Anda di halaman 1dari 27

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT (LMA)

Disusun oleh:
Sulistyaning Tyas

Pembimbing:
dr. Dhini Karunia, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
AGUSTUS 2019
Tutorial Klinik

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT (LMA)

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Anak


Sulistyaning Tyas (1810029042)

Menyetujui,

dr. Dhini Karunia, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
AGUSTUS 2019

2
KATA PENGANTAR

Penulis Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tutorial tentang “Leukemia
Mieloblastik Akut (LMA) ”. Tutorial ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan
klinik di Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. A. Wisnu W., Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr.Dhini Karunia, Sp. A, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan saran selama penulis menjalani co-assistancedi Laboratorium
Ilmu Kesehatan Anak, terutama di divisi Hematologi-Ongkologi.
5. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
Universitas Mulawarman.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial klinik
ini.Akhir kata, semoga tutorial klinik ini berguna bagi penyusun sendiri dan para
pembaca.

Samarinda, Agustus 2019

Penyusun

BAB 1

3
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Leukemia adalah suatu keadaan di mana terjadi pertumbuhan yang bersifat
irreversibel dari sel induk dari darah. Pertumbuhan dimulai dari mana sel itu
berasal. Pada kasus leukemia, sel darah putih tidak merespon kepada
tanda/signal yang diberikan. Akhirnya produksi yang berlebihan tidak terkontrol
(abnormal) akan keluar dari sumsum tulang dan dapat ditemukan di dalam darah
perifer atau darah tepi. Jumlah sel darah putih yang abnormal ini bila berlebihan
dapat mengganggu fungsi normal sel lainnya, Seseorang dengan kondisi seperti
ini (Leukemia) akan menunjukkan beberapa gejala seperti; mudah terkena
penyakit infeksi, anemia dan perdarahan.
Acute myeloblastik leukaemia (AML) atau leukemia mieloblastik akut
(LMA), yaitu lransformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor
dari seri mieloid. Di negara berkembang 30% ALL, 17% LMA, lebih tinggi pada
anak kulit putih dibandingkan kulit hitam. leukemia akut pada anak mencapai
97% dari semua leukemia pada anak, dan terdiri dari 2 tipe yaitu leukemia
limfoblastik akut (LLA) 82% dan leukemia mieloblastik akut (LMA) 18%.

1.2 Tujuan dan Manfaat


Tujuan penulisan tutorial klinik ini adalah agar penulis atau pembaca dapat
mengerti tentang Leukemia mieloblastik akut (LMA) meliputi definisi, penyebab,
penyebaran, perjalanan penyakit, gejala penyakit dan penatalaksanaan penyakit
ini. Serta mengetahui kasus LMA yang ada apakah sudah sesuai dengan teori yang
ada atau tidak.
Manfaat dari tutorial klinik ini antara lain mahasiswa bisa lebih mengerti
akan suatu penyakit karena secara langsung membuat dan menyusun laporannya,
serta mampu menerangkan tentang kasus yang didapat.

BAB 2

4
RESUME KASUS
Allonamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada 29 Juli 2019.
Alloanamnesis diberikan oleh ibu pasien
2.1 Anamnesis
Identitas Pasien
Nama : An. S. A
Usia : 10 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Veteran Anggana
Anak ke : 3 dari 3 bersaudara

Identitas Orangtua
Nama Ayah : Tn. S Nama Ibu : Ny. W
Usia : 50 tahun Usia : 46 tahun
Alamat : Jl. Veteran Anggana Alamat : Jl. Veteran Anggana
Pekerjaan : Swasta Pekerjaan : IRT
Pendidikan : S1 Pendidikan : SMA
Agama : Islam Agama : Islam

Tanggal MRS : 25 Juli 2019


Tanggal pemeriksaan : 29 Juli 2019

Keluhan Utama
Demam
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa oleh ibunya datang ke IGD RSUD Abdul Wahab
Sjahranie dengan keluhan demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam naik dan turun. Turun apabila diberi obat penurun panas. Keluhan
lain yang menyertai pilek, badan lemas, semakin pucat, sariawan, dan
rambut rontok . Tidak ada keluhan batuk, mual, muntah, gusi berdarah,
mimisan, BAB hitam. BAK tidak ada keluhan, berwarna kuning jernih.
Nafsu makan menurun sejak demam timbul. Pasien memiliki riwayat

5
menderita Leukimia sejak 5 bulan yang lalu yang telah dilakukan
pemeriksaan BMP, dan telah menjalani kemoterapi sebanyak 1 kali pada
awal bulan Juli 2019 selama 5 hari.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat serupa (+)
Riwayat trauma (-)
Riwayat DM (-)
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat operasi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga pasien yang memiliki riwayat serupa
Riwayat DM (-)
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat trauma (-)
Riwayat operasi (-)

Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :


Berat badan lahir : 5000 gram
Panjang badan lahir : 50 cm
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 7 bulan
Berdiri : 11bulan
Berjalan : 13 bulan
Berbicara 2 suku kata : 1 tahun
Gigi keluar : 6 bulan
ASI : ekslusif

Riwayat Kelahiran
Lahir di : Klinik bersalin
Usia kehamilan : Aterm

6
Persalinan ditolong oleh : Bidan
Jenis partus : Spontan

Riwayat Imunisasi Dasar


Lengkap
2.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 29 Juli 2019
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 110/70
Frekuensi nadi : 90x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi nafas : 21 x/menit, regular
Suhu : 38oC, aksiler
Status gizi
Berat badan : 57 kg
Panjang badan : 151 cm

Regio Kepala/Leher
Makrosefali (-), leukokoria (-), konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (-),
sianosis (-), pembesaran KGB (-), pernapasasan cuping hidung (-), faring
hiperemis (-), lidah berselaput putih (-), bekas perdarahan gusi mulut (-),
perdarahan gusi aktif (-)

Regio Thorax
Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris
Dekstra = sinistra, retraksi intercosta, suprasternal dan
supraklavikula (-)
Palpasi : Pergerakan nafas simetris dekstra = sinistra
Perkusi : sonor seluruh lapangan paru, redup jantung (+)
Auskultasi : vesicular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-), suara jantung S 1
S2 tunggal,regular, murmur (-), gallop (-).

Regio Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), Striae(-), bekas operasi(-)
Auskultasi : Peristaltik usus (+) kesan normal
Perkusi : Distribusi timpani di keempat kuadran

7
Palpasi : Soefl, nyeri tekan empat kuadran (-), hepatomegali (-),
splenomegali (+) S2, pembesaran KGB inguinal (-), turgor
kulit < 2 detik

Regio Ekstremitas
Inspeksi : Edema (+) genue dextra, deformitas (-), ruam/petekie (-),
lebam kebiruan pada lengan bawah dextra sinistra
Palpasi : Akral hangat, sianosis perifer (-), edema (-), CRT <2 detik
2.3 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Darah (25/07/2019)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hematologi
Leukosit 500/µL 4500 – 11.000 /µL
Hemoglobin 5,4g/dl 12 – 16 g /dL
Hematokrit 16,0% 36 - 46 %
Trombosit 6000/µL 150.000 – 350.000 /µL
Hasil pemeriksaan BMP tgl 9 April 2019
Selularitas : Hiperseluler
M:E rasio : 180:1
Sistem Eritropoeisis : Aktivitas sangat menurun
Sistem Granulopoeisis : Aktivitas sangat meningkat,blast ± 44% dengan
minimal granule
Sistem Trombopoeisis : Aktivitas sangat menurun
Lain-lain : Limfosit dalam batas normal
Tidak ditemukan sel-sel nonhemopoietik atau
metastasis
SBB : Positif lemah
Fe : Positif + 1
Kesan : Gambaran darah tepi dansum-sum tulang menunjukkan suatu
keadaan AML (Acut Myelocitic Leukimia)/AML-M1
2.4 Diagnosis
Pansitopenia ec AML
2.5 Tatalaksana
- IVFD RL 20 tpm
- Transfusi PRC II kolf/hr sampai dengan 2 hari
- Transfusi AFC 300 cc/12 jam sampai dengan 3x
- Inj. Cefotaxime 3x1gr
2.6 Follow Up

Tanggal Pemeriksaan Terapi

8
Senin, S : demam (+), BAB cair 1 kali P:
29/07/19 O: Kes: CM, GCS E4V5M6, BB: 57 kg, - IVFD D5 ½ NS
R. melati TD :100/60 mmHg N: 95x/mnt, RR: 24 1500/24 jam
x/mnt, Suhu: 38 0C, pupil isokor (+/+), - Inj Cefotaxime 3x1 gr
anemis (+), vesikuler (+/+), wheezing (H4)
(-/-), ronkhi (-/-), S1S2 tunggal reguler, - Inj Gentamisin 1x80
murmur (-), hepatosplenomegali (-), mg (H1)
sphlenomegali (+) S2 - Inj Paracetamole 500
mg/8 jam
- Probiotik 1x1 sachet
(V)
- CTM 2mg + vit C 12
tab (3x1 pulv)
- Nystatin 3x1 cc
- Cek DL post transfusi,
Ur, Cr, SGOT, SGPT,
UL
- Cek CRP
Selasa, S : demam (+), BAB cair (-) P:
30/07/19 O: Kes: CM, GCS E4V5M6, BB: 57 kg, - IVFD D5 ½ NS
R. Melati TD :100/70 mmHg N: 98x/mnt, RR: 25 1500/24 jam
x/mnt, Suhu: 38,3 0C, pupil isokor (+/+), - Inj Cefotaxime 3x1 gr
anemis (+), vesikuler (+/+), wheezing (H5)
(-/-), ronkhi (-/-), S1S2 tunggal reguler, - Inj Gentamisin
murmur (-), hepatosplenomegali (-), 1x80mg (H2)
sphlenomegali (+) S2 - Inj Paracetamole 500
UL tgl 30/07/2019 mg/4 jam
Nitrit (-), Leuko (+2), Hemoglobin/darah - Terapi lain lanjut
(+4), Protein (+1), Leukosit (10-15),
eritrosit (10-20), granula (+), bakteri (-)
Rabu, S : demam (-), belum BAB, lengan kanan P:
31/07/19 sakit - IVFD D5 ½ NS
R. Melati O : Kes: CM, GCS E4V5M6, BB: 57 kg, 1500/24 jam

9
TD :100/60 mmHg N: 85x/mnt, RR: 23 - Inj Cefotaxime 3x1 gr
x/mnt, Suhu: 37 0C, pupil isokor (+/+), (H6)
anemis (+), vesikuler (+/+), wheezing - Inj Gentamisin
(-/-), ronkhi (-/-), S1S2 tunggal reguler, 1x80mg (H3)
murmur (-), hepatosplenomegali (-), - Inj Paracetamole 500
sphlenomegali (+) S2 mg/4 jam
Lab Hematologi tgl 31/07/2019 - Transfusi PRC 2 kolf
L: 2.220 ; Hb: 8,1 ; Ht: 24,7 ; Tr: 51.000 ; - Terapi lain lanjut
SGOT: 25; SGPT: 56 ; Ur : 9,7; Cr: 0,5
CRP : 12

Kamis, S: demam (-), belum BAB, lengan kanan P:


01/08/19 sakit - IVFD D5 ½ NS
R. Melati O : Kes: CM, GCS E4V5M6, BB: 57 kg, 1500/24 jam
TD :100/60 mmHg N: 85x/mnt, RR: 23 - Inj Cefotaxime 3x1 gr
x/mnt, Suhu: 37 0C, pupil isokor (+/+), (H7)
anemis (+), vesikuler (+/+), wheezing - Inj Gentamisin
(-/-), ronkhi (-/-), S1S2 tunggal reguler, 1x80mg (H4)
murmur (-), hepatosplenomegali (-), - Terapi lain lanjut
sphlenomegali (+) S2 - R/ Senin kemoterapi
Lab Hematologi tgl 1/08/2019 DNR 75 mg
L: 2800 ; Hb: 10,5 ; Ht: 30% ; Tr: 61.000 Cytarubisin 150 mg
IT MTX 12 mg
Dexamethason 1,8 mg
Ara C 40 mg
Jum’at, S: demam (-), BAB (+), nyeri lengan kanan P:
02/08/19 berkurang - IVFD D5 ½ NS
R. Melati O : Kes: CM, GCS E4V5M6, BB: 57 kg, 1500/24 jam
TD :100/60 mmHg N: 80x/mnt, RR: 22 - Inj Cefotaxime 3x1 gr
x/mnt, Suhu: 36,6 0C, pupil isokor (+/+), (H8)
anemis (+), vesikuler (+/+), wheezing - Inj Gentamisin
(-/-), ronkhi (-/-), S1S2 tunggal reguler, 1x80mg (H4)
murmur (-), hepatosplenomegali (-), - Terapi lain lanjut

10
sphlenomegali (+) S2 - R/ Senin kemoterapi

Sabtu, S : demam (-), nyeri lengan kanan berkurang P:


03/08/19 O : Kes: CM, GCS E4V5M6, BB: 57 kg, - IVFD D5 ½ NS
R. Melati TD :100/60 mmHg N: 88x/mnt, RR: 20 1500/24 jam
x/mnt, Suhu: 36,5 0C, pupil isokor (+/+), - Inj Cefotaxime 3x1 gr
anemis (+), vesikuler (+/+), wheezing stop
(-/-), ronkhi (-/-), S1S2 tunggal reguler, - Inj Gentamisin
murmur (-), hepatosplenomegali (-), 1x80mg stop
sphlenomegali (+) S2 - PCT k/p
- R/Senin tgl
05/08/2019
kemoterapi

11
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT


2.1.1 Definisi
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari
sumsum tulang ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi
adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi. Pada leukemia ada gangguan dalam
pengaturan sel leukosit. Leukosit dalam darah berproliferasi secara tidak teratur
dan tidak terkendali dan fungsinya pun menjadi tidak normal. Oleh karena proses
tersebut, fungsi-fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu hingga
menimbulkan gejala leukemia dalam klinik. Leukemia mieloblastik akut (LMA)
adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan
diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid.

2.1.2 Epidemiologi
Leukemia akut pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari keganasan.
Insidens rata-rata 4 – 4,5 kasus/tahun/100.000 anak di bawah 15 tahun. Di negara
berkembang 30% ALL, 17% LMA, lebih tinggi pada anak kulit putih
dibandingkan kulit hitam. Di Asia kejadian leukemia pada anak lebih tinggi pada
anak lebih tinggi pada anak kulit putih. Di Jepang mencapai 4/100.000 anak, dan
diperkirakan tiap tahun terjadi 1000 kasus baru. Sedangkan di Jakarta pada tahun
1994 insidennya mencapai 2.76/100.000 anak usia 1-4 tahun. Pada tahun 1996
didapatkan 5-6 pasien leukemia baru tiap bulan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta,
sementara itu di RSU Dr. Soetomo sepanjang tahun 2002 dijumpai 70 kasus
leukemia baru.
Leukemia akut pada anak mencapai 97% dari semua leukemia pada anak,
dan terdiri dari 2 tipe yaitu leukemia limfoblastik akut (LLA) 82% dan leukemia
mieloblastik akut (LMA) 18%. Leukemia kronik mencapai 3% dari seluruh
leukemia pada anak. Di RSUD Dr. Sardjito LLA 79%, LMA 8% dan 4% leukemia
kronik.

12
Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLA dan mendekati 1
untuk LMA. Puncak kejadian pada umur 2-5 tahun, spesifik untuk anak kulit putih
dengan ALL, hal ini disebabkan banyaknya kasus pre B-LLA pada rentang usia
ini. Kejadian ini tidak tampak pada kulit hitam. Kemungkinan puncak tersebut
merupakan faktor-faktor lingkungan di negara industri belum diketahui.

2.1.3 Etiologi
Penyebab leukemia masih belum diketahui, namun anak-anak dengan
cacat genetik (Trisomi 21, sindrom “Bloom's, anemia “Fanconis's dan ataksia
telangiektasia) mempunyai lebih tinggi untuk menderita leukemia dan kembar
monozigot. Trisomi kromosom 21 juga dijumpai penyakit herediter Sindrom
Down. Pasien Sindrom Down dengan trisomi kromosom 21 mempunyai risiko 10
hingga 18 kali lebih tinggi untuk menderita leukemia, khususnya LMA tipe M7.
Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero dan pasca natal.
Moskow melakukan studi kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan
paternal/maternal terhadap pestisida dan produk minyak bumi. Terdapat
peningkatan risiko leukemia pada keturunannya. Penggunaan marijuana maternal
juga menunjukkan hubungan yang signifikan.
Radiasi dosis tinggi merupakan leukemogenik, seperti dilaporkan di
Hiroshima dan Nagasaki sesudah ledakan bom atom. Meskipun demikian paparan
radiasi dosis tinggi in utero secara signifikan tidak mengarah pada peningkatan
insidens leukemia, demikian juga halnya dengan radiasi dosis rendah. Namun hal
ini masih merupakan perdebatan.
Kontroversi tentang paparan bidang elektromagnetik masih tetap ada.
Beberapa studi tidak menemukan peningkatan, tapi studi terbaru menunjukkan
peningkatan 2x diantara anak-anak yang tinggal di jalur listrik tegangan tinggi,
namun tidak signifikan karena jumlah anak yang terpapar sedikit.
Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak-
anak adalah peranan infeksi virus dan atau bakteri seperti disebutkan Greaves. Ia
mempercayai ada 2 langkah mutasi pada sistem imun. Pertama selama kehamilan
atau awal masa bayi dan kedua selama tahun pertama kehidupan sebagai
konsekuensi dari respon terhadap infeksi pada umumnya.

13
Tahun-tahun terakhir, perhatian khusus dilakukan terhadap LMA sekunder
setelah kemoterapi yang agresif. Risiko LMA setelah penyakit Hodgkin
disebabkan oleh obat pengakilasi. Kloning leukemia sering menunjukkan adanya
kelainan kromosom nomor 5 dan 7 dan memiliki FAB tipe M1/M2. Terdapat pula
hubungan antara penggunaan epipodofilotoksin dengan LMA sekunder. LMA-nya
berbeda dengan yang mendapat terapi obat pengalkilasi, yaitu terdapat periode
laten yang lebih pendek dan mayoritas melibatkan perubahan kromosom 11q23
dan sebagian FAB tipe M4/M5. Mielodisplasia dan LMA sekunder juga
meningkat pada pasien yang mendapat terapi mieloblatif pada transplantasi sel
stem autologus.
Beberapa kondisi perinatal merupakan faktor risiko terjadinya leukemia
pada anak, seperti yang dilaporkan oleh Cnattingus dkk (1995). Faktor-faktor
tersebut adalah penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplemen oksigen, asfiksia,
berat badan lahir >4500 gram, dan hipertensi saat hamil. Sedangkan Shu dkk
(1996) melaporkan bahwa ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol meningkatkan
risiko terjadinya leukemia pada bayi, terutama LMA.

2.1.4 Patofisiologi dan Klasifikasi Morfologik


Leukemia sebenarnya merupakan suatu istilah untuk beberapa jenis
penyakit yang berbeda dengan manifestasi patofisiologis yang berbeda pula.
Mulai dari yang berat dengan penekanan sumsum tulang yang berat pula seperti
pada leukemia akut sampai kepada penyakit dengan perjalanan yang lambat dan
gejala ringan (indolent) seperti pada leukemia kronik. Pada dasarnya efek
patofisiologi berbagai macam leukemia akut mempunyai kemiripan tetapi sangat
berbeda dengan leukemia kronik.
Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya termasuk asal
mula “gugus” sel (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik dan
morfologi, kegagalan diferensiasi, petanda sel dan perbedaan biokimiawi terhadap
sel normal.
Terdapat bukti kuat bahwa leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang
berproliferasi secara klonal sampai mencapai sejumlah populasi sel yang dapat
terdeteksi. Walau etiologi leukemia pada manusia belum diketahui benar, tetapi

14
pada penelitian mengenai proses leukemogenesis pada binatang percobaan
ditemukan bahwa penyebab (agent) nya mempunyai kemampuan melakukan
modifikasi nukleus DNA, dan kemampuan ini meningkat bila terdapat suatu
kondisi (mungkin suatu kelainan) genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi
dan mutasi onkogen seluler. Pengamatan ini menguatkan anggapan bahwa
leukemia dimulai dari suatu mutasi somatik yang mengakibatkan terbentuknya
“gugus” (clone) abnormal.
Dalam hematopoiesis normal, myeloblast merupakan prekursor belum
matang myeloid sel darah putih, sebuah myeloblast yang normal secara bertahap
akan tumbuh menjadi sel darah dewasa putih. Namun, dalam LMA, sebuah
myeloblast tunggal akumulasi perubahan genetik yang "membekukan" sel dalam
keadaan imatur dan mencegah diferensiasi. Mutasi saja tidak menyebabkan
leukemia, namun ketika seperti "penangkapan diferensiasi" dikombinasikan
dengan mutasi gen lain yang mengganggu pengendalian proliferasi, hasilnya
adalah pertumbuhan tidak terkendali dari klon, yang mengarah ke klinis LMA.
Dari analisis mengenai sitogenetik, isoenzim, dan fenotip sel, dapat ditarik
kesimpulan bahwa transformasi sel pada LMA dapat terjadi di berbagai tempat
pada jalur perkembangan sel induk. Dengan demikian ekspresinya berupa
perkembangan gugus sel tertentu (clone) dengan akibat dapat terjadi pada sel
induk pluripoten, yang akan mengenai eritrosit dan trombosit, atau terjadi pada
gugus sel induk yang telah dijuruskan untuk granulositopoisis atau
monositopoisis.
Telah pula dapat dibedakan masing-masing sel leukemia yang termasuk
golongan LMA yang berasal dari sel induk granulosit-monosit yang relatif tua
(mature) dari sel induk yang lebih muda fenotipnya. Sebagian besar keragaman
dan heterogenitas LMA berasal dari kenyataan bahwa transformasi leukemia dapat
terjadi di sejumlah langkah yang berbeda di sepanjang jalur diferensiasi. Skema
klasifikasi modern untuk LMA mengakui bahwa karakteristik dan perilaku dari sel
leukemia mungkin tergantung pada tahap di mana diferensiasi dihentikan.
Perbedaan ini mudah dikenal oleh para ahli dan berdasarkan hal ini dibuatlah
klasifikasi jenis leukemia yang termasuk golongan LMA dan yang sekarang

15
dianut, adalah klasifikasi morfologik menurut FAB (Perancis, Amerika, British)
seperti berikut:
 M-0 leukemia mielositik akut dengan diferensiasi minimal
 M-1 leukemia mielostik akut tanpa maturasi
 M-2 leukemia mielositik akut dengan maturasi
 M-3 leukemia promielositik hipergranular
 M-4 leukemia mielomonositik akut
 M-5 leukemia monositik akut
 M-6 leukemia eritroblastik (eritroleukemia)
 M-7 leukemia megakariositik akut
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang
menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda
(blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di sumsum tulang. Akumulasi Blast
di dalam sumsum tulang akan menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan
pada gilirannya akan mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone
marrow failure syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia ( anemia,
leukopeni, trombositopeni).
Kegagalan hematopoesis normal merupakan akibat yang besar pada
patofisiologi leukemia akut, walaupun demikian patogenesisnya masih belum
diketahui. Bahwa tidak selamanya pansitopenia yang terjadi disebabkan desakan
populasi sel leukemia, terlihat pada keadaan yang sama (pansitopenia) tetapi
dengan gambaran sumsum tulang yang justru hiposeluler.
Adanya anemia akan menyebabkan pasien mudah lelah dan pada kasus
yang lebih berat akan sesak nafas, adanya trombositopenia akan menyebabkan
tanda-tanda perdarahan, sedangkan adanya leukopenia akan menyebabkan pasien
rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi oportunis dari flora normal bakteri yang
ada di dalam tubuh manusia. Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya
kemampuan untuk migrasi keluar sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ
lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak dan sistem syaraf pusat dan merusak
organ-organ tersebut dengan segala akibatnya.

16
Kematian pada pasien leukemia akut umumnya diakibatkan penekanan
sumsum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula disebabkan oleh
infiltrasi sel leukemia tersebut ke organ tubuh pasien.

2.1.5 Manifestasi Klinis

Berbeda dengan anggapan umum selama ini, pada pasien LMA tidak selalu
dijumpai leukositosis. Leukositosis terjadi pada sekitar 50% kasus LMA, sedang
15% pasien mempunyai angka leukosit yang normal dan sekitar 35% mengalami
netropenia. Meskipun demikian, sel-sel blast dalam jumlah yang signifikan di
darah tepi akan ditemukan pada 85% kasus LMA. Oleh karena itu sangat penting
untuk memeriksa rincian jenis sel-sel leukosit di darah tepi sebagai pemeriksaan
awal, untuk menghindari kesalahan diagnosis pada orang yang diduga menderita
LMA.

Tanda dan gejala LMA pada anak dapat dibagi menjadi tiga, yakni (1) yang
disebabkan defisiensi sel yang berfungsi normal, (2) yang disebabkan proliferasi
dan abnormalitas dari populasi sel leukemia, dan (3) Gejala konstitusional. Tanda
dan gejala utama LMA adalah adanya rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang
disebabkan oleh sindrom kegagalan sumsum tulang sebagaimana telah disebutkan
di atas. Perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau petekia yang
sering dijumpai di ekstremitas bawah atau berupa epistaksis, perdarahan gusi dan
retina. Perdarahan yang lebih berat jarang terjadi kecuali pada kasus yang disertai
dengan DIC. Kasus DIC ini paling sering dijumpai pada kasus LMA tipe M3.
Infeksi sering terjadi di tenggorokan, paru-paru, kulit dan daerah peri rektil,
sehingga organ-organ tersebut harus diperiksa secara teliti pada pasien LMA
dengan demam.

Pada pasien dengan angka leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100
ribu/mm3), sering terjadi leukositosis, yaitu gumpalan leukosit yang menyumbat
aliran pembuluh darah vena maupun arteri. Gejala leukositosis sangat bervariasi,
tergantung lokasi sumbatannya. Gejala yang sering dijumpai adalah gangguan
kesadaran, sesak nafas, nyeri dada dan priapismus.

17
Infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan tanda/gejala yang bervariasi
tergantung organ yang di infiltrasi. Infiltrasi sel-sel blast di kulit akan
menyebabkan leukemia kutis yaitu berupa benjolan yang tidak berpigmen dan
tanpa rasa sakit, sedang infiltrasi sel-sel blast di jaringan lunak akan menyebabkan
nodul di bawah kulit (kloroma). Infiltrasi sel-sel blast di dalam tulang akan
menimbulkan nyeri tulang yang spontan atau dengan stimulasi ringan.
Pembengkakan gusi sering dijumpai sebagai manifestasi infiltrasi sel-sel blast ke
dalam gusi. Meskipun jarang, pada LMA juga dapat dijumpai infiltrasi sel-sel
blast ke daerah meningen dan untuk penegakan diagnosis diperlukan pemeriksaan
sitologi dari cairan serebro spinal yang diambil melalui prosedur pungsi lumbal.

2.1.6 Diagnosis

Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk


menegakkan diagnosis leukemia. Namun untuk memastikan harus dilakukan
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang dan dilengkapi dengan pemeriksaan
radiografi dada, cairan serebrospinal dan beberapa pemeriksaan penunjang yang
lainnya. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika,
dan biologi molekuler.

Berdasarkan pemeriksaan morfologi sel dan pengecatan sitokimia, gabungan


ahli hematologi Amerika, Perancis dan Inggris pada tahun 1976 menetapkan
klasifikasi LMA yang terdiri dari 8 subtipe (M0 sampai dengan M7). Klasifikasi
ini dikenal dengan nama klasifikasi FAB (French American British). Klasifikasi
FAB hingga saat ini masih menjadi diagnosis dasar LMA. Pengecatan sitokimia
yang penting untuk pasien LMA adalah Sudan Black B (SSB) dan
mieloperoksidase (MPO). Kedua pengecatan sitokimia tersebut akan memberikan
hasil positif pada pasien LMA tipe M1, M2, M3, M4, dan M6.

Kadang-kadang diagnosis LMA diawali dengan prolonged prelukimia,


biasanya ditunjukkan adanya kekurangan produksi sel darah merah yang normal
sehingga terjadi anemia refrakter, neutropenia atau trombositopenia. Pemeriksaan
sumsum tulang tidak menunjukkan leukemia tetapi ada perubahan morfologi yang

18
jelas. Kondisi ini sering mengarah pada sindrom mielodisplastik (MDS) dan
mempunyai klasifikasi FAB sendiri (Hasle 1994). Biasanya sumsum tulang
menunjukkan hiperseluler, kadang-kadang hipoplastik yang kemudian
berkembang menjadi leukemia akut.

Diagnosis, evaluasi, dan terapi anak yang menderita LMA belum


memuaskan bila dibandingkan dengan LLA. Pada LMA, hasil pemeriksaan darah
menunjukkan adanya anemia, trombositopenia, dan leukositopenia, dan
leukositosis. Kadar hemoglobin sekitar 7.0 sampai 8.5 g/dl, jumlah trombosit
umumnya <50.000/ul dan jumlah leukosit sekitar 24.000/ul. Sekitar 20% pasien
jumlah leukositnya >100.000/ul.

Pada saat diagnosis leukemia ditegakkan akan menimbulkan beberapa


permasalahan baik karena tindakan yang invasif maupun kondisi psikologis orang
tua atau keluarga. Aspirasi sumsum tulang dan pungsi lumbal dapat menimbulkan
nyeri dan ketakutan pada anak dan kekhawatiran pada orang tua, sehingga perlu
penjelasan dan edukasi, pemberian obat penenang dan pendekatan psikologi.
Tindakan tersebut juga perlu dilakukan pada saat mengevaluasi perkembangan
penyakit dan kemajuan pengobatan, sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Edukasi
dan pendampingan orang tua pada saat dilakukan tindakan aspirasi sumsum tulang
dan pungsi lumbal adalah langkah yang bertujuan untuk mengurangi rasa sakit
dan meningkatkan rasa percaya diri pasien.

2.1.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding leukemia pada anak yang perlu dipikirkan antara lain
anemia aplastik, gangguan mieloproliferatif, PTI, keganasan lain, penyakit
reumatologi atau penyakit kolagen vaskular, sindrom hemofagosti familial atau
induksi virus, infeksi virus Ebstein-Barr, infeksi mononucleosis, reaksi leukemoid,
dan sepsis.

2.1.8 Penatalaksanaan

Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif


meliputi penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan komplikasi antara

19
lain berupa pemberian transfusi darah/trombosit, pemberian antibiotik, pemberian
obat untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik,
dan pendekatan aspek psikososial. Perbaiki keadaan umum yaitu : anemia
diberikan tranfusi darah dengan PCR (Packed red cell) atau darah lengkap.
Trombositopeni yang mengancam diatasi dengan transfusi konsetrat trombosit.
Apa bila ada infeksi diberikan antibiotika yang adekuat.

Terapi kuratif/spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukemianya berupa


kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi, profilaksis susunan saraf
pusat dan rumatan. Klasifikasi risiko normal atau risiko tinggi menentukan
protokol kemoterapi. Secara umum regimen kemoterapi meliputi kombinasi dari
antracycline (paling sering daunorubicin) dengan cytosine arabinoside (cytarabin).
Obat lain yang dapat diberikan yakni fludarabine, etoposide, amsacrine,
dexamethasone, 6-thioguanine, cyclophosphamide, dan mitoxantrone.

Terapi spesifik seperti terapi leukemia pada umumnya dimulai dengan tahap

induksi dengan : Doxorubicin 40 mg/mm2 berat badan hari 1-5. Dilanjutkan


denagan Ara C 100 mg IV, tiap 12 jam hari 1-7. Obat pengganti adriamycin adalah
Farmorubicin. Dilakukan evaluasi klinis dan hematologis. Pemeriksaan sumsum
tulang pada akhir minggu ketiga. Apabila tidak terjadi remisi atau remisi hanya
bersifat parsial maka terapi harus diganti dengan regimen lain. Apabila terjadi
remisi lengkap (klinis dan hematologis) maka dimulai tahap konsolidasi. Pada

tahap ini diberikan doxorubicin 40 mg/mm2 hari 1-2 dan Ara C 1-5. Regimen ini
diberikan 2 kali dengan interval 4 minggu.

Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala
klinis leukemia, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlas sel blast <5%
dari sel berinti, hemoglobin >12g/dl tanpa transfusi, jumlah leukosit > 3000/ul
dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit >2000/ul, jumlah
trombosit > 100.000/ul. Dan pemeriksaan cairan serebrispinal normal.

Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai pada 98% pasien. 2-3%
anak akan meninggal dalam CCR ( Continous Complete Remission) dan 25-30 %
akankambuh. Sebab utama kegagalan terapi adalah kambuhnya penyakit. Relaps

20
sumsum tulang yang terjadi (dalam 18 bulan sesudah diagnosis) memeperburuk
prognosis (10-20% long-term survival) sementara relaps yang terjadi setelah
penghentian terapi mempunyai prognosis lebih baik. Terapi relaps harus lebih
agresif unutk mengatasi resistensi obat.

Transplantasi sumsum tulang mungkin membarikan kesempatan untuk


sembuh khususnya bagi anak-anak dengan leukemia sel-T yang setelah relaps
mempunyai prognosis yang buruk dengan terapi sitostatika konvensional.

Secara keseluruhan survival setelah relaps adalah 20-40% pada seri yang
berbeda. Survival meningkat dari 52% (1981-1985), sampai 68% (1986-1991)
sampai dengan saat ini 81% (1992-1995). Alasan utama dibalik perbaikan ini
adalah lebih intensifnya terapi untuk semua kelompok risiko.

Tiga puluh tahun lalu, hampir semua anak dengan LMA meninggal dan
tidak ada kelompok yang teridentifikasi. Saat ini gambaran survival hidup lebih
dari 40% dilaporkan pada banyak studi. Perubahan terjadi pada tahun 0- dengan
dikenalnya sitarabin (Arac) dan antrasiklin. Dengan kombinasi obat yang berbeda,
remisi bisa berpengaruh pada 75-85% anak, namun tanpa terapi lanjut kebanyakan
anak-anak relaps dalam 1 tahun.

M3 berjumlah sekitar 10-15%. Penyakit ini dikarenakan dengan t(15;170


dimana breakpoint pada gen untuk reseptor inti asam retinotil pada kromosom 17
dan PML (promyelocytic leukemia) berada pada kromosom 15. Tahun 1998
ilmuwan Cina melaporkan bahwa induksi remisi lengkap bisa terjadi pada M3
dengan menggunakan asam retinositik (ATRA) sebagai agen tunggal. Tentu saja
keterlibatan reseptor inti untuk asam retinositik mempengaruhi sensitivitas
leukemia terhadap vitamin ini, meskipun detail molekuler masih belum diketahui.
Kerugian terbesar dari terapi retinotik ATRA adalah komplikasi perdarahan yang
tidak bisa dihindari.

21
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi dini :
 Infesi serius
 Alopecia
 Emesis
 Perdarahan Saluran Cerna
 Malnutrisi
 Kematian
Komplikasi lanjut :
 Gagal jantung kongestif dan aritmia
 Kelainan Pertumbuhan
 Malignansi sekunder
 Kematian

2.1.10 Faktor Prognostik


LMA memiliki angka survival di rentang 45-60%. Prognosis LMA terus
membaik secara signifikan sejak abad ke 20. Berdasarkan faktor prognostik maka

22
pasien LMA dapat digolongkan ke dalam risiko biasa dan risiko tinggi. Para ahli
telah melakukan penelitian dan membuktikan faktor prognostik itu ada
hubungannya dengan in vitro drug resistance. Faktor risiko LMA lebih sulit untuk
diidentifikasi. Faktor-faktor tersebut antara lain :
1.Umur saat diagnosis tidak terlalu penting seperti pada ALL. Pengalaman
beberapa peneliti menunjukkan bahwa bayi mempunyai prognosis lebih
baik.

2.Leukosit tinggi, tetapi tidak pada semua studi.

3.FAB M3 (promielositik leukemia) bereaksi pada asam retinoik, sebaiknya


diterapi dengan kombinasi vitamin dan kemoterapi.

4.Anak-anak dengan sindrom Down terdapat pada 10% kasus. Sebagian besar
merupakan FAB M7 dan mempunyai respons baik dengan kemoterapi.
Translokasi kromosom adalah faktor penting. Prognosis baik berhubungan
dengan t(8;12), t(15;17) dan inversi Ploidi juga mempengaruhi prognosis.

5.Respons awal terapi.

23
BAB 3
ANALISA KASUS
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, Pasien An.SA usia 10 tahun
datang diantarnya keluarganya ke IGD RSUD AWS Samarinda dengan keluhan
demam naik turun selam 4 hari sebelum masuk RS dengan riwayat leukimia pada
4 bulan yang lalu.

TEORI KASUS
ANAMNESIS
Pasien dapat masuk dengan keluhan Demam naik turun 4 hari SMRS,
utama seperti adanya rasa lelah, pilek, badan lemas, pucat, sariawan,
perdarahan dan infeksi. Perdarahan nafsu makan menurun, rambut
biasanya terjadi dalam bentuk rontok. Tidak ada gusi berdarah,
purpura atau petekia yang sering mimisan, BAB hitam. Riwayat
dijumpai di ekstremitas bawah atau leukimia 4 bulan lalu dan menjalani
berupa epistaksis, perdarahan gusi kemoterapi pertama awal bulan Juli
dan retina. 2019
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pasien LMA terjadi leukositosis, Pada pemeriksaan fisik tampak
gejala leukositosis sangat bervariasi. Febris, Anemis, Sphlenomegali S2,
Gejala yang sering dijumpai adalah dan lebam pada ekstremitas superior.
gangguan kesadaran, sesak nafas, nyeri .
dada, dan perdarahan dalam bentuk
purpuran atau petekia.
Pada pasien AML bisa didapatkan
tanda & gejala dari proliferasi &
abnormalitas populasi sel leukemia
seperti hepatomegali & splenomegali
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Hasil pemeriksaan darah Leukosit: 500
menunjukkan adanya anemia, Hb : 5,4
trombositopenia, dan Hct: 16,0%
leukositopenia, dan leukositosis. Trombosit : 600

- Pada pasien LMA tidak selalu


Pada BMP didapatkan akumulasi sel

24
dijumpai leukositosis. Leukositosis blast, dengan presentasi 44%
terjadi pada sekitar 50% kasus mieloblast.
LMA, sedang 15% pasien Kesan : Gambaran darah tepi
mempunyai angka leukosit yang dansum-sum tulang menunjukkan
normal dan sekitar 35% mengalami suatu keadaan AML (Acut Myelocitic
netropenia. Leukimia)/AML-M1

- Sel-sel blast dalam jumlah yang


signifikan di darah tepi akan
ditemukan pada 85% kasus LMA.

- Pengecatan sitokimia yang penting


untuk pasien LMA adalah Sudan
Black B (SSB) dan
mieloperoksidase (MPO). Kedua
pengecatan sitokimia tersebut akan
memberikan hasil positif pada
pasien LMA tipe M1, M2, M3,
M4, dan M6.

PENATALAKSANAAN
- Penanganan leukemia meliputi - IVFD D5 ½ NS 1500/24 jam
kuratif dan suportif. Penanganan - Transfusi PRC dan AFC
suportif meliputi penyakit lain - Inj Cefotaxime 3x1 gr
yang menyertai leukemia dan - Inj Gentamisin 1x80 mg
pengobatan komplikasi antara lain - Inj Paracetamole 500 mg/8 jam
berupa pemberian transfuse - Probiotik 1x1 sachet (V)
darah/trombosit, pemberian - CTM 2mg + vit C 12 tab (3x1
antibiotik, pemberian obat untuk pulv)
meningkatkan granulosit, obat anti - Nystatin 3x1 cc
jamur, pemberian nutrisi yang - Rencana Kemoterapi ke 2
baik, dan pendekatan aspek - BMP
psikososial.

- Terapi kuratif/spesifik bertujuan

25
untuk menyembuhkan
leukemianya berupa kemoterapi
yang meliputi induksi remisi,
intensifikasi, profilaksis susunan
saraf pusat dan rumatan.

- Terapi spesifik seperti terapi


leukemia pada umumnya dimulai
dengan tahap induksi dengan :

Doxorubicin 40 mg/mm2 berat


badan hari 1-5. Dilanjutkan
denagan Ara C 100 mg IV, tiap 12
jam hari 1-7. Obat pengganti
adriamycin adalah Farmorubicin.
Dilakukan evaluasi klinis dan
hematologis. Pemeriksaan sumsum
tulang pada akhir minggu ketiga.

26
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, A. dkk. 2009. Selulitis, ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi kedua.
FKUI. Jakarta.
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. Philadelphia: Elsevier. 2007
Permono B, Ugrasena IDG. Leukemia Akut dalam Buku Ajar Hematologi-
Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2005
Siregar RS. 2005. Atlas berwarna saripati kulit. EGC. Jakarta.
Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti
Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed. V. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, 2009.
Weinblatt ME. Pediatric Acute Myelotic Leukemia Treatment & Management.
Medscape Drug & Diseases. 2014

27

Anda mungkin juga menyukai