Anda di halaman 1dari 9

Laporan Bacaan Buku Sastra Bandingan Karya Sapardi Djoko Damono

A. PENDAHULUAN
a. Judul buku : Sastra Bandingan
b. Pengarang : Sapardi Djoko Damono
c. Penerbit : Editum
d. Tahun terbit : 2009
e. Cetakan : pertama
f. Kota dan lembaga penerbit : Cirendeu, Ciputat
g. Tebal buku : 134 halaman
h. Garis besar isi buku : Buku Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko Damono
berisi tentang kajian sastra bandingan. Buku ini terbagi atas sepuluh bab. Bab pertama; Konsep
Dasar, kedua; Perkembangan, ketiga; Asli, Pinjaman, Tradisi, keempat; Sastra Bandingan
Nusantara, kelima; Membandingkan Dongeng, keenam; Meninjau Romantisme: Kasus Puisi
Inggris dan Indonesia, ketujuh; Tentang Penerjemahan Sastra, kedelapan; Rabindranath Tagore
dan Kita: Kasus Pengaruh Tokoh Sastra, kesembilan; Alih Wahana, dan bab terakhir berisi
daftar bacaan dari buku Sastra Bandingan.

B. ISI BUKU
Bab Satu: Konsep Dasar
Pada bab satu ini, Damono memberi penjelasan pengertian sastra bandingan yaitu
pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teorinya sendiri. Menurut Remak, kajian
sastra di luar batas-batas sebuah negara dan kajian hubungan di antara sastra dengan bidang ilmu
serta kepercayaan yang lain seperti seni (misalnya, seni lukis, seni ukir, seni bina, dan seni
musik), filsafat, sejarah, dan sains sosial (misalnya, politik, ekonimi, sosiologi), sains, agama,
dan lain-lain. Ringkasnya sastra bandingan adalah membandingkan sastra sebuah negara dengan
sastra negara lain dan membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan
kehidupan.
Maksud pendapat Remak ini, yang termasuk dalam kajian sastra bandingan ada dua, yaitu
sastra harus membandingkan dengan sastra, dan sastra juga bisa dibandingkan dengan bidang
ilmu lian, seperti seni dan disiplin ilmu lain. Kemudian Nada, seorang pengamat sastra Arab,
menyatakan bahwa sastra bandingan adalah studi kajian sastra suatu bangsa yang mempunyai
kaitan kesejarahan dengan sastra bangsa lain.

Bab Dua: Perkembangan dari Sastra Bandingan


Pada bab kedua ini Sapardi Djoko Damono menjelaskan tentang awal mula
perkembangan sastra bandingan. Sastra bandingan mula-mula dikembangkan di Eropa, benua
yang terbagi menjadi sejumlah bahasa dan kebudayaan, namun pada dasarnya bersumber pada
mitologi Yunani dan Kitab suci orang Kristen, yaitu perjanjian baru dan Injil. Peminat sastra
bandingan di Eropa baru tertarik untuk membicarakan sastra bandingan sejak abad ke-19 dan ke-
20, salah satunya Goethe yang menyatakan bahwa Sastra nasional sekarang ini sudah menjadi
istilah yang tak bermakna;dan bahwa zaman sastra dunia sudah dekat, dan setiap orang harus
mempercepat kedatangannya. Menurut pengamat sastra Timut Tengah, Nada, menyatakan
bahwa Geothe sendiri juga mengagumi dan tertarik pada sastra Timur. Dengan begitu, sastra
mencakup di negeri-negeri lain.
Studi sastra bandingan mendapat pengukuhan ketika jurnal Reveu de Litterature
Comparee diterbitakan pada abad ke-20 tahun 1921. Jurnal itu berisi karangan-karangan tentang
sejarah intelektual salah satunya dalam melacak pengaruh dan hubungan yang melewati batas-
batas kebahasaan. Kemudian, Kunst (1990:256) telah membagi kebudayaan Asia menjadi tiga
tradisi sastra besar, yakni Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Timur. Pertama, tradisi sastra
Timur Tengah erat kaitannya dengan tradisi Eropa dalam hal sejarah, ilmu alam, dan agama.
Tradisi ini kajian Nada, yang bermula dari epik Gilgamesh, kemudian kisah Rostam Shahnameh.
Kedua, tradisi sastra Asia Selatan berpusat di India dan menjangkau Teluk Benggala sampai ke
Burma, Thailand, Laos, Kamboja, Indonesia, dan Malaysia. Ketiga, tradisi sastra Asia Timur
berasal dari Cina dan menyebar ke Jepang, Korea, Mongolia, dan Vietnam.
Menurut Kunst, hubungan ketiga tradisi dapat dikatakan tidak tampak. Namun, menurut
Sapardi Djoko Damono bahwa sastra kalsik Indonesia sebenarnya mendapat pengaruh atau
sentuhan dari ketiga tradisi sastra besar Asia tersebut, misalnya naskah klasik yang ditulis dari
beberapa bahasa daerah membuktikan adanya pengaruh dari Persi, Asia Selatan, dan Cina.
Bab tiga: Asli, Pinjaman, Tradisi
Pada dunia karya sastra, banyak yang tiruan dari karya-karya sastra sebelumnya, namun
kita bisa membedakan bahwa karya tersebut benar-benar gagasan baru, ide baru, atau ide dari
orang lain. Hal ini karena untuk menciptakan karya sastra yang baru, kita harus mempunyai
gagasan dan ide yang baru pula, dan betul-betul murni dari pikiran kita sendiri. Pada zaman
sekarang, peniruan itu sangat mungkin dan banyak terjadi, bahkan itu telah berlangsung sejak
lama ketika manusia saling berinteraksi. Pada umumnya karya sastra pada zaman sekarang selalu
ada kemiripan dengan karya sastra sebelumnya, tapi apakah itu terjadi secara kebetulan, sengaja
dilakukan atau tidak tau sama sekali. Karya Shakespeare di baca Jepang, kemudian diciptakan
kembali oleh seniman Jepang.
Sapardi Djoko Damono berpendapat bahwa penularan menjadi alasan utama untuk
mengembangkan sastra bandingan. dalam hal ini, istilah pengaruh harus diartikan secara luas,
bukan sekedar proses peniruan. Konsep mengenai pengaruh mencakup spektrum yang luas,
mulai dari pinjaman sampai ke tradisi. Jika terjadi penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain,
itu mengartikan adanya pengalihan suatu budaya ke budaya lain. Sehingga membuka peluang
bagi peneliti sastra bandingan. Beberapa kasus yang memperlibatkan terjemahan yang keliru
malah bisa menumbuhkan perkembangan baru dalam kesusastraan bahasa sasaran.
Clements (1978:129) yang mengatakan bahwa puisi epik berkembang sedikit demi
sedikit dari tingkat folklor lisan ke arah puisi tertulis yang sangat canggih. Drama-drama Yunani
kalsik, seperti Oedipus Rex dan Electra diciptakan berdasarkan kisah dongeng yang beredar di
masyarakat. Hal itu mirip dengan yang ada di Indonesia, dalam kebudayaan Jawa dikenal
sebagai Paebu Watu Gunung, sedangkan di Sunda dikenal dengan Sangkuriang. Kisah-kisah
seperti itu terus bertahan sampai sekarang, dan tidak menyusup ke dalam berbagai bentuk sastra
modern. Seorang dramawan, Utuy Tatang Sontani bahkan menulis kisah tersebut dalam dua
drama.
Kemudian, kisah yang populer di kalangan masyarakat adalah cinta yang tak kesampaian.
Di kebudayaan Barat dikenal dengan Romeo-Juliet, sedangkan dalam khasanah kebudayaan
Jawa dikenal kisah Roro Mendut dan Pranacitra, yang kemudian dalam sastra modern diangkat
dalam novel oleh Ajip Rosidi dan Mangunwijaya.
Pada bab ini Damono menyatakan bahwa perkembangan sastra modern menunjukkan
adanya proses saling mencuri atau saling meminjam. Hal itu juga terjadi adanya hubungan
kesusastraan Asia Timur dan Eropa, saling meminjam. Konsep teater absurd dan konkret
menumbuhkan jenis baru dalam kesusastraan Asia Timur. Namun, Haiku dari Jepang
menumbuhkan pemikiran mengenai cara pengucapan baru dalam puisi, yang dikenal sebagai
imagisme dan modernisasi. Sehingga Haiku merupakan puisi citraan dan sama sekali jauh dari
argumentasi dan diskusi.
Bab Empat: Sastra Bandingan Nusantara
Pada bab ini Damono menjelaskan tentang Indonesia yang merupakan salah satu negeri
yang sangat kaya sebagai sumber penelitian sastra bandingan. Ratusan bahasa sebagai kristalisasi
nilai-nilai serta norma, dan ratusan kebudayaan etnik yang menghasilkan kesenian, bahkan telah
mencapai bentuk tulis maupun cetak. Indonesia memiliki kekayaan bahasa yang tumbuh dan
berkembang di tengah masyarakat yang majemuk, meskipun tidak semuanya memiliki aksara.
Namun, menurut Damono berbagai jenis tradisi lisan yang berkembang pun merupakan bahasa
yang tidak akan habis-habisnya dikaji dalam rangka kegiatan penelitian sastra bandingan.
Damono juga menjelaskan bahawa sastra, sebagai bagian dari kebudayaan, ditentukan
antara lain oleh geografi dan sumber daya alam. Nenek moyang kita menciptakan berbagai sastra
lisan, seperti dongeng, legenda, dan puisi lisan yang mengandung tata nilai yang dianut oleh
masing-masing masyarakat yang berbeda geografisnya.
Damono mengutip pernyataan A. Ikram (1990) berdasarkan konsep yang ditawarkan oleh
Clementes (1978), yang menawarkan studi perbandingan didasarkan pada karya sastra yang
berkembang di nusantara, yakni (a) genre dan bentuk, (b) periode, aliran, dan pengaruh, serta, (c)
tema dan mitos.
Damono mengutip pendapat Ikram (1990:8), yang mengatakan bahwa dalam sastra
tradisonal, sastra didaktik hadir beragam bentuk seperti syair, hikayat, cerita berbingkai, kidung,
sastra tanya-jawab, cerita binatang, yang fungsinya sebagai wahana memberi nasihat. Tokoh
fiksi didaktik dalam sastra klasik dan sastra modern kadang menggunakan binatang, sebagai
tokoh untuk menyampaikan nasihat. Di Indonesia, binatang yang populer sebagai tokoh fiksi
didaktik adalah kancil. Kisah lain yang menggunakan tokoh fiksi didaktik juga terdapat dalam
sastra Jawa modern seperti Dongeng Soto Kewan karta Prijono dan dalam sastra Indonesia
modern seperti cerita pendek ditulis oleh A.A. Leo yang judulnya Kisah dari Negeri Kambing.
Ciri sastra sejarah sebagai alat legitimasi kekuasaan, sastra sejarah yang panjang dan
lengkap menjangkau asal-usul suatu masyarakat mulai dari zaman prasejarah sampai zaman
sejarah. Dalam upaya merunut asal usul itu sastra sejarah bisa dimulai dengan mitologi yang
menjelaskan asal-muasal suatu bangsa.
Salah satu genre tradisi lisan di Indonesia yang dimiliki oleh semua kebudayaan adalah
mantra. Mantra adalah genre sastra lisan yang satu ini biasanya dipergunakan untuk mencapai
maksud atau tujuan tertentu. Mantra bisa dipergunakan untuk apa saja, sesuai tujuan yang
diinginkan penggunanya. Setiap masyarakat menciptakan mantra untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, tentu saja dipengaruhi kondisi geografis dan budaya yang dimiliki oleh masing-masing
masyarakat. Misalnya, mantra orang Sangir sangat jauh berbeda dengan mantra orang Bali.
Bab lima: Membandingkan Dongeng
Dongeng mencakup segala jenis kisah yang dalam pengertian Barat dipilah-pilah
antaralain menjadi mitos, legenda, dan fabel. Sebuah dongeng dapat dibandingkan dengan
dongeng lain, yang berasal dari berbagai negara, tentunya dongeng yang mirip. Penelitian ini
tidak hanya mengungkapkan keaslian dan pengaruhnya terhadap yang lain, tetapi lebih kaitan-
kaitan antara perbedaan dan persamaan yang ada dan watak suatu masyarakat. Contoh untuk
menunjukkan perbandingan mitos dalam dongeng adalah kisah Oedipus di Yunani Kuno yang
berkembang selama ribuan tahun. Namun, di akhir cerita kisah Oedipus terdapat berbagai macam
versi yang berbeda, yaitu versi Homerus maupun versi Sophocles.
Kisah yang mirip yaitu cerita Sangkuriang yang berasal dari Priangan-kebudayaan Sunda,
atau kisah Prabu Watu Gunung, dalam kitab Babad Tanah Jawi, yang dikenal sebagai
kebudayaan Jawa Klasik. Tradisi lisan tentang kisah Sangkuriang ini disesuaikan dengan kondisi
geografis asal-muasal cerita itu, dan dikaitkan dengan Gunung Tangkubanperahu. Oedipus,
Sangkuriang, dan Prabu Watugunung adalah tokoh dalam kisah yang mirip, yaitu seorang laki-
laki yang membunuh ayahnya dan mengawini ibunya, hanya saja ketiganya hadir dalam versi
yang berbeda. Dalam hal ini, untuk membandingkannya harus menggunakan pendekatan status
sosial tokoh-tokoh yang berbeda satu sama lain.
Bab Enam: Meninjau Romantisme: Kasus Puisi Inggris dan Indonesia
Pada bab ini merupakan usaha untuk menjelaskan suatu gerakan yang muncul dalam
kesusastraan Indonesia di sekitar tahun 1930-an, yang ciri-cirinya mengingatkan kita pada
gerakan Romantik yang muncul di Eropa Barat sekitar satu abad sebelumnya. Romantisme, atau
yang juga sering disebut romantisme adalah gerakan yang terikat pada tempat dan waktu.di
negeri-negeri di luar Eropa ciri-ciri Romantisme itu dikenal juga, kalau tidak dalam ujudnya
sebagai tradisi lisan juga dalam kitab-kitab klasik dalam berbagai bahasa yang tersebar di seluruh
Asia.
Romantisme Inggris mencakup waktu sekitar 100 tahun, mulai dari pertengahan abad ke-
18 sampai pertengahan abad ke-19. Gerakan Romantik di Inggris mencapai kematangan sekitar
tahun 1760 dengan munculnya penyair-penyair William Blake dan Willian Wordsworth serta
novelis Walter Scott, yang kemudian diikuti dengan perkembangan selanjutnya di abad ke-19.
Munculnya gejala yang sama di Indonesia pada tahun-tahun 1920-an dan 1930-an tentu
tidak bisa dicari akarnya di Yunani klasik atau Eropa abad pertengahan. Dalam pengantarnya
untuk antologi, Takdir Alisjahbana (2004) memberikan gambaran tentang pemikiran Romantik,
pada dasarnya ia menjelaskan perubahan masyarakat agraris menjadi industri, yang pada
gilirannya menyebabkan terjadinya perubahan besar di bidang filsafat, agama, seni, ilmu
pengetahuan, dan politik.
Dalam perkembangan selanjutnya para penyair Inggris semakin merasakan hubungan
mereka dengan alam liar dan bahkan merasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari alam.
Kesadaran dan perhatian akan alam liar itu pada gilirannya mendorong para penyair untuk
memperhatikan gejala yang asli, yang primitif- meskipun istilah ini tentu saja dianggap
menyinggung perasaan bangsa-bangsa yang diberi label demikian.
Puisi merupakan hasil utama gerakan Romantik di mana pun. Fiksi yang dianggap
memiliki nilai-nilai Romantik memang disebut-sebut dalam perkembangan sastra Inggris seperti
misalnya yang dihasilkan oleh Walter Scott, namun kualitasnya terutama ada pada niat untuk
merayakan petualangan yang diberi latar pada masa lampau.
Bab Tujuh: Tentang Penerjemahan Sastra
Pada bab ini, dijelaskan bahwa hasil dari sajak yang diterjemahkan tentu saja berbeda
sebab, menurut beberapa pengamat, dalam melakukan penerjemahan selalu saja ada yang hilang
dari aslinya, menyusut, meleset, keliru, derivatif, mekanis, sekunder, dan segala ajektiva yang
pada dasarnya menunjukkan bahwa karya terjemahan itu tidak akan bisa mengungguli karya
aslinya.
Kemudian Susan Bassnett dalam bukunya memperbincangkan masalah penerjemahan
juga mengutip pandangan seorang sastrawan Inggris, Helaire Bellock, yang menyatakan bahwa
seni penerjemahan adalah subsidiary art and derivative seni tambahan dan seni tiruan. Susan
Bassnett juga menyebutkan bahwa terjemahan tidak memiliki kewibawaan dan keagungan karya
asli dan karena itu orang membiarkan saja merosotnya standar yang dituntut, dan bahkan pada
suatu waktu sama sekali menghancurkan seni terjemahan itu sendiri.
Terjemahan sebenarnya merupakan tafsir bangsa tertentu di suatu zaman tertentu
terhadap karya sastra milik bangsa lain di zaman tertentu pula. Sajak Kerawang Bekasi karya
Chairil Anwar boleh dianggap sebagai tafsir bangsa Indonesia zaman perjuangan fisik terhadap
sajak MacLeish tentang Perang Dunia II. Jadi, dengan mengubah dirinya karya sastra bisa
menembus ruang dan waktu, dengan demikian, menyebabkan karya sastra bertahan hidup.
Bab Delapan: Rabindranath Tagore dan Kita
Pada bab ini, dijelaskan puncak minat terhadap gaya penulisan Tagore di Indonesia
terjadi pada tahun 1930-an dan 1940-an; Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Aoh K. Hadimadja
menulis sejumlah prosa liris yang mengingatkan kita pada gaya penulisan Gitanjali dan Tukang
Kebun.
Tagore di kenal sebagai pujangga Asia pertama yang menerima hadiah nobel, tetapi
barangkali tidak banyak di antara kita yang mengetahui bahwa pujangga besar itu telah
menghasilkan lebih dari 1.000 sajak, delapan novel, lebih dari delapan kumpulan cerpen, lebih
dari 2.000 lagu yang lirik dan musiknya ditulis sendiri. Tagore menulis dalam bahasa Bengali.
Sejumlah karyanya kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,olehnya sendiri atau oleh
orang lain.
Bab sembilan: Alih Wahana
Alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain.
Membanding-bandingkan benda budaya yang beralih wahana merupakan kegiatan yang sah dan
bermanfaat bagi pemahaman yang lebih dalam mengenai hakikat sastra. Cerita rekaan bisa
diubah menjadi tari, drama, atau film; sedangkan puisi bisa diubah menjadi lagu atau lukisan.
Antara karya sastra dan film didasarkan sejumlah unsur strukturnya yaitu tokoh, latar,
alur, dialog, dan sebagainya, harus diubah sedemikian rupa sesuai dengan keperluan jenis
kesenian lain, untuk bisa dinikmati. Unsur penting dalam ekranisasi ini yaitu dialog. Film tidak
memungkinkan adanya dialog yang panjang seperti yang di dalam novel. Dialog yang diambil
dari novel seperlunya saja untuk kepentingan film. Jika dialog itu hilang atau perannya
dikurangi, makan novel Mh. Rusli akan muncul sebagai suatu karya seni yang amanatnya
berbeda. Perbedaan itu merupakan objek penelitian penting dalam sastra bandingan. Jika
diangkat ke panggung ketoprak, susunan dialognya tentu akan berbeda pula dengan film.
Musikalisasi puisi, yaitu perpaduan antara puisi dan musik. Artinya jika karya sastra
diperlakukan secara kreatif akan mampu menghasilkan karya yang lebih indah, yaitu dengan cara
memadukan puisi dan musik, dalam bentuk nyanyian. Salah satu contoh, grup musik populer
Bimbo yang menggunakan sajak-sajak Taufiq Ismail, seperti Sajadah Panjang, juga sajak
Ramadhan K.H., dan Wing Kardjo menjadi lirik lagu yang indah dinikmati. Kajian yang dapat
dilakukan sastra bandingan mengenai musikalisasi puisi ini, antara lain tentang proses suasana
dan jiwa puisi terekam dalam lagu, pengaruh nada dalam memahami puisi.
C. KOMENTAR
Sastra bandingan adalah salah satu studi untuk membandingkan karya sastra yang satu
dengan karya sastra yang lainnya, baik mempelajari hubungan timbal balik karya sastra dari dua
atau lebih kebudayaan nasional yang biasanya berlainan bahasa, maupun pengaruh karya sastra
yang satu terhadap karya sastra yang lain.
Menurut Saya, isi buku Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko Damono ini sudah baik,
sudah memberikan gambaran yang cukup jelas tentang sastra bandingan. Mulai dari apa itu
sastra bandingan, perkembangan dari sastra bandingan, asli, pinjaman, tradisi, sastra bandingan
di Nusantara dan lainnya sudah disampaikan cukup jelas. Buku Sastra Bandingan ini merupakan
hasil telaah dari buku-buku dan teori ilmu sastra bandingan, sumber yang ada dalam buku ini
sebagian besar dari penulis asing. Kalau ingin memahami secara mendalam, buku ini harus
dibaca berulang-ulang. Karena gaya penulisan Sapardi Djoko Damono tidak teoritis, tapi lebih
banyak kegaya penulisan karya sastra. Namun, apabila kita baca berulang-ulang dari bab perbab,
akan mudah memahaminya dan kita akan mudah menarik kesimpulan apa itu sastra bandingan.
Setelah membaca buku Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko Damono ini, penulis
membandingkannya dengan buku Metodologi Penelitian Sastra Bandingan karya Suwardi
Endraswara yang merupakan sama-sama membahas tentang sastra bandingan. Buku ini
diterbitkan di Jakarta pada tahun 2011 dengan ISBN 978-979-1012-43-0, serta memiliki
ketebalan 234 halaman. Menurut saya, isi buku Sastra bandingan karya Sapardi Djoko Damono
ini lebih fokus ke sastra bandingannya dan isi buku Metodologi Penelitian Sastra Bandingan
karya Suwardi Endraswara lebih fokus ke penelitian sastra bandingan.
Buku Metodologi Penelitian Sastra Bandingan karya Suwardi Endraswara membahas
berbagai macam metodologi penelitian sastra. Ada sebelas jenis penelitian sastra, mulai dari
hakikat sastra bandingan, sejarahnya, sastra nasional, ontologi sastra bandingan dan lainnya
sudah tersampaikan secara jelas dan rinci. Apabila dibandingkan dengan buku Sastra Bandingan
karya Sapardi Djoko Damono. Salah satu diantaranya yaitu pada bab lima bagian Ontologi yang
membahas sastra bandingan. Pada buku Metodologi Penelitian Sastra Bandingan karya Suwardi
ini, sudah dijelaskan dengan rinci tentang konsep dasarnya dan sejarah perkembangan sastra
bandingan.
D. PENUTUP
Manfaat yang diperoleh dari membaca buku Sastra Bandingan karya Sapardi Djoko
Damono ini yaitu saya bisa menambah ilmu pengetahuan tentang sastra bandingan. Buku ini
sangat baik dibaca untuk tahap awal mengenal sastra bandingan. Buku Sastra Bandingan karya
Sapardi Djoko Damono ini sebenarnya sangat menarik, pembahasannya seperti karya sastra,
banyak terdapat contoh-contoh karya sastra bandingan yang telah dianalisis oleh Sapardi Djoko
Damono dan tidak banyak ditemukan teori-teori didalamnya. Namun kita tidak bisa membacanya
satu kali saja, harus benar-benar dipahami bab perbabnya agar apa yang ingin disampaikan
Damono dalam bukunya dapat kita terima. Jadi, buku Sastra Bandingan Karya Sapardi Djoko
Damono ini bisa dijadikan buku pegangan untuk mengkaji sastra bandingan di Indonesia, agar
studi sastra bandingan di Indonesia semakin mendalam kajiannya.

Anda mungkin juga menyukai