Anda di halaman 1dari 7

TEORI SASTRA

leh

Oleh:

Ni Putu Nadia Oktalina


No: 11
NIM: 202001020197
Jurusan: Bahasa Indonesia

A. Awal Mula Kesusatraan


Setiap orang dapat bersastra,entahsecara aktif atau paif (Mangunjaya dalam Taum,1997,9).
Oleh karena itu, seni sastra merupakan sebuah bidang kebudayaan manusia yanf paling tua,
yang mendahului cabang-cabang kebudyaan lainnya.Mangunwijaya (dalam Taum,1997)
menyatakan bahwa pada awal mulanya, segala sastra adalah religious. Bagi filsaf Prancis
J.Maritain, pengalaman estetis merupakan “Intercommunicatiom between the inner being
otthing and the inner being of the human self” interaksi anatara manusia dengan hakikat alam
raya. Karya sastra adalahproyeksi perasaan subjektifke dalam alam raya dan sebaliknya alam
raya bercerita tentang perasaan manusia.

Sekalipun istilah sastra (literature) dengan pengertiannya yang sekarang baru muncul di
Eropa pada abad ke-18, sastra sesungguhnya berakar dari masa prasejarah atau masa purba
dalam wujud sastra lisan dan bentuk-bentuk mitos. Mitos merupakan wilayah kesusastraan
seperti dijelaskan oleh Carl Jung mengenai memorial rasial,diffuse historis, dan kesamaan dasar
dalam pemikiran manusia (Vickery dalam Taum,1997:10). Chase (dalam Taum,1997)
mnenyatakan bahwa mitos adalah karya sastra yang harus dipahami sebagai kreasi estetik dari
imajinasi manusia. Pengertian mitos sebagai seni sastra berkaitan dengan fungsi primer mitos
dan pemikiran manusia sebelum munculnya bidang-bidang lain, seperti ilmu
religi,ekonomi,dogma teologi,dan lain-lain. Sebagai ekspersi kesenian, mitos mengungkapkan
kekuatan magic impersonal yang mengacu kepada pengalaman akan hal-hal yang luar biasa
indah,menakutkan,mengagumkan, dahsyat yang berkaitan dengan emosi-emosi supernatural
(Chase dalam Taum,1997).

Sastra, bagaimanapun memiliki kualitas-kualitas mistis karena pada mulanya orang


besastra untuk mengekspersikan pengalaman-pengalaman mistik akan tetapi, pada suatu fase
historis sastra semakin bersifat otonom dari segi-segi estetika dan semakin menuntut hak-
haknya, bahkan sering kali mengklaim monopoli.

B. Masalah Definisi Sastra


Dalam bahasa-bahasa Barat ,istilah sastra secara etimologis diturunkan dari bahasa latin
literatura(littera=huruf karya tulis). Istilah sastra dalam bahasa latin itu dipakai untuk
menyebutkan tata bahasa dan puisi. Sedangkan, istilah inggris literature, istilah Jerman
Literatur,dan istilah Prancisli literature mempunyai artinya segala macam pemakaian bahasa
dalam bentuk tulisan. Dalam bahasa Indonesia, kata sastra diturunkan dari bahasa Sansekerta.
Teeuw (1988:23) menyatakan bahwa kata sastra berasal dari akar kata sas yang dalam kata
kerja turunan berarti “mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk,atau instruksi” ,
sedabngkan akhiran tra menunjukan “alat atau sarana” . Dengan demikian, kata sastra dapat
diartikan sebagai alat untuk mengajar,buku petunjuk , buku instruksi, atau pengajran yang baik
dan indah, misalnya silpasastra (buku petunjuk tentang arsitektur), kamasastra(buku petunjuk
mengenai seni cinta).

Persoalan yang selalu menjadi perdebatan yang tidak pernah selesai adalah persoalan
tentang pemberian makna terhadap kata sastra. Namun demikian, telah ada berbagai usaha
dari para pakar sastra untuk mendefinisikan sastra tersebut. Misalnya,ada yang mendefinisikan
sastra sebagai tulisan ‘imajinatif’ dalam artian fiksi, tulisan yang secara harfiah tidak harus
benar.

Sastra sesungguhnya tidak hanya dapat di definisikan berdasarkan kefiktifan atau


keimajinatifannya, melainkan karya sastra sesungguhnya dapat dipandang melalui penggunaan
bahasa sebagai mediumnya. Bahkan, dalam bahsa Indonesia, secara teoritis ada yang
menyebutkan awalan su- dalam kata susastra berarti baik, indah, sopan, perlu dikenakan dalam
karya sastra untuk membedakannya dari bentuk pemakaian bahasa lainnya (Taum, 1997: 12).

Definisi mengenai sastra dan upaya merumuskan ciri khas sastra sudah banyak dilakukan
orang sampai sekarang, namun agaknya belum memuaskan semua kalangan. Adapun yang
dikemukakan oleh Van Luxemburg (dalam Taum, 1997: 12) adalah sebagai berikut:

1. Orang ingin mendefinisikan terlalu banyak sekaligus tanpa membedakan definisi


deskriptif dan juga dari definisi evaluatif.
2. Banyak orang ingin mencari sebuah definisi ontoligisme yang normative mengenai
sastra.
3. Orang cenderung mendefiniskan sastra menurut standar atau paham dari aliran sastra
barat
4. Definisi yang cukup memuaskan hanya berkaitan dengan jenis sastra tertentu (misalnya
puisi).

Para ahli kesusatraan sepakat menyatakan bahwa tidak mungkin merumuskan sebuah
definisi sastra secara universal karena sastra sangatlah bergantung pada lingkungan
kebudayaan dimana sastra iti dilahirkan dan dijalankan sebagai media untuk menyampaikan
pesan. Sastra hanyalah istilah yang digunakan untuk sebuah karya yang mempunytai nilai
estetika tertentu. Definisi sastra secara ontologisme misalnya; “ sastra adalah karangan
imajinatif yang dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang indah”.

Terhadap definisi-definisi diatas telah banyak ahli satra mengajukan kebertan-keberatan.


Defines-definisi tersebut secara umum tidak memiliki dasar yang kuat sehingga dapat dengan
mudah dapat dibantahkan.

Berdasarkan kenyataan pelik diatas, Teeuw( dalam sudiara, 2005.48-19) menyimpulkan


sebagai berikut :

1. Makin banyaknya macam kesusatraan


2. Ciri-ciri khas sastra tidak setabil
3. Batasan antara sastra dan bukan sastra tidak mutlak
4. Dalam sastra modern, banyak pengarang sengaja membatasi antara sastra dan bukan
sastra
5. Dalam masyarakat, sastra selalu berfungsi dalam konteks yang lebih luas
6. Identifikasi sastra berbeda-beda menurut pendekatan, seperti menurut,
a. Struktur karya sastra
b. Makna atau pesan karya sastra
c. Ekspresi pengarang, dan
d. Imbauan, impresi, serta resepsi pembaca.

C. Karakteristik Sastra
Karakteristik sastra dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian yaitu sastra sebagai
wadah, sastra universal, sastra mengalami deotomatisasi/ devamiliarisasi, sastra merupakan
proses mimesis.

1. Sastra Sebagai Wadah


Sastra sebagai wadah, memiliki fungsi menyampaikan ide-ide atau gagasan seorang
pengarang prosa, puisi maupun drama.ide-idenya dapat berupa kritik
sosial,politik,budaya dan permasalahan yang terjadi ditempat terciptanya karya
sastra tersebut.
2. Sastra Memiliki karakter Universal
Sebuah karya sastra menyampaikan kritik sosial pada masyarakat pembaca dengan
menggunakan medium bahasa.setiap kata, frasa,atau kalimat yang ada sebuah karya
sastra baik berupa tokoh latar, karakter, dan lain-lainnya memiliki sifat universal.
Oleh karena itu universalitas tokoh, latar dan karakter memposisikan karya sastra
sebagai sebuah symbol pengarang terhadap lkehidupan sehari-hari.
3. Sastra Mengalami Deotomatisasi/ Defamiliarisasi
Dunia asing yang terjadi dalam karya sastra disebabkan oleh gejala
Deotomatisasi/Defamiliarisasi yang dimiliki sastra. Dengan demikian, Deotomatisasi
dapat berarti tidak otomatis atau menghancurkan hal-hal yang otomatis. Dengan
kata lain, Deotomatisasi/Defamiliarisasi berarti tidak menggunakan bahasa atau
kata-kata yang biasa dapat berupa majas yang beraneka ragam seperti gaya bahasa
personifikasi, hiperbola, litotes, metafora, ironi , dan lain-lain.
4. Karya Sastra Merupakan Proses Mimesis
Pengarang yang menciptakan karya sastra berdasarkan fenomena-fenomena
sosial,politik,budaya, dan sebagiannya yang terjadi di masyarakat berarti ia telah
melakukan proses mimetik (peniruan). Tanpa melalui proses mimetik (peniruan),
karya seni yang diciptakan tidak akan memiliki “roh” atau sebuah karya-karya yang
kosong, hayalan belaka.
D. Ruang Lingkup Teori Sastra
Secara garis besar yang dimaksud dengan teori sastra adalah suatu sitem ilmiah atau
pengetahuan sistematik yang menetapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang
diaamati. Teori mengandung konsep dan uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu
pengetahuan yang berasal dari suatu sudut pandang tertentu. Suatu teori dapat didedukasi
secara logis dan diteliti kebenarannya ( diverifikasi) atau dibantah kesahihannya pada objek
atau gejala-gejala yang diamati tersebut.

Definisi mengenai hakikat fungsi dan tugas teori sastra tidak mudah untuk dirumuskan.
Bahkan istilah-istilah yang digunakan untuk menyebutkan konsep-konsep yang paling mendasar
pun berbeda-beda. Wiriamarta (1992) menyatakan bahwa antara teori dan ilmu sastra belum
memiliki batasan yang nyata, sehingga sastra menjadi ilmu yang banyak menghadapi
hambatan-hambatan.

Wellek Warren (2014) menyatakan bahwa untuk menentukan wilayah studi sastra, perlu
ditarik sebuah perbedaan antara sastra denga teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra.
Teori sastra adalah studi prinsip, katagori, dan kriteria,sedangkan studi karya-karya konkret
disebut dengan kritik sastra (pendekatan statis) dan sejarah sastra.

Dengan demikian, jelaslah bahwa tugas teori sastra adalah menetapkan prinsip-prinsip,
kategori-kategori,dan kriteria-kriteria mengenai sifat sastra pada umumnya dengan
memanfaatkan hasil-hasil dari kritik sastra dan sejarah sastra.

Menurut Lefevere (1977) sastra adalah deskripsi pengalaman kemanusiaan yang


memiliki dimensi personal dan sosial. Jadi menurut Lefevere, sastra adalah pengetahuan
kemanusiaan yang sejajar dengan bentuk hidup sendiri.

Dari pandangan-pandangan sastra diatas dapat disumpulkan bahwa tidak ada


perbedaan ilmiah antara ilmu sastra (Luxsemburge), pengetahuan kesusatraan (Lefevere), dan
teori sastra (Wellek dan Warren).

E. Pendekatan Dalam Teori Sastra


Ada empat komponen utama yang menjadi pendekatan utama karya sastra yang
dikemukakan oleh Abraams yaitu sebagai berikut :

1. Penekatan Mimesis
Pendekatan ini beranjak dari pemikiran bahwa sastra sebagai mana hasil seni yang lain,
merupakan pencerminan atau refresentasi kehidupan nyata.
2. Pendekan objektif
Pendekatan ini membatasi diri pada penelaahan karya sastra itu sendiri, terlepas dari
soal pengarang dan pembaca. Dalam hal ini, karya sastra dipandang sebagai suatu
lebulatan makna, akibat perpaduan isi dengan pemanfaatan bahsa sebagai alatnya.
Dengan kata lain, pendekatan ini memandang dan menelaah sastra dari segi
intrinsiknya.
3. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan Ekspresif menempatkan karya sastra sebagai curahan,ucapan, dan proyeksi
pikiran dan perasaan pengarang.
4. Pendekatan Pragmatis
Pendekatan Pragmatis memberikan perhatian utama terhadap peranan
pembaca.dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca,maka
masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatis diantaranya
berbagai tanggapan masyarakat atau penerimaan pembaca tertentu terhadap sebuah
karya sastra.

Anda mungkin juga menyukai