diagnostik
cepat yang positif.
d. Pengobatan harus radikal dengan penambahan primakuin.
a. Lini Pertama
Semua individu dengan infeksi malaria yaitu mereka dengan ditemukannya
Plasmodium aseksual di dalam darahnya, baik dengan gejala klinis maupun tanpa
gejala klinis, perlu diobati. Pengobatan lini pertama adalah pemberian ACT seperti
DHA ditambah PPQ (DHP] dan primakuin. Satu tablet DHP mengandung 40mg
DHA dan 320mg PPQ. Primakuin dibuat dalam bentuk tablet primakuin fosfat. Satu
tablet primakuin fosfat 26,3mg mengandung 15mg primakuin.
Dosis DHA + PPQ [DHP] untuk malaria tropika adalah DHA 2 -4mg/kgBB + PPQ
16 - 32mg/kgBB per hari diberikan dalam dosis tunggal selama tiga hari
berturut-turut. Dosis primakuin untuk malaria tropika adalah 0,25mg/kgBB per hari
diberikan dalam dosis tunggal selama satu hari saja. Pemberian primakuin untuk
malaria tropika tidak selama pemberiannya untuk malaria vivaks (14 hari). Untuk
memudahkan perhitungan, Tabel 4 memperlihatkan dosis DHP dan PPQ menurut
berat badan dan umur.
Pada anak dengan berat badan lebih kurang daripada 25mg, dosis DHA adalah 2,4 -
4mg/kgBB/hari. Apabila pasien malaria tropika dengan berat badan lebih daripada
80kg datang kembali dalam waktu dua bulan setelah pemberian obat, dan
pemeriksaan sediaan darah masih positif untuk P. falciparum, maka diberikan DHA
dengan dosis ditingkatkan menjadi lima tablet/hari selama tiga hari.

179
Sebaiknya dosis pemberian DHP dan primakuin berdasarkan berat badan. Apabila penimbangan berat badan tidak
dapat dilakukan maka pemberian obat dapat berdasarkan kelompok umur. Apabila ada ketidaksesuaian antara
umur dan berat badan, maka dosis yang dipakai adalah berdasarkan berat badan. [Sumber: PNPK Malaria, 2017)
b. Lini Ke dua
Pengobatan lini kedua Malaria tropika diberikan jika pengobatan lini pertama tidak efektif, yaitu ditemukan
gejala klinis tidak memburuk tetapi parasit aseksual tidak berkurang (persistensi) atau timbul kembali
(rekrudesensi). Lini ke dua adalah kombinasi antara kina dan doksisiklin ditambah primakuin (Tabel 5). Selain
itu, dapat diberikan kombinasi kina dan tetrasiklin ditambah primakuin (Tabel 6.1 dan Tabel 6.2). Pada pasien
anak berumur kurang daripada delapan tahun tidak diberikan tetrasiklin. Sebagai gantinya dapat diberikan
klindamisin (Tabel 6.3).

180
181
182
183
3. Penatalaksanaan Malaria Serebral
Penatalaksanaan kasus malaria berat pada prinsipnya meliputi:
a. Pemberian obat antimalaria.
b. Penanganan komplikasi.
c. Pengobatan simptomatik.
4. Pemberian Obat Antimalaria
a. Lini Pertama
Pada kasus malaria berat, OAM yang diberikan ialah artesunat intravena
dengan dosis 2,4 mg/kgBB, pada 0 jam, 12 jam dan 24 jam dan dapat diteruskan
setiap 24 jam sampai pasien sadar/membaik. Apabila penderita sudah dapat
minum per oral, obat suntikan dapat dihentikan (minimal tiga kali suntikan),
dan dilanjutkan dengan obat ACT oral dosis lengkap tiga hari. Pada ibu hamil
dengan malaria berat, pengobatan sama dengan memakai artesunat dari
trimester 1 sampai trimester 3.
Artemeter injeksi intramuskular adalah obat pilihan kedua setelah artesunat.
Dosisnya 3,2 mg/kgBB pada hari ke-1 , dan setelah 24 jam menjadi 1,6
mg/kgBB. Dosis artesunat pada anak dengan berat badan lebih kurang daripada
20kg diharuskan menggunakan dosis 3 mg/kgBB hari.
Pengobatan malaria berat di tingkat Puskesmas dilakukan dengan memberikan
artesunat injeksi sebagai dosis awal sebelum merujuk ke rumah sakit rujukan.
Obat kina HC1 per infus dipakai bila tidak ada obat artesunat ataupun
artemeter.
b. Lini ke dua
Kina per infus merupakan obat lini ke dua untuk malaria berat. Obat ini
dikemas dalam bentuk ampul kina hidroklorida 25%.

184
185
5. Penatalaksanaan Suportif
Penatalaksanaan malaria serebral mirip dengan penatalaksanaan malaria berat

186
lainnya. Kebanyakan malaria berat melibatkan beberapa organ. Dengan
demikian saat kita menemukan malaria serebral, kita perlu juga mencari organ
lain yang terganggu lalu melakukan penanganan secara menyeluruh. Meskipun
demikian, yang menjadi fokus kita kali ini adalah pasien malaria serebral
mengalami penurunan kesadaran, inflamasi di otak, dan mungkin mengalami
tekanan tinggi intrakranial. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu
dikerjakan terkait dengan masalah-masalah tadi, yaitu:
a. Memperhatikan aspek asuhan keperawatan pasien dengan gangguan kesadaran. Hal
ini akan dibicarakan lebih lanjut.
b. Deteksi dini dan pengobatan komplikasi berat lainnya seperti bangkitan/kejang,
syok, cedera ginjal, pneumonia, gangguan elektrolit, gangguan asam-basa,
gangguan oksigenasi jaringan, koagulasi intravaskular diseminata, dll.
c. Waspadai infeksi iatrogenik, terutama pada pasien dengan pemasangan kateter
intravena, pipa endotrakeal, atau kateter saluran kemih, dan waspadai juga
kemungkinan terjadinya aspirasi pneumonia.
d. Pengawasan terhadap tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial dan ancaman herniasi
otak. Upaya deteksi tekanan tinggi intrakranial dilakukan dengan pemeriksaan
neurologis berkala (pemantauan Skala Koma Glasgow atau skala evaluasi tingkat
kesadaran lain, pemeriksaan pupil, funduskopi, dan mencari paresis nervus
occulares, dll) maupun pencitraan otak pada pasien dengan klinis penurunan
kesadaran, kejang, dan atau nyeri kepala.
e. Pungsi lumbal dan pemeriksaan untuk menyingkirkan diagnosis banding kelainan
otak primer.
Perawatan pasien dengan penurunan kesadaran meliputi:
a. Pemantauan:
• Tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu badan (sebaiknya suhu rektal), dan
saturasi oksigen setiap 30 menit.
• Skala nyeri dan risiko jatuh diperiksa sesuai keadaan klinis dan indikasi.
Normalnya dievaluasi tiap 8 jam.
• Jika dipasang pengekang mekanis maka keadaan pengekangharus diperiksa
minimal tiap 8 jam.
• Pemeriksaan tingkat kesadaran dan pupil setiap dua jam. Dapat diperpendek jika
tingkat kesadaran makin menurun.
• Pemeriksaan neurologis dan funduskopi setiap 24 jam.
• Pemeriksaan laboratorium:

♦ Hitung parasit tiap 24 jam.


♦ Hematokrit dan atau hemoglobin setiap 24 jam.
♦ Bilirubin dan kreatinin pada hari I dan III.

187
♦ Glukosa darah sewaktu setiap 8 jam.
♦ Pemeriksaan analisis gas darah hams segera dilakukan jika dicurigai ada
gangguan asam-basa atau oksigenasi jaringan. Jika memungkinkan, analisis
gas darah dilakukan minimal tiap 24 jam pada pasien yang dirawat intensif.
♦ Pemeriksaan lain dilakukan sesuai keadaan klinis dan indikasi.
Pemeriksaan laboratorium dapat diulang atau dipercepat sesuai keadaan pasien
(misalnya pemeriksaan ureum, kreatinin, dan kalium darah pada komplikasi
cedera ginjal atau glukosa darah sewaktu pada hipoglikemia).
b. Pasang akses intravena. Lakukan perawatan kateter intravena secara aseptik,
perhatikan posisi kateter, serta jenis dan kecepatan tetesan cairan untuk menghindari
flebitis. Penggantian kateter intravena dilakukan setiap minggu sepanjang masih
ada indikasi pemasangan atau jika mulai timbul tanda-tanda flebitis.
c. Pemberian cairan dilakukan sesuai kebutuhan dan keadaan pasien dengan
mempertimbangkan keseimbangan cairan.
Kebutuhan cairan per hari secara umum adalah 1500 -2000ml. Lebih khusus: orang
tua 35 ml/kgBB/hari; dewasa muda 40 ml/kgBB/hari. Faktor tingkat metabolisme,
jenis kelamin, dan penyakit juga perlu dipertimbangkan. Pada pemberian cairan
parenteral lakukan balans cairan seimbang dengan menghitung asupan via oral dan
parenteral serta pengeluaran insensible water loss [IWL], muntahan, urin, feses,
drain, dll.
d. Berikan kompres hangat pada pasien demam.
e. Pasang indwelling catheter urin untuk pemantauan
keseimbangan cairan.
f. Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan trauma mekanik.
g. Penyedotan lendir dan pemberian dilakukan secara aseptik
dan sesuai indikasi.
h. Pasang pipa nasogastrik.
i. Lakukan higiene oral tiap pagi.
j. Lakukan alih baring pasien setiap dua jam.
k. Selain dengan alih baring, lakukan upaya-upaya untuk mengurangi luka-luka
tekanan dengan memberikan nutrisi yang cukup, memandikan pasien,
menggunakan seprai yang tidak terlipat-lipat, menjaga agar kulit pasien tidak terlalu
lembab atau kering, mengurangi tekanan pada titik-titik tertentu di tubuh seperti
bagian belakang kepala, punggung, bokong, siku, dan tumit, dan menggunakan
matras antidekubitus.
1. Lakukan fisioterapi dada dan latihan gerak sendi tiap hari.
m. Berikan laktulosa atau pencahar jika ada obstipasi.

188
n. Nutrisi enteral diberikan secepat mungkin. Pemberian nutrisi sesuai dengan
kebutuhan. Pasien dengan kesadaran baik, fungsi gastrointestinal normal, dan dapat
makan dan minum dengan baik tidak perlu diberikan cairan rumatan
parenteral. Pada dasarnya pasien membutuhkan kalori 25 -30 Kkal/kg/hari; protein
1,5 - 2 g/kgBB/hari atau 15 - 20% dari total kebutuhan kalori harian (bila ada
ensefalopati, kebutuhan protein diturunkan menjadi 0,8g/kgBB/hari dan gagal
ginjal menjadi l,2g/kgBB/hari]; karbohidrat 7g/kgBB ideal/hari (diturunkan pada
kasus penyakit paru obstruktif kronik = PPOKJ, lipid 25 - 55% (pada PPOK 35 -
55% dan non-PPOK 25 - 30%] dari total kebutuhan kalori per hari. Pada pasien
berat badan Iebih/obesitas, perhitungan menggunakan berat badan ideal sedangkan
pada pasien berat badan kurang, perhitungan menggunakan berat badan aktual.
o. Selalu lakukan skrining fungsi menelan setelah pasien sadar, sebelum
diberikan makanan dari mulut.
p. Pada pasien delirium dan agitatif, lakukan upaya
pemasangan pembatas ranjang, pengekangan
mekanis/medis, dan pengawasan ketat. Banyak kasus malaria serebral yang
berakhir fatal karena episode delirium atau agitasi.
6. Penanganan Komplikasi
a. Komplikasi yang lazim ditemui pada malaria serebral
Komplikasi pada pasien malaria serebral bermacam-macam, baik yang
berhubungan langsung dengan malaria atau yang tidak. Malaria berat tidak hanya
mampu memberikan komplikasi malaria serebral saja tetapi juga komplikasi lain
dan dapat berlangsung bersamaan. Kita akan membahas beberapa komplikasi
yang lazim ditemukan.
b. Tekanan Tinggi Intrakranial
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, upaya deteksi tekanan tinggi
intrakranial dilakukan dengan pemeriksaan neurologis berkala (pemantauan
Skala Koma Glasgow atau skala evaluasi tingkat kesadaran lain, pemeriksaan
pupil, funduskopi, dan mencari paresis nervus occulares, dll) maupun
pencitraan otak pada pasien dengan Minis penurunan kesadaran, kejang, dan atau
nyeri kepala. Selain itu, mengurangi nyeri, kegelisahan, serta batuk dan
mengedan juga perlu dikerjakan. Jika terdapat tanda-tanda tekanan tinggi
intrakranial maka diupayakan penurunan tekanan tinggi intrakranial. Berbagai
penelitian tentang modalitas penurunan tekanan tinggi intrakranial
memperlihatkan bahwa upaya penurunan dengan steroid terbukti berbahaya dan
upaya penurunan dengan manitol belum cukup bukti. Meskipun demikian,
beberapa protokol penanganan tekanan tinggi intrakranial pada malaria serebral
masih mencantumkan manitol termasuk di tempat kami. Assisted

189
hyperventilation di intensive care unit (ICU] mungkin memberikan manfaat
untuk jangka pendek.
c. Delirium dan Agitasi
Delirum adalah keadaan kebingungan mental yang ekstrem karena orang
mengalami kesulitan berkonsentrasi dan bicara secara jelas dan masuk akal.
Delirium ditandai dengan kesadaran berkabut yang dimanifestasikan oleh lama
konsentrasi yang rendah, persepsi yang salah, dan gangguan pikiran, gangguan pola
tidur bangun, gangguan persepsi, dan halusinasi. Agitasi adalah keadaan mental
yang ditandai dengan kecemasan dan ansietas yang berlebihan. Kedua gejala
psikiatrik ini dapat ditemukan pada pasien malaria serebral selain dari gejala
psikiatrik lainnya. Kita akan membahas lebih khusus untuk kedua keadaan ini.
Jika diagnosis delirium telah ditegakkan maka kondisi medis penyebab, dalam hal
ini malaria, juga harus diobati. Hal yang menarik adalah, beberapa OAM seperti
derivat artemisinin dan kina juga memiliki efek samping gangguan psikiatrik seperti
halusinasi.
Pastikan komunikasi yang efektif dan reorientasi pada pasien (misalnya dengan
memperkenalkan diri Anda, menjelaskan identitas pasien kepada dirinya, di mana
dia berada, dan mengapa dia berada di sini). Mungkin keluarga dan teman dapat
membantu. Hindari memindahkan pasien kecuali memang diperlukan.
Jika pasien delirium berisiko menyakiti diri sendiri atau orang lain, terlebih dahulu
gunakan teknik verbal dan nonverbal untuk meredakan situasi. Jika upaya tersebut
gagal, dapat diberikan haloperidol, risperidone, clozapine, atau olanzapine jangka
pendek. Umumnya dosis dititrasi dari dosis rendah dahulu.
Pada pasien yang sangat agitatif, pemberian penenang seperti haloperidol 5-10mg
intravena/intramuskular, haloperidol lOmg + prometazin 50mg intramuskular, atau
olanzapin lOmg intramuskular dapat dipertimbangkan. Pemberiannya harus dalam
pemantauan ketat, terutama karena efek sindrom ekstrapiramidal atau sindrom
neuroleptik maligna.
d. Bangkitan/Kejang
Timbulnya bangkitan dapat memperburuk prognosis. Oleh karena itu bangkitan
harus dieliminasi secepatnya. Pemberian golongan benzodiazepin seperti diazepam
dapat diberikan sebagai lini pertama untuk penanganan bangkitan. Namun
demikian, perlu diingat bahwa efek antikonvulsi benzodiazepin, yang merupakan
agonis asam gama aminobutirat, mungkin berkurang pada infeksi malaria karena
malaria sepertinya meregulasi turun reseptor asam gama aminobutirat. Jika
penanganan dengan benzodiazepin gagal atau pasien mengalami status epileptikus,
maka dapat digunakan protokol penanganan status epileptikus (Tabel 7j.

190
Pemberian antikonvulsan profilaktik mungkin akan mengurangi sequela
neurokognitif pasien malaria serebral. Meskipun demikian, beberapa penelitian
memperlihatkan bahwa pemberian fosfenitoin tidak mencegah bangkitan atau
mengurangi sequela bahkan pemberian fenobarbital intramuskular dosis tunggal
dapat meningkatkan mortalitas. Peningkatan mortalitas ini mungkin disebabkan
efek supresi terhadap takipnu. Padahal takipnu sebenarnya bertujuan
mengkompensasi asidosis dan peningkatan laktat.
e. Hipoglikemia
Hipoglikemia (glukosa darah sewaktu <40mg/dl] terjadi pada sekitar 3% orang
dewasa dengan malaria berat Komplikasi ini lebih tinggi lagi pada pasien
anak-anak, perempuan hamil, dan pasien dalam terapi kina. Hipoglikemia dapat
disebabkan oleh berbagai penyebab seperti efek hiperinsulinemia pada terapi kina,
peningkatan ambilan glukosa oleh parasit, maupun penyebab lain.
Hipoglikemia dapat menyebabkan perburukan kesadaran, bangkitan umum, posisi
deserebrasi, syok, dan koma. Namun demikian hipoglikemia dapat juga terjadi
tanpa gejala klinis. Dengan demikian, kadar glukosa darah harus diperiksa secara
teratur pada pasien dengan malaria serebral. Pada pasien yang menerima terapi kina,
perlu dilakukan pemeriksaan glukosa darah segera jika terjadi penurunan kesadaran.

191
192
193
Umumnya, hipoglikemia berespons baik terhadap terapi standar berupa
pemberian cairan glukosa. Berikan bolus glukosa 40% intravena sebanyak 50 - 100ml.
Pada anak-anak, diberikan 2 - 4 ml/kgBB dengan pengenceran 1:1 dengan akuades dan
untuk neonatus konsentrasi maksimum glukosa adalah 12,5%. Setelah diberikan bolus,
lanjutkan dengan infus glukosa 10% perlahan-lahan untuk mencegah hipoglikemia
berulang. Jika sudah terjadi hipoglikemia, lanjutkan pemantauan kadar glukosa darah
tiap 4 -6 jam. Hentikan pemberian kina bila memungkinkan dan ganti dengan OAM
lain dari golongan artemisinin.
Perlu diingat bahwa hipoglikemia dapat terjadi karena hiperinsulinemia akibat
terapi kina. Pada kasus hiperinsulinemia pada terapi kina mungkin perlu
diberikan analog somatostatin kerja panjang selain daripada pemberian glukosa.
7. Terapi Simtomatik
Sebagian terapi simtomatik sebenarnya telah dibahas sebelumnya saat membahas
penatalaksanaan komplikasi. Beberapa komplikasi malaria serebral memang hanya
diberikan terapi simtomatik dan suportif. Di bagian ini, kita akan membicarakan
terapi simtomatik lainnya.
Dalam pemberian pengobatan simtomatik perlu dilakukan penilaian awal keadaan
umum dan tanda-tanda vital. Perlu diingat juga ada beberapa obat yang tidak
direkomendasikan dipakai pada malaria berat yaitu :
• Kortikosteroid dosis tinggi
• Heparin
• Prostasiklin
• Agen pengikat besi (desferoksamin B)
• Pentoksifilin
• Dekstran berberat molekul rendah
• Antiedema serebral (urea)
• Asal asetil salisilat dan obat-obat antiinflamasi lainnya
• Epinefrin
• Siklosporin A
• Hiperimun globulin
• Dikloroasetat
• Antibodi anti-TNF

194
Obat-obat simtomatik yang sering diberikan adalah:
a. Antipiretik dan analgetik: Antipiretik diberikan pada pasien demam. Antipiretik
yang diberikan adalah parasetamol. Parasetamol juga dapat diberikan sebagai
analgetik, misalnya pada kasus nyeri kepala. Pada dewasa, dosisnya 15
mg/kgBB/kali. Pemberian dapat diulang setiap 4 jam selain itu penderita dapat
dikompres dengan air hangat. Pada anak, parasetamol diberikan dengan dosis 10
mg/kgBB/kali, diberikan setiap 4 - 6 jam, dan lakukan kompres hangat. Bila terjadi
hipertermia (suhu rektal >40°C) beri parasetamol dosis inisial : 20mg/KgBB, diikuti
15mg/kgBB setiap 4-6 jam sampai panas turun <40°C.
b. Antiulkus gaster: Pada kasus-kasus malaria berat dapat kita temui perdarahan
lambung karena stres metabolik. Penghambat pompa proton seperti esomperazole
dan lansoprazole tidak rhemberikan interaksi bermakna dengan ACT dan dapat
diberikan pada komplikasi ini.
c. Pencahar: Bagi kebanyakan pasien, defekasi cukup satu kali sehari. Namun
demikian, sering kali kita menemukan obstipasi pada pasien-pasien ini. Obat-obatan
oral dapat ditambahkan untuk memodifikasi kebiasaan defekasi dan mencakup
pelunak feses, pembentuk massa feses, perangsang kolon atau laksansia, serta obat
prokinetik.
Preparat rektal seperti supositoria, minienema, dan enema kadang-kadang dibutuhkan
untuk memicu refleks peristaltik dan memulai defekasi.
8. Pengobatan Malaria pada Ibu Hamil
Pengobatan malaria pada ibu hamil juga menggunakan ACT pada semua trimester
untuk lini pertama. Primakuin tidak diberikan karena terkait toksisitas pada janin.
Untuk pengobatan lini ke dua, menggunakan kina sesuai berat badan Ibu hamil.
Doksisiklin dan tetrasiklin tidak diberikan pada ibu hamil, maka sebagai pengganti
digunakan klindamisin.
Sebagai kelompok yang berisiko tinggi, pada ibu hamil dilakukan penapisan dengan
menggunakan RDT terhadap malaria yang dilakukan sebaiknya sedini mungkin
[antenatal care kunjungan pertama). Selanjutnya pada ibu hamil juga dianjurkan
menggunakan kelambu berinsektisida setiap tidur. Pemberian tablet besi pada ibu
hamil dengan malaria tetap diteruskan. Pada ibu hamil dengan anemia, waspadai
kemungkinan infeksi malaria.
9. Pemantauan Respons Pengobatan
Pemantauan pengobatan dilakukan pada: hari ke-3, hari ke-7, hari ke 14, hari ke-21
sampai hari ke-28.
10. Rawatjalan
Pemantauan dilakukan pada hari ke-3, hari ke-7, hari ke-14, hari ke -21 dan hari
ke-28 setelah pemberian obat hari pertama, dengan memantau gejala klinis dan

195
pemeriksaan mikroskopik. Apabila terjadi perburukan gejala klinis sewaktu-waktu
segera kembali ke fasilitas pelayanan kesehatan.
11. Rawatlnap
Evaluasi pengobatan dilakukan setiap hari dengan memantau gejala klinis dan
pemeriksaan mikroskopik. Evaluasi dilakukan sampai bebas demam dan tidak
ditemukan parasite aseksual dalam darah selama tiga hari berturut-turut. Setelah
pasien dipulangkan harus kontrol pada hari ke-7, ke-14, ke-21, dan ke-28 sejak
hari pertama mendapatkan OAM untuk dipantau kadar haemoglobin darah dan
pemeriksaan mikroskopik.
12. Keberhasilan Pengobatan
Kriteria Keberhasilan Pengobatan
Semua pengobatan malaria harus dilakukan pemantauan sesuai dengan
pedoman WHO 2001, 2003, dan 2009 [Tabel 8).
Tabel 8 Klasifikasi Respons Pengobatan menurut WHO 2001,
2003,2009

13. Rekurensi
Rekurensi adalah ditemukannya kembali parasit aseksual dalam darah
setelah pengobatan selesai. Rekurensi dapat disebabkan oleh:

196
a. Relaps: rekurensi dari parasit aseksual setelah 28 hari pengobatan. Parasit
tersebut berasal dari hipnozoit P. vivax atau P. ovale.
b. Rekrudensi: rekurensi dari parasit aseksual selama 28 hari pemantauan
pengobatan. Parasit tersebut berasal dari parasit sebelumnya (aseksual lama].
c. Reinfeksi : rekurensi dari parasit aseksual setelah 28 hari pemantauan
pengobatan dan pasien dinyatakan sembuh.
Parasit tersebut berasal dari infeksi baru (sporozoit)
Dalam pedoman WHO 2010, dituliskan bahwa sejak digunakannya ACT sebagai
pengobatan malaria belum pernah ditemukan kegagalan obat dini (dalam tiga hari
pertama}. Mayoritas kegagalan pengobatan dengan ACT terjadi setelah 14 hari.
Dari 39 studi pengobatan dengan artemisinin yang melibatkan 6.124 subjek,
didapatkan bahwa pada 32 studi dengan 4917 pasien tidak pernah terjadi
kegagalan pengobatan sampai hari ke-14. Pada tujuh studi sisanya terjadi
kegagalan pada hari ke-14 yang berkisar 1 - 7%.
14. Tindak Lanjut Kegagalan Pengobatan
Apabila dijumpai gejala klinis memburuk dan disertai parasit aseksual positif
maka pasien segera di rujuk. Apabila dijumpai gejala klinis tidak memburuk tetapi
parasit aseksual tidak berkurang dibandingkan pemeriksaan pertama atau parasit
menghilang kemudian timbul kembali selama periode pemantauan maka diberi
pengobatan lini ke dua. Kedua keadaan ini harus dilaporkan melalui sistem
surveilans malaria.
Kegagalan yang terjadi dalam waktu 14 hari harus diobati dengan OAM lini 2.
Berdasarkan WHO, ada tiga pilihan obat, yaitu:
a. ACT lain yang diketahui lebih efektif.
b. Artesunat dengan kombinasi doksisiklin, tetrasiklin, atau
klindamisin selama tujuh hari.
c. Kina tablet dengan kombinasi doksisiklin, tetrasiklin, atau klindamisin selama
tujuh hari.
d. Apabila terjadi kegagalan sesudah 14 hari dari mulai pengobatan ACT,
timbulnya parasit ini dapat disebabkan oleh reinfeksi (digigit kembali oleh
nyamuk dan terjadi infeksi) atau rekrudensi. Keadaan ini hanya dapat
dibedakan dengan Polymerase Chain Reaction [PCR] yang tidak tersedia di
laboratorium klinis biasa.
15. Penatalaksanaan Sequela dan Sindrom Neurologis
Pascamalaria
Awalnya, pasien malaria serebral dianggap sembuh sempurna tetapi
kemudian terbukti banyak pasien, terutama anak yang mengalami cedera otak
bermakna setelah sembuh. Sekitar 11% mengalami defisit sequela defisit

197
neurologis yang jelas setelah keluar rumah sakit seperti kebutaan, ataksia, dan
hipotonia sentral. Sebagian besar sequela ini memang membaik dengan
berjalannya waktu tetapi ada sekitar 25% dari pasien yang mengalami sequela
ini mengalami sequela jangka panjang. Sequela jangka panjang ini terutama
mencakup gangguan kognitif, fungsi motorik, dan perilaku. Epilepsi terjadi
pada sekitar 10% kasus. Sekule neurokognitif ini diperlihatkan pada Tabel 9.
Prevalensi dan pola defisit neurologis pada orang dewasa berbeda dengan
anak.

Beberapa metode untuk memperbaiki luaran neurokognitif pada malaria, baik


untuk sequela maupun sindrom neurologis pascamalaria telah diteliti.
Pemberian steroid, imunoglobulin, asam asetil salisilat, heparin, anti-TNF,
manitol, agen pengikat besi, mikronutrien, dan antikonvulsan profilaktik

198
tidak hasil yang baik. Penggunaan pantetin dan glatiramer asetat belum
diketahui hasilnya. Pemberian eritropoietin sedang diteliti juga dan telah
melewati uji klinis fase I.
Dengan demikian, sampai saat ini, penatalaksanaan sequela lebih ke arah
pemberian obat-obat simtomatik dan neurorestorasi. Oleh karena itu,
penatalaksanaan awal yang baik dan pencegahan tampaknya tetap berperan
penting dalam penatalaksanaan malaria secara umum dan serebral.
J. Pencegahan Dan Vaksin Malaria 1. Pencegahan
Metode pencegahan terdiri dari:
a. Perubahan pengetahuan, sikap, dan perilaku serta intervensi nonmedikamentosis:
meliputi pengetahuan tentang infeksi malaria, pengetahuan tentang transmisi
malaria di daerah kunjungan bagi pelancong, melakukan upaya menghindarkan
diri dari gigitan nyamuk, dll.
Termasuk dalam kegiatan ini ialah tidur memakai kelambu khususnya kelambu
yang dicelup/dilapisi dengan insetisida, penggunaan pencegahan gigitan nyamuk
dengan obat nyamuk, dan memakai pakaian/penutup untuk menghindarkan diri
dari gigitan nyamuk. Penggunaan kelambu yang berinsektisida mampu
menurunkan episode malaria Minis sebanyak 50% dan dapat mencegah malaria
berat. Pada ibu hamil, upaya ini akan mencegah anemia, bayi berberat badan lahir
rendah, dan infeksi malaria pada plasenta.
b. Pemilihan obat kemoprofilaksis pada pelancong tergantung dari pola resistensi
daerah kunjungan, umur pelancong, lama kunjungan, adanya kehamilan, kondisi
penyakit tertentu pada pelancong, toleransi obat, dan factor ekonomi. Obat
kemoprofilaksis antara lain adalah doksisiklin, atovakuon-proguanil (Malarone),
klorokuin, meflokuin, dan primakuin.
Kemoprofilaksis malaria bagi yang bepergian ke daerah risiko tinggi malaria
(Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara) umumnya dilakukan
dengan memberikan doksisiklin lOOmg per 12 jam per hari, setiap had dengan
lama pemberian maksimal tiga bulan. Obat doksisiklin mulai diminum satu hari
sebelum bepergian, selama tinggal di daerah risiko, sampai dengan empat
minggu setelah keluar dari daerah tersebut.
Jika menggunakan Malarone maka pemberian obat ini dimulai 1-2 hari sebelum
memasuki daerah endemik. Sebenarnya Malarone adalah obat yang ideal karena
berefek pada parasit yang beredar di darah dan juga yang di hepar. Oleh karena itu,
penggunaan obat ini boleh dihentikan satu minggu setelah selesai perjalanan.
Timbulnya resistensi terhadap Malarone menyebabkan obat ini kurang dipakai
sebagai kemoprofilaksis.
Penggunaan primakuin sebagai profilaksis harus dilakukan dengan hati-hati karena

199
risiko terjadi hemolisis pada pasien dengan defisiensi enzim G6PD. Jika akan
menggunakan obat ini, dianjurkan untuk memeriksa adanya defisiensi G6PD
terlebih dahulu. Pemberian primakuin dapat dimulai satu hari sebelum berangkat
dan tujuh hari setelah selesai perjalanan (digunakan selama minimal 14 hari).
Pemberian klorokuin sebagai kemoprofilaksis sudah jarang dilakukan karena
resistensi parasit yang tinggi.
Kemoprofilaksis untuk anak berumur kurang daripada 8 tahun belum tersedia
sehingga sebaiknya dilakukan tindakan pencegahan secara personal seperti
penggunaan pakaian tertutup, losion antinyamuk, kelambu, dan Iain-lain.
c. Intermittent presumptive treatment (IPT) pada bayi dan ibu hamil banyak dipakai di
negara-negara Afrika. IPT pada ibu hamil dilakukan dengan pemberian sulfadoksin-
pirimetamin. Pengobatan ini tidak dipergunakan pada program malaria di Indonesia
karena adanya resistensi yang tinggi pada obat-obat tersebut.
d. Stand-By emergency self treatment [SBET]. Metode ini sebenarnya bukan upaya
pencegahan infeksi tetapi merupakan upaya pengobatan awal pada pasien malaria
yang jauh dari fasilitas kesehatan. Umumnya SBET ditujukan pada pelancong atau
pekerja imigran di daerah dengan fasilitas kesehatan terbatas. Individu diberi
edukasi tentang gejala dan tanda klinis malaria, cara melakukan rapid diagnostic
test, sampai pemberian obat.
2. Vaksinasi
Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam pengembangan. Hal yang
menyulitkan ialah banyaknya antigen yang terdapat pada Plasmodium selain pada
masing-masing bentuk stadium pada daur plasmodium. Oleh karena yang berbahaya
adalah Plasmodium falciparum sekarang baru ditujukan pada pembuatan vaksin
untuk proteksi tehadap Plasmodium falciparum. Pada dasarnya ada tiga jenis vaksin
yang dikembangkan yaitu vaksin sporozoit (bentuk intra hepatik], vaksin terhadap
bentuk aseksual dan vaksin transmission blocking untuk melawan bentuk gametosit
K. Prognosis
Prognosis malaria serebral tanpa terapi umumnya fatal. Pada anak, angka kematian
akibat malaria serebral masih mencapai 15-20% meskipun sudah diberikan OAM
(golongan kuinolin atau artemisinin]. Mortalitasnya lebih rendah pada orang dewasa
yang menerima terapi artesunat. Prognosis malaria serebral lebih burukjika ditemukan
hal-hal berikut:
a. Gangguan kesadaran berat dan lama.
b. Ada hipertensi intrakranial.
c. Ada gangguan organ lain.
d. Ada bangkitan berulang.

200
e. Ada tanda deserebrasi.
f. Ada perdarahan retina.
g. Umur muda (prognosis lebih buruk pada umur kurang
daripada 3 tahun).
h. Ada parasitemia berat (>20%].
i. Ada asidosis laktat.
j. Ada hipoglikemia.
k. Ada peningkatan kadar laktat CSS.
1. Ada peningkatan kadar enzim-enzim transaminase serum.
L. PENUTUP
1. Malaria masih menjadi masalah kesehatan yang besar di Indonesia terutama di
beberapa daerah di bagian timur Indonesia.
2. Penyebab utama malaria serebral adalah infeksi P. falciparum.
3. Patogenesis malaria serebral bersifat kompleks dan melibatkan berbagai teori
seperti teori mekanik dan teori sitokin/toksin.
4. Diagnosis malaria memerlukan komponen klinis dan laboratoris.
5. Adanya retinopati malaria merupakan informasi klinis yang berharga dalam
membuat diagnosis malaria serebral.
6. Malaria serebral perlu didiagnosis banding dengan gangguan otak lain seperti
infeksi otak. Tindakan pungsi lumbal dan analisis CSS harus dipertimbangkan jika
malaria serebral didiagnosis banding dengan infeksi otak.
7. Pengobatan malaria dengan OAM lini pertama dilakukan dengan memberikan
terapi kombinasi, yaitu ACT ditambah dengan pemberian primakuin.
8. Hitung jenis dan kepadatan parasit pada pemeriksaan sediaan darah malaria secara
mikroskopis harus dilakukan untuk dapat menilai kemajuan pengobatan pada saat
pemantauan
9. Pemantauan pengobatan pasien malaria harus secara berkala untuk memastikan
parasit sudah tidak ditemukan lagi di dalam darah.
10. Kasus malaria yang ditemukan di unit pelayanan kesehatan, Puskesmas ataupun
Rumah Sakit harus dicatat dan dilaporkan kepada Dinas Kesehatan setempat.
Daftar Pustaka
1. Beare NAV, Taylor TE, Harding SP, Lewallen S, Molyneux ME. Malarial
retinopathy: a newly established diagnostic sign in severe malaria. Am J Trop
Med Hyg 2006;75(5):790-7.
2. Brown R, Ropper AH. Adams and Victor's principles of neurology. Edisi ke-8.
Infections of the nervous system [bacterial, fungal, spirochetal, parasitic) and
sarcoidosis. New York.McGraw-Hill:2005. hal. 592 - 630.

201
3. CDC. DPDx - laboratory identification of parasitic diseases of public health
concern. Plasmodium falciparum. Updated 20 December 2017. [dikutip 17
Desember 2017]. Tersedia dari: https://www.cdc.gov/dpdx/malaria/index.html.
4. CDC. Malaria: Biology. Updated 20 December 2017. [dikutip 4 Januari
2018]. Tersedia dari:
https://www.cdc.gov/malaria/about/biology/.
5. Dondorp AM. Pathophysiology, clinical presentation and treatment of cerebral
malaria. Neurology Asia 2005; 10 : 67
-77.
6. Garg R K, Karak B, Misra S. Neurological manifestations of malaria : an update.
Neurol India [serial online] 1999 [cited 2018 Jan 8];47:85-91.
Available from:
http://www.neurologyindia.eom/text.asp71999/47/2/85/ 1647.
7. Hadjichristodoulou C, Kremastinou J, Vakalis N, Tsakris A, Papa A,
Papadopoulos N, dkk. Integrated surveillance and control programme for west
nile virus and malaria in Greece. Malaria. Information for healthcare
professionals. Laboratory diagnosis. 2012. [dikutip 17
Desember 2017];xxx:xxx. Tersedia dari: http://www.malwest.gr/en-
us/malaria/informationforhealthcareprofessionals/laborat
orydiagnosis.aspx.
8. Harijanto PN, Nugroho A, Gunawan CA. Editor. Malaria: dari mokeluler ke
Minis. Edisi ke-2. Jakarta. EGC:2008.
9. Idro R, Marsh K, John CC, Newton CRJ. Cerebral malaria: mechanisms of brain
injury and strategies for improved neurocognitive outcome. Pediatr Res
2010;68:267-274.
10. Islam MS, Harsono, Poerwadi T, Samatra DPG, Dewati E ; Islamiyah WR.
Standar kompetensi dokter spesialis neurologi Indonesia (revisi tahun 2015]
Jakarta. KNE2015.
11. Islam MS, Harsono, Poerwadi T, Samatra DPG, Dewati E, Islamiyah WR, dkk.
Kurikulum program pendidikan dokter spesialis neurologi Indonesia [revisi
tahun 2015). Jakarta. KNI:2015.
12. Kakkilaya BS. Malaria site. Microscopic tests. Updated 11 March 2015. [dikutip
17 Desember 2017]. Tersedia dari: https://www.malariasite.com.
13. Keputusan Menteri Kesehatan no. 44 tahun 2007 tentang pedoman pengobatan
malaria.
14. KNI. Modul neuroinfeksi program pendidikan dokter spesialis neurologi.
Malaria serebral.Jakarta. KNI:2008.
15. Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E. Editor. Pedoman tata laksana

202
epilepsi. Edisi ke-5. Surabaya. Airlangga University Press:2014.
16. Looareesuwan S, Wilairatana P, Krishna S, Kendall B, Vannaphan S, Viravan C,
dkk. Magnetic resonance imaging of the brain in patients with cerebral malaria.
Clin Infect Dis 1995;21[2]:300-9.
17. Maude RJ, Beare NAV, Sayeed AA, Chang CC, Charunwatthana P, Faiz MA,
dkk. The spectrum of retinopathy in adults with Plasmodium falciparum malaria.
The transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene
2009;103:665 - 71.
18. Miller LH, Baruch DI, Marsk K, Doumbo 0. The pathogenesis basis of malaria.
2002;Nature:41S:673
19. Nevin RL, Croft AM. Psychiatric effects of malaria and antimalarial drugs:
historical and modern perspectives. Malar J 2016;15:332-45.
20. Newton CRJ, Crawley J, Sowumni A, Waruiru C, Mwangi I, English M, dkk.
Intracranial hypertension in africans with cerebral malaria. Archives of Disease
in Childhood 1997;76:219-226.
21. Okoromah CAN, Afolabi BB, Wall ECB. Mannitol and other osmotic diuretics
as adjuncts for treating cerebral malaria (review). Cochrane Database of
Systematic Reviews 2011 [dikutip 17 Desember 2017];4:CD004615. Tersedia
dari: www.cochranelibrary.com.
22. Pedrosa CA, Santos C, Coutinho I, Lisboa M, Teixeira S, Silva F, Pires G,Prieto
I. Ophthalmologic identification of cerebral malaria in adults. GMS Ophthalmol
Cases. 2015;5:Docl3.
23. Postels DG, Taylor TE, Molyneux M, Mannor K, Kaplan PW, Seydel KB, dkk.
Neurologic outcomes in retinopathy-negative cerebral malaria survivors.
Neurology 2012; 79(12):1268-72.
24. Ritarwan K. Malaria serebral. Neurona 2010;28(1].
25. Shubhakaran, Sharma CM. Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy
with P. falciparum malaria. JAPI 2003;51:223-4.
26. Sithole HL. A review of malarial retinopathy in severe malaria. 54/r Optom
2011;70(3):129-35.
27. Subdit Malaria Direktorat P2PTVZ. Buku saku tata laksana kasus malaria.
Jakarta. Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan
R.I.:2017.
28. van Crevel H, Hijdra A, de Gans J. Lumbar puncture and the risk of herniation:
when should we first perform CT? ] Neurol 2002;249:129-37.
29. Waller D, Crawley ], Nosten F, Chapman D, Krishna S, Craddock C, dkk.
Intracranial pressure in childhood cerebral malaria. The transactions of the Royal
Society of Tropical Medicine and Hygiene 1991;85:362 - 4.

203
30. White NJ. Malaria. Dalam : Cook, GC (Ed). Manson's Tropical Disease. Edisi
ke-20. London. Saunders: 1996. hal 1087 - 64.
31. WHO. World malaria 2017. Zurich. WHO:2015.
32. WHO. World malaria 2017. Zurich. WHO:217.
33. Wilcox A. Manual for the Microscopical Diagnosis of Malaria in Man.
Washington. U.S. Department of Health, Education andWelfare:1960.

204
BAB 9

RABIES
A.A. Raka Sudewi Ni Made Susilawathi,

205
RABIES
I. KERANGKA MODUL
A. Kompetensi
Menegakkan diagnosis dan tata laksana penyakit rabies mencakup epidemiologi,
etiologi, klasifikasi, patogenesis, gambaran klinik, pemeriksaan penunjang dan
interpretasi disertai manajemen pengobatan terpadu termasuk pencegahan rabies

B. Keterampilan
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki
keterampilan:
1. Menguasai mekanisme terjadinya rabies.
2. Identifikasi, anamnesis, dan diagnosis rabies.
3. Menguasai tata laksana dan pengelolaan pasien rabies.
4. Menguasai tata laksana pencegahan penyakit rabies.
5. Memprediksikan dan mengelola komplikasi yang terjadi pada rabies.
6. Mampu melakukan KIE kepada keluarga pasien rabies tentang prognosis rabies.
C. Persiapan Sesi
1. Ruangkuliah.
2. Peralatan audiovisual.
3. Kasus pembelajaran.
4. Mat bantu latih.
5. Materi presentasi.
6. Penuntun belajar.
7. Daftar tilik kompetensi.

206
D. Gambaran Umum
Tujuan pelatihan ini adalah untuk memberikan bekal pengetahuan praktik dan
manajemen rabies secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus [case based
learning). Topik yang dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah
tentang patogenesis, diagnosis, tata laksana, pengelolaan, dan pencegahan rabies.
1. Contoh Kasus
Laki-laki, 28 tahun dibawa ke UGD dengan keluhan gelisah, sesak, dan rasa seperti
tercekik. Saat diperiksa pasien tampak sadar baik namun gelisah dan ketakutan
terutama bila mendengar suara, saat diberi minum, dan diberi oksigen. Pasien
tampak selalu mengeluarkan air liur yang berlebihan dari mulutnya. Pasien
mengeluh pegal pada tungkai bawah dan rasa baal 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Keluhan ini tidak disertai kelemahan anggota gerak, kesemutan sesisi, bicara
pelo ataupun mulut mencong. Pasien mengatakan pernah digigit anjing liar 3 bulan
yang lalu di daerah tungkai bawah. Tidak pernah mendapat vaksinasi antirabies.
Pasien berasal dari daerah endemik rabies.
2. Diskusi
a. Apakah diagnosis kasus di atas dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis?
b. Apakah yang ditemukan pada pemeriksaan neurologis pada kasus di atas?
c. Bagaimana mekanisme terjadinya rabies?
d. Bagaimana tata laksana pasien dengan rabies?
e. Bagaimana tata laksana pencegahan penyakit rabies?
f. Bagaimana prosedur pemberian vaksin antirabies (VAR) dan serum antirabies
(SAR]?
g. Apakah indikasi perawatan intensif pada pasien rabies?
h. Bagaimana prognosis pasien rabies?
E. Tujuan pembelajaran
1. Mengidentifikasi diagnosis klinis berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik:
a. Mengetahui anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien dengan rabies
2. Mengetahui penyebab rabies:
a. Mengetahui penyebab rabies
b. Mengetahui mekanisme terjadinya rabies
3. Menjelaskan daerah endemis dan hewan penular rabies (HPR):
a. Mengetahui daerah endemis rabies di Indonesia dan di dunia.

207
b. Mengetahui hewan penular rabies.
4. Mengetahui perjalanan klinis dan komplikasi rabies:
a. Mengetahui perjalanan klinis rabies.
b. Mengetahui komplikasi yang terjadi pada rabies.
5. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada rabies:
a. Mengetahui teknik pemeriksaan identifikasi virus rabies.
b. Mengetahui hasil pemeriksaan MRI, EEG, EMG pada pasien rabies.
6. Melakukan tata laksana pasien rabies:
a. Mengetahui manajemen dan terapi pasien rabies.
b. Melakukan tindakan emergency pada pasien rabies.
c. Mengevaluasi terapi yang diberikan.
7. Mengetahui tata laksana pencegahan penyakit rabies:
a. Mengetahui langkah-langkah yang dilakukan setelah tergigit
HPR.
b. Mengetahui cara mencuci luka gigitan yang benar.
c. Mengetahui indikasi pemberian VAR dan SAR.
d. Mengetahui tata laksana pemberian VAR dan SAR.
e. Mengetahui efek samping pemberian VAR dan SAR.
8. Mempertimbangkan/menganjurkan perawatan intensif:
a. Mempertimbangkan perawatan intensif bila terjadi gagal nafas.
9. Melakukan KIE kepada keluarga pasien tentang prognosis
rabies:
a. Menjelaskan tentang prognosis rabies kepada keluarga pasien.
F. Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi, dan pengamalan ilmu
neurologi pada dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk
memiliki profesional 6e/2fli//ouryangditunjukkan dengan:
1. Kepakaran medis/pembuat keputusan klinis.
2. Komunikator.
3. Kolaborator.

208
4. Manajer.
5. Advokasi kesehatan.
6. Kesarjanaan.
7. Profesional.
8. Performance.
G. Kasus pembelajaran 1. Deskripsi Kasus
Laki-laki, 28 tahun dibawa ke UGD dengan keluhan gelisah, sesak, dan rasa seperti
tercekik. Saat diperiksa pasien tampak sadar baik namun gelisah dan ketakutan
terutama bila mendengar suara, saat diberi minum, dan diberi oksigen. Pasien
tampak selalu mengeluarkan air liur yang berlebihan dari mulutnya. Pasien
mengeluh pegal pada tungkai bawah dan rasa baal 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Keluhan ini tidak disertai kelemahan anggota gerak, kesemutan sesisi, bicara
pelo ataupun mulut mencong. Pasien mengatakan pernah digigit anjing liar 3 bulan
yang lalu di daerah tungkai bawah. Tidak pernah mendapat vaksinasi antirabies.
Pasien berasal dari daerah endemik rabies.
Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut:
a. Kesadaran: compos mentis
b. Tekanan Darah: 110/70 mmHg
c. Nadi: 90 x/menit
d. Suhu:37,3°C
e. Respirasi: 22 x/menit
f. THT: hipersalivasi
g. Jantung dan Paru : dalam batas normal
h. Abdomen: tegang, hepar dan lien tidak teraba
i. Ekstremitas: hangat, tidak ada edema
j. Status neurologi:
• GCS:E4V5M6
• Status mental: berfluktuatif antara fase tenang dan gelisah. Ada
aerofobia dan hidrofobia
• Tanda rangsangan meningeal: negatif
• Saraf otak: paresis tidak ada

209
• Motorik: dalam batas normal
• Refleks fisiologi: ++/++
• Refleks patologis:-/-
• Sensorik: dalam batas normal
• Saraf otonom: dalam batas normal
Hasil pemeriksaan penunjang:
a. Hematologi rutin, laju endap darah.
b. Analisis gas darah.
c. Kimia darah.
d. Pungsi lumbal.
e. FAT/PCR rabies.
f. Monitoring:
g. Kesadaran, tanda vital, defisit fokal, dan ancaman gagal
nafas.
2. Diskusi
a. Apakah diagnosis kasus di atas dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis?
b. Apakah yang ditemukan pada pemeriksaan neurologis pada
kasus di atas?
c. Bagaimana mekanisme terjadinya rabies?
d. Bagaimana tata laksana pasien dengan rabies?
e. Bagaimana tata laksana pencegahan penyakit rabies?
f. Bagaimana prosedur pemberian vaksin antirabies (VAR)
dan serum antirabies (SAR)?
g. Apakah indikasi perawatan intensif pada pasien rabies?
h. Bagaimana prognosis pasien rabies?

210
II. MATERI BAKU RABIES
A. Pendahuluan
Rabies adalah suatu ensefalitis yang disebabkan oleh virus Ribonucleic acid (RNA)
yang tergolong dalam famili Rhabdoviridae yang perburukan klinisnya cepat dan
berakhir dengan kematian. Rabies merupakan penyakit zoonosis yang ditularkan
dari hewan ke manusia melalui gigitan hewan penular rabies (HPR) terutama anjing,
kucing, dan kera.
Rabies tersebar hampir di seluruh dunia kecuali benua Antartika dengan
kematian akibat rabies setiap tahunnya sekitar 55.000 orang. Kematian manusia
akibat rabies 95% disebabkan oleh gigitan anjing terinfeksi virus rabies yang
sebagian besar terjadi di negara berkembang terutama benua Asia dan Afrika.
Rabies telah menyebar di 25 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia. Situasi rabies di
Indonesia tahun 2012-2016 diperlihatkan dalam Gambar 1.

renyaKii rauies uapai uicegan uengan penaiaiaKsanaan Post-exposure


Prophylaxis [PEP) yang tepat, yang terdiri dari cuci luka, pemberian VAR, dan atau
SAR. Apabila terjadi ensefalitis

211
maka penatalaksanaannya bersifat suportif dan sampai saat ini belum ada terapi yang
spesifik.
Pengendalian rabies dimulai dari hewan penular rabies yang berpotensi
menularkan ke manusia sehingga sektor kesehatan harus melibatkan sektor lain seperti
peternakan, pemerintah, dan sektor lain dalam pendekatan One Health.
B. Biologi
Virus rabies termasuk pada grup negative stranded RNA, ordo mononegavirales, famili
rhabdoviridae, dan genus lyssavirus. Virus ini berbentuk seperti peluru, berukuran 180
nm x 75 nm, berkapsul terdiri dari lipoprotein dan glikoprotein yang menentukan
virulensi virus. (G), dan polimerase (L). Rhabdoviridae terdiri dari dua komponen
dasar: ribonukleoprotein (RNP] di bagian tengah dan diselimuti oleh membran
selubung {envelope) pada bagian luar. RNP dibentuk oleh nukleoprotein yang
terhubung dengan fosfoprotein dan polimerase, sedangkkan glikoprotein membentuk
tonjolan/spz'/ce pada permukaan luar membran selubung. RNP dan membran selubung
terhubung oleh matriks protein.
Genom virus rabies berantai tunggal, anti-sense, non-segmented RNA dengan
panjang 12 kilobasa (kb). Replikasi virus diawali dengan adanya fusi membran
selubung virus dengan membran sel inang, kemudian terjadi interaksi antara
glikoprotein dengan reseptor spesifik pada membran sel inang yang diikuti penetrasi
virus ke sitoplasma melalui mekanisme pinositosis. Terjadi agregrasi virion dengan
endosom (vesikel pada sitoplasma), kemudian berfusi pada membran endosom yang
mengakibatkan RNP virus bebas dalam sitoplasma {uncoating). Virus rabies
merupakan virus RNA sehingga dibutuhkan messanger RNA (mRNA) agar virus
dapat bereplikasi pada proses transkripsi. Kemudian berlanjut dengan proses tranlasi
yang melibatkan protein N, P, M, G dan L yang terjadi pada ribosom dalam sitoplasma.
Proses ini berlanjut pada reticulum endoplasma dan badan Golgi sehingga terjadi
proses perbanyakan virus.
C. Patogenesis
Virus rabies merupakan virus neurotropik dengan penyebarannya melalui sistem saraf
dan menimbulkan infeksi akut yang fatal. Penularan rabies paling sering akibat
binatang sakit yang mengandung virus rabies kemudian menularkan virus melalui
gigitan atau cakaran.
virus secara terjadi pada sel-sel otot di sekitar lokasi gigitan sehingga terjadi
peningkatan jumlah virus. Virus memasuki saraf tepi melalui sambungan saraf-otot
[neuromuscular junction) dengan berikatan pada reseptor asetilkolin nikotinik. Ikatan
ini menyebabkan konsentrasi virus tinggi di daerah pascasinaps sehingga memudahkan
virus masuk ke saraf tepi. Kemudian virus menyebar ke susunan saraf pusat (SSP)
secara sentripetal melalui akson-akson saraf dengan cara retrograde fast axonal

212
transport dengan kecepatan 50-100 mm/hari.
Apabila virus rabies telah mencapai SSP akan terjadi penyebaran virus yang
sangat cepat sesuai dengan jalur neuroanatomi secara anterograde fast axonal
transport dengan kecepatan 100-400 mm/har. Virus kemudian memperbanyak diri
secara masif pada membran sel saraf. Virus rabies memiliki daerah predileksi pada
sel-sel sistem limbik, hipotalamus, dan batang otak. Tanda patognomonik infeksi virus
rabies adalah negri bodies yang terutama ditemukan pada sel purkinje serebelum.
Selain itu, negri bodies juga ditemukan pada sel piramidal hipokampus (Amnion's
horn), ganglia basal, dan nukleus nervus-nervus kranialis.
Penyebaran virus dari SSP ke perifer terjadi secara sentrifugal melalui serabut
saraf eferen, baik saraf volunter maupun saraf otonom, menuju ke kelenjar ludah,
ganglion retina, epitel kornea, dan folikel rambut. Penyebaran virus juga melibatkan
organ ekstraneural seperti kelenjar adrenal, ganglia kardiak, dan pleksus pada saluran
cerna, hati, dan pankreas,
D. Manifestasi Klinis
Perjalanan klinis rabies pada manusia terdiri dari 5 stadium yaitu masa inkubasi, fase
prodromal, fase neurologi akut, koma, dan kematian.
1. Masa Inkubasi
Periode inkubasi rabies bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa tahun, namun
60% kasus terjadi pada 1-3 bulan. Masa inkubasi yang bervariasi ini berhubungan
dengan waktu yang diperlukan virus bereplikasi pada jaringan otot kemudian
berjalan menuju sel saraf. Beberapa faktor yang mempengaruhi masa inkubasi
antara lain: tingkat keparahan luka, lokasi luka yang berkaitan dengan kepadatan
jaringan saraf pada lokasi luka dan jarak luka ke SSP, jumlah dan strain virus yang
masuk, dan status imunitas penderita. Luka gigitan yang berat, multipel, dan di
daerah wajah berhubungan dengan masa inkubasi yang lebih pendek
2. Fase Prodromal
Gejala rabies dimulai bila virus sudah masuk ke SSP. Biasanya saat berada di
ganglion spinalis. Gejala awal sering kali tidak spesifik seperti gejala influenza
dengan nyeri kepala, panas, mual-muntah, nyeri perut, diare, cepat marah, dan
insomnia yang berlangsung sekitar 2- 10 hari. Gejala prodromal yang spesifik pada
30-70% pasien rabies adalah kesemutan, gatal, nyeri, dan panas seperti terbakar
pada tempat gigitan padahal lukanya mungkin telah sembuh.
3. Fase Neurologi Akut
Rabies dapat dibagi menjadi dua tipe berdasarkan gejala klinis yaitu tipe
galak/ensefalitik dan paralitik.
a. Rabies Tipe Galak/Ensefalitik
Tipe yang paling sering dijumpai sekitar (80% kasus]. Pasien terlihat gelisah,
marah-marah dan agresif yang kemudian diikuti oleh periode tenang.

213
Tingkat kesadaran yang berfluktuasi antara keadaan agitasi dan tenang
(periode intermiten) berlangsung sekitar 1-5 menit dengan fase tenang yang
semakin pendek. Pasien semakin peka terhadap berbagai stimuli seperti tiupan
angin dan suara sehingga menimbulkan hidrofobia, aerofobia dan fotofobia.
b. Rabies Tipe Paralitik
Tipe paralitik terjadi pada 20% kasus rabies dengan gejala yang menonjol yaitu
paralisis flaksid yang timbul sejak awal gejala. Pasien sering didiagnosis dengan
penyakit lain seperti GBS terutama bila tidak ditemukan riwayat gigitan anjing.
Kelemahan sering dimulai dari lokasi gigitan kemudian menyebar pada
ekstremitas lainnya. Gejala lain yang dijumpai adalah fasikulasi pada otot, nyeri,
dan gangguan sensoris. Fase lanjut dapat menimbulkan spasme, hidrofobia,
kelemahan otot bulbar dan pernafasan sebagai penyebab kematian.
4. Koma dan Kematian
Rabies merupakan penyakit fatal yang selalu diikuti dengan kematian. Kematian
sering terjadi mendadak akibat disfungsi pusat nafas di batang otak, paralisis otot
pernafasan, atau aritmia jantung yang menimbulkan kegagalan sistem
kardiorespirasi.
E. Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya penegakan diagnosis rabies di banyak negara ditegakkan secara klinis.
Identifikasi virus jarang dikerjakan kerena memerlukan fasilitas laboratorium yang
memadai dan biaya yang tinggi. Laboratorium rutin tidak menunjukkan gambaran
yang khas. Pemeriksaan cairan serebrospinalis (CSS] mendukung suatu ensefalitis.
Pada 60% kasus yang dilakukan pemeriksaan pada tahap awal, ditemukan peningkatan
jumlah lekosit (rata-rata 70 sel/mm3), yang 85%-nya menunjukan predominasi
monosit. Kadar protein dan glukosa yang normal.
Pemeriksaan Flourescent Antibodies Test [FAT) dapat mendeteksi antigen virus
rabies. Sampel diambil dari jaringan otak, sedimen CSS, urin, dan biopsi kulit terutama
daerah leher belakang yang mengandung folikel rambut dan saraf tepi serta hapusan
kornea. Hasil FAT berdasarkan adanya ikatan Ag-Ab. Akan terjadi ikatan yang
spesifik antara antibodi [fluorocrome) dengan protein virus [antigen] dan akan tampak
pewarnaan fluorescence spesifik yaitu berwarna hijau terang [bright apple-green)
dengan latar belakang gelap. Direk FAT merupakan gold standard untuk rabies karena
memiliki sensitivitas, spesifisitas, dan kecepatan yang tinggi.
Pemeriksaan biologi molekular dengan teknik real time polymerase chain
reaction [RT-PCR] mampu mendeteksi virus rabies dari spesimen saliva, hapusan
kornea, biopsi kulit, dan CSS. Isolasi virus rabies dapat dikerjakan dengan kultur
jaringan.
Pemeriksaan histopatologi sangat penting dalam konfirmasi penyakit rabies

214
dengan mengambil jaringan otak hewan yang dicurigai terinfeksi rabies. Pada
pewarnaan rutin [hematoksilin & Eosin/HE] ditemukan tanda patognomonik berupa
negri bodies.
F. Tata laksana Pasien Rabies
Terapi untuk kasus infeksi rabies pada manusia belum memuaskan karena hanya
bersifat suportif. Uji terapi telah dikerjakan seperti: pemberian antivirus dan interferon
secara tunggal atau kombinasi namun belum pernah ada yang sukses. Pemberian
ketamine dosis tinggi secara in vitro dapat menghambat replikasi virus rabies. Namun
demikian, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk aplikasi klinisnya. Pemberian
steroid tidak dianjurkan pada kasus rabies karena dapat mempercepat kematian.
Perawatan hendaknya dilakukan di ruangan isolasi. Untuk menghindari
kemungkinan penularan dari pasien rabies, hendaknya para dokter dan paramedik
memakai sarung tangan, kacamata, dan masker saat menangani pasien. Pasien
sebaiknya difiksasi di tempat tidur. Perlu dipertimbangkan penggunaan alat bantu
pernafasan mengingat kematian kasus rabies akibat paralisis otot
pernafasan.
1. Tata Laksana Profilaksis Rabies
Pencegahan rabies setelah gigitan HPR yang dikenal dengan post-exposure
prophylaxis (PEP) terdiri dari tiga komponen yaitu: penanganan luka gigitan,
pemberian vaksin antirabies (VAR), dam pemberian serum antirabies (SAR).
Pemberian VAR dan SAR harus dilakukan berdasarkan atas tindakan tepat dengan
mempertimbangkan temuan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mencakup:
adanya kontak/jilatan/gigitan, kejadian di daerah tertular/terancam/bebas, apakah
serangan hewan didahului tindakan provokatif atau tidak, hewan yang menggigit
menunjukkan gejala rabies, hewan yang menggigit hilang/lari dan tidak dapat
ditangkap atau dibunuh, hewan yang menggigit mati tapi masih meragukan
menderita rabies, penderita luka gigitan pernah di VAR, hewan yang menggigit
pernah di VAR, identifikasi luka gigitan (status lokalis), serta temuan lain pada
waktu observasi hewan dan hasil pemeriksaan spesimen dari hewan.
Setiap ada kasus gigitan HPR harus ditangani dengan cepat dan sesegera mungkin.
Alur penangananan diperlihatkan dalam Gambar 2. Untuk mengurangi atau
mematikan virus rabies yang masuk pada luka gigitan, usaha yang paling efektif
ialah mencuci luka gigitan segera dengan air mengalir dan sabun atau detergen
selama 10-15 menit kemudian diberikan antiseptik (alkohol, betadine, atau obat
merah). Pemberian profilaksis tetanus dan antibiotik dipertimbangkan pada luka
risiko tinggi antara lain: luka gigitan multipel, luka dalam dan lebar, luka di daerah
muka, kepala, leher, jari tangan/kaki, serta jilatan pada mukosa. Luka gigitan tidak
dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Di sekitar luka gigitan yang

215
terpaksa dijahit, perlu disuntik SAR. Terhadap luka risiko rendah yang tidak
berbahaya seperti: jilatan pada kulit, luka, garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi),
luka kecil di sekitar tangan, badan dan kaki, cukup diberikan VAR saja. Untuk
kontak (dengan air liur atau saliva hewan tersangka/hewan rabies atau penderita
rabies) tetapi tidak ada luka, terjadi kontak tidak langsung, atau tidak ada kontak
maka tidak perlu diberikan VAR atau SAR.

Metode pemberian VAR yang telah direkomendasi World Health Organization


(WHO) dapat dengan cara intramuskular atau intradermal. Pedoman pemberian
VAR setelah digigitan HPR di Indonesia adalah secara intramuskular dengan
menggunakan Metode Zagreb yaitu 4 kali pemberian dengan dosis 0,5ml di
daerah deltoid (di daerah paha untuk anak-anak) dengan waktu pemberian pada
hari ke-0 dua dosis (lengan atas kiri dan kanan atau paha kiri dan kanan untuk
anak <1 tahun), hari ke-7 (1 dosis), dan hari ke-21 (1 dosis).

216
Jenis VAR yang tersedia di Indonesia adalah Purified Vero Rabies Vaccine
(PVRV) dan Purified Chick Embryo Cell-Culture Vaccine [PCECV]. Dalam
pemberian VAR lengkap tidak direkomendasikan memberikan VAR dengan
jenis yang berbeda atau mengkombinasikan kedua jenis VAR yang beredar.
Tabel 1 Kategori Pajanan dan Rekomendasi Tata Laksana WHO

Pemberian SAR terutama untuk luka risiko tinggi atau luka kategori III
menurut kategori pajanan WHO (Tabel 1). Tujuan pemberian SAR untuk
memberikan kekebalan pasif selama 7 hari pertama karena pada masa itu
belum terbentuk imunitas terhadap virus rabies yang diperoleh dari VAR.
Terdapat 2 jenis SAR yaitu serum homolog [human rabies
immunoglobulin/HRIG) dengan kemasan vial 2ml (lml=150 IU] dan dosis

217
pemberian 20 IU/kgBB serta serum heterolog yang berasal dari serum kuda
[equine rabies immunoglobuIin/ERIG) dengan kemasan vial 5 ml [1 ml= 200
IU) dan dosis pemberian 40 IU/kgBB. Pada penggunaan ERIG harus
dilakukan skin test sebelum pemakaiannya. Waktu pemberian SAR
bersamaan dengan VAR hari ke-0, dengan cara disuntikkan secara infiltrasi di
sekitar luka sebanyak mungkin. Sisanya disuntikkan secara intramuskular di
regio glutea.
G. Prognosis
Rabies adalah penyakit yang fatal dan hampir selalu diikuti kematian. Kematian
bersifat mendadak dan terjadi dalam waktu sekitar 14 hari tergantung fasilitas
perawatan intensif yang ada. Konseling keluarga merupakan hal yang penting dan sulit
dikerjakan, terkadang harus dilakukan berulang-ulang dan memerlukan waktu yang
lama agar keluarga paham akan penyakit _ yang fatal ini. Keluarga penderita biasanya
sulit menerima kenyataan bahwa salah satu anggota keluarganya akan meninggal
dalam waktu dekat.
H. Daftar Pustaka
1. Budayanti NS, Susilawathi NM, Darwinata AE, Dwija IBP, Fatmawati ND,
Wirasandi K, dll. 2014. Immune Respons and Cost Analysis of Intradermal
rabies vaccination for Post-Exposure Prophylaxis Regimen in Human. Bali
Medical Journal, 1:18-24
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Buku Saku Petunjuk Teknis
Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies di Indonesia.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Buku Petunjuk Teknis
Rabies Center.
4. Kienzle, T. 2007. Deadly Diseases and Epidemics. Rabies. New York: Chelsea
House Publishing
5. Mahardika GNK; Dibia N, Budayanti NS, Susilawathi NM, Subrata K, Wignall
S, dkk. 2014. Phylogenetic analysis and victim contact tracing of rabies virus
from human and dogs in Bali, Indonesia. Epidemiol.Infect, 142; 1146-1154.
6. Susilawathi NM, Darwinta AE, Dwija BNP, Budayanti NS, Wirasandhi GAK,
Subrata K, dkk. 2012. Epidemiological and Clinical features of Human Rabies
Cases in Bali 2008-2010. BMC Infectio us Diseases, 12:81
7. World Health Organization. 2017. Human rabies: 2016 update and call for data.
Weekly epidemiological record, 7; [92]: 77-88
8. World Health Organization. 2014. WHO Guide for Rabies Pre and Post
Exposure Prophylaxis in Human.
9. Wunner, W. 2007. Rabies Virus. Dalam: Jackson A., Wunner W. Editor.
Rabies. Edition ke-2. Elsevier Inc. Hal. 23-68.

218
BAB 10

MENINGITIS BAKTERIAL
Sekar Satiti

219
MENINGITIS BAKTERIAL

I. KERANGKA MODUL
Infeksi susunan saraf pusat (SSP) terdiri dari:
• Meningitis
• Ensefalitis
• Mielitis
A. Kompetensi
Menegakkan diagnosis dan tata laksana infeksi susunan saraf pusat, mencakup
epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik,
pemeriksaan penunjang dan interpretasinya, serta manajemen pengobatan terpadu.
B. Keterampilan
Setelah menyelesaikan modul ini; peserta didik diharapkan memliliki
keterampilan:
1. Menguasai mekanisme terjadinya infeksi susunan saraf pusat
2. Identifikasi, anamnesis, pemeriksaan klinis dan diagnosis infeksi
susunan saraf pusat
3. Menguasai tata laksana dan pengelolaan pasien dengan infeksi susunan saraf
pusat
4. Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada infeksi susunan saraf
pusat
5. Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada infeksi susunan saraf
pusat
Persiapan Sesi

220
C. Tujuan Pembelajaran
1. Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan
klinik
a. Mengetahui anamnesis dan pemeriksaan klinik meningitis
b. Mengetahui anamnesis dan pemeriksaan klinik ensefalitis
c. Mengetahui anamnesis dan pemeriksaan klinik mielitis
2. Mengetahui penyebab meningitis, ensefalitis, dan mielitis
a. Mengetahui penyebab meningitis, ensefalitis dan mielitis
b. Mengetahui anatomi meningens, otak, mielum dan fisiologis
cairan serebrospinalis
c. Mengetahui jenis bakteri, virus penyebab dan proses
molekuler yang terjadi sampai terjadi infeksi
d. Mengetahui farmakologi obat dan efek samping
3. Menjelaskan epidemiologi meningitis tuberkulosis
a. Mengetahui penyebab meningitis tuberkulosis
b. Mengetahui anatomi meningens dan fisiologi cairan
serebrospinalis
c. Mengetahui jenis bakteri spesifik penyebab dan proses yang
terjadi
d. Mengetahui farmakologi Obat Anti Tuberkulosis dan efek
samping

221
4. Menjelaskan epidemiologi meningitis virus
a. Mengetahui penyebab meningitis virus
b. Mengetahui virus penyebab dan mekanisme
c. Mengetahui farmakologi obat antivirus dan efek samping
5. Menjelaskan epidemiologi ensefalitis virus
a. Mengetahui penyebab ensefalitis virus
b. Mengetahui patogenesis terjadinya
c. Mengetahui jenis-jenis virus
d. Mengetahui farmakologi obat-obatan
6. Menjelaskan epidemiologi mielitis
a. Mengetahui penyebab mielitis
b. Mengetahui mekanisme terjadinya mielitis
c. Antisipasi kelainan otonom
7. Mengetahui komplikasi infeksi SSP
a. Mengetahui komplikasi infeksi SSP
b. Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan
longterm
c. Mengetahui cara mengatasi komplikasi
8. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan
penunjang
a. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan
penunjang
b. Mengetahui jenis pemeriksaan penunjang
c. Dapat menginterpretasikan pemeriksaan cairan
serebrospinalis
d. Mengetahui indikasi pemeriksaan CT scan, Magnetic Resonance
Imaging (MRI)
e. Interpretasi hasil CT scan, MRI
f. Mempertimbangkan tindakan operatif pada hidrosefalus
9. Melakukan dan menjelaskan terapi infeksi SSP dan manajemen serta resistensi
antibiotika
a. Mengetahui manajemen dan terapi

222
b. Melakukan tindakan emergency
c. Manajemen makanan dan cairan
d. Pertimbangan terapi empirik
e. Mengevaluasi hasil terapi
D. Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu
neurologi pada dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk
memiliki professional
Contoh kasus pembelajaran
Kasus1
Wanita usia 31 tahun, tidak bekerja, datang ke rumah sakit dengan keluhan utama
panas tinggi mendadak disertai nyeri kepala hebat. Delapan „hari sebelum masuk
rumah sakit, penderita panas dan nyeri kepala, selang beberapa hari kemudian,
pasien gelisah, disusul dengan kejang. Ada riwayat keluar cairan dari telinga kanan,
berbau dan berwarna kuning kental. Pada pemeriksaan ditemukan kesadaran
delirium, tekanan darah 120/80, suhu 39 °C, nadi 90x/menit, pernafasan 20x/menit,
tampak cairan keluar dari telinga kanan, kelenjar submandibular sedikit membesar.
Pada pemeriksaan neurologi didapatkan tanda rangsang meningeal, tidak ada edema
papil, refleks patologis positif dan klonus positif di kedua tungkai.
Kasus 2
Seorang laki-laki, usia 46 tahun, pekerja tambang, datang ke rumah sakit dengan
keluhan penurunan kesadaran, demam disertai kejang pada lengan kiri. Riwayat
minum obat rutin tidak teratur dari puskesmas. Pada pemeriksaan, kesadaran
somnolen, tekanan darah 110/70, suhu 38 °C, nadi 84x/menit, pernafasan
28x/menit. Pemeriksaan toraks: pulmo ronkhi di seluruh lapangan paru. Kelenjar
getah bening supraklavikula membesar, tampak bekas sikatriks. Pada pemeriksaan
saraf kranial kesan tampak paresis n. VI, n. VII sinistra, dan hemiparesis sinistra.
Refleks patologis positif di tungkai kiri.
Kasus 3
Laki-laki, usia 38 tahun, pekerjaan marketing sebuah hotel, mengeluh tiba-tiba
kedua tungkai dan kaki lemah. Diawali kesemutan di sekitar pusar, dan semakin
naik ke atas dan berhenti setinggi puting susu. Demam ada, mulai susah BAK
sampai keluar tanpa diketahui, BAB tidak bisa lebih 3 hari. Pada pemeriksaan
umum, tanda vital normal kecuali suhu 39°C. Pemeriksaan neurologis: kompos
mentis, paraparesis, hipestesia setinggi papila mamae. Refleks fisiologis menurun,
refleks patologis negatif, klonus negatif.

223
Diskusi
1. Apakah keluhan demam, nyeri kepala, penurunan kesadaran, kejang dan rangsang
meningeal merupakan tanda klinis khas pada infeksi SSP?
2. Apakah defisit neurologis selalu muncul pada infeksi SSP?
3. Apakah pemeriksaan darah/urine lengkap perlu dilakukan?
4. Perlukah dilakukan pelacakan infeksi primernya?
5. Apakah pungsi lumbal segera dilakukan untuk menegakkan diagnosis?
6. Apakah pemeriksaan imaging kepala dapat membantu menegakkan
diagnosis?
7. Apakah pemeriksaan MRI vertebra perlu dilakukan pada kasus paraparesis
spastik/flaksid?
8. Berapa lama terapi empiris antibiotika diberikan?
9. Apakah pemberian terapi edema serebri dan kejang perlu diberikan?
10. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada infeksi SSP?
E. Rangkuman
1. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik
neurologis, pemeriksaan penunjang, diagnosis klinik, topis, etiologi, patologi
anatomi dan diagnosis banding.
2. Kompetensi pengobatan dicapai dengan cara keragaman epidemiologi berdasarkan
usia, pungsi lumbal, dan empiris.
F. Evaluasi
Penilaian kompetensi:
1. Hasil observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
2. Kemampuan memberikan 'informed choice'
3. Pre-test dan post-test
4. Ujian teori
5. Ujian pasien
6. MCQdanOSCE

224
II. MATERI BAKU MENINGITIS BAKTERI
A. Pendahuluan
Meningitis bakterial adalah salah satu penyakit di bidang neurologi yang memiliki
mortalitas dan morbiditas cukup tinggi. Case fatality rate kasus meningitis lebih dari
14,3%. Komplikasi segera maupun lanjut dari meningitis bakterial juga cukup tinggi
(Thigpen et ah, 2011). Oleh karena itu dibutuhkan manajemen yang efektif sejak
diagnosis, terapi, dan manajemen komplikasi meningitis bakterial.
B. Epidemiologi
Pada periode 2003-2007 terdapat sekitar 4100 kasus meningitis bakterial per tahun di
Amerika Serikat. Namun, prevalensi di negara berkembang diperkirakan lebih tinggi
(Scheld, Whitley & Marra, 2014]. Pada tahun 2003-2004, dari 1670 kasus meningitis
bakterial yang dilaporkan Emerging Infections Programme [Amerika Serikat), terjadi
kematian pada 13,0% kasus. Dari jumlah tersebut, 70,7% kematian disebabkan oleh
S. pneumoniae. Berkenaan dengan persebaran usia pasien meningitis dan bakteri
penyebab meningitis, tabel insidensi meningitis bakterial di Amerika Serikat tahun
2006-2007 dapat memberi gambaran epidemiologis [Thigpen et al, 2011).
Jenis patogen penyebab infeksi bervariasi menurut usia. Pada usia 0-2 bulan,
Streptococcus Grup B adalah bakteri paling sering menyebabkan meningitis (86,1%).
Pada kelompok usia lainnya, bakteri paling sering menginfeksi adalah S. pneumonia.
Pada kasus meningitis bakterial dewasa, 88,9% di antaranya disebabkan oleh S.
pneumonia. Case fatality rate pada kasus anak adalah 6,9% sedangkan pada kasus
dewasa sebesar 16,4%. Pada kasus dewasa, angka case fatality rate meningkat linear
dengan peningkatan usia (Thigpen etal., 2011).

225
C. Patofisiologi
Perjalanan penyakit meningitis bakterial melibatkan beberapa fase yang saling
berkaitan, yaitu: a) kolonisasi bakteri dan invasi pada pasien yang diikuti dengan
infeksi SSP, b) multiplikasi bakteri dan inflamasi di spasium subaraknoid dan
ventrikuler, c) progresi inflamasi dan patofisiologi, dan d) kerusakan sistem saraf
pusat (SSP) (Scheld, Whitley & Marra, 2014).
D. Infeksi sistem saraf pusat
Perlindungan SSP dari mikroorganisme, dikerjakan oleh blood-brain barrier
(BBB) dan blood-cerebrospinal fluid barrier (BCSFB), dan araknoid. Patogen dari
darah harus menembus BBB dan BCSFB untuk menimbulkan infeksi SSP.
Kemampuan invasi SSP dipengaruhi oleh jumlah bakteri dalam darah dan
karakteristik bakteri untuk berlekatan dan menembus BBB dan BCSFB. Sebagai
contoh, N. meningitidis, S. pneumoniae, dan H. influenza berikatan dengan reseptor
laminin pada sistem kapiler dan pleksus koroid (Scheld, Whitley & Marra, 2014).

E. Multiplikasi bakteri dan inflamasi di spasium


subaraknoid dan ventrikuler
Bakteri dapat berkembang biak secara efektif di cairan serebrospinal. Di sisi lain,
respons imun innate tidak dapat segera beraksi di spasium meningeal. Tidak seperti di
aliran darah, ada atau tidaknya sel leukosit di cairan serebrospinal tidak begitu
berpengaruh untuk mengontrol bakteri. Justru peran sistem imun komplemen lebih
dominan. Oleh karena itulah salah satu prognosis buruk meningitis adalah rendahnya
faktor komplemen di cairan serebrospinal [Scheld, Whitley & Marra, 2014].

226
F. Inflamasi
Sisa-sisa bakteri yang hancur akibat autolisis maupun lisis oleh antibiotik di cairan
serebrospinal menginduksi inflamasi. Pada meningitis bakterial, terjadi peningkatan
konsentrasi TNF-a, IL-1B, IL-6, IL-8, dan IL-10 [Scheld, Whitley & Marra, 2014).
TNF-a mengakibatkan perubahan patofisiologis berupa kerusakan BBB, influks
neutrofil, peningkatan metabolisme otak, peningkatan konsumsi oksigen, dan
peningkatan aliran darah otak (cerebral blood flow). Sitokin proinflamasi IL-1(3
dihasilkan oleh fagosit mononuklear, sel glia, dan sel endotel di SSP. IL-1 bersama
TNF-a menginduksi influks neutrofil ke cairan serebrospinal. Keduanya juga akan
menginduksi sitokin sekunder seperti IL-6, IL-8, dan IL-10. IL-6 diproduksi oleh
monosit, sel endotel, dan asterosit sebagai respons terhadap IL-1J3. IL-6 menginduksi
protein fase akut, leukositosis, demam, aktivasi sistem komplemen, dan kaskade
koagulasi. IL-8 meningkatkan perlekatan neutrofil ke endotel dan invasi leukosit ke
otak. Adapun IL-10, dengan sifat antiinflamasinya akan menghambat produksi IL-1,
IL-6, dan IL-8. IL-10 mengurangi edema otak pada meningitis (Scheld, Whitley &
Marra, 2014}. Proses inflamasi akan berlanjut dan memunculkan berbagai gejala
maupun kerusakan jaringan lebih lanjut. Pembahasan mengenai kerusakan SSP lebih
lanjut dapat dilihat di bagian akhir pembahasan manifestasi klinis.

227
G. Manifestasi klinis
Gambaran klinis yang khas pada meningitis bakterial dewasa ialah adanya
infeksi saluran pernapasan atas bersama tanda-tanda meningeal, seperti nyeri
kepala, kaku kuduk, muntah, atau perubahan status mental. Gejala pada
anak-anak hampir sama (Scheld, Whitley & Marra, 2014].

228
Gejala meningitis umumnya sama untuk berbagai bakteri yang menginfeksi,
Namun ada tanda-tanda khas yang dapat mengarahkan kecurigaan ke bakteri yang
spesifik. Infeksi meningococcus dan pneumococcus ditandai dengan perjalanan
penyakit yang sangat cepat (delirium dan stupor dalam beberapa jam) (Scheld, Whitley
& Marra, 2014; Ropper, Samuels & Klein, 2014). Infeksi pneumococcus biasanya
didahului dengan infeksi paru-paru, telinga, sinus, atau katup jantung. Pada pasien
HIV, penggunaan imunosupressor, metastase kanker, kerusakan di tulang kranial
rawan mengalami infeksi Enterobacteriaceae, L. monocytogenes, A. calcoaceticus,
Pseudomonas, dan terkadang parasit (Ropper, Samuels & Klein, 2014).
Bila dikaitkan dengan patofisiologi penyakit, berikut ini adalah perjalanan gejala
yang muncul pada meningitis (Ropper, Samuels & Klein, 2014).
1. Inflamasi akut meninges
a. Pia-arachnoiditis: nyeri kepala, kaku kuduk, Kernig dan
Brudzinsky Sign positif
b. Subpial encephalopathy: stupor, koma, confusion, dan kejang
c. Inflamasi atau gangguan vaskular radiks saraf kranialis:
kelumpuhan otot okuler, kelemahan wajah, dan penurunan
pendengaran
d. Trombosis vena meningeal: kejang fokal, defek serebri fokal
seperti hemiparesis dan afasia.
e. Herniasi hemisfer serebrum atau serebelum: ditandai
dengan quadriplegia dan tanda kompresi batang otak-saraf
kranial III.
2. Kondisi subakut dan kronis meningitis
a. Hidrosefalus: diawali dengan adanya eksudat di sekitar dasar otak, diikuti dengan
fibrosis meninges, dan terkadang stenosis aqueduktus
b. Efusi subdural: gangguan kesadaran pada anak, tidak mau
makan, muntah, dan demam berkepanjangan meskipun
cairan serebrospinal sudah jernih
c. Infark akibat sumbatan vena maupun arteri: hemiplegi
unilateral maupun bilateral, rigiditas abnormal, stupor atau
coma.
3. Efek atau komplikasi lambat
a. Fibrosis meningeal di sekitar saraf optikus, dan sumsum
maupun radiks saraf tulang belakang: kebutaan dan atrofi
optik, spastik paraparesis dengan gangguan sensoris di
segmen bawah tubuh
b. Meningoensefalitis kronis dengan hidrosefalus: demensia,

229
stupor atau koma, dan paralisis
c. Hidrosefalus persisten pada anak: kebutaan, gangguan
aktivitas mental, dan hemiplegia spastik bilateral.
H. Penegakan diagnosis-pemeriksaan penunjang
Diagnosis meningitis dapat mudah ditegakkan bila pasien mengalami gejala-gejala
patognomonis seperti demam, kaku kuduk, dan penurunan status mental. Akan tetapi
gejala-gelaja tersebut sering tidak ditemukan pada banyak pasien. Trias klasik hanya
ditemukan pada 44% pasien [van de Beek era/., 2004)
Pemeriksaan laboratorium membantu menunjukkan etiologi meningitis dan
sepsis, khususnya untuk membedakan penyebab bakteri atau virus. Selain itu,
pemeriksaan penunjang dapat menunjukkan terapi yang sensitif bagi pasien, serta
menentukan prognosis penyakit [McGill etal, 2016].
I. Analisis Cairan Serebrospinal
Beberapa parameter pemeriksaan dalam analisis cairan serebrospinal (CSS] yang dapat
menunjang diagnosis meningitis septik akut adalah sebagai berikut (Scheld, Whitley &
Marra, 2014):
1. Opening pressure
Tekanan cairan serebrospinal diukur dengan manometer pada posisi lateral
dekubitus. Peningkatan tekanan lebih dari 200 mmH20 atau 20 cmCSF
mengindikasikan infeksi bakterial.
2. Tampakan makroskopis
Cairan serebrospinal yang normal tampak jernih. Indikator infeksi bakteri pada
tampakan makroskopis adalah xanthochromia, yaitu warna kekuningan atau
kuning-jingga pada supernatan cairan serebrospinal yang telah disentrifugasi.
Xanthochromia muncul jika kadar protein >150 mg/dL.
3. Kadar glukosa
Kadar glukosa <40 mg/dL (2,2 mmoI/L) ditemukan pada 58% pasien meningitis
bakterial. Akan tetapi, false positive dapat muncul pada pasien hipoglikemia. Oleh
karena itu, indikator yang lebih valid adalah rasio kadar glukosa CSS. Rasio kurang
dari 0,31 menunjukkan kadar glukosa cairan serebrospinal yang rendah, dan
ditemukan pada sekitar 70% pasien meningitis bakterial.
4. Protein
Kadar protein >50 mg/dL dari cairan subaraknoid lumbal dan >15 mg/dL cairan
ventrikuler menunjukkan kondisi abnormal.
5. Angka leukosit
Pleocytosis yang didominasi oleh leukosit polymorphonuclear (PMN) adalah salah
satu penanda meningitis bakterial. Angka leukosit normal pada cairan serebrospinal
adalah 0-5 sel mononuklear (limfosit dan monosit] per mm 3. Dalam keadaan
normal, tidak ada PMN di cairan serebrospinal. Akan tetapi, setelah proses

230
sentrifugasi sampel cairan serebrospinal, terkadang ditemukan PMN. Cairan
serebrospinal masih dikatakan normal jika jumlah PMN pada differential count
tidak lebih dari satu dan angka leukosit total kurang dari 5 sel/mm 3.

6. Pewarnaan gram dan kultur


Pewarnaan gram dan kultur adalah cara yang cepat dan akurat untuk
mengidentifikasi bakteri penyebab infeksi. Namun, kemungkinan keberhasilan
deteksi dengan pewarnaan gram dipengaruhi oleh jumlah organisme yang ada.
Sebagian besar pewarnaan memberi hasil positif jika konsentrasi bakteri >10 5
CFU/mL.
7. Kadar laktat pada cairan serebrospinal
Adanya peningkatan kadar laktat dapat berguna untuk membedakan antara
meningitis bakterial dan non bakterial. Kadar laktat > 3,8 mmol/L
menunjukkan infeksi bakteri.

231
232
J. C-Reactive Protein (CRP) dan Procalcitonin
CRP di cairan serebrospinal maupun serum dapat membedakan antara infeksi
bakterial dan infeksi viral. Peningkatan CRP adalah penanda infeksi bakterial. Kadar
CRP yang normal di serum memiliki negative predictive value untuk infeksi bakterial
sebesar 99%.
Peningkatan kadar procalcitonin serum juga dapat membedakan infeksi bakterial
dengan infeksi viral. Dengan cutoff 0,28 ng/mL, sensitivitas dan spesifisitas
peningkatan kadar procalcitonin dalam meningitis bakterial adalah 95% dan 100%,
dengan negative predictive value 100% dan positive predictive value 97% (Scheld,
Whitley & Marra, 2014].
K. Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR cairan serebrospinal berguna untuk menentukan bakteri spesifik penyebab
infeksi. Metode ini memiliki sensitivitas 87-100% dan spesifisitas 98-100% (McGill
era/., 2016}.
L. Swab Nasofaring
Bakteri meningococcus dari nasofaring pasien dijumpai lebih dari 50% pasien
meningitis. Ketika pasien menggunakan antibiotik, hasil nasal swab positif meskipun
kultur darah dan cairan serebrospinal negatif [McGill et ah, 2016).
M. Neuroimaging
Pada fase akut meningitis bakterial, hasil computed tommography scan (CT scan)
dapat normal atau menunjukkan penebalan meninges dan ependyma dengan pelebaran
sisterna dan sulkus otak karena akumulasi eksudat. Akan tetapi, abnormalitas CT scan
hanya memberi sedikit kontribusi untuk diagnosis meningitis. Neuroimaging, baik
dengan CT scan maupun magnetic resonance imaging (MRI] berguna untuk
mengeksklusi proses patologis lain dan investigasi komplikasi meningitis. MRI seperti
halnya CT scan, berguna untuk mengevaluasi komplikasi meningitis bakterial,
misalnya subdural empyemas, infark kortikal, dan area cerebritis, ketiga hal tersebut
lebih terbaca di MRI daripada CT. Pemeriksaan MRI lebih sulit dikerjakan
pada pasien kritis, sehingga
dipertimbangkan untuk dilakukan CT scan.CT scan dapat membantu
evaluasi pada beberapa keadaan berikut [Scheld, Whitley &Marra, 2014):
1. Demam berlanjut beberapa hari seteleh penggunaan antibiotik
2. Demam yang muncul kembali setelah hilang (demam sekunder)
3. Koma berkepanjangan
4. Se/zure/kejang yang baru muncul atau se/zi/re/kejang berulang
5. Tanda peningkatan tik
6. Defisit neurologis fokal

233
N. Tata Laksana 1. Terapi
Antibiotik
Pemberian antibiotik pada pasien meningitis dilakukan dalam tiga tahap:
1] terapi empiris berdasarkan kecurigaan klinis,
2] terapi berdasarkan pewarnaan gram cairan serebrospinal,
3) terapi berdasarkan kultur bakteri di cairan serebrospinal [McGill
etal, 2016].
a. Terapi Empiris
Terapi antibiotik empiris diberikan kepada pasien suspek meningitis maupun
meningococcal sepsis.

234
• Terapi lini pertama ialah seftriakson 2 gram/12 jam IV atau cefotaxim 2 gram/6
jam IV. Jika pasien alergi penisilin maka diberikan chloramphenicol
25mg/kgBB/6 jam IV dan dexamethasone 10 mg/6 jam IV.
• pada pasien yang setidaknya 6 bulan terakhir tinggal di negara dengan angka
resistensi pneumokokus terhadap penisilin yang tinggi, perlu ditambahkan
vancomycin 15-20 mg/kgBB/12 jam IV atau rifampicin 600 mg/12 jam IV atau
per oral.
• pasien berusia >60 tahun perlu mendapat tambahan amoxicillin atau ampicillin 2
gram/4 jam IV, di samping sefalosporin. Pasien dengan terapi chloramphenicol
(memiliki riwayat alergi sefalosporin atau penisilin] diberi tambahan terapi
co-trimoxazole 15-20mg/kgBB (komponen trimethropim] dibagi 4 dosis per
hari.
• pasien dengan kondisi immunocompromised (termasuk pasien diabetes dan
pasien dengan riwayat penyalahgunaan alkohol] perlu mendapat tambahan
amoxicillin atau ampicillin 2 gram/4 jam IV, di samping sefalosporin (McGill
etal, 2016].
Berikut ini algoritma pemberian terapi empiris pada meningitis bakterial.

235
236
237
238
239
2. Terapi adjuvan
Dexamethasone disarankan untuk diberikan sebagai terapi adjuvan.
Pemberian dexamethasone dan antibiotik yang sesuai, serta didukung
oleh terapi suportif yang optimal dapat menurunkan angka mortalitas dan
morbiditas meningitis bakterial (van de Beek etal, 2004). Dosis
dexamethasone yang disarankan adalah 10 mg/6 jam IV, dimulai sebelum
maupun bersama dengan dimulainya antibiotik (McGill etal, 2016].
Pemberian terapi agen hiperosmolar seperti gliserol, mannitol, dan
larutan salin hipertonis tidak disarankan karena kurang kuatnya bukti
klinis. Sebuah RCT yang menguji penggunaan gliserol pada orang
dewasa dihentikan karena tingkat mortilitas yang lebih tinggi pada
kelompok terapi daripada kontrol (vande Beek etal, 2016).
Penggunaan terapi hipotermia yang diharapkan berefek neuroprotektif
pada terapi meningitis tidak disarankan. Sebuah RCT dihentikan lebih
awal karena tingginya angka mortalitas pada kelompok terapi hipotermia.
(van de Beek et or/., 2016).
O. Komplikasi
Perjalanan penyakit meningitis dapat disertai dengan berbagai komplikasi,
baik sistemik maupun neurologis. Penyebab komplikasi didiagnosis dengan
pemeriksaan fisik, neurologis, dan pemeriksaan penunjang jika diperlukan.
Kewaspadaan terhadap timbulnya komplikasi diperlukan agar penanganan
komplikasi dapat segera dimulai. Tabel berikut ini menunjukkan komplikasi
yang sering pada pasien meningitis dewasa.

240
Adapun komplikasi yang sering pada neonatus adalah
sebagai berikut.

P. Prognosis
Prognosis perlu dirumuskan untuk identifikasi pasien dengan risiko tinggi.
Pada pasien dengan prognosis buruk, diagnosis maupun terapi perlu diberikan
dengan lebih cepat dan tepat untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas.
Berikut ini beberapa faktor prognosis yang telah ditemukan signifikan
terhadap outcome pasien:
1. Usia lanjut
Beberapa studi telah mengemukakan pengaruh usia terhadap outcome
meningitis meskipun menggunakan cut off usia yang berbeda-beda. Usia
yang lebih lanjut memiliki prognosis yang lebih buruk dalam hal
komplikasi maupun kematian. (van de Beek et al, 2004; Mendizabal et al,
2013).
2. Tanda-tanda sepsis
Adanya tanda-tanda sepsis merupakan faktor prognosis untuk kematian
akibat meningitis. Dyspnea (OR 4,03, tanda syok (OR

241
2,73], dan perubahan status mental (OR 3,65] merupakan faktor prognosis yang
bermakna (p <0,05]. (Mendizabal et al, 2013].
3. Rendahnya jumlah leukosit pada cairan serebrospinal dan
darah
Rendahnya jumlah leukosit pada cairan serebrospinal kemungkinan berkaitan
dengan jumlah bakteri yang sangat tinggi dan kurangnya respons leukosit terhadap
infeksi bakteri di cairan serebrospinal (van de Beek et al, 2004]. McGill et al.
(2016] mengemukakan bahwa jumlah leukosit yang normal atau rendah di darah
perifer merupakan prognosis outcome yang fatal.
4. Trombositopenia dan peningkatan Kecepatan Endap Darah
(KED].
Trombositopenia dan peningkatan KED adalah faktor prognosis untuk mortalitas
pada meningitis. Trombositopenia dan peningkatan KED dapat menjadi tanda
systemic inflammatory response syndrome (SIRS] (van de Beek et al, 2004].
5. Jenis bakteri
Jenis bakteri yang menginfeksi juga berpengaruh terhadap outcome meningitis.
Jumlah outcome buruk pada infeksi S. pneumoniae enam kali lebih banyak daripada
infeksi oleh N. meningitidis (95%CI: 2,61-13,91; p <0,05] (van de Beek et al, 2004].
Sementara itu hasil kultur darah dan proteinorrachia tidak berpengaruh signifikan
terhadap ouctome pasien (Mendizabal eto/., 2013].
Daftar Pustaka
1. McGill, F., Heyderman, R.S., Michael, S.D., Beeching, N.J., Borrow, R., Glennie,
L., et al. (2016]. The UK joint specialist societies guideline on the diagnosis and
management of acute
meningitis and meningococcal sepsis in immunocompetent adults. Journal of
Infection, 72, 405-438.
2. Mendizabal, M.d.F.MA, Bezerra, P.C., Guedes, D.L., Cabral, D.B.C., and
Miranda-Filho, D.d.B. (2013), Prognostic indicators in bacterial meningitis: a
case-control study. The Brazilian Journal of Infectious Diseases, 17(5), 538-544.
3. Ropper, A.H., Samuels, MA, Klein, J.P. (2014). Adams and Victor's Principles of
Neurology. 10th ed. US, McGraw-Hill.
4. Scheld, W.M., Whitley, R.J., Marra, CM. (2014). Infections of the Central Nervous
System. 4th ed. Philadelphia, Wolters Kluwer Health.
5. Thigpen, M.C., Whitney, C.G., Messonnier, N.E., Zell, E.R., Lynfield, R., Hadler,
J.L., et al. (2011). Bacterial Meningitis in the United States, 1998-2007. The New
England Journal of Medicine, 364 (21), 2016-2025.
6. van de Beek, D., Cabellos, C, Dzupova, O., Esposito, S., Klein, M., Kloek, A.T., et
al. (2016). ESCMID guideline: diagnosis and treatment of acute bacterial

242
meningitis. Clinical Microbiology Infection, 22, 37-62.
7. van de Beek, D., de Gans, J., Spanjaard, L., Weisfelt, M., Reitsma, J.B., and
Vermeulen, M. (2004). Clinical Features and Prognostic Factors in Adults with
Bacterial Meningitis. The New England Journal of Medicine, 351 (18), 1849-1859.

243
BAB 11

NEURO-AIDS
Darma Imran Kartika Maharani Riwanti Estiasari

244
NEURO-AIDS
I. KERANGKA MODUL
A. Kompetensi
Melakukan konseling dan tes HIV dalam bentuk Konseling dan Tes Atas
Inisiasi Petugas (KTIP] dan serta diagnosis dan tata laksana neuropati HIV dan
gangguan kognitif pada HIV.
B. Keterampilan
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memliliki
keterampilan:
1. Mampu memberikan Konseling HIV dan Tes Atas Inisiasi Petugas (KTIP)
2. Mampu menginterpretasi hasil tes HIV dan melakukan edukasi pada pasien dan
atau keluarga
3. Mampu membuat diagnosis dan tata laksana gangguan
neuropati sensorik distal pada HIV
4. Mampu membuat diagnosis dan tata laksana gangguan kognitif pada HIV
Persiapan Sesi

C. Tujuan Pembelajaran
1. Mampu melakukan KTIP
2. Mampu interpretasi dan edukasi hasil tes HIV
3. Mampu membuat diagnosis dan tata laksana neuropati sensorikpada
HIV
4. Mampu membuat diagnosis dan tata laksana gangguan kognitif pada HIV
D. Metode Pembelajaran
1. Diskusi dan kuliah dalam kelas
2. Praktek klinik HIV
E. Contoh Kasus Pembelajaran

245
Kasus 1: KTIP pada tersangka Meningitis
Seorang wanita berusia 26 tahun yang bekerja sebagai perawat datang ke ruang
gawat darurat rumah sakit dengan diantar keluarganya dengan masalah gaduh gelisah.
Menurut penuturan keluarga yang mengantar, pasien ini sejak 1 hari yang lalu marah
dan bicara tidak jelas artinya. Pasien mengalami demam dan sakit kepala sejak 12 hari
yang lalu namun demam dan sakit kepalanya reda setelah minum obat panadol.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
1. Tekanan darah 110/70 mmHg ; Nadi 114 x/menit T 38° C ; RR 20 x/menit
2. Kesadaran : E4M6V3=13 ; somnolen
3. Pupil bulat isokor refleks cahaya langsung positif + + cepat
4. Kaku kuduk: ada
5. Pemeriksaan motorik kesan simetrik
6. Apakah masalah atau diagnosis pada pasien ini ?
7. Apa pemeriksaan penunjang yang direncanakan?

Diskusi:
1. Pasien ini didiagnosis sebagai meningitis kronik
2. Dalam rangka mencari etiologi meningitis kronik dokter di ruang gawat darurat
merencanakan beberapa pemeriksaan berikut (sesuai dengan urutan):
a. Pemeriksaan laboratorium dasar (darah perifer, gula darah
sewaktu, ureum-creatinin dan elektrolit)
b. Pemeriksaan serologi "TORCH" yang terdiri dari IgG dan
IgM Toxoplasma, Rubella, Herpes dan CMV.
c. CT scan otak dengan kontras
d. Lumbal pungsi
e. TesHIV
3. Pertanyaannya bagaimana memilih pemeriksaan dan skala
prioritasnya.
a. Pemilihan prioritas pemeriksaan penunjang sering kali berdasarkan pada aspek
biaya, kemampuan menyingkirkan diagnosis dan sifat invasif dari pemeriksaan
tersebut.
4. Bagaimana mengkomunikasikan perlunya pemeriksaan HIV
pada pasien dan keluarga.
a. Apakah perlu dicari terlebih dahulu faktor risiko infeksi HIV seperti hubungan
seksual yang tidak aman dan lain Sebagainya sebagai alasan untuk meminta tes

246
HIV?
Kasus 2 : Kasus painfull neuropati pada HIV
Seorang laki-laki, 46 tahun, datang ke poliklinik saraf dengan keluhan baal dan
rasa panas di kedua kaki sejak 1 tahun yang lalu. Pasien didiagnosis HIV positif sejak 5
tahun, minum obat antiretroviral lini 1 (tenofovir, lamivudine, efavirenz) sejak
terdiagnosis, namun berhenti minum obat karena bosan sejak 2 tahun SMRS. CD4
terakhir 90sel/mm3, viral load 5.000 kopi/mm3. Pasien menyangkal penggunaan
alkohol dan riwayat diabetes mellitus. Saat ini pasien datang karena mengalami
gangguan tidur akibat nyeri yang ditimbulkan, terutama saat malam hari.
Diskusi:
Apakah data tambahan, terutama faktor risiko yang perlu ditanyakan dalam
anamnesis?
1. Pemeriksaan fisik apa yang perlu dilakukan pada pasien?
2. Apakah diagnosis dan diagnosis banding pasien ini?
3. Pemeriksaan penunjang apa yang direncanakan dan apa hasil yang diharapkan?
4. Apa tata laksana yang akan diberikan pasien ini?
5. Faktor-faktor apa saja yang menentukan prognosis buruk pasien ini?
Kasus 3 : Gangguan kognitif pada pasien HIV dalam terapi ARV
Seorang pria berusia 57 tahun dirujuk dari klinik HIV ke poliklinik saraf karena
sering gangguan kognitif.
Pasien ini merupakan pasien HIV yang sudah menggunakan terapi ARV sejak 5
tahun yang lalu dan memiliki adherence yang baik. Menurut pasien keluhan sudah
sering lupa-lupa sejak 2 tahun terakhir namun belakang dirasakan makin mengganggu.
Diskusi:
1. Bagaimana melakukan pendekatan pada pasien ini?
2. Faktor apa saja yang mungkin berhubungan dengan gangguan kognitif pada pasien
ini?.
3. Pemeriksaan penunjang apa yang dapat dilakukan untuk menetapkan diagnosis dan
mencari penyebab gangguan kognitif pada pasien ini?

F. Rangkuman
1. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik
neurologis, pemeriksaan penunjang, diagnosis klinik, topis, etiologi, patologi
anatomi dan diagnosis banding.
2. Kompetensi pengobatan dicapai dengan cara keragaman epidemiologi berdasarkan
usia, pungsi lumbal, dan empiris.
G. Evaluasi
Penilaian kompetensi:

247
1. Hasil observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
2. Kemampuan memberikan "informed consent" tes HIV
3. Pre-test dan post-test
4. Ujianteori
5. Ujianpasien
6. MCQdanOSCE

II. MATERI BAKU NEURO-AIDS


A. Pendahuluan
HIV [Human Immunodeficiency Virus) merupakan suatu retrovirus yang memiliki
kemampuan memicu disfungsi sistem saraf pusat dan perifer. Pada awal epidemi
AIDS di tahun 1980 perhatian utama pada aspek infeksi oportunistik dan gangguan
imunologi, namun dengan makin meningkatnya kasus, disadari bahwa komplikasi
pada sistem saraf merupakan hal yang banyak dijumpai. Komplikasi pada sistem saraf
didapatkan pada lebih dari 50% pasien HIV selama hidupnya (1).
Terdapat dua kelompok utama penyakit pada sistem saraf terkait HIV yaitu
penyakit oportunistik dan komplikasi primer sistem saraf. Istilah NeuroAIDS
digunakan untuk sekelompok gangguan pada ODHA yang disebabkan oleh
komplikasi primer (1). Walaupun demikian kadangkala istilah NeuroAIDS juga kerap
digunakan juga untuk penyakit oportunistik pada sistem saraf (komplikasi sekunder).
Penyakit oportunistik karena gangguan sistem kekebalan selular, yang sering
dijumpai adalah toksoplasmosis otak, meningitis tuberkulosis, meningitis
kriptokokus, ensefalitis sitomegalovirus, infeksi herpes zoster, neurosifilis, limfoma
primer sistem saraf pusat dan progressive multifocal leukoencephalopathy.
Komplikasi primer yang dianggap merupakan akibat langsung infeksi HIV pada
sistem saraf, patologi tersering yang dijumpai adalah neuropati HIV, gangguan
kognitif pada HIV dan mielopati HIV
Epidemiologi NeuroAIDS di dunia mengalami banyak perubahan dalam 20
tahun terakhir setelah dimulainya pengobatan ARV, walaupun demikian spektrumnya
tidak banyak be rub ah.
Perubahan epidemiologi meningitis akibat infeksi HIV di Indonesia pertama
kali dilaporkan di Bandung pada tahun 2008 [2]. Pada studi tersebut didapatkan
proporsi HIV positif 25% dari kohort 185 pasien meningitis dan angka kematian 6
bulan 25.6% pada HIV negatif dan 62.8% pada HIV positif. Studi kohort di

248
Jakarta pada tahun 2015 yang mengikutsertakan tidak hanya kasus meningitis namun
semua kasus infeksi otak mendapatkan proporsi HIV positif 54% dari 274 pasien dan
angka kematian 6 bulan 45% pada HIV negatif dan 71% pada HIV positif (3).
Pada modul ini akan dibahas konseling dan diagnosis HIV, neuropati HIV dan
gangguan kognitif terkait HIV. Penyakit infeksi oportunistik terkait infeksi HIV
seperti Toksoplasmosis otak, meningitis TB dan meningitis kriptokokus sudah dibahas
pada bagian lain dari modul ini.
B. Konseling HIV
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia diperkirakan hingga tahun 2016
ada 622.000 orang dengan HIV AIDS (ODHA) di Indonesia (4). Prevalensi HIV di
Indonesia tergolong rendah, namun jumlah ODHA negara kita menduduki peringkat
ketiga terbesar di Asia Pasifik (5). Indonesia bersama negara lain di dunia bertekad
untuk melakukan program/ast track 90-90-90, yaitu mendeteksi HIV pada 90% orang
yang diperkirakan terinfeksi, memberikan terapi antiretroviral (ARV) dini pada 90%
orang yang terinfeksi, serta mampu mencapai kedaan virus tak terdeteksi pada 90%
orang yang minum ARV (6). Pendekatan/ast track bertujuan menurunkan angka
infeksi baru HIV secara tajam, sesuai dengan capaian pembangunan berkelanjutan atau
Sustainable Development Goals (SDGs)(7). Pencapaian fast track di Indonesia pada
tahun 2016, deteksi HIV pada orang yang terinfeksi diperkirakan baru tercapai 35%
dan yang mendapatkan terapi ARV 22% (8). Cakupan deteksi HIV pada orang yang
terinfeksi hasilnya belum cukup memuaskan, hal ini ditengarai terutama karena
kesadaran tentang HIV yang masih rendah. Suatu survei yang dilakukan pada dokter
spesialis saraf di Indonesia pada tahun tahun 2017 melaporkan bahwa tes HIV belum
menjadi standar pada kasus infeksi otak [9).
Dokter spesialis saraf berperan memperbaiki capaian target penanggulangan
HIV karena berbagai komplikasi pada sistem saraf sering kali merupakan
pintu masuk untuk tes HIV.
Pengobatan infeksi otak terkait HIV sering kali merupakan langkah
pertama yang harus dilakukan sebelum mulai terapi ARV
Terdapat dua macam konseling untuk tes anti-HIV:
1. Voluntary Counseling and Testing (VCT] atau Konseling dan Tes Sukarela (KTS).
Konseling yang dilakukan atas dasar permintaan seorang klien untuk mengetahui
faktor risiko dan status HIV-nya.
2. Provider-initiated Testing and Counseling (PITC] atau Konseling dan Tes Atas
Inisiasi Petugas (KTIP). Konseling yang dilakukan atas dasar inisiasi tenaga
kesehatan pada pengunjung fasilitas kesehatan, utamanya dilakukan adanya gejala
klinis yang dicurigai berhubungan dengan infeksi HIV pada berbagai stadium.
Kebijakan pemerintah untuk layanan kesehatan adalah menerapkan Provider

249
Initiated Testing and Counseling (PITC] yang berarti semua petugas kesehatan apapun
profesinya sangat direkomendasikan untuk menawarkan testing HIV (10). Testing
setidaknya ditawarkan pada ibu hamil, penderita TB, pasien yang menunjukkan gejala
infeksi oportunistik (Stadium klinis WHO], pasien dari kelompok berisiko (penasun
(pengguna narkoba suntik], PSK (pekerja seks komersial], LSL (lelaki seks dengan
lelaki] (11].
Pada masa lalu diagnosis HIV sering kali hanya dianggap sebagai stigma saja
karena tidak ada akses untuk mendapatkan pengobatan. Saat ini sudah jauh berbeda,
penegakan diagnosis HIV merupakan pintu masuk untuk mendapat terapi ARV yang
selanjutnya dapat mengembalikan kehidupan ODHA seperti semula.
Secara internasional proses untuk menegakkan diagnosis HIV harus mengikuti
prinsip 5 C (informed Consent; Confidentiality, Counseling; Correct test results;
Connections to care, treatment and prevention services) (11]. Hasil tes HIV bersifat
rahasia, hanya boleh diketahui oleh yang bersangkutan, tenaga kesehatan yang
menangani, keluarga terdekat dalam hal yang bersangkutan tidak cakap (misalnya
kesadaran menurun), pasangan seksual dan pihak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Konseling dan Tes Atas Inisiasi Petugas (KTIP) adalah tes HIV dan konseling
yang dilakukan pada seseorang untuk kepentingan kesehatan dan pengobatan
berdasarkan inisiatif dari pemberi pelayanan kesehatan. KTIP dapat dilakukan oleh
semua petugas kesehatan yang terlatih. Pada proses KTIP diberikan informasi singkat
dan mudah dipahami tentang tujuan dan manfaat tes HIV. Tujuan tes HIV atas inisiasi
petugas kesehatan adalah untuk menajamkan diagnosis banding. Beberapa penyakit
yang sering didapatkan pada pasien HIV berbagai stadium dapat dilihat pada tabel
1(11)
Tes HIV memerlukan persetujuan (inform consent) pasien atau keluarga yang
mewakili bila yang bersangkutan tidak cakap. Persetujuan lisan (verbal inform
consent) sudah cukup untuk melakukan tes HIV. Dalam hal pasien atau keluarga
menolak untuk dilakukan tes HIV maka pasien diminta untuk melakukan penolakan
secara tertulis dengan menandatangani formulir penolakan (10).
C. Tes HIV
Ada tiga kesimpulan yang diambil dari hasil tes HIV, yaitu HIV negatif, HIV positif
dan HIV inkonklusif.
Diagnosis HIV ditegakkan dengan menggunakan pemeriksaan serologis. Tes
serologis yang sering digunakan adalah Rapid immunochromatography test (tes cepat)
dan EIA (Enzyme immunoassay).
Pada Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata laksana HIV (PNPK-HIV
2019) diagnosis HIV ditegakkan sebagai berikut (12):

250
1. Secara serologis menggunakan tiga metode atau tiga reagen berbeda dan ketiganya
menunjukkan hasil reaktif.
2. Untuk daerah prevalensi rendah seperti Indonesia, diagnosis HIV dikatakan
inkonklusif apabila dua tes mendapatkan hasil reaktif namun tes ketiga didapatkan
hasil non reaktif.
3. Pada keadaan di mana tes HIV pertama reaktif namun tes kedua dan ketiga belum
dilakukan maka status HIV belum terkonfirmasi. Penyedia layanan kesehatan wajib
menjelaskan bahwa hasil yang didapat bukan merupakan diagnosis HIV dan pasien
secepatnya dirujuk untuk mendapatkan tes kedua dan ketiga.

Pemeriksaan virologis kuantitatif atau kualitatif juga dapat menegakkan


diagnosis HIV, namun pemeriksaan ini lebih banyak

251
digunakan secara kuantitatif untuk memantau respons pengobatan [pemeriksaan viral
load).
D. Neuropati HIV
Infeksi HIV dapat menimbulkan berbagai macam sindrom gangguan saraf perifer,
namun bentuk yang terbanyak dijumpai adalah polineuropati simetrik distal (PSD)
(13). Prevalensi neuropati HIV sangat bervariasi, antara 21-60%, dan hal ini
diperkirakan akibat perbedaan definisi dan metode diagnosis yang digunakan, baik
hanya menggunakan gejala klinis atau instrumen skrining tervalidasi. Namun angka
tersebut diperkirakan masih lebih rendah daripada seharusnya (14,15).
Dalam klinik ada dua tipe PSD yaitu yang disebabkan oleh HIV dan produknya
(PSD-HIV) dan yang disebabkan oleh antiretroviral toxic neuropathy (ATN-HIV).
PSD-HIV banyak dijumpai di era sebelum antiretroviral digunakan secara luas,
biasanya timbul pada pasien HIV stadium lanjut. Pada awalnya ATN-HIV terjadi pada
pasien yang menggunakan obat stavudine, didanosine dan zalcitabine yang merupakan
golongan nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs), namun kemudian juga
dilaporkan pada penggunaan ARV tipe yang lain. Secara klinis kedua bentuk ini
sebagian besar memberikan gejala dan tanda yang sama, yaitu polineuropati sensorik
yang bersifat simetrik pada bagian distal ektremitas.
1. Patogenesis
Terdapat dua mekanisme neurotoksisitas pada neuropati HIV, yaitu toksisitas direk
HIV terhadap neuron, dan toksisitas indirek melalui respons inflamasi dan produk
protein virus. Efek toksisitas direk ditentukan oleh status imunosupresi, yang
direfleksikan dengan rendahnya hitung CD4 dan tingginya viral load, merupakan
faktor risiko utama kejadian neuropati pada HIV(15,16). Tingginya viral load yang
dideteksi atau rendahnya hitung CD4 absolut pada pasien menandakan tingginya
aktivitas infeksi HIV dan semakin toksik terhadap sel neuron.
Bukti terkuat efek neurotoksisitas indirek pada susunan saraf perifer adalah melalui
peran dari glikoprotein 120 (gpl20). Gpl20 yang merupakan glikoprotein yang
diekspresikan pada permukaan selubung HIV. Secara in vitro, gpl20 dapat
menginduksi lisis sel saraf pada sel-sel ganglion akar dorsal dan mengaktivasi
makrofag, yang kemudian pelepasan mediator inflamasi yang bersifat neurotoksik,
seperti TNF-alfa dan interleukin-l, berakibat pada kematian sel neuron melalui
mekanisme neurotoksisitas yang dimediasi oleh TNF reseptor. Sedangkan secara in
vivo, aplikasi gpl20 pada nervus isiadikus hewan coba menyebabkan infiltrasi
makrofag dan edema saraf.
Sebagai tambahan, saat ini didapatkan bukti adanya kerusakan DNA mitokondria
yang lebih berat pada pasien HIV dengan PSD. Derajat kerusakan mitokondria pada
bagian distal nervus suralis lebih berat dibandingkan bagian proksimal dekat

252
dengan ganglion akar dorsal. Distribusi ini yang diperkirakan menjadi dasar
mekanisme fenotip klinis neuropati yang bersifat length-dependent,
Neuropati juga merupakan salah satu efek samping yang diakibatkan oleh
penggunaan NRTIs, seperti stavudin, didanosin, zalcitabin. Meskipun
penggunaannya mulai ditinggalkan karena tingginya angka neuropati yang
ditimbulkan, namun beberapa negara miskin maskin mengggunakan NRTIs,
terutama stavudin, karena murah dan banyak tersedia. Toksisitas akibat NRTIs juga
diperkirakan akibat efek toksik terhadap mitokondria. NRTIs dapat mempengaruhi
fungsi enzim gama polimerase yang mengakibatkan deplesi atau perubahan
kualitatif DNA mitokondria, yang berakhir pada gangguan fungsi mitokondria (17).
2. Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor risiko yang meningkatkan angka kejadian neuropati pada
HIV yaitu usia, jenis kelamin, tinggi badan, indeks massa tubuh, efek toksik obat
lain seperti isoniazid dan infeksi virus sitomegalo (15,18) , Hitung CD4 pada era
pemberian ARV sepertinya tidak banyak berpengaruh terhadap kejadian neuropati
(15), namun beberapa bukti menunjukkan rendangnya CD4 nadir juga menjadi
faktor risiko neuropati. Faktor metabolik seperti diabetes mellitus dan konsumsi
alcohol juga dapat menyebabkan neuropati.
3. Gejala klinis
PSD HIV melibatkan serabut saraf besar dan serabut saraf kecil, walaupun demikian
manifestasi klinis yang dijumpai lebih banyak memperlihatkan proses patologi pada
serabut saraf kecil. Serabut saraf besar, merupakan serabut saraf bermielin, dan
terdiri dari serabut saraf A alfa dan A beta, dan memiliki fungsi terhadap kekuatan
kontraksi otot, sensasi raba halus, vibrasi/getaran, dan proprioseptif atau rasa posisi.
Serabut ini juga mengatur mengenai refleks tendon yang umumnya ditemukan
menurun pada pasien dengan neuropati. Sedangkan serabut saraf kecil merupakan
serabut saraf yang memiliki diameter lebih kecil dari 7 \im, dan terdiri dari serabut
saraf A5 yang bermielin dan serabut saraf C yang tidak bermielin. Serabut ini
memiliki jumlah yang jauh lebih banyak daripada serabut saraf besar dan
merupakan serabut saraf yang lebih dahulu dan paling banyak terkena (19).
Gejala PSD HIV, sesuai namanya, umumnya bersifat distal, simetris, dan
predominan mengenai saraf sensorik. Pasien umumnya baru berobat setelah muncul
gejala. Namun diperkirakan angka neuropati asimtomatik sebenarnya cukup tinggi
dan banyak yang tidak terdiagnosis. Gejala utama yang muncul ialah menurun atau
absennya refleks achiles dan penurunan sensasi vibrasi dan pinprick pada
ekstremitas bawah. Munculnya kelemahan atau atrofi sebagai manifestasi lanjut
neuropati dapat terjadi, meskipun sangat jarang. Pasien dapat bersifat asimtomatik
saat gejala ini ditemukan. Sedangkan keluhan yang dapat ditemui antara lain rasa

253
tebal, kesemutan, atau nyeri pada distribusi stocking-glove. Nyeri neuropati yang
muncul ialah akibat kerusakan serabut saraf kecil yang memberikan manifestasi
positif, yaitu parestesi dan nyeri, gangguan sensasi, suhu dan disfungsi otonom.
Nyeri diduga karena degenerasi pada fasikulus grasilis dan hilangnya akson
sensorikbagian distal.
4. Diagnosis
Neuropati HIV dapat didiagnosis berdasarkan pemeriksaan klinis, dengan alat bantu
diagnostik, hingga biopsi kulit sebagai standar baku emas diagnosis. Pada
pemeriksaan klinis dapat dijumpai keluhan nyeri neuropatik, gangguan sensorik,
serta gangguan refleks, sensasi vibrasi, hingga disekuilibrium dan gangguan
motorik pada neuropati berat. Sedangkan alat bantu diagnostik yang digunakan
dapat berupa instrumen skrining tervalidasi, pemeriksaan elektrofisiologi, dan
stimulated skin wrinkling test yang akan dijelaskan kemudian.
Brief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS) yang dikembangkan oleh AIDS
Clinical Trials Group (ACTG) merupakan instrumen sederhana dan mudah
digunakan untuk skrining neuropati. BPNS terdiri dari 3 keluhan subjektif dan 2
temuan objektif pemeriksaan neurologi, yaitu. adanya sensasi nyeri atau rasa
terbakar di tungkai dan kaki, parastesi di tungkai dan kaki dan sensasi baal dan tebal
di tungkai dan kaki dan adanya gangguan sensasi vibrasi pada distal ibu jari kaki dan
maleolus dan penurunan refleks achiles (20,21).
Pada neuropati HIV pemeriksaan elektroneurografi sering kali menunjukkan
gambaran patologi pada serabut saraf besar berupa penurunan amplitudo disertai
dengan penurunan KHS (kecepatan hantar saraf) saraf sensorik atau sensory nerve
action potential (SNAP). Walaupun demikian perlu diingat bahwa pemeriksaan
elektroneurografi tidak selalu memperlihatkan kelainan bila patologi utama hanya
pada serabut saraf kecil. Pemeriksaan Stimulated Skin Wrinkling (SSW) merupakan
pemeriksaan sederhana yang melihat adanya vasokonstriksi di kulit, akibat
perangsangan serabut saraf simpatis post-ganglion. Pemeriksaan ini
memperlihatkan proses patologi pada serabut saraf kecil memiliki korelasi terhadap
penurunan densitas serabut saraf intraepidermal yang banyak dijumpai pada
neuropati HIV (22,23).
Hasil biopsi kulit dan saraf sebagai standar baku emas diagnosis neuropati dapat
menunjukkan adanya penurunan densitas serabut saraf bebas dan edema terminal
saraf. Derajat kerusakan saraf berkorelasi dengan nyeri neuropatik yang muncul.
Biopsi saraf lebih jarang dikerjakan karena lebih invasif, namun perlu dipikirkan
pada pasien dengan manifestasi neuropati yang atipikal, progresif, dan predominan
saraf motorik.

254
5. Terapi
Sebagian besar kasus PSD pada HIV bersifat subklinis, namun adanya keluhan
nyeri akan menimbulkan masalah yaitu dapat mempengaruhi kualitas hidup dan
mengaruhi adherence terhadap pengobatan ARV. Terapi yang dipilih pada PSD
HIV umunya terapi simtomatik untuk mengatasi nyeri neuropatik yang dialami
pasien. Obat yang sering digunakan antara lain gabapentin, pregabalin, dan
lamotrigin. Adjuvan nyeri berupa antidepresan juga sering ditambahkan, seperti
amitriptilin atau duloksetin. Namun hingga saat ini, nyeri neuropatik yang muncul
pada HIV sangat sulit diatasi. Masih dikembangkan berbagai uji klinik untuk
mengatasi nyeri pada PSD HIV. Tiga jenis pengobatan yang memperlihatkan
efektivitas dalam uji klinik adalah capsaicin topikal, cannabis and preparat Nerve
Growth Factor [24].
E. HIV-Associated Neurocognitive Disorders (HAND)
Salah satu komplikasi HIV yang sering ditemui ialah gangguan kognitif. Meskipun
pemberian obat antiretroviral (ARV) sudah menurunkan angka gangguan kognitif
yang progresif dan berat, namun studi di seluruh dunia masih menunjukkan rendahnya
performa kognitif pasien HIV bila diperiksa dengan instrumen neurokognitif. Faktor
yang berkontribusi adalah toksisitas direk HIV ke sistem saraf pusat, adanya kondisi
komorbid seperti infeksi oportunistik SSP, toksisitas ARV, serta diperkirakan adanya
proses inflamasi yang juga berkorelasi dengan kejadian gangguan kognitif.
Tahun 2006, APNAC study [the Asia Pacific NeuroAIDS Consortium]
melakukan penelitian potong lintang di Asia Pasifik untuk mengetahui prevalensi
gangguan kognitif. Di Indonesia didapatkan 7 dari 61 pasien HIV yang dianalisis
mengalami gangguan kognitif (25). Pada studi ini, evaluasi kognitif terutama
ditekankan pada ranah perlambatan psikomotor. Tahun 2015, prevalensi gangguan
kognitif pada pasien HV pra-ARV dengan CD4 kurang dari 200 sel/ul di RS Cipto
Mangunkusumo didapatkan sebanyak 68% (26). Studi ini menggunakan instrumen
kognitif yang meliputi ranah atensi, memori, fungsi ekskutif, fluensi dan kecepatan
psikomotor. Sedangkan prevalensi di Afrika sebesar 35,7% namun pada pasien HIV
yang sudah dalam terapi ARV.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang virus HIV secara ringkas, patofisologi
gangguan kognitif pada HIV, pemeriksaan kognitif yang dapat dikerjakan serta
pendekatan klinis gangguan kognitif pada HIV.
Pada tahun 2006, NIH dan NINDS menghasilkan definisi konsensus penelitian
terkait HIV-associated neurovognitive impairment (HAND], terbagi menjadi 3
kelompok, yaitu seperti tercantum pada tabel 2 di bawah ini (27].

255
1. Patofisiologi HAND
Sejak diperkenalkannya ARV, neuropatologi dari gangguan kognitif HIV ini
telah mengalami perubahan. Hal ini didasarkan pada menurunnya frekuensi
ensefalitis HIV yang ditemukan pada otopsi dari 54% sebelum ARV menjadi
15% setelah era ARV. Di era pra ARV, ensefalitis dan kerusakan neuronal
memiliki peran penting pada patofisologi ini. Tentunya hal hal ini tidak dapat

256
menjelaskan disfungsi neurologis yang terjadi pada era ARV. Patofisiologi yang
mendasari gangguan kognitif HIV di era ARV lebih ditekankan pada perubahan
fungsi neuron. Tentunya hal ini akan berimplikasi pada strategi terapi yang akan
dikembangkan. Inflamasi memiliki peran yang sangat penting dalam memicu
terjadinya neurodegenerasi pada infeksi HIV. Studi patologi sebelum era ARV
memperlihatkan area yang pucat pada substansia grisea pada kasus demensia
HIV (28). Pada gejala yang lebih ringan temuan patologi disertai dengan
infiltrasi limfosit dan makrofag di perivascular. Pada kondisi lanjut akan
dijumpai kelompok makrofag berbentuk busa [foamy] dan sel berinti banyak
(multinucleated cells) di substansia grisea. Akan tetapi pada sepertiga kasus
demensia HIV temuan patologi tidak berkorelasi dengan derajat keparahan
klinis. Pada studi patologi kasus HIV yang telah mendapatkan ARV, gambaran
substansia grisea yang pucat tidak selalu ditemukan. Perubahan integritas
substansia grisea terlihat pada diffusion tensor imaging dan memburuk dengan
bertambahnya usia dan lamanya infeksi. Monosit yang teraktivasi juga memiliki
peran yang penting baik pada proses masuknya virus HIV ke dalam otak
maupun terbentuknya infeksi makrofag perivascular, mikroglia dan astrosit.
Meskipun astrosit tidak memproduksi virion pada kondisi normal, namun dapat
memproduksi non-struktural protein seperti tat, Rev dan Nefyang akan memicu
inflamasi dan kerusakan neuron. Setelah terapi ARV, meskipun virus telah
disupresi ternyata proses inflamasi tetap berlangsung. Inflamasi yang dipicu
oleh HIV akan menyebabkan proteasome menjadi immunoproteasome yang
akan menghambat regulasi protein di sel otak, mempengaruhi hemostasis selular
dan respons terhadap stress. Sehingga mengakibatkan gangguan pada neuron
dan dinamika protein sinaps yang diduga akan berkontribusi pada kejadian
gangguan kognitif. Hipotesa lainnya menyatakan inflamasi di SSP dipengaruhi
oleh microglia yang didasari oleh sirkulasi produk translokasi mikroba dari
bakteri usus dan gangguan pada mikrobiom. Selain itu inflamasi pada pasien
HIV dalam terapi ARV diduga merupakan bentuk lemah dari immune
reconstitution inflammatory syndrome.
2. Manifestasi Klinis HAND
Telah disebutkan pada bagian pathogenesis bahwa terdapat perubahan bentuk klinis
HAND pada era sebelum ARV dibandingkan dengan era ARV. Pada era sebelum
ARV, HAND sebagian besar bermanifestasi sebagai deskripsi klasik dari AIDS
dementia complex (ADC), yaitu demensia subkortikal progresif dengan perlambatan
kognitif dan motorik yang prominen, dan umumnya berakhir dengan kematian
kurang dari 1 tahun. Perubahan patologis yang muncul pada sindrom ini meliputi
atrofi difus, leukoensefalopati, nodul mikroglia, serta multinucleated giant cells

257
yang diidentifikasi sebagai HIV. Namun pada era terapi ARV, manifestasi yang
muncul lebih menampakkan keterlibatan struktur kortikal, yang bermanifestasi lebih
dominan pada gangguan memori dan fungsi eksekutif. Oleh karena itu, gejala klinis
gangguan kognitif yang muncul saat ini lebih menyerupai penyakit degeneratif lain,
seperti penyakit Alzheimer.
Pemeriksaan kognitif pada pasien HIV mengevaluasi 5 domain kognitif, yaitu :
a. Konsentrasi
b. Bahasa
c. Abstraksi-eksekutif
d. Kemampuan persepsi motorik kompleks
e. Memori

3. TerapiHAND
ANI yang merupakan gangguan kognitif ringan pada ODHA merupakan faktor
risiko untuk terjadinya perburukan kognitif pada masa yang akan datang, walaupun
demikian masih banyak faktor lain turut berperan. Faktor lain yang berperan dalam
perburukan neurokognitif pada ODHA adalah umur, gangguan kardiovaskular
(hipertensi, diabetes melitus), depresi dan penggunaan alkohol.
Terapi medis untuk HAND hingga saat ini belum ada yang memberikan hasil yang
memuaskan. Perbaikan neurokognitif menggunakan ARV yang memiliki penetrasi
yang baik ke SSP seperti maraviroc tidak memberikan hasil yang signifikan (29).
Efavirens merupakan salah satu ARV yang memiliki neurotoksisitas yang
berhubungan dengan gangguan neuropsikiatrik(30). Tata laksana memperbaiki
faktor risiko kardiovaskular dan tata laksana gangguan mental memberikan dampak
positif untuk mencegah gangguan kognitif lebih lanjut pada ODHA. (31,32]
Strategi penanganan gangguan kognitif pada ODHA yang telah mendapat ARV
terdiri dari:
a. Menyingkirkan adanya infeksi otak dan infeksi oportunistik:
pemeriksaan CD4, viral load HIV, analisa cairan otak
b. Penilaian adherence terhadap ARV
c. Mencegah penggunaan ARV neurotoksik: efavirens
d. Tata laksana diet yang baik
e. Anjuran olah raga
f. Penilaian dan perbaikan sleep hygiene

258
g. Pembatasan alkohol
h. Penanganan depresi
Pada modul ini telah dibahas konseling dan tes HIV serta diagnosis dan tata
laksana neuropati HIV dan gangguan kognitif pada HIV. Informasi yang
lebih detil tentang tata laksana HIV di Indonesia dapat merujuk pada PNPK-HIV
2019 yang tercantum dalam kepustakaan modul ini.
Dokter spesialis saraf memiliki peran yang besar pada manajemen infeksi HIV
mulai dari saat menemukan kasus baru hingga tata laksana manajemen infeksi
kronik HIV.
Daftar Pustaka
1. McArthur JC, Brew BJ, Nath A. Neurological complications of HIV infection.
Lancet /Veuro/. 2005;4[9):543-55.
2. Ganiem AR, Parwati I, Wisaksana R, et al. The effect of HIV infection on adult
meningitis in Indonesia: a prospective cohort study. AIDS 2009;23:2309-2316.
3. Imran D, Estiasari R, Maharani K, et al. Presentation, etiology and outcome of
brain infections in an Indonesian hospital. Neurol Clin Pract 2018; 8: 379-88.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS
di Indonesia Tahun 2011-2016
siha.depkes.go.id/portal/files../Estimasi_dan_Proyeksi_HIV_
AIDS_di_Indonesia.pdf. (accessed 23 May2019]
5. Murray CJ, Ortblad KF, Guinovart C, et al. Global, regional, and national
incidence and mortality for HIV, tuberculosis, and malaria during 1990—2013: a
systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2013. Lancet 2014;
384:1005-1070.
6. The Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). 90-90-90: An
Ambitious Treatment Target to Help End the AIDS Epidemic. Geneva,
Switzerland, 2014
7. Sustainable Development Goals 2016.
http://www.undp.org/content/dam/undp/library/corpora
te/brochure/SDGs_Booklet_Web_En. df (accessed 23 May2019).
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan situasi perkembangan
HIV&AIDS di Indonesia Tahun 2014. Jakarta: Indonesia, 2014.
9. Imran D, Satiti S, Sugianto P, Estiasari R. Barriers to diagnosis and management
of CNS infections in Indonesia. Neurology. 2019 Jan 8;92(2):104-106.
10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik indonesia Nomor 74 TAHUN
2014. Retrieved from USAID
https://aidsfree.usaid.gov/sites/default/files/hts_policy_in

259
donesia_2014.pdf.(accessed 23 May2019].
11. World Health Organisation (WHO). HIV and Adolescents: Guidance for HIV
Testing and Counselling and Care for Adolescents Living with HIV:
Recommendations for a Public Health Approach and Considerations for
Policy-Makers and Managers. World Health Organization: Geneva, Switzerland,
2013.
12. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/90/2019 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata laksana HIV [PNPK-HIV 2019). Retrieved from
http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/PNPK_HIV_Ko
p_Garuda__l_.pdf.(accessed 23 May 2019)
13. Keswani SC, Pardo CA, Cherry CL, Hoke A, McArthur JC. HIV-associated
sensory neuropathies. AIDS 2002;16:105-17
14. Nakamoto BK, McMurtray A, Davis J, Valcour V, Watters MR, Shiramizu B,
dkk. Incident Neuropathy in HIV-infected Patients on HAART. AIDS Research
and Human Retroviruses 2010;26(7):759-65
15. Evans SR, Ellis RJ, Chen H, et al. Peripheral neuropathy in HIV: prevalence and
risk factors. AIDS. 2011;25[7):919-928
16. Detectable Plasma HIV RNA Is Associated With Sensory Neuropathy in
Patients With HIV Treated Without Stavudine. Octaviana F, Safri AY,
Setiawan DD, Estiasari R, Imran D, Ranakusuma T, Affandi J, Cherry CL, Price
P. J Acquir Immune Defic Syndr. 2018 Dec I;79(4]:el08-ell0. doi:
10.1097/QAI.0000000000001836. No abstract available.
17. Kakuda TN. Pharmacology of nucleoside and nucleotide reverse transcriptase
inhibitor-induced mitochondrial toxicity. Clin Then 2000;22:685-708
18. Moore RD, Wong WE, Keruly JC, McArthur JC. Incidence of neuropathy in
HIV-infected patients on monotherapy versus those on combination therapy with
didanosine, stavudine and hydroxyurea. AIDS 2000;14(3]:273-8
19. Simpson DM, Kitch D, Evans SR, et al, ACTG A5117 Study Group. HIV
neuropathy natural history cohort study: assessment measures and risk factors.
Neurology. 2006;66(11):1679-1687
20. McArthur J. The reliability and validity of the subjective peripheral neuropathy
screen. J Assoc Nurses AIDS Care 1998;9:84-94
21. Simpson DM, Kitch D, Evans SR, McArthur JC, Asmuth DM, Cohen B, dkk.
HIV neuropathy natural history cohort study: assessment measures and risk
factors. Neurology 2006;66(ll):1679-87
22. Ping Ng KW, Ong JJ, Nyein Nyein TD, Liang S, Chan YC, Lee KO, dkk.
EMLA-induced skin wrinkling for the Detection of Diabetic Neuropathy. Front

260
Neurol 2013;2(4]:126
23. Mawuntu AHP, Mahama CN, Khosama H, Estiasari R, Imran D. Early detection
of peripheral neuropathy using stimulated skin wrinkling test in human
immunodeficiency virus infected patients: A cross-sectional study. Medicine
[Baltimore] 2018 Jul; 97(30): ell526.
24. Kranick SM, Nath A. Neurologic complications of HIV-1 infection and its
treatment in the era of antiretroviral therapy. Continuum [Minneap Minn]
2012;18(6 InfectiousDisease): 1319-37.
25. Wright E, Brew B, Arayawichanont A, et al. Neurologic disorders are prevalent
in HIV-positive outpatients in the Asia-Paci c region. Neurology 2008; 71:50-6.
26. Estiasari R, Imran D, Lastri DN, Price P , et al. Cognitive impairment among
Indonesia HIV naive patients. Neurology Asia 2015; 20(2 :155 -160
27. Antinori A, Arent G, Becker T, et al. Updated research nosology for
HIV-associated neurocognitive disorders. Neurology 2007; 69:1789-99
28. Clifford DB, MD andAnces BM. HIV-Associated Neurocognitive Disorder
[HAND] Lancet Infect Dis. Lancet Infect Dis. 2013 Nov; 13(11): 976-986)
29. Marra, CM, Zhao, Y.Clifford, D.B. et al. Impact of combination antiretroviral
therapy on cerebrospinal fluid HIV RNA and neurocognitive performance. AIDS
2009, 23, 1359-1366.
30. Cross, H.M.; Combrinck, M.I.; Joska, J.A. HIV-associated neurocognitive
disorders: Antiretroviral regimen, central nervous system penetration
effectiveness, and cognitive outcomes. S.Afr. Med. J. 2013,103, 758-762.
31. Grant, I, Franklin, D.R, Deutsch, R.; Woods, S.P, et al. Asymptomatic
HIV-associated neurocognitive impairment increases risk for symptomatic
decline. Neurology 2014, 82, 2055-2062.
32. De Francesco, D.; Underwood, J.; Boffito, M.; Post, F.; Mallon,
P.; Vera, J. Cognitive Function and Depression in HIV-Positive
Individuals and Matched Controls; National AIDS Treatment
Advocacy Project, Glasgow, UK, 23-26 October 2016.

261
BAB 12

TETANUS

Paulus Sugianto
Abdulloh Machin
Devi Ariani Sudibyo

262
TETANUS
I. KERANGKA MODUL A.
Kompetensi
Menegakkan diagnosis dan tata laksana tetanus mencakup epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan
penunjangdan interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu.

B. Keterampilan
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki
keterampilan:
1. Menguasai mekanisme terjadinya tetanus.
2. Identifikasi, anamnesis dan diagnosis tetanus.
3. Menguasai tata laksana dan pengelolaan pasien dengan tetanus.
4. Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada tetanus.
5. Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada tetanus.
C. Persiapan Sesi
• Ruang Kuliah
• Peralatan Audiovisual
• Kasus Pembelajaran
• Alat Bantu Latih
• Materi presentasi
• Penuntun belajar
• Daftar Tilik Kompetensi
1. Gambaran Umum
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan
manajemen tetanus secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus [case

263
based learning]. Subyek yang dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik
adalah tentang terjadinya tetanus, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi.
2. Contoh kasus
Laki-laki usia 24 tahun, pekerja bangunan, datang ke rumah sakit dengan keluhan
utama kejang seperti kaku seluruuh tubuh. Lebih kurang 2 hari yang lalu pasien
mengeluh tampak kejang dan kaku seluruh tubuh, kaku pada mukut dan sukar
dibuka, dan bila mendengar suara atau dikagetkan pasien kembali kejang. Pasien
masih tetap sadar. Keluhan disertai demam tinggi dan seperti menggigil. Lebih
kurang 1 minggu sebelumnya, pasien mengalami tertusuk paku pada telapak kaki
kanannya, namun lukanya hanya kecil sehingga pasien tidak berobat ke dokter.
3. Diskusi
a. Mengapa terjadi kejang kaku pada seluruh tubuh pada
tetanus?
b. Kenapa pasien sensitif terhadap suara?
c. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis untuk
melakukan pengobatan segera?
d. Apakah luka yang kecil dapat menyebabkan masuknya
toksin tetanus?
e. Apakah indikasi terapi di tempat perawatan intensif pada
pasien tetanus?
4. Tujuan pembelajaran
a. Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan
klinik
b. Mengetahui penyebab tetanus
c. Menjelaskan epidemiologi tetanus
d. Mengetahui komplikasi
e. Mengetahui indikasi
f. Melakukan dan menjelaskan terapi
g. Mempertimbangkan/menganjurkan tindakan peralatan di
ruang intensif
Tujuan - 1 : Identifikasi kelainan melalui anamnesa dan pemeriksaan klinik
• Mengetahu Anamnesis dan pemeriksaan klinik tetatus Tujuan - 2 :
Mengetahui penyebab tetanus
• Mengetahui penyebab tetanus
• Mengetahui mekanisme terjadinya tetanus
• Mengetahui jenis bakteri anaerob, penyebab dan proses

264
molekular yang terjadi sampai terjadi tetanus
• Mengetahui farmakologi obat dan efek samping obat Tujuan - 3 :
Menjelaskan epidemiologi tetanus
• Mengetahui distribusi penderita tetanus di negara berkembang
• Mengetahui jumlah penderita yang mempunyai prognosis Tujuan - 4 :
Mengetahui komplikasi
• Mengetahui komplikasi yang terjasi pada tetanus

• Menjelaskan komplikasi aal, intermediate, spesifik dan longterm


• Mengetahui cara mengatasi komplikasi
Tujuan - 5 : Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang
• Mengetahui interpretasi pemeriksaan elektromiografi
Tujuan - 6 : Melakukan dan menjelaskan terjadinya tetanus dan manajemen
serta resistensi antibiotik, penggunaan antiserum tetanus
• Mengetahui manajemen dan pengobatan tetanus
• Mengetahui cara pemberian antitoksin dan toksoid tetanus
• Melakukan tindakan emergency dan terapi kejang pada tetanus
• Pertimbangan terapi empirik
• Mengevaluasi terapi empirik
• Mengatasi dan mencari fokus infeksi dari masuknya toksin tetanus
Tujuan - 7 : Mempertimbangkan/menganjurkan perawatan intensif
• Mempertimbangkan tindakan perawatan luka yang
diperkirakan menjadi fokus infeksi
• Mempertimbangkan peralatan intensif bila terjadi kegagalan pernapasan
5. Kasus untuk pembelajaran
Laki - laki usia 24 tahun, pekerja bangunan, datang ke rumah sakit dengan keluhan
utama kejang seperti kaku seluruh tubuh.

265
Lebih kurang 2 hari yang lalu pasien mengeluh tampak kejang dan kaku seluruh
tubuh, kaku pada mulut dan sukar membuka, dan bila mendengar suara atau
dikagetkan pasien kembali kejang. Pasien masih tetap sadar. Keluhan disertai
demam tinggi dan seperti menggigil. Lebih kurang 1 minggu sebelumnya, pasien
mengalami tertusuk paku pada telapak kaki kanannya, namun lukanya hanya kecil
sehingga pasien tidak berobat ke dokter.
Hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut:
a. Kasadaran komposmentis
b. Tekanan darah : 110/70 mmHg
c. Frekuensi nadi: 110/m
d. Suhu 37,3°C
e. Respirasi 21 x/m
/ Risus sardonicus
g. Jantung dan paru dalam batas normal
h. Abdomen tegang, hepar dan lien tidak teraba
i. Punggung tegang dan tampak melinting (epistotonus]
j. Ektremitas
• Status neurologis
• Glasgow Coma Scale : E 4 V 5 M 6
• Status mental: dalam batas normal
• Tanda rangsang meningeal negatif
• Pupil isokor, reflek positif/positif
• Nervus kranialis : paresis (-)
• Motorik: tidak terdapat paresis
• Sensorik: baik
• Refleks fisiologis : ++/++
• Reflex patologis : -/-
• Klonus -/-
• Sarafotonom : dalam batas normal Hasil pemeriksaan
penunjang:
• Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap,

266
hitungjenis, laju endap darah
Monitoring
• Kesadaran
• Tanda vital
• Defisit fokal
6. Diskusi
a. Mengapa terjadi kejang kaku pada seluruh tubuh pada
tetanus?
b. Kenapa pasien sensitif terhadap suara?
c. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis untuk
melakukan pengobatan segera?
d. Apakah luka yang kecil dapat menyebabkan masuknya
toksin tetanus?
e. Apakah indikasi terapi di tempat perawatan intensif pada
pasien tetanus?
7. Penilaian Kompetensi:
Hasil Observasi selama alih pengetahuan dan keterampilan
D. Evaluasi
Kompetensi Kognitif
1. Pretest
2. Essay
3. MCQ
4. Lisan
5. Ujian Pasien

267
Berikut contoh prosedur informed choise:
PENUNTUN BELAJAR
NAMAPESERTA:................ TANGGAL: ..........

268
II. MATERI BAKU TETANUS
A. Pendahuluan
Tetanus dikarakteristikkan dengan adanya trismus, risus sardonicus, rigiditas general
dan spasme otot. Hal itu disebabkan adanya neurotoksin tetanospasmin, yang
diproduksi oleh Clostridium tetani yang masuk melalui luka yang terkontaminasi.
Organisme tersebut menghasilkan spora dan merupakan bakteri gram positif yang
banyak ditemukan di dalam tanah dan feses dari kuda, domba, anjing, kucing dan
ayam.
B. Epidemiologi
Pada kasus neonatus pada neonatus terjadi pada infant yang ibunya tidak diimunisasi
atau imunisasinya tidak lengkap dan berhubungan dengan instrumen yang tidak steril
yang digunakan saat persalinan. Pemberian imunisasi pada ibu-ibu hamil bersifat
protektif. Selama 20 tahun terakhir, insiden tetanus telah menurun seiring dengan
peningkatan cakupan imunisasi, Namun, dengan bertambahnya umur kadar antitoksin
antibodi tetanus semakin menurun, sehingga risiko lebih tinggi pada geriatri. Pada
dewasa umur 60 tahun, risiko tetanus sekitar tujuh kalinya dibandingkan dengan umur
5-19 tahun.
C. Patofisiologi
Toksin tetanus ditransmisikan secara retrograd melalui axon saraf perifer dari tempat
masuknya Clostridium tetani yaitu luka yang terinfeksi, sehingga masuk ke badan sel
saraf motorik di massa abu-abu bagian ventral dari medula spinalis dan batang otak.
Toksin tetanus mengikat ke bagian membran presinap perikarion (neuron inhibisi)
melalui jalur sinap-sinap saraf, sehingga toksin tersebut mencegah pelepasan dari
neurotransmiter inhibitor glisin dan asam gamma-aminobutiric (GABA) dari ujung
presinap. Blokade dari neurotransmiter tersebut mengakibatkan spasme otot, eksitasi
yang terduga dari alfa motor neuron di medula spinalis dan batang otak. Toksin
tetanus juga mengakibatkan overaktif dari sistem saraf simpatis dengan menghambat
sinap di preganglion sel kolumna intermediolateral dari medula spinalis bagian
torakal.
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinis tetanus biasanya diawali dengan kekakuan atau kontraksi otot yang
terjadi 1-2 minggu setelah terinfeksi. Kekakuan otot akan bertambah secara progresif
dalam beberapa hari sehingga muncul spasme otot dan mencapai maksimal pada
minggu kedua. Disotonomi biasanya mulai terlihat pada akhir minggu pertama.3
Secara umum terdapat beberapa gejala klinis yang khas pada tetanus, yaitu:
1. Kekakuan otot dan rigiditas
Kekakuan awalnya terjadi pada otot masseter, menyebabkan kesulitan membuka
mulut—trismus atau lock jaw, Kekakuan biasanya terjadi pada otot wajah, leher,
faring, dan juga seluruh otot ekstremitas dan batang tubuh. Kekakuan pada otot-otot

269
wajah akan memberikan gambaran risus sardonicus. Kekakuan pada otot leher
menyebabkan retraksi leher, kekakuan pada otot faring akan menyebabkan disfagia
dan kekakuan pada otot dada termasuk interkostal akan menyebabkan keterbatasan
dalam gerakan nafas. Otot abdomen akan berkontraksi menyebabkan rigiditas yang
biasa disebut perut papan. Kekakuan yang hebat pada otot punggung dapat
memberikan gambaran opistotonus.
Arus disinhibisi tak terkontrol dari saraf motorik eferen di medula dan batang otak
menyebabkan rigiditas muskuler dan spasme yang menyerupai kejang. Tonus otot
menjadi meningkat diselingi dengan spasme otot secara episodik. Refleks inhibisi
dari kelompok otot antagonis menjadi hilang dan kelompok otot agonis serta
antagonis berkontraksi secara simultan. Kekakuan otot tersebut tampak dalam
bentuk sebagai berikut:
a. Rigiditas abdomen, sering kali disebut sebagai perut papan.
b. Kontraksi otot wajah menyebabkan ekspresi wajah yang
khas disebut dengan risus sardonicus atau risus smile.
c. Kontraksi otot rahang dan leher menyebabkan retraksi
kepala. Otot-otot rahang, wajah, dan kepala pada banyak
kasus terpengaruh pertama kali karena jaras aksonalnya
yang lebih pendek.
d. Trismus atau disebut juga lockjaw, disebabkan oleh
kontraksi yang berat dari otot masseter.
e. Spasme otot menelan menyebabkan disfagia.
f. Spasme berat pada otot batang tubuh disebut opistotonus
dapat menyebabkan kesulitan napas akibat berkurangnya
komplians otot dinding dada.
g. Otot ekstremitas terpengaruh terakhir kali, namun biasanya
tidak melibatkan otot tangan dan kaki.
h. Obstruksi laring akibat aspirasi yang disebabkan oleh spasme faring dan spasme
laring dan berkurangnya komplians dinding otot dada dapat menyebabkan
respiratory failure.
2. Spasme otot
Spasme ditandai dengan kontraksi otot-otot yang bersifat tonik pada otot yang telah
mengalami kekakuan. Terjadi kontraksi yang simultan dan berlebihan pada otot-otot
agonis dan antagonisnya sehingga terjadi gerakan seperti bangkitan tonik. Retraksi
kepala akan tampak lebih jelas dan bertambah selama spasme, opistotonus makin
jelas terlihat, disertai dengan fleksi pada lengan. Spasme dapat ditimbulkan dengan
rangsang raba juga oleh rangsang auditori, visual atau emosional. Frekuensi dan
beratnya spasme sangat bervariasi, biasanya spasme terjadi dalam beberapa detik,

270
secara tiba-tiba dan menimbulkan rasa nyeri yang hebat.
3. Gangguan saraf otonom
Gangguan otonom lebih menggambarkan beratnya tetanus yang terjadi dan bukan
merupakan komplikasi. Gangguan otonom melibatkan baik komponen simpatis
maupun parasimpatis. Pasien dapat mengalami takikardia, hiperhidrosis,
peningkatan tekanan darah, aritmia, hipersalivasi, serta peningkatan refleks vagal
yang berakibat buruk pada sistem kardiovaskuler. Disotonomi dan efek toksin pada
jantung dapat menyebabkan miokarditis yang ditandai dengan demam, rash,
eosinofilia perifer, dan peningkatan biomarker nekrosis. Gejala dan gambaran EKG
dapat menyerupai infark miokarditis dengan ST elevasi.
Disotonomi biasanya muncul beberapa hari setelah spasme dan menetap selama 1-2
minggu, ditandai dengan instabilitas yang kontras pada tekanan darah (hipertensi
diselingi dengan hipotensi) takikardia diselingi bradikardi, cardiac arrest atau
asistol berulang akibat peningkatan tonus dan aktivitas vagus, vasokontriksi dan
pireksia, hipersalivasi dan peningkatan sekresi bronkial, stasis gaster, ileus, diare,
dan gagal ginjal dengan output yang meningkat, diaforesis, disritmia jantung dan
hipermetabolisme ditandai dengan kenaikan kenaikan kadar katekolamin hingga 10
kali lipat pada pemeriksaan plasma basal menyerupai kadar pada keadaan
phaeochromocytoma. Penyembuhan biasanya terjadi akibat pertumbuhan kembali
akson terminal dan proses kerusakan toksin.
Ada empat bentuk gejala klinis tetanus: neonatus, generalis, lokal dan sefalik.
Gejala yang paling sering muncul pada tetanus neonatus antara lain spastisitas, kurang
menghisap, trismus, demam, iritabilitas, risus sardonicus dan opitotonus.
Masa inkubasi dari saat timbulnya luka hingga munculnya gejala tetanus yaitu 8
hari. Gejala yang paling sering pada tetanus generalis yaitu nyeri atau kekakuan dari
otot-otot kepala dan leher yang disertai trismus dan disfagia. Gejala dini lainnya yaitu
risus sardonicus. Spasme otot berkembang dalam 24 jam dari onset gejala. Selain itu
juga terdapat spasme reflekyaitu kontraksi tonik dari beberapa grup otot yang
menyebabkan opistotonus, fleksi dan aduksi dari lengan, menegang pada bagian dada
dan ekstensi dari ekstremitas bawah.
Tetanus lokal hanya terbatas pada ekstremitas yang mengalami luka dan
terkontaminasi oleh kuman Clostridium tetani. Pada awalnya pasien mengeluh
kekakuan pada otot-otot tersebut pada saat digerakkan. Kemudian gejala berkembang
hingga timbulnya spasme yang terus menerus atau rigiditas pada otot-otot terdekat
dengan luka yang disertai nyeri saat otot tersebut mengalami spasme. Tetanus lokal
dapat berkembang menjadi tetanus generalis. Pada tetanus lokal gejala menyembuh
dalam hitungan minggu dan bulan.
Tetanus sefalik terjadi biasanya pada pasien yag mengalami luka pada bagian

271
wajah, kepala atau leher, dan memiliki periode inkubasi yang pendek sekitar 1 atau 2
hari.
E. Diagnosis
Tetanus didiagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, hingga saat ini belum ada
pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk tetanus. Kuman Clostridium tetani tidak
tumbuh pada saat dikultur yang diambil dari luka yang terkontaminasi. Tes spatula
dengan menyentuhkan ujung spatula pada dinding faring akan direspons dengan
gigitan kuat pada spatula tersebut, tes ini disebut spesifik dan sensitif untuk tetanus.
Jangan menyingkirkan diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi
secara lengkap. Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah
divaksinasi (imunokompeten).
Kriteria diagnosis tetanus yang mungkin dapat digunakan adalah:
1. Semua penyakit dengan gejala hipertonia akut dan/atau kontraksi
otot yang nyeri (biasanya rahang dan leher) dan spasme otot umum tanpa penyebab
lain seperti reaksi obat, penyakit saraf lain atau histeria
2. Tidak ada riwayat kontak dengan stricnin
3. Perjalanan penyakit tersebut konsisten dengan tetanus
F. Grading Tetanus
Penentuan derajat penyakit pada tetanus penting dilakukan untuk menentukan
prognosa dan menentukan seberapa agresif terapi yang mesti kita lakukan. Grading
dilakukan menggunakan kriteria Pattel Joag, yaitu:
Grading
Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia dan kekakuan otot tulang
belakang.
Kriteria 2 : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya.
Kriteria 3 : inkubasi antara 7 hari atau kurang
Kriteria 4 : waktu onset adalah 48 jam atau kurang
Kriteria 5 : kenaikan suhu rektal sampai 100°F atau aksila sampai 99oF (=37,6oC)
Dari kriteria di atas dibuat tingkatan derajat sebagai berikut:
Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan bagi kuman Clostridium tetani dari
mulai terjadinya luka hingga menimbulkan gejala klinis yang pertama berkisar antara
7-14 hari [1-2 hari sp beberapa bulan]. Periode onset adalah waktu yang dibutuhkan
dari mulai terjadinya gejala klinis yang pertama hingga timbulnya spasme otot berkisar
antara 1-7 hari. Pada tetanus yang fulminan , masa ini memendek hingga 1-2 jam .
Semakin panjang periode onsetnya maka pasien memiliki prognosa yang lebih baik.
Kriteria beratnya tetanus dapat pula ditentukan dengan klasifikasi Ablett's

272
sebagai berikut:
1. Grade 1 (mild): Mild to moderate trismus, general spasticity, no respiratory
embarrassment, no spasms, little or no dysphagia
2. Grade II (moderate): moderate trismus, well marked rigidity, mild to moderate, but
short lasting spasms, moderate respiratory embarrassment with tachypnea
3. Grade III (severe): severe trismus, generalized spasticity, reflex and often
spontaneous prolonged spasms, respiratory embarrassment with tachypnea,
apnoeic spells, severe dysphagia, tachicardia, a steady moderate increase in
autonomic nervous system activity
4. Grade IV (very severe): features of grade 3 plus violent autonomic disturbances
often resulting in what may be aptly termed "autonomic storm"
Diagnosis diferensial diantaranya intoksikasi strichin, reaksi distonia akibat
obat-obat penghambat dopamin, kejang, dan sindroma stiff man.
G. Tata Laksana
Tata laksana tetanus antara lain rawat luka (menghilangkan sumber infeksi),
menetralisir toksin yang bersirkulasi dengan imunoglobulin tetanus manusia,
mengatasi spasme otot dan rigiditas, mencegah gagal nafas, mengatasi disfungsi
otonom, dan perawatan suportif.
Menghilangkan sumber infeksi penting dilakukan agar tidak terbentuk toksin
tetanus baru. Perawatan luka yang baik, eksisi jaringan nekrotik bahkan histerektomi
pada kasus tetanus terkait abortus septik perlu dilakukan. Untuk mengeradikasi kuman
Clostridium tetani diberikan metronidazole oral atau IV 500 mg tiap 6 jam (30
mg/kgBB/hari dibagi menjadi empat dosis harian) atau IV penisilin G (100.000
U/kgBB/hari dibagi menjadi empat sampai enam dosis) selama 7 hingga 10 hari.
Metronidazole umumnya lebih disukai daripada penisilin karena risiko teoretis
terdapat kejang yang memburuk dengan penisilin karena antagonisme kompetitif
penisilin asam g-aminobutirat (GABA) reseptor. Metronidazol intravena 500 mg
setiap 6 jam selama 7-10 hari adalah antibiotika pilihan pertama pada kasus tetanus.
Metronidazol mudah didapatkan, murah, jarang menimbulkan resistensi, mempunyai
penetrasi jaringan yang baik dan mudah cara pemberiannya. Penisilin, eritromisin,
tetrasiklin dapat digunakan sebagai alternative. Luka sumber infeksi harus dirawat
dengan baik untuk memastikan tidak ada lagi kantung-kantung anaerob yang menjadi
tempat berkembangnya Clostridium tetani.
Toksin yang berada di sirkulasi hafus segera dinetralkan sebelum berikatan
dengan akson terminal saraf dan melibatkan lebih banyak lagi otot. Terdapat dua
preparat antitoksin tetanus yaitu yang berasal dari serum kuda dan imunoglobulin
manusia. Sediaan dari serum kuda lebih murah namun mempunyai risiko reaksi
anafilaksis sistemik dan reaksi lokal yang lebih besar dan sulit didapatkan. Human

273
tetanus imunoglobulin [HTIg] mempunyai efektivitas yang setara, lebih jarang
menimbulkan reaksi anafilaksis dan lebih mudah didapatkan sehingga saat ini
penggunaan HTIg lebih direkomendasikan sebagai antitoksin tetanus. Dosis yang tepat
HTIg pada tata laksana tetanus masih kontroversial dapat berbeda antar pusat
penelitian, dosis berkisar antara 3000-6000 unit intramuskular, sedangkan dosis pada
bayi adalah 500 unit. Sebagian dari dosis diinfiltrasikan sekitar luka terduga sumber
infeksi.
Pemberian HTIg intratekal dilaporkan dapat menurunkan mortalitas pada
tetanus, hal ini diduga karena dengan pemberian intratekal HTIg dapat menetralkan
toksin tetanus yang telah mencapai medula spinalis. Namun demikian pemberian
intratekal masih kontroversial karena kandungan thimerosal dalam beberapa sediaan
HTIg yang bersifat neurotoksik. Efek samping HTIg seperti demam, menggigil, nyeri
pada dada dan punggung.
Imunisasi aktif toksoid tetanus diberikan sebagai tambahan HTIG. Setidaknya
untuk menjaga status imunitas diberikan tiga kali suntikan intramuskular dengan jarak
kurang dari 1 bulan. Dua dosis pertama diberikan dengan jarak setidaknya 4 minggu,
dan dosis ketiga dengan jarak 6 bulan setelah dosis kedua.
Spasme otot perlu segera dikendalikan untuk mencegah komplikasi seperti
dehidrasi, pasien yang kelelahan, robekan otot dan ligamen, fraktur, spasme otot-otot
pernafasan dan spasme laring yang dapat menyebabkan kematian. Serum antibodi
tetanus sebaiknya diukur konsentrasi di dalam tubuh, dengan kadar 0,01 IU/mL secara
umum merupakan kadar protektif minimum, berbagai stimulus yang berasal dari luar
dapat mencetuskan terjadinya spasme tetanik yang berat, obat golongan benzodiazepin
(diazepam atau lorazepam] dapat digunakan untuk mengatasi hal tersebut yang harus
diberikan sebelum penyuntikan Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG).
Benzodiazepin memilki sifat GABA agonis dengan cara menghambat inhibitor
endogen reseptor GABA sehingga obat-obat golongan ini merupakan pilihan utama.
Diazepam digunakan paling umum karena ketersediaannya yang banyak di daerah
dengan insiden tertinggi. Dosis diazepam 3 mg/kgBB/hari hingga 8 mg/kgBB/hari
mungkin diperlukan, namun sering kali menyebabkan depresi pernapasan yang
membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanis. Pada anak dengan spasme otot dapat
dihentikan dengan pemberian diazepam 0,3 mg/kg perkali dilanjutkan dengan infus
kontinyu 15-40 mg/kgBB/hari Setelah spasme otot terkendali pemberian diazepam
intravena dipertahankan selama 3-5 hari setelah itu dapat diberikan peroral dengan
penurunan dosis 5-10 mg/hari. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun
masih terdapat, spasme atau mengalami spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan
untuk dirawat di ruang perawatan intensif.
Diazepam dilaporkan memiliki efektivitas yang baik dengan efek depresi napas

274
yang lebih rendah dibanding dengan golongan barbiturat. Diazepam juga memiliki
efek antikonvulsan dan muscle relaxation, sedatif dan anxiolytic. Efek maksimal
dalam darah dicapai dalam waktu 30-90 menit. Dosis yang dianjurkan adalah 0.5-10
mg/kg untuk dewasa atau sebagai berikut:
1. Spasme ringan: 5-20 mg p.o. setiap 8 jam bila perlu.
2. Spasme sedang : 5-10 mg i.v. bila perlu, tidak melebihi dosis 80-120mg dalam 24
jam atau dalam bentuk drip.
3. Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml dekstrose 5% dan diinfuskan dengan
kecepatan 10-15 mg/jam diberikan dalam 24 jam.
Penggunaan dosis besar diazepam [500 mg atau lebih) atau lorazepam (200 mg
atau lebih) sangat diperlukan untuk mengatasi spasme yang terjadi. Ketika kedua obat
tersebut digunakan dalam dosis besar akan menyebabkan komplikasi terjadinya
asidosis metabolik karena kandungan glikol propilen yang terlarut. Untuk
mengatasinya dapat digunakan obat lain yaitu midazolam yang merupakan obat larut
dalam air. Dosis midazolam yang diberikan 5-15 mg/jam melalui infus secara
continue. Obat golongan lain yang dapat diberikan pada tetanus generalisata yaitu
baclofen secara intratekal melalui infus, dengan dosis bolus awal 300-500 ug dan
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan dengan rata-rata 500-1000 ug/hari. Baclofen
dosis tinggi baik secara bolus atau dosis harian dapat menyebabkan koma, hipotonia,
hipotensi, bradikardi, dan depresi nafas. Pemberian dantrolen secara infus harian (dosis
bolus l-l,5mg/kg, diikuti dengan dosis 0,5 - 1 mg/kg per 4-6 jam selama kurang lebih
25 hari] dilaporkan dapat diberikan untuk mengatasi spasme tetanus. Tetapi dapat
menyebabkan hepatotoksik.
Obat-obatan lain yang dapat digunakan antara lain klorpromazin, magnesium
sulfat, morfin, ketamin, propofol, toksin botulinum dan pelumpuh otot. Vecuronium,
pipecuronium, dan rocuronium lebih disukai, sedangkan pancuronium dianggap tidak
optimal karena penghambatan catecholamine reuptake, yang dapat memperburuk
ketidakstabilan otonom.
Hiperaktifitas simpatis menyebabkan keadaan hipertensi yang labil, takikardi,
hipertensi, produksi salivasi yang berlebihan dan sekresi bronkus dan
keadaan hipermetabolisme. Untuk mengatasi overaktif simpatis ini dapat diberikan
labetolol intravena dengan dosis 0,25 - 1 mg/menit atau 50 - 100 mg tiap 6 jam.
Sebagai alternatif dari labetolol dapat diberikan clonidin 0,2-0,4 mg/hari. Klonidin
dapat digunakan untuk menurunkan tonus simpatik, juga mempunyai efek sedasi dan
menurunkan aktivitas motorik spontan. Propanolol dalam dosis rendah telah
dilaporkan menyebabkan henti jantung dan edema pulmonal pada pasien tetanus.
Sebagai obat-obatan pembantu dalam mengatasi ketidakstabilan otonom yang berat
dapat diberikan magnesium sulfat (4 gram bolus diikuti dengan 2-3 gram per jam}.

275
Magnesium sulfat dapat mengontrol spasme otot tanpa pemberian diazepam,
hiperreaktivitas simpatis seperti peningkatan tekanan darah dan denyut jantung tidak
terjadi. Konsentrasi magnesium dalam serum dipertahankan antara 4 hingga 8 mEq/L.
Pemberian morfin dapat meningkatkan vasodilatasi arteri dan vena dengan
cara menurunkan keluaran simpatik secara sentral, dosis sampai dengan 140
mg/hari dilaporkan berhasil menurunkan tekanan darah dan resistensi vaskular
sistemik. Noradrenaline perinfus dapat diberikan pada periode hipotensi.

Tabel 1 Kriteria Sindroma Hiperreaktivitas Otonom


Kriteria Mayor Kriteria minor
1. Tekanan darah yang tidak stabil 1. Keringat berlebihan
(naik dan turun) 2. Ileus paralitik
2. aritmia 3. Tanda minor lainnya
3. Denyut jantung yang tidak stabil
(naik - turun)
Adanya dua tanda mayor atau satu tanda mayor dan 2 tanda minor
menunjukkan adanya sindroma hiperreaktivitas otonom
Pasien dirawat di ruang perawatan intensif dengan memperkirakan kebutuhan
intubasi bila terjadi kegagalan nafas. Di mana jalan nafas bagian atas sering
mengalami oklusi akibat spasme yang terjadi sehingga terjadi suatu episode
hipoksia pada pasien. jalur nafas bagian atas dapat mengalami oklusi dan diperlukan
tindakan intubasi untuk menjaga jalan nafas tetap baik. Dalam melakukan intubasi
kadang diperlukan suatu obat penghambat neuromuskular. Sebagai pilihan dapat
digunakan vecuronium atau pancuronium sebagai pilihan utama dan efek
kardiovaskular yang rendah. Pemberian propofol juga dapat digunakan untuk
mengatasi spasme saat melakukan intubasi. Dan bila pemakaian ventilasi mekanik
selama 7-10 hari dapat dilakukan trakeostomi.
Pasien harus dirawat di tempat yang gelap, stimulasi sensorik karena dapat
memicu kejang. Pemberian kortikosteroid tidak direkomendasikan diberikan rutin
pada pasien tetanus.
Perawatan suportif harus dilakukan untuk mencegah penyulit seperti pneumonia,
infeksi nosokomial, dehidrasi, malnutrisi, deep vein thrombosis dan kontraktur.
Secara singkat penatalaksanaan pasien tetanus pada jam-jam pertama pasien
didiagnosa sebagai tetanus adalah:
1. Periksa jalan napas, trakeostomi jika perlu.
2. Cek darah rutin, elektrolit, ureum, kreatinin, mioglobin urin, AGD, kultur untuk
yang infeksi.
3. Mencari port d'entry, inkubasi, periode onset, status imunisasi.

276
4. Oksigen, diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoksia, distress per napasan,
sianosis.
5. Diazepam iv 10 mg perlahan selama 2-3 menit. Bisa diulang jika diperlukan, ruang
tenang/gelap.
6. Dosis pemeliharaan diberikan diazepam secara drip, untuk mencegah terbentuknya
kristalisasi, cairan dikocok setiap 30 menit.
Penatalaksanaan 24 jam pertama:
1. ATS i.v 10.000 UI, didahului skin test
2. TT0,5ccim
3. Nutrisi 3500-4500 kalori/hari dengan 100-150 gr protein
4. Metronidazol 4x500 mg i.v. atau p.o. 7-10 hari
5. HTIG 300-5000 UI im/iv (500 sudah cukup efektif]
6. Trakeostomi
7. Debridemand luka
8. NGT, CVP, Folley kateter pada grade II-IV
9. Diazepam or vancuronium 6-8 mg/hr
10. Setiap kejang diberikan bolus diazepam 1 ampul/IV perlahan selama 3-5 menit,
dapat diulangi setiap 15 menit sampai maksimal 3 kali. Bila tak teratasi segera
rawat ICU.
11. Menghindari tindakan/perbuatan yang bersifat merangsang, termasuk
rangsangan suara dan cahaya yang intensitasnya bersifat intermitten.
12. Mempertahankan/membebaskan jalan napas: pengisapan oro/nasofaring secara
berkala.
H. Komplikasi
Manajemen tetanus yang baik penting untuk mencegah komplikasi yang
membuat perawatan tetanus menjadi lebih sulit. Komplikasi yang mungkin terjadi
pada tetanus dapat dilihat pada tabel 2.

277
I. Pencegahan
Bentuk spora bakteri Clostridium tetani tersebar luas di alam dan sangat sulit
dihancurkan sehingga upaya pencegahan penyakit ini adalah dengan merawat
luka sebaik mungkin dan vaksinasi.
Vaksinasi tetanus toksoid (TTJ pada wanita usia subur dan ibu hamil dapat
menurunkan angka kejadian tetanus neonatorum. Hasil vaksinasi terbaik
didapatkan dengan 12 kali jadwal vaksinasi selama masa anak dilanjutkan
dengan suntikan booster setiap 10 tahun sekali.
Pada individu berusia 7 tahun ke atas yang belum mendapatkan vaksinasi
dapat diberikan vaksin tetanus dengan jadwal sebagai berikut:

Profilaksis tetanus perlu dipertimbangkan pada setiap perawatan luka,


tergantung dari jenis luka dan status imunitas pasien terhadap tetanus sebagai
berikut:

278
279
J. Prognosis
Angka kematian pada kasus tetanus bervariasi antara 6-60% tergantung dari
ketersediaan fasilitas di sarana kesehatan, derajat keparahan dan protokol
manajemen yang dilakukan. Beberapa faktor prognostik yang menentukan
adalah lama inkubasi, derajat keparahan tetanus dan onset.

Referensi
Berkowitz A.L., Tetanus, Botulism, and Diphtheria. In Neuroinfectious
Disease. Continuum. Lifelong Learning in Neurology, October, 2018, Vol. 24
No. 5
Ropper A.H., Samuels M.A., Klein J.P., Adams and Victor, Principles of
Neurology, tenth ed. Mc Graww Hill, 2014, 1215-1217, 1500-1501
Standar kompetensi spesialis saraf 2015, KNI PERDOSSI

280

Anda mungkin juga menyukai