Anda di halaman 1dari 9

TUGAS TEORI SASTRA

PENDEKATAN TEORI SASTRA

Ditulis untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Teori Sastra

Dosen : Agus Priyanto, S.Pd., M.Sn.

SRI YULI

17210074

B1 G1 2017

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)


SILIWANGI BANDUNG

2017
PENDEKATAN TEORI SASTRA

Dalam mengkaji sebuah karya sastra, kita tidak dapat melepaskan diri dari cara pandang
yang bersifat parsial, maka ketika mengkaji karya sastra, seringkali seseorang akan
memfokuskan perhatiaanya hanya kepada aspek-aspke tertentu dari karya sastra. Aspek-
aspek tertentu itu misalnya berkenaan dengan persoalan estetika, moralitas, psikologi,
masyarakat, beserta dengan aspek-aspeknya yang lebih rinci lagi, dan sebagainya. Hal itu
sendiri, memang bersifat multidimensional. Karena hal-hal di atas, maka muncul berbagai
macam pendekatan kajian sastra. Berikut pendekatan dalam kajian sastra.

PENDEKATAN KARYA SASTRA

1. PENDEKATAN OBJEKTIF
Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian kepada karya
sastra itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai struktur yang otonom
dan bebas dari hubungannya dengan realitas, pengarangm maupun pembaca.
Pendekatan ini juga disebut oleh Welek & Waren (1990) sebagai pendekatan intrinsik
karena kajian difokuskan pada unsur intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki
kebulatan, koherensi, dan kebenaran sendiri.
2. PENDEKATAN STRUKTURAL
Pendekatan struktural ini memandang dan memahami karya sastra dari segi struktur
karya sastra itu sendiri. Karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang otonom, berdiri
sendiri, bebas dari pengarang, realitas maupun pembaca (Teeuw, 1984). Dalam hal ini
setiap unsur dianalisis dalam hubungannya dengan unsur yang lain.
3. PENDEKATAN FORMALIS
Tujuan pokok formalisme adalah bukan dititik beratkan pada bagaimana sastra
dipelajari, melainkan lebih merujuk pada apa yang sebenarnya menjadi persoalan pokok
(subject matter) dari studi sastra itu sendiri. Metode formal yang digunakan, baik dalam
tradisi formalisme maupun sesudah menjadi strukturalisme, bahkan sesudah
strukturalisme, adalah metode formal. Metode formal tidak merusak teks juga tidak
mereduksi, melainkan merekonstruksi dengan cara memaksimalkan konsep fungsi,
sehingga menjadikan teks sebagai suatu kesatuanyang teorganisirkan.

PENDEKATAN PENGARANG

1. PENDEKATAN EKSPRSIF
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra
memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra. Pendekatan
ini memandang karya sastra sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan atau
luapan perasaan dan pikiran sastrawan, atau sebagai produk imajinasi sastrawan yang
bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran atau perasaanya. Kerena itu, untuk
menerapkan pendekatan ini dalam kajian sastra, dibutuhkan sejumlah data yang
berhubungan dengan diri sastrawan, seperti kapan dan di mana dia dilahirkan,
pendidikan sastrawan, agama, latar belakang sosial budayannya, juga pandanga
kelompok sosialnya.
2. PENDEKATAN HISTORIS
Pendekatan historis mempertimbangkan historisitas karya sastra yang diteliti, yang
dibedakan dengan sejarah sastra sebagai perkembangan sastra sejak awal hingga
sekarang, sastra sejarah sebagai karya sastra yang mengandung unsur-unsur sejarah,
novel sejarah, dan novel dengan unsur-unsur sejarah. Pendekatan historis memusatkan
perhatian pada masalah bagaimana hubungannya dengan karya lain sehingga dapat
diketahui kualitas unsur-unsur kesejarahannya. Pendekatan historis pada umumnya
lebih relevan dalam kerangka sejarah tradisional, sejarah sastra, dan periode-periode
tertentu dengan objek karya-karya sastra individual.
3. PENDEKATAN GENETIK
Strukturalisme genetik merupakan teori di bawah payung sosiologi sastra.
Strukturalisme genetik lahir dari seorang sosiolog Perancis, Lucien Goldmann.
Kemunculannya disebabkan, adanya ketidakpuasan terhadap pendekatan
strukturalisme, yang kajiannya hanya menitikberatkan pada unsur-unsur instrinsik tanpa
memperhatikan unsur-unsur ekstrinsik karya sastra, sehingga karya sastra dianggap
lepas dari konteks sosialnya.
Strukturalisme genetik mencoba untuk memperbaiki kelemahan pendekatan
Strukturalisme, yaitu dengan memasukkan faktor genetik di dalam memahami karya
sastra. Strukturalisme Genetik sering juga disebut strukturalisme historis, yang
menganggap karya sastra khas dianalisis dari segi historis. Goldmann bermaksud
menjembatani jurang pemisah antara pendekatan strukturalisme (intrinsik) dan
pendekatan sosiologi (ekstrinsik).
4. PENDEKATAN ROMANTISME
Aliran romantisme membawa pengarang ke dalam suasana romantisme yang
menghasilkan karangan yang menggugah hasrat mengenai perasaan baik bagi
pengarangnya maupun penikmatnya. Pengamatan dari sang pengarang yang
ditumpahkan lewat bahasa yang tidak biasa atau bukan bahasa sehari-hari. Aliran
romantisme mempengaruhi sedikit banyak isi dan makna dari setiap karangan yang
tercipta, baik secara keseluruhan atau dari inti-intinya saja. Makna yang terkandung
menjadi bahan refleksi tersendiri yang dapat membuat pribadi menjadi lebih baik dari
sebelumnya, terutama dalam hal perasaan yang halus. Persaan dan logika tidak jarang
dapat sejalan meskipun saling melengkapi satu sama lain karena perasaan lahir dari hati
nurani yang dimilki setiap insan pastinya.
PENDEKATAN PEMBACA

1. PENDEKATAN PRAGMATIK
Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai
sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan
tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama, maupun tujuan yang
lain. Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut
keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacannya (Pradopo, 1994).
Dalam praktiknya, pendekatan ini mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan
fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun fungsi sosial
lainnya. Semakin banyaknya nilai-nilai tersebut terkandung dalam karya sastra makan
semakin tinggi nilai karya sastra tersebut bagi pembacannya.
2. NEW CRITICISM
New criticism merupakan aliran kritik sastra di Amerika Serikat yang berkembang
antara tahun 1920-1960. Istilah new criticism pertama kali dikemukakan oleh John
Crowe Ransom dalam bukunya The New Criticism (1940) dan ditopang oleh I.A. Richard
dan T.S. Eliot. Sejak Cleanth Brooks dan Robert Penn Warren menerbitkan buku
Understanding Poetry (1938), model kritik sastra ini mendapat perhatian yang luas di
kalangan akademisi dan pelajar Amerika selama dua dekade. Penulis new criticism
lainnya yang penting adalah: Allen Tate, R.P. Blackmur, dan William K. Wimsatt, Jr.
(Abrams, 1981: 109-110). Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap kritik sastra
sebelumnya yang terlalu fokus pada aspek-aspek kehidupan dan psikologi pengarang
serta sejarah sastra. Para new criticism menuduh ilmu dan teknologi menghilangkan nilai
perikemanusiaan dari masyarakat dan menjadikannya berat sebelah. Manurut mereka,
ilmu tidak memadai dalam mencerminkan kehidupan manusia. Sastra dan terutama
puisi merupakan suatu jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan lewat pengalaman. Tugas
kritik sastra adalah memperlihatkan dan memelihara pengetahuan yang khas, unik dan
lengkap seperti yang ditawarkan kepada kita oleh sastra agung (Van Luxemburg dkk,
1988: 52-54).
Sekalipun para new criticism tidak selalu kompak, mereka sepakat dalam
memandang karya sastra sebagai sebuah kesatuan organik yang telah selesai, sebuah
gejala estetik yang telah melepaskan kondisi subjektifnya pada saat karya itu
diselesaikan. Hanya dengan menganalisis susunan dan organisasi sebuah karya sastra,
dapat diperlihatkan inti karya seni itu menurut arti yang sesungguhnya. Menurut T.S.
Eliot, sebuah puisi pertama-tama adalah puisi, bukan sesuatu yang lain, suatu objek yang
otonom dan lengkap.
Para new criticism menganggap berbagai model kritik yang berorientasi kepada aspek-
aspek di luar karya sastra sebagai suatu kesalahan besar. Orientasi kepada maksud
pengarang disebut sebagai suatu penalaran yang sesat. Makna sebuah puisi juga jangan
dikacaukan dengan kesan yang diperoleh pembaca karena kita dapat terjerumus dalam
struktur sintaksis dan semantiknya. Untuk mengetahui arti itu kita harus
mempergunakan pengetahuan kita mengenai bahasa dan sastra. Sejauh hidup
pengarangnya dapat dipergunakan sejauh dapat menerangkan makna kata kata khusus
yang dipergunakan dalam karyanya. Selain itu, pemahaman terhadap konteks
penggunaan bahasa sangat ditekankan.
Menurut mereka, komponen dasar karya sastra, baik lirik, naratif, maupun dramatik
adalah kata-kata, citraan/imagi, dan simbol-simbol, bukan watak, pemikiran ataupun
plot. Elemen-elemen linguistik ini sudah diorganisasikan di seputar sebuah tema sentral
dan mengandung tensi atau maksud, ironi dan paradoks dalam strukturnya yang
merupakan muara pertemuan berbagai impuls dan kekuatan yang berlawanan.
Pandangan-pandangan kaun new critics, bagaimanapun tetap berguna karena
mermpertajam pengertian kita terhadap puisi yang terkadang sukar dipahami. Meskipun
demikian, pendangan mereka terlalu mengutamakan puisi daripada jenis sastra lainnya
menyebabkan teori sastra mereka dipandang kurang utuh. Mereka juga menyadari
bahwa tidak hanya the words on the page yang mengemudikan tafsiran mereka
melainkan juga cita-cita dan praduga-praduga mereka telah ikut berperan di dalamnya
(Van Luxemburg dkk. 1986: 54).

PENDEKATAN TEKS LAIN

1. INTERTEKS
Kajian intertekstual dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks
(lengkapnya: teks kesastraan), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan
tertentu. Misalnya, untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsik seperti
ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, dan gaya bahasa di antara teks-teks yang
dikaji. Secara lebih khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan
aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya dan pada karya yang
muncul kemudian.
Intertekstual yaitu membandingkan, menjajarkan, dan mengontraskan sebuah teks
transformasi dengan hipogramnya.
Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih
penuh terhadap karya sastra. Penulisan dan pemunculan sebuah karya sering ada
kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga memberi makna secara lebih lengkap
jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan (Teeuw dalam Nurgiyantoro, 1995:50).
Masalah ada tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang dan
tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini, Luxemburg (dalam Nurgiyantoro, 1995:50),
mengartikan intertekstualitas sebagai : “kita menulis dan membaca dalam suatu
‘interteks’ suatu tradisi budaya, sosial dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap
teks bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks
sebelumnya”.
Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tak mungkin lahir
dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di
masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis
sebelumnya. Dalam hal ini dapat diambil contoh, misalnya sebelum para penyair
Pujangga Baru menulis puisi-puisi modernnya, di masyarakat telah ada berbagai bentuk
puisi lama, seperti pantun dan syair, mereka juga berkenalan dengan puisi-puisi
angkatan 80-an di negeri Belanda yang juga telah mentradisi.
2. DEKONTRUKSI
Dekonstruksi berasal dari bahasa latih, yaitu dari kata kata de dan construktio. Kata
de memiliki arti ke bawah, pengurungan, atau terlepas dari, sedangkan kata Construktio
berarti bentuk, susunan, hal menyusun, dan hal mengatur. Dekonstruksi dapat diartikan
sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai
bentuk yang sudah baku.
Tokoh terpenting dekonstruksi adalah Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang
kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis. Dekonstruksi dikembangkan
atas dasar pemahaman sepihak tradisi kritik, yaitu yang semata-mata memberikan
perhatian terhadap ucapan.
Dekontruksi adalah cara membaca teks sebagai srategi.
Dekonstruksi tidak hanya ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi juga ditunjukkan
melalui nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu yang ada
dalam teks. Dengan demikian dekontruksi tidak hanya melibatkan diri dalam kajian
wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara
efektif mentranformasikan hakikat wacana atau teks.

PENDEKATAN KEHIDUPAN MASYARAKAT

1. PENDEKATAN MIMETIK
Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra berupa
memahami hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Kata mimetik berasal
dari kata mimesis (bahasa Yunani) yang berarti tiruan. Dalam pendekatan ini karya sastra
dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan (Abrams, 1981). Untuk dapat
menerapkannya dalam kajian sastra, dibutuhkan data-data yang berhubungan dengan
realitas yang ada di luar karya sastra. Biasanya berupa latar belakang atau sumber
penciptaa karya sastra yang akan dikaji. Misal novel tahun 1920-an yang banyak
bercerita tentang "kawin" paksa. Maka dibutuhkan sumber dan budaya pada tahun
tersebut yang berupa latar belakang sumber penciptaannya.
2. PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA
Pendekatan sosiologi sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik.
Pendekatan ini memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek
sosial kemasyarakatannya. Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa
keberadaan karya sastra tidak dapat lepas dari realitas sosial yang terjadi di suatu
masyarakat (Sapardi Djoko Damono 1979).
3. PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA
Wellek & Waren (1990) mengemukakan empat kemungkinan pengertian. Pertama
adalah studi psikologi pengarang sebgai tipe atau pribadi. Kedua studi proses kreatif.
Ketiga studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra.
Pengertian keempat menurut Wellek & Waren (1990) terasa lebih dekat pada sosiologi
pembaca.
4. POSKOLONIALISME
Poskolonial adalah pendekatan poststruktural yang diterapkan pada topik khusus.
Tetapi pendekatan poskolonial segaligus juga merupakan respons dan cermin
"kekecewaan" kritikus asal dunia ketiga terhadap teori-teori potstruktural, terutama
yang diformulasikan oleh Derrida dan Barthes” (Budianta, 2004: 49).
”Teori poskolonial mengakui bahwa wacana kolonial merasionalkan dirinya melalui
oposisi yang kaku seperti kedewasaan/ketidakdewasaan, beradab/biadab,
maju/berkembang, progresif/primitif” (Gandhi, 2001: 44).
”Kesusastraan poskolonial ialah kesusastraan yang membawa pandangan subversif
terhadap penjajah dan penjajahan” (Aziz, 2003: 200).
Pada tahapan yang paling mendasar, postkolonial mengacu kepada praktik-praktik
yang berkaitan dan menggugat hierarki sosial, struktur kekuasaan, dan wacana
kolonialisme. Pembacaan poskolonial berusaha menjelaskan bagaimana suatu teks
mendestabilisasi dasar pikiran kekuatan kolonial, atau bagaimana teks-teks tersebut
mengedepankan efek kolonialisme.
Griffiths dan Tiffin sebagaimana dikutip Aziz (2003: 201) menjelaskan bahwa
postkolonial merujuk kesan ataupun reaksi kepada kolonialisme semenjak ataupun
selepas penjajahan. Sebenarnya, penjajahan masih berlangsung di setengah negara, dan
pengalaman negara-negara ini diterjemahkan sebagai neokolonialisme oleh para
golongan Markis. Mereka berpendapat bahwa penjajahan kini bukan lagi dalam konteks
politik saja tetapi ekonomi serta budaya. Dalam koneks kesusasteraan paskolonial,
karya-karya yang dihasilkan semasa atau selepas penjajahan diterima sebagai karya
kesusasteraan paskolonial apabila karya itu merekamkan atau memancarkan wancana
pascakolonial. Dengan kata lain, kesusasteraan poskolonial tidak terikat dengan masa,
tetapi terikat dengan wacana poskolonial.
Pernikiran-pemikiran Foucault tentang pengetahuan/kekuasaan dimanfaatkan oleh
sejumlah pemikir yang menggagas teori poskolonial. Teori dan kritik poskolonial yang
marak sejak tahun 1980-an di Amerika Serikat, lnggris, dan Australia pada awalnya
dipelopori oleh Leopold Senghor, Dominique O'manononi, Aimme Cesaire, Frants
Fannon, dan Albert Memmi, yang menyorot berbagai aspek dan dimensi pengalaman
penjajahan. Bedanya, generasi yang mengembangkannya kemudian, misalnya Edward
Said dan Hhomi Bhaba, sangat dipengaruhi oleh pemikiran poststrukturalis, terutama
Derrida dan Foucault (Budianta, 2004:49).
Sesungguhnya wacana poskolonial memperjuangkan politik pertentangan, namun,
ada yang berpendapat bahwa hal ini tidak boleh disamakan dengan antikolonialisme
seperti yang ditegaskan oleh Bussnett (Aziz, 2003: 200) yang melihat paskolonialisme
berbeda dari pada anti kolonialisme karena wacana yang ini tidak terlepas dengan
menerima hakikat kesan penjajahan terhadap yang dijajah, dengan kata lain, walaupun
wacana poskolonial ataupun poskolonialisme memberi reaksi yang menolak hegemoni
dan autoriti barat, namun kesan hubungan yang kompleks antara penjajah dengan yang
dijajah telah memberi kesan pada pembentukan budaya poskolonial, dan seterusnya
mempengaruhi pembentukan kesusasteraan poskolonial.
Beberapa topik yang dikembangkan oleh poskolonial adalah masalah ras, etnisitas,
dan identitas budaya. Pembicaraan mengenai topik¬-topik ini didasari oleh asumsi yang
telah digariskan sejak Derrida, yakni bahwa segala sesuatu bentuk identitas merupakan
bangunan (atau anggitan) sosial, bukan merupakan suatu esensi yang telah ditentukan
secara biologis (Budianta, 2004:51).
Objek penelitian poskolonial menurut Ashcroft (Ratna, 2008:90) mencakup aspek-
aspek kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal terjadinya
kolonisasi hingga sekarang, termasuk berbagai efek yang ditimbulkannya. Walia (Ratna,
2008:90) mendefinisikan objek postkolonialisme sebagai segala tulisan yang berkaitan
dengan pengalaman kolonial. Ratna (2008:90) menjelaskan bahwa yang dimaksudkan
dengan teori poskolonial adalah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai
gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya,
yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.rumpunsastra.com/2014/09/pendekatan-dalam-kajian-sastra.html

https://www.academia.edu/4311894/Formalisme_dan_Strukturalisme

https://www.academia.edu/11324399/Paper_Teori_Metode_Pendekatan_dalam_Penelitia
n_Sastra?auto=download

https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/pesona-puisi/teori-strukturalisme-genetik/

http://sastrauntukhidup.blogspot.co.id/2010/12/kaitan-aliran-romantisme-dengan-
karya.html

http://ssgpelajarbahasa.blogspot.co.id/2011/11/pendekatan-intertekstual.html

http://mysastrapedia.blogspot.co.id/2016/11/teori-dekonstruksi-sastra.html

http://sastra33.blogspot.co.id/2011/05/new-criticism.html

http://ithasartika91.blogspot.co.id/2011/02/pendekatan-poskolonial-dalam-mengkaji.html

Anda mungkin juga menyukai