Anda di halaman 1dari 17

BAB II

LANDASAN TEORETIS

A. Kerangka Teoretis

Kerangka teoretis pada dasarnya memuat sejumlah teori yang ada

kaitannya dengan permasalah penelitian. Kemudian teori tersebut dapat menjadi

rujukan serta landasan dalam penelitian yang mendalam untuk mendapatkan

penelitian yang relevan. Pentingnya teori-teori dalam sebuah penelitian maka

pada bagian ini akan dilengkapi beberapa teori yang sesuai dengan judul

penelitian yang berguna untuk memperjelas variabel yang diteliti.

Dalam menganalisis cerpen dengan pendekatan ekspresif pada penelitian

ini akan lebih kuat bila disertakan dengan teori. Untuk lebih memperjelas

pemahaman tentang masalah penelitian, berikut ini akan dibahas pengertian dan

teori-teori yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.


1. Pendekatan dalam Sastra

Ada beberapa pendekatan dalam mengkaji karya sastra khususnya cerpen.

Abrams (dalam Teeuw 2003:42) berpendapat bahwa setidaknya ada empat

pendekatan dalam karya sastra, yaitu mimetil, pragmatik, objektif dan ekspresif.

Namun keempat pendekatan tersebut dibedakan dari kajian yang ditonjolkan.

Pertama, pendekatan mimetik adalah pendekatan yang dalam mengkaji

karya sastra berupaya memahami hubungan karya sastra dengan realitas atau

kenyataan. Kata mimetik sendiri berasal dari kata mimesis (bahasa Yunani) yang

berarti tiruan. Kajian semacam ini dimulai dari pendapat Plato tentang seni

hanaya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang

tampak. Ia berdiri di bawah kenyataan itu sendiri. Pendekatan yang memandang

karya sastra sebagai imitasi dari realitas Abrams (dalam Siswanto 2013:173).

Pendekatan mimetik merupakan pendekatan yang pertama kali lahir dalam dunia

kritik sastra, yaitu pada abad keempat sebelum masehi. Pendekatan ini diawali

oleh kritik yang dilontarkan Plato dan Aristoteles terhadap karya sastra, Pradopo

(dalam Wiyatami 2008:80). Dalam hubungan karya sastra dengan mimesis, Plato

berpendapat bahwa sastra hanyalah tiruan dan tidak menghasilkan kopi yang

sungguh-sungguh. Kebanyakan aliran Marxis, sosiologi sastra dan peneliti lain

yang menganggap karya seni sebagai dokumen social. Dalam abad pertengahan ,

pendapat bahwa seni harus seperti alam menjadi pandangan umum. Hal ini ada

kaitannya dengan anggapan tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Ciptaan


manusia hanya meneladani ciptaan Tuhan yang mutlak dan indah, Teeuw (dalam

Siswanto 2013:174).

Kedua, pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya

sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca.

Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral,

agama, maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung

menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu

bagi pembacanya, Pradopo (dalam Wiyatmi 2008:85). Pendekatan pragmatik

adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap peranan

pembaca dalam menerima, memahami dan menghayati karya sastra. Sebagai

sebuah keutuhan komunikasi antara sastrawan dengan karya sastra dan pembaca,

maka pada hakikatnya karya yang tidak sampai ke tangan pembacanya, bukanlah

sebuah karya sastra, Siswanto (2013:175). Karya sastra tidak mempunyai

keberadaan nyata sampai karya sastra itu dibaca. Pembacalah yang menerapkan

kode yang ditulis sastrawan untuk menyampaikan pesan, Salden (dalam Siswanto

2013:175).

Ketiga, Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan

perhatiannya kepada karya sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya

sastra sebagai struktur yang otonom dan bebas dari hubungannya dengan realitas

pengarang, maupun pembaca. Pendekatan objektif adalah pendekatan kajian

sastra yang menitikberatkan kajiannya pada karya sastra, Siswanto (2013:169).

Wellek & Warren (dalam Wiyatmi 2008:87) mengatakan bahwa pendekatan ini
sebagai pendekatan intrinsik karena kajian difokuskan pada unsur intrinsik karya

sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri.

Keempat, pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang mengkaji karya

sastra yang memfokuskan kajiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra.

Telaah dengan pendekatan ekspresif erat kaitannya dengan keadaan pengarang

yang dituangkan dalam bentuk karya sastra. Perwujudan antara keadaan

sastrawan terhadap karya sastra melalui proses kreatif, dengan tolak ukur

dorongan perasaan pengarang dan hasilnya adalah kombinasi dari pikiran,

persepsi dan perasaan.

Abrams (dalam Siswanto 2013:167) mengatakan bahwa pendekatan

ekspresif adalah pendekatan dalam kajian sastra menitikberatkan kajiannya pada

ekspresi perasaan atau tempramen penulis.

Teeuw (dalam Siswanto 2013:167) menyatakan bahwa karya sastra tidak

bisa dikaji dengan mengabaikan kajian terhadap latar belakang sejarah dan sistem

sastra: semesta, pembaca, dan penulis. Informasi tentang penulis memiliki

peranan yang sangat penting dalam kegiatan kajian dan apresiasi sastra. Ini

dikarenakan karya sastra pada hakikatnya adalah tuangan pengalaman penulis.

Pendekatan ekspresif tidak semata-mata memberikan perhatian terhadap

bagaimana karya sastra itu diciptakan, seperti studi proses kreatif dalam studi

biografis, tetapi bentuk–bentuk apa yang terjadi dalam karya sastra yang

dihasilkan. Apabila wilayah studi biografis terbatas hanya pada diri penyair
dengan kuallitas pikiran dan perasaannya, maka wilayah studi ekspresif adalah

diri penyair, pikiran dan perasaan, dan hasil-hasil ciptaannya (Ratna, 2004:68-69).

Kendala yang sering dihadapi dalam pendekatan ekspresif ketika

pengarang sudah meninggal dunia atau pengarang susah untuk dijumpai.

(Suwardi, 2008:30) menyatakan bahwa sastra ekspresivisme akan lebih

menguntungkan manakala si pengarang masih hidup dan mudah dihubungi atau

diajak berkomunikasi. Jika sang pengarang telah meninggal dunia, peneliti juga

dapat menanyakan pada saudara atau kerabat terdekat. Dengan kata lain, model

life history atau studi biografi lengkap akan membantu penelitian ekspresivisme.

Penerapan langkah-langkah dalam pendekatan ekspresif, yaitu langkah

pertama, mengenal lebih dalam mengenai biografi pengarang , latar belakang

sosial pengarang, latar belakang pendidikan pengarang dan lain-lain. Langkah

kedua, menafsirkan unsure intrinsik yang terdapat dalam karya sastra yang akan

diteliti. Langkah ketiga, mengaitkan antara tinjauan psikologis kejiwaan

pengarang dengan hasil penafsiran karya sastra.

Penelitian ekspresif sebenarnya tidak terlalu sulit asalkan penulis masih

hidup dan tinggal tidak terlalu jauh jaraknya dengan peneliti. Karenanya, jaringan

komunikasi peneliti dengan penulis perlu ditekankan agar proses penelitian

berjalan lancer. Berbagai hal yang seharusnya diungkap dalam penelitian

ekspresif, yaitu (1) Memahami lebih mendalam bahwa pengarang adalah orang

yang cerdik bermain estetika. Pengarang adalah orang yang cerdas dan cerdik

bermain estetika. Pengarang adalah filsuf yang mampu menjelaskan sebuah


pemikiran secara gamblang dan mendasar. Dia orang yang semestinya mampu

menerjemahkan kehidupan menjadi cipta sastra yang handal. (2) Bagaimana

penguasa bahasa sastrawan sehingga mampu memikat pembaca. Apakah

pengarang belajar secara otodidak atau memang ada cara lain. Dalam hal ini

peneliti perlu memahami seberapa jauh pengarang mampu menghidupkan kata-

kata ‘mati’ menjadi kata-kata yang memiliki ruh. Kebebasan pengarang mencipta

kata, dan mempermainkan bahasa, akan mendukung tingkatan kreativitas mereka.

(3) seberapa jauh pengarang memiliki kepekaan terhadap persoalan kehidupan,

baik yang menyangkut dunia mungkin maupun dunia lain. Dari ini akan lahir

wawasan kemanusiaan yang luar biasa dari seorang pengarang yang benar-benar

ekspresif (Endaswara, 2008:32-33).

2. Proses Kreatif Pengarang dalam Penciptaan Karya Sastra

Kegiatan yang dilakukan sastrawan dalam berproses kreatif ternyata

beragam. Sebelum menulis, Arswendo Atmowiloto suka berpetualang untuk

mendapatkan bahan tulisannya. Ali Akbar Navis banyak membaca buku atau

karya sastra lain, melihat film, mendengar cerita, atau mengamati tingkah laku

orang lain di sekelilingnya. Lain dengan Nh. Dini, ia tidak mau diganggu dengan

kesibukan sehari-hari, hingga ia meminta izin keluarganya untuk menyendiri

ketika ingin menulis. Budi Darma bisa menulis dalam keadaan yang enak untuk

menulis.
Ternyata dalam penciptaan karya sastra, setiap pengarang memiliki proses

kreatif yang berbeda antara pengarang yang satu dengan pengarang yang lainnya.

Wellek dan Warren (1993:97) mengatakan bahwa proses kreatif meliputi

seluruh tahapan, mulai dari dorongan bahwa sadar yang melahirkan karya sastra

sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Bagi sejumlah

pengarang justru bagian akhir ini merupakan tahapan paling kreatif.

Siswanto (2013:22) mengatakan, dalam bentuk sederhana, proses kreatif

dapat dikelompokkan menjadi tiga kegiatan, yaitu sebelum menulis, pada saat

menulis, dan setelah menulis.

3. Cara Menganalisis Pendekatan Ekspresif dalam Cerpen

Seorang pengarang pasti sangat memperhatikan ide-ide yang akan

dituangkannya dalam karya sastra. Untuk menganalisis karya sastra, khususnya

cerpen maka dibutuhkan analisis yang memandang pengarang sebagai elemen

yang sangat penting. Tolak ukur penilaian terhadap karya sastra terutama

ditujukan kepada kesungguhan hati penyair, keasliannya dan kememadainya

dalam mengungkap visi dan pemikiran individual pengarang.

Cara kerja pendekatan ekspresif dengan meletakkan pengarang sebagai

pusat yang paling penting dalam sebuah kajian karya sastra. Adapun rinciannya

adalah sebagai berikut: (1) Menganalisis latar belakang sosial budaya pengarang.

(2) Mengetahui cita-cita pengarang. (3) Menganalisis hambatan-hambatan yang


dilalui pengarang pada saat berekspresi. (4) Menganalisis proses kreatif

pengarang.

4. Cerpen Sampan Zulaiha

Ia mengekori bapaknya yang berjalan beriring dengan Nurdin. Tangan kiri

bapaknya menenteng sejumlah bubu bambu perangkap ikan, juga beberapa bubu

nilon penjerat kepiting. Tangan kanannya menggenggam sepasang dayung. Nurdin,

meski usianya kurang sepuluh tahun, enteng saja menggendong segulung jala dan

menjinjing bekal. Maklum, sejak usia tujuh tahun, adik laki-lakinya itu sudah melaut

bersama bapaknya. Zulaiha iri. Ia juga kepingin melaut. Tapi keinginan itu ibarat ikan

hendak berenang di genangan langit! Angannya sering berkelana; menunggang

sampan, menghirup wangi laut, dan membiarkan pias laut menyerpih di wajahnya.

Nikmat!

Sampan masih tertambat, tapi terkulai-kulai diayun putik ombak. Bapaknya

menyulut rokok, dan Nurdin begitu sigap menguras air dari lengkung sampan. Diam-

diam Zulaiha menggeliat ke sisi Nurdin. Sampan berguncang! Lalu terdengar dengus

yang rakus, disusul suara gedebab, semacam pelepah kelapa menimpa sesuatu.

Zulaiha terjerembab! Di punggungnya, bukan tanggung rasa panas yang menjalar.

Kepala dayung yang dihantamkan bapaknya ke tubuh Zulaiha. ”Berapa kali Bapak

katakan, kau tu tak boleh melaut. Anak jadah!”

Zulaiha bangkit ditopang derit sakit. Tapi ia tidak meringis, apalagi menangis.

Sudah berulang kali ia mengalami kejadian semacam itu. Benar, sesaat matanya
nanar, merah, dan pedih. Kepalanya sempat tersungkur ke dangkal laut. Hidung dan

mulutnya berlumpur. Tapi dengan napas tertahan, ia remas bajunya yang terbasuh

laut. Ia kibaskan lumut yang bergayut di lutut. Dan kemudian, sorot matanya tak

berkedip, begitu saksama melepas sampan membawa Nurdin dan Bapaknya berarung

ke jantung laut. Nasib belum mujur.

Tempo hari, sebenarnya Zulaiha lihai memasang akal. Ia terlebih dulu menuju

sampan. Lalu, ia benamkan tubuhnya di setumpuk jala bekas yang tertinggal di

sampan. Tentu buah dari harapan Zulaiha, bapaknya luput mengetahui

keberadaannya. Maka, ia akan turut melaut. Tapi kandas. Sebelum sampan beranjak

ke lenguh ombak, bapaknya menyuruh Nurdin mengembalikan jala koyak itu ke

rumah. Dan ketahuan. Maka tak ada keraguan, setelah Zulaiha dijinjing, sebuah

tendangan membikin Zulaiha terlentang, berlalu pulang. Nun, di dadanya membuncah

cita-cita—atau kesumat sejati yang mengilat?

Suatu hari nanti, aku akan melaut. Sendiri! Mesti sendiri!

Zulaiha betapa mencintai laut. Lumrah itu. Bukankah ia tumbuh di lingkungan

laut? Bahkan, konon, kata kerabatnya, Zulaiha lahir saat laut pasang menyeruduk

rumah mereka. Maklum, rumah rapuh mereka teronggok dekat paloh, rendam rawa di

sekitar bengkalai bakau. Nek Sakdiah, dukun beranak Mak-nya saat itu, malah

sempat memandikan Zulaiha dengan air asin. ”Baru lahir saja sudah minum laut,”

seloroh mereka. Memang, sejak kecil, tabiat Zulaiha memperlakukan laut sering

dianggap tak lazim. Iya pula, ketika beranjak tidur, Zulaiha mesti mendekap botol bir

berisi air laut. ”Mmh, ada-ada saja,” geleng tetangga berbalut geli.
Selain itu, setiap kali hatinya dicengkram kuku taring kepiluan, atau sedang

bertabur kembang sukacita, Zulaiha pun bersegera ke tepian laut. Tak siang tak

malam. Adalah bangkai dermaga kayu, tak jauh dari rumah mereka, lapak

kegemarannya. Sering ia kedapatan duduk sebatang diri di situ. Betapa lapang

Zulaiha melempar pandang ke hampar laut. Sorot matanya menyeruakkan tangan,

hendak merangkul kaki langit yang sembunyi di balik punggung laut? Sambil lalu, ia

biarkan julur ombak menggeli-geli kakinya. Baginya, lidah laut seperti belaian

beludru.

Lautkah gemulai rahim yang mendamparkanku ke dunia?

Pada lain waktu, Zulaiha sebenarnya tekun tegak dengan tubuh yang oleng. Ia

songsong geriap laut, ia hirup napas ombak, lalu rentanglah tangannya, semacam

mendekap angin beraroma garam. Erat. Rambutnya yang sebahu—berwarna senja,

kusam, dan camping—tak pernah terikat. Tergerai, berkibar diangguk-geleng angin.

Mungkin bagi Zulaiha, laut adalah pangkuan kaki yang tak pernah menendang

tangkai hidungnya. Atau laut taklah tangan yang berkali-kali mengempaskan kepal ke

dagunya yang rompal.

Lautku, lautku, ayunanku!

Zulaiha, dua belas tahun! Mengharapkan percik wajahnya mengisyaratkan

suasana hatinya adalah pekerjaan petaka. Tawanya langka, air mata tiada. Paling,

untuk menandai debar perasaan Zulaiha, tataplah lekat-lekat bundar matanya. Andai

ia sedang berbuai ria, saksikan, ada kerlip sinar di antara kedipan. Sepasang bola

matanya adalah kebeningan laut kecil yang menggelinjangkan sekawanan ikan. Dan
sebaliknya, dua matanya bak laut menanggal cahaya, berkabut pekat, jika ia sedang

diombang-ambing buih luka. Begitulah, lain kadang, matanya menyaru mata hiu.

Mata yang mati. Namun, di ngarai dadanya, dendam senantiasa sepitam arang,

bergulung, dan bersipompa.

Bernama dendam apa? Ke alamat mana?

Entahlah, Zulaiha pun lalai ingatannya, bila ia terakhir kali mengulum senyum

atau menyedak durja? Serupa dengan ketakpahamannya, mengapa sejak lahir ia

terpental dari rimbun peluk-cium orangtua, terutama bapaknya? Ia anak sulung. Tapi

itu bukan penghalang bapaknya untuk tidak menyeru Zulaiha: anak pembawa sial!

”Sudahlah perempuan, cacat pulak!” Tidak iqamat, tapi umpatan yang menyayat

telinga Zulaiha selepas lahir. Bapaknya kepingin anak laki-laki. ”Biar bisalah kubawa

melaut,” begitu alasannya. Ah, Zulaiha, lahir sebagai anak perempuan yang ranum,

kecuali kaki kanannya yang lebih pipih dari kaki kiri. Pun telapaknya mendongak.

Maka kaki kanannya cuma bertumpu pada tumit. Cecah langkahnya pun tak

sempurna.

Namun sumpah, Zulaiha tumbuh sebagai anak yang percaya diri, cekatan.

Lincah ia kian kemari meski kadang terjungkal-terbanting. Tapi bersebab perlakuan

bapaknya yang terlampau, ia berubah menjadi pendiam. Hobi bersendiri! Gemar

berendam di paloh. Pernah pun, saat berusia lima tahun, Zulaiha nyaris tertanam

perdani, pasang besar yang rutin melanda dua tahun sekali. Hendak memetik tunas

piye ia saat itu. Piye banyak tumbuh di sekitar paloh. Anak-anak perempuan sering

memetiknya untuk main masak-masakan.


Beruntung ada Dempol. Lajang sebelah rumah Zulaiha itu kebetulan sedang

membubu kepiting. Lelaki pengangguran (juga lemah mental) itulah yang susah-

upaya merebut Zulaiha dari rahang perdani. Ia juga yang membopong tubuh

Zulaiha—yang pingsan—ke rumah bidan Rasidah. Tapi jerih payah berbuah serapah.

Bukan ucapan terima kasih upah jasanya, melainkan terjang makian. ”Hah, mengapa

tak kau biarkan saja anak sialan ini hanyut, Dempol! Biar mati sekalian!” Hardikan

berkarat itu membikin Dempol terpelongo. Lajang malang itu menunduk, tak bernyali

menantang dua biji saga yang bertengger di bawah dahi bapak Zulaiha. Tajam

sekaligus mengerikan.

Tapi kengerian itu tidak lagi menggetarkan nyali Zulaiha. Ia sudah terbiasa.

Meski juga dendam tak penat-penat menggeliat, menghasut gedebar lahar yang siap

meletus. Iya, tidak sekali dua kali kelebat tangan bapaknya menggempur pipi, dada,

dan kepala Zulaiha. Hidungnya pernah meluruhkan darah usai dibentur dengan

palang pintu. Bahkan seayun tinju pernah pula menghantam rusuknya, membiru, dan

sekian senti lagi menggapai ulu hati. Bermacam-macamlah pasalnya.

Maka siapa yang kelak menuai badai dendam?

Suatu kali, kepiting rajungan tangkapan bapaknya terlepas seekor ketika

Zulaiha hendak merebusnya untuk makan malam. Asli, jangankan kebagian makan

malam, Zulaiha hanya merasakan pedas tamparan. Dan seperti biasa, demi menghalau

kepedasan, Zulaiha menggegaskan langkah pincangnya ke dermaga. Ia tinggalkan

rumah dengan mimik dingin. Lalu, begitu lekat ia menghadap raut laut. Mengadu

tanpa sedak sendu. ”Kak Zula! Dipanggil Mak! Lekas pulang!” Mungkin, kalau
bukan karena mendengar kuyup teriakan Mukhlis—adiknya yang nomor tiga, tentu ia

tahan berselimut angin laut hingga malam larut.

Laut, o, laut, pelipurku!

Ampun, punah segala kesakitan yang bersarang di tubuh Zulaiha. Bayangkan,

gara-gara salah beli rokok saja, Zulaiha harus menebus hukuman. Bapaknya

menyulut rokok, lalu memuntungkannya ke daun telinga Zulaiha. ”Bodoh kali kau ni,

Zula! Heh, anak jin laut!” Zulaiha terpuruk, menanggungkan hujat begitu saja, dan

tidak melawan sama sekali. Mak Zulaiha pun demikian sifatnya. Memilih diam atau

menangis kalau sedang menahankan perilaku kasar bapaknya. Ia istri penurut, tak ada

keberanian menunjukkan hati yang berkemelut. Tentu ia menyimpan rasa iba buat

Zulaiha. Tapi apa daya, tenaga dan nyali menjelma hampa.

Sempurna derita, takdir Zulaiha? Lalu di garis laut, lalu pada laut, Zulaiha

memulangkan kesumat hati. Tidak, ketiga adik laki-lakinya bukan muara dari

kecamuk dendamnya. Meski sejak kelahiran Nurdin, Mukhlis, dan Husen,

keberingasan bapaknya kian mengganas. Dan Zulaiha selalu menjadi sasaran.

Perlakuan bapaknya kepada Zulaiha berbanding senjang dengan ketiga adiknya.

Zulaiha tak pernah merasakan bagaimana bersekolah, seperti halnya Nurdin dan

Mukhlis. Meskipun kedua adiknya itu berhenti juga di pangkal jalan, tak sempat naik-

naikan kelas. ”Mengapa pulak kau nak sekolah, Zula! Tak ada otak kau!” Ah,

bapaknya, adakah seperti berhadapan dengan binatang?

Begitulah, bersebab adik-adiknya, Zulaiha sering pula dipaksa menelan hardik

dan tebasan kaki bapaknya. Pernah pada sebuah pagi, hari Minggu, Zulaiha mengajak
Husen ke halaman pasar. Itu pun karena Mak-nya menyuruh Zulaiha menjaga adik

bungsunya itu. Berusia tiga tahun lebih Husen saat itu. Nah, biasanya, hari itu orang-

orang kota datang bergerombol menyandang ransel berisi alat-alat pancing. Mereka

hobi memancing. Lumayan, selain untuk menghanyutkan kejenuhan bekerja selama

sepekan, untung-untung mereka pulang menggandeng ikan.

Sebelum pergi, Zulaiha berhasil menanggok sebaskom udang binje—seukuran

kelingking—di paloh. Hasil tanggok-an itulah yang dijajakan Zulaiha kepada

gerombolan pemancing. Udang-udang itu untuk umpan ikan. Kalau masih segar dan

hidup, harganya tinggi. Penjaja yang lain juga ramai. Mereka menggelar udang, sibuk

mengail minat orang-orang yang hilir mudik.

Namun, belum seorang pun yang menawar udang, mendadak bapaknya berdiri

berkacak pinggang, tepat di depan Zulaiha. Wajah bapaknya bagai laut keruh,

disepuh api, dan menggelegak! ”Anak binatang! Kau bawa rupanya si Husen, ya.

Mengapa pulak kau di sini, hah! Petentengan!”

Lalu, berduyun tempeleng mengena wajah Zulaiha, menerbitkan lemak luka.

Tapi ekspresi Zulaiha tetap setenang cuaca. Sebuah tendangan memelantingkan

baskom buram. Udang-udang berserak, menggeleparkan sisa nyawa. Ada

kelengangan yang melintas sejenak, lantas riuh kembali kelebat cerca. Bapaknya

menyeret Zulaiha pulang, tak peduli dengan Husen yang berpekik-pekik tangis di

bahunya. Orang-orang terkesima. Lipatan dahi menghimpun, menjuntaikan tanya.

Entahlah, cuaca masih cerah, tapi terasa sedang menanak amarah.

O, Dendam pun bersiasat. Tak berhenti merajut jerat?


Hmm, Zulaiha adalah kepalan baja, atau pualam siksa? Pada sebuah malam,

bapaknya sedang menyirat jala dengan cuban, alat penyulam jala. Ia biarkan Husen

tertidur pulas di pangkuannya. Ada cahaya liar menyusup dari samar lampu teplok.

Di luar, angin menderas. Nurdin dan Mukhlis asyik bergelut, sesekali terdengar

rengekan mereka. Zulaiha tergoda, turut pula menghampirkan canda. Tapi canda tak

berderai tawa, melainkan mendentangkan suara kaca. Kaki Zulaiha menyenggol gelas

kopi bapaknya. Maka tumpah, kopi pun tersisa sepertiga. Padahal baru dihidang.

Masih panas dan mengepul. Pun belum sempat diteguk.

Sudah terduga, bapaknya kalap luar biasa. Bangkit bapaknya, lalu dengan

ringan mengayunkan runcing cuban ke pelipis Zulaiha. Saat itu darah adalah air

mancur yang melimpah. Sambil memaki, bapaknya masih sempat melemparkan gelas

kopi ke kaki kanan Zulaiha. Kaki yang menanggung lara sejak lama. Zulaiha

bermimik tugu beringsut ke pintu. Lalu, ke mana lagi berlari, selain ke beranda

dermaga? ”Zula, jangan kau ke dermaga, Nak. Angin kencang, badai!” Suara Mak-

nya hanya bunyian yang tumpul. Zulaiha berwajah darah, terus menatihkan langkah.

Laut, laut, izinkan aku tidur di bilikmu malam ini.

Angin berontak. Ombak berderak. Dermaga usang berguncang. Tapi Zulaiha,

sejak lampau tak pernah menabung takut. Langit pekat. Cuaca sekarat. Udara

bertumbangan. Aroma garam bercampur anyir darah bertebar di atas kepala Zulaiha.

Bunyi petir macam suara nenek sihir. Menakutkan. Tapi Zulaiha tak kecut. Ia tegak

menghadap laut. Kilat melesatkan cahaya, seperti cambuk api yang melecut tengkuk
laut. Angin mendaki-menghempas. Rambut Zulaiha mengibas, seperti melambai apa,

atau menyahut siapa?

Laut meninggi ribuan senti. Tempiasnya mencipta hujan air garam, menguyupkan

tubuh Zulaiha yang timpang. Lalu ia tadahkan lekuk tangan ke arah laut. Aha,

Zulaiha, hendak mendekap siapa?

Tidak mendekap siapa-siapa. Malam itu, bukan dendam-kesumat yang

Zulaiha tunaikan, melainkan cita-cita: melaut sendiri, sendiri! O, tengoklah, sampan

Zulaiha adalah tubuh Zulaiha sendiri!

5. Biografi Hasan Al Banna

Hasan Al Banna, pandai fiksi kelahiran Padangsidimpuan, 3 Desember

1978. Menyelesaikan SD, MTsN, dan MAN 1 di Padangsidimpuan serta

menyelesaikan Program S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS

Universitas Negeri Medan (Unimed). Menetap di Medan bersama istrinya, Dewi

Haritsyah Pohan, seorang putri, Embun Segar Firdaus, dan seorang putra, Hang

Cendikiawan. Mulai menulis sejak bergabung dengan Teater LKK Unimed tahun

1999, antara lain tersebar di Mimbar Umum, Analisa, Waspada, Medan Bisnis,

Harian Global, Andalas, Riau Pos, Sagang, Sabili, Lampung Pos, Suara

Pembaruan, Republika, Suara Merdeka, Jurnal Nasional, Jurnal Cerpen

Indonesia, Koran Tempo, Kompas, Horison, Tapian dan Gong. Sejumlah

cerpennya terangkum dalam antologi bersama penulis lain, semacam Dari Zefir

sampai Puncak Fujiyama: Antologi 30 Terbaik Lomba Cerpen Tingkat Nasional


Festival Kreativitas Pemuda (2004), Regenerasi (2009), Juga Bob Marley dan 11

Cerpen Pilihan Siriti.com 0809 (2009). Salah satu cerpennya termaktub dalam

antologi 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 Anugrah Pena Kencana Award

(2008).

Ia pernah mengikuti Program Penulisan Esai Majelis Asia Tenggara

(MASTERA) di Banyuasin Sumatera Selatan (2004). Mengikuti Festival Puisi

Internasional di Medan (2007), Pentas Penyair se-Sumatera di Batam (2007),

Temu Sastrawan Indonesia I di Jambi (2008), Temu Sastrawan Indonesia II di

Pangkalpinang (2009), Aceh Internasional Literary Festival di Banda Aceh

(2009), Pertemuan Penyair Nusantara III di Malaysia (2009), Pertemuan Penyair

Nusantara IV di Brunei Darussalam (2010) dan Temu Sastrawan Indonesia III di

Tanjungpinang (2010).

Selain menulis, ia kerap terlibat (sebagai kru, pelakon, penulis naskah, dan

sutradara) dalam berbagai pementasan teater bersama Teater LKK Unimed,

Teater Siklus Ind. Art, Teater Patria, dan Teater Generasi, antara lain di Medan,

Banda Aceh, Padang, Pekanbaru, Lampung, Jakarta, serta Yogyakarta.

Kini bekerja di Balai Bahasa Medan, juga mantan dosen luar biasa di FBS

Universitas Negeri Medan (Unimed).

Anda mungkin juga menyukai