Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

SISTEM INTEGUMEN
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah

Disusun oleh :

Aini Rachmawati 302017003


Anggi Aprilia Hayati 302017004
Ari Fitriyani 3020170
Asep Agung Gumelar 302017014
Desih Fira Wibowo 302017021
Dhenira Firdhania 302017022
Elis susilawati 302017029
Eliza Ayunda Putri 302017030
Irra Choerunnisa 302017041
Khoirunnisa Oktaviani 302017042

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH BANDUNG
Jln. K.H Ahmad Dahlan No.6 Bandung (Banteng Dalam)
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah
ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi
pembaca dalam proses pembelajaran.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun
isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang saya
miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Bandung, September 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A.Latar Belakang................................................................................................. 1
B.Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
C.Tujuan .............................................................................................................. 1
BAB II LANDASAN TEORITIS .......................................................................... 3
A.Anatomi Fisiologi Sistem Integumen .............................................................. 3
B.Proses Penyembuhan Luka .............................................................................. 5
C.Pengkajian Sistem Integumen ........................................................................ 10
D.Modalitas Penatalaksanaan ............................................................................ 15
E.Gangguan Pada Sistem Integumen ................................................................ 18
BAB III KESIMPULAN ...................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem integumen adalah sistem organ yang membedakan, memisahkan,
melindungi, dan menginformasika hewan terhadap lingkungan sekitarnya. Sistem
ini seringkali merupakan bagian sistem organ yang terbesar yang mencakup kulit,
rambut, bulu, sisik, kuku, kelenjar keringat dan produknya (keringat atau lendir).
Kata ini berasal dari bahasa Latin "integumentum", yang berarti "penutup".
Secara ilmiah kulit adalah lapisan terluar yang terdapat diluar jaringan
yang terdapat pada bagian luar yang menutupi dan melindungi permukaan tubuh,
kulit merupakan organ yang paling luas permukaan yang membungkus seluruh
bagian luar tubuh sehingga kulit sebagai pelindung tubuh terhadap bahaya bahan
kimia.
Cahaya matahari mengandung sinar ultra violet dan melindungi terhadap
mikroorganisme serta menjaga keseimbangan tubuh. misanya menjadi pucat,
kekuning-kunigan, kemerah-merahan atau suhu kulit meningkat.
Ganguan psikis juga dapat mengakibatkan kelainan atau perubahan pada
kulit misanya karna stres, ketakutan, dan keadaan marah akan mengakibatkan
perubahan pada kulit wajah.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan acuan yang akan menjadi bahasan. Adapun
beberapa rumusan masalah adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana anatomi fisiologi dari sistem integumen ?
2. Bagaimana proses penyembuhan luka ?
3. Bagaimana pengkajian sistem integumen ?
4. Bagaimana modalitas penatalaksanaan gangguan sistem integumen ?
5. Apa saja gangguan dari sistem integumen ?

C. Tujuan
Berdasarkan kepada identifikasi rumusan masalah, makalah ini bertujuan
untuk memberikan pembelajaran pada masyarakat. Adapun beberapa tujuan dalam
makalah ini sebagai berikut :

1
2

1. Untuk mengetahui anatomi fisiologi dari sistem integumen ?


2. Untuk mengetahui proses penyembuhan luka ?
3. Untuk mengetahui pengkajian sistem integumen ?
4. Untuk mengetahui bagaimana modalitas penatalaksanaan gangguan sistem
integumen ?
5. Untuk mengetahui apa saja gangguan dari sistem integumen ?
BAB II
LANDASAN TEORITIS

A. Anatomi Fisiologi Sistem Integumen


1. Kulit
Kulit memiliki are permukaan total 4,5-6 m2 dan berat sekitar 4 kg.
diperkirakan bahwa setiap inci persegi kulit bersisi 4,5 m pembuluh darah,
3,6 m saraf, 650 kelenjar keringat, 1000 kelenjar minyak, 1500 reseptor
sensorik, dan lebih dari 3 juta sel yang terus-menerus mati dan diganti. Kulit
terdiri dari dua regio: epidermis dan dermis.
a. Epidermis
Merupakan bagian dari kulit yang paling luar, dan terdiri dari sel
epitel. Memiliki empat atau lima lapisan dan bergantung pada lokasinya;
ada lima lapisan pada telapak tangan dan telapak kaki,dan empat lapisan
pada bagiam tubuh lainnya.
1) Stratum basale, merupakan lapisan terdalam dari epidermis. Lapisan
ini berisikan melanosit, sel yang memproduksi pigmen melanin, dan
keratinosit, yang memproduksi keratin. Melanin berfungsi sebagai
pelindung bagi keratinosit dan juga ujung saraf pada dermis dari efek
sinar ultraviolet yang sifatnya merusak. Ketika keratinosit matur
maka aka naik ke bagian epidermal dan selanjutnya menjadi sel mati.
Dan pada saat itu pula jutaan sel baru dalam prose produksi.
2) Stratum spinosum, beberapa bagiannya tebal, sangat banyak
mengandung sel yang bermigrasi dari sumsum tulang menuju
epidermis.
3) Stratum granulosum, mengandung glikolipid yang memperlambat
kehilangan air di sepanjang epidermis.
4) Stratum lusidum, hanta ada pada lapisan yang tebal, terdiri dari
keratinosit yang mati.
5) Stratum korneum, merupakan lapisan terluar epidermis juga yang
paling tebal. Terdiri atas sekitar 75% ketebalan epidermis. Lapisan
ini terdiri dari 20 sampai 30 lembar sel mati yang diisi dengan

3
4

6) fragmen keratin yang tersusun dalam “papan” yang meneglupas


sebagai kulit kering.
b. Dermis
Dermis merupakan lapisan yang ke dua. Terdiri dari jaringan ikat
yang fleksibel, dan terdapat banyak sekali sel darah, serabut saraf, dan
pembuluh darah limfatik. Sebagian besar folikel rambut, kelenjar
sebasea, dan kelenjar keringat terletak di dermis.terdiri dari lapisan
papiler dan retikuler. Lapisan papiler mengandung kapiler dan reseptor
terhadap nyeri dan sentuhan. Lapisan retikuler yang paling dalam
berisikan pembuluh darah, kelenjar keringat dan kelenjar sabasea, resptor
tekanan yang dalam, dan berkas serta kolagen yang tebal.
c. Fasia superfasial
Merupakan jaringan subkutan treletak dibawah dermis. Terdiri dari
jaringan adiposa (lemak) dan membantu kulit melekat pada struktur
dasarnya.
d. Kelenjar kulit
Kulit mengandung kelenjar sebasea (minyak), kelenjar sudoriferus
(keringat), dan kelenjar serumen. Setiap kelenjar mempunyai yang
berbeda.
1) Kelenjar sebasea, tersebar diseluruh tubuh kecuali di telapak tangan
dan telapak kaki. Fungsinya adalah menyekresikan zat berminyak
yang disebut sebum. Fungsinya untuk melunakkan dan melumasi
kulit dan rambut serta mengurangi kehilangan air dari kulit pada
kelembapan yang rendah, juga melindungi tubuh dari infeksi
karena membunuh bakteri. Distimulasi oleh hormone androgen.
2) Kelenjar keringat terdiri dari dua tipe, ekrin dan apokrin. Saat
disekresikan keringat mengandung air, juga natrium, zat sisa
metabolic urea, asam laktat,. Produksi keringat diatur oleh saraf
simpatis dan berfungsi untuk mempertahankan suhu tubuh normal.
e. Warna kulit
Warna kulit merupakan hasil kadar pigmentasiyang bervariasi.
Melanin, pigmen yang berwarna cokelat-kuning, lebih gelap, dan
5

diproduksi dalam jumlah yang besar pada individu yang memiliki kulit
gelap. Karoten, pigmen yang berwarna oranye-kuning, paling banyak
ditemukan diarea tubuh tempat stratum korneum yang paling tebal,
seperti telapak tangan. Epidermis pada orang berkulit putih sangat sedikit
melanin dan hamper transfaran, sehingga warna haemoglobin yang
ditemukan dalam sel darah merah (SDM) yasng beredar melalui dermis
dapat terlihat dan menyebabkan kulit berwarna merah.
f. Rambut
Rambut didistribusikan diseluruh tubuh kecuali pada bibir, putting,
bagian genital eksternal, telapak tangan, dan telapak kaki. Rambut
diproduksi oleh bulbus rambut dan akarnya tertutup folikel rambut.
Memiliki berbagai fungsi seperti alis mata dan bulu mata untuk
melindungi mata, rambut dalam hidung membantu mencegah masuknya
benda asing ke saluran napas atas, dan rambut pada kepala untuk
melindungi kepala dari panas dan sinar matahari.
g. Kuku
Kuku adalah struktur epidermal seperti sisik yang dimodifikasi.
Badan kuku terletak di atas dasar kuku. Ujung proksimal kulit yang
terlihat memiliki bentuk seperti sabit berwarna putih, yang disebut lunula.
Sisi kuku bertumpang tindih dengan kulit, yang disebut lipatan kuku.
Lipatan kuku proksimal lebih tebal dan disebut openikium atau kutikula.
Kuku membentuk selimut pelindung pada dorsum setiap jari baik jari
tangan maupun jari kaki. (LeMone. 2015)

B. Proses Penyembuhan Luka


1. Respon imun bawaan
Imunitas merupakan pertahanan tubuh pertama yang bersifat nonspesifik.
Ketika ada mikroorganisme, pathogen, dan benda asing lainnya yang mencoba
masuk, maka tubuh akan memicu terjadinya inflamasi. Inflamasi merupakan
respons tubuh terhadap cedera yang membawa cairan, melarutkan zat, dan sel
darah ke dalam jaringan interstisial tempat invasi atau kerusakan terjadi.
Melalui reaksi inflamasi, penyerang dinetralisasi dan dieliminasi, jaringan yang
rusak dihilangkan, dan proses pemulihan serta perbaikan dimulai.
6

Respon inflamasi memiliki dua tahap: (a) respons vascular yang ditandai
dengan vassodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, dan (b)
respons selular, fagositosis mengatur tahap pemulihan (perbaikan jaringan).
a. Respons Vaskular
Sesaat setelah tubuh mengalami cedera, pembuluh darah lokal
dengan cepat mengalami konstriksi. Namun, setelah keluar mediator-
mediator kimia pembuluh darah akan mengalami vasodilatasi, contoh
mediator-mediator kimianya adalah histamin, bradykinin, prostaglandin
yang dikeluarkan oleh jaringan yang rusak. Karena pembuluh darah di
area jaringan yang rusak mengalami vasodilatasi otomatis darah akan
berkumpul dan menghsilkan kemerahan dari warna darah itu sendiri dan
panas berasal dari suhu darah. Bersamaan dengan keluarnya mediator
kimia yang memberikan efek peningkatan permeabilitas pembuluh darah
mengeluarkan cairan dari kapiler dan masuk ke jaringan interstisial.
Cairan yang keluar disebut eksudat, terdiri dari sejumlah besar protein.
Eksudat akan mengikat cairan dan dan menyebabkan edema local, juga
membawa nutrien tertentu yang dibutuhkan untuk pemulihan dan
mentransportasikan sel yang dibutuhka untuk fagositosis.
b. Respon selular
Tahapan inti ditandai dengan marginasi dan migrasi leukosit ke
dalam jaringan yang rusak, kemotaksis, dan fagositosis. Cairan serosa
keluar dari kapiler, dan meningkatkan viskositas sehingga aliran darah
akan sedikit lambat diarea tersebut. Dengan sendirinya karena telah
menyadari ada jaringan yang rusak, maka leukosit akan menempel pada
endotel kapiler dikenal dengan pavementing (adesi leukosit). Selanjutnya
leukosit bermigrasi msuk ke dalam rongga jaringan menuju area yang
rusak.
Ketika bermigrasi, akan terjadi kemotaktik atau memanggil
pasukannya seperti neutrofil, monosit, dan makrofag. Monosit menjadi
makrofag sementara untuk memperbanyak aktivitas campuran makrofag
dan sel dendrit; monosit tersebut Bersama-sama menelan sel yang mati,
7

jaringan yang rusak, neutrofil yang tidak berfungsi, dan bakteri yang
menyerang.
c. Fagositosis
Fagositosis merupakan proses ketika agens asing atau sel target
ditelan, dirusak, dan diserap. Neurtofil, makrofag dan sel dendrit, yang
dikenal dengan fagosit, merupakan sel primer yang terlibat dalam
fagositosis. Ketika ditarik ke bagian inflamasi, fagosit memilih dan
menelan bahan asing.
Fagosit (terutama neutrofil dan makrofag) mengandung agens
bakterisida yang membunuh sebagian besar bakteri yang mereka cerna
sebelum bakteri-bakteri tersebut merusak fagosit itu sendiri. Fagosit
membunuh bakteri dengan segala cara, salah satu nya adalah dengan
mengubah pH intraselulardan menghasilkann agens bakterisida. Agens
oksidasi, seperti superoksida, hydrogen peroksida, dan ion hidroksil,
merupakan bakterisida. Dua zat lisosom yang membunuh bateri
merupakan lisozim dan fagositin.
Namun, kadang juga ada antigen seperti bakteri tuberkel, menutupi
atau menyekresikan zat yang resisten terhadap lisosom dan agens
bakterisida. Untuk merusak beberapa antigen, lisosom mengeluarkan
enzim pencernaan. Lisosom neutrfil dan makrofag berisi enzim proteolitik
yang berlimpah dan bersifat merusak protein bakteri juga menyerap
komponen dari bakteri tersebut.
Ketika neutrofil menyerap zat toksik ke kapasitas mereka, secara
berurutan neutrofil ditelan oleh makrofag. Neutrofil memiliki kemampuan
memfagositosis 5 hingga 20 bakteri sebelum mereka inaktif. Sedangkan
monosit atau makrofag mampu memfagositosis hingga 100 bakteri
dikarenakan ukurannya yang lebih besar dari neutrofil. (LeMone, 2015)
2. Fase proliferasi
Tujuan dari fase ini adalah untuk membentuk keseimbangan antara
pembentukan jaringan parut dan regenerasi jaringan. Menurut Primadina
(2019). Berlangsung mulai hari ke-3 hingga 14 pasca trauma, ditandai dengan
pergantian matriks provisional yang didominasi oleh platelet dan makrofag
8

secara bertahap digantikan oleh migrasi sel fibroblast dan deposisi sintesis
matriks ekstraselular. Pada level makroskopis ditandai dengan adanya jaringan
granulasi yang kaya akan jaringan pembuluh darah baru, fibroblas, dan
makrofag, granulosit, sel endotel dan kolagen yang membentuk matriks
ekstraseluler dan neovaskular yang mengisi celah luka dan memberikan
scaffold adhesi, migrasi, pertumbuhan dan diferesiasi sel.
Terdapat tiga proses utama dalam fase proliferasi, antara lain:
a. Angiogenesis merupakan pertumbuhan pembuluh darah baru yang
terjadi secara alami di dalam tubuh, baik dalam kondisi sehat maupun
patologi (sakit). Fungsinya untuk menggantikan pembuluh darah
yang rusak dan yang paling penting adalah mempertahankan
kelangsungan fungsi berbagai jaringan dan organ yang terkena
dampak juga tahapan penting dalam proses penyembuhan. Pembuluh
darah kapiler terdiri atas sel-sel endotel dan perisit. Kedua jenis sel
ini memuat seluruh informasi genetik untuk membentuk pembuluh
darah dan cabang-cabangnya serta seluruh jaring-jaring kapiler.
Selama angiogenesis, sel endotel memproduksi dan mengeluarkan
sitokin. Beberapa faktor pertumbuhan terlibat dalam angiogenesis
antara lain Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF),
angiopoetin, Fibroblast Growth Factor (FGF) dan TGF-β. Setelah
pembentukan jaringan cukup adekuat, migrasi dan proliferasi sel-sel
endotelial menurun, dan sel yang berlebih akan mati dalam dengan
proses apoptosis.
b. Fibroblas, fibroblast memproduksi matriks ekstraselular yang akan
mengisi kavitas luka dan menyediakan landasan untuk migrasi
keratinosit. Matriks ekstraselular inilah yang menjadi komponen yang
paling nampak pada skar di kulit. Makrofag memproduksi growth
factor seperti PDGF, FGF dan TGF- yang menginduksi fibroblas
untuk berproliferasi, migrasi, dan membentuk matriks ekstraselular.
Dengan berjalannya waktu, matriks ekstraselular ini akan digantikan
oleh kolagen tipe III yang juga diproduksi oleh fibroblas. Kolagen ini
tersusun atas 33% glisin, 25% hidroksiprolin, dan selebihnya berupa
9

air, glukosa, dan galaktosa. Hidroksiprolin berasal dari residu prolin


yang mengalami proses hidroksilasi oleh enzim prolyl hydroxylase
dengan bantuan vitamin C. Hidroksiprolin hanya didapatkan pada
kolagen, sehingga dapat dipakai sebagai tolok ukur banyaknya
kolagen dengan mengalikan hasilnya dengan 7,8. Selanjutnya
kolagen tipe III akan digantikan oleh kolagen tipe I pada fase
maturasi. Faktor proangiogenik yang diproduksi makrofag seperti
vascular endothelial growth factor (VEGF), fibroblas growth factor
(FGF)-2, angiopoietin-1, dan thrombospondin akan menstimulasi sel
endotel membentuk neovaskular melalui proses angiogenesis.
c. Re-epitelisasi, sel-sel basal pada epitelium bergerak dari daerah tepi
luka menuju daerah luka dan menutupi daerah luka. Pada tepi luka,
lapisan single layer sel keratinosit akan berproliferasi kemudian
bermigrasi dari membran basal ke permukaan luka. Mereka akan
berikatan dengan kolagen tipe I dan bermigrasi menggunakan
reseptor spesifik integrin. Kolagenase yang dikeluarkan keratinosit
akan mendisosiasi sel dari matriks dermis dan membantu pergerakan
dari matriks awal. Sel keratinosit yang telah bermigrasi dan
berdiferensiasi menjadi sel epitel ini akan bermigrasi di atas matriks
provisional menuju ke tengah luka, bila sel-sel epitel ini telah
bertemu di tengah luka, migrasi sel akan berhenti dan pembentukan
membran basalis dimulai.
3. Fase Maturasi (Remodeling)
Segera setelah kavitas luka terisi oleh jaringan granulasi dan proses
reepitelialisasi usai, fase ini pun segera dimulai. Pada fase ini terjadi kontraksi
dari luka dan remodeling kolagen. Kontraksi luka terjadi akibat aktivitas
fibroblas yang berdiferensiasi akibat pengaruh sitokin TGF-β menjadi
myofibroblas, yakni fibroblas yang mengandung komponen mikrofilamen
aktin intraselular. Myofibroblast akan mengekspresikan α-SMA (α-Smooth
Muscle Action) yang akan membuat luka berkontraksi. Matriks intraselular
akan mengalami maturasi dan asam hyaluronat dan fibronektin akan di
degradasi. Kolagen yang berlebihan didegradasi oleh enzim kolagenasedan
10

kemudian diserap. Sisanya akan mengerut sesuai tegangan yang ada.Hasil


akhir dari fase ini berupa jaringan parut yang pucat, tipis, lemas, dan mudah
digerakkan dari dasarnya. Fase remodelling jaringan parut adalah fase terlama
dari proses penyembuhan serat-serat kolagen hanya bisa pulih sebanyak 80%
dari kekuatan serat kolagen normal sebelum terjadinya luka. Kekuatan akhir
yang dicapai tergantung pada lokasi terjadinya luka dan durasi lama perbaikan
jaringan yang terjadi.

C. Pengkajian Sistem Integumen


1. Riwayat Kesehatan
Riwayat jesehatan berisi informasi yang spesifik mengenai awitan,
tanda dan gejala, lokasi, durasi nyeri, gatal-gatal, ruam atau gangguan rasa
nyaman lainnya yang dialami pasien. Perawat mendapatkan informasi penting
mengnai pasien melalui riwayat kesehatan pasien dan observasi langsung.
Saat mengkaji, perawat perlu mengajukan pertanyaan tentang riwayat alergi
kulit, reaksi alergik terhadap makanan, obat serta zat kimia, dan masalah kulit
sebelumnya.
2. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian kulit melibatkan seluruh area kulit, termasuk membrane
mukosa, kulit kepala dan kuku. Tampilan umum kulit dikaji dengan
mengmati warna, suhu, kelembaban, kekeringan, tekstur kulit, lesi,
vaskularitas, mobilitas dan kondisi rambut serta kuku. Turgor kulit, edema
yang mungkin terjadi dan elastisitas kulit harus dinilai dengan palpasi.
a. Mengkaji Pasien dengan Kulit Gelap
Gradasi warna yang terjadi pada orang yang berkulit gelap
terutama ditentukan oleh transmisi genetic; gradasi ini dapat dinyatakan
sebagai warna yang cerah, sdang atau gelap. Pada orang yang berkulit
gelap, melanin diproduksi dengan kecepatan yang lebih besar dan
jumlah yang lebih banyak dibandingkan pada orang yang kulitnya lebih
cerah. Kulit yang gelap dan sehat memiliki dasar kemerahan atau
undertone. Mukosa pipi, lidah, bibir dan kuku dalam keadaan normal
tampak merah muda.
11

Derajat pigmentasi pada kulit pasien yang berwarna gelap dapat


mempengaruhi penampakan suatu lesi. Lesi dapat berwarna hitam,
ungu, atau abu-abu dan bukannya berwarna merah atau coklat
kekuningan seperti yang terlihat pada pasien yang berkulit cerah.
1) Eritema kemerahan pada kulit yang disebabkan oleh kongesti
kapiler. Untuk menentukan inflamasi yang mungkin terdapat,
kulit dipalpasi agar bertambahnya kehangatan atau kelicinan
(edema) atau kekerasan pada kulit dapat diketahui. Klenjar limfe
disekitarnya juga harus dipalpasi.
2) Ruam. Pada kasus-kasus pruritus, pasien harus diminta untuk
menunjukkan bagian tubuh yang terasa gatal. Kemudian kulit
diregangkan dengan hati-hati untuk mengurangi tonus
kemerahan dan membuat ruam tersebut menghilang. Perbedaan
tekstur kulit dinilai dengan menggerakkan ujung-ujung jari
tangan yang menyentuh secara ringan pada permukaan kulit.
Mulut dan telinga pasien harus terus diperiksa (kadang-kadang
rubeola atau campak akan menimbulkan ruam berwarna merah
pada ujung telinga).
3) Sianosis. Untuk mendeteksi sianosis, daerah di sekitar mulut
serta bibir dan daerah tulang pipi serta daun telinga harus diamati
. indicator lainnya adalah kulit yang basah dan dingin; denyut
nadi yang cepat dan lambat; dan respirasi yang cepat serta
dangkal. Ketika dilakukan pemeriksaan konjuntiva palpebral
untyk menemukan petekie (bintik-bintik halus berwarna merah
akibat keluarnya darah), tanda ini tidak boleh dikelirukan dengan
endapan melanin yang normal.
4) Perubahan warna. Hipopigmentasi (kehilangan atau
berkurangnya warna kulit) yang dapat disebabkan oleh vitiligo
(suatu keadaan yang ditandai oleh penghancuran melanosit pada
daerah kulit yang terbatas atau luas). Hiperpigmentasi
(peningkatan warna) dapat timbul sesudah terjadi penyakit atau
12

cedera pada kulit. Lipatan nasal berpigmen di bawah mata


mungkin merupakan tanda eksternal alergi.
b. Mengkaji lesi kulit
Lesi kulit merupakan karakteristik yang paling menonjol pada
kelainan dermatologic. Lesi pada kulit memiliki ukuran, bentuk, serta
penyebab yang beragam, dan diklasifikasikan menurut penampakan serta
asalnya. Lesi kulit dapat diuraikan sebagai lesi primer dan sekunder. Lesi
primer merupakan lesi inisial dan karakteristik penyakit itu sendiri. Lesi
sekunder terjadi akibat sebab-sebab eksternal, seperti garukan, trauma
infeksi atau perubahan yang disebabkan oleh kesembuhan luka.
Pengkajian pendahuluan terhadap lesi harus membantu mengenali
tipe dermatosis (keadaan kulit yang abnormal) dan menunjukkan apakah
lesi tersebut primer ataukah sekunder. Pada saat yang sama distribusi
anatomi erupsi harus dicatat karena beberapa penyakit tertentu cenderung
mengenai lokasi tubuh tertentu dan tersebar dengan corak serta bentuk
yang khas. Untuk menentukan luas distribusi regional, bagian sisi kiri
dan kanan tubuh harus dibandingkan sementara warna dan bentuk lesi
dicatat. Sesudah observasi dilaksanakan, lesi dipalpasi untuk menentukan
tekstur, bentuk serta tepinya, dan untuk melihat apakah lesi tersebut
terbuka lunak atau berisi cairan, atau teraba keras dan terfiksasi pada
jaringan di sekitarnya. Sebuah penggaris dapat digunakan untuk
mengukur besar lesi sehingga setiap pembesaran lebih lanjut dapat
dibandingkan dengan ukuran awalnya. Keadaan dermatosis tersebut
kemudian dicatat pada catatan kesehatan pasien, catatan ini harus
dijelaskan secara rinci dengan terminology yang tepat
c. Mengkaji Vaskularisasi dan Hidrasi
Uraian tentang perubahan vaskuler mencakup lokasi, distribusi,
warna, ukuran dan adanya pulsasi. Perubahan vaskuler yang lazim
ditemukan adalah petekie, ekimosis, telangiektasis, angioma dan venous
stars. Kelembaban kulit, suhu dan tekstur kulit dinilai terutama dengan
cara palpasi. Elastisitas (turgor) kulit yang menurun pada proses penuaan
13

yang normal dapat menjadi salah satu factor untuk menilai status hidrasi
seorang pasien.
d. Mengkaji Kuku dan Rambut
1) Kuku
Infeksi singkat pada kuku mencakup obsevasi untuk melihat
konfigurasi, warna dan konsistensi. Banyak perubahan pada kuku atau
dasar kuku (nailbed) yang mencerminkan kelainan lokasi atau
sistemik yang sedang berlangsung atau yang terjadi akibat peristiwa di
masa lalu. Alur transversal yang dinamakan garis-garis Beau pada
kuku dapat mencerminkan retardasi pertumbuhan matriks kuku yang
terjadi sekunder akibat sakit yang berat atau yang lebih sering lagi
akibat trauma local. Penonjolan, hipertrofi dan berbagai perubahan
lainnya dapat pula terjadi pada trauma local. Paronikia, suatu
inflamasi kulit di sekitar kuku, biasanya akan disertai gejala nyeri
tekan dan eritema. Sudut antara kuku yang normal dan pangkalnya
(basis unguium) adalah 160 derajat. Ketika dipalpasi, pangkal kuku
biasanya teraba keras. Clubbing (jadi tabuh) terlihat sebagai
pelurusan sudut yang normal (menjadi 180o atau lebih) dan pelunikan
pada pangkal kuku. Pelunakan ini akan terasa spons ketika dipalpasi.
2) Rambut
Pengkajian dilakukan dengan cara inspeksi & palpasi. Serung
tangan harus dikenakan dan ruang pemeriksaan harus memiliki
penerangan yang baik. Sibak rambut pasien agar kondisi kulit yang
ada dibaliknya dapat dilihat dengan mudah; kemudian perawat harus
mencatat warna, tekstur serta distribusinya. Setiap lesi yang abnormal,
gejala gatal-gatal, inflamasi atau tanda-tanda infestasi parasite (tuma
atau kutu) harus dicatat.
e. Pengkajian Terhadap Masalah Psikososial
Beberapa kelainan kulit dapat membuat pasiennya menderita sakit
yang berkepanjangan sehingga timbul perasaan depresi, frustasi, kesedaran
diri dan penolakan. Gatal-gatal serta iritasi kulit juga dapat terus
menggangu dan sering dijumpai pada sebagai besar penyakit kulit.
14

Konsekuensi dar gangguan rasa nyaman ini dapat berupa gangguan tidur,
ansietas dan depresi yang keseluruhannya akan meningkatkan distress
serta keletihan yang menyertai kelainan kulit. Di samping itu, penyakit
kulit kerapkali menimbulkan keprihatinan yang berhubungan dengan citra-
diri dan hubungan interpersonal.
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Biopsi kulit
Bertujuan untuk mendapatkan jaringan bagi pemeriksaan
mikroskopis dilakukan lewat eksisi dengan skalpel atau penusukan dengan
alat khusus (skin punch) yang akan mengambil sedikit bagian tengah
jaringan. Biopsi dilakukan terhadap nodul kulit yang asalnya tidak jelas
untuk menyingkirkan kemungkinan malignitas dan terhadap plak dengan
bentuk serta warna yang tidak lazim; biopsi kulit juga dilakukan untuk
memastikan diagnosis yang tepat pada pembentukan lepuh dan kelainan
kulit lainnya.
b. Imunofluoresensi (IF)
Untuk mengidentifikasi lokasi suatu reaksi imun, pemeriksaan IF
mengkombinasikan antigen atau antibodi dengan zat warna fluorokrom.
Tes IF pada kulit merupakan teknik pemeriksaan untuk mendeteksi
autoantibodi terhadap bagian-bagian kulit.
c. Patch Test
Dilakukan untuk mengenali substansi yang menimbulkan alergi
pada pasien, meliputi aplikasi alergen yang dicurigai pada kulit normal di
bawah plester khusus. Jika terjadi dermatitis, gejala kemerahan, tonjolan
halus atau gatal-gatal dianggap sebagai reaksi positif lemah. Blister yang
halus, papula dan gatal-gatal yang hebat menunjukkan reaksi positif
sedang, sementara blister (bullae), nyeri serta ulserasi menunjukkan reaksi
positif kuat.
d. Pengerokkan kulit
Sempel jaringan ikerok dari lokasi lesi jamur yang dicurigai.
Pengerokkan ini dilakukan dengan mata pisau skalpel yang sudah dibasahi
dengan minyak sehingga jaringan kulit yang dikerok melekat pada mata
15

pisau tersebut. Bahan hasil kerokan dipandahkan ke sebuh slide kaca,


ditutup dengan kaca objek dan kemudian diperiksa dibawah mikskrop.
e. Pemeriksaan Apus Tzanck
Tes ini dilakukan untuk memeriksa sel-sel dari kulit yang
mengalami pelepuhan, seperti herpes zoster, varisela, herpes simpleks dan
semua bentuk pemfigus. Sekrest dari lesi yang dicurigai dioleskan pada
slide kaca, diwarnai dan diperiksa.
f. Pemeriksaan Cahaya Wood
Tes ini bergantung pada lampu khusus untuk memproduksi cahaya
ultraviolet gelombang-panjang (black-light) yang akan menghasilkan
sinar berpender berwarna ungu-gelap yang khas. Warna sinar berpendar
ini terlihat panjang jelas pada kamar yang gelap dan digunakan untuk
membedakan lesi epidermis dengan lesi dermis dan lesi hipopigmentasi
serta hiperpigmentasi dengan kulit yang normal.
g. Pembuatan Foto Klinis
Foto-foto klinis dibuat untuk memperlihatkan sifat serta luasnya
kelainan kulit, dan digunakan untuk menentukan progresivitas atau
perbaikan stelah dilakukan terapi.

D. Modalitas Penatalaksanaan
1. Balutan untuk Gangguan Kulit
a. Balutan Basah
Balutan basah (kompres basah pada kulit) biasanya dilakukan
untuk lesi inflamasi yang akut dan mengeluarkan secret. Kompres
tersebut bisa steril atau nonsteril (bersih) menurut keadaannya. Kompres
basah dilakukan untuk kelainan kulit yang bersifat vasikuler, bulosa,
pustule, dan ulseratif disamping untuk berbagai kelainan inflamasi.
Manfaat dari kompres basah:
1) Mengurangi inflamasi dengan menimbulkan konstriksi pembuluh
darah (sehingga mengurangi vasodiltasi dan aliran darah setempat
pada daerah inflamasi).
2) Membersihkan kulit dari eksudat, krusta dan skuama
3) Mempertahankan drainase pada daerah yang terinfeksi
16

4) Mningkatkan proses kesembuhan dengan memfasilitasi gerakan


bebas sel-sel epidermis lewat kulit yang sakit sehingga terbentuk
jaringan granulasi yang baru.salin dengan suhu kamar

Kompres basah umumnya mengandung air ledeng yang bersih atau


larutan atau larutan salin dengan suhu kamar. Preparat lain yang digunakan
adalah larutan perak nitrat, almunium asetat (larutan Burowi), kalium
permagnat, asam asetat 5% dan natrium hipoklorit (larutan dakin).
Kompes Basah terdapat dua jenis yaitu Kompres terbuka (memerlukan
penggantian yang sering karena evaporasi berlangsung dengan cepat, dan
Kompres tertutup lebih jarang diganti.
b. Balutan Oklusif
Balutan oklusif dapat dibuat atau diproduksi secaravkomersial dari
potongan kain penutup atau kasa yang steril atau nonsteril. Kasa ini
digunakan untuk menutupi obat topical yang dioleskan pada dermatosis
(lesi kulit yang abnormal). Daerah lesi dibuat kedap udara dengan
memakai lembaran plastic yang tipis (seperti plastic pembalut). Lembaran
plastic itu tipis dan mudah beradaptasi dengan semua ukuran tubuh,
bentuk tubuh serta pemakaian kulit. Plester bedah dari plastic yang
mengandung kortikosteroid pada lapisan perekat dapat dipotong menjadi
ukuran tertentu dan ditempatkan pada setiap lesi. Umumnya plastic
pembalut ini tidak boleh diganti lebih dari 12 jam sehari
c. Mandi terapeutik
Rendaman yang dikenal dengan istilah balneoterapi dapat
digunakan jika lesi mengenai daerah kulit yang luas; bentuk terapi ini
dilakukan untuk menghilangkan krusta, skuama serta obat lama dan untuk
meredakan inflamasi serta rasa gatal yang menyertai dermatosis akut.
Suhu air rendaman harus nyaman bagi pasien, dan lama terapi rendaman
tidak boleh lebih dari 30 menit karena perendaman dan pencelupan
cenderung menimbulkan maserasi kulit.
17

2. Farmakoterapi
a. Obat – obat Topikal
1) Losion Memiliki dua tipe; Supresi yang terdiri atas serbuk dalam air
yang perlu dikocok sebelum digunakan, dan Larutan jernih yang
mengandung unsur-unsur aktif yang bisa dilarutkan sepenuhnya.
Losion biasanya dioleskan langsung pada kulit tetapi kasa yang
dicelupkan ke delam losion dapat ditempelkan pada daerah yang sakit.
Supresi seperti kalamin akan memberi efek pendinginan yang cepat
dan pengeringan ketika preparat tersebut mengevaporasi sehingga
terbentuk lapisan tipis bedak pada kulit yang sakit. Losion harus
dioleskan setiap 3-4 jam sekali untuk mendapatkan efek terapeutik
yang dipertahankan. Jika dibiarkan di tempatnya untuk waktu yang
lama, losion dapat mengerak dan membentuk endapan pada kulit.
Linimen, losion yang ditambahi minyak, akan mencegah pengerakan
dan dapat digunakan untuk tujuan ini.
2) Bedak Biasanya memiliki bahan dasar talk, zink oksida, bentonit atau
pati jagung dan ditaburkan pada kulit dengan alat pengocok atau spons
katun. Bedak merupakan preparat higkroskopis yang menyerap serta
menahan kelembaban kulit dan mengurangi gesekan antara permukaan
kulit dan seprei.
3) Krim Dapat berupa suspense minyak dalam air atau emulsi air dalam
minyak dengan unsur-unsur untuk mencegah pertumbuhan bakteri
serta jamur. Preparat ini dipakai untuk memberikan efek pelembab
dan emolien.
4) Jel Merupakan emulsi semisolid yang menjadi cair ketika dioleskan
pada kulit. Sebagian besar preparat topical steroid diresepkan dalam
bentuk jel karena jel tampaknya lebih efektif untuk menembus kulit
ketimbang preparat kulit yang lain.
5) Pasta Merupakan campuran bedak dengan salep dan digunakan pada
keadaan inflamasi.
6) Salep Bersifat menahan kehilangan air dan melumas serta melindungi
kulit.
18

7) Kortikosteroid Banyak dipakai dalam pengobatan kelainan


dermatologic untuk memberikan efek anti inflamasi, antipruritus dan
vasokontriksi. Efek samping yang local dapat berupa atrofi dan
penipisan kulit, striae, telangiektasis (lesi kecil berwarna merah yang
disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah). Efek samping sistemik
dapat berupa hiperglikemia dan gejala sindrom cushing..
b. Terapi Intralesi
Terapi intralesi terdiri atas penyuntikan suspense obat yang steril
(biasanya kortikosteroid) ke dalam tau tepat di bawah lesi. Meskipun
terapi ini mungkin memberikan efek anti-inflamasi, atrofi local dapat
terjadi jika obat tersebut disuntikkan ke dalam lemak subkutan. Lesi kulit
yang diobati dengan terapi intralesi mencakup psoriasis, keloid dan akne
sistika. Kadang-kadang preparat imunoterapi dan antifungal diberikan
lewat terapi intralesi.
c. Obat-obat Sistemik
Obat sistemik mencakup preparat kortikosteroid untuk terapi
jangka panjang bagi dermatitis kontak atau pengobatan jangka panjang
dermatosis kronik seperti pemphigus vulgaris. Obat sistemik yang sering
digunakan lainyan adalah preparat antibiotic, antifungal, antihistamin,
sedative serta tranquilizer, anlgetik dan sitotoksis.

E. Gangguan Pada Sistem Integumen


1. Luka Bakar
a. Penyebab
Burn (luka bakar) adalah kerusakan pada jaringn kulit dan tubuh
karena nyala api,panas,dingin,friksi, radiasi (kulit menggelap terbakar
matahar), bahan kimia, atau listrik. Luka bakar biasanya dibagi menjadi
tiga kategori, bergantung pada keparahan. Luka bakar tingkat satu adalah
mereka yang mempunyai luka-luka pada lapisan luar kulit yang disebut
epidermis. Kulit akan menjadi merah, dan menyakitkan, dengan beberapa
bengkak. Luka bakar tingkat dua adalah ketika kulit luar terbakar,
demikian juga lapisan berikutnya, dermis (kulit jangat). Rasa sakit yang
sangat, area putih dan memerah, bengkak,melepuh dan barangkali
19

pengeringan (gosong) akan terlihat. Luka bakar tingkat tiga terjadi pada
semua lapisan dan bisa melibatkan jaringan di bawahnya. Terkadang tanpa
disertai rasa sakit karena kerusakan saraf pada area ini. Area akan terlihat
gelap (termed eschar) dan/atau memerah. Banyak obat bisa membuat kulit
sensitif pada matahari, menghasilkan efek kulit menimbulkan efek ini
meliputi: amiodorone, carbamazepine, forusemide, naproxen, kontrasepsi
oral, piroxicam, quinidine, quinolones, sulfonamides, sulfonulureas,
tetrasiklin, dan thiazides, dan masih banyak lagi.
b. Prognosis
Prognosis tergantung pada keparahan luka bakar ditambah jumlah
area yang terlibat. Ketika sebagian besar wajah, dada, tangan, kaki,
genitalia, atau sendi mengalami luka bakar tingkat dua atau tiga,
perhatian medis perlu. Luka bakar di unit luka bakar semua luka bakar
akibat listrik dan luka bakar meliputi telinga, mata , wajah , tangan , kaki
, dan perincum memerlukan perawatan rumah sakit, seperti halnya luka
bakar akibat bahan kimia dan luka bakar pada bayi atau orang tua
1) Periksa area manapun yang terekpos kawat listrik, jika anda berada
disana saat kejadian.
2) Gunakan air dingin untuk menurunkan temperatur area untuk luka
bakar tingkat 1 atau sejumlah kecil luka bakar tingkat 2 dan untuk
menghentikan rasa panas.
3) Untuk luka bakar akibat bahan kimia, pastikan bahwa semua bahan
kimia telah dibilas.
4) Untuk luka bakar akibat listrik, cari pintu masuk dan jalan keluar
luka.
5) Tutup area dengan kain kasa tipis.
6) Jika kulit rusak (luka bakar tingkat dua), gunakan salep antibiotic
seperti silvadene untuk mencegah infeksi bakteri sekunder sebelum
menempelkan kain kasa tipis.
7) Berikan medikasi sakit (ibuprofen, acetaminophen) jika
dibutuhkan.
20

8) Untuk luka bakar tingkat 3, eshar perlu untuk dikupas (dipotong)


agar jaringan baru bisa tumbuh
9) Luka sering ditutup dengan kain kasa tipis steril lembab, karena
jaringan baru tumbuh paling baik didalam lingkungan ini. Ketika
kain kasa tipis kering: kain tersebut bertahan pada jaringan yang
mati. Area ini dipotong secara mekanis ketika kain kasa tipis
dilepas.
10) Antibiotik secara oral mungkin perlu.
11) Berikan pengobatan sakit (oxycodone,morfin) jika dibutuhkan,
terutama sebelum mengganti pembalut luka yang mungkin
menyakitkan.
12) Cegah hilangnya rasa hangat karena area jaringan besar yang
terpapar sebab kurangnya perlindungan kulit.
13) Pelihara kadar cairan karena kehilangan cairan umum terjadi
karena penguapan dan pengeringan luka.
c. Diagnosis Keperawatan
1) Risiko kurang volume cairan.
2) Nyeri akut.
3) Risiko ketidak seimbangan suhu tubuh.

Serius dapat mengakibatkan kematian. Jika penghisapan asap terjadi,


atau jika rambut rongga hidung terbakar, atau jika sejumlah soot
(unsur berwarna hitam yang sebagian besar berisi partikel karbon)
hadir disekitar muka, nilai kecukupan napas dan kerusakan saluran
pernapasan. CPR mungkin perlu untuk dimulai. Bayi dan pasien lanjut
usia dengan luka bakar memerlukan perhatian medis yang cepat.
d. Tanda Dan Gejala
1) Merah, tidak ada retakan di dalam kulit – indikasi luka bakar tingkat
1 dengan kerusakan pada kulit luar.
2) Merah gelap, dengan lepuh cairan yang jelas – indikasi luka bakar
tingkat 2 karena epidermis dan dermis terbakar
3) Hitam arang atau putih kering – indikasi kematian jaringan akibat
luka bakar (luka bakar tingkat 3)
21

e. Interpretasi Hasil Tes


1) Oksimetri denyut – sensor ditempatkan pada jari-jari kaki, atas
lubang telinga untuk menilai sejumlah oksigen didalam darah untuk
memastikan oksigensi cukup
2) Tes fungsi paru-paru menunjukan seberapa baik paru-paru bekerja
pasien bernapas kedalam suatu mesin, suatu spirometer, arsip yang
merekam perubahan ukuran paru-paru dengan penghisapan dan
pengeluaran napas dan waktu yang diperlukan untuk menjalankan
tes.
3) Peraturan 9 – cara pengukuran untuk menaksir total area permukaan
tubuh terbakar: kepala, 9 persen: bagian tubuh di depan, 18 persen ,
bagian tubuh belakang, 18 persen : masing-masing kaki, 18 persen,
masing-masing, 9 persen: perincum, 1 persen
f. Tindakan
Sasaran tinfakan luka bakar adalah mencegah infeksi,
pengurangan radang dan sakit, serta mendukung penyembuhan area.
Pilihan-pilihan tindakan bergantung pada tingkat luka bakar dan
jumlah area permukaan badan yang terbakar. Luka bakar tingkat 2
yang lebih besar dari 5 sampai 10 persen area permukaan dan semua
luka bakar tingkat 3 dirawat dirumah sakit. terutama.
g. Intervensi Keperawatan
1) Antisipasi pengobatan sakit harus membuat pasien lebih nyaman.
2) Membantu cukupan gerakan untuk menghindari berkembangnya
kontraktur karena sakit saat bergerak.
3) Dorong kunjungan keluarga.
4) Membantu aktivitas sehari-hari.
5) Isolasi mungkin diperlukan untuk melinndungi pasien dari bakteri,
terutama jika sejumlah besar kulit tidak utuh.
6) Ajarkan kepada pasien untuk mencari tanda-tanda dan gejala infeksi:
demam, kemerahan bertambah, peningkatan di dalam pengeringan,
atau perubahan warna pengeringan
22

2. Dermatitis Seborik
a. Pengertian Dermatitis Seboroik
Dermatitis seboroik merupakan kelainan inflamasi kronik kulit
yang mengalami remisi dan eksasebasi dengan cara seboroik sebagai
tempat predileksi. Kata “Dermatitis” berarti adanaya inflamasi pada kulit.
Eksema merupakan bentuk khusus dari dermatitis. Beberapa ahli
menggunakan kata ekzema untuk menjelaskan inflamasi yang di cetuskan
dari dalam kulit. Dermatitis seboroik (DS) atau Seborrheic eczema
merupakan penyakit yang umum, kronik, dan merupakan inflamasi
superfisial dari kulit, di tandai oleh pruritus, berminyak, bercak merah
dengan berbagai ukuran dan bentuk yang menutup daerah inflamasi pada
kulit kepala, muka, serta telinga. Daerah lain yang jarang terkena adalah
daerah presternal dada. Beberapa tahun ini telah di dapatkan data bahwa
sekurang kurangnya 50% pasien HIV terkena dermatitis seboroik.
Ketombe berhubungan dengan dermatitis seboroik, tetapi tidak separah
dermatitis seboroik. Ada juga yang menganggap dermatitis seboroik sama
dengan ketombe.
b. Etiologi Dermatitis Seboroik
Etiologi dari penyakit ini masih belum diketahui pasti. Factor
predisposisinya adalah kelainan konstitusi berupa status seboroik di dapat
secara genetic, keadaan psikologi (stress), prubahan hormone, personal
hygiene, dan keringat yang berlebihan. Dermatitis ini lebih sering
menyerang daerah-daerah yang mengandung glandula sebasea. Salah satu
factor predisposisi adalah pertumbuhan jamur pityrosporum ovale pada
kulit kepala ditemukan pada daerah seboroik pada tubuh yang kaya akan
lipid sebasea, mengakibatkan reaksi imun tubuh terhadap sel jamur di
permukaan kulit sehingga terjadi inflamasi, akibat produk metabolitnya
yang masuk kedalam epidermis maupun karena sel jamur itu sendiri
melalui aktivasi sel limfosit T dan pulau langerhans.( Sylvia A. price dan
Lorraine M, Wilson 2005: 334)
23

c. Manifestasi Klinis
1) Lesi berupa eritema, skuama berminyak agak kekuningan, berbatas
agak kurang tegas.
2) Bentuk yang ringan adalah pitiriasis sika (ketombe, dandruff) yang
hanya mengenai kulit kepala berupa skuama halus dan kasar.
3) Bentuk yang berminyak disebut pitiriasis steatoides, dapat disertai
eritema dan krusta tebal.
4) Rambut pada tempat tersebut mempunyai kecenderungan rontok,
mulai dibagian verteks dan frontal, disebut alopesia seboroik.
5) Pada bentuk yang berat terdapat bercak-bercak berskuama dan
berminyak, disertai eksudasi dan krusta tebal.
6) Sering meluas ke dahi, glabella, telinga posaurikular, dan leher.
7) Pada daerah dahi batasnya sering cembung.
8) Pada bentuk yang lebih berat, seluruh kepala tertutup krusta kotor dan
berbau tidak sedap.
9) Pada bayi, skuama yang kekuningan dan kumpulan debris epitel yang
lekat pada kulit disebut cradle cap.
10) Pada daerah supraorbital skuama halus dapat terlihat di alis mata, kulit
dibawahnya eritematosa dan gatal, disertai bercak skuama
kekuningan. Dapat pula terjadi blefaritis, yakni pinggiran kelopak
mata merah disertai skuama halus.
11) Tempat predileksi adalah kepala, dahi, glabella, telinga posaurikular,
liang telinga luar,leher, lipatan nasolabial, daerah sternal, areola
mammae, lipatan dibawah mammae pada wanita, interskapular,
umbilicus, lipat paha, dan daerah anogenital.
12) Pada daerah pipi, hidung, dan dahi kelainan dapat berupa papul.
13) Dermatitis seboroik dapat bersama-sama dengan akne yang berat. Jika
meluas dapat menjadi eritroderma, pada bayi disebut penyakit Leiner.
d. Patofisiologi
Seborik merupakan keadaan terjadinya produksi sebum yang
berlebihan pada daerah-daerah dimana kelenjar tersebut berada dalam
jumlah besar (wajah, kulit kepala, alis mata, kelopak mata, kedua sisi
24

hidung serta bibir atas, daerah malar (pipi), telinga, aksila, dibawah
payudara, lipat paha dan lipatan gluteus didaerah pantat). Dengan adanya
kondisii anatomis dimana secara predileksididaerah tersebut banyak
dipasok kelenjar sebasea atau yang terletak diantara lipatan kulit tempat
bakteri dalam jumlah yang besar sehingga memungkinkan adanya respon
inflamasi yang lebih tinggi.
e. Penatalaksaan
Penatalaksanaan yang dapat di lakukan sebagai berikut:
1) Penatalaksanaan farmakologis
a) Sistemik dapat diberikan antihistamin ataupun sedatif. Pada
keadaan yang berat dapat diberikan kortikosteroid sistemik
(prednisolon 20-30mg sehari).
b) Topikal : pada pitiriasis sika dan oleosa, 2-3 kali/ minggu kulit
kepala dikeramasi selama 5-15 menit, dengan selenium sulfida
dalam bentuk sampo atau losio, krim. Jika terdapat skuama dan
krusta yang tebal, dilepaskan. Obat lain yang dapat dipakai :
 Ter, misalnya likuor karbonas detergens 2-5% atau krim
pragmatar
 Resorsin 1-3%
 Sulfur presipitarum 4-15%, dapat digabung dengan asam
salisil 3-6%
 Kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison. Pada kasus
dengan inflamasi berat dapat dipakai kortikosteroid yang
lebih kuat, misalnya betametason-valerat, asalkan jangasn
terlalu lama karena efek sampingnya.
2) Pelaksanaan Non-Farmakologis
a) Bila dermatitis seboroik berat, pencucian kulit kepala setiap hari
akan mempercepat penyembuhan dan di biarkan selama 5
hingga 10 menit. Lesi kulit kepala sebaiknya dikendalikan
dengan shampo anti seboroik (selenium sulfid, sulfur, asam
salisilat, seng pirition, tar).
25

b) Penting juga untuk menghindari kelelahan, keringat berlebihan


dan stres emosional. Selain itu, kebersihan pribadi sangat perlu
untuk dijaga.
c) Secara umum, terapi bekerja dengan prinsip mengontrol, bukan
menyembuhkan, yakni dengan membersihkan dan
menghilangkan skuama dan krusta, menghambat kolonisasi
jamur, mengkontrol infeksi sekunder dan mengurangi eritema
dan gatal.
d) Hindari kebiasaan menggaruk atau menggosok bagian yang
gatal
3. Sindrom Stevens Johnson
a. Definisi
Stevens-Johnson syndrome (SJS) adalah penyakit kulit yang
disebabkan oleh alergi atau infeksi.Sindrom tersebut mengancam kondisi
kulit yang mengakibatkan kematian sel-sel kulit sehingga epidermis
mengelupas dan memisahkan dari dermis.sindrom ini dianggap sebagai
hipersensitivitas kompleks yang mempengaruhi kulit dan selaput
lender.Stevens-Johnson syndrome (SJS) adalah sindrom yang mengenai
kulit, selaput lender orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi
dari ringan sampai berat.Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel, pula
dapat disertai purpura.
Stevens-Johnson syndrome (SJS) adalah bentuk penyakit
mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik yang parah berupa lesi target
dengan bentuk yang tidak teratur, disertai mucula, vesikel, bula, dan
purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi
pengelupasan epidermis kurang lebih sebesar 10% dari area permukaan
tubuh, serta melibatkan membrane mukosa dari dua organ atau lebih.
b. Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui, dikatakan multi faktoral.
Ada yang beranggapan bahwa sindrom ini merupakan eritema multiforme
yang berat dan disebut eritemamultiforme mayor, sehingga dikatakan
26

mempunyai penyebab yang sama. Beberapa faktor yang dapat


menyebabkan timbulnya sindrom ini antara lain:
1) Infeksi
a) Virus
Sindromstevens Johnson dapat terjadi pada stadium permulaan dari
infeksi saluran nafas atas pleh virus Pneumonia. Hal ini dapat
terjadi pada Asian flu, Lympho Granuloma Venerium, Measles,
Mumps dan Vaksinasi Smalpoxvirus.virus-virus coxsackie,
Echivirusdan poliomyelitis juga dapat menyebabkan Sindroma
Stevens Johnson.
b) Bakteri
Beberapa bakteri yang mungkin dapat menyebabkan Sindrom
Stevens Johnson ialah Brucelosis, Dyptheria,Erysipeloid,
Glanders, Pneumonia, Psitacosis, Tuberculosis, Tularemia,
Lepromatous Leprosy atauTyphoid Fever.
c) Jamur
Cocidiodomycosis dan histoplasmosis dapat menyebabkan Eritema
Multiforme Bulosa, yang pada keadaan berat juga dikatakan
sebagai sindrom Stevens Johnson.
d) Parasit
Malaria danTrichomoniasis juga dikatakan sebagai agen penyebab
2) Obat
Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan SindromStevens
Johnson antara lain adalah penisilin dan derivatnya, streptomysin,
sulfonamide, tetrasiklin, analgesic/antipiretik (misalnya derivasalisilat,
pirazolon, metamizol, metampiron dan paracetamol), digitalis,
hidralazin, barbiturate (Fenobarbita), kinin, antipirin, chlorpromazine,
karbamazepin dan jamu-jamuan.
3) Penyakit-penyakit KolagenVeaskuler
4) PascaVaksinasi: BCG, SmalpoxdanPoliomyelits
5) Penyakit-penyakit keganasan: Karsinoma penyakit Hodgkins, limfoma,
myeloma, dan polisitemia.
27

6) Kehamilan dan menstruasi


7) Neoplasma
8) Radioterapi
c. ManifestasiKlinis
Gejala awal dari Stevens Syndrom Johnson mungkin tidak spesifik
dan termasuk gejala seperti demam, mata menyengat dan ketidak
nyamanan setelah menelan.Biasanya gejala-gejala ini mendahului
manifestasi kulit oleh beberapa hari.Lokasi awal keterlibatan kulit adalah
wilayah presternal dari batang dan wajah, tetapi juga telapak tangan dan
kaki.Pada fase kedua, sebagian besar kawasan pelepasan epidermal
berkembang.Dengan tidak adanya pelepasan epidermal, pemeriksaan kulit
yang lebih rinci harus dilakukan oleh mengerahkan tekanan mekanik
tangensial pada beberapa zonaeritematosa( Nikolsky Sign)
Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:
1) Kelainan pada kulit
2) Kelainan pada mukosa
3) Kelainan pada mata
d. Patofisiologi
Stevens Johnson Syndrom merupakan kelainan hiversensitivitas
yang dimedia sikompleksimun yang disebakan oleh obat-obatan, infeksi
virus dan keganasan.Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan
oleh reaksihi persensitif tipe III danIV .reaksihi persensitiftipe III
terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibody yang mikro
presitipasi sehingga terjadi aktifitas system komplemen. Akibatnya terjadi
akumulasi neutrofi yang kemudian melepaskan enzim dan menyebabkan
kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ).Hal ini terjadi
sewaktu komplek antigen antibody yang bersikulasi dalam darah
mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan.
Antibiotic tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi
terperangkap dalam jaringan kapilernya.Pada beberapa kasus antigen asing
dapat melekat kejaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen
antibody ditempat tersebut.Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan
28

degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler


ditempat terjadinya reaksi tersebut.Neutrophil tertarik ke daerah tersebut
dan mulai memtagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan
enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus
peradangan berlanjut.
Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian
limtokin di lepaskan sebagai reaksi radang. Pada reaksi ini diperantarai
oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T. penghasil limfokin atau sitotoksik
atau suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang
bersangkutan.Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat
(delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsy kulit dapat ditemukan
endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta komplek simunberedar dalam
sirkulasi. Antigen penyebab berupa haptenakan berikatan dengan karier
yang dapat merangsang respon imunspesifik sehingga terbentuk kompleks
imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa factor penyebab
(misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang timbul
akibat aktivitas factor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel
yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolic).
Kompleks imun beredar dapat mengendap didaaerah kulit dan
mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat
aktivitaskomplemen dan reaksiin flamasi yang terjadi.Kerusakan jaringan
dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya.Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis
local di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejalas istemik akibat
aktivitas mediator serta produk inflamasilainnya.Ada nyareaksi imun
sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis kreatinosit yang akhirnya
menyebabkan kerusakan epidermis.
Oleh karena proses hipersensitivitas, makan terjadi kerusakan kulit
sehingga terjadi seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan
kehilangan cairan, stress hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap
29

insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan termoregulasi, kegagalan


fungsi imun, dan infeksi.
e. Penatalaksanaan.
1) Penatalaksanaan umum
Adapun prinsip-prinsi utama perawatan suportif adalah sama
seperti pada luka bakar. Selain menghentikan pemberian obat
penyabab,dilakukan perawatan luka,manajemen cairan dan
elektrolit,dukungan nutrisi perawatan mata,manajemen suhu,kontrol
nyeri dan pemantauan pengobatan infeksi
a) Penghentian obat penyabab
b) Menjaga keseimbangan cairan,termoregulasi dan nutrisi
c) Antibiotic
d) Perawat luka
e) Perawatan mata dan mulut
f) Perawatan vulvagina
2) Penatalaksaan spesifik
a) Kortikosteroid sistemik Pemakaian kortikosteroid dapat
mencegah perluasan penyakit,dapat dibeikan 72 jam pertama
setelah onset untuk mencegah penyebaran yang lebih luas ,dapat
diberikan selama 3-5 hari diikuti penurunan secara bertahap.dosis
yang dapat diberikan 30-40 mg sehari.
b) Immunoglobulin intravena(IVIG) Anjurkan pemakaian
immnuglobulin intravena dosis tinggi didasarkan pada demostrasi
bahwa kematian sel yang diperantarai Fas dapat dibatalkan oleh
aktivitas antifas yang ada dalam sejumlah immunoglobulin
manusia normal.
c) Siklosporin 4 Siklosporin merupakan suatu agen imunosupresif
yang penuh kekuatan dihubungkan dengan efek biologic yang
secara teoritis berguna dalam pengobatan SSJ0/NET.
d) Agen TNF-a Dalam beberapa laporan kasus dengan pemberian
infuse tunggal 5mg/kgbb TNF-a menghentikan perkuasan dan
perkembangan SJS/NET dan memicu opitelisasi pemberian
30

etanercapt 50 mg inj subkutan setalah digunakan dalam sejumlah


kecil pasien.
e) Plasmafaresis atau Hemodialisis Dasar pemikiran untuk memakai
plasmafaresis atau Hemodialisis adalah mendorong perpindahan obat
yang salah, metabolismenya,atau mediatornya peradangan seperti
sitokin.
f. Komplikasi
Komplikasi yang tersering adalah Bronchopeunomia (16%) yang
dapat menyababkab kematian.komplikasinya yang lain ialah kehilangan
cairan dan darah ,gangguan keseimbamgan elektrolit sehingga dapat
menyebabkan shock. pada mata dapat terjadi kebutuhan gangguan lakrimasi.
g. Prognosis
Dengan pelayanaan yang tepat dan cepat maka prognosis sindrom
Stevens-Jhondon sangat baik.Dalam ke pustaka angka kematain berkisar
antara 5-15% dibagian kulit dalam kelamin RS Cipto mangunkusumo
angka kematian hanya sekitar 3,5% ,kematian biasanya terjadi akibat
gangguan sekunder infeksi.
indikasi perkiraasn mortalitas disajikan :
SCORTEN valiabel
1) Extent of epidermal detachment>10%
2) Age >40 yr
3) Heart rate > 120/min
4) Bicabonate <20 mmol/1
5) Serum urea nitrogen <28 mg/dl
6) Glocose >252 mg/dl
History of malignancy
4. Scabies
a. Pengertian Skabies
Skabies merupakan infestasi kulit oleh kutu sarcoptes scabiei var
hominis yang menimbulkan gatal. Penyakit ini dapat ditemukan pada
orang-orang miskin yang hidup dengan kondisi hygiene di bawah standar
sekalipun juga sering terdapat di antara orang-orang yang sangat bersih.
31

Skabies sering dijumpai pada orang-orang yang seksual-aktif. Namun


demikian, infestasi parasite ini tidak terbantung pada aktivitas seksual
karena kutu tersebut sering menjangkit jari-jari tangan, dan sentuhan
tangan dapat menimbulkan infeksi. Pada anak-anak, tinggal semalaman
dengan teman yang terinfeksi atau saling berganti pakaian dengannya
dapat menjadi sumber infeksi. Petugas kesehatan yang melakukan kontak
fisik yang lama dengan pasien scabies dapat pula terinfeksi.
Kutu betina yang dewasa akan membuat terowongan pada lapisan
superfisial kulit dan berada di sana selama sisa hidupnya. Dengan rahang
dan pinggir yang tajam dari persendian kaki depannya, kutu tersebut akan
memperluas terowongan dan mengeluarkan telurnya dua hingga tiga butir
sehari selama 2 bulan. Kemudian kutu betina itu mati. larva (telur)
menetes dalam waktu 3 hingga 4 hari dan berlanjut lewat stadium larva
serta nimfa menjadi bentuk kutu dewasa dalam tempo sekitar 10 hari.
b. Etiologi
Penyebabnya penyakit skabies sudah dikenal lebih dari 100 tahun
lalu sebagai akibat infestasi tungau yang dinamakan Acarus scabiei atau
pada manusia disebut Sarcoptes scabiei varian hominis. Sarcoptes scabiei
termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acarina, super famili
Sarcoptes (Djuanda, 2010).
c. Menifestasi Klinis
1) Diperlukan waktu kurang-lebih 4 minggu sejak saat kontak hingga
timbulnya gejala pada paien.
2) Pasein akan mengeluhkan gatal-gatal yang hebat akibat reaksi
imunologi tipe lambat terhadap kutu atau butiran fesesnya.
3) pada pemeriksaan, kepada pasien ditanyakan di mana gatal-gatal
tersebut terasa paling hebat. Kaca pembesar dan senter (penlight)
dipegang dengan sudut miring terhadap permukaan kulit sementara
pemeriksaan dilakukan untuk mencari terowongan yang berupa
tonjolan kulit yang kecil.
32

4) Terowongan bisa berupa lesi yang multiple, lurus atau bergelombang,


berwarna coklat atau hitam dan menyerupai benang, yang terlihat
terutama di antara jari-jari tangan serta pada pergelangan tangan.
5) Lokasi lainnya adalah permukaan ekstensor siku, lutut, pinggir kaki,
ujung-ujung sendi siku, daerah di sekitar putting susu, lipat aksila, di
bawah payudara, dan di dekat lipat paha atau lipat gluteus, penis atau
skrotum. Erupsi yang berwarna merah dan gatal biasanya terdapat di
daerah-daerah kulit di sekitarnya. Namun terowongan itu tidak selalu
terlihat. Setiap pasien dengan ruam dapat menderita skabies.
6) Salah satu tanda scabies yang klasik adalah peningkatan rasa gatal
yang terjadi pada malam hari dan keadaan ini mungkin disebabkan
oleh peningkatan kehangatan kulit yang menibulkan efek stimulasi
terhadap parasit tersebut.
7) Demikian pula, hipersensitivitas terhadap organisme tersebut dan
produk ekskresinya dapat turut menimbulkan rasa gatal. Jika infeksi
sudah menyebar anggota keluarga yang lain dan teman dekat juga
akan mengeluhkan rasa gatal sekitar satu bulan kemudian.
8) Lesi sekunder cukup sering dijumpai dan mencakup vesikel, papula,
ekskoriasi serta krusta. Superinfeksi bakteri dapat terjadi akibat
ekskoriasi yang tetap dari terowongan dan papula.
d. Patofisologi
Kutu scabies dapat meyebabkan gejala transien pada manusia,
tetapi mereka bukan penyebab infestasi persisten. Cara penularan yang
paling efisien adalah melalui kontak langsung dan lama dengan seseorang
individu yang terinfeksi. Kutu scabies dapat bertahan hingga tiga hari pada
kulit manusia sehingga media seperti tempat tidur atau pakaian merupakan
sumber alternatif untuk terjadinya suatu penularan.
Siklus hidup dari kutu berlangsung 30 hari dan dihabiskan dalam
epidermis manusia. Setelah melakukan kopulasi kutu jantan akan mati dan
kutu betina akan membuat liang ke dalam lapisan kulit dan meletakan total
60-90 telur. Telur yang menetas membutuhkan 10 hari untuk menjadi larva
dan kutu dewasa.
33

Kutu skabies kemudian bergerak melalui lapisan atas kulit dengan


mengeluarkan protease yang mendegradasi startum korneum. Scybala
(kotoran) yang tertinggal saat mereka melakukan perjalanan melalui
epidermis, menciptakan kondisi klinis lesi yang diakui sebagai liang.
Populasi pasien tertentu dapat rentan terhadap penyakit skabies,
termasuk pasien dengan gangguan immunodefisiensi primer dan
penurunan respons imun sekunder terhadap terapi obat, dan gizi buruk.
Kondisi lainnya adalah gangguan motorik akibat kerusakan saraf yang
meyebabkan ketidakmampuan untuk menggaruk dalam menghadapi
pruritus sehingga menonaktifkan utilitas menggaruk untuk menghilangkan
kutu pada epidermis dan menghancurkan liang yang dibuat oleh kutu
betina.
e. Penatalaksanan
Penatalaksanan yang dapat di lakukan sebagai berikut:
1) Pentalaksanaan Non-farmakologis
Kepada pasien diminta agar mandi dengan air hangat dan sabun guna
menghilangkan debris yang mengelupas dari krusta dan kemudian
kulit dibiarkan kering benar serta menjadi dingin.
2) Penatalaksanaan Farmakologis
a) Preparat skabisida, seperti lindane (Kwell) atau krotamiton (krim dan
losion Eurax), dioleskan tipis-tipis pada seluruh permukaan kulit
mulai dari leher ke bawah dengan hanya meninggalkan daerah muka
dan kulit kepala (yang pada skabies tidak terkena). Obat itu
dibiarkan selama 12 hingga 24 jam dan sesudah itu, pasien diminta
untuk membasuh dirinya sampai bersih. Aplikasi obat satu kali
sudah dapat memberikan efek kuratif, tetapi disarankan agar terapi
tersebut diulangi sesudah 1 minggu kemudian.
Pasien perlu mengetahui petunjuk pemakaian ini karena
pengolesan skabisida seger sesudah mandi dan sebelum kulit
mengering serta menjadi dingin dapat meningkatkan absorpsi
perkutan skabisida sehingga berpotensi untuk menimbulkan
gangguan sistem saraf pusat seperti serangan kejang
34

f. Pencegahan Skabiesis
Pencegahan penyakit dibagi menjadi pencegahan primer, sekunder,
dan pencegahan tersier. Pencegahan primer merupakan pencegahan
penyakit yang dilakukan sebelum masa patogenesis, meliputi promosi
kesehatan dan perlindungan khusus. Pencegahan sekunder dan tersier
dilakukan selama masa patogenesis, saat kuman sudah masuk ke dalam
tubuh manusia. Pencegahan sekunder merupakan tahap awal
penyembuhan penyakit dan pencegahan dampak berikutnya, meliputi early
diagnosis and prompt treatment dan disability limitation, yakni
pencegahan komplikasi atau disabilitas akibat skabies dan pengobatan
dini menurut standar. Pencegahan tersier berupa rehabilitasi dan mencegah
berulangnya atau timbulnya komplikasi lain akibat penyakit utama.
BAB III
KESIMPULAN
Sistem integumen adalah suatu sistem organ yang membedakan,
memisahkan, melindungi, dan menginformasikan hewan terhadap lingkungan
sekitarnya. Komponen dari Sistem ini merupakan bagian sistem organ yang
terbesar,yakni Mencakup : kulit, merupakan lapisan terluar pada tubuh manusia.
Terdiri dari dua bagia yaitu kulit tipis dan kulit tebal. Rambut merupakan organ
seperti benang yang tumbuh di kulit hewan, terutama mamalia. Bulu merupakan
struktur keratin yang karakteristiknya terdapat pada bangsa aves, dan di anggap
sebagai modifikasi dari sisik.

Sisik, secara umumnya berarti semacam lapisan kulit yang keras dan
berhelai-helai, seperti pada ikan, ular atau kaki ayam kuku, adalah bagian tubuh
binatang yang terdapat atau tumbuh di ujung jari. Kuku tumbuh dari sel mirip gel
lembut yang mati, mengeras, dan kemudian terbentuk saat mulai tumbuh dari
ujung jari. kelenjar keringat. Kelenjar keringat berupa saluran melingkar dan
bermuara pada kulit ari dan berbentuk pori-pori halus.

Sistem integument memiliki fungsi antara lain :Pelindung dari kekeringan,


invasi mikroorganisme, sinar ultraviolet, & mekanik, kimia, atau suhu Penerima
sensasi; sentuhan, tekanan, nyeri, dan suhu Pengatur suhu; menurunkan
kehilangan panas saat suhu dingin dan meningkatkan kehilangan panas saat suhu
panas Fungsi metabolik, menyimpan energi melelui cadangan lemak, sintesis
vitamin D. Ekskresi dan absorpsi.

35
DAFTAR PUSTAKA
Kumalasari dan Arif Muttaqin. (2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Intergumen. Jakarta: Selemba Medika
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2013.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2014.
LeMone, Priscilla. dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah vol. 2 ed.
5. Jakarta: EGC
LeMone, Priscilla. dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Vol. 2 Ed.
5. Jakarta: EGC
Primadina, Nova. dkk 2019. Proses Penyembuhan Luka Ditinjau Dari Aspek
Mekanisme Seluler Dan Molekuler. Qanun Medika. Vol. 3 No. 1
Suddarth & Brunner. (2013). Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai