Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

ANATOMI DAN PENGKAJIAN SISTEM PERSARAFAN

s
Di Susun Oleh :
Nama : Ni Komang sari
Nim : (201801268)
Kelas : d nonreguler

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA NUSANTARA PALU

TAHUN 2018 /2019


KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas
anugrahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
‘’Anatomi Dan Juvenilen Diabete Militus ”
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan askep ini selain untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Dosen pengajar, juga untuk lebih
memperluas pengetahuan para mahasiswa khususnya bagi penulis, penulis
telah berkuasa untuk dapat menyusun makalah ini dengan baik, namun
penulis pun menyadari bahwa kami memiliki keterbatasan dalam menyusun
askep ini .
Oleh karena itu jika didapati adanya kesalahan-kesalahan baik dari segi
tekhnik penulisan, maupun dari isi maka kami mohon maaf dan kritik serta
saran dari Dosen pengajar bahkan semua pembaca sangat diharapkan oleh
kami untuk sdapat menyempurnakan makalah ini terlebih juga dalam
pengetahuan kita bersama. Harap ini dapat bermanfaat bagi kita sekalian .

Palu, 19 September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman judul ..................................................................................................i
Daftar isi...........................................................................................................ii
Kata Pengantar..................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
A. Latar belakang..............................................................................................1
B.Tujuan ..........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................4
2.1 Anatomi sistem saraf ................................................................................6
A. Defenisi sistem saraf.............................................................................6
B. Susunan saraf pusat .............................................................................6
C. Sel sel saraf pusat .................................................................................9
D. Regenerasi neuron ................................................................................13
2.2. pengkajian sistem saraf..............................................................................15
A. Anamnese ..............................................................................................15
B. Pemeriksaan fisik ...................................................................................16

BAB III PENUTUP .........................................................................................27


A. Kesimpulan ...............................................................................................27
Daftar pustaka...................................................................................................28

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Banyak penyakit sistemik memiliki manifestasi neurologik. Oleh
karena itu, biasanya pengetahuan tentang sistim persyarafan sangat
dibutuhkan dalam melakukan pengkajian. Individu dengan permasalah
sistim neurology membutuhkan pengkajian yang akurat oleh tenaga
terlatih baik itu perawat maupun dokter. Pengkajian sistim persyarafan
dapat dilakukan secara umum ataupun secara khusus baik oleh perawat
maupun dokter dan data dikumpulkan dapat dilakukan secara independent
ataupun kolaborasi untuk membantu memberikan pelayanan yang terbaik
bagi pasien. Pengetahuan dasar tentang anatomi fisiologi sistim
persyarafan adalah persyaratan mutlak yang harus dimiliki dan dipahami
sebelum menangani seorang pasien. Dua systim yaitu sistim syaraf dan
endokrine mempunyai fungsi yang bersamaan dalam mengatur respon
tubuh terhadap perubahan lingkungan. Kedua sistim mempunyai cara kerja
/ mechanisme kerja yang sangat berbeda namun mempunyai satu tujuan
utama yaitu menjaga tubuh tetap dalam keadaan normal. Sistim endocrine
bekerja dengan mengeluarkan hormone kedalam sirkulasi dan bekerja
pada reseptor khusus (organ target) yang selanjutnya mengatur
keseluruhan kerja dari sistim tubuh. Sistim saraf mengatur kerja sistim
tubuh melalui impuls –impuls sarafnya. Bila dibandingkan dengan sistim
endocrine, kerja sistim saraf jauh lebih cepat. Homeostasis merupakan
suatu keadaan seimbang dan terkontrol pada lingkungan internal tubuh
yang merupakan dasar dari kehidupan. Keadaan homeostasis ini penting
untuk menjaga keberhasilan kerja dari sel – sel tubuh. Terciptanya keadaan
ini merupakan fungsi yang terintegrasi dari sistim tubuh secara
keseluruhan.
B. Tujuan penulisan

4
1) Tujuan Umum
Setelah mempelajari pemeriksaan fisik pada manusia,
Mahasiswa diharapkan mampu memahami pemeriksaan fisik Sistem
persarafan pada manusia.
2) Tujuan Khusus
1. Untuk Mengrtahui defenisi sistem saraf
2. Untuk Mengetahui susunuan saraf pusat
3. Untuk Mengetahui sel sel pada sistem saraf pusat
4. Untuk Mengetahui regenerasi neuron
5. Untuk Mengetahui pengkajian sistem persarafan
6. Untuk mengetahui pemeriksaaf sistem persarafan

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ANATOMI SISTEM SARAF


A. Defenisi
Sistem saraf adalah sistem koordinasi berupa penghantaran
impuls saraf ke susunan saraf pusat, pemrosesan impuls saraf dan
pemberi tanggapan rangsangan (Feriyawati, 2006). Sistem atau susunan
saraf merupakan salah satu bagian terkecil dari organ dalam tubuh, tetapi
merupakan bagian yang paling kompleks. Susunan saraf manusia
mempunyai arus informasi yang cepat dengan kecepatan pemrosesan
yang tinggi dan tergantung pada aktivitas listrik (impuls saraf)
(Bahrudin, 2013).
Alur informasi pada sistem saraf dapat dipecah secara skematis
menjadi tiga tahap. Suatu stimulus eksternal atau internal yang mengenai
organ-organ sensorik akan menginduksi pembentukan impuls yang
berjalan ke arah susunan saraf pusat (SSP) (impuls afferent), terjadi
proses pengolahan yang komplek pada SSP (proses pengolahan
informasi) dan sebagai hasil pengolahan, SSP membentuk impuls yang
berjalan ke arah perifer (impuls efferent) dan mempengaruhi respons
motorik terhadap stimulus (Bahrudin,2013
B. Susunan Sistem Saraf
Susunan sistem saraf terbagi secara anatomi yang terdiri dari saraf pusat
(otak dan medula spinalis) dan saraf tepi (saraf kranial dan spinal) dan
secara fisiologi yaitu saraf otonom dan saraf somatik (Bahrudin, 2013).
1. Sistem Saraf Pusat Susunan saraf pusat (SSP)
yaitu otak (ensefalon) dan medula spinalis, yang merupakan pusat
integrasi dan kontrol seluruh aktifitas tubuh. Bagian fungsional pada
susunan saraf pusat adalah neuron akson sebagai penghubung dan

6
transmisi elektrik antar neuron, serta dikelilingi oleh sel glia yang
menunjang secara mekanik dan metabolik (Bahrudin, 2013).
a) Otak
Otak merupakan alat tubuh yang sangat penting dan sebagai
pusat pengatur dari segala kegiatan manusia yang terletak di dalam
rongga tengkorak. Bagian utama otak adalah otak besar
(cerebrum), otak kecil (cereblum) dan otak tengah Otak besar
merupakan pusat pengendali kegiatan tubuh yang disadari. Otak
besar ini dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan kanan dan kiri.
Tiap belahan tersebut terbagi menjadi 4 lobus yaitu frontal,
parietal, okspital, dan temporal. Sedangkan disenfalon adalah
bagian dari otak besar yang terdiri dari talamus, hipotalamus, dan
epitalamus (Khafinuddin, 2012).
Otak belakang/ kecil terbagi menjadi dua subdivisi yaitu
metensefalon dan mielensefalon. Metensefalon berubah menjadi
batang otak (pons) dan cereblum. Sedangkan mielensefalon akan
menjadi medulla oblongata. Otak tengah/ sistem limbic terdiri dari
hipokampus, hipotalamus, dan amigdala (Khafinuddin, 2012).
Pada otak terdapat suatu cairan yang dikenal dengan cairan
serebrospinalis. Cairan cerebrospinalis ini mengelilingi ruang sub
araknoid disekitar otak dan medula spinalis. Cairan ini juga
mengisi ventrikel otak. Cairan ini menyerupai plasma darah dan
cairan interstisial dan dihasilkan oleh plesus koroid dan sekresi
oleh sel-sel epindemal yang mengelilingi pembuluh darah serebral
dan melapisi kanal sentral medula spinalis. Fungsi cairan ini adalah
sebagai bantalan untuk pemeriksaan lunak otak dan medula
spinalis, juga berperan sebagai media pertukaran nutrien dan zat
buangan antara darah dan otak serta medula spinalis (Nugroho,
2013).
b) Medula Spinalis (Sumsum tulang belakang)

7
Sumsum tulang belakang terletak memanjang di dalam
rongga tulang belakang, mulai dari ruas-ruas tulang leher sampai
ruas-ruas tulang pinggang yang kedua. Sumsum tulang belakang
terbagi menjadi dua lapis yaitu lapisan luar berwarna putih (white
area) dan lapisan dalam berwarna kelabu (grey area) (Chamidah,
2013).
Lapisan luar mengandung serabut saraf dan lapisan dalam
mengandung badan saraf. Di dalam sumsum tulang belakang
terdapat saraf sensorik, saraf motorik dan saraf penghubung.
Fungsinya adalah sebagai penghantar impuls dari otak dan ke otak
serta sebagai pusat pengatur gerak refleks (Khafinuddin, 2012).
2. Sistem Saraf Tepi
Susunan saraf tepi (SST) yaitu saraf kranial dan saraf spinalis
yang merupakan garis komunikasi antara SSP dan tubuh . SST
tersusun dari semua saraf yang membawa pesan dari dan ke SSP
(Bahrudin, 2013). Berdasarkan fungsinya SST terbagi menjadi 2
bagian yaitu:
a. Sistem Saraf Somatik (SSS)
Sistem saraf somatik terdiri dari 12 pasang saraf kranial dan 31
pasang saraf spinal. Proses pada saraf somatik dipengaruhi oleh
kesadaran.
a. Saraf kranial
12 pasang saraf kranial muncul dari berbagai bagian batang
otak. Beberapa dari saraf tersebut hanya tersusun dari serabut
sensorik, tetapi sebagian besar tersusun dari serabut sensorik dan
motorik.
b. Saraf spinal
Ada 31 pasang saraf spinal berawal dari korda melalui radiks
dorsal (posterior) dan ventral (anterior). Saraf spinal adalah saraf
gabungan motorik dan sensorik, membawa informasi ke korda
melalui neuron aferen dan meninggalkan melalui eferen. Saraf

8
spinal diberi nama dan angka sesuai dengan regia kolumna
vertebra tempat munculnya saraf tersebut.

b. Sistem Saraf Otonom (SSO)

Sistem saraf otonom mengatur jaringan dan organ tubuh yang tidak
disadari. Jaringan dan organ tubuh yang diatur oleh sistem saraf
otonom adalah pembuluh darah dan jantung. Sistem ini terdiri atas
sistem saraf simpatik dan sistem saraf parasimpatik. Fungsi dari
kedua sistem saraf ini adalah saling berbalikan
SST berdasarkan divisinya juga dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1) .Divisi sensori (afferent) yaitu susunan saraf tepi dimulai dari
receptor pada kulit atau otot (effector) ke dalam pleksus,
radiks, dan seterusnya kesusunan saraf pusat. Jadi besifat
ascendens.
2) Divisi motorik (efferent) yang menghubungkan impuls dari
SSP ke effector (Muscle and Glands) yang bersifat desendens
untuk menjawab impuls yang diterima dari reseptor di kulit
dan otot dari lingkungan sekitar (Bahrudin, 2013)
C. sel-sel pada Sistem Saraf
Sistem saraf pada manusia terdiri dari dua komponen yaitu sel saraf dan
sel glial. Sel saraf berfungsi sebagai alat untuk menghantarkan impuls
dari panca indera menuju otak yang selanjutnya oleh otak akan dikirim
ke otot. Sedangkan sel glial berfungsi sebagai pemberi nutrisi pada
neuron (Feriyawati, 2006).

1. Sel Saraf (Neuron)Sel saraf (neuron) bertanggung jawab untuk proses


transfer informasi pada sistem saraf (Bahrudin, 2013). Sel saraf
berfungsi untuk menghantarkan impuls. Setiap satu neuron terdiri dari
tiga bagian utama yaitu badan sel (soma), dendrit dan akson

9
(Feriyawati, 2006). adan sel (soma) memiliki satu atau beberapa
tonjolan (Feriyawati, 2006).

Soma berfungsi untuk mengendalikan metabolisme keseluruhan


dari neuron (Nugroho, 2013). Badan sel (soma) mengandung organel
yang bertanggung jawab untuk memproduksi energi dan biosintesis
molekul organik, seperti enzim-enzim. Pada badan sel terdapat
nukleus, daerah disekeliling nukleus disebut perikarion. Badan sel
biasanya memiliki beberapa cabang dendrit (Bahrudin, 2013).

Dendrit adalah serabut sel saraf pendek dan bercabang-cabang


serta merupakan perluasan dari badan sel. Dendrit berfungsi untuk
menerima dan menghantarkan rangsangan ke badan sel (Khafinudin,
2012). Khas dendrit adalah sangat bercabang dan masing-masing
cabang membawa proses yang disebut dendritic spines

Akson adalah tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan


informasi keluar dari badan sel Di dalam akson terdapat benang-
benang halus disebut neurofibril dan dibungkus oleh beberpa lapis
selaput mielin yang banyak mengandung zat lemak dan berfungsi
untuk mempercepat jalannya rangsangan. Selaput mielin tersebut
dibungkus oleh sel-sel Schwann yang akan membentuk suatu jaringan
yang dapat menyediakan makanan dan membantu pembentukan
neurit. Bagian neurit ada yang tidak dibungkus oleh lapisan mielin
yang disebut nodus ranvier (Khafinudin, 2012).

Pada SSP, neuron menerima informasi dari neuron dan primer di


dendritic spines, yang mana ditunjukkan dalam 80-90% dari total
neuron area permukaan. Badan sel dihubungkan dengan sel yang lain
melalui akson yang ujung satu dengan yang lain membentuk sinaps.

10
Pada masing-masing sinap terjadi komunikasi neuron dengan sel yang
lain (Bahrudin, 2013).

2. sel penyokong atau Neuroglia (Sel Glial)

Sel glial adalah sel penunjang tambahan pada SSP yang berfungsi
sebagai jaringan ikat (Nugroho, 2013), selain itu juga berfungsi
mengisolasi neuron, menyediakan kerangka yang mendukung
jaringan, membantu memelihara lingkungan interseluler, dan
bertindak sebagai fagosit. Jaringan pada tubuh mengandung kira-kira
1 milyar neuroglia, atau sel glia, yang secara kasar dapat diperkirakan
5 kali dari jumlah neuron .Sel glia lebih kecil dari neuron dan
keduanya mempertahankan kemapuan untuk membelah, kemampuan
tersebut hilang pada banyak neuron. Secara bersama-sama, neuroglia
bertanggung jawab secara kasar pada setengah dari volume sistem
saraf. Terdapat perbedaan organisasi yang penting antara jaringan
sistem saraf pusat dan sitem saraf tepi, terutama disebabkan oleh
perbedaaan pada

a. Macam-macam Sel GliaAda empat macam sel glia yang memiliki


fungsi berbeda yaitu (Feriyawati, 2006):

1) Astrosit/ Astroglia: berfungsi sebagai “sel pemberi makan” bagi


sel saraf
2) Oligodendrosit/ Oligodendrolia: sel glia yang bertanggung
jawab menghasilkan mielin dalam susunan saraf pusat. Sel ini
mempunyai lapisan dengan substansi lemak mengelilingi
penonjolan atau sepanjang sel saraf sehingga terbentuk selubung
mielin. Mielin pada susunan saraf tepi dibentuk oleh sel
Schwann. Sel ini membentuk mielin maupun neurolemma saraf

11
tepi. Mielin menghalangi ion natrium dan kalium melintasi
membran neuronal dengan hampir sempurna. Serabut saraf ada
yang bermielin ada yang tidak. Transmisi impuls saraf
disepanjang serabut bermielin lebih cepat daripada serabut yang
tak bermielin, karena impuls berjalan dengan cara meloncat dari
nodus ke nodus yang lain disepanjang selubung mielin
(Feriyawati, 2006).
Peran dari mielin ini sangatlah penting, oleh sebab itu pada
beberapa orang yang selubung mielinnya mengalami
peradangan ataupun kerusakan seperti pada pasien GBS maka
akan kehilangan kemampuan untuk mengontrol otot-ototnya
sehingga terjadi kelumpuhan pada otot-otot tersebut. Perbedaan
struktur dari selubung mielin normal dengan selubung mielin
pada pasien GBS
3) Mikroglia: sel glia yang mempunyai sifat fagosit dalam
menghilangkan sel-sel otak yang mati, bakteri dan lain-lain. Sel
jenis ini ditemukan diseluruh SSP dan dianggap penting dalam
proses melawan infeksi.
4) Sel ependimal: sel glia yang berperan dalam produksi cairan
cerebrospinal

b. Neuroglia pada Sistem Saraf Tepi (SST)

Neuron pada sistem saraf tepi biasanya berkumpul jadi satu dan
disebut ganglia (tunggal: ganglion). Akson juga bergabung menjadi
satu dan membentuk sistem saraf tepi. Seluruh neuron dan akson
disekat atau diselubungi oleh sel glia. Sel glia yang berperan terdiri
dari sel satelit dan sel Schwann

12
1) Sel SatelitBadan neuron pada ganglia perifer diselubungi oleh
sel satelit. Sel satelit berfungsi untuk regulasi nutrisi dan produk
buangan antara neuron body dan cairan ektraseluler. Sel tersebut
juga berfungsi untuk mengisolasi neuron dari rangsangan lain
yang tidak disajikan di sinap.
2) Sel SchwannSetiap akson pada saraf tepi, baik yang terbungkus
dengan mielin maupun tidak, diselubungi oleh sel Schwann atau
neorolemmosit. Plasmalemma dari akson disebut axolemma;
pembungkus sitoplasma superfisial yang dihasilkan oleh sel
Schwann disebut neurilemma (Bahrudin, 2013)

Dalam penyampaian impuls dari reseptor sampai ke efektor


perifer caranya berbeda-beda. Sistem saraf somatik (SSS)
mencakup semua neuron motorik somatik yang meng-inervasi otot,
badan sel motorik neuron ini terletak dalam SSP, dan akson-akson
dari SSS meluas sampai ke sinapsis neuromuskuler yang
mengendalikan otot rangka. Sebagaian besar kegiatan SSS secara
sadar dikendalikan. Sedangkan sistem saraf otonom mencakup
semua motorik neuron viseral yang menginervasi efektor perifer
selain otot rangka. Ada dua kelompok neuron motorik viseral, satu
kelompok memiliki sel tubuh di dalam SSP dan yang lainnya
memiliki sel tubuh di ganglia perifer (Bahrudin, 2013).

Neuron dalam SSP dan neuron di ganglia perifer berfungsi


mengontrol efektor di perifer. Neuron di ganglia perifer dan di SSP
mengontrolnya segala bergiliran. Akson yang memanjang dari SSP
ke ganglion disebut serat preganglionik. Akson yang
menghubungkan sel ganglion dengan efektor perifer dikenal
sebagai serat postganglionik. Susunan ini jelas membedakan sistem
(motorik visceral) otonom dari sistem motorik somatik. Sistem
motorik somatik dan sitem motorik visceral memiliki sedikit

13
kendali kesadaran atas kegiatan SSO.Interneuron terletak diantara
neuron sensori dan motorik. Interneuron terletak sepenuhnya
didalam otak dan sumsum tulang belakang. Mereka lebih banyak
daripada semua gabungan neuron lain, baik dalam jumlah dan
jenis. Interneuron bertanggung jawab untuk menganalisis input
sensoris dan koordinasi motorik output. Interneuron dapat
diklasifikasikan sebagai rangsang atau penghambat berdasarkan
efek pada membran post sinaps neuron (Bahrudin, 2013)

D. Regenerasi Neuron
Sel saraf sulit sekali untuk melakukan regenarasi setelah mengalami
kerusakan. Dalam sel body (inti sel/ sel tubuh), bagian kromatofilik
menghilang dan nukleus keluar dari pusat sel. Jika neuron berfungsi
normal kembali, sel tersebut pelan-pelan akan kembali pada keadaan
normal. Jika suplai oksigen atau nutrisi dihambat, seperti yang selalu
terjadi pada stroke atau trauma mekanik mengenai neuron, seperti yang
selalu pada kerusakan medula spinalis atau perifer, neuron tidak akan
mengalami perbaikan kecuali sirkulasi baik atau tekanan turun dalam
waktu beberapa menit atau jam. Jika keadaan stress ini terjadi terus
menerus, neuron yang mengalami kerusakan akan benar-benar
mengalami kerusakan permanen (Bahrudin, 2013).
Pada SST, sel Schwann berperan dalam memperbaiki neuron yang
rusak. Proses ini dinamakan degenaration wallerian, bagian distal akson
yang semakin memburuk dan migrasi makrofag pada sel tersebut untuk
proses fagositosis sel mati tersebut. Sel Schwann di area yang putus
membentuk jaringan padat memanjang yang menyambung pada bagian
akson yang sebenarnya. Selain itu, sel Schwann juga mengelurkan
growth factor untuk merangsang pertumbuhan kembali akson. Jika akson
telah putus, akson yang baru akan mulai muncul dari bagian proksimal
bagian yang putus dalam beberapa jam. Pada sebagian kerusakan yang
biasa pada proksimal akson yang rusak akan mati dan menyusut

14
beberapa sentimeter sehingga tunas muncul lambat sekitar beberapa
minggu. Ketika neuron terus mengalami perbaikan, akson tersebut akan
tumbuh kesisi yang mengalami kerusakan dan sel Schwann membungkus
disekitarnya (Bahrudin, 2013).
Jika akson terus tumbuh di daerah perifer sepanjang saluran sel
Schwann, ini akan secepatnya mengembalikan hubungan antar sinapnya.
Jika tidak tumbuh lagi atau menyimpang, fungsi normalnya tidak akan
kembali. Akson yang tumbuh mencapai tujuannya, jika bagian distal dan
proksimal bagian yang rusak bertemu. Ketika sebuah saraf perifer
mengalami kerusakan seluruhnya, relatif hanya beberapa akson yang
akan sukses mengembalikan hubungan sinap yang normal, sehingga
fungsi saraf akan selamanya rusak.
Regenerasi yang terbatas disebabkan karena:
1) Banyak akson yang terdegenarasi
2) Astrosit menghasilkan jaringan parut sehingga mencegah
pertumbuhan akson di daerah yang rusak
3) Astrosit melepaskan bahan kimia yang dapat menghambat
pertumbuhan kembali akson

GBS merupakan bagian atau salah satu dari penyakit neuromuskular,


penyakit ini jarang dijumpai. Gangguan neuromuskular memiliki
spektrum gejala dan tanda yang cukup khas. Mulai dari kesemutan
diujung jari, kelumpuhan ekstremitas, hingga kegagalan saluran
pernafasan yang dapat mengancam nyawa. Oleh karenanya, mengenali
penyakit ini sejak awal sangatlah penting. Penyakit neuromuskular sifat
kelumpuhannya adalah lower motor neuron (LMN). Maka dari itu yang
pertama kali diperkirakan bila mencurigai pasien dengan penyakit
neuromuskular adalah memastikan bahwa kelainan pada pasien tersebut
bukan upper motor neuron (UMN). Untuk memperjelas perbedaan antara
lesi LMN dan UMN dapat dilihat pada tabel berikut:

15
2.2 PENGKAJIAN

A. Anamnese

1. Riwayat Kesehatan

Tujuan diperolehnya riwayat kesehatan klien adalah menentukan status


kesehatan saat ini dan masa lalu dan memperoleh gambaran kapan
mulainya penyakit yang diderita saat ini. Riwayat kesehatan ini
meliputi : data biografi, keluhan utama dan riwayat penyakit saat ini,
riwayat kesehatan masa lalu, riwayat keluarga, riwayat psikososial dan
pemeriksaan sistem tubuh.

a. Data Biografi :
Termasuk diantaranya adalah identitas klien, sumber informasi
(klien sendiri atau orang terdekat/significant other)

Data Biografi : Perawat memperoleh gambaran secara


detail pada kondisi yang utama dialami klien. Memperoleh
informasi tentang perkembangan, tanda-tanda dan gejala-gejala :
onset (mulainya), faktor pencetus dan lamanya. Perlu menentukan
kapan mulainya gejala tersebut serta perkembangannya.

b. Riwayat kesehatan masa lalu :

Mencakup penyakit yang pernah dialami sebelumnya, penyakit


infeksi yang dialami pada masa kanak-kanak, pengobatan, periode
perinatal, tumbuh kembang, riwayat keluarga, riwayat psikososial
dan pola hidup. Penyakit saraf sering mempengaruhi kemampuan
fungsi-fungsi tubuh. Perawat perlu menanyakan perubahan tingkat

16
kesadaran, nyeri kepala, kejang-kejang, pusing, vertigo, gerakan
dan postur tubuh

c. Masalah kesehatan utama dan hospitalisasi

Berbagai penyakit yang berhubungan dengan perubahan akibat


gangguan persarafan misalnya diabetes mellitus, anemia pernisiosa,
kanker, berbagai penyakit infeksi dan hipertensi. Penyakit hati dan
ginjal yang menahun akan mengakibatkan gangguan metabolisme
misalnya gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa
akan mempengaruhi fungsi mental.

d. Pengobatan

Perawat akan memperoleh informasi sehubungan dengan


obat-obatan yang diperoleh klien. Banyak obat-obat anti alergi dan
pilek yang bisa dikomsumsi dapat mengakibatkan klien
mengantuk.

e. Riwayat keluarga

Perawat akan menanyakan pada keluarga sehubungan dengan


gangguan persarafan guna menentukan faktor-faktor resiko /
genetik yang ada. Misalnya epilepsi, hipertensi, stroke, retardasi
mental dan gangguan psikiatri.

f. Riwayat psikososial dan pola hidup

Perawat mengajukan pertanyaan sehubungan faktor psikososial


klien seperti yang berhubungan dengan latar belakang pendidikan,

17
tingkat penampilan dan perubahan kepribadian. Perawat
memperoleh informasi tentang aktifitas klien sehari-hari. Juga
menanyakan adanya perubahan pola tidur, aktifitas olahraga, hobi
dan rekreasi, pekerjaan, stressor yang dialami dan perhatian
terhadap kebutuhan seksual.

B. Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan Fisik Tingkat Kesadaran

a. Tingkat kesadaran

1) Alert : Composmentis / kesadaran penuh

Pasien berespon secara tepat terhadap stimulus minimal, tanpa


stimuli individu terjaga dan sadar terhadap diri dan lingkungan.

2) Lethargic : Kesadaran

Klien seperti tertidur jika tidak di stimuli, tampak


seperti enggan bicara. Dengan sentuhan ringan, verbal,
stimulus minimal, mungkin klien dapat berespon dengan cepat.
Dengan pertanyaan kompleks akan tampak bingung.

3) Obtuned

18
Klien memerlukan rangsangan yang lebih besar agar
dapat memberikan respon misalnya rangsangan sakit, respon
verbal dan kalimat membingungkan.

4) Stuporus

Klien dengan rangsang kuat tidak akan memberikan


rangsang verbal.

Pergerakan tidak berarti berhubungan dengan stimulus.

5) Koma

Tidak dapat meberikan respon walaupun diberikan


stimulus

b. Glasgow Coma Scale

(GCS) Score :

(15-14) : Composmentis

(13-12) : Apatis

(11-10) : Delirium

(9-7) : Somnolen

(6-5) : Sopor

19
(4) : semi-coma

(3) : Coma

Adapun scoring tersebut adalah : 1) Eye ( Respon membuka mata)

4 : Spontan

3 : Dengan perintah

2 : Dengan nyeri

1 : Tidak berespon

2) Verbal ( Respon verbal)

5 : Berorientasi

4 : Bicara membingungkan

3 : Kata-kata tidak tepat

2 : Suara tidak dapat dimengerti

1 : Tidak ada respon

3) Motorik (Respon motorik)

6 : Dengan perintah

20
5 : Melokalisasi nyeri

4 : Menarik area yang nyeri

3 : Menjauhi rangsangan nyeri (fleksi abnormal)/postur


dekortikasi

2 : Ekstensi abnormal/postur deserebrasi

1 : Tidak berespon

2. Pemeriksaan Fisik Nervus Cranial

1. Test nervus I (Olfactory)

Fungsi penciuman

• Test pemeriksaan, klien tutup mata dan minta klien mencium


benda yang baunya mudah dikenal seperti sabun, tembakau, kopi dan sebagainya.

• Bandingkan dengan hidung bagian kiri dan kanan.

2. Test nervus II ( Optikus)

Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang:

• Test aktifitas visual, tutup satu mata klien kemudian suruh baca
dua baris di koran, ulangi untuk satunya.

21
• Test lapang pandang, klien tutup mata kiri, memandang hidung
pemeriksa yang memegang perlahan obyek tersebut,
informasikan agar klien melihat benda tersebut, ulangi mata
kedua.

3. Test nervus III, IV, VI


(Oculomotorius, Trochlear dan Abducens) Fungsi
koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata
(N III).

• Test N III Oculomotorius (respon pupil terhadap cahaya),


menyorotkan senter kedalam tiap pupil mulai menyinari dari arah belakang dari
sisi klien dan sinari satu mata (jangan keduanya), perhatikan kontriksi pupil kena
sinar.

• Test N IV Trochlear, kepala tegak lurus, letakkan obyek kurang


lebih 60 cm sejajar mid line mata, gerakkan obyek kearah kanan. Observasi
adanya deviasi bola mata, diplopia, nistagmus.

• Test N VI Abducens, minta klien


untuk melihat kearah kiri dan kanan tanpa
menengok.

4. Test nervus V (Trigeminus)

a. Fungsi sensasi, caranya : dengan mengusap pilihan kapas pada


kelopak mata atas dan bawah.

• Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip ipsilateral

22
• Refleks kornea consensual maka gerakan mengedip
kontralateral. Usap pula dengan pilihan kapas pada maxilla
dan mandibula dengan mata klien tertutup. Perhatikan apakah
klien merasakan adanya sentuhan.

b. Fungsi motorik, caranya : klien disuruh mengunyah, pemeriksa


melakukan palpasi pada otot temporal dan masseter.

5. Test nervus VII (Facialis)

a. Fungsi sensasi, kaji sensasi rasa bagian anterior lidah, terhadap


asam, manis, asin pahit. Klien tutup mata, usapkan larutan berasa dengan
kapas/teteskan, klien tidak boleh menarik masuk lidahnya karena akan
merangsang pula sisi yang sehat.

• Otonom, lakrimasi dan salivasi

b. Fungsi motorik, kontrol ekspresi muka dengancara meminta


klien untuk : tersenyum, mengerutkan dahi, menutup mata
sementara pemeriksa berusaha membukanya

6. Test nervus VIII (Acustikus)

Fungsi sensoris :

• Cochlear (mengkaji pendengaran), tutup satu telinga klien,


pemeriksa berbisik di satu telinga lain, atau menggesekkan jari
bergantian kanan-kiri.

23
 Vestibulator (mengkaji keseimbangan), klien diminta berjalan
lurus, apakah dapat melakukan atau tidak.

7. Test nervus IX (Glossopharingeal) dan nervus X (Vagus)

• N IX, mempersarafi perasaan mengecap pada 1/3 posterior lidah,


tapi bagian ini sulit di test demikian pula dengan
M.Stylopharingeus. Bagian parasimpatik N IX mempersarafi
M. Salivarius inferior.

• N X, mempersarafi organ viseral dan thoracal, pergerakan ovula,


palatum lunak, sensasi pharynx, tonsil dan palatum lunak

8. Test nervus XI (Accessorius)

• Klien disuruh menoleh kesamping melawan tahanan. Apakah


Sternocledomastodeus dapat terlihat ? apakah atropi ? kemudian palpasi
kekuatannya.

• Minta klien mengangkat bahu dan


pemeriksa berusaha menahan —- test otot trapezius.

9. Nervus XII (Hypoglosus)

• Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan

• Inspeksi posisi lidah (mormal, asimetris / deviasi)

24
• Keluarkan lidah klien (oleh sendiri) dan memasukkan dengan
cepat dan minta untuk menggerakkan ke kiri dan ke kanan.

3. Pemeriksaan Fisik Fungsi Motorik dan Sensorik

a. Fungsi Motorik

Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik


di corteks cerebri, impuls berjalan ke kapsula interna, bersilangan
di batang traktus pyramidal medulla spinalis dan bersinaps dengan
lower motor neuron.

Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan


pemeriksaan kekuatan.

1. Massa otot : hypertropi, normal dan atropi

2. Tonus otot : Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota


gerak pada berbagai persendian secara pasif. Bila tangan /
tungkai klien ditekuk secara berganti-ganti dan berulang dapat
dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan
pergerakan pasif sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot.
Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus otot adalah tinggi.

Keadaan otot disebut kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat
berubah, melainkan tetap sama. Pada tiap gerakan pasif
dinamakan kekuatan spastis. Suatu kondisi dimana kekuatan
otot tidak tetap tapi bergelombang dalam melakukan fleksi dan
ekstensi extremitas klien. Sementara penderita dalam keadaan
rileks, lakukan test untuk menguji tahanan terhadap fleksi pasif

25
sendi siku, sendi lutut dan sendi pergelangan tangan. Normal,
terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan halus.

3. Kekuatan otot :

Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji.


Klien secara aktif menahan tenaga yang ditemukan oleh
sipemeriksa. Otot yang diuji biasanya dapat dilihat dan diraba.
Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala Lovett’s
(memiliki nilai 0 – 5)

0= tidak ada kontraksi sama sekali.


1= gerakan kontraksi.

2= kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau


melawan tahanan atau gravitasi.

3= cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.

4= cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.

5= kekuatan kontraksi yang penuh.

b. Fungsi Sensorik

Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit


diantara pemeriksaan sistem persarafan yang lain, karena sangat
subyektif sekali. Oleh sebab itu sebaiknya dilakukan paling akhir
dan perlu diulang pada kesempatan yang lain (tetapi ada yang

26
menganjurkan dilakukan pada permulaan pemeriksaan karena
pasien belum lelah dan masih bisa konsentrasi dengan baik).

Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien


digambarkan sebagai perasaan geli (tingling), mati rasa
(numbless), rasa terbakar/panas (burning), rasa dingin (coldness)
atau perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang
keluhan motorik (kelemahan otot, twitching / kedutan, miotonia,
cramp dan sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan
sensorik. Bahan yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik meliputi:

1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada
perlengkapan refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.

2. Kapas untuk rasa raba.

3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.

4. Garpu tala, untuk rasa getar.

5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif)


seperti :

 Jangka, untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.


 Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan
sebagainya), untuk pemeriksaan stereognosis
 Pen / pensil, untuk graphesthesia.

4. Reflek Fisiologis dan Patologis

27
a. Reflek Fisiologis

Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon


menggunakan refleks hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :

0 = tidak ada respon

1 = hypoactive / penurunan respon,

2 = normal ( ++ )

3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal ( +++ )

4 = hyperaktif, dengan klonus ( ++++)

Refleks-refleks yang diperiksa adalah :

1. Refleks patella

Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai


fleksi kurang lebih 300. Tendon patella (ditengah-tengah patella
dan tuberositas tibiae) dipukul dengan refleks hammer. Respon
berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari
lutut.

2. Refleks biceps

Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 ,


supinasi dan lengan bawah ditopang pada alas tertentu (meja

28
periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada tendon m. biceps
(diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks
hammer.Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit
meningkat bila terjadi fleksi sebagian dan gerakan pronasi. Bila
hyperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan fleksi pada
lengan dan jari-jari atau sendi bahu.

3. Refleks triceps

Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900 ,tendon


triceps diketok dengan refleks hammer (tendon triceps berada
pada jarak 1-2 cm diatas olekranon).

Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit


meningkat bila ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi
siku tersebut menyebar keatas sampai otot-otot bahu atau
mungkin ada klonus yang sementara.

4. Refleks achilles

Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan


pemeriksaan refleks ini kaki yang diperiksa bisa diletakkan /
disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral. Tendon
achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa
gerakan plantar fleksi kaki.

5. Refleks abdominal

29
Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah
umbilikus. Kalau digores seperti itu, umbilikus akan bergerak
keatas dan kearah daerah yang digores.

6. Refleks Babinski

Merupakan refleks yang paling penting . Ia hanya dijumpai


pada penyakit traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini,
goreslah kuat-kuat bagian lateral telapak kaki dari tumit kearah
jari kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki.
Respon Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan
dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar. Respon yang normal
adalah fleksi plantar semua jari kaki.

b. Reflek Patologis

1. Babinsky

Cara : penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke


anterior

Respon : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan jari kaki


lainnya

2. Gordon

Cara : penekanan betis secara keras

Respon : seperti babinsky

30
3. Schaefer

Cara : memencet tendon achilles secara keras

Respon : seperti babinsky

4. Sucking reflex

Cara : sentuhan pada bibir

Respon : gerakan bibir, lidah dn rahang bawah seolah-olah


menyusu

5. Snout reflex

Cara : ketukan pada bibir atas

Respon : kontrksi otot-otot disekitar bibir / di bawah hidung

6. Grasps reflex

Cara : penekanan / penekanan jari pemeriksa pada telapak


tangan pasien

Respon : tangan pasien mengepal

7. Palmo-mental reflex

31
Cara : goresan ujung pena terhadap kulit telapak tangan bagian
thenar

Respon : kontaksi otot mentalis dan orbikularis oris (ipsi lateral)

5. Tes Iritasi Meningen

Untuk mengetahui rangsangan selaput otak (misalnya pada


meningitis) dilakukan pemeriksaan :

1. Kaku kuduk

Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga


dagu tidak dapat menempel pada dada —- kaku kuduk positif (+).

2. Tanda Brudzinski I

Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan


tangan lain didada klien untuk mencegah badan tidak terangkat.
Kemudian kepala klien difleksikan kedada secara pasif. Brudzinski
I positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi
panggul dan sendi lutut.

3. Tanda Brudzinski II

Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien


pada sendi panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai
lainnya pada sendi panggul dan lutut.

32
4. Tanda Kernig

Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan


tungkai bawah pada sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah
membentuk sudut 1350 terhadap tungkai atas. Kernig + bila
ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap
hambatan.

5. Test Laseque

Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan


menimbulk an nyeri sepanjang m. ischiadicus.

33
34
 

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

perawatnperlu memberikan asuhan keperawatan yang


berkwalitas kepada klein yangmeng alami gangguan sistem
persyarafan sehingga masalah kesehatan klien dapat teratasi
dengan baik dalam rangka meningkatkan status kesehatan klien.

Asuhan keperawatan diberikan oleh perawat melalui suatu metode


ilmiah yaitu proses keperawatan yang terdiri dari 5 langkah yaitu
pengkajian, diagnose keperawatan, intervensi, implementasi dan
evaluasi. Langkah awal dalam memberikan asuhan
keperawatan y a i t u  pengkajian keperawatan. Dengan demikian
setiap mahasiswa keperawatan harus mampu memahami konsep dan teori
tentang pengkajian dengan ganguan system persyarafan sehingga
diharapkan nantinya dapat memberikan asuhan keperawatan
yang berkwalitas pada klien yang mengalami gangguan system
persyarafan tersebut dengan cara melakukan anamnesa dan pemeriksaan
fisik

35
DAFTAR PUSTAKA

Price. 2010. Anatomi Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia


Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan
Medikal bedah. Jakarta : EGC
Syarifussin, H. 1997. Anatomi Fisiologi Untuk siswa Perawat. Jakarta:

36
Debora, Oda. 2011. Proses Keperawatan dan Pemeriksaan Fisik. Malang :
Salemba Medika

Arif Muttaqin, Kumala Sari. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem


persarafan . Jakarta : Salemba Medika

Syaifuiddin.2010. Anatomi dan Fisiologi : Kurikulum berbasis Kompetensi


untuk Keperawatan dan Kebidanan, Edisi 4. Jakarta ; EGC

37

Anda mungkin juga menyukai