Anda di halaman 1dari 15

TUGAS ESSAY

“Dermatoimunologi dan Gangguan Keratinisasi”

Oleh :

NAMA : Putu Agi Abhimana Manutaa


NIM : 020.06.0068
KELAS :B
BLOK : Integumen
DOSEN : dr. Lysa Maryam, Sp. DV

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2021/2022
Dermatoimunologi dan Gangguan Keratinisasi

Sistem Imun adalah sistem pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi
dari makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan
parasit. Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul
lain seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang teraberasi menjadi tumor.
Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang
dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja
dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta
menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah,
kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk
virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan
juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah
dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker.

Konsep dasar respons imun adalah reaksi terhadap sesuatu yang asing bagi tubuh.
Apabila terjadi aktivasi oleh benda asing akan terjadi spektrum peristiwa selular maupun
humeral, yang terdiri atas respons imun nonspesifik (alami/innate) dan spesifik
(didapat/adaptive). Kedua komponen tersebut mempunyai reseptor pengenalan dan kecepatan
reaksi yang berbeda. Sebagai contoh sel pada respons imun alami, termasuk makrofag dan sel
dendrit memakai reseptor pattern recognition, dan memicu respons yang cepat meski tidak
bertahan lama. Sedangkan respons imun didapat yang terdiri atas limfosit T dan B mempunyai
reseptor spesifik terhadap antigen tertentu dan umumnya respons yang terbentuk lebih lambat
namun dapat bertahan lebih lama.

Respons imun alami/innate (nonspesifik)

Respons jenis ini digunakan oleh tubuh untuk secara cepat melindungi diri. Tennasuk
di dalamnya ialah sawar fisik misalnya kulit dan mukosa, berbagai faktor terlarut seperti
komplemen, peptide antimikroba, berbagai kemokin dan sitokin serta sel, antara lain
monosit/makrofag, dendritik, sel natural killer, dan lekosit polimorfonuklear. Reaksi yang
terjadi pada respons imun alami berupa fagositosis dan reaksi peradangan. Fagositosis
merupakan peristiwa multifase terdiri atas beberapa langkah, yaitu pengenalan benda yang
akan difagosit, pergerakan ke arah targetnya (disebut kemotaksis), melekat, memfagosit, dan
memusnahkan di dalam sel (intraselular) melalui mekanisme antimikrobial. Rangsangan
fagosit dapat merupakan peristiwa tersendiri atau bagian reaksi peradangan. Pada manusia
fagositosis terutama diperankan oleh sel mononuklear, neutrophil dan eosinofil (lihat respons
imun alami-proses fagositosis). Peradangan merupakan spektrum peristiwa selular maupun
sistemik yang terjadi di dalam tubuh untuk mempertahankan atau memperbaiki keseimbangan
homeostasis akibat perubahan keadaan lingkungan. Akan terjadi berbagai gejala antara lain
demam sebagai akibat peningkatan aktivitas metabolisme. Peningkatan laju endap darah
merupakan gambaran fase akut akibat peningkatan kadar fibrinogen dalam darah, aktivasi
faktor Hageman, dan peningkatan aktivitas fibrinolitik. Sebagai akibat peradangan dapat pula
terjadi kerusakan jaringan (FKUI, 2016)

A. Sawar fisik dan kimia


Kulit tidak hanya merupakan struktur yang inert namun secara aktif berperan penting
untuk meli~dungi tubuh terhadap lingkungan. Epidennis mencegah penetrasi
mikroorganisme, bahan iritan dan toksin; mengabsorbsi dan mencegah radiasi; mencegah
penguapan air (FKUI, 2016)

B. Molekul pada respons imun alami


▪ Komplemen
Salah satu mekanisme pertahanan pertama yang menghadang patogen adalah
komplemen melalui jalur altematif, yang dapat diaktivasi secara langsung oleh
mikroba tanpa keterlibatan antibodi spesifik yang dapat dilihat pada uraian tentang
aktivasi komplemen pada respons imun didapat (FKUI, 2016)
▪ Peptida antimikroba
Kemampuan mengikat membran hidrofobik yang terdapat pada mikroba tersebut
dan akan mengakibatkan kematian mikroba. Telah teridentifikasi berbagai macam
peptide antimikroba pada berbagai jaringan tubuh manusia (FKUI, 2016)
▪ Reseptor pattern recognition
Salah satu cara mengenali dan memusnahkan patogen adalah melalui reseptor pada
sel fagosit yang dapat mengenali berbagai pola molekuler yang dipunyai oleh
sebagian besar kelompok pathogen (FKUI, 2016)

C. Sel pada respon imun alami


▪ Fagosit
Dua jenis sel yang berperan pada respons imun alami dengan fungsi fagosit ialah
makrofag dan sel poli morfonuklear (PMN). Sel PMN umumnya tidak terdapat di
kulit namun merupakan sel yang pertama kali tiba ditempat terjadinya peradangan.
Sel tersebut memiliki reseptor pattern recognition untuk mengenali sel patogen
secara langsung (FKUI, 2016)
▪ Sel Natural Killer (NK)
Merupakan limfosit besar bergranular. Sel NK mempunyai reseptor yaitu reseptor
killer inhibitory yang dapat mengenali molekul self-MHC klas 1. Pengenalan
tersebut akan mengakibatkan sel NK mengalami paralisis. Apabila sel bernukleus
kehilangan ekspresi molekul MHC klas 1, seperti pada keganasan dan infeksi virus,
sel NK akan teraktivasi dan mampu memusnahkannya (FKUI, 2016)
▪ Keratinosit
Sel tersebut turut berperan pada respons imun alami dengan menghasilkan respons
imun/reaksi peradangan melalui sekresi sitokin dan kemokin, metabolisme asam
arahkidonat, komponen komplemen, dan peptida antimicrobial (FKUI, 2016)

Respons imun didapatladaptive (spesifik)

Pemicu reaksi ini dikenal sebagai antigen yang dapat berupa bahan infeksius dan dapat
pula berupa protein atau molekul lain. Antigen akan berkontak dengan sel tertentu, memicu
serangkaian kejadian yang mengakibatkan destruksi, degradasi, atau eliminasi. Kejadian
tersebut merupakan respons imun spesifik (FKUI, 2016)

Respons imun spesifik ini dapat dibagi dalam 2 segmen:

1. segmen aferen, meliputi kejadian antara antigen berkontak dengan sel hingga timbul
respons terhadap antigen tersebut (FKUI, 2016)
2. segmen eferen, meliputi kejadian antara timbulnya respons sampai terjadinya eliminasi
antigen tersebut, yang secara klinis akan terlihat sebagai proses peradangan (FKUI,
2016)

Meskipun demikian kedua segmen di atas tidak selalu berkaitan dan proses peradangan
tidak selalu harus melalui picuan antigen. lritasi kimiawi adalah trauma yang dapat memicu
terjadinya proses peradangan tanpa keikutsertaan segmen aferen. Rangsangan segmen aferen
tidak selalu diikuti oleh rangsangan segmen eferen (FKUI, 2016).
Sistem imun dibagi dalam 2 komponen, yaitu:

1. respons imun humeral, meliputi globulin gama tertentu dan disebut sebagai
imunoglobulin, sebagian merupakan antibody spesifik yang diproduksi oleh limfosit B
dan menyebabkan hipersensitivitas tipe cepat (FKUI, 2016).
2. respons imun selular, akan diperankan oleh limfosit T serta produknya yang disebut
sebagai limfokin dan menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (FKUI, 2016).

Sistem imun akan terangsang apabila limfosit tertentu menangkap antigen. Antigen
ialah substansi yang mampu merangsang respons imun, biasanya berbentuk protein atau
karbohidrat, meskipun dapat juga berbentuk lemak dan menyebabkan hipersensitivitas tipe
cepat. Beberapa substansi non-imunologik yang disebut sebagai hapten dan mampu bersifat
sebagai antigen apabila bergabung dengan substansi lain yaitu karier. Terdapat dua tipe limfosit
yang berperan pada sistem imun, limfosit T dan limfosit B; keduanya berasal dari sel induk
yang diduga berada dalam hati fetus atau sumsum tulang (FKUI, 2016).

DARIER DISEASE

Penyakit Darier, juga dikenal sebagai keratosis follicularis, adalah genodermatosis


yang diwariskan secara autosomal dominan. Penyakit ini secara klasik menampilkan papula
keratotik dan eyrthronychia longitudinal. Ini langka dan didistribusikan di seluruh
dunia. Mutasi pada gen ATP2A2 menyebabkan penyakit Darier. Gen ini mengkode pompa
kalsium di retikulum endoplasma. Kondisi tersebut memiliki penetrasi yang tinggi tetapi
memiliki ekspresivitas yang bervariasi. Itu berarti bahwa setiap orang yang mewarisi genotipe
akan memiliki beberapa manifestasi penyakit, tetapi tingkat keparahan dan ciri-cirinya tidak
akan sama pada semua orang yang terkena. Karena itu, pasien dengan penyakit ini tidak selalu
dapat mengingat riwayat keluarga. Dengan demikian, penting untuk tidak mengecualikan
penyakit Darier hanya berdasarkan riwayat penyakit keluarga yang negatif. Sinar matahari,
panas, infeksi, dan gesekan dapat memperburuk kondisi.
Definisi

Penyakit Darier, juga dikenal sebagai keratosis follicularis, adalah genodermatosis


yang diturunkan secara autosomal dominan. Penyakit ini secara klasik menampilkan papula
keratotik dan eyrthronychia longitudinal. Ini adalah kondisi langka dengan distribusi di seluruh
dunia.

Epidemiologi

Penyakit Darier jarang terjadi, dengan prevalensi 1 per 100.000. Penyakit ini lebih
sering menyerang pria daripada wanita.

Etiologi

Mutasi pada gen ATP2A2 menyebabkan penyakit Darier. Gen ini mengkode pompa
kalsium di retikulum endoplasma. Kondisi ini memiliki penetrasi yang tinggi tetapi memiliki
ekspresifitas yang bervariasi. Itu berarti bahwa setiap orang yang mewarisi genotipe akan
memiliki beberapa manifestasi penyakit, tetapi tingkat keparahan dan ciri-cirinya tidak akan
sama pada semua orang yang terkena. Karena itu, pasien dengan penyakit ini tidak selalu dapat
mengingat riwayat keluarga. Dengan demikian, penting untuk tidak mengecualikan penyakit
Darier hanya berdasarkan riwayat penyakit keluarga yang negatif. Sinar matahari, panas,
infeksi, dan gesekan dapat memperparah kondisi ini.

Diagnosis

Manifestasi kulit penyakit Darier terdiri dari papul dan plak hiperkeratotik. Lesi ini
berkembang di daerah seboroik dan intertriginosa. Kondisi ini biasanya dimulai pada batang
tubuh bagian atas atau leher. Plak dapat muncul papillomatous atau verrucoid dan dapat
bermanifestasi fisura yang menyakitkan. Biasanya lesi ini berkembang menjadi infeksi
sekunder. Luka di daerah intertriginosa bisa menjadi berbau busuk, yang bisa sangat
menyusahkan pasien. Paparan sinar matahari, gesekan, panas, dan keringat dapat
memperburuk penyakit.

Temuan kuku termasuk garis merah dan putih yang berorientasi longitudinal di atas
kuku. Pasien juga dapat memiliki lekukan berbentuk V di ujung distal lempeng kuku
bersamaan dengan kerapuhan kuku. Pada 50% pasien dengan penyakit Darier, mukosa mulut
terlibat. Lesi mulut terdiri dari papula keras berwarna putih atau merah. Papula dapat
membentuk kerak atau ulserasi tetapi biasanya tanpa gejala. Abnormalitas neurologis seperti
epilepsi dan kecacatan intelektual telah dijelaskan terkait dengan penyakit Darier. Pasien
dengan penyakit Darier menunjukkan tingkat depresi dan gangguan mood yang lebih tinggi.

Patofisiologi

Mutasi pada gen ATP2A2 menyebabkan penyakit Darier. Gen ini mengkodekan pompa
kalsium di retikulum endoplasma yang disebut SERCA2. Pompa ini mengangkut kalsium dari
sitosol ke bagian dalam retikulum endoplasma, mempertahankan konsentrasi kalsium yang
tinggi di retikulum endoplasma. Tingkat kalsium yang tinggi dalam retikulum endoplasma
diperlukan untuk memproses protein penghubung seperti desmoplakin dan desmoglein.
Gangguan fungsi SERCA2 menyebabkan pemrosesan protein junctional yang menyimpang
dan selanjutnya kohesi yang buruk antara keratinosit. Kerusakan ini diyakini menyebabkan
akantolisis, atau hilangnya hubungan antara keratinosit, terlihat pada patologi.

Selain pemrosesan protein junctional yang menyimpang, penurunan simpanan kalsium


di retikulum endoplasma mengaktifkan respons stres seluler. Respons stres seluler dapat
menjelaskan dua fitur kritis penyakit: dyskeratosis terlihat pada patologi dan pemicu
penyakit. Secara histologi, penyakit Darier ditandai dengan korps ronds, yang merupakan
keratinosit bulat. Keratinosit ini kemungkinan mewakili sel-sel diskeratotik dan/atau
apoptosis. Diskeratosis/apoptosis ini diduga akibat dari respons stres seluler yang diinduksi
oleh cadangan kalsium yang habis di retikulum endoplasma. Respon stres ini dapat memburuk
karena pemicu seperti radiasi UV dan panas, yang menyebabkan eksaserbasi penyakit.

Memperluas konsep ini dapat membantu membedakan patogenesis dan histopatologi


penyakit Darier dari entitas terkait, penyakit Hailey-Hailey. Secara histologi, kedua kondisi
tersebut memiliki tingkat diskeratosis/apoptosis dan acantholysis. Penyakit Darier biasanya
menunjukkan lebih banyak dyskeratosis daripada penyakit Hailey-Hailey. Penyakit Hailey-
Hailey disebabkan oleh mutasi pada gen ATP2C1, yang mengkode pompa kalsium di badan
Golgi. Mutasi pada gen ini menyebabkan penipisan kalsium di badan Golgi. Kekurangan ini
dianggap mengganggu pemrosesan protein yang penting untuk adhesi sel-sel. Namun,
penipisan kalsium di aparatus Golgi tampaknya tidak menimbulkan respon stres seluler yang
sama dengan penipisan kalsium di retikulum endoplasma, seperti yang terlihat pada penyakit
Darier. Perbedaan ini dapat menjelaskan fakta bahwa meskipun penyakit Darier dan penyakit
Hailey-Hailey menampilkan acantholysis dan dyskeratosis, dyskeratosis lebih menonjol pada
penyakit Darier.
Ada dua varian klinis yang terdistribusi secara segmental pada penyakit Darier. Untuk
memahami varian-varian ini, pertama-tama kita harus memahami mozaikisme. Gangguan
dominan autosomal menampilkan dua jenis mosaikisme. Mutasi pasca-zigotik menyebabkan
mosaikisme tipe 1, yang berarti bahwa beberapa sel mengalami perubahan dan yang lainnya
tidak. Dalam dermatologi, mosaikisme tipe 1 muncul dengan area kulit yang sakit bercampur
dengan area kulit sehat yang masing-masing mencerminkan sel dengan dan tanpa mutasi. Kulit
yang terkena sering mengikuti garis Blaschko, yang mencerminkan migrasi embrio sel
kulit. Mosaikisme tipe 2 muncul dari mutasi postzygotic pada pasien yang sudah memiliki
mutasi "prezygotic". Pasien ini mulai dengan satu mutasi, atau alel penyakit, di semua
sel. Kemudian mutasi lain terjadi lebih jauh ke dalam proses pembelahan sel yang hanya
dimiliki oleh beberapa sel. Sel-sel ini akan memiliki dua mutasi atau dua alel dominan untuk
penyakit tersebut. Pasien ini memiliki dua jenis sel: sel dengan satu mutasi atau alel dominan
dan sel dengan dua. Meskipun hanya satu alel dominan yang diperlukan untuk fenotipe
penyakit, dua alel dominan akan menyebabkan presentasi yang lebih parah pada sel
tersebut. Secara klinis, pasien ini akan memiliki segmen linier dari keparahan penyakit yang
meningkat dengan latar belakang kulit yang sudah sakit. Area dengan tingkat keparahan yang
meningkat sering kali mengikuti garis Blaschko. Kondisi ini juga disebut hilangnya
heterozigositas karena pasien awalnya heterozigot untuk mutasi dominan autosomal dan
kemudian mengalami mutasi lain, membuat beberapa sel homozigot untuk mutasi dominan
autosomal. Penyakit Darier telah dilaporkan menunjukkan mosaikisme tipe 1 dan tipe 2,
sehingga menimbulkan varian segmental tipe 1 dan segmental tipe 2 dari penyakit Darier.

Tatalaksana

Menghindari pemicu sangat penting dalam mencegah eksaserbasi penyakit


Darier. Pemicu dapat berupa sinar matahari, panas, pakaian oklusif, dan gesekan. Pasien harus
menghindari paparan sinar matahari, mengenakan pakaian longgar, menggunakan tabir surya,
dan menerapkan praktik kebersihan yang benar. Karena penyakit Darier diwariskan secara
autosomal dominan, pasien harus ditawarkan konseling genetik.

Pelembab keratolitik yang mengandung asam laktat atau urea dapat mengobati
hiperkeratosis/skala. Retinoid topikal juga dapat memperbaiki hiperkeratosis. Membersihkan
dengan larutan antiseptik dapat mencegah infeksi. Laporan kasus menggambarkan 5-
fluorouracil topikal sebagai pengobatan yang efektif. Retinoid oral juga merupakan pilihan
pengobatan yang tepat.
Komplikasi

Salah satu komplikasi serius bagi pasien dengan penyakit Darier adalah kerentanan
terhadap infeksi bakteri dan virus kulit yang serius, termasuk human papillomavirus, virus
herpes simplex, dan infeksi poxvirus.

Prognosis

Penyakit ini bertahan seumur hidup dengan cara yang kambuh-kambuhan. Menghindari
pemicu dan menggunakan perawatan yang tepat dapat memungkinkan setidaknya sebagian
pengendalian penyakit.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa, Sistem Imun adalah sistem
pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau
serangan organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem imun berdasarkan
responnya terhadap suatu jenis penyakit dapat diklasifikasikan sebagai sistem imun bawaan
(innate immunity system) atau yang sering disebut dengan respon atau sistem nonspesifik dan
sistem imun adaptif (adaptive immunity system) atau yang disebut respon atau sistem spesifik.

Penyakit Darier, juga dikenal sebagai keratosis follicularis, adalah genodermatosis


yang diturunkan secara autosomal dominan. Penyakit ini secara klasik menampilkan papula
keratotik dan eyrthronychia longitudinal. Ini adalah kondisi langka dengan distribusi di seluruh
dunia. Mutasi pada gen ATP2A2 menyebabkan penyakit Darier. Gen ini mengkode pompa
kalsium di retikulum endoplasma. Manifestasi kulit penyakit Darier terdiri dari papul dan plak
hiperkeratotik. Kondisi ini biasanya dimulai pada batang tubuh bagian atas atau leher.
Menghindari pemicu sangat penting dalam mencegah eksaserbasi penyakit Darier. Pemicu
dapat berupa sinar matahari, panas, pakaian oklusif, dan gesekan. Salah satu komplikasi serius
bagi pasien dengan penyakit Darier adalah kerentanan terhadap infeksi bakteri dan virus kulit
yang serius, termasuk human papillomavirus, virus herpes simplex, dan infeksi poxvirus.
TUGAS

1. Gambar mekanisme hipersensitivitas tipe 1


2. Tatalaksana Syok anafilaktik
Jawab:

Tata Laksana Awal

Anafilaksis adalah kondisi emergensi yang membutuhkan penanganan segera.


Tindakan pertama yang dilakukan adalah manajemen jalan napas. Klinisi harus
mengidentifikasi obstruksi jalan napas, misalnya edema perioral atau adanya suara napas
tambahan. Intubasi mungkin dibutuhkan untuk memastikan patensi jalan napas.

Posisi

Pasien diposisikan berbaring dengan kedua tungkai diangkat untuk meningkatkan


aliran balik vena. Ketika ada gangguan pernapasan, pasien dapat diposisikan duduk dengan
kedua tungkai diangkat. Pasien hamil bisa diposisikan berbaring pada sisi kiri dengan posisi
kepala menunduk. Hindari perubahan posisi bangun secara mendadak. Pasien tidak boleh
bangun atau berjalan.

Epinefrin

Epinefrin harus diberikan sedini mungkin sebelum memberikan terapi lain. Epinefrin
diberikan secara intramuskular pada posisi otot vastus lateralis paha. Satu ampul epinefrin
berisi 1 mg per 1 mL dalam konsentrasi 1:1000. Dosis epinefrin adalah 0,15 mg untuk anak
dengan berat badan kurang dari 25-30 kg dan 0,3 mg untuk anak lebih dari 30 kg dan dewasa.
Apabila tidak ada perubahan dalam 5 menit, maka ulangi injeksi epinefrin intramuskular dan
berikan cairan intravena. Epinefrin dapat diberikan hingga gejala membaik.

Epinefrin Autoinjector

Epinefrin bisa diberikan dengan autoinjector. Dosisnya adalah:

▪ 0,15 mg untuk anak 7,5 hingga 20 kg

▪ 0,3 mg untuk anak 20 hingga 50 kg

▪ 0,3 mg atau 0,5 mg untuk anak dengan berat di atas 50 kg dan pasien dewasa.

Apabila dibutuhkan dosis kedua, sebaiknya epinefrin diberikan dengan injeksi untuk
mengantisipasi kegagalan autoinjector. Tingkatkan dosis menjadi 0,5 mg pada remaja dan
dewasa.
Pemberian Epinefrin Infus Kontinu

Pada pasien yang membutuhkan injeksi berulang, klinisi bisa mempertimbangkan


pemberian intravena kontinu. Pemberian dimulai dari 0,1 mg (konsentrasi 1:10.000) dalam 5-
10 menit. Apabila dibutuhkan dosis tambahan, infus epinefrin dimulai dalam dosis 1 mcg/menit
dan titrasi bertahap sampai ada respon yang diinginkan. Hentikan apabila pasien mengalami
aritmia atau nyeri dada.

Dekontaminasi dan Oksigenasi

Zat pencetus atau yang diduga mencetuskan reaksi anafilaksis harus disingkirkan
segera untuk mencegah perburukan progresif dari gejala pasien. Pasien diberikan oksigen
aliran tinggi 10 liter per menit dengan non rebreathing mask.

Cairan

Pada pasien dengan gangguan sirkulasi berat, diberikan cairan kristaloid intravena.
Pada anak dengan berat badan <25-30 kg diberikan cairan 10 ml/kg maksimal 500 ml per
pemberian dan bisa diulang ketika dibutuhkan. Untuk dewasa dan anak >30 kg diberikan 500
ml bolus, dan bisa diulang ketika dibutuhkan. Cairan yang dapat digunakan antara lain ringer
laktat dan cairan salin normal.

Cairan juga dapat diberikan pada anafilaksis berat dengan gangguan pernapasan yang
membutuhkan pemberian epinefrin dosis kedua. Cairan albumin dan hipertonik tidak
diindikasikan untuk anafilaksis.

Antihistamin

Antihistamin berguna untuk gejala kutaneus, dan sejauh ini efek untuk gejala selain
kutaneus belum terkonfirmasi. Umumnya antihistamin yang diberikan
adalah diphenhiydramine 25-50 mg intravena atau intramuskular. Antihistamin tidak
mencegah gejala anafilaksis, dan membutuhkan waktu 1-3 jam untuk bekerja.

Kortikosteroid

Kortikosteroid sering digunakan karena diduga mencegah gejala berulang dan reaksi
fase lambat, namun hingga saat ini efektivitas kortikosteroid belum jelas. Kortikosteroid
diduga bermanfaat untuk gejala pernapasan. Methylprednisolone 80-125 mg intravena
atau hidrokortison 250-500 mg intravena bisa diberikan dalam fase akut dan kemudian
diberikan prednison oral 1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi selama 3-5 hari.
Obat Inhalasi

Inhalasi beta agonis dan epinefrin diberikan pada obstruksi bronkus, serta edema laring
atau faring. Pasien dengan riwayat asthma atau penyakit pernapasan lain berisiko lebih tinggi
mengalami bronkospasme. Pemberian inhalasi dilakukan dengan nebulizer bersama dengan
oksigen. Inhalasi epinefrin tidak menggantikan injeksi dan hanya sebagai terapi tambahan.

Pemantauan Pasien

Kondisi anafilaksis berisiko mengalami gejala yang memanjang dan reaksi bifasik
(terjadi serangan anafilaksis berulang). Umumnya pasien diobservasi selama 4 jam setelah
memberikan dosis epinefrin terakhir. Pasien dengan gangguan pernapasan harus dipantau
selama 6-8 jam, dan pasien dengan hipotensi dipantau selama 12-24 jam.

3. Mekanisme hipersensitivitas tipe 4


Jawab:

Pada reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh sel T CD4+, Sitokin yang diproduksi
oleh sel T menginduksi inflamasi yang mungkin kronis dan destruktif. Inflamasi yang
dimediasi oleh prototipe sel T I adalah hipersensitivitas tipe delayed (DTH), reaksi jaringan
akibat antigen memberikan kekebalan tubuh terhadap individu. Dalam reaksi ini, sebuah
antigen diberikan ke dalam kulit pada individu yang dimunisasi sebelumnya menghasilkan
reaksi kutaneus yang terdeteksi dalam waktu 24 sampai 48 jam (dengan demikian istilahnya
delayed, berbeda dengan hipersensitivitas segera).

Mekanisme reaksi ini secara umum sebagai berikut : Limfosit T tersensitasi. Pelepasan
sitokin dan mediator lainnya atau sitotoksik yang diperantarai oleh sel T langsung.
Hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat) atau yang dipengaruhi oleh sel merupakan salah satu
aspek imunitas yang dipengaruhi oleh sel. Antigen akan mengaktifkan makrofag yang khas dan
membuat limfosit T menjadi peka sehingga mengakibatkan terjadinya pengeluaran limfokin.
Reaksi lokal ditandai dengan infiltrasi sel-sel berinti tunggal.
4. Perbedaan blackhead dan white head pada komedo
Jawab:

Blackhead

Blackhead komedo adalah benjolan hitam yang sering muncul di area hidung.
Blackhead komedo terjadi karena folikel rambut terbuka tersumbat dengan minyak. Blackhead
komedo terlihat seperti bintik hitam tetapi tidak menimbulkan rasa sakit, jenis jerawat ini biasa
disebut jerawat ringan karena tidak menyebabkan peradangan yang menghasilkan kemerahan
pada kulit wajah. Jenis jerawat ini merupakan jerawat yang sering muncul pada wajah
berjerawat orang Indonesia

Gambar : Blackhead Komedo

Whitehead

Whitehead komedo adalah jenis jerawat yang terjadi karena pori-pori tersumbat oleh
minyak dan sel kulit mati. Penyumbatan sel minyak dan kulit mati mampu menutupi seluruh
permukaan atas pori-pori karena itulah jenis jerawat yang sulit diobati. whitehead komedo
terlihat seperti benjolan putih tetapi kecil. whitehead komedo sering terjadi pada wanita dari
segala usia saat pubertas, menstruasi, kehamilan dan menopause

Gambar : Whitehead Komedo


DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. dkk. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta. Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Newman AJ, Mullens D, Manway M, Barr J. Red, white and blues: Darier disease and mood
disorder. BMJ Case Rep. 2018 Aug 27

Savignac M, Simon M, Edir A, Guibbal L, Hovnanian A. SERCA2 dysfunction in Darier


disease causes endoplasmic reticulum stress and impaired cell-to-cell adhesion
strength: rescue by Miglustat. J Invest Dermatol. 2014 Jul

Suryawanshi H, Dhobley A, Sharma A, penyakit Kumar P. Darier: Genodermatosis langka. J


Oral Maxillofac Pathol. Mei-Agu 2017

Anda mungkin juga menyukai