Anda di halaman 1dari 429

BUKU AJAR

NEUROONKOLOGI
Kelompok Studi Neuro-onkologi

Editor
Tiara Aninditha
Rini Andriani
Rusdy Ghazali Malueka

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia


(PERDOSSI)
2019
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan
cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin Kolegium Neurologi Indonesia.
Penelitian kedokteran dan pengalaman klinis senantiasa berkembang dan memperluas
pengetahuan kita baik dalam hal diagnostik maupun terapi. Para kontributor, editor dan
penerbit buku ini telah berupaya keras untuk memastikan bahwa setiap informasi yang
terdapat dalam buku ini berasal dari sumber ilmiah yang terpercaya, dapat diandalkan
dan diterima dalam praktek kedokteran pada saat publikasi. Namun dengan segala
keterbatasan manusia ataupun perubahan dalam ilmu kedokteran, kontributor, editor,
penerbit maupun pihaklainyangturutterlibat dalam persiapan dan publikasi buku ini tidak
bertanggung jawab untuk kesalahan ataupun kelalain yang diakibatkan oleh penggunaan
informasi yang terkandung dalam buku ini. Pembaca dianjurkan mengonfirmasi kembali
informasi yang terkandung dalam buku ini dengan sumber lainnya. Kritik dan saran dapat
disampaikan melalui bukupfneuro@gmail.com.

BUKU AJAR
NEUROONKOLOGI

18x23
Halaman : i -xvi / 1-415
Diterbitkan pertama kali oleh:
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
Jakarta, 2019

ISBN: 978-602-60196-2-2

Cetakan pertama : Juli, 2019


Dicetak pertama kali oleh:
PENERBIT KEDOKTERAN INDONESIA
1
Email, perkisa.indonesia@gmail.com
Editor:
Tiara Aninditha
Rini Andriani
Rusdy Ghazali Malueka

Sekretaris:
Putri Auliya
Jonathan Odillo
Mumfaridah
Andre Stefanus Pangabean
Putri WidyaAndini

Ilustrator:
Uti Nilam Sari

Cover:
Kevin Mulya
DAFTAR NAMA PENULIS

• Cityta Putri Kwarta • Joice Rosewitasari


Program Magister Ilmu Biomedik RS Kanker Dharmais, Pusat Kanker
Fakultas Kedokteran Universitas Nasional
Indonesia
• Kusumo Dananjoyo
• Dessika Rahmawati Departemen Neurologi Fakultas
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat,
Kedokteran Universitas Brawijaya dan Keperawatan Universitas Gadjah
RS Saiful Anwar, Malang Mada
RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
• Djohan Ardiansyah
Departemen Neurologi Fakultas • Mariana Nur Laila
Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Inche Abdoel Moeis, Samarinda
RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
• Mulki Angela
• Elsa Susanti Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Bagian Neurologi Fakultas Fakultas Kedokteran Universitas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala Indonesia
RSUD Dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta
• Henry Riyanto Sofyan
Departemen Neurologi Fakultas • Ni Putu Witari
Kedokteran Universitas Indonesia Departemen Neurologi Fakultas
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Kedokteran Universitas Udayana
Jakarta RSUP Sanglah, Denpasar

• Indah Chitra • Rahmi Ardhini


RS Kanker Dharmais, Pusat Kanker Bagian Neurologi Fakultas
Nasional Kedokteran Universitas Diponegoro
RSUP Dr. Kariadi, Semarang
• Rini Andriani • Tiara Aninditha
Fakultas Kedokteran Universitas Departemen Neurologi Fakultas
Tarumanagara Kedokteran Universitas Indonesia
RS Kanker Dharmais, Pusat Ranker RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo,
Nasional Jakarta

• Retnaningsih • Trianggoro Budisulistyo


Bagian Neurologi Fakultas Bagian Neurologi Fakultas
Redokteran Universitas Diponegoro Redokteran Universitas Diponegoro
RSUP Dr. Rariadi, Semarang RSUP Dr. Rariadi, Semarang

• Rusdy Ghazali Malueka • Yogaswara


Departemen Neurologi Fakultas Rumah Sakit Islam Jakarta, Sukapura
Redokteran, Resehatan Masyarakat,
dan Reperawatan Universitas Gadjah • Yordan Khaedir
Mada Program Magister Ilmu Biomedik
RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Fakultas Redokteran Universitas
Indonesia
• SitiAminah
Departemen Neurologi Fakultas • Yunni Diansari
Redokteran Universitas Padjadjaran Departemen Neurologi Fakultas
RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung Redokteran Universitas Sriwijaya
RSUP Dr. Mohammad Hoesin,
• Teguh Asaad Suhatno Ranakusuma Palembang
Departemen Neurologi Fakultas
Redokteran Universitas Indonesia
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta

- vi -
KATA PENGANTAR

Buku Ajar Neuro-onkologi merupakan bahan ajar yang memuat informasi-


informasi terbaru dan komprehensif dalam bidang neuro-onkologi mulai dari
mekanisme patofisiologi hingga tata laksana kasus-kasus neuro-onkologi. Buku ini
dirasakan penting dikarenakan semakin banyaknya kasus-kasus neuro-onkologi yang
ditemukan dalam praktik klinik sehari-hari sementara bahan ajar, khususnya dalam
bahasa Indonesia, mengenai topik ini masih sangat terbatas. Selain itu, meningkatnya
insidensi metastasis intrakranial dan spinal juga akan menambah pentingnya peran
neurolog pada tata laksana neuro-onkologi.
Otak sebagai satu-satunya organ yang fungsional pada setiap titik dalam area
otak akan memberikan manifestasi pada setiap pertumbuhan yang tidak normal
di dalamnya. Oleh karena itu, disitulah peran seorang neurolog dengan seluruh
kompetensi tambahan yang dimilikinya akan bermanfaat dalam penanganan kasus-
kasus neuro-onkologi. Adanya gangguan pada fungsi luhur, kejang, dan gangguan
sistem visual mulai dari papiledema hingga gangguan lapang pandang memerlukan
pemeriksaan tersendiri. Keganasan sendiri akan memicu keadaan hiperkoagulasi
yang dapat menyebabkan stroke-like syndrome. Efek kemoterapi antara lain dapat
menyebabkan neuropati yang perlu dideteksi dan diawasi. Pada prinsipnya neuro-
onkologi dapat menyebabkan gangguan pada SSP dan sistem saraf tepi, selain juga
komplikasi lain seperti nyeri, fatigue, sindrom praneoplastik, dan sebagainya yang
memerlukan berbagai pemeriksaan klinis dan penunjang khusus yang hanya dapat
dilakukan oleh seorang neurolog.
Buku ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pasien-pasien neuro-onkologi
yang jumlahnya semakin meningkat. Semoga dapat dijadikan pegangan bersama
berbagai macam divisi di dalam neurologi maupun dalam disiplin ilmu lain yang
terlibat dalam neuro-onkologi, seperti bedah saraf, hematoonkologi, radioterapi,
radiblogi, patologi anatomi, dan sebagainya.

Dr. dr. Rini Andriani, SpS


Ketua Pokdi Neuro-onkologi Perdossi (2015-2019)
RATA PENGANTAR
KETUA UMUM PP PERDOSSI

Assalamualaikum Wr. Wb.


Tumor di sistem saraf, baik itu tumor yang berasal dari sistem saraf itu sendiri
(primer) maupun metastasis dari organ lain saat ini semakin banyak ditemukan dalam
praktik neurologi di Indonesia. Ilmu neuro-onkologi saat ini juga semakin berkembang
pesat dengan semakin majunya ilmu neurologi molekuler yang mengakibatkan perubahan
signifikan pada cara diagnosis maupun terapi tumor otak di dunia. Oleh karena itu,
konsep-konsep terkini neuro-onkologi mulai dari diagnosis, terapi, hingga prognosis
sangat penting untuk diajarkan kepada peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis
(PPDS) Neurologi. Dengan demikian sangat diperlukan bahan ajar neuro-onkologi yang
memuat konsep-konsep terbaru dan mudah dipahami oleh mahasiswa maupun dokter
spesialis. Sangat disayangkan bahwa selama ini bahan ajar untuk neuro-onkologi yang
berbahasa Indonesia masih belum tersedia. Pengurus Pusat Perdossi menyambut baik
usaha Kelompok Studi (Pokdi) Neuro-onkologi PERDOSSI untuk menyusun buku ajar ini
yang merupakan buku ajar neuro-onkologi berbahasa Indonesia pertama.
Buku ajar ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
peserta PPDS Neurologi, dokter spesialis neurologi maupun dokter spesialis lain
yang ikut terlibat dalam penanganan pasien tumor pada sistem saraf seperti bedah
saraf, radioterapi, hematologi-onkologi, dan Iain-lain. Di samping itu buku ini juga
diharapkan dapat menjadi pemicu untuk semakin berkembangnya bidang ilmu neuro-
onkologi di Indonesia, baik itu dalam hal pelayanan pasien maupun dalam penelitian.
Akhir kata Pengurus Pusat Perdossi mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada Pokdi Neuro-onkologi PERDOSSI dan seluruh anggota
tim penulis atas kerja keras dan dedikasinya dalam penyelesaian buku ini.
Wassalamua'alaikum Wr. Wb.

Prof. Dr. dr. Moh Hasan Machfoed, Sp.S(K), M.S


Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (2015-2019)
DAFTARISI

DAFTAR EDITOR iii


DAFTAR NAMAPENULIS v
RATA PENGANTAR KETUA POKDINEURO-ONKOLOGI PERDOSSI vii
RATA PENGANTAR KETUA UMUM PP PERDOSSI viii
DAFTAR ISI ix

BAB IPENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 3
1.3. Sasaran 3
1.4. Metodologi 3

BAB IIPRINSIP-PRINSIP PADA NEUROONKOLOGI 5


11.1. Pendahuluan 5
11.2. Manifestasi Klinis Tumor Sistem Saraf Pusat 6
11.3. Komplikasi Kanker pada Sistem Saraf Pusat 7
11.4. Pengkajian pada Bidang Neuroonkologi 9
U.S. Tata Laksana pada Pasien Neuroonkologi 10
II.6. Peran Neurologpada Neuroonkologi 11

BAB III TINJAUAN UMUM TUMOR SISTEM SARAF PUSAT 13


111.1. Epidemiologi 13
111.2. Patofisiologi 15
111.3. Klasifikasi 23
111.4. Diagnosis 29
' III.5. Tata laksana 32
III.6. Komplikasi 34
BAB IV TUMOR OTAK PRIMER 36
IV.l. Pendahuluan 36
IV.2. Epidemiologi 36
IV.3. Tumor Astrositik dan Oligodendroglial Diffusa (Glioma difusa] 37
IV.4. Tumor Astrositik lainnya 45
IV.5. Tumor Ependimal 47
IV.6. Tumor Glioma Lainnya 49
IV.7. Tumor Pleksus Koroideus 52
IV.8. Tumor Regio Pineal 53
IV.9. Tumor Neuronal dan Campuran Neuronal-Glial 55
IV.10. Tumor Regio Sela 64
IV.l 1. Meningioma 65
IV.12. Tumor Otak embrional {embryonal tumors of the brain) 68

BAB V GLIOMA DERAJAT RENDAH 77


V.l. Pendahuluan 77
V.2. Epidemiologi 77
V3. Etiologi 78
V.4. Patofisiologi 78
V.5. Klasifikasi 79
V.6. Faktor Risiko 81
V7.Genetika 81
V.8. Gejala Klinis 82
V.9. Diagnosis 83
V.10. Diagnosis Banding 86
V.ll. Penatalaksanaan 86
V.12. Prognosis 93

BAB yi GLIOMA DERAJAT TINGGI 98


VI. 1. Pendahuluan 98
VI.2. Epidemiologi 98
VI.3. Patofisiologi 99
VI.4. Diagnosis 103
VI.5. Tata Laksana 109
VI.6. Prognosis 112

BAB VII MENINGIOMA DAN TUMOR MENINGEAL LAINNYA 115


VIM. Pendahuluan 115
VII.2. Epidemiologi 115
VII.3. Patofisiologi 117
VII.4. Diagnosis 120
VII.5. Penatalaksanaan 124
VII.6. Prognosis 125

BAB VIII EPENDIMOMA 130


VIII.l. Pendahuluan 130
VIII.2. Epidemiologi 130
VIII.3. Klasifikasi 131
VIII.4. Manifestasi Klinis 133
VIII.5. Diagnosis 133
VIII.6. Penatalaksanaan 135
VIII.7. Prognosis 137

BAB IX TUMOR PINEAL 141


IX. 1. Pendahuluan 141
IX.2. Epidemiologi 141
IX.3. Diagnosis 141
IX.4. Tata Laksana 149
IX.5. Prognosis 149

BAB X TUMOR SARAF KRANIAL 153


' X.l. Pendahuluan 153
X2. Schwannoma Vestibular 154
X.3. Meningioma SarafOptik 158
X.4. Glioma SarafOptik 161
X.5. Tumor Selubung SarafTepi Maligna 165
X.6. Esthesioneuroblastoma 166

BAB XI PRIMARY CENTRAL NERVOUS SYSTEM LYMPHOMA (PCNSL) 170


XI.l. Pendahuluan 170
XI.2. Epidemiologi 170
XI.3. Patofisiologi 171
XI.4. Diagnosis 173
XI.5. Tata Laksana 177
XI.6. Prognosis 180

BAB XII TUMOR REGIO SELA 183


XII. 1. Pendahuluan 183
XII.2. Jenis-jenis massa sela 184
XII.3. Manifestasi Klinis 187
XII.4. Diagnosis 190
XII.5. Tata Laksana 194

BAB XIII TUMOR OTAK SEKUNDER (METASTASIS) 199


XIII.l. Pendahuluan 199
XIII.2. Epidemiologi 199
XIII.3. Patofisiologi 200
XIII.4. Diagnosis 202
XIII.5. Tata Laksana 204
XIII.6. Prognosis 209

BAB XIV TUMOR MEDULA SPINALIS PRIMER 214


XIV.l. Pendahuluan 214
, XIV.2. Epidemiologi 214
XIV.3. Klasifikasi 215
XIV.4. Gejala Dan Tanda Klinis 223
XIV.5. Diagnosis Dan Diagnosis Banding 224
XIV.6. Tata Laksana 225
XTV.7. Prognosis 226

BAB XVTUMOR MEDULA SPINALIS SEKUNDER 232


XV.l. Pendahuluan 232
XV.2. Epidemiologi 233
XV.3. Patofisiologi Tumor Metastasis 233
XV.4. GejaladanTandaKlinis 237
XV.5. Diagnosis 242
XV.6. Diagnosis Banding 248
XV.7. Tata Laksana 248

BAB XVI METASTASIS LEPTOMENINGEAL 263


XVI.l. Pendahuluan 263
XVI.2. Epidemiologi 263
XVI.3. Patofisiologi 264
XVI.4. Gejala Klinis 265
XVI.5. Diagnosis 267
XVI.6. Tata Laksana 271
XVI.7. Prognosis 275

BAB XVIISINDROM PARANEOPLASTIK NEUROLOGIS 279


XVII.l. Pendahuluan 279
XVII.2. Epidemiologi 282
XVII.3. Patogenesis 282
XVII.4. Diagnosis 284
XVII.5. Gejala Klinis 288
XVII.6. Tata Laksana 294

BAB XVIIIPERAWATAN PALIATIF PADA NEURO-ONKOLOGI 298


XVIII.l.Latarbelakang 298
XVIII.2. Definisi 299
XVIII.3. Tim Layanan Paliatif 299
XVIII.4. Tahapan Perawatan Paliatif 300
XVIII.5. Penutup 310

BAB XIX NYERI RANKER 314


XIX.1. Pendahuluan 314
XIX.2. Epidemiologi 315
XIX.3. Patogenesis 316
XIXAGejalaKlinis 321
XIX.5. Manajemen 323
XIX.6. Kesimpulan 334

BAB XX PERAWATAN KRITIS PADA TUMOR OTAK 338


XX.1. Pendahuluan 338
XX.2. Kegawatan Pasien Tumor Otak di Ruang Rawat Intensif 341
XX.3. Kedaruratan Sistem Saraf Pusat 343
XX.4. Kegawatan Neurologi yang Berhubungan dengan Terapi Keganasan 348
XX.5. Perawatan end-of-life 349
XX.6. Kesimpulan 349

BABXXIKOMPLIKASINEUROLOGIS RANKER SISTEMIK 351


XXI.l. Kondisi Hiperkoagulasi Pada Kanker 351
XXI.2. Komplikasi Serebrovaskular pada Keganasan 363
XXI.3 Komplikasi Kanker Sistemik Terhadap Saraf Perifer 365
XXI.4. Nyeri Kepala pada Kanker Sistemik dan Tumor Otak 371

BAB XXIIEVALUASIPASCA PENGOBATAN TUMOR OTAK 386


XXII.l. Pendahuluan 386
XXII.2. Response Assessment in Neuro-Oncology (RANO) 287
XXII.3. Neurologic Assessment in Neuro-Oncology (NANO] 390
XXII.4. Kriteria-kriteria Lain 394
XXII.5. Perawatan Akhir Kehidupan 396
XXII.6. Kesimpulan 397
BAB XXIIIPENDEKATANIMUNOTERAPISELULERPADA GLIOBLASTOMA 399
XXIII.l. Pendahuluan 399
XXIII.2. Imunologi Ranker 400
XXIII.3. Imunoterapi Kanker 400
XXIII.4. Pendekatan Imunoterapi Seluler untuk Glioblastoma 402
XXIII.5. Imunoterapi Vaksinasi untuk Glioblastoma 406
XXIII.6. Pengembangan Imunoterapi Seluler
untuk Glioblastoma di Masa Depan 407
XXIII.7. Kesimpulan 409
PENDAHULUAN
Rusdy Ghazali Malueka

1.1. Latar Belakang


Tumor pada sistem saraf pusat (SSP) dapat ditemukan pada seluruh usia.
Insidensi tumor SSP di Amerika Serikat, baik yang bersifat ganas maupun jinak, di
tahun 2007-2011 adalah 22,36 kasus per 100.000 orang. Tumor intrakranial memiliki
insidensi 10-17 kasus per 100.000 orang dan tumor intraspinal memiliki insidensi
2 kasus per 100.000 orang. Tumor SSP mayoritas bersifat jinak (66%).1 Meskipun
tumor SSP primer yang bersifat ganas hanya berjumlah 2% dari seluruh jenis tumor,
namun memiliki angka mortalitas yang tinggi dan menjadi penyebab kematian karena
kanker kedua pada laki-laki dan kelima pada perempuan usia 20-39 tahun.2
Tumor SSP merupakan tumor terbanyak pada usia 0-19 tahun dengan insidensi
5,42 per 100.000 orang.1 Perempuan memiliki insidensi tumor SSP lebih tinggi
dibandingkan laki-laki (58% berbanding 42%) yang mungkin disebabkan oleh
insidensi meningioma yang tinggi pada perempuan.2
Secara distribusi anatomi, tumor SSP paling banyak terjadi pada meningen (36%),
diikuti lobus frontal (8,6%), temporal (6,4%), parietal (4,0%), dan oksipital (1,1%).1
Tumor SSP yang paling banyak dilaporkan berdasarkan histologi adalah meningioma
(36%) diikuti dengan glioblastoma (15,4%). Glioblastoma tercatat sebagai tumor
ganas terbanyak (45,6%) sedangkan meningioma dilaporkan sebagai tumor jinak
terbanyak (53,7%).*
Tumor SSP dapat berasal dari sel yang melapisi meningen (meningioma),
jaringan otak (glioma, tumor neuronal, tumor pleksus koroideus], dari sel SSP yang
lain (limfoma CNS primer), maupun hasil metastasis sel kanker sistemik.3 Sebanyak
60,9% tumor primer pada otak berupa glioma, dimana tiga perempatnya merupakan
glioblastoma dan astrositoma. Tumor pada korda spinalis lebih jarang terjadi
dibandingkan tumor otak, namun menyebabkan tingkat morbiditas yang tinggi.1
Tumor korda spinalis pada usia 0-19 tahun didominasi oleh jenis tumor ependimal,
dan pada usia di atas 19 tahun didominasi oleh tumor pada meningen.2 Beberapa
tumor terletak pada area anatomi tertentu (contoh: meduloblastoma pada serebelum
dan neurositoma sentral pada lokasi intraventrikular). Beberapa tumor terjadi pada
karakteristik usia tertentu (contoh: meduloblastoma dan astrositoma pilositik pada
usia anak-anak, glioblastoma dan limfoma pada usia yang lebih tua).3
Di Amerika Serikat, terdapat 70.000 kasus baru tumor sistem saraf pusat yang
terdiagnosis setiap tahunnya yang menyebabkan 14.000 kematian, 31% diantaranya
adalah glioma dan 37% merupakan meningioma.4 Di Indonesia masih belum banyak
data yang dilaporkan terkait angka insidensi tumor otak. Di Departemen Neurologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, selama tahun 2011-2015 didapat mayoritas tumor
primer adalah astrositoma (47%) diikuti meningioma (26%). Data di RS Kanker
Dharmais pada tahun 1993-2012 menujukan insidensi tumor otak sebesar 1% dari
seluruh keganasan, jugaterutama golongan glioma (67,4%) dan meningioma (16,3%).5
Penanganan pasien-pasien neuro-onkologi saat ini mangalami perubahan yang
sangat signifikan. Klasifikasi World Health Organization (WHO) tahun 2007 yang
disusun berdasarkan fenotipe sel tumor (misalnya, astrositoma, oligodendroglioma
dan oligoastrositoma/glioma campuran) dan derajat keganasan (yaitu derajat I-IV)
sudah diganti dengan klasifikasi WHO tahun 2016. Klasifikasi tumor SSP (WHO 2016)
menggunakan parameter molekuler di samping histologi untuk mendefinisikan
entitas tumor, sehingga memformulasikan diagnosis tumor SSP di era molekuler.
Karakteristik molekuler tumor menjadi sangat penting diketahui karena selain
berperan dalam penentuan diagnosis, juga beperan dalam menentukan prognosis
dan kemungkinan keberhasilan kemoterapi.6
Tatalaksana tumor SSP memerlukan pelayanan multidisiplin yang melibatkan
neurolog ahli neuro-onkologi, bedah saraf, hemato-onkologi, radioterapi, radiologi,
patologi anatomi, dan sebagainya, serta diperlukan standar pelayanan untuk
penanganan tumor SSP guna mendapatkan hasil pengelolaan yang maksimal dan
efisien. Penyempurnaan dan revisi standar pelayanan harus selalu dilakukan secara
berkala dan disesuaikan dengan kemajuan ilmu mutakhir yang berbasis bukti,
sehingga dapat diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi penderita tumor
sistem saraf di Indonesia.
Dari berbagai penjelasan di atas jelas terlihat bahwa bidang neuro-onkologi
semakin berkembang pesat. Oleh sebab itu diperlukan adanya suatu bahan ajar yang
bisa digunakan oleh dokter umum, residen neurologi, maupun neurolog untuk lebih
memahami kasus-kasus neuro-onkologi.

1.2. Tujuan
Buku ajar ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai
neuro-onkologi secara komperehensif dan memberikan rekomendasi yang berbasis
bukti tentang pengelolaan pasien dengan tumor pada sistem saraf.

1.3. Sasaran
Buku ini disusun sebagai pegangan bagi Dokter yang memiliki kewenangan klinis
sesuai dengan tingkat kompetensinya, seperti neurolog khususnya divisi neuro-
onkologi, bedah saraf, radioterapi, dan lain sebagainya, serta dokter residen yang
sedang menjalani pendidikan spesialis neurologi maupun dokter umum yang sedang
menjalani koasistensi di Bagian Neurologi.

1.4. Metodologi
Pedoman ini menggunakan sumber pustaka dari berbagai jurnal, termasuk
jurnal elektronik. Penyusunan buku pedoman juga menggunakan buku-buku ajar
dalam bidang neurologi dan neuro-onkologi serta konsensus dari NCCN (National
Comprehensive Cancer Network), EANO (European Association of Neuroonocology),
NICE [National Institute for Health and Care Excellence), klasifikasi dari WHO dan
sebagainya.
Daftar Pustaka
1. Ostrom Q, Gittleman H, Fulop J, Liu M, Blanda R, Kromer C, dkk. CBTRUS statistical report: primary
brain and central nervous system tumors diagnosed in the United States in 2008-2012. Neuro-
•„ Oncology. 2015;17[suppl 4):ivl-62.
2. Gittleman H, Ostrom Q, Rouse C, Dowling J, de Blank P, Kruchko C, dkk. Trends in central nervous
system tumor incidence relative to other common cancers in adults, adolescents, and children in
the United States, 2000 to 2010. Cancer. 2014;121(1):102-12.
3. Kumar V, Abbas A, Aster J. Robbins and cotran pathologic basis of disease. Edisi ke-9. Philadelphia
(Pa.): Elsevier Saunders; 2015.
4. Bernstein M, Berger M. Neuro-oncology: the essential. Edisi ke-3. New York: Thieme Medical
Publishers, 2015.
5. Aninditha T, Wiratman W. Buku ajar neurologi. Departemen Neurologi Fakultas Kedokeran
Universitas Indonesia; 2017.
6. Malueka RG, Yudiyanta, Asmedi A. Peran penanda molekuler pada terapi glioma. Neurona.
2017;35(l):36-44.
PRINSIP-PRINSIP PADA NEUROONKOLOGI
Teguh Asaad Suhatno Ranakusuma

II. 1. Pendahuluan
Neuroonkologi merupakan area keilmuan onkologi yang sangat menarik dan
berkembang pesat. Heterogenitas dari tumor intrakranial kini telah diteliti lebih lanjut
pada level molekuler dan menggunakan pendataan genetik. Hal ini mengarahkan
kepada penggunaan genomik dan terapi yang disesuaikan untuk pasien. Analisis
biologi seluler pada tumor SSP merupakan pendekatan yang menarik karena saat
ini pemahaman mengenai ontogeni dan fungsi dari sel saraf telah mengarah kepada
translasi keilmuan.
Neuroonkologi merupakan bagian dari onkologi yang mempelajari neoplasma
atau keganasan pada sistem saraf pusat (SSP). Tumor SSP terbagi menjadi tumor
primer, sekunder, dan paraneoplastik, dan memiliki karakteristik yang unik. Tidak
hanya karena otak dan medula spinalis merupakan organ yang krusial bagi tubuh,
organ ini juga berada pada sebuah sistem tertutup sehingga lesi berukuran kecil dapat
menimbulkan lesi desak ruang, peningkatan tekanan intrakranial (TIK), dan gejala
yang signifikan. Tidak hanya itu, area fungsional yang menjalankan peran spesifik
(sensorik, motorik, eksekutif, keseimbangan, dan Iain-lain) memiliki volume yang
kecil, sehingga massa tumor atau desakan yang relatif "kecil" dapat menimbulkan
tanda dan gejala yang berat.
Tumor SSP memiliki manifestasi klinis neurologis dengan komplikasi sistemik yang
beragam, tergantung pada lokasi dan volume lesi. Sebaliknya, tidak jarang juga ditemukan
gangguan neurologis pada pasien dengan kanker sistemik. V;;riasi gangguan ini perlu
dikaji dan ditangani oleh seorang neurolog dengan baik. Oleh karena itu, seorang neurolog
juga harus memiliki pengetahuan yang komprehensif mengenai onkologi sebagai dasar
dalam diagnosis, tata laksana, dan edukasi pada pasien-pasien neuroonkologi.
Tata laksana yang adekuat, efektif, dan komprehensif tidak hanya dapat
meningkatkan kesintasan dan menurunkan disabilitas, namun juga dapat
meningkatkan kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan pada pasien (health-
related quality of life). Peningkatan kesintasan tidak hanya akan berdampak pada
keadaan psikososioekonomi, namun juga pada peningkatan jumlah sumber daya
manusia yang produktif peran serta tercapainya bonus demografi.

II.2. Manifestasi Klinis Tumor Sistem Saraf Pusat


Tumor intrakranial peningkatan TIK dan defisit neurologis melalui penekanan
pada parenkim otak dan jaringan-jaringan penunjang lainnya seperti pembuluh.
Selain efek desak ruang langsung, massa tumor juga dapat merusak homeostasis
tubuh dengan memicu sekresi zat-zat proinflamasi, protrombotik, imunosupresi, dan
gangguan aksis hipotalamus. Sitokin proinflamasi pada kanker dapat menyebabkan
katabolisme protein, sehingga terjadi pemecahan sel-sel otot yang berperan pada
kaheksia. Perubahan fungsi tubuh sekaligus faktor-faktor proinflamasi dan stressor
psikososial bersama-sama dapat menyebabkan terjadinya depresi pada tumor otak.
Manifestasi neurologis tumor otak adalah nyeri kepala, gangguan motorik
atau sensorik, kejang, penurunan kesadaran, dan defisit kognitif. Gejala-gejala ini
muncul dan berkembang secara perlahan, sehingga tumor otak sulit untuk dideteksi
secara dini pada saat gejalanya belum dirasakan menganggu. Namun pada keadaan
perubahan mendadak sistem homeostasis tubuh, tumor otak juga dapat menimbulkan
manifestasi klinis yang bersifat akut.
i Sementara itu, tumor medulla spinalis dapat bermanifestasi sebagai gangguan
motorik, sensorik, otonom, disfungsi seksual, gangguan berjalan, sehingga
menimbulkan disabilitas dan gangguan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Kompresi medula spinalis berat tidak hanya dapat menyebabkan paraplegia atau
quadriplegia, namun juga dapat menyebabkan kematian.1
Berbeda dengan tumor otak, tanda dan gejala neurologis pada sindrom
paraneoplastik bukan ditimbulkan oleh invasi langsung dari sel tumor namun
melibatkan reaksi autoimun oleh autoantibodi patogen. Tanda dan gejala neurologis
pada sindrom paraneoplastik beragam melibatkan otot, neuromuscular junction, saraf
perifen saraf sensoris dan otonom, medulla spinalis, ataupun bagian otak khusus.
Penegakkan diagnosis pada sindrom paraneoplastik bergantung pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang teliti dan menyeluruh serta melibatkan pemeriksaan antibodi
spesifik jika diperlukan.2

11.3. Komplikasi Ranker pada Sistem Saraf Pusat


Geenen dkk mendapatkan bahwa terdapat 19% penyintas kanker masa kanak-kanak
yang memiliki komplikasi neurologis seperti kejang, disfungsi motorik, dan disfungsi
sensorik pada usia dewasa. Selain itu, hasil otopsi Memorial Sloan-Kettering Cancer
Center (MSKCC) pada pasien-pasien yang menderita kanker selama hidupnya ditemukan
metastasis intrakranial sebesar 24%. Metastasis intrakranial paling sering dari melanoma
(72%), paru (34%), prostat (31%), payudara (30%), saluran kemih (23%), limfoma non-
Hodgkin (16%), serta kolon, pankreas, dan genital perempuan sebanyak 7%.3
Penelitian terhadap 2.244 pasien kanker yang dirujuk ke Neurologi di MSKCC
mendapatkan gejala neurologis yang paling banyak adalah perubahan status
mental diikuti nyeri punggung (Tabel 2.1). Adapun diagnosis neurologis dari
2.219 pasien dengan kanker tersering adalah metastasis otak diikuti metastasis
epidural (Tabel 2.2].4

Pasien dengan komplikasi neurologis pada kanker harus segera ditangani, karena
berkaitan dengan kesintasan dan kualitas hidup pasien.
II.4. Pengkajian pada Bidang Neuroonkologi
Kajian komprehensif pada pasien kanker dengan defisit neurologis diperlukan
karena gangguan ini memiliki efek yang luar biasa terhadap hidup pasien. Pasien
yang sebelumnya memiliki derajat fungsional yang tinggi dapat menurun dan hanya
dapat terbaring dan tidak dapat melakukan aktivitas seperti sedia kala, yang dapat
berlangsung terus-menerus hingga akhir kehidupan pasien.
Pengkajian dan penegakkan diagnosis pada tumor SSP membutuhkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang yang teliti dan komprehensif.
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis dan tingginya risiko serta konsekuensi dalam
pengobatan, menekankan pentingnya pendekatan genomik {genomic medicine) dalam
diagnosis dan dalam menentukan tata laksana yang prospektif dan berorientasi klinis
pada pasien dengan tumor SSP. Penggunaan analisis data genomik atau pendekatan
mutakhir dalam tata laksana pasien merupakan tanggung jawab moral dan etik
profesi kedokteran sesuai dengan medical utility, futility, dan necessity.

Evaluasi terapi pada pasien neuroonkologi bertujuan untuk menentukan tata


laksana lanjutan dan prognosis pasien. Penilaian derajat fungsional pasien dibutuhkan
untuk menilai kesiapan fisik pasien karena tata laksana kanker memiliki efek samping
yang tidak sedikit. Selain itu, derajat fungsional juga memiliki peran pada prognosis
pasien. Pasien dengan derajat fungsional yang lebih baik memiliki kesintasan yang
lebih panjang. Saat ini penilaian derajat fungsional yang umum digunakan adalah
dengan Karnofsky Performance Scale (KPS) atau skala Eastern Cooperative Oncology
Group (ECOG), sementara penilaian respons radiologis dan atau klinis menggunakan
penilaian Radiologic Assessment in Neuro-Oncology (RANO) dan Neurologic Assessment
in Neuro-Oncology (NANO).

Pengkajian nyeri juga penting untuk dilakukan pada pasien kanker, merujuk pada
tingginya prevalensi nyeri pada pasien dengan kanker (70-80%]. Nyeri yang dialami
dapat berasal dari invasi tumor pada struktur-struktur sensitif nyeri atau penekanan
massa tumor dari luar. Pengkajian nyeri berkala merupakan komponen penting dalam
pelayanan karena tata laksana nyeri pada pasien onkologi diberikan dalam jangka
panjang sehingga perlu dievaluasi sesuai kebutuhan pada pasien.
Pengkajian fungsi kognitif melalui Mini Mental State Examination (MMSE) atau
Montreal Cognitive Assessment versi Indonesia (MoCA-Ina) pada awal diagnosis
maupun sebagai evaluasi terapi juga penting untuk dikaji. Hal ini terutama pada saat
sebelum mendapatkan tata laksana kemoterapi dan atau radioterapi dan dilakukan
evaluasi berkala untuk menilai progresivitas penurunan fungsi kognitif pada pasien.
Pada tumor tulang belakang dan kelainan medulla spinalis, pengkajian
dan pengetahuan mendalam mengenai presentasi klinis dan pencitraan dapat
memudahkan neurolog untuk membuat keputusan klinis yang akurat dan dalam
menentukan tata laksana lanjutan. Diagnosis dini dan tata laksana yang tepat dan
adekuat dapat menunda dan meringankan gejala serta disabilitas yang terjadi pada
pasien dengan tumor medulla spinalis.1

II. 5. Tata Laksana pada Pasien Neuroonkologi


Pendekatan tata laksana pada pasien neuroonkologi terbagi menjadi kuratif dan
paliatif, dengan tujuan untuk memperpanjang kesintasan. Pendekatan kuratif masih
memiliki tempat dalam neuroonkologi, terutama pada tumor jinak, dengan ukuran
yang tidak besar, serta dapat dijangkau oleh operator. Berbeda dengan tata laksana
kuratif yang lebih agresif dan invasif, tata laksana paliatif lebih berfokus kepada
peningkatan kualitas hidup pasien dan keluarga. Pendekatan ini dapat dilakukan
pada tahap apapun dan dapat diberikan di RS, instalasi gawat darurat, rawat jalan,
ataupun di rumah. Pendekatan paliatif dilakukan untuk menanggulangi gejala akibat
tumor untuk menjaga atau meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga.5 Pada
pendekatan tata laksana paliatif, diperlukan kerjasama multidisiplin termasuk
pemantauan tanda dan gejala secara berkala serta tata laksana adekuat oleh neurolog,
serta melibatkan akupuntur dan mempetimbangkan penggunaan obat-obatan alami
dalam meringankan beban penyakit pasien.
Modalitas yang digunakan pada pasien neuroonkologi bervariasi mulai dari
pembedahan, kemoterapi, radioterapi, terapi tertarget. Pemilihan modalitas terapi
untuk pasien neuroonkologi merupakan sebuah seni yang membutuhkan pengkajian
yang komprehensif. Selain itu, hendaknya seorang neurolog memperhatikan
preferensi pengobatan pasien dan keluarga dengan mempertimbangkan cost
effectiveness. American Society of Clinical Oncology merekomendasikan layanan tata
laksana paliatif bersamaan dengan tata laksana aktif sesegera mungkin pada tahap
awal penyakit pada pasien neuroonkologi yang memiliki prognosis 6-24 bulan.5
Salah satu tantangan yang perlu untuk dijawab tata laksana efektif pada tumor
SSP terkait dengan patofisiologi dan metastasis. Sawar darah otak melindungi SSP
dengan cara mencegah bakteri dan toksin berbahaya pada aliran darah untuk masuk
SSP, termasuk obat-obatan. Hal ini menyebabkan agen kemoterapi yang diberikan
secara oral atau intravena tidak dapat menghantarkan konsentrasi yang efektif kepada
sel tumor SSP sehingga efek terapi yang diharapkan tidak adekuat. Hal ini berbeda
dengan jenis kanker lainnya yang memiliki pilihan kemoterapi yang beragam. Tidak
hanya itu, kerusakan sawar darah otak yang terjadi pada tumor SSP juga berperan
dalam metastasis sel tumor primer ke SSP. Potensi keterbatasan dan kemungkinan
kerusakan sawar darah otak, serta strategi untuk mencapai penghantaran terapi
potensial secara efektif kepada tumor SSP dan mencegah metastasis merupakan
tantangan yang perlu dijawab dan dipecahkan bersama oleh neurolog.

II.6. Peran Neurolog pada Neuroonkologi


Pendekatan diagnostik dan tata laksana pada pasien neuroonkologi membutuhkan
kerjasama yang baik antar disiplin. Neurolog merupakan inisiator dan pemimpin
dalam melakukan pencegahan, menentukan diagnosis, tata laksana, dan menentukan
prognosis pada pasien. Dalam memenuhi tantangan revolusi industri 4.0, seorang
neurolog sejatinya mampu untuk mengintegrasikan dan mengaplikasikan temuan
mutakhir dalam pelayanan terhadap pasien {society), seperti penggunaan analisis data
genomik {genomic medicine] sebagai tanggung jawab moral dan etik profesi kedokteran
sesuai dengan medical utility dan necessity, sehingga diharapkan seorang neurolog dapat
memberikan edukasi pencegahan, pendekatan diagnosis, tata laksana, dan menentukan
prognosis yang sesuai dengan masing-masing kasus neuroonkologi yang unik.
Tata laksana yang adekuat, efektif, dan komprehensif tidak hanya dapat
meningkatkan kesintasan dan menurunkan disabilitas, namun juga dapat
meningkatkan kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan pada pasien {health-
related quality of life). Peningkatan kesintasan tidak hanya akan berdampak pada
perbaikan keadaan sosioekonomi, namun juga pada peningkatan jumlah sumber daya
manusia yang produktif yang kemudian berperan dalam bonus demografi.
Daftar Pustaka
1. Wu J, Ranjan S. Neoplastic Myelopathies. Contin Lifelong Learn Neurol. 2018 Apr;24:474-96.
2. Lancaster E. Paraneoplastic Disorders. Contin Lifelong Learn Neurol. 2017 Dec;23:1653-79.
3. Geenen MM, Cardous-Ubbink MC, Kremer LCM, van den Bos C, van der Pal HJH, Heinen RC, et al.
Medical Assessment of Adverse Health Outcomes in Long-term Survivors of Childhood Cancer.
JAMA. 2007 Jun 27;297:2705.
4. DeAngelis LM, Posner JB. Neurologic Complications of Cancer. 2nd ed. New York: Oxford University
Press; 2009.
5. Walbert T. Palliative Care, End-of-Life Care, and Advance Care Planning in Neuro-oncology. Contin
Lifelong Learn Neurol. 2017 Dec;23:1709-26.
Tumor SSP dapat berasal dari meningen, jaringan otak (glioma, tumor neuronal,
tumor pleksus koroideus), sel SSP yang lain (limfoma CNS primer), atau hasil
metastasis sel kanker sistemik.6 Glioma merupakan tumor primer terbanyak pada otak
(60,9%) yangtiga perempatnya merupakan glioblastoma dan astrositoma.1 Beberapa
tumor memiliki letak distribusi anatomi yang khas (contoh: meduloblastoma pada
serebelum dan neurositoma sentral pada lokasi intraventrikular) dan karakteristik
persebaran usia tertentu (contoh: meduloblastoma dan astrositoma pilositik pada
usia anak-anak, glioblastoma dan limfoma pada usia yang lebih tua).6
III.2. Patofisiologi
Biologi Tumor
Replikasi sel pada makhluk hidup terbentuk dari proses pembelahan yang disebut
mitosis. Proses pembelahan terbagi menjadi 4 tahap, yaitu Gl, S, G2, mitosis (M), dan
GO (fase istirahat). Dalam tahap mitosis, terbagi menjadi empat tahapan lagi yaitu
tahap profase, metafase, anapase, dan telofase.7
Sel akan mengalami kematian saat mencapai fase akhir usia sel. Proses kematian
sel terbagi menjadi dua berdasarkan mekanismenya, yaitu nekrosis sel dan apoptosis.
Nekrosis adalah kematian sel yang tidak terprogram dan dapat disebabkan oleh
virus, toksin bakteri, atau komplemen. Sel yang mengalami nekrosis akan mengalami
pembengkakan, hancurnya membran plasma, pecahnya sel, hingga keluarnya isi sel
ke lingkungan luar. Kematian secara nekrosis dapat menstimulasi respons imun yang
dapat menghancurkan sel-sel disekitarnya. Apoptosis sendiri adalah proses kematian
sel yang terprogram. Proses apoptosis didasarkan pada keseimbangan antara
kelangsungan dan kematian sel yang dikendalikan oleh molekul antiapoptosis dan
proapoptosis. Proses apoptosis ini tidak terjadi pada sel tumor oleh karena sel tumor
mampu menekan apoptosis dan meningkatkan aktivasi pertumbuhan sel.7
Hanahan dan Weinberg mengemukakan teori "Hallmarks of cancer" (Gambar
3.2] tentang konsep fundamental yang menjelaskan tahap-tahap transformasi dari
malignansi, yang terdiri atas: 68

1. Kemampuan berproliferasi [sustaining proliferative signaling)


Kemampuan ini didapat sel tumor dengan cara menghasilkan ligan growth factor
sendiri (stimulasi proliferasi otokrin), menstimulasi sel normal disekitarnya
untuk menghasilkan faktor pertumbuhan/growt/i factor (GF), meningkatkan
jumlah reseptor terhadap GF dalam sel tumor, hingga menghambat umpan balik
{feedback loop) untuk meningkatkan proliferasi sel.
2.1 Tidak berespons terhadap sinyal penghambat pertumbuhan [evading growth
supressors)
Sel tumor mampu menghindari "inhibisi kontak" yang mampu menghambat
proliferasi sel. Kerusakan pada gen supresor tumor seperti TP53 dan pRB juga
dapat menghilangkan kemampuan apoptosis dari sel.
3. Kemampuan untuk menghindari respons imun (avoiding immune destruction)
Sel tumor dapat menghindari survelians dari sistem imun dengan cara merusak
sel-sel imun seperti limfosit T sitotoksik dan sel natural killer (NK] melalui
sekresi TGF-(3 dan faktor imunosupresif lainnya, serta mengaktivasi sel limfosit
T regulatori dan myeloid-derived supressor cells (MDSC) untuk menghambat sel
T sitotoksik.
4. Kemampuan untuk replikasi yangtidak terbatas (enabling replicative immortality)
Bagian ujung dari telomer suatu sel berperan penting pada kematian sel. Semakin
pendek ujung telomer maka semakin singkat hidup sel. Sel ganas memiliki
enzim telomerase yang mampu memperpanjang ujung telomer sehingga dapat
memperpanjang waktu hidup sel.
5. Kemampuan menimbulkan inflamasi (tumor-promoting inflammation)
Selama ini respons imun dianggap sebagai suatu mekanisme untuk
menghancurkan sel tumor, tetapi studi terbaru menunjukkan respons imun dapat
meningkatkan tumorigenesis. Mekanismenya dapat dengan menghasilkan GF,
survival factor yang dapat membatasi kematian sel, faktor proangiogenik, enzim
yang memodifikasi matriks yang memfasilitasi proses angiogenesis, invasi, dan
metastasis, serta sinyal induksi yang mengakibatkan aktivasi transisi menjadi sel
mesenkimal. Selain itu, sel inflamasi dapat menghasilkan ROS (reactive oxygen
species) yang merupakan mutagenik bagi sel kanker.
6. Kemampuan untuk menginvasi jaringan lain dan berpindah ke lokasi lain
(activating invasion & metastasis)
Sel normal tidak dapat berpindah ke jaringan lain karena adanya adesi antar sel
yang menghalangi perpindahan sel. Sel tumor dapat berubah dari sel epitelial
menjadi mesenkimal sehingga dapat berpindah ke pembuluh darah dan masuk
ke jaringan lain (metastasis).
7. Kemampuan angiogenesis (inducing angiogenesis)
Sel tumor dapat meningkatkan produksi vascular endothelial growth factor
(VEGF) dengan stimulasi onkogen dan sel-sel inflamatori sehingga sel tumor
dapat mempertahankan nutrisi dan suplai oksigen sel tumor.
8. Instabilitas [genome instability & mutation)
Sel tumor dapat merusak sistem pengendalian mutasi sel (seperti TP53) dan
meningkatkan sensitivitas sel terhadap agen mutagenik sehingga genom dari sel
tumor mengalami instabilitas.
9. Tidak merespons terhadap sinyal apoptosis [resisting cell death)
Sel tumor memiliki cara menghindari kematian sel dengan mekanisme otofagi
serta stimulasi dari agen proinflamatorik dari sel yang mengalami nekrosis.
10. Kemampuan mendapatkan energi sel [deregulating cellular energetic)
Sel tumor membutuhkan energi yang banyak, sehingga dapat memodifikasi
produksi energi dengan membatasi metabolisme glukosa melalui glikolisis
anaerob.
Molekuler dan Genetik
Onkogenesis merupakan proses transformasi sel normal menjadi keganasan,
sebagai hasil dari mutasi yang menyebabkan adanya kerusakan pada genom. Mutasi
tersebut dapat berasal dari proses endogen seperti kesalahan dalam replikasi DNA,
instabilitas dari basa DNA, maupun instabilitas kimia pada DNA tertentu karena radikal
bebas dari hasil metabolisme. Kerusakan DNA juga dapat terjadi karena interaksi dari
agen eksogen seperti radiasi ionisasi, radiasi ultraviolet, dan karsinogen kimia.9
Gen yang mengalami perubahan pada tumor SSP dapat dibagi menj adi dua kategori
umum yaitu oncogenes (onkogen) dan tumor suppressor genes (gen penghambat
pertumbuhan]. Produk protein dari onkogen dapat menginisiasi proliferasi sel dan
karakteristik lain seperti invasi, angiogenesis, dan resistensi terhadap apoptosis.
Onkogen dapat diaktivasi baik oleh peningkatan sintesis protein yang berhubungan
maupun oleh perubahan dari fungsi protein melalui mutasi gen dimana hampir
semuanya disebabkan karena amplifikasi gen. Amplifikasi akan menyebabkan
peningkatan jumlah gen tertentu di dalam sel.10
Tumor supressor genes (TSG) berperan dalam menghambat pertumbuhan sel.
TSG memiliki hubungan dengan sindrom kanker yang bersifat herediter, seperti TSG
dengan kode TP53, NF2, dan VHL berhubungan dengan sindrom kanker tertentu,
yaitu Li-Fraumeni (TP53) dan neurofibromatosis tipe 2 (NF2).
Tumor otak dihasilkan dari proses bertahap yang didorong oleh perolehan
sekuensial perubahan genetik. Ini termasuk hilangnya TSG (misalnya p53 dan PTEN)
serta amplifikasi dan ekspresi berlebih pada protoonkogen seperti epidermal growth
factor receptor (EGFR) dan platelet derrived growth factor (PDGF) dan reseptornya
[platelet derrived growth factor receptor [PDGFR]). Akumulasi kelainan genetik ini
menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol dan terbentuknya tumor.11
Target utama perubahan sel pada tumor otak adalah neural stem cells (NSC]
oleh karena mampu memperbaharui diri dalam jangka waktu yang panjang. NSC
bersifat multipoten, yaitu mempunyai kemampuan untuk membelah diri menjadi
beragam jenis sel, yaitu neuron progenitor cells (NPC), oligodendrocyte precursor cells
(OPC), dan astrocyte precursor cells (APC). Adanya mutagenesis menyebabkan sel-
sel tersebut mampu berproliferasi menginduksi tumorigenesis menjadi astrositoma,
oligodendrolioma, dan seterusnya (Gambar 3.3).
Pertumbuhan sel yang abnormal secara terus menerus akan menyebabkan
vaskularisasi dari pembuluh darah host tidak mencukupi sehingga terjadi hipoksia.
Hal ini memicu sel tumor menyekresi vascular endothelial growth factor (VEGF]
untuk merangsang pembentukan pembuluh darah atau angiogenesis. Selain itu sel
tumor menyekresi sitokin proinflamasi yang menyebabkan kerusakan pada okludin,
suatu protein tight junction antar endotel. Hal ini menyebabkan pembuluh darah
yang terbentuk tidak sama morfologinya dengan yang normal, antara lain hilangnya
tight junction antar endotel dan tidak utuhnya membran basalis, yang disebut
sebagai keadaan rusaknya sawar darah otak (SDO] atau blood brain barrier (BBB).
Pada keadaan tersebut terjadi ekstravasasi cairan ke sekitar jaringan tumor (edema
peritumoral) sebagai suatu edema vasogenik. Hal inilah yang menyebabkan lesi desak
ruang yang menyebabkan peningkatan tekanan intracranial.5
Tumor glia atau glioma merupakan tumor dari jaringan penunjang, seperti
astrositoma berasal dari sel astrosit dan ependimoma dari sel ependim. Adapun
meningioma berasal dari sel meningotel araknoid. Derajat keganasan masing-masing
tumor dinilai menurut keriteria WHO berdasarkan tingkat proliferasi dan keaktifan
bermitosis, mulai dari derajat I yang tingkat proliferasinya paling rendah hingga
derajat IV yang paling aktif bermitosis dan dianggap ganas.5
Sindrom familial hanya mencakup kurang dari 5% tumor SSP. Sindrom genetik
tertentu yang berhubungan dengan kejadian tumor otak dapat dilihat pada Tabel 3.I.11
Tumor otak dihasilkan dari proses bertahap yang didorong oleh perolehan
sekuensial perubahan genetik. Ini termasuk hilangnya TSG (misalnya p53 dan PTEN)
serta amplifikasi dan ekspresi berlebih pada protoonkogen seperti epidermal growth
f
factor receptor (EGFR) dan platelet derrived growth factor (PDGF] dan reseptornya
{platelet derrived growth factor receptor [PDGFR]). Akumulasi kelainan genetik ini
menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol dan terbentuknya tumor.11
Klasifikasi glioma, salah satu tumor otak primer, secara tradisional didasarkan
pada histopatologis walaupun saat ini beralih ke klasifikasi molekuler berdasarkan
karakteristik genetik yang dimiliki. Glioblastoma (GBM) primer memiliki karakteristik
molekuler yang berbeda dengan GBM sekunder. GBM pada pasien anak juga sangat
berbeda dari GBM pada dewasa terkait profil mutasi dan ekspresi gennya. Hal ini
dapat memiliki implikasi pada pemilihan terapi target pada tumor-tumor ini.11
Berikut ini adalah beberapa mutasi genetik yang diketahui berperan pada berbagai
tipe glioma:11
a. Glioma dengan mutasi isocitrate dehydrogenase (IDH) 1 and 2
1) Oligodendroglioma derajat rendah (WHO derajat 2]
a) Kodelesi lengan kromosom lp dan 19q
b) Mutasi promotor telomerase reverse transcriptase (TERT)
c) Mutasi pada homolog Drosophila capicua gene (CIC) atau gen far-up-
stream binding protein 1 (FUBP1)
d) Mutasi Notchl
2) Anaplastic oligodendrogliomas (AOs) (WHO derajat 3): selain mutasi-mutasi
di atas juga bisa mempunyai mutasi pada
a) CDKN2A
b) Mutasi subunit phosphatidylinositol-3-OH kinase (PI3K) mencakup PIK-
3CA dan PIK3R1
3) Astrositoma derajat rendah (WHO derajat 2)
a) Mutasi TP53
b) Mutasi-mutasi alfa talasemia/menta/ retardation syndrome X-linked
(ATRX)
4) Astrositoma anaplastik (WHO derajat 3): selain mutasi-mutasi di atas juga
bisa mempunyai mutasi pada
a) CDK4 dan CDKN2A
b) Amplifikasi MDM2
c) Loss of heterozygosity (LOH] pada kromosom lOq
5) GBM dewasa sekunder (WHO derajat 4 astrositoma yang berasal dari glioma
derajat yang lebih rendah): selain mutasi-mutasi di atas (mencakup isocitrate
dehydrogenase-1 [IDH1], TP53, and ATRX)
a) Amplifikasi PDGFRA

b. Glioma tanpa mutasi IDH1 atau IDH2


1) GBM dewasa primer [de novo): mayoritas (90%-95%)
a) Perubahan reseptor tirosin kinase mencakup amplifikasi EGFR, delesi/
mutasi PTEN, mutasi subunit PI3K, amplifikasi PDGFRA, dan mutasi NF1
b) Perubahan gen retinoblastomal (Rbl) mencakup delesi/mutasi CDK-
N2A/pl6, amplifikasi CDK4, dan mutasi/delesi Rbl
c) Perubahan p53 mencakup delesi/mutasi CDKN2A/ARF, amplifikasi
MDM2, dan delesi/mutasi TP53
2) GBM anak: hampir selalu muncul de novo
a) Mutasi H3F3
b) Mutasi death-domain associated protein (DAXX)
c) Mutasi TP53
d) Mutasi ATRX

Berikut ini adalah beberapa mutasi genetik yang diketahui berperan pada
berbagai meduloblastoma: 11
a. Perubahan jalur sonic hedgehog (SHH)
b. Perubahan jalur wingless (WNT)
c. Amplifikasi tingkat tinggi MYC
d. Amplifikasi MYCN dan cyclin-dependent kinase 6 (CDK6)
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan juga diketahui berhubungan dengan kejadian tumor primer
otak. Namun demikian, hanya ada dua faktor yang benar-benar diketahui merupakan
faktor risiko tumor otak primer, yaitu:11
1. Radiasi kepala dihubungkan dengan peningkatan risiko meningioma (10 kali lipat}
dan glioma (3-7 kali lipat] dengan periode latensi 10-20 tahun setelah paparan.
2. Imunosupresi dikaitkan dengan peningkatan risiko limfoma SSP.

Hubungan antara tumor otak primer dengan bentuk radiasi lainnya seperti
radiasi elektromagnetik dan radio frekuensi (dari telepon seluler) masih belum jelas.

111.3. Klasifikasi
Klasifikasi dari tumor SSP berdasarkan WHO adalah sistem yang digunakan untuk
mengklasifikasikan tumor SSP berdasarkan karakteristik histologi dan molekuler.
Acuan terbaru yang digunakan adalah klasifikasi tumor SSP dari WHO tahun 2016
yang merupakan pembaruan/update dari klasifikasi sebelumnya yang keluar di tahun
2007. Pembaruan yang terdapat dari sistem klasifikasi tersebut adalah penggunaan
parameter molekuler sebagai tambahan terhadap parameter histologi, penambahan
jenis tumor yang baru terdiagnosis, dan mengeliminasi beberapa jenis kategori yang
tidak memiliki relevansi biologis dan diagnosis.12
1. Klasifikasi Selular Tumor SSP menurut WHO:
a. Tumor neuroepitelial; tumor yang berasal dari sel neuron dan glia, yaitu
astrositoma, oligodendroglioma, ependimoma, tumor parenkim pineal, dan
sebagainya.
b. Tumor SSP lain; berasal dari sel non-glial, seperti tumor sela, tumor hematopoetik,
germ cell tumor, meningioma, dan tumor saraf kranial (schwannoma).

Namun, banyak peneliti yang tidak menggunakan klasifikasi tersebut dan


membagi tumor otak menjadi tumor glial dan non-glial.

2. Pembagian tingkatan (grading) tumor berdasarkan WHO.12


a. WHO derajat I: tumor yang bersifat tidak ganas, pertumbuhannya bersifat
lambat, berhubungan dengan usia harapan hidup yang panjang, dan dapat
sembuh dengan reseksi bedah saja
b. WHO derajat II: tumor yang dapat bersifat ganas maupun jinak dengan lesi
menunjukkan sel atipikal yang bersifat infiltratif meskipun dengan aktivitas
mitosis yang rendah. Pertumbuhannya bersifat relatif lambat meskipun
beberapa jenis tumor cenderung berkembang ke tingkat keganasan yang
lebih tinggi.
c. WHO derajat III: lesi dengan bukti histologi keganasan, termasuk atipia/
anaplasia nuklir dan aktivitas mitosis yang meningkat. Lesi ini memiliki
histologi anaplastik dan kapasitas infiltratif. Tumor biasanya diobati dengan
radioterapi dan/atau kemoterapi adjuvan yang agresif.
d. WHO derajat IV: tumor yang dapat bereplikasi dengan cepat serta memiliki
sifat ganas dan agresif. Lesi bersifat mitotis aktif, rawan nekrosis, dan
umumnya terkait dengan neovaskularitas serta infiltrasi jaringan di
sekitarnya. Selain itu memiliki kecenderungan penyebaran kraniospinal
dan perkembangan pascaoperatif yang cepat dengan hasil yang fatal. Lesi
biasanya diobati dengan terapi adjuvan agresif, seperti protokol Stupp yang
menggabungkan kemoradiasi.
III.4. Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada umumnya keluhan yang timbul dapat berupa defisit neurologis yang bersifat
progresif (penglihatan ganda, strabismus, gangguan keseimbangan, kelumpuhan
ekstremitas, gangguan pendengaran unilateral, gangguan sensasi wajah, dsb), kejang,
perubahan kepribadian, mood, mental, atau penurunan fungsi kognitif. Gejala lain
rang sering ditemukan adalah peningkatan tekanan intrakranial (sakit kepala hebat
disertai muntah proyektil).
Gejala yang penting adalah gejala awal berupa sakit kepala, sebagai tanda
bahaya adanya kelainan di intrakranial. Anamnesis yang teliti terhadap nyeri kepala
serta defisit neurologis seminimal mungkin seperti gangguan fungsi kognitif yang
berdampak pada aktivitas sehari-hari dapat membantu mendeteksi tumor sekecil
mungkin. Hal ini juga ditunjang dengan pemeriksaan fisik lengkap yang komprehensif
hingga funduskopi untuk memastikan adanya gejala-gejala lesi desak ruang.

Pemeriksaan Neurooftalmologi
Tumor otak melibatkan struktur yang dapat mendestruksi jaras penglihatan dan
gerakan bola mata, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga beberapa
kanker otak dapat memiliki manifestasi neurooftalmologi yang khas seperti tumor
regio sella, tumor regio pineal, tumor fossa posterior, dan tumor basis kranii.
Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan neurooftalmologi terutama untuk
menjelaskan kesesuaian gangguan klinis dengan fungsional kanker otak. Pemeriksaan
ini juga berguna untuk mengevaluasi pre- dan pascatindakan (operasi, radioterapi,
dan kemoterapij pada tumor-tumor tersebut.

Pemeriksaan Fungsi Luhur


Gangguan kognitif dapat merupakan soft sign, gejala awal pada kanker otak,
khususnya pada tumor glioma derajat rendah, limfoma, atau metastasis. Fungsi
kognitif juga dapat mengalami gangguan baik melalui mekanisme langsung akibat
destruksi jaras kognitif oleh kanker otak, maupun mekanisme tidak langsung akibat
terapi, seperti operasi, kemoterapi, atau radioterapi. Oleh karena itu, pemeriksaan
fungsi luhur berguna untuk menjelaskan kesesuaian gangguan klinis dengan
fungsional kanker otak, serta mengevaluasi pre- dan pasca terapi. Bagi keluarga,
penilaian fungsi luhur akan sangat membantu dalam merawat pasien dan melakukan
pendekatan berdasarkan hendaya yang timbul.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Cairan Serebrospinal
Tindakan pungsi lumbal merupakan salah satu tindakan yang penting dalam
penegakan diagnosis tumor otak. Selain analisa rutin cairan serebrospinal, dapat

dilakukan pemeriksaan sitologi, flowcytometry, dan immunophenotyping untuk
menegakkan diagnosis limfoma pada susunan saraf pusat, kecurigaan metastasis
leptomeningeal, atau penyebaran kraniospinal seperti ependimoma.
b. Pemeriksaan EEG
EEG memiliki peran penting dalam penegakan diagnosis kasus tumor otak.
Pemeriksaan EEG dapat mendeteksi adanya lesi fokal yang melibatkan bagian
superfisial dari hemisfer serebri, meskipun peran ini memiliki keterbatasan
pada lesi-lesi subkorteks dengan kedalaman tertentu. EEG merupakan salah satu
pemeriksaan non invasif yang bersifat cost-effective yang membantu diagnosis
tumor otak, khususnya kelompok glioma, salah satu jenis tumor yang memiliki
aktifitas elektrik yang tinggi. Pemeriksaan ini juga penting untuk menilai respons
jaringan otak pascaterapi tumor (contoh: pascatindakan bedah). Selain itu, kejang
merupakan salah satu gejala klinis tumor otak yang dapat memperburuk keluran
pasien bila tidak ditatalaksana dengan segera.
Pemeriksaan EEG penting dalam deteksi dini adanya kejadian paroksismal
epileptik atau nonepileptik, menentukan prognosis, serta mengonfirmasi
keadaan status epileptikus nonkonvulsif. Deteksi dini ini penting sehingga dapat
memberikan tatalaksana yang tepat bagi pasien. Beberapa gelombang EEG
yang sering dikaitkan dengan tumor otak antara lain adalah delta wave activity,
perlambatan fokal pada latar belakang, gangguan ritme gelombang alfa, aktivitas
gelombang beta yang asimetris, serta gelombang epileptiform iktal dan interiktal.
c Pemeriksaan Laboratorium
Terutama untuk melihat keadaan umum pasien dan kesiapannya untuk terapi
yang akan dijalani (bedah, radiasi, ataupun kemoterapi), yaitu darah lengkap,
hemostasis, LDH, fungsi hati, ginjal, gula darah, serologi hepatitis B dan C,
elektrolit lengkap, penanda tumor (penanda diagnostik, prognosis, dan prediktif)
d. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologi standar adalah CT scan dan MRI dengan kontras. CT scan
berguna untuk melihat adanya tumor pada langkah awal penegakan diagnosis
dan sangat baik untuk melihat kalsifikasi atau lesi erosi/destruksi pada tulang
tengkorak. MRI otak dan spinal (dengan atau tanpa kontras] merupakan standar
baku emas dan mampu menyediakan sebuah gambaran 'statis' dari tumor. MRI
dapat melihat gambaran jaringan lunak dengan lebih jelas dan sangat baik untuk
. tumor infratentorial, tetapi mempunyai keterbatasan dalam menilai kalsifikasi.
Pemeriksaan Magnetic resonance spectroscopy (MRS) sangat baik untuk
menentukan daerah nekrosis dengan tumor yang masih viabel, sehingga
dapat digunakan sebagai penuntun biopsi serta untuk menyingkirkan infeksi.
Pemeriksaan positron emission tomography (PET) dapat berguna pascaterapi
untuk membedakan antara tumor yang rekuren dan jaringan nekrosis akibat
radiasi.

III.5. Tata laksana


Tatalaksana Peningkatan Tekanan Intrakranial
Pasien dengan kanker otak sering datang dalam keadaan neuroemergency akibat
peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini terutama diakibatkan oleh efek desak ruang
dari edema peritumoral atau edema difus, selain oleh ukuran massa yang besar atau
ventrikulomegali karena obstruksi oleh massa tersebut.
Edema serebri dapat disebabkan oleh efek tumor maupun terkait terapi, seperti
pascaoperasi atau radioterapi. Gejala yang muncul dapat berupa nyeri kepala, mual
dan muntah, perburukan gejala neurologis, dan penurunan kesadaran.
Pemberian kortikosteroid sangat efektif untuk mengurangi edema serebri dan
memperbaiki gejala yang disebabkan oleh edema serebri. Agen yang direkomendasikan
adalah deksametason dengan dosis bolus intravena lOmg dilanjutkan dosis rumatan 16-
20mg/hari intravena lalu tappering offsesuai klinis. Efeknya sudah dapat terlihat dalam
24-36 jam. Mannitol tidak dianjurkan diberikan karena dapat memperburuk edema,
kecuali bersamaan dengan deksametason pada situasi yang berat, seperti pascaoperasi.
Efek samping pemberian steroid yakni gangguan toleransi glukosa, stress-ulcer,
miopati, perubahan mood, peningkatan nafsu makan, Cushingoid, dan sebagainya.
Sebagian besar dari efek samping tersebut bersifat reversibel jika steroid dihentikan.
Selain itu perlu diperhatikan interaksi obat. Kadar OAE serum dapat dipengaruhi oleh
deksametason, seperti fenitoin dan karbamazepin, sehingga membutuhkan pemantauan.
Pemberian deksametason dapat diturunkan secara bertahap, sebesar 25-50%
dari dosis awal tiap 3-5 hari tergantung dari klinis pasien. Pada pasien tumor otak
metastasis yang sedang menjalani radioterapi, pemberian deksametason dapat
diperpanjang hingga 7 hari.

Pemhedahan
Operasi pada tumor otak bertujuan untuk menegakkan diagnosis yang tepat,
menurunkan tekanan intrakranial, mengurangi kecacatan, dan meningkatkan
efektifitas terapi lain. Dengan tindakan operasi atau biopsi, jenis histopatologi tumor
dapat diketahui, yang sangat menentukan tatalaksana selanjutnya pada pasien.
Reseksi tumor pada umumnya direkomendasikan untuk hampir seluruh jenis
tumor otak yang dapat dioperasi. Tumor otak yang terletak jauh di dalam dapat
diterapi.dengan tindakan bedah, kecuali apabila tindakan bedah tidak memungkinkan
[keadaan umum buruk, toleransi operasi rendah). Teknik operasi meliputi membuka
sebagian tulang tengkorak dan selaput otak pada lokasi tumor. Tumor diangkat
sebanyak yang memungkinkan kemudian sampel jaringan dikirim ke ahli patologi
anatomi untuk diperiksa jenisnya. Biopsi stereotaktik dapat dikerjakan pada lesi
yang letak dalam, seperti subkorteks/basis kranii, penentuan lokasi target dilakukan
secara tiga dimensi dengan komputer (3D scanning).

Kemoterapi Sistemik dan Terapi Target {targeted therapy)


Kemoterapi pada kasus tumor otak saat ini sudah banyak digunakan karena dapat
memperpanjang angka kesintasan pasien, terutama pada kasus astrositoma derajat
tinggi (ganas) seperti GBM. GBM merupakan tipe yang bersifat kemoresisten, namun
saat ini berkembang penelitian mengenai kegunaan temozolomide dan nimotuzumab
pada glioblastoma. Sebelum menggunakan agen-agen tersebut, dapat dilakukan
pemeriksaan epidermal growth factor receptor (EGFR] dan methyl guanine methyl
transferase (MGMT).

Kemoterapibertujuanuntukmenghambatpertumbuhan tumor dan meningkatkan


kualitas hidup [quality of life) pasien semaksimal mungkin. Terapi ini biasa digunakan
sebagai kombinasi dengan operasi dan/atau radioterapi.
Kemoterapi Intratekal
Tatalaksana tumor otak dengan menggunakan kemoterapi seringkali terhambat
akibat penetrasi kemoterapi sistemik yang rendah untuk menembus sawar darah
otak. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian kemoterapi intratekal. Indikasinya
adalah terutama pada leptomeningeal metastasis karena keganasan darah, seperti
leukemia dan limfoma. Tindakan ini dilakukan melalui prosedur lumbal pungsi atau
menggunakan Omaya reservoir.

Radioterapi
Radioterapi memilikibanyakperananpadaberbagaijeniskanker otak. Radioterapi
diberikan pada pasien dengan keadaan inoperabel, sebagai adjuvan pascaoperasi, atau
pada kasus rekuren yang sebelumnya telah dilakukan tindakan operasi. Pada dasarnya
teknik radioterapi yang dipakai adalah 3D conformal radiotherapy, namun teknik
lain dapat juga digunakan untuk pasien tertentu seperti stereotactic radiosurgery/
radiotherapy dan IMRT.

Perawatan Paliatif
Dilakukan pada pasien-pasien yang dinyatakan perlu mendapatkan terapi paliatif
dan dilakukan terapi secara multidisiplin bersama dokter penanggung jawab utama,
serta dokter gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan ahli terapi paliatif.

III.6. Komplikasi
Tumor otak dapat menyebabkan beberapa komplikasi baik lokal maupun sistemik.
Selain dari tumornya, komplikasi dapat terjadi karena prosedur diagnosis dan terapi.
Komplikasi yang dapat terjadi seperti nyeri kepala atau neuropati pascaterapi,
gangguan fungsi kognitif, hiperkoagulasi, serta sindrom paraneoplastik (baca Bab
Komplikasi Tumor Otak).

1
Daftar Pustaka
1. Ostrom Q, Gittleman H, Fulop J, Liu M, Blanda R, Kromer C, dkk. CBTRUS statistical report:
primary brain and central nervous system tumors diagnosed in the United States in 2008-2012.
Neurooncol. 2015;17[suppl 4):ivl-62.
2. Gittleman H, Ostrom Q, Rouse C, Dowling J, De-Blank P, Kruchko C, dkk. Trends in central nervous
system tumor incidence relative to other common cancers in adults, adolescents, and children in
the United States, 2000 to 2010. Cancer. 2014;121(1):102-12.
3. McNeill K. Epidemiology of brain tumors. Neurol Clin. 2016;34(4):981-98.
4. Anaya-Delgadillo G, De-fuambelz-Cisneros P, Fernandez-Alvarado B, Pazos-Gomez F, Velasco-
Torre A, Revuelta-Gutierrez R. Prevalence of central nervous system tumours and histological
identification in the operated patient: 20 years of experience. Cir Cir. 2016;84(6):447-53.
5. Aninditha T, Wiratman W. Buku ajar neurologi. Departemen Neurologi Fakultas Kedokeran
Universitas Indonesia; 2017.
6. Kumar V, Abbas A, Aster J. Robbins and Cotran pathologic basis of disease. Edisi ke-9. Philadelphia
(Pa.): Elsevier Saunders; 2015.
7. Pieper R, Costello J. Molecular & cell biology. Dalam: Berger M, Prados M, editor. Textbook of
neuro-oncology. Edisi ke-1. Philadelphia: Elsevier; 2005.
8. Hanahan D, Weinberg R. Hallmarks of cancer: the next generation. Cell. 2011;144(5]:646-74.
9. Bertram J. The molecular biology of cancer. Honolulu: Molecular Aspect of Medicine; 2001.
10. James D. Molecular genetics of tumors of the central nervous system: brain tumor, contemporary
cancer research. Humana Press; 2005.
11. Lee EQ, Wen PY. Cancer neurology. In Samuels MA & Ropper AH, Samuels's Manual of Neurologic
Therapeutics ninth edition. Wolters Kluiver; 2017.
12. Park S, Won J, Kim S, Lee Y, Park C, Kim S, dkk. Molecular testing of brain tumor. J Pathol Transl
Med. 2017;51(3J:205-23.
13. Louis D, Perry A, Reifenberger G, Von-Deimling A, Figarella-Branger D, Cavenee W, dkk. The 2016
World Health Organization classification of tumors of the central nervous system: a summary.
Acta Neuropathologica. 2016;131(6J:803-20.
14. De-Angelis L, Posner J. Neurologic complications of cancer. Edisi ke-2. New York: Oxford University
Press; 2009.
15. Schiff D, Kesari S, Wen P. Cancer neurology in clinical practice: neurologic complications of cancer
and its treatment. Edisi ke-2. New Jersey: Humana Press; 2008.
16. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Panduan praktik Minis tumor otak. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia. In press 2018.
-\
TUMOR OTAK PRIMER
Rusdy Ghazali Malueka, Tiara Aninditha

IV. 1. Pendahuluan
Tumor otak primer adalah kelompok tumor yang berasal dari sistem saraf pusat
(SSP) dengan prognosis dan manajemen yang berbeda-beda.1 Insidensi tumor SSP
tidak setinggi tumor lainnya, tetapi tumor sistem saraf pusat termasuk ke dalam 10
penyebab terbesar kematian akibat keganasan sistemik. Hal ini disebabkan oleh gejala
dan tanda dari tumor otak yang bervariasi pada setiap individu sehingga seringkali
didapatkan tumor dengan ukuran yang sudah sangat besar pada saat diagnosis.1

IV.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat didapatkan 77.000 kasus tumor otak primer baru setiap
tahun dengan 25.000 diantaranya termasuk ganas. Angka insidensi dari tumor otak
primer sebesar 22/100.000 orang per tahun. Pada kelompok usia >20 tahun, tumor
yang paling sering ditemui adalah meningioma (36,4%], tumor hipofisis (15,5%),
tumor nervus seperti schwannoma vestibular (15,5%], dan glioblastoma (15,1%].
Pada kelompok usia di bawah 20 tahun, tumor yang paling sering ditemukan adalah
astrositoma pilositik (15,5%), glioma maligna (11,7%), dan tumor embrional seperti
meduloblastoma (11,4%).1
Di Indonesia, data yang berhasil dihimpun oleh Departemen Neurologi RSUPN
Cipto Mangunkusumo menunjukkan mayoritas tumor otak primer adalah astrositoma
(47%) diikuti meningioma (26%). Usia rerata pasien adalah 48 tahun (18-74 tahun)
dengan perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki (55,6% dan 44,4%). Di RS
Ranker Dharmais, insidensi tumor otak sebesar 1% dari seluruh keganasan dengan
glioma (67,4%) dan meningioma (16,3%) mendominasi.2

I V.3. Tumor Astrositik dan Oligodendroglial Diffusa (Glioma difusa)


Setelah 9 tahun, klasifikasi WHO untuk tumor sistem saraf pusat kembali
diperbaharui. Salah satu perubahan yang terjadi adalah pada pengelompokan tumor
astrositoma. Pada tahun 2007, pengelompokan tumor astrositoma didasarkan pada
gambaran histologi. Pada tahun 2016, klasfikasi WHO terbaru lebih mengutamakan
gambaran fenotipe dan genotipe dari astrositoma. Ini bertujuan untuk mencapai suatu
terapi yang spesifik (targeted therapy). Salah satu contohnya terdapat pada astrositoma
difus dan oligodendroglioma difus. Secara histologi, kedua tumor ini berbeda secara
gambaran karena komponen sel yang didapat saat pemeriksaan. Namun, karena
kedua tumor ini memiliki penanda [marker) molekuler prognosis yang mirip, maka
kedua diagnosis ini dimasukkan ke dalam kelompok glioma difus. Salah satu perubahan
molekulernya adalah IDH, yang didapatkan pada astrositoma difus dan oligodendroglioma
difus. Mutasi IDH tidak didapatkan pada astrositoma pilositik Oleh karena itu, astrositoma
difus dan oligodendroglioma difus lebih mirip secara gambaran molekuler genetik
dibandingkan astrositoma pilositik34 Pada tumor yang tidak memiliki kesamaan hasil pada
karakteristik histologi dan molekuler genetik seperu' glioma tipe difus yang secara histologi
terlihat sebagai tipe astrositik namun memiliki mutasi IDH dan kodelesi lp/19q, maka hasil
dari genotipe (molekuler) lebih dijadikan acuan dibanding hasil histologi fenotipe.12

IV.3.1. Astrositoma
Astrositoma adalah salah satu tumor primer SSP yang paling sering ditemukan.5 Tumor
ini merupakan glioma yang berasal dari sel astrosit. Berdasarkan klasifikasi WHO pada
tahun 2007, klasifikasi astrositoma didasarkan pada gambaran histologi sebagai berikut:3
Derajat I: lesi tumor berbatas tegas, contohnya astrositoma pilositik
Derajat II (astrositoma difusa): tumor astrositik tampak infiltratif dan disertai
atipia sitologis
Derajat III (astrositoma anaplastik): tumor mulai menunjukan anaplasia dan
aktivitas mitosis
•'%- Derajat IV (glioblastoma): menunjukkan adanya proliferasi mikrovaskular dan/
atau nekrosis

Pembagian klasifikasi seperti ini sebenarnya masih praktis dan efektif digunakan,
tetapi klasifikasi yang berdasarkan kriteria histologi rentan terhadap variasi antar
dokter patologi anatomi. Tumor pada derajat WHO yang sama dapat memiliki
perjalanan klinis yang berbeda. Sehingga digunakan klasifikasi molekuler dan
sitogenetik.6
a. Astrositoma Difusa (WHO derajat II)
Astrositoma difusa memiliki gambaran selularitas meningkat, adanya nukleus
atipia, tetapi dengan aktivitas mitosis rendah serta tidak didapatkan area nekrosis
dan proliferasi mikrovaskular. Dapat ditemukan gambaran yang disebut "struktur
sekunder Scherer" dimana tampak adanya satelitosis perineuronal, perkembangan
subpial, dan persebaran perivaskular.5 Tumor ini berkembang dengan perlahan
dan memiliki waktu kesintasan selama 5-8 tahun. Tingkat rekurensi dari tumor ini
masih tinggi serta terdapat potensi peningkatan derajat WHO menjadi derajat III
(astrositoma anaplastik) atau derajat IV (glioblastoma sekunder).5
b. Astrositoma Anaplastik (WHO derajat III)
Astrositoma anaplastik memiliki sel astrositoma hiperselular dengan atipia
nuklear serta peningkatan aktivitas mitosis. Sel yang tampak dapat berukuran
besar, pleomorfik, serta tidak didapatkan proliferasi vaskular dan nekrosis.5

Pemeriksaan CT scan akan menghasilkan gambaran massa dengan densitas


inhomogen. Pemeriksaan MRI pada fase T2 akan menunjukkan gambaran lesi
hiperintens. Setelah pemberian kontras, akan muncul penyangatan dan edema
disekitar tumor. Namun masih ada sebagian kecil tumor yang tidak menunjukkan
gambaran lesi pada CT atau MRI. Pemeriksaan Magnetic Resonance Angiography
(MRA) akan menunjukkan adanya aliran darah yang abnormal pada daerah lesi.
Pemeriksaan gen seperti IDH1/2 dan metilasi promoter MGMT dapat dilakukan
untuk menilai prognosis pasien.7
Menurut klasifikasi WHO tahun 2016,4 astrositoma dapat masuk dalam klasifikasi
yang berbeda berdasarkan alterasi molekulernya. Salah satu penanda penting adalah
mutasi pada IDH.
Pada tahun 2008, dalam penelitian kolaborasi nucleotide sequencing hingga lebih
dari 20.000 gen pada 22 sampel glioblastoma, dengan hasil adanya mutasi gen IDH1
(12%). Selanjutnya, mutasi ini ditemukan sebanyak 80% pada glioma derajat II dan
III. Selain IDH1, pada beberapa glioma didapatkan adanya mutasi IDH2. Mayoritas
mutasi yang didapat adalah mutasi asam amino tunggal pada arginin 132 (R132) atau
resido analog dari IDH2 (R172).8
IDH sendiri pada manusia terbagi menjadi 3 isozim, yaitu IDH1, IDH2, dan IDH3.
IDH 1 dan 2 membentuk homodimer sedangkan IDH3 membentuk heterotetramer
yang terdiri dari 2 subunit a, 1 subunit 8, dan 1 subunit y. IDH3 berfungsi pada siklus
Kreb untuk mengubah isositrat menjadi oc-ketoglutarat dan NAD+ menjadi NADH
(Gambar 4.1). Isozim IDH1 sendiri berada di sitosol dan IDH2 berada di mitokondria.
Baik IDH1 dan IDH2 memiliki fungsi yang sama, yaitu menghasilkan NADPH yang
tereduksi dari NADP+ dengan mengatalisasi proses dekarboksilasi oksidatif dari
isositrat menjadi oc-ketoglutarat di luar siklus Kreb.
NADPH sendiri dihasilkan oleh glucose-6-phosphat dehydrogenase [G6PDH],
malate dehydrogenase, dan IDH. Sel dengan kadar IDH yang lebih rendah ternyata
menjadi lebih mudah mengalami kerusakan oksidatif akibat radikal bebas. Oleh
karena itu, IDH dinilai dapat menjaga kondisi selular dan berperan penting dalam
pertahanan terhadap radikal bebas. Sebagian besar mutasi pada IDH1 (>85%] pada
astrositoma (dan glioma) adalah mutasi missense heterozigot dari asam amino arginin
menjadi histidin.
Menurut klasifikasi WHO tahun 2016, astrositoma difus dan anaplastik dapat
dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu astrositoma dengan mutasi IDH, astrositoma
wildtype, dan not otherwise specified (NOS). Astrositoma dapat dimasukkan dalam
kategori astrositoma dengan mutasi IDH apabila terdapat 2 kriteria berikut:
1. Pemeriksaan imunohistokimia (IHK) mendapatkan adanya mutasi R132H pada
protein IDH1.
2. Pemeriksaan sekuensi menunjukkan adanya mutasi IDH1 pada kodon 132 atau
mutasi IDH2 kodon 172.
Jika pada pemeriksaan IHK dan sekuensi tidak didapatkan hasil yang positif
atau hanya dilakukan pemeriksaan sekuensi dan didapatkan hasil negatif, maka
masuk dalam kategori IDH wildtype. Astrositoma IDH NOS adalah astrositoma yang
tidak dilakukan pemeriksaan IDH atau hanya dilakukan pemeriksaan IHK tanpa
pemeriksaan sekuensi.
Terapi utama untuk astrositoma difus dan astrositoma anaplastik adalah reseksi
maksimal. Pada astrositoma anaplastik, setelah reseksi maksimal dapat diberikan
radioterapi sebesar 60Gy yang diberikan dalam fraksi sebesar l,8-2Gy. Metode
manajemen multimodal seperti ini dapat meningkatkan median kesintasan 2 kali
lipat dibanding hanya dengan operasi.7
Kemoterapi juga menjadi pilihan lainnya dalam terapi astrositoma anaplastik.
'Lini pertama kemoterapi yang dberikan adalah komponen nitrosurea. Untuk dosis
kombinasi kemoterapi yang disarankan adalah:7
1. Temozolomide: 150-200mg/m2, secara oral, hari 1-5 dari siklus 28 hari hingga
6 siklus.
2. Kombinasi PCV: prokarbazin (60mg/m 2 , oral, hari 8-21], lomustin (110mg/m 2 ,
oral, hari 1), dan vinkristin (l,4mg/m 2 , intravena dengan dosis maksimal 2 mg,
hari 8 dan hari 29), selama 6-8 minggu.

Untuk pasien yang sebelumnya telah diberikan radioterapi, tetapi belum


diberikan kemoterapi dan tumor masih berkembang, dapat diberikan agen
kemoterapi alkilasi. Bevacizumab dapat digunakan ketika radioterapi dan
kemoterapi alkilasi gagal.7
Pasien yang mengalami rekurensi dan sudah diberikan radiasi serta kontraindikasi
terhadap kemoterapi, dapat diberikan radioterapi hipofraksinasi (sebagai contoh,
dengan Gy sebesar 25-30 terbagi dalam 5 fraksi sebesar 5-6Gy, atau 35Gy terbagi
dalam 10 fraksi sebesar 3,5Gy/fraksi}.7

c. Glioblastoma
Glioblastoma (GBM) merupakan tumor primer otak paling sering yang mencakup
54% dari semua glioma dan 16% dari seluruh tumor primer otak.9 Glioblastoma
terdiagnosis pada median usia 64 tahun dan insidensinya meningkat hingga
kelompok usia 75-84 tahun. Faktor risiko yang berhubungan dengan GBM adalah
adanya riwayat radiasi sebelumnya, faktor imun, dan polimorfisme genetik.9

Menurut klasifikasi WHO tahun 2016, glioblastoma terbagi menjadi tiga kelompok
yaitu glioblastoma dengan tipe IDH wildtype, glioblastoma dengan mutasi IDH,
dan glioblastoma yang tidak masuk klasifikasi pada keduanya [not otherwise
specified, NOS):4

1) Glioblastoma, IDH wildtype (mencakup 90% kasus). Terbagi menjadi 3:


a) Giant Cell Glioblastoma, merupakan tipe GBM dengan gambaran histolo-
gi yang didominasi oleh sel berukuran besar, multinukleasi dengan sito-
plasma eosinofilik yang banyak.10
b) Gliosarkoma, tipe GBM yang memiliki komposisi sel maligna dari gli-
al dan dari elemen sarkoma. 11 Pada pemeriksaan histologi didapat-
kan sel berukuran besar dengan ukuran nukleus bervariasi, selular-
itas tinggi, nukleoli prominen, dan didapatkan mitosis tipikal dan
atipikal. 12
c) Glioblastoma epiteloid, merupakan varian baru yang dimasukkan dalam
klasifikasi WHO tahun 2016. Tipe ini memiliki gambaran sel epiteloid
berukuran besar dengan sitoplasma eosinofilik yang banyak, kromatin
vesikular, nukleoli prominen, dan bisa didapatkan sel rhabdoid.4

2) Glioblastoma dengan mutasi IDH (mencakup 10% kasus). Sering disebut


sebagai glioblastoma sekunder karena sebagian besar pasien memiliki
riwayat glioma difus dengan derajat lebih rendah.4
3) Glioblastoma not otherwise specified (NOS). Jenis ini merupakan diagnosis
untuk GBM di mana pemeriksaan IDH tidak dapat dilakukan.4
Glioblastoma memiliki gejala yang mirip dengan tumor otak lainnya, seperti nyeri
kepala, kejang, dan tanda defisit neurologis fokal berdasarkan lokasi tumornya.13
Pemeriksaan pencitraan yang digunakan untuk diagnosis glioblastoma lebih
baik menggunakan MRI dibandingkan CT. Pada pemeriksaan CT, GBM tampak
sebagai lesi hipodens yang menggambarkan nekrosis sebagai hallmark dari GBM.
Selain itu dapat ditemukan gambaran kalsifikasi, pendarahan, dan adanya edema
mengelilingi tumor. Setelah pemberian kontras akan tampak lesi seperti cincin
dengan dinding tebal, ireguler, dan berbentuk nodular. Pemeriksaan MRI pada
Tl akan memberikan gambaran massa heterogen dengan nekrosis sentral, tepi
tebal ireguler, dan edema peritumoral. Setelah pemberian kontras akan tampak
sebagai penyangatan inhomogen atau berbentuk cincin ireguler. Pada T2 akan
tampak sebagai massa heterogen dengan sinyal hiperintens. Tampakan heterogen
disebabkan oleh adanya nekrosis sentral, pendarahan, dan vaskularitas tumor.14
Untuk terapi inisial dari GBM yang terdiagnosis pertama kali adalah operasi.
Setelah itu diikuti dengan pemberian temozolamide (75mg/m2/hari untuk
6 minggu) bersamaan dengan radioterapi (60Gy dalam 30 fraksi] lalu 6 siklus
temozolomide (150-200mg/m2/hari selama 5 hari pertama dalam siklus 28 hari).
Pada glioma rekuren, operasi dengan reseksi maksimal tetap dilakukan. Pilihan
terapi lainnya dengan re-radiasi, terapi sistemik, atau terapi dengan kombinasi
beberapa modalitas.9
IV.3.2. Diffuse Midline Glioma, H3 K27M-mutan
Diffuse midline glioma (DMG) merupakan tumor agresif yang berpusat di
struktur bagian tengah otak yang sering muncul pada anak-anak dan dewasa muda.
Karakteristik dari tipe ini adalah adanya mutasi pada K27M, baik pada gen H3F3A
atau HIST1H3B. Gen H3F3A mengode varian histon H3.3 dan gen HIST1H3B mengode
varian histon H3.1.15 Berdasarkan klasifikasi WHO tahun 2016, glioma jenis ini
termasuk kategori WHO derajat IV.4 Glioma ini berlokasi pada talamus, pons, dan
didapatkan juga pada medula spinalis.16 Tampakan histologi didominasi oleh sel yang
berasal dari diferensiasi astrositik, disertai dengan adanya aktivitas mitosis, proliferasi
mikrovaskular, dan nekrosis. Oleh karena itu, tumor yang didiagnosis dengan DMG
harus berupa tumor difus, berada di tengah (talamus, batang otak, medula spinalis,
dsbnya), glioma, dan memiliki mutasi pada H3 K27M.17
Tumor ini memiliki prognosis yang buruk dengan angka kesintasan 2 tahun
sebesar <10%.17 Terapi yang saat ini digunakan adalah dengan radiasi dan kemoterapi
menggunakan temozolomide.15 Suatu studi menunjukkan adanya hubungan
antara mutasi H3 K27M dengan protein bromodomain. Protein ini memiliki fungsi
mengikat histon yang terasetilasi untuk memulai transkripsi gen. Inhibisi protein
ini menghasilkan penurunan proliferasi sel yang signifikan pada studi in Vivo dan in
Vitro. Terapi ini mungkin dapat menjadi opsi lainnya di masa depan.18

IV.3.3. Oligodendroglioma
Tumor oligodendroglial terdiri atas dua jenis, yaitu oligodendroglioma (WHO
derajat II) dan oligodendroglioma anaplastik (WHO derajat III). Pada klasifikasi tumor
otak WHO tahun 2016, oligodendroglioma dibagi berdasarkan pemeriksaan genetiknya,
yaitu oligodendroglioma dengan mutasi IDH dan kodelesi lp/19q.4 Jika pemeriksaan
genetik ini tidak dapat dilakukan, maka diagnosis dianggap sebagai oligodendroglioma
not otherwise specified (NOS).4 Tumor ini terjadi pada 8-12% dari seluruh kasus
glioma, dengan dominasi jenis kelamin laki-laki dan median usia adalah 35 tahun.19
Oligodendroglioma paling sering didapatkan pada lobus frontal dan temporal.20
Gejala yang paling sering didapatkan adalah kejang parsial atau generalisata yang
disebabkan oleh letak tumor pada regio korteks. Gejala lain yang dapat ditemukan
adalah nyeri kepala, defisit neurologis fokal, dan peningkatan tekanan intrakranial.19
Pemeriksaan MRI akan menghasilkan gambaran sinyal hipointens pada Tl dan
hiperintens pada T2. Tidak didapatkan adanya penyangatan pascapemberian kontras.
Pemeriksaan CT scan akan menghasilkan gambaran lesi hipodens hingga isodens dan
dapat ditemukan kalsifikasi.19'20
Pemeriksaan histologi akan tampak sel dengan ukuran kecil hingga sedikit
membesar berbentuk bulat, gelap dengan nukleus kompak dengan sedikit sitoplasma
eosinofilik. Tampakan honeycomb appearance atau fried egg appearance menandakan
perinuklear halo dari tumor ini. Pada oligodendroglioma derajat II akan didapatkan
sel tumor monoformik dengan perinuklar halo, jaringan kapiler membentuk
gambaran chicken wire, dan dapat ditemukan mikrokalsifikasi dan mikrokistik.
Oligodendroglioma anaplastik memiliki gambaran mirip dengan oligodendroglioma
derajat II, ditambah hiperselularitas, rasio mitosis yang meningkat, atipia nuklear,
dan proliferasi mikrovaskular.1920
Terapi dari oligodendroglioma yang disarankan adalah dengan operasi reseksi total
dilanjutkan dengan kemoterapi/radioterapi. Kemoterapi yang dapat diberikan, yaitu
dengan kombinasi temozolomide (75mg/m2 setiap hari selama periode radioterapi,
atau 150-200mg/m2, hari 1-5 PO selama 4 minggu], nimustin/carmustin/lomustin,
dan procabazine/vinkristin.7 Radioterapi dapat diberikan dalam dosis 45-54Gy.21

IV.3.4. Oligoastrositoma
Tumor oligoastrositoma adalah tumor gabungan komponen astrositik dan
oligodendroglial dan terbagi menjadi oligoastrositoma (WHO derajat II) dan
oligoastrositoma anaplastik (WHO derajat III].20 Pada klasifikasi WHO tahun 2016,
klasifikasi oligoastrositoma sudah tidak dianjurkan.ini dikarenakanhampirsemua tumor
dengan adanya tampakan mikroskopis komponen astrositik dan oligodendroglial sudah
dapat dimasukkan dalam diagnosis astrositoma atau oligodendroglioma. Diagnosis
oligoastrositoma hanya bisa digunakan apabila tidak adanya pemeriksaan molekuler
yang dapat membedakan apakah ini tumor astrositoma atau oligodendroglioma.4
Gambaran histologi dari oligoastrositoma derajat II adalah adanya dua tipe sel
neoplastik yang berasal dari astrositik dan oligodendroglial dengan susunan bifasik
atau difus. Susunan bifasik akan memiliki area oligodendroglioma dan astrositoma
yangberbeda, sedangkan difus kedua jenis sel ini akan bercampur. Pada tipe anaplastik,
akan ada tanda seperti oligoastrositoma derajat II ditambah hiperselularitas dan
proliferasi mikrovaskular dengan rasio mitosis yang aktif.20
Terapi utama dari tumor jenis ini sama dengan tumor glioma yang lain, yaitu
dengan operasi reseksi tumor dan dilanjutkan dengan pemberian kemoterapi atau
radioterapi.21

IV.4. Tumor Astrositik lainnya


IV.4.1. Astrositoma Pilositik
Astrositoma pilositik merupakan tumor yang termasuk dalam derajat I dari
Hasifikasi WHO.4 Tumor ini merupakan tumor primer otak yang paling sering
ditemukan pada rentang usia 0-19 tahun dengan rasio insidensi sebesar 0,84 per
100.000.22 Secara makroskopis, astrositoma pilositik memiliki tekstur lembut dan
berwarna keabu-abuan. Selain itu dapat ditemukan adanya kista, deposit kalsium
dan hemosiderin, hingga adanya keterlibatan leptomeningeal tanpa keterlibatan
parenkimal. Gambaran patologi menunjukkan tampakan tumor dengan selularitas
rendah hingga moderat, dengan area yang dipadati dengan serabut Rosenthal. Serabut
ini merupakan sel dengan prosesus bipolar panjang dan nukleus yang memanjang.23
Gejala klinis biasanya tidak didapatkan karena pertumbuhan tumor yang lambat.
Gejala yang biasanya muncul adalah gejala akibat peningkatan intrakranial (nyeri
sepala, mual, dan muntah) serta defisit neurologis fokal berdasarkan tempat lesinya.
Pada pemeriksaan CT didapatkan lesi bulat atau oval dengan tampakan iso- atau
hipodens. Saat diberikan kontras akan mengalami penyangatan. Pemeriksaan MRI
menunjukkan sinyal hipo- atau isointens pada Tl dan hiperintens pada T2.23
Astrositoma pilositik memiliki pronosis baik dengan kesintasan selama 10 tahun
dilaporkan sebesar 90%. Tumor ini biasanya diterapi dengan operasi dan dilanjutkan
dengan pemberian radioterapi ketika reseksi tidak total. Kemoterapi bisa diberikan
apabila tumor berkembang dan operasi lanjutan tidak dapat dilakukan.23

IV.4.2. Subependymal Giant Cell Astrocytoma (SEGA)


Subependymal giant cell astrocytoma adalah tumor yang berasal dari glioneuronal
dan termasuk dalam tumor jinak kategori I.4 Tumor j enis ini biasanya muncul pada anak
hingga usia 25 tahun. Tumor SEGA biasanya muncul pada sulkus kaudotalamikus yang
berdekatan dengan foramen Monro, tetapi dapat ditemukan pada lokasi lain seperti
forniks, hipotalamus, ganglia basalis, dan kapsula interna. Penegakan diagnosis SEGA
. dapat dilakukan apabila lesi berada pada sulkus kaudotalamikus dengan ukuran lebih
dari 1 cm dengan arah kemanapun serta didapatkan adanya pembesaran lesi setelah
pemeriksaan radiologis serial.24
Salah satu diagnosis banding dari SEGA adalah subependymal nodules (SEN). Baik
SEN dan SEGA memiliki gambaran histopatologi yang sama. Perbedaan keduanya terletak
pada ukuran, lokasi, dan pemeriksaan radiologis. Ukuran SEGA >lcm sedangkan SEN
<lcm. Lokasi SEGA berada pada sulkus kaudotalamikus sedangkan SEN berada pada
lapisan ependimal di ventrikel lateral hingga nukleus kaudatus. Pemeriksaan radiologis
pada SEGA menunjukkan adanya penyangatan pasca pemberian kontras sedangkan SEN
tidak menyangat dan didapatkan kalsifikasi. Terakhir, tumor SEGA akan bertambah besar
sedangkan SEN memiliki ukuran yang relatif stabil.24
Terapi SEGA adalah operasi. Terapi lain seperti kemoterapi atau radiasi tidak
memiliki respons yang baik dan malah meningkatkan risiko terjadinya keganasan
sekunder.24 Suatu studi yang menggunakan mTOR inhibitor yaitu everolimus
menunjukkan penurunan volume SEGA yang signifikan setelah terapi 6 bulan.25

IV.4.3. PleomorphicXanthoasthrocytoma (PX)


Pleomorphic xanthoasthrocytoma (PX) terbagi dua berdasarkan derajat WHO,
yaitu PX (WHO derajat II) dan PX anaplastik (WHO derajat III).4 Perbedaan antara
dua diagnosis ini terletak pada banyaknya mitosis yang terjadi, dengan tipe anaplastik
memiliki >5 mitosis per 10 lapang pandang besar.4 Tumor ini muncul lebih banyak
pada remaja akhir atau dewasa awal. Lokasi yang paling sering adalah pada lobus
temporal atau parietal.26
Gejala klinis yang muncul pada tumor PX adalah kejang fokal. Gejala lain
yang timbul tergantung pada posisi tumor di otak.26 Pemeriksaan radiologis akan
menunjukkan gambaran isodens hingga hipodens pada CT scan. Pada pemeriksaan
MRI Tl akan tampak lesi hipo- hingga isointens dan pada T2 akan tampak sebagai
massa isointens hingga hiperintens. Setelah pemberian kontras gadolinum akan
terjadi penyangatan yang kuat. Pada tumor ini jarang didapatkan adanya kalsifikasi,
pendarahan intratumoral, atau edema peritumoral.27
Pemeriksaan histologi akan menunjukkan sel spindel yang tersusun fasikulus
atau storiformis dengan campuran sel ukuran besar yang pleomorfik. Adanya sel
xanthomatosa besar dengan droplet lemak intrasitoplasma merupakan gambaran
diagnostik untuk PX. Gambaran histologi lain yang dapat muncul adalah adanya
hiperkromasi nukleus, invaginasi sitoplasma intranuklear, jaringan retikulin yang
mengelilingi sel-sel, granular eosinofilik, serta kumpulan limfosit perivaskular dan
intratumoral. Pada tipe anaplastik, akan muncul pola perkembangan solid dan yang
membedakannya dengan PX WHO derajat II adalah ditemukan mitosis setidaknya 5
per 10 lapang pandang besar.27
Terapi pada tumor ini adalah reseksi total. Kemoterapi dapat diberikan pada
kasus dengan progresivitas. Radioterapi hanya diberikan pada anak berusia lebih tua
dan jika kemoterapi dinyatakan gagal.26

IV. 5. Tumor Ependimal


Tumor ependimal adalah tumor yang berasal dari neuroektodermal.28 Tumor
ependimal mencakup 1,8% dari semua tumor sistem saraf pusat dan 6,8% dari semua
glioma dengan insidensi sebesar 0,43 per 100.000 populasi.22 Berdasarkan klasifikasi
WHO tahun 2016, tumor ependimal dapat terbagi menjadi:428
1. Subependimoma (WHO derajat I): tumor dengan kelompok sel yang sedikit
pleomorfik dan mitosis yang inaktif yang dikelilingi matriks fibrilaria yang banyak
dengan perubahan mikrositik dan kalsifikasi distrofik
2. MyxopapiUary ependymoma (WHO derajat I]: tumor dengan sel berbentuk
kuboid atau memanjang membentuk prosesus fibrilaria mengarah ke inti
fibrovaskular disertai dengan degenerasi perivaskular mukoid
3. Ependimoma (WHO derajat II): tumor dengan sel uniformis membentuk
perivaskular pseudorosettes dan berbatas tegas. Tipe ini terbagi menjadi 3 varian:
a. Papilary ependymoma, tumor yang memiliki sel berbentuk papilari dengan
selularitas yang meningkat, disertai kromatin nuklei berbentuk granular dan
sitoplasma eosinofilik29
b. Clear cell ependymoma, tumor kistik dengan clear cell yang memiliki nukleus
bulat sentral dan perinuclear halo30
c. Tanycytic ependymoma, tumor dengan gambaran adanya sel bipolar dengan
selularitas rendah-sedang tanpa ditemukan mitosis31

4. Ependimoma, RELA fusion-positive (WHO derajat II atau III) merupakan


ependimoma supratentorial dengan adanya fusi Cllorf95-RELA. Tumor ini
dibedakan dengan ependimoma klasik karena prognosis yang lebih buruk28
5. Ependimoma anaplastik (WHO derajat III), tumor ependimoma dengan
tampakan anaplasia, aktivitas mitosis yang tinggi, dan proliferasi mikrovaskular.

Gejala Minis tumor ependimal bervariasi tergantung dari lokasi tumor.32 Gejala
Minis yang paling sering dirasakan oleh pasien dengan tumor ependimal yaitu
rasa kebas atau tingling, kelemahan motorik, dan nyeri kepala. Gejala lain seperti
penurunan kesadaran, hidrosefalus, ataksia (akibat penekanan pada serebelum),
vertigo, neuropati kranial, hingga tortikolis dan servikalgia.28
Pencitraan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis dapat menggunakan
MRI dan CT. Pada pemeriksaan CT scan akan menunjukkan kalsifikasi, terutama
pada jenis subependimoma.28 Pemeriksaan CT dengan kontras akan menunjukkan
intensitas medium setelah penyangatan.33 Pemeriksaan MRI Tl akan menunjukan
intensitas rendah atau isointens dan pada T2 akan mengalami peningkatan intensitas.
Kalsifikasi merupakan tanda penting untuk membedakan ependimoma dengan
astrositoma. Pada astrositoma jarang didapatkan kalsifikasi sedangkan ependimoma
sering. Selain itu, pada ependimoma jarang didapatkan gambaran edema disekitar
tumor yang berbanding terbalik dengan astrositoma.33
Pada kasus subependimoma, pemeriksaan MRI akan menunjukkan massa iso-
hipointens berbatas tegas dengan penyangatan minimal atau tidak ada penyangatan
pada Tl dan hiperintens pada T2, serta didapatkan fokus pendarahan atau kalsifikasi.
Myxopapillary ependyoma menunjukkan massa berbatas tegas dan homogen yang
disertai perubahan kistik dan pendarahan didalam massa tumor. Ependymoma
akan menghasilkan gambaran massa berbatas tegas dengan derajat penyangatan
yang bervariasi tergantung pada vaskularisasi disertai kalsifikasi dan pendarahan
intratumoral.34
Pada dewasa dengan tumor ependimal yang baru terdiagnosis, terapi utama adalah
reseksi total. Operasi ini juga berguna untuk menentukan tipe histologi dari tumor
tersebut. Jika didapatkan ependimoma anaplastik, maka dapat diberikan radioterapi
dengan dosis hingga 60Gy tanpa mempertimbangkan luas reseksi. Pada ependimoma
derajat II, radioterapi dengan dosis 54-59,4Gy direkomendasikan hanya pada pasien
dengan reseksi yang tidak lengkap. Pada derajat I seperti subependimoma, operasi
saja biasanya sudah cukup. Namun, pada beberapa kasus, radioterapi pascaoperasi
dapat diberikan pada kasus reseksi subtotal atau parsial.28
Pada anak-anak dengan tumor ependimoma yang baru, reseksi total merupakan
standar yang terbaik, diikuti dengan radioterapi sebesar 59,4Gy pada anak berusia
> 18 bulan dan 54Gy pada anak berusia 12-18 bulan. Pada anak berusia kurang dari 12
bulan, kemoterapi merupakan opsi yang direkomendasikan. Contoh kemoterapi yang
dapat digunakan adalah etoposide, vinkristin, siklofosfamide, derivat platinum, atau
metotreksate dosis tinggi.28
Pada kasus tumor ependimal rekuren, prosedur reoperasi dan/atau re-radiasi
harus dilakukan bila memungkinkan. Pada pasien yang tidak memungkinkan lagi
dengan terapi lokal dapat menggunakan kemoterapi terutama pada pasien dengan
nilai performa yang baik. Pada dewasa, kemoterapi yang digunakan dapat berupa
komponen platinum atau temozolomide, sedangkan pada anak tergantung pada
paparan sebelumnya.28

IV.6. Tumor Glioma Lainnya


IY.6.1. Glioma Koroidal pada Ventrikel Tertius
Glioma koroidal merupakan tumor WHO derajat II yang berasal dari talamus atau
dinding anterior dari ventrikel ketiga. Hingga saat ini hanya kurang dari 100 kasus
saja yang dilaporkan dengan kejadian pada perempuan lebih banyak dibandingkan
Laki-laki.35 Gejala yang paling sering dilaporkan adalah nyeri kepala, gangguan
penglihatan, dan gangguan status mental.36
Pada pemeriksaan radiologi menunjukkan penyangatan dan intensitas uniform
pada pemeriksaan MRI. Massa berbentuk ovoid dengan hipo- atau isointens pada
Tl dengan penyangatan kuat pascapemberian kontras. Pada T2 tampak sebagai
lesi hiperintens atau isointens. Pemeriksaan CT menunjukkan lesi berbatas tegas
dan hiperdens yang mengalami penyangatan homogen setelah pemberian kontras.
Beberapa temuan lainnya pada CT yang dapat ditemukan pada glioma koroidal seperti
perdarahan intratumoral, kalsifikasi, dan penyangatan kontras yang heterogen.37
Pada pemeriksaan histologi, akan tampak sel tumor epiteloid berbentuk oval
hingga poligonal yang berkelompok dengan sitoplasma eosinofilik banyak. Tampakan
ini mirip dengan kordoma dan meningioma koroid. Aktivitas proliferasi serta mitosis
biasanya rendah dan tidak didapatkan nekrosis. Stroma sel tumor dapat berupa musin
atau miksoid. Pemeriksaan IHK yang positif adalah GFAP, EMA, CD34, sitokeratin,
S100, dan vimentin.37
Terapi utama glioma koroidal adalah reseksi total dan memiliki prognosis
yang paling baik. Jika tidak dapat dilakukan reseksi total, reseksi subtotal diikuti
pemberian radioterapi juga dilaporkan pada beberapa studi. Teknik radioterapi yang
dapat diberikan adalah stereotactic radiosurgery (STR), radioterapi konvensional
menggunakan gelombang eksternal, atau radioterapi intratumor menggunakan
Iridium-192. Dosis radioterapi yang digunakan juga masih bervariasi, dengan rentang
dosis marginal sebesar 10,5 hingga 20Gy dilaporkan pada beberapa studi.37

IV.6.2. Glioma Angiosentrik


Glioma angiosentrik adalah tumor WHO derajat I.4 Tumor ini lebih banyak
ditemukan pada anak-anak dan remaja dengan keluhan yang paling sering adalah
epilepsi refraktori yang resisten dengan pengobatan.38 Lokasi dari tumor ini sebagian
besar ditemukan di supratentorial.38
Salah satu studi yang melakukan analisis genomik dari glioma angiosentrik
mengidentifikasi adanya translokasi dari 2 gen, yaitu gen MYB dan QKI yang mengalami
fusi dan bersifat onkogenik. Fusi gen ini mengakibatkan tumorigenesis dengan 3
mekanisme yaitu meningkatkan aktivasi gen MYB sebagai protein transkripsi, adanya
enhancer translokasi yang mengakibatkan ekspresi MYB-QKI yang menyimpang, dan
1
penekanan terhadap QKI sebagai tumor supressor.39
Pada pemeriksaan MRI, glioma angiosentrik tampak sebagai lesi hipointens pada
Tl dan hiperintens pada T2. Saat diberikan kontras, tidak didapatkan penyangatan
yang signifikan.38
Pada pemeriksaan histologi, didapatkan sel bipolar monomorfik dan memiliki
pola pertumbuhan angiosentrik dengan diferensiasi astrositik/ependimal. Tidak
didapatkan adanya gambaran neoplastik. Beberapa temuan atipikal lainnya seperti
kalsifikasi/mikrokalsifikasi dan perubahan kistik dapat ditemukan pada angiosentrik
glioma.40 Pemeriksaan IHK yang positif adalah epithelial membrane antigen (EMA),
GFAP, protein S-100, dan vimentin.38
Terapi pada glioma angiosentrik adalah reseksi total. Tumor ini memiliki
prognosis yang baik setelah operasi. 38

IV.6.3. Astroblastoma
Astroblastoma adalah tumor otak primer yang belum mendapatkan kriteria derajat
WHO.4 Astroblastoma termasuk tumor yang jarang dengan angka kejadiannya 0,45-2,8%
dari seluruh glioma primer otak. Tumor ini sebagian besar ditemukan pada jenis kelamin
perempuan, dengan perbandingan sebesar 11:1 dengan laki-laki.41 Astroblastoma
memiliki karakteristik adanya pseudorosettes perivaskular dengan hialinisasi vaskular.
Astroblastoma seringkali didapatkan pada area korteks, subkorteks, dan periventrikular
dengan lobus frontal sebagai tempat tersering munculnya tumor ini.42

Gejala Minis dari astroblastoma tergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Tanda
yang dapat muncul berupa peningkatan tekanan intrakranial (nyeri kepala, muntah),
kejang, dan defisit neurologis fokal.41 Pada pemeriksaan radiologis didapatkan massa
dengan ukuran besar, berbatas tegas, lobulasi, solid, dan kistik. Pada beberapa kasus
dapat ditemukan kalsifikasi pungtata. Komponen solid dari massa akan menunjukkan
gambaran hipointens pada Tl dan isointens pada T2. Pemberian kontras akan
memperlihatkan penyangatan yang heterogen. Pemeriksaan CT menunjukkan adanya
kalsifikasi pungtata di dalam komponen solid dari tumor ini.41

Pemeriksaan histologi dari astroblastoma akan menunjukkan adanya pseudorosettes


perivaskular, hialinisasi pembuluh darah, terdapat spasium jernih antara pseudorosettes,
dan tidak didapatkanya pola fibrilari.41 Astroblastoma terbagi menjadi derajat rendah
dan derajat tinggi berdasarkan temuan patologis. Derajat rendah memiliki susunan
pseudorosettes perivaskular yang uniform, mitosis yang rendah hingga sedang, atipia
seluler yang sedikit, tidak adanya proliferasi endotel, dan sklerosis dinding pembuluh
darah. Sebaliknya, astroblastoma derajat tinggi memiliki atipia sitologis tinggi, mitosis
yang meningkat, selularitas yang kompak, sel perivaskular dengan rasio mitosis tinggi,
serta hipertrofi dari endotel vaskular tanpa adanya hialinisasi.41 Pemeriksaan IHK yang
positif ada\ah glial fibrillary acidic protein GFAP, vimentin, dan protein S-100.42
Terapi dari tumor ini masih diperdebatkan, tetapi reseksi total merupakan pilihan
utama. Pemberian radioterapi pascaoperasi dapat dilakukan pada reseksi subtotal.
Pada kasus astroblastoma derajat tinggi atau rekuren, pemberian terapi adjuvan
direkomendasikan.42 Kemoterapi juga dapat menjadi opsi bagi beberapa pasien.41

IV.7. Tumor Pleksus Koroideus


Tumor pleksus koroideus merupakan tumor otak primer yang berasal dari epitel
pleksus koroideus dan divaskularisasi oleh arteri koroideus. Pleksus koroideus sendiri
merupakan epitel berbentuk kuboid yang berfungsi untuk menghasilkan cairan
serebrospinal. Fungsi lainnya adalah berperan sebagai sawar darah otak karena antar
epitel dari sel ini merupakan tight junction. Sel epitel pleksus koroideus juga memiliki
kompleks histokompabilitas kelas I dan II sehingga memiliki peran dalam inflamasi
autoimun. Letak dari pleksus koroideus terdapat pada setiap ventrikel otak.43
Berdasarkan klasifikasi WHO tahun 2016, tumor pleksus koroideus terbagi
menjadi 3 yaitu:4
1. Papiloma pleksus koroideus (WHO derajat I). Tumor jenis ini menunjukkan
replikasi pleksus koroideus yang tidak ganas, terdapat jaringan ikat fibrovaskular
yang dilapisi oleh satu layar sel epitel kuboid-kolumnar dengan nukleus
berbentuk bulat-oval dan monomorfik, aktivitas mitosis rendah, selularitas
rendah, pleomorfisme nukleus rendah, dan tidak didapatkan adanya invasi
parenkim otak.44 Tampakan lain seperti kalsifikasi, kistik, atau hemorhagik.43
2. Papiloma pleksus koroideus atipikal (WHO derajat II). Jenis ini terdiri atas sel
yang menunjukkan tanda atipia tetapi masih terbatas pada lapisan ependimal
dari ventrikel dan aktivitas mitosis >2 mitosis per 10 lapangan pandang.43
3. Karsinoma pleksus koroideus (WHO derajat III). Tumor ini ditandai dengan
mitosis lebih dari 5 per 10 lapang pandang besar, pleomorfisme nukleus, hilangnya
bentuk susunan papilaria dari lapisan sel tumor, area nekrosis, peningkatan rasio
nukleus-sitoplasma, dan dapat menginvasi parenkim otak.4344
Tumor pleksus koroideus sering terjadi pada anak-anak dengan insidensi 0,3
per 1 juta populasi per tahun. Angka ini mencakup 0,3-0,6% dari semua tumor otak,
2-4% tumor intrakranial pada anak, dan 10-23% tumor pada anak berusia kurang
dari 1 tahun.43 Sebanyak 80% tumor pleksus koroideus merupakan papiloma pleksus
koroideus, 15% papiloma atipikal, dan 5% karsinoma pleksus koroideus. Gejala yang
paling sering didapatkan adalah hidrosefalus akibat produksi cairan serebrospinal
yang berlebihan dan penyumbatan pada aliran cairan serebrospinal. Tanda lain
adalah nyeri kepala, mual, muntah, gangguan penglihatan, papiledema, dan kejang.43
Pemeriksaan CT menunjukkan tumor intraventrikular berlobulasi dengan tepi
berbentuk kembang kol, berbatas tegas, dan menunjukkan penyangatan homogen
setelah pemberian kontras. Temuan lain seperti kista, kalsifikasi, pendarahan, dan
edema peritumor dapat ditemukan. Pada pemeriksaan MRI Tl akan tampak massa
intraventrikular isointens dan mengalami penyangatan setelah pemberian kontras.
Pada T2 akan tampak sebagai tumor iso- hingga hiperintens yang heterogen.
Pemeriksaan MRS akan menunjukkan peningkatan tunggal dari myo-inositol pada
papiloma pleksus koroideus sedangkan pada karsinoma pleksus koroideus akan
mengalami peningkatan kolin dan laktat serta penurunan kadar N-asetil aspartat. 43
Pemeriksaan gen supresor tumor TP53 dapat dilakukan untuk menentukan prognosis,
di mana rasio kesintasan dalam 5 tahun antara kelompok mutasi TP53 dengan TP53
wildtype menunjukkan angka 0% dan 82% secara berurutan. 44
Terapi dari papiloma pleksus koroideus adalah reseksi total dengan kesintasan
dalam 5 tahun sebesar 100%. Pemberian radioterapi hanya diberikan pada kasus
rekuren atau reseksi ulang dengan dosis 50-54Gy pada 20-25 fraksi.44 Pada karsinoma
pleksus koroideus, reseksi total diikuti dengan radiasi kraniospinal merupakan terapi
standar. Dosis radiasi yang diberikan adalah 50,4Gy (untuk usia 1,5-2,5 tahun] dan
54Gy (usia di atas 2,5 tahun). 45

FV.8. Tumor Regio Pineal


Regio pineal adalah lokasi yang berada di spasium insisura posterior, berbatasan
dengan apeks tentorium pada bagian posterior, serebelar vermis pada bagian inferior,
bagian splenium dari korpus kalosum pada bagian superior, ventrikel ketiga, planu
kuadrigeminal, dan tektum mesensefalon pada sisi anterior. Pada regio ini terdapat
glandula pineal yang memiliki fungsi menghasilkan melatonin, meregulasi ritme
sirkardian, mengatur menstruasi, fungsi adrenal, dan fungsi tiroid.46
Tumor yang terjadi di regio pineal memiliki insidensi rendah, dengan angka
kejadian 1% dari semua tumor otak.47 Sebagian besar tumor di regio pineal adalah
tumor non-parenkimal, dengan tumor parenkimal hanya mencakup 30% dari seluruh
tumor regio pineal. Berdasarkan klasifikasi dari WHO tahun 2016, tumor yang terjadi
pada regio pineal dapat terbagi menjadi:4
1. Pineositoma (WHO derajat I), tumor dengan tampakan pineocytomatous/neurocytic
rosettes yang terdiri dari beberapa prosesus sel tumor di tengah.47 Pineositoma
dapat dibagi menjadi pineositoma tipikal dan pineositoma pleomorfik.48
2. Tumor parenkimal pineal dengan diferensiasi intermediat (WHO derajat II atau
III), memiliki sel pineositomea dengan gambaran intermediat. Terbagi menjadi 3
bentuk, yaitu lobular, difus, dan transisional.48
3. Pineoblastoma (WHO derajat IV), tumor dengan selularitas tinggi yang membentuk
small blue cells, dengan rasio nukleus-sitoplasma tinggi akibat sitoplasma yang
mengecil dan nukleus berbentuk bulat serta hiperkromatik. Dapat ditemukan
gambaran Homer-Wright rosettes dengan neuropil di bagian tengah.4648
4. Tumor papilari regio pineal (WHO derajat II-III), tumor berbentuk papilari dan
solid. Area papilari memiliki inti fibrovaskular dikelilingi sel kulomnar-kuboidal
berlapis-lapis. Sitoplasma sel eosinofilik dengan nukleus bundar. Area solid
menunjukkan sel berbentuk bulat-oval dengan sitoplasma jernih-eosinofilik
disertai vakuola intrasitoplasma.48

Gejala yang paling sering dirasakan adalah hidrosefalus, peningkatan tekanan


intrakranial (nyeri kepala, mual, muntah), penurunan kesadaran, pandangan ganda,
serta sindrom Parinaud.4749 Sindrom Parinaud disebabkan oleh penekanan pada
mesensefalon, sehingga mengakibatkan gejala pupil terdilatasi dan tidak berespons
1
dengan cahaya namun respons terhadap akomodasi, gangguan mata untuk melirik ke
atas, dan nistagmus refraktori konvergens.49 Tanda lain yang dapat muncul tetapi jarang
ditemukan seperti hemiparesis, ataksia, kelumpuhan nervus ketiga, pubertas prekoks,
hipogonadism, kejang, enuresis, gangguan gerakan, dan penurunan berat badan.49
Pada pemeriksaan CT, pineositoma menunjukkan tampakan solid dengan
ukuran sedang dan kalsifikasi pada daerah perifer. Tumor parenkimal pineal dengan
diferensiasi intermediat sulit dibedakan pada pemeriksaan CT karena tampakannya
mirip dengan tumor parenkim pineal lainnya. Pineoblastoma akan menghasilkan
gambaran hiperdens dengan kalsifikasi bervariasi pada CT. Tumor papilaria regio
pineal pada area solid akan menghasilkan gambaran hipodens pada CT.49

Pemeriksaan MRI pada pineositoma akan didapatkan masa solid homogen, dengan
beberapa kasus didapatkan perubahan kistik. Tumor parenkimal pineal dengan
diferensiasi intermediat menunjukkan gambaran iso-hipointens pada T1 dan intensitas
yang bervariasi pada T2. Pemberian kontras akan menghasilkan penyangatan yang
heterogen atau homogen. Pada pemeriksaan MRI akan menunjukkan massa dengan
sinyal heterogen dan beberapa temuan invasi tumor lokal. Pemeriksaan MRI pada
tumor papilaria regio pineal akan menghasilkan tampakan iso- hingga hipointens
pada Tl dan iso- hingga hiperintens pada T2.49
Terapi utama untuk pineositoma adalah reseksi total. Untuk tumor parenkimal
pineal dengan diferensiasi intermediat, intervensi operasi ditambah dengan radiasi
adjuvan merupakan terapi yang direkomendasikan.47 Pada kasus pineoblastoma,
setelah operasi reseksi total dapat diberikan terapi adjuvan iradiasi dan kemoterapi
dosis tinggi, tetapi prognosis pasien dengan terapi ini hanya mencapai 10% dalam
5 tahun.49 Tumor papilaria regio pineal belum memiliki suatu strategi terapi yang
optimal, tetapi beberapa studi melaporkan reseksi dengan tambahan adjuvan radiasi
atau kemoterapi dapat meningkatkan angka kesintasan.46

IV.9. Tumor Neuronal dan Campuran Neuronal-Glial


IV.9.1. Tumor Disembrioplastik Neuroepitelial [Dysembryoplastic
Neuroepithelial Tumor)
Dysembroplastic neuroepithelial tumor (DNT) adalah tumor glioneuronal yang
berada pada korteks supratentorial (lobus temporal). Gejala yang paling sering dari
tumor ini adalah epilepsi parsial yang intraktabel. Tumor ini memiliki angka kejadian
0,033 per 100.000 orang per tahun.50 Pada populasi anak, DNT terjadi pada 0,6-0,8%
dari seluruh tumor sistem saraf pusat dan terjadi lebih banyak pada populasi laki-
laki.50 DNT memiliki 3 varian histologi:51
1. Subtipe simpel, dengan adanya komponen glioneural spesifik yang terdiri atas sel
berukuran kecil, bulat yang disebut dengan oligodendroglial-like cell (OLC) dan
neuron diantara matriks yang memiliki banyak musin.
2. Subtipe kompleks, memiliki gambaran mirip dengan subtipe simpel ditambah
adanya nodul glial yang mirip dengan gambaran low grade glioma.
3. Subtipe nonspesifik, terdiri atas komponen nodul glial atau komponen difus
seperti area internodular dari tampakan multinodular DNT klasik. Lesi subtipe
nonspesifik tidak berbatas tegas dengan lesi kortikal yang difus

Gejala yang paling sering dari tumor ini adalah kejang parsial kompleks, diikuti
kejang tonik-klonik, parsial simpel, dan kejang parsial dengan generalisasi sekunder.51
Pemeriksaan MRI akan menunjukkan gambaran pseudokistik atau multikistik
dengan sinyal hipointens pada Tl dan hiperintens pada T2. Pemberian kontras hanya
menunjukkan penyangatan pada 12% kasus saja. Berdasarkan pemeriksaan MRI,
gambaran DNT dapat dibagi menjadi 3, yaitu:52
1. Tipe 1: gambaran kistik, polikistik, berbatas tegas dan hipointens pada Tl. Paling
sering didapatkan pada DNT subtipe simpel atau kompleks, dan predileksi
tersering di temporal dan extratemporal.
2. Tipe 2: tampakan seperti nodular dengan sinyal heterogen. Paling sering
didapatkan pada DNT di area neokortikal.
3. Tipe 3: tampakan displastik, batas tidak tegas, pengaburan batas substansia
alba dan grisea, dengan tampakan iso-hipointens pada Tl. Tampakan ini sering
didapatkan pada DNT di lobus temporal mesial. Tampakan lain yang bisa
didapatkan adalah sklerosis atau malformasi dari hippokampus.

Pada studi genetik, sebagian besar DNT memiliki mutasi IDH1 dan BRAFV600E.
Heterozigositas dari lp/19q dan 19q, lOq, atau gabungan keduanya juga dapat
hilang,pada beberapa tumor DNT.5153 Terapi yang disarankan untuk DNT adalah
operasi. Reseksi total tumor memiliki prognosis paling baik dibandingkan operasi
yang subtotal atau operasi lesionektomi.5254 Pemberian terapi radiasi disertai dengan
temozolomide juga efektif untuk DNT subtipe progresif.55
IV.9.2. Ganglioglioma
Ganglioglioma merupakan tumor campuran glial-neuronal dengan derajat WHO
I yang memiliki angka kejadian 0,5-5% dari semua keganasan sistem saraf pusat
anak dan lebih banyak ditemukan pada laki-laki.456 Sebagian besar terjadi pada anak
berusia >10 tahun.56 Gambaran ganglioglioma paling sering ditemukan pada area
supratentorial seperti lobus temporal,57 tetapi tidak menutup kemungkinan di tempat
lain seperti frontal, parietal, oksipital, multilobar, hingga serebelum.58
Gejala paling sering adalah kejang, diikuti tanda peningkatan intrakranial
[nyeri kepala, mual, muntah), gangguan endokrin, dan gangguan penglihatan.57
Tanda lain yang lebih jarang didapatkan seperti gejala serebelar, gangguan memori,
kelumpuhan nervus kranial, atau gejala psikiatri.58 Pemeriksaan radiologis pada CT
akan menunjukkan massa solid atau kistik yang berbatas tegas, disertai tampakan
kalsifikasi, efek masa, dan edema vasogenik. Pemberian kontras akan menunjukkan
penyangatan. Pemeriksaan MRI akan memberikan gambaran hipointens pada Tl dan
hiperintens pada T2.58
Tampakan makroskopik ganglioglioma merupakan masa solid atau kistik, dan
dapat ditemukan kalsifikasi, pendarahan, dan nekrosis. Pemeriksaan mikroskopik
akan menunjukkan sel ganglion neoplastik, berbentuk multipolar, berukuran besar,
dengan tampakan displastik disertai dengan tambahan komponen glial seperti
astrositik berbentuk fibrilari atau pilositik. Sel tersusun membentuk kelompok sel
tetapi tidak berkelompok disekitar neuron neoplastik, disertai adanya tampakan
desmoplasia dan kalsifikasi.58
Terapi ganglioglioma adalah dengan reseksi total. Radiasi hanya diberikan pada
tumor yang tidak tereseksi sempurna.58 Sebuah penelitian menggunakan inhibitor
BRAF (debrafenib) pada ganglioglioma dengan mutasi V600E dapat menjadi opsi
terapi untuk masa depan.59

IV.9.3. Gangliositoma
Gangliositoma merupakan tumor neuroepitelial yang terdiri dari sel ganglion
matur neoplastik, yang memiliki tampakan displastik dan nukleus multipel.60 Tumor
ini termasuk dalam WHO derajat I.4 Gangliositoma memiliki insidensi 0,l-0,5%.60
Gangliositoma paling sering didapatkan pada lobus temporal.56
Gangliositoma memiliki gejala yang mirip dengan ganglioglioma. Gejala paling
sering adalah kejang diikuti dengan peningkatan tekanan intrakranial.58 Kejang yang
paling sering timbul biasanya kejang parsial kompleks dan tidak respons dengan
obat.60 Pada pemeriksaan radiologis juga didapatkan tampakan yang sama dengan
ganglioglioma, yaitu massa solid atau kistik solid pada CT, massa hipointens pada Tl
dan hiperintens berbatas tegas di T2.58 Kalsifikasi dapat ditemukan pada pemeriksaan
CT Scan.60 Pemeriksaan mikroskopis dari gangliositoma akan menunjukkan adanya
sel ganglion neoplastik dengan ukuran besar dan multipolar yang tersusun ireguler,
dengan stroma mengandung elemen glial yang non-neoplastik.58 Ini yang membedakan
gangliositoma dengan ganglioglioma.
Terapi utama pada gangliositoma adalah operasi dengan reseksi maksimal.
Namun, ada pasien dengan reseksi subtotal juga memiliki prognosis yang baik. Pada
kasus yang tidak tereseksi sempurna dapat diberikan radioterapi dengan dosis 45-
54Gy dalam l,8-2,0Gy/hari. Kemoterapi boleh dipertimbangkan pada pasien dengan
tumor persisten setelah re-reseksi dan re-radiasi.60

IV.9.4. Ganglioglioma Anaplastik


Ganglioglioma anaplastik adalah tumor campuran neuroglial dengan klasifikasi
WHO derajat III.4 Gambaran yang ditemukan pada tumor ini adalah peningkatan
selularitas, aktivitas mitosis, atipia, proliferasi mikrovaskular yang prominen, dan
nekrosis. Insidensi dari anaplastik ganglioglioma adalah 0,02 kasus per 1 juta/tahun.61
Gejala klinis yang paling sering dari ganglioglioma anaplastik adalah kejang
(terutama pada lokasi temporal), disertai tanda peningkatan tekanan intrakranial
yang lebih jelas dibandingkan ganglioglioma derajat I, seperti diplopia, hemiplegia,
dan defisit neurologis lainnya.6263
Pemeriksaan radiologis yang didapatkan adalah gambaran solid dan kistik
disertai kalsifikasi dengan penyangatan setelah pemberian kontras. Pada pemeriksaan
Tl akan tampak sebagai lesi hipointens dan pada T2 tampak sebagai hiperintens.62
Pemeriksaan histologi menunjukkan gambaran neoplastik (peningkatan selularitas,
atipia, dsbnya), serta dapat ditemukan adanya infiltrasi limfositikperivaskular, granul
eosinofilik, dan pendarahan.63,65
Terapi yang disarankan untuk kasus ganglioglioma anaplastik adalah reseksi
total disertai pemberian radioterapi dengan dosis tinggi (54-60Gy).60 Terapi target
seperti anti-BRAF merupakan salah satu opsi ke depannya sebagai salah satu terapi
ganglioglioma anaplastik.63 Prognosis dari penyakit ini adalah 77,8%, 48,5%, dan
21,1% untuk kesintasan 1 tahun, 2 tahun, dan 5 tahun secara berurutan.63

IV.9.5. Gangliositoma Serebelar Displastik [Lhermitte-Duclos Disease)


Lhermitte-Duclos Disease (LDD) adalah lesi serebelar dengan sel tumor ganglion
displastik. Tumor ini sangat jarang terjadi, hanya mencapai > 100 kasus yang dilaporkan,
dengan prevalensi paling sering pada dewasa berusia 30-40 tahun.60 Tumor ini
termasuk dalam WHO derajat I dan didapatkan pada 40% kasus sindrom Cowden,
sindrom neoplastik autosomal dominan dengan tanda lesi mukokutaneus, hamartoma
sistemik, serta keganasan payudara, tiroid, saluran kemih, dan gastrointestinal.64
Karena lesi terletak pada serebellum, maka gejala klinis yang muncul adalah
ataksia, vertigo, nyeri kepala, kelumpuhan nervus kranial, hingga tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial akibat hidrosefalus.64
Pemeriksaan CT Scan akan menunjukkan lesi hipodens dan tidak menyangat saat diberi
kontras.64 Pada pemeriksaan MRI akan tampak sinyal hipointens pada Tl dengan sedikit
atau tidak ada penyangatan setelah pemberian kontras, serta hiperintens dengan batas
tegas pada T2.66 Pada massa akan didapatkan gambaran stria selebelar akibat penebalan
folia serebelar dan gambaran kulit harimau. Hal ini merupakan tanda khas dari LDD.64
Pemeriksaan mikroskopis akan menunjukkan hipertrofi dan displastik sel
ganglion serebelum, hilangnya sel purkinj e dan substansia alba, serta tidak didapatkan
sel neoplastik.6466
Terapi utama dari LDD adalah reseksi total dan reseksi ulangan perlu dilakukan
fika tidak tereseksi sempurna.60 Radioterapi hanya dipertimbangkan pada pasien
dengan lesi rekuren.60

IV.9.6. Desmoplastic Infantile Astrocytoma & Ganglioglioma


Tumor ini termasuk tumor yang jarang dengan angka kejadian 1,25% dari semua
keganasan anak-anak dan paling sering menyerang anak berusia <2 tahun. Tumor ini
termasuk derajat I pada klasifikasi WHO.4 Karakteristik tumor ini adalah didapatkan
sel neuroepitelial dalam stroma desmoplastik yang dapat menunjukkan diferensiasi
astrositik atau astrositik-neuronal. Diferensiasi astrositik akan disebut desmoplastic
infantile astrocytic (DIA) dan diferensiasi astrositik-neuronal disebut desmoplastic
infantile ganglioglioma (DIG).67
Gejala yang paling sering adalah makrosefali, peningkatan tekanan intrakranial,
kejang, hemiplegia. Pada pemeriksaan radiologi akan tampak sebagai massa
multikistik, berukuran besar, dan disertai komponen solid. Pada pemeriksaan MRI
akan tampak sebagai lesi isointens di Tl dan hiperintens di T2.67
Pada pemeriksaan mikroskopis akan tampak 3 komponen khas, yaitu:67
1. Sel fibroblastik spindle membentuk matriks retikulin atau kolagenosa
2. Sel astrositik neoplastik, dengan sitoplasma kaya eosinofilik. Susunannya dapat
berbentuk fasikel atau storariformis. Pada DIG akan didapatkan komponen sel
ganglionik atau ganglioid.
3. Sel neuroepitelial hiperkromatik imatur, bulat, dan berukuran kecil.

Selain tanda-tanda mikroskopis tersebut bisa didapatkan kalsifikasi, mitosis, dan


tidak didapatkan proliferasi endotelial.67
Terapi utama pada tumor ini adalah reseksi total, tetapi prosedur ini mungkin
sulit dilakukan karena faktor usia dan adanya adhesi kuat antara tumor dengan
korteks atau duramater. Terapi radioterapi dan kemoterapi hanya dipertimbangkan
pada kasus rekurensi atau adanya pertumbuhan residu tumor setelah operasi, karena
radioterapi memiliki dampak berbahaya bagi anak-anak.68

IV.9.7. Tumor Glioneuronal Papilaria {Papillary Glioneuronal Tumor)


Tumor glioneuronal papilaria merupakan tumor glioneuronal derajat I.4 Tumor
ini termasuk tumor dengan angka kejadian sangat rendah.60 Tumor ini dapat terjadi
pada semua lobus dan paling sering terjadi pada lobus temporal.
Gejala klinis dari tumor ini adalah nyeri kepala dan kejang, dengan gejala lain
seperti mual, vertigo, gangguan keseimbangan dan penglihatan, defisit sensorimotor,
kehilangan memori, serta perubahaan mood.69
Pemeriksaan radiologis akan menghasilkan gambaran lesi berbatas tegas pada
area subkortikal atau periventrikular. Pemeriksaan MRI menunjukkan gambaran
hipointens pada Tl dan hiperintens heterogen pada T2. Pemberian kontras akan
memperlihatkan penyangatan. Pemeriksaan CT scan jarang menunjukkan gambaran
kalsifikasi dan pendarahan intratumoral.69
Pada pemeriksaan histologi dapat ditemukan komponen glial dan neuronal.
Komponen glial terdiri atas struktur pseudopapilaria dengan pembuluh darah
terhialinisasi yang dikelilingi oleh sel glial kuboidal. Sel tersebut memiliki nukleus
bulat, kromatin padat, sitoplasma eosinofilik, serta tidak didapatkan aktivitas mitosis
dan atipia selular pada komponen glial. Pada komponen neuronal mengandung lapisan
interpapilaria dari neurosit, sel ganglion, dan sel ganglioid pada matriks fibrilaria. Sel
neurositik memiliki nukleus bulat, gelap, dan uniformis dengan sitoplasma luas. Sel
ganglion memiliki nukleus vesikular luas, nukleoli prominen, dan sitoplasma yang
kaya dengan Nissl. Sel ganglioid memiliki nukleoli lebih kecil dengan sitoplasma luas.69
Terapi yang disarankan adalah reseksi total, dengan prognosis yang baik. Hanya
sedikit yang mengalami rekurensi atau progresi tumor.69 Radioterapi adjuvan
dilaporkan pada beberapa studi tetapi masih belum jelas, dan data mengenai
kemoterapi masih belum tersedia.69

IV.9.8. Rosette-forming Glioneuronal Tumor


Tumor ini termasuk dalam klasifikasi WHO derajat 1, dengan perkembangan
yang lambat, dan biasanya terjadi pada populasi dewasa muda. Jumlah kasus yang
dilaporkan berkisar antara 41-63 kasus. Tumor ini terjadi pada ventrikel keempat.6070
Gambaran klinis dari tumor ini adalah ataksia, nyeri kepala, hidrosefalus
obstruktif, vertigo, gangguan penglihatan, dan kaku kuduk.70 Pada pemeriksaan radiologi
akan menunjukkan massa yang berada di ventrikel keempat dan dapat meluas ke serebelar
vermis, batang otak, glandula pineal, talamus, serta akuaduktus serebral. Pemeriksaan MRI
t akan menunjukkan lesi solid atau multikistik hipointens pada Tl dan hiperintens pada T2,
didapatkan penyangatan pascakontras dengan bentuk nodular, linear, cincin, atau titik70
Tumor ini jarang menginvasi foramen Magendi dan Luschka. Pada pemeriksaan CT scan
dapat ditemukan kalsifikasi pada 20% kasus.60
Pada pemeriksaan histologi akan ditemukan 2 komponen sel yaitu neurositik
dan glial. Komponen neurositik terdiri atas sel kecil uniformis dengan nukleus bulat,
kromatin granular, nukleoli tidak mencolok, sitoplasma dengan prosesus halus.
Komponen glial terdiri atas sel astrositik spindle dengan nukleus oval, kromatin tebal,
dan prosesus sitoplasma. Dapat ditemukan mikrokist, sel mirip oligodendroglia,
serabut Rosenthal, granul eosinofilik, mikrokalsifikasi, dan hemosiderin. Jarang
ditemukan adanya mitosis dan nekrosis.70

Terapi utama adalah reseksi total tumor, dengan angka kesintasan yang baik.70
Radioterapi dan kemoterapi (dengan temozolomide dan asam cis-retinoic) pernah
dilaporkan digunakan pada beberapa kasus dengan reseksi parsial atau didapatkan
adanya penyebaran ventrikel.60

IV.9.9. Diffuse Leptomeningeal Glioneuronal Tumor (DLGNT)


Tumor DLGNT adalah tumor jenis baru pada klasifikasi WHO tahun 2016.4 Tumor ini
memiliki karakteristik diseminasi leptomeningeal difus, dengan sel mirip neurositoma
dan bersifat agresif. Tumor ini lebih sering didapatkan pada anak-anak dan remaja.71
Tumor DLGNT memiliki 5 karakteristik berbeda, yaitu adanya keterlibatan sisterna
basalis dan fisura interhemisferik, penebalan dari spasium subarakhnoid, diseminasi
leptomeningeal dari tumor tanpa adanya massa intraparenkimal yang jelas, terdapat sel
tumor bulat seperti neurositoma yang monoton, dan diferensiasi glioneuronal.72
Pemeriksaan MRI akan menunjukkan penyangatan pada otak dan/atau medula
spinalis. Pemeriksaan T2 akan menunjukkan gambaran hiperintens, tebal, berbentuk
plak atau nodular.71

Pemeriksaan histologi dapatmemberikan gambaran derajatrendah maupun derajat


tinggi. Pada derajattinggi akan tampak sel glial dengan susunan pseudopapilaria dengan
mitosis tinggi dan nekrosis. Pada derajat rendah akan tampak sebagai sel berbentuk
bulat monoton dengan sitoplasma jernih, serta rasio mitosis yang sangat rendah.73
Terapi untuk kasus ini banyak dilaporkan menggunakan regimen kemoterapi
(temozolomide) dan/atau radiasi.74 Studi oleh Aguilera dkk. menunjukkan bahwa
pemberian kemoterapi dapat mengurangi gejala klinis tetapi tidak berefek pada tanda
radiologis.71
IV.9.10. Neurositoma Sentral dan Neurositoma Ekstraventrikular
Neurositoma sentral dan ekstraventrikular termasuk ke dalam tumor neuroglial derajat
4
II. Tumor ini terdiri atas sel bulat uniformis dengan diferensiasi neuronal. Neurositoma
sentral terletak di dalam ventrikel, seringkali melekat pada septum pelusidum didekat
foramen Monro.60 Neurositoma sentral paling sering didapatkan pada ventrikel lateral
dan tiga.75 Neurositoma ekstraventrikular terletak di dalam parenkim otak Neurositoma
seringkali muncul pada usia 30-40 tahun dengan insidensi sebesar 0,l-0,5%.60
Tanda klinis dari neurositoma sentral adalah peningkatan tekanan intrakranial
diakibatkan oleh hidrosefalus obstruktif, sedangkan neurositoma ekstraventrikular
tergantung dari lokasi tumor. Gejala yang dikeluhkan untuk neurositoma
ekstraventrikular dapat berupa kejang kompleks, nyeri kepala, kelumpuhan nervus
kranialis, dan pubertas prekoks.60
Pemeriksaan CT akan menghasilkan gambaran massa heterogen, multikistik, dan
hiperdens dengan kalsifikasi. Pemberian kontras akan menghasilkan penyangatan
yang heterogen. Pemeriksaan MRI pada Tl akan menunjukkan tumor solid dengan
sinyal hipo- hingga isointens berbatas tegas, sedangkan pada T2 akan tampak sebagai
massa isointens dengan gambaran seperti 'keju Swiss'. Gambaran ini diakibatkan oleh
kista-kista yang berkelompok.60
Pemeriksaan histologi akan menunjukkan populasi sel bulat yang tersusun
berkelompok. Gambaran perinuklear halo seperti sel oligodendroglioma dapat
ditemukan. Mitosis jarang didapatkan dan indeks proliferasi dari sel tumor ini rendah.75
Terapi utama adalah reseksi total, tetapi 50% pasien tidak bisa diambil total karena
risiko pascaoperasi. Pemberian radioterapi dengan dosis 45-54Gy dapat diberikan pada
kasus dengan reseksi inkomplit. Kemoterapi (BCNU, PCV, etoposide, dan komponen
platinum] dapat dipertimbangkan pada kasus rekuren.60 Prognosis tumor ini baik
apabila telah direseksi total, tetapi pada kasus reseksi inkomplit dapat mengakibatkan
rekurensi lokal.75

IV.9.11. Liponeurositoma Serebelar [Cerebellar Liponeurocytoma)


Liponeurositoma serebelar merupakan tumor neuroglial derajat II yang terletak di
serebelum.4 Tumor ini termasuk tumor yang jarang dengan median usia adalah 50 tahun.60,76
Gejala yang muncul paling sering berkaitan dengan peningkatan tekanan
intrakranial (nyeri kepala, muntah, dan penurunan kesadaran}. Gejala lain yang dapat
muncul berupa pusing, ketidakseimbangan, ataksia, dan gangguan penglihatan.76
Gambaran radiologis pada CT adalah massa hipo- hingga isodens dengan area fokal
hipoatenuasi yang menggambarkan densitas lemak. Pemeriksaan MRI pada Tl akan
menghasilkan tampakan iso hingga hipointens dengan area-area tertentu tampak
hiperintens oleh karena massa lemak. Pemberian kontras menghasilkan penyangatan
yang heterogen. Pada MRI T2 akan tampak massa hiperintens dengan area fokal lebih
hiperintens.76-77
Pemeriksaan histologi akan didapatkan sel neurositik berukuran kecil dengan
vakuola sitoplasma yang prominen. Sel ini tersusun seperti lembar atau lobulus
dengan sitoplasma jernih atau pucat. Batas sitoplasma tampak jelas. Pada area dengan
lipidisasi, nukelus tumor akan menekan ke arah perifer sel sehingga menghasilkan
sel tumor yang mirip dengan adiposit dewasa. Mitosis pada tumor ini rendah dan
nekrosis serta proliferasi endotel vaskular jarang ditemukan.76 Potensi proliferasi
dari sel tumor ini juga rendah dengan indeks Ki-67/MIB-l berkisar l-3%. 6 0
Standar terapi dari liponeurositoma serebelar adalah reseksi total, dengan
tingkat rekurensi yang rendah setelah reseksi operasi.76 Radioterapi dapat diberikan
pada kasus rekuren atau progresif.60

IV.10. Tumor Regio Sela


Berdasarkan klasifikasi WHO tahun 2016, tumor regio sela dibagi menjadi 4 yaitu
kraniofaringioma (adamantimatosa & papilaria), tumor sel granular dari regio sela,
pituisitoma, dan spindle cell oncocytoma.4 Tumor adenoma pituitari adalah tumor
sella yang paling sering, diikuti kraniofaringioma. Tumor ini lebih banyak ditemukan
pada orang dewasa daripada anak-anak dan lebih sering ditemukan pada perempuan
dibandingkan laki-laki.78 Adenoma pituitari bahkan merupakan tumor primer otak
kedua tersering dengan insidensi 7-92 per 100.000 orang per tahun. Karsinoma
pituitari di sisi lainnya mencakup hanya 0,1% dari semua tumor adenoma.79
Gejala klinis tergantung pada lokasi yang terkena efek massa tumor serta
hormon mana yang disekresikan paling aktif. Tanda klinis yang dapat ditemukan
seperti gangguan ketajaman penglihatan, hidrosefalus, penyakit Cushing (obesitas
sentral, hipertensi, amenorea, intoleransi glukosa, dan sebagainya], akromegali (pada
dewasa) dan gigantisme (pada anak-anak), galaktorea, gangguan libido, dan disfungsi
seksual.79
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
laboratorium dan radiologis. Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan
peningkatan-peningkatan hormon tertentu pada adenoma hipofisis, seperti hormon
adenocorticotropic hormone (ACTH), growth hormone (GH}, thyroid-stimulating
hormone (TSH), dan kadar insuline-likegrowth factor-1 (IGF-1). Pemeriksaan CT scan
dapat dilakukan untuk menunjukkan kalsifikasi pada kraniofaringioma.79
Terapi pada tumor regio sela adalah reseksi total dengan radioterapi pascaoperatif
dapat diberikan pada kasus residual. Pada kasus dengan penyakit Cushing dapat
diberikan inhibitor steroid seperti ketokonazol dan mitotane. Agonis dopamin
(bromokriptin, cabergolin) dapat diberikan pada kasus dengan prolaktinoma. Untuk
mengurangi efek GH yang berlebih, beberapa obat seperti agonis dopamin, analog
somatostatin, dan antagonis reseptor GH dapat diberikan.80 Pada kasus dengan
sekresi TSH tinggi, operasi merupakan pilihan pertama dan opsi lain seperti analog
somatostatin (SST) dapat dipertimbangkan apabila tumor tidak bisa diambil.81
Radioterapi juga dapat dipertimbangkan pada kasus adenoma nonfungsional dengan
tumor yang tidak dapat dioperasi, adanya rekurensi setelah operasi, dan adenoma
yang tidak dapat diakses. Radioterapi dapat diberikan pada kasus adenoma fungsional
apabila hormon tidak terkontrol dengan operasi dan pengobatan medis atau adanya
kontraindikasi pada kedua terapi ini.79 Dosis radiasi bervariasi antara 45-54Gy
terbagi dalam 25-30 fraksi yang diberikan selama 5-5,5 minggu dengan dosis l,8Gy/
rraksi.81 Kraniofaringioma primer dapat diterapi dengan operasi eksisi total namun
rekurensi pada kasus ini tinggi sehingga seringkali diperlukan radioterapi adjuvan.80
Pada kasus karsinoma pituitari, terapi utama adalah operasi dan radiasi. Kemoterapi
seperti temozolomide dapat diberikan dengan rasio respons sebesar 60%.81

IV.11. Meningioma
Meningioma merupakan tumor yang berasal dari meningen otak. Meningioma
memiliki angka kejadian dari 1,28-7,8/100.000 orang dan didominasi oleh jenis
kelamin perempuan.82 Namun, dominasi laki-laki didapatkan pada meningioma
usia anak.83 Kelompok usia yang paling banyak memiliki penyakit ini adalah dewasa
dengan anak-anak hanya kurang dari 3%.83 Berdasarkan gambaran histologi, WHO
~ tahun 2016 membaginya menjadi 3 derajat:83'84
1. Meningioma derajat I dengan mitosis <4 per 10 lapang pandang besar dan tidak
ada invasi pada jaringan otak. Derajat 1 terdiri atas subtipe :
a. Meningotelial, terdiri atas sel uniformis, nukleus oval dengan inklusi
sitoplasma-intranuklear yang tersusun lobulus.
b. Transisional, terdapat gabungan pola meningothelial dan fibrosa dengan
sejumlah psammoma bodies dan whorls.
c. Fibroblastik, terdiri atas sel spindel yang tersusun paralel dengan matriks kolagen
d. Psammomatosa, terdapat lebih banyak psamomma bodies dan formasi
seperti uliran [whorl]
e. Sekretorik, ditandai dengan adanya diferensiasi epitelial dengan lumen
intraselular yang mengandung sekresi eosinofilik dan dengan pengecatan
periodic acid-schiff(pas) yang positif (atau disebut pseudopsctmmoma bodies')
f. Metaplastik, mengandung komponen mesenkimal seperti tulang, lemak,
kartilago, atau jaringan miksoid.
g. Mikrositik, terdapat banyak spasium mikrositik interselular yang terkadang
mengandung sekresi musin eosinofilik
h. Angiomatosa, lebih banyak ditemukan struktur vaskular dibandingkan sel
tumor dengan pembuluh darah terhialinisasi dan ketebalan dinding yang
bervariasi.
i. Limfoflasmasit, terdapat lebih banyak sel inflamasi kronis dibandingkan sel
meningotelial
2. Meningioma derajat II memiliki rasio mitosis 4-19/10 lapang pandang besar atau
didapatkan invasi pada jaringan otak atau terdapat salah satu dari 5 gambaran berikut:
(1) nekrosis spontan, (2] sheeting, (3) nukleoli prominen, (4) selularitas tinggi, atau (5)
sel berukuran kecil. Contoh subtipe meningioma pada derajat II adalah:
a. Atipikal, subtipe dengan rasio mitosis yang meningkat disertai 3 dari 5
temuan histologi yang telah disebutkan sebelumnya
b. Kordoid, terdiri atas sel eosinofilik dengan vakuolisasi sitoplasma yang
membentuk susunan cords and trabeculae.
c. Clear cell, terdiri atas sel dengan glikogen yang banyak dan positif dengan
pemeriksaan PAS
3. Meningioma derajat III memiliki rasio miosis >20/lapang pandang besar. Contoh
subtipenya adalah:
a. Papilaria, terdiri atas tumor yang memiliki pola pseudopapilaria yang
prominen.
b. Rhabdoid, terdapat sel rhabdoid dengan nukleus tersusun esentrik, nukleoli
prominen, dan didapatkan banyak sitoplasma eosinofilik.
c. Anaplastik, tumor yang memiliki salah satu dari tampakan sitologi malignan
atau peningkatan indeks mitosis >20 kali/10 lapang pandang besar.

Sebagian besar meningioma bersifat asimtomatis. Gejala yang ditimbulkan


berdasarkan lokasi dari meningioma. Gejala yang paling sering ditemukan adalah
kejang, diikuti nyeri kepala, defisit fokal, hingga hidrosefalus.85
Pemeriksaan radiologi menggunakan CT atau MRI biasanya sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis meningioma. Tumor akan tampak sebagai massa bulat, soliter yang
berlokasi dekat dengan duramater dan akan mengalami penyangatan setelah pemberian
kontras. Pada CT bisa didapatkan ada hiperostosis di sekitar tumor, kalsifikasi, dan pola
pertumbuhan tumor secara intraoseus.84 Pada MRI sekuens Tl akan menghasilkan
gambaran iso- hingga hipointens dan T2 akan menghasilkan gambaran hiperintens.83
Terapi utama dari menigioma adalah operasi. Pada WHO derajat I, terapi operasi
biasanya cukup tetapi jika reseksi tumor tidak komplit, maka bisa dilakukan reoperasi
atau pemberian radiasi. Indikasi radioterapi antara lain: (a) jika tumor tidak dapat
dioperasi akibat dekatnya tumor dengan struktur penting, (b) eksisi subtotal
pada derajat I, (c] setelah eksisi total atau subtotal pada derajat II dan derajat III.
Kemoterapi memiliki aktivitas minimal bahkan tidak ada terhadap meningioma.
Opsi terapi lain adalah terapi hormonal [berdasarkan temuan bahwa beberapa
meningioma memiliki reseptor terhadap estrogen atau progesteron], agen molekuler
yang menargetkan spesifik sel kanker, hingga inhibitor angiogenesis. Namun hingga
saat ini studinya masih sedikit.85 Pada anak-anak, prognosis dari meningioma lebih
buruk dibandingkan dewasa.83

IV.12. Tumor Otak embrional [embryonal tumors of the brain)


IV.12.1. Meduloblastoma
Meduloblastoma merupakan tumor invasif dengan derajat IV. Menurut
Klasifikasi WHO tahun 2016, meduloblastoma terbagi menjadi 3 kelompok besar,
yaitu genetically defined, histologically defined, dan not otherwise specified.* Dalam
penegakkan diagnosis, kategori molekuler dan kategori histologi perlu dipadukan
sehingga menghasilkan diagnosis yang terintegrasi: 4
1. Meduloblastoma, genetically defined, yang terdiri atas :
• Meduloblastoma, WNT activated
• Meduloblastoma, SHH-activated and TP53-mutan
• Meduloblastoma, non-WNT, non-SHH terdiri atas grup 3 dan grup 4.

2. Meduloblastoma, histologically defined, yang terdiri atas :


• Meduloblastoma klasik, memiliki gambaran histologi sel yang tersusun se-
lapis dengan bentuk uniformis dan ukuran kecil, disertai ireguleritas bentuk
nukleus, mitosis, nekrosis, apoptosis proliferasi endothelial, Homer-Wright
rosette, diferensiasi neuronal matur seperti sel ganglion atau ganglioid, serta
anaplasia yang bervariasi dari sedikit hingga banyak.86
• Meduloblastoma desmoplastik/nodular, memiliki sel neurositik dengan nodul
pucat dan tidak didapatkan retikulin dengan latar belakang mirip neuropil. Area
internodular mengandung banyak retikulin dan terdiri atas sel yang mirip dengan
meduloblastoma klasik serta menunjukkan derajat anaplasia yang bervariasi.86
• Meduloblastoma dengan nodularitas ekstensif memiliki gambaran nodularitas
ireguler dan diferensiasi neurositik tanpa komponen internodular yang tidak
i
terdiferensiasi.
• Meduloblastoma, large ce///anaplastik, memiliki gambaran histologi dengan
dominasi sel berukuran besar dan anaplasia berat yang ditandai dengan
peningkatan apoptosis, peningkatan aktivitas mitosis, serta cell wrapping.86

3. Meduloblastoma, not otherwise specified (NOS].


Meduloblastoma memiliki angka kejadian 20% dari semua keganasan sistem
saraf pusat pada anak-anak.86 Angka puncak kejadian berada pada usia antara 5-8
tahun. Meduloblastoma desmoplastik memiliki prognosis yang paling baik diantara
meduloblastoma yang lain, sementara meduloblastoma anaplastik memiliki prognosis
terburuk.47
Tanda dan gejala klinis dari meduloblastoma adalah gangguan disfungsi serebelar
seperti ataksia trunkal atau appendikular serta peningkatan tekanan intrakranial akibat
penyumbatan pada obstrusi ventrikel empat.86 Ini disebabkan karena sebagian besar
tumor meduloblastoma berada di serebelum terutama pada bagian vermis.87
Pemeriksaan radiologi dengan CT scan akan menghasilkan gambaran massa
hiperdens berbatas tegas di vermis serebelum disertai dengan edema dan hidrosefalus.
Gambaran lain seperti kalsifikasi dan formasi kista dapat ditemukan pada CT.
Pemeriksaan MRI akan menunjukkan massa solid hipointens hingga isointens dengan
substansia grisea dan mengalami penyangatan inhomogen.8687
Terapi awal pada pasien dengan hidrosefalus obstruktif adalah dengan
ventrikulostomi. Terapi utama pada kasus meduloblastoma adalah dengan reseksi
total dari tumor primer. Setelah reseksi total, dilanjutkan dengan pemberian
radioterapi kraniospinal disertai dengan pemberian kemoterapi.
Radiasi kraniospinal dengan dosis 30-36Gy dinaikkan hingga 55,8Gy pada kasus
risiko standar dan 36Gy hingga 55,8Gy pada kasus risiko tinggi rekuren.21 Kemoterapi
rang disarankan adalah pemberian vinkristin setiap minggu saat radiasi diikuti
dengan regimen kombinasi cisplatin, siklofosfamid, dan vinkristin atau kombinasi
cisplatin, lomustin, dan vinkristin.21 Pada kasus rekuren, kemoterapi yang dapat
digunakan adalah seperti siklofosfamid ± etoposide dosis tinggi.21 Mutisme serebelar
adalah gejala pascareseksi yang ditandai dengan mutisme, hipotonia, ataksia, dan
tidak mampu mengoordinasi gerakan volunter.47

IV.12.2. Tumor Embrional Lainnya/Primitive Neuroectodermal Tumors (PNETs)


Sebelum klasfikasi WHO tahun 2016 keluar, kelompok tumor embrional yang
masuk dalam kategori ini disebut dengan tumor neuroektodermal primitif (PNETs].
Namun, karena PNET juga mencakup meduloblastoma dan pineoblastoma, serta
dapat mengakibatkan adanya kebingungan dengan tumor di luar sistem saraf dengan
nama yang sama (seperti Ewing sarkoma atau PNET perifer), maka kelompok ini
diganti namanya dengan Tumor Embrional Lainnya. Dalam kelompok ini terdapat
subtipe morfologi sebagai berikut: 488
1. Meduloepitelioma, memiliki gambaran mirip dengan tuba neural embrionik yang
terdiri atas sel neuroepitelial tersusun papiler, tubular, atau trabekular serta
dilapisi oleh sel neuroepitelial yang tidak terdiferensiasi
2. Neuroblastoma sistem saraf pusat, memiliki sel berukuran kecil, bulat dengan
rasio nukleositoplasma tinggi, dan memiliki diferensiasi neuronal
3. Ganglioneuroblastoma sistem saraf pusat, memiliki sel dengan diferensiasi ganglionik
4. Embryonal tumour with multilayered rosettes, yang memiliki gambaran rosettes
berlapis-lapis dan tidak termasuk dalam diagnosis meduloblastoma, tumor
teratoid atau rhabdoid, serta kelompok PNET lainnya. Diagnosis ini terbagi dua
berdasarkan adanya amplifikasi pada regio C19MC atau tidak.
5. Tumor embrional sistem saraf pusat, NOS. Diagnosis ini hanya bisa ditegakkan
apabila diagnosis lain sudah tereksklusi, seperti tumor embrional lainnya, tumor
atipikal rhabdoid/teratoid, meduloblastoma, ependimoma, astrositoma, hingga
pineoblastoma.89

Semua tipe morfologi dari kelompok ini memiliki derajat WHO IV. Kelompok
usia pasien untuk diagnosis berada di bawah 20 tahun, dengan meduloepitelioma
sering didapatkan pada anak berusia di bawah 2 tahun. Gejala klinis yang didapatkan
tergantung pada lokasi serta dapat ditemukan tanda peningkatan tekanan intrakranial
seperti nyeri kepala, kejang, dan penurunan kesadaran.88

Pemeriksaan radiologi dengan MRI akan menunjukkan massa hipointens atau


isointens terhadap substansia grisea dengan penyangatan moderat dan difus setelah
pemberian kontras. Kalsifikasi dan pendarahan dapat ditemukan pada CT Scan.83

Terapi utama adalah dengan reseksi semaksimal mungkin dari tumor, diikuti
dengan pilihan radiasi kraniospinal atau gabungan radioterapi/kemoterapi
dilanjutkan dengan kemoterapi pascaradiasi. Dosis radiasi dan kemoterapi yang
digunakan sama dengan meduloblastoma.21
IV.12.3. Tumor Teratoid/Rhabdoid Atipikal - Atypical Teratoid/Rhabdoid
Tumors (AT/RT)
Tumor AT/RT merupakan tumor WHO derajat IV yang menyerang usia anak dan
bayi, dengan jumlah 10% tumor yang ada pada bayi. Tumor ini memiliki gambaran
sel rhabdoid dengan diferensiasi buruk yang dapat mengalami diferensiasi divergen
membentuk komponen epitelial, mesenkimal, neuronal, dan glial. Tumor ini dapat
muncul pada hemisfer serebral, serebelar, hingga medula spinalis.490
Gejala klinis yang muncul adalah tanda peningkatan tekanan intrakranial
seperti mual, muntah, nyeri kepala, dan penurunan kesadaran, disertai diseminasi
leptomeningeal.
Pemeriksaan radiologis dengan MRI akan menghasilkan gambaran hiperintens
atau isointens terhadap substansia grisea dengan penyangatan heterogen difus. Dapat
ditemukan area nekrosis dan area kistik.90
Pemeriksaan histologi akan didapatkan sel rhabdoid yang memiliki nukleus
vesikular eksentrik, nukleoli prominen, dan sitoplasma eosinofilik yang mengandung
inklusi. Didapatkan juga diferensiasi epitelial, mesenkimal, neuronal, dan glial.
Aktivitas mitosis sangat tinggi disertai adanya cell wrapping. Tumor ini memiliki
indeks proliferasi tinggi dengan Ki-67 bervariasi dari 25% hingga 85%.90
Terapi pada AT/RT masih belum terstandar. Radioterapi memiliki risiko pada
bayi. Beberapa studi mengusulkan protokol multimodalitas dengan reseksi maksimal
yang aman, kemoterapi, dan radiasi. Pada beberapa kasus pasien yang masih sangat
muda, radiasi dapat diganti dengan terapi proton.91

Daftar Pustaka
1. Park S, Won J, Kim S, Lee Y, Park C, Kim S, dkk. Molecular testing of brain tumor. J Pathol Transl
Med.2017;51(3):205-23.
2. Aninditha T, Wiratman W. Buku ajar neurologi. Departemen Neurologi Fakultas Kedokeran
Universitas Indonesia; 2017.
3. Louis D, Ohgaki H, Wiestler 0, Cavenee W, Burger P, Jouvet A, dkk. The 2007 WHO classification of
tumours of the central nervous system. Acta Neuropathol. 2007;114(2):97-109.
4. Louis D, Perry A, Reifenberger G, Von-Deimling A, Figarella-Branger D, Cavenee W, dkk. The 2016
World Health Organization classification of tumors of the central nervous system: a summary.
Acta Neuropathol. 2016;131(6]:803-20.
5. Tove L, Hansson H, Stein S, Sverre H. Prognostic value of histological features in diffuse astroytomas
WHO grade II. International ] Clin Experimental Pathol. 2012;5(2):152-8.
6. Vigneswaran K, Neill S, Hadjipanayis C. Beyond the World Health Organization grading of
infiltrating gliomas: advances in the molecular genetics of glioma classification. Ann Transl Med.
2015;3(7):95.
7. WellerM,Van-Den-BentM, Hopkins K.TonnJ, StuppR,FaliniA,dkk.EANO guideline forthe diagnosis
and treatment of anaplastic gliomas and glioblastoma. Lancet Oncol. 2014;15(9):e395-e403.
8. Cohen A, Holmen S, Colman H. IDH1 and IDH2 mutations in gliomas. Curr Neurol Neurosci Rep.
2013;13(5):345.
9. Fernandes C, Costa A, Osorio L, Lago R, Linhares P, Carvalho B, dkk. Current standards of care in
glioblastoma therapy. Dalam: De-Vleeschower S, editor. Glioblastoma [serial online]. Brisbane:
Codon Publications; 2018 [diunduh 6 August 2018]:Edisi ke-1. Tersedia dari: Front Matter.
10. Kozak K, Moody J. Giant cell glioblastoma: a glioblastoma subtype with distinct epidemiology and
superior prognosis. Neuro-Oncology. 2009;11(6]:833-41.
11. Kozak K, Mahadevan A, Moody J. Adult gliosarcoma: epidemiology, natural history, and factors
associated with outcome. Neuro-Oncology. 2009;11(2):183-91.
12. Valle-Folgueral J, Mascarenhas L, Costa J, Vieira F, Soares-Fernandes J, Beleza P, dkk. Giant cell
glioblastoma: review of the literature and illustrated case. Neurocirugia (Astur). 2008;19(4):343-9.
13. Chang S. Patterns of care for adults with newly diagnosed malignant glioma. JAMA.
2005;293[5):557.
14. Newton H. Handbook of neuro-oncology neuroimaging. Amsterdam: Academic Press; 2008.
15. Lopez G, Oberheim-Bush N, Phillips J, Bouffard J, Moshel Y, Jaeckle K, dkk. Diffuse midline gliomas
with subclonal H3F3A K27M mutation and mosaic H3.3 K27M mutan protein expression. Acta
Neuropathol. 2017;134[6):961-3.
16. Solomon D, Wood M, Tihan T, Bollen A, Gupta N, Phillips J, dkk. Diffuse midline gliomas with
histone H3-K27M mutation: a series of 47 cases assessing the spectrum of morphologic variation
and associated genetic alterations. Brain Pathol. 2015;26(5]:569-80.
17. Louis D, Giannini C, Capper D, Paulus W, Figarella-Branger D, Lopes M, dkk. cIMPACT-NOW update
2: diagnostic clarifications for diffuse midline glioma, H3 K27M-mutant and diffuse astrocytoma/
anaplastic astrocytoma, IDH-mutant. Acta Neuropathol. 2018;135(4):639-42.
18. Hoshide R, Jandial R. Diffuse midline gliomas: closer to a cure? Neurosurgery. 2017;81(3):N19-20.
19. Wick W, Watts C, Mehta M. Oligodendroglial tumours. Dalam: Batchelor T, Nishikawa R, Tarbell
N, Weller M, Kennard C, editor. Oxford texbook of neuro-oncology. Edisi ke-1. United Kingdom:
Oxford University Press; 2017. h. 101-28.
20. Richard H, Fuller C. Oligodendroglial tumors. Dalam: Adesina A, Tihan T, Fuller C, Poussaint T,
editor. Atlas of pediatric brain tumors. Edisi ke-1. Switzerland: Springer International Publishing;
2016. h. 43-52.
' 21. Brem S, Bierman P, Brem H, Butowski N, Chamberlain M, Chiocca E, dkk. NCCN central nervous
system cancers: clinical practice guideline in oncology. J Nat Compr Cane Netw. 2011;9(4):352-99.
22. Ostrom Q, Gittleman H, Liao P, Rouse C, Chen Y, Dowling J, dkk. CBTRUS statistical report: primary
brain and central nervous system tumors diagnosed in the United States in 2007-2011. Neuro
Oncol. 2014;16(suppl 4):ivl-63.
23. Collins V, Jones D, Giannini C. Pilocytic astrocytoma: pathology, molecular mechanisms and
markers. Acta Neuropathol. 2015;129(6):775-88.
24. Roth J, Roach E, Bartels U, Jozwiak S, Koenig M, Weiner H, dkk. Subependymal giant cell
astrocytoma: diagnosis, screening, and treatment. Recommendations from the international
tuberous sclerosis complex consensus conference 2012. Pediatr Neurol. 2013;49(6J:439-44.
25. Krueger D, Care M, Agricola K, Tudor C, Mays M, Franz D. Everolimus long-term safety and efficacy
in subependymal giant cell astrocytoma. Neurology. 2013;80(6):574-80.
26. O'Neill B, Allen J, Berger M, Kortmann R. Astrocytic tumours: pilocytic astrocytoma, pleomorphic
xanthoastrocytoma, and subependymal giant cell astrocytoma. Dalam: Batchelor T, Nishikawa
R, Tarbell N, Weller M, Kennard C, editor. Oxford texbook of neuro-oncology. Edisi ke-1. United
Kingdom: Oxford University Press; 2017. h. 54-77.
27. Fuller C. Pleomorphic xanthoastrocytoma. Dalam: Adesina A, Tihan T, Fuller C, Poussaint T, editor. Atlas
of pediatric brain tumors. Edisi ke-2. Switzerland: Springer International Publishing; 2016. h. 19-23.
28. Ruda R, Reifenberger G, Frappaz D, Pfister S, Laprie A, Santarius T, dkk. EANO guidelines for the
diagnosis and treatment of ependymal tumors. Neuro Oncol. 2017;20(4J:445-56.
29. Stark A, Hugo H, Nabavi A, Mehdorn H. Papillary ependymoma WHO grade II of the aqueduct
treated by endoscopic tumor resection. Case Rep Med. 2009;2009:1-5.
30. Deb P, ManuV, Pradeep H, Bhatoe H. Intraparenchymal clear cell ependymoma. J Cytol. 2011;28(2):73-6.
31. Lopez G, McLendon R, Peters K. Supratentorial tanycytic ependymoma in an adult male: case
report and review of literature. Case Rep Oncol. 2015;8(l):159-63.
32. Acquaye A, Vera E, Gilbert M, Armstrong T. Clinical presentation and outcomes for adult
ependymoma patients. Cancer. 2016;123[3J:494-501.
33. Zhang X, Wu X, Sheng X, Wang Y, Gao H, Xu L, dkk. Ependymoma diagnosis and treatment progress.
Int J Clin Exp Med. 2016;9(8J:15050-7.
34. Leeper H, Felicella M, Walbert T. Recent advances in the classification and treatment of
ependymomas. Curr Treat Options Oncol. 2017;18(9):55.
35. Morais B, Menendez D, Medeiros R, Teixeira M, Lepski G. Chordoid glioma: case report and review
of the literature. Int] Surg Case Rep. 2015;7:168-71.
36. Ampie L, Choy W, Lamano J, Kesavabhotla K, Mao Q, Parsa A, dkk. Prognostic factors for recurrence
and complications in the surgical management of primary chordoid gliomas: a systematic review
of literature. Clin Neurol Neurosurg. 2015;138:129-36.
37. Chou Y, Tseng H, Lee Y. Chordoid glioma of the third ventricle—a case report and literature review.
Ther Radiol Oncol. 2018;2:8-8.
38. Kumar M, Ramakrishnaiah R, Samant R Angiocentric glioma, a recently added WHO grade-I
tumor. Radiol Case Rep. 2013;8(4):782.
39. Bergthold G, Bandopadhayay P, Ramkissoon L, Jain P, Wala J, Schumacher S, dkk. MYB-QKI
rearrangements in angiocentric glioma drive tumorigenicity through a tripartite mechanism.
Neuro Oncol. 2016;18[suppl 3]:iii78.
40. Ni H, Chen S, Chen L, Lu D, Fu Y, Piao Y. Angiocentric glioma: a report of nine new cases, including
four with atypical histological features. Neuropathol Appl Neurobiol. 2015;41(3):333-46.
41. Hammas N, Senhaji N, Alaoui Lamrani M, Bennis S, Chaoui E, El Fatemi H, dkk. Astroblastoma-a
rare and challenging tumor: a case report and review of the literature. J Med Case Rep.
2018;12[1J:102.
42. Barakat M, Ammar M, Salama H, Abuhashem S. Astroblastoma: case report and review of
literature. Turk Neurosurg. 2016;26(5):790-4.
43. Santos M, Bouffet E, Freeman C, Souweidane M. Choroid plexus tumors. Dalam: Batchelor T,
Nishikawa R, Tarbell N, Weller M, editor. Oxford texbook of neuro-oncology. Edisi ke-1. United
States of America: Oxford University Press; 2017. h. 152-70.
44. Grimm S, Chamberlain M. Choroid plexus tumor. Dalam: Neman J, Chen T, editor. The choroid
plexus and cerebrospinal fluid: emerging roles in CNS development, maintenance, & disease
progression. Edisi ke-1. Los Angeles: Elsevier; 2016.
45. Liu A, Hankinson T, Wolff J. Choroid plexus tumors. Dalam: Mahajan A, Paulino A, ed. by. Radiation
oncology for pediatric CNS tumors. Edisi Ke-1. Switzerland: Springer International Publishing; 2018.
h. 354-62.
46. Abecassis I, Hanak B, Ellenbogen R. Pineal region tumors. Dalam: Ellenbogen R, Sekhar L, Kitchen
N, Da-Silva H, editor. Principles of neurological surgery. Edisi ke-4. Elsevier; 2018. h. 602-21.
47. Taylor R, Pizer B, Tarbell N, Brandes A, Lowis S. Embryonal and pineal tumor. Dalam: Batchelor T,
Nishikawa R, Tarbell N, Weller M, Kennard C, editor. Oxford texbook of neuro-oncology. Edisi ke-1.
United Kingdom: Oxford University Press; 2017. h. 227-73.
48. Fevre-Montange M, Vasiljevic A, Champier J, Jouvet A. Histopathology of tumors of the pineal
region. Future Oncol. 2010;6(5):791-809.
49. Yang E, Chi S, Silvera V. Pineal region tumors. Dalam: Newton H, editor. Handbook of neuro-
oncology neuroimaging. Edisi ke-2. Elsevier; 2016. h. 585-602.
50. Nguyen H, Doan N, Gelsomino M, Shabani S. Dysembryoplastic neuroectodermal tumor: an analysis
from the surveillance, epidemiology, and end results program, 2004-2013. World Neurosurg.
2017;103:380-5.
51. Suh Y. Dysembryoplastic neuroepithelial tumors. J Pathol Transl Med. 2015;49:438-49.
52. Chassoux F, Daumas-Duport C. Dysembryoplastic neuroepithelial tumors: where are we now?
Epilepsia. 2013;54:129-34.
53. Lee D, Cho Y, Kang S, Yoon N, Sung C, Suh Y BRAF V600E mutations are frequent in dysembryoplastic
neuroepithelial tumors and subependymal giant cell astrocytomas. J Surg Oncol. 2014;lll(3]:359-64.
54. Ranger A, Diosy D. Seizures in children with dysembryoplastic neuroepithelial tumors of the
brain—A review of surgical outcomes across several studies. Childs Nerv Syst. 2015;31(6):847-55.
55. Morr S, Qiu J, Prasad D, Mechtler L, Fenstermaker R. Radiologic response to radiation therapy
concurrent with temozolomide for progressive simple dysembryoplastic neuroepithelial tumor.
Acta Neurochir. 2016;158(7):1363-6.
56. Dudley R, Torok M, Gallegos D, Mulcahy-Levy J, Hoffman L, Liu A, dkk. Pediatric low-grade
ganglioglioma: epidemiology, treatments, and outcome analysis on 348 children from the
surveillance, epidemiology, and end results database. Neurosurgery. 2015;76(3):313-20.
57. Zaky W, Patil S, Park M, Liu D, Wang W, Wani K, dkk. Ganglioglioma in children and young adults:
single institution experience and review of the literature. J Neurooncol. 2018; 139(3):739-47.
58. Odia Y. Gangliocytomas and gangliogliomas: review of clinical pathologic and genetic features.
Clin Oncol. 2016;l(1017]:l-6.
59. Chamberlain M. Recurrent ganglioglioma in adults treated with BRAF inhibitors. CNS Oncol.
2016;5(l):27-9.
60. Soffietti R, Duffau H, Bauman G, Walker D. Neuronal and mixed neuronal-glial tumours. Dalam:
Batchelor T, Nishikawa R, Tarbell N, Weller M, Kennard C, editor. Oxford texbook of neuro-
oncology. Edisi ke-1. United Kingdom: Oxford University Press; 2017. h. 187-226.
61. Selvanathan S, Hammouche S, Salminen H, Jenkinson M. Outcome and prognostic features in anaplastic
ganglioglioma: analysis of cases from the SEER database. J Neurooncol. 2011;105(3):539-45.
62. Ludemann W, Banan R, Hartmann C, Bertalanffy H, Di-Rocco C. Pediatric intracranial primary
anaplastic ganglioglioma. Childs Nerv Syst. 2016;33(2):227-31.
63. Zanello M, Pages M, Tauziede-Espariat A, Saffroy R, Puget S, Lacroix L, dkk. Clinical, imaging,
histopathological and molecular characterization of anaplastic ganglioglioma. J Neuropathol Exp
Neurol. 2016;75(10):971-80.
64. Giorgianni A, Pellegrino C, Benedictis A, Mercuri A, Baruzzi F, Minotto R, dkk. Lhermitte-duclos
disease. Neuroradiol J. 2013;26(6):655-60.
65. Lucas J, Huang A, Mott R, Lesser G, Tatter S, Chan M. Anaplastic ganglioglioma: a report of three
cases and review of the literature. J Neurooncol. 2015;123(l):171-7.
66. Nowak D, Trost H. Lhermitte-Duclos disease (dysplastic cerebellar gangliocytoma): a
malformation, hamartoma or neoplasm? Acta Neurol Scand. 2002;105(3):137-45.
67. Adesina A. Desmoplastic infantile astrocytoma and ganglioglioma. Dalam: Adesina A, Tihan T,
Fuller C, Poussaint T, editor. Atlas of pediatric brain tumors. Edisi ke-2. Switzerland: Springer
International Publishing; 2016. h. 171-4.
68. Bianchi F, Tamburini G, Massimi L, Calderelli M. Supratentorial tumors typical of the infantile age:
desmoplastic infantile ganglioglioma (DIG) and astrocytoma (DIA). A review. Childs Nerv Syst.
2016; 32(10):1833-8.
69. Rivera-Zengotita M, Illner A, Adesina A. Papillary glioneuronal tumor. Dalam: Adesina A, Tihan
T, Fuller C, Poussaint T, editor. Atlas of pediatric brain tumors. Edisi ke-2. Switzerland: Springer
International Publishing; 2016. h. 201-6.
70. Rivera-Zengotita M, Adesina A. Rosette-forming glioneuronal tumor of the fourth ventricle.
Dalam: Adesina A, Tihan T, Fuller C, Poussaint T, editor. Atlas of pediatric brain tumors. Edisi ke-
2. Switzerland: Springer International Publishing; 2016. h. 207-10.
71. Aguilera D, Castellino R, Janss A, Schniederjan M, McNall R, MacDonald T, dkk. Clinical responses
of patients with diffuse leptomeningeal glioneuronal tumors to chemotherapy. Childs Nerv Syst.
2017;34[2):329-34.
72. Gardiman M, Fassan M, Orvieto E, DAvella D, Denaro L, Calderone M, dkk. Diffuse leptomeningeal
glioneuronal tumors: a new entity? Brain Pathol. 2010;20(2):361-6.
73. Cho H, Myung J, Kim H, Park C, Kim S, Chung C, dkk. Primary diffuse leptomeningeal glioneuronal
rumors. Brain Tumor Pathol. 2014;32(T):49-55.
~4. Lyle M, Doha J, Fratkin J, Nichols T, Herrington B. Newly identified characteristics and suggestions
for diagnosis and treatment of diffuse leptomeningeal glioneuronal/neuroepithelial tumors.
Child Neurol Open. 2015;2(1):2329048X1456753.
~5. Mohila C, Rauch R, Adesina A. Central neurocytoma and extraventricular neurocytoma. Dalam:
Adesina A, Tihan T, Fuller C, Poussaint T, editor. Atlas of pediatric brain tumors. Edisi ke-2 .
Switzerland: Springer International Publishing; 2016. h. 195-8.
76, Nishimoto T, Kaya B. Cerebellar liponeurocytoma. Arch Pathol Lab Med. 2012;136(8):965-9.
77. Wolf A, Alghefari H, Krivosheya D, Staudt M, Bowden G, Macdonald D, dkk. Cerebellar
liponeurocytoma: a rare intracranial tumor with possible familial predisposition. J Neurosurg.
2016;125(57):57-61.
-•78. Jaganathan J, Kanter A, Sheehan J, Jane J, Laws E. Benign brain tumors: sellar/parasellar tumors.
Neurol Clin. 2007;25(4):1231-49.
79. Laws E, Jane J, Jagannathan J, Katnelzon L. Presentation and clinical features of the pituaitary
and sellar region. Dalam: Mehta M, editor. Principles and practice of neuro-oncology. New York:
Demos Medical Publishing; 2010. h. 291-6.
80. Blevins L, Devin J. Tumors of the pituitary and sellar region. Dalam: Mehta M, editor. Principles
and practice of neuro-oncology. New York: Demos Medical Publishing; 2010. h. 623-67.
81. Laws E, Woodmansee W, Loeffler J. Pituitary tumors. Dalam: Batchelor T, Nishikawa R, Tarbell
N, Weller M, Kennard C, editor. Oxford texbook of neuro-oncology. Edisi ke-1. United Kingdom:
Oxford University Press; 2017. h. 502-19.
82. Baldi I, EngelhardtJ, Bonnet C, BauchetL, Berteaud E, Gruber A, dkk. Epidemiology of meningiomas.
Neurochirurgie. 2018;64(1):5-14.
83. Fuller C. Central meningiomas. Dalam: Adesina A, Tihan T, Fuller C, Poussaint T, editor. Atlas of
pediatric brain tumors. Edisi ke-2. Switzerland: Springer International Publishing; 2016. h. 113-27.
84. Goldbrunner R, Minniti G, Preusser M, Jenkinson M, Sallabanda K, Houdart E, dkk. EANO guidelines
for the diagnosis and treatment of meningiomas. Lancet Oncol. 2016;17(9):e383-91.
85. Jalali R, Wen P, Fujimaki T. Meningiomas. Dalam: Batchelor T, Nishikawa R, Tarbell N, Weller
M, Kennard C, editor. Oxford texbook of neuro-oncology. Edisi ke-1. United Kingdom: Oxford
University Press; 2017. h. 289-315.
86. Adesina A, Hunter J. Medulloblastoma. Dalam: Adesina A, Tihan T, Fuller C, Poussaint T, editor. Atlas of
pediatric brain tumors. Edisi ke-2. Switzerland: Springer International Publishing; 2016. h. 81-99.
87. Shih R, Koeller K. Embryonal tumors of the central nervous system: from the radiologic pathology
archives. Radiographics. 2018;38(2):525-41.
88. Adesina A, Hunter J, Rorke-Adams L. Central nervous system primitive neuroectodermal tumors
(PNETs) and medulloepithelioma. Dalam: Adesina A, Tihan T, Fuller C, Poussaint T, editor. Atlas of
pediatric brain tumors. Edisi ke-2. Switzerland: Springer International Publishing; 2016. h. 71-80.
89. Pickles J, Hawkins C, Pietsch T, Jacques T. CNS embryonal tumours: WHO 2016 and beyond.
Neuropathol Appl Neurobiol. 2018;44(2):151-62.
90. Adesina A, Hunter J, Rorke-Adams L. Atypical rhabdoid/teratoid tumours. Dalam: Adesina A,
Tihan T, Fuller C, Poussaint T, editor. Atlas of pediatric brain tumors. Edisi ke-2. Switzerland:
Springer International Publishing; 2016. h. 99-112.
91. McGovern S, Grosshans D, Mahajan A. Embryonal brain tumors. Cancer J. 2014;20(6):397-402.
GLIOMA DERAJAT RENDAH
Dessika Rahmawati

V.l. Pendahuluan
Istilah glioma derajat rendah atau low grade glioma (LGG} dapat digunakan
untuk menyebut semua glioma derajat I dan II menurut WHO. Terminologi ini
berguna dalam memisahkan tumor ini dari glioma derajat tinggi atau high grade
glioma (HGG) yang lebih agresif yaitu derajat III dan IV menurut WHO. Glioma derajat
I WHO biasanya tumor berbatas tegas yang sering didapatkan pada anak-anak dan
cukup langka pada dewasa, sedangkan glioma derajat II WHO merupakan tumor otak
neuroektodermal primer yang sifatnya menginfiltrasi pada dewasa. Saat digunakan
pada pasien dewasa, istilah LGG biasanya digunakan untuk menyebut tumor derajat
II WHO, seperti astrositoma, oligodendroglioma, dan oligoastrositoma.1

V.2. Epidemiologi
LGG terjadi sekitar 30% dari glioma dan terjadi terutama pada usia lebih muda
dibandingkan HGG. Rata-rata dua pertiga dari glioma pada usia muda merupakan
LGG, sisanya merupakan HGG. LGG sering didapatkan pada area elokuen, yaitu area
motorik, bahasa, visuospasial, dan fungsi memori. Kesintasan dalam 5 tahun dan
progression-free survival (PFS] yaitu 58-72% dan 37-55%. Pasien LGG dapat bertahan
sampai 20 tahun, namun tumor tetap tumbuh dan dapat berkembang menjadi HGG
menyebabkan defisit neurologis dan kematian.23
Sekitar 2000 orang dewasa terdiagnosis LGG tiap tahunnya di Amerika. Angka
insidensi untuk LGG sekitar 1-12,5 per 100.000 populasi/tahun. LGG pada dewasa
paling sering terdiagnosis di dekade keempat atau kelima di masa hidup pasien, lebih
muda dari usia tipikal diagnosis untuk glioma maligna. LGG adalah glioma yang difus,
infiltratif, lebih sering pada laki-laki, dengan rasio laki-laki banding perempuan 1,8:1.3

V.3. Etiologi
Glioma WHO derajat II dapat bermanifestasi dan berkembang melalui pertum-
buhan lokal, invasi, atau transformasi anaplastik. Studi terbaru telah menemukan
bahwa sebelum transformasi anaplastik, LGG menunjukkan pertumbuhan konstan,
dengan rata-rata diameter tumor yang tumbuh sekitar 4mm per tahun. LGG menyerang
substansia alba utama di dalam hemisfer lesional dan menyebar secara terkontrol
melalui korpus kalosum. Selanjutnya LGG secara sistematis berubah dan berevolusi
menjadi HGG, dengan median sekitar 7-8 tahun untuk transformasi anaplastik.
Seseorang yang memiliki keluarga dengan riwayat tumor akan berisiko tiga
hingga sembilan kali lipat untuk terjadinya tumor otak, tetapi hubungan ini masih
belum dimengerti. Terdapat pendapat terkait gelombang elektromagnetik, turunan
nitrosourea pada daging olahan, pestisida, dan bahaya kerja terkait peningkatan risiko
kejadian tumor otak. Namun, tidak ada zat kimia yang diketahui karsinogenik untuk
jaringan manusia lainnya berkaitan dengan kanker otak. Jaringan neuroektodermal
rentan terhadap efek karsinogenik terapi radiasi sinar eksternal (EBRT). Terdapat
hubungan dosis-respons yang kuat karena paparan >2,5Gy berhubungan dengan
peningkatan potensi karsinogenik 2 0 kali lipat. Periode laten untuk neuro-onkogenesis
pascaradiasi sekitar 12 tahun hingga 15 tahun (rentang 4 hingga 30 tahun).4

V.4. Patofisiologi
Tumor otak sering dianggap berasal dari neuroglial precursor cell. Mutasi gen isocitrat
dehydrogenase-1 (IDH1) atau IDH2 diperkirakan sebagai pemicu awal terjadinya namun
harus disertai dengan mutasi TP53 untuk menjadi sebuah tumor. Selain itu, mutasi NF1
dan NF2 di neurofibromatosis tipe 1 dan 2, mutasi TSC1 dan TSC2 di tuberosklerosis, dan
sejumlah mutasi gen di Turcot syndrome's dan multiple haemartomas seperti mutasi APC,
hMLHl, hMLH2, PMS2, dan PTEN mempengaruhi terjadinya LGG meskipun insidensi
masih sangat rendah. Glioma sendiri merupakan tumor neuroepitelial yang berasal dari
sel glial sistem saraf pusat. LGG tumbuh dengan lambat sampai bertahun-tahun untuk
menimbulkan gejala. Meskipun tumbuh kecil dan lambat namun dapat menjadi masalah
besar jika lokasinya berada di area yang penting di otak.5
Secara umum, LGG bersifat difus, dengan kata lain LGG merupakan tumor infiltratif
yang dapat menyebar ke beberapa tempat di area substansia alba, perivaskular atau
sistem saraf pusat. Dibandingkan dengan tumor padat yang sifatnya menghancurkan
area sekitar dan mudah dilihat secara mikroskopis, LGG dapat menyebar ke area
sekitar dan secara mikroskopis sukar dilihat. Jika dibandingkan dengan tumor padat,
pasien dengan LGG lebih banyak fungsi neurologis yang dapat dipertahankan. 6
LGG paling sering terjadi pada pasien usia 20-40 tahun dengan puncak usia 30-
40 tahun. LGG dapat memunculkan tanda-tanda klinis karena efek dari massa yang
mvasi ke sekeliling parenkim otak atau hidrosefalus obstruktif seperti kejang yang
merupakan tanda klinis yang paling sering muncul (80%], defisit neurologis fokal,
perubahan kognitif dan perilaku, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
seperti papilledema dan nyeri kepala.7

V.5. Klasifikasi
Derajat glioma berdasarkan ketentuan WHO (Tabel 5.1) dibuat berdasarkan
karakteristik atipikal, proses mitosis, proliferasi endotel, dan adanya nekrosis.8
Klasifikasi LGG dari rekomendasi European Association of Neuro-Oncology (EANO)
2011 yaitu astrositoma, oligodendroglioma, dan oligoastrositoma, serta menggunakan
kriteria morfologi, fenotipe, dan genotipe berdasarkan klasifikasi WHO (level A).9
Klasifikasi WHO 2016 saat ini berdasarkan fenotipe dan genotipe dari
glioma. Dilihat dari patogenesis, klasifikasi ini berdasarkan dari segi prognosis,
pengelompokan berdasarkan tumor yang prognosisnya sama, sedangkan dari segi
manajemen, menentukan penggunaan terapi (konvensional atau target). 9
Oligoastrositoma, termasuk jenis yang sulit ditentukan kriteria diagnosisnya.
Menggunakan dua genotipe (status mutasi IDH dan kodelesi lp/19q) dan fenotipe
untuk mendiagnosis oligodendroglioma. Sehingga pada kriteria WHO 2016 ini
diagnosis sebelumnya yaitu oligoastrositoma dan anaplastik oligoastrositoma
dimasukkan dalam kategori NOS (Tabel 5.1).10
Penggunaan kriteria diagnosis histologi dan genetika molekuler juga
meningkatkan kemungkinan mendiagnosis hasil yang meragukan, misalnya glioma
difus yang secara histologis tampak astrositik tetapi terbukti memiliki mutasi IDH
dan kodelesi lp/19q, atau tumor yang menyerupai oligodendroglioma dengan
mikroskop cahaya tetapi memiliki mutasi IDH, ATRX dan TP53, serta lp/19q intak.
Pada situasi ini, genotipe mengalahkan fenotipe histologis, sehingga kasus pertama
diagnosis oligodendroglioma, karena adanya mutasi IDH dan kodelesi lp/19q serta
kasus kedua astrositoma difus.10
V.6. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk LGG antara lain paparan terhadap radiasi pengion tingkat
tinggi, seperti radiasi terapeutik. Dewasa ini berkembang kemungkinan peran
dari penggunaan telepon seluler sebagai faktor resiko glioma. Studi kohort telah
memberikan bukti bahwa tinggi badan yang lebih dan indeks massa tubuh (IMT)
yang lebih besar pada remaja berkaitan dengan peningkatan risiko glioma. Studi ini
utamanya memasukkan pasien dengan HGG, tidak jelas hasilnya untuk LGG.1
Sindrom kanker familial seperti neurofibromatosis bertanggungjawab atas
sebagian kecil dari keseluruhan kasus glioma. Baru-baru ini, beberapas/ng/e nucleotide
polymorphism (SNP) germ-line telah dikaitkan dengan risiko LGG. Contohnya,
polimorfisme secara signifikan lebih sering pada pasien dengan oligodendroglioma
dan oligoastrositoma derajat II WHO dibandingkan di subjek kontrol.1

V.7. Genetika
Perubahan molekuler yang paling sering terjadi pada astrositoma adalah mutasi
IDH1 yang dilaporkan pada 75% astrositoma. Perubahan ini juga terjadi pada tumor
oligodendroglial dan dengan demikian menggambarkan penanda astrositoma atau
oligodendroglioma dari WHO derajat II dan III. Pengembangan antibodi spesifik
mutasi IDH1-R132H (H09] sangat membantu dalam diagnosis astrositoma dan
oligodendroglioma. H09 mencakup >90% dari semua mutasi IDH1 pada glioma difus
dan memisahkan tumor ini dari glioma tingkat rendah lainnya. Indeks pelabelan MIB-
1 pada astrositoma difus biasanya adalah <4%. Nekrosis tumor, proliferasi vaskular,
trombosis vaskular, dan aktivitas mitosis tinggi tidak sesuai dengan astrositoma difus
WHO derajat II. Marker terbaik imunohistokimia adalah protein asam fibrillat glial,
yang diekspresikan di kedua sel tumor. Temuan molekuler khas untuk astrositoma
difus adalah mutasi TP53 pada 50% kasus; gemistocytic astrocytomas membawa
mutasi TP53 pada >80%.2
Oligodendroglioma dengan susunan seluler biasa disebut "fried egg" atau "honey
comb pattern". Terkadang sel tumor dengan sitoplasma kecil yang sangat eosinofilik
ditemukan dan disebut mini-gemistocytes. Oligodendroglioma memiliki jaringan kapiler
padat dan sering mengandung kalsifikasi. Sesekali mitosis dan indeks label Ki-67/
MIB-1 sampai 5% sesuai dengan oligodendroglioma WHO derajat II. Ciri molekuler
oligodendroglioma dengan kodelesi lp/19q terjadi pada 80% tumor ini (derajat II),
sementara mutasi TP53 hanya ditemukan pada 5%.2

V.8. Gejala Klinis


LGG merupakan tumor yang tumbuh lambat dan dapat terbentuk selama bertahun-
tahun sebelum terdiagnosis. Manifestasi klinis tergantung pada lokasi tumor, namun
kejang merupakan gejala yang tersering. Pasien terkadang mengalami kejang fokal atau
aura untuk waktu yang lama sebelum datang mencari pertolongan medis.1
Gejala klinis yang dapat muncul sesuai dengan sindrom lokasi anatomi lobus
parenkim otak adalah sebagai berikut (tabel 5.2):

Kejang adalah gejala klinis yang paling sering dan dapat terjadi parsial atau
umum. Kejang terjadi pada >90% pasien dan tidakterkendali dalam 50%. Kejang lebih
sering berhubungan dengan tumor berbasis kortikal, terutama di frontal, temporal,
serta insular/parainsular dan dengan tumor oligodendroglial. Tidak ada hubungan
yang jelas antara tingkat keparahan kejang dan sifat tumor. Defisit neurologis fokal
jarang terjadi dan bisa berlangsung perlahan selama bertahun-tahun. Peningkatan
tekanan intrakranial terutama pada fosa posterior dan tumor intraventrikular, jarang
pada tumor supratentorial.2
Sejumlah faktor biologis telah dikenali sebagai pencetus epileptogenesis pada
tumor otak. Mutasi dari IDH1 pada siklus krebs menyebabkan konversi dari isositrat
menjadi 2-hidroksiglutarat. Produk ini mengubah struktur glutamat dan mengaktifkan
reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) serta amino-methylisoxazolepropionic acid
(AMPA) yang memicu epileptogenesis. Pada LGG, mutasi IDH1 menunjukkan
hubungan kuat dengan kejang sebagai gejala awal, lokasi tumor di lobus frontal, dan
angka harapan hidup yang lebih panjang.11
Defisit neurologis fokal lebih jarang terjadi, timbul sesuai dengan fungsi dari lokasi
tumornya. LGG yang terletak di lobus frontal nondominan dapat tumbuh lumayan besar
sebelum munculnya gejala. Demikian pula jarang adanya gejala peningkatan tekanan
mtrakranial seperti sakit kepala, sehingga LGG sering ditemukan secara insidensital
pada pemeriksaan radiologis karena sakit kepala atau vertigo yang tidak terkait.1
Glioma derajat II WHO kadang disebut sebagai glioma "jinak", namun LGG secara
klinis tidak jinak, dan sering menyebabkan gejala yang signifikan serta mortalitas
akibat pertumbuhan yang progresif. LGG dapat berprogresi dengan dua cara, yakni
dengan bertumbuh sebagai tumor derajat II WHO dan bertransformasi menjadi
glioma dengan derajat yang lebih tinggi (derajat III atau IV WHO). Ciri progresi tumor
yang khas bervariasi sebagai fungsi dari histologi tumor, tetapi tumor oligodendroglial
lebih sering menetap sebagai derajat II saat rekuren dibanding astrositoma.1
Peran morfologi tumor dan patologi molekuler dalam memprediksi sifat tumor
menjadi semakin jelas seiring waktu. Pertumbuhan oligodendroglioma cenderung
lebih lambat dibanding astrositoma, sehingga berkaitan dengan kesintasan yang
lebih lama. Salah satu alterasi genetik pertama yang diamati bersifat prediktif untuk
keluaran adalah kodelesi dari regio kromosom lp dan 19q. Tumor dengan kodelesi
lp/19q, hampir selalu oligodendroglioma, memiliki prognosis yang lebih baik
dibanding tumor yang tidak memiliki kodelesi ini. Mutasi isositrat dehidrogenase
(1DH) ditemukan di kebanyakan LGG, terlepas dari morfologi. Tumor yang mengandung
mutasi IDH memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan tumor tanpa mutasi
ini, dan pasien yang memiliki mutasi IDH dan kodelesi lp/19q tampaknya lebih baik
dibanding wildtype (tidak memiliki mutasi].

V.9. Diagnosis
Penegakan diagnosis pada LGG meliputi beberapa langkah diagnostik yang dapat
menjadi penunjang, yaitu:
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
LGG cenderung terletak di daerah kortikal dan subkortikal dari lobus temporal
dan frontal. Pada MRI tumor ini memberikan sinyal iso- hingga hipointens pada Tl
dan hiperintens yang homogen pada gambar T2. Gambaran tumor ini umumnya tidak
menyangat pada pemberian kontras dan tidak dikelilingi oleh edema perifokal.12
MRI merupakan alat diagnostik primer untuk mengidentifikasi pasien dengan
kecurigaan LGG, Hal ini dikarenakan pada CT didapatkan gambaran isodens,
sedangkan tampak pada MRI sebagai gambaran abnormal. LGG derajat II umumnya
secara klasik tidak menyangat pada MRI pascapemberian gadolinium. Namun, tidak
ditemukannya penyangatan bukan berarti selalu LGG.
Beberapa glioma derajat II WHO menunjukkan penyangatan yang samar (Gambar
5.1). Penyangatan signifikan dapat menunjukkan baik tumor WHO derajat I, seperti
astrositoma pilositik atau glioma maligna (WHO derajat HI atau IV), berdasarkan
polanya dan karakteristik lain dari tumor. Varian glioma WHO derajat II yang langka
seperti pleomorphic xanthoasthrocytoma (PX), yang biasanya ada pada anak-anak,
dapat menunjukkan penyangatan yang nyata dan tetap memiliki perjalanan klinis
yang baik. CT scan tetap berguna dalam menunjukkan kalsifikasi tumor, yang lebih
sering terjadi pada tumor oligodendroglial dibandingkan tumor astrositik murni.1
PET Scan
Positron Emission Tomography scan dengan [18F]-fluorodeoxyglucose (FDG)
memiliki nilai diagnostik yang terbatas karena LGG menunjukkan serapan FDG yang
rendah dibandingkan dengan korteks normal. Kegunaan FDG-PET terbatas pada
deteksi transformasi anaplastik pada astrositoma dan diferensiasi nekrosis radiasi
dari kekambuhan tumor. PET dengan HC-methionine (MET) adalah yang paling
sering digunakan dan penyerapan MET berkorelasi dengan aktivitas proliferasi sel
tumor. Penyerapan back-ground dengan MET-PET pada jaringan otak normal lebih
rendah dibandingkan dengan FDG-PET, memberikan kontras yang baik dengan
ambilan tumor dan penggambaran LGG.2

Tumor LGG dengan komponen oligodendroglial menunjukkan serapan MET yang lebih
tinggi. Penunjang ini dengan MET berguna dalam membedakan LGG dari lesi nontumoral,
menuntun biopsi stereotaktik, mendefinisikan volume tumor sebelum tindakan operasi,
dan pemantauan respons terhadap pengobatan. Adanya 18F-fluoro-L-timidin adalah
penanda proliferasi tetapi tidak masuk ke otak kecuali menembus sawar darah otak dan
oleh karena itu kegunaannya tampaknya terbatas. Baru-baru ini, pelacak asam amino
18F-fluoro-etil-L-tirosin (FET) telah digunakan untuk panduan biopsi dan perencanaan
pengobatan di glioma. Pelacak ini memiliki keuntungan berupa waktu paruh yang lebih lama
daripada MET, memungkinkan produksi pelacak dalam cyclotron sentral dan transportasi
ke unit lain. Pengalaman FET-PET agak terbatas dibandingkan MET-PET, tetapi pelacak
ini menunjukkan intensitas serapan dan distribusi pada tumor otak yang sangat mirip.2

Uji Lahoratorik
Tidak ada pemeriksaan darah atau cairan serebrospinal (CSS) yang tersedia
secara Minis untuk mengonfirmasi diagnosis LGG. Pemeriksaan laboratorium
aanya diindikasikan pada situasi di mana manifestasi pasien dianggap mungkin
menunjukkan suatu diagnosis alternatif seperti infeksi atau inflamasi, dan harus
diarahkan pada konfirmasi atau eksklusi dari diagnosis alternatif.2

Patologi Anatomi dan Patologi Molekuler


Pedoman WHO 2016 digunakan untuk mengklasifikasikan tumor otak primer
berdasar derajat dan morfologinya.1 Kriteria WHO untuk mengklasifikasikan glioma
difus sebagai derajat II. Astrositoma WHO derajat II ditandai dengan astrosit yang
terdiferensiasi baik dengan peningkatan selularitas relatif dibandingkan otak
normal, seringkali dengan atipikal nuklear, namun tanpa nekrosis atau proliferasi
mikrovaskular. Aktivitas mitosis biasanya tidak terlihat. Namun, adanya mitosis
tunggal pada sampel tumor yang relatif besar (misal bukan hanya biopsi stereotaktik)
sesuai dengan diagnosis astrositoma derajat II.
Oligodendroglioma WHO derajat II menunjukkan karakteristik tampilan "fried
egg" atau "honeycomb" pada preparat yang difiksasi formalin dan dibuat blok parafin.
Temuan ini adalah artefak dari fiksasi jaringan dan tidak terlihat pada preparat smear
atau potong beku. Atipikal nuklear mungkin menonjol dan aktivitas mitosis tidak ada
atau rendah. Seperti yang ditemukan pada astrositoma, aktivitas mitosis tinggi, nekrosis,
dan proliferasi mikrovaskular merupakan tanda progresi menuju tumor dengan derajat
lebih tinggi. Glioma seringkali mengandung area yang memiliki derajat tumor yang
berbeda-beda. Dalam hal ini bagian dengan derajat tertinggi mendefinisikan derajat
dari keseluruhan tumornya walaupun bagian tersebut merupakan minoritas dari massa
tumor. Hal ini dapat menyebabkan diagnosis under-grade dengan pengambilan sampel
di bagian tumor yang derajat rendah yang sebenarnya memiliki bagian derajat tinggi.1

V.10. Diagnosis Banding


Diagnosis banding glioma adalah limfoma, abses otak, atau tumor sel germinal.
Mungkin juga perlu dipertimbangkan kemungkinan penyebaran meningeal sel tumor
yang metastasis. Tidak ada cara yang sekarang tersedia untuk deteksi dini, pencegahan,
atau skrining glioma, juga tidak ada penanda tumor spesifik yang tersedia.12

V.ll. Penatalaksanaan
Tata Laksana Umum
a. Kontrol Kejang
Pada pasien yang datang dengan kejang, harus diberikan obat antiepilepsi (OAE]
jangka panjang. Durasi terapinya masih kontroversial; beberapa menyatakan
terapi seumur hidup, namun yang lain secara rutin berupaya menghentikan
OAE pascareseksi tumor dan periode bebas-kejang yang sesuai. OAE profilaksis
tidak ada manfaatnya pada uji klinis maupun dalam meta-analisis. Uji klinis acak
menggunakan obat OAE generasi lama, seperti fenitoin dan asam valproat, serta
OAE yang digunakan saat ini pada pasien dengan tumor otak, yaitu levetiracetam.
American Academy of Neurology telah menerbitkan pedoman praktik yang
menyatakan bahwa OAE profilaksis tidak boleh secara rutin diberikan pada pasien
dengan tumor otak yang baru terdiagnosis, karena kurangnya efektivitas dalam
mencegah kejang pertama dan potensi terjadinya efek samping.1
Penggunaan obat OAE pada pasien dengan kanker yang paling dikhawatirkan
adalah interaksi dengan sitokrom P450 dengan kortikosteroid dan banyak agen
kemoterapi. Interaksi ini menyebabkan pemberian deksametason dan kemoterapi
menjadi kurang efektif. Obat OAE yang baru bersifat tidak menginduksi enzim
tersebut, seperti gabapentin, pregabalin, levetiracetam, dan zonisamide.13
Agen OAE lama seperti karbamazepin, fenitoin, dan asam valproat, memiliki
bukti kelas-I untuk kemanjuran dan efektivitas dalam uji coba terkontrol plasebo
pada orang dewasa. OAE baru, seperti lamotrigin, gabapentin, okskarbazepin,
dan topiramate, memiliki efektifitas terapi, tetapi umumnya tidak superior
terhadap karbamazepin, fenitoin, dan valproat. Levetiracetam memiliki lisensi
untuk penggunaan monoterapi dalam gejala epilepsi simptomatik parsial.
Levetiracetam lebih unggul dibandingkan dengan obat lain, seperti lamotrigin.2
Edema dan efek massa
Kejadian edema pada LGG sangat rendah secara signifikan dibanding HGG. Tumor
di area midbrain dapat menyebabkan hidrosefalus obstruktif yang membutuhkan
prosedur diversi CSS, sehingga dapat dipertimbangkan untuk melakukan
ventriculoperitoneal shunting atau third ventriculostomy, tergantung pada lokasi
tumor dan preferensi operator.1
Tata Laksana Khusus (Gambar 5.2. S.3 dan 5.4)
a. Pembedahan
Ada tiga alasan utama pembedahan pada pasien dengan LGG: untuk menegakkan
diagnosis, untuk debulking tumor yang menyebabkan efek massa yang signifikan,
dan berpotensi untuk meningkatkan outcome jika reseksi ekstensif dapat
dilakukan. Saat ini, tidak ada cara noninvasif untuk mendiagnosis LGG secara
definitif, sehingga pembedahan biasanya diperlukan untuk tujuan diagnostik.
Pada pasien dengan lesi otak asimtomatik atau gejala minimal yang diduga
kuat mewakili LGG, maka dilakukan observasi awal sebelum operasi. Dalam
satu laporan, pasien dengan dugaan LGG yang diamati sampai perkembangan
simtomatik atau radiografi dibandingkan dengan pasien yang menerima operasi
dan radiasi dini. Tidak ada perbedaan yang terlihat dalam kesintasan atau kualitas
hidup antara kedua kelompok ini. Bila strategi observasi dini dipilih, diperlukan
tindak lanjut klinis dan radiografi yang ketat. Observasi tetap merupakan
pendekatan kontroversial, mengingat tingginya kemungkinan progresi tumor
dan kekhawatiran bahwa kemampuan untuk mencapai reseksi total.1
Pembedahan diagnostik dapat berupa biopsi jarum stereotaktik atau reseksi terbuka,
dan ada risiko serta manfaat pada kedua pendekatan tersebut. Biopsi jarum memiliki
keuntungan morbiditas rendah dan waktu pemulihan yang singkat. Kerugian potensial
dari biopsi jarum adalah kemungkinan mendapatkan jaringan nondiagnostik
atau nonrepresentatif. Selain itu, tumor sering menunjukkan heterogenitas yang
signinkan, dan biopsi yang menunjukkan glioma derajat II WHO tidak mengeksklusi
kemungkinan bahwa daerah tumor lainnya memenuhi kriteria untuk glioma derajat
tinggi. Biopsi juga memiliki kelemahan karena tidak memungkinkan debulking, yang
diperlukan jika tumor memiliki efek massa yang signinkan.1
Pembedahan adalah intervensi terapeutik awal pada pasien dengan tumor yang
dapat dijangkau untuk dilakukan reseksi gross total atau near-total. Bagi LGG,
reseksi gross total didefinisikan sebagai pengangkatan semua area abnormalitas
T2/FLAIR yang terkait dengan tumor. Reseksi gross total tidak menyebabkan
penyembuhan LGG, karena tumor yang diidentifikasi secara mikroskopikbiasanya
melampaui area abnormalitas pada gambaran radiologi. Data retrospektif yang
cukup banyak menunjukkan bahwa reseksi tumor yang luas (yaitu reseksi 80-
90% atau lebih tinggi) dikaitkan dengan angka kesintasan yang lebih lama
dibandingkan dengan biopsi atau reseksi subtotal. Satu studi melaporkan bahwa
pasien dengan LGG dan setidaknya extent of resection (EOR) 90% memiliki angka
kesintasan 8 tahun keseluruhan 91%, sedangkan pasien dengan EOR kurang
dari 90% memiliki angka kesintasan 8 tahun keseluruhan 60%. Pengukuran
volumetrik residu LGG setelah operasi mungkin merupakan ukuran yang lebih
baik dibanding proporsi tumor yang diambil. Bila reseksi gross total dari semua
tumor yang terlihat pada MRI tercapai, selanjutnya diobservasi sampai terjadinya
rekurensi tumor.1
Berbagai teknik operasi dan pemeriksaan radiologi dapat membantu ahli bedah
dengan aman mencapai reseksi tumor yang ekstensif. Pemeriksaan radiologi
preoperatif dengan teknik seperti MRI fungsional dan traktografi tensor difus
dapat membantu lokalisasi area otak yang penting untuk bahasa dan gerakan,
yang memungkinkan agar daerah itu terhindar. Impresi subjektif intraoperatif
dari operator mengenai sejauh apa tingkat reseksi mungkin tidak akurat, dan
MRI intraoperatif memfasilitasi visualisasi tumor residual sementara masih ada
kesempatan untuk reseksi lebih lanjut. Untuk tumor di bidang eloquent otak,
awake craniotomy dengan pemetaan kortikal merupakan alat yang berguna untuk
meminimalkan risiko defisit neurologis akibat operasi.1
Pembedahan diperlukan untuk menyediakan jaringan guna membedakan tipe
histologis, menilai keganasan, dan menilai status molekuler tumor. Reseksi total
meningkatkan kontrol kejang, terutama pada pasien dengan riwayat epilepsi
berkepanjangan dan tumor insular (kelas II). Penggunaan teknik pemetaan otak
meningkatkan persentase capaian reseksi total dan sub-total dan menurunkan
defisit permanen pascaoperasi. Awake craniotomy adalah prosedur yang dapat
memungkinkan kita untuk (1) meningkatkan indikasi reseksi di daerah fasih, (2)
mengidentifikasi struktur yang penting untuk fungsi otak, terutama bahasa, baik
pada tingkat kortikal dan subkortikal, dan (3) mengoptimalkan tingkat reseksi
yang dilakukan sesuai dengan batas-batas fungsional.2
Pemetaan area fungsional dengan pemetaan intraoperatif pada pasien berisiko
tinggi untuk memaksimalkan reseksi tumor dapat memperbaiki overall survival
(OS). Meskipun demikian, bahkan dengan pembedahan yang dipandu MRI
intraoperatif, reseksi total dicapai tidak lebih dari 36% pasien.2
Radioterapi
Terapi radiasi sering digunakan sebagai pengobatan pascaoperasi awal LGG. Hal
ini terutama tepat pada pasien dengan tumor residual setelah operasi, karena
mereka berisiko tinggi mengalami progresi dini, dan jelas bahwa progresi tumor
dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif dan fungsional serta kematian. Dosis
radiasi yang digunakan 50-54Gy.1
Terapi radiasi memiliki komplikasi potensial jangka pendek maupun jangka
panjang. Komplikasi jangka pendek cenderung dapat selesai dengan sendirinya,
meliputi alopesia yang berhubungan dengan radiasi, iritasi kulit, dan kelelahan.
Dalam jangka panjang, pasien tanpa progresi tumor yang menerima radiasi
lebih cenderung menunjukkan penurunan kognitif progresif. Pada waktu/o//ow-
up rerata 12 tahun setelah diagnosis awal, pasien yang diterapi dengan radiasi
menunjukkan defisit pada fungsi pemusatan perhatian, fungsi eksekutif, dan
kecepatan pemrosesan informasi.1
Pasien dengan glioma derajat apapun biasanya hanya menerima satu terapi
radiasi saja, karena masalah toksisitas kumulatif. Namun, ada beberapa literatur
yang mendukung radiasi ulang hypofractionated salvage pada pasien dengan
glioblastoma primer rekuren. Pada prinsipnya, strategi ini mungkin juga berguna
di LGG, terutama setelah transformasi dari LGG menjadi HGG sekunder, dan bila
tumor rekuren tumbuh melampaui bidang terapi radiasi awal.1
Umumnya, ketika LGG kambuh setelah radiasi, kemoterapi sering diajukan
sebelum disinar ulang. Penting untuk diingat bahwa tidak ada obat atau regimen
kemoterapi sampai saat ini yang telah disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA) untuk indikasi LGG dewasa yang rekuren.1
c Kemoterapi
Peran optimal untuk kemoterapi dalam terapi LGG masih belum ditentukan.
Sebelumnya, kemoterapi biasanya hanya diberikan untuk penanganan progresi
setelah terapi radiasi, namun strategi kemoterapi di awal yang paling baru kini
menjadi lebih banyak diteliti.1
Penelitian kohort pada LGG baik pada usia kurang maupun lebih dari 40
tahun yang mendapatkan reseksi subtotal, angka progression-free survival dan
overall survival lebih lama pada yang mendapatkan kombinasi kemoterapi dan
radioterapi dibandingkan dengan yang mendapatkan radioterapi saja.15
Kegunaan kemoterapi untuk pasien yang mengalami kemajuan setelah operasi dan
RT sudah terbukti, terutama pada tumor oligodendroglial. Procarbazine, CCNU,
dan vincristine (PCV), serta temozolomide (TMZ) menghasilkan tingkat respons
objektif yang sama pada CT/MRI (45-62%] dan durasi respons (10-24 bulan),
dengan profil toksisitas yang mendukung TMZ dalam hal tolerabilitas yang lebih
baik. Manfaat Minis, yaitu pengurangan frekuensi kejang dan perbaikan defisit
neurologis sesuai dengan respons secara radiologis dan pada beberapa pasien
dengan penyakit yang menetap.2
Kemoterapi dengan nitrosourea dapat menjadi pengobatan awal yang efektif
untuk astrositoma yang tidak dapat dioperasi (kelas IV). Tingkat respons setelah
kemoterapi lebih tinggi dan durasi respons lebih lama pada pasien dengan
kodelesi lp/19q dibandingkan pada mereka dengan lp/19q intak.2
Kemoterapi TMZ adalah bagian dari regimen terapi standar untuk pengobatan
glioblastoma, dan walaupun tidak disetujui FDA untuk LGG, dalam praktiknya
telah menggantikan regimen berbasis nitrosourea dalam terapi LGG. Meskipun
belum ada uji coba TMZ dibandingkan PCV di LGG, banyak klinisi menyukai TMZ
karena anggapan efektivitas yang serupa dan tolerabilitas yang lebih superior.1

Evaluasi radiologis dilakukan setelah kemoterapi induksi, dan setelah setiap


dua siklus kemoterapi pemeliharaan. Selain evaluasi radiologis, pasien diperiksa
setiap minggu selama terapi induksi dan pemeliharaan.

Respons didasarkan terutama pada hasil MRI dengan kontras dan dikategorikan
sebagai berikut: respons lengkap, tumor menunjukkan respons komplit pada
studi pencitraan; respons parsial, ukuran tumor berkurang 50% atau lebih;
respons ringan, ukuran tumor berkurang 25%-50%; stabil, tidak ada perubahan
atau ukuran tumor berkurang <25% dan progresif, ukuran tumor bertambah
25% atau lebih.13
d. Observasi
Pasien yang diamati harus dipantau secara berkala, yaitu setiap 6 bulan untuk
mendeteksi perkembangan radiologis sebelum tanda dan gejala baru terjadi.11
Dalam praktik klinis, observasi setelah operasi awal biasanya hanya dilakukan
untuk pasien yang diperkirakan memiliki kemungkinan progression-free survival
berkepanjangan. Kelompok ini mencakup pasien yang lebih muda yang tidak
memiliki gejala atau tanda substansial setelah mengalami reseksi gross total dari
tumornya.12 Berdasarkan pengamatan ini, beberapa berpendapat bahwa semua
pasien tersebut harus menjalani reseksi bedah maksimal yang aman (maximal
safe resection) diikuti dengan terapi radiasi pascaoperasi.9
e. Terapi Target
Pada LGG didapatkan adanya jalur signaling yang menyimpang, diantaranya
PI3K/Akt/mTOR, dan uji klinik sedang menuju pada pendekatan terapi target
jalur tersebut. Selain itu, sedang diteliti inhibisi dari IDH. Pendekatan ini
membutuhkan pasien dengan karakteristik molekuler/sitogenetik yang spesifik
dan menunjukkan terapi LGG masa depan pada era genomik.16
Terapi molekuler target lain juga sedang diteliti, terutama sebagai terapi untuk
LGG progresif. Percobaan fase II imatinib, sebuah penghambat tirosine kinase
dengan aktivitas melawan bcr-abl, c-kit, dan platelet-derived growth factor receptor
(PDGFR) yang dikombinasikan dengan hidroksiurea menunjukkan bahwa terapi
dapat ditoleransi dengan baik dan dikaitkan dengan aktivitas yang mendukung.
Temuan ini belum dikonfirmasikan dalam uji coba yang lebih besar.1
f. Follow-up
Setelah terapi LGG, follow-up seumur hidup diperlukan. Tidak ada pendekatan
standar untuk/o//ow-up dalamhal frekuensi imaging. Beberapa klinisi secara rutin
melakukan imaging pada pasien setiap 3 bulan sekali selama 1-2 tahun, lalu setiap
6 bulan sekali selama beberapa tahun, kemudian setiap setahun sekali setelahnya,
namun ada variasi yang relatif luas dalam frekuensi/o//ow-up dalam praktik klinis.9
National Comprehensive Cancer Network (NCCN) setiap tahun mengeluarkan
panduan {guideline) untuk penanganan tumor sistem saraf, termasuk LGG.
Berikut adalah algoritma penanganan LGG menurut NCCN tahun 2018 (Gambar
5.3). Penjelasan lebih lengkap mengenai definisi risiko rendah dan risiko tinggi
terdapat pada Gambar 5.4.

V.12. Prognosis
Skema skoring dua faktor prognostik telah digunakan secara luas. Analisis
European Organization for Research and Treatment of Cancer (EORTC) mengenai
beberapa uji coba skala besar menunjukkan faktor prognostik, antara lain:
1. Usia >40 tahun,
2. Histologi astrositoma
3. Dimensi tumor maksimum >6cm
4 Tumor melewati garis tengah [midline)
5. Defisit neurologis sebelum operasi

Kehadiran 2 faktor atau lebih sedikit termasuk dalam kelompok berisiko rendah
kelangsungan hidup rata-rata 7,7 tahun], sedangkan 3 faktor risiko atau lebih
termasuk dalam kelompok berisiko tinggi.9
Umur >40 tahun dan adanya defisit neurologis pra-operasi adalah faktor
prognostik yang merugikan. Berdasarkan radiologis, ukuran tumor yang lebih
besar dan letak tumor yang melintasi garis tengah berkorelasi dengan OS pendek
dan PFS. Tingkat pertumbuhan berbanding terbalik dengan kelangsungan
hidup. Oligodendroglioma memiliki prognosis yang lebih baik daripada astrositoma.
Angka harapan hidup LGG lebih panjang dibandingkan HGG. Statistical Report of the
Central Brain Tumor Registry of the United States pada 2011 melaporkan bahwa tingkat
kesintasan relatif pada astrositoma derajat rendah selama 2 tahun adalah 60%, 5 tahun
sebesar 48%, dan 10 tahun sebesar 39%. Tingkat kesintasan relatif pada oligodendroglioma
derajat rendah selama 2 tahun adalah 90%, 5 tahun sebesar 79%, dan 10 tahun sebesar
64%. Beberapa faktor di tingkat pasien dan tumor bersifat prediktif untuk luaran. Pasien
dengan dua atau lebih sedikit faktor memiliki median kesintasan 7,72 tahun, sedangkan
pasien dengan tiga atau lebih faktor memiliki median kesintasan 3,2 tahun.

University of California at San Francisco Low grade Glioma Prognostic Scoring System
menerapkan skala grading 0-4, dengan poin diberikan untuk variabel yang kurang
menguntungkan termasuk Karnofsky Performance Status scale (KPS) <80, usia pasien
>50 tahun, diameter tumor >4cm, dan presumsi tumor melibatkan lokasi tumor yang
elokuen. Pasien dengan skor 1 memiliki probabilitas kesintasan 5 tahun sebesar 0,98,
sedangkan skor 4 memiliki probabilitas kesintasan 5 tahun sebesar C46.1

Pasien LGG dengan status mutasi IDH-1 dan kodelesi lp/19q mempunyai prognosis
yang paling baik (angka hidup rata-rata 8 tahun), sedangkan pasien LGG dengan IDH
mutasi tanpa kodelesi lp/19q seringkali dengan mutasi TP53 dan inaktivasi ATRX
mempunyai angka hidup rata-rata 6,3 tahun. Pasien tanpa mutasi IDH merupakan
gambaran glioblastoma primer dengan angka harapan hidup rata-rata 1,7 tahun.3

Ilustrasi Kasus
Seorang pasien perempuan, berusia 32 tahun, datang ke IGD dengan perubahan
perilaku sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien memiliki riwayat nyeri
kepala terutama pada sisi depan yang memberat sejak 1 bulan terakhir. Terdapat
riwayat kejang berulang sejak 2 tahun yang lalu. Dari pemeriksaan tidak didapatkan
penurunan kesadaran pada pasien sementara pada funduskopi didapatkan kesan pa-
piledema bilateral. Hasil MRI kepala dengan kontras menunjukkan hasil sebagai berikut:
Apa yang akan dilakukan selanjutnya pada pasien ini?
A. Pemberian dexamethasone loading 20 mg IV
B. Reseksi tumor
C. Pemeriksaan PET-Scan
D. Pemeriksaan MRS
E. Tatalaksana radiasi
Jawaban: B

Pembahasan:
Pada pasien ini didapatkan tanda dan gejala efek desak massa berupa nyeri kepala,
kejang intraktabel, dan papilledema. Pada gambaran MRI kepala kontras didapatkan
lesi pada regio frontal berupa lesi hipodens pada Tl dengan penyangatan minimal
pascakontras, dengan edema perifokal yang minimal, dapat sesuai dengan gambaran
glioma derajat rendah (LGG). Setelah dilakukan kontrol kejang, perlu dilakukan tata
laksana lebih lanjut yaitu reseksi tumor. Tiga alasan utama pembedahan pada pasien
dengan LGG adalah untuk penegakkan diagnosis, debulking tumor yang menyebabkan
efek massa yang signifikan, dan peningkatan luaran jika reseksi ekstensif dapat
dilakukan.
Daftar Pustaka
1. Johnson Derek R, Jaeckle KA. Low grade glioma and oligodendroma in adulthood. Neuro-oncology.
Edisi ke-1. New Jersey: Blackwell Publishing Ltd; 2012; h 76-85.
2. Soffietti et al., Guidelines on the management of low-grade gliomas: EANO task force report.
Eropean Association of NeuroOncology Magazine. 2011; www.kup.at/journals/eano/index.html
3. Diwanji T.P, Engleman A, Snider J.W, Mohindra P, Epidemiology, diagnosis, and optimal management
of glioma in adolescents and young adults: Adolescent Health, Medicine and Therapeutics, 2017:8
4. Recht L.D, Vogel H, Harsh G.R, Blue books of neurology: Low grade Astrcytomas. 2012. p:121-129
5. Berger, M.S., Hervey-Jumper, S., Wick, W., 2016. Astrocytic gliomas WHO grades II and III. Handb
Clin Neurol. 2016;134:345-60. doi: 10.1016/B978-0-12-802997-8.00021-9.
6. Perry, A. 2003. Pathology of low grade gliomas : An update of emergin concepts. Neuro-oncology
5:168-178
7. Deborah AF, Brian VH, Jay SL, Tracy TB. 2014. Low grade Gliomas. The Oncologist 2014;19:403-413.
8. Gupta A, Dwivedi T. A Simplified Overview of World Health Organization Classification Update of
Central Nervous System Tumors 2016./ Neurosci Rural Pract. 2017;8(4):629-641.
9. Shofty B, Bokstein F, Ram Z, Ben-Sira L, Freedman S, Kesler A, Constantini S. Low grade gliomas.
Neuro Oncol. 2014;16[supl I):i60-i70.
10. Louis DN, Ellison DW, Perry A, Kleihues P, Reifenberger G, Wiestler OD, dkk. The 2016 World
Health Organization Classification of Tumor of the Central Nervous System: a Summary. Acta
Neuropathol. 2016.131(6):803-20.
11. Stockhammer F, Misch M, Helms HJ, et al. 1DH1/2 mutations in WHO grade II astrocytomas
associated with localization and seizure as the initial symptom. Seizure. 2012; 21:194-197.
[PubMed: 22217666]
12. Schneider T, Mawrin C, Scherlach C, Skalej M, Firsching R. Gliomas in adults. Dts Arztebl Int.
2010;107[45j:799-08.
13. Wen et al. Updated Response Assessment Criteria for High grade Glioma: Response Assessment in
Neuro-Oncology Working Group. Journal of Clinical Oncology. Vol.28. No.11. 2010
14. Tonn J, Reardon DA, Rutka JT, Westpal M. Neuro oncology of CNS tumors. Edisi ke-3. New York :
Springer International Publishing. 2019
15. Buckner et al., Radiation plus Procarbazine, CCNU and Vincristine in Low grade Glioma. The New
England Journal of Medicine. 2016;374:1344-55
16. Chang et al, Treatment of Adult Lower Grade Glioma in the Era of Genomic Medicine. ASCO.org/
edbook. 2016
17. National Comprehensive Cancer Network. Central Nervous System Cancers. 2018.
18. Sanchez et al., SEOM Clinical Guideline diagnosis and management of low grade glioma. Clinical
Guides in Oncology. 2017.
GLIOMA DERAJAT TINGGI
Djohan Ardiansyah, Rusdy Ghazali Malueka

VI. 1. Pendahuluan
Angka kejadian tumor primer otak dan sistem saraf di Amerika sekitar 18.500
kasus baru dan angka kematian mendekati 13.000 setiap tahunnya. Meskipun
frekuensi tumor primer ganas otaklebih sedikit dari tumor metastasis, angka kejadian
glioma maligna meningkat dalam 25 tahun belakangan, terutama pada dewasa tua
yaitu sekitar 1,2% pertahun dari populasi.
Glioma adalah tumor yang berasal dari sel glial meliputi astrositoma,
oligodendroglioma, dan ependimoma. Glioma derajat tinggi atau high grade glioma
(HGG) adalah sebutan tumor ganas dari ketiga sel glial tersebut, yang terdiri dari
astrositoma anaplastik/AA [astrositoma derajat III, glioblastoma multiforme
[GBM, (Astrositoma Derajat IV)), Oligodendroglioma Anaplastik (OA) derajat III,
Oligoastrositoma Anaplastik (OAA), dan Ependimoma Anaplastik (EA).1
Meskipun perkembangan teknologi pencitraan, teknik operasi, dan terapi adjuvan;
tumor primer otak tersering pada dewasa (GBM) masih menjadi tumor paling ganas
dan tidak dapat disembuhkan.1
t

VI.2. Epidemiologi
Glioma terjadi 67,6% dari seluruh tumor primer otak, kira-kira separuhnya
adalah GBM, sedangkan AA terjadi pada 10-30%. Pada populasi anak, AA dan GBM
hanya 10% dari seluruh tumor intrakranial.
AA sering terjadi pada usia pertengahan (35-55 tahun), umumnya satu dekade
sebelum GBM. Rasio laki-laki:perempuan 1,2:1, sering pada daerah frontal (40%),
temporal (35%) dan parietal (17%).
GBM jarang terjadi pada usia kurang dari 30 tahun dan lebih sering pada usia 45-65
tahun, rasio laki:perempuan 1,5:1, lebih sering terjadi di lobus temporal (32%), frontal
(31%), frontoparietal (11%), parietal (10%), temporoparietal (7%), dan oksipitoparietal
(5%). GBM tidak umum pada ventrikel III (<1%) dan jarang pada fossa posterior.
OA umumnya terjadi pada usia dekade keempat atau lebih, sedangkan EA lebih
sering pada anak-anak dan lokasinya infratentorial.1

VI.3. Patofisiologi
Aspek penting dari patogenesis glioma derajat tinggi adalah bahwa transformasi
keganasan dihasilkan dari akumulasi sekuensial dari perubahan genetik dan regulasi
abnormal pada faktor pertumbuhan.
Sejauh ini diketahui terdapat 3 penanda utama molekuler genetik, antara lain:3

1. Status metilasi MGMT


Gen MGMT mengode enzim O-6-methylguanine DNA methyltransferase, sebuah
enzim untuk perbaikan DNA dengan menghilangkan gugus alkil dari posisi 0-6-
guanin, sebuah tempat penting alkilasi DNA. Beberapa penelitian retrospektif
menganalisis penanda molekuler khusus ini dan menemukan fenomena metilasi
didapatkan hingga 45% pada kasus GBM. Status metilasi MGMT telah digunakan
untuk memprediksikan respons terhadap agen kemoterapi teralkilasi seperti
temozolomide. Dengan adanya metilasi pada MGMT, angka kesintasan median untuk
radioterapi + temozolomide secara signifikan lebih lama daripada radioterapi saja.3
2. Mutasi IDH1
Gen IDH1 mengode gen enzim IDH1 yang mengubah isositrat menjadi
cx-ketoglutarate dalam siklus Krebs. Tahap ini menghasilkan NADPH yang
berperan penting dalam management stres oksidatif sitotoksik. Mutasi gen
ini menghasilkan metabolisme alternatif isositrat menjadi 2-hidroksiglutarat
(Gambar 6.1). Mutasi menyebabkan peningkatan 10 kali lipat dalam produksi
2-hidroksiglutarat. Akumulasi 2-hidroksiglutarat juga menybabkan pemecahan
HIF-la, sebuah faktor penting untuk menghasilkan fenotip sel ganas.
Mutasi gen IDH1 ditemukan pada 12% pasien GBM dan diketahui memberikan
median kesintasan yang lebih baik (3,7 tahun dibandingkan 1,1 tahun}. Seperti
halnya mutasi MGMT, mutasi IDH-1 bersifat prognostik daripada prediktif.
Hampir semua mutasi (96%] adalah mutasi titik yang melibatkan arginin 132.
Hal ini memungkinkan uji imunohistokimia pada jaringan blok parafin.3
3. Kodelesi kromosom lp/19q pada tumor oligodendroglial
Salah satu kelainan kromosom yang paling umum terlihat pada oligodendroglioma
adalah hilangnya sebagian atau seluruh lengan pendek kromosom 1 (lp) dan
lengan panjang kromosom 19 (19q). Cairncross dkk menunjukkan pada 50-70%
oligodendroglioma anaplastik kehilangan lp/19q kromosom.3
Berdasarkan klinisnya, GBM dibagi menjadi GBM primer dan sekunder. GBM
primer muncul secara de novo tanpa bukti klinis dan histologis dari lesi prekursor,
sedangkan GBM sekunder berkembang secara perlahan dari LGG. Perbedaan lain
terdapat pada Tabel 6.1.2
Selain ketiga penanda molekuler yang sudah disebutkan, kebanyakan GBM
ditandai oleh mutasi dalam tiga jalur utama, yaitu jalur PI3K, jalur retinoblastoma
(Rb), dan jalur p53. Perubahan molekuler GMB primer antara lain mutasi gen dan
amplifikasi epidermal growth factor receptor (EGFR), ekspresi berlebih dari mouse
double minute 2 (MDM2), loss of heterozygosity (LOH) kromosom lOq holding
phosphate and tensin homolog (PTEN), serta mutasi pada promoter TERT. Adapun
pada GBM sekunder terdapat over ekspresi platelet-derived growth factor A (PDGFA),
platelet-derived growth factor receptor alpha (PDGFRa), Rb, p53, dan ATRX.2
Sinyalisasi EGFR terjadi melalui aktivitas multidimensi kompleks yang
menghasilkan peristiwa downstream yang menstimulasi 5 dari 6 ciri khas kanker.
Ciri keenam yang tidak diaktifkan di jalur ini adalah potensi replikasi tak terbatas.
Jalur EGFR dimulai dari dimerisasi yang menghasilkan aktivasi tirosin kinase, diikuti
stimulasi dari tiga jalur signaling utama, yang akhirnya mengarah pada aktivasi 5 dari
6 ciri khas kanker. Kompleks surface receptor tirosin kinase yang dikodekan EGFR
terdiri dari empat bagian yang membentuk homodimer atau heterodimer setelah
pengikatan ligan.4
Adanya mutasi-mutasi tersebut dapat berlanjut pada pembelahan sel melalui
siklus sel. Siklus ini merupakan mekanisme penting pembelahan sel (mitosis)
yang dijaga ketat oleh serangkaian protein untuk menghasilkan sel identik dengan
komponen DNA yang normal. Protein-protein tersebut bekerja secara seimbang
untuk mengaktifkan atau menghambat siklus sel jika terdapat kelainan/kerusakan
DNA pada sel yang akan dijadikan acuan pembelahan.
Protein yang bekerja untuk mengaktifkan siklus sel (Gambar 6.2) adalah golongan
cyclins bersama pasangan enzim masing-masing yang disebut cyclin-D-kinase (CDK).
Adapun protein yang menghambat siklus sel termasuk ke dalam kelompok tumor
suppressor genes, seperti pRb, p21, p53, pl6, dan sebagainya. Adanya mutasi atau
kerusakan DNA akan dideteksi oleh p53 yang kemudian mengaktifkan p21 untuk
menghambat cyclin B yang selanjutnya menghambat dimulainya siklus sel. p53 juga
menghambat perkembangan dari fase-S ke fase-M yang berarti mencegah mitosis.5
Yang diperlukan pada siklus sel (Gambar 6.2) untuk perkembangan melalui fase S adalah
kompleks S-CDK (cyclin A, cyclin E, dan CDK2) yang diaktifkan oleh protein E2 F. Selama awal
Gl faktor transkripsi E2F dihambat oleh pRb di dalam sitosol. Aktivasi kompleks Gl cyclin-
CDK (cyclin D-CDK4/6) menghasilkan fosforilasi pRb yang kemudian melepaskan E2F.
Kemudian E2F bermigrasi ke nukleus di mana ia mengaktifkan transkripsi beberapa gen
termasuk gen E cyclin dan gen E2F itu sendiri. Autoregulasi E2F memungkinkan aktivitas
tingkat tinggi dari faktor pengaturan siklus sel tersebut.5
Salah satu fungsi utama dari protein p53 adalah sebagai komponen dari pos
pemeriksaan yang mengontrol apakah sel masuk dan juga melewati fase S dengan baik
Adanya kerusakan DNA akan menginduksi p53 yang kemudian menghambat cyclin,
yaitu p21Cipl. Aktivasi p21Cipl menyebabkan peningkatan penghambatan kompleks
i cyclin D1-CDK4 dan cyclin E-CDK2 sehingga menghentikan perkembangan melalui
siklus sel baik sebelum entri fase-S atau selama fase-S. Dalam keadaan normal level p53
tetap sangat rendah karena interaksinya dengan anggota keluarga ubiquitin ligase yang
disebut MDM2. p53 yangterikat MDM2 akan terdegradasi dalam proteasome.5
Stres selular dan kerusakan DNA akan mengaktivasi p53. Regulasi normal proteir
p53 dilakukan oleh berbagai ligase ubiquitin (contoh: MDM2], p53 yang terubiquitisas
mengakibatkan degradasinya pada proteasome. Menanggapi kerusakan DNA, atau stre;
seluler, beberapa kinase menjadi teraktivasi mengakibatkan p53 terhiperfosforilas
sehingga MDM2 melepaskan protein-protein p53. Kemudian fosfo-p53 memasuk
nukleus dan mengaktifkan transkripsi banyakgen target, ditunjukkan dengan gen proteir
penghambat CDK (CIP], p21CIP. Peningkatan kadar p21CIP menghasilkan penghambatar
beberapa kompleks cyclin-CDKyang menyebabkan penghentian siklus sel.

VI.4. Diagnosis
VI.4.1. Pemeriksaan Radiologi
GBM seringkali dengan perdarahan dan hemosiderin pada MRI kepala (Gambai
6.3). Lokasinya dapat menyeberang midline pada korpus kalosum (butterfly
appearance), jarang pada fosa posterior. GBM bisa soliter, multifokal, atau multisentrik
Rute penyebaran GBM bisa lewattraktus di substansia alba, subependimal, neuroaksis
lewat cairan otak.
Gambaran AA berupa lesi massa batas tidak jelas dan inhomogen pada CT
Scan dengan densitas sedang sampai kuat pada CT scan karena selularitas tinggi
(Gambar 6.4). Gambaran kistik, perdarahan, nekrosis, kalsifikasi (kecuali berasal
dari transformasi LGG) tidak umum; edema vasogenik dan efek massa tidak sebesar
dibandingkan dengan GBM. Selain itu penyerapan kontras minimal sampai heterogen
sedang dan bisa menunjukkan penyebaran leptomeningeal.

Lokasi oligodendroglioma anaplastik (OA) biasanya ada di kortikal atau


subkortikal. Sekitar 1 dari 5 oligodendroglioma adalah jenis anaplastik (20%). OA
tidak dapat dibedakan dari oligodendroglioma pada CT Scan maupun MRI. Pada CT
Scan merupakan lesi dengan densitas campuran batas jelas biasanya di frontal disertai
kalsifikasi (Gambar 6.5). Korteks yangterkena akan melebar, terjadi degenerasi kistik,
nekrosis, dan perdarahan mungkin ada. Pada OA terjadi penyerapan kontras yang
heterogen daripada oligodendroglioma.
Gambaran ependimoma anaplastik pada CT scan berupa lesi kistik dan solid, ada
fragmen kalsifikasi dengan penyangatan kontras (Gambar 6.6]. Lesi bisa di parenkim
dan intraventrikuler.
VI.4.2. Patologi
Pembagian HGG menurut WHO tahun 2006 jenis astrositoma adalah derajat 3
yaitu AA dan derajat 4 yaitu GBM dengan perbedaan gambaran histopatologi pada
Tabel 6.2 dan Gambar 6.7.
HGG yang berasal dari sel oligodendrosit adalah derajat 3, yaitu OA/OAA. Ciri
histopatologi oligodendroglioma adalah sel mini-gemistosit dengan sitoplasma
eosinofilik, sedangkan yang anaplastik lebih seluler, lebih pleomorfik, aktivitas mitosis
lebih tinggi (>5 per 10 lapangan pandang), terdapat proliferasi vaskular dan nekrosis.
Pada OAA dimana terdapat komponen astrosit pada sel tumor peran pemeriksaan
biologi molekuler dapat membedakan dengan OA. Delesi kromosom lpl9q tumor ini
cenderung bersifat OA, sedangkan kromosom lpl9q intak lebih bersifat OAA.6

Pada HGG yang berasal dari sel ependim, gambaran histopatologi AE adalah
bentukan perivaskular pseudorosette (Gambar 6.9). Tumor ini mungkin terjadi
perubahan mikrositik, kalsifikasi, dan pigmentasi melanin. Pada AE lebih seluler,
pleimorfik, dan aktivitas mitosis yang tinggi serta mungkin terjadi proliferasi vaskular
dan nekrosis.6
VI.4.3. Diagnosis Molekuler HGG
Pada klasifikasi tumor otak menurut WHO tahun 2016, glioma diklasifikasikan
tidak hanya berdasarkan gambaran histopatologinya; tetapi juga berdasarkan
dua parameter molekuler kunci, yaitu status mutasi (IDH) dan ada atau tidak
adanya kodelesi lp/19q. Kedua parameter molekuler tersebut untuk memperkuat
diagnosis, prognostik, dan terapi. Pada klasifikasi tersebut sel tumor glia astrositik
dan oligodendroglioma digabung sebagai glioma difus; dan disubdivisi menjadi IDH
mutant dan IDH wildtype (Tabel 6.3).7
Mutasi IDH1 R132H terjadi pada 90% mutasi IDH glioma. Mutasi ini dapat
dideteksi dengan immunohistokimia (IHK). Jika IHK IDH1R132H mutan negatif,
sekuensi IDH1 dan IDH2 dilakukan pada pasien glioma derajat 3 dan pasien GBM
muda (<55tahun), tetapi tidak pada pasien GBM tua (>55tahun) yang perbedaan IDH
mutan dan IDH wildtype mempunyai implikasi prognostik dan diagnosis terintegrasi.

Pemeriksaan kodelesi lp/19q dilakukan pada pasien tumor oligodendroglial


untuk membuat diagnosis. Adapun pemeriksaan status MGMT bukan untuk diagnosis,
tetapi untuk prognostik dan prediktif respons pada kemoterapi jenis agen alkil
(temozolomide).8

VI.5. Tata Laksana


National Comprehensive Cancer Network (NCCN) setiap tahun mengeluarkan
panduan {guideline) untuk penanganan tumor sistem saraf, termasuk HGG (Gambar
6.10, 6.11, 6.12, dan 6.13). Berdasarkan panduan tersebut tata laksana HGG adalah
sebagai berikut:
1. Tata laksana awal pada pasien yang dicurigai HGG berdasarkan gambaran MRI adalah
reseksi tumor yang letaknya bisa terjangkau dengan prinsip reseksi semaksimal
mungkin tetapi tetap menjaga fungsi neurologis; sebab dengan reseksi maksimal
berhubungan dengan peningkatan fungsional pasien dan memperpanjang harapan
hidup. Pada pasien yang tidak memungkinan untuk dilakukan reseksi maksimal
maka dapat dilakukan biopsi stereotaktik, biopsi terbuka, atau reseksi subtotal
untuk mengetahui tipe histopatologis tumor (Gambar 6.10).
Saat ini perkembangan teknologi radiologi preoperatif seperti MRI kepala fungsional
dan traktografi, serta teknologi intraoperatif, seperti intraoperative monitoring
(IOM), MRI intraoperatif, penggunaan 5-aminolevulinic acid (ALA) untuk visualisasi
jaringan tumor, serta awake surgery untuk mencapai reseksi maksimal.
2. Tata laksana selanjutnya setelah reseksi maksimal tergantung pada beberapa
hal, termasuk histopatologis, usia pasien, status performa (KPS), dan
karakteristik molekuler (jika memungkinkan) (Gambar 6.11, 6.12 dan 6.13).
Terapi standar adalah dengan kemoterapi bersamaan dengan radioterapi
[concurrent chemoradiotherapy/CCRT).
3. Radioterapi bertujuan untuk kontrol lokal dan meningkatkan harapan hidup,
pada area tumor sampai 1-2 cm di luar batas area tumor sebanyak 60Gy dalam 6
minggu.
4. Kemoterapi bersamaan dengan radioterapi [concurrent chemoradiotherapy)
dilanjutkan dengan kemoterapi tambahan (adjuvan). Obatyang digunakan adalah
temozolomide dosis 75mg/m2 selama 6 minggu (selama menjalani radioterapi],
dilanjutkan dengan 150-200mg/m2 pada hari 1-5 siklus 28 hari selama 6 kali.
Hasil lebih baik pada harapan hidup sampai dua tahun pada pasien dengan status
metilasi promotor MGMT yang positif dibanding yang tidak (49% dan 15%).8
5. Pada kasus OA jenis kodelesi lp/19q penambahan kemoterapi dengan PCV
(procarbazine, lomustine, dan vinkristin) atau temozolomide pada radioterapi
meningkatkan harapan hidup (Gambar 6.11). /
6. Pada kasus OA non-kodelesi lp/19q (termasuk patologi OA dan oligoastrositoma)
yang pada klasifikasi WHO 2016 termasuk AA IDHl-mutan atau IDH1 wild type,
penggunaan kombinasi temozolomide dan radioterapi lebih dipilih daripada PCV
(gambar 6.11).8
VI.6. Prognosis
Faktor prognostik penting pada HGG adalah umur, status berdasarkan Karnofsky
Performance Status Scale (KPS], drajat tumor, status IDH, beberapa faktor molekuler
genetik seperti telomerase reverse transcriptase (TERT) dan ekstensifitas dari
pembedahan.
Mutasi enzim IDH 1 dan IDH2 terjadi pada sekitar 50% pasien AA dan 5-10% pasien
GBM; sehingga menjadi faktor prediksi signifikan overall survival. Adanya mutasi IDH1
dan IDH2 pada HGG menunjukkan 2-3x peningkatan harapan hidup dibandingkan
pada tumor dengan IDH-wildtype. Pada suatu studi didapatkan peningkatan medial
harapan hidup pada pasien glioma dengan mutasi IDH1 dibandingkan yang tidak,
yaltu pada glioma derajat 3 (81 dan 9 bulan], pada glioblastoma (27 dan 14 bulan).
Selain itu status metilasi promoter MGMT pada GBM meningkatkan progression-free
survival dan overall survival serta respons terhadap kemoterapi.
Pada Klasifikasi WHO tahun 2016 ditunjukkan median harapan hidup pada
pasien dengan glioma derajat 3 yaitu:
1. Astrositoma anaplastik, IDH wildtype selama 2-3 tahun
2. Astrositoma anaplastik IDH mutan selama 8-10 tahun
3. Oligodendroglioma anaplastik IDH mutan,lp/19q kodelesi selama 15-20 tahun.8

Ilustrasi Kasus
Seorang pasien perempuan, 33 tahun, datang ke poliklinik saraf dengan keluhan
nyeri kepala progresif, kejang berulang dan kelemahan sisi kiri sejak 1.5 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Hasil MRI kepala dengan kontras menunjukkan hasil
sebagai berikut:

Bagaimana tata laksana selanjutnya pada pasien ini?


Jawaban :
A. Reseksi tumor dan kemoterapi
B. Reseksi tumor dan radioterapi
C. Reseksi maksimal tumor yang aman
D. Radioterapi dan kemoterapi
E. Reseksi tumor saja

Jawaban: C
Pembahasan:
Tata laksana awal pada pasien yang dicurigai HGG berdasarkan gambaran MRI
adalah reseksi tumor semaksimal mungkin tetapi tetap menjaga fungsi neurologis,
dilanjutkan dengan kemoterapi bersamaan dengan radioterapi. Radioterapi
diberikan sebanyak 60Gy dalam 6 minggu, sementara kemoterapi bersamaan
dengan radioterapi [concurrent chemoradiotherapy) dilanjutkan dengan kemoterapi
tambahan (adjuvan). Obat yang digunakan adalah temozolomide dosis 75mg/m2
selama 6 minggu (selama menjalani radioterapi), dilanjutkan dengan 150-200mg/
m2 pada hari 1-5 siklus 28 hari selama 6 kali.

Daftar Pustaka
1. Kalkanis SN, Rosenblum ML. Malignant glioma. Dalam: Ogden AT, Bruce JN. Pineal region tumors.
Dalam: Bernstein M, Berger MS. Neuro-oncology the essentials. Edisi ke-2. New York: Thieme;
2008. h. 254-65.
2. Hanif Farina, Muzaffar Kanza, Perveen Kahkashan, Malhi M Saima, Simjee U. Glioblastoma
Multiforme : A review of its epidemiology and pathogenesis through clinical presentation and
treatment. Asian Pac J Cancer Prev. 2017;18(l):3-9.
3. Narayan Vairavan, Patel Krunal, Price Stephen. High grades Gliomas : Pathogenesis, Management
and Prognosis. Neurosurgery. 2012;
4. Hanahan D, Weinberg RA. The hallmarks of cancer. Cell. 2000; 100:57-70. [PubMed: 10647931]
5. Bertram J. The Molecular Biology of Cancer. Honolulu: Molecular Aspect of Medicine;2001
6. Butowski N, Chang S. Adult high grade glioma. Dalam: Barnett GH. High grade glioma. Edisi ke-1.
New Jersey: Humana Press; 2007. h. 59-69.
7. Louis DN, Perry A, Reifenberger G, Von Deimling A, Figarella-Branger D, Cavenee WK, dkk.
The 2016 World Health Organization classification of tumors of the central nervous system: a
summary. Acta Neuropathol. 2016;131(6):803-20.
8. Dietrich J. Clinical presentation, initial surgical approach, and prognosis of high grade glioma.
UpToDate [serialonline], 2018 [diunduh 14 Februari 2018]. Tersedia: UpToDate.
9. Van-Den-Bent M. Management of anaplastic oligodendrogial tumors. UpToDate [serial online],
2018 [diunduh 3 April 2018]. Tersedia dari: UpToDate.
10. National Comprehensive Cancer Network. Central Nervous System Cancers. 2018.
MENINGIOMA DAN TUMOR MENINGEAL LAINNYA
Tiara Aninditha

VII. 1. Pendahuluan
Meningioma pertama kali dikenalkan oleh Harvey Cushing (1922) sebagai
sekelompok sel tumor yang berasal dari selaput meningen.1 Meningioma terbentuk
dari sel araknoid. Jenis syncytial meningioma berasal dari sel di lapisan araknoid,
sedangkan meningioma fibroblastik berasal dari kapsul fibrosa di villi araknoid.
Tata laksana meningioma yang utama adalah operasi. Pada meningioma WHO
derajat II-III, derajat I yang tidak direseksi total, atau indikasi lainnya, setelah
pembedahan dapat dilanjutkan radioterapi adjuvan.24 Prognosis pascaoperasi
sebetulnya baik apabila dilakukan reseksi total pada derajat keganasan rendah, namun
hampir separuh (42,5%) dari meningioma derajat I juga tumbuh di daerah basis
kranii yang tidak memungkinkan reseksi total.4 Jika reseksi hanya dapat dilakukan
secara parsial, misalnya karena lokasi yang sulit dijangkau secara anatomis, maka
dapat memicu rekurensi. Sementara pengobatan lain seperti radioterapi maupun
kemoterapi atau terapi target belum dapat menghambat pertumbuhan secara efektif.3*5

VII.2. Epidemiologi
Data di Departemen Patologi Anatomi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
(RSCM) menunjukkan bahwa meningioma merupakan tumor intrakranial paling
ringgi, yaitu 58,5%, diikuti glioma 23,7%.6 Begitu pula dengan data tumor otak primer
di RS Ranker Nasional Dharmais, meningioma merupakan tumor primer tertinggi
(37,2%) diikuti glioma (37,2%). Meningioma mencakup 13-26% dari tumor primer
intrakranial. Sejak berkembangnya teknologi pemeriksaan radiologis dalam dekade
terakhir, insidensi meningioma mengalami peningkatan sampai hampir empat kali
lipat.2 Secara umum, meningioma merupakan jenis tumor intrakranial yang kedua
terbanyak (20,9%) ditemui setelah glioma (50,3%).2 Dengan mempertimbangkan
bahwa meningioma yang tersering ditemui adalah dengan derajat keganasan rendah
yang cenderung bersifat asimtomatik, masih mungkin bahwa prevalensi yang
sebenarnya adalah lebih tinggi dan tidak terlalu jauh dibanding glioma.7
Dilihat dari demografik penderitanya, meningioma didapatkan lebih banyak
diderita oleh jenis kelamin perempuan (2-7/100.000) dibanding laki-laki (1-
5/100.000); perbandingan ini secara kasar didapatkan sama untuk semua etnis.2 Usia
rata-rata penderita saat didiagnosis adalah 56,4 tahun (10-85 tahun) pada laki-laki
dan 55,9 tahun pada perempuan; insiden didapatkan meningkat secara signifikan
dengan bertambahnya usia, yaitu dapat mencapai 50,6% pada usia lebih dari 70 tahun.
Meningioma lebih sering ditemukan pada perempuan daripada laki-laki, dengan
insiden 1,4-2,6:1. Hal ini diperkirakan akibat adanya peran hormon seks perempuan,
dengan dilaporkannya prevalensi reseptor estrogen (0-94%) dan progesteron (40-
100%) pada jaringan meningioma.2 Black dkk melakukan penelitian terhadap 733
meningioma selama kurun tahun 1989-2006, didapatkan insiden perempuan 2,5 kali
dibanding laki-laki, dengan rerata usia 58 tahun. 8
Pada umumnya meningioma bersifat jinak, 80-90% tumor memiliki tumor derajat
I, 20-25% derajat II dan 1-6% derajat III berdasarkan klasifikasi WHO 2016 (Tabel
7.1).9 Secara umum, jenis tersering adalah meningioma meningothelial (63%), diikuti
transisional [19%], fibrosa (13%), dan psammomatosa (2%).2
Adapun lokasi meningioma yang paling sering adalah falks, konveksitas, atau os
sfenoid (Gambar 7.1).3 Lokasi intrakranial di mana meningioma umum ditemukan,
dimulai dari yang paling sering, yaitu parasagittal/falcine (25%), konveksitas (19%),
sphenoid ridge (17%), supraselar (9%), fosa posterior (8%), olfactory groove (8%),
fosa media/Meckel's (4%), tentorial (3%), ventrikel lateral (1-2%), foramen magnum
(1-2%), dan orbita/opt/c nerve sheath (1-2%). Di antara meningioma parasagittal itu
sendiri, 49% ditemukan pada sepertiga falks anterior, 29% pada sepertiga tengah,
dan 22% pada sepertiga posterior.2

VII.3. Patofisiologi
Meningioma tumbuh dari dua macam sel pada vili araknoid, yaitu sel araknoid
dan dural border pada dasarnya dianggap sebagai suatu tumor jinak yang muncul dari
sel-sel arachnoid cap yang terletak pada dura mater. Biasanya perlekatannya pada
dura memiliki dasar yang cukup lebar, dengan kemampuan untuk menginvasi atau
menyebabkan hiperostosis pada tulang yang di sebelahnya.10
Meningioma adalah tumor dengan vaskularisasi yang cukup tinggi, dan dalam
prosesnya untuk bertambah besar dapat membutuhkan neovaskularisasi. Untuk
memungkinkan itu terjadi, dibutuhkan faktor-faktor angiogenik yang menginduksi
neovaskularisasi. Jaringan meningioma diketahui mengekspresikan vascular
endothelial growth factors (VEGFs) yang dapat berperan besar dalam vaskularisasi
meningioma.10
Tumorigenesis meningioma berhubungan dengan mutasi gen neurofibromatosis
2 (NF2) yang terletak di kromosom 22 pada hampir 60% meningioma. Neurofibroma-
tosis 2 merupakan tumor suppressor gene yang terutama diekspresikan oleh sistem
saraf, termasuk sel Schwan, neuron, astrosit, dan sel di lensa mata. Gen ini mengodekan
protein MERLIN [Moesin-ezrin-radixin-Iike protein) yang berfungsi sebagai penghubung
antar-protein membran sel dan aktin filamen sehingga terjadi hambatan kontak ter-
hadap pertumbuhan sel. Mutasi gen NF2 menyebabkan inaktivasi MERLIN sehingga
terjadi reorganisasi sitoskeletal dan memicu perkembangan meningioma. Analisis
gen NF-2 ini berbeda pada jenis histologi yang berbeda. Ditemukan loss of heterozy-
gosity (LOH) dari gen NF-2 di kromosom 22 sebanyak 95% pada meningioma fibro-
blastik dan hanya 33% pada meningothelial meningioma.911

Kelainan kromosom tersering pada meningioma adalah monosomi kromosom


22. Kelainan ini hampir ditemukan pada seluruh jenis meningioma. Hasil karyotyping
menunjukkan bahwa kelainan kromosom lebih banyak ditemukan pada meningioma
atipikal dan anaplastik. Meningioma yang mengalami delesi kromosom lp
menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Kehilangan kromosom 6q, 9p, 10, 14q,
dan 18q terjadi pada tumor dengan derajat WHO lebih tinggi. Meningioma derajat
tinggi juga menunjukkan kelebihan kromosom lq, 9q, 12q, 15q, 17q, dan 20q. Pada
meningioma derajat WHO III, dapat terjadi delesi kromosom 9p.9
Gambar 7.2 menunjukkan patogenesis molekuler yang memungkinkan terapi target
pada meningioma.12 Faktor pertumbuhan yang paling sering ditemukan berlebih adalah
PDGF-B (platelet-derived growth factor B) dan reseptornya PDGFR-p, yang menunjukkan
bahwa proliferasi sel meningioma berlangsung melalui jaras sinyal Ras-RAFl-MAPKK/
MEK1-MAPK/ERK dan PI3K-Akt/ PKB. Jalur pertama terutama pada meningioma
yang jinak, sedangkan jalur kedua pada meningioma atipikal dan anaplastik. Terjadi
juga amplifikasi epidermal growth factor receptor (EGFR), walaupun tidak sebanyak
pada glioblastoma, VEGF, dan reseptornya yang berkaitan dengan edema peritumoral,
serta insulin-like growth factors (IGF) yang berhubungan dengan daya invasi tumor.13

Dengan adanya insidensi lebih tinggi pada perempuan, laporan mengenai


pertumbuhan pesat dari meningioma selama kehamilan, dan korelasi antara
meningioma dan kanker payudara, menunjukkan hormon gonadosteroid berperan
penting dalam meningioma. Banyak studi yang mengevaluasi progesterone receptor
(PR) dan estrogen receptor (ER) dalam meningioma, termasuk sebagai faktor
prognostik.14

VII.4. Diagnosis
Diagnosis meningioma ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
radiologi kepala dengan zat kontras. Gejala klinis bervariasi tergantung pada lokasi
tumor, seperti sakit kepala kronik progresif dan defisit neurologis fokal seperti
gangguan visus, diplopia, hemiparesis, kejang, dan sebagainya. Secara makroskopis,
tumor ini mudah dibedakan dengan jaringan normal sekitarnya. Gambaran
histopatologisnya sangat beragam, mulai dari fibroblastik murni sampai yang
dominan aspek epiteloid. Hal ini menyebabkan gambaran CT scan atau MRI kepala
yang juga bervariasi, seperti kalsifikasi, erosi tulang, hiperostosis, serta edema jika
melibatkan parenkim otak.15
Posisi dari tumor itu sendiri akan menentukan tanda atau gejala penyerta lainnya.
Meninigioma yang tipikal akan tumbuh dengan perlahan, sehingga gambaran klinis
umumnya sudah berlangsung lama, hingga bertahun-tahun sebelum diagnosis dapat
ditegakkan.34
Pada tumor yang terletak di parasagital, umumnya pasien muncul dengan epilepsi
fokal dan adanya hemiparesis, karena keterlibatannya pada korteks motorik di lokasi
tersebut. Apabila terletak di anterior, seringkali tumor tumbuh bilateral dan pasien akan
datang dengan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Tumor parasagittal
yang terletak di anterior akan berdampak terhadap lobus frontal, maka dapat muncul
gejala-gejala pseudopsikiatri yang disertai juga dengan gangguan pada memori,
kecerdasan, dan kepribadian. Sementara jika muncul di posterior falks, sesuai topisnya
akan memiliki manifestasi yang berbeda, misalnya gangguan lapang pandang.34
Pada tumor konveksitas, biasanya terletak di depan sutura koronalis. Pasien akan
, muncul dengan tanda peningkatan TIK. Tumor-tumor yang terletak lebih posterior
akan menyebabkan gejala neurologis fokal dan epilepsi fokal.34
Pada tumor sphenoid ridge bagian dalam, massa tumor dapat menyebabkan
kompresi pada nervus optikus yang terletak di sisinya sehingga pasien dapat
mengeluhkan gangguan penglihatan yang awalnya muncul pada salah satu mata.
Selain itu kompresi dapat juga terjadi pada traktus olfaktorius, yang mengakibatkan
anosmia. Sementara bila tumor muncul pada sphenoidal ridge bagian luar, dapat
terjadi peningkatan TIK, dan papiledema yang jelas. Tumor yang terletak di regio ini
dapat menyebabkan hiperostosis yang cukup bermakna.3 4
Pada tumor di olfactory groove, dapat muncul anosmia yang awalnya unilateral
dan kemudian menjadi bilateral. Tanda-tanda yang muncul, yaitu peningkatan TIK,
penurunan visus akibat papiledema ataupun kompresi nervus, atau gangguan lapang
pandang karena penekanan kiasma. Bila tumor cukup besar, dapat juga terjadi
kompresi lobus frontal dengan manifestasi gangguan kognitif dan perilaku. Tumor
di supraselar juga dapat menyebabkan gangguan lapang pandang, yaitu hemianopia
bitemporal, dan penurunan visus.34
Pada meningioma ventrikuler, tanda-tanda peningkatan TIK dapat terjadi
bertahun-tahun dan berkaitan dengan gangguan fungsi yang ringan namun global
pada satu hemisfer sesuai ventrikel lateral yang terkena.34
Pada tumor fosa posterior, massa tumor dapat tumbuh dari cerebellopontine
angle (CPA) atau clivus. Tumor ini sering menyerupai neuroma akustik dengan gejala
yang melibatkan nervus akustikus, nervus trigeminus, dan nervus fasialis. Sering
juga muncul ataksia karena efek massa tumor terhadap serebelum. Selain itu, massa
tumor yang dapat menutup ventrikel keempat seringkali menyebabkan hidrosefalus,
sehingga meningkatkan TIK.34
Tidak seperti tumor SSP lainnya, meningioma mendapat suplai dari pembuluh
darah ekstrakranial di luar sawar darah otak, sehingga pada pencitraan akan
tampak sangat menyangat setelah pemberian kontras. Selain itu, meningioma
sangat hipervaskular yang dapat terlihat pada angiografi serta dapat menyebabkan
hiperostosis pada tulang di sisinya atau mengalami kalsifikasi.315 Hal itu menyebabkan
gambaran radiologisnya memiliki gambaran yang khas.
Pada CT scan, massa meningioma kebanyakan akan muncul sebagai massa
homogen, yang bisa iso- atau hipodens dibanding parenkim sekitarnya, menyangat
kontras dengan kuat dan padat, dan memiliki perlekatan yang lebar pada batasan
dura (Gambar 7.3). Apabila ada hiperdensitas pada gambaran CT scan non-kontras
(unit Hounsfield >100) biasanya berupa kalsifikasi psammomatosa. Gambaran edema
serebri cukup minimal; dapat juga luas dan menyebar pada seluruh substansia alba
hemisfer tersebut.3
Pada MRI umumnya meningioma tampak isointens pada sekuens Tl, yang
menyangat kuat dan homogen pascakontras (Gambar 7.4).4 Dapat dilihat juga
gambaran khas dura di sekitar lesi yang disebut "dural tail" (Gambar 7.5).
Dengan foto polos kranium, pada sebagian kasus (10%) dapat ditemukan
kalsifikasi berbentuk hiperostosis pada tulang kranium, atau perbesaran vascular
groove terutama a. meningea media.3
Angiografi serebral biasanya tidak dibutuhkan untuk kepentingan diagnostik,
namun untuk pertimbangan evaluasi preoperatif dapat bermanfaaat untuk mengetahui
vaskularisasi dari tumor.4 Pada angiografi, meningioma akan tampak memiliki/eerier
dari a. karotis eksterna atau a. karotis interna, yaitu a. oftalmika pada meningioma
olfactory groove atau supraselar.3 Angiografi juga dapat memberikan gambaran oklusi
sinus vena-vena dari dura, terutama meningioma falks atau parasagittal.4
Saat ini meningioma juga dinilai berdasarkan tingkat proliferasi sel, oleh karena
adanya kecenderungan peningkatan indeks proliferasi seiring dengan tingginya
derajat histopatologi dan indeks mitosis, yang akan berdampak pada terapi. Pada
imunohistokimia, antibodi yang digunakan adalah Ki67 dan MIB-1, yang dapat
memberi informasi tambahan. Penilaian manual berdasarkan indeks proliferasi atau
indeks label (IL) yang dihitung dari persentase sel yang positif terwarnai pada setiap
1000 sel tumor yang daerah mitosisnya paling aktif (Gambar 7.6).1718

VII.5. Penatalaksanaan
Terapi pilihan pada meningioma adalah reseksi, untuk mengambil jaringan tumor
sebanyak mungkin beserta tulang dan duramater yang mungkin terlibat. Luasnya
reseksi tergantung pada lokasi tumor. Jika lokasinya jauh dan berdekatan dengan
bagian yang vital, maka operasi bertujuan untuk mengambil jaringan untuk biopsi dan
mengurangi volume tumor untuk memudahkan radiosurgery. Namun reseksi parsial
dapat memicu pertumbuhan tumor. Penilaian luasnya operasi berdasarkan klasifikasi
Simpson (Tabel 7.2) dapat menentukan kemungkinan untuk rekuren. Reseksi yang
ideal adalah derajat I, dengan kemungkinan rekuren yang lebih rendah.21
Pada median follow up selama 10 tahun terdapat rekurensi sebesar 8,2%; 18,8%;
28,2%; dan 34,7% pada masing-masing skala Simpson derajat I, II, III dan IV.21 Selain
itu, kemungkinan rekuren adalah 29-59% pada derajat II dan 60-94% pada derajat
HI, sehingga prognosisnya buruk dibandingkan derajat I yang lebih jarang rekuren
(7-2 5 %). 22 Kekambuhan ini berkaitan dengan daya invasi tumor terhadap tulang,
duramater, dan jaringan otak.
Selain pembedahanjugadapatdilakukanstereotact/crad/osur^ervdengan^amma
knife atau menggunakan linear accelerator, terutama pada tumor yang berlokasi pada
tempat-tempat yang berisiko untuk dilakukan operasi. Terapi ini dapat diberikan
pada pasien dengan meningioma rekuren, pasien menjalani reseksi subtotal, memiliki
komorbiditas untuk dilakukan operasi, dan tumor berlokasi di basis kranii.15

Meningioma derajat I dapat ditatalaksana dengan reseksi total saja {gross


total resection—GTR]. Adapun meningioma atipikal dan meningioma maligna
direkomendasikan untuk mendapat radioterapi adjuvan pascaoperasi. Sebagian
besar studi melaporkan bahwa meningioma dengan WHO derajat III, subtipe maligna,
diterapi juga dengan radiasi setelah reseksi karena angka rekurensi yang tinggi.2325
National Comprehensive Cancer Network (NCCN) merekomendasikan radioterapi
postoperatif hanya diindikasikan pada reseksi yang tidak total, atau tumor yang
rekuren. Hanya saja, dikarenakan adanya kemungkinan rekuren sampai sekitar
30% dari semua meningioma atipikal, maka indikasi untuk radioterapi terhadap
meningioma atipikal masih terus diperdebatkan. 25

VII.6. Prognosis
Rekurensi adalah suatu tantangan tersendiri dalam manajemen meningioma,
terutama pada meningioma atipikal, sehingga tata laksana yang optimal belum
didapatkan saat ini. Meskipun dilakukan reseksi total secara makroskopis hingga
Simpson derajat 1, sekitar 4-15% pasien tetap mengalami rekurensi dari meningioma
yang secara histopatologi tergolong jinak.7'10 Meningioma memang mayoritas jinak,
namun rekurensi tetap sering terjadi; meningioma yang atipikal berkemungkinan
untuk rekuren sekitar delapan kali lipat dibanding meningioma jinak.7
Sejauh ini yang menjadi patokan paling utama dalam memprediksi rekurensi
pascaoperasi adalah derajat Simpson dan derajat keganasan tumor sesuai WHO.
Kesintasan lima tahun mencapai lebih dari 80% pada meningioma tipikal akan tetapi
lebih buruk (<60%] pada meningioma atipikal dan maligna. Pada kenyataannya,
sebagian kasus rekurensi sulit diprediksi; pada tumor yang telah direseksi total secara
makroskopis sekalipun, termasuk dura dan tulang yang terlibat (derajat Simpson 1),
4-15% dapat rekuren, dengan mekanisme yang belum diketahui.7,10
Cukup banyak penelitian di negara lain mengenai faktor-faktor prognostik
dari luaran meningioma intrakranial termasuk pengaruh masing-masing faktor
dalam munculnya rekurensi. Faktor yang tersering dinilai adalah derajat Simpson,
derajat WHO, lokasi tumor, ekspresi dari reseptor hormon antara lain progesteron
[progesterone receptor; PR), indeks mitosis atau tingkat proliferasi sel misalnya Ki67,
serta faktor pertumbuhan [growth factor) antara lain vascular endothelial growth
factor (VEGF) dan epidermal growth factor receptor (EGFR). Selain derajat Simpson
dan derajat WHO, hasil dan signifikansinya dari tiap faktor dalam memprediksi
rekurensi didapatkan bervariasi antar studi satu dengan lainnya.26
Ilustrasi Kasus
Jelaskan lokasi meningioma berdasarkan hasil MRI di bawah ini.

Jawaban:
1. Meningioma sella
2. Meningioma cerebellopontine angle
3. Meningioma konveksitas
Daftar Pustaka
1. Rogers L, Barani I, Chamberlain M, KaleyTJ, McDermott M, RaizerJ, dkk. Meningiomas: knowledge
base, treatment outcomes, and uncertainties. A RANO review. J Neurosurg. 2015;122(l):4-23.
2. ParkBJ KH,SadeB, LeeJH.Epidemiology. Dalam: LeeJH,editor. Meningiomas: diagnosis,treatment,
and outcome. In: JH L, editor. Meningiomas: diagnosis, treatment, and outcome. London: Springer
Verlag; 2008. h. 11-4.
3. Greenberg MS, Arredondo N, Duckworth EA, Nichols TA. Greenberg Handbook of neurosurgery.
Ontario: Thieme; 2006.
4. Kaye AH. Essential neurosurgery. Victoria: Blackwell Publishing; 2009.
5. Fakhrjou A, Meshkini A, Shadrvan S. Estrogen and progesterone receptors in various subtypes of
intracranial meningiomas. Pak J Biol Sci. 2012;15(ll):530-5.
6. Departemen Patologi Anatomi FKUI-RSCM. Intracranial tumor. Data Departemen Patologi
Anatomi FKUI-RSCM; 2011.
7. Yamasaki F, Yoshioka H, Hama S, Sugiyama K, Arita K, Kurisu K. Reccurence of meningiomas.
Cancer. 2000;89(5):1102-10.
8. Manzoor A LJ, Masaryk TJ. Meningiomas: imaging mimics. Dalam: Lee JH, editor. Meningiomas:
diagnosis, treatment, and outcome. London: Springer Verlag; 2008. h. 67-88.
9. Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee WK. WHO classification of tumours of the central
nervous system. Edisi ke-4. Lyon: IARC; 2016.
10. Nanda A, Bir SC, Konar S, Maiti T, Kalakoti P, Jacobsohn JA, dkk. Outcome of resection of WHO
Grade II meningioma and correlation of pathological and radiological predictive factors for
recurrence. J Clin Neurosci. 2016;31:112-21.
11. Angelov L, Golubic M. Molecular basis of meningioma tumorigenesis and progression. In: Lee JH,
editor. Meningiomas: diagnosis, treatment, outcome. London: Springer Verlag; 2008. h. 147-56.
12. Link MJ, Perry A. Meningioma tumorigenesis: an overview of etiologic factors. Dalam: Lee JH, editor.
Meningioma: diagnosis, treatment, and outcome. London: Springer Verlag; 2008. h. 137-46.
13. Miller R, DeCandio ML, Dixon-Mah Y, Giglio P, Vandergrift WA, Banik NL, dkk. Molecular targets
and treatment of meningioma. J Neurol Neurosurg. 2014;1(1J:1000101.
14. Hasan S, Young M, Albert T, Shah AH, Okoye C, Bregy A, dkk. The role of adjuvant radiotherapy
after gross total resection of atypical meningiomas. World Neurosurg. 2015;83(5}:808-15.
15. Rae-Grant A. Meningioma. Ebcohost [serial online]. 2018 [diakses 11 November 2018]. Tersedia
dari: Ebscohost.
16. Brain Meningioma Imaging: Overview, Radiography, Computed Tomography [Internet]. Emedicine.
medscape.com. 2019 [cited 30 Juni 2019]. Available from: https://emedicine.medscape.com/
article/341624-overview#al
17. Wallace E. The Dural Tail Sign. Radiology. 2004;233(l):56-57.
18. Brieger J, Wierzbicka M, Sokolov M, Roth Y, Szyfter W, Mann WJ. Vessel density, proliferation,
and immunolocalization of vascular endothelial growth factor in juvenile nasopharyngeal
angiofibromas. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2004;130(6J:727-31.
19. Grala B, Markiewicz T, Kozlowski W, Osowski S, Slodkowska J, Papierz W. New automated image
analysis method for the assessment of Ki-67 labeling index in meningiomas. Folia Histochem
Cytobiol. 2009;47[4J:187-92.
20. Riemenshneider MJ, Perry A, Reifenberger G. Histological classification and molecular genetics of
meningioma. Lancet. 2006;5(12):1045-54.
21. Gousias K, Schramm J, Simon M. The simpson grading revisited: aggresive surgery and its place in
modern meningioma management. J Neurosurg. 2016;125(3):551-60.
22. Hortobagyi T, Benzce J, Varkoly G, Kouhsari MC, Klekner A. Meningioma recurrence. Open Med
(Wars). 2016;ll(l):168-73.
23. Jo K, Park HJ, Nam DH, Lee JI, Kong DS, Park K, dkk. Treatment of atypical meningioma. ] Clin
Neurosci. 2010;17[ll):1362-6.
24. Wen PY, Quant E, Drappatz J, Beroukhim R, Norden AD. Medical therapies for meningiomas. J
Neurooncol. 2010;99(3):365-78.
25. Hammouche S, Clark S, Wong AH, Eldridge P, Farah JO. Long-term survival analysis of atypical
meningiomas: survival rates, prognostic factors, operative and radiotherapy treatment. Acta
Neurochir (Wien). 2014;156(8):1475-81.
26. Iskandar MM. Faktor yang mempengaruhi risiko rekurensi pada meningioma intrakranial dua
tahun pascaoperasi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2010-2015 [tesis]. Jakarta:
Universitas Indonesia; 2017.
EPENDIMOMA
RiniAndriani, Indah Chitra, Yogaswara

VIII.l. Pendahuluan
Tumor ependimal merupakan salah satu tumor ektodermal. Sel ependimal
merupakan sel neuroglia berbentuk kuboid, bersilia multipel, dan berfungsi
memproduksi cairan serebrospinal. Tumor yang berasal dari sel ependimal terletak
pada garis ependimal ventrikel, kanalis spinalis, dan filum terminale.1
Angka kejadian tumor ependimal tergolong jarang. Kejadian ependimoma kurang
dari 10% tumor susunan saraf pusat (SSP) dan 25% dari tumor primer medula
spinalis.2 Dikarenakan lokasinya, tumor ependimal akan berdampak pada kualitas
hidup dan angka kematian yang tinggi.1

VIII.2. Epidemiologi
Insidensi ependimoma hampir sama antara laki-laki dan perempuan,2 terutama
pada ras non-Hispanik. Insidensi tumor ependimal menunjukkan distribusi usia yang
bimodal, yaitu terdapat dua kelompok puncak usia (0-4 tahun dan 55-59 tahun).1
Pada semua kelompok usia, kebanyakan tumor berlokasi pada ventrikel dan
serebelum. Namun, tumor juga dapat berkembang di lobus hemisfer.1 Ventrikel
IV adalah lokasi terbanyak pada infratentorial dan sering menyebar ke rongga
subaraknoid, terkadang ke medula dan servikal atas. Pada lokasi supratentorial
terjadi di intraventrikel, tipikalnya di ventrikel lateral atau parenkimal.2
Lokasi ependimoma bergantung pada kelompok usia. Pada anak, 90%
ependimoma terletak intrakranial, dan sisanya di medula spinalis. Pada lokasi tumor
intrakranial, sekitar 60% terletak pada fosa posterior. Ependimoma yang terletak
infratentorial terjadi pada sekitar 30% kasus, dan sering terdapat pada anak berumur
kurang dari 3 tahun.2,3 Sebaliknya, 55-75% ependimoma pada dewasa berlokasi di
kanalis spinalis.24
Hampir 45% ependimoma medula spinalis terletak pada kauda equina. Sebagian lagi
terletak pada daerah servikal dan servikothorakal. Karena berasal dari sel ependimal,
lokasi tumor biasanya sentromedulari dan menyebabkan/oca/ enlargementpada spinal.
Biasanya melibatkan tiga hingga empat segmen vertebra. Berbeda dengan astrositoma
yang meluas dan tumornya seakan membaur dengan spinal dan melibatkan lima hingga
enam segmen vertebra. Ependimoma spinal dapat terjadi pada abnormalitas kromosom
22 dan berkaitan dengan neurofibromatosis tipe 2.4

VfII.3. Klasifikasi
Klasifikasi histopatologi tumor ependimal berdasarkan WHO tahun 2016
(Gambar 8.1) adalah:5
1. Subependymomct (derajat I]
2. Myxopapillary ependymoma (derajat I)
3. Ependimoma (derajat II)
a. Papillary ependymoma
b. Clear cell ependymoma
c. Tanycytic ependymoma
4. Ependimoma, RELA-fusion positive
5. Ependimoma anaplastik (derajat III)

Distribusi histologi tumor ependimal juga berbeda antara anak dan dewasa.
Ependimoma derajat rendah merupakan histologi tumor yang paling sering
ditemukan pada semua kelompok usia. Sementara, ependimoma anaplastik lebih
sering ditemukan pada anak dan remaja. Pada usia dewasa, jenis tumor ependimal
yang paling sering adalah subependimoma dan ependimoma miksopapilari.1
Sebagian besar histologi ependimoma spinal adalah derajat 2. Gambaran patologi
berupa ependymal dan perivascular rosettes. Tanycytic ependymoma [WHO derajat II)
sebenarnya jarang ditemukan pada ependimoma intrakranial, namun cukup sering
ditemukan pada ependimoma spinal. Histologi myxopapillary ependymoma (WHO
derajat I) sering ditemukan pada filum terminale dan biasanya ekstramedular.
Sementara ependimoma anaplastik sangat jarang ditemukan pada spinal.
Sebuah studi genomik yang komprehensif membagi ependimoma menjadi 3
subgrup (Gambar 8.1] berdasarkan lokasi tumor (supratentorial, fosa posterior, dan
medula spinalis). Menurut studi ini, tiap lokasi anatomi berkaitan dengan subgrup
molekuler tertentu. Penemuan molekuler ini juga dapat memprediksi prognosis.
Terdapat penemuan baru pada ependimoma, seperi oncogenic fusion pada RELA,
efektor utama pada sinyal NF-KB signalling, Cllorf95, gen baru pada kromosom 11.
Perubahan genetik terjadi lebih banyak pada tumor yang terletak supratentorial.2
VIII.4. Manifestasi Klinis
Oleh karena lokasi predominan ependimoma adalah fosa posterior dan
berdekatan dengan ventrikel IV, maka gejala yang paling sering muncul adalah
peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan hidrosefalus obstruktif.5
Gejala yang muncul dapat berupa nyeri kepala, mual dan muntah, ataksia, vertigo,
nistagmus, paresis nervus kranialis, dan papil edema. Invasi ke batang otak juga
dapat dapat terjadi.2'6'8

Gejala lainnya dapat berupa: 2


a. Kejang atau defisit neurologis fokal biasanya terjadi ketika tumor terletak
supratentorial.
b. Keterlibatan medula spinalis dengan defisit jaras asenden, desenden, atau
saraf tepi. Gejala dapat berupa gangguan sensorik, kelemahan motorik, dan
gangguan otonom.7
c. Penyebaran tumor melalui cairan serebrospinal terjadi pada kurang dari
10% kasus. Insiden diseminasi tumor lebih tinggi pada ependimoma yang
terletak infratentorial dibanding supratentorial (9%: 1,6%). Tidak terdapat
hubungan antara histologi derajat tinggi [classic grade II vs anaplastic grade
III) dengan penyebaran spinal.

VIII.5. Diagnosis
Gambaran CT scan kepala biasanya menunjukkan massa yang berlokasi di dalam
ventrikel atau kemungkinan kecil pada area periventrikel. Tumor biasanya terdiri dari
komponen kistik dan kalsifikasi yang menunjukkan gambaran hiperdens. Biasanya
tumor memiliki batas yang tegas. Gambaran hidrosefalus obstruktif cukup sering
ditemukan pada CT scan.6

Gambaran MRI ependimoma menunjukkan batas tumor yang jelas. Pada sekuens
T1 memberikan sinyal hipo- dan isointens dan sekuens T2 berupa hiperintens.
Parenkim tumor biasanya lebih menyangat, sementara bagian kistik dan kalsifikasi
tidak menunjukkan penyangatan. Terdapat beberapa ciri gambaran radiologis tumor
supratentorial yang mengarah pada ependimoma, diantaranya terdapat gambaran
kalsifikasi punctata dan edema peritumoral yang ringan (Gambar 8.2).1,6'8
Ependimoma spinal menunjukkan gambaran hipointens pada sekuens Tl dan
hiperintens pada sekuens T2. Kontur tumor akan terlihat jelas setelah kontras. Kutub
atas dan bawah tumor biasanya berupa kista atau kavitas. Terdapat edema interstisial
pada medula spinalis dan penekanan struktur-struktur di sekitar tumor saat tumor
membesar (Gambar 8.3).8
Diagnosis banding tumor ependimoma adalah tumor lainnya yang terletak
di fosa posterior termasuk meduloblastoma, astrositoma, dan tumor batang otak
atau pleksus koroideus. Jika tumor terletak pada lokasi supratentorial, diagnosis
bandingnya adalah tumor glia, primitive neuroectodermal tumors (PNETs), dan
karsinoma/papiloma pleksus koroideus.2

VIII.6. Penatalaksanaan
Tata laksana awal adalah reseksi total, diikuti radioterapi adjuvan. Kemoterapi
tidak menunjukkan peranan penting pada dewasa dan anak yang lebih tua, tetapi
dapat berperan pada anak yang lebih muda atau pasien dengan residu operasi.2 Reseksi
inkomplit pada ependimoma derajat II atau III memerlukan kemoterapi singkat diikuti
tindakan operasi ulang jika terdapat residu, lalu diberikan radiasi. Ependimoma derajat
II dan III dengan reseksi komplit dapat langsung diberikan radiasi.2

Pembedahan
Terapi standar ependimoma adalah pembedahan. Pasien dengan reseksi total lebih
baik prognosisnya dibandingkan reseksi parsial. Reseksi komplit sulit dilakukan, meng-
ingat lokasi tumor dan komplikasi kerusakan struktur di sekitarnya selama operasi
atau diseminasi sel-sel tumor ependimal.9 Pada ependimoma dengan batas yang te-
gas dengan jaringan otak normal dapat dilakukan reseksi total.8 Reseksi merupakan
masalah utama pada lesi di fosa posterior karena berdekatan dengan nervus kranialis
dan batang otak sehingga memiliki risiko terjadinya disfungsi neurologi jangka waktu
iama pada total reseksi. Reseksi total juga sulit dilakukan pada ependimoma supraten-
torial, karena biasanya terletak pada sistem ventrikel atau parenkim dan ukuran tumor
biasanya besar. Tumor yang letaknya dalam dan di daerah fungsional, tumor hanya di-
angkat sebagian.8
Komplikasi operasi merupakan masalah yang sering ditemui pada pasien dengan
ependimoma. Salah satu komplikasi pembedahan lesi fosa posterior yang paling sering
adalah mutisme serebelar.2 Selain itu, dapat terjadi defisit neurologis pascaoperasi.
Studi Klekamp melaporkan morbiditas permanen sebagai komplikasi operasi terjadi
pada 27,5%. Secara statistik, status performa neurologis preoperasi, level tumor pada
spinal, dan terjadinya perdarahan intratumoral merupakan faktor yang signifikan
memengaruhi kejadian morbiditas pascaoperasi.7
Radioterapi
Awalnya, radiasi kraniospinal selalu dilakukan pada pasien dengan ependimoma
high-grade dan pada tumor yang letaknya infratentorial. Kemudian, banyak studi
mendapatkan bahwa kegagalan terapi tersebut disebabkan rekurensi lokal, sementara
relaps cairan serebrospinal sangat jarang. Beberapa senter mulai menetapkan
conformal radiotherapy yang diberikan lokal pada tumor, jika tidak ditemukan bukti
penyebaran pada cairan serebrospinal baik mikroskopik maupun makroskopik.6
Teknik konformal berupa radiasi pada tumor bed (daerah tumor dan vaskulari-
sasinya) dengan daerah jaringan normal seminimal mungkin. Standar terbaru dosis pada
target tumor setidaknya 54Gy di otak, dan dosis lebih besar direkomendasikan pada
residu secara makroskopik.2 Dosis radioterapi intrakranial dapat berkisar 54-59,4Gy
dengan dosis per fraksi l,8-2Gy. Dosis radioterapi kraniospinal adalah 36Gy dengan do-
sTs per fraksi l,8Gy. Untuk anak, dosis dapat direduksi hingga 80% dari dosis dewasa.8
Radioterapi pada anak usia dibawah 3 tahun tidak dianjurkan.
Stereostactic radio-surgery (SRS] dilaporkan memberikan kontrol yang baik pada
ependimoma. Namun, data mengenai penggunaan SRS pada ependimoma masih
sedikit. Rerata dosis yang digunakan pada SRS adalah 15Gy, dengan kesintasan 3 tahun
sekitar 60,1% dan 5 tahun sebesar 32,1%. Efek samping radioterapi pada ependimoma
sama dengan radioterapi pada umumnya, di antaranya gangguan kognitif, gangguan
pendengaran dan penglihatan, retardasi mental, gangguan sistem endokrin, dan lainnya.8

Kemoterapi
Berbagai kemoterapi, baik mono maupun. poli kemoterapi digunakan pada
pasien ependimoma. Termasuk di antaranya regimen MOPP (mustargen, Oncovin,
procarbazine, prednison), etoposide oral, temozolamide, sitarabin intratekal, dan
cisplatin. Namun, kebanyakan studi kemoterapi pada ependimoma merupakan
studi skala kecil. Dengan agen mono kemoterapi, tingkat respons berkisar 11% dan
hanya >5% yang mencapai respons komplit. Cisplatin dinilai berespons lebih baik
dibandingkan kemoterapi lainnya, seperti carboplatin, ifosfamid, dan etoposide.
Kemoterapi memegang peranan penting pada penderita ependimoma kelompok usia
bayi, anak >3 tahun, pasien yang tidak dapat dilakukan radioterapi; dan pasien yang
mengalami rekurensi pascapembedahan dan radioterapi.6,8
VIH.7. Prognosis
Secara garis besar, pasien ependimoma yang menjalani pembedahan dan
radioterapi memilki angka kesintasan yang baik. Prognosis rekurensi lokal dan
kesintasan ditentukan beberapa faktor seperti usia, derajat histologi, reseksi parsial/
total, lokasi tumor, karnofsky performance status scale (KPS), dan dilakukannya
radioterapi pascaoperasi. 610
Usia terlalu muda atau terlalu tua berkaitan dengan prognosis yang buruk. Secara
umum, pasien ependimoma usia dewasa memiliki prognosis yang lebih baik, dengan
angka kesintasan 5 tahun berkisar 56-84,8%.6
Pada anak, lokasi ependimoma yang paling sering di infratentorial yang sulit dilakukan
reseksi total, sehingga prognosis ependimoma pada anak lebih buruk dibandingkan
dewasa.11 Histologi ependimomapadaanakbiasanya ependimoma anaplastik,penggunaan
radioterapi juga terbatas karena efek samping yang ditimbulkan.1 Oleh karena itu, angka
kesintasan 10 tahun pada anak sekitar 64%, sementara pada dewasa berkisar 70-89%.
Tumor pada infan memiliki angka kesintasan yang paling buruk, dimana kesintasan dalam
5 tahun berkisar 42-55%.3 Tumor ependimoma pada infant mengekspresikan CpG island
methylator phenotype dan transcriptional silencing of the polycomb repressive complex 2
yang menyebabkan menurunnya ekspresi diferensiasi gen.2
Histologi tumor juga berpengaruh pada prognosis, yaitu anaplastik mempunyai
prognosis yang lebih buruk. Jika dibandingkan dengan ependimoma derajat rendah,
ependimoma anaplastik pada usia dewasa berisiko kematian tiga kali lipat. Demikian
pula pada anak, ependimoma anaplastik menunjukkan risiko kematian yang lebih
tinggi (51%) dibandingkan ependimoma derajat rendah.11
Tata laksana memengaruhi prognosis ependimoma, yaitu reseksi total sebagai
terapi yang paling efektif,11 menyebabkan prognosis pasien lebih baik dan angka
rekurensi lebih kecil.3 Pada pasien dengan reseksi total, kesintasan 10 tahun
dapat mencapai 50%. Pada ependimoma spinal, reseksi dapat mengurangi risiko
rekurensi.6,7 Radioterapi memberikan manfaat pada reseksi inkomplit ependimoma
derajat rendah dan reseksi komplit ependimoma derajat tinggi, tetapi radioterapi
dinilai tidak memperbaiki kesintasan.6
Ilustrasi Kasi^
Seorang pasien wanita, berusia 50 tahun, datang ke IGD diantar keluarganya
dengan penurunan kesadaran, Sebelumnya pasien memiliki riwayat nyeri kepala
2 bulan sebelumnya dan memberat 2 hari yang lalu disertai muntah-muntah. Dari
pemeriksaan funduscopy didapatkan papilledema. Hasil MRI kepala dengan kontras
menunjukkan hasil batas tumor tegas dengan gambaran hiperintens pada T2 di
daerah ventrikel IV.

Pertanyaan 1.
Tindakan segera apa yang harus dilakukan pada pasien ini?
A. VP shunt
B. Pemberian steroid
C. Radioterapi
D. Kemoterapi
E. Pemeriksaan MRS
Jawaban: A

Pembahasan:
Pada pasien ini didapatkan tanda dan gejala efek desak massa berupa penurunan
kesadaran dimana sebelumnya terdapat nyeri kepala, muntah, dan adanya papilledema.
Pada gambaran MRI kepala dengan kontras menunjukkan hasil batas tumor tegas
dengan gambaran hiperintens pada T2 di daerah ventrikel IV, dapat sesuai dengan
gambaran ependimoma, dimana lokasi tersering infratentorial adalah di ventrikel
IV. Pada pasien karena terdapat gejala dari peningkatan tekanan intracranial dan
gambaran dari hydrocephalus obstructive, maka tindakan segera pada pasien ini
adalah tindakan pemasangan VP shunt.

Pertanyaan 2.
Klasifikasi molekular pada kasus tersebut kemungkinan dapat berupa:
1. ST-SE Supependymoma Balanced Genome
2. PF-SE Supependymoma Balanced Genome
3. PF-EPN A (Anaplastic] Ependymoma Balanced Genome
4. PF-EPN B (Anapalastic) Ependymoma Chromosomal Instability
5. SP-SE Subependymoma 6q deletion
A. 1,2,3
B. 1,2,4
C. 2,3,4
D. 3,4,5
E. 1,3,4

Jawaban: C

Pembahasan:
Pada kasus ini mengarah pada ependimoma dengan lesi fossa posterior.
Klasifikasi Molekular Tumor Ependimoma pada lesi di fossa posterior yaitu: (1) PF-
SE Supependymoma Balanced Genome, (2) PF-EPN A (Anaplastic) Ependymoma
Balanced Genome, (3) PF-EPN B (Anapalastic) Ependymoma Chromosomal Instability.

Daftar Pustaka
1. Villano JL, Parker CK, Dolecek TA. Descriptive epidemiology of ependymal tumours in the United
States. Br J Cancer. 2013;108(11):2367.
2. Kieran Mark W, Eeichler April F, Loeffler Jay S. Ependymoma. Wolters Kluwer; 2014.1-15.
3. Pajtler KW, Witt H, Sill M, Jones DT, Hovestadt V, Kratochwil F, dkk. Molecular classification of
ependymal tumors across all CNS compartments, histopathological grades, and age groups.
Cancer Cell. 2015;27[5):728-43.
4. Samartzis D, Gillis CC, Shih P, O'toole JE, Fessler RG. Intramedulary spinal cord tumors: part i—
epidemiology, pathophysiology, and diagnosis. Global Spine J. 2015;5(05}:425-35.
5. Louis DN, Perry A, Reifenberger G, Von-Deimling A, Figarella-Branger D, Cavenee WK, dkk. The
2016 world health organization classification of tumors of the central nervous system: a summary.
Acta Neuropathol. 2016;131(6):803-20.
6. King J, Kulkarni A. An encyclopedic approach: brain tumor. Chapter: Intracranial ependymomas.
Edisi ke-3. Elsevier Saunders; 2012. h. 435-44.
7. Klekamp J. Spinal ependymomas. Intramedulary ependymomas. Neusurg Focus. 2015;39(2):E6.
8. Zhang X, Wu X, Sheng X, Wang Y, Gao H, Xu L, dkk. Ependymoma diagnosis and treatment progress.
Int J Clin Exp Med. 2016;9(8):15050-7.
9. Armstrong TS, Vera-Bolanos E, Bekele BN, Aldape K, Gilbert MR. Adult ependymal tumors:
prognosis and the MD Anderson Cancer Center experience. Neurooncol. 2010;12(8):862-70.
10. Jung J, Choi W, Do-Ahn S, ParkJH, Kim SS, Kim YS, dkk. Postoperative radiotherapy for ependymoma.
Radiat Oncol J 2012;30(4}:158-164.
11. Amirian ES, Armstrong TS, Aldape KD, Gilbert MR, Scheurer ME. Predictors of survival among
pediatric and adult ependymoma cases: a study using surveillance, epidemiology, and end results
data from 1973 to 2007. Neuroepidemiology. 2012;39(2):116-24.
TUMOR PINEAL
Djohan Ardiansyah

* •

IX. 1. Pendahuluan
Tumor daerah pineal adalah tumor intrakranial yang jarang, dengan kejadian
anak-anak lebih sering daripada dewasa. Tumor daerah ini heterogen berdasarkan
histopatologi, asal tumor, dan respons terapi.
Sebelum berkembangnya teknik operasi, tumor daerah ini tidak direseksi,
sehingga radioterapi menjadi lini pertama terapi tanpa diagnosis jaringan. Namun
saat ini 30% tumor pineal yang jinak bisa disembuhkan melalui eksisi total dengan
morbiditas yang rendah. Untuk tumor pineal yang ganas, peran eksisi, radioterapi,
radiosurgery, atau kemoterapi dapat meningkatkan usia harapan hidup.1

EX.2. Epidemiologi
Angka kejadian pada anak-anak sekitar 3-11% dari seluruh tumor intrakranial,
sedangkan pada dewasa 0,5-1%. Mayoritas (75%) tumor daerah pineal adalah ganas.2

IX.3. Diagnosis
Gejala Minis tumor jenis ini adalah gejala peningkatan tekanan intrakranial akibat
penekanan pada ventrikel III menyebabkan hidrosefalus obstruktif berupa nyeri
kepala, mual dan muntah, lesu, serta penurunan kesadaran. Penekanan tumor dan
infiltrasi tumor pada mesensefalon menyebabkan sindrom Parinaud yaitu gangguan
melirik ke atas (75% kasus). Jika terdapat penyebaran spinal didapatkan gangguan
motorik ekstremitas dan gangguan otonom.2
MRI kepala sangat berguna untuk identifikasi tumor daerah pineal dan
menggambarkan hubungannya dengan daerah sekitar. Pada beberapa kasus dari
gambaran MRI dapat dicurigai suatu jenis tumor tertentu. Germ cell tumors (GCTs] dan
glioma maligna bersifat invasif pada dinding ventrikel III, sedangkan tumor parenkim
pineal, low grade astrocytoma, dan meningioma menunjukkan kompresi luas.3
Konovalov dan Pitskhelauri membagi klasifikasi anatomi dari subtipe tumor
daerah pineal berdasarkan ukuran, lokasi, dan kecenderungan ekspansinya yang
diadopsi oleh Burdenko Neurosurgical Institute, yaitu (Gambar 9.1]:4
a. Tumor yang berlokasi di sisterna kuadrigeminal, dengan diameter sampai 2,5cm
* b. Tumor yang berlokasi di posterior ventrikel III, dengan diameter sampai 2,5cm
c. Tumor dengan ukuran intermediet (kombinasi dari varian pertama dan kedua],
dengan diameter sampai 4cm
d. Tumor besar yang menginvasi seluruh sisterna kuadrigeminal dan posterior
ventrikel III, yang sesekali menginvasi salah satu ventrikel lateral, dengan ukuran
maksimal 6-7cm
e. Tumor raksasa yang menginvasi ventrikel lateral, III, dan IV secara keseluruhan,
dengan ukuran >7cm

Beberapa karakteristik radiologis yang ada pada tumor regio pineal adalah:
1. GTC biasanya merupakan suatu massa'hiperdense homogen; sedangkan teratoma
merupakan massa heterogen multilokuler terdiri dari lipid. Pada pemeriksaan
rontgen kepala terdapat kalsifikasi pineal (70% pada pasien GCTs tetapi tidak
umum pada anak-anak usia <10 tahun).
2. Komponen kistik pada tumor sering pada nongerminomatousgerm cell tumors (NGGCTs)
3. Lesi multipel sering pada GCT, tetapi jarang pada tumor tipe lain
4. Edema peritumoral luas seringkali pada germinoma dibandingkan NGGCT
5. Ekstensi bitalamus terjadi pada 80% germinoma5
Biopsi stereotaktik pada regio pineal dilakukan untuk membuat diagnosis. Risiko
perdarahan pada biopsi daerah ini lebih besar daripada daerah lain, karena banyaknya
struktur vaskular yang dilewati tetapi efek klinis rendah. Selain itu dapat dilakukan
biopsi endoskopi bersamaan dengan ventrikulostomi ventrikel tiga.
Terdapat 3 jenis tumor terbanyak pada tumor regio pineal, yaitu GCTs (59%),
tumor parenkim pineal (30%), dan glioma (5%). Selain itu jugadilaporkanjenislainnya,
yaitu meningioma, ganglioglioma, ependimoma, lipoma, trilateral retinoblastoma,
dan metastasis. Lesi jinak non-tumor juga dapat terjadi pada daerah ini seperti kista
pineal, malformasi vaskular, dan aneurisma van Galen.3

Germ cell tumors (GfTs)


GCT merupakan tumor pineal yang paling sering ditemukan, yaitu 0,5-4% dari
tumor otak pada orang dewasa dan 3-15% pada anak-anak. Tumor ini memiliki
kecenderungan untuk menginvasi cairan serebrospinal (CSS) di otak dan medula
spinalis, sehingga penyebaran lewat CSS merupakan hal yang biasa terjadi. Oleh karena
itu, MRI spinal merupakan hal yang wajib dilakukan ketika ditemukan GCTs di otak.
Germinoma kurang lebih 75% dari semua GCTs atau 45-50% dari semua tumor
pineal; dan terjadi pada usia 10-19 tahun. Tumor ini dapat ditemukan juga pada usia
>30 tahun, namun sangat jarang, berupa choriocarcinoma, embrional carcinoma, dan
tumor yolk sac. Germinoma dan teratoma merupakan tumor murni, sedangkan tipe
lain sebagian besar merupakan campuran GCTs (Tabel 9.1).

Diagnosis banding adalah tumor pineal primer, glioma derajattinngi dan limfoma.
Adanya kalsifikasi pada daerah pineal dapat memperkuat diagnosis germinoma, serta
gambaran butterfly-shaped pada potongan aksial (Gambar 9.2).3
Jenis GCTs yang lain adalah teratoma yang merupakan tumor paling banyak kedua
di daerah pineal, yaitu 15% dari keseluruhan tumor pineal dan terutama pada anak
laki-laki berusia >10 tahun. Teratoma terdiri dari tiga varian, teratoma matur yang
berisi jaringan matur yang berdiferensiasi dengan baik, teratoma imatur yang berisi
jaringan imatur inkomplit yang menyerupai jaringan fetal, dan teratoma dengan
transformasi maligna, sebuah kondisi yang lebih agresif.
MRI dan CT scan menunjukkan massa multikistik dan adanya kalsifikasi
memperkuat diagnosis. Pada MRI, teratoma menunjukkan intensitas tinggi pada
sekuen Tl dan T2 (Gambar 9.3). Spektroskopi menunjukkan peningkatan rasio lipid/
kreatinin akibat adanya jaringan lemak pada tumor. Nilai kolin/kreatinin teratoma
lebih rendah daripada germinoma.
a. MRI kepala potongan sagital Tl dengan kontras menunjukkan massa homogen
yang menekan tegmentum; b. Potongan aksial Tl dengan kontras menunjukkan
gambaran butterfly-shaped yang sesuai dengan germinoma.
Tumor parenkim pineal
WHO membagi tumor parenkim pineal menjadi 4 grup:
1. Pineocytoma [derajat 1)
2. Pineal parenchymal tumors of intermediate differentiation (derajat 2 atau 3)
3. Papillary tumor of pineal region (derajat 3)
4. Pineoblastoma (derajat 4)

1. Pineocytoma
Merupakan tumor WHO derajat I yang jarang dan tumbuh secara lambat, terjadi
pada usia dewasa dengan usia >40 tahun tanpa predileksi jenis kelamin. Biasanya
tumor jenis ini terlokalisir dan menekan struktur di sekitarnya secara progresif.
^ Pineocytoma jarang berukuran lebih dari 3cm dan jarang menyebar melalui cairan
otak. Pada CT scan tampak lesi yang iso- hingga hipoatenuasi. MRI menunjukkan
sinyal isointens di Tl dan hiperintens di T2, serta sangat menyerap kontras.
Adapun sinyal pada sekuens DWI tidak berkurang. Tumor ini dapat menekan
akuaduktus Sylvii dan menyebabkan hidrosefalus yang menimbulkan gejala
peningkatan tekanan intrakranial (Gambar 9.4).
2. Pineoblastoma
Merupakan lesi embrional yang jarang dan sangat ganas pada kelenjar pineal,
biasanya menyerang anak-anak tanpa predileksi jenis kelamin, dan sering
menyebar melalui CSS. Ukuran yang sering ditemui >3cm. Lesi bisa disertai
jaringan nekrotik atau perdarahan. Pada CT scan jarang ditemukan kalsifikasi.
Infiltrasi pada jaringan sekitar sering dijumpai. Komplikasi hidrosefalus juga sering
dijum'pai. Gambaran CT scan menunjukkan massa homogen, berlobus, besar, dan
sedikit hiperdens sebelum pemberian kontras yang menunjukkan kandungan
seluler yang tinggi. Namun pada MRI sekuens Tl, pineoblastoma menunjukkan
iso- hingga hipointens dan menyangat kontras yang heterogen (Gambar 9.5). Pada
sekuen DWI menunjukkan hasil retriksi karena kandungan seluler yang tinggi.
Pada pemeriksaan MRS menunjukkan peningkatan rasio Cho/NAA.3

3. Glioma
Tumor sel glia yang sering menyebar ke daerah pineal adalah astrositoma dan
ependimoma; yaitu tumor glia jinak dari talamus. Tumor ini biasa menginfiltrasi
mesensefalon yang menyebabkan kompresi akuaduktus Sylvii. Gambaran
radiologi berupa lesi tanpa penyengatan kontras dan tidak ditemukan adanya
nekrosis. Hal ini berbeda bila dibandingkan dengan gambaran glioma maligna.
Diagnosis Laboratorium
Pada tumor daerah pineal dapat dilakukan pemeriksaan (3HCG ($-human chorionic
gonadotrophiri) dan AFP {a-fetoproteiri). Peningkatan (3HCG konsisten dengan suatu
choriocarcinoma, walaupun peningkatan sedikit dapat dijumpai pada germinoma
dengan elemen syncytiotrophoblastic. Peningkatan AFP konsisten dengan yolk sac dan
beberapa karsinoma embrional.6
IX.4. Tata Laksana
Pembedahan
Teknik pembedahan pada kasus ini adalah lewat supraserebelar infratentorial,
interhemisfer transkalosal, dan oksipital transtentorial. Teknik ini tergantung pada
derajat dan tampilan anatomi serta kemampuan pengalaman dari dokter bedah saraf.
Teknik yang banyak dipakai adalah supraserebelar infratentorial.

Radioterapi
Radioterapi dengan fraksi 55Gy pada pasien dengan glioma maligna, pineal,
dan GCTs. Radioterapi menjadi pilihan utama pada germinoma karena sangat
radiosensitif. Radiasi spinal 35Gy diberikan pada pasien pineoblastoma atau pasien
dengan penyebaran ke cairan otak.

Kemoterapi
Kemoterapi diberikan pada pasien NGGCT dan anak-anak yang terlalu muda
untuk mendapat radioterapi.6
Pada prinsipnya, tumor pineal ditatalaksana berdasarkan hasil pemeriksaan
penanda tumor. Pada pasien dengan MRI tumor pineal, harus dibedakan dari marker
jenis tumornya apakah termasuk dalam tumor yang dapat dilakukan pembedahan
atau langsung diberikan kemoterapi/radiasi. Pada pasien dengan penanda tumor
yang positif, pembedahan tidak lagi disarankan dan pilihan terapi langsung pada
radiasi atau kemoterapi adjuvan. Sedangkan pada penanda yang negatif, maka dapat
dilakukan operasi atau biopsi stereotaktik sesuai indikasi dan tatalaksana lanjutan
disesuaikan dengan hasil pemeriksaan histologi (Gambar 9.7).7

IX. 5. Prognosis
Prognosis tergantung dari hasil patologi anatomi. Prognosis cukup baik adalah
pure germinoma dan teratoma matur. Prognosis sedang adalah germinoma dengan
peningkatan (3HCG, teratoma imatur, teratoma dengan transformasi maligna, sedangkan
prognosis buruk adalah choriocarcinoma, tumor yolk sac, dan karsinoma embrional.
Uustrasi Kasus
Seorang pasien laki-laki, 45 tahun, datang ke IGD dengan keluhan penurunan
kesadaran sejak 1 hari SMRS. Terdapat riwayat nyeri kepala pada seluruh bagian, skala
nyeri (NPS) 8, disertai muntah terutama saat berbaring. Sebelumnya pasien mengeluhkan
sulit untuk melirik ke atas. MRI kepala kontras menunjukkan hasil sebagai berikut:

Jika pada saat pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar AFP positif meningkat
dengan (3-HCG negatif, maka kemungkinan diagnosis pasien adalah?
A. Germinoma
B. Koriokarsinoma
C. Karsinomayolk sac
D. Karsinoma embryonal
E. Teratoma matur
Jawaban: C
Daftar Pustaka
1. Rooper AH, Samuels MA, Klein JP, editor. Adams and Victor principles of neurology. Edisi ke-5. United
States: McGraw Hill Companies; 2014. h. 565-68.
2. Baehr M, Frostcher M, editor. Duus topical in neurology. Edisi ke-4. New York: Thieme; 2005. h. 261-73.
3. Moschovi M, Chrousos GP. Pineal gland masses. Wolter Kluwer [serial online]. 2018 [diunduh 28
Agustus 2018]. Tersedia dari: UpToDate.
4. Vandergriff C, Opatowsky M, O'Rourke B, Layton K. Papillary tumor of the pineal region. Proc (Bayl
Univ Med Cent). 2012;25(l):78-9.
5. Deiana G, Mottolese C, Hermier M, Louis-Tisserand G, Berthezene Y. Imagery of pineal tumors.
Neurochirurgie.2015:61(2-3):113-22.
6. Ogden AT, Bruce JN. Pineal region tumos. Dalam: Bernstein M, Berger MS. Neurooncology The
Essentials. Edisi ke-2. New York: Thieme; 2008. h. 299-305.
7. Sinabend AM, Bruce JN. Pineal Tumors. Dalam Winn HR, editor. Youmans & Winn Neurological
Surgery. 7th ed. Philadelphia: Elsevier; 2017. p. 1050-4.
TUMOR SARAF KRANIAL
Henry Riyanto Sofyan

'.#

X.l. Pendahuluan
Tumor saraf kranial yang sering ditemui adalah Schwannoma (sebelumnya
bernama neuroma/neurilemmoma), tumor selubung saraf optik, glioma saraf optik,
dan neuroblastoma olfaktorius. Pada Schwannoma, sel tumor bisa tumbuh di sebagian
besar cabang saraf kranial yang diselubungi oleh sel Schwann, kecuali saraf kranial I
dan II. Namun pada beberapa kasus yang jarang, Schwannoma bisa didapatkan dari
pertumbuhan ektopik sel tumor tersebut, seperti pada kasus Schwannoma olfaktorius
pediatrik yang ektopik dari sel Schwann di sekitar sinus paranasal.
Struktur tumor selubung saraf optik biasanya berupa meningioma. Tumor ini
tumbuh dari lapisan araknoid yang menyelubungi saraf optik, disebut juga optic
nerve sheath meningioma (ONSM]. Glioma saraf optik (GSO) merupakan tumor
saraf kranial yang jarang. Predominan ditemukan pada anak usia >7 tahun dengan
neurofibromatosis (NF) tipe I, walau GSO juga bisa muncul tersendiri tanpa NF. Tumor
selubung saraf tepi maligna (TSSTM) atau disebut juga malignant peripheral nerve
sheath tumors (MPNST) adalah tumor ganas saraf kranial yang jarang ditemukan
dengan predominan di saraf trigeminus dan saraf vestibulokoklear. Adapun
neuroblastoma olfaktorius atau esthesioneuroblastoma adalah tumor sel bundar
kecil [small round cell) yang berasal dari epitel olfaktorius.1
X.2. Schwannoma Vestibular
X.2.1. Epidemiologi
Schwannoma saraf kranial yang sering ditemukan adalah Schwannoma vestibular,
yaitu 8% dari tumor intrakranial, 80-90% dari tumor cerebellopontine angle (CPA).
Angka insidensi Schwannoma vestibular mencapai 1:100.000 orang pertahun
dengan usia median 50 tahun. Tumor ini terutama unilateral pada 90% kasus dengan
perbandingan angka sisi kiri-kanan yang seimbang. Tidak ada perbedaan bermakna
insidensi Schwannoma pada kedua jenis kelamin. Schwannoma vestibular bilateral
merupakan salah satu penanda NF tipe 2 dengan insidensi pada usia 30-an. 12

X.2.2. Patofisiologi
Schwanoma berhubungan erat dengan mutasi gen NF2, suatu tumor suppressor
genes. Sebanyak 60% Schwannoma didapati mutasi yang menyebabkan inaktivasi
dari gen NF2. Gen ini memproduksi protein Merlin (Moesin-ezrin-radixin-Iike protein)
yang berfungsi sebagai penghubung membran sel dan aktin filamen antar-protein.
Implikasinya, terjadi inhibisi Rac/PAK, sebuah jalur persinyalan sel yang berperan dalam
proliferasi. Jika gen NF2 termutasi, protein merlin yang diproduksi akan mengalami
perubahan bentuk, sehingga menjadi inaktif dan jalur persinyalan proliferasi sel
menjadi tidak terhambat.2 Selain gen NF2, pada Schwannoma juga ditemukan delesi
kromosom 22q, delesi kromosom lp, duplikasi 9q34, dan duplikasi 17q.2

X.2.3. Gejala Klinis dan Diagnosis


Schwannoma vestibuler timbul di N.VIII di dalam kanalis akustikus interna.
Semakin membesar volume, tumor, semakin jelas efek penekanan massa terhadap
struktur disekitarnya. Struktur yang sering terkompresi adalah N.V (33-71%] dan
N.VII, sedangkan yang jarang adalah N. IX dan X (10%). Jika massa sudah cukup besar,
pons akan terkompresi, hingga menyebabkan hidrosefalus obstruktif.
Sebanyak 90% pasien dengan Schwannoma vestibular mengalami penurunan
fungsi pendengaran di satu sisi. Biasanya penurunan fungsi pendengaran bersifat
gradual dan perlahan, sehingga pasien baru menyadari penurunan fungsi pendengaran
setfilah. oasieu tidak daoat melakukan aktMtas sehari-hari pada satu sisi telinga,
seperti menelepon. Gejala lainnya adalah tinnitus (70%), disekuilibrium (20%), dan
hidrosefalus (4%). Adapun nyeri kepala muncul sebanyak 43% jika besar tumor >3cm.3
Jika pasien memiliki keluhan dan tanda Schwannoma vestibuler, dilakukan
pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan audiometri. Pemeriksaan MRI menunjukkan
massa hipo- atau isointens (1/3 kasus] pada Tl di kanalis akustikus interna dengan
degenerasi kistik hipointens. Ditemukan juga gambaran "trumpeted internal acusticus
meatus (IAM)" akibat pelebaran porus akustikus oleh tumor atau "ice cream cone
appearance". Pada sekuens T2, didapati massa hiperintens heterogen dengan lesi
hipointens pada komponen degenerasi kistik.3
Pemeriksaan audiologi nada murni menunjukkan hilangnya fungsi pendengaran
untuk nada tinggi dengan diskriminasi pembicaraan terganggu. Brainstem auditory
evoked response (BAER] menunjukkan latensi pada gelombang III, V, dan VI.3
Beberapa sistem grading untuk schwannoma vestibuler yang umum digunakan
adalah klasifikasi Sterkers, klasifikasi House, klasifikasi Koos dan klasifikasi Samii.4 Pada
klasifikasi Koos schwannoma vestibuler distratifikasi berdasarkan ekstensi ekstrameatal
dan kompresi batang otak Tumor derajat 1 hanya melibatkan kanalis auditori internus,
derajat 2 sudah mengalami ekstensi ke CPA [cerebellopontine angle) tapi belum
menyentuh batang otak, derajat 3 sudah mengisi seluruh CPA, dan tumor derajat 4 sudah
mengakibatkan pergeseran batang otak dan saraf kranial di sekitarnya (Gambar 10.1).5
Pada klasifikasi Samii schwannoma vestibular dibagi ke dalam derajat Tl hingga
T5 (Gambar 10.2]. Tumor derajat Tl terletak murni di intrameatal, derajat T2 intra
dan ekstrameatal, T3a mengisi CPA, T3b mencapai batang otak, T4a mengompresi
batang otak, T4b mengakibatkan kompresi yang parah dan dislokasi batang otak dan
ventrikel keempat, dan T5 tumor ukuran besar yang melewati midline.6
X.2.4. Tata Laksana
Modalitas penatalaksanaan adalah bedah mikro dan radioterapi, tergantung
dari besar tumor, ekstensi tumor, dan fungsi saraf kranial pada pasien. Pembedahan
dilakukan dengan beberapa teknik. Untuk pasien dengan pendengaran tidak fungsional,
dilakukan operasi dengan akses translabirin. Teknik ini juga dapat digunakan pada
tumor yang berukuran besar. Keuntungan dari teknik ini adalah angka preservasi fungsi
N.VII yang tinggi. Namun, akses translabirin memiliki kelemahan, yakni sulit untuk
mengakses bagian bawah sudut serebelopontin dan foramen magnum serta jugularis.13
Akses retrosigmoid merupakan akses standar, karena memudahkan reseksi
tumor dari yang berukuran kecil di intrakanalikuler, hingga berukuran besar yang
menekan batang otak dengan komponen tumor yang mendominasi di sisterna.
Akses ini digunakan untuk melakukan preservasi fungsi pendengaran. 3 Akses fosa
kranialis media dapat digunakan untuk mengangkat tumor yang mendominasi di
intrakanalikuler.
Radioterapi mulai mendapatkan tempat sebagai modalitas terapi utama, karena
lebih baik dalam mempreservasi fungsi N.VII dan memiliki luaran yang lebih baik
dibandingkan pembedahan mikro. Radioterapi juga memiliki efikasi yang baik untuk
tumor rekuren. Adapun radioterapi stereotaktik terfraksinasi memiliki keuntungan
komplikasi jangka panjang yang lebih sedikit dibandingkan radioterapi konvensional.
Dari sisi pasien, penggunaan radioterapi tidak memerlukan perawatan dan
pembedahan serta lebih cost effective dari segi biaya.1,3
Tidak semua pasien dengan Schwannoma vestibular perlu diterapi. Keadaan
asimtomatik tidak perlu dioperasi mengingat efek samping operasi yang ditimbulkan
lebih buruk dibandingkan gejala yang dirasakan pasien. Studi menunjukkan bahwa
pasien yang diterapi dengan radioterapi stereotaktik terfraksinasi memiliki kualitas
hidup sama dengan pasien asimtomatik yang hanya diobservasi.3

X.2.5. Prognosis
Schwannoma vestibular adalah tumor jinak, jarang bertransformasi menjadi
ganas, dan memiliki angka rekurensi yang rendah. Hal ini berbeda dengan Schwannoma
intrakranial, sakrum, dan spinal yang memiliki rekurensi tumor 30-40%.2
Selain jenis histopatologi, prognosis fungsi saraf kranial dipengaruhi oleh aspek
lain, seperti ukuran tumor dan presentasi klinis, serta kelainan dari pemeriksaan
elektrofisiologi. Semakin kecil ukuran tumor, semakin baik luaran klinis fungsi N.VII.
Semakin besar tumor, semakin cepat juga pertumbuhan yang akan terjadi.

Tumor dengan ukuran lebih besar memiliki angka preservasi fungsi pendengaran
yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan tumor yang kecil memiliki kecenderungan
tumbuh di meatus akustikus interna dan menganggu pendengaran, sedangkan tumor
yang besar tumbuh di sisterna. Pasien dengan hasil BAER yang abnormal, tumor
yang berasal dari N. Vestibularis inferior, dan memiliki opasifikasi di fundus menjadi
penanda luaran pendengaran yang buruk.3

X.3. Meningioma Saraf Optik


X.3.1. Epidemiologi
Meningioma memiliki angka insidensi 1,28-7,8/100.000 populasi dunia
(disesuaikan dengan jenis kelamin dan umur). 4 Tumor ini lebih banyak ditemui
pada perempuan dengan rasio perempuan banding laki-laki mencapai 1,4-2,6:l.5
Meningioma merupakan tumor yang berasal dari meningen yang tergolong jinak, yaitu
80-90% termasuk klasifikasi WHO derajat I, 20-25% derajat II, dan 1-6% derajat III.6

Meningioma saraf optik merupakan tumor yang terjadi pada meningen yang
menyelubungi N. Optikus. Insidensnya 1-2% dari seluruh meningioma, pada pasien
usia pertengahan dan perempuan. 7 Sebanyak 25% terjadi pada anak-anak dan
berasosiasi dengan NF tipe 2. Pada anak-anak, sifatnya lebih agresif dan terutama
pada laki-laki.8

X.3.2. Patofisiologi
Meningioma merupakan tumor jinak dari sel-sel arachnoid cap di vili araknoid.
Biasanya terjadi perlekatan dura yang dapat membuat hiperostosis pada tulang di
sekitarnya.9 Patogenesis meningioma tidak terlepas dari mutasi gen NF2, seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya. Gen NF2 berada di kromosom 22 dan sekitar 60%
meningioma terdapat mutasi gen NF2. Kelainan kromosom yang sering dijumpai
adalah monosomi kromosom 22. Kehilangan kromosom 6q, 9p, 10, 14q, dan 18q
menandakan derajat meningioma yang lebih tinggi. Selain itu, kelebihan lq, 9q, 12q,
15q, 17q, dan 20q juga menandakan derajat meningioma yang lebih tinggi. Delesi
kromosom 9p terjadi pada meningioma WHO derajat III.6

X.3.3. Gejala Klinis dan Diagnosis


Pasien dengan meningioma saraf optik memiliki gejala klinis menurunnya
visus secara perlahan. Selain itu, terdapat proptosis dan kongesti pembuluh darah
sklera.17"8'Pasien akan kehilangan penglihatan sementara yang dipicu oleh melihat
ke satu sisi tertentu atau kesulitan membedakan warna. 7 Pada pemeriksaan fisik,
ditemukan relative afferent pupillary defect (RAPD) dan diskromatopsia, papil atrofi
atau edema, lipatan retina dan koroid, serta pembuluh darah optosiliari kolateral
(Gambar 10.3).7

Secara radiologis, meningioma saraf optik memiliki gambaran khas tram-track


sign, karena bentuknya yang menyerupai rel kereta (Gambar 10.4). Dapat dilihat
gambaran N. Optikus yang melintas di tengah massa. Massa tumor pada N. Optikus
terlihat memiliki batas tegas dengan bentukan tubular sebanyak 60%, pedunkel
25%, dan fusiformis 1 5 % . n Pada MRI dengan kontras, ditemukan penyangatan massa
tumor. Pemeriksaan MRI dengan kontras dapat memberikan gambaran massa dengan
volume kecil.7
X.3.4. Tata Laksana
Meningioma saraf optik masih memiliki dilema, karena merupakan tumor jinak
yang tumbuh sangat perlahan. Operasi yang dilakukan akan menggangu vaskularisasi
saraf optik, sehingga akan menganggu fungsi penglihatan. Selain itu, sulit untuk
memisahkan tumor dengan saraf karena perlekatan tumor, maka observasi ketat
dengan MRI berkala menjadi pilihan tata laksana.17

Pembedahan yang dapat dilakukan pada pasien dengan fungsi penglihatan baik
adalah pengangkatan tumor parsial. Pengangkatan tumor total sekaligus dengan N.
Optikus dapat dilakukan pada pasien yang sudah tidak memiliki fungsi penglihatan.
Pasien dengan meningioma yang berekstensi di belakang rongga orbita merupakan
indikasi dilakukannya operasi pengangkatan massa tumor.17

Radioterapi konvensional dan sterotaktik berperan penting dan memiliki luaran


jangka pendek yang baik. Radioterapi lebih unggul dalam preservasi penglihatan
daripada observasi saja. Namun dapat terjadi komplikasi seperti retinopati dan
kehilangan penglihatan akibat radioterapi. Selain itu, efek samping jangka panjang
lain seperti neoplasia sekunder harus diperhatikan. 17
X.3.5. Prognosis
Karena sifatnya yang jinak, meningioma saraf optik memiliki angka kematian
mendekati 0. Namun tumor dapat tumbuh progresif, sehingga penglihatan dapat
memburuk. 17 Penelitian Kennerdell dkk terhadap 18 pasien dengan meningioma
saraf optik mendapatkan bahwa dari 9 pasien dengan visus >20/40, tidak ada satupun
yang dapat mempertahankan visus dalam waktu >5 tahun.12

X.4. Glioma Saraf Optik


X.4.I. Epidemiologi
Glioma saraf optik (GSO) merupakan tumor pada N. Optikus yang sering terjadi
pada anak-anak, yaitu 2% dari total glioma dan 5% dari glioma pada usia anak Sebanyak
65% tumor terjadi pada dekade pertama kehidupan dan 90% pada dua dekade pertama
kehidupan. GSO merupakan 65% tumor intrinsik saraf optik yang umumnya jinak, jarang
ditemukan maligna. Tempat predileksinya di N. Optikus intraorbital (47%), intraorbital dan
intrakranial (26%), intrakranial dan intrakiasma (12%), dan kiasma optik (5%). Sebanyak
25% pasien GSO memiliki NF tipe 1 dan sebanyak 15% pasien NF menderita GSO.7

X.4.2. Patofisiologi
Glioma saraf optik merupakan tumor jinak dengan jenis histopatologi sebagian
besar astrositoma pilositik yang ditandai dengan mutasi gen pada mitogen-activated
protein kinase (MAPK). Astrositoma pilositik memiliki predileksi pada garis tengah
neuraksis seperti diensefalon, jaras optik, hipotalamus, dan batang otak.13
Dalam sistem saraf pusat, gen MAPK berperan dalam pembentukan memori
baru dan persepsi nyeri. MAPK juga berperan dalam neurogenesis kortikal serta
perkembangan diensefalon dan serebelum. Pada model gen knock-down, MAPK
berfungsi sebagai promoter neuron dan merepresi diferensiasi menjadi astrosit. Oleh
karena itu, fungsi MAPK secara spesifik dalam setiap jenis sel perlu diinvestigasi lebih
lanjut untuk mengetahui fungsi gen MAPK dalam astrositoma pilositik.14
Pada astrositoma pilositik, mutasi yang sering adalah fusi dari BRAF-KIAA1549
(70%). Terdapat juga delesi atau translokasi BRAF dengan gen lain (5%), mutasi
V600E (5%), mutasi NF1 (8%), mutasi FGFR1 (<5%).13 Mutasi-mutasi tersebut
menyebabkan aktivasi jalur persinyalan MAPK secara terus menerus (Gambar 10.5).
X.4.3. Gejala Klinis dan Diagnosis
Glioma optik memiliki manifestasi klinis eksoftalmus, kelainan gerak otot
ekstraokular, kongesti pembuluh darah sklera, penurunan fungsi penglihatan, dan
kehilangan kemampuan melihat warna.1,7"8 Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan
RAPD dan diskromatopsia, atrofi papil, edema papil, atau mungkin papil normal, serta
oklusi vena sentral (Gambar 10.6).
Pada pasien dengan glioma optik ganas, penurunan fungsi penglihatan dapat
menurun dengan cepat, nyeri pada mata, progresi dari gejak4 yang sebelumnya
unilateral menjadi bilateral, serta terjadi kebutaan dengan cepaty
Terdapat kolateralisasi pembuluh darah vena akibat obstruksi vena retrobulbar.
Diskus menjadi berwarna pink akibat sirkulasi lamellar dari N. Optikus10
Modalitas radiologis yang dipilih untuk mendiagnosis GSO adalah MRI,
ditemukan penebalan N. Optikus berbentuk tubular atau fusiformis dengan kinking
pada N. Optikus. Didapatkan )uga adanya penebalan intensitas ganda (Gambar 10.7)
akibat gliomatosis perineural. Glioma optik maligna dapat memunculkan gambaran
keterlibatan kiasma optik.7 V^_^_
X.4.4, Tata Laksana
Terdapat beberapa modalitas terapi, seperti kemoterapi, radioterapi, dan pembe-
dahan berdasarkan pertimbangan klinis, status fungsional, status perkembangan, dan
ukuran tumor. Kemoterapi merupakan modalitas utama terutama pada anak-anak,
karena dapat mengurangi kebutuhan radioterapi dan pembedahan. Kemoterapi juga
digunakan pada pasien dengan penurunan fungsi penglihatan. Kemoterapi lini per-
tama adalah vinkristin dan karboplatin. Lini kedua seperti cisplatin, etoposide, dan
vinblastin diberikan pada pasien yang resisten atau relaps.15
Radioterapi hanya digunakan pada tumor yang tidak terkontrol oleh kemoterapi dan
pembedahan. Efek radioterapi seperti disfungsi endokrin, penurunan fungsi neurokognitif,
dan komplikasi seperti stroke pada pasien. Radioterapi tidak digunakan sebagai terapi
awal pasien, khususnya pada anakberusia <5 tahun dan pasien neurofibromatosis.15
Pembedahan umumnya pengangkatan tumor parsial yang bertujuan untuk
debulking. Hal ini disebabkan oleh sifat tumor yang jinak dengan pertumbuhan yang
lambat dan pengangkatan total dapat menyebabkan kebutaan pada pasien. Pengang-
katan parsial dianggap cukup dalam mengontrol pertumbuhan dan gejala tumor
pasien. Tumor yang menginfiltrasi hingga hipotalamus dan diensefalon atau menye-
babkan kenaikan tekanan intrakranial dapat dilakukan pembedahan. Tumor yang
terletak hanya pada rongga intraorbita anterior tidak disarankan untuk dilakukan
pembedahan.15 Belum ditemukan tata laksana optimal untuk glioma optik maligna.7

X.4.5. Prognosis
Pasien dengan glioma optik memiliki prognosis kesintasan yang baik. Biasanya
pada beberapa tahun pertama kehidupan akan terlihat pertumbuhan yang menjadi
stabil setelah remaja. Namun, jika tumor sudah menginfiltrasi kiasma, hipotalamus,
dan ventrikel III, prognosis kesintasan berkurang drastis. Pasien dengan keterlibatan
hipotalamus memiliki mortalitas 50%. Prognosis fungsional penglihatan pasien buruk
terutama pada pasien yang datang dengan gangguan visus. Pasien dengan NF tipe 1
memiliki pertumbuhan tumor yang lebih stabil dibandingkan glioma optik sporadis.715
Pasien dengan glioma optik maligna memiliki prognosis buruk. Kedua mata akan
terasa nyeri dan mengalami penurunan tajam penglihatan dalam waktu 6-8 minggu.
Kematian biasanya terjadi 6-9 bulan setelah gejala pertama.7
X.5. Tumor Selubung Saraf Tepi Maligna
X.5.1. Epidemiologi
Tumor selubung saraf tepi maligna (TSSTM) adalah tumor ganas yang mencakup
<5% tumor jaringan lunak. Tumor ini memiliki insidensi 0,001% dari populasi umum.
Penelitian yang dilakukan oleh L'Heureux-Lebeau dkk menemukan 60 kasus TSSTM
saraf kranial.16 Umumnya tumor ini ditemukan pada dekade ke-3 hingga ke-6 kehidupan.
TSSTM juga berasosiasi dengan NF tipe 1, yaitu ditemukan pada rentang usia 28-36
tahun. Tidak ada predileksi jenis kelamin pada TSSTM.17 Hal ini berbeda dengan tumor
saraf kranial yang 1,5 kali lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan. 1617

X.5.2. Patofisiologi
Pada TSSTM, ditemukan inaktivasi gen NF1, CDKN2A, dan PRC2. Gen NF1 mengode
neurofibromin RasGAP, sehingga mutasi akan menyebabkan inaktivasi dan menyebabkan
peningkatan aktivitas RAS. Hilangnya fungsi PRC2 akibat delesi atau mutasi SUZ12
atau EED menyebabkan penurunan H3K27me3 dan peningkatan H3K27ac, sehingga
mengamplifikasi transkripsi RAS. Gen CDKN2A mengode p l 6 dan pl4ARF yang
meregulasi siklus sel. Kehilangan fungsi ini akan mempromosikan proliferasi. Gen TP53
ditemukan bermutasi pada 42% TSSTM, hingga meningkatkan proliferasi tumor.17

X.5.3. Klinis dan Diagnosis


TSSTM pada saraf kranial memiliki predileksi di N. Vestibulokoklear (60%), N.
Trigeminal (27%), N. Fasialis (10%), dan 3% sisanya di saraf kranial lain.16 Keterlibatan
N. Vestibulokoklear dapat menyebabkan penurunan fungsi pendengaran, tinnitus,
ketidakseimbangan, atau vertigo. Pada keterlibatan N. Trigeminus didapatkan adanya
nyeri atau defisit sensorik pada wajah, berkurangnya refleks kornea, dan disfungsi
otot mastikasi. Oftalmoplegia dapat terjadi diikuti disfungsi nervus kranialis III,
rv, atau VI.16 Gejala-gejala tersebut dapat muncul dalam waktu singkat atau lama.
Schwannoma N. Trigeminus dapat menyebabkan gejala dalam 2-3 tahun. Namun,
TSSTM N. Trigeminus menyebabkan gejala dalam 2,8 bulan.16
Gambaran MRI dari TSSTM dapat berupa gambaran tumor neurogenik tetapi tidak
spesifik. Dari gambaran MRI, didapati adanya massa lobular yang besar tanpa "target
sign" dengan gambaran hemoragik. Penyangatan perifer merupakan gambaran dari
Tumor Selubung Saraf Tepi Jinak (TSSTJ).18 Ukuran yang lebih besar dari 5cm, tepi
infiltratif, dan penyangatan heterogen merupakan penanda TSSTM. Kompresi dan
invasi lokal lebih sering terjadi pada TSSTM.16

X.5.4. Tata Laksana


Tujuan tata laksana TSSTM adalah pengangkatan total massa tumor, karena dapat
meningkatkan kesintasan. Namun, hal ini jarang dapat terjadi pada lokasi saraf kranial
yang sulit. Oleh karena itu, dilakukan terapi adjuvan untuk memperlambat progresi
tumor dengan radioterapi sebesar 50-60Gy dapat memperpanjang kesintasan.
Penggunaan kemoterapi memiliki hasil inkonklusif.16

X.5.5. Prognosis
Prognosis TSSTM dapat dibilang buruk. Kesintasan 1 tahun adalah 33%. Pada
28 pasien tanpa radioterapi, kesintasan 1 tahun hanya 12%. Pada 20 pasien dengan
radioterapi, kesintasan 1 tahun mencapai 65%. Oleh karena itu, radioterapi dapat
memperpanjang kesintasan pada TSSTM.

X.6. Esthesioneuroblastoma
X.6.1. Epidemiologi
Esthesioneuroblastoma merupakan nama lain dari neuroblastoma olfaktori.
Hingga saat ini, hanya didapati <1000 kasus di dunia. Esthesioneuroblastoma sendiri
mencakup 3-6% tumor rongga hidung. Penyakit ini dapat diderita oleh pasien berusia
3-78 tahun dengan distribusi bimodal pada dekade kedua dan kelima.19

X.6.2. Gejala Klinis dan Diagnosis


Pasien dengan esthesioneuroblastoma biasanya datang dengan epistaksis
rekuren atau penyumbatan pada hidung. Tumor di rongga nasal dapat terlihat diikuti
dengan hiposmia. Pasien juga dapat mengalami sakit kepala, gangguan penglihatan,
dan rinorrhea, serta nyeri di wajah atau gigi.19
Pada pemeriksaan MRI, didapati adanya tumor pada pelat kribiformis yang
berekstensi ke fosa kranial anterior, orbita, dan sinus paranasal. Pada sekuens Tl,
massa biasanya isointens terhadap substansia grisea, sedangkan pada sekuens T2
didapati massa iso- hingga hiperintens. Pascapemberian kontras tampak penyangatan
inhomogen (Gambar 10.8).

Gambaran radiologi pada esthesioneuroblastoma merupakan gambaran yang


penting mengingat klasifikasi Kadish untuk esthesioneuroblastoma adalah staging
untuk pemilihan tata laksana dan prognosis (Tabel 10.1).
X.6.3. Tata Laksana
Pada Kadish stage A, reseksi saja sudah efektif, sedangkan pada stage B pembedahan
dikombinasikan dengan radioterapi. Pada tumor yang besar (Kadish stage C) diperlukan
adjuvan preoperatif, seperti kemoterapi atau radioterapi. Terapi adjuvan dapat
meningkatkan kesintasan dan mencegah terjadinya rekurensi.1'19 Pada metasatasis
kelenjar getah bening servikal, dapat dilakukan diseksi kelenjar yang terlibat.1

X.6.4. Prognosis
Estesioneuroblastoma memiliki prognosis yang baik. Pada Kadish stage A dan
B, tidak ada laporan pasien yang meninggal. Pada Kadish stage C, 7 dari 26 pasien
meninggal dalam 8 tahun. Pasien dengan ekstensi tumor hingga metastasis memiliki
kesintasan <1 tahun.19
Dari sisi rekurensi, esthesioneuroblastoma memiliki angka bebas progresi 5 tahun
sebesar 58-83%. Pasien dengan reseksi total dapat mengalami rekurensi 14% dengan
rerata follow up 8 tahun. Adapun rerata rekurensi terjadi pada 2-6 tahun pascaterapi
inisial. Namun, terapi untuk tumor rekuren memiliki angka kesintasan dan rekurensi
yang sama efektifnya dibandingkan penyakit awal.19

Daftar Pustaka
1. Wowra B, Tonn J. Tumors of the cranial nerves. Dalam: Tonn J, Westhpal M, Rutka JT, Grossman SA.
Neuro-oncology of CNS tumors. New York: Springer Link; 2006.
2. Antonescu CR, Louis DN, Hunter S, Perry A, Reuss DE, Stemmer-Rachamimov AO. Schwannoma.
Dalam: Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee WK, Ellison DW, Figarella-Branger D, dkk. WHO
classification of central nervous system. Edisi ke-4. Lyon: IARC; 2016.
3. Arnout 0, Parsa AT, Post KD. Vestibular schwannoma. Dalam: Winn HR. Youmans and Winn
neurological surgery. Edisi ke-7. New York: Elsevier; 2017.
4. Baldi I, Engelhardt J, Bonnet C, Berteaud E, Gruber A, dkk. Epidemiology of meningiomas.
Neurochirurgie. 2018;64[1):5-14.
5. Park BJ KH, Sade B, Lee JH. Epidemiology. Dalam: Lee JH, editor. Meningiomas: diagnosis,
treatment, and outcome. London: Springer Verlag; 2008. h. 11-4.
6. Perry A, Louis DN, Budka H, Von-Deimlig A, Sahm F, Rushing EJ, dkk. Meningioma. Dalam: Louis
DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee WK, Ellison DW, Figarella-Branger D, dkk. WHO classification
of central nervous system. Edisi ke-4. Lyon: IARC; 2016.
7. Wang MY, Spoor TC. Prechiasmal pathways-compression by optic nerve and sheath tumors.
Dalam: Yanoff M, Duker J. Ophthalmology. Edisi ke-5. New York: Elsevier; 2019.
8. Dolman PJ, Chung Y. Neurogenic tumors. Dalam: Lambert SR, Lyons CJ. Aylor and Hoyt's pediatric
ophthalmology and strabismus. Edisi ke-5. New York: Elsevier; 2017.
9. Nanda A, Bir SC, Konar S, Maiti T, Kalakoti P, Jacobsohn JA, dkk. Outcome of resection of WHO grade
II meningioma and correlation of pathological and radiological predictive factors for recurrence.
J Clin Neurosci. 2016;31:112-21.
10. Freund KB, Sarraf D, Mieler WF, Yannuzzi LA. Congenital and developmental anomalies of optic
nerve. Dalam: Freund KB, Sarraf D, Mieler WF, Yannuzzi LA. The retinal atlas. Edisi ke-2. New
York: Elsevier; 2017.
11. Midyett FA, Mukherji SK Optic nerve meningioma. Dalam: Midyett FA, Mukherji SK. Orbital
imaging. New York: Elsevier; 2015.
12. Kehnerdell JS, Maroon JC, Malton M, Warren FA. The management of optic nerve sheath
meningiomas. Am J Ophthalmol. 1988;106f4):450-7.
13. Collins VP, Tihan T, Vandenberg SR, Burger PC, Hawkins C, Jones D, dkk. Pilocytic astrocytoma.
Dalam: Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee WK, Ellison DW, Figarella-Branger D, dkk. WHO
classification of central nervous system. Edisi ke-4. Lyon: IARC; 2016.
14. Jones DTW, Gronych J, Lichter P, Witt O, Pfister SM. MAPK pathway activation in pilocytic
astrocytoma. Cell Mol Life Sci. 2012;69(11):1799-811.
15. Goodden J, Mallucci C. Optic pathway hypothalamic gliomas. Dalam: Winn HR. Youmans and Winn
neurological surgery. Edisi ke-7. New York: Elsevier; 2017.
16. L'Heureux-Lebeau B, Saliba I. Updates on the diagnosis and treatment of intracranial nerve
malignant peripheral nerve sheath tumors. OncoTargets Ther. 2013;6:459-70.
17. Reuss DE, Louis DN, Hunter S, Perry A, Hirose T, Antonescu CR. Malignant peripheral nerve sheath
tumour. Dalam: Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee WK, Ellison DW, Figarella-Branger D,
dkk. WHO classification of central nervous system. Edisi ke-4. Lyon: IARC; 2016.
18. Grant LA, Griffin N. Soft tissue imaging. Dalam: Grant LA, Griffin N. Grainger and Allison's
diagnostic radiology essentials. Edisi ke-2. New York: Elsevier; 2019.
19. Sheehan JM, Payne R. Esthesioneuroblastomas. Dalam: Winn HR. Youmans and Winn neurological
surgery. Edisi ke-7. New York: Elsevier; 2017.
2 0. Ajtai B, Masdeu JC, Lindzen E. Structural imaging using magnetic resonance imaging and computed
tomography. Dalam: Darroff RB, Jankovic J, Mazziotta JC, Pomeroy SC. Bradley's neurology in
clinical practice. Edisi ke-7. New York: Elsevier; 2016.
PRIMARY CENTRAL NERVOUS
SYSTEM LYMPHOMA (PCNSL)
Rini Andriani, Indah Chitra
-

XI.l. Pendahuluan
Limfoma SSP primer atau primary central nervous system lymphoma (PCNSL),
merupakan bentuk ekstranodal dari limfoma non-Hodgkin [LNH) yang dapat timbul
pada jaringan otak, mata, selaput otak, maupun medula spinalis tanpa adanya
limfoma sistemik lainnya.1"3 Tumor ini merupakan bentuk varian yang jarang dari
LNH ekstranodal, dapat timbul pada penderita dengan sistem imunitas yang baik
(imunokompeten) maupun menurun (imunosupresi). Berbeda dengan tumor otak
primer lainnya, PCNSL memiliki respons yang sangat baik terhadap kemoterapi dan
radioterapi, walaupun lebih buruk dibandingkan dengan limfoma ekstrakranial. Saat ini
obat-obatan kemoterapi terbaru membuat angka kesintasan penderita PCNSL semakin
baik, namun penatalaksanaannya masih menjadi tantangan di bidang neuro-onkologi.4

XI.2. Epidemiologi
Angka kejadian PCNSL mengalami fluktuasi, yaitu meningkat pada tahun
1980 hingga pertengahan tahun 1990, tetapi kemudian mengalami penurunan.
Peningkatan pada pertengahan tahun 1990 diduga karena pandemik penyakit human
immunodeficiency virus /acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS), sedangkan
pada tahun 1980 terjadi pertumbuhan populasi usia tua yang tinggi.14
PCNSL terutama pada penderita dengan penekanan sistem imunitas atau
imunosupresi (HIV/AIDS, pasien transplantasi organ, atau pasien yang mendapat
obat-obat penekan sistem imunitas).14 Kejadian PCNSL jarang pada pasien
imunokompeten, yaitu hanya sebesar 4% dari keseluruhan tumor intrakranial dan
4%-6% dari limfoma ekstranodal.1-2-4'5 Diperkirakan 1500 pasien baru didiagnosis
setiap tahunnya di Amerika Serikat.4,5
Beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan angka kejadian PCNSL pada pasien
dengan berusia >60 tahun, dengan angka tertinggi terjadi pada usia 70-79 tahun (4,3 per
100.000 populasi per tahun). Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.14
Kasus langka PCNSL telah dilaporkan pada anak-anak dengan usia rata-rata 14 tahun.2

XI.3. Patofisiologi
Mekanisme seluler dan molekuler yang menyebabkan infiltrasi sel neoplastik
limfositik ke susunan saraf pusat masih belum jelas. Lazimnya di SSP sangat sedikit
mengandung kelenjar limfoid dan masih merupakan misteri apakah transformasi
malignansi terjadi secara lokal pada sirkulasi normal limfosit SSP atau terjadi secara
sistemik pada subpopulasi limfosit yang memiliki kecenderungan untuk bersirkulasi
ke SSP. Kecenderungan tersebut difasilitasi oleh CD44 dan CD 18 yang merupakan sel
spesifik permukaan molekul adhesi dan juga oleh berbagai reseptor kemokin.
Penyebaran sel maligna limfoid di SSP terjadi karena adanya interaksi kompleks
dari molekul selektin dan adherin, yaitu molekul adhesi CD44 dan reseptor protein
transmembran Fas (CD95). Penyebaran PCNSL ke ekstrakranial yang sangat jarang
menunjukkan bahwa PCNSL berasal dari limfosit neoplastik di perifer yang berhasil
dieradikasi oleh sistem imunitas yang baik. Apabila terjadi penyimpangan pada sistem
imunologi maka sel maligna dari PCNSL dapat bertahan hidup. Tingginya insidensi
PCNSL pada penderita imunosupresi memperlihatkan bahwa terdapat keterlibatan
kuat sistem imun dalam patogenesis PCNSL.2
Sebagian besar (>90%) PCNSL adalah jenis limfoma sel B besar difus [diffuse
large B cell lymphomas/DLBCL), sisanya adalah jenis limfoma Burkitt, limfoma derajat
rendah, dan limfoma sel T. Limfoma SSP primer jenis DLBCL memiliki gambaran
secara patologi berupa sel tumor dengan proliferasi sangat tinggi dan pola pertum-
buhan secara angiosentrik serta secara difus menginfiltrasi susunan saraf pusat.15
Secara profil genetik non-SSP DLBCL terdiri dari 3 subgrup yaitu:15-6
1 Germinal center B-cell like (GCB)
2. Activated B-cell like (ABC)
3. Tipe 3

Gambaran PCNSL pada pewarnaan dengan menggunakan antibodi ternyata


sesuai dengan subgrup GCB dan ABC, tetapi yang terbanyak adalah tipe ABC.15 Secara
molekuler PCNSL mempunyai gambaran khas berupa ekspresi gen MUM11, BCL61,
dan CD10 yang secara konsisten ditemukan pada subgrup GCB dan ABC.1 Pada DLBCL
sistemik subgrup ABC ini berkaitan dengan penyakit yang bersifat progresif dan
memiliki prognosis buruk.15 Selain itu DLBCL subgrup ABC sering kali mengalami
mutasi pada jalur reseptor sel B yang akan memengaruhi jalur target di bawahnya,
yaitu nuclear factor kappa B (NFkB) terutama mutasi pada MYD88 dan CD79B.1
Pada PCNSL terjadi peningkatan persentase mutasi MYD88 dan CD79B sebesar
29%-86%, namun peningkatannya lebih rendah pada DLBCL sistemik subgrup
ABC. Hasil ini menunjukkan bahwa jalur mutasi tersebut berperan penting dalam
pemeliharaan kelangsungan hidup sel maligna pada PCNSL, sehingga dapat menjadi
pilihan pengobatan menggunakan terapi target [targeted therapy).15

• . • • • • • • " " • • : . • • ' . • • • . . . •


: r :
: . •• : • • • ' • . ' • • ' • '• • • . . •• • • • • • . .' . • • - ' . •• •.. . . . : , • • •'• ••'•:• •• ••. ..".. : V. r - • '. . '• ' : : : • • • . • - . ' • . . . . ^ : • - • ' . . • • : --v. \ - -^ •

dBra { '1' " ' ' ' '


Gambar 11.1. Gambaran Histologi PCNSL5
Gambar 11.1 menunjukkan gambaran histologi PCNSL; (A] Pewarnaan
Hematoxylin/eosin (H&E) dengan gambaran pola pertumbuhan secara angiosentrik.
(B) Dengan pembesaran lebih tinggi H&E terlihat pembuluh darah yang dikelilingi
oleh sel PCNSL yang infiltratif. (C,D dan E] Pemeriksaan dengan imunohistokimia
(IHK) BCL6, MUM1 secara berurutan dan algoritma Hans. Sebagian besar PCNSL
adalah subtipe nongerminal senter dan memperlihatkan pola pewarnaan yang sama,
yaitu dengan CD10 negatif (C), BCL6 positif (D), dan MUM1 positif (E].5

XI.4. Diagnosis
Gejala yang muncul pada penderita PCNSL sering kali berupa gejala neurologis
yang ringan dan tidak khas, sehingga membutuhkan waktu untuk menegakkan
diagnosis PCNSL. Berbeda dengan tumor otak lainnya, nyeri kepala jarang ditemukan,
melainkan gangguan fungsi kognitif yang paling sering timbul (>60%), diikuti gejala
fokal neurologis lainnya, peningkatan tekanan intrakranial (33%], serta kejang (11%-
20%).5,7'8 Oleh karena sampai saat ini belum ada pemeriksaan neuropsikologi yang
standar, maka minimal pemeriksaan Mini-Mental Status Examination (MMSE) atau
MoCA-Ina harus dimonitor secara serial untuk mengevaluasi gangguan fungsi kognitif.6
Pada PCNSL dapat melibatkan okular hingga 20% dengan bentuk uveitis posterior
yang resisten terhadap steroid. Gejalanya biasanya bilateral dan menyebabkan
gangguan visus atau vitreus berupa sensasi floaters yang tidak disertai nyeri.
International Primary CNS Lymphoma Collaborative Group (IPCG) telah membuat
suatu panduan evaluasi dasar diagnostik [staging) pasien PCNSL (Tabel 11.1] untuk
memahami perluasan penyakit dan mengonfirmasi bahwa limfoma hanya terdapat di
SSP, termasuk melibatkan pemeriksaan bola mata menggunakan slitlamp.6'7

Staging meliputi pemeriksaan Minis neurologis lengkap dan fungsi kognitif


beserta faktor risikonya, pemeriksaan HIV, enzim laktat dehidrogenase (LDH) serum,
CT scan (thoraks, abdomen, dan pelvis], ultrasonografi (USG] testis pada pasien
laki-laki tua, pemeriksaan intraokular, sitologi dan analisis cairan serebrospinal
(CSS] lengkap, serta MRI kepala dengan kontras. Jika terdapat lesi intraokular harus
dibiopsi. Pemeriksaan bone marrow puncture (BMP] jarang dan hanya jika benar-
benar diperlukan untuk mengonfirmasi bahwa lesi hanya di intraserebral.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan MRI otak dengan axial fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR)
dan Tl pre- dan pascakontras merupakan metode pilihan utama untuk mendiagnosis
dan mengikuti perkembangan {follow up) PCNSL.35 9 Pada 95% PCNSL terdapat
gambaran penyangatan kontras patologis yang homogen pada massa tumor dengan
batas yang jelas, disertai edema vasogenik di sekitarnya (peritumoral), seperti pada
Gambar 11.2. Jarang dijumpai lesi tumor yang tidak menyangat kontras dan gambaran
nekrosis.5'7"10
Jumlah lesi tumor umumnya tunggal/soliter (65%-66%),5'8 kecuali pada penderita
PCNSL dengan imunosupresi lebih sering multipel dengan penyangatan pada daerah
tepi (perifer) dibandingkan penyangatan yang homogen.9 Meskipun jarang, PCNSL
dapat timbul sebagai lesi abnormal yang menyangat kontras pada saraf kranial dan
saraf radikular atau penyangatan pada leptomeningeal di gambaran MRI.9
Karakteristik gambaran pencitraan neurologi lainnya berupa sinyal yang rendah
pada sekuens T2 dan difusi terbatas pada sekuens diffusion-weighted imaging
(DWI). Gambaran ini disebabkan oleh selularitas tinggi dengan sel yang padat
dan rasio antara nuklear dengan sitoplasma yang tinggi.9 Seluruh fitur radiologi
ini dapat membantu membedakan PCNSL dari kondisi lain, seperti infeksi, lesi
demielinasi tumefaktif atau glioma. 89 Secara anatomi, supratentorial merupakan
lokasi tersering PCNSL [87%), diikuti oleh lobus frontoparietal (39%]. Adapun
lokasi yang lebih jarang di mata (15%-25%), CSS (7%-42%), dan yang paling jarang
adalah lokasi di medula spinalis.5
Cairan Serebrospinal
Keterlibatan CSS dan mata berupa limfoma intraokular pada pasien dengan
PCNSL tipe DLBCL terjadi pada 15%-20% dan 5%-20%.9 Jika tidak ada kontra
indikasi seperti peningkatan tekanan intrakranial, harus segera dikerjakan pungsi
lumbal untuk mengevaluasi CSS. Penegakan diagnosis melalui pemeriksaan sitologi
CSS hanya 10%-20% positif, sehingga perlu dilakukan dengan metode flowcytometry
berupa'immunophenotyping yang memiliki sensitivitas yang lebih tinggi.13,9
Metode pemeriksaan lain adalah deteksi adanya imunoglobulin rantai panjang
(mutated immunoglobulin heavy chain/lgti] yang mengalami mutasi melalui
polymerase chain reaction (PCR). Metode ini lebih efisien dan sensitif dapat
memberikan hasilyang positif hingga 60%. Ditemukannya sel limfoma dalam CSS atau
di cairan vitreus disertai gambaran klinis dan radiologi yang mengarah kepada PCNSL
dapat meniadakan kebutuhan biopsi stereotaktik otak untuk memastikan diagnosis.3
Namun, biopsi ini tetap direkomendasikan pada hampir seluruh kasus PCNSL yang
layak operasi tanpa harus menunggu hasil dari pemeriksaan CSS.19

Serum Darah (Serologi)


Tingginya angka PCNSL pada pasien dengan imunosupresi, maka pemeriksaan
serologi HIV harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi HIV. Pada
pasien yang akan direncanakan pengobatan dengan kemoterapi maupun imunoterapi
juga harus dilakukan pemeriksaan serologi lain, yaitu pemeriksaan darah lengkap,
koagulasi, fungsi ginjal dan hati, serta serologi hepatitis B dan C.10 Pemeriksaan
serologi rutin lain adalah LDH.6'710

Penilaian Oftalmologi
Keluhan pandangan kabur, floaters, dan penurunan tajam penglihatan merupakan
gejala dari limfoma intraokular yang cukup sering, sehingga dibutuhkan pemeriksaan
oftalmologi yang teliti. Pemeriksaan oftalmologi dengan menggunakan funduskopi
dan slit lamp harus dikerjakan pada semua pasien PCNSL untuk menyingkirkan
adanya limfoma intraokular.310
Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dengan imunohistokimia (IHK) dari biopsi jaringan
otak merupakan metode pilihan untuk mendiagnosis PCNSL, sesuai dengan klasifikasi
WHO. Pemeriksaan IHK yang dikerjakan adalah penanda sel pan-B, (CD19, CD20,
PAX5), BCL6, MUM1/IRF4, dan CD10.1'3

XI.5. Tata Laksana


Pada awalnya tata laksana PCNSL hampir sama dengan tata laksana sistemik DLBCL,
namun kemoterapi sistemik inefektif karena adanya sawar darah otak.1 Secara garis
besar, tata laksana PCNSL meliputi pembedahan, kortikosteroid, radiasi, kemoterapi,
dan high dose chemotherapy and stem cell transplantation (HDC/SCT).1,3,7'8,10
-
1. Pembedahan
Peran reseksi pada PCNSL sangat terbatas, karena sifat infiltratif limfoma.
Pada kondisi tertentu, terapi pembedahan malah dihindari dan dinilai tidak
memberikan perbaikan survival, berkaitan dengan besarnya risiko infiltrasi.1
Namun anggapan ini hanya didasarkan pada studi retrospektif skala kecil. Dengan
perkembangan teknik operatif, pembedahan dinilai mampu memberikan luaran
yang baik. Sebuah studi German Primary CNS Lymphoma Study Group-1 (G-PCNSL-
SG-1) fase III melaporkan bahwa pembedahan memperpanjang progression-free
survival dan kesintasan pada PCNSL.1,3,8
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan tata laksana inisial yang mampu memberikan respons
parsial (regresi) secara radiologi pada 40% pasien dengan efek sitolitik dan efektif
memperbaiki sawar darah otak.1,7,9 Namun, pemberian steroid dapat memberikan
penilaian negatif palsu, sehingga sebaiknya dihindari sebelum biopsi.1,7
3. Radiasi
Whole brain radiation therapy (WBRT) merupakan tata laksana yang efektif,
karena PCNSL dapat berupa lesi yang mikroskopik dan bersifat difus. Dosis
radiasi yang disarankan oleh Radiation Therapy Oncology Group (RTOG) berkisar
23-50Gy, dengan atau tanpa booster pada lesi. Protokol yang paling spring
digunakan adalah 40-45Gy tanpa booster (l,8-2Gy per fraksi). Total dosis lebih
tinggi dan hiperfraksinasi tidak memberikan manfaat, sedangkan total dosis
yang lebih rendah mengurangi efek neurotoksisitas namun meningkatkan angka
kekambuhan.3 Walaupun WBRT saja memberikan respons rate yang baik (50%],
namun tidak memperbaiki angka kesintasan. Pasien yang hanya mendapat tata
laksana WBRT saja, menunjukkan kesintasan median sebesar 12-18 bulan, dengan
angka kesintasan 5 tahun bervariasi dari 18-35%. 7 Selain itu, angka kekambuhan
juga cukup tinggi pada pasien yang mendapat WBRT saja.1

4. Kemoterapi sistemik
a. Methotrexate-based regimen
Regimen kemoterapi yang dinilai efektif adalah metotreksat, suatu anti-
metabolit anti-folat yang dapat menghambat sintesis DNA dan RNA, sehingga
memiliki sifat sitotoksik. Penetrasi metotreksat ke sawar darah otak
bergantung pada dosis total dan kecepatan/laju infus, mulai dari l-8g/m 2 . 3,9
Pemberian metotreksat intravena dosis 3g/m 2 merupakan dosis minimal
untuk mencapai kadar terapeutik pada CSS.18
Pada pasien yang mendapat metotreksat sistemik memiliki median overall
survival sekitar 3,1 tahun.7 Studi lain melaporkan bahwa tanpa lanjutan tata
laksana lain seperti radioterapi dan kemoterapi konsolidasi, median overall
survival pasien mencapai 23-63 bulan pada pemberian metotreksat. 10

Manfaat kombinasi metotreksat dengan kemoterapi lainnya masih menjadi


perdebatan. Studi International Extranodal Lymphoma Study Group (IELSG)
menyebutkan bahwa kombinasi metotreksat dosis tinggi dengan agen
kemoterapi lainnya dapat memberikan respons pengobatan secara radiologi
dan memperbaiki angka kesintasan. 110 Penelitian Ferreri dkk menyebutkan
bahwa kombinasi metotreksat dosis tinggi dan sitarabin memberikan respons
pengobatan komplit yang lebih tinggi dibanding dengan metotreksat saja.1

IELSG melaporkan respons komplit pengobatan yang lebih tinggi pada


kombinasi metotreksat dengan sitarabin, rituximab, dan thiotepa plus
metotreksat (MATrix] jika dibandingkan dengan kombinasi metotreksat
dengan sitarabin dan rituximab atau metotreksat dengan sitarabin saja.
Namun kombinasi metotreksat dengan poli kemoterapi tidak memperpanjang
progression-free survival dan overall survival.10
b. Regimen tanpa metotreksat
Beberapa regimen polikemoterapi tanpa metotreksat dapat digunakan,
di antaranya regimen CHOP (cyclophosphamide, doxorubicin, vincristine,
prednisolon) yang digunakan untuk tata laksana limfoma nonhodgkin.310
Regimen CHOP dinilai tidak memperbaiki angka harapan hidup pada pasien
PCNSL. Kemungkinan disebabkan bahwa regimen ini tidak mampu melewati
' sawar darah otak.3 Beberapa laporan kasus menggunakan temozolamide
sebagai alternatif tata laksana pada PCNSL dengan dosis 150-200mg/m 2 /
hari yang menunjukkan respons komplit setelah pemberian siklus kedua.

5. Kombinasi radiasi dan kemoterapi


Pada suatu penelitian fase 3 mengenai pemberian WBRT pasca metotreksat dosis
tinggi melaporkan bahwa WBRT memperpanjang progression-free survival.1
Kombinasi metotreksat dan WBRT dapat menghasilkan respons radiologi pada
lebih dari 50% pasien dan angka kesintasan 2 tahun berkisar 43-73%.
6. Kemoterapi intratekal (IT)
Kemoterapi IT dapat diberikan melalui pungsi lumbal atau reservoir Ommaya.
Beberapa studi prospektif menunjukkan bahwa kemoterapi IT memberikan
manfaat, namun bukan sebagai terapi lini pertama. 1 Pemberian kemoterapi
intratekal pada PCNSL dapat dipertimbangkan pada pasien dengan sitologi
cairan serebrospinal positif yang menetap walaupun telah diberikan metotreksat
dosis tinggi.10
Keterbatasan kemoterapi IT adalah tidak dapat diberikan pada pasien dengan
peningkatan tekanan intrakranial. Perlu diingat juga bahwa kemoterapi IT dapat
meningkatkan neurotoksisitas pada pasien yang telah diberikan metotreksat
intravena (IV) dosis tinggi atau WBRT.1

7. Rituximab
Rituximab merupakan antibodi monoklonal yang berlawanan dengan B-cell-
spesific CD20 antigen, yang secara substansial akan bekerja pada keganasan
sistemik sel B, termasuk DLBCL. Rituximab merupakan pilihan kemoterapi pada
PNCSL yang mengalami kekambuhan atau refrakter. Sebuah studi skala kecil
menggunakan rituximab IV dosis 375mg/m 2 setiap minggu selama 8 minggu.
Pada studi tersebut sekitar sepertiga pasien mencapai respons radiologi baik
parsial maupun komplit.1
8. High Dose Chemotherapy and Autologous Stem Cell Transplantation (HDC/SCT)
Penggunaan HDC yang dilanjutkan dengan SCT autologus mengacu pada
efikasinya terhadap limfoma sistemik yang mengalami kekambuhan. Sebuah studi
prospektif fase II dengan jumlah besar menunjukkan bahwa HDT/SCT mencapai
angka remisi yang tinggi dengan gejala toksik yang masih terkendali.110

Tata laksana PCNSL pada geriatrik


Tata laksana pada geriatri memiliki banyak tantangan, di antaranya efek
pengobatan yang tidak sesuai (disproporsf) karena faktor komorbid dan meningkatnya
sensitivitas terhadap kemoradiasi. Tingginya angka neurotoksisitas pada usia
tua menyebabkan beberapa senter lebih memilih pengobatan utama kemoterapi
dibandingkan radiasi.1,3,7 Jika pilihan terapi yang digunakan adalah WBRT, maka
dianjurkan dengan dosis yang lebih rendah (tidak lebih dari 30Gy).10 Penggunaan
metotreksat saja dinilai efektif pada usia tua dan toleransi yang baik terhadap efek
samping. Kemoterapi yang agresif dan kombinasi juga dihindarkan pada usia tua.1

Tata laksana PCNSL yang mengalami kekambuhan (rekuren)


Terapi standar untuk PCNSL rekuren bervariasi. Temozolomide, pemetrexed,
topotecan, bendamustine, dan temsirolimus memberikan manfaat yang tidak terlalu
besar. Pemberian metotreksat ulang dapat memberikan respons pengobatan yang
baiktse-gio/o).1'7

XI.6. Prognosis
Terdapat dua skor prognostik yang digunakan, yaitu:9
1. Memorial Sloan-Kettering Cancer Center prognostic model
Skor ini membagi prognosis PCNSL menjadi 3 kategori; 1) pasien berusia <50
tahun memiliki prognosis yang paling baik dengan median kesintasan 8,5 tahun;
2) pasien berusia >50 tahun dengan KPS yang baik (>70] mempunyai median
kesintasan sekitar 3,2 tahun; dan 3) pasien berusia >50 tahun dengan KPS <70
memiliki median kesintasan yang paling pendek, yaitu 1,1 tahun.
2. International Extranodal Lymphoma Study Group (IELSG)
Terdapat 5 faktor pada skoring ini yang berkaitan dengan prognosis buruk, yaitu
usia di atas 60 tahun, peningkatan kadar LDH serum, peningkatan konsentrasi
protein cairan serebrospinal, dan keterlibatan struktur dalam di otak.910 Angka
kesintasan 2 tahun pada skor 0-1 adalah 80%, skor 2-3 sekitar 48%, dan skor 4-5
sekitar 15%.
Studi ini juga melaporkan bahwa limfopenia merupakan faktor prognosis yang
signifikan pada progression-free survival dan overall survival. Pasien dengan
limfopenia saat awal terdiagnosis PCNSL (hitung limfosit absolut kurang dari
875xl06/T) memiliki angka kesintasan 5 tahun yang lebih pendek dibanding yang
tidak mengalami limfopenia (22,3% vs 59,5%).

Secara garis besar terdapat beberapa faktor yang memengaruhi prognosis pada
PCNSL, di antaranya:
1. Relaps awal pada pasien PCNSL yang telah diberikan terapi metotreksat, sekitar
30-60% di antaranya mengalami rekuren 1 sampai 2 tahun kemudian. Relaps
berkaitan dengan prognosis yang buruk. 1 Pasien PCNSL yang mengalami relaps
atau progresif merupakan prognosis yang buruk dengan median kesintasan
sekitar 4,5 bulan.7

2. Terdapat beberapa parameter radiologis yang berkaitan dengan prognosis buruk,


yaitu lesi multipel, lesi infratentorial, dan lesi inisial dengan diameter lebih dari
40mm pada sekuens FLAIR10

Daftar Pustaka
1. Sinicrope K, BatchelorT. Primary central nervous system lymphoma. Neurol Clin. 2018;36(3]:517-32.
2. Batchelor X Loeffler JS. Clinical presentation, pathologic features, and diagnosis of primary
central nervous system lymphoma. Wolters Kluwer. [serial online]. 2017 [diunduh 4 Desember
2018]:l-21.Tersedia dari: UpToDate.
3. Hoang-Xuan K, Bessell E, Bromberg J, Hottinger A, Preusser M, Ruda R, dkk. Diagnosis and
treatment of primary CNS lymphoma in immunocompetent patients: guidelines from the
European Association for Neuro-Oncology. Lancet Oncol. 2015;16(7):e322-32.
4. Mendez JS, Grommes C. Treatment of primary central nervous system lymphoma: from
chemotherapy to small molecules. Am Soc Clin Oncol Educ Book. 2018;2018(38):604-10.
5. Grommes C, DeAngelis LM. Review artice: primary CNS lymphoma. J Clin Oncol. 2017;35(21J:2410-8.
6. Brastianos PK, Batchelor TT. Primary central nervous system lymphoma: overview of current
treatment strategies. Hematol Oncol Clin North Am. 2012;26(4):897-916.
7. Gerstner ER, Batchelor TT. Neurological review: primary central nervous system lymphoma. Arch
Neurol. 2010;67(3):291-7.
8. Fraser E, Gruenberg K, Rubenstein JL. New approaches in primary central nervous system
lymphoma. Chin Clin Oncol. 2015;4(1):11.
9. Low S, Han CH, Batchelor TT. Primary central nervous system lymphoma. Ther Adv Neurol
Disord. 2018-11:1756286418793562.
10. Royer-Perron L, Hoang-Xuan K. Management of primary central nervous system lymphoma.
Presse Med. 201;47(ll-12):e213-44.
TUMOR REGIO SELA
Rusdy Ghazali Malueka, Kusumo Dananjoyo

XII.l. Pendahuluan
Tumor regio sela dan parasela terbagi menjadi beberapa kelompok, namun
mayoritas (>90%) tumor intrasela merupakan jenis adenoma hipofisis.1 Massa sela
umumnya memiliki satu atau lebih gejala neurologis khas (gangguan penglihatan/
lapang pandang dan nyeri kepala) maupun gejala akibat kelainan hormonal. Namun
kadang bisa juga sebagai temuan insidental pada MRI yang dilakukan untuk alasan lain.2

Berikut adalah penyebab lesi daerah sela:2


1. Tumor jinak:
a. Adenoma hipofisis
b. Kraniofaringioma
c. Meningioma
2. Hiperplasi hipofisis:
a. Lactotroph hyperplasia (selama kehamilan)
b. Thyrotroph dan gonadotroph hyperplasia
c. Somatotroph hyperplasia due to ectopic gonadotropin hormon releasing
hormon (GHRH]
3. Tumor maligna
a. Primer
1] Germ cell tumor (ectopic pinealoma)
2) Sarkoma
3] Kordoma
4) Pituitary carcinoma
b. Metastasis dari kanker paru dan payudara

4. Kista kantung Rathke, araknoid, dermoid


5. Abses hipofisis
6. Lymphocytic hypophysitis
7. Carotid arteriovenous fistula

XII.2. Jenis-Jenis Massa Sela


XII.2.1. Adenoma Hipofisis
Epidemiologi
Adenoma hipofisis adalah penyebab utama dari penyakit hipofisis pada orang
dewasa (10-15% dari semua tumor otak primer) dengan insidensi yang rendah
pada anak-anak dan meningkat pada dewasa. Hasil otopsi menjelaskan bahwa tumor
hipofisis yang asimtomatik terjadi pada 25% populasi, dimana ukuran dari tumor
tersebut mayoritas kurang dari 5mm. Tumor hipofisis lebih sering terjadi pada
perempuan dibanding laki-laki.3
Dari beberapa tipe adenoma, prolaktinoma dan adenoma nonfungsional secara
klinis adalah tipe yang paling sering, kira-kira mendekati dua pertiga dari semua
tumor hipofisis. Adenoma yang menyekresikan prolaktin (PRL) berjumlah 40-60%
dari adenoma fungsional dan merupakan tipe tumor hipofisis yang paling sering
didiagnosis pada remaja. Adenoma yang menyekresikan growth hormone (GH) kira-
kira berjumlah 30% dari semua tumor fungsional. Adenoma yang menyekresikan
Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) kira-kira berjumlah 15 hingga 25% dari
adenoma fungsional dan merupakan tumor hipofisis yang paling sering didiagnosis
pada anak-anak prapubertas.4 Adenoma yang menyekresikan tirotropin (TSH) sangat
jarang terjadi.5
Patofisiologi
Karakteristikhistomorfologi dan imunohistokimia dari adenoma hipofisis penting
untuk mengklasifikan subtipe dan untuk manajemen pasien. Patogenesis molekuler
pembentukan dan progresi tumor hipofisis berbeda secara signifikan dengan tumor
tipe lainnya, di mana mutasi tumor suppressor genes (TSG) atau onkogen jarang
teridentifikasi. Disregulasi hormon, growth factors, dan reseptornya berkontribusi
pada proliferasi sel hipofisis, tetapi kurang jelas pada inisiasi dan progresi tumor.5
Hipofisis adenoma terjadi secara familial pada 5% kasus dan lima mutasi gen
yang berbeda telah diidentifikasi.6 Mutasi dominan gen aryl hydrocarbon receptor
interacting protein (AIP) adalah mutasi yang paling sering pada adenoma hipofisis
familial nonsindrom dengan prevalensi 15%. Gen multiple endocrine neoplasia
syndrome type 1 (MEN1) biasanya berperan sebagai supresor tumor. Sindrom MEN1
adalah kelainan familial autosomal dominan, 70% karena mutasi gen MEN1. Namun
hanya 3,5% dari adenoma hipofisis yang sporadik mengandung mutasi gen MEN1.
Baru-baru ini, ditemukan mutasi CDKN1B dengan sindrom seperti MEN1 yang
dinamakan MEN4. Mutasi gen guanine nucleotide-activating alpha subunit (GNAS)
adalah mutasi somatik terkait sindrom McCune-Albright. Sindrom lainnya yaitu
Carney Complex (CNC], disebabkan oleh mutasi cAMF'-dependent protein kinase A type
1 alpha regulatory subunit (PRKAR1A).3

Mayoritas adenoma hipofisis terdiri dari proliferasi sel dengan nukleus seragam,
kromatin stipple halus, dan sitoplasma berkuantitas sedang. Berbeda dari hiperplasia,
adenoma hipofisis mempunyai karakteristik gangguan pada jaringan serabut retikulin
yang tampak pada pengecatan retikulin. Mitosis jarang pada sebagian besar adenoma.
Indeks antigen Ki-67 biasanya kurang dari 3%. Beberapa adenoma mempunyai ciri
morfologis atipik, menandakan sifat agresif seperti pertumbuhan invasif, naiknya mitosis
dan indeks Ki-67, reaktivitas p53, serta dideskripsikan sebagai adenoma atipikal.5

Tumorigenesis hipofisis melibatkan perubahan intrinsik sel hipofisis juga faktor


regulasi endokrin dan parakrin. Mutasi pada onkogen dan TSG, yang diidentifikasi
pada keganasan lain pada manusia, sangat sedikit ditemukan pada tumor hipofisis.
Ada perdebatan bahwa hormon-hormon hipofisiotropik menstimulasi hiperplasia
hipofisis sehingga membuat sel rawan terhadap perubahan genetik, atau perubahan
genetik terjadi lebih dahulu kemudian hormon dan growth factors berperan sebagai
promotor pertumbuhan pada sel yang bertransformasi secara genetik. Perubahan
epigenetik semakin dikenali pada adenoma hipofisis dan jelas secara fungsional
terlibat dalam evolusi tumor hipofisis.5

Klasifikasi
Adenoma diklasifikasikan berdasarkan ukuran dan asal sel. Berdasarkan
ukurannya hipofisis adenoma dibagi sebagai berikut:7
a. Mikroadenoma; berukuran <lcm, lokasi masih dalam sela tursika, dan belum
menginvasi struktur yang berdekatan, seperti sfenoid dan sinus kavernosus.
Biasanya tumor ini ditemukan karena adanya endokrinopati.
b. Makroadenoma; berukuran >lcm, lokasinya meluas dari sela tursika, dan sudah
menginvasi struktur yang berdekatan. Tumor ditemukan karena adanya efek
kompresi.

Adenoma hipofisis dapat diklasifikasikan berdasarkan produk sekretorinya, yaitu:7


a. Adenoma fungsional; menimbulkan gejala akibat efek fisiologis dari hormon yang
dikeluarkan.
b. Adenoma non-fungsional.

Adenoma berdasar sel asal adalah:28


a. Adenoma gonadotrof [Follicle-stimulating hormone (FSH)/Luteinizing hormone
(LHJ secreting adenomas) biasanya hadir sebagai massa sela yang tidak berfungsi
secara klinis. Jenis ini mencakup-6% dari adenoma
b. Adenoma tirotrof [thyrotropin secreting adenoma) dapat muncul sebagai massa
sela yang tidak berfungsi secara klinis atau dapat menyebabkan hipertiroidisme
karena peningkatan sekresi thyroid-stimulating hormone [TSH). Jenis ini
mencakup 1% dari adenoma.
c. Adenoma kortikotrof [corticotropin secreting adenoma) biasanya mengakibatkan
penyakit Cushing. Jenis ini mencakup 8% dari adenoma.
d. Adenoma laktotrof (prolaktinoma) biasanya mengakibatkan hiperprolaktinemia,
yang menyebabkan hipogonadisme pada perempuan dan laki-laki. Pada
perempuan gejalanya berupa galaktorea dan amenore, sementara pada laki-laki
berupa penurunan libido dan impotensi. Jenis ini mencakup 27% dari adenoma.
e. Adenoma somatotrof biasanya mengakibatkan akromegali akibat peningkatan
sekresi hormon pertumbuhan {growth hormone). Jenis ini mencakup 2 1 % dari
adenoma.
f. Kombinasi adenoma laktotrof/somatotrof yang menyekresikan prolaktin dan
growth hormone dapat menimbulkan gejala klinis dari kedua hormon tersebut.

XII.2.2. Kraniofaringioma
Kraniofaringioma adalah tumor jinak padat atau campuran kistik dan padat yang
timbul dari sisa-sisa kantong Rathke sepanjang garis dari nasofaring ke diensefalon.
Sebagian besar berada di intraselar atau supraselar.2 Insidensi tumor ini adalah 0,5-2
kasus per satu juta orang pertahun. Tumor ini hanya 1% dari tumor intrakranial pada
dewasa dan 6-10% dari tumor intrakranial pada anak. Distribusi usianya bimodal
dengan puncak pertama pada usia 5-10 tahun dan puncak kedua pada usia 50-60
tahun. 8 Sekitar 50% bermanifestasi secara klinis selama massa anak-anak dan remaja,
50% lainnya setelah usia 20 tahun, beberapa pada usia 70 atau 80 tahun.2
Tumor ini bersifat sporadis tanpa penyebab genetik yang diketahui. Gejala utama
adalah keterbelakangan pertumbuhan pada anak-anak dan penglihatan abnormal
pada orang dewasa. Selain itu, defisiensi hormon hipofisis, termasuk diabetes
insipidus, sering terjadi.2

XII.2.3. Meningioma
Meningioma juga dapat muncul di dekat sela, mengakibatkan gangguan
penglihaan dan defisiensi hormonal.2

XII.3. Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala tumor di area sela tursika tergantung pada tipe, ukuran tumor,
dan usia pasien. Pasien bisa saja tidak mengalami gejala tapi ditemukan lesi secara
kebetulan. Efek massa dari tumor sela dapat menimbulkan manifestasi neurologis
dan endokrin.
Manifestasi klinis adenoma hipofisis non-fungsional
Gangguan penglihatan adalah gejala yang paling sering menjadi keluhan pasien
dengan adenoma non-fungsional (lebih dari 80 persennya adalah adenoma gonado-
trof). Hal ini disebabkan oleh ekstensi adenoma ke supraselar, yang menyebabkan
kompresi kiasma optik. Keluhan yang paling umum adalah gangguan lapang pandang
di sisi temporal (hemianopsia bitemporal]. Satu atau kedua mata mungkin terpengaruh
dan, jika keduanya, memiliki derajat yang bervariasi. Berkurangnya ketajaman visual
terjadi ketika kiasma optik lebih terkompresi. Pola lain dari kehilangan penglihatan
juga bisa terjadi. Dengan demikian, lesi intraselar harus dicurigai ketika ada pola ke-
hilangan penglihatan yang tidak dapat dijelaskan. Timbulnya defisit visual biasanya
sangat perlahan, sehingga banyak pasien tidak mencari konsultasi oftalmologis se-
lama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. 2
Efek massa dapat menimbulkan peningkatan TIK juga obstruksi pada aliran
cairan serebrospinal sehingga menyebabkan hidrosefalus. Gangguan memori dan
perubahan perilaku juga dapat terjadi.4
Gejala neurologis lain adalah: 27
• Sakit kepala; dapat disebabkan oleh ekspansi sela. Kualitas nyerinya tidak spesifik.
• Diplopia; hasil kompresi saraf okulomotor akibat ekstensi lateral adenoma.
• Apopleksia hipofisis; akibat perdarahan mendadak ke dalam adenoma,
menyebabkan sakit kepala yang berat dan diplopia.
• Rinorea cairan serebrospinal, yang disebabkan oleh ekstensi adenoma ke bawah.
Hal ini sangat jarang.
• Sindrom parinaud, suatu konstelasi temuan neuro-oftalmologis (paling sering
kelumpuhan tatapan konjugasi ke atas), yang dihasilkan oleh pinealoma ektopik.
• Tumor yang meluas ke sinus kavernosus akan menyebabkan kelumpuhan pada
N III, IV, VI, VI, V2, sehingga muncul gejala berupa ptosis, nyeri wajah, diplopia.
Oklusi dari sinus akan menyebabkan proptosis, kemosis, dan penyempitan dari a.
karotis.
• Tumor yang tumbuh perlahan akan menyebabkan gangguan fungsi hipofisis yang
progresif dalam beberapa bulan atau tahun berupa:
- Hipotiroidisme; tidak tahan dingin, miksedema, rambut yang kasar
- Hipoadrenalisme; hipotensi ortostatik, cepat lelah
- Hipogonadisme; amenorea (perempuan), kehilangan libido dan kesuburan
- Diabetes insipidus; poliuria

Manifestasi klinis adenoma fungsional


Gejala yang ditimbulkan tergantung dari produk hormon yang diproduksi, yaitu:4'7
a. Adenoma yang menyekresi prolaktin. Manifestasi klinis adenoma hipofisis
yang aktif menyekresikan PRL tergantung pada usia dan gender pasien. Anak-
anak prapubertas umumnya mengalami kombinasi sakit kepala, gangguan
visual, dan amenorea primer. Pada perempuan remaja dan dewasa lebih sering
bermanifestasi dengan amenorea, galaktorea, kemandulan, dan osteoporosis.
Hiperprolaktinemia pada laki-laki biasanya asimptomatik. Gejala yang timbul
pada laki-laki yaitu efek massa tumor, gangguan visual, berkurangnya libido,
disfungsi seksual, dan hilangnya vitalitas.
b. Adenoma yang menyekresi hormon pertumbuhan/growt/? hormone (GH). Adenoma
hipofisis yang secara aktif menyekresikan GH pada orang dewasa menimbulkan
akromegali. Ciri dari akromegali yaitu hiperostosis dan hipertrofi jaringan lunak.
Pada anak-anak dan remaja dengan lempeng epifiseal yangterbuka, hipersekresi GH
menimbulkan gigantisme. Gejala timbul secara gradual karena pengaruh tingginya
kadar GH secara kronik. Gejala dini berupa ukuran sepatu dan baju membesar,
viseromegali, muka yang kasar, dan skin tags, yaitu perubahan pada kutis dan
jaringan subkutis yang lambat berupa fibrous hyperplasia terutama ditemukan
pada jari-jari, bibir, telinga, dan lidah, perubahan struktur jaringan lunak dan otot
skeletal, kardiomiopati, dan risiko keganasan kolon.

c. Adenoma yang menyekresi glikoprotein (TSH, FSH, LH). Hypertiroidism


glycoprotein secreting adenoma tidakmemberikangejalayangspesifiksehubungan
dengan hipersekresinya, sehingga adenoma ini biasanya baru ditemukan
sesudah memberikan efek kompresi pada struktur didekatnya seperti kiasma
optikus atau tangkai hipofisis. Gejala yang mungkin timbul berupa kecemasan,
palpitasi, intoleransi terhadap suhu panas, hiperhidrosis, dan penurunan berat
badan meskipun asupan makanan normal atau meningkat. Tanda-tanda lain
bisa hiperaktif, takikardia, ritme ireguler pada atrial fibrilasi, hiperefleksia, dan
tremor. Eksoftalmus hanya ditemukan pada penyakit Grave.
d. Adenoma yang menyekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH]. Adenoma
hipofisis yang secara aktif menyekresikan ACTH menimbulkan Cushing Disease
(CD]. Manifestasi klinis CD adalah peningkatan berat badan atau obesitas sentral,
hipertensi, osteoporosis, intoleransi glukosa, moon faces, amenorea, dan Iain-lain.

XII.4. Diagnosis
Semua pasien yang dicurigai mempunyai tumor di regio sela tursika perlu
dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap, oftalmologi, endokrin, dan radiologi. Semua
pasien yang kooperatif harus diperiksa lapang pandang, ketajaman penglihatan, dan
funduskopi.

Radiologis
MRI merupakan prosedur radiologis terbaik untuk massa di sela. Jaringan
hipofisis normal dan sebagian besar lesi sela, adenoma hipofisis, dan tumor lainnya,
memiliki sinyal yang iso atau sedikit hiperintens daripada jaringan sistem saraf pusat
(SSP) pada gambaran standar MR Tl-weighted (Gambar 12.1]. Lesi kistik, seperti
kista kantung Rathke, sering memiliki sinyal hipointens pada gambar Tl. Namun
kraniofaringioma dan bahkan adenoma hipofisis mungkin sebagian kistik, karenanya
memiliki sinyal intensitas rendah. Selanjutnya, intensitas sinyal pada gambar Tl-
weighted akan tinggi jika konsentrasi protein atau lipid dari cairan kista tinggi. Pada
12-weighted, lesi kistik mungkin memiliki sinyal intensitas tinggi (Gambar 12.1].
Vaskularisasi ke kelenjar hipofisis menghasilkan sinyal intensitas tinggi pada gambar
Tl dan T2.2 Pada tumor berukuran kecil (mikroadenoma) terutama akan lebih terlihat
pada potongan koronal (Gambar 12.2].
Meningioma biasanya memiliki sinyal yang lebih terang dan lebih homogen daripada
adenoma hipofisis. Meningioma juga lebih memiliki episenter di suprasela daripada
sela dan memiliki perlekatan pada dura yang dapat terlihat pascapemberian kontras.2
Jaringan hipofisis normal memiliki sinyal intensitas yang lebih tinggi daripada
SSP sekitarnya pascapemberian kontras gadolinium. Baik mikro- dan makroadenoma
hipofisis (serta massa selar lainnya seperti kraniofaringoma dan meningioma)
biasanya mengalami penyangatan gadolinium pada tingkat yang lebih rendah
daripada hipofisis normal tetapi lebih dari CNS. Oleh karena itu, tingkat penyangatan
gadolinium tidak membedakan satu jenis massa Selar dari yang lain. Penyangatan
meningioma pascakontras biasanya homogen. Jika lesi sela dapat dilihat sebagai
struktur yang terpisah dari hipofisis normal maka lesi tersebut bukanlah adenoma
hipofisis.

Gambaran kalsifikasi pada kraniofaringioma dan meningioma dapat dilihat


dengan lebih baik pada CT scan dibanding MRI (Gambar 12.3).
Evaluasi hormonal
Tiap level dari aksis hipotalamus-hipofisis-organ target perlu dinilai dengan
pemeriksaan laboratorium yang tepat (Tabel 12.1). Suatu adenoma hipofisis perlu
ditentukan apakah fungsional atau tidak dan level prolaktin (PRL) serum harus
diperiksa. Pemeriksaan lebih lanjut yaitu dengan evaluasi sindrom Cushing. Pada
subjek yang dicurigai mengalami sindrom Cushing, tes skrining ekskresi kortisol
bebas pada urin 24 jam dan respons kortisol pada tes supresi deksametason lmg
semalam dilakukan secara rutin.
Jika tes-tes tersebut abnormal, tes deksametason selanjutnya menggunakan dosis
bertingkat dan pengukuran ACTH serum dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis.
Pada subjek yang dicurigai akromegali, perlu dilakukan tes toleransi glukosa oral
(TTGO) dan/atau pengukuran IGF-1 serum. Jika GH tidak tersupresi hingga <lng/
ml setelah TTGO atau insulin-like growth factor-1 (IGF-1) serum meningkat, maka
diagnosis sugestif akromegali.4
Pada massa sela, sangat penting untuk menilai fungsi hipofisis guna mengeksklusi
hipohipofisisme yang memerlukan penggantian hormon. Evaluasi aksis hipotalamik-
hipofisis-adrenal (aksis HPA) adalah yang paling penting, karena insufisiensi adrenal
dapat mengancam jiwa. Fungsi adrenal dinilai dengan pengukuran kortisol serum
pagi atau tes dinamik dengan tes stimuiasi cosyntropin atau tes toleransi insulin.

Fungsi tiroid dievaluasi dengan pengukuran tiroksin bebas, tiroksin total, dan
TSH. Level tiroksin bebas yang rendah atau sedikit rendah bersamaan dengan TSH
yang rendah atau sedikit rendah konsisten dengan hipotiroid sentral. Aksis hipofisis-
gonad dinilai dengan siklus menstruasi pada perempuan usia reproduktif atau
defisiensi testosteron hipogonadotropik pada laki-laki. Diabetes insipidus jarang
muncul pada subjek dengan adenoma hipofisis. Defisiensi GH ditandai dengan IGF-1
serum yang rendah. 4
XII.5. Tata Laksana
Adenoma hipofisis dapat dibedakan menjadi hormon inaktif (non-fungsional) dan
hormon sekretorik (fungsional). Pada adenoma nonfungsional, tidak ada terapi medis yang
efektif. Operasi diindikasikan untuk meringankan efek massa, mengontrol pertumbuhan
tumor, dan kadang untuk membuat diagnosis. Radioterapi adjuvan pascaoperasi dilakukan
untuk pasien dengan penyakit residual yang progresif setelah operasi.1
Pada penyakit Cushing, sebagian besar terapi inisialnya adalah operasi trans-
sfenoid. Prinsip tujuan operasi adalah reseksi komplittumor, resolusi hiperkortisolemia
dan morbiditas terkait, serta mengembalikan fungsi normal aksis HPA. Tujuan terapi
yang lain seperti manajemen efek samping terapi, yaitu hipohipofisisme, koreksi
manifestasi hiperkortisolisme seperti hiperglikemia, hipertensi, osteopenia, dan
manajemen infeksi.
Radioterapi sukses pada pasien dengan residu atau CD yang rekuren. Remisi
bisa diperkirakan 50% pada dewasa dan 80% pada anak-anak yang mendapatkan
radioterapi konvensional berfraksinasi. Stereotactic radiosurgery mulai banyak
dilakukan untuk pasien CD. Terdapat obat inhibitor biosintesis steroid untuk mengontrol
hiperkortisolisme pada CD. Obat ini diberikan ketika operasi ditunda atau sembari
menunggu efek radioterapi. Terapi lini pertama yaitu ketokonazol. Obat antifungi ini
menginhibisi beberapa enzim sitokrom P450 yang diperlukan untuk menyintesis
kortisol. Obat-obat lainnya yaitu metyrapone, aminoglutethimide, dan mitotane.1
Tujuan terapi prolaktinoma meliputi normalisasi konsentrasi prolaktin serum,
yang biasanya diikuti dengan pemulihan hipogonadisme dan galaktorea, serta
kontrol pertumbuhan tumor. Dopamin menginhibisi sintesis dan sekresi prolaktin,
menurunkan ukuran dan proliferasi sel yang memproduksi prolaktin. Obat-obatan
agonis dopamin (bromokriptin, cabergoline) sering digunakan sebagai obat lini
pertama pada pasien hiperprolaktinemia dan prolaktinoma. Operasi reseksi dilakukan
pada pasien yang tidak respons terhadap terapi medis, apopleksi hipofisis, efek massa,
atau pasien memilih operasi dibandingkan terapi medis sepanjang hidup.1
Pada tumor yang menyekresi GH operasi masih dianggap sebagai lini pertama.
Radioterapi bisa dilakukan sebagai terapi adjuvan untuk manajemen pasien dengan
penyakit residual dan rekuren. Tersedia obat-obatan untuk pasien dengan residual
atau rekuren akromegali, yaitu agonis dopamin, analog somatostatin, dan antagonis
reseptor GH. Obat-obatan ini juga berguna untuk pasien yang bukan kandidat operasi.1
Analog seperti sandostatin merupakan terapi medikal utama untuk tumor penghasil
GH dan juga digunakan untuk tumor penghasil TSH [thyroid-stimulating hormone).
Octreotide dan lareotide akan mengontrol sekresi GH pada mayoritas pasien dengan
akromegali dan pada beberapa pasien menyebabkan penyusutan tumor.7
Terapi primer kraniofaringioma adalah operasi eksisi. Kesuksesan operasi
bergantung pada ukuran dan lokasi tumor, derajat invasi tumor, dan pengalaman
dokter bedah. Rekurensi setelah reseksi total jarang terjadi, namun rekurensi bisa
sampai 62% dalam 10 tahun pada reseksi parsial. Terapi radiasi adjuvan menurunkan
rekurensi, menjadi 10-63% dalam 10 tahun. 1
Pilihan pendekatan operasi sangat tergantung dari ukuran tumor (Tabel 12.2).
Pembedahan trans-sfenoid adalah pilihan terapi utama pada tumor dengan ukuran
besar dan disertai gejala efek massa. Metode ini memiliki tingkat kesembuhan 80-
90% bila dikerjakan oleh ahli bedah hipofisis.7

Indikasi pembedahan pada makroadenoma hipofisis hormonal inaktif, yaitu


1) tumor yang menyebabkan gejala oleh efek massa, defisit visual (secara klasik:
hemianopsia bitemporal, panhipofisisme]; 2) makroadenoma guna memperbaiki
fungsi kiasma walaupun tanpa kelainan endokrin atau defisit visual karena adanya
kemungkinan cedera pada alat optik; 3) kerusakan visual yang akut dan cepat
atau perburukan neurologis lainnya, seperti kehilangan visual yang membutuhkan
dekompresi emergensi; 4) untuk mendapatkan jaringan untuk analisis patologis pada
kasus yang masih dipertanyakan; 5] Sindrom Nelson.7

Pendekatan mikroadenoma (kelas 0 dan 1) hanya melalui rute trans-sfenoid,


demikian pula tumor yang menempati seluruh sela (kelas II dan III). Adapun tumor
supraselar (kelas A, B, C, dan D) juga bisa dicapai dengan operasi trans-sfenoidal
untuk dekompresi kiasma dan menyelamatkan fungsi endokrin.7

Ilustrasi Kasus
Seorang perempuan usia 19 tahun, datang ke IGD dengan keluhan nyeri kepala
berat dan pandangan dobel yang dirasakan sejak 4 bulan sebelumnya dan nyeri
kepala memberat sejak 3 hari yang lalu. Pasien juga tidak haid sejak 3 bulan yang lalu,
riwayat haid sebelumnya dkatakan teratur. Pasien sebelumnya pernah periksa dan
dilakukan MRI kepala dengan hasil, terdapat massa di suprasellar.
Pertanyaan 1.
Pada kasus tersebut, kemungkinan diagnosis pasien adalah?

A. PCNSL
B. High grade astrocytoma
C. Low grade astrocytoma
D. Adenoma Hipofisis
E. Ependymoma

Jawaban: D
#
Pembahasan:
Pada kasus tersebut terdapat gejala nyeri kepala. Nyeri kepala ini dapat terjadi
karena ekspansi sela. Disamping nyeri kepala juga terdapat pandangan dobel, 2
hal ini apabila terjadi dan nyeri kepala hebat dapat diakibatkan karena apopleksia
hipofisis. Pasien juga mengalami amenorea, gejala ini dapat diakibatkan oleh karena
hipogonadisme karena tumor yang terus tumbuh sehingga menyebabkan gangguan
hipofisis yang progresif. Pada kasus tersebut dapat dipikirkan diagnosa adenoma
hipofisis. Adenoma hipofisis adalah penyebab utama dari penyakit hipofisis pada
orang dewasa (10-15% dari semua tumor otak primer).

Pertanyaan 2.
Pada kasus tersebut apabila dilakukan tindakan operasi, indikasi apa saja yang
harus ada?
A. Tumor yang menyebabkan gejala oleh efek massa, defisit visual (secara
klasik: bitemporal hemianopsia, panhipofisisme)
B. Makroadenoma untuk memperbaiki fungsi kiasma walaupun tanpa kelainan
endokrin atau defisit visual
C. Kerusakan visual yang akut dan cepat atau perburukan neurologis lainnya
D. Untuk mendapatkan jaringan untuk analisis patologis pada kasus yang masih
dipertanyakan

Semua benar

Pembahasan:
Indikasi pembedahan tergantung dari ukuran tumor. Pembedahan trans-sfenoid
adalah pilihan terapi utama pada tumor dengan ukuran besar dan disertai gejala efek
massa. Metode ini memiliki tingkat kesembuhan 80-90%.

Daftar Pustaka
1. Blevins LS, Devin JK. Tumors of the pituitary and sellar region. Dalam: Mehta MP, editor Principles
and practice of neuro-oncology. New York: Demos Medical Publishing; 2011. h. 623-32.
2. Snyder P). Causes, prsentation, and evaluation of sellar masses. Wolters Kluwer [serial online].
2018 [diunduh 23 Juli 2018]. Tersedia dari: UpToDate.
3. Jagannathan J, Kanter AS, Sheehan JP, Jane Jr JA, Laws Jr ER. Benign brain tumors: sellar/parasellar
tumors. Neurol Clin. 2007;25(4):1231-49.
4. Jiang X, Zhang X. The molecular pathogenesis of pituitary adenomas: an update. Endocrinol
Metab. 2013;28(4):245-54.
5. Laws ER, Jane JA, Jagannathan J, Katnelzon L. Presentation and clinical features of tumors of the
pituitary and sellar region. Dalam: Mehta MP, edtor. Principles and practice of neuro-oncology.
New York: Demos Medical Publishing; 2011. h. 291-6.
6. Loeper SC, Ezzat S, Asa SL. Histopathology and molecular pathogenesis of pituitary adenomas.
Dalam: Mehta MP, editor. Principles and practice of neuro-oncology. New York: Demos Medical
Publishing; 2011. h. 174-84.
7. Komite Penanggulangan kanker Nasional. Pedoman nasional pelayanan kedokteran tumor otak.
KemenkesRI. 2019.
8. Lee EQ, Wen P. Cancer neurology.-samuels manual of neurologic theurapetics. Edisi ke-9.
Piladelphia: WoltersKluwer; 2017.
9. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adam's and Victor's principles of neurology. Edisi ke-10. New
York: McGrawHill Education; 2014.
TUMOR OTAK SEKUNDER (METASTASIS)
Rini Andriani, Indah Chitra

XIII.l Pendahuluan
Metastasis otak merupakan salah satu komplikasi neurologis pada keganasan
sistemik. Insidensi metastasis otak dari waktu ke waktu meningkat seiring dengan
canggihnya deteksi keganasan dan berkembangnya tata laksana penanganan kanker,
angka kejadian metastasis ke otak meningkat. Metastasis otak menempati tumor
intrakranial yang paling sering, melebihi tumor primer.12
Metastasis otak merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Selain itu, kebanyakan pasien dengan metastasis otak memiliki angka kesintasan
yang pendek. Angka kesintasan yang singkat ini disebabkan keganasan sistemik yang
progresif atau gangguan neurologis yang tidak terkontrol.1

XIII.2 Epidemiologi
Metastasis otak merupakan tumor intrakranial yang paling sering ditemukan.
Dari keseluruhan tumor intrakranial, kejadian tumor otak lebih dari separuhnya.
Setiap tahunnya, insidensi metastasis otak yang baru terdiagnosis lebih banyak sekitar
3-10 kali lipat dibandingkan tumor primer otak.1 Pada pasien dengan keganasan,
metastasis otak terjadi pada 10-30% pasien dewasa dan 6-10% pasien anak.12
Insidensi metastasis otak semakin meningkat disebabkan kecanggihan pemeriksaan
dan deteksi metastasis ukuran kecil dengan adanya magnetic resonance imaging
(MRI) dan berkembangnya terapi sistemik.2 Pada 60-75% pasien akan menimbulkan
gejala dan sisanya bersifat asimptomatik yang ditemukan saat pemeriksaan CT/MRI
ataupun autopsi.1
Metastasis otak seringkali didiagnosis saat keganasan primer sudah diketahui
sebelumnya (metachronous). Namun, pada 30% kasus, metastasis otak didiagnosis
bersamaan dengan tumor primer [synchronous). Sementara itu, ada beberapa kasus
metastasis otak didiagnosis sebelum tumor primer ditemukan (precocious).1
Secara umum, semua tumor yang bersifat ganas dapat bermetastasis ke otak.
Pada pasien dewasa, tumor primer yang paling sering metastasis ke otak adalah paru
(36-64%), payudara (15-25%), dan melanoma (5-20%), sementara sekitar 10-15%
tidak diketahui tumor primernya (unknown primary tumour). Keganasan lainnya juga
dapat metastasis ke otak seperti kolon, rektum, ginjal, prostat, testis, ovarium, dan
sarkoma.1"3
Kecenderungan suatu keganasan untuk metastasis ke otak (neurotropism)
berbeda-beda, dibagi menjadi:1
• Tinggi: melanoma, karsinoma sel kecil paru, choriocarcinoma, dan germ cell tumor
• Intermediet: karsinoma payudara, karsinoma paru bukan sel kecil, ginjal
• Rendah: prostat, gastrointestinal, ovarium, tiroid, dan sarkoma

XIII.3 Patofisiologi
Metastasis otak disebabkan penyebaran secara hematogen oleh tumor primer.
Biasanya metastasis otak berlokasi pada white-gray matter junction, yaitu sel
tumor terjebak karena ukuran diameter pembuluh darah area tersebut lebih kecil.
Metastasis otak juga sering mengenai area terminal watershed dari sirkulasi arteri.
Sekitar 80% tumor akan berkembang di hemisfer serebral, 15% daerah serebelum,
dan 5% area batang otak. Setiap tumor memiliki predileksi tertentu di otak. Sebagai
contoh, kanker daerah pelvis (uterus dan prostat), gastrointestinal, dan payudara
cukup sering bermetastasis ke fosa posterior. Sementara karsinoma sel kecil paru
bisa bermetastasis ke area manapun di otak.12 Khusus melanoma, lokasi metastasis
lebih banyak terjadi di ganglia basalis dan korteks serebral dibandingkan white-gray
matter junction.1
Secara umum, metastasis sel kanker terjadi melalui kaskade metastasis, yang
merujuk pada invasi sel tumor terhadap jaringan di sekitarnya, intravasasi (masuk ke
dalam aliran darah), terperangkap dalam kapiler pembuluh darah, ekstravasasi dan
profilerasi pada tempat metastasis (Gambar 13.1).1,4"6
Hipotesis "seed and soil" menjelaskan peredaran sel tumor di seluruh tubuh, namun
cenderung metastasis pada organ tertentu. Formasi metastasis merupakan hasil
interaksi antara microenvironment organ tertentu (sebagai "soil") dan kemampuan
invasif dan adhesif yang dimiliki oleh sel kanker itu sendiri (sebagai "seed"). Sel
neoplastik yang potensial untuk membentuk koloni di otak akan mengekspresikan
suatu molekul yang unik dan berespons terhadap brain-derived growth factors,
sehingga dapat menginvasi, berproliferasi, dan menginduksi angiogenesis.1

Beberapa gen yang disinyalir memediasi penyebaran tumor primer ke otak.


Misalnya, pada keganasan payudara, telah ditemukan lebih kurang 5 subtipe
molekuler yang berkaitan dengan rendah atau tingginya kecenderungan sel tumor
tersebut untuk metastasis ke suatu organ. Terdapat mediator sel kanker melewati
blood brain barrier (BBB) diantaranya cyclooxygenase C0X2, EGFR ligand HBEGF,
dan a26-sialytransferase ST6GALNAC5. Ekspresi berlebihan HER2 meningkat pada
kolonisasi sel tumor di otak. STAT3 juga disinyalir sebagai mediator penting untuk
metastasis otak pada keganasan payudara. Grinberg-Rashi dkk menemukan bahwa
3 gen (CDH2, KIFC1, dan FAL2) dapat menjadi prediktor prognosis pada NSCLC
metastasis otak. Sementara, ekspresi TGF-B2 merupakan gen penting pada melanoma
dan perkembangannya menjadi metastasis otak. Overekspresi Nm23 pada keganasan
payudara dan melanoma dapat menghambat invasi, kolonisasi, dan motilitas.1

XIII.4 Diagnosis
Manifestasi Klinis
Sekitar 2/3 kasus bersifat simptomatik. Adapun tanda dan gejala pada tumor
metastasis merupakan manifestasi dari pertambahan ukuran tumor itu sendiri.3
Namun, pada beberapa kasus, gejala bisa sangat samar. Secara umum, metastasis otak
harus dipertimbangkan pada pasien dengan gejala neurologis dan dengan riwayat
keganasan sistemik sebelumnya.1
Manifestasi klinis metastasis otak bervariasi. Massa tumor yang makin lama
makin membesar dan terjadinya edema peritumoral akan menyebabkan defisit fokal.
Pada sebagian kecil, akan tejadi perdarahan intratumoral, hidrosefalus obstruktif, dan
embolisasi sel tumor.2
Tanda dan gejala metastasis otak, diantaranya:12'78
1. Nyeri kepala
Sakit kepala terjadi pada 40-50% pasien dengan metastasis otak.12 Sakit kepala
paling sering terjadi jika terdapat tumor multipel dan jika tumor terletak di fosa
posterior dan biasanya memiliki intensitas ringan. Jenis sakit kepala dapat berupa
sakit kepala tipe tension (77%) dan migrain (9%).1
2. Defisit neurologis fokal
Defisit neurologis fokal terjadi pada 20-40% pasien metastasis otak. Defisit fokal
yang paling sering diderita adalah hemiparesis. Secara keseluruhan defisit fokal
bergantung pada lokasi tumor.
3. Gangguan kognitif
Gangguan kognitif berupa gangguan memori, perubahan mood dan perilaku ter-
jadi pada 30-35% pasien metastasis otak.
4. Kejang
Kejang terjadi pada 10-20% pasien dengan metastasis otak.
5. Stroke
Sekitar 5-10% pasien mengalami stroke yang diakibatkan perdarahan intratumoral,
hiperkoagulasi, invasi/kompresi arteri oleh sel tumor, atau embolisasi sel tumor.
Khusus melanoma, koriokarsinoma, karsinoma renal dan tiroid, memiliki ke-
cenderungan untuk mengalami perdarahan intratumoral.
-
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang radiologis sangat bermanfaat untuk menegakkan
diagnosis metastasis otak. Biopsi kadang dibutuhkan untuk mencari diagnosis
definitif. Selain itu, pemeriksaan diagnostik lainnya dibutuhkan untuk mengevaluasi
tumor primer.1
Gambaran radiologi yang mendukung gambaran metastasis otak adalah lesi
multipel, lokasi pada white-gray matter junction, circumscribed margin/sferikal,
edema vasogenik yang luas dibandingkan ukuran tumor itu sendiri.910
Pada era CT scan kepala, sekitar 50% tumor metastasis merupakan lesi soliter. Namun,
pada era MRI, lebih dari 2/3 kasus metastasis otak berupa lesi multipel.1 MRI dengan
kontras merupakan modalitas terbaik dalam mengevaluasi metastasis otak MRI lebih
sensitif dibandingkan dengan CT scan baik dalam hal menentukan ada atau tidaknya lesi,
lokasi lesi, dan jumlah lesi. Pada Tl MRI, tumor metastasis menunjukkan lesi hiperintens.
Tumor dengan ukuran besar biasanya menunjukkan penyangatan perifer dengan fokus
yang tidak menyangat (menunjukkan nekrosis sentral). Edema peritumoral pada Tl akan
bersifat hipointens (Gambar 13.2). Pada T2, tumor akan terlihat hipointens, sementara
edema akan terlihat hiperintens. Adanya edema lebih baik dilihat pada sekuens T2.11
Modalitas pencitraan terbaru seperti positron emission tomography (PET) dan
single-photon emission computed tomography (SPECT) dapat membantu membedakan
massa tumor dengan nekrosis pascaradiasi.1
XIII. 5 Tata Laksana
Terdapat beberapa pilihan tata laksana pada metastasis otak, yaitu whole brain
radiotherapy (WBRT), pembedahan, dan stereotactic radiosurgery (SRS). Studi
mengenai efikasi kemoterapi sistemik pada metastasis otak terbatas.91012

Eembfidahan
Dua studi pada pasien metastasis'otak dengan lesi soliter menyebutkan bahwa
tata laksana kombinasi pembedahan dan WBRT memiliki median kesintasan yang
lebih panjang jika dibandingkan dengan pasien yang ditatalaksana denganWBRT saja
(10 bulan vs 4-6 bulan). Sementara studi Patchell menyebutkan bahwa pasien yang
dilakukan pembedahan akan mengalami tingkat kekambuhan yang lebih kecil dan
mandiri secara fungsional lebih lama. Namun, ada juga studi lain yang mendapatkan
tidak ada perbedaan bermakna pada pasien dengan penyakit sistemik yang aktif dan
KPS yang buruk.1012
Pembedahan dilakukan pada pasien dengan gejala peningkatan tekanan
intrakranial, untuk memperbaiki fungsional (gejala defisit fokal neurologis),
mengurangi frekuensi kejang, dan untuk mengurangi ketergantungan terhadap
steroid. Namun, perlu diingat bahwa pembedahan juga memiliki risiko seperti
diseminasi sel tumor ke leptomeningeal terutama pada tumor yang terletak di fosa
posterior.12

Stereotactic radiosurgery (SRS)


SRS merupakan radiasi lokal dengan presisi yang tinggi yang diberikan dalam satu
fraksi dengan panduan radiologi. Target SRS adalah metastasis berukuran kecil.812
Dosis yang digunakan bergantung pada ukuran tumor. Dosis yang digunakan adalah
24Gy untuk ukuran diameter tumor <20mm, 18Gy untuk ukuran tumor 21-30mm,
dan 15Gy untuk ukuran tumor 31-40mm.912
Dosis tunggal yang besar untuk ukuran tumor yang besar dan tumor yang
letaknya berdekatan dengan struktur penting, paling sering menyebabkan toksisitas.
Terkadang pada beberapa kasus diberikan hipofraksinasi yang diperkirakan akan
memberikan kontrol lokal tumor yang adekuat namun dengan efek toksisitas yang
masih dapat ditoleransi oleh pasien.12
Dosis tunggal SRS diberikan pada pasien yang baru terdiagnosis metastasis otak
dengan jumlah lesi kurang dari 3. Metastasis pada tumor yang bersifat radioresisten
seperti melanoma dan karsinoma renal memiliki respons yang baik terhadap SRS
seperti tumor lainnya. Pada pasien yang diberikan SRS setelah WBRT menunjukkan
kontrol lokal dan dan status performa 6 bulan yang lebih baik. Namun, angka
kesintasan hanya akan bermakna signifikan pada pasien dengan lesi soliter.12

SRS juga memiliki komplikasi [early, early delayed, dan late) pada 10-40% pasien.
Reaksi akut 2 minggu pasca-SRS adalah edema serebri, berupa sakit kepala, mual,
muntah, bertambahnya defisit fokal neurologis, dan kejang. Namun kesemua gejala ini
dapat diatasi dengan steroid. Komplikasi lanjutan dari SRS (bulanan hingga tahunan]
adalah hemoragik dan radionekrosis, dilaporkan terjadi pada 1-17% pasien. 2812
Whole Brain Radiotherapy (WBRT)
WBRT merupakan pilihan yang paling sering digunakan pada metastasis otak
dengan lesi multipel.8'10'12 Efektivitasnya tergantung pada histologi tumor. Karsinoma
payudara dan paru bersifat radiosensitif, sementara melanoma dan karsinoma renal
bersifat radioresisten.11 Reduksi volume tumor setelah WBRT berdampak pada fungsi
neurokognitif yang membaik dan angka kesintasan yang memanjang.
Median kesintasan pasca-WBRT pada pasien dengan lesi multipel berkisar 3-6
bulan, dimana 10-15% masih hidup pada 1 tahun. Dosis radiasi yang diberikan adalah
30Gy terbagi dalam 10 fraksi selama 2 minggu atau 37,5Gy terbagi dalam 15 fraksi
selama 3 minggu. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua dosis tersebut.
Efek samping justru akan bertambah pada dosis yang lebih besar.1012
Efek samping pada WBRT adalah jaringan otak yang normal juga terpapar radiasi
dan efek yang ditimbulkan bergantung pada total dosis, dosis per fraksi, dan interval
dosis yang diberikan. Efek samping akut dapat berupa kulit kering, rambut rontok,
sakitkepala, muntah, letargi, edema sereberi, dan otitis media. "Somnolence syndrome"
yang disebabkan kelelahan dapat muncul 1 hingga 4 bulan pasca-WBRT.
Efek lanjutan [late effects) dapat berupa radionekerosis, atrofi, leukoensefalopati,
dan demensia. Makin besar dosis per fraksi setiap hari nya akan menyebabkan
gangguan neurokognitif yang lebih berat. Leukoensefalopati yang diinduksi radiasi
yang disebabkan kerusakan pembuluh kecil serebral terjadi pada fraksi >2Gy Untuk
itu, pada pasien dengan prognosis yang lebih baik, sebaiknya dosis WBRT dibagi
menjadi 15 fraksi dengan dosis per fraksi 2Gy.u

Kemoterapi sistemik
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi respons pengobatan pada
kemoterapi sistemik:13
a. Sawar darah otak
Sawar darah otak akan membatasi pasase molekul kemoterapi berukuran besar
dan hidrofilik. Kemoterapi yang bersifat hidrofilik tidak akan mampu melewati
sawar darah otak.
Selain itu, penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi edema peritumoral
mampu memperbaiki sawar darah otakyang mengalami kerusakan, namun akan
mencegah agen kemoterapi untuk masuk.
b. Sensitivitas tumor terhadap kemoterapi
Beberapa tumor metastasis seperti melanoma dan karsinoma bukan sel kecil paru
(NSCLC) memiliki sifat kemosensitif yang terbatas. Selain itu, kadang ditemui
metastasis pada otak terjadi selama pasien menjalani kemoterapi untuk penyakit
sistemiknya, sehingga menyebabkan tumor di otak ssudah resisten terhadap
agen kemoterapi tersebut.

Keganasan paru jenis karsinoma sel kecil paru lebih bersifat kemosensitif jika
dibandingkan dengan NSCLC. Kemoterapi yang diujicobakan pada SCLC adalah
cisplatin, etoposide, cyclophosphamide, vincristine, doxorubicin, topotecan,
teniposide, carboplatin, dan temozolamide. Hampir semua studi menyebutkan pasien
mendapatkan gejala toksik yang signifikan, namun tidak ada perbedaan bermakna
pada angka kesintasan dengan pemakaian kemoterapi. 5613
Terdapat beberapa kemoterapi sistemik yang diujicobakan pada metastasis
otak pada pasien NSCLC, di antaranya kemoterapi sitotoksik (cisplatin, etoposide),
Targeted Agents (erlotinib, gefitinib], ALK tyrosine kinase inhibitors [crizotinib,
alectinib], bevacizumab, dan kombinasi WBRT dan Temozolamide. Pada studi-studi
tersebut didapatkan bahwa kemoterapi sistemik tidak lebih superior dibandingkan
dengan radioterapi. Kemoterapi akan bermanfaat pada pasien dengan kanker paru
disseminata dan metastasis otak asimptomatik. 413
Agen kemoterapi yang digunakan pada pasien keganasan payudara dengan
metastasis otak mencakup capecitabine, cyclophosphamide, 5-fluoruracil,
metotreksat, vincristine, cisplatin, etoposide, lapatinib (dual EGFR dan human
epidermal growth receptor HER-2), dan trastuzumab (Tabel 13.1]. Beberapa studi
melaporkan penggunaan trastuzumab pada kanker payudara subtipe HER2 positif.
Namun, hingga kini belum ada data yang cukup untuk menjelaskan kegunaan
kemoterapi sistemik pada keganasan payudara. 1315
Perawatan Suportif
a. Kortikosteroid
Digunakan untuk mengontrol edema vasogenik peritumoral. Jenis yang
direkomendasikan adalah deksametason mulai dari dosis 4-8mg per hari, dapat
ditingkatkan menjadi 16mg/hari pada pasien dengan gejala yang berat. Jenis
ini merupakan pilihan utama karena efek mineralokortikoid yang rendah dan
waktu paruh yang panjang. Gangguan neurologis akan membaik setelah 24-72
jam pascapemberian deksametason. Sebagai monoterapi, deksametason akan
mengurangi gejala dalam kurun waktu satu bulan dan memperpanjang median
kesintasan 4-6 minggu jika dibandingkan dengan pasien yang tidak diberikan
terapi sama sekali.1,8
b. Obat anti epilepsi
Pemberian obat kejang sebagai profilaksis tidak terbukti efektif. Level subterapi
dan efek samping lebih sering ditemukan pada pasien dengan keganasan siste-
mik yang diperkirakan karena interaksi obat. Fenitoin, fenobarbital, karbamaz-
epin, dan okskarbazepin akan menginduksi sitokrom P450 serta mempercepat
metabolisme kortikosteroid dan kemoterapi (seperti nitrosurea, paclitaxel,
siklofosfamid, topotecan, irinotecan, thiotepa, adriamycin, metrotreksat, imati-
nib, gefitinib, erlotinib, dan golongan TKI lainnya) sehingga obat-obatan tersebut
berkurang efikasinya.189
c. Pemberian antikoagulan
Diberikan sebagai standar tata laksana pada venous thromboembolism (VTE)
akut. Pemberian low molecular weight heparin (LWMH] direkomendasikan
pada pasien dengan trombosis vena dalam, emboli paru, dan pasien yang akan
menjalani pembedahan mayor.18

XIII.6. Prognosis
Terdapat beberapa model prognostik untuk menentukan angka kesintasan pada
metastasis otak. Berdasarkan beberapa skoring indeks prognosis, faktor prognostik
yang bermakna dalam angka kesintasan pasien adalah status performa, usia,
metastasis ekstrakranial, kontrol penyakit utama, ukuran dan jumlah lesi metastasis
otak, serta histologi dan subtipe tumor utama.16 Salah satu indeks prognostik yang
paling sering dipakai dalam menentukan angka kesintasan pada metastasis otak
adalah Grade Prognostic Assesment (GPA), seperti pada Tabel 13.2.17
Ilustrasi Kasus
Wanita usia 55 tahun datang ke IGD karena keluhan tangan kanan bergerak-gerak
sendiri dengan gerakan ritmis sekitar 5 menit, kemudian berhenti sendiri. Pasien
kondisi sadar. Sekitar 3 bulan sebelumya pasien mengeluhkan nyeri kepala sisi kanan,
intensitas sedang, terasa cekot-cekot. Pasien merupakan penderita Ca mammae tegak
diagnosa 1 tahun yang lalu, dan telah operasi. Pemeriksaan laboratorium dalam batas
normal.

Pertanyaan 1.
Tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan pada pasien ini adalah?

A. MRI cerebral kontras


B. Pemberian anti kejang
C. Pemberian kortikosteroid
D. EEG
E. Benar semua
Jawaban: E

Pembahasan:
Pada kasus tersebut terdapat kecurigaan adanya brain metastasis dari Ca
mammae. Dengan adanya kecurigaan tersebut dapat diberikan kortiksteroid untuk
mengontrol edema vasogenik peritumoral. Pemberian anti kejang dapat diberikan
dengan pertimbangan jenis anti kejangnya. Fenitoin, fenobarbital, karbamazepin, dan
okskarbazepin akan menginduksi sitokrom P450 serta mempercepat metabolisme
kortikosteroid dan kemoterapi. Dan pemeriksaan MRI cerebral dapat dilakukan
karena sangat bermanfaat untuk menegakkan diagnosis metastasis otak. Biopsi
kadang dibutuhkan untuk mencari diagnosis definitif. Gambaran radiologi yang
mendukung gambaran metastasis otak adalah lesi multipel, lokasi pada white-
gray matter junction, circumscribed margin/sferikal, edema vasogenik yang luas
dibandingkan ukuran tumor itu sendiri.
Pertanyaan 2.
Pada brain metastasis dilakukan Whole Brain Radiotherapy (WBRT), berapa
dosis yang diberikan?
A. 30 Gy terbagi dalam 10 fraksi selama 2 minggu
B. 40 Gy terbagi dalam 10 fraksi selama 2 minggu
C. 30 Gy terbagi dalam 15 fraksi selama 2 minggu
D. 40 Gy terbagi dalam 15 fraksi selama 2 minggu
E. 37.5 Gy terbagi dalam 10 fraksi selama 3 minggu
fawaban: A
t
Pembahasan:
* WBRT merupakan pilihan yang paling sering digunakan pada metastasis otak
dengan lesi multiple. Karsinoma payudara dan paru bersifat radiosensitif, sementara
melanoma dan karsinoma renal bersifat radioresisten. Dosis radiasi yang diberikan
adalah 30Gy terbagi dalam 10 fraksi selama 2 minggu atau 37,5Gy terbagi dalam 15
fraksi selama 3 minggu. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua dosis
tersebut. Efek samping justru akan bertambah pada dosis yang lebih besar.

Daftar Pustaka
1. Sofietti R, Franchino F, Ruda R. Brain metastasis as complication of systemic cancers. In cancer
neurology in clinical practice: neurological complications of cancer and its treatment. Edisi ke-3.
Springer. 2018. h. 57-72.
2. Loeeffler JS. Epidemiology, clinical manifestatations, and diagnosis of brain metastases. Wolters
Kluwer [serialonline]. 2018 [diunduhl3 Juli 2018]:1-10. Tersedia dari: UpToDate.
3. Jack MM, Gatozzi DA, Arnold PM. Multiple intraparenchymal cystic brain metastases-a rare
manifestation of metastatic adenocarcinoma of the prostate. Elsevier. Int Neurosurg. 2018;14:53-5.
4. Seoane J, Mattos-Arruda LD. Brain metastasis: new opportunities to tackle therapeutic resistance.
Mol Oncol. 2014;8:1120-31.
5. El Rassy E, Botticella A, Kattan J, Le Pechoux C, Besse B, Hendriks L. Non-small cell lung cancer
brain metastases and the immune system: from brain metastases development to treatment.
Elsevier. Cancer Treat Rev. 2018;698:69-79.
6. Preusser M, Winkler F, Valiente M, Manegold C, Moyal E, Widhalm G, Tonn JC, dkk. Recent advances
in the biology and treatment of brain metastases of non-small cell lung cancer: summary of a
multidisciplinary roundtable discussion. ESMO Open. 2018;3(l):e000262.
7. Drappatz JY, Wen PK, Avila E. Seizures in patients with primary and metastastic brain tumors.
Wolters Kluwer[serialonline]. 2018 [diunduhl4 Juni 2018]:l-25. Tersedia dari: UpToDate.
8. Soffietti R, Cornu P, Delattre JY, Grant R, Graus F, Grisold W, dkk. Brain metastases. Chapter 30.
Dalam: Gilbus NE, Barnes MP, Brainin M. European handbook of neurological management. Edisi
ke-2. Oxford: Blackwell Publishing; 2011. h. 438-52.
9. Navarro-Olver JL, Arinez-Barahona E, Esqueda-Liquidano MA, Munoz-Cobos A. Brain metastases:
literature review. Rev Med Hosp Gen Mex. 2017;80(T):60-6.
10. Scoccianti S, Ricardi U. Systemic review: treatment of brain metastases: review of phase III
randomized controlled trials. Radiother Oncol. 2012;102(2]:168-79.
11. Patel A, Lang F, Raymond S. Metastatic brain tumors. Dalam: Bernstein M, Berger MS. Neuro-
oncology: the essentials. Edisi ke-3. New York: Thieme; 2015. h. 451-58.
12. Soffietti R, Abacioglu U, Baumert B, Combs SE, Kinhult S, Kros JM, dkk. Diagnosis and treatment
of brain metastases from solid tumors: Guidelines from the European Association of Neuro-
Oncology (EANO). Neuro Oncol. 2017;19(2):162-74.
13. Drappatz J. Systemic therapy for brain metastasis. Wolters Kluwer [serialonline]. 2018 [diunduhl7
April 2018]:1-13. Tersedia dari: UpToDate.
14. Pedrosa RM, Mustafa DA, Soffietti R, Kros JM. Breast cancer brain metastasis: moleculer
mechanism and directions for treatment. Neuro Oncol. 2018;20(llJ:1439-49.
15. Fromm S, Bartsch R, Rudas M, de Vries A, Wenzel C, Steger GG, dkk. Factors influencing the time
to development of brain metastases in brain cancer. Breast. 2008;17(5):512-6.
16. Stelzer KJ. Epidemiology and prognosis of brain metastases. Wolters Kluwer. Medknow
Publication. Surg Neruol Int. 2013;4(Supl 4):S192-202.
17. Sperduto PW, Kased N, Roberge D, Xu Z, Shanley R, Luo X, dkk. Summary report on the graded
prognostic assessment: an accurate and facile diagnosis-specific tool to estimate survival for
patients with brain metastases. J Clin Oncol. 2012;30(4):420-24.
TUMOR MEDULA SPINALIS PRIMER
Rahmi Ardhini

XIV. 1. Pendahuluan
Tumor primer medula spinalis merupakan tumor yang berasal dari parenkim
medula spinalis atau dari jaringan yang terletak di dalam kanalis spinalis yang terbentang
dari servikal hingga sakrum, termasuk meningen, serabut saraf, jaringan lemak, tulang,
dan pembuluh darah.1 Insidensnya sangat kecil, yaitu 1/10 daripada tumor intrakranial,
namun mempunyai dampak morbiditas dan mortalitas yang signifikan.2
Tumor medula spinalis diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok. Berdasarkan
lokasi anatomi dibagi menjadi ekstradural, intradural ekstramedula, dan intradural
intramedula.1 Gejala awal yang paling banyak dikeluhkan adalah rasa nyeri tanpa
defisit neurologis di awal perjalanan penyakit. Pengobatan utama adalah reseksi tumor.
Namun karena keluaran fungsional pascaoperasi dipengaruhi oleh kondisi neurologis
pre-operasi, maka diperlukan pemeriksaan dan penyingkiran diagnosis banding secara
sistematik pada pasien dengan gejala nyeri punggung bawah untuk diagnosis dini.3

1
XIV.2. Epidemiologi
Tumor medula spinalis mempunyai persentase yang relatif kecil dibandingkan
tumor intrakranial, yaitu 0,5% dari seluruh diagnosis tumor dan 5-12% dari seluruh
tumor susunan saraf pusat. Insidensnya adalah 1:100.000 populasi per tahun, yaitu
pada usia 20-50 tahun, meskipun dapat ditemukan pada semua usia, laki-laki dan
perempuan sama besar.1,4
Tumor medula spinalis diklasifikasikan menjadi ekstradural, intradural
ekstramedula, dan intradural intramedula dengan prevalensi masing-masing sekitar
25%, 20-30%, dan 70-80% dari tumor primer spinal.1 Tumor primer medula spinalis
terbanyak pada dewasa menurut CBTRUS (Gambar 14.1) adalah meningioma (38,9%),
tumor selubung saraf (26,5%), dan tumor ependimal (19,1%). Pada anak-anak tumor
terbanyak adalah tumor ependimal (23,3%). Adapun berdasarkan distribusi anatomi
50-55% berasal dari segmen thorakal, 25-30% dari lumbosakral, dan sisanya berasal
dari servikal dan foramen magnum.1,2,4

XIV.3. Klasifikasi
Menurut klasifikasi historisnya tumor medula spinalis dapat dibagi menjadi
tumor ekstradural, intradural ekstramedula, dan intradural intramedula. Klasifikasi
tersebut membagi berdasarkan asal letak tumor, yaitu ekstradural (di luar duramater)
dan intradural (di dalam duramater), seperti pada Gambar 14.2.1,s
XIV.3.1. Tumor Ekstradural
Tumor ekstradural berasal dari semua jaringan di sekitar vertebra yang dapat
mengalami neoplasia, meliputi saraf, meningen, tulang, kartilago, dan otot. Tumor
ekstradural dibagi menjadi primer dan sekunder (metastasis), dimana tumor primer
dibagi lagi menjadi jinak (benigna) dan ganas (maligna). Baik tumor jinak maupun
ganas dapat menyebabkan instabilitas vertebra. Klasifikasi Enneking dan Weinstein-
Boriani-Biagini (WBB) digunakan untuk mengklasifikasikan tumor jinak dan ganas
pada spinal.3,7
Tumor Jinak
Tumor jinak ekstradural adalah tumor jinak yang berasal dari korpus vertebra
dan cabang-cabang saraf di sekitarnya. Tumor jinak spinal sering sulit didiagnosis
dan dijumpai secara insidental pada pemeriksaan radiologis tulang belakang.
1. Hemangioma Vertebra
Hemangioma vertebra adalah tumor jinak ekstradural yang paling banyak
dijumpai. Hemangioma merupakan hasil proliferasi hamartomatosa jaringan
pembuluh darah dan endotel pada tulang, bersifat jinak, sering asimtomatik,
dan tumbuh secara lambat. Prevalensi hemangioma sebesar 2-3% dari seluruh
tumor spinal dan mempunyai insidensi 10-12% pada populasi, puncaknya pada
usia 40-60 tahun. Insidensi meningkat seiring bertambahnya usia. Predileksi
terbanyak pada vertebra thorakal (60%), lumbal (29%), servikal (6%), dan
sakrum (5%). Hemangioma diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu tipe kapiler
dan tipe kavernosa. MRI sangat sensitif untuk mendiagnosis hemangioma, pada
Tl danT2 menunjukkangambaranhiperintensitas. 379

2. Osteoid Osteoma dan Osteoblastoma


Merupakan tumor jinak primer pada tulang dengan prevalensi 11% dari
seluruh tumor tulang primer. Sering ditemukan pada usia 5-20 tahun. Tumor ini
berukuran kecil 15-20mm, sering timbul pada elemen posterior (90%). Ditandai
oleh adanya nidus berukuran kecil dikelilingi oleh jaringan fibrovaskular. Gejala
yang sering muncul adalah nyeri pada daerah lesi, bersifat konstan, progresif,
muncul terutama pada malam hari, dan berkurang dengan pemberian analgetik
atau anti inflamasi nonsteroid. Dapat juga timbul nyeri radikuler.

Osteoid osteoma dapat terlihat pada foto polos sebagai lesi radiolusen dikelilingi
sclerotic rim, jarang menyebar ke korpus vertebra, rongga epidural, atau
paraspinal. Skoliosis sering terjadi pada vertebra yang terkena. Pengobatan
utama pada osteoid osteoma adalah pembedahan. 3 ' 79
3. Osteoblastoma
Merupakan tumor tulang yang jarang ditemukan, mempunyai prevalensi sekitar
1% dari seluruh tumor primer pada tulang. Predileksi utama pada spinal, pada
elemen posterior. Sebagian besar ditemukan pada dekade dua sampai tiga. Gejala
utama adalah nyeri progresif pada daerah lesi, tidak selalu muncul pada malam
hari, dan tidak selalu membaik dengan analgetik. Diagnostik paling sensitif
adalah bone scintigraphy. Tumor ini mempunyai sifat yang mirip dengan osteoid
osteoma tetapi berdiameter lebih besar (>20mm), lebih bersifat agresif, dan
terapi utamanya adalah pembedahan dengan reseksi en bloc.3-7"9
4. Osteokondroma
Osteokondroma merupakan tumor jinak tulang yang paling banyak, hanya 4%
ditemukan pada vertebra. Umumnya tumor ini bersifat soliter meskipun bisa
multipel pada eksostosis herediter multipel. Prevalensi laki-laki lebih banyak
daripada perempuan, banyak meyerang usia remaja dan dewasa muda. Predileksi
terbanyak pada vertebra servikal (49%). Komponen tumor terdiri dari kapsul
fibrosis, cartilage cap, dan tulang normal. Gambaran radiologi menunjukkan
adanya protuberansia tulang dengan pedunkulus yang terhubung dengan tulang
induknya tanpa diskontinuitas.7,9

5. Giant Cell Tumor


Merupakan tumor korpus vertebra yang paling banyak ditemukan, perempuan
lebih banyak daripada laki-laki, insidensi tertinggi di usia 20-50 tahun. Predileksi
terbanyak di daerah sakrum. Bersifat agresif dan destruktif. Gejalanya adalah
nyeri punggungyang progresif. Gambaran radiologis menunjukkan lesi radiolusen
dan ekspansif. Gambaran histologi terdiri dari sel-sel mononuklear bentuk bulat
atau oval yang bercampur dengan sel raksasa (giant cell) menyerupai osteoklast.
Secara historis tumor ini bersifat jinak yang seharusnya tidak menyebar, tetapi
kadang ditemukan penyebaran ke paru-paru. Tumor ini juga dapat berubah
menjadi ganas meskipun sangat jarang sekali.3,9

Tumor Ganas (Tumor Spinal Primer)


Tumor spinal primer mempunyai prevalensi 5% dari seluruh tumor primer tulang.
Data dari program National Registries and Cancer Surveillance menunjukkan tumor
spinal paling sering adalah mieloma multipel, plasmasitoma, sarkoma Ewing, kordoma,
dan osteosarkoma. Tumor spinal dibagi menjadi tumor derajat rendah {low-grade), yaitu
kordoma dan kondrosarkoma, serta derajat tinggi [high-grade), seperti osteosarkoma,
sarkoma Ewing, dan limfoma. Plasmasitoma mempunyai karakteristik spesial yaitu
tumbuh di dalam vertebra kemudian berkembang menjadi mieloma multipel.10
1. Osteosarkoma
Osteosarkoma merupakan keganasan tulang tersering, dengan predileksi vertebra
spinal hanya sekitar 3% dari seluruh kasus. Osteosarkoma pada vertebra sering
ditemukan pada dekade ke-4, dengan faktor risiko radiasi ion. Osteosarkoma
sering menyerang pasien dengan penyakit Paget, enchondromatosis, eksostosis
multipel herediter, dan fibrous dysplasia. Gejala utama adalah nyeri dan defisit
neurologis jika terdapat perluasan tumor ke kanalis spinalis.
Gambaran foto polos dapat bermacam-macam, dapat berupa lesi kombinasi
osteolitik, sklerotik, atau lesi campuran. Dapat terjadi fraktur patologis karena
90% mempunyai predileksi pada korpus vertebra. Pemeriksaan PET scan
merupakan prosedur diagnostik paling akurat. Terapi efektif pada osteosarkoma
adalah total spondilektomi atau eksisi luas yang dilakukan setelah pemberian
kemoterapi. Tumor ini bersifat resisten terhadap radioterapi. 810
2. Sarkoma Ewing
Merupakan tumor ganas tulang yang banyak menyerang anak usia 5-15 tahun.
Lokasinya terutama di daerah sakrum, hanya <10% terletak pada vertebra. Gejala
utama adalah nyeri, dapat disertai dengan radikulopati, sering teraba massa di
sepanjang vertebra. Sarkoma ini mempunyai ciri khas adanya lesi litik yang sering
menginvasi jaringan lunak di sekitarnya. Terapi utamanya adalah kemoterapi dan
radiasi. Pembedahan dilakukan dengan indikasi stabilisasi dan dekompresi medula
spinalis. Harapan hidup pasien sangat rendah, tetapi dapat meningkat dengan
kombinasi terapi tersebut. Angka kesintasan 5 tahun berkisar antara 33%-60%.8
3. Mieloma Multipel
Merupakan keganasan plasma terbanyak, ditandai oleh lesi osteolitik dan
destruktif pada tulang, sehingga terlihat gambaran osteoporosis difus dengan
atau tanpa fraktur. Ditemukan sel plasma ganas pada sumsum tulang dan
imunoglobulin monoklonal pada serum atau urin. Pada 5% pasien, muncul
sebagai plasmasitoma soliter pada kolumna vertebra. Terapi utama pada mieloma
multipel adalah kemoterapi diikuti dengan transplantasi sumsum tulang.
Angka kesintasan median pasien mieloma multipel adalah 28 bulan, sedangkan
plasmasitoma soliter bisa mencapai 60 bulan.10

XIV.3.2. Tumor Intradural Ekstramedula


Ruang intradural ekstramedula berada diantara duramater dan piamater beserta
pembuluh darah yang mengelilingi medula spinalis, mulai dari foramen magnum
hingga korpus vertebra sakrum 2-3. Insidens tumor yang sering ditemukan adalah
tumor yang berasal dari selubung saraf [nerve sheath tumor), yaitu Schwannoma
dan neurofibroma, serta tumor sel araknoid yang melapisi bagian dalam duramater
(meningioma). Tumor lain adalah tumor mesenkim, tumor neuroglial, tumor
hematopoietik, mixopapillary ependimoma filum terminal, dan metastasis. 5
Tumor Selubung Saraf [Nerve Sheath Tumor)
Tumor selubung saraf berasal dari struktur penunjang non-neuron di dalam
radiks spinalis dan saraf tepi. Meskipun muncul di sepanjang perjalanan saraf sejak
keluar dari medula spinalis, tumor ini lebih sering ditemukan dekat dengan radiks
spinalis dan saraf tepi bagian proksimal. Insidensi puncak pada usia dekade keempat
dan tidak mempunyai predileksi tertentu. Berdasarkan asal dan ukuran tumor, dapat
berlokasi di intradural, ekstradural, maupun keduanya yang menunjukkan gambaran
"dumbbell shape". Karena tumor ini sering berasal dari radiks dorsalis, tumor ini
sering terletak di sisi dorsolateral medula spinalis.
Tumor selubung saraf terbanyak adalah Schwannoma (85%) dan neurofibroma
(15%), sebagian besar bersifat jinak. Perbedaan neurofibroma dari Schwannoma
adalah adanya komponen campuran neuron/akson dan jaringan fibrosis. Hanya
3% bersifat ganas yang ditandai oleh tingginya indeks mitosis dan adanya sel-sel
berbentuk spindel. Neurofibroma sering berhubungan dengan neurofibromatosis
tipe 1 (NF1), sedangkan Schwannoma berhubungan dengan neurofibromatosis
tipe 2 (NF2). Tumor selubung saraf merupakan lesi yang tumbuh lambat yang
dapat mencapai ukuran yang cukup besar sebelum munculnya gejala. Pada MRI
menunjukkan gambaran isointense yang menyangat pascapemberian kontras, dapat
homogen maupun heterogen. Terapi utama pada tumor ini adalah pembedahan
terutama tumor yang bersifat simptomatik.3

Meningioma
Meningioma merupakan tumor intradural ekstramedula kedua tersering setelah
Schwannoma. Seperti halnya pada meningioma intrakranial, perempuan juga mempunyai
insidens yang lebih tinggi dengan rasio 4:1 sampai 9:1. Tumor ini berasal dari sel-sel di
dalam vili araknoid, dengan lokasi terbanyak di sekitar tempat keluarnya radiks dorsalis
di sisi lateral medula spinalis. Sebanyak 82% berlokasi di segmen thorakal dan insidensi
puncak pada usia akhir pertengahan. Meningioma merupakan tumor yang tumbuh
lambat, sebagian besar bersifat jinak Berdasarkan klasifikasi tumor susunan saraf pusat
WHO tahun 2016, meningioma dibagi menjadi 3 derajat, yaitu derajat I, II, dan III.3,6

Pada pemeriksaan MRI menunjukkan gambaran isointens pada Tl yang


menyangat kontras secara homogen. Sepuluh persen meningioma dapat mengalami
perluasan hingga ke ekstradural. Terapi utama pada meningioma spinal adalah
reseksi tumor. Keluaran pascareseksi tergantung pada kondisi neurologis sebelum
pembedahan, tetapi sebagian besar pasien mengalami perbaikan pascaoperasi.3

XIV.3.3. Tumor Intradural Intramedula


Ependimoma
Ependimoma adalah tumor neuroepitelial yang berasal dari sel ependim di kanalis
sentralis. Merupakan tumor intramedular tersering pada dewasa dengan prevalensi
37-60% dari seluruh tumor intramedular. Tumor ini paling sering ditemukan pada
segmen servikal (67%), 26% thorakal, dan 7% di konus medularis. Bersifat jinak,
tumbuh lambat, sering soliter, meskipun tidak berkapsul tetapi tidak invasif. Sering
ditemukan pada pasien dengan neurofibromatosis tipe 2 (NF-2], sering dijumpai
pada pasien dekade ke empat, sedikit lebih banyak pada laki-laki.

Seperti halnya di intrakranial, ependimoma dibagi berdasarkan sistem derajat


WHO menjadi myxopapillary ependymoma (WHO derajat I), subependymoma (WHO
derajat I), ependimoma (WHO derajat II], dan ependimoma anaplastik (WHO
derajat III]. Ependimoma hampir selalu terletak intramedula, kecuali myxopapillary
ependymoma yang berasal dari sel ependim pada filum terminal/kauda equina. Pada
ependimoma sering ditemukan kista intratumoral dan syrinx, yang tampak sebagai
gambaran "cappingphenomen", serta sering menyebabkan perdarahan mikro. 35

Astrositoma
Astrositoma adalah tumor intramedula yang berasal dari sel-sel astrosit.
Merupakan tumor intramedula kedua tersering pada dewasa setelah ependimoma
dengan prevalensi 36-45%. Prevalensi astrositoma derajat rendah lebih banyak
daripada derajat tinggi. Rerata insidensi usia 20 sampai 30 tahun dengan prevalensi
laki-laki lebih banyak. Predileksi terbanyak pada segmen thorakal diikuti servikal.35
Secara histologi berdasarkan WHO dibagi menjadi derajat I, pilocytic astrocytoma;
derajat II, fibrillary, diffuse astrocytoma; derajat III, anaplastic; dan derajat IV,
glioblastoma. Raco dkk melaporkan bahwa dari 86 kasus astrositoma, 3 1 % adalah
derajat 1,48% derajat II, dan 21 % derajat III-IV. Astrositoma secara genetik berhubungan
dengan neurofibromatosis tipe (NF-1). Pada astrositoma ditemukan bagian kistik lebih
banyak daripada ependimoma dan pada 20% kasus ditemukan syrinx.2'3'5'11
Hemangioblastoma
Hemangioblastoma merupakan tumor jinak yang kaya vaskularisasi, berasal dari
sel mesenkim pembuluh darah di dalam medula spinalis. Tersusun dari cabang-cabang
kapiler vaskular yang mengandung sel endotel, perisit, dan sel stroma. Prevalensi
tumor ini 3-4% dari seluruh tumor intramedula, sering pada usia >40 tahun, insidens
laki-laki dua kali lebih tinggi daripada perempuan, dan 20-30% berhubungan dengan
penyakit genetik von Hippel-Lindau. Lokasi paling sering adalah di dekat kolumna
dorsalis dengan gejala klinis terbanyak nyeri dan gangguan sensorik.2'3

XIV.4. Gejala Dan Tanda Klinis


Medula spinalis merupakan struktur yang terdiri dari komponen motorik,
sensorik, dan otonom, sehingga lesi yang terjadi akibat kerusakan medula spinalis
dapat memberikan gejala bermacam-macam, sesuai dengan lokasi anatomi yang
terkena (Gambar 14.4]. Pemeriksaan fisik yang baik dan teliti akan membantu
menentukan lokasi topis secara tepat. Medula spinalis, seperti halnya otak,
tersusun atas substansia grisea dan substansia alba. Substansia alba mengandung
jaras-jaras asenden dan desenden, sedangkan substansia grisea mengandung
neuron-neuron, yaitu kornu anterior yang mengandung neuron motorik, kornu
lateral mengandung neuron otonom dan kornu posterior terdiri dari neuron
sensorik. Medula spinalis membentang mulai craniocervical junction sampai
setinggi vertebra level lumbal 1 dan 2. Berakhirnya medula spinalis yang disebut
dengan konus medularis, dan di bawah level tersebut hanya berisi radiks-radiks
yang dinamakan kauda equina.312
Tumor spinal dapat memiliki gejala klinis yang beragam, tetapi yang paling sering
adalah nyeri. Nyeri yang disebabkan oleh tumor ekstadural sering bersifat radikuler,
setinggi lesi, disertai defisit neurologis lainnya yang terjadi setelahnya, tetapi pada lesi
intramedula, jarang dijumpai nyeri. Pada tumor ekstradural terutama yang berasal
dari vertebra, sering dijumpai deformitas dan teraba massa pada palpasi.7
Kita mengenal berbagai sindrom lesi medula spinalis yang mempunyai
manifestasi sesuai dengan topis anatomi yang terkena, dibedakan menjadi lesi
komplit dan inkomplit. Lesi komplit melibatkan semua modalitas yaitu motorik,
sensorik, dan otonom, sedangkan lesi inkomplit sendiri dibagi menjadi 6 sindrom
yaitu central cord syndrome, Brown-Sequard syndrome, anterior cord syndrome,
posterior cord syndrome, conus medular syndrome dan cauda equina syndrome (Tabel
14.2, Gambar 14.5).12

XIV.5. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis tumor spinal didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan klinis neu-
rologis, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang pada tumor spinal me-
lip'uti foto polos vertebra, CT scan, bone scan, MRI, mielografi, angiografi, SPECT, dan
PET scan. Foto polos vertebra merupakan modalitas pencitraan awal pada kecurigaan
tumor spinal, terutama pada vertebra. Pada foto polos dapat dijumpai gambaran lesi
osteolitik, osteoblastik, dan campuran.
MRI merupakan modalitas pencitraan pilihan dalam mendeteksi lesi spinal,
terutama dalam menggambarkan letak lesi, infiltrasi ke dalam kanalis spinalis, dan
keterlibatan jaringan lunak di sekitarnya. CT scan, superior dalam menunjukkan
gambaran garis kortikal dan kalsifikasi pada tulang daripada MRI. Secara umum CT
scan tidak sesensitif MRI dalam membantu penegakan diagnosis tumor spinal.7

XIV.6. Tata Laksana


Terapi utama pada tumor spinal adalah pembedahan. Kemoterapi dan radiasi
dapat diberikan sebagai terapi adjuvan yang diberikan pada tumor dengan derajat
tinggi. Teknik pembedahan pada tumor spinal primer antara lain kuretase, reseksi
intralesi, dan reseksi en bloc. Reseksi en bloc dibagi menjadi reseksi luas, marginal,
dan intralesi. Terapi tumor intradural menganut guideline NCCN tahun 2017 (Gambar
14.6), dilihat berdasarkan gambaran radiologis dan gejala klinis. Terapi non-operatif
diindikasikan pada lesi jinak dan lesi yang bersifat asimptomatik. Jika pembedahan
tidak dapat dilakukan, maka manajemen nyeri sangat bermanfaat.715
XIV.7. Prognosis
Morbiditas neurologis lebih tinggi pada tumor intramedula daripada tumor
ekstramedula. Status neurologis pre operatif merupakan prediktor utama status
fungsional pascaoperasi. Faktor-faktor lainnya seperti usia pasien, onset gejala neurologis,
jenis, tumor, dan lokasi tumor terutama pada segmen thorakal juga dapat menjadi faktor
risiko perburukan fungsional pascaoperasi. Tingkat rekurensi tumor spinal primer
intradural ekstramedula dalam 5 tahun adalah antara 8,9% sampai 32%, sedangkan
tumor intramedula adalah 83% sampai 95%. Tingkat rekurensi dipengaruhi oleh jenis
reseksi, reseksi inkomplit mempunyai rekurensi lebih tinggi daripada reseksi komplit.15
Daftar Pustaka
1. Newton HB. Overview of pathology and treatment of primary spinal cord tumors. Dalam: Newton
HB, editor. Handbook of neurooncology neuroimaging. Elsevier. 2016. h. 41-53.
2. Samartzis D, Gillis CC, Shih P, O'Toole JE, Fessler RG. Intramedullary spinal cord tumors: Part I-
Epidemiology, pathophysiology, and diagnosis. Global spine J. 2015;5:425-35.
3. Bernstein M, Berger MS. Neuro-oncology the essentials. Edisi ke-3. New York: Thieme Medical
Publishers. 2015. h. 462-73.
4. Ostrom QT, Gittleman H, Liao P, Vecchione-Koval, Wolinsky Y, Kruchko C, dkk. CBTRUS statistical
report: primary brain and other central nervous system tumors diagnosed in the united states in
2010-2014. Neurooncol. 2017;19[S5):l-88.
5. Kollias SS, Capper DM, Saupe N, Barath K. Spinal tumors. Dalam: Naidich TP, Castillo M, Cha S,
Raybaud C, Smirniotopoulos J, Kollias S. Imaging of the spine. Philadelphia: Saunders Elseviers.
2011. h. 305-75.
6. Louis DN, Perry A, Reifenberger G, von Deimling A, Figarella-Branger D, Cavenee WK, dkk.
The 2016 World Health Organization classification of tumors of the central nervous system: a
summary. Acta Neuropathol. 2016;131:803-20.
7. Fuchs B, Boos N. Primary tumors of the spine. Spinal Dis. 2008;2008:951-76.
8. Ton JC, Westphal M, Rutka JT, Grossman SA. Neurooncology of CNS tumors. Berlin: Springer-Verlag
Berlin Heidelberg. 2006.
9. Ciftdemir M, Kaya M, Selcuk E, Yalniz E. Tumors of the spine. World J Orthop. 2016;7(2): 109-16.
10. Sundaresan N, Rosen G, Boriani S. Primary malignant tumors of the spine. Orthop Clin North Am.
2009:40(l):21-36.
11. Raco A, Esposito V, Lenzi J, Piccirilli M, Del-Ni R, Cantore G. Long-term follow-up of intramedullary
spinal cord tumors: a series of 202 cases. Neurosurgery. 2005;56(5):972-81.
12. Baehr M, Frotscher M. Duus' Topical Diagnosis in neurology: anatomy, physiology, signs,
symptoms. 5th Ed. Stuttgart: Georg Thieme Verlag. 2012.
13. Tay BKB, Freedman BA, Rhee JM, Boden SD, Skinner HB. Disorders, diseases, and injuries of the
spine. Dalam: Skinner HB, McMahon PJ. Current diagnosis and treatment in orthopedics. Edisi ke-
5. McGraw-Hill. 2014.
14. Nabors LB, Portnow J, Ammirati M, Baehrig J, Brem H, Butowski N, dkk. NCCN clinical practice guidelines
in oncology central nervous system. J Natl Compr Cane Netw. 2017;15(ll):1331-45.
15. Shah AH, Johnson JN, Green BA. Intradural tumors. Dalam: Garfin SR, Eismont FJ, Bell GR, Bono CM,
Fischgrund. Rothman-Simeone the spine. Edisi ke-7. Philadelphia: Elsevier; 2017.
TUMOR MEDULA SPINALIS SEKUNDER
Mariana Nur Laila, Rusdy Ghazali Malueka

XV. 1. Pendahuluan
Tumor spinal dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok, antara lain
berupa tumor primer atau metastasis. Tumor primer di spinal bisa berasal dari jaringan
tulang atau medula spinalis, sedangkan metastasis berasal dari lokasi di luar spinal,
seperti payudara, paru, dan prostat. 12 Secara anatomi, tumor spinal diklasifikasikan
ke dalam tiga kelompok, yaitu tumor ekstradural, intradura-ekstramedula, dan
intradura-intramedula. Klasifikasi ini sangat berguna dalam melakukan pemeriksaan
klinis, memilih pemeriksaan penunjang yang tepat, menyusun rencana terapi, dan
menentukan prognosis pasien.2

Tumor spinal mengancam fungsi neurologis normal melalui kemungkinan


penekanan medula spinalis, kauda equina, atau radiks saraf spinalis yang keluar melalui
neuroforamina. Sebagian besar tumor tersebut ganas dan banyak berasal dari metastasis
tulang, maupun sebagai tumor tulang primer atau tumor paraspinal. Kondisi ini disebut
sebagai epidural spinal cord compression (ESCC).3
i

Saat ini tata laksana tumor spinal ekstradural telah berkembang dengan
menggunakan teknologi untuk mendeteksi dini sehingga memungkinkan untuk
dilakukan operasi lebih awal.6
XV.2. Epidemiologi
Spinal merupakan tempat metastasis tumor primer yang sering. Sebanyak 95%
dari total keseluruhan pasien dengan tumor spinal adalah tergolong metastasis.
Sebanyak 500.000 pasien diperkirakan mengalami metastasis tumor di spinal tiap
tahunnya. Namun hanya 64% pasien metastasis tumor spinal yang simtomatik,
sisanya tidak memiliki keluhan atau ditemukan secara insidental.2
Oleh karena mayoritas merupakan metastasis, maka harus dipertimbangkan
lebih dahulu ketimbang tumor primer pada pasien tumor spinal. Metastasis terutama
berlokasi di ekstradural, yaitu korpus vertebra (85%), ruang paravertebra (10-15%),
dan ruang epidural (<5%), yaitu di intradural ekstramedula dan intramedula. Itu
sebabnya tumor metastasis dimasukkan dalam kelompok tumor ekstradural atau
ESCC,2 karena metastasis vertebra terjadi pada 85-90% dari ESCC,4 yaitu sekitar 60-70%
kasus pada vertebra torakalis, 20-30% di lumbosakral, dan 10% di servikal.5
ESCC disebabkan oleh kanker yang mengisi ruang epidural karena perluasan dari
korpus vertebra dan elemen tulang belakang lainnya, infiltrasi melalui foramen atau
penyebaran hematogen langsung ke ruang epidural.4 Adanya indentasi thecal sac pada
pemeriksaan radiologis merupakan bukti adanya ESCC, walaupun derajat kompresi thecal
sac yang ditemukan mungkin bervariasi.5
Sebuah studi berbasis populasi di Kanada mendapatkan 2,5% pasien kanker mengalami
ESCC dalam waktu 5 tahun menjelang kematian, yaitu 0,2% pada pasien kanker pankreas,
hingga 8% pada pasien dengan mieloma multipel. Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa
kejadian rata-rata tahunan ESCC adalah 3,4% dari pasien yang meninggal karena kanker,
yaitu pada mieloma multipel, limfoma, dan kanker prostat. Secara keseluruhan penyebab
ESCC yang paling umum adalah kanker paru-paru (25%), kanker prostat (16%), mieloma
(11%), limfoma non-Hodgkin (8%), dan kanker payudara (7%).3 Referensi lain yaitu
kanker payudara (21%), paru (14%), prostat (7,5%), ginjal (5,5%), gastrointestinal
(5%), dan tiroid (2,5%).2

XV.3. Patofisiologi Tumor Metastasis


Sel kanker dapat menyebar pada bagian tubuh yang lain melalui darah dan sistem
limfa, berkembang menjadi tumor yang baru. Sel tersebut tidak saling menempel
seperti sel normal, melainkan harus melepaskan diri dari sel kanker agar bisa
menyebar, berpindah, dan berkembang ke bagian lain. Sel kanker juga memproduksi
substansi-substansi untuk menstimulasi diri agar bisa berpindah.7

Pada awalnya sel kanker yang tumbuh di antara struktur sel normal berusaha
melewati lapisan yang menahan sel pada tempatnya (membran basalis) untuk
menginfiltrasi dinding pembuluh darah dan masuk ke aliran pembuluh darah (Gambar
15.1). Ketika masuk ke aliran darah kecil, sel-sel tersebut masuk ke sistem aliran
darah sistemik, yang disebut dengan circulating tumor cells (CTC). Sirkulasi darah
ini membawa sel kanker, hingga berhenti di suatu tempat, biasanya pada pembuluh
darah yang sangat kecil seperti kapiler (Gambar 15.2)7
Selanjutnya sel-sel kanker harus berpindah melalui dinding kapiler dan masuk
ke dalam jaringan organ berdekatan. Sel tersebut dapat membelah membentuk
tumor baru jika kondisinya mendukung untuk tumbuh dan mendapatkan nutrisi yang
dibutuhkan. Proses ini rumit dan kebanyakan sel-sel kanker tidak dapat berkembang.
Biasanya beratus sel-sel kanker dapat mencapai pembuluh darah besar, namun hanya
beberapa yang dapat bertahan menjadi kanker sekunder. Sebagian sel kanker dibunuh
oleh sistem imun, sebagian lain mungkin juga mati karena kecepatan aliran darah. Sel-
sel kanker di sirkulasi darah mencoba menempel pada platelet untuk menghindar dari
sistem imun yang dapat membantu mereka pindah ke jaringan sekitar (Gambar 15.3).7
Penyebaran sel tumor dapat secara langsung (perkontinuitatum), limfogen,
dan hematogen. Dari 10% kasus mekanisme ESCC disebabkan melalui penyebaran
langsung tumor primer atau fokus metastasis (seperti nodul limfa di ruang paraspinal)
yang berada di bagian retroperitoneal atau mediastinum dapat mengerosi korpus
vertebra secara langsung, atau masuk ke kanalis spinalis melalui foramen neuralis.8
Penyebaran seperti ini terutama berlaku pada tumor prostat.2
Sistem limfatik merupakan jaringan pada tubuh yang memfilter cairan tubuh
dan melawan infeksi. Sel kanker dapat masuk ke dalam aliran limfa yang kecil
yang berdekatan dengan tumor primer dan berpindah ke limfa yang terdekat. Pada
kelenjar limfa, sel-sel kanker mungkin dihancurkan tetapi beberapa dapat bertahan
dan berkembang mejadi tumor di satu nodul atau beberapa nodul limfa.7
Sel tumor primer paling sering menyebar ke spinal melalui sistem vena. Untuk
dapat mencapai spinal, sebelumnya sel tumor akan melalui sirkulasi di hati dan paru.
Pada kondisi normal, 5-10% darah berada dalam sistem vena porta dan vena kava
mengalir ke sistem vena vertebra yang berhubungan dengan pleksus vena epidural.
Pleksus vena epidural ini berada di dalam kanalis spinalis dan tidak memiliki katup.
Batson yang pertama kali mengemukakan bahwa pleksus vena epidural merupakan
jalur potensial penyebaran metastasis tumor primer di spinal. Oleh sebab itu, pleksus
ini disebut juga sebagai pleksus Batson.2
Pleksus Batson terletak di ruang epidural, antara kolumna spinalis dan dura mater
medula spinalis. Aliran dari pleksus vena ini berhubungan dengan vena kava superior
dan inferior yang kemudian membawa darah menuju jantung. Oleh karena tidak ada
katup di pleksus vena epidural, maka setiap peningkatan tekanan di sistem vena
kava, seperti pada manuver Valsava, dapat menyebabkan aliran balik ke pleksus vena
epidural2 yang menyebabkan hubungan darah dari organ viseral ke sistem vertebra.
Cabang-cabang arteri vertebra selanjutnya berperan penting terhadap masuknya
sel tumor ke dalam vertebra, menyebabkan terganggunya proses hematopoietik di
sumsum tulang, membentuk nodul tumor yang tumbuh berkembang, masuk kedalam
kanalis spinalis, hingga menyebabkan penekanan medula spinalis atau ESCC (epidural
spinal cord compression).8
Metastasis yang terbatas pada vertebra hanya 3% kasus yang menyebabkan ESCC.
Pada 22% kasus tumor ESCC menekan medula spinal dan 43% terdapat pada bagian
depan dan belakang jaringan epidural. Mekanisme disfungsi medula spinalis dapat
disebabkan oleh tumor epidural yang menghambat pleksus vena epidural, hingga
terbentuk edema vasogenik di substansia grisea dan alba.8
Terjadinya metastasis ini tidak lepas dari struktur sumsum tulang yang berada
di dalam korpus vertebra. Sumsum tulang yang memiliki sistem pembuluh darah si-
nusoid yang biasanya memiliki tekanan rendah, sehingga darah cenderung mengum-
pul [pooling) di daerah tersebut. Kondisi ini, disertai penumpukan fibrin dan proses
trombosis, sangat mendukung secara biokimia dan hemodinamik bagi implantasi dan
proliferasi sel-sel tumor. Selanjutnya, sel-sel tumor menjadi mudah untuk keluar dari
pembuluh darah dan menginvasi jaringan tulang trabekular. Terdapat pula faktor
intrinsik sel tumor primer yang mendukung keberhasilan pertumbuhan sel tumor di
dalam jaringan tulang, misalnya prostaglandin dan stimulasi faktor aktivasi osteoklas
pada metastasis sel kanker payudara yang menyebabkan lesi litik pada tulang.2
Sel-sel tumor metastasis yang telah menginvasi jaringan tulang trabekular akan
menghasilkan beberapa substansi yang menyebabkan resorpsi tulang secara langsung
ataupun tidak langsung, antara lain hormon paratiroid, faktor aktivasi osteoklas,
faktor pertumbuhan, dan prostaglandin. Dengan adanya substansi tersebut, terjadi
peningkatan stimulasi osteoklas di jaringan tulang trabekular.2
Setelah menginvasi jaringan tulang trabekular, sel tumor menginvasi korteks
tulang yang menyebabkan keterlibatan pedikel vertebra. Adanya keterlibatan pedikel
ini biasanya tidak bersifat primer, tetapi merupakan akibat sekunder dari penyebaran
langsung dari korpus vertebra atau struktur tulang lainnya. Walaupun gambaran
awal metastasis pada radiografi foto polos berupa kerusakan pedikel, sebenarnya
korpus vertebra merupakan struktur pertama yang biasanya lebih awal rusak. Hal
ini didukung oleh fakta bahwa sekitar 30-50% korpus vertebra telah mengalami
kerusakan sebelum kelainan ini dapat terdeteksi melalui radiografi foto polos.2
Proses metastasis tumor spinal berlanjut dengan menginvasi ruang epidural
melalui ligamen longitudinal posterior. Ligamen ini adalah struktur yang paling
lemah terhadap penyebaran sel-sel tumor di tulang vertebra. Sel-sel tumor metastasis
di ruang epidural menimbulkan efek desak massa yang dapat mengkompresi medula
spinalis beserta struktur pembuluh darahnya. Efek desak massa ini menimbulkan
demielinisasi atau degenerasi aksonal. Adapun komponen vaskular yang turut
terkompresi menyebabkan kongesti vena dan edema vasogenik medula spinalis yang
menimbulkan manifestasi defisit neurologis akibar metastasis tumor spinal.2
Metastasis tumor juga dapat terjadi pada daerah leptomeningeal, terutama pada
keganasan hematopoietik, seperti limfoma dan leukemia. Penyebaran ini biasanya
terjadi secara hematogen atau infiltrasi langsung ke meninges, sehingga berada di
ruang epidural/subdural dan menimbulkan gejala seperti pada tumor intradural
ekstramedula.2

XV.4. Gejala dan Tanda Klinis


Gejala utama dan awal pada 90% pasien dengan metastasis spinal adalah nyeri.
Nyeri rata-rata terjadi tujuh minggu sebelum gejala neurologis ESCC lainnya. Pasien
biasanya merasakan nyeri punggung lokal setingkat lesi yang parah, dengan intensitas
yang semakin meningkat. Sering juga terjadi referred pain hingga membingungkan
dalam melokalisasi lesi. Nyeri sering memburuk pada malam hari, dapat akibat variasi
diurnal kadar kortikosteroid endogen.5
Nyeri lokal dapat disebabkan oleh gangguan periosteum atau saraf dural, sumsum
tulang belakang, atau jaringan lunak paravertebral. Tatalaksana nyeri dengan kortikosteroid
menunjukkan bahwa peradangan atau iritasi saraf memiliki peran yang penting.5 Seiring
waktu, nyeri dapat berkembang menjadi radikuler. Misalnya, nyeri dapat menjalar ke
anggota gerak dengan gerakan tulang belakang atau manuver Valsava. Nyeri radikuler
lebih sering terjadi pada lesi lumbosakral daripada lesi torakalis. Nyeri radikuler torakalis
biasanya bilateral dan menyebar hingga ke bagian anterior, seperti sensasi terikat. Nyeri
yang memburuk secara tiba-tiba dapat disebabkan oleh fraktur kompresi patologis.5

Tumor intramedular spinalis dapat tidak bergejala dalam waktu yang lama dan
ukuran tumor dapat membesar sebelum terdeteksi. Onset gejala sering muncul selama
beberapa bulan atau beberapa tahun sebelum diagnosis ditegakkan. Gejala biasanya
muncul pada saat terjadi cedera dengan gejala awal nyeri leher dan punggung pada dua
pertiga pasien. Nyeri bisa menjalar sesuai dengan radiks yang terkena. Nyeri lebih berat
pada posisi berbaring, menyebabkan nyeri lebih sering muncul pada malam hari.9

Gejala pada dewasa muda berupa kelemahan anggota gerak bawah atau sering
jatuh ketika berjalan. Pada pemeriksaan, kebanyakan pasien menunjukan defisit
motorikringansedang,mirip dengan gejala upper motorneuron (UMN), seperti spastik,
hiperrefleks, dan klonus. Sepertiga pasien tumor memiliki deformitas, terutama di
regio torakal memiliki nyeri paraspinal dan skoliosis, sedangkan seperlima anak-anak
menunjukan kelainan tortikolis.9
Gejala sensorik, kebanyakan disestesia seperti panas dingin dan asimetris.
Disfungsi spinkter muncul terlambat, kecuali pada kasus tumor yang terletak di konus
medularis.9 Sebanyak 15% pasien dengan tumor intramedular mengalami hidrosefalus
akibat peningkatan konsentrasi protein pada cairan serebrospinal, fibrosis araknoid,
dan penyebaran subaraknoid. Insidens hidrosefalus meningkat pada pasien dengan
tUmor ganas (35%).9
Pada pemeriksaan fisik tumor ekstradural, pasien memiliki riwayat nyeri berat
yang terus bertambah. Nyeri radikuler dapat terjadi ketika jaringan atau tulang masuk
ke foramen. Nyeri pada malam hari dan nyeri berhubungan dengan berat pasien adalah
gejala tanda kerusakan dari kolumna vertebra yang disebabkan oleh metastasis atau
tumor primer tulang. Defisit neurologi diakibatkan kompresi dari medula spinalis
atau nervus yang menimbulkan gejala seperti mielopati dan radikulopati.
Pasien dengan tumor di regio servikotorakal dapat menimbulkan gejala seperti
kelemahan atau atrofi otot tangan dengan atau tanpa kelemahan ekstremitas bawah
dan hiperrefleksia. Dapat juga menimbulkan refleks kaki abnormal dan berhubungan
dengan Brown-Sequard Syndrome. Gejala Beevor's menunjukan lesi berada setinggi
atau dibawah vertebra T9, yang mana konstipasi, inkontinensia urin, spinkter spastik,
dan priapismus menunjukan lesi di atas konus medula. Pasien dengan lesi pada
thoracolumbar junction menunjukan sindrom konus medula (kelemahan motorik atau
root nervus syndrome) atau sindrom kauda equina (penurunan sensoris pada dermatom
lumbosakral dengan penurunan tonus spinkter, saddle aneesthesia, tidak ada refleks
pada lutut dan pergelangan kaki, dan hilang atau menurunnya sensasi rektum, vagina,
dan uretra.1011
Hampir semua pasien dengan tumor ekstramedular menunjukan gejala nyeri
radikuler. Pasien dengan gejala defisit motorik ringan memiliki presentasi yang tinggi,
namun hanya sebagian yang terganggu.9

Tumor Ekstradural
Perjalanan penyakit tumor ekstradural seringkali progresif dan berkembang cepat
akibat kompresi medula spinalis. Karena letaknya ekstradural, maka jaringan tumor
akan mengkompresi duramater dari arah luar ke dalam. Selain itu, fraktur patologis
juga sering ditemukan pada tumor ekstradural yang membuat gejala awal berupa
nyeri yang disebut sebagai nyeri aksial vertebra. Nyeri ini terasa di sepanjang sumbu
vertebra yang bersifat gradual, progresif, terus menerus, tidak bersifat mekanik, dan
sering terjadi di malam hari. Nyeri biasanya bertambah parah saat pasien berbaring
telentang, apalagi dalam durasi berberapa jam, kemudian membaik saat pasien
berdiri. Seiring progresi perkembangan tumor ekstradural, efek desak massa akan
mengenai struktur radiks dan medula spinalis. Struktur radiks yang terkena efek
massa tumor menimbulkan gejala klinis nyeri radikuler.2
Selain nyeri, pasien dapat mengalami tanda-tanda kompresi lainnya, yaitu
kelemahan ekstremitas, gangguan sensorik, dan disfungsi otonom. Kelemahan
ekstremitas umumnya bersifat UMN pada bagian tubuh yang dipersarafi oleh
medula spinalis pada level bawah lesi. Gangguan sensasi posisi, rasa getar, gangguan
diskriminasi dua titik dapat terjadi bila kompresinya berasal dari arah dorsal. Disfungsi
miksi dan defekasi lebih sering terjadi setelah kelemahan ekstremitas, tetapi bisa juga
terjadi secara bersamaan.2

Tumor Intradural Ekstramedula


Lokasi tumor ini paling sering di sekitar radiks posterior, diikuti di sekitar radiks
anterior, maka gejala awal yang sering ditemukan adalah nyeri radikuler. Sesuai
namanya, nyeri ini memiliki karakteristik penjalaran mengikuti distribusi radiks
sensorik. Nyeri bertambah parah dengan batuk, bersin, atau mengedan. Seiring
pertumbuhan tumor yang membesar, kompresi akan semakin bertambah pada radiks
dan medula spinalis.2
Bila letak tumor lebih ke arah posterior, maka proses kompresi akan mengenai
kolumna posterior dan jaras piramidalis, sehingga gejala berikutnya adalah gangguan
propioseptif dan kelemahan ekstremitas. Kelemahan ini bersifat asimetris antara
lengan dan tungkai (lesi servikal) dan antara kedua tungkai (lesi torakolumbal).
Gangguan sensorik juga dapat terjadi awalnya ipsilateral, kemudian bilateral, dan
berjalan dari kauda ke kranial hingga setinggi lesi.2
Bila letak tumor lebih ke arah anterior, maka kompresi dapat mengenai radiks
anterior pada satu sisi atau kedua sisi. Hal ini dapat mengakibatkan kelemahan
ekstremitas tipe LMN. Namun, kelemahan ini tipe UMN bisa saja dijumpai apabila
kompresinya sudah mengenai jaras piramidalis. Biasanya, kelemahan ekstremitas
terjadi pada ipilateral lesi, kemudian bilateral. Gangguan sensasi raba kasar dapat
muncul bila ada kompresi pada jaras spinotalamikus anterior. Bila tumornya
terletak anterolateral, maka jaras spinotalamikus lateral dapat terkompresi dan
mengakibatkan gangguan sensasi nyeri dan suhu pada kontralateral lesi.
Bila tumornya terletak di filum terminal dan kauda ekuina, maka gejala yang
, sering ditimbulkan adalah nyeri punggung yang memberat saat posisi telentang
disertai kelemahan ekstremitas tungkai dan gangguan otonom buang air besar dan
berkemih. Baik lesi intradural ekstramedula di daerah anterior maupun posterior,
disfungsi miksi dan defekasi biasanya muncul belakangan saat kompresi medula
spinalis sudah lanjut dan progresif.2
Tumor Intramedula
Lokasi tumor spinal di intramedula memiliki gambaran yang unik dan berbeda
dengan kedua kategori tumor sebelumnya. Tumor intramedula jarang menimbulkan
nyeri, Kalaupun ada, nyeri bersifat atipikal dengan lokalisasi difus. Gejala awal yang
sering ditemukan adalah defisit sensorik terdisosiasi. Gambaran unik lainnya adalah
pertumbuhan tumor intramedula sering bersifat longitudinal, sedangkan tumor
ekstramedula bersifat transversal. Hal ini mengakibatkan gangguan sensorik pada
tumor intramedula dapat mengalami perubahan level (batas atas defisit sensorik),
sedangkan level ini pada tumor ekstramedula tetap konstan.2
Selain itu, disfungsi miksi dan defekasi dapat timbul di awal perjalanan penyakit.
Atrofi otot dapat ditemukan sebagai akibat dari keterlibatan kornu anterior substansia
grisea medula spinalis. Spastisitas pada ekstremitas dapat terjadi, walaupun tidak
seberat tumor ekstramedula.2

Tumor Spinal di Beberapa Lokasi Khusus


Selain ketiga kategori di atas, terdapat beberapa lokasi tumor spinal yang memiliki
gejala khusus, yaitu di servikal atas, foramen magnum, dan lumbal. Tumor servikal
atas dapat memiliki gejala bulbar dan fasikulasi pada ekstremitas. Tumor setinggi
foramen magnum dapat memiliki hipestesi setinggi dermatom C2 dan paresis N.XI
(nervus aksesorius]. Tumor di lumbal dapat menimbulkan gejala dan tanda seperti
sindrom kauda ekuina atau konus medularis.
Pada tumor spinal, sindrom kauda ekuina dapat terjadi karena keterlibatan radiks
nervi lumbalis dan sakralis di bawah konus medularis. Pasien awalnya mengeluh
nyeri radikular sesuai distribusi nervus iskhiadikus dan nyeri pada kandung kemih.
Setelah nyeri, manifestasi klinis berikutnya adalah defisit semua modalitas sensorik
pada tungkai, terutama perineum (saddle anaesthesia). Selain itu, kelemahan tungkai
tipe LMN dengan disertai inkontinensia urin dan alvi dapat terjadi pada sindrom ini.2
Konus medularis adalah batas bawah dari medula spinalis dan terletak setinggi
kanalis spinalis LI. Lesi konus medularis terisolasi menimbulkan beberapa defisit
neurologis, antara lain arefleksia detrusor dengan retensi urin dan overflow
incontinence, inkontinensia alvi, gangguan fungsi seksual, saddle anaesthesia, dan
biasanya tanpa kelemahan motorik.2
XV.5. Diagnosis
Diagnosis tumor spinal secara umum ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
Minis, dan pemeriksaan penunjang sekaligus untuk mendapatkan tanda dan gejala
klinis sesuai letak lesi. Pemeriksaan penunjang berguna untuk lebih memastikan
diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding.2
Adapun diagnosis banding dari tumor spinal, antara lain spondilitis, mielitis,
multipel sklerosis, neuromielitis optik, mielopati akibat proses autoimun, trauma
medula spinalis, dan proses degeneratif tulang. Pemeriksaan penunjang yang
rutin dikerjakan pada pasien tumor spinal adalah pencitraan dan pemeriksaan
laboratorium, termasuk analisis cairan otak.2

Pemeriksaan Radiologi
Foto polos dapat dikerjakan sebagai pemeriksaan awal pada pasien yang dicurigai
tumor spinal. Gambaran tumor jinak atau ganas dapat dilihat dari pola destruksi
tulang. Pola geografis cenderung mengarah kepada tumor jinak, sedangkan gambaran
yang "moth-eaten" mengarah ke tumor ganas. Kelainan radiologis berupa destruksi
tulang tidak akan terdeteksi hingga kerusakan mineral tulang sudah mencapai 30-
50%. Gambaran klasik dari adanya tumor spinal adalah hilangnya pedikel yang dapat
dilihat pada proyeksi foto anteroposterior (AP], atau disebut juga winking owl sign.
Bila erosi tulang sudah berlanjut, maka dapat ditemukan gambaran fraktur kompresi
vertebra atau destruksi dari beberapa vertebra.2
Pemeriksaan bone scan sering dilakukan untuk mendeteksi keganasan di sistem
muskuloskeletal. Pemeriksaan ini cocok untuk kasus pasien dengan tumor primer
dan pasien dengan gejala tumor spinal tetapi belum diketahui tumor primernya. Oleh
sebab itu, pemeriksaan ini lebih diutamakan untuk skrining karena spesifitas yang
rendah. Jika bone scan menunjukan area terdispersi yang tersebar di beberapa tulang,
maka diagnosisnya mengarah ke metastasis tumor. Jika bone scan hanya menunjukan
sedikit tulang yang terlibat, maka klinisi dapat memastikan kelainan tersebut dengan
pemeriksaan CT atau MRI.2 Bone Scanlebih sensitif untuk mendeteksi metastasis
tulang dari pada foto polos spinal. Namun Bone Scan dapat terlihat negatif jika tumor
tidak memiliki peningkatan aliran darah atau pembentukan tulang baru.8
Pemeriksaan CT scan sangat sensitif pada perubahan mineral tulang dan dapat
menunjukan proses destruksi tulang dengan resolusi lebih tinggi daripada foto
polos. Dengan demikian, pemeriksaan ini biasanya lebih dini menemukan kelainan
destruksi tulang akibat tumor. Namun, pemeriksaan foto polos atau bone scan tetap
perlu dilakukan sebelum CT scan untuk meningkatkan nilai diagnostik. Terdapat
dua peran yang dimiliki CT scan dalam proses skrining pasien dengan dugaan tumor
spinal, yaitu untuk menentukan lokasi, perluasan, dan karakteristik lesi spinal serta
menentukan apakah tumor telah menyebar ke paru atau hati. Adanya lesi desak
ruang di paru atau parenkim hati, pembesaran kelenjar getah bening, dan infiltrat
atau efusi yang tidak dapat dijelaskan, menunjukan ke arah adanya tumor primer
yang bermanifestasi ke spinal. Walaupun MRI dapat memberikan visualisasi yang
lebih optimal untuk kompresi epidural dan jaringan paraspinal, CT scan memberikan
gambaran yang lebih baik tentang derajat dari kerusakan tulang. 21012
MRI lebih unggul dan menjadi baku emas untuk mendeteksi metastasis spinal
dibandingkan dengan semua modalitas pencitraan lainnya,1 Pemeriksaan ini harus diperoleh
sesegera mungkin dalam waktu 24 jam pada pasien yang diduga menderita ESCC. MRI harus
mengandung sedikitnya gambaran sagital Tl dan T2 weighted untuk keseluruhan spinal
dan gambaran aksial Tl dan/atau T2 weighted melewati daerah yang terkena.1 Fitur Tl
sagital dan/atau short tau inversion recovery (STIR) seluruh tulang belakang diperiksa untuk
mencari metastasis. Demikian pula fitur Hi-weighted sagital untuk mengevaluasi derajat
kompresi medula spinalis dan mendeteksi lesi di dalam medula spinalis itu sendiri.5
Tingginya gambar aksial yang perlu diambil diperoleh melalui kelainan yang
terdeteksi pada bidang sagital. Derajat tumor intraoseus dapat digambarkan dengan baik
pada sekuens non-kontras. Kontras intravena digunakan untuk menentukan derajat tumor
epidural, foraminal, dan paraspinal serta mengevaluasi keberadaan penyakit intramedula
atau leptomeningeal.5 Jika MRI tidak tersedia, dapat dilakukan CT spinal dengan
rekonstruksi setelah pemberian kontras IV.1 Angiografi jarang berguna sebagai alat
diagnostik, lebih sering digunakan bersamaan dengan embolisasi sebelum operasi,
untuk melihat vaskular tumor atau untuk embolisasi pembuluh darah.1012
Pemeriksaan MRI dapat menunjukan gambaran struktur saraf dengan jelas,
sehingga dapat ditentukan lokasi lesi ekstradural, intradural-ekstramedula, dan
intradural-intramedula. Selain itu, pemeriksaan ini dapat menunjukkan besarnya
kompresi medula spinalis dan perluasan tumor ke jaringan lunak di sekitar tulang
vertebra. MRI dapat mendeteksi tumor berukuran kecil di dalam kanalis spinalis
karena adanya peningkatan konten cairan intrasel dan ekstradural akibat tumor, serta
membedakan penyebab fraktur patologis akibat fraktur osteoporosis atau proses
keganasan.2
Karakteristik sel tumor pada MRI adalah hipointens pada Tl dan hiperintensi
pada T2. Pemberian kontras gadolinium intravena akan memberi penyangatan yang
kemudian akan membedakan jaringan normal dengan tumor. Pada pemeriksaan MRI,
lesi keganasan biasanya melibatkan struktur pedikel, penyangatan yang kuat, dan
keterlibatan jaringan lunak paravertebral. Pada kompresi vertebra akibat osteoporosis
tidak melibatkan struktur pedikel dan jaringan lunak paravertebral
Gambar aksial T2 setingkat lesi digunakan untuk menentukan skor ESCC dan
banyak digunakan untuk menggambarkan luasnya tumor epidural (Gambar 15.4]
yang terdiri dari:5
o Derajat 0 - Tumor terbatas pada tulang (tidak dianggap ESCC).
o Derajat 1 - Tumor dengan perluasan epidural tanpa kontak dengan medula spinalis
atau hanya bersentuhan dengan medula spinalis tanpa menimbulkan perpindahan
{displacement).

• Derajat la: Tumor epidural tanpa kompresi thecal sac.


• Derajat lb: Tumor epidural dengan kompresi thecal sac tetapi tidak ada kontak
dengan medula spinalis.
• Derajat lc: Tumor epidural dengan kompresi thecal sac dan kontak medula
spinalis tanpa kompresi.
o Derajat 2 - Tumor yang menggeser atau menekan medula spinalis, tanpa perluasan
tumor sirkumferensial atau obliterasi ruang cairan serebrospinal (CSS).
i o Deraj at 3 - Tumor dengan ekstensi epidural sirkumferensial dan/atau yang menyebabkan
kompresi medula spinalis parah dengan obliterasi ruang CSS.
Derajat 2 dan 3 merupakan kompresi medula spinalis derajat tinggi, sedangkan
derajat 1 merupakan ESCC derajat rendah. 5
Pemeriksaan Serologi dan Analisis Cairan Otak
Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan pada metastasis tumor spinal
antara lain serum penanda tumor untuk skrining tumor primer, yaitu PSA (prostat),
CEA (kolorektal), CA 125 (ovarium), CA 15-3 (payudaraj, dan CYFRA 21-1 (paru).
Pemeriksaan darah lengkap, albumin, ureum, kreatinin dan tes fungsi liver dapat
dikerjakan untuk evaluasi kondisi sistemik pasien. Selain itu, protein urin Bence-
Jones untuk mendeteksi mieloma. Pemeriksaan analisis cairan otak dapat digunakan
untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti mielitis dan ensefalomielitis. Pada
kasus limfoma dengan keterlibatan susunan saraf pusat, dilakukan lumbal pungsi
untuk analisis rutin dan sitologi cairan otak.2
XV.6. Diagnosis Banding
Pasien kanker sekunder medula spinalis menunjukkan gejala nyeri tulang
belakang dan disfungsi neurologis, namun penyebab selain keganasan juga dapat
menyebabkan gejala yang sama.8
1] Penyakit muskuloskeletal, termasuk spasme otot, penyakit diskus intervertebra,
dan stenosis spinal.
2) Abses epidural spinal, merupakan kasus yang jarang. Faktor predisposisi yaitu
penggunaan obat intravena, osteomielitis vertebra, dan infeksi hematogen.
Manifestasi klinis tidak dapat dibedakan dari cepatnya perkembangan keganasan.
Neuroimaging mungkin bisa menemukan suatu infeksi, namun pada beberapa
kasus biopsi akan lebih perlu untuk diagnosis.
3] Hematoma epidural spinal nontraumatik spontan, terjadi akibat terapi
antikoagulan, malformasi arteri vena, atau gangguan vaskularisasi yang didapat
atau dibawa.
4] Kompresi medula spinalis, sangat jarang disebabkan oleh thalasemia atau
mieloproliferatif kronik atau penyakit mielodisplastik, artritis rheumatoid,
sarkoidosis, atau tofus gout.

XV.7. Tata Laksana


Prinsip umum
Pasien dengan ESCC memiliki karakteristik yang sangat beragam dan keputusan
pengobatan harus bersifat individual. Pertimbangan utama yang mengindikasikan
urgensi dan pemilihan pengobatan definitif meliputi derajat gangguan neurologis,
karakteristik onkologis tumor primer fjika diketahui], stabilitas mekanis tulang
belakang dan beban sistemik dari penyakit kanker dan komorbiditas medis (sering
disebut sebagai konsep NOMS (Neurologi, Onkologi, Mekanis, Sistemik).5
( Neurologis (ESCC derajat tinggi versus rendah) - Pemeriksaan neurologis
diperlukan bagi semua pasien untuk menilai defisit neurologis yang disebabkan
oleh kompresi tumor pada sumsum tulang belakang dan/atau radiks nervi spinalis.
Informasi ini dapat dikombinasikan dengan penilaian radiografi MRI untuk
mengelompokkan pasien menjadi ESCC derajat tinggi atau rendah.5
ESCC derajat tinggi merujuk pada pasien dengan derajat radiologis ESCC 2 atau
3 (bahkan jika tanpa gejala]. Banyak dari pasien ini memiliki defisit yang disebabkan
oleh kompresi medula spinalis (seperti mielopati) atau kompresi radiks (seperti
radikulopati).
ESCC derajat rendah mengacu pada pasien dengan tumor radiologis ESCC derajat
1. Pasien dengan ESCC derajat rendah mungkin memiliki gejala kompresi radiks nervi
spinalis, tetapi tidak memiliki defisit yang disebabkan oleh kompresi medula spinalis.
Derajat kompresi medula spinalis memengaruhi urgensi terapi, pilihan terapi pasien
untuk dekompresi bedah dan pilihan teknik radiasi.
Onkologis (radiosensitivitas tumor primer) - Jenis tumor primer yang
mendasari membantu memprediksi sensitivitas terhadap terapi sistemik dan
radioterapi konvensional [conventional External Beam Radiation Therapy (cEBRTJ).
Radiosensitivitas terhadap cEBRT dalam rentang dosis yang dapat ditoleransi medula
spinalis adalah karakteristik penting yang memengaruhi keputusan untuk memilih
operasi atau radioterapi, serta dalam memilih jenis radiasi yang digunakan, yaitu,
cEBRT dibandingkan Stereotactic Body Radiation Therapy SBRT).
Untuk keperluan pengambilan keputusan pada ESCC, tumor tidak hanya
diklasinkasikan sebagai radiosensitif atau radioresisten, tapi juga sebagai radiosensitif
moderat [moderately radiosensitive] dan radioresisten moderat (moderately radioresistant)
berdasarkan prediksi respons tumor terhadap radioterapi dalam rentang dosis toleransi
medula spinalis.5 Tumor yang sensitif terhadap radioterapi termasuk multiple myeloma
dan limfoma, sementara tumor yang radiosensitif moderat termasuk tumor payudara dan
karsinoma prostat. Tumor yang radioresisten moderat meliputi tumor kolon dan non-
small cell lung carcinoma, sedangkan tumor yang sangat resisten terhadap radioterapi
termasuk karsinoma sel ginjal, karsinoma tiroid, melanoma, dan sarkoma.3
Mekanis (stabilitas spinal) - Stabilitas mekanik tulang belakang harus dinilai
dengan kriteria klinis dan radiografis pada semua pasien, karena pengobatan ESCC
berbeda antara pasien dengan tulang belakang yang tidak stabil dan yang stabil.
Terlepas dari histologi tumor dan derajat kompresi sumsum tulang belakang, pasien
dengan fraktur tulang belakang karena tumor yang tidak stabil memerlukan stabilisasi
bedah tulang belakang untuk mengurangi rasa sakit.5
Ketidakstabilan tulang belakang neoplastik mengacu pada hilangnya integritas
tulang belakang sebagai akibat dari proses neoplastik yang berhubungan dengan
nyeri yang terkait dengan gerakan, deformitas simtomatik atau progresif dan/atau
gangguan saraf terhadap beban fisiologis. Terlepas dari temuan radiografis, dokter
harus mempertimbangkan setiap pasien dengan rasa sakit yang disebabkan oleh
gerakan sebagai tidak stabil sampai terbukti sebaliknya.
Panel konsensus ahli merumuskan Spine Instability Neoplastic Score (SINS)
untuk mendiagnosis ketidakstabilan tulang belakang berdasarkan kombinasi kriteria
radiografis dan karakteristik nyeri [Tabel 15.1). Menurut klasifikasi ini, pasien dengan
skor 7 atau lebih tinggi dianggap berisiko untuk ketidakstabilan tulang belakang dan
memerlukan konsultasi bedah. Tingkat sensitivitas dan spesifisitas SINS untuk lesi
yang tidak stabil atau berpotensi tidak stabil adalah 96% dan 80%. Selain itu, terdapat
reliabilitas inter- dan intra-observer yang tinggi dalam menentukan tiga kategori
stabilitas yang relevan secara klinis.
Sistemik (harapan hidup) - Beban sistemik tumor, terapi sebelumnya dan
komorbiditas medis harus dinilai pada semua pasien dan berkonsultasi dengan onkologis
medis. Estimasi harapan hidup dan kemampuan pasien untuk menjalani operasi dengan
aman berperan penting dalam pemilihan strategi perawatan individual yang optimal.5
Beberapa sistem skoring dikembangkan untuk menentukan prognosis pada
pasien dengan metastasis spinal, diantaranya skor Tokuhasi. Skor ini diterbitkan
pada tahun 1990 dan direvisi pada tahun 2005, adalah prediksi pre-operatif
terhadap kelangsungan hidup pada pasien dengan metastatic epidural spinal cord
compression (MESCC). Skor ini terdiri dari enam parameter yang menghasilkan skor
total 0 hingga 15; skor lebih tinggi dikaitkan dengan harapan hidup yang lebih lama.
Secara keseluruhan, pembedahan tidak diindikasikan untuk pasien dengan prognosis
harapan hidup kurang dari 6 bulan (skor total 8 atau kurang), yang memiliki status
umum yang buruk atau perkembangan gangguan fungsi neurologis yang cepat dan
yang memiliki respon baik terhadap analgesik oral atau radioterapi.14
Terapi simtomatik dan preventif
Kompresi medula spinalis oleh proses keganasan merupakan keadaan emergensi
yang membutuhkan pertolongan segera untuk mengatasi nyeri dan mencegah
progresifitas defisit neurologis pasien. Tatalaksananya meliputi pemberian
kortikosteroid, radioterapi, dan operasi.2 Pengobatan simptomatik pada ESCC sering
dimulai sebelum terapi definitif dan berlanjut selama periode pengobatan.
Tujuan utama pengobatan metastasis lebih diutamakan paliatif daripada
menyembuhkan. Jadi menghilangkan rasa nyeri, menghindari komplikasi, dan
pemeliharaan fungsi neurologi harus optimal.11 Kortikosteroid menghilangkan
nyeri beberapa jam, tetapi beberapa pasien membutuhkan analgesik opioid untuk
menoleransi pemeriksaan fisik dan studi diagnostik.8
Glukokortikoid - Terapi glukokortikoid umumnya dianggap sebagai bagian dari
regimen standar untuk ESCC simtomatik sebagai transisi ke pengobatan definitif dan
untuk meringankan nyeri. Dosis dan durasi terapi harus disesuaikan dengan individu agar
mencapai manfaat simtomatik maksimal dan meminimalkan efek samping dan toksisitas.5
Pada pasien dengan defisit neurologis atau nyeri, disarankan deksametason dosis tinggi
dosis lOmg intravena diikuti 16mg setiap hari secara oral atau intravena dalam dosis
terbagi. Setelah pemberian pengobatan definitif, dosis dapat dikurangi secara bertahap,
misalnya dengan mengurangi dosis total steroid sebanyak 50% setiap tiga hari.5
Pada pasien dengan defisit neurologis yang berat (misalnya, paraparesis atau
paraplegia) dapat diberikan deksametason dosis sangat tinggi hingga 96mg intravena
diikuti oleh 24mg empat kali sehari selama 3 hari dan diturunkan bertahap selama 10
hari. Namun hasilnya tidak jelas lebih baik dan berisiko peningkatan toksisitas.5
Pemberian glukokortikoid pada pasien dengan lesi epidural kecil tanpa defisit
neurologis tidak rutin dilakukan. Sebuah percobaan fase II sederhana menunjukkan bahwa
pasien dengan nyeri punggung tanpa mielopati dan penyempitan kanal tulang belakang
<50% dapat menjalani terapi radiasi dengan sukses tanpa menerima glukokortikoid.5
Kemampuan sementara glukokortikoid untuk meningkatkan fungsi neurologis
kemungkinan melalui efek anti-edema dan/atau efek onkolitik pada keganasan yang
responsif dengan steroid (misalnya limfoma].5 Perawatan modern ESCC simtomatik
seringkali termasuk operasi dekompresi.5
Manajemen nyeri - Pasien dengan ESCC sering merasa nyeri, kadang-
kadang membatasi kemampuan untuk melakukan pemeriksaan neurologis secara
menyeluruh. Glukokortikoid biasanya memperbaiki rasa nyeri selama beberapa jam,
tetapi banyak pasien memerlukan analgesik opioid untuk menoleransi pemeriksaan
fisik dan studi diagnostik yang diperlukan. Pasien umumnya menghindari manuver
yang memicu rasa sakit dan tidak ada risiko bahwa gerakan akan memperburuk
status neurologis kecuali pasien memiliki tulang belakang yang sangat tidak stabil.5
Nyeri pada tumor spinal merupakan salah satu jenis nyeri kanker yang ditandai
dengan kombinasi nyeri nosiseptif dan neuropatik. Nyeri pada tumor spinal
berhubungan dengan beberapa hal, yaitu proses sekunder dari keterlibatan tumor di
korpus vertebra, fraktur kompresi, kompresi medula spinalis, atau infiltrasi radiks.
Tata laksana farmakologi nyeri pada tumor spinal ini sama dengan nyeri kanker
pada umumnya.2 Pemberian kortikosteroid dapat mengurangi nyeri secara cepat
dan baik ketika diberikan pasca radioterapi. Kortikosteroid juga dapat menurunkan
kemungkinan flare pain setelah radioterapi.1

Terapi Definitif
Radioterapi konvensional (conventional external beam radiation therapy
(cEBRT)] — adalah terapi definitif yang sesuai untuk ESCC pada pasien tumor
yang relatif sensitif terhadap radioterapi dan untuk mengurangi nyeri pada pasien
dengan harapan hidup yang sangat singkat. Radioterapi juga dapat diberikan setelah
dekompresi bedah, meskipun stereotactic body radiotherapy (SBRT) lebih disenangi
pada kasus ini.5
Radioterapi konvensional efektif untuk mengurangi nyeri dan mengontrol tumor
lokal yang radiosensitif secara histologi. Sekitar 70% pasien mengalami perbaikan
nyeri dan setengahnya tidak memiliki instabilitas tulang belakang mengalami resolusi
nyeri punggung setelah cEBRT. Tingkat kontrol lokal lebih dari 75% dan terdapat
pemulihan aliran CSS pada sekitar 80% pasien yang memiliki bukti blok subaraknoid
total pada mielografi sebelum pengobatan. Bahkan pada pasien dengan ESCC
derajat tinggi karena tumor radiosensitif, cEBRT meningkatkan status ambulasi dan
menyediakan kontrol tumor lokal yang tahan lama dan menghilangkan rasa sakit.5
Dosis dan jadwal cEBRTyang optimal untukpengobatan ESCC masih diperdebatkan
dan keputusan pengobatan harus disesuaikan untuk tiap individu. Berbagai macam
jadwal cEBRT telah digunakan, mulai dari fraksi tunggal yang besar (misalnya 8Gy],
hingga terfraksinasi (misalnya 30Gy hingga 40Gy dibagi dalam 10 hingga 20 fraksi].5
Fraksi tunggal 8Gy adalah terapi standar untuk pasien nyeri, tanpa memperhatikan
angka harapan hidup, kondisi atau tumor primer, dan sangat dianjurkan untuk pasien
dengan defisit neurologi akibat MESCC dengan angka harapan hidup <1 tahun. Jika
pasien angka harapan hidup >1 tahun disarankan untuk radiasi 30Gy dalam 10 fraksi.
Radiasi lebih dari 30Gy tidak menunjukan luaran yang lebih baik.
Pemberian yang lebih lama diharapkan kekambuhan gejala juga lebih lama.
Pada kasus dengan rekurensi nyeri dan/atau defisit neurologi setelah respons utama
atau respons yang kurang dari radiasi pertama, harus dipertimbangkan tata laksana
radioterapi kedua.1 Radioterapi dilakukan pada lesi utama dan diperluas hingga 1
atau 2 korpus vertebra di atas dan bawah dari lesi utama.2
Tumor spinal yang tergolong radiosensitif, pada sebagian besar kasus,
direkomendasikan pemberian radioterapi eksternal pascaoperasi reseksi tumor
untuk mengecilkan massa tumor. Namun, radioterapi praoperasi harus diperhatikan
karena dapat meningkatkan risiko infeksi dan masalah penyembukan luka.2
Stereotactic body radiotherapy — merupakan alternatif pada pasien dengan
metastasis tulang belakang yang resisten terhadap radiasi atau metastasis spinal
rekuren yang didiagnosis lebih awal, sebelum menjadi ESCC derajat tinggi.5
Efektivitas cEBRT dibatasi oleh medula spinalis yang tidak toleran terhadap radiasi
dosis tinggi. SBRT, yang juga dikenal sebagai stereotactic radiosurgery (SRS) ketika
diberikan dalam fraksi besar tunggal, adalah teknik radiasi modern yang memberikan
radiasi tepat sasaran ke tumor serta meminimalkan radiasi ke jaringan normal sekitar.5
SBRT menghilangkan rasa nyeri dengan sangat baik dan mengontrol tumor lokal
,pada pasien dengan metastasis tulang belakang dari keganasan yang relatif resisten
terhadap radioterapi. SBRT adalah pilihan pengobatan non-invasif yang layak untuk
metastasis spinal pada ESCC derajat rendah. Biasanya SBRT spinal diberikan 16-24Gy
dalam satu fraksi tunggal atau 24 hingga 30Gy dalam tiga fraksi.5
Dekompresi bedah dan stabilisasi tulang belakang - Pembedahan adalah
pendekatan yang lebih disukai untuk pasien dengan tulang belakang yang tidak
stabil dan untuk ESCC derajat tinggi yang disebabkan oleh tumor yang relatif resisten
terhadap radiasi dengan tujuan5
Mempertahankan atau memulihkan stabilitas mekanik, sehingga dapat
mengurangi rasa nyeri yang disebabkan oleh gerakan.
Dekompresi sirkumferensial pada medula spinalis untuk mempertahankan
fungsi neurologis dan memungkinkan pemberian dosis radiasi yang memadai ke
seluruh volume tumor serta menghindari toksisitas pada medula spinalis.

Operasi diindikasikan bila terdapat instabilitas spinal. Beberapa hal perlu


dipertimbangkan sebelum menjalani operasi, antara lain kondisi medis lain secara
umum dan prognosis secara keseluruhan. Misalnya, pasien dengan tumor metastasis
spinal yang radiosensitif, metastasis sudah menyebar ke beberapa tempat, harapan
hidup yang pendek, dan kondisi medis yang berat, lebih dianjurkan untuk radioterapi
dan pemberian steroid daripada operasi.2
Terapi sistemik - Kemoterapi juga dapat digunakan untuk mengobati ESCC bagi
pasien dengan keganasan dan ESCC yang sangat sensitif terhadap kemoterapi, karena
juga dapat mengobati deposit tumor di tempat lain dalam tubuh. Namun, sebagian
besar pasien dengan ESCC memiliki tumor yang tidak sangat kemosensitif. Selain itu,
terapi sistemik mungkin memerlukan beberapa hari atau minggu untuk menunjukkan
efeknya dan pasien dengan ESCC umumnya memerlukan pengobatan tumor yang
lebih cepat dan memerlukan terapi lokal seperti radiasi dan/atau pembedahan.5
Kemoterapi telah digunakan dengan baik pada ESCC akibat limfoma Hodgkin
(LH), limfoma non-Hodgkin (LNH], neuroblastoma, keganasan sel germinal, dan
kanker payudara. Terdapat pula laporan kasus pasien dengan kanker prostat dan
kanker payudara yang mendapatkan manfaat dari manipulasi hormon.5
Terapi anti kanker dapat diberikan sebagai terapi utama untuk tumor tertentu
jika terdapat kemungkinan efek yang cepat [multiple myeloma, LH, LNH derajat
intermediat atau tinggi, metastasis germ cell tumor).1
Rehabilitasi
Tidak ada dasar ilmiah untuk penggunaan metode konservatif seperti collar
neck, brace atau korset pada pasien yang tidak memungkinkan untuk operasi. Tetapi
pada kasus nyeri punggung yang tidak dapat diobati atau instabilitas, dapat dicoba
diberikan brace atau korset selama 2 minggu.1
Aspek rehabilitasi juga perlu diperhatikan pada semua kualitas hidup pasien yang
baik, antara Iain korset spinal. Korset memberikan dukungan eksternal tambahan
pada segmen spinal yang fungsinya terganggu karena tumor. Tujuan pemakaian
antara lain restriksi gerakan, penyejajaran (alignment) spinal, dan dukungan aksial
badan. Namun, pemakaian korset bukannya tanpa kontroversi. Kegunaan korset
dipengaruhi oleh ketebalan jaringan lunak yang berada di sekitar vertebra. Semakin
tebal jaringan lunak, panjang korset juga memengaruhi efektivitas. Korset yang
panjang memberikan stabilisasi spinal yang lebih baik dari pada korset yang pendek.2
Selain korset, rehabilitasi yang bisa diberikan pada pasien tumor spinal adalah
terapi fisik dan okupasi. Pasien dengan tumor spinal biasanya memiliki keterbatasan
mobilisasi. Kondisi ini selanjutnya dapat menimbulkan gangguan respirasi, penurunan
fungsi otot, dan gangguan integritas integumen (dekubitus). Terapi fisik meliputi
mobilisasi bertahap, mulai dari tempat tidur hingga berjalan, dan latihan (exercise)
penguatan otot abdomen dan ekstensor. Terapi okupasi meliputi pemberian alat
bantu dan pembelajaran untuk bisa ke kamar mandi dan mengurus diri sendiri.2

Pemilihan terapi pada pasien


Pilihan modalitas untuk pengobatan definitif ESCC tergantung pada banyak faktor,
termasuk radiosensitivitas relatif dari tumor primer, derajat kompresi sumsum tulang
belakangdan adatidaknya ketidakstabilan tulangbelakang. Paradigma NOMS memfasilitasi
pemilihan kombinasi optimal dan urutan terapi sistemik, radiasi dan pembedahan, serta
memberikan kerangka kerja keputusan yang berbasis bukti dan dinamis.5
Pasien dengan ketidakstabilan tulang belakang - Ketidakstabilan tulang
belakang merupakan indikasi independen untuk stabilisasi pembedahan tulang
belakang, terlepas dari derajat ESCC dan radiosensitivitas tumor primer.5
Tumor radiosensitif - Sebagian besar pasien dengan tumor radiosensitif dapat
diobati dengan radioterapi konvensional cEBRT, terlepas dari derajat ESCC. Pembedahan
biasanya dihindari, kecuali ada ketidakstabilan tulang belakang, cEBRT sebelumnya
pada bidang yang sama, atau progresi tumor atau defisit neurologis selama radiasi.5

Keputusan harus tetap bersifat individual, terutama pada pasien dengan defisit
neurologis akibat ESCC derajat tinggi dari tumor padat seperti kanker payudara
atau prostat. Walaupun tumor ini umumnya merespon dengan baik terhadap cEBRT,
respons dapat memakan waktu dan operasi setidaknya harus dipertimbangkan pada
pasien dengan defisit neurologis untuk memungkinkan dekompresi cepat sumsum
tulang belakang. Hal ini berbeda dengan tumor seperti mieloma atau limfoma, yang
cenderung merespon dengan cepat terhadap glukokortikoid dan cEBRT.5
Terapi sistemik berperan setelah pengobatan definitif ESCC pada kebanyakan
pasien dengan tumor radiosensitif dan kadang-kadang digunakan sebagai pengganti
radiasi pada pasien tertentu dengan tumor sangat kemosensitif.5
Tumor yang resisten terhadap radiasi dengan ESCC derajat rendah -
Pendekatan untuk pasien dengan ESCC derajat rendah yang disebabkan oleh tumor
yang resisten terhadap radiasi telah berkembang dengan munculnya SBRT untuk
metastasis tulang belakang. Jika tersedia dan tidak ada ketidakstabilan tulang
belakang, SBRT merupakan pendekatan yang lebih dipilih untuk ESCC derajat rendah
yang disebabkan oleh tumor yang relatif tahan radiasi. Jika SBRT tidak tersedia,
kontrol lokal paling baik dicapai dengan eksisi bedah diikuti oleh cEBRT.5
Tumor yang resisten terhadap radiasi dengan ESCC derajat tinggi - Sebagian
besar pasien dengan tumor ini memerlukan dekompresi dan stabilisasi bedah sebelum
terapi radiasi untuk mengurangi nyeri secara maksimal, pemulihan neurologis, dan
kontrol tumor lokal.5
Radiasi pascaoperasi diperlukan untuk mengobati sisa penyakit dengan tujuan
mempertahankan kontrol tumor lokal, mencegah gangguan neurologis lebih lanjut,
serta pertumbuhan tumor kembali. Apabila tersedia, SBRT pascaoperasi lebih
disarankan daripada cEBRT karena sifat tumor primer yang resisten terhadap radiasi
dan kemampuan SBRT untuk memberikan radiasi dosis tinggi dengan aman, sekaligus
menyelamatkan sumsum tulang belakang.5
Meskipun pembedahan memberikan peluang terbaik untuk pemulihan neurologis
dan pengendalian gejala, terdapat pasien yang bukan kandidat operasi, yaitu faktor-faktor
seperti penyakit metastasis yang luas dan sangat sulit diobati, kurangnya pilihan sistemik
lebih lanjut untuk terapi kanker, dan harapan hidup yang sangat singkat. Untuk pasien ini,
diberikan glukokortikoid dan cEBRT jangka pendek sebagai terapi paliatif primer.5
Pasien dengan primer yang tidak diketahui- Pasien yang datang dengan ESCC
tanpa diagnosis kanker sebelumnya memerlukan evaluasi radiografi lengkap, skrining
penanda tumor yang relevan, dan core biopsy tumor untuk konfirmasi diagnosis
secara histologis. Biopsi dapat diperoleh dari tumor tulang belakang atau daerah yang
paling mudah diakses dalam kasus penyakit yang tersebar luas. Diagnosis histologis
memiliki peran penting dalam menentukan kebutuhan untuk operasi dan dalam
pemilihan terapi sistemik dan radiasi. Namun, jika seorang pasien mengalami defisit
neurologis yang signifikan atau progresif karena ESCC, presentasi neurologis lebih
diutamakan daripada keperluan untuk diagnosis dan staging yang akurat, dan pasien
harus menjalani pembedahan dekompresi medula spinalis segera. Jaringan dapat
dikirim untuk analisis histologis pada saat dekompresi dan evaluasi staging secara
resmi dapat dilakukan pasca operasi.5
Pasien dengan keterlibatan tulang belakang yang multilevel -Dalam kasus
seperti ini, tumor tulang belakang yang bergejala menjadi prioritas perawatan dan harus
didahulukan. Semua level tulang belakang dengan ESCC biasanya membutuhkan terapi
radiasi dengan pengecualian tumor yang sangat responsif terhadap terapi sistemik.5
Untuk pasien yang dianggap memerlukan dekompresi pada satu level tulang
belakang atau lebih, keterlibatan tumor multilevel memengaruhi luas dan teknik
stabilisasi bedah, karena stabilitas tulang belakang dapat terganggu dengan infiltrasi
tumor yang dims.5
Pertimbangan tata laksana:1
1. Bedah spinal harus dikonsulkan jika:
i - Kondisi klinis diperbolehkan untuk dioperasi, dan
Area spinal yang terkena atau obstruksi melibatkan maksimal 3 vertebra
berturut-turut, dan
Adanya paraplegia komplit <24 jam atau perbaikan klinis setelah pemberian
kortikosteroid, dan
Jika mungkin dilakukan operasi (<24 jam pada kasus defisit neurologis
progresif).
2. Radioterapi sebagai terapi pilihan pertama, jika:
Dosis adekuat dan tepat tersedia, dan
Tidak ada indikasi untuk operasi
3. Operasi sebagai terapi utama:
Spinal yang tidak stabil, dan/atau
Gangguan neurologis akibat MESCC, dan/atau
Rekurensi atau progresif setelah radioterapi dan radioterapi ulang tidak
memungkinkan atau tidak bermanfaat.

XV.9. Prognosis
Prognosis bergantung pada jenis keganasan, lokasi dan keterlibatan sistemik.11
Skor Karnofsky dan Tokuhashi sering digunakan menentukan prognosis pasien tumor
metastasis spinal sebelum dan setelah operasi. Prognosis tumor spinal terkait dengan
banyak faktor, yaitu kondisi umum pasien, kemampuan untuk melakukan aktivitas
normal dan menjaga diri sendiri, dan derajat disabilitas. Faktor yang lain adalah
tulang ekstraspinal dan metastasis organ lain, riwayat tipe tumor primer, terbatas,
atau menyebar tumor primer dan paralisis.15
Skor Tokuhashi (Tabel 15.2) yang diperkenalkan pada 1990 sudah mengalami
revisi (revised Tokuhashi Score) pada tahun 2005. Nilai totalnya adalah 15. Periode
harapan hidup diperkirakan <6 bulan pada skor total 0-8, >6 bulan ketika skor total
9-11 dan >1 tahun ketika skor total >12.16

Sebuah studi prospektif menyatakan bahwa radiasi memperbaiki keluhan nyeri


punggung pada 60% pasien, sementara 70% dari semua pasien dapat berjalan.
Beberapa faktor memengaruhi keluaran neurologis dan yang paling penting adalah
status neurologis pra-radiasi. Faktor-faktor lain termasuk radiosensitivitas relatif
dari kanker yang mendasarinya, serta tingkat kompresi anatomi pada thecal sac dan
deformitas sumsum tulang belakang atau kauda ekuina.
Pada akhirnya, kecepatan timbulnya defisit neurologis akan berkaitan, karena
onset disfungsi yang lebih lambat umumnya menandakan hasil yang lebih baik Tidak
mengherankan, harapan hidup sesudah terapi radiasi untuk ESCC tergantung pada
keberadaan dan luasnya metastasis viseral, otak dan tulang lainnya. Selain itu, interval yang
lebih pendek antara diagnosis awal kanker dan onset ESCC memprediksi kelangsungan hidup
yang lebih pendek, seperti halnya histologi yang resisten terhadap radiasi, ketidakmampuan
untuk berjalan dan kecepatan timbulnya defisit neurologis terkait ESCC.3
Kesintasan rata-rata setelah diagnosis ESCC adalah sekitar enam bulan.5 Hasil
akan lebih baik pada pasien yang masih bisa berjalan. Kesintasan rata-rata untuk
pasien yang masih bisa berjalan sebelum terapi radiasi adalah 8 sampai 10 bulan
dibandingkan dengan 2 hingga 4 bulan untuk pasien yang tidak bisa berjalan sebelum
radiasi. Bagi mereka yang tetap tidak bisa berjalan setelah radiasi, kesintasan rata-
rata hanya satu bulan.5
Prognosisnya lebih baik pada pasien dengan keganasan hematologis, kanker
payudara, atau kanker prostat, dan secara signifikan lebih buruk pada kanker paru-paru.
Studi menunjukkan kesintasan rata-rata 9 hingga 10 bulan untuk kanker payudara,
prostat, limfoma, dan multiple myeloma dibandingkan dengan 3 hingga 4 bulan untuk
kanker paru-paru. Pada pasien dengan kanker payudara, tumor yang memiliki reseptor
hormon negatif, terutama pada tumor tanpa overekspresi human epidermal growth
factor receptor 2 (HER2), yaitu triple-negative tumors, memiliki kesintasan yang lebih
buruk dibandingkan dengan tumor dengan reseptor hormon positif.5

Ilustrasi Kasus
Seorang perempuan, berusia 42 tahun datang ke poliklinik saraf dengan keluhan
kelemahan kedua tungkai sejak 3 minggu yang lalu. Keluhan diawali dengan kesemutan
pada kedua kaki, diikuti dengan kebas dan kelemahan kedua tungkai hingga tidak
dapat digerakkan. Pasien terdiagnosis kanker payudara kanan dan telah dilakukan
mastektomi radikal dan kemoradiasi. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan paraplegia,
refleks fisiologis kedua tungkai menurun, refleks dinding perut negatif, anesthesia
setinggi T6 ke bawah, inkontinensia uri et alvi, dan proprioseptif terganggu.

Jelaskan bagaimana proses metastasis pada pasien ini.

Pembahasan:
Sel tumor menyebar ke medulla spinalis melalui sirkulasi hati dan paru menuju
sistem vena, lalu mengalir ke pleksus vena batson (pleksus vena epidural] yang berada
antara kolumna spinalis dan dura mater. Karena vena ini tidak memiliki katup, maka
setiap terjadi peningkatan vena kava (mengejan atau batuk), maka terjadi aliran balik
ke sistem vertebra sehingga sel tumor terperangkap dalam pembuluh darah tersebut
dan tumbuh sebagai tumor baru pada vertebra.
Daftar Pustaka
1. Taal W. Spinal metastases. Dalam: Current update and multidiciplinary management of neuro-
oncology. Jakarta: Dutch Foundation, CME FKUI and Indonesia Society of Neuro-Oncology; 2018.
h. 21-3.
2. Aninditha T, Zairinal RA, Ranakusuma TAS. Tumor metasasis. Buku ajar neurologi. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta: 2017. h. 337-54.
3. Batchelor TT, Nishikawa R, Tarbell, NH, Weller M. Oxford Textbook of Neuro-oncology. Oxford
University Press; 2017.
4. Lee EQ, Wen PY. Neuro-oncology, An Issue of Neurologic Clinics. Elsevier; 2018.
5. Laufer I, Bilsky M, Schiff D, Brown P. Treatment and prognosis of neoplastic epidural spinal cord
compression, www.uptodate.com. 2019
6. Bondy ML, El-Zein R, ScheurerME. Epidemiology of brain tumor. Dalam: Demonte F, Gilbert M,
Mahajan A, McCutcheon I, editor. Tumor of the brain and spine. New York: Cancer care series;
2007. h. 02.
7. How cancer can spread. Cancer Research UK. Review 5 Desember 2017.
8. Schiff D. Spinal metastases. Dalam: Schiff D, Wen PY, editor. Cancer neurology in clinical practice.
New Jersey: Humana Press Inc; 2003. h. 94-100.
9. Kothbauer KF, Jallo GI, Epstein FJ. Management of spinal tumors. Dalam: Moore AJ, Newell DW,
editor. Tumor neurosurgery principles and practice. London: Springer Specialist Suregry Series;
2016. h. 314-21.
10. Greenberg MS. Handbook of neurosurgery. Edisi ke-8. New York: Thieme; 2016. h. 275-788.
11. Lundin DA, Kuntz C, Shaffrey CI. Management of extradural spinal tumors. Dalam: Moore AJ,
Newell DW, editor. Tumor neurosurgery principles and practice. London: Springer Specialist
Surgery Series; 2016. h. 321-37.
12. Mendel E. Tumors of the extradural spine. Dalam: Demonte F, Gilbert M, Mahajan A, McCutcheon I,
editor. Tumor of the brain and spine. New York: Cancer Care Series; 2007. h. 274-324.
13. Rhines LD, Groves MD. Tumors of the spinal cord and Intradural space. Dalam: Demonte F, Gilbert
M, Mahajan A, McCutcheon I, editors. Tumor of the brain and spine. New York: Cancer Care Series;
2007. h. 298-324.
14. Bernstein M, Berger MS. Neuro-oncology: The Essentials. New York: Thieme Medical Publisher;
2000.
15. Yilmaza S, Dogan S, Caner B, Turkkan A, Bekar A, Korfali E. Comparison of prognostic scores
and surgical approaches to treat spinal metastatic tumor: a review Of 57 cases. BioMed Central.
2008;3[1J:37.
16. Y Tokuhashi, Scoring system for prediction of metastatic spine tumor prognosis, World J. Orthop.
5 [2014) 262. doi:10.5312/wjo.v5.i3.262.
METASTASIS LEPTOMENINGEAL
Yunni Diansari

XVI. 1. Pendahuluan
Metastasis leptomeningeal (ML) merupakan suatu kondisi Minis emergensi
yang semakin sering dijumpai dibidang neuro-onkologi. Insidensi ML ini semakin
meningkat berkaitan dengan bertambah panjangnya angka harapan hidup pada
penderita keganasan dan semakin baiknya teknik diagnostik.
Metastasis leptomeningeal didefinisikan sebagai penyebaran sel-sel tumor di
sepanjangleptomeningendanruangsubaraknoid.Namalainyangumumdigunakanadalah
neoplastik meningitis, meningitis karsinomatosis, dan leptomeningeal karsinomatosis.14

XVI.2. Epidemiologi
Metastasis ke otak merupakan merupakan salah satu jenis metastasis yang paling
sering dijumpai, sekitar 15% dari semua pasien kanker. Metastasis leptomeningeal
lebih jarang dijumpai, yakni sekitar 3-8%.5'6
Baik tumor padat ataupun keganasan hematologi dapat menyebabkan terjadinya
metastasis leptomeningeal. Pada penderita dengan keganasan insidensi ML bervariasi
sesuai dengan tumor primernya dan progresivitas dari penyakitnya. Tumor padat
yang paling sering menyebabkan ML adalah kanker payudara (12-35%), kanker paru
(10-26%), melanoma (5-25%), keganasan gastrointestinal (4-14%), dan unknown
primary (1-7%). Secara keseluruhan distribusi ML lebih tinggi pada tumor padat.
Hal ini disebabkan insidensi tumor padat lebih tinggi dibandingkan keganasan
hematologi.2 Namun, berdasarkan jenis tumor insidensi keterlibatan ML itu sendiri
lebih sering dijumpai pada keganasan hematologi (5-10%) dibandingkan tumor
padat (5%). Selain itu, meskipun jarang tumor otak primer dapat juga menginfiltrasi
leptomeningen dan menyebar disepanjang jalur CSS.24
Kejadian ML dapat disertai dengan metastasis otak pada 50-80% pasien.2 Pada
kasus tumor padat, ML bersamaan dengan metastasis otak dijumpai pada 33-54%
kanker payudara, 56-82% kanker paru, dan 87-96% melanoma maligna.1

XVI.3. Patofisiologi
Leptomeningen terdiri dari araknoid dan piameter. Ruang diantara selaput
tersebut berisi CSS yang dikenal sebagai ruang subaraknoid. Pada ML sel kanker
memasuki ruang subaraknoid dan berjalan melewati seluruh sistem saraf pusat
mengikuti aliran CSS, sehingga dapat menimbulkan gejala multifokal atau difus akibat
infiltrasi pada leptomeningen.1-2'4'5
Ada beberapa mekanisme yang dapat menyebabkan penyebaran tumor ke
leptomeningen, yaitu:1"46
1. Secara hematogen melalui pembuluh darah pada plexus khoroideus dan araknoid,
dimana sel-sel tumor masuk ke dalam pembuluh darah menginvasi ke meningen
dengan menginfiltrasi pembuluh darah araknoid dan plexus khoroideus.
Selanjutnya, sel-sel tumor tersebut masuk keruangan subaraknoid melalui invasi
ke plexus batson dan perivenous yang menyebar dari sumsum tulang
2. Penyebaran langsung menuju meningen dan CSS oleh sel-sel tumor yang
bermetastasis yang lokasinya berdekatan langsung dengan meningen (dura,
subdural, tulang, dan metastasis parenkim). Pada kondisi ini, sel-sel kanker dapat
masuk ke dalam ruang subaraknoid melalui penetrasi terhadap piameter atau
ependim atau berjalan disepanjang ruangan perivaskular.
3.' Migrasi perineural sel-sel tumor dari metastasis sistemik ke ruangan subaraknoid.
Mekanisme ini yang mendasari bagaimana tumor-tumor didaerah kepala dan
leher dapat menyebabkan ML
4. Penyebaran ke meningen secara iatrogenik, yang terjadi selama tindakan bedah
pada kasus-kasus metastasis intrakranial. Penyebaran iatrogenik ini biasanya
terjadi pada kondisi-kondisi penderita yang menjalani tindakan bedah didaerah
fosa posterior.

XVI.4. Gejala Klinls


Penderita dengan ML dapat datang dengan manifestasi klinis yang onsetnya akut
dalam hitungan hari atau minggu dengan gejala yang multifokal dan defisit neurologi
yang bervariasi. Sekitar 25% pasien dengan ML dapat saja asimptomatik. Pada pasien
yang simptomatik, nyeri kepala merupakan gejala yang paling sering dijumpai.
Muntah dan kejang dijumpai pada 25% pasien.24
Gejala klinis pada ML dapat timbul dengan berbagai mekanisme, yaitu2A6
1. Hidrosefalus
Merupakan salah satu gejala yang paling sering dijumpai. Tumor dapat menginvasi
basis kranii sehingga menyebabkan obstruksi aliran CSS pada ventrikel IV.
Selain itu tumor juga dapat menginfiltrasi fissura sylvii ataupun villi araknoid.
Adanya sel-sel tumor pada meningen yang disertai respons inflamasi juga dapat
meyebabkan hambatan pada absorbsi CSS sehingga menyebabkan hidrosefalus.
2. Invasi parenkimdan sarafkranial
Sel tumor di leptomeningen dapat berkembang disepanjang virchow-robin
spaces sampai ke parenkim otak sehingga menimbulkankan defisit neurologi.
Pertumbuhan sel-sel tumor terkadang hanya terbatas pada ruangan perivaskular
tanpa adanya infiltrasi pada parenkim otak itu sendiri. Sebaliknya tumor dapat
secara langsung menginfiltrasi jaringan otak, medula spinalis, saraf kranial, dan
saraf tepi sehingga menimbulkan defisit neurologi.
3. Kerusakan sawar darah otak
Rusaknya sawar darah otak akan memacu timbulnya edema serebri. Adanya
penyangatan kontras pada meningen otak atau medula spinalis pada kasus-
kasus ML yang diidentifikasi dengan pemeriksaan MRI mengindikasikan adanya
kerusakan sawar darah otak.
ML dapat menyebabkan kerusakan SSP pada berbagai lokasi sehingga
menyebabkan gejala yang multifokal. Secara garis besar gejala dan tanda ML
dikelompokkan menjadi gejala hemisfer serebri (15%), saraf kranial (35%), dan
medula spinalis serta serabut sarafnya (60%).3'6
• Hemisfer serebri
Invasi kortek oleh ML dapat menimbulkan disfungsi kortikal. Invasi ini dapat
menyebar dan karena gambaran ini adalah mikroskopis, pada pemeriksaan
radiologi otak sering tidak didapatkan kelainan, tetapi biasanya sel kanker dapat
dijumpai pada CSS. Gejala-gejala pada hemisfer serebri termasuk nyeri kepala,
perubahan status mental yang berkaitan dengan ensefalopati difus, mual dan
muntah, kelemahan sisi tubuh serta kejang. Akan tetapi tanda dari disfungsi
parenkim yang utama seperti afasia, hemiparesis, hemisensori, atau defek
lapangan pandang jarang dijumpai. Defek pada lapangan pandang dapat saja
diakibatan oleh invasi tumor pada kiasma optikum atau traktus optikus, tetapi
gejala fokal seperti hemiparesis biasanya berkaitan dengan metastasis parenkim.

• Saraf Kranial
Disfungsi saraf kranial bukanlah keluhan utama pada penderita dengan ML,
meskipun pada pemeriksaan yang teliti dapat dijumpai gangguan minimal pada
otot-otot penggerak bola mata, asimetris wajah, berkuranganya sensoris daerah
wajah ataupun gangguan pendengaran. Gejala dan tanda disfungsi saraf kranial
akan semakin jelas seiring dengan perkembangan penyakit. Keluhan utama yang
paling sering adalah diplopia dan kelemahan motorik wajah (14%). Penderita
juga sering mengeluh gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan
pengecapan, kesulitan menelan, serta suara serak.4
Hal penting yang harus diingat bahwa keterlibatan saraf kranial yang multipel
lebih menunjukkan suatu ML daripada invasi tumor pada basis kranii, terutama
jika kerusakan ini bilateral. Diagnosis banding akan semakin sulit jika hanya ada
, satu sarafyang terkena.
• Gejala dan tanda spinal
Gejala spinal dijumpai pada 50% penderita dengan ML. Tumor dari Leptomeningen
sering menginvasi serabut saraf didaerah kauda equina, bahkan terkadang
membentuk massa yang akan terlihat pada pemeriksaaan MRI. Kelemahan tungkai
dijumpai pada 21% kasus berkaitan dengan disfungsi pada kauda equina .4

Secara garis besar, pengelompokkan gejala-gejala tersebut dapat dilihat pada


tabel dibawah ini.

XVI.5, Diagnosis
Pencitraan otak dan medula spinalis
MRI kepala dan spinal 1,5 tesla dengan kontras merupakan pemeriksaan pertama
yang seharusnya dilakukan jika terdapat kecurigaan ML. Sensitivitas pemeriksaan
ini cukup tinggi (75%) dan dapat mengevaluasi kraniospinal secara keseluruhan.
Sebaiknya MRI dilakukan sebelum pemeriksaan LP, karena tindakan LP itu sendiri
dapat menurunkan TIK yang berimbas dengan penebalan meningen. Temuan spesifik
pada pemeriksaan MRI adalah didapatkan penebalan meningen yang difus atau
nodular dan menyangat pascapemberian kontras.1"210
Jika terdapat kecurigaan yang kuat akan adanya ML, gambaran MRI yang
memperlihatkan adanya penyangatan didaerah sisterna basalis, kauda equina, serta
ependim sudah memberikan konfirmasi yang cukup untuk pengobatan meskipun
tidak ditemukannnya sel kanker pada CSS.

Analisis rutin dan sitologi CSS


Meskipun MRI merupakan pemeriksaan awal yang direkomendasikan pada
penderita dengan kecurigaan ML, pemeriksaan sitologi CSS merupakan diagnosis pasti
untuk menegakkan ML. Pemeriksaan ini seharusnya ditunda jika terdapat kecurigaan
lesi massa intrakranial atau spinal berkaitan dengan risiko terjadinya herniasi. Pada
situasi seperti ini, MRI harus dilakukan terlebih dahulu. Jika terbukti ada massa dan LP
masih diperlukan, pemeriksaan tersebut dapat ditunda selama beberapa waktu sambil
menunggu tekanan intrakranial terkontrol dengan menggunakan kortikosteroid.
Evaluasi diagnostik secara menyeluruh sangatlah penting meliputi analisis rutin
dan sitologi CSS. Pada analisis rutin CSS, dapat dijumpai gambaran sebagai berikut:
1. Peningkatan tekanan pembukaan (>200mmHG] pada setidaknya 21-42% penderita.2
Peningkatan tekanan ini dapat tanpa disertai hidrosefalus pada pemeriksaan
radiologis, karena ML dapat menyebabkan obstruksi pada jalur absorbsi CSS.13
2. Peningkatan leukosit >4 sel/mm3 dijumpai pada 48-77,5% kasus.2 Sel yang dijumpai
biasanya limfosit (39%), tetapi dapat juga PMN. Jumlahnya dapat beberapa sel sampai
ratusan, sehingga meningkatkan kecurigaan terhadap suatu infeksi meningitis.2
3. Peningkatan kadar protein pada 56-91% kasus (>50mg/dl}.2 Hal ini dapat
berkaitan dengan kerusakan sawar darah otak hingga adanya perpindahan
protein ke dalam CSS.1,2
4. Penurunan kadar glukosa (hipoglukoria) pada 22-63%.2 Meskipun tidak sering,
tetapi sangatlah spesifik, rasio glukosa CSS-serum <0,6 pada penderita dengan
ML. Penyebab hipoglukorhia ini tidaklah jelas, tetapi ada dua kemungkinan
penyebabnya, pertama berkurangnya transpor glukosa yang melewati sawar
darah otak dan kedua adanya metabolisme glukosa oleh sel-sel kanker.12
Pemeriksaan sitologi CSS merupakan pemeriksaan pasti untuk menegakkan
diagnosis ML. Sensitivitas pemeriksaan ini masih terbatas dan terkadang
memerlukan pemeriksaan yang berulang. Untuk mengurangi risiko negatif
palsu direkomendasikan volume CSS yang dianalisis lebih dari lOcc dan segera
dilakukan pemeriksaan dalam waktu 30 menit.211 Sekitar 50% penderita dapat
menunjukkan hasil sitologi yang negatif pada pemeriksaan awal yang akan
meningkat kemungkinannya pada pemeriksaan ulangan, yaitu sitologi positif
mendekati 90% pada LP ketiga. Pada 10% pasien sitologi CSS tetap negatif setelah
beberapa pemeriksaan meskipun secara klinis menunjukkan gejala ML.1,2,5'7

Hasil pemeriksaan sitologi CSS sebaiknya dilaporkan sebagai%


1. Positif,
Jika ditemukan sel kanker didalam CSS
, 2. Negatif
Jika tidak didapatkan sel kanker atau sel-sel equivocal pada CSS
3. Equivocal
Jika didapatkan sel-sel yang menyerupai atau sel-sel atipikal pada CSS
Hasil sitologi yang negatif setelah tiga kali dilakukan LP tidak langsung
menyingkirkan diagnosis ML jika pada pemeriksaan yang lain seperti MRI didapatkan
gambaran yang khas untuk suatu ML. Dalam hal ini, penilaian klinis merupakan hal
yang sangat penting dalam memandu kita untuk menegakkan diagnosis ML.3

Flow Cytometry
Evaluasi DNA abnormal dengan menggunakan/7ow cytometry bermanfaat untuk
mendeteksi sel-sel kanker yang mungkin terlewatkan pada pemeriksaan sitologi.
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk mendeteksi sel-sel
kanker di CSS pada penderita dengan keganasan hematologi dan dikatakan lebih
sensitif dibandingkan sitologi untuk mendeteksi sel-sel kanker. Pemeriksaan ini
cukup tersedia dan terbukti bermanfaat untuk deteksi awal jika terdapat infiltrasi
pada meningen bahkan pada penderita yang asimptomatik. Meskipun pemeriksaan
flow cytometry mudah dilakukan dan merupakan pilihan pada kasus-kasus keganasan
hematologi, tetapi sayangnya metode ini tidak bisa diterapkan pada penderita-
penderita dengan kecurigaan ML yang disebabkan oleh tumor padat.47

Penanda tumor
Metode lain padaanalisis CSS untukmengetahui adanya MLadalah dengan menggunakan
beberapa petanda tumor, seperti Carcinoembryonik antigen (CEA), Alfa fetoprotein (AFP),
fi-human chorionic gonadotropin (p-HCGj, monoklonal imunoglobulin, CA-125, CA 15-3,
dan PSA. Penanda tumor yang spesifik tersebut dapat dideteksi didalam CSS terutama jika
didapatkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan serum. Jika terdapat kesesuaian klinis, maka
adanya hasil yang positif dapat membantu menegakkan diagnosis ML. Selain itu terdapat
juga beberapa petanda tumor yang nonspesifik seperti (32 mikroglobulin, (3 glukoronidase,
dan laktat dehidrogenase (LDH) yang terkadang dapat juga ditemukan pada pasien dengan
meningitis. Tetapi jika penyebab lain peningkatan petanda tumor tsb dapat disingkirkan
maka kemungkinan diagnosis ML dapatbermakna.12'48

Biopsi
Jika pemeriksaan sitologi CSS tidak menunjukkan diagnosis dan kecurigaan akan
adanya ML terlihat pada pemeriksaan pencitraan tanpa diketahui tumor primernya,
maka biopsi otak dan atau leptomeningen diindikasikan untuk menegakkan diagnosis
apakah ini suatu proses keganasan atau bukan.1,3"4,7'8
XVI.6. Tata Laksana
Pada pasien dengan ML, tujuan tata laksana adalah mengontrol defisit neurologi,
memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang angka harapan hidup. Jika ini tidak
memungkinkan, maka terapi paliatif terhadap gejala yang ada adalah tujuannya.128
Untuk membantu para klinisi, NCCN (National Committee Cancer Network) sendiri
telah mengelompokkan pasien menjadi 2, yaitu:212
Pasien dengan risiko tinggi
KPS <60, defisit neurologis multipel serta penyakit sistemik yang tidak terkontrol.
Pada kondisi ini, terapi paliatif adalah pilihan.
Pasien dengan risiko rendah
Meskipun jarang dijumpai, ML dapat dijumpai pada pasien dengan KPS >60,
gejala neurologi yang minimal serta efektif dengan pilihan terapi sistemik. Pada
kondisi ini, pasien ML dapat ditatalaksana dengan lebih agresif.

Tata laksana sesegera mungkin dapat menghambat progresivitas disfungsi


neurologi. Tata laksana utama pada kasus ML adalah radioterapi dan kemoterapi.
Tindakan bedah hanya diindikasikan pada kondisi tertentu. Terapi ini bergantung pada
lokasi, keterlibatan leptomeningen, dan gejala klinis penderita. Tujuan tata laksana
ML adalah paliatif dan jika bisa dapat memperbaiki atau menunda progresivitas gejala
klinisnya. Pengobatan sebaiknya segera dimulai setelah diagnosis ML ditegakkan.
Tantangan utama dalam tata laksana ML adalah seluruh neuroaksis harus dilibatkan,
karena jika hanya area simptomatik saja ditatalaksana, area yang lain akan segera
terkena karena tumor dapat menyebar disemua area yang dilapisi meningen.4
Adanya keterlibatan SSP menjadi dasar klinisi memulai penggunaan
kortikosteroid. ML yang disebabkan oleh tumor padat biasanya tidak berespons
dengan pemberian kortikosteroid kecuali jika didapatkan tanda peningkatan tekanan
intrakranial. Tetapi pada limfoma dan sebagian leukemia, pemberian kortikosteroid
dapat memberikan perbaikan klinis terutama pada penderita dengan keluhan nyeri.
Pemberian kortikosteroid yang terlalu dini dapat memberikan hasil negatif palsu pada
pemeriksaan sitologi CSS dan mengaburkan pemeriksaan pencitraan. Kortikosteroid
sebaiknya ditunda sampai diagnosis ML ditegakkan. Jika tidak didapatkan perbaikan
klinis, penggunaan kortikosteroid sebaiknya dihentikan secara bertahap.5
Radioterapi
Radioterapi dapat menjadi pilihan terapi yang sangat efektif, dimana terkadang
dapat menghilangkan gejala nyeri dan defisit neurologis yang timbul. Dapat diberikan
berupa radioterapi lokal atau WBRT (whole brain radiotherapy).
Radioterapi diberikan lokal pada daerah yang terkena atau area yang memberikan
gejala klinis. Radioterapi juga dapat memperbaiki obstruksi aliran CSS pada 30% kasus
obstruksi spinal dan 50% kasus obstruksi intrakranial. Terkadang, efek radioterapi ini
cukup kuat dan bertahan lama, tetapi metode ini bukanlah untuk penyembuhan.
WBRT biasanya diberikan dalam dosis 20-40Gy.8 Radiasi kraniospinal jarang
diberikan bersamaan dengan kemoterapi pada kasus ML berkaitan dengan toksisitas
terhadap sumsum tulang.
Eksternal beam radioterapi dapat diberikan pada seluruh neuroaksis atau pada tempat
yang memberikan gejala saja, sedangkan lokasi yang lain akan diberikan kemoterapi. Lokasi
yang asimptomatik tetapi pada pemeriksaan didapatkan lesi massa leptomeningeal dimana
pemberian intratekal kemoterapi tidak akan efektif juga harus diradiasi. Berikut ini adalah
beberapa indikasi radioterapi pada kasus leptomeningeal metastasis.45
• Radiasi lokal
Tempat yang bergejala klinis (meskipun pemeriksaan pencitraan normal)
Bulky disease
Obstruksi aliran CSS
Penekanan radiks spinalis oleh tumor
Keterlibatan saraf kranial dan spinal secara radiografi
Sindrom kauda equina
Disfungsi saraf kranial akibat penekanan tumor
Nyeri radikular karena keterlibatan radik spinal
Muntah yang refrakter akibat deposit tumor pada ventrikel
• Radiasi kraniospinal
Pasien yang refrakter terhadap kemoterapi dengan KPS baik
Kemoterapi
Dapat diberikan baik itu secara sistemik atau langsung ke dalam aliran CSS
(intratekal]. Beberapa literatur menyarankan kemoterapi intratekal lebih efektif pada
kondisi penderita dengan sitologi CSS yang positif dan gambaran pencitraan yang
normal atau kelainan minimal. Sebaliknya kemoterapi sistemik lebih diutamakan pada
kasus dengan bulky disease pada pencitraan atau adanya obstruksi pada aliran CSS.4,5
• Kemoterapi intratekal (IT).
Metode pemberian kemoterapi secara intratekal akan memaksimalkan kerja
obat kemoterapi dan meminimalisir efek samping sistemik. Teknik pemberian
kemoterapi secara intratekal ini dapat diberikan melalui tindakan lumbal pungsi
berulang atau melalui pemasangan reservoir Ommaya. Obat kemoterapi yang
dapat diberikan secara intratekal adalah metotreksat, sitarabin, dan thiotepa.
Metotreksat dan sitarabin memiliki aktivitas terhadap leukemia dan limfoma.
Adapun metotreksat dan thiotepa efektif terhadap kanker payudara, namun
tumor padat lainnya seperti kanker paru dan melanoma resisten dengan obat ini.
Ada 4 jenis agen kemoterapi yang telah di setujui FDA, yaitu metotreksat, sitosin
arabinosa (Ara-C}, liposomal Ara-C, dan thiotepa. Preparat lain yang sudah
digunakan juga seperti topotecan dan trastuzumab pada kasus kanker payudara.2
Tabel 16.3 dan 16.4 menunjukkan dosis dan jadwal pemberian agen kemoterapi
yang dapat digunakan melalui intratekal ataupun Ommaya.
Pedoman NCCN merekomendasikan pemeriksaan MRl flow scan atau radioisotop
flow study sebelum kemoterapi IT untuk melihat adanya obstruksi aliran CSS,
yang dapat dijumpai pada 2/3 pasien dengan ML.12 Jika terdapat obstruksi, maka
kemoterapi IT tidak akan efektif karena pendistribusiannya tidak homogen,
sehingga dapat menurunkan efektivitas dan meningkatkan toksisitas neurologi.
Jika terdapat obstruksi, maka pilihan terapi adalah dilakukan radiasi pada
lokasi yang terkena. Metode ini efektif pada 50% obstruksi di intrakranial dan
35% pasien dengan obstruksi di medula spinalis. Pascaradioterapi sebaiknya
dilakukan pemeriksaan flow scan kembali untuk memastikan tidak ada obstruksi
aliran CSS. Setelah itu kemoterapi IT dapat diberikan.2
Rekomendasi NCCN dilakukan pemeriksaan sitologi serial untuk mengevaluax
respons terhadap pengobatan. Kondisi umum serta status CSS dievaluasi setiap 1-3
bulan. Jika penyakit progresif atau CSS selalu positif, dapat diberikan lagi kemoterapi
IT selama 4 minggu dan dilakukan pemeriksaan CSS kembali. Pilihan lain jika sitologs
tetap positif juga diganti dengan obatyang lain atau ditambah terapi suportif.
• Kemoterapi sistemik
Tata laksana ML jarang menggunakan kemoterapi sistemik. Hal ini dikarenakan
tidak semua obat kemoterapi dapat menembus sawar darah otak dan dosis
yang adekuat sulit tercapai jika diberikan secara sistemik. Kemoterapi sistemik
terkadang bermanfaat ketika sawar darah otak terbuka secara luas akibat tumor.
Selain itu dapat juga bermanfaat jika dosis obat lebih tinggi memberikan efek
terapi didalam CSS atau jika tumor sensitif terhadap obat kemoterapi yang
lipofilik. Penggunaan kemoterapi sistemik juga efektif pada kasus bulky disease
dimana hal tersebut tidak bisa di lakukan pada kemoterapi intratekal. Manfaat
dari pemberian kemoterapi secara sistemik adalah konsentrasi obat dapat
mencapai berbagai lokasi diruang subaraknoid, dimana jika terdapat lesi nodul
metastasis maka pemberian kemoterapi secara intratekal tidak akan efektif.4

Tindakan bedah
Peranan tindakan bedah sangat terbatas pada kasus ML. Prosedur bedah yang paling
sering dilakukan adalah pemasangan kateter intraventrikular (reservoir ommaya) sebagai
fasilitator untuk pemberian kemoterapi intratekal. Pada pasien hidrosefalus dengan
gejala seperti nyeri kepala berat, papilledema, serta gangguan kesadaran terkadang juga
memerlukan tindakan VP shunt yang sangat bermanfaat untuk mengatasi gejala yang
berkaitan dengan peningkatan TIK. Meskipun jarang, terkadang diperlukan tindakan
bedah untuk mengevakuasi lesi massa didalam ruang subaraknoid yang menyebabkan
gejala serius atau dengan tujuan biopsi untuk menegakkan diagnosis ML.4'5

XVI.7. Prognosis
Jika tidak mendapat pengobatan, sebagian besar pasien akan meninggal dalam
waktu 4-6 minggu.2311 Prognosis pasien ML dengan keganasan hematologi secara
umum lebih baik jika dibandingkan dengan pasien ML dari tumor padat, hal ini mungkin
berkaitan dengan kegansan hematologi lebih sensitif terhadap agen kemoterapi. Dari
literatur didapatkan angka kesintasan median pada tumor padat 3,3 bulan (1-4 bulan)
dan 11,4 bulan pada keganasan hematologi. Diantara tumor padat, prognosis yang
paling baik adalah kanker payudara.6
Pada pasien yang sudah mendapatkan pengobatan dan berespons terhadap terapi,
prognosis berkaitan dengan tipe tumor primer, KPS, keparahan defisit neurologi, serta
terkontrol atau tidaknya tumor primer. Dengan tata laksana yang spesifik sesuai tumor,
termasuk terapi target dan imunoterapi, angka kesintasan dapat diperpanjang beberapa
bulan.1'8
Pada penderita yang hanya dengan keterlibatan SSP saja kontrol dari komplikasi
SSP nya dapat memperpanjang masa remisi, sehingga terapi yang diberikan harus
seefektif mungkin. Terapi yang agresif dapat mencegah defisit neurologi meskipun
angka harapan hidup tidakbertambah, tetapi hal tersebut tetap memberikan perbaikan
kualitas hidup pada penderita. Pada penderita yang dapat bertahan satu tahun atau
lebih tetap berisiko timbulnya neurotoksisitas akibat efek samping pengobatan.
Kematian biasanya diakibatkan karena progresivitas dari tumor sistemik.

Ilustrasi Kasus
Seorang laki-laki, usia 52 tahun, datang dengan keluhan nyeri kepala sejak
3 minggu sebelum masuk rumah sakit (SMRS), yang memberat pada 4 hari SMRS.
Keluhan nyeri kepala dirasakan memberat pada pagi dan malam hari, disertai mual
dan muntah. Pasien sebelumnya terdiagnosis kanker paru dan telah mendapatkan
kemoterapi. MRI kontras menunjukkan hasil sebagai berikut:

Dari hasil analisis cairan serebrospinal didapatkan sel bias negatif, apakah yang
perlu dilakukan selanjutnya?
A. Pemeriksaan immunophenotyping
B. MRI kepala kontras
C. Analisis cairan serebrospinal ulang
D. Radioterapi
E. Kemoterapi intratekal

Jawaban: D

Pembahasan:
Pada CT-scan pasien didapatkan kesan metastasis leptomeningeal dengan
gambaran bulky disease, sehingga tidak diperlukan analisis cairan otak ulang untuk
menegakkan diagnosis. Pilihan terapi pada metastasis leptomeningeal dengan
gambaran bulky disease adalah radioterapi untuk mengurangi obstruksi aliran
cairan serebrospinal. Kemoterapi intravena lebih superior dibandingkan kemoterapi
intratekal pada bulky disease. Pemeriksaan immunophenotyping tidak dapat
diterapkan pada pasien metastasis leptomeningeal dari tumor padat, yang dapat
diterapkan adalah pemeriksaan penanda tumor cairan serebrospinal.

Daftar Pustaka
1. Rhun EL, Weller M, D Brandsma, M Van Den Bent, Azambuja ED, Henriccson R. EANO- ESMO
clinical practice guideline for diagnosis, trearment and follow up of pasien with leptomeingeal
metastases from solid tumor. Ann Oncol. 2017;28(4]:lv84-99.
2. Freres P, Gennigens C, Martin D, Jerusalem G. Leptomeningeal carcinomatous from solid tumor:
a systematic review of the literature. Belgium Journal Medical Oncology. 2017;11(6): 259-65.
3. Sean G, Chamberlain M. Leptomeningeal metastases. Dalam: Packer RJ, Schiff D, editor.
Neurooncology. Edisi pertama. Wijohn Wiley & Son; 2012. h. 200-12.
4. Deangelis LM, Posner JB, editor. Pathophysiology nervous system metastasis in neurologic
complication of cancer. Oxford University Press. 2009. h. 48-73.
5. Cui JZ, He JY, Li Q, Li XQ, Gao RP, Bu H, dkk. Advancement in diagnosis and treatment of meningeal
carcinomatosis in solid cancer. Neuroimmunoogy Neuroinflammation. 2017;4:167-78,
6. Omar IA, Mason WP. Leptomeningeal metastasis. Dalam: Schiff D, Kessari S, Wen PY, editor. Cancer
neurology in clinical practice. Edisi ke-2. Human Press. 2008. h. 181-200.
7. Gomes HR Cerebrospinal fluid approach on neurooncology. Arq Neuropsyquitr. 2013;71(19-B):677-80.
8. NayarG, EjikemeT,ChongsathidkietP,ElsamadicyAA, BlackwellKL, ClarkeJM,DKK.Leptomeningeal
disease: current diagnostic and therapeutic strategies. Oncotarget. 2017;8 (42):73312-28.
9. Berg S, Chamberlain M. Current treatment of leptomeningeal metastases: systemic chemotherapy,
intrathecal chemotherapy and symptom management. Dalam: Abrey L, Chamberlain M, Engelhart
H, editor. Leptomeningeal metastases. Springer. 2005. h. 121-46.
10. Prommel P, Pastor P, Sitter H, Buhk H, Strik H. Neoplastic meningitis: how MRI and CSF cytology
are influenced by CSF cell count and tumor type. ScientificWorldJournal. 2013;2013:1-5.
11. Jung TY, Chung WK, Oh IJ. The prognostic significance of surgically treated hydrocephalus in
leptomeningeal metastases. Clin Neurol Neurosurg. 2014;119;80-3.
12. Nabors LB, Portnow J, Ammirati M, Baehring J, Brem H, Brown P, dkk. NCCN guideline central
nervous system version 1. J Natl Compr Cane Netw. 2015;13[10]:1191-202.
SINDROM PARANEOPLASTIK NEUROLOGIS
Ni Putu Witari, SitiAminah

XVII. 1. Pendahuluan
Sindrom paraneoplastik neurologis (SPN} adalah sindrom akibat respons imun
yang menyerang sistem saraf pusat (SSP) dan/atau perifer yang berhubungan dengan
kanker, yang sebenarnya respons imun ini ditujukan untuk kanker itu sendiri.13
Sindrom paraneoplastik terjadi karena sekresi peptida fungsional dan hormon oleh
tumor, sitokin, atau dari reaktifitas imun silang [immune cross reactivity) antara
jaringan maligna dan normal.1
Insidens SPN adalah 8% pada pasien dengan kanker dan dapat mengenai
seluruh sistem saraf.1 SPN terjadi pada berbagai tipe keganasan, tetapi yang tersering
berhubungan dengan kanker paru sel kecil/small eel lung cancer (SCLC], ovarium,
payudara, neuroendokrin, timoma, dan limfoma.4
Perkembangan medis telah semakin meningkatkan pemahaman mengenai
definisi, diagnosis, dan penanganan sindrom paraneoplastik.1 Namun SPN lebih
sering terjadi sebelum diagnosis keganasan, sehingga sulit untuk membuat diagnosis
banding. Namun SPN perlu didiagnosis secara tepat karena intervensi dini akan lebih
memungkinkan stabilisasi gejala atau perbaikan.4
Antibodi yang pertama ditemukan terbukti pada SPN adalah antibodi Hu pada
tahun 1985. Antibodi-antibodi ini mengenali antigen intraselular, seperti Hu, CV2/
collapsing response mediator protein 5 (CRMP5), dan Yo yang diekspresikan oleh
jaringan saraf dan tumor. Oleh karenanya disebut antibodi onkoneural. Adanya
antibodi ini menunjukkan kemungkinan adanya tumor yang mendasari dengan
probabilitas yang sangat tinggi.2,3,5"6
Telah ditemukan pula antibodi terhadap kanal, reseptor, atau protein lain yang
terletak pada membran sel saraf sinaptik atau ekstra-sinaptik. Antibodi ini disebut
sebagai antibodi sinaptik atau antibodi sel permukaan neuronal, contoh yang terkenal
adalah antibodi reseptor NMDA.23,5 Adanya antibodi onkoneural dan kriteria klinis SPN
memudahkan diagnosis, sehingga pasien tertangani lebih awal, lebih cepat, dan efektif.3,6
SPN dibagi menjadi dua kelompok (Tabel 17.1], yaitu sindrom klasik (kemungkinan
besar SPN) dan sindrom nonklasik fjarang disebabkan oleh kanker]. Oleh karena
itu, kemungkinan penyebab lain harus disingkirkan terlebih dahulu.23,56 Tabel 17.2
menunjukkan keganasan yang berhubungan dengan SPN tertentu dan antibodi yang
mungkin dijumpai. Antibodi yang digolongkan sebagai well characterised adalah antibodi
yang antigennya sudah teridentifikasi, dilaporkan oleh banyak peneliti dan hasilnya tidak
ambigu, antigennya sudah di kloning, serta dilakukansequencing gen.3-5-67
XVII.2. Epidemiologi
Kejadian SPN jauh lebih jarang dibandingkan infiltrasi, metastasis, maupun
komplikasi terapi kanker, namun tetap penting karena dapat menyebabkan
morbiditas berat, bahkan mortalitas sebelum diagnosis keganasan diketahui. Oleh
karena itu penting diagnosis segera untuk memungkinkan kesembuhan kanker dan
SPN sendiri.36 Sebuah laporan skrining serologi pada 60.000 pasien kanker selama
4 tahun mendapatkan 553 pasien (<0,9%) memiliki antibodi yang positif terkait SPN.
Penelitian lain pada 649 kasus dengan SPN mendapatkan 25% memiliki serologi
antibodi yang positif.5 Penelitian prospektif terhadap 264 kasus SCLC di Inggris
mendapatkan 9,7% pasien mengalami SPN.7 Angka-angka tersebut tidak dapat
mewakili kejadian sebenarnya, namun menekankan pada pentingnya kriteria klinis.5
Kejadian miastenia gravis (MG) dijumpai pada 10-15% pasien timoma, sedangkan
Lambert-Eaton myasthenic syndrome (LEMS) pada 3% pasien kanker paru.3 Angka
insidens SPN pada nonsmall cell lung carsinoma (NSCLC) adalah 8,5 per 1000 orang
tahun, dan 11,88 per 1000 orang per tahun pada pasien SCLC di Denmark yang didata
dalam 13 tahun.8
Penelitian Paraneoplastic Neurological Syndromes Euronetwork melibatkan 20
pusat di Eropa mendata semua SPN dari tahun 2000-2008, mendapatkan SCLC adalah
penyebab SPN tersering, diikuti kanker ovarium, payudara, dan NSCLC.7 Jadi walaupun
SPN jarang terjadi, hanya kurang dari 1% dari keseluruhan kanker, tapi pada tumor
tertentu insidensinya lebih tinggi, misalnya 5% pada SCLC dan >10% pada limfoma
atau mieloma.1-9 Bahkan pada 80% kasus, SPN terdeteksi sebelum diagnosis kanker
ditegakkan.110

XVII.3. Patogenesis
Patogenesis SPN belum seluruhnya diketahui, tetapi diyakini sebagai gangguan
yang dimediasi sistem imun. Bukti yang mendukung hal ini adalah adanya antibodi
terhadap antigen kanker sekaligus terhadap sel saraf normal. Tumor secara ektopik
mengekspresikan antigen yang biasanya secara eksklusif diekspresi hanya pada
sistem saraf.23,56
Beberapa oligoclonal band CSS sudah teridentifikasi sebagai antibodi
paraneoplastic36 Aktifitas spesifik antibodi paraneoplastik di CSS (yang ditandai
konsentrasi antibodi terhadap IgG total) lebih tinggi dibandingkan di serum merupakan
indikasi bahwa antibodi ini disintesis dalam SSP, bukan difusi dari luar melewati
sawar darah otak. Selain itu plasma exchange serial, hanya efektif menurunkan titer
antibodi serum, tidak berefek pada kadar antibodi CSS.3

Terdapat 2 kategori antibodi antineuronal pada SPN, yaitu:4


1. Antibodi yang bila terdeteksi hampir selalu mengindikasikan bahwa kelainan
tersebut paraneoplastik. Target dari antibodi ini adalah antigen intraselular
neuronal yang juga diekspresikan oleh tumor, sehingga disebut antibodi onkoneural.
Antibodi ini tidak secara langsung patogen, karena disebabkan oleh disfungsi
neuronal yang dimediasi oleh sel T sitotoksik, sering mengakibatkan kerusakan
dan kematian neuronal yang ireversibel, serta berespons buruk terhadap terapi.
2. Antibodi dengan target pada protein atau reseptor yang terletak dipermukaan sel
neuronal atau disinaps. Antibodi ini memperantarai disfungsi neuronal melalui
interaksi langsung terhadap target antigen.

Antobodi onkoneural diklasifikasikan atas 3 katagori besar:1


1. Antibodi yang telah diketahui secara molekuler berasosiasi kuat dengan kanker, seperti
anti-amphiphysin, anti CV2 (CRMP5), anti-Hu (ANNA-1), anti-Ma2, anti recoverin,
anti- Ri (ANNA-2), dan anti-yo (PCA-1).
2. Antibodi yang telah dikarakterisasi sebagian, seperti ANNA-3, anti-mGluRl, anti-Tr,
anti Zic4, dan PCA-2.
3. Antibodi yang terjadi pada sindrom yang berhubungan dengan kanker dan nonkanker,
seperti anti-acetilcholine receptor (AchR) VGKC, anti-nicotinic AchR, anti-VGCC,
dan anti-VGKC.

Antigen onkoneural pada sel tumor dikenali oleh sistem kekebalan tubuh saat sel
tumor secara spontan mengalami apoptosis. Selanjutnya badan apoptosis [apoptosis
bodies] yang mengandung antigen tersebut difagositosis oleh sel dendritik. Struktur
antigen dalam tumor identik dengan struktur antigen saraf normal yang oleh sistem
kekebalan tubuh dianggap sebagai benda asing. Hal ini menyebabkan terbentuknya
antibodi paraneoplastic.2'3-5-6-11-12 Peneliti lain menemukan bahwa beberapa antigen
paraneoplastik merupakan sel kanker yang bermutasi, seperti pada SCLC.3
Sistem kekebalan tubuh menyerang struktur yang mengekspresikan antigen
paraneoplastik, sehingga menghasilkan dua efek. Pertama, serangan kekebalan
tubuh bisa mengendalikan pertumbuhan tumor dan dalam kasus yang jarang dapat
menghilangkan tumor tersebut. Kedua, respons imun juga menyerang sistem saraf
itu sendiri; sel B dan T dapat ditemukan di SSP pada pasien dengan SPN.3561112
Banyak tumor, terutama tumor yang berasal dari neuroektodermal seperti SCLC bisa
mengekspresikan antigen SSP atau sistem saraf tepi (SST).3
Pada pasien SCLC tanpa gejala neurologis, >29% menghasilkan antibodi Hu, tapi
hanya sedikit yang berkembang menjadi SPN.5'9 Disini berperan faktor penjamu major
histocompatibility complex (MHC) tipe haplo, yaitu human leucocyte antigen (HLA-DQ2
dan HLA-DR3). Bahan tumor intrinsik juga penting dalam proses kerusakan toleransi
imun sentral dan perifer terhadap self antigen.2
Lokasi subseluler antigen juga berperan penting dalam mekanisme penyakit
Antibodi onkoneural diarahkan secara langsung melawan antigen intraselular, yang
tidak dapat diakses secara langsung dengan antibodi. Efek patogenik utama dibawa oleh
sel T sitotoksik, sehingga menimbulkan kematian sel neuronal. Antibodi permukaan
sel neuronal dapat mencapai target antigen mereka secara langsung. Mekanisme kerja
ini melibatkan hubungan silang dan internalisasi antigen mereka, yang menyebabkan
inaktivasi fungsional sambil mempertahankan integritas neuron. Dikotomi ini dianggap
sebagai dasar untuk reversibilitas dan respons imunoterapi yang berbeda terhadap
sindrom dengan antibodi permukaan sel dibandingkan onkoneuronal.2
Untuk kepentingan terapi dan prognosis, perlu dibedakan SPN berhubungan dengan
antibodi onkoneural (Hu, CV2/CRMP5, amphiphysin) atau antibodi sinaptik permukaan
sel neuronal.5 SPN dengan antibody synaptic permukaan sel neuronal biasanya lebih
responsif terhadap imunoterapi, dan dapat terjadi dengan atau tanpa kanker.5

XVII.4. Diagnosis
Kecurigaan yang menunjuk ke arah SPN, disamping adanya sindrom klasik adalah
perjalanan klinis subakut dan progresif, mengenai berbagai area SSP dan/atau perifer
J J r~l_j ;_:!__ j i-i : l _ i ]• • J . . r„ • 1 l__i_
berat badan, dan sebagainya). Selain sindrom klasik ensefalitis limbik, ensefalitis anti-
reseptor NMDA juga prediktif bagi kanker pada kelompok usia tertentu (sampai 50%]
dan harus dikerjakan skrining tumor dan antibodi pada semua kasus yang dicurigai.2 6
Tergantung dari bagian sistem saraf yang terlibat, gejala dapat melibatkan kognisi,
perubahan kepribadian, ataksia, gangguan saraf kranial, kelemahan, serta rasa baal.
Sindrom ini dapat mengenai sistem saraf pusat [limbic encephalitis dan paraneoplastic
cerebellar degeneration/PCD), taut neuromuskular [Lambert Eaton myasthenia
syndrome/LEMS dan miastenia gravis], atau sistem saraf tepi (neuropati otonom dan
neuropati sensorik subakut]. Kondisi-kondisi tersebut tidak selalu merupakan sindrom
paraneoplastik. Lebih dari 70% kasus encephalitis limbic dan neuropati sensori subakut
terjadi tidak berhubungan dengan keganasan. Pada 50% kasus ataksia serebelar
subakut dan 40% kasus LEM tidak berhubungan dengan keganasan.110
Langkah diagnosis pada dugaan SPN adalah membuktikan bahwa sindrom
tersebut dimediasi oleh sistem imun dan menyingkirkan kemungkinan diagnosis
deferensial lain yang mungkin mendasarinya.23 Jika didapatkan sindrom SPN klasik,
segera dilakukan investigasi tumor tanpa memperhatikan status antibodi.7 Pada kasus
lainnya jika kecurigaan klinis SPN tinggi, dilakukan skrining antibodi onkoneural
yang relevan atau antibodi permukaan sel neuronal. Jenis antibodi yang diperiksa
disesuaikan dengan sindrom klinis. Ada tidaknya antibodi tersebut akan membantu
mengarahkan kemungkinan kanker yang mendasari. Langkah terakhir adalah skrining
tumor yang dipandu oleh informasi klinis dan status antibodi.23'56
Antibodi onkoneural bersama dengan sindrom neurologis yang kompatibel,
memiliki spesifisitas yang sangat tinggi untuk SPN. Sebaliknya, antibodi permukaan
sel neuronal seperti anti-reseptor NMDA yang bersifat sindrom spesifik, dapat
terjadi pada kasus paraneoplastik dan idiopatik. Antibodi onkoneural dan/atau
antibodi permukaan sel neuronal terdapat pada serum dan/atau CSS pada sebagian
besar kasus SPN.2"3-5"6 Namun pada kasus yang terkonfirmasi sebagai SPN, antibodi
onkoneural dijumpai hanya 80% kasus. Persentase ini cenderung meningkat di masa
depan, dengan ditemukannya antibodi baru dalam kasus seronegatif sebelumnya dan
menimbulkan tantangan diagnostik yang besar.2
Antibodi onkoneural biasanya dapat dideteksi di serum dan jarang membutuhkan
pemeriksaan CSS karena kurang dalam sensitifitas dan spesifisitas. Sebanyak 30%
pasien dengan SPN dapattidak ditemukan antibodi dalam serum atau CSS, sebaliknya
antibodi ini dapat ditemukan pada pasien tanpa keluhan neurologis.10
MRI bersama dengan analisis CSS harus dikerjakan untuk menyingkirkan
diagnosis banding, walaupun MRI pada fase awal sering normal.2 Analisis CSS
dianjurkan pada semua dugaan SPN. Pada sebagian besar kasus SPN dijumpai tanda
inflamasi CSS berupa limfositik pleositosis dan/atau pita oligoklonal, dalam beberapa
kasus dijumpai protein meningkat. Namun pada 90% kasus SPN setidaknya dijumpai
satu dari tiga hal tersebut.2'1213
Seperti pada sebagian besar penyakit autoimun, kejadian pleositosis limfositik
menurun seiring waktu (50% selama 3 bulan pertama, 30% sesudahnya), sementara
kejadian peningkatan protein CSS meningkat. Enam puluh persen pasien memiliki
pita oligoklonal. Namun, sebanyak 7% kasus SPN dengan antibodi onkoneural, CSS
sepenuhnya normal. Angka serupa berlaku untuk kelainan paraneoplastik yang
terkait dengan antibodi permukaan sel neuronal.2,12"13
Kriteria diagnosis SPN berdasarkan Paraneoplastic Neurological Syndrome
Euronetwork tahun 200414 adalah sebagai berikut:3'57
SPN Definitif:
1. Adanya sindrom klasik dan kanker yang terdiagnosis dalam 5 tahun dari
munculnya gejala neurologi
2. Sindrom non-klasik yang sembuh atau reda secara signifikan setelah terapi
kanker tanpa concomitant immunotherapy, menunjukkan sindrom tersebut tidak
mengalami remisi spontan.
3. Sindrom non-klasik dengan kanker yang terdiagnosis dalam 5 tahun dan antibodi
neuronal positif
4. Sindrom klasik atau non-klasik tanpa diagnosis kanker dengan antibodi
antineuronal yang sudah dikenal perannya pada PCD dan telah diinvestigasi oleh
banyak peneliti (Hu, Yo, CV2/CRMP5, Ri, Ma2, atau amphiphysin)
SPN Possible:
1. Sindrom klasik dengan risiko tinggi kanker, tanpa antibodi antineuronal.
2. Sindrom neurologi klasik atau non-klasik, tidak dijumpai kanker, tetapi dengan
karakteristik adanya antobodi antineural
3. Sindrom non-klasik dengan kanker yang terdianosis dalam 2 tahun, tanpa
antibodi antineuronal

Jangka waktu 5 tahun didasarkan pada kasus sebelumnya, bahwa pasien dengan
sindrom klasik, tumornya hampir selalu terdeteksi dalam 5 tahun dari onset SPN.14
Sindrom ini sering mendahului diagnosis tumor. Kesulitan utama dalam skrining
tumor adalah bahwa tumor seringkali terlalu kecil untuk dideteksi namun sudah
memicu reaksi imun. Berdasarkan epidemiologi, keterkaitan usia dan lokalisasi tumor
adalah yang paling mungkin diarahkan oleh sindrom klinis dan/atau antibodi yang
terdeteksi. Dianjurkan untuk melakukan pendekatan diagnosis sekuensial, mulai
dari yang sederhana hingga canggih tergantung tumor yang diharapkan, seperti pada
Tabel 17.3.2 Jika tetap negatif, follow up dilakukan setiap 3-6 bulan selama minimal 5
tahun. Mayoritas (90%) tumor terdiagnosis dalam tahun pertama. 23 ' 56
Pada situasi sindrom non-klasik dan tidak ada antibodi yang khas, kemungkinan
kejadian SPN adalah rendah. Skrining tumor bergantung pada tingkat kecurigaan
klinis, tidak ada pedoman yang jelas. Evaluasi berkala dan skrining ulang mungkin
diperlukan, namun harus dipertimbangkan diagnosis alternatif.2

Waktu 5 tahun untuk identifikasi kanker dalam kriteria diagnosis sangatberalasan


namun problematik. Beberapa kasus SPN dengan antibodi yang khas, terdiagnosis
kanker lebih dari 5 tahun kemudian. Tidak adanya kanker setelah 5 tahun tidak
berarti bahwa kasus tersebut bukan SPN, karena beberapa kasus yang jarang, kanker
dapat mengalami remisi spontan,5

XVII.5. Gejala Klinis


Sindrom klinis yang terjadi pada paraneoplastik dapat dibagi atas: 5
1. Diduga kuat karena paraneoplastik (sindrom paraneoplastik klasik), meliputi:
• Sistem saraf pusat: ensefalomielitis, ensefalitis limbik, subacute cerebellar
degeneration, opsoclonus-myoclonus syndrome
• Sistem saraf tepi: subacute sensory neuropathy, chronic intestinal pseudoobstruction

• Taut neuromuskular dan otot: LEMS, dermatomiositis.


2. Jarang didasari oleh kanker (sindrom paraneoplastik non-klasik).
• Sistem saraf pusat: brainstem encephalitis, neuritis optik, miQ\itislnecrotizing
myelopathy, stiff person syndrome, dan variannya.
• Sistem saraf tepi: distal simetric sensorymotor neuropathy, poliradikuloneuropati
(akut, kronik), mononeuropati multipleks, pure autonomic neuropathy.

• Taut neuromuskular dan otot: miastenia gravis, neuromiotonia

Berikut adalah beberapa SPN klasik yang paling sering terjadi:


1. Paraneoplastic Limbic Encephalitis (PLE)
PLE ditandai oleh gejala-gejala yang melibatkan sistem limbik dengan onset akut
atau subakut, seperti disorientasi, amnesia, gangguan memori jangka pendekyang
dapat berkembang menjadi demensia, gejala psikosis dengan halusinasi visual
atau auditori, atau obsesi paranoid. Sering disertai juga kebingungan, depresi,
dan ansietas, serta gangguan tidur. Kejang umum atau parsial kompleks dijumpai
pada 50% kasus. Elektroensefalografi memperlihatkan aktivitas epileptik pada
satu atau kedualobus temporal atau perlambatan fokal atau umum.56
Baik SPN atau bukan, ensefalitis limbik mempunyai gejala klinis yang sama, identi-
fikasi paraneoplastiktergantung pada temuan tumor, antibodi paraneoplastik, atau
keduanya5 Seperempat ensefalitis limbik adalah paraneoplastik, 50-75% PLE ber-
hubungan dengan tumor paru, sisanya testicular germ cell tumor, timoma, limfoma
Hodgkin, dan teratoma. Tumor sering terdiagnosis dalam 3-5 bulan setelah PLE.6 7
Antibodi antineuronal dijumpai pada CSS dan serum pada 60% kasus PLE, terdiri
dari antigen intraselular (antibodi onkoneural) yang berkaitan erat dengan tumor
yang mendasari, dan antibodi terhadap antigen permukaan, yangbisa merupakan
kasus paraneoplastik atau bukan.6 Antibodi onkoneural yang dijumpai adalah
antibodi klasik terhadap antigen intraseluler [anti-Hu, anti-Ma2 (dengan atau
tanpa anti-Mai), anti-CV2/ CRMP5, dan anti-amphiphysin].56
Pasien dengan antibodi Hu umumnya laki-laki di atas 40 tahun, sebagian besar
perokok, dan tumornya hampir selalu SCLC. Pasien PLE dengan anti Hu 78%
disertai gangguan sistem saraf selain sistem limbik [PLE menjadi gejala dominan
dari paraneoplastic ensefalomielitis (PEM)]. Pasien laki-laki kurang 50 tahun
dengan antibodi Ma2, sering disertai gejala disfungsi diensefalik, hampir selalu
berhubungan dengan testicular germ cell tumor. Antibodi CV2/CRMP5 dijumpai
pada pasien timoma atau SCLC.57 Gejala pada pasien dengan antibodi ini bisa
mencakup ensefalomielitis, sensorimotor neuropathy, ataksia serebelar, korea,
uveitis, dan neuritis optika.6
Tiga antibodi terhadap reseptor neuronal telah diidentifikasi pada pasien PLE:6
a. Antibodi terhadap voltage-gated kalium channel (VGKC) dapat
menghubungkan PLE dengan timoma dan SCLC, meskipun sebagian
besar pasien dengan antibodi ini bukanlah SPN.
b. Anti-N-methyl-D-aspartate (NMDA) receptor-associated encephalitis; biasanya
terjadi pada perempuan muda, ditandai masa prodromal, yakni demam
beberapa hari dengan nyeri kepala yang kemudian diikuti gejala psikiatri yang
dominan (agitasi, delusi, halusinasi) dan yang lebih jarang disertai gangguan
memori jangka pendek, kejang, katatonik, hipoventilasi sentral, instabilitas
otonom, diskinesia orofaringeal, koreoatetosis, dan distonia. Sebagian besar
kasus tidak memenuhi kriteria PLE klasik, dan hanya pada 50% dijumpai
adanya tumor yang mendasari, yakni yang paling sering adalah ovarium,
serta yang lebih jarang seperti SCLC.
c. Antibodi terhadap GLUR1 atau 2 subunit dari AMPA reseptor glutamat. Usia
rata-rata pasien 60 tahun, sebagian besar perempuan, dengan tumor paru,
payudara, atau timus.
Gambaran MRI berupa hiperintens signal pada FLAIR dan T2 terutama pada
irisan koronal, pada satu atau kedua lobus temporal medial. Pada Tl area
limbiktemporal dapatterlihatisointens dan atrofi, jarang terjadi penyangatan
pada pemberian kontras. Namun demikian, 40% kasus PLE memperlihatkan
MRI normal. Pada kasus ini dilakukan FDG PET scan yang memperlihatkan
peningkatan aktifitas di lobus temporal medial.3,56
Diagnosis banding PLE meliputi ensefalitis oleh virus Herpes simplex,
Sjogren's syndrome, Hashimoto's encephalopathy, NPSLE, Toxic-metabolic
encephalopathy, dan Korsakoff's syndrome. Kemungkinan mekanisme lain
pada keganasan yang perlu di pikirkan meliputi metastasis dan efek samping
kemoterapi (fluorouracil, cytarabine).23

2. Paraneoplastic Cerebellar Degeneration (PCD)


PCD merupakan salah satu SPN tersering, paling banyak ditemukan pada SCLC,
tumor payudara, ovarium, dan limfoma Hodgkin. Sindrom diawali gejala prodromal
seperti flu like symptom, dizziness, mual, dan muntah menyerupai gejala vestibular
perifer, disusul oleh ataksia, diplopia, disartria, dan disfagia. Beberapa pasien
mengeluhkan pandangan kabur, osilopsia, dan transient opsoklonus.56 Disfungsi
, serebelar yang berat ini, berkembang dalam beberapa minggu sampai beberapa
bulan. Terkadang onset sangat cepat dalam beberapa jam hingga beberapa hari.6
MRI pada awal penyakit sebagian besar normal, beberapa dengan penyangatan
meningen di daerah korteks atau pembengkakan hemisfer serebelum yang difus.
Pada stadium awal FDG PET memperlihatkan hipermetabolisme. Pada fase lanjut
terjadi atrofi serebelum pada MRI dengan hipometabolisme pada FGD PET scan.2'
3,5-6 Pemeriksaan CSS terlihat proses inflamasi (pleositosis, oligoclonal bands)
pada sekitar 60% kasus tanpa ditemukannya sel kanker.56
Antibodi Yo sering dijumpai pada PCD. Pasien umumnya perempuan dengan
umur rata-rata61 tahun,terkaittumorpayudaradanginekologi.56Pasien dengan
antibodi Hu sering dengan SCLC, frekuensi yang sama pada laki dan perempuan,
PCD juga sering merupakan bagian dari PEM7 yang meliputi korteks, limbik,
brainstem encephalitis, PCD, mielitis, PSN, dan disfungsi otonom.56
Antibodi Tr adalah penanda pada pasien PCD dengan limfoma Hodgkin. Beberapa
kasus PCD dilaporkan berhubungan dengan antibodi terhadap amphiphysin,
Ma2, Zic4, mGluRl, atau VGCC.5 Pasien SCLC dapat membentuk satu atau
beberapa antibodi yang berperan dalan PCD. Dalam konteks ini hingga 41%
pasien SCLC membentuk antibodi terhadap VGCC dengan atau tanpa klinis LEMS,
23% membentuk antibodi anti-Hu, sedikit kasus SCLC dengan antibodi terhadap
CRMP atau CV2, amphiphysin, Purkinje cell cytoplasmic antibody type 2 (PCA2),
dan ANNA3.5 Tidak adanya antibodi antineuronal tidak mengeksklusi diagnosis
PCD, mengingat hanya 50% kasus PCD dengan antibodi anti neuronal yang positif.
Sebagian tanpa antibodi terutama pada non-SCLC.3*7
Terdapat hubungan kuat antara antibodi spesifik, tipe kanker, dan sindrom
neurologis. Pasien dengan kanker ovarium dan payudara dengan antibodi Yo atau
limfoma Hodgkin dan antibodi Tr/DNER biasanya mengalami sindrom serebelar
yang relatif terisolasi. Pasien dengan PCD, SCLC, dan antibodi Hu sering mempunyai
gejala tambahan ensefalomielitis difus. PCD terjadi pada kanker ovarium, payudara,
atau SCLC dengan antibodi Ri. Hal ini dapat disertai opsoklonus atau gangguan
gerak mata. Beberapa pasien akan berkembang jadi spasme laryngeal.
Sebagian pasien dengan PCD dan SCLC dapat berkembang menjadi LEMS dan
sering dengan antibodi VGCC. Tapi antibodi ini juga dapat ditemukan pada
degenerasi serebelar tanpa berhubungan dengan kanker. Ini dapat dibedakan
dengan pemeriksaan anti SOX 1 antibodi, yang mempunyai sensitifitas untuk
SCLC sebanyak 100% dan sensitivitas 49%.4
Pada umumnya PCD tidak berespons dengan pengobatan termasuk terapi yang
langsung untuk tumornya dan imunoterapi. Ini menujukan adanya kerusakan
dini pada sel Purkinje serebelar yang dimediasi oleh T sel yang ireversibel.4

3. Subacute Sensory Neuronopathy


SPN pada saraf tepi dapat meliputi subacute sensory neuronopathy [dorsal root
ganglionitis), sensory peripheral neuropathy, sensorimotor peripheral neuropathy,
autonomic neuropathy, paraproteinemic neuropathy, vasculitic neuropathy, dan
pure motoric neuropathy. SPN saraf perifer sangat jarang, yang tersering dari
semuanya adalah subacute sensory neuronopathy dan umumnya berhubungan
dengan SCLC.3 Tanda-tanda yang harus diwaspadai kemungkinan timbulnya SPN
dalam diferensial diagnosis adalah perjalanan klinis yang progresif dan cepat
serta risiko tumor yang tinggi pada individu.2
Paraneoplastic sensory neuropathy (PSN) ditandai dengan awitan subakut dan
progresif yang muncul cepat dengan gejala awal berupa parestesi dan nyeri. Gejala
didahului oleh disestesia dan kesemutan pada distal ektremitas, kadang pada
wajah dan tubuh. Pada awalnya asimetris namun berkembang dalam beberapa
hari hingga beberapa minggu meliputi keseluruhan tungkai menyebabkan ataksia
sensoris berat. Seluruh modalitas sensoris terkena, beda dengan efek samping
Cisplatin berupa sensasi suhu dan pinprick sensation tidak hilang.
Nyeri sering menjadi gejala dominan. Refleks regang menghilang, namun fungsi
motorik baik.2 3 Pada pemeriksaan hantar saraf, potensial aksi saraf sensoris
menurun atau hilang, dengan CMAP normal. Tidak ada denervasi saraf pada
EMG.3 Sensory neuronopathy yang bukan SPN dijumpai pada Sjogren syndrome
dan intoksikasi logam berat, termasuk bahan kemo analog platinum. Kasus SPN
hanya minoritas dan 1/3 berhubungan dengan SCLC.3 Didapatkan onconeural
antibody pada 80% kasus, tersering adalah anti Hu dan anti-CV2/CRMP5 antibodi
PSN yang berhubungan dengan anti Hu antibody biasanya muncul disertai gejala
keterlibatan CNS (ensefalomyelitis), dan pada 25% kasus berdiri sendiri.
Paraneoplastic sensory neuropathy yang berhubungan dengan antibodi anti-CV2/
CRMP5 sering tumpang tindih dengan ataksia serebelar, ensefalitis limbik, atau
neuropati optik.2 Anti-CV2/CRMP5 yang berhubungan dengan PSN berbeda
dengan antibodi anti Hu karena lebih sering muncul sebagai campuran aksonal
dan demielinating neuropati, dapat melibatkan motorik terutama pada anggota
gerak bawah dan jarang disertai nyeri. Pasien dengan sensorineuropati dengan
anti Hu atau CV2/CRMP5 antibodi dan membaik dengan terapi tumor menguatkan
adanya diagnosis PNS.

Tumor primer akan tetap negatif selama bertahun-tahun dan harus difokuskan
untuk pencarian tumor primernya terutama SCLC. Direkomendasikan pada
pasien dengan PSN dengan kanker yang belum diketahui, dilakukan skrining
ulangan setelah 3-6 bulan awitan sindrom neurologis, kemudian diulang tiap 6
bulan selama 4 tahun. 415

4. Sindrom Taut Neuromuskular (LEMS dan MG)


Sindrom paraneoplastik neurologis yang mengenai taut neuromuskular meliputi
LEMS dan MG. Keduanya memiliki mekanisme patogenesis yang sama akibat
adanya antibodi terhadap saluran ion, dapat merupakan SPN dan bukan SPN.
SCLC terjadi pada sekitar 60% kasus LEMS, beberapa memiliki jenis kanker lain,
dari 40% kasus diakibatkan oleh penyakit autoimun.3,7
LEMS ditandai oleh kelemahan ekstremitas proksimal yang progresif, gejala saraf
kranial biasanya tidak parah seperti pada MG. Kelemahan pernapasan dapat
terjadi. Kekuatan otot pada awalnya membaik dengan usaha, namun, dengan
upaya berkelanjutan, terjadi kelemahan.316 Kelemahan ini dimulai hampir selalu
di otot proksimal, terutama di kaki. Sebanyak 80% pasien LEMS mengalami
kelemahan proksimal di kedua lengan dan kaki.3 Kelemahan terjadi akibat
kurangnya pelepasan asetilkolin di terminal saraf presinaptik.
Antibodi terhadap VGCC tipe-P/Q ditemukan pada pasien SPN dan non-SPN.6716
Adanya antibodi ini dan hasil elektrofisiologi yang khas dapat menegakkan
diagnosis LEMS.2 Antibodi VGCC tipe P/Q ditemukan dalam SCLC; channel jenis
ini terbanyak di serebelum, hal ini mungkin menjelaskan terjadinya PCD bersama
LEMS pada kasus PNS. Antibodi SOX1 dilaporkan pada 64% pasien dengan SPN
LEMS tetapi tidak ditemukan pada LEMS non-SPN.23 Antibodi S0X1 saja memiliki
spesifitas 95% untuk SCLC, namun sensitifitas hanya sekitar 65%. 2
Disfungsi otonom merupakan gejala khas kedua dari LEMS. Gangguan otonom
kolinergik terjadi pada lebih dari 50% pasien berupa mulut kering, mata kering,
disfungsi ereksi, konstipasi, dan berkurangnya keringat.716
Berbeda dengan LEMS, MG disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin
post sinaps. MG biasanya memengaruhi otot okular, bulbar, dan pernapasan,
seringtanpa kelemahan ekstremitas. Berbeda dengan LEMS, pada MG kelemahan
memberat dengan aktifitas dan membaik dengan istirahat.23 Sebagian besar MG
bukan SPN, tetapi sekitar 10-15% adalah SPN dengan timoma, sedangkan pada
limfoma SPN jarang terjadi.2-3 MG terkait timoma lebih mungkin juga memiliki
antibodi lain terhadap protein otot, seperti reseptor ryanodine.23 Gangguan
taut neuromuskular ini biasanya respons terhadap pengobatan imunosupresi,
inhibitor asetilkolinestase, dan timektomi.3

XVII.6. Tata Laksana


Terapi terhadap SPN terdiri dari terapi terhadap tumor primer dan terapi
imunosupresif. Tata laksana yang segera dapat menstabilkan gejala dan mencegah
meluasnya gejala terutama pada SPN dengan antibodi onkoneural. Terapi terhadap
tumor primer tidak berbeda pada kasus dengan atau tanpa SPN. Pada kasus SPN, tata
laksana terhadap tumor primer dilakukan sesegera mungkin.2"3'5"6
Sebagian besar SPN dengan antibodi onkoneural berespons buruk terhadap
imunoterapi, berbeda dengan SPN dengan antibodi permukaan sel neuronal atau antibodi
sinaptik yang memberikan perbaikan bahkan resolusi gejala setelah pemberian terapi
imunosupresif.23,56 Belum ada kajian sistematikmengenai imunoterapi apa yang paling
efektif.2 Umumnya diberikan steroid, plasmaparesis, dan IVIG. Pada kasus yang refrakter
diberikan cyclophosphamide. Azathioprin, methotrexate, cyclosporin A, tacrolimus, dan
mycophenolate mofetile biasanya digunakan bersamaan dengan pemakaian steroid.2

Terapi tumor
Pengangkatan jaringan tumor pada sindrom paraneoplastik yang sering dengan
antibodi onkoneural (Hu, Yo] atau antibodi antigen permukaan neuronal (anti-NMDA
receptor encephalitis) menunjukan manfaat. Terapi tumor harus diberikan sesuai
pedoman onkologi yang terbaru dan harus diberikan secepat mungkin
Imunoterapi
Manfaat imunosupresif pada sindrom paraneoplastik neurologis dengan antibodi
onkoneural tidak banyak didukung oleh bukti-bukti. Hal ini merupakan praktik klinis
yang baik untuk memberikan imunosupresi pada sindrom ini bila tidak terdeteksi
tumor atau dikombinasikan dengan terapi tumor yang tidak mengalami perbaikan
atau stabilisasi.5
Pemberian steroid, plasmaferesis, IVIG, atau immunoadsorption merupakan lini
pertama. Plasmaferesis tidak efektif untuk sindrom dengan antibodi onkoneural,
misalnya Hu, Yo, bukan merupakan target langsung cell-mediated autoimmunity.
Biasanya digunakan pada inisiasi imunosupresi. Kasus dengan terapi refractive
diberi imunosupresi berbasis cyclophosphamide. Imunosupresan (Azathioprin,
methotrexate, cyclosporin A, tacrolimus, mycophenolate mofetile) biasa digunakan
sebagai steroid sparing agent. Anti-NMDA receptor encephalitis sering (50%)
berespons dengan terapi lini pertama, yakni steroid, IVIG, atau plasmaferesis. Anti-
NMDA reseptor encephalitis yang tidak berespons terhadap terapi tersebut 75%-
nya berespons terhadap terapi lini ke-2, yakni cyclophosphamide, rituximab, atau
keduanya. Pengobatan LEMS adalah steroid dan azathioprine, kadang menggunakan
immunoglobulin.5

Modalitas spesifik termasuk kortikosteroid, corticosteroid sparing agent


(azathioprine, cyclophosphamide), anti CD20 monoklonal antibodi rituximab,
immunoglobulin IV (IVIG), atau plasmapharesis [plasma exchange].

Peran IVIG masih belum jelas, tapi dapat berupa :


• Interaksi dengan Fc receptor pada sel efektor penjamu (misalnya neutrophil, natural
killer cell), sehingga mengganggu sel ini dari target neural yang rentan terhadap
fagositosis (opsonisasi) oleh antibodi SPN.
• Menetralisir antibodi SPN
• Meningkatkan jumlah dan efek regulatory T cell yang mempertahankan immunologic
self tolerance
• Meningkatkan fractional rate dari katabolisme antibodi SPN dengan meningkatkan
konsentrasi immunoglobulin plasma total.
Efek samping IVIG biasanya ringan dan berhubungan dengan kecepatan infus,
yakni nyeri kepala, menggigil, dizzyness dan retensi cairan. Plasmaferesis secara
langsung menghilangkan antibodi antineuronal dari sirkulasi, efek yang dapat dilihat
dalam beberapa hari dan bertahan selama 3-4 mgg. Pemberian bersama obat yang
memodulasi imun akan meningkatkan efek plasmaferesis.1

XVII.7. Prognosis
Pengaruh SPN terhadap keseluruhan prognosis sangat kompleks dan
merefleksikan berbagai faktor. Perkembangan SPN akan dapat mengarahkan kepada
diagnosis kanker pada stadium yang yang lebih awal sebelum ada gejala klinis
sehingga masih dapat diobati.
Terlepas dari keganasan yang mendasarinya, SPN sendiri dapat menyebabkan
kematian. Karena SPN akan mengakibatkan terjadinya perubahan patologis ireversibel
pada sistem saraf, maka terapi biasanya untuk menstabilkan gejala dibandingkan
memperbaiki onconeural antibody yang dapat mengindikasikan efek imunologis
antitumor.1

Daftar Pustaka
1. Pelosof LC. Paraneoplastic syndrome: an approach to diagnosis and treatment. Mayo Clin Proc
2010;85C9]:838-54.
2. F. Leypoldt dan P. Wandinger. Paraneoplastic neurological syndromes. Clin Exp Immunol
2014;175(3):336-48.
3. Darnell RB. Posner JB. Paraneoplastic syndromes involving the nervous system. N Engl J Med
2003;349:1543-54.
4. Hoftberger Romana. Update on neurological praneoplastic syndromes. Curr Opin OncoL
2015;27(6):489-95.
5. Dalmau J, Rosenfeld MR. Paraneoplastic syndrome of the CNS. Lancet Neurol. 2008;7[4):327-40,
6. Vedeler CA, Antoine JC, Giometto B, Graus F, Grisold W, Honnorat J, dkk. Paraneoplastic
neurological syndromes. Volume 1. Edisi ke-2. European Handbook of Neurological Management
2011. h. 447-54.
7. Durieux V, Coureau M, Meert AP, Berghmans T, Sculier JP. Autoimmune paraneoplastic syndromes
associated to lung cancer: a systematic review of the literature. Part 3: Neurological paraneoplastic
syndromes, involving the central nervous system. Lung Cancer. 2017;106:83-92.
8. Miret M, Horvath-Puho E, Deruaz-Luyet A, Sorensen HT, Ehrenstein V. Potential paraneoplastic
syndromes and selected autoimmune conditions in patients with non-small cell lung cancer and
small cell lung cancer: a population-based cohort study. PLoS One. 2017;12(8):e0181564.
9. Monstadt SE. Onconeuronal antibodies in sera from patients with various type of tumors. Cancer
Immunol Immunother. 2009;58[ll):1795-800.
10. HonnoratJ.AntoineJC. Paraneoplastic neurological syndromes. Orphaned J rare Dis. 2007:2(1]:22.
11. Darnell RB, Posner JB. Paraneoplastic syndromes involving the nervous system. N Engl ] Med.
2003;349(16):1543-54.
12. Psimaras D, Carpentier AF, Rossi C. Cerebrospinal fluid study in paraneoplastic syndromes. J
Neurol Neurosurg Psychiatr. 2010;81[l):42-5.
13. Wen PY. Cerebral spinal fluid abnormalities in patients with paraneoplastic syndromes of the
nervous system. J Neurol Neurosurg Psychiatr. 2010;81(1):3.
14. Graus F, Delattre JY, Antoine JC, Dalmau J, Giometto B, Grisold W, dkk. Recommended
diagnostic criteria for paraneoplastic neurological syndromes. J Neurol Neurosurg Psychiatr.
2004;75(8):1135-40.
15. Titulaer MJ, Soffietti R, Dalmau J, Gilhus NE, Giometto B, Graus F, dkk. Screening for tumours in
paraneoplastic syndromes: report of an EFNS task force. Eur J Neurol. 2011;8(l):19-e3.
16. Gilhus NE. Autoimmune diseases. 2011;2011:973808.
PERAWATAN PALIATIF PADA NEURO-ONKOLOGI
Joice Rosewitasari, Elsa Susanti, Rusdy Ghazali Malueka

XVIII.l. Latar belakang


Saat ini terdapat peningkatan global cancer rates beserta jumlah penyintas kanker
yang hidup dengan gejala dan komplikasinya. Pada suatu studi kohort observasional
yang besar, lebih dari sepertiga pasien kanker melaporkan gejala nyeri, mual, kecemasan,
depresi, napas pendek, mengantuk, kehilangan nafsu makan, dan kelelahan dengan
intensitas sedang sampai berat di akhir hidupnya. Oleh karena itu, dibutuhkan layanan
paliatif untuk meningkatkan kualitas hidup/quality of life (QoL) mereka.1
Layanan paliatif sangat penting terutama pada kasus-kasus neuro-onkologi
yang justru lebih berpotensi menimbulkan kecacatan dan penderitaan. Apalagi
sebagian besar kasus tumor otak sulit disembuhkan, sehingga sangat membutuhkan
peran neurolog untuk dapat memberikan layanan paliatif di sepanjang perjalanan
penyakitnya. Layanan ini termasuk pada fase akhir kehidupan atau end of life (EoL),
yaitu fase tiga bulan terakhir kehidupan penderita kanker.23
Di Indonesia sendiri layanan paliatif ini dipayungi oleh Keputusan Menteri
'Kesehatan RI Nomor 812/Menkes/SK/VII/2007. Hal ini dikarenakan meningkatnya
jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pada dewasa
dan anak, seperti kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronik, cystic
fibrosis, stroke, parkinson, gagal jantung, penyakit genetika, dan penyakit HIV/AIDS.4
XVIII.2. Definisi
Menurut National Comprehensive Cancer Network (NCCN] perawatan paliatif adalah
pendekatan untuk perawatan kesehatan yang berpusat pada pasien/keluarga/pengasuh
yang berfokus pada manajemen yang optimal dari nyeri dan gejala-gejala lain [distressing
symptoms), dengan menggabungkan juga perawatan psikososial dan spiritual sesuai
dengan kebutuhan, nilai, kepercayaan, dan budaya pasien/keluarga/pengasuh.5
Menurut World Health Organization (WHO) layanan paliatif merupakan suatu
pendekatan yangbertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga. Pendekatan
ini bertujuan untuk pencegahan dan meringankan penderitaan dengan identifikasi dini,
penilaian, dan penanganan nyeri, serta masalah lainnya secara sempurna, baik fisik,
psikososial, dan spiritual. Umumnya pasien yang diberikan layanan paliatif adalah pasien
dengan permasalahan yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam hidup.6
Perawatan paliatif dapat dimulai pada saat diagnosis dan harus diberikan bersamaan
dengan terapi spesifik untukpenyakit utamanya serta harus memfasilitasi otonomi pasien,
akses ke informasi, dan pilihan pasien. Hal ini menjadi fokus utama perawatan ketika
terapi spesifik penyakit utamanya tidak lagi efektif, tidak sesuai, atau tidak diinginkan.
Perawatan paliatif harus disediakan oleh tim onkologi primer yang sesuai kebutuhan
melalui kolaborasi dengan tim interdisiplin pakar perawatan paliatif.5

Layanan paliatif bukan bertujuan untukmemperpanjanghidup atau menyembuhkan


pasien, melainkan menghilangkan gejala dan mempertahankan atau meningkatkan
kualitas hidup.7 8 Hal ini sudah dapat diterapkan sejak perjalanan awal penyakit bersama
terapi lain yang bertujuan untuk memperpanjang angka harapan hidup.2 Targetnya
adalah mengontrol gejala akibat penyakit yang diderita dan menentukan dukungan
praktis yang diberikan kepada pasien dan orang yang merawatnya, mulai dari rujukan
pertama sampai perawatan terminal dan kematian serta masa berkabung.9

XVIII.3. Tim Layanan Paliatif


Layanan paliatif dimulai oleh tim onkologi primer yang terdiri dari dokter,
perawat, pekerja sosial, ahli kesehatan mental, rohaniawan, asisten dokter, petugas
farmasi, dan ahli gizi. Tim ini diperkuat dengan kolaborasi bersama berbagai ahli
layanan paliatif interdisiplin ilmu dalam menangani gejala-gejala yang sulit ditangani
dan/atau permasalahan sosial yang kompleks.1
Perawatan paliatif dapat diberikan oleh spesialis perawatan paliatif yang bekerja
bersama dengan dokter utama pasien yang disebut "perawatan paliatif sub-spesialis."
Layanan ini paling banyak di negara-negara berpenghasilan tinggi, seperti Amerika
Serikat, jarang pada negara-negara berpenghasilan rendah.10
Perawatan paliatif juga dapat disediakan oleh dokter yang bukan spesialis
perawatan paliatif. Misalnya, neurolog, dokter penyakit dalam, dokter keluarga, ahli
jantung, ahli onkologi, dan dokter lain yang merawat pasien dengan sakit parah dapat
memberikan perawatan paliatif dasar. Perawatan yang disediakan oleh dokter yang
bukan spesialis perawatan paliatif ini disebut perawatan paliatif "primer" atau "dasar".10

XVIII.4. Tahapan Perawatan Paliatif2


Skrining
Tim onkologi primer harus menyaring semua pasien pada setiap kunjungan untuk
satu atau lebih dari yang berikut ini: 1] gejala yang belum tertangani; 2] distres sedang
hingga berat terkait dengan diagnosis dan terapi kanker; 3) kondisi komorbid fisik
dan psikososial yang serius; 4) kebutuhan psikososial yang kompleks; 5) kesadaran
mengenai prognostik yang buruk; 6) penyakit yang berpotensi membatasi hidup; 7]
tumor padat metastatik atau keganasan hematologi refrakter; 8] kekhawatiran pasien/
keluarga/pengasuh tentang perjalanan penyakit dan pengambilan keputusan; dan/atau
9) permintaan pasien atau keluarga untuk perawatan paliatif. Pasien yang memenuhi
kriteria skrining ini harus menjalani asesmen perawatan paliatif. Adapun pasien yang
tidak memenuhi kriteria harus diskrining ulang pada kunjungan berikutnya.5

Asesmen
Asesmen komprehensif perawatan paliatif mencakup:5
a. Asesmen manfaat dan beban terapi antikanker
Banyak gejala kanker dapat dihilangkan dengan terapi antikanker, namun perlu
pertimbangan manfaat dan kerugiannya berdasarkan pedoman/gu/c/e//ne dan
cost effectiveness. Perhatian khusus terutama pada prognosis, potensi respons
pengobatan, potensi toksisitas termasuk kerusakan organ vital dan status kinerja,
serta kondisi komorbid yang serius.5
b. Penilaian tujuan, nilai, harapan, dan prioritas pasien/keluarga/pengasuh
Pasien dan keluarga juga harus ditanya tentang tujuan, nilai, harapan, dan
prioritas pribadi mereka untuk pengambilan keputusan bersama. Demikian
pula definisi kualitas hidup, dan persepsi tentang terapi antikanker terhadap
kehidupan mereka. Informasi statistik tentang kesintasan mungkin diperlukan
dengan mempertimbangkan kemampuan penerimaan pasien. Pasien harus diberi
kesempatan untuk memahami mengenai perjalanan penyakit mereka, terutama
jika sudah tidak dapat disembuhkan.5
c. Penilaian gejala fisik
Gejala yang paling umum adalah nyeri, dispneu, anoreksia, kaheksia, mual,
muntah, konstipasi, malignant bowel obstruction, kelelahan, kelemahan, asthenia,
insomnia, sedasi siang hari, dan delirium.5
d. Penilaian distres psikososial
Pasien dengan keganasan dan kecacatan akan sangat rentan mengalami distres
terkait penyakit dan kebutuhan psikososial, spiritual, atau eksistensial. Demikian
pula kekhawatiran mengenai dukungan sosial dan sumber daya, seperti masalah
rumah, keluarga, masyarakat, atau keuangan.5
e. Penilaian kebutuhan pendidikan, informasi, dan faktor budaya yang memengaruhi
perawatan
Tingkat pendidikan dan faktor budaya pasien dan keluarga harus menjadi
pertimbangan. Hal ini sangat memengaruhi perawatan dan persepsi mengenai
status penyakit pasien.5
f. Penilaian indikasi konsultasi dengan perawatan paliatif
Konsultasi dengan spesialis perawatan paliatif didasarkan pada karakteristik,
keadaan sosial, dan masalah kehilangan harapan pasien. Tim onkologi harus
mempertimbangkan konsultasi untuk pasien dengan diagnosis kanker dengan
harapan hidup yang pendek atau pilihan pengobatan antikanker yang terbatas
karena kurangnya akses ke terapi antikanker, proses penyakit lanjut, kondisi
komorbiditas multipel/berat, penurunan fungsional progresif cepat, dan/atau
status kinerja yang buruk.
Kriteria tambahan termasuk risiko tinggi untuk manajemen nyeri yang buruk;
beban tinggi gejala non-nyeri yang resisten terhadap manajemen konvensional;
kunjungan gawat darurat atau rawat inap di RS; kebutuhan untuk perawatan tingkat
ICU; kebutuhan untuk prosedur invasif (misalnya, stenting paliatif/gastrostomi);
atau nilai distres yang tinggi. Konsultasi dengan spesialis perawatan paliatif juga
harus dipertimbangkan ketika ada kebutuhan untuk klarifikasi tujuan perawatan;
ketidakpuasan pasien/keluarga/pengasuh dengan rencana perawatan ataupun
adanya resistensi untuk melanjutkan perawatan. 5

Manajemen gejala penyakit


a. Nyeri/nyeri kepala
Nyeri harus dibedakan akibat massanya (nyeri kanker) atau nyeri kepala, karena
berbeda tata laksananya. Nyeri kanker didapatkan berdasarkan keluhan pasien,
pemeriksaan fisik, dan gambaran radiologis sesuai dengan lokasi massa, seperti
tumor daerah basis kranii, vertebra, atau kepala-leher. Adapun nyeri kepala
mayoritas akibat tumor di intrakranial yang menyebabkan edema jaringan
di sekitarnya dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Nyeri ini
merupakan nyeri utama pada pasien tumor otak (23-90%).

Terapi:
Pada nyeri kepala diberikan antiedema berupa kortikosteroid, sedangkan
nyeri kanker digunakan golongan opioid. Hal ini penting dipahami berdasarkan
mekanismenya masing-masing. Oleh karena pemberian analgesik kuat pada nyeri
kepala akibat peningkatan tekanan intrakranial akan menghilangkan gejala tersebut,
maka pasien dapat mengalami perburukan akibat herniasi serebri. Untuk nyeri kepala
dapat diberikan deksametason dosis efektif 4-16mg/hari beserta pelindung lambung.
Penggunaan opioid untuk nyeri kanker dapat secara oral, parenteral, maupun
transdermal berdasarkan step-wise approach seperti WHO analgesic ladder (Tabel
1
18.1).11
Penggunaan opioid harus dititrasi secara hati-hati karena tiap opioid mempunyai
karakteristik yang berbeda, serta perlu monitor dan menangani efek samping yang
timbul. Selain itu ada jenis nyeri yang tidak memberikan respons yang adekuat dengan
opioid saja, sehingga membutuhkan analgetik adjuvan.11

Berikut adalah hal-hal penting yang perlu diperhatikan pada penggunaan opioid:
1) Ketergantungan atau adiksi11
• Ketergantungan psikologis sangat jarang dijumpai pada pasien nyeri hebat yang
opioidnya dititrasi dengan hati-hati.
• Pasien dengan riwayat penyalahgunaan obat-obatan perlu penanganan tim
spesialis.
• Jangan tunda pemberian analgetik jika secara klinis diperlukan
• Ketergantungan fisiologis jangan sampai menunda pengurangan dosis opioid jika
pasien sudah diberikan obat analgetik lainnya.
2) Depresi pernapasan11
Opioid dapat menyebabkan depresi pernapasan, namun dengan titrasi dosis,
penilaian klinis dan evaluasi berulang akan tetap aman, bahkan pada pasien
dengan gangguan kardio respirasi.
3) Opioid dengan gangguan fungsi ginjal
• Ganguan fungsi ginjal ringan-sedang: kurangi dosis opioid, perpanjang interval
pemberian. Hati-hati pada penggunaan kodein, dihidrokodein, morfin, dan oksikodon
• Gangguan fungsi ginjal berat (eGFR <30ml/menit): hindari penggunaan
kodein reguler, morfin, dan oksikodon. Oksikodon immediate release dengan
interval dosis yang dinaikkan dapat digunakan pada keadaan klinis tertentu.
Pertimbangkan pemberian fentanil, buprenorfin, atau alfentanil. Tramadol dapat
digunakan dengan dosis rendah atau dengan meningkatkan interval dosis.

Titrasi Opioid11
Morfin merupakan golongan opioid pilihan utama pada WHO Step 3.
• Inisiasi dan titrasi dapat menggunakan immediate release (IR) atau modified
release (MR)
• Pastikan bahwa dosis breakthrough adalah 1/6-1/10 kali dari total dosis opioid
harian
• Berikan laksatif reguler dan anti emetik reguler (selama 1 minggu)
• Lakukan monitor secara reguler terhadap efikasi, adanya efek samping dan
toksisitas
• Jika pasien masih bisa menyetir mobil sendiri, pastikan pasien mengerti
aturan menyetir mobil saat menggunakan opioid.
• Untuk keamanan jangan naikkan dosis reguler MR opioid lebih dari 30-50% setiap 2
hari

Dosis Opioid pada Breakthrough Pain11


• Breakthrough pain atau nyeri sontak adalah nyeri yang muncul dan dirasakan
oleh pasien walaupun pasien sudah dalam penggunaan opioid reguler.
• Diberikan opioid IR yang sama dengan dosis 1/10-1/6 dari dosis total 24
jam, diberikan setiap 2 jam atau sesuai kebutuhan.
• Opioid IR mempunyai onset 30 menit dengan durasi selama 3-4 jam.
• Tetapkan maksimum jumlah pemberian dosis breakthrough perhari (misalnya
6 kali dalam 24 jam) untuk pasien-pasien yang nyerinya tidak terkontrol
• Kodein 240mg/24 jam ekuivalen dengan morfin oral 24mg/24 jam
• Tramadol 400mg/24 jam ekuivalen dengan morfin oral 24mg/24 jam
Pergantian Rute Pemberian Opioid11
• Jika ada perubahan rute pemberian dan formula opioid, selalu gunakan
opioid dose conversion chart guidance. Jangan lupa untuk membatalkan dosis
sebelumnya.
• Jika pergantian opioid karena adanya toksisitas, jangan lupa memeriksa eGFR.
• Dosis breakthrough mungkin diperlukan untuk menutupi masa transisi
> Pergantian oral ke subkutaneus:
• Jika menggunakan opioid IR: berikan via syringe segera
• Jika menggunakan opioid MR per 12 jam: berikan secara drip dua jam sebelum
dosis oral selanjutnya
> Pergantian subkutaneus ke oral:
• Pergantian ke opioid IR atau MR, segera hentikan pemberian via drip dan berikan
dosis oral pertama pada saat yang sama
> Pergantian oral ke patch:
• Jika menggunakan opioid IR: berikan patch kapan saja dan berikan IR opioid oral
jika diperlukan
• Jika menggunakan opioid MR dua kali sehari: berikan patch pada saat yang sama
dengan dosis terakhir MR opioid
• Jika menggunakan opioid MR sekali sehari: berikan patch 12 jam setelah dosis
terakhir opioid MR.

b. Epilepsi
Kejang sangat sering dijumpai pada pasien-pasien tumor otak, terutama glioma.
Hal ini tergantung pada subtipe dan lokasi tumor, jarak dari korteks, serta faktor
genetik. Kejang yang tidak terkontrol dapat menyebabkan pasien kembali masuk
RS. Oleh karena itu penatalaksanaan kejang yang adekuat sampai saat kematian
sangat penting bagi pasien glioma.2
Pada pasien-pasien yang sudah memasuki fase akhir kehidupan (end of life phase)
kendala yang sering dihadapi adalah ketidakmampuan pasien untuk menelan
atau terjadi penurunan kesadaran. Oleh karena itu diperlukan rute pemberian
obat anti epilepsi selain peroral untuk mencegah terjadinya kadar serum yang
rendah (sub-terapeutik).211

c. Venous Thromboembolism (VTE)


Pasien dengan kanker memiliki risiko VTE yang tinggi, yaitu 7,7-20% pada
glioma, serta 14-20% pada satu tahun dan 32% dalam dua tahun studi prospektif.
Walaupun risiko VTE paling tinggi pada enam bulan pertama setelah tindakan
bedah, namun kejadiannya dapat terjadi kapan saja, terutama pada pasien yang
mengalami gangguan gerak dengan atau tanpa emboli paru.2
Profilaksis VTE dengan low molecular weight heparin (LMWH) harus diberikan 24
jam setelah tindakan bedah selama 7 sampai 10 hari.2 Antikoagulan LMWH cukup
aman untuk pasien dengan glioma, namun harus dihindari jika baru saja terjadi
perdarahan intratumoral, trombositopenia <50.000/mm3, dan kontraindikasi
lainnya. Saat ini belum ada data mengenai antikoagulan oral yang baru pada
pasien tumor otak serta interaksinya dengan obat kemoterapi atau obat anti
kejang. Lama pemberian antikoagulan sebagai profilaksis sekunder pada pasien
glioma setelah VTE harus dipertimbangkan kasus per kasus. Pada kebanyakan
kasus profilaksis ini diperlukan seumur hidup.2'12'13

d. Fatigue
Fatigue atau kelelahan akibat kanker juga merupakan gejala yang sering
dijumpai dengan mekanisme biologi yang sangat kompleks dan belum
sepenuhnya dipahami.2 Fatigue yang tidak diobati atau tidak signifikan diobati
akan memengaruhi kualitas hidup pasien paliatif, sehingga perlu penilaian dan
manajemen yang tepat.14
Fatigue merupakan gejala multidimensi dengan berbagai penyebab, terutama
akibat anemia. Faktor-faktor lain adalah gejala psikologis, termasuk kecemasan
dan depresi, serta rasa sakit, kaheksia, efek samping obat-obatan, ketidakaktifan
fisik, dan infeksi.14 Oleh karena itu perlu anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang komprehensif untuk mengidentifikasi etiologi yang berpotensi reversibel,
dengan menelaah semua obat, termasuk resep, obat bebas, dan terapi alternatif/
komplementer, untuk mengidentifikasi efek samping dan potensi interaksi obat-
obatan. Penatalaksanaan fatigue meliputi perawatan agresif terhadap penyebab
yang dapat diperbaiki, jika ada yang diidentifikasi. Jika penyebab spesifik tidak
dapat diidentifikasi, barulah diberikan manajemen simtomatik.14
Penatalaksanaan bisa berupa nonfarmakologi berupa latihan fisik dan cognitive
behavioural therapy (CBT) atau farmakologi. Satu studi menunjukkan adanya
perbaikan ge]a\afatigue setelah 8 atau 12 minggu dengan pemberian metilfenidat
atau setelah 24 minggu dengan pemberian donepezil.21516

e. Gangguan Mood dan Perilaku


Gangguan ini merupakan komorbiditas utama bagi pasien dan keluarga,
dengan prevalensi sampai 20% untuk depresi klinis dan 60% untuk perubahan
kepribadian. Belum ada RCT secara spesifik mengenai obat-obatan untuk depresi
klinis pada pasien dengan tumor otak primer. Beberapa studi kohort yang
mengukur depresi sebagai keluaran sekunder menunjukkan bukti yang terbatas
mengenai efektifitas metilfenidat, oxcarbazepine, ginkgo biloba, dan donepezil.2

f. Kognitif
Kemampuan kognitif yang intak seperti fungsi eksekutif, fluensi verbal, memori,
atensi, dan visuokonstruktif merupakan persyaratan untuk dapat berkomunikasi
secara adekuat, independen, dan melakukan aktifitas sehari-hari secara aktif.2
Pada pasien tumor otak, fungsi kognitif dapat terganggu akibat rusaknya jaringan
neurokognitif oleh tumor, karena usia dan tingkat edukasi, terapi terhadap tumor,
terapi suportif (antiepilepsi, kortikosteroid), dan stres psikologis.2 Donepezil dan
inhibitor asetilkolinesterase dapatmenjadi alternatif untuk mencegah penurunan
fungsi kognitif pada pasien tumor otak yang mendapatkan radiasi.2

g. Gejala Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal bisa berupa mual, muntah, konstipasi, diare, atau disfagia.
Pada pasien dengan mual dan muntah, identifikasi dan perbaikan penyebab
mendasar yang dapat diperbaiki, termasuk koreksi kelainan metabolisme,
perawatan usus yang agresif, rotasi opioid, dan mengatasi peningkatan tekanan
intrakranial.14
Mual sering muncul saat awal terapi opioid, tetapi biasanya dapat ditoleransi
dengan cepat dan jarang menyebabkan mual persisten. Banyak variasi individu
dalam terjadinya mual dan responsnya terhadap berbagai opioid. Satu pasien
dapat mengalami mual yang hebat dengan morfin dan tidak ada saat menerima
hidromorfon, sedangkan yang sebaliknya dapat diamati pada pasien yang
berbeda.17
Opioid memiliki tiga mekanisme yang berpotensi emetogenik, yakni efek
langsung pada zona pemicu kemoreseptor, peningkatan sensitivitas vestibular,
dan penundaan pengosongan lambung. Konstipasi refrakter dan impaksi tinja
juga dapat menjadi penyebab, sehingga harus dikelola terlebih dahulu.17
Rotasi opioid atau perubahan rute administrasi dapat dianggap sebagai strategi
untuk mengatasi mual kronik. Mual kronik biasanya memberikan respons pada
pemberian kelompok terapi obat yang sama untuk mual akut yaitu berupa
antagonis dopamin, seperti proklorperazin atau metoklopramid, atau antagonis
reseptor serotonin, seperti ondansetron sebagai agen lini pertama.17
Faktor risiko konstipasi dapat terjadi pada pasien dengan penyakit serius atau
yang mengancam jiwa termasuk penyakit lanjut, usia lebih tua, aktivitas fisik
menurun, diet rendah serat, depresi, dan gangguan kognitif. Obat-obatan yang
dapat menyebabkan atau memperburuk konstipasi termasuk opioid, penghambat
saluran kalsium, diuretik, obat antikolinergik, zat besi, antagonis serotonin, dan
kemoterapi (alkaloid vinca, thalidomide, vandetanib).
Kelainan neurologi spesifik pada kompresi medula spinalis epidural) dan
kelainan metabolik (hiperkalsemia dan hipotiroidisme] juga dapat menyebabkan
atau berkontribusi pada konstipasi. Pengobatan konstipasi termasuk mengatasi
faktor nonfarmakologis yang berpotensi reversibel, menghentikan obat penyebab
konstipasi yang tidak penting, dan intervensi farmakologis (terapi pencahar).
Pilihan terapi pencahar adalah empiris. Sebuah tinjauan Cochrane tentang
pencahar untuk konstipasi pada pasien yang menerima perawatan paliatif
menyimpulkan bahwa tidak ada bukti apakah pencahar tertentu lebih efektif
daripada yang lain atau menyebabkan efek samping yang lebih sedikit.14
h. Delirium
Pada pasien dengan kanker, umum terjadi disfungsi otak global dengan
manifestasi delirium. Delirium merupakan komplikasi neuropsikiatrik yang
paling sering pada pasien dengan kanker lanjut mendekati akhir hidup dan dapat
mengakibatkan kesulitan bagi pasien, anggota keluarga, dan penyedia layanan
kesehatan.

Berikut adalah faktor-faktor yang dapat berkontribusi menyebabkan delirium


pada pasien dengan penyakit terminal:14
Neurotoksisitas yang diinduksi opioid
Tumor otak/metastasis
Terapi kanker (kemoterapi, radioterapi)
Obat psikotropika (antidepresan trisiklik, benzodiazepine obat lain dengan sifat
antikolinergik, dan glukokortikoid
Faktor metabolik (hiperkalsemia, hiponatremia], dehidrasi, atau kegagalan organ
atau sistem vital [misalnya, gagal ginjal dan hipotensi)
Sindrom paraneoplastik
Sepsis atau bahkan infeksi sederhana, seperti sistitis
Untuk pasien yang lebih tua, yang lemah, faktor-faktor lain juga dapat memicu
delirium, termasuk komplikasi infark miokard, fraktur panggul, emboli paru,
nyeri, dan bahkan konstipasi.

Haloperidol adalah obat pilihan untuk manajemen simtomatik delirium, terutama


jika ada bukti agitasi psikomotor, delusi, atau halusinasi. Dosis rendah biasanya efektif
untuk agitasi, paranoid, dan rasa takut, yaitu 0,5-lmg (oral, intravena, intramuskular,
atau subkutan] dengan dosis berulang setiap 45-60 menit sesuai gejala. Pasien yang
lebih tua mungkin memerlukan dosis yang lebih rendah untuk menghindari efek
samping, termasuk gejala ekstrapiramidal.14
Gejala hiperaktif membaik dalam 3-5 hari pada kebanyakan pasien menyertai
perbaikan etiologi yang mendasarinya. Jika tidak ada respons dalam 24 hingga 48
jam setelah pemberian haloperidol dosis penuh, alternatifnya adalah neuroleptik lain
yang lebih bersifat sedasi, seperti olanzapine, pada pasien dengan tanda dan gejala
delirium yang menetap.14 Pemberian antipsikotik juga harus berhati-hati, mengingat
antipsikotik dapat memperberat kejang seperti non-convulsive status epilepticus
(NCSE) yang juga merupakan diagnosis banding dari delirium pada keadaan organik

Layanan akhir kehidupan (End of Life Care)


Fase akhir kehidupan atau EoL phase merupakan fase tiga bulan menjelang ajal
atau kematian. Keadaan ini memerlukan tata laksana khusus, seperti pedoman dari
Northern England Clinical Networks "Palliative and End of Life Care Guidelines 2016r
baik untuk penggunaan opioid (Gambar 18.1) maupun pada keadaan restlessness,
agitasi, dan delirium (Gambar 18.2).2

XVIII.5. Penutup
Layanan paliatif merupkan sistem perawatan terpadu yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup dengan cara meringankan nyeri dan penderitaan lainnya.
Layanan ini memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosis
ditegakkan sampai akhir hayat serta dukungan terhadap keluarga yang kehilangan
atau berduka. Adanya keluhan dan gejala khusus pada kasus-kasus neuro-onkologi
menyebabkan pentingnya peran neurolog tidak hanya di awal gejala, namun hingga
akhir hayat pasien. Oleh karena itu dalam penanganan suatu penyakit dikatakan "to
cure sometimes, to relief often, to comfort always".
Daftar Pustaka
1. Dans M, Smith T, Back A, Baker JN, Bauman JR, Beck AC, dkk. Palliative care version 2.2017:
featured updates to the NCCN guidelines. J Nat Compr Cane Netw. 2017;15(8):989-97.
2. Pace A, Dirven L, Koekkoek JA, Golla H, Fleming J, Ruda R, dkk. European Assocation for
Neuro-Oncology (EANO) guidelines for palliative care in adults with glioma. Lancet Oncol.
2017;18(6):e330-40.
3. Sizoo EM, Pasman HR, Dirven L, Marosi C, Grisold W, Stockhammer G, dkk. The end of life phase of
high grade glioma patients: a systematic review. Support Care Cancer. 2014;22(3):847-57.
4. Kemenkes RI. Kepmenkes RI Nomor 812/MENKES/SK/VII/2007 Tentang Kebijakan Layanan
Paliatif; 2007.
5. National Comprehensive Cancer Network. NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology:
Palliative Care. NCCN. 2019.
6. World Health Organization. Cancer: WHO definition of palliative care; 2018.
7. Temel JS, Greer JA, Muzikansky A, Gallagher ER, Admane S, Jackson VA, dkk. Early palliative care
for patients with metastatic non-small cell lung cancer. N Eng J Med. 2010;363(8):733-42.
8. Cohn M, Calton B, Chang S, Page RNM. Transitions in care for patients with brain tumors: palliative
and hospice care. San FranciSKo: University Of California; 2014. h. 1-17.
9. Lin E, Rosenthal MA, Le BH, Eastman P. Neuro-oncology and palliative care: a challenging interface.
Neurooncol. 2012;14[Supl 4): iv3-7.
10. SKhenker Y, Quill TE. Primary Palliative Care, www.uptodate.com. 2019.
11. NHS. Palliative and end of life care guidelines symptom control for cancer and non-cancer
patients. Edisi ke-4. Northern England Clinical Networks. 2016.
12. Dickinson LD, Miller LD, Patel CP, Gupta SK. Enoxaparin increases the incidence of postoperative
intracranial hemorrhage when initiated preoperatively for deep venous thrombosis prophylaxis
in patients with brain tumors. Neurosurgery. 1998;43(5):1074-81.
13. yman GH, Khorana AA, Kuderer NM, Lee AY, Arcelus JI, Balaban EP, dkk. Venous thromboembolism
prophylaxis and treatment in patients with cancer; american society of clinical oncology. J Clin
Oncol. 2013;31(17):2189-204.
14. Brurera E, Dev R. Overview of managing common non-pain symptoms in palliative care. www.
uptodate.com. 2019.
15. Gehring K, Patwardhan SY, Collins R, Groves MD, Etzel CJ, Meyers CA, dkk. A randomized trial on
the efficacy of methylphenidate and modafinil for improving cognitive fuctioning and symptoms
in patients with primary brain tumor. J Neurooncol. 2012;107(1):165-174.
16. Shaw EG, Rosdhal R, DAgostino RB, Lovato J, Naughton MJ, Robbins ME, dkk. Phase II study of
donepezil in irradiated brain tumor patients: effect on cognitive function, mood, and quality of
life. J Clin Oncol. 2006;24(9):1415-20.
17. Portenoy RK, Mehta Z, Ahmed E. Prevention and management of side effects in patients receiving
opioids for chronic pain, www.uptodate.com. 2019.
NYERI RANKER
Trianggoro Budisulistyo, Henry Riyanto Sofyan

XIX.1. Pendahuluan
Kasus baru penderita kanker di dunia terus meningkat mulai dari berkisar 12,6
juta pada tahun 2008, 14 juta pada tahun 2012, dan bisa lebih dari 15 juta pada
tahun 2020. Oleh karena itu diperlukan perhatian secara komprehensif dikarenakan
kronisitas penyakitnya maupun komplikasi klinis yang ditimbulkan. Salah satu
keluhan yang menyebabkan penderitaan bagi pasien kanker adalah nyeri kanker.
baik nyeri yang disebabkan sel kanker yang merangsang impuls nyeri, mestastasis
di tulang, maupun nyeri akibat terapi, seperti radiasi, kemoterapi, atau operasi. Hal
ini dialami oleh mayoritas (75-90%) penderita dengan kanker metastasis maupun
stadium terminal yang mengeluhkan nyeri derajat berat.1"3
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkac
akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan
dalam bentuk kerusakan tersebut.3 Nyeri kanker adalah nyeri yang ditimbulkan
sebagai komplikasi langsung atau tidak langsung dari kanker, dapat meliputi berbagai
subtipe fisiologi nyeri (nosiseptif, neuropatik, viseral, somatik dan sontak), dan dapat
dipengaruhi oleh aspekemosional, psikologis dan spiritual.24
Nyeri merupakan salah satu komplikasi kanker yang ditakuti oleh para
penderita kanker maupun pengasuhnya. Nyeri bisa muncul dalam setiap fase dari
perkembangan kanker, mulai dari fase diagnosis atau penentuan tingkat stadium
kanker, fase terapi (bedah, kemoterapi, radiasi), fase remisi, fase relaps dan fase
kesintasan [survivorship).12
Oleh karena itu manajemen nyeri kanker menjadi sangat individual, kompleks,
dan banyak memerlukan pertimbangan. Hal ini juga melibatkan faktor molekuler
dan mekanisme spesifik penyakit kankernya, sehingga nyeri kanker biasanya akan
termasuk ke dalam tipe campuran, yaitu adanya proses inflamasi (nosiseptik) dan
kerusakan saraf (neuropatik).2-3

XIX.2. Epidemiologi
Angka prevalensi nyeri kanker cukup tinggi baik pada stadium awal kanker
maupun ketika metastasis, misalnya pada kanker pankreas (44%) dan kanker kepala-
leher [head and neck cancer) sebesar 40%. Penelitian lain mendapatkan bahkan
kanker di kepala dan leher yang paling menyebabkan nyeri (70%], seperti pada
Gambar 19.1. Prevalensi penderita nyeri kanker baik yang sedang menjalani terapi
kuratif maupun metastasis atau stadium terminal berkisar 33-59% dan 64%. Namun
sebanyak 56-82,3% penderita, termasuk sekitar 9,8-55,3% di pusat kanker tidak
mendapatkan manajemen nyeri yang adekuat. Hal ini menyebabkan keluhan nyeri
kanker menjadi kronik, terutama pada kondisi pascaterapi, seperti neuropati perifer
pascakemoterapi, pleksopati brakialis atau regio pelvis pascaradiasi, hingga nyeri
pasca-operatif. Bahkan sekitar 83% penderita nyeri kanker limfoma dan leukemia,
mengeluhkan rasa nyeri sejak terdiagnosis hingga akhir hayatnya.1
Secara umum sekitar separuh penderita kanker akan mengeluhkan nyeri.3 Studi
terhadap sekitar 6000 penderita nyeri kanker mendapatkan 33-95% mengeluhkan
nyeri kanker yang tak tertahankan [breakthrough cancer pain/BTCP) dengan
prevalensi 59,2%. Prevalensi BTCP di poliklinik rawat jalan berkisar 39,9% dan rawat
inap 80,5%. Nyeri ini muncul secara insidensital pada sekitar 44% kasus, muncul
spontan pada sekitar 42% kasus, dan kombinasi spontan dan insidensital sekitar 14%
kasus. Keluhan BTCP yang sangat mengganggu ini bahkan menyebabkan sekitar 32%
penderita ingin mengakhiri hidupnya dan sekitar 45% penderita tidak mendapatkan
m i n i i f l m o n n \ r a r i ca/^or-i irlolrnil-4-5
XIX.3. Patogenesis
Mekanisme nyeri kanker pada dasarnya disebabkan oleh kerusakan jaringan atau
kerusakan saraf yang terkait dengan sel kanker secara langsung, nosiseptor serabut
saraf aferen primer, ataupun sistem imun yang ada. Sel kanker memiliki kemampuan
mensekeresi dan merangsang terlepasnya mediator-mediator nyeri. Hal ini akan
mengaktivasi serabut aferen primer dan terjadi proses plastisitas sistem saraf perifer
maupun pusat.3
Nyeri kanker juga dapat berhubungan dalam proses diagnostik atau terapi
kanker itu sendiri, terkait proses biopsi atau operasi, serta efek samping kemoterapi
dan radioterapi. Nyeri kanker juga akan menjadi semakin kuat seiring pertumbuhan
sel kanker, karena nyeri kanker bukan hanya melibatkan proses inflamasi semata,
melainkan juga adanya perubahan neurokimiawi di saraf sensorik maupun medula
spinalis yang menimbulkan adanya nyeri neuropatik.
Mediator inflamasi yang dijumpai di medula spinalis adalah substansi P (SPJ
dan reseptornya, calcitonin gene-related peptide (CGRP), serta protein kinase. Ketika
terjadi proses plastisitas di medula spinalis, akan terjadi penurunan SP dan CGRP, serta
peningkatan kadar neuropeptida. Terdapat pula aktivitas mikroglia dan proliferasi
astrosit yang menyebabkan keluhan nyeri neuropatik. Sel kanker menyebabkan
penurunan ekspresi reseptor opioid-p di ganglion radiks dorsalis atau dorsal root
ganglion (DRG] yang membedakan nyeri akibat proses inflamasi dengan kanker.3 Nyeri
neuropatik bisa dijumpai pada sekitar 5-40% penderita kanker yang disebabkan oleh
lesi serabut saraf perifer maupun sentral, akibat kompresi massa kanker, infiltrasi sel
kanker, atau intoksikasi terapi kankernya. Secara klinis gambaran nyeri neuropatiknya
sama dengan yang lain, serta bisa melibatkan sistem saraf otonom.6

Mekanisme Perifer
Pertumbuhan jaringan kanker yang cepat menyebabkan lesi saraf berupa
kompresi, iskemia, maupun proteolisis. Sel kanker menghasilkan enzim proteolisis
yang menyebabkan lesi pada serabut sensorik dan simpatis, sehingga timbul keluhan
nyeri neuropatik. Preparat kemoterapi (paclitaxel, vinkristin) juga sering menyebabkan
keluhan neuropati perifer, karena polimerisasi tubulin terganggu hingga menghambat
transport aksonal dan degenerasi serabut sensorik. Keadaan ini mengakibatkan
terlepasnya sitokin yang mensensitisasi serabut nosiseptor aferen primer.
Sel kanker juga menyebabkan penurunan kadar pH (asidosis), akibat pelepasan
proton oleh sel kanker melalui mekanisme inflamasi, serta akibat proses apoptosis
dalam jumlah besar. Selanjutnya terjadi sensitisasi nosiseptor kanal vaniloid reseptor
(VR1) dan acid-sensing ion channel 3 (ASIC3), sehingga serabut saraf sensorik
mengalami depolarisasi dan mengirimkan impuls nyeri ke medula spinalis. Keadaan
asidosis ini berperan pada nyeri kanker di tulang, yang ditandai adanya osteolisis dan
osteoblastic5
Pada proses metastasis ke tulang, sel kanker memicu osteoklas untuk menginduksi
resorpsi tulang dan osteoblas sebagai perantara pembentukan tulang, sehingga terjadi
ketidakseimbangan ke arah osteolitik, osteoblastik, atau keduanya. Hal ini menyebabkan
kerusakan mikroarsitektur tulang, menurunkan kekuatan dan kemampuan menahan
beban; sehingga mudah terjadi fraktur. Pada keadaan ini terjadi pelepasan Ca2+ dan
terjadi hiperkalsemia. Keseimbangan receptor activator of nuclear factor kappa-B-
Receptor activator of nuclear factor kappa-B ligand (RANK-RANKL) terganggu akibat
meningkat pelepasannya dari sel kanker, sel T, dan prekursor sel osteoklas.
Selain itu sel kanker mensekeresi parathyroid hormone-related protein (PTHrP)
yang juga meningkatkan pelepasan RANKL melalui mekanisme osteoblas. Di sekitar
jaringan tumor terjadi proses inflamasi yang ditandai dengan pelepasan sitokin, baik
dari sel kankernya maupun jaringan nekrotik yang terbentuk. Selanjutnya terjadi
proses pendesakan massa kanker melalui infiltrasi, kompresi, ataupun remodeling
yang menyebabkan denervasi dan hiperinervasi ke daerah sekitarnya, seperti jaringan
tulang, sumsum tulang, serta periosteum yang diinervasi oleh serabut saraf sensorik
dan simpatis.
Meningkatnya aktivitas osteoklas menyebabkan sensitisasi serabut saraf
sensorik melalui kanal ion asam, seperti transient receptor potential cation channel
1 (TRPV 1) dan ASIC3. Meningkatnya jumlah RANKL akibat aktivitas osteoklas sering
menyebabkan degradasi tulang dan sensitisasi saraf sensorik oleh TRPV1 dan ASIC3.-
Jaringan kanker bukan saja dibentuk oleh selnya sendiri, melainkan juga sistem
imun (makrofag, netrofil, dan sel T] yang mampu menyekeresi faktor-faktor yang
menyintesis maupun memengaruhi secara langsung serabut saraf aferen primer; serta
prostaglandin (peran enzim siklooksigense/COX), tumour necrosis factor-a (TNF-a),
endotelin, interleukin (IL)-l dan IL-6, faktor pertumbuhan epidermal, transforming
growth factor (TGF)-p, dan platelet-derived growth factor (PDGF). Faktor-faktor
tersebut berperan dalam timbulnya keluhan nyeri, sehingga menjadi dasar dalam
pemberian obat-obatan analgetik bagi penderita kanker.5

Mekanisme Sentral
Sel kanker menyebabkan destruksi tulang secara progresif, dan hipertrofi sel
astrosit, sehingga menimbulkan keluhan nyeri. Terdapat hipereksitabilitas di medula
spinalis sebagai proses sensitisasi sentral, namun berbeda dengan proses yang terjadi
pada inflamasi ataupun neuropati. Serabut saraf aferen primer yang menginervasi
jaringan kanker (biasanya yang sudah metastasis ke tulang] akan menurunkan impuls
nyeri ke medula spinalis, untuk kemudian berlanjut ke proksimal melalui 2 jalur;
yaitu traktus spinotalamikus kemudian ke korteks (kualitas dan lokasi stimulus) dan
ke limbik (fungsi afektif); yang menunjukkan hipereksitabilits terhadap stimulus
mekanisme, suhu, dan listrik. Hal ini mengakibatkan sensitisasi sentral di korteks
lobus frontalis.25
Aktivitas serabut C yang berdekatan dengan jaringan kanker menunjukkan
peningkatan serta peka terhadap stimulus panas sejalan dengan pertumbuhan
jaringannya. Dalam suatu penelitian terhadap serabut saraf yang terpapar mediator
dari sel kanker, terdapat perubahan plastisitas dan pelepasan kemokin CC-ligand-2
(CCL2) yang meningkatkan voltase kanal Ca2+.
Mekanisme lain yang terjadi pada nyeri kanker, yaitu invasi perineural yang
sebanding dengan derajat intensitas nyerinya. Invasi ke perineural ini merupakan
interaksi antara mekanisme molekuler dan struktural sel kanker dengan saraf.
Terdapat hipertrofi astrosit yang menyebabkan penurunan reuptake glutamat,
sehingga kadarnya meningkat di ekstrasel, sejalan dengan proses neurotoksik di sistem
saraf pusat (SSP). Terjadilah peningkatan peptida dinorfin (suatu mediator opioid)
di medula spinalis, sehingga menimbulkan hiperalgesia baik pada nyeri inflamasi
maupun neuropatik.35 Mekanisme plastisitas saraf ditunjukkan oleh dilepaskannya
mediator dan reseptor nosiseptik yang berlebihan, perubahan elektrofisiologi, serta
aktivasi sel glia (Gambar 19.2).
Nyeri kanker yang disebabkan metastasis ke tulang menunjukkan hipertrofi
astrosit, peningkatan jumlah reseptor SP, ekspresi c-FOS di lamina I kornu dorsalis
medula spinalis, dan meningkatnya jumlah dinorfin.3 Kompleksnya proses ini
menyebabkan nyeri akibat metastasis tulang biasanya menimbulkan nyeri yang
hebat, hingga menghambat mobilisasi penderitanya.
Berdasarkan kedua proses mekanisme tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses
patofisiologi nyeri kanker terdiri dari beberapa proses yaitu:2
1. Sel tumor menyekresi faktor-faktor yang diperlukan untuk pertumbuhannya
yang kemudian akan merangsang reseptor nyeri.
2. Sel tumor secara umum menyebabkan pH rendah dan menginduksi jaringan
sekitar serta mengaktifkan reseptor nyeri sekitar. Tipe sensasi yang diaktifkan
biasanya berupa rasa panas, pegal, atau tumpul di daerah jaringan tumor.
3. Invasi sel tumor di jaringan muskuloskeletal akan menganggu instabilitas
mekanik, terjadi proses edema pada jaringan sekitar, serta mengaktifkan proses
resorpsi tulang secara terus menerus, sehingga mengaktifkan serabut saraf bebas
dan menimbulkan nyeri hebat terutama saat bergerak.
4. Sel tumor dapat menginfiltrasi atau merusak sistem saraf perifer. Proses
diagnostik atau proses terapeutik kanker itu sendiri dapat juga merusak sel saraf.
5. Sel tumor menginduksi terjadinya pertumbuhan abnormal serabut saraf bebas
serta pembentukan neuroma.
6. Terjadinya proses nyeri neuropatik berupa proses sensitisasi sentral

Gambar 19.2. Mekanisme Plastisitas di Medulla Spinalis pada Nyeri Kanker


Proses plastisitas ditandai dengan peningkatan jumlah mediator dan reseptor nosiseptik, aktivasi sel
glia/ mikroglia serta perubahan elektrofisiologi (misal: meningkatnya respons nosiseptor termal panas
dan mekanik).3 AEA= anandamide, CBr 1: cannabinoid receptor 1, CCR2: chemokine C-C motif receptor 2,
DAAO: d-amino acid oxidase, DYN: dynorphin, EphB I: ephrin B ligand receptor, FAAH: fatty acid amide
hydrolase, GFAP: glialfibrillary acidic protein, HMGB1: high mobility group protein 1, JNK: c-jun N-termina
kinase, MCP-1: monocytes chemoattractant protein-1, NR2B: NMDA receptor subunit, TDAG8: T- cell death
associated gene 8, TNF: tumor necrosis factor, TNFR: tumor necrosis factor receptor, TRPV1: transient
receptor potential vanilloid 1.
Nyeri sontak atau BTCP adalah nyeri yang sontak timbul, durasi singkat, muncul
pada keadaan nyeri sebelumnya yang sudah relatif terkontrol dengan analgesik.
Nyeri sontak sukar dibedakan dengan nyeri dasar jika nyeri dasar belum terkontrol.
Hal ini terjadi dengan mekanisme patofisiologi yang berbeda dengan nyeri dasar
atau konsekuensi komplikasi proses patofisiologi nyeri dari reaksi jaringan berupa
mekanisme perifer atau mekanisme sentral,24

Nyeri sontak terbagi atas empat tipe:9


1. Tipe insidensi, diperkirakan nyeri sontak yang ada hubungan kausatif dengan
aktivitas motorik. Tipe insidensi bisa terprediksi jika mempunyai hubungan
waktu yang kuat dengan aktivitas motorik, sebaliknya sukar terprediksi jika tidak
mempunyai hubungan dengan aktivitas motorik.
2. Tipe idiopatik, nyeri sontak yang tidak ada hubungan waktu dan kausatif dengan
aktivitas motorik
3. Tipe prosedural, nyeri sontak yang timbul akibat suatu prosedur diagnotik atau
terapetik pada tatalaksana kanker
4. Tipe dosis akhir [end-of-dose) nyeri yang timbul sebelum pemberian dosis obat
analgesik selanjutnya.

XIX.4. Gejala Klinis


Gejala klinis nyeri kanker harus dikaji secara komprehensif, meliputi karakteristik
intensitas, hubungan waktu-kejadian, kualitas, dan distribusi. Kualitas nyeri dapat
menjelaskan patofisiologi nyeri yang mendasarinya. Terdapat 3 jenis nyeri, yaitu
nosiseptif somatik, nosiseptif viseral, dan nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptif somatik
bersifat tajam, ditusuk, dan dapat terlokalisasi. Nyeri nosiseptif viseral bersifat
difus dan berasal dari organ dalam tubuh. Nyeri neuropatik bersifat seperti dibakar,
kesemutan, dan tersetrum listrik.
' Distribusi nyeri terbagi menjadi fokal, multifokal, dan generalisata. Hal ini akan
berpengaruh terhadap rencana terapi. Adapun evaluasi waktu nyeri terbagi atas nyeri
akut dan kronik yang juga berbeda regimen analgesiknya. Nyeri sontak adalah nyeri
bersifat tajam transien diantara nyeri dasar terkontrol. Nyeri ini harus dibedakan dari
nveri akihatdnste nhatanti nvpri vanatiHakaHpknat f!ara mpmhprlakannva hprdasarkan
pola nyeri kanker dan pemberian obat antinyeri pasien sehari-hari, sehingga dapat
diketahui nyeri berasal dari pengobatan yang inadekuat atau dari nyeri sontak.2

Terminologi dan Klasifikasi Nyeri Kanker


Berikut adalah terminologi nyeri kanker :
• Nyeri dasar: nyeri yang konstan, terus-menerus, dan selalu muncul. Dapat hilang
atau terkontrol sebagian dengan analgesik.
• Nyeri sontak: nyeri eksaserbasi pada keadaan nyeri dasar yang sudah relatif
terkontrol. Nyeri ini dapat merupakan eksaserbasi nyeri dasar atau nyeri dari
sumber yang berbeda.
• Nyeri dasar terkontrol: nyeri dasar yang sudah terkontrol dengan pemberian obat
antinyeri terjadwal.
• Nyeri somatik: nyeri yang berasal dari kulit, jaringan subkutan, mukosa, atau
struktur muskuloskeletal lainnya.
• Nyeri viseral: nyeri yang berasal dari organ dalam (pencernaan, sistem urinaria-
pernapasan, sirkulasi).
• Nyeri neuropatik: nyeri yang terjadi akibat disfungsi atau kerusakan sistem saraf
pusat atau perifer.
• Nyeri campur: nyeri akibat gabungan nyeri somatik, viseral, dan/atau nyeri neuropatik.
Nyeri kanker pada pasien diklasifikasikan ke dalam sindrom nyeri kanker akut
dan kronik. Nyeri kanker akut biasa diakibatkan intervensi diagnostik ataupun
terapeutik, sedangkan nyeri kanker kronik akibat progresifisitas penyakit.3

Klasifikasi nyeri kanker akut:


• Nyeri akibat intervensi diagnostik dan terapetik
o Nyeri terkait intervensi diagnostik (pascapungsi, pascabiopsi, mammografi)
o Nyeri terkait intervensi terapetik (pascaoperasi, pascaradioterapi, cryosurgery)
o Nyeri terkait analgesia (anestesi lokaJ, opioid)
o Nyeri terkait terapi antikanker
o Nyeri terkait radioterapi
• Nyeri terkait neuralgia herpetik
• Nyeri akut terkait vaskular (trombosis vena)
Klasifikasi nyeri kanker kronik
• Nyeri tulang (vertebra, pelvis, panggul)
• Artritis (poliartritis terkait kanker)
• Nyeri otot (kram atau tumor otot skeletal)
• Nyeri kepala dan wajah
• Nyeri neuropatik (radikulopati, pleksopati, neuropati perifer)
• Tumor intraserebral (metastasis leptomeningeal/basis kranii, neuralgia kranialis)
• Sindrom nyeri terkait organ dalam
• Nyeri kronik terkait terapi kanker (pascakemoterapi, pascaradiasi, pascaoperasi)

XIX.5. Manajemen
Prinsip tata laksana nyeri secara umum terdiri atas lima tahap yang
berkesinambungan, yaitu penilaian nyeri, analisis nyeri, rencana terapi, evaluasi,
dan proses dokumentasi. Penilaian nyeri harus ditanyakan kepada pasien secara
gamblang, karena walau prevalensinya tinggi, tidak semua pasien mengalami nyeri.
Hal ini dikarenakan rasa nyeri dianggap sebagai hal yang wajar bagian dari proses
kanker atau karena pasien takut mengalami penambahan jenis/dosis obat.
Analisis nyeri dilakukan terutama penilaian nyeri, yakni ringan, sedang, atau
berat dengan skala yang umum digunakan seperti Visual Analog Scale dan Numeric
Rating Scale (Gambar 19.3) pada pasien yang kooperatif/compos mentis. Pada
keadaan pasien tidak kooperatif dapat digunakan skor FLACC {faces, leg, activities,
cries, consobility), skala Behaviour Pain Scale atau skala N'on-Verbal Pain Revised.

Prinsip tatalaksana nyeri juga harus sesuai dengan prinsip dari WHO, yaitu:
1. Administrasi obat diutamakan jalur oral karena nyaman, non-invasif dan dapat
ditoleransi dengan baik.
2. Administrasi obat sesuai dengan jam pemberian obat, tidak boleh diberikan jika
tidak perlu, kecuali dalam tatalaksana nyeri sontak.
3. Administrasi sesuai anak tangga WHO.
4. Administrasi disesuaikan dengan karakteristik individu.
5. Administrasi obat secara detil; dokumentasi nilai skala nyeri, total obat dalam 24
jam, dan memperhatikan penilaian terminologi nyeri (nyeri dasar, nyeri sontak).

Menurut Wall & Melzack, tatalaksana nyeri kanker cukup rumit. Nyeri kanker
dapat dikatakan tertatalaksana jika nyeri hilang atau berkurang 50% dari keluhan
sebelumnya setelah mendapatkan analgesik secara bertahap. Nyeri kanker dapat
tertatalaksana jika nyeri terkontrol pada saat tidur malam sebagai tahap pertama.
Jika pasien tidak dapat tidur malam, maka toleransi terhadap nyeri akan terganggu.
Jika nyeri sudah terkontrol saat malam hari, dapat maju ke tahap kedua, bahwa nyeri
terkontrol pada siang hari saat beristirahat tanpa aktivitas gerak. Tahap ketiga, nyeri
teratasi pada saat kegiatan aktivitas motorik minimal/mobilitas minimal. Tahap
terakhir nyeri teratasi dalam mobilitas penuh.3
Secara umum keluhan nyeri kanker timbul ketika terjadi metastasis ke tulang.
Jaringan tulang diinervasi oleh serabut saraf sensorik bermielin dan tak bermielin,
. serta sistem saraf simpatis. Sel kanker menyebabkan reorganisasi dan sprouting
serabut bermielin dan tak bermielin, sehingga meningkakan densitas serabut saraf
dan terbentuk suatu neuroma. Selanjutnya terjadi remodeling serabut sensorik dan
simpatis yang terkait dengan pelepasan nerve growth factor (NGF) yang berlebihan,
sehingga terjadi mekanisme ektopik secara spontan nyeri seperti complex regional
pain syndrome (CRPS).
NGF berperan dalam aksi pronosiseptik pada proses remodeling serabut saraf
perifer, yang melalui beberapa jalur bisa meningkatkan ekspresi TRPV1 di serabut
saraf sensorik, serta mensensitisasi kanal ion melalui mekanisme fosorilasi. NGF dan
reseptornya (tyrosine kinase receptor type 1= TrkA) dapat mengirimkan sinyal dari
perifer ke badan sel di DRG, yang selanjutnya memicu proses sintesis neurotransmiter
(SR CGRP), mengekspresikan reseptor dan kanal (bradikinin, P2X3, TRPV1, ASIC3,
kanal Na2+], faktor-faktor transkripsi (activating transcription factor 3= ATF3], serta
struktur molekul neurofilamen dan molekul yang terikat kanal Na2+).2
Aspirin dan ibuprofen berfungsi selain sebagai analgetik, juga bisa untuk antiinflamasi
dengan jalan menghambat aktivitas enzim C0X1 dan 2. Akan tetapi pemberian obat
inhibitor C0X1 dan 2 sekaligus, akan menyebabkan perdarahan lambung. Enzim C0X2
berkaitan dengan proses angiogenesis dan pertumbuhan massa kanker, sehingga dengan
pemberian preparat inhibitor C0X2 berpotensi memperlambat progresifitas kankernya.
Antagonis endotelin diperkirakan juga memiliki potensi sebagai analgetik bagi
penderita kanker, yaitu endotelin- 1, -2, dan -3 merupakan peptida vasoaktif yang
dijumpai pada stadium akhir suatu kanker. Endotelin berperan juga dalam mekanisme
sensitisasi baik langsung ataupun melalui nosiseptor serabut aferen primer tak
bermielin dan mampu menginduksi nyeri. Sama halnya dengan prostaglandin, maka
endotelin ini juga berperan dalam proses angiogenesis dan pertumbuhan sel kanker.5
NGF memiliki peranan untuk mengatur arus dan kerja kanal Na2+ (Nav] 1,8 dan
TRPV1; yang menjadi dasar dalam terapi paliatif kanker dengan pemberian anti-NGF.
Beragam reseptor (P2X3, TRPV1] maupun kanal ion banyak yang terletak di serabut
saraf perifer [badan sel atau serabut terminal], merupakan target terapi nyeri tulang
penderita kanker.
Meskipun terdapat proses inflamasi maupun neuropatik pada penderita nyeri
, kanker, mekanisme nyeri tulang akibat kanker berbeda. Reseptor serabut nosiseptik
(reseptor Nav 1,7 dan 1,8] tidak berperanan mutlak, sehingga terapi analgetik sering
tidak memberikan hasil yang memuaskan.2 Tanezumab merupakan preparat yang
menghambat NGF dari neurotropin yang berdasarkan studi fase ke-2, menunjukkan
perbaikan klinis penderita nyeri akibat metastasis ke tulang.6
Meningkatnya proses resorbsi tulang berkaitan dengan pelepasan ion Ca2+ dan be-
berapa faktor pertumbuhan, seperti transforming growth factor beta (TGF-(3) dan in-
sulin-like growth factor 1 (IGF1). Oleh karena itu, manajemen terapinya berupa blokade
terhadap aktivitas osteoklas atau menurunkan jumlah RANKL. Secara klinis preparat
bifosfonat sering digunakan untuk menghambat proses osteoklas yang memicu proses
resorbsi tulang serta menurunkan kadar pH setempat, sehingga bisa menurunkan sensi-
tisasi yang diperantarai TRPV1 dan ASIC3 serta menurunkan keluhan nyeri,
Bifosfonat merupakan analog pirofosfat dan antagonis kanal VR1 dan ASIC, yang
memicu terjadinya apoptosis sel osteoklas dan mampu menurunkan keluhan nyeri pada
kasus metastasis ke tulang. Proses apoptosis osteoklas ini ditandai oleh osteoklas mengisut,
terjadi kondensasi kromatin, dan fragmentasi nukleus. Bifosfonat menyebabkan ion-ion
Ca2+ saling berikatan, sehingga proses mineralisasi matriks tulang berjalan dengan cepat,
serta osteoklas mengkisut, terjadi kondensasi kromatin, fragmentasi nukleus dan batas sel
kanker juga berkurang.5 Sel kanker yang tumbuh dan menginfiltrasi jaringan sekitarnya,
menyebabkan proses inflamasi (pelepasan growth factor, sitokin, interleukin, kemokin,
prostanoids, endotelin, bradikinin, ATP) dan memengaruhi sistem imun (makrofag, sel
mast, netrofil dan sel limfositT) serta berpengaruh terhadap sensitisasi perifer.2
Kanabinoid merupakan agonis palmitoylethanolamide (PEA) yang juga berfungsi
sebagai antihiperalgesia atau analgetik baik di perifer, medula spinalis, maupun
supraspinal. Kanabinoid ini memiliki reseptor (CB2) di serabut saraf aferen primer
(DRG) serta bekerja baik di perifer maupun sentral. Reseptor tersebut meningkatkan
aktivitas kanal Ca2+, sehingga potensial membran postsinaptik tetap dalam keadaan
di bawah ambang nyeri (subthreshold). Di tingkat medula spinalis, kanabinoid
menghambat serabut nosiseptik di lamina I/II dan V/VI. Sediaan kanabinoid yang
dikenal secara umum adalah mariyuana dan morfin, baik untuk pemberian sistemik
maupun lokal. Mekanisme kerja kanabinoid diperkirakan sebagai inhibitor SP,
menginduksi degranulasi sel mast, dan ekstravasasi plasma.37
Reseptor kanabinoid CB1 berada di jaringan otak, terutama hipokampus dan
korteks asosiasi, serebelum, serta ganglia basalis yang berperan sebagai analgetik
dengan dosis di bawah dosis obat penenang. Reseptor CB2 berperan dalam
menurunkan fungsi nosiseptor, alodinia, serta hiperalgesia dengan cara menekan
aktivitas serabut C di kornu dorsalis medula spinalis dan fenomena wind up. Pada
kasus nyeri neuropatik, reseptor CB2 menurunkan kadar sitokin pro inflamasi.
Reseptor CB1 dan CB2 menghambat aktivitas enzim adenilat siklase melalui kompleks
protein G, dimediasi oleh neurotransmiter asetilkolin, glutamat, dan dopamin.8
Preparat opioid merupakan kelompok analgetik yang termasuk dalam pedoman
WHO untuk manajemen nyeri sedang hingga berat (Level 2B]. Pada beberapa kasus
yang tidak menunjukkan perbaikan klinis optimal, bisa diberikan terapi kombinasi
dengan analgetik adjuvan. Preparat fentanil (termasuk transdermal] tidak dianjurkan
diberikan sebagai lini pertama penderita nyeri (temasuk akibat kanker), apabila
masih berespons dengan opioid lainnya (Level 2B).
Keluhan nyeri neuropatik penderita kanker dapat menggunakan preparat adjuvan,
seperti antikejang (gabapentin, pregabalin], antidepressant (SSRIs, SNRIs, golongan
trisiklik, venfalaksin), agonis NMDA (ketamin), kortikosteroid, atau anestetik lokal
(lidokain] (Level 3C}.6 Beberapa preparat opioid baru diproduksi, guna memberikan
efektivitas terapi yang lebih baik dan efek samping yang lebih rendah pada nyeri
sedang sampai berat (Level 1A].
Oksikodon merupakan derivat dari thebaine, memiliki metabolisme dalam tubuh
yang berbeda dengan morfin, dan digunakan untuk penderita lanjut usia maupun
dengan gangguan fungsi hepar. Preparat ini bisa dipergunakan sebagai terapi jangka
pendek maupun panjang. Nalokson merupakan golongan antagonis reseptor opioid
dan tidak menyebabkan konstipasi seperti opioid pada umumnya. Kombinasi antara
oksikodon dan nalokson lebih dari 160/80mg per hari memiliki efektivitas klinis
perbaikan nyeri yang baik (Level IB}.
Hidrokodon merupakan opioid yang dimetabolisme di hepar (enzim sitokrom
P450] dengan menghambat aktivitas CYP3A4, sehingga konsentrasi plasmanya
meningkat. Hidromorfon merupakan metabolit aktivitas dari hidrokodon yang lebih
poten dan afinitasnya lebih besar, serta diekskresi melalui ginjal. Derivat ini memiliki
waktu paruh pendek sehingga dalam pemberiannya memerlukan titrasi (Level 1A).
Tapentadol merupakan analgetik per oral yang bekerja secara sentral sebagai
agonis reseptor dan inhibitor reuptake norepinefrin. Derivat ini efektif terhadap
keadaan hipereksitasi dan nyeri derajat sedang sampai berat pada nyeri kanker
(Level 2A]. Fentanil transdermal dan buprenorfin merupakan alternatif dari
morfin, terutama bagi penderita dengan disfagia (Level 2A). Metadon merupakan
opioid sintetis yang berakibat fatal berupa aritmia, waktu paruh panjang, dan dapat
menembus sawar darah otak (Level IB].69
Preparat morfin yang sering diberikan neuroaksial, seperti diamorfin, fentanil,
sufentanil atau hidromorfon; bertujuan memodulasi reseptor opioid pre- dan
pascasinaptik di kornu dorsalis medula spinalis, serta memberikan perbaikan Minis
hingga 10-30%. Komplikasi fatal bisa terjadi apabila menembus duramater dan masuk
cairan serebrospinalis (CSS) menyebabkan retensi urin atau menekan fungsi pernapasan.
Dosis pemberian intratekal dan epidural memiliki perbedaan, yaitu 1
intratekal:10 epidural: 100 intravena/subkutan atau 300 per oral. Preparat anestetik
lokal dosis rendah (30-60mg/day) bersifatmemblokade kanal Na2+ dan menurunkan
transmisi nyeri, serta bisa dikombinasikan dengan morfin. Preparat lain yang juga
bisa diberikan adalah alfa-2 agonis yang bekerja di serabut saraf aferen pre- dan
pascasinaps di kornu dorsalis dan ganglion simpatis, serta menurunkan pelepasan
neurotransmiter (SP, CGRP) seperti klonidin, midazolam, atau ketamin.10
Efek samping opioid berupa gangguan saluran cerna (konstipasi, mual, muntah],
susunan saraf pusat (gangguan kognitif, hiperalgesia, alodinia, mioklonik), depresi
pernapasan, pruritus, mulut kering, retensio urin, hipogonadisme, dan depresi sistem
imun. Secara garis besar manajemen efek sampingnya terdiri dari profilaksis atau inform
consent sebelumnya, menurunkan dosis opioid dengan terapi adjuvan, pemberian terapi
simtomatik, dan mengganti dengan preparat opioid lain (Tabel 19.1).6

Pada penderita yang mengalami efek samping konstipasi pascapemberian opioid,


maka bisa diberikan preparat PAMORA {peripherally acting mu-opioid receptor
antagonists), misalnya naloxegol per oral.6 Gambar 19.3 menunjukkan algoritma
penyesuaian dosis opioid serta dosis ekuivalen masong-masing jenis opioid (Tabel 19.1).
Manajemen radioterapi menunjukkan efikasi klinis yang baik (Level 1A). Dosis
yang diberikan untuk menurunkan keluhan nyeri bisa bermacam-macam (misalnya:
10x300cGy, 6x400cGy atau 5x400cGy), dan dengan pemberian 8Gy secara tunggal
juga memberikan hasil optimal serta kemungkinan intoksikasi minimal (Level
1A). Manajemen psikologis penderita nyeri kanker, antara lain cognitive behavioral
therapy (CBT), hipnoterapi, yoga, musik, atau meditasi (Level 1A-2B). Keluhan nyeri
dan faktor psikologis emosional merupakan rangkaian lingkaran yang saling terkait,
seperti/atzgue, gangguan tidur, anoreksia, dan sebagainya.6
Manajemen nyeri kanker lainnya, yaitu intervensi nyeri atau invasif minimal,
berdasarkan kenyataan bahwa sekitar 10-20% penderita menunjukkan hasil yang
kurang memuaskan bahkan menjadi intractable dengan manajemen analgetik
berdasarkan WHO. Pada prinsipnya manajemen intervensi nyeri ini bertujuan
menghambat impuls nyeri, memodulasi impuls nyeri, ataupun merusak serabut saraf
dan/atau beserta ganglionnya. Penderita nyeri intractable (termasuk nyeri kanker)
yang tidak memberikan hasil memuaskan dengan terapi opioid, maka intervensi nyeri
merupakan pilihan alternatifnya.
Blok saraf perifer dilakukan dengan denervasi atau neurolisis secara kimiawi.
Injeksi neurolisis bertujuan untuk memblokade impuls nyeri hingga merusak serabut
sarafnya (denervasi), khususnya bagi pasien dengan nyeri berat atau intraktabel.
Prosedur ini merupakan pengembangan dari teknik blok saraf dengan preparat
anestesi lokal, menjadi alkohol 50-100% atau fenol 6-10%. Misalnya, blok interkosta,
paravertebra, pleksus brakialis, atau ganglion gasseri. Blok saraf otonom ditujukan
memblokade serabut aferen dari organ-organ viseral, sehingga bisa mengurangi nyeri.
Neurolisis pleksus seliakus untuk penderita kanker pankreas, pleksus hipogastrikus
superior, dan ganglion impar untuk nyeri daeral pelvis dan perineum.
Infus neuroaksial adalah manajemen nyeri dengan memberikan opioid, anestetik
lokal, klonidin (untuk nyeri neuropatik), atau zikonotid melalui intratekal atau epidural
dengan dosis 1% dari pemberian per oral (Level 2B). Akan tetapi karena kemungkinan
komplikasi yang timbul, seperti disestesia, paralisis, dan gangguan miksi atau defekasi,
maka saat ini dipergunakan metode krioanalgesia atau modulasi dengan radiofrekuensi
(RF) ablasi. RF ablasi merupakan manajemen blok impuls nyeri dengan cara merusak
serabut, pleksus, ataupun ganglion saraf dengan memanaskannya. Metode ini bisa
niemberikan perbaikan klinis nyeri hingga 6 bulan-2 tahun (Level 3C).
Krioanalgesia menggunakan gas bersuhu -75°C untuk menghasilkan gumpalan
es di sekitar serabut sarafnya. Adapun prosedur dengan generator RF adalah untuk
menghasilkan medan elektromagnetik di sekitar serabut saraf, sehingga impuls
nyerinya terhalang. Pada penggunaan RF dengan temperatur 42-45°C serabut saraf
mengalami regenerasi kembali, dan dengan suhu di atas 70°C akan terjadi kerusakan
saraf secara permanen. Secara klinis bisa memberikan perbaikan nyeri selama 6 bulan
hingga 2-3 tahun, tergantungpada derajatdan etiologi nyerinya.10 Komplikasi prosedur
tindakan ini bisa bersifat ringan (diare, hipotensi, nyeri punggung, disestesia) hingga
berat (paresis atau plegi, penetrasi aorta, atau iskemik arterial spinalis anterior).1013
Vertebroplasti/kifoplasti diberikan pada nyeri kanker yang disebabkan
proses osteolosis atau fraktur korpus vertebra, dengan memasukkan material
semen (Gambar 19.4) pengganti komponen tulang yang keropos (Level 3B). Pada
penderita nyeri kanker dengan lesi osteolisis, maka pemilihan manajemen nyeri
dengan radiofrekuensi (RF) ablasi memberikan hasil yang optimal. Elektroda jarum
yang diletakkan bekerja dengan cara menghasilkan lesi nekrotik koagulatif, dengan
metode pemanasan pada suhu 70-75°C selama 60-120 detik.
Teknik krioablasi adalah dengan menggunakan gumpalan es untuk memblok
sarafnya (Level 3C).6 Prosedur invasif minimal nyeri pada kasus metastasis ke tulang
yaitu dengan memasukkan semen ke dalamnya [cementoplasty) dan asetabuloplasti,
baik dengan atau tanpa disertai radiofrekuensi (RF) ablasi. Pada tulang vertebra
dikenal sebagai vertebroplasti atau kifoplasti, dengan memasukkan balon semen
melalui pedikel vertebra dan kemudian memasukkan material semen polymethyl
methacrylate. Prosedur ini bisa mengurangi keluhan nyeri hingga 87-92%, bisa
disebabkan stabilisasi mikrostruktur tulang, atau sel-sel kanker yang rusak akibat
sitotoksik atau efek termal, atau sirkulasi ke jaringan kanker yang dihambat.10
Kordotomi merupakan prosedur tindakan yang bertujuan memblokade jaras
spinotalamikus di bagian anteriolateral medula spinalis di distal segmen C5 dengan RF
ablasi termal. Berdasarkan mekanisme blokade jaras spinotalamikus (anterolateral)
nyeri dan suhu dari lamina II Rexes ke lamina IV, V, dan VI. Serabut sarafnya terletak
setinggi level C2, diantara ligamentum dentata di sisi dorsal dan garis potong dari
bagian medial kornu ventralis (Gambar 19.5). Prosedur ini bisa menurunkan keluhan
nyeri hingga 40-70% pada 6-12 bulan kemudian.1012
Stimulator medula spinalis (SMS) merupakan prosedur tindakan menempatkan
elektroda di kornu dorsalis medula spinalis yang berdasarkan teori Gate Control dari
Melzack dan Wall, yaitu mengontrol transmisi serabut saraf C (tak bermielin) dan A
delta (bermielin). Impuls ini berakhir di substansia gelatinosa di kornu dorsalis dan
selanjutnya diteruskan ke proksimal melalui medula spinalis. Sensasi raba dan getar
yang diatur oleh serabut besar A akan dihambat [gate close), sedangkan transmisi
nyeri dari serabut kecil C tetap berfungsi, sehingga menyebabkan analgesia (blok
jaras spinotalamikus ipsilateral).1012
XIX.6. Kesimpulan
Nyeri kanker merupakan keluhan yang seringkali ditemui, baik pada stadium
awal maupun terminal suatu kanker. Nyeri tersebut bisa berkaitan dengan kerusakan
jaringan yang terjadi maupun efek kemoterapinya. Prinsip manajemen nyeri yang
diberikan bertujuan untuk memberikan rasa nyaman dan meminimalkan efek-efek
samping terapinya akibat pemberian opioid jangka lama dan dosis tinggi.
Daftar Pustaka
1. Ripamonti CI, Santini D, Maranzano E, Berti M, Roila F. Management of cancer pain: ESMO Clinical
Practice Guidelines. Ann Oncol. 2012;23[Supl 7):viil39-54.
2. Falk S, Bannister K, Dickenson AH. Cancer pain physiology. Br J Pain. 2014;8(4):154-62.
3. Schmidt BL. The neurobiology of cancer pain. Neuroscientist. 2014;20(5]:546-62.
4. Daeninck P, Gagnon B, Gallagher R, Henderson JD, Shir Y, Zimmermann C, dkk. Canadian
recommendations for the management of breakthrough cancer pain. Curr Oncol. 2016;23 (2) :96-108.
5. Manyh PW, Clohisy DR, Koltzenburg M, Hunt SP. Molecular mechanisms of cancer pain. Nature
Revews. 2001;2:201-9.
6. Jara C, Del Barco S, Gravalos C, Hoyos S, Hernandez B, Munoz M, dkk. SEOM clinical guideline for
treatment of cancer pain (2017). Clin Transl Oncol. 2018;20:97-107.
7. Richardson JD. Cannabinoids modulate pain by multiple mechanisms of action. J Pain.
2000;1(1):2-14.
8. Fine PG, Rosenfeld MJ. Cannabinoids for neuropathic pain. Curr Pain Headache Rep.
2014;18[10):451.
9. Chung KC, Barlev, Braun AH, Qian Y, Zagari M. Assessing analgesic use in patients withadvanced
cancer: development of a new scale—the analgesic quantification algorithm. Pain Med.
2014;15(2):225-32.
10. De-Courcy JG. Overview interventional techniques for cancer pain management. Clin Oncol.
2011;23(6):407-17.
11. Miguel R. Interventional treatment of cancer pain: the fourth step in the world health organization
analgesic ladder? Cancer Control. 2000;7(2):149-56.
12. Raj PP, Lou L, Erdine S, Waldman SD, Racs G, Hammer M, dll. Interventional pain management:
image-guided procedures. Philadelphia: Elsevier; 2008.
13. Breivik H, Cousins MJ, Lofstrom JB. Sympathetic neural blockade of upper and lower
extremity. In: Cousins MJ, Bridenbaugh PO, eds. Neural Blockade in Clinical Anesthesia
and Management of Pain. 3rd ed. Philadelphia, Pa: Lippincott-Raven Publishers;
1998:413),
14. Paice JA, Bell R F, Kalso E A, Soyannwo A O (Ed.s). Cancer Pain: from Molecules to
Suffering. Seattle: International Association for the Study of Pain. IASP Press, 2010
PERAWATAN KRITIS PADA TUMOR OTAK
Retnaningsih

XX.1. Pendahuluan
Terapi di bidang neuro-onkologi berkembang lebih baik terutama kemajuan
dalam manajemen terapi (reseksi tumor, kemoterapi, serta radioterapi). Manajemen
di intensive care unit (ICU) yang mendukung disfungsi organ dan perawatan suportif
menghasilkan perbaikan besar pada keluaran pasien neuro-onkologi. Sebagai
akibatnya, jumlah pasien neuro-onkologi yang membutuhkan ICU meningkat.12 Hal
ini memberikan kontribusi pada peningkatan tingkat kelangsungan hidup. Neuro-
onkologi mencakup diagnosis dan pengelolaan tumor SSP, kanker sistemik dengan
metastasis ke sistem saraf, sindrom neurologis paraneoplastic dan komplikasi
neurologis dari terapi. Metastasis meliputi metastasis parenkim otak, metastasis
leptomeningeal, metastasis dural atau epidural, atau metastasis ke sistem saraf
perifer. Sindrom paraneoplastik, merupakan hasil dari interaksi antara kanker dan
sistem imun pejamu. Pasien neuro-onkologi yang dirawat di ICU hanya mewakili 2,6%
pasien neuro-onkologi dengan tingkat kematian di ICU sebesar 22%. Angka mortalitas
ini relatif rendah dibandingkan dengan pasien kanker lainnya, yakni mendekati 50%.2

Individu dengan kondisi neuro-onkologi berisiko terhadap komplikasi neurologis


yang serius. Pasien ini, yang memiliki diagnosis neuro-onkologi baik primer atau
metastasis, membutuhkan perawatan akut dan darurat serta memerlukan perawatan
intensif di ICU. Pasien neuro-onkologi yang memerlukan perawatan ICU antara lain
untuk pemulihan pascaoperasi [57%], kegagalan pernapasan yang membutuhkan
intubasi dan ventilasi mekanis (15%), infeksi dan sepsis (10%), perdarahan, dan
keadaan darurat onkologi. Kegagalan pernapasan akut pada pasien kanker biasanya
merupakan konsekuensi dari pneumonia, sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS),
perdarahan alveolar difus, emboli paru, aspirasi, dan/atau penyakit itu sendiri dengan
atau tanpa obstruksi saluran napas. 3

Skor prognosis untuk pasien neuro-onkologi di ICU telah dikembangkan untuk


memfasilitasi kebijakan penerimaan di ICU. Skor keparahan penyakit yang paling sering
digunakan antara lain: Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II (Tabel
20.1) dan Simplified Acute Physiology score (SAPS) II. Sequential Organ Failure Assessment
(SOFA) berguna untuk mengevaluasi angka dan keparahan kegagalan organ sebagai faktor
prognosis utama pada pasien neuro-onkologi yang kritis. Indikasi masuk perawatan ICU
adalah pasien dengan angka kemungkinan kegagalan organ yang paling rendah.4

Ahli neuro-onkologi dan ahli bedah onkologi harus dilatih kemampuan klinisnya
agar tidak hanya meminta perawatan di ICU ketika pasien telah membutuhkan
vasopresor, ventilator mekanik, mengalami kegagalan organ yang multipel, atau
saat terapi paliatif adalah satu-satunya pilihan terapi. Hal ini untuk menekan angka
kematian pasien kanker di ICU dan untuk memprediksi tingkat kegagalan organ lebih
awal yang akan berdampak pada keluaran pasien.

Indikasi penanganan di ICU antara lain:


1. Pasien dengan kondisi kritis yang masih memungkinkan kembali normal.
2. Pasien yang dengan mempertimbangkan prognosis jangka panjang secara
onkologi dapat diberikan terapi yang agresif dan memiliki potensial risiko.
3. Pasien yang bersangkutan tidak menolak perawatan intensif.5
Intervensi awal pada pasien neuro-onkologi yang mengalami kondisi kritis oleh
tim ICU yang terlatih akan menurunkan mortalitas di RS, mengurangi angka kematian,
dan mengurangi lama rawat di ICU. Sebaliknya penundaan perawatan intensif menjadi
prediktor independen kematian pada pasien neuro-onkologi serta pada pasien
keganasan dengan syok. Banyak penelitian yang menekankan pentingnya perawatan
dini ICU, pengobatan agresif disfungsi organ, dan pencegahan kegagalan organ. Selain
itu sering diperlukan prosedur berisiko tinggi yang mempercepat diagnosis, seperti
bronkoskopi atau bronchoalveolar lavage pada pasien hipoksemia.5
XX.2. Kegawatan Pasien Tumor Otak di Ruang Rawat Intensif
Gagal napas akut {Acute Respiratory Failure/ARF)
Gagal napas akut merupakan penyebab paling umum kebutuhan perawatan
intensif untuk pasien neuro-onkologi. Insidensi ARF berkisar 10 hingga 50% pada
pasien dengan keganasan. Angka kematian pasien neuro-onkologi dengan perawatan
intensif yang membutuhkan ventilasi invasif makin hari makin menurun terutama
kegagalan pernapasan yang paling berat, yakni sindrom gangguan pernapasan akut
atau acute respiratory distress syndrome (ARDS).
Kegagalan pernapasan paling sering adalah hipoksia dengan kegagalan napas
akut atau acute respiratoryfailure (ARF), yaitu jika rasio Pa02/Fi02 <200. Prognosis
pasien dapat diprediksi dengan didapatkannya gangguan oksigenasi yang muncul dan
kegagalan sistem pernapasan yang segera terjadi berupa infiltrat, peningkatan laju
pernapasan, batuk, dahak, rales, nyeri thoraks, dan hemoptisis berhubungan dengan
peningkatan intubasi dan angka kematian. Strategi ventilasi non-invasif (VNI) adalah
langkah untuk menghindari intubasi dan mortalitas pada pasien imunosupresi.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa VNI efektif dalam meningkatkan
kelainan pertukaran gas, mengurangi kebutuhan untuk intubasi endotrakeal, dan
dengan demikian, meningkatkan keluaran pasien.56

Sepsis
Indikasi paling umum perawatan ICU pada pasien dengan kanker disebabkan
oleh infeksi sebagai akibat dari neutropenia yang diinduksi kemoterapi. Meskipun
perbaikan dalam pencegahan dan manajemen infeksi nosokomial, pasien dengan
kanker berisiko lebih tinggi menjadi sepsis berat dibandingkan pasien tanpa kanker.
Hampir setiap 10 pasien dengan kanker meninggal karena sepsis. Risiko pasien
keganasan untuk mengalami komplikasi sepsis meningkat hingga sepuluh kali jika
dibandingkan dengan pasien lain. Tingkat mortalitas di rumah sakit sebesar 43%
pada pasien neutropenia dengan sepsis berat atau syok septik. Sebaliknya sepsis
neutropenik meningkatkan angka kematian pada kasus disfungsi organ akut serta
infeksi paru atau jamur.6
Gangguan Elektrolit
Gangguan elektrolit pada pasien kanker dapat disebabkan oleh banyak hal.
Gangguan ini dapat terjadi akibat pengobatan kemoterapi, disfungsi ginjal, asupan
yang berkurang, atau dari faktor tumor itu sendiri seperti sindrom lisis tumor.78
Gangguan elektrolit yang terjadi seperti hiponatremia, hiperkalemia, hipokalsemia,
serta hiperpospatemia.
Hiponatremi merupakan gangguan elektrolit yang paling sering dijumpai pada
pasien kanker. Keadaan ini dapat menyebabkan komplikasi neurologis yang serius.
Keadaan hiponatremi bervariasi antara 3,7%-47% pasien yang dirawat karena
kanker. Hal ini dapat terjadi akibat asupan pasien yang menurun, mual-muntah yang
disebabkan oleh terapi, pemberian cairan yang berlebihan, atau gangguan pada
hormon antidiuretik. Keadaan yang cukup sering dijumpai pada pasien kanker adalah
syndrome inappropriate antidiuretic hormone (SIADH). Sindrom ini paling sering
dijumpai pada tumor-tumor padat terutama tumor otak, paru, payudara, dan kepala-
leher, serta tumor lainnya seperti keganasan endokrin, sarkoma, dan limfoma.7
Gangguan elektrolit yang terjadi dapat juga disebabkan oleh keadaan sindrom
lisis tumor. Keadaan ini dapat terjadi spontan atau pada inisiasi dari kemoterapi. Pada
saat dimulai kemoterapi, terjadi lisis pada sel kanker yang menyebabkan komponen
intraselular lepas kedalam darah. Hal ini termasuk kalium, fosfat, protein, dan asam
nukleat. Selanjutnya katabolisme dari asam nukleat akan menyebabkan terjadinya
hiperurisemia. Pelepasan kalium yang berlebihan dapat mengakibatkan hiperkalemia
yang merupakan keadaan mengancam nyawa bila tidak ditangani. Hal ini lebih
diperberat lagi bila pasien yang memiliki gangguan ginjal akibat penumpukan kristal
asam urat (hiperurisemia) pada tubulus ginjal.7
Keadaan hiperkalemia dapat menyebaban gangguan irama jantung, henti jantung,
serta kematian mendadak pada pasien. Selain hiperkalemia, dapat juga terjadi keadaan
hiperpospatemia dan hipokalsemia. Hiperpospatemia dapat juga menyebabkan
ii;itabilitas neuromuskular, gangguan irama jantung, serta kejang. Begitu pula dengan
hipokalsemia, pada kasus yang ekstrim dapat menyebabkan kram, tetani, serta kejang.7
Dalam menegakkan keadaan sindrom lisis tumor dapat menggunakan kriteria
laboratorium Cairo-Bishop (Tabel 20.2).7
Trombosis vena dalam dan emboli paru
Tromboemboli vena atau venous-thrombo-emboli (VTE], yang terdiri dari
trombosis vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT) dan emboli paru atau
pulmonary edema (PE), adalah masalah umum pada pasien sakit kritis akibat cedera
neurologis. Tumor otakyang memengaruhi sistem saraf pusat atau perifer juga dapat
menyebabkan aktivasi endotel dan meningkatkan trombosis. Selain itu, pembentukan
bekuan dan konsolidasi meningkat. Beberapa faktor berkontribusi terhadap risiko ini,
dengan peningkatan stasis vena dari kelumpuhan dan koma yang berkepanjangan.
Risiko kematian akibat VTE tinggi pada pasien tumor otak di unit perawatan
intensif. Hal ini disebabkan oleh peningkatan risiko stasis vena sekunder akibat
paralisis serta peningkatan prevalensi patologi yang mendasari yang menyebabkan
aktivasi endotel dan menciptakan peningkatan risiko pembentukan embolus serta
adanya risiko terkait perdarahan karena profilaksis VTE standar. Direkomendasikan
untuk memberikan profilaksis VTE pasien tumor otak dengan low molecular weight
heparin (LMWH) atau unfractionated heparin (UFH) saat rawat inap untuk pasien
dengan tumor otak yang memiliki risiko perdarahan rendah dan yang tidak memiliki
tanda-tanda konversi hemoragik.8 9

XX.3. Kedaruratan Sistem Saraf Pusat


Berbagai keadaan darurat pada tumor SSP yang membutuhkan penanganan
intensif akibat efek pada sistem saraf pusat antara lain efek massa, status epileptikus,
apopleksi pituitari/hipofisis, serta kompresi sumsum tulang belakang akibat
metastasis epidural. Ensefalitis Limbik yang memerlukan rawat inap dan kadang-
kadang menjadi penyakit kritis, dan biasanya disebabkan oleh reaksi antibodi yang
dimediasi terhadap tumor. Keadaan darurat lainnya di bidang neuro-onkologi terkait
pengobatan dari efek radiasi dan kemoterapi pada kasus yang parah juga dapat
mengakibatkan kedaruratan medis.5

Efek Massa dan Herniasi


Salah satu gejala yang lebih umum dari tumor intrakranial adalah efek massa baik
global atau regional. Reaksi peradangan di sekitar tumor intrakranial menyebabkan
edema vasogenik dan efek desak ruang. Sakit kepala terjadi sekitar 50% pada
keadaan ini. Nyeri kepala akibat peningkatan TIK timbul terutama di pagi hari dan
memburuk dengan batuk atau mengejan serta intensitas yang terus meningkat
hingga berbulan-bulan. Manifestasi awal sindrom herniasi regional adalah tingkat
kesadaran yang menurun. Mual atau muntah terutama terjadi pada lesi fosa posterior.
Lesi infratentorial memiliki risiko sangat tinggi menyebabkan hidrosefalus obstruktif
dengan gejala penurunan akut tingkat kesadaran, sakit kepala berat, dan sindrom
Parinaud (upward gaze paresis, konvergensi-retraksi nistagmus, pseudo-Argyll-
Robertson pupils, dan konjugasi downgaze).
Pengobatan lini pertama untuk efek massa simptomatik pada lesi massa
intrakranial adalah kortikosteroid dosis tinggi. Deksametason mengurangi edema
vasogenik dengan dosis awal lOmg IV diikuti oleh 4 mg setiap 6 jam. Deksametason
perioperatif diberikan sebelum intervensi bedah (misalnyabiopsi atau reseksi). Dalam
kasus dugaan limfoma CNS dengan efek massa yang signifikan, dapat diberikan garam
hipertonik atau manitol sebagai pengganti kortikosteroid untuk menghindari efek
steroid pada hasil biopsi. Setelah jaringan diperoleh, deksametason harus diberikan
untuk mengobati efek massa yang simptomatik. Penanganan sindrom herniasi akut
dilakukan dengan debulking atau dekompresi bedah, drainase ventrikel eksternal
cairan serebrospinal (CSS), atau ventriculoperitoneal shunt (VPS) pada hidrosefalus.68

Perdarahan intraserebral
Paling sering disebabkan oleh hipertensi, angiopati, atau tumor itu sendiri.
'Pemeriksaan MRI pada saat perdarahan dapat mengidentifikasi kecurigaan untuk
lesi massa intrakranial yang mendasari dan melihat edema perilesi yang ekstensif.
Pemeriksaan radiologi yang ditunda 6 sampai 12 minggu setelah perdarahan
awal dapat membantu melihat tumor yang mendasari. Manajemen perdarahan
intraparenkim tumor tidak berbeda secara signifikan dari perdarahan intraparenkim
spontan. Tatalaksanan ditujukan pada kontrol tekanan darah, perbaikan koagulopati,
manajemen edema perihematoma, dan kadang diperlukan tindakan bedah.

Kejang dan Status Epileptikus


Kejang merupakan gejala umum lesi massa intrakranial dan dapat berkembang
selama perjalanan penyakit. Kejang bervariasi secara substansial sesuai jenis dan
lokasi tumor. Kejang paling sering terjadi pada tumor neuroepitelial disembrioblastik
(hampir 100%), tumor otak ganas metastasis (20-35%), glioblastoma (29-49%),
dan limfoma (10%). Kejang umumnya dengan onset fokal yang berkembang menjadi
umum dan dapat menjadi status epileptikus (SE). Skrining berdasarkan riwayat
untuk ciri khas semiologi epilepsi fokal, seperti episode gangguan wicara, gangguan
lapangan pandang, atau gerakan motorik stereotipikal. Terapi obat antiepilepsi (OAE)
diindikasikan untuk kejang yang berhubungan dengan tumor otak. Penggunaan OAE
profilaksis untuk pasien dengan tumor otak tidak direkomendasikan. Sebagian besar
pasien dengan non-convulsive status epilepticus (NCSE) membaik dengan pengobatan.

Tumor intrakranial secara keseluruhan jarang menyebabkan SE (5-10%). Status


epileptikus berhubungan dengan rawat inap yang lama, perawatan di unit intensif, dan
komplikasi medis. Angka kematian sekitar 22% pada SE yang disebabkan oleh tumor
otak. Manajemen kejang karena tumor intrakranial sama dengan kejang akibat keadaan
lainnya, yakni dengan pemberian benzodiazepin, OAE intravena (IV), dan agen anestesi
umum. Algoritma tata laksana SE pada tumor otak juga sama seperti SE karena etiologi
lainnya. Pada individu yang aktif menerima kemoterapi untuk kanker sistemik, penting
untuk menentukan apakah ada interaksi dengan obat yang digunakan untuk mengobati
SE. OAE yang merupakan penginduksi isoenzim di jalur sitokrom P450 hati seperti
fenitoin, karbamazepin, dan fenobarbital mengurangi tingkat sirkulasi deksametason.
Beberapa agen antineoplastik vinca (vinristine, vinblastin), taxanes (paclitaxel,
docetaxel), dan metotreksat berkurang dengan paparan bersamaan terhadap OAE
yang memicu enzim. Vinca alkaloid, cisplatin, atau carboplatin juga menurunkan
konsentrasi serum fenitoin. Sebaliknya, asam valproat adalah inhibitor CYP2C9,
secara substansial meningkatkan kadar nitrosoureas, cisplatin, dan etoposide serta
meningkatkan insidensi toksisitas sumsum tulang terkait kemoterapi.14
Bila memungkinkan, pilihan OAE yang tidak berinteraksi dengan kemoterapi.
Namun, pada kondisi status epileptikus keharusan untuk secara medis menghentikan
aktivitas kejang dengan pemberian terapi anti kejang lebih diutamakan daripada
risiko interaksi obat. Pada epilepsi refrakter dipertimbangkan reseksi bedah.

Apopleksi Hipofisis1"
Merupakan kondisi yang jarang akibat dari ekspansi yang cepat dari kelenjar
hipofisis. Sering terjadi karena perdarahan atau infark adenoma hipofisis yang sudah
ada sebelumnya. Beberapa presipitan termasuk kehamilan, operasi, dan trauma
kepala. Seringkali gejala berkembang pada individu tanpa riwayat adenoma hipofisis
sebelumnya dan kira-kira 60% tidak ada penyebab/pencetus yang dapat diidentifikasi.
Sindrom apopleksi hipofisis ditandai dengan sakit kepala berat, kesadaran menurun,
defisit dan gangguan visual, serta mual muntah. Jika apopleksi hipofisis yang tidak
dikenali atau tidak diterapi dapat menyebabkan kehilangan penglihatan permanen,
hipohipofisisme, dan neuropati saraf kranial.
Manajemen awal keadaan ini adalah konfirmasi dengan MRI kepala dan penilaian
endokrinologi. Untuk mencegah krisis adrenal diberikan hidrokortison lOOmg IV.
Pedoman dari Society for Endocrinology termasuk algoritma untuk manajemen
apopleksi pituitari dengan menggunakan Pituitary Apoplexy Score (Tabel 20.3) yang
membantu untuk mengidentifikasi derajat keparahan kasus dan intervensi bedah
serta sebagai evaluasi pascaintervensi (Gambar 20.1).68
Metastasis Epidural dan Penekanan Medula Spinalis (MESKC)
Penekanan pada medula spinalis dan metastasis epidural merupakan komplikasi
serius dari kanker sistemik, dilaporkan terjadi pada 5% individu dengan kanker. Hal
ini paling sering akibat metastasis tulang dari prostat, paru-paru, payudara, dan ginjal.
Nyeri punggung adalah gejala awal yang paling umum, diikuti oleh kelemahan, disfungsi
otonom, dan kehilangan fungsi sensoris. Umumnya lesi berada pada vertebra thorakalis.
Konfirmasi diagnostik dini dan intervensi sangat penting, MRI adalah modalitas yang
paling sensitif, meskipun perubahan dapat jelas pada radiografi polos atau CT tulang
belakang. Gambaran radiologi dapat berupa edema medula spinalis, fraktur kompresi
vertebra metastasis, massa epidural atau paraspinal fokal, dan deposit dari pedikel
vertebra, berhubungan dengan penyebab keganasan yang mendasari. 1115
Manajemen awal kompresi epidural dengan deksametason dosis tinggi [96mg IV]
sebagai dosis awal, diikuti dengan 24mg setiap 6 jam. Untuk individu tanpa defisit
neurologis atau dengan defisit neurologis ringan, dosis lOmg diikuti oleh 4mg setiap 6
jam. Intervensi bedah dilakukan dalam waktu kurang dari 24 jam sejak saat diagnosis,
diikuti oleh radiasi tulang belakang regional. Pengobatan definitif membutuhkan
dekompresi bedah diikuti oleh terapi radiasi atau terapi radiasi saja.9

XX.4. Kegawatan Neurologi yang Berhubungan dengan Terapi Keganasan


Nekrosis radiasi {pseudoprogressiori) adalah konsekuensi serius akibat radiasi
yang terjadi pada 20% glioma derajat tinggi yang mendapatkan kemoradiasi.
Sering terjadi pada dosis radiasi lebih dari 50Gy, baik radiasi fraksinasi atau radiasi
stereotaktik. Klinis pasien bergantung pada lokasi tumor serta beratnya edema dan
massa. Gejala klinis dapat berupa sakit kepala, penurunan kesadaran, dan defisit
neurologis fokal. Toksisitas radiasi subakut biasanya memuncak dalam 12 minggu
pascaterapi.

Selain radiasi, terdapat efek samping neurologis dari agen kemoterapi, seperti
ensefalopati dan neuropati perifer. Status kekebalan individu dan adanya infeksi
SSP dapat terjadi karena pasien kanker seringkali secara fungsional mengalami
imunosupresi sebagai akibat dari perawatan aktif untuk kanker atau keganasan itu
sendiri. Oleh karena jumlah agen kemoterapi dan biologis baru meningkat, begitu
juga potensi interaksi obat-obat dan efek samping neurologis.11
XX. 5. Perawatan Akhir Kehidupan
Keputusan end of life pasien neuro-onkologi harus didasari oleh prinsip-prinsip
etika dan pertimbangan situasi klinis. Terdapat 5 domain perawatan paliatif, yakni
kontrol nyeri yang adekuat, kontrol gejala, pemanjangan usia harapan hidup yang
berkualitas, menghilangkan beban, dan memperkuat hubungan dengan orang yang
dicintai. Dengan meningkatnya jumlah kasus kanker terutama tumor otak dan
meningkatnya kemampuan bertahan hidup pada pasien kanker, maka perlu dilakukan
perawatan paliatif yang lebih baik pada bidang neuroonkologi.1517
Integrasi perawatan paliatif di ICU memiliki peran penting dalam meningkatkan
kualitas perawatan yang disediakan. Kehadiran seorang spesialis perawatan paliatif di
ICU dapat membantu dalam kenyamanan pasien, dukungan psikososial, pengambilan
keputusan bersama, dan kesinambungan perawatan. Peran perawat sangat penting
dalam mengintegrasikan perawatan paliatif ke dalam praktik perawatan kritis.
Keterlibatan dalam manajemen gejala, penguatan komunikasi, pengambilan
keputusan pasien/keluarga, serta memastikan bahwa kebutuhan pasien dan keluarga
terpenuhi.1213

XX.6. Kesimpulan
Identifikasi dan pengelolaan kedaruratan dan perawatan intensif kasus
neuronkologi membutuhkan penalaran klinis, lokasi neuroanatomi, dan kesadaran
akan potensi sindrom klinis. Pengenalan dan tindakan cepat dapat mengurangi
disfungsi neurologis, sehingga mengarah pada terapi yang tepat. Penting untuk
menilai triase pasien kanker kritis yang akan diterima di ICU. Setelah diterima, mereka
harus diberi kesempatan untuk mendapat dukungan ICU penuh (dengan atau tanpa
resusitasi jantung paru), namun tidak termasuk pemberian kemoterapi.
Namun jika tidak ada manfaat yang mungkin dari perawatan apa pun, tim dokter
multidisiplin harus memberi tahu pasien dan/atau keluarga untuk memutuskan
membatasi terapi yang mempertahankan hidup, sehingga perawatan pasien menjadi
paliatif untuk meringankan pasien, keluarga, dan pengasuh, dari segala rasa sakit dan
ketidaknyamanan. Diperlukan kolaborasi yang erat antara onkologis dan intensivis
untuk pengenalan dan pengambilan keputusan tersebut.
Daftar Pustaka
1. Shimabukuro-Vornhagen A, Boll B, Kochanek M, Azoulay E, Von-Bergwelt-Baildon MS. Critical
care of patients with cancer. CA Cancer J Clin. 2016;66(6]:496-517.
2. Silvio A. Opening the doors of the intensive care unit to cancer patients: a current perspective.
World J Crit Care Med. 2015;4(3):159.
3. Bird GT, Farquhar-Smith P, Wigmore T, Potter M, Gruber PC. Outcomes and prognostic factors
in patients with malignancy admitted to a specialist cancer intensive care unit: a 5 yr study. Br J
Anaesth. 2012;108(3):452-9.
4. Tabouret E, Boucard C, Devillier R, Barrie M, Boussen S, Autran D, dkk. Neuro-oncological
patients admitted in intensive-care unit: predictive factors and functional outcome. J Neurooncol.
2015;127(1):1-10.
5. SKhellongowski P, Kiehl M, Kochanek M, Staudinger T, Beutel G. Intensive care for cancer patients.
An interdiSKiplinary challenge for cancer specialists and intensive care physicians. Memo.
2016;9(l):39-44.
6. Lin AL. Neurologic emergencies in the patients with cancer diagnosis and management. J
Intensive Care Med. 2015;32(2):99-115.
7. Pi J, Kang Y, Smith M, Earl M, Norigian Z, McBride A. A review in the treatment of oncologic
emergencies. J Oncol Pharm Pract. 2016;22(4):625-38.
8. DeAngelis LM, Posner JB, Posner JB. Neurologic complications of cancer. Edisi ke-2. Oxford:
Oxford University Press; 2009.
9. Nateghinia S, Kazemi MA, Sepehri MM, Goharani R. Better ICU management by analysis of
clinical profile and outcomes of neuro-critical patients in neurocritical care unit. Arch NeuroSKi.
2018;5[l):e61648.
10. Rajasekaran S, Vanderpump M, Baldeweg S, Drake W, Reddy N, Lanyon M, et al. UK guidelines for
the management of pituitary apoplexy Pituitary Apoplexy Guidelines Development Group: May
2010. Clin Endocrinol (Oxf). 2011;74(l):9-20.
11. Pahuta M, Frombach A, Hashem E, Spence S, Sun C, Wai EK, dkk. The psychometric properties of a
self-administered, open-source module for valuing metastatic epidural spinal cord compression
utilities. Pharmacoecon Open. 2018;2018:1-8.
12. Joubert B, Honnorat ]. Autoimmune channelopathies in paraneoplastic neurological syndromes.
Biochim Biophys Acta. 2015;1848(10):2665-76.
13. Nolan CP, Deangelis LM. Neurologic complications of chemotherapy and radiation therapy.
Continuum (Minneap Minn). 2015;21(2 Neuro-oncology) :429-51,
14. Shimabukuro-Vornhagen A, Boll B, Kochanek M, Azoulay E, Von-Bergwelt-Baildon MS. Critical
care of patients with cancer. CA Cancer J Clin. 2016;66(6):496-517.
15. Parikh RB, Kirch RA, Smith TJ, Temel JS. Early specialty palliative care translating data in oncology
into practice. N Engl J Med. 2013;369(24):2347-51.
, 16. Manrique-Guzman. Patient empowerment in neuro-oncology: new perspec-tives on an emerging
concept. Insights Neurooncol. 2017;1(1):6-14.
17. Mummudi N, Jalali R. Palliative care and quality of life in neuro-oncology. FlOOOPrime Rep.
2014;6:71.
KOMPLIKASI NEUROLOGIS RANKER SISTEMIK
Tiara Aninditha

XXI. 1. Kondisi Hiperkoagulasi Pada Ranker


Pendahuluan
Salah satu komplikasi yang sering ditimbulkan oleh keganasan adalah keadaan
hiperkoagulasi. Keganasan menyebabkan gangguan hemostasis sebanyak 90% dan
merupakan penyebab kematian kedua setelah keganasan itu sendiri. Keganasan
terbanyak yang berhubungan dengan trombosis berasal dari payudara, kolon, dan
paru, sesuai dengan seringnya tumor tersebut di populasi. Namun, jika disesuaikan
dengan prevalensi penyakitnya, keganasan yang berhubungan bermakna dengan
trombosis adalah pankreas, ovarium, dan otak. Penelitian Budikayanti dkk di
Departemen Neurologi FKUI/RSCM (2008) mendapatkan pada pasien dengan tumor
di susunan saraf pusat, 93% mengalami keadaan status hiperkoagulasi.13
Hubungan antara keganasan dan hemostasis pertama kali diperkenalkan oleh
seorang dokter Perancis, Armand Trosseau (1865]. Oleh karena itu muncul istilah
Sindrom Trosseau, yaitu hubungan antara gangguan koagulasi pada penderita
keganasan. Hubungan ini bersifat 2 arah. Pertama, pasien-pasien kanker mempunyai
risiko mengalami keadaan trombosis lebih tinggi dari pada yang nonkanker.
Sebaliknya, tromboemboli vena atau venous thromboembolism (VTEJ yang idiopatik
ternyata merupakan gejala awal dari kanker yang asimtomatik.4,5,6
Selain sebagai komplikasi, aktivasi hemostasis sebenarnya merupakan bagian
dari pertumbuhan dan invasi tumor. Hal ini berdasarkan temuan bahwa trombus
yang membungkus jaringan tumor merupakan bagian dari proses metastasis tumor
tersebut. Sel tumor membentuk stromanya dengan mengaktivasi faktor-faktor
koagulasi menjadi tumpukan fibrin. Selanjutnya fibrin akan menyediakan diri
sebagai matriks ekstrasel untuk sel tumor yang baru terbentuk, sel-sel inflamasi, dan
pembuluh darah yang masih baru. Tidak seperti proses penyembuhan luka yang akan
berhenti setelah perbaikan jaringan, sel tumor akan terus mengaktivasi tumpukan
fibrin yang kemudian akan diganti menjadi stroma yang sebenarnya. Oleh karena itu,
tumor dijuluki sebagai 'luka yang tidak sembuh' {wounds that do not heal).7
Koagulopati merupakan gangguan proses koagulasi yang dapat ditandai oleh
abnormalitas parameter hemostasis hingga manifestasi klinis berupa trombosis
dan perdarahan. Pada 90% pasien tumor yang mengalami metastasis, ditemukan
abnormalitas parameter hemostasis tanpa manifestasi trombosis.489 Sesuai dengan
prevalensi tumor tersering pada populasi, keganasan yang sering dikaitkan dengan
trombosis adalah tumor payudara, kolon, dan paru.11"15 Literatur lain menyatakan
bahwa pasien dengan tumor otak, paru, gaster, pankreas, ginjal, dan uterus memiliki
insidens VTE tertinggi dalam waktu 1 tahun.16 Adapun pasien keganasan dengan VTE
memiliki mortalitas 2,2 kali lipat lebih tinggi.17

Patogenesis
Pada prinsipnya, sistem hemostasis terdiri dari tiga komponen utama, yaitu
hemostasis primer, hemostasis sekunder, dan fibrinolisis, yang kesemuanya bertujuan
untuk menghentikan perdarahan. Hemostasis primer merupakan respons pertama
terhadap kerusakan dinding pembuluh darah yang bertujuan untuk membentuk sumbat
trombosit.18'19 Adapun hemostasis sekunder adalah pembentukan sumbat fibrin melalui
aktivasi jalur koagulasi. Komponen yang berperan penting yakni tissue factor (TF) dan
faktor-faktor koagulasi. Dalam hal ini, TF merupakan inisiator utama kaskade koagulasi
(Gambar 20. I).20 Hasil akhir dari proses koagulasi ini adalah terbentuknya benang-
benang fibrin yang jika sudah tidak dibutuhkan akan berakhir dengan proses fibrinolitik
Patogenesis keadaan protrombosis pada keganasan bersifat kompleks dan
multifaktorial melibatkan sel tumor dan penjamu. Sel tumor berperan dalam
memproduksi faktor-faktor prokoagulan, sedangkan penjamu melalui respons
inflamasi. Proses koagulasi ini sebenarnya hanya untuk kepentingan sel tumor, namun
kadang reaksinya berlebihan sehingga memicu ketidakseimbangan hemostasis dan
menyebabkan VTE.21

Sel tumor melepaskan prokoagulan yang dapat memicu agregasi trombosit


dan terlibat langsung dalam pembekuan darah dengan melibatkan sitokin yang
memodulasi respons endotel dan inflamasi. Prokoagulan yang dilepaskan dan
berperan sangat penting adalah TF, suatu reseptor permukaan dan kofaktor aktivasi
faktor VII (FVIIJ, inisiator utama pada kaskade koagulasi yang menghasilkan trombin.
Trombin akan mengkatalisasi perubahan fibrinogen (yang mungkin merembes dari
pembuluh darah yang bocor ke jaringan tumor) menjadi fibrin dan bersama faktor XIII
mengubah fibrin menjadi matriks gel fibrin. Oleh karena itu, TF diduga merupakan
penyebab sindrom Trosseau karena kadarnya ditemukan tinggi pada berbagai
keganasan, serta berhubungan bermakna dengan adanya VTE.2224 Adapun sitokin
inflamasi yang dilepaskan oleh sel tumor, seperti TNF-a dan IL-ip akan mengubah
sistem antikoagulan sel endotel, sehingga lebih bersifat protrombotik, dengan antara
lain mengekspresikan TF.4'25
Untuk menunjang pertumbuhannya, sel tumor akan meningkatkan proses
angiogenesis, yaitu pencabangan dan pembentukan pembuluh darah baru dari
pembuh yang sudah ada. Adanya keadaan hipoksia akibat pertumbuhannya yang
cepat, akan memicu penglepasan VEGF. Selain merangsang pertumbuhan endotel
yang baru, VEGF merangsang terbentuknya TF dan kemotaktik bagi makrofag dan
sitokin seperti IL-8. IL-8 merupakan sitokin proangiogenikyang disekresi oleh endotel
dan akan meningkat jika terdapat bekuan fibrin. TF juga berperan dalam regulasi
pembentukan VEGF. Hal ini membuktikan bahwa, proses koagulasi dibutuhkan dalam
proses angiogenesis yang sangat penting bagi sel tumor.722

Sel tumor berinteraksi dengan endotel pembuluh darah secara langsung dan
tidak langsung. Mekanisme tidak langsung adalah melalui perantara sitokin inflamasi
yang disekresi sel tumor untuk menekan keadaan antitrombotik yang dipertahankan
secara alamiah oleh endotel dalam menjaga aliran darah. Adapun mekanisme langsung
adalah perlekatan sel tumor ke endotel atau ke matriks ekstrasel untuk memfasilitasi
migrasi dan ekstravasasi sel tumor ke tempat lain. Perlekatan sel tumor di dinding
pembuluh darah ini akan memicu aktivasi bekuan dan trombus setempat. 21

XXI. 1.1. Peran Koagulasi pada Pertumbuhan Tumor


Telah dijelaskan bahwa sistem hemostasis memengaruhi proses angiogenesis.
Pada keadaan normal, jika terjadi perlukaan jaringan, pembuluh darah yang rusak
akan segera tertutup oleh bekuan untuk mencegah perdarahan. Trombosit akan
teraktivasi untuk melekat di pinggiran luka, sebagai barikade yang selanjutnya
distabilkan oleh tumpukan fibrin. Bekuan ini akan menjadi kerangka bagi endotel
dalam berinvasi membentuk dinding pembuluh darah yang baru (Gambar 20.2). 26
Namun angiogenesis yang dipicu oleh sel tumor akan menghasilkan pembuluh
darah yang abnormal struktur dan permeabilitasnya. Dindingnya tidak stabil dan
sangat permeabel, sehingga mengakibatkan ekstravasasi fibrinogen dan faktor-faktor
koagulasi sehingga memicu terbentuknya bekuan di sekitar jaringan tumor. Bekuan
ini akan menjadi stroma yang baru bagi sel tumor yang akan membantunya untuk
terus tumbuh, berinvasi, dan bermigrasi ke pembuluh darah induk sehingga terjadi
proses metastasis.
, Pada pertumbuhan sel tumor, angiogenesis, dan aktivasi kaskade koagulasi,
komponen sistem fibrinolisis juga mengalami aktivasi. Proses ini ditujukan untuk
melarutkan sumbat fibrin yang meningkat menjadi bentuk akhir yang disebut fibrin-
degradation product (FDP] atau D-dimer.26 Peningkatan aktivitas fibrinolisis ini secara
global dideteksi dengan kadar D-dimer yang meningkat pada pasien keganasan.27
Kadar ini bervariasi menurut beberapa faktor tumoral, antara lain lokasi tumor, derajat
keganasan, dan metastasis. Terdapat korelasi positif antara stadium tumor dengan
kadar D-dimer (r=0,367 dan p=0,001]. Tumor padat dengan metastasis (stadium
IV], memiliki kadar D-dimer tertinggi dibandingkan dengan stadium di bawahnya.10
Kadar D-dimer juga meningkat pada 89% pasien tumor payudara dengan metastasis
dan hanya pada 30,5% pasien tanpa metastasis.28
Selain aktivasi faktor prokoagulan dan fibrinolitik oleh sel tumor, penderita
keganasan juga berpotensi mengalami trombosis akibat adanya kerusakan endotel
karena pemasangan alat-alat bantu, seperti infus, central venous catheter (CVC],
atau efek kemoterapi/radioterapi. Keadaan imobilisasi dan penekanan massa tumor
terhadap pembuluh darah dapat menyebabkan stasis yang semakin meningkatkan
risiko trombosis. Hal ini sesuai dengan prinsip Trias Virchow, bahwa ada 3 faktor yang
berperan terhadap trombosis, yaitu keadaan hiperkoagulasi, stasis aliran darah, dan
kerusakan endotel.21

XXI.1.2. Hiperkoagulasi pada Tumor SSP


Tumor SSP tersering yang menyebabkan keadaan hiperkoagulasi adalah
astrositoma dan meningioma. Otak merupakan salah satu organ yang memiliki
kadar TF yang tinggi.29 Terdapat peningkatan ekspresi TF pada area yang mengalami
nekrosis pada glioblastoma, sehingga trombosis intratumoral merupakan salah satu
karakteristik dari GBM.30 Studi Budikayanti dkk menunjukkan terdapat hubungan
bermakna antara hiperkoagulasi dengan jenis tumor SSP, yaitu peningkatan kadar
fibrinogen dan D-dimer pada tumor otak metastasis dibandingkan tumor otak primer.3
Pasien dengan tumor otak juga memiliki faktor-faktor yang berperan untuk
mengalami keadaan hiperkoagulasi; kebanyakan pasien mengalami defisit neurologis
yang menyebabkan pasien harus berbaring lama sebelum mendapatkan pengobatan.
Pasien tumor otak juga mengharuskan operasi kraniotomi, setidaknya untuk tindakan
biopsi, yang merupakan tindakan operasi mayor yang berisiko untuk menyebabkan
trombosis. Demikian pula radioterapi berisiko menyebabkan kerusakan endotel di
pembuluh karotis dan kemoterapi terhadap endotel di pembuluh darah sistemik. Itu
sebabnya diperlukan penanganan khusus terhadap komplikasi hiperkoagulasi pada
kasus tumor otak.
Tata Laksana
Pengobatan VTE pada pasien tumor SSP dilakukan dengan dua cara, yaitu filter
inferior vena cava (IVC) dan penggunaan obat-obat antikoagulan. Filter ini lebih jarang
digunakan akibat komplikasi yang lebih rumit termasuk morbiditas terkait prosedur,
seperti pneumotorak, infeksi, perdarahan, dan kerusakan dinding vena cava inferior.31
Oleh karena itu penggunaan antikoagulan meningkat dengan cara kerja yang berbeda-
beda (Gambar 21.3 dan Tabel 21.1) dengan usulan pendekatan pada Gambar 21.4.32

Gambar 21.3. Mekanisme Venous Thromboembolism (VTE) pada Pasien dengan Tumor Otak.32
Modalitas pengobatan farmakologis dan mekanik diindikasikan pada lokasi kerjanya. TF: tissue factor,
IVC: inferior vena cava.
Gambar 21.4. Pendekatan Pengobatan Awal Tromboemboli Vena (VTE) Pada Pasien Tumor Otak. (*)
Lihat Terapi Awal VTE. (t) Melanoma, karsinoma sel ginjal, koriokarsinoma, dan kanker tiroid
dianggap sebagai kontraindiksi relatif tergantung pada keadaan klinis pasien. (+) Perdarahan
akut ditandai dengan gambaran hiperdens pada CT-scan selama kurang lebih 10 hari; pada pasien
pascaoperasi, perdarahan pada daerah pembedahan adalah temuan radiografi yang umum dan
tidak menghalangi antikoagulasi. IVC: vena cava inferior; IV: intravena; LMWH: low molecular weight
Heparin.33
Prinsip penatalaksanaan hiperkoagulasi pada penderita keganasan mengikuti
panduan American Society of Clinical Oncology (ASCO):34
• Hampir seluruh penderita kanker yang dirawat di RS membutuhkan profilaksis
trombosis, namun tidak dianjurkan pada penderita rawat jalan.
• Pasien mieloma multipel yang mendapatkan agen anti-angiogenik dengan
kemoterapi dan/atau deksametason harus mendapatkan profilaksis trombosis
dengan low-molecular weight heparin (LMWH) atau aspirin dosis rendah untuk
mencegah tromboemboli vena.
• Pasien kanker yang akan menjalani pembedahan tumor harus mendapat
profilaksis trombosis sebelum pembedahan hingga 7-10 hari pascapembedahan.
Khusus pasien yang menjalani pembedahan abdomen atau pelvis dengan risiko
tinggi, pemberian profilaksis dapat dipertimbangkan diperpanjang hingga 4
minggu.
• LMWH dapat direkomendasikan selama 5-10 hari pada pasien dengan trombosis
vena dan emboli paru beserta pencegahan sekunder jangka panjang hingga
minimal 6 bulan.
• Antikoagulan tidak boleh digunakan untuk memperpanjang kesintasan pasien
kanker tanpa indikasi medis yang jelas.
• Pasien kanker harus dilakukan evaluasi risiko tromboemboli vena berkala.
Demikian pasien harus diedukasi terkait tanda dan gejala tromboemboli vena.
• Pemberian stoking kompresi ditambah enoxaparin dapat menurunkan kejadian
tromboemboli hingga 30-40%.
• Tidak ada perbedaan bermakna kejadian tromboemboli antara pemberian
Unfractionated heparin 5000 IU dan enoxaparin 40 mg.
• Regimen profilaksis tromboemboli:
o UFH : 5000 IU setiap 8 jam
o Dalteparin : 5000 IU setiap hari
o Enoxaparin : 40 mg/hari
o Fondaparinux : 2,5 mg/hari
• Penatalaksanaan tromboemboli:
o Inisial:
• Dalteparin : 100 IU/kgBB/12 jam
• Enoxaparin : 1 mg/kgBB/12 jam
• Heparin : 80 IU/kgBB bolus diikuti 18 IU/kgBB/jam
• Fondaparinux : 5mguntukBB <50kg, 7,5mguntukBB 50-100 kg, 10
mg untuk BB >100kg.
• Tinzaparin : 175 IU/kgBB/hari
o Jangka panjang:
• Dalteparin : 200 lU/kg BB untuk 1 bulan, kemudian 150 IU/kgBB
tiap hari
• Warfarin : 5-10 mg setiap hari, target INR 2-3

• Protokol pemberian antikoagulan sebelum operasi (Bridging Protocol):


o Warfarin:
• Hentikan Warfarin 4 hari sebelum operasi
•• Cek INR 1 hari sebelum operasi
• Jika INR <1,5 lanjutkan operasi
• Jika INR 1,5-1,8 pertimbangkan berikan vitamin K
• Jika INR >1,8 berikan vitamin K (lmg SK atau 2,5mg PO)
• Cek kembali INR pada hari operasi
• Inisiasi kembali dosis jangka panjang setelah operasi
• Berikan warfarin hingga INR 1,9
o UFH:
• Berikan dosis pencegahan paling tidak 2 hari sebelum operasi (80 IU/
' kgBB bolus diikuti 18 IU/kg BB/jam)
• Hentikan 6 jam sebelum operasi
• Inisiasi kembali maksimal 12 jam setelah operasi
• Berikan UFH hingga INR 1,9
o LMWH:
• Berikan dosis pencegahan paling tidak 2 hari sebelum operasi (enoxapa-
rin 1 mg /kgBB/12 jam atau Dalteparin 100 IU/kgBB/ 12 jam]
• Hentikan 12 jam sebelum operasi
• Inisiasi kembali maksimal 12-24 jam setelah operasi
• Berikan LMWH hingga INR 1,9

XXI.2. Komplikasi Serebrovaskular pada Keganasan


Pendahuluan
Kelainan serebrovaskular pada pasien dengan keganasan cukup banyak terjadi
sebagai akibat dari gangguan koagulasi, infiltrasi tumor pada pembuluh darah, oklusi
akibat tumor, leukostasis, atau trombositopenia.35 Selain dari keadaan tersebut, terapi
dan intervensi diagnostik yang diberikan pada pasien kanker juga dapat menjadi
faktor risiko terjadinya stroke.36 Pada studi otopsi retrospektif 3426 pasien dengan
kanker sistemik, ditemukan 14,6% pasien mengalami stroke dengan angka iskemik
ataupun perdarahan relatif sama. Umunya pasien dengan gangguan serebrovaskular
ini lebih memperlihatkan gejala pada stroke perdarahan dibandingkan iskemik.3536
Gangguan koagulasi seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya merupakan
komplikasi yang sering timbul pada keganasan. Keadaan ini merupakan penyebab
terbanyak stroke pada keganasan. Keadaan hiperkoagulasi terutama peningkatan
D-dimer menyebabkan stroke lebih tinggi secara signifikan tanpa adanya faktor risiko
stroke lainnya. Hiperkoagulasi dapat menyebabkan gangguan vaskular dengan cara
deposisi platelet dan fibrin pada pembuluh darah sehingga menyebabkan trombosis
atau pada katup jantung (trombotik endokarditis non-bakterial) yang menyebabkan
kardioemboli bila terlepas dari posisinya.3536
Keadaan lain yang cukup sering ditemui sebagai akibat komplikasi serebrovaskular
, dari keganasan adalah leukostasis. Keadaan ini dapat terjadi pada jumlah sel blast
lebih dari 400.000/mcl dan menyebabkan edema otak difus serta peningkatan
tekanan intrakranial. Leukostasis paling sering dijumpai pada keganasan darah acute
myelositic leukemia (AML) saat terjadi krisis blast. Pada acute lymphoblastic leukemia
(ALL) diperlukan jumlah sel blast yang lebih tinggi untuk menimbulkan leukostasis.
Peningkatan leukosit yang berlebihan menyebabkan visikositas meningkat sehingga
dapat menyumbat pembuluh-pembuluh kecil.37
Stroke perdarahan juga dapat terjadi sebagai komplikasi kanker sistemik.
Umumnya perdarahan terjadi berhubungan dengan keadaan trombositopenia atau
faktor tumor itu sendiri (tumor metastasis berdarah). Selain itu, perdarahan juga dapat
muncul karena oklusi aliran darah atau yang sering disebut infark merah. Kejadian ini
juga sering didapatkan pada pasien dengan leukostasis atau trombosis vena.3536

Diagnosis dan Gejala


Komplikasi serebrovaskular yang menyebabkan baik iskemik maupun perdarahan
akan memiliki Minis yang sama dengan stroke lainnya. Defisit neurologis baik fokal
atau global yang terjadi secara akut dapat dikatakan sebagai stroke, apapun penyebab
yang mendasarinya. Pada pasien dengan keganasan, seorang neurolog harus bisa
membedakan defisit yang terjadi merupakan akibat dari metastasis kanker sistemik
atau komplikasi vaskular pada sistem saraf.35,36
Leukostasis ditegakkan pada pasien dengan hiperleukositosis yang mengalami
iskemik lokal jaringan, terutama gangguan pernafasan dan gangguan neurologi. Pada
gangguan neurologis, awalnya pasien sering mengeluhkan gangguan pendengaran
atau pandangan kabur yang transien. Pasien juga dapat merasakan nyeri kepala,
pusing, dan tinitus. Pada keadaan yang lebih berat, leukostasis menimbulkan edema
difus yang menimbulkan gejala-gejala peningkatan intrakranial, sehingga leukostasis
termasuk dari salah satu kegawatan pada kanker.37

Tatalaksana
Pada prinsipnya tata laksana gangguan serebrovaskular pada pasien kanker adalah
penanganan akut stroke dan mengatasi tumor penyebabnya; jika tumor berdarah
dilakukan operasi reseksi tumor dan radioterapi sesuai indikasi. Stroke iskemik
dengan onset <4,5 jam tidak memiliki kontra indikasi pemberian trombolisis [rTPA)
bila kontra indikasi lainnya tidak didapatkan. Stroke iskemik akibat kompresi massa
dari lesi metastasis dilakuan radiasi atau pengangkatan tumor; jika disebabkan oleh
hiperkoagulasi diberikan antikoagulan sesuai pada VTE. Setelah penanganan fase akut
stroke, pencarian faktor risiko tetap diperlukan (hiperkoagulasi, penurunan kadar
hematokrit, atau faktor risiko klasik stroke]. Pada keadaan leukostasis dilakukan
leukoparesis dan kemoterapi sesegera mungkin jika keadaan umum memungkinkan.36,37

XXI.3 Komplikasi Kanker Sistemik Terhadap Saraf Perifer


Pendahuluan
Pasien dengan keganasan meninggal tidak hanya akibat kankernya, namun lebih
karena komplikasi dari kanker tersebut. Komplikasi neurologis akibat keganasan
dapat akibat penyebaran langsung sel kanker ke sarkoma saraf (metastasis] atau
akibat tidak langsung dari sel kanker (nonmetastasis atau sarkoma]. Metastasis
berdasarkan lokasinya dapat mengenai parenkim otak, leptomeningeal, sarkoma
spinalis, saraf kranial/perifer, atau otot. Khusus di saraf perifer, komplikasi keganasan
dapat diakibatkan oleh 1] penekanan atau infiltrasi langsung dari massa tumor, 2] efek
toksik obat, 3] radiation myelopathy/plexopathy, serta 4] paraneoplastic neuropathy.32
Keterlibatan saraf perifer pada keganasan sering tidak terdiagnosis, oleh karena saraf
perifer jarang dimasukkan dalam staging penyebaran kanker. Demikian pula adanya nyeri
kanker sering dianggap hanya sebagai akibat keterlibatan saraf pada massa tumor, bukan
karena akibat gangguan pada radiks atau pleksus. Lesi kompresi pada saraf perifer juga
lebih bisa diidentifikasi pada radiologis dibandingkan invasi saraf.32

Patofisiologi dan Gejala


Penekanan langsung oleh massa tumor dapat ditemukan pada 3% kanker paru
yang massanya terletak di sulkus pulmonari superior hingga menekan pleksus
brakialis, paresis nervus fasialis pada 20% kanker parotis, atau paresis saraf kranial
pada invasi basis kranii akibat metastasis.32
Metastasis atau infiltrasi keganasan dapat terjadi pada pasien ke pleksus
lumbosakralis dan pleksus brakialis. Infiltrasi pada pleksus brakialis dapat disebabkan
oleh limfoma, kanker paru, ataupun kanker payudara. Tumor biasanya menginfiltrasi
dari nodus limfa yang sudah terinfiltrasi sel kanker sebelumnya. Namun, pada kasus
tumor Pancoast, tumor langsung menginfiltrasi dari paru. Nyeri biasanya terjadi
sebelum gejala neurologis berkembang selama beberapa bulan.

Pleksus yang terkena biasanya berada di bagian bawah (C7-T1). Gejala yang terjadi
adalah nyeri pada bagian medial dari lengan bawah, siku, hingga jari ke-4 dan ke-5.
Nyeri hebat dan disestesia dapat terjadi pada area ulna lengan bawah. Sementara itu,
bagian bawah pleksus brakialis lebih jarang terinfiltrasi tumor. Nyeri akibat infiltrasi
pada C5-6 dirasakan pada bahu, bagian luar lengan, dan tangan. Pan-pleksopati
terjadi pada 75% pasien dengan pleksopati bagian atas. Infiltrasi massa tumor pada
pan-pleksopati dapat menyebabkan infiltrasi epidural dan mengkompresi medula
spinalis. Sindrom Horner dapat terjadi akibat infiltrasi tumor ke area epidural yang
cukup luas. Evaluasi pleksopati pada pasien kanker dilakukan dengan menggunakan
MRI kontras.33
Tumor pada area pelvis dapat menyebabkan pleksopati lumbosakralis, seperti
tumor kolorektal, servikal, metastasis dari payudara, sarkoma, dan limfoma. Pada
75% kasus, tumor menginfiltrasi pleksopati lumbosakralis, sedangkan 25% sisanya
merupakan tumor metastasis. Sebanyak 20% pasien merasakan nyeri sebagai gejala
awal yang diikuti dengan kelemahan tungkai, defisist sensoris, disestesia, nyeri tekan,
dan edema tungkai dalam beberapa minggu kemudian.
Pleksopati bagian bawah terjadi pada 50% lebih kasus. Nyeri dirasakan pada
area gluteus dan perineum hingga ke bagian lateral kaki, refleks fisiologis Achilles
menurun, dan test Laseque positif. Pleksopati bagian atas ditandai dengan nyeri
di punggung, abdomen bagian bawah, krista iliaka, dan bagian anterolateral paha.
Terdapat perubahan refleks fisiologis di Ll-4. Pada pasien dengan pleksopati terdapat
kelemahan fleksi lutut, dorsifleksi, inversi, dan sarkoma sensori pada aspek medial
telapak kaki dan plantar. Pleksopati koksigeal dapat menyebabkan difungsi otonom
seperti inkontinensia atau retensi uri et alvi, dan gangguan sensorik perineal.33
Keterlibatan medula spinalis selain akibat metastasis juga dapat disebabkan oleh
mielopati pascaradioterapi, baik yang bersifat segera atau lambat [early-delayed and
late-delayed radiation myelopathy). Pada prinsipnya, daerah mielum yang terkena
harus berada dalam cakupan area radiasi dan gejala dapat muncul segera (0-6 bulan
pascaradioterapi) atau lambat (6 bulan sampai 20 tahun pascaradioterapi). Sebanyak
56%i pasien menunjukkan gejala dalam 20 tahun. Gejalanya dapat muncul secara
mendadak atau perlahan secara progresif yang menyebabkan gangguan sensorik
hingga terjadi kelemahan motorik, dengan atau tanpa nyeri. Jika pleksus brakialis
terkena kerusakan akibat radiasi, didapati limfadema pada tangan. Pada CT scan
didapati adanya nekrosis akibat radiasi pada tulang-tulang di sekitar bahu dan tangan.
Pleksopati brakialis akibat radiasi biasa mengenai C5-6. Pada pasien dengan
pleksopati lumbosakralis, nyeri bukan gejala tersering, namun kelemahan dan edema
tungkai. Pemeriksaan somatosensory evoked potential dapat menunjukkan kelainan
serta penurunan kecepatan hantar saraf sesuai dengan area yang terlibat. Demikian
pula gambaran MRI dapat menunjukkan penyangatan kontras, bervariasi sesuai
dengan tahap terjadinya kerusakan.3334
Selain kerusakan pada medula spinalis dan pleksus brakialis/lumbosakralis,
dapat juga terjadi kerusakan pada otak dan saraf kranialis. Komplikasi yang terjadi
akibat radioterapi pada otak paling awal adalah ensefalopati akut. Hal ini disebabkan
radioterapi menyebabkan disrupsi sawar darah otak, sehingga terjadi edema, biasanya
pada minggu ke-2 hingga ke-4 setelah radioterapi.
Sindrom somnolen ditandai dengan iritabilitas, mengantuk, somnolen, mual,
anoreksia, kesulitan memusatkan perhatian, dan gangguan memori jangka pendek.
Sindrom somnolen terjadi pada minggu kedua hingga bulan pertama pascaradioterapi.
Gangguan kognitif dapat terjadi pada pasien pascaradioterapi sebagai komplikasi
subakut dan kronik. Rhombensefalitis subakut ditandai dengan ataksia, disartria,
diplopia, dan/atau nistagmus disertai penurunan pendengaran. Rhombensefalitis
subakut dapat terjadi 1-3 bulan pascaradioterapi akibat lesi di hipofisis, batang otak,
serebelum, dan tumor kepala-leher.
Komplikasi jangka panjang radioterapi pada otak dapat menyebabkan
radionekrosis fokal, terjadi setelah 1-2 tahun, bahkan setelah 1-2 dekade
pascaradioterapi. Radionekrosis ditandai dengan kejang dan defisit neurologis
sesuai tempat lesi, yang sulit dibedakan dengan progresifitas penyakit. MRI FLAIR
menunjukkan adanya hiperintensitas pada area radionekrosis. Walaupun jarang,
radioterapi juga dapat memicu tumbuhnya tumor otak, seperti meningioma (70%),
glioma (20%), dan sarkoma (10%) dengan jarak rerata antara radioterapi dengan
tumor otak sekunder adalah 12 tahun.3334
Gangguan saraf kranialis dapat menjadi gejala pertama adanya keganasan. Hal ini
sering ditemukan pada karsinoma nasofaring (15-45%), sesuai dengan anatominya,
yang mempunyai prognosis yang lebih baik pascaterapi dibandingkan keganasan lain
yang melibatkan saraf kranial. Adanya kelainan saraf kranial juga dapat menjadi salah
satu indikasi keberhasilan terapi, terutama pascaradioterapi yang cukup efektif dalam
menangani infiltrasi saraf kranial. Efek radioterapi pada saraf kranial sering didapati
pada N. olfaktorius, N. Optikus, N. fasialis, N. vestibulokoklear, dan saraf kranial bagian
bawah. Komplikasi pascaradioterapi pada N. kranialis bersifat subakut dan kronik.
Komplikasi ini terjadi rerata 5 tahun pascaradioterapi dengan insidens <5%, terutama
pada pasien yang menerima fraksi yang cukup besar (2 Gy per fraksinasi). Pasien
dengan radioterapi infratentorial mengalami komplikasi lebih banyak dibandingkan
supratentorial.32'34

Saraf perifer dapat terlibat secara fokal atau difus. Lesi fokal mayoritas akibat
invasi/kompresi sel kanker ke radiks atau ganglion dorsalis melalui ruang paravertebra,
sehingga menimbulkan nyeri yang menjalar sesuai dengan distribusi sarafnya. Nyeri
dapat hebat disertai baal atau hipestesia pada dermatoma yang dipersarafinya, serta
gangguan otonom dan motorik.32
Gangguan saraf perifer secara difus berupa neuropati lebih sering akibat
kemoterapi dari pada keterlibatan sel kanker, kecuali pada leukemia, limfoma, atau
mieloma.32 Neuropati yang dipicu oleh kemoterapi atau chemotherapy-induced
peripheral neuropathy (CIPN) ini didefinisikan sebagai gangguan struktur dan
fungsi neuron motorik, sensorik, dan otonom perifer pascapemberian kemoterapi.37
Prevalensinyaterus meningkat, bahkan dikatakan sebagai salah satu efek samp ing yang
paling berat dan tidak dapat diprediksi akibat terapi antikanker. Hal ini disebabkan
oleh karena agen-agen kemoterapi masuk menyerang neuron di ganglia dorsalis dan
akson di saraf perifer akibat kurang efektifnya sawar darah otak di daerah tersebut.39
Agen yang dapat menyebabkan CIPN umumnya bersifat neurotoksik, seperti cisplatin,
vinkristin, dan paklitaksel.38 Agen-agen tersebut dapat menyebabkan terjadinya apoptosis
pada sel neuron dengan berbagai patofisiologi. Agen kemoterapi berbasis platinum
dapat menyebabkan ionopati dan gangguan pada ganglion dorsalis. Agen kemoterapi
Taxane dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada mikrotubulus dan menyebabkan
depolimerisasi sehingga siklus sel terhenti. Selain itu, dapat terjadi demielinisasi dan
kerusakan mitokondria akibat penggunaan taxane. Bortezomib dan vinca alkaloid
(vincristine] juga memiliki patogenesis neuropati yang mirip dengan taxane.40
Gejala utama adalah gangguan sensoris lebih dominan dibanding motorik dengan
atau tanpa nyeri. Gejala khas sensorik CIPN adalah glove and stocking paresthesia.
Gejala motorik didapati kelemahan distal, kelainan gait dan keseimbangan, serta
kelainan motorik halus (mengancing baju, menulis, memotong dan menggergajf).
Gejala otonom juga dapat terjadi pada CIPN, seperti fluktuasi tekanan darah,
konstipasi, disfungsi ereksi, dan retensi urin.41
Skrining neuropati perifer dapat menggunakan skala yang dibuat oleh WHO,
Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG), atau National Cancer Information Center
Common Toxicity Criteria (NCIC), seperti pada Tabel 20.2.41
Sindrom paraneoplastik merupakan kumpulan gejala yang dapat timbul
sebagai efek jauh dari keganasan. Sel tumor menyebabkan reaksi imunologi yang
menimbulkan komplikasi pada berbagai sistem, salah satunya adalah pada sistem
saraf pusat dan saraf perifer. Gejalanya sangat mirip dengan keterlibatan langsung
sel kanker terhadap sistem saraf, sehingga harus dibuktikan secara radiologi bahwa
bukan akibat langsung dari keganasan. Prevalensinya sangat rendah, sekitar 1% dari
, seluruh keganasan, namun dapat sangat tinggi misalnya pada timoma (10-30%).
Gejala klinis pada saraf perifer dapat berupa Lambert-Eaton myasthenic syndrome
(LEMS) yang dinilai dari pemeriksaan elektroneurografi. Diagnosis pasti adalah
dengan pemeriksaan antibodi serum sesuai dengan tumor primernya, misal anti-Hu
pada karsinoma paru tipe sel kecil atau anti-Yo pada karsinoma payudara.43
Tata Laksana
Terapi yang disarankan adalah duloxetine dengan dosis awal 30mg satu kali
sehari selama satu minggu, ditingkatkan menjadi 60 mg satu kali sehari. Tidak ada
bukti yang cukup untuk mendukung rekomendasi untuk obat lainnya. Rekomendasi
tahun 2014 dari American Society of Clinical Oncology [ASCO] menyarankan bahwa uji
coba terapi gabapentin/pregabalin atau antidepresan trisiklik (misalnya, nortriptilin
atau amitriptilin) dapat diberikan mengingat pilihan terapi yang terbatas dan adanya
kemanjuran obat-obatan tersebut untuk kondisi nyeri neuropatik lainnya. Namun
rekomendasi ini hanya berdasarkan konsensus ahli, tidak berbasis bukti. Belum
ada penelitian yang berhasil menunjukkan keberhasilan gabapentin, pregabalin,
nortriptilin, maupun amitriptilin pada CIPN.44
Oleh karena tatalaksananya yang masih sulit, maka lebih diutamakan pencegahan
dengan melakukan skrining neuropati pada pasien-pasien yang mendapatkan regimen
kemoterapi yang berisiko menyebabkan CIPN, seperti pada pasien dengan karsinoma
nasofaring. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf lebih sensitif untuk mengetahui
adanya gangguan sensorik sedini mungkin. Disarankan kerja sama dengan onkologi
dalam pengubahan regimen kemoterapi jika sudah ditemukan gejala dan tanda CIPN.

Penutup
CIPN dan sindrom paraneoplastik dapat memberikan gejala yang sama. CIPN
hanya terjadi setelah pasien terpapar kemoterapi, sedangkan paraneoplastik dapat
menjadi gejala awal sebelum diketahui menderita keganasan. Kesemua gejala yang
mungkin muncul hanya bisa didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan neurologis
yang teliti terhadap semua kemungkinan keterlibatan saraf perifer akibat keganasan.

XXI.4. Nyeri Kepala pada Kanker Sistemik dan Tumor Otak43


Epidemiologi
Nyeri kepala pada tumor otak merupakan gejala yang sering ditemukan. Sebanyak
' 58-71% pasien dengan tumor otak memiliki sakit kepala. Namun, sakit kepala bukan
satu-satunya gejala yang dirasakan oleh pasien tumor otak. Banyak gejala lain yang
juga dirasakan oleh pasien. Nyeri kepala tumor otak klasik (progresif, dirasakan
pada pagi hari, memberat dengan manuver valsava) jarang ditemukan pada praktik
klinik sehari-hari, yaitu hanya 17%. Hal ini biasanya baru ditemukan pada tahap
akhir sejalan dengan pertumbuhan tumornya. Nyeri kepala pada tumor otak fase
awal dapat menyerupai nyeri kepala tipe tegang atau migrain dan terlokalisir dengan
•%
karakteristik selengkapnya pada Tabel 20.3.
Lokasi dari nyeri kepala merupakan penanda yang baik dalam melokalisasi tumor.
Nyeri kepala kemungkinan besar memiliki lokasi ipsilateral dari tumor, misal nyeri
kepala di bagian belakang menandakan tumor berada di oksipital atau infratentorial.
Namun nyeri kepala frontal paling tidak spesifik untuk lokasi tumor.
Menurut International Classification of Headache ke-3 (ICHD-3), nyeri kepala
akibat tumor intrakranial harus memenuhi 2 dari 3 kriteria:
• Nyeri kepala harus berkorelasi dengan tumor secara temporal atau menyebabkan
tumor terdeteksi.
• Nyeri kepala memburuk seiring perjalanan penyakit atau membaik dengan
pengobatan.
• Nyeri kepala progresif, memberat pada pagi atau setelah tidur siang, memberat
dengan manuver valsava.

Pasien tumor otak dengan riwayat nyeri kepala primer sebelumnya, dapat
menjadi tantangan untuk didiagnosis. Kemungkinan nyeri kepala dapat disebabkan
oleh 3 hal, yaitu adanya koinsidensi, nyeri kepala primer memberat, atau tumor otak
yang menyebabkan nyeri kepala.

Patofisiologi
Terdapat beberapa jalur patofisiologi yang dapat menjelaskan nyeri kepala pada
pasien dengan tumor otak. Nyeri pada pasien tumor otak dapat disebabkan regangan
atau kompresi dari struktur yang sensitif terhadap nyeri, dihasilkannya substansi
yang memberikan sinyal nyeri, atau kelainan neuroendokrin. Bagian yang sensitif
terhadap nyeri pada struktur ekstrakranial adalah galea, fasia, arteri, dan otot-otot
pada kulit kepala serta periosteum pada tulang tengkorak. Struktur intrakranial yang
sensitif terhadap nyeri kepala adalah dura pada basis kranii, tentorium serebeli, serta
N.V,IX,X,danXI.
Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa jika stimulus nyeri diterima oleh
struktur di bagian permukaan superior tentorium, maka nyeri akan dibawa oleh N.V.
Jika stimulus diterima di permukaan bawah tentorium atau struktur intrakranial
lainnya, nyeri akan dibawa oleh N. IX, X atau tiga saraf servikal pertama.
Obstruksi cairan serebrospinal (CSS] dapat menyebabkan terjadinya nyeri akibat
distensi pada struktur sensitif nyeri intrakranial. Obstruksi ini dapat menyebabkan
distensi pada pembuluh darah arteri atau vena sehingga menyebabkan nyeri kepala.
Tumor dapat menghasilkan substansi seperti NO sintase, CGRP, TNF-a, atau VIP
yang merupakan zat-zat pro-inflamasi yang dapat menyebabkan nyeri pada kepala.
Prolaktinoma hipofisis dapat menyebabkan terjadinya nyeri kepala akibat disregulasi
aksis dopamin-prolaktin.

Nyeri Kepala Tumor Otak Terkair Peningkatan Tekanan Intrakranial


Hampir seluruh pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) bermani-
festasi nyeri kepala. Pada tumor otak, peningkatan TIK dapat disebabkan efek massa
tumor, edema otak, perdarahan intratumoral, hidrosefalus, dan metastasis tumor
ke area leptomeningeal. Peregangan struktur yang sensitif terhadap nyeri di area
periventrikuler dapat menjelaskan nyeri kepala akibat hidrosefalus. Karakteristik
nyeri kepala akibat peningkatan TIK adalah nyeri kepala dengan gejala lain mual dan
muntah serta tidak mereda dengan analgetik. Selain itu, dapat ditemukan letargi, papill-
edema, gangguan penglihatan, diplopia, tinnitus, dan penurunan kesadaran.
Nyeri kepala akibat peningkatan TIK dapat juga dijelaskan dengan nyeri kepala
gelombang plateau. Nyeri kepala ini juga disebut nyeri kepala gelombang otak atau
nyeri kepala paroksismal. Nyeri kepala ini diakibatkan peningkatan TIK episodikyang
dapat memicu vasodilatasi pada pembuluh darah otak. Vasodilatasi paroksismal ini
diakibatkan menurunnya compliance intrakranial akibat efek massa dan hidrosefalus
oleh tumor otak. Nyeri kepala ini ditandai dengan nyeri kepala paroksismal dengan
durasi menit hingga jam dengan intensitas berat dan membaik dalam waktu singkat.
Tanda dan gejala yang dirasakan adalah nyeri disertai gangguan penglihatan,
ketidakseimbangan, dan penurunan kesadaran. Nyeri kepala ini biasanya muncul
seiring dengan munculnya gelombang plateau otak tetapi sulit untuk dideteksi akibat
penurunan kesadaran dan sering di misdiagnosis dengan kejang. Nyeri kepala ini
merupakan predisposisi herniasi otak.
Nyeri Kepala pada Tumor Hipofisis
Nyeri kepala akibat adenoma hipofisis terjadi pada 33-72% pasien dengan
karakteristik migrain kronik (46%), migrain episodik (30%), nyeri kepala ditusuk
(27%), atau short-lasting unilateral neuralgiform headache attacks with conjungtival
injection and tearing/SUNCT (5%). Sebagian besar pasien adenoma hipofisis memiliki
riwayat keluarga dengan sakit kepala. Hal ini menandakan ambang batas nyeri kepala
akibat tumor lebih rendah pada pasien dengan predisposisi migren.
Pada tumor hipofisis, nyeri kepala terjadi akibat traksi pada struktur yang sensitif
terhadap nyeri, ukuran tumor, dan invasi pada sinus kavernosus. Ukuran tumor yang
besar dapat menstimulasi ujung saraf pada dura. Invasi sinus kavernosus dapat
menyebabkan nyeri akibat N. Trigeminal rami oftalmika yang mempersarafi sinus
kavernosus. Nyeri pada tumor sela juga dapat diperparah atau diredakan dengan
penatalaksanaan endokrin. Oleh karena itu, nyeri kepala akibat tumor hipofisis
juga diduga diakibatkan disregulasi sistem endokrin. Aksis dopamin-prolaktin juga
berperan dalam patogenesis migrain dan nyeri kepala kluster, sehingga, pemberian
antagonis dopamin diduga dapat meredakan nyeri kepala akibat tumor hipofisis.

Nyeri Kepala pada Ranker Sistemik dan Pengobatan Ranker


Nyeri kepala merupakan gejala yang sering ditemui pada penderita kanker
dengan karakteristik nyeri kronik progresif, tidak berespons terhadap pengobatan,
muntah, letargi, dan diikuti dengan defisit neurologi. Kecurigaan pertama adalah
adanya metastasis ke intraparenkim ataupun pada leptomeningeal. Namun penyebab
nyeri lainnya dapat oleh banyak faktor (Tabel 20.4). Adapun nyeri akibat metastasis
intrakranial di basis kranii memiliki 5 karakteristik (Tabel 20.5).
Nyeri kepala sering dijumpai pada metastasis leptomeningeal, disertai disfungsi
N. kranialis, disfungsi spinal, radikulopati, atau perubahan mental akut. Nyeri kepala
dapat diakibatkan oleh iritasi meningen atau peningkatan TIK akibat hidrosefalus
non-komunikans dari sumbatan sel dalam CSS.
Penyebab jarang nyeri kepala pada pasien dengan kanker adalah trombosis vena
serebri atau cerebral venous thrombosis (CVT). Hal ini ditandai dengan nyeri kepala,
muntah proyektil, kejang fokal, defisit neurologis fokal, dan papiledema. CVT paling
sering melibatkan sinus sagitalis superior.

Nyeri kepala juga dapat diakibatkan efek pengobatan, seperti ondansetron,


steroid, dan metoklopramid, serta opioid withdrawal. Penderita kanker payudara
yang menerima tamoxifen dapat menderita nyeri kepala sebanyak 8%. Demikian pula
retinoid untuk terapi limfoma sel T dapat menyebabkan sakit kepala. Nyeri kepala
dan muka terjadi pada pasien yang menjalani kraniotomi selama beberapa bulan.
Radioterapi dapat menyebabkan nyeri kepala akibat difungsi neuron pascaradioterapi.
Onset nyeri kepala pascaradioterapi dapat berlangsung dari akut (ensefalopati radiasi
akut), subakut (ensefalopati demielinasi subakut) dalam 1-6 bulan, hingga hitungan
bulan ke tahun (nekrosis radiasi cerebrii).
Sindrom stroke-like migraine attack after radiaton therapy (SMART) adalah
sebuah sindrom mirip migrain yang dapat terjadi setelah radioterapi. Sindrom ini
beronset subakut dengan gejala hemiparesis, afasia, hemianopia homonimus, defisit
sensorik, kehilangan penglihatan sementara, dan kejang. Radioterapi otak diduga
menyebabkan disfungsi neuron pada area parietooksipital otak. Hal inilah yang
menyebabkan gejala-gejala sindrom SMART dapat terjadi pada pasien dengan whole
brain radiotherapy (WBRT). Namun, terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa
Sindrom SMART dapat disebabkan oleh vaskulopati reversibel akibat radiasi.

Nyeri Kepala pada Tumor Otak Anak


Nyeri kepala pada tumor otak pasien anak merupakan tantangan diagnosis
tersendiri. Pasalnya, ukuran otak pada anak masih terbilang kecil, fontanel masih
terbuka sehingga masih terdapat ruang untuk massa tumor tanpa menyebabkan
gejala, dan ketidakmampuan anak dalam menyampaikan apa yang dirasakan. Nyeri
kepala sebagai penanda tumor otak pada anak ditemukan sebanyak 27-67% subjek.
Hanya kurang dari 3% subjek datang dengan nyeri kepala saja dan memiliki hasil
pemeriksaan neurologis normal.
Sebanyak 70% pasien anak dengan tumor infratentorial memiliki nyeri kepala dan
58% pasien anak dengan tumor otak memiliki nyeri kepala. Pemeriksaan pencitraan
seringkali terhambat karena nyeri kepala merupakan simtom yang sangat umum,
sehingga banyak diagnosis yang terlambat. Pasien tumor otak anak banyak yang
memiliki kelainan neurologis seperti penurunan visus, papiledema, dan disfungsi
N. Kranialis, sehingga pemeriksaan neurologis perlu dilakukan pada pasien yang
dicurigai memiliki tumor otak.
Tatalaksana Nyeri Kepala pada Ranker
Terapi nyeri kepala akibat tumor otak sesuai dengan etiologi tumor otak,
derajat fungsional pasien, tipe tumor otak, dan stadium penyakitnya. Namun pada
umumnya nyeri kepala diakibatkan oleh edema peritumoral. Hal ini dapat dinilai dari
karakteristiknya yang difus dengan atau tanpa disertai gejala peningkatan TIK, seperti
muntah atau penurunan kesadaran, ditunjang dengan gambaran edema pada CT scan
atau MRI. Pada nyeri tersebut, pilihan utama adalah deksametason sebagai golongan
kortikosteroid untuk mengatasi edema tanpa efek samping mineralokortikoid.
Deksametason memiliki paruh waktu 36-54 jam dengan dosis 4-8mg/hari dan 16mg/
hari pada pasien dengan gejala yang berat.
Nyeri kepala akibat efek lokal tumor dapat ditemukan pada area spesifik yang
banyak reseptor peka nyeri, seperti tumor sela, retroorbita, basis kranii, atau daerah
head and neck lainnya. Gejalanya adalah nyeri sesuai dengan area tumor. Terapi
berupa obat golongan anti-inflamasi nonsteroid atau opioid sesuai dengan beratnya
nyeri. Nyeri kepala dapat memiliki komponen nyeri neuropatik berupa nyeri yang
menjalar dari lokasi massa ke area di sekitarnya. Pada keadaan ini dapat diberikan
ajuvan, seperti gabapentin atau pregabalin.
Pada nyeri kepala akibat tumor metastasis, dapat dilakukan reseksi, radiosurgery,
dan radioterapi. Pembedahan dapat mengurangi risiko edema peritumoral dan efek
massa, diikuti radioterapi. Jika terjadi hidrosefalus, dapat dilakukan ventriculoperito-
neal shunting (VPS] untuk mengatasi nyeri kepala.

XX.3.2. Peningkatan Tekanan Intrakranial dan Hidrosefalus pada Tumor Otak45


Fisiologi Cairan Serebrospinal dan Tekanan Intrakranial
Otak berada dalam sebuah ruangan yang tertutup kranium. Dalam rongga
intrakranial, terdapat 3 komponen pembentuk yaitu likuor serebrospinal, darah, dan
jaringan otak sendiri. Dalam keadaan terdapat peningkatan volume 1 komponen,
nilai TIK akan ikut meningkat. Sebagai contoh, darah akan mengalir setiap siklus
kardiak akan membentuk pola gelombang pada TIK. Nilai normal dari tekanan
intrakranial adalah 5-15cmH20. Perbedaan mean arterial pressure (MAP] dan TIK
akan menghasilkan cerebral perfusion pressure (CPP). CPP merupakan perbedaan
tekanan yang membuat darah mengalir ke jaringan otak.
CSS pada rongga intrakranial memiliki volume ±150mL dengan laju produksi
±10-15mL/jam. CSS diproduksi oleh sel ependimal yang berada di ventrikel lateral
dan atap ventrikel 4 dan mengalir ke ruang subaraknoid melalui foramen Maghendi
dan Luschka. Setelah itu, CSS bersirkulasi ke ruang subaraknoid di konveksitas dan
spinal hingga diserap kembali oleh sinus serebrii melalui granulasio araknoidalis.

Tanda dan Gejala Peningkatan Tekanan Intrakranial


PeningkatanTIKdapatmenyebabkanefekyangmematikan.Saatterjadipeningkatan
TIK, maka perfusi serebral akan berkurang (CPP = MAP - TIK]. Jika TIKterus meningkat,
akan ada satu titik perfusi serebral berhenti. Peningkatan TIK dapat terjadi pada
kompartemen supra- atau infratentorial. Peningkatan TIK pada kompartemen tersebut
dapat menyebabkan herniasi otak dan akhirnya menyebabkan kematian.
Peningkatan TIK ditandai oleh nyeri kepala terutama saat pagi hari. Nyeri kepala
juga dirasakan lebih membaik saat berdiri. Hal ini terkait balikan vena yang lebih
banyak dari kepala saat berdiri dan bertambahnya aliran darah ke otak saat pasien
dalam posisi tidur. Pasien dengan peningkatan TIK dapat mengalami mual dan muntah.
Jika peningkatan TIK sudah kronik, dapat terjadi penurunan fungsi penglihatan. Jika
kondisi ini semakin lama dibiarkan, akan terjadi kebutaan permanen.
Peningkatan TIK yang sangat tinggi dapat menyebabkan terjadinya refleks Cushing
(trias bradikardia, hipertensi, dan respirasi ireguler). Refleks ini merupakan tanda
bahaya akibat peningkatan TIK yang harus segera ditangani. Pasien dengan TIK yang
sangat tinggi dapat memiliki luaran bagus jika CPP dipertahankan diatas 60mm air.

Pertambahan Volume dan Fdema sehagai Penyebab Peningkatan Tekanan


Intrakranial
Seiring dengan pertambahan massa tumor, TIK dapat mengalami kenaikan akibat
efek massa yang mengkompresi otak dan efek dari edema vasogenik. Massa tumor
yang tumbuh pada otak dapat menyebabkan terjadinya kompresi dan destruksi secara
langsung. Peningkatan TIK akibat massa tumor ini dapat menyebabkan terjadinya
infark pada otak akibat berkurangnya CPP.
Tumor otak menghasilkan faktor angiogenik seperti vascular endothelial growth
factor (VEGF) yang berfungsi untuk proliferasi pembuluh darah pada tumor. Pembuluh
darah yang terbentuk memiliki karakteristik tidak stabil dan tidak memiliki lapisan
tight junction yang kuat seperti pembuluh darah otak pada umumnya dan membuat
protein dan konstituen dari pembuluh darah lainnya keluar ke ruang ekstraseluler.
Edema vasogenik dan meningkatnya volume darah pada rongga intrakranial akibat
proliferasi pembuluh darah baru dapat meningkatkan TIK.

Hidrosefalus Ohstruktif dan Peningkatan Tekanan Intrakranial


Pertumbuhan tumor dapat menekan jaringan otak dan menghambat jalur
sirkulasi CSS. Kumpulan dari CSS yang diproduksi dapat menyebabkan terjadinya
hidrosefalus dan peningkatan TIK. Hambatan dari jalur CSS ini dapat diakibatkan
oleh tumor yang berada di sistem ventrikular atau menekan foramen-foramen yang
berfungsi mengalirkan CSS.
Tumor-tumor intraventrikular yang biasa ditemukan pada ventrikel lateral atau
ventrikel ketiga adalah neurositoma, subependymal giant cell astrocytoma (SEGA),
subependimoma, meningioma, kista koloid, glioma septal, dan kraniofaringioma.
Tumor pada ventrikel keempat yang dapat menyebabkan hidrosefalus obstruktif
adalah papilloma atau karsinoma pleksus koroideus, meningioma, tumor glioneural,
meduloblastoma, epidermoid, ependimoma, dan subependimoma. Metastasis dapat
mengobstruksi aliran CSS di sistem ventrikel mana saja.
Hidrosefalus obstruktif dapat disebabkan oleh tumor di kompartemen
supratentorial atau infratentorial. Tumor yang dapat menekan sistem ventrikular
pada kompartemen supratentorial adalah tumor glioma tektal dan tumor pineal.
Tumor yang dapat menekan sistem ventrikular pada kompartemen infratentorial
adalah astrositoma pilositik, meduloblastoma, hemangioblastoma, subependimoma,
Schwannoma, dan metastasis.

Hidrosefalus Komunikans dan Peningkatan Tekanan Intrakranial


Hidrosefalus komunikans dapat terjadi pada tumor otak. Sebagai contoh,
Schwannoma vestibuler yang sudah direseksi dapat menyebabkan hidrosefalus
komunikans. Hal ini mungkin disebabkan tumor yang menghasilkan protein yang
menyebabkan berkurangnya serapan CSS. Tumor pleksus koroid dapat menghasikan
CSS, sehingga produksi berlebihan dapat menyebabkan terjadinya hidroseflaus
komunikans.
Penyebab lain terjadinya hidrosefalus komunikans pada tumor otak adalah
meningitis karsinomatosis metastasis leptomeningeal yang menyebabkan penurunan
reabsorbsi CSS. Hal ini dapat terjadi pada 3-8% pasien kanker, umumnya pada pasien
kanker payudara dan kanker paru. Pengangkatan tumor metastasis secara piece meal
dapat meningkatkan risiko terjadinya meningitis karsinomatosis. Diagnosis meningitis
karsinomatosis dapat ditegakkan dengan LP dan MRI. Pada LP, akan terlihat penurunan
kadar glukosa dan penaikan kadar protein. Adapun pada MRI, akan terlihat penyengatan
difus meningeal tersebar difus pada permukaan sistem saraf.

Hidrosefalus Tekanan Normal pada Pasien Tumor Otak47


Hidrosefalus tekanan normal atau normopressure hydrocephalus (NPH) dapat
terjadi pada pasien tumor otak. Kejadian hidrosefalus tekanan normal berada pada
angka 5,6-10% dan terjadi pada pasien glioma ganas dan GBM. Hidrosefalus tekanan
normal ditandai dengan demensia, kelainan gait berjalan, dan inkontinensia, tanpa
adanya gejala peningkatan TIK. Mekanisme terjadinya hidrosefalus tekanan normal
masih sulit dijelaskan. Peningkatan protein CSS pada pasien GBM dapat menyebabkan
hidrosefalus komunikans. Pembukaan ventrikel pada saat operasi berasosiasi
dengan terjadinya hidrosefalus komunikans. Kelainan gait pada pasien hidrosefalus
komunikans ditandai dengan ketidakseimbangan gait dan apraksia gait. Pasien sulit
bangun dari posisi duduk dan sulit memulai dan meregulasi gerakan.
Defisit kognitif yang terjadi pada pasien dengan hidrosefalus tekanan normal
adalah defisit fungsi eksekutif, defisit visuospasial, dan kemampuan membuat
memori baru. Pada CT/MRI ditemukan adanya perbesaran ventrikel. Diagnosis NPH
juga dapat dibuat dengan melakukan LP pada CSS sebanyak kurang lebih 30mL yang
akan menyebabkan perbaikan gejala secara cepat.

Tata Laksana Peningkatan Tekanan Intrakranial


Salah satu penyebab peningkatan TIK pada pasien tumor otak adalah
edema vasogenik. Edema vasogenik dapat ditatalaksana dengan deksametason.
Deksametason dapat mematenkan pembuluh darah sehingga mengurangi cairan
yang keluar ke matriks ekstraseluler dan mengurangi edema vasogenik. Namun,
penggunaan deksametason dapat menyebabkan penambahan BB, ulkus, osteopenia,
kelemahan otot, sindrom Cushing, dan efek samping lainnya. Bevacizumab sebagai
anti-VEGF dapat digunakan untuk mematenkan dinding pembuluh darah yang bocor.
Pembedahan dapat secara langsung mengurangi TIK dengan pengangkatan massa
tumor. Namun pada tumor-tumor yang sulit direseksi, dilakukan pemasangan shunt atau
ventrikulostomi endoskopik sebagai diversi CSS. Meskipun massa sudah diangkat, TIK
masih dapat tetap tinggi pada pasien tumor otak meskipun jalur CSS tidak terobstruksi.
Mekanisme hal ini belum jelas, tetapi inflamasi pada meningen, protein yang meningkat
pada CSS, serta thrombosis vena akibat tumor dapat menjelaskan hal ini.
Pasien dengan karakteristik tumor yang sensitif terhadap radiasi dapat
ditatalaksana dengan radioterapi. Radioterapi dapat meregresi massa tumor dan
menurunkan TIK. Namun, radioterapi dapat memperparah edema otak akibat efek
sitotoksik yang disebabkan oleh radiasi. Oleh karena itu, penggunaan radioterapi
dilakukan jika modalitas lain tidak dapat digunakan.48
Hidrosefalus yang disebabkan oleh tumor otak dapat ditangani dengan
ventrikulostomi endoskopi atau VP shunt. Peletakkan shunt ini dapat memperbaiki
simtom hidrosefalus dan mengurangi TIK. Pada pasien dengan meningitis
karsinomatosis, pemberian VP shunt dan terapi paliatif dengan metrotreksat,
sitarabine, dan thio-TEPA dapat meningkatkan kesintasan dari 4-6 minggu menjadi
3-6 bulan. Peletakkan reservoir dan shunt dapat memberikan luaran yang baik
dibandingkan dengan shunt saja.

Daftar Pustaka
1. Berger MS, Prados M. Epidemiology of brain tumors. Dalam: Berger MS, Prados M, editor. Textbook
of Neuro-oncology. New York: Elsevier Saunders; 2005. h. 3.
2. Walsh KM, Claus EB, Wrensch MR. Epidemiology. Dalam: Bernstein M, Berger MS, editor. Neuro-
oncology: the essentials. New York: Thieme Medical Publishers; 2017. h. 3-16.
3. 3.Budikayanti A, Ranakusuma TAS, Bustami M, Prihartono J. Penilaian status koagulasi dan
profil karotis sebagai komplikasi serebrovaskular pada tumor susunan saraf pusat. Neurona.
2009;26(2):11-17.
4. Falanga A, Marchetti M, Vignoli A. Coagulation and cancer: biological and clinical aspects. J
Thromb Haemost. 2013;ll(2J:223-33.
5. Elyamany G, Alzahrani AM, Bukhary E. Cancer-associated thrombosis: an overview. Clin Med
Insights Oncol. 2014;8:129-37.
6. Tunjungsari D. Perbandingan profile koagulasi pada tumor otak primer dan tumor otak sekunder
[tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia;2016
7. Dvorak HE Tumors: Wounds that do not heal-redux. Cancer Immunol Res. 2015;3(1):1-11.
8. Ay C, Vormittag R, Dunkler D, Simanek R, Chiriac AL, Drach J, dkk. D-dimer and prothrombin
fragment 1+2 predict venous thromboembolism in patients with cancer: results from the Vienna
cancer and thrombosis study. J Clin Oncol. 2009;27(25):4124-9.
9. Lyman GH, Khorana AA, Falanga A. Thrombosis and cancer: emerging data for the practicing
oncologist. Am Soc Clin Oncol Educ Book. 2013;2013:337-45.
10. Lima LG, Monteiro RQ. Activation of blood coagulation in cancer: implication for tumour
progression. Biosci Rep. 2013;33(5}:e00064.
11. Suega K, Bakta I. Correlation between clinical stage of solid tumor and D-dimer as a marker of
coagulation activation. Acta Med Indones. 2011;43(3]:162-7.
12. Baron JA, Gridley G, Weiderpass E, Nyre'n 0, Linet M. Venous thromboembolism and cancer.
Lancet. 1998;351(9109):1077-80.
13. Lee AY, Levine MN. Venous thromboembolism and cancer: risks and outcomes. Circulation.
2003;107(23 Supl 1):117-21.
14. KongX, Alexandru D, Bota DA. Epidemiology of central nervous system metastases. Dalam: Hayat
MA, editor. Brain metastases from primary tumors: epidemiology, biology and therapy. San Diego:
Elsevier; 2014. h. 26-38.
15. Wilhelm I, Molnar J, Fazakas C, Hasko J, Krizbai LA Role of the blood-brain barrier in the formation
of brain metastases. Int J Mol Sci. 2013;14(1):1383-411.
16. Maclellan DG, Richardson A, Stoodley MA. Venous thromboembolism and cancer. ANZ J Surg.
2012;82[5}:294-8.
17. Chen C, Li G, Liu Y, Gu Y. A New D-dimer cutoff value to improve the exclusion of deep vein
thrombosis in cancer patients. Asian Pac J Cancer Prev. 2014;15(4):1655-8.
18. Ay C, Dunkler D, Pirker R, Thaler J, Quehenberger P, Wagner O, dkk. High D-dimer levels are
associated with poor prognosis in cancer patients. Haematologica. 2012;97(8):1158-64.
19. Riddel JP, Aouizerat BE, Miaskowski C, Lillicrap DP. Theories of blood coagulation. J Pediatr Oncol
Nurs. 2007;24[3):123-31.
20. Nijziel MR, Van-Oerle R, Hillen HFP, Hamulyak K. From trousseau to angiogenesis: the link
between the haemostatic system and cancer. Nth J Med. 2006;64(11):403-10.
21. Zeidan AM, Forde PM, Streiff MB. Diagnosis, treatment, and prevention of cancer-associated
venous thromboembolism. Dalam: Niederhuber JE, Armitage JO, Doroshow JH, Kastan MB, Tepper
JE, editor. Abellof's clinical oncology. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2014. h. 542-61.
22. Falanga A, Schieppati F, Russo D. Cancer tissue procoagulant mechanisms and the hypercoagulable
state of patients with cancer. Semin Thromb Hemost. 2015;41:756-64.
23. Ikushima S, Ono R, Fukuda K, Sakayori M, Awano N, Kondo K. Trousseau's syndrome: cancer-
associated thrombosis. Jpn J Clin Oncol. 2016;46(3]:204-8.
24. Thomas GM, Brill A, Mezouar S, Crescence L, Gallant M, Dubois C, dkk. Tissue factor expressed
by circulating cancer cell-derivedmicroparticles drastically increases the incidence of deep
veinthrombosis in mice. J Thromb Haemost. 2015;13(7]:1310-9.
25. Falanga A, Russo L, Verzeroli C. Mechanisms of thrombosis in cancer. Thromb Res. 2013;131:S59-62.
26. Boccaccio C CP. Oncogenes, cancer, and hemostasis. In: Khorana AA FC, editor. Cancer-associated
thrombosis: new findings in translational science, prevention, and treatment. New York: Informa; 2008.
27. Kvolik S, Jukic M, Matijevic M, Marjanovic K, Obrovac LG. An overview of coagulation disorder in
1
cancer patients. Surg Oncol. 2010;19(l):33-46.
28. Khan MZ, Khan MS, Raziq F, Khattak AM. Fibrinogen degradation products and D-dimers in
patients with breast carcinoma. Gomal J Med Sci. 2007;5(1]:9-12.
29. ddleston M, De-La-Torre JC, Oldstone MB, Loskutoff DJ, Edgington TS, Mackman N. Astrocytes are the
primary source of the tissue factor in the murine central nervous system. J Clin Invest 1993;92(l):349-58.
30. Martinez-Gonzales A, Calvo GF, Romasanta LAP, Perez-Garcia VM. Hypoxic cells waves around
necrotic cores in glioblastoma: a biomathematical model and its therapeutic implications. Bull
Math Biol. 2012;74(12):2875-96.
31. Lyman GH, Bohlke K, Khorana AA, Kuderer NM, Lee AY, Arcelus JI, dkk. Venous thromboembolism
prophylaxis and treatment in patients with cancer: American society of clinical oncology clinical
practice guideline update 2014. J Clin Oncol. 2015;33(6):654-6.
32. DeAngelis LM, Posner JB. Neurologic complication of cancer. New York: Oxford University Press; 2009.
33. Cherny NI. Cancer Pain Assessment and Syndromes. Dalam: McMahon SB, Koltzenburg M, Tracey
I, Turk DC, editor. Wall and Melzack's textbook of pain. New York: Elsevier Saunders; 2013.
34. Ricard D, Durand T, Tauziede-Espariat A, Leclerq D, Psimaras D. Neurologic complications of
radiation therapy. Dalam: Schiff D, Arrilaga I, Wen PY, editor. Cancer neurology in clinical practice.
Edisi ke-3. New York: Thieme; 2008.
35. Rogers LR. Cerebrovascular Complications of Cancer. In: Schiff D, Arrillaga I, Wen PY, editors.
Cancer Neurology in Clinical Practice. 3rd ed. New York; 2018. p. 171-90.
36. Dardiotis E, Aloizou AM, Markoula S, Siokas V, Tsarouhas K, Tzanakakis G, et al. Cancer-associated
stroke: Pathophysiology, detection and management (Review]. Int J Oncol. 2019;54(3):779-96.
37. Kalpadakis C, Pangalis G a, Dimopoulou MN, Vassilakopoulos TP, Kyrtsonis M-C, Korkolopoulou
P, et al. Circulating Tight Junction Proteins Mirror BBB inegrity in Leukemia CNS Metastasis.
Hematol Oncol. 2007;25(3]:127-31.
38. Postma TJ, He *imans JJ. Grading of chemotherapy-induced peripheral neuropathy. Ann Oncol.
2000;11(5]:509-13.
39. Cavaletti G AP, Frigeni B, Piatti M, Susani E. Chemotherapy-induced neuropathy. Curr Treat
Options Neurol. 2011;13[2]:180-90.
40. ddington J, Freimer M. Chemotherapy-induced peripheral neuropathy: an update on the current
understanding. FlOOOResearch. 2016;5(F1000 Faculty Rev]:1466.
41. Silmao DAS, Murad M, Martins C, Fernandez VC, Captein KM, Teixeira AL. Chemotherapy-induced
peripheral neuropathy: review for clinical practice. Rev Dor Sao Paolo. 2015;16(3):215-20.
42. Kaplow R, Iyere K. Grading chemotherapy-induced peripheral neuropathy in adults. Nursing.
2017;47(2):67-8.
43. Mandel J. Neuro-oncology. Dalam: Kass JS, Mizrahi EM, editor. Neurology secrets. New York:
Elsevier Saunders; 2017.
44. Loprinzi CL. Prevention and treatment of chemotherapy-induced peripheral neuropathy. Wolters
Kluwer [serialonline]. 2018 [diunduh 30 Juli 2018]. Tersedia dari: UpToDate.
45. Ranjan S, Schiff D. Headacheas Complication of Cancer. In: Schiff D, Arrillaga I, Wen PY, editors.
Cancer Neurology in Clinical Practice. 3rd ed. New York; 2018. p. 143-50.
46. Shuman ME, Johnso MD. Elevated Intracranial Pressure and Hydrocephalus in Brain Tumor
Patients. In: Schiff D, Arrillaga I, Wen PY, editors. Cancer Neurology in Clinical Practice. 3rd ed.
New York: Springer; 2018. p. 193-200.
47. Relkin N, Marmarou A, Klinge P, Bergsneider M, Black PM. Diagnosing idiopathic normal-pressure
hydrocephalus. Neuro- surgery. 2005;57:Sl-3.
48. Wolff R, Karlsson B, Dettmann E, Bottcher HD, Seifert V. Pretreatment radiation induced oedema
causing acute hydro- cephalus after radiosurgery for multiple cerebellar metastases. Acta
Neurochir (Wien). 2003;145:691-6.
EVALUASI PASCA PENGOBATAN TUMOR OTAK
Rini Andriani, Indah Chitra

XXII.l. Pendahuluan
Penentuan respons tumor intrakranial terhadap pengobatan masih merupakan
suatu tantangan besar di bidang neuro-onkologi. Diperlukan suatu penilaian yang
memberikan pengukuran yang mudah diterapkan dan memberikan hasil yang
terpercaya. Pada tahun 1990 dikembangkan kriteria McDonald yang mengukur
respons pengobatan berdasarkan pengukuran massa tumor yang menyangat kontras,
akan tetapi kriteria McDonald memiliki beberapa keterbatasan karena hanya
menggantungkan penilaian progresifitas tumor pada pengukuran massa yang tampak
menyangat kontras, sementara penyangatan kontras hanya menggambarkan pasase
kontras melalui sawar darah otak yang rusak dan dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor antara lain pemberian kortikosteroid, anti-angiogenik, perbedaan teknik
radiologi, dan Iain-lain. Kriteria Mac Donald juga rentan memberikan hasil yang bias
pada kondisi progresif palsu [pseudoprogression). Oleh karena itu berbagai upaya
dilakukan untuk memperbaharui kriteria McDonald, salah satunya adalah kriteria
RANO yang dikembangkan oleh kelompok kerja RANO.12

Selama ini kriteria radiologis selalu dijadikan standar utama, namun kadang
tidak sesuai dengan kondisi klinis, sebagai contoh pasien dengan tumor otak dapat
mengalami perburukan defisit neurologis meskipun hasil pencitraan stabil, disamping
itu kriteria radiologis tidak dapat menilai tingkat kesintasan penderita. Oleh karena
itu suatu parameter khusus untuk penilaian klinis juga penting untuk ditetapkan.3

XXII.2. Response Assessment in Neuro-Oncology (RANO)


Kriteria RANO yang disusun oleh kelompokkerja Response Assessmment in Neuro-
oncology, bertujuan untuk memperbaiki asesmen dan menstandarisasi berbagai
kriteria penilaian respons pengobatan. Kriteria ini merupakan penyempurnaan
kriteria McDonald yang telah lebih dulu digunakan. Pada awalnya, kriteria RANO
dikembangkan untuk high grade glioma (HGG). Seiring perkembangannya, RANO juga
dikembangkan untuk asesmen tumor intrakranial lainnya, seperti metastasis otak,
metastasis leptomeningeal, tumor spinal, tumor intrakranial pada pediatrik, dan
meningioma.
Sama seperti kriteria McDonald, RANO tetap menggunakan pengukuran dua
dimensi, namun kriteria ini memasukkan definisi progresi pada pasien yaitu >25%
pada hasil pengukuran diameter tegak lurus dibandingkan dengan pengukuran dasar
atau respons terbaik, definisi lesi yang dapat terukur yaitu dua diameter tegak lurus
dengan ukuran setidaknya 10mm, terlihat pada dua atau lebih potongan, setidaknya
terpisah 5mm, dan diperbolehkan maksimal hingga 5 lesi target.

XXII.2.1. Kriteria RANO2


MRI merupakan modalitas satu-satunya dalam asesmen respons dan progresifitas
kriteria RANO, dengan syarat:
1. Sekuens minimum dalam penilaian adalah Tl pre kontras, Tl pascakontras dan
T2/FLAIR. Direkomendasikan Tl pasca kontras dengan dua bidang ortogonal
(untuk pengukuran volume].
2. Rekomendasi ketebalan potongan MRI < 5mm.
3. Pencitraan tambahan yang dapat membantu adalah sekuens DWI dan ADC.

Secara radiologis, terdapat dua jenis lesi pada RANO, yaitu:


1. Lesi terukur [measurable lesions')
a. Lesi menyangat kontras
b. Ukuran minimum: dua diameter tegak lurus berukuran > 1 Omm. Jika ketebalan
potongan MRI >5 mm, maka ukuran minimum adalah dua kali lipatnya.
c. Tidak termasuk kavitas, kista, dan nekrosis pada saat pengukuran.

Lesi yang diukur maksimal 5 lesi dengan ukuran terbesar dan harus dapat diukur
kembali (reproducible measurement).
2. Lesi yang tidak dapat diukur (non-measurable lesions)
a. Lesi terlalu kecil
b. Lesi tidak menyangat kontras (hanya terlihat di T2/FLAIR)
c. Batas lesi tidak jelas saat pengukuran

Berdasarkan RANO, lesi yang akan ditindak lanjuti merupakan lesi target. Berikut
algoritma dalam menentukan lesi target:
Cara pengukuran lesi target berdasarkan kriteria RANO adalah dengan
menjumlahkan maksimal lima lesi dengan hasil perkalian dua diameter tegak lurus
terbesar, seperti dapat dilihat di gambar 22.2.
Berdasarkan kriteria RANO, terdapat 4 kategori respons tumor terhadap
pengobatan, seperti yang dijelaskan pada Tabel 22.1 di bawah ini:
RANO juga membahas kriteria pseudoresponse dan pseudoprogression.
Pseudoresponse dapat disebabkan efek terapi obat anti-angiogenesis atau ditemukan
pada evaluasi kurang dari 4 minggu. Sementara pseudoprogression dapat terjadi
pascaradiasi kepala (baik whole brain radiotherapy ataupun radiasi fokalj yang lebih
disebabkan oleh timbulnya edema daripada pertumbuhan lesi. Untuk menghindari
bias akibat pseudoprogression maka MRI sebaiknya dilakukan 12 minggu setelah
radiasi atau menggunakan diffusion weighted imaging yang dapat membedakan
pseudoprogression dan pertumbuhan tumor yang sebenarnya.

XXH.2.2. Keterbatasan Kriteria RANO


Kriteria RANO mempertimbangkan komponen-komponen seperti pengenalan
lesi yang dapat atau tidak dapat diukur, pertimbangan akan pseudoprogression,
pertimbangan faktor perancu pembedahan, kortikosteroid, dan anti-angiogenik.4
Limitasi penggunaan kriteria RANO:5
1. Kriteria RANO menggunakan pengukuran dua arah pada massa tumor yang menyangat
kontras, hal ini dapat menyebabkan pengukuran berlebihan volume tumor dan
menyebabkan perbedaan penilaian antar pembaca, kemungkinan karena perbedaan
sudut pandang identinkasi diameter terpanjang, dan diameter tegak lurus pada massa
tumor yang relatif irreguler.
2. Batas yang digunakan untuk menentukan respons maupun progresi relatif belum
teroptimasi dengan data ilmiah yang menunjukkan korelasi antara harapan hidup
atau waktu sampai kegagalan pengobatan.
3. Penggunaan "persen perubahan" terhadap ukuran awal tumor menimbulkan bias
pada tumor berukuran kecil di mana sedikit saja perubahan pada ukuran tumor
dapat diinterpretasikan sebagai perubahan persentase yang besar. Hal ini penting
pada GBM yang baru terdiagnosis karena pasien dengan tumor kecil seringkali
dinilai progresif.
4. Belum ada kriteria objektif untuk massa yang tidak menyangat kontras
t

XXII.3. Neurologic Assessment in Neuro-Oncology (NANO)


Skala penilaian neurologis telah banyak dikembangkan pada subspesialisasi
neurologis lainnya, di antaranya National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS],
Expanded Disability Status Scale (EDSS), Unified Parkinson Disease Rating Scale
(UPDRS), dan lainnya. Sementara skala pengukuran fungsi neurologis belum pernah
dikembangkan secara khusus untuk pasien tumor otak. Berdasarkan hal ini, berbagai
ahli internasional dalam bidang neuro-onkologi mengembangkan Neurologic
Assessment in Neuro-Oncology (NANO).3
NANO dapat menilai fungsi neurologis secara objektif dan praktis, sehingga dapat
digunakan oleh neurolog dan tenaga medis lainnya.3NANO menilai sembilan domain
fungsi neurologis berdasarkan klinis yang paling sering ditemui pada pasien dengan
tumor otak.6
Selain digunakan untuk menilai progresifitas pasien dengan glioblastoma
multiforme (GBM), NANO juga mampu memprediksi kesintasan pasien. Hal ini
menunjukkan bahwa NANO dapat menjadi alternatif penilaian luaran klinis pasien
GBM dibandingkan KPS dan ECOG. NANO mampu menghilangkan bias subjektif
dalam evaluasi klinis, mampu mengevaluasi perubahan klinis dan fungsi neurologis
secara objektif pada pasien glioma.7
Kelebihan kriteria NANO yaitu hasil penilaian dapat dibandingkan dari waktu
ke waktu untuk menentukan status klinis pasien apakah stabil, perbaikan, atau
perburukan. Kriteria NANO telah disetujui oleh para peneliti dari berbagai bidang
[high inter-observer agreement)?

XXII.3.1. Kriteria NANO


Kriteria NANO secara khusus dirancang untuk dipadukan dengan kriteria radiologis
RANO untuk menghasilkan penilaian respons keseluruhan yang objektif. Skala NANO
menilai sembilan domain utama otak yang berhubungan erat dengan lokasi tumor otak
di supratentorial, infratentorial, dan batang otak. Domain tersebut adalah cara berjalan
[gait], kekuatan motorik, ataksia ekstremitas atas, sensorik, lapang pandang, kekuatan
otot wajah, bahasa, tingkat kesadaran, dan perilaku (Tabel 22.2). Nilai tinggi skala NANO
mengindikasikan fungsi neurologis yang lebih buruk. Pemeriksaan ini dapat dilakukan
pada saat awal diagnosis dan pemeriksaan rutin selanjutnya.7
Pengukuran skala NANO dapat dilakukan pada pasien usia dewasa >18 tahun
dengan jenis tumor otak; glioma derajat rendah dan derajat tinggi, metastasis otak,
dan tumor otak primer lainnya. Selain itu dapat dilakukan pada pasien dalam terapi
kemoterapi, radioterapi, maupun keduanya atau bahkan tidak dalam terapi.3
Respons neurologis pada skala NANO dinilai berdasarkan penilaian yang
dilakukan pada saatawal (baseline) dan follow up, diintegrasikan dengan pemeriksaan
radiologi. Skala NANO secara keseluruhan akan ditentukan setelah penilaian masing-
masing domain dan akan mencakup satu dari lima kemungkinan hasil akhir:
1. Neurologic response didefinisikan sebagai peningkatan nilai >2 dalam setidaknya satu
domain tanpa perburukan di domain lain.
2. Neurologic stability menunjukkan klinis neurologis yang tidak memenuhi kriteria lainnya.
3. Neurologic progression didefinisikan sebagai perburukan nilai >2 dari nilai dasar atau
perburukan dari nilai tertinggi >1 domain yang berhubungan dengan progresifitas
tumor namun tidak berkaitan dengan kondisi komorbid, atau pengobatan pada saat
bersamaan.
4. Non-evaluable, jika terdapat banyak faktor yang memengaruhi perubahan klinis,
seperti kortikosteroid, narkotika sedatif, antiepilepsi, ensefalopati metabolik, stroke,
post-ictal confusion, dan lainnya.
5. Not assessed, apabila salah satu domain tidak didapatkan baseline nya, maka tidak
dapat dinilai.

XXII.3.2 Keterbatasan3
1. Kriteria NANO hanya dirancang untuk pasien dewasa (studi variabilitas antar-
pengamat dilakukan pada pasien berusia >18 tahun)
2. Skala ini tidak dapat digunakan untuk menilai aspek neurologis yang lebih
kompleks seperti tumor dengan keterlibatan leptomeningeal.
3. Penelitian variabilitas antar pemeriksa skala NANO dilakukan di pusat neuro-
onkologi di mana para klinisi sudah terbiasa melakukan pemeriksaan pada pasien
dengan tumor otak dibandingkan dengan klinisi di komunitas pada umumnya.
4. Kriteria NANO tidak mengkaji efek pembelajaran (learning effect) pada dokter,
di mana dokter cenderung mengurangi waktu pemeriksaan pada evaluasi
berikutnya.
5. Realibilitas antar pemeriksa tidak dikaji pada NANO karena secara rasional
dianggap telah terwakili oleh variabilitas antar pemeriksa.
XXII.4. Kriteria-kriteria lain
XXH.4.1. ECOG Performance Status (Eastern Cooperative Oncology Group)
Kriteria ini dikembangkan pada tahun 1982 oleh Eastern Cooperative Oncology
Group (ECOG) yang sekarang merupakan bagian dari ECOG-ACRIN Cancer Research
untuk standarisasi di antara para peneliti yang merancang dan mengevaluasi
penelitian Minis kanker.
Sebuah kriteria standar yang konsisten dibutuhkan untuk melakukan uji klinis
pada pengobatan kanker di rumah sakit, klinik, maupun pusat kanker. Kriteria ini
mengukur bagaimana penyakit memengaruhi kemampuan hidup atau status kinerja
pasien sehari-hari. Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) performance status
menggambarkan tingkat kemampuan pasien dalam merawat diri mereka, melakukan
aktivitas sehari-hari maupun kemampuan fisik seperti berjalan, bekerja, dan Iain-
lain. Para peneliti menggunakan kriteria ECOG saat merencanakan penelitian uji coba
pengobatan baru, menentukan populasi pasien yang akan dipelajari dalam percobaan
maupun mengevaluasi perubahan kemampuan pasien selama percobaan.8

XXII.4.1.1. Skala penilaian ECOG (Eastern Cooperative Oncology Group)8


Skala penilaian ECOG terdiri dari 5 derajat yang menggambarkan tingkat
kemampuan pasien dalam aktivitas sehari-hari (Tabel 22.3.]
XXII.4.1.2. Keterbatasan ECOG
Meskipun kriteria pengukuran standar ini sederhana dan bermanfaat, instrumen
ini memiliki bias dan keterbatasan seperti realibilitas dan tingkat kesepakatan hasil
pemeriksaan. Realibilitas berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan hasil pengukuran.
Sedangkan tingkat kesepakatan hasil pengukuran dapat terjadi seperti variabilitas intra-
dan inter-observer.9
Sebuah penelitian membandingkan variabilitas antar pengamat [inter-observer]
menggunakan kriteria Karnofsky Performance Status Scale (KPS) dan ECOG secara
independen yang dilakukan oleh ahli onkologi Minis, residen bangsal, perawat
terlatih, dan pasien sendiri. Tingkat kesepakatan lebih tinggi pada penilaian kriteria
ECOG dibandingkan KPS. Hasil ini dapat dijelaskan dengan fakta bahwa kriteria ECOG
memiliki jumlah pilihan yang lebih kecil daripada skala KPS.10
Kriteria ini biasanya lebih sering dinilai oleh dokter daripada pasien itu sendiri.
Sebuah penelitian membandingkan tingkat kesepakatan antara dokter dan pasien
dimana penilaian kriteria yang dilakukan oleh dokter dibandingkan dengan penilaian
yang dilakukan oleh pasien menunjukkan bahwa hasil penilaian dokter dan tenaga
medis lainnya cenderung menggambarkan tingkat kemampuan pasien lebih baik
dibandingkan penilai pasien itu sendiri.11
XXII.4.2. Karnofsky Performance Status Scale (KPS)
Karnofsky Performance Status Scale (KPS] adalah metode yang banyak digunakan
untuk menilai status fungsional seorang pasien. Skala ini diperkenalkan oleh David
A. Karnofsky dan Joseph H. Burchenal pada tahun 1949 dalam sebuah artikel yang
awalnya diterbitkan sebagai bagian dari buku "Evaluation of Chemotherapeutic
Agents" yang diedit oleh Colin M. MacLeod. KPS menggambarkan status fungsional
pasien dalam 11 skala yang berkorelasi dengan nilai persentase mulai dari 100%
(tidak ada bukti penyakit dan gejala] hingga 0% (kematian].12 Dalam uji klinis, KPS
digunakan sebagai kriteria seleksi dan untuk stratifikasi pada kelompok pasien uji,
faktor prognostik pada pasien tumor dan menilai kualitas hidup pasien.13
XXII.4.2.1. Penilaian Karnofsky Performance Status Scale (KPS)

XXH.4.2.2. Keterbatasan Karnofsky Performance Status Scale (KPS)


Keterbatasan KPS berada pada objektifitas hasil pemeriksaan. Sama seperti
kriteria penilaian ECOG, terdapat perbedaan hasil pemeriksaan antar pemeriksa.
Kedua kriteria penelitian ini dinilai sangat subjektif.13

XXII.5. Perawatan Akhir Kehidupan


Keputusan end of life pasien neuro-onkologi harus didasari oleh prinsip-prinsip
etika dan pertimbangan situasi klinis. Terdapat 5 domain perawatan paliatif, yakni
kontrol nyeri yang adekuat, kontrol gejala, pemanjangan usia harapan hidup yang
berkualitas, menghilangkan beban, dan memperkuat hubungan dengan orang yang
dicintai. Dengan meningkatnya jumlah kasus kanker terutama tumor otak dan
meningkatnya kemampuan bertahan hidup pada pasien kanker, maka perlu dilakukan
perawatan paliatif yang lebih baik pada bidang neuroonkologi
Integrasi perawatan paliatif di ICU memiliki peran penting dalam meningkatkan
kualitas perawatan yang disediakan. Kehadiran seorang spesialis perawatan paliatif di
ICU dapat membantu dalam kenyamanan pasien, dukungan psikososial, pengambilan
keputusan bersama, dan kesinambungan perawatan. Peran perawat sangat penting
dalam mengintegrasikan perawatan paliatif ke dalam praktik perawatan kritis.
Keterlibatan dalam manajemen gejala, penguatan komunikasi, pengambilan
keputusan pasien/keluarga, serta memastikan bahwa kebutuhan pasien dan keluarga
terpenuhi.1011

XXII.6. Kesimpulan
Identifikasi dan pengelolaan kedaruratan dan perawatan intensif kasus
neuronkologi membutuhkan penalaran klinis, lokasi neuroanatomi, dan kesadaran
akan potensi sindrom klinis. Pengenalan dan tindakan cepat dapat mengurangi
disfungsi neurologis, sehingga mengarah pada terapi yang tepat. Penting untuk
menilai triase pasien kanker kritis yang akan diterima di ICU. Setelah diterima, mereka
harus diberi kesempatan untuk mendapat dukungan ICU penuh (dengan atau tanpa
resusitasi jantung paru), namun tidak termasuk pemberian kemoterapi.
Namun jika tidak ada manfaat yang mungkin dari perawatan apa pun, tim dokter
multidisiplin harus memberi tahu pasien dan/atau keluarga untuk memutuskan
membatasi terapi yang mempertahankan hidup, sehingga perawatan pasien menjadi
paliatif untuk meringankan pasien, keluarga, dan pengasuh, dari segala rasa sakit dan
ketidaknyamanan. Diperlukan kolaborasi yang erat antara onkologis dan intensivis
untuk pengenalan dan pengambilan keputusan tersebut.

Daftar Pustaka
1. Wen PY, Macdonald DR, Reardon DA, Cloughesy TF, Sorensen AG, Galanis E, dkk. Updated response
assessment criteria for high-grade gliomas: response assessment in neuro-oncology working
group. J Clin Oncol. 2010;28(ll):1963-72.
2. Wen PY, Chang SM, Van Den Bent MJ, Vogelbaum MA, Macdonald DR, Lee EQ. Response assessment
in neuro-oncology clinical trials. Journal of Clinical Oncology. 2017.
3. Nayak L, Deangelis LM, Brandes AA, Peereboom DM, Galanis E, Lin NU, dkk. The Neurologic
Assessment in Neuro-Oncology (NANO) scale: A tool to assess neurologic function for integration
into the Response Assessment in Neuro-Oncology (RANO) criteria. Neuro Oncol. 2017;
4. Mithun G. Sattur, Michael A. Vogelbaum. RANO Criteria: Application to Response Assessment in
Clinical Trials. In: Handbook of Neuro-Oncology Neuroimaging. 2nd ed. 2016. h. 409-18.
5. Ellingson BM, Wen PY, Cloughesy TR Modified Criteria for Radiographic Response Assessment in
Glioblastoma Clinical Trials. Neurotherapeutics. 2017.
6. Mason W. NANO, a practical scale for neurologic assessments in patients with brain tumors?
Neuro-Oncology. 2017.
7. Ung TH, Ney DE, Damek D, Rusthoven CG, Youssef AS, Lillehei KO, et al. The Neurologic Assessment
in Neuro-Oncology [NANO) Scale as an Assessment Tool for Survival in Patients With Primary
Glioblastoma. Neurosurgery. 2018.
8. Oken M, Creech R, Tormey D, et al. Toxicity and response criteria of the Eastern Cooperative
Oncology Group. Am J Clin Oncol 1982;5:649-55.
9. Kelly CM, Shahrokni A. Moving beyond Karnofsky and ECOG performance status assessments
with new technologies. J oncol. 2016; 2016: 6186543.
10. Taylor AE, Olver IN, Sivanthan T, Chi M, Purnell C. Observer error in grading performance status
in cancer patients. Support Care Cancer. 1999;7(5):332-5.
11. Ando M, Ando Y, Hasegawa Y, et al. Prognostic value of performance status assessed by
patients themselves, nurses and oncologist in advanced non-small cell lung cancer. Br J Cancer.
2001;85(ll):1634-9.
12. Karnofsky D, Burchenal J. The clinical evaluation of chemotherapeutic agents in cancer. In:
MacLeod C, ed. Evaluation of Chemotherapeutic Agents. New York, NY: Columbia University
Press.l949:191-205.
13. Peus D, Newcomb N, Hofer S. Appraisal of the Karnofsky Performance Status and proposal of a
simple algorithmic system for its evaluation. BMC Med Inform Decis Mak.2013;13:72.
PENDEKATAN IMUNOTERAPI SELULER
PADA GLIOBLASTOMA
Yordan Khaedir, Mulki Angela, Citnyta Putri Kwarta, Tiara Aninditha

XXIII. 1. Pendahuluan
Seperti kita ketahui, sensitivitas dan spesivisitas sistem imun telah berkembang
sehingga tubuh mampu mengenal patogen asing, seperti bakteri atau virus
pascainfeksi. Melalui mekanisme efektor bawaan, adaptif, dan seluler, tubuh dapat
mengontrol infeksi virus yang menyebar dengan cepat serta mengeliminasi hampir
semua sel yang terinfeksi. Selama lebih dari 100 tahun, para ahli imunologi khususnya
imunologi tumor atau kanker berharap dapat menggunakan kemampuan sitotoksik
sel yang mengagumkan sebagai salah satu bentuk pengobatan terhadap sel kanker
ganas. Secara fisiologis, sel kanker memiliki mekanisme invasi yang sangat berbeda
jika dibandingkan dengan mikroorganisme virus dan bakteri.

Selain itu, sel kanker dapat menyebar dalam tubuh dengan efek yang mematikan.
Di sisi lain, harapan terhadap imunoterapi sebagai upaya pengobatan untuk pasien
onkologi terutama neuro-onkologi juga memiliki banyak tantangan. Bukti terkini
menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang dinamis antara sistem saraf pusat dan
sistem imun perifer atau sistemik dalam penerapan imunoterapi untuk pasien neuro-
onkologi. Pengembangan imunoterapi yang efektif terhadap kanker otak merupakan
tantangan yang unik dalam bidang imunoterapi kanker.
XXIII.2. Imunologi Ranker
Tumor otak merupakan salah satu jenis tumor pada sistem saraf baik
primer atau metastasis dari tumor organ lainnya. Angka ketahanan hidup pasien
glioblastoma, tumor yang paling sering ditemukan, masih rendah walaupun berbagai
intervensi terapi telah dilakukan. Upaya-upaya seperti mengintensifkan terapi
sitotoksik (intensifying cytotoxic therapy), menargetkan terapi pada jalur sinyal sel
yang mengalami disregulasi {targeting dysregulated cell signaling pathways'), dan
melakukan blokade terhadap angiogenesis (blocking angiogenesis). Beberapa riset
eksperimental dan uji klinis menunjukkan bahwa pendekatan imunoterapi sebagai
upaya pengobatan (Reardon DA) bermanfaat secara Minis.12
Hal yang masih menjadi perdebatan dalam bidang imunologi kanker adalah
apakah kanker mengekspresikan antigen atau tidak. Antigen ini yang kemudian
menjadi target atau sasaran oleh sistem imun tubuh. Eksperimen pada hewan coba
tikus menunjukkan bahwa sistem imun memiliki kemampuan yang tinggi dan efektif
dalam menghilangkan sel tumor ganas. Teknik transplantasi klasik yang digunakan
pada eksperimen pertama bertujuan mengidentifikasi imunogenisitas tumor. Hal ini
menunjukkan bahwa tumor yang terinduksi secara kimiawi memiliki antigen yang
dapat dikenal secara khusus dan dapat dieliminasi oleh tikus yang imunokompeten.2
Hasil eksperimen Van der Bruggen et al menunjukkan bahwa terdapat antigen
pada cell-line tumor tikus. Studi riset ini merupakan penemuan pertama adanya
antigen pada tumor manusia dengan melanoma maligna.4 Riset terkini difokuskan
pada upaya berkelanjutan untuk mengidentifikasi berbagai antigen baru pada tumor
manusia dan berupaya memahami mekanisme sel kanker mampu mengeliminasi
respons fisiologis sel normal. Selain itu, riset terkini juga dilakukan untuk
mengeksplorasi sistem imun antitumor pada manusia kemudian menerapkan hasil
riset eksperimental imunoterapi kanker hewan percobaan pada imunoterapi tumor
pasien yang sesungguhnya, yaitu manusia.

XXIII.3. Imunoterapi Kanker


Pada awalnya, imunoterapi tumor difokuskan pada penggunaan stimulator imun
non-spesifik (non-specific immune stimulators) sebagai respons imun antitumor
pada penjamu. Injeksi atau imunisasi adjuvan dengan menggunakan heat-kiled
bacille Calmette-Guerin atau Corynebactehum yang dilakukan pada jenis tumor-
tumor sistemik untuk mengobati melanoma maligna dan kanker lainnya tampak
memberikan harapan yang menjanjikan, tetapi sayangnya kemudian menghadapi
kegagalan. Di sisi lain, beberapa kasus dinyatakan sukses. Salah satunya adalah
pengobatan kanker kandung kemih dengan injeksi lokal menggunakan adjuvan non-
spesifik (non-specific adjuvants') yang mendukung validitas pendekatan pengobatan
kasus-kasus keganasan. 5
Dalam beberapa tahun terakhir, agen imunostimulator yang lebih poten
langsung bekerja pada antigen-presenting cells (APCs) dan sel-sel efektor dari
sistem imun, seperti agonis toll-like receptor (TLR), sedang dikembangkan sebagai
bentuk imunoterapi.6,7 Agonis ini mengarahkan sinyal melalui famili TLR pada APCs
sehingga menghasilkan peningkatan ekspresi dari molekul-molekul ko-stimulator
dan penghasil sitokin seperti interferon y (IFNy) dan interleukin-12 (IL-12).8 Agonis
TLR seperti lipopolysaccharide (LPS), double-stranded RNA, heat shock protein 70,
imiquimod, dan CpG oligonucleotides, memiliki kapasitas untuk meningkatkan respons
imunologis terhadap glioma dan jenis tumor lainnya.7'9"12 Walaupun beberapa agonis
tersebut dapat meningkatkan respons fisiologis apabila digunakan sebagai agen
tunggal, hampir seluruh protokol eksperimen yang telah dilakukan menggunakan
agonis tersebut harus dikombinasikan dengan beberapa agen imunoterapi antitumor
khusus lainnya.

Sebagian besar imunoterapi terkini ditujukan pada induksi dari respons imun
khusus terhadap antigen tumor dengan menggunakan strategi imunisasi secara aktif,
yaitu "vaksin kanker", atau melakukan transfer sel-sel efektor khusus tumor atau
antibodi. Hasil awal studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan vaksin untuk pasien
glioblastoma secara klinis bermanfaat walaupun berbagai variabel masih perlu diteliti
lebih lanjut sebelum didapatkan hasil yang optimal. Penelitian tahap preklinis juga
menunjukkan hasil yang menjanjikan, termasuk penelitian pada penggunaan metode
imunoterapi lainnya, seperti pendekatan sel (cell-based approaches] dan penutupan/
blokade immune checkpoint. Studi klinis untuk mengevaluasi berbagai metode
imunoterapi untuk pasien glioblastoma multiforme (GBM) sedang dikembangkan
secara luas (Tabel 23.1). 2
XXIII.4. Pendekatan Imunoterapi Seluler untuk Glioblastoma
Salah satu strategi terapi seluler untuk glioblastoma adalah transfer adoptif sel T
(adoptive T-cell transfer) dengan memaparkan sel T secara langsung kepada antigen
tumor melalui teknik infus. Teknik infus dapat berupa efek graft-versus-leukemia
atau infus dengan menggunakan limfosit donor (orang lain] untuk proses remisi
pasien yang sedang menjalankan transplantasi sel punca alogenik (allogeneic stem
cell transplant).1213 Penelitian lanjutan menunjukkan keberhasilan penggunaan virus
Epstein-Barr-spesifik tehadap sel T untuk mengobati penyakit lymphoproliferative
pascatransplantasi (post-transplant lymphoproliferative disease].15 Di lain pihak,
Rosenberg et al menjadi pionir dalam penanganan tumor-infiltrating lymphocytes
(TILs1) pada pasien melanoma.16 Adapun Besser dkk menunjukkan tingkat respons
objektif hingga 30% telah diamati pada pasien melanoma yang menerima transfer sel
T adoptif. Pasien mengekspresikan reseptor sel T yang diubah secara genetik (TCR)
dan memiliki afinitas lebih tinggi untuk kompleks MHC-antigen.17
Pendekatan transfer adoptif tahap awal untuk pasien glioma malignan meliputi
prosedur administrasi sel T yang diisolasi dari kelenjar getah bening. Setelah itu
dilakukan prosedur injeksi subkutan dengan granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor (GM-CSF) ke sel-sel tumor yang telah diradiasi atau dengan
prosedur ko-kultur antara sel T autologus dengan sel tumor secara eks-vivo.1719
Penelitian terkini juga menunjukkan visibilitas cytomegalovirus (CMV)-spesifik sel
T dari CMV-seropositif pasien glioblastoma multiforme (GBM) dan studi Minis fase
I/II sedang dijalankan untuk mengevaluasi keamanan dan aktivitas antitumor dari
prosedur penanganan sel-sel tersebut kepada pasien GBM.20
Selain itu, dapat dilakukan pendekatan imunoterapi dengan modifikasi genetis,
yaitu rekayasa sel T (engineered T cell) untuk meningkatkan reaktivitas terhadap
antigen tumor atau dengan menggunakan terapi Chimeric Antigen Receptor (CAR) sel
T. Hal ini terbukti menunjukkan efek yang menjanjikan bagi pasien-pasien yang gagal
dalam metode terapi lainnya. Metode pendekatan terapi ini dimulai dengan mengambil
sel T dari tubuh pasien, merekayasa sel-sel tersebut secara eks-vivo, kemudian
dikembalikan ke tubuh pasien. CAR sel T diproses dengan pemrograman ulang
untuk dapat mengekspresikan domain pengikat antibodi monoklonal [monoclonal
antibody-binding domains) yang memicu aktivasi sel T dan fungsi efektor terhadap
ikatan dengan antigen tumor [tumor antigen binding).21 Komposisi CAR terdiri dari
antigen-binding domain, extracellular-spacer/hinge region, transmembrane domain,
dan intracellular-signaling domain (Gambar 23.1}.
CAR sel T generasi ke-2 dan ke-3 saat ini sedang dalam proses pengembangan
penggabungan modifikasi genetis modular tambahan untuk meningkatkan potensi
replikasi, fungsi efektor, dan persitensi in vivo.22'23 Secara teoritis, CAR dapat dirancang
untuk menargetkan antigen mana saja. CAR juga dapat melakukan bypass terhadap
major histocompatibility complex (MHC] restriction karena memiliki kemampuan
untuk melakukan pengikatan langsung dengan antigen (direct antigen-binding
capability]. CAR sel T memiliki strategi yang menarik untuk mengatasi penurunan
ekspresi oleh MHC, yaitu mekanisme penghindaran sistem imun yang berhubungan
dengan berbagai kanker termasuk GBM.24 Upaya untuk mengombinasikan kemampuan
pengikat-antigen dan fungsi aktivasi sel T akan membentuk CAR sel T yang dapat
menghasilkan respons imun sangat kuat terhadap antigen tumor yang sifatnya di luar
batas toleransi. CAR sel T menjadi terapi yang menjanjikan bagi pasien dengan tumor
otak.25 Studi preklinis CAR sel T yang direkayasa untuk menargetkan IL13Ra2, HER2,
dan tumor glioma EphA2-positif menunjukkan hasil yang bermanfat.26 28 Saat ini uji
coba CAR yang menargetkan EGFRvIII dan HER2 sedang dilakukan untuk pasien
GBM.28 Penelitian yang dilakukan oleh Brown et al membuktikan bahwa CAR sel T
autologus yang menargetkan IL13Ra2 menginduksi respons pasien glioblastoma
multiforme berulang bertahan hidup.29
Pendekatan terapi lainnya adalah penggunaan Bispecific T-cell engagers (BiTEs).
BiTEs menghasilkan sinaps imunologis antara sel T sitotoksik poliklonal dengan sel
tumor.30 Komposisi dari molekul ini adalah single-chain variable antibody fragment
(scFv) hingga T-cell activation ligand CD3 dan berhubungan dengan tumor antigen-
specific scFv (Gambar 23.2A). BiTEs memiliki kemampuan untuk memediasi lisis
sel tumor yang sangat kuat secara independen dari molekul-molekul ko-stimulator
dan dari pengenalan [recognition) oleh peptida MHC, termasuk ekspansi dan
persistensi klonal sel T (Gambar 23.2B).31 Berbagai jenis BiTEs sedang dalam tahap
pengembangan klinis, antara lain blinatumomab, yaitu jenis CD19/CD3 BiTEs yang
telah terbukti dapat menginduksi remisi seluler dan molekuler dalam jangka panjang
pada pasien leukemia limfoblastik akut yang sulit disembuhkan.3233 Penggunaan
sistemik BYTE-targeting EGFRvIII pada studi preklinis terbukti efektif mengobati
tumor GBM intrakranial jenis well-established EGFRvIII-positive.34 Kinerja BiTEs juga
dievaluasi dalam kombinasi dengan anti-PD-1 + anti-CTLA-4 blokade imun untuk
mengaktifkan aktivasi sel T yang lebih besar.35
XXIII.5. Imunoterapi Vaksinasi untuk Glioblastoma
Penentu utama dalam imunogenisitas vaksin adalah perailihan antigen yang tepat
dan berbagai jenis antigen telah diteliti dalam studi vaksin kanker. Antigen vaksin
tumor diklasifikasikan sebagai tumor associated (terkait tumor) dan tumor specific
(khas tumor]. Tumor-associated antigens (TAAs) terutama berasal dari protein asli
atau secara selektif diekspresikan oleh sel tumor, tetapi TAAs dapat pula berasal dari
sel normal. Sebaliknya, tumor-specific antigens (TSAs) hanya berasal dari sel tumor
dan secara khas menghasilkan respons imun yang kuat seperti antigen mikroba
pada vaksin untuk penyakit infeksi. Vaksinasi yang berasal dari preparasi lisat tumor
merupakan metode dengan pendekatan yang memberikan keuntungan penggabungan
penggunaan TAAs dan TSAs terhadap pasien spesifik.3637
Pendekatan ini tidak dibatasi oleh subkelas HLA dan secara teoretis dapat
dilakukan pada setiap pasien GBM dengan jenis tumor yang dapat dibedah
(resectable tumor). Di sisi lain, pendekatan ini membutuhkan pembedahan untuk
dapat menghasilkan vaksin dan waktu yang lama untuk persiapan vaksin. Selain
itu, lisat tumor secara teoretis dapat memicu reaksi autoimun terhadap sel normal
penjamu sehingga mengontaminasi produk vaksin. Saat ini, beberapa ujicoba vaksin
dengan menggunakan TAA yang dikembangkan antara lain menggunakan ICT 107
[Immunocellular Therapeutics). Penelitian ini menggunakan metode kontrol-plasebo
acak [randomized, placebo-controlled) dan masih dalam uji klinis tahap II. Selain
itu juga terdapat penelitian dengan menggunakan peptida vaksin 11-TAA (IMA950;
Immatics Biotechnologies GmbH] yang masih dalam tahap uji klinis tahap I/II untuk
pasien GBM yang baru didiagnosis. Sekarang ini terdapat dua strategi vaksin TSA yang
sedang dalam tahap evaluasi klinis untuk pasien glioma maligna, sedangkan strategi
yang ketiga masih dalam tahap pengembangan. Strategi dengan pendekatan TSA saat
ini dengan target vaksinasi epidermal growth factor receptor variant III (EGFRvIII)
menunjukkan angka harapan hidup yang menjanjikan.38

Uji klinis yang telah berjalan saat ini menggunakan asam amino EGFRvIII sintetis,
yakni rindopepimut {Celldex therapeutics'). Pada percobaan ini, respons imun spesifik
EGFRvIII dapat dideteksi dan berkorelasi dengan hasil positif (membaik). Strategi
vaksinasi lain yang menggunakan TSA menargetkan human cytomegalovirus (HCMV].
Protein HCMV ditemukan pada hampir semua jenis tumor GBM dan juga sebagian
besar glioma tingkat II dan III, tetapi tidak ditemukan pada sel otak non-kanker yang
terletak di dekatnya.394041
Berbagai strategi imunoterapi yang memanfaatkan kehadiran CMV pada tumor
GBM masih diteliti, termasuk vaksinasi dengan HCMV pp65-LAMP-Ioaded DCs (sel
dendritik), dengan atau tanpa autologous T-cell transfer yang masih dalam tahap uji
Minis fase I dan generation of polyclonal CMV-specific T cells yang digunakan sebagai
transfer adoptif.42
Strategi vaksinasi lain yang menggunakan lisat tumor adalah dengan
menggunakan DCVax L (Northwest Biotherapeutics) yang merupakan strategi vaksin
menggunakan autologous sel dendritik (DCs) dengan lisat tumor pada pasien GBM
yang baru didiagnosis. Uji vaksinasi DCVax L saat ini sedang dalam uji klinis tahap III.
Pendekatan lainnya adalah penggunaan 96 KD heat shock protein complex (HSPPC-96).
Heat shock proteins merupakan jenis protein yang mengalami upregulation oleh stress
dan dianggap sebagai adjuvan alamiah (natural adjuvant) karena kemampuannya
utuk menigkatkan respons imun.43 Bukti awal yang menunjukkan imunogenisitas
pendekatan ini dan memberi harapan manfaat antitumor pada pasien GBM rekuren
telah membuka jalan pada uji klinis tahap II yang mengevaluasi vaksinasi HSP96
dengan bevacizumab pada pasien GBM rekuren.44

XXIII.6. Pengembangan Imunoterapi Seluler untuk Glioblastoma di Masa Depan


Berbagai jenis kanker, termasuk GBM, meningkatkan ekspresi immune
checkpoint regulators seperti cytotoxic T-lymphocyte-associated antigen-4 (CTLA-
4) dan programmed cell death protein 1 (PD-1) ataupun ligannya, PD-L1 and PD-L2.
Selain itu, sebanyak 64 inhibitory immune checkpoint mediators pada kondisi normal
diaktifkan untuk melemahkan respons imun secara tepat agar dapat mencegah
terjadinya autoimunitas dan kerusakan sel lokal. Sekarang ini, mekanisme keduanya
menunjukkan manfaat yang baik sebagai antitumor terhadap berbagai jenis kanker,
termasuk kanker jenis melanoma metastatic yang biasanya tidak menunjukkan
respons dengan terapi konvensional.44-45
Pada beberapa studi eksperimental, blokade terhadap CTLA-4 menghasilkan
angka harapan hidup jangka panjang [long-term survival] sebesar 80% pada tikus
VM/Dk imunokompeten dengan tumor intrakranial SMA-560.46 Terapi ini dapat
ditoleransi dengan baik dan tidak ada laporan terjadinya toksisitas autoimun. Terapi
anti-CTLA-4 juga menormalkan jumlah sel T helper (CD4) dan menurunkan jumlah sel
CD4+CD25+FoxP3+Treg.Padastudi lain, terapi IL-12intratumoryangdikombinasikan
dengan blokade CTLA-4 sistemis menghasilkan ketahanan hidup jangka panjang pada
sebagian besar tikus dengan tumor GL-261 (GL-261 tumor-bearing mice].47
Data preklinis untuk mengevaluasi blokade PD-1/PD-L1 untuk GBM saat ini masih
terbatas. Riset eksperimental menunjukkan bahwa pemberian anti-PD-1 MAb (antibodi
monoklonal) dapat meningkatkan ketahanan hidup rata-rata {median survival) dari
26 hari sampai 52 hari pada tikus jenis C57BL/6 dengan tumor intrakranial GL-261
saat dikombinasikan dengan dosis radiasi lOGy.48 Dengan demikian, evaluasi klinis
terhadap blokade CTLA-4 MAbs {CTLA-4 blocking MAbs) pasien neuro-onkologi masih
terbatas pada pasien dengan kanker sistemik yang bermetastasis ke otak. Terapi
dengan ipilimumab sebagai terapi agen-tunggal {single-agent therapy) menunjukkan
hasil yang baik pada pasien melanoma dengan metastasis otak, demikian pula
kombinasi dengan radioterapi atau stereotactic radiosurgery^3 Namun, kombinasi
dengan kortikosteroid secara bersamaan akan menurunkan hasilnya.54
Uji klinis untuk mengevaluasi ipilimumab sedang dalam pengembangan lanjutan
baik untuk pasien GBM yang baru didiagnosis atau pasien dengan GBM rekuren.
Berbagai uji klinis yang dilakukan terhadap Pd-1/PD-Ll juga dikembangkan untuk
pasien glioma malignan. Uji klinis tahap II mulai dilakukan pada pasien glioblastoma
rekuren dengan nivolumab, nivolumab dan ipilimumab, atau bevacizumab.55 Uji tahap
1/ II akan dilakukan pula terhadap pidilizumab (CurTech), humanized anti-PD-1 MAb,
pada pasien dengan glioma maligna rekuren atau glioma yang telah menyebar {diffuse
intrinsic pontine glioma).56
Mekanisme kerja CTLA-4 dan PD-1/PD-L1 bersifat komplementer untuk
menginhibisi aktivasi sel T. Melalui tindakan blok terhadap antibodi monoklonal
CTLA-4 ataupun PD-1/PD-L1 maka akan memulihkan inhibisi immune checkpoint,
sehingga dapat memulihkan aktivasi sel T.
XXIII.7. Kesimpulan
Aktivitas antitumor yang efektif oleh sistem imun menjanjikan kemampuan untuk
menghilangkan tumor dan mencegah kemunculannya dengan menghasilkan respons
memori imun (generating immune memory response). Sistem saraf pusat berinteraksi secara
efektif dengan sistem imun perifer untuk menghasilkan respons imun yang positif. Berbagai
jenis pendekatan imunoterapi seperti vaksinasi aktif, blokade immune checkpoint (immune
checkpoint blockade), dan terapi seluler adoptif (adoptive cellular therapies) merupakan
metode-metode pengobatan baru yang sangat potensial dan menjanjikan bagi pasien
neuroonkolologi. Berbagai strategi di atas juga telah dikembangkan untuk menghasilkan
respons imun antitumor yang efektif dan terbukti memberikan manfaat kepada pasien.
Meskipun demikian, masih ada berbagai tantangan yang dihadapi, antara lain pemahaman
yang lebih baik mengenai adaptasi sistemis imunosupresif lokal yang seringkali terjadi
pada kasus keganasan termasuk pada GBM yang berakibat pada imunotoleransi. Selain itu,
sebagai upaya untukmemaksimalkan manfaatterapi, uji klinis dengan desain yangtepat dan
dengan jumlah pasien yang lebih besar dan homogen akan dapat menghasilkan prognosis
yang baik untuk pengembangan uji klinis tahap III. Penelitian yang sistematis terhadap
berbagai variabel potensial yang berpengaruh terhadap aktivitas optimal imunoterapi
dan evaluasi biomarker yang informatif juga diperlukan. Akhirnya, kombinasi banyak
pendekatan dengan mekanisme kerja yang saling melengkapi mungkin diperlukan untuk
mendapatkan manfaat antitumor yang luas dan bertahan lama.

Ilustrasi Kasus
Pertanyaan 1.
Salah satu pendekatan imunoterapi seluler untuk glioblastoma adalah dengan
pendekatan transfer adoptif. Apa yang dimaksud dengan transfer adoptif?

A. Memaparkan sel T secara langsung kepada antigen tumor melalui teknik infus.
B. Rekayasa sel T (engineered T cell) untuk meningkatkan reaktivitas terhadap
antigen tumor atau dengan menggunakan terapi Chimeric Antigen Receptor
(CAR] sel T.
C. BiTEs menghasilkan sinaps imunologis antara sel T sitotoksik poliklonal
dengan sel tumor.
D. Semua benar
E. Semua salah
Jawaban: A

Pembahasan:
Pendekatan transfer adoptif tahap awal untuk pasien glioma malignan meliputi
prosedur administrasi sel T yang diisolasi dari kelenjar getah bening. Setelah itu
dilakukan prosedur injeksi subkutan dengan granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor (GM-CSF] ke sel-sel tumor yang telah diradiasi.
Pertanyaan 2.
Terapi di bawah ini yang dikembangkan sebagai terapi GBM dengan pendekatan
imunoterapi adalah?
A. Iplimumab
B. Nivolumab
C. Labrolizumab
D. Dacluzimab
E. Benar Semua
Jawaban: E

Pembahasan:
Sebagian besar imunoterapi terkini ditujukan pada induksi dari respons imun
khusus terhadap antigen tumor dengan menggunakan strategi imunisasi secara aktif,
yaitu "vaksin kanker", atau melakukan transfer sel-sel efektor khusus tumor atau
antibody. Penelitian tahap preklinis juga menunjukkan hasil yang menjanjikan. Studi
klinis untuk mengevaluasi berbagai metode imunoterapi untuk pasien glioblastoma
multiforme (GBM) sedang dikembangkan secara luas, seperti:
Daftar Pustaka
1. Reardon DA, Freeman G, Wu C, Chiocca EA, Wucherpfennig KW, Wen PY, dkk. Neuro Oncol.
2014;16(ll):1441-58.
2. Tang J, Shalabi A, Hubbard-Lucey VM. Comprehensive analysis of the clinical immmuno-oncology
landscape. Annals Oncol. 2018;29(1]:84-91.
3. Ehrlich P. Collected studies on immunity. New York: John Wiley & Sons; 1906.
4. Van der Bruggen P, Traversari C, Chomez P, Lurquin C, De Plaen E, Van den Eynde B, dkk. A gene encoding an
antigen recognized by cytolytic T lymphocytes on a human melanoma. Science. 1991;254(5038]:1643-7.
5. Abubakr YA, Redman BG. The role of immunotherapy in urologic malignancies. Cancer Treat Res.
1996;88:235-48.
6. Hussain SF, Kong LY, Jordan J, Conrad C, Madden T, Fokt I, dkk. A novel small molecule inhibitor
of signal transducers and activators of transcription 3 reverses immune tolerance in malignant
glioma patients. Cancer Res. 2007;67(20J:9630-6.
7. Wu A, Oh S, Gharagozlou S, Vedi RN, Ericson K, Low WC, dkk. In vivo vaccination with tumor cell lysate
plus CpG oligodeoxynucleotides eradicates murine glioblastoma. J Immunother. 2007;30(8J:789-97.
8. Paulos CM, Kaiser A, Wrzesinski C, Hinrichs CS, Cassard L, Boni A, dkk. Toll-like receptors in tumor
immunotherapy. Clin Cancer Res. 2007;13(8):5280-9.
9. Kirsch M, Fischer H, Schackert G. Activated monocytes kill malignant brain tumor cells in vitro. J
Neurooncol. 1994;20(l):35-45.
10. Zhu X, Nishimura F, Sasaki K, Fujita M, Dusak JE, Eguchi J, dkk. Toll like receptor-3 ligand poly-ICLC
promotes the efficacy of peripheral vaccinations with tumor antigen-derived peptide epitopes in
murine CNS tumor models. J Transl Med. 2007;5(1):10.
11. Ito A, Shinkai M, Honda H, Yoshikawa K, Saga S, Wakabayashi T, dkk. Heat shock protein 70
expression induces antitumor immunity during intracellular hyperthermia using magnetite
nanoparticles. Cancer Immunol Immunother. 2003;52(2):80-8.
12. Prins RM, Craft N, Bruhn KW, Khan-Farooqi H, Koya RC, Stripecke R, dkk. The TLR-7 agonist,
imiquimod, enhances dendritic cell survival and promotes tumor antigen-specific T cell priming:
relation to central nervous system antitumor immunity. J Immunol. 2006;176(l):157-64.
13. Molldrem J, Riddell S. Understanding and enhancing the graft-versus-leukemia effect after
hematopoietic stem cell transplantation. Ca Treat Res 2009;144:187-208.
14. Kolb HJ, Mittermuller J, Clemm CH, Holler E, Ledderose G, Brehm G, dkk. Donor leukocyte
transfusions for treatment of recurrent chronic myelogenous leukemia in marrow transplant
patients. Blood. 1990;76(12}:2462-5.
15. Heslop HE, Slobod KS, Pule MA, Hale GA, Rousseau A, Smith CA, dkk. Long-term outcome of EBV-
specific T-cell infusions to prevent or treat EBV-related lymphoproliferative disease in transplant
recipients. Blood. 2010;115[5):925-35.
16. Rosenberg SA, Lotze MT, Muul LM, Chang AE, Avis FP, Leitman S, dkk. A progress report on the
( treatment of 157 patients with advanced cancer using lymphokine-activated killer cells and
interleukin-2 or high-dose interleukin-2 alone. N Engl J Med. 1987;316(15):889-97.
17. Besser MJ, Shapira-Frommer R, Treves AJ, Zippel D, Itzhaki 0, Hershkovitz L, dkk Clinical
responses in a phase II study using adoptive transfer of short-term cultured tumor infiltration
lymphocytes in metastatic melanoma patients. Clin Cancer Res. 2010;16[9J:2646-55.
18. Plautz GE, Barnett GH, Miller DW, Cohen BH, Prayson RA, Krauss JC, dkk. Systemic T cell adoptive
immunotherapy of malignant gliomas. J Neurosurg. 1998;89(1):42-51.
19. Plautz GE, Miller DW, Barnett GH, Stevens GH, Maffett S, Kim J, dkk. T cell adoptive immunotherapy
of newly diagnosed gliomas. Clin Cancer Res. 2000;6(6J:2209-18.
20. Tsuboi K, Saijo K, Ishikawa E, Tsurushima H, Takano S, Morishita Y, dkk. Effects of local injection
of ex vivo expanded autologous tumor-specific T lymphocytes in cases with recurrent malignant
gliomas. Clin Cancer Res. 2003;9(9J:3294-302.
21. Ghazi A, Ashoori A, Hanley P, Salsman VS, Shaffer DR Kew Y, dkk. Generation of polyclonal CMV-specific
T cells for the adoptive immunotherapy of glioblastoma. J Immunother. 2012;35(2):159-68.
22. Jena B, Dotti G, Cooper LJ. Redirecting T-cell specificity by introducing a tumor-specific chimeric
antigen receptor. Blood. 2010;116(7J:1035-44.
23. Park TS, Rosenberg SA, Morgan RA. Treating cancer with genetically engineered T cells. Trends
Biotechnol. 2010;29(ll):550-7.
24. Gilham DE, Debets R, Pule M, Hawkins RE, Abken H. CAR-T cells and solid tumors: tuning T cells
to challenge an inveterate foe. Trends Mol Med. 2012;18(7}:377-84.
25. Facoetti A, Nano R Zelini P, Morbini P, Benericetti E, Ceroni M, dkk. Human leukocyte antigen and antigen
processing machinery component defects in astrocytic tumors. Clin Cancer Res. 2005;11(23J:8304-11.
26. Johnson LA. ModelT muscle CARs can treat brain tumors. Clin Cancer Res. 2012;18(21):5834-5836.
27. Brown CE, Starr R, Aguilar B, Shami AF, Martinez C, DApuzzo M, dkk. Stem-like tumor-initiating
cells isolated from IL13Roc2 expressing gliomas are targeted and killed by IL13-zetakine-
redirected T cells. Clin Cancer Res. 2012;18(8J:2199-209.
28. Brown CE, Alizadeh D, Starr R, Weng L, Wagner JR, Naranjo A, dkk. Regression of glioblastoma
after chimeric antigen receptor T-cell therapy. N Eng J Med. 2016;375(26J:2561-9.
29. Shi H, Sun M, Liu L, Wang Z. Chimeric antigen receptor for adoptive immunotherapy of cancer:
latest research and future prospects. Mol Cancer. 2014;13(1J:219.
30. Kong S, Sengupta S, Tyler B, Bais AJ, Ma Q, Doucette S, dkk. Suppression of human glioma
xenografts with second-generation IL13R-specific chimeric antigen receptor-modified T cells.
Clin Cancer Res. 2012;18(21):5949-60.
31. Jin J, Joo KM, Lee SJ, Jo MY, Kim Y, Jin Y, dkk. Synergistic therapeutic effects of cytokine-induced
killer cells and temozolomide against glioblastoma. Oncol Rep. 2011;25(lJ:33-9.
32. Chow KK, Naik S, Kakarla S, Brawley VS, Shaffer DR, Yi Z, dkk. T cells redirected to EphA2 for the
immunotherapy of glioblastoma. Mol Then 2013;21(3]:629-37.
33. Morgan RA, Johnson LA, Davis JL, Zheng Z, Woolard KD, Reap EA, dkk. Recognition of glioma stem
cells by genetically modified T cells targeting EGFRvIII and development of adoptive cell therapy
for glioma. Hum Gen Ther. 2012;23(10J:1043-53.
34. Frankel SR, Baeuerle PA. Targeting T cells to tumor cells using bispecific antibodies. Curr Opin
Chem Biol. 2013;17(3]:385-92.
35. Choi BD, Cai M, Bigner DD, Mehta AI, Kuan CT, Sampson JH. Bispecific antibodies engage T cells for
antitumor immunotherapy. Exp Opin Biol Ther. 2011;ll(7J:843-53.
36. Topp MS, Kufer P, Gokbuget N, Goebeler M, Klinger M, Neumann S, dkk. Targeted therapy with the
T-cell-engaging antibody blinatumomab of chemotherapy-refractory minimal residual disease
in B-lineage acute lymphoblastic leukemia patients results in high response rate and prolonged
leukemia-free survival. J Clin Oncol. 2011;29(18]:2493-8.
37. Choi BD, Kuan CT, Cai M, Archer GE, Mitchell DA, Gedeon PC, dkk. Systemic administration of a
bispecific antibody targeting EGFRvIII successfully treats intracerebral glioma. Proc Natl Acad Sci.
2013;110(l}:270-5.
38. John SY, Liu G, Ying H, Yong WH, Black KL, Wheeler CJ. Vaccination with tumor lysate-pulsed
dendritic cells elicits antigen-specific, cytotoxic T-cells in patients with malignant glioma. Cancer
Res.2004;64(14]:4973-9.
39. Huehls AM, Coupet TA, Sentman CL. Bispecific T-cell engagers for cancer immunotherapy.
Immunol Cell Biol. 2015;93(3):290-6.
40. Wheeler CJ, Zeltzer PM, Ying H, Finger DN, Lee PK, Yong WH, dkk. Vaccination of malignant glioma
patients with peptide-pulsed dendritic cells elicits systemic cytotoxicity and intracranial T-cell
infiltration. Cancer Res. 2001;61(3):842-7.
41. Heimberger AB, Crotty LE, Archer GE, Hess KR, Wikstrand CJ, Friedman AH, dkk. Epidermal
growth factor receptor VIII peptide vaccination is efficacious against established intracerebral
tumors. Clin Cancer Res. 2003;9(ll]:4247-54.
42. Cobbs CS, Harkins L, Samanta M, Gillespie GY, Bharara S, King PH, dkk. Human cytomegalovirus
infection and expression in human malignant glioma. Cancer Res. 2002;62(12J:3347-50.
43. Mitchell DA, Xie W, Schmittling R, Learn C, Friedman A, McLendon RE, dkk. Sensitive detection of human
cytomegalovirus in tumors and peripheral blood of patients diagnosed with glioblastoma. Neuro Oncol.
2008;10(l]:10-8.
44. Ghazi A, Ashoori A, Hanley P, Salsman VS, Shaffer DR, Kew Y, dkk. Generation of polyclonal CMV-specific
T cells for the adoptive immunotherapy of glioblastoma. J Immunother. 2012;35(2}:159-68.
45. Gallucci S, Lolkema M, Matzinger P. Natural adjuvants: endogenous activators of dendritic cells.
Nat Med. 1999;5(ll]:1249-55.
46. Bloch 0, Crane CA, Fuks Y, Kaur R, Aghi MK, Berger MS, dkk. Heat-shock protein peptide complex-96
vaccination for recurrent glioblastoma: a phase II, single-arm trial. Neuro Oncol. 2014;16(2):274-9.
47. Crane CA, Han SJ, Ahn B, Oehlke J, Kivett V, Fedoroff A, dkk. Individual patient-specific immunity
against high-grade glioma after vaccination with autologous tumor derived peptides bound to the
96 KD chaperone protein. Clin Cancer Res. 2013;19(1):205-14.
48. Hodi FS, O'Day SJ, McDermott DF, Weber RW, Sosman JA, Haanen JB, dkk. Improved survival with
ipilimumab in patients with metastatic melanoma. N Engl J Med. 2010;363(8):711-23.
49. Topalian SL, Hodi FS, Brahmer JR, Gettinger SN, Smith DC, McDermott DF, dkk. Safety, activity, and
immune correlates of anti-PD-1 antibody in cancer. N Engl J Med. 2012;366(26):2443-54.
50. Fecci PE, Ochiai H, Mitchell DA, Grossi PM, Sweeney AE, Archer GE, dkk. Systemic CTLA-4 blockade
ameliorates glioma-induced changes to the CD4+ T cell compartment without affecting regulatory
T-cell function. Clin Cancer Res. 2007;13(7]:2158-67.
51. Vom Berg J, Vrohlings M, Haller S, Haimovici A, Kulig P, Sledzinska A, dkk. Intratumoral IL-
12 combined with CTLA-4 blockade elicits T cell-mediated glioma rejection. J Exp Med.
2013;210(13):2803-11.
52. Zeng J, See AP, Phallen J, Jackson CM, Belcaid Z, Ruzevick J, dkk. Anti-PD-1 blockade and stereotactic
radiation produce long-term survival in mice with intracranial gliomas. Int J Radiat Oncol Biol
Phys. 2013;86(2]:343-9.
53. Margolin K, Ernstoff MS, Hamid 0, Lawrence D, McDermott D, Puzanov I, dkk. Ipilimumab
in patients with melanoma and brain metastases: an open-label, phase 2 trial. Lancet Oncol.
2012;13(5}:459-65.
54. Mathew M, Tarn M, Ott PA, Pavlick AC, Rush SC, Donahue BR, dkk. Ipilimumab in melanoma with
limited brain metastases treated with stereotactic radiosurgery. Melanoma Res. 2013;23(3]:191-5.
55. Silk AW, Bassetti MF, West BT, Tsien CI, Lao CD. Ipilimumab and radiation therapy for melanoma
brain metastases. Cancer Med. 2013;2(6):899-906.
56. Hodi FS, Oble DA, Drappatz J, Velazquez EF, Ramaiya N, Ramakrishna N, dkk. CTLA-4 blockade
with ipilimumab induces significant clinical benefit in a female with melanoma metastases to the
CNS. Nat Clin Rev Oncol. 2008;5(9):557-61.

Anda mungkin juga menyukai