Anda di halaman 1dari 211

BUKU PANDUAN

SKILLS LAB

SEMESTER II

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
MEDAN
T.A 2020/2021
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

PENANGGUNG JAWAB
dr. Indra Janis, M.K.T
dr. Dewi Pangestuti, M.Biomed
dr. Siska Anggreni Lubis, Sp.KK, M.Pd.Ked, FINSDV
dr. Alamsyah Lukito, M.Kes

EDITOR
dr. Surya Martua Horas Harahap, M.Ked (Surg), Sp.B
dr. Effriandi, M.Ked (Paru), Sp.P
dr. Sinta Veronica, M.Kes
dr. Halimah Tania, MMedEd
dr. Surya Akbar, MMedEd
dr. Tezar Samekto Darungan, MMedEd

PENYUSUN
dr. Julahir Hodmatua Siregar, M.Kes, M.Ked (PD), Sp.PD
dr. Wika Hanida Lubis, Sp. PD, Kpsi
Dr. dr. Umar Zein, DTM&H, Sp.PD, KPTI
Prof. dr. Azhar Tanjung, Sp.PD (K), P (K), AI, Sp.MK (K)
Prof. dr. Habibah Hanum, Sp.PD, Kpsi
dr. Tamam Anugrah Tamsil, Sp.P
dr. Anita Fressia, M.Ked (Paru), Sp.P
dr. Monalisa Elizabeth, M.Ked (Ped), Sp.A
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Bagian Radiologi
Bagian Ilmu Penyakit Paru

i
Keterampilan Klinik
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat, bimbingan,
petunjuk-Nya atas selesainya Rancangan Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester II
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara yang merupakan karya Tim Skills Lab
FK UISU, para pakar dan kontributor ilmu yang terlibat serta editor Tim MEU FK. UISU.
Sesuai dengan SKMendiknas No. 045/U/2002 tentang Kurikulum Pendidikan Tinggi yang
berbasis Kompetensi, Standar Kompetensi Dokter sesungguhya merupakan bagian dari
Standar Pendidikan Profesi Dokter.

Konsil Kedokteran Indonesia melalui keputusan No. 11 tahun 2012, telah mensahkan
Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012 sesuai dengan amanah Undang-Undang RI No. 29
Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Modul Keterampilan Klinik ini dibuat mengacu pada
perkembangan terkini dari paradigma pendidikan dokter serta mempertimbangkan Misi dan
Visi Universitas Islam Sumatera Utara, dengan tujuan meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan di tanah air kita.

Akhir kata, kami berharap Buku Panduan Keterampilan Klinik Semester II, ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, dan semoga segala usaha yang telah dilakukan, dapat berhasil
guna dalam rangka mencapai tujuan, Misi, dan Visi Fakultas Kedokteran Universitas Islam
Sumatera Utara. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Medan, April 2021

Dekan Fakultas Kedokteran


Universitas Islam Sumatera Utara,

dr. Indra Janis, M.K.T

ii
Keterampilan Klinik
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

DAFTAR ISI

PENYUSUN .............................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .............................................................................................................ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... iii
TATA TERTIB INSTRUKTUR ........................................................................................... iv
DESKRIPSI KEGIATAN ....................................................................................................... v
PELAKSANAAN UJIAN SKILLS LAB .............................................................................vii
MATERI KE I: PEMERIKSAAN FISIK JANTUNG ......................................................... 1
MATERI KE II: PEMERIKSAAN FISIK PEMBULUH DARAH .................................. 20
MATERI KE III: PEMASANGAN DAN INTERPRETASI EKG ................................... 29
MATERI KE IV: PROSEDUR PEMASANGAN SELANG NASOGASTRIK (NGT) ... 40
MATERI KE V: ANAMNESIS PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH 51
MATERI KE VI: PEMERIKSAAN FISIK THORAKS (SISTEM RESPIRASI) ........... 64
MATERI KE VII: PEMERIKSAAN SPIROMETRI DAN PEAKFLOW METER ....... 88
MATERI KE VIII: INTERPRETASI FOTO RONTGEN THORAKS ......................... 102
MATERI KE IX: TERAPI OKSIGEN DAN TERAPI INHALASI ............................... 127
MATERI KE X: ANAMNESIS PENYAKIT PARU ........................................................ 148
MATERI KE XI: PEMERIKSAAN RONGGA GIGI DAN MULUT ............................ 167
MATERI KE XII: PEMERIKSAAN FISIK SISTEM SALURAN CERNA.................. 170
MATERI KE XIII: PEMERIKSAAN COLOK DUBUR & KLISMA/ENEMA ........... 188
MATERI KE XIV: ANAMNESIS PENYAKIT SALURAN CERNA ............................ 191
MATERI KE XV: TERAPI CAIRAN PADA ANAK ...................................................... 194
PENUTUP............................................................................................................................. 203

iii
Keterampilan Klinik
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

TATA TERTIB INSTRUKTUR

Tata tertib yang harus diketahui Instruktur untuk kelancaran acara pelatihan ini adalah:
1. Instruktur / pelatih diharapkan hadir 15 menit sebelum acara pelatihan dimulai
2. Jika instruktur tidak dapat hadir sesuai dengan jadwal yang ditentukan, instruktur harus
melapor ke Pengelola Keterampilan Klinik Semester II yang berkoordinasi dengan unit
Laboratorium Keterampilan Klinik (Skills Lab) FK UISU, paling lambat 1 hari
sebelumnya.
3. Instruktur harus berada di ruangan keterampilan klinik selama proses pelatihan
berlangsung, yaitu selama 2 x 50 menit (± 100 menit) / pertemuan /latihan.
4. Setiap instruktur wajib mengisi dan mengembalikannya kepada Pengelola
Keterampilan Klinik Semester II setelah pelatihan selesai, yaitu:
• Lembaran berita acara pelatihan.
• Lembaran daftar absensi (kehadiran) mahasiswa acara pelatihan.
• Lembaran evaluasi/hasil pengamatan instruktur terhadap keterampilan mahasiswa
(bila ada).

iv
Keterampilan Klinik
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

DESKRIPSI KEGIATAN / TUGAS INSTRUKTUR SELAMA ACARA PELATIHAN

Sesi Pembukaan (10 menit)


1. Pada acara pelatihan pertama di saat sesi pembukaan, instruktur memperkenalkan diri,
dan mahasiswa juga saling memperkenalkan diri. Instruktur berusaha mengingat nama
masing-masing mahasiswa.
2. Membagikan absensi mahasiswa.
3. Instruktur dapat mengadakan responsi pada mahasiswa yang akan mengikuti pelatihan,
bila instruktur menganggap mahasiswa tidak menguasai materi yang berkaitan dengan
pelatihan, maka instruktur berhak membatalkan pelatihan bagi mahasiswa yang
bersangkutan pada hari tersebut.

Sesi Latihan (80 menit)


Kegiatan mengajarkan pelatihan keterampilan klinis dapat dilakukan dengan
menggunakan dua metode yaitu: Metode STEPS dan Metode SISFR. Metode STEPS
digunakan untuk keterampilan klinis yang bersifat teknis (misal: anamnesis, pemeriksaan fisik,
komunikasi dokter-pasien, keterampilan prosedural, manajemen informasi), sedangkan
Metode SISFR digunakan untuk keterampilan klinis yang bersifat non teknis (misalnya:
kewaspadaan situasional, manajemen tugas, komunikasi tim, membuat keputusan).

Metode STEPS:
S – Set the foundation of prior knowledge. Instruktur membentuk dasar dari pengetahuan
awal terkait keterampilan yang diajarkan. Instruktur dapat menjelaskan pentingnya
keterampilan tersebut dan konteks dimana keterampilan tersebut dilakukan.
T – Tutor demonstration. Instruktur mempraktekkan keterampilan yang akan diajarkan
didepan peserta pelatihan. Keterampilan yang diperlihatkan oleh instruktur dilakukan
tanpa diberi komentar dan bila diperlukan dapat diulang kembali.
E – Explain with repeat demonstration. Instruktur mengulang kembali keterampilan
yang diajarkan sambil menjelaskan tahapan demi tahapan yang dilakukan.
P – Practice under supervision. Instruktur mempersilahkan masing-masing peserta
mempraktikan keterampilan yang diajarkan dibawah pengawasannya dan dilakukan
secara satu persatu. Saat satu peserta mempraktekkan keterampilan tersebut, maka
peserta lain akan melihat tindakan yang dilakukan oleh peserta tersebut. Disetiap akhir
melakukan tindakan keterampilan klinis tersebut, maka instuktur dan peserta lain
memberikan umpan balik (feedback) kepada peserta yang melakukan praktek
keterampilan tersebut.
S – Subsequent deliberated practice encouraged. Instruktur mempersilahkan seluruh
peserta mempraktekkan keterampilan klinis yang diajarkan secara mandiri.
Diharapkan dengan adanya pengulangan secara mandiri oleh peserta pelatihan, maka
peserta dapat mempraktekkan keterampilan tersebut dengan lebih luwes.

v
Keterampilan Klinik
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Untuk keterampilan klinis yang tergolong dalam keterampilan non teknis, maka metode
pengajaran dapat menggunakan metode SISFR.
Metode SISFR:
S – Set the context and identify roles and outcomes. Instruktur menjelaskan konteks
keterampilan yang diajarkan akan diterapkan, peran peserta dalam melaksanakan
keterampilan tersebut, bagaimana keadaan dari penderita, dan hasil akhir yang
diharapkan dari pelaksanaan keterampilan tersebut.
I – Immerse in roles and practice. Instrukur mempraktekkan keterampilan non teknis
yang diajarkan dengan cara bermain peran (role play). Instruktur dapat menjelaskan
apa yang dilakukannya kepada peserta pelatihan, sehingga memberikan gambaran
besar tentang pelaksanaan keterampilan tersebut.
S – Intervention to summarize progress. Instruktur memberikan penekanan terhadap
kesimpulan keterampilan yang dilakukan.
F – Feedback. Instruktur dan seluruh peserta memberikan umpan balik terkait
pelaksanaan keterampilan tersebut.

R – Refine practice. Peserta mengulangi keterampilan yang diajarkan dengan bermain


peran dengan sesama peserta. Pada tahap ini instruktur bertugas melakukan supervisi
kepada setiap keterampilan yang dilaksanakan oleh peserta.

Sesi Penutup (10 menit)


Sebelum menutup acara pelatihan ini, instruktur :
1. Mengisi lembar berita acara, dan menandatangani lembar daftar absensi mahasiswa.
2. Memasukkan seluruh berkas ke dalam map yang tersedia.
3. Mengingatkan mahasiswa untuk membuat laporan hasil kegiatan pada lembar laporan
hasil latihan, dan menyerahkannya pada instruktur pada pertemuan berikutnya untuk
dikoreksi, dan ditandatangani / diparaf.
4. Bila perlu, memberikan tugas mandiri berupa materi yang harus dipahami mahasiswa
berkaitan dengan latihan keterampilan pada pertemuan ini, dan untuk pertemuan
selanjunya. Mahasiswa menyelesaikannya dalam bentuk tulisan ilmiah beserta
kepustakaannya, yang dikumpulkan pada pertemuan berikutnya.
5. Mengingatkan mahasiswa untuk mempersiapkan diri dengan baik pada pertemuan
(acara pelatihan) berikutnya.
6. Mengucapkan kata penutup, misalnya Alhamdulillah, atau kata-kata lainnya yang
memberikan motivasi kepada mahasiswa.

vi
Keterampilan Klinik
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

PELAKSANAAN UJIAN SKILLS LAB

Persyaratan Ujian Skills Lab


1. Kehadiran mahasiswa mengikuti kegiatan Skills Lab minimal 75% (maksimal 4x absen
dalam satu semester)
2. Apabila mahasiswa memiliki absen lebih dari 4x dalam satu semester, maka mahasiswa
tersebut dinyatakan gagal proses dan harus mengulang kembali seluruh proses kegiatan
skills lab di semester tersebut.
3. Menyelesaikan pembayaran cicilan kuliah.

Nilai Kelulusan Skills Lab dan Ujian Kesempatan Kedua


1. Nilai kelulusan untuk skills lab minimal B.
2. Ujian kesempatan kedua diizinkan apabila mahasiswa telah mengikuti ujian pertama
dan mendaftarkan diri ke Prodi S.Ked FK UISU untuk mengikuti ujian kesempatan
kedua.

vii
Keterampilan Klinik
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

MATERI KE I
PEMERIKSAAN FISIK JANTUNG
(Bagian Ilmu Penyakit Dalam)

A. TUJUAN UMUM
Pelatihan keterampilan klinis ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran:

Melakukan keterampilan klinis (pemeriksaan fisik, diagnostik dan Terapeutik) terkait


organ jantung dan pembuluh darah

B. TUJUAN KHUSUS
Mahasiswa setelah melakukan skills lab pemeriksaan fisik jantung diharapkan dapat:
1. Melakukan inspeksi pada dinding thoraks terkait pemeriksaan fisik jantung.
2. Melakukan palpasi pada dinding jantung terkait pemeriksaan fisik jantung.
3. Melakukan auskultasi bunyi jantung sesuai dengan area katup jantung.
4. Mengenali bunyi jantung normal dan abnormal.

C. PENDAHULUAN
Setelah melakukan anamnesis penyakit kardiovaskuler, langkah selanjutnya yang
dilakukan adalah melakukan pemeriksaan fisik, untuk mencari ada tidaknya kelainan-
kelainan (abnormalitas) pada jantung dan pembuluh darah. Temuan yang didapatkan dapat
dipergunakan untuk memperkuat informasi-informasi yang didapatkan dari anamnesis,
sehingga dapat membantu dokter dalam menegakkan diagnosis pasti.
Seperti halnya pemeriksaan pada sistem organ lainnya, pemeriksaan fisik jantung dan
pembuluh darah, terdiri dari pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Agar
dapat melakukan pemeriksaan fisik jantung dan pembuluh darah dengan baik dan benar,
pemeriksa terlebih dahulu harus mengetahui topografi jantung, serta titik-titik dan garis
yang dapat dijadikan tolak ukur dalam melakukan pemeriksaan fisik.

D. MATERI SKILLS LAB


1. Topografi Jantung

Jantung terletak pada mediastinum inferior rongga dada. Sebagian besar


jantung terletak pada rongga dada sebelah kiri, yaitu sekitar 2/3 bagian, dan sebagian
kecil lagi terletak pada rongga dada sebelah kanan. Sisi kanan jantung dibatasi oleh
atrium kanan, sedangkan sisi kirinya sebagian besar dibatasi oleh ventrikel kiri, dan
sebagian kecil lagi oleh atrium kiri. Daerah antara ventrikel kiri dan atrium kiri
dinamakan pinggang jantung. Sisi bawah jantung dibatasi oleh diafragma dan ventrikel
kanan, dan sisi sebelah atas terdapat pembuluh-pembuluh darah besar seperti vena kava
superior, aorta ascendens, dan arteri pulmonalis.

Keterampilan Klinik 1
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Jantung yang normal terdiri dari empat ruang utama yang terdiri dari dua
ventrikel yaitu ventrikel kanan dan kiri serta dua atrium kanan dan kiri. Di antara atrium
dan ventrikel terdapat katup-katup yang berfungsi menjaga proses sirkulasi darah
berjalan dengan baik. Keempat katup tersebut adalah katup aorta dan pulmonal yang
terdapat pada daerah basis jantung, serta katup mitral dan trikuspid pada daerah apeks
jantung.

Gambar 1. Struktur Anatomi Luar Jantung Gambar 2. Struktur Anatomi Dalam Jantung

2. Titik-Titik Pedoman Pemeriksaan Fisik Jantung


Sebagai pedoman untuk melakukan pemeriksaan fisik jantung, dipergunakan
titik dan area tertentu pada dada. Titik dan area tersebut antara lain adalah :

Gambar 3. Titik-Titik Pedoman Pemeriksaan Fisik Jantung

Keterampilan Klinik 2
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Keterangan Gambar
• Area Apeks, merupakan lokasi pemeriksaan auskultasi bunyi katup mitral. Area
ini terletak pada sela iga ke-5 kiri, sekitar 2 jari sebelah medial garis midklavikula.
• Area Trikupidalis, merupakan lokasi pemeriksaan auskultasi bunyi katup
trikuspidalis. Area ini terletak pada sela iga ke-4 dan ke-5 garis sternal kiri dan
kanan
• Area Pulmonal, terletak pada sela iga ke-2 garis sternal kiri. Area ini merupakan
lokasi pemeriksaan auskultasi bunyi katup pulmonal
• Area Aorta, terletak pada sela iga ke-2 garis sternal kanan. Area ini merupakan
lokasi pemeriksaan auskultasi bunyi katup aorta
• Area Septal (Erb’s Point), merupakan lokasi pemeriksaan auskultasi untuk
mendengarkan bising jantung yang disebabkan adanya defek pada atrium (ASD),
atau pada ventrikel (VSD). Terletak pada sela iga ke-3 garis sternal kiri
• Angulus Sternalis Ludovici, merupakan tonjolan tulang yang terletak diantara
manubrium dan corpus sterni. Titik ini merupakan tempat melekatnya tulang iga
kedua dengan corpus sterni, dan dapat digunakan sebagai pedoman dalam
menghitung sela iga. Pada pemeriksaan fisik jantung, angulus sterni ludovici
digunakan sebagai pedoman dalam pemeriksaan tekanan vena jugularis eksterna.

3. Garis-Garis Pedoman Pemeriksaan Fisik Jantung


Seperti halnya pemeriksaan fisik toraks, pemeriksaan fisik jantung juga
menggunakan garis-garis vertikal imajiner pada dinding dada anterior, dan lateral
sebagai pedoman. Garis-garis tersebut antara lain adalah, garis midsternal, garis
sternalis (parasternal), garis midklavikula, garis midaksilaris, garis aksilaris anterior,
dan garis aksilaris posterior.

4. Teknik Pemeriksaan Fisik Jantung


Teknik pemeriksaan fisik jantung seperti juga pada pemeriksaan sistem organ
lainnya, terdiri dari pemeriksaan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik, jelaskanlah terlebih dahulu prosedur
pemeriksaan fisik jantung yang akan dilakukan secara lisan dengan bahasa yang
dimengerti oleh pasien. Bila pasien setuju, posisikan pasien pada posisi semi-supine
dengan sudut 300, dan pastikan pasien merasa nyaman dengan posisi tersebut. Posisi
pemeriksaan dapat diubah- ubah sesuai dengan tujuan pemeriksaan. Kemudian, dokter
mencuci tangan dengan sabun antiseptik menggunakan teknik simple hand washing di
bawah air mengalir.

Keterampilan Klinik 3
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Aturlah pakaian pasien sedemikian rupa, sehingga pemeriksaan dapat dilakukan


dengan baik. Pada pasien wanita digunakan kain periksa untuk menutupi bagian tubuh
yang tidak diperiksa. Aturlah pencahayaan ruang periksa, sehingga cukup terang untuk
melakukan pemeriksaan fisik
Gambar 4. Posisi Pemeriksaan Fisik Gambar 5. Perubahan Posisi Pemeriksaan

Semi-Supine Jantung

❖ Inspeksi
Teknik pemeriksaan inspeksi dilakukan pertama-tama adalah mengamati
dengan seksama penampilan pasien, yang mungkin berkaitan dengan adanya penyakit
pada jantung dan pembuluh darah, seperti pasien yang telihat lelah dan lesu karena
berkurangnya cardiac output, gelisah karena sesak nafas terus menerus, atau muka
yang meringis karena rasa nyeri seperti ditusuk-tusuk pada dada.
Amatilah dinding dada dengan seksama. Perhatikan ada tidaknya kelainan pada
dinding dada, seperti jaringan parut bekas operasi (misalnya torakostomi atau median
sternotomi), kelainan bentuk toraks (misalnya pectus excavatum), dan frekuensi nafas
yang meningkat pada kasus edema paru karena kegagalan fungsi ventrikel kiri, dan
lain sebagainya. Pada organ jantung sendiri, dilakukan pengamatan terhadap pulsasi
pada daerah apeks, pulmonal, aorta, dan trikuspid. Pada keadaan normal, pulsasi pada
daerah pulmonal, aorta, dan trikuspid tidak terlihat. Pulsasi apeks (ictus cordis) dalam
keadaan normal, akan terlihat sebagai pulsasi yang terlokalisir pada sela iga ke-5 kiri,
kira-kira 2 cm sebelah medial garis midklavikula kiri.
Lakukan juga pengamatan terhadap kelainan pada organ-organ tubuh yang
memiliki hubungan dengan penyakit jantung dan pembuluh darah. Sebagai contoh,
sianosis sentral yang ditandai dengan bibir pasien yang membiru, adanya clubbing
finger karena cardiac output yang terganggu, sehingga distribusi oksigen jaringan
menjadi buruk, serta ada tidaknya edema anggota tubuh terutama pada tungkai.

Keterampilan Klinik 4
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

❖ Palpasi
Pemeriksaan palpasi dilakukan dengan melakukan perabaan pada area mitral,
trikuspid, aorta, pulmonal, dan septal dengan menggunakan ujung-ujung jari atau
telapak tangan pemeriksa. Yang diperiksa pada pemeriksaan palpasi antara lain :
a. Pulsasi katup-katup jantung. Letakkan ujung jari telunjuk tangan kanan pemeriksa
pada lokasi katup aorta, pulmonal, septal, dan trikuspid untuk merasakan ada
tidaknya pulsasi katup jantung.
b. Pulsasi apeks jantung (ictus cordis). Letakkan telapak tangan kanan pemeriksa
pada dinding toraks sebelah kiri setinggi sela iga ke-5 kiri, 2 cm sebelah medial
garis midklavikula kiri. Lakukanlah penilaian terhadap pulsasi yang dirasakan.
Dalam keadaan normal ictus cordis akan teraba sebagai denyutan, atau tendangan
halus pada jari-jari tangan kanan pemeriksa (ictus cordis +). Lakukan juga
penilaian juga terhadap letak (berapa cm dari garis midsternum), dan ukurannya
(normal 2 cm).

Pulsasi apeks abnormal yang dapat ditemukan antara lain adalah:


• Pulsasi apeks mengeras (ictus kuat angkat). Dapat ditemukan pada orang
yang sangat kurus, kasus pembesaran ventrikel kiri (left ventricular
hypertrophy), tirotoksikosis, dan anemia.
• Perubahan letak dari pulsasi apeks. Terjadi pada kasus pembesaran ventrikel
kiri, atau keadaan-keadaan yang menyebabkan bergesernya letak jantung
seperti pneumotoraks, efusi pleura masif, tumor yang besar, atau fibrotik
yang luas
• Pulsasi yang melemah atau hilang, ditemukan pada pasien obesitas,
hiperinflasi paru, perikarditis, efusi pleura masif, efusi perikardial, dan pada
kelainan anatomi seperti dekstrokardia (jantung berada pada rongga toraks
sebelah kanan).

Gambar 6. Posisi Katup-Katup Jantung Gambar 7. Palpasi Apeks Jantung

Keterampilan Klinik 5
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

c. Palpasi untuk menilai ada tidaknya heaves, yaitu rasa seperti gelombang pada
telapak tangan pemeriksa. Untuk mempalpasi heaves, letakkanlah telapak tangan
pemeriksa pada daerah parasternal sebelah kiri pada toraks. Heaves dapat
ditemukan pada kasus insufisiensi katup mitral dan pembesaran ventrikel kanan
d. Palpasi untuk menilai ada tidaknya thrill, yaitu getaran yang terasa karena desiran
aliran darah. Untuk mempalpasi thrill, letakkanlah telapak tangan penderita
sehingga meliputi area katup aorta dan pulmonal. Thrill terjadi karena adanya
turbulensi aliran darah, yang pada auskultasi terdengar sebagai murmur. Murmur
derajat 4 dapat dipalpasi dan dinyatakan sebagai thrill. Thrill dapat dibedakan
menjadi thrill sistolik dan diastolik, tergantung di fase mana thrill dirasakan.

Gambar 8. Palpasi Parasternal Heaves Gambar 9. Palpasi untuk mencari Thrill

❖ Perkusi
perkusi jantung dilakukan dengan melakukan pengetukan pada dinding toraks,
yaitu pada sela iga. Pemeriksaan ini diawali dengan meletakkan telapak tangan kiri
pada dinding toraks, kemudian tekan sedikit jari telunjuk atau jari tengah tangan kiri
(jari fleksimeter) pada sela iga daerah toraks yang akan diperiksa. Bagian tengah
falang medial dari jari fleksimeter kemudian diketuk dengan ujung jari tengah kanan
(jari fleksor), menggunakan sendi pergelangan tangan sebagai poros. Tujuan dari
pemeriksaan perkusi adalah menentukan batas jantung kanan, batas jantung kiri, dan
batas jantung atas.
a) Batas Jantung Kanan.
Dengan pemeriksaan perkusi dapat ditentukan batas jantung kanan relatif dan
maupun absolut. Batas-batas jantung dapat melebar, bila terjadi pembesaran atrium
maupun ventrikel jantung, sebaliknya batas jantung juga dapat menyempit,
misalnya pada kasus emfisema paru yang berat (jantung pendulum).

Keterampilan Klinik 6
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

- Tentukan terlebih dahulu garis midklavikula kanan.


- Lakukan perkusi pada sela-sela iga sepanjang garis midklavikula kanan dari
arah kranial ke kaudal, seperti melakukan pemeriksaan perkusi batas paru-
hepar.
- Perkusi dilakukan hingga terjadi perubahan bunyi perkusi dari sonor memendek
menjadi beda, biasanya ditemukan pada sela iga ke-6 kanan.
- Kemudian dengan berpedoman dengan titik batas paru-hepar absolut, ukurlah 2
jari ke arah kranial, untuk menentukan titik awal perkusi batas jantung kanan.
- Pada titik ini, letakkanlah jari fleksimeter pada sela iga dengan posisi tegak lurus
terhadap iga.
- Selanjutnya lakukanlah perkusi ke arah medial, untuk mencari perubahan bunyi
perkusi dari sonor menjadi sonor memendek yang merupakan batas jantung
kanan relatif. Pada orang normal, batas jantung kanan relatif didapatkan pada
garis sternal kanan.
- Dari titik batas jantung kanan relatif ini, lanjutkan perkusi ke arah medial untuk
mencari perubahan bunyi perkusi dari sonor memendek menjadi beda, yang
merupakan batas jantung kanan absolut. Batas jantung kanan absolut didapatkan
pada garis midsternal.
b) Batas Jantung Kiri
- Tentukan terlebih dahulu garis aksilaris anterior kiri.
- Letakkan jari fleksimeter pada sela iga teratas yang dilalui oleh garis aksillaris
anterior kiri, dengan arah jari fleksimeter sejajar dengan iga.
- Lakukan perkusi dari arah kranial ke kaudal, untuk mencari perubahan bunyi
perkusi dari sonor menjadi timpani, yang merupakan batas paru-lambung.
Biasanya perubahan bunyi perkusi ini ditemukan pada sela iga ke-8 kiri.
- Kemudian dengan berpedoman dengan batas paru-lambung, ukurlah 2 jari ke
arah kranial untuk menentukan titik awal perkusi batas jantung kiri.
- Pada titik ini, letakkanlah jari fleksimeter pada sela iga dengan posisi tegak lurus
terhadap iga.
- Selanjutnya lakukanlah perkusi ke arah medial, untuk mencari perubahan bunyi
perkusi dari sonor menjadi sonor memendek, yang merupakan batas jantung kiri
relatif. Pada orang normal, batas jantung kiri relatif biasanya terletak 2 jari
sebelah medial garis midklavikula kiri.
- Dari titik batas jantung kiri relatif ini, lanjutkan perkusi ke arah medial, untuk
mencari perubahan bunyi perkusi dari sonor memendek menjadi beda, yang
merupakan batas jantung kiri absolut.
c) Batas Jantung Atas
- Tentukan terlebih dahulu garis sternal kiri.
- Letakkan jari fleksimeter pada sela iga pertama (di bawah tulang klavikula),
yang dilalui oleh garis sternal kiri, dengan arah jari fleksimeter sejajar dengan
iga.
- Lakukan perkusi dari arah kranial ke kaudal untuk mencari perubahan bunyi
perkusi dari sonor menjadi sonor memendek yang merupakan batas atas jantung
Biasanya perubahan bunyi perkusi ini ditemukan pada sela iga ke-2 kiri.

❖ Auskultasi
Pemeriksaan auskultasi bertujuan untuk mendengarkan bunyi-bunyi jantung,
irama jantung, dan bising jantung bila terdapat kelainan pada jantung. Sebelum

Keterampilan Klinik 7
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

melakukan pemeriksaan auskultasi, perlu diperhatikan kondisi dari ruang periksa.


Ruang periksa haruslah tenang sehingga perhatian pemeriksa dapat terfokus.
Pemeriksaan auskultasi dilakukan dengan menggunakan alat bantu yaitu
stetoskop. Stetoskop terdiri dari dua sisi, yaitu sisi diafragma dan bell. Kedua sisi ini,
dapat dipergunakan sesuai dengan suara jantung yang akan diperiksa.
Sisi diafragma, digunakan untuk mendengarkan suara jantung yang bernada
tinggi seperti bunyi jantung 1, bunyi jantung 2, serta murmur sistolik, dan diastolik
pada katup aorta. Sisi bell, dipergunakan untuk mendengarkan suara jantung yang
bernada rendah, misalnya murmur pada daerah mitral, dan trikuspid. Sewaktu
melakukan pemeriksaan auskultasi, sisi bell tidak boleh ditekan hingga rapat dengan
permukaan dinding toraks.
Pemeriksaan auskultasi dilakukan secara sistematis, dengan menggunakan
diafragma stetoskop dari daerah basis ke daerah apeks jantung, dilanjutkan dengan
mendengarkan suara jantung pada daerah mitral, kemudian trikuspid dengan
menggunakan permukaan bell stetoskop, untuk mendengarkan bunyi jantung
berintensitas rendah seperti suara jantung III, suara jantung IV, atau murmur pada
stenosis katupmitral.

Gambar 10. Permukaan Diafragma Stetoskop Gambar 11. Permukaan Bell


Stetoskop

Sebelum melakukan pemeriksaan auskultasi, terlebih dahulu harus diketahui


titik lokasi auskultasi yang dapat memberikan suara jantung yang baik. Titik-titik
lokasi auskultasi jantung antara lain adalah :
- Area Mitral, merupakan lokasi pemeriksaan auskultasi bunyi katup mitral. Area ini
terletak pada sela iga ke-5 kiri sekitar 2 jari sebelah medial garis midklavikula.
- Area Trikupidalis, merupakan lokasi pemeriksaan auskultasi bunyi katup
trikuspidalis. Area ini terletak pada sela iga ke-4 dan ke-5 garis sternal kiri dan
kanan.

Keterampilan Klinik 8
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

- Area Pulmonal, terletak pada sela iga ke-2 garis sternal kiri. Area ini merupakan
lokasi pemeriksaan auskultasi bunyi katup pulmonal.
- Area Aorta, terletak pada sela iga ke-2 garis sternal kanan. Area ini merupakan
lokasi pemeriksaan auskultasi bunyi katup aorta.

5. Bunyi Jantung Normal.


Bunyi jantung normal dapat terdengar sebagai bunyi ”lupp dubb” terdiri dari bunyi
jantung I yang diikuti oleh bunyi jantung II.
▪ Bunyi Jantung I, terdengar sewaktu terjadi penutupan katup mitral dan trikuspid
serta terbukanya sehingga darah dipompakan dari ventrikel kiri ke seluruh tubuh.
Bunyi jantung I selalu terdengar bersamaan dengan denyut arteri sistemik misalnya
arteri karotis atau radialis, sehingga dapat dibedakan dengan bunyi jantung II
dengan cara mempalpasi arteri karotis pada leher, atau arteri radialis sewaktu
mendengarkan bunyi jantung.
▪ Bunyi Jantung II, terdengar setelah bunyi jantung I. Bunyi jantung II timbul
sewaktu terjadi penutupan aorta dan pulmonal serta terbukanya katup mitral dan
trikuspid, sehingga terjadi pengisian ventrikel kiri.
▪ Fase antara bunyi jantung I dan bunyi jantung II disebut fase sistolik, sedangkan
fase antara bunyi jantung II dan bunyi jantung I disebut fase diastolik.
▪ Bunyi jantung I terdengar lebih keras dari bunyi jantung II pada daerah mitral dan
trikuspid, sebaliknya pada daerah basis jantung (aorta dan pulmonal), bunyi
jantung I terdengar lebih lemah dari bunyi jantung II.

Gambar 12. Auskultasi Daerah Aorta Gambar 13. Auskultasi Daerah Pulmonal

Keterampilan Klinik 9
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 14. Auskultasi Daerah Trikuspid Gambar 15. Auskultasi Daerah Mitral

Gambar 16. Auskultasi Daerah Mitral (bell) Gambar 17. Auskultasi Daerah Trikuspid (bell)

6. Murmur (bising jantung).


Setiap melakukan pemeriksaan auskultasi jantung, hal lain yang harus
diperhatikan selain suara jantung normal (bunyi jantung I dan II), adalah murmur atau
bising jantung. Murmur dapat terdengar disebabkan oleh dua hal, yaitu terjadinya
turbulensi, dan peningkatan aliran darah jantung. Sedangkan terjadinya turbulensi
karena adanya abnormalitas dari katup, ruang, dan pembuluh-pembuluh darah besar
jantung. Bila terdengar murmur, harus diperhatikan beberapa hal sebagai berikut yaitu
:
▪ Terletak di fase manakah murmur tersebut. Caranya dengan menentukan
terlebih dahulu bunyi jantung I. Bila murmur terdengar diantara bunyi jantung I
dan bunyi jantung II, murmur tersebut dinamakan murmur sistolik. Sebaliknya bila
murmur terdengar diantara bunyi jantung II dan bunyi jantung I, murmur tersebut

Keterampilan Klinik 10
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

dinamakan murmur diastolik. Bila murmur terdengar terus menerus di fase


sistolik dan diastolik, murmur tersebut dinamakan murmur kontinyu.
▪ Jenis Murmur. Berdasarkan letaknya pada fase sistolik, murmur sistolik dapat
dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu early, mid, late dan pan sistolik. Murmur
early sistolik terdengar mulai pada saat sesudah bunyi jantung I dan berakhir pada
pertengahan fase sistolik. Murmur mid sistolik terdengar sesudah bunyi jantung
I dan pada pertengahan fase sistolik, dan berakhir sebelum terdengar bunyi
jantung II. Murmur late sistolik terdengar pada akhir fase sistolik, dan berakhir
pada saat terdengar bunyi jantung II. Murmur pan sistolik mulai terdengar pada
saat bunyi jantung I dan berakhir pada saat terdengar bunyi jantung II. Murmur
ejection sistolik terdengar sebagai bising jantung dengan nada yang keras karena
darah dipompakan melalui celah (katup) yang menyempit misalnya pada kasus
stenosis aorta. Murmur diastolik (diastolic murmur), terdengar pada fase diastolik,
dan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu murmur early, mid, dan pre
sistolik. Murmur early diastolik terdengar terdengar mulai pada saat sesudah
bunyi jantung II dan berakhir pada pertengahan fase diastolik. Murmur mid
diastolik terdengar sesudah bunyi jantung II dan pada pertengahan fase diastolik,
dan berakhir sebelum terdengar bunyi jantung I. Murmur pre sistolik terdengar
pada akhir dari fase diastolik, dan berakhir saat terdengarnya bunyi jantung satu.

Gambar 18. Letak Fase & Jenis Murmur Jantung

Keterampilan Klinik 11
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

▪ Lokasi dimana murmur terdengar paling keras (punctum maximum),


misalnya pada daerah apeks, trikuspid, aorta, maupun pulmonal. Dalam
menentukan punctum maximum suatu murmur, dapat dilakukan beberapa
manuver khusus berupa perubahan-perubahan posisi pemeriksaan, sehingga
murmur dapat terdengar dengan jelas. Untuk menentukan punctum maximum
murmur pada daerah apeks, pasien dapat dimiringkan ke sebelah kiri, sehingga
bising jantung dapat terdengar lebih jelas. Pada daerah trikuspid, punctum
maximum murmur dapat ditentukan dengan memeriksa pasien dalam posisi
duduk dan pasien disuruh menarik nafas (inspirasi) dalam, dan ditahan. Bising
jantung akan terdengar lebih keras pada saat inspirasi, dan akan terdengar
melemah pada saat ekspirasi. Pada daerah aorta dan pulmonal, pasien diperiksa
dalam posisi duduk, dengan posisi stetoskop pada daerah katup aorta dan
pulmonal.

Gambar 19. Punctum Maximum Murmur Gambar 20. Punctum Maximum


Apeks Trikuspid

▪ Derajat Intensitas Murmur (grade). Berdasarkan derajat intensitasnya, murmur


dapat dibagi menjadi 6 tingkat antara lain adalah :
- Derajat 1. Bila murmur terdengar samar-samar.
- Derajat 2. Bila murmur terdengar halus.
- Derajat 3. Bila murmur terdengar jelas namun tidak terlalu keras.
- Derajat 4. Bila murmur terdengar keras. Murmur derajat 4 dapat ditentukan
dengan meletakkan telapak tangan pemeriksa pada dinding dada misalnya
daerah apeks, kemudian murmur dapat terdengar bila stetoskop diletakkan
pada punggung telapak tangan tersebut.
- Derajat 5. Bila murmur terdengar sangat keras. Murmur derajat 5 dapat
ditentukan dengan cara meletakkan telapak tangan, misalnya telapak tangan
kanan pemeriksa pada dinding dada misalnya daerah apeks, kemudian murmur
dapat terdengar bila stetoskop diletakkan pada lengan bagian bawah kanan
pemeriksa.

Keterampilan Klinik 12
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

- Derajat 6. Bila murmur (bising jantung) terdengar dengan jelas tanpa harus
menggunakan stetoskop.

▪ Penjalaran Murmur (radiation). Pada kasus insufisiensi mitral dapat terjadi


penjalaran bunyi murmur ke daerah lateral dan aksila pasien. Pada kasus kelainan
katup aorta, murmur dapat terdengar pada auskultasi arteri karotis pada derah
leher. Sedangkan pada kasus prolaps katup mitral (mitral valve prolaps), tidak
ditemukan penjalaran murmur.

▪ Kualitas Murmur. Murmur dapat terdengar kasar seperti bunyi gesekan yang
disebut rumble. Ditemukan pada kasus stenosis mitral dan merupakan murmur
diastolik. Murmur dapat juga terdengar halus seperti bunyi tiupan angin dan
biasanya terdengar pada fase sistolik.

▪ Tipe (konfigurasi) Murmur. Berdasarkan tipenya, murmur dapat dibedakan


menjadi murmur tipe kresendo, murmur tipe dekresendo, murmur tipe diamond
shape (kresendo- dekresendo), dan murmur tipe plateu. Murmur kresendo
adalah murmur yang terdengar awalnya lemah kemudian menjadi keras. Murmur
dekresendo adalah murmur yang terdengar awalnya keras kemudian menjadi
lemah. Murmur tipe kresendo-dekresendo adalah murmur yang awalnya
terdengar lemah, kemudian mengeras, dan kembali terdengar lemah. Murmur
tipe plateu (sustained plateu murmur, atau murmur pan (holo) sistolik), adalah
murmur yang terdengar disepanjang fase sistolik, yaitu mulai terdengar pada saat
bunyi jantung I, dan berakhir pada saat terdengar bunyi jantung II. Murmur pan
sistolik timbul karena adanya aliran darah abnormal yang melalui defek septum
interventrikuler.

Gambar 21. Punctum Maximum Murmur Aorta Gambar 22. Konfigurasi Murmur

Keterampilan Klinik 13
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

7. Irama Jantung.
Irama jantung yang normal adalah irama yang teratur (reguler), bergantian antara bunyi
jantung I dan bunyi jantung II, dengan denyut jantung antara 60-100 kali per menit.
Irama jantung (beat) dapat dilihat dalam gambaran elektrokardiografi sebagai irama
sinus yang teratur. Selain irama normal beberapa irama jantung lainnya yang sering
ditemukan adalah:
▪ Irama Jantung Irreguler. Merupakan irama jantung yang tidak teratur, ditemukan
pada keadaan-keadaan patologis, seperti pada kasus ventrikel ekstra sistole
(VES), dimana terdengar denyut jantung tambahan pada irama jantung yang
reguler, atau pada kasus atrial dan ventrikel fibrilasi, yang dapat dilihat dalam
gambaran elektrokardiografi sebagai irama jantung yang tidak teratur dan cepat.
Irama jantung seperti ini merupakan pertanda kegawat daruratan medis
kardiovaskuler.
▪ Irama Gallop. Irama jantung ini dinamakan gallop karena terdengar seperti
bunyi derap sepatu kuda yang sedang berlari. Irama gallop biasanya dapat
terdengar di daerah apeks terutama pada pasien kasus gagal jantung. Irama
gallop ditandai dengan terdengarnya bunyi jantung tambahan yaitu bunyi
jantung III atau bunyi jantung IV, dengan irama jantung yang cepat.

8. Bunyi Jantung Tambahan.


Bunyi jantung tambahan adalah bunyi jantung yang terdengar selain bunyi jantung
normal. Bunyi jantung tambahan tidak terdengar pada keadaan normal dan merupakan
pertanda adanya kelainan pada jantung. Beberapa bunyi jantung tambahan yang perlu
diketahui antara lain adalah:
- Opening Snap. Merupakan bunyi jantung tambahan yang terdengar sebagai bunyi
dengan intensitas tinggi sesudah bunyi jantung II, terjadi karena terbukanya katup
mitral yang kaku secara mendadak. Ditemukan pada kasus stenosis mitral.
Semakin dekat jarak antara bunyi jantung II dengan opening snap, semakin berat
derajat stenosis mitral yang dialami
- Aortic Click. Merupakan bunyi jantung tambahan yang terdengar sebagai bunyi
berintensitas tinggi sesudah bunyi jantung I, terjadi karena membukanya katup
aorta yang kaku secara mendadak. Ditemukan pada kasus stenosis aorta
- Pericardial Rub. Merupakan bunyi jantung tambahan yang terdengar sebagai
suara gesekan yang kasar pada daerah apeks dan trikuspid pada fase sistolik,
diastolik maupun keduanya. Bunyi jantung tambahan ini muncul karena gesekan
antara pleura parietal dan viseral, dan bunyinya tidak dipengaruhi oleh pernafasan.
- Bunyi Jantung III. Merupakan bunyi jantung tambahan berintensitas rendah yang
terdengar tidak lama setelah bunyi jantung II, dan biasanya terdengar pada daerah
apeks jantung. Bunyi ini timbul karena aliran darah mendadak dengan jumlah
banyak dari atrium kiri ke ventrikel kiri, pada permulaan fase diastolik. Ditemukan
pada kasus insufisiensi mitral, dan dapat terdengar lebih jelas bila posisi pasien
dimiringkan ke kiri, kemudian didengarkan dengan permukaan bell stetoskop pada
daerah apeks jantung.

Keterampilan Klinik 14
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

- Bunyi Jantung IV. Merupakan bunyi jantung tambahan yang terdengar sesaat
sebelum bunyi jantung I, dan biasanya terdengar pada daerah apeks jantung. Bunyi
ini timbul karena kontraksi atrium yang kuat dalam memompakan darah ke
ventrikel. Ditemukan pada kasus gagal jantung, dan dapat terdengar dengan
pemeriksaan auskultasi jantung dengan stetoskop sebagai irama gallop.

E. ALAT DAN BAHAN


Alat dan bahan yang dibutuhkan:
- Meja
- Tempat tidur periksa
- Stetoskop
- Manekin pemeriksaan fisik jantung (manekin setengah badan)

F. CARA KERJA

Langkah pemeriksaan fisk jantung:


1. Mengucapkan salam, memperkenalkan diri, memastikan identitas pasien,
menjelaskan dan meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan.
2. Memeriksa ketersediaan alat
3. Mencuci tangan
4. Meminta pasien untuk mengangkat/membuka pakaian sehingga bagian toraks
terpapar dan meminta untuk berbaring posisi supine.
Inspeksi
1. Inspeksi habitus, bentuk dada, dan kelainan yang ditemukan
2. Inspeksi letak iktus kordis dan menyebutkan serta menuliskan dengan benar letak
iktus kordis (apabila terlihat).
Palpasi
1. Meletakkan sisi palmar jari-jari tangan atau seluruh telapak tangan pada dinding
toraks di lokasi apeks jantung
2. Jika iktus kordis tidak dapat diidentifikasi dengan posisi supine, meminta pasien
untuk mengangkat lengan kiri pada posisi lateral dekubitus kiri.
3. Palpasi kembali dengan tekanan lembut.
4. Pada palpasi iktus kordis, identifikasi pula apakah ada thrill, heaving, lifting atau
tapping.

Keterampilan Klinik 15
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 23. Palpasi Iktus

Perkusi
1. Pada posisi 2 jari di atas batas paru dengan lambung dilakukan perkusi ke medial
untuk menentukan batas kiri jantung (redup). Jari tangan yang mengetuk (perkusor)
harus tegak lurus dengan bidang yang sejajar dengan jantung pada bagian jari yang
diketuk (plesimeter)
2. Perkusi pada linea parasternalis kiri ke bawah untuk menentukan pinggang jantung
(redup).
3. Perkusi pada linea midklavikula kanan untuk mencari batas paru (sonor) dengan
hepar (redup).
4. Pada posisi 2 jari di atas batas paru dengan hati dilakukan perkusi ke medial untuk
menentukan batas kanan jantung (redup).

Gambar 24. Teknik Perkusi

Keterampilan Klinik 16
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Auskultasi
1. Melakukan pemeriksaan auskultasi sambil membandingkan dengan meraba pulsasi
arteri karotis.
2. Auskultasi pada daerah sela iga 2 linea parasternalis kanan untuk mendengarkan
bunyi katup aorta.
3. Auskultasi pada daerah sela iga 2 linea parasternalis kiri untuk mendengarkan bunyi
katup pulmonal.
4. Auskultasi pada daerah sela iga 4-5 linea parasternalis kiri untuk
5. mendengarkan bunyi katup trikuspid, dibandingkan waktu inspirasi dan ekspirasi.
6. Auskultasi pada daerah sela iga 4-5 linea midclavicular kiri untuk mendengarkan
bunyi katup mitral.
7. Setelah pemeriksaan selesai, meminta pasien untuk memakai pakaian kembali
8. Merapikan alat
9. Mencuci tangan

Gambar 25. Area Auskultasi Jantung

Keterampilan Klinik 17
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

G. LAPORAN KERJA
Yang Sudah Baik Saya Kerjakan:

Yang Belum Baik Saya Kerjakan:

Rencana Kerja Saya Selanjutnya:

Umpan Balik Dari Instruktur:

Medan,......................2021
Instruktur

(..........................................)

Keterampilan Klinik 18
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

H. LEMBAR PENGAMATAN

LEMBAR PENGAMATAN
PEMERIKSAAN FISIK JANTUNG

*)Beri tanda √ pada kolom yang disediakan sesuai dengan penilaian anda
No. KEGIATAN 0* 1* 2*
1. Inspeksi pemeriksaan fisik jantung
2. Palpasi pemeriksaan fisik jantung (iktus, haves, thrill)
3. Perkusi pemeriksaan fisik jantung
4. Auskultasi pemeriksaan fisik jantung

Keterangan :
0= Tidak dilakukan
1= Dilakukan tetapi tidak sempurna
2= Dilakukan dengan sempurna

REFERENSI

1. Chamberlain EN, Ogilvie C.(1974) Symptoms and Sign in Clinical Medicine An


Introduction to Medical Diagnosis, 9thEd. The English Language Book Society Bristol
John Right & Sons Ltd.
2. Gledel J. (2011). At a glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. (Terjemahan),
Penerbit Erlangga. Jakarta.
3. Nasution HH, dkk (2012). Pemeriksaan Fisik, USU Press, 2012 Zein U
(2012)Anamnesis, USU Press, 2012
4. Kolegium Ilmu Penyakit Dalam (2017). Panduan Teknik Pemeriksaan dan Prosedur
Klinis Ilmu Penyakit Dalam, Perhimpunan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
Indonesia, 2017

Keterampilan Klinik 19
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

MATERI KE II
PEMERIKSAAN FISIK PEMBULUH DARAH
( PENGUKURAN TEKANAN VENA JUGULARIS/TVJ, PALPASI ARTERI:
KAROTIS, RADIALIS, BRACHIALIS, FEMORALIS, POPLITEA, DORSALIS
PEDIS, TIBIALIS
(Julahir Hotmatua Siregar, Wika Hanida Lubis, Umar Zein, Azhar Tanjung,
Habibah Hanum Nasution)

A. TUJUAN UMUM
Pelatihan keterampilan klinis ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran:

Melakukan keterampilan klinis (pemeriksaan fisik, diagnostik dan Terapeutik) terkait


organ jantung dan pembuluh darah

B. TUJUAN KHUSUS
Mahasiswa setelah melakukan skills lab pemeriksaan fisik pembuluh darah diharapkan
dapat:
1. Pemeriksaan Fisik Tekanan Vena Jugularis
2. Pemeriksaan Fisik Palpasi arteri karotis
3. Pemeriksaan Fisik arteri radialis
4. Pemeriksaan Fisik arteri brachialis
5. Pemeriksaan Fisik arteri Femoralis
6. Pemeriksaan Fisik arteri Poplitea
7. Pemeriksaan Fisik arteri Dorsalis Pedis
8. Pemeriksaan Fisik arteri Tibialis Posterior

C. PENDAHULUAN
Pemeriksaan Fisik pembuluh darah bertujuan untuk melakukan penilaian/evaluasi
terhadap aliran darah. Aliran darah ini dipengaruhi oleh berbagai organ dan juga berbagai
kondisi dari tubuh. Pada pemriksaan fisik oembuluh darah penilaiandilakukan terhadap
beberapa hal seperti: Frekwensi, Irama, tegangan dan Volume, selain itu juga bisa dilihat
kecepatan pengisian dari pembuluh darah.

D. MATERI SKILLS LAB


Pengukuran tekanan vena jugularis dilakukan dengan tujuan untuk melihat
kecepatan pengisian vena jugularis, kelainan pada pengukuran TVJ menunjukkan adanya
pembendungan di aliran balik vena yang biasanya diakibatkan oleh pembesaran jantung.
Pemeriksaan arteri lainnya seperti arteri karotis, radialis, brachialis, femoralis,
poplitea, dorsalis pedis, tibialis posterior dilakukan secara palpasi dengan tujuan untuk
menilai Frekwensi, Irama, Tegangan dan Volume. Penilaian ini perlu dilakukan untuk
melakukan evaluasi dari suplai darah terhadap organ yang di perdarahi, kondisi pembuluh
darah, kondisi jantung.

Keterampilan Klinik 20
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

E. ALAT DAN BAHAN


Alat dan bahan pada pemeriksaan ini berupa:
1. Manikin
2. Penggaris
3. Pulpen/spidol
4. Stopwatch

F. CARA KERJA
PEMERIKSAAN TEKANAN VENA JUGULARIS/TVJ
1. Lakukan informed concernt / persetujuan tindakan medis.
2. Pemeriksa berada di sebelah kanan pasien
3. Meminta pasien untuk tidur terlentang dengan bantal dengan sudut 30-450.
4. Miringkan kepala menghadap arah yang berlawanan dari arah yang akan di
periksa/menghadap kiri.
5. Identifikasi/tentukan pulsasi vena Jugularis.
6. Menekan vena dengan 1 jari disebelah atas clavicula.
7. Menekan vena disebelah atas dekat mandibula dengan jari yang lain.
8. Melepas tekanan disebelah bawah di atas clavicula.
9. Perhatikan sampai dimana vena terisi waktu inspirasi biasa.
10. Membuat bidang datar melalui angulus ludovici sejajar lantai.
11. Menghitung jarak antara puncak pengisian vena dengan bidang datar yang melalui
angulus ludovici.
12. Catat dan buat laporan pengukuran TVJ.

Gambar 1. Inspeksi Vena Jugularis dan angulus Ludovici

Keterampilan Klinik 21
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 2. Pengukuran TVJ

Cara menuliskan hasil pemeriksaan TVJ


- TVJ=5+2 atau R+2 (5 atau R menunjukkan jarak dari atrium kanan ke manubrium
sternum, 2 menunjukkan hasil yang diperoleh dari pengkuran)
- Nilai normal ≤2 cm, lebih dari normal menunjukkan adanya peningkatan tekanan
atrium/ventrikel kanan.

PALPASI ARTERI KAROTIS


1. Mintalah pasien untuk berbaring dan aturlah posisi pemeriksaan dengan menggunakan
sandaran sehingga membentuk sudut 30-450 terhadap bidang datar (horizontal).
2. Amatilah pulsasi arteri karotis, apakah normal, meningkat, atau melemah.
3. Kemudian tentukan letak arteri karotis, dengan meraba sisi sebelah dalam muskulus
sternokleidomastoideus dengan menggunakan ibu jari tangan pemeriksa.
4. Palpasilah pada setengah bawah bagian leher untuk mencegah penekanan pada sinus
karotis. Pemeriksaan palpasi dimulai dari palpasi denyut arteri karotis kiri kemudian
dilanjutkan palpasi denyut arteri karotis kanan. Jangan melakukan pemeriksaan
palpasi denyut arteri karotis pada kedua sisi leher sekaligus.
5. Palpasilah denyut arteri karotis kanan dengan menggunakan ibu jari tangan kiri
pemeriksa.
6. Lakukan penilaian terhadap amplitudo, dan kontour dari denyut arteri karotis, apakah
denyut terasa normal, semakin cepat, semakin lambat, mengeras, atau melemah.
7. Palpasilah dan lakukan penilaian terhadap denyut arteri karotis kiri dengan
menggunakan ibu jari tangan kanan pemeriksa.
8. Bandingkanlah denyut arteri karotis kanan dengan yang kiri.

Keterampilan Klinik 22
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 3. Lokasi dan palpasi arteri karotis

ARTERI RADIALIS
1. Mencari denyut a. radialis pada pergelangan tangan kanan dan kiri pasien dengan
palpasi menggunakan jari telunjuk dan jari tengah.
2. Menilai frekuensi, kekuatan dan irama denyut a. radialis selama 1 menit.
3. Melaporkan hasil penilaian frekuensi, kekuatan dan irama denyut a. radialis.

Gambar 4. palpasi arteri radialis

ARTERI BRACHIALIS
1. Mencari denyut a. brachialis pada fossa cubiti lengan kanan dan kiri pasien dengan
palpasi menggunakan jari telunjuk dan jari tengah.
2. Menilai frekuensi, kekuatan dan irama denyut a. brachialis selama 1 menit.
3. Melaporkan hasil penilaian frekuensi, kekuatan dan irama denyut a. Brachialis.

Keterampilan Klinik 23
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 5. palpasi arteri Brachialis

ARTERI FEMORALIS
1. Mencari denuyt arteri femoralis di bawah ligamentum inguinalis, antara SIAS dengan
Simfisis Pubis.
2. Lakukan palpasi dengan dua tangan, satu diatas yang lainnya, terutama pada orang
gemuk.
3. Melaporkan hasil penilaian frekuensi, kekuatan dan irama denyut arteri femoralis.

Gambar 6. palpasi arteri femoralis

ARTERI POPLITEA
1. Mencari denyut arteri poplitea pada fossa poplitea kanan dan kiri pasien dengan
palpasi menggunakan jari telunjuk dan jari tengah.
2. Fleksikan tungkai pasien sekitar 900, sandarkan tungkai ke bahu pemeriksaa atau
lengan atas pemeriksa, minta pasien untuk melemaskan tungkainya.
3. Menilai frekuensi, kekuatan dan irama denyut arteri poplitea selama 1 menit.
4. Melaporkan hasil penilaian frekuensi, kekuatan dan irama denyut arteri poplitea

Keterampilan Klinik 24
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

.
Gambar 7. palpasi arteri Poplitea

ARTERI DORSALIS PEDIS


1. Mencari denyut arteri dorsalis pedis pada punggung kaki kanan dan kiri pasien dengan
palpasi menggunakan jari telunjuk dan jari tengah.
2. Menilai frekuensi, kekuatan dan irama denyut arteri dorsalis pedis selama 1 menit.
3. Melaporkan hasil penilaian frekuensi, kekuatan dan irama denyut arteri dorsalis pedis.

Gambar 8. palpasi arteri Dorsalis Pedis

Keterampilan Klinik 25
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

ARTERI TIBIALIS POSTERIOR


1. Mencari denyut arteri tibialis posterior pada posterior maleolus medial kanan dan kiri
pasien dengan palpasi menggunakan jari telunjuk dan jari tengah.
2. Menilai frekuensi, kekuatan dan irama denyut arteri tibialis posterior selama 1 menit.
3. Melaporkan hasil penilaian frekuensi, kekuatan dan irama denyut arteri tibialis
posterior.

Gambar 8. Palpasi Tibialis Posterior

Keterampilan Klinik 26
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

G. LAPORAN KERJA
Yang Sudah Baik Saya Kerjakan:

Yang Belum Baik Saya Kerjakan:

Rencana Kerja Saya Selanjutnya:

Umpan Balik Dari Instruktur:

Medan,......................2021
Instruktur

(..........................................)

Keterampilan Klinik 27
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

H. LEMBAR PENGAMATAN

LEMBAR PENGAMATAN
PEMERIKSAAN FISIK PEMBULUH DARAH

*)Beri tanda √ pada kolom yang disediakan sesuai dengan penilaian anda
No. KEGIATAN 0* 1* 2*
1. Pemeriksaan Tekanan Vena Jugularis (TVJ)
2. Palpasi arteri karotis
3. Palpasi arteri radialis
4. Palpasi arteri brachialis
5. Palpasi arteri femoralis
6. Palpasi arteri poplitea
7. Palpasi arteri dorsalis pedis
8. Palpasi arteri tibialis posterior

Keterangan :
0= Tidak dilakukan
1= Dilakukan tetapi tidak sempurna
2= Dilakukan dengan sempurna

REFERENSI

1. Kolegium Ilmu Penyakit Dalam: Panduan Teknik Pemeriksaan dan Prosedur Klinis Ilmu
Penyakit Dalam. PAPDI:2017
2. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia: Panduan Ketrampilan Klinis Bagi dokter di
Fasilitas Primer, ed.1:2017

Keterampilan Klinik 28
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

MATERI KE III
PEMASANGAN DAN INTERPRETASI ELEKTROKARDIOGRAFI (EKG)
(Julahir Hotmatua Siregar, Wika Hanida Lubis, Umar Zein, Azhar Tanjung,
Habibah Hanum Nasution)

A. TUJUAN UMUM
Pelatihan keterampilan klinis ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran:

Melakukan keterampilan klinis (pemeriksaan fisik, diagnostik dan Terapeutik) terkait


organ jantung dan pembuluh darah

B. TUJUAN KHUSUS
Mahasiswa setelah melakukan skills lab pemasangan dan interpretasi EKG diharapkan
dapat:
1. Pemasangan EKG
2. Anatomi dan fisiologi kelistrikan jantung.
3. Membaca EKG normal
4. Membaca EKG abnormal
▪ Adanya kelainan-kelainan irama jantung dan otot jantung.
▪ Pengaruh /efek obat-obat jantung.
▪ Ganguan -gangguan elektrolit.
▪ Pembesaran jantung/hipertropi atrium dan ventrikel
▪ Kelainan pembuluh darah jantung/PJK

C. PENDAHULUAN
Elektrokardiografi (EKG) adalah grafik yang merekam potensial/aktivitas listrik pada
jantung yang dihantarkan ke permukaan badan dan tercatat sebagai perbedaan potensial
pada elektroda-elektroda pada kulit. Perbedaan potensial ini terjadi karena proses eksitasi
yang tidak terjadi simultan pada seluruh jantung. Elektrokardiografi merepresentasikan
aktivitas listrik total pada jantung yang direkam pada permukaan tubuh. Hal yang harus
diingat adalah bahwa elektrokardiografi merupakan “gambaran” listrik suatu objek tiga
dimensi.

D. MATERI SKILLS LAB


Elektrokardiografi (EKG) merupakan rekaman aktivitas listrik di jantung yang
digambarkan dalam bentuk gelombang. Gelombang ini terdiri dari P, Q, R, S, T dan U.
EKG ini direkam pada 12 sadapan/lead dimana setiap sadapan membrikan gambaran dari
sudut yang berbeda mulai dari bagian atas, samping, depan dan bagian bawah jantung,
sehingga dapat menggambarkan secara keseluruhan area jantung.
EKG ini direkam dan dicetak diatas kertas yang memiliki bentuk tersendiri. Kertas
EKG terdapat dalam dua bentuk tergantung pada mesin EKG. Kertas EKG ada yang
memanjang dan ada yang seukuran kertas A4. Pada kertas EKG terdapat garis-garis tipis
dan tebal baik horizontal maupun vertical. Garis tipis membatasi kotak-kotak kecil seluas

Keterampilan Klinik 29
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

1x1mm yang setiap jaraknya merupakan 0.04 detik, garis tebal membatasi kotak besar
seluas 5x5mm yang setiap kotak besarnya 0.2detik (5x0,04detik). Sumbu vertical
mengukur voltase dimana setiap kotak kecil memberikan 0.1mV, dan kotak beasr 0.5mV.
Gelombang EKG ini memiliki 3 sifat utama yaitu:
1. Durasi: diukur dalam seperbagian detik (gambaran kesamping/lebar gelombang)
2. Amplitudo: diukur dalam Voltase (gambaran keatas/tinggi gelombang)
3. Konfigurasi/morfologi/bentuk: merupakan kriteria subjektif sehubungan dengan
bentuk gelombang.
Gelombang EKG yang terekam, akan memberikan gambaran keadaan dari jantung
apakah normal atau ada kelainan. Kelainan yang dapat di simpulkan dari EKG berupa
kelainan pada:
1. Bentuk/ukuran jantung.
2. Irama/impuls jantung
3. Pembuluh darah/sclerosis pembuluh darah/ pejakit jantung coroner
4. Kelainan elektrolit, dll.
Pemasangan Elektroda EKG dilakukan pada ektremitas dan pada permukaan dada,
posisi berbaring dan bebas dari benda-benda logam. Untuk membaca hasil EKG dilakukan
sesuai dengan langkah berikut ini.
1. Tentukan Irama
2. Tentukan Laju/kecepatan gelombang QRS.
3. Tentukan Aksis QRS
4. Nilai morfologi gelombang P
5. Nilai Interval PR
6. Nilai Kompleks QRS
7. Nilai segmen ST
8. Nilai Morfologi gelombang T
9. Lain-lain.

E. ALAT DAN BAHAN


I. Pemasangan EKG
1. Kapas dan alkohol.
2. Mesin EKG beserta elektroda-elektrodanya.
3. Pasta/Jeli EKG.
4. Kertas EKG sesuai Mesin EKG
II. Pembacaan EKG
1. Lembar pelaporan/Interprestase hasil EKG.
2. Hasil/Kertas EKG yang sudah di print/cetak.

Keterampilan Klinik 30
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

F. CARA KERJA
I. Pemasangan EKG
a. Tahap Persiapan
▪ Pemberian penjelasan kepada pasien tentang tujuan dan prosedur pemeriksaan
yang akan dilakukan.
▪ Sebaiknya istirahat 15 menit sebelum pemeriksaan.
▪ Bila menggunakan perhiasan/logam/gawai supaya dilepas dan diletakkan tidak
dekat/menempel pada pasien
▪ Pasien diminta membuka baju bagian dada.
▪ Pasien dipersilakan tidur terlentang, posisi pemeriksa berada di sebelah kanan
pasien.
▪ Pasien diusahakan untuk tenang dan bernafas normal. Selama proses
perekaman tidak boleh bicara.
▪ Bersihkan daerah yang akan dipasang elektroda dengan kapas beralkohol.
▪ Oleskan pasta/jeli EKG pada elektroda untuk memperbaiki hantaran listrik.
▪ Sebaiknya tidak merokok/makan 30 menit sebelumnya
b. Tahap Pelaksanaan
Pasang elektroda sesuai dengan lead masing-masing:
1. Lead ekstremitas bipolar dan unipolar (jangan sampai terbalik) Lead I, II dan
III dipasang pada pergelangan tangan kanan dan kiri serta pergelangan kaki
kanan dan kiri.
2. Lead prekordial (jangan sampai terbalik)
▪ Pasang lead V1 pada spatium interc ostale IV linea parasternalis kanan.
▪ Pasang lead V2 pada spatium intercostale IV linea parasternalis kiri.
▪ Pasang lead V3 diantara V2 dan V4.
▪ Pasang lead V4 pada spatium intercostale V linea medio klavikularis kiri.
▪ Pasang lead V5 pada spatium intercostale V linea aksilaris anterior kiri.
▪ Pasang lead V6 pada spatium intercostale V linea aksilaris media kiri.

Gambar 1. Pemasangan Elektroda Ekstremitas

Keterampilan Klinik 31
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 2. Pemasangan Elektroda Prekordial (V1-V6)

II. Pembacaan EKG


a. Penilaian kertas EKG
1. Identifikasi kurva EKG, ada berapa sadapan yang terekam. Rekaman dasar ada
12 sadapan yaitu: Lead I, Lead II, Lead III, aVR, aVL, aVF, V1, V2, V3, V4,
V5, dan V6.
2. Identifikasi gambaran kurva EKGbaik atau tidak seperti (adanya gambaran
trilling/ kurva tidak ada gelombang P, Q, R, S, T, dan U yang spesifik) dan
kertasnya.
3. Identifikasi kalibrasi yang digunakan 0,5 X, 1 X, 2X, dan atau lebih.

b. Penilaian Gelombang EKG


1. Tentukan Irama
Irama jantung normal berasal dari simpul SA, ditandai denagn R-R teratur laju
QRS 60-80x/menit disebut sebagai irama sinus normal. Jika laju QRS
>100x/menit disebut sinus takikardi, QRS < 60 disebut Sinus Bradikardi. Bila
interval R-R tidak teratur tetapi kriteria lain terpenuhi disebut Sinus Aritmia.
Berikut kriteria Irama sinus normal:
▪ Gelombang P diikuti QRS
▪ QRS rate 60-100x/menit
▪ R-R interval teratur
▪ P disadapan II (+), aVR (-)
2. Tentukan Laju/kecepatan gelombang QRS

Keterampilan Klinik 32
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Laju QRS dapat dihitung dengan banyak cara, antara lain:


▪ 300 / jumlah kotak sedang antara R-R
▪ 1500 / jumlah kotak kecil diantara R-R
▪ Jumlah kompleks QRS dalam 6 detik dikali 10. Ingat 1 detik sama
dengan 5 kotak sedang. Biasanya dipakai jika interval atau jarak R-R
tidak teratur.
3. Tentukan Aksis QRS
Aksis merupakanarah rerata vector Listrik yang mendepolarisasi jantung.
Terdapat berbagai cara untuk menentukan aksis:
▪ Menggunakan Kuadran
▪ Menghitung amplitudo QRS
▪ Menggunakan sadapan bifasik yang simetris
▪ System Hexaxial
4. Nilai morfologi gelombang P
Nilailah morfologi P, normal atau tidak, perhatikan apakah ada tanda tanda
dilatasi atrium kiri (P mitral), atau atrium Kanan (P Pulmonal), biasanya dinilai
di sadapan II dan V1.
5. Nilai Interval PR
Tentukan interval R-R, nilai normalnya 0.12-0.20 detik.
6. Nilai Kompleks QRS
Penilaian Kompleks QRS meliputi:
▪ Durasi: normal 0.06-0.12 detik
▪ Morfologi dan Amplitudo
7. Nilai segmen ST
Perhatikan titik J, apakah terdapat deviasi dibandingkan garis isoelektrik
(segmen PR). Segmen ini bisa isolektrik, depresi atau elevasi. Bisa elevasi atau
depresi hitung berapa mm dibawah titik J.
8. Nilai Morfologi gelombang T
Perhatikan morfologi gelombang T, apakah bentuknya normal atau terjadi
Inversi, apakah simetris atau tidak. Amplitudo normal <5mm.
9. Lain-lain.
Interval QT, Gelombang U dan lain-lain.

c. Interpretasi hasil pembacaan EKG secara keseluruhan.

KELAINAN KOMPLEKS PADA BEBERAPA PENYAKIT


A. Kelainan gelombang P.
Kelainan penampilan (amplitudo, lamanya, bentuknya) gelombang P pada
irama dan kecepatan yang normal. Misalnya P mitrale yang ditandai dengan
gelombang P yang tinggi, lebar dan “not ched” pada sandapan I dan II: gelombang
P lebar dan bifasik pada VI dan V2. Gambaran ini menunjukkan adanya hipertrofi
atrium kiri terutama pada stenosis mitralis. Sedangkan P pulmonale ditandai dengan
adanya gelombang P yang tinggi, runcing pada sandapan II dan III, dan mungkin

Keterampilan Klinik 33
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

disertai gelombang P tinggi dan bifasik pada sandapan VI dan V2. Ditemukan pada
korpulmonale dan penyakit jantung kogenital.
Kelainan penampilan, irama dan kecepatan gelombang P yang dapat berupa
kelainan tunggal gelombang P misalnya “atrial premature beat” yang bisa
ditemukan pada penyakit jantung koroner (PJK), intoksikasi digitalis. Selain itu
dapat ditemukan kelainan pada semua gelombang P disertai kelainan bentuk dan
iramanya misalnya fibrilasi atrium yang dapat disebabkan oleh penyakit jantung
rematik (PJR), pada infark miokard.
Kelainan gelombang P lainnya berupa tidak adanya suatu gelombang P,
kompleks QRS-T timbul lebih cepat dari pada biasanya. Misalnya “ AV nodal
premature beat” pada PJK, intoksikasi digitalis, dimana bentuk kompleks QRS
normal, dan terdapat masa istirahat kompensatoir. Kelainan lain berupa
ekstrasistole ventrikel pada PJK, intoksikasi digitalis.
Seluruh gelombang P tidak nampak, tetapi bentuk dan lamanya kompleks QRS
adalah normal. Misalnya irama nodal AV, takikardi nodal AV, atrial takikardi yang
timbul akibat intoksikasi digitalis, infark miokard, penyakit jantung hipertensi
(PJH). Gelombang P seluruhnya tidak tampak dengan kelainan bentuk dan lamanya
kompleks QRS. Misalnya ventrikel takikardi, fibrilasi atrium yang dapat timbul
pada PJR. Penyakit jantung hipertensi (PJH).

B. Kelainan interval P-R


Interval P-R panjang menunjukkan adanya keterlambatan atau blok konduksi
AV. Misalnya pada blok AV tingkat I dimana tiap gelombang P diikuti P-R > 0,22
detik yang bersifat tetap atau sementara, ditemukan pada miokarditis, intoksikasi
digitalis, PJK, idiopatik. Pada AV blok tingkat II yaitu gelombang P dalam irama
dan kecepatan normal, tetapi tidak diikuti kompleks QRS, dan seringkali disertai
kelainan QRS, S - T dan T.
Interval P-R pada kompleks P-QRS-T mungkin normal atau memanjang, tetapi
tetap jaraknya. Blok jantung A-V2 : 1 atau 3 : 1., berarti terdapat 2 P dan hanya 1
QRS atau 3P&1QRS. Tipe lain dari blok jantung ini ialah fenomena Wenkebach.
Pada blok jantung tingkat III atau blok jantung komplit irama dan kecepatan
gelombang P normal, irama kompleks QRS teratur tetapi lebih lambat (20-40 kali
per menit) dari gelombang P. jadi terdapat disosiasi komplit antara atrium dan
ventrikel. Gambaran diatas ini dapat ditemukan pada PJK, intoksikasi digitalis,
IMA.
Interval P-R memendek yaitu kurang dari 0,1 detik dengan atau tanpa kelainan
bentuk QRS. Ditemukan pada PJK intoksikasi digitalis, sindroma WPW.

C. Kelainan gelombang Q.
Gelombang Q patologis yang lebar > 1 mm atau > 0,4 detik dan dalamnya >2
mm (lebih 1/3 dari amplitudo QRS pada sandapan yang sama) menunjukkan adanya
miokard yang nekrosis. Adanya gelombang Q di sandapan III dan aVR merupakan
gambaran yang normal.

Keterampilan Klinik 34
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

D. Kelainan gelombang R dan gelombang S.


Dengan membandingkan gelombang R dan S disandapan I dan III yaitu
gelombang S di I dan R di III menunjukkan adanya “right axis deviation”. Kelainan
ini ditemukan pada hipertrofi ventrikel kanan, stenosis mitral, penyakit jantung
bawaan, korpulmonale.
Sedangkan gelombang R di I dan S di III menunjukkan adanya “left axis deviati
on”. Kelainan ini ditemukan pada hipertrofi ventrikel kiri (LVH). Biasanya dengan
menjumlahkan voltase (kriteria voltasi) dari gelombang S di V1 dan R di V5 atau S
V1 + R V6 > 35 mm atau gelombang R>27 mm di V5 atau V6 menunjukkan adanya
LVH.

E. Kelainan kompleks QRS


Pada blok cabang berkas His dapat ditemukan adanya kompleks QRS lebar dan
atau “notched” dengan gelombang P dan interval P-R normal. Ditemukan pada PJK,
PJR (Penyakit Jantung Rematik).
Kompleks QRS berfrekwensi lambat dengan atau tanpa kelainan bentuk tetapi
iramanya teratur yaitu pada sinus bradikardi, blok jantung 2:1, 3:1, blok komplit
terutama pada PJK, PJR, penyakit jantung bawaan.
Kompleks QRS berfrekwensi cepat dengan atau tanpa kelainan bentuk, yaitu
pada sinus takikardi, atrial takikardi, nodal takikardi, fibrilasi atrium, takikardi
ventrikel. Ditemukan pada PJK (Penyakit Jantung Koroner), PJH (Penyakit Jantung
Hipertensi), PJR (Penyakit Jantung Rematik), infark miokard, intoksikasi digitalis.
Irama QRS tidak tetap. Kadang-kadang kompleks QRS timbul lebih cepat dari
biasa, misalnya “AV nodal premature beat”, “ventricular premature beat”.
Ditemukan pada PJK dan intoksikasi digitalis. Irama kompleks QRS sama sekali
tidak teratur yaitu pada fibrilasi atrium dimana sering ditemukan pada PJH, PJR,
infark miokard dan intoksikasi digitalis.

F. Kelainan segmen S-T.


Suatu kelainan berupa elevasi atau depresi segmen S-T yang ragu-ragu,
sebaiknya dianggap normal sampai terbukti benar-benar ada kelainan pada suatu
seri perekaman. Bukanlah suatu kelainan, apabila elevasi segmen S-T tidak
melebihi 1 mm atau depresi tidak melebihi 0,5 mm, paling kurang pada sandapan
standar. Secara klinik elevasi atau depresi segmen S-T pada 3 sandapan standar,
biasanya disertai deviasi yang sama pada sandapan yang sesuai, menunjukkan
adanya insufisiensi koroner. Adanya elevasi segmen S-T merupakan petunjuk
adanya infark miokard akut atau perikarditis. Elevasi segmen S-T pada sandapan
prekordial menunjukkan adanya infark dinding anterior, sedangkan infark dinding
inferior dapat diketahui dengan adanya elevasi segmen S-T pada sandapan II, III,
dan aVF. Untuk perikarditis biasanya tidak dapat dipastikan tempatnya dan akan
tampak elevasi di hampir semua sandapan. Elevasi segmen S-T pada V4R
ditemukan pada infark ventrikel kanan

Keterampilan Klinik 35
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

G. Kelainan gelombang T.
Adanya kelainan gelombang T menunjukkan adanya kelainan pada ventrikel.
Untuk itu dikemukakan beberapa patokan yaitu:
▪ Arahnya berlawanan dengan defleksi utama QRS pada setiap sandapan.
▪ Amplitudo gelombang T > 1 mm pada sandapan I atau II dengan gelombang
R menyolok.
▪ Gelombang T terbalik dimana gelombang R menyolok.
▪ Lebih tinggi daripada perekaman sebelumnya atau lebih tinggi 8 mm pada
sandapan I, II, III.
Oleh karena begitu banyak penyebab kelainan gelombang T, maka dalam
menginterpretasi kelainan ini sebaiknya berhati-hati dan mempertimbangkan
seluruh gambaran klinik. Suatu diagnosis khusus tidak dapat dibuat atas dasar
perubahan - perubahan yang tidak khas. Adanya gelombang T terbalik, simetris,
runcing, disertai segmen S-T konveks keatas, menandakan adanya iskemi miokard.
Kadang-kadang gelombang T sangat tinggi pada insufisiensi koroner. Pada keadaan
dimana defleksi QRS positif pada sandapan I, sedangkan gelombang T pada
sandapan I terbalik atau lebih rendah dari gelombang T di sandapan III
menunjukkan adanya insufisiensi koroner. Gelombang T yang tinggi dan tajam
pada semua sandapan kecuali aVR dan aVL menunjukkan adanya hiperkalemi.
Gelombang T yang tinggi dan simentris dengan depresi segmen S-T menunjukkan
adanya infark dinding posterior.

H. Kelainan gelombang U.
Adanya gelombang U defleksi keatas lebih tinggi dari gelombang T pada
sandapan yang sama terutama V1-V4 menunjukkan adanya hipokalemi.

Keterampilan Klinik 36
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Keterampilan Klinik 37
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

G. LAPORAN KERJA
Yang Sudah Baik Saya Kerjakan:

Yang Belum Baik Saya Kerjakan:

Rencana Kerja Saya Selanjutnya:

Umpan Balik Dari Instruktur:

Medan,......................2021
Instruktur

(..........................................)

Keterampilan Klinik 38
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

H. LEMBAR PENGAMATAN

LEMBAR PENGAMATAN
PEMASANGAN DAN INTERPRETASI EKG

*)Beri tanda √ pada kolom yang disediakan sesuai dengan penilaian anda
No. KEGIATAN 0* 1* 2*
PEMASANGAN EKG
1. Tahap Persiapan
2. Tahap Pelaksanaan (Pemasangan Elektroda):
▪ Lead ekstremitas dan unipolar
▪ Lead prekordial
PEMBACAAN EKG
3. Penilaian kertas EKG
4. Penilaian Gelombang EKG
5. Interpretasi EKG secara keseluruhan

Keterangan :
0= Tidak dilakukan
1= Dilakukan tetapi tidak sempurna
2= Dilakukan dengan sempurna

REFERENSI

1. Jones, S.A (2005) EKGNotes: Interpretation and management guide. F.A Davis Company.
Philladelphia.
2. Pakpahan H.A.P, Elekrokardiografi Ilustratif belajar EKG dengan ilustrasi sederhana.
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2012.

Keterampilan Klinik 39
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

MATERI KE IV
PROSEDUR PEMASANGAN SELANG NASOGASTRIK (NGT)
(Wika Hanida Lubis, Julahir Hodmatua Siregar, Umar Zein, Azhar Tanjung,
Habibah Hanum Nasution)

A. TUJUAN UMUM
Pelatihan keterampilan klinis ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran:

Melakukan keterampilan klinis (pemeriksaan fisik, diagnostic dan terapeutik) terkait organ
dan sistem Pencernaan

B. TUJUAN KHUSUS
Mahasiswa setelah melakukan skills lab pemasangan NGT diharapkan dapat:
1. Mengetahui indikasi, kontraindikasi, dan komplikasi pemasangan selang nasogastrik
2. Mengetahui peralatan apa saja yang diperlukan pada prosedur pemasangan selang
nasogastrik.
3. Mengetahui persiapan pasien, dan prosedur pemasangan selang nasogastrik.
4. Mampu melakukan prosedur pemasangan selang nasogastrik dengan benar, dan sesuai
standar prosedur yang berlaku.

C. PENDAHULUAN
Pemasangan selang nasogastrik merupakan suatu prosedur medis yang dilakukan
dengan cara memasukkan selang plastik berupa selang nasogastrik melalui lubang hidung,
melewati rongga hidung, tenggorokan, esofagus, hingga ke lambung. Penggunaan Naso
Gastric Tube berhubungan dengan respirasi (pulmonari aspiration), gastrointestinal (diare,
konstipasi, nausea, dan muntah). Pada pasien-pasien trauma yang disertai kesadaran
menurun juga memerlukan pemasangan Naso Gastric Tube.

D. MATERI SKILLS LAB


1. Indikasi Pemasangan Selang Nasogastrik
Prosedur medis ini memiliki dua indikasi, yaitu indikasi terapetik dan indikasi
diagnostik.
Indikasi Terapeutik:
▪ Dekompresi lambung, pada pasien dengan distensi abdomen oleh karena cairan,
darah, atau gas.
▪ Mengeluarkan isi lambung pasien, pada kasus keracunan makanan, atau
minuman.
▪ Untuk memenuhi kebutuhan cairan atau nutrisi, misalnya pada kasus diare,
emesis, atau anoreksia yang berat, serta pada pasien kasus trauma yang disertai
dengan penurunan kesadaran.
▪ Akses masuknya obat-obatan.

Keterampilan Klinik 40
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

▪ Persiapan sebelum pasien menjalani operasi dengan anastesi umum, untuk


mencegah muntah, atau aspirasi isi lambung.
Indikasi Diagnostik:
▪ Sarana evaluasi perdarahan saluran pencernaan bagian atas.
▪ Membantu penegakkan diagnosis, melalui analisa isi lambung.
▪ Akses masuknya zat kontras, pada pemeriksaan radiologi saluran pencernaan
atas.
▪ Membantu indentifikasi letak esofagus, dan lambung pada foto rontgen toraks.

2. Kontraindikasi Pemasangan Selang Nasogastrik


Pemasangan selang nasogatrik tidak dapat dilakukan pada keadaan-keadaan berikut,
yaitu:
▪ Trauma wajah yang hebat.
▪ Kecurigaan adanya fraktur dasar tengkorak (adanya perdarahan THT, atau
keluarnya LCS dari liang hidung atau telinga).
▪ Pasien dengan riwayat varises atau striktur esofagus.
▪ Pasien pasca operasi pada daerah nasal.

3. Komplikasi Pemasangan Selang Nasogastrik


Komplikasi pemasangan selang nasogastrik terdiri dari komplikasi minor dan
komplikasi serius.
Komplikasi Minor:
▪ Iritasi tenggorokan. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian anastesi lozenges.
▪ Ketidaknyamanan pasien saat selang nasogastrik dipasang. Ketidaknyamanan
pasien dapat dikurangi dengan pemberian anastesi lokal yang adekuat, pemberian
lubrikan yang banyak, dan pemasangan yang dilakukan secara hati-hati.
▪ Epistaksis. Terjadinya epistaksis dapat diatasi dengan pemberian lubrikan yang
banyak pada selang yang akan dimasukkan, dan pemasangan secara hati-hati.
▪ Sinusitis.
Komplikasi Serius:
▪ Perforasi esofagus
▪ Pneumotoraks.
▪ Selang masuk ke saluran nafas, atau ke intrakranial pada kasus trauma berat wajah
dan kepala.

Keterampilan Klinik 41
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 1. Anatomi Alur Selang Nasogastrik (NGT)

4. Peralatan Pemasangan Selang Nasogastrik


▪ Selang Nasogastrik (Nasogastric Tube)
Ukuran dan elastisitas selang nasogastrik disesuaikan dengan tujuan penggunaan
dan perkiraan lama atau durasi penggunaan selang nasogastrik. Ukuran selang
nasogastrik yang lazim digunakan menggunakan ukuran (nomor) Skala Perancis,
yang dinotasikan dengan Fr. Satu Fr ekivalen dengan 0,33 mm. Semakin kecil
nomor, semakin kecil pula diameter selang nasogastrik.
a. Selang nasogastrik berdiameter kecil (8-12 Fr), elastis dan lunak,
dipergunakan untuk pasien yang membutuhkan suplai cairan dan nutrisi
(enteral feeding), dengan durasi pemakaian tidak lebih dari 6 minggu.
b. Selang nasogastrik diameter besar (≥14 Fr), agak keras, dan sedikit kaku,
digunakan untuk pemberian obat-obatan, dekompresi lambung, dan untuk
enteral feeding kurang dari 1 minggu.
c. Pada pasien anak-anak, ukuran diameter selang nasogastrik disesuaikan
dengan umur pasien.
▪ Anastesi lokal (lidocaine 2 %, atau benzocaine spray).
▪ Vasokonstriktor spray, untuk menciutkan konka hidung.
▪ Pelumas jelly, atau lidocaine 2 % (viscous).
▪ Sepasang sarung tangan steril.
▪ Tissue, atau lidi kapas.
▪ Apron plastik, dan pelindung muka (masker dan kaca mata google).
▪ Handuk kecil.
▪ Segelas air dengan sedotan.
▪ Spuit Toomey 60 cc.

Keterampilan Klinik 42
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

▪ Mangkok instrumen.
▪ Plester.
▪ Unit suction.
▪ Stetoskop.
▪ Kertas laksmus.

Gambar 2. Peralatan Pemasangan Selang Nasogastrik

E. ALAT DAN BAHAN


Alat dan Bahan yang diperlukan:
▪ Meja dan kursi (8 buah).
▪ Laptop (pemutaran video).
▪ Manekin simulasi kateterisasi pemasangan selang nasogastrik.
▪ Sarung tangan steril (2 pasang).
▪ Masker muka.
▪ Kaca mata google.
▪ Apron plastik.
▪ Selang nasogastrik ukuran 12 Fr.
▪ Pelumas jelly atau lidocaine 2 % viscous.
▪ Anastesi lokal (lidocaine 2 % spray).
▪ Vasokonstriktor spray.
▪ Tissue atau lidi kapas.
▪ Mangkok instrumen.
▪ Handuk kecil.
▪ Segelas air dengan sedotan.

Keterampilan Klinik 43
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

▪ Spuit Toomey 60 cc dan plester.


▪ Stetoskop.
▪ Unit Suction (bila tersedia)

F. CARA KERJA
Persiapan Pemasangan Selang Nasogastrik
▪ Sapa pasien dan perkenalkan diri.
▪ Menanyakan identitas diri pasien.
▪ Menjelaskan prosedur: terlebih dahulu jelaskanlah prosedur pemasangan selang
nasogastrik yang akan dilakukan, indikasi, serta komplikasinya agar pasien tidak
takut, dan mintalah pasien agar bersikap kooperatif selama proses pemasangan selang
nasogastrik. Berilah pasien kesempatan untuk bertanya, bila ada yang tidak
dimengertinya.
▪ Informed consent; bila pasien telah mengerti tentang prosedur yang akan dilakukan
maka mintalah persetujuan tindakan medis.
▪ Posisikan pasien dalam posisi setengah duduk, dengan leher sedikit fleksi.
▪ Persiapan Dokter. Dokter kemudian mencuci tangan, memakai sarung tangan steril,
dan berdiri di sisi sebelah kanan pasien. Persiapkan peralatan yang akan dipergunakan
pada meja instrumen yang telah di alasi alat tenun steril.
▪ Periksalah terlebih dahulu keadaan rongga hidung untuk memeriksa ada tidaknya
penyulit alur pemasangan NGT, misalnya edema konka. Bila terdapat edema konka,
semprotkan vasokonstriktor spray, sehingga alur masuknya selang nasogastrik
menjadi lapang. Selanjutnya tentukanlah rongga hidung mana yang lebih paten,
dengan cara meminta pasien untuk menutup salah satu lubang hidungnya, kemudian
bernafas dengan lubang hidung lainnya secara bergantian. Pemasangan selang
dilakukan pada rongga hidung yang lebih paten. Bila terdapat lendir atau kotoran,
bersihkanlah lubang hidung terlebih dahulu dengan tissue atau lidi kapas.
▪ Semprotkanlah anastesi lokal (lidocaine 2 % spray) ke dalam rongga hidung yang
lebih paten, dan mintalah pasien untuk menghirupnya, kemudian tunggulah selama
lebih kurang 5-10 menit sampai anastesi bekerja. Semprotkan juga anastesi lokal
(lidocaine 2 % spray) ke hipofaring.

Prosedur Pemasangan Selang Nasogastrik


Lepaskanlah sarung tangan, dan buanglah sarung tangan tersebut pada wadah yang
telah disediakan. Kemudian pakailah apron plastik, dan pelindung muka (masker dan kaca
mata google), untuk mengurangi resiko infeksi silang.
Mintalah asisten untuk membuka kemasan pelumas, lalu spuit, dan selang
nasogastrik dan biarkanlah jatuh pada daerah steril. Selanjutnya mintalah asisten untuk
meletakkan handuk kecil di atas dada pasien.
• Pakailah sarung tangan steril, dan berdirilah di sebelah kanan pasien.
• Tentukanlah panjang selang nasogastrik yang akan dimasukkan, dengan cara:
- mengukur jarak dari ujung hidung ke lobus daun telinga, dengan menempatkan
lingkar selang pada daun telinga.

Keterampilan Klinik 44
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

- Lanjutkan pengukuran dari lobus daun telinga ke processus xyphoideus pasien,


kemudian tandailah pada selang dengan menggunakan plester kecil.

Gambar 3. Cara Mengukur Panjang NGT

• Atur kembali posisi pasien, sehingga berada dalam posisi setengah duduk dengan
posisi leher sedikit fleksi. Mintalah pasien untuk memegang segelas kecil air dengan
sedotan.
• Olesilah ujung distal selang nasogastrik dengan pelumas jelly, atau dengan lidocaine
2 % viscous pada mangkok instrumen.

Gambar 4. Mengolesi Ujung Distal Selang Nasogastrik


• Masukkanlah dan doronglah dengan hati-hati selang nasogastrik mengikuti dasar
rongga hidung, hingga mencapai bagian belakang nasofaring, dimana akan terasa
adanya tahanan. Bila terasa ada tahanan, mintalah pasien untuk menghisap air dalam
gelas dengan menggunakan sedotan, kemudian ditelan. Teruskan mendorong selang
nasogastrik dengan hati-hati, dan hentikanlah mendorong bila bagian selang yang

Keterampilan Klinik 45
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

telah ditandai dengan plester mencapai jalan masuk ke rongga hidung. Periksalah
penempatan selang dengan cara meminta pasien membuka mulutnya untuk melihat
posisi selang. Hentikan mendorong masuk selang, dan keluarkanlah selang sesegera
mungkin, bila pasien mengeluh sesak nafas, tidak dapat berbicara, atau terjadi
perdarahan yang banyak dari lubang hidung.

Gambar 5. Pemasangan Selang Nasogastrik Gambar 6. Check Posisi Tube

• Periksalah posisi selang nasogastrik, apakah telah berada di dalam lambung, dengan
cara:
- Sambungkanlah ujung spuit Toomey 60 cc dengan ujung proksimal selang
nasogastrik.
- Letakkan permukaan diafragma stetoskop pada regio epigastrium abdomen.
- Masukkanlah udara sebanyak 20 cc melalui selang nasogastrik.
- Dengarkanlah ada tidaknya suara tiupan udara pada stetoskop yang menandakan
selang nasogastrik telah benar pemasangannya.
- Dengan menggunakan spuit Toomey, lakukan aspirasi cairan lambung, kemudian
ujilah keasaman cairan tersebut dengan meneteskannya sedikit pada kertas
laksmus (bila cairan tersebut adalah cairan lambung, bagian kertas laksmus yang
ditetesi akan berwarna merah), untuk mengkonfirmasi bahwa pemasangan selang
nasogastrik telah benar.
• Fiksasi selang nasogastrik dengan menggunakan plester pada daerah hidung.
Sambungkanlah ujung proksimal selang nasogastrik dengan alat sesuai kebutuhan.
Bila diperlukan, dapat dibuat foto rontgen toraks untuk mengetahui posisi selang
nasogastrik yang telah dipasang

Keterampilan Klinik 46
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 7. Fiksasi Selang Nasogastrik Gambar 8. Pembuatan Foto Rontgen


Toraks

Keterampilan Klinik 47
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

G. LAPORAN KERJA
Yang Sudah Baik Saya Kerjakan:

Yang Belum Baik Saya Kerjakan:

Rencana Kerja Saya Selanjutnya:

Umpan Balik Dari Instruktur:

Medan,......................2021
Instruktur

(..........................................)

Keterampilan Klinik 48
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

H. LEMBAR PENGAMATAN

LEMBAR PENGAMATAN
PEMASANGAN SELANG NASOGASTRIK

*)Beri tanda √ pada kolom yang disediakan sesuai dengan penilaian anda
No. KEGIATAN 0* 1* 2*
PERSIAPAN
1. Menyapa dan memperkenalkan diri kepada pasien.
2. Menanyakan identitas pasien dan menyesuaikan dengan
rekam medik.
3. Menjelaskan prosedur yang akan dilakukan, meminta
persetujuan dan kerjasama.
4. Informed consent
5. Memposisikan pasien dalam posisi duduk (leher dan
lambung sejajar) atau setengah duduk.
6. Persiapan dokter :
Menuci tangan dan memakai sarung tangan sebelum
melakukan tindakan.
7. Memeriksaan keadaan rongga hidung
8. Menyemprotkan lidokain 2% spray ke rongga hidung
PEMASANGAN SELANG NGT
9. Pakai sarung tangan steril
10. Mengukur jarak/panjang NGT yang akan dipasang
mengukur dari hidung, lobulus telinga dan Processus
Xyphoideus.
11. Atur kembali posisi pasien
12. Mengolesi selang NGT dengan jelly (lubricant gel)
13. Memasukkan tube melalui lubang hidung → faring →
oesophagus → lambung.
14. Memonitor posisi “tube” apakah sudah di dalam lambung
15. Memfiksasi tube dengan menggunakan plester pada
daerah hidung.

Keterangan :
0= Tidak dilakukan
1= Dilakukan tetapi tidak sempurna
2= Dilakukan dengan sempurna

Keterampilan Klinik 49
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

REFERENSI

1. Thomsen T.W, Shaffer R.W, Setnik G.S. Nasogastric Intubation. Avaiable from
: URL : HYPERLINK http : // www. the new england journal of medicine. org
2. Nasogastric Intubation. ADA Pocket Guide to Enteral Nutrition. American
Dietetic Association. 2006.
3. Nasogastric Intubation. Avaiable from : URL : HYPERLINK http : // www.
emedicine. org
4. NGT Intubation. Avaiable from : URL : HYPERLINK http : // www. en.
wikipedia. org
5. Dacre J, Kopelman P. Selang Nasogastrik : Sistem Gastrointestinal. In :
Listiawaty, editor. Alih Bahasa : Pendit B.U. Buku Saku Keterampilan Klinis.
1st edition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2004. p.129.
6. www.cancerbackup.org.uk/.../Nutritionalsupport
7. Todd W. Thomsen, M.D., Robert W. Shaffer, M.D., and Gary S. Setnik, M.D.
nasogastric tube.
8. www.joannabriggs.edu.au/protocol/protnasotube.php

Keterampilan Klinik 50
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

MATERI KE V
ANAMNESIS PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
(Dr. dr. Umar Zein, DTM&H, Sp.PD, KPTI)

A. TUJUAN UMUM
Pelatihan keterampilan klinis ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran:

Melakukan keterampilan klinis (pemeriksaan fisik, diagnostik dan Terapeutik) terkait


organ jantung dan pembuluh darah

B. TUJUAN KHUSUS
Mahasiswa setelah melakukan skills lab anamnesis penyakit jantung dan pembuluh darah
diharapkan dapat:
1. Menjelaskan.jenis-jenis anamnesis.
2. Melakukan anamnesis terhadap penyakit jantung dan pembuluh darah.

C. PENDAHULUAN
Ada 2 jenis anamnesis yang umum dilakukan, yakni Auto-anamnesis dan Allo-
anamnesis atau Hetero-anamnesis. Pada umumnya anamnesis dilakukan dengan teknik
auto-anamnesis yaitu anamnesis yang dilakukan langsung terhadap pasiennya. Pasien
sendirilah yang menjawab semua pertanyaan dokter dan menceritakan permasalahannya.
Ini adalah cara anamnesis terbaik karena pasien sendirilah yang paling tepat untuk
menceritakan apa yang sesungguhnya dia rasakan. Meskipun demikian, dalam prakteknya
tidak selalu auto-anamnesis dapat dilakukan. Pada pasien bayi dan anak kecil, tentunya
dokter tidak menanyakan langsung pada pasiennya, tetapi menanyakan kepada orang
tuanya atau pengasuhnya. Demikian juga pada pasien yang tidak sadar, sangat lemah atau
sakit berat untuk menjawab pertanyaan, maka perlu orang lain untuk menceritakan
permasalahnnya. Anamnesis yang didapat dari informasi orang lain ini disebut Allo-
anamnesis atau Hetero-anamnesis. Acapkali pula dalam praktek sehari- hari anamnesis
dilakukan bersama-sama auto dan allo-anamnesis untuk mendapatkan informasi yang
lebih lengkap.

D. MATERI SKILLS LAB


Persiapan untuk Anamnesis
Anamnesis yang baik hanya dapat dilakukan apabila dokter yang melakukan
anamnesis tersebut menguasai dengan baik teori atau pengetahuan kedokteran. Tidak
mungkin seorang dokter akan dapat mengarahkan pertanyaan-pertanyaannya dan mampu
mengambil kesimpulan dari anamnesis yang dilakukan bila dia tidak menguasai dengan
baik ilmu kedokteran. Seorang dokter akan kebingungan atau kehilangan akal apabila
dalam melakukan anamnesis tidak tahu atau tidak memahami gambaran penyakit apa saja
yang dapat menimbulkan keluhan atau gejala tersebut, bagaimana hubungan antara
keluhan-keluhan tersebut dengan organ-organ tubuh dan fungsinya. Umumnya, setelah

Keterampilan Klinik 51
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

selesai melakukan anamnesis seorang dokter sudah harus mampu membuat kesimpulan
perkiraan diagnosis atau diagnosis banding yang paling mungkin untuk kasus yang
dihadapinya. Kesimpulan ini hanya dapat dibuat bila seorang dokter telah mempersiapkan
diri dan membekali diri dengan kemampuan teori atau ilmu pengetahuan kedokteran yang
memadai.
Meskipun demikian, harus disadari bahwa tidak ada seorang dokter pun yang dapat
dengan yakin menyatakan bahwa dia pasti selalu siap dan mampu mendiagnosis setiap
keluhan pasiennya. Bahkan, seorang dokter senior yang sudah berpengalaman sekalipun
pasti pernah mengalami kebingungan ketika menghadapi pasien dengan keluhan yang sulit
dianalisis.

Cara Melakukan Anamnesis


Dalam melakukan anamnesis ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang
dokter, antara lain:
1. Membangun Kepercayaan Pasien
Pasien datang ke dokter, tentunya karena ia percaya bahwa dokternya akan
mampu menolongnya untuk menghilangkan atau mengurangi keluhan penyakit yang
didalaminya. Kepercayaan pasien ini harus dimanfaatkan dan dijaga oleh dokter
dengan menunjukkan sikap empati dan sabar mendengarkan keluhan-keluhan yang
disampaikan. Kepercayaan ini juga sebagai dasar dokter untuk membangun
komunikasi yang terhindar dari berbagai tekanan dan mampu mempertahankan
kejujuran serta kesungguhan pasien dan dokter dalam menggali informasi yang
berkaitan dengan penyakit yang dirasakannya. Tidak jarang pasien
menyembunyikan informasi yang penting bagi dokter, tetapi bagi pasien merupakan
hal yang akan menimbulkan kesan “tidak baik” atau “kurang bermoral.” Seperti
kebiasaannya minum alkohol, menggunakan obat-obat narkotika atau hubungan seks
bebas. Bila dokter menilai ada hubungan keluhan penyakit yang diutarakan pasien
dengan kebiasaan-kebiasaan tersebut, maka kepercayaan pasien kepada dokter
sebagai dasar dokter untuk meminta agar pasien tidak merasa keberatan
menyampaikan hal-hal seperti tersebut diatas.

2. Tempat dan Suasana


Tempat dan suasana dimana anamnesis ini dilakukan harus diusahakan cukup
nyaman bagi pasien dan bagi dokter. Anamnesis akan berjalan lancar kalau tempat
dan suasana mendukung. Suasana diciptakan agar pasien merasa santai, tidak tegang
dan tidak merasa diinterogasi. Klinik di rumah sakit ataupun kamar praktik pribadi
dokter biasanya sudah dirancang sedemikian rupa agar nyaman untuk pasien dan
pendamping pasien. Kadangkala pasien menginginkan hanya berdua saja dengan
dokter, tanpa didampingi perawat, bila ia ingin menyampaikan hal-hal yang bersifat
pribadi atau yang menurut pasien harus dirahasiakan kepada orang lain selain
dokternya.

Keterampilan Klinik 52
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

3. Penampilan Dokter
Penampilan seorang dokter juga perlu diperhatikan karena ini akan
meningkatkan kepercayaan pasiennya. Seorang dokter yang tampak rapi dan bersih
serta berpakaian khas dokter, akan lebih baik dari pada yang tampil biasa dan
berpakaian seadanya. Tidak hanya penampilan fisik, tetapi juga penampilan dalam
berkomunikasi dengan pasien. Penampilan fisik yang kurang, dapat ditutupi dengan
sikap yang ramah dan bersahabat. Saat ini dokter yang sedikit bicara umumnya
kurang disenangi pasien. Tetapi dokter yang terlalu banyak bicara juga menimbulkan
kesan kurang simpati bagi pasien. Demikian juga seorang dokter yang tampak
ramah, santai akan lebih mudah melakukan anamnesis daripada yang tampak galak,
ketus dan tegang. Sangat dianjurkan dokter memperkenalkan dirinya kepada pasien
dan keluarga yang mengantarkan pada pertemuan pertama kali atau saat dokter
mengunjungi pasien pertama kali di ruang rawat rumah sakit, meskipun pasien
mungkin sudah mengenal dokternya secara tidak langsung. Bersalaman dengan
pasien menimbulkan kesan perhatian dan simpati dokter.

4. Periksa Kartu Status Pasien


Sebelum anamnesis dilakukan sebaiknya periksa terlebih dahulu kartu status
pasien untuk melihat data pasien dan cocokkan dengan keberadaan pasiennya.
Biasanya yang mengisi data pasien adalah petugas administrasi atau perawat yang
bertugas, maka tidak tertutup kemungkinan terjadi kesalahan data pasien atau
mungkin juga kesalahan kartu data, misalkan pasien A tetapi kartu datanya milik
pasien B, atau mungkin saja ada 2 pasien dengan nama yang sama persis. Untuk
pasien lama, lihat juga data-data pemeriksaan, diagnosis dan terapi sebelumnya.
Informasi data kesehatan sebelumnya seringkali berguna untuk anamnesis dan
pemeriksaan saat ini.

5. Agar Pasien Terbuka

Pada saat anamnesis dilakukan, berikan perhatian dan dorongan agar pasien
dapat dengan leluasa menceritakan apa saja keluhannya. Biarkan pasien bercerita
dengan bahasanya sendiri. Ikuti cerita pasien, jangan terus menerus memotong, tetapi
arahkan bila melantur. Pada saat pasien bercerita, apabila diperlukan, ajukan
pertanyaan-pertanyaan singkat untuk minta klarifikasi atau informasi lebih detail
dari keluhannya. Jaga agar jangan sampai kita terbawa cerita pasien sehingga
melantur kemana mana. Sering ditemukan pasien menceritakan riwayat penyakitnya
yang telah lalu yang sama sekali tidak ada hubungan dengan keluhannya saat ini.
Dalam hal ini, dokter haruslah dengan cara yang bijak mengalihkan
pembicaraan kepada keluhannya saat ini. Untuk ini dibutuhkan latihan serta
kesabaran, bahkan kemampuan menahan emosi, agar pasien tidak mendominasi
pembicaraan. Untuk anamnesis penyakit dalam, tidaklah dibutuhkan waktu sampai
lebih dari setengah jam untuk menggali keluhan- keluhan pasien, kecuali bila ada

Keterampilan Klinik 53
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

hubungan dengan kondisi psikosmatik, atau kelainan kejiwaan lainnya, sehingga


pasien dan dokter membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menemukan inti
permasalahannya. Amat bijaksana bila dokter mampu mengarahkan pasien untuk
datang lagi berkonsultasi dalam masalah-masalah keluhan non fisiknya.

6. Gunakan Bahasa/Istilah yang Umum


Selama tanya jawab berlangsung gunakan bahasa atau istilah umum yang
dapat dimengerti pasien. Apabila ada istilah yang tidak ada padanannya dalam
bahasa Indonesia atau sulit dimengerti, berikan penjelasan atau deskripsi dari istilah
tersebut. Bila dokter bertugas di suatu daerah dengan bahasa daerah tertentu, maka
dokter harus juga memelajari bahasa daerah setempat yang berhubungan dengan
keluhan-keluhan utama pasien, terutama bila menghadapi pasien yang tidak dapat
berbahsa Indonesia, dan lebih banyak menggunakan bahasa daerah lokal.

7. Buat Catatan
Adalah kebiasaan yang baik untuk membuat catatan-catatan kecil saat seorang
dokter melakukan anamnesis, terutama bila pasien yang memunyai riwayat penyakit
yang panjang.

8. Perhatikan Pasiennya
Selama anamnesis berlangsung perhatikan posisi, sikap, cara bicara dan gerak
gerik pasien. Apakah pasien dalam keadaaan sadar sepenuhnya atau apatis, apakah
dalam posisi bebas atau posisi sikap paksa seperti menahan sakit atau sesak nafas
atau dalam posisi santai. Yang jelas dokter tengah menghadapi orang yang sedang
mengidap suatu penyakit, meskipun penyakit ringan. Apakah pasien dapat bercerita
dengan kalimat-kalimat panjang atau terputus-putus, apakah tampak segar atau lesu,
pucat dan lemah. Bila dokter melihat pasiennya sangat lemah, lebih baik
mempersilahkan pasiennya untuk berbaring atau duduk di atas tempat tidur periksa
dan bila perlu lakukan anamnesis sambil melakukan pemeriksaan fisik rutin seperti
mengukur tekanan darah, denyut nadi, temperatur tubuh dan pemeriksaan fisik yang
lain.

9. Gunakan Metode yang Sistematis


Anamnesis yang baik haruslah dilakukan dengan sistematis menurut kerangka
anamnesis yang baku. Dengan cara demikian maka diharapkan tidak ada informasi
yang terlewat. Tidak dapat dipungkiri, bahwa sistematika anamnesis hanya dapat
dibuat bila dokter menguasai substansi ilmu penyakit yang diderita pasien. Dokter
tidak akan dapat membuat sistematika anamnesis pasien Diabetes, bila dokter tidak
menguasai teori penyakit diabetes dan komplikasinya. Dokter tidak akan dapat
membuat sistematika anamnesis penyakit malaria, bila tidak memahami
epidemiologi malaria, patogenesis penularan malaria dan tidak mengetahui daerah-
daerah endemik malaria di Indonesia dan di dunia.

Keterampilan Klinik 54
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Tantangan Dalam Anamnesis


Hal-hal yang dikemukakan diatas, tidak selalu mudah dilaksanakan dalam praktik
sehari-hari. Berbagai kendala menghadapi perilaku orang yang tengah sakit kadangkala
sulit diprediksi. Demikian juga menghadapi pasien dengan karakter dan kedudukan
tertentu di masyarakat. Ada lagi masalah budaya, adat istiadat dan kepercayaan pasien,
dapat memengaruhi jalannya anamnesis. Beberapa keadaan yang acap ditemukan adalah:

1. Pasien yang Tertutup


Anamnesis akan sulit dilakukan bila pasien membisu dan tidak mau menjawab
pertanyaan- pertanyaan dokternya. Keadaan ini dapat disebabkan pasien merasa
cemas atau tertekan, tidak leluasa menceritakan keluhannya atau dapat pula
perilakunya yang demikian karena gangguan kejiwaannya seperti depresi atau cemas
yang berlebihan, atau malah pasien memang mengidap kelainan jiwa/psikiatrik.
Tergantung masalah dan situasinya, kadang perlu orang lain (keluarga atau orang-
orang terdekat) untuk mendampingi dan menjawab pertanyaan dokter
(heteroanamnesis), tetapi kadang kala lebih baik tidak ada seorangpun kecuali pasien
dan dokternya. Bisa jadi anamnesis tidak dapat dilakukan sepenuhnya pada kunjungan
pertama, sehingga harus dilakukan pada kunjungan berikutnya dan dokter mencatat
hal-hal yang masih perlu ditanyakan lagi pada kartu status pasien. Bila pasien dirawat
di rumah sakit maka anamnesis dapat dilanjutkan pada hari-hari berikutnya setelah
pasien lebih tenang dan lebih terbuka.

2. Pasien yang Terlalu Banyak Keluhan


Sebaliknya tidak jarang seorang pasien datang ke dokter dengan begitu banyak
keluhan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Apalagi pasien dengan gangguan
psikosomatik (dibicarakan dalam Bab Anamnesisi Psikosomatik) dan telah
mengunjungi banyak dokter dan merasa kurang puas dengan hasil terapi yang
diberikan. Tugas seorang dokter untuk memilah-milah keluhan mana yang merupakan
keluhan utamanya dan mana keluhan tambahan berkaitan dengan keluhan utamanya,
dan mana yang hanya merupakan keluh kesah belaka. Diperlukan kepekaan dan
latihan untuk membedakan mana yang merupakan keluhan yang sesungguhnya dan
mana yang merupakan keluhan mengada-ada. Apabila benar-benar pasien memunyai
banyak keluhan harus dipertimbangkan apakah semua keluhan itu merujuk pada satu
penyakit atau kebetulan pada saat tersebut ada beberapa penyakit yang sekaligus
dideritanya. Pada pasien psikosomatik, dibutuhkan lebih banyak waktu dan
kepiawaian dalam mengarahkan pertanyaan untuk mendapatkan pola dasar
gangguannya.

3. Hambatan Bahasa dan atau Intelektual


Seorang dokter mungkin saja ditempatkan atau bertugas di suatu daerah yang
mayoritas penduduknya menggunakan bahasa daerah yang belum kita kuasai.
Keadaan semacam ini dapat menyulitkan dalam pelaksanaan anamnesis. Seorang

Keterampilan Klinik 55
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

dokter harus segera belajar bahasa daerah tersebut agar dapat memperlancar
anamnesis, dan bila perlu dapat meminta bantuan perawat atau petugas kesehatan
lainnya untuk mendampingi dan membantu menerjemahkan selama anamnesis.
Minimal, keluhan utama dalam bahasa daerah setempat harus dikuasai, seperti sakit
kepala, leher, pinggang (anatomi tubuh). Kesulitan yang sama dapat terjadi ketika
menghadapi pasien yang karena intelektualnya yang rendah tidak dapat memahami
pertanyaan atau penjelasan dokternya. Seorang dokter dituntut untuk mampu
melakukan anamnesis atau memberikan penjelasan dengan bahasa yang sangat
sederhana agar dapat memahami.

4. Pasien dengan Masalah Kejiwaan


Diperlukan satu tehnik anamnesis khusus bila seorang dokter berhadapan
dengan pasien dengan masalah kejiawaan, seperti pada pengidap gangguan
psikosomatik atau cemas yang berlebihan. Mungkin saja anamnesis akan sangat
kacau, setiap pertanyaan tidak dijawab sebagaimana seharusnya. Justru di dalam
jawaban-jawaban yang kacau tersebut dokter dapat mengidentifikasi jenis kelainan
jiwanya. Untuk ini, khusus dibicarakan dalam memelajari Ilmu Psikosomatik dan
Psikiatri.

Kemudian, setelah anamnesis keluhan utama, dilanjutkan anamnesis secara


sistematis dengan prinsip menggunakan ‘delapan butir mutiara anamnesis,’ yaitu :
1. Onset (Kapan?)
Kapan mulai dirasakan keluhan utama tersebut. Hal ini berkaitan dengan waktu,
bisa dalam jam, hari, minggu, bulan bahkan tahun. Misalnya keluhan utama demam,
tanyakan kapan mulai dirasakan demam, apakah baru satu hari, 3 hari (misalnya pada
infeksi virus akut seperti influenza), seminggu atau lebih (misalnya pada Demam
Tifoid).

2. Frekwensi (Kapan-kapan?)
Ditanyakan kapan-kapan saja pasien merasakan keluhan tersebut. Apakah
keluhan itu timbul mendadak atau perlahan-lahan, hilang timbul atau menetap.
Misalnya, keluhan utama kejang sejak satu minggu yang lalu. Tanyakan kapan-kapan
saja timbul kejang tersebut, apakah setiap beberapa jam, atau setiap hari, atau setiap
malam, atau setiap timbul rasa sakit kepala, atau kejang terus menerus.

3. Lokasi (Di bagian mana?)


Untuk lokasi, umumnya adalah rasa nyeri atau pembengkakan. Ditanyakan
lokasi nyerinya pada bagian mana dari tubuh yang berkaitan dengan topografi anatomi
tubuh. Acapkali pasien dapat menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri yang dirasakan,
seperti di titik Mc.Burney pada apendisitis akut. Hal ini untuk mengetahui sumber dari
rasa nyeri tersebut. Misalnya, keluhan utama nyeri perut. Ditanyakan perut bagian
mana, apakah kanan bawah (pada apendisitis akut), kiri bawah (pada kolitis atau

Keterampilan Klinik 56
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

adneksitis), kanan atas, atau nyeri ulu hati (pada ulkus peptikum atau hepatitis akut),
atau nyeri seluruh bagian perut (pada peritonitis).

4. Refered pain (Penjalaran rasa nyeri)


Penjalaran berkaitan dengan rasa nyeri yang menjalar/menyebar ke bagian lain
dari tubuh. Misalnya, nyeri dada kiri, menjalar ke lengan kiri dan leher akibat infark
jantung akut. Nyeri perut kanan atas terasa sampai ke punggung pada cholecystitis
akut. Nyeri pinggang bawah yang menjalar ke testis pada laki-laki atau paha bagian
dalam pada perempuan pada kolik ginjal.

5. Intensitas (Seberapa berat keluhannya?)


Intensitas keluhan sering sangat berhubungan dengan beratnya penyakit atau
jenis penyakit tertentu, tetapi sangat subjektif, karena dipengaruhi antara lain
kepekaan seorang penderita terhadap rasa sakit, status emosi dan kepedulian terhadap
penyakitnya. Sakit kepala yang sangat, sampai pasien muntah-muntah, berkaitan
dengan peningkatan tekanan intrakranial. Nyeri dada seperti terhimpit, dan
berkeringat dingin, sering merupakan keluhan infark jantung akut. Nyeri kolik sampai
pasien berguling-guling di tempat tidur, adalah khas pada batu saluran kemih.

6. Faktor-faktor yang memperberat keluhan


Faktor yang memperberat keluhan juga khas untuk penyakit tertentu. Sesak
nafas yang makin berat bila pasien dalam posisi tidur dibandingkan dengan duduk,
biasanya akibat gagal jantung dengan edema paru. Rasa nyeri dada yang semakin kuat
bila pasien batuk sering dikeluhkan pada pasien dengan fraktur iga atau pleuritis.

7. Faktor-faktor yang meringankan keluhan


Sama dengan faktor yang memperberat, faktor yang meringankan keluhan
penting ditanyakan karena berkaitan dengan jenis penyakit tertentu. Sesak nafas yang
berkurang bila pasien duduk membungkuk sering dikeluhkan pasien asma akut atau
adanya efusi perikardium.. nyeri ulu hati yang berkurang bila pasien meminum obat
antasida, selalu dijumpai pada pasien ulkus lambung.

8. Keluhan Tambahan
Keluhan tambahan bisa berkaitan dengan keluhan utama atau tidak
berhubungan sama sekali. Misalnya, demam disertai dengan menggigil, mencret
disertai dengan tenesmus atau nyeri perut, batuk disertai dengan sesak nafas, adalah
berkaitan dengan jenis penyakit tertentu. Keluhan terlambat haid dan sulit tidur, sama
sekali tidak berkaitan.
Setelah memahami tentang keluhan utama dan keluhan tambahan, maka
seorang dokter akan melanjutkan secara terperinci tentang anamnesis sistem organ
yang mengalami ganggguan. Dengan demikian, sudah dapat dibuat diagnosis banding
kelainan pada sistem organ. Dengan pemeriksaan yang cermat dan pemeriksaan

Keterampilan Klinik 57
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

penunjang sederhana (urine rutin dan darah rutin serta radiologi sederhana), maka
sudah dapat ditegakkan Diagnosa Sementara dari penyakit pasien.

Anamnesis Penyakit Kardiovaskuler

Penyakit kardiovaskuler meliputi jantung dan pembuluh darah. Pasien yang dicurigai
mengidap penyakit jantung perlu ditanyakan riwayat penyakit terdahulu seperti hipertensi,
diabetes, penyakit jantung koroner, penyakit jantung bawaan, atau gagal jantung. Kalau ada
riwayat penyakit tersebut, tanyakan juga apakah sudah pernah dirawat di rumah sakit atau
sudah pernah berobat ke dokter dan obat-obat yang selama ini dikonsumsi, seperti isosorbid
dinitrat, obat hipertensi, digoksin, aspirin atau obat trombolitik lainnya, dan lain-lain. Juga
ditanyakan riwayat keluarga/keturunan yang mengidap penyakit yang sama. Keluhan umum
pada pasien berupa:

1. Sesak nafas
Sesak nafas pada penyakit jantung berhubungan dengan aktifitas fisik. Pembagian
sesak nafas berdasarkan fungsi jantung dikenal dengan Klasifikasi NYHA (New York
Heart Association) yaitu: NYHA I, tidak ada keluhan bila melakukan aktifitas fisik sedang.
NYHA II, ada keluhan sesak nafas bila melakukan aktifitas fisik biasa, seperti berjalan, naik
tangga, atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga. NYHA III, bila sesak nafas muncul
meskipun melakukan aktifitas ringan, seperti berjalan ke kamar mandi, memakai baju,
mengenakan sepatu, dan aktifitas ringan lainnya. NYHA IV, sesak nafas terjadi meskipun
pasien dalam keadaan istirahat. Keluhan sesak nafas bisa juga disampaikan pasien dalam
bentuk keluhan ‘mudah capek’, ‘nafas pendek’, ‘tidak bertenaga’, atau ‘cepat lelah bila
bekerja’.

2. Berdebar-debar
Keluhan ini menggambarkan denyut jantung yang lebih kencang dari biasa, yang bisa
berupa palpitasi cordis atau aritmia cordis. Biasanya disertai rasa tidak nyaman, cemas,
nyeri dada sebelah kiri atau pasien merasa terganggu dengan denyutan jantungnya.
Keluhan ini bisa terus menerus dirasakan pasien atau hanya timbul bila dipicu oleh aktifitas
fisik yang ringan sampai sedang. Bisa juga dipicu oleh jenis makanan atau minuman
tertentu seperti teh atau kopi.
3. Nyeri Dada
Umumnya nyeri dirasakan pada dada kiri daerah precordial dan nyeri dapat menjalar
ke lengan kiri, rahang, bahkan ke daerah abdomen. Nyeri seperti dihimpit atau di tekan
pada dada kiri, dan dicetuskan oleh aktifitas fisik atau stres emosional. Keluhan yang khas
ini disebut sebagai angina pectoris (cardiac chest pain) yang merupakan gejala Acute
Coronary Syndrome akibat penyempitan atau penyumbatan arteri koroner yang menyuplai
darah ke otot jantung. Kadang kala keluhan tidak khas berupa nyeri dada kiri, tapi bisa

Keterampilan Klinik 58
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

keluhan di perut bagian atas dan bisa juga disertai mual dan muntah. Keluhan tambahan
bisa berupa keringat dingin, rasa cemas yang berlebihan, dan palpitasi.

4. Batuk Darah
Dapat terjadi pada keadaan edema paru akut akibat gagal ventrikel kiri jantung.
Batuk dengan dahak berbuih dan berwarna merah terang, dan biasanya juga disertai
dengan sesak nafas.

5. Kaki bengkak
Acapkali, pasien dengan gagal jantung datang ke dokter bukan dengan keluhan sesak
nafas, tetapi kakinya yang bengkak, sehingga ia merasa sulit berjalan. Perlu ditanyakan
kapan mulai dirasakan kakinya yang membengkak akibat retensi cairan, dan ditanyakan
juga adanya keluhan-keluhan lain seperti yang telah dijelaskan diatas.

6. Perut membesar
Perut membesar sebagai manifestasi retensi cairan karena gangguan pompa jantung,
bisa terjadi asites dan bendungan pada hati sehingga perut membesar disertai dengan
hepatomegali. Umumnya, perut membesar dan kaki bengkak sudah terjadi bersamaan
ketika pasien datang berobat. Perlu ditanyakan: sudah berapa lama, dan biasanya didahului
oleh kaki yang membengkak dan sesak nafas ketika melakukan aktivitas fisik. Riwayat
penyakit dahulu harus ditanyakan, apakah ada mengidap hipertensi, diabetes, atau penyakit
kuning/hepatitis (untuk membedakan perut membesar akibat penyakit sirosis hati).

7. Anamnesis Faktor Risiko


Faktor risiko penyakit jantung yang perlu ditanyakan adalah: faktor genetik, berupa
riwayat orangtua dengan penyakit jantung, hipertensi, diabetes, obesitas dan penyakit
jantung bawaan. Juga kebiasaan pasien seperti merokok, minum alkohol, kurang olahraga
dan faktor stres.

E. ALAT DAN BAHAN


Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pelatihan keterampilan anamnesis
penyakit jantung dan pembuluh darah diantaranya adalah:
- Meja
- Kursi
- Skenario Klinis

Keterampilan Klinik 59
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

F. CARA KERJA
1. Anamnesis Data Pribadi
Seperti halnya anamnesis pada sistem organ lainnya, anamnesis pada penyakit
jantung dan pembuluh darah, terdiri dari komponen-komponen yang menunjukkan
identitas pribadi pasien. Komponen-komponen yang harus ditanyakan dalam
anamnesis pribadi antara lain adalah:
• Nama
• Umur
• Kelamin
• Alamat
• Agama
• Bangsa / Suku
• Status Perkawinan
• Pekerjaan

2. Anamnesis Keluhan Utama


Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien sehingga dirinya datang
berobat. Pengertian ini haruslah dicermati dengan baik, karena seringkali keluhan
utama tidak dapat ditentukan dengan baik karena kesalahan sewaktu menanyakannya
pada pasien. Untuk menentukan keluhan utama, dokter harus menanyakan apa
keluhan yang dirasakan paling mengganggu saat ini, yang menyebabkan pasien datang
berobat. Keluhan utama tidak boleh diabaikan, walaupun seandainya setelah dokter
melakukan pemeriksaan lebih lanjut, ternyata ditemukan penyakit lain yang lebih
serius.

3. Anamnesis Riwayat Penyakit Sekarang


Riwayat penyakit sekarang atau riwayat perjalanan penyakit merupakan uraian
rinci mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama, sampai saat
penderita datang berobat. Sebagaimana anamnesis pada sistem organ lainnya, untuk
menggali informasi lebih dalam terutama yang berkaitan dengan keluhan utama, dapat
digunakan komponen-komponen pertanyaan yang berpedoman kepada Macleod’s
Clinical Examination (metode OLDCART dan OPQRST).

4. Anamnesis Penyakit Terdahulu


Pada bagian ini ditanyakan kepada pasien tentang penyakit yang telah pernah
dideritanya sejak masih kanak-kanak sampai dewasa (saat sebelum menderita
penyakit sekarang ini), yang mungkin mempunyai hubungan dengan penyakit yang
dialami pasien saat ini.
5. Anamnesis Riwayat Pengobatan
Pada anamnesis riwayat pengobatan dokter menanyakan apakah sebelumnya
pasien sudah menggunakan obat-obatan untuk mengobati penyakitnya atau belum,

Keterampilan Klinik 60
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

apakah pasien berobat ke tenaga medis atau mengobati sendiri, apa nama obat yang
digunakan, bagaimana pemakainnya, dan apakah efek obat dirasakan menghilangkan
gejala penyakit atau tidak.

6. Anamnesis Riwayat Penyakit Keluarga


Pada anamnesis riwayat penyakit keluarga, dokter menanyakan penyakit yang
pernah diderita keluarga dekat penderita, seperti penyakit keturunan. Pada anamnesis
ditanyakan juga apakah ada anggota keluarga yang mengalami sakit yang sama
dengan pasien. Bila ada anggota keluarga yang telah meninggal dunia, tanyakanlah
sebab kematiannya.

7. Anamnesis Riwayat Sosial


Pada anamnesis riwayat sosial pasien, dokter menggali informasi-informasi
mengenai kebiasaan hidup pasien yang mungkin memiliki hubungan dengan penyakit
sistem gastroenterohepatologi yang dideritanya. Misalnya kebiasaan merokok, yang
dapat meningkatkan risiko timbulnya aterosklerosis.
Bila pasien memiliki riwayat merokok, diperlukan pertanyaan tertentu untuk
mendapatkan informasi lebih banyak tentang kebiasaan merokok tersebut, seperti
sudah berapa lama pasien merokok, berapa batang atau bungkus rokok yang
dihabiskan setiap harinya atau apakah penderita masih merokok atau sudah berhenti.
Terakhir, dokter dapat menanyakan tentang makanan yang dikonsumsi setiap
hari, seberapa banyak porsinya serta frekuensi makan. Dapat ditanyakan juga, apakah
penderita merasa berat badannya berkurang, bertambah, atau tetap, dan dicari apakah
ada hubungannya dengan penyakit yang diderita oleh pasien.

Keterampilan Klinik 61
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

G. LAPORAN KERJA
Yang Sudah Baik Saya Kerjakan:

Yang Belum Baik Saya Kerjakan:

Rencana Kerja Saya Selanjutnya:

Umpan Balik Dari Instruktur:

Medan,......................2021
Instruktur

(..........................................)

Keterampilan Klinik 62
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

H. LEMBAR PENGAMATAN

LEMBAR PENGAMATAN
ANAMNESIS PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH

*)Beri tanda √ pada kolom yang disediakan sesuai dengan penilaian anda
No. KEGIATAN 0* 1* 2*
1. Membuka Pertemuan (salam, perkenalan diri)
2. Menanyakan Identitas Pribadi Pasien
3. Menanyakan Keluhan Utama
4. Anamnesis Riwayat Penyakit Sekarang
5. Anamnesis Riwayat Penyakit Dahulu
6. Anamnesis Riwayat Pengobatan
7. Anamnesis Riwayat Keluarga
8. Anamnesis Riwayat Sosial

Keterangan :
0= Tidak dilakukan
1= Dilakukan tetapi tidak sempurna
2= Dilakukan dengan sempurna

REFERENSI

1. Chamberlain EN, Ogilvie C.(1974) Symptoms and Sign in Clinical Medicine An


Introduction to Medical Diagnosis, 9thEd. The English Language Book Society Bristol
John Right & Sons Ltd.
2. Gledel J. (2011). At a glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. (Terjemahan), Penerbit
Erlangga. Jakarta.
3. Nasution HH, dkk. (2012). Pemeriksaan Fisik, USU Press, 2012
4. Zein U (2012) Anamnesis, USU Press, 2012
5. Kolegium Ilmu Penyakit Dalam (2017). Panduan Teknik Pemeriksaan dan Prosedur
Klinis Ilmu Penyakit Dalam, Perhimpunan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
Indonesia, 2017

Keterampilan Klinik 63
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

MATERI KE VI
PEMERIKSAAN FISIK THORAKS (SISTEM RESPIRASI)
(Bagian Ilmu Penyakit Paru)

A. TUJUAN UMUM
Pelatihan keterampilan klinis ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Melakukan keterampilan klinis (pemeriksaan fisik, diagnostik, terapeutik) terkait organ


dan sistem Pernafasan

B. TUJUAN KHUSUS
Mahasiswa setelah melakukan skills lab pemeriksaan fisik thoraks diharapkan dapat:
1. Mengetahui cara menentukan lokasi kelainan pada dinding dada.
2. Terampil melakukan teknik pemeriksaan fisik toraks dan paru dengan cara inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi.

C. PENDAHULUAN
Pemeriksaan fisik toraks merupakan pemeriksaan yang dilakukan untuk mencari
keadaan-keadaan yang abnormal (patologis) pada tubuh penderita, sekaligus untuk
memperkuat berbagai informasi yang didapatkan dari anamnesis, sehingga dapat
membantu dokter untuk menegakkan diagnosis penyakit paru dan saluran pernafasan.
Metode pemeriksaan fisik toraks secara garis besar sama seperti pemeriksaan fisik
pada organ tubuh lainnya terdiri dari pemeriksaan secara visual (inspeksi), perabaan
(palpasi), pemeriksaan ketukan (perkusi) serta pemeriksaan auskultasi.
Agar dapat melakukan pemeriksaan fisik toraks dengan baik, pemeriksa terlebih
dahulu harus mengetahui anatomi dinding toraks terutama untuk menentukan lokasi
kelainan pada dinding toraks.

D. MATERI SKILLS LAB


1. Menentukan Lokasi Kelainan pada Dinding Toraks
Lokasi kelainan pada dinding toraks anterior dapat ditentukan dengan dua cara
yaitu dengan menghitung sela iga dan menggunakan garis-garis vertikal imajiner di
sekitar lingkar dada. Lokasi kelainan pada dinding toraks posterior ditentukan
dengan menggunakan pedoman tulang-tulang yang menonjol pada dinding toraks
posterior.
Dalam menghitung sela iga, pemeriksa dapat menggunakan angulus sternalis
ludovici sebagai pedoman. Untuk mengidentifikasi angulus sternalis ludovici ini,
carilah lekukan jugular atau suprasternal, kemudian geserlah jari ke arah kaudal ± 5
cm sehingga teraba penonjolan yang dibentuk oleh manubrium sterni dan corpus
sterni. Bila jari digerakkan ke arah lateral, akan didapatkan perlekatan iga ke-2 pada
sternum. Geserkan jari sedikit ke arah bawah sehingga teraba sela iga ke-2 yang

Keterampilan Klinik 64
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

terletak diantara iga ke-2 dan iga ke-3. Selanjutnya dengan menggunakan dua jari,
sela iga dapat dihitung satu per satu dengan arah oblique. Pada lelaki terutama yang
berperawakan kurus, sela iga dapat dihitung dengan menggunakan pedoman kedua
puting susu, yang terletak pada sela iga ke-4.

Gambar 1. Dinding Toraks Anterior Gambar 2. Anatomi Dinding Dada dan Paru

Sebagai pedoman untuk menentukan lokasi kelainan pada dinding toraks


posterior dipergunakan tulang-tulang yang terlihat menonjol seperti processus
vertebrae prominens yang merupakan penonjolan dari processus spinosus vertebrae
cervical tujuh. Dengan melakukan palpasi secara teliti, dapat ditentukan processus
vertebrae yang terletak dibawahnya, dan lokasi kelainan pada dinding toraks
posterior yang setinggi processus vertebrae tersebut. Tulang lain yang dapat
digunakan terutama bila pasien berperawakan kurus, adalah angulus inferior skapula
(batas bawah skapula) yang biasanya sejajar dengan iga atau sela iga ke-7.
Batas atas skapula adalah setinggi iga ke-2 dan iga ke-3. Hilus paru berada pada
perbatasan ruas ke-7 atau ke-8 atau setinggi iga ke-3.
Untuk menentukan lokasi kelainan disekitar lingkar dada, digunakan beberapa
garis vertikal imajiner. Garis-garis imajiner pada dinding dada anterior, lateral dan
posterior antara lain:
• Garis midsternalis, yaitu garis vertikal imajiner pada dinding dada anterior, yang
melalui pertengahan tulang dada dan processus xiphoideus.
• Garis sternalis, yaitu garis vertikal imajiner pada dinding anterior, yang melalui
pinggir sternum kiri atau kanan.
• Garis midclavicula, yaitu garis vertikal imajiner pada dinding dada anterior,
yang melalui pertengahan tulang clavicula.

Keterampilan Klinik 65
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

• Garis axillaris anterior, yaitu garis vertikal imajiner pada dinding dada anterior
atau lateral, yang melalui lipat aksila anterior.
• Garis axillaris posterior, yaitu garis vertikal imajiner pada dinding dada
posterior atau lateral, yang melalui lipat aksila posterior.
• Garis midaxillaris, yaitu garis vertikal imajiner pada dinding dada lateral, yang
melalui puncak dan pertengahan ketiak.
• Garis skapularis, yaitu garis vertikal imajiner yang melalui pertengahan dari
angulus inferior skapula.
• Garis vertebralis, yaitu garis vertikal imajiner yang melalui processus spinosus
vertebrae.

GARIS-GARIS VERTIKAL IMAJINER PADA DINDING TORAKS ANTERIOR,


POSTERIOR DAN LATERAL

Gambar 3. Garis-Garis Vertikal Imajiner Sepanjang Dinding Toraks Anterior

Gambar 4. Garis-Garis Vertikal Imajiner Sepanjang Dinding Toraks Posterior dan


Lateral

Keterampilan Klinik 66
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Teknik Pemeriksaan Fisik Toraks


Pemeriksaan fisik toraks sebaiknya dilakukan dalam posisi pasien duduk. Jika pasien
berbaring, pemeriksaan fisik tidak dapat dilakukan dengan sempurna karena paru-paru
tidak dapat mengembang dengan baik. Oleh karena itu, sebelum melakukan pemeriksaan
fisik toraks, diusahakan untuk mengatur posisi pasien, agar berada dalam posisi duduk,
walaupun harus dengan membantu mendudukkannya. Namun, bila pasien tidak dapat
duduk, pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara memiringkan pasien ke salah satu sisi,
kemudian ke sisi lainnya.
Pada saat pasien duduk kedua lengannya menyilang pada dada sehingga kedua
tangannya dapat diletakkan pada masing-masing bahu secara kontralateral. Diharapkan
dengan cara seperti ini, kedua skapula akan bergeser ke lateral, sehingga dapat
memperluas lapangan paru yang akan diperiksa. Pakaian pasien diatur sedemikian rupa,
sehingga seluruh toraks dapat diperiksa. Pada pasien wanita, pada saat dilakukan
pemeriksaan pada toraks bagian belakang, maka toraks bagian depan ditutup dengan
pakaian, atau kain periksa.

▪ Pengamatan Awal (Observasi)


Sebelum melakukan pemeriksaan fisik toraks, dilakukan pengamatan awal
terlebih dahulu mengetahui ada tidaknya kelainan di luar dada yang mungkin
berkaitan dengan penyakit pada paru atau saluran pernafasan. Selain itu dapat diamati
adakah suara-suara abnormal yang dapat didengar tanpa bantuan stetoskop.
- Kelainan pada daerah kepala yang berkaitan dengan kelainan pada paru dan
saluran pernafasan antara lain adalah sianosis pada ujung lidah akibat hipoksemia,
Sindrom Horner, pembengkakan leher (bull neck) pada Sindrom Vena Cava
Superior, deviasi trakea, atau pembengkakan kelenjar getah bening pada leher.
- Kelainan pada ekstremitas yang berkaitan dengan penyakit paru atau saluran
pernafasan antara lain, jari tabuh atau clubbing finger yang biasanya
berhubungan dengan penyakit paru seperti kanker paru, bronkiektasis, empiema,
abses paru, kistik fibrosis, dan pulmonary fibrosis, sianosis perifer yang terlihat
pada kuku jari tangan yang berwarna kebiruan, karat nikotin pada ruas jari pasien
yang perokok berat, serta otot-otot tangan dan lengan yang mengecil (sindrom
pancoast), karena penekanan nervus torakalis pertama oleh tumor di apeks paru.
- Suara mengi atau wheezing merupakan suara nafas tambahan yang bernada
teratur (musikal) dan berbunyi “ngik-ngik”, yang terdengar pada fase ekspirasi
karena adanya obstruktif atau penyempitan pada saluran nafas.
- Stridor, yaitu suara mendengkur. Terjadi karena penyumbatan pada saluran nafas
yang besar (laring). Stridor dapat berupa stridor inspiratoar ataupun ekspiratoar.
Kebanyakan yang ditemukan adalah kasus stridor inspiratoar, karena adanya
tumor, peradangan pada daerah trakea atau adanya benda asing pada trakea.
- Suara serak atau hoarseness. Merupakan suara nafas abnormal, yang terjadi
karena kelumpuhan pada saraf laring, atau peradangan pada trakea.

Keterampilan Klinik 67
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 5. Jari Tabuh atau Clubbing Finger Gambar 6. Karat Nikotin pada Jari
Perokok

Setelah melakukan pengamatan awal (observasi), kemudian dilakukan teknik


pemeriksaan fisik toraks dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.
▪ Inspeksi
Teknik pemeriksaan inspeksi dilakukan dengan cara mengamati dinding
toraks secara seksama. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan
inspeksi toraks adalah ada tidaknya kelainan pada dinding toraks, ada tidaknya
kelainan pada bentuk dinding toraks, kesimetrisan toraks sewaktu bergerak, dan
penilaian terhadap frekwensi, sifat dan irama pernafasan.
- Kelainan pada Dinding Toraks
Kelainan-kelainan yang dapat ditemukan pada dinding dada antara
lain jaringan parut bekas operasi pada dada misalnya operasi jantung atau
mastektomi, pelebaran vena-vena superfisial pada dinding dada, tumor,
pelebaran atau retraksi otot-otot interkostal, ginekomastia dan lain
sebagainya.
- Kelainan Bentuk Toraks
Toraks yang normal berbentuk simetris antara bagian kanan dengan
bagian kirinya. Diameter anteroposterior pada toraks yang normal, lebih
kecil daripada diameter transversa. Kelainan bentuk toraks yang sering
ditemukan adalah:
• Dada Paralitikum. Berupa dada yang kecil dengan diameter sagital
yang pendek, sela iganya sempit, dan angulus costae < 90o. Dada
paralitikum sering dijumpai pada pasien yang kekurangan gizi atau
malnutrisi.
• Dada Emfisema atau Barrel Chest. Berupa dada yang menggembung
seperti tong, dimana diameter anteroposterior lebih besar dari
diameter transversa. Terkadang tulang punggung kifosis (bungkuk)
dan angulus costae > 90o. Dada emfisema dapat dijumpai pada pasien
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yang berat.
• Kifosis. Merupakan kelainan bentuk dari tulang punggung atau
vertebrae, yang melengkung secara berlebihan ke arah anterior.

Keterampilan Klinik 68
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

• Skoliosis. Merupakan kelainan bentuk dari tulang punggung yang


melengkung secara berlebihan kearah lateral. Skoliosis terdiri dari
skoliosis toraks dan lumbar.

Gambar 7. Barrel Chest Gambar 8. Skoliosis Toraks


dan Skoliosis Lumbar

• Pectus Excavatum, atau funnel chest. Merupakan kelainan bentuk


pada toraks dengan tulang sternum yang mencekung ke arah dalam.
• Pectus Carinatum, atau pigeon chest. Merupakan kelainan bentuk
pada toraks dengan tulang sternum yang menonjol ke arah depan
seperti dada burung merpati.

Gambar 9. Pectus Excavatum Gambar 10. Pectus Carinatum

Keterampilan Klinik 69
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

- Kesimetrisan Toraks Sewaktu Bergerak (Inspirasi dan Ekspirasi)


Toraks yang simetris dalam keadaan statis, belum tentu akan tetap
simetris sewaktu bergerak, saat terjadinya pernafasan. Ketidaksimetrisan
bentuk toraks saat pernafasan (toraks tertinggal) dapat ditemukan pada
pasien dengan emfisema berat, pasien dengan ukuran tumor paru atau
mediastinum yang besar, efusi pleura yang masif, kolaps paru dan lain
sebagainya. Perhatikan juga ada tidaknya pemakaian otot bantu pernafasan
yang sering ditemukan pada pasien dengan PPOK berat.

- Frekwensi Pernafasan
Dalam keadaan normal, frekuensi pernafasan adalah antara 14-20
kali per menit. Pada bayi, frekuensi pernafasan normalnya dapat lebih cepat
yaitu 24-32 kali per menit. Pernafasan yang frekwensinya lebih dari 20 kali
per menit dinamakan takipneu, ditemukan pada pasien dengan pneumonia
berat, pada keadaan kecemasan yang berlebihan serta pada pasien asidosis.
Frekuensi pernafasan kurang dari 14 kali per menit dinamakan bradipneu,
ditemukan pada kasus-kasus dimana terjadi penekanan pada pusat
pernafasan akibat kelainan pada serebral atau penggunaan obat narkotika.
Bila tidak terlihat adanya pernafasan sama sekali dinamakan apneu yang
dapat dijumpai pada kasus syok, kelainan serebral dan lain sebagainya.

- Jenis Pernafasan
Jenis pernafasan yang normal adalah pernafasan kombinasi antara
toraks dan abdomen. Berbedanya bentuk anatomi dada dan perut,
menyebabkan jenis pernafasan kombinasi pada pria dan wanita menjadi
sedikit berbeda. Pada pria yang sehat, pernafasan abdominal lebih dominan
dari pernafasan torakal sehingga dinamakan pernafasan abdominotorakal.
Sebaliknya pada wanita pernafasan torakal lebih dominan sehingga
dinamakan pernafasan torakoabdominal.
Bila hanya terdapat satu jenis pernafasan misalnya torakal saja atau
abdominal saja, menandakan pasien kemungkinan menderita penyakit
tertentu. Pernafasan abdominal dapat dijumpai pada pasien dengan penyakit
paru misalnya PPOK berat atau pada kasus edema paru. Pernafasan torakal
dapat dijumpai pada kasus-kasus tumor, infeksi atau peradangan pada
abdomen. Misalnya tumor abdomen yang besar atau peritonitis.
Pada beberapa kasus penyakit paru misalnya PPOK berat, dapat
dijumpai jenis pernafasan pursed lips breathing yaitu seperti
menghembuskan sesuatu melalui mulut atau pernafasan cuping hidung
yang cepat dan dangkal pada kasus pneumonia berat.

Keterampilan Klinik 70
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

- Irama Pernafasan
Irama pernafasan yang normal berlangsung secara teratur ditandai
dengan adanya fase inspirasi dan fase ekspirasi yang silih berganti. Irama
pernafasan yang abnormal yang sering dijumpai antara lain:
• Bradipneu, yaitu irama pernafasan yang lambat.
• Takipneu, yaitu irama pernafasan yang cepat dan dangkal.
• Hiperpneu, yaitu irama pernafasan yang cepat dan dalam.
• Pernafasan Cheyne Stokes, yaitu irama pernafasan yang ditandai
dengan adanya periode apneu yang kemudian disusul oleh periode
hiperpneu, yang lama kelamaan irama pernafasannya mengecil dan
menjadi apneu lagi secara berulang. Ditemukan pada kasus kerusakan
pada pusat pernafasan di otak misalnya akibat stroke hemoragik, atau
pada kasus hipoksia kronik.
• Pernafasan Biot atau ataxic breathing, yaitu pernafasan yang tidak
teratur baik irama maupun amplitudonya. Pernafasan biot dijumpai
pada kasus cedera otak atau pada orang normal yang sangat gemuk
(obesitas) saat sedang tidur.
• Sighing Respiration, yaitu irama pernafasan normal yang diselingi
dengan tarikan nafas yang dalam.

▪ Palpasi
Pemeriksaan palpasi dilakukan dengan melakukan perabaan pada
dinding toraks dengan menggunakan tangan. Palpasi dinding toraks dapat
dilakukan dalam keadaan statis dan dinamis.
- Palpasi dinding toraks dalam keadaan statis meliputi:
o Pemeriksaan kelenjar getah bening. Diawali dengan palpasi secara
sirkuler pada kelenjar getah bening submandibula yang terletak di
antara angulus dan tulang mandibula, kemudian dilanjutkan dengan
palpasi pada kelenjar getah bening cervical superfisialis dan posterior
serta kelenjar getah bening supraklavikula. Bila teraba pembesaran
kelenjar getah bening catatlah lokasinya, ukuran, bentuk, konsistensi,
dan mobilitasnya. Pembesaran kelenjar getah bening cervical posterior
yang terletak di sebelah belakang muskulus sternokleidomastoideus,
menunjukkan adanya proses infeksi atau inflamasi pada paru.
Pembesaran kelenjar getah bening supraklavikula, menunjukkan
adanya proses di daerah parenkim paru karena metastase dari tumor
primer.
o Pemeriksaan palpasi trakea dan apeks jantung untuk menentukan posisi
dari mediastinum. Pergeseran posisi mediastinum bagian atas dapat
menyebabkan terjadinya deviasi trakea, sedangkan pergeseran posisi
mediastinum bagian bawah ditandai dengan adanya deviasi dari pulsasi
apeks jantung. Pada pemeriksaan deviasi trakea, pemeriksa berada di

Keterampilan Klinik 71
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

depan pasien, letakkanlah ujung jari telunjuk tangan kanan pada


lekukan suprasternal lalu tekanlah jari kearah trakea secara perlahan-
lahan untuk menilai ada tidaknya deviasi trakea. Pada orang yang
normal, posisi trakea terletak pada garis tengah tubuh. Namun
terkadang dapat juga ditemukan adanya deviasi trakea ringan ke arah
kanan. Pergeseran posisi mediastinum bagian bawah, ditandai dengan
adanya pergeseran pulsasi apeks jantung dan deviasi trakea. Pergeseran
pulsasi apeks jantung tanpa disertai dengan deviasi trakea, terutama
disebabkan oleh pembesaran ventrikel kiri.

Gambar 11. Palpasi KGB Submandibula Gambar 12. Palpasi KGB Supraklavikula

o Pemeriksaan palpasi pada dinding dada bagian depan. Palpasi


dilakukan dengan tangan untuk menentukan ada tidaknya kelainan
pada dinding dada seperti nyeri tekan pada dinding dada, krepitasi
karena emfisema subkutis, tumor dan lain-lain.

Gambar 13. Palpasi Trake Gambar 14. Kelenjar Getah Bening Kepala Leher

Keterampilan Klinik 72
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

- Palpasi dinding toraks dalam keadaan dinamis meliputi pemeriksaan


ekspansi paru dan pemeriksaan tactile vocal fremitus.
o Pemeriksaan ekspansi paru didasarkan pada kesimetrisan
pengembangan kedua sisi toraks selama fase inspirasi, baik inspirasi
secara biasa maupun maksimal. Pengembangan paru bagian atas
dilakukan dengan mengamati pergerakan kedua tulang klavikula.
Berkurangnya gerakan pada salah satu sisi tulang klavikula
menunjukkan adanya kelainan pada sisi tersebut. Untuk menilai
pengembangan paru pada bagian bawah, dilakukan pemeriksaan
dengan meletakkan kedua telapak tangan dan ibu jari secara simetris
pada masing-masing tepi iga sedangkan jari-jari lainnya menjulur
sepanjang sisi lateral lengkung iga. Kedua ibu jari harus saling
berdekatan di garis tengah dan sedikit diangkat agar dapat bergerak
bebas secara simetris saat pasien menarik nafas (inspirasi). Sama
halnya dengan pengembangan paru bagian atas, adanya kelainan pada
salah satu sisi toraks akan menyebabkan berkurangnya ekspansi dada
pada sisi tersebut, sehingga gerakan kedua ibu jari menjadi tidak
simetris.
o Pemeriksaan tactile vocal fremitus, merupakan pemeriksaan yang
dilakukan dengan cara meletakkan kedua telapak tangan pada
permukaan dinding toraks. Selanjutnya pasien diminta menyebutkan
kata-kata yang menimbulkan resonansi yang tinggi sehingga getaran
suara yang teraba pada dinding toraks akan terasa lebih jelas seperti
angka 77 atau 99. Rasakanlah getaran suara yang timbul dengan
seksama. Selanjutnya, bandingkanlah tactile vocal fremitus pada
dinding toraks anterior maupun posterior mulai dari bagian atas, tengah
dan bawah. Sewaktu pemeriksaan, kedua telapak tangan harus
disilangkan secara bergantian untuk konfirmasi getaran suara yang
dirasakan. Hasil pemeriksaan fremitus dinyatakan dalam fremitus yang
normal, melemah atau mengeras. Fremitus yang melemah didapatkan
pada orang yang gemuk, penebalan pleura, adanya cairan yang
berlebihan atau benda padat pada rongga pleura (empiema atau
hematotoraks), adanya udara yang berlebihan dalam rongga pleura
(pneumotoraks dan emfisema) dan pada atelektasis paru. Fremitus akan
teraba mengeras, karena adanya cairan atau infiltrat pada parenkim
paru misalnya pada penyakit tuberkulosis yang aktif atau pneumonia.

Keterampilan Klinik 73
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 15. Pemeriksaan Ekspansi Paru Gambar 16. Pemeriksaan Ekspansi Paru

Gambar 17. Pemeriksaan Tactile Vocal Fermitus Gambar 18. Lokasi Tactile Vocal Fremitus

▪ Perkusi
Pemeriksaan perkusi dilakukan dengan melakukan pengetukan pada
dinding toraks yaitu pada sela iga. Pemeriksaan ini diawali dengan meletakkan
telapak tangan kiri pada dinding toraks, kemudian tekan sedikit jari telunjuk
atau jari tengah tangan kiri (jari fleksimeter) pada sela iga daerah toraks yang
akan diperiksa. Bagian tengah falang medial dari jari fleksimeter, kemudian
diketuk dengan ujung jari tengah kanan (jari fleksor), dengan menggunakan
sendi pergelangan tangan sebagai poros.
Sebagai dasar dari perkusi adalah bising pada perkusi paru normal yang
mengandung udara (alveoli), dengan perbandingan tertentu dengan jaringan
paru. Bunyi ketukan yang didapatkan berupa bunyi sonor. Pada penyakit-

Keterampilan Klinik 74
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

penyakit tertentu, udara dalam paru dapat bertambah, maupun berkurang dalam
perbandingannya dengan jaringan paru.
Jika udara bertambah dalam paru maka resonansi suara juga bertambah.
Dengan demikian bunyi ketukan yang terdengar menjadi lebih keras sehingga
dinamakan bunyi hipersonor atau hiperresonan.
Sebaliknya apabila udara dalam paru berkurang, resonansi suara
menjadi berkurang, sehingga bunyi ketukan yang terdengar menjadi lebih
lemah. Bunyi ketukan ini dinamakan bunyi sonor memendek atau redup (dull).
Perkusi redup didapatkan pada kelainan dimana terdapat cairan atau infiltrat
pada paru misalnya pada pneumonia atau efusi pleura yang sedang.

Gambar 19. Cara Melakukan Perkusi Toraks Gambar 20. Cara Melakukan Perkusi
Toraks
Bila udara dalam paru hilang sama sekali, resonansi suara ikut
hilang, sehingga perkusi yang terdengar adalah suara pekak (beda atau stony
dull). Perkusi pekak didapatkan misalnya pada efusi pleura masif atau kanker
paru. Perkusi pekak juga didapatkan pada perkusi jaringan atau organ tubuh
yang padat seperti hati atau jantung.
Pada paru bagian depan dilakukan pemeriksaan perkusi perbandingan
secara bergantian kiri dan kanan. Pemeriksaan yang dilakukan pada paru bagian
depan berupa pemeriksaan batas paru hepar atau batas paru lambung.

Keterampilan Klinik 75
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 21. Lokasi Perkusi pada Toraks Anterior Gambar 22. Lokasi Perkusi pada Toraks
Posterior

Untuk menentukan batas paru hepar, dilakukan perkusi pada sela iga di
sepanjang garis midklavikula kanan, kemudian dibandingkan perubahan bunyi
ketukan yang terdengar. Perubahan bunyi ketukan akan didapatkan pada sela
iga ke-5 yaitu batas paru hepar relatif, dan sela iga ke-6 yang merupakan batas
paru hepar absolut. Pada batas paru hepar relatif didapatkan perubahan bunyi
ketukan dari sonor pada sela iga ke-4 menjadi sonor memendek pada sela iga
ke-5. Perkusi pada sela iga ke-6 dimana hepar terletak pada regio hipokondria
kanan, akan menimbulkan perubahan bunyi ketukan dari sonor memendek
menjadi redup. Pada keadaan normal letak hepar pada abdomen dapat berubah-
ubah terutama saat pasien melakukan inspirasi maksimal.
Bila terjadi inspirasi maksimal, akan terjadi pendorongan diafragma
yang semula cekung ke arah atas, oleh paru yang mengembang karena berisi
udara. Diafragma akan terdorong ke bawah dan bentuknya menjadi sedikit
mendatar. Pendorongan diafragma akan menyebabkan pendorongan organ-
organ tubuh yang terdapat dibawahnya seperti hepar.
Cara melakukan pemeriksaan peranjakan hepar ini diawali dengan
menjelaskan kepada pasien mengenai pemeriksaan yang akan dilakukan,
selanjutnya letakkan 2 jari tangan kiri tepat di bawah batas paru-hepar yaitu
pada sela iga ke-6. Pasien diminta menarik nafas yang dalam kemudian ditahan
sementara itu pemeriksa melakukan perkusi pada kedua jari tersebut. Dalam
keadaan normal akan terjadi perubahan bunyi perkusi yaitu dari redup menjadi
sonor. Hal ini disebabkan terdorongnya hepar ke arah bawah, karena terdorong

Keterampilan Klinik 76
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

oleh paru yang mengembang maksimal. Peranjakan hepar ini dalam keadaan
normal adalah sebesar 2 jari.
Selanjutnya, untuk menentukan batas paru-lambung, lakukanlah perkusi
sepanjang garis axillaris anterior kiri sehingga terjadi perubahan bunyi dari
sonor menjadi timpani. Batas paru-lambung sangat dipengaruhi oleh isi
lambung, namun biasanya didapatkan setinggi iga ke-8 kiri.

(A) (B)
Gambar 23. (A) Diafragma pada Fase Inspirasi, (B) Diafragma pada Fase Ekspirasi

Seperti pemeriksaan pada paru bagian depan, pemeriksaan perkusi pada


paru bagian belakang juga dilakukan secara bergantian kiri dan kanan. Perkusi
dilakukan sepanjang garis skapularis kanan dan kiri untuk menentukan batas
paru belakang bawah sebelah kanan dan kiri. Sebelum melakukan perkusi,
mintalah penderita untuk menyilangkan kedua lengannya di dada sehingga
kedua telapak tangan dapat diletakkan pada masing-masing bahu secara
kontralateral. Hal ini dilakukan agar skapula mengarah ke samping agar tidak
mengganggu pemeriksaan yang dilakukan.
Batas paru belakang bawah sebelah kiri biasanya adalah setinggi
vertebrae torakalis ke-10, sedangkan batas paru belakang bawah sebelah kanan
biasanya lebih tinggi satu jari, yaitu setinggi vertebrae torakalis ke-9.

▪ Auskultasi
Pemeriksaan auskultasi dilakukan dengan cara meletakkan stetoskop
pada sela iga dinding toraks secara sistematis dari toraks sebelah kanan ke
sebelah kiri secara selang-seling, dari lapangan paru sebelah atas ke lapangan

Keterampilan Klinik 77
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

paru sebelah bawah. Tujuan dari pemeriksaan ini terutama adalah, untuk
mendengarkan suara nafas pokok dan suara nafas tambahan.
o Suara Nafas Pokok Normal
- Vesikuler: Merupakan suara nafas pokok dengan frekuensi yang
rendah, dimana fase inspirasi lebih panjang dan lebih keras dari fase
ekspirasi. Suara nafas ini timbul akibat getaran suara di dalam alveoli,
dan dapat didengarkan pada hampir seluruh lapangan paru.
- Bronkial : Merupakan suara nafas pokok dengan frekuensi tinggi dan
kasar, yang timbul akibat getaran suara pada saluran nafas yang besar
(bronkus). Pada suara nafas bronkial, fase inspirasi dan ekspirasi
terdengar sama panjang dan suara nafas terdengar sama keras. Suara
nafas pokok ini dapat didengarkan dengan meletakkan stetoskop
disekitar daerah manubrium sterni. Dalam keadaan normal, suara
bronkial tidak dapat didengarkan pada lapangan paru lain selain daerah
sekitar manubrium sterni karena terhalang oleh alveoli (masking
effect), sehingga getaran suara yang dihasilkan tidak dapat dihantarkan
ke dinding dada. Bila terdengar suara nafas bronkial tidak pada tempat
yang seharusnya, perlu dipikirkan adanya keadaan patologis yang
menghantarakan suara bronkial ke dinding dada seperti infiltrat atau
benda padat (tumor).
- Bronkovesikuler : Merupakan suara nafas pokok dengan frekuensi dan
intensitas sedang. Pada suara nafas bronkovesikuler, lamanya fase
ekspirasi sedikit lebih panjang dari suara nafas vesikuler, sehingga
hampir menyamai fase inspirasi, dengan intensitas suara yang hampir
sama keras. Dalam keadaan normal, suara bronkovesikuler dapat
didengarkan pada dinding dada anterior setinggi sela iga pertama dan
kedua serta pada daerah interskapula pada dinding dada posterior.

Gambar 24. Lokasi Pemeriksaan Auskultasi Dinding Toraks Anterior dan Posterior

Keterampilan Klinik 78
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

o Suara Nafas Tambahan


- Ronkhi Basah : Ronkhi basah terdengar sebagai suara nafas yang
terputus-putus, tidak bernada, dan biasanya terdengar pada fase
inspirasi akibat getaran udara yang melewati cairan yang abnormal
pada saluran nafas. Ronkhi basah terbagi menjadi ronkhi basah halus
dan kasar. Pembagian ini didasarkan oleh besarnya diameter saluran
nafas. Semakin besar diameter saluran nafas, semakin keras suara
ronkhi terdengar. Ronkhi basah kasar terjadi karena adanya cairan
abnormal pada bronkus, sedangkan ronkhi basah halus terjadi bila
cairan abnormal terdapat pada bronkiolus atau alveoli.
- Ronkhi Kering : Ronkhi kering terjadi karena getaran udara yang
mengalir melalui saluran nafas yang menyempit akibat adanya sekret
yang kental. Suara ronkhi kering bersifat kontinu, dan bernada relatif
rendah.
- Wheezing : Wheezing atau mengi merupakan ronkhi kering dengan
frekuensi tinggi. Terjadi akibat getaran udara yang mengalir melalui
saluran nafas yang menyempit karena proses inflamasi (asma), atau
kerusakan anatomis (PPOK). Wheezing dapat didengarkan terutama
saat fase ekspirasi, karena udara melalui saluran nafas yang sempit,
lamanya fase ekspirasi menjadi memanjang.
- Bunyi Gesekan Pleura : Merupakan suara nafas tambahan, yang timbul
akibat gesekan pleura viseral dan parietal yang mengalami peradangan
dan menebal. Suara nafas tambahan ini terdengar pada akhir fase
inspirasi dan awal fase ekspirasi.
- Bising Krepitasi : Ditemukan pada kasus emfisema subkutis karena
jaringan subkutis yang mengandung udara. Bising ini dapat didengar
dengan memijat kulit dinding toraks dengan stetoskop, dan terdengar
seperti suara sepotong biskuit yang diremas dekat telinga.

E. ALAT DAN BAHAN


Alat dan bahan yang dibutuhkan:
- Meja
- Tempat tidur pasien
- Manekin
- Stetoskop

Keterampilan Klinik 79
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

F. CARA KERJA

Menentukan Lokasi Kelainan Pada Dinding Toraks


a. Dinding Toraks Anterior (angulus ludovici)
- Carilah lekukan jugular atau suprasternal.
- Geserlah jari ke arah kaudal ± 5 cm sehingga teraba penonjolan yang dibentuk
oleh manubrium sterni dan corpus sterni.
- Gerakkan jari ke arah lateral, sehingga didapatkan perlekatan iga ke-2 pada
sternum. Geserkan jari sedikit ke arah bawah sehingga teraba sela iga ke-2 yang
terletak diantara iga ke-2 dan iga ke-3.
- Selanjutnya dengan menggunakan dua jari, sela iga dapat dihitung satu per satu
dengan arah oblique.
- Pada pasien terutama lelaki yang berperawakan kurus, sela iga dapat dihitung
dengan menggunakan pedoman kedua puting susu, yang terletak pada sela iga
ke-4.
b. Dinding Toraks Posterior
- Carilah processus vertebrae prominens yang merupakan penonjolan dari
processus spinosus vertebrae cervical tujuh.
- Lakukan palpasi secara teliti, sehingga dapat ditentukan processus vertebrae
yang terletak dibawahnya, dan lokasi kelainan pada dinding toraks posterior
yang setinggi processus vertebrae tersebut.
- Carilah angulus inferior skapula (batas bawah skapula) yang biasanya sejajar
dengan iga atau sela iga ke-7.
- Carilah batas atas skapula (setinggi iga ke-2 dan iga ke-3).
c. Garis-Garis Vertikal Imajiner Anterior, Lateral dan Posterior
- Garis midsternalis, yaitu garis vertikal imajiner pada dinding dada anterior,
yang melalui pertengahan tulang dada, dan processus xiphoideus.
- Garis sternalis, yaitu garis vertikal imajiner pada dinding anterior, yang melalui
pinggir sternum kiri atau kanan.
- Garis midclavicula, yaitu garis vertikal imajiner pada dinding dada anterior,
yang melalui pertengahan tulang clavicula.
- Garis axillaris anterior, yaitu garis vertikal imajiner pada dinding dada anterior
atau lateral, yang melalui lipat aksila anterior.
- Garis axillaris posterior, yaitu garis vertikal imajiner pada dinding dada
posterior atau lateral, yang melalui lipat aksila posterior.
- Garis midaxillaris, yaitu garis vertikal imajiner pada dinding dada lateral, yang
melalui puncak dan pertengahan ketiak.
- Garis skapularis, yaitu garis vertikal imajiner yang melalui pertengahan dari
angulus inferior skapula.
- Garis vertebralis, yaitu garis vertikal imajiner yang melalui processus spinosus
vertebrae.

Keterampilan Klinik 80
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Teknik Pemeriksaan Fisik Toraks


a. Persiapan Pasien
- Dokter memberitahukan dan menjelaskan kepada pasien tentang prosedur
pemeriksaan fisik toraks yang akan dilakukan (secara lisan dengan bahasa yang
dimengerti oleh pasien). Kemudian dokter akan menuliskan di dalam status
medical record pasien apakah pasien bersedia atau tidak.
- Aturlah posisi pasien agar berada dalam posisi duduk.
- Bila pasien tidak dapat duduk, pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara
memiringkan pasien ke salah satu sisi, kemudian ke sisi lainnya.
- Pada pemeriksaan dinding toraks posterior, mintalah kepada pasien untuk
menyilangkan kedua lengannya pada dada, sehingga kedua tangannya dapat
diletakkan pada masing-masing bahu secara kontralateral, agar kedua skapula
bergeser ke lateral sehingga dapat memperluas lapangan paru yang akan
diperiksa.
- Aturlah pakaian pasien sedemikian rupa sehingga seluruh toraks dapat
diperiksa. Pada pasien wanita, pada saat dilakukan pemeriksaan pada toraks
bagian belakang, maka toraks bagian depan ditutup dengan pakaian atau kain
periksa.
b. Pengamatan Awal (Observasi)
- Ada tidaknya kelainan pada daerah kepala yang berkaitan dengan kelainan pada
paru dan saluran pernafasan, antara lain adalah sianosis pada ujung lidah akibat
hipoksemia, Sindrom Horner, pembengkakan leher (bull neck) pada Sindrom
Vena Cava Superior, deviasi trakea, atau adanya pembengkakan kelenjar getah
bening pada leher.
- Ada tidaknya kelainan pada ekstremitas yang berkaitan dengan penyakit paru
atau saluran pernafasan antara lain, jari tabuh atau clubbing finger yang
biasanya berhubungan dengan penyakit paru seperti kanker paru, bronkiektasis,
empiema, abses paru, kistik fibrosis dan pulmonary fibrosis, sianosis perifer
yang terlihat pada kuku jari tangan yang berwarna kebiruan, karat nikotin pada
ruas jari pasien yang perokok berat, serta otot-otot tangan dan lengan yang
mengecil (sindrom pancoast), karena penekanan nervus torakalis pertama oleh
tumor di apeks paru.
- Ada tidaknya suara mengi atau wheezing, yaitu suara nafas tambahan yang
bernada teratur (musikal) dan berbunyi ”ngik-ngik”, yang terdengar pada fase
ekspirasi karena adanya obstruktif, atau penyempitan pada saluran nafas.
- Ada tidaknya stridor, yaitu suara mendengkur. Stridor dapat berupa stridor
inspiratoar ataupun ekspiratoar. Kebanyakan yang ditemukan adalah kasus
stridor inspiratoar, karena adanya tumor, peradangan pada daerah trakea, atau
adanya benda asing pada trakea.
- Ada tidaknya suara serak atau hoarseness. Merupakan suara nafas abnormal
yang terjadi karena kelumpuhan pada saraf laring, atau peradangan pada trakea.

Keterampilan Klinik 81
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

c. Inspeksi
▪ Kelainan Pada Dinding Toraks
- Amatilah apakah terdapat kelainan pada dinding dada seperti jaringan parut
bekas operasi pada dada, pelebaran vena-vena superfisial pada dinding dada,
tumor, pelebaran atau retraksi pada otot-otot interkostal, ginekomastia dan
lain-lain.
▪ Kelainan Bentuk Toraks
- Amatilah apakah terdapat kelainan bentuk toraks seperti dada paralitikum,
dada emfisema, kifosis, skoliosis, pectus excavatum, atau pectus carinatum
▪ Kesimetrisan Toraks Sewaktu Bernafas
- Amatilah apakah kedua lapangan toraks simetris saat bernafas. Apakah ada
lapangan toraks yang tertinggal saat bernafas.
- Amatilah apakah terdapat pemakaian, atau hipertrofi otot-otot bantu
pernafasan sewaktu pasien bernafas.
▪ Frekuensi Pernafasan
- Hitunglah berapa banyak pasien bernafas dalam satu menit. Orang dewasa
normal bernafas 14-20 kali / menit. Pada bayi yang sehat frekuensi bernafas
24-32 kali / menit.
- Bandingkan frekuensi bernafas pasien dengan nilai yang normal. Apakah
frekuensi bernafas pasien normal, terlalu cepat (takipneu), terlalu lambat
(bradipneu) atau tidak bernafas (apneu).
▪ Jenis Pernafasan
- Amatilah jenis pernafasan pasien, apakah torakoabdominal (pada wanita)
atau abdominotorakal (pada pria), yang merupakan jenis pernafasan normal.
- Amatilah apakah terdapat jenis pernafasan abnormal seperti pernafasan
torakal, pernafasan abdominal, pursed lips breathing, atau pernafasan cuping
hidung yang cepat dan dangkal.
▪ Irama Pernafasan
- Amatilah irama pernafasan pasien. Irama pernafasan normal adalah
pernafasan yang silih berganti antara inspirasi dan ekspirasi.
- Amatilah ada tidaknya irama pernafasan yang abnormal seperti bradipneu,
takipneu, hiperpneu, pernafasan cheyne stokes, pernafasan biot, dan sighing
respiration.
d. Palpasi
▪ Palpasi Kelenjar Getah Bening
- Lakukanlah palpasi secara sirkuler pada kelenjar getah bening submandibula
yang terletak di antara angulus, dan tulang mandibula
- Lakukanlah palpasi pada kelenjar getah bening cervical superfisialis yang
terletak di depan muskulus sternokleidomastoideus.
- Lakukanlah palpasi pada kelenjar getah bening cervical profunda yang
terletak di belakang muskulus sternokleidomastoideus.
- Lakukanlah palpasi pada kelenjar getah bening supraklavikula.

Keterampilan Klinik 82
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

- Bila teraba pembesaran kelenjar getah bening catatlah lokasi, ukuran, bentuk,
konsistensi, nyeri tekan dan mobilitasnya.
▪ Palpasi Trakea
- Pemeriksa berada di depan pasien.
- Letakkanlah ujung jari telunjuk tangan kanan pada lekukan suprasternal, lalu
tekanlah jari ke arah trakea secara perlahan-lahan, untuk menilai ada tidaknya
deviasi trakea.
- Pada orang yang normal posisi trakea terletak pada garis tengah tubuh,
namun terkadang dapat juga ditemukan adanya deviasi trakea ringan ke arah
kanan.
▪ Palpasi Dinding Toraks Anterior (palpasi statis)
- Lakukan palpasi dinding toraks anterior, dengan telapak tangan untuk
menentukan ada tidaknya kelainan pada dinding dada.
- Tentukan ada tidaknya kelainan pada dinding dada, seperti nyeri tekan pada
dinding dada, krepitasi karena emfisema subkutis, tumor, dan lain
sebagainya.
▪ Pemeriksaan Ekspansi Paru (palpasi dinamis)
- Letakkan kedua telapak tangan, dan ibu jari secara simetris pada masing-
masing tepi iga, sedangkan jari-jari lainnya menjulur sepanjang sisi lateral
lengkung iga.
- Kedua ibu jari harus saling berdekatan di garis tengah, dan sedikit diangkat,
agar dapat bergerak bebas secara simetris saat pasien menarik nafas
(inspirasi).
- Bila terdapat kelainan pada salah satu sisi toraks, ekspansi dada pada sisi
tersebut akan berkurang, sehingga gerakan kedua ibu jari menjadi tidak
simetris.
▪ Pemeriksaan Tactile Vocal Fremitus (palpasi dinamis)
- Letakkan kedua telapak tangan pada permukaan dinding toraks.
- Mintalah pasien menyebutkan kata-kata yang menimbulkan resonansi yang
tinggi sehingga getaran suara yang teraba pada dinding toraks akan terasa
lebih jelas seperti angka 77 atau 99.
- Rasakanlah getaran suara yang timbul dengan seksama.
- Bandingkanlah tactile vocal fremitus pada yang dirasakan pada telapak
tangan kanan dan kiri pada dinding toraks anterior maupun posterior, mulai
dari bagian atas, tengah dan bawah. Apakah fremitus normal, melemah (pada
emfisema atau pneumotoraks), atau mengeras (pada pneumonia atau Tb paru
aktif).
- Setiap melakukan pemeriksaan tactile vocal fremitus, kedua telapak tangan
harus disilangkan secara bergantian untuk konfirmasi getaran suara yang
dirasakan, bila terasa fremitus yang tidak sama pada telapak tangan kanan
dan kiri.

Keterampilan Klinik 83
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

e. Perkusi
▪ Teknik Perkusi Dasar Pada Toraks
- Letakkan telapak tangan kiri pada dinding toraks.
- Tekan sedikit jari telunjuk atau jari tengah tangan kiri (jari fleksimeter) pada
sela iga daerah toraks yang akan diperiksa.
- Ketuklah bagian tengah falang medial dari jari fleksimeter dengan ujung jari
tengah kanan (jari fleksor) dengan menggunakan sendi pergelangan tangan
sebagai poros.
- Lakukanlah perkusi secara bergantian pada sela iga dinding toraks sebelah
kanan ke sela iga dinding toraks sebelah kiri, dimulai dari toraks sebelah atas,
tengah dan bawah pada dinding toraks anterior.
- Lakukanlah teknik perkusi yang sama, pada dinding toraks posterior
- Lakukanlah penilaian terhadap suara perkusi yang timbul pada dinding toraks
pasien apakah sonor (normal), hipersonor (pada PPOK), redup (pada efusi
pleura) dan beda (pada efusi pleura masif)
▪ Perkusi Batas Paru Hepar
- Lakukanlah perkusi pada sela iga, di sepanjang garis midklavikula kanan dari
atas ke bawah.
- Bandingkan perubahan bunyi ketukan yang terdengar. Pada perkusi sela iga
ke-4 dan ke-5, terjadi perubahan bunyi ketukan dari sonor menjadi sonor
memendek yang dinamakan batas paru hepar relatif.
- Bandingkan perubahan bunyi ketukan yang terdengar. Pada perkusi sela iga
ke-5 dan ke-6, terjadi perubahan bunyi ketukan dari sonor memendek
menjadi pekak (beda) yang dinamakan batas paru hepar absolut.
▪ Peranjakan Hepar
- Jelaskan kepada pasien mengenai pemeriksaan peranjakan hepar yang akan
dilakukan.
- Letakkan 2 jari tangan kiri tepat di bawah batas paru hepar absolut yaitu pada
sela iga ke-6.
- Mintalah pasien menarik nafas yang dalam kemudian ditahan, sementara itu
pemeriksa melakukan perkusi pada kedua jari tersebut
- Dalam keadaan normal akan terjadi perubahan bunyi perkusi dari redup
menjadi sonor disebabkan terdorongnya hepar ke arah bawah, karena
terdorong oleh paru yang mengembang maksimal.
- Peranjakan hepar dalam keadaan normal adalah sebesar 2 jari.
▪ Perkusi Dinding Toraks Posterior
- Mintalah penderita untuk menyilangkan kedua lengannya di dada, dengan
kedua telapak tangan diletakkan pada masing-masing bahu secara
kontralateral.
- Lakukanlah perkusi secara bergantian pada sela iga dinding toraks sebelah
kanan, ke sela iga dinding toraks sebelah kiri, dimulai dari toraks sebelah
atas, tengah dan bawah pada dinding toraks posterior

Keterampilan Klinik 84
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

- Perkusi dilakukan sepanjang garis skapularis kanan dan kiri untuk


menentukan batas paru belakang bawah sebelah kanan dan kiri.
- Batas paru belakang bawah sebelah kiri biasanya adalah setinggi vertebrae
torakalis ke-10, sedangkan batas paru belakang bawah sebelah kanan
biasanya lebih tinggi satu jari, yaitu setinggi vertebrae torakalis ke-9.
▪ Auskultasi
- Letakkanlah stetoskop pada seluruh dinding toraks secara sistematis dan
bergantian, pada sela iga dinding toraks sebelah kanan ke sela iga dinding
toraks sebelah kiri, dimulai dari toraks sebelah atas, tengah dan bawah pada
dinding toraks anterior.
- Mintalah pasien untuk melakukan inspirasi dan ekspirasi, lalu dengarkanlah
dengan seksama suara nafas yang terdengar.
- Lakukanlah teknik pemeriksaan auskultasi yang sama, pada dinding toraks
posterior.
- Lakukanlah penilaian terhadap suara pernafasan normal yang terdengar dari
stetoskop, terutama intensitas (normal, melemah atau mengeras), dan
letaknya, apakah terdengar pada tempat yang seharusnya atau tidak.
- Dengarkanlah dengan seksama ada tidaknya suara nafas tambahan, seperti
ronkhi basah, ronkhi kering, mengi, dan krepitasi.

Keterampilan Klinik 85
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

G. LAPORAN KERJA
Yang Sudah Baik Saya Kerjakan:

Yang Belum Baik Saya Kerjakan:

Rencana Kerja Saya Selanjutnya:

Umpan Balik Dari Instruktur:

Medan,......................2021
Instruktur

(..........................................)

Keterampilan Klinik 86
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

H. LEMBAR PENGAMATAN

LEMBAR PENGAMATAN
PEMERIKSAAN FISIK THORAKS

*)Beri tanda √ pada kolom yang disediakan sesuai dengan penilaian anda
No. KEGIATAN 0* 1* 2*
1. Menentukan Lokasi Kelainan Pada Dinding Thoraks
a. Dinding thoraks anterior (angulus ludovici)
b. Dinding thoraks posterior
2. Teknik Pemeriksaan Fisik Thoraks
a. Persiapan Pasien
b. Pengamatan awal
c. Inspeksi
d. Palpasi
e. Perkusi
f. Auskultasi

Keterangan :
0= Tidak dilakukan
1= Dilakukan tetapi tidak sempurna
2= Dilakukan dengan sempurna

REFERENSI

Keterampilan Klinik 87
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

MATERI KE VII
PEMERIKSAAN SPIROMETRI DAN PEAKFLOW METER
(dr. Anita Freesia, M.Ked (Paru), Sp.P)

A. TUJUAN UMUM
Pelatihan keterampilan klinis ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran:

Melakukan keterampilan klinis (pemeriksaan fisik, diagnostik, terapeutik) terkait organ


dan sistem Pernafasan

B. TUJUAN KHUSUS
Mahasiswa setelah melakukan skills lab pemeriksaan spirometri dan peakflow meter
diharapkan dapat:
1. Mengenal dan memahami alat spirometri
2. Memahami dan menjelaskan tujuan pemeriksaan spirometri
3. Mengetahui dan memahami indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan spirometri
4. Mengetahui dan memahami persiapan pasien sebelum pemeriksaan spirometri
5. Mengetahui, memahami dan mampu melakukan prosedur spirometri dengan baik dan
benar.
6. Mengenal dan memahami alat peak flow meter
7. Memahami dan menjelaskan tujuan pemeriksaan peak flow meter
8. Mengetahui, memahami dan mampu melakukan prosedur pemeriksaan peak flow
meter dengan baik dan benar

C. PENDAHULUAN
Pemeriksaan fungsi paru merupakan pemeriksaan penting dalam tatalaksana pasien
dengan kecurigaan penyakit respirasi atau riwayat penyakit respirasi sebelumnya.
Pemeriksaan fungsi paru dapat membantu menegakan diagnosis, memonitor respon
terhadap pengobatan, dan dapat membantu penentuan keputusan terkait tatalaksana dan
tindakan intervensi (Ranu, Wilde, & Madden, 2011).
Spirometri merupakan pemeriksaan fundamental dalam penilaian kesehatan
pernapasan secara menyeluruh. Spirometri dapat menilai efek penyakit terhadap fungsi
paru, menilai respon saluran napas, monitor perjalanan penyakit ataupun hasil dari
intervensi terapeutik, penilaian resiko pra-operasi dan menentukan prognosis pada
berbagai kondisi paru. Spirometri merupakan alat penting yang menyediakan informasi
pada klinisi, dimana hasil spirometri dinilai bersamaan dengan pemeriksaan fisik, gejala
dan riwayat penyakit agar dapat menegakan diagnosis penyakit (Graham, et al., 2019).
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru yang murah dan sederhana dan
mungkin tersedia di berbagai tingkat pelayanan kesehatan. Peak Flow Meter ditemukan
pertama kali oleh Basil Martin Wright pada tahun 1950-an, dan seiring dengan
perkembangan ilmu kedokteran, peak flow meter didesain menjadi lebih praktis dan
mudah untuk digunakan, baik oleh dokter bahkan penderita yang ingin memantau kondisi
penyakitnya setiap hari.

Keterampilan Klinik 88
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Peak flow meter (PFM) adalah alat yang digunakan untuk mengukur nilai kekuatan
napas tertinggi atau kemampuan seseorang untuk menghembuskan udara dari dalam paru.
Nilai tersebut didapat dari nilai peak flow terbaik yang dapat dicapai pasien sehingga dapat
diketahui keberadaan dan tingkat obstruksi pernafasan. Nilai peak flow rate (PEFR) dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, tinggi badan dan jenis kelamin.

D. MATERI SKILLS LAB


SPIROMETRI
Spirometri adalah pemeriksaan fisiologis yang mengukur volume udara maksimal
yang dapat diinspirasi dan diekspirasikan seseorang dengan upaya maksimal. Sinyal
primer yang diukur dalam spirometri adalah volume atau aliran sebagai fungsi waktu.
Pengukuran paling relevan yang dibahas dalam dokumen ini adalah kapasitas vital paksa
(KVP0, yang merupakan volume yang dikirimkan selama ekspirasi yang dibuat sekuat dan
selengkap mungkin mulai dari inspirasi penuh, dan volume ekspirasi paksa 1 dtk (VEP1),
yang merupakan volume ekspirasi pada detik pertama manuver KVP. Standar-standar ini
juga berlaku untuk pengukuran VEP1 dalam pengujian respon jalan napas dan pengujian
latihan. Variabel spirometrik lain yang berasal dari manuver KVP juga dibahas, serta
pengukuran KVdari manuver lambat (Graham, et al., 2019).
Spirometri umum direkomendasikan atau dibutuhkan untuk menegakan diagnosis
penyakit paru obstruktif oleh Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) (GOLD, 2020), Global Initiative for Asthma (GINA) (GINA, 2019), dan berbagai
organisasi lain dalam penegakan diagnosis (Mottram, 2018). Spirometri merupakan
pemeriksaan fungsi paru yang paling sering dilakukan dan spirometri mengukur volume
paru per waktu (Ranu, Wilde, & Madden, 2011). Spirometri merupakan pemeriksaan
fisiologi yang mengukur bagaimana individu dapat inhalasi dan ekshalasi volume paru
berdasarkan waktu. Tanda utama yang diukur dalam spirometri dapat berupa volume atau
aliran udara (Miller, et al., 2005). Pengukuran yang dapat dinilai adalah (Moore, 2012):
• Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (VEP1)
• Kapasitas vital paksa (KVP)
• Rasio VEP1/KVP
• Arus puncak ekspirasi (APE)
• Forced expiration flow (FEF) pada rate 25%, 50% dan 75% KVP
KVP didefinisikan sebagai volume udara yang diekshalasikan secara maksimal
setelah inspirasi maksimal. VEP1 didefinisikan sebagai volume udara yang dapat
diekshalasikan secara maksimal pada 1 detik pertama setelah inspirasi maksimal. Arus
puncak ekspirasi (APE) merupakan aliran udara tertinggi yang dapat diperoleh dari
manuver ekspirasi paksa maksimum dari keadaan inspirasi maksimal. Data APE diperoleh
dari kurva flow-volume. Forced expiratory flow (FEF) dikenal sebagai aliran mid-ekspirasi
maksimal, dimana didapat dari penjumlahan VEP1 dan KVP terbesar (Miller, et al., 2005).
KVP dan VEP1 diukur dari setidaknya tiga kurva ekspirasi paksa dimana
mempunyai awal yang acceptable dan bebas dari artefak (Miller, et al., 2005). Walaupun
pada beberapa keadaan diperlukan lebih dari delapan manuver, tetapi delapan kali

Keterampilan Klinik 89
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

manuver merupakan batas maksimal pada dewasa. Hal ini dikarenakan setelah beberapa
kali manuver ekspirasi paksa akan menimbulkan kelelahan dan manuver melebihi delapan
tidak akan memberikan nilai yang bermakna (Graham, et al., 2019).

INDIKASI SPIROMETRI
Spirometri memungkinkan mengukur efek penyakit pada fungsi paru-paru,
menilai respons jalan napas, memantau perjalanan penyakit atau hasil intervensi
terapeutik, menilai risiko pra operasi, dan menentukan prognosis untuk banyak kondisi
paru. Spirometri digunakan bersama dengan temuan fisik, gejala, dan riwayat lainnya
untuk mencapai diagnosis memberikan informasi penting kepada dokter. Indikasi
spirometri dapat yaitu (Graham, et al., 2019):
• Diagnosis
o Untuk mengevaluasi gejala, tanda, atau hasil tes laboratorium abnormal
o Untuk mengukur efek fisiologis penyakit
o Untuk skrining individu yang berisiko memiliki penyakit paru
o Untuk menilai risiko pra-operasi
o Untuk menilai prognosis
• Pemantauan
o Untuk menilai respons terhadap intervensi terapeutik
o Untuk memantau perkembangan penyakit
o Untuk memantau pasien terkait eksaserbasi penyakit dan pemulihan dari
eksaserbasi
o Untuk memantau terhadap efek buruk dari paparan zat yang merugikan
o Untuk mengawasi reaksi negatif terhadap obat dengan toksisitas terhadap paru
yang diketahui
• Evaluasi disabilitas/perburukan
o Untuk menilai pasien sebagai bagian dari program rehabilitasi
o Untuk menilai risiko sebagai bagian dari evaluasi asuransi
o Untuk menilai individu karena alasan hukum
• Lain-lain
o Penelitian dan uji klinis
o Survei epidemiologis
o Derivasi persamaan referensi
o Preemployment dan pemantauan kesehatan paru-paru untuk pekerjaan yang
berisiko
o Untuk menilai status kesehatan sebelum memulai aktivitas fisik berisiko

KONTRAINDIKASI SPIROMETRI
Tindakan spirometri sangat menuntut secara fisik. Manuver ekspirasi paksa dalam
spirometri dapat meningkatkan tekanan intratorasik, intraabdomen, dan intrakranial
(Cooper, 2011). Potensi resiko spirometri terutama terkait dengan tekanan maksimal yang
terjadi di rongga toraks dan dampaknya pada organ abdomen dan toraks, aliran balik vena
dan tekanan darah sistemik, dan ekspansi dinding dada dan paru. Upaya fisik yang
dibutuhkan dalam spirometri dapat meningkatkan kebutuhan miokard (Graham, et al.,
2019).

Keterampilan Klinik 90
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Karena spirometri membutuhkan partisipasi aktif pasien, maka


ketidakmampuan untuk memahami arah atau keengganan untuk mengikuti arahan dari
operator biasanya akan memberikan hasil tes submaksimal. Spirometri harus dihentikan
jika pasien merasakan nyeri saat manuver. Pasien dengan kontraindikasi potensial
sehingga spirometeri tidak dapat dilakukan pada layanan perawatan primer, dapat diuji di
laboratorium fungsi paru di mana didapati operator lebih berpengalaman dan
memungkinkan akses ke perawatan darurat jika diperlukan. Berikut merupakan
kontraindikasi relatif terhadap spirometri yaitu (Graham, et al., 2019):
• Dikarenakan peningkatan demand miokard atau perubahan tekanan darah
o Infark miokard akut dalam 1 minggu
o Hipotensi sistemik atau hipertensi berat
o Aritmia atrium/ventrikel yang signifikan
o Gagal jantung tanpa kompensasi
o Hipertensi paru yang tidak terkontrol
o Cor pulmonale akut
o Emboli paru yang tidak stabil secara klinis
o Riwayat sinkop terkait dengan ekspirasi paksa/batuk
• Dikarenakan peningkatan tekanan intrakranial/intraokuli
o Aneurisma serebri
o Operasi otak dalam 4 minggu
o Kontusio otak yang baru dengan gejala yang berkelanjutan
o Operasi mata dalam 1 minggu
• Dikarenakan peningkatan tekanan pada sinus dan telinga tengah
o Operasi atau infeksi pada sinus atau telinga tengah dalam 1 minggu
• Dikarenakan peningkatan tekanan intratorasik dan intraabdomen
o Pneumotoraks
o Pembedahan toraks dalam 4 minggu
o Operasi abdomen dalam 4 minggu
o Kehamilan trimester akhir
• Masalah terkait pengendalian infeksi
o Infeksi saluran pernafasan atau sistemik yang aktif atau diduga menular,
termasuk TBC
o Kondisi fisik merupakan predisposisi penularan infeksi, seperti hemoptisis,
sekresi yang signifikan, atau lesi oral atau perdarahan oral

PERSIAPAN PASIEN
Subjek harus sesantai mungkin sebelum dan selama pemeriksaan. Keputusan
untuk menghindari bronkodilator kerja jangka panjang dan pendek adalah keputusan
klinis, tergantung pada pertanyaan yang diajukan. Jika pemeriksaan spirometri dilakukan
untuk mendiagnosis kondisi paru yang mendasarinya, maka hindari pengunaan
bronkodilator. Akan tetapi jika pemeriksaan spirometri bertujuan untuk menentukan
tanggapan terhadap rejimen terapi yang ada, maka tetap memakai obat bronkodilator
(Miller, et al., 2005).
Pasien harus diminta melonggarkan pakaian ketat. Gigi palsu biasanya harus
dibiarkan di tempat; jika longgar, maka dapat mengganggu kinerja dan, oleh karena itu,
sebaiknya dilepas (Miller, et al., 2005). Berikut adalah aktivitas yang harus dihindari
sebelum pemeriksaan spirometri yaitu (Graham, et al., 2019):

Keterampilan Klinik 91
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

• Merokok dan/atau vaping dalam 1 jam sebelum pengujian (untuk menghindari


bronkokonstriksi akut akibat inhalasi asap)
• Mengkonsumsi minuman berat dalam waktu 8 jam sebelum pengujian (untuk
menghindari masalah dalam koordinasi, pemahaman, dan kemampuan fisik)
• Melakukan olahraga berat dalam 1 jam sebelum pengujian (untuk menghindari
kemungkinan bronkokonstriksi yang disebabkan oleh olahraga)
• Mengenakan pakaian yang secara substansial membatasi ekspansi seluruh dada dan
perut (untuk menghindari pembatasan eksternal pada fungsi paru-paru)
Umur, tinggi, dan berat badan pasien (tanpa jaket dan tanpa sepatu) dicatat. Lebih
baik untuk menghitung usia menggunakan tanggal lahir dan tanggal pemeriksaan
spirometri, termasuk dalam yurisdiksi di mana tanggal lahir hanya dapat dicatat pada bulan
terdekat. Usia harus dilaporkan dalam tahun ke satu tempat desimal. Tinggi dalam
sentimeter ke satu tempat desimal (Quanjer, Hall, Stanojevic, Cole, & Stocks, 2012) dan
berat hingga 0,5 kg terdekat harus dicatat. Tinggi badan harus diukur tanpa sepatu, dengan
kaki menyatu, berdiri setinggi mungkin dengan mata memandang lurus ke depan, dan
punggung rata dengan dinding atau stadiometer.
Jenis kelamin juga menentukan ukuran prediksi paru, begitu juga dengan eknis.
Etnis yang masuk kategori dari Global Lung Function Initiative (GLI) adalah kulit putih
(mis. dengan leluhur orang Eropa), Afrika-amerika, Asia timur laut, Asia tenggara, dan
lainnya/campuran (Quanjer, et al., 2012).

Gambar 1. Prosedur Spirometri (Pulmonary Function Test, 2021)

MANUVER SPIROMETRI
Spirometri didapati beberapa fase yang berbeda dari manuver kapasitas vital
paksa (KVP) yaitu: 1) inspirasi maksimal, 2) "ledakan" ekspirasi, 3) ekspirasi lengkap
terus menerus selama maksimal 15 detik. Sebagian besar variabilitas dalam hasil yang

Keterampilan Klinik 92
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

diperoleh dari spirometri berkaitan dengan inspirasi yang tidak adekuat, mengakhiri
ekspirasi sebelum waktunya, dan upaya variabel (Graham, et al., 2019).
Operator harus mendemostrasikan teknik yang sesuai dan mengikuti prosedur
yang diuraikan dalam tabel dibawah. Pasien harus memasukkan corong dan diperintahkan
untuk bernapas dengan normal. Operator memeriksa bahwa pasien memiliki postur yang
tepat, noseclip sudah terpasang, dan bibir tersegel di sekitar corong (Graham, et al., 2019).

PEAKFLOW METER
Nilai APE akan menurun pada kasus-kasus obstruksi saluran nafas seperti pada
penyakit PPOK, asma atau tumor primer paru pada bronkus, kelemahan otot-otot
pernafasan, dan teknik pemeriksaan yang salah.
Pemeriksaan peak flow meter memiliki kegunaan untuk mengukur kemampuan faal
paru, memonitor perjalanan penyakit dan mengetahui respon pasien terhadap pengobatan
yang telah diberikan (perbaikan nilai APE > 15%), dan membantu dokter untuk
merencanakan pengobatan yang akan diberikan, dengan cara mencatat nilai APE terbaik
dalam jangka waktu tertentu (2 minggu), kemudian dibandingkan dengan nilai APE
terbaik sebelumnya.
Peak-flow-metri merupakan pemeriksaan objektif ventilasi untuk mengukur aliran
udara ekspirasi yang dinyatakan dengan arus puncak ekspirasi/APE (peak expiratory flow
rate/PEFR). Tes ini bertujuan sebagai indikator untuk:
• Meningkatkan atau menurunkan terapi asma
• Mengevaluasi terapi pada pemeriksaan rutin pada rawat jalan dan rawat inap
• Mengevaluasi terapi pada pemeriksaan rutin harian di rumah oleh pasien untuk
menemukan peringatan awal
• Mendiagnosis suatu asma jika variabilitas harian >20%

Selain itu tes ini dilakukan sebagai monitoring APE untuk menilai:
• Beratnya asma atau serangan asam,
• Derajat variasi diurnal,
• Respon pengobatan saat serangan akut,
• Deteksi perburukan asimtomatik sebelum menjadi serius,
• Respon pengobatan jangka panjang,
• Justifikasi objektif dalam memberikan pengobatan,
• Identifikasi pencetus.

Alat peak flow meter yang digunakan pada tes ini memiliki keunggulan:
• Praktis,
• Mudah dibawa,
• Mudah menggunakannya tanpa memerlukan keahlian khusus,
• Harga relatif murah.

Keterampilan Klinik 93
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

(a) (b)
Gambar 2. (a) Peak Flow Meter diatur pada posisi terendah sebelum tes; (b) posisi
mouthpiece dengan bibir menutup sekeliling mouthpiece (Nespuniel, Courtlandt,
Windle, & Mosenifar, 2020)

Interpretasi Nilai APE pada Pelangi Asma


Pada penyakit asma, nilai APE dicatat dalam tabel berwarna seperti pelangi yang terbagi dalam
tiga zona, yaitu hijau, kuning, dan merah. Nilai prediksi adalah hasil bagi nilai aktual APE
subyek dengan nilai normal APE standarnya, lalu dikalikan 100%.
1. Zona Hijau dengan nilai APE 80%-100% dari nilai APE normal, berada dalam zona
hijau menandakan asma derajat ringan (asma terkontrol) atau normal
2. Zona Kuning dengan nilai APE 50%-80%, berada dalam zona kuning yang
menandakan asma derajat sedang, atau sedang mengalami serangan asma yang
memerlukan tambahan pengobatan
3. Zona Merah dengan nilai APE < 50%, berada dalam zona merah yang menandakan
asma derajat berat, dan merupakan kasus gawat darurat medik yang harus ditatalaksana
sesegera mungkin

Interpretasi Nilai APE Pasca Terapi :

Nilai Keterangan

APE > 70% Prediksi post terapi awal di IGD → Rawat Jalan
APE < 50 – 60 % Prediksi post terapi awal di IGD → Opname
APE < 60 % Prediksi serangan akut berat asma
Variability > 25% Asma tidak terkontrol
Variability < 25% Pasien asma opname → Rawat Jalan

Keterampilan Klinik 94
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

E. ALAT DAN BAHAN


Alat dan bahan yang diperlukan:
Spirometri
1. Alat spirometri
2. Corong mouthpiece
3. Nose clip/penjepit hidung
4. Tisu dan alkohol 70%
5. Timbangan
6. Pengukur tinggi badan
7. Alat peakflow meter
8. Tempat sampah

Peak Flow Meter


1. Peak Flow Meter
2. Tabel Pneumobile Project
3. Tabel Pelangi Asma
4. Kassa dan Alkohol 70%

F. CARA KERJA
SPIROMETRI KAPASITAS VITAL PAKSA
a. Perkenalkan diri kepada pasien dan mencuci tangan
b. Persiapan alat:
➢ Spirometer: sudah kalibrasi (alat dikaliberasi 1x sehari sebelum pemeriksaan
dimulai, minimal 1x dalam seminggu
➢ mouth piece,
➢ penjepit hidung
➢ Alat Pengukur TB dan BB.
c. Persiapan pasien:
Memastikan pasien memenuhi persiapan pemeriksaan Spirometri
➢ Kondisi umum pasien baik
➢ Tidak menggunakan gigi palsu
➢ Tidak menggunakan pakaian ketat
➢ Tidak makan terlalu kenyang 2 jam sebelum pemeriksaan
➢ Tidak merokok 2 jam sebelum pemeriksaan
➢ Tidak menggunakan obat bronkodilator kerja singkat 8 jam dan kerja lama 24 jam
sebelum prosedur (jika tujuan spirometri adalah penegakan diagnostik)
Menjelaskan tujuan pemeriksaan kepada pasien.
➢ Menilai status faal paru (normal, restriksi, obstruksi, campuran)
➢ Evaluasi pengobatan
➢ Evaluasi perjalanan penyakit
➢ Evaluasi prognosis
➢ Menentukan toleransi tindakan bedah
d. Pengukuran TB dan BB pasien dengan benar, dimana pasien harus melepas sepatu
dan jaket serta topi
e. Menginput data pasien pada mesin spirometri berupa
➢ Nama
➢ Umur

Keterampilan Klinik 95
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

➢ Jenis Kelamin
➢ Berat Badan (dalam Kg)
➢ Tinggi Badan (dalam Cm)
➢ Ras
f. Menyambungkan mouthpiece ke spirometri mengunakan tisu
g. Menjelaskan dan memperagakan kepada pasien prosedur manuver Spirometri
➢ Pastikan pasien dengan postur yang benar
➢ Memasang noseclip, posisikan mouthpiece di mulut dan rapatkan bibir
mengelilingi mouthpiece
➢ Bernapas secara normal
➢ Inspirasi secara penuh dan cepat dengan jeda waktu ≤ 2 detik
➢ Ekspirasi dengan paksa sampai tidak ada lagi udara yang mampu diekspirasikan
➢ Memastikan pasien memahami instruksi
h. Meminta dan mengawasi pasien melakukan prosedur manuver Spirometri
➢ Pastikan pasien dengan postur yang benar
➢ Memasang noseclip, posisikan mouthpiece di mulut dan rapatkan bibir
mengelilingi mouthpiece
➢ Operator meminta pasien bernapas secara normal
➢ Operator menginstruksikan pasien untuk inspirasi secara penuh dan cepat dengan
jeda waktu ≤ 2 detik
➢ Operator menginstruksikan pasien untuk ekspirasi dengan paksa sampai tidak ada
lagi udara yang mampu diekspirasikan
➢ Semangati pasien secara kontinu untuk tetap menghembuskan napas
i. Ulangi manuver spirometri minimal tiga manuver, maksimal delapan manuver
j. Memegang dan melepaskan mouthpiece dengan tisu lalu membuang mouthpiece ke
dalam tempat sampah medis
k. Menilai dan menganalisa hasil spirometri

TES ARUS PUNCAK EKSPIRASI (APE) DENGAN ALAT PEAK FLOW METER:
a. Pakailah mouthpiece yang baru atau yang sudah dicuci terlebih dahulu dengan
alkohol 70% atau direndam dalam larutan antiseptik
b. Pasang mouthpiece keujung peak-flow-meter
c. Pasien berdiri dan pegang peak-flow-meter, pegang mendatar tanpa menyentuh/
menganggu pergerakan marker.
d. Pastikan marker berada pada skala terendah.
e. Minta pasien untuk inspirasi maksimal kemudian masukkan mouthpiece ke mulut
dengan bibir menutup serta mengelilingi mouthpiece, dan ekspirasi secepat dan sekuat
mungkin. Pada anak, analogkan manuver ini dengan cara menarik dan membuang
napas seperti saat meniup lilin ulang tahun.
f. Saat ekspirasi, marker bergerak dan menujukkan angka pada skala dan catat hasilnya.
g. Ulangi sebanyak 3 kali dan catat nilai yang tertinggi.
h. Bandingkan nilai yang diperoleh tersebut dengan nilai terbaik/prediksi (lihat tabel)
perjenis kelamin berdasarkan umur (tahun) dan tinggi badan (m), nilai APE dalam
satuan Liter/menit atau L/detik.

Keterampilan Klinik 96
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

G. LAPORAN KERJA
Yang Sudah Baik Saya Kerjakan:

Yang Belum Baik Saya Kerjakan:

Rencana Kerja Saya Selanjutnya:

Umpan Balik Dari Instruktur:

Medan,......................2021
Instruktur

(..........................................)

Keterampilan Klinik 97
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

H. LEMBAR PENGAMATAN

LEMBAR PENGAMATAN
PEMERIKSAAN SPIROMETRI/PEAKFLOW METER

*)Beri tanda √ pada kolom yang disediakan sesuai dengan penilaian anda
No. KEGIATAN 0* 1* 2*
PEMERIKSAAAN SPIROMETRI
1. Perkenalkan diri kepada pasien dan mencuci tangan
2. Persiapan alat:
3. Persiapan pasien:
4. Pengukuran TB dan BB pasien dengan benar, dimana
pasien harus melepas sepatu dan jaket serta topi
5. Menginput data pasien pada mesin spirometri berupa
6. Menyambungkan mouthpiece ke spirometri mengunakan
tisu
7. Menjelaskan dan memperagakan kepada pasien prosedur
manuver Spirometri
8. Mengawasi prosedur Spirometri
9. Ulangi manuver spirometri minimal tiga manuver,
maksimal delapan manuver
10. Memegang dan melepaskan mouthpiece dengan tisu lalu
membuang mouthpiece ke dalam tempat sampah medis
11. Menilai dan menganalisa hasil spirometri dan mengambil
nilai KVP dan VEP1 tertinggi
PEMERIKSAAN SPIROMETRI
1. Minta pasien pakai mouthpiece yang baru atau yang sudah
dicuci terlebih dahulu dengan alkohol 70% atau direndam
dalam larutan antiseptik
2. Pasang mouthpiece ke ujung peak-flow-meter
3. Minta Pasien berdiri dan memegang peak flow meter,
pegang peak flow meter mendatar tanpa
menyentuh/menganggu pergerakan marker
4. Pastikan marker berada pada skala terendah
5. Minta pasien untuk inspirasi maksimal kemudian
masukkan mouthpiece ke mulut dengan bibir menutup
serta mengelilingi mouthpiece, dan ekspirasi secepat dan
sekuat mungkin. Saat ekspirasi, marker bergerak dan
menujukkan angka pada skala dan catat hasilnya
6. Ulangi sebanyak 3 kali dan catat nilai yang tertinggi
7. Bandingkan nilai yang diperoleh tersebut dengan nilai
terbaik/prediksi (lihat tabel) perjenis kelamin berdasarkan
umur (tahun) dan tinggi badan (m), nilai APE dalam satuan
Liter/menit atau L/detik.

Keterampilan Klinik 98
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Keterangan :
0= Tidak dilakukan
1= Dilakukan tetapi tidak sempurna
2= Dilakukan dengan sempurna

REFERENSI

1. Nespuniel, D., Courtlandt, C., Windle, M., & Mosenifar, Z. (2020). Retrieved from
Medscape: https://emedicine.medscape.com/article/1413347-overview
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Diagnosis dan Klasifikasi. Widjaja A,
Mangunnegoro H, Yunus F, Dianiati K, Suryanto E, Syafiuddin T, Wiyono HW et al,
editors. Asma : Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Edisi ke-1.
Jakarta : Balai Penerbit FK UI. 2004 : 21-3. 105-6

Keterampilan Klinik 99
Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

TABEL PNEUMOMOBILE LAKI-LAKI INDONESIA

Keterampilan Klinik 100


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

TABEL PNEUMOMOBILE PEREMPUAN INDONESIA

Keterampilan Klinik 101


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

MATERI KE VIII
INTERPRETASI FOTO RONTGEN THORAKS
(Bagian Radiologi)

A. TUJUAN UMUM
Pelatihan keterampilan klinis ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran:

Melakukan keterampilan klinis (pemeriksaan fisik, diagnostik, terapeutik) terkait organ


dan sistem Pernafasan

B. TUJUAN KHUSUS
Mahasiswa setelah melakukan skills lab interpretasi foto rontgen thoraks diharapkan
dapat:
1. Mengetahui dan mampu membaca foto rontgen toraks dengan benar.
2. Mengetahui gambaran foto rontgen toraks yang normal.
3. Mengetahui ada tidaknya kelainan dari organ-organ toraks yaitu paru-paru, jantung,
tulang-tulang pada dinding toraks, dan jaringan lunak (soft tissue) dinding toraks.

C. PENDAHULUAN
Pemeriksaan radiologi khususnya pemeriksaan rontgen toraks, merupakan salah satu
pemeriksaan penunjang yang sangat penting dalam upaya menegakkan diagnosis penyakit
paru dan saluran pernafasan. Hal ini dikarenakan diagnosis pasti penyakit paru dan saluran
pernafasan dan diagnosis bandingnya tidak dapat ditegakkan atau disingkirkan sebelum
pemeriksaan rontgen toraks.
Pemeriksaan rontgen toraks juga dapat membantu dokter untuk menemukan
berbagai kelainan patologis dini pada organ-organ toraks khususnya paru-paru, walaupun
pasien belum menunjukkan gejala-gejala klinis yang nyata. Di Indonesia, pemeriksaan ini
memiliki peranan penting dalam upaya pemberantasan penyakit tuberkulosis, yang
merupakan salah satu penyakit infeksi paru endemik dengan angka kesakitan dan kematian
peringkat ketiga di dunia, yang hingga saat ini belum berhasil ditanggulangi dengan baik.
Tuberkulosis paru, terutama pada stadium dini, tidak dapat ditemukan hanya dengan
melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja.
Untuk mengetahui ada tidaknya kelainan pada organ atau jaringan toraks, menilai
dengan teliti kelainan tersebut, dan akhirnya membuat suatu interpretasi mengenai
kelainan tersebut, memerlukan latihan terus menerus, yang tentunya harus didukung
dengan pengetahuan klinis yang baik tentang ilmu penyakit paru dan saluran pernafasan,
serta keterampilan klinis yang baik khususnya dalam melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik toraks.
Pada keterampilan klinis ini akan dilatih bagaimana cara yang benar dalam membaca
foto rontgen toraks normal, dengan tujuan agar mahasiswa terlatih untuk menemukan
kelainan-kelainan patologis yang tidak ditemukan pada pembacaan foto rontgen toraks
yang normal. Selain itu, pemeriksaan rontgen toraks merupakan salah satu pemeriksaan

Keterampilan Klinik 102


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

penunjang yang sangat penting dalam upaya menegakkan diagnosis penyakit jantung,
karena dapat membantu dokter untuk menemukan kelainan-kelainan jantung yang tidak
dapat ditentukan secara pasti, dengan hanya melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
saja. Selain itu, pemeriksaan rontgen toraks dapat dipakai sebagai acuan untuk menentukan
penyebab penyakit jantung, memberikan pengobatan, dan sebagai sarana evaluasi terhadap
perbaikan atau perburukan yang terjadi, selama pasien menjalani pengobatan.
Untuk mengetahui ada tidaknya kelainan pada jantung, menilai dengan teliti
kelainan tersebut, dan akhirnya membuat suatu interpretasi mengenai kelainan tersebut,
memerlukan latihan terus menerus, yang tentunya harus didukung dengan pengetahuan
dan keterampilan klinis yang baik, khususnya dalam melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik jantung.
Pada pemeriksaan rontgen toraks, penilaian terutama ditujukan pada morfologi
jantung. Penyitraan jantung yang nampak pada foto toraks, adalah bayangan geometrik
dinding luar jantung dan pembuluh darahnya, sedangkan lumen dan dinding didalamnya
tidak tampak. Beberapa hal yang dapat dinilai pada pembacaan foto rontgen toraks jantung
antara lain adalah, kedudukan jantung, perubahan ukuran, pembesaran ruang-ruang
jantung, pergeseran batas-batas jantung, serta gambaran lapangan paru yang dapat
mempengaruhi, atau dipengaruhi oleh keadaan jantung.

D. MATERI SKILLS LAB


a. Beberapa Istilah Foto Rontgen
❖ Densitas: Kemampuan jaringan mengabsorbsi sinar X. Semakin padat konsistensi
dan volume suatu benda, semakin tinggi pula densitasnya. Benda-benda dengan
konsistensi padat atau cair akan berwarna putih pada foto toraks, sebaliknya
semakin rendah konsistensi, semakin hitam gambaran benda tersebut pada foto
toraks. Contoh benda berdensitas tinggi adalah jaringan padat seperti tulang, organ
tubuh, dan jaringan lunak (soft tissue). Sedangkan contoh benda berdensitas rendah
adalah gas. Jaringan-jaringan tubuh dengan volume yang lebih tebal akan
mengabsorbsi sinar X lebih baik. Tulang akan memberikan gambaran densitas
yang lebih tinggi, sehingga tampak lebih putih daripada otot atau jaringan lemak.
❖ Radioopasitas: Daerah yang berwarna putih padat pada foto rontgen karena
absorbsi sinar X yang baik pada jaringan atau organ berdensitas tinggi.
❖ Radiolusensi: Daerah yang berwarna hitam pada foto rontgen karena absorbsi sinar
X yang jelek pada jaringan atau organ berdensitas rendah.
❖ Posisi P.A: Merupakan singkatan dari postero anterior yaitu posisi pasien pada saat
pemeriksaan rontgen, dimana arah sinar X datang dari bagian belakang tubuh
pasien ke depan. Posisi postero anterior merupakan posisi rontgen yang paling
banyak diminta oleh dokter, dan pada pelatihan ini akan dilatihkan cara membaca
foto toraks posisi P.A dengan benar.
❖ Posisi A.P: Merupakan singkatan dari antero posterior yaitu posisi pasien pada saat
pemeriksaan rontgen, dimana arah sinar X datang dari bagian depan tubuh pasien
ke belakang.

Keterampilan Klinik 103


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

❖ Konsolidasi: Daerah yang tampak berwarna putih pada jaringan yang seharusnya
berwarna hitam. Terjadi terutama karena adanya infiltrat atau cairan abnormal pada
jaringan tersebut, misalnya pada peradangan parenkim paru (pneumonia).

b. Gambaran Foto Rontgen Toraks Normal

Gambar 1. Foto Rontgen Toraks Normal Posisi P.A


Keterangan Gambar
A : Jantung (cor) I : Corakan Vaskuler Paru
B : Kosta Anterior J : Hilus Paru
C : Aorta K : Skapula
D : Kosta Posterior L : Parenkim Paru
E : Sinus Kardiofrenikus M.1.2 : Klavikula dan Trakea
F : Diafragma A.1 : Pinggang Jantung
G : Fundus Lambung A.2 : Ventrikel Kiri
H : Sinus Kostofrenikus A.3 : Ventrikel Kanan

c. Penilaian Terhadap Kondisi Foto Rontgen Toraks Normal


Foto rontgen toraks normal dikatakan baik, apabila foto tersebut memenuhi beberapa
syarat seperti berikut, antara lain:
❖ Identitas pasien, harus tertera dengan jelas nama, umur, dan jenis kelamin.
❖ Tanggal pembuatan foto harus dicantumkan dengan jelas.
❖ Tanda kanan dan kiri harus dicantumkan.
❖ Kekuatan sinar X (Kv, mA) perlu dicantumkan. Vertebra torakalis I-IV harus
terlihat, bila tidak terlihat berarti kekuatan sinar terlalu lemah, sebaliknya bila
vertebra dibawah vertebra torakalis IV juga terlihat, berarti kekuatan sinar yang
digunakan terlalu kuat. Selain itu, diskus intervertebralis harus terlihat samar-
samar.
❖ Derajat Inspirasi. Foto rontgen toraks yang baik diambil saat pasien melakukan
inspirasi maksimal. Letak diafragma pada iga posterior ke 9-11, menandakan foto
diambil saat inspirasi maksimal.
❖ Sentrasi Foto. Prosesus spinosus korpus vertebra terletak di tengah. Jarak antara
ujung medial kedua klavikula dengn prosessus spinosus harus sama.

Keterampilan Klinik 104


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

❖ Proyeksi dan Posisi. Cantumkan posisi pengambilan foto. Posisi PA ditandai dengan
gambaran iga posterior yang lebih jelas dari iga anterior. Sinus kostofrenikus kanan
dan kiri harus terlihat dengan jelas, dan kedua tulang skapula tidak boleh menutupi
lapangan paru karena dapat mengacaukan interpretasi foto.

d. Penilaian Organ-Organ Tubuh Pada Foto Rontgen Toraks Normal

Gambar 2. Penilaian Jantung

Penilaian terhadap organ-organ tubuh dilakukan secara seksama dan sistematis,


mencakup organ-organ intratorakal hingga jaringan lunak (soft tissue) dinding toraks.

❖ Mediastinum (superior, medium dan inferior). Mediastinum berada di tengah dan


berbatas tegas. Pada mediastinum superior perhatikanlah arkus aorta dan trakea.
Arkus aorta pada keadaan normal terletak 2 cm dari manubrium sterni. Perhatikan
ada tidaknya kalsifikasi, kolaps, atau elongasio aorta. Trakea pada gambaran
normal tampak sebagai bayangan hitam pada garis tengah tubuh pada lapangan
paru atas. Trakea terletak di tengah namun terkadang dapat ditemukan sedikit
deviasi ke sebelah kanan. Pada mediastinum medium lakukanlah penilaian
terhadap kedua hilus, apakah terdapat peningkatan corakan vaskuler. Pengamatan
terhadap mediastinum inferior meliputi penilaian terhadap jantung. Penilaian
dilakukan terhadap ukuran, bentuk, dan batasnya.
❖ Jantung
1) Kedudukan Jantung (situs)
Dalam keadaan normal, sebagian besar jantung terletak pada rongga dada
sebelah kiri, dengan fundus dan apeks jantung berada di sebelah kiri (situs
solitus). Kelainan kedudukan jantung sebagian besar disebabkan cacat bawaan
sejak lahir (kongenital), dan pada umumnya tidak menimbulkan gejala klinis,
kecuali bila disertai dengan kelainan jantung bawaan lain seperti kelainan katup,
kebocoran pada dinding jantung, dan lain sebagainya. Kelainan pada kedudukan
jantung antara lain adalah:

Keterampilan Klinik 105


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

- Fundus dan apeks jantung terletak pada rongga dada sebelah kanan, yang
dinamakan dekstrokardia.
- Fundus jantung terletak pada rongga dada sebelah kiri, akan tetapi apeks
jantung terletak di sebelah kanan, yang dinamakan dekstroversi.
- Fundus jantung berada pada rongga dada sebelah kanan, akan tetapi apeks
jantung terletak di sebelah kiri, yang dinamakan levoversi.

2) Ukuran dan Pembesaran Jantung


Ukuran jantung yang normal adalah sebesar kepalan tinju orang dewasa,
sehingga untuk menentukan apakah jantung seseorang membesar secara kasar,
dapat dilakukan dengan membandingkan kepalan tinju, dengan gambaran
jantung yang terdapat pada foto toraks. Akan tetapi cara ini tidaklah memiliki
akurasi yang baik, sehingga tidak dianjurkan untuk dilakukan.
Beberapa cara yang dapat dipergunakan untuk menentukan pembesaran
jantung antara lain adalah:
a. Pengukuran CTR (cardio thoracis ratio),
b. Pembuatan foto lateral, dan
c. Membuat perbandingan foto-foto pada waktu-waktu tertentu misalnya foto
sebelum sakit, saat sakit, dan sesudah sakit.

Sebelum melakukan pengukuran jantung, terlebih dahulu pemeriksa harus


memperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi gambaran ukuran jantung
pada foto rontgen toraks yaitu:
- Posisi pengambilan gambar. Pada foto rontgen, gambaran yang terbentuk
akan jauh lebih besar dari pada aslinya, apabila obyek semakin dekat
dengan sumber sinar, dan akan mendekati ke ukuran sebenarnya, apabila
obyek semakin jauh dengan sumber sinar, tentunya dengan jarak tertentu
dan arah sinar tegak lurus pada obyek. Karena jantung terletak pada rongga
dada anterior, untuk mendapatkan gambaran jantung yang mendekati
bentuk sebenarnya, posisi pengambilan gambar yang dianjurkan adalah
posisi postero anterior, dimana gambaran jantung diperoleh dengan
melakukan penyinaran dengan arah sinar datang dari posterior ke anterior
tubuh pasien (posisi PA), pada jarak lebih kurang 6 kaki (180 cm).
- Posisi Tubuh. Pada posisi tubuh berbaring, gambaran rontgen jantung dapat
membesar dari ukuran yang sebenarnya, sehingga untuk mendapatkan
ukuran jantung yang tepat, pada pengambilan foto rontgen, pasien harus
berada dalam posisi tubuh berdiri dengan sikap tubuh yang tegak simetris.
- Derajat Inspirasi. Diafragma dapat memberikan penekanan ke atas kepada
jantung sehingga jantung dapat melebar sehingga tampak lebih besar dari
ukuran sebenarnya. Untuk mendapatkan ukuran jantung yang sebenarnya
pada foto rontgen toraks, diafragma harus terletak serendah mungkin
dengan cara menginstruksikan pasien untuk menarik nafas sedalam

Keterampilan Klinik 106


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

mungkin (inspirasi maksimal) dan ditahan. Pada inspirasi maksimal,


diafragma akan terletak setinggi iga posterior 9-11.
- Bentuk Dada dan Tulang Punggung. Bentuk dada yang gepeng akan membuat
rongga dada menjadi sempit, sehingga jantung dapat melebar ke samping dan
tampak membesar. Kelainan bentuk tulang punggung yang berat seperti kifosis
ata skoliosis, dapat mempengaruhi ukuran rongga dada, sehingga dapat
mengubah ukuran jantung dan kedudukannya.

Gambar 3. Kedudukan Jantung Normal Gambar 4. Dekstrokardia dan Skoliosis

a. Pengukuran CTR (cardio-thoracis ratio)


Ukuran jantung diukur dengan membandingkan diameter transversa
jantung yang maksimum, dengan diameter maksimum rongga dada (CTR =
DT/DM x 100%).
- Untuk mengukur CTR, buatlah garis tengah yang lurus dan melalui
prosessus spinosus tulang belakang.
- Kemudian carilah titik terjauh sisi jantung sebelah kanan ke garis
tengah tadi, dan hubungkan tegak lurus dengan penggaris ke garis
tengah, sehingga didapatkan diameter jantung sebelah kanan, yang
dapat ditulis dengan notasi (R).
- Dengan cara yang sama, carilah titik terjauh sisi jantung sebelah kiri ke
garis tengah, dan hubungkan tegak lurus dengan penggaris ke garis
tengah, sehingga didapatkan diameter jantung sebelah kiri, yang dapat
ditulis dengan notasi (L).
- Hitunglah diameter transversa jantung yang maksimum yang
dinotasikan dengan (DT), dengan menjumlahkan diameter sisi jantung
sebelah kanan (R), dengan diameter sisi jantung sebelah kiri (L).
- Hitunglah diameter maksimum rongga dada, dengan menghubungkan
titik-titik terjauh pada rongga dada sebelah kanan dengan sebelah kiri.

Keterampilan Klinik 107


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

- Hitunglah perbandingan ukuran diameter transversa jantung yang


maksimum dengan diameter maksimum rongga dada. Ukuran jantung
yang normal adalah kurang dari 50% pada foto yang diambil dengan
jarak 6 kaki (CTR = DT/DM kurang dari 50%, nilai CTR normal 48-
50%).

Gambar 5. Pengukuran Cardio-Thoracis Ratio (CTR)

b. Pembuatan Foto Lateral


Foto lateral berguna untuk menilai bentuk dada, dan pembesaran ruang-
ruang jantung. Melalui foto lateral dapat dilihat apakah dada seseorang
cenderung berbentuk gepeng. Dada yang gepeng akan menyebabkan
rongga dada menjadi sempit, sehingga jantung akan melebar ke samping
dan memberikan kesan membesar.
Pada foto lateral jantung akan tampak dinding depan jantung yang
dibentuk oleh ventrikel kanan, batas inferior - posterior jantung yang
dibentuk oleh ventrikel kiri, dan batas superior - posterior, yang dibentuk
oleh atrium kiri.

Keterampilan Klinik 108


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 6. Foto Toraks Jantung Posisi Lateral


Keterangan Gambar
1 : Sternum 11 : Arteri Pulmonalis Kiri
2 : Jaringan Lunak (Lengan Atas) 12 : Fissura Horizontal
3 : Trakea 13 : Ruang Retrosternal
4 : Skapula 14 : Ventrikel Kiri
5 : Aorta Ascendens 15 : Ventrikel Kanan
6 : Lengkung Aorta 16 : Fissura Oblique
7 : Aorta Descendens 17 : Vertebra Torakalis
8 : Bronkus Utama Kanan 18 : Atrium Kiri
9 : Bronkus Utama Kiri 19 : Vena Kava Inferior
10 : Arteri Pulmonalis Kanan 20 : Diafragma

3) Batas-Batas Jantung
Batas kiri jantung dimulai dari arkus aorta ke bawah sampai ke diafragma
kiri. Batas kiri jantung dibentuk oleh arkus aorta, pinggang jantung, dan dinding
luar ventrikel kiri. Pada pengamatan arkus aorta amatilah ada tidaknya
kalsifikasi, kolaps, atau elongasio aorta, yang terjadi karena penurunan
elastisitas dinding aorta, atau bertambahnya tekanan dan aliran darah di
dalamnya. Pinggang jantung tampak seperti lengkungan ke arah dalam,
bentuknya dapat berubah-ubah karena berbagai sebab. Pada anak-anak dan
bayi, pinggang jantung umumnya rata atau sedikit cembung. Bila terjadi
perubahan bentuk jantung, bentuk pinggang jantung dapat berubah, misalnya
pada pembesaran ventrikel kanan atau pada jantung pendulum, pinggang
jantung tampak merata.
Dinding luar ventrikel kiri tampak sebagai tonjolan paling bawah dan
paling besar, dan berbatasan dengan diafragma, yang tampak sebagai sudut
kardiofrenikus. Sudut kardiofrenikus tidak selalu tampak, terkadang sudut ini
hilang karena berbagai sebab, misalnya karena tertutup jaringan lemak atau

Keterampilan Klinik 109


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

adanya cairan abnormal yang cukup banyak misalnya efusi pleura pada rongga
dada sebelah kiri.
Batas kanan jantung dibentuk oleh beberapa tonjolan. Tonjolan pertama
dibentuk oleh vena cava superior, tonjolan kedua berupa garis lurus yang
mengarah ke atas dibentuk oleh aorta ascendens, tonjolan ketiga dibentuk oleh
pertemuan atrium kanan dengan vena cava superior, dan tonjolan keempat yaitu
dinding luar atrium kanan.

Gambar 7. Batas-Batas Jantung Normal


Keterangan Gambar
1 : Arkus Aorta I : Vena Kava Superior (VCS)
2 : Pinggang Jantung II : Aorta Ascendens
3 : Dinding Ventrikel Kiri III : Pertemuan Atrium Kanan-VCS
4 : Sinus Kardiofrenikus IV : Dinding Atrium Kanan

4) Perubahan Bentuk Jantung


Perubahan bentuk jantung dapat disebabkan adanya pembesaran jantung
secara menyeluruh dan pembesaran secara lokal. Pembesaran jantung secara
menyeluruh, biasanya disebabkan adanya kelainan pada miokardium atau
perikardium (misalnya efusi perikardial). Pembesaran menyeluruh tidak dapat
dinilai hanya dengan foto rontgen toraks biasa, dan memerlukan pemeriksaan
yang lebih lanjut, misalnya dengan flouroskopi, atau ekokardiografi.
Pembesaran jantung secara lokal disebabkan adanya perubahan besar
ruang-ruang jantung (atrium dan ventrikel). Pembesaran ruang-ruang jantung
pada umumnya disebabkan oleh adanya kelainan pada katup-katup jantung, dan
kelainan pada sirkulasi darah jantung-paru.

Keterampilan Klinik 110


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

(A) (B)
Gambar 8. (A) Ruang-Ruang Jantung Normal, (B) Efusi Perikardial

Keterangan Gambar
Ao : Aorta PA : Arteri Pulmonalis
SVC : Vena Kava Superior LA : Atrium Kiri
RA : Atrium Kanan RV : Ventrikel Kanan
IVC : Vena Kava Inferior LV : Ventrikel Kiri

• Paru.
Penilaian dilakukan terhadap gambaran paru dan corakan vaskuler paru. Penilaian
gambaran paru dilakukan dengan mengamati secara seksama gambaran paru mulai dari
lapangan paru atas pada paru kanan dan kiri, lalu ke lapangan paru tengah pada paru
kanan dan kiri, serta lapangan paru bawah pada paru kanan dan kiri. Gambaran paru
yang normal adalah hitam (lusen), disertai garis-garis putih yang merupakan corakan
vaskuler paru, dan harus sama antara paru kiri dan kanan. Bila terdapat udara yang
berlebihan pada paru (“air trapping” pada emfisema), gambaran paru menjadi
hiperlusen, dengan corakan vaskuler yang sedikit bahkan hilang.
Pada kasus emfisema paru yang berat, dapat ditemukan gambaran hiperinflasi paru,
yaitu perubahan bentuk paru menjadi lebih panjang akibat kerusakan struktur anatomi
paru yag diikuti dengan penurunan kemampuan faal paru. Pada pengamatan gambaran
paru, perhatikan juga ada tidaknya gambaran paru yang lebih putih (opaq) dan lebih
tinggi densitasnya dari daerah paru lainnya. Gambaran opaq yang abnormal ini dapat
berupa perselubungan seperti awan, kavitasi, dan bayangan opaq yang homogen
(massa). Corakan vaskuler ditandai sebagai garis-garis difus berwarna putih pada
parenkim paru, yang pada gambaran normal corakan ini akan tampak tebal di tengah,
dan semakin ke perifer corakan menjadi semakin halus. Corakan vaskuler dapat

Keterampilan Klinik 111


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

meningkat bila terdapat proses infeksi atau inflamasi, sebaliknya corakan dapat menipis
bahkan hilang misalnya pada kasus emfisema paru yang berat.

• Diafragma.
Diafragma yang normal memberikan gambaran cekung seperti kubah dengan
permukaan yang mulus. Diafragma sebelah kanan biasanya letaknya lebih tinggi 3 cm
dari diafragma kiri, yang terdorong ke bawah oleh jantung. Letak diafragma dapat
dijadikan patokan, apakah foto dibuat saat pasien inspirasi maksimal atau tidak. Pada
inspirasi maksimal, diafragma akan berada setinggi kosta posterior 9-11. Gambaran
sinus (terutama sinus kosto frenikus) pada foto toraks yang normal, akan telihat jelas
dengan tepi yang tajam. Sinus kostofrenikus yang tumpul, biasanya dapat ditemukan
pada kasus hiperinflasi paru, efusi, atau penebalan pleura karena proses infeksi atau
inflamasi.

Gambar 10. Penilaian Paru

Keterangan Gambar
V : Gambaran Paru Y : Trakea
W : Sinus Kostofrenikus Z : Corakan Vaskuler Paru
X : Diafragma
• Tulang.
Pengamatan tulang terutama dilakukan terhadap densitas tulang, dan ada
tidaknya fraktur. Tulang-tulang penyusun dinding toraks yaitu kosta, klavikula,
skapula, dan vertebra torakalis. Diamati dengan seksama densitasnya, apakah
meningkat atau menurun. Fraktur terlihat dengan adanya garis patah, pergeseran atau
terpisahnya fragmen tulang dari kedudukan normal. Tulang iga posterior tampak lebih
jelas pada foto rontgen posisi P.A, sebaliknya tulang iga anterior tampak lebih jelas

Keterampilan Klinik 112


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

pada posisi A.P. Pada foto rontgen toraks, iga posterior tampak melengkung dari sisi
medial ke lateral bawah sedangkan iga anterior tampak melengkung dari sisi lateral atas
ke medial bawah. Lokasi organ, jaringan tubuh, atau kelainan pada foto rontgen toraks,
dapat diketahui dengan berpedoman pada posisi tulang iga. Misalnya kavitas setinggi
iga posterior ke-3 kiri.
• Jaringan Lunak (soft tissue).
Jaringan lunak pada gambaran foto toraks normal akan terlihat berwarna putih
suram dan bercorak homogen. Jaringan lunak yang tampak menyelubungi dada seperti
payudara dan papilla mamae, muskulus pektoralis mayor (pada lelaki yang berbadan
tegap), dan lipatan kulit, harus dapat dikenali dengan baik, agar tidak mengacaukan
interpretasi pembaca foto rontgen. Pada jaringan lunak, diamati juga ada tidaknya
massa yang abnormal, emfisema subkutis, atau perubahan bentuk jaringan lunak yang
abnormal.

Penilaian Tulang dan Jaringan Lunak Dinding Toraks

Keterangan Gambar
a : Kosta Posterior
b : Klavikula
c : Skapula
d : Vertebra Torakalis
e : Jaringan Lunak (mammae)

Gambar 11. Penilaian Tulang dan Soft Tissue

Keterampilan Klinik 113


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

CONTOH KASUS:

- Foto Rontgen Toraks Penyakit Paru dan Saluran Pernafasan

Emfisema Paru (PPOK)

Gambar 12. Emfisema Paru

Keterangan Gambar
A : Jantung Pendulum, CTR < Normal G : Tulang-Tulang Normal
B : Hiperinflasi dan Hiperlusen Paru H : Jaringan Lunak Normal
C : Sinus Kostofrenikus Tumpul
D : Diafragma Mendatar
E : Trakea di Tengah
F : Corakan Vaskuler Hilang

Keterampilan Klinik 114


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Tuberkulosis Paru

Gambar 13. Tuberkulosis Paru

Keterangan Gambar
A : Jantung Normal, CTR Normal G : Tulang-Tulang Normal
B.1 : Infiltrat Pada Lapangan Paru Atas Kiri H : Jaringan Lunak Normal
B.2 : Kavitasi
C : Sinus Kostofrenikus Normal
D : Diafragma Normal
E : Trakea di Tengah
F : Corakan Vaskuler Meningkat

Keterampilan Klinik 115


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

- Foto Rontgen Toraks Penyakit Jantung

o Pembesaran Atrium Kanan


Pembesaran atrium kanan terlihat pada foto PA sebagai penonjolan
jantung ke arah kanan lateral dengan bentuk setengah lingkaran. Penonjolan
jantung ke arah kanan dapat juga disebabkan oleh desakan ventrikel kanan
yang membesar, sedangkan atrium kanan sebenarnya tidak membesar.
Untuk membedakannya, perhatikan bentuk penonjolan yang terjadi.
Bila mediastinum tidak melebar dan penonjolan jantung ke arah kanan
berbentuk setengah lingkaran, pada umumnya disebabkan oleh pembesaran
atrium kanan. Sebaliknya jika penonjolan jantung ke arah kanan tidak
berbentuk setengah lingkaran, biasanya atrium kanan tidak membesar, tetapi
hanya terdorong ke kanan oleh ventrikel kanan yang membesar.

(A) (B)
Gambar 14. (A) Pembesaran Atrium Kanan,
(B) Pembesaran Atrium Kiri

o Pembesaran Atrium Kiri


Pembesaran atrium kiri dapat ditentukan dengan pembuatan foto toraks
posisi posteroanterior (PA), dan foto toraks lateral kiri dengan esofagus berisi
kontras barium. Secara anatomi, esofagus menempel pada dinding belakang
atrium kiri, sehingga pembesaran atrium kiri, akan menekan esofagus ke
belakang dan kadang miring ke arah kanan. Pada foto polos PA, pembesaran
atrium kiri ke arah kanan akan terlihat batasnya disamping atrium kanan
sebagai batas kembar (double contour). Penonjolan aurikel atrium kiri,
sehingga pinggang jantung tampak menjadi lurus (gambar 8), juga
menunjukkan pembesaran atrium kiri.

Keterampilan Klinik 116


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

(A) (B)
Gambar 15. (A) Pembesaran Atrium Kiri (Double Contour), (B)
Pembesaran Atrium Kiri (Lat.)

o Pembesaran Ventrikel Kanan


Ventrikel kanan terletak di belakang tulang dada (sternum), dan di
sebelah bawah berbatasan dengan diafragma. Bila ventrikel kanan membesar,
dindingnya akan menempel jauh ke atas pada sternum, sehingga mediastinum
anterior superior menjadi sempit. Keadaan ini akan tampak jelas pada foto
toraks lateral. Selain itu pembesaran ventrikel kanan mendesak ventrikel kiri
ke lateral sehingga terjadi perputaran jantung, dan jantung melebar ke kiri,
dengan iktus tetap di atas diafragma. Pada foto torak PA jantung terlihat
membesar ke kiri, disertai dengan peninggian apeks jantung, sehingga dapat
memberikan gambaran bentuk jantung seperti sepatu boot.

(A) (B)
Gambar 16. (A) Pembesaran Ventrikel Kanan (PA),
(B) Pembesaran Ventrikel Kanan (lateral)

Keterampilan Klinik 117


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

o Pembesaran Ventrikel Kiri


Secara anatomi, ventrikel kiri terletak pada sisi kiri dan belakang
jantung. Bila terjadi pembesaran ventrikel kiri jantung akan membesar ke kiri,
disertai dengan pembesaran apeks jantung ke arah bawah dan ke kiri, menekan
diafragma. Selain ke kiri bawah, pembesaran ventrikel kiri juga mengarah ke
belakang. Hal ini tampak lebih jelas pada foto rontgen toraks lateral, dimana
pembesaran ventrikel kiri menutupi ruang di belakang jantung (retrocardiac
space).

(A) (B)
Gambar 17. (A) Pembesaran Ventrikel Kiri (PA), (B) Pembesaran
Ventrikel Kiri (lateral)

Keterampilan Klinik 118


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

- Vaskularisasi Paru Pada Penyakit Kardiovaskuler


Jantung dan paru-paru merupakan dua organ vital tubuh yang berhubungan
sangat erat, khususnya dalam fungsi distribusi darah dan oksigen ke seluruh tubuh.
Adanya kelainan pada paru-paru dapat mempengaruhi keadaan jantung, sebaliknya
kelainan pada jantung, dapat mempengaruhi gambaran lapangan paru pada foto
rontgen toraks, terutama pada corakan vaskuler paru.
Pada keadaan normal, corakan vaskuler mengisi kedua lapangan paru, dari
medial sampai 2/3 lateral, yang ditandai dengan gambaran garis-garis putih yang
tampak tebal di bagian medial, dan semakin ke perifer menjadi semakin halus.
Corakan vaskuler paru pada kelainan jantung dapat terlihat normal, berkurang, atau
meningkat.

o Corakan Vaskuler Normal


Pada beberapa kasus, didapatkan gambaran corakan vaskuler paru
yang normal, walaupun sebenarnya terdapat kelainan pada jantung. Jantung
mengadakan kompensasi dengan pembesaran ruang (kardiomegali).
Vaskularisasi akan tetap normal sampai terjadi gagal jantung.
Corakan vaskuler paru yang tampak normal, dapat ditemukan pada
kasus penyakit jantung koroner, penyakit jantung hipertensi, kardiomiopati,
dan koarktasio aorta.

o Corakan Vaskuler Berkurang


Corakan vaskuler tampak berkurang bila terjadi obstruksi aliran darah
dari ventrikel kanan, adanya emboli, atau terjadinya hipoplasia pada satu paru.
Corakan vaskuler yang tampak berkurang, ditemukan pada kasus tetralogi
fallot (lihat gambar 15), stenosis pulmonal, atau pada emfisema paru
(gambaran parenkim hiperlusen).

o Corakan Vaskuler Bertambah


Corakan vaskuler yang bertambah disebabkan oleh perfusi aliran darah
yang bertambah, atau terjadinya kongesti pada pembuluh darah paru. Perfusi
yang bertambah akan diikuti oleh pelebaran pembuluh darah, dan peningkatan
corakan vaskuler. Perfusi yang bertambah dapat ditemukan pada shunt dari kiri
ke kanan dan high out put state.

Keterampilan Klinik 119


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 22. Corakan Vaskuler Berkurang Gambar 23. Corakan Vaskuler Bertambah

Pada kongesti, terjadi perlambatan aliran darah dalam arteri atau vena,
sehingga pembuluh darah menjadi melebar, dan corakan vaskuler bertambah.
Bila didapatkan tanda-tanda kongesti pada paru, seperti edema interstitial, atau
edema alveolar disertai dengan pembuluh darah yang melebar, menandakan
adanya kongesti pada pembuluh darah. Kongesti pembuluh darah dapat
ditemukan pada bendungan vena pulmonalis (PVO), dan pada kasus hipertensi
arteri pulmonal (hipertensi pre-kapiler).
▪ Shunt. Pada shunt terjadi penambahan aliran darah ke paru. Pembuluh
darah tampak melebar dari sentral ke tepi terutama ke lobus superior.
Shunt dari kiri ke kanan dapat ditemukan pada kasus ASD, VSD, dan
PDA.
▪ High Out Put State. High out put state disebabkan oleh bertambahnya
aliran darah karena pulsasi jantung yang meningkat misalnya pada
tirotoksikosis, atau pada keadaan hipervolemik, yaitu bertambahnya
volume darah pada sirkulasi, misalnya pada kasus polisitemia.
▪ Bendungan Vena Pulmonalis (PVO). Bendungan vena pulmonalis
ditandai dengan peningkatan corakan vaskuler di daerah suprahilar kanan
dan kiri yang tampak sebagai gambaran kumis terbalik (inverted
mustach), dan terjadinya edema pada paru. Edema paru pada fase dini,
ditandai dengan peningkatan corakan ke arah superior (kranialisasi). Pada
fase lanjut akan tampak gambaran corakan vaskuler seperti sayap
kelelawar (bat wing, lihat gambar 16), penebalan interlobar septal lines
(garis kerley), dan infiltrat alveolar.
▪ Hipertensi Arteri Pulmonal. Pada hipertensi arteri pulmonal, terjadi
pengaliran darah terpusat (centralized flow), ditandai dengan pelebaran
pembuluh darah di sekitar hilus terutama hilus kanan, yang dengan cepat
mengecil ke jurusan perifer (tapering). Pembesaran arteri pulmonalis
tampak sebagai tanda koma terbalik pada hilus sebelah kanan.

Keterampilan Klinik 120


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

E. ALAT DAN BAHAN


Alat dan Bahan yang diperlukan
- Meja
- Kursi
- Iluminator (viewing box)
- Foto rontgen toraks normal posisi postero anterior (P.A) dan Lateral
- Foto rontgen toraks abnormal posisi postero anterior (P.A) dan Lateral
- Penggaris

F. CARA KERJA
Cara Membaca Foto Rontgen Toraks
Langkah-langkah membaca foto rontgen toraks yang benar antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Persiapan pembacaan foto rontgen thoraks
- Hidupkan iluminator (viewing box).
- Letakkan foto rontgen toraks pada iluminator, dengan sisi kanan foto berada di
sisi kiri pembaca.
- Posisi foto pada iluminator. Apeks paru pada foto rontgen berada di arah cranial,
sedangkan diafragma di arah caudal.
2. Lakukan penilaian terhadap kondisi foto:
- Identitas pasien harus tertera dengan jelas nama, umur, dan jenis kelamin.
- Tanggal pembuatan foto harus dicantumkan.
- Tanda kiri dan kanan harus dicantumkan.
- Kekuatan sinar X (Kv, mA) perlu dicantumkan.
- Vertebra torakalis I-IV harus terlihat, bila tidak terlihat berarti kekuatan sinar
terlalu lemah. Sebaliknya bila vertebra dibawah vertebra torakalis IV juga
terlihat, berarti kekuatan sinar yang digunakan terlalu kuat. Selain itu, diskus
intervertebralis harus terlihat samar-samar.
- Derajat Inspirasi. Foto rontgen toraks yang baik diambil pada saat pasien
melakukan inspirasi maksimal. Letak diafragma pada iga posterior ke 9-11,
menandakan foto diambil pada saat pasien inspirasi maksimal.
- Sentrasi Foto. Prosesus spinosus korpus vertebra terletak di tengah. Jarak antara
ujung medial kedua klavikula dengn prosessus spinosus harus sama.
- Proyeksi dan Posisi. Cantumkan posisi pengambilan foto. Posisi PA ditandai
dengan gambaran iga posterior yang lebih jelas dari iga anterior. Sinus
kostofrenikus kanan dan kiri terlihat dengan jelas, dan kedua tulang skapula tidak
boleh menutupi lapangan paru, karena dapat mengacaukan interpretasi foto.
3. Penilaian Mediastinum (superior, medium dan inferior). Mediastinum berada di
tengah, dan berbatas tegas.
- Mediastinum Superior. Perhatikanlah arkus aorta dan trakea. Arkus aorta pada
keadaan normal terletak 2 cm dari manubrium sterni. Perhatikan ada tidaknya
kalsifikasi, kolaps atau elongasio aorta. Trakea pada gambaran normal tampak

Keterampilan Klinik 121


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

sebagai bayangan hitam pada garis tengah tubuh pada lapangan paru atas. Trakea
terletak di tengah namun terkadang ditemukan sedikit deviasi ke sebelah kanan.
- Mediastinum Medium. Lakukanlah penilaian terhadap kedua hilus, apakah
terdapat peningkatan corakan vaskuler.
- Mediastinum Inferior (penilaian jantung). Penilaian dilakukan terhadap
kedudukan, ukuran, bentuk dan batasnya.
• Kedudukan jantung. Perhatikan kedudukan jantung, apakah sebagian besar
jantung terletak pada rongga dada sebelah kiri, dengan fundus dan apeks
jantung berada di sebelah kiri (situs solitus). Bila tidak, tentukan kelainan
kedudukan jantung, apakah dekstrokordis, dekstroversi, atau levoversi.
• Ukuran jantung (CTR), diukur dengan membandingkan diameter transversa
jantung yang maksimum (DT), dengan diameter maksimum rongga dada
yang dinotasikan dengan DM. (CTR = DT/DM). Diameter transversa jantung
yang maksimum dihitung dengan menjumlahkan diameter sisi jantung
sebelah kiri (l) dengan diameter sisi jantung sebelah kanan (r). Ukuran
jantung dapat diukur dengan mencari nilai CTR (CTR = DT/DM < 50%, nilai
CTR normal adalah 48-50%).
• Bentuk jantung. Perhatikanlah bentuk jantung apakah normal, atau berubah.
Perhatikan juga adakah pembesaran pada ruang-ruang jantung yang dapat
memberikan bentuk yang khas.
• Batas-batas jantung juga harus jelas, dan diamati adakah pergeseran batas-
batas jantung. Pada keadaan normal batas kiri jantung adalah satu jari sebelah
medial linea midklavikula kiri.
4. Penilaian Paru (gambaran paru dan corakan vaskuler paru).
- Penilaian gambaran paru dilakukan dengan mengamati secara seksama gambaran
paru mulai dari lapangan paru atas pada paru kanan dan kiri, lalu ke lapangan
paru tengah pada paru kanan dan kiri, serta lapangan paru bawah pada paru kanan
dan kiri. Gambaran paru yang normal adalah hitam (lusen) disertai garis-garis
putih yang merupakan corakan vaskuler paru. Gambaran paru harus sama antara
paru sebelah kiri dan kanan.
- Perhatikan ada tidaknya perubahan densitas pada gambaran paru (hiperlusen,
gambaran opaq abnormal) dan perubahan bentuk paru (hiperinflasi).
- Perhatikan corakan vaskuler paru. Corakan vaskuler ditandai sebagai garis-garis
difus berwarna putih pada parenkim paru, yang pada gambaran normal corakan
ini akan tampak tebal di tengah, dan semakin ke arah perifer corakan menjadi
semakin halus.
- Perhatikanlah apakah corakan vaskuler normal, meningkat, menurun, atau hilang.
5. Penilaian Diafragma dan Sinus Kostofrenikus.
- Perhatikanlah bentuk dan permukaan diafragma. Diafragma yang normal,
memberikan gambaran cekung seperti kubah dengan permukaan yang mulus.
- Perhatikanlah letak diafragama. Pada inspirasi maksimal, diafragma akan berada
setinggi kosta posterior 9-11.

Keterampilan Klinik 122


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

- Perhatikanlah gambaran sinus (terutama sinus kosto frenikus), yang pada foto
toraks yang normal akan terlihat jelas dengan tepi yang tajam.
6. Penilaian Tulang-Tulang Dinding Toraks.
- Perhatikan densitas tulang, apakah normal, meningkat, atau menurun.
- Perhatikan ada tidaknya fraktur pada tulang.
- Bedakan antara iga posterior dan iga anterior. Iga posterior tampak melengkung
dari sisi medial ke lateral bawah, sedangkan iga anterior tampak melengkung dari
sisi lateral atas ke medial bawah.
- Tentukan lokasi organ, jaringan, atau kelainan pada foto toraks dengan
berpedoman pada posisi tulang-tulang iga. Misalnya kavitas setinggi iga posterior
ke-3 kiri.
7. Penilaian Jaringan Lunak Dinding Toraks.
- Perhatikan gambaran jaringan lunak yang berwarna putih, suram, dan bercorak
homogen.
- Perhatikan ada tidaknya massa yang abnormal, emfisema subkutis, atau
perubahan bentuk jaringan lunak yang abnormal.

Keterampilan Klinik 123


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

G. LAPORAN KERJA
Yang Sudah Baik Saya Kerjakan:

Yang Belum Baik Saya Kerjakan:

Rencana Kerja Saya Selanjutnya:

Umpan Balik Dari Instruktur:

Medan,......................2021
Instruktur

(..........................................)

Keterampilan Klinik 124


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

H. LEMBAR PENGAMATAN

LEMBAR PENGAMATAN
INTERPRETASI FOTO RONTGEN THORAKS

*)Beri tanda √ pada kolom yang disediakan sesuai dengan penilaian anda
No. KEGIATAN 0* 1* 2*
1. Persiapan pembacaan foto rontgen thoraks
2. Penilaian kondisi foto rontgen thoraks
3. Penilaian mediastenum
4. Penilaian paru
5. Penilaian diafragma dan kostofrenikus
6. Penilaian tulang-tulang dinding thoraks
7. Penilaian jaringan lunak dinding thoraks

Keterangan :
0= Tidak dilakukan
1= Dilakukan tetapi tidak sempurna
2= Dilakukan dengan sempurna

Keterampilan Klinik 125


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

REFERENSI
1. Ermanta C. Pemeriksaan Radiologi Jantung. Kumpulan Kuliah Radiologi.
2. Grist M.T. Hypertension. In : Brady T.J, Grist M.T, Westra S.J, Wicky S, Abbara S, eds.
Pocket Radiologist Cardiac Top 100 Diagnoses. 1st edition. Salt Lake City, Utah : Amirsys
; 2003. p . 201-4.
3. Jota S. Radiologi Jantung. In : Noer H.M.S, Waspadji S, Rachman A.M, Widodo D,
Isbagio H, Alwi I, Husodo U.B, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 3rd edition. Jakarta
: Balai Penerbit FK UI ; 1996. p . 885-7.
4. Patel P. Saluran Pernafasan. In : Safitri A, ed. Lecture Notes Radiologi. 2nd edition.
Jakarta : Penerbit Erlangga ; 2002. p .20-7
5. Rasad S. Toraks Normal. In : Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I, eds. Radiologi
Diagnostik. 4th edition. Jakarta : Balai Penerbit FK UI ;1996.p. 90-3
6. Saleh S. Sistem Kardiovaskuler. In : Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I, eds. Radiologi
Diagnostik. 4th edition. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI ;1996. p . 165-75.
7. Sutton D. Dada. In : Sutanto S, ed. Buku Ajar Radiologi Untuk Mahasiswa Kedokteran.
5th edition. Jakarta : Penerbit Hipokrates ; 1995. p . 101-3
8. Sutton D. Jantung. In : Sutanto S, ed. Buku Ajar Radiologi Untuk Mahasiswa. 5th edition.
Jakarta : Penerbit Hipokrates ; 1995. p .122-4
9. Troupin R. Pembuatan Gambar Thorax. In : Sanusi C, Petrus A, eds. Radiologi Diagnostik
Dalam Klinik. 3rd edition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ;1989. p .28-45

Keterampilan Klinik 126


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

MATERI KE IX
TERAPI OKSIGEN DAN TERAPI INHALASI
(dr. Tamam Anugrah Tamsil, Sp.P)

A. TUJUAN UMUM
Pelatihan keterampilan klinis ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran:

Melakukan keterampilan klinis (pemeriksaan fisik, diagnostik, terapeutik) terkait organ


dan sistem Pernafasan.

B. TUJUAN KHUSUS
Mahasiswa setelah melakukan skills lab terapi oksigen dan terapi inhalasi diharapkan
dapat:
1. Menjelaskan indikasi dan prinsip pemberian terapi oksigen
2. Menjelaskan alat-alat terapi oksigen konvensional (COT) yang terdiri dari variable dan
fixed performance device
3. Mampu melakukan dengan benar langkah-langkah pemberian terapi oksigen
menggunakan COT
4. Mampu menghitung kebutuhan oksigen berdasarkan contoh kasus simulasi
5. Menjelaskan evaluasi dan komplikasi pemberian terapi oksigen
6. Mampu menjelaskan dasar terapi inhalasi beserta kelebihan dan kekurangannya
7. Mampu menjelaskan alat yang digunakan dalam pemberian obat secara inhalasi
8. Mampu melakukan pemberian terapi inhalasi dengan inhaler dan nebulizer dengan
benar

C. PENDAHULUAN
Oksigen berperan penting dalam proses metabolisme tubuh terutama pada tingkat
seluler yaitu pada mitokondria. Kekurangan oksigen dalam jangka waktu singkat, dapat
menyebabkan kerusakan pada organ dan jaringan tubuh. Konsentrasi oksigen (O2) di udara
bebas adalah sekitar 21% (fraksi O2 udara terinspirasi 21%). Melalui proses respirasi,
oksigen akan masuk ke dalam saluran nafas sampai ke alveoli dan terjadi pengikatan O2
oleh sel darah merah. Dalam keadaan saturasi penuh, setiap gram hemoglobin dapat
mengikat 1,3 ml O2. Pada individu yang normal, kadar O2 saturasi adalah 95-98%.1
Kadar oksigen di dalam darah dan jaringan dapat menurun oleh berbagai sebab
seperti penyakit atau gangguan pada sistem organ terutama respirasi dan kardiovaskuler.
Kurangnya kadar O2 di darah dan jaringan ini dapat ditatalaksana dengan memberikan
oksigen tambahan dari luar, menggunakan alat-alat tertentu sesuai kebutuhan yang
dinamakan terapi oksigen.2
Penemuan bukti adanya pertukaran gas dalam proses pernafasan oleh Lavoisier,
membuat O2 mulai dipertimbangan sebagai salah satu cara pengobatan dalam perawatan
pasien. Pada perkembangan selanjutnya, Barruch pada tahun 1920 menetapkan konsep
bahwa O2 dapat digunakan sebagai terapi, dan Cherniak pada tahun 1967, pertama kali
memberikan terapi O2 aliran lambat dengan menggunakan kanula nasal. 2,3

Keterampilan Klinik 127


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

DAFTAR SINGKATAN TERAPI OKSIGEN


- FiO2 : fraksi O2 udara terinspirasi - FDO2 : fraksi O2 yang dialirkan ke jalan
nafas
- PaO2 : tekanan parsial O2 arteri - PAO2 : tekanan parsial O2 alveoli
- PCO2 : tekanan parsial CO2 arteri - V/Q : rasio ventilasi perfusi
- A-aDO2 : selisih tekanan O2 alveoli dengan arteri
- PB : tekanan atmosfer : 760 mmHg (konstanta)
- PH2O : tekanan air : 47 mmHg (konstanta)

Terapi inhalasi merupakan teknik pemberian obat dengan cara memasukkannya


langsung ke saluran nafas. Terapi inhalasi memungkinkan obat dapat mencapai organ
target tanpa harus melalui peredaran darah. Bentuk obat pada umumnya adalah serbuk
kering, suspensi, propelan ataupun suspensi berpartikel halus, yang memungkinkan obat
teraerosolisasi dan dihirup masuk ke saluran nafas. Terapi inhalasi saat ini merupakan
pilihan utama untuk pemberian obat yang dapat bekerja langsung pada saluran nafas dan
memerlukan onset kerja secepat mungkin, misalnya pada PPOK atau asma eksaserbasi
akut, atau memerlukan pemakaian jangka panjang sehingga dapat memperkecil efek
samping obat.1,2

D. MATERI SKILLS LAB


TERAPI OKSIGEN
INDIKASI TERAPI OKSIGEN
Indikasi terapi oksigen adalah hipoksemia. Hipoksemia dapat disebabkan oleh
banyak hal seperti pneumonia berat, sumbatan jalan nafas, kegagalan pompa jantug, syok,
intoksikasi karbon monoksida (CO) dan keadaan akut lainnya. Hipoksemia derajat sedang
atau berat bila tidak diatasi dengan segera akan menyebabkan penurunan kadar oksigen
dalam sel dan jaringan tubuh, yang dinamakan hipoksia. Hipoksia dapat berakibat fatal
bila terjadi pada organ-organ tubuh yang vital seperti otak dan jantung.4 Tujuan utama
terapi oksigen adalah mempertahankan PaO2 > 60 mmHg dan saturasi O2 > 90%, agar
dapat mencegah terjadinya hipoksia, menurunkan kerja pernafasan dan menurunkan kerja
otot jantung.4
HIPOKSEMIA
Hipoksemia adalah penurunan tekanan parsial O2 di dalam arteri, yaitu nilai PaO2
< 80% dan saturasi O2 < 95%. Keadaan hipoksemia dapat merangsang tubuh melakukan
mekanisme kompensasi berupa takikardia, peningkatan curah jantung dan vasokonstriksi
pulmoner untuk memperbaiki ventilasi dan perfusi. Pada keadaan hipoksemia kronik dapat
terjadi sekresi eritropoetin untuk yang menyebabkan eritrositosis. Klasifikasi hipoksemia
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Keterampilan Klinik 128


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Tabel 1. Klasifikasi Hipoksemia 4

Dikutip dari (4)


Hipoksemia dapat dideteksi dengan mengamati tanda-tanda klinis yang muncul,
maupun dengan melakukan pemeriksaan penunjang pulse oxymetri dan pemeriksaan
analisis gas darah.

1. Pemeriksaan Fisik : hipoksemia dapat memberikan gejala-gejala klinik dan dapat


dibedakan apakah terjadi dalam jangka waktu lama atau belum lama terjadi. Pada tabel
di bawah ini dapat dilihat gejala-gejala klinik yang dapat ditemukan pada hipoksemia
awal maupun lanjut.

Tabel 2. Gejala Hipoksemia 5

2. Pemeriksaan Pulse Oxymetri : pemeriksaan ini dapat menilai hipoksemia secara cepat
dengan melihat saturasi O2 dan juga frekuensi nadi pasien. Kekurangan pulse oxymetri
adalah tidak dapat menilai PaO2 pasien dan akurasinya berkurang bila saturasi pasien
< 80%.
3. Pemeriksaan analisis gas darah (AGDA) : merupakan baku emas untuk mendeteksi
keadaan hipoksemia, karena dapat dilihat nilai PaO2 dan saturasi O2.

Keterampilan Klinik 129


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 1. Nilai Normal AGDA 4

PRINSIP PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN


Prinsip dasar pemberian terapi oksigen adalah meningkatkan selisih tekanan
parsial oksigen alveoli dengan tekanan parsial oksigen arterial sehingga kecepatan difusi
bertambah dan kebutuhan oksigen di sel dan jaringan akan terpenuhi. Dalam ilmu faal
paru, proses respirasi terdiri dari 3 tahap yaitu : 1) Ventilasi : proses keluar masuknya
udara ke dalam paru melalui saluran nafas terdiri dai proses inspirasi dan ekspirasi. 2)
Difusi : proses pertukaran O2 dan CO2 antara alveoli dan eritrosit. 3) Perfusi : distribusi
darah yang sudah teroksigenasi ke seluruh paru dan ke seluruh sel atau jaringan tubuh.6
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian dan pemilihan alat terapi oksigen
adalah4 :
❖ Pemberian O2 dengan FiO2 sesuai dengan derajat hipoksemia. Pemberian oksigen
berlebihan, berdampak kecil pada oksigenasi dan meningkatkan resiko komplikasi
terapi oksigen.
❖ Perhatikan ada tidaknya retensi CO2 (PCO2 > 50 mmHg) dari hasil pemeriksaan
AGDA
❖ Tetap menjaga kenyamanan pasien. Pemberian oksigen yang berlebihan dapat
membuat jalan nafas menjadi kering sehingga mengurangi kenyamanan pasien.

PEMBERIAN TERAPI OKSIGEN


Oksigen dapat diberikan sebagai suplemen dan terapi. Oksigen diberikan sebagai
suplemen pada keadaan akut yang memerlukan oksigenasi dalam durasi penggunaan
kurang dari 30 hari. Misalnya pada hipoksemia karena infeksi akut (pneumonia),
penyempitan saluran nafas (asma eksaserbasi akut) atau pemberian oksigen setelah
prosedur anastesi umum pada tindakan bedah. Pemberian oksigen sebagai terapi
berdasarkan lama durasi pemberian dapat dibedakan menjadi 1) Terapi oksigen jangka
pendek, bila durasi penggunaan oksigen antara 30-90 hari. Misalnya pada tatalakasana
gagal jantung kongestif. 2) Terapi oksigen jangka panjang, bila durasi pemakaian di atas
90 hari atau seumur hidup. Misalnya pada tatalaksana PPOK dengan gagal nafas kronik.4

Keterampilan Klinik 130


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

ALAT TERAPI OKSIGEN


Berdasarkan konsentrasi oksigen yang sebenarnya masuk ke dalam alveoli (FiO2)
dan konsentrasi oksigen yang dialirkan ke jalan nafas (FDO2) terdapat 2 jenis alat terapi
oksigen :
❖ Variable performance device (alat terapi oksigen aliran rendah atau konvensional).
Pada alat ini konsentrasi O2 yang masuk ke alveoli lebih sedikit dari konsentrasi O2
yang dialirkan ke jalan nafas (FiO2 < FDO2), tergantung pola nafas dan keadaan gagal
nafas yang dialami pasien. Contoh variable performance device adalah kanula nasal,
sungkup muka tanpa reservoir dan sungkup muka dengan reservoir yang terdiri dari
sungkup muka rebreathing dan non rebreathing).
1. Kanula Nasal : Kanula nasal diindikasikan pada keadaan hipoksemia ringan,
pasien yang memerlukan oksigen konsentrasi rendah dan pada pemberian O2
jangka panjang.4,7 (long term oxygen therapy). Kanula nasal dapat mengalirkan
oksigen ke jalan nafas dengan kecepatan aliran 1-6 liter/menit dan memberikan
FiO2 dengan konsentrasi 24-44%. Rumus FiO2 pada kanula nasal adalah :
20+(4xN), N adalah kecepatan aliran kanula nasal. Pemberian O2 dengan aliran
di atas 6 liter/menit tidak meningkatkan FiO2 secara bermakna dan hanya
membuat mukosa saluran nafas menjadi kering. Keuntungan pemakaian kanula
nasal adalah mudah dipakai, murah dan tidak mengganggu aktivitas pasien
seperti makan, minum, bergerak dan berbicara. Kekurangannya, mudah lepas,
dapat menyebabkan iritasi mukosa hidung, tidak dapat diberikan pada obstruksi
nasal dan tidak dapat memberikan konsentrasi O2 > 44%.7 Kanula nasal dan
bagian-bagiannya dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Gambar 2. Kanula Nasal

2. Sungkup muka tanpa reservoir : alat ini diindikasikan pada keadaan hipoksemia
sedang dengan penurunan kadar CO2 di arteri (PaCO2 menurun). Alat ini dapat
memberikan FiO2 sekitar 40-60% dengan kecepatan aliran 5-8 liter/menit.
Kekurangan alat ini, tidak dapat diberikan dengan aliran lambat (<5 liter/menit)
karena dapat menyebabkan retensi CO2. Selain itu sungkup yang menutupi muka
akan membuat pasien kesulitan untuk makan, minum maupun berbicara.
Penggunan sungkup ini direkomendasikan dalam durasi singkat.7

Keterampilan Klinik 131


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

3. Sungkup muka dengan reservoir : Terdiri dari sungkup muka rebreathing dan
sungkup muka non rebreathing. Perbedaan kedua sungkup ini adalah, sungkup
muka rebreathing tidak memiliki katup satu arah pada tubuh sungkup dan di
antara sungkup dengan reservoir, sehingga udara ekspirasi dapat terhirup kembali
pada saat fase inspirasi. Pada sungkup non rebreathing katup satu arah ini
memungkinkan pasien menghirup udara yang terdapat pada kantung penampung
dan menghembuskannya melalui katup satu arah yang terdapat pada sisi sungkup
muka.7,8
4. Sungkup muka rebreathing dapat memberikan O2 dengan FiO2 35-100%,
kecepatan aliran 7-10 liter/menit. Indikasi penggunaan sungkup ini adalah pada
keadaan hipoksemia dengan PaCO2 menurun. 7,8
❖ Sungkup muka non rebreathing dapat memberikan oksigen dengan FiO2 60-100%,
kecepatan aliran 6-15 liter/menit. Sungkup muka ini dapat digunakan pada pasien
hipoksemia dengan retensi CO2 (PaCO2.> 50 mmHg). Konsentrasi O2 yang diberikan
oleh sungkup ini akan bertambah 10% tiap liter. 7,8

Gambar 3. Masker Simpel Gambar 4. Sungkup Muka Bereservoir

Pada tabel di bawah ini dapat dilihat konsentrasi oksigen (FiO2) yang dapat disediakan
oleh alat terapi oksigen variable performance device berupa kanula nasal, sungkup
simpel, sungkup muka bereservoir dan sungkup venturi, beserta kecepatan aliran
oksigen yang harus diberikan.

Keterampilan Klinik 132


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Tabel 3. Fraksi Oksigen Udara Terinspirasi Alat Terapi Oksigen 4,7

❖ Fixed performance device (alat terapi oksigen aliran tinggi). Pada alat ini konsentrasi
O2 yang masuk ke alveoli sama dengan konsentrasi O2 yang dialirkan ke jalan nafas,
sehingga FiO2 = FDO2. Contoh fixed performance device adalah sungkup venturi dan
continuous positive airway pressure (CPAP). Indikasi sungkup venturi adalah
hipoksia disertai gagal nafas kronik : PPOK, bronkiektasis luas, atau fibrosis kistik
derajat berat. Sungkup venturi menyediakan O2 dengan FiO2 24-60%, pada kecepatan
aliran 2-15 liter/menit. Konsentrasi dan kecepatan aliran O2, diatur katup berwarna
yang dapat diganti atau dapat diatur sesuai indikator penunjuk pada katup
adjustable.4,7

Gambar 5. Sungkup Venturi Katup Berwarna

Keterampilan Klinik 133


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 6. Sungkup Venturi Katup Adjustable Gambar 7. Katup Adjustable

EVALUASI DAN PEMANTAUAN TERAPI OKSIGEN


Evaluasi dan pemantauan terapi O2 dilakukan dengan melakukan pemeriksaan fisik,
untuk melihat ada tidaknya perubahan klinis pasien setelah pemberian O2. Selain itu
pemeriksaan AGDA 15-20 menit setelah pemberian O2 awal, dapat memberikan data
mengenai kondisi hipoksemia pasien sebelum pemberian terapi oksigen. Selanjutnya
setelah terapi oksigen diberikan, evaluasi keadaan klinis pasien dengan AGDA dapat
dipantau secara berkala : 4,7
❖ 12 jam setelah pemberian FiO2 < 40%
❖ 8 jam setelah pemberian FiO2 ≥ 40%
❖ 1 jam pada neonatus

KOMPLIKASI TERAPI OKSIGEN


Pemberian terapi oksigen dapat dihubungkan dengan beberapa keadaan berikut,
terutama bila diberikan tidak sesuai kebutuhan pasien, yaitu : 4,7
❖ Mukosa jalan nafas menjadi kering, menyebabkan aktivitas mukosilier terganggu
sehingga meningkatkan infeksi saluan nafas
❖ Memperberat atau menyebabkan retensi CO2, sehingga otak keracunan CO2 dan
terjadi penurunan kesadaran
❖ Kerusakan membran kapiler alveoli
❖ Kerusakan retina pada bayi prematur

CARA MENENTUKAN KONSENTRASI KEBUTUHAN OKSIGEN


Kebutuhan oksigen tergantung dari derajat hipoksemia, ada tidaknya retensi CO2 dan
kronik atau tidaknya gagal nafas yang terjadi. Konsentrasi kebutuhan oksigen dapat
diketahui dengan menggunakan nilai PaO2 dan PaCO2 yang didapatkan dari hasil AGDA
(astrup), dengan menggunakan rumus di bawah ini : 4
1) PAO2 pasien : (PB –PH2O) x FiO2 awal – (PaCO2 astrup x 1,25)

Keterampilan Klinik 134


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

2) Setelah PAO2 pasien didapatkan, carilah PAO2 target dengan rumus nomor (3). Nilai PaO2
target sesuai dengan target untuk menghilangkan atau memperbaiki kondisi hipoksemia,
misalnya 80 mmHg yang merupakan PaO2 minimal keadaan tanpa hipoksemia

3) Selanjutnya bila didapatkan nilai PAO2 target, carilah FiO2 yang dibutuhkan dengan
memasukkan nilai PAO2 target ke rumus nomor (1) :
4) PAO2 target = 713x FiO2 yang dibutuhkan – (PaCO2 astrup x 1,25)

Contoh Kasus
Tn. Suar Sair mengalami serangan asma akut dan dibawa ke IGD RS Pendidikan FK
UISU Helvetia, Medan. Pada tatalaksana di IGD, dia diberi tatalaksana, inhalasi bronkodilator,
diberi oksigen lewat kanula nasal 3 liter/menit dan 15 menit kemudian dilakukan pemeriksaan
AGDA. Hasil AGDA Tn. Suar Sair adalah :
PaO2 astrup = 55 mmHg
PaCO2 astrup = 25 mmHg
1. Berapa kebutuhan oksigen yang harus diberikan agar hipoksemia pasien ini teratasi?
2. Alat terapi O2 apa yang harus dipilih?
3. Kapan evaluasi AGDA selanjutnya dilakukan?

Jawab :
❖ Carilah nilai PAO2 pasien berdasarkan nilai PaO2 dan PaCO2 dari hasil AGDA (astrup)
dengan menggunakan rumus nomor (1), nilai FiO2 awal adalah : 20 + (4x3) = 32% = 0,32
PAO2 pasien = (760-47) x 0,32 – (25x1,25)
PAO2 pasien = 228,16 – 31,25 =196,91 mmHg
❖ Carilah nilai PAO2 target menggunaan rumus nomor (3), agar hipoksemia teratasi, nilai PaO2
target adalah 80 mmHg :
55 / 196,91 = 80 / PAO2 target
PAO2 target = 286,414
❖ Carilah FiO2 yang dibutuhkan dengan memasukkan nilai PAO2 target ke rumus nomor (1) :
286,414 = 713 x FiO2 yang dibutuhkan – (25x1,25)
286,414 + 31,25 = 713 FiO2 yang dibutuhkan
FiO2 yang dibutuhkan = 317,664/713 = 0,445, dibulatkan 0,45 = 45%
1. FiO2 yang harus diberikan agar hipoksemia teratasi adalah 45%
2. Alat terapi O2 apa yang harus dipilih : sungkup muka tanpa reservoir (masker simpel)
aliran 6 liter/menit (pemakaian durasi singkat), atau sungkup rebreathing aliran 7
liter/menit.
3. Evaluasi AGDA selanjutnya 8 jam kemudian

Keterampilan Klinik 135


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

TERAPI INHALASI
Terap inhalasi memeliki kelebihan dan kekurangan bila dibandingkan dengan
pemberian obat secara sistemik. Kelebihan dan kekurangan terapi inhalasi yaitu :2
KELEBIHAN TERAPI INHALASI
❖ Efek terapetik cepat (rapid onset of action)
❖ Efek samping obat lebih ringan dan frekuensi terjadinya lebih jarang
❖ Dapat menghantarkan partikel teraerosol ukuran 1-5μm
❖ Lebih memberi kenyamanan bagi pasien
KEKURANGAN TERAPI INHALASI
❖ Membutuhkan peralatan khusus dan biaya pengobatan lebih mahal
❖ Memerlukan keterampilan pemberian obat, misalnya koordinasi menyemprot dan
menghisap obat
❖ Alat yang digunakan memiliki banyak jenis dan membutuhkan penilaian seksama
untuk memilih yang efektif dan terjangkau bagi pasien
❖ Dosis yang tepat sering tidak tercapai sehingga dapat terjadi kekurangan atau
kelebihan dosis
ALAT TERAPI INHALASI
Alat terapi inhalasi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu inhaler dan nebulizer.
Inhaler digunakan untuk tatalaksana eksaserbasi akut asma atau PPOK derajat ringan-
sedang dan dapat juga digunakan sebagai obat pengontrol dalam keadaan stabil. Nebulizer
digunakan untuk tatalaksana eksaserbasi akut asma atau PPOK derajat berat dan pada
individu yang tidak dapat atau belum mampu menggunakan inhaler dengan benar.1,2
❖ Inhaler : terdapat beberapa jenis inhaler yang sering digunakan, yaitu : dry powder
inhaler (DPI), metered dose inhaler (MDI) dan soft mist inhaler (SMI)
1. Dry Powder Inhaler (DPI) : bentuk obat berupa serbuk kering dan digunakan
dengan dihirup dengan nafas dalam (tidak memerlukan koordinasi semprot dan
hirup). Jenis dry powder inhaler yang sering digunakan yaitu : handihaler,
turbuhaler, accuhaler (diskus) dan swinghaler. Cara pemakaian DPI (contoh
diskus) dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 8. Jenis-Jenis Inhaler

Keterampilan Klinik 136


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 9. Cara Pemakaian DPI (diskus)

2. Metered Dose Inhaler (MDI) : bentuk obat berupa larutan suspensi propelan
bertekanan tinggi yang mudah teraerosolisasi. Obat ini dipakai dengan cara
disemprotkan diikuti inspirasi dalam sesegera mungkin. Kelebihan pemakaian
MDI adalah ukuran alat kecil, mudah dibawa, harga relatif tidak mahal.
Kekurangan pemakaian MDI adalah memerlukan koordinasi antara menyemprot
dan menghirup obat. Bila teknik pemakaian tidak baik, obat akan banyak
terdeposisi di orofaring bawah dan sedikit yang mencapai saluran nafas bawah.
Metered dose inhaler dapat digunakan dengan spacer (nebuhaler) dan dapat
disambungkan ke ventilator mekanik.2 Cara pemakaian MDI dapat dilihat pada
gambar di bawah ini :

Gambar 10. Metered Dose Inhaler & Nebuhaler (Spacer)

Keterampilan Klinik 137


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 11. Cara Pemakaian MDI

3. Soft Mist Inhaler (SMI) : bentuk obat partikel halus yang mudah teraerosolisasi.
Cara pemakaian dengan disemprot dan dihirup saat inspirasi. Kelebihan
pemakaian SMI adalah partikel lebih halus dengan ukuran yang diatur agar
mudah mencapai saluran nafas kecil. Durasi semprot lebih lama dari MDI, tidak
memerlukan inspirasi yang kuat agar obat bisa masuk ke saluran nafas sehingga
dengan dosis kecil dapat memberikan efikasi yang baik. Kekurangannya adalah
harga obat yang relatif mahal. Soft mist inhaler merupakan inhaler dengan
deposisi di saluran nafas bawah yang terbaik.3,4

Gambar 12. Soft Mist Inhaler & Perbandingan Deposisi Inhaler

Keterampilan Klinik 138


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 13. Cara Pemakaian SMI

❖ Nebulizer : terdiri dari jet nebulizer dan nebulizer ultrasonik. Prinsip kerja nebulizer
jet menggunakan kompresor yang akan memampatkan udara, kemudian udara
tersebut dialirkan dengan kecepatan tinggi, melalui membran penampung obat. Obat
kemudian teraerosolisasi dan dapat dialirkan ke saluran nafas. Nebulizer ultrasonik
memiliki prinsip kerja menghasilkan gelombang ultrasonik frekuensi tinggi yang
dihasilkan oscilator elektronik. Gelombang ultrasonik ini menggetarkan membran
penampung obat sehingga obat teraerosolisasi.2,5
Kelebihan nebulizer :
➢ Dapat memakai obat dalam dosis yang lebih besar dari inhaler
➢ Tidak memerlukan manuver khusus
➢ Terapi inhalasi dapat dilakukan dengan santai
➢ Dapat digunakan pada individu yang tidak atau belum mampu melakukan
manuver khusus dengan benar, misalnya pada lansia atau anak kecil
Kekurangan nebulizer :
➢ Peralatan relatif besar, kadang alat tidak portabel (nebulizer ultrasonik)
➢ Harga mesin relatif mahal dan tergantung pada daya listrik
➢ Obat dapat terkontaminasi
➢ Suara yang dihasilkan bising
➢ Memerlukan waktu untuk mempersiapkan alat

Keterampilan Klinik 139


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 14. Prinsip Kerja Nebulizer

E. ALAT DAN BAHAN


Alat dan bahan yang dibutuhkan adalah:
Terapi Oksigen
- Pulse oxymetri
- Manekin dan tempat tidur pemeriksaan fisik
- Tabung oksigen disertai regulator
- Selang konektor
- Kanula nasal
- Sungkup muka simpel
- Sungkup muka rebreathing
- Sungkup muka non rebreathing
- Sungkup muka venturi (katup adjustable)
- Jeli KY dan kassa steril

Terapi Inhalasi
- Manekin dan tempat tidur pemeriksaan fisik
- Tabung oksigen disertai regulator
- Selang konektor
- Peraga alat (dummy) DPI : diskus, turbuhaler, swinghaler dan handihaler
- Peraga alat (dummy) MDI dan spacer
- Peraga alat (dummy) SMI
- Nebulizer jet
- Sungkup muka nebulisasi
- Cairan obat atau lainnya yang dapat teraerosolisasi, misalnya : ventolin® respule

Keterampilan Klinik 140


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

F. CARA KERJA
TERAPI OKSIGEN
1. Teknik Pemberian Oksigen Kanula Nasal
❖ Dokter terlebih dahulu memberitahukan prosedur dan tujuan pemasangan kanula
nasal, dengan bahasa yang dimengerti pasien, kemudian mintalah persetujuan
pasien.
❖ Cucilah tangan dengan sabun antiseptik atau alkohol 70%
❖ Atur posisi pasien agar dalam posisi duduk atau setengah duduk
❖ Hubungkan konektor kanula nasal dengan sumber oksigen
❖ Beri pelicin pada kedua ujung kanula nasal, masukkan ujung kanula ke dalam
lubang hidung (arah kedua ujung kanula dimasukkan sesuai bentuk anatomi
saluran nafas)
❖ Fiksasi kanula nasal pada bagian belakang pasien
❖ Aturlah kecepatan aliran oksigen menggunakan regulator, sesuai kebutuhan
pasien (1-6 liter/menit, FiO2 : 24-44%)
2. Teknik Pemberian Oksigen Sungkup Muka Simpel
❖ Dokter terlebih dahulu memberitahukan prosedur dan tujuan pemasangan
sungkup muka simpel, dengan bahasa yang dimengerti pasien, kemudian
mintalah persetujuan pasien.
❖ Cucilah tangan dengan sabun antiseptik atau alkohol 70%
❖ Atur posisi pasien agar dalam posisi duduk atau setengah duduk
❖ Bebaskan jalan nafas bila perlu dengan menggunakan suction
❖ Hubungkan konektor sungkup muka dengan sumber oksigen
❖ Pasanglah sungkup pada wajah
❖ Sungkup harus terpasang meliputi hidung, mulut dan dagu pasien, tidak boleh
terlalu besar atau kecil
❖ Letakkan bagian sungkup yang membulat runcing pada pangkal hidung dan
bagian sungkup yang membulat lebar pada daerah sekitar mulut dan dagu.
Pemasangan jangan sampai terbalik
❖ Fiksasi sungkup muka simpel pada wajah dengan mengaitkan tali pada kepala
bagian belakang dengan kedua tali fiksasi melalui batas atas daun telinga
❖ Aturlah tali fiksasi agar masker menutup rapat
❖ Berikan kassa kering pada daerah yang tertekan tali fiksasi pada wajah, agar kulit
tidak mengalami iritasi
❖ Aturlah kecepatan aliran oksigen menggunakan regulator, sesuai kebutuhan
pasien (5-8 liter/menit, FiO2 : 40-60%)
3. Teknik Pemberian Oksigen Sungkup Muka Rebreathing
❖ Dokter terlebih dahulu memberitahukan prosedur dan tujuan pemasangan
sungkup muka rebreathing, dengan bahasa yang dimengerti pasien, kemudian
mintalah persetujuan pasien.
❖ Cucilah tangan dengan sabun antiseptik atau alkohol 70%
❖ Atur posisi pasien agar dalam posisi duduk atau setengah duduk
❖ Bebaskan jalan nafas bila perlu dengan mengunakan suction
❖ Hubungkan konektor sungkup muka dengan sumber oksigen
❖ Isi oksigen ke dalam reservoir sekurang-kurangnya 2/3 bagian reservoir dengan
cara menutup lubang antara reservoir dengan sungkup muka
❖ Pasanglah sungkup pada wajah
❖ Sungkup harus terpasang meliputi hidung, mulut dan dagu pasien, tidak boleh
terlalu besar atau kecil

Keterampilan Klinik 141


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

❖ Letakkan bagian sungkup yang membulat runcing pada pangkal hidung dan
bagian sungkup yang membulat lebar pada daerah sekitar mulut dan dagu.
Pemasangan jangan sampai terbalik
❖ Fiksasi sungkup muka simpel pada wajah dengan mengaitkan tali pada kepala
bagian belakang dengan kedua tali fiksasi melalui batas atas daun telinga
❖ Aturlah tali fiksasi agar masker menutup rapat
❖ Berikan kassa kering pada daerah yang tertekan tali fiksasi pada wajah, agar kulit
tidak mengalami iritasi
❖ Aturlah kecepatan aliran oksigen menggunakan regulator, sesuai kebutuhan
pasien (7-10 liter/menit, FiO2 : 45-100%)
4. Teknik Pemberian Oksigen Sungkup Muka Non Rebreathing
❖ Dokter terlebih dahulu memberitahukan prosedur dan tujuan pemasangan
sungkup muka non rebreathing, dengan baasa yang dimengerti pasien, kemudian
mintalah persetujuan pasien.
❖ Cucilah tangan dengan sabun antiseptik atau alkohol 70%
❖ Atur posisi pasien agar dalam posisi duduk atau setengah duduk
❖ Bebaskan jalan nafas bila perlu dengan mengunakan suction
❖ Hubungkan konektor sungkup muka dengan sumber oksigen
❖ Isi oksigen ke dalam reservoir sekurang-kurangnya 2/3 bagian reservoir
❖ Pasanglah sungkup pada wajah
❖ Sungkup harus terpasang meliputi hidung, mulut dan dagu pasien, tidak boleh
terlalu besar atau kecil
❖ Letakkan bagian sungkup yang membulat runcing pada pangkal hidung dan
bagian sungkup yang membulat lebar pada daerah sekitar mulut dan dagu.
Pemasangan jangan sampai terbalik
❖ Fiksasi sungkup muka simpel pada wajah dengan mengaitkan tali pada kepala
bagian belakang dengan kedua tali fiksasi melalui batas atas daun telinga
❖ Aturlah tali fiksasi agar masker menutup rapat
❖ Berikan kassa kering pada daerah yang tertekan tali fiksasi pada wajah, agar kulit
tidak mengalami iritasi
❖ Aturlah kecepatan aliran oksigen menggunakan regulator, sesuai kebutuhan
pasien (6-15 liter/menit, FiO2 : 60-100%)
5. Teknik Pemberian Oksigen Sungkup Venturi
❖ Dokter terlebih dahulu memberitahukan prosedur dan tujuan pemasangan
sungkup venturi, dengan bahasa yang dimengerti pasien, kemudian mintalah
persetujuan pasien.
❖ Cucilah tangan dengan sabun antiseptik atau alkohol 70%
❖ Atur posisi pasien agar dalam posisi duduk atau setengah duduk
❖ Bebaskan jalan nafas bila perlu dengan mengunakan suction
❖ Hubungkan konektor sungkup muka dengan sumber oksigen
❖ Putarlah katup adjustable atau pasanglah katup berwarna-warni, sesuai kebutuhan
oksigen pasien
❖ Pasanglah sungkup pada wajah
❖ Sungkup harus terpasang meliputi hidung, mulut dan dagu pasien, tidak boleh
terlalu besar atau kecil
❖ Letakkan bagian sungkup yang membulat runcing pada pangkal hidung dan
bagian sungkup yang membulat lebar pada daerah sekitar mulut dan dagu.
Pemasangan jangan sampai terbalik

Keterampilan Klinik 142


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

❖ Fiksasi sungkup muka simpel pada wajah dengan mengaitkan tali pada kepala
bagian belakang dengan kedua tali fiksasi melalui batas atas daun telinga
❖ Aturlah tali fiksasi agar masker menutup rapat
❖ Berikan kassa kering pada daerah yang tertekan tali fiksasi pada wajah, agar kulit
tidak mengalami iritasi
❖ Aturlah kecepatan aliran oksigen sesuai warna katup atau konsentrasi oksigen
yang ditunjukkan tanda panah katup adjustable (2-3 sampai 15 liter/menit, FiO2
: 24-60%)

TERAPI INHALASI
1. Teknik Pemakaian Dry Powder Inhaler (contoh : diskus)
❖ Pegang diskus dengan telapak tangan, tempatkan ibu jari tangan yang lain pada
thumb grip, dorong hingga diskus terbuka dan berbunyi klik
❖ Geser tuas diskus sejauh mungkin untuk mempersiapkan obat
❖ Posisikan tegak kepala dan leher
❖ Hembuskan nafas melalui mulut
❖ Letakkan mouthpiece diskus di antara mulut, katupkan bibir
❖ Tariklah nafas sedalam-dalamnya melalui mulut
❖ Lepaskanlah diskus dari mulut
❖ Tutup mulut dan tahanlah nafas sekurang-kurangnya 10 detik, setelah itu buang
nafas dan bernafaslah seperti biasa
❖ Periksa secara rutin sisa dosis dari diskus setiap selesai menggunakan
2. Teknik Pemakaian Dry Powder Inhaler (contoh : turbuhaler)
❖ Buka penutup dan pegang turbuhaler posisi tegak
❖ Putar grip turbuhaler yang berwarna hingga terdengar bunyi klik
❖ Posisikan tegak kepala dan leher
❖ Hembuskan nafas melalui mulut
❖ Letakkan mouthpiece di antara mulut, katupkan bibir
❖ Tariklah nafas sedalam-dalamnya melalui mulut
❖ Lepaskanlah turbuhaler dari mulut
❖ Tutup mulut dan tahanlah nafas sekurang-kurangnya 10 detik, setelah itu buang
nafas dan bernafaslah seperti biasa
❖ Periksa secara rutin sisa dosis dari turbuhaler setiap selesai menggunakan
3. Teknik Pemakaian Metered Dose Inhaler (MDI)
❖ Kocok inhaler ke atas dan ke bawah selama 5 detik (3-4 kali kocok)
❖ Lepaskan penutup mouthpiece pada inhaler
❖ Posisikan tegak kepala dan leher
❖ Hembuskan nafas melalui mulut
❖ Letakkan mouthpiece inhaler pada mulut di antara gigi
❖ Bernafaslah perlahan, tekan bagian atas inhaler sekali hingga obat disemprotkan,
lalu hiruplah dengan nafas dalam melalui mulut
❖ Lepaskan inhaler dari mulut
❖ Tutup mulut dan tahanlah nafas sekurang-kurangnya 10 detik, setelah itu buang
nafas dan bernafaslah seperti biasa
❖ Jika memerlukan dosis ke-2, tunggulah 30 detik kemudian kocok lagi inhaler
selama 5 detik, lalu ulangi teknik pemakaian MDI langkah 3-7
4. Teknik Pemakaian MDI dengan Spacer
❖ Kocok inhaler ke atas dan ke bawah selama 5 detik (3-4 kali kocok)
❖ Lepaskan penutup mouthpiece pada inhaler

Keterampilan Klinik 143


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

❖ Masukkan mouthpiece ke dalam rongga tempat masuknya mouthpiece di bagian


belakang spacer
❖ Posisikan tegak kepala dan leher
❖ Hembuskan nafas melalui mulut
❖ Letakkan mouthpiece spacer pada mulut di antara gigi
❖ Tekan bagian atas inhaler sekali hingga obat disemprotkan dan terperangkap
dalam ruang spacer
❖ Hiruplah obat dengan nafas dalam dan perlahan melalui mulut
❖ Lepaskan inhaler dari mulut
❖ Tutup mulut dan tahanlah nafas sekurang-kurangnya 10 detik, setelah itu buang
nafas dan bernafaslah seperti biasa
5. Teknik Pemakaian Soft Mist Inhaler (SMI)
❖ Pegang respimat dalam posisi tegak
❖ Putarlah bagian tabung transparan pada respimat, sesuai arah anak panah sampai
terdengar bunyi klik
❖ Buka penutup mouthpiece
❖ Posisi kepala dan leher tegak
❖ Hembuskan nafas melalui mulut
❖ Letakkan mouthpiece respimat pada mulut di antara gigi
❖ Tekan bagian tombol penyemprot hingga obat disemprotkan
❖ Hiruplah obat dengan nafas dalam dan perlahan melalui mulut
❖ Lepaskan respimat dari mulut
❖ Tutup mulut dan tahanlah nafas sekurang-kurangnya 10 detik, setelah itu buang
nafas dan bernafaslah seperti biasa
6. Teknik Pemberian Obat dengan Nebulizer
❖ Jelaskan prosedur dan tujuan nebulisasi dengan bahasa yang dimengerti oleh
pasien
❖ Mintalah persetujuan pasien
❖ Cucilah tangan (sabun antiseptik atau alkohol 70%)
❖ Atur posisi pasien duduk atau setengah duduk
❖ Bebaskan jalan nafas, suction kalau perlu
❖ Hubungkan konektor sungkup muka dengan nebulizer
❖ Masukkan obat pada penampung obat
❖ Pasang sungkup pada wajah
❖ Sungkup harus terpasang meliputi hidung, mulut dan dagu pasien, tidak boleh
terlalu besar atau kecil
❖ Letakkan bagian sungkup yang membulat runcing pada pangkal hidung dan
bagian sungkup yang membulat lebar pada daerah sekitar mulut dan dagu.
Pemasangan jangan sampai terbalik
❖ Fiksasi sungkup muka simpel pada wajah dengan mengaitkan tali pada kepala
bagian belakang dengan kedua tali fiksasi melalui batas atas daun telinga
❖ Aturlah tali fiksasi agar masker menutup rapat
❖ Berikan kassa kering pada daerah yang tertekan tali fiksasi pada wajah, agar kulit
tidak mengalami iritasi
❖ Hidupkan nebulizer
❖ Minta pasien bernafas biasa sambil menghirup obat yang teraerosolisasi
❖ Nebulisasi sampai obat habis

Keterampilan Klinik 144


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

G. LAPORAN KERJA
Yang Sudah Baik Saya Kerjakan:

Yang Belum Baik Saya Kerjakan:

Rencana Kerja Saya Selanjutnya:

Umpan Balik Dari Instruktur:

Medan,......................2021
Instruktur

(..........................................)

Keterampilan Klinik 145


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

H. LEMBAR PENGAMATAN

LEMBAR PENGAMATAN
TERAPI OKSIGEN DAN TERAPI INHALASI

*)Beri tanda √ pada kolom yang disediakan sesuai dengan penilaian anda
No. KEGIATAN 0* 1* 2*
TERAPI OKSIGEN
1. Pemberian Oksigen Kanula Nasal
2. Pemberian Oksigen Sungkup Muka Simpel
3. Pemberian Oksigen Sungkup Muka Rebreathing
4. Pemberian Oksigen Sungkup Muka Non Rebreathing
5. Pemberian Oksigen Sungkup Venturi
TERAPI INHALASI
6. Pemakaian DPI (diskus)
7. Pemakaian DPI (turbuhaler)
8. Pemakaian MDI
9. Pemakaian MDI dengan spacer
10. Pemakaian SMI
11. Pemberian obat dengan Nebulizer

Keterangan :
0= Tidak dilakukan
1= Dilakukan tetapi tidak sempurna
2= Dilakukan dengan sempurna

Keterampilan Klinik 146


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

REFERENSI

1. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 9th ed WB Saunders


Company.Philadelphia. 2006
2. Rasmin M, Bernida I, Rogayah R. Efek samping terapi oksigen. In : Terapi Oksigen 1st
ed. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Jakarta. 2006.p.1-6
3. Lathief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. 2nd ed. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002
4. Rogayah R, Rasmin M. Prinsip dasar terapi oksigen. In : Pulmonologi Intervensi dan
Gawat Darurat Napas. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2010.
5. Hypoxemia. Pediatric Nursing Review 2. Slideshare. 2015
6. Yunus F. Faal paru dan olahraga. J Respir Indo. Vol 17. No 2.1997.p.100-1
7. Mangku G, Senapathi TGE. Terapi oksigen. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. 2nd
ed. 2017
8. Mackey DC, Wasnick JD, Butterworth JF. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology.
5th ed. Mc Graw-Hill Co. New York. 2013
9. Mangku G, Senapathi TGE. Terapi Cairan. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. 2nd
ed. 2017
10. Gardenhire D, Ari A, Hess D. A Guide To Aerosol Delivery Devices For Respiratory
Therapists. 3rd ed. America Association For Respiratory Care. 2013. Avaiable from :
https://www.irccouncil.org/newsite/members/aerosol_guide_rt.pdf
11. Anderson P. Use of Respimat® soft mistTM Inhaler in COPD patients. Int. J. Chronic
Obstruct. Pulmon. Dis. 2006. Avaiable from : www.ncbi.nlm.nih.gov
12. Pitcairn G, Reader S, Pavia D, et al. Deposition of corticosteroid aerosol in the human lung
by Respimat® Soft Mist TM Inhaler compared to deposition by metered dose inhaler or
by Turbuhaler® dry powder inhaler. J Aerosol Med. 2005;18:264-72
13. Garcia-Contreras L, Ibrahim M, Verma R. Inhalation drug delivery devices : technology
update. Medical Devices : Evidence and Research. 2015. Avaiable from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4334339/pdf/mder-8-131.pdf

Keterampilan Klinik 147


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

MATERI KE X
ANAMNESIS PENYAKIT PARU
(Bagian Ilmu Penyakit Paru)

A. TUJUAN UMUM
Pelatihan keterampilan klinis ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran:

Melakukan keterampilan klinis (pemeriksaan fisik, diagnostik, terapeutik) terkait organ


dan sistem Pernafasan.

B. TUJUAN KHUSUS
Mahasiswa setelah melakukan skills lab anamnesis penyakit paru diharapkan dapat:
1. Mampu menggali informasi yang didapatkan dari anamnesis secara deskriptif dan
kronologis, serta mampu melakukan anamnesis penyakit sistem respirasi yang terdiri
dari anamnesis pribadi, anamnesis keluhan utama, anamnesis penyakit sekarang,
anamnesis penyakit terdahulu, anamnesis organ, anamnesis riwayat pribadi, anamnesis
riwayat penyakit keluarga, anamnesis sosial ekonomi dan anamnesis gizi
2. Mampu melakukan anamnesis penyakit sistem respirasi yang sering dijumpai dengan
contoh kasus:
a. Asma (penyakit obstruksi 4).
b. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) (penyakit degeneratif 3A).
c. Tuberkulosis Paru (penyakit infeksi 4).

C. PENDAHULUAN
Penyakit paru dan saluran pernafasan merupakan salah satu penyakit penyebab
kesakitan dan kematian di Indonesia. Salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan
kematian akibat penyakit paru dan saluran pernafasan di Indonesia selain rendahnya
tingkat kesejahteraan sosial dan kurangnya kesadaran tentang pola hidup yang sehat
adalah, keterlambatan dalam penegakkan diagnosis dan pemberian pengobatan yang tepat.
Kurangnya pengetahuan klinis dan keterampilan dokter khususnya dalam
melakukan anamnesis, menyebabkan kesalahan diagnosis, sehingga seringkali pasien baru
mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat di saat penyakitnya sudah lanjut dengan
kualitas hidup (quality of life) yang kurang baik. Oleh karena itu, diperlukan keterampilan
tentang bagaimana cara berkomunikasi yang baik dalam menggali informasi-informasi
yang didapatkan dalam anamnesis, sehingga akan memudahkan tenaga medis dalam
penegakkan diagnosis dan pemberian pengobatan yang tepat dan adekuat.
Suatu anamnesis yang baik, memiliki kerangka yang terdiri dari beberapa
komponen yaitu anamnesis riwayat pribadi, anamnesis keluhan utama, anamnesis penyakit
sekarang, anamnesis penyakit terdahulu, anamnesis organ, anamnesis riwayat pribadi,
anamnesis riwayat penyakit keluarga, anamnesis sosial ekonomi dan anamnesis gizi.

Keterampilan Klinik 148


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Informasi yang terdapat pada komponen-komponen ini haruslah digali dengan


seksama dan saling dihubungkan satu sama lain, dengan tetap mengacu pada pengetahuan
klinis yang dimiliki. Berikut ini akan diuraikan komponen-komponen anamnesis penyakit
paru dan saluran pernafasan beserta cara-cara menggali informasi yang terkandung di
dalamnya.

D. MATERI SKILLS LAB


Suatu anamnesis yang baik, memiliki kerangka yang terdiri dari beberapa
komponen yaitu anamnesis riwayat pribadi, anamnesis keluhan utama, anamnesis penyakit
sekarang, anamnesis penyakit terdahulu, anamnesis organ, anamnesis riwayat pribadi,
anamnesis riwayat penyakit keluarga, anamnesis sosial ekonomi dan anamnesis gizi.

1.1 Anamnesis Pribadi


Anamnesis pribadi pada penyakit yang berkaitan dengan sistem respirasi memiliki
komponen yang sama dengan anamnesis penyakit lainnya. Hal-hal yang harus
ditanyakan pada anamnesis pribadi antara lain:
❖ Nama
❖ Umur
❖ Kelamin
❖ Alamat
❖ Agama
❖ Bangsa / Suku
❖ Status Perkawinan
❖ Pekerjaan
Data-data tersebut merupakan identitas pasien dan penting untuk diketahui karena
pada penyakit paru dan saluran pernafasan terkadang terdapat hubungan antara data
identitas dengan epidemiologi atau insidensi penyakit. Misalnya mengenai umur,
penyakit tuberkulosis paru sering diderita pasien pada usia produktif, yaitu antara usia
12-40 tahun, PPOK memiliki insidensi tinggi pada pasien usia > 50 tahun dengan riwayat
merokok, atau asma yang memiliki insidensi pada semua golongan usia.

1.2 Anamnesis Keluhan Utama


Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien sehingga dirinya datang
berobat. Pengertian ini haruslah dicermati dengan baik, karena seringkali keluhan utama
tidak dapat ditentukan dengan baik karena kesalahan sewaktu menanyakannya pada
pasien.
Untuk menentukan keluhan utama, dokter harus menanyakan apa keluhan yang
dirasakan paling mengganggu saat ini, yang menyebabkan pasien datang berobat.
Keluhan utama tidak boleh diabaikan, walaupun seandainya setelah dokter melakukan
pemeriksaan lebih lanjut, ternyata ditemukan penyakit lain yang lebih serius.
Beberapa keluhan utama yang sering didapatkan pada penyakit paru dan saluran
pernafasan adalah :
❖ Batuk atau batuk berdarah.
❖ Banyak dahak.
❖ Nyeri dada.

Keterampilan Klinik 149


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

❖ Sesak nafas dengan, atau tanpa nafas berbunyi.


Dalam penulisan keluhan utama juga harus ditanyakan sudah berapa lama pasien
mengalami keluhan tersebut. Misalnya batuk-batuk sejak 3 bulan yang lalu, atau nafas
yang berbunyi ”ngik-ngik” sejak 3 tahun yang lalu. Selain menanyakan keluhan utama,
tanyakan juga apakah ada keluhan lain yang dirasakan pasien yang merupakan keluhan
tambahan, seperti demam lama, keringat malam, atau nafsu makan yang menurun, atau
berkurang.
Beberapa penyakit paru dan saluran pernafasan seperti asma, PPOK, pneumonia atau
bronkiektasis, dapat memberikan keluhan yang hampir sama seperti batuk, sesak nafas
atau nafas yang berbunyi. Akan tetapi bila diuraikan dengan baik, keluhan tersebut dapat
menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda. Keluhan-keluhan pada penyakit paru dan
saluran pernafasan juga dapat ditemukan pada penyakit-penyakit di luar sistem respirasi,
misalnya pada kasus infark miokard akut, dapat ditemukan keluhan sakit dada, dan sesak
nafas, atau pada kasus kegagalan jantung kiri dengan komplikasi edema paru, didapatkan
adanya keluhan sesak nafas yang terus menerus.
Oleh karena itu, setelah menentukan keluhan utama, langkah selanjutnya adalah
memikirkan diagnosis banding, dimana dokter harus memikirkan segala kemungkinan
penyakit yang mungkin.

Gambar 1. Keluhan Utama Batuk-Batuk Gambar 2. Beberapa Keluhan Utama


pada Asma

Keterampilan Klinik 150


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Alur Berfikir Penegakkan Diagnosis Pasti Penyakit Sistem Respirasi

Keluhan Utama

Memikirkan Diagnosis-Diagnosis Banding yang mungkin

Anamnesis + Keluhan Tambahan

Pemeriksaan Fisik + Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis Sementara Penyakit Sistem Respirasi

Diagnosis Pasti Penyakit Sistem Respirasi

Gambar 3. Alur Pola Berfikir Penegakkan Diagnosis Pasti Penyakit Sistem Respirasi

Untuk membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis banding, dan menegakkan


diagnosis pasti, informasi-informasi yang terkandung di dalam keluhan utama, haruslah
digali sedalam mungkin dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang terdapat di
dalam komponen-komponen anamnesis lainnya.

1.3 Anamnesis Riwayat Penyakit Sekarang


Riwayat penyakit sekarang atau riwayat perjalanan penyakit merupakan uraian rinci
mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama, sampai saat penderita
datang berobat. Sebagaimana anamnesis pada sistem organ lainnya, untuk menggali
informasi lebih dalam terutama yang berkaitan dengan keluhan utama, dapat digunakan
komponen-komponen pertanyaan yang berpedoman kepada Macleod’s Clinical
Examination (metode OLDCART dan OPQRST).
Pemilihan dan penggunaan kedua metode ini, disesuaikan dengan keluhan utama
yang diutarakan pasien, dan tidak bersifat mengikat. Artinya kita boleh memasukkan
komponen pertanyaan metode lain selain metode yang kita pilih, untuk memperoleh
informasi sebanyak mungkin. Adakalanya tidak semua komponen-komponen pertanyaan
pada metode OLDCART, atau OPQRST, terdapat dalam suatu kasus penyakit, sehingga
tidak perlu ditanyakan saat menggali informasi.
Contoh penggunaan metode OLDCART untuk menggali informasi. 1) Keluhan atau
gejala klinis terjadi secara tiba-tiba, atau perlahan-lahan (onset). 2) Apakah keluhan
timbul untuk pertama kali atau timbul setiap kali terpapar dengan bahan atau kondisi
tertentu, misalnya debu, serbuk sari, cuaca dingin, bau-bauan yang menyengat, logam,
lateks dan lain sebagainya (palliating/provoking factor). Pada asma, keluhan sesak
nafas atau nafas yang berbunyi dapat timbul bila pasien terpapar dengan faktor pencetus
atau trigger. 3) Sifat dan beratnya serangan atau gejala klinis yang terjadi, apakah terjadi

Keterampilan Klinik 151


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

secara terus menerus atau hilang timbul, apakah gejala klinis yang timbul cenderung
bertambah berat atau berkurang (quality). Sifat batuk pada tuberkulosis dimulai dari
batuk kering yang kemudian dapat menjadi batuk produktif yang menghasilkan dahak,
maupun batuk berdarah. Pada penyakit asma, keluhan sesak nafas bersifat tidak tetap dan
timbul bila terpapar dengan faktor pencetus. Pada PPOK, pasien selalu merasa sesak
nafas bila melakukan aktifitas fisik. 4) Penyebaran dari keluhan (radiation). Misalnya
pada kasus nyeri dada, dapat ditanyakan apakah keluhan hanya terbatas pada dada atau
menyebar ke bagian-bagian tubuh lainnya. Nyeri dada akibat peradangan pleura
(pleuritis), hanya terlokalisir di daerah dada dan nyeri terasa saat penderita menarik atau
melepaskan nafasnya. Nyeri dada yang disebabkan oleh adanya gangguan pada
kardiovaskuler seperti infark miokard akut, dapat menyebar ke anggota tubuh lain seperti
rahang, punggung dan lengan. 5) Apakah keluhan timbul saat pasien bekerja atau berada
pada tempat tertentu (site), yang memungkinkan penderita terpapar dengan faktor
pencetus sehingga terjadi serangan yang menyebabkan timbulnya keluhan (eksaserbasi).
6) Kapan keluhan timbul, apakah keluhan paling dirasakan pada waktu-waktu tertentu,
misalnya pada pagi atau siang hari, atau tidak menentu (time).

1.4 Anamnesis Penyakit Terdahulu


Pada bagian ini ditanyakan kepada pasien tentang penyakit yang telah pernah
dideritanya sejak masih kanak-kanak sampai dewasa (saat sebelum menderita penyakit
sekarang ini) yang mungkin mempunyai hubungan dengan penyakit yang dialami pasien
saat ini.
Misalnya kepada penderita asma dapat ditanyakan ada tidaknya riwayat alergi
terhadap makanan atau benda tertentu (dermatitis alergi) atau apakah penderita bersin-
bersin bila terkena udara dingin atau bau-bauan yang menyengat (rhinitis alergi). Pada
kasus bronkiektasis dapat ditanyakan apakah pasien pernah mengalami penyakit infeksi
paru sebelumnya misalnya tuberkulosis atau pneumonia. Pada penderita usia paruh baya
dengan kecurigaan tuberkulosis paru, dapat ditanyakan ada tidaknya riwayat penyakit
yang dapat menurunkan daya tahan tubuh seperti diabetes melitus atau infeksi virus HIV
(AIDS).

1.5 Anamnesis Organ/Sistem


Pada anamnesis organ atau sistem dapat dilihat adakah hubungan antara keluhan
atau gejala klinis dengan organ tubuh tertentu yang belum didapat pada anamnesis
keluhan utama, penyakit sekarang ataupun anamnesis penyakit terdahulu.
Lembar anamnesis biasanya telah mencantumkan keluhan atau gejala klinis
yang mungkin ditemukan pada organ-organ tubuh secara sistematis dari kepala hingga
ekstremitas. Jika terdapat keluhan atau kelainan pada organ atau sistem tersebut,
dituliskan tanda positif dan bila tidak ada dituliskan tanda negatif pada lembar anamnesis.
Anamnesis sistem organ dilakukan secara sistematis dengan menanyakan keluhan yang
mungkin ditemukan pada organ atau bagian tubuh dimulai dari kepala hingga ekstremitas
bawah.

1.6 Anamnesis Riwayat Pribadi


Pada anamnesis riwayat pribadi pasien, dokter menggali informasi-informasi
mengenai kebiasaan hidup pasien yang mungkin memiliki hubungan dengan penyakit
paru dan saluran pernafasan yang dideritanya. Sebagai contoh adalah kebiasaan merokok

Keterampilan Klinik 152


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

yang merupakan salah satu penyebab utama penyakit PPOK. Bila ditemukan adanya
riwayat merokok, diperlukan pertanyaan-pertanyaan untuk mendapatkan informasi lebih
banyak tentang kebiasaan merokok tersebut seperti sudah berapa lama merokok, berapa
batang atau bungkus rokok yang dihabiskan setiap harinya atau apakah penderita masih
merokok atau sudah berhenti.
Jangan lupa menanyakan pekerjaan pasien yang mungkin memiliki hubungan
dengan penyakit yang dideritanya. Sebagai contoh adalah asma dan PPOK, yang
memiliki insidensi yang tinggi pada pasien yang bekerja di lingkungan yang berdebu atau
mengandung gas yang dapat merusak kesehatan. Misalnya polisi lalu lintas atau
karyawan pabrik.

1.7 Anamnesis Riwayat Penyakit Keluarga


Dalam anamnesis riwayat penyakit keluarga, dokter menanyakan penyakit yang
pernah diderita keluarga dekat penderita seperti penyakit keturunan atau penyakit yang
dapat menular secara kontak langsung bila daya tahan tubuh melemah. Asma merupakan
salah satu contoh penyakit paru dan saluran pernafasan yang memiliki kecendrungan
untuk diturunkan secara genetik. Pada anamnesis ditanyakan juga adakah anggota
keluarga yang mengalami sakit yang sama dengan penderita. Bila ada yang meninggal
dunia, tanyakanlah sebab kematiannya.

1.8 Anamnesis Sosial Ekonomi


Pada anamnesis sosial ekonomi, dokter menanyakan keadaaan keluarga pasien
terutama mengenai perumahan, penghasilan, lingkungan dan daerah tempat tinggal
pasien. Masih rendahnya penghasilan dan tingkat kesejahteraan ekonomi serta kurangnya
kesadaran tentang pola hidup yang sehat, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
tetap tingginya angka kejadian penyakit tuberkulosis di Indonesia. Penyakit asma dan
PPOK memiliki angka kejadian yang lebih tinggi pada pasien yang bertempat tinggal di
daerah yang memiliki tingkat polusi udara yang tinggi seperti di tepi jalan yang ramai
dilalui kendaraan atau di sekitar pabrik.

1.9 Anamnesis Gizi


Pada anamnesis gizi dokter menanyakan pada pasien tentang makanan yang
dikonsumsi setiap hari, seberapa banyak porsinya serta frekuensi makan. Dapat
ditanyakan juga, apakah pasien merasa berat badannya berkurang, bertambah, atau tetap
dan dicari apakah ada hubungannya dengan penyakit yang diderita oleh penderita.
Sebagai contoh pada pasien tuberkulosis dapat ditemukan gejala malaise seperti
anoreksia atau tidak ada nafsu makan, badan semakin kurus. Gejala malaise ini lama
kelamaan dapat bertambah berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

Keterampilan Klinik 153


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

CONTOH KASUS:
1. Asma
❖ Anamnesis Pribadi : Pria : Wanita 1:1, semua golongan usia.
❖ Keluhan Utama : Sesak nafas yang berbunyi ”ngik-ngik”.
❖ Keluhan Tambahan : Batuk-batuk.
❖ Diagnosis Banding : PPOK, bronkitis kronik, gagal jantung kongestif, efusi
pleura, pneumotoraks, kanker paru, obstruksi mekanis jalan nafas, gagal ginjal.
❖ Onset : Sesak nafas terjadi tiba-tiba bila terpapar pencetus.
❖ Provoking Faktor. Sesak nafas terjadi bila pasien terpapar faktor pencetus
seperti serbuk sari, tungau debu, spora jamur, atau bulu binatang.
❖ Quality : Sesak nafas bersifat hilang timbul dan muncul bila pasien terpapar
dengan pencetus serangan. Hal ini dapat dibedakan dengan sesak nafas pada efusi
pleura, pneumotoraks, obstruksi mekanis jalan nafas, kanker paru, gagal jantung,
dan gagal ginjal, yang bersifat terus-menerus. Sesak nafas yang berbunyi pada
asma dapat hilang dengan sendirinya, walau pasien tidak diberi pengobatan.
Sesak nafas pada asma dapat bertambah berat bila pasien tidak mendapatkan
pengobatan yang tepat dan adekuat. Hal ini dapat diketahui, dengan menanyakan
kepada pasien, berapa kali serangan (sesak nafas) terjadi dalam seminggu atau
sebulan.

Gambar 4. Saluran Nafas pada Penderita Asma Gambar 5. Faktor Pencetus


Serangan Asma

❖ Site : Keluhan pada asma biasanya timbul bila pasien bekerja, atau berada pada
tempat-tempat tertentu yang memungkinkan pasien terpapar dengan pencetus,
misalnya di kawasan industri atau di jalan raya dengan tingkat polusi yang tinggi.
❖ Time : Serangan asma dapat terjadi kapan saja, tergantung paparan dengan
faktor-faktor pencetus. Namun, serangan asma paling sering terjadi pada saat
suhu udara lebih dingin dari suhu normal harian, yaitu pada malam hari, atau pada
saat menjelang pagi.

Keterampilan Klinik 154


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

❖ Gejala Penyerta : Batuk-batuk, baik batuk tanpa mengeluarkan sekret,


atau dengan sekret yang biasanya mukoid.
❖ Anamnesis Riwayat Penyakit Dahulu.Terjadinya asma biasanya memiliki
hubungan dengan penyakit-penyakit alergi lainnya, sehingga pada anamnesis
riwayat penyakit dahulu dapat ditanyakan adakah riwayat alergi terhadap
makanan atau benda-benda tertentu, atau apakah penderita sering bersin disertai
dengan mata dan tenggorokan yang gatal bila terpapar pencetus (riwayat atopi).
Riwayat hipertensi lama, riwayat trauma pada toraks, dan riwayat penyakit ginjal
juga dapat ditanyakan untuk menyingkirkan diagnosis banding.
❖ Anamnesis Riwayat Pribadi. Berisi pertanyaan mengenai kebiasaan hidup
pasien yang dapat mencetuskan serangan asma misalnya pekerjaan sebagai buruh
pabrik, polisi lalu lintas atau penyapu jalan.
❖ Anamnesis Riwayat Penyakit Keluarga. Asma merupakan penyakit inflamasi
saluran pernafasan yang diturunkan secara genetik (penyakit herediter). Pada
anamnesis riwayat penyakit keluarga, dapat dicari adakah keluarga dekat pasien
yang menderita asma dengan hubungan kekeluargaan secara garis vertikal ke atas
yaitu nenek, kakek, ayah, ibu, paman atau bibi pasien.
❖ Anamnesis Riwayat Sosial Ekonomi. Berisi penggalian informasi tentang
keadaaan keluarga pasien, terutama mengenai perumahan, penghasilan dan
lingkungan atau daerah sekitar tempat tinggal penderita. Pasien yang tinggal di
daerah dengan polusi udara memiliki kecenderungan untuk mengalami serangan
asma lebih sering dari pasien yang tinggal di lingkungan dengan kadar udara yang
bersih. Keadaan kejiwaan pasien juga perlu diketahui karena serangan asma dapat
timbul pada keadaan emosi yang menekan jiwa seperti stres, frustasi atau marah.
❖ Anamnesis Gizi berisi penggalian informasi tentang makanan yang dimakan
pasien sehari-hari, serta keadaan status gizi pasien. Anamnesis ini tidak terlalu
penting dalam anamnesis penyakit asma.

Keterampilan Klinik 155


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

2. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK/COPD)


❖ Anamnesis Pribadi: Terutama pada pria, rentang usia > 50 tahun.
❖ Keluhan Utama: Sesak nafas atau batuk-batuk berdahak pada saat beraktifitas
❖ Diagnosis Banding: Asma, gagal jantung kongestif, bronkiektasis, tuberkulosis
paru lama, kanker paru.
❖ Onset : Keluhan timbul secara progresif lambat. Pada permulaan
penyakit, keluhan yang dirasakan adalah batuk-batuk dengan atau tanpa produksi
sputum (dahak). Seiring dengan semakin menurunnya fungsi paru, keluhan yang
dirasakan bertambah menjadi sesak nafas saat beraktifitas, dengan atau tanpa
nafas yang berbunyi (mengi)
❖ Provoking Faktor : Sesak nafas atau batuk-batuk berdahak dapat timbul bila
penderita merokok atau melakukan aktifitas jasmani. Pada stadium lanjut,
penderita akan merasakan sesak nafas walaupun hanya melakukan aktifitas
ringan. Faktor usia yang semakin menua juga dapat mempengaruhi kemampuan
faal paru sehingga dapat memperberat keluhan yang dirasakan
❖ Quality : Sifat keluhan yang dirasakan adalah semakin lama semakin sering,
semakin panjang waktu serangannya, atau semakin berat. Keluhan dirasakan
setelah pasien melakukan aktifitas jasmani yang cukup berat
❖ Site : Penyakit PPOK banyak dijumpai pada pasien yang bekerja atau tinggal
pada tempat-tempat tertentu dengan tingkat polusi udara yang tinggi atau
lingkungan kerja yang penuh dengan zat inorganik atau gas yang berbahaya bagi
kesehatan.
❖ Time : Keluhan sesak nafas atau batuk-batuk berdahak dapat timbul kapan
saja saat pasien melakukan aktifitas fisik, apalagi bila penyakit ini telah mencapai
stadium lanjut, sesak nafas dapat terjadi kapan saja walaupun penderita hanya
melakukan aktifitas fisik yang ringan.
❖ Keluhan Tambahan. Sulit tidur, sakit kepala dan aktifitas yang terbatas.
❖ Anamnesis Riwayat Penyakit Dahulu berisi pertanyaan tentang ada tidaknya
riwayat hipertensi (darah tinggi), dan rasa sakit pada kepala bagian belakang
untuk menyingkirkan diagnosis banding sesak nafas karena gagal jantung
kongestif (edema paru). Riwayat sesak nafas yang berbunyi bila terpapar dengan
benda atau keadaan tertentu yang dapat hilang sendiri tanpa diberi pengobatan,
serta adanya riwayat atopi dan alergi dalam keluarga dapat ditanyakan untuk
menyingkirkan diagnosis banding asma. Kedua diagnosis banding di atas,
memiliki keluhan utama atau gejala klinis yang sama yaitu sesak nafas. Bila
keluhan utama berupa batuk-batuk berdahak, tanyakan kepada pasien apakah
dahak yang dihasilkan berwarna hijau atau kuning (purulen), dengan jumlah yang
banyak yang disertai oleh demam dan pilek. Pertanyaan tersebut diberikan untuk
membantu menyingkirkan diagnosis banding bronkiektasis. Selain itu tanyakan
pula adakah riwayat batuk-batuk lama atau berdarah disertai demam yang tidak
terlalu tinggi atau penurunan berat badan dan nafsu makan (malaise), untuk
menyingkirkan diagnosis tuberkulosis paru. Tentunya untuk menyingkirkan
diagnosis banding dari PPOK tidak cukup hanya dengan anamnesis saja, namun
harus didukung juga dengan pemeriksaan fisik dan penunjang, seperti
pemeriksaan sputum, spirometri atau foto toraks.
❖ Anamnesis Riwayat Pribadi berisi pertanyaan tentang ada tidaknya kebiasaan
merokok yang merupakan penyebab utama dari menurunnya kemampuan faal
paru pada PPOK. Tanyakan kepada pasien sudah berapa lama pasien merokok,
berapa batang atau bungkus yang dihabiskan setiap hari, dan apakah pasien sudah

Keterampilan Klinik 156


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

berhenti atau masih merokok sampai sekarang. Selain asap rokok, polusi udara
juga merupakan penyebab menurunnya faal paru. Pasien yang bekerja di kawasan
industri atau bekerja pada tempat-tempat dengan tingkat polusi udara yang tinggi
misalnya polisi lalu lintas atau karyawan pabrik, memiliki resiko lebih tinggi
untuk menderita PPOK.
❖ Anamnesis Riwayat Penyakit Keluarga. Salah satu faktor penyebab terjadinya
PPOK adalah defisiensi enzim inhibitor protease yaitu alfa-1 antitripsin. Enzim
ini berfungsi menghambat kerja enzim protease yang merusak jaringan elastin,
kolagen dan gelatin pada paru dan saluran pernafasan, sehingga terjadi kerusakan
anatomi (kerusakan dinding alveoli dan hipersekresi mukus), dan penurunan
kemampuan fungsi paru. Enzim protease (elastase, proteinase-3, kolagenase dan
elastinase) sendiri timbul akibat pengaktifan alveolar makrofag dan netrofil oleh
paparan antigen terutama asap rokok. Individu dengan defisiensi alfa-1 antitripsin
akan mengalami kerusakan anatomi dan penurunan kemampuan fungsi paru lebih
cepat daripada individu yang normal. Defisiensi alfa-1 antitripsin memiliki
kecendrungan diturunkan secara genetik, sehingga pada anamnesis riwayat
penyakit keluarga (hanya ditanyakan bila pasien berada dalam usia dewasa muda
yaitu usia dibawah 50 tahun), dapat ditanyakan ada tidaknya keluarga dekat
pasien yang juga menderita PPOK dengan hubungan kekeluargaan secara garis
vertikal seperti ayah, ibu, kakek, nenek, paman atau bibi.
❖ Anamnesis Riwayat Sosial Ekonomi. Berisi penggalian informasi tentang
keadaaan keluarga pasien, terutama mengenai perumahan, penghasilan, dan
lingkungan atau daerah sekitar tempat tinggal penderita. Pasien yang tinggal di
daerah dengan tingkat polusi udara yang tinggi misalnya di sekitar jalan raya atau
kawasan industri, memiliki kecenderungan untuk menderita PPOK lebih tinggi
dari pasien yang tinggal di lingkungan dengan kadar udara yang bersih.
❖ Anamnesis Gizi berisi penggalian informasi tentang makanan yang dimakan
pasien sehari-hari, serta keadaan status gizi pasien. Anamnesis ini tidak terlalu
penting dalam anamnesis penyakit PPOK.

Keterampilan Klinik 157


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Landasan Berfikir dalam Menegakkan Diagnosis PPOK

Keterampilan Klinik 158


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

3. Tuberkulosis Paru
❖ Keluhan Utama: Batuk-batuk lebih dari 3 minggu dengan atau tanpa dahak
❖ Onset: Keluhan timbul sesuai dengan perkembangan penyakit, pengobatan yang
diberikan, dan daya tahan tubuh dari pasien. Pada awal penyakit, keluhan berupa
batuk-batuk lama tanpa dahak (batuk kering). Bila pasien tidak mendapatkan
pengobatan yang adekuat, batuk dapat disertai dahak (sputum) dan darah bila
terdapat pembuluh darah yang pecah
❖ Provoking Faktor: Gizi buruk merupakan salah satu faktor penyebab dari infeksi
tuberkulosis paru. Semakin buruk gizi semakin buruk pula daya tahan tubuh
terhadap basil tuberkulosis
❖ Quality: Sifat keluhan adalah batuk-batuk terus menerus dengan kecendrungan
keluhan bertambah berat bila pasien tidak mendapatkan pengobatan yang sedini
dan seadekuat mungkin atau bila daya tahan tubuh pasien lemah
❖ Gejala Penyerta: Demam yang tidak terlalu tinggi terutama pada sore hari, tidak
ada nafsu makan dan berat badan yang menurun (malaise)
❖ Anamnesis Riwayat Penyakit Dahulu berisi pertanyaan tentang pernah
tidaknya pasien menderita penyakit yang dapat menurunkan daya tahan tubuh
misalnya diabetes mellitus atau infeksi HIV, terutama bila pasien telah berusia
lanjut. Selain itu ditanyakan apakah penderita pernah sakit tuberkulosis
sebelumnya. Bila pernah, tanyakan apakah pengobatannya telah tuntas atau
belum
❖ Pada anamnesis riwayat penyakit keluarga, ditanyakan apakah pasien pernah
terpapar dengan anggota keluarga, atau orang lain yang menderita tuberkulosis
paru. Tuberkulosis paru dapat menular melalui kontak langsung walaupun
penularan terhadap sesama orang dewasa tidak dapat dibuktikan. Infeksi basil
tuberkulosis terjadi saat pasien masih dalam usia kanak-kanak. Anak dengan daya
tahan tubuh terlemah akan langsung sakit saat kecil. Sebagian lagi sakit ketika
dewasa muda (usia produktif), sebagian lagi sakit ketika sudah berusia lanjut
karena menderita penyakit yang melemahkan daya tahan tubuh, dan sebagian lagi
tidak sakit sama sekali seumur hidupnya

Keterampilan Klinik 159


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Perjalanan Penyakit Tuberkulosis Paru

❖ Anamnesis Riwayat Sosial Ekonomi berisi penggalian informasi tentang


keadaaan keluarga pasien, terutama mengenai perumahan, penghasilan, dan
lingkungan atau daerah sekitar tempat tinggal penderita. Penderita tuberkulosis
kebanyakan berasal dari masyarakat golongan ekonomi menengah kebawah
dengan tingkat kesadaran akan pentingnya pola hidup sehat yang rendah.
Keadaan ini dapat berdampak pada tingkat kecukupan gizi yang buruk dan
rendahnya tingkat imunitas tubuh karena kurangnya asupan makanan yang
bergizi. Tingkat penghasilan juga perlu ditanyakan untuk merancang pengobatan
yang diberikan agar tidak memberatkan pasien, karena pengobatan akan
berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama (minimal 6 bulan) dengan
biaya berobat yang tidak sedikit
❖ Anamnesis Gizi berisi pertanyaan kepada pasien tentang makanan yang
dikonsumsi setiap hari, seberapa banyak porsinya serta frekuensi makan. Dapat
ditanyakan juga, apakah penderita merasa berat badannya berkurang, bertambah,
atau tetap. Pada penderita tuberkulosis paru, penderita biasanya mengeluh tidak
ada nafsu makan (anoreksia) dan berat badannya berkurang yang dinamakan
gejala malaise. Gejala malaise lainnya adalah sakit kepala, meriang, nyeri otot,
keringat malam dan lain-lain

Keterampilan Klinik 160


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Landasan Berfikir dalam Menegakkan Diagnosis Tuberkulosis Paru

Gambar 6. Penderita TB Paru pada Anak Gambar 7. Tes Tuberkulin (Mantoux)

Keterampilan Klinik 161


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

E. ALAT DAN BAHAN


Alat dan bahan yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pelatihan keterampilan anamnesis
penyakit jantung dan pembuluh darah diantaranya adalah:
- Meja
- Kursi
- Skenario Klinis

F. CARA KERJA
1. Anamnesis Data Pribadi
Seperti halnya anamnesis pada sistem organ lainnya, anamnesis pada penyakit
jantung dan pembuluh darah, terdiri dari komponen-komponen yang menunjukkan
identitas pribadi pasien. Komponen-komponen yang harus ditanyakan dalam
anamnesis pribadi antara lain adalah:
• Nama
• Umur
• Kelamin
• Alamat
• Agama
• Bangsa / Suku
• Status Perkawinan
• Pekerjaan

2. Anamnesis Keluhan Utama


Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien sehingga dirinya datang
berobat. Pengertian ini haruslah dicermati dengan baik, karena seringkali keluhan
utama tidak dapat ditentukan dengan baik karena kesalahan sewaktu menanyakannya
pada pasien. Untuk menentukan keluhan utama, dokter harus menanyakan apa
keluhan yang dirasakan paling mengganggu saat ini, yang menyebabkan pasien datang
berobat. Keluhan utama tidak boleh diabaikan, walaupun seandainya setelah dokter
melakukan pemeriksaan lebih lanjut, ternyata ditemukan penyakit lain yang lebih
serius.

3. Anamnesis Riwayat Penyakit Sekarang


Riwayat penyakit sekarang atau riwayat perjalanan penyakit merupakan uraian
rinci mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama, sampai saat
penderita datang berobat. Sebagaimana anamnesis pada sistem organ lainnya, untuk
menggali informasi lebih dalam terutama yang berkaitan dengan keluhan utama, dapat
digunakan komponen-komponen pertanyaan yang berpedoman kepada Macleod’s
Clinical Examination (metode OLDCART dan OPQRST).

Keterampilan Klinik 162


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

4. Anamnesis Penyakit Terdahulu


Pada bagian ini ditanyakan kepada pasien tentang penyakit yang telah pernah
dideritanya sejak masih kanak-kanak sampai dewasa (saat sebelum menderita
penyakit sekarang ini), yang mungkin mempunyai hubungan dengan penyakit yang
dialami pasien saat ini.

5. Anamnesis Riwayat Pribadi


Bagian ini berguna untuk mendapat informasi tentang kebiasaan yang dilakukan
oleh pasien sehari-hari yang dapat mempengaruhi terjadinya keluhan pada sakit yang
diderita pasien saat ini.

6. Anamnesis Riwayat Pengobatan


Pada anamnesis riwayat pengobatan dokter menanyakan apakah sebelumnya
pasien sudah menggunakan obat-obatan untuk mengobati penyakitnya atau belum,
apakah pasien berobat ke tenaga medis atau mengobati sendiri, apa nama obat yang
digunakan, bagaimana pemakainnya, dan apakah efek obat dirasakan menghilangkan
gejala penyakit atau tidak.

7. Anamnesis Riwayat Keluarga


Pada anamnesis riwayat keluarga, dokter menanyakan penyakit yang pernah
diderita keluarga dekat penderita, seperti penyakit keturunan. Pada anamnesis
ditanyakan juga apakah ada anggota keluarga yang mengalami sakit yang sama
dengan pasien. Bila ada anggota keluarga yang telah meninggal dunia, tanyakanlah
sebab kematiannya.

8. Anamnesis Riwayat Sosial Ekonomi


Pada anamnesis riwayat sosial ekonomi pasien, dokter menggali informasi-
informasi mengenai tentang kondisi keluarga pasien, tempat tinggal pasien,
lingkungan tempat tinggal, pendapatan kebiasaan hidup pasien yang mungkin
memiliki hubungan dengan penyakit pasien.

9. Anamnesis Gizi
Terakhir, dokter dapat menanyakan tentang makanan yang dikonsumsi setiap
hari, seberapa banyak porsinya serta frekuensi makan. Dapat ditanyakan juga, apakah
penderita merasa berat badannya berkurang, bertambah, atau tetap, dan dicari apakah
ada hubungannya dengan penyakit yang diderita oleh pasien.

Keterampilan Klinik 163


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

G. LAPORAN KERJA
Yang Sudah Baik Saya Kerjakan:

Yang Belum Baik Saya Kerjakan:

Rencana Kerja Saya Selanjutnya:

Umpan Balik Dari Instruktur:

Medan,......................2021
Instruktur

(..........................................)

Keterampilan Klinik 164


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

H. LEMBAR PENGAMATAN

LEMBAR PENGAMATAN
ANAMNESIS PENYAKIT PARU

*)Beri tanda √ pada kolom yang disediakan sesuai dengan penilaian anda
No. KEGIATAN 0* 1* 2*
1. Membuka Pertemuan (salam, perkenalan diri)
2. Menanyakan Identitas Pribadi Pasien
3. Menanyakan Keluhan Utama
4. Anamnesis Riwayat Penyakit Sekarang
5. Anamnesis Riwayat Penyakit Dahulu
6. Anamnesis Riwayat Pribadi
7. Anamnesis Riwayat Pengobatan
8. Anamnesis Riwayat Keluarga
9. Anamnesis Riwayat Sosial Ekonomi
10. Anamnesis Gizi

Keterangan :
0= Tidak dilakukan
1= Dilakukan tetapi tidak sempurna
2= Dilakukan dengan sempurna

Keterampilan Klinik 165


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

REFERENSI

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis. 7th edition. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia ; 2002. p. 9-25.
2. Bahar A. Tuberkulosis Paru. In : Suyono S, Waspadji S, Lesmana L, Alwi I, Sundaru H,
Setiati S, Bahar A et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 3rd edition. Jakarta : Balai
Penerbit FK UI ; 2001. p .819-29.
3. Global Initiative for Asthma (GINA). Diagnosis and Classification. Global Strategy for
Asthma Management and Prevention. World Health Organization. National Heart Lung
and Blood Institute ; 2006. p .16-23.
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Diagnosis dan Klasifikasi. Widjaja A,
Mangunnegoro H, Yunus F, Dianiati K, Suryanto E, Syafiuddin T, Wiyono HW et al, eds.
Asma : Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Edisi ke-1. Jakarta :
Balai Penerbit FK UI ; 2004. p .20-7.
5. Sundaru H. Asma Bronkial. In : Suyono S, Waspadji S, Lesmana L, Alwi I, Sundaru H,
Setiati S, Bahar A et al, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-3. Jakarta : Balai
Penerbit FK UI ; 2001. p .21-31.
6. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy for The
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
National Institutes of Health. National Heart Lung and Blood Institute ; 2001.
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Diagnosis, Klasifikasi dan Diagnosis Banding.
Mangunnegoro H, Amin M, Yunus F, Abdullah A, Widjaja A, Surjanto E et al, editors.
PPOK : Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan PPOK di Indonesia. 1st edition. Jakarta :
Balai Penerbit FK UI ; 2003. p .4-7.

Keterampilan Klinik 166


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

MATERI KE XI
PEMERIKSAAN RONGGA GIGI DAN MULUT
(…..PENYUSUN…..)

A. TUJUAN UMUM
……………… (Merujuk pada capaian pembelajaran kurikulum fakultas yang telah diberi)
Pelatihan keterampilan klinis ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran:

B. TUJUAN KHUSUS
Mahasiswa setelah melakukan skills lab ……………….. diharapkan dapat:
1. Menjelaskan/melakukan. …………
2. Menjelaskan/melakukan ………….
3. dst

C. PENDAHULUAN
……………………. (berisi tentang pengantar bagi mahasiswa untuk bisa memahami
pelaksanaan skills lab sesuai dengan topik yang dibahas).

D. MATERI SKILLS LAB


……………………. (berisi tentang penjelasan materi skills lab, materi harus sesuai
dengan tujuan pembelajaran dan sasaran pembelajaran yang telah ditetapkan di atas).

E. ALAT DAN BAHAN


……………………. (penjelasan mengenai kebutuhan alat dan bahan skills lab).

F. CARA KERJA
……………………. (berisi tentang penjelasan tata cara atau urutan langkah yang harus
dilakukan oleh mahasiswa dalam melakukan skills lab).

Keterampilan Klinik 167


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

G. LAPORAN KERJA
Yang Sudah Baik Saya Kerjakan:

Yang Belum Baik Saya Kerjakan:

Rencana Kerja Saya Selanjutnya:

Umpan Balik Dari Instruktur:

Medan,......................2021
Instruktur

(..........................................)

Keterampilan Klinik 168


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

H. LEMBAR PENGAMATAN

LEMBAR PENGAMATAN
PEMERIKSAAN RONGGA GIGI DAN MULUT

*)Beri tanda √ pada kolom yang disediakan sesuai dengan penilaian anda
No. KEGIATAN 0* 1* 2*
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Keterangan :
0= Tidak dilakukan
1= Dilakukan tetapi tidak sempurna
2= Dilakukan dengan sempurna

REFERENSI

…………………… (penulisan mengikuti metode Harvard sistem Alfabet)

Keterampilan Klinik 169


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

MATERI KE XII
PEMERIKSAAN FISIK SISTEM SALURAN CERNA
(Bagian Ilmu Penyakit Dalam)

A. TUJUAN UMUM
Pelatihan keterampilan klinis ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran:

Melakukan keterampilan klinis (pemeriksaan fisik, diagnostik dan terapeutik) terkait organ
dan sistem Pencernaan

B. TUJUAN KHUSUS
Mahasiswa setelah melakukan skills lab pemeriksaan fisik sistem saluran cerna diharapkan
dapat:
1. Memahami dan mengenal titik-titik dan garis pedoman pemeriksaan abdomen, serta
pembagian kuadaran dan regio abdomen, yang dapat dijadikan pedoman dalam
melakukan pemeriksaan fisik sistem Saluran Pencernaan (C.1).
2. Mengetahui dan mampu melakukan prosedur pemeriksaan fisik sistem Saluran
Pencernaan, dengan cara observasi, inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi (4).
3. Terampil melakukan pemeriksaan fisik sistem Saluran Pencernaan yang dilatihkan,
yaitu :
- Observasi.
- Inspeksi abdomen yang meliputi, kesimetrisan, kontour, kondisi dinding abdomen,
dan pergerakan dinding abdomen selama pernafasan.
- Palpasi abdomen yang meliputi, palpasi superfisial, dan palpasi dalam (rebound
tenderness, palpasi hati, dan palpasi limpa).
- Perkusi abdomen yang meliputi, perkusi hati, dan pemeriksaan ascites.
- Auskultasi abdomen yang meliputi, auskultasi bising usus, bising vaskuler, dan
bising gesek (friction rub).

C. PENDAHULUAN
Abdomen adalah suatu rongga dalam badan yang terletak di bawah diafragma
hingga dasar panggul (pelvis). Pada abdomen terdapat organ-organ vital tubuh yang
meliputi traktus gastrointestinal pada rongga abdomen sebelah depan, dan traktus
urogenitalia yang sebagian besar terletak di sebelah belakang peritoneum.
Untuk memperkuat data-data yang ditemukan, dan menemukan kelainan-kelainan
pada abdomen yang tidak didapatkan pada anamnesis, dilakukan pemeriksaan fisik
abdomen. Pemeriksaan fisik abdomen, adalah pemeriksaan daerah perut di bawah arcus
costae kanan-kiri, hingga garis lipat paha, atau daerah inguinal.
Agar dapat melakukan pemeriksaan fisik abdomen dengan baik dan benar,
pemeriksa terlebih dahulu harus mengetahui titik-titik dan garis yang dapat dijadikan tolak
ukur dalam melakukan pemeriksaan fisik abdomen, serta mengetahui kuadran, dan regio-
regio abdomen.

Keterampilan Klinik 170


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

D. MATERI SKILLS LAB

1. Titik dan Garis Pedoman Pemeriksaan Fisik Abdomen


Titik dan garis pada permukaan abdomen yang dapat dipalpasi atau terlihat, dan
dapat dijadikan pedoman pemeriksaan fisik antara lain adalah :

❖ Processus xyphoideus, yaitu tulang rawan tipis berbentuk segitiga yang


merupakan bagian terbawah sternum. Processus xyphoideus mudah diraba pada
lekukan dimana pinggir iga (arcus costae), bertemu pada bagian atas dinding
anterior abdomen.
❖ Arcus costae, merupakan pinggir bawah dinding toraks yang berbentuk
melengkung seperti busur, dan dibentuk di depan oleh rawan iga ke 7, 8, 9, 10,
dan 11, serta dibelakang oleh rawan iga ke 11 dan 12.
❖ Spina iliaca anterior superior, yaitu penonjolan sisi anterior dari pinggir sisi atas
samping tulang iilium, yang mudah terpalpasi, yang merupakan petunjuk lokasi,
dan deskripsi temuan anatomi.
❖ Simfisis pubis, merupakan sendi kartilaginosa yang terletak pada garis tengah
antara corpus pubis. Simfisis pubis terpalpasi sebagai struktur padat di bawah
kulit pada garis tengah, pada bagian bawah dinding anterior abdomen.
❖ Linea alba, yaitu alur garis tengah yang memanjang dari simfisis pubis ke
processus xyphoideus, memisahkan otot rektus abdominalis kiri dan kanan.
❖ Linea inguinalis, yaitu garis halus yang teletak pada sulkus yang membatasi
abdomen dengan paha.
❖ Umbilicus, yaitu kerutan jaringan parut, dan merupakan tempat perlekatan tali
pusat pada bayi. Umbilicus terletak pada linea alba, dengan posisi bervariasi
sesuai dengan jumlah lemak abdomen.

2. Pembagian Kuadran dan Regio Abdomen


Untuk mendapatkan deskripsi yang baik, khususnya dalam penentuan lokasi organ
dan kelainannya, maka abdomen dibagi atas empat kuadran, yang dibuat dengan cara
menarik garis imajiner dari ujung processus xyphoideus sampai ke titik tengah
simfisis pubis, dan dengan cara menarik garis kedua yang berjalan horizontal
melewati abdomen setinggi umbilikus.
Keempat kuadran abdomen tersebut adalah a) kuadran kanan atas, b) kuadran kiri
atas, c) kuadran kanan bawah, d) kuadran kiri bawah. Tanda kiri dan kanan
menunjukkan sisi kanan dan kiri pasien.
Pembagian abdomen secara lebih rinci dilakukan dengan membagi abdomen
menjadi 9 regio, yang didapatkan dari penarikan dua garis sejajar dengan garis
median, dan dua garis transversal, yaitu yang menghubungkan dua titik terbawah
arcus costae, dan satu garis lagi yang menghubungkan kedua spina illiaca anterior
superior (SIAS). Kesembilan regio abdomen pada permukaan anterior abdomen
tersebut adalah :
❖ Regio epigastrium.
❖ Regio hipokondrium kanan.
❖ Regio hipokondrium kiri.
❖ Regio umbilikalis.

Keterampilan Klinik 171


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

❖ Regio lumbar kanan.


❖ Regio lumbar kiri.
❖ Regio illiaka kanan.
❖ Regio illiaka kiri.
❖ Regio hipogastrium, yang dikenal juga dengan regio suprapubik.

Gambar 1. Pembagian Kuadran Abdomen Gambar 2. Pembagian Regio Abdomen

3. Letak Organ-Organ Abdomen


Dalam keadaan normal, organ-organ dalam abdomen, dapat diproyeksikan pada
permukaan anterior abdomen berdasarkan pembagian regio dan kuadran, walaupun
ketepatan proyeksinya tidak terlalu akurat. Organ-organ tersebut antara lain adalah :

❖ Hepar atau hati, berada pada regio hipokondrium kanan dan regio epigastrium,
atau pada kuadran kanan atas.
❖ Limpa (lien), berkedudukan pada regio hipokondrium kiri, atau kuadran kiri atas.
❖ Lambung, berkedudukan pada regio epigastrium, atau pada kuadran kiri atas.
❖ Kandung empedu, berada kira-kira pada perbatasan daerah hipokondrium kanan
dengan epigastrium.
❖ Kandung kemih bila terisi penuh, dapat terpalpasi pada regio hipogastrium.
❖ Appendiks (umbai cacing), kira-kira berada di antara regio iliaka kanan, lumbar
kanan, dan bagian bawah regio umbilikal.
❖ Ginjal, terletak kira-kira pada regio hipokondrium kanan hingga regio lumbar
kanan, serta pada regio hipokondrium kiri hingga regio lumbar kiri.

Keterampilan Klinik 172


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

E. ALAT DAN BAHAN


Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam melakukan pelatihan keterampilan klinis ini
adalah:
- Meja dan kursi (8 buah).
- Laptop (pemutaran video).
- Pasien simulasi.
- Stetoskop.
- Tempat tidur periksa.

F. CARA KERJA

1. Teknik Pemeriksaan Fisik Sistem Saluran Pencernaan


Sebelum melakukan pemeriksaan fisik sistem Saluran Pencernaan, pastikanlah
keadaan ruangan pemeriksaan tertutup, sehingga dapat menjamin kerahasiaan pasein,
serta memiliki penerangan yang baik. Dokter hendaknya selalu didampingi seorang
perawat, yang dapat bertindak sebagai saksi untuk menghindari perlakuan yang tidak
benar, ditinjau dari pihak pemeriksa, maupun pasien.
Sebagaimana halnya pemeriksaan fisik pada sistem organ lainnya, jelaskanlah
terlebih dahulu prosedur pemeriksaan fisik yang akan dilakukan secara lisan, dengan
bahasa yang dimengerti oleh pasien, kemudian mintalah persetujuan pasien. Bila
pasien setuju, mintalah pasien untuk duduk atau berbaring dengan posisi supinasi,
dengan kepala rata atau ditinggikan sedikit dengan satu bantal, sementara kedua
lengan berada di samping kiri dan kanan tubuhnya. Jika kandung kemih dalam
keadaan penuh, sebaiknya dikosongkan (kecuali pada pemeriksaan palpasi kandung
kemih) terlebih dahulu sebelum pemeriksaan dimulai.
Khusus untuk pemeriksaan fisik daerah abdomen, mintalah perawat untuk
mengatur pakaian pasien sehingga seluruh abdomen dapat terlihat mulai dari
processus xyphoideus hingga pinggir atas simfisis pubis, sedangkan bagian tubuh
pasien yang tidak diperiksa, ditutup dengan kain bersih.
Pemeriksa kemudian berdiri di sebelah kanan pasien, dan meminta pasien untuk
rileks, dan tidak menegangkan perutnya. Sistematika pemeriksaan fisik sistem
gastrointestinal terdiri dari lima tahapan secara berurutan, dimulai dari observasi,
diikuti inspeksi abdomen, palpasi , perkusi, dan terakhir auskultasi abdomen.

Keterampilan Klinik 173


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 3. Proyeksi Letak Organ Abdomen Gambar 4. Pengaturan Pakaian Pasien


A. Observasi
Observasi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kelainan di luar abdomen,
yang mungkin berkaitan dengan penyakit sistem Saluran Pencernaan. Observasi
hendaknya dilakukan secara sistematis dan cepat, dimulai dari ekstremitas
superior, kepala dan leher, dada, dan punggung bagian atas, genitalia, serta
ekstremitas inferior.
❖ Ekstremitas Superior
Kelainan pada ekstremitas superior yang berkaitan dengan penyakit pada
hati, misalnya eritema palmaris, kontraktur Dupuyren, leukonikia, dan clubbing
finger. Eritema palmaris adalah memerahnya bagian perifer telapak tangan
akibat vasodilatasi perifer karena kelebihan estrogen. Kelainan ini dapat
ditemukan pada penyakit hati, yang disertai dengan penurunan metabolisme
estrogen di hati.
Kontraktur Dupuyren adalah deformitas fleksi, biasanya pada jari keempat
dan kelima, sedangkan leukonikia adalah memutihnya dasar kuku akibat
hipoproteinemia pada penyakit hati.

Keterampilan Klinik 174


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 5. Eritema Palmaris Telapak Tangan Gambar 6. Kontraktur Dupuyren

❖ Kepala dan Leher


Kelainan pada daerah kepala dan leher yang berhubungan dengan penyakit
sistem gastrointestinal, misalnya ikterus yang tampak pada sklera mata dan
kulit, serta xanthelasma, atau rontoknya kumis, dan janggut pada
hiperestrogenisme.
Ikterus (jaundice), adalah perubahan warna kulit atau sklera mata menjadi
kekuningan yang merupakan tanda dari penyakit pada hati (sirosis hepatis,
hepatitis), atau penyakit pada kandung empedu (kolelitiasis, kolesistitis).
Xanthelasma adalah penimbunan deposit pigmen berwarna kekuningan pada
kelopak mata atas dan bawah, yang dapat disebakan oleh defisiensi vitamin A,
atau adanya kelainan pada kandung empedu (kolesistitis kronik).

Gambar 7. Ikterus Sklera Mata Gambar 8. Xanthelasma Kelopak Mata

❖ Dada, Aksila, dan Punggung Bagian Atas


Pada daerah dada, aksila, dan punggung bagian atas, kelainan-kelainan yang
menunjukkan adanya penyakit sistem gastrointestinal antara lain adalah tanda-
tanda hiperestrogenisme karena penyakit pada hati yang menyebabkan

Keterampilan Klinik 175


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

gangguan metabolisme estrogen, misalnya pembesaran mammae pada lelaki


(ginekomastia), hilangnya bulu-bulu tubuh pada ketiak, serta munculnya spider
naevi dan eritema pada kulit dada.
Spider naevi adalah malformasi vaskuler kecil berwarna merah, berbentuk
seperti laba-laba. Kelainan ini mudah dikenali karena isi pembuluh darah
berasal dari satu arteriole sentral, dan dengan penekanan pada arteriole
sentralnya, spider naevi dapat berubah warna menjadi pucat.

Gambar 9. Ginekomastia Pada Pria Gambar 10. Spider Naevi (spider


angiomata)

❖ Genitalia dan Ekstremitas Inferior


Kelainan yang dapat ditemukan pada observasi daerah genitalia dan
ekstremitas inferior, misalnya rontoknya rambut kemaluan, dan atrofi testis.
Testis yang mengalami atrofi akan teraba mengecil, dan menjadi lunak.
Penyebabnya adalah hiperestrogenisme akibat gangguan metabolisme estrogen
di hati.
Pada penyakit sirosis hepatis yang berat, dapat ditemukan edema pada
tungkai, terutama pada daerah pretibia. Biasanya selain edema pretibia, juga
terdapat edema pada periorbita dan ascites pada perut. Air seni pasien juga
biasanya mengandung bilirubin (bilirubinuria), dan tampak berwarna
kecoklatan seperti warna air teh.

Keterampilan Klinik 176


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 11. Edema Ekstremitas Bawah Gambar 12. Bilirubinuria

B. Inspeksi Abdomen
Teknik pemeriksaan inspeksi dilakukan dengan cara mengamati permukaan
abdomen secara seksama. Hal-hal yang perlu diperhatikan meliputi kesimetrisan
abdomen, bentuk dan ukuran abdomen (kontour), kondisi dinding abdomen, dan
pergerakan abdomen selama pernafasan.
❖ Kesimetrisan Abdomen
Dalam keadaan normal, pada pasien dalam posisi berbaring supinasi,
dinding perut akan terlihat simetris. Dinding perut dapat terlihat asimetris bila
terdapat tumor, abses, atau pelebaran setempat lumen usus.

Gambar 13. Dinding Abdomen Normal (simetris) Gambar 14. Dinding Abdomen
Asimetris

Keterampilan Klinik 177


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

❖ Bentuk & Ukuran Perut (kontour abdomen)


Bentuk dan ukuran perut dipengaruhi oleh habitus, jaringan lemak subkutan
atau intraabdomen, dan keadaan otot dinding perut. Orang dewasa dengan berat
normal, dalam keadaan baik, tidak hamil, dan tidak konstipasi, abdomennya
akan tampak datar pada posisi berbaring telentang. Pada orang yang sangat
kurus, atau starvasi, dinding perut tampak cekung dan tipis (skafoid), dan tulang
iga dan pelvis tampak menonjol. Abdomen pada orang yang mengalami
kegemukan (obesitas), atau pada orang tua, terlihat menonjol karena
penimbunan jaringan lemak subkutan, atau karena otot-otot dinding perut yang
melemah.

Gambar 15. Kontour Dinding Abdomen Normal Gambar 16. Kontour Abdomen
Pada Obesitas

Pada keadaan patolologis perut membuncit dapat disebabkan oleh ascites,


kista ovarium, ileus paralitik, ileus obstruktif, tumor intraabdomen, atau
organomegali. Perut membuncit secara keseluruhan, dapat disebabkan oleh
penimbunan lemak, atau terkumpulnya air dan gas yang berlebihan di dalam
rongga abdomen.
Penonjolan dinding abdomen yang asimetris dan terlokalisasi, dapat
menunjukkan adanya kelainan pada organ abdomen yang berada di bawahnya.
Misalnya penonjolan regio suprapubis, karena kandung kemih yang terdistensi
pada kasus pembesaran prostat, dan pada kehamilan muda, atau penonjolan pada
kuadran kanan atas perut dapat ditemukan pada kasus pembesaran hepar, atau
pembesaran kuadran kiri atas pada pembesaran limpa (spleenomegali) masif.

Keterampilan Klinik 178


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 17. Ascites Gambar 18. Pembesaran Hepar (hepatomegaly)

❖ Kondisi Dinding Abdomen


Amatilah dengan seksama kondisi dinding abdomen, dan lakukan penilaian
untuk mengetahui ada tidaknya kelainan seperti, perubahan warna abdomen,
jaringan parut (scars), striae, dilatasi vena, gerakan peristaltis usus, dan
penonjolan umbilikus.
Warna kulit abdomen dalam keadaan normal, berwarna sama atau sedikit
lebih putih dari warna kulit anggota tubuh pasien lainnya. Kulit abdomen dapat
terlihat memerah, yang merupakan tanda peradangan, atau berwarna kuning
pada penyakit hati atau kandung empedu yang menyebabkan terjadinya
jaundice.
Jaringan parut dapat ditemukan pada pasien yang dahulu pernah memiliki
riwayat operasi abdomen (misalnya laparotomi, seksio saesaria, atau
appendektomi), riwayat ulserasi pada kulit, serta riwayat luka tusuk pada
dinding abdomen.
Adanya striae berupa garis-garis putih (striae alba), dapat ditemukan pada
pasien kurus yang dahulu gemuk, atau pada bekas ascites. Pada pasien Sindroma
Cushing, dapat terlihat striae berwarna merah muda pada bagian bawah
abdomen, serta pada lipatan ketiak.
Dalam keadaan normal, vena-vena dinding abdomen tidak terlihat.
Pelebaran vena disebabkan oleh hipertensi portal. Bila dilatasi vena terjadi di
sekitar daerah umbilikus, aliran vena tampak berjalan dari umbilikus ke arah
luar, yang dinamakan dengan kaput medusa. Dilatasi vena akibat obstruksi vena
kava inferior, akan terlihat sebagai pelebaran vena abdomen, dari daerah
inguinal ke arah umbilikus.
Umbilikus normal, umumnya tampak mencekung ke dalam, walaupun pada
perut yang membuncit karena obesitas. Umbilikus dapat terlihat rata atau

Keterampilan Klinik 179


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

menonjol pada distensi abdomen, karena penumpukan cairan berlebihan


(misalnya ascites), pada hernia umbilikalis, atau adanya massa abnormal
intraabdomen yang berukuran besar (misalnya pada mioma uteri atau kista
ovarium).

Gambar 19. Dilatasi Vena-Vena Abdomen Gambar 20. Hernia Umbilikalis

❖ Pergerakan Dinding Perut


Pergerakan abdomen dalam keadaan normal (istirahat) adalah minimal.
Dinding abdomen akan bergerak naik sedikit sewaktu inspirasi, kemudian
menurun kembali saat ekspirasi, demikian seterusnya secara ritmik. Bila terjadi
infeksi intraabdomen misalnya peritonitis, pergerakan dinding abdomen saat
inspirasi dan ekspirasi mungkin terlihat berkurang, bahkan hilang sama sekali.
Gerakan peristaltik usus pada dinding abdomen dalam keadaan normal tidak
terlihat. Bila gerakan peristaltik terlihat, dipastikan terdapat hiperperistaltik,
atau dilatasi usus sebagai akibat adanya obstruksi pada lumen usus, karena
berbagai sebab, seperti tumor, skibala, perlengketan, dan strangulasi usus.

C. Palpasi Abdomen
Palpasi abdomen dilakukan secara sistematis dan seksama, sehingga sedapat
mungkin seluruh dinding perut terpalpasi. Palpasi dapat dilakukan dengan satu
tangan, atau dua tangan (bimanual), terutama pada pasien yang gemuk.
Pada palpasi abdomen, aturlah posisi pasien agar berbaring telentang (supinasi)
dengan kepala rata, atau sedikit ditinggikan, dengan kedua tungkai ditekuk pada
pangkal paha dan lutut. Gosokkanlah kedua telapak tangan terlebih dahulu, agar
suhunya menjadi sama dengan dinding abdomen pasien untuk mencegah pasien
terkejut saat pertama kali telapak tangan disentuhkan pada dinding abdomen,
kemudian pemeriksa berdiri di sebelah kanan pasien.

Keterampilan Klinik 180


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Palpasi abdomen dilakukan dalam dua tahap, yaitu palpasi permukaan atau
superficial palpation, dan palpasi dalam, atau deep palpation.

• Palpasi Superfisial (light palpation)


Palpasi superfisial bertujuan untuk menentukan lokasi nyeri tekan, ada
tidaknya spasme otot, dan ada tidaknya massa subkutan (misalnya lipoma
atau kista sebacea) pada dinding abdomen. Dalam keadaan normal, tidak
ditemukan adanya nyeri tekan, dinding abdomen terasa lemas (soepel), dan
tidak ditemukan adanya massa abnormal.
Sebelum melakukan palpasi, tanyakanlah kepada pasien, dimana lokasi
nyeri yang ia rasakan pada dinding abdomen. Selanjutnya, palpasi dilakukan
dengan lembut dan sistematis pada keempat kuadran abdomen, dimulai dari
daerah yang normal, kemudian secara bertahap mendekati daerah yang nyeri
tekan. Palpasi dilakukan dengan menggunakan ruas terakhir dan ruas tengah
jari-jari tangan yang dominan, dan bukan dengan ujung jari-jari. Selama
palpasi dilakukan, perhatikanlah mimik muka pasien, sambil menanyakan,
apakah daerah abdomen yang sedang dipalpasi oleh pemeriksa terasa sakit atau
tidak.
Untuk menilai ada tidaknya spasme atau rigiditas dinding abdomen,
dilakukan palpasi dengan cara yang sama, seperti untuk menentukan lokasi
nyeri tekan, hanya saja palpasi dilakukan dari daerah dinding perut yang
normal, kemudian secara bertahap mendekati daerah dinding perut yang
tegang. Dinding perut yang terasa tegang dinamakan defans muskuler,
keadaan ini dapat ditemukan terutama pada kasus peradangan organ
intraabdomen, misalnya peritonitis, atau appendiksitis.

Gambar 21. Palpasi Superfisial (light palpation) Gambar 22. Palpasi Dalam (deep
palpation)

• Palpasi Dalam (deep palpation)


Setelah melakukan palpasi superfisial, langkah selanjutnya adalah
melakukan pemeriksaan palpasi dalam. Palpasi dalam memiliki beberapa
tujuan, antara lain adalah mengidentifikasi kelainan atau rasa nyeri yang tidak

Keterampilan Klinik 181


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

didapatkan pada palpasi superfisial (misalnya rebound tenderness), untuk


lebih menegaskan kelainan-kelainan yang didapat pada palpasi superfisial,
untuk palpasi massa atau organ intraabdomen secara spesifik, misalnya
palpasi hati, atau limpa, serta untuk mengidentifikasi kelainan-kelainan pada
pasien yang gemuk atau pasien yang berdinding otot tebal.
Palpasi dalam dilakukan setelah pemeriksa melakukan palpasi superfisial,
dan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan dua tangan. Telapak tangan
kanan diletakkan dalam posisi pronasi pada dinding abdomen, sementara
telapak tangan kiri diletakkan dalam posisi pronasi pada punggung telapak
tangan kanan. Ujung-ujung jari tangan kiri memberikan tekanan, sementara
ruas terakhir dan ruas tengah jari pada jari-jari tangan kanan melakukan palpasi
pada dinding abdomen.
Palpasi dalam dilakukan secara sistematis, dan meliputi keempat kuadran
abdomen. Sambil melakukan palpasi dalam, mintalah pasien untuk relaks, dan
ajaklah pasien berbincang-bincang agar otot-otot perutnya menjadi lemas.
Bila terdapat nyeri tekan, harus dideskripsikan gambaran dari nyeri tekan
tersebut, antara lain adalah :
- Berat ringannya nyeri tekan yang dirasakan pasien.
- Lokasi nyeri tekan yang maksimal.
- Apakah terasa adanya tahanan.
- Ada tidaknya nyeri lepas atau rebound tenderness.

• Nyeri Lepas (rebound tenderness)


Nyeri lepas adalah nyeri yang ditimbulkan oleh pelepasan tekanan palpasi
secara mendadak. Pemeriksaan ini tergolong pemeriksaan palpasi dalam, dan
menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum. Sebelum melakukan
pemeriksaan nyeri lepas, beritahukan kepada pasien, bahwa pemeriksaan ini
dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman atau nyeri.
Pemeriksaan nyeri lepas dilakukan dengan cara meletakkan jari-jari tangan
kanan pemeriksa dalam posisi pronasi pada salah satu kuadran dinding
abdomen menjauhi daerah abdomen yang terasa nyeri oleh pasien. Lakukanlah
palpasi dalam dan perlahan dengan menggunakan ruas terakhir dan ruas tengah
jari-jari tangan kanan pada dinding abdomen tersebut, kemudian tangan yang
melakukan palpasi dilepas dengan tiba-tiba.
Pemeriksa kemudian menanyakan kepada pasien, mana yang lebih sakit,
saat perut ditekan, atau saat tekanan dilepaskan. Jika sensasi nyeri terasa paling
hebat saat tekanan dilepaskan, nyeri lepas dinyatakan positif.

Keterampilan Klinik 182


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 23. Pemeriksaan Nyeri Lepas Gambar 24. Pemeriksaan Nyeri Lepas

Bila pada pemeriksaan palpasi dalam teraba adanya massa intraabdomen,


hal-hal yang perlu dideskripsikan antara lain, dimana lokasi massa tersebut,
pada kuadran atau regio abdomen apa, seberapa besar ukurannya, bagaimana
permukaannya, apakah rata atau berbenjol-benjol, bagaimana
konsistensinya, apakah kenyal, lunak, atau keras, bagaimana tepi organ atau
massa yang teraba, apakah tegas atau tidak tegas, apakah massa atau organ
dapat digerakaan atau tidak (mobile atau immobile), apakah massa tersebut
berpulsasi atau tidak, serta ada tidaknya nyeri tekan pada saat massa atau
organ tersebut terpalpasi.

D. Perkusi Abdomen
Pemeriksaan perkusi abdomen terutama ditujukan untuk mengetahui batas
organ padat secara kasar seperti hati, limpa, atau untuk menentukan penyebab
distensi abdomen, apakah penuh dengan gas, massa tumor yang besar, dan cairan
yang berlebihan. Dalam keadaan normal, suara perkusi sebagian besar abdomen
adalah timpani, kecuali pada sebagian daerah hipokondrium kanan dimana terletak
hati yang bila diperkusi akan menimbulkan suara pekak.

E. Auskultasi Abdomen
Pemeriksaan auskultasi abdomen dilakukan dengan menggunakan alat bantu
stetoskop. Permukaan diafragma stetoskop diletakkan dengan kontak penuh pada
kulit permukaan kuadran kanan bawah abdomen, disebelah bawah umbilikus.
Kemudian, pemeriksa mendengarkan dengan seksama bunyi yang terdengar.
Pemeriksaan auskultasi abdomen terutama bertujuan, untuk memeriksa bising
peristaltik usus (bowel sound), bising vaskuler, dan bising gesek (friction rub).

Keterampilan Klinik 183


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

• Bising Peristaltik Usus (bowel sound)


Pada orang yang normal, bising usus dapat terdengar sebagai suara
berdeguk atau bergelembung halus, yang terjadi secara intermitten, yaitu
sekitar 3 kali setiap menitnya. Bising peristaltik usus pada keadaan normal,
terkadang dapat didengar walaupun tanpa menggunakan stetoskop, terutama
saat dalam keadaan lapar, atau setelah makan dalam jumlah yang cukup
banyak.
Pada keadaan kelumpuhan usus (paralisis), misalnya pada kasus
peritonitis, pasien pasca operasi, atau pada tahap lanjut dari obstruksi usus
(ileus paralitik), bising peristaltik usus akan sangat melemah bahkan hilang
sama sekali.
Sebaliknya suara peristaltik usus dapat meningkat, misalnya pada diare,
atau obstruksi usus. Pada diare, bunyi suara peristaltik usus akan meningkat
dengan nada berdeguk atau bergelembung yang kasar dan lebih sering. Bising
usus ini dinamakan borborigmi. Pada ileus obstruksi, bising usus akan bernada
tinggi, berbunyi seperti gemerincing suara logam (metallic sound), yang
biasanya disertai dengan nyeri kolik.

• Bising Vaskuler
Termasuk dalam bising vaskuler adalah bising vena (venous hum), dan
bruit. Pada keadaan normal, bising vaskuler tidak terdengar. Bising vena dapat
terdengar di antara daerah epigastrium dan umbilikus. Bising vena ditimbulkan
oleh volume aliran darah yang besar di dalam kolateral-kolateral vena pada
hipertensi portal. Pada auskultasi, bising vena terdengar bernada tinggi, terus
menerus, dan halus.
Bruit adalah bising vaskuler yang disebabkan oleh turbulensi aliran darah
pada pembuluh darah yang menyempit, dan dapat ditemukan pada pasien yang
menderita hipertensi. Bruit dapat terdengar selama fase sistolik. Pada
permukaan abdomen, bruit dapat terdengar pada beberapa tempat yaitu pada :
- Bruit aorta abdominal, pada regio epigastrium.
- Bruit arteri renalis, pada regio hipokondrium kanan dan kiri, atau pada
daerah sudut kostovertebral (CVA) kanan dan kiri.
- Bruit arteri iliaka, pada pertengahan kuadran kanan dan kiri bawah
abdomen.
- Bruit arteri femoralis, pada sebelah bawah titik tengah ligamentum
inguinal kanan dan kiri.

Keterampilan Klinik 184


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Gambar 34. Auskultasi Abdomen Gambar 35. Lokasi Auskultasi Bruit Abdomen

• Bising Gesek (friction rub)


Friction rub terdengar sebagai ”suara kresek-kresek” ketika pasien
bernafas. Bising ini terjadi karena penebalan pada peritoneum atau visceral
karena proses inflamasi. Pada abdomen, bising gesek dapat terdengar terutama
pada di sekitar regio hipokondrium kanan, atau kiri, dan dapat menunjukkan
adanya kelainan pada hati atau limpa.

Keterampilan Klinik 185


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

G. LAPORAN KERJA
Yang Sudah Baik Saya Kerjakan:

Yang Belum Baik Saya Kerjakan:

Rencana Kerja Saya Selanjutnya:

Umpan Balik Dari Instruktur:

Medan,......................2021
Instruktur

(..........................................)

Keterampilan Klinik 186


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

H. LEMBAR PENGAMATAN

LEMBAR PENGAMATAN
PEMERIKSAAN FISIK SISTEM SALURAN CERNA

*)Beri tanda √ pada kolom yang disediakan sesuai dengan penilaian anda
No. KEGIATAN 0* 1* 2*
1. Observasi
2. Inspeksi Abdomen
3. Palpasi Abdomen
4. Perkusi Abdomen
5. Auskultasi Abdomen

Keterangan :
0= Tidak dilakukan
1= Dilakukan tetapi tidak sempurna
2= Dilakukan dengan sempurna

REFERENSI

1. Simadibrata M. Pemeriksaan Abdomen, Urogenital, dan Anorektal In : Sudoyo A.W,


Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 3rd
edition. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI ; 2007. p.51-4.
2. Abdomen. In : Willms J.L, Schneiderman H, Algranati P.S, eds. Diagnosis Fisik : Evaluasi
Diagnosis & Fungsi di Bangsal. 1st edition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ;
2005. p. 277-302.
3. Abdomen : Dinding Abdomen. In : Snell R.S, ed. Alih Bahasa : Dharma A. Anatomi Klinik
Untuk Mahasiswa Kedokteran. 3rd edition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ;
1997. p. 155-8.
4. Delp M.H, Manning R.T. Pemeriksaan Abdomen dan Gangguan Gastrointestinal dan
Hepatobilier. In : Dharma A, ed. Major Diagnosis Fisik. 9th edition. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC ; 1996. p. 372-94.
5. Dacre J, Kopelman P. Sistem Gastrointestinal. In : Listiawaty, editor. Alih Bahasa : Pendit
B.U. Buku Saku Keterampilan Klinis. 1st edition. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
; 2004. p.109-25.

Keterampilan Klinik 187


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

MATERI KE XIII
PEMERIKSAAN COLOK DUBUR & KLISMA/ENEMA
(…..PENYUSUN…..)

A. TUJUAN UMUM
……………… (Merujuk pada capaian pembelajaran kurikulum fakultas yang telah diberi)
Pelatihan keterampilan klinis ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran:

B. TUJUAN KHUSUS
Mahasiswa setelah melakukan skills lab ……………….. diharapkan dapat:
1. Menjelaskan/melakukan. …………
2. Menjelaskan/melakukan ………….
3. dst

C. PENDAHULUAN
……………………. (berisi tentang pengantar bagi mahasiswa untuk bisa memahami
pelaksanaan skills lab sesuai dengan topik yang dibahas).

D. MATERI SKILLS LAB


……………………. (berisi tentang penjelasan materi skills lab, materi harus sesuai
dengan tujuan pembelajaran dan sasaran pembelajaran yang telah ditetapkan di atas).

E. ALAT DAN BAHAN


……………………. (penjelasan mengenai kebutuhan alat dan bahan skills lab).

F. CARA KERJA
……………………. (berisi tentang penjelasan tata cara atau urutan langkah yang harus
dilakukan oleh mahasiswa dalam melakukan skills lab).

Keterampilan Klinik 188


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

G. LAPORAN KERJA
Yang Sudah Baik Saya Kerjakan:

Yang Belum Baik Saya Kerjakan:

Rencana Kerja Saya Selanjutnya:

Umpan Balik Dari Instruktur:

Medan,......................2021
Instruktur

(..........................................)

Keterampilan Klinik 189


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

H. LEMBAR PENGAMATAN

LEMBAR PENGAMATAN
PEMERIKSAAN COLOK DUBUR & KLISMA/ENEMA

*)Beri tanda √ pada kolom yang disediakan sesuai dengan penilaian anda
No. KEGIATAN 0* 1* 2*
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Keterangan :
0= Tidak dilakukan
1= Dilakukan tetapi tidak sempurna
2= Dilakukan dengan sempurna

REFERENSI

…………………… (penulisan mengikuti metode Harvard sistem Alfabet)

Keterampilan Klinik 190


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

MATERI KE XIV
ANAMNESIS PENYAKIT SALURAN CERNA
(…..PENYUSUN…..)

A. TUJUAN UMUM
……………… (Merujuk pada capaian pembelajaran kurikulum fakultas yang telah diberi)
Pelatihan keterampilan klinis ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran:

B. TUJUAN KHUSUS
Mahasiswa setelah melakukan skills lab ……………….. diharapkan dapat:
1. Menjelaskan/melakukan. …………
2. Menjelaskan/melakukan ………….
3. dst

C. PENDAHULUAN
……………………. (berisi tentang pengantar bagi mahasiswa untuk bisa memahami
pelaksanaan skills lab sesuai dengan topik yang dibahas).

D. MATERI SKILLS LAB


……………………. (berisi tentang penjelasan materi skills lab, materi harus sesuai
dengan tujuan pembelajaran dan sasaran pembelajaran yang telah ditetapkan di atas).

E. ALAT DAN BAHAN


……………………. (penjelasan mengenai kebutuhan alat dan bahan skills lab).

F. CARA KERJA
……………………. (berisi tentang penjelasan tata cara atau urutan langkah yang harus
dilakukan oleh mahasiswa dalam melakukan skills lab).

Keterampilan Klinik 191


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

G. LAPORAN KERJA
Yang Sudah Baik Saya Kerjakan:

Yang Belum Baik Saya Kerjakan:

Rencana Kerja Saya Selanjutnya:

Umpan Balik Dari Instruktur:

Medan,......................2021
Instruktur

(..........................................)

Keterampilan Klinik 192


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

H. LEMBAR PENGAMATAN

LEMBAR PENGAMATAN
ANAMNESIS PENYAKIT SALURAN CERNA

*)Beri tanda √ pada kolom yang disediakan sesuai dengan penilaian anda
No. KEGIATAN 0* 1* 2*
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Keterangan :
0= Tidak dilakukan
1= Dilakukan tetapi tidak sempurna
2= Dilakukan dengan sempurna

REFERENSI

…………………… (penulisan mengikuti metode Harvard sistem Alfabet)

Keterampilan Klinik 193


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

MATERI KE XV
TERAPI CAIRAN PADA ANAK
(dr. Monalisa Elizabeth, M.Ked (Ped), Sp.A)

A. TUJUAN UMUM
Pelatihan keterampilan klinis ini dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembelajaran:

Melakukan keterampilan klinis (pemeriksaan fisik, diagnostic dan terapeutik) terkait organ
dan sistem Pencernaan

B. TUJUAN KHUSUS
Mahasiswa setelah melakukan skills lab terapi cairan pada anak diharapkan dapat:
1. Mampu menentukan derajat dehidrasi pada kasus–kasus diare dengan dehidrasi secara
sistematis dengan baik dan benar.
2. Mampu memilih cairan dengan cara pemberian yang benar.
3. Mampu melakukan perencanaan untuk mempertahankan status rehidrasi yang telah
tercapai.
4. Mengenali komplikasi akibat diare dengan dehidrasi.

C. PENDAHULUAN
Diare merupakan penyebab kematian kedua terbanyak pada anak balita setelah
pneumonia (Hapsari, 2018). Menurut WHO setiap tahunnya sekitar 1,7 milyar kasus diare
pada balita dan menyebabkan kematian sebanyak 760.000 balita di seluruh dunia (WHO,
2013). Data dari Kementrian kesehatan Republik Indonesia melaporkan 100.000 balita
meninggal per tahun karena diare, setiap hari ada 273 balita meninggal (Depkes RI, 2007).
Secara operasional, diare akut adalah buang air besar lembek/cair bahkan dapat
berupa cair saja yang frekuensinya lebih dari 3 kali atau sering dari biasanya dalam 24 jam
dan berlangsung kurang dari 14 hari (Kemenkes RI, 2011). Penyebab diare terbanyak
setelah rotavirus adalah Escherichia coli (Halim, dkk, 2017). Standar emas untuk
menegakkan dehidrasi dengan mengukur kehilangan berat badan akut. Namun, umumnya
berat badan sebelum sakit tidak diketahui, sehingga perkiraan kehilangan berat badan
dilakuan berdasarkan penilaian klinis. Semakin berat derajat dehidrasi mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas semakin tinggi (Ifeanyl, 2015; Barletta, dkk, 2011).

D. MATERI SKILLS LAB


Diare didefenisikan sebagai perubahan kebiasaan buang air besar yang normal yakni
peningkatan volume (>10 ml/kgbb/hari) pada bayi dan anak dan/atau penurunan
konsistensi feses (>3 kali dalam sehari). Diare akut umumnya terjadi kurang dari 7 hari
dan tidak lebih dari 14 hari.

Keterampilan Klinik 194


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Penentuan derajat dehidrasi, sebagai berikut:

Penilaian
A B C
Lihat:
Keadaan Umum Baik, sadar *Gelisah, rewel *Lesu, lunglai
atau tidak sadar
Mata Normal Cekung Sangat cekung dan
kering
Air mata Ada Tidak ada Tidak ada
Mulut dan Lidah Basah Kering Sangat kering
Rasa haus Minum biasa, tidak *Haus, ingin *Malas minum
haus minum banyak atau tidak bisa
minum
Periksa: Kembali cepat *Kembali *Kembali sangat
Turgor kulit lambat lambat
Hasil Pemeriksaan: Tanpa dehidrasi Dehidrasi Dehidrasi berat
ringan/sedang Bila ada 1 tanda *
Bila ada 1 * ditambah 1 atau
ditambah 1 atau lebih tanda lain
lebih tanda lain
Terapi RencanaTerapi A Rencana Terapi Rencana Terapi C
B
Catatan:
- Baca tabel penilaian derajat dehidrasi dari kolom kanan ke kiri (C ke A)
- Keseimpulan derajat dehidrasi penderita ditentukan dari adanya 1 gejala kunci (yang
diberi tanda bintang) ditambah minimal 1 gejala yang lain (minimal 1 gejala) pada
kolom yang sama

Prinsip tatalaksana diare


- Mencegah terjadinya dehidrasi
- Mengobati dehidrasi (oralit)
- Mempercepat kesembuhan
- Memberi makanan
- Mengobati masalah lain

Pemberian cairan berdasarkan derajat dehidrasi


- Rencana terapi A: untuk terapi diare tanpa dehidrasi
- Rencana terapi B: untuk terapi diare dehidrasi ringan–sedang
- Rencana terapi C: untuk terapi diare dehidrasi berat

Keterampilan Klinik 195


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Keterampilan Klinik 196


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Keterampilan Klinik 197


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Keterampilan Klinik 198


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

E. ALAT DAN BAHAN


Alat dan bahan yang dibutuhkan pada pelatihan skills terapi cairan pada anak adalah:
1. Audiovisual
2. Alat peraga manikin bayi atau anak
3. Pensil / pulpen
4. Formulir rekam medik
5. Alat pemeriksaan:
a. Tempat tidur periksa
b. Oralit dan perlengkapannya
c. Cairan Ringer Laktat dan Ringer Asetat
d. Perlengkapan IV Line dan pipa nasogastrik
e. Tempat sampah

F. CARA KERJA
a. Perkenalan dan Dokumentasi
1. Sapa pasien dan perkenalkan diri dengan ramah dan sopan.
2. Observasi penderita saat masuk ruang pemeriksaan.
3. Tanyakan identitas penderita dan sesuaikan dengan rekam medik.
4. Jelaskan tujuan dan minta persetujuan pemeriksaan.
5. Catat tanggal dan waktu pemeriksaan.
6. Catat segala temuan dan tindakan pada saat melakukan pemeriksaan.
7. Tulis nama dan tandatangan dokter yang bertugas.

b. Penilaian derajat dehidrasi


1. Tanyakan riwayat penyakit anak: berapa lama mengalami diare, frekuensi buang
air besar dalam satu hari, ada/tidak ada darah, muntah, penyakit lainnya.
2. Keadaan umum: baik/sadar, gelisah, letargi/tidak sadar.
3. Mata: normal, cekung, sangat cekung.
4. Rasa haus: minum biasa/tidak haus, sangat haus, tidak bisa minum.
5. Turgor kulit: kembali cepat, kembali lambat, kembali sangat lambat.
6. Pembacaan tabel dari kanan ke kiri.
7. Kesimpulan derajat dehidrasi ditentukan bila dijumpai ≥2 gejala/tanda.

c. Rehidrasi
1. Tentukan derajat dehidrasi.
a. Rencana terapi A, jika penderita diare tanpa dehidrasi.
b. Rencana terapi B, jika penderita mengalami dehidrasi ringan – sedang.
c. Rendanan terapi C, jika penderita mengalami dehidrasi berat.
2. Pada penderita tanpa dehidrasi dapat diberikan cairan rehidrasi oral 5–10 ml
setiap buang air besar cair.
3. Pada penderita dehidrasi ringan–sedang dapat diberikan cairan rehidrasi oral
sebanyak 75 cc/kgBB dalam 3–4 jam atau dapat diberikan cairan melalui infus,
Ringer Laktat atau Ringer Asetat 75 cc/kgBB dalam 3–4 jam.
4. Pada penderita dehidrasi berat diberikan segera melalui infus Ringer Laktat atau
NaCl 0,9% (bila Ringer Laktat tidak tersedia) cairan sebanyak 100 cc/kg/BB
dibagi sebagai berikut:

Keterampilan Klinik 199


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

Umur Pemberian I Kemudian


30 cc/kgBB 70 cc/kgBB
Bayi < 1 tahun 1 jam 5 jam
Anak > 1 tahun 30 menit 2 ½ jam

5. Setelah dilakukan rehidrasi, nilai kembali status dehidrasi penderita.

d. Mempertahankan status rehidrasi


1. Rehidrasi dilakukan sesuai dengan derajat dehidrasi, kemudian mempertahankan
cairan sesuai kebutuhan harian penderita.
2. Penderita harus sering diberi minum.
3. Diet diberikan setelah rehidrasi selesai diberikan dan keadaan penderita stabil.

Keterampilan Klinik 200


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

G. LAPORAN KERJA
Yang Sudah Baik Saya Kerjakan:

Yang Belum Baik Saya Kerjakan:

Rencana Kerja Saya Selanjutnya:

Umpan Balik Dari Instruktur:

Medan,......................2021
Instruktur

(..........................................)

Keterampilan Klinik 201


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

H. LEMBAR PENGAMATAN

LEMBAR PENGAMATAN
TERAPI CAIRAN PADA ANAK

*)Beri tanda √ pada kolom yang disediakan sesuai dengan penilaian anda
No. KEGIATAN 0* 1* 2*
1. Perkenalan dan Dokumentasi
2. Penilaian Derajat Dehidrasi
3. Rehidrasi
4. Mempertahankan status dehidrasi

Keterangan :
0= Tidak dilakukan
1= Dilakukan tetapi tidak sempurna
2= Dilakukan dengan sempurna

REFERENSI

1. Barletta F, Ochoa TJ, Mercado E, dkk. Quantitative real-time polymerase chain reaction
for enteropathogenic Escherichia coli: a tool for investigation of asymptomatic versus
symptomatic infections. CID. 2011;53:1223-9.
2. Departemen kesehatan RI. Kepmenkes RI No. 1216/Menkes/ SK/XI/2001 Tentang
pedoman pemberantasan penyakit diare. Jakarta : Ditjen PP & PL, Departemen Kesehatan
RI; 2007. 3.
3. Departemen Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar tahun 2007. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI. 2007.
4. Halim F, Warouw SM, Rampengan NH, Salendu P. Hubungan jumlah koloni Escherichia
Coli dengan dehidrasi pada diare akut. Sari Pediatri. 2017;19(2):81-5.
5. Hapsari IK, Gunardi Hartono. Hubungan pengetahuan dan sikap dengan perilaku orangtua
tentang diare pada balita di RSCM Kiara. Sari Pediatri. 2018;19(6);316-20.
6. Ifeanyi CIC, Ikeneche NF, Bassey BE, Gallas N, Aissa RB, Boudabous A. Diarrhegenic
Escherichia coli pathotypes isolated from children with diarrhea in the Federal Capital
Territory Abuja Nigeria. J Infect Dev Ctries 2015;9:165-74.
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan sosialisasi tatalaksana diare balita.
Jakarta: Ditjen PP & PL. 2011; 1-40.
8. World Health Organization. Diarrhoeal diseases. Factsheet No 330, April 2013. Diakses 1
Mei 2021. Didapat dari: http:// www.who.int/mediacentre/factsheets/fs330/en/.

Keterampilan Klinik 202


Semeser II
LABORATORIUM KETERAMPILAN KLINIK
Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Sumatera Utara

PENUTUP

Buku Panduan Skills Lab ini disusun berdasarkan kebutuhan akan panduan dalam
menyelenggarakan pelatihan keterampilan klinis. Materi yang didapat dalam buku ini
bersumber dari referensi yang telah disebutkan pada masing-masing keterampilan klinis.
Perbaikan terhadap konten materi keterampilan klinis akan direvisi sesuai dengan
keilmuan termutakhir. Perubahan isi materi akan disampaikan dalam bentuk revisi buku
panduan skills lab.

Keterampilan Klinik 203


Semeser II

Anda mungkin juga menyukai