NEUROONKOLOGI
Kelompok Studi Neuro-onkologi
Editor
Tiara Aninditha
Rini Andriani
Rusdy Ghazali Malueka
BUKU AJAR
NEUROONKOLOGI
18x23
Halaman : i -xvi / 1-415
Diterbitkan pertama kali oleh:
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
Jakarta, 2019
ISBN: 978-602-60196-2-2
Sekretaris:
Putri Auliya
Jonathan Odillo
Mumfaridah
Andre Stefanus Pangabean
Putri WidyaAndini
Ilustrator:
Uti Nilam Sari
Cover:
Kevin Mulya
DAFTAR NAMA PENULIS
- vi -
KATA PENGANTAR
BAB IPENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 3
1.3. Sasaran 3
1.4. Metodologi 3
1.2. Tujuan
Buku ajar ini dibuat dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai
neuro-onkologi secara komperehensif dan memberikan rekomendasi yang berbasis
bukti tentang pengelolaan pasien dengan tumor pada sistem saraf.
1.3. Sasaran
Buku ini disusun sebagai pegangan bagi Dokter yang memiliki kewenangan klinis
sesuai dengan tingkat kompetensinya, seperti neurolog khususnya divisi neuro-
onkologi, bedah saraf, radioterapi, dan lain sebagainya, serta dokter residen yang
sedang menjalani pendidikan spesialis neurologi maupun dokter umum yang sedang
menjalani koasistensi di Bagian Neurologi.
1.4. Metodologi
Pedoman ini menggunakan sumber pustaka dari berbagai jurnal, termasuk
jurnal elektronik. Penyusunan buku pedoman juga menggunakan buku-buku ajar
dalam bidang neurologi dan neuro-onkologi serta konsensus dari NCCN (National
Comprehensive Cancer Network), EANO (European Association of Neuroonocology),
NICE [National Institute for Health and Care Excellence), klasifikasi dari WHO dan
sebagainya.
Daftar Pustaka
1. Ostrom Q, Gittleman H, Fulop J, Liu M, Blanda R, Kromer C, dkk. CBTRUS statistical report: primary
brain and central nervous system tumors diagnosed in the United States in 2008-2012. Neuro-
•„ Oncology. 2015;17[suppl 4):ivl-62.
2. Gittleman H, Ostrom Q, Rouse C, Dowling J, de Blank P, Kruchko C, dkk. Trends in central nervous
system tumor incidence relative to other common cancers in adults, adolescents, and children in
the United States, 2000 to 2010. Cancer. 2014;121(1):102-12.
3. Kumar V, Abbas A, Aster J. Robbins and cotran pathologic basis of disease. Edisi ke-9. Philadelphia
(Pa.): Elsevier Saunders; 2015.
4. Bernstein M, Berger M. Neuro-oncology: the essential. Edisi ke-3. New York: Thieme Medical
Publishers, 2015.
5. Aninditha T, Wiratman W. Buku ajar neurologi. Departemen Neurologi Fakultas Kedokeran
Universitas Indonesia; 2017.
6. Malueka RG, Yudiyanta, Asmedi A. Peran penanda molekuler pada terapi glioma. Neurona.
2017;35(l):36-44.
PRINSIP-PRINSIP PADA NEUROONKOLOGI
Teguh Asaad Suhatno Ranakusuma
II. 1. Pendahuluan
Neuroonkologi merupakan area keilmuan onkologi yang sangat menarik dan
berkembang pesat. Heterogenitas dari tumor intrakranial kini telah diteliti lebih lanjut
pada level molekuler dan menggunakan pendataan genetik. Hal ini mengarahkan
kepada penggunaan genomik dan terapi yang disesuaikan untuk pasien. Analisis
biologi seluler pada tumor SSP merupakan pendekatan yang menarik karena saat
ini pemahaman mengenai ontogeni dan fungsi dari sel saraf telah mengarah kepada
translasi keilmuan.
Neuroonkologi merupakan bagian dari onkologi yang mempelajari neoplasma
atau keganasan pada sistem saraf pusat (SSP). Tumor SSP terbagi menjadi tumor
primer, sekunder, dan paraneoplastik, dan memiliki karakteristik yang unik. Tidak
hanya karena otak dan medula spinalis merupakan organ yang krusial bagi tubuh,
organ ini juga berada pada sebuah sistem tertutup sehingga lesi berukuran kecil dapat
menimbulkan lesi desak ruang, peningkatan tekanan intrakranial (TIK), dan gejala
yang signifikan. Tidak hanya itu, area fungsional yang menjalankan peran spesifik
(sensorik, motorik, eksekutif, keseimbangan, dan Iain-lain) memiliki volume yang
kecil, sehingga massa tumor atau desakan yang relatif "kecil" dapat menimbulkan
tanda dan gejala yang berat.
Tumor SSP memiliki manifestasi klinis neurologis dengan komplikasi sistemik yang
beragam, tergantung pada lokasi dan volume lesi. Sebaliknya, tidak jarang juga ditemukan
gangguan neurologis pada pasien dengan kanker sistemik. V;;riasi gangguan ini perlu
dikaji dan ditangani oleh seorang neurolog dengan baik. Oleh karena itu, seorang neurolog
juga harus memiliki pengetahuan yang komprehensif mengenai onkologi sebagai dasar
dalam diagnosis, tata laksana, dan edukasi pada pasien-pasien neuroonkologi.
Tata laksana yang adekuat, efektif, dan komprehensif tidak hanya dapat
meningkatkan kesintasan dan menurunkan disabilitas, namun juga dapat
meningkatkan kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan pada pasien (health-
related quality of life). Peningkatan kesintasan tidak hanya akan berdampak pada
keadaan psikososioekonomi, namun juga pada peningkatan jumlah sumber daya
manusia yang produktif peran serta tercapainya bonus demografi.
Pasien dengan komplikasi neurologis pada kanker harus segera ditangani, karena
berkaitan dengan kesintasan dan kualitas hidup pasien.
II.4. Pengkajian pada Bidang Neuroonkologi
Kajian komprehensif pada pasien kanker dengan defisit neurologis diperlukan
karena gangguan ini memiliki efek yang luar biasa terhadap hidup pasien. Pasien
yang sebelumnya memiliki derajat fungsional yang tinggi dapat menurun dan hanya
dapat terbaring dan tidak dapat melakukan aktivitas seperti sedia kala, yang dapat
berlangsung terus-menerus hingga akhir kehidupan pasien.
Pengkajian dan penegakkan diagnosis pada tumor SSP membutuhkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang yang teliti dan komprehensif.
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis dan tingginya risiko serta konsekuensi dalam
pengobatan, menekankan pentingnya pendekatan genomik {genomic medicine) dalam
diagnosis dan dalam menentukan tata laksana yang prospektif dan berorientasi klinis
pada pasien dengan tumor SSP. Penggunaan analisis data genomik atau pendekatan
mutakhir dalam tata laksana pasien merupakan tanggung jawab moral dan etik
profesi kedokteran sesuai dengan medical utility, futility, dan necessity.
Pengkajian nyeri juga penting untuk dilakukan pada pasien kanker, merujuk pada
tingginya prevalensi nyeri pada pasien dengan kanker (70-80%]. Nyeri yang dialami
dapat berasal dari invasi tumor pada struktur-struktur sensitif nyeri atau penekanan
massa tumor dari luar. Pengkajian nyeri berkala merupakan komponen penting dalam
pelayanan karena tata laksana nyeri pada pasien onkologi diberikan dalam jangka
panjang sehingga perlu dievaluasi sesuai kebutuhan pada pasien.
Pengkajian fungsi kognitif melalui Mini Mental State Examination (MMSE) atau
Montreal Cognitive Assessment versi Indonesia (MoCA-Ina) pada awal diagnosis
maupun sebagai evaluasi terapi juga penting untuk dikaji. Hal ini terutama pada saat
sebelum mendapatkan tata laksana kemoterapi dan atau radioterapi dan dilakukan
evaluasi berkala untuk menilai progresivitas penurunan fungsi kognitif pada pasien.
Pada tumor tulang belakang dan kelainan medulla spinalis, pengkajian
dan pengetahuan mendalam mengenai presentasi klinis dan pencitraan dapat
memudahkan neurolog untuk membuat keputusan klinis yang akurat dan dalam
menentukan tata laksana lanjutan. Diagnosis dini dan tata laksana yang tepat dan
adekuat dapat menunda dan meringankan gejala serta disabilitas yang terjadi pada
pasien dengan tumor medulla spinalis.1
Berikut ini adalah beberapa mutasi genetik yang diketahui berperan pada
berbagai meduloblastoma: 11
a. Perubahan jalur sonic hedgehog (SHH)
b. Perubahan jalur wingless (WNT)
c. Amplifikasi tingkat tinggi MYC
d. Amplifikasi MYCN dan cyclin-dependent kinase 6 (CDK6)
Faktor lingkungan
Faktor lingkungan juga diketahui berhubungan dengan kejadian tumor primer
otak. Namun demikian, hanya ada dua faktor yang benar-benar diketahui merupakan
faktor risiko tumor otak primer, yaitu:11
1. Radiasi kepala dihubungkan dengan peningkatan risiko meningioma (10 kali lipat}
dan glioma (3-7 kali lipat] dengan periode latensi 10-20 tahun setelah paparan.
2. Imunosupresi dikaitkan dengan peningkatan risiko limfoma SSP.
Hubungan antara tumor otak primer dengan bentuk radiasi lainnya seperti
radiasi elektromagnetik dan radio frekuensi (dari telepon seluler) masih belum jelas.
111.3. Klasifikasi
Klasifikasi dari tumor SSP berdasarkan WHO adalah sistem yang digunakan untuk
mengklasifikasikan tumor SSP berdasarkan karakteristik histologi dan molekuler.
Acuan terbaru yang digunakan adalah klasifikasi tumor SSP dari WHO tahun 2016
yang merupakan pembaruan/update dari klasifikasi sebelumnya yang keluar di tahun
2007. Pembaruan yang terdapat dari sistem klasifikasi tersebut adalah penggunaan
parameter molekuler sebagai tambahan terhadap parameter histologi, penambahan
jenis tumor yang baru terdiagnosis, dan mengeliminasi beberapa jenis kategori yang
tidak memiliki relevansi biologis dan diagnosis.12
1. Klasifikasi Selular Tumor SSP menurut WHO:
a. Tumor neuroepitelial; tumor yang berasal dari sel neuron dan glia, yaitu
astrositoma, oligodendroglioma, ependimoma, tumor parenkim pineal, dan
sebagainya.
b. Tumor SSP lain; berasal dari sel non-glial, seperti tumor sela, tumor hematopoetik,
germ cell tumor, meningioma, dan tumor saraf kranial (schwannoma).
Pemeriksaan Neurooftalmologi
Tumor otak melibatkan struktur yang dapat mendestruksi jaras penglihatan dan
gerakan bola mata, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga beberapa
kanker otak dapat memiliki manifestasi neurooftalmologi yang khas seperti tumor
regio sella, tumor regio pineal, tumor fossa posterior, dan tumor basis kranii.
Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan neurooftalmologi terutama untuk
menjelaskan kesesuaian gangguan klinis dengan fungsional kanker otak. Pemeriksaan
ini juga berguna untuk mengevaluasi pre- dan pascatindakan (operasi, radioterapi,
dan kemoterapij pada tumor-tumor tersebut.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Cairan Serebrospinal
Tindakan pungsi lumbal merupakan salah satu tindakan yang penting dalam
penegakan diagnosis tumor otak. Selain analisa rutin cairan serebrospinal, dapat
•
dilakukan pemeriksaan sitologi, flowcytometry, dan immunophenotyping untuk
menegakkan diagnosis limfoma pada susunan saraf pusat, kecurigaan metastasis
leptomeningeal, atau penyebaran kraniospinal seperti ependimoma.
b. Pemeriksaan EEG
EEG memiliki peran penting dalam penegakan diagnosis kasus tumor otak.
Pemeriksaan EEG dapat mendeteksi adanya lesi fokal yang melibatkan bagian
superfisial dari hemisfer serebri, meskipun peran ini memiliki keterbatasan
pada lesi-lesi subkorteks dengan kedalaman tertentu. EEG merupakan salah satu
pemeriksaan non invasif yang bersifat cost-effective yang membantu diagnosis
tumor otak, khususnya kelompok glioma, salah satu jenis tumor yang memiliki
aktifitas elektrik yang tinggi. Pemeriksaan ini juga penting untuk menilai respons
jaringan otak pascaterapi tumor (contoh: pascatindakan bedah). Selain itu, kejang
merupakan salah satu gejala klinis tumor otak yang dapat memperburuk keluran
pasien bila tidak ditatalaksana dengan segera.
Pemeriksaan EEG penting dalam deteksi dini adanya kejadian paroksismal
epileptik atau nonepileptik, menentukan prognosis, serta mengonfirmasi
keadaan status epileptikus nonkonvulsif. Deteksi dini ini penting sehingga dapat
memberikan tatalaksana yang tepat bagi pasien. Beberapa gelombang EEG
yang sering dikaitkan dengan tumor otak antara lain adalah delta wave activity,
perlambatan fokal pada latar belakang, gangguan ritme gelombang alfa, aktivitas
gelombang beta yang asimetris, serta gelombang epileptiform iktal dan interiktal.
c Pemeriksaan Laboratorium
Terutama untuk melihat keadaan umum pasien dan kesiapannya untuk terapi
yang akan dijalani (bedah, radiasi, ataupun kemoterapi), yaitu darah lengkap,
hemostasis, LDH, fungsi hati, ginjal, gula darah, serologi hepatitis B dan C,
elektrolit lengkap, penanda tumor (penanda diagnostik, prognosis, dan prediktif)
d. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologi standar adalah CT scan dan MRI dengan kontras. CT scan
berguna untuk melihat adanya tumor pada langkah awal penegakan diagnosis
dan sangat baik untuk melihat kalsifikasi atau lesi erosi/destruksi pada tulang
tengkorak. MRI otak dan spinal (dengan atau tanpa kontras] merupakan standar
baku emas dan mampu menyediakan sebuah gambaran 'statis' dari tumor. MRI
dapat melihat gambaran jaringan lunak dengan lebih jelas dan sangat baik untuk
. tumor infratentorial, tetapi mempunyai keterbatasan dalam menilai kalsifikasi.
Pemeriksaan Magnetic resonance spectroscopy (MRS) sangat baik untuk
menentukan daerah nekrosis dengan tumor yang masih viabel, sehingga
dapat digunakan sebagai penuntun biopsi serta untuk menyingkirkan infeksi.
Pemeriksaan positron emission tomography (PET) dapat berguna pascaterapi
untuk membedakan antara tumor yang rekuren dan jaringan nekrosis akibat
radiasi.
Pemhedahan
Operasi pada tumor otak bertujuan untuk menegakkan diagnosis yang tepat,
menurunkan tekanan intrakranial, mengurangi kecacatan, dan meningkatkan
efektifitas terapi lain. Dengan tindakan operasi atau biopsi, jenis histopatologi tumor
dapat diketahui, yang sangat menentukan tatalaksana selanjutnya pada pasien.
Reseksi tumor pada umumnya direkomendasikan untuk hampir seluruh jenis
tumor otak yang dapat dioperasi. Tumor otak yang terletak jauh di dalam dapat
diterapi.dengan tindakan bedah, kecuali apabila tindakan bedah tidak memungkinkan
[keadaan umum buruk, toleransi operasi rendah). Teknik operasi meliputi membuka
sebagian tulang tengkorak dan selaput otak pada lokasi tumor. Tumor diangkat
sebanyak yang memungkinkan kemudian sampel jaringan dikirim ke ahli patologi
anatomi untuk diperiksa jenisnya. Biopsi stereotaktik dapat dikerjakan pada lesi
yang letak dalam, seperti subkorteks/basis kranii, penentuan lokasi target dilakukan
secara tiga dimensi dengan komputer (3D scanning).
Radioterapi
Radioterapi memilikibanyakperananpadaberbagaijeniskanker otak. Radioterapi
diberikan pada pasien dengan keadaan inoperabel, sebagai adjuvan pascaoperasi, atau
pada kasus rekuren yang sebelumnya telah dilakukan tindakan operasi. Pada dasarnya
teknik radioterapi yang dipakai adalah 3D conformal radiotherapy, namun teknik
lain dapat juga digunakan untuk pasien tertentu seperti stereotactic radiosurgery/
radiotherapy dan IMRT.
Perawatan Paliatif
Dilakukan pada pasien-pasien yang dinyatakan perlu mendapatkan terapi paliatif
dan dilakukan terapi secara multidisiplin bersama dokter penanggung jawab utama,
serta dokter gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan ahli terapi paliatif.
III.6. Komplikasi
Tumor otak dapat menyebabkan beberapa komplikasi baik lokal maupun sistemik.
Selain dari tumornya, komplikasi dapat terjadi karena prosedur diagnosis dan terapi.
Komplikasi yang dapat terjadi seperti nyeri kepala atau neuropati pascaterapi,
gangguan fungsi kognitif, hiperkoagulasi, serta sindrom paraneoplastik (baca Bab
Komplikasi Tumor Otak).
1
Daftar Pustaka
1. Ostrom Q, Gittleman H, Fulop J, Liu M, Blanda R, Kromer C, dkk. CBTRUS statistical report:
primary brain and central nervous system tumors diagnosed in the United States in 2008-2012.
Neurooncol. 2015;17[suppl 4):ivl-62.
2. Gittleman H, Ostrom Q, Rouse C, Dowling J, De-Blank P, Kruchko C, dkk. Trends in central nervous
system tumor incidence relative to other common cancers in adults, adolescents, and children in
the United States, 2000 to 2010. Cancer. 2014;121(1):102-12.
3. McNeill K. Epidemiology of brain tumors. Neurol Clin. 2016;34(4):981-98.
4. Anaya-Delgadillo G, De-fuambelz-Cisneros P, Fernandez-Alvarado B, Pazos-Gomez F, Velasco-
Torre A, Revuelta-Gutierrez R. Prevalence of central nervous system tumours and histological
identification in the operated patient: 20 years of experience. Cir Cir. 2016;84(6):447-53.
5. Aninditha T, Wiratman W. Buku ajar neurologi. Departemen Neurologi Fakultas Kedokeran
Universitas Indonesia; 2017.
6. Kumar V, Abbas A, Aster J. Robbins and Cotran pathologic basis of disease. Edisi ke-9. Philadelphia
(Pa.): Elsevier Saunders; 2015.
7. Pieper R, Costello J. Molecular & cell biology. Dalam: Berger M, Prados M, editor. Textbook of
neuro-oncology. Edisi ke-1. Philadelphia: Elsevier; 2005.
8. Hanahan D, Weinberg R. Hallmarks of cancer: the next generation. Cell. 2011;144(5]:646-74.
9. Bertram J. The molecular biology of cancer. Honolulu: Molecular Aspect of Medicine; 2001.
10. James D. Molecular genetics of tumors of the central nervous system: brain tumor, contemporary
cancer research. Humana Press; 2005.
11. Lee EQ, Wen PY. Cancer neurology. In Samuels MA & Ropper AH, Samuels's Manual of Neurologic
Therapeutics ninth edition. Wolters Kluiver; 2017.
12. Park S, Won J, Kim S, Lee Y, Park C, Kim S, dkk. Molecular testing of brain tumor. J Pathol Transl
Med. 2017;51(3J:205-23.
13. Louis D, Perry A, Reifenberger G, Von-Deimling A, Figarella-Branger D, Cavenee W, dkk. The 2016
World Health Organization classification of tumors of the central nervous system: a summary.
Acta Neuropathologica. 2016;131(6J:803-20.
14. De-Angelis L, Posner J. Neurologic complications of cancer. Edisi ke-2. New York: Oxford University
Press; 2009.
15. Schiff D, Kesari S, Wen P. Cancer neurology in clinical practice: neurologic complications of cancer
and its treatment. Edisi ke-2. New Jersey: Humana Press; 2008.
16. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Panduan praktik Minis tumor otak. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia. In press 2018.
-\
TUMOR OTAK PRIMER
Rusdy Ghazali Malueka, Tiara Aninditha
IV. 1. Pendahuluan
Tumor otak primer adalah kelompok tumor yang berasal dari sistem saraf pusat
(SSP) dengan prognosis dan manajemen yang berbeda-beda.1 Insidensi tumor SSP
tidak setinggi tumor lainnya, tetapi tumor sistem saraf pusat termasuk ke dalam 10
penyebab terbesar kematian akibat keganasan sistemik. Hal ini disebabkan oleh gejala
dan tanda dari tumor otak yang bervariasi pada setiap individu sehingga seringkali
didapatkan tumor dengan ukuran yang sudah sangat besar pada saat diagnosis.1
IV.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat didapatkan 77.000 kasus tumor otak primer baru setiap
tahun dengan 25.000 diantaranya termasuk ganas. Angka insidensi dari tumor otak
primer sebesar 22/100.000 orang per tahun. Pada kelompok usia >20 tahun, tumor
yang paling sering ditemui adalah meningioma (36,4%], tumor hipofisis (15,5%),
tumor nervus seperti schwannoma vestibular (15,5%], dan glioblastoma (15,1%].
Pada kelompok usia di bawah 20 tahun, tumor yang paling sering ditemukan adalah
astrositoma pilositik (15,5%), glioma maligna (11,7%), dan tumor embrional seperti
meduloblastoma (11,4%).1
Di Indonesia, data yang berhasil dihimpun oleh Departemen Neurologi RSUPN
Cipto Mangunkusumo menunjukkan mayoritas tumor otak primer adalah astrositoma
(47%) diikuti meningioma (26%). Usia rerata pasien adalah 48 tahun (18-74 tahun)
dengan perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki (55,6% dan 44,4%). Di RS
Ranker Dharmais, insidensi tumor otak sebesar 1% dari seluruh keganasan dengan
glioma (67,4%) dan meningioma (16,3%) mendominasi.2
IV.3.1. Astrositoma
Astrositoma adalah salah satu tumor primer SSP yang paling sering ditemukan.5 Tumor
ini merupakan glioma yang berasal dari sel astrosit. Berdasarkan klasifikasi WHO pada
tahun 2007, klasifikasi astrositoma didasarkan pada gambaran histologi sebagai berikut:3
Derajat I: lesi tumor berbatas tegas, contohnya astrositoma pilositik
Derajat II (astrositoma difusa): tumor astrositik tampak infiltratif dan disertai
atipia sitologis
Derajat III (astrositoma anaplastik): tumor mulai menunjukan anaplasia dan
aktivitas mitosis
•'%- Derajat IV (glioblastoma): menunjukkan adanya proliferasi mikrovaskular dan/
atau nekrosis
Pembagian klasifikasi seperti ini sebenarnya masih praktis dan efektif digunakan,
tetapi klasifikasi yang berdasarkan kriteria histologi rentan terhadap variasi antar
dokter patologi anatomi. Tumor pada derajat WHO yang sama dapat memiliki
perjalanan klinis yang berbeda. Sehingga digunakan klasifikasi molekuler dan
sitogenetik.6
a. Astrositoma Difusa (WHO derajat II)
Astrositoma difusa memiliki gambaran selularitas meningkat, adanya nukleus
atipia, tetapi dengan aktivitas mitosis rendah serta tidak didapatkan area nekrosis
dan proliferasi mikrovaskular. Dapat ditemukan gambaran yang disebut "struktur
sekunder Scherer" dimana tampak adanya satelitosis perineuronal, perkembangan
subpial, dan persebaran perivaskular.5 Tumor ini berkembang dengan perlahan
dan memiliki waktu kesintasan selama 5-8 tahun. Tingkat rekurensi dari tumor ini
masih tinggi serta terdapat potensi peningkatan derajat WHO menjadi derajat III
(astrositoma anaplastik) atau derajat IV (glioblastoma sekunder).5
b. Astrositoma Anaplastik (WHO derajat III)
Astrositoma anaplastik memiliki sel astrositoma hiperselular dengan atipia
nuklear serta peningkatan aktivitas mitosis. Sel yang tampak dapat berukuran
besar, pleomorfik, serta tidak didapatkan proliferasi vaskular dan nekrosis.5
c. Glioblastoma
Glioblastoma (GBM) merupakan tumor primer otak paling sering yang mencakup
54% dari semua glioma dan 16% dari seluruh tumor primer otak.9 Glioblastoma
terdiagnosis pada median usia 64 tahun dan insidensinya meningkat hingga
kelompok usia 75-84 tahun. Faktor risiko yang berhubungan dengan GBM adalah
adanya riwayat radiasi sebelumnya, faktor imun, dan polimorfisme genetik.9
Menurut klasifikasi WHO tahun 2016, glioblastoma terbagi menjadi tiga kelompok
yaitu glioblastoma dengan tipe IDH wildtype, glioblastoma dengan mutasi IDH,
dan glioblastoma yang tidak masuk klasifikasi pada keduanya [not otherwise
specified, NOS):4
IV.3.3. Oligodendroglioma
Tumor oligodendroglial terdiri atas dua jenis, yaitu oligodendroglioma (WHO
derajat II) dan oligodendroglioma anaplastik (WHO derajat III). Pada klasifikasi tumor
otak WHO tahun 2016, oligodendroglioma dibagi berdasarkan pemeriksaan genetiknya,
yaitu oligodendroglioma dengan mutasi IDH dan kodelesi lp/19q.4 Jika pemeriksaan
genetik ini tidak dapat dilakukan, maka diagnosis dianggap sebagai oligodendroglioma
not otherwise specified (NOS).4 Tumor ini terjadi pada 8-12% dari seluruh kasus
glioma, dengan dominasi jenis kelamin laki-laki dan median usia adalah 35 tahun.19
Oligodendroglioma paling sering didapatkan pada lobus frontal dan temporal.20
Gejala yang paling sering didapatkan adalah kejang parsial atau generalisata yang
disebabkan oleh letak tumor pada regio korteks. Gejala lain yang dapat ditemukan
adalah nyeri kepala, defisit neurologis fokal, dan peningkatan tekanan intrakranial.19
Pemeriksaan MRI akan menghasilkan gambaran sinyal hipointens pada Tl dan
hiperintens pada T2. Tidak didapatkan adanya penyangatan pascapemberian kontras.
Pemeriksaan CT scan akan menghasilkan gambaran lesi hipodens hingga isodens dan
dapat ditemukan kalsifikasi.19'20
Pemeriksaan histologi akan tampak sel dengan ukuran kecil hingga sedikit
membesar berbentuk bulat, gelap dengan nukleus kompak dengan sedikit sitoplasma
eosinofilik. Tampakan honeycomb appearance atau fried egg appearance menandakan
perinuklear halo dari tumor ini. Pada oligodendroglioma derajat II akan didapatkan
sel tumor monoformik dengan perinuklar halo, jaringan kapiler membentuk
gambaran chicken wire, dan dapat ditemukan mikrokalsifikasi dan mikrokistik.
Oligodendroglioma anaplastik memiliki gambaran mirip dengan oligodendroglioma
derajat II, ditambah hiperselularitas, rasio mitosis yang meningkat, atipia nuklear,
dan proliferasi mikrovaskular.1920
Terapi dari oligodendroglioma yang disarankan adalah dengan operasi reseksi total
dilanjutkan dengan kemoterapi/radioterapi. Kemoterapi yang dapat diberikan, yaitu
dengan kombinasi temozolomide (75mg/m2 setiap hari selama periode radioterapi,
atau 150-200mg/m2, hari 1-5 PO selama 4 minggu], nimustin/carmustin/lomustin,
dan procabazine/vinkristin.7 Radioterapi dapat diberikan dalam dosis 45-54Gy.21
IV.3.4. Oligoastrositoma
Tumor oligoastrositoma adalah tumor gabungan komponen astrositik dan
oligodendroglial dan terbagi menjadi oligoastrositoma (WHO derajat II) dan
oligoastrositoma anaplastik (WHO derajat III].20 Pada klasifikasi WHO tahun 2016,
klasifikasi oligoastrositoma sudah tidak dianjurkan.ini dikarenakanhampirsemua tumor
dengan adanya tampakan mikroskopis komponen astrositik dan oligodendroglial sudah
dapat dimasukkan dalam diagnosis astrositoma atau oligodendroglioma. Diagnosis
oligoastrositoma hanya bisa digunakan apabila tidak adanya pemeriksaan molekuler
yang dapat membedakan apakah ini tumor astrositoma atau oligodendroglioma.4
Gambaran histologi dari oligoastrositoma derajat II adalah adanya dua tipe sel
neoplastik yang berasal dari astrositik dan oligodendroglial dengan susunan bifasik
atau difus. Susunan bifasik akan memiliki area oligodendroglioma dan astrositoma
yangberbeda, sedangkan difus kedua jenis sel ini akan bercampur. Pada tipe anaplastik,
akan ada tanda seperti oligoastrositoma derajat II ditambah hiperselularitas dan
proliferasi mikrovaskular dengan rasio mitosis yang aktif.20
Terapi utama dari tumor jenis ini sama dengan tumor glioma yang lain, yaitu
dengan operasi reseksi tumor dan dilanjutkan dengan pemberian kemoterapi atau
radioterapi.21
Gejala Minis tumor ependimal bervariasi tergantung dari lokasi tumor.32 Gejala
Minis yang paling sering dirasakan oleh pasien dengan tumor ependimal yaitu
rasa kebas atau tingling, kelemahan motorik, dan nyeri kepala. Gejala lain seperti
penurunan kesadaran, hidrosefalus, ataksia (akibat penekanan pada serebelum),
vertigo, neuropati kranial, hingga tortikolis dan servikalgia.28
Pencitraan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis dapat menggunakan
MRI dan CT. Pada pemeriksaan CT scan akan menunjukkan kalsifikasi, terutama
pada jenis subependimoma.28 Pemeriksaan CT dengan kontras akan menunjukkan
intensitas medium setelah penyangatan.33 Pemeriksaan MRI Tl akan menunjukan
intensitas rendah atau isointens dan pada T2 akan mengalami peningkatan intensitas.
Kalsifikasi merupakan tanda penting untuk membedakan ependimoma dengan
astrositoma. Pada astrositoma jarang didapatkan kalsifikasi sedangkan ependimoma
sering. Selain itu, pada ependimoma jarang didapatkan gambaran edema disekitar
tumor yang berbanding terbalik dengan astrositoma.33
Pada kasus subependimoma, pemeriksaan MRI akan menunjukkan massa iso-
hipointens berbatas tegas dengan penyangatan minimal atau tidak ada penyangatan
pada Tl dan hiperintens pada T2, serta didapatkan fokus pendarahan atau kalsifikasi.
Myxopapillary ependyoma menunjukkan massa berbatas tegas dan homogen yang
disertai perubahan kistik dan pendarahan didalam massa tumor. Ependymoma
akan menghasilkan gambaran massa berbatas tegas dengan derajat penyangatan
yang bervariasi tergantung pada vaskularisasi disertai kalsifikasi dan pendarahan
intratumoral.34
Pada dewasa dengan tumor ependimal yang baru terdiagnosis, terapi utama adalah
reseksi total. Operasi ini juga berguna untuk menentukan tipe histologi dari tumor
tersebut. Jika didapatkan ependimoma anaplastik, maka dapat diberikan radioterapi
dengan dosis hingga 60Gy tanpa mempertimbangkan luas reseksi. Pada ependimoma
derajat II, radioterapi dengan dosis 54-59,4Gy direkomendasikan hanya pada pasien
dengan reseksi yang tidak lengkap. Pada derajat I seperti subependimoma, operasi
saja biasanya sudah cukup. Namun, pada beberapa kasus, radioterapi pascaoperasi
dapat diberikan pada kasus reseksi subtotal atau parsial.28
Pada anak-anak dengan tumor ependimoma yang baru, reseksi total merupakan
standar yang terbaik, diikuti dengan radioterapi sebesar 59,4Gy pada anak berusia
> 18 bulan dan 54Gy pada anak berusia 12-18 bulan. Pada anak berusia kurang dari 12
bulan, kemoterapi merupakan opsi yang direkomendasikan. Contoh kemoterapi yang
dapat digunakan adalah etoposide, vinkristin, siklofosfamide, derivat platinum, atau
metotreksate dosis tinggi.28
Pada kasus tumor ependimal rekuren, prosedur reoperasi dan/atau re-radiasi
harus dilakukan bila memungkinkan. Pada pasien yang tidak memungkinkan lagi
dengan terapi lokal dapat menggunakan kemoterapi terutama pada pasien dengan
nilai performa yang baik. Pada dewasa, kemoterapi yang digunakan dapat berupa
komponen platinum atau temozolomide, sedangkan pada anak tergantung pada
paparan sebelumnya.28
IV.6.3. Astroblastoma
Astroblastoma adalah tumor otak primer yang belum mendapatkan kriteria derajat
WHO.4 Astroblastoma termasuk tumor yang jarang dengan angka kejadiannya 0,45-2,8%
dari seluruh glioma primer otak. Tumor ini sebagian besar ditemukan pada jenis kelamin
perempuan, dengan perbandingan sebesar 11:1 dengan laki-laki.41 Astroblastoma
memiliki karakteristik adanya pseudorosettes perivaskular dengan hialinisasi vaskular.
Astroblastoma seringkali didapatkan pada area korteks, subkorteks, dan periventrikular
dengan lobus frontal sebagai tempat tersering munculnya tumor ini.42
Gejala Minis dari astroblastoma tergantung pada lokasi dan ukuran tumor. Tanda
yang dapat muncul berupa peningkatan tekanan intrakranial (nyeri kepala, muntah),
kejang, dan defisit neurologis fokal.41 Pada pemeriksaan radiologis didapatkan massa
dengan ukuran besar, berbatas tegas, lobulasi, solid, dan kistik. Pada beberapa kasus
dapat ditemukan kalsifikasi pungtata. Komponen solid dari massa akan menunjukkan
gambaran hipointens pada Tl dan isointens pada T2. Pemberian kontras akan
memperlihatkan penyangatan yang heterogen. Pemeriksaan CT menunjukkan adanya
kalsifikasi pungtata di dalam komponen solid dari tumor ini.41
Pemeriksaan MRI pada pineositoma akan didapatkan masa solid homogen, dengan
beberapa kasus didapatkan perubahan kistik. Tumor parenkimal pineal dengan
diferensiasi intermediat menunjukkan gambaran iso-hipointens pada T1 dan intensitas
yang bervariasi pada T2. Pemberian kontras akan menghasilkan penyangatan yang
heterogen atau homogen. Pada pemeriksaan MRI akan menunjukkan massa dengan
sinyal heterogen dan beberapa temuan invasi tumor lokal. Pemeriksaan MRI pada
tumor papilaria regio pineal akan menghasilkan tampakan iso- hingga hipointens
pada Tl dan iso- hingga hiperintens pada T2.49
Terapi utama untuk pineositoma adalah reseksi total. Untuk tumor parenkimal
pineal dengan diferensiasi intermediat, intervensi operasi ditambah dengan radiasi
adjuvan merupakan terapi yang direkomendasikan.47 Pada kasus pineoblastoma,
setelah operasi reseksi total dapat diberikan terapi adjuvan iradiasi dan kemoterapi
dosis tinggi, tetapi prognosis pasien dengan terapi ini hanya mencapai 10% dalam
5 tahun.49 Tumor papilaria regio pineal belum memiliki suatu strategi terapi yang
optimal, tetapi beberapa studi melaporkan reseksi dengan tambahan adjuvan radiasi
atau kemoterapi dapat meningkatkan angka kesintasan.46
Gejala yang paling sering dari tumor ini adalah kejang parsial kompleks, diikuti
kejang tonik-klonik, parsial simpel, dan kejang parsial dengan generalisasi sekunder.51
Pemeriksaan MRI akan menunjukkan gambaran pseudokistik atau multikistik
dengan sinyal hipointens pada Tl dan hiperintens pada T2. Pemberian kontras hanya
menunjukkan penyangatan pada 12% kasus saja. Berdasarkan pemeriksaan MRI,
gambaran DNT dapat dibagi menjadi 3, yaitu:52
1. Tipe 1: gambaran kistik, polikistik, berbatas tegas dan hipointens pada Tl. Paling
sering didapatkan pada DNT subtipe simpel atau kompleks, dan predileksi
tersering di temporal dan extratemporal.
2. Tipe 2: tampakan seperti nodular dengan sinyal heterogen. Paling sering
didapatkan pada DNT di area neokortikal.
3. Tipe 3: tampakan displastik, batas tidak tegas, pengaburan batas substansia
alba dan grisea, dengan tampakan iso-hipointens pada Tl. Tampakan ini sering
didapatkan pada DNT di lobus temporal mesial. Tampakan lain yang bisa
didapatkan adalah sklerosis atau malformasi dari hippokampus.
Pada studi genetik, sebagian besar DNT memiliki mutasi IDH1 dan BRAFV600E.
Heterozigositas dari lp/19q dan 19q, lOq, atau gabungan keduanya juga dapat
hilang,pada beberapa tumor DNT.5153 Terapi yang disarankan untuk DNT adalah
operasi. Reseksi total tumor memiliki prognosis paling baik dibandingkan operasi
yang subtotal atau operasi lesionektomi.5254 Pemberian terapi radiasi disertai dengan
temozolomide juga efektif untuk DNT subtipe progresif.55
IV.9.2. Ganglioglioma
Ganglioglioma merupakan tumor campuran glial-neuronal dengan derajat WHO
I yang memiliki angka kejadian 0,5-5% dari semua keganasan sistem saraf pusat
anak dan lebih banyak ditemukan pada laki-laki.456 Sebagian besar terjadi pada anak
berusia >10 tahun.56 Gambaran ganglioglioma paling sering ditemukan pada area
supratentorial seperti lobus temporal,57 tetapi tidak menutup kemungkinan di tempat
lain seperti frontal, parietal, oksipital, multilobar, hingga serebelum.58
Gejala paling sering adalah kejang, diikuti tanda peningkatan intrakranial
[nyeri kepala, mual, muntah), gangguan endokrin, dan gangguan penglihatan.57
Tanda lain yang lebih jarang didapatkan seperti gejala serebelar, gangguan memori,
kelumpuhan nervus kranial, atau gejala psikiatri.58 Pemeriksaan radiologis pada CT
akan menunjukkan massa solid atau kistik yang berbatas tegas, disertai tampakan
kalsifikasi, efek masa, dan edema vasogenik. Pemberian kontras akan menunjukkan
penyangatan. Pemeriksaan MRI akan memberikan gambaran hipointens pada Tl dan
hiperintens pada T2.58
Tampakan makroskopik ganglioglioma merupakan masa solid atau kistik, dan
dapat ditemukan kalsifikasi, pendarahan, dan nekrosis. Pemeriksaan mikroskopik
akan menunjukkan sel ganglion neoplastik, berbentuk multipolar, berukuran besar,
dengan tampakan displastik disertai dengan tambahan komponen glial seperti
astrositik berbentuk fibrilari atau pilositik. Sel tersusun membentuk kelompok sel
tetapi tidak berkelompok disekitar neuron neoplastik, disertai adanya tampakan
desmoplasia dan kalsifikasi.58
Terapi ganglioglioma adalah dengan reseksi total. Radiasi hanya diberikan pada
tumor yang tidak tereseksi sempurna.58 Sebuah penelitian menggunakan inhibitor
BRAF (debrafenib) pada ganglioglioma dengan mutasi V600E dapat menjadi opsi
terapi untuk masa depan.59
IV.9.3. Gangliositoma
Gangliositoma merupakan tumor neuroepitelial yang terdiri dari sel ganglion
matur neoplastik, yang memiliki tampakan displastik dan nukleus multipel.60 Tumor
ini termasuk dalam WHO derajat I.4 Gangliositoma memiliki insidensi 0,l-0,5%.60
Gangliositoma paling sering didapatkan pada lobus temporal.56
Gangliositoma memiliki gejala yang mirip dengan ganglioglioma. Gejala paling
sering adalah kejang diikuti dengan peningkatan tekanan intrakranial.58 Kejang yang
paling sering timbul biasanya kejang parsial kompleks dan tidak respons dengan
obat.60 Pada pemeriksaan radiologis juga didapatkan tampakan yang sama dengan
ganglioglioma, yaitu massa solid atau kistik solid pada CT, massa hipointens pada Tl
dan hiperintens berbatas tegas di T2.58 Kalsifikasi dapat ditemukan pada pemeriksaan
CT Scan.60 Pemeriksaan mikroskopis dari gangliositoma akan menunjukkan adanya
sel ganglion neoplastik dengan ukuran besar dan multipolar yang tersusun ireguler,
dengan stroma mengandung elemen glial yang non-neoplastik.58 Ini yang membedakan
gangliositoma dengan ganglioglioma.
Terapi utama pada gangliositoma adalah operasi dengan reseksi maksimal.
Namun, ada pasien dengan reseksi subtotal juga memiliki prognosis yang baik. Pada
kasus yang tidak tereseksi sempurna dapat diberikan radioterapi dengan dosis 45-
54Gy dalam l,8-2,0Gy/hari. Kemoterapi boleh dipertimbangkan pada pasien dengan
tumor persisten setelah re-reseksi dan re-radiasi.60
Terapi utama adalah reseksi total tumor, dengan angka kesintasan yang baik.70
Radioterapi dan kemoterapi (dengan temozolomide dan asam cis-retinoic) pernah
dilaporkan digunakan pada beberapa kasus dengan reseksi parsial atau didapatkan
adanya penyebaran ventrikel.60
IV.11. Meningioma
Meningioma merupakan tumor yang berasal dari meningen otak. Meningioma
memiliki angka kejadian dari 1,28-7,8/100.000 orang dan didominasi oleh jenis
kelamin perempuan.82 Namun, dominasi laki-laki didapatkan pada meningioma
usia anak.83 Kelompok usia yang paling banyak memiliki penyakit ini adalah dewasa
dengan anak-anak hanya kurang dari 3%.83 Berdasarkan gambaran histologi, WHO
~ tahun 2016 membaginya menjadi 3 derajat:83'84
1. Meningioma derajat I dengan mitosis <4 per 10 lapang pandang besar dan tidak
ada invasi pada jaringan otak. Derajat 1 terdiri atas subtipe :
a. Meningotelial, terdiri atas sel uniformis, nukleus oval dengan inklusi
sitoplasma-intranuklear yang tersusun lobulus.
b. Transisional, terdapat gabungan pola meningothelial dan fibrosa dengan
sejumlah psammoma bodies dan whorls.
c. Fibroblastik, terdiri atas sel spindel yang tersusun paralel dengan matriks kolagen
d. Psammomatosa, terdapat lebih banyak psamomma bodies dan formasi
seperti uliran [whorl]
e. Sekretorik, ditandai dengan adanya diferensiasi epitelial dengan lumen
intraselular yang mengandung sekresi eosinofilik dan dengan pengecatan
periodic acid-schiff(pas) yang positif (atau disebut pseudopsctmmoma bodies')
f. Metaplastik, mengandung komponen mesenkimal seperti tulang, lemak,
kartilago, atau jaringan miksoid.
g. Mikrositik, terdapat banyak spasium mikrositik interselular yang terkadang
mengandung sekresi musin eosinofilik
h. Angiomatosa, lebih banyak ditemukan struktur vaskular dibandingkan sel
tumor dengan pembuluh darah terhialinisasi dan ketebalan dinding yang
bervariasi.
i. Limfoflasmasit, terdapat lebih banyak sel inflamasi kronis dibandingkan sel
meningotelial
2. Meningioma derajat II memiliki rasio mitosis 4-19/10 lapang pandang besar atau
didapatkan invasi pada jaringan otak atau terdapat salah satu dari 5 gambaran berikut:
(1) nekrosis spontan, (2] sheeting, (3) nukleoli prominen, (4) selularitas tinggi, atau (5)
sel berukuran kecil. Contoh subtipe meningioma pada derajat II adalah:
a. Atipikal, subtipe dengan rasio mitosis yang meningkat disertai 3 dari 5
temuan histologi yang telah disebutkan sebelumnya
b. Kordoid, terdiri atas sel eosinofilik dengan vakuolisasi sitoplasma yang
membentuk susunan cords and trabeculae.
c. Clear cell, terdiri atas sel dengan glikogen yang banyak dan positif dengan
pemeriksaan PAS
3. Meningioma derajat III memiliki rasio miosis >20/lapang pandang besar. Contoh
subtipenya adalah:
a. Papilaria, terdiri atas tumor yang memiliki pola pseudopapilaria yang
prominen.
b. Rhabdoid, terdapat sel rhabdoid dengan nukleus tersusun esentrik, nukleoli
prominen, dan didapatkan banyak sitoplasma eosinofilik.
c. Anaplastik, tumor yang memiliki salah satu dari tampakan sitologi malignan
atau peningkatan indeks mitosis >20 kali/10 lapang pandang besar.
Semua tipe morfologi dari kelompok ini memiliki derajat WHO IV. Kelompok
usia pasien untuk diagnosis berada di bawah 20 tahun, dengan meduloepitelioma
sering didapatkan pada anak berusia di bawah 2 tahun. Gejala klinis yang didapatkan
tergantung pada lokasi serta dapat ditemukan tanda peningkatan tekanan intrakranial
seperti nyeri kepala, kejang, dan penurunan kesadaran.88
Terapi utama adalah dengan reseksi semaksimal mungkin dari tumor, diikuti
dengan pilihan radiasi kraniospinal atau gabungan radioterapi/kemoterapi
dilanjutkan dengan kemoterapi pascaradiasi. Dosis radiasi dan kemoterapi yang
digunakan sama dengan meduloblastoma.21
IV.12.3. Tumor Teratoid/Rhabdoid Atipikal - Atypical Teratoid/Rhabdoid
Tumors (AT/RT)
Tumor AT/RT merupakan tumor WHO derajat IV yang menyerang usia anak dan
bayi, dengan jumlah 10% tumor yang ada pada bayi. Tumor ini memiliki gambaran
sel rhabdoid dengan diferensiasi buruk yang dapat mengalami diferensiasi divergen
membentuk komponen epitelial, mesenkimal, neuronal, dan glial. Tumor ini dapat
muncul pada hemisfer serebral, serebelar, hingga medula spinalis.490
Gejala klinis yang muncul adalah tanda peningkatan tekanan intrakranial
seperti mual, muntah, nyeri kepala, dan penurunan kesadaran, disertai diseminasi
leptomeningeal.
Pemeriksaan radiologis dengan MRI akan menghasilkan gambaran hiperintens
atau isointens terhadap substansia grisea dengan penyangatan heterogen difus. Dapat
ditemukan area nekrosis dan area kistik.90
Pemeriksaan histologi akan didapatkan sel rhabdoid yang memiliki nukleus
vesikular eksentrik, nukleoli prominen, dan sitoplasma eosinofilik yang mengandung
inklusi. Didapatkan juga diferensiasi epitelial, mesenkimal, neuronal, dan glial.
Aktivitas mitosis sangat tinggi disertai adanya cell wrapping. Tumor ini memiliki
indeks proliferasi tinggi dengan Ki-67 bervariasi dari 25% hingga 85%.90
Terapi pada AT/RT masih belum terstandar. Radioterapi memiliki risiko pada
bayi. Beberapa studi mengusulkan protokol multimodalitas dengan reseksi maksimal
yang aman, kemoterapi, dan radiasi. Pada beberapa kasus pasien yang masih sangat
muda, radiasi dapat diganti dengan terapi proton.91
Daftar Pustaka
1. Park S, Won J, Kim S, Lee Y, Park C, Kim S, dkk. Molecular testing of brain tumor. J Pathol Transl
Med.2017;51(3):205-23.
2. Aninditha T, Wiratman W. Buku ajar neurologi. Departemen Neurologi Fakultas Kedokeran
Universitas Indonesia; 2017.
3. Louis D, Ohgaki H, Wiestler 0, Cavenee W, Burger P, Jouvet A, dkk. The 2007 WHO classification of
tumours of the central nervous system. Acta Neuropathol. 2007;114(2):97-109.
4. Louis D, Perry A, Reifenberger G, Von-Deimling A, Figarella-Branger D, Cavenee W, dkk. The 2016
World Health Organization classification of tumors of the central nervous system: a summary.
Acta Neuropathol. 2016;131(6]:803-20.
5. Tove L, Hansson H, Stein S, Sverre H. Prognostic value of histological features in diffuse astroytomas
WHO grade II. International ] Clin Experimental Pathol. 2012;5(2):152-8.
6. Vigneswaran K, Neill S, Hadjipanayis C. Beyond the World Health Organization grading of
infiltrating gliomas: advances in the molecular genetics of glioma classification. Ann Transl Med.
2015;3(7):95.
7. WellerM,Van-Den-BentM, Hopkins K.TonnJ, StuppR,FaliniA,dkk.EANO guideline forthe diagnosis
and treatment of anaplastic gliomas and glioblastoma. Lancet Oncol. 2014;15(9):e395-e403.
8. Cohen A, Holmen S, Colman H. IDH1 and IDH2 mutations in gliomas. Curr Neurol Neurosci Rep.
2013;13(5):345.
9. Fernandes C, Costa A, Osorio L, Lago R, Linhares P, Carvalho B, dkk. Current standards of care in
glioblastoma therapy. Dalam: De-Vleeschower S, editor. Glioblastoma [serial online]. Brisbane:
Codon Publications; 2018 [diunduh 6 August 2018]:Edisi ke-1. Tersedia dari: Front Matter.
10. Kozak K, Moody J. Giant cell glioblastoma: a glioblastoma subtype with distinct epidemiology and
superior prognosis. Neuro-Oncology. 2009;11(6]:833-41.
11. Kozak K, Mahadevan A, Moody J. Adult gliosarcoma: epidemiology, natural history, and factors
associated with outcome. Neuro-Oncology. 2009;11(2):183-91.
12. Valle-Folgueral J, Mascarenhas L, Costa J, Vieira F, Soares-Fernandes J, Beleza P, dkk. Giant cell
glioblastoma: review of the literature and illustrated case. Neurocirugia (Astur). 2008;19(4):343-9.
13. Chang S. Patterns of care for adults with newly diagnosed malignant glioma. JAMA.
2005;293[5):557.
14. Newton H. Handbook of neuro-oncology neuroimaging. Amsterdam: Academic Press; 2008.
15. Lopez G, Oberheim-Bush N, Phillips J, Bouffard J, Moshel Y, Jaeckle K, dkk. Diffuse midline gliomas
with subclonal H3F3A K27M mutation and mosaic H3.3 K27M mutan protein expression. Acta
Neuropathol. 2017;134[6):961-3.
16. Solomon D, Wood M, Tihan T, Bollen A, Gupta N, Phillips J, dkk. Diffuse midline gliomas with
histone H3-K27M mutation: a series of 47 cases assessing the spectrum of morphologic variation
and associated genetic alterations. Brain Pathol. 2015;26(5]:569-80.
17. Louis D, Giannini C, Capper D, Paulus W, Figarella-Branger D, Lopes M, dkk. cIMPACT-NOW update
2: diagnostic clarifications for diffuse midline glioma, H3 K27M-mutant and diffuse astrocytoma/
anaplastic astrocytoma, IDH-mutant. Acta Neuropathol. 2018;135(4):639-42.
18. Hoshide R, Jandial R. Diffuse midline gliomas: closer to a cure? Neurosurgery. 2017;81(3):N19-20.
19. Wick W, Watts C, Mehta M. Oligodendroglial tumours. Dalam: Batchelor T, Nishikawa R, Tarbell
N, Weller M, Kennard C, editor. Oxford texbook of neuro-oncology. Edisi ke-1. United Kingdom:
Oxford University Press; 2017. h. 101-28.
20. Richard H, Fuller C. Oligodendroglial tumors. Dalam: Adesina A, Tihan T, Fuller C, Poussaint T,
editor. Atlas of pediatric brain tumors. Edisi ke-1. Switzerland: Springer International Publishing;
2016. h. 43-52.
' 21. Brem S, Bierman P, Brem H, Butowski N, Chamberlain M, Chiocca E, dkk. NCCN central nervous
system cancers: clinical practice guideline in oncology. J Nat Compr Cane Netw. 2011;9(4):352-99.
22. Ostrom Q, Gittleman H, Liao P, Rouse C, Chen Y, Dowling J, dkk. CBTRUS statistical report: primary
brain and central nervous system tumors diagnosed in the United States in 2007-2011. Neuro
Oncol. 2014;16(suppl 4):ivl-63.
23. Collins V, Jones D, Giannini C. Pilocytic astrocytoma: pathology, molecular mechanisms and
markers. Acta Neuropathol. 2015;129(6):775-88.
24. Roth J, Roach E, Bartels U, Jozwiak S, Koenig M, Weiner H, dkk. Subependymal giant cell
astrocytoma: diagnosis, screening, and treatment. Recommendations from the international
tuberous sclerosis complex consensus conference 2012. Pediatr Neurol. 2013;49(6J:439-44.
25. Krueger D, Care M, Agricola K, Tudor C, Mays M, Franz D. Everolimus long-term safety and efficacy
in subependymal giant cell astrocytoma. Neurology. 2013;80(6):574-80.
26. O'Neill B, Allen J, Berger M, Kortmann R. Astrocytic tumours: pilocytic astrocytoma, pleomorphic
xanthoastrocytoma, and subependymal giant cell astrocytoma. Dalam: Batchelor T, Nishikawa
R, Tarbell N, Weller M, Kennard C, editor. Oxford texbook of neuro-oncology. Edisi ke-1. United
Kingdom: Oxford University Press; 2017. h. 54-77.
27. Fuller C. Pleomorphic xanthoastrocytoma. Dalam: Adesina A, Tihan T, Fuller C, Poussaint T, editor. Atlas
of pediatric brain tumors. Edisi ke-2. Switzerland: Springer International Publishing; 2016. h. 19-23.
28. Ruda R, Reifenberger G, Frappaz D, Pfister S, Laprie A, Santarius T, dkk. EANO guidelines for the
diagnosis and treatment of ependymal tumors. Neuro Oncol. 2017;20(4J:445-56.
29. Stark A, Hugo H, Nabavi A, Mehdorn H. Papillary ependymoma WHO grade II of the aqueduct
treated by endoscopic tumor resection. Case Rep Med. 2009;2009:1-5.
30. Deb P, ManuV, Pradeep H, Bhatoe H. Intraparenchymal clear cell ependymoma. J Cytol. 2011;28(2):73-6.
31. Lopez G, McLendon R, Peters K. Supratentorial tanycytic ependymoma in an adult male: case
report and review of literature. Case Rep Oncol. 2015;8(l):159-63.
32. Acquaye A, Vera E, Gilbert M, Armstrong T. Clinical presentation and outcomes for adult
ependymoma patients. Cancer. 2016;123[3J:494-501.
33. Zhang X, Wu X, Sheng X, Wang Y, Gao H, Xu L, dkk. Ependymoma diagnosis and treatment progress.
Int J Clin Exp Med. 2016;9(8J:15050-7.
34. Leeper H, Felicella M, Walbert T. Recent advances in the classification and treatment of
ependymomas. Curr Treat Options Oncol. 2017;18(9):55.
35. Morais B, Menendez D, Medeiros R, Teixeira M, Lepski G. Chordoid glioma: case report and review
of the literature. Int] Surg Case Rep. 2015;7:168-71.
36. Ampie L, Choy W, Lamano J, Kesavabhotla K, Mao Q, Parsa A, dkk. Prognostic factors for recurrence
and complications in the surgical management of primary chordoid gliomas: a systematic review
of literature. Clin Neurol Neurosurg. 2015;138:129-36.
37. Chou Y, Tseng H, Lee Y. Chordoid glioma of the third ventricle—a case report and literature review.
Ther Radiol Oncol. 2018;2:8-8.
38. Kumar M, Ramakrishnaiah R, Samant R Angiocentric glioma, a recently added WHO grade-I
tumor. Radiol Case Rep. 2013;8(4):782.
39. Bergthold G, Bandopadhayay P, Ramkissoon L, Jain P, Wala J, Schumacher S, dkk. MYB-QKI
rearrangements in angiocentric glioma drive tumorigenicity through a tripartite mechanism.
Neuro Oncol. 2016;18[suppl 3]:iii78.
40. Ni H, Chen S, Chen L, Lu D, Fu Y, Piao Y. Angiocentric glioma: a report of nine new cases, including
four with atypical histological features. Neuropathol Appl Neurobiol. 2015;41(3):333-46.
41. Hammas N, Senhaji N, Alaoui Lamrani M, Bennis S, Chaoui E, El Fatemi H, dkk. Astroblastoma-a
rare and challenging tumor: a case report and review of the literature. J Med Case Rep.
2018;12[1J:102.
42. Barakat M, Ammar M, Salama H, Abuhashem S. Astroblastoma: case report and review of
literature. Turk Neurosurg. 2016;26(5):790-4.
43. Santos M, Bouffet E, Freeman C, Souweidane M. Choroid plexus tumors. Dalam: Batchelor T,
Nishikawa R, Tarbell N, Weller M, editor. Oxford texbook of neuro-oncology. Edisi ke-1. United
States of America: Oxford University Press; 2017. h. 152-70.
44. Grimm S, Chamberlain M. Choroid plexus tumor. Dalam: Neman J, Chen T, editor. The choroid
plexus and cerebrospinal fluid: emerging roles in CNS development, maintenance, & disease
progression. Edisi ke-1. Los Angeles: Elsevier; 2016.
45. Liu A, Hankinson T, Wolff J. Choroid plexus tumors. Dalam: Mahajan A, Paulino A, ed. by. Radiation
oncology for pediatric CNS tumors. Edisi Ke-1. Switzerland: Springer International Publishing; 2018.
h. 354-62.
46. Abecassis I, Hanak B, Ellenbogen R. Pineal region tumors. Dalam: Ellenbogen R, Sekhar L, Kitchen
N, Da-Silva H, editor. Principles of neurological surgery. Edisi ke-4. Elsevier; 2018. h. 602-21.
47. Taylor R, Pizer B, Tarbell N, Brandes A, Lowis S. Embryonal and pineal tumor. Dalam: Batchelor T,
Nishikawa R, Tarbell N, Weller M, Kennard C, editor. Oxford texbook of neuro-oncology. Edisi ke-1.
United Kingdom: Oxford University Press; 2017. h. 227-73.
48. Fevre-Montange M, Vasiljevic A, Champier J, Jouvet A. Histopathology of tumors of the pineal
region. Future Oncol. 2010;6(5):791-809.
49. Yang E, Chi S, Silvera V. Pineal region tumors. Dalam: Newton H, editor. Handbook of neuro-
oncology neuroimaging. Edisi ke-2. Elsevier; 2016. h. 585-602.
50. Nguyen H, Doan N, Gelsomino M, Shabani S. Dysembryoplastic neuroectodermal tumor: an analysis
from the surveillance, epidemiology, and end results program, 2004-2013. World Neurosurg.
2017;103:380-5.
51. Suh Y. Dysembryoplastic neuroepithelial tumors. J Pathol Transl Med. 2015;49:438-49.
52. Chassoux F, Daumas-Duport C. Dysembryoplastic neuroepithelial tumors: where are we now?
Epilepsia. 2013;54:129-34.
53. Lee D, Cho Y, Kang S, Yoon N, Sung C, Suh Y BRAF V600E mutations are frequent in dysembryoplastic
neuroepithelial tumors and subependymal giant cell astrocytomas. J Surg Oncol. 2014;lll(3]:359-64.
54. Ranger A, Diosy D. Seizures in children with dysembryoplastic neuroepithelial tumors of the
brain—A review of surgical outcomes across several studies. Childs Nerv Syst. 2015;31(6):847-55.
55. Morr S, Qiu J, Prasad D, Mechtler L, Fenstermaker R. Radiologic response to radiation therapy
concurrent with temozolomide for progressive simple dysembryoplastic neuroepithelial tumor.
Acta Neurochir. 2016;158(7):1363-6.
56. Dudley R, Torok M, Gallegos D, Mulcahy-Levy J, Hoffman L, Liu A, dkk. Pediatric low-grade
ganglioglioma: epidemiology, treatments, and outcome analysis on 348 children from the
surveillance, epidemiology, and end results database. Neurosurgery. 2015;76(3):313-20.
57. Zaky W, Patil S, Park M, Liu D, Wang W, Wani K, dkk. Ganglioglioma in children and young adults:
single institution experience and review of the literature. J Neurooncol. 2018; 139(3):739-47.
58. Odia Y. Gangliocytomas and gangliogliomas: review of clinical pathologic and genetic features.
Clin Oncol. 2016;l(1017]:l-6.
59. Chamberlain M. Recurrent ganglioglioma in adults treated with BRAF inhibitors. CNS Oncol.
2016;5(l):27-9.
60. Soffietti R, Duffau H, Bauman G, Walker D. Neuronal and mixed neuronal-glial tumours. Dalam:
Batchelor T, Nishikawa R, Tarbell N, Weller M, Kennard C, editor. Oxford texbook of neuro-
oncology. Edisi ke-1. United Kingdom: Oxford University Press; 2017. h. 187-226.
61. Selvanathan S, Hammouche S, Salminen H, Jenkinson M. Outcome and prognostic features in anaplastic
ganglioglioma: analysis of cases from the SEER database. J Neurooncol. 2011;105(3):539-45.
62. Ludemann W, Banan R, Hartmann C, Bertalanffy H, Di-Rocco C. Pediatric intracranial primary
anaplastic ganglioglioma. Childs Nerv Syst. 2016;33(2):227-31.
63. Zanello M, Pages M, Tauziede-Espariat A, Saffroy R, Puget S, Lacroix L, dkk. Clinical, imaging,
histopathological and molecular characterization of anaplastic ganglioglioma. J Neuropathol Exp
Neurol. 2016;75(10):971-80.
64. Giorgianni A, Pellegrino C, Benedictis A, Mercuri A, Baruzzi F, Minotto R, dkk. Lhermitte-duclos
disease. Neuroradiol J. 2013;26(6):655-60.
65. Lucas J, Huang A, Mott R, Lesser G, Tatter S, Chan M. Anaplastic ganglioglioma: a report of three
cases and review of the literature. J Neurooncol. 2015;123(l):171-7.
66. Nowak D, Trost H. Lhermitte-Duclos disease (dysplastic cerebellar gangliocytoma): a
malformation, hamartoma or neoplasm? Acta Neurol Scand. 2002;105(3):137-45.
67. Adesina A. Desmoplastic infantile astrocytoma and ganglioglioma. Dalam: Adesina A, Tihan T,
Fuller C, Poussaint T, editor. Atlas of pediatric brain tumors. Edisi ke-2. Switzerland: Springer
International Publishing; 2016. h. 171-4.
68. Bianchi F, Tamburini G, Massimi L, Calderelli M. Supratentorial tumors typical of the infantile age:
desmoplastic infantile ganglioglioma (DIG) and astrocytoma (DIA). A review. Childs Nerv Syst.
2016; 32(10):1833-8.
69. Rivera-Zengotita M, Illner A, Adesina A. Papillary glioneuronal tumor. Dalam: Adesina A, Tihan
T, Fuller C, Poussaint T, editor. Atlas of pediatric brain tumors. Edisi ke-2. Switzerland: Springer
International Publishing; 2016. h. 201-6.
70. Rivera-Zengotita M, Adesina A. Rosette-forming glioneuronal tumor of the fourth ventricle.
Dalam: Adesina A, Tihan T, Fuller C, Poussaint T, editor. Atlas of pediatric brain tumors. Edisi ke-
2. Switzerland: Springer International Publishing; 2016. h. 207-10.
71. Aguilera D, Castellino R, Janss A, Schniederjan M, McNall R, MacDonald T, dkk. Clinical responses
of patients with diffuse leptomeningeal glioneuronal tumors to chemotherapy. Childs Nerv Syst.
2017;34[2):329-34.
72. Gardiman M, Fassan M, Orvieto E, DAvella D, Denaro L, Calderone M, dkk. Diffuse leptomeningeal
glioneuronal tumors: a new entity? Brain Pathol. 2010;20(2):361-6.
73. Cho H, Myung J, Kim H, Park C, Kim S, Chung C, dkk. Primary diffuse leptomeningeal glioneuronal
rumors. Brain Tumor Pathol. 2014;32(T):49-55.
~4. Lyle M, Doha J, Fratkin J, Nichols T, Herrington B. Newly identified characteristics and suggestions
for diagnosis and treatment of diffuse leptomeningeal glioneuronal/neuroepithelial tumors.
Child Neurol Open. 2015;2(1):2329048X1456753.
~5. Mohila C, Rauch R, Adesina A. Central neurocytoma and extraventricular neurocytoma. Dalam:
Adesina A, Tihan T, Fuller C, Poussaint T, editor. Atlas of pediatric brain tumors. Edisi ke-2 .
Switzerland: Springer International Publishing; 2016. h. 195-8.
76, Nishimoto T, Kaya B. Cerebellar liponeurocytoma. Arch Pathol Lab Med. 2012;136(8):965-9.
77. Wolf A, Alghefari H, Krivosheya D, Staudt M, Bowden G, Macdonald D, dkk. Cerebellar
liponeurocytoma: a rare intracranial tumor with possible familial predisposition. J Neurosurg.
2016;125(57):57-61.
-•78. Jaganathan J, Kanter A, Sheehan J, Jane J, Laws E. Benign brain tumors: sellar/parasellar tumors.
Neurol Clin. 2007;25(4):1231-49.
79. Laws E, Jane J, Jagannathan J, Katnelzon L. Presentation and clinical features of the pituaitary
and sellar region. Dalam: Mehta M, editor. Principles and practice of neuro-oncology. New York:
Demos Medical Publishing; 2010. h. 291-6.
80. Blevins L, Devin J. Tumors of the pituitary and sellar region. Dalam: Mehta M, editor. Principles
and practice of neuro-oncology. New York: Demos Medical Publishing; 2010. h. 623-67.
81. Laws E, Woodmansee W, Loeffler J. Pituitary tumors. Dalam: Batchelor T, Nishikawa R, Tarbell
N, Weller M, Kennard C, editor. Oxford texbook of neuro-oncology. Edisi ke-1. United Kingdom:
Oxford University Press; 2017. h. 502-19.
82. Baldi I, EngelhardtJ, Bonnet C, BauchetL, Berteaud E, Gruber A, dkk. Epidemiology of meningiomas.
Neurochirurgie. 2018;64(1):5-14.
83. Fuller C. Central meningiomas. Dalam: Adesina A, Tihan T, Fuller C, Poussaint T, editor. Atlas of
pediatric brain tumors. Edisi ke-2. Switzerland: Springer International Publishing; 2016. h. 113-27.
84. Goldbrunner R, Minniti G, Preusser M, Jenkinson M, Sallabanda K, Houdart E, dkk. EANO guidelines
for the diagnosis and treatment of meningiomas. Lancet Oncol. 2016;17(9):e383-91.
85. Jalali R, Wen P, Fujimaki T. Meningiomas. Dalam: Batchelor T, Nishikawa R, Tarbell N, Weller
M, Kennard C, editor. Oxford texbook of neuro-oncology. Edisi ke-1. United Kingdom: Oxford
University Press; 2017. h. 289-315.
86. Adesina A, Hunter J. Medulloblastoma. Dalam: Adesina A, Tihan T, Fuller C, Poussaint T, editor. Atlas of
pediatric brain tumors. Edisi ke-2. Switzerland: Springer International Publishing; 2016. h. 81-99.
87. Shih R, Koeller K. Embryonal tumors of the central nervous system: from the radiologic pathology
archives. Radiographics. 2018;38(2):525-41.
88. Adesina A, Hunter J, Rorke-Adams L. Central nervous system primitive neuroectodermal tumors
(PNETs) and medulloepithelioma. Dalam: Adesina A, Tihan T, Fuller C, Poussaint T, editor. Atlas of
pediatric brain tumors. Edisi ke-2. Switzerland: Springer International Publishing; 2016. h. 71-80.
89. Pickles J, Hawkins C, Pietsch T, Jacques T. CNS embryonal tumours: WHO 2016 and beyond.
Neuropathol Appl Neurobiol. 2018;44(2):151-62.
90. Adesina A, Hunter J, Rorke-Adams L. Atypical rhabdoid/teratoid tumours. Dalam: Adesina A,
Tihan T, Fuller C, Poussaint T, editor. Atlas of pediatric brain tumors. Edisi ke-2. Switzerland:
Springer International Publishing; 2016. h. 99-112.
91. McGovern S, Grosshans D, Mahajan A. Embryonal brain tumors. Cancer J. 2014;20(6):397-402.
GLIOMA DERAJAT RENDAH
Dessika Rahmawati
V.l. Pendahuluan
Istilah glioma derajat rendah atau low grade glioma (LGG} dapat digunakan
untuk menyebut semua glioma derajat I dan II menurut WHO. Terminologi ini
berguna dalam memisahkan tumor ini dari glioma derajat tinggi atau high grade
glioma (HGG) yang lebih agresif yaitu derajat III dan IV menurut WHO. Glioma derajat
I WHO biasanya tumor berbatas tegas yang sering didapatkan pada anak-anak dan
cukup langka pada dewasa, sedangkan glioma derajat II WHO merupakan tumor otak
neuroektodermal primer yang sifatnya menginfiltrasi pada dewasa. Saat digunakan
pada pasien dewasa, istilah LGG biasanya digunakan untuk menyebut tumor derajat
II WHO, seperti astrositoma, oligodendroglioma, dan oligoastrositoma.1
V.2. Epidemiologi
LGG terjadi sekitar 30% dari glioma dan terjadi terutama pada usia lebih muda
dibandingkan HGG. Rata-rata dua pertiga dari glioma pada usia muda merupakan
LGG, sisanya merupakan HGG. LGG sering didapatkan pada area elokuen, yaitu area
motorik, bahasa, visuospasial, dan fungsi memori. Kesintasan dalam 5 tahun dan
progression-free survival (PFS] yaitu 58-72% dan 37-55%. Pasien LGG dapat bertahan
sampai 20 tahun, namun tumor tetap tumbuh dan dapat berkembang menjadi HGG
menyebabkan defisit neurologis dan kematian.23
Sekitar 2000 orang dewasa terdiagnosis LGG tiap tahunnya di Amerika. Angka
insidensi untuk LGG sekitar 1-12,5 per 100.000 populasi/tahun. LGG pada dewasa
paling sering terdiagnosis di dekade keempat atau kelima di masa hidup pasien, lebih
muda dari usia tipikal diagnosis untuk glioma maligna. LGG adalah glioma yang difus,
infiltratif, lebih sering pada laki-laki, dengan rasio laki-laki banding perempuan 1,8:1.3
V.3. Etiologi
Glioma WHO derajat II dapat bermanifestasi dan berkembang melalui pertum-
buhan lokal, invasi, atau transformasi anaplastik. Studi terbaru telah menemukan
bahwa sebelum transformasi anaplastik, LGG menunjukkan pertumbuhan konstan,
dengan rata-rata diameter tumor yang tumbuh sekitar 4mm per tahun. LGG menyerang
substansia alba utama di dalam hemisfer lesional dan menyebar secara terkontrol
melalui korpus kalosum. Selanjutnya LGG secara sistematis berubah dan berevolusi
menjadi HGG, dengan median sekitar 7-8 tahun untuk transformasi anaplastik.
Seseorang yang memiliki keluarga dengan riwayat tumor akan berisiko tiga
hingga sembilan kali lipat untuk terjadinya tumor otak, tetapi hubungan ini masih
belum dimengerti. Terdapat pendapat terkait gelombang elektromagnetik, turunan
nitrosourea pada daging olahan, pestisida, dan bahaya kerja terkait peningkatan risiko
kejadian tumor otak. Namun, tidak ada zat kimia yang diketahui karsinogenik untuk
jaringan manusia lainnya berkaitan dengan kanker otak. Jaringan neuroektodermal
rentan terhadap efek karsinogenik terapi radiasi sinar eksternal (EBRT). Terdapat
hubungan dosis-respons yang kuat karena paparan >2,5Gy berhubungan dengan
peningkatan potensi karsinogenik 2 0 kali lipat. Periode laten untuk neuro-onkogenesis
pascaradiasi sekitar 12 tahun hingga 15 tahun (rentang 4 hingga 30 tahun).4
V.4. Patofisiologi
Tumor otak sering dianggap berasal dari neuroglial precursor cell. Mutasi gen isocitrat
dehydrogenase-1 (IDH1) atau IDH2 diperkirakan sebagai pemicu awal terjadinya namun
harus disertai dengan mutasi TP53 untuk menjadi sebuah tumor. Selain itu, mutasi NF1
dan NF2 di neurofibromatosis tipe 1 dan 2, mutasi TSC1 dan TSC2 di tuberosklerosis, dan
sejumlah mutasi gen di Turcot syndrome's dan multiple haemartomas seperti mutasi APC,
hMLHl, hMLH2, PMS2, dan PTEN mempengaruhi terjadinya LGG meskipun insidensi
masih sangat rendah. Glioma sendiri merupakan tumor neuroepitelial yang berasal dari
sel glial sistem saraf pusat. LGG tumbuh dengan lambat sampai bertahun-tahun untuk
menimbulkan gejala. Meskipun tumbuh kecil dan lambat namun dapat menjadi masalah
besar jika lokasinya berada di area yang penting di otak.5
Secara umum, LGG bersifat difus, dengan kata lain LGG merupakan tumor infiltratif
yang dapat menyebar ke beberapa tempat di area substansia alba, perivaskular atau
sistem saraf pusat. Dibandingkan dengan tumor padat yang sifatnya menghancurkan
area sekitar dan mudah dilihat secara mikroskopis, LGG dapat menyebar ke area
sekitar dan secara mikroskopis sukar dilihat. Jika dibandingkan dengan tumor padat,
pasien dengan LGG lebih banyak fungsi neurologis yang dapat dipertahankan. 6
LGG paling sering terjadi pada pasien usia 20-40 tahun dengan puncak usia 30-
40 tahun. LGG dapat memunculkan tanda-tanda klinis karena efek dari massa yang
mvasi ke sekeliling parenkim otak atau hidrosefalus obstruktif seperti kejang yang
merupakan tanda klinis yang paling sering muncul (80%], defisit neurologis fokal,
perubahan kognitif dan perilaku, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
seperti papilledema dan nyeri kepala.7
V.5. Klasifikasi
Derajat glioma berdasarkan ketentuan WHO (Tabel 5.1) dibuat berdasarkan
karakteristik atipikal, proses mitosis, proliferasi endotel, dan adanya nekrosis.8
Klasifikasi LGG dari rekomendasi European Association of Neuro-Oncology (EANO)
2011 yaitu astrositoma, oligodendroglioma, dan oligoastrositoma, serta menggunakan
kriteria morfologi, fenotipe, dan genotipe berdasarkan klasifikasi WHO (level A).9
Klasifikasi WHO 2016 saat ini berdasarkan fenotipe dan genotipe dari
glioma. Dilihat dari patogenesis, klasifikasi ini berdasarkan dari segi prognosis,
pengelompokan berdasarkan tumor yang prognosisnya sama, sedangkan dari segi
manajemen, menentukan penggunaan terapi (konvensional atau target). 9
Oligoastrositoma, termasuk jenis yang sulit ditentukan kriteria diagnosisnya.
Menggunakan dua genotipe (status mutasi IDH dan kodelesi lp/19q) dan fenotipe
untuk mendiagnosis oligodendroglioma. Sehingga pada kriteria WHO 2016 ini
diagnosis sebelumnya yaitu oligoastrositoma dan anaplastik oligoastrositoma
dimasukkan dalam kategori NOS (Tabel 5.1).10
Penggunaan kriteria diagnosis histologi dan genetika molekuler juga
meningkatkan kemungkinan mendiagnosis hasil yang meragukan, misalnya glioma
difus yang secara histologis tampak astrositik tetapi terbukti memiliki mutasi IDH
dan kodelesi lp/19q, atau tumor yang menyerupai oligodendroglioma dengan
mikroskop cahaya tetapi memiliki mutasi IDH, ATRX dan TP53, serta lp/19q intak.
Pada situasi ini, genotipe mengalahkan fenotipe histologis, sehingga kasus pertama
diagnosis oligodendroglioma, karena adanya mutasi IDH dan kodelesi lp/19q serta
kasus kedua astrositoma difus.10
V.6. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk LGG antara lain paparan terhadap radiasi pengion tingkat
tinggi, seperti radiasi terapeutik. Dewasa ini berkembang kemungkinan peran
dari penggunaan telepon seluler sebagai faktor resiko glioma. Studi kohort telah
memberikan bukti bahwa tinggi badan yang lebih dan indeks massa tubuh (IMT)
yang lebih besar pada remaja berkaitan dengan peningkatan risiko glioma. Studi ini
utamanya memasukkan pasien dengan HGG, tidak jelas hasilnya untuk LGG.1
Sindrom kanker familial seperti neurofibromatosis bertanggungjawab atas
sebagian kecil dari keseluruhan kasus glioma. Baru-baru ini, beberapas/ng/e nucleotide
polymorphism (SNP) germ-line telah dikaitkan dengan risiko LGG. Contohnya,
polimorfisme secara signifikan lebih sering pada pasien dengan oligodendroglioma
dan oligoastrositoma derajat II WHO dibandingkan di subjek kontrol.1
V.7. Genetika
Perubahan molekuler yang paling sering terjadi pada astrositoma adalah mutasi
IDH1 yang dilaporkan pada 75% astrositoma. Perubahan ini juga terjadi pada tumor
oligodendroglial dan dengan demikian menggambarkan penanda astrositoma atau
oligodendroglioma dari WHO derajat II dan III. Pengembangan antibodi spesifik
mutasi IDH1-R132H (H09] sangat membantu dalam diagnosis astrositoma dan
oligodendroglioma. H09 mencakup >90% dari semua mutasi IDH1 pada glioma difus
dan memisahkan tumor ini dari glioma tingkat rendah lainnya. Indeks pelabelan MIB-
1 pada astrositoma difus biasanya adalah <4%. Nekrosis tumor, proliferasi vaskular,
trombosis vaskular, dan aktivitas mitosis tinggi tidak sesuai dengan astrositoma difus
WHO derajat II. Marker terbaik imunohistokimia adalah protein asam fibrillat glial,
yang diekspresikan di kedua sel tumor. Temuan molekuler khas untuk astrositoma
difus adalah mutasi TP53 pada 50% kasus; gemistocytic astrocytomas membawa
mutasi TP53 pada >80%.2
Oligodendroglioma dengan susunan seluler biasa disebut "fried egg" atau "honey
comb pattern". Terkadang sel tumor dengan sitoplasma kecil yang sangat eosinofilik
ditemukan dan disebut mini-gemistocytes. Oligodendroglioma memiliki jaringan kapiler
padat dan sering mengandung kalsifikasi. Sesekali mitosis dan indeks label Ki-67/
MIB-1 sampai 5% sesuai dengan oligodendroglioma WHO derajat II. Ciri molekuler
oligodendroglioma dengan kodelesi lp/19q terjadi pada 80% tumor ini (derajat II),
sementara mutasi TP53 hanya ditemukan pada 5%.2
Kejang adalah gejala klinis yang paling sering dan dapat terjadi parsial atau
umum. Kejang terjadi pada >90% pasien dan tidakterkendali dalam 50%. Kejang lebih
sering berhubungan dengan tumor berbasis kortikal, terutama di frontal, temporal,
serta insular/parainsular dan dengan tumor oligodendroglial. Tidak ada hubungan
yang jelas antara tingkat keparahan kejang dan sifat tumor. Defisit neurologis fokal
jarang terjadi dan bisa berlangsung perlahan selama bertahun-tahun. Peningkatan
tekanan intrakranial terutama pada fosa posterior dan tumor intraventrikular, jarang
pada tumor supratentorial.2
Sejumlah faktor biologis telah dikenali sebagai pencetus epileptogenesis pada
tumor otak. Mutasi dari IDH1 pada siklus krebs menyebabkan konversi dari isositrat
menjadi 2-hidroksiglutarat. Produk ini mengubah struktur glutamat dan mengaktifkan
reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) serta amino-methylisoxazolepropionic acid
(AMPA) yang memicu epileptogenesis. Pada LGG, mutasi IDH1 menunjukkan
hubungan kuat dengan kejang sebagai gejala awal, lokasi tumor di lobus frontal, dan
angka harapan hidup yang lebih panjang.11
Defisit neurologis fokal lebih jarang terjadi, timbul sesuai dengan fungsi dari lokasi
tumornya. LGG yang terletak di lobus frontal nondominan dapat tumbuh lumayan besar
sebelum munculnya gejala. Demikian pula jarang adanya gejala peningkatan tekanan
mtrakranial seperti sakit kepala, sehingga LGG sering ditemukan secara insidensital
pada pemeriksaan radiologis karena sakit kepala atau vertigo yang tidak terkait.1
Glioma derajat II WHO kadang disebut sebagai glioma "jinak", namun LGG secara
klinis tidak jinak, dan sering menyebabkan gejala yang signifikan serta mortalitas
akibat pertumbuhan yang progresif. LGG dapat berprogresi dengan dua cara, yakni
dengan bertumbuh sebagai tumor derajat II WHO dan bertransformasi menjadi
glioma dengan derajat yang lebih tinggi (derajat III atau IV WHO). Ciri progresi tumor
yang khas bervariasi sebagai fungsi dari histologi tumor, tetapi tumor oligodendroglial
lebih sering menetap sebagai derajat II saat rekuren dibanding astrositoma.1
Peran morfologi tumor dan patologi molekuler dalam memprediksi sifat tumor
menjadi semakin jelas seiring waktu. Pertumbuhan oligodendroglioma cenderung
lebih lambat dibanding astrositoma, sehingga berkaitan dengan kesintasan yang
lebih lama. Salah satu alterasi genetik pertama yang diamati bersifat prediktif untuk
keluaran adalah kodelesi dari regio kromosom lp dan 19q. Tumor dengan kodelesi
lp/19q, hampir selalu oligodendroglioma, memiliki prognosis yang lebih baik
dibanding tumor yang tidak memiliki kodelesi ini. Mutasi isositrat dehidrogenase
(1DH) ditemukan di kebanyakan LGG, terlepas dari morfologi. Tumor yang mengandung
mutasi IDH memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan tumor tanpa mutasi
ini, dan pasien yang memiliki mutasi IDH dan kodelesi lp/19q tampaknya lebih baik
dibanding wildtype (tidak memiliki mutasi].
V.9. Diagnosis
Penegakan diagnosis pada LGG meliputi beberapa langkah diagnostik yang dapat
menjadi penunjang, yaitu:
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
LGG cenderung terletak di daerah kortikal dan subkortikal dari lobus temporal
dan frontal. Pada MRI tumor ini memberikan sinyal iso- hingga hipointens pada Tl
dan hiperintens yang homogen pada gambar T2. Gambaran tumor ini umumnya tidak
menyangat pada pemberian kontras dan tidak dikelilingi oleh edema perifokal.12
MRI merupakan alat diagnostik primer untuk mengidentifikasi pasien dengan
kecurigaan LGG, Hal ini dikarenakan pada CT didapatkan gambaran isodens,
sedangkan tampak pada MRI sebagai gambaran abnormal. LGG derajat II umumnya
secara klasik tidak menyangat pada MRI pascapemberian gadolinium. Namun, tidak
ditemukannya penyangatan bukan berarti selalu LGG.
Beberapa glioma derajat II WHO menunjukkan penyangatan yang samar (Gambar
5.1). Penyangatan signifikan dapat menunjukkan baik tumor WHO derajat I, seperti
astrositoma pilositik atau glioma maligna (WHO derajat HI atau IV), berdasarkan
polanya dan karakteristik lain dari tumor. Varian glioma WHO derajat II yang langka
seperti pleomorphic xanthoasthrocytoma (PX), yang biasanya ada pada anak-anak,
dapat menunjukkan penyangatan yang nyata dan tetap memiliki perjalanan klinis
yang baik. CT scan tetap berguna dalam menunjukkan kalsifikasi tumor, yang lebih
sering terjadi pada tumor oligodendroglial dibandingkan tumor astrositik murni.1
PET Scan
Positron Emission Tomography scan dengan [18F]-fluorodeoxyglucose (FDG)
memiliki nilai diagnostik yang terbatas karena LGG menunjukkan serapan FDG yang
rendah dibandingkan dengan korteks normal. Kegunaan FDG-PET terbatas pada
deteksi transformasi anaplastik pada astrositoma dan diferensiasi nekrosis radiasi
dari kekambuhan tumor. PET dengan HC-methionine (MET) adalah yang paling
sering digunakan dan penyerapan MET berkorelasi dengan aktivitas proliferasi sel
tumor. Penyerapan back-ground dengan MET-PET pada jaringan otak normal lebih
rendah dibandingkan dengan FDG-PET, memberikan kontras yang baik dengan
ambilan tumor dan penggambaran LGG.2
Tumor LGG dengan komponen oligodendroglial menunjukkan serapan MET yang lebih
tinggi. Penunjang ini dengan MET berguna dalam membedakan LGG dari lesi nontumoral,
menuntun biopsi stereotaktik, mendefinisikan volume tumor sebelum tindakan operasi,
dan pemantauan respons terhadap pengobatan. Adanya 18F-fluoro-L-timidin adalah
penanda proliferasi tetapi tidak masuk ke otak kecuali menembus sawar darah otak dan
oleh karena itu kegunaannya tampaknya terbatas. Baru-baru ini, pelacak asam amino
18F-fluoro-etil-L-tirosin (FET) telah digunakan untuk panduan biopsi dan perencanaan
pengobatan di glioma. Pelacak ini memiliki keuntungan berupa waktu paruh yang lebih lama
daripada MET, memungkinkan produksi pelacak dalam cyclotron sentral dan transportasi
ke unit lain. Pengalaman FET-PET agak terbatas dibandingkan MET-PET, tetapi pelacak
ini menunjukkan intensitas serapan dan distribusi pada tumor otak yang sangat mirip.2
Uji Lahoratorik
Tidak ada pemeriksaan darah atau cairan serebrospinal (CSS) yang tersedia
secara Minis untuk mengonfirmasi diagnosis LGG. Pemeriksaan laboratorium
aanya diindikasikan pada situasi di mana manifestasi pasien dianggap mungkin
menunjukkan suatu diagnosis alternatif seperti infeksi atau inflamasi, dan harus
diarahkan pada konfirmasi atau eksklusi dari diagnosis alternatif.2
V.ll. Penatalaksanaan
Tata Laksana Umum
a. Kontrol Kejang
Pada pasien yang datang dengan kejang, harus diberikan obat antiepilepsi (OAE]
jangka panjang. Durasi terapinya masih kontroversial; beberapa menyatakan
terapi seumur hidup, namun yang lain secara rutin berupaya menghentikan
OAE pascareseksi tumor dan periode bebas-kejang yang sesuai. OAE profilaksis
tidak ada manfaatnya pada uji klinis maupun dalam meta-analisis. Uji klinis acak
menggunakan obat OAE generasi lama, seperti fenitoin dan asam valproat, serta
OAE yang digunakan saat ini pada pasien dengan tumor otak, yaitu levetiracetam.
American Academy of Neurology telah menerbitkan pedoman praktik yang
menyatakan bahwa OAE profilaksis tidak boleh secara rutin diberikan pada pasien
dengan tumor otak yang baru terdiagnosis, karena kurangnya efektivitas dalam
mencegah kejang pertama dan potensi terjadinya efek samping.1
Penggunaan obat OAE pada pasien dengan kanker yang paling dikhawatirkan
adalah interaksi dengan sitokrom P450 dengan kortikosteroid dan banyak agen
kemoterapi. Interaksi ini menyebabkan pemberian deksametason dan kemoterapi
menjadi kurang efektif. Obat OAE yang baru bersifat tidak menginduksi enzim
tersebut, seperti gabapentin, pregabalin, levetiracetam, dan zonisamide.13
Agen OAE lama seperti karbamazepin, fenitoin, dan asam valproat, memiliki
bukti kelas-I untuk kemanjuran dan efektivitas dalam uji coba terkontrol plasebo
pada orang dewasa. OAE baru, seperti lamotrigin, gabapentin, okskarbazepin,
dan topiramate, memiliki efektifitas terapi, tetapi umumnya tidak superior
terhadap karbamazepin, fenitoin, dan valproat. Levetiracetam memiliki lisensi
untuk penggunaan monoterapi dalam gejala epilepsi simptomatik parsial.
Levetiracetam lebih unggul dibandingkan dengan obat lain, seperti lamotrigin.2
Edema dan efek massa
Kejadian edema pada LGG sangat rendah secara signifikan dibanding HGG. Tumor
di area midbrain dapat menyebabkan hidrosefalus obstruktif yang membutuhkan
prosedur diversi CSS, sehingga dapat dipertimbangkan untuk melakukan
ventriculoperitoneal shunting atau third ventriculostomy, tergantung pada lokasi
tumor dan preferensi operator.1
Tata Laksana Khusus (Gambar 5.2. S.3 dan 5.4)
a. Pembedahan
Ada tiga alasan utama pembedahan pada pasien dengan LGG: untuk menegakkan
diagnosis, untuk debulking tumor yang menyebabkan efek massa yang signifikan,
dan berpotensi untuk meningkatkan outcome jika reseksi ekstensif dapat
dilakukan. Saat ini, tidak ada cara noninvasif untuk mendiagnosis LGG secara
definitif, sehingga pembedahan biasanya diperlukan untuk tujuan diagnostik.
Pada pasien dengan lesi otak asimtomatik atau gejala minimal yang diduga
kuat mewakili LGG, maka dilakukan observasi awal sebelum operasi. Dalam
satu laporan, pasien dengan dugaan LGG yang diamati sampai perkembangan
simtomatik atau radiografi dibandingkan dengan pasien yang menerima operasi
dan radiasi dini. Tidak ada perbedaan yang terlihat dalam kesintasan atau kualitas
hidup antara kedua kelompok ini. Bila strategi observasi dini dipilih, diperlukan
tindak lanjut klinis dan radiografi yang ketat. Observasi tetap merupakan
pendekatan kontroversial, mengingat tingginya kemungkinan progresi tumor
dan kekhawatiran bahwa kemampuan untuk mencapai reseksi total.1
Pembedahan diagnostik dapat berupa biopsi jarum stereotaktik atau reseksi terbuka,
dan ada risiko serta manfaat pada kedua pendekatan tersebut. Biopsi jarum memiliki
keuntungan morbiditas rendah dan waktu pemulihan yang singkat. Kerugian potensial
dari biopsi jarum adalah kemungkinan mendapatkan jaringan nondiagnostik
atau nonrepresentatif. Selain itu, tumor sering menunjukkan heterogenitas yang
signinkan, dan biopsi yang menunjukkan glioma derajat II WHO tidak mengeksklusi
kemungkinan bahwa daerah tumor lainnya memenuhi kriteria untuk glioma derajat
tinggi. Biopsi juga memiliki kelemahan karena tidak memungkinkan debulking, yang
diperlukan jika tumor memiliki efek massa yang signinkan.1
Pembedahan adalah intervensi terapeutik awal pada pasien dengan tumor yang
dapat dijangkau untuk dilakukan reseksi gross total atau near-total. Bagi LGG,
reseksi gross total didefinisikan sebagai pengangkatan semua area abnormalitas
T2/FLAIR yang terkait dengan tumor. Reseksi gross total tidak menyebabkan
penyembuhan LGG, karena tumor yang diidentifikasi secara mikroskopikbiasanya
melampaui area abnormalitas pada gambaran radiologi. Data retrospektif yang
cukup banyak menunjukkan bahwa reseksi tumor yang luas (yaitu reseksi 80-
90% atau lebih tinggi) dikaitkan dengan angka kesintasan yang lebih lama
dibandingkan dengan biopsi atau reseksi subtotal. Satu studi melaporkan bahwa
pasien dengan LGG dan setidaknya extent of resection (EOR) 90% memiliki angka
kesintasan 8 tahun keseluruhan 91%, sedangkan pasien dengan EOR kurang
dari 90% memiliki angka kesintasan 8 tahun keseluruhan 60%. Pengukuran
volumetrik residu LGG setelah operasi mungkin merupakan ukuran yang lebih
baik dibanding proporsi tumor yang diambil. Bila reseksi gross total dari semua
tumor yang terlihat pada MRI tercapai, selanjutnya diobservasi sampai terjadinya
rekurensi tumor.1
Berbagai teknik operasi dan pemeriksaan radiologi dapat membantu ahli bedah
dengan aman mencapai reseksi tumor yang ekstensif. Pemeriksaan radiologi
preoperatif dengan teknik seperti MRI fungsional dan traktografi tensor difus
dapat membantu lokalisasi area otak yang penting untuk bahasa dan gerakan,
yang memungkinkan agar daerah itu terhindar. Impresi subjektif intraoperatif
dari operator mengenai sejauh apa tingkat reseksi mungkin tidak akurat, dan
MRI intraoperatif memfasilitasi visualisasi tumor residual sementara masih ada
kesempatan untuk reseksi lebih lanjut. Untuk tumor di bidang eloquent otak,
awake craniotomy dengan pemetaan kortikal merupakan alat yang berguna untuk
meminimalkan risiko defisit neurologis akibat operasi.1
Pembedahan diperlukan untuk menyediakan jaringan guna membedakan tipe
histologis, menilai keganasan, dan menilai status molekuler tumor. Reseksi total
meningkatkan kontrol kejang, terutama pada pasien dengan riwayat epilepsi
berkepanjangan dan tumor insular (kelas II). Penggunaan teknik pemetaan otak
meningkatkan persentase capaian reseksi total dan sub-total dan menurunkan
defisit permanen pascaoperasi. Awake craniotomy adalah prosedur yang dapat
memungkinkan kita untuk (1) meningkatkan indikasi reseksi di daerah fasih, (2)
mengidentifikasi struktur yang penting untuk fungsi otak, terutama bahasa, baik
pada tingkat kortikal dan subkortikal, dan (3) mengoptimalkan tingkat reseksi
yang dilakukan sesuai dengan batas-batas fungsional.2
Pemetaan area fungsional dengan pemetaan intraoperatif pada pasien berisiko
tinggi untuk memaksimalkan reseksi tumor dapat memperbaiki overall survival
(OS). Meskipun demikian, bahkan dengan pembedahan yang dipandu MRI
intraoperatif, reseksi total dicapai tidak lebih dari 36% pasien.2
Radioterapi
Terapi radiasi sering digunakan sebagai pengobatan pascaoperasi awal LGG. Hal
ini terutama tepat pada pasien dengan tumor residual setelah operasi, karena
mereka berisiko tinggi mengalami progresi dini, dan jelas bahwa progresi tumor
dikaitkan dengan penurunan fungsi kognitif dan fungsional serta kematian. Dosis
radiasi yang digunakan 50-54Gy.1
Terapi radiasi memiliki komplikasi potensial jangka pendek maupun jangka
panjang. Komplikasi jangka pendek cenderung dapat selesai dengan sendirinya,
meliputi alopesia yang berhubungan dengan radiasi, iritasi kulit, dan kelelahan.
Dalam jangka panjang, pasien tanpa progresi tumor yang menerima radiasi
lebih cenderung menunjukkan penurunan kognitif progresif. Pada waktu/o//ow-
up rerata 12 tahun setelah diagnosis awal, pasien yang diterapi dengan radiasi
menunjukkan defisit pada fungsi pemusatan perhatian, fungsi eksekutif, dan
kecepatan pemrosesan informasi.1
Pasien dengan glioma derajat apapun biasanya hanya menerima satu terapi
radiasi saja, karena masalah toksisitas kumulatif. Namun, ada beberapa literatur
yang mendukung radiasi ulang hypofractionated salvage pada pasien dengan
glioblastoma primer rekuren. Pada prinsipnya, strategi ini mungkin juga berguna
di LGG, terutama setelah transformasi dari LGG menjadi HGG sekunder, dan bila
tumor rekuren tumbuh melampaui bidang terapi radiasi awal.1
Umumnya, ketika LGG kambuh setelah radiasi, kemoterapi sering diajukan
sebelum disinar ulang. Penting untuk diingat bahwa tidak ada obat atau regimen
kemoterapi sampai saat ini yang telah disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA) untuk indikasi LGG dewasa yang rekuren.1
c Kemoterapi
Peran optimal untuk kemoterapi dalam terapi LGG masih belum ditentukan.
Sebelumnya, kemoterapi biasanya hanya diberikan untuk penanganan progresi
setelah terapi radiasi, namun strategi kemoterapi di awal yang paling baru kini
menjadi lebih banyak diteliti.1
Penelitian kohort pada LGG baik pada usia kurang maupun lebih dari 40
tahun yang mendapatkan reseksi subtotal, angka progression-free survival dan
overall survival lebih lama pada yang mendapatkan kombinasi kemoterapi dan
radioterapi dibandingkan dengan yang mendapatkan radioterapi saja.15
Kegunaan kemoterapi untuk pasien yang mengalami kemajuan setelah operasi dan
RT sudah terbukti, terutama pada tumor oligodendroglial. Procarbazine, CCNU,
dan vincristine (PCV), serta temozolomide (TMZ) menghasilkan tingkat respons
objektif yang sama pada CT/MRI (45-62%] dan durasi respons (10-24 bulan),
dengan profil toksisitas yang mendukung TMZ dalam hal tolerabilitas yang lebih
baik. Manfaat Minis, yaitu pengurangan frekuensi kejang dan perbaikan defisit
neurologis sesuai dengan respons secara radiologis dan pada beberapa pasien
dengan penyakit yang menetap.2
Kemoterapi dengan nitrosourea dapat menjadi pengobatan awal yang efektif
untuk astrositoma yang tidak dapat dioperasi (kelas IV). Tingkat respons setelah
kemoterapi lebih tinggi dan durasi respons lebih lama pada pasien dengan
kodelesi lp/19q dibandingkan pada mereka dengan lp/19q intak.2
Kemoterapi TMZ adalah bagian dari regimen terapi standar untuk pengobatan
glioblastoma, dan walaupun tidak disetujui FDA untuk LGG, dalam praktiknya
telah menggantikan regimen berbasis nitrosourea dalam terapi LGG. Meskipun
belum ada uji coba TMZ dibandingkan PCV di LGG, banyak klinisi menyukai TMZ
karena anggapan efektivitas yang serupa dan tolerabilitas yang lebih superior.1
Respons didasarkan terutama pada hasil MRI dengan kontras dan dikategorikan
sebagai berikut: respons lengkap, tumor menunjukkan respons komplit pada
studi pencitraan; respons parsial, ukuran tumor berkurang 50% atau lebih;
respons ringan, ukuran tumor berkurang 25%-50%; stabil, tidak ada perubahan
atau ukuran tumor berkurang <25% dan progresif, ukuran tumor bertambah
25% atau lebih.13
d. Observasi
Pasien yang diamati harus dipantau secara berkala, yaitu setiap 6 bulan untuk
mendeteksi perkembangan radiologis sebelum tanda dan gejala baru terjadi.11
Dalam praktik klinis, observasi setelah operasi awal biasanya hanya dilakukan
untuk pasien yang diperkirakan memiliki kemungkinan progression-free survival
berkepanjangan. Kelompok ini mencakup pasien yang lebih muda yang tidak
memiliki gejala atau tanda substansial setelah mengalami reseksi gross total dari
tumornya.12 Berdasarkan pengamatan ini, beberapa berpendapat bahwa semua
pasien tersebut harus menjalani reseksi bedah maksimal yang aman (maximal
safe resection) diikuti dengan terapi radiasi pascaoperasi.9
e. Terapi Target
Pada LGG didapatkan adanya jalur signaling yang menyimpang, diantaranya
PI3K/Akt/mTOR, dan uji klinik sedang menuju pada pendekatan terapi target
jalur tersebut. Selain itu, sedang diteliti inhibisi dari IDH. Pendekatan ini
membutuhkan pasien dengan karakteristik molekuler/sitogenetik yang spesifik
dan menunjukkan terapi LGG masa depan pada era genomik.16
Terapi molekuler target lain juga sedang diteliti, terutama sebagai terapi untuk
LGG progresif. Percobaan fase II imatinib, sebuah penghambat tirosine kinase
dengan aktivitas melawan bcr-abl, c-kit, dan platelet-derived growth factor receptor
(PDGFR) yang dikombinasikan dengan hidroksiurea menunjukkan bahwa terapi
dapat ditoleransi dengan baik dan dikaitkan dengan aktivitas yang mendukung.
Temuan ini belum dikonfirmasikan dalam uji coba yang lebih besar.1
f. Follow-up
Setelah terapi LGG, follow-up seumur hidup diperlukan. Tidak ada pendekatan
standar untuk/o//ow-up dalamhal frekuensi imaging. Beberapa klinisi secara rutin
melakukan imaging pada pasien setiap 3 bulan sekali selama 1-2 tahun, lalu setiap
6 bulan sekali selama beberapa tahun, kemudian setiap setahun sekali setelahnya,
namun ada variasi yang relatif luas dalam frekuensi/o//ow-up dalam praktik klinis.9
National Comprehensive Cancer Network (NCCN) setiap tahun mengeluarkan
panduan {guideline) untuk penanganan tumor sistem saraf, termasuk LGG.
Berikut adalah algoritma penanganan LGG menurut NCCN tahun 2018 (Gambar
5.3). Penjelasan lebih lengkap mengenai definisi risiko rendah dan risiko tinggi
terdapat pada Gambar 5.4.
V.12. Prognosis
Skema skoring dua faktor prognostik telah digunakan secara luas. Analisis
European Organization for Research and Treatment of Cancer (EORTC) mengenai
beberapa uji coba skala besar menunjukkan faktor prognostik, antara lain:
1. Usia >40 tahun,
2. Histologi astrositoma
3. Dimensi tumor maksimum >6cm
4 Tumor melewati garis tengah [midline)
5. Defisit neurologis sebelum operasi
Kehadiran 2 faktor atau lebih sedikit termasuk dalam kelompok berisiko rendah
kelangsungan hidup rata-rata 7,7 tahun], sedangkan 3 faktor risiko atau lebih
termasuk dalam kelompok berisiko tinggi.9
Umur >40 tahun dan adanya defisit neurologis pra-operasi adalah faktor
prognostik yang merugikan. Berdasarkan radiologis, ukuran tumor yang lebih
besar dan letak tumor yang melintasi garis tengah berkorelasi dengan OS pendek
dan PFS. Tingkat pertumbuhan berbanding terbalik dengan kelangsungan
hidup. Oligodendroglioma memiliki prognosis yang lebih baik daripada astrositoma.
Angka harapan hidup LGG lebih panjang dibandingkan HGG. Statistical Report of the
Central Brain Tumor Registry of the United States pada 2011 melaporkan bahwa tingkat
kesintasan relatif pada astrositoma derajat rendah selama 2 tahun adalah 60%, 5 tahun
sebesar 48%, dan 10 tahun sebesar 39%. Tingkat kesintasan relatif pada oligodendroglioma
derajat rendah selama 2 tahun adalah 90%, 5 tahun sebesar 79%, dan 10 tahun sebesar
64%. Beberapa faktor di tingkat pasien dan tumor bersifat prediktif untuk luaran. Pasien
dengan dua atau lebih sedikit faktor memiliki median kesintasan 7,72 tahun, sedangkan
pasien dengan tiga atau lebih faktor memiliki median kesintasan 3,2 tahun.
University of California at San Francisco Low grade Glioma Prognostic Scoring System
menerapkan skala grading 0-4, dengan poin diberikan untuk variabel yang kurang
menguntungkan termasuk Karnofsky Performance Status scale (KPS) <80, usia pasien
>50 tahun, diameter tumor >4cm, dan presumsi tumor melibatkan lokasi tumor yang
elokuen. Pasien dengan skor 1 memiliki probabilitas kesintasan 5 tahun sebesar 0,98,
sedangkan skor 4 memiliki probabilitas kesintasan 5 tahun sebesar C46.1
Pasien LGG dengan status mutasi IDH-1 dan kodelesi lp/19q mempunyai prognosis
yang paling baik (angka hidup rata-rata 8 tahun), sedangkan pasien LGG dengan IDH
mutasi tanpa kodelesi lp/19q seringkali dengan mutasi TP53 dan inaktivasi ATRX
mempunyai angka hidup rata-rata 6,3 tahun. Pasien tanpa mutasi IDH merupakan
gambaran glioblastoma primer dengan angka harapan hidup rata-rata 1,7 tahun.3
Ilustrasi Kasus
Seorang pasien perempuan, berusia 32 tahun, datang ke IGD dengan perubahan
perilaku sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien memiliki riwayat nyeri
kepala terutama pada sisi depan yang memberat sejak 1 bulan terakhir. Terdapat
riwayat kejang berulang sejak 2 tahun yang lalu. Dari pemeriksaan tidak didapatkan
penurunan kesadaran pada pasien sementara pada funduskopi didapatkan kesan pa-
piledema bilateral. Hasil MRI kepala dengan kontras menunjukkan hasil sebagai berikut:
Apa yang akan dilakukan selanjutnya pada pasien ini?
A. Pemberian dexamethasone loading 20 mg IV
B. Reseksi tumor
C. Pemeriksaan PET-Scan
D. Pemeriksaan MRS
E. Tatalaksana radiasi
Jawaban: B
Pembahasan:
Pada pasien ini didapatkan tanda dan gejala efek desak massa berupa nyeri kepala,
kejang intraktabel, dan papilledema. Pada gambaran MRI kepala kontras didapatkan
lesi pada regio frontal berupa lesi hipodens pada Tl dengan penyangatan minimal
pascakontras, dengan edema perifokal yang minimal, dapat sesuai dengan gambaran
glioma derajat rendah (LGG). Setelah dilakukan kontrol kejang, perlu dilakukan tata
laksana lebih lanjut yaitu reseksi tumor. Tiga alasan utama pembedahan pada pasien
dengan LGG adalah untuk penegakkan diagnosis, debulking tumor yang menyebabkan
efek massa yang signifikan, dan peningkatan luaran jika reseksi ekstensif dapat
dilakukan.
Daftar Pustaka
1. Johnson Derek R, Jaeckle KA. Low grade glioma and oligodendroma in adulthood. Neuro-oncology.
Edisi ke-1. New Jersey: Blackwell Publishing Ltd; 2012; h 76-85.
2. Soffietti et al., Guidelines on the management of low-grade gliomas: EANO task force report.
Eropean Association of NeuroOncology Magazine. 2011; www.kup.at/journals/eano/index.html
3. Diwanji T.P, Engleman A, Snider J.W, Mohindra P, Epidemiology, diagnosis, and optimal management
of glioma in adolescents and young adults: Adolescent Health, Medicine and Therapeutics, 2017:8
4. Recht L.D, Vogel H, Harsh G.R, Blue books of neurology: Low grade Astrcytomas. 2012. p:121-129
5. Berger, M.S., Hervey-Jumper, S., Wick, W., 2016. Astrocytic gliomas WHO grades II and III. Handb
Clin Neurol. 2016;134:345-60. doi: 10.1016/B978-0-12-802997-8.00021-9.
6. Perry, A. 2003. Pathology of low grade gliomas : An update of emergin concepts. Neuro-oncology
5:168-178
7. Deborah AF, Brian VH, Jay SL, Tracy TB. 2014. Low grade Gliomas. The Oncologist 2014;19:403-413.
8. Gupta A, Dwivedi T. A Simplified Overview of World Health Organization Classification Update of
Central Nervous System Tumors 2016./ Neurosci Rural Pract. 2017;8(4):629-641.
9. Shofty B, Bokstein F, Ram Z, Ben-Sira L, Freedman S, Kesler A, Constantini S. Low grade gliomas.
Neuro Oncol. 2014;16[supl I):i60-i70.
10. Louis DN, Ellison DW, Perry A, Kleihues P, Reifenberger G, Wiestler OD, dkk. The 2016 World
Health Organization Classification of Tumor of the Central Nervous System: a Summary. Acta
Neuropathol. 2016.131(6):803-20.
11. Stockhammer F, Misch M, Helms HJ, et al. 1DH1/2 mutations in WHO grade II astrocytomas
associated with localization and seizure as the initial symptom. Seizure. 2012; 21:194-197.
[PubMed: 22217666]
12. Schneider T, Mawrin C, Scherlach C, Skalej M, Firsching R. Gliomas in adults. Dts Arztebl Int.
2010;107[45j:799-08.
13. Wen et al. Updated Response Assessment Criteria for High grade Glioma: Response Assessment in
Neuro-Oncology Working Group. Journal of Clinical Oncology. Vol.28. No.11. 2010
14. Tonn J, Reardon DA, Rutka JT, Westpal M. Neuro oncology of CNS tumors. Edisi ke-3. New York :
Springer International Publishing. 2019
15. Buckner et al., Radiation plus Procarbazine, CCNU and Vincristine in Low grade Glioma. The New
England Journal of Medicine. 2016;374:1344-55
16. Chang et al, Treatment of Adult Lower Grade Glioma in the Era of Genomic Medicine. ASCO.org/
edbook. 2016
17. National Comprehensive Cancer Network. Central Nervous System Cancers. 2018.
18. Sanchez et al., SEOM Clinical Guideline diagnosis and management of low grade glioma. Clinical
Guides in Oncology. 2017.
GLIOMA DERAJAT TINGGI
Djohan Ardiansyah, Rusdy Ghazali Malueka
VI. 1. Pendahuluan
Angka kejadian tumor primer otak dan sistem saraf di Amerika sekitar 18.500
kasus baru dan angka kematian mendekati 13.000 setiap tahunnya. Meskipun
frekuensi tumor primer ganas otaklebih sedikit dari tumor metastasis, angka kejadian
glioma maligna meningkat dalam 25 tahun belakangan, terutama pada dewasa tua
yaitu sekitar 1,2% pertahun dari populasi.
Glioma adalah tumor yang berasal dari sel glial meliputi astrositoma,
oligodendroglioma, dan ependimoma. Glioma derajat tinggi atau high grade glioma
(HGG) adalah sebutan tumor ganas dari ketiga sel glial tersebut, yang terdiri dari
astrositoma anaplastik/AA [astrositoma derajat III, glioblastoma multiforme
[GBM, (Astrositoma Derajat IV)), Oligodendroglioma Anaplastik (OA) derajat III,
Oligoastrositoma Anaplastik (OAA), dan Ependimoma Anaplastik (EA).1
Meskipun perkembangan teknologi pencitraan, teknik operasi, dan terapi adjuvan;
tumor primer otak tersering pada dewasa (GBM) masih menjadi tumor paling ganas
dan tidak dapat disembuhkan.1
t
VI.2. Epidemiologi
Glioma terjadi 67,6% dari seluruh tumor primer otak, kira-kira separuhnya
adalah GBM, sedangkan AA terjadi pada 10-30%. Pada populasi anak, AA dan GBM
hanya 10% dari seluruh tumor intrakranial.
AA sering terjadi pada usia pertengahan (35-55 tahun), umumnya satu dekade
sebelum GBM. Rasio laki-laki:perempuan 1,2:1, sering pada daerah frontal (40%),
temporal (35%) dan parietal (17%).
GBM jarang terjadi pada usia kurang dari 30 tahun dan lebih sering pada usia 45-65
tahun, rasio laki:perempuan 1,5:1, lebih sering terjadi di lobus temporal (32%), frontal
(31%), frontoparietal (11%), parietal (10%), temporoparietal (7%), dan oksipitoparietal
(5%). GBM tidak umum pada ventrikel III (<1%) dan jarang pada fossa posterior.
OA umumnya terjadi pada usia dekade keempat atau lebih, sedangkan EA lebih
sering pada anak-anak dan lokasinya infratentorial.1
VI.3. Patofisiologi
Aspek penting dari patogenesis glioma derajat tinggi adalah bahwa transformasi
keganasan dihasilkan dari akumulasi sekuensial dari perubahan genetik dan regulasi
abnormal pada faktor pertumbuhan.
Sejauh ini diketahui terdapat 3 penanda utama molekuler genetik, antara lain:3
VI.4. Diagnosis
VI.4.1. Pemeriksaan Radiologi
GBM seringkali dengan perdarahan dan hemosiderin pada MRI kepala (Gambai
6.3). Lokasinya dapat menyeberang midline pada korpus kalosum (butterfly
appearance), jarang pada fosa posterior. GBM bisa soliter, multifokal, atau multisentrik
Rute penyebaran GBM bisa lewattraktus di substansia alba, subependimal, neuroaksis
lewat cairan otak.
Gambaran AA berupa lesi massa batas tidak jelas dan inhomogen pada CT
Scan dengan densitas sedang sampai kuat pada CT scan karena selularitas tinggi
(Gambar 6.4). Gambaran kistik, perdarahan, nekrosis, kalsifikasi (kecuali berasal
dari transformasi LGG) tidak umum; edema vasogenik dan efek massa tidak sebesar
dibandingkan dengan GBM. Selain itu penyerapan kontras minimal sampai heterogen
sedang dan bisa menunjukkan penyebaran leptomeningeal.
Pada HGG yang berasal dari sel ependim, gambaran histopatologi AE adalah
bentukan perivaskular pseudorosette (Gambar 6.9). Tumor ini mungkin terjadi
perubahan mikrositik, kalsifikasi, dan pigmentasi melanin. Pada AE lebih seluler,
pleimorfik, dan aktivitas mitosis yang tinggi serta mungkin terjadi proliferasi vaskular
dan nekrosis.6
VI.4.3. Diagnosis Molekuler HGG
Pada klasifikasi tumor otak menurut WHO tahun 2016, glioma diklasifikasikan
tidak hanya berdasarkan gambaran histopatologinya; tetapi juga berdasarkan
dua parameter molekuler kunci, yaitu status mutasi (IDH) dan ada atau tidak
adanya kodelesi lp/19q. Kedua parameter molekuler tersebut untuk memperkuat
diagnosis, prognostik, dan terapi. Pada klasifikasi tersebut sel tumor glia astrositik
dan oligodendroglioma digabung sebagai glioma difus; dan disubdivisi menjadi IDH
mutant dan IDH wildtype (Tabel 6.3).7
Mutasi IDH1 R132H terjadi pada 90% mutasi IDH glioma. Mutasi ini dapat
dideteksi dengan immunohistokimia (IHK). Jika IHK IDH1R132H mutan negatif,
sekuensi IDH1 dan IDH2 dilakukan pada pasien glioma derajat 3 dan pasien GBM
muda (<55tahun), tetapi tidak pada pasien GBM tua (>55tahun) yang perbedaan IDH
mutan dan IDH wildtype mempunyai implikasi prognostik dan diagnosis terintegrasi.
Ilustrasi Kasus
Seorang pasien perempuan, 33 tahun, datang ke poliklinik saraf dengan keluhan
nyeri kepala progresif, kejang berulang dan kelemahan sisi kiri sejak 1.5 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Hasil MRI kepala dengan kontras menunjukkan hasil
sebagai berikut:
Jawaban: C
Pembahasan:
Tata laksana awal pada pasien yang dicurigai HGG berdasarkan gambaran MRI
adalah reseksi tumor semaksimal mungkin tetapi tetap menjaga fungsi neurologis,
dilanjutkan dengan kemoterapi bersamaan dengan radioterapi. Radioterapi
diberikan sebanyak 60Gy dalam 6 minggu, sementara kemoterapi bersamaan
dengan radioterapi [concurrent chemoradiotherapy) dilanjutkan dengan kemoterapi
tambahan (adjuvan). Obat yang digunakan adalah temozolomide dosis 75mg/m2
selama 6 minggu (selama menjalani radioterapi), dilanjutkan dengan 150-200mg/
m2 pada hari 1-5 siklus 28 hari selama 6 kali.
Daftar Pustaka
1. Kalkanis SN, Rosenblum ML. Malignant glioma. Dalam: Ogden AT, Bruce JN. Pineal region tumors.
Dalam: Bernstein M, Berger MS. Neuro-oncology the essentials. Edisi ke-2. New York: Thieme;
2008. h. 254-65.
2. Hanif Farina, Muzaffar Kanza, Perveen Kahkashan, Malhi M Saima, Simjee U. Glioblastoma
Multiforme : A review of its epidemiology and pathogenesis through clinical presentation and
treatment. Asian Pac J Cancer Prev. 2017;18(l):3-9.
3. Narayan Vairavan, Patel Krunal, Price Stephen. High grades Gliomas : Pathogenesis, Management
and Prognosis. Neurosurgery. 2012;
4. Hanahan D, Weinberg RA. The hallmarks of cancer. Cell. 2000; 100:57-70. [PubMed: 10647931]
5. Bertram J. The Molecular Biology of Cancer. Honolulu: Molecular Aspect of Medicine;2001
6. Butowski N, Chang S. Adult high grade glioma. Dalam: Barnett GH. High grade glioma. Edisi ke-1.
New Jersey: Humana Press; 2007. h. 59-69.
7. Louis DN, Perry A, Reifenberger G, Von Deimling A, Figarella-Branger D, Cavenee WK, dkk.
The 2016 World Health Organization classification of tumors of the central nervous system: a
summary. Acta Neuropathol. 2016;131(6):803-20.
8. Dietrich J. Clinical presentation, initial surgical approach, and prognosis of high grade glioma.
UpToDate [serialonline], 2018 [diunduh 14 Februari 2018]. Tersedia: UpToDate.
9. Van-Den-Bent M. Management of anaplastic oligodendrogial tumors. UpToDate [serial online],
2018 [diunduh 3 April 2018]. Tersedia dari: UpToDate.
10. National Comprehensive Cancer Network. Central Nervous System Cancers. 2018.
MENINGIOMA DAN TUMOR MENINGEAL LAINNYA
Tiara Aninditha
•
VII. 1. Pendahuluan
Meningioma pertama kali dikenalkan oleh Harvey Cushing (1922) sebagai
sekelompok sel tumor yang berasal dari selaput meningen.1 Meningioma terbentuk
dari sel araknoid. Jenis syncytial meningioma berasal dari sel di lapisan araknoid,
sedangkan meningioma fibroblastik berasal dari kapsul fibrosa di villi araknoid.
Tata laksana meningioma yang utama adalah operasi. Pada meningioma WHO
derajat II-III, derajat I yang tidak direseksi total, atau indikasi lainnya, setelah
pembedahan dapat dilanjutkan radioterapi adjuvan.24 Prognosis pascaoperasi
sebetulnya baik apabila dilakukan reseksi total pada derajat keganasan rendah, namun
hampir separuh (42,5%) dari meningioma derajat I juga tumbuh di daerah basis
kranii yang tidak memungkinkan reseksi total.4 Jika reseksi hanya dapat dilakukan
secara parsial, misalnya karena lokasi yang sulit dijangkau secara anatomis, maka
dapat memicu rekurensi. Sementara pengobatan lain seperti radioterapi maupun
kemoterapi atau terapi target belum dapat menghambat pertumbuhan secara efektif.3*5
VII.2. Epidemiologi
Data di Departemen Patologi Anatomi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
(RSCM) menunjukkan bahwa meningioma merupakan tumor intrakranial paling
ringgi, yaitu 58,5%, diikuti glioma 23,7%.6 Begitu pula dengan data tumor otak primer
di RS Ranker Nasional Dharmais, meningioma merupakan tumor primer tertinggi
(37,2%) diikuti glioma (37,2%). Meningioma mencakup 13-26% dari tumor primer
intrakranial. Sejak berkembangnya teknologi pemeriksaan radiologis dalam dekade
terakhir, insidensi meningioma mengalami peningkatan sampai hampir empat kali
lipat.2 Secara umum, meningioma merupakan jenis tumor intrakranial yang kedua
terbanyak (20,9%) ditemui setelah glioma (50,3%).2 Dengan mempertimbangkan
bahwa meningioma yang tersering ditemui adalah dengan derajat keganasan rendah
yang cenderung bersifat asimtomatik, masih mungkin bahwa prevalensi yang
sebenarnya adalah lebih tinggi dan tidak terlalu jauh dibanding glioma.7
Dilihat dari demografik penderitanya, meningioma didapatkan lebih banyak
diderita oleh jenis kelamin perempuan (2-7/100.000) dibanding laki-laki (1-
5/100.000); perbandingan ini secara kasar didapatkan sama untuk semua etnis.2 Usia
rata-rata penderita saat didiagnosis adalah 56,4 tahun (10-85 tahun) pada laki-laki
dan 55,9 tahun pada perempuan; insiden didapatkan meningkat secara signifikan
dengan bertambahnya usia, yaitu dapat mencapai 50,6% pada usia lebih dari 70 tahun.
Meningioma lebih sering ditemukan pada perempuan daripada laki-laki, dengan
insiden 1,4-2,6:1. Hal ini diperkirakan akibat adanya peran hormon seks perempuan,
dengan dilaporkannya prevalensi reseptor estrogen (0-94%) dan progesteron (40-
100%) pada jaringan meningioma.2 Black dkk melakukan penelitian terhadap 733
meningioma selama kurun tahun 1989-2006, didapatkan insiden perempuan 2,5 kali
dibanding laki-laki, dengan rerata usia 58 tahun. 8
Pada umumnya meningioma bersifat jinak, 80-90% tumor memiliki tumor derajat
I, 20-25% derajat II dan 1-6% derajat III berdasarkan klasifikasi WHO 2016 (Tabel
7.1).9 Secara umum, jenis tersering adalah meningioma meningothelial (63%), diikuti
transisional [19%], fibrosa (13%), dan psammomatosa (2%).2
Adapun lokasi meningioma yang paling sering adalah falks, konveksitas, atau os
sfenoid (Gambar 7.1).3 Lokasi intrakranial di mana meningioma umum ditemukan,
dimulai dari yang paling sering, yaitu parasagittal/falcine (25%), konveksitas (19%),
sphenoid ridge (17%), supraselar (9%), fosa posterior (8%), olfactory groove (8%),
fosa media/Meckel's (4%), tentorial (3%), ventrikel lateral (1-2%), foramen magnum
(1-2%), dan orbita/opt/c nerve sheath (1-2%). Di antara meningioma parasagittal itu
sendiri, 49% ditemukan pada sepertiga falks anterior, 29% pada sepertiga tengah,
dan 22% pada sepertiga posterior.2
VII.3. Patofisiologi
Meningioma tumbuh dari dua macam sel pada vili araknoid, yaitu sel araknoid
dan dural border pada dasarnya dianggap sebagai suatu tumor jinak yang muncul dari
sel-sel arachnoid cap yang terletak pada dura mater. Biasanya perlekatannya pada
dura memiliki dasar yang cukup lebar, dengan kemampuan untuk menginvasi atau
menyebabkan hiperostosis pada tulang yang di sebelahnya.10
Meningioma adalah tumor dengan vaskularisasi yang cukup tinggi, dan dalam
prosesnya untuk bertambah besar dapat membutuhkan neovaskularisasi. Untuk
memungkinkan itu terjadi, dibutuhkan faktor-faktor angiogenik yang menginduksi
neovaskularisasi. Jaringan meningioma diketahui mengekspresikan vascular
endothelial growth factors (VEGFs) yang dapat berperan besar dalam vaskularisasi
meningioma.10
Tumorigenesis meningioma berhubungan dengan mutasi gen neurofibromatosis
2 (NF2) yang terletak di kromosom 22 pada hampir 60% meningioma. Neurofibroma-
tosis 2 merupakan tumor suppressor gene yang terutama diekspresikan oleh sistem
saraf, termasuk sel Schwan, neuron, astrosit, dan sel di lensa mata. Gen ini mengodekan
protein MERLIN [Moesin-ezrin-radixin-Iike protein) yang berfungsi sebagai penghubung
antar-protein membran sel dan aktin filamen sehingga terjadi hambatan kontak ter-
hadap pertumbuhan sel. Mutasi gen NF2 menyebabkan inaktivasi MERLIN sehingga
terjadi reorganisasi sitoskeletal dan memicu perkembangan meningioma. Analisis
gen NF-2 ini berbeda pada jenis histologi yang berbeda. Ditemukan loss of heterozy-
gosity (LOH) dari gen NF-2 di kromosom 22 sebanyak 95% pada meningioma fibro-
blastik dan hanya 33% pada meningothelial meningioma.911
VII.4. Diagnosis
Diagnosis meningioma ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
radiologi kepala dengan zat kontras. Gejala klinis bervariasi tergantung pada lokasi
tumor, seperti sakit kepala kronik progresif dan defisit neurologis fokal seperti
gangguan visus, diplopia, hemiparesis, kejang, dan sebagainya. Secara makroskopis,
tumor ini mudah dibedakan dengan jaringan normal sekitarnya. Gambaran
histopatologisnya sangat beragam, mulai dari fibroblastik murni sampai yang
dominan aspek epiteloid. Hal ini menyebabkan gambaran CT scan atau MRI kepala
yang juga bervariasi, seperti kalsifikasi, erosi tulang, hiperostosis, serta edema jika
melibatkan parenkim otak.15
Posisi dari tumor itu sendiri akan menentukan tanda atau gejala penyerta lainnya.
Meninigioma yang tipikal akan tumbuh dengan perlahan, sehingga gambaran klinis
umumnya sudah berlangsung lama, hingga bertahun-tahun sebelum diagnosis dapat
ditegakkan.34
Pada tumor yang terletak di parasagital, umumnya pasien muncul dengan epilepsi
fokal dan adanya hemiparesis, karena keterlibatannya pada korteks motorik di lokasi
tersebut. Apabila terletak di anterior, seringkali tumor tumbuh bilateral dan pasien akan
datang dengan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Tumor parasagittal
yang terletak di anterior akan berdampak terhadap lobus frontal, maka dapat muncul
gejala-gejala pseudopsikiatri yang disertai juga dengan gangguan pada memori,
kecerdasan, dan kepribadian. Sementara jika muncul di posterior falks, sesuai topisnya
akan memiliki manifestasi yang berbeda, misalnya gangguan lapang pandang.34
Pada tumor konveksitas, biasanya terletak di depan sutura koronalis. Pasien akan
, muncul dengan tanda peningkatan TIK. Tumor-tumor yang terletak lebih posterior
akan menyebabkan gejala neurologis fokal dan epilepsi fokal.34
Pada tumor sphenoid ridge bagian dalam, massa tumor dapat menyebabkan
kompresi pada nervus optikus yang terletak di sisinya sehingga pasien dapat
mengeluhkan gangguan penglihatan yang awalnya muncul pada salah satu mata.
Selain itu kompresi dapat juga terjadi pada traktus olfaktorius, yang mengakibatkan
anosmia. Sementara bila tumor muncul pada sphenoidal ridge bagian luar, dapat
terjadi peningkatan TIK, dan papiledema yang jelas. Tumor yang terletak di regio ini
dapat menyebabkan hiperostosis yang cukup bermakna.3 4
Pada tumor di olfactory groove, dapat muncul anosmia yang awalnya unilateral
dan kemudian menjadi bilateral. Tanda-tanda yang muncul, yaitu peningkatan TIK,
penurunan visus akibat papiledema ataupun kompresi nervus, atau gangguan lapang
pandang karena penekanan kiasma. Bila tumor cukup besar, dapat juga terjadi
kompresi lobus frontal dengan manifestasi gangguan kognitif dan perilaku. Tumor
di supraselar juga dapat menyebabkan gangguan lapang pandang, yaitu hemianopia
bitemporal, dan penurunan visus.34
Pada meningioma ventrikuler, tanda-tanda peningkatan TIK dapat terjadi
bertahun-tahun dan berkaitan dengan gangguan fungsi yang ringan namun global
pada satu hemisfer sesuai ventrikel lateral yang terkena.34
Pada tumor fosa posterior, massa tumor dapat tumbuh dari cerebellopontine
angle (CPA) atau clivus. Tumor ini sering menyerupai neuroma akustik dengan gejala
yang melibatkan nervus akustikus, nervus trigeminus, dan nervus fasialis. Sering
juga muncul ataksia karena efek massa tumor terhadap serebelum. Selain itu, massa
tumor yang dapat menutup ventrikel keempat seringkali menyebabkan hidrosefalus,
sehingga meningkatkan TIK.34
Tidak seperti tumor SSP lainnya, meningioma mendapat suplai dari pembuluh
darah ekstrakranial di luar sawar darah otak, sehingga pada pencitraan akan
tampak sangat menyangat setelah pemberian kontras. Selain itu, meningioma
sangat hipervaskular yang dapat terlihat pada angiografi serta dapat menyebabkan
hiperostosis pada tulang di sisinya atau mengalami kalsifikasi.315 Hal itu menyebabkan
gambaran radiologisnya memiliki gambaran yang khas.
Pada CT scan, massa meningioma kebanyakan akan muncul sebagai massa
homogen, yang bisa iso- atau hipodens dibanding parenkim sekitarnya, menyangat
kontras dengan kuat dan padat, dan memiliki perlekatan yang lebar pada batasan
dura (Gambar 7.3). Apabila ada hiperdensitas pada gambaran CT scan non-kontras
(unit Hounsfield >100) biasanya berupa kalsifikasi psammomatosa. Gambaran edema
serebri cukup minimal; dapat juga luas dan menyebar pada seluruh substansia alba
hemisfer tersebut.3
Pada MRI umumnya meningioma tampak isointens pada sekuens Tl, yang
menyangat kuat dan homogen pascakontras (Gambar 7.4).4 Dapat dilihat juga
gambaran khas dura di sekitar lesi yang disebut "dural tail" (Gambar 7.5).
Dengan foto polos kranium, pada sebagian kasus (10%) dapat ditemukan
kalsifikasi berbentuk hiperostosis pada tulang kranium, atau perbesaran vascular
groove terutama a. meningea media.3
Angiografi serebral biasanya tidak dibutuhkan untuk kepentingan diagnostik,
namun untuk pertimbangan evaluasi preoperatif dapat bermanfaaat untuk mengetahui
vaskularisasi dari tumor.4 Pada angiografi, meningioma akan tampak memiliki/eerier
dari a. karotis eksterna atau a. karotis interna, yaitu a. oftalmika pada meningioma
olfactory groove atau supraselar.3 Angiografi juga dapat memberikan gambaran oklusi
sinus vena-vena dari dura, terutama meningioma falks atau parasagittal.4
Saat ini meningioma juga dinilai berdasarkan tingkat proliferasi sel, oleh karena
adanya kecenderungan peningkatan indeks proliferasi seiring dengan tingginya
derajat histopatologi dan indeks mitosis, yang akan berdampak pada terapi. Pada
imunohistokimia, antibodi yang digunakan adalah Ki67 dan MIB-1, yang dapat
memberi informasi tambahan. Penilaian manual berdasarkan indeks proliferasi atau
indeks label (IL) yang dihitung dari persentase sel yang positif terwarnai pada setiap
1000 sel tumor yang daerah mitosisnya paling aktif (Gambar 7.6).1718
VII.5. Penatalaksanaan
Terapi pilihan pada meningioma adalah reseksi, untuk mengambil jaringan tumor
sebanyak mungkin beserta tulang dan duramater yang mungkin terlibat. Luasnya
reseksi tergantung pada lokasi tumor. Jika lokasinya jauh dan berdekatan dengan
bagian yang vital, maka operasi bertujuan untuk mengambil jaringan untuk biopsi dan
mengurangi volume tumor untuk memudahkan radiosurgery. Namun reseksi parsial
dapat memicu pertumbuhan tumor. Penilaian luasnya operasi berdasarkan klasifikasi
Simpson (Tabel 7.2) dapat menentukan kemungkinan untuk rekuren. Reseksi yang
ideal adalah derajat I, dengan kemungkinan rekuren yang lebih rendah.21
Pada median follow up selama 10 tahun terdapat rekurensi sebesar 8,2%; 18,8%;
28,2%; dan 34,7% pada masing-masing skala Simpson derajat I, II, III dan IV.21 Selain
itu, kemungkinan rekuren adalah 29-59% pada derajat II dan 60-94% pada derajat
HI, sehingga prognosisnya buruk dibandingkan derajat I yang lebih jarang rekuren
(7-2 5 %). 22 Kekambuhan ini berkaitan dengan daya invasi tumor terhadap tulang,
duramater, dan jaringan otak.
Selain pembedahanjugadapatdilakukanstereotact/crad/osur^ervdengan^amma
knife atau menggunakan linear accelerator, terutama pada tumor yang berlokasi pada
tempat-tempat yang berisiko untuk dilakukan operasi. Terapi ini dapat diberikan
pada pasien dengan meningioma rekuren, pasien menjalani reseksi subtotal, memiliki
komorbiditas untuk dilakukan operasi, dan tumor berlokasi di basis kranii.15
VII.6. Prognosis
Rekurensi adalah suatu tantangan tersendiri dalam manajemen meningioma,
terutama pada meningioma atipikal, sehingga tata laksana yang optimal belum
didapatkan saat ini. Meskipun dilakukan reseksi total secara makroskopis hingga
Simpson derajat 1, sekitar 4-15% pasien tetap mengalami rekurensi dari meningioma
yang secara histopatologi tergolong jinak.7'10 Meningioma memang mayoritas jinak,
namun rekurensi tetap sering terjadi; meningioma yang atipikal berkemungkinan
untuk rekuren sekitar delapan kali lipat dibanding meningioma jinak.7
Sejauh ini yang menjadi patokan paling utama dalam memprediksi rekurensi
pascaoperasi adalah derajat Simpson dan derajat keganasan tumor sesuai WHO.
Kesintasan lima tahun mencapai lebih dari 80% pada meningioma tipikal akan tetapi
lebih buruk (<60%] pada meningioma atipikal dan maligna. Pada kenyataannya,
sebagian kasus rekurensi sulit diprediksi; pada tumor yang telah direseksi total secara
makroskopis sekalipun, termasuk dura dan tulang yang terlibat (derajat Simpson 1),
4-15% dapat rekuren, dengan mekanisme yang belum diketahui.7,10
Cukup banyak penelitian di negara lain mengenai faktor-faktor prognostik
dari luaran meningioma intrakranial termasuk pengaruh masing-masing faktor
dalam munculnya rekurensi. Faktor yang tersering dinilai adalah derajat Simpson,
derajat WHO, lokasi tumor, ekspresi dari reseptor hormon antara lain progesteron
[progesterone receptor; PR), indeks mitosis atau tingkat proliferasi sel misalnya Ki67,
serta faktor pertumbuhan [growth factor) antara lain vascular endothelial growth
factor (VEGF) dan epidermal growth factor receptor (EGFR). Selain derajat Simpson
dan derajat WHO, hasil dan signifikansinya dari tiap faktor dalam memprediksi
rekurensi didapatkan bervariasi antar studi satu dengan lainnya.26
Ilustrasi Kasus
Jelaskan lokasi meningioma berdasarkan hasil MRI di bawah ini.
Jawaban:
1. Meningioma sella
2. Meningioma cerebellopontine angle
3. Meningioma konveksitas
Daftar Pustaka
1. Rogers L, Barani I, Chamberlain M, KaleyTJ, McDermott M, RaizerJ, dkk. Meningiomas: knowledge
base, treatment outcomes, and uncertainties. A RANO review. J Neurosurg. 2015;122(l):4-23.
2. ParkBJ KH,SadeB, LeeJH.Epidemiology. Dalam: LeeJH,editor. Meningiomas: diagnosis,treatment,
and outcome. In: JH L, editor. Meningiomas: diagnosis, treatment, and outcome. London: Springer
Verlag; 2008. h. 11-4.
3. Greenberg MS, Arredondo N, Duckworth EA, Nichols TA. Greenberg Handbook of neurosurgery.
Ontario: Thieme; 2006.
4. Kaye AH. Essential neurosurgery. Victoria: Blackwell Publishing; 2009.
5. Fakhrjou A, Meshkini A, Shadrvan S. Estrogen and progesterone receptors in various subtypes of
intracranial meningiomas. Pak J Biol Sci. 2012;15(ll):530-5.
6. Departemen Patologi Anatomi FKUI-RSCM. Intracranial tumor. Data Departemen Patologi
Anatomi FKUI-RSCM; 2011.
7. Yamasaki F, Yoshioka H, Hama S, Sugiyama K, Arita K, Kurisu K. Reccurence of meningiomas.
Cancer. 2000;89(5):1102-10.
8. Manzoor A LJ, Masaryk TJ. Meningiomas: imaging mimics. Dalam: Lee JH, editor. Meningiomas:
diagnosis, treatment, and outcome. London: Springer Verlag; 2008. h. 67-88.
9. Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee WK. WHO classification of tumours of the central
nervous system. Edisi ke-4. Lyon: IARC; 2016.
10. Nanda A, Bir SC, Konar S, Maiti T, Kalakoti P, Jacobsohn JA, dkk. Outcome of resection of WHO
Grade II meningioma and correlation of pathological and radiological predictive factors for
recurrence. J Clin Neurosci. 2016;31:112-21.
11. Angelov L, Golubic M. Molecular basis of meningioma tumorigenesis and progression. In: Lee JH,
editor. Meningiomas: diagnosis, treatment, outcome. London: Springer Verlag; 2008. h. 147-56.
12. Link MJ, Perry A. Meningioma tumorigenesis: an overview of etiologic factors. Dalam: Lee JH, editor.
Meningioma: diagnosis, treatment, and outcome. London: Springer Verlag; 2008. h. 137-46.
13. Miller R, DeCandio ML, Dixon-Mah Y, Giglio P, Vandergrift WA, Banik NL, dkk. Molecular targets
and treatment of meningioma. J Neurol Neurosurg. 2014;1(1J:1000101.
14. Hasan S, Young M, Albert T, Shah AH, Okoye C, Bregy A, dkk. The role of adjuvant radiotherapy
after gross total resection of atypical meningiomas. World Neurosurg. 2015;83(5}:808-15.
15. Rae-Grant A. Meningioma. Ebcohost [serial online]. 2018 [diakses 11 November 2018]. Tersedia
dari: Ebscohost.
16. Brain Meningioma Imaging: Overview, Radiography, Computed Tomography [Internet]. Emedicine.
medscape.com. 2019 [cited 30 Juni 2019]. Available from: https://emedicine.medscape.com/
article/341624-overview#al
17. Wallace E. The Dural Tail Sign. Radiology. 2004;233(l):56-57.
18. Brieger J, Wierzbicka M, Sokolov M, Roth Y, Szyfter W, Mann WJ. Vessel density, proliferation,
and immunolocalization of vascular endothelial growth factor in juvenile nasopharyngeal
angiofibromas. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2004;130(6J:727-31.
19. Grala B, Markiewicz T, Kozlowski W, Osowski S, Slodkowska J, Papierz W. New automated image
analysis method for the assessment of Ki-67 labeling index in meningiomas. Folia Histochem
Cytobiol. 2009;47[4J:187-92.
20. Riemenshneider MJ, Perry A, Reifenberger G. Histological classification and molecular genetics of
meningioma. Lancet. 2006;5(12):1045-54.
21. Gousias K, Schramm J, Simon M. The simpson grading revisited: aggresive surgery and its place in
modern meningioma management. J Neurosurg. 2016;125(3):551-60.
22. Hortobagyi T, Benzce J, Varkoly G, Kouhsari MC, Klekner A. Meningioma recurrence. Open Med
(Wars). 2016;ll(l):168-73.
23. Jo K, Park HJ, Nam DH, Lee JI, Kong DS, Park K, dkk. Treatment of atypical meningioma. ] Clin
Neurosci. 2010;17[ll):1362-6.
24. Wen PY, Quant E, Drappatz J, Beroukhim R, Norden AD. Medical therapies for meningiomas. J
Neurooncol. 2010;99(3):365-78.
25. Hammouche S, Clark S, Wong AH, Eldridge P, Farah JO. Long-term survival analysis of atypical
meningiomas: survival rates, prognostic factors, operative and radiotherapy treatment. Acta
Neurochir (Wien). 2014;156(8):1475-81.
26. Iskandar MM. Faktor yang mempengaruhi risiko rekurensi pada meningioma intrakranial dua
tahun pascaoperasi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2010-2015 [tesis]. Jakarta:
Universitas Indonesia; 2017.
EPENDIMOMA
RiniAndriani, Indah Chitra, Yogaswara
VIII.l. Pendahuluan
Tumor ependimal merupakan salah satu tumor ektodermal. Sel ependimal
merupakan sel neuroglia berbentuk kuboid, bersilia multipel, dan berfungsi
memproduksi cairan serebrospinal. Tumor yang berasal dari sel ependimal terletak
pada garis ependimal ventrikel, kanalis spinalis, dan filum terminale.1
Angka kejadian tumor ependimal tergolong jarang. Kejadian ependimoma kurang
dari 10% tumor susunan saraf pusat (SSP) dan 25% dari tumor primer medula
spinalis.2 Dikarenakan lokasinya, tumor ependimal akan berdampak pada kualitas
hidup dan angka kematian yang tinggi.1
VIII.2. Epidemiologi
Insidensi ependimoma hampir sama antara laki-laki dan perempuan,2 terutama
pada ras non-Hispanik. Insidensi tumor ependimal menunjukkan distribusi usia yang
bimodal, yaitu terdapat dua kelompok puncak usia (0-4 tahun dan 55-59 tahun).1
Pada semua kelompok usia, kebanyakan tumor berlokasi pada ventrikel dan
serebelum. Namun, tumor juga dapat berkembang di lobus hemisfer.1 Ventrikel
IV adalah lokasi terbanyak pada infratentorial dan sering menyebar ke rongga
subaraknoid, terkadang ke medula dan servikal atas. Pada lokasi supratentorial
terjadi di intraventrikel, tipikalnya di ventrikel lateral atau parenkimal.2
Lokasi ependimoma bergantung pada kelompok usia. Pada anak, 90%
ependimoma terletak intrakranial, dan sisanya di medula spinalis. Pada lokasi tumor
intrakranial, sekitar 60% terletak pada fosa posterior. Ependimoma yang terletak
infratentorial terjadi pada sekitar 30% kasus, dan sering terdapat pada anak berumur
kurang dari 3 tahun.2,3 Sebaliknya, 55-75% ependimoma pada dewasa berlokasi di
kanalis spinalis.24
Hampir 45% ependimoma medula spinalis terletak pada kauda equina. Sebagian lagi
terletak pada daerah servikal dan servikothorakal. Karena berasal dari sel ependimal,
lokasi tumor biasanya sentromedulari dan menyebabkan/oca/ enlargementpada spinal.
Biasanya melibatkan tiga hingga empat segmen vertebra. Berbeda dengan astrositoma
yang meluas dan tumornya seakan membaur dengan spinal dan melibatkan lima hingga
enam segmen vertebra. Ependimoma spinal dapat terjadi pada abnormalitas kromosom
22 dan berkaitan dengan neurofibromatosis tipe 2.4
VfII.3. Klasifikasi
Klasifikasi histopatologi tumor ependimal berdasarkan WHO tahun 2016
(Gambar 8.1) adalah:5
1. Subependymomct (derajat I]
2. Myxopapillary ependymoma (derajat I)
3. Ependimoma (derajat II)
a. Papillary ependymoma
b. Clear cell ependymoma
c. Tanycytic ependymoma
4. Ependimoma, RELA-fusion positive
5. Ependimoma anaplastik (derajat III)
Distribusi histologi tumor ependimal juga berbeda antara anak dan dewasa.
Ependimoma derajat rendah merupakan histologi tumor yang paling sering
ditemukan pada semua kelompok usia. Sementara, ependimoma anaplastik lebih
sering ditemukan pada anak dan remaja. Pada usia dewasa, jenis tumor ependimal
yang paling sering adalah subependimoma dan ependimoma miksopapilari.1
Sebagian besar histologi ependimoma spinal adalah derajat 2. Gambaran patologi
berupa ependymal dan perivascular rosettes. Tanycytic ependymoma [WHO derajat II)
sebenarnya jarang ditemukan pada ependimoma intrakranial, namun cukup sering
ditemukan pada ependimoma spinal. Histologi myxopapillary ependymoma (WHO
derajat I) sering ditemukan pada filum terminale dan biasanya ekstramedular.
Sementara ependimoma anaplastik sangat jarang ditemukan pada spinal.
Sebuah studi genomik yang komprehensif membagi ependimoma menjadi 3
subgrup (Gambar 8.1] berdasarkan lokasi tumor (supratentorial, fosa posterior, dan
medula spinalis). Menurut studi ini, tiap lokasi anatomi berkaitan dengan subgrup
molekuler tertentu. Penemuan molekuler ini juga dapat memprediksi prognosis.
Terdapat penemuan baru pada ependimoma, seperi oncogenic fusion pada RELA,
efektor utama pada sinyal NF-KB signalling, Cllorf95, gen baru pada kromosom 11.
Perubahan genetik terjadi lebih banyak pada tumor yang terletak supratentorial.2
VIII.4. Manifestasi Klinis
Oleh karena lokasi predominan ependimoma adalah fosa posterior dan
berdekatan dengan ventrikel IV, maka gejala yang paling sering muncul adalah
peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan hidrosefalus obstruktif.5
Gejala yang muncul dapat berupa nyeri kepala, mual dan muntah, ataksia, vertigo,
nistagmus, paresis nervus kranialis, dan papil edema. Invasi ke batang otak juga
dapat dapat terjadi.2'6'8
VIII.5. Diagnosis
Gambaran CT scan kepala biasanya menunjukkan massa yang berlokasi di dalam
ventrikel atau kemungkinan kecil pada area periventrikel. Tumor biasanya terdiri dari
komponen kistik dan kalsifikasi yang menunjukkan gambaran hiperdens. Biasanya
tumor memiliki batas yang tegas. Gambaran hidrosefalus obstruktif cukup sering
ditemukan pada CT scan.6
Gambaran MRI ependimoma menunjukkan batas tumor yang jelas. Pada sekuens
T1 memberikan sinyal hipo- dan isointens dan sekuens T2 berupa hiperintens.
Parenkim tumor biasanya lebih menyangat, sementara bagian kistik dan kalsifikasi
tidak menunjukkan penyangatan. Terdapat beberapa ciri gambaran radiologis tumor
supratentorial yang mengarah pada ependimoma, diantaranya terdapat gambaran
kalsifikasi punctata dan edema peritumoral yang ringan (Gambar 8.2).1,6'8
Ependimoma spinal menunjukkan gambaran hipointens pada sekuens Tl dan
hiperintens pada sekuens T2. Kontur tumor akan terlihat jelas setelah kontras. Kutub
atas dan bawah tumor biasanya berupa kista atau kavitas. Terdapat edema interstisial
pada medula spinalis dan penekanan struktur-struktur di sekitar tumor saat tumor
membesar (Gambar 8.3).8
Diagnosis banding tumor ependimoma adalah tumor lainnya yang terletak
di fosa posterior termasuk meduloblastoma, astrositoma, dan tumor batang otak
atau pleksus koroideus. Jika tumor terletak pada lokasi supratentorial, diagnosis
bandingnya adalah tumor glia, primitive neuroectodermal tumors (PNETs), dan
karsinoma/papiloma pleksus koroideus.2
VIII.6. Penatalaksanaan
Tata laksana awal adalah reseksi total, diikuti radioterapi adjuvan. Kemoterapi
tidak menunjukkan peranan penting pada dewasa dan anak yang lebih tua, tetapi
dapat berperan pada anak yang lebih muda atau pasien dengan residu operasi.2 Reseksi
inkomplit pada ependimoma derajat II atau III memerlukan kemoterapi singkat diikuti
tindakan operasi ulang jika terdapat residu, lalu diberikan radiasi. Ependimoma derajat
II dan III dengan reseksi komplit dapat langsung diberikan radiasi.2
Pembedahan
Terapi standar ependimoma adalah pembedahan. Pasien dengan reseksi total lebih
baik prognosisnya dibandingkan reseksi parsial. Reseksi komplit sulit dilakukan, meng-
ingat lokasi tumor dan komplikasi kerusakan struktur di sekitarnya selama operasi
atau diseminasi sel-sel tumor ependimal.9 Pada ependimoma dengan batas yang te-
gas dengan jaringan otak normal dapat dilakukan reseksi total.8 Reseksi merupakan
masalah utama pada lesi di fosa posterior karena berdekatan dengan nervus kranialis
dan batang otak sehingga memiliki risiko terjadinya disfungsi neurologi jangka waktu
iama pada total reseksi. Reseksi total juga sulit dilakukan pada ependimoma supraten-
torial, karena biasanya terletak pada sistem ventrikel atau parenkim dan ukuran tumor
biasanya besar. Tumor yang letaknya dalam dan di daerah fungsional, tumor hanya di-
angkat sebagian.8
Komplikasi operasi merupakan masalah yang sering ditemui pada pasien dengan
ependimoma. Salah satu komplikasi pembedahan lesi fosa posterior yang paling sering
adalah mutisme serebelar.2 Selain itu, dapat terjadi defisit neurologis pascaoperasi.
Studi Klekamp melaporkan morbiditas permanen sebagai komplikasi operasi terjadi
pada 27,5%. Secara statistik, status performa neurologis preoperasi, level tumor pada
spinal, dan terjadinya perdarahan intratumoral merupakan faktor yang signifikan
memengaruhi kejadian morbiditas pascaoperasi.7
Radioterapi
Awalnya, radiasi kraniospinal selalu dilakukan pada pasien dengan ependimoma
high-grade dan pada tumor yang letaknya infratentorial. Kemudian, banyak studi
mendapatkan bahwa kegagalan terapi tersebut disebabkan rekurensi lokal, sementara
relaps cairan serebrospinal sangat jarang. Beberapa senter mulai menetapkan
conformal radiotherapy yang diberikan lokal pada tumor, jika tidak ditemukan bukti
penyebaran pada cairan serebrospinal baik mikroskopik maupun makroskopik.6
Teknik konformal berupa radiasi pada tumor bed (daerah tumor dan vaskulari-
sasinya) dengan daerah jaringan normal seminimal mungkin. Standar terbaru dosis pada
target tumor setidaknya 54Gy di otak, dan dosis lebih besar direkomendasikan pada
residu secara makroskopik.2 Dosis radioterapi intrakranial dapat berkisar 54-59,4Gy
dengan dosis per fraksi l,8-2Gy. Dosis radioterapi kraniospinal adalah 36Gy dengan do-
sTs per fraksi l,8Gy. Untuk anak, dosis dapat direduksi hingga 80% dari dosis dewasa.8
Radioterapi pada anak usia dibawah 3 tahun tidak dianjurkan.
Stereostactic radio-surgery (SRS] dilaporkan memberikan kontrol yang baik pada
ependimoma. Namun, data mengenai penggunaan SRS pada ependimoma masih
sedikit. Rerata dosis yang digunakan pada SRS adalah 15Gy, dengan kesintasan 3 tahun
sekitar 60,1% dan 5 tahun sebesar 32,1%. Efek samping radioterapi pada ependimoma
sama dengan radioterapi pada umumnya, di antaranya gangguan kognitif, gangguan
pendengaran dan penglihatan, retardasi mental, gangguan sistem endokrin, dan lainnya.8
Kemoterapi
Berbagai kemoterapi, baik mono maupun. poli kemoterapi digunakan pada
pasien ependimoma. Termasuk di antaranya regimen MOPP (mustargen, Oncovin,
procarbazine, prednison), etoposide oral, temozolamide, sitarabin intratekal, dan
cisplatin. Namun, kebanyakan studi kemoterapi pada ependimoma merupakan
studi skala kecil. Dengan agen mono kemoterapi, tingkat respons berkisar 11% dan
hanya >5% yang mencapai respons komplit. Cisplatin dinilai berespons lebih baik
dibandingkan kemoterapi lainnya, seperti carboplatin, ifosfamid, dan etoposide.
Kemoterapi memegang peranan penting pada penderita ependimoma kelompok usia
bayi, anak >3 tahun, pasien yang tidak dapat dilakukan radioterapi; dan pasien yang
mengalami rekurensi pascapembedahan dan radioterapi.6,8
VIH.7. Prognosis
Secara garis besar, pasien ependimoma yang menjalani pembedahan dan
radioterapi memilki angka kesintasan yang baik. Prognosis rekurensi lokal dan
kesintasan ditentukan beberapa faktor seperti usia, derajat histologi, reseksi parsial/
total, lokasi tumor, karnofsky performance status scale (KPS), dan dilakukannya
radioterapi pascaoperasi. 610
Usia terlalu muda atau terlalu tua berkaitan dengan prognosis yang buruk. Secara
umum, pasien ependimoma usia dewasa memiliki prognosis yang lebih baik, dengan
angka kesintasan 5 tahun berkisar 56-84,8%.6
Pada anak, lokasi ependimoma yang paling sering di infratentorial yang sulit dilakukan
reseksi total, sehingga prognosis ependimoma pada anak lebih buruk dibandingkan
dewasa.11 Histologi ependimomapadaanakbiasanya ependimoma anaplastik,penggunaan
radioterapi juga terbatas karena efek samping yang ditimbulkan.1 Oleh karena itu, angka
kesintasan 10 tahun pada anak sekitar 64%, sementara pada dewasa berkisar 70-89%.
Tumor pada infan memiliki angka kesintasan yang paling buruk, dimana kesintasan dalam
5 tahun berkisar 42-55%.3 Tumor ependimoma pada infant mengekspresikan CpG island
methylator phenotype dan transcriptional silencing of the polycomb repressive complex 2
yang menyebabkan menurunnya ekspresi diferensiasi gen.2
Histologi tumor juga berpengaruh pada prognosis, yaitu anaplastik mempunyai
prognosis yang lebih buruk. Jika dibandingkan dengan ependimoma derajat rendah,
ependimoma anaplastik pada usia dewasa berisiko kematian tiga kali lipat. Demikian
pula pada anak, ependimoma anaplastik menunjukkan risiko kematian yang lebih
tinggi (51%) dibandingkan ependimoma derajat rendah.11
Tata laksana memengaruhi prognosis ependimoma, yaitu reseksi total sebagai
terapi yang paling efektif,11 menyebabkan prognosis pasien lebih baik dan angka
rekurensi lebih kecil.3 Pada pasien dengan reseksi total, kesintasan 10 tahun
dapat mencapai 50%. Pada ependimoma spinal, reseksi dapat mengurangi risiko
rekurensi.6,7 Radioterapi memberikan manfaat pada reseksi inkomplit ependimoma
derajat rendah dan reseksi komplit ependimoma derajat tinggi, tetapi radioterapi
dinilai tidak memperbaiki kesintasan.6
Ilustrasi Kasi^
Seorang pasien wanita, berusia 50 tahun, datang ke IGD diantar keluarganya
dengan penurunan kesadaran, Sebelumnya pasien memiliki riwayat nyeri kepala
2 bulan sebelumnya dan memberat 2 hari yang lalu disertai muntah-muntah. Dari
pemeriksaan funduscopy didapatkan papilledema. Hasil MRI kepala dengan kontras
menunjukkan hasil batas tumor tegas dengan gambaran hiperintens pada T2 di
daerah ventrikel IV.
Pertanyaan 1.
Tindakan segera apa yang harus dilakukan pada pasien ini?
A. VP shunt
B. Pemberian steroid
C. Radioterapi
D. Kemoterapi
E. Pemeriksaan MRS
Jawaban: A
Pembahasan:
Pada pasien ini didapatkan tanda dan gejala efek desak massa berupa penurunan
kesadaran dimana sebelumnya terdapat nyeri kepala, muntah, dan adanya papilledema.
Pada gambaran MRI kepala dengan kontras menunjukkan hasil batas tumor tegas
dengan gambaran hiperintens pada T2 di daerah ventrikel IV, dapat sesuai dengan
gambaran ependimoma, dimana lokasi tersering infratentorial adalah di ventrikel
IV. Pada pasien karena terdapat gejala dari peningkatan tekanan intracranial dan
gambaran dari hydrocephalus obstructive, maka tindakan segera pada pasien ini
adalah tindakan pemasangan VP shunt.
Pertanyaan 2.
Klasifikasi molekular pada kasus tersebut kemungkinan dapat berupa:
1. ST-SE Supependymoma Balanced Genome
2. PF-SE Supependymoma Balanced Genome
3. PF-EPN A (Anaplastic] Ependymoma Balanced Genome
4. PF-EPN B (Anapalastic) Ependymoma Chromosomal Instability
5. SP-SE Subependymoma 6q deletion
A. 1,2,3
B. 1,2,4
C. 2,3,4
D. 3,4,5
E. 1,3,4
Jawaban: C
Pembahasan:
Pada kasus ini mengarah pada ependimoma dengan lesi fossa posterior.
Klasifikasi Molekular Tumor Ependimoma pada lesi di fossa posterior yaitu: (1) PF-
SE Supependymoma Balanced Genome, (2) PF-EPN A (Anaplastic) Ependymoma
Balanced Genome, (3) PF-EPN B (Anapalastic) Ependymoma Chromosomal Instability.
Daftar Pustaka
1. Villano JL, Parker CK, Dolecek TA. Descriptive epidemiology of ependymal tumours in the United
States. Br J Cancer. 2013;108(11):2367.
2. Kieran Mark W, Eeichler April F, Loeffler Jay S. Ependymoma. Wolters Kluwer; 2014.1-15.
3. Pajtler KW, Witt H, Sill M, Jones DT, Hovestadt V, Kratochwil F, dkk. Molecular classification of
ependymal tumors across all CNS compartments, histopathological grades, and age groups.
Cancer Cell. 2015;27[5):728-43.
4. Samartzis D, Gillis CC, Shih P, O'toole JE, Fessler RG. Intramedulary spinal cord tumors: part i—
epidemiology, pathophysiology, and diagnosis. Global Spine J. 2015;5(05}:425-35.
5. Louis DN, Perry A, Reifenberger G, Von-Deimling A, Figarella-Branger D, Cavenee WK, dkk. The
2016 world health organization classification of tumors of the central nervous system: a summary.
Acta Neuropathol. 2016;131(6):803-20.
6. King J, Kulkarni A. An encyclopedic approach: brain tumor. Chapter: Intracranial ependymomas.
Edisi ke-3. Elsevier Saunders; 2012. h. 435-44.
7. Klekamp J. Spinal ependymomas. Intramedulary ependymomas. Neusurg Focus. 2015;39(2):E6.
8. Zhang X, Wu X, Sheng X, Wang Y, Gao H, Xu L, dkk. Ependymoma diagnosis and treatment progress.
Int J Clin Exp Med. 2016;9(8):15050-7.
9. Armstrong TS, Vera-Bolanos E, Bekele BN, Aldape K, Gilbert MR. Adult ependymal tumors:
prognosis and the MD Anderson Cancer Center experience. Neurooncol. 2010;12(8):862-70.
10. Jung J, Choi W, Do-Ahn S, ParkJH, Kim SS, Kim YS, dkk. Postoperative radiotherapy for ependymoma.
Radiat Oncol J 2012;30(4}:158-164.
11. Amirian ES, Armstrong TS, Aldape KD, Gilbert MR, Scheurer ME. Predictors of survival among
pediatric and adult ependymoma cases: a study using surveillance, epidemiology, and end results
data from 1973 to 2007. Neuroepidemiology. 2012;39(2):116-24.
TUMOR PINEAL
Djohan Ardiansyah
* •
IX. 1. Pendahuluan
Tumor daerah pineal adalah tumor intrakranial yang jarang, dengan kejadian
anak-anak lebih sering daripada dewasa. Tumor daerah ini heterogen berdasarkan
histopatologi, asal tumor, dan respons terapi.
Sebelum berkembangnya teknik operasi, tumor daerah ini tidak direseksi,
sehingga radioterapi menjadi lini pertama terapi tanpa diagnosis jaringan. Namun
saat ini 30% tumor pineal yang jinak bisa disembuhkan melalui eksisi total dengan
morbiditas yang rendah. Untuk tumor pineal yang ganas, peran eksisi, radioterapi,
radiosurgery, atau kemoterapi dapat meningkatkan usia harapan hidup.1
EX.2. Epidemiologi
Angka kejadian pada anak-anak sekitar 3-11% dari seluruh tumor intrakranial,
sedangkan pada dewasa 0,5-1%. Mayoritas (75%) tumor daerah pineal adalah ganas.2
IX.3. Diagnosis
Gejala Minis tumor jenis ini adalah gejala peningkatan tekanan intrakranial akibat
penekanan pada ventrikel III menyebabkan hidrosefalus obstruktif berupa nyeri
kepala, mual dan muntah, lesu, serta penurunan kesadaran. Penekanan tumor dan
infiltrasi tumor pada mesensefalon menyebabkan sindrom Parinaud yaitu gangguan
melirik ke atas (75% kasus). Jika terdapat penyebaran spinal didapatkan gangguan
motorik ekstremitas dan gangguan otonom.2
MRI kepala sangat berguna untuk identifikasi tumor daerah pineal dan
menggambarkan hubungannya dengan daerah sekitar. Pada beberapa kasus dari
gambaran MRI dapat dicurigai suatu jenis tumor tertentu. Germ cell tumors (GCTs] dan
glioma maligna bersifat invasif pada dinding ventrikel III, sedangkan tumor parenkim
pineal, low grade astrocytoma, dan meningioma menunjukkan kompresi luas.3
Konovalov dan Pitskhelauri membagi klasifikasi anatomi dari subtipe tumor
daerah pineal berdasarkan ukuran, lokasi, dan kecenderungan ekspansinya yang
diadopsi oleh Burdenko Neurosurgical Institute, yaitu (Gambar 9.1]:4
a. Tumor yang berlokasi di sisterna kuadrigeminal, dengan diameter sampai 2,5cm
* b. Tumor yang berlokasi di posterior ventrikel III, dengan diameter sampai 2,5cm
c. Tumor dengan ukuran intermediet (kombinasi dari varian pertama dan kedua],
dengan diameter sampai 4cm
d. Tumor besar yang menginvasi seluruh sisterna kuadrigeminal dan posterior
ventrikel III, yang sesekali menginvasi salah satu ventrikel lateral, dengan ukuran
maksimal 6-7cm
e. Tumor raksasa yang menginvasi ventrikel lateral, III, dan IV secara keseluruhan,
dengan ukuran >7cm
Beberapa karakteristik radiologis yang ada pada tumor regio pineal adalah:
1. GTC biasanya merupakan suatu massa'hiperdense homogen; sedangkan teratoma
merupakan massa heterogen multilokuler terdiri dari lipid. Pada pemeriksaan
rontgen kepala terdapat kalsifikasi pineal (70% pada pasien GCTs tetapi tidak
umum pada anak-anak usia <10 tahun).
2. Komponen kistik pada tumor sering pada nongerminomatousgerm cell tumors (NGGCTs)
3. Lesi multipel sering pada GCT, tetapi jarang pada tumor tipe lain
4. Edema peritumoral luas seringkali pada germinoma dibandingkan NGGCT
5. Ekstensi bitalamus terjadi pada 80% germinoma5
Biopsi stereotaktik pada regio pineal dilakukan untuk membuat diagnosis. Risiko
perdarahan pada biopsi daerah ini lebih besar daripada daerah lain, karena banyaknya
struktur vaskular yang dilewati tetapi efek klinis rendah. Selain itu dapat dilakukan
biopsi endoskopi bersamaan dengan ventrikulostomi ventrikel tiga.
Terdapat 3 jenis tumor terbanyak pada tumor regio pineal, yaitu GCTs (59%),
tumor parenkim pineal (30%), dan glioma (5%). Selain itu jugadilaporkanjenislainnya,
yaitu meningioma, ganglioglioma, ependimoma, lipoma, trilateral retinoblastoma,
dan metastasis. Lesi jinak non-tumor juga dapat terjadi pada daerah ini seperti kista
pineal, malformasi vaskular, dan aneurisma van Galen.3
Diagnosis banding adalah tumor pineal primer, glioma derajattinngi dan limfoma.
Adanya kalsifikasi pada daerah pineal dapat memperkuat diagnosis germinoma, serta
gambaran butterfly-shaped pada potongan aksial (Gambar 9.2).3
Jenis GCTs yang lain adalah teratoma yang merupakan tumor paling banyak kedua
di daerah pineal, yaitu 15% dari keseluruhan tumor pineal dan terutama pada anak
laki-laki berusia >10 tahun. Teratoma terdiri dari tiga varian, teratoma matur yang
berisi jaringan matur yang berdiferensiasi dengan baik, teratoma imatur yang berisi
jaringan imatur inkomplit yang menyerupai jaringan fetal, dan teratoma dengan
transformasi maligna, sebuah kondisi yang lebih agresif.
MRI dan CT scan menunjukkan massa multikistik dan adanya kalsifikasi
memperkuat diagnosis. Pada MRI, teratoma menunjukkan intensitas tinggi pada
sekuen Tl dan T2 (Gambar 9.3). Spektroskopi menunjukkan peningkatan rasio lipid/
kreatinin akibat adanya jaringan lemak pada tumor. Nilai kolin/kreatinin teratoma
lebih rendah daripada germinoma.
a. MRI kepala potongan sagital Tl dengan kontras menunjukkan massa homogen
yang menekan tegmentum; b. Potongan aksial Tl dengan kontras menunjukkan
gambaran butterfly-shaped yang sesuai dengan germinoma.
Tumor parenkim pineal
WHO membagi tumor parenkim pineal menjadi 4 grup:
1. Pineocytoma [derajat 1)
2. Pineal parenchymal tumors of intermediate differentiation (derajat 2 atau 3)
3. Papillary tumor of pineal region (derajat 3)
4. Pineoblastoma (derajat 4)
1. Pineocytoma
Merupakan tumor WHO derajat I yang jarang dan tumbuh secara lambat, terjadi
pada usia dewasa dengan usia >40 tahun tanpa predileksi jenis kelamin. Biasanya
tumor jenis ini terlokalisir dan menekan struktur di sekitarnya secara progresif.
^ Pineocytoma jarang berukuran lebih dari 3cm dan jarang menyebar melalui cairan
otak. Pada CT scan tampak lesi yang iso- hingga hipoatenuasi. MRI menunjukkan
sinyal isointens di Tl dan hiperintens di T2, serta sangat menyerap kontras.
Adapun sinyal pada sekuens DWI tidak berkurang. Tumor ini dapat menekan
akuaduktus Sylvii dan menyebabkan hidrosefalus yang menimbulkan gejala
peningkatan tekanan intrakranial (Gambar 9.4).
2. Pineoblastoma
Merupakan lesi embrional yang jarang dan sangat ganas pada kelenjar pineal,
biasanya menyerang anak-anak tanpa predileksi jenis kelamin, dan sering
menyebar melalui CSS. Ukuran yang sering ditemui >3cm. Lesi bisa disertai
jaringan nekrotik atau perdarahan. Pada CT scan jarang ditemukan kalsifikasi.
Infiltrasi pada jaringan sekitar sering dijumpai. Komplikasi hidrosefalus juga sering
dijum'pai. Gambaran CT scan menunjukkan massa homogen, berlobus, besar, dan
sedikit hiperdens sebelum pemberian kontras yang menunjukkan kandungan
seluler yang tinggi. Namun pada MRI sekuens Tl, pineoblastoma menunjukkan
iso- hingga hipointens dan menyangat kontras yang heterogen (Gambar 9.5). Pada
sekuen DWI menunjukkan hasil retriksi karena kandungan seluler yang tinggi.
Pada pemeriksaan MRS menunjukkan peningkatan rasio Cho/NAA.3
3. Glioma
Tumor sel glia yang sering menyebar ke daerah pineal adalah astrositoma dan
ependimoma; yaitu tumor glia jinak dari talamus. Tumor ini biasa menginfiltrasi
mesensefalon yang menyebabkan kompresi akuaduktus Sylvii. Gambaran
radiologi berupa lesi tanpa penyengatan kontras dan tidak ditemukan adanya
nekrosis. Hal ini berbeda bila dibandingkan dengan gambaran glioma maligna.
Diagnosis Laboratorium
Pada tumor daerah pineal dapat dilakukan pemeriksaan (3HCG ($-human chorionic
gonadotrophiri) dan AFP {a-fetoproteiri). Peningkatan (3HCG konsisten dengan suatu
choriocarcinoma, walaupun peningkatan sedikit dapat dijumpai pada germinoma
dengan elemen syncytiotrophoblastic. Peningkatan AFP konsisten dengan yolk sac dan
beberapa karsinoma embrional.6
IX.4. Tata Laksana
Pembedahan
Teknik pembedahan pada kasus ini adalah lewat supraserebelar infratentorial,
interhemisfer transkalosal, dan oksipital transtentorial. Teknik ini tergantung pada
derajat dan tampilan anatomi serta kemampuan pengalaman dari dokter bedah saraf.
Teknik yang banyak dipakai adalah supraserebelar infratentorial.
Radioterapi
Radioterapi dengan fraksi 55Gy pada pasien dengan glioma maligna, pineal,
dan GCTs. Radioterapi menjadi pilihan utama pada germinoma karena sangat
radiosensitif. Radiasi spinal 35Gy diberikan pada pasien pineoblastoma atau pasien
dengan penyebaran ke cairan otak.
Kemoterapi
Kemoterapi diberikan pada pasien NGGCT dan anak-anak yang terlalu muda
untuk mendapat radioterapi.6
Pada prinsipnya, tumor pineal ditatalaksana berdasarkan hasil pemeriksaan
penanda tumor. Pada pasien dengan MRI tumor pineal, harus dibedakan dari marker
jenis tumornya apakah termasuk dalam tumor yang dapat dilakukan pembedahan
atau langsung diberikan kemoterapi/radiasi. Pada pasien dengan penanda tumor
yang positif, pembedahan tidak lagi disarankan dan pilihan terapi langsung pada
radiasi atau kemoterapi adjuvan. Sedangkan pada penanda yang negatif, maka dapat
dilakukan operasi atau biopsi stereotaktik sesuai indikasi dan tatalaksana lanjutan
disesuaikan dengan hasil pemeriksaan histologi (Gambar 9.7).7
IX. 5. Prognosis
Prognosis tergantung dari hasil patologi anatomi. Prognosis cukup baik adalah
pure germinoma dan teratoma matur. Prognosis sedang adalah germinoma dengan
peningkatan (3HCG, teratoma imatur, teratoma dengan transformasi maligna, sedangkan
prognosis buruk adalah choriocarcinoma, tumor yolk sac, dan karsinoma embrional.
Uustrasi Kasus
Seorang pasien laki-laki, 45 tahun, datang ke IGD dengan keluhan penurunan
kesadaran sejak 1 hari SMRS. Terdapat riwayat nyeri kepala pada seluruh bagian, skala
nyeri (NPS) 8, disertai muntah terutama saat berbaring. Sebelumnya pasien mengeluhkan
sulit untuk melirik ke atas. MRI kepala kontras menunjukkan hasil sebagai berikut:
Jika pada saat pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar AFP positif meningkat
dengan (3-HCG negatif, maka kemungkinan diagnosis pasien adalah?
A. Germinoma
B. Koriokarsinoma
C. Karsinomayolk sac
D. Karsinoma embryonal
E. Teratoma matur
Jawaban: C
Daftar Pustaka
1. Rooper AH, Samuels MA, Klein JP, editor. Adams and Victor principles of neurology. Edisi ke-5. United
States: McGraw Hill Companies; 2014. h. 565-68.
2. Baehr M, Frostcher M, editor. Duus topical in neurology. Edisi ke-4. New York: Thieme; 2005. h. 261-73.
3. Moschovi M, Chrousos GP. Pineal gland masses. Wolter Kluwer [serial online]. 2018 [diunduh 28
Agustus 2018]. Tersedia dari: UpToDate.
4. Vandergriff C, Opatowsky M, O'Rourke B, Layton K. Papillary tumor of the pineal region. Proc (Bayl
Univ Med Cent). 2012;25(l):78-9.
5. Deiana G, Mottolese C, Hermier M, Louis-Tisserand G, Berthezene Y. Imagery of pineal tumors.
Neurochirurgie.2015:61(2-3):113-22.
6. Ogden AT, Bruce JN. Pineal region tumos. Dalam: Bernstein M, Berger MS. Neurooncology The
Essentials. Edisi ke-2. New York: Thieme; 2008. h. 299-305.
7. Sinabend AM, Bruce JN. Pineal Tumors. Dalam Winn HR, editor. Youmans & Winn Neurological
Surgery. 7th ed. Philadelphia: Elsevier; 2017. p. 1050-4.
TUMOR SARAF KRANIAL
Henry Riyanto Sofyan
'.#
X.l. Pendahuluan
Tumor saraf kranial yang sering ditemui adalah Schwannoma (sebelumnya
bernama neuroma/neurilemmoma), tumor selubung saraf optik, glioma saraf optik,
dan neuroblastoma olfaktorius. Pada Schwannoma, sel tumor bisa tumbuh di sebagian
besar cabang saraf kranial yang diselubungi oleh sel Schwann, kecuali saraf kranial I
dan II. Namun pada beberapa kasus yang jarang, Schwannoma bisa didapatkan dari
pertumbuhan ektopik sel tumor tersebut, seperti pada kasus Schwannoma olfaktorius
pediatrik yang ektopik dari sel Schwann di sekitar sinus paranasal.
Struktur tumor selubung saraf optik biasanya berupa meningioma. Tumor ini
tumbuh dari lapisan araknoid yang menyelubungi saraf optik, disebut juga optic
nerve sheath meningioma (ONSM]. Glioma saraf optik (GSO) merupakan tumor
saraf kranial yang jarang. Predominan ditemukan pada anak usia >7 tahun dengan
neurofibromatosis (NF) tipe I, walau GSO juga bisa muncul tersendiri tanpa NF. Tumor
selubung saraf tepi maligna (TSSTM) atau disebut juga malignant peripheral nerve
sheath tumors (MPNST) adalah tumor ganas saraf kranial yang jarang ditemukan
dengan predominan di saraf trigeminus dan saraf vestibulokoklear. Adapun
neuroblastoma olfaktorius atau esthesioneuroblastoma adalah tumor sel bundar
kecil [small round cell) yang berasal dari epitel olfaktorius.1
X.2. Schwannoma Vestibular
X.2.1. Epidemiologi
Schwannoma saraf kranial yang sering ditemukan adalah Schwannoma vestibular,
yaitu 8% dari tumor intrakranial, 80-90% dari tumor cerebellopontine angle (CPA).
Angka insidensi Schwannoma vestibular mencapai 1:100.000 orang pertahun
dengan usia median 50 tahun. Tumor ini terutama unilateral pada 90% kasus dengan
perbandingan angka sisi kiri-kanan yang seimbang. Tidak ada perbedaan bermakna
insidensi Schwannoma pada kedua jenis kelamin. Schwannoma vestibular bilateral
merupakan salah satu penanda NF tipe 2 dengan insidensi pada usia 30-an. 12
X.2.2. Patofisiologi
Schwanoma berhubungan erat dengan mutasi gen NF2, suatu tumor suppressor
genes. Sebanyak 60% Schwannoma didapati mutasi yang menyebabkan inaktivasi
dari gen NF2. Gen ini memproduksi protein Merlin (Moesin-ezrin-radixin-Iike protein)
yang berfungsi sebagai penghubung membran sel dan aktin filamen antar-protein.
Implikasinya, terjadi inhibisi Rac/PAK, sebuah jalur persinyalan sel yang berperan dalam
proliferasi. Jika gen NF2 termutasi, protein merlin yang diproduksi akan mengalami
perubahan bentuk, sehingga menjadi inaktif dan jalur persinyalan proliferasi sel
menjadi tidak terhambat.2 Selain gen NF2, pada Schwannoma juga ditemukan delesi
kromosom 22q, delesi kromosom lp, duplikasi 9q34, dan duplikasi 17q.2
X.2.5. Prognosis
Schwannoma vestibular adalah tumor jinak, jarang bertransformasi menjadi
ganas, dan memiliki angka rekurensi yang rendah. Hal ini berbeda dengan Schwannoma
intrakranial, sakrum, dan spinal yang memiliki rekurensi tumor 30-40%.2
Selain jenis histopatologi, prognosis fungsi saraf kranial dipengaruhi oleh aspek
lain, seperti ukuran tumor dan presentasi klinis, serta kelainan dari pemeriksaan
elektrofisiologi. Semakin kecil ukuran tumor, semakin baik luaran klinis fungsi N.VII.
Semakin besar tumor, semakin cepat juga pertumbuhan yang akan terjadi.
Tumor dengan ukuran lebih besar memiliki angka preservasi fungsi pendengaran
yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan tumor yang kecil memiliki kecenderungan
tumbuh di meatus akustikus interna dan menganggu pendengaran, sedangkan tumor
yang besar tumbuh di sisterna. Pasien dengan hasil BAER yang abnormal, tumor
yang berasal dari N. Vestibularis inferior, dan memiliki opasifikasi di fundus menjadi
penanda luaran pendengaran yang buruk.3
Meningioma saraf optik merupakan tumor yang terjadi pada meningen yang
menyelubungi N. Optikus. Insidensnya 1-2% dari seluruh meningioma, pada pasien
usia pertengahan dan perempuan. 7 Sebanyak 25% terjadi pada anak-anak dan
berasosiasi dengan NF tipe 2. Pada anak-anak, sifatnya lebih agresif dan terutama
pada laki-laki.8
X.3.2. Patofisiologi
Meningioma merupakan tumor jinak dari sel-sel arachnoid cap di vili araknoid.
Biasanya terjadi perlekatan dura yang dapat membuat hiperostosis pada tulang di
sekitarnya.9 Patogenesis meningioma tidak terlepas dari mutasi gen NF2, seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya. Gen NF2 berada di kromosom 22 dan sekitar 60%
meningioma terdapat mutasi gen NF2. Kelainan kromosom yang sering dijumpai
adalah monosomi kromosom 22. Kehilangan kromosom 6q, 9p, 10, 14q, dan 18q
menandakan derajat meningioma yang lebih tinggi. Selain itu, kelebihan lq, 9q, 12q,
15q, 17q, dan 20q juga menandakan derajat meningioma yang lebih tinggi. Delesi
kromosom 9p terjadi pada meningioma WHO derajat III.6
Pembedahan yang dapat dilakukan pada pasien dengan fungsi penglihatan baik
adalah pengangkatan tumor parsial. Pengangkatan tumor total sekaligus dengan N.
Optikus dapat dilakukan pada pasien yang sudah tidak memiliki fungsi penglihatan.
Pasien dengan meningioma yang berekstensi di belakang rongga orbita merupakan
indikasi dilakukannya operasi pengangkatan massa tumor.17
X.4.2. Patofisiologi
Glioma saraf optik merupakan tumor jinak dengan jenis histopatologi sebagian
besar astrositoma pilositik yang ditandai dengan mutasi gen pada mitogen-activated
protein kinase (MAPK). Astrositoma pilositik memiliki predileksi pada garis tengah
neuraksis seperti diensefalon, jaras optik, hipotalamus, dan batang otak.13
Dalam sistem saraf pusat, gen MAPK berperan dalam pembentukan memori
baru dan persepsi nyeri. MAPK juga berperan dalam neurogenesis kortikal serta
perkembangan diensefalon dan serebelum. Pada model gen knock-down, MAPK
berfungsi sebagai promoter neuron dan merepresi diferensiasi menjadi astrosit. Oleh
karena itu, fungsi MAPK secara spesifik dalam setiap jenis sel perlu diinvestigasi lebih
lanjut untuk mengetahui fungsi gen MAPK dalam astrositoma pilositik.14
Pada astrositoma pilositik, mutasi yang sering adalah fusi dari BRAF-KIAA1549
(70%). Terdapat juga delesi atau translokasi BRAF dengan gen lain (5%), mutasi
V600E (5%), mutasi NF1 (8%), mutasi FGFR1 (<5%).13 Mutasi-mutasi tersebut
menyebabkan aktivasi jalur persinyalan MAPK secara terus menerus (Gambar 10.5).
X.4.3. Gejala Klinis dan Diagnosis
Glioma optik memiliki manifestasi klinis eksoftalmus, kelainan gerak otot
ekstraokular, kongesti pembuluh darah sklera, penurunan fungsi penglihatan, dan
kehilangan kemampuan melihat warna.1,7"8 Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan
RAPD dan diskromatopsia, atrofi papil, edema papil, atau mungkin papil normal, serta
oklusi vena sentral (Gambar 10.6).
Pada pasien dengan glioma optik ganas, penurunan fungsi penglihatan dapat
menurun dengan cepat, nyeri pada mata, progresi dari gejak4 yang sebelumnya
unilateral menjadi bilateral, serta terjadi kebutaan dengan cepaty
Terdapat kolateralisasi pembuluh darah vena akibat obstruksi vena retrobulbar.
Diskus menjadi berwarna pink akibat sirkulasi lamellar dari N. Optikus10
Modalitas radiologis yang dipilih untuk mendiagnosis GSO adalah MRI,
ditemukan penebalan N. Optikus berbentuk tubular atau fusiformis dengan kinking
pada N. Optikus. Didapatkan )uga adanya penebalan intensitas ganda (Gambar 10.7)
akibat gliomatosis perineural. Glioma optik maligna dapat memunculkan gambaran
keterlibatan kiasma optik.7 V^_^_
X.4.4, Tata Laksana
Terdapat beberapa modalitas terapi, seperti kemoterapi, radioterapi, dan pembe-
dahan berdasarkan pertimbangan klinis, status fungsional, status perkembangan, dan
ukuran tumor. Kemoterapi merupakan modalitas utama terutama pada anak-anak,
karena dapat mengurangi kebutuhan radioterapi dan pembedahan. Kemoterapi juga
digunakan pada pasien dengan penurunan fungsi penglihatan. Kemoterapi lini per-
tama adalah vinkristin dan karboplatin. Lini kedua seperti cisplatin, etoposide, dan
vinblastin diberikan pada pasien yang resisten atau relaps.15
Radioterapi hanya digunakan pada tumor yang tidak terkontrol oleh kemoterapi dan
pembedahan. Efek radioterapi seperti disfungsi endokrin, penurunan fungsi neurokognitif,
dan komplikasi seperti stroke pada pasien. Radioterapi tidak digunakan sebagai terapi
awal pasien, khususnya pada anakberusia <5 tahun dan pasien neurofibromatosis.15
Pembedahan umumnya pengangkatan tumor parsial yang bertujuan untuk
debulking. Hal ini disebabkan oleh sifat tumor yang jinak dengan pertumbuhan yang
lambat dan pengangkatan total dapat menyebabkan kebutaan pada pasien. Pengang-
katan parsial dianggap cukup dalam mengontrol pertumbuhan dan gejala tumor
pasien. Tumor yang menginfiltrasi hingga hipotalamus dan diensefalon atau menye-
babkan kenaikan tekanan intrakranial dapat dilakukan pembedahan. Tumor yang
terletak hanya pada rongga intraorbita anterior tidak disarankan untuk dilakukan
pembedahan.15 Belum ditemukan tata laksana optimal untuk glioma optik maligna.7
X.4.5. Prognosis
Pasien dengan glioma optik memiliki prognosis kesintasan yang baik. Biasanya
pada beberapa tahun pertama kehidupan akan terlihat pertumbuhan yang menjadi
stabil setelah remaja. Namun, jika tumor sudah menginfiltrasi kiasma, hipotalamus,
dan ventrikel III, prognosis kesintasan berkurang drastis. Pasien dengan keterlibatan
hipotalamus memiliki mortalitas 50%. Prognosis fungsional penglihatan pasien buruk
terutama pada pasien yang datang dengan gangguan visus. Pasien dengan NF tipe 1
memiliki pertumbuhan tumor yang lebih stabil dibandingkan glioma optik sporadis.715
Pasien dengan glioma optik maligna memiliki prognosis buruk. Kedua mata akan
terasa nyeri dan mengalami penurunan tajam penglihatan dalam waktu 6-8 minggu.
Kematian biasanya terjadi 6-9 bulan setelah gejala pertama.7
X.5. Tumor Selubung Saraf Tepi Maligna
X.5.1. Epidemiologi
Tumor selubung saraf tepi maligna (TSSTM) adalah tumor ganas yang mencakup
<5% tumor jaringan lunak. Tumor ini memiliki insidensi 0,001% dari populasi umum.
Penelitian yang dilakukan oleh L'Heureux-Lebeau dkk menemukan 60 kasus TSSTM
saraf kranial.16 Umumnya tumor ini ditemukan pada dekade ke-3 hingga ke-6 kehidupan.
TSSTM juga berasosiasi dengan NF tipe 1, yaitu ditemukan pada rentang usia 28-36
tahun. Tidak ada predileksi jenis kelamin pada TSSTM.17 Hal ini berbeda dengan tumor
saraf kranial yang 1,5 kali lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan. 1617
X.5.2. Patofisiologi
Pada TSSTM, ditemukan inaktivasi gen NF1, CDKN2A, dan PRC2. Gen NF1 mengode
neurofibromin RasGAP, sehingga mutasi akan menyebabkan inaktivasi dan menyebabkan
peningkatan aktivitas RAS. Hilangnya fungsi PRC2 akibat delesi atau mutasi SUZ12
atau EED menyebabkan penurunan H3K27me3 dan peningkatan H3K27ac, sehingga
mengamplifikasi transkripsi RAS. Gen CDKN2A mengode p l 6 dan pl4ARF yang
meregulasi siklus sel. Kehilangan fungsi ini akan mempromosikan proliferasi. Gen TP53
ditemukan bermutasi pada 42% TSSTM, hingga meningkatkan proliferasi tumor.17
X.5.5. Prognosis
Prognosis TSSTM dapat dibilang buruk. Kesintasan 1 tahun adalah 33%. Pada
28 pasien tanpa radioterapi, kesintasan 1 tahun hanya 12%. Pada 20 pasien dengan
radioterapi, kesintasan 1 tahun mencapai 65%. Oleh karena itu, radioterapi dapat
memperpanjang kesintasan pada TSSTM.
X.6. Esthesioneuroblastoma
X.6.1. Epidemiologi
Esthesioneuroblastoma merupakan nama lain dari neuroblastoma olfaktori.
Hingga saat ini, hanya didapati <1000 kasus di dunia. Esthesioneuroblastoma sendiri
mencakup 3-6% tumor rongga hidung. Penyakit ini dapat diderita oleh pasien berusia
3-78 tahun dengan distribusi bimodal pada dekade kedua dan kelima.19
X.6.4. Prognosis
Estesioneuroblastoma memiliki prognosis yang baik. Pada Kadish stage A dan
B, tidak ada laporan pasien yang meninggal. Pada Kadish stage C, 7 dari 26 pasien
meninggal dalam 8 tahun. Pasien dengan ekstensi tumor hingga metastasis memiliki
kesintasan <1 tahun.19
Dari sisi rekurensi, esthesioneuroblastoma memiliki angka bebas progresi 5 tahun
sebesar 58-83%. Pasien dengan reseksi total dapat mengalami rekurensi 14% dengan
rerata follow up 8 tahun. Adapun rerata rekurensi terjadi pada 2-6 tahun pascaterapi
inisial. Namun, terapi untuk tumor rekuren memiliki angka kesintasan dan rekurensi
yang sama efektifnya dibandingkan penyakit awal.19
Daftar Pustaka
1. Wowra B, Tonn J. Tumors of the cranial nerves. Dalam: Tonn J, Westhpal M, Rutka JT, Grossman SA.
Neuro-oncology of CNS tumors. New York: Springer Link; 2006.
2. Antonescu CR, Louis DN, Hunter S, Perry A, Reuss DE, Stemmer-Rachamimov AO. Schwannoma.
Dalam: Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee WK, Ellison DW, Figarella-Branger D, dkk. WHO
classification of central nervous system. Edisi ke-4. Lyon: IARC; 2016.
3. Arnout 0, Parsa AT, Post KD. Vestibular schwannoma. Dalam: Winn HR. Youmans and Winn
neurological surgery. Edisi ke-7. New York: Elsevier; 2017.
4. Baldi I, Engelhardt J, Bonnet C, Berteaud E, Gruber A, dkk. Epidemiology of meningiomas.
Neurochirurgie. 2018;64[1):5-14.
5. Park BJ KH, Sade B, Lee JH. Epidemiology. Dalam: Lee JH, editor. Meningiomas: diagnosis,
treatment, and outcome. London: Springer Verlag; 2008. h. 11-4.
6. Perry A, Louis DN, Budka H, Von-Deimlig A, Sahm F, Rushing EJ, dkk. Meningioma. Dalam: Louis
DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee WK, Ellison DW, Figarella-Branger D, dkk. WHO classification
of central nervous system. Edisi ke-4. Lyon: IARC; 2016.
7. Wang MY, Spoor TC. Prechiasmal pathways-compression by optic nerve and sheath tumors.
Dalam: Yanoff M, Duker J. Ophthalmology. Edisi ke-5. New York: Elsevier; 2019.
8. Dolman PJ, Chung Y. Neurogenic tumors. Dalam: Lambert SR, Lyons CJ. Aylor and Hoyt's pediatric
ophthalmology and strabismus. Edisi ke-5. New York: Elsevier; 2017.
9. Nanda A, Bir SC, Konar S, Maiti T, Kalakoti P, Jacobsohn JA, dkk. Outcome of resection of WHO grade
II meningioma and correlation of pathological and radiological predictive factors for recurrence.
J Clin Neurosci. 2016;31:112-21.
10. Freund KB, Sarraf D, Mieler WF, Yannuzzi LA. Congenital and developmental anomalies of optic
nerve. Dalam: Freund KB, Sarraf D, Mieler WF, Yannuzzi LA. The retinal atlas. Edisi ke-2. New
York: Elsevier; 2017.
11. Midyett FA, Mukherji SK Optic nerve meningioma. Dalam: Midyett FA, Mukherji SK. Orbital
imaging. New York: Elsevier; 2015.
12. Kehnerdell JS, Maroon JC, Malton M, Warren FA. The management of optic nerve sheath
meningiomas. Am J Ophthalmol. 1988;106f4):450-7.
13. Collins VP, Tihan T, Vandenberg SR, Burger PC, Hawkins C, Jones D, dkk. Pilocytic astrocytoma.
Dalam: Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee WK, Ellison DW, Figarella-Branger D, dkk. WHO
classification of central nervous system. Edisi ke-4. Lyon: IARC; 2016.
14. Jones DTW, Gronych J, Lichter P, Witt O, Pfister SM. MAPK pathway activation in pilocytic
astrocytoma. Cell Mol Life Sci. 2012;69(11):1799-811.
15. Goodden J, Mallucci C. Optic pathway hypothalamic gliomas. Dalam: Winn HR. Youmans and Winn
neurological surgery. Edisi ke-7. New York: Elsevier; 2017.
16. L'Heureux-Lebeau B, Saliba I. Updates on the diagnosis and treatment of intracranial nerve
malignant peripheral nerve sheath tumors. OncoTargets Ther. 2013;6:459-70.
17. Reuss DE, Louis DN, Hunter S, Perry A, Hirose T, Antonescu CR. Malignant peripheral nerve sheath
tumour. Dalam: Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee WK, Ellison DW, Figarella-Branger D,
dkk. WHO classification of central nervous system. Edisi ke-4. Lyon: IARC; 2016.
18. Grant LA, Griffin N. Soft tissue imaging. Dalam: Grant LA, Griffin N. Grainger and Allison's
diagnostic radiology essentials. Edisi ke-2. New York: Elsevier; 2019.
19. Sheehan JM, Payne R. Esthesioneuroblastomas. Dalam: Winn HR. Youmans and Winn neurological
surgery. Edisi ke-7. New York: Elsevier; 2017.
2 0. Ajtai B, Masdeu JC, Lindzen E. Structural imaging using magnetic resonance imaging and computed
tomography. Dalam: Darroff RB, Jankovic J, Mazziotta JC, Pomeroy SC. Bradley's neurology in
clinical practice. Edisi ke-7. New York: Elsevier; 2016.
PRIMARY CENTRAL NERVOUS
SYSTEM LYMPHOMA (PCNSL)
Rini Andriani, Indah Chitra
-
XI.l. Pendahuluan
Limfoma SSP primer atau primary central nervous system lymphoma (PCNSL),
merupakan bentuk ekstranodal dari limfoma non-Hodgkin [LNH) yang dapat timbul
pada jaringan otak, mata, selaput otak, maupun medula spinalis tanpa adanya
limfoma sistemik lainnya.1"3 Tumor ini merupakan bentuk varian yang jarang dari
LNH ekstranodal, dapat timbul pada penderita dengan sistem imunitas yang baik
(imunokompeten) maupun menurun (imunosupresi). Berbeda dengan tumor otak
primer lainnya, PCNSL memiliki respons yang sangat baik terhadap kemoterapi dan
radioterapi, walaupun lebih buruk dibandingkan dengan limfoma ekstrakranial. Saat ini
obat-obatan kemoterapi terbaru membuat angka kesintasan penderita PCNSL semakin
baik, namun penatalaksanaannya masih menjadi tantangan di bidang neuro-onkologi.4
XI.2. Epidemiologi
Angka kejadian PCNSL mengalami fluktuasi, yaitu meningkat pada tahun
1980 hingga pertengahan tahun 1990, tetapi kemudian mengalami penurunan.
Peningkatan pada pertengahan tahun 1990 diduga karena pandemik penyakit human
immunodeficiency virus /acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS), sedangkan
pada tahun 1980 terjadi pertumbuhan populasi usia tua yang tinggi.14
PCNSL terutama pada penderita dengan penekanan sistem imunitas atau
imunosupresi (HIV/AIDS, pasien transplantasi organ, atau pasien yang mendapat
obat-obat penekan sistem imunitas).14 Kejadian PCNSL jarang pada pasien
imunokompeten, yaitu hanya sebesar 4% dari keseluruhan tumor intrakranial dan
4%-6% dari limfoma ekstranodal.1-2-4'5 Diperkirakan 1500 pasien baru didiagnosis
setiap tahunnya di Amerika Serikat.4,5
Beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan angka kejadian PCNSL pada pasien
dengan berusia >60 tahun, dengan angka tertinggi terjadi pada usia 70-79 tahun (4,3 per
100.000 populasi per tahun). Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.14
Kasus langka PCNSL telah dilaporkan pada anak-anak dengan usia rata-rata 14 tahun.2
XI.3. Patofisiologi
Mekanisme seluler dan molekuler yang menyebabkan infiltrasi sel neoplastik
limfositik ke susunan saraf pusat masih belum jelas. Lazimnya di SSP sangat sedikit
mengandung kelenjar limfoid dan masih merupakan misteri apakah transformasi
malignansi terjadi secara lokal pada sirkulasi normal limfosit SSP atau terjadi secara
sistemik pada subpopulasi limfosit yang memiliki kecenderungan untuk bersirkulasi
ke SSP. Kecenderungan tersebut difasilitasi oleh CD44 dan CD 18 yang merupakan sel
spesifik permukaan molekul adhesi dan juga oleh berbagai reseptor kemokin.
Penyebaran sel maligna limfoid di SSP terjadi karena adanya interaksi kompleks
dari molekul selektin dan adherin, yaitu molekul adhesi CD44 dan reseptor protein
transmembran Fas (CD95). Penyebaran PCNSL ke ekstrakranial yang sangat jarang
menunjukkan bahwa PCNSL berasal dari limfosit neoplastik di perifer yang berhasil
dieradikasi oleh sistem imunitas yang baik. Apabila terjadi penyimpangan pada sistem
imunologi maka sel maligna dari PCNSL dapat bertahan hidup. Tingginya insidensi
PCNSL pada penderita imunosupresi memperlihatkan bahwa terdapat keterlibatan
kuat sistem imun dalam patogenesis PCNSL.2
Sebagian besar (>90%) PCNSL adalah jenis limfoma sel B besar difus [diffuse
large B cell lymphomas/DLBCL), sisanya adalah jenis limfoma Burkitt, limfoma derajat
rendah, dan limfoma sel T. Limfoma SSP primer jenis DLBCL memiliki gambaran
secara patologi berupa sel tumor dengan proliferasi sangat tinggi dan pola pertum-
buhan secara angiosentrik serta secara difus menginfiltrasi susunan saraf pusat.15
Secara profil genetik non-SSP DLBCL terdiri dari 3 subgrup yaitu:15-6
1 Germinal center B-cell like (GCB)
2. Activated B-cell like (ABC)
3. Tipe 3
•
: r :
: . •• : • • • ' • . ' • • ' • '• • • . . •• • • • • • . .' . • • - ' . •• •.. . . . : , • • •'• ••'•:• •• ••. ..".. : V. r - • '. . '• ' : : : • • • . • - . ' • . . . . ^ : • - • ' . . • • : --v. \ - -^ •
XI.4. Diagnosis
Gejala yang muncul pada penderita PCNSL sering kali berupa gejala neurologis
yang ringan dan tidak khas, sehingga membutuhkan waktu untuk menegakkan
diagnosis PCNSL. Berbeda dengan tumor otak lainnya, nyeri kepala jarang ditemukan,
melainkan gangguan fungsi kognitif yang paling sering timbul (>60%), diikuti gejala
fokal neurologis lainnya, peningkatan tekanan intrakranial (33%], serta kejang (11%-
20%).5,7'8 Oleh karena sampai saat ini belum ada pemeriksaan neuropsikologi yang
standar, maka minimal pemeriksaan Mini-Mental Status Examination (MMSE) atau
MoCA-Ina harus dimonitor secara serial untuk mengevaluasi gangguan fungsi kognitif.6
Pada PCNSL dapat melibatkan okular hingga 20% dengan bentuk uveitis posterior
yang resisten terhadap steroid. Gejalanya biasanya bilateral dan menyebabkan
gangguan visus atau vitreus berupa sensasi floaters yang tidak disertai nyeri.
International Primary CNS Lymphoma Collaborative Group (IPCG) telah membuat
suatu panduan evaluasi dasar diagnostik [staging) pasien PCNSL (Tabel 11.1] untuk
memahami perluasan penyakit dan mengonfirmasi bahwa limfoma hanya terdapat di
SSP, termasuk melibatkan pemeriksaan bola mata menggunakan slitlamp.6'7
Penilaian Oftalmologi
Keluhan pandangan kabur, floaters, dan penurunan tajam penglihatan merupakan
gejala dari limfoma intraokular yang cukup sering, sehingga dibutuhkan pemeriksaan
oftalmologi yang teliti. Pemeriksaan oftalmologi dengan menggunakan funduskopi
dan slit lamp harus dikerjakan pada semua pasien PCNSL untuk menyingkirkan
adanya limfoma intraokular.310
Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dengan imunohistokimia (IHK) dari biopsi jaringan
otak merupakan metode pilihan untuk mendiagnosis PCNSL, sesuai dengan klasifikasi
WHO. Pemeriksaan IHK yang dikerjakan adalah penanda sel pan-B, (CD19, CD20,
PAX5), BCL6, MUM1/IRF4, dan CD10.1'3
4. Kemoterapi sistemik
a. Methotrexate-based regimen
Regimen kemoterapi yang dinilai efektif adalah metotreksat, suatu anti-
metabolit anti-folat yang dapat menghambat sintesis DNA dan RNA, sehingga
memiliki sifat sitotoksik. Penetrasi metotreksat ke sawar darah otak
bergantung pada dosis total dan kecepatan/laju infus, mulai dari l-8g/m 2 . 3,9
Pemberian metotreksat intravena dosis 3g/m 2 merupakan dosis minimal
untuk mencapai kadar terapeutik pada CSS.18
Pada pasien yang mendapat metotreksat sistemik memiliki median overall
survival sekitar 3,1 tahun.7 Studi lain melaporkan bahwa tanpa lanjutan tata
laksana lain seperti radioterapi dan kemoterapi konsolidasi, median overall
survival pasien mencapai 23-63 bulan pada pemberian metotreksat. 10
7. Rituximab
Rituximab merupakan antibodi monoklonal yang berlawanan dengan B-cell-
spesific CD20 antigen, yang secara substansial akan bekerja pada keganasan
sistemik sel B, termasuk DLBCL. Rituximab merupakan pilihan kemoterapi pada
PNCSL yang mengalami kekambuhan atau refrakter. Sebuah studi skala kecil
menggunakan rituximab IV dosis 375mg/m 2 setiap minggu selama 8 minggu.
Pada studi tersebut sekitar sepertiga pasien mencapai respons radiologi baik
parsial maupun komplit.1
8. High Dose Chemotherapy and Autologous Stem Cell Transplantation (HDC/SCT)
Penggunaan HDC yang dilanjutkan dengan SCT autologus mengacu pada
efikasinya terhadap limfoma sistemik yang mengalami kekambuhan. Sebuah studi
prospektif fase II dengan jumlah besar menunjukkan bahwa HDT/SCT mencapai
angka remisi yang tinggi dengan gejala toksik yang masih terkendali.110
XI.6. Prognosis
Terdapat dua skor prognostik yang digunakan, yaitu:9
1. Memorial Sloan-Kettering Cancer Center prognostic model
Skor ini membagi prognosis PCNSL menjadi 3 kategori; 1) pasien berusia <50
tahun memiliki prognosis yang paling baik dengan median kesintasan 8,5 tahun;
2) pasien berusia >50 tahun dengan KPS yang baik (>70] mempunyai median
kesintasan sekitar 3,2 tahun; dan 3) pasien berusia >50 tahun dengan KPS <70
memiliki median kesintasan yang paling pendek, yaitu 1,1 tahun.
2. International Extranodal Lymphoma Study Group (IELSG)
Terdapat 5 faktor pada skoring ini yang berkaitan dengan prognosis buruk, yaitu
usia di atas 60 tahun, peningkatan kadar LDH serum, peningkatan konsentrasi
protein cairan serebrospinal, dan keterlibatan struktur dalam di otak.910 Angka
kesintasan 2 tahun pada skor 0-1 adalah 80%, skor 2-3 sekitar 48%, dan skor 4-5
sekitar 15%.
Studi ini juga melaporkan bahwa limfopenia merupakan faktor prognosis yang
signifikan pada progression-free survival dan overall survival. Pasien dengan
limfopenia saat awal terdiagnosis PCNSL (hitung limfosit absolut kurang dari
875xl06/T) memiliki angka kesintasan 5 tahun yang lebih pendek dibanding yang
tidak mengalami limfopenia (22,3% vs 59,5%).
Secara garis besar terdapat beberapa faktor yang memengaruhi prognosis pada
PCNSL, di antaranya:
1. Relaps awal pada pasien PCNSL yang telah diberikan terapi metotreksat, sekitar
30-60% di antaranya mengalami rekuren 1 sampai 2 tahun kemudian. Relaps
berkaitan dengan prognosis yang buruk. 1 Pasien PCNSL yang mengalami relaps
atau progresif merupakan prognosis yang buruk dengan median kesintasan
sekitar 4,5 bulan.7
Daftar Pustaka
1. Sinicrope K, BatchelorT. Primary central nervous system lymphoma. Neurol Clin. 2018;36(3]:517-32.
2. Batchelor X Loeffler JS. Clinical presentation, pathologic features, and diagnosis of primary
central nervous system lymphoma. Wolters Kluwer. [serial online]. 2017 [diunduh 4 Desember
2018]:l-21.Tersedia dari: UpToDate.
3. Hoang-Xuan K, Bessell E, Bromberg J, Hottinger A, Preusser M, Ruda R, dkk. Diagnosis and
treatment of primary CNS lymphoma in immunocompetent patients: guidelines from the
European Association for Neuro-Oncology. Lancet Oncol. 2015;16(7):e322-32.
4. Mendez JS, Grommes C. Treatment of primary central nervous system lymphoma: from
chemotherapy to small molecules. Am Soc Clin Oncol Educ Book. 2018;2018(38):604-10.
5. Grommes C, DeAngelis LM. Review artice: primary CNS lymphoma. J Clin Oncol. 2017;35(21J:2410-8.
6. Brastianos PK, Batchelor TT. Primary central nervous system lymphoma: overview of current
treatment strategies. Hematol Oncol Clin North Am. 2012;26(4):897-916.
7. Gerstner ER, Batchelor TT. Neurological review: primary central nervous system lymphoma. Arch
Neurol. 2010;67(3):291-7.
8. Fraser E, Gruenberg K, Rubenstein JL. New approaches in primary central nervous system
lymphoma. Chin Clin Oncol. 2015;4(1):11.
9. Low S, Han CH, Batchelor TT. Primary central nervous system lymphoma. Ther Adv Neurol
Disord. 2018-11:1756286418793562.
10. Royer-Perron L, Hoang-Xuan K. Management of primary central nervous system lymphoma.
Presse Med. 201;47(ll-12):e213-44.
TUMOR REGIO SELA
Rusdy Ghazali Malueka, Kusumo Dananjoyo
XII.l. Pendahuluan
Tumor regio sela dan parasela terbagi menjadi beberapa kelompok, namun
mayoritas (>90%) tumor intrasela merupakan jenis adenoma hipofisis.1 Massa sela
umumnya memiliki satu atau lebih gejala neurologis khas (gangguan penglihatan/
lapang pandang dan nyeri kepala) maupun gejala akibat kelainan hormonal. Namun
kadang bisa juga sebagai temuan insidental pada MRI yang dilakukan untuk alasan lain.2
Mayoritas adenoma hipofisis terdiri dari proliferasi sel dengan nukleus seragam,
kromatin stipple halus, dan sitoplasma berkuantitas sedang. Berbeda dari hiperplasia,
adenoma hipofisis mempunyai karakteristik gangguan pada jaringan serabut retikulin
yang tampak pada pengecatan retikulin. Mitosis jarang pada sebagian besar adenoma.
Indeks antigen Ki-67 biasanya kurang dari 3%. Beberapa adenoma mempunyai ciri
morfologis atipik, menandakan sifat agresif seperti pertumbuhan invasif, naiknya mitosis
dan indeks Ki-67, reaktivitas p53, serta dideskripsikan sebagai adenoma atipikal.5
Klasifikasi
Adenoma diklasifikasikan berdasarkan ukuran dan asal sel. Berdasarkan
ukurannya hipofisis adenoma dibagi sebagai berikut:7
a. Mikroadenoma; berukuran <lcm, lokasi masih dalam sela tursika, dan belum
menginvasi struktur yang berdekatan, seperti sfenoid dan sinus kavernosus.
Biasanya tumor ini ditemukan karena adanya endokrinopati.
b. Makroadenoma; berukuran >lcm, lokasinya meluas dari sela tursika, dan sudah
menginvasi struktur yang berdekatan. Tumor ditemukan karena adanya efek
kompresi.
XII.2.2. Kraniofaringioma
Kraniofaringioma adalah tumor jinak padat atau campuran kistik dan padat yang
timbul dari sisa-sisa kantong Rathke sepanjang garis dari nasofaring ke diensefalon.
Sebagian besar berada di intraselar atau supraselar.2 Insidensi tumor ini adalah 0,5-2
kasus per satu juta orang pertahun. Tumor ini hanya 1% dari tumor intrakranial pada
dewasa dan 6-10% dari tumor intrakranial pada anak. Distribusi usianya bimodal
dengan puncak pertama pada usia 5-10 tahun dan puncak kedua pada usia 50-60
tahun. 8 Sekitar 50% bermanifestasi secara klinis selama massa anak-anak dan remaja,
50% lainnya setelah usia 20 tahun, beberapa pada usia 70 atau 80 tahun.2
Tumor ini bersifat sporadis tanpa penyebab genetik yang diketahui. Gejala utama
adalah keterbelakangan pertumbuhan pada anak-anak dan penglihatan abnormal
pada orang dewasa. Selain itu, defisiensi hormon hipofisis, termasuk diabetes
insipidus, sering terjadi.2
XII.2.3. Meningioma
Meningioma juga dapat muncul di dekat sela, mengakibatkan gangguan
penglihaan dan defisiensi hormonal.2
XII.4. Diagnosis
Semua pasien yang dicurigai mempunyai tumor di regio sela tursika perlu
dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap, oftalmologi, endokrin, dan radiologi. Semua
pasien yang kooperatif harus diperiksa lapang pandang, ketajaman penglihatan, dan
funduskopi.
Radiologis
MRI merupakan prosedur radiologis terbaik untuk massa di sela. Jaringan
hipofisis normal dan sebagian besar lesi sela, adenoma hipofisis, dan tumor lainnya,
memiliki sinyal yang iso atau sedikit hiperintens daripada jaringan sistem saraf pusat
(SSP) pada gambaran standar MR Tl-weighted (Gambar 12.1]. Lesi kistik, seperti
kista kantung Rathke, sering memiliki sinyal hipointens pada gambar Tl. Namun
kraniofaringioma dan bahkan adenoma hipofisis mungkin sebagian kistik, karenanya
memiliki sinyal intensitas rendah. Selanjutnya, intensitas sinyal pada gambar Tl-
weighted akan tinggi jika konsentrasi protein atau lipid dari cairan kista tinggi. Pada
12-weighted, lesi kistik mungkin memiliki sinyal intensitas tinggi (Gambar 12.1].
Vaskularisasi ke kelenjar hipofisis menghasilkan sinyal intensitas tinggi pada gambar
Tl dan T2.2 Pada tumor berukuran kecil (mikroadenoma) terutama akan lebih terlihat
pada potongan koronal (Gambar 12.2].
Meningioma biasanya memiliki sinyal yang lebih terang dan lebih homogen daripada
adenoma hipofisis. Meningioma juga lebih memiliki episenter di suprasela daripada
sela dan memiliki perlekatan pada dura yang dapat terlihat pascapemberian kontras.2
Jaringan hipofisis normal memiliki sinyal intensitas yang lebih tinggi daripada
SSP sekitarnya pascapemberian kontras gadolinium. Baik mikro- dan makroadenoma
hipofisis (serta massa selar lainnya seperti kraniofaringoma dan meningioma)
biasanya mengalami penyangatan gadolinium pada tingkat yang lebih rendah
daripada hipofisis normal tetapi lebih dari CNS. Oleh karena itu, tingkat penyangatan
gadolinium tidak membedakan satu jenis massa Selar dari yang lain. Penyangatan
meningioma pascakontras biasanya homogen. Jika lesi sela dapat dilihat sebagai
struktur yang terpisah dari hipofisis normal maka lesi tersebut bukanlah adenoma
hipofisis.
Fungsi tiroid dievaluasi dengan pengukuran tiroksin bebas, tiroksin total, dan
TSH. Level tiroksin bebas yang rendah atau sedikit rendah bersamaan dengan TSH
yang rendah atau sedikit rendah konsisten dengan hipotiroid sentral. Aksis hipofisis-
gonad dinilai dengan siklus menstruasi pada perempuan usia reproduktif atau
defisiensi testosteron hipogonadotropik pada laki-laki. Diabetes insipidus jarang
muncul pada subjek dengan adenoma hipofisis. Defisiensi GH ditandai dengan IGF-1
serum yang rendah. 4
XII.5. Tata Laksana
Adenoma hipofisis dapat dibedakan menjadi hormon inaktif (non-fungsional) dan
hormon sekretorik (fungsional). Pada adenoma nonfungsional, tidak ada terapi medis yang
efektif. Operasi diindikasikan untuk meringankan efek massa, mengontrol pertumbuhan
tumor, dan kadang untuk membuat diagnosis. Radioterapi adjuvan pascaoperasi dilakukan
untuk pasien dengan penyakit residual yang progresif setelah operasi.1
Pada penyakit Cushing, sebagian besar terapi inisialnya adalah operasi trans-
sfenoid. Prinsip tujuan operasi adalah reseksi komplittumor, resolusi hiperkortisolemia
dan morbiditas terkait, serta mengembalikan fungsi normal aksis HPA. Tujuan terapi
yang lain seperti manajemen efek samping terapi, yaitu hipohipofisisme, koreksi
manifestasi hiperkortisolisme seperti hiperglikemia, hipertensi, osteopenia, dan
manajemen infeksi.
Radioterapi sukses pada pasien dengan residu atau CD yang rekuren. Remisi
bisa diperkirakan 50% pada dewasa dan 80% pada anak-anak yang mendapatkan
radioterapi konvensional berfraksinasi. Stereotactic radiosurgery mulai banyak
dilakukan untuk pasien CD. Terdapat obat inhibitor biosintesis steroid untuk mengontrol
hiperkortisolisme pada CD. Obat ini diberikan ketika operasi ditunda atau sembari
menunggu efek radioterapi. Terapi lini pertama yaitu ketokonazol. Obat antifungi ini
menginhibisi beberapa enzim sitokrom P450 yang diperlukan untuk menyintesis
kortisol. Obat-obat lainnya yaitu metyrapone, aminoglutethimide, dan mitotane.1
Tujuan terapi prolaktinoma meliputi normalisasi konsentrasi prolaktin serum,
yang biasanya diikuti dengan pemulihan hipogonadisme dan galaktorea, serta
kontrol pertumbuhan tumor. Dopamin menginhibisi sintesis dan sekresi prolaktin,
menurunkan ukuran dan proliferasi sel yang memproduksi prolaktin. Obat-obatan
agonis dopamin (bromokriptin, cabergoline) sering digunakan sebagai obat lini
pertama pada pasien hiperprolaktinemia dan prolaktinoma. Operasi reseksi dilakukan
pada pasien yang tidak respons terhadap terapi medis, apopleksi hipofisis, efek massa,
atau pasien memilih operasi dibandingkan terapi medis sepanjang hidup.1
Pada tumor yang menyekresi GH operasi masih dianggap sebagai lini pertama.
Radioterapi bisa dilakukan sebagai terapi adjuvan untuk manajemen pasien dengan
penyakit residual dan rekuren. Tersedia obat-obatan untuk pasien dengan residual
atau rekuren akromegali, yaitu agonis dopamin, analog somatostatin, dan antagonis
reseptor GH. Obat-obatan ini juga berguna untuk pasien yang bukan kandidat operasi.1
Analog seperti sandostatin merupakan terapi medikal utama untuk tumor penghasil
GH dan juga digunakan untuk tumor penghasil TSH [thyroid-stimulating hormone).
Octreotide dan lareotide akan mengontrol sekresi GH pada mayoritas pasien dengan
akromegali dan pada beberapa pasien menyebabkan penyusutan tumor.7
Terapi primer kraniofaringioma adalah operasi eksisi. Kesuksesan operasi
bergantung pada ukuran dan lokasi tumor, derajat invasi tumor, dan pengalaman
dokter bedah. Rekurensi setelah reseksi total jarang terjadi, namun rekurensi bisa
sampai 62% dalam 10 tahun pada reseksi parsial. Terapi radiasi adjuvan menurunkan
rekurensi, menjadi 10-63% dalam 10 tahun. 1
Pilihan pendekatan operasi sangat tergantung dari ukuran tumor (Tabel 12.2).
Pembedahan trans-sfenoid adalah pilihan terapi utama pada tumor dengan ukuran
besar dan disertai gejala efek massa. Metode ini memiliki tingkat kesembuhan 80-
90% bila dikerjakan oleh ahli bedah hipofisis.7
Ilustrasi Kasus
Seorang perempuan usia 19 tahun, datang ke IGD dengan keluhan nyeri kepala
berat dan pandangan dobel yang dirasakan sejak 4 bulan sebelumnya dan nyeri
kepala memberat sejak 3 hari yang lalu. Pasien juga tidak haid sejak 3 bulan yang lalu,
riwayat haid sebelumnya dkatakan teratur. Pasien sebelumnya pernah periksa dan
dilakukan MRI kepala dengan hasil, terdapat massa di suprasellar.
Pertanyaan 1.
Pada kasus tersebut, kemungkinan diagnosis pasien adalah?
A. PCNSL
B. High grade astrocytoma
C. Low grade astrocytoma
D. Adenoma Hipofisis
E. Ependymoma
Jawaban: D
#
Pembahasan:
Pada kasus tersebut terdapat gejala nyeri kepala. Nyeri kepala ini dapat terjadi
karena ekspansi sela. Disamping nyeri kepala juga terdapat pandangan dobel, 2
hal ini apabila terjadi dan nyeri kepala hebat dapat diakibatkan karena apopleksia
hipofisis. Pasien juga mengalami amenorea, gejala ini dapat diakibatkan oleh karena
hipogonadisme karena tumor yang terus tumbuh sehingga menyebabkan gangguan
hipofisis yang progresif. Pada kasus tersebut dapat dipikirkan diagnosa adenoma
hipofisis. Adenoma hipofisis adalah penyebab utama dari penyakit hipofisis pada
orang dewasa (10-15% dari semua tumor otak primer).
Pertanyaan 2.
Pada kasus tersebut apabila dilakukan tindakan operasi, indikasi apa saja yang
harus ada?
A. Tumor yang menyebabkan gejala oleh efek massa, defisit visual (secara
klasik: bitemporal hemianopsia, panhipofisisme)
B. Makroadenoma untuk memperbaiki fungsi kiasma walaupun tanpa kelainan
endokrin atau defisit visual
C. Kerusakan visual yang akut dan cepat atau perburukan neurologis lainnya
D. Untuk mendapatkan jaringan untuk analisis patologis pada kasus yang masih
dipertanyakan
Semua benar
Pembahasan:
Indikasi pembedahan tergantung dari ukuran tumor. Pembedahan trans-sfenoid
adalah pilihan terapi utama pada tumor dengan ukuran besar dan disertai gejala efek
massa. Metode ini memiliki tingkat kesembuhan 80-90%.
Daftar Pustaka
1. Blevins LS, Devin JK. Tumors of the pituitary and sellar region. Dalam: Mehta MP, editor Principles
and practice of neuro-oncology. New York: Demos Medical Publishing; 2011. h. 623-32.
2. Snyder P). Causes, prsentation, and evaluation of sellar masses. Wolters Kluwer [serial online].
2018 [diunduh 23 Juli 2018]. Tersedia dari: UpToDate.
3. Jagannathan J, Kanter AS, Sheehan JP, Jane Jr JA, Laws Jr ER. Benign brain tumors: sellar/parasellar
tumors. Neurol Clin. 2007;25(4):1231-49.
4. Jiang X, Zhang X. The molecular pathogenesis of pituitary adenomas: an update. Endocrinol
Metab. 2013;28(4):245-54.
5. Laws ER, Jane JA, Jagannathan J, Katnelzon L. Presentation and clinical features of tumors of the
pituitary and sellar region. Dalam: Mehta MP, edtor. Principles and practice of neuro-oncology.
New York: Demos Medical Publishing; 2011. h. 291-6.
6. Loeper SC, Ezzat S, Asa SL. Histopathology and molecular pathogenesis of pituitary adenomas.
Dalam: Mehta MP, editor. Principles and practice of neuro-oncology. New York: Demos Medical
Publishing; 2011. h. 174-84.
7. Komite Penanggulangan kanker Nasional. Pedoman nasional pelayanan kedokteran tumor otak.
KemenkesRI. 2019.
8. Lee EQ, Wen P. Cancer neurology.-samuels manual of neurologic theurapetics. Edisi ke-9.
Piladelphia: WoltersKluwer; 2017.
9. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adam's and Victor's principles of neurology. Edisi ke-10. New
York: McGrawHill Education; 2014.
TUMOR OTAK SEKUNDER (METASTASIS)
Rini Andriani, Indah Chitra
XIII.l Pendahuluan
Metastasis otak merupakan salah satu komplikasi neurologis pada keganasan
sistemik. Insidensi metastasis otak dari waktu ke waktu meningkat seiring dengan
canggihnya deteksi keganasan dan berkembangnya tata laksana penanganan kanker,
angka kejadian metastasis ke otak meningkat. Metastasis otak menempati tumor
intrakranial yang paling sering, melebihi tumor primer.12
Metastasis otak merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Selain itu, kebanyakan pasien dengan metastasis otak memiliki angka kesintasan
yang pendek. Angka kesintasan yang singkat ini disebabkan keganasan sistemik yang
progresif atau gangguan neurologis yang tidak terkontrol.1
XIII.2 Epidemiologi
Metastasis otak merupakan tumor intrakranial yang paling sering ditemukan.
Dari keseluruhan tumor intrakranial, kejadian tumor otak lebih dari separuhnya.
Setiap tahunnya, insidensi metastasis otak yang baru terdiagnosis lebih banyak sekitar
3-10 kali lipat dibandingkan tumor primer otak.1 Pada pasien dengan keganasan,
metastasis otak terjadi pada 10-30% pasien dewasa dan 6-10% pasien anak.12
Insidensi metastasis otak semakin meningkat disebabkan kecanggihan pemeriksaan
dan deteksi metastasis ukuran kecil dengan adanya magnetic resonance imaging
(MRI) dan berkembangnya terapi sistemik.2 Pada 60-75% pasien akan menimbulkan
gejala dan sisanya bersifat asimptomatik yang ditemukan saat pemeriksaan CT/MRI
ataupun autopsi.1
Metastasis otak seringkali didiagnosis saat keganasan primer sudah diketahui
sebelumnya (metachronous). Namun, pada 30% kasus, metastasis otak didiagnosis
bersamaan dengan tumor primer [synchronous). Sementara itu, ada beberapa kasus
metastasis otak didiagnosis sebelum tumor primer ditemukan (precocious).1
Secara umum, semua tumor yang bersifat ganas dapat bermetastasis ke otak.
Pada pasien dewasa, tumor primer yang paling sering metastasis ke otak adalah paru
(36-64%), payudara (15-25%), dan melanoma (5-20%), sementara sekitar 10-15%
tidak diketahui tumor primernya (unknown primary tumour). Keganasan lainnya juga
dapat metastasis ke otak seperti kolon, rektum, ginjal, prostat, testis, ovarium, dan
sarkoma.1"3
Kecenderungan suatu keganasan untuk metastasis ke otak (neurotropism)
berbeda-beda, dibagi menjadi:1
• Tinggi: melanoma, karsinoma sel kecil paru, choriocarcinoma, dan germ cell tumor
• Intermediet: karsinoma payudara, karsinoma paru bukan sel kecil, ginjal
• Rendah: prostat, gastrointestinal, ovarium, tiroid, dan sarkoma
XIII.3 Patofisiologi
Metastasis otak disebabkan penyebaran secara hematogen oleh tumor primer.
Biasanya metastasis otak berlokasi pada white-gray matter junction, yaitu sel
tumor terjebak karena ukuran diameter pembuluh darah area tersebut lebih kecil.
Metastasis otak juga sering mengenai area terminal watershed dari sirkulasi arteri.
Sekitar 80% tumor akan berkembang di hemisfer serebral, 15% daerah serebelum,
dan 5% area batang otak. Setiap tumor memiliki predileksi tertentu di otak. Sebagai
contoh, kanker daerah pelvis (uterus dan prostat), gastrointestinal, dan payudara
cukup sering bermetastasis ke fosa posterior. Sementara karsinoma sel kecil paru
bisa bermetastasis ke area manapun di otak.12 Khusus melanoma, lokasi metastasis
lebih banyak terjadi di ganglia basalis dan korteks serebral dibandingkan white-gray
matter junction.1
Secara umum, metastasis sel kanker terjadi melalui kaskade metastasis, yang
merujuk pada invasi sel tumor terhadap jaringan di sekitarnya, intravasasi (masuk ke
dalam aliran darah), terperangkap dalam kapiler pembuluh darah, ekstravasasi dan
profilerasi pada tempat metastasis (Gambar 13.1).1,4"6
Hipotesis "seed and soil" menjelaskan peredaran sel tumor di seluruh tubuh, namun
cenderung metastasis pada organ tertentu. Formasi metastasis merupakan hasil
interaksi antara microenvironment organ tertentu (sebagai "soil") dan kemampuan
invasif dan adhesif yang dimiliki oleh sel kanker itu sendiri (sebagai "seed"). Sel
neoplastik yang potensial untuk membentuk koloni di otak akan mengekspresikan
suatu molekul yang unik dan berespons terhadap brain-derived growth factors,
sehingga dapat menginvasi, berproliferasi, dan menginduksi angiogenesis.1
XIII.4 Diagnosis
Manifestasi Klinis
Sekitar 2/3 kasus bersifat simptomatik. Adapun tanda dan gejala pada tumor
metastasis merupakan manifestasi dari pertambahan ukuran tumor itu sendiri.3
Namun, pada beberapa kasus, gejala bisa sangat samar. Secara umum, metastasis otak
harus dipertimbangkan pada pasien dengan gejala neurologis dan dengan riwayat
keganasan sistemik sebelumnya.1
Manifestasi klinis metastasis otak bervariasi. Massa tumor yang makin lama
makin membesar dan terjadinya edema peritumoral akan menyebabkan defisit fokal.
Pada sebagian kecil, akan tejadi perdarahan intratumoral, hidrosefalus obstruktif, dan
embolisasi sel tumor.2
Tanda dan gejala metastasis otak, diantaranya:12'78
1. Nyeri kepala
Sakit kepala terjadi pada 40-50% pasien dengan metastasis otak.12 Sakit kepala
paling sering terjadi jika terdapat tumor multipel dan jika tumor terletak di fosa
posterior dan biasanya memiliki intensitas ringan. Jenis sakit kepala dapat berupa
sakit kepala tipe tension (77%) dan migrain (9%).1
2. Defisit neurologis fokal
Defisit neurologis fokal terjadi pada 20-40% pasien metastasis otak. Defisit fokal
yang paling sering diderita adalah hemiparesis. Secara keseluruhan defisit fokal
bergantung pada lokasi tumor.
3. Gangguan kognitif
Gangguan kognitif berupa gangguan memori, perubahan mood dan perilaku ter-
jadi pada 30-35% pasien metastasis otak.
4. Kejang
Kejang terjadi pada 10-20% pasien dengan metastasis otak.
5. Stroke
Sekitar 5-10% pasien mengalami stroke yang diakibatkan perdarahan intratumoral,
hiperkoagulasi, invasi/kompresi arteri oleh sel tumor, atau embolisasi sel tumor.
Khusus melanoma, koriokarsinoma, karsinoma renal dan tiroid, memiliki ke-
cenderungan untuk mengalami perdarahan intratumoral.
-
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang radiologis sangat bermanfaat untuk menegakkan
diagnosis metastasis otak. Biopsi kadang dibutuhkan untuk mencari diagnosis
definitif. Selain itu, pemeriksaan diagnostik lainnya dibutuhkan untuk mengevaluasi
tumor primer.1
Gambaran radiologi yang mendukung gambaran metastasis otak adalah lesi
multipel, lokasi pada white-gray matter junction, circumscribed margin/sferikal,
edema vasogenik yang luas dibandingkan ukuran tumor itu sendiri.910
Pada era CT scan kepala, sekitar 50% tumor metastasis merupakan lesi soliter. Namun,
pada era MRI, lebih dari 2/3 kasus metastasis otak berupa lesi multipel.1 MRI dengan
kontras merupakan modalitas terbaik dalam mengevaluasi metastasis otak MRI lebih
sensitif dibandingkan dengan CT scan baik dalam hal menentukan ada atau tidaknya lesi,
lokasi lesi, dan jumlah lesi. Pada Tl MRI, tumor metastasis menunjukkan lesi hiperintens.
Tumor dengan ukuran besar biasanya menunjukkan penyangatan perifer dengan fokus
yang tidak menyangat (menunjukkan nekrosis sentral). Edema peritumoral pada Tl akan
bersifat hipointens (Gambar 13.2). Pada T2, tumor akan terlihat hipointens, sementara
edema akan terlihat hiperintens. Adanya edema lebih baik dilihat pada sekuens T2.11
Modalitas pencitraan terbaru seperti positron emission tomography (PET) dan
single-photon emission computed tomography (SPECT) dapat membantu membedakan
massa tumor dengan nekrosis pascaradiasi.1
XIII. 5 Tata Laksana
Terdapat beberapa pilihan tata laksana pada metastasis otak, yaitu whole brain
radiotherapy (WBRT), pembedahan, dan stereotactic radiosurgery (SRS). Studi
mengenai efikasi kemoterapi sistemik pada metastasis otak terbatas.91012
Eembfidahan
Dua studi pada pasien metastasis'otak dengan lesi soliter menyebutkan bahwa
tata laksana kombinasi pembedahan dan WBRT memiliki median kesintasan yang
lebih panjang jika dibandingkan dengan pasien yang ditatalaksana denganWBRT saja
(10 bulan vs 4-6 bulan). Sementara studi Patchell menyebutkan bahwa pasien yang
dilakukan pembedahan akan mengalami tingkat kekambuhan yang lebih kecil dan
mandiri secara fungsional lebih lama. Namun, ada juga studi lain yang mendapatkan
tidak ada perbedaan bermakna pada pasien dengan penyakit sistemik yang aktif dan
KPS yang buruk.1012
Pembedahan dilakukan pada pasien dengan gejala peningkatan tekanan
intrakranial, untuk memperbaiki fungsional (gejala defisit fokal neurologis),
mengurangi frekuensi kejang, dan untuk mengurangi ketergantungan terhadap
steroid. Namun, perlu diingat bahwa pembedahan juga memiliki risiko seperti
diseminasi sel tumor ke leptomeningeal terutama pada tumor yang terletak di fosa
posterior.12
SRS juga memiliki komplikasi [early, early delayed, dan late) pada 10-40% pasien.
Reaksi akut 2 minggu pasca-SRS adalah edema serebri, berupa sakit kepala, mual,
muntah, bertambahnya defisit fokal neurologis, dan kejang. Namun kesemua gejala ini
dapat diatasi dengan steroid. Komplikasi lanjutan dari SRS (bulanan hingga tahunan]
adalah hemoragik dan radionekrosis, dilaporkan terjadi pada 1-17% pasien. 2812
Whole Brain Radiotherapy (WBRT)
WBRT merupakan pilihan yang paling sering digunakan pada metastasis otak
dengan lesi multipel.8'10'12 Efektivitasnya tergantung pada histologi tumor. Karsinoma
payudara dan paru bersifat radiosensitif, sementara melanoma dan karsinoma renal
bersifat radioresisten.11 Reduksi volume tumor setelah WBRT berdampak pada fungsi
neurokognitif yang membaik dan angka kesintasan yang memanjang.
Median kesintasan pasca-WBRT pada pasien dengan lesi multipel berkisar 3-6
bulan, dimana 10-15% masih hidup pada 1 tahun. Dosis radiasi yang diberikan adalah
30Gy terbagi dalam 10 fraksi selama 2 minggu atau 37,5Gy terbagi dalam 15 fraksi
selama 3 minggu. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua dosis tersebut.
Efek samping justru akan bertambah pada dosis yang lebih besar.1012
Efek samping pada WBRT adalah jaringan otak yang normal juga terpapar radiasi
dan efek yang ditimbulkan bergantung pada total dosis, dosis per fraksi, dan interval
dosis yang diberikan. Efek samping akut dapat berupa kulit kering, rambut rontok,
sakitkepala, muntah, letargi, edema sereberi, dan otitis media. "Somnolence syndrome"
yang disebabkan kelelahan dapat muncul 1 hingga 4 bulan pasca-WBRT.
Efek lanjutan [late effects) dapat berupa radionekerosis, atrofi, leukoensefalopati,
dan demensia. Makin besar dosis per fraksi setiap hari nya akan menyebabkan
gangguan neurokognitif yang lebih berat. Leukoensefalopati yang diinduksi radiasi
yang disebabkan kerusakan pembuluh kecil serebral terjadi pada fraksi >2Gy Untuk
itu, pada pasien dengan prognosis yang lebih baik, sebaiknya dosis WBRT dibagi
menjadi 15 fraksi dengan dosis per fraksi 2Gy.u
Kemoterapi sistemik
Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi respons pengobatan pada
kemoterapi sistemik:13
a. Sawar darah otak
Sawar darah otak akan membatasi pasase molekul kemoterapi berukuran besar
dan hidrofilik. Kemoterapi yang bersifat hidrofilik tidak akan mampu melewati
sawar darah otak.
Selain itu, penggunaan kortikosteroid untuk mengatasi edema peritumoral
mampu memperbaiki sawar darah otakyang mengalami kerusakan, namun akan
mencegah agen kemoterapi untuk masuk.
b. Sensitivitas tumor terhadap kemoterapi
Beberapa tumor metastasis seperti melanoma dan karsinoma bukan sel kecil paru
(NSCLC) memiliki sifat kemosensitif yang terbatas. Selain itu, kadang ditemui
metastasis pada otak terjadi selama pasien menjalani kemoterapi untuk penyakit
sistemiknya, sehingga menyebabkan tumor di otak ssudah resisten terhadap
agen kemoterapi tersebut.
Keganasan paru jenis karsinoma sel kecil paru lebih bersifat kemosensitif jika
dibandingkan dengan NSCLC. Kemoterapi yang diujicobakan pada SCLC adalah
cisplatin, etoposide, cyclophosphamide, vincristine, doxorubicin, topotecan,
teniposide, carboplatin, dan temozolamide. Hampir semua studi menyebutkan pasien
mendapatkan gejala toksik yang signifikan, namun tidak ada perbedaan bermakna
pada angka kesintasan dengan pemakaian kemoterapi. 5613
Terdapat beberapa kemoterapi sistemik yang diujicobakan pada metastasis
otak pada pasien NSCLC, di antaranya kemoterapi sitotoksik (cisplatin, etoposide),
Targeted Agents (erlotinib, gefitinib], ALK tyrosine kinase inhibitors [crizotinib,
alectinib], bevacizumab, dan kombinasi WBRT dan Temozolamide. Pada studi-studi
tersebut didapatkan bahwa kemoterapi sistemik tidak lebih superior dibandingkan
dengan radioterapi. Kemoterapi akan bermanfaat pada pasien dengan kanker paru
disseminata dan metastasis otak asimptomatik. 413
Agen kemoterapi yang digunakan pada pasien keganasan payudara dengan
metastasis otak mencakup capecitabine, cyclophosphamide, 5-fluoruracil,
metotreksat, vincristine, cisplatin, etoposide, lapatinib (dual EGFR dan human
epidermal growth receptor HER-2), dan trastuzumab (Tabel 13.1]. Beberapa studi
melaporkan penggunaan trastuzumab pada kanker payudara subtipe HER2 positif.
Namun, hingga kini belum ada data yang cukup untuk menjelaskan kegunaan
kemoterapi sistemik pada keganasan payudara. 1315
Perawatan Suportif
a. Kortikosteroid
Digunakan untuk mengontrol edema vasogenik peritumoral. Jenis yang
direkomendasikan adalah deksametason mulai dari dosis 4-8mg per hari, dapat
ditingkatkan menjadi 16mg/hari pada pasien dengan gejala yang berat. Jenis
ini merupakan pilihan utama karena efek mineralokortikoid yang rendah dan
waktu paruh yang panjang. Gangguan neurologis akan membaik setelah 24-72
jam pascapemberian deksametason. Sebagai monoterapi, deksametason akan
mengurangi gejala dalam kurun waktu satu bulan dan memperpanjang median
kesintasan 4-6 minggu jika dibandingkan dengan pasien yang tidak diberikan
terapi sama sekali.1,8
b. Obat anti epilepsi
Pemberian obat kejang sebagai profilaksis tidak terbukti efektif. Level subterapi
dan efek samping lebih sering ditemukan pada pasien dengan keganasan siste-
mik yang diperkirakan karena interaksi obat. Fenitoin, fenobarbital, karbamaz-
epin, dan okskarbazepin akan menginduksi sitokrom P450 serta mempercepat
metabolisme kortikosteroid dan kemoterapi (seperti nitrosurea, paclitaxel,
siklofosfamid, topotecan, irinotecan, thiotepa, adriamycin, metrotreksat, imati-
nib, gefitinib, erlotinib, dan golongan TKI lainnya) sehingga obat-obatan tersebut
berkurang efikasinya.189
c. Pemberian antikoagulan
Diberikan sebagai standar tata laksana pada venous thromboembolism (VTE)
akut. Pemberian low molecular weight heparin (LWMH] direkomendasikan
pada pasien dengan trombosis vena dalam, emboli paru, dan pasien yang akan
menjalani pembedahan mayor.18
XIII.6. Prognosis
Terdapat beberapa model prognostik untuk menentukan angka kesintasan pada
metastasis otak. Berdasarkan beberapa skoring indeks prognosis, faktor prognostik
yang bermakna dalam angka kesintasan pasien adalah status performa, usia,
metastasis ekstrakranial, kontrol penyakit utama, ukuran dan jumlah lesi metastasis
otak, serta histologi dan subtipe tumor utama.16 Salah satu indeks prognostik yang
paling sering dipakai dalam menentukan angka kesintasan pada metastasis otak
adalah Grade Prognostic Assesment (GPA), seperti pada Tabel 13.2.17
Ilustrasi Kasus
Wanita usia 55 tahun datang ke IGD karena keluhan tangan kanan bergerak-gerak
sendiri dengan gerakan ritmis sekitar 5 menit, kemudian berhenti sendiri. Pasien
kondisi sadar. Sekitar 3 bulan sebelumya pasien mengeluhkan nyeri kepala sisi kanan,
intensitas sedang, terasa cekot-cekot. Pasien merupakan penderita Ca mammae tegak
diagnosa 1 tahun yang lalu, dan telah operasi. Pemeriksaan laboratorium dalam batas
normal.
Pertanyaan 1.
Tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan pada pasien ini adalah?
Pembahasan:
Pada kasus tersebut terdapat kecurigaan adanya brain metastasis dari Ca
mammae. Dengan adanya kecurigaan tersebut dapat diberikan kortiksteroid untuk
mengontrol edema vasogenik peritumoral. Pemberian anti kejang dapat diberikan
dengan pertimbangan jenis anti kejangnya. Fenitoin, fenobarbital, karbamazepin, dan
okskarbazepin akan menginduksi sitokrom P450 serta mempercepat metabolisme
kortikosteroid dan kemoterapi. Dan pemeriksaan MRI cerebral dapat dilakukan
karena sangat bermanfaat untuk menegakkan diagnosis metastasis otak. Biopsi
kadang dibutuhkan untuk mencari diagnosis definitif. Gambaran radiologi yang
mendukung gambaran metastasis otak adalah lesi multipel, lokasi pada white-
gray matter junction, circumscribed margin/sferikal, edema vasogenik yang luas
dibandingkan ukuran tumor itu sendiri.
Pertanyaan 2.
Pada brain metastasis dilakukan Whole Brain Radiotherapy (WBRT), berapa
dosis yang diberikan?
A. 30 Gy terbagi dalam 10 fraksi selama 2 minggu
B. 40 Gy terbagi dalam 10 fraksi selama 2 minggu
C. 30 Gy terbagi dalam 15 fraksi selama 2 minggu
D. 40 Gy terbagi dalam 15 fraksi selama 2 minggu
E. 37.5 Gy terbagi dalam 10 fraksi selama 3 minggu
fawaban: A
t
Pembahasan:
* WBRT merupakan pilihan yang paling sering digunakan pada metastasis otak
dengan lesi multiple. Karsinoma payudara dan paru bersifat radiosensitif, sementara
melanoma dan karsinoma renal bersifat radioresisten. Dosis radiasi yang diberikan
adalah 30Gy terbagi dalam 10 fraksi selama 2 minggu atau 37,5Gy terbagi dalam 15
fraksi selama 3 minggu. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua dosis
tersebut. Efek samping justru akan bertambah pada dosis yang lebih besar.
Daftar Pustaka
1. Sofietti R, Franchino F, Ruda R. Brain metastasis as complication of systemic cancers. In cancer
neurology in clinical practice: neurological complications of cancer and its treatment. Edisi ke-3.
Springer. 2018. h. 57-72.
2. Loeeffler JS. Epidemiology, clinical manifestatations, and diagnosis of brain metastases. Wolters
Kluwer [serialonline]. 2018 [diunduhl3 Juli 2018]:1-10. Tersedia dari: UpToDate.
3. Jack MM, Gatozzi DA, Arnold PM. Multiple intraparenchymal cystic brain metastases-a rare
manifestation of metastatic adenocarcinoma of the prostate. Elsevier. Int Neurosurg. 2018;14:53-5.
4. Seoane J, Mattos-Arruda LD. Brain metastasis: new opportunities to tackle therapeutic resistance.
Mol Oncol. 2014;8:1120-31.
5. El Rassy E, Botticella A, Kattan J, Le Pechoux C, Besse B, Hendriks L. Non-small cell lung cancer
brain metastases and the immune system: from brain metastases development to treatment.
Elsevier. Cancer Treat Rev. 2018;698:69-79.
6. Preusser M, Winkler F, Valiente M, Manegold C, Moyal E, Widhalm G, Tonn JC, dkk. Recent advances
in the biology and treatment of brain metastases of non-small cell lung cancer: summary of a
multidisciplinary roundtable discussion. ESMO Open. 2018;3(l):e000262.
7. Drappatz JY, Wen PK, Avila E. Seizures in patients with primary and metastastic brain tumors.
Wolters Kluwer[serialonline]. 2018 [diunduhl4 Juni 2018]:l-25. Tersedia dari: UpToDate.
8. Soffietti R, Cornu P, Delattre JY, Grant R, Graus F, Grisold W, dkk. Brain metastases. Chapter 30.
Dalam: Gilbus NE, Barnes MP, Brainin M. European handbook of neurological management. Edisi
ke-2. Oxford: Blackwell Publishing; 2011. h. 438-52.
9. Navarro-Olver JL, Arinez-Barahona E, Esqueda-Liquidano MA, Munoz-Cobos A. Brain metastases:
literature review. Rev Med Hosp Gen Mex. 2017;80(T):60-6.
10. Scoccianti S, Ricardi U. Systemic review: treatment of brain metastases: review of phase III
randomized controlled trials. Radiother Oncol. 2012;102(2]:168-79.
11. Patel A, Lang F, Raymond S. Metastatic brain tumors. Dalam: Bernstein M, Berger MS. Neuro-
oncology: the essentials. Edisi ke-3. New York: Thieme; 2015. h. 451-58.
12. Soffietti R, Abacioglu U, Baumert B, Combs SE, Kinhult S, Kros JM, dkk. Diagnosis and treatment
of brain metastases from solid tumors: Guidelines from the European Association of Neuro-
Oncology (EANO). Neuro Oncol. 2017;19(2):162-74.
13. Drappatz J. Systemic therapy for brain metastasis. Wolters Kluwer [serialonline]. 2018 [diunduhl7
April 2018]:1-13. Tersedia dari: UpToDate.
14. Pedrosa RM, Mustafa DA, Soffietti R, Kros JM. Breast cancer brain metastasis: moleculer
mechanism and directions for treatment. Neuro Oncol. 2018;20(llJ:1439-49.
15. Fromm S, Bartsch R, Rudas M, de Vries A, Wenzel C, Steger GG, dkk. Factors influencing the time
to development of brain metastases in brain cancer. Breast. 2008;17(5):512-6.
16. Stelzer KJ. Epidemiology and prognosis of brain metastases. Wolters Kluwer. Medknow
Publication. Surg Neruol Int. 2013;4(Supl 4):S192-202.
17. Sperduto PW, Kased N, Roberge D, Xu Z, Shanley R, Luo X, dkk. Summary report on the graded
prognostic assessment: an accurate and facile diagnosis-specific tool to estimate survival for
patients with brain metastases. J Clin Oncol. 2012;30(4):420-24.
TUMOR MEDULA SPINALIS PRIMER
Rahmi Ardhini
XIV. 1. Pendahuluan
Tumor primer medula spinalis merupakan tumor yang berasal dari parenkim
medula spinalis atau dari jaringan yang terletak di dalam kanalis spinalis yang terbentang
dari servikal hingga sakrum, termasuk meningen, serabut saraf, jaringan lemak, tulang,
dan pembuluh darah.1 Insidensnya sangat kecil, yaitu 1/10 daripada tumor intrakranial,
namun mempunyai dampak morbiditas dan mortalitas yang signifikan.2
Tumor medula spinalis diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok. Berdasarkan
lokasi anatomi dibagi menjadi ekstradural, intradural ekstramedula, dan intradural
intramedula.1 Gejala awal yang paling banyak dikeluhkan adalah rasa nyeri tanpa
defisit neurologis di awal perjalanan penyakit. Pengobatan utama adalah reseksi tumor.
Namun karena keluaran fungsional pascaoperasi dipengaruhi oleh kondisi neurologis
pre-operasi, maka diperlukan pemeriksaan dan penyingkiran diagnosis banding secara
sistematik pada pasien dengan gejala nyeri punggung bawah untuk diagnosis dini.3
1
XIV.2. Epidemiologi
Tumor medula spinalis mempunyai persentase yang relatif kecil dibandingkan
tumor intrakranial, yaitu 0,5% dari seluruh diagnosis tumor dan 5-12% dari seluruh
tumor susunan saraf pusat. Insidensnya adalah 1:100.000 populasi per tahun, yaitu
pada usia 20-50 tahun, meskipun dapat ditemukan pada semua usia, laki-laki dan
perempuan sama besar.1,4
Tumor medula spinalis diklasifikasikan menjadi ekstradural, intradural
ekstramedula, dan intradural intramedula dengan prevalensi masing-masing sekitar
25%, 20-30%, dan 70-80% dari tumor primer spinal.1 Tumor primer medula spinalis
terbanyak pada dewasa menurut CBTRUS (Gambar 14.1) adalah meningioma (38,9%),
tumor selubung saraf (26,5%), dan tumor ependimal (19,1%). Pada anak-anak tumor
terbanyak adalah tumor ependimal (23,3%). Adapun berdasarkan distribusi anatomi
50-55% berasal dari segmen thorakal, 25-30% dari lumbosakral, dan sisanya berasal
dari servikal dan foramen magnum.1,2,4
XIV.3. Klasifikasi
Menurut klasifikasi historisnya tumor medula spinalis dapat dibagi menjadi
tumor ekstradural, intradural ekstramedula, dan intradural intramedula. Klasifikasi
tersebut membagi berdasarkan asal letak tumor, yaitu ekstradural (di luar duramater)
dan intradural (di dalam duramater), seperti pada Gambar 14.2.1,s
XIV.3.1. Tumor Ekstradural
Tumor ekstradural berasal dari semua jaringan di sekitar vertebra yang dapat
mengalami neoplasia, meliputi saraf, meningen, tulang, kartilago, dan otot. Tumor
ekstradural dibagi menjadi primer dan sekunder (metastasis), dimana tumor primer
dibagi lagi menjadi jinak (benigna) dan ganas (maligna). Baik tumor jinak maupun
ganas dapat menyebabkan instabilitas vertebra. Klasifikasi Enneking dan Weinstein-
Boriani-Biagini (WBB) digunakan untuk mengklasifikasikan tumor jinak dan ganas
pada spinal.3,7
Tumor Jinak
Tumor jinak ekstradural adalah tumor jinak yang berasal dari korpus vertebra
dan cabang-cabang saraf di sekitarnya. Tumor jinak spinal sering sulit didiagnosis
dan dijumpai secara insidental pada pemeriksaan radiologis tulang belakang.
1. Hemangioma Vertebra
Hemangioma vertebra adalah tumor jinak ekstradural yang paling banyak
dijumpai. Hemangioma merupakan hasil proliferasi hamartomatosa jaringan
pembuluh darah dan endotel pada tulang, bersifat jinak, sering asimtomatik,
dan tumbuh secara lambat. Prevalensi hemangioma sebesar 2-3% dari seluruh
tumor spinal dan mempunyai insidensi 10-12% pada populasi, puncaknya pada
usia 40-60 tahun. Insidensi meningkat seiring bertambahnya usia. Predileksi
terbanyak pada vertebra thorakal (60%), lumbal (29%), servikal (6%), dan
sakrum (5%). Hemangioma diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu tipe kapiler
dan tipe kavernosa. MRI sangat sensitif untuk mendiagnosis hemangioma, pada
Tl danT2 menunjukkangambaranhiperintensitas. 379
Osteoid osteoma dapat terlihat pada foto polos sebagai lesi radiolusen dikelilingi
sclerotic rim, jarang menyebar ke korpus vertebra, rongga epidural, atau
paraspinal. Skoliosis sering terjadi pada vertebra yang terkena. Pengobatan
utama pada osteoid osteoma adalah pembedahan. 3 ' 79
3. Osteoblastoma
Merupakan tumor tulang yang jarang ditemukan, mempunyai prevalensi sekitar
1% dari seluruh tumor primer pada tulang. Predileksi utama pada spinal, pada
elemen posterior. Sebagian besar ditemukan pada dekade dua sampai tiga. Gejala
utama adalah nyeri progresif pada daerah lesi, tidak selalu muncul pada malam
hari, dan tidak selalu membaik dengan analgetik. Diagnostik paling sensitif
adalah bone scintigraphy. Tumor ini mempunyai sifat yang mirip dengan osteoid
osteoma tetapi berdiameter lebih besar (>20mm), lebih bersifat agresif, dan
terapi utamanya adalah pembedahan dengan reseksi en bloc.3-7"9
4. Osteokondroma
Osteokondroma merupakan tumor jinak tulang yang paling banyak, hanya 4%
ditemukan pada vertebra. Umumnya tumor ini bersifat soliter meskipun bisa
multipel pada eksostosis herediter multipel. Prevalensi laki-laki lebih banyak
daripada perempuan, banyak meyerang usia remaja dan dewasa muda. Predileksi
terbanyak pada vertebra servikal (49%). Komponen tumor terdiri dari kapsul
fibrosis, cartilage cap, dan tulang normal. Gambaran radiologi menunjukkan
adanya protuberansia tulang dengan pedunkulus yang terhubung dengan tulang
induknya tanpa diskontinuitas.7,9
Meningioma
Meningioma merupakan tumor intradural ekstramedula kedua tersering setelah
Schwannoma. Seperti halnya pada meningioma intrakranial, perempuan juga mempunyai
insidens yang lebih tinggi dengan rasio 4:1 sampai 9:1. Tumor ini berasal dari sel-sel di
dalam vili araknoid, dengan lokasi terbanyak di sekitar tempat keluarnya radiks dorsalis
di sisi lateral medula spinalis. Sebanyak 82% berlokasi di segmen thorakal dan insidensi
puncak pada usia akhir pertengahan. Meningioma merupakan tumor yang tumbuh
lambat, sebagian besar bersifat jinak Berdasarkan klasifikasi tumor susunan saraf pusat
WHO tahun 2016, meningioma dibagi menjadi 3 derajat, yaitu derajat I, II, dan III.3,6
Astrositoma
Astrositoma adalah tumor intramedula yang berasal dari sel-sel astrosit.
Merupakan tumor intramedula kedua tersering pada dewasa setelah ependimoma
dengan prevalensi 36-45%. Prevalensi astrositoma derajat rendah lebih banyak
daripada derajat tinggi. Rerata insidensi usia 20 sampai 30 tahun dengan prevalensi
laki-laki lebih banyak. Predileksi terbanyak pada segmen thorakal diikuti servikal.35
Secara histologi berdasarkan WHO dibagi menjadi derajat I, pilocytic astrocytoma;
derajat II, fibrillary, diffuse astrocytoma; derajat III, anaplastic; dan derajat IV,
glioblastoma. Raco dkk melaporkan bahwa dari 86 kasus astrositoma, 3 1 % adalah
derajat 1,48% derajat II, dan 21 % derajat III-IV. Astrositoma secara genetik berhubungan
dengan neurofibromatosis tipe (NF-1). Pada astrositoma ditemukan bagian kistik lebih
banyak daripada ependimoma dan pada 20% kasus ditemukan syrinx.2'3'5'11
Hemangioblastoma
Hemangioblastoma merupakan tumor jinak yang kaya vaskularisasi, berasal dari
sel mesenkim pembuluh darah di dalam medula spinalis. Tersusun dari cabang-cabang
kapiler vaskular yang mengandung sel endotel, perisit, dan sel stroma. Prevalensi
tumor ini 3-4% dari seluruh tumor intramedula, sering pada usia >40 tahun, insidens
laki-laki dua kali lebih tinggi daripada perempuan, dan 20-30% berhubungan dengan
penyakit genetik von Hippel-Lindau. Lokasi paling sering adalah di dekat kolumna
dorsalis dengan gejala klinis terbanyak nyeri dan gangguan sensorik.2'3
XV. 1. Pendahuluan
Tumor spinal dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok, antara lain
berupa tumor primer atau metastasis. Tumor primer di spinal bisa berasal dari jaringan
tulang atau medula spinalis, sedangkan metastasis berasal dari lokasi di luar spinal,
seperti payudara, paru, dan prostat. 12 Secara anatomi, tumor spinal diklasifikasikan
ke dalam tiga kelompok, yaitu tumor ekstradural, intradura-ekstramedula, dan
intradura-intramedula. Klasifikasi ini sangat berguna dalam melakukan pemeriksaan
klinis, memilih pemeriksaan penunjang yang tepat, menyusun rencana terapi, dan
menentukan prognosis pasien.2
Saat ini tata laksana tumor spinal ekstradural telah berkembang dengan
menggunakan teknologi untuk mendeteksi dini sehingga memungkinkan untuk
dilakukan operasi lebih awal.6
XV.2. Epidemiologi
Spinal merupakan tempat metastasis tumor primer yang sering. Sebanyak 95%
dari total keseluruhan pasien dengan tumor spinal adalah tergolong metastasis.
Sebanyak 500.000 pasien diperkirakan mengalami metastasis tumor di spinal tiap
tahunnya. Namun hanya 64% pasien metastasis tumor spinal yang simtomatik,
sisanya tidak memiliki keluhan atau ditemukan secara insidental.2
Oleh karena mayoritas merupakan metastasis, maka harus dipertimbangkan
lebih dahulu ketimbang tumor primer pada pasien tumor spinal. Metastasis terutama
berlokasi di ekstradural, yaitu korpus vertebra (85%), ruang paravertebra (10-15%),
dan ruang epidural (<5%), yaitu di intradural ekstramedula dan intramedula. Itu
sebabnya tumor metastasis dimasukkan dalam kelompok tumor ekstradural atau
ESCC,2 karena metastasis vertebra terjadi pada 85-90% dari ESCC,4 yaitu sekitar 60-70%
kasus pada vertebra torakalis, 20-30% di lumbosakral, dan 10% di servikal.5
ESCC disebabkan oleh kanker yang mengisi ruang epidural karena perluasan dari
korpus vertebra dan elemen tulang belakang lainnya, infiltrasi melalui foramen atau
penyebaran hematogen langsung ke ruang epidural.4 Adanya indentasi thecal sac pada
pemeriksaan radiologis merupakan bukti adanya ESCC, walaupun derajat kompresi thecal
sac yang ditemukan mungkin bervariasi.5
Sebuah studi berbasis populasi di Kanada mendapatkan 2,5% pasien kanker mengalami
ESCC dalam waktu 5 tahun menjelang kematian, yaitu 0,2% pada pasien kanker pankreas,
hingga 8% pada pasien dengan mieloma multipel. Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa
kejadian rata-rata tahunan ESCC adalah 3,4% dari pasien yang meninggal karena kanker,
yaitu pada mieloma multipel, limfoma, dan kanker prostat. Secara keseluruhan penyebab
ESCC yang paling umum adalah kanker paru-paru (25%), kanker prostat (16%), mieloma
(11%), limfoma non-Hodgkin (8%), dan kanker payudara (7%).3 Referensi lain yaitu
kanker payudara (21%), paru (14%), prostat (7,5%), ginjal (5,5%), gastrointestinal
(5%), dan tiroid (2,5%).2
Pada awalnya sel kanker yang tumbuh di antara struktur sel normal berusaha
melewati lapisan yang menahan sel pada tempatnya (membran basalis) untuk
menginfiltrasi dinding pembuluh darah dan masuk ke aliran pembuluh darah (Gambar
15.1). Ketika masuk ke aliran darah kecil, sel-sel tersebut masuk ke sistem aliran
darah sistemik, yang disebut dengan circulating tumor cells (CTC). Sirkulasi darah
ini membawa sel kanker, hingga berhenti di suatu tempat, biasanya pada pembuluh
darah yang sangat kecil seperti kapiler (Gambar 15.2)7
Selanjutnya sel-sel kanker harus berpindah melalui dinding kapiler dan masuk
ke dalam jaringan organ berdekatan. Sel tersebut dapat membelah membentuk
tumor baru jika kondisinya mendukung untuk tumbuh dan mendapatkan nutrisi yang
dibutuhkan. Proses ini rumit dan kebanyakan sel-sel kanker tidak dapat berkembang.
Biasanya beratus sel-sel kanker dapat mencapai pembuluh darah besar, namun hanya
beberapa yang dapat bertahan menjadi kanker sekunder. Sebagian sel kanker dibunuh
oleh sistem imun, sebagian lain mungkin juga mati karena kecepatan aliran darah. Sel-
sel kanker di sirkulasi darah mencoba menempel pada platelet untuk menghindar dari
sistem imun yang dapat membantu mereka pindah ke jaringan sekitar (Gambar 15.3).7
Penyebaran sel tumor dapat secara langsung (perkontinuitatum), limfogen,
dan hematogen. Dari 10% kasus mekanisme ESCC disebabkan melalui penyebaran
langsung tumor primer atau fokus metastasis (seperti nodul limfa di ruang paraspinal)
yang berada di bagian retroperitoneal atau mediastinum dapat mengerosi korpus
vertebra secara langsung, atau masuk ke kanalis spinalis melalui foramen neuralis.8
Penyebaran seperti ini terutama berlaku pada tumor prostat.2
Sistem limfatik merupakan jaringan pada tubuh yang memfilter cairan tubuh
dan melawan infeksi. Sel kanker dapat masuk ke dalam aliran limfa yang kecil
yang berdekatan dengan tumor primer dan berpindah ke limfa yang terdekat. Pada
kelenjar limfa, sel-sel kanker mungkin dihancurkan tetapi beberapa dapat bertahan
dan berkembang mejadi tumor di satu nodul atau beberapa nodul limfa.7
Sel tumor primer paling sering menyebar ke spinal melalui sistem vena. Untuk
dapat mencapai spinal, sebelumnya sel tumor akan melalui sirkulasi di hati dan paru.
Pada kondisi normal, 5-10% darah berada dalam sistem vena porta dan vena kava
mengalir ke sistem vena vertebra yang berhubungan dengan pleksus vena epidural.
Pleksus vena epidural ini berada di dalam kanalis spinalis dan tidak memiliki katup.
Batson yang pertama kali mengemukakan bahwa pleksus vena epidural merupakan
jalur potensial penyebaran metastasis tumor primer di spinal. Oleh sebab itu, pleksus
ini disebut juga sebagai pleksus Batson.2
Pleksus Batson terletak di ruang epidural, antara kolumna spinalis dan dura mater
medula spinalis. Aliran dari pleksus vena ini berhubungan dengan vena kava superior
dan inferior yang kemudian membawa darah menuju jantung. Oleh karena tidak ada
katup di pleksus vena epidural, maka setiap peningkatan tekanan di sistem vena
kava, seperti pada manuver Valsava, dapat menyebabkan aliran balik ke pleksus vena
epidural2 yang menyebabkan hubungan darah dari organ viseral ke sistem vertebra.
Cabang-cabang arteri vertebra selanjutnya berperan penting terhadap masuknya
sel tumor ke dalam vertebra, menyebabkan terganggunya proses hematopoietik di
sumsum tulang, membentuk nodul tumor yang tumbuh berkembang, masuk kedalam
kanalis spinalis, hingga menyebabkan penekanan medula spinalis atau ESCC (epidural
spinal cord compression).8
Metastasis yang terbatas pada vertebra hanya 3% kasus yang menyebabkan ESCC.
Pada 22% kasus tumor ESCC menekan medula spinal dan 43% terdapat pada bagian
depan dan belakang jaringan epidural. Mekanisme disfungsi medula spinalis dapat
disebabkan oleh tumor epidural yang menghambat pleksus vena epidural, hingga
terbentuk edema vasogenik di substansia grisea dan alba.8
Terjadinya metastasis ini tidak lepas dari struktur sumsum tulang yang berada
di dalam korpus vertebra. Sumsum tulang yang memiliki sistem pembuluh darah si-
nusoid yang biasanya memiliki tekanan rendah, sehingga darah cenderung mengum-
pul [pooling) di daerah tersebut. Kondisi ini, disertai penumpukan fibrin dan proses
trombosis, sangat mendukung secara biokimia dan hemodinamik bagi implantasi dan
proliferasi sel-sel tumor. Selanjutnya, sel-sel tumor menjadi mudah untuk keluar dari
pembuluh darah dan menginvasi jaringan tulang trabekular. Terdapat pula faktor
intrinsik sel tumor primer yang mendukung keberhasilan pertumbuhan sel tumor di
dalam jaringan tulang, misalnya prostaglandin dan stimulasi faktor aktivasi osteoklas
pada metastasis sel kanker payudara yang menyebabkan lesi litik pada tulang.2
Sel-sel tumor metastasis yang telah menginvasi jaringan tulang trabekular akan
menghasilkan beberapa substansi yang menyebabkan resorpsi tulang secara langsung
ataupun tidak langsung, antara lain hormon paratiroid, faktor aktivasi osteoklas,
faktor pertumbuhan, dan prostaglandin. Dengan adanya substansi tersebut, terjadi
peningkatan stimulasi osteoklas di jaringan tulang trabekular.2
Setelah menginvasi jaringan tulang trabekular, sel tumor menginvasi korteks
tulang yang menyebabkan keterlibatan pedikel vertebra. Adanya keterlibatan pedikel
ini biasanya tidak bersifat primer, tetapi merupakan akibat sekunder dari penyebaran
langsung dari korpus vertebra atau struktur tulang lainnya. Walaupun gambaran
awal metastasis pada radiografi foto polos berupa kerusakan pedikel, sebenarnya
korpus vertebra merupakan struktur pertama yang biasanya lebih awal rusak. Hal
ini didukung oleh fakta bahwa sekitar 30-50% korpus vertebra telah mengalami
kerusakan sebelum kelainan ini dapat terdeteksi melalui radiografi foto polos.2
Proses metastasis tumor spinal berlanjut dengan menginvasi ruang epidural
melalui ligamen longitudinal posterior. Ligamen ini adalah struktur yang paling
lemah terhadap penyebaran sel-sel tumor di tulang vertebra. Sel-sel tumor metastasis
di ruang epidural menimbulkan efek desak massa yang dapat mengkompresi medula
spinalis beserta struktur pembuluh darahnya. Efek desak massa ini menimbulkan
demielinisasi atau degenerasi aksonal. Adapun komponen vaskular yang turut
terkompresi menyebabkan kongesti vena dan edema vasogenik medula spinalis yang
menimbulkan manifestasi defisit neurologis akibar metastasis tumor spinal.2
Metastasis tumor juga dapat terjadi pada daerah leptomeningeal, terutama pada
keganasan hematopoietik, seperti limfoma dan leukemia. Penyebaran ini biasanya
terjadi secara hematogen atau infiltrasi langsung ke meninges, sehingga berada di
ruang epidural/subdural dan menimbulkan gejala seperti pada tumor intradural
ekstramedula.2
Tumor intramedular spinalis dapat tidak bergejala dalam waktu yang lama dan
ukuran tumor dapat membesar sebelum terdeteksi. Onset gejala sering muncul selama
beberapa bulan atau beberapa tahun sebelum diagnosis ditegakkan. Gejala biasanya
muncul pada saat terjadi cedera dengan gejala awal nyeri leher dan punggung pada dua
pertiga pasien. Nyeri bisa menjalar sesuai dengan radiks yang terkena. Nyeri lebih berat
pada posisi berbaring, menyebabkan nyeri lebih sering muncul pada malam hari.9
Gejala pada dewasa muda berupa kelemahan anggota gerak bawah atau sering
jatuh ketika berjalan. Pada pemeriksaan, kebanyakan pasien menunjukan defisit
motorikringansedang,mirip dengan gejala upper motorneuron (UMN), seperti spastik,
hiperrefleks, dan klonus. Sepertiga pasien tumor memiliki deformitas, terutama di
regio torakal memiliki nyeri paraspinal dan skoliosis, sedangkan seperlima anak-anak
menunjukan kelainan tortikolis.9
Gejala sensorik, kebanyakan disestesia seperti panas dingin dan asimetris.
Disfungsi spinkter muncul terlambat, kecuali pada kasus tumor yang terletak di konus
medularis.9 Sebanyak 15% pasien dengan tumor intramedular mengalami hidrosefalus
akibat peningkatan konsentrasi protein pada cairan serebrospinal, fibrosis araknoid,
dan penyebaran subaraknoid. Insidens hidrosefalus meningkat pada pasien dengan
tUmor ganas (35%).9
Pada pemeriksaan fisik tumor ekstradural, pasien memiliki riwayat nyeri berat
yang terus bertambah. Nyeri radikuler dapat terjadi ketika jaringan atau tulang masuk
ke foramen. Nyeri pada malam hari dan nyeri berhubungan dengan berat pasien adalah
gejala tanda kerusakan dari kolumna vertebra yang disebabkan oleh metastasis atau
tumor primer tulang. Defisit neurologi diakibatkan kompresi dari medula spinalis
atau nervus yang menimbulkan gejala seperti mielopati dan radikulopati.
Pasien dengan tumor di regio servikotorakal dapat menimbulkan gejala seperti
kelemahan atau atrofi otot tangan dengan atau tanpa kelemahan ekstremitas bawah
dan hiperrefleksia. Dapat juga menimbulkan refleks kaki abnormal dan berhubungan
dengan Brown-Sequard Syndrome. Gejala Beevor's menunjukan lesi berada setinggi
atau dibawah vertebra T9, yang mana konstipasi, inkontinensia urin, spinkter spastik,
dan priapismus menunjukan lesi di atas konus medula. Pasien dengan lesi pada
thoracolumbar junction menunjukan sindrom konus medula (kelemahan motorik atau
root nervus syndrome) atau sindrom kauda equina (penurunan sensoris pada dermatom
lumbosakral dengan penurunan tonus spinkter, saddle aneesthesia, tidak ada refleks
pada lutut dan pergelangan kaki, dan hilang atau menurunnya sensasi rektum, vagina,
dan uretra.1011
Hampir semua pasien dengan tumor ekstramedular menunjukan gejala nyeri
radikuler. Pasien dengan gejala defisit motorik ringan memiliki presentasi yang tinggi,
namun hanya sebagian yang terganggu.9
Tumor Ekstradural
Perjalanan penyakit tumor ekstradural seringkali progresif dan berkembang cepat
akibat kompresi medula spinalis. Karena letaknya ekstradural, maka jaringan tumor
akan mengkompresi duramater dari arah luar ke dalam. Selain itu, fraktur patologis
juga sering ditemukan pada tumor ekstradural yang membuat gejala awal berupa
nyeri yang disebut sebagai nyeri aksial vertebra. Nyeri ini terasa di sepanjang sumbu
vertebra yang bersifat gradual, progresif, terus menerus, tidak bersifat mekanik, dan
sering terjadi di malam hari. Nyeri biasanya bertambah parah saat pasien berbaring
telentang, apalagi dalam durasi berberapa jam, kemudian membaik saat pasien
berdiri. Seiring progresi perkembangan tumor ekstradural, efek desak massa akan
mengenai struktur radiks dan medula spinalis. Struktur radiks yang terkena efek
massa tumor menimbulkan gejala klinis nyeri radikuler.2
Selain nyeri, pasien dapat mengalami tanda-tanda kompresi lainnya, yaitu
kelemahan ekstremitas, gangguan sensorik, dan disfungsi otonom. Kelemahan
ekstremitas umumnya bersifat UMN pada bagian tubuh yang dipersarafi oleh
medula spinalis pada level bawah lesi. Gangguan sensasi posisi, rasa getar, gangguan
diskriminasi dua titik dapat terjadi bila kompresinya berasal dari arah dorsal. Disfungsi
miksi dan defekasi lebih sering terjadi setelah kelemahan ekstremitas, tetapi bisa juga
terjadi secara bersamaan.2
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos dapat dikerjakan sebagai pemeriksaan awal pada pasien yang dicurigai
tumor spinal. Gambaran tumor jinak atau ganas dapat dilihat dari pola destruksi
tulang. Pola geografis cenderung mengarah kepada tumor jinak, sedangkan gambaran
yang "moth-eaten" mengarah ke tumor ganas. Kelainan radiologis berupa destruksi
tulang tidak akan terdeteksi hingga kerusakan mineral tulang sudah mencapai 30-
50%. Gambaran klasik dari adanya tumor spinal adalah hilangnya pedikel yang dapat
dilihat pada proyeksi foto anteroposterior (AP], atau disebut juga winking owl sign.
Bila erosi tulang sudah berlanjut, maka dapat ditemukan gambaran fraktur kompresi
vertebra atau destruksi dari beberapa vertebra.2
Pemeriksaan bone scan sering dilakukan untuk mendeteksi keganasan di sistem
muskuloskeletal. Pemeriksaan ini cocok untuk kasus pasien dengan tumor primer
dan pasien dengan gejala tumor spinal tetapi belum diketahui tumor primernya. Oleh
sebab itu, pemeriksaan ini lebih diutamakan untuk skrining karena spesifitas yang
rendah. Jika bone scan menunjukan area terdispersi yang tersebar di beberapa tulang,
maka diagnosisnya mengarah ke metastasis tumor. Jika bone scan hanya menunjukan
sedikit tulang yang terlibat, maka klinisi dapat memastikan kelainan tersebut dengan
pemeriksaan CT atau MRI.2 Bone Scanlebih sensitif untuk mendeteksi metastasis
tulang dari pada foto polos spinal. Namun Bone Scan dapat terlihat negatif jika tumor
tidak memiliki peningkatan aliran darah atau pembentukan tulang baru.8
Pemeriksaan CT scan sangat sensitif pada perubahan mineral tulang dan dapat
menunjukan proses destruksi tulang dengan resolusi lebih tinggi daripada foto
polos. Dengan demikian, pemeriksaan ini biasanya lebih dini menemukan kelainan
destruksi tulang akibat tumor. Namun, pemeriksaan foto polos atau bone scan tetap
perlu dilakukan sebelum CT scan untuk meningkatkan nilai diagnostik. Terdapat
dua peran yang dimiliki CT scan dalam proses skrining pasien dengan dugaan tumor
spinal, yaitu untuk menentukan lokasi, perluasan, dan karakteristik lesi spinal serta
menentukan apakah tumor telah menyebar ke paru atau hati. Adanya lesi desak
ruang di paru atau parenkim hati, pembesaran kelenjar getah bening, dan infiltrat
atau efusi yang tidak dapat dijelaskan, menunjukan ke arah adanya tumor primer
yang bermanifestasi ke spinal. Walaupun MRI dapat memberikan visualisasi yang
lebih optimal untuk kompresi epidural dan jaringan paraspinal, CT scan memberikan
gambaran yang lebih baik tentang derajat dari kerusakan tulang. 21012
MRI lebih unggul dan menjadi baku emas untuk mendeteksi metastasis spinal
dibandingkan dengan semua modalitas pencitraan lainnya,1 Pemeriksaan ini harus diperoleh
sesegera mungkin dalam waktu 24 jam pada pasien yang diduga menderita ESCC. MRI harus
mengandung sedikitnya gambaran sagital Tl dan T2 weighted untuk keseluruhan spinal
dan gambaran aksial Tl dan/atau T2 weighted melewati daerah yang terkena.1 Fitur Tl
sagital dan/atau short tau inversion recovery (STIR) seluruh tulang belakang diperiksa untuk
mencari metastasis. Demikian pula fitur Hi-weighted sagital untuk mengevaluasi derajat
kompresi medula spinalis dan mendeteksi lesi di dalam medula spinalis itu sendiri.5
Tingginya gambar aksial yang perlu diambil diperoleh melalui kelainan yang
terdeteksi pada bidang sagital. Derajat tumor intraoseus dapat digambarkan dengan baik
pada sekuens non-kontras. Kontras intravena digunakan untuk menentukan derajat tumor
epidural, foraminal, dan paraspinal serta mengevaluasi keberadaan penyakit intramedula
atau leptomeningeal.5 Jika MRI tidak tersedia, dapat dilakukan CT spinal dengan
rekonstruksi setelah pemberian kontras IV.1 Angiografi jarang berguna sebagai alat
diagnostik, lebih sering digunakan bersamaan dengan embolisasi sebelum operasi,
untuk melihat vaskular tumor atau untuk embolisasi pembuluh darah.1012
Pemeriksaan MRI dapat menunjukan gambaran struktur saraf dengan jelas,
sehingga dapat ditentukan lokasi lesi ekstradural, intradural-ekstramedula, dan
intradural-intramedula. Selain itu, pemeriksaan ini dapat menunjukkan besarnya
kompresi medula spinalis dan perluasan tumor ke jaringan lunak di sekitar tulang
vertebra. MRI dapat mendeteksi tumor berukuran kecil di dalam kanalis spinalis
karena adanya peningkatan konten cairan intrasel dan ekstradural akibat tumor, serta
membedakan penyebab fraktur patologis akibat fraktur osteoporosis atau proses
keganasan.2
Karakteristik sel tumor pada MRI adalah hipointens pada Tl dan hiperintensi
pada T2. Pemberian kontras gadolinium intravena akan memberi penyangatan yang
kemudian akan membedakan jaringan normal dengan tumor. Pada pemeriksaan MRI,
lesi keganasan biasanya melibatkan struktur pedikel, penyangatan yang kuat, dan
keterlibatan jaringan lunak paravertebral. Pada kompresi vertebra akibat osteoporosis
tidak melibatkan struktur pedikel dan jaringan lunak paravertebral
Gambar aksial T2 setingkat lesi digunakan untuk menentukan skor ESCC dan
banyak digunakan untuk menggambarkan luasnya tumor epidural (Gambar 15.4]
yang terdiri dari:5
o Derajat 0 - Tumor terbatas pada tulang (tidak dianggap ESCC).
o Derajat 1 - Tumor dengan perluasan epidural tanpa kontak dengan medula spinalis
atau hanya bersentuhan dengan medula spinalis tanpa menimbulkan perpindahan
{displacement).
Terapi Definitif
Radioterapi konvensional (conventional external beam radiation therapy
(cEBRT)] — adalah terapi definitif yang sesuai untuk ESCC pada pasien tumor
yang relatif sensitif terhadap radioterapi dan untuk mengurangi nyeri pada pasien
dengan harapan hidup yang sangat singkat. Radioterapi juga dapat diberikan setelah
dekompresi bedah, meskipun stereotactic body radiotherapy (SBRT) lebih disenangi
pada kasus ini.5
Radioterapi konvensional efektif untuk mengurangi nyeri dan mengontrol tumor
lokal yang radiosensitif secara histologi. Sekitar 70% pasien mengalami perbaikan
nyeri dan setengahnya tidak memiliki instabilitas tulang belakang mengalami resolusi
nyeri punggung setelah cEBRT. Tingkat kontrol lokal lebih dari 75% dan terdapat
pemulihan aliran CSS pada sekitar 80% pasien yang memiliki bukti blok subaraknoid
total pada mielografi sebelum pengobatan. Bahkan pada pasien dengan ESCC
derajat tinggi karena tumor radiosensitif, cEBRT meningkatkan status ambulasi dan
menyediakan kontrol tumor lokal yang tahan lama dan menghilangkan rasa sakit.5
Dosis dan jadwal cEBRTyang optimal untukpengobatan ESCC masih diperdebatkan
dan keputusan pengobatan harus disesuaikan untuk tiap individu. Berbagai macam
jadwal cEBRT telah digunakan, mulai dari fraksi tunggal yang besar (misalnya 8Gy],
hingga terfraksinasi (misalnya 30Gy hingga 40Gy dibagi dalam 10 hingga 20 fraksi].5
Fraksi tunggal 8Gy adalah terapi standar untuk pasien nyeri, tanpa memperhatikan
angka harapan hidup, kondisi atau tumor primer, dan sangat dianjurkan untuk pasien
dengan defisit neurologi akibat MESCC dengan angka harapan hidup <1 tahun. Jika
pasien angka harapan hidup >1 tahun disarankan untuk radiasi 30Gy dalam 10 fraksi.
Radiasi lebih dari 30Gy tidak menunjukan luaran yang lebih baik.
Pemberian yang lebih lama diharapkan kekambuhan gejala juga lebih lama.
Pada kasus dengan rekurensi nyeri dan/atau defisit neurologi setelah respons utama
atau respons yang kurang dari radiasi pertama, harus dipertimbangkan tata laksana
radioterapi kedua.1 Radioterapi dilakukan pada lesi utama dan diperluas hingga 1
atau 2 korpus vertebra di atas dan bawah dari lesi utama.2
Tumor spinal yang tergolong radiosensitif, pada sebagian besar kasus,
direkomendasikan pemberian radioterapi eksternal pascaoperasi reseksi tumor
untuk mengecilkan massa tumor. Namun, radioterapi praoperasi harus diperhatikan
karena dapat meningkatkan risiko infeksi dan masalah penyembukan luka.2
Stereotactic body radiotherapy — merupakan alternatif pada pasien dengan
metastasis tulang belakang yang resisten terhadap radiasi atau metastasis spinal
rekuren yang didiagnosis lebih awal, sebelum menjadi ESCC derajat tinggi.5
Efektivitas cEBRT dibatasi oleh medula spinalis yang tidak toleran terhadap radiasi
dosis tinggi. SBRT, yang juga dikenal sebagai stereotactic radiosurgery (SRS) ketika
diberikan dalam fraksi besar tunggal, adalah teknik radiasi modern yang memberikan
radiasi tepat sasaran ke tumor serta meminimalkan radiasi ke jaringan normal sekitar.5
SBRT menghilangkan rasa nyeri dengan sangat baik dan mengontrol tumor lokal
,pada pasien dengan metastasis tulang belakang dari keganasan yang relatif resisten
terhadap radioterapi. SBRT adalah pilihan pengobatan non-invasif yang layak untuk
metastasis spinal pada ESCC derajat rendah. Biasanya SBRT spinal diberikan 16-24Gy
dalam satu fraksi tunggal atau 24 hingga 30Gy dalam tiga fraksi.5
Dekompresi bedah dan stabilisasi tulang belakang - Pembedahan adalah
pendekatan yang lebih disukai untuk pasien dengan tulang belakang yang tidak
stabil dan untuk ESCC derajat tinggi yang disebabkan oleh tumor yang relatif resisten
terhadap radiasi dengan tujuan5
Mempertahankan atau memulihkan stabilitas mekanik, sehingga dapat
mengurangi rasa nyeri yang disebabkan oleh gerakan.
Dekompresi sirkumferensial pada medula spinalis untuk mempertahankan
fungsi neurologis dan memungkinkan pemberian dosis radiasi yang memadai ke
seluruh volume tumor serta menghindari toksisitas pada medula spinalis.
Keputusan harus tetap bersifat individual, terutama pada pasien dengan defisit
neurologis akibat ESCC derajat tinggi dari tumor padat seperti kanker payudara
atau prostat. Walaupun tumor ini umumnya merespon dengan baik terhadap cEBRT,
respons dapat memakan waktu dan operasi setidaknya harus dipertimbangkan pada
pasien dengan defisit neurologis untuk memungkinkan dekompresi cepat sumsum
tulang belakang. Hal ini berbeda dengan tumor seperti mieloma atau limfoma, yang
cenderung merespon dengan cepat terhadap glukokortikoid dan cEBRT.5
Terapi sistemik berperan setelah pengobatan definitif ESCC pada kebanyakan
pasien dengan tumor radiosensitif dan kadang-kadang digunakan sebagai pengganti
radiasi pada pasien tertentu dengan tumor sangat kemosensitif.5
Tumor yang resisten terhadap radiasi dengan ESCC derajat rendah -
Pendekatan untuk pasien dengan ESCC derajat rendah yang disebabkan oleh tumor
yang resisten terhadap radiasi telah berkembang dengan munculnya SBRT untuk
metastasis tulang belakang. Jika tersedia dan tidak ada ketidakstabilan tulang
belakang, SBRT merupakan pendekatan yang lebih dipilih untuk ESCC derajat rendah
yang disebabkan oleh tumor yang relatif tahan radiasi. Jika SBRT tidak tersedia,
kontrol lokal paling baik dicapai dengan eksisi bedah diikuti oleh cEBRT.5
Tumor yang resisten terhadap radiasi dengan ESCC derajat tinggi - Sebagian
besar pasien dengan tumor ini memerlukan dekompresi dan stabilisasi bedah sebelum
terapi radiasi untuk mengurangi nyeri secara maksimal, pemulihan neurologis, dan
kontrol tumor lokal.5
Radiasi pascaoperasi diperlukan untuk mengobati sisa penyakit dengan tujuan
mempertahankan kontrol tumor lokal, mencegah gangguan neurologis lebih lanjut,
serta pertumbuhan tumor kembali. Apabila tersedia, SBRT pascaoperasi lebih
disarankan daripada cEBRT karena sifat tumor primer yang resisten terhadap radiasi
dan kemampuan SBRT untuk memberikan radiasi dosis tinggi dengan aman, sekaligus
menyelamatkan sumsum tulang belakang.5
Meskipun pembedahan memberikan peluang terbaik untuk pemulihan neurologis
dan pengendalian gejala, terdapat pasien yang bukan kandidat operasi, yaitu faktor-faktor
seperti penyakit metastasis yang luas dan sangat sulit diobati, kurangnya pilihan sistemik
lebih lanjut untuk terapi kanker, dan harapan hidup yang sangat singkat. Untuk pasien ini,
diberikan glukokortikoid dan cEBRT jangka pendek sebagai terapi paliatif primer.5
Pasien dengan primer yang tidak diketahui- Pasien yang datang dengan ESCC
tanpa diagnosis kanker sebelumnya memerlukan evaluasi radiografi lengkap, skrining
penanda tumor yang relevan, dan core biopsy tumor untuk konfirmasi diagnosis
secara histologis. Biopsi dapat diperoleh dari tumor tulang belakang atau daerah yang
paling mudah diakses dalam kasus penyakit yang tersebar luas. Diagnosis histologis
memiliki peran penting dalam menentukan kebutuhan untuk operasi dan dalam
pemilihan terapi sistemik dan radiasi. Namun, jika seorang pasien mengalami defisit
neurologis yang signifikan atau progresif karena ESCC, presentasi neurologis lebih
diutamakan daripada keperluan untuk diagnosis dan staging yang akurat, dan pasien
harus menjalani pembedahan dekompresi medula spinalis segera. Jaringan dapat
dikirim untuk analisis histologis pada saat dekompresi dan evaluasi staging secara
resmi dapat dilakukan pasca operasi.5
Pasien dengan keterlibatan tulang belakang yang multilevel -Dalam kasus
seperti ini, tumor tulang belakang yang bergejala menjadi prioritas perawatan dan harus
didahulukan. Semua level tulang belakang dengan ESCC biasanya membutuhkan terapi
radiasi dengan pengecualian tumor yang sangat responsif terhadap terapi sistemik.5
Untuk pasien yang dianggap memerlukan dekompresi pada satu level tulang
belakang atau lebih, keterlibatan tumor multilevel memengaruhi luas dan teknik
stabilisasi bedah, karena stabilitas tulang belakang dapat terganggu dengan infiltrasi
tumor yang dims.5
Pertimbangan tata laksana:1
1. Bedah spinal harus dikonsulkan jika:
i - Kondisi klinis diperbolehkan untuk dioperasi, dan
Area spinal yang terkena atau obstruksi melibatkan maksimal 3 vertebra
berturut-turut, dan
Adanya paraplegia komplit <24 jam atau perbaikan klinis setelah pemberian
kortikosteroid, dan
Jika mungkin dilakukan operasi (<24 jam pada kasus defisit neurologis
progresif).
2. Radioterapi sebagai terapi pilihan pertama, jika:
Dosis adekuat dan tepat tersedia, dan
Tidak ada indikasi untuk operasi
3. Operasi sebagai terapi utama:
Spinal yang tidak stabil, dan/atau
Gangguan neurologis akibat MESCC, dan/atau
Rekurensi atau progresif setelah radioterapi dan radioterapi ulang tidak
memungkinkan atau tidak bermanfaat.
XV.9. Prognosis
Prognosis bergantung pada jenis keganasan, lokasi dan keterlibatan sistemik.11
Skor Karnofsky dan Tokuhashi sering digunakan menentukan prognosis pasien tumor
metastasis spinal sebelum dan setelah operasi. Prognosis tumor spinal terkait dengan
banyak faktor, yaitu kondisi umum pasien, kemampuan untuk melakukan aktivitas
normal dan menjaga diri sendiri, dan derajat disabilitas. Faktor yang lain adalah
tulang ekstraspinal dan metastasis organ lain, riwayat tipe tumor primer, terbatas,
atau menyebar tumor primer dan paralisis.15
Skor Tokuhashi (Tabel 15.2) yang diperkenalkan pada 1990 sudah mengalami
revisi (revised Tokuhashi Score) pada tahun 2005. Nilai totalnya adalah 15. Periode
harapan hidup diperkirakan <6 bulan pada skor total 0-8, >6 bulan ketika skor total
9-11 dan >1 tahun ketika skor total >12.16
Ilustrasi Kasus
Seorang perempuan, berusia 42 tahun datang ke poliklinik saraf dengan keluhan
kelemahan kedua tungkai sejak 3 minggu yang lalu. Keluhan diawali dengan kesemutan
pada kedua kaki, diikuti dengan kebas dan kelemahan kedua tungkai hingga tidak
dapat digerakkan. Pasien terdiagnosis kanker payudara kanan dan telah dilakukan
mastektomi radikal dan kemoradiasi. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan paraplegia,
refleks fisiologis kedua tungkai menurun, refleks dinding perut negatif, anesthesia
setinggi T6 ke bawah, inkontinensia uri et alvi, dan proprioseptif terganggu.
Pembahasan:
Sel tumor menyebar ke medulla spinalis melalui sirkulasi hati dan paru menuju
sistem vena, lalu mengalir ke pleksus vena batson (pleksus vena epidural] yang berada
antara kolumna spinalis dan dura mater. Karena vena ini tidak memiliki katup, maka
setiap terjadi peningkatan vena kava (mengejan atau batuk), maka terjadi aliran balik
ke sistem vertebra sehingga sel tumor terperangkap dalam pembuluh darah tersebut
dan tumbuh sebagai tumor baru pada vertebra.
Daftar Pustaka
1. Taal W. Spinal metastases. Dalam: Current update and multidiciplinary management of neuro-
oncology. Jakarta: Dutch Foundation, CME FKUI and Indonesia Society of Neuro-Oncology; 2018.
h. 21-3.
2. Aninditha T, Zairinal RA, Ranakusuma TAS. Tumor metasasis. Buku ajar neurologi. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta: 2017. h. 337-54.
3. Batchelor TT, Nishikawa R, Tarbell, NH, Weller M. Oxford Textbook of Neuro-oncology. Oxford
University Press; 2017.
4. Lee EQ, Wen PY. Neuro-oncology, An Issue of Neurologic Clinics. Elsevier; 2018.
5. Laufer I, Bilsky M, Schiff D, Brown P. Treatment and prognosis of neoplastic epidural spinal cord
compression, www.uptodate.com. 2019
6. Bondy ML, El-Zein R, ScheurerME. Epidemiology of brain tumor. Dalam: Demonte F, Gilbert M,
Mahajan A, McCutcheon I, editor. Tumor of the brain and spine. New York: Cancer care series;
2007. h. 02.
7. How cancer can spread. Cancer Research UK. Review 5 Desember 2017.
8. Schiff D. Spinal metastases. Dalam: Schiff D, Wen PY, editor. Cancer neurology in clinical practice.
New Jersey: Humana Press Inc; 2003. h. 94-100.
9. Kothbauer KF, Jallo GI, Epstein FJ. Management of spinal tumors. Dalam: Moore AJ, Newell DW,
editor. Tumor neurosurgery principles and practice. London: Springer Specialist Suregry Series;
2016. h. 314-21.
10. Greenberg MS. Handbook of neurosurgery. Edisi ke-8. New York: Thieme; 2016. h. 275-788.
11. Lundin DA, Kuntz C, Shaffrey CI. Management of extradural spinal tumors. Dalam: Moore AJ,
Newell DW, editor. Tumor neurosurgery principles and practice. London: Springer Specialist
Surgery Series; 2016. h. 321-37.
12. Mendel E. Tumors of the extradural spine. Dalam: Demonte F, Gilbert M, Mahajan A, McCutcheon I,
editor. Tumor of the brain and spine. New York: Cancer Care Series; 2007. h. 274-324.
13. Rhines LD, Groves MD. Tumors of the spinal cord and Intradural space. Dalam: Demonte F, Gilbert
M, Mahajan A, McCutcheon I, editors. Tumor of the brain and spine. New York: Cancer Care Series;
2007. h. 298-324.
14. Bernstein M, Berger MS. Neuro-oncology: The Essentials. New York: Thieme Medical Publisher;
2000.
15. Yilmaza S, Dogan S, Caner B, Turkkan A, Bekar A, Korfali E. Comparison of prognostic scores
and surgical approaches to treat spinal metastatic tumor: a review Of 57 cases. BioMed Central.
2008;3[1J:37.
16. Y Tokuhashi, Scoring system for prediction of metastatic spine tumor prognosis, World J. Orthop.
5 [2014) 262. doi:10.5312/wjo.v5.i3.262.
METASTASIS LEPTOMENINGEAL
Yunni Diansari
XVI. 1. Pendahuluan
Metastasis leptomeningeal (ML) merupakan suatu kondisi Minis emergensi
yang semakin sering dijumpai dibidang neuro-onkologi. Insidensi ML ini semakin
meningkat berkaitan dengan bertambah panjangnya angka harapan hidup pada
penderita keganasan dan semakin baiknya teknik diagnostik.
Metastasis leptomeningeal didefinisikan sebagai penyebaran sel-sel tumor di
sepanjangleptomeningendanruangsubaraknoid.Namalainyangumumdigunakanadalah
neoplastik meningitis, meningitis karsinomatosis, dan leptomeningeal karsinomatosis.14
XVI.2. Epidemiologi
Metastasis ke otak merupakan merupakan salah satu jenis metastasis yang paling
sering dijumpai, sekitar 15% dari semua pasien kanker. Metastasis leptomeningeal
lebih jarang dijumpai, yakni sekitar 3-8%.5'6
Baik tumor padat ataupun keganasan hematologi dapat menyebabkan terjadinya
metastasis leptomeningeal. Pada penderita dengan keganasan insidensi ML bervariasi
sesuai dengan tumor primernya dan progresivitas dari penyakitnya. Tumor padat
yang paling sering menyebabkan ML adalah kanker payudara (12-35%), kanker paru
(10-26%), melanoma (5-25%), keganasan gastrointestinal (4-14%), dan unknown
primary (1-7%). Secara keseluruhan distribusi ML lebih tinggi pada tumor padat.
Hal ini disebabkan insidensi tumor padat lebih tinggi dibandingkan keganasan
hematologi.2 Namun, berdasarkan jenis tumor insidensi keterlibatan ML itu sendiri
lebih sering dijumpai pada keganasan hematologi (5-10%) dibandingkan tumor
padat (5%). Selain itu, meskipun jarang tumor otak primer dapat juga menginfiltrasi
leptomeningen dan menyebar disepanjang jalur CSS.24
Kejadian ML dapat disertai dengan metastasis otak pada 50-80% pasien.2 Pada
kasus tumor padat, ML bersamaan dengan metastasis otak dijumpai pada 33-54%
kanker payudara, 56-82% kanker paru, dan 87-96% melanoma maligna.1
XVI.3. Patofisiologi
Leptomeningen terdiri dari araknoid dan piameter. Ruang diantara selaput
tersebut berisi CSS yang dikenal sebagai ruang subaraknoid. Pada ML sel kanker
memasuki ruang subaraknoid dan berjalan melewati seluruh sistem saraf pusat
mengikuti aliran CSS, sehingga dapat menimbulkan gejala multifokal atau difus akibat
infiltrasi pada leptomeningen.1-2'4'5
Ada beberapa mekanisme yang dapat menyebabkan penyebaran tumor ke
leptomeningen, yaitu:1"46
1. Secara hematogen melalui pembuluh darah pada plexus khoroideus dan araknoid,
dimana sel-sel tumor masuk ke dalam pembuluh darah menginvasi ke meningen
dengan menginfiltrasi pembuluh darah araknoid dan plexus khoroideus.
Selanjutnya, sel-sel tumor tersebut masuk keruangan subaraknoid melalui invasi
ke plexus batson dan perivenous yang menyebar dari sumsum tulang
2. Penyebaran langsung menuju meningen dan CSS oleh sel-sel tumor yang
bermetastasis yang lokasinya berdekatan langsung dengan meningen (dura,
subdural, tulang, dan metastasis parenkim). Pada kondisi ini, sel-sel kanker dapat
masuk ke dalam ruang subaraknoid melalui penetrasi terhadap piameter atau
ependim atau berjalan disepanjang ruangan perivaskular.
3.' Migrasi perineural sel-sel tumor dari metastasis sistemik ke ruangan subaraknoid.
Mekanisme ini yang mendasari bagaimana tumor-tumor didaerah kepala dan
leher dapat menyebabkan ML
4. Penyebaran ke meningen secara iatrogenik, yang terjadi selama tindakan bedah
pada kasus-kasus metastasis intrakranial. Penyebaran iatrogenik ini biasanya
terjadi pada kondisi-kondisi penderita yang menjalani tindakan bedah didaerah
fosa posterior.
• Saraf Kranial
Disfungsi saraf kranial bukanlah keluhan utama pada penderita dengan ML,
meskipun pada pemeriksaan yang teliti dapat dijumpai gangguan minimal pada
otot-otot penggerak bola mata, asimetris wajah, berkuranganya sensoris daerah
wajah ataupun gangguan pendengaran. Gejala dan tanda disfungsi saraf kranial
akan semakin jelas seiring dengan perkembangan penyakit. Keluhan utama yang
paling sering adalah diplopia dan kelemahan motorik wajah (14%). Penderita
juga sering mengeluh gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan
pengecapan, kesulitan menelan, serta suara serak.4
Hal penting yang harus diingat bahwa keterlibatan saraf kranial yang multipel
lebih menunjukkan suatu ML daripada invasi tumor pada basis kranii, terutama
jika kerusakan ini bilateral. Diagnosis banding akan semakin sulit jika hanya ada
, satu sarafyang terkena.
• Gejala dan tanda spinal
Gejala spinal dijumpai pada 50% penderita dengan ML. Tumor dari Leptomeningen
sering menginvasi serabut saraf didaerah kauda equina, bahkan terkadang
membentuk massa yang akan terlihat pada pemeriksaaan MRI. Kelemahan tungkai
dijumpai pada 21% kasus berkaitan dengan disfungsi pada kauda equina .4
XVI.5, Diagnosis
Pencitraan otak dan medula spinalis
MRI kepala dan spinal 1,5 tesla dengan kontras merupakan pemeriksaan pertama
yang seharusnya dilakukan jika terdapat kecurigaan ML. Sensitivitas pemeriksaan
ini cukup tinggi (75%) dan dapat mengevaluasi kraniospinal secara keseluruhan.
Sebaiknya MRI dilakukan sebelum pemeriksaan LP, karena tindakan LP itu sendiri
dapat menurunkan TIK yang berimbas dengan penebalan meningen. Temuan spesifik
pada pemeriksaan MRI adalah didapatkan penebalan meningen yang difus atau
nodular dan menyangat pascapemberian kontras.1"210
Jika terdapat kecurigaan yang kuat akan adanya ML, gambaran MRI yang
memperlihatkan adanya penyangatan didaerah sisterna basalis, kauda equina, serta
ependim sudah memberikan konfirmasi yang cukup untuk pengobatan meskipun
tidak ditemukannnya sel kanker pada CSS.
Flow Cytometry
Evaluasi DNA abnormal dengan menggunakan/7ow cytometry bermanfaat untuk
mendeteksi sel-sel kanker yang mungkin terlewatkan pada pemeriksaan sitologi.
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk mendeteksi sel-sel
kanker di CSS pada penderita dengan keganasan hematologi dan dikatakan lebih
sensitif dibandingkan sitologi untuk mendeteksi sel-sel kanker. Pemeriksaan ini
cukup tersedia dan terbukti bermanfaat untuk deteksi awal jika terdapat infiltrasi
pada meningen bahkan pada penderita yang asimptomatik. Meskipun pemeriksaan
flow cytometry mudah dilakukan dan merupakan pilihan pada kasus-kasus keganasan
hematologi, tetapi sayangnya metode ini tidak bisa diterapkan pada penderita-
penderita dengan kecurigaan ML yang disebabkan oleh tumor padat.47
Penanda tumor
Metode lain padaanalisis CSS untukmengetahui adanya MLadalah dengan menggunakan
beberapa petanda tumor, seperti Carcinoembryonik antigen (CEA), Alfa fetoprotein (AFP),
fi-human chorionic gonadotropin (p-HCGj, monoklonal imunoglobulin, CA-125, CA 15-3,
dan PSA. Penanda tumor yang spesifik tersebut dapat dideteksi didalam CSS terutama jika
didapatkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan serum. Jika terdapat kesesuaian klinis, maka
adanya hasil yang positif dapat membantu menegakkan diagnosis ML. Selain itu terdapat
juga beberapa petanda tumor yang nonspesifik seperti (32 mikroglobulin, (3 glukoronidase,
dan laktat dehidrogenase (LDH) yang terkadang dapat juga ditemukan pada pasien dengan
meningitis. Tetapi jika penyebab lain peningkatan petanda tumor tsb dapat disingkirkan
maka kemungkinan diagnosis ML dapatbermakna.12'48
Biopsi
Jika pemeriksaan sitologi CSS tidak menunjukkan diagnosis dan kecurigaan akan
adanya ML terlihat pada pemeriksaan pencitraan tanpa diketahui tumor primernya,
maka biopsi otak dan atau leptomeningen diindikasikan untuk menegakkan diagnosis
apakah ini suatu proses keganasan atau bukan.1,3"4,7'8
XVI.6. Tata Laksana
Pada pasien dengan ML, tujuan tata laksana adalah mengontrol defisit neurologi,
memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang angka harapan hidup. Jika ini tidak
memungkinkan, maka terapi paliatif terhadap gejala yang ada adalah tujuannya.128
Untuk membantu para klinisi, NCCN (National Committee Cancer Network) sendiri
telah mengelompokkan pasien menjadi 2, yaitu:212
Pasien dengan risiko tinggi
KPS <60, defisit neurologis multipel serta penyakit sistemik yang tidak terkontrol.
Pada kondisi ini, terapi paliatif adalah pilihan.
Pasien dengan risiko rendah
Meskipun jarang dijumpai, ML dapat dijumpai pada pasien dengan KPS >60,
gejala neurologi yang minimal serta efektif dengan pilihan terapi sistemik. Pada
kondisi ini, pasien ML dapat ditatalaksana dengan lebih agresif.
Tindakan bedah
Peranan tindakan bedah sangat terbatas pada kasus ML. Prosedur bedah yang paling
sering dilakukan adalah pemasangan kateter intraventrikular (reservoir ommaya) sebagai
fasilitator untuk pemberian kemoterapi intratekal. Pada pasien hidrosefalus dengan
gejala seperti nyeri kepala berat, papilledema, serta gangguan kesadaran terkadang juga
memerlukan tindakan VP shunt yang sangat bermanfaat untuk mengatasi gejala yang
berkaitan dengan peningkatan TIK. Meskipun jarang, terkadang diperlukan tindakan
bedah untuk mengevakuasi lesi massa didalam ruang subaraknoid yang menyebabkan
gejala serius atau dengan tujuan biopsi untuk menegakkan diagnosis ML.4'5
XVI.7. Prognosis
Jika tidak mendapat pengobatan, sebagian besar pasien akan meninggal dalam
waktu 4-6 minggu.2311 Prognosis pasien ML dengan keganasan hematologi secara
umum lebih baik jika dibandingkan dengan pasien ML dari tumor padat, hal ini mungkin
berkaitan dengan kegansan hematologi lebih sensitif terhadap agen kemoterapi. Dari
literatur didapatkan angka kesintasan median pada tumor padat 3,3 bulan (1-4 bulan)
dan 11,4 bulan pada keganasan hematologi. Diantara tumor padat, prognosis yang
paling baik adalah kanker payudara.6
Pada pasien yang sudah mendapatkan pengobatan dan berespons terhadap terapi,
prognosis berkaitan dengan tipe tumor primer, KPS, keparahan defisit neurologi, serta
terkontrol atau tidaknya tumor primer. Dengan tata laksana yang spesifik sesuai tumor,
termasuk terapi target dan imunoterapi, angka kesintasan dapat diperpanjang beberapa
bulan.1'8
Pada penderita yang hanya dengan keterlibatan SSP saja kontrol dari komplikasi
SSP nya dapat memperpanjang masa remisi, sehingga terapi yang diberikan harus
seefektif mungkin. Terapi yang agresif dapat mencegah defisit neurologi meskipun
angka harapan hidup tidakbertambah, tetapi hal tersebut tetap memberikan perbaikan
kualitas hidup pada penderita. Pada penderita yang dapat bertahan satu tahun atau
lebih tetap berisiko timbulnya neurotoksisitas akibat efek samping pengobatan.
Kematian biasanya diakibatkan karena progresivitas dari tumor sistemik.
Ilustrasi Kasus
Seorang laki-laki, usia 52 tahun, datang dengan keluhan nyeri kepala sejak
3 minggu sebelum masuk rumah sakit (SMRS), yang memberat pada 4 hari SMRS.
Keluhan nyeri kepala dirasakan memberat pada pagi dan malam hari, disertai mual
dan muntah. Pasien sebelumnya terdiagnosis kanker paru dan telah mendapatkan
kemoterapi. MRI kontras menunjukkan hasil sebagai berikut:
Dari hasil analisis cairan serebrospinal didapatkan sel bias negatif, apakah yang
perlu dilakukan selanjutnya?
A. Pemeriksaan immunophenotyping
B. MRI kepala kontras
C. Analisis cairan serebrospinal ulang
D. Radioterapi
E. Kemoterapi intratekal
Jawaban: D
Pembahasan:
Pada CT-scan pasien didapatkan kesan metastasis leptomeningeal dengan
gambaran bulky disease, sehingga tidak diperlukan analisis cairan otak ulang untuk
menegakkan diagnosis. Pilihan terapi pada metastasis leptomeningeal dengan
gambaran bulky disease adalah radioterapi untuk mengurangi obstruksi aliran
cairan serebrospinal. Kemoterapi intravena lebih superior dibandingkan kemoterapi
intratekal pada bulky disease. Pemeriksaan immunophenotyping tidak dapat
diterapkan pada pasien metastasis leptomeningeal dari tumor padat, yang dapat
diterapkan adalah pemeriksaan penanda tumor cairan serebrospinal.
Daftar Pustaka
1. Rhun EL, Weller M, D Brandsma, M Van Den Bent, Azambuja ED, Henriccson R. EANO- ESMO
clinical practice guideline for diagnosis, trearment and follow up of pasien with leptomeingeal
metastases from solid tumor. Ann Oncol. 2017;28(4]:lv84-99.
2. Freres P, Gennigens C, Martin D, Jerusalem G. Leptomeningeal carcinomatous from solid tumor:
a systematic review of the literature. Belgium Journal Medical Oncology. 2017;11(6): 259-65.
3. Sean G, Chamberlain M. Leptomeningeal metastases. Dalam: Packer RJ, Schiff D, editor.
Neurooncology. Edisi pertama. Wijohn Wiley & Son; 2012. h. 200-12.
4. Deangelis LM, Posner JB, editor. Pathophysiology nervous system metastasis in neurologic
complication of cancer. Oxford University Press. 2009. h. 48-73.
5. Cui JZ, He JY, Li Q, Li XQ, Gao RP, Bu H, dkk. Advancement in diagnosis and treatment of meningeal
carcinomatosis in solid cancer. Neuroimmunoogy Neuroinflammation. 2017;4:167-78,
6. Omar IA, Mason WP. Leptomeningeal metastasis. Dalam: Schiff D, Kessari S, Wen PY, editor. Cancer
neurology in clinical practice. Edisi ke-2. Human Press. 2008. h. 181-200.
7. Gomes HR Cerebrospinal fluid approach on neurooncology. Arq Neuropsyquitr. 2013;71(19-B):677-80.
8. NayarG, EjikemeT,ChongsathidkietP,ElsamadicyAA, BlackwellKL, ClarkeJM,DKK.Leptomeningeal
disease: current diagnostic and therapeutic strategies. Oncotarget. 2017;8 (42):73312-28.
9. Berg S, Chamberlain M. Current treatment of leptomeningeal metastases: systemic chemotherapy,
intrathecal chemotherapy and symptom management. Dalam: Abrey L, Chamberlain M, Engelhart
H, editor. Leptomeningeal metastases. Springer. 2005. h. 121-46.
10. Prommel P, Pastor P, Sitter H, Buhk H, Strik H. Neoplastic meningitis: how MRI and CSF cytology
are influenced by CSF cell count and tumor type. ScientificWorldJournal. 2013;2013:1-5.
11. Jung TY, Chung WK, Oh IJ. The prognostic significance of surgically treated hydrocephalus in
leptomeningeal metastases. Clin Neurol Neurosurg. 2014;119;80-3.
12. Nabors LB, Portnow J, Ammirati M, Baehring J, Brem H, Brown P, dkk. NCCN guideline central
nervous system version 1. J Natl Compr Cane Netw. 2015;13[10]:1191-202.
SINDROM PARANEOPLASTIK NEUROLOGIS
Ni Putu Witari, SitiAminah
XVII. 1. Pendahuluan
Sindrom paraneoplastik neurologis (SPN} adalah sindrom akibat respons imun
yang menyerang sistem saraf pusat (SSP) dan/atau perifer yang berhubungan dengan
kanker, yang sebenarnya respons imun ini ditujukan untuk kanker itu sendiri.13
Sindrom paraneoplastik terjadi karena sekresi peptida fungsional dan hormon oleh
tumor, sitokin, atau dari reaktifitas imun silang [immune cross reactivity) antara
jaringan maligna dan normal.1
Insidens SPN adalah 8% pada pasien dengan kanker dan dapat mengenai
seluruh sistem saraf.1 SPN terjadi pada berbagai tipe keganasan, tetapi yang tersering
berhubungan dengan kanker paru sel kecil/small eel lung cancer (SCLC], ovarium,
payudara, neuroendokrin, timoma, dan limfoma.4
Perkembangan medis telah semakin meningkatkan pemahaman mengenai
definisi, diagnosis, dan penanganan sindrom paraneoplastik.1 Namun SPN lebih
sering terjadi sebelum diagnosis keganasan, sehingga sulit untuk membuat diagnosis
banding. Namun SPN perlu didiagnosis secara tepat karena intervensi dini akan lebih
memungkinkan stabilisasi gejala atau perbaikan.4
Antibodi yang pertama ditemukan terbukti pada SPN adalah antibodi Hu pada
tahun 1985. Antibodi-antibodi ini mengenali antigen intraselular, seperti Hu, CV2/
collapsing response mediator protein 5 (CRMP5), dan Yo yang diekspresikan oleh
jaringan saraf dan tumor. Oleh karenanya disebut antibodi onkoneural. Adanya
antibodi ini menunjukkan kemungkinan adanya tumor yang mendasari dengan
probabilitas yang sangat tinggi.2,3,5"6
Telah ditemukan pula antibodi terhadap kanal, reseptor, atau protein lain yang
terletak pada membran sel saraf sinaptik atau ekstra-sinaptik. Antibodi ini disebut
sebagai antibodi sinaptik atau antibodi sel permukaan neuronal, contoh yang terkenal
adalah antibodi reseptor NMDA.23,5 Adanya antibodi onkoneural dan kriteria klinis SPN
memudahkan diagnosis, sehingga pasien tertangani lebih awal, lebih cepat, dan efektif.3,6
SPN dibagi menjadi dua kelompok (Tabel 17.1], yaitu sindrom klasik (kemungkinan
besar SPN) dan sindrom nonklasik fjarang disebabkan oleh kanker]. Oleh karena
itu, kemungkinan penyebab lain harus disingkirkan terlebih dahulu.23,56 Tabel 17.2
menunjukkan keganasan yang berhubungan dengan SPN tertentu dan antibodi yang
mungkin dijumpai. Antibodi yang digolongkan sebagai well characterised adalah antibodi
yang antigennya sudah teridentifikasi, dilaporkan oleh banyak peneliti dan hasilnya tidak
ambigu, antigennya sudah di kloning, serta dilakukansequencing gen.3-5-67
XVII.2. Epidemiologi
Kejadian SPN jauh lebih jarang dibandingkan infiltrasi, metastasis, maupun
komplikasi terapi kanker, namun tetap penting karena dapat menyebabkan
morbiditas berat, bahkan mortalitas sebelum diagnosis keganasan diketahui. Oleh
karena itu penting diagnosis segera untuk memungkinkan kesembuhan kanker dan
SPN sendiri.36 Sebuah laporan skrining serologi pada 60.000 pasien kanker selama
4 tahun mendapatkan 553 pasien (<0,9%) memiliki antibodi yang positif terkait SPN.
Penelitian lain pada 649 kasus dengan SPN mendapatkan 25% memiliki serologi
antibodi yang positif.5 Penelitian prospektif terhadap 264 kasus SCLC di Inggris
mendapatkan 9,7% pasien mengalami SPN.7 Angka-angka tersebut tidak dapat
mewakili kejadian sebenarnya, namun menekankan pada pentingnya kriteria klinis.5
Kejadian miastenia gravis (MG) dijumpai pada 10-15% pasien timoma, sedangkan
Lambert-Eaton myasthenic syndrome (LEMS) pada 3% pasien kanker paru.3 Angka
insidens SPN pada nonsmall cell lung carsinoma (NSCLC) adalah 8,5 per 1000 orang
tahun, dan 11,88 per 1000 orang per tahun pada pasien SCLC di Denmark yang didata
dalam 13 tahun.8
Penelitian Paraneoplastic Neurological Syndromes Euronetwork melibatkan 20
pusat di Eropa mendata semua SPN dari tahun 2000-2008, mendapatkan SCLC adalah
penyebab SPN tersering, diikuti kanker ovarium, payudara, dan NSCLC.7 Jadi walaupun
SPN jarang terjadi, hanya kurang dari 1% dari keseluruhan kanker, tapi pada tumor
tertentu insidensinya lebih tinggi, misalnya 5% pada SCLC dan >10% pada limfoma
atau mieloma.1-9 Bahkan pada 80% kasus, SPN terdeteksi sebelum diagnosis kanker
ditegakkan.110
XVII.3. Patogenesis
Patogenesis SPN belum seluruhnya diketahui, tetapi diyakini sebagai gangguan
yang dimediasi sistem imun. Bukti yang mendukung hal ini adalah adanya antibodi
terhadap antigen kanker sekaligus terhadap sel saraf normal. Tumor secara ektopik
mengekspresikan antigen yang biasanya secara eksklusif diekspresi hanya pada
sistem saraf.23,56
Beberapa oligoclonal band CSS sudah teridentifikasi sebagai antibodi
paraneoplastic36 Aktifitas spesifik antibodi paraneoplastik di CSS (yang ditandai
konsentrasi antibodi terhadap IgG total) lebih tinggi dibandingkan di serum merupakan
indikasi bahwa antibodi ini disintesis dalam SSP, bukan difusi dari luar melewati
sawar darah otak. Selain itu plasma exchange serial, hanya efektif menurunkan titer
antibodi serum, tidak berefek pada kadar antibodi CSS.3
Antigen onkoneural pada sel tumor dikenali oleh sistem kekebalan tubuh saat sel
tumor secara spontan mengalami apoptosis. Selanjutnya badan apoptosis [apoptosis
bodies] yang mengandung antigen tersebut difagositosis oleh sel dendritik. Struktur
antigen dalam tumor identik dengan struktur antigen saraf normal yang oleh sistem
kekebalan tubuh dianggap sebagai benda asing. Hal ini menyebabkan terbentuknya
antibodi paraneoplastic.2'3-5-6-11-12 Peneliti lain menemukan bahwa beberapa antigen
paraneoplastik merupakan sel kanker yang bermutasi, seperti pada SCLC.3
Sistem kekebalan tubuh menyerang struktur yang mengekspresikan antigen
paraneoplastik, sehingga menghasilkan dua efek. Pertama, serangan kekebalan
tubuh bisa mengendalikan pertumbuhan tumor dan dalam kasus yang jarang dapat
menghilangkan tumor tersebut. Kedua, respons imun juga menyerang sistem saraf
itu sendiri; sel B dan T dapat ditemukan di SSP pada pasien dengan SPN.3561112
Banyak tumor, terutama tumor yang berasal dari neuroektodermal seperti SCLC bisa
mengekspresikan antigen SSP atau sistem saraf tepi (SST).3
Pada pasien SCLC tanpa gejala neurologis, >29% menghasilkan antibodi Hu, tapi
hanya sedikit yang berkembang menjadi SPN.5'9 Disini berperan faktor penjamu major
histocompatibility complex (MHC) tipe haplo, yaitu human leucocyte antigen (HLA-DQ2
dan HLA-DR3). Bahan tumor intrinsik juga penting dalam proses kerusakan toleransi
imun sentral dan perifer terhadap self antigen.2
Lokasi subseluler antigen juga berperan penting dalam mekanisme penyakit
Antibodi onkoneural diarahkan secara langsung melawan antigen intraselular, yang
tidak dapat diakses secara langsung dengan antibodi. Efek patogenik utama dibawa oleh
sel T sitotoksik, sehingga menimbulkan kematian sel neuronal. Antibodi permukaan
sel neuronal dapat mencapai target antigen mereka secara langsung. Mekanisme kerja
ini melibatkan hubungan silang dan internalisasi antigen mereka, yang menyebabkan
inaktivasi fungsional sambil mempertahankan integritas neuron. Dikotomi ini dianggap
sebagai dasar untuk reversibilitas dan respons imunoterapi yang berbeda terhadap
sindrom dengan antibodi permukaan sel dibandingkan onkoneuronal.2
Untuk kepentingan terapi dan prognosis, perlu dibedakan SPN berhubungan dengan
antibodi onkoneural (Hu, CV2/CRMP5, amphiphysin) atau antibodi sinaptik permukaan
sel neuronal.5 SPN dengan antibody synaptic permukaan sel neuronal biasanya lebih
responsif terhadap imunoterapi, dan dapat terjadi dengan atau tanpa kanker.5
XVII.4. Diagnosis
Kecurigaan yang menunjuk ke arah SPN, disamping adanya sindrom klasik adalah
perjalanan klinis subakut dan progresif, mengenai berbagai area SSP dan/atau perifer
J J r~l_j ;_:!__ j i-i : l _ i ]• • J . . r„ • 1 l__i_
berat badan, dan sebagainya). Selain sindrom klasik ensefalitis limbik, ensefalitis anti-
reseptor NMDA juga prediktif bagi kanker pada kelompok usia tertentu (sampai 50%]
dan harus dikerjakan skrining tumor dan antibodi pada semua kasus yang dicurigai.2 6
Tergantung dari bagian sistem saraf yang terlibat, gejala dapat melibatkan kognisi,
perubahan kepribadian, ataksia, gangguan saraf kranial, kelemahan, serta rasa baal.
Sindrom ini dapat mengenai sistem saraf pusat [limbic encephalitis dan paraneoplastic
cerebellar degeneration/PCD), taut neuromuskular [Lambert Eaton myasthenia
syndrome/LEMS dan miastenia gravis], atau sistem saraf tepi (neuropati otonom dan
neuropati sensorik subakut]. Kondisi-kondisi tersebut tidak selalu merupakan sindrom
paraneoplastik. Lebih dari 70% kasus encephalitis limbic dan neuropati sensori subakut
terjadi tidak berhubungan dengan keganasan. Pada 50% kasus ataksia serebelar
subakut dan 40% kasus LEM tidak berhubungan dengan keganasan.110
Langkah diagnosis pada dugaan SPN adalah membuktikan bahwa sindrom
tersebut dimediasi oleh sistem imun dan menyingkirkan kemungkinan diagnosis
deferensial lain yang mungkin mendasarinya.23 Jika didapatkan sindrom SPN klasik,
segera dilakukan investigasi tumor tanpa memperhatikan status antibodi.7 Pada kasus
lainnya jika kecurigaan klinis SPN tinggi, dilakukan skrining antibodi onkoneural
yang relevan atau antibodi permukaan sel neuronal. Jenis antibodi yang diperiksa
disesuaikan dengan sindrom klinis. Ada tidaknya antibodi tersebut akan membantu
mengarahkan kemungkinan kanker yang mendasari. Langkah terakhir adalah skrining
tumor yang dipandu oleh informasi klinis dan status antibodi.23'56
Antibodi onkoneural bersama dengan sindrom neurologis yang kompatibel,
memiliki spesifisitas yang sangat tinggi untuk SPN. Sebaliknya, antibodi permukaan
sel neuronal seperti anti-reseptor NMDA yang bersifat sindrom spesifik, dapat
terjadi pada kasus paraneoplastik dan idiopatik. Antibodi onkoneural dan/atau
antibodi permukaan sel neuronal terdapat pada serum dan/atau CSS pada sebagian
besar kasus SPN.2"3-5"6 Namun pada kasus yang terkonfirmasi sebagai SPN, antibodi
onkoneural dijumpai hanya 80% kasus. Persentase ini cenderung meningkat di masa
depan, dengan ditemukannya antibodi baru dalam kasus seronegatif sebelumnya dan
menimbulkan tantangan diagnostik yang besar.2
Antibodi onkoneural biasanya dapat dideteksi di serum dan jarang membutuhkan
pemeriksaan CSS karena kurang dalam sensitifitas dan spesifisitas. Sebanyak 30%
pasien dengan SPN dapattidak ditemukan antibodi dalam serum atau CSS, sebaliknya
antibodi ini dapat ditemukan pada pasien tanpa keluhan neurologis.10
MRI bersama dengan analisis CSS harus dikerjakan untuk menyingkirkan
diagnosis banding, walaupun MRI pada fase awal sering normal.2 Analisis CSS
dianjurkan pada semua dugaan SPN. Pada sebagian besar kasus SPN dijumpai tanda
inflamasi CSS berupa limfositik pleositosis dan/atau pita oligoklonal, dalam beberapa
kasus dijumpai protein meningkat. Namun pada 90% kasus SPN setidaknya dijumpai
satu dari tiga hal tersebut.2'1213
Seperti pada sebagian besar penyakit autoimun, kejadian pleositosis limfositik
menurun seiring waktu (50% selama 3 bulan pertama, 30% sesudahnya), sementara
kejadian peningkatan protein CSS meningkat. Enam puluh persen pasien memiliki
pita oligoklonal. Namun, sebanyak 7% kasus SPN dengan antibodi onkoneural, CSS
sepenuhnya normal. Angka serupa berlaku untuk kelainan paraneoplastik yang
terkait dengan antibodi permukaan sel neuronal.2,12"13
Kriteria diagnosis SPN berdasarkan Paraneoplastic Neurological Syndrome
Euronetwork tahun 200414 adalah sebagai berikut:3'57
SPN Definitif:
1. Adanya sindrom klasik dan kanker yang terdiagnosis dalam 5 tahun dari
munculnya gejala neurologi
2. Sindrom non-klasik yang sembuh atau reda secara signifikan setelah terapi
kanker tanpa concomitant immunotherapy, menunjukkan sindrom tersebut tidak
mengalami remisi spontan.
3. Sindrom non-klasik dengan kanker yang terdiagnosis dalam 5 tahun dan antibodi
neuronal positif
4. Sindrom klasik atau non-klasik tanpa diagnosis kanker dengan antibodi
antineuronal yang sudah dikenal perannya pada PCD dan telah diinvestigasi oleh
banyak peneliti (Hu, Yo, CV2/CRMP5, Ri, Ma2, atau amphiphysin)
SPN Possible:
1. Sindrom klasik dengan risiko tinggi kanker, tanpa antibodi antineuronal.
2. Sindrom neurologi klasik atau non-klasik, tidak dijumpai kanker, tetapi dengan
karakteristik adanya antobodi antineural
3. Sindrom non-klasik dengan kanker yang terdianosis dalam 2 tahun, tanpa
antibodi antineuronal
Jangka waktu 5 tahun didasarkan pada kasus sebelumnya, bahwa pasien dengan
sindrom klasik, tumornya hampir selalu terdeteksi dalam 5 tahun dari onset SPN.14
Sindrom ini sering mendahului diagnosis tumor. Kesulitan utama dalam skrining
tumor adalah bahwa tumor seringkali terlalu kecil untuk dideteksi namun sudah
memicu reaksi imun. Berdasarkan epidemiologi, keterkaitan usia dan lokalisasi tumor
adalah yang paling mungkin diarahkan oleh sindrom klinis dan/atau antibodi yang
terdeteksi. Dianjurkan untuk melakukan pendekatan diagnosis sekuensial, mulai
dari yang sederhana hingga canggih tergantung tumor yang diharapkan, seperti pada
Tabel 17.3.2 Jika tetap negatif, follow up dilakukan setiap 3-6 bulan selama minimal 5
tahun. Mayoritas (90%) tumor terdiagnosis dalam tahun pertama. 23 ' 56
Pada situasi sindrom non-klasik dan tidak ada antibodi yang khas, kemungkinan
kejadian SPN adalah rendah. Skrining tumor bergantung pada tingkat kecurigaan
klinis, tidak ada pedoman yang jelas. Evaluasi berkala dan skrining ulang mungkin
diperlukan, namun harus dipertimbangkan diagnosis alternatif.2
Tumor primer akan tetap negatif selama bertahun-tahun dan harus difokuskan
untuk pencarian tumor primernya terutama SCLC. Direkomendasikan pada
pasien dengan PSN dengan kanker yang belum diketahui, dilakukan skrining
ulangan setelah 3-6 bulan awitan sindrom neurologis, kemudian diulang tiap 6
bulan selama 4 tahun. 415
Terapi tumor
Pengangkatan jaringan tumor pada sindrom paraneoplastik yang sering dengan
antibodi onkoneural (Hu, Yo] atau antibodi antigen permukaan neuronal (anti-NMDA
receptor encephalitis) menunjukan manfaat. Terapi tumor harus diberikan sesuai
pedoman onkologi yang terbaru dan harus diberikan secepat mungkin
Imunoterapi
Manfaat imunosupresif pada sindrom paraneoplastik neurologis dengan antibodi
onkoneural tidak banyak didukung oleh bukti-bukti. Hal ini merupakan praktik klinis
yang baik untuk memberikan imunosupresi pada sindrom ini bila tidak terdeteksi
tumor atau dikombinasikan dengan terapi tumor yang tidak mengalami perbaikan
atau stabilisasi.5
Pemberian steroid, plasmaferesis, IVIG, atau immunoadsorption merupakan lini
pertama. Plasmaferesis tidak efektif untuk sindrom dengan antibodi onkoneural,
misalnya Hu, Yo, bukan merupakan target langsung cell-mediated autoimmunity.
Biasanya digunakan pada inisiasi imunosupresi. Kasus dengan terapi refractive
diberi imunosupresi berbasis cyclophosphamide. Imunosupresan (Azathioprin,
methotrexate, cyclosporin A, tacrolimus, mycophenolate mofetile) biasa digunakan
sebagai steroid sparing agent. Anti-NMDA receptor encephalitis sering (50%)
berespons dengan terapi lini pertama, yakni steroid, IVIG, atau plasmaferesis. Anti-
NMDA reseptor encephalitis yang tidak berespons terhadap terapi tersebut 75%-
nya berespons terhadap terapi lini ke-2, yakni cyclophosphamide, rituximab, atau
keduanya. Pengobatan LEMS adalah steroid dan azathioprine, kadang menggunakan
immunoglobulin.5
XVII.7. Prognosis
Pengaruh SPN terhadap keseluruhan prognosis sangat kompleks dan
merefleksikan berbagai faktor. Perkembangan SPN akan dapat mengarahkan kepada
diagnosis kanker pada stadium yang yang lebih awal sebelum ada gejala klinis
sehingga masih dapat diobati.
Terlepas dari keganasan yang mendasarinya, SPN sendiri dapat menyebabkan
kematian. Karena SPN akan mengakibatkan terjadinya perubahan patologis ireversibel
pada sistem saraf, maka terapi biasanya untuk menstabilkan gejala dibandingkan
memperbaiki onconeural antibody yang dapat mengindikasikan efek imunologis
antitumor.1
Daftar Pustaka
1. Pelosof LC. Paraneoplastic syndrome: an approach to diagnosis and treatment. Mayo Clin Proc
2010;85C9]:838-54.
2. F. Leypoldt dan P. Wandinger. Paraneoplastic neurological syndromes. Clin Exp Immunol
2014;175(3):336-48.
3. Darnell RB. Posner JB. Paraneoplastic syndromes involving the nervous system. N Engl J Med
2003;349:1543-54.
4. Hoftberger Romana. Update on neurological praneoplastic syndromes. Curr Opin OncoL
2015;27(6):489-95.
5. Dalmau J, Rosenfeld MR. Paraneoplastic syndrome of the CNS. Lancet Neurol. 2008;7[4):327-40,
6. Vedeler CA, Antoine JC, Giometto B, Graus F, Grisold W, Honnorat J, dkk. Paraneoplastic
neurological syndromes. Volume 1. Edisi ke-2. European Handbook of Neurological Management
2011. h. 447-54.
7. Durieux V, Coureau M, Meert AP, Berghmans T, Sculier JP. Autoimmune paraneoplastic syndromes
associated to lung cancer: a systematic review of the literature. Part 3: Neurological paraneoplastic
syndromes, involving the central nervous system. Lung Cancer. 2017;106:83-92.
8. Miret M, Horvath-Puho E, Deruaz-Luyet A, Sorensen HT, Ehrenstein V. Potential paraneoplastic
syndromes and selected autoimmune conditions in patients with non-small cell lung cancer and
small cell lung cancer: a population-based cohort study. PLoS One. 2017;12(8):e0181564.
9. Monstadt SE. Onconeuronal antibodies in sera from patients with various type of tumors. Cancer
Immunol Immunother. 2009;58[ll):1795-800.
10. HonnoratJ.AntoineJC. Paraneoplastic neurological syndromes. Orphaned J rare Dis. 2007:2(1]:22.
11. Darnell RB, Posner JB. Paraneoplastic syndromes involving the nervous system. N Engl ] Med.
2003;349(16):1543-54.
12. Psimaras D, Carpentier AF, Rossi C. Cerebrospinal fluid study in paraneoplastic syndromes. J
Neurol Neurosurg Psychiatr. 2010;81[l):42-5.
13. Wen PY. Cerebral spinal fluid abnormalities in patients with paraneoplastic syndromes of the
nervous system. J Neurol Neurosurg Psychiatr. 2010;81(1):3.
14. Graus F, Delattre JY, Antoine JC, Dalmau J, Giometto B, Grisold W, dkk. Recommended
diagnostic criteria for paraneoplastic neurological syndromes. J Neurol Neurosurg Psychiatr.
2004;75(8):1135-40.
15. Titulaer MJ, Soffietti R, Dalmau J, Gilhus NE, Giometto B, Graus F, dkk. Screening for tumours in
paraneoplastic syndromes: report of an EFNS task force. Eur J Neurol. 2011;8(l):19-e3.
16. Gilhus NE. Autoimmune diseases. 2011;2011:973808.
PERAWATAN PALIATIF PADA NEURO-ONKOLOGI
Joice Rosewitasari, Elsa Susanti, Rusdy Ghazali Malueka
Asesmen
Asesmen komprehensif perawatan paliatif mencakup:5
a. Asesmen manfaat dan beban terapi antikanker
Banyak gejala kanker dapat dihilangkan dengan terapi antikanker, namun perlu
pertimbangan manfaat dan kerugiannya berdasarkan pedoman/gu/c/e//ne dan
cost effectiveness. Perhatian khusus terutama pada prognosis, potensi respons
pengobatan, potensi toksisitas termasuk kerusakan organ vital dan status kinerja,
serta kondisi komorbid yang serius.5
b. Penilaian tujuan, nilai, harapan, dan prioritas pasien/keluarga/pengasuh
Pasien dan keluarga juga harus ditanya tentang tujuan, nilai, harapan, dan
prioritas pribadi mereka untuk pengambilan keputusan bersama. Demikian
pula definisi kualitas hidup, dan persepsi tentang terapi antikanker terhadap
kehidupan mereka. Informasi statistik tentang kesintasan mungkin diperlukan
dengan mempertimbangkan kemampuan penerimaan pasien. Pasien harus diberi
kesempatan untuk memahami mengenai perjalanan penyakit mereka, terutama
jika sudah tidak dapat disembuhkan.5
c. Penilaian gejala fisik
Gejala yang paling umum adalah nyeri, dispneu, anoreksia, kaheksia, mual,
muntah, konstipasi, malignant bowel obstruction, kelelahan, kelemahan, asthenia,
insomnia, sedasi siang hari, dan delirium.5
d. Penilaian distres psikososial
Pasien dengan keganasan dan kecacatan akan sangat rentan mengalami distres
terkait penyakit dan kebutuhan psikososial, spiritual, atau eksistensial. Demikian
pula kekhawatiran mengenai dukungan sosial dan sumber daya, seperti masalah
rumah, keluarga, masyarakat, atau keuangan.5
e. Penilaian kebutuhan pendidikan, informasi, dan faktor budaya yang memengaruhi
perawatan
Tingkat pendidikan dan faktor budaya pasien dan keluarga harus menjadi
pertimbangan. Hal ini sangat memengaruhi perawatan dan persepsi mengenai
status penyakit pasien.5
f. Penilaian indikasi konsultasi dengan perawatan paliatif
Konsultasi dengan spesialis perawatan paliatif didasarkan pada karakteristik,
keadaan sosial, dan masalah kehilangan harapan pasien. Tim onkologi harus
mempertimbangkan konsultasi untuk pasien dengan diagnosis kanker dengan
harapan hidup yang pendek atau pilihan pengobatan antikanker yang terbatas
karena kurangnya akses ke terapi antikanker, proses penyakit lanjut, kondisi
komorbiditas multipel/berat, penurunan fungsional progresif cepat, dan/atau
status kinerja yang buruk.
Kriteria tambahan termasuk risiko tinggi untuk manajemen nyeri yang buruk;
beban tinggi gejala non-nyeri yang resisten terhadap manajemen konvensional;
kunjungan gawat darurat atau rawat inap di RS; kebutuhan untuk perawatan tingkat
ICU; kebutuhan untuk prosedur invasif (misalnya, stenting paliatif/gastrostomi);
atau nilai distres yang tinggi. Konsultasi dengan spesialis perawatan paliatif juga
harus dipertimbangkan ketika ada kebutuhan untuk klarifikasi tujuan perawatan;
ketidakpuasan pasien/keluarga/pengasuh dengan rencana perawatan ataupun
adanya resistensi untuk melanjutkan perawatan. 5
Terapi:
Pada nyeri kepala diberikan antiedema berupa kortikosteroid, sedangkan
nyeri kanker digunakan golongan opioid. Hal ini penting dipahami berdasarkan
mekanismenya masing-masing. Oleh karena pemberian analgesik kuat pada nyeri
kepala akibat peningkatan tekanan intrakranial akan menghilangkan gejala tersebut,
maka pasien dapat mengalami perburukan akibat herniasi serebri. Untuk nyeri kepala
dapat diberikan deksametason dosis efektif 4-16mg/hari beserta pelindung lambung.
Penggunaan opioid untuk nyeri kanker dapat secara oral, parenteral, maupun
transdermal berdasarkan step-wise approach seperti WHO analgesic ladder (Tabel
1
18.1).11
Penggunaan opioid harus dititrasi secara hati-hati karena tiap opioid mempunyai
karakteristik yang berbeda, serta perlu monitor dan menangani efek samping yang
timbul. Selain itu ada jenis nyeri yang tidak memberikan respons yang adekuat dengan
opioid saja, sehingga membutuhkan analgetik adjuvan.11
Berikut adalah hal-hal penting yang perlu diperhatikan pada penggunaan opioid:
1) Ketergantungan atau adiksi11
• Ketergantungan psikologis sangat jarang dijumpai pada pasien nyeri hebat yang
opioidnya dititrasi dengan hati-hati.
• Pasien dengan riwayat penyalahgunaan obat-obatan perlu penanganan tim
spesialis.
• Jangan tunda pemberian analgetik jika secara klinis diperlukan
• Ketergantungan fisiologis jangan sampai menunda pengurangan dosis opioid jika
pasien sudah diberikan obat analgetik lainnya.
2) Depresi pernapasan11
Opioid dapat menyebabkan depresi pernapasan, namun dengan titrasi dosis,
penilaian klinis dan evaluasi berulang akan tetap aman, bahkan pada pasien
dengan gangguan kardio respirasi.
3) Opioid dengan gangguan fungsi ginjal
• Ganguan fungsi ginjal ringan-sedang: kurangi dosis opioid, perpanjang interval
pemberian. Hati-hati pada penggunaan kodein, dihidrokodein, morfin, dan oksikodon
• Gangguan fungsi ginjal berat (eGFR <30ml/menit): hindari penggunaan
kodein reguler, morfin, dan oksikodon. Oksikodon immediate release dengan
interval dosis yang dinaikkan dapat digunakan pada keadaan klinis tertentu.
Pertimbangkan pemberian fentanil, buprenorfin, atau alfentanil. Tramadol dapat
digunakan dengan dosis rendah atau dengan meningkatkan interval dosis.
Titrasi Opioid11
Morfin merupakan golongan opioid pilihan utama pada WHO Step 3.
• Inisiasi dan titrasi dapat menggunakan immediate release (IR) atau modified
release (MR)
• Pastikan bahwa dosis breakthrough adalah 1/6-1/10 kali dari total dosis opioid
harian
• Berikan laksatif reguler dan anti emetik reguler (selama 1 minggu)
• Lakukan monitor secara reguler terhadap efikasi, adanya efek samping dan
toksisitas
• Jika pasien masih bisa menyetir mobil sendiri, pastikan pasien mengerti
aturan menyetir mobil saat menggunakan opioid.
• Untuk keamanan jangan naikkan dosis reguler MR opioid lebih dari 30-50% setiap 2
hari
b. Epilepsi
Kejang sangat sering dijumpai pada pasien-pasien tumor otak, terutama glioma.
Hal ini tergantung pada subtipe dan lokasi tumor, jarak dari korteks, serta faktor
genetik. Kejang yang tidak terkontrol dapat menyebabkan pasien kembali masuk
RS. Oleh karena itu penatalaksanaan kejang yang adekuat sampai saat kematian
sangat penting bagi pasien glioma.2
Pada pasien-pasien yang sudah memasuki fase akhir kehidupan (end of life phase)
kendala yang sering dihadapi adalah ketidakmampuan pasien untuk menelan
atau terjadi penurunan kesadaran. Oleh karena itu diperlukan rute pemberian
obat anti epilepsi selain peroral untuk mencegah terjadinya kadar serum yang
rendah (sub-terapeutik).211
d. Fatigue
Fatigue atau kelelahan akibat kanker juga merupakan gejala yang sering
dijumpai dengan mekanisme biologi yang sangat kompleks dan belum
sepenuhnya dipahami.2 Fatigue yang tidak diobati atau tidak signifikan diobati
akan memengaruhi kualitas hidup pasien paliatif, sehingga perlu penilaian dan
manajemen yang tepat.14
Fatigue merupakan gejala multidimensi dengan berbagai penyebab, terutama
akibat anemia. Faktor-faktor lain adalah gejala psikologis, termasuk kecemasan
dan depresi, serta rasa sakit, kaheksia, efek samping obat-obatan, ketidakaktifan
fisik, dan infeksi.14 Oleh karena itu perlu anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang komprehensif untuk mengidentifikasi etiologi yang berpotensi reversibel,
dengan menelaah semua obat, termasuk resep, obat bebas, dan terapi alternatif/
komplementer, untuk mengidentifikasi efek samping dan potensi interaksi obat-
obatan. Penatalaksanaan fatigue meliputi perawatan agresif terhadap penyebab
yang dapat diperbaiki, jika ada yang diidentifikasi. Jika penyebab spesifik tidak
dapat diidentifikasi, barulah diberikan manajemen simtomatik.14
Penatalaksanaan bisa berupa nonfarmakologi berupa latihan fisik dan cognitive
behavioural therapy (CBT) atau farmakologi. Satu studi menunjukkan adanya
perbaikan ge]a\afatigue setelah 8 atau 12 minggu dengan pemberian metilfenidat
atau setelah 24 minggu dengan pemberian donepezil.21516
f. Kognitif
Kemampuan kognitif yang intak seperti fungsi eksekutif, fluensi verbal, memori,
atensi, dan visuokonstruktif merupakan persyaratan untuk dapat berkomunikasi
secara adekuat, independen, dan melakukan aktifitas sehari-hari secara aktif.2
Pada pasien tumor otak, fungsi kognitif dapat terganggu akibat rusaknya jaringan
neurokognitif oleh tumor, karena usia dan tingkat edukasi, terapi terhadap tumor,
terapi suportif (antiepilepsi, kortikosteroid), dan stres psikologis.2 Donepezil dan
inhibitor asetilkolinesterase dapatmenjadi alternatif untuk mencegah penurunan
fungsi kognitif pada pasien tumor otak yang mendapatkan radiasi.2
g. Gejala Gastrointestinal
Gejala gastrointestinal bisa berupa mual, muntah, konstipasi, diare, atau disfagia.
Pada pasien dengan mual dan muntah, identifikasi dan perbaikan penyebab
mendasar yang dapat diperbaiki, termasuk koreksi kelainan metabolisme,
perawatan usus yang agresif, rotasi opioid, dan mengatasi peningkatan tekanan
intrakranial.14
Mual sering muncul saat awal terapi opioid, tetapi biasanya dapat ditoleransi
dengan cepat dan jarang menyebabkan mual persisten. Banyak variasi individu
dalam terjadinya mual dan responsnya terhadap berbagai opioid. Satu pasien
dapat mengalami mual yang hebat dengan morfin dan tidak ada saat menerima
hidromorfon, sedangkan yang sebaliknya dapat diamati pada pasien yang
berbeda.17
Opioid memiliki tiga mekanisme yang berpotensi emetogenik, yakni efek
langsung pada zona pemicu kemoreseptor, peningkatan sensitivitas vestibular,
dan penundaan pengosongan lambung. Konstipasi refrakter dan impaksi tinja
juga dapat menjadi penyebab, sehingga harus dikelola terlebih dahulu.17
Rotasi opioid atau perubahan rute administrasi dapat dianggap sebagai strategi
untuk mengatasi mual kronik. Mual kronik biasanya memberikan respons pada
pemberian kelompok terapi obat yang sama untuk mual akut yaitu berupa
antagonis dopamin, seperti proklorperazin atau metoklopramid, atau antagonis
reseptor serotonin, seperti ondansetron sebagai agen lini pertama.17
Faktor risiko konstipasi dapat terjadi pada pasien dengan penyakit serius atau
yang mengancam jiwa termasuk penyakit lanjut, usia lebih tua, aktivitas fisik
menurun, diet rendah serat, depresi, dan gangguan kognitif. Obat-obatan yang
dapat menyebabkan atau memperburuk konstipasi termasuk opioid, penghambat
saluran kalsium, diuretik, obat antikolinergik, zat besi, antagonis serotonin, dan
kemoterapi (alkaloid vinca, thalidomide, vandetanib).
Kelainan neurologi spesifik pada kompresi medula spinalis epidural) dan
kelainan metabolik (hiperkalsemia dan hipotiroidisme] juga dapat menyebabkan
atau berkontribusi pada konstipasi. Pengobatan konstipasi termasuk mengatasi
faktor nonfarmakologis yang berpotensi reversibel, menghentikan obat penyebab
konstipasi yang tidak penting, dan intervensi farmakologis (terapi pencahar).
Pilihan terapi pencahar adalah empiris. Sebuah tinjauan Cochrane tentang
pencahar untuk konstipasi pada pasien yang menerima perawatan paliatif
menyimpulkan bahwa tidak ada bukti apakah pencahar tertentu lebih efektif
daripada yang lain atau menyebabkan efek samping yang lebih sedikit.14
h. Delirium
Pada pasien dengan kanker, umum terjadi disfungsi otak global dengan
manifestasi delirium. Delirium merupakan komplikasi neuropsikiatrik yang
paling sering pada pasien dengan kanker lanjut mendekati akhir hidup dan dapat
mengakibatkan kesulitan bagi pasien, anggota keluarga, dan penyedia layanan
kesehatan.
XVIII.5. Penutup
Layanan paliatif merupkan sistem perawatan terpadu yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup dengan cara meringankan nyeri dan penderitaan lainnya.
Layanan ini memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosis
ditegakkan sampai akhir hayat serta dukungan terhadap keluarga yang kehilangan
atau berduka. Adanya keluhan dan gejala khusus pada kasus-kasus neuro-onkologi
menyebabkan pentingnya peran neurolog tidak hanya di awal gejala, namun hingga
akhir hayat pasien. Oleh karena itu dalam penanganan suatu penyakit dikatakan "to
cure sometimes, to relief often, to comfort always".
Daftar Pustaka
1. Dans M, Smith T, Back A, Baker JN, Bauman JR, Beck AC, dkk. Palliative care version 2.2017:
featured updates to the NCCN guidelines. J Nat Compr Cane Netw. 2017;15(8):989-97.
2. Pace A, Dirven L, Koekkoek JA, Golla H, Fleming J, Ruda R, dkk. European Assocation for
Neuro-Oncology (EANO) guidelines for palliative care in adults with glioma. Lancet Oncol.
2017;18(6):e330-40.
3. Sizoo EM, Pasman HR, Dirven L, Marosi C, Grisold W, Stockhammer G, dkk. The end of life phase of
high grade glioma patients: a systematic review. Support Care Cancer. 2014;22(3):847-57.
4. Kemenkes RI. Kepmenkes RI Nomor 812/MENKES/SK/VII/2007 Tentang Kebijakan Layanan
Paliatif; 2007.
5. National Comprehensive Cancer Network. NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology:
Palliative Care. NCCN. 2019.
6. World Health Organization. Cancer: WHO definition of palliative care; 2018.
7. Temel JS, Greer JA, Muzikansky A, Gallagher ER, Admane S, Jackson VA, dkk. Early palliative care
for patients with metastatic non-small cell lung cancer. N Eng J Med. 2010;363(8):733-42.
8. Cohn M, Calton B, Chang S, Page RNM. Transitions in care for patients with brain tumors: palliative
and hospice care. San FranciSKo: University Of California; 2014. h. 1-17.
9. Lin E, Rosenthal MA, Le BH, Eastman P. Neuro-oncology and palliative care: a challenging interface.
Neurooncol. 2012;14[Supl 4): iv3-7.
10. SKhenker Y, Quill TE. Primary Palliative Care, www.uptodate.com. 2019.
11. NHS. Palliative and end of life care guidelines symptom control for cancer and non-cancer
patients. Edisi ke-4. Northern England Clinical Networks. 2016.
12. Dickinson LD, Miller LD, Patel CP, Gupta SK. Enoxaparin increases the incidence of postoperative
intracranial hemorrhage when initiated preoperatively for deep venous thrombosis prophylaxis
in patients with brain tumors. Neurosurgery. 1998;43(5):1074-81.
13. yman GH, Khorana AA, Kuderer NM, Lee AY, Arcelus JI, Balaban EP, dkk. Venous thromboembolism
prophylaxis and treatment in patients with cancer; american society of clinical oncology. J Clin
Oncol. 2013;31(17):2189-204.
14. Brurera E, Dev R. Overview of managing common non-pain symptoms in palliative care. www.
uptodate.com. 2019.
15. Gehring K, Patwardhan SY, Collins R, Groves MD, Etzel CJ, Meyers CA, dkk. A randomized trial on
the efficacy of methylphenidate and modafinil for improving cognitive fuctioning and symptoms
in patients with primary brain tumor. J Neurooncol. 2012;107(1):165-174.
16. Shaw EG, Rosdhal R, DAgostino RB, Lovato J, Naughton MJ, Robbins ME, dkk. Phase II study of
donepezil in irradiated brain tumor patients: effect on cognitive function, mood, and quality of
life. J Clin Oncol. 2006;24(9):1415-20.
17. Portenoy RK, Mehta Z, Ahmed E. Prevention and management of side effects in patients receiving
opioids for chronic pain, www.uptodate.com. 2019.
NYERI RANKER
Trianggoro Budisulistyo, Henry Riyanto Sofyan
XIX.1. Pendahuluan
Kasus baru penderita kanker di dunia terus meningkat mulai dari berkisar 12,6
juta pada tahun 2008, 14 juta pada tahun 2012, dan bisa lebih dari 15 juta pada
tahun 2020. Oleh karena itu diperlukan perhatian secara komprehensif dikarenakan
kronisitas penyakitnya maupun komplikasi klinis yang ditimbulkan. Salah satu
keluhan yang menyebabkan penderitaan bagi pasien kanker adalah nyeri kanker.
baik nyeri yang disebabkan sel kanker yang merangsang impuls nyeri, mestastasis
di tulang, maupun nyeri akibat terapi, seperti radiasi, kemoterapi, atau operasi. Hal
ini dialami oleh mayoritas (75-90%) penderita dengan kanker metastasis maupun
stadium terminal yang mengeluhkan nyeri derajat berat.1"3
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkac
akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan
dalam bentuk kerusakan tersebut.3 Nyeri kanker adalah nyeri yang ditimbulkan
sebagai komplikasi langsung atau tidak langsung dari kanker, dapat meliputi berbagai
subtipe fisiologi nyeri (nosiseptif, neuropatik, viseral, somatik dan sontak), dan dapat
dipengaruhi oleh aspekemosional, psikologis dan spiritual.24
Nyeri merupakan salah satu komplikasi kanker yang ditakuti oleh para
penderita kanker maupun pengasuhnya. Nyeri bisa muncul dalam setiap fase dari
perkembangan kanker, mulai dari fase diagnosis atau penentuan tingkat stadium
kanker, fase terapi (bedah, kemoterapi, radiasi), fase remisi, fase relaps dan fase
kesintasan [survivorship).12
Oleh karena itu manajemen nyeri kanker menjadi sangat individual, kompleks,
dan banyak memerlukan pertimbangan. Hal ini juga melibatkan faktor molekuler
dan mekanisme spesifik penyakit kankernya, sehingga nyeri kanker biasanya akan
termasuk ke dalam tipe campuran, yaitu adanya proses inflamasi (nosiseptik) dan
kerusakan saraf (neuropatik).2-3
XIX.2. Epidemiologi
Angka prevalensi nyeri kanker cukup tinggi baik pada stadium awal kanker
maupun ketika metastasis, misalnya pada kanker pankreas (44%) dan kanker kepala-
leher [head and neck cancer) sebesar 40%. Penelitian lain mendapatkan bahkan
kanker di kepala dan leher yang paling menyebabkan nyeri (70%], seperti pada
Gambar 19.1. Prevalensi penderita nyeri kanker baik yang sedang menjalani terapi
kuratif maupun metastasis atau stadium terminal berkisar 33-59% dan 64%. Namun
sebanyak 56-82,3% penderita, termasuk sekitar 9,8-55,3% di pusat kanker tidak
mendapatkan manajemen nyeri yang adekuat. Hal ini menyebabkan keluhan nyeri
kanker menjadi kronik, terutama pada kondisi pascaterapi, seperti neuropati perifer
pascakemoterapi, pleksopati brakialis atau regio pelvis pascaradiasi, hingga nyeri
pasca-operatif. Bahkan sekitar 83% penderita nyeri kanker limfoma dan leukemia,
mengeluhkan rasa nyeri sejak terdiagnosis hingga akhir hayatnya.1
Secara umum sekitar separuh penderita kanker akan mengeluhkan nyeri.3 Studi
terhadap sekitar 6000 penderita nyeri kanker mendapatkan 33-95% mengeluhkan
nyeri kanker yang tak tertahankan [breakthrough cancer pain/BTCP) dengan
prevalensi 59,2%. Prevalensi BTCP di poliklinik rawat jalan berkisar 39,9% dan rawat
inap 80,5%. Nyeri ini muncul secara insidensital pada sekitar 44% kasus, muncul
spontan pada sekitar 42% kasus, dan kombinasi spontan dan insidensital sekitar 14%
kasus. Keluhan BTCP yang sangat mengganggu ini bahkan menyebabkan sekitar 32%
penderita ingin mengakhiri hidupnya dan sekitar 45% penderita tidak mendapatkan
m i n i i f l m o n n \ r a r i ca/^or-i irlolrnil-4-5
XIX.3. Patogenesis
Mekanisme nyeri kanker pada dasarnya disebabkan oleh kerusakan jaringan atau
kerusakan saraf yang terkait dengan sel kanker secara langsung, nosiseptor serabut
saraf aferen primer, ataupun sistem imun yang ada. Sel kanker memiliki kemampuan
mensekeresi dan merangsang terlepasnya mediator-mediator nyeri. Hal ini akan
mengaktivasi serabut aferen primer dan terjadi proses plastisitas sistem saraf perifer
maupun pusat.3
Nyeri kanker juga dapat berhubungan dalam proses diagnostik atau terapi
kanker itu sendiri, terkait proses biopsi atau operasi, serta efek samping kemoterapi
dan radioterapi. Nyeri kanker juga akan menjadi semakin kuat seiring pertumbuhan
sel kanker, karena nyeri kanker bukan hanya melibatkan proses inflamasi semata,
melainkan juga adanya perubahan neurokimiawi di saraf sensorik maupun medula
spinalis yang menimbulkan adanya nyeri neuropatik.
Mediator inflamasi yang dijumpai di medula spinalis adalah substansi P (SPJ
dan reseptornya, calcitonin gene-related peptide (CGRP), serta protein kinase. Ketika
terjadi proses plastisitas di medula spinalis, akan terjadi penurunan SP dan CGRP, serta
peningkatan kadar neuropeptida. Terdapat pula aktivitas mikroglia dan proliferasi
astrosit yang menyebabkan keluhan nyeri neuropatik. Sel kanker menyebabkan
penurunan ekspresi reseptor opioid-p di ganglion radiks dorsalis atau dorsal root
ganglion (DRG] yang membedakan nyeri akibat proses inflamasi dengan kanker.3 Nyeri
neuropatik bisa dijumpai pada sekitar 5-40% penderita kanker yang disebabkan oleh
lesi serabut saraf perifer maupun sentral, akibat kompresi massa kanker, infiltrasi sel
kanker, atau intoksikasi terapi kankernya. Secara klinis gambaran nyeri neuropatiknya
sama dengan yang lain, serta bisa melibatkan sistem saraf otonom.6
Mekanisme Perifer
Pertumbuhan jaringan kanker yang cepat menyebabkan lesi saraf berupa
kompresi, iskemia, maupun proteolisis. Sel kanker menghasilkan enzim proteolisis
yang menyebabkan lesi pada serabut sensorik dan simpatis, sehingga timbul keluhan
nyeri neuropatik. Preparat kemoterapi (paclitaxel, vinkristin) juga sering menyebabkan
keluhan neuropati perifer, karena polimerisasi tubulin terganggu hingga menghambat
transport aksonal dan degenerasi serabut sensorik. Keadaan ini mengakibatkan
terlepasnya sitokin yang mensensitisasi serabut nosiseptor aferen primer.
Sel kanker juga menyebabkan penurunan kadar pH (asidosis), akibat pelepasan
proton oleh sel kanker melalui mekanisme inflamasi, serta akibat proses apoptosis
dalam jumlah besar. Selanjutnya terjadi sensitisasi nosiseptor kanal vaniloid reseptor
(VR1) dan acid-sensing ion channel 3 (ASIC3), sehingga serabut saraf sensorik
mengalami depolarisasi dan mengirimkan impuls nyeri ke medula spinalis. Keadaan
asidosis ini berperan pada nyeri kanker di tulang, yang ditandai adanya osteolisis dan
osteoblastic5
Pada proses metastasis ke tulang, sel kanker memicu osteoklas untuk menginduksi
resorpsi tulang dan osteoblas sebagai perantara pembentukan tulang, sehingga terjadi
ketidakseimbangan ke arah osteolitik, osteoblastik, atau keduanya. Hal ini menyebabkan
kerusakan mikroarsitektur tulang, menurunkan kekuatan dan kemampuan menahan
beban; sehingga mudah terjadi fraktur. Pada keadaan ini terjadi pelepasan Ca2+ dan
terjadi hiperkalsemia. Keseimbangan receptor activator of nuclear factor kappa-B-
Receptor activator of nuclear factor kappa-B ligand (RANK-RANKL) terganggu akibat
meningkat pelepasannya dari sel kanker, sel T, dan prekursor sel osteoklas.
Selain itu sel kanker mensekeresi parathyroid hormone-related protein (PTHrP)
yang juga meningkatkan pelepasan RANKL melalui mekanisme osteoblas. Di sekitar
jaringan tumor terjadi proses inflamasi yang ditandai dengan pelepasan sitokin, baik
dari sel kankernya maupun jaringan nekrotik yang terbentuk. Selanjutnya terjadi
proses pendesakan massa kanker melalui infiltrasi, kompresi, ataupun remodeling
yang menyebabkan denervasi dan hiperinervasi ke daerah sekitarnya, seperti jaringan
tulang, sumsum tulang, serta periosteum yang diinervasi oleh serabut saraf sensorik
dan simpatis.
Meningkatnya aktivitas osteoklas menyebabkan sensitisasi serabut saraf
sensorik melalui kanal ion asam, seperti transient receptor potential cation channel
1 (TRPV 1) dan ASIC3. Meningkatnya jumlah RANKL akibat aktivitas osteoklas sering
menyebabkan degradasi tulang dan sensitisasi saraf sensorik oleh TRPV1 dan ASIC3.-
Jaringan kanker bukan saja dibentuk oleh selnya sendiri, melainkan juga sistem
imun (makrofag, netrofil, dan sel T] yang mampu menyekeresi faktor-faktor yang
menyintesis maupun memengaruhi secara langsung serabut saraf aferen primer; serta
prostaglandin (peran enzim siklooksigense/COX), tumour necrosis factor-a (TNF-a),
endotelin, interleukin (IL)-l dan IL-6, faktor pertumbuhan epidermal, transforming
growth factor (TGF)-p, dan platelet-derived growth factor (PDGF). Faktor-faktor
tersebut berperan dalam timbulnya keluhan nyeri, sehingga menjadi dasar dalam
pemberian obat-obatan analgetik bagi penderita kanker.5
Mekanisme Sentral
Sel kanker menyebabkan destruksi tulang secara progresif, dan hipertrofi sel
astrosit, sehingga menimbulkan keluhan nyeri. Terdapat hipereksitabilitas di medula
spinalis sebagai proses sensitisasi sentral, namun berbeda dengan proses yang terjadi
pada inflamasi ataupun neuropati. Serabut saraf aferen primer yang menginervasi
jaringan kanker (biasanya yang sudah metastasis ke tulang] akan menurunkan impuls
nyeri ke medula spinalis, untuk kemudian berlanjut ke proksimal melalui 2 jalur;
yaitu traktus spinotalamikus kemudian ke korteks (kualitas dan lokasi stimulus) dan
ke limbik (fungsi afektif); yang menunjukkan hipereksitabilits terhadap stimulus
mekanisme, suhu, dan listrik. Hal ini mengakibatkan sensitisasi sentral di korteks
lobus frontalis.25
Aktivitas serabut C yang berdekatan dengan jaringan kanker menunjukkan
peningkatan serta peka terhadap stimulus panas sejalan dengan pertumbuhan
jaringannya. Dalam suatu penelitian terhadap serabut saraf yang terpapar mediator
dari sel kanker, terdapat perubahan plastisitas dan pelepasan kemokin CC-ligand-2
(CCL2) yang meningkatkan voltase kanal Ca2+.
Mekanisme lain yang terjadi pada nyeri kanker, yaitu invasi perineural yang
sebanding dengan derajat intensitas nyerinya. Invasi ke perineural ini merupakan
interaksi antara mekanisme molekuler dan struktural sel kanker dengan saraf.
Terdapat hipertrofi astrosit yang menyebabkan penurunan reuptake glutamat,
sehingga kadarnya meningkat di ekstrasel, sejalan dengan proses neurotoksik di sistem
saraf pusat (SSP). Terjadilah peningkatan peptida dinorfin (suatu mediator opioid)
di medula spinalis, sehingga menimbulkan hiperalgesia baik pada nyeri inflamasi
maupun neuropatik.35 Mekanisme plastisitas saraf ditunjukkan oleh dilepaskannya
mediator dan reseptor nosiseptik yang berlebihan, perubahan elektrofisiologi, serta
aktivasi sel glia (Gambar 19.2).
Nyeri kanker yang disebabkan metastasis ke tulang menunjukkan hipertrofi
astrosit, peningkatan jumlah reseptor SP, ekspresi c-FOS di lamina I kornu dorsalis
medula spinalis, dan meningkatnya jumlah dinorfin.3 Kompleksnya proses ini
menyebabkan nyeri akibat metastasis tulang biasanya menimbulkan nyeri yang
hebat, hingga menghambat mobilisasi penderitanya.
Berdasarkan kedua proses mekanisme tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses
patofisiologi nyeri kanker terdiri dari beberapa proses yaitu:2
1. Sel tumor menyekresi faktor-faktor yang diperlukan untuk pertumbuhannya
yang kemudian akan merangsang reseptor nyeri.
2. Sel tumor secara umum menyebabkan pH rendah dan menginduksi jaringan
sekitar serta mengaktifkan reseptor nyeri sekitar. Tipe sensasi yang diaktifkan
biasanya berupa rasa panas, pegal, atau tumpul di daerah jaringan tumor.
3. Invasi sel tumor di jaringan muskuloskeletal akan menganggu instabilitas
mekanik, terjadi proses edema pada jaringan sekitar, serta mengaktifkan proses
resorpsi tulang secara terus menerus, sehingga mengaktifkan serabut saraf bebas
dan menimbulkan nyeri hebat terutama saat bergerak.
4. Sel tumor dapat menginfiltrasi atau merusak sistem saraf perifer. Proses
diagnostik atau proses terapeutik kanker itu sendiri dapat juga merusak sel saraf.
5. Sel tumor menginduksi terjadinya pertumbuhan abnormal serabut saraf bebas
serta pembentukan neuroma.
6. Terjadinya proses nyeri neuropatik berupa proses sensitisasi sentral
XIX.5. Manajemen
Prinsip tata laksana nyeri secara umum terdiri atas lima tahap yang
berkesinambungan, yaitu penilaian nyeri, analisis nyeri, rencana terapi, evaluasi,
dan proses dokumentasi. Penilaian nyeri harus ditanyakan kepada pasien secara
gamblang, karena walau prevalensinya tinggi, tidak semua pasien mengalami nyeri.
Hal ini dikarenakan rasa nyeri dianggap sebagai hal yang wajar bagian dari proses
kanker atau karena pasien takut mengalami penambahan jenis/dosis obat.
Analisis nyeri dilakukan terutama penilaian nyeri, yakni ringan, sedang, atau
berat dengan skala yang umum digunakan seperti Visual Analog Scale dan Numeric
Rating Scale (Gambar 19.3) pada pasien yang kooperatif/compos mentis. Pada
keadaan pasien tidak kooperatif dapat digunakan skor FLACC {faces, leg, activities,
cries, consobility), skala Behaviour Pain Scale atau skala N'on-Verbal Pain Revised.
Prinsip tatalaksana nyeri juga harus sesuai dengan prinsip dari WHO, yaitu:
1. Administrasi obat diutamakan jalur oral karena nyaman, non-invasif dan dapat
ditoleransi dengan baik.
2. Administrasi obat sesuai dengan jam pemberian obat, tidak boleh diberikan jika
tidak perlu, kecuali dalam tatalaksana nyeri sontak.
3. Administrasi sesuai anak tangga WHO.
4. Administrasi disesuaikan dengan karakteristik individu.
5. Administrasi obat secara detil; dokumentasi nilai skala nyeri, total obat dalam 24
jam, dan memperhatikan penilaian terminologi nyeri (nyeri dasar, nyeri sontak).
Menurut Wall & Melzack, tatalaksana nyeri kanker cukup rumit. Nyeri kanker
dapat dikatakan tertatalaksana jika nyeri hilang atau berkurang 50% dari keluhan
sebelumnya setelah mendapatkan analgesik secara bertahap. Nyeri kanker dapat
tertatalaksana jika nyeri terkontrol pada saat tidur malam sebagai tahap pertama.
Jika pasien tidak dapat tidur malam, maka toleransi terhadap nyeri akan terganggu.
Jika nyeri sudah terkontrol saat malam hari, dapat maju ke tahap kedua, bahwa nyeri
terkontrol pada siang hari saat beristirahat tanpa aktivitas gerak. Tahap ketiga, nyeri
teratasi pada saat kegiatan aktivitas motorik minimal/mobilitas minimal. Tahap
terakhir nyeri teratasi dalam mobilitas penuh.3
Secara umum keluhan nyeri kanker timbul ketika terjadi metastasis ke tulang.
Jaringan tulang diinervasi oleh serabut saraf sensorik bermielin dan tak bermielin,
. serta sistem saraf simpatis. Sel kanker menyebabkan reorganisasi dan sprouting
serabut bermielin dan tak bermielin, sehingga meningkakan densitas serabut saraf
dan terbentuk suatu neuroma. Selanjutnya terjadi remodeling serabut sensorik dan
simpatis yang terkait dengan pelepasan nerve growth factor (NGF) yang berlebihan,
sehingga terjadi mekanisme ektopik secara spontan nyeri seperti complex regional
pain syndrome (CRPS).
NGF berperan dalam aksi pronosiseptik pada proses remodeling serabut saraf
perifer, yang melalui beberapa jalur bisa meningkatkan ekspresi TRPV1 di serabut
saraf sensorik, serta mensensitisasi kanal ion melalui mekanisme fosorilasi. NGF dan
reseptornya (tyrosine kinase receptor type 1= TrkA) dapat mengirimkan sinyal dari
perifer ke badan sel di DRG, yang selanjutnya memicu proses sintesis neurotransmiter
(SR CGRP), mengekspresikan reseptor dan kanal (bradikinin, P2X3, TRPV1, ASIC3,
kanal Na2+], faktor-faktor transkripsi (activating transcription factor 3= ATF3], serta
struktur molekul neurofilamen dan molekul yang terikat kanal Na2+).2
Aspirin dan ibuprofen berfungsi selain sebagai analgetik, juga bisa untuk antiinflamasi
dengan jalan menghambat aktivitas enzim C0X1 dan 2. Akan tetapi pemberian obat
inhibitor C0X1 dan 2 sekaligus, akan menyebabkan perdarahan lambung. Enzim C0X2
berkaitan dengan proses angiogenesis dan pertumbuhan massa kanker, sehingga dengan
pemberian preparat inhibitor C0X2 berpotensi memperlambat progresifitas kankernya.
Antagonis endotelin diperkirakan juga memiliki potensi sebagai analgetik bagi
penderita kanker, yaitu endotelin- 1, -2, dan -3 merupakan peptida vasoaktif yang
dijumpai pada stadium akhir suatu kanker. Endotelin berperan juga dalam mekanisme
sensitisasi baik langsung ataupun melalui nosiseptor serabut aferen primer tak
bermielin dan mampu menginduksi nyeri. Sama halnya dengan prostaglandin, maka
endotelin ini juga berperan dalam proses angiogenesis dan pertumbuhan sel kanker.5
NGF memiliki peranan untuk mengatur arus dan kerja kanal Na2+ (Nav] 1,8 dan
TRPV1; yang menjadi dasar dalam terapi paliatif kanker dengan pemberian anti-NGF.
Beragam reseptor (P2X3, TRPV1] maupun kanal ion banyak yang terletak di serabut
saraf perifer [badan sel atau serabut terminal], merupakan target terapi nyeri tulang
penderita kanker.
Meskipun terdapat proses inflamasi maupun neuropatik pada penderita nyeri
, kanker, mekanisme nyeri tulang akibat kanker berbeda. Reseptor serabut nosiseptik
(reseptor Nav 1,7 dan 1,8] tidak berperanan mutlak, sehingga terapi analgetik sering
tidak memberikan hasil yang memuaskan.2 Tanezumab merupakan preparat yang
menghambat NGF dari neurotropin yang berdasarkan studi fase ke-2, menunjukkan
perbaikan klinis penderita nyeri akibat metastasis ke tulang.6
Meningkatnya proses resorbsi tulang berkaitan dengan pelepasan ion Ca2+ dan be-
berapa faktor pertumbuhan, seperti transforming growth factor beta (TGF-(3) dan in-
sulin-like growth factor 1 (IGF1). Oleh karena itu, manajemen terapinya berupa blokade
terhadap aktivitas osteoklas atau menurunkan jumlah RANKL. Secara klinis preparat
bifosfonat sering digunakan untuk menghambat proses osteoklas yang memicu proses
resorbsi tulang serta menurunkan kadar pH setempat, sehingga bisa menurunkan sensi-
tisasi yang diperantarai TRPV1 dan ASIC3 serta menurunkan keluhan nyeri,
Bifosfonat merupakan analog pirofosfat dan antagonis kanal VR1 dan ASIC, yang
memicu terjadinya apoptosis sel osteoklas dan mampu menurunkan keluhan nyeri pada
kasus metastasis ke tulang. Proses apoptosis osteoklas ini ditandai oleh osteoklas mengisut,
terjadi kondensasi kromatin, dan fragmentasi nukleus. Bifosfonat menyebabkan ion-ion
Ca2+ saling berikatan, sehingga proses mineralisasi matriks tulang berjalan dengan cepat,
serta osteoklas mengkisut, terjadi kondensasi kromatin, fragmentasi nukleus dan batas sel
kanker juga berkurang.5 Sel kanker yang tumbuh dan menginfiltrasi jaringan sekitarnya,
menyebabkan proses inflamasi (pelepasan growth factor, sitokin, interleukin, kemokin,
prostanoids, endotelin, bradikinin, ATP) dan memengaruhi sistem imun (makrofag, sel
mast, netrofil dan sel limfositT) serta berpengaruh terhadap sensitisasi perifer.2
Kanabinoid merupakan agonis palmitoylethanolamide (PEA) yang juga berfungsi
sebagai antihiperalgesia atau analgetik baik di perifer, medula spinalis, maupun
supraspinal. Kanabinoid ini memiliki reseptor (CB2) di serabut saraf aferen primer
(DRG) serta bekerja baik di perifer maupun sentral. Reseptor tersebut meningkatkan
aktivitas kanal Ca2+, sehingga potensial membran postsinaptik tetap dalam keadaan
di bawah ambang nyeri (subthreshold). Di tingkat medula spinalis, kanabinoid
menghambat serabut nosiseptik di lamina I/II dan V/VI. Sediaan kanabinoid yang
dikenal secara umum adalah mariyuana dan morfin, baik untuk pemberian sistemik
maupun lokal. Mekanisme kerja kanabinoid diperkirakan sebagai inhibitor SP,
menginduksi degranulasi sel mast, dan ekstravasasi plasma.37
Reseptor kanabinoid CB1 berada di jaringan otak, terutama hipokampus dan
korteks asosiasi, serebelum, serta ganglia basalis yang berperan sebagai analgetik
dengan dosis di bawah dosis obat penenang. Reseptor CB2 berperan dalam
menurunkan fungsi nosiseptor, alodinia, serta hiperalgesia dengan cara menekan
aktivitas serabut C di kornu dorsalis medula spinalis dan fenomena wind up. Pada
kasus nyeri neuropatik, reseptor CB2 menurunkan kadar sitokin pro inflamasi.
Reseptor CB1 dan CB2 menghambat aktivitas enzim adenilat siklase melalui kompleks
protein G, dimediasi oleh neurotransmiter asetilkolin, glutamat, dan dopamin.8
Preparat opioid merupakan kelompok analgetik yang termasuk dalam pedoman
WHO untuk manajemen nyeri sedang hingga berat (Level 2B]. Pada beberapa kasus
yang tidak menunjukkan perbaikan klinis optimal, bisa diberikan terapi kombinasi
dengan analgetik adjuvan. Preparat fentanil (termasuk transdermal] tidak dianjurkan
diberikan sebagai lini pertama penderita nyeri (temasuk akibat kanker), apabila
masih berespons dengan opioid lainnya (Level 2B).
Keluhan nyeri neuropatik penderita kanker dapat menggunakan preparat adjuvan,
seperti antikejang (gabapentin, pregabalin], antidepressant (SSRIs, SNRIs, golongan
trisiklik, venfalaksin), agonis NMDA (ketamin), kortikosteroid, atau anestetik lokal
(lidokain] (Level 3C}.6 Beberapa preparat opioid baru diproduksi, guna memberikan
efektivitas terapi yang lebih baik dan efek samping yang lebih rendah pada nyeri
sedang sampai berat (Level 1A].
Oksikodon merupakan derivat dari thebaine, memiliki metabolisme dalam tubuh
yang berbeda dengan morfin, dan digunakan untuk penderita lanjut usia maupun
dengan gangguan fungsi hepar. Preparat ini bisa dipergunakan sebagai terapi jangka
pendek maupun panjang. Nalokson merupakan golongan antagonis reseptor opioid
dan tidak menyebabkan konstipasi seperti opioid pada umumnya. Kombinasi antara
oksikodon dan nalokson lebih dari 160/80mg per hari memiliki efektivitas klinis
perbaikan nyeri yang baik (Level IB}.
Hidrokodon merupakan opioid yang dimetabolisme di hepar (enzim sitokrom
P450] dengan menghambat aktivitas CYP3A4, sehingga konsentrasi plasmanya
meningkat. Hidromorfon merupakan metabolit aktivitas dari hidrokodon yang lebih
poten dan afinitasnya lebih besar, serta diekskresi melalui ginjal. Derivat ini memiliki
waktu paruh pendek sehingga dalam pemberiannya memerlukan titrasi (Level 1A).
Tapentadol merupakan analgetik per oral yang bekerja secara sentral sebagai
agonis reseptor dan inhibitor reuptake norepinefrin. Derivat ini efektif terhadap
keadaan hipereksitasi dan nyeri derajat sedang sampai berat pada nyeri kanker
(Level 2A]. Fentanil transdermal dan buprenorfin merupakan alternatif dari
morfin, terutama bagi penderita dengan disfagia (Level 2A). Metadon merupakan
opioid sintetis yang berakibat fatal berupa aritmia, waktu paruh panjang, dan dapat
menembus sawar darah otak (Level IB].69
Preparat morfin yang sering diberikan neuroaksial, seperti diamorfin, fentanil,
sufentanil atau hidromorfon; bertujuan memodulasi reseptor opioid pre- dan
pascasinaptik di kornu dorsalis medula spinalis, serta memberikan perbaikan Minis
hingga 10-30%. Komplikasi fatal bisa terjadi apabila menembus duramater dan masuk
cairan serebrospinalis (CSS) menyebabkan retensi urin atau menekan fungsi pernapasan.
Dosis pemberian intratekal dan epidural memiliki perbedaan, yaitu 1
intratekal:10 epidural: 100 intravena/subkutan atau 300 per oral. Preparat anestetik
lokal dosis rendah (30-60mg/day) bersifatmemblokade kanal Na2+ dan menurunkan
transmisi nyeri, serta bisa dikombinasikan dengan morfin. Preparat lain yang juga
bisa diberikan adalah alfa-2 agonis yang bekerja di serabut saraf aferen pre- dan
pascasinaps di kornu dorsalis dan ganglion simpatis, serta menurunkan pelepasan
neurotransmiter (SP, CGRP) seperti klonidin, midazolam, atau ketamin.10
Efek samping opioid berupa gangguan saluran cerna (konstipasi, mual, muntah],
susunan saraf pusat (gangguan kognitif, hiperalgesia, alodinia, mioklonik), depresi
pernapasan, pruritus, mulut kering, retensio urin, hipogonadisme, dan depresi sistem
imun. Secara garis besar manajemen efek sampingnya terdiri dari profilaksis atau inform
consent sebelumnya, menurunkan dosis opioid dengan terapi adjuvan, pemberian terapi
simtomatik, dan mengganti dengan preparat opioid lain (Tabel 19.1).6
XX.1. Pendahuluan
Terapi di bidang neuro-onkologi berkembang lebih baik terutama kemajuan
dalam manajemen terapi (reseksi tumor, kemoterapi, serta radioterapi). Manajemen
di intensive care unit (ICU) yang mendukung disfungsi organ dan perawatan suportif
menghasilkan perbaikan besar pada keluaran pasien neuro-onkologi. Sebagai
akibatnya, jumlah pasien neuro-onkologi yang membutuhkan ICU meningkat.12 Hal
ini memberikan kontribusi pada peningkatan tingkat kelangsungan hidup. Neuro-
onkologi mencakup diagnosis dan pengelolaan tumor SSP, kanker sistemik dengan
metastasis ke sistem saraf, sindrom neurologis paraneoplastic dan komplikasi
neurologis dari terapi. Metastasis meliputi metastasis parenkim otak, metastasis
leptomeningeal, metastasis dural atau epidural, atau metastasis ke sistem saraf
perifer. Sindrom paraneoplastik, merupakan hasil dari interaksi antara kanker dan
sistem imun pejamu. Pasien neuro-onkologi yang dirawat di ICU hanya mewakili 2,6%
pasien neuro-onkologi dengan tingkat kematian di ICU sebesar 22%. Angka mortalitas
ini relatif rendah dibandingkan dengan pasien kanker lainnya, yakni mendekati 50%.2
Ahli neuro-onkologi dan ahli bedah onkologi harus dilatih kemampuan klinisnya
agar tidak hanya meminta perawatan di ICU ketika pasien telah membutuhkan
vasopresor, ventilator mekanik, mengalami kegagalan organ yang multipel, atau
saat terapi paliatif adalah satu-satunya pilihan terapi. Hal ini untuk menekan angka
kematian pasien kanker di ICU dan untuk memprediksi tingkat kegagalan organ lebih
awal yang akan berdampak pada keluaran pasien.
Sepsis
Indikasi paling umum perawatan ICU pada pasien dengan kanker disebabkan
oleh infeksi sebagai akibat dari neutropenia yang diinduksi kemoterapi. Meskipun
perbaikan dalam pencegahan dan manajemen infeksi nosokomial, pasien dengan
kanker berisiko lebih tinggi menjadi sepsis berat dibandingkan pasien tanpa kanker.
Hampir setiap 10 pasien dengan kanker meninggal karena sepsis. Risiko pasien
keganasan untuk mengalami komplikasi sepsis meningkat hingga sepuluh kali jika
dibandingkan dengan pasien lain. Tingkat mortalitas di rumah sakit sebesar 43%
pada pasien neutropenia dengan sepsis berat atau syok septik. Sebaliknya sepsis
neutropenik meningkatkan angka kematian pada kasus disfungsi organ akut serta
infeksi paru atau jamur.6
Gangguan Elektrolit
Gangguan elektrolit pada pasien kanker dapat disebabkan oleh banyak hal.
Gangguan ini dapat terjadi akibat pengobatan kemoterapi, disfungsi ginjal, asupan
yang berkurang, atau dari faktor tumor itu sendiri seperti sindrom lisis tumor.78
Gangguan elektrolit yang terjadi seperti hiponatremia, hiperkalemia, hipokalsemia,
serta hiperpospatemia.
Hiponatremi merupakan gangguan elektrolit yang paling sering dijumpai pada
pasien kanker. Keadaan ini dapat menyebabkan komplikasi neurologis yang serius.
Keadaan hiponatremi bervariasi antara 3,7%-47% pasien yang dirawat karena
kanker. Hal ini dapat terjadi akibat asupan pasien yang menurun, mual-muntah yang
disebabkan oleh terapi, pemberian cairan yang berlebihan, atau gangguan pada
hormon antidiuretik. Keadaan yang cukup sering dijumpai pada pasien kanker adalah
syndrome inappropriate antidiuretic hormone (SIADH). Sindrom ini paling sering
dijumpai pada tumor-tumor padat terutama tumor otak, paru, payudara, dan kepala-
leher, serta tumor lainnya seperti keganasan endokrin, sarkoma, dan limfoma.7
Gangguan elektrolit yang terjadi dapat juga disebabkan oleh keadaan sindrom
lisis tumor. Keadaan ini dapat terjadi spontan atau pada inisiasi dari kemoterapi. Pada
saat dimulai kemoterapi, terjadi lisis pada sel kanker yang menyebabkan komponen
intraselular lepas kedalam darah. Hal ini termasuk kalium, fosfat, protein, dan asam
nukleat. Selanjutnya katabolisme dari asam nukleat akan menyebabkan terjadinya
hiperurisemia. Pelepasan kalium yang berlebihan dapat mengakibatkan hiperkalemia
yang merupakan keadaan mengancam nyawa bila tidak ditangani. Hal ini lebih
diperberat lagi bila pasien yang memiliki gangguan ginjal akibat penumpukan kristal
asam urat (hiperurisemia) pada tubulus ginjal.7
Keadaan hiperkalemia dapat menyebaban gangguan irama jantung, henti jantung,
serta kematian mendadak pada pasien. Selain hiperkalemia, dapat juga terjadi keadaan
hiperpospatemia dan hipokalsemia. Hiperpospatemia dapat juga menyebabkan
ii;itabilitas neuromuskular, gangguan irama jantung, serta kejang. Begitu pula dengan
hipokalsemia, pada kasus yang ekstrim dapat menyebabkan kram, tetani, serta kejang.7
Dalam menegakkan keadaan sindrom lisis tumor dapat menggunakan kriteria
laboratorium Cairo-Bishop (Tabel 20.2).7
Trombosis vena dalam dan emboli paru
Tromboemboli vena atau venous-thrombo-emboli (VTE], yang terdiri dari
trombosis vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT) dan emboli paru atau
pulmonary edema (PE), adalah masalah umum pada pasien sakit kritis akibat cedera
neurologis. Tumor otakyang memengaruhi sistem saraf pusat atau perifer juga dapat
menyebabkan aktivasi endotel dan meningkatkan trombosis. Selain itu, pembentukan
bekuan dan konsolidasi meningkat. Beberapa faktor berkontribusi terhadap risiko ini,
dengan peningkatan stasis vena dari kelumpuhan dan koma yang berkepanjangan.
Risiko kematian akibat VTE tinggi pada pasien tumor otak di unit perawatan
intensif. Hal ini disebabkan oleh peningkatan risiko stasis vena sekunder akibat
paralisis serta peningkatan prevalensi patologi yang mendasari yang menyebabkan
aktivasi endotel dan menciptakan peningkatan risiko pembentukan embolus serta
adanya risiko terkait perdarahan karena profilaksis VTE standar. Direkomendasikan
untuk memberikan profilaksis VTE pasien tumor otak dengan low molecular weight
heparin (LMWH) atau unfractionated heparin (UFH) saat rawat inap untuk pasien
dengan tumor otak yang memiliki risiko perdarahan rendah dan yang tidak memiliki
tanda-tanda konversi hemoragik.8 9
Perdarahan intraserebral
Paling sering disebabkan oleh hipertensi, angiopati, atau tumor itu sendiri.
'Pemeriksaan MRI pada saat perdarahan dapat mengidentifikasi kecurigaan untuk
lesi massa intrakranial yang mendasari dan melihat edema perilesi yang ekstensif.
Pemeriksaan radiologi yang ditunda 6 sampai 12 minggu setelah perdarahan
awal dapat membantu melihat tumor yang mendasari. Manajemen perdarahan
intraparenkim tumor tidak berbeda secara signifikan dari perdarahan intraparenkim
spontan. Tatalaksanan ditujukan pada kontrol tekanan darah, perbaikan koagulopati,
manajemen edema perihematoma, dan kadang diperlukan tindakan bedah.
Apopleksi Hipofisis1"
Merupakan kondisi yang jarang akibat dari ekspansi yang cepat dari kelenjar
hipofisis. Sering terjadi karena perdarahan atau infark adenoma hipofisis yang sudah
ada sebelumnya. Beberapa presipitan termasuk kehamilan, operasi, dan trauma
kepala. Seringkali gejala berkembang pada individu tanpa riwayat adenoma hipofisis
sebelumnya dan kira-kira 60% tidak ada penyebab/pencetus yang dapat diidentifikasi.
Sindrom apopleksi hipofisis ditandai dengan sakit kepala berat, kesadaran menurun,
defisit dan gangguan visual, serta mual muntah. Jika apopleksi hipofisis yang tidak
dikenali atau tidak diterapi dapat menyebabkan kehilangan penglihatan permanen,
hipohipofisisme, dan neuropati saraf kranial.
Manajemen awal keadaan ini adalah konfirmasi dengan MRI kepala dan penilaian
endokrinologi. Untuk mencegah krisis adrenal diberikan hidrokortison lOOmg IV.
Pedoman dari Society for Endocrinology termasuk algoritma untuk manajemen
apopleksi pituitari dengan menggunakan Pituitary Apoplexy Score (Tabel 20.3) yang
membantu untuk mengidentifikasi derajat keparahan kasus dan intervensi bedah
serta sebagai evaluasi pascaintervensi (Gambar 20.1).68
Metastasis Epidural dan Penekanan Medula Spinalis (MESKC)
Penekanan pada medula spinalis dan metastasis epidural merupakan komplikasi
serius dari kanker sistemik, dilaporkan terjadi pada 5% individu dengan kanker. Hal
ini paling sering akibat metastasis tulang dari prostat, paru-paru, payudara, dan ginjal.
Nyeri punggung adalah gejala awal yang paling umum, diikuti oleh kelemahan, disfungsi
otonom, dan kehilangan fungsi sensoris. Umumnya lesi berada pada vertebra thorakalis.
Konfirmasi diagnostik dini dan intervensi sangat penting, MRI adalah modalitas yang
paling sensitif, meskipun perubahan dapat jelas pada radiografi polos atau CT tulang
belakang. Gambaran radiologi dapat berupa edema medula spinalis, fraktur kompresi
vertebra metastasis, massa epidural atau paraspinal fokal, dan deposit dari pedikel
vertebra, berhubungan dengan penyebab keganasan yang mendasari. 1115
Manajemen awal kompresi epidural dengan deksametason dosis tinggi [96mg IV]
sebagai dosis awal, diikuti dengan 24mg setiap 6 jam. Untuk individu tanpa defisit
neurologis atau dengan defisit neurologis ringan, dosis lOmg diikuti oleh 4mg setiap 6
jam. Intervensi bedah dilakukan dalam waktu kurang dari 24 jam sejak saat diagnosis,
diikuti oleh radiasi tulang belakang regional. Pengobatan definitif membutuhkan
dekompresi bedah diikuti oleh terapi radiasi atau terapi radiasi saja.9
Selain radiasi, terdapat efek samping neurologis dari agen kemoterapi, seperti
ensefalopati dan neuropati perifer. Status kekebalan individu dan adanya infeksi
SSP dapat terjadi karena pasien kanker seringkali secara fungsional mengalami
imunosupresi sebagai akibat dari perawatan aktif untuk kanker atau keganasan itu
sendiri. Oleh karena jumlah agen kemoterapi dan biologis baru meningkat, begitu
juga potensi interaksi obat-obat dan efek samping neurologis.11
XX. 5. Perawatan Akhir Kehidupan
Keputusan end of life pasien neuro-onkologi harus didasari oleh prinsip-prinsip
etika dan pertimbangan situasi klinis. Terdapat 5 domain perawatan paliatif, yakni
kontrol nyeri yang adekuat, kontrol gejala, pemanjangan usia harapan hidup yang
berkualitas, menghilangkan beban, dan memperkuat hubungan dengan orang yang
dicintai. Dengan meningkatnya jumlah kasus kanker terutama tumor otak dan
meningkatnya kemampuan bertahan hidup pada pasien kanker, maka perlu dilakukan
perawatan paliatif yang lebih baik pada bidang neuroonkologi.1517
Integrasi perawatan paliatif di ICU memiliki peran penting dalam meningkatkan
kualitas perawatan yang disediakan. Kehadiran seorang spesialis perawatan paliatif di
ICU dapat membantu dalam kenyamanan pasien, dukungan psikososial, pengambilan
keputusan bersama, dan kesinambungan perawatan. Peran perawat sangat penting
dalam mengintegrasikan perawatan paliatif ke dalam praktik perawatan kritis.
Keterlibatan dalam manajemen gejala, penguatan komunikasi, pengambilan
keputusan pasien/keluarga, serta memastikan bahwa kebutuhan pasien dan keluarga
terpenuhi.1213
XX.6. Kesimpulan
Identifikasi dan pengelolaan kedaruratan dan perawatan intensif kasus
neuronkologi membutuhkan penalaran klinis, lokasi neuroanatomi, dan kesadaran
akan potensi sindrom klinis. Pengenalan dan tindakan cepat dapat mengurangi
disfungsi neurologis, sehingga mengarah pada terapi yang tepat. Penting untuk
menilai triase pasien kanker kritis yang akan diterima di ICU. Setelah diterima, mereka
harus diberi kesempatan untuk mendapat dukungan ICU penuh (dengan atau tanpa
resusitasi jantung paru), namun tidak termasuk pemberian kemoterapi.
Namun jika tidak ada manfaat yang mungkin dari perawatan apa pun, tim dokter
multidisiplin harus memberi tahu pasien dan/atau keluarga untuk memutuskan
membatasi terapi yang mempertahankan hidup, sehingga perawatan pasien menjadi
paliatif untuk meringankan pasien, keluarga, dan pengasuh, dari segala rasa sakit dan
ketidaknyamanan. Diperlukan kolaborasi yang erat antara onkologis dan intensivis
untuk pengenalan dan pengambilan keputusan tersebut.
Daftar Pustaka
1. Shimabukuro-Vornhagen A, Boll B, Kochanek M, Azoulay E, Von-Bergwelt-Baildon MS. Critical
care of patients with cancer. CA Cancer J Clin. 2016;66(6]:496-517.
2. Silvio A. Opening the doors of the intensive care unit to cancer patients: a current perspective.
World J Crit Care Med. 2015;4(3):159.
3. Bird GT, Farquhar-Smith P, Wigmore T, Potter M, Gruber PC. Outcomes and prognostic factors
in patients with malignancy admitted to a specialist cancer intensive care unit: a 5 yr study. Br J
Anaesth. 2012;108(3):452-9.
4. Tabouret E, Boucard C, Devillier R, Barrie M, Boussen S, Autran D, dkk. Neuro-oncological
patients admitted in intensive-care unit: predictive factors and functional outcome. J Neurooncol.
2015;127(1):1-10.
5. SKhellongowski P, Kiehl M, Kochanek M, Staudinger T, Beutel G. Intensive care for cancer patients.
An interdiSKiplinary challenge for cancer specialists and intensive care physicians. Memo.
2016;9(l):39-44.
6. Lin AL. Neurologic emergencies in the patients with cancer diagnosis and management. J
Intensive Care Med. 2015;32(2):99-115.
7. Pi J, Kang Y, Smith M, Earl M, Norigian Z, McBride A. A review in the treatment of oncologic
emergencies. J Oncol Pharm Pract. 2016;22(4):625-38.
8. DeAngelis LM, Posner JB, Posner JB. Neurologic complications of cancer. Edisi ke-2. Oxford:
Oxford University Press; 2009.
9. Nateghinia S, Kazemi MA, Sepehri MM, Goharani R. Better ICU management by analysis of
clinical profile and outcomes of neuro-critical patients in neurocritical care unit. Arch NeuroSKi.
2018;5[l):e61648.
10. Rajasekaran S, Vanderpump M, Baldeweg S, Drake W, Reddy N, Lanyon M, et al. UK guidelines for
the management of pituitary apoplexy Pituitary Apoplexy Guidelines Development Group: May
2010. Clin Endocrinol (Oxf). 2011;74(l):9-20.
11. Pahuta M, Frombach A, Hashem E, Spence S, Sun C, Wai EK, dkk. The psychometric properties of a
self-administered, open-source module for valuing metastatic epidural spinal cord compression
utilities. Pharmacoecon Open. 2018;2018:1-8.
12. Joubert B, Honnorat ]. Autoimmune channelopathies in paraneoplastic neurological syndromes.
Biochim Biophys Acta. 2015;1848(10):2665-76.
13. Nolan CP, Deangelis LM. Neurologic complications of chemotherapy and radiation therapy.
Continuum (Minneap Minn). 2015;21(2 Neuro-oncology) :429-51,
14. Shimabukuro-Vornhagen A, Boll B, Kochanek M, Azoulay E, Von-Bergwelt-Baildon MS. Critical
care of patients with cancer. CA Cancer J Clin. 2016;66(6):496-517.
15. Parikh RB, Kirch RA, Smith TJ, Temel JS. Early specialty palliative care translating data in oncology
into practice. N Engl J Med. 2013;369(24):2347-51.
, 16. Manrique-Guzman. Patient empowerment in neuro-oncology: new perspec-tives on an emerging
concept. Insights Neurooncol. 2017;1(1):6-14.
17. Mummudi N, Jalali R. Palliative care and quality of life in neuro-oncology. FlOOOPrime Rep.
2014;6:71.
KOMPLIKASI NEUROLOGIS RANKER SISTEMIK
Tiara Aninditha
Patogenesis
Pada prinsipnya, sistem hemostasis terdiri dari tiga komponen utama, yaitu
hemostasis primer, hemostasis sekunder, dan fibrinolisis, yang kesemuanya bertujuan
untuk menghentikan perdarahan. Hemostasis primer merupakan respons pertama
terhadap kerusakan dinding pembuluh darah yang bertujuan untuk membentuk sumbat
trombosit.18'19 Adapun hemostasis sekunder adalah pembentukan sumbat fibrin melalui
aktivasi jalur koagulasi. Komponen yang berperan penting yakni tissue factor (TF) dan
faktor-faktor koagulasi. Dalam hal ini, TF merupakan inisiator utama kaskade koagulasi
(Gambar 20. I).20 Hasil akhir dari proses koagulasi ini adalah terbentuknya benang-
benang fibrin yang jika sudah tidak dibutuhkan akan berakhir dengan proses fibrinolitik
Patogenesis keadaan protrombosis pada keganasan bersifat kompleks dan
multifaktorial melibatkan sel tumor dan penjamu. Sel tumor berperan dalam
memproduksi faktor-faktor prokoagulan, sedangkan penjamu melalui respons
inflamasi. Proses koagulasi ini sebenarnya hanya untuk kepentingan sel tumor, namun
kadang reaksinya berlebihan sehingga memicu ketidakseimbangan hemostasis dan
menyebabkan VTE.21
Sel tumor berinteraksi dengan endotel pembuluh darah secara langsung dan
tidak langsung. Mekanisme tidak langsung adalah melalui perantara sitokin inflamasi
yang disekresi sel tumor untuk menekan keadaan antitrombotik yang dipertahankan
secara alamiah oleh endotel dalam menjaga aliran darah. Adapun mekanisme langsung
adalah perlekatan sel tumor ke endotel atau ke matriks ekstrasel untuk memfasilitasi
migrasi dan ekstravasasi sel tumor ke tempat lain. Perlekatan sel tumor di dinding
pembuluh darah ini akan memicu aktivasi bekuan dan trombus setempat. 21
Gambar 21.3. Mekanisme Venous Thromboembolism (VTE) pada Pasien dengan Tumor Otak.32
Modalitas pengobatan farmakologis dan mekanik diindikasikan pada lokasi kerjanya. TF: tissue factor,
IVC: inferior vena cava.
Gambar 21.4. Pendekatan Pengobatan Awal Tromboemboli Vena (VTE) Pada Pasien Tumor Otak. (*)
Lihat Terapi Awal VTE. (t) Melanoma, karsinoma sel ginjal, koriokarsinoma, dan kanker tiroid
dianggap sebagai kontraindiksi relatif tergantung pada keadaan klinis pasien. (+) Perdarahan
akut ditandai dengan gambaran hiperdens pada CT-scan selama kurang lebih 10 hari; pada pasien
pascaoperasi, perdarahan pada daerah pembedahan adalah temuan radiografi yang umum dan
tidak menghalangi antikoagulasi. IVC: vena cava inferior; IV: intravena; LMWH: low molecular weight
Heparin.33
Prinsip penatalaksanaan hiperkoagulasi pada penderita keganasan mengikuti
panduan American Society of Clinical Oncology (ASCO):34
• Hampir seluruh penderita kanker yang dirawat di RS membutuhkan profilaksis
trombosis, namun tidak dianjurkan pada penderita rawat jalan.
• Pasien mieloma multipel yang mendapatkan agen anti-angiogenik dengan
kemoterapi dan/atau deksametason harus mendapatkan profilaksis trombosis
dengan low-molecular weight heparin (LMWH) atau aspirin dosis rendah untuk
mencegah tromboemboli vena.
• Pasien kanker yang akan menjalani pembedahan tumor harus mendapat
profilaksis trombosis sebelum pembedahan hingga 7-10 hari pascapembedahan.
Khusus pasien yang menjalani pembedahan abdomen atau pelvis dengan risiko
tinggi, pemberian profilaksis dapat dipertimbangkan diperpanjang hingga 4
minggu.
• LMWH dapat direkomendasikan selama 5-10 hari pada pasien dengan trombosis
vena dan emboli paru beserta pencegahan sekunder jangka panjang hingga
minimal 6 bulan.
• Antikoagulan tidak boleh digunakan untuk memperpanjang kesintasan pasien
kanker tanpa indikasi medis yang jelas.
• Pasien kanker harus dilakukan evaluasi risiko tromboemboli vena berkala.
Demikian pasien harus diedukasi terkait tanda dan gejala tromboemboli vena.
• Pemberian stoking kompresi ditambah enoxaparin dapat menurunkan kejadian
tromboemboli hingga 30-40%.
• Tidak ada perbedaan bermakna kejadian tromboemboli antara pemberian
Unfractionated heparin 5000 IU dan enoxaparin 40 mg.
• Regimen profilaksis tromboemboli:
o UFH : 5000 IU setiap 8 jam
o Dalteparin : 5000 IU setiap hari
o Enoxaparin : 40 mg/hari
o Fondaparinux : 2,5 mg/hari
• Penatalaksanaan tromboemboli:
o Inisial:
• Dalteparin : 100 IU/kgBB/12 jam
• Enoxaparin : 1 mg/kgBB/12 jam
• Heparin : 80 IU/kgBB bolus diikuti 18 IU/kgBB/jam
• Fondaparinux : 5mguntukBB <50kg, 7,5mguntukBB 50-100 kg, 10
mg untuk BB >100kg.
• Tinzaparin : 175 IU/kgBB/hari
o Jangka panjang:
• Dalteparin : 200 lU/kg BB untuk 1 bulan, kemudian 150 IU/kgBB
tiap hari
• Warfarin : 5-10 mg setiap hari, target INR 2-3
Tatalaksana
Pada prinsipnya tata laksana gangguan serebrovaskular pada pasien kanker adalah
penanganan akut stroke dan mengatasi tumor penyebabnya; jika tumor berdarah
dilakukan operasi reseksi tumor dan radioterapi sesuai indikasi. Stroke iskemik
dengan onset <4,5 jam tidak memiliki kontra indikasi pemberian trombolisis [rTPA)
bila kontra indikasi lainnya tidak didapatkan. Stroke iskemik akibat kompresi massa
dari lesi metastasis dilakuan radiasi atau pengangkatan tumor; jika disebabkan oleh
hiperkoagulasi diberikan antikoagulan sesuai pada VTE. Setelah penanganan fase akut
stroke, pencarian faktor risiko tetap diperlukan (hiperkoagulasi, penurunan kadar
hematokrit, atau faktor risiko klasik stroke]. Pada keadaan leukostasis dilakukan
leukoparesis dan kemoterapi sesegera mungkin jika keadaan umum memungkinkan.36,37
Pleksus yang terkena biasanya berada di bagian bawah (C7-T1). Gejala yang terjadi
adalah nyeri pada bagian medial dari lengan bawah, siku, hingga jari ke-4 dan ke-5.
Nyeri hebat dan disestesia dapat terjadi pada area ulna lengan bawah. Sementara itu,
bagian bawah pleksus brakialis lebih jarang terinfiltrasi tumor. Nyeri akibat infiltrasi
pada C5-6 dirasakan pada bahu, bagian luar lengan, dan tangan. Pan-pleksopati
terjadi pada 75% pasien dengan pleksopati bagian atas. Infiltrasi massa tumor pada
pan-pleksopati dapat menyebabkan infiltrasi epidural dan mengkompresi medula
spinalis. Sindrom Horner dapat terjadi akibat infiltrasi tumor ke area epidural yang
cukup luas. Evaluasi pleksopati pada pasien kanker dilakukan dengan menggunakan
MRI kontras.33
Tumor pada area pelvis dapat menyebabkan pleksopati lumbosakralis, seperti
tumor kolorektal, servikal, metastasis dari payudara, sarkoma, dan limfoma. Pada
75% kasus, tumor menginfiltrasi pleksopati lumbosakralis, sedangkan 25% sisanya
merupakan tumor metastasis. Sebanyak 20% pasien merasakan nyeri sebagai gejala
awal yang diikuti dengan kelemahan tungkai, defisist sensoris, disestesia, nyeri tekan,
dan edema tungkai dalam beberapa minggu kemudian.
Pleksopati bagian bawah terjadi pada 50% lebih kasus. Nyeri dirasakan pada
area gluteus dan perineum hingga ke bagian lateral kaki, refleks fisiologis Achilles
menurun, dan test Laseque positif. Pleksopati bagian atas ditandai dengan nyeri
di punggung, abdomen bagian bawah, krista iliaka, dan bagian anterolateral paha.
Terdapat perubahan refleks fisiologis di Ll-4. Pada pasien dengan pleksopati terdapat
kelemahan fleksi lutut, dorsifleksi, inversi, dan sarkoma sensori pada aspek medial
telapak kaki dan plantar. Pleksopati koksigeal dapat menyebabkan difungsi otonom
seperti inkontinensia atau retensi uri et alvi, dan gangguan sensorik perineal.33
Keterlibatan medula spinalis selain akibat metastasis juga dapat disebabkan oleh
mielopati pascaradioterapi, baik yang bersifat segera atau lambat [early-delayed and
late-delayed radiation myelopathy). Pada prinsipnya, daerah mielum yang terkena
harus berada dalam cakupan area radiasi dan gejala dapat muncul segera (0-6 bulan
pascaradioterapi) atau lambat (6 bulan sampai 20 tahun pascaradioterapi). Sebanyak
56%i pasien menunjukkan gejala dalam 20 tahun. Gejalanya dapat muncul secara
mendadak atau perlahan secara progresif yang menyebabkan gangguan sensorik
hingga terjadi kelemahan motorik, dengan atau tanpa nyeri. Jika pleksus brakialis
terkena kerusakan akibat radiasi, didapati limfadema pada tangan. Pada CT scan
didapati adanya nekrosis akibat radiasi pada tulang-tulang di sekitar bahu dan tangan.
Pleksopati brakialis akibat radiasi biasa mengenai C5-6. Pada pasien dengan
pleksopati lumbosakralis, nyeri bukan gejala tersering, namun kelemahan dan edema
tungkai. Pemeriksaan somatosensory evoked potential dapat menunjukkan kelainan
serta penurunan kecepatan hantar saraf sesuai dengan area yang terlibat. Demikian
pula gambaran MRI dapat menunjukkan penyangatan kontras, bervariasi sesuai
dengan tahap terjadinya kerusakan.3334
Selain kerusakan pada medula spinalis dan pleksus brakialis/lumbosakralis,
dapat juga terjadi kerusakan pada otak dan saraf kranialis. Komplikasi yang terjadi
akibat radioterapi pada otak paling awal adalah ensefalopati akut. Hal ini disebabkan
radioterapi menyebabkan disrupsi sawar darah otak, sehingga terjadi edema, biasanya
pada minggu ke-2 hingga ke-4 setelah radioterapi.
Sindrom somnolen ditandai dengan iritabilitas, mengantuk, somnolen, mual,
anoreksia, kesulitan memusatkan perhatian, dan gangguan memori jangka pendek.
Sindrom somnolen terjadi pada minggu kedua hingga bulan pertama pascaradioterapi.
Gangguan kognitif dapat terjadi pada pasien pascaradioterapi sebagai komplikasi
subakut dan kronik. Rhombensefalitis subakut ditandai dengan ataksia, disartria,
diplopia, dan/atau nistagmus disertai penurunan pendengaran. Rhombensefalitis
subakut dapat terjadi 1-3 bulan pascaradioterapi akibat lesi di hipofisis, batang otak,
serebelum, dan tumor kepala-leher.
Komplikasi jangka panjang radioterapi pada otak dapat menyebabkan
radionekrosis fokal, terjadi setelah 1-2 tahun, bahkan setelah 1-2 dekade
pascaradioterapi. Radionekrosis ditandai dengan kejang dan defisit neurologis
sesuai tempat lesi, yang sulit dibedakan dengan progresifitas penyakit. MRI FLAIR
menunjukkan adanya hiperintensitas pada area radionekrosis. Walaupun jarang,
radioterapi juga dapat memicu tumbuhnya tumor otak, seperti meningioma (70%),
glioma (20%), dan sarkoma (10%) dengan jarak rerata antara radioterapi dengan
tumor otak sekunder adalah 12 tahun.3334
Gangguan saraf kranialis dapat menjadi gejala pertama adanya keganasan. Hal ini
sering ditemukan pada karsinoma nasofaring (15-45%), sesuai dengan anatominya,
yang mempunyai prognosis yang lebih baik pascaterapi dibandingkan keganasan lain
yang melibatkan saraf kranial. Adanya kelainan saraf kranial juga dapat menjadi salah
satu indikasi keberhasilan terapi, terutama pascaradioterapi yang cukup efektif dalam
menangani infiltrasi saraf kranial. Efek radioterapi pada saraf kranial sering didapati
pada N. olfaktorius, N. Optikus, N. fasialis, N. vestibulokoklear, dan saraf kranial bagian
bawah. Komplikasi pascaradioterapi pada N. kranialis bersifat subakut dan kronik.
Komplikasi ini terjadi rerata 5 tahun pascaradioterapi dengan insidens <5%, terutama
pada pasien yang menerima fraksi yang cukup besar (2 Gy per fraksinasi). Pasien
dengan radioterapi infratentorial mengalami komplikasi lebih banyak dibandingkan
supratentorial.32'34
Saraf perifer dapat terlibat secara fokal atau difus. Lesi fokal mayoritas akibat
invasi/kompresi sel kanker ke radiks atau ganglion dorsalis melalui ruang paravertebra,
sehingga menimbulkan nyeri yang menjalar sesuai dengan distribusi sarafnya. Nyeri
dapat hebat disertai baal atau hipestesia pada dermatoma yang dipersarafinya, serta
gangguan otonom dan motorik.32
Gangguan saraf perifer secara difus berupa neuropati lebih sering akibat
kemoterapi dari pada keterlibatan sel kanker, kecuali pada leukemia, limfoma, atau
mieloma.32 Neuropati yang dipicu oleh kemoterapi atau chemotherapy-induced
peripheral neuropathy (CIPN) ini didefinisikan sebagai gangguan struktur dan
fungsi neuron motorik, sensorik, dan otonom perifer pascapemberian kemoterapi.37
Prevalensinyaterus meningkat, bahkan dikatakan sebagai salah satu efek samp ing yang
paling berat dan tidak dapat diprediksi akibat terapi antikanker. Hal ini disebabkan
oleh karena agen-agen kemoterapi masuk menyerang neuron di ganglia dorsalis dan
akson di saraf perifer akibat kurang efektifnya sawar darah otak di daerah tersebut.39
Agen yang dapat menyebabkan CIPN umumnya bersifat neurotoksik, seperti cisplatin,
vinkristin, dan paklitaksel.38 Agen-agen tersebut dapat menyebabkan terjadinya apoptosis
pada sel neuron dengan berbagai patofisiologi. Agen kemoterapi berbasis platinum
dapat menyebabkan ionopati dan gangguan pada ganglion dorsalis. Agen kemoterapi
Taxane dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada mikrotubulus dan menyebabkan
depolimerisasi sehingga siklus sel terhenti. Selain itu, dapat terjadi demielinisasi dan
kerusakan mitokondria akibat penggunaan taxane. Bortezomib dan vinca alkaloid
(vincristine] juga memiliki patogenesis neuropati yang mirip dengan taxane.40
Gejala utama adalah gangguan sensoris lebih dominan dibanding motorik dengan
atau tanpa nyeri. Gejala khas sensorik CIPN adalah glove and stocking paresthesia.
Gejala motorik didapati kelemahan distal, kelainan gait dan keseimbangan, serta
kelainan motorik halus (mengancing baju, menulis, memotong dan menggergajf).
Gejala otonom juga dapat terjadi pada CIPN, seperti fluktuasi tekanan darah,
konstipasi, disfungsi ereksi, dan retensi urin.41
Skrining neuropati perifer dapat menggunakan skala yang dibuat oleh WHO,
Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG), atau National Cancer Information Center
Common Toxicity Criteria (NCIC), seperti pada Tabel 20.2.41
Sindrom paraneoplastik merupakan kumpulan gejala yang dapat timbul
sebagai efek jauh dari keganasan. Sel tumor menyebabkan reaksi imunologi yang
menimbulkan komplikasi pada berbagai sistem, salah satunya adalah pada sistem
saraf pusat dan saraf perifer. Gejalanya sangat mirip dengan keterlibatan langsung
sel kanker terhadap sistem saraf, sehingga harus dibuktikan secara radiologi bahwa
bukan akibat langsung dari keganasan. Prevalensinya sangat rendah, sekitar 1% dari
, seluruh keganasan, namun dapat sangat tinggi misalnya pada timoma (10-30%).
Gejala klinis pada saraf perifer dapat berupa Lambert-Eaton myasthenic syndrome
(LEMS) yang dinilai dari pemeriksaan elektroneurografi. Diagnosis pasti adalah
dengan pemeriksaan antibodi serum sesuai dengan tumor primernya, misal anti-Hu
pada karsinoma paru tipe sel kecil atau anti-Yo pada karsinoma payudara.43
Tata Laksana
Terapi yang disarankan adalah duloxetine dengan dosis awal 30mg satu kali
sehari selama satu minggu, ditingkatkan menjadi 60 mg satu kali sehari. Tidak ada
bukti yang cukup untuk mendukung rekomendasi untuk obat lainnya. Rekomendasi
tahun 2014 dari American Society of Clinical Oncology [ASCO] menyarankan bahwa uji
coba terapi gabapentin/pregabalin atau antidepresan trisiklik (misalnya, nortriptilin
atau amitriptilin) dapat diberikan mengingat pilihan terapi yang terbatas dan adanya
kemanjuran obat-obatan tersebut untuk kondisi nyeri neuropatik lainnya. Namun
rekomendasi ini hanya berdasarkan konsensus ahli, tidak berbasis bukti. Belum
ada penelitian yang berhasil menunjukkan keberhasilan gabapentin, pregabalin,
nortriptilin, maupun amitriptilin pada CIPN.44
Oleh karena tatalaksananya yang masih sulit, maka lebih diutamakan pencegahan
dengan melakukan skrining neuropati pada pasien-pasien yang mendapatkan regimen
kemoterapi yang berisiko menyebabkan CIPN, seperti pada pasien dengan karsinoma
nasofaring. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf lebih sensitif untuk mengetahui
adanya gangguan sensorik sedini mungkin. Disarankan kerja sama dengan onkologi
dalam pengubahan regimen kemoterapi jika sudah ditemukan gejala dan tanda CIPN.
Penutup
CIPN dan sindrom paraneoplastik dapat memberikan gejala yang sama. CIPN
hanya terjadi setelah pasien terpapar kemoterapi, sedangkan paraneoplastik dapat
menjadi gejala awal sebelum diketahui menderita keganasan. Kesemua gejala yang
mungkin muncul hanya bisa didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan neurologis
yang teliti terhadap semua kemungkinan keterlibatan saraf perifer akibat keganasan.
Pasien tumor otak dengan riwayat nyeri kepala primer sebelumnya, dapat
menjadi tantangan untuk didiagnosis. Kemungkinan nyeri kepala dapat disebabkan
oleh 3 hal, yaitu adanya koinsidensi, nyeri kepala primer memberat, atau tumor otak
yang menyebabkan nyeri kepala.
Patofisiologi
Terdapat beberapa jalur patofisiologi yang dapat menjelaskan nyeri kepala pada
pasien dengan tumor otak. Nyeri pada pasien tumor otak dapat disebabkan regangan
atau kompresi dari struktur yang sensitif terhadap nyeri, dihasilkannya substansi
yang memberikan sinyal nyeri, atau kelainan neuroendokrin. Bagian yang sensitif
terhadap nyeri pada struktur ekstrakranial adalah galea, fasia, arteri, dan otot-otot
pada kulit kepala serta periosteum pada tulang tengkorak. Struktur intrakranial yang
sensitif terhadap nyeri kepala adalah dura pada basis kranii, tentorium serebeli, serta
N.V,IX,X,danXI.
Penelitian eksperimental menunjukkan bahwa jika stimulus nyeri diterima oleh
struktur di bagian permukaan superior tentorium, maka nyeri akan dibawa oleh N.V.
Jika stimulus diterima di permukaan bawah tentorium atau struktur intrakranial
lainnya, nyeri akan dibawa oleh N. IX, X atau tiga saraf servikal pertama.
Obstruksi cairan serebrospinal (CSS] dapat menyebabkan terjadinya nyeri akibat
distensi pada struktur sensitif nyeri intrakranial. Obstruksi ini dapat menyebabkan
distensi pada pembuluh darah arteri atau vena sehingga menyebabkan nyeri kepala.
Tumor dapat menghasilkan substansi seperti NO sintase, CGRP, TNF-a, atau VIP
yang merupakan zat-zat pro-inflamasi yang dapat menyebabkan nyeri pada kepala.
Prolaktinoma hipofisis dapat menyebabkan terjadinya nyeri kepala akibat disregulasi
aksis dopamin-prolaktin.
Daftar Pustaka
1. Berger MS, Prados M. Epidemiology of brain tumors. Dalam: Berger MS, Prados M, editor. Textbook
of Neuro-oncology. New York: Elsevier Saunders; 2005. h. 3.
2. Walsh KM, Claus EB, Wrensch MR. Epidemiology. Dalam: Bernstein M, Berger MS, editor. Neuro-
oncology: the essentials. New York: Thieme Medical Publishers; 2017. h. 3-16.
3. 3.Budikayanti A, Ranakusuma TAS, Bustami M, Prihartono J. Penilaian status koagulasi dan
profil karotis sebagai komplikasi serebrovaskular pada tumor susunan saraf pusat. Neurona.
2009;26(2):11-17.
4. Falanga A, Marchetti M, Vignoli A. Coagulation and cancer: biological and clinical aspects. J
Thromb Haemost. 2013;ll(2J:223-33.
5. Elyamany G, Alzahrani AM, Bukhary E. Cancer-associated thrombosis: an overview. Clin Med
Insights Oncol. 2014;8:129-37.
6. Tunjungsari D. Perbandingan profile koagulasi pada tumor otak primer dan tumor otak sekunder
[tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia;2016
7. Dvorak HE Tumors: Wounds that do not heal-redux. Cancer Immunol Res. 2015;3(1):1-11.
8. Ay C, Vormittag R, Dunkler D, Simanek R, Chiriac AL, Drach J, dkk. D-dimer and prothrombin
fragment 1+2 predict venous thromboembolism in patients with cancer: results from the Vienna
cancer and thrombosis study. J Clin Oncol. 2009;27(25):4124-9.
9. Lyman GH, Khorana AA, Falanga A. Thrombosis and cancer: emerging data for the practicing
oncologist. Am Soc Clin Oncol Educ Book. 2013;2013:337-45.
10. Lima LG, Monteiro RQ. Activation of blood coagulation in cancer: implication for tumour
progression. Biosci Rep. 2013;33(5}:e00064.
11. Suega K, Bakta I. Correlation between clinical stage of solid tumor and D-dimer as a marker of
coagulation activation. Acta Med Indones. 2011;43(3]:162-7.
12. Baron JA, Gridley G, Weiderpass E, Nyre'n 0, Linet M. Venous thromboembolism and cancer.
Lancet. 1998;351(9109):1077-80.
13. Lee AY, Levine MN. Venous thromboembolism and cancer: risks and outcomes. Circulation.
2003;107(23 Supl 1):117-21.
14. KongX, Alexandru D, Bota DA. Epidemiology of central nervous system metastases. Dalam: Hayat
MA, editor. Brain metastases from primary tumors: epidemiology, biology and therapy. San Diego:
Elsevier; 2014. h. 26-38.
15. Wilhelm I, Molnar J, Fazakas C, Hasko J, Krizbai LA Role of the blood-brain barrier in the formation
of brain metastases. Int J Mol Sci. 2013;14(1):1383-411.
16. Maclellan DG, Richardson A, Stoodley MA. Venous thromboembolism and cancer. ANZ J Surg.
2012;82[5}:294-8.
17. Chen C, Li G, Liu Y, Gu Y. A New D-dimer cutoff value to improve the exclusion of deep vein
thrombosis in cancer patients. Asian Pac J Cancer Prev. 2014;15(4):1655-8.
18. Ay C, Dunkler D, Pirker R, Thaler J, Quehenberger P, Wagner O, dkk. High D-dimer levels are
associated with poor prognosis in cancer patients. Haematologica. 2012;97(8):1158-64.
19. Riddel JP, Aouizerat BE, Miaskowski C, Lillicrap DP. Theories of blood coagulation. J Pediatr Oncol
Nurs. 2007;24[3):123-31.
20. Nijziel MR, Van-Oerle R, Hillen HFP, Hamulyak K. From trousseau to angiogenesis: the link
between the haemostatic system and cancer. Nth J Med. 2006;64(11):403-10.
21. Zeidan AM, Forde PM, Streiff MB. Diagnosis, treatment, and prevention of cancer-associated
venous thromboembolism. Dalam: Niederhuber JE, Armitage JO, Doroshow JH, Kastan MB, Tepper
JE, editor. Abellof's clinical oncology. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2014. h. 542-61.
22. Falanga A, Schieppati F, Russo D. Cancer tissue procoagulant mechanisms and the hypercoagulable
state of patients with cancer. Semin Thromb Hemost. 2015;41:756-64.
23. Ikushima S, Ono R, Fukuda K, Sakayori M, Awano N, Kondo K. Trousseau's syndrome: cancer-
associated thrombosis. Jpn J Clin Oncol. 2016;46(3]:204-8.
24. Thomas GM, Brill A, Mezouar S, Crescence L, Gallant M, Dubois C, dkk. Tissue factor expressed
by circulating cancer cell-derivedmicroparticles drastically increases the incidence of deep
veinthrombosis in mice. J Thromb Haemost. 2015;13(7]:1310-9.
25. Falanga A, Russo L, Verzeroli C. Mechanisms of thrombosis in cancer. Thromb Res. 2013;131:S59-62.
26. Boccaccio C CP. Oncogenes, cancer, and hemostasis. In: Khorana AA FC, editor. Cancer-associated
thrombosis: new findings in translational science, prevention, and treatment. New York: Informa; 2008.
27. Kvolik S, Jukic M, Matijevic M, Marjanovic K, Obrovac LG. An overview of coagulation disorder in
1
cancer patients. Surg Oncol. 2010;19(l):33-46.
28. Khan MZ, Khan MS, Raziq F, Khattak AM. Fibrinogen degradation products and D-dimers in
patients with breast carcinoma. Gomal J Med Sci. 2007;5(1]:9-12.
29. ddleston M, De-La-Torre JC, Oldstone MB, Loskutoff DJ, Edgington TS, Mackman N. Astrocytes are the
primary source of the tissue factor in the murine central nervous system. J Clin Invest 1993;92(l):349-58.
30. Martinez-Gonzales A, Calvo GF, Romasanta LAP, Perez-Garcia VM. Hypoxic cells waves around
necrotic cores in glioblastoma: a biomathematical model and its therapeutic implications. Bull
Math Biol. 2012;74(12):2875-96.
31. Lyman GH, Bohlke K, Khorana AA, Kuderer NM, Lee AY, Arcelus JI, dkk. Venous thromboembolism
prophylaxis and treatment in patients with cancer: American society of clinical oncology clinical
practice guideline update 2014. J Clin Oncol. 2015;33(6):654-6.
32. DeAngelis LM, Posner JB. Neurologic complication of cancer. New York: Oxford University Press; 2009.
33. Cherny NI. Cancer Pain Assessment and Syndromes. Dalam: McMahon SB, Koltzenburg M, Tracey
I, Turk DC, editor. Wall and Melzack's textbook of pain. New York: Elsevier Saunders; 2013.
34. Ricard D, Durand T, Tauziede-Espariat A, Leclerq D, Psimaras D. Neurologic complications of
radiation therapy. Dalam: Schiff D, Arrilaga I, Wen PY, editor. Cancer neurology in clinical practice.
Edisi ke-3. New York: Thieme; 2008.
35. Rogers LR. Cerebrovascular Complications of Cancer. In: Schiff D, Arrillaga I, Wen PY, editors.
Cancer Neurology in Clinical Practice. 3rd ed. New York; 2018. p. 171-90.
36. Dardiotis E, Aloizou AM, Markoula S, Siokas V, Tsarouhas K, Tzanakakis G, et al. Cancer-associated
stroke: Pathophysiology, detection and management (Review]. Int J Oncol. 2019;54(3):779-96.
37. Kalpadakis C, Pangalis G a, Dimopoulou MN, Vassilakopoulos TP, Kyrtsonis M-C, Korkolopoulou
P, et al. Circulating Tight Junction Proteins Mirror BBB inegrity in Leukemia CNS Metastasis.
Hematol Oncol. 2007;25(3]:127-31.
38. Postma TJ, He *imans JJ. Grading of chemotherapy-induced peripheral neuropathy. Ann Oncol.
2000;11(5]:509-13.
39. Cavaletti G AP, Frigeni B, Piatti M, Susani E. Chemotherapy-induced neuropathy. Curr Treat
Options Neurol. 2011;13[2]:180-90.
40. ddington J, Freimer M. Chemotherapy-induced peripheral neuropathy: an update on the current
understanding. FlOOOResearch. 2016;5(F1000 Faculty Rev]:1466.
41. Silmao DAS, Murad M, Martins C, Fernandez VC, Captein KM, Teixeira AL. Chemotherapy-induced
peripheral neuropathy: review for clinical practice. Rev Dor Sao Paolo. 2015;16(3):215-20.
42. Kaplow R, Iyere K. Grading chemotherapy-induced peripheral neuropathy in adults. Nursing.
2017;47(2):67-8.
43. Mandel J. Neuro-oncology. Dalam: Kass JS, Mizrahi EM, editor. Neurology secrets. New York:
Elsevier Saunders; 2017.
44. Loprinzi CL. Prevention and treatment of chemotherapy-induced peripheral neuropathy. Wolters
Kluwer [serialonline]. 2018 [diunduh 30 Juli 2018]. Tersedia dari: UpToDate.
45. Ranjan S, Schiff D. Headacheas Complication of Cancer. In: Schiff D, Arrillaga I, Wen PY, editors.
Cancer Neurology in Clinical Practice. 3rd ed. New York; 2018. p. 143-50.
46. Shuman ME, Johnso MD. Elevated Intracranial Pressure and Hydrocephalus in Brain Tumor
Patients. In: Schiff D, Arrillaga I, Wen PY, editors. Cancer Neurology in Clinical Practice. 3rd ed.
New York: Springer; 2018. p. 193-200.
47. Relkin N, Marmarou A, Klinge P, Bergsneider M, Black PM. Diagnosing idiopathic normal-pressure
hydrocephalus. Neuro- surgery. 2005;57:Sl-3.
48. Wolff R, Karlsson B, Dettmann E, Bottcher HD, Seifert V. Pretreatment radiation induced oedema
causing acute hydro- cephalus after radiosurgery for multiple cerebellar metastases. Acta
Neurochir (Wien). 2003;145:691-6.
EVALUASI PASCA PENGOBATAN TUMOR OTAK
Rini Andriani, Indah Chitra
XXII.l. Pendahuluan
Penentuan respons tumor intrakranial terhadap pengobatan masih merupakan
suatu tantangan besar di bidang neuro-onkologi. Diperlukan suatu penilaian yang
memberikan pengukuran yang mudah diterapkan dan memberikan hasil yang
terpercaya. Pada tahun 1990 dikembangkan kriteria McDonald yang mengukur
respons pengobatan berdasarkan pengukuran massa tumor yang menyangat kontras,
akan tetapi kriteria McDonald memiliki beberapa keterbatasan karena hanya
menggantungkan penilaian progresifitas tumor pada pengukuran massa yang tampak
menyangat kontras, sementara penyangatan kontras hanya menggambarkan pasase
kontras melalui sawar darah otak yang rusak dan dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor antara lain pemberian kortikosteroid, anti-angiogenik, perbedaan teknik
radiologi, dan Iain-lain. Kriteria Mac Donald juga rentan memberikan hasil yang bias
pada kondisi progresif palsu [pseudoprogression). Oleh karena itu berbagai upaya
dilakukan untuk memperbaharui kriteria McDonald, salah satunya adalah kriteria
RANO yang dikembangkan oleh kelompok kerja RANO.12
Selama ini kriteria radiologis selalu dijadikan standar utama, namun kadang
tidak sesuai dengan kondisi klinis, sebagai contoh pasien dengan tumor otak dapat
mengalami perburukan defisit neurologis meskipun hasil pencitraan stabil, disamping
itu kriteria radiologis tidak dapat menilai tingkat kesintasan penderita. Oleh karena
itu suatu parameter khusus untuk penilaian klinis juga penting untuk ditetapkan.3
Lesi yang diukur maksimal 5 lesi dengan ukuran terbesar dan harus dapat diukur
kembali (reproducible measurement).
2. Lesi yang tidak dapat diukur (non-measurable lesions)
a. Lesi terlalu kecil
b. Lesi tidak menyangat kontras (hanya terlihat di T2/FLAIR)
c. Batas lesi tidak jelas saat pengukuran
Berdasarkan RANO, lesi yang akan ditindak lanjuti merupakan lesi target. Berikut
algoritma dalam menentukan lesi target:
Cara pengukuran lesi target berdasarkan kriteria RANO adalah dengan
menjumlahkan maksimal lima lesi dengan hasil perkalian dua diameter tegak lurus
terbesar, seperti dapat dilihat di gambar 22.2.
Berdasarkan kriteria RANO, terdapat 4 kategori respons tumor terhadap
pengobatan, seperti yang dijelaskan pada Tabel 22.1 di bawah ini:
RANO juga membahas kriteria pseudoresponse dan pseudoprogression.
Pseudoresponse dapat disebabkan efek terapi obat anti-angiogenesis atau ditemukan
pada evaluasi kurang dari 4 minggu. Sementara pseudoprogression dapat terjadi
pascaradiasi kepala (baik whole brain radiotherapy ataupun radiasi fokalj yang lebih
disebabkan oleh timbulnya edema daripada pertumbuhan lesi. Untuk menghindari
bias akibat pseudoprogression maka MRI sebaiknya dilakukan 12 minggu setelah
radiasi atau menggunakan diffusion weighted imaging yang dapat membedakan
pseudoprogression dan pertumbuhan tumor yang sebenarnya.
XXII.3.2 Keterbatasan3
1. Kriteria NANO hanya dirancang untuk pasien dewasa (studi variabilitas antar-
pengamat dilakukan pada pasien berusia >18 tahun)
2. Skala ini tidak dapat digunakan untuk menilai aspek neurologis yang lebih
kompleks seperti tumor dengan keterlibatan leptomeningeal.
3. Penelitian variabilitas antar pemeriksa skala NANO dilakukan di pusat neuro-
onkologi di mana para klinisi sudah terbiasa melakukan pemeriksaan pada pasien
dengan tumor otak dibandingkan dengan klinisi di komunitas pada umumnya.
4. Kriteria NANO tidak mengkaji efek pembelajaran (learning effect) pada dokter,
di mana dokter cenderung mengurangi waktu pemeriksaan pada evaluasi
berikutnya.
5. Realibilitas antar pemeriksa tidak dikaji pada NANO karena secara rasional
dianggap telah terwakili oleh variabilitas antar pemeriksa.
XXII.4. Kriteria-kriteria lain
XXH.4.1. ECOG Performance Status (Eastern Cooperative Oncology Group)
Kriteria ini dikembangkan pada tahun 1982 oleh Eastern Cooperative Oncology
Group (ECOG) yang sekarang merupakan bagian dari ECOG-ACRIN Cancer Research
untuk standarisasi di antara para peneliti yang merancang dan mengevaluasi
penelitian Minis kanker.
Sebuah kriteria standar yang konsisten dibutuhkan untuk melakukan uji klinis
pada pengobatan kanker di rumah sakit, klinik, maupun pusat kanker. Kriteria ini
mengukur bagaimana penyakit memengaruhi kemampuan hidup atau status kinerja
pasien sehari-hari. Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) performance status
menggambarkan tingkat kemampuan pasien dalam merawat diri mereka, melakukan
aktivitas sehari-hari maupun kemampuan fisik seperti berjalan, bekerja, dan Iain-
lain. Para peneliti menggunakan kriteria ECOG saat merencanakan penelitian uji coba
pengobatan baru, menentukan populasi pasien yang akan dipelajari dalam percobaan
maupun mengevaluasi perubahan kemampuan pasien selama percobaan.8
XXII.6. Kesimpulan
Identifikasi dan pengelolaan kedaruratan dan perawatan intensif kasus
neuronkologi membutuhkan penalaran klinis, lokasi neuroanatomi, dan kesadaran
akan potensi sindrom klinis. Pengenalan dan tindakan cepat dapat mengurangi
disfungsi neurologis, sehingga mengarah pada terapi yang tepat. Penting untuk
menilai triase pasien kanker kritis yang akan diterima di ICU. Setelah diterima, mereka
harus diberi kesempatan untuk mendapat dukungan ICU penuh (dengan atau tanpa
resusitasi jantung paru), namun tidak termasuk pemberian kemoterapi.
Namun jika tidak ada manfaat yang mungkin dari perawatan apa pun, tim dokter
multidisiplin harus memberi tahu pasien dan/atau keluarga untuk memutuskan
membatasi terapi yang mempertahankan hidup, sehingga perawatan pasien menjadi
paliatif untuk meringankan pasien, keluarga, dan pengasuh, dari segala rasa sakit dan
ketidaknyamanan. Diperlukan kolaborasi yang erat antara onkologis dan intensivis
untuk pengenalan dan pengambilan keputusan tersebut.
Daftar Pustaka
1. Wen PY, Macdonald DR, Reardon DA, Cloughesy TF, Sorensen AG, Galanis E, dkk. Updated response
assessment criteria for high-grade gliomas: response assessment in neuro-oncology working
group. J Clin Oncol. 2010;28(ll):1963-72.
2. Wen PY, Chang SM, Van Den Bent MJ, Vogelbaum MA, Macdonald DR, Lee EQ. Response assessment
in neuro-oncology clinical trials. Journal of Clinical Oncology. 2017.
3. Nayak L, Deangelis LM, Brandes AA, Peereboom DM, Galanis E, Lin NU, dkk. The Neurologic
Assessment in Neuro-Oncology (NANO) scale: A tool to assess neurologic function for integration
into the Response Assessment in Neuro-Oncology (RANO) criteria. Neuro Oncol. 2017;
4. Mithun G. Sattur, Michael A. Vogelbaum. RANO Criteria: Application to Response Assessment in
Clinical Trials. In: Handbook of Neuro-Oncology Neuroimaging. 2nd ed. 2016. h. 409-18.
5. Ellingson BM, Wen PY, Cloughesy TR Modified Criteria for Radiographic Response Assessment in
Glioblastoma Clinical Trials. Neurotherapeutics. 2017.
6. Mason W. NANO, a practical scale for neurologic assessments in patients with brain tumors?
Neuro-Oncology. 2017.
7. Ung TH, Ney DE, Damek D, Rusthoven CG, Youssef AS, Lillehei KO, et al. The Neurologic Assessment
in Neuro-Oncology [NANO) Scale as an Assessment Tool for Survival in Patients With Primary
Glioblastoma. Neurosurgery. 2018.
8. Oken M, Creech R, Tormey D, et al. Toxicity and response criteria of the Eastern Cooperative
Oncology Group. Am J Clin Oncol 1982;5:649-55.
9. Kelly CM, Shahrokni A. Moving beyond Karnofsky and ECOG performance status assessments
with new technologies. J oncol. 2016; 2016: 6186543.
10. Taylor AE, Olver IN, Sivanthan T, Chi M, Purnell C. Observer error in grading performance status
in cancer patients. Support Care Cancer. 1999;7(5):332-5.
11. Ando M, Ando Y, Hasegawa Y, et al. Prognostic value of performance status assessed by
patients themselves, nurses and oncologist in advanced non-small cell lung cancer. Br J Cancer.
2001;85(ll):1634-9.
12. Karnofsky D, Burchenal J. The clinical evaluation of chemotherapeutic agents in cancer. In:
MacLeod C, ed. Evaluation of Chemotherapeutic Agents. New York, NY: Columbia University
Press.l949:191-205.
13. Peus D, Newcomb N, Hofer S. Appraisal of the Karnofsky Performance Status and proposal of a
simple algorithmic system for its evaluation. BMC Med Inform Decis Mak.2013;13:72.
PENDEKATAN IMUNOTERAPI SELULER
PADA GLIOBLASTOMA
Yordan Khaedir, Mulki Angela, Citnyta Putri Kwarta, Tiara Aninditha
XXIII. 1. Pendahuluan
Seperti kita ketahui, sensitivitas dan spesivisitas sistem imun telah berkembang
sehingga tubuh mampu mengenal patogen asing, seperti bakteri atau virus
pascainfeksi. Melalui mekanisme efektor bawaan, adaptif, dan seluler, tubuh dapat
mengontrol infeksi virus yang menyebar dengan cepat serta mengeliminasi hampir
semua sel yang terinfeksi. Selama lebih dari 100 tahun, para ahli imunologi khususnya
imunologi tumor atau kanker berharap dapat menggunakan kemampuan sitotoksik
sel yang mengagumkan sebagai salah satu bentuk pengobatan terhadap sel kanker
ganas. Secara fisiologis, sel kanker memiliki mekanisme invasi yang sangat berbeda
jika dibandingkan dengan mikroorganisme virus dan bakteri.
Selain itu, sel kanker dapat menyebar dalam tubuh dengan efek yang mematikan.
Di sisi lain, harapan terhadap imunoterapi sebagai upaya pengobatan untuk pasien
onkologi terutama neuro-onkologi juga memiliki banyak tantangan. Bukti terkini
menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang dinamis antara sistem saraf pusat dan
sistem imun perifer atau sistemik dalam penerapan imunoterapi untuk pasien neuro-
onkologi. Pengembangan imunoterapi yang efektif terhadap kanker otak merupakan
tantangan yang unik dalam bidang imunoterapi kanker.
XXIII.2. Imunologi Ranker
Tumor otak merupakan salah satu jenis tumor pada sistem saraf baik
primer atau metastasis dari tumor organ lainnya. Angka ketahanan hidup pasien
glioblastoma, tumor yang paling sering ditemukan, masih rendah walaupun berbagai
intervensi terapi telah dilakukan. Upaya-upaya seperti mengintensifkan terapi
sitotoksik (intensifying cytotoxic therapy), menargetkan terapi pada jalur sinyal sel
yang mengalami disregulasi {targeting dysregulated cell signaling pathways'), dan
melakukan blokade terhadap angiogenesis (blocking angiogenesis). Beberapa riset
eksperimental dan uji klinis menunjukkan bahwa pendekatan imunoterapi sebagai
upaya pengobatan (Reardon DA) bermanfaat secara Minis.12
Hal yang masih menjadi perdebatan dalam bidang imunologi kanker adalah
apakah kanker mengekspresikan antigen atau tidak. Antigen ini yang kemudian
menjadi target atau sasaran oleh sistem imun tubuh. Eksperimen pada hewan coba
tikus menunjukkan bahwa sistem imun memiliki kemampuan yang tinggi dan efektif
dalam menghilangkan sel tumor ganas. Teknik transplantasi klasik yang digunakan
pada eksperimen pertama bertujuan mengidentifikasi imunogenisitas tumor. Hal ini
menunjukkan bahwa tumor yang terinduksi secara kimiawi memiliki antigen yang
dapat dikenal secara khusus dan dapat dieliminasi oleh tikus yang imunokompeten.2
Hasil eksperimen Van der Bruggen et al menunjukkan bahwa terdapat antigen
pada cell-line tumor tikus. Studi riset ini merupakan penemuan pertama adanya
antigen pada tumor manusia dengan melanoma maligna.4 Riset terkini difokuskan
pada upaya berkelanjutan untuk mengidentifikasi berbagai antigen baru pada tumor
manusia dan berupaya memahami mekanisme sel kanker mampu mengeliminasi
respons fisiologis sel normal. Selain itu, riset terkini juga dilakukan untuk
mengeksplorasi sistem imun antitumor pada manusia kemudian menerapkan hasil
riset eksperimental imunoterapi kanker hewan percobaan pada imunoterapi tumor
pasien yang sesungguhnya, yaitu manusia.
Sebagian besar imunoterapi terkini ditujukan pada induksi dari respons imun
khusus terhadap antigen tumor dengan menggunakan strategi imunisasi secara aktif,
yaitu "vaksin kanker", atau melakukan transfer sel-sel efektor khusus tumor atau
antibodi. Hasil awal studi klinis menunjukkan bahwa penggunaan vaksin untuk pasien
glioblastoma secara klinis bermanfaat walaupun berbagai variabel masih perlu diteliti
lebih lanjut sebelum didapatkan hasil yang optimal. Penelitian tahap preklinis juga
menunjukkan hasil yang menjanjikan, termasuk penelitian pada penggunaan metode
imunoterapi lainnya, seperti pendekatan sel (cell-based approaches] dan penutupan/
blokade immune checkpoint. Studi klinis untuk mengevaluasi berbagai metode
imunoterapi untuk pasien glioblastoma multiforme (GBM) sedang dikembangkan
secara luas (Tabel 23.1). 2
XXIII.4. Pendekatan Imunoterapi Seluler untuk Glioblastoma
Salah satu strategi terapi seluler untuk glioblastoma adalah transfer adoptif sel T
(adoptive T-cell transfer) dengan memaparkan sel T secara langsung kepada antigen
tumor melalui teknik infus. Teknik infus dapat berupa efek graft-versus-leukemia
atau infus dengan menggunakan limfosit donor (orang lain] untuk proses remisi
pasien yang sedang menjalankan transplantasi sel punca alogenik (allogeneic stem
cell transplant).1213 Penelitian lanjutan menunjukkan keberhasilan penggunaan virus
Epstein-Barr-spesifik tehadap sel T untuk mengobati penyakit lymphoproliferative
pascatransplantasi (post-transplant lymphoproliferative disease].15 Di lain pihak,
Rosenberg et al menjadi pionir dalam penanganan tumor-infiltrating lymphocytes
(TILs1) pada pasien melanoma.16 Adapun Besser dkk menunjukkan tingkat respons
objektif hingga 30% telah diamati pada pasien melanoma yang menerima transfer sel
T adoptif. Pasien mengekspresikan reseptor sel T yang diubah secara genetik (TCR)
dan memiliki afinitas lebih tinggi untuk kompleks MHC-antigen.17
Pendekatan transfer adoptif tahap awal untuk pasien glioma malignan meliputi
prosedur administrasi sel T yang diisolasi dari kelenjar getah bening. Setelah itu
dilakukan prosedur injeksi subkutan dengan granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor (GM-CSF) ke sel-sel tumor yang telah diradiasi atau dengan
prosedur ko-kultur antara sel T autologus dengan sel tumor secara eks-vivo.1719
Penelitian terkini juga menunjukkan visibilitas cytomegalovirus (CMV)-spesifik sel
T dari CMV-seropositif pasien glioblastoma multiforme (GBM) dan studi Minis fase
I/II sedang dijalankan untuk mengevaluasi keamanan dan aktivitas antitumor dari
prosedur penanganan sel-sel tersebut kepada pasien GBM.20
Selain itu, dapat dilakukan pendekatan imunoterapi dengan modifikasi genetis,
yaitu rekayasa sel T (engineered T cell) untuk meningkatkan reaktivitas terhadap
antigen tumor atau dengan menggunakan terapi Chimeric Antigen Receptor (CAR) sel
T. Hal ini terbukti menunjukkan efek yang menjanjikan bagi pasien-pasien yang gagal
dalam metode terapi lainnya. Metode pendekatan terapi ini dimulai dengan mengambil
sel T dari tubuh pasien, merekayasa sel-sel tersebut secara eks-vivo, kemudian
dikembalikan ke tubuh pasien. CAR sel T diproses dengan pemrograman ulang
untuk dapat mengekspresikan domain pengikat antibodi monoklonal [monoclonal
antibody-binding domains) yang memicu aktivasi sel T dan fungsi efektor terhadap
ikatan dengan antigen tumor [tumor antigen binding).21 Komposisi CAR terdiri dari
antigen-binding domain, extracellular-spacer/hinge region, transmembrane domain,
dan intracellular-signaling domain (Gambar 23.1}.
CAR sel T generasi ke-2 dan ke-3 saat ini sedang dalam proses pengembangan
penggabungan modifikasi genetis modular tambahan untuk meningkatkan potensi
replikasi, fungsi efektor, dan persitensi in vivo.22'23 Secara teoritis, CAR dapat dirancang
untuk menargetkan antigen mana saja. CAR juga dapat melakukan bypass terhadap
major histocompatibility complex (MHC] restriction karena memiliki kemampuan
untuk melakukan pengikatan langsung dengan antigen (direct antigen-binding
capability]. CAR sel T memiliki strategi yang menarik untuk mengatasi penurunan
ekspresi oleh MHC, yaitu mekanisme penghindaran sistem imun yang berhubungan
dengan berbagai kanker termasuk GBM.24 Upaya untuk mengombinasikan kemampuan
pengikat-antigen dan fungsi aktivasi sel T akan membentuk CAR sel T yang dapat
menghasilkan respons imun sangat kuat terhadap antigen tumor yang sifatnya di luar
batas toleransi. CAR sel T menjadi terapi yang menjanjikan bagi pasien dengan tumor
otak.25 Studi preklinis CAR sel T yang direkayasa untuk menargetkan IL13Ra2, HER2,
dan tumor glioma EphA2-positif menunjukkan hasil yang bermanfat.26 28 Saat ini uji
coba CAR yang menargetkan EGFRvIII dan HER2 sedang dilakukan untuk pasien
GBM.28 Penelitian yang dilakukan oleh Brown et al membuktikan bahwa CAR sel T
autologus yang menargetkan IL13Ra2 menginduksi respons pasien glioblastoma
multiforme berulang bertahan hidup.29
Pendekatan terapi lainnya adalah penggunaan Bispecific T-cell engagers (BiTEs).
BiTEs menghasilkan sinaps imunologis antara sel T sitotoksik poliklonal dengan sel
tumor.30 Komposisi dari molekul ini adalah single-chain variable antibody fragment
(scFv) hingga T-cell activation ligand CD3 dan berhubungan dengan tumor antigen-
specific scFv (Gambar 23.2A). BiTEs memiliki kemampuan untuk memediasi lisis
sel tumor yang sangat kuat secara independen dari molekul-molekul ko-stimulator
dan dari pengenalan [recognition) oleh peptida MHC, termasuk ekspansi dan
persistensi klonal sel T (Gambar 23.2B).31 Berbagai jenis BiTEs sedang dalam tahap
pengembangan klinis, antara lain blinatumomab, yaitu jenis CD19/CD3 BiTEs yang
telah terbukti dapat menginduksi remisi seluler dan molekuler dalam jangka panjang
pada pasien leukemia limfoblastik akut yang sulit disembuhkan.3233 Penggunaan
sistemik BYTE-targeting EGFRvIII pada studi preklinis terbukti efektif mengobati
tumor GBM intrakranial jenis well-established EGFRvIII-positive.34 Kinerja BiTEs juga
dievaluasi dalam kombinasi dengan anti-PD-1 + anti-CTLA-4 blokade imun untuk
mengaktifkan aktivasi sel T yang lebih besar.35
XXIII.5. Imunoterapi Vaksinasi untuk Glioblastoma
Penentu utama dalam imunogenisitas vaksin adalah perailihan antigen yang tepat
dan berbagai jenis antigen telah diteliti dalam studi vaksin kanker. Antigen vaksin
tumor diklasifikasikan sebagai tumor associated (terkait tumor) dan tumor specific
(khas tumor]. Tumor-associated antigens (TAAs) terutama berasal dari protein asli
atau secara selektif diekspresikan oleh sel tumor, tetapi TAAs dapat pula berasal dari
sel normal. Sebaliknya, tumor-specific antigens (TSAs) hanya berasal dari sel tumor
dan secara khas menghasilkan respons imun yang kuat seperti antigen mikroba
pada vaksin untuk penyakit infeksi. Vaksinasi yang berasal dari preparasi lisat tumor
merupakan metode dengan pendekatan yang memberikan keuntungan penggabungan
penggunaan TAAs dan TSAs terhadap pasien spesifik.3637
Pendekatan ini tidak dibatasi oleh subkelas HLA dan secara teoretis dapat
dilakukan pada setiap pasien GBM dengan jenis tumor yang dapat dibedah
(resectable tumor). Di sisi lain, pendekatan ini membutuhkan pembedahan untuk
dapat menghasilkan vaksin dan waktu yang lama untuk persiapan vaksin. Selain
itu, lisat tumor secara teoretis dapat memicu reaksi autoimun terhadap sel normal
penjamu sehingga mengontaminasi produk vaksin. Saat ini, beberapa ujicoba vaksin
dengan menggunakan TAA yang dikembangkan antara lain menggunakan ICT 107
[Immunocellular Therapeutics). Penelitian ini menggunakan metode kontrol-plasebo
acak [randomized, placebo-controlled) dan masih dalam uji klinis tahap II. Selain
itu juga terdapat penelitian dengan menggunakan peptida vaksin 11-TAA (IMA950;
Immatics Biotechnologies GmbH] yang masih dalam tahap uji klinis tahap I/II untuk
pasien GBM yang baru didiagnosis. Sekarang ini terdapat dua strategi vaksin TSA yang
sedang dalam tahap evaluasi klinis untuk pasien glioma maligna, sedangkan strategi
yang ketiga masih dalam tahap pengembangan. Strategi dengan pendekatan TSA saat
ini dengan target vaksinasi epidermal growth factor receptor variant III (EGFRvIII)
menunjukkan angka harapan hidup yang menjanjikan.38
Uji klinis yang telah berjalan saat ini menggunakan asam amino EGFRvIII sintetis,
yakni rindopepimut {Celldex therapeutics'). Pada percobaan ini, respons imun spesifik
EGFRvIII dapat dideteksi dan berkorelasi dengan hasil positif (membaik). Strategi
vaksinasi lain yang menggunakan TSA menargetkan human cytomegalovirus (HCMV].
Protein HCMV ditemukan pada hampir semua jenis tumor GBM dan juga sebagian
besar glioma tingkat II dan III, tetapi tidak ditemukan pada sel otak non-kanker yang
terletak di dekatnya.394041
Berbagai strategi imunoterapi yang memanfaatkan kehadiran CMV pada tumor
GBM masih diteliti, termasuk vaksinasi dengan HCMV pp65-LAMP-Ioaded DCs (sel
dendritik), dengan atau tanpa autologous T-cell transfer yang masih dalam tahap uji
Minis fase I dan generation of polyclonal CMV-specific T cells yang digunakan sebagai
transfer adoptif.42
Strategi vaksinasi lain yang menggunakan lisat tumor adalah dengan
menggunakan DCVax L (Northwest Biotherapeutics) yang merupakan strategi vaksin
menggunakan autologous sel dendritik (DCs) dengan lisat tumor pada pasien GBM
yang baru didiagnosis. Uji vaksinasi DCVax L saat ini sedang dalam uji klinis tahap III.
Pendekatan lainnya adalah penggunaan 96 KD heat shock protein complex (HSPPC-96).
Heat shock proteins merupakan jenis protein yang mengalami upregulation oleh stress
dan dianggap sebagai adjuvan alamiah (natural adjuvant) karena kemampuannya
utuk menigkatkan respons imun.43 Bukti awal yang menunjukkan imunogenisitas
pendekatan ini dan memberi harapan manfaat antitumor pada pasien GBM rekuren
telah membuka jalan pada uji klinis tahap II yang mengevaluasi vaksinasi HSP96
dengan bevacizumab pada pasien GBM rekuren.44
Ilustrasi Kasus
Pertanyaan 1.
Salah satu pendekatan imunoterapi seluler untuk glioblastoma adalah dengan
pendekatan transfer adoptif. Apa yang dimaksud dengan transfer adoptif?
A. Memaparkan sel T secara langsung kepada antigen tumor melalui teknik infus.
B. Rekayasa sel T (engineered T cell) untuk meningkatkan reaktivitas terhadap
antigen tumor atau dengan menggunakan terapi Chimeric Antigen Receptor
(CAR] sel T.
C. BiTEs menghasilkan sinaps imunologis antara sel T sitotoksik poliklonal
dengan sel tumor.
D. Semua benar
E. Semua salah
Jawaban: A
Pembahasan:
Pendekatan transfer adoptif tahap awal untuk pasien glioma malignan meliputi
prosedur administrasi sel T yang diisolasi dari kelenjar getah bening. Setelah itu
dilakukan prosedur injeksi subkutan dengan granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor (GM-CSF] ke sel-sel tumor yang telah diradiasi.
Pertanyaan 2.
Terapi di bawah ini yang dikembangkan sebagai terapi GBM dengan pendekatan
imunoterapi adalah?
A. Iplimumab
B. Nivolumab
C. Labrolizumab
D. Dacluzimab
E. Benar Semua
Jawaban: E
Pembahasan:
Sebagian besar imunoterapi terkini ditujukan pada induksi dari respons imun
khusus terhadap antigen tumor dengan menggunakan strategi imunisasi secara aktif,
yaitu "vaksin kanker", atau melakukan transfer sel-sel efektor khusus tumor atau
antibody. Penelitian tahap preklinis juga menunjukkan hasil yang menjanjikan. Studi
klinis untuk mengevaluasi berbagai metode imunoterapi untuk pasien glioblastoma
multiforme (GBM) sedang dikembangkan secara luas, seperti:
Daftar Pustaka
1. Reardon DA, Freeman G, Wu C, Chiocca EA, Wucherpfennig KW, Wen PY, dkk. Neuro Oncol.
2014;16(ll):1441-58.
2. Tang J, Shalabi A, Hubbard-Lucey VM. Comprehensive analysis of the clinical immmuno-oncology
landscape. Annals Oncol. 2018;29(1]:84-91.
3. Ehrlich P. Collected studies on immunity. New York: John Wiley & Sons; 1906.
4. Van der Bruggen P, Traversari C, Chomez P, Lurquin C, De Plaen E, Van den Eynde B, dkk. A gene encoding an
antigen recognized by cytolytic T lymphocytes on a human melanoma. Science. 1991;254(5038]:1643-7.
5. Abubakr YA, Redman BG. The role of immunotherapy in urologic malignancies. Cancer Treat Res.
1996;88:235-48.
6. Hussain SF, Kong LY, Jordan J, Conrad C, Madden T, Fokt I, dkk. A novel small molecule inhibitor
of signal transducers and activators of transcription 3 reverses immune tolerance in malignant
glioma patients. Cancer Res. 2007;67(20J:9630-6.
7. Wu A, Oh S, Gharagozlou S, Vedi RN, Ericson K, Low WC, dkk. In vivo vaccination with tumor cell lysate
plus CpG oligodeoxynucleotides eradicates murine glioblastoma. J Immunother. 2007;30(8J:789-97.
8. Paulos CM, Kaiser A, Wrzesinski C, Hinrichs CS, Cassard L, Boni A, dkk. Toll-like receptors in tumor
immunotherapy. Clin Cancer Res. 2007;13(8):5280-9.
9. Kirsch M, Fischer H, Schackert G. Activated monocytes kill malignant brain tumor cells in vitro. J
Neurooncol. 1994;20(l):35-45.
10. Zhu X, Nishimura F, Sasaki K, Fujita M, Dusak JE, Eguchi J, dkk. Toll like receptor-3 ligand poly-ICLC
promotes the efficacy of peripheral vaccinations with tumor antigen-derived peptide epitopes in
murine CNS tumor models. J Transl Med. 2007;5(1):10.
11. Ito A, Shinkai M, Honda H, Yoshikawa K, Saga S, Wakabayashi T, dkk. Heat shock protein 70
expression induces antitumor immunity during intracellular hyperthermia using magnetite
nanoparticles. Cancer Immunol Immunother. 2003;52(2):80-8.
12. Prins RM, Craft N, Bruhn KW, Khan-Farooqi H, Koya RC, Stripecke R, dkk. The TLR-7 agonist,
imiquimod, enhances dendritic cell survival and promotes tumor antigen-specific T cell priming:
relation to central nervous system antitumor immunity. J Immunol. 2006;176(l):157-64.
13. Molldrem J, Riddell S. Understanding and enhancing the graft-versus-leukemia effect after
hematopoietic stem cell transplantation. Ca Treat Res 2009;144:187-208.
14. Kolb HJ, Mittermuller J, Clemm CH, Holler E, Ledderose G, Brehm G, dkk. Donor leukocyte
transfusions for treatment of recurrent chronic myelogenous leukemia in marrow transplant
patients. Blood. 1990;76(12}:2462-5.
15. Heslop HE, Slobod KS, Pule MA, Hale GA, Rousseau A, Smith CA, dkk. Long-term outcome of EBV-
specific T-cell infusions to prevent or treat EBV-related lymphoproliferative disease in transplant
recipients. Blood. 2010;115[5):925-35.
16. Rosenberg SA, Lotze MT, Muul LM, Chang AE, Avis FP, Leitman S, dkk. A progress report on the
( treatment of 157 patients with advanced cancer using lymphokine-activated killer cells and
interleukin-2 or high-dose interleukin-2 alone. N Engl J Med. 1987;316(15):889-97.
17. Besser MJ, Shapira-Frommer R, Treves AJ, Zippel D, Itzhaki 0, Hershkovitz L, dkk Clinical
responses in a phase II study using adoptive transfer of short-term cultured tumor infiltration
lymphocytes in metastatic melanoma patients. Clin Cancer Res. 2010;16[9J:2646-55.
18. Plautz GE, Barnett GH, Miller DW, Cohen BH, Prayson RA, Krauss JC, dkk. Systemic T cell adoptive
immunotherapy of malignant gliomas. J Neurosurg. 1998;89(1):42-51.
19. Plautz GE, Miller DW, Barnett GH, Stevens GH, Maffett S, Kim J, dkk. T cell adoptive immunotherapy
of newly diagnosed gliomas. Clin Cancer Res. 2000;6(6J:2209-18.
20. Tsuboi K, Saijo K, Ishikawa E, Tsurushima H, Takano S, Morishita Y, dkk. Effects of local injection
of ex vivo expanded autologous tumor-specific T lymphocytes in cases with recurrent malignant
gliomas. Clin Cancer Res. 2003;9(9J:3294-302.
21. Ghazi A, Ashoori A, Hanley P, Salsman VS, Shaffer DR Kew Y, dkk. Generation of polyclonal CMV-specific
T cells for the adoptive immunotherapy of glioblastoma. J Immunother. 2012;35(2):159-68.
22. Jena B, Dotti G, Cooper LJ. Redirecting T-cell specificity by introducing a tumor-specific chimeric
antigen receptor. Blood. 2010;116(7J:1035-44.
23. Park TS, Rosenberg SA, Morgan RA. Treating cancer with genetically engineered T cells. Trends
Biotechnol. 2010;29(ll):550-7.
24. Gilham DE, Debets R, Pule M, Hawkins RE, Abken H. CAR-T cells and solid tumors: tuning T cells
to challenge an inveterate foe. Trends Mol Med. 2012;18(7}:377-84.
25. Facoetti A, Nano R Zelini P, Morbini P, Benericetti E, Ceroni M, dkk. Human leukocyte antigen and antigen
processing machinery component defects in astrocytic tumors. Clin Cancer Res. 2005;11(23J:8304-11.
26. Johnson LA. ModelT muscle CARs can treat brain tumors. Clin Cancer Res. 2012;18(21):5834-5836.
27. Brown CE, Starr R, Aguilar B, Shami AF, Martinez C, DApuzzo M, dkk. Stem-like tumor-initiating
cells isolated from IL13Roc2 expressing gliomas are targeted and killed by IL13-zetakine-
redirected T cells. Clin Cancer Res. 2012;18(8J:2199-209.
28. Brown CE, Alizadeh D, Starr R, Weng L, Wagner JR, Naranjo A, dkk. Regression of glioblastoma
after chimeric antigen receptor T-cell therapy. N Eng J Med. 2016;375(26J:2561-9.
29. Shi H, Sun M, Liu L, Wang Z. Chimeric antigen receptor for adoptive immunotherapy of cancer:
latest research and future prospects. Mol Cancer. 2014;13(1J:219.
30. Kong S, Sengupta S, Tyler B, Bais AJ, Ma Q, Doucette S, dkk. Suppression of human glioma
xenografts with second-generation IL13R-specific chimeric antigen receptor-modified T cells.
Clin Cancer Res. 2012;18(21):5949-60.
31. Jin J, Joo KM, Lee SJ, Jo MY, Kim Y, Jin Y, dkk. Synergistic therapeutic effects of cytokine-induced
killer cells and temozolomide against glioblastoma. Oncol Rep. 2011;25(lJ:33-9.
32. Chow KK, Naik S, Kakarla S, Brawley VS, Shaffer DR, Yi Z, dkk. T cells redirected to EphA2 for the
immunotherapy of glioblastoma. Mol Then 2013;21(3]:629-37.
33. Morgan RA, Johnson LA, Davis JL, Zheng Z, Woolard KD, Reap EA, dkk. Recognition of glioma stem
cells by genetically modified T cells targeting EGFRvIII and development of adoptive cell therapy
for glioma. Hum Gen Ther. 2012;23(10J:1043-53.
34. Frankel SR, Baeuerle PA. Targeting T cells to tumor cells using bispecific antibodies. Curr Opin
Chem Biol. 2013;17(3]:385-92.
35. Choi BD, Cai M, Bigner DD, Mehta AI, Kuan CT, Sampson JH. Bispecific antibodies engage T cells for
antitumor immunotherapy. Exp Opin Biol Ther. 2011;ll(7J:843-53.
36. Topp MS, Kufer P, Gokbuget N, Goebeler M, Klinger M, Neumann S, dkk. Targeted therapy with the
T-cell-engaging antibody blinatumomab of chemotherapy-refractory minimal residual disease
in B-lineage acute lymphoblastic leukemia patients results in high response rate and prolonged
leukemia-free survival. J Clin Oncol. 2011;29(18]:2493-8.
37. Choi BD, Kuan CT, Cai M, Archer GE, Mitchell DA, Gedeon PC, dkk. Systemic administration of a
bispecific antibody targeting EGFRvIII successfully treats intracerebral glioma. Proc Natl Acad Sci.
2013;110(l}:270-5.
38. John SY, Liu G, Ying H, Yong WH, Black KL, Wheeler CJ. Vaccination with tumor lysate-pulsed
dendritic cells elicits antigen-specific, cytotoxic T-cells in patients with malignant glioma. Cancer
Res.2004;64(14]:4973-9.
39. Huehls AM, Coupet TA, Sentman CL. Bispecific T-cell engagers for cancer immunotherapy.
Immunol Cell Biol. 2015;93(3):290-6.
40. Wheeler CJ, Zeltzer PM, Ying H, Finger DN, Lee PK, Yong WH, dkk. Vaccination of malignant glioma
patients with peptide-pulsed dendritic cells elicits systemic cytotoxicity and intracranial T-cell
infiltration. Cancer Res. 2001;61(3):842-7.
41. Heimberger AB, Crotty LE, Archer GE, Hess KR, Wikstrand CJ, Friedman AH, dkk. Epidermal
growth factor receptor VIII peptide vaccination is efficacious against established intracerebral
tumors. Clin Cancer Res. 2003;9(ll]:4247-54.
42. Cobbs CS, Harkins L, Samanta M, Gillespie GY, Bharara S, King PH, dkk. Human cytomegalovirus
infection and expression in human malignant glioma. Cancer Res. 2002;62(12J:3347-50.
43. Mitchell DA, Xie W, Schmittling R, Learn C, Friedman A, McLendon RE, dkk. Sensitive detection of human
cytomegalovirus in tumors and peripheral blood of patients diagnosed with glioblastoma. Neuro Oncol.
2008;10(l]:10-8.
44. Ghazi A, Ashoori A, Hanley P, Salsman VS, Shaffer DR, Kew Y, dkk. Generation of polyclonal CMV-specific
T cells for the adoptive immunotherapy of glioblastoma. J Immunother. 2012;35(2}:159-68.
45. Gallucci S, Lolkema M, Matzinger P. Natural adjuvants: endogenous activators of dendritic cells.
Nat Med. 1999;5(ll]:1249-55.
46. Bloch 0, Crane CA, Fuks Y, Kaur R, Aghi MK, Berger MS, dkk. Heat-shock protein peptide complex-96
vaccination for recurrent glioblastoma: a phase II, single-arm trial. Neuro Oncol. 2014;16(2):274-9.
47. Crane CA, Han SJ, Ahn B, Oehlke J, Kivett V, Fedoroff A, dkk. Individual patient-specific immunity
against high-grade glioma after vaccination with autologous tumor derived peptides bound to the
96 KD chaperone protein. Clin Cancer Res. 2013;19(1):205-14.
48. Hodi FS, O'Day SJ, McDermott DF, Weber RW, Sosman JA, Haanen JB, dkk. Improved survival with
ipilimumab in patients with metastatic melanoma. N Engl J Med. 2010;363(8):711-23.
49. Topalian SL, Hodi FS, Brahmer JR, Gettinger SN, Smith DC, McDermott DF, dkk. Safety, activity, and
immune correlates of anti-PD-1 antibody in cancer. N Engl J Med. 2012;366(26):2443-54.
50. Fecci PE, Ochiai H, Mitchell DA, Grossi PM, Sweeney AE, Archer GE, dkk. Systemic CTLA-4 blockade
ameliorates glioma-induced changes to the CD4+ T cell compartment without affecting regulatory
T-cell function. Clin Cancer Res. 2007;13(7]:2158-67.
51. Vom Berg J, Vrohlings M, Haller S, Haimovici A, Kulig P, Sledzinska A, dkk. Intratumoral IL-
12 combined with CTLA-4 blockade elicits T cell-mediated glioma rejection. J Exp Med.
2013;210(13):2803-11.
52. Zeng J, See AP, Phallen J, Jackson CM, Belcaid Z, Ruzevick J, dkk. Anti-PD-1 blockade and stereotactic
radiation produce long-term survival in mice with intracranial gliomas. Int J Radiat Oncol Biol
Phys. 2013;86(2]:343-9.
53. Margolin K, Ernstoff MS, Hamid 0, Lawrence D, McDermott D, Puzanov I, dkk. Ipilimumab
in patients with melanoma and brain metastases: an open-label, phase 2 trial. Lancet Oncol.
2012;13(5}:459-65.
54. Mathew M, Tarn M, Ott PA, Pavlick AC, Rush SC, Donahue BR, dkk. Ipilimumab in melanoma with
limited brain metastases treated with stereotactic radiosurgery. Melanoma Res. 2013;23(3]:191-5.
55. Silk AW, Bassetti MF, West BT, Tsien CI, Lao CD. Ipilimumab and radiation therapy for melanoma
brain metastases. Cancer Med. 2013;2(6):899-906.
56. Hodi FS, Oble DA, Drappatz J, Velazquez EF, Ramaiya N, Ramakrishna N, dkk. CTLA-4 blockade
with ipilimumab induces significant clinical benefit in a female with melanoma metastases to the
CNS. Nat Clin Rev Oncol. 2008;5(9):557-61.