Anda di halaman 1dari 4

Pada Oktober 2012 lalu, Zelfeni Wimra menerbitkan kumpulan puisi Air Tulang Ibu.

kumpulan
puisi ini terdiri dari tiga priode: Priode Air, Priode Tulang, dan Priode Ibu. Untuk lebih jelasnya
bagaimana puisi ini, terlebih dahulu kita mulai dari biodata pengarangnya.

Zelfeni Wimra ialah penyair yang berasal dari nagari Sungai Naniang, Limapuluh Kota, Sumatra
Barat. Ia berusia tigapuluhtiga tahun sewaktu menerbitkan kumpulan puisi Air Tulang Ibu ini. Ia
pernah kuliah dan berkegiatan di IAIN Imam Bonjol Padang.

Dari biodata singkat ini dapat kita ketahui bahwa seorang penyair yang berasal dari kampung dan
merantau ke kota ia selalu rindu akan kampung halaman. Ini dirasakan dari sebagian besar puisi-
puisi Zelfeni Wimra. Puisi-puisi Zelfeni banyak yang memakai diksi-diksi yang menyimbolkan
kampung, seperti: ladang, cacing, paria, padi, anak gunung, sirih, pinang, pisang, kaba, si bujang,
dan sebagainya. Dikisi-diksi ini mengalir pada puisi-puisi Zelfeni.

Walaupun hanya merantau dekat, katakanlah Padang masih dekat karena masih dalam wilayah
Minangkabau. Tapi jarak yang dekat itu membuat penyair semakin merindu kampung halaman.
di perantauan yang sungsang/ sunyi tak putus-putus/ aku diobrak rindu/ ditusuk-tusuk.
(sungsang di perantauan) Puisi ini menyatakan bahwa keramaian di perantauananggap saja itu
Padangtak menghilangkan perasaan rindu si penyair pada kampungnya. Ada sesuatu yang
sangat diinginkan penyair. Tapi tak ia temukan di perantauan itu. sudah kuluruskan diri seperti
telunjuk/ kau masih bergelung di situ/ sebagai kelingking yang kesepian/ (kelingking yang
kesepian). Walaupun sudah berusaha untuk melupakan kampung halaman, tapi kampung
halaman itu semakin dilupakan ia semakin teringat. sampai di bait ini aku masih mengeja/ huruf
nama sendiri/ menyiram bab-bab hari yang lekang/ jika pada saat pulang tiba/ kenangan warna
apa kubawa untukmu/ selain wajah yang kian berderai ini?/ (mengeja kepulangan). Si penyair
terus menimang-nimang waktu. Menghitung-hitung hari apa ia akan pulang kampung setelah ini.
kalau ia sudah pulang, rengkuh bahunya/ kau akan suka membelai capuk memanjang di
punggungnya/ (tubuh peburu). Ada peristiwa lain yang diharapkan penyair ketika ia pulang
kampung. Ia akan bertemu dengan kawan-kawan yang sama-sama merantau. Di situ mereka akan
berbagi cerita. Tukar pengalaman. Selanjutnya terlalu lama di perantauan membuat si penyair
gamang, bibir ini kian retak/ seakan berpetak sawah gagal tanam/ terbentang di sini/ (bibir).
Terbayang sesuatu yang buruk akan terjadi. Hal inilah yang sangat mengikat penyair akan
kampung halaman.

Zelfeni Wimra kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang. Ilmu agama yang digelutinya menjadikan
puisi-puisinya relijius. duduk di sini. mengajilah/ tilawahkan yasin bagi sore yang sebentar lagi
pergi/ entah kapan kau bisa kembali/ membaca ayat-ayat mata yang tiris/ (hujan di tepi
kerudung). Puisi ini menggambarkan bagaimana kisah seseorang melepas kepergian seseorang
untuk selama-lamanya. Kematian memang tak bisa dielakkan. Tilawahkanlah yasin supaya
seorang itu bisa pergi dengan tenang. sejenak ia terkenang mengapa nuh jadi nabi yang
penangis/ sebuah periode ketika laut kian bangka/ tentang ibu yang menanak perahu di
matanya/ pada reruntuhan dapur/ (narasi nabi yang penangis). Penyair berusaha menyampaikan
kisah Nabi Nuh, tapi si penyair tidak bisa melepaskan nuansa kampung yang telah menjadi objek
puisi-puisinya.

Puisi Ibu

Pada halaman-halaman awal kumpulan puisi Air Tulang Ibu ini ada tulisan: Buat Amak Helmi
Wirda (04/08/1954-29/08/2010) menjernihkan mata air doa puisi-puisiku terasa tiada bertulang.
Tulisan ini memberikan isyarat bahwa puisi-puisi yang terhimpun dalam Air Tulang Ibu ini ialah
puisi untuk mengenang ibunda penyair. Alangkah sayangnya penyair pada ibunya sehingga
menghimpunkan puisi untuk ibunya.

Sebagaimana sayang seorang anak pada ibunya, maka lebih sayanglah ibu kepada anaknya.
mari menyemai daging di perutku/ aku punya tujuh lapis kulit, selaut darah,/ dan sebidang
ladang untuk menanam tulang,/ pinta ibu pada bapak/ api menyala di patahan sumsumnya/ ibu
berdarah// aku pun tumbuh di ladang ibu/ bersama hujan yang dipiuh bapak/ dari kulit ari
badannya/ dan peruh dagingnya// lapis kulit, kepal daging,/ dan gemulung uratmu,/ berasal
dari luka,/ (ladang tulang ibu). Waktu mengandung sampai melahirkan anak ibu sangat
menderita. Hingga anak itu lahir ibu juga menderita. Ibu membesarkan dan mendidik anak,
sementara bapak mencari nafkah. Semua itu tak apa bagi ibu. Penderitaan itu terbalaskan ketika
anaknya besar dan berhasil. melihat anak pulang: obat penenang segala kejang,/. (obat ibu).
Si anak yang telah berhasil pulang ke pangkuan ibunya. Itulah saat-saat yang membahagiakan
bagi seorang ibu.

Dalam membesarkan dan mendidik anak, ibu berusaha mati-matian. sejak lama tak ke laut/ di
ubun-ubun ibu kulihat rel membentang / denyut kereta berderak-derak/ mengangkut puisi yang
membutir/ di gerbong sumsum/ ibu nak turun/ menggembalakan hati/ tapi di stasiun/ ia
digelandang/ orang-orang/ meminta ibu berkisah/ tentang mata angin terhalang/ melengkapi
riwayat pelayaran/ anaknya enggan pulang/ (riwayat pelayaran ibu). Banyak rintangan yang
dihadapi ibu ketika membesarkan anak. Apalagi kalau si anak yang telah payah dibesarkan
ternyata jarang pulang. Alangkah sedihnya hati ibu.

tak bisa hilang dari ingatan/ bangku-bangku panjang/ pilar beton/ jembatan penyebrangan/
selamat tinggal bergayut/ di lambaian// ada ronta di hati/ sunyi di selaput gendang/ pipi basah/
isak asin// kita terbata/ membaca mata ibu/ seperti mengeja mulut sungai /yang menganga/ (doa
basah di jembatan). Betapa menyedihkan bagi seorang ibu ketika anaknya merantau. Di mata ibu
terbayang suasana perantauan yang hiruk-pikuk, seram, kejam, dan sebagainya. Berat hati
rasanya melepas anak. merindu dekapmu/ kurentang-rentangkan tangan/ di ketinggian rindu/
serupa elang/ melayang// kupilih langit paling biru/ tapi senja memarahinya/ (di dermaga). Si
anak sebenarnya tidak mau meninggalkan ibunya. Ia ingin tetap di pangkuan ibu. Merawat ibu
yang sudah tua. Tapi bagaimana lagi. Nasib berkata lain. Ia harus jua pergi. Ia ingin menjadi
seorang yang berhasil demi ibunya. Maka ia pun pergi dengan berat hati.

sebelum berangkat, ia wasiatkan sepi itu ke ubun-ubunku/ rawat baik-baik, umpama menggilai
sepiring padi/ andaikan ia merambat turun ke jantungmu/ urut dan jatuhkan saja ke dalam/ ke
rusuk kiri/ ke tempat nyawa bersabung/ lipatkan baju kepulangan unukku/ dan hal-hal yang tak
sampai tanam di pangkal jenjang/ seperti dulu,/ kami mengubur darah kelahiranmu/ (wasiat
keberangkatan). Ibu sangat cemas akan nasib anaknya di rantau. Ia berwasiat kepada anaknya,
sebelum pergi tinggalkanlah barang-barang yang si anak sayangi. Untuk obat rindu ibu. Dan
setelah sampai di rantau janganlah dipikirkan ibu dan kampung halaman. Pikirkan sajalah nasib
di negeri orang. Alangkah sayangnya ibu pada anak. Ibu tidak minta uang ataupun barang-barang
berharga kepada anaknya. Tapi yang ia minta hanya keseriusan si anak dalam merantau. Ia pun
tak minta si anak sering pulang kampung dan sering memikirkannya. Betapa mulianya seorang
ibu.

aku sudah sampai di tikungan paling ujung dari sunyi/ menimbang diri yang compang-camping/
dicabik angin musim yang berat/ aku tak hendak meminta maaf seperti para peminta lainnya/
tapi ingin memberi: berkirim sekepalan doa:/ kiranya sunyi sepedih ini tidak sampai ke
jantungmu/ (tikungan paling ujung dari sunyi). Di perantauan ternyata si anak mendapat nasib
buruk. Ia hidup melarat. Tapi seberapa pun melarat kehidupannya ia tak mau ibunya tahu akan
hal itu. Ia tidak mau membuat ibunya bersedih. Biarlah kemelaratan itu ditanggungnya sendiri.

siang-malam berpeluk cium dengan ibu yang sekarat/ menato kudukku dengan lukisan janin/
menggenggam alu dan palu/ penumbuk nasib/ peluluhlantak segala yang banyak orang takutkan
dari sepi/ (29 agustus 2010). Betapa sedih anak ketika ibunya pergi untuk selama-lamanya.
Banyak sekali harapan ibu yang belum bisa ia berikan. Ia merasa kecewa dengan dirinya.
Bersusah-payah ibu membesarkan dia dari janin sampai menjadi sebesar ini. Telah mempunyai
keluarga dan anak. Ia merasa tidak berhasil membahagiakan ibunya. Bahkan sampai ibunya tutup
usia.

Air Tulang Ibu ialah puisi yang mengandung estetika kampung dan sehimpun puisi buat ibu. Air
Tulang Ibu sebuah bukti akan penyair yang sangat menyayangi ibunya. Dan ibu itu adalah ibu
kita semua.

Anda mungkin juga menyukai