Disusun Oleh :
Dosen Pengampu :
Agung Nugroho, M. Pd
Pengertian sastra menurut KBBI 2008: adalah “Karya tulis yang bila dibandingkan
dengan tulisan lain, ciri-ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam
isi dan ungkapannya”. Karya sastra berarti karangan yang mengacu pada nilai-nilai
kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah.Sastra memberikan wawasan yang
umum tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual, dengan caranya yang
khas.Pembaca sastra dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan
wawasannya sendiri.Untuk mempelajari sastra lebih dalam lagi, setidaknya terdapat 5
karakteristik sastra yang mesti dipahami.Pertama, pemahaman bahwa sastra memiliki
tafsiran mimesis.Artinya, sastra yang diciptakan harus mencerminkan kenyataan.Kedua,
manfaat sastra. Mempelajari sastra mau tidak mau harus mengetahui apa manfaat sastra
bagi para penikmatnya. Dengan mengetahui manfaat yang ada, paling tidak mampu
memberikan kesan bahwa sastra yang diciptakan berguna untuk kemaslahatan
manusia.Ketiga, dalam sastra harus disepakati adanya unsur fiksionalitas.Unsur
fiksionalitas sendiri merupakan cerminan kenyataan, merupakan unsur realitas yang
tidak ‘terkesan’ dibuat-buat.Keempat, pemahaman bahwa karya sastra merupakan
sebuah karya seni.Kelima, setelah empat karakteristik ini kita pahami, pada akhirnya
harus bermuara pada kenyataan bahwa sastra merupakan bagian dari masyarakat.Sastra
terbagi menjadi sastra lisan dan tulisan.Sastra lisan adalah karya sastra yang
diekspresikan langsung secara verbal, sedangkan sastra tulisan berkaitan dengan
berbagai macam karya dalam bentuk tulisan.Dalam perkembangannya istilah sastra
dengan sastrawi mempunyai perbedaan makna.Sastra diartikan lebih terbatas pada
bahasa tulisan sedangkan sastrawi memiliki makna dan ruang lingkup lebih luas.Istilah
sastrawi merujuk pada sastra yang bersifat lebih puitis dan abstrak.Berbicara tentang
sastra berarti kita mencoba untuk menggali nilai-nilai keindahan yang terkandung dalam
bahasa.Dalam kemasyarakatan, sastra memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:
3. Fungsi estetis sastra memiliki unsur dan nilai-nilai keindahan bagi para
pembacanya.
Bahasa sastra bukan merupakan bahasa percakapan yang bersifat simple dan mudah
dimengerti, dalam hal ini yaitu sastra kuno yang menggunakan kaidah baku dan pola
yang kaku. Sedangkan sastra bebas atau prosa biasa menggunakan pola dan struktur
bahasa yang sederhana dan lebih bebas.Bahasa sastra mempunyai kedalaman makna
karena sering dipakai untuk mengungkapkan perasaan atau menyampaikan pesan moral
serta nilai-nilai kebajikan.Sastra juga biasa digunakan untuk mengabadikan sesuatu
yang berhubungan dengan nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa,seperti nilai agama,
sejarah, sosial, dan budaya suatu bangsa.
B. Teori Sastra
Teori sastra dalam arti sempit adalah studi sistematis mengenai sastra dan
metode untuk menganalisis sastra. Teori sastra indonesia adalah studi sistematis tentang
sastra dan metode untuk menganalisis sastra Indonesia. Teori sastra ialah cabang ilmu
sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra
yang membedakannya dengan yang bukan sastra. Pada hakikatnya, teori sastra
membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat di dalam karya sastra, baik konvensi
bahasa yang meliputi makna, gaya, struktur, pilihan kata, maupun konvensi sastra yang
meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar, dan lainnya yang membangun keutuhan
sebuah karya sastra.
Berikut adalah beberapa teori yang ada di dalam sastra, yaitu:
a. Teori Sosiologi Sastra Teori sosiologi sastra menurut Sumarjan (1990 : 5)
adalah suatu ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial
termasuk dengan perubahan-perubahannya.
b.Teori Feminisme Teori feminisme adalah teori yang menjelaskan cara
penggambaran dan menjelaskan potensi-potensi yang dimiliki oleh
perempuan. c. Teori Psikologi Sastra Teori psikologi sastra adalah teori
kajian sastra yang memandang sastra sebagai aktivitas jiwa.
c. Teori Poskolonialisme Teori poskolonialisme (Gandhi, 2001 :44) adalah suatu
teori yang berkeinginan menyangkut akibat dan wacana kolonialisme di masa
kini. d. Teori Strukturalisme Teori strukturalisme adalah teori pendekatan
terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai
unsur teks. Dalam ilmu sastra pengertian “strukturalisme” sudah
dipergunakan dengan berbagai cara, yang dimaksudkan dengan istilah
“struktur” ialah kaitan-kaitan tetap antara kelompokkelompok gejala.
Kebanyakan penganut aliran strukturalis secara langsung atau tidak langsung
berkiblat pada strukturalisme dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand
De Saussure.
d. Teori Semiotik Teori semiotik adalah suatu teori yang mempelajari tentang
tanda, yang terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar.
e. Teori Stilistika Teori stilistika menurut Kridalaksana (1983: 15) adalah teori
yang menyelidiki bahasa yang digunakan dalam karya sastra.
f. Teori Formalisme Teori formalisme adalah teori yang digunakan untuk
menganalisis karya sastra mengutamakan bentuk dari karya sastra yang
meliputi teknik pengucapan sehingga sastra dapat berdiri sendiri sebagai
sebuah ilmu dan terbebas dari pengaruh ilmu lainnya.
g. Teori Strukturalisme Genetik Teori strukturalisme adalah suatu teori yang
menganalisis atau meneliti karya sastra yang menghubungkan antara struktur
sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia yang
diekspresikan.
h. Teori Resepsi Sastra Teori resepsi sastra adalah teori yang tidak berpusat pada
teks sastra, tetapi teks sastra dihubungkan dengan penerimaan pembaca.
C. Kritik Sastra
3.1 Pengertian Kritik Sastra
Secara etimologis kritik berasal dari kata krites (bahasa Yunani) yang
berarti hakim. Kata kerjanya adalah krinein (menghakimi). Kata tersebut
merupakan pangkal dari kata benda kriterion(dasar penghakiman) muncul
kritikos untuk menyebut hakim karya sastra (Wellek, 1978; Pradopo, 1997).
Pada abad ketujuh belas di Eropa dan Inggris kritik sastra meluas artinya yaitu,
meliputi semua sistem teori sastra dan kritik praktik. Seringkali juga
menggantinya dengan istilah poetika. Sedangkan di Jerman pengertian kritik
sastra menyempit menjadi timbangan sehari-hari dan pendapat sastra mana suka.
Kemudian, istilah kritik sastra diganti dengan esthetik dan literaturwissenschaft
yang memasukkan poetika dan sejarah sastra. Selanjutnya, Wellek (1978)
mengemukakan bahwa kritik sastra adalah studi karya sastra yang konkret
dengan penekanan pada penilaiannya. Menurut Abrams (1981) kritik sastra
adalah suatu studi yang berkenaan dengan pembatasan, pengkelasan,
penganalisisan, dan penilaian karya sastra. Menurut Jassin (via Pradopo, 1994)
kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk suatu karya sastra, serta penerangan
dan penghakiman karyasastra. Selanjutnya, Pradopo (1994) mengatakan kritik
sastra yaitu ilmu sastra untuk menghakimi karya sastra, untuk memberikan
penilaian, dan memberikan keputusan bermutu atau tidak suatu karya sastra yang
sedang dihadapi kritikus. Semua pengertian tersebut diturunkan dari pengertian
etimologisnya, yaitu berkaitan dengan tindakan menghakimi (menilai baik buruk
atau bermutu tidaknya) karya sastra.
Kritik sastra merupakan suatu cabang studi sastra yang langsung
berhubungan dengan karya sastra dengan melalui interpretasi (penafsiran),
analisis (penguraian), dan penilaian (evaluasi). Ketika melakukan kritik sastra,
kita akan melewati ketiga tahapan tersebut. Interpretasi adalah upaya memahami
karya sastra dengan memberikan tafsiran berdasarkan sifat-sifat karya sastra itu.
Dalam arti sempit, interpretasi adalah usaha untuk memperjelas arti bahasa
dengan sarana analisis, parafrasa, dan komentar. Dalam arti luas interpretasi
adalah menafsirkan makna karya sastra berdasarkan unsur-unsurnya beserta
aspek-aspeknya yang lain, seperti jenis sastranya, aliran sastranya, efek-efeknya,
serta latar belakang sosial historis yang mendasari kelahirannya (Abrams, 1981;
Pradopo, 1982).
Analisis adalah penguraian karya sastra atas bagian-bagian atau norma-
normanya (Pradopo, 1982). Dalam hal ini karya sastra merupakan sebuah
struktur yang rumit (Wellek, 1956; Hawkes, 1978) dan dengan dilakukan
analisis, karya sastra yang kompleks dan rumit dapat dipahami.
Penilaian adalah usaha menentukan kadar keindahan (keberhasilan) karya
sastra yang dikritik. Penentuan nilai suatu karya sastra tidak dapat dilakukan
secara semena-mena, tetapi harus berdasarkan pada fenomena yang ada dalam
karya yang akan dinilai, kriteria dan standar penilaian, serta pendekatan yang
digunakan.
Ketika mengkritik karya sastra, maka ketiga aktivitas itu tidak dapat kita
pisah-pisahkan. Dengan melakukan interpretasi dan analisis terhadap karya
sastra, maka kita akan dapat melakukan penilaian secara tepat. Demikian, pula
analisis tanpa dihubungkan dengan penilaian akan mengurangi kualitas analisis
yang kita lakukan (Pradopo, 1982). Selain kritik sastra, apresiasi sastra dan dan
penelitian (kajian) sastra. Kedua aktivitas itu, jugaberhubungan secara langsung
dengan karya sastra dan menjadikannya karya sastra menjadi objeknya.
Apresiasi (apreciation) berasal dari bahasa Inggris, yang berarti
penghargaan. Apresiasi sastra berarti penghargaan terhadap karya sastra. Seperti
halnya kritik sastra, apresiasi sastra juga berobjek karya sastra. Bedanya, melalui
penilaian terhadap karya sastra, kritik sastra berusaha untuk mencari kelebihan
dan kelemahan karya sastra. Sementara itu, apresiasi sastra berusaha menerima
nilai-nilai sastra sebagai sesuatu yang benar (Hartoko dan Rahmanto, 1986)
untuk selanjutnya memberikan penghargaan kepada karya sastra.
Penelitian atau kajian sastra adalah kegiatan menyelidiki, menganalisis,
dan memahami karya sastra secara sistematis dengan mendasarkan kepada
kerangka teori dan pendekatan ilmiah tertentu. Tujuan kajian sastra adalah untuk
memahami fenomena tertentu yang terdapat dalam karya sastra, termasuk
memahami makna karya sastra.
D. Perkembangan Sastra
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah 'sastra' (yang di Eropa baru
muncul sekitar abad ke-18 itu) pertama-tama digunakan untuk menyebut pemakaian
bahasa dalam bentuk tertulis.Fokus perhatian kepada 'bahasa tulis' itu menimbulkan
pertanyaan, misalnya apakah 'sastra' lisan tidak termasuk sastra?Apakah semua bentuk
tulisan (kedokteran, arsitektur, agama, filsafat, dan politik) juga dapat disebut sastra?
Ada upaya lain telah dilakukan untuk menghindari kerancuan pengertian tentang sastra.
Dalam bahasa Perancis, dipergunakanlah istilah belles-lettres (yang berarti: tulisan yang
indah dan sopan) sebagai istilah yang khas untukmenyebut karya sastra yang bernilai
estetik. Dalam bahasa Indonesia, ada teoretisi yang menyebut awalan -su dalam kata
susastra yang berarti: baik, indah, perlu dikenakan kepada karya-karya sastra untuk
membedakannya dari bentuk pemakaian bahas lainnya.
Pandangan-pandangan ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa ciri khas sastra adalah
pemakaian bahasa yang indah.Persoalannya adalah tidak semua karya sastra (terutama
terlihat pada seni-seni modern) menggunakan bahasa yang indah dan berbrrnga-
bunga.Foucault menyebutkan bahwa sastra modern lahir dan bertumbuh di dalam
kemapanan bahasa dan kungkungan pola-pola linguistik yang kaku.Oleh karena itu,
sastra modern berlomba-lomba mentransgresikan dirinya pada suatu ruang
abnormal.Sastra modern justru menawarkan suatu dunia dan bahasa yang aneh dalam
kesadaran masyarakatnya. Perhatikan "Fenomena Sade" (yang menekuni bahasa dan
keasingan dunia): sadisme dan seksualitas dieksplorasi dan dipertontonkan habis-
habisan. Pembaca justru diajak untuk merasa takut, jijik, ngeri, bodoh, emosi, marah,
dan diam. (Catatan: Sade adalah seorang sastrawan narapidana Perancis yang
memelopori model sastra ini. Pengitutnya antara lain Holderlin, Flaubert, Nietzche, dan
Baudelaire, Oscar Wilde).
Benarlah bahwa definisi mengenai 'sastra' dan upaya merumuskan 'ciri khas sastra'
sudah banyak dilakukan orang tetapi sampai sekarang agaknya belum memuaskan
semua kalangan.Van Luxemburyet.al.(1986: 3-13) menyebutkan alasan-alasan mengapa
definisi-definisi mengenai sastra tidak pernah memuaskan. Alasan-alasan itu adalah: 1)
Orang ingin mendefinisikan terlalu banyak sekaligus, tanpa membedakan definisi
deskriptif (yang menerangkan apakah sastra itu) dari definisi evaluatif (yang menilai
sesuatu teks rermasuk sastra atau tidak); 2) Sering orang ingin mencari sebuah definisi
ontologis yang normatif mengenai sastra (yakni definisi yang mengmgkapkan hakikat
sebuah karya sastra). Definisi sernacam ini cenderung mengabaikan fakta bahwa karya
tertentu bagi sebagian orang merupakan sastra tetapi bagi orang lain bukan sastra; 3)
Orang cenderung mendefinisikan sastra menurut standar sastra Barat; dan 4) Definisi
yang cul:up memuaskan hanya berkaitan dengan jenis sastra tertentu (misalnya puisi)
tetapi tidak relevan diterapkan pada sastra pada umumnya.
Para ahli kesusastraan umurnnya sepakat untuk mengatakan bahwa tidak mungkin
dirumuskan suatu definisi mengenai sastra secara universal.Apa yang disebut
'sastra''sangatlah tergantung pada lingkungan kebudayaan tertentu di mana sastra itu
dijalankan. 'sastra' hanyalah sebuah istilah yang dipergunakan untuk menyebut sejumlah
karya dengan alasan tertentu dalam lingtup kebtrdapan tertentu pula.
Yang dapat dilakukan untuk kepentingan studi sastra adalah merumuskan seperangkat
ciri-ciri teks yang disebut 'sastra' itu dengan berpijak pada asas kenisbian
historis.Memang mustahil merumuskan satu definisi sastra yang berlaku secara
universal.Namun di dalam praktik kita dapat membedakan teks-teks sastra dari tets-tets
yang bukan sastra.Teks-teks bukan sastra berfungsi dalam komunikasi praktis, siap
dipakai, dan dimanfaatkan.Teks-teks sastra tidak terutama memenuhi fungsi
komunikatif melainkan fungsi estetik dalam suatu lingkup kebudayaan tertenru.Agar
dapat memenuhi fungsi estetik itu suatu teks harus disusun secara ktras sesuai flsngan
model estetika yang berlaku dalam linglungan kebudayaannya.TeK-tels sastra
nerupakan modul kebudayaan png mengungkapkan nilai-nilai dan norma-norma
kebudayaan tersebut.Seperti kebudayaan dapat berubah demikian juga modul-modulnya
berubah.
Menurut (Siminto & Irawati, 2009) Apa yang terbayang dalam benak Anda
ketika mendengar kata 'sastra? Apa itu sastra? Mungkin saja yang terbayang dalam
benak Anda adalah suatu karya dengan bahasa berbunga-bunga. Atau sederetan judul
puisi, cerpen, novel, lengkap dengan nama pengarangnya. Secara intuitif mudah bagi
kita untuk mengetahui apa itu sastra. Jika kita mencoba untuk merumuskan definisi
sastra dalam kalimat secara tepat, mungkin kita akan kesulitan. Prof. A. Teeuw
mengemukakan bahwa ilmu sastra menunjukkan keistimewaannya, juga keanehan yang
mungkin tidak kita temui pada ilmu pengetahuan yang lain, yaitu bahwa objek
utamanya tidak tentu bahkan tidak karuan.Sastra dalam bahasa-bahasa Barat disebut
literature (lnggris), literatur (Jerman), litterature (Perancis), letterkunde (Belanda)
semuanya berasal dari bahasa Latin litteratura.Kata literatura sebetulnya diciptakan
sebagai terjemahan dari kata Yunani granmatika.Menurut asalnyalitteratura dipakai
untuk tatabahasa dan puisi. Dalam bahasa perancis dipakai kata lettre dan dalam bahasa
Belanda dipergunakan kata gelletterd yaitu orang yang berperadaban dengan kemahiran
khusus di bidang sastra, alau man of letters dalam bahasa lnggris (Curtius dalam Teeuw,
1988: 22). Literature dan seterusnya umumnya berarti dalam bahasa Barat modem
bermakna segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis.
Apakah sastra memiliki definisi yang sama dengan literature? Jika melihat
perbandingan arti dua kamus diatas terdapat perbedaan bahwa arti literature dalam
bahasa lnggris memiliki arti yang lebih luas daripada arti sastra dalam bahasa lndonesia.
Sastra, dalam bahasa melayu, berasal dari bahasa Sansekerta dari kata sas yang berarti
mengarahkan, memberi petunjuk, atau instruksi.Sedangkan -tra berarti alat atau sarana
untuk mengajar.Sastra bisa dimaknai buku petunjuk, tulisan, atau bahasa.Sastra lebih
banyak diailikan sebagai tulisan atau bahasa.Pengertian ini ditambah dengan awalan -su
yang berarti indah alau baik sehingga susasatra bermakna tulisan atau bahasa yang
indah dapat dlbandingkan dengan belles-letters dalam bahasa Perancis (Teeuw, 1988:
23 dan pndopo, 1997: 33).
Sastra dalam bahasa lndonesia berarti: (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai
di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari), (2) karya tulis, yang memiliki berbagai ciri
keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya, drama,
epik, dan larik, (3) kitab suci (Hindu), (kitab) ilmu pengetahuan, (4) pustaka, kihb
primbon (berisi) ramalan, hitungan, dan sebagainya, dan (5)tulisan, huruf (Kamus Besar
Bahasa lndonesia, 19BB: 786).
Dalam bahasa Arab, mengutip pendapat Teeuw, tidak ada sebuah kala yang artinya
bertepatan dengan sastra.Kata yang paling dekat adalahadab. Dalam arti sempit, adab
berartiberlles-lettres atau susastra, sekaligus bermakna kebudayaan (civilizationl atau
dalam kata arab lain adalah lamaddun. Ada berbagai kata yang menunjukkan ienis
sastra tertentu, seperti qashidah, dan kata syi’r yang berarti puisi.Meskipun demikian,
sastra sebagai konsep yang khas tidak diberi istilah yang umum dalam kebudayaan
Arab. Sementara dalam bahasa lndonesia, adab berarti kesopanan, kehalusan, dan
kebaikan budi pekerti atau akhlak (Lukman Ali dalam Muzakki,2006: 30).
Pada masa jahiliyah, orang Arab menggunakan kata adbun (bukan adab) yang berarti
undangan untuk menyantap makanan da'wah ilah thoam, suatu tradisi moral yang
terpuji.Pada masa permulaan lslam, kata adab merrcakup makna pendidikan lisan, budi
pekerti (akhlak), dan menjauhi perbuatan tercela. Pada masa Bani Umayyah, kata adab
berarti pengajaran, maka kala muadzib sama maknanya dengan kala mu'alim. Mereka
yang mengaiar anak-anak khalifah tentang syair, pidato, aneka berita, dan peristiwa
penting yang menimpa orang Arab layyan al-'anbl disebut dengan pendidik.Pendidikan
pada masa ini mencakup perlaku kehidupan yang baik, pendidikan budi pekerti, dan
pendidikan lisan (etika berbicara).Pada abad ketiga hijriah, kata adab hanya
dipergunakan untuk pengajaran sastra.
Abad keempat hijriah, menurut Thaha Husein, kala adab memiliki arti khusus dan arti
umum.Dalam arti khusus, adab bermakna katakata indah yang dapat dirasakan oleh
pembaca dan pendengar, baik berupa syair maupun prosa, sangat erat kaitannya dengan
emosi dan perasaan seseorang.Sedangkan dalam arti umum, adab bermakna hasil karya
pikir manusia yang tergambar dalam kata-kata, tertuang dalam tulisan, dan mengandung
nilai estetika.Karya ilmiah berupa ilmu pengetahuan termasuk adab dalam arti umum,
baik yang menimbulkan rasa indah dalam jiwa ataupun tidak.
Pada abad kelima hiiriah, kata adab mempunyai batasan makna yang jelas yaitu prosa
dan syair.Adab dalam pengertian makna yang umum telah menyempit setelah Madrasah
Nizhamiyah Bagdad menjadikan adab sebagai disiplin ilmu tersendiri (Muzakki,
2006:29-32).
BAB II
SASTRA DAN PERKEMBANGAN ZAMAN
A.Sastra Bandingan
Istilah sastra bandingan bersumber dari bahasa Inggris, yaitu comparative literature.
Sastra bandingan adalah suatu studi untuk membandingkan sastra dengan sastra atau
sastra dengan bidang lain, atau sastra dengan bidang lain (Damono, 2005). Penelitian
sastra bandingan belum termasuk popular jika dibandingkan dengan penelitian sastra
lainnya, seperti kritik sastra atau atau sosiologi sastra, hal ini dikarenakan, seperti yang
dikatakan Damono, “Pada hakikatnya setiap penelitian menggunakan langkah
membanding-bandingkan sebab hanya langkah ini kita bisa sampai pada pemahaman
suatu masalah”. Meskipun begitu, sebagai suatu studi sastra, sastra bandingan tetap baik
untuk digunakan pada penelitian sebuah karya sastra.
Menurut Wellek dan Warren ada tiga pengertian mengenai sastra bandingan.
Pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyat dan penyebarannya. Kedua,
penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi
bahan dan objek penyelidikannya, di antaranya, soal reputasi dan penetrasi, pengaruh,
dan kemasyhuran karya besar. Ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia,
sastra umum dan sastra universal.
Keempat, sastra dan bidang seni sastra disiplin lainnya. Pendekatan ini
digunakan untuk membandingkan sastra dengan bidang lain, misalnya seperti film.
Pendekatan ini juga bisa digunakan untuk membandingkan sastra dengan teori.
Kelima, sastra sebagai bahan pengembangan teori. Pendekatan ini paling sulit
sebab menuntut peneliti untuk menguasai suatu teori dalam bidang sastra. Damono
(2005: 117) memberikan contoh perbandingan teori resepsi dan tanggapan pembaca
terhadap suatu karya, misalnya Ramayana dan Mahabharata yang ditanggapi berbeda-
beda oleh pembaca dari berbagai negara yang mempunyai kebudayaan berbeda.
Sastra adalah produk budaya. Sebagai produk budaya, sastra Indonesia dapat berupa
cerita yang dilagukan, baik dengan tambahan tarian dan instrumen musik maupun tidak;
dapat berupa naskah tulisan tangan yang berhuruf Arab Melayu atau huruf yang
bersumber dari bahasa-bahasa daerah, seperti huruf Sunda, Jawa, Batak, dan Bali; dapat
juga berupa puisi, cerpen, novel, dan drama yang menggunakan huruf Latin dan
biasanya dalam bentuk cetakan, bahkan buku elektronik yang dapat dibaca di situs
internet dan telepon genggam. Fenomena sastra demikian dapat dikelompokkan ke
dalam tiga payung besar, yaitu sastra lisan, sastra klasik, dan sastra modern.
Sastra lisan dan sastra klasik setakat ini, meskipun perkembangannya tidak lagi
subur karena menjalarnya teknologi cetak dan elektronik, keberadaannya masih
merupakan khazanah sastra yang terpendam di berbagai daerah. Sastra yang demikian
disebut dengan sastra Nusantara atau sastra se-Indonesia (Teeuw, 1983). Hutomo (1991)
menyebutnya dengan ‘mutiara yang terlupakan’.
Sastra Indonesia modern adalah sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa
Indonesia setelah mendapat pengaruh dari kebudayaan asing dan dicetak dengan
menggunakan aksara Latin (Damono, 2004:3). Oleh karena itu, apabila ada karya sastra
Indonesia modern yang berlatar sastra nusantara (sastra lisan dan sastra lasik) belum
tentu merupakan terjemahan dari sastra berbahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia.
Hal itu dapat juga merupakan respons, reaksi, bahkan tolakan atau simpangan terhadap
sastra daerah yang merupakan teks dasar, teks rujukan, atau hipogramnya.
Metode berasal dari kata methodos (Latin) dengan pengertian lebih luas sebagai
suatu cara, strategi, yang ditempuh untuk melakukan dan mencapai sesuatu hal guna
memahami realitas tertentu secara sistematis, logis, teoritis, serta analitis. Metode dalam
suatu tindakan penelitian mengarahkan jalannya proses analisis terhadap suatu hal, yang
sebelumnya telah memiliki hipotesis, serta penghadiran fenomena untuk dikaji menjadi
tindakan yang ilmiah dalam dunia ilmu pengetahuan. Menerapkan metode dalam
tindakan analisis, berarti menerapkan suatu cara untuk digunakan pada saat
melaksanakan tindakan menganalisis. Kaitannya dengan penelitian sastra, metode
analisis menjadi cara dalam bentuk sistem analisis dengan objek karya sastra. Bagi
ilmuwan, penelitian berisikan konsep yang menuntun tindakan konvensional ilmiah
serta relevan, sesuai kesepakatan yang ada, keilmuwan, dan sesuai dengan jaman. Unsur
pembangun dalam tindakan ilmiah merupakan perangkat penting. Seperti unsur dari
dalam diri (pandangan hidup, pembentukan diri oleh lingkungan, fenomena
pengalaman, serta ragam perilaku). Pada gilirannya mengkondisikan teori, metode,
teknik dan proses, baik secara implisit, maupun eksplisit sebagai pembatas tindakan.
Dunia yang terbangun sebagai hasil cipta syarat dengan nilai, maksud dan tujuan
yang dihadirkan oleh pengarang untuk dapat terbaca oleh pembaca, dan dapat dipahami
sebagai suatu proses penyampaian makna. Segala unsur pembangun karya sastra dalam
beberapa periode perkembangan zaman karya sastra mendatangkan beragam asumsi
terhadap kandungan karya sastra. Bagi beberapa generasi angkatan sastra menyatakan
bahwasanya karya sastra terbangun atas dua macam unsure, yaitu yang tergolong dalam
instrinsik (tema, alur, seting, tokoh, sudut pandang dunia) dan ekstrinsik (segala bentuk
lingkungan dan nilai) yang terletak di luar tubuh karya sastra itu sendiri. Pemahaman
atas makna sebuah karya sastra terungkap dengan dua cara, yaitu implisit (dimunculkan
dalam karya sastra secara tersirat) dan eksplisit (disampaikan melalui karya sastra
secara tersurat) atau tampak secara lugas pada setiap bangun bagian karya sastra.
Karya sastra dan tindakan untuk memahaminya dapat dilakukan dengan beragam
cara dan sudut pandang. Dalam hal ini pemahaman karya sastra akan difokuskan pada
pemahaman secara semiotis. Karya sastra yang memiliki strukturpembangun, seperti
halnya struktur nilai dan sistem perlu dilakukan sebuah penyesuaian dalam tindakan
penelitian yang akan dilakukan, tujuan penelitian, metode, dan konsep dengan
menggunakan teori yang relevan. Beberapa hal tersebut secara teknis akan menjadi
perangkat penelitian. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, metode menyangkut
cara yang operasional dalam penelitian (Indraswara, 2008:8). Secara luas metode
dianggap sebagai cara, strategi, dan langkah sistematis dalam penelitian. Proses berupa
klasifikasi, deskripsi, komparasi, sampling, induksi, deduksi, eksplanasi, intepretasi,
kuantitatif dan kualitatif merupakan sejumlah metode yang sudah bersifat umum
(Nyoman, 2004). Beberapa wacana menyampaikan perbedaan metode dengan
metodologi memiliki pemisah pemahaman yang sangat tipis dan riskan serta cenderung
bersifat rancu. Untuk itu perlulah kiranya lebih memahami kedua hal tersebut dengan
teliti.
C. Penelitian Sastra
Fenomena yang dihadirkan sebagai latar belakang tindak penelitian ilmiah sastra
merupakan catatan hal yang dianggap sebagai sebuah gejala. Hipotesis sebagai
pendukung tindak penelitian, dihadirkan sebagai asumsi awal serta dugaan sementara
akan mengarahkan penelitian pada sasaran yang telah ditentukan untuk kembali
difokuskan pada objek kajian. Penelitian dikondisikan sebagai kumpulan konsep guna
menuntun tindakan konvensional ilmiah serta relevan, sesuai kesepakatan yang ada,
keilmuwan, dan sesuai dengan jaman.
Pada gilirannya, hal ini akan mengkondisikan teori, metode, teknik dan proses,
baik secara implisit, maupun eksplisit sebagai pembatas tindakan. Penelitian sastra
dengan pendekatan semiotika secara eksplisit berisikan metode dan teknik yang
diarahkan pada pengarang, pembaca, dan peneliti. Hal ini dilakukan untuk
ditentukannya subjek utama. Secara semiotik, karya sastra dinilai bersifat estetis,
imajinatif, dan kreatifit, dianggap memiliki ragam sistem tanda untuk dipahami melalui
makna yang terkandung secara konvensional. Mulai dari penggunaan kata-kata pilihan
(diksi) sebagai karakter pengarang, rangkaian kata yang membangun kalimat-kalimat
penghasil kode yang mewakili pesan melalui makna, hingga unsur intrinsik yang
membangun makna melalui tema, pemilihan tokoh, perwatakan tokoh, penggunaan
setting, serta alur dan pembangunan jalan cerita sebagai objek terfokus yang unik.
Hal tersebut menjadi perangkat utama dalam memaknai ragam nilai yang hadir
melalui ragam kategori sistem tanda dalam karya sastra melalui proses intepretasi yang
bebas dan konvensional. Dunia yang terbangun tersebut sebagai hasil cipta akan
menghadirkan nilai, maksud dan tujuan yang dihadirkan olehpengarang untuk dapat
terbaca oleh pembaca, dan dapat dipahami sebagai suatu proses penyampaian makna
dengan melalui proses penelitian. Makna dari tanda yang disampaikan secara implisit
akan menghadirkan bentuk berbeda pada apa yang hendak disampaikan pengarang
secara konvensional dengan yang tampak pada karyanya. Dan secara eksplisit, ragam
makna disampaikan melalui kemasan nyata dalam bentuk ragam ungkapan yang
termaknai secara konvensional.
C. Genre Sastra
Kriteria lain diberikan Luxemburg. Dari segi situasi bahasa, sastra dibedakan
menjadi teks monolog, dialog, dan naratif. Sedangkan dari segi isi abstrak, Luxemburg
membedakan karya sastra yang mengandung cerita dan karya yang tidak mengandung
cerita. Robert Scholes membagi karya sastra atas dua bagian. Pertama, science fiction,
membentuk imaginasi berdasarkan realitas yang dipahami (penulisan). Kedua, sesuatu
realitas yang dilihat dari sudut imaginasi tertentu. Scholes menolak adanya karya-karya
sastra yang sepenuhnya realitas atau sepenuhnya imajinasi, karena keduanya tak
mungkin dipisahkan. Sesuatu realitas akan dilihat dengan suatu imajinasi, sedangkan
imajinasi tak mungkin dilepaskan dari suatu kemungkinan realilas yang diperhitungkan.
Dengan demikian tak ada karya sastra sepenuhnya realitas, tanpa campur tangan
imajinasi. Berbeda dengan sastra Arab, dilihat dari isi objeknya (maudhul, sasha dibagi
menjadi dua macam; sastra krcatif dan sastra deskriptif.
Ragam karya sastra Indonesia menurut bentuknya terdiri atas puisi, prosa, prosa liris,
dan drama. Masing-masing ragam karya sastra Indonesia dari setiap periode itu
mengalami perkembangan sehingga menimbulkan ciri khas. Beberapa orang penelaah
sastra Indonesia telah mencoba membuat babakan waktu (periodisasi sastra) sejarah
sastra Indonesia. Salah satunya adalah H.B. Jassin. Periodisasi sastra yang dikemukakan
H.B.Jassin adalah Sastra Melayu dan Sastra Indonesia Modern.
b. Drama
Drama di tanah air sudah hidup sejah zaman Melayu. Bahasa yang
digunakan masyarakat Melayu pada waktu itu adalah bahasa Melayu Pasar
(bahasa Melayu Rendah). Rombongan drama yang terkenal pada masa ini adalah
Komedie Stamboel. Komedie Stamboel ini didirikan oleh August Mahieu, Yap
Goan Tay, dan Cassim. Kemudian, Komedie ini pecah menjadi Komedie Opera
Stamboel, Opera Permata Stamboel, Wilhelmina, Sianr Bintang Hindia. Naskah
drama yang pertama kali ditulis berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno.
Lakon drama ini ditulis oleh F. Wiggers tahun 1901.
BAB III
KAJIAN KARYA SASTRA
Kajian dapat disebut juga dengan penelaahan, penelitian. Kajian berasal dari kata “kaji”
yang berarti pelajaran atau penyelidikan. Kajian merupakan proses, cara, perbuatan
mengkaji; penyelidikan; penelaahan (KBBI, 1994: 431). Kajian memilki hubungan
dengan kata penelitian yang berarti mengumpulkan, mengolah , menganalisis data
secara ilmiah. Sementara itu banyak orang yang mendefinisikan sastra sesuai dengan
pikiran mereka masingmasing. Pertama, sastra yaitu suatu komunikasi seni yang hidup
bersama bahasa. Tanpa bahasa sastra tak mungkin ada. Melalui bahasa, ia dapat
mewujudkan dirinya berupa sastra lisan maupun tertulis”(Aftarudin dalam Jamaluddin
1990 :9). Kedua, sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang
objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai
mediumnya” (Atar Semi dalam Jamaluddin 1988 : 8). Ketiga, sastra dipandang sebagai
sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu, misalnya nilai- nilai atau ajaran kepada
pembaca (Abrams dalam Wiyatmi, 1981). Keempat, Menurut KBBI arti sastra adalah
bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitabkitab (bukan bahasa sehari-
hari); karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri
keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.
Dari berbagai pandangan mengenai kajian dan sastra diatas maka yang dimaksud
dengan kajian sastra adalah proses atau perbuatan mengkaji, menelaah sebuah objek
yang bernama sastra. Berkaitan dengan dunia sastra, mereka yang mengkajisastra juga
membutuhkan metode- metode khusus yang diharapkan dapat lebih memahami dam
menguasai objek kajiannya (karya sastra) secara ilmiah.
A. Paradigma Peneletian
Paradigma penelitian merupakan pandangan atau model, atau pola pikir yang
dapat menjabarkan berbagai variabel yang akan diteliti kemudian membuat hubungan
antara suatu variabel dengan variable yang lain sehingga memudahkan merumuskan
masalah penelitiannya. Paradigma penelitian juga disebut sebagai perspektif riset yang
dilakukan peneliti yang berisi bagaimana peneliti melihat realita (world views),
bagaimana mempelajari fenomena, cara-cara yang digunakan dalam penelitian dan cara-
cara yang digunakan dalam menginterppretasikan temuan.
Ada sejumlah butir pembeda antara ketiga jenis paradigma tersebut. Berikut
adalah butir pembeda beserta penjelasan ringkasnya. Pertama, perbedaan cita-cita.
Menurut paradigma positivistik, setiap kajian harus bercita-cita menemukan semacam
hukum kenyataan yang memungkinkan manusia meramal dan mengendalikan
kenyataan. Paradigma ini, yang berkembang dalam tradisi pemikiran Perancis dan
Inggris, akibat terobsesi dan dipengaruhi oleh tradisi ilmu-ilmu alam (natural sciences)
yang tergolong Aristotelian. Ia bertumpu pada pandangan bahwarealitas hakikatnya
bersifat materi dan kealaman. Manusia pun hakikatnya bersifat materi dan kealaman.
Keempat, peran akal sehat. Menurut paradigma positivistik, akal sehat (common
sense) jelas berbeda dari dan tidak sahih dibanding pengetahuan keilmuan. Paradigma
interpretif berpendapat bahwa akal sehat tidak lain merupakan seperangkat teori
keseharian yang digunakan dan bermanfaat bagi orang-orang tertentu. Sedangkan
menurut paradigma refleksif, akal sehat tidak lain merupakan keyakinan palsu yang
menyelubungi kenyataan sebenarnya.
Apa pun paradigma yang dipilih oleh peneliti, tampak jelas bahwa semua jenis
kajian keilmuan harus: (1) dilakukan secara sistematik, (2) didasarkan pada data, (3)
dilandasi wawasan teoretik, (4) disajikan secara teoretik, (4) disajikan secara eksplisit,
(5) disemangati tindakan reflektif, dan (6) ditutup dengan akhiran terbuka (open-ended).
Dalam mengkaji sebuah karya sastra, orang hanya mengkaji halhal yang bersifat umum,
seperti moralitas, estetika, sosial dan sebagainya. Hal itu dikarenakan tidak adanya/
belum adanya metode khusus yang digunakan untuk mengkaji sebuah karya sastra. Dari
pandangan itulah maka muncul berbagai macam pendekatan dalam kajian sastra.
Berbagai macam pendekatan menurut Abrams via Teeuw, 1983), terdiri dari empat
pendekatan utama, yaitu pendekatan mimetik, pendekatan ekspresif, pendekatan
pragmatic, dan pendekatan objektif. Keempat pendekatan tersebut kemudian mengalami
perkembangan hingga muncul berbagai pendekatan struktural, semiotik.
Berikut ini akan diuraikan berbagai pendekatan seperti yang telah diuraikan di
atas. Pembahasan akan diawali dengan empat pendekatan utama terlebih dahulu. Setelah
itu dilanjutkan dengan pendekatan yang merupakan perkembangan dari empat
pendekatan utama, yaitu pendekatan struktural.
1. Pendekatan Mimetik
3. Pendekatan Pragmatik
4. Pendekatan Objektif
Banyak masalah yang harus diselesaikan dengan teknik atau metode tertentu.
Dengan adanya fenomena-fenomena tersebut, para ahli berpacu untuk membuat
metode-metode khusus untuk mengkaji masalah yang khusus pula. Dengan adanya
metode tersebut, maka hasil yang dicapai akan memiliki bobot yang lebih baik dari pada
menggunakan metode yang bukan seharusnya digunakan untuk mengkaji masalah
tersebut.
Membaca sebuah karya sastra, dalam hal ini cerita fiksi, pada hakikatnya
merupakan kegiatan apresiasi sastra secara langsung. Maksudnya adalah kegiatan
memahami karya sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian,
penghargaan, kepekaan kritis yang baik terhadap karya sastra tersebut (Aminudin,
19953 : 35). Sastra, atau kesusastraan, menurut Swingewood (dalam Faruk, 1994: 39),
merupakan suatu rekonstruksi dunia dilihat dari sudut pandang tertentu yang kemudian
dimunculkan dalam produksi fiksional. Sastra merupakan ekspresi pengarang yang
bersifat estetis, imajinatif, dan integratif dengan menggunakan medium bahasa untuk
menyampaikan amanat tertentu.
1. Struktualisme
2. Unsur Ekstrinsik
Kelemahan penelitian struktural adalah hanya menekankan pada sastra
secara otonom sehingga menghilangkan konteks, fungsinya dan relevansi
sosial, yang justru asal-usulnya (Ratna, 2004: 332). Sehingga diperlukan
análisis terhadap unsur ekstrinsik agar karya sastra dapat bermakna dan
bermanfaat bagi kehidupan. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada
di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan
atau sistem organisme karya sastra. Secara spesifik, unsur tersebut dikatakan
sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra,
tetapi tidak menjadi bagian di dalamnya. Seperti halnya unsur intrinsik, unsur
ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur tersebut meliputi latar
belakang kehidupan pengarang, keyakinan, dan pandangan hidup pengarang,
adat istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi,
pengetahuan agama dan lainlain (Suroto, 1989: 138) yang kesemuanya akan
mempengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur ini mencakup berbagai aspek
kehidupan sosial yang menjadi latar belakang penyampaian tema dan amanat
cerita.
Langkah kerja strukturalisme menurut Endraswara (2008:52- 53)
adalah:
1. Membangun teori struktur sastra sesuai dengan genre yang diteliti.
Struktur yang dibangun harus mampu menggambarkan teori
struktur yang handal, sehingga mudah diiukuti oleh peneliti sendiri.
Peneliti perlu memahami lebih jauh hakikat setiap unsur
pembangun karya sastra.
2. Peneliti melakukan pembacaan secara cermat, mencatat unsur-unsur
struktur yang terkandung dalam bacaan itu. setiap unsur
dimasukkan ke dalam kartu data, sehingga memudahkan analisis.
Kartu daya sebaika disusun alpabetis, agar mudah dilacal pada
setiap unsur.
3. Unsur tema, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelum
membahas unsur lain, karena tema selalu terkait langsung secara
komprehensif dengan unsur lain. Tema adalah jiwa dari karya
sastra itu, yang akan mengalir ke dalam setiap unsur. Tema harus
dikaitkan dengan dasar pemikiran atau filosofi karya secara
menyeluruh. Tema juga sering tersembunyi dan atau terbungkus
rapat pada bentuk. Karena itu, pembacaan berulang-ulang akan
membantu analisis.
4. Setelah analisis tema, baru analisis alur, konflik, sudut pandang,
gaya setting, dan sebagainya andaikata berupa prosa
5. Yang harus diingat, semua penafsiran unsur-unsur harus
dihubungkan dengan unsur lain, sehingga mewujudkan kepaduan
makna struktur
6. Penafsiran harus dilakukan dalam kesadaran penuh akan pentingnya
keterkaitan antarunsur. Analisis yang meninggalkan kepaduan
struktur, aka bias dan menghasilkan makna yang mentah.
2. Strukturalisme Genetik
B. Ilmu Tanda
Sebagai ilmu tanda, semiotik membagi aspek tanda menjadi petanda (signifier)
dan petanda (signified) dengan pemahaman penanda sebagai bentuk formal yang
menandai petanda, dipahami sebagai sesuatu yang ditandai oleh penanda. Unsur karya
sastra dalam bentuk tanda dibedakan atas ikon, dengan pengertian sebagai tanda yang
memiliki hubungan alamiah antara penanda dan petanda, ideks sebagai tanda yang
bersifat memiliki hubungan kausal antara penanda dan petanda, serta simbol yang
merupakan tanda petunjuk yang menyatakan tidak adanya hubungan alamiah antara
penanda dan petanda, bersifat arbitrer dan ditentukan oleh konvensi (kesepakatan
bersama). Kaitannya dengan bahasa dan sastra (kesusastraan) maka pendekatan
semiotik ditetapkan pada tindakan analisis tanda yang terbaca terhadap karya sastra
terbaca. Secara struktural, Barthes (1957) menyatakan bahasa atau perangkat yang
digunakan untuk menguraikan bahasa (metabahasa) dan konotasi merupakan hasil
pengembangan dalam cara manusia memaknai tanda.
Teks dan konteks atau situasi termasuk dalam faktor unsur kebahasaan yang
dikatakan pula oleh Whorf (1958) bahwasanya bahasa dapat membentuk pikiran dan
mempengaruhi eksternalisasi kebudayaan yang berkaitan dengan pencipta karya sastra.
Rangkaian nilai yang terbaca dan dipahami sebagai pesan (message) secara implisit
disampaikan dalam bentuk lain sebagai tanda. Semiotika sebagai ilmu yang mengkaji
pemaknaan dan kehidupan tanda, mendefinisikan, tanda berkedudukan sebagai relasi
antara ekspresi dan isi yang mewakili, serta ingin disampaikan untuk dipahami. Untuk
itulah, dunia semiotikan menganggap bahwasanya bahasa sebagai salah satu unsur
pendting pembangun karya sastra merupakan sistem tanda.
D. Semiotika Sastra
Genre sastra, prosa, puisis dan drama serta teater dikatakan memiliki sistem
dengan konvensi hingga terbangun makna. Seperti halnya pada genre puisi, satuan-
satuan tanda berupa kosa kata, bahasa, baik itu merupakan personifikasi, simile,
metafora maupun metonimi. Atas dasar konvensi sastra yang berlaku dan konvensi
bahasa dapat mencipta makna untuk dipahami dan tafsirkan. Dengan demikian, elemen-
elemen tersebut dikatakan sebagai tanda-tanda. Hal ini dilatarbelakangi oleh konvensi
sebagai perjanjian masyarakat secara turun temurun yang mempengaruhi sastrawan
dalam mencipta. Maka, metode yang tergambar dalam penelitian karya sastra secara
semiotik melalui proses pembacaan heuristik dan hermeneutik.
Selama turun abad ke-20 ini teoretisi sastra memandang sastra sebagai suatu
objek faktual (artefak) dengan membatasi teks sebagai suatu wilayah otonom yang
terpisah dari pengarang dan pembaca. hogram terkenal pandangan aliran otonomis ini
terwujud dalam paham The Intentional Fallacy dan The Affective Fallacy yang
dikemukakan Wimsatt & Beardsley (Lambropoulos, 1987: 103; Hartoko, 1986: 65).
Paul Vallery dan Roinan Ingarden meletakkan dasar pemahaman teks sastra pada
tanggapan pembaca. Ingarden memelopori pandangan ini dengan memperkenalkan
konsep Leerstellen, the empty spaces, yakni ruang kosong dalam teks yang harus diisi
oleh pembaca. Mukarovsky dan Vodicka mengembangkan konsep 'konkretisasi' untuk
menciptakan kembali teks itu melalui pembacaan kreatif untuk menjadi objek estetik.
Menurut Lefevere (1977:5-6), suatu disiplin ilmu dapat tumbuh dan berkembang
jika memenuhi dua syarat. Kedua syarat itu adalah: (1) memiliki sejumlah masalah dan
metode-metode untuk menetapkan core disiplinnya; (2) memiliki sejumlah praktisi ahli
(practitioners) yang menjadi 'pembela' , pengajar, dan pembentuk core disiplin itu.
Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis oleh
pengarang pada suatu kurun waktu tertentu pada umumnya langsung berkaitan dengan
norma-norma dan adat istiadat jaman itu. Sastra yang baik tidak hanya rnerekam
kenyataan yang ada dalam masyarakat seperti sebuah tustel foto, tetapi merekam dan
melukiskan kenyataan dalam keseluruhannya. Karya sastra merupakan tanggapan
penciptanya (pengarang) terhadap dunia (realita sosial) yang dihadapinya. Di dalam
sastra berisi pengalaman-pengalaman subjektif penciptanya, pengalaman subjektif
seseorang (fakta individual atau libidinal), dan pengalaman sekelompok masyarakat
(fakta sosial).
Karya sastra bukanlah sesuatu yang sederhana, sesuatu yang selesai atau tuntas
yang hanya mempunyai satu kemungkinan tafsir saja. Akan tetapi, ia adalah ekspresi
seluruh kehidupan si percipta (pengarang), dan karena itulah karya seni adalah sama
kompleksnya seperti manusia sendiri. Dari tanggapan pencipta (pengarang) tertradap
dunia sekelilingnya (realitas sosial) yang diwujudkan dalam bentuk karya sastra, maka
kiranya dapat dikatakan bahwa karya sastra merupakan pembayangan atau pencerminan
realitas sosial (Sangidu, 2005: 41-53)
BAB VI
SEJARAH SEMIOTIKA
Charles Sanders Peirce juga merupakan bapak semiotika modern (1839- 1914),
ia mengemukakan tanda dibagi menjadi tiga jenis, yaitu ideks (index) ikon (icon) dan
symbol (symbol). Ikon adalah tanda hubungan antara penanda dan petandanya bersifat
persamaan bentuk ilmiah, indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan
alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat,
symbol itu tanda yang tidak menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan
petandanya, (Pradopo, 1990:121)
Kodrat karya sastra sebagai refleksi pemikiran, perasaan, dan keinginan yang
disampaikan melalui bahasa dengan muatan tanda-tanda (semiotik) membentuk sistem
ketandaan. Novel sebagai salah satu karya sastra pada genre sastra prosa dipandang
sebagai hasil kreativitas. Dalam hal ini menghadirkan keterhubungan antar aspek-aspek
struktur dengan tanda-tanda. Dengan demikian maka makna karya sastra akan mencapai
makna optimal dalam pemahamannya melalui tanda dan sistem tanda. Anggapan awal
pada novel Anak Bajang Menggiring Angin yang mengungkapkan rentetan peristiwa ke
dalam perenungan kehidupan guna mencapai hakikat sebuah kehidupan. Dengan
menelusuri totalitas makna yang terkandung dalam novel melalui struktur-struktur
pembangunnya. Dalam cerita rekaan, unsur-unsur pembangun seperti halnya latar,
pergantian sudut pandang, peristiwa, nama tokoh dan penokohannya sebagai hal
berwujud struktur yang dapat diidentifikasi sebagai tanda.
B. Identifikasi Tema
Dilihat dari latar, cerita bermula dari negeri Lokapala yang muram karena raja
berduka. Dari situ berkembang ke negeri Alengka yang bersimbah darah karena
perseteruan para raja untuk memperebutkan Dewi Sukesi. Dua peristiwa tersebut
mengungkapkan makna kesuraman hidup lantaran cita-cita tinggi yang tidak
kesampaian dan kebanggaan seorang wanita akan kecantikannya. Cerita beranjak ke
hutan tempat Wisrawa dan Sukesi harus menjalani pembuangan karena dosa yang
mereka lakukan.
“Begawan, mengapa dunia menghukum kita dengan kejam begini? Dewi Sukesi
merintih sedih … Malam kembali dating, tanpa terang sebuah bintang. Wisrawa
dan Sukesi masuk dalam hutan belantara gelap gulita” (Sindhunata, 1984:30)
Pada bagian kedua dimulai dari sebuah taman di tempat Anjani larut dalam
keasyikan menikmati kendahan Cupu manik Astagina. Kesenangan yang dinikmati
sendiri mengakibatkan kecemburuan. Keengganan untuk berbagi kenkmatan
mengakibatkan munculnya perpecahan antar saudara. Mereka harus tinggal di hutan
untuk mengenali diri sendiri.
Perpindahan dari taman ke hutan tidak diskapi sebagai suatu pembuangan, tetapi
disikapi sebagai kesempatan berada di dalam yang asli, hutan jiwa pribadi. Hal tersebut
digunakan sebagai pengelana diri untuk lebih mendekatkan diri pada Sang pencipta. Di
Gua Kiskenda di Gunung Meliawan kesejatian hidup Sugriwa dan Subali mendorong
mereka untuk tinggal bersama bangsa kera untuk menghayati kerendahan hati dan
kesempurnaan hidup.
Di kerajaan Ayodya tempat Rama lahir tidak dipilih Rama untuk menjalankan
kehidupannya. Namun justru hutanlah yang dipilih Rama untuk mendewasakan diri.
Antara kerajaan dan hutan digunakan pengarang untuk menajamkan kesediaan manusia
untuk meninggalkan kemapanan guna terus mencari kesejatian diri. Sinta dan Rama
emilik tinggal di hutan yang merupakan lambing kesederhanaan dan kemiskinan yang
berhadapan dengan istana yang serba menyajikan fasilitas kenyamanan, keamanan,
popularitas, dan kekuasaan.
“Indah kesediaan Rama, demi cinta kasih kepada ayahmu supaya ia tidak
terkutuk oleh sumpahnya. Keindahan itu akan lebih elok, bila aku berjalan di
depannmu meratakan jalan di hutan, menangkap kupu- kupunya, untuk
menyemarakkan jalan penderitaanmu menuju kebahagiaanmu.
(Sindhunata,1984:90)
Sugriwa dan bala tentara kera merupakan simbul lapisan terbawah dalam
masyarakat. Di hutan itulah ketidakberdayaan memunculkan solidaritas atas dasar cinta
yang tulus dan luhur. Keteguhan hati terbentuk kekuatan yang mampu menghadapi
kekuatan istana Alengka. Kedua kekuatan yang saling bertentangan tersebut bertemu di
gerbang istana Alengka. Di situlah tampak bahwa mereka yang lebih dekat dengan
alam, dewa, dan perjuangan hidup lebih sanggup memenangkan pertempuran.
“Begitu tiba di tengah medan, balatentara kera segera bergerak dalam siasat
pertempuran bukit karang gelombang pasang seperti diperintahkan
Ramawijaya…Kekuatan siasat bukit karang gelombang pasang ini sangat dasyat
dan mengerikan. Balatentara raksasa bingung kewalahan karena aliran lawan
yang tak mungkin tertahankan (Sindhunata, 1984:273)
Antara istana dan hutan yang digambarkan oleh pengarang mengandung arti
yang kontras. Bagi wisrawa dan Sukesi, hutan berarti tempat pembuangan, berarti dapat
diartikan sebagai symbol keasingan, hukuman yang merupakan buah perbuatan sendiri.
Mereka kemudia melahirkan Rahwana, Sarpakenaka yang merupakan buah
keserakahan, dan haus akan kekuasaan.
Bagi Guwarso dan Guwarsi, serta Anjani hutan merupakan tempat untuk berkaca
diri dalam keheningan. Hanya dengan menyangkal diri itulah citra manusia dapat
dirasakan. Demikian pula bagi Rama, Laksamana, dan Sinta hutan merupakan medan
pengabdian dan perjuangan hidup.
D. Identifikasi Tokoh
“Ketiga anak menusia itu bagaikan kembang-kembang yang baru saja mengenal
kehidupan hutang dengan kembang-kembangnya. Menatap alam dengan kepasrahan
hatinya. Menyelami rimba raya dengan kejujurannya. Hutan yang dasyat dan ganas
menjadi nafas yang tenang dalam keheningannya” (Sindhunata, 1984:101)
Ramawijaya yang lahir dari Dewi Sukaslya merupakan titisan Dewa yang
diharapkan dapat menegakkan keadilan di dunia yang semakin parah oleh
keangkaramurkaan. Bersama Rama lahir Laksamana yang merupakan lambing
kesahajaan hidup dan kemurnian hidup untuk memperjuangkan kesetiaan dan keadilan
dalam dunia. Laksamana dan Rama bersama-sama berjuang dan bermatiraga untuk
membela keadilan dan kedamaian dunia yang terancam oleh kajahatan dan hawa nafsu
manusia.
“Rama mempunyai tugas untuk menjaga ketenteraman jagad. Jangan kau
halangi tugas anakmu, hanya demi kasing sayang sendiri. Maka dengan hati
berat akhirnya Dasarata merelakan anaknya pergi ke hutan untuk berperang
dengan dua raksasa pengacau hidup manusia itu. Dan berangkatlah Rama
bersama Laksamana menjalankan tugasnya yang pertama …” (Sindhunata,
1984;76)
“Terjadilah Sinta keluar dari jagad kecil ketulusan hati Laksamana, keluar dari
lingkaran Laksamana. Dengan tawa yang menggebu Rahwana terbang
menggendong Sinta ke Alengka …”(Sindhunata, 1984;122)
Jatayu merupakan citra penolong yang rela berkorban untuk membantu yang
menderita. Ia berusaha menolong Sinta dari tangan Rahwana, namun keterbatasan
kekuatannya inta tidak dapat diselamatkan dari Rahwana. Ia memberikan sehelai bulu
untuk menjaga kesucian Sinta.
“Namun tabahkanlah hatimu, tidak ada ular yang bisa merenggut kesucianmu.
Ambillah sehelai buluku, cabutlah bulu itu, hai putrid yang berduka sebelum aku
binasa. Akan berguna bulu itu untuk menjaga kesucianmu, kata jatayu.”
(Sindhunata, 1984:128)
Jasa dan pengorbanan Jatayu menjadi sarana awal untuk mempertemukan Rama
dan Sinta. Terlebih bagi Sinta, ia telah memberi perlindungan terhadap kesucian hidup.
Bagi rama, jatayu menjadikan semangat Rama diteguhkan kembali yang hamper binasa.
Dalam perjalanan mencari keadilan, muncullah Anoman yang berbakti kepada Rama
menjadi duta Alengka. Anoman bersedia dalam waktu satu hari menjadi duta karena
didasari kepercayaan kepada Sang Widhi Wasesa yang akan menuntun hidupnya.
“Hamba hanya percaya akan Hyang Widhi Wasesa yang akan menuntun
perjalanan hamba dalam tugas yang mulia ini” (Sindhunata, 1984:160)
Perang mulai berkobar dengan tulus dan gembira kera melaksanakan tugasnya
untuk melawan angkara murka walau segala rintangan tidak lepas dari hadapan mereka.
Akhirnya segala usaha yang didasari dengan kepercayaan, kebenaran, dan penuh
pengorbanan akan menang dan membuahkan cinta sejati.
“Hai perempuan, maafkanlah aku. Aku sudah berjanji takkan kawin sepanjang
hidupku. Disaksikan asab kurban purnama sidhi, aku berkaul untuk hidup
wadat” (Sindhunata, 1984:108)
Wibisana yang telah hidup kembali mengabdikan dirinya kepada Rama untuk
bersekutu melawan Rahwana. Mulailah mereka berjuang mengatasi semua rintangan.
Wibisana adalah tokoh yang sebenarnya lahir dar kegelapan, namun karena mau
bertobat ia lepas dari kejahatan. Ia menjadi bijaksana dan setia kepada kebenaran
sehingga ia rela mengorbankan ikatan darah dengan Rahwana, kakaknya, demi
kebenaran. Akhirnya kekuatan jahat dalam tokoh Rahwana dapat dihadapi dan
dikalahkan.
Untuk dapat memahami sebuah karya sastra perlu dilakukan analisis secara
struktural salah satunya, karena karya sastra merupakan bentuk struktur utuh dari
keseluruhan. Seperti halnya pada sajak, struktur di sini memiliki arti bahwasanya sajak
merupakan salah satu hasil karya sastra dengan susunan unsur-unsur yang bersistem,
antar unsur terjadi hubungan, dan saling menentukan (Pradopo, 1990:118). Dikatakan
pula oleh Pradopo (1990: 120) bahwa analisis struktural sebuah sajak adalah analisis ke
dalam unsur dan fungsinya yang mempunyai makna hanya dalam kaitannya dengan
unsur yang lain, namun ini tidak hanya berlaku pada puisi, tetapi juga karya sastra.
Analisis dalam memahami sajak tersebut secara struktural tetap harus dilakukan,
karena sajak adalah bentuk yang utuh dari keseluruhan. Dalam semiotik, arti (meaning)
merupakan arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama. tanda berdasarkan
konvensi masyarakat sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua. Satuan bunyi,
kata, kalimat, tipografi, enjambement akan memberikan makna dan efek lain dari arti
yang diberikan oleh penggunaan bahasa biasa. Penerapan analisis semiotik dalam
contoh karya sastra tersebut perlu melalui pembacaan heuristi dan hermeneutik seperti
ungkapan Riffaterre (P
radopo, 1999).