Anda di halaman 1dari 24

Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan THT Referat

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman


RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda

EPISTAKSIS

Oleh
Muhammad Rakan Aufar 1810029001
Sulistyaning Tyas 1810029042

Pembimbing
dr. Moriko Pratiningrum, M. Kes., Sp. THT-KL

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan THT
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
2018

1
DAFTAR ISI

Hal.
KATA PENGANTAR ...................................................................................... 4
DAFTAR ISI .................................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 6
2.1 Anatomi Hidung .................................................................................. 6
2.2.1 Definisi 7
2.2.2 Epedemiologi ....................................................................................... 8
2.2.3 Etiologi 8
2.2.4 Sumber Perdarahan .............................................................................. 10
2.2.5 Penatalaksanaan.................................................................................... 10
2.2.6 Komplikasi dan Pencegahan ................................................................ 18
2.2.7 Prognosis .............................................................................................. 20
BAB 3 KESIMPULAN .................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 22

Referat

2
Epistaksis

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Ilmu Kesehatan THT

Menyetujui,

dr. Moriko Pratiningrum, M. Kes., Sp. THT-KL

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium Ilmu Telinga Hidung dan Tenggorokan
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Samarinda
2018
KATA PENGANTAR

3
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala
rahmad dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas utnuk membuat Referat
yang berjudul “Epistaksis”. Tugas referat ini disusun dalam rangka tugas
kepaniteraan klinik di Laboratorium THT.

Dengan selesainya penulisan dan penyusunan tugas ini, tidak lupa penulis
mengucapkan terima kasih kepada dr. Moriko Pratiningrumm M. Kes., Sp.THT-KL
selaku dosen pembimbing Referat yang telah membimbing dalam penyusunan dan
penyelesaian tugas ini. Penyusun berharap tugas ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak, terutama bagi semua teman Dokter Muda FK Unmul dan semua pembaca.
Penyusun menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam tugas referat ini, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan. Akhir kata, semoga
Laporan kasus ini berguna bagi penyusun dan para pembaca.

Samarinda, Agustus 2018

Penyusun

BAB 1
PENDAHULUAN

4
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung. Epistaksis
merupakan suatu tanda, bukan suatu penyakit. Epistaksis merupakan kasus gawat
darurat di bagian THK-KL yang dapat berakibat fatal. Epistaksis dapat berhenti
secara spontan terutama pada pasien muda, hanya 1-2% kasus yang membutuhkan
tindakan pembedahan1.
Epistaksis dilaporkan terjadi sampai 60% dari total populasi. Angka kejadian
epistaksis menurut umur bervariasi, terdapat distribusi bimodal dengan puncak pada
anak yang berusia di bawah 10 tahun dan dewasa muda dan orang tua (usia 45-65
tahun). Insidensi epistaksis posterior lebih sedikit dibandingkan epistaksis anterior
(10-15%). Pada kasus yang jarang perdarahan hidung yang banyak dapat
menyebabkan kematian2.
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis3.
Epistaksis merupakan kasus yang sering dijumpai baik pada anak-anak
ataupun dewasa. Kasus epistaksis berat, walaupun jarang terjadi, merupakan masalah
kegawat daruratan yang dapat berakibat fatal jika tidak segera ditangani. Oleh karena
itu penting untuk mengetahui cara menegakkan diagnosis dan memberika
penatalaksanaan yang tepat dan cepat mengenai epistaksis.
Rumusan masalah pada referat ini adalah pertama apakah definisi, etiologi
epistaksis? Kedua, bagaimanakah penatalaksanaan dan pencegahan epistaksis?
Sedangkan tujuan dari penulisan referat ini adalah agar mahasiswa mampu
menjelaskan definisi, etiologi dari epistaksis, dan juga agar mahasiswa mampu
menentukan terapi yang tepat pada penanganan epistaksis.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi hidung


Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (tip),
4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubanng hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan
beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis
os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontalis. Sedangkan kerangka tulang rawan
terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung,yaitu
: 1) sepasang kartilago lateralis superior, 2) sepasang kartilago lateralis inferior yang
disebut juga dengan kartilago alar mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum5.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan
dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior
dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum
nasi dengan nasofaring5.
Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang
nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisis oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambutpanjang disebut vibrise5.
Tiap kavum nasi meiliki 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang dibentuk oleh : 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2)
vomer, 3) krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang
rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis), 2) kolumela5.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah adalah konka inferior, kemudian yang lebih kecil lagi ialah konka media ,
lebih kecil lagi ialah konka superior sedangkan yang terkecil adalah konka suprema.
Konka suprema biansanya rudimenter5.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus. Ada tiga meatus yaitumedia,

6
inferior, dan superior. Meatus inferior terletak antara konka inferior dengan dasar
hidumh dan dindiang lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara dari
(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan
lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus
maksila, dan sinus etmoid anterior.pada meatus superior yang merupakan ruang
diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan
sinus sfenoid5.

Gambar 2.1. Dinding Lateral Kavum Nasi

Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI) dan
karotis eksterna (AKE). Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari AKI,
bercabang dua menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior
lebih besar dibanding cabang posterior dan pada bagian medial akan melintasi atap
rongga hidung, untuk mendarahi bagian superior dari septum nasi dan dinding lateral
hidung. AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris interna. Arteri
fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis superior10.

7
Arteri (1)yang memberikan pendarahan pada dinding lateral dan medial
(septum) kavum nasi terdiri dari 5 sumber seperti pada gambar 2.1 4:
1) Arteri etmoidalis anterior (cabang dari arteri oftalmika)
2) Arteri etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika).
3) Arteri sfenopalatina (cabang dari arteri maksilaris)
4) Arteri palatina mayor (cabang dari arteri maksilaris)
5) Cabang septum dari arteri labial superior (cabang dari arteri fasialis)

A B
Gambar 2.2. Vaskularisasi Hidung. A) sisi lateral dari kavum nasi. B) sisi medial
(septum) kavum nasi4.
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoid anterior
dan psoterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari arteri karotis interna.
Bagian rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maskilaris interna
diantaranya ialah arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media5.
Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor,
yang disebut sebagai pleksus Kiesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach
letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis, terutama pada anak5.
Epistaksis anterior sering mengenai daerah plexus Kiesselbach. Epistaksis
anterior lebih mudah terlihat sumber perdarahannya sehingga mudah diatasi
dibandingkan epistaksis posterior. Batas yang membagi antara epistaksis anterior dan
epistaksis posterior adalah ostium sinus maksilaris. Pada posterior dinding lateral
hidung, bagian akhir dari konka media terdapat plexus Woodruff yang merupakan
anastomosis dari arteri sfenopalatina, nasalis posterior dan faringeal asendens10.

8
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya
penyebaran infeksi sampai ke intrakranial5.

Gambar 2.3. Ilustrasi axial dari orbita memperlihatkan arteri etmoid anterior dan posterior yang
merupakan cabang dari arteri oftalmika6.
2.2 Epistaksis
2.2.1 Definisi
Kata epistaksis berasal dari bahasa Yunani yaitu epi dan staxis. Epi artinya
awalan menunjukkan arti di atas, sedangkan staxis artinya penetesan. Jadi epistaksis
merupakan perdarahan dari rongga hidung7. Epistaksis merupakan suatu tanda, bukan
suatu penyakit. Epistaksis merupakan kasus gawat darurat di bagian THK-KL yang
dapat berakibat fatal. Epistaksis dapat berhenti secara spontan terutama pada pasien
muda, hanya 1-2% kasus yang membutuhkan tindakan pembedahan1.

2.2.2 Epidemiologi
Epistaksis dilaporkan terjadi sampai 60% dari total populasi. Angka kejadian
epistaksis menurut umur bervariasi, terdapat distribusi bimodal dengan puncak pada
anak yang berusia di bawah 10 tahun dan dewasa muda dan orang tua (usia 45-65

9
tahun). Insidensi epistaksis posterior lebih sedikit dibandingkan epistaksis anterior
(10-15%)2.
Epistaksis sering didapat pada akhir musim gugur dan musim dingin dan
sedikit lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita 2. Hal ini mungkin disebabkan
peningkatan kejadian infeksi pernafasan atas dan udara yang lebih kering akibat
pemakaian pemanas dan kelembaban lingkungan yang rendah. Epistaksis juga sering
terjadi pada iklim yang panas dengan kelembaban yang rendah. Pasien yang
menderita alergi, inflamasi hidung, dan penyakit sinus lebih rentan terjadi epistaksis
karena mukosanya lebih mudah kering dan hiperemis disebabkan reaksi inflamasi.
Pria lebih sering mengalami epistaksis yang kebanyakan disebabkan sekunder oleh
trauma. Hal ini mungkin karena laki-laki lebih sering terlibat dalam kegiatan
outdoor seperti olahraga dan interpersonal kekerasan2.
Epistaksis umum terjadi dan biasanya pasien tidak datang ke dokter untuk
meminta tindakan medis terutama jika perdarahan yang terjadi minimal dan dapat
sembuh sendiri. Pada kasus yang jarang perdarahan hidung yang banyak dapat
menyebabkan kematian2.
Sekitar 60% populasi diperkirakan pernah mengalami satu episode epistaksis
dalam hidupnya. Dari kelompok ini, 6% membutuhkan penanganan medis dan 1,6
dari 10.000 membutuhkan rawat inap. Epistakasis merupakan 1 dari 200 kasus yang
ditemukan di IGD negara Amerika Serikat6. Epistaksis berulang yang memerlukan
tindakan pembedahan biasanya epistaksis bagian posterior. Di Italia kasus epistaksis
diperkirakan 12% dari populasi, 10% di antaranya memerlukan tindakan medis dan
hanya 1-2% perlu dilakukan tindakan pembedahan. Kemajuan bidang medis dalam
penatalaksanaan epistaksis meningkat cukup pesat hingga kini. Prinsip
penatalaksanaan epistaksis yang utama adalah menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis8.

2.2.3 Etiologi
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya,
kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh
kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma,
kelainan anatomi, kelaianan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor,
pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler,

10
kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan
kelainan kongenital5.
a. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat
trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain
itu juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan5.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam.
Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang
berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan5.
b. Kelainan pembuluh darah lokal
Sering kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-
selnya lebih sedikit5.
c. Infeksi Lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis
atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur, tuberkulosis, lupus,
sifilis atau lepra5.
d. Tumor
Episktaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering
terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan episktaksis berat5.
e. Penyakti kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada
arterioskelrosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes melitus dapat
menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi seringkali
hebat dan dapat berakibat fatal5.
f. Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia,
bermacam-macam anemia serta hemofilia5.
g. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah
teleangiktasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis Osler-
Rendu-Weber disease). Juga sering terjadi pada Von Willenbrand diseases5.

h. Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis ialah demam berdarah (dengue
hemorrhagic fever). Demam tifoid, influensa dan morbili juga dapat disertai
epistaksis5.
i. Perubahan udara atau tekanan atmosfir

11
Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang
cuacanya sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat
kimia di tempat industri yang menyebabkan keringnya mukosa hidung5.
j. Gangguan hormonal
Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena
pengaruh perubahan hormonal5.

2.2.4 Sumber Perdarahan


Jika dilihat dari asal perdarhan, epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior
dan epistaksis posterior. Untuk penatalaksanaannya penting dicari sumber perdarahan
walaupun kadang-kadang sulit5.
a. Epistaksis anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau
arteri arteri etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan
karena keadaan mukosa yang hipremis atau kebiasaan mengorek hidung dan
kebanyakan terjadi pada anak, seringkali berulang dan dapat berhenti sendiri5.
b. Epistaksis posterior
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina.
Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan
pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit
kardiovaskuler karena pecahnya arteri sfenopalatina5.

Gambar 2.4. Epistaksis anterior (atas) dan Epistaksis posterior (bawah)

12
2.2.5 Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pada kasus
epistaksis, baik epistaksis berulang atau berat dibutuhkan adanya tindakan medis.
Penanganan epistaksis bergantung pada manifestasi klinis, pengalaman tenaga medis
penolong, dan ketersediaan sarana dan prasarana tambahan. Pada sebagian besar
kasus, perdarahan dapat berhenti dengan kauterisasi, tampon hidung ataupun
keduanya. Kasus epistaksis berulang atau epistaksis berat yang tidak merespon
dengan terapi medis, maka dapat dilakukan tindakan bedah. Setelah dilakukan
tindakan bedah atau embolisasi maka pasien harus dimonitor untuk melihat adanya
tanda-tanda komplikasi atau perdarahan berulang9.
Tindakan medis pada penanganan epistaksis meliputi;
 Antinyeri pada pasien yang dilakukan pemasangan tampon hidung, terutama
tampon posterior (Bagaimanapun kebutuhan pemakaian antinyeri harus
seimbang dengan kepentingan mengenai hipoventilasi pada pasien dengan
tampon hidung posterior);
 Antibiotik oral dan topical untuk mencegah rhinosinusitis dan kemungkinan
toxic shock syndrome;
 Hindari penggunaan aspirin dan obat-obatan anti-inflamasi nonsteroid (OANS);
 Tangani dan kontrol penyakit atau kondisi medis lainnya yang sebelumnya sudah
diderita pasien (seperti hipertensi, kekurangan vitamin K, dan lainnya) 9.

a. Kompresi Hidung
Penanganan awal kasus epistaksis adalah memberikan tekanan langsung pada
hidung. Kedua lubang hidung ditekan secara bersamaan selama 5-30 menit tanpa
henti, tanpa perlu memeriksa beberapa kali apakah perdarahan telah berhenti.
Biasanya, 5-10 menit sudah cukup dan dapat menghentikan perdarahan. Pasien
diminta untuk mengangkat kepala namun tidak sampai hiperekstensi, karena dapat
menyebabkan perdarahan masuk ke dalam laring dan kemungkinan aspirasi. Tingkat
keberhasilan manuver ini 90%9.
Jika tekanan langsung tidak cukup, dapat diberikan kasa/kapas kecil yang
telah dibasahi epinefrin (1:10000) atau fenilefrin kemudian diletakkan pada lubang
hidung yang berdarah untuk membantu vasokontriksi9.
b. Humidifikasi dan Pelembaban

13
Jika perdarahan disebabkan oleh kekeringan udara yang berlebihan di dalam
ruangan (misalnya dari radiator pemanas), pasien dapat melembabkan udara dengan
alat penguap di dalam ruangan atau alternative lain yang sederhana adalah dengan
menempatkan baskom berisi air di atas radiator pemanas guna melembabkan udara di
dalam ruangan9.
Semprotan saline hidung juga dapat digunakan. Oxymetazoline juga dapat
digunakan, dengan efek samping pada jantung yang lebih sedikit. Untuk
meminimalisir risiko rhinitis medikamentosa dan tachyphylaxis, obat ini harus
digunakan tidak lebih dari 3-5 hari dalam sekali penggunaan9.
Dokter juga dapat mempertimbangkan pemakaian salep bacitracin atau
petrolatum secara local dengan mengoleskannya secara langsung menggunakan
cotton bud pada plexus Kiesselbach untuk mencegah pengeringan lebih lanjut (dari
hasil penelitian dianjurkan pemakaian selama 2 minggu) 9.
c. Kauterisasi
Kasus pendarahan yang berasal dari pleksus Kiesselbach (area Little) sering
diobati dengan kauterisasi nitrat perak. Tangani dahulu pembuluh darah yang menuju
lokasi perdarahan kemudian tangani perdarahannya. Hindari kauterisasi acak dan
agresif serta pada permukaan septum yang berlawanan9.
Elektrokauterisasi dengan unit kauter penghisap juga dapat digunakan.
Metode ini biasanya digunakan untuk pendarahan yang lebih parah dan untuk
perdarahan di lokasi yang terletak lebih di posterior, dan seringkali memerlukan
anestesi lokal. Efektivitas kedua metode kauterisasi dapat ditingkatkan dengan
menggunakan endoskopi rigid, terutama dalam kasus perdarahan yang terletak di
posterior9.
Setelah perdarahan dikendalikan, instruksikan pasien untuk menggunakan
semprot hidung saline dan salep antibiotik serta hindari melakukan aktivitas yang
berat selama 7-10 hari. NSAID harus dihindari jika memungkinkan. Tindakan
manipulasi hidung menggunakan jari harus dihindari. Vasokonstriktor topikal dapat
digunakan jika terjadi pendarahan minor saat eschar terlepas9.
d. Tampon Hidung
Tampon hidung dapat digunakan untuk mengobati epistaksis yang tidak
responsif terhadap kauterisasi. Terdapat dua jenis tampon, anterior dan posterior.

14
Pada kedua metode ini, diperlukan anestesi yang adekuat dan agen vasokonstriksi.
Sebuah studi oleh Kundi dan Raza menyatankan bahwa pada pasien dengan
epistaksis, pengangkatan tampon hidung setelah 12 jam dapat menyebabkan insiden
sakit kepala yang lebih rendah dan lakrimasi berlebihan dibandingkan dengan
pengangkatan tampon setelah 24 jam, tanpa perbedaan signifikan dalam banyaknya
pendarahan. Penelitian ini melibatkan 60 pasien dengan epistaksis, dibagi secara
merata antara kelompok 12 jam dan 24 jam9.
 Tampon Anterior
Tampon nasal anterior diperlukan ketika tekanan eksternal dan
kauterisasi gagal untuk mengontrol perdarahan anterior, meskipun beberapa
dokter memilih untuk menggunakan tampon hidung anterior sebagai pendekatan
lini pertama mereka. Tujuannya adalah untuk menempatkan perangkat intranasal
yang memberikan tekanan lokal secara konstan pada septum hidung.

Gambar 2.5. Ilustrasi penggunaan tampoan anterior9

Penggunaan tampon anterior adalah dengan mengoleskan anestesi ke


mukosa hidung dengan cotton bud atau melalui inhalasi. Oleskan gel pelumas
pada tampon, dan masukkan dengan perlahan ke kedalaman hidung maksimum
yang bisa dicapai. Masukkan tampon secara horizontal, di sepanjang lantai
rongga hidung9.
Terdapat beberapa jenis tampon anterior, tersedia berbagai jenis bahan
tampon. Kasa jeli petroleum (0,5 inchi × 72 inchi) yang diisi oleh salep
antibiotik paling sering digunakan. Tampon hidung Merocel terbuat dari
polivinil alkohol, yang merupakan polimer busa terkompresi yang dimasukkan

15
ke dalam hidung dan akan mengembang jika diberi air. Tampon hidung akan
mengembang dan mengisi rongga hidung serta memberikan tekanan di atas titik
perdarahan. Spons merocel dapat ditempatkan relatif lebih mudah dan lebih
cepat tetapi tidak memberikan tekanan yang cukup. Spons harus dilapisi dengan
salep antibiotik dan dapat terhidrasi dengan vasokonstriktor topical. Tampon
balon anterior Rapid Rhino terbuat dari carboxymethylcellulose, bahan
hidrokoloid. Tampon ini bertindak sebagai agregator platelet dan juga
membentuk pelumas setelah kontak dengan air. Tidak seperti Merocel, tampon
ini memiliki manset balon yang dapat dipompa. Hydrocolloid atau Gel-Knit
dilaporkan mempertahankan gumpalan yang baru terbentuk selama
pengangkatan tampon9.
Semua tampon harus diangkat dalam 3-4 hari. Bahan yang dapat diserap
(misalnya, Gelfoam, Surgicel, Avitene) dapat digunakan pada pasien dengan
koagulopati untuk mencegah trauma saat pengangkatan tampon. Berikan
antibiotik profilaksis kepada semua pasien dengan tampon, dan instruksikan
mereka untuk menghindari kegiatan fisik selama 1 minggu.
Jika tampon anterior gagal menghentikan sumber perdarahan anterior
yang dikonfirmasi dan tervisualisasi, pertimbangkan pemasangan tampon
bilateral untuk meningkatkan tekanan pada septum hidung. Jika sumber
perdarahan anterior tidak dikonfirmasi dan pendarahan berlanjut, curigai
perdarahan posterior9.
 Tampon Posterior
Epistaksis yang tidak dapat dikontrol oleh tampon anterior dapat
ditangani dengan tampon posterior. Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan
memerlukan anestesi umum atau setidaknya dengan anestesi lokal yang adekuat.
Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan terfiksasi di nasofaring untuk
menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian dilakukan
pemasangan tampon anterior. Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh
Bellocq, dengan menggunakan tampon yang diikat dengan tiga pita (band).
Masukkan kateter karet kecil melalui hidung kedalam faring, kemudian
ujungnya dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat
pada kedua ujung pita yang telah disediakan. Kateter ditarik kembali melalui

16
rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana melalui nasofaring.
Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring akan
mempermudah tindakan ini. Apabila masih tampak perdarahan keluar dari
rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum
nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada sebuah
gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di
nasofaring tidak bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada
pipi pasien. Gunanya untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2 – 3
hari3.
 Tampon Balon
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan
pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam
mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter Foley
dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari hidung
dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang
ditambahkan vasokonstriktor3.

Gambar 2.6. Ilustrasi penggunaan tampoan balon pada epistaksis posterior9

Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang dasar hidung sampai balon


terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan
kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung
posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang
mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan

17
kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung.
Apabila tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan
tampon posterior3.
Kegagalan pemasangan tampon dapat disebabkan oleh penempatan yang
tidak benar oleh karena kurangnya kerjasama pasien (terutama pada kelompok usia
pediatrik) atau dari faktor anatomi (misalnya, septum yang menyimpang). Dalam
kasus kegagalan pemasangan tampon, dapat dilakukan pemeriksaan endoskopi
dengan anestesi umum dengan tujuan untuk melakukan kauterisasi, juga dapat
meluruskan septum yang memyimpang, menghilangkan taji, dan juga meletakkan
tampon secara tepat dan lebih teliti (Nguyen, Meyers, & Ramadan, 2018).
e. Ligasi Arteri
Jika langkah-langkah di atas ini gagal mengontrol perdarahan, dapat dilakukan ligasi
arteri. Pemilihan pembuluh darah yang diligasi tergantung pada lokasi epistaksis.
Secara umum, semakin dekat ligasi ke tempat perdarahan, semakin efektif
prosedurnya. Akan tetapi pada kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber
perdarahan yang tepat pada epistaksis yang berat9.
 Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk
melindungi suplai darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna.
Tindakan ini dapat dilakukan dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal
sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang menyilang pinggir anterior m.
sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma dielevasi, m.
sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke arah
bawah menuju selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis
kemudian a. karotis eksterna dipisahkan. Dianjurkan untuk melakukan ligasi
dibawah a. faringeal asendens, terutama apabila epistaksis berasal dari bagian
posterior hidung atau nasofaring. Arteri karotis eksterna diligasi dengan benang
3/0 silk atau linen3.
 Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan
transantral. Pendekatan ini dilakukan dengan anestesi lokal atau umum lalu
dilakukan insisi Caldwell – Luc dan buat lubang pada fosa kanina. Setelah

18
dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sinus posterior dengan
menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari bagian inferior dan medial
untuk menghindari trauma orbita. Setelah terbentuk jendela (window) pada
tulang, lakukan insisi pada periostium posterior. Dengan operating microscope
pada daerah itu lakukan observasi untuk melihat adanya pulsasi yang
menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan jaringan ikat pada fosa
pterigopalatina didiseksi dengan menggunakan hemostat, alligator clips, bayonet
forcep dengan bipolar electrocauter dan nervehook. Setelah a. maksila interna
diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan
identifikasi cabang-cabangnya. Dibuat nasoantral window dan masukkan
tampon yang telah diberi salap antibiotik selama 24 jam3.

 Ligasi Arteri Etmoidalis


Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik
diterapi dengan ligasi a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi
dilakukan pada tempat arteri keluar melalui foramen etmoidalis anterior dan
posterior yang berada pada sutura frontoetmoid. Foramen etmoidalis anterior
berada kira-kira 1,5 cm posterior dari krista lakrimalis posterior. Foramen
etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm. sebelah anterior n. optikus. 10 Insisi
etmoid eksterna dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita
digunakan untuk meretraksi periostium orbita dan sakus lakrimalis. Diseksi
dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina
subperiosteal. Dua klem arteri diletakkan pada a. etmoidalis anterior, dan rongga
hidung dievaluasi kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior
tidak diganggu untuk menghindari trauma n. optikus. Tetapi bila perdarahan
persisten, a. etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem. Hidarkan pemakaian
kauter untuk menghindari trauma3.
f. Angiografi dan Embolisasi
Pendarahan dari a. karotis eksterna dapat dikendalikan dengan embolisasi.
Sokoloff (1974) pertama kali memperkenalkan teknik embolisasi perkutan pada a. maksilaris
interna dengan menggunakan absorbable gelatin sponge untuk epistaksis yang persisten.

19
Angiografi preembolisasi dilakukan untuk memeriksa hubungan antara system a.
karotis eksterna dan a. karotis interna. Angiografi pasca prosedur dapat digunakan
untuk mengevaluasi tingkat oklusi. Sebuah penelitian retrospektif oleh Wang et al
(2016) menunjukkan bahwa embolisasi transarterial (TAE) dapat dengan aman dan
berhasil digunakan pada pasien dengan epistaksis yang sulit ditangani, bahkan ketika
etiologi dan temuan angiografi berbeda di antara pasien. TAE efektif di semua 43
pasien studi9.
 Terapi Paliatif untuk Hereditary Hemorrhagic Telangiectasia (HHT)
Penanganan HHT bersifat paliatif karena defek yang mendasarinya tidak
dapat disembuhkan. Pilihan penanganannya berupa koagulasi dengan kalium-
titanyl-fosfat (KTP) atau neodymium: yttrium-aluminium-garnet (Nd: YAG)
laser, septodermoplasty, embolisasi, dan terapi estrogen. Sebuah studi oleh
Wirsching et al (2017) menunjukkan bahwa pada pasien dengan HHT,
suplementasi terapi laser Nd: YAG dengan oklusi hidung temporer dengan pita
hypoallergenic dapat mengurangi Epistaxis Severity Score dengan jumlah yang
signifikan dibandingkan melalui terapi laser saja9.
Penelitian oleh Contis et al (2016) menyarankan bahwa propranolol beta
blocker efektif terhadap epistaksis pada pasien dengan HHT. Dalam penelitian
retrospektif, para peneliti menemukan bahwa Epistaxis Severity Score meningkat
secara signifikan pada sembilan dari 10 pasien dengan HHT yang menerima
obat, sementara dalam penelitian prospektif kedua, dari 11 pasien, mereka
menemukan bahwa durasi rata-rata epistaksis per bulan, serta jumlah episode
epistaksis bulanan, menurun secara signifikan setelah 3 bulan terapi
propranolol9.

2.2.6 Komplikasi dan Pencegahan


Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau
sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat
dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan
syok dan anemia dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat
menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark
miokard, sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau
transfusi darah harus dilakukan secepatnya5.

20
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu
diberikan antibiotik. Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis
media dan bahkan septikemia. Oleh karena itu antibiotik haruslah selalu diberikan
pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut,
bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru. Selain itu dapat juga terjadi
hemotimpanum, sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan air
mata yang berdarah (bloody tears), sebagai akbat mengalirnya darah secara
retrograde melalui duktus nasolakrimalis5.
Laserasi palatum mole dan sudut bibir terjadi pada pemasangan tampon
posterior, disebabkan oleh benang yang keluar melalui mulut terlalu ketat dilekatkan
di pipi. Pemasangan kateter balon atau tampon balon tidak boleh di pompa terlalu
keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum5.
Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu
diberikan antibiotik. Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis
media dan bahkan septikemia. Oleh karena itu antibiotik haruslah selalu diberikan
pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut,
bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru. Selain itu dapat juga terjadi
hemotimpanum, sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan air
mata yang berdarah (bloody tears), sebagai akbat mengalirnya darah secara
retrograde melalui duktus nasolakrimalis5.
Laserasi palatum mole dan sudut bibir terjadi pada pemasangan tampon
posterior, disebabkan oleh benang yang keluar melalui mulut terlalu ketat dilekatkan
di pipi. Pemasangan kateter balon atau tampon balon tidak boleh di pompa terlalu
keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum5.
Untuk mencegah kemungkinan pasien harus menghindari hal-hal berikut
 Aktivitas yang berat – Gunakan helm untuk perlindungan dari trauma langsung
pada beberapa kegiatan olahraga.
 Lingkungan panas dan kering - Efek lingkungan seperti itu dapat dikurangi
dengan menggunakan pelembap, kontrol termostatik yang lebih baik, semprotan
saline, dan salep antibiotik di area Kiesselbach.
 Makanan pedas dan panas

21
 Trauma jemari - Pada anak-anak, mengorekk hidung sulit untuk dihindari dan
mungkin dianggap tidak dapat dihindari. Menjaga agar kuku anak-anak selalu
terpotong pendek dapat membantu.
 Meniup hidung dan bersin yang berlebihan - Anjurkan pada pasien untuk bersin
dengan lembut dengan mulut terbuka.
 Penggunaan obat yang tidak tepat atau sembrono - Konsumsi aspirin yang tidak
disengaja, warfarin (misalnya, racun tikus pada balita), atau penyalahgunaan
obat pada remaja. Pertimbangkan pendidikan mengenai penggunaan narkoba
terutama pada remaja9.

2.2.7 Prognosis
Pada sebagian besar populasi umum, epistaksis hanyalah gangguan. Namun,
terkadang dapat mengancam jiwa, terutama pada pasien usia lanjut dan pada pasien
dengan masalah medis lain yang mendasarinya. Syok hipovolemik menjadi penyebab
tersering mortalitas pada epistaksis. Secara keseluruhan, prognosis epistaksis baik
tetapi bervariasi; sesuai dengan perawatan yang diberikan dan pengendalian masalah
medis yang mendasari (jika ada), sebagian besar pasien tidak akan mengalami
perdarahan ulang. Pada beberapa pasien mungkin mengalami rekurensi minor yang
sembuh secara spontan atau dengan perawatan diri minimal. Sebagian kecil pasien
mungkin memerlukan perawatan tampon berulang atau lebih agresif9.
Pasien dengan epistaksis yang terjadi dari kekeringan membran atau trauma
minor, tidak akan memiliki efek jangka panjang. Pasien dengan HHT cenderung
mengalami epistaksis berulang tanpa memperhatikan modalitas pengobatan yang
diberikan. Pasien dengan perdarahan akibat masalah hematologi atau kanker
memiliki prognosis bervariasi. Pasien yang telah mendapatkan pemasangan tampon
hidung akan mengalami peningkatan morbiditas. Pemasangan tampon hidung
posterior berpotensi menyebabkan penyumbatan saluran napas dan depresi
pernafasan. Pemasangan tampon di lokasi mana pun dapat menyebabkan infeksi9.

22
BAB 3

KESIMPULAN

Epistaksis adalah perdarahan dari rongga hidung (Sjamsuhidajat & Jong,


2004). Epistaksis merupakan suatu tanda, bukan suatu penyakit. Epistaksis
merupakan kasus gawat darurat di bagian THK-KL yang dapat berakibat fatal.
Epistaksis dapat berhenti secara spontan terutama pada pasien muda, hanya 1-2%
kasus yang membutuhkan tindakan pembedahan.
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya,
kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh
kelainan lokal pada hidung atau kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik.
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.
Penanganan awal ketika pasien dengan epistaksis datang adalah dengan meminta
pasien menekan kedua lubang hidungnya selama 5-10 menit untuk mengetahui letak
sumber perdarahan. Selain itu penanganan yang bisa dilakukan adalah dengan
melembabkan kauterisasi, memasang tampon hidung, ligase pembuluh darah arteri,
dan embolisasi.
Pencegahan pada kasus epistaksis ialah dengan menghindari aktivitas berat,
menghindari lingkurang yang kering dan panas, menghindari makanan pedas dan
panas, tidak mengorek hidung, tidak bersih secara berlebihan.
Epistaksis merupakan kasus yang sering terjadi. Sebagian kasus merupakan
kasus ringan, akan tetapi juga terdapat kasus epistaksis berat yang bila tidak segera
ditangan dapat berakibat fatal. Oleh karena nya penting sekali untuk mengetahui
mengenai epistaksis, terutama mengenai penatalaksanaan awal dari epistaksis itu
sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

23
1. Adams, G. L., Boies, L. R., & Higler, P. A. (2012). BOIES Buku Ajar Penyakit
THT. Jakarta: EGC.
2. Kucik, C., & Clenney, T. (2005). Management of Epistaksis. American Family
Physician, 305-311.
3. Munir, D., Haryono, Y., & Rambe, A. Y. (2006). Epistaksis. Suplemen: Majalah
Kedokteran Nusantara, 39(3), 274-278.
4. Moore, K., Dalley, A., & Agur, A. (2010). Clinically Oriented Anatomy Sixth
Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
5. Mangunkusumo, E., & Wardani, R. (2010). Epistaksis. Dalam E. Soepardi, N.
Iskandar, J. Bashiruddin, & R. Restuti , Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala & Leher (hal. 155-159). Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
6. Vaughan, W., Khanna, M., & Fong, K. (2012). Epistaxis. Dalam D. Kennedy, &
P. Hwang, Rhinology: Diseases of the Nose, Sinuses, and Skull Base (hal. 491-
502). New York: Thieme.
7. Sjamsuhidajat, R., & Jong, W. d. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah (2 ed.). Jakarta:
EGC.
8. Pope, L., & Hobbs, C. (2005). Epistaxis: an Update on current management.
Postgrad Med J, 309-3014.
9. Nguyen, Q. A., Meyers, A. D., & Ramadan, H. H. (2018, Agustus 20). Epistaxis.
Dipetik June 20, 2018, dari Medscape:
https://emedicine.medscape.com/article/863220-overview#a1
10. Budiman, B. J., & Hafiz, A. (2012). Epistaksis dan Hipertensi : Adakah
Hubungannya ? Jurnal Kesehatan Andalas , 1 -.
11. Rao, D. P. (2017). Diagnosis and Management of Epistakxis : A Summary from
Recent Systematic Reviews. international Journal of Helth Scinces & Research
, 7 (3), 361-365.

24

Anda mungkin juga menyukai