Anda di halaman 1dari 22

Sastra Anak:

 Sastra anak masih terpinggirkan dalam khazanah


kesusastraan di Indonesia. Sampai saat ini tidak banyak
penelitian yang memperhatikan tentang sastra anak.
Hal ini terjadi karena sastra anak dianggap remeh dan
rendah dibandingkan sastra dewasa. Padahal,
perkembangan kognisi, emosi dan keterampilan anak
tidak bisa lepas dari peran karya sastra. Buktinya
sekalipun dalam gempuran budaya elektronik barat,
sampai saat ini sastra anak masih digunakan oleh orang:
guru dan orang tua serta masyarakat pada umumnya
sebagai media untuk menamkan nilai-nilai edukasi dan
moral kepada anak-anak. (Kurniawan, 2009: 1)
 Kajian sastra anak melibatkan tiga elemen, yakni teks, anak-anak, dan
kritik (sastra) orang dewasa (Hunt, 2005:15). Karya sastra anak-anak
meliputi teks yang secara sadar maupun di bawah sadar menunjukkan
konstruksi tentang anak-anak, baik karakter maupun situasi yang
terbangun dalam cerita.
 Keberadaan serta keadaan tokoh-tokoh atau karakter umum
(komunalitas) dalam teks menunjukkan kesadaran status tidak
diberdayakan, baik mengontrol, menanyakan atau bahkan melakukan
hal yang sebaliknya. Sementara orang dewasa terlibat dalam membaca,
menulis bahkan meneliti teks sebagaimana anak-anak terlibat dengan
wacana orang dewasa.
 Kajian sastra secara akademis umumnya berfokus pada penemuan
makna dalam cerita (Tomlison-Brown, 2002:8). Ada yang berusaha
menemukan pandangan tertentu dalam karya sastra dengan meneliti
kehidupan pengarangnya. Beberapa peneliti menginterpretasikan karya
sastra dengan mengaitkannya dalam kondisi atau situasi secara politis
dan sosial saat karya sastra tersebut dituliskan. Peneliti lain menganalisis
karya sastra atas pandangan tertentu masa lalu yang masih
memengaruhi cara pandang dan sikap tertentu saat ini. Pandangan
tersebut merujuk pada kritik struktural atau kritik baru.
 Abrams dalam bukunya The Mirror andThe Lamp, mengatakan
bahwa ada empat macam pendekatan berdasarkan situasi karya
sastra secara menyeluruh, yakni, pendekatan mimetik,
ekspresif, objektif, dan pragmatik.

1. Pendekatan Mimetik
Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang memandang
bahwa, karya sastra adalah sebuah bentuk tiruan dari alam. Dalam
hal ini, pengarang
melakukan kerja selektif untuk mengambil dan memilih kenyataan
yang ditemukan di lapangan untuk diambil dan diolah menjadi
karya sastra dengan menggunakan daya kreativitasnya.
Pendekatan mimetik dalam karya sastra memandang bahwa
karya sastra tidak hanya merupakan tiruan, melainkan
sekaligus sebagai sebuah bentuk kreativitas.
Kajian mimetik terhadap karya sastra dapat dilakukan dengan
mencoba menelaah fakta cerita yang ada dalam karya sastra.
Fakta cerita yang terdiri dari penokohan, latar, dan konflik
adalah elemen penting yang biasa diambil atau dimanfaatkan
untuk menekankan fungsi komunikasi dalam karya sastra.
2. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang memusatkan
perhatiannya pada pengarang, pendekatan terhadap karya sastra
yang sebenarnya dikembangkan oleh kaum romantik sejak abad 19.
Kaum Romantik memandang pengarang sebagai makhluk yang
jenius. Sehingga, pengarang acap kali disamakan dengan burung
nightingale yang bersuara indah dalam kesunyian di malam hari. Para
pengarang dianggap sebagai orang yang jenius karena
menyampaikan pemikiran-pemikiran kreatif dalam karyanya. Ada
beberapa tahap kerja dalam pendekatan ekspresif. Pertama, pengkaji
harus mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai latar
belakang pengarang. Latar belakang ini bisa berupa pendidikan,
ekonomi, sosial, agama, dan lain-lain yang kemungkinan bisa
mempengaruhi pengarang dalam menciptakan karyanya. Kedua,
mencari kemungkinan karakteristik atau pengaruh latar belakangnya
terhadap karya yang diciptakan. Latar belakang daerah juga memiliki
kemungkinan pengaruh terhadap karya sastra yang dihasilkan.
3. Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif menurut Abrams adalah pendekatan
yang menitik beratkan pada karya sastra itu sendiri. Artinya,
kajian-kajian terhadap karya sastra dilakukan secara tertutup
(close reading). Pendekatan objektif dilakukan dengan
menganalisis struktur dalam karya sastra itu sendiri. Pengkaji
karya sastra dengan pendekatan objektif biasanya akan memulai
penelaahannya dengan mengkaji unsur pembangun di dalam
karya itu (intrinsik).
Apabila yang dikaji adalah fiksi, misalnya, maka yang perlu dikaji
antara lain tema, penokohan, alur, setting, gaya bahasa, sudut
pandang. Sedangkan untuk mengkaji puisi, misalnya, seorang
pengkaji harus memulai kajiannya dengan membaca secara
heuristik, meliputi diksi, citraan, bunyi, bahasa kiasan, dan
persajakan. Sedangkan untuk mengkaji drama, maka kajiannya
difokuskan pada aspek penokohan, setting, alur, gaya bahasa,
dan tema.
4. Pendekatan Pragmatik
Dalam sastra, pembaca akan diantarkan kepada
“kebenaran” dan pengetahuan melalui cara yang menyenangkan
(Selden, 2003:91). Tokoh yang diciptakan, konflik yang disajikan,
tantangan untuk menyelesaikan masalah dalam cerita adalah
sarana-sarana yang akan mengantarkan pembaca pada
“katharsis” (Pradopo, 2002:102, Bressler, 1999:24).
Kajian terhadap nilai dan manfaat sastra anak bagi
kehidupan adalah bagian dari pendekatan pragmatik dalam
sastra. Abrams (1976:15) memaknai pendekatan pragmatik
sebagai sebuah pendekatan yang berorientasi pada pembaca
selaku penerima pesan. Istilah pragmatik menunjuk pada efek
komunikasi seni yang dirumuskan oleh Horatius sebagai dulce et
utile. Fungsi menghibur dan bermanfaat yang menjadi perhatian
utama dalam mengkaji karya sastra.
 Strukturalisme
Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia
yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur.
Adapun asumsi dasar dari kajian ini adalah bahwa karya
sastra merupakan suatu karya yang otonom dapat dipahami
sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur
pembangunnya yang saling berjalinan satu sama lain.
Ada tiga bentuk strukturalisme itu; strukturalisme klasik,
strukturalisme genetik dan strukturalisme dinamik.
Struktulalisme klasik, adalah strukturalisme yang
paling awal. Ia merupakan strukturalisme paten. Kajian yang
hanya mengkaji struktur semata. Dalam kajian sastra,
struktur macam ini, tidak peduli dengan hal lain kecuali yang
berkaitan dengan struktur di dalam karya sastra. Tak ada hal
lain yang perlu diteliti kecuali struktur karya sastra.
 Semiotik

Secara sederhana semiotik berarti ilmu tentang


tanda. Ia mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan,
konvensi-konvensi, yang memungkinkan tanda-tanda
tersebut mempunyai arti. Ia memiliki tujuan untuk
mengetahui sistem tanda-tanda dengan menentukan
konvensi-konvensi apa saja yang memungkinkan karya
sastra mempunyai makna. Kajian semiotik ini
mempunyai asumsi dasar bahwa fenomena sosial atau
masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-
tanda.
 Intertekstual

Intertekstual merupakan kajian teks yang


melibatkan teks lain dengan mencari dan menelaah
hubungan tersebut. Suatu teks, dalam kaca mata
intertekstual, lahir dari teks-teks lain dan harus
dipandang sesuai tempatnya dalam keluasan tekstual.
Pendekatan ini memiliki asumsi bahwa karya sastra
tidak lahir dari kekosongan budaya, termasuk sastra.
Karya sastra merupakan respon pada karya sastra yang
terbit sebelumnya. Bahwa suatu teks penuh dengan
makna bukan hanya mempunyai struktur tertentu,
suatu karangan yang menentukan dan mendukung
bentuk, tetapi juga karena teks itu berhubungan
dengan teks lain.
 Resepsi

Suatu karya sastra tidak akan sama pembacaan,


pemahaman dan penelitiannya sepanjang masa dalam seluruh
golongan masyarakat tertentu. Karya sastra sejak ia diterbitkan,
selalu akan mendapat tanggapan dari pembacanya. Demikian
asumsi dari para pengkaji sastra lewat pendekatan resepsi.
Mereka dalam mengkaji karya sastra, titik tekan yang dicapat,
adalah respon pembaca.
Cara menerapkannya adalah pertama, secara eksperimental
yaitu dengan menetapkan objek-objek estetik karya sastra
kemudian menetapkan perbedaan dan persamaan objek-objek
estetik tersebut yang kemudian pada akhirnya menentukan
relasi antar objek tersebut. Tujuannya adalah untuk
mengungkap reasksi pembaca masa kini. Kedua, kritik sastra.
Ketiga, secara intertekstual. Dengan cara meneliti fenomena
resepsi pengarang terhadap yang pernah dibacanya dilibatkan
dalam ciptaannya dengan menelaah terhadap hiporam-nya.
 Stilistika
Secara bahasa, stilistika berarti pemakaian atau
penggunaan bahasa dalam karya sastra. Sedangkan dalam
pengertiannya secara umum, dapat dikatakan, bahwa ia
merupakan bagian dari ilmu linguistik yang memusatkan
perhatiannya kepada variasi penggunaan bahasa. Fokus
penelitian stilistika terhadap sastra adalah untuk menentukan
suatu prinsip yang mendasari kesatuan karya sastra dan dapat
menemukan suatu tujuan estetika umum yang menonjol dalam
sebuah karya sastra, yang mungkin juga dapat diarahkan untuk
membahas isi.
 Sosiologi Sastra
Sastra dapat menumbuhkan sikap sosial tertentu atau
bahkan mencetuskan peristiwa tertentu. Sastra merupakan
institusi sosial yang ditentukan oleh sastrawan sebagai anggota
masyarakat. Dari asumsi ini maka lahirlah kajian sastra
menggunakan pendekatan sosial yang disebut dengan sosiologi
sastra.
Sosiologi sastra mempunyai tiga sasaran yang dibahas.
Sasaran pertama adalah bahwa ia mengkaji fungsi sosial dari
sebuah karya sastra: apakah karya sastra yang dikajinya ini
memposisikan dirinya sebagai Nabi, atau ia menganggap karya
sastranya sebagai penghibur saja, atau mengkompromikan
keduanya? Sasaran kedua adalah konteks sosial dari sastrawan
itu sendiri yang meliputi; apa dan bagaimana pencaharian
pengarang, profesionalisme kepengarangannya dan
masyarakat yang dituju pengarang. Dan sasaran yang ketiga
adalah bahwa sejauh mana karya itu mencerminkan sebuah
masyarakat.
 Sosiologi Sastra
Sastra dapat menumbuhkan sikap sosial tertentu atau
bahkan mencetuskan peristiwa tertentu. Sastra merupakan
institusi sosial yang ditentukan oleh sastrawan sebagai anggota
masyarakat. Dari asumsi ini maka lahirlah kajian sastra
menggunakan pendekatan sosial yang disebut dengan sosiologi
sastra.
Sosiologi sastra mempunyai tiga sasaran yang dibahas.
Sasaran pertama adalah bahwa ia mengkaji fungsi sosial dari
sebuah karya sastra: apakah karya sastra yang dikajinya ini
memposisikan dirinya sebagai Nabi, atau ia menganggap karya
sastranya sebagai penghibur saja, atau mengkompromikan
keduanya? Sasaran kedua adalah konteks sosial dari sastrawan
itu sendiri yang meliputi; apa dan bagaimana pencaharian
pengarang, profesionalisme kepengarangannya dan
masyarakat yang dituju pengarang. Dan sasaran yang ketiga
adalah bahwa sejauh mana karya itu mencerminkan sebuah
masyarakat.
 Dekonstruksi
Dekontruksi lahir dilatarbelakangi dari sikap seorang filsuf
kontemporer bernama Jaques Derrida yang menolak
logosentrisme. Logosentrisme adalah keinginan akan suatu
pusat atau suatu “kehadiran” akan sabda Tuhan, yang mampu
menjelaskan segalanya. Ia merupakan sebuah usaha yang terus-
menerus untuk menghancurkan dan meniadakan pemusatan
(decentering). Cara Derrida menjalankan misinya itu adalah
dengan membangun teori semiotik yang disebut “gramatologi”,
yaitu mempertanyakan kembali tanda dan tulisan dengan
menolak konsep tanda Sassure penanda dan petanda, dengan
konsep “jejak” (trace) yang misterius dan tidak terungkap
(imprecitible), deferinsiasi dan tulisan.
 Feminisme
Feminisme merupakan gerakan yang menyuarakan
ketidakadilan dan ketidaksetaraan peran antara laki-laki dan
perempuan. Teori feminis dimaksudkan untuk memahami
ketidaksetaraan dan difokuskan pada politik gender, hubungan
kekuasaan, dan seksualitas.

 Formalisme
Formalisme merupakan sebuah cara mengkaji karya sastra
yang difokuskan pada bentuk daripada isi. Teori formalis lebih
berkonsentrasi pada pembahasan fitur-fitur teks, khususnya
properti-properti bahasa yang digunakan daripada konteks
penciptaan karya dan konteks penerimaannya.
• http://www.fkipunisma.ac.id/wp-
content/uploads/2016/08/KAJIAN-
FEMINISME-DALAM-SASTRA-ANAK-
ADOBSI-Solo-April-2015.pdf

• http://ikharizmaputrirahayu.blogspot.co.id/2
012/01/macam-macam-pendekatan-
sastra.html

Anda mungkin juga menyukai