Anda di halaman 1dari 18

Kuliah

Selasa, 14 Maret 2017

Analisis Pendekatan Mimesis Dalam Novel “Semusim,


Dan Semusim Lagi” Karya Andina Dwifatma
Analisis Pendekatan Mimesis Dalam Novel “Semusim, Dan Semusim
Lagi” Karya Andina Dwifatma
Ari Sanjaya

ABSTRAK
Kata kunci: Karya Sastra, Novel, Mimesis

Makalah ini dilatar belakangi oleh konseppendekatan mimesis dimana sebuah karya
sastra dipandang sebagai penggambaran dari keadaaan sosial dan merupakan pendekatan
yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada
pengarang dan pembaca, didalamnya banyak menceritakan tentang interaksi manusia
dengan manusia dan lingkungan. Maka, memandang karya sastra sebagai penggambaran
dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah
"kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan.

Dalam makalah ini pengumpulan serta penganalisisan data menggunakan metode


penelitian deskriptif kualitatif. Pada novelSemusim, dan Semusim lagi mengambarkan
kehidupan anak broken home yang hidup bersama Ibunya tapi kurang di perhatikan akhirnya
pergi mencari Ayahnya. Jadi, sebuah sastra dapat dikatakan sebagai cermin masyarakat atau
diasumsikan sebagai salinan kehidupan, tapi tidak seluruhnya dapat tergambar dalam sastra,
hanya gambaran masalah masyarakat secara umum yang ditinjau dari sudut lingkungan
tertentu yang terbatas.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kata kritik (critcism dalam Wallek, 1978: 21) sanggat luas dipergunakan dalam berbagai
hubungan dikalangan masyarakat dunia, seperti dilingkungan politik, pertahanan, ekonomi,
sosial-budaya, sejarah, musik, seni dan filsafat. Dalam pembicaran tentang sastra,
pemakaian istilah kritik hasrus dibatasi pada masalah kritik sastra. Rene wallek lebih lanjut
menjelaskan bahwa istilah kritik mempunyai bentuk criticsm, critica, la critique yang
ketiganya mempunyai perbedaan nuansa makna yang relatif kecil.

Kata kritik beras dari bahasa Yunani, yakni dari kata krinein, yang
berarti‘menghakimi’,’membanding’, atau ’menimbang’. Kata krinein menjadi pangkal atau
asal kata kriterion, yang berarti ‘dasar penimbangan’, atau ‘dasar penghakiman. Orang yang
melakukan penimbangan atau penghakiman disebut krites yang berarti “seorang hakim”,
dan kritikos (dalam bahasa Indonesia kritikus) berarti ‘hakim kesusastraan’.

‘Kritik sastra adalah salah satu jenis esai, yaitu pertimbangan baik atau buruk sesuatu
hasil kesusastraan. Pertimbangan itu tentu dengan memberikan alasan - alasan mengenai isi
dan bentuk hasil kesusastraan. Seorang kritikus adalah seorang pengkritik atau penimbang
ialah orang yang berperan sebagai perantara antara si pencipta dan orang banyak’.(H.B.
Jasin, dalam Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung, cetakan keenam). Serupa
dengan pendapat H.B. Jasin, “kritik sastra adalah penghakiman yang dilakukan oleh
seseorang yang ahli atau memiliki sesuatu kepandaian khusus untuk membedah karya sastra,
memeriksa karya sastra mengenai kebaikan - kebaikan dan cacat - cacatnya, dan
menyatakan pendapatnya tentang hal itu.”(Hudson, 1955 dalam An Indroduction to the
Study of Literature. London;(Harrap & Co.). Jadi kritik sastra dianggap sebagai ilmu yang
dimiliki seseorang untuk membedah sebuh karya sastra, melihat kekurangan dan kelebihan
karya sastra tersebut, kemudian memberikan pendapatnya atas karya tersebut.

Berdasarkan bentuknya kritik sastra dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu: (a) kritik
teoritis, dan (b) kritik praktik atau kritik terapan. Kritik teoritis merupakan dasar-dasar
untuk dapat mengkritik karya sastra; berwujud wawasan, konsep, asas-asas, hukum-
hukum,atau kaidah-kaidah kritik sastra.sedangkan kritik praktik atau terapan merupakan
kritik sastra yang menerapkan teori kritik pada karya sastra atau pada sastrawan tertentu
atau pembicaraan konkret tentang karya sastra dan atau sastrawannya. Praktik kritik sastra
bukan lagi berupa konsep atau kaidah-kaidah kritik sastra, melainkan sudah merupakan
penerapan (aplikasi, implementasi) dari kritik sastra. Dalam praktik kritik sastra ini dapat
merupakan telaah, kajian, bahasan, ulasan tentang novel, cerpen, puisi, drama, atau ulasan
tentang sastrawan dan karyanya.

Berdasarkan metode penerapannya kritik sastra dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu
(a) kritik judisial, (b) kritik induktif dan (c) kritik impersonistik (Hudson, 1955: 270-271 ;
Abrams, 1981:35-37). Kritik judisial merupakan kritik sastra yang berusaha menganalisis dan
menerangkan efek-efek karya sastra berdasarkan pokoknya, organisasinya, tekniknya,
gayanya, dan mendasarkan pada pertimbangan individual kritikus atas dasar standar-standar
umum tentang kehebatan dan keluarbiasaan sastra, tujuan dari kritik judisial adalah
penghakiman terhadap karya sastra berdasarkan standar atau norma yang telah ditentukan
sebelumnya. Dalam kritik induktif lebih berusaha menguraikan bagiann-bagian atau unsur-
unsur karya sastra berdasarkan fenomena-fenomena secara objektif dalam teks itu sendiri
tanpa menggunakan standar -standar umum yang ditetapkan diluar dirinya, baru kemudian
berdasrkan hasil analisis tersebut mulai disusun pedoman atau metode kritiknya. Sedangkan
dalam kritik impersonik berusaha mengambarkan sifat -sifat umum yang terasa dalam
bagian-bagian khusus karya sastra dan menyatakan tanggapan yang ditimbulkan secara
langsung. Kritik impersonik disebut pula sebagai “kritik estetik” karena hanya memberi
gambaran kesan-kesan pokok untuk mengagumkan pembaca, untuk menimbulkan kesan-
kesan indah pada pembaca ( Eliot).

Berdasarkan pendekatan tertentu pada atas kritik sastra yaitu: a)kritik Ilmiah, b)kritik
estetik dan yang terkahir kritik sosial. Membahas ragam sastra ini, a)kritik ilmiah kritik
ilmiah disini melakukan studi sastra menggunakan pendekatan keilmuan tertentu.
Penguiannya dapat ditelusuri melalui wawasa, konsep teoretisnya, sistematika penyajian
metode dan tekniknya dan analisis kritisnya. b) kritik estetik kritik estetis disini merupkan
studi satsra melalui pendekatan kaidah-kaidah keindahan atau esteteis. Kritik ini berusaha
mengungkapkan keindahan pada karya sastra sehingga timbul kekaguman pembaca terhadap
karya sastra tersebut. c) kritik social kritik ini menggunakan pendekatan social. Dimana
Plato adalah pencetus kritik ini, dia menganggap bahwa karya sastra juga merupakan
cerminan kehidupan social (kritik mimesis).

Berdasarkan orientasinya, dapat juga dipahami sebagai pendekatan yakni pandangan


awal seorang kritikus terhadap karya sastra yang dapat digunakan sebagai pijakan dalam
memilih teori, menerapkan metode, dan penilaiannya. Dibagi menjadi empat, yakni
:a).Kritik pragmatik berusaha menerangkan manfaat karya sastra bagi pembaca antara lain
manfaat pendidikan, kepekaan batin atau sosial, menambah wawasan dan manfaat
pengembangan kepribadian bagi pembaca (Suroso, dkk, 2009 :24). Berkembang pada
angkatan Pujangga Baru. b). Kritik ekspresif, memandang karya sastra terutama
hubungannya dengan penulis sendiri. Kritik ini mendefinisikan karya sastra sebagai sebuah
ekspresi dari pengarang. Sehingga pengarang dalam kritik ini memiliki posisi yang sangat
penting dalam karya sastra. c). Kritik objektif, memisahkan karya sastra dengan pengarang,
pembaca, dan dunia sekelilingnya. Kritik ini menganalisis karya sastra sebagai sebuah dunia
dalam dirinya yang harus ditimbang yakni unsur-unsur yang ada dalam karya sastra itu
sendiri. d). Kritik mimetik, menekankan perhatian dan analisisnya pada ketepatan karya
sastra dengan objek yang dilukiskan. Kritik mimetik mendasarkan pemahaman bahwa karya
sastra ialah tiruan, pencerminan dan penggambaran dunia dalam kehidupan manusia, serta
keriteria utama yang dikenalkan pada karya sastra ialah kebenaran dalam menggambarkan
objek di sekelilingnya. Berkembang pada angkatan ’45.

Dalam makalah ini saya akan mencoba mendalami kritik mimesis, yang menganggap
sebuah karya sastra dipandang sebagai tiruan dalam kehidupan manusia dan bagaimana
penerapan kritik mimesis ini pada karya sastra, khususnya pada novel Semusim, dan
Semusim lagi karya Andina Dwifatma, agar tidak rumit judul novel saya singkat dengan SDSL

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penerapan kritik mimesis pada novel Semusim, dan Semusim lagi karya Andina
Dwifatma?

C. Tujuan
Untuk bagaimana penerpan kritik mimesis ini dalam novel Semusim, dan Semusim
lagi karya Andina Dwifatma

D. Manfaat

Bagi pembaca : agar mengetahui lebih lanjut tentang kritik mimesis dan penerapannya
dalam sebuah karya sastra

Bagi penulis : lebih memperdalam pemahaman tentang kritik sastra mimesis dan cara
penerapannya.

BAB II

KERANGKA TEORI
Pandangan pendekatan mimetik ini adalah adanya anggapan bahwa puisi merupakan
tiruan alam atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia di semesta raya ini. Sasaran
yang dieliti adalah sejauh mana puisi merepresentasikan dunia nyata atau sernesta dan
kemungkinan adanya intelektualitas dengan karya lain. Hubungan antara kenyataan dan
rekaan dalam sastra adalah hubungan dialektis atau bertangga. Mimesis tidak mungkin tanpa
kreasi, tetapi kreasi tidak mungkin tanpa mimesis. Takaran dan perkaitan antara keduanya
dapat berbeda menurut kebudayaannya, Menurut jenis sastra. Zaman kepribadian
pengarang, tetapi yang satu tanpa yang lain tidak mungkin dan, catatan terakhir perpaduan
antara kreasi dan mimesis tidak hanya berlaku dan benar untuk penulis sastra. Tak kurang
pentingnya untuk pembaca, dia pun harus sadar bahwa menyambut karya sastra
mengharuskan dia untuk memadukan aktivitas mimetik dengan kreatif mereka. Pemberian
makna pada karya sastra berarti perjalanan bolak-balik yang tak berakhir antara dua
kenyataan dan dunia khayalan. Karya sastra yang dilepaskan dan kenyataan kehilangan
sesuatu yang hakiki, yaitu pelibatan pembaca dalam eksistensi selaku manusia. Pembaca
sastra yang kehilangan daya imajinasi meniadakan sesuatu yang tak kurang esensial bagi
manusia, yaitu alternatif terhadap eksistensi yang ada dengan segala keserbakekurangannya
atau lebih sederhana berkat seni, sastra khususnya, manusia dapat hidup dalam perpaduan
antara kenyataan dan impian, yang kedua-duanya hakiki untuk kita sebagai manusia.

Pandangan Plato mengenai mimesis sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai


konsep ide-ide yang kemudian mempengaruhi bagaimana pandangannya mengenai seni.
Plato menganggap ide yang dimiliki manusia terhadap suatu hal merupakan sesuatu yang
sempurna dan tidak dapat berubah. Ide merupakan dunia ideal yang terdapat pada manusia.
Ide oleh manusia hanya dapat diketahui melalui rasio, tidak mungkin untuk dilihat atau
disentuh dengan panca indra. Ide bagi Plato adalah hal yang tetap atau tidak dapat berubah,
misalnya ide mengenai bentuk segitiga, ia hanya satu tetapi dapat ditransformasikan dalam
bentuk segitiga yang terbuat dan kayu dengan jumlah lebih dan satu idea mengenai segitiga
tersebut tidak dapat berubah tetapi segitiga yang terbuat dan kayu bisa berubah (Bertnens
l979:13).

Berdasarkan pandangan Plato mengenai konsep Idea tersebut, Plato sangat


memandang rendah seniman dan penyair dalam bukunya yang berjudul Republik bagian
kesepuluh. Bahkan ia mengusir seniman dan sastrawan dan negerinya. Karena menganggap
seniman dan sastrawan tidak berguna bagi Athena, mereka dianggap hanya akan
meninggikan nafsu dan emosi saja. Pandangan tersebut muncul karena mimesis yang
dilakukan oleh seniman dan sastrawan hanya akan menghasilkan khayalan tentang
kenyataan dan tetap jauh dan ‘kebenaran’. Seluruh barang yang dihasilkan manusia menurut
Plato hanya merupakan duplikat dari ide, sehingga hal tersebut tidak akan pernah
sesempurna bentuk aslinya (dalam ide-ide mengenai barang tersebut). Sekalipun begitu bagi
Plato seorang tukang lebih mulia dan pada seniman atau penyair. Seorang tukang yang
membuat kursi, meja, lemari dan lain sebagainya mampu menghadirkan Idea ke dalam
bentuk yang dapat disentuh panca indra, sedangkan penyair dan seniman hanya menjiplak
kenyataan yang dapat disentuh panca indra (seperti yang dihasilkan tukang), mereka oleh
Plato hanya dianggap menjiplak dan jiplakan (Luxemberg:16).

Menurut Plato mimesis hanya terikat pada ide pendekatan. Tidak pernah
menghasilkan kopi sungguhan, mimesis hanya mampu menyarankan tataran yang lebih
tinggi. Mimesis yang dilakukan oleh seniman dan sastrawan tidak mungkin mengacu secara
langsung terhadap dunia ideal. (Teew.1984:220). Hal itu disebabkan pandangan Plato bahwa
seni dan sastra hanya mengacu kepada sesuatu yang ada secara faktual seperti yang telah
disebutkan di muka. Bahkan seperti yang telah dijelaskan di muka. Plato mengatakan bila
seni hanya menimbulkan nafsu karena cenderung menghimbau emosi, bukan rasio (Teew.
1984:221)

Aristoteles adalah seorang pelopor penentangan pandangan Plato tentang mimetik


yang berarti juga menentang pandangan rendah Plato terhadap seni. Apabila Plato
beranggapan bahwa seni hanya merendahkan manusia karena menghimbau nafsu dan emosi,
Aristoteles justru menganggap seni sebagai sesuatu yang bisa meninggikan akal budi. “Bila
Aristoteles memandang seni sebagai katharsis, penyucian terhadap jiwa. Karya seni oleh
Aristoteles dianggap menimbulkan kekhawatiran dan rasa khas kasihan yang dapat
membebaskan dari nafsu rendah penikmatnya” (Teew, 1984: 221).

Aristoteles menganggap seniman dan sastrawan yang melakukan mimetik tidak


semata-mata menjiplak kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan
kebaruan. Seniman dan sastrawan menghasilkan suatu bentuk baru dari kenyataan indrawi
yang diperolehnya. Dalam bukunya yang berjudul Poetica, Aristoteles mengemukakakan
bahwa sastra bukancopy (sebagaimana uraian Plato) melainkan suatu ungkapan mengenai
“universalia” (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang menampakkan diri kacau balau
seorang seniman atau penyair memilih beberapa unsur untuk kemudian diciptakan kembali
menjadi ‘kodrat manusia yang abadi’, kebenaran yang universal. Itulah yang membuat
Aristoteles dengan keras berpendapat bahwa seniman dan sastrawan jauh lebih tingi dari
tukang kayu dan tukang-tukang lainnya (Luxemberg, 1989: 17).

Pandangan positif Aristoteles terhadap seni dan mimetik dipengaruhi oleh


pemikirannya terhadap ‘ada’ dan ide-ide. Aristoteles menganggap ide-ide manusia bukan
sebagai kenyataan. Jika Plato beranggapan bahwa hanya ide-lah yang tidak dapat berubah,
Aristoteles justru mengatakan bahwa yang tidak dapat berubah (tetap) adalah benda-benda
jasmani itu sendiri. Benda jasmani oleh Aristoteles diklasifikasikan ke dalam dua kategori,
bentuk dan kategori. Bentuk adalah wujud suatu hal, sedangkan materi adalah bahan untuk
membuat bentuk tersebut, dengan kata lain bentuk dan meteri adalah suatu kesatuan
(Bertens, 1979: 13).

Mimetik yang menjadi pandangan Plato dan Aristoteles saat ini telah
ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk teori estetika (filsafat keindahan) dengan
berbagai pengembangan di dalamnya. Pada zaman Renaissaince pandangan Plato dan
Aristoteles mengenai mimetik saat ini telah dipengaruhi oleh pandangan Plotinis, seorang
filsuf Yunani pada abad ke-3 Masehi. Mimetik tidak lagi diartikan suatu pencerminan tentang
kenyataan indrawi, tetapi merupakan pencerminan langsung terhadap ide. Berdasarkan
pandangan di atas, dapat diasumsikan bahwa susunan kata dalam teks sastra tidak meng-
copy secara dangkal dari kenyataan indrawi yang diterima penyair, tetapi mencerminkan
kenyataan hakiki yang lebih luhur. Melalui pencerminan tersebut kenyataan indrawi dapat
disentuh dengan dimensi lain yang lebih luhur (Luxemberg, 1989: 18).

Konsep mimetik zaman reanaissance tersebut kemudian tergeser pada


zamanromantic. Aliran romantic justru memperhatikan kembali yang aneh-aneh, tidak riil
dan tidak masuk akal. Apakah dalam sebuah karya seni dan sastra mencerminkan kembali
realitas indrawi tidak diutamakan lagi. Sastra dan seni tidak hanya menciptakan kembali
kenyataan indrawi, tetapi juga menciptakan bagan mengenai kenyataan.
Kaum romantic lebih memperhatikan sesuati dibalik mimetik, misalnya persoalan plot
dalam drama. Plot atau alur drama bukan suatu urutan peristiwa saja, melainkan juga
dipandang sebagai kesatuan organik dan karena itulah drama memaparkan suatu pengertian
mengenai perbuatan-perbuatan manusia (Luxemberg, 1989: 18).

BAB III
METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam menganalisis karya sastra novel Semusim, dan Semusim
lagi karya Andina Dwifatma. Pada metode ini sebenanya mencangkup tahap pengumpulan
data sampai pada tahapan penganalisisan data. Metode deskriptif kualitatif yaitu metode
yang digunakan untuk memaparkan (mendeskripsi) informasi tertentu, suatu gejala,
peristiwa, kejadian sebagaimana adanya

1. Pengumpulan Data
Data yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah novel Semusim, dan Semusim
lagi karya Andina Dwifatma?

Sedangkan, sumber data yang dikumpulkan dalam menganalisis novel ini diambil dari
beberapa situs internet dan buku.

2. Analisis Data
Dalam menganalisis data, maka ada beberapa prosedur yang akan digunakan diantaranya
yaitu mengdentifikasi data, mengklasifikasi data, dan menginterpretasi data.
1) Identifikasi Data
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam tahap identifikasi data adalah sebagai
berikut :
a. Memasukkan data yang penting dan benar-benar dibutuhkan;
b. Hanya memasukkan data yang bersifat objektif; dan
c. Hanya memasukkan data yang outentik.

2) Klasifikasi Data

Pengklasifikasian data yaitu penggolongan aneka ragam data itu ke dalam kategori-
kategori yang jumlahnya terbatas.

3) Interpretasi Data
Dalam menginterpretasi data ini merupakan acuan penarikan kesimpulan, menggunakan
pola pemikiran untuk mengambil kesimpulan tentang pengkajian
pendekatan mimesis sastra dalam novelSemusim, dan Semusim lagi karya Andina
Dwifatma.

BAB III

PENERAPAN

Dalam novel Semusim, dan Semusim lagi karya Andina Dwifatma ini berlatar belakang
keluarga broken home, mencerminakan kehidupan dari anak yang broken home, meraka
kurang kasih sayang dari kedua orangtuanya, rentan menderita gangguan psikis, membenci
orangtuanya, permasalahan moral, mudah mendapat pengaruh buruk dari lingkungan, tidak
mudah bergaul, kedangkalan spiritual, sering terabaikan, dan lebih senang menyendiri.
Kekurangan kasih sayang dari orang tua.

Orangtua hendaknya memberikan kasih sayang dan perhatian pada anaknya, tapi tidak
bagi anak broken home, anak korban broken home lebih sering terabaikan, apalagi bila orang
tua yang mengasuhnya sanggat sibuk dengan urusan pekerjaan.

“Selama tujuh belas tahun hidup bersama, kami memang hanya bicara
seperlunya. Ibuku seorang dokter bedah otak, dan intensitas pekerjaannya
membuatku takjub pada betapa banyaknya penduduk kota ini yang otaknya perlu
diperbaiki. Ibu sangat jarang berada di rumah. Dan jika ia ada dirumah, ia akan
menghabiskan sebagian besar waktunya di kamar. Kami hanya berpapasan dalam
perjalanan menuju meja makan, atau kamar mandi, atau garasi, bertukar senyum
canggung lantas menghilang, asyik dengan dunia masing-masing”

Dari kutipan novel diatas kita bisa tahu bahwa betapa minimnya perhatian yang
diberikan orang tua kepada anak broken home, tanpa kehadiran sang ayah. Ibu yang
mustinya berperan ganda sebagai ayah sekaligus ibu, dalam kutipan diatas pun ibunya
seperti sangat acuh kepada tokoh Aku, ini begitu mencerminkan kehidupan nyata anak
broken home.

Rentan Menderita Gangguan Psikis

Akibat seringkali berada dalam tekanan, kondisi psikis anak juga kerapkali mengalami
gangguan. Seperti ia selalu cemas, mengalami ketakutan, merasa serba salah dan terjepit
diantara kedua orang tuanya, sering berimajinasi, selalu bersedih dan murung.

Berikut kutipan yang saya temukan sebagai bukti gambaran gaguan psikis yang di alami
tokoh aku dalam novel SDSL.

“”Aku tidak jadi hamil”

“Begitu”.

“Aku tidak jadi mengandung anakmu”

“Hmm.”

“Kamu membenciku?”

“Untuk apa?”

“Aku menusukmu”

Muara tertawa
“Aku menusukmu dileher”

Muara tertawa lebih keras

“Aku menusukmu dileher empat kali”

Lalu sesuatu yang aneh terjadi.Semakin kencang muara tertawa, semakin


besar kepalanya, semakin berubah bentuknya. Menjadi kepala ikan. Lalu badan
muara berubah.Kaus putih dan celana jinsnya menjadi oranye, dan tumbuh sisik
di badannya. Tanggan menjelma menjadi sepasang sirip. Sepatu bot
kebanggaannya hilang menjadi ekor.Detik demi detik aku menyadari Muara
berubah menjadi Sobron.

Dari kutipan diatas dapat kita ketahui bahwa tokoh Aku dalam novel SDSL sedang
mengalami gangguan psikis, tokoh Aku dalam novel SDSL sering berimajinasi tentang tokoh
Sobron yang merupakan ikan mas koki yang diimajinasikan dalam bentuk sekuran manusia
dan bisa berbicara.

Permasalahan Moral

Kenakalan remaja merupakan tindakan pelanggaran peraturan atau hukum yang


dilakukan oleh anak dibawah usia 18 tahun. Perilaku yang ditampilkan dapat bermacam-
macam, mulai dari kenakalan yang ringan seperti membolos sekolah, melanggar peraturan-
peraturan sekolah, melanggar jam malam yang orang tua berikan, hingga kenakalan berat
seperti vandalisme, perkelahian antar genk, penggunaan obat-obatan terlarang, dan
sebagainya.

Berikut kutipan yang mencerminkan permasalahan moraldalam novel SDSL:

“”...(ia menyebut namaku), berapa umurmu?Polisi tua bertanya sambil memilin-milin


kumisnya. Aku menjawab: tujuh belas tahun.

“kasusnya pembunuhan, benar?””

Kutipan diatas merupakn kutipan introspeksi Polisi kepada tokoh aku disebabkan ia
menjadi tersangka kasus percobaan pembuhunan terhadap temannya, atau lebih tepatnya
kekasih dalam anggapanya sendiri. Sekarang ini sering kita lihat ditv, diberbagai daerah
terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh anak dibawah umur atau remaja, ini disebabkan
kurang pengawan oleh orangtua, atau bisa jadi anak dari korban broken home yang
terabaikan, kutipan diatas dapat dipandang sebagai cermin moral remaja yang broken home
dalam kehidupan nyata.

Mudah Mendapat Pengaruh Buruk dari Lingkungan


Saat rumah tidak lagi terasa nyaman, seorang anak akan berusaha mencari tempat lain
untuk saling berbagi maupun menghibur diri. Pada kondisi seperti ini, biasanya lingkungan
teman sepermainan sering menjadi tujuan mereka. Dan jika lingkungan tersebut tidak baik,
maka akan sangat mudah bagi seorang anak untuk terpengaruh hal-hal yang
menyimpang. Misalnya mulai mencoba merokok, berjudi, minum-minuman keras,
penyalahgunaan obat-obatan terlarang, bahkan menjajal seks bebas atau pergi ke tempat
pelacuran sebagai pelarian baginya untuk mendapat kebahagiaan.

Kutipan berikut merupakan percakapan tokoh “Aku” dan J.J Hendri(teman Ayahnya), J.J
Henri pada percakapan dibawah tenggah mengajari tokoh “Aku” minum bir. Berikut
kutipannya :

“”Bagaimana rasanya?”

“enak,” dustaku.

“Jangan bilang siapa-siapa soal malam ini.”

Aku mengangguk, lalu tersenyum.Tiba-tiba aku sadar bahwa malam ini yang
kubutuhkan hanyalah seorang teman, dan J.J Henri ada disebelahku, sama-sama
menenggak bir dingin dari kalengnya

Dari kutipan diatas dapat dipahami, betapa mudahnya anak terpengaruh oleh
lingkungan, orangtua yang harusnya menjadi teman sealigus tempat membagi cerita,
tak pernah ada. Alhasil orang terdekat lainlah yang menjadi teman sekaligus panutan.

Tidak Mudah Bergaul

anak dari keluarga broken home juga tidak sedikit yang cenderung lebih menutup diri. Anak-
anak tersebut cenderung marik diri dari pergaulan karena merasa rendah diri. Dengan
kurangnya perhatian dari orang tua, ia menjadi tidak terbiasa untuk mengekpos diri atau
sekedar berbagi cerita, sehingga ia akan merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekitar. Selanjutnya ia akan menjadi takut untuk mengenal orang lain. Sebab
lain ialah ia akan malu serta minder jika teman-temannya tahu keadaan keluarganya yang
berantakan, ia juga khawatir jika nantinya mereka akan menjauh dan mengucilkannya.

Berikut kutipan pada novel yang mencerminkan keminderan tokoh “Aku” :

Semuanya mengesalkan, tapi dengan kadar berbeda-beda. Jauh


dilubuk hati aku tak ingin mereka datang, aku ingin semua orang
meninggalkanku sendirian.

Kutipan diatas dapat mencerminkan seikap sehari-hari anak broken home yang
lebih nyaman hidup sendirian, atau lebih tertutup.
Kedangkalan Spiritual

Penanaman pondasi agama akan baik jika dimulai sejak masih anak-anak, tetapi pada
keluarga broken home anak-anak tersebut seringkali kehilangan kesempatan itu. Orang tua
yang seharusnya menjadi sekolah agama pertama bagi mereka ternyata tidak menjalankan
peran mereka sebagaimana mestinya. Sehingga karena anak-anak tersebut tidak dibekali
dengan nilai-nilai agama yang kokoh, maka akan sangat mungkin jika nantinya mereka akan
kesulitan dalam menyikapi berbagai permasalahan akibat tidak dipunyainya pedoman hidup
yang bisa mengarahkan.

Berikut kutipan dalam novel yang menujukkan kekurangan spiritual yang terjadi pada tokoh
“Aku”

“Nenek Tina terkikik. Susuter Fat menenangkan Bu Berta sembari


tertanya padaku,

“Nak apa agamamu?”

Aku menggeleng

“Kamu tak percaya Tuhan?”

“Kadang-kadang””

Pada kutipan diatas kita bisa lihat tokoh “Aku” dalam novel SDSL seperti tak memeliki
agama, ini disebabkan kurangnya didikan yang diberikan orangtua, berikut kutipan lagi yang
dapat memnambah bukti:

Itulah yang kubaca disalah satu kitab suci. Mama tak pernah
mengajarkan agama apa pun padaku jadi aku mempelajarinya sendiri,
tanpa benar-benar menjadi pemeluk salah satu.

Kutipan diatas sangat mencerminkan pemikiran tokoh “Aku” yang mungkin benar-benar
tidak memiliki agama, ini seperti cerminan anak broken home pada dunia nyata yang bahkan
mereka tak tahu apa agama yang mereka anut.
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Teori mimetik merupakan teori yang dipelopori oleh Plato dan Aristoteles.
Aristoteles adalah murid dari Plato, namun cara pandang Plato dan Aristoteles dalam
memandang karya sastra berbeda. Teori mimetik adalah teori sastra yang melihat karya
sastra sebagai cerminan dari kehidupan dunia nyata.

Dalam menganalisis karya sastra, teori mimetik dilakukan dengan empat langkah kerja,
yaitu: mengidentifikasi aspek sosial yang ada dalam karya sastra, menganalisis aspek sosial
dalam karya sastra, membuktikan aspek sosial dalam karya sastra dari dengan menggunakan
teks sastra, dan menemukan hubungan aspek sosial dalam karya sastra dengan aspek sosial
yang ada dalam kehidupan nyata.

Dalam novel SDSL dapat di pandang sebagai cerminan umum anak yang mengalami
broken home dikarenakan orang tuanya bercerai, mereka cenderung tetetutup pada orang
lain, dan mudah terpengaruh pergaulan. Meskipun tinggal dengan ibunya tapi belum tentu
ibu tersebut memberi perhatian dan kasih sayang penuh pada anaknya, sebab seorang ibu
harus bekerja demi memenuhi kebutuhan anaknya tersebut.

Daftar Pustaka
Endraswara, Suwandi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:CAPS

Teew, A. 2013. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: PT Pustaka Jaya

Sutejo. 2014. Apresiasi Puisi. Yogyakarta: TERAKATA


Sinopsis
Tokoh ‘aku’ merupakan seorang perempuan remaja yang baru saja lulus SMA dan
bercita-cita menjadi seorang ahli sejarah. Pada suatu hari, ia mendapat surat dari sahabat
ayahnya, J.J. Henry, yang mengabarkan bahwa ayahnya sakit parah. Seumur hidup, tokoh
ini belum pernah mengenal ayahnya. Selama ini tokoh ‘aku’ hanya hidup berdua dengan
ibunya yang sangat dingin dan kaku. Akhirnya tokoh ‘aku’ memutuskan untuk pergi ke Kota
‘S’ untuk menemui ayahnya, tetapi karena ayahnya sakit begitu parah, mereka tidak bisa
bertemu. Ia hanya bisa tinggal di rumah ayahnya di Kota ‘S’ sampai kondisi ayahnya membaik
tanpa bisa menemuinya di rumah sakit. Ini yang membuat saya sedikit bingung. Sesakit apa
seseorang sampai ia tidak dapat dijenguk? Mengapa J.J. Henry dapat menjenguk tapi ia
tidak?

Dalam penantian untuk dapat bertemu ayahnya ini, tokoh ‘aku’ bertemu dan jatuh cinta
pada Muara, putra J.J. Henry. Konflik mulai bermunculan sampai akhirnya tokoh ‘aku’
mencoba membunuh Muara dengan bantuan Sobron, seekor ikan mas koki. Akhiranya tokoh
“Aku” ditahan polisi, sampai akhirnya masuk Rumah Sakit Jiwa, sebab tokoh “Aku” dianggap
gila, dan di Rumah Sakit Jiwa ia akhirnya bertemu dengan Ayahnya.

Biografi
Andina Dwifatma adalah staf pengajar di Program Studi Komunikasi, Universitas Katolik
Indonesia, Atma Jaya, Jakarta. Saat ini Kak Andina, begitu biasa mahasiswa menyapanya,
mengajar mata kuliah Azas-Azas Manajemen. Selain itu Ia juga aktif sebagai jurnalis. Berikut
biodata Andina Dwifatma:

Andina Dwifatma, S.I.Kom, lahir di Jakarta, 15 September 1986. Lulus dari FISIP Jurusan
Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, Semarang, pada 2009. Sejak 2010 bekerja di
Kompas Gramedia sebagai wartawan dan memenangkan penghargaan jurnalistik Anugrah
Adiwarta pada 2011. Bukunya yang sudah terbit: biografi cendekiawan muslim Azyumardi
Azra Cerita Azra (2011), dan novel pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian
Jakarta 2012, Semusim, dan Semusim Lagi (2013). Saat ini sedang menyelesaikan pendidikan
pascasarjana di Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Jakarta. Kontak
via email diandinadwifatma@gmail.com dan Twitter @andinadwifatma.

ken sanjaya di 01.50


Berbagi

Tidak ada komentar:


Posting Komentar



Beranda

Lihat versi web


Mengenai Saya

ken sanjaya
Lihat profil lengkapku
Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai