Anda di halaman 1dari 46

resepsi sastra dalam cerpen

I. Pendahuluan

Kritik sastra memiliki peran yang besar dalam perkembangan teori sastra dan salah satu teori
tersebut adalah resepsi sastra. Oleh karena itu, resepsi sastra adalah bagian yang tak
terpisahkan dari kritik sastra. Kritik sastra sendiri berasal dari bahasa Yunani krites yang
berarti hakim. Kata benda krites berasal dari kata kerja krinein yang berarti menghakimi. Kata
krinein merupakan pangkal dari kata benda kriterion yang berarti dasar penghakiman. Lalu
timbul kata kritikos yang berarti hakim karya sastra (Suyitno, 2009:1).

Dalam kritik sastra dikenal beberapa pendekatan-pendekatan untuk melakukan penelitian


karya sastra. Pendekatan-pendekatan itu adalah pendekatan sosiologis, pendekatan
psikologis, pendekatan historis, pendekatan antropologis, pendekatan ekspresif, pendekatan
mimesis, pendekatan pragmatis dan pendekatan objektif. Selanjutnya, Ratna (2008:71)
mengemukakan bahwa pendekatan pragmatislah yang memberikan perhatian utama terhadap
peranan pembaca. Pendekatan ini berhubungan dengan salah satu teori modern yang
mengalami perkembangan yang sangat pesat, yaitu teori resepsi sastra.

Menurut Junus (1985:1), resepsi sastra dimaksudkan bagaimana ‘pembaca’ memberikan


makna terbadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau
tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin bersifat pasif.

Bagaimana  seorang pembaca  dapat  memahami  karya  itu, atau  dapat melihat hakikat
estetika, yang ada di dalamnya, atau mungkin juga bersifat aktif yaitu bagaimana ia
merealisasikannya. Karena itu, pengertian resepsi sastra mempunyai lapangan yang luas,
dengan berbagai kemungkinan penggunaan.

Dengan resepsi sastra terjadi suatu perubahan (besar) dalam penelitian sastra, yang berbeda
dari kecenderungan yang biasa selama ini. Selama ini tekanan diberikan kepada teks, dan
untuk kepentingan teks ini, biasanya untuk pemahaman ‘seorang peneliti’ pergi kepada
penulis (teks) (Junus, 1985:1).

Masalah yang dibahas dalam tulisan ini, yaitu apakah resepsi sastra itu dan apakah dasar-
dasar teori resepsi sastra serta bagaimanakah penerapan teori resepsi sastra. Penulisan ini
bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan dasar-dasar teori resepsi sastra serta
penerapannya.

II. Teori Resepsi Sastra


A. Pengertian Resepsi Sastra

Ratna (2008:165) mengemukakan secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere
(Latin), reception (Inggris) yang berarti sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca.
Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna
terhadap karya sehingga dapat memberikan respons terhadapnya. Hal ini sejalan dengan
pendapat Pradopo (2007:206) bahwa resepsi sastra adalah estetika (ilmu keindahan) yang
mengacu kepada tanggapan atau resepsi pembaca karya sastra dari waktu ke waktu.

Seltanjutnya, Endaswara (2008:118) mengemukakan bahwa resepsi berarti menerima atau


penikmatan karya sastra oleh pembaca. Resepsi merupakan aliran yang meneliti teks sastra
dengan bertitik tolak kepada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu.
Dalam meresepsi sebuah karya sastra bukan hanya makna tunggal, tetapi memiliki makna
lain yang akan memperkaya karya sastra itu.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa resepsi sastra merupakan penelitian
yang menfokuskan perhatian kepada pembaca, yaitu bagaimana pembaca memberikan makna
terhadap karya sastra, sehingga memberikan reaksi terhadap teks tersebut.

B. Dasar-Dasar Teori Resepsi Sastra

Resepsi sastra dapat melahirkan tanggapan, reaksi atau respon terhadap sebuah karya sastra
dikemukakan oleh pembaca sejak dulu hingga sekarang akan berbeda-beda antara pembaca
yang satu dengan yang lain. Begitu juga dengan tiap periode berbeda dengan periode lainnya.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan (verwachtingshorizon atau horizon of
expectation). Cakrawala harapan ini adalah harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya
sastra (Pradopo, 2007:207).

Cakrawala ini sebagai konsep awal yang dimiliki pembaca terhadap karya sastra ketika ia
membaca sebuah karya sastra. Harapan itu adalah karya sastra yang dibacanya sejalan dengan
konsep tenatang sastra yang dimiliki pembaca. Oleh karena itu, konsep sastra antara seorang
pembaca dengan pembaca lain tentu akan berbeda-beda. Hal ini dikarenakan cakrawala
harapan seseorang itu ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan
kemampuan dalam menanggapi karya sastra.

Teori resepsi dikembangkan oleh RT Segers (1978:36) dalam bukunya Receptie Esthetika
(1978) Buku Receptie Esthetika diawali dengan dasar-dasar resepsi sastra ditentukan ada tiga
dasar faktor cakrawala harapan yang dibangun pembaca:
1. norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca;
2. pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya;
3. pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk
memahami, baik secara horison “sempit” dari harapan-harapan sastra maupun
dalam horison “luas” dari pengetahuannya tentang kehidupan.

Selanjutnya, Pradopo (2007:208) mengemukakan bahwa dalam karya sastra ada tempat-
tempat terbuka (open plek) yang “mengharuskan” para pembaca mengisinya.  Hal ini
berhubungan dengan sifat karya sastra yang multi tafsir. Oleh karena itu, tugas pembacalah
untuk memberi tanggapan estetik dalam mengisi kekosongan  dalam  teks  tersebut. 
Pengisian  tempat  terbuka  ini  dilakukan  melalui

proses konkretisasi (hasil pembacaan) dari pembaca. Jika pembaca memiliki pengetahuan
yang luas tentang kehidupan, pastilah konkretisasinya akan “sempurna” dalam mengisi
“tempat-tempat terbuka (open plak) dengan baik.

C. Pembaca

Pembaca yang dimaksudkan dalam resepsi terbagi dua, yaitu pembaca biasa dan pembaca
ideal. Pembicara biasa adalah pembaca dalam arti sebenarnya, yang membaca karya sastra
sebagai karya sastra, bukan sebagai bahan penelitian. Pembaca ideal adalah pembaca yang
membaca karya sastra sebagai bahan penelitian. Pembaca ini membaca karya sastra dengan
tujuan tertentu (Junus, 1985:52).

Luxemburg (1982:77) menyatakan pembaca “di dalam” teks atau pembaca implisit dan
pembaca “di luar teks” atau pembaca eksplisit. Pembaca implisit atau pembaca yang
sebetulnya disapa oleh pengarang ialah gambaran mengenai pembaca yang merupakan
sasaran si pengarang dan yang terwujud oleh segala petunjuk yang kita dapat dalam teks.
Pembaca eksplisit adalah pembaca kepada siapa suatu teks diucapkan.

Dalam meneliti karya sastra berdasarkan metode estetika resepsi, sesungguhnya dapat
dilakukan dalam dua cara, yaitu cara sinkronik dan diakronik. Sinkronik adalah penelitian
resepsi terhadap sebuah karya sastra dalam satu masa atau satu periode sastra, sedangkan
diakronik adalah penelitian terhadap sebuah karya sastra dalam beberapa masa atau beberapa
periode sastra, dari masa karya sastra terbit, kemudian resepsi periode selanjutnya hingga
sekarang. Dengan kata lain, sinkronik meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan
pembaca sezaman atau satu periode sastra. Cara kedua lebih rumit karena melibatkan
tanggapan pembaca sepanjang sejarah atau beberapa periode sastra (Ratna, 2008:167).
Penggolongan suatu karya sastra ke dalam suatu periode tertentu, tentu harus didasarkan oleh
ciri-ciri tertentu. Setiap periode/angkatan sastra mempunyai ciri yang berbeda.  Ciri   khas  
sastra   setiap   periode / angkatan   merupakan  gambaran   dari

masyarakatnya sebab sastra merupakan hasil dari masyarakatnya serta ciri-ciri unsur intrinsik
dan ekstrinsik karya sastra itu sendiri. Berdasarkan pendapat itu, terjadilah penggolongan
sastra atau periodisasi sastra seperti berikut.

1. Periode 1920-an atau Masa Balai Pustaka

2. Periode 1930-an atau Masa Pujangga Baru

3. Periode 1945-an atau Masa Angkatan 45

4. Periode 1966-an atau Masa Angkatan 66

5. Periode 1970-an atau Masa Sastra Kontemporer

6. Periode 2000-an atau Masa Angkatan 2000.

D. Penerapan Resepsi Sastra Warna “Lokal” pada Cerpen “Sri Sumarah” dalam
Kumpulan Cerpen Seribu Kunang-Kunang di Mahattan Karya Umar Kayam

1. Pengertian Warna “Lokal”

Bangsa Indonesia memiliki budaya yang majemuk atau beranekaragam budaya, yang
memengaruhi perkembangan sastra di tanah air. Pengaruh yang muncul pada karya-karya
sastra adalah warna lokal seperti cerpen “Sri Sumarah” dalam kumpulan cerpen Seribu
Kunang-Kunang di Mahattan karya Umar Kayam. Mujiningsih (2003:1) mengutip Edy
bahwa definisi warna lokal atau warna tempatan adalah suasana kedaerahan atau tempatan
tertentu yang dilukiskan pengarang dalam karyanya. Warna lokal biasanya didukung dengan
pilihan kata dan istilah serta sikap dan lingkungan tokoh yang dilukiskan pengarang.
Penelitian resepsi sastra pada cerpen “Sri Sumarah” dilakukan secara sinkronik periode sastra
70-an.

2. Sinopsis Cerpen “Sri Sumarah”

Cerpen “Sri Sumarah” mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang wanita Jawa yang
masih keturunan priyayi. Pada cerpen ini nuansa Jawa yang kental terlihat dalam
menceritakan makna nama yang tersandang oleh tokoh Sri Sumarah. Nama tokoh ini berarti
Sri yang menyerah, terserah, atau pasrah. Sikap ini diajarkan oleh neneknya dan ingin
diajarkannya pada anaknya pula. Sikap sumarah diterjemahkan Sri sebagai kepasrahan ketika
dijodohkan neneknya dengan Mas Martokusumo, suaminya.
Cobaan menimpa hidupnya, suaminya yang tercinta ini meninggal pada saat usia pernikahan
mereka menginjak kedua belas tahun dan penyebab suaminya meninggal suaminya itu adalah
wabah penyakit eltor yang menyerang kabupaten mereka.

Sepeninggalan almarhum suaminya, beberapa lelaki mencoba untuk melamarnya, termasuk


Pak Carik, tapi Sri menolaknya. Ia lebih fokus untuk menghidupi anaknya Tun. Sri Sumarah
menyekolahkan anaknya Tun di kota kabupaten, tidak sampai tamat karena Tun terpaksa
harus dikawinkan dengan pemuda yang menghamilinya dan pemuda itu bernama Yos. Sri
pun harus rela menggadaikan sawah dan perkarangannya untuk membiayai pernikahan
anaknya.

Sawah itu pun tidak berhasil ditebusnya kembali karena akibat dampak dari inflasi yang
menyebabkan pesanan jahitannya menurun drastis dan jualan pisang gorengnya tidak laku
lagi serta buruknya hasil panen dari sawahnya tersebut. Ternyata cobaan hidup belum selesai,
menantunya Yos adalah aktivitis CGMI yang terlibat dalam pemberontakan G30S PKI.
Akhirnya Yos tertembak mati dalam suatu operasi pengejaran terhadap para buronan politik
dan anaknya Tun akhirnya menyerahkan diri kepada pihak yang berwenang dan menjadi
tahanan politik.

Setelah peristiwa tragedi Yos dan Tun itu, Srilah yang mengurus Ginuk, cucu satunya-
satunya. Sikap sumarah tetap dijalankannya. Sikap itu mengiringinya selama berusaha
memenuhi hidup. Ia memilih bekerja menjadi tukang pijit. Memijit dipilihnya sebagai
pekerjaan setelah mendapat wisik saat bertirakat. Dalam tirakatnya, ia tertidur dan mimpi
bertemu dengan mendiang suaminya Pak Guru Martokusumo yang minta dipijit olehnya. Sri
sumarah pun menganggap bahwa mimpi ini adalah semacam pesan kepadanya dan ia pun
memutuskan untu menjadi tukang pijit.

Sejak itu ia memulai perjalanan hidup baru dengan modal memijit. Pekerjaan memijit Sri
dinilai bagus oleh masyarakat. Oleh karena itu, ia mendapat cukup uang untuk menghidupi
dirinya, dan Ginuk. Pekerjaan ini dijalani Sri dengan biasa-biasa saja, meskipun ia harus
banyak melakukan kontak fisik dengan laki-laki. Sikap bakti berperan di sini. Namun,
hatinya sempat goyah ketika suatu hari harus memijit seorang pelanggan pria muda yang
tampan dan gagah. Hal ini sekaligus “menggelincirkan” saat ia memijit pemuda dari Jakarta
yang membuatnya terkagum dan terpesona.

3. Tanggapan Pembaca Kritis yang Pro kepada Warna “Lokal” dalam Cerpen “Sri
Sumarah”
Ada beberapa tanggapan pembaca kritis pada tahun 1970-an ini dikutip dari Mujiningsih
(2003:15—20) yaitu sebagi berikut.

a. Tanggapan Pembaca Kritis Tahun 1970-an

1.  
1. Satyagraha Hoerip, “Kisah Dua Orang Wanita Jawa Korban
Pemberontakan Gestapu PKI”, Sinar Harapan, April, 1976. Hoerip
setuju terhadap hadirnya warna lokal. Ia menyatakan bahwa pengarang
yang berasal dari Jawa telah berhasil menggambarkan “cara” Jawa
dalam karyanya sebagaimana dikehendaki cerita. Adapun isi
tanggapannya adalah mengupas kesuksesan Umar Kayam sebagai
penulis prosa yang berasal dari Jawa dalam melukiskan cara orang
Jawa dalam terlibat dalam situasi yang dikehendaki cerita.
2. Asruchin T. Sam, “Wanita Jawa versi Umar Kayam”, Salemba; 26 Mei
1976. Hal yang ditanggapi adalah makna nama tokoh yang sesuai
dengan budaya Jawa. Asruchin juga setuju dengan adanya warna lokal
yang dilihat dari pernyataan bahwa makna nama tokoh sudah
menunjukkan karakter budaya Jawa. Adapun isi tanggapannya adalah
telaah terhadap tokoh Sri Sumarah yang apabila ditinjau dari segi
namanya telah menunjukkan kepasrahan dan penyerahan diri. Ia juga
mengaitkannya dengan karakter budaya Jawa yang mengajarkan sikap
kepasrahan perempuan.
3. Korrie Layun Rampan, “Tiga Cerpen Umar Kayam”, Suara Karya, 11
Agustus 1977. Hal yang ditanggapi adalah struktur cerpen berupa
penokohan, latar dan perbandingan tokoh. Korrie setuju dengan
hadirnya warna lokal dapat dilihat dari pernyataan bahwa karya Umar
Kayam dapat dijadikan referensi sosio-kultural. Adapun isi
tanggapannya bahwa budaya Jawa yang menjadi latar sosial karya ini
berhasil membentuk karakter tokoh utama

b. Tanggapan Pembaca Kritis Tahun 1980-an

2.  
1. Tirto Suwondo, “Sri Sumarah Cermin Wanita Jawa”, 14 April 1985.
Hal yang ditanggapi adalah tokoh utama Sri Sumarah. Tirto setuju
dengan hadirnya warna lokal dengan mengungkapkan bahwa sikap
tokoh Sri Sumarah memperlihatkan citra seorang wanita Jawa. Isi
tanggapannya adalah Tirto menafsirkan dan menentukan makna Sri
Sumarah berdasarkan karya itu sendiri. Makna yang termuat dalam
karya ini mengesankan karena struktur alur tokoh dan penokohannya.
Sikap Sri Sumarah yang “sumarah” akan selalu sadar dan rela
menerima segala yang menimpa dirinya.
2. Sundari Maharto (1987) dikutip B. Rahmanto (2003:18—19) yang
menelaah Sri Sumarah dari sudut citra wanita, menyimpulkan bahwa
lewat cerpennya, Umar Kayam menunjukkan dominasi pria dalam
masyarakat Jawa. Sebagai isteri, wanita Jawa dituntut mengabdikan
diri kepada suami. Sebagai ibu, wanita harus bersedia mengorbankan
diri dan menderita bagi anak-anaknya sesuai dengan tokoh
pewayangan Sembrada dan Kunti.

c. Tanggapan Pembaca Kritis Tahun 1990-an

Tanggapan pembaca kritis pada tahun 90-an yang dikutip Mujiningsih (2003:21) hanya
berjumlah satu orang, yaitu: Puji Santosa, dalam refleksi Sri Sumarah dan Bauk, terbit 15
September 1990. Hal yang ditanggapinya adalah refleksi kehidupan yang ada dalam karya
ini. Isi tanggapannya bahwa Sri Sumarah adalah potret wanita Jawa yang selalu aktif
mengakrabi apa yang memang harus terjadi.

4. Tanggapan Pembaca Kritis yang Kontra kepada Warna “Lokal” dalam Cerpen “Sri
Sumarah”

a. Tanggapan Pembaca Kritis Tahun 1970-an

Tanggapan pembaca kritis pada tahun 1970-an yang dikutip Mujiningsih (2003:21) hanya
berjumlah satu orang, yaitu: Jakob Sumardjo, dalam artikel yang berjudul Umar Kayam
dengan lagam Jawa itu dimuat dalam Pikiran Rakyat, 8 September 1976. Hal yang
ditanggapinya adalah masalah gaya pengarang. Penganggap tidak setuju terhadap warna lokal
dengan menunjuk kekurangan cerpen ini, yaitu dalam soal bahasa berupa pemakaian kata
Jawa yang terlalu banyak sehingga dikhawatirkan tidak komunikatif, terutama untuk
pembaca non-Jawa.
b. Tanggapan Pembaca Kritis Tahun 1980-an

Pada tahun 1980-an hanya berhasil ditemukan satu penanggap, yaitu Ida Sundari Husein yang
mengemukakan bahwa untuk dapat menikmati cerpen “Sri Sumarah”, pembaca bukan
penutur bahasa Jawa akan menghadapi masalah-masalah berikut.

1. Penggunaan istilah dan ungkapan bahasa Jawa.


2. Latar belakang sosial budaya berupa peranan nama bagi orang Jawa, filsafat
Jawa tentang sikap mensyukuri keadaan bagaimanapun jeleknya dan sikap
menahan emosi, pendidikan anak perempuan, sikap seorang isteri dan ibu, dan
tirakat.

E. Analisis Tanggapan Pembaca Kritis Tahun 1970-an

Berdasarkan tanggapan-tanggapan pembaca yang telah diuraikan di atas (sebanyak 4


tanggapan, ada 3 tanggapan yang pro terhadap hadirnya warna lokal dalam cerpen “Sri
Sumarah”; dan ada 1 tanggapan yang kontra terhadap hadirnya warna lokal dalam cerpen “Sri
Sumarah”). Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran warna lokal tidak menganggu.

1. Tanggapan yang Pro terhadap Hadirnya Warna “lokal” dalam Cerpen “Sri
Sumarah”

Satyagraha Hoerip (1976) mengatakan bahwa karya Umar Kayam ini sangat istimewa karena
Umar Kayam dapat menampilkan dengan baik ”cara” orang Jawa menghadapi masalah. Hal
ini dapat dilihat dari problema budaya Jawa yang mucul dan dialami tokoh utama “Sri
Sumarah”. Tidak ada keberatan Hoerip terhadap hadirnya warna lokal dalam cerpen ini.

Selanjutnya, Asruchin T. Sam (1976) yang menyatakan hasil pengamatannya terhadap tokoh
utama Sri Sumarah sebagai wanita Jawa yang lengkap. Selain itu, cerpen ini menampilkan
budaya Jawa yang kental sehingga mengejutkan pembaca. Asruchin pun tidak
mempermasalahkan hadirnya warna lokal dalam cerpen ini.

Selain itu, Korrie Layun Rampan (1977) berpendapat bahwa adanya warna lokal yang
dominan. Inilah yang mendapat perhatian dari para penanggapnya di kemudian hari. Korrie
mengemukakan tidak keberatan hadirnya warna lokal dalam cerpen ini, bahkan ia
mendukung kehadiran warna lokal tersebut.

2. Tanggapan yang Kontra terhadap Hadirnya Warna “lokal” dalam Cerpen “Sri
Sumarah”
Tanggapan yang kontra terhadap hadirnya warna lokal  muncul dari Jacob Sumardjo (1976)
yang meragukan apakah karya sastra ini dapat dibaca oleh orang no-Jawa, karena kadar
bahasa Jawa yang digunakan cukup dominan. Walaupun ia termasuk orang Jawa, tetapi ia
gelisah banyak kosakata Jawa yang digunakan. Hal ini mempersulit pembaca non-Jawa untuk
memahami isi cerpen “Sri Sumarah”.

F. Analisis Tanggapan Pembaca Kritis Tahun 1980-an

Berdasarkan tanggapan-tanggapan pembaca yang telah diuraikan di atas (sebanyak 3


tanggapan, ada 2 tanggapan yang pro terhadap hadirnya warna lokal dalam cerpen “Sri
Sumarah”; dan ada 1 tanggapan yang kontra terhadap hadirnya warna lokal dalam cerpen “Sri
Sumarah”). Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran warna lokal tidak menganggu.

1. Tanggapan yang Pro terhadap Hadirnya Warna “Lokal” dalam Cerpen “Sri
Sumarah”

Tirto Suwondo (1985) menyatakan bahwa sikap tokoh utama Sri Sumarah memperlihatkan
citra seorang wanita Jawa. Sri Sumarah yang akan selalu sadar dan rela menerima segala
kejadian yang menimpa dirinya. Ia setuju dengan hadirnya warna lokal dalam cerpen
tersebut. Selanjutnya, Sundari Maharto (1987) yang menelaah Sri Sumarah dari sudut citra
wanita, menyimpulkan bahwa lewat cerpennya, Umar Kayam menunjukkan dominasi pria
dalam masyarakat Jawa. Sebagai isteri, wanita Jawa dituntut mengabdikan diri kepada suami.
Sebagai ibu, wanita harus bersedia mengorbankan diri dan menderita bagi anak-anaknya
sesuai dengan tokoh pewayangan Sembrada dan Kunti.

2. Tanggapan yang Kontra terhadap Hadirnya Warna “Lokal” dalam Cerpen “Sri
Sumarah”

Ida Sundari Husein mengemukakan kendala yang akan ditemui pembaca bukan penutur
bahasa Jawa akan menghadapi masalah-masalah berikut, yaitu penggunaan istilah dan
ungkapan bahasa Jawa dan latar belakang sosial budaya berupa peranan nama bagi orang
Jawa.

G. Analisis Tanggapan Pembaca Kritis Tahun 1990-an

Berdasarkan tanggapan pembaca yang telah diuraikan di atas (hanya ada 1 tanggapan yang
pro terhadap hadirnya warna lokal dalam cerpen “Sri Sumarah”; dan tidak ada tanggapan
yang kontra terhadap hadirnya warna lokal dalam cerpen “Sri Sumarah”). Hal ini
menunjukkan bahwa kehadiran warna lokal tidak menganggu. Puji Santosa, dalam refleksi
Sri Sumarah dan Bauk, terbit 15 September 1990. Ia berpendapat bahwa Sri Sumarah adalah
potret wanita Jawa yang selalu aktif mengakrabi apa yang memang harus terjadi.

III. Penutup

Resepsi sastra beorientasi pada pendekatan pragmatik yang memberikan perhatian utama
terhadap peranan pembaca dalam karya sastra. Tanggapan pembaca terhadap sebuah karya
sastra sejak dari dulu hingga sekarang akan berbeda-beda antara pembaca yang satu dengan
yang lain. Begitu juga dengan tiap periode berbeda dengan periode lainnya. Hal ini
disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapannya. Dari tanggapan pembaca kritis dari tahun
70-an, 80-an, dan 90-an baik pro maupun kontra pada cerpen “Sri Sumarah” karya Umar
Kayam, Umar Kayam mampu melukiskan warna lokal yang sangat kental dalam kehidupan
orang Jawa. Walaupun beberapa pembaca kritis menganggap cerpen ini terlalu banyak istilah
Jawa yang akan menyulitkan pembaca non-Jawa.

Posted by kinan tiyet at 21:16


Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest

Persamaan dan Perbedaan Unsur-Unsur Instrinsik dalam Novel Perempuan Di Titik


Nol Karya Nawal el-Saadawi dan Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari

 Sinopsis Novel Perempuan Di Titik Nol Karya Nawal el-Saadawi

Semasa kecil Firdaus sudah mampu menikmati hubungan seks, dengan teman
sepermainannya; tanpa ia sadari bahwa itu adalah hubungan yang bisa membuatnya tak
perawan lagi. Karena hidupnya selalu berada dalam kekurangan, akhirnya ia dibawa oleh
pamannya dan disekolahkan ke kota. Tetapi hal itu tidak membuat kehidupannya lebih baik.
Sebelum dijatuhi vonis mati karena membunuh lelaki yang menjadi germo sekaligus
suaminya sendiri itu, Firdaus hidup sebagai pelacur untuk memenuhi kebutuhan perutnya.
Setamat lulus seolah menengah, ia dikawinkan dengan lelaki tua yang masih bersaudara
dengan istri pamannya. Tetapi pernikahan itu tidaklah lama karena suaminya tersebut
memperlakukan Firdaus secara tidak manusiawi.
Ia memutuskan meninggalkan rumah suaminya tersebut ke jalanan. Di sepanjang
jalan ia kelaparan dan kedinginan, menggelandang. Hingga akhirnya bertemu dengan lelaki
yang menolongnya dengan imbalan tubuhnya. Demikianlah seterusnya ia berpindah dari satu
tangan lelaki ke tangan lelaki lain. Kehidupan yang dijalaninya sebagai budak nafsu dan
perlakuan kejam ari lelaki yang menolongnya itulah yang mendorongnya untuk lari.
Kemudian ia menjajakan diri dengan cara menelusuri panjangnya jalan–jalan raya, hingga ia
bertemu dengan bekas pelacur sukses yang telah menjadi germo.
Di sinilah ia didik menjadi seorang pelacur berkelas dengan tarif yang mahal. Tetapi
kemudian Firdaus memutuskan hubungan germo-pelacur dan berusaha melacur tanpa
peantara mucikari, dan ternyata ia sukses. Hidupnya berhasil dan sukses. Ia juga dapat
bekerja di kantoran selaiknya wanita terhormat.
Firdaus akan berkata tidak pada lelaki yang tidak dikehendakinya, dan lelaki itu pun
tidak akan pernah bisa membawanya. Ia akan mengatakan bahwa harga tubuhnya lebih tinggi
dari berapapun yang dimiliki oleh orang yang menawar sekaligus tidak disukainya. Begitu
pula sebaliknya. Ia akan menerima dengan senang hati bahkan gratis kepada orang yang
diinginkannya.
Petaka pun datang karena ancaman germo lelaki yang memaksa mengawininya dan
memeras uang dari tetesan keringat persetubuhannya dengan lelaki lain. Akhirnya Firdaus
tidak tahan dan membunuhnya. Setelah membunuh suami sekaligus germo itu, ia kembali
menggelandang di sepanjang jalan. Hingga kepala negara dapat membawa Firdaus ke
ranjangnya.
Kepada kepala negara tersebutlah Firdaus mengaku bahwa ia seorang pembunuh.
Tetapi kepala negara itu tidak percaya ada seorang perempuan cantik, lemah lembut, dan
berkelas usai membunuh. Tetapi karena Firdaus menyerang si Kepala Negara, maka ia
dijebloskan ke penjara. Meskipun ia disarankan meminta surat ampunan, ia tetap memilih
vonis mati yang dijatuhkan pada akhir hidupnya.
Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari

Keperawanan Srintil yang akan dilepas pada malam bukak klambu telah lebih dulu ia
serahkan pada Rasus. Meski begitu, prosesi penahbisan dirinya sebagai ronggeng tetap
dilewatinya dengan mulus meskipun ia sudah tidak lagi perawan.
Sejak malam itulah Srintil disahkan sebagai ronggeng. Rasus berkelana mencari jati
diri meninggalkan Dukuh Paruk yang telah mengambil cintanya, hidup mengikuti arus;
mengikuti pelatihan militer yang membawanya menjadi tentara. Seorang tentara yang
nantinya akan dianggap sebagai pemegang kekuasaan oleh puak Dukuh Paruk.
Di sisi kehidupan yang lain, Srintil telah menjadi ronggeng sukses. Kehidupannya
yang melarat berubah drastis; menjadi perempuan yang paling kaya di Dukuh Paruk.
Ketenarannya inilah yang digunakan oleh oknum komunis untuk mengadakan rapat politik
ketika ronggeng naik pentas. Karena hal inilah pemerintah mengambil sikap untuk
membasmi komunis besrta antek-anteknya, pemain ronggeng; termasuk Srintil.
Dukuh Paruk akhirnya dihanguskan oleh pemerintah. Srintil ditangkap dan
dipenjarakan. Keadaan menjadi kacau-balau, orang-orang Dukuh Paruk dikucilkan dari
masyarakat daerah sekitar, karena dukuh tersebut dianggap menjadi penyebab semua tragedi
dengan adanya ronggeng.
Selama beberapa tahun Srintil ditahan, semuanya ikut berubah. Kehidupan Dukuh
Paruk semakin miskin, Srintil sendiri menjadi sangat tertekan. Ia menyadari bahwa
kehidupan meronggeng itu salah karena melanggar norma etis dan estetis yang ada, yang
tidak disadari oleh Dukuh Paruk yang memuja adanya ronggeng.
Rasus telah kembali ke Dukuh Paruk, ketika neneknya akan meninggal. Setelah
ditahan selama hampir tiga tahun, Srintil pun dibebaskan. Meskipun mereka bertemu, cinta
keduanya belum bisa meyatu. Apalagi setelah kedatangan orang-orang Jakarta yang
mengerjakan proyek pengairan di Dukuh Paruk.
Salah satu orang Jakarta itu ada yang tertarik pada Srintil, tetapi ternyata ia impoten.
Orang itu mendekati dan baik padanya karena ia ingin Srintil membalas kebaikannya dengan
mau melayani tidur bos orang Jakarta tersebut.
Karena peristiwa di kamar hotel dengan bos orang Jakarta itulah Srintil menjadi
depresi. Rasus melihat bahwa Srintil telah gila, pikirannya tak waras. Ronggeng Dukuh Paruk
yang misuwur itu berubah menjadi perempuan sedeng yang tak lagi punya harga.
Meskipun demikian, Rasus tetap mencintainya. Dialah yang membawa Srintil ke
rumah sakit jiwa militer, tempat ia mangabdi pada negara selama ini. Karena bagaimanapun,
ia dan Srintl masih saling cinta. Hati keduanya telah tertaut jauh sebelum hari ketika Srintil
meronggeng dan akhirnya gila.

Larasatun Woro Cengkir Gading

Kedua novel yang mengetengahkan dunia pelacur memang sudah banyak, dan bahkan
sudah sulit dihitung dengan jari. Tetapi setiap cerita selalu mempunyai kekhasan tersendiri,
meskipun mempunyai kesamaan tema. Perbedaan jelas akan mewarnai, meskipun sama-sama
membahas dunia kepelacuran. Apalagi jika cerita tersebut berasal dari negara berbeda;
dengan latar kebudayaan yang tentunya berbeda pula.
Hal tersebut juga terjadi pada kedua novel Perempuan Di Titik Nol karya Nawal el-
Saadawi berlatar kebudayaan Mesir dan Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
bercorak khas kebudayaan Indonesia. Dua karya ini sama-sama diakui sebagai sastra dunia,
yang banyak dibaca dan dibicarakan oleh warga dunia. Masing-masing novel memang
membicarakan tentang dunia kepelacuran, tetapi tentu saja akan ditemukan perbedaannya.
Terutama teknik cerita pengarang, kultur masyarakat, penokohan, dan unsur-unsur yang lain.
Analisis berdasarkan unsur yang ada di dalam cerita kedua novel mengenai
persamaan dan perbedaan tersebut dapat disimpulkan dengan tabel berikut:

No Unsur Perempuan Di Titik Ronggeng Dukuh Paruk


. Nol
1. Cara Firdaus saat masih Srintil menyerahkan
melepas kecil telah ‘bermain’ keperawanannya ketika ia masih
keperawana dengan teman belia, sekitar 12 tahunan kepada
n sepermainannya. Sedari Rasus sebelum malam bukak
kecil ia mempunyai klambu dengan alasan cinta,
pengalaman nikmat upacara lelang keperawanan
dalam menikmati sebelum menjadi ronggeng.
hubungan pesetubuhan.
2. Cara yang Firdaus sering berjalan Sebelum melayani lelaki biasanya
digunakan di sepanjang jalan agar Srintil menari ronggeng dulu. Ia
untuk orang terhenti untuk juga pernah menjadi gowok, yaitu
melacur menawarnya. seorang perempuan yang disewa
(menjajakan Belakangan ia seorang ayah bagi anak lelakinya
diri) dipegang oleh seorang yang menginjak dewasa, dan
mucikari perempuan menjelang kawin. Seorang gowok
yang telah bertugas mengajari anak lelaki
mengajarinya cara mengenai perikehidupan
menjadi pelacur berumahtangga.
berkelas.
3. Perantara Firdaus mulanya Seorang dukun ronggeng, yang
pelacur berjalan tanpa arah dan merupakan anggota dari sebuah
(germo/ berhenti ketika ada kelompok ronggeng (biasanya
mucikari) lelaki yang seorang perempuan, dan ia juga
mengencaninya, pernah menjadi ronggeng)
kemudian ia dipegang
oleh germo.
4. Seting Berbicara kepelacuran Mencoba menampilkan pojok lain
sosial di Mesir. Di suatu dari budaya Indonesia. Secara
budaya dan negara Islam yang khusus terjadi di Dukuh Paruk.
agama kental, ternyata dunia Cerita ini mampu membawa wajah
prostitusi juga dan vokal Indonesia ke
mengalami satu sisi permukaan. Terlihat juga agama
tingkatan yang bisa Islam ikut andil memberi warna,
disebut sebagai virus meski tidak secara mayoritas
fertilisasi. dianut.
5. Penokohan Firdaus merupakan Tokoh utama Srintil;
tokoh utama yang kehidupannya disoroti dari awal
merupakan gadis dari sampai akhir. Ia cantik, anggun,
desa, tetapi pendidikan warna hidupnya khas pedesaan;
yang sempat ia lugu, belum tersentuh modernisasi
dapatkan membuatnya (kehidupan modern yang terjadi
jauh lebih berkelas dan ketika itu), belum mengenal
terhormat. Ia wanita sekolah (tidak bisa baca), dan
cerdas, lemah lembut terbiasa hidup dalam keadaan
dan cantik. miskin.
6. Puncak Pembunuhan yang Terbakarnya Dukuh Paruk karena
konflik telah dilakukan oleh dianggap mendukung pergerakan
yang Firdaus kepada germo propaganda komunis. Banyak
merubah sekaligus suaminya rumah hangus dan pertumpahan
kehidupan yang selalu darah di Dukuh Paruk dan
tokoh memanfaatkan sekitarnya. Srintil sendiri pun
tubuhnya demi akhirnya ditahan.
mendapatkan harta.
7. Konsekuens Vonis mati dari Menderita jasmani dan rohani.
i yang pengadilan karena telah Berpisah dengan Rasus yang
diterima membunuh dan dicintainya. Srintil juga dipenjara
tokoh melakukan kekerasan, beberapa tahun, menjadi bulan-
yaitu menampar Kepala bulanan di sel tahanan, dan
Negara yang sedang akhirnya ia menjadi gila.
menidurinya.
8. Ukuran Jika Firdaus Tidak lelaki yang berani
kewibawaa mengatakan ‘tidak’ mendekati dan mengajaknya tidur
n maka siapapun lelaki jika Srintil  sudah berkata ‘tidak’.
itu tidak akan
membawanya.
9. Penyesalan Firdaus tidak menyesali Srintil menyesal dan menyadari
tokoh kepelacurannya. bahwa keronggengannya itu
Sebaliknya, ia ternyata ‘salah’ di dalam
berpendapat bahwa pandangan norma masyarakat.
lebih baik menjadi Hanya Dukuh Paruk saja yang
seorang pelacur membenarkan adanya ronggeng.
daripada seorang istri. Tetapi masyarakat di luar Dukuh
Karema menurutnya Paruk mengartikan ronggeng tidak
istri juga termasuk lebih dari seorang lonte, pelacur.
‘pelacur’ dalam
‘bentuk’ berbeda.
10. Percintaan Di sepanjang hidupnya, Sejak kecil Srintil mencintai
Firdaus tidak pernah Rasus. Hanya saja Dukuh Paruk
dengan serius memisahkan keduanya dengan
mencintai seorang alasan Srintil mendapat indang
lelaki pun. Meski ia ronggeng yang dianugerahkan
pernah punya ‘rasa’ pepunden mereka; Ki
pada pamannya Secamenggala.
11. Alasan Terdorong faktor Awalnya Srintil tidak mengerti apa
melacur memenuhi kebutuhan itu ronggeng, ia hanya tahu bahwa
hidup. Ia juga dirinya suka menari. Tetapi Dukuh
mempunyai Paruk mengatakan bahwa ia telah
kekecewaan pada laki- mendapat indang ronggeng dan
laki. Sebagai harus segera ditahbiskan sebagai
perempuan, ia ronggeng yang benar-benar nyata.
mendapatkan Kemiskinan dan kebodohan juga
ketidakadilan dari menjadi faktor pendorong ia
lelaki, di dalam melacur; memenuhi kebutuhan
peng-‘lihat’-annya, hidup.
mengapa lelaki lebih
tinggi ‘martabatnya’
dibandingkan dengan
perempuan.

Dari tabel di atas, penulis sertakan kutipan yang mendukung analisis penulis
mengenai persamaan dan perbedaan Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) dan Perempuan Di Titik
Nol (PDTN) sesuai nomor urut di dalam kolom sebagai berikut:
1.      Cara melepas keperawanan
a)      PDTN     : …Ia menyuruh saya tiduran di atas tumpukan jerami, dan mengangkat galabeya saya.
Kami bermain-main menjadi ‘pengantin perempuan dan pengantin laki-laki’. Dari bagian
tertentu tubuh saya, di bagian mana saya tidak tahu pasti, timbul suatu perasaan nikmat luat
biasa…(hal. 19)
b)      RDP       : …Dan sebuah perilaku primitif memang terjadi kemudian antara aku dan Srintil. Ilusi
akan hadirnya Emak saat itu tak muncul di hatiku. Segalanya terjadi. Alam sendiri yang turun
tangan mengguruiku dan Srintil boleh jadi Srintil merasakan sesuatu yang menyenangkan.
Tetapi entahlah, aku hanya merasa telah memperoleh sebuah pengalaman yang aneh (hal.
76).
2.      Cara yang digunakan untuk melacur (menjajakan diri)
a)      PDTN     : Ketika saya telah tiba pada salah satu jalan utama, hujan masih tetap turun di atas kepala
saya…(hal 90-91) …Kemudian seorang lelaki ke luar dan dengan cepatnya memutari mobil,
membuka pintu pada sisi dekat saya, sambil membungkuk sedikit kemudian dengan sangat
sopan berkata: “Silakan masuk ke dalam supaya tidak kehujanan” (hal. 91)
b)      RDP       : …Srintil merasa sedang mnari di hadapan satu orang…(hal. 216, par. 3) …Tepat ketika
tangan Waras menempel di pipi Srintil, mulut Sakum meruncing: “ciusssss” (hal. 216, par.
4).
3.      Perantara pelacur (germo/mucikari)
a)      PDTN     : Menjadi orang baru di tangan Sharifa. Dia membuka mata saya menghadapi kehidupan,
menghadapi peristiwa-peristiwa di masa lalu, dalam masa kecil saya, yang tetap tersembunyi
bagi pikiran saya (hal. 78-79).
b)      RDP       : Sementara itu suami-istri Kartareja adalah dukun ronggeng. Merekalah yang paling
banyak tahu segala tetek-bengek dunia peronggengan dan mereka menggunakan pengetahuan
serta statusnya sebagai dasar mata pencaharian. Dari ongkos pentas mereka mengambil
bagian yang kadang-kadang lebih besar daripada bagian yang diterima Srintil. Dan
keuntungan lebih besar lagi diterima oleh suami-istri Kartareja manakala mereka sebagai
mucikari. Seorang laki-laki yang mabuk kepayang terhadap Srintil dan ingin tidur
bersamanya barang satu-dua malam harus melalui perantara Nyai Kartareja…(hal. 140)
4.      Seting sosial budaya dan agama
a)      PDTN     : Setiap Jumat pagi ia akan mengenakan sebuah galabeya yang bersih san menuju mesjid
untuk menghadiri shalat berjemaah mingguan…(hal. 17).
b)      RDP       : …Dukuh Paruk hanya lengkap bila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh
cabul, ada sumpah-serapah, dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya…(hal. 15).
5.      Penokohan
a)      PDTN     : …Saya selalu merawat rambut saya di tempat penata rambut yang biasanya melayani para
wanita dari kalangan atas masyarakat. Warna lipstick yang saya pilih selalu yang ‘alamiah
dan serius’ sedemikian rupa sehingga tidak menyembunyikan ataupun menitikberatkan daya
tarik yang menggiurkan dari bibir saya. Garis-garis yang dibuat dengan keahlian cermat
sekitar mata saya memperlihatkan suatu kombinasi tepat dari daya tarik dan penolakan, yang
biasa disukai para isteri kaum pria berkedudukan tinggi dari kalangan penguasa…(hal. 17)
b)      RDP       : …Lima atau enam bulan sejak kepulangannya dari keterasingan mata Srintil mulai hidup,
kulitnya mulai hidup, dan wajahnya mulai hidup…(hal. 284).
6.      Puncak konflik yang merubah kehidupan tokoh
a)      PDTN     : …Saya angkat pisau itu dan menancapkannya dalam-dalam di lehernya, lalu mencabutnya
kembali, dan menusukkannya dalam-dalam ke dadanya, emncabutnya ke luar dan
menusukkannya ke perutnya. Saya tusukkan pisau itu ke hampir semua tubuhnya…(hal.
139).
b)      RDP       : …Dini hari ketika langit timur berhias kejayaan lintang kemukus, Dukuh Paruk menyala,
menyala. Api menggunung membakar Dikuh Paruk…(hal. 242).
7.      Konsekuensi yang diterima tokoh
a)      PDTN     : Dokter penjara, seorang laki-laki, menceritakan kepada saya bahwa wanita ini telah
dijatuhi hukuman mati karena telah membunuh seorang laki-laki…(hal. 3)…Mereka
mengenakan borgol baja pada pergelangan tangan saya, dan membawa saya ke penjara.
Dalam penjara mereka memasukkan saya ke dalam sebuah kamar yang pintu dan jendelanya
selalu tertutup…(hal. 146).
b)      RDP       : …Srintil kami papah masuk, langsung ke bangsal perawatan penyakit jiwa…(hal. 402).
8.      Ukuran kewibawaan
a)      PDTN     : Saya bertahan dan berkata “Tidak” … (hal. 142). “Kau tidak dapat membayar hargaku,
terlalu tinggi” (hal. 143).
b)      RDP       :
 “Jadi sampean sekarang tidak meronggeng lagi?”
“Tidak.”
“Ah, kenapa?”
“Tidak. Tidak.”
“ya, tetapi mengapa?”
“Pokoknya tidak” (hal. 317)
Ti..dak. kata-kata itu berulang-ulang dalam hati Tamir. Tidak. Menurut pengalaman anak
Jakarta itu, bila perempuan sudah berkata tidak, dan hanya tidak, maka susah…(hal. 318).
9.      Penyesalan tokoh
a)      PDTN     : …Saya tahu sekarang bahwa kita semua adalah pelacur yang menjual diri dengan
bermacam-macam harga, dan bahwa seorang pelacur yang mahal jauh lebih baik daripada
seorang pelacur yang murahan. Saya pun tahu, bahwa apabila saya kehilangan pekerjaan, apa
yang hilang itu hanyalah gaji iyang kecilnya menyebalkan, hukuman yang sanksiny saya
dapat baca tiap hari…(hal. 110-111).
b)      RDP       : “Oalah, Nyai. Mereka tidak salah. Semua orang tidak salah. Akulah tempat segala
kesalahan hidup. Jadi akulah yang harus tahu diri. Semua orang menuntut aku tidak banyak
tingkah karena hal itu tidak mereka sukai. Berbuat sesuatu yang tidak mereka sukai samalah
artinya dengan melakukan kesalahan. Nyai tahu apa yang akan kutanggung bila aku dianggap
kembali berbuat salah?” (hal. 288)

10.  Percintaan
a)      PDTN     : Menyadari kenyataan bahwa sebenarnya saya membenci lelaki, tetapi bertahun-tahun
lamanya telah menyembunyikan rahasia ini dengan sangat hati-hati. Lelaki yang paling saya
benci adalah mereka yang berusaha menasihati atau yang berkata kepada saya bahwa mereka
ingin menyelamatkan saya dari kehidupan yang saya jalani…(hal. 128-129).
b)      RDP       : …Mereka hanya tahu Srintil jatuh hati kepada Rasus dan bertepuk  sebelah tangan…(hal.
141).
11.  Alasan melacur
a)      PDTN     : …Saya tidak mau kembali kepada kehidupann yang lalu bagaimanapun beratnya siksaan
dan penderitaan yang harus saya alami, sekalipun saya tahu lapar dingin, serta kemelaratan
luar biasa…(hal. 105).
b)      RDP       : …Kehidupan di sana terpelihara secara lestari karena kebodohan dan kemalasan
penghuninya. Mereka puas hanya menjadi buruh tani. Atau berladang singkong kecil-kecilan.
Bila ada sedikit panen, minuman keras memasuki setiap pintu rumah. Suara calung dan
tembang ronggeng meninabobokan Dukuh Paruk…(hal. 86).

***

Kedua novel ini mempunyai alur yang sama-sama flashback. Pengarang menampilkan
sosok ke-akua-an yang kental. Di awal cerita ‘aku’ memaparkan pengalamannya dengan
tokoh sentral, kemudian ‘aku’ menceritakan kehidupan tokoh sentral dan pada akhir cerita
‘aku’ menutup ceritanya dengan kesimpulan apa yang akan dilakukannya, serta tokoh ‘aku’
mengenang apa yang telah terjadi dengan kehidupan tokoh sentral.

Misalnya saja Rasus yang mengenang kejadian masa lalu mengenai keronggengan
Srintil. Kemudian ia meyadari ‘lamunan’nya tersebut dan bertindak sesuai dengan masa kini.
Tetapi Rasus tetap saja memaparkan slide-slide ingatannya itu sebagai suatu ingatan dalam
kenangan. Cerita yang dibagi untuk semua orang yang ingin mendengarkan ceritanya. Seperti
pendongeng yang sedang berdongeng.
Tokoh ‘aku’ yang berprofesi sebagai dokter pun sama seperti Rasus. Ia menceritakan
kejadian yang dialami oleh seorang narapidana mati bernama Firdaus. Suatu kejadian yang
ditemui dan dialaminya itu dibagi dan diceritakan kepada setiap orang yang tertarik
menikmati lika-liku ceritanya. Penulis menyimpulkan bahwa kedua novel tersebut dapat juga
dikatakan sebagai novel yang ingin ‘berbicara’ kepada banyak orang mengenai pengalaman
dan realitas kehidupan.
Penulis juga mendapatkan ke-aku-an yang digunakan pengarang untuk mempermudah
seseorang memahami tokoh dan penokohan serta ‘lakon’ apa yang sedang dimainkan. Hanya
saja di beberapa penggal cerita (tapi cukup banyak juga) dijumpai ‘aku’ seperti sedang berada
di luar cerita dan berperan sebagai tukang dongeng saja, seakan tidak terlibat di dalam cerita.
Mengenai teknik penceritaan, Ahmad Tohari dan Nawal el-Saadawi cenderung ke
arah deskriptif-naratif. Hanya saja Ahmad Tohari lebih bernuansa pedesaan yang khas, yang
lebih dekat akan suasana alam dan kehidupan tradisionalnya; termasuk kepelacuran yang
berada di dalamnya. Sedangkan Nawal el-Saadawi banyak sekali mengungkap segi-segi
pribadi personal maupun sosial mengenai pelacur itu sendiri.
Penulis juga melakukan analisa bahwa kedua novel ini dengan halus (meski kadang
bahasanya lugas) sekali mengungkapkan kebanyakan hidup dan kehidupan perempuan di
muka bumi seperti berikut:
a)      Adanya kekerasan terhadap perempuan di muka bumi datang dari lelaki
b)      Kerasnya kehidupan pelacur menghadapi kebutuhan ekonomi dan ‘berhubungan’ dengan
dunia politik, sosial, budaya masyarakat serta hokum/norma yang berlaku di masyarakat
c)      Patrilinel yang ternyata telah menciptakan dunia kepelacuran. Karena kehidupan patriarki
banyak mengesampingkan hak-hak perempuan sehingga terciptalah ketidakadilan yang
banyak dialami pihak perempuan
d)      Hegemoni lelaki terhadap perempuan yang selama ini tidak disadari (karena sudah
merupakan kebiasaan yang ‘dekat’ sekali dengan kehidupan sehari-hari) dan tidak ada yang
begitu berani menentang serta merombaknya.
e)      Kebobrokan moral bertameng moralitas yang luhur, yang biasanya berlindung di bawah
agama dan kepercayaan. Budaya dan religi masyarakat ternyata (dan pada kehidupan real-
nya) yang menjadi tameng seseorang untuk mendapatkan apa yang dikehendaki; seperti
keudukan yang lebih tinggi dari seorang lelaki terhadap perempuan (sering memanfaatkan
dalil untuk mengintimidasi hak perempuan). Hal ini pula yang juga menjadi ‘tangan’
pembuat adanya dunia prostitusi.
f)       Akar dari ‘kegagalan’ dalam hidup terutama karena faktor kemiskinan dan kebodohan.

End
Rabu, 08 Februari 2012

Moga Bunda Disayang Allah

A.    Pendahuluan

.Upaya untuk menelaah nilai-nilai yang terkandung di dalam suatu karya sastra
disebut dengan istilah analisis. Kegiatan analisis kesastraan (novel) ini dapat dengan
mengkaji hubungan antar unsur pembangun karya sastra. Inilah yang disebut dengan
pendekatan struktural.

Pendekatan struktural sangat penting bagi sebuah analisis kasusastraan. Di dalam


suatu karya sastra dibangun oleh unsure-unsur yang membentuknya. Unsur tersebut saling
mengisi dan berkaitan sehingga membentuk satu kesatuan yang indah dalam sebuah karya
sastra. Analisis struktural merupakan proses pertama sebelum yang lain-lain. Tanpa analisis
yang demikian, kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya sastra itu
sendiri tidak tertangkap (Teeuw, 1984:61).

B.     PENDEKATAN STRUKTURAL


Tujuan analisis struktural adalah membongkar, memaparkan secermat mungkin
keterikatan dan keterjalinan dari berbagai aspek yang secara bersama-sama membentuk
makna (Teeuw, 1984:135-136). Makna unsur-unsur karya sastra hanya dapat dipahami dan
dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan
karya sastra (Pradopo, 1995:141).

Analisis struktural novel bertolak pada unsur yang terdapat di dalam novel itu.
Berkenaan dengan hal itu Burhan Nurgiantoro (2002:23) menyebutkan unsur intrinsik novel
yang berupa peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang, penceritaan.

Tema berasal dari kata tithnai (bahasa Yunani) yang berarti menempatkan,
meletakkan. Jadi, menurut arti katanya “tema” berarti sesuatu yang telah diuraikan atau
sesuatu yang telah ditempatkan. ( Gory Keraf, 1984: 107 ).

Tema menurut Stanton dan Kenny ( dalam Nurgiyantoro, 2002: 67 ) adalah makna
yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema menurut Hartoko dan Rahmanto (dalam
Nurgiyantoro, 2002: 68 ) merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya
sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut
persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema merupakan gagasan sentral, sesuatu
yang hendak diperjuangkan dalam suatu tulisan atau karya fiksi ( Raminah Baribin, 1985: 59-
60 ).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tema adalah


gagasan utama atau gagasan sentral pada sebuah cerita atau karya sastra.

Tokoh menunjuk pada orang sebagai pelaku cerita. Abrams ( 1981: 20 ) memaparkan
tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang
oleh pembaca ditafsirkan memiliki moral dan kecenderungan tertentu  seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan ( dalam Nurgiyantoro,
2002: 165 ). Tokoh cerita  menempati posisi strategis sebagai pembaca dan penyampaian
pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca.

Alur ( plot ) merupakan unsur fiksi yang penting. Stanton (1956: 14) mengemukakan
plotadalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan
secara sebab akibat, peristiwa  yang satu disebabkan terjadinya peristiwa yang lain.
Latar ( setting ) adalah suatu lingkungan terjadinya peristiwa-peristiwa dalam suatu
karya sastra yang meliputi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.

Sudut pandang atau pusat pengisahan merupakan titik pandang dari sudut mana cerita
itu dikisahkan ( Nurgiyantoro, 2005: 18 ).

C.    NILAI PENDIDIKAN DALAM KARYA SASTRA

Nilai pendidikan sangat erat kaitannya dengan karya sastra. Setiap karya sastra yang
baik (termasuk novel) selalu mengungkapkan nilai pendidikan moral, agama, sosial,
kepahlawanan maupun estetis (kehidupan). Hal ini sesuai dengan pernyataan Herman J.
Waluyo (1990:27) bahwa nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra
bagi kehidupan. Nilai fakta dapat berupa nilai medial (menjadi sarana), nilai final (yang
dikejar seseorang), nilai cultural, nilai kesusilaan, nilai agama. Beberapa nilai pendidikan 
bisa diperoleh dari sebuah cerita (dalam hal ini novel). Nilai pendidikan itu diantaranya
adalah yang berhubungan dengan moral, agama, budaya, sosial, dan sebagainya.

D.    STRUKTUR TEKS NOVEL MOGA BUNDA DISAYANG ALLAH KARYA TERE
LIYE

Stiap novel terdapat unsure-unsur intrinsik yang membangun cerita. Pembangunan


dalam bab ini dilakukan melalui pemaparan aspek struktural yang meliputi tema, alur, dan
sudut pandang. Analisis tersebut dijabarkan sebagai berikut :

1.      Tema

Novel Moga Bunda Disaying Allah bercerita tentang Melati bocah berusia 6 tahun
yang  awalnya di sangat periang dan lucu, melati mulai buta dan tuli sejak dia berusia 3
tahun. Selama 3 tahun ini dunia melati gelap. Dia tidak memiliki akses untuk bisa mengenal
dunia dan seisinya. Mata, telinga dan semua tertutup baginya. Melati tidak pernah
mendapatkan cara untuk mengenal apa yang ingin dikenalnya. Rasa ingin tahu yang
dipendam bertahun tahun itu akhirnya memuncak, menjadikan Melati menjadi frustasi dan
sulit dikendalikan. Orang tuanya berusaha berbagai macam cara untuk bisa mengendalikan
Melati. Bahkan tim dokter ahli yang diundang oleh orang tuanya tidak berhasil
mengendalikan Melati. Fakta tersebut dapat dilihat dalam kutipan novel berikut ini :

Melati terus meraba-raba. Tidak peduli. Tidak mendengarkan. Tiba ditepi ranjang,
banyak bantal. Mulutnya terbuka, mendesiskan kata yang tak berbentuk kata. Wajah kanak-
kanak yang baru bangun tidur itu menjulur kedepan. Wajah yang terlihat tetap
menggemaskan, tidak peduli takdir menyakiti-Nya.(Tere-Liye, 2006:11)

’’BA.......MA.....A...” Melati berseru sudah berjalan sembarang arah. “ kita sarapan,


sayang!” Bunda mendekatinya, gemetar meraih tangan melati. Membimbingnya Melati
berjalan.(Tere-Liye, 2006:12)

Bunda adalah sosok wanita/Ibu yang sangat sayang pada Melati dan sosok Ibu yang
sangat sabar semua itu tergambar

2.      Alur

Novel moga Bunda Disayang Allah ini di bangun diatas  alur yang sangat menarik. Novel
ini menggunakan alur flash back atau regersif atau desebut juga sorot balik.

”Selama tiga tahun aku bahkan tidak pernah membuka jendela ini. Berharap kau kembali
seperti yang pernah kukenal lewat surat-surat yang dulu yang kau kirimkan setiap
Bulan.............. berharap kau-lah yang akan membuka jendela ini. Melewati masa-masa
menyakitkan itu.” (Tere-Liye, 2006:53)

Dalam kutipan diatas karang menggambarkan masalalunya dan kembali kemasa kelabunya,
dan masa-masa sulit itu dia lewati sendiri, dengan perasaan bersalah yang selalu
membanyangi setiap mimpi buruk Karang.

a.         Tahap Eksposision

Cerita novel Moga Bunda Disayang Allah diawali dengan menampilkan tokoh-tokoh
yang terlibat dalam cerita bersama kedudukan masing-masing, disamping itu juga dipaparkan
kondisi pembentuk latar cerita. Kutipan Novel Moga Bunda Disayang Allah berikut
mendiskripsikan tokoh-tokoh yang terletak di dalam cerita.
Melati terus meraba-raba. Tidak peduli.tidak mendengarkan. Tiba di tepi ranjang, menyibak
bantal. Mulutnya terbuka, mendesiskan suara yang tak berbentuk kata. Wajah kanak-kanak
yang baru bangun tidur itu  menjujur ke depan. Wajah yang tetap kelihatan menggemaskan,
tidak peduli sebesar apapun menyakitti-nya.

” terima-kasih sudah membangunkan bunda, sayang ! ” bunda lembut meraih tangan anak
semata wanyangnya. Tertatih mencoba berdiri. Menghela nafas pelan. Bunda tahu persis tak
ada siapa yang membangunkan siapa, ini hanyalah ritual pagi melati.

Mana mengerti melati tentang tidur dan bangun

” Aduh pakaian ibu basah ! basah kenapa ? ” terdengar suara dari bingkai pintu kamar
tidur. Bergegas masuk sambil berseru rada-rada panik seperti biasanya. Salamah tadi
mendengar teriakan melati dari dapur, bergegas datang (Tere-Liye, 2006:11)

Kutipan diatas memunculkan tokoh melati yang sangat berperan dalam cerita novel
Moga Bunda Disayang Alloh. Karena tokoh tersebut yang memunculkan konflik dalam cerita
itu. Bunda adalah salah satu tokoh yang sangat sabar dan sangat menyayangi melati anak
semata wayangnya. Salamah seorang pembantu di rumah itu dia sangat sabar dalam meladeni
majikanny.

b.        Tahap Inciting Moment

Pada tahap ini novel Moga Bunda Disayang Allah mulai nampak permasalahan yang
mengenai tokoh cerita, melati yang dulunya anaknya penurut dan periang sekarang berubah
jadi galak dan emosinya tidak terkendali bahkan dia melempar apa saja yang ada
ditangannya, seperti dalam kutipan novel dibawah ini.

Tya lagi sibuk membujuk melati melepaskan tembikar cina dari genggamannya. Melati
seperti bisa mendengus galak. Selalu marah kalau dilarang. Tangan kirinya yang bebas
menggapai-gapai udara. Mengancam. Bersengut-sengut. Bola matanya yang hitam bagai
biji buah laci mendelik. Kemarahaan itu kapan saja siap meledak...........

” Kembalikan, sayang-” Tya membujuk cemas


”BAAA.........  MAAAA......” Melati berseru-seru, Menghentak-hentakan kakinya kelantai

” Aduh, kembalikan Sayang ! Nanti Tya dimarahi Bunda ! ”

”BAAA.....-”

”Jangan Dilempar,  Melati !”

”BAAA!!!”

”Ja-”

”PYAR!” Dalam sekejap tembikar mahal itu menghantam kaca jendela besar berukuran 1x2
meter . hancur berkeping-keping Tembikarnya, juga kaca jendelanya

Tiya menutup mulutnya. Wajahnya pias. Pucat-pasi. Gemetar melihat beling yang
berserakan. Bunda terkesiap diatas ranjang kamar tidur lantai dua. Gemetar menyikap
selimut. Gemetar turun dari ranjang .

Putrinya baru saja merajuk kembali tanpa alasan. Entah sekarang memecahkan apa. selalu
begitu sepanjag tahun ini.

Sedikit-sedikit marah. Sedikit-sedikit melempar apa saja  (Tere-Liye, 2006:22)

c. Tahap Rising Action

Peristiwa-peristiwa yang terjadi terus dan mengalami penajakan konflik cerita.


Pengarang berusaha mengembangkan konflik dengan melibatkan tokoh-tokoh lain yang
memiliki peran penting dalam kehidupan tokoh memacu peningkatan konflik. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan berikut.

”Hentikan! Aku mohon !” Gadis Berkrudung itu membuang ingusnya. Berusaha


menghentikan kalimat pemuda itu. Membuang kalimat sesal itu sungguh menohok hatinya.
Apalagi menatap wajah pemuda di hadapanya. Wajah yang dulu begitu riang, begitu
menyenangkan.. wajah yang membuatnya jatuh cinta.

(Tere-Liye, 2006:24)
Tekana konflik semakin terasa di saat Si Gadis menyuruh pemuda untuk pergi menjauh
darinya. Seperti dalam kutipan novel berikut.

”Aku tidak akan pergi-” Gadis itu tertunduk. Satu bilur air mata jatuh menetes di tegel
ruang depan Taman Bacaan.

”Kau harus pergi!” Berkata pelan.

”Aku tidak akan pernah meninggalkanmu!” Gadis itu mendesis putus asa, suara serak.
(Tere-Liye, 2006:25)

d. Tahap Complication

Pada tahap ini perkembangan masalah yang terjadi menjadi lebih kompleks. Konflik
yang terjadi semakin ruwet antar tokoh yang terkibat didalamnya. Seperti dalam kutipan
novel sebagai berikut.

Orang-orang berteriak. Orang-orang panik. Melati yang berteriak-teriak marah, melempar


apa saja barang yang ditabraknya. Bunda yang berseru-seru. Tuan HK yang berusaha
mencengkeram salah satu dokter karena dokter itu berusaha mencengkeram Melati untuk
menangkapnya. (Tere-Liye, 2006:30)

Konflik lain muncul saat Melati akan mengalami Depresi (Frustasi). Seperti dalam kutipan
novel berikut.

”Melati tidak gila!” Bunda berguman tidak terima.

”Maafkan kami, Nyonya....” Tersenyum tipis-

”Melati tidak gila!” Bunda mendesis galak.

”Hanya orang gila yang bisa menggigit hampir putus jari orang lain, Nyonya!” Salah satu
dokter menyela lebih galak, jengkel.(Tere-Liye, 2006:31)

e. klimaks
Pada tahap ini rangkaian peristiwa mencapai titik puncaknya.

Seprti kutipan dalam novel.

”BA...... MA......AAA........” Melati mendadak berteriak kencang.

”Eh copot, copot, copot!” salamah yang mengantarkan air jeruk panas buat Bunda ikut
berseru-seru panik ( sebenarnya kalau ada keributan seperti ini, salamah juga yang ikut
nambahin panik ).

”Jangan teriak-teriak, sayang!” Bunda tersenyum. Menenangkan.

Suster Tya yang jadi kaget mendengar teriakan Melati. Menarik tangannya. Mukanya sedikit
pias, lagi-lagi Melati mengamuk.

”BAAA!” melati memukul-mukul meja makan.  Marah.

”jangan pukul mejanya Melati!” Tya takut-takut berusaha menghentikan tangan melati.
(Tere-Liye, 2006:45)

Tuan HK menelan ludah, berkata tajam, ”biarkan tya... Biarkan..!” Tya menatap setengah
bingung, setengah panik. Kalau dibiarkan nanti mrlempar piring lainnya? Aduh Bagaimana
ini. Tuan HK menatap tajam.... Tya mengusap wajah kebasnya.serba salah. Berntung,Melati
bersengut-sengut marah sudah melangkah tak jelas arah, meninggalkan meja makan.
Menuju anak tangga pulam. Bunda mengikuti. Membujuknya untuk kembali. Percuma melati
hanya mengerung, sebal, marah, benci, entahlah, (kalau ia mengerti semua perasaan itu )
(Tere-Liye, 2006:45)

f. Tahap Falling Action

setelah mencapai klimaks dengan pengungkapan masalah-masalah yang menimpa


tokoh, pada tahap ini konflik cerita mulai menurun dalam novel Moga Bunda Disayang
Allah, kinansih, karang, dan ibu-ibu gendut. Mencoba untuk bersikap tenang ketenangan
batinnya membuat berfikir tenang.
” Kinansih sempat menemani Melati siang tadi. Kangen. Tidak sadar bahkan memeluk
Melati, lupa aturan mainnya....” Bunda terdiam sebentar, tertawa getir, ” Dan Melati
menjambak krudung sekaligus rambut kinansih-” (Tere-Liye, 2006:49)

” tidakkah kau sejenak saja bisa berdamai dengan masa lalu itu?” Ibu-ibu gendut bertanya
pelan, menyentuh lembut lengan Karang.

Karang tertunduk. Bergumam sebal. Mengusap wajahnya berdamai? Itu mungkin tidak
kakan terjadi. Andai dia bisa menemukan cahaya. Tapi semua itu sangat menyakitkan,
terlalu menyesakkan....... (Tere-Liye, 2006:54)

Dengan melihat karang, ibu-ibu gendut itu merasa sedih dan dalam lirih ibu-ibu
gendut itu berdo’a agar karang dapat sadar dan kembali kejalan hidupnya.

g. Tahap denounment

Setelah cerita itu mulai pada puncak pemecahan masalah dari semua peristiwa, maka
cerita ini mengarah pada tahap penyelesaian, dalam novel Moga Bunda Disayang Allah,
karena dalam cerita ini Melati mulai dapat berkomunikasi, tapi beberapa saat setelah
mendengar karang mau pergi kekota bersama kinansih melati mulai merajuk lagi dan
membuat bingung seluruh isi rumah.

Dua hari lalu melati merajuk. Benar-benar. Lebih besar dan lebih heboh dibandingkan
sebelum ia tahu cara berkomunikasi. Membuat susah seluruh isi rumah. Penyebabnya
sederhana saja. Karang memberi tahu kalau dia akan kembali ke ibu kota (bersama
Kinasih). Ada banyak pekerjaan yang tertunda disana. Ada banyak yang harus dia kerjakan
di sana. (Tere-Liye, 2006:240)

Bunda bisa menerima situsainya, meskipun ia sungguh berharap Karang akan selalu
bersama Melati. Ia mengerti, ada banyak kanak-kanak lain yang membutuhkan Karang.
Bunda hanya bisa menatap sedih putrinya yang duduk memeluk lutut dibawah anak tangga
pulam sepanjang hari. Melati benar-benar keras kepala ia juga pura-pura tidak bisa
berbicara  lagi dengan seluruh anggota keluarganya selama dua hari terahir. Berteriak-
teriak perses sebelum ia tahu bagaimana cara berkomunikasi. (Tere-Liye, 2006:242)

Melati pura-pura tidak dapat berbicara dan kembali lagi kamasa silamnya sebelum
Melati dapat berkomunikasi dia juga berteriak-teriak. Bunda hanya dapat mengelus dada
dan sangat menyadari situasi Karang karena masih banyak anak-anak yang seperti Melati
yang butuh bantuan Karang.

Tadi sore, saat karang bersiap dengan koper lusuh dan mesin ketik tuanya,saat kinansih
datang menjemput. Saat mereka siap pergi menumpang kereta malam.entah mengapa gadis
kecil itu berlari dari kamar birunya. Tersandung. Jatuh berdebam. Berdiri lagi. Berlarian
mengejar Karang yang sudah bersiap menaiki mobil. Mengejar karang yang tadi menelan
ludah kecewa karena gadis kecil itu mengurung diri dikamar biru, menolak bertemu.

Saat karang sudah membuka pintu mobil, melaiti menggerung dan berteriak-teriak dari
ruang tengah. Menagis. Kanak-kanak itu menangis memanggil. Melangkah terhuyung.
Kakinya tadi terkena anak tangga, sakit sekali, berusaha mendekat. Membuat semua kepala
teroleh. Bunda seketika menangis melihat putrinya. Tuan HK mengusap ujung-ujung
matanya. (Tere-Liye, 2006:242)

Dalam kutipan novel diatas Melati merasa kehilangan Karang dan Melati menangis sedih
melati mulai menydari dan bisa menerima kenyataan bahwa karang harus pergi
meninggalkan Melati, karena masih banyak anak-anak yang seperti dia yang membutuhkan
sosok guru Karang, Melati ingin mengucapkan selamat jalan Untuk guru Karang. Melati
memegang erat-erat ayam kate Mang Jeje, ingin melepaskan sebagai tanda penghargaan guru
Karang untuk melepas kepergiannya dengan penuh penghargaan.

3.      Tokoh dan Penokohan


Analisis tokoh dan penokohan dalam novel Moga Bunda Disayang Allah dilakukan dengan
kalimat penggambaran watak tokoh dari beberapa sisi.

a.       Deskripsi Tokoh-Tokoh dalam Novel Moga Bunda Disayang Allah.

Dalam novel Moga Bunda Disayang Allah menampilkan tokoh Utama Melati dan
Bunda tokoh itu sangat menonjol dan sangat tepat dijadikan tokoh utama

’’........Seminggu terahir kami mengundang pesikiater dan dokter anak-anak dari salah satu
rumah sakit ternama ibukota. Tim mereka memiliki reportasi yang baik. Kami amat
berharap...... Empat hari pertama melati sepetinya terkendali, mau menuruti tetapi entahlah
yang dilakukan tim dokter, kami benar-benar berharap sedikit kabar baik itu ahirnya
datang....” bunda terdiam lagi, wajahnya sedih, tertunduk, pipinya berkedut menahan
sendan..

”Tetapi di hari kelima persis dua hari lalu....... melati tiba-tiba merajuk. Marah ! Melati
berteriak-teriak saat saat badannya ditempeli kertas-kertas medis, entahlah.... Melati
menatik salah satu tangan dokter dan menggigit jari salah satu dokter itu. Sampai-sampai
nyaris putus......” Bunda Sekarang benar-benar menangis mengingat kejadian itu. (Tere-
Liye, 2006:29)

Saat puncak kemarahan Melati dan menggigit jari salah satu dokter itu hingga nyaris
putus disini Melati sangat marah dan melempar apa yang ada digenggaman tangan Melati,
Bunda sosok ibu yang sabar dan sangat menyanyangi melati hingga dia rela melakukan apa
saja untuk kesembuhan Melati.

Kinansih pelan mengambil tissue di meja dekat ranjang. Mengelap pipi Bunda, ah saraf
tangis itu jelas sekali tidak bisa dipaksa, kalian memang bisa saja tetap terliat seperti
ekspresi, terlihat kosong, tapi kantong air mata tidak bisa ditahan, akan keluar dengan
sendirinya. (Tere-Liye, 2006:29)
Kinansih sosok wanita yang sangat baik hati, pandai menghibur dan berjiwa yang
sangat mulia, Kinansih berusaha menenangkan Bunda yang saat itu sedang sangat sedih
dengan kondisi anaknya yang makin tidak bisa dikendalikan dan sangat liar. Dengan
kedatangan Kinansih Binda sedikit terhibur dan lebih bisa bercerita banyak tentang kondisi
Melati.

”Aduh, maaf! Seharusnya salamah letakan gelasnya di tempat yang lebih tinggi! Aduh,
Salamah Lupa lagi......” salamah mendekat rusuh, Berusaha membersihkan sisa’ keributan; .
(Tere-Liye, 2006:12)

Salamah seorang pembantu yang sangat menghormati majikanya dan dia selalu merasa
bersalah saat melakukan kesalahan dan salamah selalu menuruti apa kata majikanya dia juga
tidak pernah membantah saat disuruh-suruh, selalu menuruti kemauan majikannya.

Karang tertawa. Getir. Tertunduk, ” Ya! Aku mencintai kanak-kanak lebih dari
siapapun........ kata bijak itu benar sekali, terlalu mencintai seseorang justru akan
membunuhnya!” (Tere-Liye, 2006:57)

Karang sosok seorang yang sangat menyayangi anak-anak dan dia sangat terpukul
dengan kejadian tiga tahun yang lalu saat kapal menenggelamkan delapan anak didiknya.
Setelah kejadian itu karang sangat terpukul dan lebih meluangkan waktunya menyendiri.

”Aku mau mandi dulu....... Kalau kau sehat, mungkin kita bisa mandi bersama,” Tuan HK
beranjak berdiri, melilitkan handuk dileher, tertawa, ” Sudah lama kita tidak melakukannya,
bersama Melati bermain sabun Banyak-banyak.Terpeleset....”

  Bunda hanya tersenyum, lemah. Menatap wajah suaminya. (Tere-Liye, 2006:39)

Tuan HK adalah sosok kepala keluarga yang pekerja keras dan sangat menyanyangi
melati dan juga istrinya (Bunda), Tuan Hk juga sangat bertanggung jawab pada keluarganya
kadang Tuan HK bersifat keras dan juga disiplin tapi dibalik ketegasannya Tuan Hk juga
sangat Romantis pada sang istrinya (Bunda)

Biarkan Tya.......... Biarkan! Tya menatap setengah bingung, setengah panik. Kalau
dibiarkan nanti melempar piring lainnya? Aduh, bagaimana ini. Tuan Hk menatap tajam....
Tya mengusap wajah kepasnya. (Tere-Liye, 2006:46)

Tya pengasuh Melati yang sangat sabar menghadapi tingkah Melati yang tidak diduga
tiba-tiba marah, dan dia sangat tidak tega saat Melati sedang mengalami tingkat Depresiny.

b.      Pengolongan Tokoh dalam Novel Moga Bunda Disayang Allah.

Novel Moga Bunda Disayang Allah tokoh Melati adalah tokoh yang melakukan
segala tindak tanduk tokoh utama yang diamanatkan oleh pengarang, oleh karena itu tokoh
Melati sangatlah penting dalam Novel ini. Tokoh ini yang selalu membuat pembaca sedih dan
bisa terlarut ikut serta didalam novel ini.

Tokoh Bunda disini sebagai tokoh yang sangat dermawan dan sangat besarhatinya,
sangat sabar menghadapi anaknya (Melati), bunda juga sosok ibu yang sangat menyayangi
anak semata wayangnya, dalam novel ini sosok bunda sangatlah memberi pencerahan para
pambaca.

Jangan teriak-teriak sayang! Bunda tersenyum. Menenangkan.

Suster Tya yang tadi kaget mendengar teriakan Melati, menarik tangannya. Mukanya sedikit
pias, lagi-lagi melati mengamuk.

”BAAA!” melati memukul-mukul meja makan. Marah.

(Tere-Liye, 2006:46)

Dari sisi lain tokoh salamah tokoh yang sangat mendatar dalam novel ini, tokoh Tya sosok
wanita yang sangat sabar dan paling tidak tega saat Melati marah-marah. Kinansih wanita
yang sangat anggun dan sangat lemah lembut dan penyanyang. Ibu-ibu gendut sosok yang
membujuk karang untuk menjadi guru Melati.
”Ayo melati...... Pakai tangan bagus!” Suster Tya sekali lagi berusaha membantu melati.
Memegang tangan melati, berusaha mengajari cara menyuap yang bai, ia perawat baru, jadi
tidak mengerti aturan mainnya, kan?

”BA.... MA......AAAA”......... melati mendadak berteriak kencang.

”eh, copot, copot, copot!” Salamah yang mengantarkan air panas jeruk buat Bunda ikut
berseru seru panik( sebenernya, kalau lagi ada keributan ini salamah yang ikut nambahin
panik)

(Tere-Liye, 2006:45)

Ibu-ibu gendut menelan ludah, berkata pelan, kau tau ada kanak-kanak yang memerlukan
bantuanmu, karang surat itu bilang mereka memerlukan bantuanmu (Tere-Liye, 2006:52)

Sedangkan tuan Hk dan Karang adalah sosok tokoh yang keras dan juga baik hatinya
dan panyanyang

”Buat apa?Bukankah ibu setiap hari sudah membacanya setiap hari untukku Karang
mendengus sebal, Memotong......” (Tere-Liye, 2006:52)

Tapi sebelum Tuan HK memutahkan kalimat kasarnya, Karang sudah terlebih dahulu
menarik tangan melati dari mangkuk bubur. (Tere-Liye, 2006:52)

Karang dan Tuan HK adalah sosok leleki yang sama-sama keras tetapi dibalik itu
semua karang dan Tuan HK mempunyai hati yang lembut. Seperti Karang yang sangat
menyayangi anak-anak didiknya dan Tuan HK yang sangat menyayangi anaknya dan
Keluarganya.

c.       Perwatakan Tokoh

Setiap tokoh yang ditampilkan dalam novel ini memiliki watak yang berbeda-beda
setiap tokoh melakukan intraksi masing-masing
Deskripsi watak tokoh melati seperti kutipan dibawah ini :

”Bunda, Bangun! Bunda Kesiangan nih !” jail Melati menarik selimut ibunya, berteriak lagi,
tertawa lagi. Merangkak lebih dekat, mengeluarkan sehelai bulu ayam (yang diperoleh
kemaren dari mang jeje, tukang kebun). Jail! (Tere-Liye, 2006:4)

 Berdasarkan kutipan diatas tokoh melati periang, suka bercanda, dan jail, dan suka
mengganggu ibunya yang sedang tertidur pulas.

Diskripsi watak tokoh Bunda seperti kutipan dibawah ini :

” tidak apa-apa, salamah ! Basah dikit. Melati tidak sengaja melemparkan gelas air jeruk!”
bunda menoleh, tersenyum. (Tere-Liye, 2006:11)

Berdasarkan diskripsi novel diatas tokoh bunda adalah sosok bunda yang sangat sabar
dan tidak mau merepotkan orang lain apa lagi bikin heboh dengan kecelakaan kecil seperti
itu, sosok bunda hanya bisa tersenyum dengan apa yang terjadi.

Diskripsi tokoh salamah seperti kutipan dibawah ini :

Salamah gagap mendengar namanya tiba-tiba disebut,”air panas untuk ibu lagi?”

(Tere-Liye, 2006:28)

Salamah adalah tokoh yang selalu panik saat terjadi keributan, tapi sebenarnya dia
sangat penurut dan sangat menghormati majikanya.

Diskripsi tokoh Kinansih seperti kutipan dibawah ini :

Kinansih tertawa kecil, melambaikan tangan kearah salamah, bunda menyiringi,” Melati-
nya mana Bun? (Tere-Liye, 2006:28)

Kinansih dalan novel ini adalah sosok perempuan yang anggun dan sangat mencintai
keluarga Tuan HK, dia juga sudah dianggap sebagai anak kandungnya sendiri.

Diskripsi tokoh Tya seperti dalam kutipan dibawah ini :

Tya menutup mulutnya. Wajahnya pias, pucat pasi Gentar melihat beling yang berserakan.
(Tere-Liye, 2006:22)
Suster Tya adalah sosok perempuan yang sangat sabar dan sangat cemas saat Melati
mulai marah-marah sebenarnya suster Tya seorang yang penakut.

Diskrisi tokoh Novel Tuan Hk seperti dalam kutipan novel dibawah ini :

Biarkan Tya.......... Biarkan! Tya menatap setengah bingung, setengah panik. Kalau
dibiarkan nanti melempar piring lainnya? Aduh, bagaimana ini. Tuan Hk menatap tajam....
Tya mengusap wajah kepasnya. (Tere-Liye, 2006:46)

Tuan HK adalah sosok lelaki yang tegas tapi dia sangat menyanyangi anak istrinya,
Tuan HK juga sangat tanggung jawab sebagai kepala keluarga, dan dia juga sosok lelaki yang
romantis, sangat menghargai para pembantunya tidak membedakan jabatannya,

Diskripsi tokoh Karang seperti dalam kutipan novel dibawah ini :

Karang, pemuda diatas ranjang diatas ranjang tua menyengit dalam tidurnya. Trganggu.
Tangannya menggibas-gibas jengkel. Benda itu masih berputar di depan wajahnya, semakin
diusir semakin berani. Mendesis mangkel karang mendesis mangkel. Karang Terbangun.
Mata merahnya terbuka. (Tere-Liye, 2006:25)

Karang sosok laki-laki yang sangat menyesal dengan tragedi yang menelan anak
didiknya hingga menewaskan delapan anak-anak didiknya yang sangat disayang, dan karang
seakan kehilangan harapan untuk hidup, sosok penyanyang dan baik hati itu tercermin pada
tokoh novel karang.

4.      Latar

a.       Latar waktu

Cerita dalam novel ini menceritakan latar waktu novel ini kisah gadis kecil yang
berumur 6 tahun yang seharusnya dia bisa selalu senang dan bisa mendengar apa saja yang
rambut ikalnya mengombak, Kisah dimulai ketika Melati tiba-tiba mulai buta total, dan tuli
total sebelum anak-anak itu sempat mengenal benda, mengenal dunia, mengenal kata-kata
bahkan belum mengenal Penciptanya Melati mengalami semua itu sejak Melati berusia Tiga
tahun dan selama tiga tahun dunia gelap bagi Melati. Doa dan harapan terus dipanjatkan,
berpilin menuju angkasa mengharap dikabulkan Sang Maha Kuasa. Namun asa jauh dari
kenyataan, dan ketika semua telah mencapai titik jenuhnya. Allah terus menunjukkan kasih
sayangnya.
Perjuangan Melati dimulai setelah Bunda menemukan Pak Guru Karang. Karang merupakan
pemuda yang tidak punya background pendidikan. Namun dia memiliki sesuatu yang bahkan
tidak setiap orang dengan background pendidikan memilikinya.

Keadaan masih sama buruknya seperti tiga tahun lalu, bunda mendesah lemah,” sama
buruknya .... ya Allah, sebenarnya kondisinya tambah buruk!” suara bunda tercekat. . (Tere-
Liye, 2006:28)

b.      Latar Tempat

Latar tempat mendiskripsikan tempat terjadinya peristiwa hal itu dapat diketahui
dalam kutipan novel berikut ini:

Dikamar sudah tidur sejak siang tadi merajuk. Melempar apa saja yang dipegangnya.
Berteriak-teriak marah...... tadi melempar tembikar dinasti tang hadiah Papa-mu, Hancur
berkeping-keping.” Bunda menjawab Pelan, terbatuk . . (Tere-Liye, 2006:28)

Dari kutipan diatas latar tempatnya terjadi di kamar Bunda . kutipan lain terdapat pada
kutipan novel dibawah ini :

Makan siang makan malam, melati harus bersamanya. Karena melati trtap keras kepala
seperti sarapan, itu berarti sepangjang hari tidak menyentuh makanan apapun. (Tere-Liye,
2006:107)

Latar tempat ini terjadi di ruang makan dimana Karang menjaga Melati Saat makan
siang,makan malam....

E.     Nilai Pendidikan Dalam Novel Moga Bunda Disayang Allah

a.      Nilai agama

Dalam novel moga bunda disayang Alloh memberi amanat agar manusia tabah dalam
menghadapi ujian dan berusaha untuk mencari jalan keluarnya. Hal ini dideskripsikan

dalam kutipan novel dibawah ini:


Terimakasih ya Allah, mungkin kami tidak akan pernah mengerti  dimana letak keadilan-MU
dalam hidup. Karena mungkin kami telah bebal untuk mengerti. (Tere-Liye, 2006:244)

b.      Nilai pendidikan moral

Sikap tanggung jawap terhadap perbuatan sikap moral yang harus dilakukan hal ini
terungkap dalam kutipan novel dibawah ini :

”Aku tidak datng kesini untuk minta-minta sarapan nyonya  karang mendesis pelan,
memotong (Tere-Liye, 2006:78)

c.       Nilai Pendidikan Sosial

Nilai pendidikan sosial mencakup kebutuhan hidup seperti kasih sayang, kepercayaan,
pengakuan, dan penghargaan.

Berikut diskripsi yang ada pada novel Moga Bunda Disayang Allah :

Sore ini, melati ingin melepas ayam kate Mang jeje. Sebagai simbol sebagai wujud
penghargaan ............. (Tere-Liye, 2006:242)
F.      Sinopsis Novel Moga Bunda Disayang Allah
Buku ini bercerita tentang anak-anak bernama Melati yang terlahir sangat lucu
menggemaskan, rambut ikalnya mengombak, pipinya tembam seperti donut, matanya hitam
legam seperti biji buah leci dan giginya kecil bak gigi kelinci. Dia adalah anak seorang
terpandang di daerah tersebut. Keluarganya sangat menyayangi Melati.

Kisah dimulai ketika Melati tiba-tiba mulai buta total, dan tuli total sebelum anak-anak itu
sempat mengenal benda, mengenal dunia, mengenal kata-kata bahkan belum mengenal
Penciptanya. Doa dan harapan terus dipanjatkan, berpilin menuju angkasa mengharap
dikabulkan Sang Maha Kuasa. Namun asa jauh dari kenyataan, dan ketika semua telah
mencapai titik jenuhnya. Allah terus menunjukkan kasih sayangnya.

Perjuangan Melati dimulai setelah Bunda menemukan Pak Guru Karang. Karang merupakan
pemuda yang tidak punya background pendidikan. Namun dia memiliki sesuatu yang bahkan
tidak setiap orang dengan background pendidikan memilikinya. Dalam buku ini, Karang
diceritakan mampu ikut merasakan perasaan anak-anak yang berdiri di depannnya. Di
dekatnya dan dengan sentuhannya yang pandai menyenangkan anak-anak, Karang mampu
berempati dengan sangat dalam pada apa yang dirasakan Melati. Melati hanya melihat gelap,
hitam kosong tanpa warna. Melati hanya mendengar senyap sepi, tak ada nada.

Perjuangan belajar seorang buta tuli ini tidak mudah karena diajar oleh seorang yang juga
sedang bermasalah dengan kenangan masa lalunya. Karang yang pencinta anak-anak, pemilik
ratusan buku taman bacaan di ibukota ini pernah mengalami kecelakaan di laut hingga
menewaskan 18 orang dan juga Qintan murid kesayangannya. Perasaan bersalah itu
menjadikannya hancur, menjadi pemabuk, hidup di malam hari, kehidupannya benar-benar
hancur.

Bukan hanya doa Bunda yang terkabul, namun doa Ibu-Ibu Gendut itu juga terkabul. Bukan
hanya Melati yang mengenal dunia dan Penciptanya, namun Karang pun bisa berdamai
dengan masa lalunya.

http://belajarbersamasutejo.blogspot.com/2012/02/blog-post.html
Kritik Sastra: Novel Siti Nurbaya Karya Marah Rusli
Senin, Januari 21, 2013

Krumpuls - Kritik Sastra: Novel Siti Nurbaya Karya Marah Rusli - Novel Siti Nurbaya
adalah Novel Best Seller dimasanya. dan menuai novel yang paling populer setelah cerita Siti
Nurbaya itu di filmkan.

Kritik Sastra: Novel Siti Nurbaya Karya Marah Rusli - ADA penafsiran, bahwa Marah
Rusli menulis Sitti Nurbaya (terbit 1912) pada mulanya bukanlah dengan ambisinya yang
ingin menjadi novelis. Ia hanya tidak dapat menemukan jalan lain untuk memprotes
tradisionalisme “yang tidak sehat” pada zamannya. Tapi kemudian dalam Salah Asuhan,
Abdul Muis mengingatkan bahwa protes terhadap tradisionalisme “yang tidak sehat” itu tidak
akan membawa apa-apa, kecuali malapetaka.

Kritik Sastra: Novel Siti Nurbaya Karya Marah Rusli

Penolakan adat-istiadat dan model pendidikan tradisional telah membawa tokoh Hanafi pada
posisi dilematis yang tidak berujung, kecuali dengan perpisahan yang mengenaskan. Paraahli
sastra pun dengan jitu dapat melihat sisi menarik dari dua konsep yang ditonjolkan, dimana
Abdul Muis sebenarnya telah membuka sebuah perdebatan yang amat penting sehubungan
dengan konsep dan keinginan kita, walaupun lewat karya sastra. Tidak mengherankan bila
kemudian Goenawan Mohamad (1988: 56-57) menyatakan sebagai arah berpikir yang penuh
kebimbangan. Artinya, secara tidak langsung pertumbuhan kesusastraan Indonesiasebenarnya
dipenuhi oleh kebimbangan-kebimbangan.

Kenyataan ini lebih dipertegas lagi dengan polemik kebudayaan oleh kelompok Sutan Takdir
Alisjahbana dan Sanusi Pane. Polemik kebudayaan yang membicarakan tentang arah
kebudayaan Indonesia itu meliputi kurun waktu 1935-1936, yang selain dua tokoh di atas
juga melibatkan Dr. Poerbatjaraka, Dr. Soetomo, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir, dan
Ki Hadjar Dewantara (Achdiat Karta Mihardja, 1977). Anehnya, permasalahan ini kembali
menghangat tahun 1986, dengan menampilkan tokoh yang jauh lebih muda dibanding dengan
Sutan Takdir Alisjahbana sebagai pencetusnya. Mereka itu di antaranya Umar Kayam,
Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, Soebagio Sastrowardoyo, A.A. Navis, Taufik
Abdullah, Andre Hardjana, Sapardi Djoko Damono, Arief Budiman, Asrul Sani, Daoed
Joesoef, dan Sutardji Calzoum Bachri (lihat Horison, Juli 1986). Kenyataan ini menunjukkan,
bahwa bagaimanapun arah kebudayaan yang tercetus tahun 1935 itu tetap hangat sebagai
sebuah pembicaraan yang tidak akan usang-usangnya. Hal ini terbukti di awal tahun 2000-an
pembicaraan ini kembali menghangat.

Berbagai perdebatan – kebudayaan atau pun kesusastraan – sampai sekarang tetap marak.
Karya sastra pun tetap lahir. Namun di balik semua itu, berbagai kebimbangan pun menebar,
malah kadang sulit terdeteksi. Kebimbangan itu tidak hanya sekedar konsep untuk teks
karangan itu sendiri, tetapi juga prinsip dari seorang pengarang dalam berkarya. Berbagai
peristiwa sastra dan budaya seperti pengadilan puisi tahun 1974, polemik atas tuduhan plagiat
puisi Chairil Anwar dan kasus Hamka tahun 1950-an, perang ideologi dan media tahun 1950-
an hingga orde baru, pengadilan cerpen Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin (1968),
perdebatan sastra kontekstual (1986), berbagai pengadilan karya sastra dan riak-riak kecil
perdebatan dan polemik kesusastraan di Semarang, Jakarta, Padang, Bandung, dan Surabaya
sampai pada persoalan puisi gelap (1994).

Adanya perdebatan kesusastraan sebagai implikasi dari kebimbangan sikap itu akan lebih
menarik bila dilihat dari sisi pengarangnya sebagai orang yang bertanggung jawab di
dalamnya. Tulisan ini mencoba melihat sisi pengarang yang pada akhirnya dihubungkan
dengan pendekatan ekspresif dalam memahami dan menilai sebuah karya yang dihasilkan.

II

JIKA masing-masing pengarang kita tanyakan apa tujuan atau motivasi dari
kepengarangannya, maka berbagai jawaban pun akan terkumpul. Boleh jadi
kepengarangannya lantaran ingin mengungkapkan ekspresi, karena bakat, keinginan untuk
terkenal, sebagai profesi, dan sebagainya. Tapi jujurkah jawaban yang mereka ungkapkan?
Lebih jauh, jujurkah mereka dalam gerak lajunya untuk memperoleh titel pengarang “yang
benar-benar sukses”?

Berbagai kejadian di dunia kepengarangan, khususnya dalam kasus plagiat karya pengarang
yang telah “mapan” tidak hanya sekali dua kali kita dengar. Kelabilan para (calon) pengarang
terkadang tidak segan-segannya berbuat sesuatu yang sebenarnya merusak namanya sendiri.
Pada dasarnya, mereka menginginkan kesejajaran dengan pengarang yang telah “sukses”
terlebih dahulu dengan bersusah payah. Kelabilan bersikap, kelabilan berkarya, dan kelabilan
dalam memahami dunia yang tengah ditekuninya, merupakan di antara penyebab
kegoncangan dunia sastra. Kasus Chairil Anwar yang memplagiat sajah Hsu Chih-Mok, Song
of the Sea, menjadi Datang Dara Hilang Dara, adalah salah satu contohnya. Kelabilan Chairil
itu pada akhirnya tidak bisa diterima saja, misalnya menyebutnya terpengaruh (Jassin, 1985:
57). Kelabilannya merupakan kelabilan konsep dalam kepenyairannya.

Menjadi seorang pengarang memang bukan pekerjaan yang mudah. Walaupun begitu,
pekerjaan mengarang tidak pula sesuatu yang mengerikan. Konsistensi dalam mengarang bisa
menjadikannya kaya, terutama di bidang pengetahuan yang didalami. Seorang pengarang
termashur menurut Jassin (1985:11) kebanyakan mempunyai ilmu yang tidak langsung
bersangkutan dengan pekerjaannya sebagai pengarang. Banyak di antara mereka yang
seharusnya bisa mencapai dan memakai titel sarjana dan doktor, tapi tidak memakai titel itu.
Memang bukan dalam titel letaknya kebesaran dan kebahagiaan pengarang, melainkan masak
atau tidaknya buah ciptaannya.

Tentu akan menjadi tiada berarti bila pengarang hanya sibuk sendiri tanpa melihat dan
mengikutsertakan masyarakatnya. Bisa jadi puisi dan novelnya – yang mungkin penting –
tidak akan dibaca. Kritik karya yang yang penuh rayuan gombal jalan sendiri dan masyarakat
merasa tidak membutuhkannya. Kebimbangan pengarang bisa menjadi tidak terkendali.
Kritik sastra yang diberlakukan berubah menjadi psikoanalisis, dan akhirnya gosip.
Goenawan Mohammad (dalam Horison, Januari 1986) menyebut situasi yang terjadi di
pihaak pengaran adalah gosip-gosipan, dimana ia berubah menjadi tokoh publik.

III

SECARA umum, Abrams (dalam Teeuw, 1984:50) mengemukakan empat pendekatan dalam
melihat karya sastra. Salah satu pendekatan itu adalah penekanan pada pengarangnya.
Pendekatan ini lebih dikenal sebagai pendekatan ekspresif.

Penekanan aspek ekspresif karya sastra telah lama dimulai. Pada masa Yunani dan Romawi
penonjolan aspek ekspresif karya sastra telah dimulai seorang ahli sastra Yunani Kuno,
Dionysius Casius Longius, dalam bukunya On the Sublime (Mana Sikana, dalam Atmazaki,
1990: 32-33). Menurut Longius karya sastra harus mempunyai gayabahasa yang baik,
mempunyai falsafah, pemikiran, dan persoalan agung yang penting, harus mempunyai emosi
yang intens dan terpelihara serta tahan menghadapi zaman. Kenyataan ini menyebabkan
pengarang mesti punya konsep yang jelas dan jauh dari kebimbangan-kebimbangan yang
melanda dirinya.

Bila kemudian Plato mengungkapkan bahwa karya sastra adalah meniru dan meneladani
ciptaan Tuhan, cukupkah sampai di situ peran seoraang pengarang? Ternyata Aristoteles
menolak pendapat yang menyatakan bahwa posisi pengarang hanya berada di bawah Tuhan.
Menurutnya, ciptaan Tuhan hanyalah sebagai tempat bertolak. Pengarang dalam penciptaan
karyanya, dengan daya khayal dan kreativitas yang dipunyainya, justru mampu menciptakan
kenyataan yang lebih kurang terlepas dari kenyataan alami. Dalam hal ini secara “lancang”
menurut Aristoteles (dalam Atmazaki, 1990: 33) pengarang dengan sombongnya sebagai
pencipta telah menyamai Tuhan.

Aspek ekspresif sebagai salah satu pendekatan dalam sastra barangkali lebih cocok dipakai
dalam melihat kebimbangan pengarang dalam berkarya. Atmazaki (1990: 34-35) mengatakan
bahwa pementingan aspek ekspresif ini disebabkan oleh alasan-alasan berikut:

1.      Pengarang adalah orang pandai. Ia adalah filsuf yang ajarannya dianggap sebagai
filsafat yang menguasai cara berpikir manusia.

2.      Kata author berarti pengarang, yang bila ditambah akhiran –ity berarti berwenang atau
berkuasa. Dalam hal ini yang dimaksudkan sudah tentu penguasaan bahasa, namun
menciptakan kenyataan lewat bahasa yang tidak sama dengan kenyataan alami. Akan tetapi,
walaupun tidak sama kenyataan itu adalah hakiki, kenyataan yang tinggi nilainya, sehingga
orang dapat bercermin dengan kenyataan tersebut.

3.      Pengarang adalah orang yang mempunyai kepekaan terhadap persoalan, punya


wawasan kemanusiaan yang tinggi dan dalam. Pengarang punya pemikiran dan perasaan
yang selalu lebih maju, walau dalam masyarakat hal ini seringkali dianggap membingungkan
lantaran rumitnya.

Adapun kerangka pendekatan ekspresif sebagaimana yang diuraikan Atmazaki (1990:36)


adalah sebagai berikut:

a. Pendekatan ekspresif berhubungan erat dengan kajian sastra sebagai karya yang dekat
dengan sejarah, terutama sejarah yang berhubungan dengan kehidupan pengarangnya. Dalam
kaitan ini maka dibahaslah latar belakang kehidupan pengarang, daerah kelahirannya, latar
belakang sosial ekonomi, latar belakang pendidikannya, pengalaman-pengalaman penting
yang pernah dilewatinya, dan lain-lain.

b. Karya sastra dianggap sebagai pancaran kepribadian pengarang. Gerak jiwa,


pengembaraan imajinasi dan fantasi pengarang terlukis dalam karyanya.

Kecurigaan yang pertama kali atas ketidakjujuran seorang pengarang dalam berkarya adalah
persoalan konsepnya dalam mengarang dan kelabilan untuk segera “cepat mapan”. Bila
terpengaruh dianggap sebagai sesuatu yang dibolehkan, dalam kenyataannya memang banyak
yang melakukannya. Namun mengambil dengan jelas-jelas karya orang lain dan
menganggapnya sebagai karya sendiri, sudah tentu tidak dapat dimaafkan dan menghilangkan
rasa simpati serta kepercayaan orang. Kesusahan yang telah dijalani pengarang lain dirampok
begitu saja. Kelabilan atau kebimbangan pengarangnya dilihat dari aspek ekspresif, bisa
menghasilkan hal menarik dalam sebuah telaahan kritis.

Harga sebuah kata, tulis Goenawan Mohamad (dalam Horison, Januari 1986), ditentukan oleh
tebalnya lapisan penderitaan yang membuat kata itu ditulis. Sebuah puisi atau novel, adalah
pencerminan pribadi; sebuah komposisi dari pengalaman yang tulen. Justru karena puisi atau
novel mendapatkan kekuatannya dari sana, ia tidak perlu tersisih dari perhatian. Di
sampingnya, sang pengarang seharusnya tak perlu lagi menunjukkan diri.

IV

KEBIMBANGAN-KEBIMBANGAN dalam kesusastraan berawal dari kebimbangan dalam


diri pengarangnya, baik ketika ia akan terjun di dunia itu atau yang telah ‘mapan’ sekalipun.
Kebimbangan-kebimbangan ini akhirnya dicatat sebagai sejarah, membesar dan menjadi
kebimbangan pemikiran kesusastraan atau kebudayaan. Bahaya besar sebenarnya, justru
datang tak lain dan tak bukan dari kaum pengarang itu sendiri.

Lalu sastra kita mau dikemanakan?

Inilah persoalan kita selanjutnya. Di antara gemuruh mengalirnya karya sastra, di antara riak
gelombang perdebatan yang ada, di antara kebimbangan-kebimbangan yang terlukis lewat
polemik yang tak habis-habisnya, ternyata kesusastraan tak mampu menyelesaikan masalah.
Mungkin benar, sastra hanyalah sebagai alternatif-alternatif semata. Ia tak pernah benar-benar
eksis sebagai sesuatu yang bisa diandalkan, walaupun misalnya dalam demonstrasi sekalipun.
Ia hanya penggugah, pelopor, atau pilihan yang masih memerlukan upaya lebih besar lagi
darinya. Persaingan dengan kompleksitas kehidupan menyebabkan sastra sebagai dulce et
utile semata.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip apa yang ditulis Goenawan Mohamad (1988: 66),
“Sesuatu yang dapat kita pastikan adalah ketidakpastian kita – keraguan kita yang tua,
mengambang antara masa silam yang menjauh dan masa depan yang tidak tentu. Sebab
akhirnya inilah Indonesia; suatu lingkungan kebudayaan yang tidak kunjung mapan,
sementara masa depan tetap, bagaimanapun juga, suatu misteri.”

Demikianlah artikel yang bisa saya share mengenai Kritik Sastra: Novel Siti Nurbaya
Karya Marah Rusli, Semoga bermanfat dan berguna untuk anda semua - Kritik Sastra:
Novel Siti Nurbaya Karya Marah Rusli
Kritik Sastra: Novel Siti Nurbaya Karya Marah Rusli. Novel balai Pustaka. Resensi
Novel Siti Nurbaya. Resensi film Siti Nurbaya. sekilas mengenai Novel dan Film Siti
Nurbaya. novel dan film populer

Anda mungkin juga menyukai