Anda di halaman 1dari 12

RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI JAMUR

M. Fakhruddin Fakhry
Ari Baskoro

PENDAHULUAN
Jamur adalah organisme yang sangat majemuk dan tersebar di berbagai tempat. Jamur
memiliki banyak manfaat bagi manusia seperti fermentasi untuk pembuatan roti, keju, wine,
bir dan juga pembuatan penicillin. Diperkirakan terdapat 1,5 juta spesies jamur yang berada
di lingkungan sekitar kita (Hube, 2009). Namun dari sekian banyak spesies tersebut hanya
ada sekitar 400 jenis spesies yang mempunyai potensi patogen terhadap manusia, sedangkan
jenis yang lain hidup hanya sebagai organisme komensal di permukaan kulit atau mukosa
manusia.
Dalam 2 dekade terakhir infeksi jamur telah menjadi ancaman yang serius. Terjadi
peningkatan kejadian infeksi jamur yang cukup signifikan terutama infeksi jamur
oportunistik. Infeksi Candida menempati peringkat 4 sebagai penyebab sepsis pada infeksi
nosokomial (Pfaller & Diekema, 2010). Hal ini diakibatkan oleh bertambahnya jumlah
populasi pasien dengan kondisi imunokompromis, seperti penerima organ donor, pasien
penyakit keganasan, AIDS, bayi prematur, orang lanjut usia, serta pasien paska operasi
pembedahan (Warnock, 2007).

Meskipun pengobatan terhadap infeksi jamur sudah banyak tersedia, namun angka
morbiditas dan mortalitas pada infeksi jamur tetap tinggi. Infeksi Aspergillus mempunyai
mortality rate lebih dari 80%, dan merupakan salah satu komplikasi yang ditakuti pada pasien
dengan keganasan sistem hematologi (Morgan, 2005). Dalam makalah ini akan dibahas
mengenai jenis infeksi jamur dan respon imun terhadap infeksi jamur, baik respon imun
innate (alamiah) dan respon imun adaptif.
JENIS INFEKSI JAMUR
Infeksi jamur dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan lokasi infeksi yaitu:
superfisial, kutan, subkutan, sistemik; berdasarkan sumber infeksi yaitu: eksogen dan
endogen; dan berdasarkan virulensi yaitu: primer dan oportunistik. Beberapa jenis jamur
patogen yang sering menyerang manusia dan telah banyak dipelajari adalah Cryptococcus
neoformans, Aspergillus fumigatus, Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum, dan
Blastomyces dermatitidis. Infeksi jamur memiliki beberapa faktor predisposisi seperti AIDS,
terapi imunosupresan, dan malnutrisi (Owen, 2013).

1
Beberapa contoh penyakit yang bisa ditimbulkan oleh jamur antara lain: aspergillosis
yang disebabkan oleh Aspergillus fumingatus dan biasa menyerang organ paru. Candidiasis
yang disebabkan oleh jamur candida dan biasa menyerang kulit, mukosa, vagina, dan bisa
menimbulkan infeksi sistemik ketika masuk ke peredaran darah. Cryptococcosis yang
disebabkan oleh jamur cryptococcus biasa menyerang selaput otak pada pasien HIV/AIDS.
Pneumocystis pneumonia yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis jirovecii menyerang
pada orang dengan kondisi imun yang melemah (Brown, 2011).

RESPON IMUN ALAMIAH TERHADAP INFEKSI JAMUR


Sistem imun tubuh pada manusia terbentuk dari 2 kategori yaitu sistem imun innate
dan sistem imun adaptive. Kedua sistem tidaklah berdiri sendiri namun saling bekerja sama
secara sinergis untuk melindungi tubuh dari serangan organisme asing seperti jamur, bakteri
ataupun virus.
Perlindungan Awal
Mekanisme pertahanan tubuh yang paling awal terhadap infeksi jamur adalah sistem
imun alamiah yang salah satu komponennya adalah kulit dan membran mukosa. Membran
mukosa memiliki unsur-unsur seperti lysozyme (LZM), lactoferrin (Lf), calprotectin,
peroxidase, dan defensin yang berperan dalam menghancurkan patogen (Brown, 2001;
Blanco & Garcia, 2008).
Lysozyme mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan jamur seperti
Candida sp. dan Cryptococcus sp. (Lopera et al, 2008). Lactoferrin mampu membatasi
kemampuan jamur untuk mendapatkan zat besi dan calprotectin mencegah jamur
mendapatkan zinc (Brown, 2001).
Selain itu terdapat flora normal yang mampu mencegah kolonisasi mikroorganisme
patogen dengan cara bersaing untuk mendapatkan nutrisi dan melakukan perlekatan dengan
pejamu. Pada orang-orang yang pertahanan kulitnya terbuka atau pada orang-orang yang
mengkonsumsi antibiotik secara berlebihan maka infeksi jamur akan lebih mudah terjadi.
(Blanco & Garcia, 2008; Romani, 2011)

Pengenalan Jamur
Ketika jamur berhasil memasuki tubuh inang maka sistem imun tubuh akan segera
melakukan proses pengenalan pada jamur. Proses pengenalan melibatkan dua faktor yang
penting yaitu pathogen associated molecular pattern (PAMP) dan pattern recognition
receptor (PRR). PAMP merupakan komponen khas dari patogen yang akan dikenali oleh
sistem imun tubuh. Komponen PAMP pada jamur terdiri dari polisakarida seperti α-and β-

2
glucans, chitin, dan galactosaminogalactan yang merupakan komponen-komponen utama
penyusun dinding sel jamur. Komposisi dinding sel bervariasi antara spesies jamur yang
berbeda dan juga antara bentuk morfologi yang berbeda pada spesies yang sama (Brown,
2011; Romani, 2011).
Pengenalan komponen jamur akan dilakukan oleh reseptor khusus yang disebut
pattern recognition receptor (PRR). Aktivasi reseptor-reseptor tersebut akan memicu
beberapa jalur penghantaran sinyal yang berujung pada produksi berbagai macam sitokin,
mediator dan reactive oxygen/nitrogen species (Akira et al, 2006).
Toll like receptors (TLRs) dan C-type lectin receptors (CLRs) adalah 2 jenis PRR
utama dalam aktivitas pengenalan jamur. Mereka mengenali komponen jamur kemudian
memicu kaskade sinyal yang akhirnya merangsang sekresi mediator pro inflamasi, proses
fagositosis dan induksi sistem imun adaptif. Terdapat lima jenis TLR yang terlibat dalam
pengenalan jamur patogen; yaitu TLR2, TLR1, TLR6, TLR4 dan TLR9. CLR juga memiliki
lima jenis reseptor yang berperan dalam proses pengenalan jamur yaitu dectin-1, dectin-2,
MINCLE, DC-SIGN, MR. Selain 2 jenis reseptor di atas terdapat juga jenis PRR lain seperti
NOD-like receptors, Rig I-like receptor dan scavenger receptor. Pengenalan jamur oleh
reseptor-reseptor tersebut akan memicu induksi sitokin dan kemokin seperti IL-6, TNF,
MCP-1, GM-CSF, IL-1β, IL-12 dan IL-10 yang berperan dalam proses anti jamur (Van de
Veerdonk et al, 2008).
Selain terdapat pada membran sel dan sitoplasma, PRR juga bisa dijumpai dalam
bentuk terlarut, yaitu reseptor komplemen, collectin, ficolins dan pentraxin. Salah satu jenis
collectin yang penting dalam pengenalan jamur adalah mannan binding lectin (MBL) yang
dapat mengaktivasi komplemen melalui jalur lectin.

Spesies jamur yang sama bisa dikenali oleh reseptor yang berbeda pada jenis sel
fagosit yang berbeda. Sebagai contoh, mannan pada candida dikenali oleh MR pada
makrofag, sedangkan pada sel dendritik dikenali oleh MR, Dectin-2 dan DC-SIGN. Mannan
pada hifa candida dikenali oleh Dectin pada makrofag dan sel dendritik (Brown, 2011). Jenis-
jenis PAMP dan PRR dapat dilihat pada gambar 1.

3
Gambar 1. Jenis-jenis PAMP dan PRR (Eliana, 2014)
Peranan Sel-sel Fagosit
Proses pengenalan PAMP jamur oleh PRR akan menyebabkan aktivasi sel-sel fagosit
baik itu PMN, MN maupun DC. Aktivasi sel-sel tersebut mengakibatkan terjadinya
fagositosis. Pada proses fagositosis, setelah terjadi pengenalan maka akan diikuti oleh proses
internalisasi, yaitu penelanan jamur oleh fagosit. Membran sel fagosit akan menyelimuti
partikel jamur kemudian menelannya ke dalam sel yang mengakibatkan pembentukan
vakuola intraseluler yang disebut fagosom (Brown, 2011).
Setelah proses internalisasi, fagosom akan mengalami pematangan dan kemudian
berkembang menjadi fagolisosom, yaitu kompartemen dengan aktivitas anti mikroba yang
poten di mana jamur yang telah ditelan akan dimatikan dan dicerna. Pada sel dendritik proses
ini menghasilkan pembentukan dan penyajian antigen jamur, yang bersama dengan beberapa
sitokin tertentu, membantu mengarahkan imunitas adaptif (Van de Veerdonk et al, 2008;
Brown, 2011).
Untuk memusnahkan jamur, sel-sel fagosit menggunakan 2 macam mekanisme yaitu,
mekanisme oksidatif dan non-oksidatif yang bekerja secara sinergis. Aktifitas ini sangat
dipengaruhi oleh sitokin. Sebagai contoh IFN-γ memiliki efek meningkatkan mekanisme
efektor anti-jamur dan IL-10 justru memiliki efek sebaliknya yaitu melakukan supresi. Tiap
fagosit memiliki efektifitas yang berbeda dalam membunuh jamur atau membatasi
pertumbuhan mereka, tergantung pada spesies jamur yang terlibat. Pada C. albicans, netrofil
adalah sel efektor yang paling kuat, diikuti oleh monosit, makrofag dan kemudian DC.
Sebaliknya pada infeksi H. capsulatum, DC memiliki aktivitas fungisida yang kuat,
sedangkan neutrofil hanya memiliki fungsi fungistatik (Vonk et al, 2006).

4
Mekanisme anti jamur oksidatif terdiri dari respiratory burst dan produksi reactive
nitrogen intermediates. Respiratory burst adalah aktivitas produksi reactive oxygen
intermediates (ROI), yang merupakan komponen utama mekanisme pertahanan anti jamur
fagosit. Pembentukannya dimediasi oleh kompleks protein multi-komponen, phagocyte
NADPH oxydase (Phox). Kompleks ini akan mentransfer elektron dari sitoplasma NADPH
menuju O2, sehingga menghasilkan superoksida. Melalui reaksi Haber-Weiss superoksida
tersebut kemudian diubah menjadi toxic reactive oxygen intermediates, seperti radikal
hidroksil dan hidrogen peroksida. Oksidan fungisida lainnya yang dapat dihasilkan adalah
hypochlorous dan hypoiodous acid, yang dihasilkan dari hidrogen peroksida oleh enzim
myeloperoxidase (MPO) (Vazquez & Balish,1997).
Selain menghasilkan oksidan fungisida, respiratory burst juga memiliki efek
mendorong masuknya kalium ke dalam sel dan menaikkan pH fagosom. Hal ini
mengakibatkan pelepasan dan aktivasi protease antijamur dari matriks proteoglikan
pada granula netrofil. (sumber??)

Produksi reactive nitrogen intermediates (RNI) oleh inducible nitric oxide synthase
(iNOS atau NOS2) adalah mekanisme oksidatif lain dari fagosit yang diduga memiliki fungsi
fungisida. Sistem ini dipicu oleh TLRs dan sitokin (seperti TNF dan IFN-γ), yang
menghasilkan oksida nitrat (NO) melalui deaminasi oksidatif dari L-arginin. NO kemudian
bereaksi lebih lanjut dengan superoksida untuk menghasilkan peroxynitrite, yang dapat
membunuh jamur (Vazquez & Balish,1997).
Sel fagosit, terutama netrofil, memiliki sejumlah mekanisme non-oksidatif yang
sangat efektif dalam membunuh jamur intra dan ekstraseluler atau membatasi pertumbuhan
mereka. Mekanisme tersebut antara lain adalah peptida antimikrobial, hidrolisis, dan
pembatasan nutrisi.
Peptida antimikrobial bisa didapatkan pada cairan sekret atau dalam sel-sel fagosit.
Salah satu contohnya adalah α-defensin yang ditemukan dalam netrofil. AMP ini memiliki
kemampuan untuk membunuh berbagai jamur patogen, termasuk C. albicans, A. fumigatus,
H. capsulatum dan C. neoformans. Studi pada C. albicans menemukan bahwa AMP ini
terikat ke lokasi spesifik pada membran jamur, merangsang permeabilisasi non-litik dan
pelepasan ATP intraseluler (Vylkova et al, 2007).
Contoh lain dari peptida antimikroba adalah Cathelicidins. Manusia hanya memiliki
satu cathelicidin yang disebut human cathelicidin antimicrobial protein-18 (HCAP-18), yang

5
ditemukan dalam netrofil, monosit, sel NK, limfosit dan sel-sel epitel, dan pada cairan sekret
(seperti keringat, cairan mani, dan plasma).
Hidrolase merupakan enzim yang melakukan katalisa pada proses hidrolisis suatu
ikatan kimia. Hidrolase yang berperan pada mekanisme anti jamur yaitu lisozim dan
serprocidin. Lisozim adalah enzim anti-mikroba yang ditemukan dalam granula dan lisosom
dari granulosit, monosit dan makrofag. Lisozim memiliki aktivitas anti jamur dan telah
terbukti dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan Candida, Cryptococcus,
Histoplasma, Aspergillus, dan Paracoccidioides. Efek dari lisozim pada jamur masih belum
jelas, namun diduga lisozim merusak membran sel jamur dengan cara menghidrolisis ikatan
N-glycosidic pada dinding sel (Lopera et al, 2008).
Serprocidin adalah jenis protease serin yang terdapat dalam granula netrofil yang
memiliki aktivitas antijamur dan banyak fungsi seluler lainnya termasuk pengolahan
cathelicidin. Jenis-jenis serprocidins seperti proteinase-3, cathepsin G, dan elastase memiliki
pengaruh terhadap jamur patogen seperti Histoplasma, Aspergillus dan Candida. Protease ini
memiliki kemampuan antimikroba setelah diaktivasi oleh proses respiratory burst (Brown,
2011).
Salah satu mekanisme anti jamur yang lain adalah mencegah jamur mendapatkan
nutrisi yang dibutuhkan seperti zat besi atau seng. Salah satu contohnya adalah lactoferrin
yang membatasi penyerapan besi oleh jamur. Kadar zat besi juga bisa dikendalikan secara
intraseluler setelah proses fagositosis, dengan cara down regulation reseptor transferrin yang
mengurangi pengiriman besi untuk fagosom melalui jaringan daur ulang endosomal, dan
dengan protein transporter, seperti natural resistance-associated macrophage protein-1
(Nramp-1), yang menghilangkan besi dan kation divalen lainnya dari fagosom (Wyllie et al,
2002; Jensenn & Hancock, 2009).
Mekanisme pembatasan nutrisi yang lain adalah melalui penyerapan seng oleh
molekul dimer calprotectin. Calprotectin adalah salah satu komponen pada sitoplasma
neutrofil dan dapat juga ditemukan dalam monosit dan sel epitel. Molekul ini diaktifkan oleh
mekanisme stres oksidatif. Calprotectin juga melakukan mediasi aktivitas neutrophil
extracellular traps atau NETs; yaitu struktur anti-mikroba ekstraseluler yang terdiri dari
DNA, histon dan protein granul yang dihasilkan oleh sebuah jalur novel ROS-dependent
death. Cara kerja NETs adalah dengan mengikat mikroba kemudian mengeluarkan komponen
antimikroba untuk membunuh mikroba tersebut. NETs juga mengandung PTX3, sebuah PRR
larut yang disimpan dalam granul neutrofil yang penting untuk pengenalan, penyerapan dan

6
pembunuhan A. fumigatus (Brown, 2011). Mekanisme kerja NET dapat dilihat pada gambar
2.

Gambar 2. Mekanisme kerja NET (Kenji & Makoto, 2014)

Selain melakukan fagositosis, makrofag dan DC merupakan antigen presenting cell


APC. Mereka mampu menampilkan fragmen antigen yang telah mereka telan pada membran
sel mereka. Fragmen tersebut akan berikatan dengan MHC II sehingga bisa dikenali oleh sel
T. Pengenalan MHC II oleh sel T akan memicu aktivasi sel T.
RESPON IMUN ADAPTIF TERHADAP INFEKSI JAMUR
Aktivasi sistem imun adaptif adalah hal yang penting dalam menghadapi infeksi
jamur. Transisi dari imun alamiah menuju imun adaptif difasilitasi terutama oleh DC dan
makrofag yang merupakan antigen presenting cell (APC). APC memproses dan menyajikan
antigen jamur ke Sel T Naive CD4+ dalam bentuk berikatan dengan MHC kelas II. DC juga
mengaktifkan sel T CD8+ dengan cara presentasi antigen melalui MHC kelas I.
Untuk antigen yang masuk melalui jalur eksogen, pengaktifan dari sel CD8 +
berlangsung melalui mekanisme cross-presentation di mana antigen dimasukkan ke jalur
MHC kelas I. Tidak seperti aktivasi sel T yang membutuhkan proses pengolahan antigen, sel
B langsung bereaksi terhadap antigen jamur dan mensekresi imunoglobulin yang dapat
memengaruhi hasil infeksi (Verma et al, 2014).
Respon Imun Th1
Respon imun Th1 berperan penting sebagai pertahanan pejamu melawan infeksi
jamur patogen. Sel Th1 mengatur respon imun anti jamur melalui pelepasan sitokin pro
inflamasi yaitu IFN-γ, TNF-α, dan GM-CSF. IFN-γ menginduksi aktivasi makrofag yang
sangat penting untuk menekan pertumbuhan jamur patogen intraseluler. Makrofag melakukan

7
aktivitas fungisida dengan cara melepaskan nitric oxide dan reactive oxygen intermediates
(Wuthrich et al, 2012). IFN-γ juga mempengaruhi pembentukan antibodi IgG2a pada sel B.
Antibodi tersebut memiliki efek anti jamur, meningkatkan aktifitas fagositosis, dan
membantu proses penyajian antigen oleh APC (Schroder et al, 2004). TNF-α memiliki fungsi
yang sama dengan IFN-γ yaitu aktivasi makrofag (Novak & Koh, 2013). Sedangkan GM-
CSF mampu menstimulasi pembentukan reactive oxygen species di dalam makrofag (Vignesh
et al, 2013).
Respon Imun Th2
Pada sebagian besar infeksi jamur, respon imun Th2 memberikan pengaruh yang
merugikan pada pejamu. Respon Th2 terdiri dari sekresi sitokin sel T CD4+ yaitu IL-4, IL-5,
dan IL-13. Makrofag yang diaktivasi oleh IL-4 dan IL-13 menunjukkan aktivitas arginase-1
yang sangat kuat. Arginase-1 adalah enzim yang berpotensi mengurangi jumlah oksida nitrat
yang diperlukan untuk kegiatan fungisida (Verma et al, 2014).
IL-4 juga memudahkan jamur untuk memperoleh nutrisi di dalam makrofag. Sitokin
ini meningkatkan upregulation reseptor transferrin pada permukaan sel sehingga
meningkatkan aktivitas penyerapan besi. Fenomena ini diyakini bisa meningkatkan
pertumbuhan jamur di dalam sel. Selain itu, IL-4 dapat mengubah kandungan seng dalam sel
sehingga bisa meningkatkan daya tahan jamur (Winters et al, 2010).
Respon Imun Th17

Sel Th17 adalah subset dari sel T CD4+ yang mengalami perkembangan yang berbeda
dari Th1 dan Th2. Diferensiasi sel Th17 membutuhkan berbagai sitokin dan faktor
transkripsi. TGF-β dan IL-6 menginisiasi diferensiasi awal dari sel T CD4+ naif menjadi sel-
sel Th17. IL-6 akan mengaktifkan STAT 3 yang berfungsi mengatur produksi ROR-γt yang
merupakan faktor transkripsi yang dibutuhkan dalam produksi Th17 (Zuniga et al, 2013).

Sel Th17 diidentifikasi dari kemampuannya memproduksi sitokin IL-17A, IL-17F,


dan IL-22. Terdapat dua mekanisme antijamur dari sel Th17. Th17 merekrut neutrofil dengan
merangsang pelepasan kemokin CXC. Neutrofil mempunyai kemampuan anti-candida dan
membersihkan patogen. Sel Th17 juga melepaskan sitokin IL-17 yang menstimulasi
keratinosit dan sel epitel untuk melepaskan peptida antimikroba (AMP), seperti protein
S100A, β-defensin, dan histatin yang bekerja membunuh patogen (Zuniga et al, 2013).

IL-17F dan IL-22 memiliki kemampuan anti candida. IL-22 mampu merangsang
pengeluaran peptida antimikroba (AMP) dan mampu membantu menjaga ketuhan dinding

8
mukosa agar tidak mudah dimasuki jamur patogen. Belum banyak yang diketahui mengenai
fungsi IL-17F namun pasien yang mengalami mutasi pada IL-17F memiliki resiko lebih besar
untuk menderita kandidiasis mukokutan kronik. (Puel et al, 2011)
Respon Imun Sel T regulator

Sel T regulator memiliki fungsi regulasi respon imun proinflamasi untuk membatasi
efek samping kerusakan yang berlebihan pada tubuh pejamu. Subset sel T ini mengimbangi
respon imun melalui beberapa mekanisme supresi yang meliputi sekresi sitokin penghambat
yaitu IL-10, TGF-β, IL-35. Sitokin penghambat memiliki 2 macam mekanisme : (1) sitokin
tersebut dapat langsung menghambat aktivasi dan memperpendek kesintasan sel T efektor.
(2) sitokin terlarut dapat merangsang produksi inducible Treg cells (iTreg) dan membantu
homeostasis sel tersebut di jaringan perifer.

Sel T regulator juga melakukan represi sitokin IL-2, sitolisis APC, sintesis adenosine
imunosupresif, dan down modulation fungsi APC melalui cytotoxic T-lymphocyte-associated
protein 4 (CTLA4) dan lymphocyte activation gene 3 (LAG3) (Goodman et al, 2012).
Modulasi sel T regulator diatur oleh beberapa sitokin seperti TNF-α dan IL-6. Sel T regulator
bagaikan pedang bermata dua, mereka berfungsi penting untuk meredam respon inflamasi
yang berlebihan, tetapi fungsi supresif mereka sangat merugikan pada infeksi jamur tertentu.
Respon Imun Sel T CD8+
Sel T CD8+ sangat penting untuk perlindungan terhadap virus patogen dan tumor (Lin
et al, 2005). Pada infeksi jamur pembentukan sel T sitotoksik CD8 + dipacu oleh DC melalui
proses cross-presentation (presentasi antigen eksogen pada MHC kelas I). Mekanisme kerja
sel T CD8+ adalah dengan melepaskan IFN-γ dan IL-17, dan efek sitotoksik pada sel yang
terinfeksi. Pemberian vaksin yang memicu respon sel T CD8+ dapat digunakan sebagai
strategi alternatif untuk mencegah infeksi jamur pada pasien dengan kondisi
imunokompromis.
Imunitas humoral

Imunoglobulin menghasilkan respon imun protektif pada pejamu dengan mentarget


antigen pada dinding sel jamur, seperti β-glucan (A. fumigatus, C. albicans, dan C.
neoformans), aglutinin (C. albicans), glucuronoxylomannan (C. neoformans), dan heat shock
protein 60 (H.capsulatum). Mekanisme kerja antibodi ini dibagi menjadi mekanisme
langsung dan tidak langsung.

9
Mekanisme langsung adalah mekanisme yang menghasilkan penghambatan
pertumbuhan atau aktivitas anti mikroba saat imunoglobulin terikat pada patogen. Aktivitas
fungisida dari antibodi monoklonal didapatkan terutama pada C. albicans, C. neoformans,
dan A. fumigatus. Selain itu, ikatan antara antibodi dengan permukaan luar jamur memicu
perubahan pada ekspresi gen dan metabolisme jamur yang menekan virulensi patogen (Verma
et al, 2014).
Mekanisme tidak langsung yaitu imunoglobulin meningkatkan potensi mikrobisida sel
efektor dengan cara opsonisasi, aktivasi jalur komplemen, dan antibody-directed cell toxicity
(ADCC). ADCC menginduksi lisis sel yang telah terikat dengan antibodi, sedangkan
opsonisasi dan aktivasi jalur komplemen memicu fagositosis (Shi et al, 2008). Pada gambar 3
berikut ini dapat dilihat fungsi perlindungan oleh imunoglobulin.

Gambar 4. Fungsi perlindungan imunoglobulin terhadap infeksi jamur (Verma et al, 2014)

RINGKASAN

Sistem imunitas tubuh selalu melibatkan 2 komponen yaitu sistem imun alamiah dan
sistem imun adaptif saling bersinergi untuk melindungi tubuh dari serangan organisme asing
termasuk jamur. Sistem imun alamiah memainkan peranan yang sangat penting, mulai dari
pertahanan fisik terluar, mekanisme pengenalan terhadap jamur serta proses fagositosis untuk
membunuh jamur. Peran sistem imun adaptif yang diketahui masih sangat terbatas, dengan
semakin berkembangnya teknik dan metode penelitian diharapkan akan lebih banyak
penemuan di masa yang akan datang tentang peran sistem imun adaptif. Pemahaman yang
lebih baik mengenai sistem imun tubuh diharapkan bisa membantu perkembangan mengenai
vaksinasi, imunoterapi dan terapi anti jamur.

DAFTAR PUSTAKA

10
Akira S, Uematsu,S, & Takeuchi, O, 2006. ‘Pathogen recognition and innate immunity. Cell,
124:783–801.
Blanco, JL & Garcia ME, 2008, ‘Immune response to fungal infections’, Veterinary and
Immunology Immunopathology, vol. 125, pp. 47-70.
Brown, GD, 2011, ‘Innate antifungal immunity: the key role of phagocytes’, Annual Review
of Immunology, vol.29, pp.1-21.
Eliana, B & Rodrigo, T, 2014, ‘Fungal Glycans and the Innate Immune Recognition’,
Frontiers, vol.145, pp.1.
Goodman, WA, Cooper, KD, & McCormick, TS, 2012, ‘Regulation generation: The
suppressive functions of human regulatory T cells’, Critical Review of Immunology,
vol. 32, pp.65–79.
Gregori, S & Goudy, K, 2012, ‘The Cellular and Molecular Mechanism of
Immunosuppression by Human Type 1 Regulatory T Cell’, Frontiers in Immunology,
vol.3, pp.30.
Hernandez, SN & Gaffen, SL, 2012, ‘Th17 cells in immunity to Candida albicans’, Cell, vol.
11, pp. 425–435.
Hube B, 2009, ‘Fungal adaptation to the pejamu environment’, Current Opinion in
Microbiology, vol.12, pp.347–349.
Jenssen, H & Hancock, RE, 2009, ‘Antimicrobial properties of lactoferrin’, Biochimie,
vol.91, pp.19–29.
Kenji, D & Makoto, N, 2014, ‘Pentraxin 3 (PTX3) exhibits resistance to sepsis by inhibiting
extracellular histones from impairing blood vessels: Key role of aggregate formation
between extracellular histones and PTX3’ Science Signalling, vol.343, pp.88.
Lin, JS, Yang, CW, Wang, DW, & Wu-Hsieh, BA, 2005, ‘Dendritic cells cross-present
exogenous fungal antigens to stimulate a protective CD8 T cell response in infection
by Histoplasma capsulatum’, Journal of Immunology, vol.174, pp.6282–6291.
Lopera, D, Aristizabal, BH, Restrepo, A, Cano, LE, & Gonzalez, A, 2008, ‘Lysozyme plays a
dual role against the dimorphic fungus Paracoccidioides brasiliensis, ’Revista do
Instituto de Medicina Tropica, vol.50, pp.169–75.
Morgan, J., 2005, Global trends in candidemia:review of reports from 1995-2005, Current
infection disease, Vol. 7, pp. 429-439.
Park, BJ & Wannemuehler, KA, 2009, ‘Estimation of the current global burden of
cryptococcal meningitis among persons living with HIV/AIDS’ AIDS, vol. 23, pp.
525–30.
Pfaller, MA & Diekema, DJ, 2010, ‘Epidemiology of invasive mycoses in North America’,
Critical Review of Microbiology, vol. 36, pp.1–5.
Puel A, Cypowyj S, Bustamante J,Wright JF, Liu L, Lim HK, Migaud M, Israel L, Chrabieh
M, Audry M, 2011, Chronic mucocutaneous candidiasis in humans with inborn errors
of interleukin-17 immunity, Science, vol.332, pp.65–68.
Romani, L, 2011, ‘Immunity to fungal infections’, Nature Reviews Immunology, vol.11,
pp.275-288.
Schroder K, Hertzog PJ, Ravasi T, Hume DA, 2004, Interferon-g: An overview of signals,
mechanisms and functions, Journal Leukocyte Biology, vol. 75, pp.163–189.
Novak ML, Koh TJ, 2013, Macrophage phenotypes during tissue repair, Journal Leukocyte
Biology, vol. 93, pp.875–881.
Shi, L, Albuquerque, PC, Lazar-Molnar, E, Wang, X, Santambrogio, L, Gacser, A, &
Nosanchuk, JD, 2008, ‘A monoclonal antibody to Histoplasma capsulatum alters the
intracellular fate of the fungus in murine macrophages’, Eukaryot Cell, vol.7, pp.1109–
1117.

11
Subramanian Vignesh K, Landero Figueroa JA, Porollo A, Caruso JA, Deepe GS Jr, 2013,
Granulocyte macrophagecolony stimulating factor induced Zn sequestration enhances
macrophage superoxide and limits intracellular pathogen survival, Immunity, vol. 39,
pp.697–710.
Van de Veerdonk, FL, Kullberg, BJ, van der Meer, JW, Gow, NA, Netea, MG, 2008, ‘Host-
microbe interactions : innate pattern recognition of fungal pathogens’, Current
Opinion Microbiology, vol. 11, pp.305–312.
Vazquez-Torres, A & Balish, E, 1997, ‘Macrophages in resistance to candidiasis.
Microbiology Molecular Biology Review, vol. 61, pp.170–92.
Verma, A, Wüthrich, M, Deepe, G, & Klein, B, 2014, ‘Adaptive Immunity to Fungi’, Cold
Spring Harbour Perspective Medicine, available from Downloaded from
www.perspectivesinmedicine.org accessed June, 2015.
Vonk, AG, Netea, MG, van der Meer, JW, & Kullberg, BJ, 2006, ‘Host defence against
disseminated Candida albicans infection and implications for antifungal
immunotherapy’, Expert Opinion on Biological Therapy, vol. 6, pp.891–903.
Vylkova, S, Sun, JN, & Edgerton, M, 2007, ‘The role of released ATP in killing Candida
albicans and other extracellular microbial pathogens by cationic peptides’, Purinergic
Signal, vol. 3, pp.91–7.
Warnock, DW, 2007, ‘Trends in the epidemiology of invasive fungal infections’, Japanese
Journal of Medical Mycology, vol. 48, pp.1–12.
Winters, MS, Chan, Q, Caruso, JA, & Deepe, GS, 2010, ‘Metallomic analysis of
macrophages infected with Histoplasma capsulatum reveals a fundamental role for zinc
in host defenses,’ Journal of Infectious Diseases, vol. 202, pp.1136–1145.
Wuthrich M, Deepe GS Jr, Klein B, 2012, Adaptive immunity to fungi, Annual Review of
Immunology, vol. 30, pp. 115–148.
Zuniga LA, Jain R, Haines C, & Cua, DJ, 2013, ‘Th17 cell development: From the cradle to
the grave’, Immunology Review, vol. 252, pp.78–88.

12

Anda mungkin juga menyukai