Oleh:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BOSOWA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah modul I mengenai bentul-bentul merah pada kulit. Kami juga berterima kasih
kepada dr faridha selaku dosen tutorial yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai gejala bentul-bentul merah pada kulit.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Penyusun
DAFTAR ISI
SKENARIO
I. KATA KUNCI:
1. An usia 7 thn ( p)
2. Bintul merah
3. Gatal timbul saat musim hujan
4. Muntah-muntah
5. Tdk ada demam
b. Reaksi tipe 2
Reaksi hipersensitivitas tipe ini disebut juga reaksi
sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuknya antibodi jenis
IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel
pejamu (host). Reaksi diawali oleh reaksi antara antibody dan
determinan antigen yang merupakan bagian dari membrane sel
tergantung apakah komplemen atau molekul aksesoris dan
metabolisme sel dilibatkan. Istilah sitolitik lebih tepat mengingat
reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksik.
Antibodi tersebut dapat meningkatkan sel yang memiliki reseptor
Fcy-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor
dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Intinya adalah sel
yang efektif terhadap antigen atau matriks ekstrasel, yang dapat
beupa hapten berikan dengan sel endogen atau sel darah asing
yang masuk ke dalam tubuh. Setelah sensitisai pada kontak
pertama dengan alergen, pajanan berikutnya akan menghasilkan
sejumlah besar IgM dan IgG yang spesifik untuk alergen, terikut
kuat pada permukaan sel alergen ( opsonifikasi) sistem
komplemen teraktivitasi dan sel NK dapat mengembangkan efek
sitotoksiknya (pada kasus sitotoksik). Dalam beberapa jam
keduanya menyebabkan sitolisis. Penyakit-penyakit yang
termasuk tipe II ialah Godpasteur sindrom, RPGN, Pemfigus
vulgaris, Anemia hemolitik autoimun, Trombositopeni purpura
autoimun, Thiroiditis hashimoto, Reaksi transfusi,reaksi
incompability.
Diabetes mellitus dependen Antigen sel islet ( insulin Insulitis (inflamasi kronik
insulin (tipe I) asam dekarboksilase, dll) diinsilet) destruksi sel B
diabetes
1) Definisi
Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-
macam sebab, biasanya ditandai dengan edema setempat yang
cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat dan
kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat dikelilingi
halo.2
2) Epidemiologi
Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan
bahwa urtikaria (kronis, akut, atau keduanya) terjadi pada 15-25%
populasi pada suatu waktu dalam hidup mereka. Chronic idiopatic
urticaria (CIU) terjadi hingga 0,5-1,5% populasi semasa hidupnya.
Insiden urtikaria akut lebih tinggi pada orang dengan atopi. Insiden
urticaria kronis tidak meningkat pada orang dengan atopi. Data
epidemiologi urtikaria berdasarkan usia menunjukkan bahwa
urtikaria akut paling sering terjadi pada anak dan dewasa muda,
sedangkan CIU lebih sering terjadi pada dewasa dan wanita
setengah baya.4
Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan prevalensi urtikaria kronik
yang signifikan pada perempuan (0.48%) daripada laki-laki (0.12%).
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
prevalensi urtikaria kronik berdasarkan status ekonomi, lokasi
geografis, atau luas wilayah suatu kota. Sedangkan insidensi
urtikaria akut pada suatu kota dengan penduduk lebih dari 500.000
orang mempunyai frekuensi urtikaria akut yang secara signifikan
lebih tinggi daripada wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari
500.000.8
3) Etiologi
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui
penyebabnya. Diduga penyebab urtikaria bermacam-macam, antara
lain: 2
a. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik
secara imunologik maupun non-imunologik. Obat sistemik
(penisilin, sepalosporin, dan diuretik) menimbulkan urtikaria
secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang secara
non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk
melepaskan histamin, misalnya opium dan zat kontras. 2
b. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria
akut, umumnya akibat reaksi imunologik. Makanan yang sering
menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan, kacang, udang, coklat,
tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.
c. Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika
setempat, hal ini lebih banyak diperantarai oleh IgE (tipe I) dan
tipe seluler (tipe IV).2
d. Bahan fotosenzitiser
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin,
sulfonamid, bahan kosmetik, dan sabun germisid sering
menimbulkan urtikaria.2
e. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur,
debu, asap, bulu binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah
menimbulkan urtikaria alergik (tipe I).
f. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu
binatang, serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan,
buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect repellent (penangkis
serangga), dan bahan kosmetik.2
g. Trauma Fisik
Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor
panas, faktor tekanan, dan emosi menyebabkan urtikaria fisik,
baik secara imunologik maupun non imunologik. Dapat timbul
urtika setelah goresan dengan benda tumpul beberapa menit
sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut
dermografisme atau fenomena Darier.2
h. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria,
misalnya infeksi bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit. 2
i. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung
menyebabkan peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi
kapiler.
j. Genetik
Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria,
walaupun jarang menunjukkan penurunan autosomal dominant. 2
k. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat
menimbulkan urtikaria, reaksi lebih sering disebabkan reaksi
kompleks antigen-antibodi.2
4) Klasifikasi
Klasifikasi urtikaria paling sering didasarkan pada
karakteristik klinis daripada etiologi karena sering kali sulit untuk
menentukan etiologi atau patogenesis urtikaria dan banyak kasus
karena idiopatik.3 Terdapat bermacam-macam klasifikasi
urtikaria, berdasarkan lamanya serangan berlangsung dibedakan
urtikaria akut dan kronik. Klasifikasi urtikaria yang lain tampak
pada tabel 1.3,9
Ordinary urticarias
Acute urticarial
Chronic urticaria
Contact urticarial
Physical urticarias
Dermatographism
Delayed dermatographism
Pressure urticarial
Cholinergic urticarial
Vibratory angioedema
Exercise-induced urticarial
Adrenergic urticarial
Delayed-pressure urticarial
Solar urticarial
Aquagenic urticarial
Cold urticarial
Special syndromes
Schnitzler syndrome
Muckle-Wells syndrome
Pruritic urticarial papules and plaques of pregnancy
Urticarial vasculitis
a) Urtikaria Akut
Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang
dari 6 minggu atau berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul
setiap hari.2 Lesi individu biasanya hilang dalam <24 jam, terjadi
lebih sering pada anak-anak, dan sering dikaitkan dengan atopi.
Sekitar 20%-30% pasien dengan urtikaria akut berkembang
menjadi kronis atau rekuren.3
b) Urtikaria Kronik
Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari
6 minggu2, pengembangan urtika kulit terjadi secara teratur
(biasanya harian) selama lebih dari 6 minggu dengan setiap lesi
berlangsung 4-36 jam. Gejalanya mungkin parah dan dapat
mengganggu kesehatan terkait dengan kualitas hidup.3
c) Urtikaria Kontak
Urtikaria kontak didefinisikan sebagai pengembangan
urticarial wheals di tempat di mana agen eksternal membuat
kontak dengan kulit atau mukosa. Urtikaria kontak dapat dibagi
lagi menjadi bentuk alergi (melibatkan IgE) atau non-alergi (IgE-
independen).3
5) Patogenesis
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas
kapiler yang meningkat, sehingga terjadi transudasi cairan yang
mengakibatkan pengumpulan cairan setempat. Sehingga secara
klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator misalnya histamine, kinin,
serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan
prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.2
Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu
merangsang sel mast atau basofil untuk melepaskan mediator
tersebut (gambar 10). Pada yang nonimunologik mungkin sekali
siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan
penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti
golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin,
kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada
keadaan ini. Bahan kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan
oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui
langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan
mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul,
sinar X, dan pemijatan dapat langsung merangsang sel mast.
Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol
dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler
sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut
daripada yang kronik; biasanya IgE terikat pada permukaan sel
mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc bila ada
antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi
degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan mediator.
Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya
alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi
komplemen secara klasik maupun secara alternatif
menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu
merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom
atau toksin bakteri.
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria
akibat reaksi sitotoksik dan kompleks imun pada keadaan ini juga
dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak dapat juga
terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga,
bahan kosmetik, dan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase
inhibitor secara genetik menyebabkan edema angioneurotik yang
herediter.
Faktor fisik
sinar X, cahaya)
Aktivasi komplemen
SEL MAS
BASOFIL klasik – alternatif
Faktor genetik
PELEPASAN MEDIATOR
Alkohol VASODILATASI
Idiopatik? URTIKARIA
Gambar 10. Diagram Faktor Imunologik dan Non-Imunologik yang Menimbulkan Urtikaria2
6) Gejala dan Tanda
Gejala
Gejala urtikaria adalah sebagai berikut: 2,4
Tanda
Tanda urtikatria adalah sebagai berikut: 2,4
7) Diagnosis
1. Anamnesis
Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi
rash/ruam, dan gatal dapat bermanfaat untuk mengkategorikan
urtikaria sebagai akut, rekuren, atau kronik.
Beberapa pertanyaan untuk menentukan penyebab alergi
atau non-alergi adalah sebagai berikut: 4
a. Apakah biduran berhubungan dengan makanan? Apakah
ada makanan baru yang ditambahkan dalam menu
makanan?
b. Apakah pasien sedang menjalani pengobatan rutin atau
menggunakan obat baru? Jika iya, apakah jenis obat
tersebut?
c. Apakah pasien mempunyai penyakit kronik atau riwayat
penyakit kronik?
d. Apakah pasien sedang hamil?
e. Apakah biduran disebabkan oleh stimulus fisik seperti panas,
dingin, tekanan, vibrasi?
f. Apakah biduran berhubungan dengan senyawa yang dihirup
atau kontak dengan kulit yang mungkin timbul pada tempat
kerja?
g. Apakah biduran berhubungan dengan gigitan/sengatan
serangga?
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi:
- Lokalisasi: badan, ekstremitas, kepala, dan leher.
- Efloresensi: eritema dan edema setempat berbatas tegas
dengan elevasi kulit, kadang-kadang bagian tengah tampak
pucat.
- Ukuran: beberapa milimeter hingga sentimeter.
- Bentuk: papular, lentikular, numular, dan plakat.
- Dermographism.
a. Pemeriksaan fisik sebaiknya terfokus pada keadaan yang
memungkinkan menjadi presipitasi urtikaria atau dapat
berpotensi mengancam nyawa, diantaranya adalah: 9
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk
menilai ada tidaknya infeksi yang tersembunyi atau
kelainan pada alat dalam.2 Pemeriksaan darah rutin bisa
bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan adanya
penyakit penyerta. Pemeriksaan-pemeriksaan seperti
komplemen, autoantibodi, elektrofloresis serum, faal
ginjal, faal hati, faal hati, dan urinalisis akan membantu
konfirmasi urtikaria vaskulitis. Pemeriksaan C1 inhibitor
dan C4 komplemen sangat penting pada kasus
angioedema berulang tanpa urtikaria.19 Cryoglubulin dan
cold hemolysin perlu diperiksa pada urtikaria dingin.2
b. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta
usapan vagina.
Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan
adanya infeksi fokal.2
c. Tes Alergi
Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan
konfirmasi dengan melakukan tes kulit invivo (skin prick
test) dan pemeriksaan IgE spesifik (radio-allergosorbent
test-RASTs). Tes injeksi intradermal menggunakan serum
pasien sendiri (autologous serum skin test-ASST) dapat
dipakai sebagai tes penyaring yang cukup sederhana
untuk mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti
histamine-releasing autoantibodies. 20
d. Tes Provokasi
Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa
urtikaria fisik, bila tes-tes alergi memberi hasil yang
meragukan atau negatif. Namun demikian, tes provokasi
ini dipertimbangkan secara hati-hati untuk menjamin
keamanannya.18
e. Tes eleminasi makanan
Tes ini dilakukan dengan cara menghentikan
semua makanan yang dicurigai untuk beberapa waktu, lalu
mencobanya kembali satu demi satu.2
f. Tes foto tempel
Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik
akibat sinar.18
g. Suntikan mecholyl intradermal
Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan
pada diagnosa urtikaria kolinergik.2
h. Tes fisik
Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air
hangat apabila dicurigai adanya alergi pada suhu tertentu.
i. Pemeriksaan histopatologik
Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi
dapat membantu diagnosis.2 Pada urtikaria perubahan
histopatologis tidak terlalu dramatis. Tidak terdapat
perubahan epidermis. Pada dermis mungkin menunjukkan
peningkatan jarak antara serabut-serabut kolagen karena
dipisahkan oleh edema dermis. Selain itu terdapat dilatasi
pembuluh darah kapiler di papilla dermis dan pembuluh
limfe pada kulit yang berkaitan. Selain itu terdapat suatu
infiltrat limfositik perivaskuler dan mungkin sejumlah
eosinofil. Sel mast meningkat jumlahnya pada kulit yang
bersangkutan.10
Infiltrasi limfosit sering ditemukan di lesi urtikaria
tipe akut dan kronik. Beberapa lesi urtikaria mempunyai
campuran infiltrat seluler, yaitu campuran limfosit,
polymorphonuclear leukocyte (PMN), dan sel-sel inflamasi
lainnya.
Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan
histopatologi dari respon alergi fase akhir. Beberapa
pasien dengan urtikaris yang sangat parah atau urtikaria
atipikal memiliki vaskulitis pada biopsi kulit. Spektrum
histopatologi berhubungan derajat keparahan penyakit,
mulai dari limfositik (ringan) sampai ke vaskulitik (parah).4
8) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line
therapy, second-line therapy, dan third-line therapy.3
1. First-line therapy
First-line therapy terdiri dari: 3,4
a. Edukasi kepada pasien:
Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit urtikaria
dengan menggunakan bahasa verbal atau tertulis.
Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit
urtikaria yang tidak mengancam nyawa, namun belum
ditemukan terapi yang adekuat, dan fakta jika penyebab
urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan.
b. Langkah non medis secara umum, meliputi:
Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu
panas, stres, alcohol, dan agen fisik.
Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan
ACE inhibitor.
Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat
menyebabkan urtikaria.
Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim
menthol 1% atau 2%.
c. Antagonis reseptor histamin
Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika
gejalanya menetap. Pengobatan dengan antihistamin pada
urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja antihistamin telah
diketahui dengan jelas yaitu menghambat histamin pada
reseptor-reseptornya. Secara klinis dasar pengobatan pada
urtikaria dan angioedema dipercayakan pada efek
antagonis terhadap histamin pada reseptor H1 namun
efektifitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping
farmakologik yaitu sedasi. Dalam perkembangannya
terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat yang
berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi golongan
ini disebut sebagai antihistamin nonklasik.2
Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik
contohnya adalah terfenadin, aztemizol, cetirizine,
loratadin, dan mequitazin. Golongan ini diabsorbsi lebih
cepat dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam.
Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek maksimal
dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadin) sedangkan
aztemizol dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral.
Efektifitasnya berlangsung lebih lama dibandingkan
dengan AH1 yang klasik bahkan aztemizol masih efektif 21
hari setelah pemberian dosis tunggal secara oral.
Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai antihistamin
yang long acting. Keunggulan lain AH1 non klasik adalah
tidak mempunyai efek sedasi karena tidak dapat
menembus sawar darah otak.2
Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika
dikombinasikan dengan pada beberapa kasus urtikaria
karena 15% reseptor histamin pada kulit adalah tipe H2.
Antagonis reseptor H2 sebaiknya tidak digunakan sendiri
karena efeknya yang minimal pada pruritus. Contoh obat
antagonis reseptor H2 adalah cimetidine, ranitidine,
nizatidine, dan famotidine.3
2. Second-line therapy
Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin
saja, second-line therapy harus dipertimbangkan, termasuk
tindakan farmakologi dan non-farmakologi.
i. Photochemotherapy
Hasil fototerapi dengan sinar UV atau
photochemotherapy (psoralen plus UVA [PUVA]) telah
disimpulkan, meskipun beberapa penelitian menunjukkan
peningkatan efektivitas PUVA hanya dalam mengelola
urtikaria fisik tapi tidak untuk urtikaria kronis.
ii. Antidepresan
Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat
sebagai antagonis reseptor H1 dan H2 dan menjadi lebih
efektif dan lebih sedikit mempunyai efek sedasi daripada
diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria kronik.
Doxepin dapat sangat berguna pada pasien dengan
urtikaria kronik yang bersamaan dengan depresi. Dosis
doxepin untuk pengobatan depresi dapat bervariasi antara
25-150 mg/hari, tetapi hanya 10-30 mg/hari yang
dianjurkan untuk urtikaria kronis. Mirtazapine adalah
antidepresan yang menunjukkan efek signifikan pada
reseptor H1 dan memiliki aktivitas antipruritus. Telah
dilaporkan untuk membantu dalam beberapa kasus
urtikaria fisik dan delayed-pressure urticaria pada dosis 30
mg/hari.
iii. Kortikosteroid
Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik,
antihistamin mungkin gagal, bahkan pada dosis tinggi,
atau mungkin efek samping bermasalah. Dalam situasi
seperti itu, terapi urtikaria seharusnya respon dengan
menggunakan kortikosteroid. Jika tidak berespon, maka
pertimbangkan kemungkinan proses penyakit lain
(misalnya, keganasan, mastocytosis, vaskulitis).
Kortikosteroid juga dapat digunakan dalam urticarial
vasculitis, yang biasanya tidak respon dengan
antihistamin. Sebuah kursus singkat dari kortikosteroid
oral (diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan atau
tanpa tappering) atau dosis tunggal injeksi steroid dapat
membantu ketika digunakan untuk episode urtikaria akut
yang tidak respon terhadap antihistamin. Kortikosteroid
harus dihindari pada penggunaan jangka panjang
pengobatan urtikaria kronis karena efek samping
kortikosteroid seperti hiperglikemia, osteoporosis, ulkus
peptikum, dan hipertensi.
Contoh obat kortikosteroid adalah prednison,
prednisolone, methylprednisolone, dan triamcinolone.
Prednisone harus diubah menjadi prednisolone untuk
menghasilkan efek, dapat diberikan dengan dosis dewasa
40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari dan dosis
anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4
dosis/hari. Prednisolone dapat mengurangi permeabilitas
kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO
(4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis
anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis
atau 2 dosis). Methylprednisolone dapat membalikkan
peningkatan permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis
dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis.
iv. Leukotriene Receptor Antagonist
Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi
yang poten dan mempunyai respon terhadap wheal dan
flare pada pasien dengan urtikaria kronis atau pada
individu yang sehat. Leukotriene receptor antagonist
seperti montelukast, zafirlukast, dan zileuton menunjukkan
keunggulan yang lebih dibandingkan dengan plasebo
dalam perawatan pasien dengan urtikaria kronik.3
v. Antagonis saluran kalsium
Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi
pruritus dan whealing pada pasien dengan urtikaria kronik
bila digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan
antihistamin. Mekanisme nifedipin berhubungan dengan
modifikasi influks kalsium ke dalam sel mast kutaneus.3
3. Third-line therapy
Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan
urtikaria yang tidak berespon terhadap first-line dan second-
line therapy. Third-line therapy menggunakan agen
immunomodulatori, yang meliputi cyclosporine, tacrolimus,
methotrexate, cyclophosphamide, mycophenolate mofetil,
dan intravenous immunoglobulin (IVIG). Pasien yang
memerlukan third-line therapy seringkali mempunyai bentuk
autoimun dari urtikaria kronik. Third-line therapy lainnya
meliputi plasmapheresis, colchicine, dapsone, albuterol
(salbutamol), asam tranexamat, terbutaline, sulfasalazine,
hydroxychloroquine, dan warfarin.3
a. Immunomudulatory Agents
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
cyclosporine efektif dalam mengobati pasien dengan
urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine dengan dosis
3-5 mg/kgBB/hari menunjukkan manfaat pada dua pertiga
pasien dengan urtikaria kronik yang tidak berespon
terhadap antihistamin. Tacrolimus dengan dosis 20-µg/mL
setiap hari dapat mengobati pasien dengan corticosteroid-
dependent urticaria.3
Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif
dalam manajemen pasien dengan urtikaria autoimun
kronik yang parah. Meskipun mekanisme yang terlibat
tidak jelas, namun telah diusulkan bahwa IVIG mungkin
berisi anti-idiotypic antibody yang bersaing dengan IgG
endogen untuk reseptor H1 dan memblok pelepasan
histamin atau memperbanyak klirens IgG endogen.3
b. Plasmapheresis
Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat
dalam pengelolaan urtikaria autoimun kronik yang parah.
Plasmapheresis saja tidak cukup untuk mencegah
akumulasi kembali autoantibodi yang melepaskan
histamine dan harus diselidiki dalam hubungannya dengan
penggunaan immunosuppressant pharmacotherapy.3
Obat lainnya
Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat
bermanfaat dalam mengelola urtikaria ketika infiltrat
neutrophil terlihat secara histologis, tetapi mungkin paling
berguna untuk urticarial vasculitis. Hydroxychloroquine
juga telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam
pengobatan urtikaria kronik idiopatik; dan telah dikaitkan
dengan respon yang baik pada hypocomplementemic
urticarial vasculitis. Meskipun ß2-adrenoceptor agonist
terbutaline telah dievaluasi untuk manajemen urtikaria
kronik, penggunaannya umumnya tidak dianjurkan karena
efek samping seperti takikardia dan insomnia yang tidak
dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien.
URTIKARIA
NAC
Antihistamin H1 non sedatif
+
Tambahan obat:
antihistamin H1 pada malam
hari, antidepresan trisiklik,
antihistamin H2.
Antihistamin H1 +
kostikosteroid oral jangka
pendek +
pencarian/penanganan untuk
urtikaria karena vaskulitis,
faktor tekanan, dan lain-lain
+ dicoba obat lain
9) Prognosis
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena
penyebabnya cepat dapat diatasi, sedangkan urtikaria kronik
lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.2
Faktor genetik
Ada hipotesa yang mengungkapkan bahwa
kemampuan individu untuk mengeluarkan radikal bebas,
untuk mengubah level enzim antioksidan, dan
kemampuan untuk membentuk perlindungan heat
shock protein semuanya dibawah kontrol genetik.(1)
Faktor tersebut juga menentukan keberagaman respon
tubuh terhadap bahan-bahan iritan. Selain itu,
predisposisi genetik terhadap kerentanan bahan iritan
berbeda untuk setiap bahan iritan.(1) Pada penelitian,
diduga bahwa faktor genetik mungkinmempengaruhi
kerentanan terhadap bahan iritan. TNF-α polimorfis telah
dinyatakan sebagai marker untuk kerentanan
terhadap kontak iritan.(4)
Jenis Kelamin
Gambaran klinik dermatitis kontak iritan paling
banyak pada tangan, dan wanita dilaporkan paling
banyak dari semua pasien.(1) Dari hubungan antara jenis
kelamin dengan dengan kerentanan kulit, wanita lebih
banyak terpajan oleh bahan iritan, kerja basah dan lebih
suka perawatan daripada laki-laki.(5) Tidak ada
pembedaan jenis kelamin untuk dermatitis kontak iritan
yang ditetapkan berdasarkan penelitian. (4)
Umur
Anak-anak dibawah 8 tahun lebih muda menyerap
reaksi-reaksi bahan-bahan kimia dan bahan iritan lewat
kulit.(1) Banyak studi yang menunjukkan bahwa tidak ada
kecurigaan pada peningkatan pertahanan kulit dengan
meningkatnya umur.(1) Data pengaruh umur pada
percobaan iritasi kulit sangat berlawanan. Iritasi kulit
yang kelihatan (eritema) menurun pada orang tua
sementara iritasi kulit yang tidak kelihatan (kerusakan
pertahanan) meningkat pada orang muda.(1) Reaksi
terhadap beberapa bahan iritan berkurang pada usia
lanjut.(4) Terdapat penurunan respon inflamasi dan
TEWL, dimana menunjukkan penurunan potensial
penetrasi perkutaneus. (4)
Suku
Tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa jenis
kulit mempengaruhi berkembangnya dermatitis kontak
iritan secara signifikan.(1) Karena eritema sulit diamati
pada kulit gelap, penelitian terbaru menggunakan
eritema sebagai satu-satunya parameter untuk
mengukur iritasi yang mungkin sudah sampai pada
kesalahan interpretasi bahwa kulit hitam lebih resisten
terhadap bahan iritan daripada kulit putih.(1)
Lokasi Kulit
Ada perbedaan sisi kulit yang signifikan dalam hal
fungsi pertahanan, sehingga kulit wajah, leher, skrotum,
dan bagian dorsal tangan lebih rentan terhadap
dermatitis kontak iritan.(1) Telapak tangan dan kaki jika
dibandingkan lebih resisten.(1, 4)
Riwayat Atopi
Adanya riwayat atopi diketahui sebagai faktor
predisposisi pada dermatitis iritan pada tangan.(1)
Riwayat dermatitis atopi kelihatannya berhubungan
dengan peningkatan kerentanan terhadap dermatitis
iritan karena rendahnya ambang iritasi kulit, lemahnya
fungsi pertahanan, danlambatnya proses
penyembuhan.(1) Pada pasien dengan dermatitis atopi
misalnya, menunjukkan peningkatan reaktivitas ketika
terpajan oleh bahan iritan.
- Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang
disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau
fisis.(1,2) Ada empat mekanisme yang dihubungkan dengan
dermatitis kontak iritan, yaitu: (1, 2)
- Gambaran Klinis
Dermatitis kontak iritan dibagi tergantung sifat iritan.
Iritan kuat memberikan gejala akut, sedang iritan lemah
memberi gejala kronis.(2) Selain itu juga banyak hal yang
mempengaruhi sebagaimana yang disebutkan
sebelumnya. (2)
Berdasarkan penyebab tersebut dan pengaruh
faktor tersebut, dermatitis kontak iritan dibagi menjadi
sepuluh macam, yaitu: (2)
Dermatitis Kontak Iritan Akut
Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk
dermatitis kontak iritan akut.
Penyebab DKI akut adalah iritan kuat,
misalnya larutan asam sulfat dan asam hidroklorid
atau basa kuat,misalnya natrium dan kalium
hidroksida. Biasanya terjadi karena kecelakaan,
dan reaksi segera timbul. Intensitas dan lamanya
kontak iritan, terbatas pada kontak kulit terasa
pedih, panas, rasa terbakar, kelainan yang terlihat
berupa eritema edema, bula, mungkin juga
nekrosis. Pinggir kelainan kulit berbatas tegas, dan
pada umumnya asimetris(2).
Dermatitis Asteatotik
Biasanya terjadi pada pasien-pasien usia
lanjut yang sering mandi tanpa menggunakan
pelembab pada kulit. Gatal yang hebat, kulit kering,
dan skuama ikhtiosiform merupakan gambaran
klinik dari reaksi ini. (1, 2)
Pemeriksaan Penunjang :
Patch test merupakan pemeriksaan gold standard
dan digunakan untuk menentukan substansi yang
menyebabkan kontak dermatitis dan digunakan untuk
mendiagnosis DKA.(1,3)
Patch test dilepas setelah 48 jam, hasilnya dilihat
dan reaksi positif dicatat.Untuk pemeriksaan lebih lanjut,
dan kembali dilakukan pemeriksaan pada 48 jam
berikutnya. Jika hasilnya didapatkan ruam kulit yang
membaik (negatif) , maka dapat didiagnosis sebagai
DKI.(1,3)
- Penatalaksanaan
Beberapa strategi pengobatan yang dapat dilakukan pada
penderita dermatitis kontak iritan adalah sebagai berikut:
Fase elisitasi
Fase kedua hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada pajanan ulang
alergen (hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel
Langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR
kemudian diekspresikan di permukaan sel. Selanjutnya kompleks HLA-DR
antigen akan dipresntasikan kepada sel T yang terlah tersensitisasi (sel T
memori) baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktifasi. 7
Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T
untuk mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon)
gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi
ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan
limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan
sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi
vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai
macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak
sebagai dermatitis.10
-
Tanda Dan Gejala
Keluhan yang umum dirasakan penderita adalah
gatal. Kelainan kulit bergantung pada keparahan
dermatitis dan lokasinya. Pada yang akut dimulai dengan
bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti
edema, papulovesike, vesikel atau bula. Vesikel atau bula
dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah).
DKA akut di tempat tertentu, misalnya kelopak mata,
penis, skrotum eritema dan edema lebih dominan daripada
vesikel. Pada yang kronis terlihat kulit kering berskuama,
papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur, batasnya tidak
jelas.7
1.Fase akut.
Kelainan kulit umumnya muncul 24-48 jam pada
tempat terjadinya kontak dengan bahan penyebab. Derajat
kelainan kulit yang timbul bervariasi ada yang ringan ada
pula yang berat. Pada yang ringan mungkin hanya berupa
eritema dan edema, sedang pada yang berat selain
eritema dan edema yang lebih hebat disertai pula vesikel
atau bula yang bila pecah akan terjadi erosi dan eksudasi.
Lesi cenderung menyebar dan batasnya kurang jelas.
Keluhan subyektif berupa gatal.
2.Fase Sub Akut
Jika tidak diberi pengobatan dan kontak dengan
alergen sudah tidak ada maka proses akut akan menjadi
subakut atau kronis. Pada fase ini akan terlihat eritema,
edema ringan, vesikula, krusta dan pembentukan papul-
papul.
3.Fase Kronis
Dermatitis jenis ini dapat primer atau merupakan
kelanjutan dari fase akut yang hilang timbul karena kontak
yang berulang-ulang. Lesi cenderung simetris, batasnya
kabur, kelainan kulit berupa likenifikasi, papula, skuama,
terlihat pula bekas garukan berupa erosi atau ekskoriasi,
krusta serta eritema ringan. Walaupun bahan yang
dicurigai telah dapat dihindari, bentuk kronis ini sulit
sembuh spontan oleh karena umumnya terjadi kontak
dengan bahan lain yang tidak dikenal.
Berbagai lokasi terjadinya DKA
1. Tangan:
Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik
paling sering di tangan, misalnya pada ibu rumah
tangga. Sebagian besar dermatitis pada tangan
disebabkan oleh bahan iritan. Bahan penyebabnya
misalnya deterjen, antiseptik, getah sayuran/tanaman,
semen dan pestisida.
2. Lengan:
Alergen umumnya sama dengan pada tangan,
misalnya oleh jam tangan (nikel), sarung tangan karet,
debu semen dan tanaman. Di aksila umumnya oleh
deodorant, antiperspirant.
3. Wajah
Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan bahan
kosmetik, obat topikal, alergen yang ada di udara, nikel
(tangkai kaca mata). Pada bibir dan disekitar bibir
dapatdisebabkan oleh lipstik, pasta gigi dan getah
buah-buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat
disebabkan oleh cat kuku, cat rambut, perona mata
dan obat mata.
4. Telinga
Sering kali disebabkan oleh anting atau jepit telinga
terbuat dari nikel. Penyebab lainnya meliputi obat
topikal, tangkai kaca mata, cat rambut dan alat bantu
pendengaran.
5. Leher dan Kepala
Pada leher penyebabnya antara lain kalung dari nikel,
cat kuku (yang berasal dari ujung jari), parfum, alergen
di udara dan zat warna pakaian. Kulit kepala relatif
tahan terhadap alergen kontak, namun pada keadaan
tetentu dapat terjadi dermatitis akibat cat rambut, hair
spray, shampo atau larutan pengeriting rambut.
6. Badan
Dapat disebabkan oleh pakaian, zat warna, kancing
logam, karet (elastis, busa), plastik dan deterjen.
7. Genitalia
Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon,
kondom, pembalut wanita dan alergen yang berada di
tangan.
8. Paha dan tungkai bawah
Disebabkan oleh pakaian, dompet, kunci (nikel) di
saku, kaos kaki nilon, obat topikal (anestesi lokal,
neomisin, etilendiamin), semen, sandal dan sepatu.10
-
Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang
cermat dan pemeriksaan klinis yang teliti. Pertanyaan
mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan
kulit yang ditemukan. Data yang berasal dari anamnesis
juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang
pernah digunakan, obat sistemik, kosmetik, bahan-bahan
yang diketahui menimbulkan alergi.7
a. .Anamnesis
Anamnesis ditujukan selain untuk menegakkan
diagnosis juga untuk mencari kausanya. Karena hal ini
penting dalam menentukan terapi dan tindak lanjutnya,
yaitu mencegah kekambuhan. Diperlukan kesabaran,
ketelitian, pengertian dan kerjasama yang baik dengan
pasien.10
b. Pemeriksan Fisik
Pemeriksaan fisik didapatkan adanya eritema,
edema dan papula disusul dengan pembentukan
vesikel yang jika pecah akan membentuk dermatitis
yang membasah. Lesi pada umumnya timbul pada
tempat kontak, tidak berbatas tegas dan dapat meluas
ke daerah sekitarnya. Karena beberapa bagian tubuh
sangat mudah tersensitisasi dibandingkan bagian
tubuh yang lain maka predileksi regional diagnosis
regional akan sangat membantu penegakan diagnosis.
c. Pemeriksaan Penunjang
Kelainan kulit pada DKA seringkali tidak
menunjukkan gambaran morfologi yang khas, dapat
menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis,
dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding
yang terutama ialah DKI. Sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan tambahan untuk dapat memastikan
apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi.
Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan adalah
pemeriksaan patch test (uji tempel).7 Uji tempel
digunakan untuk alergen dengan BM rendah yang
dapat menembus stratum korneum yang utuh
(membran barier kulit yang intak).10
Kriteria diagnosis dermatitis kontak alergik adalah :
1. Adanya riwayat kontak dengan suatu bahan satu
kali tetapi lama, beberapa kali atau satu kali tetapi
sebelumnya pernah atau sering kontak dengan
bahan serupa.
2. Terdapat tanda-tanda dermatitis terutama pada
tempat kontak.
3. Terdapat tanda-tanda dermatitis disekitar tempat
kontak dan lain tempat yang serupa dengan tempat
kontak tetapi lebih ringan serta timbulnya lebih
lambat, yang tumbuhnya setelah pada tempat
kontak.
4. Rasa gatal
5. Uji tempel dengan bahan yang dicurigai hasilnya
positif.
- PENATALAKSANAAN
1) Non medikamentosa
2) Medikamentosa
1. Topikal
Medikamentosa topikal yang diberikan sesuai
dengan prinsip umum pengobatan dermatitis yaitu bila
basah diberikan terapi basah (kompres terbuka), bila
kering diberikan terapi kering. Medikamentosa saja
dapat diberikan pada kasus-kasus ringan.8,10
a. Kortikosteroid
Mempunyai peran penting dalam sistem
imun. Pemberian secara topikal akan menghambat
fase sensitisasi dan elitisasi. Steroid menghambat
ektivasi dan proliverasi spesifik antigen.8
Cara pemakaian topikal dengan menggosok
secara lembut pada daerah lesi. Untuk
meningkatkan penetrasi obat dan mempercepat
penyembuhan, dapat dilakukan secara tertutup
dengan film plastik selama 6-10 jam setiap hari.
Perlu diperhatikan timbulnya efek samping berupa
potensiasi, atrofi kulit dan erupsi akneiformis.8,10
b. Radiasi ultraviolet
Paparan ultraviolet mneyebabkan hilangnya
fungsi sel Langerhans dan menginduksi timbulnya
sel panyaji antigen yang berasal dari sumsum
tulang yang dapat mengaktivasi sel T supresor.
Paparan ultraviolet di kulit mengakibatkan
hilangnya molekul permukaan sel langehans (CDI
dan HLA-DR), sehingga menghilangkan fungsi
penyaji antigennya. Kombinasi 8-methoxy-psoralen
dan UVA (PUVA) dapat menekan reaksi
peradangan dan imunitis. Secara imunologis dan
histologis PUVA akan mengurangi ketebalan
epidermis, menurunkan jumlah sel Langerhans di
epidermis, sel mast di dermis dan infiltrasi
mononuklear.8,10
Fase induksi dan elisitasi dapat diblok oleh
UVB. Melalui mekanisme yang diperantarai TNF
maka jumlah HLA- DR + dari sel Langerhans akan
sangat berkurang jumlahnya dan sel Langerhans
menjadi tolerogenik. UVB juga merangsang
ekspresi ICAM-1 pada keratinosit dan sel
Langerhans.8,10
c. Siklosporin A
Pemberian siklosporin A topikal
menghambat elisitasi dari hipersensitivitas kontak
pada marmut percobaan, tapi pada manusia hanya
memberikan efek minimal, mungkin disebabkan
oleh kurangnya absorbsi atau inaktivasi dari obat di
epidermis atau dermis.8
d. Imunosupresif topikal
Obat-obatan baru yang bersifat
imunosupresif adalah FK 506 (Tacrolimus) dan
SDZ ASM 981. Tacrolimus bekerja dengan
menghambat proliferasi sel T melalui penurunan
sekresi sitokin seperti IL-2 dan IL-4 tanpa merubah
responnya terhadap sitokin eksogen lain. Hal ini
akan mengurangi peradangan kulit dengan tidak
menimbulkan atrofi kulit dan efek samping
sistemik.8
SDZ ASM 981 merupakan derivat askomisin
makrolatum yang berefek anti inflamasi yang tinggi.
Pada konsentrasi 0,1% potensinya sebanding
dengan kortikosteroid klobetasol-17-propionat
0,05% dan pada konsentrasi 1% sebanding dengan
betametason 17-valerat 0,1%, namun tidak
menimbulkan atrofi kulit. Konsentrasi yang
diajurkan adalah 1%. Efek anti peradangan obat
tersebut tidak mengganggu respon imun sistemik
dan penggunaan secara topikal sama efektifnya
dengan pemakaian secara oral.8
2. Sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan untuk
mengontrol rasa gatal dan atau edema, juga pada
kasus-kasus sedang dan berat pada keadaan akut
atau kronik.
a. Antihistamin
Maksud pemberian antihistamin adalah
untuk memperoleh efek sedatifnya. Ada yang
berpendapat pada stadium permulaan tidak
terdapat pelepasan histamin. Tapi ada juga yang
berpendapat dengan adanya reaksi antigen-
antobodi terdapat pembebasan histamin, serotonin,
SRS-A, bradikinin dan asetilkolin.8,10,11
b. Kortikosteroid
Diberikan pada kasus yang sedang atau
berat, secara peroral, intramuskular atau intravena.
Pilihan terbaik adalah prednison dan prednisolon.
Bila diberikan dalam waktu singkat maka efek
sampingnya akan minimal. Efek sampingnya
terutama pertambahan berat badan, gangguan
gastrointestinal dan perubahan dari insomnia
hingga depresi.8,10,11
Kortikosteroid bekerja dengan menghambat
proliferasi limfosit, mengurangi molekul CD1 dan
HLA- DR pada sel Langerhans, menghambat
pelepasan IL-2 dari limfosit T dan menghambat
sekresi IL-1, TNF-a dan MCAF.7,8,10
c. Siklosporin
Mekanisme kerja siklosporin adalah
menghambat fungsi sel T penolong dan
menghambat produksi sitokin terutama IL-2, INF-r,
IL-1 dan IL-8. Mengurangi aktivitas sel T, monosit,
makrofag dan keratinosit serta menghambat
ekspresi ICAM-1.8
d. Pentoksifilin
Bekerja dengan menghambat pembentukan
TNF-a, IL-2R dan ekspresi ICAM-1 pada keratinosit
dan sel Langerhans. Merupakan derivat teobromin
yang memiliki efek menghambat peradangan.8
e. FK 506 (Takrolimus)
Bekerja dengan menghambat respon
imunitas humoral dan selular. Menghambat sekresi
IL-2R, INF-r, TNF-a, GM-CSF . Mengurangi sintesis
leukotrin pada sel mast serta pelepasan histamin
dan serotonin. Dapat juga diberikan secara topikal.8
- Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik,
sejauh bahan kontaktannya dapat disingkirkan.7 Faktor-
faktor yang mempengaruhi prognosis adalah penyebab
dermatitis kontak, kapan terapi mulai dilakukan, apakah
pasien sudah menghindari faktor pencetusnya, terjadinya
kontak ulang dan adanya faktor individual seperti atopi.
Dengan adanya uji tempel maka prognosis
dermatitis kontak alergik lebih baik daripada dermatitis
kontak iritan dan DKI yang akut lebih baik daripada DKI
kronis yang bersifat kumulatif dan susah disembuhkan.
C. Dermatitis atopic
1. Defenisi
Dermatitis atopik adalah peradangan kulit berupa
dermatitis yang kronis residif, disertai rasa gatal, dan mengenai
bagian tubuh tertentu terutama di wajah pada bayi (fase infantile)
dan bagian fleksural ekstremitas (pada fase anak). Dermatitis
atopik kerap terjadi pada bayi dan anak, dan sekitar 50%
menghilang pada saat remaja, kadang dapat menetap, atau
bahkan baru mulai muncul saat dewasa.
Manifestasi dermatitis atopik dan tempat predileksi
berbeda pada fase bayi, anak dan dewasa. Rasa gatal yang
hebat dan perjalanan penyakit yang kronis-residif menyebabkan
gangguan psikologis pada pasien, keluarga, serta dokter yang
merawat, juga dapat menurunkan kualitas hidup pasien.
Dermatitis atopik tidak dapat disembuhkan namun dapat
dikendalikan. Oleh karena itu upaya preventif merupakan hal
penting, dokter perlu berkomunikasi dengan pasien dan
keluarganya, memberikan informasi dan edukasi penyakit, serta
bagaiman merawat dan mencegah kekambuhan.
2. Epidemiologi
Penelitian tentang perjalanan penyakit DA, dari berbagai
negara industri memperlihatkan data yang bervariasi. Di negara
berkembang, 10-20% anak menderita DA dan 60% di antaranya
menetap sampai dewasa.
3. Etiologi dan Patofisiologi
Dermatitis atopik meliputi perubahan pada sistem imun
(imunopatologik), alergen dan antigen, predisposisi genetik,
mekanisme pruritus, dan faktor psikologis. Faktor hygiene akhir-
akhir ini diduga merupakan salah satu faktor DA di dalam
keluarga.
Perubahan Sistem Imun (Imunopatologi)
Pada kulit pasien DA terjadi perubahan sistem imun
yang erat hubungannya dengan faktor genetik, sehingga
manifestasi fenotip DA bervariasi.
Pada pasien DA terdapat peningkatan kadar IgE
yang menyebabkan reaksi eritema kulit. Terjadi stimulasi IL-
4 terhadap sel T CD4 dan IL-3 terhadap sel B untuk
memproduksi IgE, sebaliknya interferon Y (gamma) dapat
mensupresi sel B. jumlah dan potensi IL-4 lebih besar dari
pada INFy. IL-5 berfungsi menginduksi proliferasi sel
eosinophil yang merupakan salah satu parameter DA.
Lesi akut DA ditandai dengan edema interselular
(spongiosis) dan sebukan infiltrate di epidermis yang
terutama terdiri atas limfosit T. Sel Langerhans dan
makrofag (sebagai sel dendritic pemajan antigen/APC)
mengekspresikan molekul IgE. Di dermis subkutan sel
radang terdiri atas limfosit T dengan epitope CD3, CD4, dan
CD45R, monosit-makrofag, sedangkan sel eosinophil jarang
terlihat, jumlah sel mas normal tetapi aktif berdegranulasi.
Mekanisme Pruritus pada Dermatitis Atopik
Patofisiologi pruritus pada DA belum diketahui pasti.
Rangsangn ringan dan superfisial dengan intensitas rendah
menyebabkan rasa gatal, namun bila lebih dalam dan
intensitas tinggi dapat menyebabkan sensasi nyeri.
Patogenesis DA dapat berkaitan dengan faktor genetic dan
hipersensitivitas tipe I fase lambat (IgE mediated, late
phase). Namun, kemudian dianggap pada DA dapat terjadi
reaksi yang diperantarai hipersensitivitas tipe IV dan tipe I.
Telah ditemukan peningkatan kadar histamine di kulit
pasien DA, namun peningkatan tersebut tidak disertai
dengan peningkatan di dalam darah. Hasil salah satu
penelitian memperlihatkan antihistamin hanya memberi efek
minimal sampai sedang dalam mengatasi pruritus pada DA.
Hal tersebut terjadi karena mungkin histamine bukan satu-
satunya zat pruritogenik.
Faktor Psikologis
Didapatkan peningkatan gangguan psikis pada DA
tergolong tinggi, antara lain berupa cemas, stress, dan
depresi. Rasa gatal yang hebat dapat memicu garukan yang
terus menerus sehingga menyebabkan kerusakan kulit,
sebaliknya dengan melihat kerusakan kulit rasa cemas
makin meningkat. Rasa cemas bertambah manakala pasien
bertemu dengan saudara, teman di sekolah, dan kesukaran
menghentikan garukan. Pasien DA mempunyai
kecenderungan bersifat temperamental, mudah marah,
agresif, frustasi, dan sulit tidur.
Teori atau Hipotesis Higiene
Awalnya diduga infeksi merupakan salah satu
pencetus DA atau sebagai salah satu sumber supernatigen.
Jumlah anggota keluarga yang sedikit menyebabkan sedikit
pula pajanan terhadap infeksi akibat kontak dengan saudara
yang leboh tua (kakak) di satu keluarga. Pajanan dini
tersebut menyebabkan sistem imun pada anak berkembang
secara normal, sehingga tubuh membentuk pertahanan
imun selular. Hal tersebut akan meingkatkan kerentanan
terhadap alergi sehingga menurunkan resiko DA. Sampai
saat ini hipotesis higiene masih dalam penelitian.
4. Klasifikasi
Umumnya DA didasarkan atas keterlibatan organ tubuh,
DA murni hanya terdapat di kulit, sedangkan DA dengan kelainan
di organ lain, misalnya asma bronkial, rhinitis, alergika, serta
hipersensitivitas terhadap berbagai alergen polivalen (hirup dan
makanan).
Klasifikasi yang lebih praktis untuk aplikasi klinis
didasarkan atas usia saat terjadinya DA, yaitu DA fase infantile,
anak dan dewasa.
Dermatitis Atopik Infantil
Lebih sering muncul pada usia bayi (2 bulan-2
tahun), umunya DA terjadi pada usia 2 bulan. Tempat
predileksi utama di wajah diikuti kedua pipi dan tersebar
simetris. Lesi dapat meluas ke dahi, kulit kepala, telinga,
leher, pergelangan tangan, dan tungkai terutama di bagian
volar dan fleksor.
Dengan bertambahnya usia, fungsi motoric
bertambah sempurna, anak mulai merangkak dan belajar
berjalan, sehingga lesi kulit dapat ditemukan di abagian
ekstensor, misalnya lutut, siku, atau di tempat yang mudah
mengalami trauma.
Fase infantil dapat mereda dan menyembuh. Pada
sebagian pasien dapat berkembang menjadi fase anak
atau fase remaja. Pada bayi usia kurang 1 tahun,
beberapa alergen makanan (susu sapi, telur, kacang-
kacangan) kadang-kadang masih berpengaruh, tetapi
pada usia yang lebih tua alergen hirup dianggap lebih
berpengaruh. Namun demikian, hal tersebut masih
diperdebatkan.
2. Epidemiologi
Prevalensi dermatitis seboroik secara umum berkisar 3-
5% pada populasi umum . Lesi ditemui pada kelompok remaja ,
dengan ketombe sebagai bentuk yang lebih sering dijumpai .
Pada kelompok HIV , angka kejadian dermatitis seboroik lebih
tinggi dibandingkan dengan populasi umum . Sebanyak 36 %
pasien HIV mengalami dermatitis seboroik. Umumnya diawali
sejak usia pubertas , dan memuncak pada umur 40 tahun . Dalam
usia lanjut dapat dijumpai bentuk yang ringan, sedangkan pada
bayi dapat terlihat lesi berupa kerak kulit kepala ( cradle cap )
Jenis kelamin laki - laki lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan .
3. Etiopatogenesis
Peranan kelenjar sebasea dalam patogenesis dermatitis
seboroik masih diperdebatkan , sebab pada remaja dengan kulit
berminyak yang meng alami dermatitis seboroik , menunjukkan
sekresi sebum yang normal pada laki - laki dan menurun pada
perempuan . Dengan demikian penyakit ini lebih tepat disebut
sebagai dermatitis di daerah sebasea . Namun demikian ,
patogenesis dermatitis seboroik dapat diuraikan sebagai berikut :
Dermatitis seboroik dapat merupakan tanda awal infeksi HIV .
Dermatitis seboroik sering ditemukan pada pasien HIVIAIDS ,
transplantasi organ , malignansi . pankreatitis alkoholik kronik ,
hepatitis C juga pasien parkinson . Terapi levodopa kadang kala
memperbaiki dermatitis ini . Kelainan ini sering juga dijumpai
pada pasien dengan gangguan paralisis saraf.
Meningkatnya lapisan sebum pada kulit kualitas sebum ,
respons imunologis terhadap Pityrosporum , degradasi sebum
dapat meng intasi kulit sehingga terjadi mekanisme eksema .
Jumlah ragi genus Malassezia meningkat di dalam epidermis
yang terkelupas pada ketombe ataupun dermatitis seboroik .
Diduga hal ini terjadi akibat lingkungan yang mendukung . Telah
banyak bukti yang mengaitkan dermatitis seboroik dengan
Malassezia . Pasien dengan ketombe menunjukkan peningkatan
titer antibodi terhadap Malassezia , serta mengalami perubahan
imunitas selular . Kelenjar sebasea aktif pada saat bayi dilahirkan
, namun dengan menurunnya androgen ibu , kelenjar ini menjadi
tidak aktif selama 9 - 12 tahun .
4. Gambaran klinis
Lokasi yang terkena seringkali di daerah kulit kepala
berambut; wajah: alis, lipat nasolabial, side burt; telinga dan liang
telinga; bagian atas-tengah dada dan punggunbg, lipat gluteus,
inguinal, genital, ketiak. Sangat jarang menjadi luas Dapat
ditemukan skuama kuning berminyak eksematosa ringan,
kadang kala disertai rasa gatal dan menyengat. Ketombe
merupakan tanda awal manifestasi dermatitis seboroik. Dapat
dijumpal kemerahan perifolikular yang pada tahap lanjut menjadi
plak eritematosa berkonfluensi, bahkan dapat membentuk
rangkaian plak di sepanjang batas rambut frontal dan disebut
sebagal korona seboroika.
Pada fase kronis dapat dijumpai kerontokan rambut
Lesidapat juga dijumpai pada daerah etroaunikular Bila terjadi di
liang telinga, lesi benupa otitis eksterna atau di kelopak mata
sebagai blefantis Bentuk varian di tubuh yang dapat dijumpal
pitiriasifrom (mirip pitiriasis rosea) atau uiar Pada keadaan parah
dermatitis seboroik dapat berkembang menjadi eritroderma.
Obat- obatan yang memicu dermatitis seboroik antara lain:
buspiron, klorpromazin, simetidine, etionamid, fluorourasil
interferon alfa, litium, metoksalen, metildopa, griseofulvin gold,
haloperidol, fenotiazine, psoralen Diagnosis ditegakkan
berdasarkan morfologi lesi eksema dengan skuama kuning
hemninyak di area predileksi. Pada kasus yang sulit perlu
pemeriksaan histopatologi.
5. Diagnosis
1) Anamnesis
Keluhan Utama
Keluhan Tambahan
Rambut rontok
Riwayat Perjalanan Penyakit
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat Higiene dan Kebiasaan
Riwayat sosial ekonomi
2) Pemeriksaan fisik
Tanda patognomonis
Papul sampe plak eritema
Skuama berminyak agak kekuningan
Berbatas tidak tegas
Lokasi predileksi
Kulit kepala, glabella, belakang telinga, belakang
leher, alis mata, kelopak mata, liang telinga luar, lipat
naso labial, sternal, areola mammae, lipatan bawah
mammae pada wanita, unterskapular, umbilicus,
lipatan paha, daerah angongenital.
Bentuk klinis lainnya
Lesi berat: seluruh kepala tertutup oleh krusta, kotor,
dan berbauh (cradle cap)
3) Pemeriksaan penunjang
Pada umumnya tidak diperlukan pemeriksaan penunjang
Dilakukan pemeriksaan KOH 10% dari spesimen patch
pada regio parietalis dan pemeriksaan KOH 20% dari
spesimen rambut pada regio parietalis di sisi tepi lesi
yang aktif, tidak ditemukan elemen jamur.
Gambar 3. Gambaran hasil pemeriksaan lampu wood, didapatkan fluoresensi kuning kehijauan di
bawah sinar UV.
6. Tatalaksana
Pengobatan tidak menyembuhkan secara permanen sehingga
terapi dilakukan berulang saat gejala timbul. Tatalaksana yang
dilakukan antara lain:
a) Sampo yang mengandung obat anti Malassezia, misalnya:
selenium sulfida, zinc pirithione, ketokonazol, berbagai sampo
yang mengandung ter dan solusio terbinafine 1%
7. Pencegahan
a) Hindari rangsangan gesek, lebih berhati-hati menggunakan
sabun dan handuk
b) Hindari sabun yang beraroma
c) Gunakan sabun yang tinggi kadar minyaknya
d) Hindari makanan yang memicuh gatal dan hindari makanan
yang tinggi protein
e) Mandi dengan air hangat cenderung dingin jangan panas
f) Hindari gosokan alcohol pada Kulit yang meradang
g) Hindari kontak langsung pada bahan/senyawa penyebab alergi
ditemukan
h) Menggunakan krim pelembab (moisturizer). Krim pelembab
digunakan sesering mungkin.
i) Menggunakan moisturizer atau bath oil untuk mandi
j) Menghindari factor-faktor dilingkungan yang memicuh atau yang
memperparah eksema
k) Gatal jangan digaruk karena dapat memperparah eksema dan
dapat beresiko terjadinya infeksi.
E. Campak
1) Defenisi
Campak adalah penyakit infeksi virus akut, menular yang
ditandai dengan tiga stadium, yaitu stadium kataral, stadium erupsi,
dan stadium konvalesensi. Nama lain penyakit ini adalah campak,
measles, atau rubeola. Penularan terjadi secara droplet dan kontak
langsung dengan pasien. Virus morbili terdapat dalam sekret
nasofaring dan darah selama stadium kataral sampai 24 jam setelah
timbul bercak di kulit. Biasanya seseorang akan mendapat kekebalan
seumur hidup bila telah sekali terinfeksi oleh campak.
2) Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh golongan paramyxovirus, yaitu virus
RNA dari famili Paramixofiridae, genus Morbillivirus. Hanya satu tipe
antigen yang diketahui. Selama masa prodromal dan selama waktu
singkat sesudah ruam tampak, virus ditemukan dalam sekresi
nasofaring, darah dan urin. Virus dapat tetap aktif selama sekurang-
kurangnya 34 jam dalam suhu kamar
3) Epidemiologi
Berdasarkan hasil penyelidikan lapangan KLB campak yang
dilakukan Subdit Surveilans dan Daerah pada tahun 1998-1999,
kasus-kasus campak terjadi karena anak belum mendapat imunisasi
cukup tinggi, mencapai sekitar 40–100 persen dan mayoritas adalah
balita (>70 persen).
4) Patofisologi
Virus campak ditularkan lewat infeksi droplet lewat udara,
menempel dan berkembang biak pada epitel nasofaring. Tiga hari
setelah invasi, replikasi dan kolonisasi berlanjut pada kelenjar limfe
regional dan terjadi viremia yang pertama. Virus menyebar pada semua
sistem retikuloendotelial dan menyusul viremia kedua setelah 5-7 hari
dari infeksi awal. Adanya giant cells dan proses keradangan merupakan
dasar patologik ruam dan infiltrat peribronchial paru. Juga terdapat
udema, bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak. Kolonisasi
dan penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek, mata
merah (3 C : coryza, cough and conjuctivitis) dan demam yang makin
lama makin tinggi. Gejala panas, batuk, pilek makin lama makin berat
dan pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak
dengan sumber infeksi) mulai timbul ruam makulopapuler warna
kemerahan.Virus dapat berbiak juga pada susunan saraf pusat dan
menimbulkan gejala klinik encefalitis. Setelah masa konvelesen pada
turun dan hipervaskularisasi mereda dan menyebabkan ruam menjadi
makin gelap, berubah menjadi desquamasi dan hiperpigmentasi. Proses
ini disebabkan karena pada awalnya terdapat perdarahan perivaskuler
dan infiltrasi limfosit.
5) Manifestasi klinis
i. Panas meningkat dan mencapai puncak pada hari 4-5 ketika
ruam timbul
ii. Coryza yang terjadi sukar dibedakan dengan common cold yang
berat. Membaik dengan cepat ketika panas turun.
iii. Conjunctivitis ditandai dengan mata merah pada konjunctiva
disertai peradangan dengan keluhan fotofobia.
iv. Cough merupakan akibat perdangan epitel saluran napas,
mencapai puncak pada saat erupsi dan menghilang setelah
beberapa minggu.
v. Muncul koplik’s spot sekitar 2 hari sebelum ruam muncul (hari 3-
4) dan cepat menghilang setalah beberapa jam atau beberapa
hari. Koplik’s spot adalah sekumpulan noktah putih pada epitel
bukal yang merah, yang merupakan tanda klinis yang
pathogonomik untuk morbili.
vi. Ruam makulopapuler semula berwarna kemerhan. Ruam ini
muncul pertama pada daerah batas rambut dan dahi, serta
belakang telinga dan menyebar kea rah perifer sampai kaki.
Ruam umumnya saling rengkuh sehingga pada muka dan dad
menjadi confluent. Ruam ini membedakan dengan rubella yang
ruamnya discrate dan tidak mengalami desquamasi. Telapak
tangan dan kaki tidak mengalami desquamasi.
6) Diagnosis
Diagnosis morbili biasanya cukup ditegakkan berdasarkan gejal
klinis. Pemeiksaan laboratorium jarang dilakukan. Mekanisme
diagnose morbili dapat dilakukan melalui anamnesa, pemeriksaan
fisik, serta dapat dibantu dengan pemeriksaan penunjang seperi
dipaparkan pada table berikut :
Anamnesis Demam tinggi terus- menerus 38.5oC atau lebih disertai batuk,
pilek, nyeri menelan, mata merah, dan silau kena cahaya,
seringk kali diikuti diare. Pada hari ke 4-5 demam timbul ruam
kulit didahului oleh suhu yang meningkat lebih tinggi dari
semula. Saat ruam timbul, batuk dandiare tambah parah
sehingga anak mengalami sesak atau dehidrasi.
Pemeriksaan
Masa inkubasi 10-20 hari dan kemudian timbul gejala-gejala
fisisk
yang dibagi dalam 3 stadium, yaitu :
2. Stadium erupsi
3. Stadium konvalesensi
7) Penatalaksanaan
Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari :
1. Pemberian cairan yang cukup
2. Kalori yang sesuai dan jenis makanan yang disesuaikan dengan
tingkat kesadaran dan adanya komplikasi
3. Suplemen nutrisi
4. Antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder
5. Anti konvulsi apabila terjadi kejang
6. Pemberian vitamin A
7. Indikasi rawat inap : hiperpireksia (suhu > 39,00 C), dehidrasi,
kejang, asupan oral sulit, atau adanya komplikasi.
8. Pencegahan
Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada
anak-anak. Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi
dengan gondongan dan campak Jerman (vaksin MMR/mumps,
measles, rubella), disuntikkan pada otot paha atau lengan atas. Jika
hanya mengandung campak, vaksin dibeirkan pada umur 9 bulan.
Dalam bentuk MMR, dosis pertama diberikan pada usia 12-15 bulan,
dosis kedua diberikan pada usia 4-6 tahun. Selain itu penderita juga
harus disarankan untuk istirahat minimal 10 hari dan makan
makanan yang bergizi agar kekebalan tubuh meningkat.
BAB 3
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA