Anda di halaman 1dari 64

LAPORAN TUTORIAL

MODUL KESEMUTAN

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK II

AHMAD FARI ARIEF LOPA (70700120038)


ALFITRA SALAM (70700120026)
ANDI NURFADILAH SYAM (70700120030)
NADHIRAH ANANDA IDRIS (70700120034)

PEMBIMBING : dr. Rauly Ramadhani, M.Kes


SUPERVISOR : dr. Lilian Triana Limoa, Sp.S

PROGRAM STUDI PROFESI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kami haturkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala
yang telah memberikan banyak nikmat, taufik dan hidayah. Sehingga saya dapat
menyelesaikan laporan pleno modul “Kesemutan” dengan baik tanpa ada halangan.

Laporan ini telah kami selesaikan dengan baik berkat kerjasama dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami sampaikan banyak terima kasih
kepada segenap pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam
penyelesaian laporan ini.

Diluar itu, kami sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih
banyak kekurangan dalam penulisan laporan ini, baik dari segi tata bahasa, susunan
kalimat maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati, kami selaku
penyusun menerima segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca.

Demikian yang bisa saya sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah
khazanah ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat luas.

Makassar, 22 April 2021

KELOMPOK II

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL.................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii


BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1
A. Skenario ............................................................................................................1
B. Kata Sulit ......................................................................................................... 1
C. Kata Kunci ........................................................................................................1
D. Daftar Pertanyaan..............................................................................................1
E. Learning Outcome.............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................3
A. Neuroanatomi ....................................................................................................3
B. Definisi Kesemutan dan Rasa Baal .................................................................27
C. Etiologi Kesemutan .........................................................................................27
D. Klasifikasi Kesemutan ....................................................................................29
E. Patomekanisme Kesemutan ............................................................................39
F. Definisi Lemah Otot .......................................................................................41
G. Etiologi Lemah Otot .......................................................................................41
H. Klasifikasi Lemah Otot ...................................................................................41
I. Patomekanisme Lemah Otot ...........................................................................42
J. Hubungan Gejala Utama dengan Gejala Terkait ............................................42
K. Penegakan Diagnosis ......................................................................................43
L. Penatalaksanaan dan Pencegahan ...................................................................44
M. Diagnosis Banding ..........................................................................................45
BAB III PENUTUP ..............................................................................................59
A. Kesimpulan .....................................................................................................59
B. Saran ...............................................................................................................59

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................60

iii
BAB I
PEDAHULUAN
A. Skenario
Seorang anak laki-laki berusia 11 tahun mengalami kelemahan pada
kedua tungkai disertai rasa baal dan sulit berjalan sejak 3 minggu. Dua
minggu sebelum mengalami kelemahan tersebut pasuen menderita demam
dan mual selama 2 hari yang membaik dengan pemberian obat-obatan
simtomatik. Pasien tidak mengalami gangguan dalam berkemih. Pada
pemeriksaan fisik tanda-tanda vital dalam batas normal, pemeriksaan
neurologis nervus kranialis dalam batas normal.

B. Kata Sulit
1. Baal

C. Kata Kunci
1. Laki-laki
2. Usia 11 tahun
3. Lemah pada kedua tungkai
4. Sulit berjalan sejak 3 minggu
5. Demam dan mual
6. Obat-obatan simtomatik
7. Tidak ada gangguan dalam berkemih
8. Tanda-tanda Vital normal
9. Pemeriksaan Neurologis nervus kranialis normal

D. Daftar Pertanyaan
1. Bagaimana struktur neuroanatomi yang terlibat dalamkesemutan?
2. Apa definisi, etiologi, dan klasifikasi kesemutan?
3. Bagaimana patomekanisme terkait gejala pada skenario?
4. Bagaimana Langkah diagnosis pada scenario tersebut?
5. Apa diferensial diagnosa dari skenario?

1
E. Learning Outcome

1. Mahasiswa mampu mengetahui strukur neuroanatomi yang berhubungan


dengan kesemutan.
2. Mahasiwa mampu mengetahui patomekanisme dan penyebab terjadinya
kesemutan.
3. Mahasiswa mampu mengetahui patomekanisme dari gejala pada skenario.
4. Mahasiswa mampu mengetahui langkah penegakan diagnosis sesuai
skenario.
5. Mahasiswa mampu mengetahui differensial diagnosa pada skenario.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Neuroanatomi
Sistem saraf adalah sistem koordinasi berupa penghantaran impuls

saraf ke susunan saraf pusat, pemrosesan impuls saraf dan pemberi

tanggapan rangsangan.1 Sistem atau susunan saraf merupakan salah satu

bagian terkecil dari organ dalam tubuh, tetapi merupakan bagian yang

paling kompleks. Susunan saraf manusia mempunyai arus informasi yang

cepat dengan kecepatan pemrosesan yang tinggi dan tergantung pada

aktivitas listrik (impuls saraf).2

Alur informasi pada sistem saraf dapat dipecah secara skematis

menjadi tiga tahap. Suatu stimulus eksternal atau internal yang mengenai

organ-organ sensorik akan menginduksi pembentukan impuls yang

berjalan ke arah susunan saraf pusat (SSP) (impuls afferent), terjadi proses

pengolahan yang komplek pada SSP (proses pengolahan informasi) dan

sebagai hasil pengolahan, SSP membentuk impuls yang berjalan ke arah

perifer (impuls efferent) dan mempengaruhi respons motorik terhadap

stimulus.2

3
Gambar 2.1 Fungsional Sistem Saraf (biru: sensorik; merah:
motorik)2

1) Susunan Sistem Saraf 2

Susunan sistem saraf terbagi secara anatomi yang terdiri dari

saraf pusat (otak dan medula spinalis) dan saraf tepi (saraf kranial dan

spinal) dan secara fisiologi yaitu saraf otonom dan saraf somatik.

Gambar 2.2 Susunan Saraf Manusia.3

2) Sistem Saraf Pusat2

Susunan Saraf Pusat (SSP) yaitu otak (ensefalon) dan medula

spinalis, yang merupakan pusat integrasi dan kontrol seluruh aktifitas

4
tubuh. Bagian fungsional pada susunan saraf pusat adalah neuron

akson sebagai penghubung dan transmisi elektrik antar neuron, serta

dikelilingi oleh sel glia yang menunjang secara mekanik dan

metabolik.

a. Otak3,4

Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting dan sebagai

pusat pengatur dari segala kegiatan manusia yang terletak di

dalam rongga tengkorak. Bagian utama otak adalah otak besar

(cerebrum), otak kecil (cereblum) dan otak tengah.

Otak besar merupakan pusat pengendali kegiatan tubuh

yang disadari. Otak besar ini dibagi menjadi dua belahan, yaitu

belahan kanan dan kiri. Tiap belahan tersebut terbagi menjadi 4

lobus yaitu frontal, parietal, okspital, dan temporal. Sedangkan

disenfalon adalah bagian dari otak besar yang terdiri dari talamus,

hipotalamus, dan epitalamus. Otak belakang/ kecil terbagi

menjadi dua subdivisi yaitu metensefalon dan mielensefalon.

Metensefalon berubah menjadi batang otak (pons) dan cereblum.

Sedangkan 7 mielensefalon akan menjadi medulla oblongata.

Otak tengah/ sistem limbic terdiri dari hipokampus, hipotalamus,

dan amigdala.

5
Gambar 2.3 Bagian-bagian Otak.3

Pada otak terdapat suatu cairan yang dikenal dengan cairan

serebrospinalis. Cairan cerebrospinalis ini mengelilingi ruang sub

araknoid disekitar otak dan medula spinalis. Cairan ini juga

mengisi ventrikel otak. Cairan ini menyerupai plasma darah dan

cairan interstisial dan dihasilkan oleh plesus koroid dan sekresi

oleh sel-sel epindemal yang mengelilingi pembuluh darah

serebral dan melapisi kanal sentral medula spinalis. Fungsi cairan

ini adalah sebagai bantalan untuk pemeriksaan lunak otak dan

medula spinalis, juga berperan sebagai media pertukaran nutrien

dan zat buangan antara darah dan otak serta medula spinalis.3

b. Medula Spinalis (Sumsum tulang belakang)

Sumsum tulang belakang terletak memanjang di dalam

rongga tulang belakang, mulai dari ruas-ruas tulang leher sampai

ruas-ruas tulang pinggang yang kedua. Sumsum tulang belakang

terbagi menjadi dua lapis yaitu lapisan luar berwarna putih (white

area) dan lapisan dalam berwarna kelabu (grey area) (Chamidah,

6
2013). Lapisan luar mengandung serabut saraf dan lapisan dalam

mengandung badan saraf. Di dalam sumsum tulang belakang

terdapat saraf sensorik, saraf motorik dan saraf penghubung.

Fungsinya adalah sebagai penghantar impuls dari otak dan ke

otak serta sebagai pusat pengatur gerak refleks.4

Gambar 2.4 Bagian Area Medula Spinalis

3) Sistem Saraf Tepi

Susunan saraf tepi (SST) yaitu saraf kranial dan saraf spinalis

yang merupakan garis komunikasi antara SSP dan tubuh. SST

tersusun dari semua saraf yang membawa pesan dari dan ke SSP

(Bahrudin, 2013). Berdasarkan fungsinya SST terbagi menjadi 2

bagian yaitu:

a. Sistem Saraf Somatik (SSS)

Sistem saraf somatik terdiri dari 12 pasang saraf kranial dan

31 pasang saraf spinal. Proses pada saraf somatik dipengaruhi

oleh kesadaran.

7
1. Saraf kranial

12 pasang saraf kranial muncul dari berbagai bagian

batang otak. Beberapa dari saraf tersebut hanya tersusun dari

serabut sensorik, tetapi sebagian besar tersusun dari serabut

sensorik dan motorik. Kedua belas saraf tersebut dijelaskan

pada (Gambar 2.5).

Gambar 2.5 Distribusi Saraf Kranial (Anonim).

2. Saraf Spinal

Ada 31 pasang saraf spinal berawal dari korda melalui

radiks dorsal (posterior) dan ventral (anterior). Saraf spinal

adalah saraf gabungan motorik dan sensorik, membawa

informasi ke korda melalui neuron aferen dan meninggalkan

melalui eferen. Saraf spinal (Gambar 2.6) diberi nama dan

angka sesuai dengan regia kolumna vertebra tempat

munculnya saraf tersebut.

8
Gambar 2.6 Saraf Spinalis (31 pasang) beserta nama dan
letaknya.2

b. Sistem Saraf Otonom (SSO)

Sistem saraf otonom mengatur jaringan dan organ tubuh

yang tidak disadari. Jaringan dan organ tubuh yang diatur oleh

sistem saraf otonom adalah pembuluh darah dan jantung. Sistem

ini terdiri atas sistem saraf simpatik dan sistem saraf

parasimpatik. Fungsi dari kedua sistem saraf ini adalah saling

berbalikan, seperti pada (Gambar 2.7) dibawah ini.

Gambar 2.7 Sistem Saraf Otonom (Parasimpatik-Simpatik).

9
SST berdasarkan divisinya juga dibagi menjadi dua bagian yaitu: 2

1. Divisi sensori (afferent) yaitu susunan saraf tepi dimulai dari

receptor pada kulit atau otot (effector) ke dalam pleksus,

radiks, dan seterusnya kesusunan saraf pusat. Jadi besifat

ascendens.

2. Divisi motorik (efferent) yang menghubungkan impuls dari

SSP ke effector (Muscle and Glands) yang bersifat desendens

untuk menjawab impuls yang diterima dari reseptor di kulit

dan otot dari lingkungan sekitar.

4) Sel-Sel pada Sistem Saraf

Sistem saraf pada manusia terdiri dari dua komponen yaitu sel

saraf dan sel glial. Sel saraf berfungsi sebagai alat untuk

menghantarkan impuls dari panca indera menuju otak yang

selanjutnya oleh otak akan dikirim ke otot. Sedangkan sel glial

berfungsi sebagai pemberi nutrisi pada neuron.1

a. Sel Saraf (Neuron)1,2,3,4

Sel saraf (neuron) bertanggung jawab untuk proses transfer

informasi pada sistem saraf. Sel saraf berfungsi untuk

menghantarkan impuls. Setiap satu neuron terdiri dari tiga bagian

utama yaitu badan sel (soma), dendrit dan akson.

Badan sel (soma) memiliki satu atau beberapa tonjolan

(Feriyawati, 2006). Soma berfungsi untuk mengendalikan

metabolisme keseluruhan dari neuron. Badan sel (soma)

10
mengandung organel yang bertanggung jawab untuk

memproduksi energi dan biosintesis molekul organik, seperti

enzim-enzim. Pada badan sel terdapat nukleus, daerah

disekeliling nukleus disebut perikarion. Badan sel biasanya

memiliki beberapa cabang dendrit.

Dendrit adalah serabut sel saraf pendek dan bercabang-

cabang serta merupakan perluasan dari badan sel. Dendrit

berfungsi untuk menerima dan menghantarkan rangsangan ke

badan sel. Khas dendrit adalah sangat bercabang dan masing-

masing cabang membawa proses yang disebut dendritic spines.

Akson adalah tonjolan tunggal dan panjang yang

menghantarkan informasi keluar dari badan sel. Di dalam akson

terdapat benang-benang halus disebut neurofibril dan dibungkus

oleh beberpa lapis selaput mielin yang banyak mengandung zat

lemak dan berfungsi untuk mempercepat jalannya rangsangan.

Selaput mielin tersebut dibungkus oleh sel-sel Schwann yang

akan membentuk suatu jaringan yang dapat menyediakan

makanan dan membantu pembentukan neurit. Bagian neurit ada

yang tidak dibungkus oleh lapisan mielin yang disebut nodus

ranvier.

Pada SSP, neuron menerima informasi dari neuron dan

primer di dendritic spines, yang mana ditunjukkan dalam 80-90%

dari total neuron area permukaan. Badan sel dihubungkan dengan

11
sel yang lain melalui akson yang ujung satu dengan yang lain

membentuk sinaps. Pada masing-masing sinap terjadi komunikasi

neuron dengan sel yang lain.

Gambar 2.8 Struktur Neuron (Anonim)

1. Sel penyokong atau Neuroglia (Sel Glial)1,3

Sel glial adalah sel penunjang tambahan pada SSP yang

berfungsi sebagai jaringan ikat, selain itu juga berfungsi

mengisolasi neuron, menyediakan kerangka yang mendukung

jaringan, membantu memelihara lingkungan interseluler, dan

bertindak sebagai fagosit. Jaringan pada tubuh mengandung

kira-kira 1 milyar neuroglia, atau sel glia, yang secara kasar

dapat diperkirakan 5 kali dari jumlah neuron.

Sel glia lebih kecil dari neuron dan keduanya

mempertahankan kemapuan untuk membelah, kemampuan

tersebut hilang pada banyak neuron. Secara bersama-sama,

neuroglia bertanggung jawab secara kasar pada setengah dari

volume sistem saraf.

Macam-macam Sel Glia Ada empat macam sel glia yang

memiliki fungsi berbeda yaitu

12
• Astrosit/ Astroglia: berfungsi sebagai “sel pemberi

makan” bagi sel saraf.

• Oligodendrosit/ Oligodendrolia: sel glia yang

bertanggung jawab menghasilkan mielin dalam susunan

saraf pusat. Sel ini mempunyai lapisan dengan substansi

lemak mengelilingi penonjolan atau sepanjang sel saraf

sehingga terbentuk selubung mielin. Mielin pada susunan

saraf tepi dibentuk oleh sel Schwann. Sel ini membentuk

mielin maupun neurolemma saraf tepi. Mielin

menghalangi ion natrium dan kalium melintasi membran

neuronal dengan hampir sempurna. Serabut saraf ada yang

bermielin ada yang tidak. Transmisi impuls saraf

disepanjang serabut bermielin lebih cepat daripada

serabut yang tak bermielin, karena impuls berjalan dengan

cara meloncat dari nodus ke nodus yang lain disepanjang

selubung mielin. Peran dari mielin ini sangatlah penting,

oleh sebab itu pada beberapa orang yang selubung

mielinnya mengalami peradangan ataupun kerusakan

seperti pada pasien GBS maka akan kehilangan

kemampuan untuk mengontrol otot-ototnya sehingga

terjadi kelumpuhan pada otot-otot tersebut. Perbedaan

struktur dari 13 mielin normal dengan selubung mielin

pada pasien GBS dapat dilihat pada gambar berikut:

13
Gambar 2.9 Selubung mielin normal dan selubung
mielin pada GBS.5
• Mikroglia: sel glia yang mempunyai sifat fagosit dalam

menghilangkan sel-sel otak yang mati, bakteri dan lain-

lain. Sel jenis ini ditemukan diseluruh SSP dan dianggap

penting dalam proses melawan infeksi.

• Sel ependimal: sel glia yang berperan dalam produksi

cairan cerebrospinal.

2. Neuroglia pada Sistem Saraf Tepi (SST)2

Neuron pada sistem saraf tepi biasanya berkumpul jadi

satu dan disebut ganglia (tunggal: ganglion). Akson juga

bergabung menjadi satu dan membentuk sistem saraf tepi.

14
Seluruh neuron dan akson disekat atau diselubungi oleh sel

glia. Sel glia yang berperan terdiri dari sel satelit dan sel

Schwann.

• Sel Satelit

Badan neuron pada ganglia perifer diselubungi oleh sel

satelit. Sel satelit berfungsi untuk regulasi nutrisi dan

produk buangan antara neuron body dan cairan

ektraseluler. Sel tersebut juga berfungsi untuk

mengisolasi neuron dari rangsangan lain yang tidak

disajikan di sinap.

• Sel Schwann

Setiap akson pada saraf tepi, baik yang terbungkus dengan

mielin maupun tidak, diselubungi oleh sel Schwann atau

neorolemmosit. Plasmalemma dari akson disebut

axolemma; pembungkus sitoplasma superfisial yang

dihasilkan oleh sel Schwann disebut neurilemma.

Dalam penyampaian impuls dari reseptor sampai ke

efektor perifer caranya berbeda-beda. Sistem saraf somatik

(SSS) mencakup semua neuron motorik somatik yang meng-

inervasi otot, badan sel motorik neuron ini terletak dalam SSP,

dan akson-akson dari SSS meluas sampai ke sinapsis

neuromuskuler yang mengendalikan otot rangka. Sebagaian

besar kegiatan SSS secara sadar dikendalikan. Sedangkan

15
sistem saraf otonom mencakup semua motorik neuron viseral

yang menginervasi efektor perifer selain otot rangka. Ada dua

kelompok neuron motorik viseral, satu kelompok memiliki sel

tubuh di dalam SSP dan yang lainnya memiliki sel tubuh di

ganglia perifer.

Neuron dalam SSP dan neuron di ganglia perifer

berfungsi mengontrol efektor di perifer. Neuron di ganglia

perifer dan di SSP mengontrolnya segala bergiliran. Akson

yang memanjang dari SSP ke ganglion disebut serat

preganglionik. Akson yang menghubungkan sel ganglion

dengan efektor perifer dikenal sebagai serat postganglionik.

Susunan ini jelas membedakan sistem (motorik visceral)

otonom dari sistem motorik somatik. Sistem motorik somatik

dan sitem motorik visceral memiliki sedikit kendali kesadaran

atas kegiatan SSO. Interneuron terletak diantara neuron

sensori dan motorik. Interneuron terletak sepenuhnya didalam

otak dan sumsum tulang belakang. Mereka lebih banyak

daripada semua gabungan neuron lain, baik dalam jumlah dan

jenis. Interneuron bertanggung jawab untuk menganalisis

input sensoris dan koordinasi motorik output. Interneuron

dapat diklasifikasikan sebagai rangsang atau penghambat

berdasarkan efek pada membran post sinaps neuron.

16
5) Regenerasi Neuron2

Pada SST, sel Schwann berperan dalam memperbaiki neuron

yang rusak. Proses ini dinamakan degenaration wallerian, bagian

distal akson yang semakin memburuk dan migrasi makrofag pada sel

tersebut untuk proses fagositosis sel mati tersebut. Sel Schwann di

area yang putus membentuk jaringan padat memanjang yang

menyambung pada bagian akson yang sebenarnya. Selain itu, sel

Schwann juga mengelurkan growth factor untuk merangsang

pertumbuhan kembali akson. Jika akson telah putus, akson yang baru

akan mulai muncul dari bagian proksimal bagian yang putus dalam

beberapa jam. Pada sebagian kerusakan yang biasa pada proksimal

akson yang rusak akan mati dan menyusut beberapa sentimeter

sehingga tunas muncul lambat sekitar beberapa minggu. Ketika

neuron terus mengalami perbaikan, akson tersebut akan tumbuh kesisi

yang mengalami kerusakan dan sel Schwann membungkus

disekitarnya.

Jika akson terus tumbuh di daerah perifer sepanjang saluran sel

Schwann, ini akan secepatnya mengembalikan hubungan antar

sinapnya. Jika tidak tumbuh lagi atau menyimpang, fungsi normalnya

tidak akan kembali. Akson yang tumbuh mencapai tujuannya, jika

bagian distal dan proksimal bagian yang rusak bertemu. Ketika sebuah

saraf perifer mengalami kerusakan seluruhnya, relatif hanya beberapa

17
akson yang akan sukses mengembalikan hubungan sinap yang normal,

sehingga fungsi saraf akan selamanya rusak.

Regenerasi yang terbatas disebabkan karena:

1. Banyak akson yang terdegenarasi.

2. Astrosit menghasilkan jaringan parut sehingga mencegah

pertumbuhan akson di daerah yang rusak.

3. Astrosit melepaskan bahan kimia yang dapat menghambat

pertumbuhan kembali akson.

GBS merupakan bagian atau salah satu dari penyakit

neuromuskular, penyakit ini jarang dijumpai. Gangguan

neuromuskular memiliki spektrum gejala dan tanda yang cukup khas.

Mulai dari kesemutan diujung jari, kelumpuhan ekstremitas, hingga

kegagalan saluran pernafasan yang dapat mengancam nyawa. Oleh

karenanya, mengenali penyakit ini sejak awal sangatlah penting.

Penyakit neuromuskular sifat kelumpuhannya adalah lower motor

neuron (LMN). Maka dari itu yang pertama kali diperkirakan bila

mencurigai pasien dengan penyakit neuromuskular adalah

memastikan bahwa kelainan pada pasien tersebut bukan upper motor

neuron (UMN). Untuk memperjelas perbedaan antara lesi LMN dan

UMN dapat dilihat pada tabel berikut:

18
Tabel II.1 Perbedaan lesi LMN dan UMN.2

6) Anatomi Tungkai6
a. Tulang
Tungkai berfungsi sebagai penopang tubuh dan merupakan
bagian terpenting saat berdiri, berjalan, berlari, dan melompat.
Tungkai terdiri dari tulang–tulang dan otot–otot yang berfungsi
sebagai penopang dan penggerak tungkai. Tulang –tulang yang
menyusun tungkai adalah tulang pangkal paha (coxae), tulang
paha (femur), tulang kering (tibia), tulang betis (fibula),
tempurung lutut (patella), tulang pangkal telapak kaki (tarsalia),
tulang telapak kaki (metatarsalia), ruas jari-jari kaki (phalangea).

Gambar 2.11 Tulang-Tulang Penyusun Ekstremitas Inferior.6

19
b. Otot
Otot adalah bagian penggerak tulang sehingga otot disebut
anggota gerak aktif. Permasalahan pada otot dapat diketahui
dengan tes gerak aktif sesuai fungsi otot tersebut. Otot- otot yang
menyusun tungkai dibagi menjadi dua yaitu otot tungkai atas dan
otot tungkai bawah. Pembagian otot tungkai berdasarkan
lokasinya adalah:
1. Otot-otot pinggul bagian ventral
a) M. Iliacus
b) M. psoas major
c) M. psoas minor
2. Otot-otot pinggul bagian dorsal
a) M. gluteus maximus
b) M. gluteus medius
c) M. gluteus minimus
d) M. piriformis
Di kaudal ditemukan lapisan otot lebih dalam, berikut ini
a) M. obturatorius internus
b) M. gemellus superior
c) M. gemellus inferior\
d) M. quadratus femoris
3. Otot-otot paha bagian ventral
a) Mm. quadriceps femoris (M. rectus femoris, M. vastus
lateralis, M. vastus intermedius, M. vastus medialis)
b) M. sartorius
c) M. tensor fascia latae
4. Otot-otot paha bagian medial (adductor)
a) M. Pectineus
b) M. Gracilis
c) M. adductor brevis
d) M. adductor longus

20
e) M. adductor magnus
f) M. obturatorius externus
5. Otot-otot paha bagian dorsal (Mm. Ischiocrurales)
a) M. biceps femoris
b) M. semitendinosus
c) M. semimembranosus
6. Otot-otot tungkai bawah bagian ventral
a) M. tibialis anterior
b) M. extensor hallucis longus
c) M. extensor digitorum longus
d) M. fibularis [peroneus] tertius (tidak selalu ada)
7. Otot-otot tungkai bawah bagian lateral (fibular)
a) M. fibularis [peroneus] longus
b) M. fibularis [peroneus] brevis
8. Otot-otot tungkai bawah bagian dorsal superficial (Mm.
triceps surae)
a) M. gastrocnemius
b) M. soleus
9. Otot-otot tungkai bawah bagian dorsal profundus
a) M. popliteus
b) M. tibialis posterior
c) M. flexor digitorum longus
d) M. flexor hallucis longus
10. Otot-otot punggung kaki:
a) M. extensor digitorum brevis pedis
b) M. extensor hallucis brevis
c) M. interossea
11. Otot-otot telapak kaki sebelah medial
a) M. abductor hallucis
b) M. flexor hallucis brevis
c) M. adductor hallucis

21
12. Otot-otot telapak kaki bagian tengah
a) M. flexor digitorum brevis pedis
b) M. quadratus plantae (M. flexor accessorius)
c) Mm. lumbricales pedis I-IV
d) Mm. interossei plantares pedis I-III
e) Mm. interossei dorsales pedis I-IV
13. Otot-otot telapak kaki bagian ventral
a) M. abductor digiti minimi brevis pedis
b) M. flexor digiti minimi brevis pedis
c) M. opponens digiti minimi (tidak selalu ada)

Pembagian otot tungkai berdasarkan fungsinya adalah:

1. Otot abduktor articulatio coxae


a) M. abductor brevis
b) M. abductor longus
c) M. Tensor Fascia Latae
2. Otot adduktor articulatio coxae
a) M. pectineus
b) M. adductor magnus
c) M. adductor brevis
d) M. gracilis
3. Otot ekstensor articulatio coxae
a) M. gluteus medius
b) M. gluteus maximus
4. Otot ekstensor articulatio genu (quadricep femoris)
a) M. rectus femoralis
b) M. vastus lateralis
c) M. vastus medialis
d) M. vastus intermedial
5. Otot fleksor articulatio genu
a) M. biceps femoris

22
b) M. semi tendinosus
c) M. semi membranous (berfungsi untuk fleksi articulatio
genu dan memutar kedalam)
d) M. sartorius (berfungsi untuk membantu fleksi
articulatio genu dan eksorotator os femur)
6. Otot ekstensor articulatio talocruralis
a) M. tibialis anterior
b) M. peroneus longus
c) M. peroneus brevis
d) M. extensor hallucis longus
e) M. extensor hallucis brevis
f) M. extensor digitorum longus
g) M. extensor digitorum brevis

7. Otot fleksor articulatio talocruralis


a) M. gastrocnemius
b) M. soleus

c. Articulationes7
Tungkai terdiri dari tulang (ossa) yang dihubungkan oleh
beberapa articulationes (persendian), yaitu Articulatio Coxae,
Articulatio Genu, Articulatio Cruris, Articulatio Pedis. Adapun
pembagiannya berdasarkan tulang penyusunnya adalah sebagai
berikut:
1. Pada regio Coxae
a) Facies auricularis os coxae bertemu dengan facies
auricularis os sacrum membentuk Articulatio
sacroiliaca.
b) Incisura acetabuli os coxae bertemu dengan caput
femoris os femur membentuk Articulatio coxae yang

23
berfungsi untuk pergerakan anteflexi dan retroflexi,
abduksi dan adduksi, rotasi, dan circumdictio.
2. Pada regio Genu
Pada regio Genu, articulatio yang terbentuk befungsi
untuk pergerakan flexi dan extensi, endorotasi dan
eksorotasi yang terjadi terhadap axis transversal.
a) Facies patellaris os femur bertemu dengan facies
articularis os patella membentuk Articulatio
femoropatellaris.
b) Condylus lateralis os femur bertemu dengan facies
articularis superior os tibia mementuk Articulatio
meniscofemoralis.
c) Condylus medialis os femur bertemu dengan facies
articularis superior os tibia membentuk Articulatio
meniscotibialis.
3. Pada regio Crus
a) Facies articularis fibularis os tibia bertemu dengan
caput fibulae os fibula membentuk Articulatio
tibiofibularis.
b) Incisura fibularis os tibia bertemu dengan facies
articularis malleoli lateralis os fibula membentuk
Syndesmosis tibiofibularis.
c) Membrana Interossea Cruris berperan sebagai
penstabil tambahan melalui jaringan penyambung dan
serabut kolagen yang padat, yang secara dominan
berjalan melintang ke bawah dari Tibia menuju Fibula.
Bersama dengan facies articularis inferior tibia,
malleolus medialis dan malleolus lateralis membentuk
garpu malleolar, yang menjadi socket bagi Articulatio
talocruralis.

24
4. Pada regio Pes
a) Facies articularis inferior os tibia bertemu dengan
facies articularis malleoli lateralis os tibia bertemu
dengan facies articularis malleoli mediale os fibula
bertemu dengan trochlea tali os talus membentuk
Articulatio talocruralis yang berfungsi untuk
pergerakan dorsofleksi dan plantarfleksi.
b) Facies articularis calcanea posterior, media, anterior
os talus bertemu dengan facies articularis talaris
posterior, media, anterior os calcaneus membentuk
Articulatio subtalaris.
c) Facies articularis cuboidea os calcaneus dan facies
articularis calcanea os cuboideum membentuk
Articulatio calcaneocuboidea.
d) Pertemuan antara os talus, os calcaneus dan os
naviculare membentuk Articulatio
talocalcaneonavicularis.
e) Pertemuan antara os cuneiforme mediale, intermedium,
dan laterale membentuk Articulationes
intercuneiformes.
f) Os cuneiforme mediale, intermedium, laterale dan os
naviculare membentuk Articulatio cuneonavicularis.
g) Os cuneiforme laterale dan os cuboideum membentuk
Articulatio cuneocuboidea.
h) Ossa tarsi dan ossa metatarsi membentuk
Articulationes tarsometatarsal.
i) Ossa metatarsi dan phalanges proximales pedis
membentuk Articulationes metatarsophalangeae yang
berfungsi sebagai abduksi dan adduksi, fleksi dan
ekstensi jari jari kaki.

25
j) Antara phalanges proximales pedis dan phalanges
media pedis membentuk Articulationes
interphalangeae pedis
5. Arcus Pedis
Fungsi arcus pedis adalah sebagai penopang berat
tubuh dan sebagai peredam kejut ketika kaki berkontak
dengan tanah. Dengan adanya arcus pedis ini maka berat
tubuh akan terbagi dua secara seimbang ke depan dan
belakang telapak kaki. Dengan adanya arcus pedis ini juga
seseorang bisa berpindah tempat dengan cepat dalam
keadaan berlari dari satu posisi ke posisi lain karena
fungsinya sebagai peredam kejut.
Arcus pedis dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Arcus longitudinal lateral, dibentuk oleh os calcaneus,
os cuboid dan ossa metatarsal IV dan V. Arcus ini
relatif lebih datar dan terbatas pada pergerakan. Arcus
ini berfungsi untuk menopang berat tubuh.
2. Arcus longitudinal medial, dibentuk sepanjang os
calcaneus sampai os talus, os navicular, os cuneiform,
dan ossa metatarsal I-III. Arcus ini lebih fleksibel dan
berfungsi sebagai peredam kejut ketika kaki berkontak
dengan tanah. Arcus ini juga berfungsi untuk membagi
distribusi berat tubuh menuju ke tuber calcaneus dan
kelima caput ossa metatarsale.
3. Arcus transversus, dibentuk oleh basis lima ossa
metatarsal, os cuboidea dan os cuneiform. Arcus ini
membantu untuk menopang berat tubuh.

26
Gambar 2.13 Arcus Longitudinalis Medial et Lateral7

B. Definisi Kesemutan dan Rasa Baal

1. Paraesthesia adalah istilah teknis yang digunakan untuk mencerminkan


persepsi sensasi abnormal, termasuk perasaan pin dan jarum, kesemutan,
tusukan atau perasaan seolah-olah semut merayap di atas / di bawah kulit
dan pasien harus didorong untuk sepenuhnya menggambarkan apa yang
mereka rasakan. Paresthesia menunjukkan kelainan yang mempengaruhi
sistem saraf sensorik dan dapat timbul di mana saja dari saraf perifer ke
korteks sensorik. Ini adalah salah satu istilah yang melekat pada neuropati
perifer.8
2. Kesemutan adalah sensasi tubuh yang dialami dalam berbagai kondisi,
mulai dari pengalaman sehari-hari hingga situasi eksperimental dan
terapeutik. Ini dapat diinduksi oleh proses perifer atau aferen (stimulasi
eksternal, patologi perifer) dan kognitif (harapan) yang lebih tinggi.9

C. Etiologi Kesemutan
1. Kesemutan biasa terjadi karena posisi tubuh, tungkai, kaki, lengan atau
tangan yang sedemikian rupa sehingga terjadi penekanan pada daerah
tertentu. Kesemutan akan hilanh bila posisi tubuh diperbaiki. Dapat juga
terjadi kesemutan di sekitar bibir saat hiperventilasi yang akan hilang bila
nafas kembali normal.

27
2. Terjadi pada kasus jepitan saraf pada ruas tulang punggung karena
masalah pada tulang punggung. Kesemutan akan terasa pada distal akibat
jepitan tersebut. Misalnya jepitan di daerah leher, maka kesemutan dapat
terjadi di leher, bahu, lengan, tangan sampai dengan jari.
3. Sciatica, tungkai dan kaki dipersarafi oleh syaraf sciatica yang keluar dari
ruas tulang punggung. Bila terjadi jepitan akan menyebabkan kesemutan
akan terasa pada bagian ekskremitas bawah sampai ke ujung jari kaki.
4. Adanya penyakit Diabetes Mellitus yang dapat merusak pembuluh darah
kepiler yang menyuplai darah ke saraf-saraf yang mempersarafi jari tangan
atau kaki. Maka kesemutan dapat terjadi pada jari-jari tersebut yang
disebut dengan peripheral neuropathy.
5. Penyakit saraf, termasuk didalamnya stroke, multiple sclerosis, tumor
otak. Kondisi ini dapat merusak saraf dan menimbulkan kesemutan.
6. Pengaruh obat-obatan seperti obat-obatan chemotherapy, antiretroviral
(obat HIV), dan metronidazole.
7. Trauma, bila trauma menyebabkan kerusakan pada ujung saraf maka akan
dirasakan kesemutan di daerah yang terkena.
8. Neuritis, peradangan yang terjadi pada saraf yang biasanya disebabkan
oleh konsumsi alcohol, zat-zat berbahaya dalam asap rokok, infeksi oleh
virus atau bakteri.
9. Defisiensi vitamin B12, kekurangan vitamin B12 dapat menyebabkan
kerusakan neurologi yang cukup serius bahkan bias menjadi permanen
(nyeri, terbakar, kesemutan dan mati rasa). Karena vitamin B12 berperan
penting fungsi normal sel saraf, pembentukan sel darah merah, hingga
pembentukan DNA.

Penyebab paraplegia dapat bermacam – macam, seperti trauma,


kelainan bawaan, infeksi, penyakit demielinisasi, neoplasma, gangguan
vaskular dan lain – lain. Corak kelumpuhan UMN biasanya disebabkan oleh
lesi – lesi di dalam kanalis spinalis daerah dorsal. Transeksi akut atau mielitis
akut akan menyebabkan paralisa flasid akut dan beberapa hari kemudian akan

28
menjadi spastik. Paraplegia tipe UMN dapat pula terjadi akibat adanya lesi
didalam kranium regio para sagittal.10

D. Klasifikasi Kesemutan
1. Paresthesia Sementara11
Subtipe paresthesia ini melibatkan mati rasa sementara atau
kesemutan yang menghilang secepat dapat terjadi dari duduk dengan kaki
disilangkan untuk waktu yang lama atau tidur di lengan Anda dalam posisi
membungkuk. Ini adalah jenis yang sangat umum dari paresthesia.
a) Obdormition: Obdormition adalah mati rasa yang disebabkan oleh
tekanan berkepanjangan pada saraf, seperti ketika kaki jatuh tertidur
jika kaki disilangkan untuk jangka waktu lama. Menghilang secara
bertahap sebagai tekanan lega.
b) Whiplash: Parestesi di ekstremitas atas dapat terjadi setelah cedera
whiplash, jenis cedera jaringan lunak leher rahim. Pujol et al
menunjukkan bahwa 13% pasien dengan whiplash telah dikaitkan
parestesia. Pemulihan biasanya timbul dalam waktu 6 bulan setelah
cedera.
c) Sindrom hiperventilasi: Parestesia merupakan 35% dari menyajikan
keluhan pada pasien dengan hiperventilasi sindrom dan mungkin mulai
setelah sesedikit tiga menit dari hiperventilasi. Setelah meningkatkan
kedalaman atau frekuensi pernapasan, pergeseran basa diproduksi
secara selektif meningkatkan Na + konduktansi dan pembuangan
ektopik di saraf aferen kulit normal dapat diinduksi.
d) Panik serangan: Paresthesiae mulut, tangan dan kaki yang umum, gejala
transien dari kondisi terkait sindrom hiperventilasi dan serangan panik.
e) Transient ischemic attack (TIA): TIA dapat dimanifestasikan oleh
parestesia. paresthesia pasca-iskemik terjadi ketika hiper polarisasi oleh
pompa Na + / K + yang transien dihentikan oleh ditinggikan
ekstraseluler K +. Gradien elektrokimia untuk K + dibalik dan
transportasi ke dalam dari K + memicu depolarisasi regeneratif.

29
f) Kejang: Parestesia mungkin terjadi selama dan setelah kejang parsial.
Pengobatan kejang dengan stimulasi saraf vagus juga dapat memicu
parestesia dan dianggap suatu peristiwa buruk yang terkait dengan
modalitas pengobatan ini.
g) Dehidrasi: Pada sekitar 5% sampai 6% kehilangan air kumulatif,
paresthesia mungkin terjadi.
h) Suplai darah tidak mencukupi: gangguan peredaran darah bisa
menyebabkan transient atau paresthesia kronis.
i) Sindrom Raynaud menggambarkan suatu kondisi yang ditandai oleh
sensasi dingin, nyeri terbakar atau mati rasa di jari tangan atau kaki.
Sindrom ini terjadi ketika pembuluh darah di jari tangan atau kaki
kejang, membatasi aliran darah. Beberapa faktor penyebab dapat
mengaktifkan sindrom Raynaud termasuk kontak ke dingin dan stres
emosional.
2. Paresthesia kronik11
Paresthesia kronis atau paresthesia intermiten selama periode waktu
yang panjang umumnya merupakan tanda penyakit saraf atau kerusakan
saraf traumatis. Paresthesia biasanya timbul dari kerusakan saraf akibat
infeksi, inflamasi, trauma, atau proses abnormal lainnya. Paresthesia jarang
karena gangguan yang mengancam jiwa, tetapi bisa terjadi sebagai akibat
dari stroke dan tumor. Sedangkan paresthesia adalah hilangnya sensasi,
kelumpuhan biasanya melibatkan kedua hilangnya gerakan dan sensasi.
a) Gangguan sistem saraf
Parestesia adalah manifestasi umum dari proses patologis pusat
dan perifer dan akibat aktivitas impuls ektopik di aferen kulit atau
proyeksi sentral mereka
1. Stroke: Parestesia dan defisit sensorik dianggap sebagai tanda-tanda
stroke. Dalam kasus yang tidak biasa, mandibula atau telinga
paresthesia mungkin gejala hanya menyajikan kecelakaan
serebrovaskular. Sebuah mati rasa menyenangkan persisten setelah

30
kecelakaan serebrovaskular dapat hasil dari paresthesia pasca stroke
pusat
2. Paresthesia mungkin disebabkan oleh infark lakunar selektif di
daerah diencephalic dan mesencephalic atau di diaschisis di korteks
parietal.
3. Perdarahan intra-serebral: Parestesia adalah gejala akut hematoma
intra-otak. Epidural atau subdural hematoma atau perdarahan
subarachnoid harus dianggap sebagai bagian dari diagnosis
diferensial untuk paresthesia akut dan kelemahan ekstremitas
4. Tumor otak: Sebuah mati rasa tiba-tiba terutama jika disertai dengan
sakit kepala, mual atau muntah, penglihatan ganda, atau kelemahan
bisa menyarankan tumor otak mungkin atau metastasis. Gua
angioma yang biasanya hadiah dengan defisit neurologis, nyeri
pinggang dan linu panggul atau sebagai perdarahan subarachnoid
bisa menjadi penyebab paresthesia
5. Trauma kepala: pasien cedera otak melaporkan tingginya tingkat
keluhan umumnya diakui sebagai dikaitkan dengan gangguan
neuropsikologi seperti paresthesia.
6. Ensefalitis dan meningitis: peradangan otak dapat menyebabkan
paresthesia. meningitis eosinophilic biasanya disebabkan oleh
nematoda Angiostrongylus cantonensis dengan sakit kepala, muntah
dan demam, dan juga dapat menyebabkan paresthesia dan leher kaku
7. Abses: Abses otak primer dapat dimulai dengan defisit neurologis
seperti paresthesia
8. Lumbar spinal stenosis: 70% dari pasien pengalaman paresthesia
yang diperburuk oleh ekstensi, dan meningkatkan dengan fleksi
tulang belakang.
9. Lupus eritematosus sistemik: vaskulitis sistemik dapat hadir dengan
beberapa neurologis dan gejala kejiwaan karena keterlibatan sistem
saraf pusat dan perifer. parestesia menyakitkan dan kelemahan

31
tungkai telah dilaporkan dalam kasus-kasus lupus eritematosus
sistemik
10. Multiple sclerosis: Salah satu yang paling gejala presentasi umum
dalam Multiple Sclerosis adalah paresthesia.
11. Transverse myelitis: gangguan sensorik dan paresthesia pada
ekstremitas dua presentasi umum dari akut melintang myelitis.
12. Spinal tusukan: Parestesia jarang terjadi selama tusukan tulang
belakang atau suntikan anestesi lokal untuk anestesi spinal.
13. Vitamin B 12 Kekurangan: gejala neurologis seperti paresthesia
sering vitamin B 12 defisiensi. respon Namun terapi untuk vitamin
B 12 dengan resolusi gejala terkait dramatis
14. Perifer etiologi sistem saraf (dengan atau tanpa rasa sakit) Sumber
yang paling umum dari paresthesia adalah neuropati perifer. Kulit
aferen saraf lebih stabil daripada akson motorik, karena perbedaan
dalam sifat biofisik mereka.
15. Neuropati jebakan Mati rasa dan paresthesia adalah dua keluhan
lebih umum pada pasien dengan neuropati perifer
16. Carpal tunnel syndrome: Carpal tunnel syndrome adalah yang paling
neuropati jebakan umum disebabkan oleh kompresi saraf median
dalam terowongan karpal. Hal ini ditandai dengan rasa sakit dan
paresthesia, dengan malam eksaserbasi biasa dan kejengkelan oleh
aktivitas sepanjang distribusi saraf median.
17. Lateral femoral syndrome kulit: meralgia paresthetica adalah
mononeuropati sensorik jarang ditemui ditandai dengan paresthesia,
rasa sakit atau gangguan sensorik sepanjang distribusi lateral
femoral saraf kulit (LFCN) yang disebabkan oleh jebakan atau
kompresi saraf saat melintasi anterior superior iliac spine dan
berjalan di bawah ligamentum inguinalis.
18. Terisolasi neuropati femoral: neuropati ini terjadi karena kompresi
langsung dari saraf femoralis, Terisolasi neuropati femoral

32
menyebabkan mati rasa dan paresthesia terletak di bagian
anteromedial dari paha.
19. Tarsal tunnel syndrome: Parestesia di kaki adalah gejala yang paling
sering sindrom tarsal tunnel dan mungkin memiliki etiologi arteri.
20. Linu panggul: linu panggul umumnya disebabkan oleh cakram
intervertebralis prolaps, meskipun stenosis kanal tulang belakang,
spondylolisthesis, sindrom piriformis, tumor tulang belakang dan
penyebab lainnya harus diperhatikan. sakit kaki, paresthesia dan
kelemahan yang paling mengganggu gejala pada linu panggul.
21. Herniasi: radikuler kompresi oleh herniasi bisa menyebabkan
memancar paresthesia ke ekstremitas
22. Spondylosis serviks: Dalam spondylosis serviks, paresthesia tidak
umum nokturnal, diperburuk oleh aktivitas tangan, atau
berhubungan dengan nyeri tangan, berbeda dengan carpal tunnel
syndrome.
23. Tekanan palsy: HNNP adalah penyakit yang diturunkan autosomal
dominan secara klinis ditandai dengan nyeri dan gejala neurologis
episodik atau berulang seperti perifer palsy atau paresthesia, sering
didahului oleh trauma ringan atau kerusakan
24. Penyakit Charcot-Marie-Tooth: Individu yang terkena biasanya
memiliki kelemahan otot distal dan atrofi sering dikaitkan dengan
ringan sampai sedang kehilangan sensori, depresi refleks tendon,
kaki tinggi melengkung, kram parah dan paresthesia menyakitkan
25. Amiloid neuropati: paresthesia adalah salah satu yang paling gejala
presentasi umum selain kelelahan, pusing dan penurunan berat
badan. Paresthesia mungkin memiliki sarung tangan dan kaus kaki
atau distribtuion bahkan thoraco-abdominal.
26. Gerakan berulang atau berkepanjangan getaran: Patofisiologi
kompresi saraf kronis mencakup spektrum yang luas dimulai dengan
edema subperineurial dan maju ke degenerasi aksonal. Perubahan

33
terlihat tergantung pada jumlah dan durasi kekuatan tekan dan
menyebabkan rasa sakit, kesemutan, mati rasa dan paresthesia
27. Neuralgia: Banyak pasien dengan nyeri neuropatik menunjukkan
nyeri persisten atau paroksismal dan parestesia yang independen
terhadap stimulus.
28. Gangguan peredaran darah (Seperti disebutkan sebelumnya, suplai
darah tidak mencukupi dapat menyebabkan sementara atau
paresthesia kronis).
Sindrom outlet Thoracic (TOS)
• Arteri TOS. Gejala Arteri TOS termasuk iskemia digital,
klaudikasio, pucat, dingin, paresthesia dan nyeri di tangan tapi
jarang di bahu atau leher.
• Vena TOS. Paresthesia di jari dan tangan umum di TOS vena
dan mungkin sekunder pembengkakan di tangan daripada
kompresi saraf di daerah stopkontak dada.
29. Neurogenik TOS. Nyeri, paresthesia, dan kelemahan di tangan,
lengan, dan bahu, ditambah sakit leher dan sakit kepala oksipital
adalah gejala klasik Neurogenik TOS.
b) Gangguan Metabolisme
1. Diabetes: Yang paling umum penyebab paresthesia di Amerika
Serikat adalah diabetes dan kecanduan alcohol.
2. Alkoholisme: Komplikasi yang paling umum dari asupan alkohol
kronis polineuropati beracun. neuropati ini diwujudkan oleh
gangguan sensorik distal dengan rasa sakit dan paresthesia dalam
sarung tangan dan kaus kaki pola.
3. Hipoglikemia: Paresthesia mungkin Manifestasi neuroglycopenic
atau adrenergik hipoglikemia. hipoglikemia berulang yang sering
terlihat pada pasien dengan insulinoma menyebabkan kelemahan
periodik, vertigo dan paresthesia perioral (95).
4. Hypothyroidism: Parestesia merupakan manifestasi klinis yang lebih
sering diamati pada hipotiroidisme.

34
5. Hipoparatiroidisme: hipoparatiroidisme adalah penyebab paling
umum dari hipokalsemia. penyebab hipokalsemia akut meningkat
iritabilitas neuromuskuler yang di bentuk yang lebih ringan
menyebabkan paresthesia dan mati rasa dari daerah acral dan
perioral.
6. Hiperaldosteronisme: Kebanyakan efek klinis hasil hyperaldoste-
ronism dari hipokalemia, yang meningkatkan iritabilitas
neuromuskuler dan menghasilkan kelemahan, kelumpuhan, dan
paresthesia.
7. Menopause: Salah satu yang paling umum dilaporkan gejala somatik
adalah paresthesia pada ekstremitas.
8. Tingkat darah abnormal kalsium, kalium atau natrium.
9. Uremia: Uremia juga dapat menyebabkan sindrom kaki gelisah yang
secara klinis didefinisikan sebagai dorongan untuk menggerakkan
kaki dengan atau tanpa paresthesia terkait.
c) Infeksi dan sindrom pasca-infeksi
1. Virus herpes simplex: Infeksi herpes menyebabkan paresthesia.
2. Virus herpes zoster: Infeksi primer oleh virus varicella-zoster (VZV)
mungkin berhubungan dengan beberapa komplikasi neurologis.
3. Sariawan: luka sariawan atau borok Apthous menyakitkan dan bulat
luka putih dengan perbatasan merah yang terjadi di dalam mulut.
Ada kesemutan atau sensasi terbakar sebelum munculnya luka.
4. polineuropati yang paling umum di antara neuropati HIV-1 terkait
termasuk rasa sakit distal, paresthesia dan mati rasa dalam mode
bergantung khas panjang-dengan proksimal gradien distal.
5. Sifilis: Neurosifilis dapat menyebabkan paresthesia. Paresthesia
dapat disebabkan mielitis tulang belakang yang disebabkan oleh
neurosifilis.
6. Sindrom Guillain-Barré (GBS): GBS adalah akut, polineuropati
simetris dengan fitur khas. Kursus klinis awal melibatkan
paresthesia menyakitkan yang biasanya diikuti oleh kelemahan

35
proksimal bermotor. Beberapa patogen menular mungkin
memainkan peran dalam patogenesis GBS.
7. Rabies: Setelah virus rabies mencapai sistem saraf pusat dan gejala
mulai menunjukkan, infeksi secara efektif diobati dan biasanya
berakibat fatal dalam beberapa hari. Tahap awal gejala rabies adalah
malaise, sakit kepala dan demam, maju ke nyeri akut, paresthesia,
gerakan kekerasan dan anjing gila.
d) Penyakit autoimun
1. Rheumatoid arthritis: Mulut kering, pruritus dan paresthesia sering
keluhan pada pasien dengan rheumatoid arthritis. Rheumatoid
myelopathy serviks menyebabkan paresthesia di lengan dan leher
nyeri.
2. Systemic lupus erythematosus.
3. Sindrom Sjogren: Neuropati perifer terjadi pada sindrom Sjogren.
Sejarah sering mengungkapkan keluhan terbakar, kesemutan
parestesia dalam stocking atau sarung tangan distribusi simetris atau
di wajah (Trigeminal Nerve).
4. Anemia pernisiosa.
5. Arthritis: Paresthesia dapat terjadi pada psoriasis arthritis.
6. Fibromyalgia: paresthesia memiliki frekuensi tertinggi di antara
distress klinis yang terkait di fibromyalgia.
e) Kekurangan Gizi
1. Vitamin B 1: Tiamin (vitamin B 1) Kekurangan mengarah ke Beri-
Beri yang mengambil dua bentuk. Kering beri-beri memiliki gejala
neuropati perifer dengan ataksia, kelemahan, paresthesia, dan
gangguan sensorik tambal sulam dengan arefleksia.
2. Vitamin B 5: Tampaknya asam pantotenat (vitamin B 5) dapat
menyebabkan polineuropati sensorik.
3. Vitamin B 6: Gejala-gejala yang berhubungan dengan piridoksin
(vitamin B 6) Kekurangan yang neuropati perifer, seperti paresthesia
dan membakar dysesthesias.

36
4. Vitamin B 12 (Lihat Vitamin B 12 Kekurangan di Central etiologi
sistem saraf) Keganasan: paresthesia lokal dapat disebabkan oleh
keganasan yang menempatkan tekanan pada saraf yang berdekatan.
f) Gangguan Kulit
1. Luka bakar: Studi pasien pulih dari luka bakar yang signifikan
menunjukkan bahwa sensasi abnormal seperti paresthesia sering
dilaporkan selama beberapa tahun setelah cedera.
2. Ito sindrom: hypomelanosis dari Ito adalah gangguan neurokutaneus
langka. Hal ini ditandai dengan daerah kulit depigmentasi sering
dikaitkan dengan mata, muskuloskeletal dan saraf kelainan.
3. Penyakit merah muda: pasien yang terkena awalnya lesu, anoreksia,
dan rongseng. tekanan darah mereka dan meningkatkan denyut
jantung. nyeri yang signifikan terjadi pada tangan dan kaki
mencegah tidur. Akhirnya tangan dan kaki akan membengkak dan
menjadi paresthetic, menjadi warna pink kehitaman bersama dengan
proses serupa yang terjadi pada hidung.
g) Acroparesthesia: Wanita pasca menopause
1. Migrain: Aura somatosensori dari migrain dapat terdiri dari
parestesia digitolingual atau cheiro-oral. paresthesia mungkin
bermigrasi ke lengan dan kemudian memperpanjang melibatkan
wajah, bibir dan lidah.
2. Gangguan psikologis: Kecemasan, serangan panik dan penyakit
kejiwaan dapat menyebabkan hiperventilasi yang dapat
menyebabkan paresthesia. Paresthesia juga bisa menjadi manifestasi
dari depresi.
3. Obat: Parestesia dapat menjadi efek samping dari beberapa obat
seperti convulsant anti narkoba, topiramate, amiodaron.
h) Racun
1. Alkohol (Lihat Alkoholisme pada gangguan metabolik).

37
2. Tembakau: Merokok merupakan faktor risiko yang kuat untuk
arteriosklerosis dan penyakit Buerger yang dapat menyebabkan
sensitif polineuropati akson.
3. Penyalahgunaan narkoba: pengadministrasian intravena obat
farmasi yang kuat yang bekerja pada sistem saraf pusat, terutama
opioid terutama digunakan non-medis (penyalahgunaan obat) dapat
menyebabkan manifestasi neurologis seperti paresthesia.
4. Nitrous oxide: Paparan nitrous oxide dapat merusak sistem saraf
yang dapat menyebabkan naik paresthesia dari anggota badan,
ataksia parah gait, taktil kehilangan sensorik pada tungkai dan
batang, dan refleks tendon.
5. Karbon monoksida: Parestesia, emesis, diare, sakit kepala unilateral,
palpitasi atau kematian tidak spesifik tetapi gejala umum dari
keracunan karbon monoksida.
6. Ular gigitan: Beberapa racun mengandung racun yang menyerang
sistem saraf, menyebabkan neurotoksisitas. Korban mungkin hadir
dengan gangguan aneh untuk visi mereka, paresthesia, berbicara
kesulitan dan kelumpuhan pernapasan
7. Logam berat
• Merkuri: toksisitas dari mercurials organik termasuk
dekompensasi neurologis dengan kerusakan mental, ataksia,
kejang, paresthesia, tuli, dan koma akhirnya.
• Arsenik: Neurologis dan studi neurofisiologis menunjukkan
bahwa fungsi sistem saraf pusat dan perifer mungkin terganggu
dalam kondisi paparan arsenik.
• Memimpin: Temuan menonjol di antara para pekerja timah
terkena adalah kelelahan, ketidaknyamanan perut, sakit
punggung, mialgia dan paresthesi.

38
E. Patomekanisme Kesemutan
Paresthesia terjadi pada dua kejadian didalam saraf sensorik yang sama:12

1. Saat iskemia
2. Setelah iskemia → lebih menyolok
Yang mendasari terjadinya paresthesia adalah impuls ektopik. Muatan ektopik
merupakan konduksi sinyal elektrik (perubahan potensial membran) pada
tempat dan waktu yang tidak diinginkan.
Pada keadaan normal:
1. Depolarisasi (tegangan membran meningkat dari-55mv ke +30mv) saluran
Na+ membuka, sedangan saluran K+ menutup.
2. Depolarisasi (tegangan menurun, dari +30mv ke -70mv) Saluran Na+
menutup, sedangkan saluran K+ membuka.
3. Diperpolarisasi (tegangan menurun lebih jauh dari -70mv ke -9-mv)
saluran Na+ menutup, sedangkan saluran K+ masih membuka.
4. Kembali ke potensial membran yang normal, yakni -70mv.

Saat terjadi iskemia, terjadi kekurangan jumlah energi yang akan


digunakan untuk kerja pompa Na+/K+. Disamping itu, terjadi terjadi pula
peningkatan akumulasi dari byproduk metabolisme iskemia, yakni peningkatan
ion H+. Peningkatan ion H+ ini menyebabkan perubahan pH. Perubahan pH
ini kemudian mengakibatkan inhibisi pada kerja pompa Na+/K+,
menyebabkan depolarisasi, yang disebut dengan depolarisasi iskemia. Hal ini
akan memicu tegangan yang bergantung pada konduktansi Na+, sehingga
menyebabkan aktivitas spontan yang disebut sebagai paresthesia.

Efek tidak langsung dari ketdakefektfan kerja pompa Na+/K+ ini adalah
adanya peningkatan kadar K+ pada lingkungan ekstraseluler, yang
menyebabkan arus K+ persisten (tetap). Setelah iskemia terjadi, akan terjadi
suatu peristiwa kompensasi pada aktivitas pompa Na+/K+. Peristiwa
kompensasi ini meyebabkan terjadinya peristiwa paresthesia yang kedua, yang
lebih terasa dan menyolok.12

39
Elektrofisiologi, selama fase iskemia adalah sebagai berikut:

1. Penurunan potensial ambang membran


2. Penurunan amplitudo potensial aksi sensorik
3. Peningkatan periode refrakter
4. Peningkatan konduktansi persistensi Na+

Setelah iskemia dilepaskan- semua keempat nilai akan bergerak menuju


nilai normalnya (pra-iskemik), dengan kekuatan penuh. Hal inilah yang
menyebabkan paresthesia pada fase iskemik berupa frekuensi rendah dan
menjadi semburan frekuensi tinggi dan tajam serta menusuk pada fase pasca
iskemik.

Paresthesia umum disebabkan oleh kompresi pada serabut saraf afferen,


dimana kemudian akan menhilang ketika tekanan dilepaskan. Dalam hal ini,
paresthesia dapat dihasilkan dari gangguan fungsi serabut saraf afferen pada
jalur sensorik di sistem saraf pusat atau sistem saraf tepi. Sensasi sentuhan atau
nyeri menjalar ke otak melalui jalur serabut saraf afferen, oleh karena itu-
gangguan periferal merupakan penyebab umum daripada paresthesia.

40
Paresthesia muncul dari muatan ektopik dari serabut saraf aferen (sensori)
bermielin Tipe A-beta dan A-gamma sedangkan paresthesia akibat suhu terjadi
akibat reseptor kutan menerima impuls dari serabut saraf afferen non-
myelinated tipe C.

Paresthesia juga dapat disebabkan oleh gangguan sistem saraf tepi yang
diakibatkan oleh beberapa penyakit, seperti diabetes melitus, hipotiroidism,
alkohism, and vitamin B12.

F. Definisi Lemah Otot


Kelemahan otot adalah hilangnya sebagian fungsi otot untuk satu atau
lebih kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas yang
terkena.13
G. Etiologi Lemah Otot
1. Sindrom kelelahan kronis.
2. Distrofi otot kelainan yang menyebabkan hilangnya massa otot secara
progresif dan kehilangan kekuatan.
3. Hypotonia kurangnya tonus otot yang biasanya muncul saat lahir
4. Baring yang lama atau imobilisasi.13

H. Klasifikasi Lemah Otot


1. Monoparase: kelemahan otot pada satu ekstremitas superior atau inferior.
2. Hemiparase: kelemahan satu sisi tubuh yaitu ekstremitas superior atau
inferior pada sisi yang sama.
3. Paraparese: kelemahan pada kedua ekstremitas inferior.
4. Tetraparase: kelemahan pada ekstremitas.

41
I. Patomekanisme Lemah Otot

Gambar 2.14. Patofisiologi Lemah Otot14


Mekanisme lemah kedua tungkai atau paraparese inferior karena adanya
kompresi intervertebra yang secara progresif dan kemudian mengarah pada
terjadinya perubahan pada daerah perbatasan tulang-tulang vertebra dan
ligament. Proses degenerasi sendiri dimulai dari nucleus, yang menjadi keras
dan berkurang elastisitasnya. Anulus fibrosus menjadi mudah sobek dan
menonjol keluar dari serta vertebra. Sendi apofiseal menjadi sempit, kartilago
menipis atau hilang sama sekali, sehingga sendi menjadi layu dan
menyebabkan tungkai menjadi lemah akibatnya pasien sulit berjalan.
Paraperese ini merupakan kelainan motorik yang menyertai rasa baal. 14
J. Hubungan Gejala Utama dengan Gejala Terkait
• Muntah15
Proses muntah di kendalikan oleh pusat muntah di sistem saraf pusat
dengan aktivitas impuls dari chemoreceptor tringger zone (CTZ) lewat
nervus vagus. Proses muntah terjadi dalam 3 tahap: Nausea, retcing, dan
emesis. Nausea adalah sensasi ingin muntah akibat berbagai stimulus, di
tandai dengan rasa mual, gerakan peristaltik aktif berhenti tekanan fundus
dan korpus menurun, sedangkan di antrum pars desenden duodenum
tekanan meningkat. Lalu pada fase retcing terjadi inspirasi dalam dengan
gerakan otot nafas spasmodik diikuti kontraksi otot perut dan diafragma

42
serta relaksasi sfingter esofagus bawah. Kemudian pada fase emesis
perubahan tekanan intrathoraks menjadi positif dan sfingter esofagus akan
relaksasi sehingga isi lambung keluar dari mulut.
• Demam15
Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan
langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi
berbagai rangsang. Sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik, maka
monosit, makrofag, dan sel kupfer mengeluarkan sitokin yang berperan
sebagai pirogen endogen (IL-1, TNF-α, IL-6, dan interferon) yang bekerja
pada pusat thermoregulasi hipotalamus. Sebagai respon terhadap sitokin
tersebut maka terjadi sintesis prostaglandin, terutama prostaglandin E2
melalui metabolisme asam arakidonat jalur siklooksigenase-2 (COX-2)
dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh. Hipotalamus akan
mempertahankan suhu sesuai patokan yang baru dan bukan suhu normal.
Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin
melalui sinyal afferen nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal
Macrophage Inflammatory Protein-1 (MIP-1), suatu kemokin yang
bekerja langsung terhadap hipotalamus anterior. Berbeda dengan demam
dari jalur prostaglandin, demam melalui MIP-1 ini tidak dapat dihambat
oleh antipiretik. Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan
produksi panas, sementara vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk
dengan cepat mengurangi pengeluaran panas. Kedua mekanisme tersebut
mendorong suhu naik. Dengan demikian, pembentukan demam sebagai
respon terhadap rangsangan pirogenik adalah sesuatu yang dialami dan
bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme termoregulasi.

K. Penegakan Diagnosa Sesuai Skenario


1. Anamnesis16
Tujuan utama dari anamnesis ialah untuk medapatkan informasi
seputar penyakit, keluhan serta riwayat penyakit terdahulu. Pertanyaan
yang dapat diajukan ialah:

43
a. Data Identitas
b. Keluhan utama
c. Faktor pemberat keluhan utama
d. Gejala lain
e. Riwayat obat
f. Riwayat penyakit sekarang awitan dan factor pencetus
g. Riwayat penyakit dahulu
h. Riwayat keluarga
2. Pemeriksaan fisik lengkap harus dilaksanakan secara rutin pada saat pasien
psikiatri didaftarkan. Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain: 16
a. Neurologis
b. Inspeksi
c. Refleks fisiologi
3.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari informasi lebih lanjut.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan ialah:16
a. Pemeriksaan darah
b. Pemeriksaan cairan serebrospinal
c. Pemeriksaan fungsi saraf: Elektromiografi dan Nerve velocity Test
d. Pencitraan: Foto polos, CT Scan, MRI

L. Penatalaksanaan
Farmakoterapi yang dapat digunakan antara lain dengan antikonvulsan,
antidepresan dan neurotropik yang termasuk didalamnya adalah vitamin B1,
B6, dan B12. Vitamin neurotropik berfungsi menormalkan fungsi saraf dengan
memperbaiki gangguaan metabolisme saraf melalui pemberian asupan yang
dibutuhkan. Pemberian vitamin B1 (100mg), B6 (100mg), dan B12 (200mcg)
terbukti efisien dalam penurunan gejala neuropati pada sekitar 87,4% pasien
dari 310 pasien neuropati perifer diabetic.17

44
M. Diagnosis Banding
1. POLIOMELITIS18
a) Definisi
Poliomielitis (polio, paralisis infantile) adalah penyakit menular oleh
infeksi virus yang bersifat akut. Predileksi virus ialah merusak sel-sel neuron
motorik kornu anterior masa kelabu medula spinalis (anterior horn cells of the
spinal cord) dan batang otak (brain stem) yang berakibat kelemahan atau
kelumpuhan otot (paralisis flaksid akut) dengan distribusi dan tingkat yang
bervariasi serta bersifat permanen.
b) Epidemiologi, Etiologi, dan Transmisi
Poliomielitis adalah suatu penyakit paralisis atau lumpuh yang
disebabkan oleh virus. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan manusia
merupakan satu-satunya reservoir untuk poliomielitis. Poliomielitis sedikit
lebih banyak menyerang anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, dan
lebih sering dialami oleh anak-anak yang tidak mendapatkan vaksinasi,
terutama bagi mereka yang tinggal di daerah yang penduduknya padat dan
dengan sanitasi yang buruk. Poliomielitis disebabkan oleh infeksi dari genus
enterovirus yang dikenal dengan poliovirus. Terdapat tiga serotipe dari
poliovirus, yaitu: poliovirus tipe 1 (Brunhilde/PV1), tipe 2 (Lansing/PV2),
dan tipe 3 (Leon/PV3). Transmisi penyakit ini sangat mudah lewat oral-oral
(orofaringeal) dan fekal-oral (intestinal). Polio sangat infeksius antara 7-10
hari sebelum dan sesudah timbulnya gejala, tetapi transmisinya mungkin
terjadi selama virus berada di dalam saliva atau feses.
c) Patofisiologi
Poliovirus masuk kedalam tubuh melalui mulut, menginfeksi sel yang
pertama ditemuinya, yaitu di faring dan mukosa saluran cerna. Virus ini
masuk dan berikatan dengan immunoglobulin-like receptor, yang dikenal
sebagai reseptor poliovirus atau CD 155, pada membran sel. Di dalam sel-sel
saluran cerna, virus ini bertahan selama sekitar 1 minggu, kemudian menyebar
ke tonsil, jaringan limfoid saluran cerna dan kelenjar limfa mesenterik dan
servikal dimana virus ini berkembang biak. Selanjutnya, virus ini masuk ke
dalam aliran darah. Poliovirus dapat bertahan dan berkembang biak dalam
darah dan kelenjar limfa untuk waktu lama, kadang-kadang hingga 17 minggu.

45
d) Klasifikasi
1. Polio paralitik
Denervasi jaringan otot skelet sekunder oleh infeksi poliovirus dapat
menimbulkan kelumpuhan. Tanda-tanda awal polio paralitik ialah panas
tinggi, sakit kepala, kelemahan41 pada punggung dan leher, kelemahan
asimetris pada berbagai otot, peka dengan sentuhan, susah menelan, nyeri
otot, hilangnya refleks superfisial dan dalam, parestesia, iritabilitas,
konstipasi, atau sukar buang air kecil. Kelumpuhan umumnya berkembang
1-10 hari setelah gejala awal mulai timbul Prosesnya berlangsung selama
2-3 hari, dan biasanya komplit seiring dengan turunnya panas.
2. Polio spinal
Polio spinal adalah tipe poliomielitis paralisis yang paling sering
akibat invasi virus pada motor neuron di kornu anterior medula spinalis
yang bertanggung jawab pada pergerakan otot-otot, termasuk otot-otot
interkostal, trunkus, dan tungkai. Kelumpuhan maksimal terjadi cukup
cepat (2-4 hari), dan biasanya timbul demam serta nyeri otot. Virus dapat
merusak otot-otot pada kedua sisi tubuh, tetapi kelumpuhannya paling
sering asimetris. Kelumpuhan seringkali lebih berat di daerah proksimal
dari pada distal.
3. Polio bulbar
Terjadi kira-kira 2% dari kasus polio paralitik. Polio bulbar terjadi
ketika poliovirus menginvasi dan merusak saraf-saraf di daerah bulbar
batang otak. Destruksi saraf-saraf ini melemahkan otot-otot yang
dipersarafi nervus kranialis, menimbulkan gejala ensefalitis, dan
menyebabkan susah bernafas, berbicara, dan menelan. Akibat gangguan
menelan, sekresi mukus pada saluran napas meningkat, yang dapat
menyebabkan kematian.
4. Polio bulbospinal
Kira-kira 19% dari semua kasus polio paralitik yang memberikan
gejala bulbar dan spinal; subtipe ini dikenal dengan polio respiratori atau
polio bulbospinal. Poliovirus menyerang nervus frenikus, yang mengontrol
diafragma untuk mengembangkan paruparu dan mengontrol otot-otot yang
dibutuhkan untuk menelan.

46
e) Gejala Klinis
Gejala klinik bermacam-macam dan digolongkan sebagai berikut:
1. Jenis asimtomatis Setelah masa inkubasi 7-10 hari, tidak terdapat gejala
klinik sama sekali karena daya tahan tubuh cukup baik. Jenis ini banyak
terdapat waktu epidemi.
2. Jenis abortif 42 Timbul mendadak langsung beberapa jam sampai
beberapa hari. Gejala seperti infeksi virus lainnya, yaitu: malaise,
anoreksia, nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorokan, konstipasi
dan nyeri abdomen.
3. Jenis non-paralitk Gejala kliniknya hampir sama dengan poliomielitis
abortif, hanya nyeri kepala, nausea, dan muntah lebih hebat. Terdapat
tanda-tanda rangsangan meningeal tanpa adanya kelumpuhan. Suhu bisa
naik sampai 38-39oC disertai nyeri kepala dan nyeri otot. Bila penderita
ditegakkan, kepala akan terjatuh kebelakang (head drops). Bila penderita
berusaha duduk dari sikap tidur maka kedua lututnya ditekuk dengan
menunjang kebelakang dan terlihat kekakuan otot spinal (tripod sign).
4. Jenis paralitik Gejala kliniknya sama seperti pada jenis non-paralitik,
kemudian disertai kelumpuhan yang biasanya timbul 3 hari setelah
stadium preparalitik.
f) Diagnosis
Diagnosis poliomielitis paralitik ditegakkan berdasarkan anamnesis
yaitu adanya kelumpuhan flaksid yang mendadak pada salah satu atau lebih
anggota gerak dengan refleks tendon yang menurun atau tidak ada pada
anggota gerak yang terkena, yang tidak berhubungan dengan penyebab
lainnya, dan tanpa adanya gangguan sensori atau kognitif.
Virus polio dapat diisolasi dan dibiakkan dari bahan hapusan tenggorok
pada minggu pertama penyakit, dan dari tinja sampai beberapa minggu. Bila
pemeriksaan isolasi virus tidak dapat dilakukan, maka dipakai pemeriksaan
serologi berupa tes netralisasi dengan memakai serum pada fase akut dan
konvalesen. Selain itu bisa juga dilakukan pemeriksaan complement fixation
(CF). Diagnosis laboratorik biasanya berdasar-kan ditemukannya poliovirus
dari sampel feses atau dari hapusan faring. Antibodi dari poliovirus dapat
didiagnosis, dan biasanya terdeteksi di dalam darah pasien yang terinfeksi.

47
Hasil analisis cairan serebrospinal yang diambil dari pungsi lumbal didapati
adanya peningkatan jumlah leukosit serta protein juga sedikit meningkat.
Dapat juga dilakukan pemeriksaan khusus yaitu kecepatan hantar saraf dan
elektromiografi.
g) Penatalaksanaan
Terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Istirahat selama fase akut.
b. Penderita diisolasi selama fase akut.
c. Terapi simtomatik untuk meringankan gejala.
d. Dilakukan fisioterapi untuk mengurangi kontraktur, atrofi, dan atoni otot.
Otot-otot yang lumpuh harus dipertahankan pada posisi untuk mencegah
deformitas. Dua hari setelah demam menghilang dilakukan latihan
gerakan pasif dan aktif.
e. Akupunktur dapat dilakukan dengan hasil yang cukup memuaskan
f. Terapi ortopedik dilakukan bila terjadi cacat karena kontraktur dan
subluksasi akibat terkenanya otot di sekitar sendi dan lain-lain.
h) Komplikasi
Beberapa komplikasi yang sering ditemukan, yaitu: equinus foot (club
foot), deformitas, gangguan pergerakan sendi, skoliosis, osteoporosis,
neuropati. dan komplikasi akibat tirah baring lama.
i) Prognosis
Prognosis tergantung pada beratnya penyakit. Pemulihan motorik pada
poliomielitis umumnya cukup baik. Pada kasus polio spinal, bila sel-sel saraf
rusak total maka kelumpuhan dapat menetap. Prognosis buruk pada bentuk
bulbar. Kematian biasanya terjadi karena kegagalan fungsi pusat pernapasan
atau infeksi sekunder pada jalan napas.
j) Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif dan
menghindari daerah endemis.

48
2. MYASTENIA GRAVIS19,20,21
a) Definisi
Miastenia gravis merupakan suatu kelainan autoimun saraf
perifer berupa terbentuknya antibodi terhadap reseptor pascasinaptik
asetilkolin (Ach) nikotinik pada myoneural junction. Penurunan jumlah
reseptor Ach ini menyebabkan penurunan kekuatan oto yang progresif
dan terjadi pemulihan setelah beristirahat.
Miastenia gravis juga merupakan kelainan transmisi
neuromuskulor primer yang paling sering ditemui. Saat ini, penyakit ini
paling dipahami sebagai penyakit autoimun, dengan kelainan imunitas
didapat.
b) Epidemiologi
Angka kejadiannya 20/100.000 populasi, sering umur diatas 50
tahun. Wanita lebihsering dibanding pria.
c) Patofisiologi
Kelainan autoimun menyebabkan terbentuknya antibodi pada
reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan
otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin
reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang
menderita acquired myasthenia gravis generalisata.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel
B”, dimana antibody yang merupakan produk dari sel B justru
melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada pathogenesis
miastenia gravis mulai semakin menonjol.
Timus merupakan organ sentral terhadap imnitas yang terkait
dengan sel T, dimana abnormalitas pada timus seperti hyperplasia
timus atau timoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan
gejala miastenik. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin padareseptor
asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi
neuromuskular.

49
d) Klasifikasi

Klasifikasi klinis miastenia gravis:

1. Golongan I Miastenia ocular: hanya menyerang otot ocular,


disertai ptosis dan diplopia. Ptosis sering unilateral.
2. Golongan II A Miastenia umum ringan: awitan lambat,
biasanya pada mata dan lambat laun menyebar ke otot
rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak terganggu,
respon baik terhdapa obat.
3. Golongan II B Miastenia umum sedang: awitan bertahap
dan sering disertai gejala ocular, lalu berlanjut makin berat
dengan terserangnya otot rangka dan bulbar. Respon kurang
terhadap obat.
4. Golongan III Miastenia berat akut: awitan yang cepat
dengan kelemahan otot rangka dan bulbar yang berat
disertaau mulai terserangnya otot pernafasan. Biasa
berkembang maksimal dalam 6 bulan.
5. Golongan IV Miastenia berat lanjut (Krisis miastenia):
Timbul minimal 2 tahun setelah awitan gejala kelompok I
atau II. Kelemahan otot menyeluruh disertai dengan
paralisis otot-otot pernafasan menjadi darurat medik.
e) Tanda dan Gejala Klinis
1. Kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka.
2. Kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas dan
akan berkurang apabila penderita beristirahat.
3. Otot yang mengalami kelemahan paling awal pada umumnya otot
ekstraokular atau ptosis.

50
4. Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin
memburuk. Kelemahantersebut akan menyebar mulai dari otot
ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot ekstremitas.
5. Disartria dan disfagia.
6. Wajah tanpa ekspresi / sulit senyum.
7. Kelemahan otot pernapasan.
f) Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik adanya gambaran klinis
3. Tes klinik sederhana:
• Tes wartenberg: memandang objek diatas bidang antara kedua
bola mta selama

> 30 detik, lama kelamaan akan terjadi ptosis → Tes positif.

• Tes pita suara: penderita disuruh menghitung 1-100, suara akan


menghilang secara bertahap → Tes positif.

4. Tes farmakologik

• Tes tensilon (Edrofonium → sangat berguna pada kasus


dimana pemeriksaan antibody negative sedangkan
gejala klinis diduga kuat miastenia gravis. Injeksi
edrofonium HVL 2 mg i.v tunggu hingga 1-3 menit
perbaikan gejala klinis positif.

5. Tes prostigmin → injeksi prostigmin 0,5 – 1 mg dicapur


dengan 0,1 atropn sulfat lalu disuntikkan intramuscular
atau subkutan perbaikan gejala klinis positif.
6. Tes antibody
• Antibodi Anti-reseptor asetilkolin (AB Anti Ach-R)
• Antibodi antit-oto skelet ( Anti striate muscle antibodi)
• Antistriatonal antibody
• Tes antibodi anti-MuSK

51
7. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

8. Single Fiber Electromyography (SFEMG)

g) Diagnosis Banding

1. Sindrom Eaton-Lambert

2. Paralisis pasca difteri

3. Multipel sclerosis

4. Gullaine barre sindrom (GBS)


h) Penatalaksanaan

Tata laksana miastenia gravis berdasarkan prinsip:

1. Mempengaruhi transmisi neuromuskuler:

• Istirahat

Dengan istirahat, banyaknya Ach dengan rangsangan


saraf akan bertambah sehingga serat –serat otot yang
kekurangan AChr dibawah ambang rangsang dapat
berkontraksi.
• Memblokir pemecahan Ach
Dengan anti kolinesterase, seperti prostigmin,
piridostigmin, edroponium atau ambenonium diberikan sesuai
toleransi penderita, biasanya dimulai dosis kecil sampai dicapai
dosis optimal.
2. Mempengaruhi proses imunologik
• Timektomi → Timektomi dianjurkan pada MG tanpa timoma
yang telah berlangsung 3-5 tahun.
• Kortikosteroid → Diberikan prednisone dosis tunggal atau
alternating untuk mencegah efek samping.
• Imunosupresif → Obat yang digunakan azathioprine
cyclosporine, cylophosphamide (CPM)

52
• Plasma exchange

• Imunoglobulin
i) Prognosis
Progresi penyakit lambat, mencapai puncak sesudah 3-5 tahun,
kemudian berangsur-angsur baik dalam 15-20 tahun dan 20 %
antaranya mengalami remisi.
j) Komplikasi
Krisis miastenik merupakan suatu kaus kegawatdaruratan yang
terjadi bila otot yang mengendalikan pernapasan menjadi sangat
lemah. Kondisi ini dapat menyebabkan gagal pernapasan akut.

3. GUILLAIN BURRE SYNDROME (GBS)21,22,23


a) Definisi
Sindrom Guiilain Barre adalah sekumpulan gejala
poliradikuloneuropati yang terjadi pasca-infeksi, terutama mengenai
neuron motorik, namun juga mengenai neuron sensorik dan otonom
yang bersifat progresif, simetris, dengan penurunan reflek fisiologis.
b) Epidemiologi
Insidensi GBS 0.6 – 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun.
Insiden sedikit lebih tinggi pada laki-laki (laki-laki : perempuan = 1,5 :
1). Risiko mengalami GBS semakin tinggi seiring bertambahnya usia,
memuncak pada dua kelompok usia, yaitu 15-35 tahun dan 50-75 tahun.
c) Etiologi
Pada sebagian besar kejadian GBS, beberapa teori menyebut
gangguan autoimun sehingga terdapat riwayat infeksi yang mendahului
beberapa minggu sebelumnya, salah satunya infeksi saluran pencernaan
yang paling sering ditemui. Organisme yang diisolasi terutama adalah
Campylobacter jejuni, diikuti oleh cytomegalovirus dan Epstein-Barr
virus. Penyebab lain yang lebih jarang adalah HIV, mycoplasma
pneumonia dan virus varicella-zoster. Beberapa studi lain menunjukan

53
adanya asosiasi antara GBS dengan vaksinasi misalnya pada vaksinasi
flu babi, infulenza, rabies, dan meningokok.

d) Patofisiologi
Onser GBS umumnya muncul 1-4 minggu setelah penyakit
infeksius muncul. Banyak organisme infeksius yang dianggap
menginduksi produksi antibodi yang bereaksi silang dengan gangliosid
dan glikolipid, seperti GM1 dan GD1b, yang tersebar luas di sepanjang
mielin pada system saraf perifer(molecular mimicry).
Antibodi yang terbentuk tidak hanya menyerang patoden namun juga
menyerang dan merusak selubung mielin saraf. Terjadi infiltrasi
limfosit dan fagositosis oleh makrofag. Rusaknya mielin menyebabkan
hantaran saraf terhambat atau tidak terjadi sama sekali sehingga terjadi
paralisis.
e) Manifestasi Klinis
Sebagaian besar pasien terdapat riwayat infeksi di saluran cerna
atau pernafasan, seperti diare, common cold, dan pneumonia . sekitar
10 hari kemudian, pasien mengalami paralisis atau laundry’s ascending
paralysis. Disebut ascending karena paralisis dimulai dari ekstremitas
bawah, kemudian naik ke batang tubuh, ekstremitas atas, dan terakhir
ke otot-otot bulbaris. Refleks tendon kemudian menghilang. Anak
tampak iritabel dan menolak atau tidak bisa berjalan.
Keterlibatan otot-otot bulbar akan menyebabkan paralisis nervus
kranialis serta paralisis otot-otot pernapasan yang dapat menyebabkan
gagal napas. Dapat juga terjadi keterlibatan sensorik dan otonom.
Kelainan sensorik bermanifestasi sebagai rasa nyeri, baal, parestesia,
hilangnya sensasi getar, sentuh, nyeri dan proprioseptif dibagian distal.
Disfungsi otonom menyebabkan hipotensi postural hipertensi, irama
jantung tidak teratus, takikardi atau bradikardi sinus, hipersalivasi,
anhidrosis atau fluktuasi tekanan darah yang sangat lebar.

54
f) Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis

• Kelemahan ascenden dan simetris

• Anggota gerak bawah dulu baru menjalar ke atas

• Kelemahan akut dan progresif yang ditandai arefleksia

• Puncak defisit 4 minggu

• Pemulihan 2-4 minggu pasca onset

• Gangguan sensorik pada umumnya ringan

• Gangguan otonom dapat terjadi

• Gangguan saraf kranial

• Gangguan otot-otot nafas

2. Pemeriksaan Fisik:

• Kelemahan saraf cranial (III, IV, VI, VII, IX, X)

• Kelemahan anggota gerak yang cenderung simetris dan


asendens

• Hiporefleksia atau arefleksia

• Tidak ada klonus atau refleks patologis

3. Pemeriksaan Penunjang:

• Laboratorium (untuk menyingkirkan diagnosis banding lain):


Pemeriksaan darah lengkap, ureum/kreatinin, SGOT/SGPT,
elektrolit, Creatinin kinase, Serologi CMV/EBV/Micoplasma,
Antibodi glycolipid, Antibodi GMI

• Pencitraan: MRI minimal potongan sagital untuk


menyingkirkan diagnosis banding lain

55
• Lumbal Pungsi

• Kriteria Diagnosis Memenuhi kriteria anamnesis, pemeriksaan


fisik, pemeriksaan neurofisiologi dan lumbal pungsi.
g) Penatalaksanaan
Farmakologi:
1. Pemberian IVIG 0,4 gram/ kg BB/ hari selama 5 hari atau plasma
exchangediguanakan sebagai lini pertama pengobatan (Level A)
2. Pemberian IVIG memiliki efek samping yang lebih sedikit, sehingga lebih
banyakdipilih (Level B)
3. Kombinasi methylprednisolone dosis tinggi dan IVIG memiliki manfaat
singkat(Level C)
4. Pada anak-anak pemberian IVIG lebih direkomendasikan (Level C)
6. Pemberian IVIG pada kasus yang relaps tetap harus dipertimbangkan
(GPP/ GoodPractice Point)
7. Tindakan rehabilitasi disesuaikan dengan derajat kelemahan dan
disabilitaspasien.
Edukasi:

1. Penjelasan Sebelum MRS (rencana rawat, biaya, pengobatan,


prosedur, masa dantindakan pemulihan dan latihan, manajemen nyeri,
risiko dan komplikasi)
2. Penjelasan mengenai GBS, risiko dan komplikasi selama perawatan

3. Penjelasan mengenai faktor risiko dan pencegahan rekurensi

4. Penjelasan program pemulangan pasien (Discharge Planning)

5. Penjelasan mengenai gejala GBS, dan apa yang harus dilakukan


sebelum dibawake RS
h) Komplikasi
Pasien dapat meninggal karena gagal napas sepsis, pneumonia, tromboemboli,
dan henti jantung yang merupakan komplikasi dari penggunaan intubasi dan
ventilator, tirah baring berkepanjangan atau disfungsi otonom. Sebagian kcil

56
pasien mengalami schronic relapsing polyradivuloneuropathy yaitu sindrom GBS
yang berulang terus-menerus dan tidak mengalami perbaikan untuk waktu yang
sangat lama.
i) Prognosis

Sebagaian besar memiliki prognosis yang sangat baik. Prognosis lebih


buruk ditandai oleh:

1. Keterlibatan nervus kranilasi

2. Intubasi

3. Disabilitas maksimal saat sakit

4. Perubahan usia

57
TABEL DD

Kata Kunci Poliomielitis Myasthenia


GBS
Gravis

Laki-laki, 11 Tahun + - +

Rasa Baal + + +

Lemah Tungkai + + +

Sulit Berjalan + + +

Demam & Mual 2 minggu


+ + +
sebelumnya

Tidak ada gangguan berkemih + + -

TTV Normal + - -

Pemeriksaan Nervus Kranial


+ - -
normal

58
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Paraesthesia adalah istilah teknis yang digunakan untuk
mencerminkan persepsi sensasi abnormal, termasuk perasaan pin dan jarum,
kesemutan, tusukan atau perasaan seolah-olah semut merayap di atas / di
bawah kulit dan pasien harus didorong untuk sepenuhnya menggambarkan
apa yang mereka rasakan. Paresthesia menunjukkan kelainan yang
mempengaruhi sistem saraf sensorik dan dapat timbul di mana saja dari saraf
perifer ke korteks sensorik. Ini adalah salah satu istilah yang melekat pada
neuropati perifer.

B. Saran
Pada problem based learning mahasiswa di tuntut untuk lebih aktif
lagi memberikan infomasi yang akurat. Di harapkan sebelum PBL
mahasiswa menguasai materi yang terkait, dan diharapkan kepada
mahasiswa agar tidak menitik beratkan kepada diagnosis skenario tetapi
lebih ke bagaimana cara memecahkan suatu masalah.

59
DAFTAR PUSTAKA

1. Feriyawati, Litta. Anatomi Sistem Saraf dan perannya Dalam Regulasi


Kontraksi Otot Rangka. USU Respiratory 2006.
2. Bahrudin, Mochamad. Pemeriksaan Klinis Di Bidang Penyakit Syaraf.
Malang: UMM Press. 2011.
3. Nugroho, Fendy. Pengaruh Penambahan Mobilisasi Saraf dan Static
Stretching Setelah Intervensi Short Wave Diathermy Untuk Mengurangi
Nyeri Akibat Ischialgia. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta Fakultas Ilmu Kesehatan Jurusan Fisioterapi. 2013.
4. Khafinudin, Ahmad Organ Pada Sistem Saraf. Diakses tanggal 21
Desember 2016.
5. Tandel, H. et al. GUILLAIN-BARRÉ SYNDROME (GBS): A REVIEW.,
3(2), hal.366–371. 2016.
6. Gibson. Fisiologi Dan Anatomi Modern Untuk Perawat: Edisi 2. 2002.
7. Putz dan Pabtst. Atlas Of Human Anatomy Sobotta. 1994.
8. Beran RG. Neurologi untuk Praktisi Umum. Sydney: Elsevier. 2012
9. Tihanyi, Benedek dkk. Neurofisiologi Kesemutan. Elsevier. 2018. Hlm. 97-
110.
10. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. Edisi ke-3. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama. 1998.
11. Alexander R. Vacarro, Mahdi, Sharif-Alhoseini, Vafa Rahimi-Movaghar,
Penyebab yang Mendasari Paresthesia. Jurnal Universitas Teheran Of
Medical Sciences. 2012.
12. Al-Luwimi, Ibrahim, Pathophysiology of Paresthesia, Journal of
Cardiothoracic and Vascular Division College of Medicine.
http://cdn.intechopen.com/pdfs/29759/InTechPathophysiology_of_paresth
esia.
13. Institute for Quality and Efficiency. Fibromyalgia. Informed Health. 2018.

60
14. Dwi Andryani, Harpeni. Penatalaksanaan Fisioterapi pada kasus Paraparese
Inferior Ec Post Laminectomy. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
2013.
15. Sherwood L. Human Physiology from cells to system. Edisi ke-6: Thomson
Brooks/ Cole. 2007.
16. Salawati liza dan syahrul. Penyakit akibat kerja, CTS, CTD. JURNAL
KEDOKTERAN SYIAH KUALA. April 2014;(14)1:
Hal.29.http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/JKS/article/download/2742/2590
17. Dewi ratna sari kusuma. Diabetic peripheral neuropathy, vitamin B1,B6
and B12, total symptoms score.Jurnal Farmasi SAINS dan Komunitas.
November 2016;(13)2: Hal 97-104. http://e-
journal.usd.ac.id/index.php/JFSK/article/download/193/193_Dewi.
18. Pontoh LM, Program EA. Rehabilitasi medik pada poliomielitis. J
Biomedik. 2015;7(2):117–20.
19. dr. Badrul Munir Sp.S. Neurologi dasar. Edisi kedua. Fakultas
KedokteranUniversitas Brawijaya Malang. 2017.
20. Buku MMN Neurologi. 2019.
21. Tanto C, dkk. Kapita selekta. Edisi IV. Fakultas KedokteranUniversitas
Indonesia. 2014.
22. Munir B. NEUROLOGI DASAR. 1st ed. Mariyam NS, editor. Jakarta:
Sagung Seto;2017. 344–349 p.Tanto C, Liwang F, Dkk. KAPITA SELEKTA
KEDOKTERAN. 4th ed. Jakarta:Media Aesculapius; 2014.
23. PERDOSSI. PANDUAN PRAKTIK KLINIS NEUROLOGI. M K,
Suharjanti I,Pinzon RT, editors. Jakarta; 2017.

61

Anda mungkin juga menyukai