Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra apapun jenis dan genrenya pasti memiliki kekhasan atau ciri
yang membedakannya dari jenis tulisan lain. Oleh karena itu, untuk memahami
sebuah karya sastra, metode dan pendekatan yang digunakan akan berbeda
dengan memahami sebuah tulisan biasa. Setidaknya ada empat pendekatan kritis
yang dikemukakan oleh Abrams (Teeuw, 1988:50) yaitu, pendekatan objektif,
pendekatan ekspresif, pendekatan mimetik dan pendekatan pragamatik.
Pendekatan objektif berpusat pada karya sastra, pendekatan ekspresif berpusat
pada penulis, pendekatan mimetik berpusat pada keselarasan dengan alam
semesta dan pendekatan pragmatik berpusat pada kajian terhadap pembaca.

Setiap pembaca akan memberikan pemaknaan dan penafsiran serta reaksi


berbeda terhadap suatu karya sastra, tergantung kepada horison harapannya.
Demikian pula dengan karya-karya W.S. Rendra. Sebagai salah satu tokoh besar
dalam sejarah Sastra Indonesia, karya-karyanya selalu mendapat apresiasi dari
waktu ke waktu. Dalam perjalanannya, Rendra mempunyai peran penting dalam
dua ranah kesastraan Indonesia, yaitu dalam bidang puisian dan drama (teater).
Dalam bidang puisi dia memelopori aliran puisi pamflet yang berkembang pada
tahun 1970-an, sedangkan dalam bidang drama (teater) ia memiliki andil besar
dengan improvisasi yang berupa drama minikata. Selain itu, Rendra jugalah yang
pertama kali memopulerkan pentas pembacaan puisi yang dikemas secara
teatrikal yang membuat banyak orang tertarik pada kesusastraan setelah
menyaksikan pentas-pentasnya (ACP, 2018).

Ada beberapa model yang digunakan oleh pembaca untuk mengapresiasi


karya sastra, khususnya puisi salah satunya adalah model Resepsi sastra. Resepsi
sastra adalah salah satu pendekatan, yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana

1
pembaca memberikan makna terbadap karya sastra yang yang tentu saja
berdasarkan pengalaman yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau
tanggapan terhadapnya. Sebuah karya sastra akan lebih hidup karena partisipasi
seorang pembaca. Resepsi sastra menempatkan pembaca pada posisi yang penting
karena karya sastra hanyalah sebuah artefak jika tidak mendapatkan tanggapan
pembaca. Selain itu juga kajian sastra yang melihat berdasarkan sudut pandang
pembaca masih sangat jarang ditemui.

Berdasarkan hal-hal di atas, pada makalah ini akan dijelaskan mengenai


analisis model resepsi sastra terhadap puisi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana hakikat respons pembaca ?


2. Bagaimana teori resepsi sastra ?
3. Bagaimana penerapan metode resepsi sastra ?
4. Bagaimana analisis puisi “Dongeng Marsinah” Karya Sapardi Djoko Damono
dengan menggunakan model Resepsi Sastra ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui hakikat respons pembaca


2. Untuk mengetahui teori resepsi sastra
3. Untuk mengetahui penerapan metode resepsi sastra
4. Untuk mengetahui analisis puisi “Dongeng Marsinah” Karya Sapardi Djoko
Damono dengan menggunakan model Resepsi Sastra

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Respons Pembaca

Teori resepsi sastra atau estetika resepsi muncul dipicu oleh adanya
pergeseran paradigma dari pendekatan objektif ke pragmatik, dari struktur instrinsik
ke pembaca. Munculnya ketidakpuasan para pengamat sastra terhadap suatu teori
bahwa dalam memahami ‘arti’ karya sastra maka harus dikembalikan kepada
penulisnya. Oleh karena itu, respons atau tanggapan pembaca dibutuhkan untuk
menganalisis sebuah karya sastra, karena jika hanya terbatas pada penulisnya maka
karya itu hanya terbatas pada orang tertentu. Junus pun memberikan beberapa
argumentasi tambahan yang menguatkan posisi resepsi ini, yaitu (1) Sebuah karya
sastra hidup jauh lebih lama dari penulisnya sehingga ada orang yang hanya
membaca karya itu tanpa menanyakan tentang penulisnya; (2) dengan adanya
produksi besar-besaran terhadap karya sastra, yang memungkinkan perluasan
penyebarannya dalam ruang geografis dan masa, maka orang lebih membaca karya
tanpa mengenal penulisnya; (3) karya sastra hidup jauh lebih lama daripada
penulisnya, karena karya sastra dihidupkan oleh para pembacanya (Junus, 1985:13-
14) Berdasarkan uraian mengenai hakikat penelitian resepsi sastra di atas, yang
menekankan adanya respons pembaca tadi, maka beberapa butir penting pendekatan
respons pembaca itu dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Pendekatan ini bertolak
pada bagaimana suatu karya sastra bereaksi dengan pembacanya; (2) Pendekatan ini
menginginkan agar pembaca mengkonkretkan hasil bacaannya dengan menggunakan
kemampuan imajinasinya; (3) Imajinasi itu berhubungan dengan skemata (horizon of
expectation) pembaca terhadap karya sastra, tradisinya, dan skemata pengetahuannya;
Pembaca akan mengemukakan kesan dalam bentuk komentar terhadap karya sastra
(Junus, 1985:51)

3
2.2 Resepsi Sastra

Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan
mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam
memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu,
dan golongan sosial.

Resepsi berasal dari bahasa Latin yaitu recipere yang diartikan sebagai
penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi diartikan sebagai
pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat
memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara
karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca
dalam periode tertentu.

Menurut Pradopo (2007:218) yang dimaksud resepsi adalah ilmu keindahan yang
didasarkan pada tanggapan-tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Teeuw (dalam
Pradopo 2007:207) menegaskan bahwa resepsi termasuk dalam orientasi pragmatik.
Karya sastra sangat erat hubungannya dengan pembaca, karena karya sastra ditujukan
kepada kepentingan pembaca sebagai menikmat karya sastra. Selain itu, pembaca
juga yang menentukan makna dan nilai dari karya sastra, sehingga karya sastra
mempunyai nilai karena ada pembaca yang memberikan nilai.

Teori resepsi tidak hanya memahami bentuk suatu karya sastra dalam bentangan
historis berkenaan dengan pemahamannya. Teori menuntut bahwa sesuatu karya
individu menjadi bagian rangkaian karya lain untuk mengetahui arti dan kedudukan
historisnya dalam konteks pengalaman kesastrannya. Pada tahapan sejarah resepsi
karya sastra terhadap sejarah sastra sangat penting, yang terakhir memanifestasikan
dirinya sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari pengarang.
Pemahaman berikutnya dapat memecahkan bentuk dan permasalahan moral yang
ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan pada gilirannya menyajikan permasalahan
baru.

4
Pengalaman pembaca yang dimaksud mengindikasikan bahwa teks karya sastra
menawarkan efek yang bermacam-macam kepada pembaca yang bermacam-macam
pula dari sisi pengalamannya pada setiap periode atau zaman pembacaannya.
Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan
efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang
padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam
aktivitas pembacaan pembacanya. Dalam hal ini, kesejarahan sastra tidak bergantung
pada organisasi fakta-fakta literer tetapi dibangun oleh pengalaman kesastraan yang
dimiliki pembaca atas pengalaman sebelumnya.

Metode resepsi ini diteliti tanggapan-tanggapan setiap periode, yaitu tanggapan-


tanggapan sebuah karya sastra oleh para pembacanya (Pradopo 2007:209).
Pembacaan yang beragam dalam periode waktu yang berbeda akan menunjukkan
efek yang berbeda pula. Pengalaman pembaca akan mewujudkan orkestrasi yang
padu antara tanggapan baru pembacanya dengan teks yang membawanya hadir dalam
aktivitas pembacaan pembacanya.

Pradopo (2007:210-211) mengemukakan bahwa penelitian resepsi dapat


dilakukan dengan dua cara, yaitu secara sinkronis dan diakronis. Penelitian sinkronis
merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra dalam masa satu periode.
Penelitian ini menggunakan pembaca yang berada dalam satu periode. Sedangkan
penelitian diakronis merupakan penelitian resepsi terhadap sebuah teks sastra yang
menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca pada setiap periode.

Menurut Ratna (2009:167-168), resepsi sinkronis merupakan penelitian resepsi


sastra yang berhubungan dengan pembaca sezaman. Dalam hal ini, sekelompok
pembaca dalam satu kurun waktu yang sama, memberikan tanggapan terhadap suatu
karya sastra secara psikologis maupun sosiologis. Resepsi diakronis merupakan
bentuk penelitian resepsi yang melibatkan pembaca sepanjang zaman. Penelitian
resepsi diakronis ini membutuhkan data dokumenter yang sangat relevan dan
memadai.

5
Pada penelitian resepsi sinkronis, umumnya terdapat norma-norma yang sama
dalam memahami karya sastra. Tetapi dengan adanya perbedaan horizon harapan
pada setiap pembaca, maka pembaca akan menanggapi sebuah karya sastra dengan
cara yang berbeda-beda pula. Hal ini disebabkan karena latar belakang pendidikan,
pengalaman, bahkan ideologi dari pembaca itu sendiri.

Penelitian resepsi sinkronis ini menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca yang


berada dalam satu kurun waktu. Penelitian ini dapat menggunakan tanggapan
pembaca yang berupa artikel, penelitian, ataupun dengan mengedarkan angket-angket
penelitian pada pembaca.

Resepsi diakronis umumnya menggunakan pembaca ahli sebagai wakil dari


pembaca pada tiap periode. Pada penelitian diakronis ini mempunyai kelebihan dalam
menunjukkan nilai senia sebuah karya sastra, sepanjang waktu yang telah dialuinya.

Menurut Endraswara (2008:126) proses kerja penelitian resepsi sastra secara


sinkronis atau penelitian secara eksperimental, minimal menempuh dua langkah
sebagai berikut:

1. Setiap pembaca perorangan maupun kelompok yang telah ditentukan, disajikan


sebuah karya sastra. Pembaca tersebut lalu diberi pertanyaan baik lisan maupun
tertulis. Jawaban yang diperoleh dari pembaca tersebut kemudian dianalisis menurut
bentuk pertanyaan yang diberikan. Jika menggunakan angket, data penelitian secara
tertulis dapat dibulasikan. Sedangkan data hasil penelitian, jika menggukan metode
wawancara, dapat dianalisis secara kualitatif.

2. Setelah memberikan pertanyaan kepada pembaca, kemudian pembaca tersebut


diminta untuk menginterpretasikan karya sastra yang dibacanya. Hasil interpretasi
pembaca ini dianalisis menggunakan metode kualitatif.

Dalam penelitian diakronis, untuk melihat penerimaan sejarah resepsi,


digunakan strategi dokumenter melalui kepuasan media massa. Hasil kupasan
tersebut yang nantinya akan dikaji oleh peneliti.

6
Menurut Abdullah (dalam Jabrohim 2001:119), penelitian resepsi secara
sinkronis dan diakronis, dimasukan ke dalam kelompok penelitian resepsi
menggunakan kritik teks sastra. Dalam penelitian resepsi sastra, Abdullah membagi
tiga pendekatan, yaitu (1) penelitian resepsi sastra secara eksperimental, (2) penelitian
resepsi lewat kritik sastra, dan (3) penelitian resepsi intertekstualitas. Secara umum,
dari tiga pendekatan ini dapat dimasukkan ke dalam penelitian sinkronis dan
diakronis, tidak hanya pada penelitian melalui kritik sastra saja.

Penelitian eksperimental dapat dimasukan ke dalam peneitian sinkronis, karena


dalam penelitian eksperimental ini mengunakan subjek penelitian yang berada dalam
satu kurun waktu. Sedangkan penelitian dengan pendekatan yang ketiga, yaitu
melalui intertekstualitas, dapat dimasukkan ke dalam penelitian diakronis. Karena
dapat diteliti hasil konkretisasi melalui teks-teks sastra yang muncul pada setiap
periodenya. Tetapi penelitian ini dapat digunakan pada teks sastra yang memiliki
hubungan intertekstual dengan teks sastra yang menjadi acuan penelitian.

2.3 Penerapan Metode Penelitian Resepsi Sastra

Penelitian resepsi sastra pada penerapannya mengacu pada proses pengolahan


tanggapan pembaca atas karya sastra yang dibacanya. Metode resepsi sastra
mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak terbit selalu mendapatkan
tanggapan dari pembacanya. Menurut Jauss (dalam Pradopo 2007: 209) apresiasi
pembaca pertama akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan yang lebih lanjut
dari generasi ke generasi.

Tugas resepsi adalah meneliti tanggapan pembaca yang berbentuk interpretasi,


konkretisasi, maupun kritik atas karya sastra yang dibaca. Tanggapan-tanggapan
pembaca atas karya sastra yang dibacanya, dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain latar belakang sosial budaya, tingkat pendidikan pembacam tingkat
pengalaman, dan usia pembaca.

7
Dalam makalah ini, penulis memilah metode penelitian sastra menjadi dua
metode, yaitu metode resepsi sinkronis dan metode resepsi diakronis. Kedua metode
ini dibedakan menurut kemunculan tanggapan dari pembaca atas karya sastra yang
dibacanya.

a. Penerapan Metode Resepsi Sinkronis

Penelitian resepsi dengan metode sinkronis adalah penelitian resepsi sastra yang
menggunakan tanggapan pembaca sezaman, artinya pembaca yang digunakan sebagai
responden berada dalam satu periode waktu. Penelitian resepsi dengan metode ini
dapat dilakukan dengan cara menganalisis tanggapan pembaca sezaman dengan
menggunakan teknik wawancara maupun teknik kuasioner. Oleh karena itu,
penelitian resepsi sinkronis ini dapat digolongkan menjadi penelitian eksperimental.

Penelitian resepsi sinkronis ini jarang dilakukan oleh peneliti karena sukar dalam
pelaksanaan penelitiannya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Abdullah (dalam
Jabrohim 2001:119) bahwa penelitian yang tergolong eksperimental dapat mengalami
beberapa kendala saat pelaksaannya di lapangan. Penelitian eksperimental dinilai
sangat rumit, khususnya dalam pemilihan responden, pemilihan teks sastra, dan
penentuan teori.

Penelitian resepsi sastra menggunakan metode sinkronis ini pernah dilakukan


oleh Dini Eka Rahmawati, mahasiswa program studi Sastra Jawa Unnes, yang
meneliti resepsi masyarakat atas cerita rakyat Bledhug Kuwu dalam skripsinya yang
berjudul Resepsi Cerita Rakyat Bledhug Kuwu (2008).

Dalam penelitiannya, Rahmawati menggunakan pendekatan reseptif dengan


metode penelitian sinkronis. Artinya penelitian resepsi sastra yang dilakukan atas
cerita Bledhug Kuwu dilakukan pada tanggapan pembaca yang berada pada satu
zaman. Penelitian yang dilakukan Rahmawati menganalisis hasil konkretisasi
masyarakat Bledhug Kuwu di Kabupaten Grobogan. Hasil penceritaan ulang
dianalisis struktur cerita dengan perbandingan atas sebuah teks cerita yang diterbitkan

8
Dinas Pariwisata Kabupaten Grobogan. Pembaca yang menjadi responden dalam
penelitian tersebut merupakan masyarakat Bledhug Kuwu yang berada dalam satu
periode. Sehingga dapat dikatakan penelitian Rahmawati termasuk penelitian resepsi
sinkronis.

Masih jarang penelitian resepsi sinkronis yang dilakukan oleh ilmuwan sastra
maupun para mahasiswa sastra. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor yang
menjadi penghambat dalam pelaksanaan penelitian resepsi sinkronis.

b. Penerapan Metode Resepsi Diakronis

Penelitian resepsi sastra dengan metode diakronis merupakan penelitian resepsi


sastra yang dilakukan terhadap tanggapan-tanggapan pembaca dalam beberapa
periode. Tetapi periode waktu yang dimaksud masih berada dalam satu rentang
waktu.

Penelitian resepsi diakronis ini dilakukan atas tanggapan-tanggapan pembaca


dalam beberapa periode yang berupa kritik sastra atas karya sastra yang dibacanya,
maupun dari teks-teks yang muncul setelah karya sastra yang dimaksud. Umumnya
penelitian resepsi diakronis dilakukan atas tanggapan pembaca yang berupa kritik
sastra, baik yang termuat dalam media massa maupun dalam jurnal ilmiah.

Penelitian resepsi diakronis yang melihat bentuk fisik teks yang muncul
sesudahnya dapat dilakukan melalui hasil intertekstual, penyalinan, penyaduran,
maupun penerjemahan. Intertekstual merupakan fenomena resepsi pengarang dengan
melibatkan teks yang pernah dibacanya dalam karya sastranya. Hasil intertekstual,
penyalinan, penyaduran, maupun penerjemahan ini dapat dilakukan atas teks sastra
lama maupun sastra modern.

Metode diakronis yang banyak dilakukan adalah penelitian tanggapan yang


berupa kritik sastra. Penelitian resepsi diakronis pernah dilakukan oleh beberapa ahli
sastra, misalnya Yusro Edy Nugroho dalam artikel berjudul Serat Wedhatama:

9
Sebuah Masterpiece Jawa dalam Respon Pembaca (2001), Agus Nuryatin dengan
artikel Resepsi Estetis Pembaca Atas Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar
Kayam (1998), Siti Hariti Sastriyani dengan artikel berjudul Karya Sastra Perancis
Abad ke-19 Madame Bovary dan Resepsinya di Indonesia (2001), dan Muhammad
Walidin dengan artikel berjudul Seksualitas dalam Novel Indonesia
Kontemporer (2007).

Nugroho (2001) dalam artikel berjudul Serat Wedhatama Sebuah Masterpiece


Jawa dalam Respon Pembaca menggunakan karya sastra turunan sebagai
respondennya. Penelitian ini menggunakan metode diakronis karena karya sastra
yang digunakan muncul pada kurun waktu yang berbeda. Karya sastra turunan yang
digunakan adalah Wedhatama Winardi (1941), Wedhatama Kawedar (1963), dan
Wedhatama Jinarwa (1970).

Dalam penelitiannya, Nugroho dapat menunjukkan bagaimana seorang pembaca


dapat memiliki kebebasan dalam menafsirkan makna dari Serat Wedhatama sesuai
dengan apa yang dikuasai dan diharapkan atas keberadaan serat tersebut. Pencipta
teks turunan ini telah meresepsi Serat Wedhatama dengan tujuan untuk
memertahankan serat ini agar tetap dikenal pada zaman selanjutnya.

Penelitian lain yang menggunakan metode resepsi diakronis adalah penelitian


yang dilakukan Nuryatin (1998) atas tanggapan pembaca terhadap cerita Sri Sumarah
dan Bawuk karya Umar Kayam. Dalam penelitian yang berjudul Resepsi Estetis
Pembaca Atas Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam ini, Nuryatin
menggunakan tanggapan-tanggapan pembaca yang berupa kritik sastra yang berupa
artikel maupun resensi yang termuat di media massa. Pembaca yang digunakan
sebagai responden dalam penelitian ini berada dalam rentang waktu antara tahun
1970 hingga 1980. Sehingga penelitian ini dapat dimasukkan ke dalam penelitian
diakronis.

10
Dalam penelitian ini, Nuryatin dapat menunjukkan kelompok-kelompok
tanggapan pembaca atas cerita Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam, yaitu
tanggapan positif dan negatif. Pembaca yang digunakan dalam penelitian Nuryatin ini
adalah pembaca ideal. Pembaca ini melakukan pembacaan terhada karya sastra secara
mendalam, karena ada tujuan lain dari proses pembacaan itu.

Penelitian resepsi diakronis juga pernah dilakukan oleh Sastriyani dalam artikel
yang berjudul berjudul Karya Sastra Perancis Abad ke-19 Madame Bovary dan
Resepsinya di Indonesia. Dalam penelitian resepsi sastra ini, Sastriyani menggunakan
pembaca ideal sebagaimana yang dilakukan oleh Nuryatin. Proses penelitian terhadap
tanggapan pembaca dilakukan atas kritik yang diberikan oleh pembaca ideal. Dalam
penelitiannya Sastriyani juga membandingkan tanggapan antara Madame Bovary
dengan Belenggu. Dari proses penelitian diakronis ini, Sastriyani dapat menunjukkan
pengaruh-pengaruh munculnya karya Madame Bovary di Indonesia.

Penelitian terakhir yang menggunakan penelitian resepsi dengan metode diakronis


adalah Walidin yang menganalisis tanggapan pembaca terhadap seksualitas dalam
novel Indonesia kontemporer, yaitu novel Saman karya Ayu Utami yang
mengungkap heteroseksualitas secara vulgar, Supernova karya Dewi Lestari yang
memperkenalkan homoseksualitas kaum gay, dan Garis Tepi Seorang Lesbian karya
Herliniatin yang mengangkat cinta sejenis kaum lesbian. Walidin menggunakan hasil
kritik beberapa pembaca terhadap salah satu atau ketiga novel tersebut. Hasil kritik
ini diperoleh dari hasil wawancara maupun dari sumber lain, seperti internet atau
koran yang berbentuk ulasan.

Hasil yang diperoleh Walidin dari penelitian dalam artikel Seksualitas dalam
Novel Indonesia Kontemporer ini adalah bentuk-bentuk tanggapan atas ketiga novel
yang dikaji, baik tanggapan posif maupun tanggapan negatif. Dari penelitian ini juga
dapat diketahui bahwa resepsi pembaca atas karya sastra bergantung pada periode
pembaca itu berada. Perbedaan periode memengaruhi tanggapan yang diberikan
pembaca terhadap suatu karya sastra.

11
2.4 Analisis Puisi dengan Metode Resepsi Sastra

Puisi yang akan dianalisis kali ini adalah puisi yang berjudul “Dongeng
Marsinah” Karya Sapardi Djoko Damono

Dongeng Marsinah
/1/
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi:
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
waktu memang tak pernah kompromi,
ia sangat cermat dan pasti.
Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”
/2/
Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap ke mana-mana.
“Ia suka berpikir,” kata Siapa,
“itu sangat berbahaya.”
Marsinah tak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,
“dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu.”
/3/
Di hari baik bulan baik,

12
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap,
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lenkingan detiknya
tidak kedengaran lagi.
Ia tidak diberi air,
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.
Dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.
Detik pun tergeletak
Marsinah pun abadi.
/4/
Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli,
meregang waktu bersaksi:
Marsinah diseret
dan dicampakkan —
sempurna, sendiri.
Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya

13
azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?
Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan?
/5/
“Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi; jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi.”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia sudah paham maksudnya.)
“apa sebaiknya menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagai roda pedati?”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia biarkan gerbang terbuka.)
“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana.”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
tapi lihat, ia seperti terluka.)
/6/
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya

14
agar belajar memahami
hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya
setiap hari pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.

Puisi yang berjudul Dongeng Marsinah karya Sapardi Djoko Damono ini
akan dihubungkan dengan teori resepsi sastra. Bagaimana dunia Marsinah dalam
puisi digambarkan oleh pengarang, bagaimana perjuangan seorang buruh kecil di
tengah perkotaan demi kesejahteraan sesamanya hingga ia berakhir pada
kematiaaanya tergambarkan dalam puisi. Puisi ini terdiri dari 6 episode, setiap bagian
merupakan rangkaian cerita yang sambung-menyambung. Dunia sastra memiliki
duniaya sendiri, begitu juga dengan dunia yang ada pada puisi Dongeng Marsinah ini.
Puisi yang diciptakan oleh pengarang ini tidak murni berdasarkan imajinasi,
melainkan berdasarkan kenyataan yang ada di masyarakat dan sudah terjadi puluhan
tahun silam. Kenyataannya ialah tentang seorang buruh pabrik yang bernama
Marsinah yang merupakan pekerja dari PT Catur Putra Surya dibunuh pada tahun
1993 silam karena telah memimpin aksi penuntutan kenaikan gaji di perusahaan
tersebut.Tuntutan gaji ini tentu saja berdasarkan dan sesuai dengan instruksi
Gubernur KDH TK 1 Jawa Timur yang mengeluarkan surat edaran No.50/Th 1992
berisikan himbauan kepada pengusaha agar menaikan kesejahteraan karyawannya
dengan memebrikan kenaikan sebesar 20% gaji pokok. Marsinah tak gentar
memperjuangkan haknya dan hak buruh lainnya sehingga hak tersebut benar-benar
mereka dapatkan. Namun ketika hak tersebut telah didapat, Marsinah ditemukan
tewas di sebuah hutan di Nganjuk. Namun sampai saat ini, meskipun kasus Marsinah
telah berlalu selama puluhan tahun masih menjadi misteri. Hal inilah yang membuat

15
seorang sastrawan seperti Sapardi Djoko Damono merasa geram, sehingga beliau
menciptakan puisi yang berjudul Dongeng Marsinah dengan harapan masyarakat luas
lebih mengetahui sosok Marsinah yang sangat berjasa bagi kesejahteraan kaum buruh
melalui sebuah karya sastra yaitu puisi.
Pada mulanya, puisi yang diciptakan oleh pengarangnya ini yaitu Sapardi
Djoko Damono merasa geram terhadap kasus Marsinah ini. Sebelumnya, tidak ada
yang mengetahui isi dari setiap bait yang diciptakan oleh pengarang. Sama halnya
dengan karya sastra lainnya yang sebelumnya tercipta dari ruang sunyi, diciptakan
oleh pengarang itu sendiri, dan apa tujuan dari karya tersebut.Maka karya sastra
tersebut bersifat individual. Namun, setelah pengarang akhirnya menerbitkan
puisinya ini (Dongeng Marsinah) yang terhimpun dalam kumpulan puisi lainnya,
sastra telah menjalankan fungsi sosialnya, tidak lagi bersifat individu. Karya sastra ini
juga berpengaruh terhadap masyarakat, tidak sebagai hiburan atau sastra hanya
dinikmati saja. Pengarang mengenang Marsinah lewat karya sastra, sehingga semakin
luas masyarakat mengetahui bahwa Marsinah ini merupakan buruh yang tangguh dan
jasanya sangat besar. Dan masyarakat perlu mengetahuinya.Tidak hanya lewat
pemberitaan yang telah berlalu selama puluhan tahun, pasti masih banyak yang belum
mengetahui tentang Marsinah. Di Indonesia juag ada peringatan Hari Buruh, dan
sudah seharusnya masyarakat juga mengenang Marsinah.Selain itu, penerapan di
masyarakat dengan adanya puisi ini adalah untuk dijadikan cerminan agar
perusahaan-perusaahan memberikan gaji kepada buruhnya sudah sesuai dengan kerja
mereka, sudah sesuai dengan aturan. Lalu, apabila hak tidak terpenuhi, buruh berhak
untuk meminta hak mereka.
Puisi Dongeng Marsinah ini menggambarkan bagaimana seorang buruh
perempuan yaitu Marsinah dilecehkan dan dibunuh secara keji, ini berdasarkan fakta
bahwa Marsinah ditemukan dengan kondisi luka tembak pada alat kemaluannya.
Dalam kaitannya dengan karya sastra, tentu pengarang mencoba menggambarkan
kejahatan yang diterima Marsinah berdasarkan fakta yang ditemukan berupa alat
kemaluan yang ditembak. Sehingga tercipta baris-baris puisi pada bait ke-7 yang
berbunyi Dalam perhelatan itu, Kepalanya ditetak, selangkanganya diacak-acak, dan

16
tubuhnya dibirulebamkan dengan besi batangan.Bait ini tentu menggambarkan
kondisi Marsinah saat ditemukan meninggal. Kenyataanya, bisa saja tidak seperti itu,
namun penggambaran dalam karya sastra dilihat berdasarkan fakta bahwa Marsinah
ditemukan meninggal dalam keadaan menggenaskan. Pengarang mencoba untuk
mengenang Marsinah tidak hanya untuk diri pengarang itu sendiri melainkan
masyarakat juga. Marsinah diibaratkan dengan arloji yang melingkar di setiap
pergelangan tangan pemakainya. Pengarang mengabadikan Marsinah melalui karya
puisinya. Marsinah masih hidup dalam diri kita semua, setiap langkah mereka yang
berangkat dan pulang kerja diisi oleh Marsinah, lalu setiap perjuangan untuk
memperjuangkan hak tenaga kerja buruh yang berisikan peraturan-peraturan akan
terngiang nama Marsinah. Dunia Marsinah dalam puisi memang tergambarkan ia
seorang wanita dan buruh yang tangguh dan tak gentar, hal ini sudah terlihat pada bait
kedua dan ketiga puisi yang berbunyi Marsinah itu arloji sejati, tak lelah berdetak,
meminta kefanaan yang abadi : “ kami itu tak banyak kehendak, sekedar hidup layak,
sebutir nasi” lalu pada bait ketiga Marsinah, kita tahu, tak bersenjata, ia hanya suka
merebus kata sampai mendidih, lalu meluap ke mana-mana, Ia suka berpikir, kata
siapa, “itu sangat berbahaya” begitu seterusnya. Bait tersebut juga menggambarkan
watak Marsinah yang pantang menyerah. Penokohan dalam puisi juga tidak hanya
Marsinah seorang diri tapi melibatkan pembunuhnya dan rekan-rekan buruhnya.
Meskipun tidak terang-terangan digambarkan. Misalnya saja dari bait ini Di hari baik
bulan baik, tangis tak pantas, Angin dan debu jalan, klakson dan asap knalpot,
mengirimkan jenazahnya ke Nganjuk, Semak-semak yang tak terurus, dst. Orang –
orang yang mengiringi kepergiannya merasakan kesedihan yang amat mendalam.
Bait-bait yang diciptakan oleh pengarang mengandung ajakan agar masyarakat lebih
memahami tentang hakikat presisi atau ketepatan. Pengarang menulis karyanya ini
memang benar-benar atas kenyataan, imajinasi yang tercipta juga berdasarkan
kenyataan yang sudah ada. Ketika pembaca dipertemukan dengan puisi ini, maka
sudah dapat ditebak respon setiap pembaca atau hal yang dirasakan oleh pembaca
ialah tentang kesedihan, serta emosi. Dan tentunya hal ini menyadarkan pembaca agar
memperjuangkan haknya. Sekali lagi, karya sastra ini tentu dapat memengaruhi

17
pembaca, tidak sebagai hiburan semata. Sehingga karya ini masuk ke jenis sastra
untuk masyarakat. Puisi ini ditujukan untuk masyarakat, dan lahir di tengah-tengah
masyarakat.
Lalu, apakah karya sastra ini bisa digunakan sebagai alat perlawanan?. Dari
energi teks atau energi kata-kata yang terkandung setiap baris maupun bait puisi tidak
ada mengandung ajakan perlawanan. Biasanya, bahasa memiliki kekuatan. Pengarang
hanya mencoba untuk mengabadikan Marsinah ke dalam bentuk puisi agar
masyarakat dapat mengenang Marsinah. Namun, apabila ada kejadian yang sama
terlulang kembali, tidak menutup kemungkinan bahwa para buruh bisa menuntuk hak
mereka seperti apa yang dilakukan oleh Marsinah, atau bisa juga kemungkinannya
mereka lebih memilih untuk diam dan pasrah karena tidak ingin bernasib yang sama
seperti Marsinah. Jika kita lihat dari dampak karya sastra ini sebagai hubungannya
dengan masyarakat, tetap saja akan ada dampak sosial yang terjadi pada masyarakat
pembaca. Ketika membaca puisi ini, pembaca akan diajak untuk masuk ke dalam
dunia Marsinah, dan membayangkan kekejaman yang dialami oleh Marsinah, serta
kesedihan yang dirasakan oleh orang-orang terdekat Marsinah. Dalam puisi ini juga
digambarkan bagaimana Marsinah berkata dan berbicara, lalu pembaca yang akan
membayangkannya sendiri. Puisi ini jika dihubungkan dan dirumuskan dengan
konsep dunia sastra makan kita akan dibawa ke dunianya tokoh yang ada pada puisi
yaitu Marsinah, pembaca akan membayangkan diri mereka menjadi Marsinah dan
diperlakukan secara kejam.
Terjadi konflik, relasi, dan kehidupan dalam puisi ini. Di satu sisi, pembaca
akan membayangkan betapa serakahnya atasan-atasan mereka yang tidak mau
menaikan gaji buruhnya yang harusnya disesuaikan dengan aturan yang sudah
dikeluarkan oleh pemerintah. Puisi ini bisa ditafsirkan demikian, dilihat dari
penggalan baitnya yang berbunyi Pangeran, apakah sebenarnya inti kekejaman?,
Apakah sebenarnya inti keserakahan?, Apakah sebenarnya azas kekuasaan?, Dan
apakah sebenarnya hakikat kekuasaan, Pangeran? . Meskipun pada bait ini pembaca
akan diajak untuk membayangkan kehidupan di surga, bait ini juga menjadi suatu
pertanyaan tentang kekejaman dan keserakahan. Marsinah tidak akan memberontak

18
jika tidak ada permasalahan seperti ini. Hal tersebut digambarkan dalam bait
Marsinah tak ingin menyulut api, ia hanya memutar jarum arloji, agar sesuai dengan
matahari, “Ia tahu hakikat waktu,” kata siapa, “dan harus dikembalikan ke asalnya,
debu.” Marsinah mengibaratkan bahwa tempatnya di surga itu ialah tempat yang
paling indah, sementara itu, kehidupan yang ada di dunia itu hanya bersifat fana, dan
hidupnya di dunia ia ibaratkan hidup di neraka. Begitu gambaran pengarang tentang
Marsinah, seperti pada bait berikut yang menyatakan permohonan Marsinah agar
tidak lagi terlahir ke dunia. Saya ini Marsinah, buruh pabrik arloji, Ini sorga,
bukan?, Jangan saya diusir ke dunia lagi, jangan saya dikirim ke neraka itu lagi.”
Beberapa bait memang ditulis oleh pengarang berdasarkan keagungan Tuhan.
Pengarang menyetarakan Marsinah dengan arloji sejati. Kata-kata yang
terdapat dalam puisi memang ada yang menggunakan majas metafora. Pada akhirnya,
secara fisik Marsinah memang telah kalah. Namun namanya telah abadi dan berjasa
bagi buruh. Mayatnya dibuang di semak-semak di sebuah hutan akibat dari kekalahan
atasan atas perjuangan gigih dari seorang buruh. Seperti itulah dunia Marsinah dalam
puisi Dongeng Marsinah yang digambarkan oleh pengarangnya yaitu Sapardi Djoko
Damono. Puisi ini dibuat berdasarkan kenyataan yang terjadi di masyarakat.

19
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Teori resepsi sastra atau estetika resepsi muncul dipicu oleh adanya
pergeseran paradigma dari pendekatan objektif ke pragmatik, dari struktur instrinsik
ke pembaca. Munculnya ketidakpuasan para pengamat sastra terhadap suatu teori
bahwa dalam memahami ‘arti’ karya sastra maka harus dikembalikan kepada
penulisnya. Oleh karena itu, respons atau tanggapan pembaca dibutuhkan untuk
menganalisis sebuah karya sastra, karena jika hanya terbatas pada penulisnya maka
karya itu hanya terbatas pada orang tertentu.

Resepsi sastra merupakan aliran sastra yang meneliti teks sastra dengan
mempertimbangkan pembaca selaku pemberi sambutan atau tanggapan. Dalam
memberikan sambutan dan tanggapan tentunya dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu,
dan golongan sosial.

Penelitian resepsi sastra pada penerapannya mengacu pada proses pengolahan


tanggapan pembaca atas karya sastra yang dibacanya. Metode resepsi sastra
mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak terbit selalu mendapatkan
tanggapan dari pembacanya. Menurut Jauss (dalam Pradopo 2007: 209) apresiasi
pembaca pertama akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan yang lebih lanjut
dari generasi ke generasi.

20
DAFTAR PUSTAKA

Buyung, dkk. 2015. “Resepsi Siswa Terhadap Puisi Cintaku Jauh Di Pulau Karya
Chairil Anwar”. Tersedia pada file:///C:/Users/user/Downloads/9380-18316-1-PB.pdf
(diunduh tanggal 12 November 2019).

Ruslan, Iman. 2015. “Respons Pembaca Anak Terhadap Puisi Dalam Buku Teks”.
Tersedia pada https://riungsastra.wordpress.com/2012/08/04/resepsi-sastra-teori-dan-
metode-penerapannya/ (diunduh pada tanggal 12 November 2019).

21

Anda mungkin juga menyukai