Anda di halaman 1dari 13

SANDI VINDIYAN JAYA KUSUMA

121914153005

UTS TEORI SASTRA 1

1. Jelaskan pemahaman Anda tentang titik-berat teori atau pendekatan mimetik,


ekspresif, pragmatik dan objektif!
a. Mimetik.
Dalam mengadakan kritik terhadap karya sastra sering orang melakukannya mengacu
kepada dunia di luar karya sastra. Wellek (1990: 329-330) adanya koherensi di dalam
karya sastra dan berdasarkan pada fakta-fakta pengalaman merupakan nilai estetis.
Adapun kematangan dalam karya sastra dapat dilihat dari kebenaran pengalaman yang
mengacu pada dunia di luar karya sastra, yang menuntut perbandingan antara sastra dan
kenyataan. Diungkapkan lebih lanjut bahwa dalam penilaian akan dikaitkan dan
didasarkan pada istilah estetika mengenai kejelasan, intensitas, perbandingan yang
berpola, keluasan dan kedalaman yang mirip dengan kehidupan. Analogi antara sastra dan
kehidupan sangat menonjol kalau diolah dengan gaya tertentu. Kritik ini diungkapkan
oleh Luxemburg (1989: 70) merupakan kriteria yang mengaitkan karya sastra dengan
kenyataan yang ditiru atau tercermin di dalamnya. Ini merupakan kriteriun realism atau
mimesis. Sebuah karya sastra dinyatakan baik bila kenyataan diungkapkan dengan tepat,
lengkap atau secara tipikal (menampilkan ciri-ciri yang khas). Bila sang kritikus
mengharapkan dari sastra supaya kenyataan diperjelas, maka kriterium ini yang
ditonjolkan. Penilaian ini mengutamakan bahwa karya sastra secara tidak langsung
memantulkan kenyataan. Sementara itu Yudiono KS (1990: 32) mengungkapkan bahwa
kritik ialah kritik yang menekankan pada ketepatan atau kebenaran karya sastra dalam
membayangkan atau melukiskan obyek yang bersangkutan. Seperti pada pandangan Plato
(Ratna, 2010: 70) bahwa karya sastra tidak dapat mewakili dunia kenyataan yang
sesungguhnya, melainkan hanyalah sebagai peniruan dari kenyataan.
b. Ekspresif.
Tidak ada seorang kritikuspun yang dapat sepenuhnya berpegang pada
generasionisme (yang menolak adanya norma estetis) atau yang sepenuhnya berpegang
pada absolutism yang gersang, dan membakukan peringkat. Seorang kritikus sering ingin
memasuki dunia pengarang dan memahami pengarang pada masa lampaunya. Nilai
estetika pada karya sastra akan dikaitkan dengan apa yang dirasakan oleh pengarang pada
saat dia menghasilkan karya sastra. Seperti diungkapkan oleh Wellek (1990: 336) Kritik
dapat menguraikan dan kritik dapat menghakimi. Hal tersebut berdasarkan kenyataan
bahwa esai yang tampaknya hanya merupakan uraian saja, pasti mengandung suatu
penilaian minimal, terutama kalau uraiannya merupakan uraian estetis. Dalam
menguraikan atau memberikan penilaian terhadap karya sastra sering meluangkan waktu
dan memberikan perhatian pada seorang penyair atau pengarang itu sudah mengandung
penilaian. Kritik ini seperti diungkapkan oleh Abrams (1976) menggunakan pendekatan
ekspresif yang menekankan pegangan penulis sebagai pencipta. Kritik ini menggunakan
pedoman bahwa karya sastra sebagai pernyataan dunia batin pengarangnya. Berbagai
polemik yang ada dalam batin pengarang terekspresi ke dalam karyanya. Semua gagasan,
ide, cita rasa, emosi merupakan dunia “dalam” pengarang dan ditampilkan ke dalam
karyanya. Menganalisis karya sastra dapat dianggap sebagai sarana untuk memahami
keadaan jiwa pengarang. Diungkapkan oleh Umry (2005) bahwa kritik ekspresif adalah
kritik yang menekankan hubungan antara karya sastra dengan pengalaman batin dan
maksud pengarang. Lebih lanjut Yudiono KS (1990: 32) secara ringkas mengungkapkan
bahwa kritik ekspresif ialah kritik yang menekankan pada hubungan antara karya sastra
dengan keadaan jiwa pengarangnya. Kriteria dalam kritik ini diungkapkan oleh
Luxemburg (1989:70) senagai kriterium ekpresivitas: sebuah karya sastra adalah baik bila
pribadi dan emosi pengarang diungkapkan dengan baik. Juga dalam kriteriun intensi:
sebuah karya sastra dikatakan baik bila intensi (maksud) pengarang diungkapkan dengan
baik atau selaras dengan norma-normanya. Bila fungsi sastra dipusatkan pada
pengungkapkan emosi, seoerti yang diungkapkan oleh kaum romantik, maka kriteria ini
sangat dipentingkan dalam menilai karya sastra.
c. Pragmatic.
Secara umum pendekatan pragmatik adalah pendekatan kritik sastra yang ingin
memperlihatkan kesan dan penerimaan pembaca terhadap karya sastra dalam zaman
ataupun sepanjang zaman. Sedangkan menurut para ahli mendefinisikan pendekatan
pragmatik adalah sebagai berikut:
1. Menurut Teeuw, 1994 teori pendekatan pragmatik adalah salah satu bagian ilmu
sastra yang merupakan pragmatik kajian sastra yang menitik beratkan dimensi pembaca
sebagai penangkap dan pemberi makna terhadap karya satra.
2. Felix Vedika ( Polandia ), pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang tak
ubahnya artefak ( benda mati ) pembacanyalah yang menghidupkan sebagai proses
konkritasi.
3. Menurut Abram (1958 : 14 – 21) pendekatan pragmatik merupakan perhatian
utama terhadap peran pembaca. Dalam kaitannya dengan salah satu teori modern yang
paling pesat perkembangannya yaitu teori resepsi.
Dengan indikator pembaca dan karya sastra, tujuan pendekatan pragmatik memberi
manfaat terhadap pembaca, pendekatan pragmatik secara keseluruhan berfungsi untuk
menopang teori resepsi, teori sastra yang memungkinkan pemahaman hakikat karya
sastra tanpa batas. Pendekatan Pragmatik memberikan perhatian utama terhadap
perananan pembaca, dalam kaitannya dengan salah satu teori modern yang paling pesat
perkembangannya, yaitu teori resepsi, pendekatan Pragmatik dipertentangkan dengan
pendekatan ekspresif. Subjek pragmatik dan subjek ekspresif sebagai pembaca dan
pengarang berbagai objek yang sama, yaitu karya sastra. Perbedaanya, pengarang
merupakan subjek pencipta, tetapi secara terus-menerus, fungsi-fungsinya dihilangkan,
bahkan pada gilirannya pengarang dimatikan. Sebaliknya, pembaca yang sama sekali
tidak tahu-menahu tentang proses kreativitas diberikan tugas utama bahkan dianggap
sebagai penulis. Pendekatan pragmatik dengan demikian memberikan perhatian pada
pergeseran dan fungsi-fungsi baru pembaca tersebut. Secara historis (Abrams, 1976:16)
pendekatan pragmatik telah ada tahun 14 SM, terkandung dalam Ars Poetica (Hoatius).
Meskipun demikian, secara teoritis dimulai dengan lahirnya strukturalisme dinamik.
Stagnasi srukturalisme memerlukan indikator lain sebagai pemicu proses estetis ,yaitu
pembaca (Mukarovsky). Pada tahap tertentu pendekatan pragmatik memiliki hubungan
yang cukup dekat dengan sosiologi, yaitu dalam pembicaraan mengenai masyarakat
pembaca. Pendekatan pragmatik memliki manfaat terhadap fungsi-fungsi karya sastra
dalam masyrakat, perkembangan dan penyebarluasannya, sehingga manfaat karya sastra
dapat dirasakan. Dengan indikator pembaca dan karya satra, tujuan pendekatan pragmatik
memberikan manfaat terhadap pembaca. Pendekatan pragmatik secara keseluruhan
berfungsi untuk menopang teori resepsi, teori sastra yang memungkinkan pemahaman
hakikat karya sastra tanpa batas.
Pendekatan pragmatik mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai
kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka
masalah-masalah yang dapat di pecahkan melalui pendekatan pragmatis, diantaranya
berbagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai
pembaca eksplisit, maupun implisit, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis.
Teori-teori postrukturalisme sebagian besar bertumpu pada kompetensi pembaca sebab
samata-semata pembacalah yang berhasil untuk mengevokasi kekayaan khazanah kultural
bangsa.
Sejarah pragmatic, pada tahun 1960 muncul dua orang tokoh ilmu sastra di Jerman
Barat kedua tokoh itu adalah Hans Robert dan Wolfgangler. Keduanya mengembangkan
ilmu sastra yang memberikan penekanan terhadap pembaca sabagai pemberi makna karya
satra. Pada tahun 1967 (Teeuw, 1984: 5) ia mengatakan bahwa penelitian sejarah di Eropa
sejak lama telah melalui jalan buntu. Hal ini karena pendekatan penulisan sejarah sastra
tidak berdasarkan situasi zaman sejak zaman Romantik, dengan adanya paham
Nasionalisme, maka pendekatan penulis sejarah sastra disejajarkan dengan sejarah
nasional, dan pendekatan lain yang tidak menghiraukan dinamika sastra terus menerus,
entah pada suatu bangsa, suatu periode, suatu angkatan dan suatu zaman. Apa yang
diterima dan dipahami oleh pembaca berpengaruh besar pada perkembangan karya sastra
selanjutnya, baik dari segi estentik maupun dari segi sejarah, dari segi estentik karya
sastra sebagai seni, pembaca akan menentukan apakah estentik yang mendasari karya
sastra diterima atau ditolak. Oleh sebab itu yang dipentingkan dalam pendekatan yang
menekankan peranan pembaca sebagai pemberi makna bukanlah atau keindahan abadi
suatu karya sastra, melainkan penerimaan karya sastra pada waktu dan tempat yang
berbeda-beda.
Tokoh utama dalam karya sastra yang menekankan peranan pembaca ialah Hans
Robert Jousz dalam makalahnya yang bejudul literature alas provocation ( sejarah sastra
sebagai tantangan). Ia melancarkan gagasan-gagasan baru yang sempat menggoncangkan
dunia. Ilmu sastra tradisional setelah memberi ringkasan mengeanai sejarah sastra antara
lain dari aliran marsisme dan formalisme. Menghilangkan faktor yang terpenting dalam
proses semiotik yang disebut kesusastraan sastra, dan sikap komunikasinya yang
mrnggambarkan hubungan dialog dan proses antara karya sastra dan pembaca. Yaitu
pembacalah yang menilai, menafsirkan, memahami dan menikmati karya sastra untuk
menentukan nasib dan peranannya dari segi sejarah dan estetis. Peneliti sejarah sastra
bertugas menelusuri resepsi karya sastra sepanjang zaman, keindahan dalah pengertian
yang bergantung pada situasi dan latar belakang sosio budaya sipembaca dan ilmu sastra
harus meneliti hal itu.
Beberapa metode pendekatan, antara lain pendekatan yang bersifat eksperimental,
melalui karya sastra yang mementingkan karya sastra yang terikat pada masa tertentu dan
ada pada golongan masyarakat tertentu.
a. Kepada pembaca, perorangan atau kelompok disajikan atau diminta pembaca karya
sastra sejumlah pertanyaan dalam teks atau angket yang berisi tentang permintaan,
tanggapan, kesan, penerimaan terhadap karya yang dibaca tersebut untuk diisi jawaban-
jawaban itu kemudian ditabulasi dan dianalisis.
b. Kepada pembaca perorangan atau kelompok, diminta pembaca karya sastra, kemudian
ia diminta untuk menginterpretasikan karya sastra tersebut. Interpretasi-interpretasi yang
dibuat tersebut dianalisis secara kualitatif untuk melihat bagaimana penerimaan atau
tanggapan terhadap karya sastra.
c. Kepada masyarakat tertentu diberikan angket untuk melihat prestasi mereka terhadap
karya sastra, misalnya melihat prestasi sekelompok kritikus terhadap kontemporer
persepsi masyarakat tertentu terhadap karya sastra daerahnya sendiri.
d. Objektif.
Suatu penilaian yang diberikan terhadap karya sastra tergantung darimana seseorang
melihat sebuah karya sastra. Hal tersebut akan mempengaruhi penilaian seseorang pada
karya sastra. Dapat juga penilaian seseorang dipengaruhi oleh pandangan seseorang
mengenai fungsi karya sastra. Seorang kritikus memberi penilaian terhadap karya sastra
tertentu akan mengambil keputusan dengan menerapkan kriteria tertentu sebagai dasar
penilaian. Pada kritik objektif ini yang dipakai sebagai criteria penilaian adalah bahwa
karya sastra merupakan karya yang otonom lepas dari pengarang dan lingkungan yang
mempengaruhinya. Karya sastra merupakan karya yang tersusun berdasarkan susunan
yang membentuknya. Nilai estetika yang diberikan kepada puisi misalnya seperti
diungkapkan oleh Wellek (1990: 324-327) bahwa semakin ketat susunan sebuah puisi,
semakin tinggi nilainya. Ini sejalan dengan pandangan kaum formalisme bahwa penilaian
dalam karya sastra dibatasi atas struktur yang sifatnya sangat kompleks sehingga
kompleksitas dalam puisi ada pada tingkat diksi, pencitraan, tema, nada, atau alur. Karya
yang paling tinggi nilainya mempunyai struktur luar yang sangat komplek. Pengukuran
sifat puitis terbatas pada bahan-bahan mentah saja, hanya pada keselarasan organ saja dan
tidak mengukur nilai puitis secara keseluruhan karya. Diungkapkan lebih lanjut bahwa
keinginan untuk mengukuhkan nilai-nilai sastra yang obyektif, bukan berarti menjanjikan
keterikatan pada suatu norma-norma yang statis. Nilai dalam karya sastra itu secara
potensial ada pada struktur sastra. Keselarasan organ dalam tubuh karya sastra misalnya
dalam prosa berkaitan dengan alur, tokoh, tema, dan latar menentukan nilai karya tersebut
Oleh Luxemburg (1989: 71) kritik ini termasuk criteria yang diarahkan kepada karya itu
sendiri. Kriteria struktur itu memperhatikan susunan keberkaitan, dan kesatuan (atau
justru terpecah-pecahnya) karya sastra. Kecenderungan untuk mengutamakan criteria ini
didukung oleh pendekatan terhadap sastra yang menitikberatkan karya sendiri, yang lebih
memperhatikan “bagaimana” nya daripada “apa”nya. Jadi yang dipakai dalam kritik
objektif adalah argumentasi struktural. Yudiono KS (1990: 32) mengungkapkan bahwa
kritik objektif berarti kritik yang menekankan pada struktur karya sastra itu sendiri
dengan kemungkinan membebaskannya dari dunia pengarang, publik pembaca, dan
situasi jaman yang melahirkan karya sastra itu (Bruce, 2013).

2. Jelaskan secara padat apa pokok-pokok pemahaman Anda tentang teori


struktural Ferdinand de Saussure!
- Struktural Ferdinand de Saussure.
Strukturalisme adalah cara berpikir yang mendasari semua pemikiran abad modern
ini, dan linguistik merupakan salah satu ilmu yang paling sistematis dalam bidang
humaniora. Kedua kegiatan itu dasar-dasarnya diletakkan oleh sarjana Swiss, Ferdinand
de Saussure, pada awal abad ke-20 dalam kuliah-kuliahnya yang berjudul Cours de
Linguistique Generale Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang
mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu
struktur yang sama dan tetap. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi
keadaan aktual objek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang
tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem
tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti
dari suatu objek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat).
Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan
studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam pendekatan ilmu-ilmu
humaniora dan alam. Akan tetapi, introduksi metode struktural dalam berbagai bidang
pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada
wilayah filosofis. Dalam konteks filosofis, strukturalisme berperan penting dalam
meramu teori-teori pengetahuan yang berpusat pada wilayah bahasa maupun budaya.
Oleh karenanya, epistemologi bahasa maupun budaya sangat inheren dalam merengkuh
nilai-nilai kemanusiaan yang tercerabut pada wilayah interdisipliner. Begitu pun, ketika
struktur pengetahuan mengupas unsur-unsur filosofis yang memanifestasikan subjek dan
objek pengetahuan, sehingga memperkuat landasan filosofis yang dibangun dalam
struktur karya maupun bahasa. Untuk itulah, ketika kita mengkaji gerakan pemikiran
filsafat, maka yang perlu dikedepankan adalah membaca pemikirannya. Sehingga,
memberikan acuan fundamental bagi kita untuk menginterpretasi gerakan pemikiran
tersebut pada wilayah struktur karya maupun bahasa. Dalam pandangan Steven Best dan
Douglas Kellner, strukturalisme merupakan konsep-konsep struktural linguistik dalam
sains manusia yang mereka gunakan untuk merekonstruksi dasar yang lebih mapan.
Levis-Strauss, misalnya, menerapkan analisis linguistik terhadap kajian sosial mitologi,
sistem kekeluargaan dan fenomena antropologis, sedangkan Lacan mengembangkan
psikoanalisa struktural dan Althusser mengembangkan Marxisme struktural. Itulah
sebabnya, kenapa strukturalis diatur oleh kode dan aturan-aturan yang tak sadar, seperti
ketika bahasa membentuk makna melalui serangkaian oposisi biner yang berbeda-beda,
atau ketika mitologi mengatur prilaku makna dan teks menurut sistem atau aturan kode.
Saussure adalah orang yang pertama kali merumuskan secara sistematis cara
menganalisa bahasa untuk memahami sistem tanda atau simbol dengan menggunakan
analisis struktural dalam kehidupan masyarakat. Saussure mengatakan bahwa linguistik
adalah ilmu yang mandiri, alasannya, karena bahan penelitiannya menggunakan bahasa
yang bersifat otonom. Bahasa, menurut Saussure, adalah sistem tanda yang paling
lengkap karena mengungkapkan gagasan struktural yang terungkap dalam sistem tanda
dan simbol tersebut. Dengan demikian, bahasa hanyalah penting dalam sistem
interdisipliner yang tercakup pada wilayah nilai dan makna sehingga memperkuat
landasan filosofis yang kita analisis. Kajian Saussure memang tak lepas dari aspek
linguistik, sehingga analisis strukturalisme yang digagasnya mempunyai relevansi dengan
sistem tanda maupun bahasa. Itulah kenapa, strukturalisme berupaya mengisolasi struktur
umum aktivitas manusia dengan mengaplikasikan analogi pertamanya dalam bidang
linguistik. Seperti diketahui, bahwa lingiustik struktural melakukan empat perubahan
dasar. Pertama, linguistik struktural bergeser dari kajian fenomena linguistik sadar ke
kajian infratuktur tak sadarnya. Kedua, linguistik struktural tidak melihat pengertian
sebagai entitas independen, dan menempatkan hubungan antar pengertian sebagai
landasan analisisnya. Ketiga, linguistik struktural memperkenalkan konsep sistem.
Keempat, berusaha menemukan sistem hukum umum. Walaupun melakukan perubahan
secara mendasar, strukturalisme yang digagas Saussure banyak mendapatkan kritik pedas
dari berbagai filosofis yang kompeten dalam bidang strukturalisme. Salah satunya adalah
Derrida yang secara tegas mengkritik landasan filosofis strukturalisme Saussure. Pertama,
ia meragukan kemungkinan hukum umum. Kedua, ia mempertanyakan oposisi antara
subjek dan objek, yang menjadi dasar diskripsi yang objektif. Menurut Derrida, diskripsi
objek tidak dapat dilepaskan dari pola hasrat subjek. Ketiga, ia mempertanyakan struktur
oposisi biner. Ia mengajak kita untuk memahami oposisi bukan dalam pengertian lain,
tetapi harus didasarkan pada pemahaman yang holistik mengenai persamaan yang
seimbang, sehingga tidak terjadi pertentangan gagasan yang hanya akan melahirkan
kejumudan dalam ranah filsafat. Namun demikian, kita harus yakin bahwa tujuan seluruh
aktivitas strukturalis, dalam bidang pemikiran maupun bahasa adalah untuk membentuk
kembali sebuah objek dan melalui proses ini, juga akan diperkenalkan aturan-aturan
fungsi dari objek tersebut. Sehingga, strukturalisme secara efektif merupakan kesan objek
(simulacrum) yang menghasilkan sesuatu yang bisa dilihat atau bahkan tidak
menghasilkan ketidakjelasan dalam objek natural. Dalam konteks inilah, strukturalisme
menekankan pada penurunan subjektivitas dan makna yanng berbeda dengan keutamaan
sistem simbol, ketidaksadaran, dan hubungan sosial.
Dalam model ini, makna bukan merupakan ciptaan dan tujuan subjek otonom
transparan yang dibentuk melalui hubungan dalam bahasa, sehingga subjektivitas dilihat
dalam konteks konstruksi sosial dan linguistik. Itulah sebabnya, kenapa parole atau
kegunaan khusus bahasa oleh subjek-subjek individual ditentukan oleh langue, atau
sistem bahasa itu sendiri. Analisis strukturalis baru dalam beberapa hal merupakan
produk perubahan linguistik yang berakar dari teori semiotika Saussure. Ia berpendapat
bahwa bahasa dapat dianalisa dalam hal hukum operasi terakhirnya, tanpa mengacu pada
sifat dan evolusi historisnya, sehingga Saussure menginterpretasikan tanda linguistik
(linguistic sign) sebagai sesuatu yang terbentuk dari dua bagian yang terkait secara
integral atau sebuah komponen akuistik-visual, tanda dan komponen konseptual, dan
petanda (signified). Maka tak berlebihan, kalau Saussure menekankan dua sifat bahasa
yang merupakan nilai terpenting dalam memahami perkembangan teori kontemporer.
Pertama, dia melihat tanda linguistik bersifat arbiter, yaitu tidak ada hubungan alamiah
antara tanda dan penanda. Kedua, dia menekankan bahwa tanda merupakan sesuatu yang
berbeda, yaitu sistem makna telah memperoleh signifikansinya. Karena di dalam bahasa,
hanya terdapat perbedaan-perbedaan "tanpa term-term positif". Berangkat dari analisis
strukturalisme di atas, gagasan yang paling mendasar dari Saussure tentang strukturalisme
adalah sebagai berikut. Pertama, diakronis dan sinkronis. Yaitu, suatu bidang ilmu yang
tidak hanya dapat dilakukan menurut perkembangannya, melainkan juga melalui struktur
yang se zaman. Kedua, langue-parole. Langue adalah penelitian bahasa yang
mengandung kaidah-kaidah dan telah menjadi konvensi. Sementara parole adalah
penelitian terhadap ujaran yang dihasilkan secara individual. Ketiga, sintagmatik dan
paradikmatik (asosiatif). Sintagmatik adalah hubungan antara unsur yang hadir dan yang
tidak hadir, dan dapat saling menggantikan karena bersifat asosiatif (sistem). Keempat,
penanda dan petanda. Saussure menampilkan tiga istilah dalam teori ini, yaitu tanda
bahasa (sign), penanda (signifier), dan petanda (signified). Menurutnya, setiap tanda
bahasa mempunyai dua sisi yang tak terpisahkan, karena masing-masing saling
membutuhkan. Dengan demikian, gagasan strukturalisme Saussure lebih menekankan
pada aspek linguistik yang berupa bahasa, sistem tanda, simbol, maupun kode dalam
bahasa itu sendiri. Sehingga tak heran, kalau Saussure dikenal sebagai bapak linguistik
yang sangat kompeten dalam menganalisis makna dibalik teks bahasa maupun simbol-
simbol yang melatarbelakanginya. Bagi banyak orang, seperti ahli antropologi Claude
Levi-Strauss, atau ahli sosiologi Pierre Bourdieu, atau ahli piskoanalisis Jacques Lacan,
seperti jugan Roland Barthers dalam kritik sastra dan semiotika, pandangan Saussure ini
membuka jalan bagi pendekatan yang lebih tajam dan sistematis terhadap ilmu-ilmu
kemanusiaan, pendekatan yang berusaha secara serius untuk memahami keunggulan
lingkup sosio-kultural pada manusia. Mungkin keberatan utama pada penerjemahan
penekanan Saussure terhadap struktur ke dalam kehidupan sosial dan kultural adalah
karena ia memberi cukup banyak kesempatan pada peranan praktek dan otonomi
individu. Upaya kebebasan manusia sebagai hasil dari kehidupan sosial. Dan bukan
sebagai asal usul atau sebab, menjadikannya di mata beberapa peneliti tampak agak
terbatas (Strukturalisme Menurut Ferdinand de Saussure Serba Ada Blog, n.d.).

3. Jelaskan secara padat apa pokok-pokok pemahaman Anda tentang substansi


teori struktural Tvezan Todorov!
- Struktural Tzvetan Todorov.
Tzvetan Todorov adalah tokoh strukturalisme kebangsaan Bulgaria. Sebagaimana
halnya Greimas, Todorov juga menaruh perhatian yang sangat besar pada aspek linguistik
atau tata bahasa di dalam telaah-telaah terhadap karya sastra. Dalam telaahnya terhadap
suatu karya, Todorov pertama-tama membagi cerita ke dalam tiga bagian (aspek):
semantik, sintaksis, dan aspek verbal. Dari ketiga aspek yang diperhatikan ini, Todorov
lebih memusatkan telaah-telaahnya terhadap aspek sintaksis yang meliputi keseluruhan
tata bentuk susunan kalimat. Perhatiannya pada aspek sintaksis ini telah diperlihatkannya
melalui sebuah analisis terhadap sebuah cerita The Decameron. Melalui analisis ini
Todorov menemukan dua unit yang sangat mendasar dari kesatuan struktur : propositions
dan sequences. Propositions merupakan bagian pokok suatu kalimat yang terdiri dari
perbuatan atau aksi yang tidak dapat dijabarkan lagi dan berlaku sebagai dasar kesatuan
suatu cerita. Sequences adalah satuan hubungan atau pertalian pernyataan yang menyusun
sesuatu yang sempurna dan cerita yang berdiri sendiri. Suatu cerita mungkin mengandung
banyak sequences, tetapi pada cerita tersebut tetap hanya ada satu sequen yang paling
penting yang sangat dominan menentukan tumbuh dan berkembangnya alur cerita. Dalam
analisisnya terhadap cerita The Decameron, Todorov mengajukan satu model analisis
linguistik dengan cara pertama-tama membagi atau memisahkan tiga aspek cerita ke
dalam aspek-aspek semantik, sintaksis dan aspek verbal. Aspek semantik yang dimaksud
adalah aspek yang biasanya kita sebut sebagai isi atau kandungan cerita; aspek verbal
adalah keseluruhan penggunaan bahasa untuk menyampaikan isi cerita; sedangkan aspek
sintaksis adalah pertalian atau hubungan antarperistiwa di dalam cerita. Dalam
analisisnya, aspek sintaksislah yang menjadi pusat perhatiannya. Sebagaimana halnya di
dalam analisis linguistik, Todorov pertamatama mencari unit atau unsur apakah yang
paling berperan untuk menyatakan asas atau ide cerita. Analogi yang digunakannya untuk
mendukung cara kerja ini adalah dengan membuat analogi analisis linguistik di mana
apsek fonem, morfem, dan lain-lain menjadi dasar analisis kebahasaan. Dalam kesatuan
sintaksis cerita, unit atau aspek yang berperanan adalah klause yang terdiri dari satu
subjek dan satu predikat. Selanjutnya, Todorov membuat analisis dengan cara
menentukan katagori primer tatabahasa cerita yang dianalisisnya, yaitu kata nama khas,
adjective dan kata kerja.
Model analisis yang digunakan Todorov ini dapat dikatakan sebagai satu model yang
memadukan beberapa aspek analisis kebahasaan dalam kerangka pemikiran struktural.
Dalam kesimpulan yang dibuatnya, Todorov mengakui bahwa katagori kebahasaannya ini
mungkin tidak dapat diterima oleh kalangan strukturalis. Walaupun demikian, Todorov
menegaskan bahwa analisisnya ini sedikitnya telah dapat memberikan gambaran tentang
ujud tata bahasa cerita, di mana di dalamnya ditemukan adanya beberapa persamaan
mendasar antar bahasa dengan cerita. Lebih jauh dikatakan bahwa kita akan memahami
cerita secara baik bila kita mengetahui bahwa watak adalah kata nama dan tindakan atau
aksi sebagai kata kerja. Selanjutnya, kita akan dapat memahami kata nama dan kata kerja
secara lebih baik bila kita memikirkan peranan yang dimainkan oleh masing-masing di
dalam cerita. Dari cara kera seperti yang dianut ini tergambarlah satu pendekatan
struktural di mana salah satu pandangannya mengatakan bahwa karya sastra adalah
manifestasi dari sifat asasi bahasa (DALAM ILMU SASTRA Oleh I Ketut Nuarca Program
Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Agustus 2017,
2017).

4. Jelaskan secara padat, apa pokok-pokok pemahaman Anda tentang substansi


teori struktur Robert Stanton!
- Struktur Robert Stanton.
Untuk memahami makna sebuah karya sastra, baik yang berbentuk prosa maupun
puisi, dapat digunakan berbagai pendekatan. Salah satu diantaranya adalah pendekatan
strukturalisme, yaitu memahami karya sastra dengan memperhitungkan struktur-struktur
atau unsur-unsur pembentuk karya sastra sebagai suatu jalinan yang utuh. Pendekatan
strukturalisme yang digunakan di dalam analisis dimaksudkan untuk membongkar dan
memaparkan secermat mungkin keterjalinan dan keterkaitan semua unsur-unsur karya
sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh (Teeuw, 1984:36).
Teori yang digunakan untuk memecahkan permasalahan penelitian ini adalah teori
Struktural Robert Stanton. Teori tersebut digunakan karena memiliki konsep-konsep yang
dapat digunakan untuk menjawab masalah-masalah yang tertera dalam rumusan masalah.
Novel merupakan gambaran dunia menurut penggarang. Di dalam novel terdapat dunia
yang diciptakan oleh penggarang melalui beberapa tokoh, beberapa konflik, hingga
penyelesaian. Penggarang secara bebas mampu membuat dunia baru di dalam novel.
Tidak jarang pengalaman-pengalaman yang dilalui selama hidup penggarang dituangkan
di dalam novel. Dunia adalah gabungan dari pengalaman-pengalaman kemanusian
penggarang yang di dalamnya terdapat fakta-fakta cerita, tema, dan sarana-sarana sastra.
Hubungan yang tidak terpisahkan ini membentuk kebersatuan dunia. Kebersatuan dunia
berlaku baik untuk karya sastra yang berupa novel maupun cerpen. Khusus untuk
menampung berbagai jenis pengalaman (Stanton, 2012:99).
Menurut Robert Stanton dalam bukunya An Introduction to Fiction (1965:11), karya
sastra terdiri atas unsur tema (theme), sarana sastra (literary devices), dan fakta cerita
(fact). Teori Stanton mengemukakan bahwa fakta cerita (fact) terdiri atas alur, latar, dan
tokoh. Ketiganya merupakan unsur fiksi yang nyata dan dapat dibayangkan peristiwanya
di dalam sebuah novel karena ketiga unsur ini sangat menonjol. Oleh karena itu,
gabungan dari ketiga unsur cerita dapat juga dikatakan sebagai struktur faktual (factual
structure) atau tahapan faktual (factual level) dari sebuah cerita. Dalam sebuah karya
fiksi, penggunaan istilah karakter biasa dikaitkan dalam dua hal, yaitu tokoh dan
penokohan atau perwatakan. Istilah karakter menunjuk pada dua pengertian. Pertama,
karakter menunjuk pada individu-individu yang ada di dalam cerita. Kedua, karakter
menunjuk pada bagaimana lukisan-lukisan watak dari para tokoh, seperti campuran antara
kepentingan-kepentingan, keinginan, perasaan, dan prinsip moral yang membuat
individu-individu itu berbeda (Stanton, 2012:33). Tokoh merupakan unsur yang penting
dalam cerita karena tokoh menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai
pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.
Kehadiran tokoh dapat menggerakan cerita secara dinamis. Fungsi tokoh adalah
menciptakan konflik dan membuat cerita seolah-olah tampak hidup (Stanton, 2012:34).
Makna sebuah nama bisa sangat jelas terasa. Pada kasus lain, bunyi yang diartikulasikan
dari nama karakter tertentu juga dapat mengarahkan kita pada sifat karakter itu seperti
nama. Bukti lain yang tidak kalah penting adalah deskripsi eksplisit dan komentar
pengarang tentang karakter bersangkutan. Deskripsi semacam ini hampir selalu
membantu kita dalam memvisualisasikan sekaligus memahami karakter tersebut (Stanton,
2012:35). Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu ‘karakter utama’ yaitu
karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Biasanya,
peristiwa-peristiwa ini menimbulkan perubahan pada diri sang karakter atau pada sikap
kita terhadap karakter tersebut (Stanton, 2012:33). Alasan seorang karakter untuk
bertindak sebagaimana yang ia lakukan dinamakan motivasi. Motivasi khusus (spesifik)
seorang karakter adalah alasan atas reaksi spontan, yang mungkin juga tidak disadari,
yang ditunjukkan oleh adegan atau dialog tertentu. Motivasi dasar adalah suatu aspek
umum dari satu karakter atau dengan kata lain hasrat dan maksud yang memandu sang
karakter dalam melewati keseluruhan cerita. Arah yang dituju oleh motivasi dasar adalah
arah tempat seluruh motivasi khusus (spesifik) bermuara (Stanton & Andretasya, 2016).
BIBLIOGRAPHY

Bruce, 2011. (2013). 済無No Title No Title. Journal of Chemical Information and

Modeling, 53(9), 1689–1699. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

DALAM ILMU SASTRA Oleh I Ketut Nuarca Program Studi Sastra Jawa Kuno
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana Agustus 2017. (2017). 1–32.

Stanton, M. R., & Andretasya, M. (2016). Sokola rimba karya butet manurung: analisis
tokoh dan motivasi karakter menurut robert stanton mentari andretasya. 1–14.

Strukturalisme Menurut Ferdinand de Saussure Serba Ada Blog. (n.d.).

Anda mungkin juga menyukai