Anda di halaman 1dari 16

Makalah

Metodologi Kritik Sastra


Disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Kritik Sastra
Dosen Pengampu: H. Mawardi Yahya, M. A.

Oleh Kelompok 01:

Muhammad Alif Ramadhan (1195020087)


Nuramelia Fitriani (1195020109)
Rendi Fisabilillah Amin(1195020118)
Rida Nurfaizah (1195020123)
Ressa Rijalul Mimbar Alawy (1195020120)

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG JATI BANDUNG
2021
PENDAHULUAN

  A. Latar Belakang

Dalam dunia akademik, istilah kritik sering sekali bersandingan dengan seni baik itu
seni sastra, seni rupa, seni pertunjukan dan seni film. Kritik sastra khususnya berfungsi
sebagai penilai atau judgement dalam menentukan nilai (baik, cukup, kurang) sebuah karya
sastra. Kritik sastra juga memperbanyak pengetahuan dan pemahaman publik terhadap karya
sastra.

Bagi pembaca, kritik sastra berfungsi tiga hal, yaitu sebagai berikut:

                     1.         Membantu pembaca yang kesulitan memahami karya sastra.

                     2.         Membantu pembaca memilih yang terbaik dari sejumlah alternatif bacaan.

                     3.         Membantu pembaca menilai sebuah karya sastra.

Kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial sangat dibutuhkan untuk memahami


sebuah karya sastra. Dengan kedua hal itu, kita dapat menyadari bahwa hidup itu sangatlah
kompleks sehingga kita semakin menghargai terhadap perbedaan.

Dengan demikian, kritik sastra sangat diperlukan untuk membantu perkembangan


sastra itu sendiri. Namun, dalam dunia sastra terdapat banyak sekali karya yang berbeda jenis
ataupun bentuknya, seperti puisi, sajak, cerpen, novel, drama, dan yang lain sebagainya
membutuhkan media kritik yang berbeda-beda. Tidak hanya di setiap jenis atau bentuk karya
sastra, dalam satu jenis karya sastra pun diperlukan beberapa metode kritik. Ini dimaksudkan
untuk mengetahui secara benar nilai sastra tersebut.

Di dalam makalah ini, penulis akan memaparkan secara ringkas tentang macam-
macam metode kritk sastra. Seluruh metode ini sangat bermanfaat bagi perkembangan sastra
itu sendiri, untuk mengetahui mutu dan nilai sastra, dan untuk mendorong semangat
emosional sastrawan, dalam hal ini pembuat karya sastra untuk membuat karya yang lebih
baik lagi.
   B.  Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini dimaksudkan sebagai salah satu
interpretasi mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab dalam menerima mata kuliah Naqd
Adab II (Kritik Sastra). Selain itu, penjelasan ringkas tentang macam-macam metode kritik
sastra ini berusaha memberikan dorongan kepada peminat dan penikmat sastra untuk
mengetahui sebebarapa banyak pendekatan yang dilakukan kritik untuk meningkatkan nilai
sebuah karya sastra.

Untuk mengetahui nilai sebuah karya sastra dan pengakuan masyarakat peminat sastra
terhadap karya sastra itu, sangatlah diperlukan bebarapa metode atau pendekatan kritik.
Dalam karya sastra, sebagai contoh puisi, yang memiliki bahasa fiksi yang sangat kuat
sehingga tidak cukup dimengerti dengan pemikiran logika yang sederhana. Dibutuhkan daya
imajinasi atau daya khayal untuk menembus bahasa yang disampaikan para pujangga dan
atau penyair dan akhirnya dapat menyentuh makna yang sesungguhnya meskipun makna itu
hanya bersifat subjektif.
BAB II

PEMBAHASAN

Macam-macam Metode Kritik Sastra

Sebagaimana uraian pada bab pertama, pakar kritik sastra membagi kritik sastara
menjadi lima metode pendekatan, dan metode pendekatan itu didasari oleh subjektivitas
kritikus sastra (minat, latar belakang, dan kepakaran), adapun pendekatan kritik sastra yang
lima itu yaitu, metode kritik sastra formalis, metode kritik respon pembaca, metode kritik
feminis, metode kritik sosiologis, dan mentode kritik psikoanalisis.

        A.        Metode Kritik Sastra Formalis

Formalisme, atau yang oleh tokoh utamanya dinamakan “metode formal” (Formal’
njy metod) adalah aliran kritik sastra yang timbul di Rusia sebagai reaksi terhadap aliran
positifisme abad ke-19 khususnya yang berhubungan erat dengan puisi moderen Rusia  yang
beraliran futurisme.

Secara definitif kritik sastra Formalisme adalah aliran kritik sastra yang lebih
mementingkan pola-pola bunyi dan bentuk formal kata atau dengan kata lain, karya sebagai
struktur telah menjadi sasaran ilmu sastra. Sesuatu yang menarik dari hasil penelitian mereka
adalah perhatian terhadap apa yang dianggap khas dalam sebuah karya sastra, yang mereka
sebut literariness, dan usaha membebaskan ilmu sastra dari kekangan ilmu lain, misalnya
psikologi, sejarah dan telaah kebudayaan.

Gerakan formalisme ini juga dikembangkan dalam metode penilitan bahasa yang
dikemukakan oleh Saussure. Para formalis menampilkan percobaan sistematis untuk
meletakkan studi sastra secara khusus. Bahasa puisi (tertulis) merupakan objek utama dari
pendekatan kritik sastra formalis. Puisi dijadikan sebagai bentuk bahasa yang khas melalui
penyimpangan dan distorsi bahasa sehari-hari (defamiliarisasi).

Gerakan formalis, memang tidak dapat disangkal, secara tidak langsung telah
menorehkan garis demarkasi terhadap bahasa prosa yang sebenarnya juga termasuk dalam
studi sastra. Bagi para Formalis, prosa menjadi the other sehingga pengertian mengenai fiksi
yang sesungguhnya terpusat dalam istilah defamiliarisasi atas bahasa sehari-hari. Hal
demikian dapat dipahami karena sejak timbulnya pemberontakan kaum Bolsevik di Rusia,
bahasa yang terdapat dalam prosa menjadi stimulus dan kendaraan propaganda yang paling
efektif untuk membuat massa bergerak sesuai kebijakan yang telah ditentukan. Bagi para
Formalis, bahasa demikian jelas menjauhkan orang dari imajinasi dan penafsiran yang terus
terbuka.

Dari sejarah perkembangan bahasa tulis, keberadaan bahasa fiksi (yang tertulis) sudah
teruji. Inilah yang menjadi salah satu pangkal pemikiran para poststrukturalis seperti Barthes
atau Derrida untuk memahami bahasa tulis sebagai sebuah teks yang berjejak bukan hanya
dari sisi kontinuitasnya dengan beberapa momen, tetapi juga bahkan dari sisi
diskontinuitasnya. Hal ini berarti bahwa bahasa tulis pun tidak selalu merepresentasikan
sebuah fakta yang juga terbentuk dalam bahasa sehari-hari berdasarkan konvensi atau
kebiasaan.

         B.        Metode Kritik Sastra Respon Pembaca

Metode pendekatan ini dipusatkan kepada respon dan timbal balik dari pembaca, dalam hal
ini peminat dan penikmat karya sastra. Dilihat dari karakter pembaca merespon sebuah karya
sastra, maka mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pembaca gelisah dan pembaca
pasrah.

1. Pembaca Gelisah

Pembaca gelisah adalah publik pembaca sebagai penikmat karya sastra apa adanya
dan tak mau ambil pusing tentang sastra. Mereka pasrah dininabobokan pengarang, sang
diktator. Yang disebut terakhir adalah penikmat sekaligus pemikir serius. Fungsinya mulia,
yakni membisiki pekarya sastra agar karyanya lebih berbobot sehingga lebih memukau
pembaca. Kritik sastra adalah studi, diskusi, evaluasi, dan interpretasi atas karya sastra. Kritik
sastra lantang bicara, sedangkan puisi, cerpen, dan novel seperti halnya arca diam membisu.
Kritik sastra mengartikulasikan kebisuan ini.

Bagi peminat sastra, kritik sastra membantu mereka membangun interpretasi sendiri
terhadap karya dengan bertambahnya sudut pandang. Agar memiliki satu interpretasi yang
mantap, mereka memerlukan berbagai interpretasi. Sebuah karya mungkin dikritik berkali-
kali. Beberapa kritik mungkin lebih mencerdaskan dari kritik lainnya. Maka lahirlah kritik
atas kritik. Lagi-lagi di sini bermain kuasa subjektivitas. Subjektivitas pembaca menentukan
penilaian atas sebuah kritik. Kritik itu sendiri refleksi subjektivitas kritikus terhadap karya.
Dan karya yang dikritik pun cerminan subjektivitas penulisnya.
2. Pembaca Pasrah

Membangun keinginan seseoroang agar tertarik pada sastra adalah panggilan jiwa
untuk membaca sebagai pemuas dahaga psikologis. Artinya, pengajaran sastra di sekolah
mesti berbeda dari perkuliahan sastra di universitas. Tidaklah tepat siswa ditakut-takuti oleh
monster berupa teori-teori dan istilah-istilah teknis sastra yang dihafal dan diuji benar-salah.
Pengajaran sastra yang berpihak pada estetika (bukannya efferent) adalah medium untuk
menanamkan demokrasi lewat interpretasi liar dan apresiasi jujur.

Sastra berhubungan dengan pengarang, karya sastra, dan pembaca. Ketiga hal ini
tidak dapat dipisahkan karena masing-masing memiliki peran dan fungsi yang berbeda.
Tanpa pengarang tidak akan ada karya sastra, dan tanpa pembaca karya sastra tidak ada
artinya. Pembaca dalam memahami dan memaknai suatu karya sastra akan berbeda antara
yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan latar belakang pendidikan, pengetahuan,
pengalaman, dan kemampuan pembaca yang berbeda. Segers (dalam Pradopo, 1995:208)
mengatakan cakrawala harapan pembaca ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu (1) norma-norma
yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca, (2) pengetahuan dan
pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan (3) pertentangan antara fiksi
dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari
harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan

Pembaca  sebagai pemberi makna terhadap suatu karya sastra dapat dibagi atas
beberapa tipe, yaitu the real reader (pembaca yang sebenarnya). Pembaca jenis ini dapat
diketahui melalui reaksi-reaksi yang terdokumentasi. Tipe kedua disebut hypothetical reader
(pembaca hipotesis). Pembaca ini berada di atas semua kemungkinan aktualisasi teks yang
mungkin telah diperhitungkan. Pembaca tipe ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu
contemporary reader (pembaca kontemporer atau pembaca masa kini) dan ideal reader
(pembaca idial).

   1.         The Real Rreader  (Pembaca yang Sebenarnya)

Pembaca tipe ini muncul dalam menganalisis pengkajian sejarah tanggapan-tanggapan


pembaca, yakni ketika perhatian studi sastra dipusatkan pada cara karya sastra diterima oleh
masyarakat yang membaca secara khusus. Penilaian-penilainan apapun mengenai karya sastra
juga akan mencerminkan berbagai sikap dan norma pembaca sehingga karya sastra dianggap
cermin kode kultural yang mengkondisikan penilainan-penilaian tersebut.
Rekonstruksi terhadap pembaca yang sebenarnya ini tentu saja tergantung pada
kelangsungan (hidup) dokumen-dokumen masa kini. Sebagai konsekwensinya, rekonstruksi
tersebut sering sangat tergantung pada karya itu sendiri. Yang menjadi masalah adalah
apakah suatu rekonstruksi berkaitan dengan pembaca sebenarnya pada masa itu atau secara
sederhana mengedepankan peran pembaca dengan berasumsi apa yang diharapkan
pengarang.

   2.         Hypothetical Reader (Pembaca Hipotesis)

                      a.         Contemporary Reader (Pembaca Kontemporer)

Pembaca kontemporer memiliki tiga tipe, yaitu  ril, historis, dan hipotesis. Yang ril
dan hipotesis tergambar dari keberadaan dokumen-dokumen, sedangkan yang hipotesis dari
pengetahuan sosial, historis suatu waktu, dan peran pembaca yang tersimpan dalam teks.

                     b.         Ideal Reader (Pembaca Idial)

Sulit menunjukkan secara tepat dari dan di mana pembaca idial tergambar. Walaupun
banyak yang dapat dikatakan untuk mengklaim bahwa pembaca idial cenderung muncul dari
otak filolog atau pengkritik sendiri. Meskipun penilaian pengkritik berhadapan dengannya, ia
tidak lebih dari seorang pembaca terpelajar.

Seorang pembaca idial harus memiliki sebuah kode yang identik dengan kode
pengarang. Para pengarang bagaimanapun secara umum mengkodekan kembali kode-kode
umum (yang berlaku) di dalam karya sastra mereka dan dengan demikian, pembaca idial akan
dapat memperhatikan berdasarkan proses tersebut. Jika hal ini terjadi, komunikasi akan
menjadi sangat berlebihan karena seseorang hanya mengkomunikasikan yang belum dibagi
oleh pengirim dan penerima.

Pikiran bahwa pengarang sendiri menjadi pembaca idialnya sendiri seringkali


diruntuhkan oleh pernyataan-pernyataan para penulis yang mereka buat atas karya-karya
mereka sendiri. Secara umum, sebagai pembaca, mereka sangat sulit membuat pernyatan apa
pun tentang dampak penggunaan teks-teks mereka sendiri. Mereka lebih suka berbicara
dalam bahasa petunjuk tentang maksud-maksud mereka, strategi-strategi mereka, konstruksi-
konstruksi mereka, disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang juga akan menjadi valid bagi
masyarakat yang mereka arahkan.

Dalam perkembangan sekarang ini kritik sastra membagi tipe-tipe pembaca menjadi
empat, yakni (1) superreader (pembaca pakar); (2) informed reader (pembaca serba tahu);
(3) intended reader (pembaca harapan); (4) Implied Reader (pembaca terimplikasi). Setiap
tipe pembaca membawa  terminologi khusus.

                     1.         Superreader (Pembaca Pakar)

Tipe pembaca ini selalu muncul bersama-sama isyarat dalam teks dan dengan
demikian terbentuk melalui reaksi-reaksi umum mereka atas keberadaan satu fakta stilistik.
Superreader mengobjektivasikan gaya atau fakta stilistik sebagai sebuah unsur komunikasi
tambahan terhadap unsur utama bahasa. Pembaca ini memberikan bukti bahwa fakta stilistik
berdiri di luar konteks sehingga mengarah kekepadatan dalam pesan yang terkodekan yang
diterangkan oleh kontras intertekstual yang ditunjukkan oleh superreader.

                     2.         Informed Reader (Pembaca Serba Tahu)

Informed reader adalah (a) pembicara yang berkompeten terhadap bahasa di luar teks;
(b) seseorang yang memiliki pengetahuan yang matang yang dibawa pendengar yang
bertugas memahaminya; (c) seseorang yang memiliki kompetensi kesastraan.

                     3.          Intended Reader (Pembaca Harapan)

Pembaca tipe ini merekonstruksikan pikiran pembaca yang ada dalam pikiran
pengarang. Pembaca tipe ini bersifat fiktif. Dengan ciri fiktif ini memungkinkannya
merekonstruksikan masyarakat yang ingin dituju oleh pengarang. Pembaca berusaha
menandai posisi dan sikap tertentu dalam teks, tetapi belum identik dengan peran pembaca.

                     4.         Implied Reader (Pembaca Terimplikasi)

Pembaca tipe ini memiliki konsep yang benar-benar tumbuh dari srtuktur teks dan
merupakan sebuah konstruksi serta tidak dapat diidentifikasi dengan pembaca nyata.
Pembaca merupakan suatu struktur tekstual yang mengantisipasi kehadiran seorang penerima
tanpa perlu menentukan siapa dia. Pembaca berusaha memahami teks dari struktur-struktur
teks yang ada. Dengan demikian, tidak menjadi masalah siapa pembaca itu, tetapi yang jelas
pembaca tipe ini diberi tawaran sebuah peran utama untuk dimainkan, yakni peran pembaca
sebagai sebuah struktur tekstual dan peran pembaca sebagai act (tindakan/aturan) yang
terstruktur.

        C.        Metode Kritik Sastra Feminis

Abad 20, seperti pernah dinyatakan Noami Wolf, seorang feminis dari Amerika,
sebagai era baru bagi perempuan, atau ia menyebutnya era gegar gender, era kebangkitan
perempuan. Gaung kebangkitan itu memang terus berkembang hingga sekarang. Di berbagai
belahan dunia, perempuan mulai bangkit mempertanyakan dan menggugat dominasi dan
ketidakadilan yang terjadi dalam sistem patriarkhi. Perempuan selama ini memang telah
mengalami subordinasi, represi, dan marjinalisasi di dalam sistem tsb. di berbagai bidang.
Termasuk di bidang sastra.

Kritik sastra feminis secara teknis menerapkan berbagai pendekatan yang ada dalam
kritik sastra, namun ia melakukan reinterpretasi global terhadap semua pendekatan itu. Kritik
yang mula-mula berkembang di Prancis (Eropa), Amerika, dan Australia ini merupakan
sebuah pendirian yang revolusioner yang memasukkan pandangan dan kesadaran feminisme
(pandangan yang mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan yang (terutama) dialami
perempuan yang diakibatkan sistem patriarkhi) di dalam kajian-kajian kesusastraan.

Dengan kritik itu diharapkan penyusunan sejarah, penilaian terhadap teks-teks yang
ditulis perempuan menjadi lebih adil dan proporsional. Oleh karena itu, seperti dijelaskan
Djajanegara (2000), terdapat dua fokus di dalam kritik ini. Fokus pertama adalah pengkajian
ulang sejarah kesusastraan, termasuk mengkaji lagi kanon-kanon yang sudah lama diterima
dan dipelajari dari generasi ke generasi dengan tinjauan feminis dan menggali kembali karya-
karya dan penulis-penulis dari kalangan perempuan yang ter(di)pendam selama ini.

Fokus kedua, mengkaji kembali teori-teori dan pendekatan tentang sastra dan karya
sastra yang ada selama ini dan tentang watak serta pengalaman manusia yang ditulis dan
dijelaskan dalam sastra. Selama ini para feminis melihat ada pengabaian terhadap
pengalaman-pengalaman perempuan. Di sini, kritik sastra feminis menyediakan konteks bagi
penulis perempuan yang mendukung mereka agar mampu mengungkapkan pengalaman,
perasaan, dan pikiran yang selama ini diredam.

Akan tetapi, perlu dicatat, seperti gerakan/ideologi feminis itu sendiri yang tidak
monolitik (terdiri atas berbagai aliran), kritik sastra feminis yang memang tumbuh dari
gerakan ini, juga tidak monolitik. Feminisme terdiri atas aliran-aliran liberalis, marxis,
sosialis, eksistensialis, psikoanalitik, radikal, postmodern, dll. yang masing-masing memiliki
perbedaan pandangan/penekanan dan tak jarang bertentangan. Ada feminisme yang sangat
maskulin, ada yang anti-maskulin, ada pula yang ingin menjadi partner dengan maskulinitas.

Hal ini berpengaruh pula di dalam cara memandang, menilai, dan menetapkan
kriteria-kriteria kesusastraan yang sesuai dengan pandangan feminisme. Tokoh-tokoh seperti
Helena Cixous, Virginia Wolf, Kate Millet, dll. yang merupakan kritikus sastra feminis
berasal dari aliran yang berbeda. Cixous misalnya, penganut feminisme postmodern, Wolf
adalah seorang feminis marxis, dan Millet seorang feminis radikal. Keberagaman itu dapat
saling mengisi, tapi dapat bertentangan dalam pengejawantahannya dalam kritik sastra
feminis.

Berdasarkan keberagaman ini, dalam kritik sastra feminis ditemukan kritik


gynocritics, kritik sastra feminis ideologis, marxis, psikoanalitik, dll. Gynocritics melakukan
kajian terhadap sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur
tulisan wanita yang lebih menekanan perbedaannya dengan tulisan laki-laki. kritik sastra
feminis Ideologis memusatkan perhatian pada cara menafsirkan teks yang melibatkan
pembaca perempuan. Yang dikaji adalah citra/stereotip perempuan dan meneliti
kesalahpahaman mengenai perempuan. kritik sastra feminis sosialis/marxis melihat tokoh-
tokoh perempuan dalam karya sastra dari sudut kelas-kelas masyarakat, dan kritik sastra
feminis psikoanalitik menolak teori Sigmund Freud dalam pengkajian karya sastra. Masih
banyak ragam lainnya, seperti kritik sastra feminis lesbian, dan ras (etnik).

Feminisme dan kritik sastra feminis membawa angin segar dalam perkembangan
kesusastraan. Di berbagai wilayah, berkat usaha para kritikus feminis, para perempuan dan
karyanya mulai dipertimbangkan dengan adil. Banyak karya perempuan yang awalnya oleh
para kritikus tradisional dianggap bukan kanon, setelah melalui pengkajian dari sudut
feminisme diterima masyarakat sebagai kanon. Karya Mary Ann Cross (George Eliot) di
Inggris adalah salah satu contohnya.

Angin segar itu misalnya terasa dari kajian-kajian gynocritics dari berberapa kritikus
sastra, antara lain oleh Korrie Layun Rampan berupa penyusunan antologi dan pengkajian
karya-karya khusus perempuan yang sangat membantu penyusunan ulang sejarah
kesusastraan dalam hubungannya dengan keberadaan perempuan, peningkatan pemberian
kesempatan terhadap perempuan dalam kegiatan-kegiatan sastra (meski belum imbang antara
laki-laki dan perempuan), dan kritik yang lebih objektif dalam melihat keunggulan karya
perempuan sehingga saat ini karya perempuan diperhitungkan dan menempati kanon-kanon
sastra.

Di sini pun perlu dipertanyakan mengapa kritik ini sangat jarang dipergunakan untuk
menganalisis karya laki-laki. Padahal menurut sejarahnya, kritik ini juga diterapkan pada
karya laki-laki untuk melihat bagaimana laki-laki mencitrakan perempuan dalam cerita-cerita
rekaannya. Di Indonesia, hingga saat ini, belum ada penelitian mendalam terhadap
penggambaran citra-citra perempuan dalam karya laki-laki. Yang ada selama ini baru sebatas
dugaan. Kajian mendalam ke arah ini tampaknya akan bermanfaat untuk membantu
penyadaran masyarakat terhadap kesetaraan dan keadilan gender. Semoga kritik ini tidak
hanya digunakan sebagai mode, tapi sebagai sebuah kesadaran.

        D.        Metode Kritik Sastra Sosiologis

Pendekatan sosiologis terhadap karya sastra bertolak dari gagasan bahwa sastra
merupakan  pencerminan kehidupan masarakat (sosial). Karya sastra mendapat pengaruh dari
masyarakat dan memberi pengaruh terhadap masyarakat.

a.       Konsep dan kriteria

Seperti pendekatan kritik sastra yang lainnya, pendekatan sosiologis juga


mempersoalkan hal-hal yang ada diluar tubuh karya sastra seperti latar belakang pengarang,
pengaruh sastra terhadap masyarakat, respon pembaca, dan lain-lain. Adapun konsep dan
kriteria pendekatan ini adalh senagai berikut:

1.  Dalam sejarah awal kemunculan pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai
cermin sejarah. Semakin banyak gejolak sosial dan dialektioka di tengah masyarakat,  sastra
semakin meningkat sebagai alat perekam gejala sosial tersebut.

2.  Karya sastra merupakan medium palin epektif untuk menggerakam masyarakat dalam
mewujudkan keinginan mereka. Pendekata sosiologis ini juga dinamakan realisme sosialis.

3.  Analisis sastra lebih luas tertuju pada pengarang yang mampu merekm kehidupan suatu
jaman dalam karyanya.

4.  Pendekatan sosiologis juga bermanpaat untuk mengkaji latar belakang penulis, palaspah
yang dianut, idiologi, pendidikan, dan visi pengarang. Pendekatan ini juga menganalisis
masarakat yang digambarkan dalam karya sastra dan membandingkannya dengan masyarakat
diluar karya sastra.

b.      Kekuatan dan Kelemahan

Pendekatan sosiologis memandang karya sastra sebagai produk budaya yang sangat
diperlukan masyarakat. Sastra merupakam media komunikasi antara masyarakat. Kelemahan
pendekatan ini antara lain : (1) Munculnya konsep sastra untuk masyarakat dan masyarakat
untuk sastra. (2) Sering dijadikan sebagai alat untuk melakukan proters sosial (3) Pendekatan
ini sukar dipahami apabila tidak didukung oleh ilmu sosiologi dan jiwa sosial.
         E.        Metode Pisikologis

Pendekatan pisikologis adalah pendekatan yang bertolak dari asumsi bahwa karya
sastra selalu membahas tentang peristiwa kehidupan manusia. Manusia senantiasa
memperhatikan prilaku yang beragam, sehingga bila kita ingin memahami manusia lebih
dalam maka kita membutuhkan Pisikologi, lebih-lebih di zaman yang serba berkaitan dengan
ilmu tehnologi yang canggih ini, manusia memiliki konflik kejiwaan yang yang bermula dari
sikap tertentu yang akhirnya berpengaruh dalam kehidupannya.

Penjelajahan ke dalam batin atau kejiwaan untuk menetahui lebih dalam tentang seluk
beluk manusia yang unik ini merupakan sesuatu yang merangsang. Banyak penulis yang
berusaha mendalami masalah pisikologi seiring dengan itu banyak penelaah  atau peneliti
sastra yang mencoba memahami karya sastra dengan bantuan pisikologi. Memang benar
setiap permasalahan kehidupan manusia dapat dikembalikan kedalam teori-teori pisikologis.

Berangkat dari pemikiran semacam itu muncullah  pendekatan Pisikologis dalam


telaah atau penelitian sastra. Para pakar pisikologis terkemuka seperti Jung, Adler, freud, dan
Brill memberikan infirasi yang cukup banyak tentang pemecahan masalah  misrteri tingkah
laku manusia melalui teori-teori pisikologi. Namun hanya Freud yang secara langsung
berbicara tentang proses penciptaan seni sebagai akibat dari tekanan dan tinbunan masalah
dibawah alam sadar yang kemudian disumlimasikan kedalam bentuk penciptaan karya seni
pisikologi yang di bawa oleh Freud ini disebut pisikologianalisis yang bayank diterapkan
dalam penelitian sastra lewat bpendekatan pisikologi.

                 a.         Konsepsi dan Kriteria Pisikoanalisis

Kritik psikoanalisis dilakukan berdasarkan psikologi yang ada dalam diri manusia. Dalam
dirinya terdapat id, ego, dan super-ego yang menyebabkan manusia selalu berada dalam
keadaan berperang dalam dirinya apabila terjadi ketidakseimbangan antara ketiganya. Akan
tetapi ketiganya bekerjasama seimbang dan melahirkan watak yang wajar. Dalam metode
pendekatan psikoanalisis kajian sastra yang diambil hanya bagian-bagian yang sesuai dengan
teori psikoanalasis.

Berikut ini beberapa konsepsi dasar kriteria yang digunakan dalam metode pendekatan
psikoanalisis:

1. Karya sastra merupakan produk dari jiwa dan pemikiran pengarang yang berada dalam
setengah sadar atau subconcius setelah mendapat bentuk yang jelas secara sadar atau
concious dalam bentuk penciptaan karya sastra.
  2.  Kualitas karya sastra ditentukan oleh bentuk proses penciptaan dari tingkat pertama, yaitu
keadaan setengah sadar di bawah alam sadar kepada tingkat kedua, yaitu dibawah keadaan
sadar.

3.  Menurut metode psikoanalisis, karya yang berkualitas adalah karya sastra yang mampu
menyajikan simbol, wawasan, kepercayaan, tradisi, moral, budaya dan lain-lain.

4. Karya sastra menurut metode psikoanalisis adalah karya sastra yang mampu
menggambarkan kekalutan dan kekacauan batin manusia.

  5.  Kebebasan sastrawan atau pembuat karya sastra sangat dihargai. Dia memiliki kebebasan
yang istimewa, yaitu berupaya mengkongkritkan gejolak batin yang ada dalam dirinya.

  b.  Metode atau Langkah

Freud mengatakan dalam teori psikoanalisisnya bahwa dalam mengarang, sastrawan


diserang oleh penyakit jiwa yang disebut ‘neurosis’ bahkan sampai ‘psikosis’ seperti sakit
mental. Berikut ini digambarkan metode atau langkah kerja pendekatan atau metode
psikologis.

  1. Metode psikologis menekankan analisis terhadap keseluruhan karya sastra baik segi
intrinsik maupun segi ekstrinsik. Namun metode ini lebih ditekankan pada segi intrinsik
sesuai dengan penokohan atau perwatakan.

2. Segi ekstrinsik perlu dibahas yang menyangkut dengan permasalah jiwanya. Dengan
memahami segi kejiwaan pengarang, akan sangat membantu dalam karakter cerita atau karya
sastra yang ditulisnya.

  3. Di samping menganalisis perwatakan dalam segi psikologis, mengurai tentang tema karya
sastra itu sendiri juga perlu dilakukan.

  4. Analisis dapat diteruskan kepada analisis kesan pembaca, karena karya sastra sangat
berpengaruh dalam respon pembaca yang menimbulkan kesan pada pembaca dan berdampak
didaktis bagi dirinya.

  c. Kekuatan dan Kelemahan Metode Psikoanalisis.

Melalui pendekatan psikologi, dapat menimbulkan kesan bahwa pendekatan ini


menjurus pada pemanfaatan ilmu jiwa yang rumit, abstrak dan kompleks. Sungguh meskipun
begitu, metode psikoanalisis ini memiliki kekuatan, yaitu:
1. Sangat sesuai untuk mengkaji secara mendalam aspek perwatakan.

  2.  Metode ini memberi timbal balik kepada penulis atau sastrawan tentang masalah
perwatakan yang dikembangkannya.

  3.  Sangat membantu dalam menganalisis karya sastra surcalis, abstrak, atau absurd dan
akhirnya dapat membantu pembaca memahami karya sastra semacam itu.

Metode ini juga memiliki kelemahan dalam menerapkannya dalam kritik sastra. Kelemahan
tersebut dapat digarisbesarkan sebagai berikut:

  1. Mengharuskan kritikus untuk mengetahui ilmu kejiwaan.

    2. Banyak hal yang abstrak yang sukar dipecahkan tentang perilaku dan motif tindakan.

     3. Sukar diketahui kaitan tindakan yang satu dengan yang lain, karena dalam cerita kadang
tokoh itu ‘mati’.

      4. Tidak mudah mengetahui apakah pengalaman yang menimpa tokoh itu merupakan
pengalaman pengarang langsung atau bukan.

        5.  Metode ini lebih mudah jika seorang pengarang menulis jujur sesuai dengan penglaman
hidup dan karakternya, karena jika pengarang tidak jujur dalam membuat karyanya, maka
kajian tentang riwayat hidup pengarang pun tidak ada gunanya.

        6. Sampai saat ini teori yang dikemukakan Freud belum dapat dibuktikan secara saintifik
dan masih banyak hal yang bersifat metafor dan merupakan misteri.
BAB III

PENUTUP

        A.        Kesimpulan

Kritik sastra sangat bermanfaat dalam dunia sastra. Kritik sastra menjadi mediator
komunikasi dan apresisasi antara pengarang dan pembaca. Dari semua itu, landasan yang
diambil pun kemudian menjadi sebuah penentu, dimana dalam mencari nilai karya sastra
haruslah ada satu alat yang secara menentu dan mendetail menguak semua unsur yang ada di
dalam karya sastra dan unsur yang ada di luar karya sastra.

Para ahli kritik membagi beberapa metode atau pendekatan kritik sastra menjadi lima,
yaitu pendekatan formalis, respon pembaca, feminis, sosiologis, dan psikoanalisis.
Daftar Pustaka

Atar Semi, M. Pror. Drs. 1990.  Metode Penelitian Sastra. Bandung: Penerbit ANGKASA
Bandung.

Fokkema, D.W. dan Elrud Kunne. 1998. Teori Sastra Abad Ke-20. Jakarta: Penerbit PT.
Gramedia Pustakan Utama.

Hardiyana, Andre. 1994. Kritk Sastra; Sebuah Pengantar. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia
Purtaka Utama.

Yusuf, Suhendra. Drs. MA. 1995. Leksikon Sastra. Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju.

Anda mungkin juga menyukai