Anda di halaman 1dari 21

Pilek adalah radang yang terjadi pada lapisan hidung dan tenggorokan,

sehingga menyebabkan produksi lendir menjadi lebih banyak. Mereka yang


terkena pilek akan mengalami gejala berupa nyeri tenggorokan, bersin-bersin,
hidung tersumbat yang kemudian beringus, bahkan batuk-batuk.
Rinoskopi anterior adalah pemeriksaan rongga hidung dari depan dengan
memakai spekulum hidung. Di belakang vestibulum dapat dilihat bagian dalam
hidung.Pada kedua dinding lateral dapat dilihat konka inferior.

Hal-hal yang harus diperhatikan pada rinoskopi anterior ialah :


Mukosa. Dalam keadaan normal, mukosa berwarna merah muda. Pada radang berwarna
merah, sedangkan pada alergi akan tampak pucat atau kebiru-biruan (livid).
Septum. Biasanya terletak di tengah dan lurus. Diperhatikan apakah ada deviasi, krista, spina,
perforasi, hematoma, abses dan lain-lain.
Konka. Diperhatikan apakah konka besarnya normal (eutrofi, hipertrofi, hipotrofi atau atrofi).
Sekret. Bila ditemukan sekret pada rongga hidung, harus diperhatikan banyaknya, sifatnya
(serous, mukoid, mukopurulen, purulen atau bercampur darah) dan lokalisasinya (meatus
inferior medius, atau superior). Lokasi sekret ini penting artinya, sehubungan dengan letak
ostium sinus-sinus paranasal dan dengan demikian dapat menunjukkan dari mana sekret
tersebut berasal. Krusta yang banyak ditemukan pada rhinitis atrofi.
Massa. Massa yang sering ditemukan di dalam rongga hidung adalah polip dan tumor. Pada
anak dapat ditemukan benda asing.
Rhinoskopi posterior adalah pemeriksaan ronnga hidung dari belakang, dengan
menggunakan kaca nasofaring. Dengan mengubah-ubah posisi kaca, kita dapat melihat
koana, ujung posterior septum, ujung posterior konka, sekret yang mengalir dari hidung ke
nasofaring (post nasal drip), torus tubarius, dan ostium tuba.
Akhir-akhir ini dikembangkan cara pemeriksaan dengan endoskop, disebut nasoendoskopi.
Dengan cara ini bagian-bagian rongga hidung yang tersembunyi yang sulit dilihat dengan
rinoskopi anterior, maupun rinoskopi posterior akan tampak lebih jelas.

Rongga hidung atau kavum nasi adalah rongga yang berbentuk terowongan dari depan ke belakang
yang dipisahkan oleh septum di bagian tengah menjadi rongga hidung kanan dan kiri. Lobang hidung depan
disebut nares anterior dan lobang hidung belakang disebut nares posterior ( khoana ) yang memisahkan rongga
hidung dengan nasofaring. Di dinding lateral rongga hidung terdapat 3 tonjolan tulang yang dilapisi mukosa yaitu
konka superior, media dan inferor. Celah yang terdapat diantara konka-konka tersebut atau lebih tepat ruang

diantara konka tersebut dengan dinding lateral rongga hidung disebut meatus yaitu meatus superior, media dan
inferior.
Sinus paransal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya
sangan bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal mulai dari yang terbesar yaitu sinus
maksila, sinus frontal, sinus etmoid,dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan merupakan
hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala , sehingga berbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai
muara ( ostium ) ke dalam rongga hidung.
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius terdapat muara-muara
dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Di daerah yang sempit ini terdapat prosessus
uncinatus, infundibulum, hiatus semilunaris, recessus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior. Daerah
yang sempit dan rumit ini disebut kompleks osteomeatal ( KOM ) yang merupakan factor utama patogenesa
tejadinya sinusitis.
Mukosa hidung dan sinus paranasal terdiri dari epitel torak berlapis semu bersilia dan diatasnya
terdapat sel-sel goblet yang menghasilkan lendir. Sekresi dari sel-sel goblet dan kelenjar ini membentuk selimut
mukosa,. Diatas permukaan mukosa terdapat silia yang di rongga hidung bergerak secara teratur kea rah
nasofaring dan dari rongga sinus kearah ostium dari sinus tersebut. Silia dan selimut mukosa ini berfungsi
sebagai proteksi dan melembabkan udara inspirasi yang disebut sebagai system mukosilier. Sinus dari kelompok
anterior dailirkan ke naso faringdi bagian depan muara tuba eustakius sedang sinus grup posterior dialirkan ke
nasofaring di bagian postero superior tuba eustakius.

Post-nasal drip adalah akumulasi lendir di belakang hidung dan tenggorokan


yang menjurus pada, atau memberikan sensasi dari, tetesan lendir yang
menurun dari belakang hidung. Salah satu dari karakteristik-karakteristik yang
paling umum dari rhinitis kronis adalah post-nasal drip

Patofisiologi tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh bakteri atau kuman
streptococcus beta hemolitikus grup A, streptococcus viridans dan pyogenes dan dapat
disebabkan oleh virus. Faktor predisposisi adanya rangsangan kronik (misalnya karena
merokok atau makanan), pengaruh cuaca, pengobatan radang akut yang tidak adekuat tidak
higienis, mulut yang tidak bersih.
Patofisiologinya pada tonsilitis akut : penularannya terjadi melalui droplet dimana kuman
menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel ini terkikis, maka jaringan limfoid
superkistal bereaksi, di mana terjadi pembendungan radang dengan infiltasi leikosit PMN.
Patofisiloginya pada tonsilitis kronik : terjadi karena proses radang berulang, maka epitel
mukosa dan jaringan limfoid terkikis sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid
diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok
melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas hingga meluas menembus
kapsul dan akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Jadi, tonsil
meradang dan membengkak, terdapat bercak abu-abu/kekuningan pada permukaan dan
berkumpul membentuk membran.

ukuran besarnya tonsil dinyatakan dengan : T0 : bila sudah dioperasi


T1 : ukuran yang normal ada
T2 : pembesaran tonsil tidak sampai garis tengah
T3 : pembesaran mencapai garis tengah
T4 : pembesaran melewati garis tengah

Dekongestan merupakan agen simpatomimetik yang bertindak pada reseptor dalam mukosa
nasal yang menyebabkan pembuluh darah mengecil. Selain itu juga dapat mengurangi
pembengkakan mukosa hidung dan melegakan pernafasan. Dekongestan apabila
dikombinasikan dengan antihistamin sangat efektif melegakan tanda-tanda rinitis terutama
bila hidung sumbat.
Sinusitis adalah inflamasi atau peradangan pada dinding sinus. Inflamasi ini
sering kali disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Sinus adalah rongga kecil
berisi udara yang terletak di belakang tulang pipi dan dahi

Tonsilitis (Amandel)
Definisi
Tonsilitis adalah suatu peradangan pada tonsil (amandel) yang dapat menyerang semua
golongan umur.
Tonsil adalah kelenjar getah bening di mulut bagian belakang (di puncak tenggorokan).
Tonsil berfungsi membantu menyaring bakteri dan mikroorganisme lainnya sebagai tindakan
pencegahan terhadap infeksi. Tonsil bisa 'dikalahkan' oleh infeksi bakteri maupun virus,
sehingga membengkak dan meradang, menyebabkan tonsilitis. Infeksi juga bisa terjadi di
tenggorokan dan daerah sekitarnya, menyebabkan faringitis.
Berdasarkan lama perjalanan penyakit dan penyebabnya, tonsillitis terbagi atas tonsillitis akut
dan tonsillitis kronis.
1. Tonsilitis Akut
- Merupakan radang pada tonsil yang timbulnya (onset) cepat, atau berlangsung dalam waktu
pendek (tidak lama), dalam kurun waktu jam, hari hingga minggu.
- Lebih disebabkan oleh kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, pneumokokus,
streptokokus viridian, dan streptokokus piogenes.

2.
-

Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa
keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini merupakan
kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini
mengisi kripte tonsil dan tampak sebagai bercak kekuningan.
Tonsilitis Kronik
Tonsilitis yang berlangsung lama (bulan atau tahun) atau dikenal sebagai penyakit menahun.
Bakteri penyebab tonsillitis kronik sama halnya dengan tonsillitis akut, namun kadangkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan gram negatif.
Faktor predisposisi tonsillitis kronis antara lain rangsangan kronis rokok, makanan tertentu,
higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsillitis akut
yang tidak adekuat.
Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga
pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini akan
mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar yang akan diisi oleh detritus, proses ini
meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fosa
tonsilaris.
Saat pemeriksaan ditemukan tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kripte membesar
dan terisi detritus.
Tabel 1
Perbedaan Tonsilitis Akut dan Tonsilitis Kronik
Tonsilitis Akut
Onset cepat, terjadi dalam
beberapa
hari,
hingga
beberapa minggu
Penyebab kuman streptokokus
beta hemolitikus grup A,
pneumokokus, streptokokus
viridian, dan streptokokus
piogenes.
Tonsil hiperemis & edema
Kripte tidak melebar
Detritus + / -

Tonsilitis Kronik
Onset lama, beberapa bulan hingga
beberapa tahun (menahun)
Penyebab tonsillitis kronik sama halnya
dengan tonsillitis akut, namun kadangkadang
bakteri
berubah
menjadi
bakteri golongan gram negatif
Tonsil membesar
edema
Kripte melebar
Detritus +

mengecil

tidak

Etiologi (Penyebab)
Penyebabnya adalah infeksi bakteri streptokokus atau infeksi virus (lebih jarang).
-

Manifestasi Klinis (Gejala)


Penderita biasanya mengeluh sakit menelan, lesu seluruh tubuh, nyeri sendi, dan kadang
atalgia sebagai nyeri alih dari Nervus IX.
Suhu tubuh sering mencapai 40C, terutama pada anak.
Tonsil tampak bengkak, merah, dengan detritus berupa folikel atau membran. Pada anak,
membran pad tonsil mungkin juga disebabkan oleh tonsilitis difteri.
Pemeriksaan darah biasanya menunjukkan leukositosis.
Pada tonsilitis kronik hipertrofi, tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kripta lebar
berisi detritus. Tonsil melekat ke jaringan sekitarnya. Pada bentuk atrofi, tonsil kecil seperti
terpendam dalam fosa tonsilaris.
Gejala lainnya adalah demam, tidak enak badan, sakit kepala dan muntah.

Diagnosis
Diagnosis berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan fisik.
Dengan bantuan spatel, lidah ditekan untuk melihat keadaan tonsil, yaitu warnanya, besarnya,
muara kripte apakah melebar dan ada detritus, nyeri tekan, arkus anterior hiperemis atau
tidak.
Besar tonsil diperiksa sebagaiberikut:
T0
= tonsil berada di dalam fossa tonsil atau telah diangkat
T1
= bila besarnya 1/4 jarak arkus anterior dan uvula
T2
= bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan uvula
T3
= bila besarnya 3/4 jarak arkus anterior dan uvula
T4
= bila besarnya mencapai arkus anterior atau lebih

Gambar 1
Ukuran Besar Tonsil (Amandel)

Terapi
Jika penyebabnya adalah bakteri, diberikan antibiotik per oral selama 10 hari. Jika anak
mengalami kesulitan menelan bisa diberikan dalam bentuk suntikan.
Penisilin V 1,5 juta IU 2 x sehari selama 5 hari atau 500 mg 3 x sehari.
Pilihan lain adalah eritromisin 500 mg 3 x sehari atau amoksisilin 500 mg 3 x sehari yang
diberikan selama 5 hari. Dosis pada anak : eritromisin 40 mg/kgBB/ hari, amoksisilin 30 50
mg/kgBB/hari.
Tak perlu memulai antibiotik segera, penundaan 1 3 hari tidak meningkatkan komplikasi
atau menunda penyembuhan penyakit.
Antibiotik hanya sedikit memperpendek durasi gejala dan mengurangi risiko demam
rematik.
Bila suhu badan tinggi, penderita harus tirah baring dan dianjurkan untuk banyak minum.
Makanan lunak diberikan selama penderita masih nyeri menelan.
Analgetik (parasetamol dan ibuprofen adalah yang paling aman) lebih efektif daripada
antibiotik dalam menghilangkan gejala. Nyeri faring bahkan dapat diterapi dengan spray
lidokain.
Pasien tidak lagi menularkan penyakit sesudah pemberian 1 hari antibiotik.
Bila dicurigai adanya tonsilitis difteri, penderita harus segera diberi serum anti difteri (ADS),
tetapi bila ada gejala sumbatan nafas, segera rujuk ke rumah sakit.
Pada tonsilitis kronik, penting untuk memberikan nasihat agar menjauhi rangsangan yang
dapat menimbulkan serangan tonsilitis akut, misalnya rokok, minuman/makanan yang

merangsang, higiene mulut yang buruk, atau penggunaan obat kumur yang mengandung
desinfektan.
- Bila terapi medikamentosa tidak berhasil dianjurkan terapi radikal dengan tonsilektomi.
Indikasi tonsilektomi
Relatif
o Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan terapi antibiotik adekuat.
o Halitosis (nafas bau) akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi
medis.
o Tonsilitis kronis atau berulang pada linier Streptokokkus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik
Mutlak (Absolut)
o Pembengkakan tonsil menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur
dan komplikasi kardiopulmonal.
o Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase.
o Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
o Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan tempat yang dicurigai limfoma
(keganasan)
o Hipertropi tonsil atau adenoid dengan sindrom apnoe waktu tidur.
Prognosis
Gejala tonsilitis akibat radang biasanya menjadi lebih baik sekitar 2 atau 3 hari setelah
pemberian antibiotik. Dapat berulang hingga menjadi kronis bila faktor predisposisi tidak
dihindari.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Referensi
Bahan Kuliah Sistem Indera Khusus, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,
Makassar, 2005.
Departemen Kesehatan RI, Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas, Ditjen Binfar &
Alkes, Jakarta, 2007.
Mansjoer Arif, dkk, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1, Penerbit Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
Mubin Halim Prof. dr., Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam (Diagnosis dan Terapi),
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2008.
Staf Pengajar Ilmu Penyakit THT FKUI. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tengorok Kepala Leher Edisi ke 6 Cetakan ke 1, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1990.
http://medicastore.com/penyakit/57/Tonsilitis_Radang_Amandel.html

RHINITIS
A. Pendahuluan
1. Definisi
Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung. (Dipiro,
2005 )
Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung. ( Dorland, 2002 )
Rhinitis adalah istilah untuk peradangan mukosa. Menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi
dua:
a. Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran mukosa hidung

dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus dan bakteri. Penyakit ini dapat
mengenai hampir setiap orang pada suatu waktu dan sering kali terjadi pada musim dingin
dengan insidensi tertinggi pada awal musim hujan dan musim semi.
b. Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa yang disebabkan
oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena rinitis vasomotor.
2. Epidemologi
Rhinitis alergi merupakan penyakit umum dan sering dijumpai. Prevalensi penyakit rhinitis
alergi pada beberapa Negara berkisar antara 4.5-38.3% dari jumlah penduduk dan di
Amerika, merupakan 1 diantara deretan atas penyakit umum yang sering dijumpai. Meskipun
dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita umumnya mulai menderita pada saat
berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita dan pria dengan kemungkinan yang sama.
Penyakit ini herediter dengan predisposisi genetic kuat. Bila salah satu dari orang tua
menderita alergi, akan memberi kemungkinan sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila
kedua orang tua menderita akan diperkirakan mengenai sekitar 50% keturunannya
(PERSI,2007).
Perkiraan yang tepat tentang prevalensi rhinitis alergi agak sulit berkisar 4 40%
Ada kecenderungan peningkatan prevalensi rhinitis alergi di AS dan di seluruh dunia
Penyebab belum bisa dipastikan, tetapi nampaknya ada kaitan dengan meningkatnya polusi
udara, Populasi dust mite, kurangnya ventilasi di rumah atau kantor, dll.

B. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan
diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu :
1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Munculnya
segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar dengan alergen spesifik dan gejalanya terdiri dari
bersin-bersin, rinore karena hambatan hidung dan atau bronkospasme. Hal ini berhubungan
dengan pelepasan amin vasoaktif seperti histamin.
2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Muncul dalam 2-8 jam setelah terpapar
alergen tanpa pemaparan tambahan. Hal ini berhubungan dengan infiltrasi sel-sel peradangan,
eosinofil, neutrofil, basofil, monosit dan CD4 + sel T pada tempat deposisi antigen yang
menyebabkan pembengkakan, kongesti dan sekret kental.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai APC akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Kompleks antigen yang telah diproses dipresentasikan pada sel T helper (Th0). APC
melepaskan sitokin seperti IL1 yang akan mengaktifkan Th0 ubtuk berproliferasi menjadi
Th1 dan Th2. Th2 menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL13. IL4 dan
IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua
sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya

dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk terutama histamin.
Rinitis Alergi melibatkan membran mukosa hidung, mata, tuba eustachii, telinga tengah,
sinus dan faring. Hidung selalu terlibat, dan organ-organ lain dipengaruhi secara individual.
Peradangan dari mukosa membran ditandai dengan interaksi kompleks mediator inflamasi
namun pada akhirnya dicetuskan oleh IgE yang diperantarai oleh respon protein ekstrinsik.
Kecenderungan munculnya alergi, atau diperantarai IgE, reaksi-reaksi pada alergen ekstrinsik
(protein yang mampu menimbulkan reaksi alergi) memiliki komponen genetik. Pada individu
yang rentan, terpapar pada protein asing tertentu mengarah pada sensitisasi alergi, yang
ditandai dengan pembentukan IgE spesifik untuk melawan protein-protein tersebut. IgE
khusus ini menyelubungi permukaan sel mast, yang muncul pada mukosa hidung. Ketika
protein spesifik (misal biji serbuksari khusus) terhirup ke dalam hidung, protein dapat
berikatan dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan pelepasan segera dan lambat dari
sejumlah mediator. Mediator-mediator yang dilepaskan segera termasuk histamin, triptase,
kimase, kinin dan heparin. Sel mast dengan cepat mensitesis mediator-mediator lain,
termasuk leukotrien dan prostaglandin D2. Mediator-mediator ini, melalui interaksi beragam,
pada akhirnya menimbulkan gejala rinore (termasuk hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal,
kemerahan, menangis, pembengkakan, tekanan telinga dan post nasal drip). Kelenjar mukosa
dirangsang, menyebabkan peningkatan sekresi. Permeabilitas vaskuler meningkat,
menimbulkan eksudasi plasma. Terjadi vasodilatasi yang menyebabkan kongesti dan tekanan.
Persarafan sensoris terangsang yang menyebabkan bersin dan gatal. Semua hal tersebut dapat
muncul dalam hitungan menit; karenanya reaksi ini dikenal dengan fase reaksi awal atau
segera.
Setelah 4-8 jam, mediator-mediator ini, melalui kompetisi interaksi kompleks, menyebabkan
pengambilan sel-sel peradangan lain ke mukosa, seperti neutrofil, eosinofil, limfosit dan
makrofag. Hasil pada peradangan lanjut, disebut respon fase lambat. Gejala-gejala pada
respon fase lambat mirip dengan gejala pada respon fase awal, namun bersin dan gatal
berkurang, rasa tersumbat bertambah dan produksi mukus mulai muncul. Respon fase lambat
ini dapat bertahan selama beberapa jam sampai beberapa hari.
Sebagai ringkasan, pada rinitis alergi, antigen merangsang epitel respirasi hidung yang
sensitif, dan merangsang produksi antibodi yaitu IgE. Sintesis IgE terjadi dalam jaringan
limfoid dan dihasilkan oleh sel plasma. Interaksi antibodi IgE dan antigen ini terjadi pada sel
mast dan menyebabkan pelepasan mediator farmakologi yang menimbulkan dilatasi vaskular,
sekresi kelenjar dan kontraksi otot polos.
Efek sistemik, termasuk lelah, mengantuk, dan lesu, dapat muncul dari respon peradangan.
Gejala-gejala ini sering menambah perburukan kualitas hidup.
Berdasarkan cara masuknya, allergen dibagi atas
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel, bulu binatang.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan misalnya susu, telur,
coklat, ikan, udang.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa.
Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan
kosmetik, perhiasan.
C. Etiologi
1. Alergen
Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis alergika.
Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen hirupan utama
penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia,

sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang
penting.
2. Polutan
Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi dalam ruangan
terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk gas buang disel, karbon
oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir
ini telah diketahui lebih jelas.
3. Aspirin
Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis
alergika pada penderita tertentu.
D.Gambaran Klinis
1. Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
(umumnya bersin lebih dari 6 kali).
2. Hidung tersumbat.
3. Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi biasanya
bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau kekuning-kuningan jika
berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.
4. Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok.
Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.
E. Diagnosis
1. Amnesis
Gejala khas yang bisa didapatkan adalah sebagai berikut :
serangan timbul bila terjadi kontak dengan alergen penyebab
didahului rasa gatal di hidung, mata, atau kadang pada pallatum molle
bersin-bersin paroksismal (dominan) : > 5kali/serangan, diikuti produksi sekret yg encer
danhidung buntu gangguan pembauan, mata sembab dan berair, kadang disertai sakit kepala
tidak didapatkan tanda infeksi (mis : demam) mungkin didapatkan riwayat alergi pada
keluarga
2. Pemeriksaan Fisis
konka edema dan pucat, secret seromucinou
3. Pemeriksaan Penunjang
Tes kulit prick test
Eosinofil sekret hidung. Positif bila 25%
Eosinofil darah. Positif bila 400/mm3
bila diperlukan dapat diperiksa
IgE total serum (RIST & PRIST). Positif bila > 200 IU
IgE spesifik (RAST)
X-foto Water, bila dicurigai adanya komplikasi sinusitis

F.Pelaksanaan
1. Medis
Simtomatik :
Intermiten ringan : anti histamin (2minggu) dan dekongestan (pseudoefedrin 2x30mg)

Anti histamin pada saat serangan dapat dipakai CTM 3 x 2-4mg. Untuk yang non sedatif
dapat dipakai loratadin, setirizin (1 x 10 mg) atau fleksonadine (2x60mg). Desloratadine
adalah turunan baru loratadine yang punya efek dekongestan. Anti histamin baru non sedatif
cukup aman untuk pemakaian jangka panjang.
Intermiten sedang berat, persisten ringan : steroid topikal, cromolyn (mast cell stabilisator),
B2 adrenergik (terbutaline). Kortikosteroid (deksametasone, betametasone) untuk serangan
akut yang berat, ingat kontra indikasi. Dihentikan dengan tappering off
Dekongestan lokal : tetes hidung, larutan efedrine 1%, atau oksimetazolin 0.025% 0.05%, bila diperlukan, dan tidak boleh lebih dari seminggu. Dipakai kalau sangat perlu
agar tidak menjadi rhinitis medikamentosa
Dekongestan oral : pseudoefedrine 2-3 x 30-60mg sehari. Dapat dikombinasi dengan
antihistamin (triprolidin + pseudoefedrine, setirizin + pseudoefedrine, loratadine +
pseudoefedrine)
R.A persisten sedang berat : bisa digunakan steroid semprot hidung
Pembedahan : apabila ada kelainan anatomi (deviasi septum nasi), polip hidung, atau
komplikasi lain yang memerlukan tindakan bedah
2. Asuhan Keperawatan
Mendorong individu untuk bertanya mengenai masalah, penanganan, perkembangan dan
prognosis kesehatan
Mengatur kelembapan ruangan untuk mencegah pertumbuhan jamur
Menjauhkan hewan berbulu dari pasien alergi, namun hal ini sering tidak dipatuhi terutama
oleh pecinta binatang
Membersihkan kasur secara rutin.
G. Prognosis
1. Sinusitis kronis (tersering)
2. Poliposis nasal
3. Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal dan
sensitive terhadap aspirin)
4. Asma
5. Obstruksi tuba Eustachian dan efusi telingah bagian tengah
6. Hipertropi tonsil dan adenoid
7. Gangguan kognitif

Daftar Pustaka
1. Dorland, WA. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC
2. Smeltzer, suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
3. Peralmuni. Terapi Imun Alergen Spesifik Pada Rinitis Alergi: Kajian
4. Mekanisme Biomolekuler, Indikasi, Efektivitas. Online. 2011. Available from URL:
http://www.peralmuni.medindo.com/
5. Mohammad. Rhinitis alergika. Online. 2011 Available from URL: http:// www.nnno.facebook.com/topic.php?uid=100064742713&topic=9732
6. www.google.com

Polip hidung adalah massa lunak, berwarna putih atau keabu-abuan yang terdapat dalam
rongga gidung. Paling sering berasal dari sinus etmoid, multiple, dan bilateral. Biasanya pada
orang dewasa. Pada anak mungkin merupakan gejala kistik fibrosis.
Polip konka adalah polip hidung yang berasal dari sinus maksila yang keluar melalui rongga
hibung dan membesar di konka dan nasofaring. ( Mansoer ,1999)
Ada suatu tumbuhan di rongga hidung yang disebut polip hidung. Polip ialah suatu sumbatan,
tetapi sifatnya lain dari tumor. (Iskandar, 1993)
Polip hidung ialah masa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung,
berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa.(Endang, 2003)
Polip nasi ialah massa lunak yang bertangkai di dalam rongga hidung yang terjadi akibat
inflamasi mukosa. Permukaannya licin, berwarna putih keabu-abuan dan agak bening karena
mengandung banyak cairan. Bentuknya dapat bulat atau lonjong, tunggal atau multipel,
unilateral atau bilateral. (Anonim, 2010)

2.2.

Etiologi

Terjadi akibat reaksi hipertensitif atau reaksi alergi pada mukosa hidung. Polip dapat timbul
pada penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada
polip pada anak di bawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel atau
meningoensefalokel.
Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi ialah adanya rinitis alergi atau penyakit atopi,
tetapi makin banyak penelitian yang tidak mendukung teori ini dan para ahli sampai saat ini
menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan pasti.
Polip disebabkan oleh reaksi alergi atau reaksi radang. Bentuknya bertangkai, tidak
mengandung pembuluh darah. Di hidung polip dapat tumbuh banyak, apalagi bila asalnya
dari sinus etmoid. Bila asalnya dari sinus maksila, maka polip itu tumbuh hanya satu, dan
berada di lubang hidung yang menghadap ke nasofaring (konka). Keadaan ini disebut polip
konka. Polip konka biasanya lebih besar dari polip hidung. Polip itu harus dikeluarkan, oleh
karena bila tidak, sebagai komplikasinya dapat terjadi sinusitis. Polip itu dapat tumbuh
banyak, sehingga kadang-kadang tampak hidung penderita membesar, dan apabila
penyebarannya tidak diobati setelah polip dikeluarkan, ia dapat tumbuh kembali. Oleh karena
itu janganlah bosan berobat, oleh karena seringkali seseorang dioperasi untuk menegluarkan
polipnya berulang-ulang.
Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :
a)

Alergi terutama rinitis alergi.

b)

Sinusitis kronik.

c)

Iritasi.

d)
2.3.

Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka.
Patofisiologi

Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom
serta predisposisi genetic. Menurut teori Bemstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat
peradangan atau aliran udara yang bertubulensi, terutama di daerah sempit di kompleks
ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan
kelanjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang
berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.
Teori lain mengatakan karena ketidak seimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang mengakibatkan dilepasnya
sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama-lama menjadi polip.
Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan
kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.
Histopatologi polip nasi Secara makroskopik polip merupakan massa dengan permukaan
licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna pucat keabu-abuan, lobular, dapat tunggal atau
multipel dan tidak sensitif (bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat
tersebut disebabkan oleh sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau
proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang
sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung
jaringan ikat.
Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari tempat yang sempit di bagian atas hidung, di
bagian lateral konka media dan sekitar muara sinus maksila dan sinus etmoid. Di tempattempat ini mukosa hidung saling berdekatan. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan
endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Dari penelitian Stammberger
didapati 80% polip nasi berasal dari celah antara prosesus unsinatus, konka media dan
infundibulum.
Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring, disebut polip koana.
Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip antro-koana.
Menurut Stammberger polip antrokoana biasanya berasal dari kista yang terdapat pada
dinding sinus maksila. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid
posterior atau resesus sfenoetmoid.
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung normal yaitu
epitel bertingkat semu bersilia denagn submukosa yang sembab. Sel-selnya terdiri dari
limfosit, sel plasma, eosinofil, netrofil dan makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet.
Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami
metaplasia epitel karena sering transisional, kubik atau gepeng berlapis keratinisasi.
Berdasarkan jenis sel peradanganya, polip dikelompokkan menjadi 2, yaitu polip tipe
eosinofilik dan tipe neutrofilik.
2.4.

Manifestasi Klinis

Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip nasi adalah hidung tersumbat. Sumbatan ini tidak
hilang timbul dan makin lama makin memberat. Pada sumbatan yang hebat dapat
menyebabkan timbulnya gejala hiposmia bahkan anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus
paranasal, akan timbul sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan rhinore. Bila penyebabnya
adalah alergi, maka gejala utama adalah bersin dan iritasi di hidung.
Sumbatan hidung yang menetap dan semakin berat dan rinorea. Dapat terjadi sumbatan
hiposmia atau anosmia. Bila menyumbat ostium, dapat terjadi sinusitis dengan ingus purulen.
Karena disebabkan alergi, gejala utama adalah bersin dan iritasi di hidung.
Pada pemeriksaan klinis tampak massa putih keabu-abuan atau kuning kemerah-merahan
dalam kavum nasi. Polip bertangkai sehingga mudah digerakkan, konsistensinya lunak, tidak
nyeri bila ditekan, mudah berdarah, dan tidak mengecil pada pemakaian vasokontriktor.
Pada rhinoskopi anterior polip nasi sering harus dibedakan dari konka hidung yang
menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaannya:
Polip
Bertangkai
Mudah digerakkan
Tidak nyeri tekan
Tidak mudah berdarah
Pada pemakaian
vasokonstriktor tidak
mengecil

Konka polipoid
Tidak bertangkai
Sukar digerakkan
Nyeri bila ditekan dengan
pinset
Mudah berdarah
Dapat mengecil dengan
vasokonstriktor

Polip pada hidung dengan warna keabu- abuan

Gambar masa polip

2.5.

Pemeriksaan Fisik

Polip nasi yang massif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak
mekar karena pelebar batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai
massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.
Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997),
Stadium 1 : polip masi terbatas di meatus medius

Stadium2 : polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum
memenuhi rongga hidung
Stadium 3 : polip yang massif
2.6.

Pemeriksaan Diagnostik

Foto polos sinus paranasal (posisi Waters,AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan
penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat
pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi computer (TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk
melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang,
kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama
diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada
komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.
2.5.1. Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru.
Polip stadium 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi
tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi.Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat
tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila
2.5.2. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan
penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi sebenarnya kurang
bermafaat pada kasus polip nasi karena dapat memberikan kesan positif palsu atau negatif
palsu, dan tidak dapat memberikan informasi mengenai keadaan dinding lateral hidung dan
variasi anatomis di daerah kompleks ostio-meatal. Pemeriksaan tomografi komputer (TK, CT
scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal
apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal.
TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi
medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah
terutama bedah endoskopi. Biasanya untuk tujuan penapisan dipakai potongan koronal,
sedangkan pada polip yang rekuren diperlukan juga potongan aksial

2.6

Penatalaksanaan

Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan keluhan-keluhan,
mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medika
mentosa. Dapat diberikan topical atau sistemik. Polip tipe eosinofilik memberikan respons
yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasal dibandingkan polip tipe
neurotrofilik.
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat massif
dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi)

menggunakan senar polip atau cumin dengan analgesic local, etmoidektomi intranasal atau
etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila.
Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan BSEF
(bedah Sinus Endoskopi Fungsional).
Bila polip masih kecil, dapat diobati secara konservatif dengan kortikosteroid sistemik atau
oral, misalnya prednisone 50mg/hari atau deksamentosa selama 10 hari kemudian diturunkan
perlahan. Secar local dapat disuntikkan ke dalam polip, misalnya triamsinolon asetonid atau
predsinolon 0,5 ml tiap 5-7 hari sekali sampai hilang. Dapat dipakai secara topical sebagai
semprot hidung, misalnya beklometason dipropionat. Bila sudah besar, dilakukan ekstraksi
polip dengan senar. Bila berualang dapat dirujuk untuk operasi etmoidektomi intranasal atau
ekstranasal
Pengobatan juga perlu ditunjukkan pada penyebabnya, dengan menghindari allergen
penyebab.
Ada tiga macam penanganan polip nasi yaitu :
a)

Cara konservatif

b)

Cara operatif

c)

Kombinasi keduanya.

Cara konservatif atau menggunakan obat- obatan yaitu menggunakan glukokortikoid yang
merupakan satu- satunya kortikosteroid yang efektif, terbagi atas kortikosteroid topical dan
kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid topical (long term topical treatment) diberikan dalam
bentuk tetes atau semprot hidung tiak lebih dari 2 minggu. Kortikosteroid sistemik (short
term systemic treatment) dapat diberikan secara oral maupun suntikan depot. Untuk preparat
oral dapat diberikan prednisolon atau prednisone dengan dosis 60 mg untuk empat hari
pertama, selanjutnya ditappering off 5 mg/hr sampai hari ke-15 dengan dosis total 570 mg.
Suntikan depot yang dapat diberikan adalah methylprednisolon 80 mg atau betamethasone 14
mg setiap 3 bulan.
Cara operatif dapat berupa polipektomi intranasal, polipektomi intranasal dengan
ethmoidektomi, transantral ethomiodektomi dan sublabial approach (Caldweel-luc operation),
frontho-ethmoido- sphenoidektomi eksternal dan endoskopik polipektomi dan bedah sinus

2.7.

Komplikasi

Satu buah polip jarang menyebabkan komplikasi, tapi dalam ukuran besar atau dalam jumlah
banyak (polyposis) dapat mengarah pada akut atau infeksi sinusitis kronis, mengorok dan
bahkan sleep apnea - kondisi serius nafas dimana akan stop dan start bernafas beberapa kali
selama tidur. Dalam kondisi parah, akan mengubah bentuk wajah dan penyebab penglihatan
ganda/berbayang.

2.8.

Prognosis

Prognosis dan perjalanan alamiah dari polip nasi sulit dipastikan. Terapi medis untuk polip
nasi biasanya diberikan pada pasien yang tidak memerlukan tindakan operasi atau yang
membutuhkan waktu lama untuk mengurangi gejala. Dengan terapi medikamentosa, jarang
polip hilang sempurna. Tetapi hanya mengalami pengecilan yang cukup sehingga dapat
mengurangi keluhan. Polip yang rekuren biasanya terjadi setelah pengobatan dengan terapi
medikamentosa maupun pembedahan.

TONSILITIS KRONIS
Bersama : Kunsantri Nurrobbi, dr, M.HI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Tonsilitis kronis merupakan kondisi di mana terjadi pembesaran tonsil disertai dengan
serangan infeksi yang berulang-ulan. Tonsillitis merupakan salah satu penyakit yang paling
umum ditemukan pada masa anak-anak. Angka kejadian tertinggi terutama antara anak-anak
dalam kelompok usia antara 5 sampai 10 tahun yang mana radang tersebut merupakan infeksi
dari berbagai jenis bakteri (Brook dan Gober, dalam Hammouda, 2009).
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang terjadi di tenggorokan terutama terjadi pada
kelompok usia muda (Wiatrak BJ dalam Kurien, 2000).
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 19941996, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar
3,8% (Suwento dalam Farokah, 2007).
1.2.Tujuan
Mengetahui informasi terpenting tentang tonsilitis kronis sesuai dengan kompetensi dokter
umum pada kepaniteraan klinik SMF Ilmu THT-KL di RSUD Kabupaten Jombang.
1.3.Masalah
Bagaimanakah tentang tonsilitis kronis beserta penatalaksanaannya ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi
Tonsilitis merupakan keradangan kronis yang mengenai seluruh jaringan tonsil yang
umumnya didahului oleh suatu keradangan di bagian tubuh lain, misalnya sinusitis, rhinitis,
infeksi umum seperti morbili, dan sebagainya. Sedangkan Tonsilitis Kronis adalah
peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi
subklinis (Woolley AL dalam Abdulhadi, 2007).
2.2. Insiden
Di Indonesia 3,8% setelah nasofaring akut yaitu tahun 1994-1996 berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Suwento dan sering terjadi pada anak-anak, terutama berusia 5 tahun dan
10 tahun. (Farokah, 2007).
2.3. Etiologi
Etiologi berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penyelidikan dari Commission on Acute
Respiration Disease bekerja sama dengan Surgeon General of the Army America dimana dari
169 kasus didapatkan data sebagai berikut :

25% disebabkan oleh Streptokokus hemolitikus yang pada masa penyembuhan


tampak adanya kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum penderita.

25% disebabkan oleh Streptokokus golongan lain yang tidak menunjukkan kenaikan
titer Streptokokus antibodi dalam serum penderita.

Sisanya adalah Pneumokokus, Stafilokokus, Hemofilus influenza.

Adapula yang menyatakan etiologi terjadinya tonsilitis sebagai berikut :


1. Streptokokus hemolitikus Grup A
2. Hemofilus influenza
3. Streptokokus pneumonia
4. Stafilokokus (dengan dehidrasi, antibiotika)
5. Tuberkulosis (pada keadaan immunocompromise).
(Hammouda, 2009)
2.3. Patofisiologi
Terjadinya proses radang berulang disebabkan oleh rokok, beberapa jenis makanan, higiene
mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis yang tidak
adekuat (Eviaty, 2001).
Proses keradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil. Karena proses radang berulang,
maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan

jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripte
akan melebar (Adams, 1997).
Secara klinis kripte ini akan tampak diisi oleh Detritus (akumulasi epitel yang mati, sel
leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat yang berwarna
kekuning-kuningan). Proses ini terus meluas hingga menembus kapsul sehingga terjadi
perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsillaris. Pada anak-anak, proses ini akan disertai
dengan pembesaran kelenjar submandibula (Ugras, 2008).

(Gambar 2.1, Sumber Adams Anatomy, 1997)


2.4. Diagnosis
Tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kemudian kripta terlihat melebar dan
beberapa kripta terisi oleh debritus. Terasa ada yang mengganjal di tenggorokan, kemudian
pasien merasa tenggorokan kering dan nafas berbau (Eviaty, 2001, Ugras, 2008).
2.5. Diagnosa Banding
Terdapat beberapa diagnosa banding dari tonsilitis kronis adalah sebagai berikut :
1. Penyakit-penyakit dengan pembentukan Pseudomembran atau adanya membran semu
yang menutupi tonsil (Tonsilitis Membranosa)
a. Tonsilitis Difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh
kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer
antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas.

Gejalanya terbagi menjadi tiga golongan besar, umum, lokal dan gejala akibat eksotoksin.
Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak
nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang
tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin
meluas dan membentuk pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila
diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh, misalnya pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis,
pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernafasan dan
pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.
b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)
Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39C), nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit
tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi. Pada pemeriksaan tampak
membran putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring, gusi dan prosesus alveolaris. Mukosa
mulut dan faring hiperemis. Mulut yang berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula
membesar.
c. Mononukleosis Infeksiosa
Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran semu yang menutup ulkus
mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak
dan regio inguinal. Gambaran darah khas, yaitu terdapat leukosit mononukleosis dalam
jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi
terhadap sel darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel).
2. Penyakit Kronik Faring Granulomatus
a. Faringitis Tuberkulosa
Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien adalah buruk karena
anoreksi dan odinofagi. Pasien juga mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri di telinga
(otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher.
b. Faringitis Luetika
Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder atau tersier. Pada
penyakit ini dapat terjadi ulserasi superfisial yang sembuh disertai pembentukan jaringan ikat.
Sekuele dari gumma bisa mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil.
c. Lepra (Lues)
Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring kemudian menyembuh dan
disertai dengan kehilangan jaringan yang luas dan timbulnya jaringan ikat.
d. Aktinomikosis Faring
Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa mengalami ulseasi
dan proses supuratif. Blastomikosis dapat mengakibatkan ulserasi faring yang ireguler,
superfisial, dengan dasar jaringan granulasi yang lunak.

Penyakit-penyakit diatas umumnya memiliki keluhan berhubungan dengan nyeri tenggorokan


(odinofagi) dan kesulitan menelan (disfagi). Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan
serologi, hapusan jaringan atau kultur, foto X-ray dan biopsi jaringan (Adams, 1997,
Kasenmm, 2005).
2.6. Penatalaksanaan
2.6.1. Lokal
Terapi lokal bertujuan pada higiene mulut atau obat hisap yaitu antibiotik dan analgesik
(Eviaty, 2001).
2.6.2. Indikasi Tonsilektomi
Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery ( AAOHNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
1. Indikasi absolut
a)
Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia
berat,gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal
b)
abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali
jika dilakukan fase akut.
c)

Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam

d)

Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi

2. Indikasi relatif
a)
Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan pengobatan
medik yang adekuat
b)

Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik

c)
Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik
dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap -laktamase.
(AAO-HNS dalam Efiaty, 2001)
2.7. Prognosa
Baik setelah dilakukan tonsilektomi dan sebelum terjadinya komplikasi lebih lanjut (Shah,
2007).
2.8. Komplikasi

Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar atau
secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi
yang kerap ditemui adalah sebagai berikut :
1. Komplikasi sekitar tonsil
a. Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan abses.
b. Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal dari
penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran
dari infeksi gigi.
c. Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening atau pembuluh
darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe
faringeal, os mastoid dan os petrosus.
d. Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia 3
bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
e. Krista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini
menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa cekungan,
biasanya kecil dan multipel.
f. Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsil yang
membentuk bahan keras seperti kapur.
2. Komplikasi Organ jauh
a. Demam rematik dan penyakit jantung rematik
b. Glomerulonefritis
c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
d. Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
e. Artritis dan fibrositis

Anda mungkin juga menyukai