Anda di halaman 1dari 14

Bidang Ilmu Sastra

Ilmu sastra mencakup tiga bidang, yaitu teori sastra,


sejarah sastra, dan kritik sastra.

1. Teori sastra adalah cabang ilmu sastra yang


mempelajari teori kesusastraan, meliputi latar
belakang sastra, istilah-istilah sastra, konsep
(pengertian-pengertian) sastra, prinsip-prinsip
(dasar-dasar) umum sastra, bermacam-macam
gaya, komposisi, genre (jenis-jenis),
pendekatan, dan sebagainya.
2. Sejarah sastra adalah cabang ilmu sastra yang
mempelajari atau menyusun perkembangan
sastra dari awal hingga yang terakhir,
mencakup sejarah lahirnya karya sastra, jenis-
jenis sastra, perkembangan gaya, maslaah
periodisasi (pembabakan) sastra, kronologi
dan dialektika peristiwa-peristiwa sastra,
perkembangan pemikiran manusia yang
mengemuka dalam karya sastra,
perkembangan aliran-aliran dalam sastra dan
sebagainya.
3. Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang
mempelajari (menelaah) karya sastra dengan
langsung memberikan pertimbangan baik dan
buruk, kekurangan dan kelebihan, atau
bernilai tidaknya sebuah karya sastra.

Tiga bidang ilmu sastra tersebut saling berkaitan,


saling mengisi dan saling melengkapi dalam
penerapannya. Dengan kata lain, implementasi kritik
sastra membutuhkan teori dan sejarah sastra; sejarah
sastra membutuhkan teori dan kritik sastra; demikian
juga teori sastra membutuhkan sejarah dan kritik
sastra.

Hubungan timbal balik dalam ilmu sastra tersebut


menyerupai lingkaran setan yang tidak bisa dipisahkan.
Masing-masing memberi kontribusi yang besar untuk
perkembangan ilmu sastra.

Untuk dapat memberikan kritik terhadap suatu


karya dengan tepat dan obyektif seorang peneliti harus
mengerti tentang teori khas sastra, teori penilaian,
teori pendekatan, teori jenis sastra, gaya, komposisi,
struktur karya sastra, dan sebagainya. Selain itu
sejarah sastra juga memberi kontribusi terhadap
penulisan kritik dalam hal mengetahui orisinalitas
sebuah karya sastra, pertalian hubungan, atau
perbandingannya dengan karya sastra lain.

Untuk dapat menyusun sejarah kelahiran,


pertumbuhan, dan perkembangan karya sastra yang
akurat dan obyektif dibutuhkan teori penggolongan
karya sastra, perbedaan teori-teori sastra yang muncul
dari waktu ke waktu. Hasil-hasil kritik sastra juga
dibutuhkan dalam penyusunannya.

Suatu karya sastra, sebuah peristiwa, ataupun


seorang sastrawantidak mungkin dicantumkan dlam
rangkaian sejarah sastra jika tidak dinilai penting dan
berdampak besar bagi kehidupan sastra secara
keseluruhan. Sementara untuk menentukan penting
tidaknya atau bernilai tidaknya sebuah karya sastra
atau peristiwa atau sastrawan, dibutuhkan kritik
sastra.

Untuk menyusun teori tentang gaya, teknik


bercerita, dan sebagainya, jelas dibutuhkan kritik
sastra. Sejarah sastra pun tidak bisa ketinggalan
memberi masukan untuk menyusun teori tentang
angkatan, aliran, dan sebagainya untuk melihat
perkembangan sastra secara menyeluruh.

KRITIK SASTRA

Mengkritik merupakan kegiatan memberikan


penilaian tentang baik buruk, layak tidak, dan kualitas
sebuah karya sastra. Dalam sejarah perkembangan
sastra di Indonesia, penulisan kritik tidak terlalu
banyak diminati. Hal ini dibuktikan dengan sangat
jarang dijumpai buku-buku kritik sastra dan mandulnya
para ilmuwan menulis kritik terhadap sebuah karya.

Wellek (1971:22) memaparkan bahwa


pengertian kritik sastra berasal dari krites yang dalam
bahasa Yunani kuno berarti hakim, karena berasal dari
kata krinein yang berarti menghakimi. Kata kritikos
yang berarti hakim karya sastra muncul pada abad IV
sebelum masehi, ketika seorang bernama Philitas dari
Pulau Kos diundang untuk menjadi guru raja Ptolomy II
di Alexandria.

Dalam sastra Latin klasik istilah criticus jarang


dipergunakan, tetapi terdapat dalam surat-surat
Hieron kepada Longinus. Dalam hal ini istilah criticus
diartikan lebih tinggi daripada Grammaticus dengan
penjelasan bahwa istilah criticus juga berarti
penafsiran naskah, dan penafsir kata-kata. Pengertian
criticus atau kritikos sebagai literary criticism dalam
khazanah sastra Inggris muncul karena jasa ahli
retorika Quintilian dan filsuf Aristoteles.

Jika ditelusuri lebih lanjut, sejarah istilah kritik


sastra sangatlah tua. Karenanya pengertiannya pun
telah mengalami beberapa kali perubahan atau
pergeseran.

Abrams (1971:36) menjelaskan bahwa kritik


sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan
perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian
karya-karya sastra. Sedang Rahmat Djoko Pradopo
(1967:9) menyebutkan bahwa kritik sastra adalah
pertimbangan baik buruk karya sastra. Dari kedua
pengertian tersebut, Jassin dalam Tifa Penyair dan
Daerahnya (1965:84) menyatakan bahwa kritik
kesusastraan ialah pertimbangan baik buruk sesuatu
hasil kesusastraan dengan memberikan alasan-alasan
mengenai isi dan bentuknya.
SIFAT KRITIK SASTRA

Merujuk pada pengertian kritik sastra dari


berbagia sumber jelaslah bahwa kritik sastra bukanlah
karya sastra. Kritik sastra dibuat oleh orang yang
membaca karya sastra, bukan oleh pengarang atau
penyair. Kritik sastra merupakan hasil penafsiran
pembaca atas karya sastra tertentu. Hasil penafsiran
tersebut berupa tulisan yang mendeskripsikan atau
menjelaskan tentang pengalaman pembaca setelah
meniimati dan memahami suatu karya sastra. Dalam
hal ini pembaca membuat uraian tentang karya yang
telah dibacanya, bukan menciptakan karya sastra baru
yang terinspirasi dari karya yang sudah dibacanya.
Karenanya, tulisan kritik sastra termasuk jenis karya
nonfiksi.

Menentukan sifat kritik sastra tidaklah mudah.


Tulisan kritik sastra bisa dikatakan sebagai tulisan
ilmiah, tetapi juga disebut seni.

a. Kritik sastra sebagai karya ilmiah


Sehubungan dengan sifat sastra sebagai
kegiatan ilmiah, maka perlu dipertanyakan
adanya teori, metode, dan obyek kritik sastra.
Sebagai karya ilmiah, kritik sastra memerlukan
pengujian, pengamatan kekurangan dan
kelebihannya, dan membutuhkan penerapan
prinsip-prinsip umum.
b. Kritik sastra sebagai seni
Sebagai karya seni, kritik sastra termasuk
produksi atau hasil karya yang membangkitkan
kegairahan atau semangat. Andre Hardjana
(1981:16-7) mengemukakan aspek seni kritik
sastra tampak pada pendekatannya terhadap
obyek. Dengan pendekatan tertentu seorang
kritikus mengalami penghayatan keindahan
yang subyektif. Dalam kritik sastra itu kritikus
memaparkan pengalamnnya menghayati suatu
keindahan, tetapi tidaklah menciptakan
keindahan itu sendiri. Kritikus berusaha secara
obyektif menjelaskan nilai karya sastra yang
telah dihayati dan dipahaminya.

FUNGSI KRITIK SASTRA

Dengan berdasar pada pengertian tentang


kritik sastra, diketahui bahwa kritik sastra berfungsi
memberikan penilaian atas baik atau buruk suatu
karya sastra. Atau bisa disebut juga bahwa kritik sastra
mempunyai fungsi mendidik, yaitu mendidik pembaca
untuk menghargai karya sastra yang bernilai. Misalnya
pada kritik sastra yang dipublikasikan. Apabila kritik
sastra dipublikasikan melalui media, maka kritik sastra
itu bermanfaat bagi peminat sastra karena mereka
mendapat semacam panduan dalam ikut memberikan
penilaian terhadap suatu karya sastra. Kritik sastra
yang tidak dipublikasikan dengan sendirinya hanya
bersangkutan dengan seorang kritikus selaku pembaca
karya sastra.

Kritik sastra juga berfungsi sebagai perantara


yang berada diantara pencipta dan pembaca. Kritik
sastra dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan yang mungkin timbul dalam diri pembaca
setelah menikmati suatu karya sastra. Karenanya,
kritikus sebagai penghasil kritik sastra atau penafsir
karya sastra, berada di antara pengarang dan
pembaca, sehingga kritikus berfungsi sebagai
perantara antara pengarang dan pembaca (Jassin,
1965:84).

Sementara itu, Andre Hardjana (1981:16-17)


menyatakan bahwa fungsi utama kritik sastra ialah
memelihara dan menyelamatkan pengalaman
manusiawi serta menjalinkannya menjaid suatu proses
perkembangan susunan-susunan atau struktur yang
bermakna.

TEORI, TEKNIK, DAN METODE KRITIK SASTRA

Telah dijelaskan bahwa ilmu sastra


mempunyai hubungan timbal balik. Kritik sastra
memerlukan sumbangan teori sastra dan sejarah
sastra. Teori sastra dimanfaatkan oleh kritikus untuk
menjelaskan atau mengidentifikasikan obyek kritiknya.
Penerapan teori sastra dalam bidang kritik sastra yang
telah dilakukan oleh sejumlah kritikus ternyata mampu
melahirkan pandangan-pnadangan atau konsep-
konsep tertentu di bidang kritik sastra, dan secara
keseluruhan hal itu dapat disebut teori kritik sastra.
Sementara itu sistematika operasional kritik sastra
dapat disebut metode kritik sastra.

Seperti halnya dalam mengapresiasi sebuah


karya, yang pertama kali harus dilakukan oleh kritikus
adalah membaca karya sastra. Pembacaan karya sastra
ini dilakukan dengan upaya untuk menikmati dan
menghayati sebuah karya. Setelah proses tersebut
tentunya pembaca akan member komentar,
tanggapan ataupun penilaian terhadap karya yang
dibacanya.

Berbekal pengetahuan tentang seluk beluk


karya sastra dan teori-teori sastra, pembaca
menyimpulkan hasil bacaan, komentar, dan
penilaiannya dalam sebuah tulisan kritik sastra yang
dibaca oleh khalayak. Tulisan inilah yang akhirnya
merubah posisi pembaca sebagai penikmat menjadi
kritikus sastra.

Hal ini juga dijelaskan oleh Yudiono (1986:27-


28) yang mencoba mengabstraksikan kegiatan kritik
sastra dalam empat tahap sebagai berikut.

Pertama, kritikus selaku pembaca atau


penyambut karya sastra bertemu atau berhadapan
dengan karya sastra tertentu, kemudian berlangsung
penikmatan dan penghayatan. Dalam penikmatan itu
kritikus memanfaatkan pengalaman dan intusinya
untuk lebur dalam suatu penghayatan yang spontan.

Kedua, sesudah pembacaan itu kritikus


tergerak untuk memberikan tanggapan, reaksi,
komentar, penilaian terhadap karya sastra itu. Pada
saat itulah kritikus memanfaatkan seperangkat
pengetahuannya mengenai sastra, sehingga dapat
menjelaskan secara konsepsional mengenai seluk
beluk karya sastra tersebut. ia menunjuk dan
menyebut konvensi (norma, prinsip, kaidah) sastra
yang bersesuaian dengan karya sastra yang menjadi
obyek kritiknya, sehingga identitas atau ciri-ciri karya
sastra itu benar-benar Nampak.

Ketiga, dalam memanfaatkan teori sastra


tertentu kritikus sampai pada suatu kesimpulan
mengenai cirri-ciri karya sastra itu, sehingga karya
sastra tersebut mendapatkan tempat kedudukan yang
jelas diantara keseluruhan karya sastra sejenis, baik
sezaman maupun tidak.

Keempat, setelah kritikus sastra mendapatkan


suatu keismpulan yang diyakini kebenarannya,
kemudian ia memepertanggungjawabnkan kritiknya
kepada masyarakat sastra. Tanpa menulis kritik sastra,
sesungguhnya kegiatan kritikus sastra hanya sampai
pada penikmatan atau penghayatan sastra, termasuk
menilai ataupun mencela, dan hal itu berlaku bagi
kebanyakan pembaca.

Beberapa teori sastra yang berhubungan


dengan kritik sastra bisa disebut dengan teori kritik
sastra. Menurut Yudiono(1986:31), macam-macam
teori sastra tersebut dapat diklasifikasikan
berdasarkan empat pendekatan sastra yang
dirumuskan oleh Abrams, yaitu mimetic, pragmatic,
ekspresif, dan obyektif.

Pendekatan mimetic mencoba memandang


karya sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia
kehidupan nyata. Pendekatan pragmatik memandang
makna karya sastra ditentukan oleh publik pembaca
selaku penyambut karya sastra. Karya sastra
dipandang sebagai karya seni yang berhasil apabila
bermanfaat bagi publiknya, seperti menyenangkan,
memberi kenikmatan, atau mendidik.

Pendekatan ekspresif memandang karya sastra


sebagai pernyataan dunia batin pengarang yang
bersangkutan. Jika dibayangkan bahwa segala gagasan,
cita rasa, emosi, ide, angan-angan, merupakan dunia
dalam pengarang, maka karya sastra merupakan dunia
luar yang bersesuaian dengan dunia dalam itu. Dengan
pendekatan tersebut maka penilaian sastra tertuju
pada emosi atau keadaan jiwa pengarang, sehingga
karya sastra merupakan sarana atau alat untuk
memahami keadaan jiwa pengarang.
Pendekatan obyektif memandang karya sastra
sebagai dunia otonom yang dapat dilepaskan dari
siapa pengarang dan lingkungan social-budaya
jamannya, sehingga karya sastra dapat dianalisis
berdasarkan strukturnya sendiri.

Selain pendekatan dalam sastra tersebut


Abrams juga mengemukakan pendapatnya mengenai
empat macam kritik sastra, yaitu kritik mimetik
(mimetic criticism); kritik pragmatik (pragmatic
criticism); kritik ekspresif (expressive criticism); dan
kritik obyektif (objective criticism).

Kritik mimetik diartikan sebagai kritik yang


menekankan pada ketepatan atau kebenaran karya
sastra dalam membayangkan atau melukiskan obyek
yang bersangkutan. Kritik pragmatik merupakan
kritikmyang menekankan pada manfaat tertentu dari
karya sastra bagi public pembacanya. Kritik ekspresif
ialah kritik yang menekankan pada hubungan antara
karya sastra dengan keadaan jiwa pengarangnya.
Sedang kritik obyektif berarti kritik yang menekankan
pada struktur karya sastra itu sendiri dengan
kemungkinan membebaskannya dari dunia pengarang,
public pembaca, dan situasi jaman yang melahirkan
karya sastra tersebut.
Tidak ada satu diantara keempat macam kritik
tersebut yang dianggap paling benar, karena
keempatnya saling melengkapi dan memerlukan,
penerapannya pun bergantung pada sifat karya sastra
tertentu. Jadi jelaslah bahwa seorang kritikus harus
lebih dahulu memahami teori sastra secara luas dan
mendalam untuk kemungkinan dapat memilih dan
menerapkan satu diantanya secara baik dalam kritik
sastra.

Pembicaraan teori kritik sastra identik dengan


pembicaraan teori sastra. Jadi, seorang kritikus
hendaknya memiliki latar belakang teori sastra untuk
dapat menulis kritik sastra yang baik. Dengan demikian
seorang kritikus yang baik seklaigus ahli dalam teori
sastra. Tetapi seorang kritikus masih dituntut untuk
dapat menerapkan teori-teorinya dengan cara-cara
yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya
dalam kritik sastra. Cara-cara tertentu yang
bersangkutan dengan penerapan teori sastra dalam
sebuah kritik itulah yang dimaksud dengan metode
kritik sastra (Yudiono 1986:34).

Anda mungkin juga menyukai