Anda di halaman 1dari 52

TEORI APRESIASI DAN SASTRA DI SD

RESUME BUKU SASTRA

Disusun Oleh :

Kenny Regan 204220072

Dosen Pengampu :

Agung Nugroho, M. Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS PGRI SILAMPARI
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A.Hakikat Sastra

Menurut (Syahfitri, 2018),Sastra berasal dari bahasa sansekerta shastra yang


artinya adalah “tulisan yang mengandung instruksi” atau “pedoman”. Dalam masyarakat
Indonesia definisi sastra masih bersifat kabur, pengertiannya kadang menjadi bias.
Pengertian sastra merujuk pada kesusastraan yang diberi imbuhan ke-an. “su” artinya
baik atau indah dan “sastra” artinya tulisan atau lukisan. Menurut A. Teeuw, sastra
dideskripsikan sebagai segala sesuatu yang tertulis; pemakaian bahasa dalam bentuk
tulis.Sedangkan Faruk mengemukakan bahwa pada mulanya pengertian sastra amat
luas, yakni mencakup segala macam hasil aktivitas bahasa atau tulis-menulis.Seiring
dengan meluasnya kebiasaan membaca dan menulis, pengertian tersebut menyempit dan
didefinisikan sebagai segala hasil aktivitas bahasa yang bersifat imajinatif, baik dalam
kehidupan yang tergambar di dalamnya, maupun dalam hal bahasa yang digunakan
untuk menggambarkan kehidupan itu.Sastra menurut Sapardi adalah lembaga sosial
yang menggunakan bahasa sebagai medium.Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan
sosial.Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu
kenyataan sosial. Menurut Taum, sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat
imajinatif atau “sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang
menandakan hal-hal lain”. Dalam pengertian yang luas sastra merupakan segala jenis
pekerjaan menulis atau segala bentuk seni tulisan sehingga mempunyai ruang lingkup
yang sangat luas.

Pengertian sastra menurut KBBI 2008: adalah “Karya tulis yang bila dibandingkan
dengan tulisan lain, ciri-ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam
isi dan ungkapannya”. Karya sastra berarti karangan yang mengacu pada nilai-nilai
kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah.Sastra memberikan wawasan yang
umum tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual, dengan caranya yang
khas.Pembaca sastra dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan
wawasannya sendiri.Untuk mempelajari sastra lebih dalam lagi, setidaknya terdapat 5
karakteristik sastra yang mesti dipahami.Pertama, pemahaman bahwa sastra memiliki
tafsiran mimesis.Artinya, sastra yang diciptakan harus mencerminkan kenyataan.Kedua,
manfaat sastra. Mempelajari sastra mau tidak mau harus mengetahui apa manfaat sastra
bagi para penikmatnya. Dengan mengetahui manfaat yang ada, paling tidak mampu
memberikan kesan bahwa sastra yang diciptakan berguna untuk kemaslahatan
manusia.Ketiga, dalam sastra harus disepakati adanya unsur fiksionalitas.Unsur
fiksionalitas sendiri merupakan cerminan kenyataan, merupakan unsur realitas yang
tidak ‘terkesan’ dibuat-buat.Keempat, pemahaman bahwa karya sastra merupakan
sebuah karya seni.Kelima, setelah empat karakteristik ini kita pahami, pada akhirnya
harus bermuara pada kenyataan bahwa sastra merupakan bagian dari masyarakat.Sastra
terbagi menjadi sastra lisan dan tulisan.Sastra lisan adalah karya sastra yang
diekspresikan langsung secara verbal, sedangkan sastra tulisan berkaitan dengan
berbagai macam karya dalam bentuk tulisan.Dalam perkembangannya istilah sastra
dengan sastrawi mempunyai perbedaan makna.Sastra diartikan lebih terbatas pada
bahasa tulisan sedangkan sastrawi memiliki makna dan ruang lingkup lebih luas.Istilah
sastrawi merujuk pada sastra yang bersifat lebih puitis dan abstrak.Berbicara tentang
sastra berarti kita mencoba untuk menggali nilai-nilai keindahan yang terkandung dalam
bahasa.Dalam kemasyarakatan, sastra memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:

1. Fungsi rekreatif sastra berfungsi sebagai sarana hiburan bagi masyarakat


karena mengandung unsur keindahan.

2. Fungsi didaktis sastra memiliki fungsi pengajaran karena bersifat mendidik


dan mengandung unsur kebaikan dan kebenaran.

3. Fungsi estetis sastra memiliki unsur dan nilai-nilai keindahan bagi para
pembacanya.

4. Fungsi moralitas sastra mengandung nilai-nilai moral yang menjelaskan


tentang yang baik dan yang buruk serta yang benar dan yang salah. 5. Fungsi
religius sastra mampu memberikan pesanpesan religius untuk para
pembacanya.

Bahasa sastra bukan merupakan bahasa percakapan yang bersifat simple dan mudah
dimengerti, dalam hal ini yaitu sastra kuno yang menggunakan kaidah baku dan pola
yang kaku. Sedangkan sastra bebas atau prosa biasa menggunakan pola dan struktur
bahasa yang sederhana dan lebih bebas.Bahasa sastra mempunyai kedalaman makna
karena sering dipakai untuk mengungkapkan perasaan atau menyampaikan pesan moral
serta nilai-nilai kebajikan.Sastra juga biasa digunakan untuk mengabadikan sesuatu
yang berhubungan dengan nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa,seperti nilai agama,
sejarah, sosial, dan budaya suatu bangsa.

B. Teori Sastra

Teori sastra dalam arti sempit adalah studi sistematis mengenai sastra dan
metode untuk menganalisis sastra. Teori sastra indonesia adalah studi sistematis tentang
sastra dan metode untuk menganalisis sastra Indonesia. Teori sastra ialah cabang ilmu
sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra
yang membedakannya dengan yang bukan sastra. Pada hakikatnya, teori sastra
membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat di dalam karya sastra, baik konvensi
bahasa yang meliputi makna, gaya, struktur, pilihan kata, maupun konvensi sastra yang
meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar, dan lainnya yang membangun keutuhan
sebuah karya sastra.
Berikut adalah beberapa teori yang ada di dalam sastra, yaitu:
a. Teori Sosiologi Sastra Teori sosiologi sastra menurut Sumarjan (1990 : 5)
adalah suatu ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses sosial
termasuk dengan perubahan-perubahannya.
b.Teori Feminisme Teori feminisme adalah teori yang menjelaskan cara
penggambaran dan menjelaskan potensi-potensi yang dimiliki oleh
perempuan. c. Teori Psikologi Sastra Teori psikologi sastra adalah teori
kajian sastra yang memandang sastra sebagai aktivitas jiwa.
c. Teori Poskolonialisme Teori poskolonialisme (Gandhi, 2001 :44) adalah suatu
teori yang berkeinginan menyangkut akibat dan wacana kolonialisme di masa
kini. d. Teori Strukturalisme Teori strukturalisme adalah teori pendekatan
terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai
unsur teks. Dalam ilmu sastra pengertian “strukturalisme” sudah
dipergunakan dengan berbagai cara, yang dimaksudkan dengan istilah
“struktur” ialah kaitan-kaitan tetap antara kelompokkelompok gejala.
Kebanyakan penganut aliran strukturalis secara langsung atau tidak langsung
berkiblat pada strukturalisme dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand
De Saussure.
d. Teori Semiotik Teori semiotik adalah suatu teori yang mempelajari tentang
tanda, yang terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar.
e. Teori Stilistika Teori stilistika menurut Kridalaksana (1983: 15) adalah teori
yang menyelidiki bahasa yang digunakan dalam karya sastra.
f. Teori Formalisme Teori formalisme adalah teori yang digunakan untuk
menganalisis karya sastra mengutamakan bentuk dari karya sastra yang
meliputi teknik pengucapan sehingga sastra dapat berdiri sendiri sebagai
sebuah ilmu dan terbebas dari pengaruh ilmu lainnya.
g. Teori Strukturalisme Genetik Teori strukturalisme adalah suatu teori yang
menganalisis atau meneliti karya sastra yang menghubungkan antara struktur
sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia yang
diekspresikan.
h. Teori Resepsi Sastra Teori resepsi sastra adalah teori yang tidak berpusat pada
teks sastra, tetapi teks sastra dihubungkan dengan penerimaan pembaca.

C. Kritik Sastra
3.1 Pengertian Kritik Sastra
Secara etimologis kritik berasal dari kata krites (bahasa Yunani) yang
berarti hakim. Kata kerjanya adalah krinein (menghakimi). Kata tersebut
merupakan pangkal dari kata benda kriterion(dasar penghakiman) muncul
kritikos untuk menyebut hakim karya sastra (Wellek, 1978; Pradopo, 1997).
Pada abad ketujuh belas di Eropa dan Inggris kritik sastra meluas artinya yaitu,
meliputi semua sistem teori sastra dan kritik praktik. Seringkali juga
menggantinya dengan istilah poetika. Sedangkan di Jerman pengertian kritik
sastra menyempit menjadi timbangan sehari-hari dan pendapat sastra mana suka.
Kemudian, istilah kritik sastra diganti dengan esthetik dan literaturwissenschaft
yang memasukkan poetika dan sejarah sastra. Selanjutnya, Wellek (1978)
mengemukakan bahwa kritik sastra adalah studi karya sastra yang konkret
dengan penekanan pada penilaiannya. Menurut Abrams (1981) kritik sastra
adalah suatu studi yang berkenaan dengan pembatasan, pengkelasan,
penganalisisan, dan penilaian karya sastra. Menurut Jassin (via Pradopo, 1994)
kritik sastra adalah pertimbangan baik buruk suatu karya sastra, serta penerangan
dan penghakiman karyasastra. Selanjutnya, Pradopo (1994) mengatakan kritik
sastra yaitu ilmu sastra untuk menghakimi karya sastra, untuk memberikan
penilaian, dan memberikan keputusan bermutu atau tidak suatu karya sastra yang
sedang dihadapi kritikus. Semua pengertian tersebut diturunkan dari pengertian
etimologisnya, yaitu berkaitan dengan tindakan menghakimi (menilai baik buruk
atau bermutu tidaknya) karya sastra.
Kritik sastra merupakan suatu cabang studi sastra yang langsung
berhubungan dengan karya sastra dengan melalui interpretasi (penafsiran),
analisis (penguraian), dan penilaian (evaluasi). Ketika melakukan kritik sastra,
kita akan melewati ketiga tahapan tersebut. Interpretasi adalah upaya memahami
karya sastra dengan memberikan tafsiran berdasarkan sifat-sifat karya sastra itu.
Dalam arti sempit, interpretasi adalah usaha untuk memperjelas arti bahasa
dengan sarana analisis, parafrasa, dan komentar. Dalam arti luas interpretasi
adalah menafsirkan makna karya sastra berdasarkan unsur-unsurnya beserta
aspek-aspeknya yang lain, seperti jenis sastranya, aliran sastranya, efek-efeknya,
serta latar belakang sosial historis yang mendasari kelahirannya (Abrams, 1981;
Pradopo, 1982).
Analisis adalah penguraian karya sastra atas bagian-bagian atau norma-
normanya (Pradopo, 1982). Dalam hal ini karya sastra merupakan sebuah
struktur yang rumit (Wellek, 1956; Hawkes, 1978) dan dengan dilakukan
analisis, karya sastra yang kompleks dan rumit dapat dipahami.
Penilaian adalah usaha menentukan kadar keindahan (keberhasilan) karya
sastra yang dikritik. Penentuan nilai suatu karya sastra tidak dapat dilakukan
secara semena-mena, tetapi harus berdasarkan pada fenomena yang ada dalam
karya yang akan dinilai, kriteria dan standar penilaian, serta pendekatan yang
digunakan.
Ketika mengkritik karya sastra, maka ketiga aktivitas itu tidak dapat kita
pisah-pisahkan. Dengan melakukan interpretasi dan analisis terhadap karya
sastra, maka kita akan dapat melakukan penilaian secara tepat. Demikian, pula
analisis tanpa dihubungkan dengan penilaian akan mengurangi kualitas analisis
yang kita lakukan (Pradopo, 1982). Selain kritik sastra, apresiasi sastra dan dan
penelitian (kajian) sastra. Kedua aktivitas itu, jugaberhubungan secara langsung
dengan karya sastra dan menjadikannya karya sastra menjadi objeknya.
Apresiasi (apreciation) berasal dari bahasa Inggris, yang berarti
penghargaan. Apresiasi sastra berarti penghargaan terhadap karya sastra. Seperti
halnya kritik sastra, apresiasi sastra juga berobjek karya sastra. Bedanya, melalui
penilaian terhadap karya sastra, kritik sastra berusaha untuk mencari kelebihan
dan kelemahan karya sastra. Sementara itu, apresiasi sastra berusaha menerima
nilai-nilai sastra sebagai sesuatu yang benar (Hartoko dan Rahmanto, 1986)
untuk selanjutnya memberikan penghargaan kepada karya sastra.
Penelitian atau kajian sastra adalah kegiatan menyelidiki, menganalisis,
dan memahami karya sastra secara sistematis dengan mendasarkan kepada
kerangka teori dan pendekatan ilmiah tertentu. Tujuan kajian sastra adalah untuk
memahami fenomena tertentu yang terdapat dalam karya sastra, termasuk
memahami makna karya sastra.

D. Perkembangan Sastra

Menurut (Ambarini & Umaya, 2010),Sastra Indonesia pernah mengalami


periodesasi, hingga melahirkan pengelompokkan zaman pada sejarah perkembangan
karya sastra Indonesia. Para pengamat sastra dan kritikus melakukan tindakan analisis
terhadap setiap karakteristik karya sastra Indonesia sesuai dengan karakter zaman
kelahiran karya sastra tertentu.Hal ini melahirkan periodesasi berbentuk karya sastra
klasik, Pujangga Baru, Balai Pustaka, hingga periode karya sastra Indonesia modern
(memasuki abad ke-19). Dari pernyataan berikut, ada beberapa hal yang dapat dijadikan
dasar untuk diketahui dalam proses pemahaman terhadap sastra, karya sastra dan
hakikat sastra. Hingga masa kini pun perkembangan terhadap pemahaman sastra
membawa hasil pada munculnya istilah genre sastra yang disosialisasikan sebagai
ragam jenis karya sastra. Oleh para peneliti sastra dan para kritikus, ragam jenis sastra
pun dianggap akan mempengaruhi lahirnya beragam teori sastra, hingga mampu pula
memunculkan teori sastra baru, dan keterhubungan antara teori baru dan teori
sebelumnya, karya sastra dengan beragam hal di luar karya sastra. Dengan demikian,
apabila berbicara karya sastra, akan membawa sejarah dan perkembangan sastra, teori
sastra, serta kritik sastra pula. Secara sederhana teori sastra berkembang dan terbangun
oleh karena unsur lain yang tidak terpisahkan, yaitu karya sastra dan ragam kritik sastra
hingga menyerupai siklus yang tak terputuskan.Sastra dan teori sastra memiliki
keterkaitan erat terhadap ragam tindakan penelitian. Ini memunculkan adanya
kecenderungan bahwasanya teori pun lahir dari teori terdahulu yang telah melalui
proses pengujian, dan karya sastra pun lahir dengan pengaruh karya sastra sebelumnya.
Perubahan dan perkembangan membawa teori juga ikut berkembang, sehingga antara
teori dan tindak penelitian berada dalam satu kerangka ilmiah yang koheren dalam
wilayah dunia sastra.Dengan demikian, kesusastraan dalam perkembangannya telah
membangun banyak teori sastra.Sebagai salah satu dari ragam bidang ilmu dalam
lingkup sastra (literature) dan dunia ilmu pengetahuan.Beberapa hal sebagai contoh
yang sekiranya dapat membuka wacana terdahulu adalah pendefinisian atas apakah itu
puisi.Pada awalnya puisi dipahami sebagai salah satu genre sastra dengan karakteristik,
memiliki bait, baris, dan menggunakan bahasa yang padat dalam mengungkapkan pesan
yang ingin disampaikan (dapat dilihat dari pemilihan kata).Bahasa yang digunakan
tidaklah lugas, tetapi penuh makna di balik kata-kata yang disajikan dalam
puisi.Tipologi sastra ditentukan sebagai karakter puisi. Bentuk puisi yang merupakan
kumpulan bait terarah. Namun pada masa kini mulai bermunculan karya sastra yang
menyerupai prosa, tidak memiliki bait-bait, dan bahasa lugas pun digunakan. Ini
menjadi pembelajaran atas perkembangan karya sastra, pemahaman harus mengikuti
perkembangannya.Karya sastra berbentuk puisi tidak bisa dibatasi hanya pada bentuk
puisi, kandungan bait, dan setiap bait berisikan baris kata-kata yang tidak hanya
menggunakan bahasa lugas.

E. Masalah Definisi Sastra

Menurut (Taum, 1997),Dalam bahasa-bahasa Barat, istilah sastra secara


etimologis difurunkan dari bahasa latin literaura (Littera : huruf atau karya tulis). Istilah
itu dipakai untuk menyebut tatabahasa dan puisi. Istilah Inggris Literature, istilah
Jerman literatur , dan istilah Perancis litterature berarti segala macam pemakaian
babasa dalam bentuk tertulis. Dalam bahasa Indonesia, kata 'sastra' diturunkan dari
bahasa Sansekerta (Sas- artinya mengajar, memberi Perunjuk atau instruksi,
mengarahkan; akhiran –trabiasanyamenunjukkan dlat atau sarana) yang artinya alat
untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran. Misalnya: silpasastra
(buku petunjuk arsitektur), Iumasastra (buhr petunjuk mengenai seni cinta).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah 'sastra' (yang di Eropa baru
muncul sekitar abad ke-18 itu) pertama-tama digunakan untuk menyebut pemakaian
bahasa dalam bentuk tertulis.Fokus perhatian kepada 'bahasa tulis' itu menimbulkan
pertanyaan, misalnya apakah 'sastra' lisan tidak termasuk sastra?Apakah semua bentuk
tulisan (kedokteran, arsitektur, agama, filsafat, dan politik) juga dapat disebut sastra?
Ada upaya lain telah dilakukan untuk menghindari kerancuan pengertian tentang sastra.
Dalam bahasa Perancis, dipergunakanlah istilah belles-lettres (yang berarti: tulisan yang
indah dan sopan) sebagai istilah yang khas untukmenyebut karya sastra yang bernilai
estetik. Dalam bahasa Indonesia, ada teoretisi yang menyebut awalan -su dalam kata
susastra yang berarti: baik, indah, perlu dikenakan kepada karya-karya sastra untuk
membedakannya dari bentuk pemakaian bahas lainnya.

Pandangan-pandangan ini didasarkan pada suatu anggapan bahwa ciri khas sastra adalah
pemakaian bahasa yang indah.Persoalannya adalah tidak semua karya sastra (terutama
terlihat pada seni-seni modern) menggunakan bahasa yang indah dan berbrrnga-
bunga.Foucault menyebutkan bahwa sastra modern lahir dan bertumbuh di dalam
kemapanan bahasa dan kungkungan pola-pola linguistik yang kaku.Oleh karena itu,
sastra modern berlomba-lomba mentransgresikan dirinya pada suatu ruang
abnormal.Sastra modern justru menawarkan suatu dunia dan bahasa yang aneh dalam
kesadaran masyarakatnya. Perhatikan "Fenomena Sade" (yang menekuni bahasa dan
keasingan dunia): sadisme dan seksualitas dieksplorasi dan dipertontonkan habis-
habisan. Pembaca justru diajak untuk merasa takut, jijik, ngeri, bodoh, emosi, marah,
dan diam. (Catatan: Sade adalah seorang sastrawan narapidana Perancis yang
memelopori model sastra ini. Pengitutnya antara lain Holderlin, Flaubert, Nietzche, dan
Baudelaire, Oscar Wilde).

Benarlah bahwa definisi mengenai 'sastra' dan upaya merumuskan 'ciri khas sastra'
sudah banyak dilakukan orang tetapi sampai sekarang agaknya belum memuaskan
semua kalangan.Van Luxemburyet.al.(1986: 3-13) menyebutkan alasan-alasan mengapa
definisi-definisi mengenai sastra tidak pernah memuaskan. Alasan-alasan itu adalah: 1)
Orang ingin mendefinisikan terlalu banyak sekaligus, tanpa membedakan definisi
deskriptif (yang menerangkan apakah sastra itu) dari definisi evaluatif (yang menilai
sesuatu teks rermasuk sastra atau tidak); 2) Sering orang ingin mencari sebuah definisi
ontologis yang normatif mengenai sastra (yakni definisi yang mengmgkapkan hakikat
sebuah karya sastra). Definisi sernacam ini cenderung mengabaikan fakta bahwa karya
tertentu bagi sebagian orang merupakan sastra tetapi bagi orang lain bukan sastra; 3)
Orang cenderung mendefinisikan sastra menurut standar sastra Barat; dan 4) Definisi
yang cul:up memuaskan hanya berkaitan dengan jenis sastra tertentu (misalnya puisi)
tetapi tidak relevan diterapkan pada sastra pada umumnya.

Para ahli kesusastraan umurnnya sepakat untuk mengatakan bahwa tidak mungkin
dirumuskan suatu definisi mengenai sastra secara universal.Apa yang disebut
'sastra''sangatlah tergantung pada lingkungan kebudayaan tertentu di mana sastra itu
dijalankan. 'sastra' hanyalah sebuah istilah yang dipergunakan untuk menyebut sejumlah
karya dengan alasan tertentu dalam lingtup kebtrdapan tertentu pula.

Beberapa definisi 'ontologis' (yakni definisi yang bermaksud merumuskanhakikat


sastra) terbukti tidak dapat diterapkan untuk menyebut sastra secara universal. Definisi-
definisi ontologis itu misalnya: "Sastra adalah karya ciptaan atau fflsi yang bersifat
inajinatif ; "Sastra adalah penggunaan batrasa yang indah dan berguna yang
menandakan hal-hal lain"; "Sastra adalah teks-teks yang bahasanya dimanipulasi atau
disulap oleh pengarangnya sehingga menghasillan efek'asing' (deotomatisasi) dalam
pencerapannya.
Terhadap definisi-definisi tersebut telah banyak diajukan keberatan-keberatan.Dalam
lingkungan sastra Cina, unsur fiksionalias ternyata tidak berlaku bagi sastra
mereka.Bahasa sastra tidak seluruhnya indah dan berbungabunga.Banyak juga karya
sastra yang menggunakan kata-kata kotor dan menjijikkan.Jean Paul Sartre (1948)
membanah anggapan bahwa bahasa sastra adalah'tanda-tanda' (code).Menurut dia,
bahasa sastra adalah "benda-benda" (mots-clwses).

Yang dapat dilakukan untuk kepentingan studi sastra adalah merumuskan seperangkat
ciri-ciri teks yang disebut 'sastra' itu dengan berpijak pada asas kenisbian
historis.Memang mustahil merumuskan satu definisi sastra yang berlaku secara
universal.Namun di dalam praktik kita dapat membedakan teks-teks sastra dari tets-tets
yang bukan sastra.Teks-teks bukan sastra berfungsi dalam komunikasi praktis, siap
dipakai, dan dimanfaatkan.Teks-teks sastra tidak terutama memenuhi fungsi
komunikatif melainkan fungsi estetik dalam suatu lingkup kebudayaan tertenru.Agar
dapat memenuhi fungsi estetik itu suatu teks harus disusun secara ktras sesuai flsngan
model estetika yang berlaku dalam linglungan kebudayaannya.TeK-tels sastra
nerupakan modul kebudayaan png mengungkapkan nilai-nilai dan norma-norma
kebudayaan tersebut.Seperti kebudayaan dapat berubah demikian juga modul-modulnya
berubah.

D. Definisi Sastra Menurut Bahasa

Menurut (Siminto & Irawati, 2009) Apa yang terbayang dalam benak Anda
ketika mendengar kata 'sastra? Apa itu sastra? Mungkin saja yang terbayang dalam
benak Anda adalah suatu karya dengan bahasa berbunga-bunga. Atau sederetan judul
puisi, cerpen, novel, lengkap dengan nama pengarangnya. Secara intuitif mudah bagi
kita untuk mengetahui apa itu sastra. Jika kita mencoba untuk merumuskan definisi
sastra dalam kalimat secara tepat, mungkin kita akan kesulitan. Prof. A. Teeuw
mengemukakan bahwa ilmu sastra menunjukkan keistimewaannya, juga keanehan yang
mungkin tidak kita temui pada ilmu pengetahuan yang lain, yaitu bahwa objek
utamanya tidak tentu bahkan tidak karuan.Sastra dalam bahasa-bahasa Barat disebut
literature (lnggris), literatur (Jerman), litterature (Perancis), letterkunde (Belanda)
semuanya berasal dari bahasa Latin litteratura.Kata literatura sebetulnya diciptakan
sebagai terjemahan dari kata Yunani granmatika.Menurut asalnyalitteratura dipakai
untuk tatabahasa dan puisi. Dalam bahasa perancis dipakai kata lettre dan dalam bahasa
Belanda dipergunakan kata gelletterd yaitu orang yang berperadaban dengan kemahiran
khusus di bidang sastra, alau man of letters dalam bahasa lnggris (Curtius dalam Teeuw,
1988: 22). Literature dan seterusnya umumnya berarti dalam bahasa Barat modem
bermakna segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis.

Apakah sastra memiliki definisi yang sama dengan literature? Jika melihat
perbandingan arti dua kamus diatas terdapat perbedaan bahwa arti literature dalam
bahasa lnggris memiliki arti yang lebih luas daripada arti sastra dalam bahasa lndonesia.

Sastra, dalam bahasa melayu, berasal dari bahasa Sansekerta dari kata sas yang berarti
mengarahkan, memberi petunjuk, atau instruksi.Sedangkan -tra berarti alat atau sarana
untuk mengajar.Sastra bisa dimaknai buku petunjuk, tulisan, atau bahasa.Sastra lebih
banyak diailikan sebagai tulisan atau bahasa.Pengertian ini ditambah dengan awalan -su
yang berarti indah alau baik sehingga susasatra bermakna tulisan atau bahasa yang
indah dapat dlbandingkan dengan belles-letters dalam bahasa Perancis (Teeuw, 1988:
23 dan pndopo, 1997: 33).

Sastra dalam bahasa lndonesia berarti: (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai
di kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari), (2) karya tulis, yang memiliki berbagai ciri
keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya, drama,
epik, dan larik, (3) kitab suci (Hindu), (kitab) ilmu pengetahuan, (4) pustaka, kihb
primbon (berisi) ramalan, hitungan, dan sebagainya, dan (5)tulisan, huruf (Kamus Besar
Bahasa lndonesia, 19BB: 786).

Dalam bahasa Arab, mengutip pendapat Teeuw, tidak ada sebuah kala yang artinya
bertepatan dengan sastra.Kata yang paling dekat adalahadab. Dalam arti sempit, adab
berartiberlles-lettres atau susastra, sekaligus bermakna kebudayaan (civilizationl atau
dalam kata arab lain adalah lamaddun. Ada berbagai kata yang menunjukkan ienis
sastra tertentu, seperti qashidah, dan kata syi’r yang berarti puisi.Meskipun demikian,
sastra sebagai konsep yang khas tidak diberi istilah yang umum dalam kebudayaan
Arab. Sementara dalam bahasa lndonesia, adab berarti kesopanan, kehalusan, dan
kebaikan budi pekerti atau akhlak (Lukman Ali dalam Muzakki,2006: 30).

Pada masa jahiliyah, orang Arab menggunakan kata adbun (bukan adab) yang berarti
undangan untuk menyantap makanan da'wah ilah thoam, suatu tradisi moral yang
terpuji.Pada masa permulaan lslam, kata adab merrcakup makna pendidikan lisan, budi
pekerti (akhlak), dan menjauhi perbuatan tercela. Pada masa Bani Umayyah, kata adab
berarti pengajaran, maka kala muadzib sama maknanya dengan kala mu'alim. Mereka
yang mengaiar anak-anak khalifah tentang syair, pidato, aneka berita, dan peristiwa
penting yang menimpa orang Arab layyan al-'anbl disebut dengan pendidik.Pendidikan
pada masa ini mencakup perlaku kehidupan yang baik, pendidikan budi pekerti, dan
pendidikan lisan (etika berbicara).Pada abad ketiga hijriah, kata adab hanya
dipergunakan untuk pengajaran sastra.

Abad keempat hijriah, menurut Thaha Husein, kala adab memiliki arti khusus dan arti
umum.Dalam arti khusus, adab bermakna katakata indah yang dapat dirasakan oleh
pembaca dan pendengar, baik berupa syair maupun prosa, sangat erat kaitannya dengan
emosi dan perasaan seseorang.Sedangkan dalam arti umum, adab bermakna hasil karya
pikir manusia yang tergambar dalam kata-kata, tertuang dalam tulisan, dan mengandung
nilai estetika.Karya ilmiah berupa ilmu pengetahuan termasuk adab dalam arti umum,
baik yang menimbulkan rasa indah dalam jiwa ataupun tidak.

Pada abad kelima hiiriah, kata adab mempunyai batasan makna yang jelas yaitu prosa
dan syair.Adab dalam pengertian makna yang umum telah menyempit setelah Madrasah
Nizhamiyah Bagdad menjadikan adab sebagai disiplin ilmu tersendiri (Muzakki,
2006:29-32).
BAB II
SASTRA DAN PERKEMBANGAN ZAMAN

A.Sastra Bandingan

Istilah sastra bandingan bersumber dari bahasa Inggris, yaitu comparative literature.
Sastra bandingan adalah suatu studi untuk membandingkan sastra dengan sastra atau
sastra dengan bidang lain, atau sastra dengan bidang lain (Damono, 2005). Penelitian
sastra bandingan belum termasuk popular jika dibandingkan dengan penelitian sastra
lainnya, seperti kritik sastra atau atau sosiologi sastra, hal ini dikarenakan, seperti yang
dikatakan Damono, “Pada hakikatnya setiap penelitian menggunakan langkah
membanding-bandingkan sebab hanya langkah ini kita bisa sampai pada pemahaman
suatu masalah”. Meskipun begitu, sebagai suatu studi sastra, sastra bandingan tetap baik
untuk digunakan pada penelitian sebuah karya sastra.

Karya sastra tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat penikmatnya.


Hal ini dapat dilihat dari fakta artistik dan imajinasi sebagai manifestasi kehidupan
manusia. Karya sastra yang baik tidak pernah membosankan, pembaca merasa bebas
dan senang melarutkan diri dengan karya sastra, serta mengajak orang untuk
merenungkan masalah-masalah hidup, membebaskan dan menyadari dari pemikiran
keliru.

Sastra dapat dijadikan sarana untuk menambah pengetahuan pembaca berkenaan


dengan isi yang mengungkapkan nilai kemanusian yang terkandung di dalamnya.
Sebab, sebuah karya sastra dapat dikatakan bernilai apabila di dalam karya sastra
terkandung sifat-sifat atau hal-hal penting yang bermanfaat bagi pembacanya. Membaca
karya sastra dapat mengetahui danmengenal situasi kehidupan masyarakat tertentu
kerena hakikatnya sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat.

Menurut Wellek dan Warren ada tiga pengertian mengenai sastra bandingan.
Pertama, penelitian sastra lisan, terutama tema cerita rakyat dan penyebarannya. Kedua,
penyelidikan mengenai hubungan antara dua atau lebih karya sastra, yang menjadi
bahan dan objek penyelidikannya, di antaranya, soal reputasi dan penetrasi, pengaruh,
dan kemasyhuran karya besar. Ketiga, penelitian sastra dalam keseluruhan sastra dunia,
sastra umum dan sastra universal.

Sejalan dengan pendapat Wellek dan Warren, Holman mengungkapkan, bahwa


sastra bandingan adalah studi sastra yang memiliki perbedaan bahasa dan asal negara
dengan suatu tujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan dan pengaruhnya
antara karya yang satu terhadap karya yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya. Hal
senada dikemukakan Remak yang mengungkapkan sebagai berikut: “Sastra bandingan
adalah studi sastra yang melewati batas-batas suatu negara serta hubungan antara sastra
dan bidang pengetahuan dan kepercayaan lain.” Ringkasnya, sastra bandingan adalah
perbandingan karya sastra yang satu dengan satu atau beberapa karya sastra lain, serta
perbandingan karya sastra dengan ekspresi manusia dalam bidang lain. Lebih lanjut
Remak menekankan, perbandingan antara karya sastra dan bidang di luar sastra hanya
dapat diterima sebagai sastra bandingan, jika perbandingan keduanya dilakukan secara
sistematis dan bidang di luar sastra itu dapat dipisahkan dan mempunyai pertalian logis.
Remak (Stallknecht, 1990:1; Damono, 2009:1) membatasi sastra bandingan
sebagai kajian sastra di luar batas-batas sebuah negara serta kepercayaan yang lain,
seperti seni (misalnya, seni lukis, seni ukir, seni bangunan/arsitektur, dan seni musik),
filsafat, sejarah, ilmu sosial, ilmu alam, agama, dan lain-lain. Ringkasnya, sastra
bandingan membandingkan sastra sebuah negara dengan sastra negara lain dan
membandingkan sastra dengan bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan.

Seperti sastra lain, sastra bandingan mempunyai tujuan tersendiri. Pertama,


untuk mengetahui seberapa besar pengaruh, yang ditimbulkan oleh suatu karya terhadap
karya lain. Kedua, untuk mencari induk dari karya-karya itu. Ketiga, mencari persamaan
dan berbedaan dari objek yang dibandingkan. Sastrabandingan dapat digunakan untuk
membandingkan sastra dengan bidang lain, misalnya seperti lukisan, film ataupun lagu.
Karena itu Sapardi Djoko Damono mengatakan, sastra bandingan ialah pendekatan
dalam ilmu sastra yang tidak menghasilkan teori tersendiri. Banyak pendekatan yang
bisa dilakukan sesuai dengan objek penelitian dan objek penelitian. Dikutip dari
Clements (Damono, 2005: 111), ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk
meneliti sastra bandingan yaitu:

Pertama, tema/mitos. Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan dua


karya yang mempunyai tema yang sama. Kemudian menemukan persamaan dan
perbedaannya dengan cara membandingkan unsur-unsur formal seperti penokohan, latar
dan alur.

Kedua, genre. Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan genre yang


sama pada dua karya sastra. Damono (2005: 113) mencontohkan dengan
membandingkan cerita detektif. Hal yang dibandingkan yakni: alur, jenis kejahatan dan
latar yang digunakan dalam cerita.

Ketiga, gerakan/zaman. Pendekatan ini membandingkan dua karya yang berbeda


dari zaman yang sama. Misalnya membandingkan karya-karya yang beraliran
romantisisme. Damono (2005: 114-115), mengatakan bahwa pendekatan ini bermanfaat
untuk menyusun sejarah sastra.

Keempat, sastra dan bidang seni sastra disiplin lainnya. Pendekatan ini
digunakan untuk membandingkan sastra dengan bidang lain, misalnya seperti film.
Pendekatan ini juga bisa digunakan untuk membandingkan sastra dengan teori.

Kelima, sastra sebagai bahan pengembangan teori. Pendekatan ini paling sulit
sebab menuntut peneliti untuk menguasai suatu teori dalam bidang sastra. Damono
(2005: 117) memberikan contoh perbandingan teori resepsi dan tanggapan pembaca
terhadap suatu karya, misalnya Ramayana dan Mahabharata yang ditanggapi berbeda-
beda oleh pembaca dari berbagai negara yang mempunyai kebudayaan berbeda.

B. Sastra Bandingan dan Fenomena Sastra Indonesia

Sastra adalah produk budaya. Sebagai produk budaya, sastra Indonesia dapat berupa
cerita yang dilagukan, baik dengan tambahan tarian dan instrumen musik maupun tidak;
dapat berupa naskah tulisan tangan yang berhuruf Arab Melayu atau huruf yang
bersumber dari bahasa-bahasa daerah, seperti huruf Sunda, Jawa, Batak, dan Bali; dapat
juga berupa puisi, cerpen, novel, dan drama yang menggunakan huruf Latin dan
biasanya dalam bentuk cetakan, bahkan buku elektronik yang dapat dibaca di situs
internet dan telepon genggam. Fenomena sastra demikian dapat dikelompokkan ke
dalam tiga payung besar, yaitu sastra lisan, sastra klasik, dan sastra modern.

Sastra lisan dan sastra klasik setakat ini, meskipun perkembangannya tidak lagi
subur karena menjalarnya teknologi cetak dan elektronik, keberadaannya masih
merupakan khazanah sastra yang terpendam di berbagai daerah. Sastra yang demikian
disebut dengan sastra Nusantara atau sastra se-Indonesia (Teeuw, 1983). Hutomo (1991)
menyebutnya dengan ‘mutiara yang terlupakan’.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 32 dimaktubkan bahwa pemerintah


memajukan kebudayaan nasional dan dalam penjelasannya disebutkan bahwa
kebudayaan nasional itu adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Kebudayaan daerah
tidak akan menjadi puncak apabila tetap menjadi khazanah sastra yang terpendam,
terbiarkan, telantar, dan akhirnya terpinggirkan. Oleh sebab itu, diperlukan upaya
pencapaiannya sehingga kebudayaan daerah itu tidak hanya dikenal, tetapi juga diakrabi
oleh seluruh bangsa Indonesia. Kondisi demikian dapat memungkinkan kebudayaan
daerah memiliki ciri ke-Indonesiaan dan meningkat menjadi kebudayaan nasional.

Kebudayaan nasional yang bersumber dari kebudayaan daerah sangat penting


dalam memantapkan konsep kepribadian dan jati diri bangsa. Terlebih-lebih, konsep
kebudayaan nasional memberikan peluang juga bagi unsur-unsur kebudayaan asing
yang relevan. Misalnya, dalam penjelasan pasal 32 UUD ’45 (Sedyawati, 2008: 7)
dinyatakan bahwa kepribadian dan jati diri bangsa dapat digali dalam (a) kebudayaan
lama dan asli sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia
dan (b) bahan-bahan baru dari kebudayaanasing yang dapat memperkembangkan atau
memperkaya kebudayaan sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusian bangsa
Indonesia. Oleh sebab itu, agar kepribadian dan jati diri bangsa tetap bersumber dari
budaya bangsa sendiri, harus ada upaya nyata, sungguh-sungguh, dan serius sehingga
khazanah pimordial itu tetap menjadi kesadaran kolektif bangsa Indonesia. Dengan
demikan, upaya nyata itu tidak sekadar pelestarian dan peningkatan aset pariwisata,
melainkan pembentukan karakter unggul dan adiluhung bangsa.

Akan tetapi, pemertahanan terhadap khazanah primordial setakat ini mesti


dianggap sebagai bagian semata dari pembentukan karakter bangsa sebab pada era
globalisasi ini kita tidak mungkin memagari terpaan budaya dari luar. Menurut
Damono, globalisasi mesti dianggap sebagai kesadaran, keinginan, atau rekayasa bahwa
kita kini hidup dalam suatu dunia yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Lebih jauh
Damono mengatakan bahwa konsep globalisasi terjadi dalam segala bidang kegiatan
manusia jarak dapat dikatakan telah terhapus yang diakibatkan oleh perkembangan
teknologi, terutama teknologi transportasi dan komunikasi (Damono, 2009:53).

Berkaitan dengan penanaman budaya adiluhung bangsa, kita dapat


melakukannya dengan mentransformasi sastra daerah yang berbahasa daerah ke dalam
sastra Indonesia. Transformasi atau alih wahana sastra lisan dan sastra klasik se-
Indonesia ke dalam media cetak dan elektronik adalah upaya nyata agar nilainilai moral
yang terdapat di dalamnya dapat dengan mudah terakses dan terserap dalam sanubari
penikmatnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan penikmat amatlah beragam.
Misalnya, orang-orang yang membaca cerita anak dan cerita bergambar atau yang
menonton sandiwara boneka, teater modern, atau film. Penikmat juga dapat berbagai
lapisan usia dan pendidikan. Akan tetapi, mereka menghadapi fenomena yang sama,
yaitu bahan yang dibacanya bersumber dari sastra lisan dan sastra klasik yang sudah
dialih bahasa dan dialih wahana. Ringkasnya, sastra lisan dan sastra klasik yang
bersumber dari bahasa-bahasa daerah itu agar dapat tersebar secara nasional perlu
ditranskripsi ke dalam huruf Latin dan dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia.
Agar penyebarannya dapat diterima dan dinikmati secara optimal, sastra lisan dan sastra
klasik yang sudahberbahasa Indonesia itu, kemudian dialihwahanakan ke dalam media
cetak dan elektronik dalam wujud buku cerita anak, cerita bergambar, sandiwara
boneka, drama panggung, dan film. Setelah menyinggung sastra lisan dan sastra klasik
sebagai khazanah sastra Indonesia, kini kita dapat menyoroti fenomena yang terjadi
dalam sastra Indonesia modern.

Sastra Indonesia modern adalah sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa
Indonesia setelah mendapat pengaruh dari kebudayaan asing dan dicetak dengan
menggunakan aksara Latin (Damono, 2004:3). Oleh karena itu, apabila ada karya sastra
Indonesia modern yang berlatar sastra nusantara (sastra lisan dan sastra lasik) belum
tentu merupakan terjemahan dari sastra berbahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia.
Hal itu dapat juga merupakan respons, reaksi, bahkan tolakan atau simpangan terhadap
sastra daerah yang merupakan teks dasar, teks rujukan, atau hipogramnya.

B. Metode Penelitan Sastra

Metode berasal dari kata methodos (Latin) dengan pengertian lebih luas sebagai
suatu cara, strategi, yang ditempuh untuk melakukan dan mencapai sesuatu hal guna
memahami realitas tertentu secara sistematis, logis, teoritis, serta analitis. Metode dalam
suatu tindakan penelitian mengarahkan jalannya proses analisis terhadap suatu hal, yang
sebelumnya telah memiliki hipotesis, serta penghadiran fenomena untuk dikaji menjadi
tindakan yang ilmiah dalam dunia ilmu pengetahuan. Menerapkan metode dalam
tindakan analisis, berarti menerapkan suatu cara untuk digunakan pada saat
melaksanakan tindakan menganalisis. Kaitannya dengan penelitian sastra, metode
analisis menjadi cara dalam bentuk sistem analisis dengan objek karya sastra. Bagi
ilmuwan, penelitian berisikan konsep yang menuntun tindakan konvensional ilmiah
serta relevan, sesuai kesepakatan yang ada, keilmuwan, dan sesuai dengan jaman. Unsur
pembangun dalam tindakan ilmiah merupakan perangkat penting. Seperti unsur dari
dalam diri (pandangan hidup, pembentukan diri oleh lingkungan, fenomena
pengalaman, serta ragam perilaku). Pada gilirannya mengkondisikan teori, metode,
teknik dan proses, baik secara implisit, maupun eksplisit sebagai pembatas tindakan.

Pemahaman secara implisit dalam tindak penelitian merupakan metodologi dan


pendekatan, dan secara eksplisit merupakan metode dan teknik, yang dalam karya sastra
memiliki tiga subjek, yaitu pengarang, pembaca, dan peneliti. Karyasastra sebagai hasil
karya cipta yang memiliki nilai estetika, imajinasi, dan kreatifitas, merupakan objek
yang kerap dinilai unik. Pengertian unik dalam karya sastra adalah beragam makna serta
nilai dalam karya sastra yang dapat dipahami melalui intepretasi dari beragam sudut
pandang dengan kebebasan intepretasi secara konvensional. Karya sastra dianggap
sebagai dunia ciptaan dalam bentuk bahasa dan kata yang berisikan layaknya sebuah
dunia yang ada. Segala yang ada dalam kehidupan nyata, dapat diletakkan dalam dunia
karya sastra sebagai dunia ciptaan.

Dunia yang terbangun sebagai hasil cipta syarat dengan nilai, maksud dan tujuan
yang dihadirkan oleh pengarang untuk dapat terbaca oleh pembaca, dan dapat dipahami
sebagai suatu proses penyampaian makna. Segala unsur pembangun karya sastra dalam
beberapa periode perkembangan zaman karya sastra mendatangkan beragam asumsi
terhadap kandungan karya sastra. Bagi beberapa generasi angkatan sastra menyatakan
bahwasanya karya sastra terbangun atas dua macam unsure, yaitu yang tergolong dalam
instrinsik (tema, alur, seting, tokoh, sudut pandang dunia) dan ekstrinsik (segala bentuk
lingkungan dan nilai) yang terletak di luar tubuh karya sastra itu sendiri. Pemahaman
atas makna sebuah karya sastra terungkap dengan dua cara, yaitu implisit (dimunculkan
dalam karya sastra secara tersirat) dan eksplisit (disampaikan melalui karya sastra
secara tersurat) atau tampak secara lugas pada setiap bangun bagian karya sastra.

Karya sastra dan tindakan untuk memahaminya dapat dilakukan dengan beragam
cara dan sudut pandang. Dalam hal ini pemahaman karya sastra akan difokuskan pada
pemahaman secara semiotis. Karya sastra yang memiliki strukturpembangun, seperti
halnya struktur nilai dan sistem perlu dilakukan sebuah penyesuaian dalam tindakan
penelitian yang akan dilakukan, tujuan penelitian, metode, dan konsep dengan
menggunakan teori yang relevan. Beberapa hal tersebut secara teknis akan menjadi
perangkat penelitian. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, metode menyangkut
cara yang operasional dalam penelitian (Indraswara, 2008:8). Secara luas metode
dianggap sebagai cara, strategi, dan langkah sistematis dalam penelitian. Proses berupa
klasifikasi, deskripsi, komparasi, sampling, induksi, deduksi, eksplanasi, intepretasi,
kuantitatif dan kualitatif merupakan sejumlah metode yang sudah bersifat umum
(Nyoman, 2004). Beberapa wacana menyampaikan perbedaan metode dengan
metodologi memiliki pemisah pemahaman yang sangat tipis dan riskan serta cenderung
bersifat rancu. Untuk itu perlulah kiranya lebih memahami kedua hal tersebut dengan
teliti.

Dinyatakan bahwasanya metodologi mengarah pada prosedur intelektual dalam


komunitas ilmiah yang mampu mengimplikasikan metode, tidak berkaitan dengan
teknik penelitian. Dalam hal ini, teknik dalam tindakan ilmiah cenderung berhubungan
dengan data primer penelitian, seperti wawancara, kuesioner, rekaman, statistik,
dokumen, angket, dan kartu data. Sedangkan, metode adalah cara untuk melakukan
penelitian yang menyangkut teknik pula. Agar tidak membingungan, maka urutan yang
relatif baku mengenai hal-hal mendasar dalam tindak penelitian adalah paradigma,
metodologi, teori, metode, dan teknik dengan mempertimbangkan luasnya jangkauan
(Suwardi, 2008). Paradigma dan metodologi disebabkan penelusuran masa lampau.
Teori disebabkan oleh adanyaperkembangan secara terus menerus terhadap ragam hasil
pengamatan ilmiah. Metode dan teknik disebabkan penggunaan secara langsung
(Nyoman;2004).

Dengan pemahaman terhadap beberapa pengertian tersebut, akan tampak lebih


jelas arah tindakan analisis yang melalui proses tindak penelitian sesuai dengan
tatanannya. Sedangkan, dua macam penelitian secara umum, dapat dipahami antara lain
penelitian berupa tindakan dalam lingkup lapangan dan tindakan dalam lingkupan
penelitian pustaka. Metode dalam tindakan lmiah secara umum terbagi atas kualitatif
dan kuantitatif yang identik dibedakan dengan metode secara deskriptif pada tindakan
kualitatif, dan statistik dalam tindakan kuantitatif. Hal lain dalam tindak penelitian
adalah pendekatan yang dalam tindakan ilmiah atau penelitian kerap disamakan dengan
metode. Dalam hal ini pendekatan memiliki tingkat abstraksi lebih tinggi daripada
metode, dan cenderung disejajarkan dengan bidang ilmu tertentu, seperti pendekatan
sosiologi sastra, psikologis sastra, objektif, ekspresif, mimetik dan pragmatik yang
dikenalkan oleh Abrams (Nyoman, 2004).

Beberapa bantuan dalam memahami metode seperti halnya metode intuitif


menekankan pada intuisi, penafsiran terhadap unsur-unsur, sebab akibat, dan berkaitan
dengan perasaan. Metode hermeneutika menekankan pada upaya pemahaman atau
intepretasi terhadap sebuah pemahaman sebagai penyampaian pesan. Beberapa contoh
tersebut yang telah dinyatakan sebagai bagian dari ragam metode dalam tindakan
penelitian, khususnya penelitian sastra berada dalam dua paying besar bagian metode
secara umum, yaitu kualitatif, dan kuantitatif. Metodekualitatif yang secara keseluruhan
mengarah pada sifat deskriptif. Dan metode kuantitatif mengarah pada sifat statistik.

C. Penelitian Sastra

Cara menghampiri objek penelitian melalui ragam pendekatan dalam penelitian


sastra hadir mendahului teori dan metode. Ketika kejelasan atas objek, dan pendekatan
yang akan dipergunakan dalam tindak penelitian, maka menentukan teori dan metode
akan lebih terarah. Beberapa ahli yang telah tercatat dan terakui menyebutkan beberapa
pendekatan yang dapat diterapkan dalam penelitian sastra antara lain, pendekatan
biografis yang mengarah pada pembicaraan proses kreativitas, pendekatan sosiologis
yang mengarah pada analisis hubungan karya sastra dengan manusia dan masyarakat,
baik kelompok maupun individu.

Pendekatan psikologis mengarah pada hubungannya dengan tiga gejala utama,


yaitu pengarang, karya sastra, dan pembaca. Pendekatan antropologis dominan pada
keterkaitan karya sastra dengan objek verbal. Pendekatan histories yang
mempertimbangkan kesejarahan karya sastra sebagai wujud perkembangan karya.
Pendekatan ekspresif, tidak hanya mengarah pada bagaimana karya diciptakan, tetapi
juga mengarah pada bentuk yang terjadi dalam perkembangan karya sastra, antara
pengarang dan karya sastra. Pendekatan mimesis menekankan pada adanya anggapan
karya sastra sebagai sebuah tiruan dunia. Pendekatan pragmatis merupakan pendekatan
yang memberikan perhatian pada peran pembaca. Dan pendekatan objektif merupakan
pendekatan yang memusatkanperhatian semata-mata pada unsur-unsur, atau secara
intrinsik terhadap karya sastra.

Melalui pemahaman terhadap hal tersebut, prinsip dasar dalam melakukan


penelitian berkaitan erat dengan rangkaian asumsi atau tindak pendugaan awal
berdasarkan fenomena yang ada, konsep, konstruk, serta proposisi atau hubungan logis
antar kedua konsep untuk menerangkan fenomena tersebut secara sistematis dengan
rumusan hubungan yang tertata. Fenomena yang tertangkap menjadi acuan dengan
diikuti ragam fakta dalam tindak bentuk tindak ilmiah, dan akan menjadi data atas dasar
anggapan sebagai hal-hal yang telah diketahui serta diasumsikan. Data dapat berupa
wujud sebagai data kualitatif dan kuantitatif. Pada penelitian sastra data kualitatif dapat
dikategorikan pada data yang diperoleh melalui tindakan tanpa bentuk angka atau
hitungan, seperti rekaman, hasil pengamatan, wawancara, atau data dalam bentuk bahan
tertulis. Sedangkan data kuantitatif secara sederhana dipahami sebagai data yang
berbentuk angka, melalui tindak analisis penghitungan atau pengukuran tertentu
(verifikasi data).

Konsep dasar tindak peneltian yang telah tersebutkan menyatakan bahasanya


dalam tindak penelitian, maka secara umum akan melibatkan, objek, metode,
pendekatan, teori, fenomena sebagai bagian hipotesis, dan catatan ilmiah yang berkaitan
sebelumnya sebagai bagian dari kajian pustaka. Rangkaian tersebut diharapkan tidak
dilupakannya peran variable dalam tindak penelitian sastra. Variabel dalam tindak
penelitian sastra dipahami dapat berwujud kategorikal dan bersambungan (Kinayati dan
Sumaryata:2004) dengan variable bersambungan terbagi atas variabel bebas
(mempengaruhi variabel lain) dan variabel terikat(variable yang dipengaruhi variabel
lain). Variable-variabel yang dihadirkan dalam tindak penelitian tersebut akan
mendukung tindak analitis dalam penelitian sastra. Dalam peneltian sastra, selain
variable yang dapat mendukung proses penelitian.

Penggunaan sampel dalam tindak penelitian sastra juga dapat dipergunakan


apabila diperlukan. Sample dalam hal ini secara umum dipahami sebagai bagian dari
unit-unit dalam objek penelitian dengan karakteristik yang telah ditentukan. Beberapa
hal yang dapat mendukung ditentukannya sample sebagai bagian pendukung tindak
penelitian sastra, dengan adanya sample maka gambaran terhadap objek dapat
dihasilkan. ketepatan sasaran didukung melalui tindakan penafsiran, serta mampu
memberikan keterangan selengkap mungkin mengenai tindakan ilmiah yang tengah
dijalaninya. Sampel diletakkan pada kartu data, yang secara kualitatif dipandang sebagai
data tercatat yang menjadi focus tindakan analisis, dan secara kuantitatif dapat
dipandang sebagai data yang memiliki akumulasi kandungan nilai-nilai secara statistik
konvensional.

Kembali mengacu pada pernyataan yang telah dijelaskan tersebut, semiotika


yang juga erat kaitannya secara struktural pada objek karya sastra dalam penelitian
sastra secara alamiah akan mengarah pada struktur karya sastra. Unsur pembangun
karya sastra secara ilmiah ditelusuri dan dihadirkan dalam penelitian sastra. Pada
penelitian sastra wilayah semiotika menerapkan metode dan pendekatan semiotika, dan
bersifat kualitatif. Hal ini berkaitan dengan objek penelitian sastra sebagai salah satu
karya sastra pilihan secara objektif analitis, dan fenomenal yang berbentuk dunia kata
dan makna.

Fenomena yang dihadirkan sebagai latar belakang tindak penelitian ilmiah sastra
merupakan catatan hal yang dianggap sebagai sebuah gejala. Hipotesis sebagai
pendukung tindak penelitian, dihadirkan sebagai asumsi awal serta dugaan sementara
akan mengarahkan penelitian pada sasaran yang telah ditentukan untuk kembali
difokuskan pada objek kajian. Penelitian dikondisikan sebagai kumpulan konsep guna
menuntun tindakan konvensional ilmiah serta relevan, sesuai kesepakatan yang ada,
keilmuwan, dan sesuai dengan jaman.

Pada gilirannya, hal ini akan mengkondisikan teori, metode, teknik dan proses,
baik secara implisit, maupun eksplisit sebagai pembatas tindakan. Penelitian sastra
dengan pendekatan semiotika secara eksplisit berisikan metode dan teknik yang
diarahkan pada pengarang, pembaca, dan peneliti. Hal ini dilakukan untuk
ditentukannya subjek utama. Secara semiotik, karya sastra dinilai bersifat estetis,
imajinatif, dan kreatifit, dianggap memiliki ragam sistem tanda untuk dipahami melalui
makna yang terkandung secara konvensional. Mulai dari penggunaan kata-kata pilihan
(diksi) sebagai karakter pengarang, rangkaian kata yang membangun kalimat-kalimat
penghasil kode yang mewakili pesan melalui makna, hingga unsur intrinsik yang
membangun makna melalui tema, pemilihan tokoh, perwatakan tokoh, penggunaan
setting, serta alur dan pembangunan jalan cerita sebagai objek terfokus yang unik.

Hal tersebut menjadi perangkat utama dalam memaknai ragam nilai yang hadir
melalui ragam kategori sistem tanda dalam karya sastra melalui proses intepretasi yang
bebas dan konvensional. Dunia yang terbangun tersebut sebagai hasil cipta akan
menghadirkan nilai, maksud dan tujuan yang dihadirkan olehpengarang untuk dapat
terbaca oleh pembaca, dan dapat dipahami sebagai suatu proses penyampaian makna
dengan melalui proses penelitian. Makna dari tanda yang disampaikan secara implisit
akan menghadirkan bentuk berbeda pada apa yang hendak disampaikan pengarang
secara konvensional dengan yang tampak pada karyanya. Dan secara eksplisit, ragam
makna disampaikan melalui kemasan nyata dalam bentuk ragam ungkapan yang
termaknai secara konvensional.

Hal ini menyatakan bahwa metode menyangkut cara operasional dalam


penelitian (Indraswara, 2008:8). Proses klasifikasi, deskripsi, komparasi, sampling,
induksi, deduksi, eksplanasi, intepretasi, kuantitatif dan kualitatif merupakan sejumlah
metode yang sudah bersifat umum (Nyoman, 2004). Pada penelitian sastra untuk
memaknai sistem tanda dalam karya sastra membangun klasifikasi sebagai bentuk dari
signifier dan signfie, petanda dan penanda. Kedua klasifikasi tersebut menghasilkan
data yang akan dipahami secara deksriptif setelah melalui proses intepretasi, sebagai
data primer.

Hal ini menyatakan bahwa metode menyangkut cara operasional dalam


penelitian (Indraswara, 2008:8). Proses klasifikasi, deskripsi, komparasi, sampling,
induksi, deduksi, eksplanasi, intepretasi, kuantitatif dan kualitatif merupakan sejumlah
metode yang sudah bersifat umum (Nyoman, 2004). Pada penelitian sastra untuk
memaknai sistem tanda dalam karya sastra membangun klasifikasi sebagai bentuk dari
signifier dan signfie, petanda dan penanda. Kedua klasifikasi tersebut menghasilkan
data yang akan dipahami secara deksriptif setelah melalui proses intepretasi, sebagai
data primer.

C. Genre Sastra

Berbicara tentang genre atau macam-macam saslra sesungguhnya menyangkut


beberapa perbedaan yang terdapat dalam berbagai macam teks saslra. Usaha untuk
membuat pengelompokan terhadap karya sastra sebenamya sudah banyak dilakukan
sejak lama. Aristoteles misalnya, ia memberikan tiga kriteria yang dapat dijadikan
patokan. Pertama, segi sarana penrwujudannya(media of reprcsentation), karya sastra
terbagi kepada prosa dan puisi. Kedua, segi objek perwujudannya (object of
representation) karya sastra selalu membicarakan manusia, yang mempunyai tiga
kemungkinan: (1) manusia rekaan lebih agung daripada manusia yang nyata, seperti :
epik Homeros dan cerita Panji. (2) manusia rekaan lebih hina daripada manusia yang
nyata, seprti dalam komedi dan lenong. (3) manusia rekaan sama dengan manusia yang
nyata. Ketiga, segi ragam penwujudannya (manner of poetic representation), karya
sastra terbagi kepada epik, lirik, dan drama.

Kriteria lain diberikan Luxemburg. Dari segi situasi bahasa, sastra dibedakan
menjadi teks monolog, dialog, dan naratif. Sedangkan dari segi isi abstrak, Luxemburg
membedakan karya sastra yang mengandung cerita dan karya yang tidak mengandung
cerita. Robert Scholes membagi karya sastra atas dua bagian. Pertama, science fiction,
membentuk imaginasi berdasarkan realitas yang dipahami (penulisan). Kedua, sesuatu
realitas yang dilihat dari sudut imaginasi tertentu. Scholes menolak adanya karya-karya
sastra yang sepenuhnya realitas atau sepenuhnya imajinasi, karena keduanya tak
mungkin dipisahkan. Sesuatu realitas akan dilihat dengan suatu imajinasi, sedangkan
imajinasi tak mungkin dilepaskan dari suatu kemungkinan realilas yang diperhitungkan.
Dengan demikian tak ada karya sastra sepenuhnya realitas, tanpa campur tangan
imajinasi. Berbeda dengan sastra Arab, dilihat dari isi objeknya (maudhul, sasha dibagi
menjadi dua macam; sastra krcatif dan sastra deskriptif.

D. Sejumlah Kajian Sastra terhadap Sastra Ideologis pada Zamannya

Ragam karya sastra Indonesia menurut bentuknya terdiri atas puisi, prosa, prosa liris,
dan drama. Masing-masing ragam karya sastra Indonesia dari setiap periode itu
mengalami perkembangan sehingga menimbulkan ciri khas. Beberapa orang penelaah
sastra Indonesia telah mencoba membuat babakan waktu (periodisasi sastra) sejarah
sastra Indonesia. Salah satunya adalah H.B. Jassin. Periodisasi sastra yang dikemukakan
H.B.Jassin adalah Sastra Melayu dan Sastra Indonesia Modern.

1. Periodi Sastra Melayu


a. Prosa dan Puisi
Sastra Melayu muncul sejak bahasa Melayu itu sendiri muncul pertama
kali. Bahasa Melayu berasal dari daerah Riau dan Malaka, berkembang dan
menyebar ke seluruh pelosok nusantara dibawa oleh pedagang. Pada ragam
karya sastra puisi, Sastra Melayu yang pertama berbentuk mantera, pantun,
syair. Kemudian, bermunculan pantun kilat (karmina), seloka, talibun, dan
gurindam. Sedangkan pada ragam karya sastra prosa, Sastra Melayu yang
pertama berbentuk cerita-cerita pelipur lara, dan dongeng-dongeng. Dongeng
meliputi legenda, sage, fabel, parabel, mite, dan cerita jenaka atau orang-orang
malang/pandir.Bahkan, ragam karya sastra melayu ada yang berbentuk hikayat,
tambo, cerita berbingkai, dan wiracarita (cerita panji). Pada cerita dongeng
sering isinya mengenai cerita kerajaan (istanasentris) dan fantastis. Kadang-
kadang cerita tersebut di luar jangkauan akal manusia (pralogis).
Sebelum masyarakat Melayu mengenal tulisan, karya-karya sastra
tersebut disampaikan secara lisan kurang lebih tahun 1500. Penyebarannya
hanya dari mulut ke mulut dan bersifat statis. Namun, setelah masyarakat
Melayu mengenal tulisan, karya-karya tersebut mulai dituliskan oleh para ahli
sastra masa itu tanpa menyebut pengarangnya dan tanggal penulisannya
(anonim).

Sastra Melayu sangat dipengaruhi oleh sastra Islam sehingga banyak


terdapat kata-kata yang sukar karena jarang didengar. Alat penyampainya adalah
bahasa Arab-Melayu dengan huruf Arab gundul sehingga sering menimbulkan
bahasa yang klise. Di sisi lain, karya-karya sastra yang dihasilkan selalu
berisikan hal-hal yangbersifat moral, pendidikan, nasihat, adat-istiadat, dan
ajaran-ajaran agama. Cara penulisannya pun terkungkung kuat oleh aturanaturan
klasik, terutama puisi. Aturan-aturan itu meliputi masalah irama, ritme,
persajakan atau rima yang teratur.

b. Drama

Drama di tanah air sudah hidup sejah zaman Melayu. Bahasa yang
digunakan masyarakat Melayu pada waktu itu adalah bahasa Melayu Pasar
(bahasa Melayu Rendah). Rombongan drama yang terkenal pada masa ini adalah
Komedie Stamboel. Komedie Stamboel ini didirikan oleh August Mahieu, Yap
Goan Tay, dan Cassim. Kemudian, Komedie ini pecah menjadi Komedie Opera
Stamboel, Opera Permata Stamboel, Wilhelmina, Sianr Bintang Hindia. Naskah
drama yang pertama kali ditulis berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno.
Lakon drama ini ditulis oleh F. Wiggers tahun 1901.
BAB III
KAJIAN KARYA SASTRA

Kajian dapat disebut juga dengan penelaahan, penelitian. Kajian berasal dari kata “kaji”
yang berarti pelajaran atau penyelidikan. Kajian merupakan proses, cara, perbuatan
mengkaji; penyelidikan; penelaahan (KBBI, 1994: 431). Kajian memilki hubungan
dengan kata penelitian yang berarti mengumpulkan, mengolah , menganalisis data
secara ilmiah. Sementara itu banyak orang yang mendefinisikan sastra sesuai dengan
pikiran mereka masingmasing. Pertama, sastra yaitu suatu komunikasi seni yang hidup
bersama bahasa. Tanpa bahasa sastra tak mungkin ada. Melalui bahasa, ia dapat
mewujudkan dirinya berupa sastra lisan maupun tertulis”(Aftarudin dalam Jamaluddin
1990 :9). Kedua, sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang
objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai
mediumnya” (Atar Semi dalam Jamaluddin 1988 : 8). Ketiga, sastra dipandang sebagai
sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu, misalnya nilai- nilai atau ajaran kepada
pembaca (Abrams dalam Wiyatmi, 1981). Keempat, Menurut KBBI arti sastra adalah
bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitabkitab (bukan bahasa sehari-
hari); karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri
keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.

Dari berbagai pandangan mengenai kajian dan sastra diatas maka yang dimaksud
dengan kajian sastra adalah proses atau perbuatan mengkaji, menelaah sebuah objek
yang bernama sastra. Berkaitan dengan dunia sastra, mereka yang mengkajisastra juga
membutuhkan metode- metode khusus yang diharapkan dapat lebih memahami dam
menguasai objek kajiannya (karya sastra) secara ilmiah.

A. Paradigma Peneletian

Seperangkat keyakinan mendasar, pandangan dunia yang berfungsi untuk menuntun


tindakan-tindakan manusia yang disepakati bersama, baik dalam kehidupan sehari-hari
maupun penelitian ilmiah. Dalam penelitian sastra, paradigma penelitian yang dimaksud
berarti pandangan terhadap karya sastra itu sendiri.

Paradigma penelitian merupakan pandangan atau model, atau pola pikir yang
dapat menjabarkan berbagai variabel yang akan diteliti kemudian membuat hubungan
antara suatu variabel dengan variable yang lain sehingga memudahkan merumuskan
masalah penelitiannya. Paradigma penelitian juga disebut sebagai perspektif riset yang
dilakukan peneliti yang berisi bagaimana peneliti melihat realita (world views),
bagaimana mempelajari fenomena, cara-cara yang digunakan dalam penelitian dan cara-
cara yang digunakan dalam menginterppretasikan temuan.

Secara literer, paradigma diartikan sebagai kerangka berpikir. Dalam kehidupan


sehari-hari, paradigma dimaknai sebagai seperangkat pandangan dunia yang berfungsi
untuk menuntut atau menjadi acuan tindakan-tindakan manusia berdasarkan
kesepakatan bersama.
Pengertian tersebut memiliki penekanan yang sama pada konteks penelitian
sastra. Paradigma penelitian menjadi landasan bagi peneliti untuk memahami seluruh
masalah penelitian. Dengan pemahaman atas dasar paradigma tertentu, maka peneliti
dapat menentukan pendekatan, metode, teknik, teori, dan langkah penelitian yang
relevan. Menurut Harmon dalam analisis Moleong (2012:49) paradigma merupakan
cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan
dengan sesuatu secara khusus tentang realitas. Berdasarkan pengertian-pengertian
paradigma penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa paradigma penelitian
merupakan akar bagi peneliti untuk mengkondisikan kerangka berpikirnya dalam
melakukan penelitian terhadap masalah penelitiannya. Kerangkaberpikir tersebut
kemudian akan menuntun peneliti menuju konsep teori apa yang akan digunakan,
pendekatan, metode, teknik, dan langkah-langkah analisis penelitian selanjutnya
sehingga berkesinambungan. Mengenai hal yang sama, Ratna (2004: 21) berpendapat
bahwa paradigma merupakan seperangkat keyakinan mendasar, pandangan dunia yang
berfungsi menuntun tindakan-tindakan manusia yang disepakati bersama, baik dalam
kehidupan sehari-hari maupun penelitian ilmiah.

Sebelum melakukan pilihan pendekatan (approach), metode (method), teknik


(technique) atau pun cara dan piranti (ways and instruments), peneliti menetapkan cara
pandang yang digunakan terhadap bahan dan tujuan kajiannya. Cara pandang mendasar
ini disebut paradigma kajian (paradigm of inquiry). Denzin dan Lincoln (eds.) (1994:
99) yang dikutip Rahardjo (2005) menjelaskan paradigma sebagai “ …a basic set of
beliefs that guide action. Paradigms deal with first principles, or ultimates ”. Jadi,
paradigma adalah pandangan mendasar mengenai pokok persoalan, tujuan, dan sifat
dasar bahan kajian. Dalam suatu paradigma terkandung sejumlah pendekatan. Dalam
suatu pendekatan terkandung sejumlah metode. Dalam khasanah metodologi penelitian
atau kajian dikenal, paling tidak, tiga paradigma kajian utama, yaitu: (1) paradigma
positivistik (positivistic paradigm), (2) paradigma interpretif (interpretive pardigm), dan
(3) paradigma refleksif (reflexive paradigm). Lazimnya, paradigma positivistik
disepadankan dengan pendekatan kuantitatif (quantitative approach), paradigma
interpretif disepadankan dengan pendekatan kualitatif (qualitative approach), sedangkan
paradigma refleksif disepadankan dengan pendekatan kritik (critical approach).

Ada sejumlah butir pembeda antara ketiga jenis paradigma tersebut. Berikut
adalah butir pembeda beserta penjelasan ringkasnya. Pertama, perbedaan cita-cita.
Menurut paradigma positivistik, setiap kajian harus bercita-cita menemukan semacam
hukum kenyataan yang memungkinkan manusia meramal dan mengendalikan
kenyataan. Paradigma ini, yang berkembang dalam tradisi pemikiran Perancis dan
Inggris, akibat terobsesi dan dipengaruhi oleh tradisi ilmu-ilmu alam (natural sciences)
yang tergolong Aristotelian. Ia bertumpu pada pandangan bahwarealitas hakikatnya
bersifat materi dan kealaman. Manusia pun hakikatnya bersifat materi dan kealaman.

Paradigma interpretif bercita-cita memahami dan menafsirkan makna suatu


kenyataan. Sedangkan paradigma refleksif bercita-cita memberdayakan dan
membebaskan manusia dari semacam belenggu pemahaman atau kesadaran palsu.
Paradigma interpretif dan refleksif, yang berkembang dalam tradisi pemikiran Jerman,
lebih humanistik dan memandang manusia sebagai manusia, serta terobsesi dan
dipengaruhi oleh filsafat rasionalisme (idealisme) Platonik. Tradisi pemikiran inilah
yang kemudian menjadi akar-akar pendekatan penelitian kualitatif. Tradisi pemikiran ini
acapkali diberi label fenomenologisme.

Kedua, sifat dasar kenyataan. Menurut paradigma positivistik, kenyataan niscaya


berifat stabil dan terpola, sehingga bisa ditemukan atau dirumuskan hukum-hukumnya.
Paradigma interpretif berkeyakinan bahwa kenyataan bersifat cair dan mengalir, karena
merupakan hasil kesepakatan dan interaksi manusia. Sedangkan menurut paradigma
refleksif kenyataan niscaya penuh dengan pertentangan, dan dipengaruhi oleh struktur
terselubung yang mendasarinya.

Ketiga, sifat dasar manusia. Menurut paradigma positivistik, manusia niscaya


bersifat rasional dan memiliki kepentingan pribadi, serta dipengaruhi oleh kekuatan di
luar dirinya. Paradigma interpretif beranggapan bahwa manusia berkemampuan
membentuk makna dan niscaya memberi makna terhadap dunia mereka. Sedangkan
menurut paradigma refleksif, manusia bersifat kreatif dan adaptif, tetapi cenderung
terbelenggu dan tertindas oleh kesadaran palsu, sehingga kurang mampu menampilkan
seluruh potensinya.

Keempat, peran akal sehat. Menurut paradigma positivistik, akal sehat (common
sense) jelas berbeda dari dan tidak sahih dibanding pengetahuan keilmuan. Paradigma
interpretif berpendapat bahwa akal sehat tidak lain merupakan seperangkat teori
keseharian yang digunakan dan bermanfaat bagi orang-orang tertentu. Sedangkan
menurut paradigma refleksif, akal sehat tidak lain merupakan keyakinan palsu yang
menyelubungi kenyataan sebenarnya.

Kelima, wujud teori. Menurut paradigma positivistik, teori merupakan sistem


logik, deduktif, dan menggambarkan salingketerkaitan antara sejumlah difinisi, aksioma
dan hukum. Paradigma interpretif mengartikan teori sebagai suatu paparan tentang
bagaimana seperangkat sistem pemaknaan dihasilkan dan dipertahankan. Sedangkan
menurut paradigma refleksif, teori merupakan suatu kritik yang membuka atau
mengungkap kenyataan sebenarnya dan membantu manusia melihat cara memperbaiki
keadaan.

Keenam, tolok ukur kebenaran penjelasan. Menurut paradigma positivistik,


suatu penjelasan benar apabila secara logik terkait dengan hukum serta didasarkan pada
kenyataan. Paradigma interpretif berpendapat bahwa suatu penjelasan benar apabila
menyuarakan kembali atau memang dipandang benar oleh para pelaku sendiri.
Sedangkan menurut paradigma refleksif, suatu penjelasan benar manakala bisa memberi
manusia seperangkat piranti yang diperlukan untuk mengubah kenyataan.

Ketujuh, bukti kebenaran. Menurut paradigma positivistik, bukti kebenaran


harus didasarkan pada pengamatan yang tepat sehingga orang lain bisa mengulanginya.
Paradigma interpretif berpendapat bahwa bukti kebenaran harus terpancang atau terkait
konteks interaksi manusia yang cair dan mengalir. Sedangkan menurut paradigma
refleksif, bukti kebenaran ditakar berdasar kemampuannya dalam menyingkap struktur
terselubung yang mendasari kepalsuan atau ketidak-adilan.
Terakhir, kedudukan nilai-nilai. Menurut paradigma positivistik, ilmu harus
bebas nilai (value free), dan tidak memiliki tempat kecuali ketika seseorang memilih
topik kajian. Paradigma interpretif berpendapat bahwa nilai-nilai merupakan bagian tak
terpisahkan dari kenyataan manusia (value bound). Tidak ada nilai yang salah atau
benar, yang ada hanya berbeda. Sedangkan menurut paradigma refleksif, semua ilmu
harus mulai dari pendirian menurut tata-nilai tertentu. Ada nilai-nilai benar, ada pula
nilai-nilai yang salah.

Apa pun paradigma yang dipilih oleh peneliti, tampak jelas bahwa semua jenis
kajian keilmuan harus: (1) dilakukan secara sistematik, (2) didasarkan pada data, (3)
dilandasi wawasan teoretik, (4) disajikan secara teoretik, (4) disajikan secara eksplisit,
(5) disemangati tindakan reflektif, dan (6) ditutup dengan akhiran terbuka (open-ended).

B. Pendekatan dalam Kajian Sastra

Dalam mengkaji sebuah karya sastra, orang hanya mengkaji halhal yang bersifat umum,
seperti moralitas, estetika, sosial dan sebagainya. Hal itu dikarenakan tidak adanya/
belum adanya metode khusus yang digunakan untuk mengkaji sebuah karya sastra. Dari
pandangan itulah maka muncul berbagai macam pendekatan dalam kajian sastra.
Berbagai macam pendekatan menurut Abrams via Teeuw, 1983), terdiri dari empat
pendekatan utama, yaitu pendekatan mimetik, pendekatan ekspresif, pendekatan
pragmatic, dan pendekatan objektif. Keempat pendekatan tersebut kemudian mengalami
perkembangan hingga muncul berbagai pendekatan struktural, semiotik.

Berikut ini akan diuraikan berbagai pendekatan seperti yang telah diuraikan di
atas. Pembahasan akan diawali dengan empat pendekatan utama terlebih dahulu. Setelah
itu dilanjutkan dengan pendekatan yang merupakan perkembangan dari empat
pendekatan utama, yaitu pendekatan struktural.

1. Pendekatan Mimetik

Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang mengkaji karya sastra


berkaitan dengan realitas atau kenyataan. Mimetik dalam bahasa yunani
disebut tiruan. Dalam pendekatan ini, karya sastra merupakan hasil tiruan
atau cermin dari kehidupan. Dalam menngkaji sebuah karya sastra dengan
menggunakan pendekatan mimetik, dibutuhkan data-data yang berkaitan
dengan realitas kehidupan yang ada dalam karya sastra tersebut. Contohnya,
sebuah cerita yang bersetting abad 18 diperlukan data-data yang berkaitan
realitas kehidupan masyarakat pada masa tersebut. Karena pendekatan
mimetik menghubungkan karya sastra dengan realitas, maka kemudian
muncul anggapan bahwa karya merupakan cerminan dari realitas, sehingga
hakikat karya sastra yang bersifat fiktif sering kali dilupakn. Hal ini sangat
berbeda dengan makna karya sastra yang merupakan hasil karangan fiktif
pengarang.
2. Pendekatan Ekspresif

Pendekatan ekspresif merupakan pendekatan yang dalam mengkaji


karya sastra memfokuskan perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta
karya sastra tersebut. Pendekatan ekspresif muncul pada abad ke-18 dan 19,
yaitu ketika para pengritik mencoba menyelami jiwa penyair melalui puisi-
puisinya.

Dalam mengkaji sebuah karya sastra dengan pendekatan ekspresif


diperlukan data-data yang berhubungan dengan sastrawan yang membuat
karya sastra tersebut,seperti dimana dia tinggal ,dimana dia dilahirkan, kapan
dia hidup, bagaimana latar belakang pendidikan, keluarga, sosial, budaya,
agama, dan lain sebagainya. Dengan adanya data tersebut, akan lebih mudah
dalam mengkaji karya sastra tersebut, seperti pengaruh waktu pengarang
hidup dengan isi karya sastra yang dibuatnya. Dengan gambaran waktu yang
sama antara waktu pengarang hidup dengan waktu yang terdapat dalam karya
sastra tersebut membuat hasil karya sastra tersebut menjadi lebih hidup
dibandingkan dengan karya sastra dimana waktu dalam karya sastra tersebut
berbeda dengan waktu sipengarang hidup.

Kelemahan dari pendekatan ekspresif adalah kecenderungan untuk


selalu menyamakan realitas dalam karya sastra tersebut dengan realitas yang
dialami oleh sastrawan. Padahal dalam kenyataannya tidak semua karya
sastra merupakan cerminan realitas si pengarang.

3. Pendekatan Pragmatik

Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang memandang karya


sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca,
seperti tujuan pendidikan, moral agama atau tujuan yang lainnya. Pendekatan
pragmatik mengkaji karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan
tujuan-tujuan tertentu bagi pembacanya. Semakin banyak nilai-nilai, ajaran-
ajaran yang diberikan kepada pembaca maka semakin baik karya sastra
tersebut. Contohnya dalam novel Atheis dimana Hasan ombang– ambingkan
keimanannya. Hal tersebut dapat dikaji nilai kereligiusannya.

4. Pendekatan Objektif

Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang menitik beratkan


pada karya sastra itu sendiri. Wellek & Warren (1990) menyebut pendekatan
ini sebagai pendekatan intrinsic karena kajian difokuskan pada unsure
koherensi dan kebenaran sendiri. Unsur intrinsik yang dikaji dengan
menggunakan pendekatan objektif dapat berupa diksi, bahasa kiasan, citraan,
bunyi, persajakannya dan lain-lain. Perkembangan selanjutnya dari
pendekatan objektif adalah pendekatan struktural yang akan dibahas pada
bagian selanjutnya.
5. Pendekatan Struktural

Pendekatan struktural merupakan pendekatan yang mengkaji dari segi


struktur karya sastra itu sendiri. Pendekatan ini digunakan dengan memahami
karya sastra secara close reading atau membaca tanpa melihat pengarangnya,
hubungan dengan realitas. Tujuan dari pendekatan Struktural adalah untuk
membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetil dan semendalam
mungkin keterkaitan danketerjalinan semua unsur dan aspek karya sastra
yang bersama–sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984).
Adapun kelemahan yang terdapat dalam mengkaji karya sastra dengan
pendekatan struktural, ialah sebagai berikut.
a. Karya sastra tidak dapat diteliti secara tersaing, tetapi dipahami
terkait dengan latar belakang sejarah.
b. Adanya struktur yang objektif dalam karya sastra makin
disangsikan.

C. Objek Kajian Sastra

Banyak masalah yang harus diselesaikan dengan teknik atau metode tertentu.
Dengan adanya fenomena-fenomena tersebut, para ahli berpacu untuk membuat
metode-metode khusus untuk mengkaji masalah yang khusus pula. Dengan adanya
metode tersebut, maka hasil yang dicapai akan memiliki bobot yang lebih baik dari pada
menggunakan metode yang bukan seharusnya digunakan untuk mengkaji masalah
tersebut.

Membaca sebuah karya sastra, dalam hal ini cerita fiksi, pada hakikatnya
merupakan kegiatan apresiasi sastra secara langsung. Maksudnya adalah kegiatan
memahami karya sastra dengan sungguh-sungguh sehingga tumbuh pengertian,
penghargaan, kepekaan kritis yang baik terhadap karya sastra tersebut (Aminudin,
19953 : 35). Sastra, atau kesusastraan, menurut Swingewood (dalam Faruk, 1994: 39),
merupakan suatu rekonstruksi dunia dilihat dari sudut pandang tertentu yang kemudian
dimunculkan dalam produksi fiksional. Sastra merupakan ekspresi pengarang yang
bersifat estetis, imajinatif, dan integratif dengan menggunakan medium bahasa untuk
menyampaikan amanat tertentu.

D. Hirearki Teori dalam Peneletian Sastra

1. Struktualisme

Salah satu bagian yang sangat mendasar dalam mengkaji berbagai


pengetahuan adalah pengkajian terhadap struktur, misalnya bahasa, teknologi,
kimia, biologi, antropologi, budaya, dan sebagainya. Melacak perkembangan
secara teoritis, konsep dan gagasan struktur itu dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan strukturalisme. Strukturalisme pada awalnya
dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure untuk menganalisis struktur
bahasa, dan di dalamnya menggunakan analisis sebagai sistem korelasi antara
bentuk dan makna.
Selain Saussure, tokoh yang berpengaruh adalah Roman Jacobson,
Levi Strauss, Roland Barthes dan Michel Foucault (dua terakhir juga
merupakan poststrukturalist). Di antara para strukturalis ini, Claude Levi
Strauss yang mengembangkan berbagai ide struktural menjadi sangat luas.
Levi Strauss memperluas cakupan bahasa menjadi berbagai aspek terkait
kebudayaan. Cakupan strukturalisme yang sangat luas dapat menghasilkan
variasi yang sangat besar bagi berbagai produk budaya (Inggrid Steven dalam
analisis Sasongko, 2003). Levi Strauss menempatkan strukturalisme ini
bersifat universal, yang dapat digunakan untuk menganalisis berbagai
masalah budaya. Hubungan antara bahasa dan kebudayaan menurut Levi
Strauss sebagaimana yang dikutip Sasongko (2003) dapat dilihat dari tiga sisi,
yakni: (1) bahasa merupakan refleksi dari keseluruhan kebudayaan
masyarakat yang bersangkutan; (2) bahasa bagian dari kebudayaan; dan (3)
bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan dalam arti diakronis, artinya
bahasa mendahului kebudayaan karena melalui bahasalah manusia
mengetahui budaya masyarakatnya.

Pembahasan secara struktural adalah langkah awal penelitian sastra.


Penelitian struktural dipandang lebih obyektif karena hanya berdasarkan
sastra itu sendiri (bersifat otonom). Pemahamannya harus mengaitkan
antarunsur pembangun karya sastra dengan menekankan aspek intrinsik sastra
(Endraswara, 2008: 49-51). Menurut Abrams dalam analisis Pradopo (2005),
pendekatan strukturalis dalam karya sastra merupakan sebuah totalitas yang
dibangun secara komprehensif oleh berbagai unsur pembentuknya. Analisis
struktural merupakan 19 prioritas lain sebelum yang lainnya karena tanpa itu
kebulatan makna intrinsik tidak akan tertangkap (Teeuw, 1983: 61). Novel
sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun cerita (unsur-unsur
cerita). Unsur-unsur pembangun cerita dalam sebuah novel yang membentuk
totalitas terdiri atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. 1. Unsur intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri.
Unsur-unsur intrinsik tersebut adalah unsur-unsur yang (secara langsung)
turut serta membangun cerita, yaitu meliputi: cerita, peristiwa, plot,
penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa,
dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2009: 23). Unsur inilah yang menyebabkan
karya sastra hadir sebagai karya sastra. Sebagai unsur yang membangun
sebuah karya sastra, kehadiran unsur intrinsik sangat diperlukan. Untuk
mengkaji unsur intrinsik dalam penelitian ini dibatasi pada unsur alur,
penokohan, latar, sudut pandang, dan tema.

Menurut Abrams sebagaimana yang dikutip Pradopo (2005),


pendekatan strukturalis dalam karya sastra merupakan sebuah totalitas yang
dibangun secara komprehensif oleh berbagai unsur pembentuknya. Analisis
struktural merupakan 19 prioritas lain sebelum yang lainnya karena tanpa itu
kebulatan makna intrinsik tidak akan tertangkap (Teeuw, 1983: 61). Novel
sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun cerita (unsur-unsur
cerita). Unsur-unsur pembangun cerita dalam sebuah novel yang membentuk
totalitas terdiri atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
1. Unsur Intrinsik
a. Tema
Tema merupakan salah satu unsur intrinsik karya sastra. Tema adalah
gagasan utama atau pikiran pokok (Tarigan, 2008: 167). Werren dan Wellek
(1990: 73) membagi permasalahan tema dalam karya sastra menjadi lima
golongan besar, yaitu (1) nasib, maksudnya adalah hubungan antara
kebebasan dan keterpaksaan, semangat manusia dan alam, (2) keagamaan,
dalam hal ini termasuk interpretasi tentang Tuhan, sikap terhadap dosa dan
keselamatan, (3) alam, perasaan terhadap alam, juga mitos dan ilmu gaib, (4)
manusia, permasalahan ini menyangkut konsep manusia, hubungan manusia
dengan kematian dan konsep cinta, dan (5) sosial, dalam hal ini menyangkut
konsep masyarakat, keluarga dan negara.
Tarigan (1985: 125) mengemukakan pendapat Brooks dan Warren
bahwa tema adalah dasar atau makna suatu cerita atau novel. Menurut
Schmitt dan Viala (1982: 29 & 39), tema merupakan isotopi kompleks yang
disusun dari beberapa motif dimana motif merupakan isotopi sederhana
dalam unsur-unsur pembentuk cerita. Tema juga diartikan sebagai pandangan
hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian
nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan
utama dari suatu karya sastra. Secara sederhana, tema adalah dasar cerita atau
gagasan umum dari sebuah cerita. Makna cerita dalam sebuah karya fiksi bisa
lebih dari satu. Hal tersebut menurut Nurgiyantoro (2009: 82-83)
menyebabkan sulitnya menentukan tema pokok cerita atau tema mayor
(artinya: makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan umum karya).
Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar dalam keseluruhan cerita,
sedangkan makna tambahan yang terdapat di dalamnya disebut tema
tambahan atau tema minor. Penafsiran terhadapnya harus dilakukan
berdasarkan fakta-fakta yang ada secara keseluruhan membangun cerita
tersebut.
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu
sendiri. Unsur-unsur intrinsik tersebut adalah unsurunsur yang (secara
langsung) turut serta membangun cerita, yaitu meliputi: cerita, peristiwa, plot,
penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa,
dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2009: 23). Unsur inilah yang menyebabkan
karya sastra hadir sebagai karya sastra. Sebagai unsur yang membangun
sebuah karya sastra, kehadiran unsur intrinsik sangat diperlukan. Untuk
mengkaji unsur intrinsik dalam penelitian ini dibatasi pada unsur alur,
penokohan, latar, sudut pandang, dan tema. Selanjutnya akan diuraikan teori-
teori tentang unsur-unsur tersebut sebagai berikut sebagai batasan pada uraian
hasil analisis.
b. Alur
Alur sering juga disebut dengan istilah plot atau jalan cerita. Plot atau
alur sebuah cerita adalah struktur naratif sebuah novel (Wellek dan Warren,
1995: 284). Dapat dibagi menjadi: a. Pemaparan atau pendahuluan, yaitu:
bagian cerita tempat pengarang mulai mendiskusikan suatu keadaan yang
menjadi awal cerita. b. Penggawatan, yaitu bagian yang melukiskan tokoh-
tokoh yang terlibat dalam cerita mulai bergerak, sehingga bagian ini akan
terasa adanya konflik. c. Penanjakan, yaitu bagian cerita yang melukiskan
konflik-konflik yang memulai memuncak. d. Puncak atau klimaks yaitu
bagian cerita tempat pengarang memberikan pemecahan masalah dari semua
cerita atau bagian-bagian sebelumnya.
c. Penokohan
Membicarakan sebuah fiksi, tidak dapat terlepas dari istilah seperti
tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi.
Istilah tokoh menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita. Watak, perwatakan
dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang
ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang
tokoh. Penokohan dan karakterisasi menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh
tertentu dengan watakwatak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgyantoro, 2009:
164-165). Jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam
tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang
kita kagumi, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma dan
nilai-nilai yang ideal bagi kita. Sebaliknya, tokoh antagonis adalah tokoh
yang menyebabkan konflik. Meskipun konflik tidak hanya disebabkan oleh
tokoh antagonis, melainkan dapat disebabkan oleh hal lain yang di luar
individualitas seseorang, seperti bencana alam, kecelakaan, lingkungan alam
dan sosial, aturan-aturan sosial, dan sebagainya. Menurut Altenbernd (via
Nurgyantoro, 2009: 178-179), penyebab konflik yang tak dilakukan oleh
seorang tokoh disebut sebagai kekuatan antagonistis, antagonistic forcé.
Selanjutnya, untuk mengetahui karakter tokoh dapat dilakukan dengan teknik
pelukisan secara langsung yang dapat ditemukan dalam teks (1), melihat dari
sisi psikologis dan lingkungan sosial (2), serta sikap dan tindakan tokoh (3).
Sedangkan gambaran diri tokoh (le potrait du personnage) akan terbentuk dari
pengkombinasian ciri- 25 ciri tokoh dan cara pengungkapannya. Ciri-ciri
tokoh meliputi ciri-ciri fisik, psikologis, dan sosial.
d. Latar
Menurut Abrams (via Nurgyantoro, 2009: 216), fiksi sebagai sebuah
dunia, selain membutuhkan tokoh, cerita, plot, dan tokoh juga memerlukan
latar. Latar atau setting yang disebut juga landas tumpu mengarah pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Brooks (dalam Tarigan, 1991: 136)
mendefinisikan latar adalah sebagai latar belakang fisik, unsur tempat dan
ruang dalam suatu cerita. Nurgyantoro (2009: 217-219) mengemukakan tahap
awal cerita pada umunya berisi penyesuaian, pengenalan terhadap berbagai
hal yang akan diceritakan, misalnya pengenalan tokoh, pelukisan keadaan
alam, lingkungan, suasana tempat, mungkin berhubungan dengan waktu, dan
lain-lain yang dapat menuntun pembaca secara emosional kepada situasi
cerita. Latar merupakan pijakan cerita secara konkret dan jelas untuk
memberikan kesan realistis pada pembaca. Latar tempat dan waktu
dikategorikan dalam latar fisik (physical setting). Namun, latar tidak terbatas
pada tempat-tempat tertentu saja, atau yang bersifat fisik saja, melainkan juga
yang berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang
berlaku di tempat yang bersangkutan. Inilah yang disebut dengan latar
spiritual (spiritual setting). Dengan demikian, latar dapat dibedakan menjadi
latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
e. Sudut pandang
Sudut pandang adalah posisi pengarang dalam pengisahan cerita karta
sastra. Dimana pengarang dapat mengisahkan posisinya dengan dua cara
yaitu 1) dengan metode orang pertama, 2) dengan metode orang ketiga.
Apabila dalam karya sastra pengarang menggunakan kata ganti orang pertama
(aku, saya) berarti karya sastra tersebut menggunakan sudut pandang orang
pertama. Dan apabila dalam karya sastra pengarang menggunakan kata ganti
orang ketiga (dia, mereka) atau menggunakan nama orang, maka karya sastra
tersebut menggunakan sudut pandang orang ketiga (Suroto, 1989: 96-97).
Sudut pandang adalah cara seseorang memandang peristiwa yang ada dalam
suatu cerita. Cara memandang setiap orang biasanya berbeda tergantung dari
mana orang tersebut memandang, dari sudut konflik dalam cerita, tema,
pengarang, bahkan pembaca.

2. Unsur Ekstrinsik
Kelemahan penelitian struktural adalah hanya menekankan pada sastra
secara otonom sehingga menghilangkan konteks, fungsinya dan relevansi
sosial, yang justru asal-usulnya (Ratna, 2004: 332). Sehingga diperlukan
análisis terhadap unsur ekstrinsik agar karya sastra dapat bermakna dan
bermanfaat bagi kehidupan. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada
di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan
atau sistem organisme karya sastra. Secara spesifik, unsur tersebut dikatakan
sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra,
tetapi tidak menjadi bagian di dalamnya. Seperti halnya unsur intrinsik, unsur
ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur tersebut meliputi latar
belakang kehidupan pengarang, keyakinan, dan pandangan hidup pengarang,
adat istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik, persoalan sejarah, ekonomi,
pengetahuan agama dan lainlain (Suroto, 1989: 138) yang kesemuanya akan
mempengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur ini mencakup berbagai aspek
kehidupan sosial yang menjadi latar belakang penyampaian tema dan amanat
cerita.
Langkah kerja strukturalisme menurut Endraswara (2008:52- 53)
adalah:
1. Membangun teori struktur sastra sesuai dengan genre yang diteliti.
Struktur yang dibangun harus mampu menggambarkan teori
struktur yang handal, sehingga mudah diiukuti oleh peneliti sendiri.
Peneliti perlu memahami lebih jauh hakikat setiap unsur
pembangun karya sastra.
2. Peneliti melakukan pembacaan secara cermat, mencatat unsur-unsur
struktur yang terkandung dalam bacaan itu. setiap unsur
dimasukkan ke dalam kartu data, sehingga memudahkan analisis.
Kartu daya sebaika disusun alpabetis, agar mudah dilacal pada
setiap unsur.
3. Unsur tema, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu sebelum
membahas unsur lain, karena tema selalu terkait langsung secara
komprehensif dengan unsur lain. Tema adalah jiwa dari karya
sastra itu, yang akan mengalir ke dalam setiap unsur. Tema harus
dikaitkan dengan dasar pemikiran atau filosofi karya secara
menyeluruh. Tema juga sering tersembunyi dan atau terbungkus
rapat pada bentuk. Karena itu, pembacaan berulang-ulang akan
membantu analisis.
4. Setelah analisis tema, baru analisis alur, konflik, sudut pandang,
gaya setting, dan sebagainya andaikata berupa prosa
5. Yang harus diingat, semua penafsiran unsur-unsur harus
dihubungkan dengan unsur lain, sehingga mewujudkan kepaduan
makna struktur
6. Penafsiran harus dilakukan dalam kesadaran penuh akan pentingnya
keterkaitan antarunsur. Analisis yang meninggalkan kepaduan
struktur, aka bias dan menghasilkan makna yang mentah.

2. Strukturalisme Genetik

Karya sastra identik dengan latar belakang sosial budaya penulisnya.


Maka kelahiran karya sastra erat kaitannya dengan kondisi masyarakat pada
lingkungan sosial tertentu. Hal inilah yang mendasari pertautan antara sastra
dengan sosiologi. Dua disiplin ilmu yang berbeda, namun menempatkan
masyarakat sebagai objek kajian yang sama.

Sosiologi menurut pandangan Wolff (dalam Endraswara, 2013:77)


merupakan disiplin ilmu yang berhubungan dengan sastra masyarakat. Senada
dengan pernyataan tersebut, Ishomuddin (dalam Kurniawan, 2012: 4),
berpendapat bahwa: sosiologi merupakan studi tentang masyarakat yang
mengemukakan sifat atau kebebasan serta lembaga-lembaga yang penting
sehingga masyarakat dapat berkembang terus dan berguna bagi kehidupan
manusia, karena pengaturan yang mendasar tentang hubungan manusia secara
timbal balik dan juga karena faktor-faktor yang melibatkannya serta dari
interaksi sosial berikutnya.

Dengan tafsir yang lebih mendalam, Ritzer (dalam Faruk, 1994 : 2)


menganggap bahwa: sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang
multiparadigma. Maksudnya, di dalam ilmu tersebut dijumpai beberapa
paradigma yang saling bersaing satu sama lain dalam usaha merebut
hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Paradigma itu sendiri
diartikannya sebagai satu citra fundamental mengenai pokok persoalan dalam
suatu ilmu pengetahuan. Paradigma itu berfungsi untuk menentukan apa yang
harus dipelajari, pertanyaan-pertanyaan apa yang harus diajukan, bagaimana
cara mengajukannya dan aturanaturan apa yang harus diikuti dalam
interpretasi jawaban-jawaban yang diperoleh. Ritzer menemukan setidaknya
tiga paradigma yang dasar dalam sosiologi, yaitu paradigma fakta- fakta
sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.

Berdasarkan berbagai defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa


sosiologi merupakan disiplin ilmu yang menjadikan masyarakat sebagai objek
kajiannya dan berorientasi pada bentuk tindakan dan sikap serta pemikiran
masyarakat dalam hidup yang berkaitan erat dengan fakta sosial, defenisi
sosial, dan perilaku sosial yang menunjukkan interaksi antarindividu dalam
masyarakat.

Relasi antara sosiologi dan sastra dengan demikian pada hakikatnya


adalah interdisiplin antara sosiologi dengan sastra, yang menurut Ratna
(dalam Kurniawan, 2012 : 5) dapat direpresentasikan melalui: (1) pemahaman
terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek
kemasyarakatannya; (2) pemahaman terhadap totalitas karya sastra yang
disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya;
(3) pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan
masyarakat yang melatarbelakanginya; dan (4) hubungan dialektik antara
sastra dan masyarakat.

Dalam konteks ini, Damono (1980) menggambarkan relasi sosiologi


dengan sastra, sebagai jalinan tiga aspek yang saling berpengaruh:
1. relasi sosiologi dengan sastra dimediasi oleh pengarang, yakni
pertautan sosiologi dan sastra yang menitikberatkan pada
pandangan bahwa karya sastra merupakan hasil internalisasi
pemikiran, ideologi, dan nilai-nilai yang dimiliki penulisnya dalam
masyarakat. Maka orientasi telaah sosiologi sastra adalah untuk
melihat ideologi dan pandangan penulis terhadap problematika
masyarakat;
2. relasi sosiologi dengan sastra dimediasi oleh fakta sastra, yakni
berdasarkan peristiwa atau kejadian yang dideskripsikan dalam
sastra melalui kata-kata yang dapat bersifat rekaan tetapi secara
substansi merepresentasikan pandangan dunia pengarang terhadap
suatu kondisi sosial masyarakat tertentu. Relasi ini melahirkan
analisis sosiologis yang bersifat objektif;
3. relasi sosiologi dengan sastra dimediasi oleh pembaca, yang
didasari oleh interpretasi pembaca terhadap karya sastra;
4. relasi sosiologi dengan sastra dimediasi oleh kenyataan, yakni
pertautan yang didasari oleh sejumlah kenyataan yang kemudian
dapat menjadi fakta sastra.
5. relasi sosiologi dengan sastra dimediasi oleh bahasa, yakni
pertautan yang didasari oleh penggunaan medium yang sama dalam
pengungkapan masalah.

Beberapa kecenderungan yang muncul dalam pendekatan sosiologi


sastra pada akhirnya merujuk pada kesimpulan bahwa objek kajian dalam
sosiologi sastra adalah karya sastra. Sedangkan sosiologi berguna untuk
memahami gejala sosial yang ada dalam sastra, baik penulis maupun fakta
sastra. Dalam kajian terhadap karya sastra, pendekatan sosiologi sastra yang
dimediasi oleh fakta sastra merupakan relasi yang paling tepat untuk
mendapatkan objektivitas penafsiran terhadap karya sastra.
Paradigma Sosiologi Sastra-Objektif
Menurut Kurniawan (2012 : 12) paradigma sosiologi ini berfokus
pada analisis sosiologi karya sastra secara objektif atau otonom. Sekalipun
kajian ini merupakan interdisipliner antara sastra dengan sosiologi, tetapi
dengan fokus pada sastra sebagai gejala pertama, yaitu objek kajian yang
terimplikasi sosial masyarakat, maka sosiologi sastra-objektif ini
menitikberatkan pada analisis sosiologis karya sastra.

Sastra dianggap memiliki hubungan dialogis dan dialektis dengan


sosial masyarakat. Analisisnya adalah bagaimana relasi dialogis dan dialektis
antara kehidupan yang digambarkan dalam karya sastra dengan kehidupan
sosial yang diacu. Dengan fokus pada karya sastra, aspek pengarang dan
pembaca dinafikan atau hanya menjadi data penunjang, maka paradigmanya
bisa disebut sosiologi objektif. Atau sosiologi karya sastra dalam konteks
sastra sebagai cermin masyarakat.

Dalam hal ini, analisis sosiologi sastra dilakukan dengan terlebih


dahulu menganalisis struktur karya sastra, yaitu struktur pokok dari karya
sastra “fiksi” yang paling utama. Kajian sosiologi sastra ini mengutamakan
analisis struktur karya sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang
dipergunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis karya sastra untuk
mengetahui strukturnya, yang kemudian dipergunakan untuk memahami lebih
dalam lagi gejala sosial di luar sastra. Dengan analisis ini, maka dapat
diketahui hubungan teks dengan konteks, sehingga lewat karya sastra, kita
bisa memahami gejala-gejala sosial masyarakat yang terjadi, dan bagaimana
pengaruh gejala sosial masyarakat tersebut dengn struktur karya sastra.

Sebagai kajian yang memfokuskan hubungan dialektis antara karya


sastra dengan kenyataan sosial, maka, analisis bergerak pada struktur sosial
karya sastra, dan bagaimana kondisi sosial masyarakat yang diacu. Oleh
karena itu, analisis sosiologis yang bersifat objektif ini dapat digambarkan
kerangka besarnya sebagai berikut:
a. Analisis Sosial Struktur Karya Sastra
Analisis ini pada hakikatnya adalah mengkaji struktur pembangun
karya sastra dalam persfektif sosiologis, yaitu menguraikan interaksi sosial
yang terbangun antara tokoh dengan tokoh dalam suatu kondisi sosial dan
waktu tertentu. Fokusnya adalah pada tokoh, latar sosial, dan alur (rangkaian
peristiwa) yang dibahas dalam konteks sosial. tokoh dibahas dalam
hubungannya sebagai individu sosial yang segala tindakan dalam interaksi
sosialnya berhubungan dan dipengaruhi oleh kondisi sosial atau dakta-fakta
sosial yang ada. Latar sosial adalah analisis terhadap kondisi sosial karya
sastra yang berkaitan dengan fakta sosial yang diacu yaitu, norma-norma
sosial, kelas-kelas sosial, dan lembaga-lembaga sosial sebagai ruang sosial
yang di dalamnya tokoh-tokoh menjalin aktivitas dan interaksi sosial. Alur
dalam analisis ini berkaita dengan waktu atau rangkaian peristiwa yang
terentuk dalam karya sastra.
Adapun tiga paradigma yang bisa dioperasikan dalam analisis ini,
adalah perilaku sosial, defenisi sosial, dan fakta sosial. Menurut Emile
Durkheim (dalam Kurniawan 92012:16), fakta sosial merupakan suatu
kenyataan sosial yang bersifat eksternal, koersif, dan menyebar karena,
bagaimanapun kenyataannya, di setiap masyarakat jelas terdapat sekumpulan
fenomena sebagai sesuatu yang menentukan dan terpisah dari luar individu.
Fakta sosial adalah suatu kenyataan yang memiliki karakteristik khusus,
yakni mengandung tata cara bertindak, berpikir, dan merasakan yang bersifat
dari luar individu, yang ditanamkan dengan kekuatan koersif. Fakta sosial
material antara lain masyarakat, komponen struktur masyarakat seperti gereja,
negara, juga komponen morfologi masyarkat seperti distribusi penduduk,
jaringan komunikasi dan perumahan. Sedangkan fakta sosial nonmaterial
meliputi: moral, nilai, norma, kesadaran kolektif, representasi kolektif, dan
social currents.
Defenisi sosial menekankan hakikat kenyataan sosial yang bersifat
subjektif lebih daripada eksistensinya yang terlepas dari individu. Defenisi
sosial ini mengartikan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha untuk
menafsirkan dan memahami pemahaman interpretasi tindakan sosial
(Bernand Raho, dalam Kurniawan 92012:16). Artinya, segala tindakan-
tindakan sosial individu dalam masyarakat dipengaruhi oleh rasionalitas,
alasan, tujuan, dan motif-motif yang melandasinya.
Perilaku sosial memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara
individu dan lingkungannya. Menurut paradigma ini, pokok persoalan dalam
sosiologi adalah tingkah laku individu. Lebih lanjut paradigma ini
menekankan pendekatan objektif empiris terhadap kenyataan sosial yaitu
perilaku-perilaku individu yang nyata (Bernand Raho, 2007:18-19). Perilaku
ini dipahami bahwa tindakan sosial muncul karena adanya respon dan
stimulus yang berkelanjutan dalam masyarakat.
Dengan tiga paradigma sosiologi ini kita bisa mengurai dan
menganalisis karya sastra dengan teori sosial, yaitu menganalisis aspek-aspek
kemasyarakatan yang terdapat dalam karya sastra. Kehidupan sosial karya
sastra dihukumi, diulas, dan dianalisis dengan seperangkat hukum sosiologi
dengan memanfaatkan kondisi masyarakat yang dijadikan sebagai referennya,
sehingga makna karya sastra dalam konteks sosiologi pun bisa diungkapkan.

b. Analisis Sosial Masyarakat yang Diacu Karya Sastra


Selanjutnya, jika analisis sosial teks sudah dilakukan, maka dipastikan
kita mendapatkan referen fakta sosial dan kondisi sosial yang diacu oleh
karya sastra. Jika demikian, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis
secara sosiologis kondisi sosial yang diacu dalam karya sastra tersebut.
Analisis sosialnya bisa membahas tiga paradigma sosiologi ini: fakta sosial,
defenisi, perilaku sosial, dan data-data yang digunakan adalah sumber
pustaka, wawancara, ataupun analisis sendiri dengan cermat. Analisis konteks
sosial ini dispesifikasikan mengacu pada pokok bahasan yang
direpresentasikan oleh karya sastra atau tema persoalan yang diangkat dalam
sosiologi karya sastra.

c. Relasi Sosial Karya Sastra dengan Kenyataan sosial


Setelah kita menganalisis dimensi sosial karya sastra dengan
kenyataan sosial yang diacu, maka analisis sosiologi sastra adalah
merelasikan keduanya. Konsep analisisnya mencakup hubungan relasional
kenyataan sosial karya sastra dengan kenyataan sosial yang diacu meliputi:
analisis peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi, fakta-fakta sosial yang ada,
perilaku-perilaku sosial tokohtokohnya, defenisi-defenisi sosial tokoh-
tokohnya yang kemudian direlasikan dengan kenyataan sosial yang diacu.
Selanjutnya analisis bergerak pada fungsi-fungsi sosial sastra yang
mendeksripsikan makna-makna peristiwa yang terjadi dalam karya sastra
dalam konteks sosial sastra dengan bantuan kenyataan sosial karya sastra.
Ketiga tahap dalam analisis sosiologis yang bersifat objektif tersebut
pada akhirnya digunakan untuk menemukan dan mengidentifikasi pemikiran
atau ideologi yang terkandung dalam sebuah karya sastra melalui penggalian
pada unsur bahasa, teknik pengungkapan, dan tema yang diusung.
BAB IV
PENGERTIAN DASAR SEMIOTIKA

A. Pengertian Dasar Semiotika

Definisi semiotika dapat dipahami melalui pengertian semiotika yang berasal


dari kata semeion, bahasa asal Yunani yang berarti tanda. Semiotika ditentukan sebagai
cabang ilmu yang berurusan dengan tanda, mulai dari sistem tanda, dan proses yang
berlaku bagi penggunaan tanda pada akhir abad ke-18. J.H. Lambert, seorang filsuf
jerman yang sempat dilupakan, menggunakan kata semiotika sebagai sebutan untuk
tanda. Untuk beberapa masa, perbincangan mengenai semiotika sempat tenggelam dan
tidak menarik perhatian para filsuf atau pemerhati ilmu bahasa dan kesastraan lainnya.
Baru setelah seorang filsuf Logika Amerika pertama, C.S. Peirce (1834-1914)
menuliskan pikirannya guna mendapatkan perhatian pada tahun 30-an, semiotika
kembali dikenal di abad barunya. Hal ini diperkenalkan oleh Charles Morris (Amerika)
dan Max bense (Eropa). Perkembangan semiotika sebagai salah satu cabang ilmu
memang tergolong sebagai ilmu tua yang baru. Perkembangan teori semiotika tidak
dapat dikatakan pesat. Ilmu tanda, sistem tanda, serta proses dalam penggunaan tanda
hingga pada taraf pemahaman melalui makna memerlukan kepekaan yang besar. Makna
yang berada dibalik setiap karya sastra atau bahasa, dengan kepekaan tersebut akan
dapat diungkap dan dipahami dengan baik.

Pengertian semiotik yang pernah dikatakan pada catatan sejarah semiotik,


bahwasanya semiotik merupakan ilmu tentang tanda-tanda yang menganggap fenomena
komunikasi sosial atau masyarakat dan kebudayaan. Hal tersebut dianggap sebagai
tanda-tanda semiotik dalam mempelajari sistem-sistem, aturan- aturan dan konvensi
dengan tokoh pendiri, yaitu Ferdinand de Saussure (1857- 1913) dan Harles Sander
Peirce (1939-1914). Secara sederhana Ferdinand de Saussure (1857-1913) sebagai
orang Swiss peletak dasar ilmu bahasa menjadi gejala yang menurutnya dapat dijadikan
objek studi. Salah satu titik tolak Saussure adalah bahasa harus dipelajari sebagai sistem
tanda, tetapi bukan satu- satunya tanda. Kedua filsuf tersebut dibedakan oleh sebutan
terhadap ilmu tanda semiotika oleh Pierce dan Semiologi oleh Saussure yang
terinspirasi tentang pemahamannya ke arah ilmu tanda Pierce karena segala yang
muncul mengenai semiologi dan semiotika beranjak dari ahli linguistik, hingga
semiotika terdiri dari 2 aliran utama, yaitu bahasa (Pierce) dan bahasa sebagai pemandu
(Saussure).

B. Ilmu Tanda

Sebagai ilmu tanda, semiotik membagi aspek tanda menjadi petanda (signifier)
dan petanda (signified) dengan pemahaman penanda sebagai bentuk formal yang
menandai petanda, dipahami sebagai sesuatu yang ditandai oleh penanda. Unsur karya
sastra dalam bentuk tanda dibedakan atas ikon, dengan pengertian sebagai tanda yang
memiliki hubungan alamiah antara penanda dan petanda, ideks sebagai tanda yang
bersifat memiliki hubungan kausal antara penanda dan petanda, serta simbol yang
merupakan tanda petunjuk yang menyatakan tidak adanya hubungan alamiah antara
penanda dan petanda, bersifat arbitrer dan ditentukan oleh konvensi (kesepakatan
bersama). Kaitannya dengan bahasa dan sastra (kesusastraan) maka pendekatan
semiotik ditetapkan pada tindakan analisis tanda yang terbaca terhadap karya sastra
terbaca. Secara struktural, Barthes (1957) menyatakan bahasa atau perangkat yang
digunakan untuk menguraikan bahasa (metabahasa) dan konotasi merupakan hasil
pengembangan dalam cara manusia memaknai tanda.

Segala bentuk bahasa yang dipergunakan dalam membangun karya sastra


dengan kandungan makna di dalamnya akan menjadi sebuah tanda. Dengan demikian,
bahasa karya sastra dapat dikatakan sebagai ikon, indek, maupun simbol yang disajikan
dan dihadirkan dengan makna. Dan ilmu yang mendasari proses penelusuran dan upaya
pemahaman bahasa sebagai tanda atas makna tertentu yang dimiliki karya sastra disebut
dengan semiotika.

C. Bahasa Sebagai Tanda

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahasa sebagai media aktivitas


manusia baik secara lisan maupun tulisan yang memiliki kemampuan membangun
sejarah, monumen, dan teknologi. Dengan demikian, bahasa merupakan sebuah
konservasi atau upaya pengawetan secara teratur yang terkuat terhadap kebudayaan
manusia. Aktivitas kesastraan memiliki kualitas luas dan kompleks yang
memungkinkan munculnya aspek-aspek pembangun kebudayaan dan bahasa sastra
dianggap sebagai sistem model kedua dari bahasa (Nyoman, 2004:111) seperti yang
diintroduksi oleh Lotmann (1977:15) menjadi sebuah metafora, konotasi dan ciri-ciri
penafsiran ganda lainnya. Sehingga bahasa adalah sisitem tanda. Makna yang
terkandung di balik kata, frase, maupun kalimat pada karya sastra menghadirkan
pemahaman bahwasanya apa yang hadir merupakan tanda yang dimiliki oleh petanda.

Menurut North (1990:42), tanda-tanda hadir dalam pikiran penafsir (Noman,


2004:111) yang diintepretasikan, dan semiotika sebagai ilmu menurut Arthur Asa
Berger (2000), secara definitif mengartikan bahwasanya tanda memiliki hal yang
diwakilinya dengan bahasa metaforis konotatif, hakikat kreativitas imajinatif menjadi
faktor utama karya sastra yang diduga didominasi oleh sistem tanda. Tanda-tanda sastra
dari pemahamannya sebagai tanda terdapat pada teks tertulis, hubungan antara penulis,
karya sastra dan pembaca yang mengatakan karya sastra mengandung makna tanda-
tanda sebagai tanda non verbal yang secara semiotik dihubungkan dengan ground,
denotatum, intepretant sebagai objek nyata yang sejajar dengan penanda (signifier).

Teks dan konteks atau situasi termasuk dalam faktor unsur kebahasaan yang
dikatakan pula oleh Whorf (1958) bahwasanya bahasa dapat membentuk pikiran dan
mempengaruhi eksternalisasi kebudayaan yang berkaitan dengan pencipta karya sastra.
Rangkaian nilai yang terbaca dan dipahami sebagai pesan (message) secara implisit
disampaikan dalam bentuk lain sebagai tanda. Semiotika sebagai ilmu yang mengkaji
pemaknaan dan kehidupan tanda, mendefinisikan, tanda berkedudukan sebagai relasi
antara ekspresi dan isi yang mewakili, serta ingin disampaikan untuk dipahami. Untuk
itulah, dunia semiotikan menganggap bahwasanya bahasa sebagai salah satu unsur
pendting pembangun karya sastra merupakan sistem tanda.
D. Semiotika Sastra

Semiotika secara teoritis yang dianggap sebagai pengembangan dari aliran


strukturalis, membawa pula sastra sebagai lingkup dunia kajiannya. Sistem tanda yang
melekat di banyak tempat, salah satunya pada dunia sastra, menghadirkan semiotika
sastra sebagai pintu masuk memahami makna tanda yang berada di balik karya sastra.
Denotatum (mengarah pada denotasi) sebuah penunjukkan mengenai makna pada
kelugasan atas dasar konvensi dan bersifat objektif, dalam karya sastra merupakan
sebuah kata-kata, kemungkinan, dan fiksional sebagai dunia dengan pandangan bahwa
segala sesuatu mempunyai kemungkinan untuk menjadi tanda, bersifat konkret atau
abstrak. Tiga sifat denotatum (Nyoman, 2004:114) yaitu ikon, indeks, dan simbol.
Dengan pemahaman (Peirce: Suwardi, 2008) bahwa ikon merupakan tanda yang secara
inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk. Indeks merupakan tanda yang
mengandung hubungan kausal dengan apa yang ditandakannya. Dan Simbol merupakan
tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakannya bersifat arbitrer,
sesuia dengan konvensi suatu lingkungan sosial tertentu.

Pada perjalanannya dalam memahami sifat denotatum tersebut, perkembangan


sastra, kaitannya antara teks dan unsur-unsur karya sebagai indeksikal membedakan
pemahaman pada indeks sebagai 1) indeks dalam kaitannya dengan dunia di luar teks,
2) indeks dalam kaitannya dengan teks lain sebagai inertektual dan, 3) indeks dalam
kaitannya dengan teks dalam teks sebagai intratekstual (Nyoman, 2004:115). Karya
sastra yang dipahami sebagai karya seni bermedia bahasa dengan kedudukan sebagai
bahan, memiliki sistem dan konvensi sendiri, sebagai sistem semiotik tingkat kedua
(second order semiotics) dengan membedakan arti untuk bahasa (meaning) dan makna
untuk sastra (significance). Dalam sastra, bahasa dengan arti tambahan dan konotasinya
memberi arti tambahan, seperti tipografi atau tata huruf. Bagi Barthes teks adalah tanda
yang memiliki ekspresi dan isi sehingga teks dilihat sebagai 1) wujud atau entity yang
mengandung unsur kebahasaan, 2) bertumpu pada kaidah dalam pemahamannya, 3)
sebagai bagian dari kebudayaan sebagai pertimbangan di faktor pencipta dan pembaca.

Mengacu pada pemahaman sebelumnya, semiotika sebagai ilmu tanda


menganggap teks dipenuhi ragam tanda, dan dalam hal ini identifikasi tanda dan
susunan tanda alam teks dipahami melalui sistem semiotika. Tanda diidentifikasikan
berupa kata-kata, gambar-gambar yang menghasilkan makna dan terdiri atas penanda
(signifier) dan petanda (signified) dengan konsep yang diwakili oleh tanda tersebut.

Metode semiotik akan berbicara mengenai tindakan ilmiah dengan pandangan


semiotika. Sistem kerja pada penelitian semiotika (metode) dapat pula dengan
menggunakan dua buah model pembacaan, yaitu heuristic dan hermeneutik. Seperti
pada contoh karya sastra puisi, pembacaan heuristic adalah dengan melakukan telaah
terhadap kata, bait, dan term karya sastra puisi tersebut. Sedangkan untuk pembacaan
hermeneutic pada karya sastra puisi adalah tindakan dalam penafsiran segala sistem
tanda yang terdapat pada kata, baik dan term karya sastra. Beberapa pandangan lain,
seperti yang diungkapkan oleh Preminger dkk (1974:981), mereka mengemukakan
bahwasanya semiotik juga memandang objek-objek sebagai laku tuturan (parole) dari
suatu bahasa (langue) yang mendasari tata bahasanya (Pradopo, 2004:122). Hubungan
paradigmatik dan aturan kombinasi sebagai struktur pembangun secara sintakmatik
dianalisis sebagai upaya menafsirkan makna karya sastra sebagai sistem dengan
konvensi yang ada.

Genre sastra, prosa, puisis dan drama serta teater dikatakan memiliki sistem
dengan konvensi hingga terbangun makna. Seperti halnya pada genre puisi, satuan-
satuan tanda berupa kosa kata, bahasa, baik itu merupakan personifikasi, simile,
metafora maupun metonimi. Atas dasar konvensi sastra yang berlaku dan konvensi
bahasa dapat mencipta makna untuk dipahami dan tafsirkan. Dengan demikian, elemen-
elemen tersebut dikatakan sebagai tanda-tanda. Hal ini dilatarbelakangi oleh konvensi
sebagai perjanjian masyarakat secara turun temurun yang mempengaruhi sastrawan
dalam mencipta. Maka, metode yang tergambar dalam penelitian karya sastra secara
semiotik melalui proses pembacaan heuristik dan hermeneutik.

Penerapan metode semiotik sebagai upaya tindak penelitian atau tindakan


analisis juga memperhatikan beberapa aspek yang menjadi acuan, seperti yang
diungkapkan Fokkema dan Kunner-Ibsch (Suwardi, 2008) yaitu pertama, konstruksi
dari penggambaran model penelitian, kedua, dengan model penjelasan, ketiga, skema
penyingkatan. Sedangkan menurut Riffaterre (1978) disebabkan oleh tiga hal (Pradopo,
2004:124) yaitu penggantian arti (displacery of meaning), penyimpangan arti (distoring
of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Penggunaan bahasa kias
menyebabkan adanya penggantian arti dalam karya sastra, serta penyimpangan arti yang
dapat disebabkan timbul oleh ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Pemakaian bahasa
sastra multimakna menyebabkan ambiguitas, perlawanan situasi, serta lahirnya kata-
kata yang secara lingual tidak bermakna. Dalam penelitian semiotik, arah yang
menghubungkan teks sastra dengan pembaca memposisikan teks sastra sebagai sarana
komunikasi. Refleksi karya sastra dengan menggunakan kode atau tanda. Untuk itu,
lebih memperjelas beberapa metode semiotik, mengamati dari lahirnya beberapa
pengamat dan pemerhati, serta ilmuwan yang memperhatikan perjalanan semiotika,
maka perlu pulalah, kita untuk mengetahui sejarah semiotika.

Apa yang diungkapkan sebelumnya, menekankan bahwasanya dalam penelitian


semiotika sebagai teori hasil pengembangan strukturalisme, penelitian harus melakukan
tindakan pemisahan satuan minimal, penentuan kontras satuan yang menghasilkan arti,
serta mengkombinasikan aturan-aturan yang memungkinkan satuan-satuan tersebut
untuk dapat dikelompokkan sebagai pembentuk struktur yang lebih luas. Tindakan
berikutnya adalah menentukan konvensi makna untuk tanda-tanda yang sudah
diklasifikasikan sebagai objek pemahaman makna. Dengan upaya demikian, maka
pembacaan heuristic dan hermeneutic akan dapat dilaksanakan untuk kemudian
diuraikan sebagai tindak penelitian tersebut.
BAB V
HAKIKAT DAN RELEVANSI TEORI SASTRA

Penjelasan mengenai teks sastra dalam teori-teori sastra yang dikemukakan di


muka tidak menunjukkan kata sepakat yang tegas. Teeuw (1991: 218-226)
membeberkan perbedaan-perbedaan persepsi para teoretisi dalam menjelaskan hakikat
teks sastra itu.

Selama turun abad ke-20 ini teoretisi sastra memandang sastra sebagai suatu
objek faktual (artefak) dengan membatasi teks sebagai suatu wilayah otonom yang
terpisah dari pengarang dan pembaca. hogram terkenal pandangan aliran otonomis ini
terwujud dalam paham The Intentional Fallacy dan The Affective Fallacy yang
dikemukakan Wimsatt & Beardsley (Lambropoulos, 1987: 103; Hartoko, 1986: 65).
Paul Vallery dan Roinan Ingarden meletakkan dasar pemahaman teks sastra pada
tanggapan pembaca. Ingarden memelopori pandangan ini dengan memperkenalkan
konsep Leerstellen, the empty spaces, yakni ruang kosong dalam teks yang harus diisi
oleh pembaca. Mukarovsky dan Vodicka mengembangkan konsep 'konkretisasi' untuk
menciptakan kembali teks itu melalui pembacaan kreatif untuk menjadi objek estetik.

Kedudukan pembaca dalam menanggapi teks menjadi fokus perhatian teori-teori


sastra. Berbagai dimensi tanggapan pembaca dirumuskan dcngan berbagi sudut pandang
dan asumsi epistemologis. Persoalan orisinalitas, jenialitas, kreativitas, dan
individualitas yang menjadi tolok ukur kaum Romantik abad ke-19 dalam menilai teks
sastra sebagai karya cipta seorang manusia pengarang, kini bergeser drastis. Rolland
Barthes mengungkapkan bahwa teks sastra hanyalah mirage of citation: bayangan
belaka dari kutipan-kutipan, yang selalu mengelak dan menjadi tidak terjangkau apabila
kita mencoba menjangkaunya (Culler, 1981: 102). Denida menolak paban struktualisme
yang berpegang pada konsep mengenai signifie transcendental (makna transenden)
dengan memperkenalkan konsep deferance untuk menekankan bahwa justru pembaca
itulah yang harus menyusun teks sastra dengan mendekonstruksikannya ke dalam
konsep yang lain. Menurut Derrida, tidak ada sesuatu di luar teks (Bertens, 1985: 491-
502).

A. Hakikat Teori Sastra dan Lingkup Studi Sastra

Sekalipun secara hakiki sastra berada dalam wilayah non-scientific, sastra


merupakan sebuah disiplin yang perlu dilembagakan agar dapat dikembangkan metode-
metode, teori-teori, dan kerangka konseptual sebagai prosedur kerja dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan dalam disiplin sastra (Lefevere, 1988: 3-8). Studi
sastra yang metodis perlu dikembangkan, tetapi bagaimana prosedur
pengembangannya? Dalam menjawab pertanyaan ini, Lefevere dan Jauss menunjukkan
perbedaan tertentu dalam hal orientasi dasarnya dan penggunaan istilah-istilah yang
tampaknya paradoksal. Akan tetapi jika dicermati, pandangan mereka sebenarnya saling
berkaitan.

Lefevere menegaskan perlunya suatu model pemahaman yang mengikuti pola


evolutif gradual (Lefevere, 1977: 52), dengan menggunakan prosedur dan konsep-
konsep repertoir sastra (Lefevere, 1977 : 55) untuk menghindari pengulangan-
pengulangan yang sama dengan istilah-istilah yang berbeda. Penggunaan pola evolutif
gradual ini dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman mengenai persoalan yang
akan disimpulkan (Lefevere, 1977: 52). Repertoir-repertoir sastra menuujukkan faktor
genetik kultural (Lefevere, 1977: 6) yang mengandung kontinuitas dan interaksi erat
sastra dan disiplin sastra (Lefevere, 1977: 9). Repertoir-repertoir sastra berfungsi
mengidentifikasi gejala-gejala sastra, perubahan dan pergeseran core (inti, pusat) dan
periphery (pinggiran). Dalam hal ini perlu diingt bahwa sastra bersifat polysistem
sehingga fenomena-fenomena sastra secara fleksibel menunjukkan pusat tertentu yang
dapat berubah-ubah. sekalipun sastra bersifat polysistem, Lefevere, (1977 : 54) menolak
paham polyinterpretable seperti yang dikembangkan dalam disiplin 'kritik sastra'.
penting bagi kita memehami kritik Lefevere mengenai disiplin ‘kritik sastra’.

B. Strategi Pengembangan Teori Sastra

Sebagai pertimbangan akhir akan dikemukakan suatu gagasan awal mengenai


alternatif strategi yang perlu dijalankan apabila studi sastra ingin menjadi ilmu. Apa
yang dikatakan berikut ini hanyalah suatu sugesti untuk merangsang diskusi dan
pembahasan lebih lanjut, khususnya yaug menyangkut teori sastra (di) Indonesia. Untuk
itu sejumlah pertanyaan secara sengaja dibiarkan tak terjawab.

Menurut Lefevere (1977:5-6), suatu disiplin ilmu dapat tumbuh dan berkembang
jika memenuhi dua syarat. Kedua syarat itu adalah: (1) memiliki sejumlah masalah dan
metode-metode untuk menetapkan core disiplinnya; (2) memiliki sejumlah praktisi ahli
(practitioners) yang menjadi 'pembela' , pengajar, dan pembentuk core disiplin itu.

C. Hubungan Antara Sastra dan Masyarakat

Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis oleh
pengarang pada suatu kurun waktu tertentu pada umumnya langsung berkaitan dengan
norma-norma dan adat istiadat jaman itu. Sastra yang baik tidak hanya rnerekam
kenyataan yang ada dalam masyarakat seperti sebuah tustel foto, tetapi merekam dan
melukiskan kenyataan dalam keseluruhannya. Karya sastra merupakan tanggapan
penciptanya (pengarang) terhadap dunia (realita sosial) yang dihadapinya. Di dalam
sastra berisi pengalaman-pengalaman subjektif penciptanya, pengalaman subjektif
seseorang (fakta individual atau libidinal), dan pengalaman sekelompok masyarakat
(fakta sosial).

Karya sastra bukanlah sesuatu yang sederhana, sesuatu yang selesai atau tuntas
yang hanya mempunyai satu kemungkinan tafsir saja. Akan tetapi, ia adalah ekspresi
seluruh kehidupan si percipta (pengarang), dan karena itulah karya seni adalah sama
kompleksnya seperti manusia sendiri. Dari tanggapan pencipta (pengarang) tertradap
dunia sekelilingnya (realitas sosial) yang diwujudkan dalam bentuk karya sastra, maka
kiranya dapat dikatakan bahwa karya sastra merupakan pembayangan atau pencerminan
realitas sosial (Sangidu, 2005: 41-53)
BAB VI
SEJARAH SEMIOTIKA

Semiotika pertama kali dikembangkan dan banyak dipergunakan dalam


pengkajian sistem tanda. Semiotika dalam kaitannya dengan hal tersebut adalah
pemahaman semiotika yang mengacu pada teori semiotika Ferdinand De Sausure dan
Semiotika Charles Snaders Peirce, yang dikenal sebagai bapak semiotika modern, serta
semiotika Roland Barthes, Semiotika C.K. Ogden dan I.A. Richard, Semiotika Michael
Riffaterre. Ferdinand De Saussure sebagai bapak semiotika modern (1857-1913) ia
membagi relasi antara penanda (signifier) dan petanda (signified) berdasarkan konvensi
yang disebut dengan signifikasi. Penanda dilihat sebagai wujud fisik seperti konsep di
dalam karya sastra. Sedangkan, petanda dilihat sebagai makna yang ada di balik wujud
fisik berupa nilai-nilai. Adapun hubungan signifikan berdasarkan atas kesepakatan
sosial dalam pemaknaan tanda. Hubungan semiotik dengan linguistik harus disadari
hakikat adanya ikatan antara dua bidang tersebut yang oleh Saussure difokuskan pada
hakikat kata sebagai sebuah tanda.

Semiotika Roland Barthes (1915-1980) mengembangkan dua tingkatan


pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Referensi terhadap penanda yang
ditandai sering disebut sebagai signifikasi tataran pertama (first order of signification)
yaitu referensi denotasi, sedangkan konotasi disebut sebagai sistem penanda tataran
kedua (second order signifying sistem) (Sulaiman, 2005:41). Semiotika C.K. Ogden dan
I.A. Richard mengembangkan teori semiotika trikotomi yang merupakan pengembangan
dari teori Ferdinand Saussure dan Roland Barthes. Teori tersebut masih
mengembangkan hubungan antara petanda (signified) dan penanda (signifier) dengan
denotasi dan konotasi. Penanda secara denotasi merupakan sebuah peranti (actual
function/ object properties) dan secara konotasi penanda merupakan bentuk dari sebuah
petanda. Jadi teori ini, petanda berwujud makna, konsep, dan gagasan, sedangkan
penanda merupakan gambaran yang menjelaskan peranti, ini merupakan penjelasan fisik
objek, kondisi objek, dan cendrung berupa ciri-ciri bentuk. Dan peranti merupakan
wujud benda.

Charles Sanders Peirce juga merupakan bapak semiotika modern (1839- 1914),
ia mengemukakan tanda dibagi menjadi tiga jenis, yaitu ideks (index) ikon (icon) dan
symbol (symbol). Ikon adalah tanda hubungan antara penanda dan petandanya bersifat
persamaan bentuk ilmiah, indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan
alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat,
symbol itu tanda yang tidak menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan
petandanya, (Pradopo, 1990:121)

Semiotika Michael Riffaterre mengemukakan empat hal pokok untuk


memproduksi makna, yaitu ketidak langsungan ekspresi, pembacaan heurisik, retroaktif
(hermeneutic), matrik dan hipogram. Ketidaklangsungan ekspresi disebabkan oleh
penggantian arti penyimpangan arti dan penciptaan arti (Kusuji, 1999:3, 5). Pembacaan
heuristic merupakan pembacaan objek berdasarkan struktur kebahasaannya. Adapun
pembacaan retroaktif (hermeneutic) merupakan pembacaan ulang setelah diadakan
pembacaan heuristic dengan memberikan penafsiran berdasarkan konvensi sastranya.
Menurut North ada empat tradisi yang melatarbelakangi kelahiran semiotika,
yaitu semantic, logika, retorika dan hermeneutic, yang menurut Culler(1977:6)
kedudukan semiotik identik pada tanda (Nyoman, 2004: 97). Secara definitif, menurut
Paul Cobley dan Litza Janz (2002:4) semiotika berasal dari kata seme, berasal dari
bahasa Yunani yang berarti penafsir tanda, dengan pengertian secara luas sebagai
sebuah teori, semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan intepretasi tanda.
Dalam hal ini teori semiotikan terkait dengan kehidupan manusia yang dapat dianggap
penuh dengan tanda, dan semiotik sebagai perantara tanda dalam proses berkomunikasi,
sehingga manusia disebut dengan homo semioticus (Nyoman: 2004;97). Kajian
mengenai tanda dilakukan secara baru dilakukan awal abad ke-20 oleh dua orang
filosof, yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) sebagai ahli bahasa dan Charles
sanders Peirce (1839-1914) sebagai ahli filsafat dan logika.
BAB VII
TINJAUAN STRUKTUALISME SEMIOTIKA

A. Tinjauan Strukturalisme semiotika pada Novel Anak Bajang Menggiring Angin


Karya Sindhunata

Memahami karya sastra dapat membantu memperjelas, memperdalam dan


memperkaya penghayatan terhadap sebuah kehidupan. Oleh Sumardjo (1991) karya
sastra pada hakikatnya juga merupakan upaya pengungkapan nilai-nilai kehidupan,
filosofi, dan kejiwaan. Sehingga oleh Dharma (1983) dikatakan bahwasanya di dalam
karya sastra termuat masalah kehidupan yang terjadi di sekitar kehidupan pengarang.
Semiotika merupakan ilmu tanda dan struktur karya sastra dapat dianggap sebagai tanda
(Sudjiman, 1992). Sistem tanda yang bermakna dan tiap-tiap unsure karya sastra
mempunyai makna (Pradopo, 1990) melalui sebuah analisis struktural emiotik akan
dapat memahami makna serta nilai estetis yang terkandung.

Kodrat karya sastra sebagai refleksi pemikiran, perasaan, dan keinginan yang
disampaikan melalui bahasa dengan muatan tanda-tanda (semiotik) membentuk sistem
ketandaan. Novel sebagai salah satu karya sastra pada genre sastra prosa dipandang
sebagai hasil kreativitas. Dalam hal ini menghadirkan keterhubungan antar aspek-aspek
struktur dengan tanda-tanda. Dengan demikian maka makna karya sastra akan mencapai
makna optimal dalam pemahamannya melalui tanda dan sistem tanda. Anggapan awal
pada novel Anak Bajang Menggiring Angin yang mengungkapkan rentetan peristiwa ke
dalam perenungan kehidupan guna mencapai hakikat sebuah kehidupan. Dengan
menelusuri totalitas makna yang terkandung dalam novel melalui struktur-struktur
pembangunnya. Dalam cerita rekaan, unsur-unsur pembangun seperti halnya latar,
pergantian sudut pandang, peristiwa, nama tokoh dan penokohannya sebagai hal
berwujud struktur yang dapat diidentifikasi sebagai tanda.

B. Identifikasi Tema

Novel ini mengungkapkan perjuangan manusia melawan kekuatan dosa yang


tumbuh dan berkembang dari dua keinginan dasar manusia, yaitu keinginan untuk
memiliki dan kesombongan yang berlebihan. Hal tersebut membuat manusia tidak
mewaspadai kelemahan dirnya. Seperti terkutip pada bagian berikut “Kau dihukum oleh
kesombongan budimu sendiri … dan itulah dosamu” (Sindhunata, 1984:7).
Keterasingan dan pesoalan tidap dapat menyelesaikan persoalan, tetapi justru sebaliknya
mencampakkannya ke dosa dan penderitaan. Angkara murka Rahwana bersaudara justru
menguat lantaran dipupuk dalam kondisi terbuang dan tersingkir.

Keinginan untuk memiliki sesuatu membuahkan ketertutupan diri. Anjani


enggan untuk berbagi, sementara itu Guwarso dan Guwarsi terlanjut termakan oleh
keinginan hati untuk memiliki apa yang dikuasai oleh Anjani. Hal ini juga dialami oleh
Gotama yang arif, ia juga terjebak dalam dosa lantaran tidak sanggup meredamkan
emosi ketika menyaksikan perseteruan anaknya.
C. Identifikasi Latar

Dilihat dari latar, cerita bermula dari negeri Lokapala yang muram karena raja
berduka. Dari situ berkembang ke negeri Alengka yang bersimbah darah karena
perseteruan para raja untuk memperebutkan Dewi Sukesi. Dua peristiwa tersebut
mengungkapkan makna kesuraman hidup lantaran cita-cita tinggi yang tidak
kesampaian dan kebanggaan seorang wanita akan kecantikannya. Cerita beranjak ke
hutan tempat Wisrawa dan Sukesi harus menjalani pembuangan karena dosa yang
mereka lakukan.

“Begawan, mengapa dunia menghukum kita dengan kejam begini? Dewi Sukesi
merintih sedih … Malam kembali dating, tanpa terang sebuah bintang. Wisrawa
dan Sukesi masuk dalam hutan belantara gelap gulita” (Sindhunata, 1984:30)

Pada bagian kedua dimulai dari sebuah taman di tempat Anjani larut dalam
keasyikan menikmati kendahan Cupu manik Astagina. Kesenangan yang dinikmati
sendiri mengakibatkan kecemburuan. Keengganan untuk berbagi kenkmatan
mengakibatkan munculnya perpecahan antar saudara. Mereka harus tinggal di hutan
untuk mengenali diri sendiri.

Perpindahan dari taman ke hutan tidak diskapi sebagai suatu pembuangan, tetapi
disikapi sebagai kesempatan berada di dalam yang asli, hutan jiwa pribadi. Hal tersebut
digunakan sebagai pengelana diri untuk lebih mendekatkan diri pada Sang pencipta. Di
Gua Kiskenda di Gunung Meliawan kesejatian hidup Sugriwa dan Subali mendorong
mereka untuk tinggal bersama bangsa kera untuk menghayati kerendahan hati dan
kesempurnaan hidup.

“Subali kakakku, Betara Guru berceerita, pada Dewa menyambut gembira


perintahnya agar mereka memperanakan anak-anak kera. Sebab meereka
percaya, anak-anak kera inilah yang akan membantu kita untuk mengajak dunia
kembali ke kerendahan hatinya … (SIndhunata, 1984:61)

Di kerajaan Ayodya tempat Rama lahir tidak dipilih Rama untuk menjalankan
kehidupannya. Namun justru hutanlah yang dipilih Rama untuk mendewasakan diri.
Antara kerajaan dan hutan digunakan pengarang untuk menajamkan kesediaan manusia
untuk meninggalkan kemapanan guna terus mencari kesejatian diri. Sinta dan Rama
emilik tinggal di hutan yang merupakan lambing kesederhanaan dan kemiskinan yang
berhadapan dengan istana yang serba menyajikan fasilitas kenyamanan, keamanan,
popularitas, dan kekuasaan.

“Indah kesediaan Rama, demi cinta kasih kepada ayahmu supaya ia tidak
terkutuk oleh sumpahnya. Keindahan itu akan lebih elok, bila aku berjalan di
depannmu meratakan jalan di hutan, menangkap kupu- kupunya, untuk
menyemarakkan jalan penderitaanmu menuju kebahagiaanmu.
(Sindhunata,1984:90)

Di hutan tempat Rama menjalankan pengabdiannya terdapat kekuatan angkaran


murka dari kerajaan Alengka. Di Alengka terdapat raksasa yang menyiratkan kekuatan
dan keangkaramurkaan, keberingasan, dan keperkasaan. Demikiaan pula Shinta yang
masih tergoda oleh rasa ingin memiliki secara berlebihan membuat ia terperosok ke
dalam tawanan istana Alengka. Sementara Rama dan Laksamana dalam kesendirian
mampu menjelajah hutan untuk bertemu dengan sesame yang juga menderita dan tak
berdaya.

Sugriwa dan bala tentara kera merupakan simbul lapisan terbawah dalam
masyarakat. Di hutan itulah ketidakberdayaan memunculkan solidaritas atas dasar cinta
yang tulus dan luhur. Keteguhan hati terbentuk kekuatan yang mampu menghadapi
kekuatan istana Alengka. Kedua kekuatan yang saling bertentangan tersebut bertemu di
gerbang istana Alengka. Di situlah tampak bahwa mereka yang lebih dekat dengan
alam, dewa, dan perjuangan hidup lebih sanggup memenangkan pertempuran.

“Begitu tiba di tengah medan, balatentara kera segera bergerak dalam siasat
pertempuran bukit karang gelombang pasang seperti diperintahkan
Ramawijaya…Kekuatan siasat bukit karang gelombang pasang ini sangat dasyat
dan mengerikan. Balatentara raksasa bingung kewalahan karena aliran lawan
yang tak mungkin tertahankan (Sindhunata, 1984:273)

Antara istana dan hutan yang digambarkan oleh pengarang mengandung arti
yang kontras. Bagi wisrawa dan Sukesi, hutan berarti tempat pembuangan, berarti dapat
diartikan sebagai symbol keasingan, hukuman yang merupakan buah perbuatan sendiri.
Mereka kemudia melahirkan Rahwana, Sarpakenaka yang merupakan buah
keserakahan, dan haus akan kekuasaan.

Bagi Guwarso dan Guwarsi, serta Anjani hutan merupakan tempat untuk berkaca
diri dalam keheningan. Hanya dengan menyangkal diri itulah citra manusia dapat
dirasakan. Demikian pula bagi Rama, Laksamana, dan Sinta hutan merupakan medan
pengabdian dan perjuangan hidup.

D. Identifikasi Tokoh

Rama, Sinta, dan Laksmono meninggalkan kerajaan dan memasuki hutan


belantara dan mulai mengundurkan diri dari untuk mendapatkan keheningan dan
kekuatan dari Illahi.

“Ketiga anak menusia itu bagaikan kembang-kembang yang baru saja mengenal
kehidupan hutang dengan kembang-kembangnya. Menatap alam dengan kepasrahan
hatinya. Menyelami rimba raya dengan kejujurannya. Hutan yang dasyat dan ganas
menjadi nafas yang tenang dalam keheningannya” (Sindhunata, 1984:101)

Ramawijaya yang lahir dari Dewi Sukaslya merupakan titisan Dewa yang
diharapkan dapat menegakkan keadilan di dunia yang semakin parah oleh
keangkaramurkaan. Bersama Rama lahir Laksamana yang merupakan lambing
kesahajaan hidup dan kemurnian hidup untuk memperjuangkan kesetiaan dan keadilan
dalam dunia. Laksamana dan Rama bersama-sama berjuang dan bermatiraga untuk
membela keadilan dan kedamaian dunia yang terancam oleh kajahatan dan hawa nafsu
manusia.
“Rama mempunyai tugas untuk menjaga ketenteraman jagad. Jangan kau
halangi tugas anakmu, hanya demi kasing sayang sendiri. Maka dengan hati
berat akhirnya Dasarata merelakan anaknya pergi ke hutan untuk berperang
dengan dua raksasa pengacau hidup manusia itu. Dan berangkatlah Rama
bersama Laksamana menjalankan tugasnya yang pertama …” (Sindhunata,
1984;76)

Kesetiaan Sinta mengiringi langkah Rama dalam mengarungi penderitaan yang


mereka percayai sebagai awal kebahagiaan hidup sejati. Melalui hutan mereka dapat
semakin dipahami arti kehidupan sejati. Sementara itu Rahwana lahir dari dosa dan
nafsu mempunyai kesempatan menolong Sarpo Kenoko, adiknya, demi pamri terhadap
nafsu pribadinya. Dengan semangat kejahatannya ia ingin merenggut Sinta dari tangan
Rama. Akibat ada rasa keinginan dalam diri Sinta, ia terjebak dan terjerat dalam
perangkap nafsu Rahwana. Sinta akhirnya keluar dari lingkaran cinta Rama dan
Laksamana.

“Terjadilah Sinta keluar dari jagad kecil ketulusan hati Laksamana, keluar dari
lingkaran Laksamana. Dengan tawa yang menggebu Rahwana terbang
menggendong Sinta ke Alengka …”(Sindhunata, 1984;122)

Jatayu merupakan citra penolong yang rela berkorban untuk membantu yang
menderita. Ia berusaha menolong Sinta dari tangan Rahwana, namun keterbatasan
kekuatannya inta tidak dapat diselamatkan dari Rahwana. Ia memberikan sehelai bulu
untuk menjaga kesucian Sinta.

“Namun tabahkanlah hatimu, tidak ada ular yang bisa merenggut kesucianmu.
Ambillah sehelai buluku, cabutlah bulu itu, hai putrid yang berduka sebelum aku
binasa. Akan berguna bulu itu untuk menjaga kesucianmu, kata jatayu.”
(Sindhunata, 1984:128)

Jasa dan pengorbanan Jatayu menjadi sarana awal untuk mempertemukan Rama
dan Sinta. Terlebih bagi Sinta, ia telah memberi perlindungan terhadap kesucian hidup.
Bagi rama, jatayu menjadikan semangat Rama diteguhkan kembali yang hamper binasa.
Dalam perjalanan mencari keadilan, muncullah Anoman yang berbakti kepada Rama
menjadi duta Alengka. Anoman bersedia dalam waktu satu hari menjadi duta karena
didasari kepercayaan kepada Sang Widhi Wasesa yang akan menuntun hidupnya.

“Hamba hanya percaya akan Hyang Widhi Wasesa yang akan menuntun
perjalanan hamba dalam tugas yang mulia ini” (Sindhunata, 1984:160)

Semangat anoman semakin dimurnikan oleh perjuangan dan tantangan dalam


melawan kejahatan. Anoman mulai mengobrak abrik Alengka dan berperang melawan
kejahatan Rahwana. Namun kesucian tetap menang di atas segalanya. Anoman mampu
melepaskan diri dari kobaran api Rahwana.

Perang mulai berkobar dengan tulus dan gembira kera melaksanakan tugasnya
untuk melawan angkara murka walau segala rintangan tidak lepas dari hadapan mereka.
Akhirnya segala usaha yang didasari dengan kepercayaan, kebenaran, dan penuh
pengorbanan akan menang dan membuahkan cinta sejati.

Tokoh Resi Yogoswara berperan sebagai tokoh yang menghibur dan


menguatkan hati Rama dalam menghadapi segala tintangan hidup. Dengan hadirnya
Resi Yogaswara, Rama semakin diajak untuk mengerti serta memahami rahasia
kehidupan sejati. Serta makna mati raga. Sarpokenoko hadir untuk menguji cinta dan
kesetiaan Rama terhadap Sinta. Demikian pula dipakai oleh pengarang untuk menguji
janji wadat yang telah diucapkan oleh Laksaman.

“Hai perempuan, maafkanlah aku. Aku sudah berjanji takkan kawin sepanjang
hidupku. Disaksikan asab kurban purnama sidhi, aku berkaul untuk hidup
wadat” (Sindhunata, 1984:108)

Wibisana tampil sebagai tokoh yang bijaksana. Ia berusaha memadakan api


nafsu kakaknya, Rahwana. Sementara Alengka terbakar oleh amarah Rahwana,
Kumbakrno, adik Rahwana, tertidur pulas membiarkan dirinya hidup dalam
kesendiriannya. Namun dalam tidurnya ia bermimpi bertemu dengan Wibisana,
adiknya, yang berhati bijaksana, yang ternyata sudah mati di tangan Rahwana. Kabar
kematian tersebut disampaikan oleh tokoh Togog Tejomantri. Dengan demikian
Kumbakarno ingin membalas kematian adiknya.

Wibisana yang telah hidup kembali mengabdikan dirinya kepada Rama untuk
bersekutu melawan Rahwana. Mulailah mereka berjuang mengatasi semua rintangan.
Wibisana adalah tokoh yang sebenarnya lahir dar kegelapan, namun karena mau
bertobat ia lepas dari kejahatan. Ia menjadi bijaksana dan setia kepada kebenaran
sehingga ia rela mengorbankan ikatan darah dengan Rahwana, kakaknya, demi
kebenaran. Akhirnya kekuatan jahat dalam tokoh Rahwana dapat dihadapi dan
dikalahkan.

Apabila dirunut kembali tokoh-tokoh yang ditamplkan oleh pengarang dapat


diuraikan sebagai berikut: dalam novel tersebut terdapat dua kelompok sifat yang ada
dalam kehidupan ini. Ramawijaya merupaka kelompok tokoh kebenaran yang didukung
oleh Laksamana, Sinta, Anoman dengan Wibisana yang sudah bertobat. Sedangkan
Rahwana merupakan kelompok yang menggambarkan kehidupan yang menyeramkan
dan kedosaan. Kelompok yang terakhir inilah akhirnya binasa karena dalam kehidupan
tidak ada keserakahan yang dapat abadi.

Tema dalam novel tersebut mengetengahkan perjuangan manusia melawan


kejahatan dan hawa nafsu. Awal dari dosa manusia aldah sifat manusia yang
mempunyai rasa ingin memiliki yang berlebihan sehingga manusia tidak lagi
memperjuangkan kepentingan bersama, melankan kepentingan rpibadi yang lebih
diunggulkan. Latar hutan dipakai oleh pengarang sebagai medan pengabdian
Ramawijaya untuk meperjuangkan hidup, tempat untuk bercermin diri dan mengolah
diri dalam kesempurnaan hidup. Apabila dilihat dari tokoh-tokoh dalam novel ini dapat
dilihat peran tokoh Rama dan Laksamana sebagai citra perjuangan kebenaran, sosok
manusia yang teguh dalam berjuang, belajar mencari kebenaran dan mencntai dengan
segala pengorbanan. Rasa cinta menuntut kebenaran, tokoh Sinta dimunculkan oleh
pengarang. Namun Sinta masih dapat terjebak dalam kenginan yang berlebih sehingga
dapat jatuh ke tangan Rahwana sebagai lambing keangkaramurkaan.
BAB VIII
SEMIOTIKA RIFFATERRE

A. Pembaca dan Makna Bahasa

Riffatere (Teeuw, 1983;65) mengatakan bahwa pembaca yang bertugas memberi


makna pada sebuah karya sastra, harus mulai dengan menemukan meaning unsur-
unsurnya berupa kata menurut kemampuan bahasa yang berdasarkan fungsi bahasa
sebagai alat komunikasi tentang gejala di dunia luar: Mimetic function- tetapi kemudian
ia harus meningkat ke tataran semiotik, dimana kode karya sastra tersebut dibongkar
(decoding) secara struktural atas dasar significance-nya: penyimpangan dari kode
bahasa, dari makna yang biasa disebut ungrammaticalities secara mimetik mendapat
significance secara semiotik, dengan latar belakang keseluruhan karya sastra yang
disimpanginya.

Untuk dapat memahami sebuah karya sastra perlu dilakukan analisis secara
struktural salah satunya, karena karya sastra merupakan bentuk struktur utuh dari
keseluruhan. Seperti halnya pada sajak, struktur di sini memiliki arti bahwasanya sajak
merupakan salah satu hasil karya sastra dengan susunan unsur-unsur yang bersistem,
antar unsur terjadi hubungan, dan saling menentukan (Pradopo, 1990:118). Dikatakan
pula oleh Pradopo (1990: 120) bahwa analisis struktural sebuah sajak adalah analisis ke
dalam unsur dan fungsinya yang mempunyai makna hanya dalam kaitannya dengan
unsur yang lain, namun ini tidak hanya berlaku pada puisi, tetapi juga karya sastra.

Analisis semiotik bertujuan menangkap dan memberi makna kepada teks.


Pradopo (1990:122) lebih lanjut mengatakan bahwa dalam semiotik, meaning (arti)
merupakan arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama. adapun dalam karya sastra
mempunyai tanda berdasarkan konvensi masyarakat sastra. Ini merupakan sistem
semiotik tingkat kedua. Arti sastra disebut makna. Lebih lanjut diuraikan bahwa sastra
bersifat semiotik adalah usaha untuk menganalisis karya sastra dengan melihat variasi-
variasi di dalam struktur sajak, antar unsur akan menghasilkan beracam-macam makna.
Satuan-satuan bunyi, kata, kalimat, tipografi, enjambement akan memberikan makna
dan efek-efek lain dari arti yang diberikan oleh penggunaan bahasa biasa.

Untuk menganalisis struktural semiotik dalam sajak-sajak karya Rendra perlu


dilakukan pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif atau hermeneutik seperti yang
diungkapkan Riffatere (Pradopo, 1999:3). Penunjukkan teks kepada teks lain sebagai
hubungan intertekstual yang mengaitkan sastra sebagai respon karya sastra sebelumnya
seperti yang dikatakan Teeuw (1983:65) bahwasanya karya sastra mendapatkan makna
hakiki pada karya sastra sebelumnya dan hal berupa kutipan, penyerapan, transforasi
teks yang disebut hipogram ala Riffatere. Pembacaan secara semiotik heuristik dalan
pembacaan berdasarkan struktur bahasanya berdasarkan konvensi sistem semiotik
tingkat pertama, sedangkan pembacaan retroaktik atau hermeneutik adalah pembacaan
ulang sesudah pembacaan tingkat pertama.

Analisis dalam memahami sajak tersebut secara struktural tetap harus dilakukan,
karena sajak adalah bentuk yang utuh dari keseluruhan. Dalam semiotik, arti (meaning)
merupakan arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama. tanda berdasarkan
konvensi masyarakat sastra merupakan sistem semiotik tingkat kedua. Satuan bunyi,
kata, kalimat, tipografi, enjambement akan memberikan makna dan efek lain dari arti
yang diberikan oleh penggunaan bahasa biasa. Penerapan analisis semiotik dalam
contoh karya sastra tersebut perlu melalui pembacaan heuristi dan hermeneutik seperti
ungkapan Riffaterre (P
radopo, 1999).

Anda mungkin juga menyukai