Anda di halaman 1dari 25

Analisis Novel Sejarah

Bumi Manusia
Pramoedya Ananta Toer

Disusun oleh:
1. Dayu Abidilah / 8
2. Diera Amelinda / 10
3. Fikri Ramadani Prayoga / 13
4. Flavia Salsabila / 14
5. Ibnu Hartowo / 18
6. Miftahul Jannah / 19
Kelas: XII IIS 2

SMA NEGERI 46 JAKARTA


Jl. Masjid Darussalam Kav. 23-25 Blok A, Kebayoran Baru, Gandaria Utara, Jakarta Selatan
2017

1
1. RINGKASAN CERITA

Judul Buku : Bumi Manusia

Pengarang : Pramoedya Ananta Toer

Penerbit : Lentera Dipantara

Kota terbit : Jakarta

Tahun terbit : 2011

Tebal buku : 544 halaman

Cetakan ke : 17

Ukuran : 19,5 cm x 13 cm

2
1.1 Penokohan

1.1.1 Tokoh Utama (bukti belum)

1. Minke

 Cerdas

[“sekali direktur sekolahku bilang di depan kelas: yang

disampaikan oleh tuan-tuan guru di bidang pengetahuan umum

sudah cukup luas; jauh lebih luas daripada yang dapat

diketahui oleh para pelajar setingkat di banyak negeri di

Eropa sendiri.” (halaman : 11, paragraf 2)]

 Baik

[“lihat: mereka membutuhkan aku demi keselamatan keluarga

dan perusahaan. Kan aku termasuk hebat juga? Aduh,

sekarang ini berapa banyak alasan dapat aku bariskan untuk

membenarkan diri sendiri. Baik. Aku akan datang.” (halaman :

91, paragraf 2)]

 Penyayang

[“adakah gadis ini sudah tak mengenal suaraku lagi? Jadi

kubelai wajahnya, pipinya, rambutnya. Ia menelengkan kepala

dan mengeluh lagi. Akan matikah anak ini? Dara secantik

ini? Aku peluk tubuhnya dan aku kecupi bibirnya. Dengan

jantung dalam dadanya kudengar terlalu lambat. Jari-jarinya

bergerak pelan, hampir tidak.” (halaman : 296, paragraf 3)

3
2. Annelies

 Ramah

[“beberapa orang perempuan menahan Annelies dan

mengajaknya bicara, minta perhatian, dan bantuan. Dan gadis

luar biasa ini seperti seorang ibu melayani mereka dengan

ramah.” (halaman : 54, paragraf 3)]

 Manja

[“benar-benar tak bisa dihindari. Ia menangis. Menangis

seperti anak kecil.” (halaman : 229, paragraf 4)]

[“(tak tahulah aku mengapa ia begitu penangis dan manja seperti

bocah).” (halaman : 233, paragraf 3)]

 Mandiri

[“semua ku kerjakan, kecuali pekerjaan kantor. Mama sendiri

yang lakukan itu.” (halaman : 45, paragraf 5)]

3. Nyai Ontosoroh (Sanikem)

 Baik

[“tamu Annelise juga tamuku,” katanya dalam Belanda yang

fasih.” (halaman : 33, paragraf 3)]

 Mandiri

[“jadi Nyai Ontosoroh melakukan semua pekerjaan kantor.”

(halaman : 45, paragraf 6)]

 Pandai

4
[“Nyai Ontosoroh yang pandai menawan dan menggenggam

hati orang, sehingga aku pun kehilangan pertimbangan,

bahwa ia hanyalah seorang gundik.” (halaman : 40, paragraf

7)]

[“nampaknya ia juga senang pada kelakuanku yang suka

belajar.” (halaman : 129, paragraf 1)]

 Kasar

[“siapa kasih kowe ijin datang kemari, monyet!” dengusnya

dalam Melayu-pasar, kaku dan kasar, juga isinya. (halaman :

64, paragraf 4)]

[“kowe kira, kalo sudah pake pakean Eropa, bersama orang

Eropa, bisa sedikit bicara Belanda lantas jadi Eropa? Tetap

Monyet!” (halaman : 64, paragraf 10)]

 Tegar

[“akan ku buktikan pada mereka, apapun yang telah

diperbuat atas diriku, aku harus bisa lebih berharga daripada

mereka, sekalipun hanya sebagai nyai.” (halaman : 128,

paragraf 2)

1.1.2 Tokoh Tambahan


1. Herman Mellema

2. Robert Mellema

3. Ayah Minke

5
4. Ibu Minke

5. Jean Marais

6. May Marais

7. Darsam

8. Ah Tjong

9. Maiko

10. Amelia Hammers Mellema

11. Insinyur Maurits Mellema

12. Magda Petters

13. Mevrow Telinga

14. Miriam de la Croix

15. Sarah de la Croix

16. Herbert de la Croix

1.2 Ringkasan Cerita

Minke adalah seorang Pribumi yang bersekolah di H.B.S Surabaya. Sekolah orang –

orang Eropa dan begitu terkenal di seluruh penjuru tanah air, yang mengajarkan pendidikan

Belanda. Semua guru – gurunya berasal dari tanah Eropa. Minke, Pribumi berdarah Jawa mulai

merasa ada yang berbeda pada dirinya semenjak masuk sekolah H.B.S, sepertinya sedikit demi

sedikit budaya eropa telah masuk pada dirinya. Pribadinya sedikit melenceng menyalahi

wujudnya sebagai orang Jawa.

Suatu ketika Robert Surhorf masuk kedalam kamar pemondokan Minke tanpa permisi,

tanpa ketok pintu. Robert mendapati Minke sedang mengungkungkan gambar seorang yang di

6
idamkannya, Ratu Wilhelnima. Melihat Minke seperti itu, Robert menertawai Minke, mengejek,

juga mencaci maki. Dia selalu tak senang melihat Minke bahagia. Baginya Pribumi adalah

golongan dibawahnya. Tak terima dengan hinaan Robert, Minke kemudian melawan. Tapi

Robert tak kehilangan akal, dia mengajak Minke pergi kerumah seorang gadis yang mirip dengan

Ratu di fotonya, bahkan lebih cantik darinya. Awalnya Minke tak ingin tapi Robert terus

mendesaknya dan mengatainya. Minke merasa tertantang, dan akhirnya menerima ajakan Robert

Surhoof.

Mengajak minke berkunjung ke Wonokromo, sebuah perkebunan tebu dan perusahaan

perdagangan, peternakan milik Nyai Ontosoroh (Nyai adalah sebutan bagi gundik-gundik

kompeni). Perkebunan yang begitu luas dengan rumah yang bagai istana, selain perkebunan Nyai

memelihara ternak karena pelataran nya sangatlah luas. Pertemuan kali pertama Minke dengan

Annelies (putri dari Nyai Ontosoroh).

Minke begitu terpesona dengan mereka, terutama pada Nyai Ontosoroh, seorang Pribumi

yang tanpa mengenyam bangku pendidikan tapi pengetahuannya begitu luas, mengenai

perdagangan, perusahaan, administrasi, perkebunan, peternakan, bahkan mungkin dalam segala

hal dia tahu. Nyai Ontosoroh yang hanya belajar otodidak dari suaminya Tuan Mellema.

Kedatangan Minke di tengah – tengah keluarga Mellema membawa kesenangan tersendiri,

terutama bagi Nyai dan Annelies. Minke yang telah jatuh cinta pada Annelies, dan begitu pula

Annelies, minke yang jatuh cinta pada keluarga itu, anggapan mengenai keluarga Mellema

selama ini yang salah, berbeda dari pemikirannya dan juga yang dipergunjingkan oleh para

manusia.

Minke kemudian pergi kerumah kerabatnya, Jean Marrris, menceritakan apa yang terjadi

padanya sehingga dia berubah menjadi linglung. Jean Marris berpendapat bahwa Minke sedang

7
dalam kesulitan, dia sedang jatuh cinta. Minke berusaha menyangkal pendapat Jean Marrris. Jean

Marris menganjurkan Minke untuk datang kembalai ke rumah Annelies untuk dapat mengetahui

benar tidaknya pendapatnya itu.

Dari rumah Jean Marris, Minke pulang ke pemondokan. Darsam telah menunngunya

dengan membawa surat dari Nyai Ontosoroh. Minke lalu membaca surat itu, berisi permohonan

agar Minke datang ke Wonokromo, semenjak kepergiannya Annelies sering melamun, tak

makan, pekerjaannya banyak yang terbengkalai, dan salah. Darsam masih menungguinya,

menanti jawaban Minke. Saat itu juga Minke pergi ke Wonokromo bersama Darsam.

Surat Nyai memang tidak berlebihan, Annelies kelihatan susut. Kedatangan Minke

membuat raut wajah Annelies berubah menjadi bahagia. Mulai hari itu juga Minke berpindah

dari Pemondokan tinggal di rumah Nyai, Wonokromo. Kamar untuknya telah dipersiapkan, dan

Annelies yang menata pakaian Minke. Kedatangan Minke yang sangat berarti bagi Annelies.

Annelies sering bercerita pada Minke mengenai keluarganya, dan kehidupannya. Minke menjadi

curhatan Annelies. Dari cerita Annelies mengenai mamanya yang dahulunya seorang Pribumi

yang kemudian dijual oleh ayahnya kepada Tuan Mellema. Mamanya yang kini bernama Nyai

Ontosoroh menjadi gundik Tuan Mellema, papanya sendiri. Dan semua yang mengurus

perusahaan mama dan Arnelies. Arnellies keluar dari sekolah sejak kelas 7. Sejak saat itu pula

mamanya sangat benci kepada papanya. Dia tidak memaafkan apa yang telah diperbuatnya.

Mamanya tak ingin Robert dan Annelies seperti papanya, Tuan Mellema. Dari cerita Annelies

ini, Minke menjadi mengerti tentang keluarga ini.

Cerita yang didengar Minke dari Annelies ini dijadikan bahan tulisannya, dengan sedikit

gubahan yang bercampur dengan khayalannya. Minke mengirimkannya pada sebuah majalah,

dan telah dimuat. Nyai datang pada Minke dan Annelies ketika mereka sedang mengobrol.

8
Dengan selembar Koran S.N.v/d D di tangannya. Nyai menunjukkan sebuah cerpen yang

berjudul Buitengewoon Gewoone Nyai die Ik ken. Nyai seperti mengenali tulisan tersebut, nama

pena Max Tollenar. Seketika itu pula wajah Minke berubah pucat. Ia segera mengaku pada Nyai

bahwa tulisan tersebut adalah tulisannya. Mama sudah menduganya, dan bangga pada Minke.

Dari situ mama bercerita mengenai dunia cerita yang ia ketahui pada Minke. Minke

mendengarnya dengan seksama. Dia sering dikejutkan dengan pengetahuan – pengetahuan mama

mengenai dunia cerita dan kepenulisan. Nyai merupakan guru tidak resmi dengan ajarannya yang

cukup resmi.

Pukulan yang keras pada pintu kamar Minke, memaksanya harus bangun dan

membukakan pintu. Minke mendapati mama berdiri di hadapannya, memberitahu Minke bahwa

ada yang menunngunya. Minke menemui orang berada sitje, mereka memberikan surat perintah

untuk membawa Minke. Panggilan dari kantor polisi B. Minke tak mengerti mengapa dia

ditangkap, dia merasa tak pernah melakukan kesalahan, dia berusaha mengingat. Tak sesuatupun

dilakukannya. Minke dan mama memaksa pengantar surat untuk memberitahu duduk perkara,

tapi si pengantar tidak buka mulut, diam. Setelah mandi dan makan pagi, Minke bersama agen

polisi berangkat. Dokar membawa Minke kekantor polisi Surabaya, disana Minke ditinggalkan

oleh agen polisi, entah kemana. Setelah menunggu lama agen polisi itu datang, mengajak Minke

kembali naik dokar menuju ke stasiun. Setelah membeli tiket, mereka naik kereta. Entah akan

dibawa kemana Minke, dia sendiri bingung, hatinya sebal dengan perlakuan yang didapatnya.

Sampai di kota B, mereka turun kembali, meninggalkan stasiun dengan dokar. Minke kenal

dengan suasana di perjalanan tersebut, tidak menuju ke Kantor Polisi B, menuju tempat lain,

memasuki Kantor Kabupaten, terletak didepan sebelah samping gedung bupati. Lalu agen itu

9
menyuruh Minke mencopot sepatu melepas kauskaki. Menyuruh Minke merangkak menapaki

lantai yang dingin, dan berhenti tepat didepan kursi goyang.

Didepan kursi Minke memberi hormat pada Kanjeng Bupati. Kanjeng Bupati yang tak

lain adalah ayahandanya sendiri. Minke kaget mengetahui bahwa yang dihadapannya adalah

ayahnya sendiri. Ayahnya marah besar atas kelakuan yang diperbuat Minke, tidak pernah

membalas surat darinya, dari Ibu, dan kakaknya. Juga karena kepindahan Minke dari

Pemondokan ke Wonokromo. Ayahandanya marah besar, Minke diberi hukuman pukulan berkali

– kali. Pemaksaan kepulangan Minke dikarenakan akan adanya pesta pengangkatan ayahandanya

sebagai bupati, dan Minke diberi mandat untuk menjadi penerjemah dalam bahasa Belanda.

Setelah menghadap ayahandanya, Minke kemudian menemui Ibunya. Bundanya yang amat

sayang padanya tak marah dan tak menyalahkan. Hanya memberi wejangan agar perbuatannya

jangan di ulangi lagi. Selain itu Ibunya juga mengingatkan agar tidak lupa dengan dirinya,

Pribumi darah Jawa, jangan sampai terlalu terlena dengan budaya Eropa.

Resepsi pengangkatan ayahandanya dimulai, semua terlihat indah, dan lengkap.

Gamelan, para penari, umbul – umbul telah dipasang. Minke didandani ala satria Jawa,

mengenakan baju khas Jawa, ia kelihatan gagah, dan tampan. Malam kebesaran dalam hidup

ayahanda Minke tiba juga. Acarapun dimulai dengan sambutan dari Tuan Assisten Residen B

yang berbicara dengan bahasa belanda. Tuan Asisten Residen B menunjuk Minke sebagai

penterjemah dalam bahasa Jawa. Sejenak Minke gugup, tapi secepat kilat ia bisa mendapatkan

kepribadiannya kembali. Setelah Tuan Asisten Residen B selesai memberi sambutan, giliran

ayahanda Minke yang memberi sambutan. Ayahandanya memberi sambutan dengan

menggunakan bahasa Jawa karena tidak tahu menahu dengan Bahasa Belanda. Dan Minkelah

yang menterjemahkannya kedalam bahasa Belanda. Setelah Ayahanda Minke selesai berpidato,

10
para pembesar banyak yang memberi selamat kepada keluarga mereka. Dan juga banyak dari

mereka yang memuji – muji Minke karena kemahirannya dalam menterjemahkan.

Minke mendapat undangan dari Tuan Asissten Residen B, undangan ini telah menjadi

berita penting di kota B. Semenjak pesta pengangkatan ayahanda, Minke banyak mendapat

undangan dari para pejabat. Tapi hanya undangan Tuan Asisten Residen B yang Minke datangi.

Tuan Asisten Residen B sudah menunggu di kebun. Tuan Asissten Residen B mengenalkan dua

putrinya Sarah dan Miriam. Mereka lulusan H.B.S dan lebih tua dari Minke. Tuan Residen B

membiarkan Minke berbincang - bincang dengan putrinya. Mereka berbicara mengenai sekolah

H.B.S, bercerita mengenai pelajaran, bertukar pikiran, berbicara mengenai Jawa, mengenai

Belanda. Mereka begitu berbeda pandangan. Tapi dari perbedaan ini mereka semakin akrab, dan

akhirnya menjadi sahabat. Sarah dan Miriam sangat menyukai Minke.

Selesai dengan urusan di kota B, Minke meminta izin pada ayah dan bundanya untuk

kembali ke Surabaya. Hari itu juga Minke kembali ke Surabaya dengan kereta. Di kereta ada

seseorang yang aneh selalu mengintai Minke, si Gendut agak sipit. Sampai di peron Surabaya

Minke menghampiri Annelies. Si Gendut sipit terus mengintai Minke sembari melirik Annelies.

Minke terus mengawasinya karena curiga. Minke dan Annelies menuju Darsam menaiki dokar

untuk pulang ke Wonokromo. Di perjalanan Darsam tidak menuju langsung ke Wonokromo

melainkan ke suatu tempat lain. Darsam mampir disebuah warung kecil. Sampai di warung itu

Darsam turun, mengajak Minke turun juga. Dan Annelies menunggu di andong. Di warung

Darsam memberitahu Minke bahwa ada seorang yang jahat sedang mengintai Minke. Dugaan

Darsam adalah Robert, dia iri pada Minke karena Nyai dan Annelies lebih menyayanginya.

Selesai pembicaraan Darsam dan Minke melanjutkan perjalanan. Minke memutuskan untuk

kembali ke Kranggan. Sampai di Kranggan Annelies yang tidak tahu apa - apa protes pada

11
Minke. Minke beralasan ingin tinggal di Kranggan untuk konsentrasi pada ujiannya. Annelies

begitu kecewa dengan keputusan mendadak Minke. Tapi Minke memutuskan ini demi kebaikan

semuanya.

Minke bangun pada jam sembilan pagi dengan kepala pusing. Ada sesuatu yang

mendenyut – denyut diatas matanya. Beberapa kali Meevrouw Telinga mengompresnya dengan

cuka bawang merah. Minke memaksakan tubuhnya untuk bangun dari ranjang, menuju

kebalakang dan mandi dengan air hangat yang telah dipersiapkan oleh Mevroouw Telinga yang

begitu bawel terhadapnya. Perempuan Eropa yang begitu sayang padanya. Setelah selesai mandi,

berpakaian dan bersisir rapi, Minke pergi kerumah Jean Marrais. Jean masih tetap dengan

kesibukannya, melukis. Dan May yang mengetahui kehadiran Minke, langsung mendatanginya,

duduk dipangkuannya dengan manja. Jean dan Minke berbincang - bincang.

Minke mendapat surat dari Miriam de la Croix, sedikit mengobati peningnya. Surat dari

Miriam membuat Minke menangis. Surat indah dari Miriam yang sangat berharap Minke untuk

terus maju, berpengharapan atas diri Minke. Miriam yang menghendaki agar Minke berharga

bagi bangsanya sendiri. Minke begitu beruntung mendapatkan sahabat seperti Miriam dan Sarah

yang memperhatikan dan terus memotivasinya. Setelah membaca surat dari Miriam, Minke

melipatnya kembali. Sudah terlihat Darsam, menjemput Minke untuk kembali ke Wonokromo.

Mengabarkan Annelies yang sedang sakit keras. Tanpa fikir panjang Minke menuruti ajakan

Darsam kembali ke Wonokromo.

Sampai di Wonokromo Darsam dan Nyai langsung mengantarkan Minke menuju

Annelies yang terbaring sakit, tak berdaya. Nyai memasrahkan Annelies pada Minke. Minke

berusaha membangunkan Annelies yang tak berdaya. Sedikit demi sedikit mata Annelies

terbuka. Minke yang ditunggu - tunggunya telah berada disampingnya. Minke bak seperti obat

12
bagi Annelies. Obat yang begitu pas hingga sakitnya hilang. Begitupula dengan Minke, mereka

kembali sehat.

Minke kembali bersekolah, sudah lama dia tidak masuk, dan Tuan Direktur Sekolah

memaafkannya. Dia mengejar ketertinggalannya dan sama sekali tak ada kesulitan baginya. Kini

Minke berangkat kesekolah dengan bendi mewah yang telah disiapkan Nyai. Semua terlihat

berubah. Teman - teman sekolahnya banyak yang berubah agak menjauhinya, juga guru - guru

bersikap seperti itu. Minke merasakan bahwa dirinya bukan yang dulu lagi. Kini dia tidak suka

bercanda. Merasa lebih berbobot. Tapi kini keliling disekolah Minke bukan lagi kecerahan

melainkan kesunyian. Satu – satunya orang yang tidak berubah hanyalah guru bahasa dan sastra

Belandanya, Juffrouw Magda Peters. Pelajarannya membahas mengenai sastra dan yang

berkaitan mengenai tulisan, yang tentunya didalamnya terdapat unsur – unsur Belanda. Setiap dia

mengajar semua murid selalu mengikutinya dengan cermat. Dalam pelajaran ini selalu diadakan

diskusi bersama dan ini sangat menarik. Tapi kali ini, Magda Peters mengajak muridnya

membahas mengenai tulisan yang berjudul Uit het schoone Leven van een mooie

Boerin karya Max Tollenaar. Ya, tulisan Minke sendiri dan itulah nama penanya. Tulisan yang

begitu bagus menurut Magda Peters, hanya sayangnya terbit di Hindia. Dalam diskusi yang

begitu mengasyikkan, tiba – tiba Surhorf memotong Magda Peters dan mengolok – olok tulisan

Max Tollenaar. Surhorf telah mengetahui bahwa tulisan itu adalah tulisan Minke. Didalam forum

diskusi, Surhorf membeberkan semuanya, membongkar kedok Minke. Mempermalukannya.

Terbongkar kedok Minke sebagai pemilik tulisan tersebut. Mengetahui hal itu, tanggapan Magda

Peters justru berbeda dengan yang lainnya. Dia memberi selamat pada Minke dan begitu bangga

padanya. Satu – satunya muridnya yang telah berhasil membuat tulisan yang menarik. Magda

Peters tak peduli dengan omongan Surhorf.

13
Di Wonokromo Minke sudah merasa tenang dan aman. Kini Robert tak lagi ada. Kali ini

sikap Annelies begitu manja pada Minke. Annelies tak ingin tidur bila tak ditemani Minke. Dan

malam ini Minke harus menemaninya juga mendongengkan cerita untuknya. Disela - sela Minke

mendongeng, Annelies tiba – tiba menangis. Annelies menceritakan kejadian buruk selama

hidupnya pada Minke. Annelies begitu takut bila Minke pergi meninggalkannya. Minke begitu

cemburu mengetahui hal itu. Minke bertanya pada Annelies, siapa bajingan yang telah berani

berbuat seperti itu padanya. Annelies hanya menangis dan gagap – gagap menjawab,

menyebutkan nama abangnya, Robert. Annelies menceritakan semuanya. Minke begitu benci

mendengar cerita Annelies, hatinya sakit tak terima. Dipeluknya Annelies dan Minke percaya

padanya. Kepercayaan Minke adalah hidup bagi Annelies.

Esok pagi hari, Darsam kelihatan gelisah, sedikit – sedikit memunculkan diri dihadapan

Minke, Annelies, juga Nyai Ontosoroh agar setiap saat dapat dipanggil bila diperlukan. Dia

berjaga – jaga dari kemungkinan si Gendut yang telah Minke ceritakan padanya. Darsam juga

sudah mengetahui si Gendut itu sendiri. Ketika Minke, Nyai, dan Annelies sedang duduk diteras,

nampak Darsam berlari membawa parang telanjang ditangan menuju gerbang. Disana nampak

sekilas si Gendut sedang berjalan ke jurusan Surabaya. Melihat Darsam seperti itu Minke

berpekik padan Darsam, memerintah Darsam untuk tidak melakukan apa - apa. Minke berlari

mengejar Darsam. Dan Darsam terus berlari mengejar si Gendut. Ia tak peduli dengan perintah

Minke. Melihat Minke yang berlari mengejar Darsam, Annelies pun mengikuti Minke. Dia

berlari mengejar Minke. Juga Nyai yang mengikuti mengejar Annelies. Si Gendut yang tahu

sedang dikejar, lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Setelah sampai dipelataran Ah

Tjong, si Gendut menghilang. Nyai memerintahkan semuanya untuk tidak masuk pada rumah

plesiran itu, tapi semua tak mempedulikan. Darsam memasuki rumah plesiran itu, disusul dengan

14
Minke dibelakangnnya. Mereka tak menemukan si Gendut. Tapi yang mereka temukan adalah

seorang yang terbaring tak bernyawa, Tuan Mellema. Nyai dan Annelies begitu kaget melihat

keadaan Tuan Mellema. Disini tempat persembunyiannya selama ini. Selang beberapa saat

muncul wanita Jepang dengan pemuda, Robert. Mengetahui Nyai, Darsam, dan Annelies, Robert

melarikan diri. Darsam mengejar namun ia kehilangan jejak Robert. Kemudian datang beberapa

orang polisi, mereka mengusut kasus ini. Juga meminta semua yang ada disitu untuk dimintai

keterangan.

Telah diketahui bahwa kematian Tuan Mellema disebabkan karena keracunan. Kematian

Tuan Mellema menyebabkan berbagai media gencar memberitakannya. Juruwarta banyak yang

berdatangan ke rumah Nyai Ontosoroh untuk mendapatkan keterangan. Tak ada seorangpun

yang memberi jawaban. Diantara Nyai, Darsam, Annelies, Minke tak ada yang ditahan.

Kesempatan ini digunakan Minke untuk menulis laporan yang lebih benar tentang kejadian ini.

Muncul juga berita mengenai si Gendut, mengetahui hal ini polisi kemudian mengusut berita

mengenai berita si Gendut. Miriam dan Sarah de la Croix menyatakan simpati atas kejadian yang

telah menimpa Minke. Mereka yakin bahwa Minke tidak bersalah. Surat Bunda yang

mengibakan menyatakan berduka cita disamping menyatakan murka Ayahanda yang sudah tak

ingin mengakui Minke sebagai anak. Nyai Ontosoroh nampak tenang - tenang saja menghadapi

masalah ini. Sidang pengadilan tak dapat dihindari. Robert Mellema dan si Gendut tak dapat

ditemukan. Maka pengadilan menghadapkan Babah Ah Tjong sebagai terdakwa. Dua minggu

lamanya sidang berlangsung. Motif pembunuhan tetap tidak peroleh dari Ah Tjong. Keputusan

pengadilan mengecewakan orang banyak. Hukuman sepuluh tahun penjara dan kerjapaksa. Ah

Tjong menerima hukuman yang dijatuhkan dan segera masuk penjara. Pembantu – pembantunya

dijatuhi hukuman antara tiga sampai lima tahun.

15
Sepuluh hari setelah terbit tulisan Max Tollenar tentang masalah Totok, Indo, dan

Pribumi, Magda Peters datang ke Wonokromo menemui Minke. Tuan Direktur memanggil

Minke dan Magda Peters memaksa Minke untuk menemui. Tuan Direktur menerima Minke

dengan senyum ramah. Semua murid diperintahkan pulang. Semua guru dipanggil berkumpul.

Tuan Direktur membuka peretemuan. Tulisan terakhir Minke mengantarkannya sampai disini.

Tulisan yang menyinggung Humanisme. Membuat banyak orang terharu membacanya. Dan

akhirnya Minke diterima lagi sebagai siswi H.B.S. Pertemuan selesai, semua guru memberi

ucapan selamat dengan wajah angker, kecuali Magda Peters. Ia begitu gembira.

Dirumah keluarga Telinga, Minke telah menunggu surat Bunda, dan tertulis dalam huruf

Jawa. Disetiap bait tulisannya selalu tersirat makna juga nasihat. Bunda yang tak pernah

menghukum Minke. Dan kini dalam suratnya, Bunda menyetujui hubungan Minke dengan

Annelies. Minke terharu pada Bundanya yang begitu pengertian terhadapnya. Sedangkan Minke

selalu mengecewakan Bundanya. Keinginan Bundanya agar Minke punya kemampuan menulis

Jawa belum juga dipenuhi olehnya.

Pesta lulusan sekolah H.B.S diadakan. Setelah tiga bulan lamanya Minke belajar dan

belajar. Para orang tua dan wali murid duduk bebanjar. Minke mengajak Nyai untuk hadir,

namun Nyai menolaknya. Maka Minke datang bersama Annelies. Dengung sorak ramai pesta

kelulusan begitu terasa. Dibuka dengan sambutan Tuan Direktur yang memberikan ucapan

selamat pada para siswa yang telah lulus, ucapan selamat untuk menempuh kehidupan gemilang

di masyarakat, ucapan selamat untuk para siswa yang hendak meneruskan di Nederland. Setelah

menyampaikan pidato, kemudian di umumkan pelulus nomor satu di sekolah H.B.S. dan siswa

yang disebutkan adalah Minke. Menyadari hal itu Minke hampir tak percaya. Minke gugup naik

keatas panggung. Dia tak menyangka seorang Pribumi bisa berada diatas Eropa. Dan pada saat

16
pesta kelulusan itu juga disampaikan undangan lisan kepada seluruh tamu untuk

menghadiri pesta pernikahan Minke. Hari itu menjadi hari bahagia Minke.

Pesta perkawinan yang direncanakan sederhana diubah menjadi besar karena undangan

saat kelulusan. Beberapa hari sebelum pesta pernikahan Bunda datang sebagai satu – satunya

wakil dari keluarga Minke. Bunda jatuh sayang pada Annelies, calon menantunya yang begitu

cantik. Baju pengantin yang dikenakan Minke dibawakan oleh Bunda, batikan Bunda sendiri dan

sudah bertahun – tahun disimpan dalam peti. Setiap hari ditaburi kembang melati. Satu untuk

Minke dan satu untuk menantunya, Annelies. Bunda juga memberikan keris sebagai pasangan

dari kain batik.

Sebelum pesta perkawinan, Bunda yang merias Minke. Ini untuk terakhir kalinya Bunda

merumat Minke. Di sela – sela kebersamaan Bunda dengan Minke, Bunda menasihati Minke.

Bunda memberikan wejangan agar Minke selalu mengingat adab dari Satria Jawa yang kelak

disampaikan pada anak – anaknya. Lima syarat yang ada pada satria Jawa : wisma yang berarti

rumah. Tanpa rumah orang tak mungkin satria. Wanitayang berarti tanpa wanita satria

menyalahi kodrat sebagai lelaki. Turangga yang berarti kuda, alat yang dapat membawa kemana

– mana. Kukila yang berarti burung, lambang keindahan, kelanggengan. Dan yang

terkhir curiga yang berarti keris, lambang kewaspadaan, kesiagaan, keperwiraan, tanpa keris

empat yang lainnya akan binasa bila mendapat gangguan. Kesan mendalam yang ditinggalkan

Bunda terhadap Minke.

Enam bulan telah lewat. Dan terjadilah apa yang harus terjadi. Annelies dan Nyai

dipanggil bersama Nyai menghadap Pengadilan Putih. Dan Annelies mendapat panggilan utama.

Semuanya terkejut dengan surat panggilan tersebut. Begitupun dengan pernikahan Minke dan

Annelies tidak di akui pengadilan belanda karena tidak ada ijin orangtua sah dari annelies, hak

17
asuh annelies diberikan kepada ibu tirinya di Belanda. Dan Akhirnya secara terpaksa Annelies

harus angkat kaki dari dan pergi ke Belanda. Mendengar kabar tersebut Anneies kembali jatuh

sakit dan selama berhari—hari dia tidak makan dan tidak bicara, kekecewaan yang mendalam

dirasakan annelies, dia akan kehilangan cintanya, ibunya dan semua kenangan-kenangan dari

masa kecilnya. Sementara Minke dan Nyai Ontosoroh tidak tinggal diam melawan ketidakadilan

pengadilan putih belanda, minke dengan kepiawannya menulis pengaduan diberbagai media

cetak telah menyalakan api para pembacanya, pendukung Minke tidak hanya sekedar kerabat-

kerabatnya, kini seluruh masyarakat di wonokromo dan Madura ikut protes terhadap

ketidakadlilan belanda. Namun apalah yang bisa dilakukan oleh seorang Pribumi terhadap

pengadilan tinggi, semuanya tidak ada hasil. Annelies harus pergi ke Belanda dan terpisah dari

pangerannya Minke. Hal tersebut merubah semua pemikiran minke yang semula pengagum

belanda kini dia merasakan ketidakadilan, penjajahan, diskriminasi belanda terhadap pribumi.

HARI INI – HARI TERAKHIR

Annelies agak normal walau kurus, pucat, matanya mati. Ia meminta Minke untuk

bercerita mengenai negeri Belanda. Dan Minke mulai bercerita. Sekenanya apa yang Minke ingat

diceritakannya. Annelies juga meminta Minke untuk bercerita tentang laut. Sebentar kemudian

datang seorang perempuan Eropa yang mengambil alih kuasa Minke terhadap Annelies. Dia

memerintahkan Nyai untuk mempersiapkan pakaian Annelies. Annelies kemudian berbicara

pada mamanya, ia meminta mamanya agar membawakan koper coklat tua, yang dulu dipakai

mamanya untuk meninggalkan rumah selama - lamanya. Annelies ingin membawa koper

tersebut, dengan koper itu ia akan pergi. Hanya koper itu dan kain batikan Bunda, pakaian

pengantinnya. Sembah sungkem Annelies pada Bunda B. Dan Annelies mempunyai permintaan

18
terakhir kepada mamanya. Annelies ingin mamanya mengasuh seorang adik perempuan yang

manis, yang tidak menyusahkan seperti Annelies, hingga sampai mama merasa tanpa Annelies

lagi. Tangis mama terus menderu, menyesal tak dapat mempertahankan Annelies. Dan

permintaan terakhir Annelies pada Minke, untuk mengenang kebahagiaan yang pernah mereka

alami bersama.

Perempuan Eropa mulai menarik Annelies, menuntunnya. Annelies tenggelam dalam

pembisuan dan ketidakpedulian. Ia berjalan lambat – lambat meninggalkan kamar, menuruni

tangga dalam tuntunan orang Eropa. Badannya nampak sangat rapuh dan lemah. Sebuah kereta

Gubermen telah menunggu dalam apitan Maresose berkuda.. Minke berjanji akan menyusul

Annelies, membawa Annelies kembali lagi.

2. ANALISIS UNSUR INTRINSIK

2.1. Tema

Tema novel ini adalah tentang kisah percintaan seorang pemuda keturunan priyayi Jawa

dengan seorang gadis keturunan Belanda dan perjuangannya di tengah pergerakan Indonesia

di awal abad ke-20.

2.2. Latar atau setting

2.2.1.Latar tempat

 Rumah

[“di rumah tak kutemui tarcis. Hanya Robert Suurhhof..” (halaman : 20

paragraf 9)]

19
 Jalan Kranggan

[“bingkai besi roda karper itu gemeratak menggiling jalanan baru Jalan

Kranggan, ke Blauran, menuju ke Wonokromo.” (halaman : 19, paragraf 8)]

 Daerah Wonokromo

[“karper mulai memasuki daerah Wonokromo.” (halaman : 24, paragraf 1)]

 Kandang Sapi

[“aku berhenti melangkah. Annelies juga. Aku tatap dia dengan pandang tak

percaya. Ia tarik tanganku dan kami berjalan lagi sampai pada deretan kandang

sapi.” (halaman : 45, paragraf 7)]

 Kandang Kuda

[“Annelies menarik aku lagi. Kami memasuki kandang kuda yang lebar dan

panjang.” (halaman : 49, paragraf 6)]

 Kamar

[“aku masuk ke kamar.” (halaman : 99, paragraf 2)]

[“gelap gelita di dalam kamar.” (halaman : 109, paragraf 1)]

 Ranjang

[“aku berganti pakaian tidur dan memadamkan lilin, masuk ke ranjang.”

(halaman : 108, paragraf 2)]

 Sekolah

[“teman-teman sekolah sudah hadir di pelataran waktu bendiku berhenti di

pintu gerbang.” (halaman : 423, paragraf 2)]

20
2.2.2. Latar waktu

 Pagi

[“pagi itu sangat indah memang. Langit biru cerah tanpa awan.” (halaman : 22,

paragraf 1)]

[“paginya pasukan itu melakukan penyerbuan terhadap tempat yang dikuasai

oleh pasukan South African Light Horse Inggris.” (halaman : 328, paragraf 6)]

 Sore

[“sudah sore, Jean, aku pulang.” (halaman : 90, paragraf 1)

 Malam

[“kami lewatkan malam itu dengan mendengarkan waltz Austria dari

phonograf.” (halaman : 102, paragraf 4)]

[“maka malam itu aku sulit dapat tidur.” (halaman : 105, paragraf 5)]

2.2.3. Latar suasana

 Genting

[“waktu dokar yang kutumpangi telah hilang ditelan kegelapan subuh Annelies

menangis memeluk mama.” (halaman : 233, paragraf 3)]

 Tegang

[“ia menggeram seperti seekor kucing.. pakaiannya yang tiada bersetrika itu

longgar ada badannya. Rammbutnya yang tak bersisir dan tipis itu menutup

pelipis, kuping.” (halaman : , paragraf 3)]

[“siapa kasih kowe ijin datang kemari, monyet!” dengusnya dalam

Melayu-pasar, kaku dan kasar, juga isinya. (halaman : 64, paragraf 4)]

21
[“kowe kira, kalo sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa

sedikit bicara Belanda lantas jadi Eropa? Tetap Monyet!” (halaman : 64,

paragraf 7)

 Sedih

[“mama menolak hadir, maka aku datang bersama Annelies.” (halaman : 444,

paragraf 5)]

2.3. Alur

Alur cerita ini menggunakan alur keras, yaitu akhir cerita tidak dapat ditebak. Pada awal dan

tengah cerita, mungkin pembaca akan berpikir cerita akan berakhir bahagia dengan pernikahan

Minke dan Annelies, tetapi cerita ini diakhiri dengan perpisahan Annelies dan Minke. Annelies

harus pergi ke negaranya, Belanda, sedangkan Minke tetap di Hindia sebagai seorang Pribumi

2.4. Amanat

1. Seorang terpelajar harus sudah berlaku adil, sejak dalam pikiran apalagi dalam perubatan.

Maka fungsi dari pikiran serta hati kita bukan untuk menghakimi orang lain, melainkan

untuk menghargai mereka.

[“Seorang terpelajar juga harus belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam

perbuatan.” (halaman : 77, paragraf 4)]

2. Bahwa hidup adalah perjuangan dimana kekuatan jiwa bertarung dengan segala

22
kemampuan dan ketidak mampuan.

[“Pekerjaan pendidikan dan pengajaran tak lain dari usaha kemanusiaan.” (halaman :

435, paragraf 1)]

3. Bahwa sebenarnya dunia manusia itu bukan terletak pada jabatan, pangkat, gaji, maupun

kecurangan, tetapi dunia manusia itu adalah bumi manusia dengan segala persoalannya.

[“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan

persoalannya.” (halaman : 186, paragraf 1)]

4. Seseorang harus berani mengutarakan pendapatnya, dan berjuang untuk memperoleh

haknya.

[“Dalam kehidupan ilmu tak ada kata malu. Orang tidak malu karena salah atau keliru.

Kekeliruan dan kesalahan justru akan memperkuat kebenaran, jadi juga membantu

penyelidikan.” (halaman : 375, paragraf 4)]

5. Tak perlu memperdulikan olokan orang, kita hanya perlu membuktikan bahwa kita lebih

baik dari orang tersebut.

[“teman-teman sekolahku kelihatan juga berubah. Artinya: agak dan mungkin memang

menjauhi aku. Aku anggap saja itu sebagai tanda penghormatan pada seorang yang telah

merebut peningkatan nilai.” (halaman : 311, paragraf 1)]

23
3.HUBUNGAN PERISTIWA SEJARAH DALAM NOVEL

1. Pada zaman dahulu, jika ada seorang anak perempuan yang sudah baligh (sudah

megalami menstruasi) maka anak itu sudah mulai dipingit untuk dijodohkan dengan laki-

laki yang berani melamarnya.

[“waktu berumur tigabelas aku mulai dipingit, dan hanya tahu dapur, ruang belakang dan

kamarku sendiri.” (halaman : 118, paragraf 1)]

2. Di zaman dahulu, jika seorang (dibawah 17tahun) anak perempuan tidak di nikahkan

secara cepat itu sudah termasuk perawan tua.

[“waktu berumur empatbelas masyarakat telah menganggap aku sudah termasuk

golongan perawan tua. Aku sendiri sudah haid dua tahun sebelumnya.” (halaman : 118,

paragraf 4)]

3. Dahulu, semuanya adalah ayah yang menentukan (ibu tidak punya hak tentang masa

depan anak perempuannya.)

[“… ibuku tak punya hak bicara seperti wanita pribumi seumumnya. Semua ayah yang

menentukan. Pernah ibu bertanya pada ayah, menantu apa yang ayah harapkan. Dan ayah

tidak pernah menjawab.” (halaman : 119, paragraf 1)]

24
4. Dahulu kala, seorang ayah merelakan anaknya dijual demi sebuah harta atau pekerjaan.

[“ di kemudian hari ku ketahui, sampul itu berisikan uang duapuluhlima gulden,

penyerahan diriku kepadanya, dan janji ayah akan diangkat jadi kassier setelah lulus

dalam pemagangan selama dua tahun.” (halaman :123, paragraf 1)]

5. Zaman dahulu anak yang dilahirkan tanpa perkawinan secara syah, tidak akan dihargai

oleh orang Pribumi dan bisa sampai diusir.

[“ salah-salah bisa badan diusir dengan semua anak, anak sendiri, yang tidak dihargai

oleh umum Pribumi karena dilahirkan tanpa perkawinan syah.” (halaman : 128, paragraf

2)]

6. Dahulu, jika seseorang yang dahulunya hanya seperti orang biasa pada umumnya, tiba-

tiba mengalami kenaikan derajat, akan diperlakukan sebagai orang tak dikenal karena

dianggap tidak memiliki derajat yang sama dengan mereka.

[“nampaknya guru-guruku, dengan adanya bendi mewah itu, lebih banyak

memperlakukan diriku sebagai orang tak dikenal dan sama derajat.” (halaman : 311,

paragraf 1)]

25

Anda mungkin juga menyukai