A. Sastra
merupakan gambaran nyata dari kehidupan pada suatu masyarakat. Seperti apa yang ada
pada masyarakat, seperti itu juga yang akan dipantulkan di dalam karya sastra. Banyak yang
terjadi dimasyarakat salah satunya adalah terjadinya sunami di Aceh. Terjadinya sunami
menjadikan masyarakat sadar bahwa apa yang ada didunia ini tidak kekal untuk dimiliki
selamanya. Kejadian ini merupakan fakta. Fakta ini diimajinasikan oleh pengarang yang
akhirnya menjadi kreativitas dan hasilnya dapat berupa puisi, prosa, dan drama. Kenyataan
ini dapat dikatakan bahwa sastra adalah kenyataaan yang diimajinasikan oleh pengarang.
Karya sastra mempunyai logika tersendiri. Karya sastra merupakan dunia rekaan
(fiksi). Kata fiksi mempunyai makna khayalan, impian. Karya sastra bukan saja berdasarkan
kenyataan tetapi juga olahan imajinasi dan tidak dapat dipertentangkan dengan nonfiksi
(cerita berdasarkan kenyataan). Dalam kenyataannya, karya sastra bukan hanya berdasarkan
diungkapkan sastrawan dalam karya sastranya adalah hasil pengetahuan yang diolah oleh
imajinasinya.
Karya sastra mempunyai logika tersendiri. Logika karya sastra erat berkaitan dengan
konvensi karya sastra. Logika karya sastra mencakup isi dan bentuk karya sastra. Oleh
karena itu, bahasa yang digunakan dalam karya sastra juga memiliki kekhasan. Bahasa
dalam karya sastra telah mengalami penyimpangan, pemutarbalikan dari bahasa praktis
sehari-hari. Bahasa yang sudah biasa dan dikenal diasingkan, disulap, digali dan diberi
makna baru atau diberi penambahan muatan maknanya. Dengan demikian karya sastra
dipandang sebagai wujud referensi wacana. Wacana sastra dipandang sebagai suatu
pemakaian bahasa tertentu bukan sebagai ragam bahasa tertentu. Bahasa dalam karya sastra
mengkaji, pengertian sastra dapat dilihat dari berbagai segi misalnya dari segi ontologis,
sastra, merupakan karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif, penggunaan bahasa yang
indah dan bermakna, dan teks bahasanya dimananipulasi berdasarkan makna konotatif.
Etimologis (makna kata berdasarkan asal usulnya), yaitu kata sastra dalam bahasa
Indonesia berasal dari kata Sankerta, sastra dalam bahasa Sankerta dibentuk dari akar kata
yaitu, sas- dan tra. Akar kata sas- (dalam kata kerja turunan), pemaknaannya dapat
dikatakan sebagai, arti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau intruksi. Akar kata
tra menunjukkan arti alat atau sarana (dalam kata kerja turunan).
Sastra sebagai bidang kajian ilmiah baru dimulai pada abad 19. Para ilmuwan sastra
menginginkan agar pendekatan terhadap kegiatan manusia yang bernama sastra dapat
dilakukan secara ilmiah. Dengan demikian sastra berdiri sendiri sebagai satu bidang ilmu
yang eksis. Sastra sebagai salah satu bidang ilmu berbeda dengan ilmu lainnya.
Perbedaannya pada perhatian, pada penghayatan, bukan pada kognisi. “Obyek ilmu sastra
adalah kehidupan manusia yang sudah terabstraksikan dalam karya sastra” (Budi Darma,
1990: 338). Karena itu, dalam ilmu sastra, karya sastra sebagai obyek utama kajian
memiliki karakteristik khas yang berbeda dengan obyek-obyek kajian ilmu lainnya.
Kepekaan yang tinggi dituntut dalam ilmu sastra. Kepekaan tidak dapat diartikan,
diformalasikan dengan jelas. Keilmiahan ilmu sastra tidak eksplisit, tetapi implisit. Oleh
karena itu, ilmu sastra mampu membuktikan diri sebagai kajian ilmiah. Di dalamnya
impian, jenis karya sastra yang tidak berdasarkan kenyataan yang dapat dipertentangkan
dengan nonfiksi (cerita berdasarkan kenyataan). Dalam kenyataannya, karya sastra bukan
hanya berdasarkan khayalan, melainkan gabungan kenyataan dan khayalan. Semua yang
diungkapkan sastrawan dalam karya sastranya adalah hasil pengetahuan yang diolah oleh
imajinasinya
B. Ilmu sastra
Ilmu adalah theory of science (teori ilmu), metascience (adi-ilmu), science of science
(ilmu tentang ilmu).The Liang Gie mendefinisikan ilmu adalah segenap pemikiran reflektif
terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun
hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan. Contohnya cerpen sunami, problem yang
terjadi dalam cerpen tersebut menggambarkan kehidupan seorang anak yang sudah
kehilangan masa kanak-kanaknya karena ditinggal oleh ayah dan ibu disebabkan sunami.
Apakah hakikat dari ilmu? Artinya, langkah-langkah apakah yang dilakukan suatu
pengetahuan sehingga mencapai yang bersifat keilmuan. Batas-Batas dari ilmu, setiap ilmu
mempunyai kebenaran yang bersifat sangat universal ada norma-norma fundamental bagi
kebenaran ilmu. Ilmu sastra mencoba untuk menjelaskan peraanggapan dari setiap ilmu, dari
disiplin ilmu bersifat monodisiplin yang terdiri dari teori sastra, kritik sastra, dan sejarah
sastra. Ilmu sastra dapat lebih menempatkan keadaan yang tepat bagi setiap cabang ilmu.
Dalam masalah ini pengantar ilmu sastra tidak dapat lepas begitu saja dari cabang disiplin
ilmu lain, karena pengantar ilmu sastra merupakan, suatu telaah kritis terhadap metode yang
digunakan oleh ilmu tertentu, terhadap lambang-lambang yang digunakan dan terhadap
struktur penalaran tentang system lambang yang digunakan. Telaah kritis ini dapat diarahkan
untuk mengkaji ilmu empiris dan ilmu rasional juga untuk membahas studi-studi bidang ilmu.
Apakah hakikat dari ilmu? Artinya, langkah-langkah apakah yang dilakukan suatu
pengetahuan sehingga mencapai yang bersifat keilmuan. Batas-Batas dari ilmu, setiap ilmu
mempunyai kebenaran yang bersifat sangat universal ada norma-norma fundamental bagi
kebenaran ilmu.
Pengantar ilmu sastra adalah upaya untuk mencari kejelasan menangani dasar-dasar
konsep, sangka wacana, dan postulat mengenai ilmu serta upaya untuk membuka tabir dasar-
dasar keempirisan, kerasionalan dan kepragmatisan. Aspek ilmu ini erat hubungannya dengan
ihwal yang logis dan epistemology. Peran ilmu pada sisi pertama, mencakup analisis kritis
terhadap hasil dasar sastra, seperti kuantitas, kualitas, waktu, ruang dan hukum. Pada sisi
yang lain ilmu mencakup studi mengenai keyakinan mengenai dunia ‘sana’ keyakinan
mengenai kesurupan di dalam alam semesta dan keyakinan mengenai kesurupan di dalam
Hakikat sastra ada di dalam karya sastra dan ilmu sastra, tetapi secara hakikinya karya
sastra dan ilmu sastra tersebut merupakan pemaknaan yang sesungguhnya. Menemukan
hakiki dari kedua bentuk tersebut, secara disiplin ilmu sastra, mengkaji dua bidang yaitu
Sastra adalah suatu sikap terhadap kehidupan dan alam semesta. Sikap secara pribadi yang
menyelidiki secara kritis, terbuka, toleran, dan selalu bersedia meninjau suatu problem
Sastra sebagai metode, artinya cara berpikir secara mendalam (reflektif), penyelidikan yang
menggunakan alasan, berpikir secara hati-hati dan teliti. Sastra berusaha untuk
menjawabnya. Beberapa pertanyaan yang diajukan pada masa lampau telah dijawab
John Locke pada abad ke-17, namun, masih banyak pertanyaan lain yang hanya dijawab
sementara .Di samping itu,juga masih banyak masalah lain yang jawabannya masih
diperdebatkan atau pun diseminarkan sampai hari ini ,bahkan ada yang belum
terpecahkan.
Sejarah sastra, dan kritik sastra ditandai dengan pemunculan teori atau sistem pemikiran
yang terlekat pada nama-nama besar seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Thomas
5) Sastra sebagai analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna istilah, kebanyakan
analisis untuk menjelaskan arti suatu istilah dalam pemakaian bahasa sastra. Filsuf
mengatakan bahwa analisis tentang arti bahasa dalam sastra merupakan tugas pokok pada
kekaburan dalam ilmu pengetahuan dan dipakai dalam kehidupan sehari-hari karena
6) Sastra merupakan usaha untuk memperoleh pandangan yang menyeluruh, Sastra mencoba
menggabungkan kesimpulan dari berbagai ilmu dan pengalaman manusia menjadi suatu
pandangan dunia yang konsisten. Para filsuf berhasrat meninjau kehidupan tidak dengan
sudut pandang yang khusus sebagaimana dilakukan oleh seorang ilmuwan. Para filsuf
memakai pandangan yang menyeluruh terhadap kehidupan sebagai suatu totalitas. Tujuan
sastra adalah mengambil alih hasil-hasil pengalaman manuia dalam bidang keagamaan,
menyeluruh. Dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh beberapa kesimpulan umum
tentang sifat-sifat dasar alam semesta, kedudukan manusia di dalamnya serta berbagai
pandangan ke depan. Para filsuf seperti Plato, Aristoteles, Thomas Aquino, Hegel,
Bergson, John Dewey dan A.N. Whitehead termasuk filsuf yang berusaha untuk
dicantumkan, dapat ditarik benang merahnya sebagai kesimpulan bahwa ilmu adalah ilmu
pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan
menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Sastra bukan mempersoalkan gejala-gejala atau
Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan ‘sesuatu’ adalah ‘sesuatu’ itu adanya.
Ssatra adalah usaha untuk mengetahui segala sesuatu. ‘Ada’ (being) merupakan implikasi
dasar. Jadi, segala sesuatu yang mempunyai kualitas tertentu pasti adalah ‘ada’. Sastra
terakhir dari segala sesuatu atau membahas masalah yang paling mendasar.
Tujuan sastra adalah mencari hakikat dari suatu objek atau gejala secara mendalam,
Membicarakan gejala untuk masuk kepada hakikat itulah yang menjadi fokus sastrat.
Hakikat sastra harus melalui suatu metode yang khas dari sastra itu sendiri
Sastra juga bersifat integral yang berarti mempunyai kecenderungan untuk memperoleh
pengetahuan yang utuh sebagai suatu keseluruhan. Sastra ingin memandang objeknya secara
utuh.
Hakekat atau hakikat, yang benar dan baku sesuai EYD adalah hakikat.Hakikat atau
hakiki, yang baku adalah keduanya, Benar tidaknya penggunaan kata ini tergantung
kalimatnya.Arti kata hakikat; saripati, intisari, dasar, dan semacamnya. Hakikat kehidupan ini
hanyalah untuk menyembah yang maha kuasa.Arti kata hakiki: yang sesungguhnya, yang
sebenar-sebenarnya.Kita harus menemukan yang hakiki. Dari berbagai uraian pengertian di
3. Ilmu sastra segala bentuk dan cara pendekatan ilmiah terhadap karya sastra dan gejala
sastra.
4. Ilmu sastra sebuah telaah sistematis mengenai sastra dan komunikasi sastra yang pada
C. Fungsi Sastra
Hasil karya sastra merupakan hasil pemikiran yang kreatif dalam proses berpikir,
dengan karya sastra berdasarkan cerita yang dikemukakan pengarang seperti cerita sunami
seseorang baik sebagai makhluk individu dan sosial. Nilai-nilai ini berfungsi sebagai
nasehat.
1. Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi
2. Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena
pembaca/peminatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena sastra yang baik
D. Sejarah Sastra
sastra dari waktu ke waktu, dari satu periode berikutnya. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri
karya sastra pada masa atau periode tertentu, para sastrawan yang mengisi arena/panggung
sastra, puncak-puncak karya sastra yang menghiasi panggung sastra, serta peristiwa-
peristiwa yang terjadi di seputar gelanggang dan dunia sastra dan kesastraan. Sebagai suatu
Kata sejarah (sastra) sendiri berasal dari bahasa Arab sajarun yang berarti pohon.
Pohon menggambarkan adanya akar, cabang, dan ranting yang memperlihatkan adanya
proses susunan peristiwa secara kronologis. Sejarah itu sendiri mempunyai arti yang sama,
yaitu rekaman perjalanan kehidupan dari masa lampau sampai masa-masa berikutnya.
Karya sastra adalah salah satu bagian dari sejarah perjalanan bangsa dan merupakan aset
budaya bangsa. Bangsa yang berbudaya dan beradab adalah bangsa yang tidak hanya
memiliki hasil karya sastra bangsanya tetapi juga menghargai dan memberikan apresiasi
terhadap karya-karya sastra sebagai hasil karya budaya bangsanya yang terkam dalam
Sejarah sastra Indonesia adalah bagian dari kajian ilmu sastra dan budaya Indonesia
yang mempelajari sastra Indonesia sejak adanya sastra Indonesia sampai masa-masa
membagi atau membuat periodisasi sastra dari masa ke masa. Misalnya, dalam sastra
Indonesisa kita mengenal AngkatanBalai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan
Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 kita memiliki karya-karya sastra yang
berbobot, antara lain novel Saman (1998) karya Ayu Utami dan Laskar Pelangi (2005)
karya Andrea Hirata yang menghebohkan dunia sastra Indonesia. Pada tahun 1980-an terbit
tetralogi karya Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer yang ebrgaung sampai tingkat dunia,
yakni Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan
Rumah Kaca (1988). Tahun 1970-an terbit trilogi novel Iwan Simatupang, Merahnya
Merah (1968), Ziarah (1969) dan Kering (1970) yang membuat bingung pembaca dan
kritikus Indonesia yang dianggap novel absurd,sarat filsafat, sulit dipahami karena berbeda
Jauh sebelumnya, pada 1940-an terbit novel Belenggu karya Armijn Pane yang
dianggap mengusik keindahan sastra dengan menelanjangi kehidupan kaum elit bangsawan.
Pada tahun 1920-an, lahir novel awal dalam sastra Indonesia yang sangat terkenal, yakni
Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli yang menghanyutkan perasaan para pembaca
karena mengisahkan suka duka perjalanan cinta para tokohnya. Hampir bersamaan dengan
Sitti Nurbaya adalah novel Azab dan Sengsara (1920) karangan Merari Siregar yang
mengangkat masalah adat-istiadat, kasih tak sampai, dan kisah perjuangan hidup para
Berdasarkan objek pengkajiannya, sejarah sastra mempunyai ruang lingkup yang cukup
beragam. Keberagaman tersebut, antara lain sebagai berikut. (1) dari sudut perkembangan
di dunia, seperti sejarah sastra Indonesia, sejearah sastra Jepang, sejarah sastra Amerika,
dan lain-lain. (2) dari sudut perkembangan kesusastraan suatu daerah, ada sejarah sastra
daerah, seperti sastra Minangkabau, sastra Jawa, sastra Sunda, sastra Bali, sastra Aceh,
sastra Batak, sastra NTT, dan lain-lain. (3) dari sudut perkembangan kebudayaan, ada
sejarah sastra pada kebudayaan tertentu , seperti sejarah sastra klasik, sejarah sastra zaman
Melayu, sejarah sastra kebangkitan Nasional, sejarah sastra Zaman Revolusi, sejarah sastra
Era Reformasi, dan lain-lain. (4) dari sudut perkembangan genre (jenis sastra) atau ragam
karya sastra, ada sejarah perkembangan roman atau novel, puisi, cerpen, drama, dan
sebagainya.
Khusus Iuntuk Indonesia, menurut pengamat dan kritikus sastra Teeuw (1984) masih
banyak yang harus dilakukan para peneliti sejarah sastra Indonesia pengkajiannya dapat
berittik tolak dari berbagai sudut pandang yang dapat menggambarkan perkembangan
sejarah satra Indonesia dari masa awal mula sampai kini. Metode pengkajiannya, antara
lain: (1) Pengkajian genetik, yakni pengaruh timbal-balik antarjenis karya sastra, (2)
Pengkajian intertekstual karya sastra individu, (3) Pengkajian resepsi sastra oleh pembaca
karya sastra, (4) Penelitian karya sastra lisan, dan (6) Pengkajian sastra Indonesia dan sastra
se-Nusantara.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmusastra
yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa, misalnya sejarah
sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra Inggris. Dengan pengertian dasar
itu, tampaklah bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang
bahwa sejarah sastra itu bisa menyangkut karya sastra, pengarang, penerbit, pengajaran,
pengarang, dan juga reaksi pembaca. Semua itu dapat dihubungkan dengan perkembangan
di luar bidang sastra seperti, sosial dan filsafat. Jadi, sejarah sastra meliputi penulisan
perkembangan sastra dalam arus sejarah dan di dalam konteksnya. Perhatian para ahli sastra
di Eropa terhadap sejarah sastra muncul pada abad ke-19, berawal dari perhatian ilmuwan
pada zaman Romantik yang menghubungkan segala sesuatu dengan masa lampau suatu
bangsa. Adapun dasrnya adalah filsafat positivisme yang bertolak pada prinsip kausalitas,
yaitu segala sesuatu dapat diterangkan bila sebabnya dapat dilacak kembali. dalam hal
sastra, sebuah karya sastra dapat diterangkan atau ditelaah secara tuntas apabila diketahui
asal usulnya yang bersumber pada wirayat hidup pengarang dan zaman yang
melingkunginya.
Lintasan pendapat itu mengisyaratkan kesadaran para tokoh intelektual Indonesia tahun
1930-an terhadap sejarah kebudayaan. Adapun kesadaran terhadap sejarah sastra Indonesia
makin tampak pada tahun 1940-an ketika S. Takdir Alisjahbana menulis Puisi Baru (1946)
dan H.B. Jassin menyusun antologi Gema Tanah Air (1948) dan Kesusastraan Indonesia di
Masa Jepang (1948). Perhatian yang lebih bersungguh-sungguh terhadap masalah tersebut
makin tampak dalam buku A. Teeuw, Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia
Baru (1952), buku Bakri Siregar, Sejarah Sastra Indonesia Modern (1964), buku Ajip
Rosidi Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969), dan buku Jakob Sumardjo, Lintasan
Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969), Jakob Sumardjo, Lintasan Sejarah
Sastra Indonesia I (1992), dan Rachmat Djoko Pradopo dalam Beberapa Teori Sastra,
Secara garis besar Ajip Rosidi (1969:13) membagi sejarah sastra Indonesia sebagai
berikut.
I. Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945 yang
b. Periode 1933-1942
c. Periode 1942-1945
II. Masa Perkembangan (1945-1968) yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa period,
yaitu:
a. Periode 1945-1953
b. Periode 1953-1961
c. Periode 1961-1968
Menurut Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) adalah persoalan
adat yang sedang menghadapi akulturasi sehingga menimbulkan berbagai problem bagi
tempat di tengah pertarungan kebudayaan Timur dan Barat dengan pandangan romantis-
idealis.
Perubahan terjadi pada periode 1942-1945 atau masa pendudukan Jepang yang
melahirkan warna pelarian, kegelisahan dan peralihan, sedangkan warna perjuangan dan
pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953 dan selanjutnya
warna pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali terhadap warisan leluhur
tampak menonjol pada periode 1953-1951. Pada periode 1961-1968 tampak menonjol warna
Pantaslah dicatat pernyataan Ajip Rosidi dalam artikel "Masalah Angkatan dan
Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia" yang dimuat lagi dalam Masalah Angkatan dan
Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia (1973) bahwa pembabatan waktu sejarah sastra
Indonesia itu relatif sangat pendek jangka waktunya antara satu periode dengan periode
berikutnya karena sejarah sastra Indonesia sendiri masih pendek, yaitu baru kurang lebih
Kalau sejarah sastra Indonesia sudah mencapai usia ratusan tahun mungkin perbedaan-
perbedaan kecil yang sekarang tampak dan menjadi alasan pembabakan waktu baru itu tidak
kelihatan dan keseluruhan waktu yang setengah abad itu tidak mustahil hanya menjadi dua
period saja, yaitu period awal abad sampai 1945 dan period sesudah 1945 sampai selanjutnya.
Dengan demikian tak usahlah disini saya katakan lagi bahwa pembabakan waktu sejarah
selalu bersifat nisbi. Kenisbian mana bukan hana ciri khas pembabakan waktu sejarah sastra
(Indonesia) saja, tetapi juga menjadi ciri umum periodisasi sejarah. (Rosidi, 1973:26-
27).Yang dimaksud angkatan ialah sekumpulan sastrawan yang hidup dalam satu kurun masa
atau menempati suatu periode tertentu dengan kesamaan atau sekurang-kurangnya kemiripan
ide, gagasan, atau semangat sebagai akibat logis dari interaksi mereka yang sezaman. Adanya
pergantian generasi dengan sendirinya menimbulkan pergantian angkatan, tetapi tidak dapat
dipisah-pisahkan secara tegas, karena selalu terjadi tumpang tindih. Artinya, sebelum suatu
Setelah meninjau periodisasi sejarah sastra Indonesia dari H.B Jassin, Boejoeng Saleh,
Nugroho Notosusanto, Bakrie Siregar dan Ajip Rosidi, maka tawaran Rachmat Djoko
itu untuk mempermudah pengingatan dan pemahaman dalam studi sastra. Lagipula, lahirnya,
tersebarnya, dan terintegrasinya suatu periode sastra atau angkatan sastra, pada umumnya
kurang jelas batas-batas waktunya. Jadi, tahun-tahun bulat itu sebagai ancar-ancar,timbulnya,
tersebarnya, terintegrasi, dan lenyapnya suatu periode atau angkatan sastra. Selanjutnya,
dipaparkan secara terperinci ciri-ciri intrinsik dan ekstrinsik setiap periode dengan intisari
Pada periode Balai Pustaka (1920-1940) jenis sastra yang utama adalah roman dengan
permasalahan adat kawin paksa dan permaduan, pertentangan paham antara kaum tua dan
kaum muda, berlatar daerah, pedesaan, atau kehidupan dan belum mempersoalkan cita-cita
kebangsaan. Pada periode pujangga baru (1930-1945) sastra puisi sangat dominan dan mulai
banyak ditulis cerita pendek dan drama yang pada umumnya beraliran romantik karena
Pada periode Angkatan 45 (1940-1955) berkembang puisi, cerpen, novel, dan drama
dengan warna perang; hal itu berbeda dengan ciri periode Angkatan 50 (1950-1970) yang
orientasi baru dengan menggarap bahan-bahan dari sastra dan kebudayaan Indonesia sendiri.
Disamping itu coraknya bermacam-macam karena pengaruh dunia politik, terutama setelah
(Lekra), Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), dan Lembaga Seni Budaya Muslim
Indonesia (Lesbumi). Warna politik itu bergeser lagi pada periode Angkatan 70 (1965-1984)
dengan lebih banyak berkembang apa yang disebut sastra pop yang secara literer tidak
diuraikan struktur estetik dan ekstra estetik secara terperinci atau lebih luas disertai contoh-
contoh ciri-ciri tersebut sehingga tampak jelas bagaimana wujud karya sastra setiap angkatan
Apa yang ditawarkan Rachmat Djoko Pradopo memang pantas dikaji dan diperdalam
para peneliti, terutama dalam rangka penulisan sejarah sastra Indonesia yang mendalam dan
meluas, sedangkan untuk kepentingan untuk pelajaran dalam buku ini hal tersebut dirasa
masih terlalu jauh. Sementara itu, baiklah diperhatikan pemikiran Maman S.Mahayana
(2006:3-8) mengenai awal sejarah sastra Indonesia yang intisarinya kurang lebih sebagai
berikut.
berkesinambungan dari masa ke masa; atau dengan kata lain semangatnya tidak tampak
terputus dari tradisi sastra zaman-zaman yang silam, baik lisan maupun tulisan. Tradisi
tulisan itu jelas melekat pada penerbitan pers (surat kabar dan majalah) yang telah
bermunculan pada akhir abad ke-19 sehingga pengkajian awal sejarah sastra Indonesia
hendaknya memerhatikan peranan pers yang telah terbukti melahirkan tradisi novel, cerpen,
puisi dan drama Indonesia yang mendahului penerbitan sejenis yang diproduksi Balai Pustaka
sebagai badan penerbit yang selama ini dianggap paling berjasa terhadap pertumbuhan sastra
Indonesia.
Dengan dasar pemikiran seperti itu, ketiga momentum besar tersebut dapat dipergunakan
sebagai tonggak-tonggak pembagian waktu sejarah sastra Indonesia sehingga muncul format
baru sseperti telah disebut di awal buku ini, yaitu (1) masa pertumbuhan atau kebangkitan
(1900-1945), (2) masa revolusi atau pergolakan (1945-1965), masa pemapanan (1965-1998),
bersifat monodisiplin dan multidisiplin. Monodisiplin fokus pada bidang kajian, sebaliknya
multidisiplin gabungan beberapa bidang kajian. Bidang kajian monodisiplin terdiri atas teori
sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra, sedangkan bidang kajian multidisiplin, sampai sejauh
ini, terdiri atas sosiologi sastra, psikologi sastra, dan antropologi sastra.
Di samping bidang kajian yang bersifat monodisiplin dan multidisiplin di atas, disiplin
ilmu sastra juga dibagi ke dalam beberapa cabang kajian, yakni sastra umum, sastra
bandingan, sastra dunia, sastra nasional, sastra regional, dan sastra lokal. Setiap cabang sastra
di atas dapat dikaji secara monodisiplin, yakni dengan teori sastra, kritik sastra, dan sejarah
sastra. Bisa pula dikaji secara multidisiplin, yakni dengan sosiologi sastra, psikologi sastra,
dan antropologi sastra. Atau dengan kata lain, teori sastra, kritik sastra, sejarah sastra,
sosiologi sastra, psikologi sastra, dan antropologi sastra dapat digunakan dalam mengkaji
atau menganalisis sastra umum, sastra bandingan, sastra dunia, sastra nasional, sastra
Pertama, sastra umum. Sastra umum adalah nama untuk gejala kebudayaan yang bersifat
umum, universal, di mana sastra terdapat dalam setiap masyarakat manusia, kapan dan di
mana saja. Secara potensial, setiap orang pada setiap zaman dan pada setiap tempat dapat
bersastra, apakah bersastra secara aktif atau secara pasif. Sastra umum tidak dikaitkan dengan
kegiatan sastra pada wilayah geografi tertentu, suatu bangsa atau negara tertentu, tetapi gejala
Kedua, sastra bandingan. Sastra bandingan lahir terutama dipengaruhi oleh studi
bandingan terhadap ilmu pengetahuan, yang kemudian diikuti oleh studi bandingan terhadap
agama, bandingan politik, bandingan bahasa, dan lain-lain. Sastra bandingan relatif lebih
mudah. Sastra bandingan muncul pertama kali di Eropa ketika batas berbagai wilayah negara
wilayah (bangsa atau negara) dengan wilayah lain. Masalah kebudayaan nasional, jati diri
bangsa, dan sastra nasional juga muncul diberbagai negara. Sementara itu, untuk menilai
sastra yang dimiliki bangsa dan negaranya, seseorang perlu menengok ke luar dan
membandingkan sastra bangsa dan negaranya dengan sastra bangsa dan negara lain. Inilah
Ketiga, sastra dunia. Disebut sastra dunia karena reputasi sastrawan dan karya-karyanya
diakui masyarakat dunia. Mutunya yang diakui masyarakat dunia, beredar secara
internasional, biasanya ditulis atau diterjemahkan dalam salah satu bahasa dunia yang diakui
PBB. Pemikiran tentang sastra dunia berkaitan dengan pengaruh dan peredaran sebuah karya
sastra dalam lingkup internasional, nasional, regional, atau lokal. Istilah sastra dunia awalnya
dipakai oleh Johann Wolgang von Goethe (1749-1832), seorang sastrawan dan pemikir
Jerman. Dia menguasai karya-karya sastra besar di dunia dalam bahasa aslinya, khususnya
bahasa Inggris, Prancis, dan Italia. Salah satu sastrawan legendaris Indonesia yang karya-
karyanya beredar luas di tingkat dunia, masuk dalam kancah sastra dunia, bahkan pernah
masuk nominansi untuk mendapatkan hadiah Nobel sastra adalah Pramoedya Ananta Toer
(1925-2006).
Keempat, sastra nasional. Sastra nasional adalah sastra yang berkaitan dengan rasa
kebangsaan dan kepemilikan sastra oleh masyarakat suatu bangsa atau negara. Setiap bangsa
atau negara memiliki sastranya sendiri yang menggambarkan jati diri bangsa dan negaranya,
misalnya sastra Indonesia, sastra Malaysia, sastra Jepang, sastra Jerman, sastra Arab, sastra
Rusia, dan lain-lain. Tempat seorang dalam konteks sastra nasional pada umumnya tidak
bahasa Jerman atau Prancis adalah sastrawan India, bukan sastrawan Jerman atau Prancis.
Kelima, sastra regional. Istilah regional berkaitan dengan pengertian nasional. Kalau
nasional mencakup seluruh wilayah sebuah negara, maka regional meliputi bagian-bagian
wilayah dalam sebuah negara. Negara republik Indonesia, misalnya, terdiri atas wilayah-
wilayah regional yang disebut provinsi. Sastra yang merupakan milik dan kebanggaan
masyarakat masing-masing provinsi yang ditulis dalam bahasa Indonesia disebut sebagai
Berdasarkan pengertian sastra regional ini maka kita mengenal sastra Jawa Barat, sastra
NTT (Nusa Tenggara Barat), sastra Bali, sastra Maluku, sastra Yogyakarta, sastra Riau, sastra
Sulawesi Selatan, sastra Papua, sastra Jawa Timur, dan lain-lain. Istilah regional (juga istilah
lokal) menjadi populer di Indonesia setelah berlakunya otonomi daerah di Indonesia sejak
tahun 2000. Salah satu buku yang secara khusus mengkaji sastra regional ini adalah buku
Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (2012) Karya Yohanes Sehandi yang khusus mengkaji
Keenam,sastra lokal. Istilah lokal merupakan bagian dari wilayah regional atau provinsi,
yakni kabupaten atau kota. Sastra yang merupakan miliki dan kebanggaan masyarakat satu
kabupaten/kota disebut sebagai sastra lokal. Sastra lokal, demikian juga sastra regional,
berbeda dengan sastra daerah, karena, baik sastra regional maupun sastra lokal menggunakan
Menurut Jakob Sumardjo dalam buku Masyarakat dan Sastra Indonesia (1982:49-52)
dan dalam buku Pengantar Novel Indonesia (1982:199-223), sastra Indonesia yang bercorak
kedaerahan atau warna kedaerahan adalah “sastra Indonesia warna daerah” atau “sastra
Indonesia warna lokal”. Menurut Sumardjo, karya-karya sastra warna kedaerahan (sastra
regional dan sastra lokal) adalah sastra Indonesia, dan para pengarang karya sastra warna
kedaerahan adalah juga sastrawan Indonesia. Dalam kerangka berpikir Sumardjo itu, maka
sastra regional (provinsi) dan sastra lokal (kabupaten/kota) dimasukkan sebagai “warga”
sastra Indonesia, dan sastrawannya juga adalah sastrawan Indonesia. Demikianlah pengertian
sastra umum , sastra bandingan, sastra dunia, sastra nasional, sastra regional, dan sastra lokal.
Dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra:Pengantar Teori Sastra (1984:21) A.Teeuw
ditemui pada banyak cabang ilmu pengetahuan lain, yakni objek utama penelitiannya tidak
tentu. Sampai sekarang, menurut Teew, rumusan pengertian sastra dan ilmu sastra secara
hakiki dan ideal belum memuaskan, yang tentu memotivasi para ahli ilmu sastra atau teori
sastra untuk terus melakukan kajian sampai pada akhirnya menemukan jawaban yang
pemahaman tentang teori sastra. Teori sastra menjelaskan tentang konsep sastra sebagai salah
satu disiplin ilmu humaniora yang akan mengantarkan kita ke arah pemahaman dan
sastra, kita akan memahami fenomena kehidupan manusia yang ditemukan dalam karya
sastra. Sebaliknya, dengan memahami fenomena kehidupan manusia dalam sastra kita akan
Ilmu sastra termasuk salah satu disiplin ilmu yang cukup tua usianya. Ilmu ini sudah
dikenal sejak abad ke-3 SM, yaitu pada saat filsuf kenamaan Aristoteles (384-322 SM)
menulis bukunya yang sangat terkenal berjudul Poetica yang berisi tentang teori drama
tragedi. Istilah Poetica sebagai teori ilmu sastra, lambat laun digunakan dengan beberapa
istilah lain oleh para teoretikus sastra yang menggunakan bahasa-bahasa Barat, seperti study
of literature (W.H. Hudson), theory of literature (Rene Wellek dan Austin Warren), literary
Secara definitif multidisiplin adalah penggabungan dua atau lebih bidang ilmu atau
bidang kajian. Kajian sastra yang bersifat multidisiplin ini muncuol sebagai reaksi terhadap
dominasi penelitian sastra yang bersifat monodisiplin. Seperti diketahui sampai dengan akhir
abad ke-20, perhatian para ahli sastra terpusat pada pendekatan intrinsik karya sastra dengan
memanfaatkan teori struktiralisme yang berkembang pesat pada masa itu, sekaligus
aspek struktur tertentu karya sastra, seperti tokoh, tema, latar, plot, gaya bahasa, sudut
pandang, dan sebagainya. Menurut Ratna (2009:327), dalam rangka menggali kekayaan
budaya bangsa, kecenderungan seperti ini menjadi tidak relevan lagi, sebab penelitian
tersebut tidak berhasil mengungkapkan esensi sastra secara memadai. Penelitian sastra pada
kemerosotan).
Latar belakang lain lahirnya sejumlah bidang multidisiplin ini karena tingginya
tuntutan kebutuhan dan kompleksitas perkembangan karya sastra yang ememrlukan tinjauan
dari berbagai aspek kehidupan manusia. Disadari betul bahwa tiga bidang kajian yang
bersifat monodisiplin, yakni teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra, tidak lagi memadai
dibutuhkan bidang kajian sastra yang baru, yang bersifat multidisiplin, termasuk bidang
Perlu disadari bahwa khazanah sastra Indonesia sangat luas dan beragam. Dikaitkan
dengan medium bahasanya, dibedakan menjadi sastra lisan dan sastra tulisan. Dikaitkan
dengan sejarah kelahirannya, dibedakan menjadi sastra lama dan sastra baru (modern)
demikian juga dikaitkan dengan semangat yang terkandung di dalamnya, dibedakan menjadi
sastra daerah dan sastra nasional. Khazanah sastra Indonesia secara keseluruhan disebut
latar belakang sosial budayanya. Indonesia yang merupakan negara kesatuan dengan ribuan
pulau, beragam suku, adat-istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, dan bahasa menjadi
perbedaan itulah karya sastra ditulis, struktur cerita dibangun, dan pandangan dunia
ilmuwan yang lain secara bebas memasuki setiap aspek kehidupan tanpa perlu merasa
khawatir akan kehabisan objek kajian. Sudah saatnya seluruh kekayaan budaya dikaji
dengan berbagai sudut pandang dengan menggunakan gabungan berbagai disiplin ilmu.
Latar belakang inilah yang melahirkan kajian sastra multidisiplin atau interdisiplin.
Bidang kajian multidisiplin melibatkan lebih dari satu disiplin . dasar perbedaannya
adalah intensitas hubungan antara keduanya dan ciri-ciri disiplin ilmu yang bersangkutan.
Dalam hubungan ini Ratna (2009:330) membedakan tiga macam multidisiplin, yakni (a)
multidisiplin itu sendiri, (b) transdisiplin atau antardisiplin, dan (c) krosdisiplin atau
interdisiplin. Dalam model penelitian kedua dan ketiga salah satu ilmu memiliki posisi yang
lebih dominan. Perbedaannya, dalam model ketiga, ilmu-ilmu yang terlibat seolah-olah
telah lebur menjadi satu dengan pola-pola hubungan yang tetap, termasuk teori dan
metodenya.
Seperti telah disebutkan diatas, bahwa ilmu sastra yang bersifat monodisiplin terdiri
atas tiga bidang ilmu yang berdiri sendiri, yakni teori sastra (literary theory), kritik sastra
(literary criticism), dan sejarah teori sastra (literary history). Masing-masing bidang ini
bersifat saling melengkapi, komplementer, saling mendukung. Mengingat sifatnya itu,
ketiga bidang itu dapat dimasukkan kedalam tiga wilayah kegiatan penelitian yang bersifat
teoritis. Biudang kajian sastra yang bersifat monodisiplin ini mencapai puncaknya
perkembangan pesat teori strukturalisme yang bertolak dari otonommi karya sastra sampai
dengan tahun 1980. Bagaimana hubungan antara ketiga bidang itu? Pada hakikatnya, teori
sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat dalam karya sastra, baik konvensi
bahasa yang meliputi makna, gaya, struktur, pilihan kata, maupun konvensi sastra yang
meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar, dan lainnya yang membangun keutuhan karya
sastra. Disisi lain, kritik sastra merupakan ilmu sastra yang mengkaji, yang menelaah, yang
keunggulan atau kekuatan maupun kelemahan atau kekurangannya. Sasaran kerja kritikus
satra adalah hasil kerja para sastrawan, sekaligus pembaca karya sastra. Untuk memberikan
pertimbangan atas karya sastra, kritikus sastra bekerja sesuai konvensi bahasa dan konvensi
Demikian juga terjadi hubungan antara teori sastra dengan sejarah sastra. Sejarah sastra
adalah bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu,
dari suatu periode ke periode berikutnya sebagai bagian dari pemahaman terhadap sebuah
budaya. Perkembangan sejarah sastra suatu daerah, suatu bangsa, suatu negara, dan suatu
kebudayaan, diperoleh dari penelitian karya-karya sastra yang dihasilkan para peneliti
karya sastra, antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra terjalin saling terkait.
a. Teori Sastra
Teori sastra atau literary theory atau theory ofliterature merupakan salah satu bidang
kajian ilmu sastra yang mempelajari tentang pengertian, prinsip, konsep, hakikat,
karakteristik, hukum, kategori dan kriteria karya sastra yang membedakannya dengan karya-
karya yang bukan satra. Dalam bahasa inggris istilah untuk teori sastra adalah: theory
Menurut M. H Abrams (1971: 6), konsep teoretis tentang sastra yang kita kenal pada saat
ini mencakup empat aspek khazanah dunia satra, yakni aspek teks karya sastra, aspek
tanggappan pembaca, dan aspek lingkungan sosial. Yoseph Yapi Taum dalam pengantar
Teori Sastra (1997:5, 14) mensinyalir bahwa sebenarnya teori-teori sastra sudah cukup
banyak dikenal di Indonesia lewat buku-buku terjemahan dari bahasa asing. Akan tetapi,
yang lazim terjadi adalah orang segera terlibat dalam konsep-konsep teoretis dan metodologis
tanpa menyadari bahwa semua itu memiliki proses dialog dan dialektika yang rumit dengan
sejarah dan sistem nilai suatu kultur (kebudayaan). Akibatnya, rumusan pengertian yang
akurat tentang hakikat teori satra belum tuntas dilakukan. Istulah-istilah yang digunakan
untuk menyebutkan konsep-konsep yang mendasar pun masih simpang-siur, apakah ilmu
Menurut Wellek dan Warren dalam Teori Kesusastraan (1993: 37-46), dalam wilayah
sastra perlu dibedakan dahulu antara sastra di satu pihak dengan teori sastra, kritik sastra, dan
sejarah sastra di pihak lain. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif. Sedangkan teori sastra, kritik
sastra, dan sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra. Teori sastra adalah studi prinsip,
konsep, kategori, dan kriteria yang dapat diacu dan dijadikan titik tolak dalam telaah di
bidang sastra. Sedangkan studi terhadap karya-karya konkret disebut kritik sastra dan sejarah
sastra.
Secara umum yang dimaksud dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan
sistematik yang menerapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati.
Teori berisi konsep atau uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan
dari suatu titik pandang tertentu. Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan dicek
kebenarannya (diverifikasi) atau dibantah kesahihannya pada objek atau gejala-gelaja yang
diamati tersebut.
Teori sastra bekerja dalam bidang teori, misalnya penyelidikan tentang hal-hal yang
kategori, dan berbagai hal tentang sastra. Teori sastra hanya dapat disusun berdasarkan studi
langsung terhadap karya sastra dan harus menciptakan dasar konsep yang universal, atau
menjelaskan fakta-fakta sastra. Dengan demikian, teori sastra merupakan cabang ilmu sastra
yang berusaha merumuskan pengertian sastra, hakikat dan prinsip-prinsip sastra, melakukan
klasifikasi terhadap jenis-jenis dan ragam-ragam karya sastra, serta menyodorkan bagaimana
analisis, interpretasi, dan evaluasi terhadap karya-karya sastra secara konkret dapat
dilakukan.
b. Kritik Sastra
Kritik sastra dimulai pada saat orang bertanya apa dan dimana nilai dan makna serta
fungsi karya sastra yang dihadapinya. Kritik sastra (literary criticism) merupakan salah satu
bidang ilmu sastra. Istilah lain yang juga digunakan untuk kritik sastra ini adalah telaah
sastra, pengkajian sastra, analisis sastra, pembahasan sastra, ulasan sastra, dan penelitian
sastra. Untuk dapat menghasilkan suatu kritik sastra yang baik, diperlukan kemampuan
menganalisis, mengulas, dan meneliti karya-karya sastra, serta penguasaan terhadap teori-
teori sastra. Hal lain yang juga diperlukan adalah pengalaman yang cukup dalam kehidupan
yang bersifat literer (berkaitan dengan sastra dan nonliterer (berkaitan dengan berbagai aspek
Secara etimologis, kata kritik (sastra) yang kita kenal sekarang berasal dari kata krites
(Yunani) yang berarti hakim. Kata krites (kata benda) sendiri semula berasal dari kata krinein
(kata kerja) yang berarti menghakimi, membanding, atau menimbang. Kata krinein juga
merupakan pangkal dari kata benda kriterion yang berarti dasar pertimbangan atau dasar
penghakiman. Selanjutnya, kata kritikos (Yunani Kuno) pada mulanya sebutan kepada kaum
pergamon pimpinan Crates untuk membedakannya dengan kaum grammatikos (ahli tata
bahasa atau bahasawan) pimpinan Aristarchus di Alexsandria, Yunani. Pada abad ke-2 M
Dalam sastra latin klasik terdapat istilah criticus. Kata criticus (ahli kritik) mengandung
arti lebih tinggi daripada grammatikus (ahli tata bahasa) dengan penjelasan bahwa istilah
criticus juga berarti penafsir naskah dan penafsir kata-kata. Pengertian criticus atau kritikos
dalam khazanah sastra Barat (Eropa) sebagai literarycriticism (dalam sastra Inggris) muncul
dan berkembang lewat jasa ahli retorika Quintilianus dan ahli pikir Aristoteles sering
perkembangannya sampai dengan saat ini, istilah dan pengertian kritik sastra sudah cukup
Meskipun pengertian kritik sastra beragam, namun pemahaman orang tentang kritik sastra
semakin menguat sejalan dengan perkembangan disiplin ilmu sastra. Rene Wellek dan Austin
Warren dalam buku Teori Kesusastraan (1993) menyatakan bahwa kritik sastra memiliki
Literary Terms (1981) menerangkan bahwa kritik sastra adalah cabang ilmu yang berurusan
dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian terhadap karya sastra. Rachmat
Djoko Pradopo (1988) menyatakan kritik sastra adalah pertimbangan baik-buruknya karya
sastra. H. B. Jassin (1917-2000) dalam Tifa Penyair dan Daerahnya (1983:95) menyatakan
bahwa kritik sastra adalah “penilaian baik buruknya suatu hasil kesusasteraan dengan
sastra merupakan “kegiatan penilaian yang ditunjukkan pada karya sastra atau teks sastra.”
Andre Hardjana dalam Kritik Sastra : Sebuah Pengantar (1981:11) merumuskan definisi
kritik sastra sebagai “hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya
sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan dalam bentuk tertulis.”
Apakah kritik sastra sebagai ilmu? J. U. Nasution menyatakan bahwa kritik sastra
merupakan bagian dari ilmu sastra jika yang dimaksudkan dengan ilmu ialah adanya
pemcahan masalah sesuai dengan tuntutan ilmu itu sendiri. S. Effendi menyatakan kritik
sastra bukan ilmu, bukan pula seni, kritik sastra menentukan sendiri dunianya.
Pradotokusumo (2008:58) menyatakan, di satu sisi tampak kritik sastra merupakan karya
ilmiah, namun di sisi lain kritik sastra adalah hasil kajian karya seni. Sebagai karya ilmiah,
kritik sastra memerlukan pengkajian atas kekurangan dan kelebihannya serta membutuhkan
penerapan prinsip-prinsip umum. Sebagai hasil kajian karya seni, kritik sastra termasuk
Dalam menentukan nilai atau penghakiman atas karya sastra yang dihadapinya, seorang
kritikus sastra tidak bertindak semaunya. Dalam mengemukakan kritiknya, seorang kritikus
melewati suatu proses penghayatan keindahan yang hampir serupa dengan proses
penghayatan seorang pengarang dalam melahirkan atau menciptakan karya sastra. Perbedaan
dari dua penghayatan itu terletak pada pangkal tolak dan titik akhirnya.
Penghayatan keindahan seorang kritikus sastra bermula dari pengamatan dan pencernaan
jiwanya atas suatu karya sastra. Setelah mengalami proses penghayatan keindahan itu,
seorang kritikus merasa menemukan nilai, tetapi tidak menciptakan nilai. Proses penghayatan
nilai itu tidak lain adalah proses penghayatan atau pengalaman estetik (aisthetes). Hasil dari
penghayatan estetik atas sebuah karya sastra itulah yang disebut kritik sastra. Penghayatan
estetik ini tidak selalu mudah karena suatu karya sastra yang diciptakan untuk semua orang
seringkali tidak dapat diresapi oleh setiap orang. Apabila hal tersebut terjadi, menurut Andre
Hardjana (1981:16), ada dua kemungkinan, yakni pembacanya tertutup untuk menyerap
sastra yang halus dan tinggi, atau karya sastra itu tidak cukup kuat untuk menggerakkan hati
Dalam kritik sastra, ada tiga jenis penilaian, yaitu penilaian absolut, penilaian relatif, dan
ilmu pengetahuan alam menggiring penilaian pada sastra yang menghasilkan penilaian benar
atau salah serta baik atau buruk terhadap sebuah kara sastra. Penilaian relatif didasarkan pada
impresi (kesan) kritikus terhadap karya sastra. Oleh karena itu, sepuluh kritikus bisa jadi akan
kemungkinan lain ketika satu pendekatan dengan teori tertentu tidak sesuai dengan unsur
intrinsik karya sastra tersebut. Melalui penilaian perspektif inilah kekayaan teks digali dan
diungkapkan. Dari situlah pendekatan baru ditawarkan, teori baru dapat dirumuskan.
Pemikiran tentang kritik sastra berkisar seputar bagaimana kritik sastra menjalankan
fungsinya, pendekatannya, dan mengembangkan teori kritik sastra (theoritical criticism) yang
representatif. Muaranya berkutat pada tiga bidang kegiatan ilmu sastra, meliputi teori sastra
(literary theory), sejarah sastra (literary history), dan kritik sastra (literary criticism). Objek
kajian kritik sastra adalah karya sastra. Penting dipahami, hakikat kritik sastra adalah evaluasi
dan penilaian terhadap karya sastra, di dalamnya melekat pula apresiasi terhadap sastra. Jadi,
bukan perkara pujian (hujatan), melainkan elusidasi (penguraian) dan eksplanasi (keterangan)
yang meliputi deskripsi, interpretasi, analisis, evaluasi, dan penilaian terhadap karya sastra.
Buku tentang kritik yang pertama dan lengkap yang kemudian dipandang sebagai sumber
dari pengertian kritik sastra modern berjudul Criticus karya Julius Caesar Scalinger (1484-
1558). Buku ini merupakan jilid ke-6 dari rangkaian bukunya yang berjudul Poetica. Dalam
penghakiman terhadap Homerus guna mengagungkan Vergillius. Berkat usahanya yang luar
biasanya ini, ia mendapatkan julukan sebagai kritikus besar di kalangan sastrawan Perancis
(Hardjana, 1981:3).
Dalam sejarah sastra Indonesia, kritik sastra tidaklah merupakan tradisi asli dalam
masyarakat Indonesia. Istilah dan pengertian kritik sastra baru dikenal setelah para sastrawan
Indonesia memperoleh pendidikan Barat (Eropa) pada awal abad XX. Sebelum itu, penilaian
atas karya sastra dalam bahasa-bahasa daerah hanyalah terjadi dalam hubungannya dengan
Baru pada tahun 1930-an lewat majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sultan Takdir
Alisjabana (STA) tradisi kritik sastra mulai bertumbuh dan terus berkembang. Kritikus sastra
pun mulai bermunculan. Yang paling menonjol dari sekian banyak kritikus sastra pada masa
itu adalah H. B. Jassin. Kedudukan kritik sastra dalam sastra Indonesia menjadi kokoh setelah
Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (1945) yang kemudian dikembangkan dan diperluas
wilayahnya hingga mencapai empat jilid buku. Buku-buku kritik sastra H. B. Jassin inilah
yang kemudian menjadi acuan dna model kritik sastra Indonesia selanjutnya. Kritikus sastra
Indonesia yang lain adalah A. Teeuw, M. S. Hutagalung, Umar Junus, Dami N. Toda, Jakob
Dalam upaya melakukan pengkajian atau penelitian terhadap karya sastra ada sejumlah
istilah sekaligus langkah kegiatan yang berhubungan bahkan bergantung satu sama lain.
Sejumlah istilah dan langkah kegiatan itu adalah pendekatan,teori,metode, dan teknik. Secara
sederhana pendekatan/ approach adalah cara-cara menghampiri objek karya sastra. Teori
adalah cara-cara untuk mengarahkan sebuah analisis terhadap karya sastra. Sedangkan,
sastra. Teknik adalah kiat-kiat menggunakan alat/ instrumen dalam mengolah data-data untuk
kepentingan analisis. Secara defenitif metode dan teknik kurang memiliki batas-batas yang
Pendekatan sering juga disebut penghampiran perspektif, titik pijak, sudut pandang, dan
dimensi. Pendekatan adalah perlakuan terhadap objek, sebagai sudut pandang etik, demikian
juga sebaliknya, bagaimana memahami objek sebagai sudut pandang emik. Dalam
pendekatan terjadi hubungan timbal balik antara cara pandang etik dan emik. Menurut Ratna
(2013: 340), pendekatan dikaitkan dengan (1) ilmu tertentu, seperti pendekatan historis,
pendekatan secara makro dan mikro, pendekatan pendekatan monodisiplin dan multidisiplin,
(3) sudut pandang tertentu, seperti pendekatan ekstrinsik dan intrinsik, (4) kesatuan dimensi,
seperti pendekatan objektif, dan pragmatik. Dalam setiap pendekatan terkandung teori, koma,
metode, dan teknik. Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk menentukan kadar
pembedaan, pengertian antara pendekatan, teori, metode, dan teknik, yakni (1) dengan cara
membedakan tingkat abstraksinya, (2) dengan cara memperhatikan faktor mana yang lebih
luas ruang lingkup pemakaiannya, dan (3) dengan cara memperhatikan hubungannya dengan
objek, dalam hal ini karya sastra. Secara hierarkis, tingkat abstraksi yang tertinggi dimiliki
Tujuan pendekatan adalah pengakuan terhadap keilmiahan sebuah objek. Oleh karena itu,
pendekatan lebih dekat dengan bidang studi keilmuan tertentu. Pendekatan merupakan aspek
atau bidang yang agak luas ruang lingkup dan tingkat abstraksinya, dengan pertimbangan
praktis, baik terhadap peneliti secara individu maupun terhadap masyarakat secara. Dalam
pendekatan mempunyai kekhasan dan perbedaan antara yang satu dengan lainnya.
Pendekatan objektif, misalnya berbeda dengan pendekatan ekpresif, pragmatik, dan berbeda
pula dengan pendekatan mimetik. Perbedaan ini disebabkan dari sudut mana peneliti
memandangnya, kendala-kendala apa yang akan dihadapi dalam proses penelitian, dan
Pada dasarnya, dalam rangka melaksanakan suatu pengkajian atau analisis terhadap karya
sastra, pendekatan mendahului teori, kemudian metode, dan terakhir teknik. Artinya,
dengan penentuan jenis teori yang digunakan. Setelah teori ditentukan baru metode apa yang
Dalam buku ini tidak dibahas hal-hal yang berkaitan dengan metode dan teknik. Titik
berat pembahasan adalah jenis-jenis teori sastra yang dilahirkan sejumlah pendekatan. Atau
dengan kata lain, teori-teori sastra yang berinduk pada sejumlah pendekatan sastra. Teori
sastra yang dikemukakan juga terbatas pada teori-teori sastra yang dikenal luas yang dapat
a. Pendekatan
mengadakan hubungan dengan objek yang diteliti atau metode-metode untuk mencapai
serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertia yang tepat dan pemahaman
arti keseluruhan.
4. Proses pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenaran persoalan
1988)
Berdasarkan pengertian tersebut, maka pendekatan karya sastra berarti suatu usaha
ilmiah yang dilakukan seseorang dengan menggunakan logika rasional dan metode tertentu
secara konsisten terhadap unsur-unsur karya sastra sehingga menemukan perumusan umum
tentang keadaan yang diselidiki. Pendekatan karya sastra merupakan suatu strategi untuk
memahami dan menjelaskan temuan tentang fiksi yang diselidiki. Didalamnya di tuntut suatu
proses kerja yang sistematis dan objektif dengan landasan berpikir logis.
Analisis karya sastra dinyatakan sebagai kegiatan ilmiah karena didalamnya berlaku
prinsip-prinsip kerja ilmiah yang mendasarinya. Analisis karya sastra dilakukan dengan
kemauan seobjektif mungkin, dan tidak dilandasi pandangan subjektif penganalisis. Analisis
karya sastra bukanlah sekedar pembicaraan apresiatif yang hanya menuntut penjelasan sekilas
secara umum dengan data-data yang acak. Analisis karya sastra menuntut penjelasan yang
cermat dan didukung oleh data-data yang rumit. Jika apresiasi tidak terlalu menuntut tahapan-
tahapan kerja yang jelas, maka di dalam kerja analisis dituntut prosedur kerja yang dilakukan
secara cermat dari satu tahap ke tahap berikutnya. Tahap-tahap kerja harus dilakukan
sebagaimana semestinya dan tidak dapat dibolak-balik. Prinsip inilah yang berlaku dalam
analisis karya sastra sehingga kerja analisis ini dapat dinyatakan sebagai suatu pekerjaan
ilmiah.
Secara umum, analisis karya sastra bertujuan untuk menemukan keadaan unsur-unsur
karya sastra dan karakteristik hubungan antar unsur tersebut sehingga ditemukan suatu
kesimpulan sebagai hasil penilaian terhadap karya sastra tersebut. Berdasarkan penghayatan
pendapatannya tentang kualitas dan keunikan sebuah karya sastra. Secara khusus analisis
drama bertujuan untuk memahami keunggulan sebuah karya sastra, ciri-ciri khusus sebuah
drama yang membedakannya dengan karya sastra lain, memahami obsesi pengarang,
menerapkan dan menguji keampuan teori sastra, dan memungkinkan munculnya teori sastra
yang lebih sesuai dan relevan dengan sesuatu jenis karya sastratersebut. Tahapan analisis
karya sastra jika diperinci meliputi kegiatan berupa (1) pembacaan (2) penginventarisasian
(3) pengidentivikasian (4) penginventarisan (5) pembuktian dan (6) penyimpulan serta
pelaporan. Pembacaan sastra untuk kepentingan analisis berbeda dengan pembacaan untuk
kepentingan penikmat. Membaca karya sastra menyebabkan orang hanyut dalam materi
sastra yang dibacanya. Pembaca cenderung ikut “trence” dan hanyut dengan perkembangan
permasalahan dan pergerakan tokoh sastra. Pembaca melibatkan dirinya dengan imajinasi
pengarang. Sehingga pembaca memang sering kali melanjutkan pembacaan sastra dengan
mengembangkan imajinasinya, karena dengan cirinya yang khusus, sastra memang harus
mengundang imajinasi terutama pada suatu pemvisualisasian. Membaca seperti ini hanya
berguna untuk sampai pada tahap penikmatan. Pembacaan untuk kepentingan analisis,
pembaca harus bisa menjaga jarak dengan tokoh-tokoh sastra dan permasalahan yang
dihadapi tokoh sastra tersebut. Pembacaan harus dilakukan dengan persiapan tertentu dari
pembacanya agar tidak melihat permasalah sastra dengan emosional, tetapi rasional.
sastra. Setiap pencatatan harus dilakukan dengan cermat tanpa memberikan data yang sekecil
apapun lewat begitu saja. pencatatan harus dilakukan tanpa pertimbangkan apakah data itu
penunjang niat penyelidik atau tidak, dan dengan prinsip bahwa semua data yang terdapat
dalam sastra ada fungsi dan maksudnya. Penganalisasan yang mengabaikan data tertentu
mungkin karena tidak menyukainya atau karena dianggap tidak penting, berarti ia telah
melakukan keteledoran dari sudut penyelidikan ilmiah. Tentunya hal semacam ini merusak
telah diinventaris. Pengelompokan data itu pada dasarnya menyangkut kesamaan data ,
perbedaan data, hubungan data, dan menentukan kedudukan dan fungsi data tersebut.
Identifikasi tersebut bisa dipandang dari kesamaan makna, fungsi, kedudukan, sebab dan
akibatnya. Begitu pula memandang perbedaannya juga dapat dipandang dari makna, fungsi,
Penginterpretasian merupakan tahapan pemberian makna dari data yang telah ada.
kemungkinan latar belakang dan tujuan data. Proses interpretasi diperlakukan karena prinsis
drama sebagai suatu fiksionalitas tidak menekan permasalahan sebagaimana adanya, akibat
adanya imaginasi dalam proses penciptaan. Dengan imajinasi berarti data fiksi merupakan
tanda-tanda, perlambang, ataupun simbol dari maksud yang sebenarnya. Tahapan interpretasi
menapis kembali imajinasi dalam data tersebut. Interpretasi merupakan penapisan unsur
imajinasi.
Tahapan kerja berikut adalah pembuktian. Usaha ini sangat diperlukan agar
merupakan pencarian bukti, contoh, menalar hubungan hasil interpretasi dengan bukti dan
peneliti menganalisis, yakni dengan tidak mengabaikan bukti dengan tidak mengabaikan
bukti dengan contoh yang menurut penganalisis tidak relevan. Seandainya tidak ditemukan
bukti dan contoh bertentangan dengan interpretasi sebelumnya, berarti interpretasi semula
dari permasalahan-permasalahan kecil. Setiap unit hasil interpretasi yang telah dibuktikan
dengan contoh haruslah disimpulkan. Dan beberapa hasil kesimpulan tersebut, akan dibentuk
kesimpulan yang lebih besar, demikian seterusnya. Dengan demikian berakhirlah tahap
pencarian, penelusuran, dan pemahaman sastra, tahap kerja berikutnya tinggal menyusun
Tahapan analisis sastra atau teks sastra lainnya akan selalu tetap, tetapi dapat berbeda-
beda prosedur kerjanya sesuai dengan hal-hal yang diinginkan penganalisis. Perbedaan
prosedur kerja sangat ditentukan oleh pendekatan analisis yang menjadi landasan kerja dan
metode yang digunakan. Dalam penyelidikan karya sastra pada umumnya secara tradisional
telah dikenal dua pendekatan, yaitu pendekatan ekstrinsik dan pendekatan instrinsik.
menggunakan ilmu bantu di luar ilmu sastra, seperti memanfaatkan prinsip-prinsip sejarah,
sosiologi, psikologi, ideologi, filsafat dan lain-lain, sedangkan pendekatan instrinsik adalah
pendekatan yang menyelidiki karya sastra dengan menerapkan teori dan kaidah sastra yang
(1) pendekatan objektif, merupakan suatu pendekatan yang hanya menyelidiki karya
sastra itu sendiri tanpa menghubungkan dengan hal-hal di luar karya sastra. pendekatan ini
tidak memandang perlu menghubungkan karya sastra dengan pengaran sebagai penciptanya,
dengan kenyataan alam semesta atau realitas objektif sebagai sumber penciptaan, dan dengan
pembaca sebagai sasaran penciptaan. Pendekatan ini bertahan dan sangat ketat menjaga
otonom karya sastra. Oleh sebab itu, tidak perlu menyelidiki karya sastra dengan unsur-unsur
di luar sastra
(2) pendekatan mimesis, merupakan suatu pendekatan yang setelah menyelidiki karya
sastra sebagai sesuatu yang otonom, masih merasa perlu dihubung-hubungkan hasil temuan
itu dengan realita objektif. Betapapun sebuah karya sastra sebagai otonom tetap masih
mempunyai hubungan dengan sumbernya, dan sampai sejauh mana hubungan tersebut perlu
diselidiki lebih lanjut. Otonomi sastra tidak berarti menghambat pencaharian hubungan data
imajinatif dengan data normatif dan data praktis dalam masyarakat yang menghidupkan dan
(3) pendekatan ekspresif, merupakan pendekatan yang telah menyelidiki karya sastra
sebagai sesuatu yang otonom, masih merasa perlu mencari hubungannya dengan pengarang
sebagai penciptanya. Pendekatan ini amat memandang penting menghubungkan karya sastra
dengan pengarang, karena betapapun karya sastra merupakan hasil ekspresi pengarangnya.
menghubungkan hasil temuan dalam sastra itu dengan pembaca sebagai penikmat.
Pendekatan ini berkeyakinan jika temuan sastra harus dihubungkan dengan yang diluar
dirinya, maka pembacanyalah yang penting. Tidak ada karya yang diciptakan dengan maksud
untuk tidak dibaca pembaca. Oleh sebab itu, sampai sejauh mana pembaca mendapatkan
Pendekatan analisis fiksi yang dikemukakan Abrams tersebut sering dicocokkan oleh
Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, karena pendekatan ekstrinsik memanfaatkan ilmu
bantu di luar ilmu sastra untuk memahami karya sastra, sedangkan pendekatan mimesis,
ekspresif, dan pragmatis, dalam memahami karya-karya sastra tidak memanfaatkan hal-hal di
luar sastra. pemanfaatan prinsip-prinsip ilmu lain hanyalah dalam menghubungkan temuan
karya sastra dengan pengarang, karya sastra dengan realitas objektif, dan karya sastra dengan
dalam penelitiannya, yakni variabel dalam penelitiannya, yakni variable karya sastra dan
pengarang, pendekatan mimesis juga dua variabel yaitu karya sastra dengan realitas objektif,
begitu juga dengan pendekatan pragmatis, yaitu variabel karya sastra dan pembaca.
Pendekatan ekstrinsik hanya menggunakan satu variabel saja, yakni karya sastra, dengan
memanfaatkan dua prinsip ilmu sekaligus, yaitu disiplin ilmu sastra dan disiplin ilmu lain-
lainnnya.
pendekatan.
PENDEKATAN OBJEKTIF
karya sastra berdasarkan kenyataan teks sastra itu sendiri. Hal-hal yang di luar sastra,
walaupun masih ada hubungannya dengan sastra dianggap tidak perlu dijadikan
pertimbangan dalam menganalisis karya sastra. pengarang dan realitas objektip dianggap
sebagai unsur penunjang, karena tidak perlu digubris. Dengan demikian, pendekatan objektip
Pendekatan objektip identik dengan pendekatan sinkronik dalam ilmu-ilmu lain yang
mulai tumbuh dan berkembang sejak permulaaan abad ke-20. Jika perwujudan pendekatan
sinkronik ini dalam bidang bahasa dimulai Ferdinand de Sausurre dengan pendekatan
struktural, dalam bidang ilmu sastra yang dimulai oleh Roman Jakobson dengan formalisme.
Pandangan objektip erat hubungannya dengan perubahan pandangan dalam ilmu bahasa
karena bahasa merupakan bentuk formal teks sastra. Penelitian bahasa menurut Saussurre
harus mendahulukan bahasa sebagai sistem yang sinkronik, makna dan fungsi unsur-
unsurnya hanya dapat dipahami dalam keterkaitannya dengan unsur-unsur lain, sifat utama
dan fungsi sistem tanda ialah sifat rasionalnya, yang berarti unsur-unsur harus dipahami lebih
Prinsip dasar ini berlaku pula dalam pendekatan objektif yang memandang karya sastra
sistem diakronik dan historik. Sistem sinkronik suatu drama adalah struktur bahasa. Oleh
sebab itu, penyelidikan bahasa teks sastra merupakan prioritas utama dibandingkan dengan
hubungannya dengan pengarang, pembaca, realitas objektif. Pandangan ini pulalah yang
dianut. Hal ini dilakukan pada teks sastra untuk membebaskan ilmu sastra dari kungkungan
ilmu-ilmu lain, seperti filsafat, sejarah, psikologi atau kebudayaan. Usaha pencarian kekhasan
bahasa sastra dan bahasa lain menjadi titik awal kaum formalis, untuk seterusnya memahami
Karya sastra dipandang sebagai tanda yang pada mulanya dianggap otonom, tetapi
kemudian dianggap punya hubungan dengan acuan yang semula. Sehingga unsur-unsur
drama seperti peristiwa penokohan, dan latar merupakan tanda-tanda yang harus ditafsirkan
bukan diterima sebagai tanda yang perlu ditafsirkan. Penafsiran unsur-unsur diperlukan
terlebih dahulu sebagai konsekuensi dari pandangan sinkronik, baru kemudian menyimpulkan
hubungan antar unsur dilakukan. Dengan demikian, pendekatan objektif menerapkan analisis
struktural terhadap karya sastra dengan prinsip kerja utama, membongkar dan memaparkan
unsur-unsur secermat dan semendetail mungkin untuk kemudian disusun kembali secara
unsur penting, tetapi tidak berhenti sampai di sana. Bagaimanapun, yang terpenting adalah
bagaimana semua gejala unsur tersebut terjalin dan terikat untuk membangun keseluruhan
(1) Adanya anggapan bahwa karya drama setelah diciptakan drama tersebut terlepas dari
pengaruh ekstrinsiknya dan karya sastra itu telah utuh membentuk dunianya sendiri.
(2) Karya sastra sebagai objek penelitian tidak harus tergantung dengan prinsip ilmu lain
(3) Jika pengarang, mempunya peranan utama dalam proses penciptaan, ternyata banyak
pengarang yang tidak dapat menjelaskan lagi latar belakang dan motif penulisannya
a. Pendekatan Mimetik
Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra berupa
memahami hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Kata mimetik berasal dari
kata mimesis (bahasa Yunani) yang berarti tiruan. Dalam pendekatan ini karya sastra
dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan (Abrams, 1981). Untuk dapat menerapkannya
dalam kajian sastra, dibutuhkan data-data yang berhubungan dengan realitas yang ada di luar
karya sastra. Biasanya berupa latar belakang atau sumber penciptaa karya sastra yang akan
dikaji. Misal novel tahun 1920-an yang banyak bercerita tentang "kawin" paksa. Maka
dibutuhkan sumber dan budaya pada tahun tersebut yang berupa latar belakang sumber
penciptaannya.
b. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra memfokuskan
perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra. Pendekatan ini memandang karya
sastra sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran
sastrawan, atau sebagai produk imajinasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi,
pikiran atau perasaanya. Kerena itu, untuk menerapkan pendekatan ini dalam kajian sastra,
dibutuhkan sejumlah data yang berhubungan dengan diri sastrawan, seperti kapan dan di
mana dia dilahirkan, pendidikan sastrawan, agama, latar belakang sosial budayannya, juga
c. Pendekatan Pragmatik
Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana
untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat
berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama, maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya
pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai
Dalam praktiknya, pendekatan ini mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan
fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun fungsi sosial
lainnya. Semakin banyaknya nilai-nilai tersebut terkandung dalam karya sastra makan
d. Pendekatan Objektif
Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian kepada karya sastra
itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai struktur yang otonom dan bebas
dari hubungannya dengan realitas, pengarangm maupun pembaca. Pendekatan ini juga
disebut oleh Welek & Waren (1990) sebagai pendekatan intrinsik karena kajian difokuskan
pada unsur intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan
kebenaran sendiri.
e. Pendekatan Struktural
Pendekatan struktural ini memandang dan memahami karya sastra dari segi struktur karya
sastra itu sendiri. Karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, bebas
dari pengarang, realitas maupun pembaca (Teeuw, 1984).Dalam penerapannya pendekatan ini
memahami karya sastra secara close reading. Atau mengkaji tanpa melihat pengarang dan
hubunga dengan realitasnya. Analisis terfokus pada unsur intrinsik karya sastrra. Dalam hal
ini setiap unsur dianalisis dalam hubungannya dengan unsur yang lain.
f. Pendekatan Semiotik
Pada kajian sastra, pendekatan semiotik memandang sebuah karya sastra sebagai sebuah
sosial dan budaya sebagai suatu sistem tanda. Tanda tersebut hadir juga dalam kehidupan
sehari misal: bendera putih di depan gang, maka orang akan berpikir ada salah satu keluarga
yang sedang ada yang berduka. contoh lain adalah mendung: orang akan berpikir hujan akan
segera turun sebentar lagi. Tentu saja untuk memahaminya dibutuhkan pengetahuan tentang
latarbelakang sosial-budaya karya sastra tersebut dibuat.Tanda, dalam pendekatan ini terdiri
dari dua aspek yaitu: penanda (hal yang menandai sesuatu) dan petanda (referent yang diacu).
Pendekatan ini memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial
sastra tidak dapat lepas dari realitas sosial yang terjadi di suatu masyarakat (Sapardi Djoko
Damono 1979).
Resepsi berarti tanggapan. Dari pengertian tersebut dapat kita pahami makna resepsi
sastra adalah tanggapan dari pembaca terhadap sebuah karya sastra. Pendekatan ini mencoba
studi psikologi pengarang sebgai tipe atau pribadi. Kedua studi proses kreatif. Ketiga studi
Pengertian keempat menurut Wellek & Waren (1990) terasa lebih dekat pada sosiologi
pembaca.
j. Pendekatan Moral
Di samping karya sastra dapat dibahas dan dikritik berdasrkan sejumlah pendelatan yang
telah diuraikan sebelumnnya, karya sastra juga dapat dibahasa dan dikritik dengan
pendekatan moral. Sejauh manakah sebuah karya sastra menawarkan refleksi moralitas
kepada pembacanya. Yang dimaksudkan dengan moral adalah suatu norma etika, suatu
konsep tentang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnnya. Moral berkaitan erat
dengan baik dan buruk. Pendekatan ini masuk dalam pendekatan pragmatik
k. Pendekatan Feminisme
Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan nama kritik sastra
feminis. Pendekatan feminisme ialah salah satu kajian sastra yang mendasarkan pada
perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra (Djananegara, 2000:15).
Sastra sebagai ilmu masih sering diperdebatkan. Keberatan yang pernah diajukan kepada
ilmu sastra umum karena tidak ada perhatian yang bersifat individual, untuk karya
sastra sebagai sebuah karya seni yang unik. “Katanya, ilmu sastra hanya mau mencari skema-
skema bagaimana menceritakan suatu konvensi dalam puisi serta modul-modul komunikasi
tanpa menghiraukan cerita atau puisi yang satu-satunya itu, yang tak dapat diganti oleh
sebuah cerita atau puisi lain. Tidak menyingung persoalan, karena setiap ilmuwan sastra
serta konvensi secara khusus berlaku bila kita menghadapi teks - teks sastra, Luxemburg,
Penolakan terhadap keberatan menyatakan ilmu sastra tidak hanya menekuni ilmu sastra
sastra yang ada minat terhadap sejarah sastra tidak hanya memerhatikan sistem-sistem dan
perkembangan sastra. Ia (juga akan memerhatikan ciri-ciri khas yang terdapat dalam karya-
Penolakan sastra sebagai ilmu juga diungkapkan oleh Wellek dan Warren. Mereka
berpendapat bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sedangkan
studi/ilmu sastra adalah cabang ilmu pengetahuan. Akan tetapi sejumlah teoretisi menolak
mentah-mentah bahwa telaah sastra adalah ilmu (1989: 3).Selain dari teoretisi sastra, pakar
ilmu alam berpendapat bahwa ilmu sastra tidak mampu mencapai taraf ilmiah karena dalam
kenyataannya ilmu sastra hanya mengimpor dasar-dasar ilmiah dari bidang lain.
Misalnyasosiologi, psikologi, tanpa memahami bahwa ilmu sastra dapat ditemukan dalam
sastra. Pendapat lainnya bahwa dalam memahami sastra, orang hanya memotong-motong
sastra dari sudut ilmu lain. Pendapat lain lagi, bahwa sastra dianggap tidak ilmiah karena
cara pemahaman sastra dianggap identik dengan omongan bertele-teletanpa konsep yang
jelas.
Keraguan terhadap keilmuan sastra masih juga bergaung sampai sekarang. Hal ini tidak
hanya di Universitas Amerika dan Inggris tetapi juga di Universitas Negara lain, termasuk
Indonesia.
Sastra dinyatakan tidak ilmiah karena kurang konsisten, kurang percaya diri, sehingga
tidak menghasilkan konsep yang jelas. Budi Darma (1990: 338, 343), berpendapat
kelemahan sastra sebagai ilmu di Indonesia disebabkan oleh dominasi studi kebahasaan.
Demikian juga para sarjana sastra Indonesia kurang banyak membaca dan cenderung
menerima segala sesuatu secara langsung lugas dan jelas, tanpa pertimbangan dan evaluasi
yang cermat.
Keraguan terhadap sastra sebagai ilmu di atas, akademisi sastra tidak membiarkan terus
berlangsung. Mereka menyusun dan merumuskan sastra sebagai ilmu yang sejajar dengan
ilmu lainnya. Selain itu langsung atau tidak ilmu sastra selalu mengedepankan inkuiri,
masalah, hipotesis terselubung dan jawaban terhadap inkuiri, masalah serta pembuktian
terhadap hipotesis terselubung (Darma, 1990:342). Tahap-tahap dalam ilmu sastra tidak
berjenjang secara hierarkis seperti dalam ilmu pada umumnya (dari pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan terakhir evaluasi), tetapi lebih bersifat melebar.
Tidak berat ilmu sastra adalah pada esensi karya sastra. Oleh karena itu, keilmiahan studi
sastra memiliki sifat tersendiri. Dengan demikian ilmu sastra memiliki keilmiahan sendiri.
Obyek Ilmu Sastraadalah kehidupan manusia yang sudah diabstraksikan dalam karya
sastra (Budi Darma, 1990: 338). Oleh karena itu, obyek utama ilmu sastra adalah karya
sastra. Karya sastra yang menjadi obyek ilmu sastra itu bersifat kreatif, imajinatif, intuitif,
bertitik tolak pada penghayatan, berupa abstraksi kehidupan. Tanpa karya sastra tidak
mungkin bicara ilmu sastra. Karya sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkap diri
Karya sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat dan ilmu jiwa. Sastrawan
dapat dikatakan sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup,
kejiwaan bukan dengan cara teknis akademik, melainkan melalui karya sastra.
Karya sastra adalah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, emosi. Karya sastra juga
sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Karya
sastra adalah hasil ekspresi individual penulisnya. Oleh karena itu kepribadian, emosi, dan
kepercayaan penulis akan tertuang dalam karya sastranya. Karya sastra adalah hasil proses
sesuatu seperti membuat sepatu, kursi atau meja. Karya sastra memerlukan perenungan,
pengendapan ide, langkah tertentu yang berbeda antara sastrawan yang satu dengan sastrawan
yang lain.
Karya sastra memiliki bentuk dan gaya yang khas. Kekhasan karya sastra berbeda
dengan karya nonsastra. Kekhasan karya sastra harus dibedakan atas genre karya sastra, yaitu
puisi, prosa dan drama. Bahasa yang digunakan dalam karya sastra juga memiliki kekhasan.
Bahasa dalam karya sastra telah mengalami penyimpangan, pemutarbalikan dari bahasa
praktis sehari-hari. Bahasa yang sudah biasa dan dikenal diasingkan, disulap, digali dan
diberi makna baru atau diberi penambahan muatan maknanya. Oleh sebab itu karya sastra
dipandang sebagai wujud referensi wacana. Wacana sastra dipandang sebagai suatu
Karya sastra mempunyai logika tersendiri. Logika karya sastra erat berkaitan dengan
konvensi karya sastra. Logika karya sastra mencakup isi dan bentuk karya sastra. Bentuk
pantun setiap bait terdiri atas empat baris. Setiap baris terdiri atas empat kata atau 9 – 10 suku
kata. Persajakan ab-ab. Dari isinya baris satu dan dua hanya merupakan pengantar
(sampiran), sedangkan isinya ada pada baris ketiga dan keempat. Semua itu merupakan
logika puisi yang disebut pantun. Berubah sedikit saja, berubah pula logikanya. Jika semua
berupa isi maka disebut syair. Dalam puisi ada yang tidak masuk akal jika
menggunakan logika biasa. Tetapi masuk akal dalam logika puisi. Dalam logika biasa tidak
mungkin lembaran daun berbunyi gemerincing apalagi seperti lonceng katedral. Tetapi
dalam logika puisi lembaran daun berbunyi gemerincing seperti lonceng katedral justru
logis. Dalam tersunyian, sedikit saja usikan akan terasa besar akibatnya hingga daun yang
Rafilus digambarkan sebagai tokoh yang tubuhnya seperti terbuat dari besi tidak bisa
mati, kebal peluru, atau seperti setan. Penggambaran tokoh rafilus yang demikian masuk akal
dalam logika novel. Dalam kenyataan sehari-hari, hal itu tidak masuk akal. Dalam novel
Rafilus diperlukan untuk menekankan tema novel. Oleh karena itu logika dalam karya sastra
dinilai dalam kaitannya dengan penyajian karya sastra. Bukan dengan menggunakan ukuran
logika di luar sastra. Sebab itu logika dalam karya sastra disebut logika internal.
Karya sastra merupakan dunia rekaan (fiksi). Kata fiksi mempunyai makna khayalan,
impian, jenis karya sastra yang tidak berdasarkan kenyataan yang dapat dipertentangkan
dengan nonfiksi (cerita berdasarkan kenyataan). Dalam kenyataannya, karya sastra bukan
hanya berdasarkan khayalan, melainkan gabungan kenyataan dan khayalan. Semua yang
diungkapkan sastrawan dalam karya sastranya adalah hasil pengetahuan yang diolah oleh
imajinasinya.
interpretatif. Hanya kadar kenyataan dalam karya sastra yang berbeda untuk setiap karya
sastra. Karya sastra yang bersifat biografis, otobiografis, historis, catatan perjalanan, kadar
Karya sastra yang tidak indah tidak termasuk karya sastra. Setiap daerah, golongan, waktu
menentukan nilai keindahan yang berbeda. Saat Siti Nurbaya terbit, novel itu dianggap indah.
Karya sastra adalah sebuah nama yang diberikan masyarakat kepada hasil karya seni
tertentu. Hal ini mengisyaratkan adanya penerimaan secara mutlak oleh masyarakat sastra.
Penerimaan bukan berarti karya sastra harus mudah diterima oleh masyarakat dan sesuai
dengan selera masyarakat. Hal itu akan merosokkan nilai sastra. Karya sastra yang baik
juga tidak selalu sulit dipahami. Segala sesuatu yang dikatakan oleh masyarakat sastra
sebagai karya sastra pada suatu masa pada hakikatnya bisa dikelompokkam sebagai karya
sastra. Sebaliknya bagaimana pun baiknya suatu karya sastra berdasarkan obyeknya dan
dimaksud oleh penulisnya sebagai karya sastra bila masyarakat sastra menolaknya maka
Ilmu sastra telaah karya sastra secara ilmiah. Ilmu sastra membahas esensi ilmu sastra,
sejarah dan perkembangan ilmu sastra, metode ilmiah sastra, yang harus dikembangkan
ilmuwan atau calon ilmuwan sastra. Tujuan ilmu sastra sebagai berikut:
1. Ilmu sastra sebagai sarana pengujian pemahaman ilmiah sastra sehingga manusia
menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah sastra. Seorang ilmuwan sastra harus memili
sikap kritis terhadap bidang ilmunya sendiri sehingga dapat menghindarkan diri
2. Ilmu sastra merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode
modern menerapkan suatu metode ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu sastra.
Satu sikap yang diperlukan menerapkan metode ilmiah yang sesuai atau yang cocok
dengan struktur ilmu sastra, bukan sebaliknya. Metode ilmu sastra hanya sarana
3. Ilmu sastra memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan sastra. Setiap
secara logis – rasional agar dapat dipahami dan dipergunakan secara umum.
Semakin luas penerimaan dan penggunaan metode ilmiah sastra, semakin valid
metode tersebut.
Berbagai pengertian ilmu sastra telah dirumuskan secara sederhana dan luas oleh pakar
sastra. Pengertian ilmu sastra secara sederhana dan luas itu dapat ditemukan dalam beberapa
buku baik kamus, ensiklopedia maupun referensi sastra. Istilah ilmu sastra dalam bahasa
Inggris general literature atau literary study. Di Indonesia istilah ilmu sastra dipadankan
dengan studi sastra, kajian sastra, pengkajian sastra, telaah sastra.Dalam Pengantar Ilmu
Sastra: Teori Sastra, Badrun berpengertian bahwa ilmu sastra ilmu yang menyelidiki sastra
secara ilmiah. Ilmu sastra menyelidiki karya sastra secara ilmiah (1983: 11). Dalam Kamus
Istilah Sastra Indonesia, Eddy berpengertian bahwa ilmu sastra segala bentuk dan cara
pendekatan terhadap karya sastra dan gejala sastra (1991: 96). Dalam Kamus Sastra, Eneste
berpengertian bahwa ilmu sastra adalah bidang keilmuan yang obyek utamanya karya sastra
(1994: 47). Dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia, Hasanuddin mengemukakan bahwa ilmu
sastra dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah general literature meliputi semua
Dalam 9 Jawaban Sastra Indonesia, Mahayana berpengertian bahwa ilmu sastra ilmu
yang menyelidiki kesusastraan dengan berbagai masalahnya secara ilmiah (2003: 223). Ilmu
sastra adalah ilmu yang mempelajari karya sastra (2005 : 347). Dalam Wikipedia Bahasa
Indonesia, Ilmu sastra adalah ilmu yang menyelidiki tentang karya sastra secara ilmiah
dengan berbagai gejala dan masalah sastra. Sedangkan, sastra adalah lembaga social yang
menggunakan bahasa sebagai medium, dan bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial.
Demikian perumusan pengertian ilmu sastra secara sederhana, yaitu ilmu yang
menyelidiki karya sastra secara ilmiah dengan berbagai gejala dan masalah sastra. Pengertian
ilmu sastra secara luas dibeberkan di bawah. Dalam Pemandu di Dunia Sastra, Hartoko dan
Rahmanto menuliskan pengertian sastra sebagai berikut. Ilmu sastra dalam bahasa Inggris
general literature, meliputi semua pendekatan ilmiah terhadap gejala sastra. Obyek ilmu
sastra adalah unsur kesastraan yang menyebabkan sebuah ungkapan bahasa termasuk sastra.
pragmatik dan psikososial. Juga memainkan peranan (misalnya unsur rekaan dalam
Pengantar Ilmu Sastra, Luxemburg dkk mengurai tentang ilmu sastra. Ilmu sastra meneliti
sifat-sifat yang terdapat di dalam teks-teks sastra, lagi bagaimana teks-teks tersebut berfungsi
Ilmu sastra umum merupakan sebuah telaah sistematik mengenai sastra dan komunikasi
antarkebudayaan (1989: 2).Dari berbagai uraian pengertian di atas rumusan ilmu sastra
sebagai berikut.
c. Ilmu sastra segala bentuk dan cara pendekatan ilmiah terhadap karya sastra dan gejala
sastra.
d. Ilmu sastra sebuah telaah sistematis mengenai sastra dan komunikasi sastra yang pada
Sastra sebagai ilmu masih sering diperdebatkan. Keberatan yang pernah diajukan kepada
ilmu sastra umum karena tidak ada perhatian yang bersifat individual, untuk karya
sastra sebagai sebuah karya seni yang unik. “Katanya, ilmu sastra hanya mau mencari skema-
skema bagaimana menceritakan suatu konvensi dalam puisi serta modul-modul komunikasi
tanpa menghiraukan cerita atau puisi yang satu-satunya itu, yang tak dapat diganti oleh
sebuah cerita atau puisi lain. Tidak menyingung persoalan, karena setiap ilmuwan sastra
ciri khas bagi semua karya sastra ataupun sekelompok karya sastra, lagipula kaidah-kaidah
serta konvensi secara khusus berlaku bila kita menghadapi teks - teks sastra, Luxemburg,
Penolakan terhadap keberatan menyatakan ilmu sastra tidak hanya menekuni ilmu sastra
sastra yang ada minat terhadap sejarah sastra tidak hanya memerhatikan sistem-sistem dan
perkembangan sastra. Ia (juga akan memerhatikan ciri-ciri khas yang terdapat dalam karya
Penolakan sastra sebagai ilmu juga diungkapkan oleh Wellek dan Warren. Mereka
berpendapat bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sedangkan
studi/ilmu sastra adalah cabang ilmu pengetahuan. Akan tetapi sejumlah teoretisi menolak
mentah-mentah bahwa telaah sastra adalah ilmu (1989: 3).Selain dari teoretisi sastra, pakar
ilmu alam berpendapat bahwa ilmu sastra tidak mampu mencapai taraf ilmiah karena dalam
kenyataannya ilmu sastra hanya mengimpor dasar-dasar ilmiah dari bidang lain. Misalnya
sosiologi, psikologi, tanpa memahami bahwa ilmu sastra dapat ditemukan dalam sastra.
Teoritikus yang mentah-mentah menolak bahwa sastra mempunyai sejarah, W.P. Ker
mencoba membuktikan, misalnya, bahwa kita tidak membutuhkan sejarah sastra, karena
objek-objek sastra selalu ada, bersifat “abadi”, dan karenanya tidak mempunyai sejarah sama
sekali. T.S. Eliot juga membantah adanya “masa lampau” dari suatu karya sastra.
Pendapat lainnya bahwa dalam memahami sastra, orang hanya memotong-motong sastra
dari sudut ilmu lain. Pendapat lain lagi, bahwa sastra dianggap tidak ilmiah karena
cara pemahaman sastra dianggap identik dengan omongan bertele-teletanpa konsep yang
jelas.
Keraguan terhadap keilmuan sastra masih juga bergaung sampai sekarang. Hal ini tidak
hanya di Universitas Amerika dan Inggris tetapi juga di Universitas Negara lain, termasuk
Indonesia.
Sastra dinyatakan tidak ilmiah karena kurang konsisten, kurang percaya diri, sehingga
tidak menghasilkan konsep yang jelas. Budi Darma (1990: 338, 343), berpendapat
kelemahan sastra sebagai ilmu di Indonesia disebabkan oleh dominasi studi kebahasaan.
Demikian juga para sarjana sastra Indonesia kurang banyak membaca dan cenderung
menerima segala sesuatu secara langsung lugas dan jelas, tanpa pertimbangan dan evaluasi
yang cermat.
Berdasarkan keraguan terhadap sastra sebagai ilmu di atas, akademisi sastra tidak
membiarkan terus berlangsung. Mereka menyusun dan merumuskan sastra sebagai ilmu
Sastra sebagai bidang kajian ilmiah baru dimulai pada abad 19. Para ilmuwan sastra
menginginkan agar pendekatan terhadap kegiatan manusia yang bernama sastra dapat
dilakukan secara ilmiah. Dengan demikian sastra berdiri sendiri sebagai satu bidang ilmu
yang eksis.
Sastra sebagai salah satu bidang ilmu berbeda dengan ilmu lainnya. Perbedaannya pada
perhatian, pada penghayatan, bukan pada kognisi. “Obyek ilmu sastra adalah
kehidupan manusia yang sudah terabstraksikan dalam karya sastra” (Budi Darma, 1990: 338).
Oleh karena itu dalam ilmu sastra, karya sastra sebagai obyek utama kajian memiliki
Kepekaan yang tinggi dituntut dalam ilmu sastra. Kepekaan tidak dapat diartikan,
diformalasikan dengan jelas. Keilmiahan ilmu sastra tidak eksplisit, tetapi implisit. Oleh
karena itu, ilmu sastra mampu membuktikan diri sebagai kajian ilmiah. Di dalamnya terdapat
Selain itu langsung atau tidak ilmu sastra selalu mengedepankan inkuiri, masalah,
terhadap hipotesis terselubung (Darma, 1990:342). Tahap-tahap dalam ilmu sastra tidak
berjenjang secara hierarkis seperti dalam ilmu pada umumnya (dari pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan terakhir evaluasi), tetapi lebih bersifat melebar.
Tidak berat ilmu sastra adalah pada esensi karya sastra. Oleh karena itu, keilmiahan studi
sastra memiliki sifat tersendiri. Dengan demikian ilmu sastra memiliki keilmiahan sendiri.
Obyek ilmu sastra adalah kehidupan manusia yang sudah diabstraksikan dalam karya
sastra (Budi Darma, 1990: 338). Oleh karena itu, obyek utama ilmu sastra adalah karya
sastra. Karya sastra yang menjadi obyek ilmu sastra itu bersifat kreatif, imajinatif, intuitif,
bertitik tolak pada penghayatan, berupa abstraksi kehidupan. Tanpa karya sastra tidak
manusia, kemanusiaan, dan semesta (Semi, 1993: 1). Karya sastra adalah
pengungkapan masalah hidup, filsafat dan ilmu jiwa. Sastrawan dapat dikatakan sebagai ahli
ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan bukan dengan cara
Karya sastra adalah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, emosi. Karya sastra juga
sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Karya
sastra adalah hasil ekspresi individual penulisnya. Oleh karena itu kepribadian, emosi, dan
Karya sastra adalah hasil proses kreatif. Karya sastra bukanlah hasil perkerjaan yang
memerlukan keterampilan sesuatu seperti membuat sepatu, kursi atau meja. Karya
sastra memerlukan perenungan, pengendapan ide, langkah tertentu yang berbeda antara
Karya sastra memiliki bentuk dan gaya yang khas. Kekhasan karya sastra berbeda
dengan karya nonsastra. Kekhasan karya sastra harus dibedakan atas genre karya sastra, yaitu
Bahasa yang digunakan dalam karya sastra juga memiliki kekhasan. Bahasa dalam karya
hari. Bahasa yang sudah biasa dan dikenal diasingkan, disulap, digali dan diberi makna baru
atau diberi penambahan muatan maknanya. Oleh sebab itu karya sastra dipandang sebagai
wujud referensi wacana. Wacana sastra dipandang sebagai suatu pemakaian bahasa tertentu
Karya sastra mempunyai logika tersendiri. Logika karya sastra erat berkaitan dengan
konvensi karya sastra. Logika karya sastra mencakup isi dan bentuk karya sastra. Bentuk
pantun setiap bait terdiri atas empat baris. Setiap baris terdiri atas empat kata atau 9 – 10 suku
kata. Persajakan ab ab. Dari isinya baris satu dan dua hanya merupakan pengantar (sampiran),
sedangkan isinya ada pada baris ketiga dan keempat. Semua itu merupakan logika puisi yang
disebut pantun. Berubah sedikit saja, berubah pula logikanya. Jika semua berupa isi maka
disebut syair.
Dalam puisi ada yang tidak masuk akal jika menggunakan logika biasa. Tetapi masuk
akal dalam logika puisi. Dalam logika biasa tidak mungkin lembaran daun berbunyi
gemerincing apalagi seperti lonceng katedral. Tetapi dalam logika puisi lembaran daun
berbunyi gemerincing seperti lonceng katedral justru logis. Dalam tersunyian, sedikit saja
usikan akan terasa besar akibatnya hingga daun yang jatuh saja dirasakan berbunyi.
Hal yang sama juga ditemukan bila membaca novel Rafilus karya Budi Darma. Tokoh
Rafilus digambarkan sebagai tokoh yang tubuhnya seperti terbuat dari besi tidak bisa
mati, kebal peluru, atau seperti setan. Penggambaran tokoh rafilus yang demikian masuk akal
dalam logika novel. Dalam kenyataan sehari-hari, hal itu tidak masuk akal. Dalam novel
Rafilus diperlukan untuk menekankan tema novel. Oleh karena itu logika dalam karya sastra
dinilai dalam kaitannya dengan penyajian karya sastra. Bukan dengan menggunakan ukuran
logika di luar sastra. Sebab itu logika dalam karya sastra disebut logika internal.
Karya sastra merupakan dunia rekaan (fiksi). Kata fiksi mempunyai makna khayalan,
impian, jenis karya sastra yang tidak berdasarkan kenyataan yang dapat dipertentangkan
dengan nonfiksi (cerita berdasarkan kenyataan). Dalam kenyataannya, karya sastra bukan
hanya berdasarkan khayalan, melainkan gabungan kenyataan dan khayalan. Semua yang
diungkapkan sastrawan dalam karya sastranya adalah hasil pengetahuan yang diolah oleh
imajinasinya.
interpretatif. Hanya kadar kenyataan dalam karya sastra yang berbeda untuk setiap karya
sastra. Karya sastra yang bersifat biografis, otobiografis, historis, catatan perjalanan, kadar
Karya sastra mempunyai nilai keindahan tersendiri. Karya sastra yang tidak indah tidak
termasuk karya sastra. Setiap daerah, golongan, waktu menentukan nilai keindahan yang
berbeda. Saat Siti Norbaya terbit, novel itu dianggap indah. Keadaannya menjadi lain
Karya sastra adalah sebuah nama yang diberikan masyarakat kepada hasil karya seni
tertentu. Hal ini mengisyaratkan adanya penerimaan secara mutlak oleh masyarakat sastra.
Penerimaan bukan berarti karya sastra harus mudah diterima oleh masyarakat dan sesuai
dengan selera masyarakat. Hal itu akan merosokkan nilai sastra. Karya sastra yang baik
juga tidak selalu sulit dipahami. Segala sesuatu yang dikatakan oleh masyarakat sastra
sebagai karya sastra pada suatu masa pada hakikatnya bisa dikelompokkam sebagai karya
sastra. Sebaliknya bagaimana pun baiknya suatu karya sastra berdasarkan obyeknya dan
dimaksud oleh penulisnya sebagai karya sastra bila masyarakat sastra menolaknya maka
Drama adalah karya sastra yang didominasi oleh cakapan para tokoh. Kriteria drama
yang membedakan dengan dua jenis karya sastra lainnya adalah hubungan manusia dunia
2. Teori Sastra
Pengertian teori sastra secara umum, yang dimaksudkan dengan teori adalah suatu sistem
ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menetapkan pola pengaturan hubungan antara
gejala-gejala yang diamati. Teori berisi konsep/uraian tentang hukum-hukum umum suatu
objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu. Suatu teori dapat dideduksi secara
logis dan dicek kebenarannya (diverifikasi) atau dibantah kesahihannya (difalsifikasi) pada
objek atau gejala-gejala yang diamati tersebut. Teori sastra jelas membutuhkan kritik sastra,
misalnya untuk menyusun teori tentang gaya, teknik bercerita, dan misalnya untuk menyusun
teori tentang angkatan, aliran, dan sebagainya perlu melihat perkembangan sastra secara
keseluruhan.
3. Sejarah Sastra
Pengertian sejarah menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah pengetahuan atau uraian
tentang peristiwa dan kejadian yg benar-benar terjadi di masa lampau. Atau menurut catatan
perkuliahan yang saya ikuti, pengertian sejarah yaitu cabang ilmu sastra yang berusaha
sastra saat ini. Cabang-cabang yang ada dalam ilmu sastra yaitu teori sastra, sejarah sastra,
dan kritik sastra. Teori sastra merupakan bagian yang membahas hakikat dan pengertian
sastra, sedangkan kritik sastra adalah ilmu sastra yang menyelidiki karya sastra secara
Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu
ke waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa tertentu, para sastrawan
yang mengisi arena sastra, puncak-puncak karya sastra yang menghiasi dunia sastra, serta
peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar masalah sastra. Sebagai suatu kegiatan keilmuan
sastra, seorang sejarawan sastra harus mendokumentasikan karya sastra berdasarkan ciri,
Hubungan Teori Sastra Dengan Kritik Sastra dan Sejarah Sastra pada dasarnya teori
sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat didalam karya sastra, baik konvensi
bahasa yang meliputi makna, gaya, struktur, pilihan kata, maupun konvensi sastra yang
meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar, dan lainnya yang membangun keutuhan sebuah
karya sastra. Kritik sastra merupakan ilmu sastra yang mengkaji, menelaah, mengulas,
memberi pertimbangan, serta memberikan penilaian tentang keunggulan dan kelemahan atau
kekurangan karya sastra. Sejarah sastra adalah bagian dari ilmu sastra yang mempelajari
perkembangan sastra dari waktu ke waktu, periode ke periode sebagai bagian dari
pemahaman terhadap budaya bangsa. Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa, suatu
daerah, suatu kebudayaan, diperoleh dari penelitian karya sastra yang dihasilkan para peneliti
sastra pada periode-periode tertentu. Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra,
antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra terjalin keterkaitan. Hubungan timbal-balik
a. Teori sastra muncul karena telah diadakan penyelidikan terhadap sastra (sejarah sastra).
a. Adanya kritikan terhadap sastra (karya sastra) mempengaruhi perjalanan sejarah sastra.
Hubungan antara teori sastra dengan kritik sastra:, yakni dengan bermodalkan teori
sastra, kita dapat mengkritik suatu sastra (karya sastra). Adanya kritikan terhadap sastra,
tertentu, atau dapat juga berupa konfirmasi terhadap teori sastra tertentu.
Selanjutnya (Todorov; 1985: 61) mengatakan bahwa tugas sejarah sastra adalah:
b. Meneliti jenis karya sastra baik secara diakronis, maupun secara sinkronis.
c. Menentukan kaidah keragaman peralihan sastra dari satu masa ke masa berikutnya.
Sejarah sastra yaitu cabang ilmu sastra yang menyelidiki sastra sejak terjadi timbulnya
sampai perkembangannya yang terakhir. Perkembangan sejarah sastra terbagi menjadi dua
yaitu:
dongeng.
c) Zaman Islam terbukti dengan adanya karya sastra berupa hikayat yang menceritakan
tentang kehidupan wali songo dan para ulama pada zaman itu.
kehidupan sehari-hari.
2) Sastra baru/modern
Disebut angkatan dua puluhan karena angkatan ini lahir padda tahun 1920-an dan disebut
angkatan balai pustaka karena penerbit yang paling banyak menerbitkan adalah balai pustaka.
Karya yang paling terkenal pada masa ini adalah Siti Nurbaya karangan Marah Rusli. Roman
ini menceritakan tentang penjodohan yang masih banyak dilakukan pada masa itu. Beberapa
karya sastra angkatan 1920-an adalah Azab dan Sengsara (roman, tahun 1920 oleh Miregi
Siregar), Muda Teruna (roman, tahun 1922 oleh Moh. Kasim), Tak Putus Dirundung Malang
Angkatan ini adalah angkatan yang lahir pada sekitar tahun 1933 sampai 1942. Disebut
angkatan pujangga baru karena pada tahun 1933 terdapat majalah sastra yang dikenal yaitu
majalah Baroe. Karya-karya yang ditampilkan dalam majalah ini adalah puisi, cerpen, novel,
c) Angkatan 45 dengan terbitnya karya sastra yang di populerkan dengan Chairil Anwar.
Nama lain angkatan ini adalah angkatan pembebasan dan angkatan Chairil Anwar.
Disebut angkatan Chairil Anwar karena besarnya jasa Chairil Anwar dalam lahirnya angkatan
ini. Karya-karya sastra angkatan ini sangat berbeda dengan angkatan sebelumnya. Ciri-
cirinya antara lain adalah bebas, individualistis, realistik, dan futuristic. Karya yang terkenal
dari angkatan ini adalah Dari Ave Maria-Jalan Lain ke Roma yang merupakan kumpulan
Angkatan ini muncul pada saat keadaan politik Indonesia sedang kacau karena adanya
gerakan terror dari PKI. Karya sastra pada angkatan ini lebih banyak bersifat protes terhadap
keadaan yang kacau pada masa itu. Beberapa karya sastra yang lahir pada angkatan ini adalah
kumpulan puisi oleh Taufik Ismail yang berjudul Tirani, drama karya Motinggo Busye
dengan judul Malam Jahanam, roman berjudul Pagar Kawat Berduri oleh Toha Mohtar,
Sekitar tahun 70-an, muncul karya sastra yang lain daripada karya sastra yang telah ada
sebelumnya. Kebanyakan isinya tidak menekankan pada makna kata. Kemunculan karya
sastra ini dipelopori oleh Sutardji Calzoum Bachri. Karya sastra ini disebut sastra
kontenporer.
4. Kritik Sastra
Kritik sastra berasal dari kata “krites” (Yunani kuno) yang berarti hakim, dalam kritik
sastra yang penting ialah analisis, dengan demikian kritik sastra merupakan kegiatan
penilaian yang ditujukan pada karya sastra atau teks. Kritik Sastra juga bagian dari ilmu
sastra. Istilah lain yang digunakan para pengkaji sastra ialah telaah sastra, kajian sastra,
analisis sastra, dan penelitian sastra. Untuk membuat suatu kritik yang baik, diperlukan
mengulas karya sastra, penguasaan, dan pengalaman yang cukup dalam kehidupan yang
bersifat nonliterer, serta tentunya penguasaan tentang teori sastra.Ada 2 jenis kritik sastra,
sebagai berikut:
a. Kritik sastra instrinsik: fokusnya pada karya sastra itu sendiri dan menganalisa
b. Kritik sastra ekstrinsik: menghubungkan karya sastra dengan hal-hal diluar karya
5. Sastra Bandingan
yang ada dalam ilmu sastra. Pendekatan sastra bandingan pertama kali muncul
di Eropa awal abad ke-19. Ide tentang sastra bandingan dikemukan oleh SanteBeuve dalam
Dalam artikel tersebut dijelaskanya bahwa pada awal abad ke-19 telah muncul
misalnya seni, filsafat, sejarah, agama, dan lain-lain. Sedangkan mazhab Prancis
pandangan yang dianut oleh kedua mazhab. Kedua mazhab sepertinya tidak
bahasa dan budaya. Indonesia, misalnya, satu suku dengan suku yang lain
memiliki perbedaan dari segi bahasa dan budaya. Nada (melalui Damono, 2005:5)
Al- Buhturin dengan penyair Syaugi bukanlah kajian bandingan karena kedua
sastrawan tersebut berangkat dari bahasa dan budaya yang hampir sama, yaitu
Riau dengan sastra Semenanjung Melayu bukanlah termasuk dalam bidang kajian
antara sastra Jawa dengan sastra Sunda merupakan kajian sastra bandingan.
Begitu juga halnya dengan membandingkan antara sastra daerah, misalnya sastra
Minang dengan sastra Indonesia merupakan kajian sastra bandingan, karena kedua
Pendapat Nada ini sejalan dengan pendapat Wellek dan Warren yang
perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu tujuan untuk mengetahui dan
menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya
yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya (dalam Endraswara, 2011: 192).
Pendapat ini lebih menekankan bahwa penelitian sastra bandingan harus berasal
dari negara yang berbeda sehingga mempunyai bahasa yang berbeda pula.
Hal ini sedikit berbeda dengan dengan pendapat Damono (2005: 7), yang
menyatakan bahwa tidaklah benar jika dikatakan bahwa sastra bandingan sekedar
mempertentangkan dua sastra dari dua negara atau bangsa yang mempuyai bahasa
yang berbeda, tetapi sastra bandingan lebih merupakan suatu metode untuk
memperluas pendekatan atas sastra suatu bangsa saja. Jadi menurut Damono,
sastra bandingan bukan hanya sekedar mempertentangkan dua sastra dari dua
negara atau bangsa. Sastra bandingan juga tidak terpatok pada karya-karya besar
ternama yang mewakili suatu zaman. Kajian penulis baru yang belum mendapat
pengakuan dunia pun dapat digolongkan dalam sastra bandingan. Batasan sastra
across cultural. Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih banyak
memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu dan tempat. Dari aspek
waktu, sastra bandingan dapat membandingkan dua atau lebih periode yang
bandingan tertuju pada bandingan sastra dengan bidang lain. Bandingan semacam
sebuah karya sastra merupakan objek yang akan dibandingkan. Remak(1990: 13)
menjelaskan bahwa dalam sastra bandingan yang dibandingkan adalah kejadian
sejarah, pertalian karya sastra, persamaan dan perbedaan, tema, genre, style,
menjadi objek sastra bandingan hanyalah karya sastra nasional dan karya sastra
dunia (adiluhung).
dan pertalian teks. Jadi, hakikat kajian sastra bandingan adalah mencari perbedaan
atau kelainan, di samping persamaan dan pertalian teks dan yang terpenting dari
bandingan di Indonesia, secara garis besar, dapat dibagi dalam tiga kelompok
c. Sastra bandingan modern, yakni sastra bandingan tulis, baik yang tertulis
dalam bahasa indonesia yang masih bernama Bahasa Melayu maupun yang
Pada point kedua dijelaskan bahwa objek kajian sastra bandingan bukan
hanya berupa sastra tulis saja, namun bisa berupa karya sasta lisan. Damono
(2005: 54) menyatakan sebagai berikut.Salah satu kegiatan yang sudah banyak dilakukan
adalah membandingkandongeng yang mirip dari berbagai negara, tidak terutama untuk
mengungkapkan yang asli dan pengaruhnya terhadap yang lain, tetapi lebih
segala jenis kisah yang dalam pengertian Barat dipilah antara lain menjadi
mitos, legenda, dan fabel.Dari pendapat Damono di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
sastra lisanmenjadi salah satu objek dalam penelitian sastra bandingan yang cukup menarik,
hal ini sesuai dengan pendapat Endraswara (2011: 49) yang menyatakan sebagai
berikut.
Sastra lisan adalah bagian tradisi lisan yang sering berubah-ubah. Perubahan
jalur sastra bandingan. Berkat penuh dengan aneka perubahan sastra lisan
Dari situlah tantangan para peneliti sastra bandingan yang meneliti sastra
lisan, mereka harus menemukan perubahan-perubahan atau varian dari cerita lisan
yang terjadi di dalam masyarakat.Dalam praktek sastra bandingan menurut Hutomo (1993:
misalnya unsur struktur, gaya, tema, mood (suasana yang terkandung dalam
karya sastra) dan lain-lain, yang dijadikan bahan pelisan karya sastra.
sastra.
landasan pengaruh. Jika kita membahas arti sebuah pengaruh, maka kita harus
kembali mengingat bahwa sastra lahir bukan dari sebuah kekosongan. Hal ini
sesuai pendapat (Hutomo:1993: 13) bahwa karya sastra (sebagai teks) ia
tranformasi. Hal ini diperkuat dengan pendapat Nurgiyantoro (1998) karya sastra
akan muncul pada masyarakat yang telah memiliki konvensi, tradisi, pandangan
tentang estetika, tujuan berseni, dan lain-lain yang kesemuanya dapat dipandang
masyarakat tentang seni. Hal ini berarti bahwa sesungguhnya sastra merupakan
kesenian yang bernama sastra. Wujud konvensi budaya yang telah ada di
masyarakat secara konkret lain berupa karya-karya yang ditulis dan diciptakan
orang sebelumnya. Namun, ia dapat juga cerita-cerita rakyat yang berwujud lisan
6. Sosiologi Sastra
pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari atau mengenai sastra karya
para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh
status lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik dan sosialnya, kondisi ekonomi
Sosiologi sastra mencakup dua hal, yakni sosiologi komunikasi sastra dan sosiologi
karya sastra. Sosiologi komunikasi sastra menempatkan pengarang dalam konteks sosialnya,
konteks sosial pengarang meliputi status sosial-ekonomi, profesi, pendidikan, ideologi dan
keterkaitannya dalam suatu kelas tertentu. Sedangkan sosiologi karya sastra adalah penafsiran
terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Sosiologi lahir pada saat-saat terakhir
perkembangan ilmu pengetahuan, oleh karena sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan
yang telah dicapai ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya Camte berkata bahwa
keadaan masyarakat dan hasil- hasil observasi tersebut harus disusun secara sistematis dan
Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun
waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu.
Pengarang mengubah karyanya selaku seorang warga masyarakat pula ( Luxenburg, Bal, dan
Willem G. W. terjemahan Dick Hartoko. 1984: 23 ).Lebih lanjut dikatakan bahwa hubungan
a. Faktor – faktor di luar teks, gejala kontek sastra, teks itu tidak ditinjau. Penelitian ini
seterusnya. Faktor-faktor konteks ini dipelajari oleh sosiologi sastra empiris yang
b. Hal-hal yang bersangkutan dengan sastra diberi aturan dengan jelas, tetapi diteliti
dengan metode-metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra dapat
mempergunakan hasil sosiologi sastra, khususnya bila ingin meniti persepsi para
pembaca.
c. Hubungan antara (aspek-aspek ) teks sastra dan susunan masyarakat sejauh mana
system masyarakat serta jaringan sosial dan karyanya, melainkan juga menilai
pandangan pengarang.
7. Psikologi Sastra
Psikologi secara sempit dapat diartikan sebagai ilmu tentang jiwa. Sedangkan sastra
adalah ilmu tentang karya seni dengan tulis-menulis. Maka jika diartikan secara keseluruhan,
psikologi sastra merupakan ilmu yang mengkaji karya sastra dari sudut kejiwaannya.
Menurut Wellek dan Austin (1989:90), Istilah psikologi sastra mempunyai empat
kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau
sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga studi tipe dan hukum-
hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari dampak
sastra pada pembaca (psikologi pembaca). Pendapat Wellek dan Austin tersebut memberikan
pemahaman akan begitu luasnya cakupan ilmu psikologi sastra. Psikologi sastra tidak hanya
berperan dalam satu unsur saja yang membangun sebuah karya sastra. Mereka juga
menyebutkan, “Dalam sebuah karya sastra yang berhasil, psikologi sudah menyatu menjadi
karya seni, oleh karena itu, tugas peneliti adalah menguraikannya kembali sehingga menjadi
berperan penting dalam penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut
kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya.
Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin
yang terkandung dalam karya sastra. Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan
antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut
dengan “Psikologi Sastra”. Artinya, dengan meneliti sebuah karya sastra melalui pendekatan
Psikologi Sastra, secara tidak langsung kita telah membicarakan psikologi karena dunia sastra
tidak dapat dipisahkan dengan nilai kejiwaan yang mungkin tersirat dalam karya sastra
tersebut.
8. Antropologi Sastra
Antropologi sastra terdiri atas dua kata yaitu antropologi dan sastra. Menurut Ratna
(2011: 6), antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra yang di dalamnya
terkandung unsur-unsur antropologi. Dalam hubungan ini jelas karya sastra menduduki posisi
antropologi sangat luas, maka kaitannya dengan sastra dibatasi pada unsure budaya yang ada
dalam karya sastra. Antropologi sastra pandangan Poyatos (dalam Endaswara, 2013:3) adalah
ilmu yang mempelajari sastra berdasarkan penelitian antarbudaya. Hal ini sesuai dengan
hakikat sastra itu sendiri yaitu sastra sebagai hasil aktivitas kultural. Pendapat lain
Pentingnya analisis unsur kebudayaan dalam karya sastra dikemukakan oleh Sudikan,
psikologi sastra dan sosiologi sastra. Kedua, antropologi sastra diperlukan dengan
Analisis antropologi sastra adalah usaha untuk mencoba memberikan identitas terhadap
karya sastra dengan menganggapnya sebagai mengandung aspek tertentu yaitu hubungan ciri-
ciri kebudayaannya. Cara yang dimaksudkan tentunya mengacu pada defenisi antropologi
sastra. Ciri-cirinya seperti; memiliki kecenderungan kemasa lampau, citra primordial, citra
arketipe. Ciri-ciri lain, misalnya; mengandung aspek-aspek kearifan lokal dengan fungsi dan
subkategorinya, seperti; trah, klen dan kasta. Bentuk kecenderungan yang dimaksudkan juga
DAFTAR PUSTAKA
A, Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka
Jaya
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Pradopo, Rachmat Joko. 1994. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2008. Pengkajian Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama