Anda di halaman 1dari 36

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Kasus

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

KEJANG PADA NEONATUS

Disusun oleh
Sulistyaning Tyas

Pembimbing
dr. Annisa Muhyi, Sp. A, M. Biomed

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada


Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
2019
LEMBAR PERSETUJUAN

TUTORIAL KLINIK

Sebagai salah satu tugas stase Ilmu Kesehatan Anak

KEJANG PADA NEONATUS

Oleh :

Sulistyaning Tyas (1810029042)

Pembimbing

dr. Annisa Muhyi, Sp. A, M. Biomed

LAB / SMF ILMU KESEHATAN ANAK

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

RSUD Abdul Wahab Sjahranie

2019

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tutorial tentang “Kejang pada
Neonatus”. Tutorial ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. A. Wisnu W., Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Annisa Muhyi, Sp. A, M. Biomed selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan saran selama penulis menjalani co-assistance di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak, terutama di divisi Neurologi.
5. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
Universitas Mulawarman.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial klinik
ini.Akhir kata, semoga tutorial klinik ini berguna bagi penyusun sendiri dan para
pembaca.

Samarinda, Juli 2019

Penyusun

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... 1


LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... 2
KATA PENGANTAR ........................................................................................ 3
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 4
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 5
1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 5
1.2. Tujuan ........................................................................................................... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 7
2.1 Definisi ........................................................................................................... 7
2.2 Epidemiologi ................................................................................................... 8
2.3 Etiologi ............................................................................................................ 8
2.4 Patofisiologi .................................................................................................... 13
2.5 Manifestasi Klinik ........................................................................................... 15
2.6 Diagnosis ......................................................................................................... 17
2.7 Tatalaksana...................................................................................................... 22
2.8 Prognosis ........................................................................................................ 32
BAB 3 PENUTUP................................................................................................ 34
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 36

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejang yang terjadi pada bayi baru lahir (neonatal fit) adalah kejang yang
terjadi pada bayi baru lahir sampai dengan usia 28 hari. .2,3 Kejang merupakan
pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai. Kejang pada BBL
merupakan keadaan darurat karena kejang merupakan suatu tanda adanya
penyakit sistem saraf pusat (SSP), kelainan metabolik atau penyakit lain. Kejang
pada bayi baru lahir sering tidak dikenali karena berbeda dengan kejang pada anak
dan dewasa. Hal ini disebabkan karena ketidakmatangan organisasi korteks pada
bayi baru lahir.

Menurut asal patofisiologi dan neuronal kejang dapat dibagi dua yaitu
epileptik dan non epileptik. Kejang epileptik berasal dari neuron kortikal dan
berkaitan dengan kelainan EEG. Sedangkan kejang non epileptik berawal dari
subkortikal dan biasanya tidak berkaitan dengan perubahan EEG apapun.
Penyebabnya adalah tidak adanya hambatan kortikal pada refleks batang otak.

Karena sampai sekarang sangat sulit untuk mempelajari dan mengenal


secara pasti bangkitan kejang pada neonatus, insidensi dan prevalensi yang pasti
sampai sekarang belum diketahui. Sulitnya mempelajari hal tersebut dikarenakan
banyak kejadian kejang pada neonatus yang tidak disertai manifestasi klinis yang
jelas. Meskipun demikian, menurut buku neonatologi IDAI, perkiraan angka
kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0.8-1.2 setiap 1000 neonatus setiap
tahun, sedang pada literatur lain menyebutkan 1-5% bayi pada bulan pertama
mengalami kejang. Insidensi meningkat kelahiran bayi kurang bulan sebesar 57.5-
132 dibanding bayi cukup bulan sebesar 0.7-2.7 setiap 1000 kelahiran hidup. Pada
kepustakaan lain menyebutkan insidensi 20% pada bayi kurang bulan dan 1.4%
pada bayi cukup bulan. Sekitar 70-80% neonatus secara klinis tidak tampak
kejang, namun pada elektrografik tampak gambaran masih kejang.kejadian lebih
tinggi (3,9%) pada bayi kurang bulan dengan usia kehamilan <30 minggu.3

5
Menurut data data dari Queensland Maternity and Neonatal clinical
guideline, kejang sangat sering terjadi dengan perkiraan 70% dari bayi kurang
bulan dengan pendarahan intraventriikular atau leukomalasia periventricular.
Kejang biasanya dikenali lebih sering dengan penggunaan monitor EEG
berkelanjutan.4

1.2. Tujuan Penulisan


Tujuan dibuatnya tutorial ini adalah untuk menambah wawasan bagi dokter
muda mengenai“Kejang pada neonatus”, serta sebagai salah satu syarat mengikuti
ujian stase Ilmu Kesehatan Anak.

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kejang didefinikan secara klinis sebagai perubahan paroksismal dari


fungsi neurologis seperti fungsi kebiasaan, motorik atau otonom. Neonatal adalah
bayi dengan kelahiran berumur kurang dari 28 hari. Kejang yang terjadi pada bayi
baru lahir (neonatal fit) adalah kejang yang terjadi pada bayi baru lahir sampai
dengan usia 28 hari. .2,3

Kejang dapat timbul sebagai gerakan involunter klonik atau tonik pada
satu atau lebih anggota gerak. (Lissauer,Tom:2006)

Kejang adalah suatu kondisi dimana otot tubuh berkontraksi dan


berelaksasi secara cepat dan berulang, oleh karena abnormalitas sementara dari
aktivitas elektrik di otak, yaitu terjadi loncatan – loncatan listrik karena
bersinggungannya ion (+) dan ion (-) di dalam sel otak.

Kejang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan


tungkai. Kejang pada BBL merupakan keadaan darurat karena kejang merupakan
suatu tanda adanya penyakit sistem saraf pusat (SSP), kelainan metabolik atau
penyakit lain. Kejang pada bayi baru lahir sering tidak dikenali karena berbeda
dengan kejang pada anak dan dewasa. Hal ini disebabkan karena ketidakmatangan
organisasi korteks pada bayi baru lahir.

Menurut asal patofisiologi dan neuronal kejang dapat dibagi dua yaitu
epileptik dan non epileptik. Kejang epileptik berasal dari neuron kortikal dan
berkaitan dengan kelainan EEG. Sedangkan kejang non epileptik berawal dari
subkortikal dan biasanya tidak berkaitan dengan perubahan EEG apapun.
Penyebabnya adalah tidak adanya hambatan kortikal pada refleks batang otak.

7
2.2 Epidemiologi

Karena sampai sekarang sangat sulit untuk mempelajari dan mengenal


secara pasti bangkitan kejang pada neonatus, insidensi dan prevalensi yang pasti
sampai sekarang belum diketahui. Sulitnya mempelajari hal tersebut dikarenakan
banyak kejadian kejang pada neonatus yang tidak disertai manifestasi klinis yang
jelas. Meskipun demikian, menurut buku neonatologi IDAI, perkiraan angka
kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0.8-1.2 setiap 1000 neonatus setiap
tahun, sedang pada literatur lain menyebutkan 1-5% bayi pada bulan pertama
mengalami kejang. Insidensi meningkat kelahiran bayi kurang bulan sebesar 57.5-
132 dibanding bayi cukup bulan sebesar 0.7-2.7 setiap 1000 kelahiran hidup. Pada
kepustakaan lain menyebutkan insidensi 20% pada bayi kurang bulan dan 1.4%
pada bayi cukup bulan. Sekitar 70-80% neonatus secara klinis tidak tampak
kejang, namun pada elektrografik tampak gambaran masih kejang.kejadian lebih
tinggi (3,9%) pada bayi kurang bulan dengan usia kehamilan <30 minggu.3

Menurut data data dari Queensland Maternity and Neonatal clinical


guideline, kejang sangat sering terjadi dengan perkiraan 70% dari bayi kurang
bulan dengan pendarahan intraventriikular atau leukomalasia periventricular.
Kejang biasanya dikenali lebih sering dengan penggunaan monitor EEG
berkelanjutan.4

2.3 Etiologi

Ada banyak penyebab kejang pada neonatus, menurut buku IDAI dan
Avery’s neonatology, ada beberapa penyebab utama kejang neonatus, yaitu :

PENYEBAB KETERANGAN

Ensefalopati  Penyebab paling sering pada bayi cukup bulan (40-


iskemik 60%) dan merupakan penyebab utama dari
hipoksik perkembangan bayi yang buruk
 Biasanya timbul dalam 24 jam

8
 Sulit dikontrol dengan medikamentosa
Pendarahan  Pendarahan intraventrikular
intrakranial  Pendarahan intracerebral
 Pendarahan subdural
 Pendarahan subarachnoid
Infeksi SSP  Meningitis bakteri
 Meningitis virus
 Encephalitis
 Intrauterine (TORCH) infections
 Bakteri patogen yang paling sering dari streptokokus
grup B, escherichia coli, listeria, staphyloccocus
Stroke perinatal  Oklusi arteri atau thrombosis vena dapat menyebabkan
stroke
 Insidensi 1 per 4000
Metabolik  Hipoglikemia
 Hipokalsemia
 Hipomagnesaemia
 Hipo/hipernatremia
 Ketergantungan pyridoxine
Kelainan  Merupakan penyebab yang jarang ditemukan, namun
metabolik tetap membutuhkan perhatian khusus untuk
bawaan menemukan penyebab yang dapat di tangani

Putus obat ibu  Penghentian obat pada ibu yaitu heroin, barbiturat,
methadone, kokain, dll.

Kelainan otak  Anomali kromosom


kongenital  Anomali otak kongenital
 Kelainan neuro-degeneratifs
Kejang neonatus  Biasanya timbul sebagai kejang tonik atau klonik pada
familial jinak hari ke 2 atau ke 3

9
Kejang hari  Dengan nama lain kejang neonatus jinak idiopatik
kelima  Biasanya hilang pada hari ke 15, penyebab tidak
diketahui

Ensefalopati iskemik hipoksik


Dapat terjadi pada bayi cukup bulan maupun bayi kurang bulan, terutama
yang terlahir dengan asfiksia. Bentuk kejang subtel atau multifokal klonik serta
fokal klonik. Kasus iskemik hipoksik disertai kejang, 20% akan mengalami infark
serebral. Manifestasi klinis ensefalopati hipoksik-iskemik dapat dibagi dalam 3
stadium : ringan, sedang, berat yang dimana kejang dapat timbul pada tingkat
sedang dan berat.

Perdarahan intrakranial

Penyebab kejang utama dan tersering pada bayi preterm. Perdarahan intra
kranial seringkali sulit disebut sebagai penyebab tunggal kejang. Biasanya
berhubungan dengan penyebab lain, yaitu :

1. Perdarahan sub arakhnoid


Perdarahan yang sering dijumpai pada neonatus, terutama sebagai
akibat dari proses partus yang lama. Awalnya bayi terlihat baik, namun
tiba-tiba timbul kejang pada hari pertama dan kedua. Pungsi lumbal
merupakan indikasi absolut untuk dilakukan untuk mengetahui adanya
darah di dalam cairan serebrospinal. Biasanya bayi ditemukan tampak
sakit berat pada 1-2 hari pertama dan timbul tanda-tanda peninggian
tekanan intrakranial seperti ubun-ubun besar yang menonjol dan
tegang, muntah memancar, menangis keras dan kejang-kejang.

2. Perdarahan sub dural


Perdarahan ini biasanya terjadi akibat robekan tentorium dekat falks
serebri. Biasanya bila ada molase berlebihan di letak verteks, letak
wajah dan partus lama. Manifestasi klinik biasanya sama dengan
ensefalopati hipoksik-iskemik ringan sedang. Dapat timbul pernapasan
yang tidak teratur apabila terjadi penekanan pada batang otak disertai

10
penurunan kesadaran, tangisan yang melengking dan ubun-ubun besar
tegang dan menonjol. Mortalitas tinggi, dan pada bayi yang hidup
hidup biasanya terdapat gejala sisa neurologis.

3. Perdarahan periventrikular/intraventrikular
Manifestasi klinis pperdarahan intraventrikuler tergantung pada
seberapa beratnya penyakit dan saat dimulainya perdarahan. Pada bayi
yang mengalami trauma atau asfiksia biasanya timbul pada hari
pertama dan kedua. Pada bayi kurang bulan dapat timbul gejala seperti
gangguan napas, kejang tonik umum, pupil terfiksasi kuadriparesis
flaksid, deserebrasi dan stupor atau koma yang dalam. Pada bayi
cukup bulan biasanya ditemukan riwayat intrapartum misalnya trauma,
pasca-pemberian cairan hpertonik secara cepat terutama natrium
bikarbonat dan asfiksia. Manifetasi klinis yang timbul biasanya
bervariasi mulai dari asimtomatik sampai gejala yang hebat. Gejala
neurologis yang paling sering ditemui adalah kjang yang bersifat fokal,
multifokal atau umum.

Hipokalsemia

Hipokalsemia umum terjadi pada bayi baru lahir prematur dan sakit. Kadar
kalsium lebih tinggi di darah tali pusat dibandingkan darah ibu karena transfer
kalsium aktif melalui plasenta ke janin. Pertambahan kalsium janin pada trimester
ketiga mendekati 150 mg/kg/24 jam, dan kandungan mineral tulang janin dua kali
lipat usia gestasi antara 30 dan 40 minggu. Semua bayi menunjukan sedikit
penurunan kadar kalsium setelah lahir, mencapai kadar paling rendah dalam 24
jam sampai 48 jam, saat hipokalsemia umumnya terjadi. Kadar kalsium serum
total kurang dari 7 mg/dL dan kadar kalsium ion kurang dari 3 – 3.5 mg/dL
dianggap sebagai hipokalsemia.
Penyebab hipokalsemia bervariasi tergantung waktu onset dan penyakit
pada bayi. Hipokalsemia dini pada neonates terjadi pada 3 hari pertama kehidupan
dan seringkali tanpa gejaa. Hipoparatiroidisme menetap berkurang respons
paratiroid terhadap penurunan kadar kalsium serum pascanatal yang biasa dapat
merupakan penyebab hipokalsemia pada bayi premature dan bayi dari ibu

11
diabetes. Tidak adanya kelenjar paratiroid kongenital dan sindrom DiGoerge juga
dihubungkan dngan hipokalsemia. Hipomagnesia(<1.5 mg/dL) dapat terjadi
bersamaan dengan hipokalsemia, terutama pada bayi dari ibu diabetes. Terapi
dengan kalsium saja tidak menghilangkan gejala atau meningkatkan kalsium
serum smapai hipomagnesia juga diterapi. Terapi natrium bikarbonat, pelepasan
fosfat dari nekrosis sel, hipoparatiroidisme menetap dan hiperkalsitonemia
mungkin merupakan penyebab hipokalsemua neonatal dini yang berhubungan
dengan asfiksia. Hipokalsemia awian dini berhubungan dengan asfiksia sering
terjadi kejang sebagai akibat ensefalopati hipoksik oiskemik atau hipokalsemia.
Hipokalsemia ambat pada neonatus atau tetani pada neonatus, sering merupakan
akibat pemberian susu yang menangdung fosfat tingi atau tidak mampu ekskresi
kandungan fosfat yang biasa terdapat pada susu formula. Hiperfosfatemia (>8
mg/dL) umunya terjadi pada bayi dengan hipokalsmeia setelah minggu pertama
kehidupan. Keadaa defisiensi vitamin D dan malabsorpsi juga dihubungkan
dengan hipokalsemua awitan lambat.
Manifestasi klinis hipokalsemia dan hipomagnesemia meliputi apne,
kedutan otot, kejang, laringospasme, tanda Chovstek (spasme otot wajah ketika
sisi wajah di atas nervus tujuh diketuk), tanda Trousseau (spasme karpopedal yang
dipicu oleh inflasi parsial dari manset tekanan darah). Dua anda terakhir jarang
terjadi pada periode awal neonatus.
Hipokalsemia neonates dapat dicegah dengan pemberian suplementasi
kalsium IV atau oral dengn dosis 25 sampai 75 mg/kg/24 jam. Hipokalsemua dini
asimtomatik daribayi premature dan bayi dari ibu diabetes sering membaik
spontan. Hipokalsemia spontan harus diterapi dengan 2 sampai 4 ml/kg kalsium
glukonas 10% diberikan secara intravena dan perlahan selama 10 – 15 menit,
diikuti infus kontinu dari kalsium elemental sebanyak 75 mg/kg/24 jam. Bila
terdapat juga hipomagnesemia, magnesium sulfat 50% sebanyak 0.1 mL/kg
diberikan secara intamuskular dan diulang setiap 8 – 12 jam.
Terapi hipokalsemia lambat meliputi tatalaksana segera seperti
hipokalsemia dini, ditambah pemberian minum dengan forula rendah fosfat.
Infiltrasi subkutan dari graram kalsium IV dapat menyebbkn nekrosis jaringan
suplementasi oral sifatnya hipertonik dan dapat menyebabkan iritasi mukosa usus

12
2.4 Patogenesis

Neuron di dalan sistem syaraf pusat mengalami depolarisasi sebagai hasil


dari perpindahan natrium ke arah dalam. Repolarisasi terjadi melalui keluarnya
kalium. Kejang terjadi apabila timbul depolarisasi yang berlebihan, sehingga
terbentuk gelombang listrik yang berlebihan. Volpe (2001) menjelaskan 4
kemungkinan alasan terjadinya depolarisasi berlebihan1 :

 Kegagalan dari pompa natrium kalium dikarenakan terganggunya produksi


energi.
 Terjadinya kelebihan relatif dari neurotransmiter eksitatorik melawan
inhibitorik
 Adanya kekurangan relatif dari neurotransmiter inhibitorik melawan
eksitatorik
 Perubahan dari membran neuron, menyebabkan inhibisi dari pergerakan
natrium.
Perubahan fisiologis pada saat kejang berupa penurunan kadar glukosa
otak yang tajam dibandingkan kadar glukosa darah yang tetap normal atau
meningkat disertai peningkatan laktat. Hal ini merupakan refleksi dari kebutuhan
otak yang tidak dapat dipenuhi secara adekuat. Kebutuhan oksigen dan aliran
darah ke otak sangat esensial untuk mencukup kebutuhan oksigen dan glukosa
otak. Laktat terkumpul dan berakumulasi selama terjadi kejang, sehingga PH
arteri menurun dengan cepat. Hal ini menyebabkan tekanan darah sistemik
meningkat dan aliran darah ke otak naik.

Terjadinya kejang yang multifokal atau adanya perilaku yang tidak biasa
berhubungan pada kejang pada neonatus, merupakan efek dari mielinasi struktur
kortikal dan subkortikal yang masih sangat minim.

Perkembangan otak anak terjadi sangat cepat dari sejak baru lahir sampai
2 tahun yang disebut sebagai periode emas dan pembentukan sinaps dan
kepadatan dendrit pada sunsum tulang belakang terjadi sangat aktif pada sekitar
kehamilan sampai bulan pertama setelah kelahiran. Pada saat baru lahir,

13
merupakan periode tertinggi dari aktifitas eksitasi sinaps fisiologis dan
sinaptogenesis yang terjadi pada saat ini sepenuhnya bergantung pada aktifitas.
Selain itu, menurut penelitian, pada periode ini keseimbangan antara eksitasi dan
inhibisi pada sinaps cenderung mengarah pada eksitasi untuk memberi jalan pada
pembentukan sinaps yang bergantung pada aktifitasnya5.

Beberapa mekanisme penting sehubungan dengan terjadinya kejang pada


neonatus adalah :

1. Peningkatan eksitabillitas pada neonatus


Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada otak tikus yang diketahui
homolog dengan otak manusia, didapatkan bahwa jumlah neurotransmiter
seperti glutamate, α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid
(AMPA) dan N-methyl-D-aspartate (NMDA) meningkat tajam pada 2
minggu awal kelahiran untuk membantu pembentukan sinaps yang
bergantung pada aktifitasnya5. Selain itu, pada periode ini merupakan saat
sesnsitifitas terhadap magnesium di titik terendah. Magnesium merupakan
penghalang reseptor endogen alamiah. Sehingga berdampak pada
meningkatnya eksitabilitas otak bayi.

2. Penurunan efektifitas inhibisi neurotansmiter pada otak imatur


Fungsi inhibisi dari reseptor GABA agonis terbentuk dan berkembang
secara perlahan-lahan. Penelitian terhadap tikus menunjukkan, fungsi
pengikatan reseptor GABA, pembentukan enzym dan ekspresi dari
reseptor lebih rendah pada masa-masa awal kehidupan5. Sehingga dengan
hubungannya terhadap aktifitas sel syaraf pada neonatus yang lebih
mengakomodasi aktifitas eksitabilitas, hal ini mendukung terjadinya
kejang.

3. Konfigurasi kanal ion lebih mengarah ke depolarisasi pada fase awal


kehidupan
Regulasi kanal ion juga mengatur eksitabilitas neuron dan seperti reseptor
neurotransmiter, regulasinya terbentuk dan berkembang perlahan-lahan.
Seperti yang terjadi pada mutasi kanal ion K+ (KCNQ2 dan KCNQ3) yang

14
berhubungan dengan terjadinya kejang neonatus familial jinak,
menyebabkan proses hiperpolarisasi K+ yang berakibat terjadinya
penembakan potensial aksi yang berulang dengan cepat.

4. Peranan neuropeptida dalam terjadinya hipereksitabilitas pada otak imatur


Sistem neuropeptida berfluktuasi secara dinamis pada periode perinatal.
Contoh penting ada pada Corticotropin releasing hormone(CRH), yang
memicu terjadinya potensi eksitasi pada neuron. Jika dbandingkan pada
fase kehidupan selanjutnya, CRH dikeluarkan pada tingkat yang lebih
tinggi pada 2 minggu awal kehidupan, seperti yang terlihat pada tikus5.
CRH juga meningkat pada keadaan stress, yang menjelaskan mengapa
pada saat terjadi kejang pada otak yang imatur, maka akan memicu
terjadinya kejadian kejang yang berulang.

Awitan kejang

Awitan kejang yang terjadi pada kejang demam biasanya dimulai antara 12
hingga 48 jam setelah lahir, bayi jarang mengalami kejang saat berada di ruang
bersalim. Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa kejang muncul 3-13 jam
setelah terjadi keadaan hipoksik iskemik dan sesuai dengan yang kita ketahui
tentang pelepasan dan penghancuran glutamat pada saat fase reperfusi sekunder3.
Keadaan yang sama terjadi pada bayi. Kejang onset lanjut memberi kesan adanya
meningitis, kejang familial benigna atau hipokalsemia

2.5 Manifestasi klinik


Kejang neonatus bisa timbul dalam beberapa tipe yang mungkin
terlihat bersamaan selama beberapa jam. Kejang diklasifikasikan
menurut manifestasi klinis yang timbul :

Proporsi dari kejang


Tipe kejang Tanda klinis
neonatus

Subtle o 10-35% o Mata- melotot, mengedip,


tergantung deviasi horizontal
maturitas4 o Oral- Mencucu,

15
o Lebih sering mengunyah, menghisap,
pada bayi menjulurkan lidah
cukup bulan o Ekstremitas- memukul,
o Terjadi pada gerak seperti berenang,
bayi dengan mengayuh pedal
gangguan SSP o Otonomik- apneu,
berat takikardia, tekanan darah
tidak stabil
Klonik o 50%4 o Biasanya dalam keadaan
o Lebih sering sadar
pada bayi o Gerak ritmik (1-3/detik)
cukup umur o Fokus organ lokal atau 1
sisi wajah atau tubuh.
Mungkin merupakan
fokal neuropathy yang
tersembunyi
o Multifokal – irregular,
terpotong-potong
Tonik  20%4  Mungkin melibatkan 1
 Lebih sering bagian ekstremitas atau
pada bayi seluruh tubuh
preterm  Ekstensi generalisata dari
(<2500gr) bagian tubuh atas dan
 bawah dengan postur
opisthotonic
Mioklonik  5%4  Sentakan cepat terisolasi
(membedakan dari
mioklonik neonatus jinak)
 Fokal (1 bagian
ekstremitas) atau
multifokal (beberapa
bagian tubuh)

16
 Ditemukan pada putus
obat (terutama gol. Opiat

Harus dibedakan antara kejang dan gejala lain yang menyerupai kejang
seperti fenomena mioklonik fisiologik yang dikenal dengan nama mioklonik jinak
pada neonatus. Yang biasa terjadi pada keadaan tidur aktif (REM). Selain itu
fenomena lain yang penting adalah jitteriness.Jitteriness adalah gangguan dalam
pergerakan yang biasanya dihubungkan dengan hasil yang baik2. Jitteriness jinak
biasanya hilang dengan sendirinya dalam beberapa minggu. Adapun perbedaan
antara kejang dan jitteriness adalah :

Tanda Jitteriness Kejang

Membutuhkan pemicu Ya Tidak

Gerakan predominan Cepat, tremor, berosilasi Tonik, klonik

Gerakan hilang jika tubuh Ya Tidak


disentuh

Kesadaran Bangun atau tertidur Terganggu (penurunan


kesadaran)

Deviasi mata Tidak Ya

2.6 Diagnosis

Diagnosis kejang pada neonatus harus dimulai dengan pemeriksaan


menyeluruh terhadap riwayat dan pemeriksaan fisik. Data-data penting seperti
riwayat penyalahgunaan narkotika dan pemakaian obat yang salah pada saat
kehamilan, infeksi intrauterus, dan kondisi metabolik harus dicatat dengan baik
dan didapat langsung dari ibu sedetail mungkin.

17
Adapun yang penting dicari melalui anamnesis adalah3 :

Faktor resiko :

 Riwayat kejang dalam keluarga


o Riwayat yang menyatakan adanya kejang pada masa
neonatus pada anak sebelumnya atau bayi meninggal pada
masa neonatal tanpa diketahui penyebabnya.
 Riwayat kehamilan /prenatal
o Infeksi – infeksi yang terjadi pada waktu hamil
o Preeklampsia, gawat janin
o Pemakaian obat golongan narkotika, metadon
o Imunisasi anti tetanus, rubela
 Riwayat persalinan
o Asfiksia, episode hipoksik
o Trauma persalinan
o Ketuban Pecah Dini
o Anestesi lokal/blok
 Riwayat pascanatal
o Infeksi neonatus, keadaan bayi tiba-tiba memburuk
o Bayi dengan pewarnaan kuning dan timbulnya dini
o Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali
pusat
o Faktor pemicu kejang oleh suara bising atau karena
prosedur perawatan
o Waktu atau awitan kejang mungkin terjadi berhubungan
dengan etiologi
o Bentuk gerakan abnormal yang terjadi

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisis lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan


neurologis, dilakukan secara sistematik dan berurutan. Kadang

18
pemeriksaan neurologi saat kejang dalam batas normal, namun demikian
bergantung penyakit yang mendasarinya sehingga neonatus yang
mengalami kejang perlu pemeriksaan fisis legkap secara sistematis dan
berurutan :

1. Identifikasi manifestasi kejang yang terjadi, bila mungkin melihat


sendiri manifestasi kejang yang terjadi. Dengan mengetahui
bentuk kejang, kemungkinan penyebab dapat ditemukan
2. Neonatus yang mengalami kejang biasanya tampak sakit.
Kesadaran yang tiba-tiba menurun berlanjut dengan hipoventilasi
dan berhentinya pernapasan, kejang tonik, posisi serebrasi, reaksi
pupil terhadap cahaya negatif dan terdapat kuadriparesis flaksid,
dicurigai terjadinya perdarahan intravetrikular.
3. Pantau perubahan tanda vital dengan melihat tanda seperti
sianosis dan kelainan pada jantung atau pernapasan sehingga
dapat dicurigai kemungkinian adanya iskemia otak.
4. Pemeriksaan kepala untuk mencari kemungkinan adanya fraktur,
depresi atau moulding yang berlebihan karena hal-hal seperti
trauma. Ubun-ubun besar yang tegang dan menonjol
menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial yang
disebabkan oleh perdarahan subaraknoid atau subdural serta
kemungkinan adanya meningitis
5. Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukkan kelainan perdarahan
retina atau subhialoid yang merupakan manifestasi patognomonik
untuk hematoma subdural. Dapat ditemukan korioretinitis pada
toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan rubela.
6. Pemeriksaan tali pusat untuk mengetahui apakah ada tanda-tanda
infeksi, berbau busuk, atau aplikasi dengan bahan tidak steril pada
kasus yang dicurigai spasme atau tetanus neonatorum.

19
Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

Untuk menentukan prioritas pada pemeriksaan laboratorium,


harus digunakan informasi yang didapatkan dari riwayat dan pemeriksaan
jasmani dengan baik untuk mencari penyebab yang lebih spesifik

 Kimia darah
Pemeriksaan kadar glukosa, kalsium, natrium, BUN dan
magnesium pada darah serta analisa gas darah harus dilakukan.

 Pemeriksaan darah rutin


Termasuk di dalamnya pemeriksaan hemoglobin, hematokrit,
trombosit , leukosit, hitung jenis leukosit

 Kelainan metabolik
Dengan adanya riwayat keluarga kejang neonatus, bau yang khas
pada bayi baru lahir, intoleransi laktosa, asidosis, alkalosis atau
kejang yang tidak responsif terhadap antikonvulsan, harus dicari
penyebab-penyebab metabolik yang mungkin.

o Kadar amonia dalam darah harus diperiksa


o Asam amino di plasma darah dan urin. Pada urin sebaiknya
diperiksa untuk mencari substansi reduksi
2. Pemeriksaan radiologis
a. USG kepala dilakukan sebagai pemeriksaan lini pertama untuk
mencari adanya perdarahan intraventrikular atau periventrikular.
Perdarahan subarakhnoid atau lesi kortikal sulit dinilai dengan
pemeriksaan ini.

b. CT-scan kranium
Merupakan pemeriksaan dengan hasil mendetail mengenai adanya
penyakit intrakranial. CT scan sangat membantu dalam
menentukan bukti-bukti adanya infark, perdaraham, kalsifikasi dan

20
malformasi serebral.Melalui catatan sebelumnya, pemeriksaan ini
memberikan hasil yang penting pada kasus kejang neonatus,
terutama bila kejang terjadi asimetris.

c. MRI
Pemeriksaan paling sensitif untuk mengetahui adanya malformasi
subtle yang kadang tidak terdeteksi dengan CT-scan kranium..

3. Pemeriksaan lain
EEG(electroencephalography)
EEG yang dilakukan selama kejang akan memperlhiatkan tanda
abnormal. EEG interiktal mungkin memperlihatkan tanda normal.
Pemeriksaan EEG akan jauh lebih bernilai pabila dilakukan pada 1-2 hari
awal terjadinya kejang, untuk mencegah kehilangan tanda-tanda
diagnostik yang penting untuk menentukan prognosis di masa depan bayi.
EEG sangat signifikan dalam menentukan prognosis pada bayi cukup
bulan dengan gejala kejang yang jelas. EEG sangat penting untuk
memeastikan adanya kejang di saat manifestasi klinis yang timbul subtle
atau apabila obat-obatan penenang neuromuscular telah diberikan. Untuk
menginterpretasikan hasil EEG dengan benar, sangatlah penting untuk
mengetahui status klinis bayi (termasuk keadaan tidur) dan obat-obatan
yabg diberikan.

The International League Against Epilepsy mempertimbangkan


kriteria sebagai berikut :

o Non epileptikus : berdasarkan gejala klinis kejang semata


o Epileptikus : Berdasarkan konfirmasi pemeriksaan EEG.
Secara klinis mungkin tidak terlihat kejang, namun dari gambaran
EEG masih mengalami kejang.
o Kejang elektrografik
Kejang pada neonatus mempunyai tipe dan lokasi onset, morfologi
dan perambatan yang bervariasi. Bayi preterm maupun aterm,

21
keduanya mempunyai kemampuan menciptakan peristiwa ictal
yang sangat bervariasi, lokasi asal kejang yang paling umum adalah
lobus temporal. Beberapa penelitian telah menghitung durasi
kejang pada neonatus. Umumnya digunakan batasan 5 detik,
namun Clancy dan Ledigo menggunakan pembatasan menurut
mereka sendiri yaitu 10 detik sebagai durasi minimal dan definisi
ini juga diadopsi oleh Sher dkk.

o Disosiasi elektroklinik

Terdapat ketidaksesuaian antara diagnosis klinis dan gambaran


EEG, hanya sepertiga dari kasus yang dipelajari dengan rekaman
video yang manifestasi klinis dan gelombang listriknya sesuai.
Pada 349 neonatus yang diteliti oleh Mizrahi, ditemukan 415
kejang pada 71 neonatus secara klinis, sedangkan 11 neonatus lain
ditemukan secra elektrografis walaupun secara klinis tidak kejang.
Manifestasi klinis timbul karena adanya gelombang dari batang
otak dan medula spinalis dilepaskan dan kurangnya inhibisi dari
pusat yang lebih tinggi.

2.7 Tata laksana

Tatalaksana kejang pada neonatus bertujuan untuk meminimalisir


gangguan fisiologis dan metabolik serta mencegah berulangnya kejang. Ini
melibatkan bantuan ventilasi dan perfusi, jika dibutuhkan, dan koreksi keadaan
hipoglikemia, hipocalcemia atau gangguan metabolik lainnya.

Kebanyakan bayi diterapi dan dimonitor hanya berdasarkan pada diagnosis


klinis saja, tanpa melibatkan penggunaan EEG. Penggunaan EEG yang kontinyu
menunjukkan bahwa masalah pada kejang elektrografik adalah sering menetapnya
kejang walaupun setelah dimulainya terapi anti konvulsi.

22
23
Bagan manajemen terapi kejang pada neonatus4

Manajemen kejang pada neonatus

 Pengawasan jalan napas bersih dan terbuka, pemberian oksigen


 Periksa dan catat aktivitas kejang yang terjadi
 Lakukan penilaian secepatnya apakah penyebab kejang dapatg
ditangani dengan cepat, jika tidak bisa tangani kejang dengan
fenobarbital 20 mg/kg IV 4sambil terus memonitor sistem
kardiovaskular dan respirasi dan lakukan teapi suportif yang
dibutuhkan.

24
 Hentikan semua asupan secara oral
 Usahakan tangani penyebab utama kejang sesuai tata cara yang
diindikasikan
 Jika kejang masih berlanjut, berikan dosis tambahan fenobarbital 5
mg/kg IV 4(sampai tercapai dosis maksimal 40 mg/kgbb)
 Jika kejang masih berlanjut, berikan fenitoin 15-20mg/kgbb4
 Kejang dapat tertangani, lanjutkan pengawasan. Pertimbangkan
untuk menghentikan obat antikonvulsan jika : kejang terkontrol dan
pemeriksaan neurologis normal atau pemeriksaan neurologis
abnormal namun EEG normal
Penggunaan obat-obatan anti konvulsi

Prinsip penatalaksaan pertama yaitu menangani penyebab yang


mendasari sangatlah penting untuk mencegah kerusakan otak yang lebih
berat.Namun, apabila penyebab yang mendasar kejang sulit untuk
ditangani dengan segera, perlu diingat untuk secepatnya menangani kejang
agar tidak terjadi kerusakan neurologis yang berat. Pada akhirnya, kejang
yang terjadi mungkin saja menjadi sulit ditangani dengan obat-obatan anti
konvulsi apabila penyebab utama yang mendasar tidak ditangani dengan
baik. (Lihat tabel penyebab utama kejang pada neonatus). Beberapa aspek
yang harus dipertimbangkan dalam menggunakan obat anti konvulsi
sebagai berikut :

- Bukti penggunaan
Sedikit bukti yang mendukung penggunaan obat anti konvulsi
yang diberikan pada neonatus saat ini dan sedikit konsensus
yang memberikan protokol penatalaksanaan optimal. Deteksi
kejang secara dini dan akurat sangat penting dalam memberikan
jalur pemberian obat anti konvulsi

i. Obat antikonvulsi mungkin tidak menyembuhkan


kejang EEG walaupun dapat mengurangi atau
menghilangkan gejala klinis.
- Administrasi

25
Pemberian obat anti konvulsi dengan prinsip :

o Intravena untuk efek yang cepat dan kadar obat


dalam darah yang dapat diprediksi
o Untuk mencapai level terapeutik dalam serum yang
tinggi
o Untuk mencapai dosis maksimum sebelum
memberikan dosis yang kedua
- Rumatan dan durasi penggunaan obat antikonvulsi
o Terapi dengan dosis rumatan mungkin tidak
dibutuhkan apabila dosis awal cukup untuk
menangani kejang secara klinis
o Bayi dengan konvulsi lama atau dengan kesulitan
dalam menangani kejang dan bayi dengan kelainan
pada EEG akan mendapat manfaat dari pemberian
obat anti konvulsi yang berkelanjutan dengan
syarat :
- Level serum harus dimonitor
- Rencana manajemen penatalaksanaan kejang
darurat harus dibuat. Termasuk, jika
dibutuhkan, rencana penggunaan Midazolam
buccal/intranasal
- Penghentian penggunaan obat-obatan anti konvulsi
Ada sedikit resiko terjadinya kejang berulang setelah pemutusan
obat anti konvulsi secara dini pada neonatus. Pertimbangkan
penghentian penggunaan obat anti konvulsi apabila :

- Setelah kejang sudah berhenti dan pemeriksaan


neurologis normal
- Setelah pemeriksaan neurologis selanjutnya tetap
tidak normal, pertimbangkan berhenti jika EEG
tampak normal.

26
Jadwal pemberian obat anti konvulsi
- Phenobarbital
Phenobarbital

Dosis dan Loading dose :


administrasi
- 20 mg/kg IV – selama 10-15
menit
- Dosis tambahan(pilihan) 5
mg/kg/kali sampai kejang
mereda atau dosis total (40
mg/kg) telah tercapai
Rumatan :

- IV (perlahan-lahan – contoh
: 1 mg/kg/menit), IM, Oral
- 2.5-5 mg/kg sekali sehari
dimulai 12-24 jam setelah
dosis awal
Keterangan  Pengobatan lini pertama
 Efektivitas kurang dari 50%4
 Mengurangi kejang secara klinis
namun efek kurang pada kejang
EEG
 Penambahan obat kedua (contoh
: fenitoin) seringkali dibutuhkan
 Mungkin menyebabkan
apneu/depresi respiratorik pada
dosis tinggi (40 mg/kg) dan
peningkatan konsentrasi serum
(diatas 60 mikrogram/mL
Jangkauan terapeutik :

- Ukur level serum setelah 48

27
jam dari pemberian
intravena dosis awal
- 15-40 microgram/mL (65-
170 micromol/L)

- Fenitoin
Fenitoin

Dosis dan Dosis awal :


administrasi
- 15-20 mg/kg IV – kecepatan
infus maksimum 0.5
mg/kg/menit(jika melalui
IV)
- IV atau oral
- Setelah dosis awal
- Rumatan : 3-5 mg/kg
perhari

Keterangan  Tidak cocok dengan pemberian


intra muskular
 Pastikan keutuhan dari
pembuluh darah karena adanya
resiko radang jaringan dan
nekrosis apabila terjadi
ekstravasasi
 Berikan dengan menggunakan
filter dan diikuti bolus Nacl
0.9%
 Berikan perlahan-lahan secara
intravena untuk mencegah
terjadinya aritmia jantung

28
 Monitor heart rate dan ritme dan
tekanan darah untuk mengetahui
apabila ada hipotensi
Jangkauan level terapeutik

- Ukur konsentrasi dalam


darah setelah pemberian
dosis awal intravena
- 6-15 mikrogram/mL pada
minggu-minggu awal
kehidupan dilanjutkan 10-20
mikrogram/mL
- Midazolam
Midazolam

Dosis dan  0.15 mg/kg IV minimal selama 5


administrasi menit
Infus :

 60-400 mikrogram/kg/jam
 Rekonstitusi dan dilusi
 Dilusi 1 mg/kg
midazolam sampai
dosis total 50 mL
dengan Nacl 0.9%,
glukosa 5% atau 10%
 1 ml/jam = 20
mikrogram/kg.jam
Keterangan  Efektif pada bayi yang tetap
kejang setelah diberikan
fenobarbital dan/atau fenitoin
 Dapat menyebabkan depresi
respiratorik dan hipotensi jika

29
disuntikkan dengan cepat atau
diberikan bersamaan dengan obat
golongan narkotika
Benzodiazepin

Dosis dan Lorazepam


administrasi
- 0,05-0,1 mg/kg BB

Diazepam

- 0,1-0,3 mg/kgBB

Keterangan  Dapat menyebabkan depresi


respiratorik
 Mempengaruhi pengikatan
bilirubin pada albumin

Kontroversi Phenobarbital vs Phenitoin

Selama ini ada beberapa perdebatan mengenai mana yang


lebih baik digunakan terlebih dahulu untuk menangani kejang pada
neonatus. Ada beberapa pertimbangan mengenai kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing obat. Terapi yang dulu
dipergunakan adalah fenitoin sebagai terapi awal. Namun seiring
berkembangnya waktu, banyak paradigma baru yang
mempergunakan phenobarbital sebagai terapi awal yang lebih baik.

Phenobarbital

Penggunaan fenobarbital telah lama dianggap sebagai yang utama


untuk menangani kejang pada neonatus. Pemberian secara
intravena dapa dilakukan secepatnya setelah jalur infus telah
terpasang. Konsentarsi serum dapat ditentukan dengan sangat cepat
dan dosis yang lebih jauh lagi dapat diberikan apabila diperlukan.

30
Absorbsi secara enteral termasuk baik, jadi memudahkan
pemindahan antara administrasi intravena ke pemberian secara oral.
Fenobarbital dimetabolismekan di hepar, sehingga dosis rumatan
biasanya harus dinaikkan 5-8 mg/kg6 karena pada beberapa kasus
asfiksia, bayi harus memulihkan diri dari disfungsi hepar akut.
Hipotermia juga menurunkan metabolisme phenobarbital.

Fenitoin

Fenitoin memiliki efektivitas yang sama dengan phenobarbital


sebagai terapi awal kejang neonatus. Namun dikarenakan sulitnya
mempertahankan dosis terapi fenitoin6, phenobarbital lebih sering
digunakan sebagai terapi awal, terutama pada kasus akut.
Kekurangan lain pada fenitoin adalah tingginya potensi interaksi
dengan obat-obatan yang berikatan dengan protein. Namun, dosis
awal dari fenitoin lebih rendah resikonya untuk menyebabkan efek
sedasi dibandingkan fenobarbital. Fenitoin bercampur kurang baik
pada PH netral dan juga menyebabkan presipitat jika digunakan
bersama dextrose, jadi harus diberikan dengan jalur intravena bebas
dextrose. Vehikulus yang digunakan fenitoin sangat iritatif
terhadap jaringan lunak, sehingga sering menyebabkan cedera
jaringan lunak jika terjadi jalur ekstravasasi. Fenitoin menggunakan
jalur anti kejang yang berbeda dengan phenobarbital, fenitoin
menghalangi kanal natrium sehingga mencegah tembakan neuron
berulang. Sedangkan phenobarbital meningkatkan kemampuan
inhibisi.

Karen perbedaan inilah, ditarik kesimpulan fenitoin dan


phenobarbital digunakan secara berdampingan dalam menangani
kejang pada neonatus.

Obat-obatan lain

Ada beberapa laporan penggunaan obat-obatan lain dalam


menangani kejang pada neonatus. 1 yang paling diterima secara

31
antusias adalah levetiracetam. Levetiracetam telah digunakan
walaupun masih sedikit catatan mengenai percobaan obat ini
terhadap neonatus. Obat ini tidak memiliki interaksi dengan obat
lain. Obat ini tersedia sebagai solusi oral, sehingga memudahkan
konversi ke terapi oral. Obat ini dimetabolisme di ginjal, bukan di
hati. Mekanisme yang diketahui saat ini tidk secara langsung
melalui inhibisi atau eksitasi neutransmisi7. Dilaporkan beberapa
asus yang mengindikasikan efektifitas dan efek samping serius.
Dosis yang biasa digunakan adalah diantara 10-50 mg/kg7 dan
dosis rumatan harian dengan jumlah yang sama.

Kriteria memulangkan bayi

Sebagian besar dokter anak akan memulangkan bayi dengan


memberikan fenobarbital dosis rumatan jika ada pemeriksaan
neurologis yang abnormal.Beberapa melakukan pemeriksaan EEG
lagi dalam 1 bulan, atau sesaat sebelum keluar dari perawatan, dan
menghentikan terapi antikonvulsan jika EEGnya normal. Jika
keluar dari perawatan dengan tetap menggunakan obat
antikonvulsan, pertimbangkan penghentiannya jika mereka telah
bebas kejang selama 9 bulan.

2.8 Prognosis

Menurut buku neonatus IDAI, Kejang pada neonatus dapat mengakibatkan


kematian, atau jika hidup dapat menderita gejala sisa atau sekuele3

Etiologi Meninggal (%) Cacat (%) Normal (%)

HIE sedang dan 50 25 25


berat

Bayi kurang bulan 58 23 18

32
Meningitis 20 40 40

Malformasi otak 60 40

Hipokalsemia 100

Hipoglikemia 50 50

Prognosis jangka panjang sesudah kejadian kejang pada bayi berat lahir
rendah seperti pada bayi berat lahir normal berhubungan langsung dengan
penyebabnya. Kejang awitan dini biasanya dihubungkan dengan angka kesakitan
dan kematian yang tinggi. Kejang berulang, semakin lama kejang berlangsung
semakin tinggi risiko kerusakan pada otak dan berdampak pada terjadinya
kelainan neurologik lanjut (misalnya cerebral palsy dan retardasi mental).

33
BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan

Kejang yang terjadi pada bayi baru lahir (neonatal fit) adalah kejang yang
terjadi pada bayi baru lahir sampai dengan usia 28 hari. Menurut asal patofisiologi
dan neuronal kejang dapat dibagi dua yaitu epileptik dan non epileptik. Kejang
epileptik berasal dari neuron kortikal dan berkaitan dengan kelainan EEG.
Sedangkan kejang non epileptik berawal dari subkortikal dan biasanya tidak
berkaitan dengan perubahan EEG apapun. Penyebabnya adalah tidak adanya
hambatan kortikal pada refleks batang otak.

Penyebab kejang pada bayi baru lahir, diantaranya : (a)komplikasi


perinatal dapat berupa : hipoksi-iskemik ensefalopati; biasanya kejang timbul
pada 24 jam pertama kelahiran, perdarahan intrakranial, dan trauma susunan saraf
pusat yang dapat terjadi pada persalinan presentasi bokong, ekstrasi cunam atau
ekstrasi vakum berat, (b) kejang bayi dengan asfiksia disertai kelainan
metabolisme seperti: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesemia, hiponatremia,
dan hipernatremia. Hiperbilirubinemia, ketergantungan piridoksin, dan kelainan
metabolisme asam amino. Kejang dengan penyebab ini dapat terjadi 24-48 jam
pertama, (c) kejang yang terjadi pada hari ke-7 hingga hari ke-10, dapat
disebabkan adanya infesi dari bakteri dan virus seperti TORCH dan Tetanus
Neonatorum. Kejang neonatus bisa timbul dalam beberapa tipe yang mungkin
terlihat bersamaan selama beberapa jam. Kejang diklasifikasikan menurut
manifestasi klinis yang timbul yaitu subtle, klonik, tonik dan mioklonik.

Diagnosis kejang pada neonatus harus dimulai dengan pemeriksaan


menyeluruh terhadap riwayat dan pemeriksaan fisik. Selain itu pemeriksaan
penunjang yaitu kimia darah, darah lengkap rutin, kadar amonia darah, urinalisis,
radiologis seperti USG, CT, MRI dan pemeriksaan lainnya seperti EEG.

34
Tatalaksana kejang pada neonatus bertujuan untuk meminimalisir
gangguan fisiologis dan metabolik serta mencegah berulangnya kejang. Ini
melibatkan bantuan ventilasi dan perfusi, jika dibutuhkan, dan koreksi keadaan
hipoglikemia, hipocalcemia atau gangguan metabolik lainnya. Manajemen kejang
pada neonatus yaitu pengawasan jalan napas bersih dan terbuka, pemberian
oksigen. Periksa dan catat aktivitas kejang yang terjadi. Lakukan penilaian
secepatnya apakah penyebab kejang dapatg ditangani dengan cepat, jika tidak bisa
tangani kejang dengan fenobarbital 20 mg/kg IV 4sambil terus memonitor sistem
kardiovaskular dan respirasi dan lakukan teapi suportif yang dibutuhkan. Hentikan
semua asupan secara oral. Usahakan tangani penyebab utama kejang sesuai tata
cara yang diindikasikan. Jika kejang masih berlanjut, berikan dosis tambahan
fenobarbital 5 mg/kg IV 4(sampai tercapai dosis maksimal 40 mg/kgbb). Jika
kejang masih berlanjut, berikan fenitoin 15-20mg/kgbb4. Kejang dapat tertangani,
lanjutkan pengawasan. Pertimbangkan untuk menghentikan obat antikonvulsan
jika : kejang terkontrol dan pemeriksaan neurologis normal atau pemeriksaan
neurologis abnormal namun EEG normal.
Prognosis jangka panjang sesudah kejadian kejang pada bayi berat lahir
rendah seperti pada bayi berat lahir normal berhubungan langsung dengan
penyebabnya. Kejang awitan dini biasanya dihubungkan dengan angka kesakitan
dan kematian yang tinggi. Kejang berulang, semakin lama kejang berlangsung
semakin tinggi risiko kerusakan pada otak dan berdampak pada terjadinya
kelainan neurologik lanjut (misalnya cerebral palsy dan retardasi mental).

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Ghomela, Tricia. Lange Neonatology : Management, Procedures, On-Call


Problems, Diseases, Drugs.2004. edisi 5. New York : The Mcgraw-Hills
2. Gordon B. Avery, Mhairi G. MacDonald, Mary M. K. Seshia, Martha D.
Mullett, M.D. Avery’s neonatology : Pathophysiology And Management
Of The Newborn .2005. edisi 6. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins
3. Kosim M. Sholeh, Ari Yunanto, Rizalya Dewi, Gatot Irawan Santosa, Ali
Usman. Buku Ajar Neonatologi. 2010. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
4. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline. 2001-
2011.Queensland(Australia): Queensland Goverment . 2011
5. Jensen MD, Frances. Neonatal Seizures : An Update on Mechanisms and
management. Clin Perinatol. 2009; 36(4): 881
6. Olson MD, Donald. Neonatal Seizures. Neoreviews 2012; 13; e213
7. Ramantani G, et al. Levetiracetam: Safety and Efficacy in neonatal
seizures, European Journal of Paediatric Neurology 2010,
doi:10.1016/j.ejpn.10.003
8. JNPK-KR. Paket pelatihan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi
komprehensif (PONEK) Asuhan Neonatal Esensial. 2008. Jakarta

36

Anda mungkin juga menyukai

  • Ulangan Rizqi Al Fattih Wahyudi
    Ulangan Rizqi Al Fattih Wahyudi
    Dokumen1 halaman
    Ulangan Rizqi Al Fattih Wahyudi
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Ulangan Rizqi Al Fattih Wahyudi
    Ulangan Rizqi Al Fattih Wahyudi
    Dokumen1 halaman
    Ulangan Rizqi Al Fattih Wahyudi
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Untuk Dinda
    Untuk Dinda
    Dokumen7 halaman
    Untuk Dinda
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Untuk Dinda
    Untuk Dinda
    Dokumen7 halaman
    Untuk Dinda
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • ABSTRAK
    ABSTRAK
    Dokumen1 halaman
    ABSTRAK
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • ABSTRAK
    ABSTRAK
    Dokumen1 halaman
    ABSTRAK
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • 4.PERILAKU DAN KEPRIBADIAN BLOK 1 (DR - Riries)
    4.PERILAKU DAN KEPRIBADIAN BLOK 1 (DR - Riries)
    Dokumen23 halaman
    4.PERILAKU DAN KEPRIBADIAN BLOK 1 (DR - Riries)
    Aditya Rahman RY
    Belum ada peringkat
  • Belajar Radio
    Belajar Radio
    Dokumen30 halaman
    Belajar Radio
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Untuk Rizqa
    Untuk Rizqa
    Dokumen3 halaman
    Untuk Rizqa
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Adek
    Adek
    Dokumen1 halaman
    Adek
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Dokkel Tyas
    Dokkel Tyas
    Dokumen37 halaman
    Dokkel Tyas
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Septic Arthitis
    Septic Arthitis
    Dokumen58 halaman
    Septic Arthitis
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Dokkel Tyas
    Dokkel Tyas
    Dokumen37 halaman
    Dokkel Tyas
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Skenario Mata
    Skenario Mata
    Dokumen2 halaman
    Skenario Mata
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Tyas
    Jurnal Tyas
    Dokumen22 halaman
    Jurnal Tyas
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • REHABILITASI
    REHABILITASI
    Dokumen122 halaman
    REHABILITASI
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Latar Belakang
    Latar Belakang
    Dokumen1 halaman
    Latar Belakang
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • EPISTAKSIS
    EPISTAKSIS
    Dokumen24 halaman
    EPISTAKSIS
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Vertigo Perifer Tyas
    Vertigo Perifer Tyas
    Dokumen43 halaman
    Vertigo Perifer Tyas
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Traumatologi Forensik
    Traumatologi Forensik
    Dokumen10 halaman
    Traumatologi Forensik
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Refkas Tyas DHF
    Refkas Tyas DHF
    Dokumen45 halaman
    Refkas Tyas DHF
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Tutorial BP Picu Nefro
    Tutorial BP Picu Nefro
    Dokumen40 halaman
    Tutorial BP Picu Nefro
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Vertigo Perifer Tyas
    Vertigo Perifer Tyas
    Dokumen43 halaman
    Vertigo Perifer Tyas
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • STEP1-5 Saraf
    STEP1-5 Saraf
    Dokumen3 halaman
    STEP1-5 Saraf
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Tutorial AML
    Tutorial AML
    Dokumen27 halaman
    Tutorial AML
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Tutorial Septic Arthritis Fix
    Tutorial Septic Arthritis Fix
    Dokumen42 halaman
    Tutorial Septic Arthritis Fix
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Ok
    Ok
    Dokumen25 halaman
    Ok
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Bab I-Ii
    Bab I-Ii
    Dokumen20 halaman
    Bab I-Ii
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat
  • Refkas Tyas DHF
    Refkas Tyas DHF
    Dokumen45 halaman
    Refkas Tyas DHF
    Sulistyaning Tyas
    Belum ada peringkat