MODUL KESEMUTAN
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK II
Puja dan puji syukur kami haturkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala
yang telah memberikan banyak nikmat, taufik dan hidayah. Sehingga saya dapat
menyelesaikan laporan pleno modul “Kesemutan” dengan baik tanpa ada halangan.
Laporan ini telah kami selesaikan dengan baik berkat kerjasama dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami sampaikan banyak terima kasih
kepada segenap pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam
penyelesaian laporan ini.
Diluar itu, kami sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih
banyak kekurangan dalam penulisan laporan ini, baik dari segi tata bahasa, susunan
kalimat maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, kami selaku
penyusun menerima segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Demikian yang bisa saya sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah
khazanah ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat luas.
KELOMPOK II
ii
DAFTAR ISI
SAMPUL.................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
iii
BAB I
PEDAHULUAN
A. Skenario
Seorang anak laki-laki berusia 11 tahun mengalami kelemahan pada
kedua tungkai disertai rasa baal dan sulit berjalan sejak 3 minggu. Dua
minggu sebelum mengalami kelemahan tersebut pasuen menderita demam
dan mual selama 2 hari yang membaik dengan pemberian obat-obatan
simtomatik. Pasien tidak mengalami gangguan dalam berkemih. Pada
pemeriksaan fisik tanda-tanda vital dalam batas normal, pemeriksaan
neurologis nervus kranialis dalam batas normal.
B. Kata Sulit
1. Baal
C. Kata Kunci
1. Laki-laki
2. Usia 11 tahun
3. Lemah pada kedua tungkai
4. Sulit berjalan sejak 3 minggu
5. Demam dan mual
6. Obat-obatan simtomatik
7. Tidak ada gangguan dalam berkemih
8. Tanda-tanda Vital normal
9. Pemeriksaan Neurologis nervus kranialis normal
D. Daftar Pertanyaan
1. Bagaimana struktur neuroanatomi yang terlibat dalamkesemutan?
2. Apa definisi, etiologi, dan klasifikasi kesemutan?
3. Bagaimana patomekanisme terkait gejala pada skenario?
4. Bagaimana Langkah diagnosis pada scenario tersebut?
5. Apa diferensial diagnosa dari skenario?
1
E. Learning Outcome
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Neuroanatomi
Sistem saraf adalah sistem koordinasi berupa penghantaran impuls
bagian terkecil dari organ dalam tubuh, tetapi merupakan bagian yang
menjadi tiga tahap. Suatu stimulus eksternal atau internal yang mengenai
berjalan ke arah susunan saraf pusat (SSP) (impuls afferent), terjadi proses
stimulus.2
3
Gambar 2.1 Fungsional Sistem Saraf (biru: sensorik; merah:
motorik)2
saraf pusat (otak dan medula spinalis) dan saraf tepi (saraf kranial dan
spinal) dan secara fisiologi yaitu saraf otonom dan saraf somatik.
4
tubuh. Bagian fungsional pada susunan saraf pusat adalah neuron
metabolik.
a. Otak3,4
yang disadari. Otak besar ini dibagi menjadi dua belahan, yaitu
disenfalon adalah bagian dari otak besar yang terdiri dari talamus,
dan amigdala.
5
Gambar 2.3 Bagian-bagian Otak.3
dan zat buangan antara darah dan otak serta medula spinalis.3
terbagi menjadi dua lapis yaitu lapisan luar berwarna putih (white
6
2013). Lapisan luar mengandung serabut saraf dan lapisan dalam
Susunan saraf tepi (SST) yaitu saraf kranial dan saraf spinalis
tersusun dari semua saraf yang membawa pesan dari dan ke SSP
bagian yaitu:
oleh kesadaran.
7
1. Saraf kranial
2. Saraf Spinal
8
Gambar 2.6 Saraf Spinalis (31 pasang) beserta nama dan
letaknya.2
yang tidak disadari. Jaringan dan organ tubuh yang diatur oleh
9
SST berdasarkan divisinya juga dibagi menjadi dua bagian yaitu: 2
ascendens.
Sistem saraf pada manusia terdiri dari dua komponen yaitu sel
saraf dan sel glial. Sel saraf berfungsi sebagai alat untuk
10
mengandung organel yang bertanggung jawab untuk
ranvier.
11
sel yang lain melalui akson yang ujung satu dengan yang lain
12
• Astrosit/ Astroglia: berfungsi sebagai “sel pemberi
13
Gambar 2.9 Selubung mielin normal dan selubung
mielin pada GBS.5
• Mikroglia: sel glia yang mempunyai sifat fagosit dalam
cairan cerebrospinal.
14
Seluruh neuron dan akson disekat atau diselubungi oleh sel
glia. Sel glia yang berperan terdiri dari sel satelit dan sel
Schwann.
• Sel Satelit
disajikan di sinap.
• Sel Schwann
inervasi otot, badan sel motorik neuron ini terletak dalam SSP,
15
sistem saraf otonom mencakup semua motorik neuron viseral
ganglia perifer.
16
5) Regenerasi Neuron2
distal akson yang semakin memburuk dan migrasi makrofag pada sel
pertumbuhan kembali akson. Jika akson telah putus, akson yang baru
akan mulai muncul dari bagian proksimal bagian yang putus dalam
disekitarnya.
bagian distal dan proksimal bagian yang rusak bertemu. Ketika sebuah
17
akson yang akan sukses mengembalikan hubungan sinap yang normal,
neuron (LMN). Maka dari itu yang pertama kali diperkirakan bila
18
Tabel II.1 Perbedaan lesi LMN dan UMN.2
6) Anatomi Tungkai6
a. Tulang
Tungkai berfungsi sebagai penopang tubuh dan merupakan
bagian terpenting saat berdiri, berjalan, berlari, dan melompat.
Tungkai terdiri dari tulang–tulang dan otot–otot yang berfungsi
sebagai penopang dan penggerak tungkai. Tulang –tulang yang
menyusun tungkai adalah tulang pangkal paha (coxae), tulang
paha (femur), tulang kering (tibia), tulang betis (fibula),
tempurung lutut (patella), tulang pangkal telapak kaki (tarsalia),
tulang telapak kaki (metatarsalia), ruas jari-jari kaki (phalangea).
19
b. Otot
Otot adalah bagian penggerak tulang sehingga otot disebut
anggota gerak aktif. Permasalahan pada otot dapat diketahui
dengan tes gerak aktif sesuai fungsi otot tersebut. Otot- otot yang
menyusun tungkai dibagi menjadi dua yaitu otot tungkai atas dan
otot tungkai bawah. Pembagian otot tungkai berdasarkan
lokasinya adalah:
1. Otot-otot pinggul bagian ventral
a) M. Iliacus
b) M. psoas major
c) M. psoas minor
2. Otot-otot pinggul bagian dorsal
a) M. gluteus maximus
b) M. gluteus medius
c) M. gluteus minimus
d) M. piriformis
Di kaudal ditemukan lapisan otot lebih dalam, berikut ini
a) M. obturatorius internus
b) M. gemellus superior
c) M. gemellus inferior\
d) M. quadratus femoris
3. Otot-otot paha bagian ventral
a) Mm. quadriceps femoris (M. rectus femoris, M. vastus
lateralis, M. vastus intermedius, M. vastus medialis)
b) M. sartorius
c) M. tensor fascia latae
4. Otot-otot paha bagian medial (adductor)
a) M. Pectineus
b) M. Gracilis
c) M. adductor brevis
d) M. adductor longus
20
e) M. adductor magnus
f) M. obturatorius externus
5. Otot-otot paha bagian dorsal (Mm. Ischiocrurales)
a) M. biceps femoris
b) M. semitendinosus
c) M. semimembranosus
6. Otot-otot tungkai bawah bagian ventral
a) M. tibialis anterior
b) M. extensor hallucis longus
c) M. extensor digitorum longus
d) M. fibularis [peroneus] tertius (tidak selalu ada)
7. Otot-otot tungkai bawah bagian lateral (fibular)
a) M. fibularis [peroneus] longus
b) M. fibularis [peroneus] brevis
8. Otot-otot tungkai bawah bagian dorsal superficial (Mm.
triceps surae)
a) M. gastrocnemius
b) M. soleus
9. Otot-otot tungkai bawah bagian dorsal profundus
a) M. popliteus
b) M. tibialis posterior
c) M. flexor digitorum longus
d) M. flexor hallucis longus
10. Otot-otot punggung kaki:
a) M. extensor digitorum brevis pedis
b) M. extensor hallucis brevis
c) M. interossea
11. Otot-otot telapak kaki sebelah medial
a) M. abductor hallucis
b) M. flexor hallucis brevis
c) M. adductor hallucis
21
12. Otot-otot telapak kaki bagian tengah
a) M. flexor digitorum brevis pedis
b) M. quadratus plantae (M. flexor accessorius)
c) Mm. lumbricales pedis I-IV
d) Mm. interossei plantares pedis I-III
e) Mm. interossei dorsales pedis I-IV
13. Otot-otot telapak kaki bagian ventral
a) M. abductor digiti minimi brevis pedis
b) M. flexor digiti minimi brevis pedis
c) M. opponens digiti minimi (tidak selalu ada)
22
b) M. semi tendinosus
c) M. semi membranous (berfungsi untuk fleksi articulatio
genu dan memutar kedalam)
d) M. sartorius (berfungsi untuk membantu fleksi
articulatio genu dan eksorotator os femur)
6. Otot ekstensor articulatio talocruralis
a) M. tibialis anterior
b) M. peroneus longus
c) M. peroneus brevis
d) M. extensor hallucis longus
e) M. extensor hallucis brevis
f) M. extensor digitorum longus
g) M. extensor digitorum brevis
c. Articulationes7
Tungkai terdiri dari tulang (ossa) yang dihubungkan oleh
beberapa articulationes (persendian), yaitu Articulatio Coxae,
Articulatio Genu, Articulatio Cruris, Articulatio Pedis. Adapun
pembagiannya berdasarkan tulang penyusunnya adalah sebagai
berikut:
1. Pada regio Coxae
a) Facies auricularis os coxae bertemu dengan facies
auricularis os sacrum membentuk Articulatio
sacroiliaca.
b) Incisura acetabuli os coxae bertemu dengan caput
femoris os femur membentuk Articulatio coxae yang
23
berfungsi untuk pergerakan anteflexi dan retroflexi,
abduksi dan adduksi, rotasi, dan circumdictio.
2. Pada regio Genu
Pada regio Genu, articulatio yang terbentuk befungsi
untuk pergerakan flexi dan extensi, endorotasi dan
eksorotasi yang terjadi terhadap axis transversal.
a) Facies patellaris os femur bertemu dengan facies
articularis os patella membentuk Articulatio
femoropatellaris.
b) Condylus lateralis os femur bertemu dengan facies
articularis superior os tibia mementuk Articulatio
meniscofemoralis.
c) Condylus medialis os femur bertemu dengan facies
articularis superior os tibia membentuk Articulatio
meniscotibialis.
3. Pada regio Crus
a) Facies articularis fibularis os tibia bertemu dengan
caput fibulae os fibula membentuk Articulatio
tibiofibularis.
b) Incisura fibularis os tibia bertemu dengan facies
articularis malleoli lateralis os fibula membentuk
Syndesmosis tibiofibularis.
c) Membrana Interossea Cruris berperan sebagai
penstabil tambahan melalui jaringan penyambung dan
serabut kolagen yang padat, yang secara dominan
berjalan melintang ke bawah dari Tibia menuju Fibula.
Bersama dengan facies articularis inferior tibia,
malleolus medialis dan malleolus lateralis membentuk
garpu malleolar, yang menjadi socket bagi Articulatio
talocruralis.
24
4. Pada regio Pes
a) Facies articularis inferior os tibia bertemu dengan
facies articularis malleoli lateralis os tibia bertemu
dengan facies articularis malleoli mediale os fibula
bertemu dengan trochlea tali os talus membentuk
Articulatio talocruralis yang berfungsi untuk
pergerakan dorsofleksi dan plantarfleksi.
b) Facies articularis calcanea posterior, media, anterior
os talus bertemu dengan facies articularis talaris
posterior, media, anterior os calcaneus membentuk
Articulatio subtalaris.
c) Facies articularis cuboidea os calcaneus dan facies
articularis calcanea os cuboideum membentuk
Articulatio calcaneocuboidea.
d) Pertemuan antara os talus, os calcaneus dan os
naviculare membentuk Articulatio
talocalcaneonavicularis.
e) Pertemuan antara os cuneiforme mediale, intermedium,
dan laterale membentuk Articulationes
intercuneiformes.
f) Os cuneiforme mediale, intermedium, laterale dan os
naviculare membentuk Articulatio cuneonavicularis.
g) Os cuneiforme laterale dan os cuboideum membentuk
Articulatio cuneocuboidea.
h) Ossa tarsi dan ossa metatarsi membentuk
Articulationes tarsometatarsal.
i) Ossa metatarsi dan phalanges proximales pedis
membentuk Articulationes metatarsophalangeae yang
berfungsi sebagai abduksi dan adduksi, fleksi dan
ekstensi jari jari kaki.
25
j) Antara phalanges proximales pedis dan phalanges
media pedis membentuk Articulationes
interphalangeae pedis
5. Arcus Pedis
Fungsi arcus pedis adalah sebagai penopang berat
tubuh dan sebagai peredam kejut ketika kaki berkontak
dengan tanah. Dengan adanya arcus pedis ini maka berat
tubuh akan terbagi dua secara seimbang ke depan dan
belakang telapak kaki. Dengan adanya arcus pedis ini juga
seseorang bisa berpindah tempat dengan cepat dalam
keadaan berlari dari satu posisi ke posisi lain karena
fungsinya sebagai peredam kejut.
Arcus pedis dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Arcus longitudinal lateral, dibentuk oleh os calcaneus,
os cuboid dan ossa metatarsal IV dan V. Arcus ini
relatif lebih datar dan terbatas pada pergerakan. Arcus
ini berfungsi untuk menopang berat tubuh.
2. Arcus longitudinal medial, dibentuk sepanjang os
calcaneus sampai os talus, os navicular, os cuneiform,
dan ossa metatarsal I-III. Arcus ini lebih fleksibel dan
berfungsi sebagai peredam kejut ketika kaki berkontak
dengan tanah. Arcus ini juga berfungsi untuk membagi
distribusi berat tubuh menuju ke tuber calcaneus dan
kelima caput ossa metatarsale.
3. Arcus transversus, dibentuk oleh basis lima ossa
metatarsal, os cuboidea dan os cuneiform. Arcus ini
membantu untuk menopang berat tubuh.
26
Gambar 2.13 Arcus Longitudinalis Medial et Lateral7
C. Etiologi Kesemutan
1. Kesemutan biasa terjadi karena posisi tubuh, tungkai, kaki, lengan atau
tangan yang sedemikian rupa sehingga terjadi penekanan pada daerah
tertentu. Kesemutan akan hilanh bila posisi tubuh diperbaiki. Dapat juga
terjadi kesemutan di sekitar bibir saat hiperventilasi yang akan hilang bila
nafas kembali normal.
27
2. Terjadi pada kasus jepitan saraf pada ruas tulang punggung karena
masalah pada tulang punggung. Kesemutan akan terasa pada distal akibat
jepitan tersebut. Misalnya jepitan di daerah leher, maka kesemutan dapat
terjadi di leher, bahu, lengan, tangan sampai dengan jari.
3. Sciatica, tungkai dan kaki dipersarafi oleh syaraf sciatica yang keluar dari
ruas tulang punggung. Bila terjadi jepitan akan menyebabkan kesemutan
akan terasa pada bagian ekskremitas bawah sampai ke ujung jari kaki.
4. Adanya penyakit Diabetes Mellitus yang dapat merusak pembuluh darah
kepiler yang menyuplai darah ke saraf-saraf yang mempersarafi jari tangan
atau kaki. Maka kesemutan dapat terjadi pada jari-jari tersebut yang
disebut dengan peripheral neuropathy.
5. Penyakit saraf, termasuk didalamnya stroke, multiple sclerosis, tumor
otak. Kondisi ini dapat merusak saraf dan menimbulkan kesemutan.
6. Pengaruh obat-obatan seperti obat-obatan chemotherapy, antiretroviral
(obat HIV), dan metronidazole.
7. Trauma, bila trauma menyebabkan kerusakan pada ujung saraf maka akan
dirasakan kesemutan di daerah yang terkena.
8. Neuritis, peradangan yang terjadi pada saraf yang biasanya disebabkan
oleh konsumsi alcohol, zat-zat berbahaya dalam asap rokok, infeksi oleh
virus atau bakteri.
9. Defisiensi vitamin B12, kekurangan vitamin B12 dapat menyebabkan
kerusakan neurologi yang cukup serius bahkan bias menjadi permanen
(nyeri, terbakar, kesemutan dan mati rasa). Karena vitamin B12 berperan
penting fungsi normal sel saraf, pembentukan sel darah merah, hingga
pembentukan DNA.
28
menjadi spastik. Paraplegia tipe UMN dapat pula terjadi akibat adanya lesi
didalam kranium regio para sagittal.10
D. Klasifikasi Kesemutan
1. Paresthesia Sementara11
Subtipe paresthesia ini melibatkan mati rasa sementara atau
kesemutan yang menghilang secepat dapat terjadi dari duduk dengan kaki
disilangkan untuk waktu yang lama atau tidur di lengan Anda dalam posisi
membungkuk. Ini adalah jenis yang sangat umum dari paresthesia.
a) Obdormition: Obdormition adalah mati rasa yang disebabkan oleh
tekanan berkepanjangan pada saraf, seperti ketika kaki jatuh tertidur
jika kaki disilangkan untuk jangka waktu lama. Menghilang secara
bertahap sebagai tekanan lega.
b) Whiplash: Parestesi di ekstremitas atas dapat terjadi setelah cedera
whiplash, jenis cedera jaringan lunak leher rahim. Pujol et al
menunjukkan bahwa 13% pasien dengan whiplash telah dikaitkan
parestesia. Pemulihan biasanya timbul dalam waktu 6 bulan setelah
cedera.
c) Sindrom hiperventilasi: Parestesia merupakan 35% dari menyajikan
keluhan pada pasien dengan hiperventilasi sindrom dan mungkin mulai
setelah sesedikit tiga menit dari hiperventilasi. Setelah meningkatkan
kedalaman atau frekuensi pernapasan, pergeseran basa diproduksi
secara selektif meningkatkan Na + konduktansi dan pembuangan
ektopik di saraf aferen kulit normal dapat diinduksi.
d) Panik serangan: Paresthesiae mulut, tangan dan kaki yang umum, gejala
transien dari kondisi terkait sindrom hiperventilasi dan serangan panik.
e) Transient ischemic attack (TIA): TIA dapat dimanifestasikan oleh
parestesia. paresthesia pasca-iskemik terjadi ketika hiper polarisasi oleh
pompa Na + / K + yang transien dihentikan oleh ditinggikan
ekstraseluler K +. Gradien elektrokimia untuk K + dibalik dan
transportasi ke dalam dari K + memicu depolarisasi regeneratif.
29
f) Kejang: Parestesia mungkin terjadi selama dan setelah kejang parsial.
Pengobatan kejang dengan stimulasi saraf vagus juga dapat memicu
parestesia dan dianggap suatu peristiwa buruk yang terkait dengan
modalitas pengobatan ini.
g) Dehidrasi: Pada sekitar 5% sampai 6% kehilangan air kumulatif,
paresthesia mungkin terjadi.
h) Suplai darah tidak mencukupi: gangguan peredaran darah bisa
menyebabkan transient atau paresthesia kronis.
i) Sindrom Raynaud menggambarkan suatu kondisi yang ditandai oleh
sensasi dingin, nyeri terbakar atau mati rasa di jari tangan atau kaki.
Sindrom ini terjadi ketika pembuluh darah di jari tangan atau kaki
kejang, membatasi aliran darah. Beberapa faktor penyebab dapat
mengaktifkan sindrom Raynaud termasuk kontak ke dingin dan stres
emosional.
2. Paresthesia kronik11
Paresthesia kronis atau paresthesia intermiten selama periode waktu
yang panjang umumnya merupakan tanda penyakit saraf atau kerusakan
saraf traumatis. Paresthesia biasanya timbul dari kerusakan saraf akibat
infeksi, inflamasi, trauma, atau proses abnormal lainnya. Paresthesia jarang
karena gangguan yang mengancam jiwa, tetapi bisa terjadi sebagai akibat
dari stroke dan tumor. Sedangkan paresthesia adalah hilangnya sensasi,
kelumpuhan biasanya melibatkan kedua hilangnya gerakan dan sensasi.
a) Gangguan sistem saraf
Parestesia adalah manifestasi umum dari proses patologis pusat
dan perifer dan akibat aktivitas impuls ektopik di aferen kulit atau
proyeksi sentral mereka
1. Stroke: Parestesia dan defisit sensorik dianggap sebagai tanda-tanda
stroke. Dalam kasus yang tidak biasa, mandibula atau telinga
paresthesia mungkin gejala hanya menyajikan kecelakaan
serebrovaskular. Sebuah mati rasa menyenangkan persisten setelah
30
kecelakaan serebrovaskular dapat hasil dari paresthesia pasca stroke
pusat
2. Paresthesia mungkin disebabkan oleh infark lakunar selektif di
daerah diencephalic dan mesencephalic atau di diaschisis di korteks
parietal.
3. Perdarahan intra-serebral: Parestesia adalah gejala akut hematoma
intra-otak. Epidural atau subdural hematoma atau perdarahan
subarachnoid harus dianggap sebagai bagian dari diagnosis
diferensial untuk paresthesia akut dan kelemahan ekstremitas
4. Tumor otak: Sebuah mati rasa tiba-tiba terutama jika disertai dengan
sakit kepala, mual atau muntah, penglihatan ganda, atau kelemahan
bisa menyarankan tumor otak mungkin atau metastasis. Gua
angioma yang biasanya hadiah dengan defisit neurologis, nyeri
pinggang dan linu panggul atau sebagai perdarahan subarachnoid
bisa menjadi penyebab paresthesia
5. Trauma kepala: pasien cedera otak melaporkan tingginya tingkat
keluhan umumnya diakui sebagai dikaitkan dengan gangguan
neuropsikologi seperti paresthesia.
6. Ensefalitis dan meningitis: peradangan otak dapat menyebabkan
paresthesia. meningitis eosinophilic biasanya disebabkan oleh
nematoda Angiostrongylus cantonensis dengan sakit kepala, muntah
dan demam, dan juga dapat menyebabkan paresthesia dan leher kaku
7. Abses: Abses otak primer dapat dimulai dengan defisit neurologis
seperti paresthesia
8. Lumbar spinal stenosis: 70% dari pasien pengalaman paresthesia
yang diperburuk oleh ekstensi, dan meningkatkan dengan fleksi
tulang belakang.
9. Lupus eritematosus sistemik: vaskulitis sistemik dapat hadir dengan
beberapa neurologis dan gejala kejiwaan karena keterlibatan sistem
saraf pusat dan perifer. parestesia menyakitkan dan kelemahan
31
tungkai telah dilaporkan dalam kasus-kasus lupus eritematosus
sistemik
10. Multiple sclerosis: Salah satu yang paling gejala presentasi umum
dalam Multiple Sclerosis adalah paresthesia.
11. Transverse myelitis: gangguan sensorik dan paresthesia pada
ekstremitas dua presentasi umum dari akut melintang myelitis.
12. Spinal tusukan: Parestesia jarang terjadi selama tusukan tulang
belakang atau suntikan anestesi lokal untuk anestesi spinal.
13. Vitamin B 12 Kekurangan: gejala neurologis seperti paresthesia
sering vitamin B 12 defisiensi. respon Namun terapi untuk vitamin
B 12 dengan resolusi gejala terkait dramatis
14. Perifer etiologi sistem saraf (dengan atau tanpa rasa sakit) Sumber
yang paling umum dari paresthesia adalah neuropati perifer. Kulit
aferen saraf lebih stabil daripada akson motorik, karena perbedaan
dalam sifat biofisik mereka.
15. Neuropati jebakan Mati rasa dan paresthesia adalah dua keluhan
lebih umum pada pasien dengan neuropati perifer
16. Carpal tunnel syndrome: Carpal tunnel syndrome adalah yang paling
neuropati jebakan umum disebabkan oleh kompresi saraf median
dalam terowongan karpal. Hal ini ditandai dengan rasa sakit dan
paresthesia, dengan malam eksaserbasi biasa dan kejengkelan oleh
aktivitas sepanjang distribusi saraf median.
17. Lateral femoral syndrome kulit: meralgia paresthetica adalah
mononeuropati sensorik jarang ditemui ditandai dengan paresthesia,
rasa sakit atau gangguan sensorik sepanjang distribusi lateral
femoral saraf kulit (LFCN) yang disebabkan oleh jebakan atau
kompresi saraf saat melintasi anterior superior iliac spine dan
berjalan di bawah ligamentum inguinalis.
18. Terisolasi neuropati femoral: neuropati ini terjadi karena kompresi
langsung dari saraf femoralis, Terisolasi neuropati femoral
32
menyebabkan mati rasa dan paresthesia terletak di bagian
anteromedial dari paha.
19. Tarsal tunnel syndrome: Parestesia di kaki adalah gejala yang paling
sering sindrom tarsal tunnel dan mungkin memiliki etiologi arteri.
20. Linu panggul: linu panggul umumnya disebabkan oleh cakram
intervertebralis prolaps, meskipun stenosis kanal tulang belakang,
spondylolisthesis, sindrom piriformis, tumor tulang belakang dan
penyebab lainnya harus diperhatikan. sakit kaki, paresthesia dan
kelemahan yang paling mengganggu gejala pada linu panggul.
21. Herniasi: radikuler kompresi oleh herniasi bisa menyebabkan
memancar paresthesia ke ekstremitas
22. Spondylosis serviks: Dalam spondylosis serviks, paresthesia tidak
umum nokturnal, diperburuk oleh aktivitas tangan, atau
berhubungan dengan nyeri tangan, berbeda dengan carpal tunnel
syndrome.
23. Tekanan palsy: HNNP adalah penyakit yang diturunkan autosomal
dominan secara klinis ditandai dengan nyeri dan gejala neurologis
episodik atau berulang seperti perifer palsy atau paresthesia, sering
didahului oleh trauma ringan atau kerusakan
24. Penyakit Charcot-Marie-Tooth: Individu yang terkena biasanya
memiliki kelemahan otot distal dan atrofi sering dikaitkan dengan
ringan sampai sedang kehilangan sensori, depresi refleks tendon,
kaki tinggi melengkung, kram parah dan paresthesia menyakitkan
25. Amiloid neuropati: paresthesia adalah salah satu yang paling gejala
presentasi umum selain kelelahan, pusing dan penurunan berat
badan. Paresthesia mungkin memiliki sarung tangan dan kaus kaki
atau distribtuion bahkan thoraco-abdominal.
26. Gerakan berulang atau berkepanjangan getaran: Patofisiologi
kompresi saraf kronis mencakup spektrum yang luas dimulai dengan
edema subperineurial dan maju ke degenerasi aksonal. Perubahan
33
terlihat tergantung pada jumlah dan durasi kekuatan tekan dan
menyebabkan rasa sakit, kesemutan, mati rasa dan paresthesia
27. Neuralgia: Banyak pasien dengan nyeri neuropatik menunjukkan
nyeri persisten atau paroksismal dan parestesia yang independen
terhadap stimulus.
28. Gangguan peredaran darah (Seperti disebutkan sebelumnya, suplai
darah tidak mencukupi dapat menyebabkan sementara atau
paresthesia kronis).
Sindrom outlet Thoracic (TOS)
• Arteri TOS. Gejala Arteri TOS termasuk iskemia digital,
klaudikasio, pucat, dingin, paresthesia dan nyeri di tangan tapi
jarang di bahu atau leher.
• Vena TOS. Paresthesia di jari dan tangan umum di TOS vena
dan mungkin sekunder pembengkakan di tangan daripada
kompresi saraf di daerah stopkontak dada.
29. Neurogenik TOS. Nyeri, paresthesia, dan kelemahan di tangan,
lengan, dan bahu, ditambah sakit leher dan sakit kepala oksipital
adalah gejala klasik Neurogenik TOS.
b) Gangguan Metabolisme
1. Diabetes: Yang paling umum penyebab paresthesia di Amerika
Serikat adalah diabetes dan kecanduan alcohol.
2. Alkoholisme: Komplikasi yang paling umum dari asupan alkohol
kronis polineuropati beracun. neuropati ini diwujudkan oleh
gangguan sensorik distal dengan rasa sakit dan paresthesia dalam
sarung tangan dan kaus kaki pola.
3. Hipoglikemia: Paresthesia mungkin Manifestasi neuroglycopenic
atau adrenergik hipoglikemia. hipoglikemia berulang yang sering
terlihat pada pasien dengan insulinoma menyebabkan kelemahan
periodik, vertigo dan paresthesia perioral (95).
4. Hypothyroidism: Parestesia merupakan manifestasi klinis yang lebih
sering diamati pada hipotiroidisme.
34
5. Hipoparatiroidisme: hipoparatiroidisme adalah penyebab paling
umum dari hipokalsemia. penyebab hipokalsemia akut meningkat
iritabilitas neuromuskuler yang di bentuk yang lebih ringan
menyebabkan paresthesia dan mati rasa dari daerah acral dan
perioral.
6. Hiperaldosteronisme: Kebanyakan efek klinis hasil hyperaldoste-
ronism dari hipokalemia, yang meningkatkan iritabilitas
neuromuskuler dan menghasilkan kelemahan, kelumpuhan, dan
paresthesia.
7. Menopause: Salah satu yang paling umum dilaporkan gejala somatik
adalah paresthesia pada ekstremitas.
8. Tingkat darah abnormal kalsium, kalium atau natrium.
9. Uremia: Uremia juga dapat menyebabkan sindrom kaki gelisah yang
secara klinis didefinisikan sebagai dorongan untuk menggerakkan
kaki dengan atau tanpa paresthesia terkait.
c) Infeksi dan sindrom pasca-infeksi
1. Virus herpes simplex: Infeksi herpes menyebabkan paresthesia.
2. Virus herpes zoster: Infeksi primer oleh virus varicella-zoster (VZV)
mungkin berhubungan dengan beberapa komplikasi neurologis.
3. Sariawan: luka sariawan atau borok Apthous menyakitkan dan bulat
luka putih dengan perbatasan merah yang terjadi di dalam mulut.
Ada kesemutan atau sensasi terbakar sebelum munculnya luka.
4. polineuropati yang paling umum di antara neuropati HIV-1 terkait
termasuk rasa sakit distal, paresthesia dan mati rasa dalam mode
bergantung khas panjang-dengan proksimal gradien distal.
5. Sifilis: Neurosifilis dapat menyebabkan paresthesia. Paresthesia
dapat disebabkan mielitis tulang belakang yang disebabkan oleh
neurosifilis.
6. Sindrom Guillain-Barré (GBS): GBS adalah akut, polineuropati
simetris dengan fitur khas. Kursus klinis awal melibatkan
paresthesia menyakitkan yang biasanya diikuti oleh kelemahan
35
proksimal bermotor. Beberapa patogen menular mungkin
memainkan peran dalam patogenesis GBS.
7. Rabies: Setelah virus rabies mencapai sistem saraf pusat dan gejala
mulai menunjukkan, infeksi secara efektif diobati dan biasanya
berakibat fatal dalam beberapa hari. Tahap awal gejala rabies adalah
malaise, sakit kepala dan demam, maju ke nyeri akut, paresthesia,
gerakan kekerasan dan anjing gila.
d) Penyakit autoimun
1. Rheumatoid arthritis: Mulut kering, pruritus dan paresthesia sering
keluhan pada pasien dengan rheumatoid arthritis. Rheumatoid
myelopathy serviks menyebabkan paresthesia di lengan dan leher
nyeri.
2. Systemic lupus erythematosus.
3. Sindrom Sjogren: Neuropati perifer terjadi pada sindrom Sjogren.
Sejarah sering mengungkapkan keluhan terbakar, kesemutan
parestesia dalam stocking atau sarung tangan distribusi simetris atau
di wajah (Trigeminal Nerve).
4. Anemia pernisiosa.
5. Arthritis: Paresthesia dapat terjadi pada psoriasis arthritis.
6. Fibromyalgia: paresthesia memiliki frekuensi tertinggi di antara
distress klinis yang terkait di fibromyalgia.
e) Kekurangan Gizi
1. Vitamin B 1: Tiamin (vitamin B 1) Kekurangan mengarah ke Beri-
Beri yang mengambil dua bentuk. Kering beri-beri memiliki gejala
neuropati perifer dengan ataksia, kelemahan, paresthesia, dan
gangguan sensorik tambal sulam dengan arefleksia.
2. Vitamin B 5: Tampaknya asam pantotenat (vitamin B 5) dapat
menyebabkan polineuropati sensorik.
3. Vitamin B 6: Gejala-gejala yang berhubungan dengan piridoksin
(vitamin B 6) Kekurangan yang neuropati perifer, seperti paresthesia
dan membakar dysesthesias.
36
4. Vitamin B 12 (Lihat Vitamin B 12 Kekurangan di Central etiologi
sistem saraf) Keganasan: paresthesia lokal dapat disebabkan oleh
keganasan yang menempatkan tekanan pada saraf yang berdekatan.
f) Gangguan Kulit
1. Luka bakar: Studi pasien pulih dari luka bakar yang signifikan
menunjukkan bahwa sensasi abnormal seperti paresthesia sering
dilaporkan selama beberapa tahun setelah cedera.
2. Ito sindrom: hypomelanosis dari Ito adalah gangguan neurokutaneus
langka. Hal ini ditandai dengan daerah kulit depigmentasi sering
dikaitkan dengan mata, muskuloskeletal dan saraf kelainan.
3. Penyakit merah muda: pasien yang terkena awalnya lesu, anoreksia,
dan rongseng. tekanan darah mereka dan meningkatkan denyut
jantung. nyeri yang signifikan terjadi pada tangan dan kaki
mencegah tidur. Akhirnya tangan dan kaki akan membengkak dan
menjadi paresthetic, menjadi warna pink kehitaman bersama dengan
proses serupa yang terjadi pada hidung.
g) Acroparesthesia: Wanita pasca menopause
1. Migrain: Aura somatosensori dari migrain dapat terdiri dari
parestesia digitolingual atau cheiro-oral. paresthesia mungkin
bermigrasi ke lengan dan kemudian memperpanjang melibatkan
wajah, bibir dan lidah.
2. Gangguan psikologis: Kecemasan, serangan panik dan penyakit
kejiwaan dapat menyebabkan hiperventilasi yang dapat
menyebabkan paresthesia. Paresthesia juga bisa menjadi manifestasi
dari depresi.
3. Obat: Parestesia dapat menjadi efek samping dari beberapa obat
seperti convulsant anti narkoba, topiramate, amiodaron.
h) Racun
1. Alkohol (Lihat Alkoholisme pada gangguan metabolik).
37
2. Tembakau: Merokok merupakan faktor risiko yang kuat untuk
arteriosklerosis dan penyakit Buerger yang dapat menyebabkan
sensitif polineuropati akson.
3. Penyalahgunaan narkoba: pengadministrasian intravena obat
farmasi yang kuat yang bekerja pada sistem saraf pusat, terutama
opioid terutama digunakan non-medis (penyalahgunaan obat) dapat
menyebabkan manifestasi neurologis seperti paresthesia.
4. Nitrous oxide: Paparan nitrous oxide dapat merusak sistem saraf
yang dapat menyebabkan naik paresthesia dari anggota badan,
ataksia parah gait, taktil kehilangan sensorik pada tungkai dan
batang, dan refleks tendon.
5. Karbon monoksida: Parestesia, emesis, diare, sakit kepala unilateral,
palpitasi atau kematian tidak spesifik tetapi gejala umum dari
keracunan karbon monoksida.
6. Ular gigitan: Beberapa racun mengandung racun yang menyerang
sistem saraf, menyebabkan neurotoksisitas. Korban mungkin hadir
dengan gangguan aneh untuk visi mereka, paresthesia, berbicara
kesulitan dan kelumpuhan pernapasan
7. Logam berat
• Merkuri: toksisitas dari mercurials organik termasuk
dekompensasi neurologis dengan kerusakan mental, ataksia,
kejang, paresthesia, tuli, dan koma akhirnya.
• Arsenik: Neurologis dan studi neurofisiologis menunjukkan
bahwa fungsi sistem saraf pusat dan perifer mungkin terganggu
dalam kondisi paparan arsenik.
• Memimpin: Temuan menonjol di antara para pekerja timah
terkena adalah kelelahan, ketidaknyamanan perut, sakit
punggung, mialgia dan paresthesi.
38
E. Patomekanisme Kesemutan
Paresthesia terjadi pada dua kejadian didalam saraf sensorik yang sama:12
1. Saat iskemia
2. Setelah iskemia → lebih menyolok
Yang mendasari terjadinya paresthesia adalah impuls ektopik. Muatan ektopik
merupakan konduksi sinyal elektrik (perubahan potensial membran) pada
tempat dan waktu yang tidak diinginkan.
Pada keadaan normal:
1. Depolarisasi (tegangan membran meningkat dari-55mv ke +30mv) saluran
Na+ membuka, sedangan saluran K+ menutup.
2. Depolarisasi (tegangan menurun, dari +30mv ke -70mv) Saluran Na+
menutup, sedangkan saluran K+ membuka.
3. Diperpolarisasi (tegangan menurun lebih jauh dari -70mv ke -9-mv)
saluran Na+ menutup, sedangkan saluran K+ masih membuka.
4. Kembali ke potensial membran yang normal, yakni -70mv.
Efek tidak langsung dari ketdakefektfan kerja pompa Na+/K+ ini adalah
adanya peningkatan kadar K+ pada lingkungan ekstraseluler, yang
menyebabkan arus K+ persisten (tetap). Setelah iskemia terjadi, akan terjadi
suatu peristiwa kompensasi pada aktivitas pompa Na+/K+. Peristiwa
kompensasi ini meyebabkan terjadinya peristiwa paresthesia yang kedua, yang
lebih terasa dan menyolok.12
39
Elektrofisiologi, selama fase iskemia adalah sebagai berikut:
40
Paresthesia muncul dari muatan ektopik dari serabut saraf aferen (sensori)
bermielin Tipe A-beta dan A-gamma sedangkan paresthesia akibat suhu terjadi
akibat reseptor kutan menerima impuls dari serabut saraf afferen non-
myelinated tipe C.
Paresthesia juga dapat disebabkan oleh gangguan sistem saraf tepi yang
diakibatkan oleh beberapa penyakit, seperti diabetes melitus, hipotiroidism,
alkohism, and vitamin B12.
41
I. Patomekanisme Lemah Otot
42
serta relaksasi sfingter esofagus bawah. Kemudian pada fase emesis
perubahan tekanan intrathoraks menjadi positif dan sfingter esofagus akan
relaksasi sehingga isi lambung keluar dari mulut.
• Demam15
Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan
langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi
berbagai rangsang. Sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik, maka
monosit, makrofag, dan sel kupfer mengeluarkan sitokin yang berperan
sebagai pirogen endogen (IL-1, TNF-α, IL-6, dan interferon) yang bekerja
pada pusat thermoregulasi hipotalamus. Sebagai respon terhadap sitokin
tersebut maka terjadi sintesis prostaglandin, terutama prostaglandin E2
melalui metabolisme asam arakidonat jalur siklooksigenase-2 (COX-2)
dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh. Hipotalamus akan
mempertahankan suhu sesuai patokan yang baru dan bukan suhu normal.
Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin
melalui sinyal afferen nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal
Macrophage Inflammatory Protein-1 (MIP-1), suatu kemokin yang
bekerja langsung terhadap hipotalamus anterior. Berbeda dengan demam
dari jalur prostaglandin, demam melalui MIP-1 ini tidak dapat dihambat
oleh antipiretik. Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan
produksi panas, sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk
dengan cepat mengurangi pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut
mendorong suhu naik. Dengan demikian, pembentukan demam sebagai
respon terhadap rangsangan pirogenik adalah sesuatu yang dialami dan
bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme termoregulasi.
43
a. Data Identitas
b. Keluhan utama
c. Faktor pemberat keluhan utama
d. Gejala lain
e. Riwayat obat
f. Riwayat penyakit sekarang awitan dan factor pencetus
g. Riwayat penyakit dahulu
h. Riwayat keluarga
2. Pemeriksaan fisik lengkap harus dilaksanakan secara rutin pada saat pasien
psikiatri didaftarkan. Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain: 16
a. Neurologis
b. Inspeksi
c. Refleks fisiologi
3.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari informasi lebih lanjut.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan ialah:16
a. Pemeriksaan darah
b. Pemeriksaan cairan serebrospinal
c. Pemeriksaan fungsi saraf: Elektromiografi dan Nerve velocity Test
d. Pencitraan: Foto polos, CT Scan, MRI
L. Penatalaksanaan
Farmakoterapi yang dapat digunakan antara lain dengan antikonvulsan,
antidepresan dan neurotropik yang termasuk didalamnya adalah vitamin B1,
B6, dan B12. Vitamin neurotropik berfungsi menormalkan fungsi saraf dengan
memperbaiki gangguaan metabolisme saraf melalui pemberian asupan yang
dibutuhkan. Pemberian vitamin B1 (100mg), B6 (100mg), dan B12 (200mcg)
terbukti efisien dalam penurunan gejala neuropati pada sekitar 87,4% pasien
dari 310 pasien neuropati perifer diabetic.17
44
M. Diagnosis Banding
1. POLIOMELITIS18
a) Definisi
Poliomielitis (polio, paralisis infantile) adalah penyakit menular oleh
infeksi virus yang bersifat akut. Predileksi virus ialah merusak sel-sel neuron
motorik kornu anterior masa kelabu medula spinalis (anterior horn cells of the
spinal cord) dan batang otak (brain stem) yang berakibat kelemahan atau
kelumpuhan otot (paralisis flaksid akut) dengan distribusi dan tingkat yang
bervariasi serta bersifat permanen.
b) Epidemiologi, Etiologi, dan Transmisi
Poliomielitis adalah suatu penyakit paralisis atau lumpuh yang
disebabkan oleh virus. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan manusia
merupakan satu-satunya reservoir untuk poliomielitis. Poliomielitis sedikit
lebih banyak menyerang anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, dan
lebih sering dialami oleh anak-anak yang tidak mendapatkan vaksinasi,
terutama bagi mereka yang tinggal di daerah yang penduduknya padat dan
dengan sanitasi yang buruk. Poliomielitis disebabkan oleh infeksi dari genus
enterovirus yang dikenal dengan poliovirus. Terdapat tiga serotipe dari
poliovirus, yaitu: poliovirus tipe 1 (Brunhilde/PV1), tipe 2 (Lansing/PV2),
dan tipe 3 (Leon/PV3). Transmisi penyakit ini sangat mudah lewat oral-oral
(orofaringeal) dan fekal-oral (intestinal). Polio sangat infeksius antara 7-10
hari sebelum dan sesudah timbulnya gejala, tetapi transmisinya mungkin
terjadi selama virus berada di dalam saliva atau feses.
c) Patofisiologi
Poliovirus masuk kedalam tubuh melalui mulut, menginfeksi sel yang
pertama ditemuinya, yaitu di faring dan mukosa saluran cerna. Virus ini
masuk dan berikatan dengan immunoglobulin-like receptor, yang dikenal
sebagai reseptor poliovirus atau CD 155, pada membran sel. Di dalam sel-sel
saluran cerna, virus ini bertahan selama sekitar 1 minggu, kemudian menyebar
ke tonsil, jaringan limfoid saluran cerna dan kelenjar limfa mesenterik dan
servikal dimana virus ini berkembang biak. Selanjutnya, virus ini masuk ke
dalam aliran darah. Poliovirus dapat bertahan dan berkembang biak dalam
darah dan kelenjar limfa untuk waktu lama, kadang-kadang hingga 17 minggu.
45
d) Klasifikasi
1. Polio paralitik
Denervasi jaringan otot skelet sekunder oleh infeksi poliovirus dapat
menimbulkan kelumpuhan. Tanda-tanda awal polio paralitik ialah panas
tinggi, sakit kepala, kelemahan41 pada punggung dan leher, kelemahan
asimetris pada berbagai otot, peka dengan sentuhan, susah menelan, nyeri
otot, hilangnya refleks superfisial dan dalam, parestesia, iritabilitas,
konstipasi, atau sukar buang air kecil. Kelumpuhan umumnya berkembang
1-10 hari setelah gejala awal mulai timbul Prosesnya berlangsung selama
2-3 hari, dan biasanya komplit seiring dengan turunnya panas.
2. Polio spinal
Polio spinal adalah tipe poliomielitis paralisis yang paling sering
akibat invasi virus pada motor neuron di kornu anterior medula spinalis
yang bertanggung jawab pada pergerakan otot-otot, termasuk otot-otot
interkostal, trunkus, dan tungkai. Kelumpuhan maksimal terjadi cukup
cepat (2-4 hari), dan biasanya timbul demam serta nyeri otot. Virus dapat
merusak otot-otot pada kedua sisi tubuh, tetapi kelumpuhannya paling
sering asimetris. Kelumpuhan seringkali lebih berat di daerah proksimal
dari pada distal.
3. Polio bulbar
Terjadi kira-kira 2% dari kasus polio paralitik. Polio bulbar terjadi
ketika poliovirus menginvasi dan merusak saraf-saraf di daerah bulbar
batang otak. Destruksi saraf-saraf ini melemahkan otot-otot yang
dipersarafi nervus kranialis, menimbulkan gejala ensefalitis, dan
menyebabkan susah bernafas, berbicara, dan menelan. Akibat gangguan
menelan, sekresi mukus pada saluran napas meningkat, yang dapat
menyebabkan kematian.
4. Polio bulbospinal
Kira-kira 19% dari semua kasus polio paralitik yang memberikan
gejala bulbar dan spinal; subtipe ini dikenal dengan polio respiratori atau
polio bulbospinal. Poliovirus menyerang nervus frenikus, yang mengontrol
diafragma untuk mengembangkan paruparu dan mengontrol otot-otot yang
dibutuhkan untuk menelan.
46
e) Gejala Klinis
Gejala klinik bermacam-macam dan digolongkan sebagai berikut:
1. Jenis asimtomatis Setelah masa inkubasi 7-10 hari, tidak terdapat gejala
klinik sama sekali karena daya tahan tubuh cukup baik. Jenis ini banyak
terdapat waktu epidemi.
2. Jenis abortif 42 Timbul mendadak langsung beberapa jam sampai
beberapa hari. Gejala seperti infeksi virus lainnya, yaitu: malaise,
anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorokan, konstipasi
dan nyeri abdomen.
3. Jenis non-paralitk Gejala kliniknya hampir sama dengan poliomielitis
abortif, hanya nyeri kepala, nausea, dan muntah lebih hebat. Terdapat
tanda-tanda rangsangan meningeal tanpa adanya kelumpuhan. Suhu bisa
naik sampai 38-39oC disertai nyeri kepala dan nyeri otot. Bila penderita
ditegakkan, kepala akan terjatuh kebelakang (head drops). Bila penderita
berusaha duduk dari sikap tidur maka kedua lututnya ditekuk dengan
menunjang kebelakang dan terlihat kekakuan otot spinal (tripod sign).
4. Jenis paralitik Gejala kliniknya sama seperti pada jenis non-paralitik,
kemudian disertai kelumpuhan yang biasanya timbul 3 hari setelah
stadium preparalitik.
f) Diagnosis
Diagnosis poliomielitis paralitik ditegakkan berdasarkan anamnesis
yaitu adanya kelumpuhan flaksid yang mendadak pada salah satu atau lebih
anggota gerak dengan refleks tendon yang menurun atau tidak ada pada
anggota gerak yang terkena, yang tidak berhubungan dengan penyebab
lainnya, dan tanpa adanya gangguan sensori atau kognitif.
Virus polio dapat diisolasi dan dibiakkan dari bahan hapusan tenggorok
pada minggu pertama penyakit, dan dari tinja sampai beberapa minggu. Bila
pemeriksaan isolasi virus tidak dapat dilakukan, maka dipakai pemeriksaan
serologi berupa tes netralisasi dengan memakai serum pada fase akut dan
konvalesen. Selain itu bisa juga dilakukan pemeriksaan complement fixation
(CF). Diagnosis laboratorik biasanya berdasar-kan ditemukannya poliovirus
dari sampel feses atau dari hapusan faring. Antibodi dari poliovirus dapat
didiagnosis, dan biasanya terdeteksi di dalam darah pasien yang terinfeksi.
47
Hasil analisis cairan serebrospinal yang diambil dari pungsi lumbal didapati
adanya peningkatan jumlah leukosit serta protein juga sedikit meningkat.
Dapat juga dilakukan pemeriksaan khusus yaitu kecepatan hantar saraf dan
elektromiografi.
g) Penatalaksanaan
Terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Istirahat selama fase akut.
b. Penderita diisolasi selama fase akut.
c. Terapi simtomatik untuk meringankan gejala.
d. Dilakukan fisioterapi untuk mengurangi kontraktur, atrofi, dan atoni otot.
Otot-otot yang lumpuh harus dipertahankan pada posisi untuk mencegah
deformitas. Dua hari setelah demam menghilang dilakukan latihan
gerakan pasif dan aktif.
e. Akupunktur dapat dilakukan dengan hasil yang cukup memuaskan
f. Terapi ortopedik dilakukan bila terjadi cacat karena kontraktur dan
subluksasi akibat terkenanya otot di sekitar sendi dan lain-lain.
h) Komplikasi
Beberapa komplikasi yang sering ditemukan, yaitu: equinus foot (club
foot), deformitas, gangguan pergerakan sendi, skoliosis, osteoporosis,
neuropati. dan komplikasi akibat tirah baring lama.
i) Prognosis
Prognosis tergantung pada beratnya penyakit. Pemulihan motorik pada
poliomielitis umumnya cukup baik. Pada kasus polio spinal, bila sel-sel saraf
rusak total maka kelumpuhan dapat menetap. Prognosis buruk pada bentuk
bulbar. Kematian biasanya terjadi karena kegagalan fungsi pusat pernapasan
atau infeksi sekunder pada jalan napas.
j) Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif dan
menghindari daerah endemis.
48
2. MYASTENIA GRAVIS19,20,21
a) Definisi
Miastenia gravis merupakan suatu kelainan autoimun saraf
perifer berupa terbentuknya antibodi terhadap reseptor pascasinaptik
asetilkolin (Ach) nikotinik pada myoneural junction. Penurunan jumlah
reseptor Ach ini menyebabkan penurunan kekuatan oto yang progresif
dan terjadi pemulihan setelah beristirahat.
Miastenia gravis juga merupakan kelainan transmisi
neuromuskulor primer yang paling sering ditemui. Saat ini, penyakit ini
paling dipahami sebagai penyakit autoimun, dengan kelainan imunitas
didapat.
b) Epidemiologi
Angka kejadiannya 20/100.000 populasi, sering umur diatas 50
tahun. Wanita lebihsering dibanding pria.
c) Patofisiologi
Kelainan autoimun menyebabkan terbentuknya antibodi pada
reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan
otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin
reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang
menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel
B”, dimana antibody yang merupakan produk dari sel B justru
melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada pathogenesis
miastenia gravis mulai semakin menonjol.
Timus merupakan organ sentral terhadap imnitas yang terkait
dengan sel T, dimana abnormalitas pada timus seperti hyperplasia
timus atau timoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan
gejala miastenik. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin padareseptor
asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi
neuromuskular.
49
d) Klasifikasi
50
4. Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin
memburuk. Kelemahantersebut akan menyebar mulai dari otot
ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas.
5. Disartria dan disfagia.
6. Wajah tanpa ekspresi / sulit senyum.
7. Kelemahan otot pernapasan.
f) Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik adanya gambaran klinis
3. Tes klinik sederhana:
• Tes wartenberg: memandang objek diatas bidang antara kedua
bola mta selama
4. Tes farmakologik
51
7. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
g) Diagnosis Banding
1. Sindrom Eaton-Lambert
3. Multipel sclerosis
• Istirahat
52
• Plasma exchange
• Imunoglobulin
i) Prognosis
Progresi penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun,
kemudian berangsur-angsur baik dalam 15-20 tahun dan 20 %
antaranya mengalami remisi.
j) Komplikasi
Krisis miastenik merupakan suatu kaus kegawatdaruratan yang
terjadi bila otot yang mengendalikan pernapasan menjadi sangat
lemah. Kondisi ini dapat menyebabkan gagal pernapasan akut.
53
adanya asosiasi antara GBS dengan vaksinasi misalnya pada vaksinasi
flu babi, infulenza, rabies, dan meningokok.
d) Patofisiologi
Onser GBS umumnya muncul 1-4 minggu setelah penyakit
infeksius muncul. Banyak organisme infeksius yang dianggap
menginduksi produksi antibodi yang bereaksi silang dengan gangliosid
dan glikolipid, seperti GM1 dan GD1b, yang tersebar luas di sepanjang
mielin pada system saraf perifer(molecular mimicry).
Antibodi yang terbentuk tidak hanya menyerang patoden namun juga
menyerang dan merusak selubung mielin saraf. Terjadi infiltrasi
limfosit dan fagositosis oleh makrofag. Rusaknya mielin menyebabkan
hantaran saraf terhambat atau tidak terjadi sama sekali sehingga terjadi
paralisis.
e) Manifestasi Klinis
Sebagaian besar pasien terdapat riwayat infeksi di saluran cerna
atau pernafasan, seperti diare, common cold, dan pneumonia . sekitar
10 hari kemudian, pasien mengalami paralisis atau laundry’s ascending
paralysis. Disebut ascending karena paralisis dimulai dari ekstremitas
bawah, kemudian naik ke batang tubuh, ekstremitas atas, dan terakhir
ke otot-otot bulbaris. Refleks tendon kemudian menghilang. Anak
tampak iritabel dan menolak atau tidak bisa berjalan.
Keterlibatan otot-otot bulbar akan menyebabkan paralisis nervus
kranialis serta paralisis otot-otot pernapasan yang dapat menyebabkan
gagal napas. Dapat juga terjadi keterlibatan sensorik dan otonom.
Kelainan sensorik bermanifestasi sebagai rasa nyeri, baal, parestesia,
hilangnya sensasi getar, sentuh, nyeri dan proprioseptif dibagian distal.
Disfungsi otonom menyebabkan hipotensi postural hipertensi, irama
jantung tidak teratus, takikardi atau bradikardi sinus, hipersalivasi,
anhidrosis atau fluktuasi tekanan darah yang sangat lebar.
54
f) Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik:
3. Pemeriksaan Penunjang:
55
• Lumbal Pungsi
56
pasien mengalami schronic relapsing polyradivuloneuropathy yaitu sindrom GBS
yang berulang terus-menerus dan tidak mengalami perbaikan untuk waktu yang
sangat lama.
i) Prognosis
2. Intubasi
4. Perubahan usia
57
TABEL DD
Laki-laki, 11 Tahun + - +
Rasa Baal + + +
Lemah Tungkai + + +
Sulit Berjalan + + +
TTV Normal + - -
58
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Paraesthesia adalah istilah teknis yang digunakan untuk
mencerminkan persepsi sensasi abnormal, termasuk perasaan pin dan jarum,
kesemutan, tusukan atau perasaan seolah-olah semut merayap di atas / di
bawah kulit dan pasien harus didorong untuk sepenuhnya menggambarkan
apa yang mereka rasakan. Paresthesia menunjukkan kelainan yang
mempengaruhi sistem saraf sensorik dan dapat timbul di mana saja dari saraf
perifer ke korteks sensorik. Ini adalah salah satu istilah yang melekat pada
neuropati perifer.
B. Saran
Pada problem based learning mahasiswa di tuntut untuk lebih aktif
lagi memberikan infomasi yang akurat. Di harapkan sebelum PBL
mahasiswa menguasai materi yang terkait, dan diharapkan kepada
mahasiswa agar tidak menitik beratkan kepada diagnosis skenario tetapi
lebih ke bagaimana cara memecahkan suatu masalah.
59
DAFTAR PUSTAKA
60
14. Dwi Andryani, Harpeni. Penatalaksanaan Fisioterapi pada kasus Paraparese
Inferior Ec Post Laminectomy. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
2013.
15. Sherwood L. Human Physiology from cells to system. Edisi ke-6: Thomson
Brooks/ Cole. 2007.
16. Salawati liza dan syahrul. Penyakit akibat kerja, CTS, CTD. JURNAL
KEDOKTERAN SYIAH KUALA. April 2014;(14)1:
Hal.29.http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JKS/article/download/2742/2590
17. Dewi ratna sari kusuma. Diabetic peripheral neuropathy, vitamin B1,B6
and B12, total symptoms score.Jurnal Farmasi SAINS dan Komunitas.
November 2016;(13)2: Hal 97-104. http://e-
journal.usd.ac.id/index.php/JFSK/article/download/193/193_Dewi.
18. Pontoh LM, Program EA. Rehabilitasi medik pada poliomielitis. J
Biomedik. 2015;7(2):117–20.
19. dr. Badrul Munir Sp.S. Neurologi dasar. Edisi kedua. Fakultas
KedokteranUniversitas Brawijaya Malang. 2017.
20. Buku MMN Neurologi. 2019.
21. Tanto C, dkk. Kapita selekta. Edisi IV. Fakultas KedokteranUniversitas
Indonesia. 2014.
22. Munir B. NEUROLOGI DASAR. 1st ed. Mariyam NS, editor. Jakarta:
Sagung Seto;2017. 344–349 p.Tanto C, Liwang F, Dkk. KAPITA SELEKTA
KEDOKTERAN. 4th ed. Jakarta:Media Aesculapius; 2014.
23. PERDOSSI. PANDUAN PRAKTIK KLINIS NEUROLOGI. M K,
Suharjanti I,Pinzon RT, editors. Jakarta; 2017.
61