Anda di halaman 1dari 69

BAB I

Makna Kata Sastra

A. Sastra

Sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat. Ibarat sebuah cermin, sastra

merupakan gambaran nyata dari kehidupan pada suatu masyarakat. Seperti apa yang ada

pada masyarakat, seperti itu juga yang akan dipantulkan di dalam karya sastra. Banyak yang

terjadi dimasyarakat salah satunya adalah terjadinya sunami di Aceh. Terjadinya sunami

menjadikan masyarakat sadar bahwa apa yang ada didunia ini tidak kekal untuk dimiliki

selamanya. Kejadian ini merupakan fakta. Fakta ini diimajinasikan oleh pengarang yang

akhirnya menjadi kreativitas dan hasilnya dapat berupa puisi, prosa, dan drama. Kenyataan

ini dapat dikatakan bahwa sastra adalah kenyataaan yang diimajinasikan oleh pengarang.

Karya sastra mempunyai logika tersendiri. Karya sastra merupakan dunia rekaan

(fiksi). Kata fiksi mempunyai makna khayalan, impian. Karya sastra bukan saja berdasarkan

kenyataan tetapi juga olahan imajinasi dan tidak dapat dipertentangkan dengan nonfiksi

(cerita berdasarkan kenyataan). Dalam kenyataannya, karya sastra bukan hanya berdasarkan

khayalan, melainkan gabungan kenyataan dan khayalan. Semua yang

diungkapkan sastrawan dalam karya sastranya adalah hasil pengetahuan yang diolah oleh

imajinasinya.

Karya sastra mempunyai logika tersendiri. Logika karya sastra erat berkaitan dengan

konvensi karya sastra. Logika karya sastra mencakup isi dan bentuk karya sastra. Oleh

karena itu, bahasa yang digunakan dalam karya sastra juga memiliki kekhasan. Bahasa

dalam karya sastra telah mengalami penyimpangan, pemutarbalikan dari bahasa praktis

sehari-hari. Bahasa yang sudah biasa dan dikenal diasingkan, disulap, digali dan diberi

makna baru atau diberi penambahan muatan maknanya. Dengan demikian karya sastra

dipandang sebagai wujud referensi wacana. Wacana sastra dipandang sebagai suatu
pemakaian bahasa tertentu bukan sebagai ragam bahasa tertentu. Bahasa dalam karya sastra

telah mengalami penyimpangan, pemutarbalikan dari bahasa praktis sehari-hari. Untuk

mengkaji, pengertian sastra dapat dilihat dari berbagai segi misalnya dari segi ontologis,

etimologis, leksikal, dan pendapat sejumlah ahli.

Ontologis (makna kata berdasarkan hakekatnya) maka dapat disimpulkan bahwa

sastra, merupakan karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif, penggunaan bahasa yang

indah dan bermakna, dan teks bahasanya dimananipulasi berdasarkan makna konotatif.

Etimologis (makna kata berdasarkan asal usulnya), yaitu kata sastra dalam bahasa

Indonesia berasal dari kata Sankerta, sastra dalam bahasa Sankerta dibentuk dari akar kata

yaitu, sas- dan tra. Akar kata sas- (dalam kata kerja turunan), pemaknaannya dapat

dikatakan sebagai, arti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau intruksi. Akar kata

tra menunjukkan arti alat atau sarana (dalam kata kerja turunan).

Sastra sebagai bidang kajian ilmiah baru dimulai pada abad 19. Para ilmuwan sastra

menginginkan agar pendekatan terhadap kegiatan manusia yang bernama sastra dapat

dilakukan secara ilmiah. Dengan demikian sastra berdiri sendiri sebagai satu bidang ilmu

yang eksis. Sastra sebagai salah satu bidang ilmu berbeda dengan ilmu lainnya.

Perbedaannya pada perhatian, pada penghayatan, bukan pada kognisi. “Obyek ilmu sastra

adalah kehidupan manusia yang sudah terabstraksikan dalam karya sastra” (Budi Darma,

1990: 338). Karena itu, dalam ilmu sastra, karya sastra sebagai obyek utama kajian

memiliki karakteristik khas yang berbeda dengan obyek-obyek kajian ilmu lainnya.

Kepekaan yang tinggi dituntut dalam ilmu sastra. Kepekaan tidak dapat diartikan,

diformalasikan dengan jelas. Keilmiahan ilmu sastra tidak eksplisit, tetapi implisit. Oleh

karena itu, ilmu sastra mampu membuktikan diri sebagai kajian ilmiah. Di dalamnya

terdapat unsur fakta/data, inferensi atau simpulan dan pendapat/judgement.


Karya sastra merupakan dunia rekaan (fiksi). Kata fiksi mempunyai makna khayalan,

impian, jenis karya sastra yang tidak berdasarkan kenyataan yang dapat dipertentangkan

dengan nonfiksi (cerita berdasarkan kenyataan). Dalam kenyataannya, karya sastra bukan

hanya berdasarkan khayalan, melainkan gabungan kenyataan dan khayalan. Semua yang

diungkapkan sastrawan dalam karya sastranya adalah hasil pengetahuan yang diolah oleh

imajinasinya

B. Ilmu sastra

Ilmu adalah theory of science (teori ilmu), metascience (adi-ilmu), science of science

(ilmu tentang ilmu).The Liang Gie mendefinisikan ilmu adalah segenap pemikiran reflektif

terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun

hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan. Contohnya cerpen sunami, problem yang

terjadi dalam cerpen tersebut menggambarkan kehidupan seorang anak yang sudah

kehilangan masa kanak-kanaknya karena ditinggal oleh ayah dan ibu disebabkan sunami.

Apakah hakikat dari ilmu? Artinya, langkah-langkah apakah yang dilakukan suatu

pengetahuan sehingga mencapai yang bersifat keilmuan. Batas-Batas dari ilmu, setiap ilmu

mempunyai kebenaran yang bersifat sangat universal ada norma-norma fundamental bagi

kebenaran ilmu. Ilmu sastra mencoba untuk menjelaskan peraanggapan dari setiap ilmu, dari

disiplin ilmu bersifat monodisiplin yang terdiri dari teori sastra, kritik sastra, dan sejarah

sastra. Ilmu sastra dapat lebih menempatkan keadaan yang tepat bagi setiap cabang ilmu.

Dalam masalah ini pengantar ilmu sastra tidak dapat lepas begitu saja dari cabang disiplin

ilmu lain, karena pengantar ilmu sastra merupakan, suatu telaah kritis terhadap metode yang

digunakan oleh ilmu tertentu, terhadap lambang-lambang yang digunakan dan terhadap

struktur penalaran tentang system lambang yang digunakan. Telaah kritis ini dapat diarahkan

untuk mengkaji ilmu empiris dan ilmu rasional juga untuk membahas studi-studi bidang ilmu.

Apakah hakikat dari ilmu? Artinya, langkah-langkah apakah yang dilakukan suatu
pengetahuan sehingga mencapai yang bersifat keilmuan. Batas-Batas dari ilmu, setiap ilmu

mempunyai kebenaran yang bersifat sangat universal ada norma-norma fundamental bagi

kebenaran ilmu.

Pengantar ilmu sastra adalah upaya untuk mencari kejelasan menangani dasar-dasar

konsep, sangka wacana, dan postulat mengenai ilmu serta upaya untuk membuka tabir dasar-

dasar keempirisan, kerasionalan dan kepragmatisan. Aspek ilmu ini erat hubungannya dengan

ihwal yang logis dan epistemology. Peran ilmu pada sisi pertama, mencakup analisis kritis

terhadap hasil dasar sastra, seperti kuantitas, kualitas, waktu, ruang dan hukum. Pada sisi

yang lain ilmu mencakup studi mengenai keyakinan mengenai dunia ‘sana’ keyakinan

mengenai kesurupan di dalam alam semesta dan keyakinan mengenai kesurupan di dalam

alam semesta dan keyakinan mengenai kenalaran proses alami.

Hakikat sastra ada di dalam karya sastra dan ilmu sastra, tetapi secara hakikinya karya

sastra dan ilmu sastra tersebut merupakan pemaknaan yang sesungguhnya. Menemukan

hakiki dari kedua bentuk tersebut, secara disiplin ilmu sastra, mengkaji dua bidang yaitu

bidang kajian bersifat monodisiplin dan multidisiplin.Sastra memberikan arti sangat

beragam, yaitu sebagai :

1) Sastra sebagai suatu sikap

Sastra adalah suatu sikap terhadap kehidupan dan alam semesta. Sikap secara pribadi yang

menyelidiki secara kritis, terbuka, toleran, dan selalu bersedia meninjau suatu problem

dari semua sudut pandang.

2) Sastra sebagai suatu metode

Sastra sebagai metode, artinya cara berpikir secara mendalam (reflektif), penyelidikan yang

menggunakan alasan, berpikir secara hati-hati dan teliti. Sastra berusaha untuk

memikirkan seluruh pengalaman manusia secara mendalam dan jelas.

3) Sastra sebagai kelompok persoalan


Banyak persoalan abadi yang dihadapi manusia, dan para filsuf memikirkan dan

menjawabnya. Beberapa pertanyaan yang diajukan pada masa lampau telah dijawab

secara memuaskan. Misalnya,pertanyaan tentang ide-ide bawaan telah dijawab oleh

John Locke pada abad ke-17, namun, masih banyak pertanyaan lain yang hanya dijawab

sementara .Di samping itu,juga masih banyak masalah lain yang jawabannya masih

diperdebatkan atau pun diseminarkan sampai hari ini ,bahkan ada yang belum

terpecahkan.

4) Sastra sebagai sekelompok teori atau sistem pemikiran

Sejarah sastra, dan kritik sastra ditandai dengan pemunculan teori atau sistem pemikiran

yang terlekat pada nama-nama besar seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Thomas

Aquino, Spinoza, Hegel, Karl Marx, August Comte, dan lain-lainnya.

5) Sastra sebagai analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna istilah, kebanyakan

analisis untuk menjelaskan arti suatu istilah dalam pemakaian bahasa sastra. Filsuf

mengatakan bahwa analisis tentang arti bahasa dalam sastra merupakan tugas pokok pada

pendekatankajian sastra. Tujuan pengantar ilmu sastra adalah menyingkirkan berbagai

kekaburan dalam ilmu pengetahuan dan dipakai dalam kehidupan sehari-hari karena

bahasa merupakan laboratorium tempat menyemai dan mengembangkan ide-ide.

6) Sastra merupakan usaha untuk memperoleh pandangan yang menyeluruh, Sastra mencoba

menggabungkan kesimpulan dari berbagai ilmu dan pengalaman manusia menjadi suatu

pandangan dunia yang konsisten. Para filsuf berhasrat meninjau kehidupan tidak dengan

sudut pandang yang khusus sebagaimana dilakukan oleh seorang ilmuwan. Para filsuf

memakai pandangan yang menyeluruh terhadap kehidupan sebagai suatu totalitas. Tujuan

sastra adalah mengambil alih hasil-hasil pengalaman manuia dalam bidang keagamaan,

etika, dan ilmu pengetahuan, kemudian hasil-hasil tersebut direnungkan secara

menyeluruh. Dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh beberapa kesimpulan umum
tentang sifat-sifat dasar alam semesta, kedudukan manusia di dalamnya serta berbagai

pandangan ke depan. Para filsuf seperti Plato, Aristoteles, Thomas Aquino, Hegel,

Bergson, John Dewey dan A.N. Whitehead termasuk filsuf yang berusaha untuk

memperoleh pandangan tentang hal-hal secara komprehensif.

Dengan memperhatikan batasan-batasan yang tentunya masih banyak yang belum

dicantumkan, dapat ditarik benang merahnya sebagai kesimpulan bahwa ilmu adalah ilmu

pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu yang ada secara mendalam dengan

menggunakan akal sampai pada hakikatnya. Sastra bukan mempersoalkan gejala-gejala atau

fenomena, tetapi yang dicari adalah hakikat dari suatu fenomena.

Hakikat adalah suatu prinsip yang menyatakan ‘sesuatu’ adalah ‘sesuatu’ itu adanya.

Ssatra adalah usaha untuk mengetahui segala sesuatu. ‘Ada’ (being) merupakan implikasi

dasar. Jadi, segala sesuatu yang mempunyai kualitas tertentu pasti adalah ‘ada’. Sastra

mempunyai tujuan untuk membicarakan keber-‘ada’-an. Jadi, filsafat membahas lapisan

terakhir dari segala sesuatu atau membahas masalah yang paling mendasar.

Tujuan sastra adalah mencari hakikat dari suatu objek atau gejala secara mendalam,

sedangkan pada ilmu pengetahuan empiris hanya membicarakan gejala-gejala.

Membicarakan gejala untuk masuk kepada hakikat itulah yang menjadi fokus sastrat.

Hakikat sastra harus melalui suatu metode yang khas dari sastra itu sendiri

Sastra juga bersifat integral yang berarti mempunyai kecenderungan untuk memperoleh

pengetahuan yang utuh sebagai suatu keseluruhan. Sastra ingin memandang objeknya secara

utuh.

Hakekat atau hakikat, yang benar dan baku sesuai EYD adalah hakikat.Hakikat atau

hakiki, yang baku adalah keduanya, Benar tidaknya penggunaan kata ini tergantung

kalimatnya.Arti kata hakikat; saripati, intisari, dasar, dan semacamnya. Hakikat kehidupan ini

hanyalah untuk menyembah yang maha kuasa.Arti kata hakiki: yang sesungguhnya, yang
sebenar-sebenarnya.Kita harus menemukan yang hakiki. Dari berbagai uraian pengertian di

atas rumusan ilmu sastra sebagai berikut.

1. Ilmu sastra ilmu yang menyelidiki sastra secara ilmiah.

2. Ilmu sastra ilmu yang menyelidiki karya sastra secara ilmiah.

3. Ilmu sastra segala bentuk dan cara pendekatan ilmiah terhadap karya sastra dan gejala

sastra.

4. Ilmu sastra sebuah telaah sistematis mengenai sastra dan komunikasi sastra yang pada

prinsipnya tidak menghiraukan batas-batas antarbangsa dan antarkebudayaan.

C. Fungsi Sastra

Hasil karya sastra merupakan hasil pemikiran yang kreatif dalam proses berpikir,

dengan karya sastra berdasarkan cerita yang dikemukakan pengarang seperti cerita sunami

dapat memberikan “nilai-nilai kemanusiaan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan

seseorang baik sebagai makhluk individu dan sosial. Nilai-nilai ini berfungsi sebagai

nasehat.

Kehidupan masayarakat sastra mempunyai beberapa fungsi yaitu :

1. Fungsi rekreatif, yaitu sastra dapat memberikan hiburan yang menyenangkan bagi

penikmat atau pembacanya.

2. Fungsi didaktif, yaitu sastra mampu mengarahkan atau mendidik pembacanya karena

nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung didalamnya.

3. Fungsi estetis, yaitu sastra mampu memberikan keindahan bagi penikmat/pembacanya

karena sifat keindahannya.

4. Fungsi moralitas, yaitu sastra mampu memberikan pengetahuan kepada

pembaca/peminatnya sehingga tahu moral yang baik dan buruk, karena sastra yang baik

selalu mengandung moral yang tinggi.


5. Fungsi religius, yaitu sastra pun menghasilkan karya-karya yang mengandung ajaran

agama yang dapat diteladani para penikmat/pembaca sastra.

D. Sejarah Sastra

Sejarah sastra atau literacy history (Inggris) mempelajari perkembangan karya-karya

sastra dari waktu ke waktu, dari satu periode berikutnya. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri

karya sastra pada masa atau periode tertentu, para sastrawan yang mengisi arena/panggung

sastra, puncak-puncak karya sastra yang menghiasi panggung sastra, serta peristiwa-

peristiwa yang terjadi di seputar gelanggang dan dunia sastra dan kesastraan. Sebagai suatu

kegiatan keilmuan sastra, seorang sejarahwan sastra mendokumentasikan karya-karya sastra

berdasarkan ciri-ciri, klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang ada, pengaruh yang

melatarbelakanginya, karakteristik isi dan tema-tema karya sastra.

Kata sejarah (sastra) sendiri berasal dari bahasa Arab sajarun yang berarti pohon.

Pohon menggambarkan adanya akar, cabang, dan ranting yang memperlihatkan adanya

proses susunan peristiwa secara kronologis. Sejarah itu sendiri mempunyai arti yang sama,

yaitu rekaman perjalanan kehidupan dari masa lampau sampai masa-masa berikutnya.

Karya sastra adalah salah satu bagian dari sejarah perjalanan bangsa dan merupakan aset

budaya bangsa. Bangsa yang berbudaya dan beradab adalah bangsa yang tidak hanya

memiliki hasil karya sastra bangsanya tetapi juga menghargai dan memberikan apresiasi

terhadap karya-karya sastra sebagai hasil karya budaya bangsanya yang terkam dalam

sejarah sastra bangsanya.

Sejarah sastra Indonesia adalah bagian dari kajian ilmu sastra dan budaya Indonesia

yang mempelajari sastra Indonesia sejak adanya sastra Indonesia sampai masa-masa

selanjutnya, dengan segala seluk-beluk dan persoalan yang melingkupinya. Orang

membagi atau membuat periodisasi sastra dari masa ke masa. Misalnya, dalam sastra
Indonesisa kita mengenal AngkatanBalai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan

66, Angkatan 70-an, Angkatan 2000-an, dan lain-lain.

Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 kita memiliki karya-karya sastra yang

berbobot, antara lain novel Saman (1998) karya Ayu Utami dan Laskar Pelangi (2005)

karya Andrea Hirata yang menghebohkan dunia sastra Indonesia. Pada tahun 1980-an terbit

tetralogi karya Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer yang ebrgaung sampai tingkat dunia,

yakni Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan

Rumah Kaca (1988). Tahun 1970-an terbit trilogi novel Iwan Simatupang, Merahnya

Merah (1968), Ziarah (1969) dan Kering (1970) yang membuat bingung pembaca dan

kritikus Indonesia yang dianggap novel absurd,sarat filsafat, sulit dipahami karena berbeda

dengan novel-novel sebelumnya.

Jauh sebelumnya, pada 1940-an terbit novel Belenggu karya Armijn Pane yang

dianggap mengusik keindahan sastra dengan menelanjangi kehidupan kaum elit bangsawan.

Pada tahun 1920-an, lahir novel awal dalam sastra Indonesia yang sangat terkenal, yakni

Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli yang menghanyutkan perasaan para pembaca

karena mengisahkan suka duka perjalanan cinta para tokohnya. Hampir bersamaan dengan

Sitti Nurbaya adalah novel Azab dan Sengsara (1920) karangan Merari Siregar yang

mengangkat masalah adat-istiadat, kasih tak sampai, dan kisah perjuangan hidup para

tokohnya yang durundung dirundung azab dan sengsara.

Berdasarkan objek pengkajiannya, sejarah sastra mempunyai ruang lingkup yang cukup

beragam. Keberagaman tersebut, antara lain sebagai berikut. (1) dari sudut perkembangan

kesusastraan suatu bangsa, terdapat sejarah perkembangan kesusastraan di berbagai bangsa

di dunia, seperti sejarah sastra Indonesia, sejearah sastra Jepang, sejarah sastra Amerika,

dan lain-lain. (2) dari sudut perkembangan kesusastraan suatu daerah, ada sejarah sastra

daerah, seperti sastra Minangkabau, sastra Jawa, sastra Sunda, sastra Bali, sastra Aceh,
sastra Batak, sastra NTT, dan lain-lain. (3) dari sudut perkembangan kebudayaan, ada

sejarah sastra pada kebudayaan tertentu , seperti sejarah sastra klasik, sejarah sastra zaman

Melayu, sejarah sastra kebangkitan Nasional, sejarah sastra Zaman Revolusi, sejarah sastra

Era Reformasi, dan lain-lain. (4) dari sudut perkembangan genre (jenis sastra) atau ragam

karya sastra, ada sejarah perkembangan roman atau novel, puisi, cerpen, drama, dan

sebagainya.

Khusus Iuntuk Indonesia, menurut pengamat dan kritikus sastra Teeuw (1984) masih

banyak yang harus dilakukan para peneliti sejarah sastra Indonesia pengkajiannya dapat

berittik tolak dari berbagai sudut pandang yang dapat menggambarkan perkembangan

sejarah satra Indonesia dari masa awal mula sampai kini. Metode pengkajiannya, antara

lain: (1) Pengkajian genetik, yakni pengaruh timbal-balik antarjenis karya sastra, (2)

Pengkajian intertekstual karya sastra individu, (3) Pengkajian resepsi sastra oleh pembaca

karya sastra, (4) Penelitian karya sastra lisan, dan (6) Pengkajian sastra Indonesia dan sastra

se-Nusantara.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmusastra

yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa, misalnya sejarah

sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra Inggris. Dengan pengertian dasar

itu, tampaklah bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang

masa pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa.Telah disinggung di depan

bahwa sejarah sastra itu bisa menyangkut karya sastra, pengarang, penerbit, pengajaran,

kritik, dan lain-lain.

Dalam Pengantar Ilmu Sastra (Luxemburg, 1982:200-212) dijelaskan bahwa dalam

sejarah sastra dibahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-

pengarang, dan juga reaksi pembaca. Semua itu dapat dihubungkan dengan perkembangan

di luar bidang sastra seperti, sosial dan filsafat. Jadi, sejarah sastra meliputi penulisan
perkembangan sastra dalam arus sejarah dan di dalam konteksnya. Perhatian para ahli sastra

di Eropa terhadap sejarah sastra muncul pada abad ke-19, berawal dari perhatian ilmuwan

pada zaman Romantik yang menghubungkan segala sesuatu dengan masa lampau suatu

bangsa. Adapun dasrnya adalah filsafat positivisme yang bertolak pada prinsip kausalitas,

yaitu segala sesuatu dapat diterangkan bila sebabnya dapat dilacak kembali. dalam hal

sastra, sebuah karya sastra dapat diterangkan atau ditelaah secara tuntas apabila diketahui

asal usulnya yang bersumber pada wirayat hidup pengarang dan zaman yang

melingkunginya.

Lintasan pendapat itu mengisyaratkan kesadaran para tokoh intelektual Indonesia tahun

1930-an terhadap sejarah kebudayaan. Adapun kesadaran terhadap sejarah sastra Indonesia

makin tampak pada tahun 1940-an ketika S. Takdir Alisjahbana menulis Puisi Baru (1946)

dan H.B. Jassin menyusun antologi Gema Tanah Air (1948) dan Kesusastraan Indonesia di

Masa Jepang (1948). Perhatian yang lebih bersungguh-sungguh terhadap masalah tersebut

makin tampak dalam buku A. Teeuw, Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia

Baru (1952), buku Bakri Siregar, Sejarah Sastra Indonesia Modern (1964), buku Ajip

Rosidi Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969), dan buku Jakob Sumardjo, Lintasan

Sejarah Sastra Indonesia I (1992).

1. Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia

Masalah perodisasi sejarah sastra Indonesiasecara eksplisit telah diperlihatkan Ajip

Rosidi dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1969), Jakob Sumardjo, Lintasan Sejarah

Sastra Indonesia I (1992), dan Rachmat Djoko Pradopo dalam Beberapa Teori Sastra,

Metode Kritik, dan Penerapannya (1995).

Secara garis besar Ajip Rosidi (1969:13) membagi sejarah sastra Indonesia sebagai

berikut.
I. Masa Kelahiran atau Masa Kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945 yang

dapat dibagi lagi menjadi beberapa period, yaitu:

a. Periode awal hingga 1933

b. Periode 1933-1942

c. Periode 1942-1945

II. Masa Perkembangan (1945-1968) yang dapat dibagi-bagi menjadi beberapa period,

yaitu:

a. Periode 1945-1953

b. Periode 1953-1961

c. Periode 1961-1968

Menurut Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) adalah persoalan

adat yang sedang menghadapi akulturasi sehingga menimbulkan berbagai problem bagi

kelangsungan eksistensi masing-masing, sedangakan periode 1933-1942 diwarnai pencarian

tempat di tengah pertarungan kebudayaan Timur dan Barat dengan pandangan romantis-

idealis.

Perubahan terjadi pada periode 1942-1945 atau masa pendudukan Jepang yang

melahirkan warna pelarian, kegelisahan dan peralihan, sedangkan warna perjuangan dan

pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953 dan selanjutnya

warna pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali terhadap warisan leluhur

tampak menonjol pada periode 1953-1951. Pada periode 1961-1968 tampak menonjol warna

perlawanan dan perjuangn mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna

percobaan dan penggalian berbagai kemungkina pengucapan sastra.

Pantaslah dicatat pernyataan Ajip Rosidi dalam artikel "Masalah Angkatan dan

Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia" yang dimuat lagi dalam Masalah Angkatan dan

Periodisasi Sejarah Sastra Indonesia (1973) bahwa pembabatan waktu sejarah sastra
Indonesia itu relatif sangat pendek jangka waktunya antara satu periode dengan periode

berikutnya karena sejarah sastra Indonesia sendiri masih pendek, yaitu baru kurang lebih

setengah abad saja.Kemudian ditegaskan Ajip Rosidi sebagai berikut.

Kalau sejarah sastra Indonesia sudah mencapai usia ratusan tahun mungkin perbedaan-

perbedaan kecil yang sekarang tampak dan menjadi alasan pembabakan waktu baru itu tidak

kelihatan dan keseluruhan waktu yang setengah abad itu tidak mustahil hanya menjadi dua

period saja, yaitu period awal abad sampai 1945 dan period sesudah 1945 sampai selanjutnya.

Dengan demikian tak usahlah disini saya katakan lagi bahwa pembabakan waktu sejarah

selalu bersifat nisbi. Kenisbian mana bukan hana ciri khas pembabakan waktu sejarah sastra

(Indonesia) saja, tetapi juga menjadi ciri umum periodisasi sejarah. (Rosidi, 1973:26-

27).Yang dimaksud angkatan ialah sekumpulan sastrawan yang hidup dalam satu kurun masa

atau menempati suatu periode tertentu dengan kesamaan atau sekurang-kurangnya kemiripan

ide, gagasan, atau semangat sebagai akibat logis dari interaksi mereka yang sezaman. Adanya

pergantian generasi dengan sendirinya menimbulkan pergantian angkatan, tetapi tidak dapat

dipisah-pisahkan secara tegas, karena selalu terjadi tumpang tindih. Artinya, sebelum suatu

angkatan dianggap lenyap biasanya sudah timbul benih-benih angkatan baru.

Setelah meninjau periodisasi sejarah sastra Indonesia dari H.B Jassin, Boejoeng Saleh,

Nugroho Notosusanto, Bakrie Siregar dan Ajip Rosidi, maka tawaran Rachmat Djoko

Pradopo mengenai periodisasi sejarah sastra Indonesia adalah sebagai berikut.

a. Periode Balai Pustaka: 1920-1940,

b. Periode Pujangga Baru: 1930-1945,

c. Periode Angkatan 45: 1940-1955,

d. Periode Angkatan 50: 1950-1970, dan

e. Periode Angkatan 70: 1965-sekarang (1984).


Dijelaskan oleh Rachmat Djoko Pradopo (1995:18) bahwa adanya tahun-tahun yang bulat

itu untuk mempermudah pengingatan dan pemahaman dalam studi sastra. Lagipula, lahirnya,

tersebarnya, dan terintegrasinya suatu periode sastra atau angkatan sastra, pada umumnya

kurang jelas batas-batas waktunya. Jadi, tahun-tahun bulat itu sebagai ancar-ancar,timbulnya,

tersebarnya, terintegrasi, dan lenyapnya suatu periode atau angkatan sastra. Selanjutnya,

dipaparkan secara terperinci ciri-ciri intrinsik dan ekstrinsik setiap periode dengan intisari

kurang lebih sebagai berikut.

Pada periode Balai Pustaka (1920-1940) jenis sastra yang utama adalah roman dengan

permasalahan adat kawin paksa dan permaduan, pertentangan paham antara kaum tua dan

kaum muda, berlatar daerah, pedesaan, atau kehidupan dan belum mempersoalkan cita-cita

kebangsaan. Pada periode pujangga baru (1930-1945) sastra puisi sangat dominan dan mulai

banyak ditulis cerita pendek dan drama yang pada umumnya beraliran romantik karena

pengaruh Gerakan 80 di Belanda.

Pada periode Angkatan 45 (1940-1955) berkembang puisi, cerpen, novel, dan drama

dengan warna perang; hal itu berbeda dengan ciri periode Angkatan 50 (1950-1970) yang

memperlihatkan kesadaran baru di kalangan sastrawan untuk memikirkan masalah-masalah

kemasyarakatan dalam suasana kemerdekaan dan para sastrawanpun mulai membuat

orientasi baru dengan menggarap bahan-bahan dari sastra dan kebudayaan Indonesia sendiri.

Disamping itu coraknya bermacam-macam karena pengaruh dunia politik, terutama setelah

partai-partai besar membentuk organisasi kebudayaan, seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat

(Lekra), Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), dan Lembaga Seni Budaya Muslim

Indonesia (Lesbumi). Warna politik itu bergeser lagi pada periode Angkatan 70 (1965-1984)

dengan lebih banyak berkembang apa yang disebut sastra pop yang secara literer tidak

menunjukkan adanya perkembangan sastra.


Simpulan Rachmat Djoko Pradopo (1995:34) dalam penulisan sejarah sastra hendaknya

diuraikan struktur estetik dan ekstra estetik secara terperinci atau lebih luas disertai contoh-

contoh ciri-ciri tersebut sehingga tampak jelas bagaimana wujud karya sastra setiap angkatan

atau periode sastra itu.

Apa yang ditawarkan Rachmat Djoko Pradopo memang pantas dikaji dan diperdalam

para peneliti, terutama dalam rangka penulisan sejarah sastra Indonesia yang mendalam dan

meluas, sedangkan untuk kepentingan untuk pelajaran dalam buku ini hal tersebut dirasa

masih terlalu jauh. Sementara itu, baiklah diperhatikan pemikiran Maman S.Mahayana

(2006:3-8) mengenai awal sejarah sastra Indonesia yang intisarinya kurang lebih sebagai

berikut.

Kesusastraan Indonesia hendaknya dipandang sebagai perwujudan kultur bangsa yang

berkesinambungan dari masa ke masa; atau dengan kata lain semangatnya tidak tampak

terputus dari tradisi sastra zaman-zaman yang silam, baik lisan maupun tulisan. Tradisi

tulisan itu jelas melekat pada penerbitan pers (surat kabar dan majalah) yang telah

bermunculan pada akhir abad ke-19 sehingga pengkajian awal sejarah sastra Indonesia

hendaknya memerhatikan peranan pers yang telah terbukti melahirkan tradisi novel, cerpen,

puisi dan drama Indonesia yang mendahului penerbitan sejenis yang diproduksi Balai Pustaka

sebagai badan penerbit yang selama ini dianggap paling berjasa terhadap pertumbuhan sastra

Indonesia.

Dengan dasar pemikiran seperti itu, ketiga momentum besar tersebut dapat dipergunakan

sebagai tonggak-tonggak pembagian waktu sejarah sastra Indonesia sehingga muncul format

baru sseperti telah disebut di awal buku ini, yaitu (1) masa pertumbuhan atau kebangkitan

(1900-1945), (2) masa revolusi atau pergolakan (1945-1965), masa pemapanan (1965-1998),

dan (4) masa pembebasan (1998-sekarang).

E. Bidang Kajian Monodisiplin dan Multidisiplin


Disiplin ilmu sastra secara umum meliputi dua bidang kajian, yakni bidang kajian yang

bersifat monodisiplin dan multidisiplin. Monodisiplin fokus pada bidang kajian, sebaliknya

multidisiplin gabungan beberapa bidang kajian. Bidang kajian monodisiplin terdiri atas teori

sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra, sedangkan bidang kajian multidisiplin, sampai sejauh

ini, terdiri atas sosiologi sastra, psikologi sastra, dan antropologi sastra.

Di samping bidang kajian yang bersifat monodisiplin dan multidisiplin di atas, disiplin

ilmu sastra juga dibagi ke dalam beberapa cabang kajian, yakni sastra umum, sastra

bandingan, sastra dunia, sastra nasional, sastra regional, dan sastra lokal. Setiap cabang sastra

di atas dapat dikaji secara monodisiplin, yakni dengan teori sastra, kritik sastra, dan sejarah

sastra. Bisa pula dikaji secara multidisiplin, yakni dengan sosiologi sastra, psikologi sastra,

dan antropologi sastra. Atau dengan kata lain, teori sastra, kritik sastra, sejarah sastra,

sosiologi sastra, psikologi sastra, dan antropologi sastra dapat digunakan dalam mengkaji

atau menganalisis sastra umum, sastra bandingan, sastra dunia, sastra nasional, sastra

regional, dan sastra lokal.

Pertama, sastra umum. Sastra umum adalah nama untuk gejala kebudayaan yang bersifat

umum, universal, di mana sastra terdapat dalam setiap masyarakat manusia, kapan dan di

mana saja. Secara potensial, setiap orang pada setiap zaman dan pada setiap tempat dapat

bersastra, apakah bersastra secara aktif atau secara pasif. Sastra umum tidak dikaitkan dengan

kegiatan sastra pada wilayah geografi tertentu, suatu bangsa atau negara tertentu, tetapi gejala

yang bersifat universal.

Kedua, sastra bandingan. Sastra bandingan lahir terutama dipengaruhi oleh studi

bandingan terhadap ilmu pengetahuan, yang kemudian diikuti oleh studi bandingan terhadap

agama, bandingan politik, bandingan bahasa, dan lain-lain. Sastra bandingan relatif lebih

mudah. Sastra bandingan muncul pertama kali di Eropa ketika batas berbagai wilayah negara

mengalami perubahan, memunculkan pemikiran mengenai kebudayaan nasional dan sastra


nasional. Sastra bandingan berusaha untuk membanding-bandingkan sastra antara satu

wilayah (bangsa atau negara) dengan wilayah lain. Masalah kebudayaan nasional, jati diri

bangsa, dan sastra nasional juga muncul diberbagai negara. Sementara itu, untuk menilai

sastra yang dimiliki bangsa dan negaranya, seseorang perlu menengok ke luar dan

membandingkan sastra bangsa dan negaranya dengan sastra bangsa dan negara lain. Inilah

dorongan munculnya sastra bandingan.

Ketiga, sastra dunia. Disebut sastra dunia karena reputasi sastrawan dan karya-karyanya

diakui masyarakat dunia. Mutunya yang diakui masyarakat dunia, beredar secara

internasional, biasanya ditulis atau diterjemahkan dalam salah satu bahasa dunia yang diakui

PBB. Pemikiran tentang sastra dunia berkaitan dengan pengaruh dan peredaran sebuah karya

sastra dalam lingkup internasional, nasional, regional, atau lokal. Istilah sastra dunia awalnya

dipakai oleh Johann Wolgang von Goethe (1749-1832), seorang sastrawan dan pemikir

Jerman. Dia menguasai karya-karya sastra besar di dunia dalam bahasa aslinya, khususnya

bahasa Inggris, Prancis, dan Italia. Salah satu sastrawan legendaris Indonesia yang karya-

karyanya beredar luas di tingkat dunia, masuk dalam kancah sastra dunia, bahkan pernah

masuk nominansi untuk mendapatkan hadiah Nobel sastra adalah Pramoedya Ananta Toer

(1925-2006).

Keempat, sastra nasional. Sastra nasional adalah sastra yang berkaitan dengan rasa

kebangsaan dan kepemilikan sastra oleh masyarakat suatu bangsa atau negara. Setiap bangsa

atau negara memiliki sastranya sendiri yang menggambarkan jati diri bangsa dan negaranya,

misalnya sastra Indonesia, sastra Malaysia, sastra Jepang, sastra Jerman, sastra Arab, sastra

Rusia, dan lain-lain. Tempat seorang dalam konteks sastra nasional pada umumnya tidak

ditentukan oleh bahasa yang dioakai sastrawan, tetapi oleh kewarganegaraannya.Sastrawan

yang kewarganegaraannya Indonesia menulis dalam bahasa Inggris adalah sastrawan


indonesia, bukan sastrawan Inggris. Demikian pula sastrawan India yang menulis dalam

bahasa Jerman atau Prancis adalah sastrawan India, bukan sastrawan Jerman atau Prancis.

Kelima, sastra regional. Istilah regional berkaitan dengan pengertian nasional. Kalau

nasional mencakup seluruh wilayah sebuah negara, maka regional meliputi bagian-bagian

wilayah dalam sebuah negara. Negara republik Indonesia, misalnya, terdiri atas wilayah-

wilayah regional yang disebut provinsi. Sastra yang merupakan milik dan kebanggaan

masyarakat masing-masing provinsi yang ditulis dalam bahasa Indonesia disebut sebagai

sastra regional Indonesia.

Berdasarkan pengertian sastra regional ini maka kita mengenal sastra Jawa Barat, sastra

NTT (Nusa Tenggara Barat), sastra Bali, sastra Maluku, sastra Yogyakarta, sastra Riau, sastra

Sulawesi Selatan, sastra Papua, sastra Jawa Timur, dan lain-lain. Istilah regional (juga istilah

lokal) menjadi populer di Indonesia setelah berlakunya otonomi daerah di Indonesia sejak

tahun 2000. Salah satu buku yang secara khusus mengkaji sastra regional ini adalah buku

Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (2012) Karya Yohanes Sehandi yang khusus mengkaji

sastra dan sastrawan di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Keenam,sastra lokal. Istilah lokal merupakan bagian dari wilayah regional atau provinsi,

yakni kabupaten atau kota. Sastra yang merupakan miliki dan kebanggaan masyarakat satu

kabupaten/kota disebut sebagai sastra lokal. Sastra lokal, demikian juga sastra regional,

berbeda dengan sastra daerah, karena, baik sastra regional maupun sastra lokal menggunakan

media bahasa Indonesia sebagai sarana pengungkapannya, sedangkan sastra daerah

menggunakan bahasa daerah (bahasa ibu) sebagai sarana pengungkapannya.

Menurut Jakob Sumardjo dalam buku Masyarakat dan Sastra Indonesia (1982:49-52)

dan dalam buku Pengantar Novel Indonesia (1982:199-223), sastra Indonesia yang bercorak

kedaerahan atau warna kedaerahan adalah “sastra Indonesia warna daerah” atau “sastra

Indonesia warna lokal”. Menurut Sumardjo, karya-karya sastra warna kedaerahan (sastra
regional dan sastra lokal) adalah sastra Indonesia, dan para pengarang karya sastra warna

kedaerahan adalah juga sastrawan Indonesia. Dalam kerangka berpikir Sumardjo itu, maka

sastra regional (provinsi) dan sastra lokal (kabupaten/kota) dimasukkan sebagai “warga”

sastra Indonesia, dan sastrawannya juga adalah sastrawan Indonesia. Demikianlah pengertian

sastra umum , sastra bandingan, sastra dunia, sastra nasional, sastra regional, dan sastra lokal.

Dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra:Pengantar Teori Sastra (1984:21) A.Teeuw

menyatakan bahwa ilmu sastramenunjukkan keistimewaan bahkan keanehan yang tidak

ditemui pada banyak cabang ilmu pengetahuan lain, yakni objek utama penelitiannya tidak

tentu. Sampai sekarang, menurut Teew, rumusan pengertian sastra dan ilmu sastra secara

hakiki dan ideal belum memuaskan, yang tentu memotivasi para ahli ilmu sastra atau teori

sastra untuk terus melakukan kajian sampai pada akhirnya menemukan jawaban yang

memuaskan apa itu sastra dan ilmu sastra.

Untuk dapat memahami, menjelaskan, dan menikmati karya-karya sastra diperlukan

pemahaman tentang teori sastra. Teori sastra menjelaskan tentang konsep sastra sebagai salah

satu disiplin ilmu humaniora yang akan mengantarkan kita ke arah pemahaman dan

penikmatan fenomena kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Dengan mempelajari teori

sastra, kita akan memahami fenomena kehidupan manusia yang ditemukan dalam karya

sastra. Sebaliknya, dengan memahami fenomena kehidupan manusia dalam sastra kita akan

semakin memahami pula teori sastra.

Ilmu sastra termasuk salah satu disiplin ilmu yang cukup tua usianya. Ilmu ini sudah

dikenal sejak abad ke-3 SM, yaitu pada saat filsuf kenamaan Aristoteles (384-322 SM)

menulis bukunya yang sangat terkenal berjudul Poetica yang berisi tentang teori drama

tragedi. Istilah Poetica sebagai teori ilmu sastra, lambat laun digunakan dengan beberapa

istilah lain oleh para teoretikus sastra yang menggunakan bahasa-bahasa Barat, seperti study
of literature (W.H. Hudson), theory of literature (Rene Wellek dan Austin Warren), literary

knowledge (A. Teew), serta literary scholarship (Andre Lafavere).

Secara definitif multidisiplin adalah penggabungan dua atau lebih bidang ilmu atau

bidang kajian. Kajian sastra yang bersifat multidisiplin ini muncuol sebagai reaksi terhadap

dominasi penelitian sastra yang bersifat monodisiplin. Seperti diketahui sampai dengan akhir

abad ke-20, perhatian para ahli sastra terpusat pada pendekatan intrinsik karya sastra dengan

memanfaatkan teori struktiralisme yang berkembang pesat pada masa itu, sekaligus

melepaskan karya sastra dari relevansi sosial kemasyarakatannya.

Teori strukturalisme dengan variannya mengarahkan penelitian hanya pada aspek-

aspek struktur tertentu karya sastra, seperti tokoh, tema, latar, plot, gaya bahasa, sudut

pandang, dan sebagainya. Menurut Ratna (2009:327), dalam rangka menggali kekayaan

budaya bangsa, kecenderungan seperti ini menjadi tidak relevan lagi, sebab penelitian

tersebut tidak berhasil mengungkapkan esensi sastra secara memadai. Penelitian sastra pada

gilirannya bersifat berat sebelah, bahkan dianggap sebagai involusi (kemunduran,

kemerosotan).

Latar belakang lain lahirnya sejumlah bidang multidisiplin ini karena tingginya

tuntutan kebutuhan dan kompleksitas perkembangan karya sastra yang ememrlukan tinjauan

dari berbagai aspek kehidupan manusia. Disadari betul bahwa tiga bidang kajian yang

bersifat monodisiplin, yakni teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra, tidak lagi memadai

untuk mengkaji karya-karya sastra sebagai produk kebudayaan masyarakat. Maka

dibutuhkan bidang kajian sastra yang baru, yang bersifat multidisiplin, termasuk bidang

kajian sastra Indonesia.

Perlu disadari bahwa khazanah sastra Indonesia sangat luas dan beragam. Dikaitkan

dengan medium bahasanya, dibedakan menjadi sastra lisan dan sastra tulisan. Dikaitkan

dengan sejarah kelahirannya, dibedakan menjadi sastra lama dan sastra baru (modern)
demikian juga dikaitkan dengan semangat yang terkandung di dalamnya, dibedakan menjadi

sastra daerah dan sastra nasional. Khazanah sastra Indonesia secara keseluruhan disebut

sebagai sastra Nusantara atau sastra (di) Indonesia.

Kompleksitas dan keragaman karya sastra menunjukkan kompleksitas dan keragaman

latar belakang sosial budayanya. Indonesia yang merupakan negara kesatuan dengan ribuan

pulau, beragam suku, adat-istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, dan bahasa menjadi

latar belakang kreativitas para sastrawannya. Di atas keberagaman dan perbedaan-

perbedaan itulah karya sastra ditulis, struktur cerita dibangun, dan pandangan dunia

diwujudkan (Ratna, 2009:328). Sastrawan, sejarahwan, sosiolog, psikolog, antropolog, dan

ilmuwan yang lain secara bebas memasuki setiap aspek kehidupan tanpa perlu merasa

khawatir akan kehabisan objek kajian. Sudah saatnya seluruh kekayaan budaya dikaji

dengan berbagai sudut pandang dengan menggunakan gabungan berbagai disiplin ilmu.

Latar belakang inilah yang melahirkan kajian sastra multidisiplin atau interdisiplin.

Bidang kajian multidisiplin melibatkan lebih dari satu disiplin . dasar perbedaannya

adalah intensitas hubungan antara keduanya dan ciri-ciri disiplin ilmu yang bersangkutan.

Dalam hubungan ini Ratna (2009:330) membedakan tiga macam multidisiplin, yakni (a)

multidisiplin itu sendiri, (b) transdisiplin atau antardisiplin, dan (c) krosdisiplin atau

interdisiplin. Dalam model penelitian kedua dan ketiga salah satu ilmu memiliki posisi yang

lebih dominan. Perbedaannya, dalam model ketiga, ilmu-ilmu yang terlibat seolah-olah

telah lebur menjadi satu dengan pola-pola hubungan yang tetap, termasuk teori dan

metodenya.

1. Bidang Kajian Monodisiplin

Seperti telah disebutkan diatas, bahwa ilmu sastra yang bersifat monodisiplin terdiri

atas tiga bidang ilmu yang berdiri sendiri, yakni teori sastra (literary theory), kritik sastra

(literary criticism), dan sejarah teori sastra (literary history). Masing-masing bidang ini
bersifat saling melengkapi, komplementer, saling mendukung. Mengingat sifatnya itu,

ketiga bidang itu dapat dimasukkan kedalam tiga wilayah kegiatan penelitian yang bersifat

teoritis. Biudang kajian sastra yang bersifat monodisiplin ini mencapai puncaknya

perkembangan pesat teori strukturalisme yang bertolak dari otonommi karya sastra sampai

dengan tahun 1980. Bagaimana hubungan antara ketiga bidang itu? Pada hakikatnya, teori

sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat dalam karya sastra, baik konvensi

bahasa yang meliputi makna, gaya, struktur, pilihan kata, maupun konvensi sastra yang

meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar, dan lainnya yang membangun keutuhan karya

sastra. Disisi lain, kritik sastra merupakan ilmu sastra yang mengkaji, yang menelaah, yang

mengulas, memberi pertimbangan, serta penilaian terhadap karya-karya sastra, baik

keunggulan atau kekuatan maupun kelemahan atau kekurangannya. Sasaran kerja kritikus

satra adalah hasil kerja para sastrawan, sekaligus pembaca karya sastra. Untuk memberikan

pertimbangan atas karya sastra, kritikus sastra bekerja sesuai konvensi bahasa dan konvensi

sastra yang melingkupi karya sastra.

Demikian juga terjadi hubungan antara teori sastra dengan sejarah sastra. Sejarah sastra

adalah bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu,

dari suatu periode ke periode berikutnya sebagai bagian dari pemahaman terhadap sebuah

budaya. Perkembangan sejarah sastra suatu daerah, suatu bangsa, suatu negara, dan suatu

kebudayaan, diperoleh dari penelitian karya-karya sastra yang dihasilkan para peneliti

sejarah sastra yang menunjukan terjadinya perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan

karya-karya sastra pada periode-periode tertentu. Secara keseluruhan dalam pengkajian

karya sastra, antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra terjalin saling terkait.

a. Teori Sastra

Teori sastra atau literary theory atau theory ofliterature merupakan salah satu bidang

kajian ilmu sastra yang mempelajari tentang pengertian, prinsip, konsep, hakikat,
karakteristik, hukum, kategori dan kriteria karya sastra yang membedakannya dengan karya-

karya yang bukan satra. Dalam bahasa inggris istilah untuk teori sastra adalah: theory

ofliterature, literary theory, literary knowledge, literary scholarship, dan generalliterature.

Menurut M. H Abrams (1971: 6), konsep teoretis tentang sastra yang kita kenal pada saat

ini mencakup empat aspek khazanah dunia satra, yakni aspek teks karya sastra, aspek

tanggappan pembaca, dan aspek lingkungan sosial. Yoseph Yapi Taum dalam pengantar

Teori Sastra (1997:5, 14) mensinyalir bahwa sebenarnya teori-teori sastra sudah cukup

banyak dikenal di Indonesia lewat buku-buku terjemahan dari bahasa asing. Akan tetapi,

yang lazim terjadi adalah orang segera terlibat dalam konsep-konsep teoretis dan metodologis

tanpa menyadari bahwa semua itu memiliki proses dialog dan dialektika yang rumit dengan

sejarah dan sistem nilai suatu kultur (kebudayaan). Akibatnya, rumusan pengertian yang

akurat tentang hakikat teori satra belum tuntas dilakukan. Istulah-istilah yang digunakan

untuk menyebutkan konsep-konsep yang mendasar pun masih simpang-siur, apakah ilmu

sastra atau teori sastra.

Menurut Wellek dan Warren dalam Teori Kesusastraan (1993: 37-46), dalam wilayah

sastra perlu dibedakan dahulu antara sastra di satu pihak dengan teori sastra, kritik sastra, dan

sejarah sastra di pihak lain. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif. Sedangkan teori sastra, kritik

sastra, dan sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra. Teori sastra adalah studi prinsip,

konsep, kategori, dan kriteria yang dapat diacu dan dijadikan titik tolak dalam telaah di

bidang sastra. Sedangkan studi terhadap karya-karya konkret disebut kritik sastra dan sejarah

sastra.

Secara umum yang dimaksud dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan

sistematik yang menerapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati.

Teori berisi konsep atau uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan

dari suatu titik pandang tertentu. Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan dicek
kebenarannya (diverifikasi) atau dibantah kesahihannya pada objek atau gejala-gelaja yang

diamati tersebut.

Teori sastra bekerja dalam bidang teori, misalnya penyelidikan tentang hal-hal yang

berhubungan dengan pengertian sastra, prinsip, hakikatnya, jenisnya, dasar-dasarnya, kriteria,

kategori, dan berbagai hal tentang sastra. Teori sastra hanya dapat disusun berdasarkan studi

langsung terhadap karya sastra dan harus menciptakan dasar konsep yang universal, atau

sekurang-kurangnya konsep umum yang dapat dipakai untuk mendeskripsikan dan

menjelaskan fakta-fakta sastra. Dengan demikian, teori sastra merupakan cabang ilmu sastra

yang berusaha merumuskan pengertian sastra, hakikat dan prinsip-prinsip sastra, melakukan

klasifikasi terhadap jenis-jenis dan ragam-ragam karya sastra, serta menyodorkan bagaimana

analisis, interpretasi, dan evaluasi terhadap karya-karya sastra secara konkret dapat

dilakukan.

b. Kritik Sastra

Kritik sastra dimulai pada saat orang bertanya apa dan dimana nilai dan makna serta

fungsi karya sastra yang dihadapinya. Kritik sastra (literary criticism) merupakan salah satu

bidang ilmu sastra. Istilah lain yang juga digunakan untuk kritik sastra ini adalah telaah

sastra, pengkajian sastra, analisis sastra, pembahasan sastra, ulasan sastra, dan penelitian

sastra. Untuk dapat menghasilkan suatu kritik sastra yang baik, diperlukan kemampuan

mengapresiasi karya sastra, pengalaman yang banyak dalam menelaah, mengkaji,

menganalisis, mengulas, dan meneliti karya-karya sastra, serta penguasaan terhadap teori-

teori sastra. Hal lain yang juga diperlukan adalah pengalaman yang cukup dalam kehidupan

yang bersifat literer (berkaitan dengan sastra dan nonliterer (berkaitan dengan berbagai aspek

kehidupan pada umumnya.

Secara etimologis, kata kritik (sastra) yang kita kenal sekarang berasal dari kata krites

(Yunani) yang berarti hakim. Kata krites (kata benda) sendiri semula berasal dari kata krinein
(kata kerja) yang berarti menghakimi, membanding, atau menimbang. Kata krinein juga

merupakan pangkal dari kata benda kriterion yang berarti dasar pertimbangan atau dasar

penghakiman. Selanjutnya, kata kritikos (Yunani Kuno) pada mulanya sebutan kepada kaum

pergamon pimpinan Crates untuk membedakannya dengan kaum grammatikos (ahli tata

bahasa atau bahasawan) pimpinan Aristarchus di Alexsandria, Yunani. Pada abad ke-2 M

istilah kritikos digunakan searti dengan grammatikos (Pradotokusumo, 2008).

Dalam sastra latin klasik terdapat istilah criticus. Kata criticus (ahli kritik) mengandung

arti lebih tinggi daripada grammatikus (ahli tata bahasa) dengan penjelasan bahwa istilah

criticus juga berarti penafsir naskah dan penafsir kata-kata. Pengertian criticus atau kritikos

dalam khazanah sastra Barat (Eropa) sebagai literarycriticism (dalam sastra Inggris) muncul

dan berkembang lewat jasa ahli retorika Quintilianus dan ahli pikir Aristoteles sering

mempergunakan kata tersebut (Hardjana, 1981:2; Pradotokusumo, 2008:55-56). Dalam

perkembangannya sampai dengan saat ini, istilah dan pengertian kritik sastra sudah cukup

kuat dan berdiri sendiri sebagai bidang ilmu sendiri.

Meskipun pengertian kritik sastra beragam, namun pemahaman orang tentang kritik sastra

semakin menguat sejalan dengan perkembangan disiplin ilmu sastra. Rene Wellek dan Austin

Warren dalam buku Teori Kesusastraan (1993) menyatakan bahwa kritik sastra memiliki

pengertian pembicaraan tentang karya sastra tertentu. M. H. Abrams dalam Glossary of

Literary Terms (1981) menerangkan bahwa kritik sastra adalah cabang ilmu yang berurusan

dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian terhadap karya sastra. Rachmat

Djoko Pradopo (1988) menyatakan kritik sastra adalah pertimbangan baik-buruknya karya

sastra. H. B. Jassin (1917-2000) dalam Tifa Penyair dan Daerahnya (1983:95) menyatakan

bahwa kritik sastra adalah “penilaian baik buruknya suatu hasil kesusasteraan dengan

memberikan alasan-alasan mengenai isi dan bentuknya.”


Partini Sardjono Pradotokusumo dalam Pengkajian Sastra (2008:57) menyatakan kritik

sastra merupakan “kegiatan penilaian yang ditunjukkan pada karya sastra atau teks sastra.”

Andre Hardjana dalam Kritik Sastra : Sebuah Pengantar (1981:11) merumuskan definisi

kritik sastra sebagai “hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya

sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan dalam bentuk tertulis.”

Apakah kritik sastra sebagai ilmu? J. U. Nasution menyatakan bahwa kritik sastra

merupakan bagian dari ilmu sastra jika yang dimaksudkan dengan ilmu ialah adanya

pemcahan masalah sesuai dengan tuntutan ilmu itu sendiri. S. Effendi menyatakan kritik

sastra bukan ilmu, bukan pula seni, kritik sastra menentukan sendiri dunianya.

Pradotokusumo (2008:58) menyatakan, di satu sisi tampak kritik sastra merupakan karya

ilmiah, namun di sisi lain kritik sastra adalah hasil kajian karya seni. Sebagai karya ilmiah,

kritik sastra memerlukan pengkajian atas kekurangan dan kelebihannya serta membutuhkan

penerapan prinsip-prinsip umum. Sebagai hasil kajian karya seni, kritik sastra termasuk

produk atau hasil karya yang membangkitkan semangat atau kegairahan.

Dalam menentukan nilai atau penghakiman atas karya sastra yang dihadapinya, seorang

kritikus sastra tidak bertindak semaunya. Dalam mengemukakan kritiknya, seorang kritikus

melewati suatu proses penghayatan keindahan yang hampir serupa dengan proses

penghayatan seorang pengarang dalam melahirkan atau menciptakan karya sastra. Perbedaan

dari dua penghayatan itu terletak pada pangkal tolak dan titik akhirnya.

Penghayatan keindahan seorang kritikus sastra bermula dari pengamatan dan pencernaan

jiwanya atas suatu karya sastra. Setelah mengalami proses penghayatan keindahan itu,

seorang kritikus merasa menemukan nilai, tetapi tidak menciptakan nilai. Proses penghayatan

nilai itu tidak lain adalah proses penghayatan atau pengalaman estetik (aisthetes). Hasil dari

penghayatan estetik atas sebuah karya sastra itulah yang disebut kritik sastra. Penghayatan

estetik ini tidak selalu mudah karena suatu karya sastra yang diciptakan untuk semua orang
seringkali tidak dapat diresapi oleh setiap orang. Apabila hal tersebut terjadi, menurut Andre

Hardjana (1981:16), ada dua kemungkinan, yakni pembacanya tertutup untuk menyerap

sastra yang halus dan tinggi, atau karya sastra itu tidak cukup kuat untuk menggerakkan hati

dan minat penikmat atau pembaca.

Dalam kritik sastra, ada tiga jenis penilaian, yaitu penilaian absolut, penilaian relatif, dan

penilaian perspektif. Penilaian absolut dipengaruhi paham positivisme ketika perkembangan

ilmu pengetahuan alam menggiring penilaian pada sastra yang menghasilkan penilaian benar

atau salah serta baik atau buruk terhadap sebuah kara sastra. Penilaian relatif didasarkan pada

impresi (kesan) kritikus terhadap karya sastra. Oleh karena itu, sepuluh kritikus bisa jadi akan

menghasilkan sepuluh penilaian. Adapun penilaian perspektif menekankan pada berbagai

kemungkinan lain ketika satu pendekatan dengan teori tertentu tidak sesuai dengan unsur

intrinsik karya sastra tersebut. Melalui penilaian perspektif inilah kekayaan teks digali dan

diungkapkan. Dari situlah pendekatan baru ditawarkan, teori baru dapat dirumuskan.

Pemikiran tentang kritik sastra berkisar seputar bagaimana kritik sastra menjalankan

fungsinya, pendekatannya, dan mengembangkan teori kritik sastra (theoritical criticism) yang

representatif. Muaranya berkutat pada tiga bidang kegiatan ilmu sastra, meliputi teori sastra

(literary theory), sejarah sastra (literary history), dan kritik sastra (literary criticism). Objek

kajian kritik sastra adalah karya sastra. Penting dipahami, hakikat kritik sastra adalah evaluasi

dan penilaian terhadap karya sastra, di dalamnya melekat pula apresiasi terhadap sastra. Jadi,

bukan perkara pujian (hujatan), melainkan elusidasi (penguraian) dan eksplanasi (keterangan)

yang meliputi deskripsi, interpretasi, analisis, evaluasi, dan penilaian terhadap karya sastra.

Buku tentang kritik yang pertama dan lengkap yang kemudian dipandang sebagai sumber

dari pengertian kritik sastra modern berjudul Criticus karya Julius Caesar Scalinger (1484-

1558). Buku ini merupakan jilid ke-6 dari rangkaian bukunya yang berjudul Poetica. Dalam

buku tersebut Scalinger mengadakan penyelidikan dan perbandingan antara pujangga-


pujangga Yunani dan Latin dengan titik berat pada usaha pertimbangan, penyejajaran, dan

penghakiman terhadap Homerus guna mengagungkan Vergillius. Berkat usahanya yang luar

biasanya ini, ia mendapatkan julukan sebagai kritikus besar di kalangan sastrawan Perancis

(Hardjana, 1981:3).

Dalam sejarah sastra Indonesia, kritik sastra tidaklah merupakan tradisi asli dalam

masyarakat Indonesia. Istilah dan pengertian kritik sastra baru dikenal setelah para sastrawan

Indonesia memperoleh pendidikan Barat (Eropa) pada awal abad XX. Sebelum itu, penilaian

atas karya sastra dalam bahasa-bahasa daerah hanyalah terjadi dalam hubungannya dengan

kepercayaan, agama, dan mistik.

Baru pada tahun 1930-an lewat majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sultan Takdir

Alisjabana (STA) tradisi kritik sastra mulai bertumbuh dan terus berkembang. Kritikus sastra

pun mulai bermunculan. Yang paling menonjol dari sekian banyak kritikus sastra pada masa

itu adalah H. B. Jassin. Kedudukan kritik sastra dalam sastra Indonesia menjadi kokoh setelah

H. B. Jassin menerbitkan bukunya yang sangat terkenal dengan judul Kesusasteraan

Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (1945) yang kemudian dikembangkan dan diperluas

wilayahnya hingga mencapai empat jilid buku. Buku-buku kritik sastra H. B. Jassin inilah

yang kemudian menjadi acuan dna model kritik sastra Indonesia selanjutnya. Kritikus sastra

Indonesia yang lain adalah A. Teeuw, M. S. Hutagalung, Umar Junus, Dami N. Toda, Jakob

Sumardjo, Rachmad Djoko Pradopo, Maman S. Mahayana, dan lain-lain.

F. Pendekatan Sastra Dan Teori Sastra

1. Hakikat Pendekatan Sastra

Dalam upaya melakukan pengkajian atau penelitian terhadap karya sastra ada sejumlah

istilah sekaligus langkah kegiatan yang berhubungan bahkan bergantung satu sama lain.

Sejumlah istilah dan langkah kegiatan itu adalah pendekatan,teori,metode, dan teknik. Secara

sederhana pendekatan/ approach adalah cara-cara menghampiri objek karya sastra. Teori
adalah cara-cara untuk mengarahkan sebuah analisis terhadap karya sastra. Sedangkan,

metode adalah cara-cara mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan data-data karya

sastra. Teknik adalah kiat-kiat menggunakan alat/ instrumen dalam mengolah data-data untuk

kepentingan analisis. Secara defenitif metode dan teknik kurang memiliki batas-batas yang

jelas, terkadang sebuah metode disebut juga sebagai teknik.

Pendekatan sering juga disebut penghampiran perspektif, titik pijak, sudut pandang, dan

dimensi. Pendekatan adalah perlakuan terhadap objek, sebagai sudut pandang etik, demikian

juga sebaliknya, bagaimana memahami objek sebagai sudut pandang emik. Dalam

pendekatan terjadi hubungan timbal balik antara cara pandang etik dan emik. Menurut Ratna

(2013: 340), pendekatan dikaitkan dengan (1) ilmu tertentu, seperti pendekatan historis,

pendekatan biografis, pendekatan sosiologis, dan sebagainya, (2) jangkauan, seperti

pendekatan secara makro dan mikro, pendekatan pendekatan monodisiplin dan multidisiplin,

(3) sudut pandang tertentu, seperti pendekatan ekstrinsik dan intrinsik, (4) kesatuan dimensi,

seperti pendekatan objektif, dan pragmatik. Dalam setiap pendekatan terkandung teori, koma,

metode, dan teknik. Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk menentukan kadar

pembedaan, pengertian antara pendekatan, teori, metode, dan teknik, yakni (1) dengan cara

membedakan tingkat abstraksinya, (2) dengan cara memperhatikan faktor mana yang lebih

luas ruang lingkup pemakaiannya, dan (3) dengan cara memperhatikan hubungannya dengan

objek, dalam hal ini karya sastra. Secara hierarkis, tingkat abstraksi yang tertinggi dimiliki

oleh pendekatan, teori, metode, dan teknik. (Ratna, 2009: 37).

Pendekatan merupakan cara-cara menghampiri objek penelitian, yakni karya sastra.

Tujuan pendekatan adalah pengakuan terhadap keilmiahan sebuah objek. Oleh karena itu,

pendekatan lebih dekat dengan bidang studi keilmuan tertentu. Pendekatan merupakan aspek

atau bidang yang agak luas ruang lingkup dan tingkat abstraksinya, dengan pertimbangan

bahwa pendekatan mengimplikasikan cara-cara memahami hakikat bidang keilmuan tertentu.


Pendekatan tertentu manfaat kajian yang akan diharapkan, baik secara teoritis maupun

praktis, baik terhadap peneliti secara individu maupun terhadap masyarakat secara. Dalam

pendekatan juga terkandung kemungkinan apakah penelitian dapat dilakukan. Masing-masing

pendekatan mempunyai kekhasan dan perbedaan antara yang satu dengan lainnya.

Pendekatan objektif, misalnya berbeda dengan pendekatan ekpresif, pragmatik, dan berbeda

pula dengan pendekatan mimetik. Perbedaan ini disebabkan dari sudut mana peneliti

memandangnya, kendala-kendala apa yang akan dihadapi dalam proses penelitian, dan

kemungkinan penerimaan masyarakat terhadap hasil penelitian tersebut (Ratna, 2009:54)

Pada dasarnya, dalam rangka melaksanakan suatu pengkajian atau analisis terhadap karya

sastra, pendekatan mendahului teori, kemudian metode, dan terakhir teknik. Artinya,

pemahaman mengenai pendekatannya harus ditentukan lebih dahulu, kemudian diikuti

dengan penentuan jenis teori yang digunakan. Setelah teori ditentukan baru metode apa yang

digunakan, yang terakhir adalah penentuan tekniknya sebagai langkah operasional.

Dalam buku ini tidak dibahas hal-hal yang berkaitan dengan metode dan teknik. Titik

berat pembahasan adalah jenis-jenis teori sastra yang dilahirkan sejumlah pendekatan. Atau

dengan kata lain, teori-teori sastra yang berinduk pada sejumlah pendekatan sastra. Teori

sastra yang dikemukakan juga terbatas pada teori-teori sastra yang dikenal luas yang dapat

digunakan dalam mengkaji karya sastra di Indonesia.

2. Pendekatan-pendekatan dalam Karya Sastra

a. Pendekatan

Pendekatan merupakan suatu usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk

mengadakan hubungan dengan objek yang diteliti atau metode-metode untuk mencapai

pengertian masalah penelitian, yaitu :

1. Penyelidikan terhadap suatu peristiwa atau pembuatan ataupun karangan untuk

mengetahui keadaan yang sebenarnya, duduk perkaranya, dan sebab-musababnya.


2. Penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri

serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertia yang tepat dan pemahaman

arti keseluruhan.

3. Penjabaran tentang sesuatu setelah dikaji dengan sebaik-baiknya

4. Proses pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenaran persoalan

5. Proses akal yang memecahkan masalah kedalam bagian-bagiannya menurut metode

yang konsisten untuk mencapai pengertian tentang prinsip-prinsip dasarnya (KBBI,

1988)

Berdasarkan pengertian tersebut, maka pendekatan karya sastra berarti suatu usaha

ilmiah yang dilakukan seseorang dengan menggunakan logika rasional dan metode tertentu

secara konsisten terhadap unsur-unsur karya sastra sehingga menemukan perumusan umum

tentang keadaan yang diselidiki. Pendekatan karya sastra merupakan suatu strategi untuk

memahami dan menjelaskan temuan tentang fiksi yang diselidiki. Didalamnya di tuntut suatu

proses kerja yang sistematis dan objektif dengan landasan berpikir logis.

Analisis karya sastra dinyatakan sebagai kegiatan ilmiah karena didalamnya berlaku

prinsip-prinsip kerja ilmiah yang mendasarinya. Analisis karya sastra dilakukan dengan

kemauan seobjektif mungkin, dan tidak dilandasi pandangan subjektif penganalisis. Analisis

karya sastra bukanlah sekedar pembicaraan apresiatif yang hanya menuntut penjelasan sekilas

secara umum dengan data-data yang acak. Analisis karya sastra menuntut penjelasan yang

cermat dan didukung oleh data-data yang rumit. Jika apresiasi tidak terlalu menuntut tahapan-

tahapan kerja yang jelas, maka di dalam kerja analisis dituntut prosedur kerja yang dilakukan

secara cermat dari satu tahap ke tahap berikutnya. Tahap-tahap kerja harus dilakukan

sebagaimana semestinya dan tidak dapat dibolak-balik. Prinsip inilah yang berlaku dalam

analisis karya sastra sehingga kerja analisis ini dapat dinyatakan sebagai suatu pekerjaan

ilmiah.
Secara umum, analisis karya sastra bertujuan untuk menemukan keadaan unsur-unsur

karya sastra dan karakteristik hubungan antar unsur tersebut sehingga ditemukan suatu

kesimpulan sebagai hasil penilaian terhadap karya sastra tersebut. Berdasarkan penghayatan

dan penganalisisan, seseorang dapat mengemukakan pembahasan, kesimpangan, dan

pendapatannya tentang kualitas dan keunikan sebuah karya sastra. Secara khusus analisis

drama bertujuan untuk memahami keunggulan sebuah karya sastra, ciri-ciri khusus sebuah

drama yang membedakannya dengan karya sastra lain, memahami obsesi pengarang,

menerapkan dan menguji keampuan teori sastra, dan memungkinkan munculnya teori sastra

yang lebih sesuai dan relevan dengan sesuatu jenis karya sastratersebut. Tahapan analisis

karya sastra jika diperinci meliputi kegiatan berupa (1) pembacaan (2) penginventarisasian

(3) pengidentivikasian (4) penginventarisan (5) pembuktian dan (6) penyimpulan serta

pelaporan. Pembacaan sastra untuk kepentingan analisis berbeda dengan pembacaan untuk

kepentingan penikmat. Membaca karya sastra menyebabkan orang hanyut dalam materi

sastra yang dibacanya. Pembaca cenderung ikut “trence” dan hanyut dengan perkembangan

permasalahan dan pergerakan tokoh sastra. Pembaca melibatkan dirinya dengan imajinasi

pengarang. Sehingga pembaca memang sering kali melanjutkan pembacaan sastra dengan

mengembangkan imajinasinya, karena dengan cirinya yang khusus, sastra memang harus

mengundang imajinasi terutama pada suatu pemvisualisasian. Membaca seperti ini hanya

berguna untuk sampai pada tahap penikmatan. Pembacaan untuk kepentingan analisis,

pembaca harus bisa menjaga jarak dengan tokoh-tokoh sastra dan permasalahan yang

dihadapi tokoh sastra tersebut. Pembacaan harus dilakukan dengan persiapan tertentu dari

pembacanya agar tidak melihat permasalah sastra dengan emosional, tetapi rasional.

Penginvetarisasian merupakan langkah pencatatan data sastra tentang unsur-unsur

sastra. Setiap pencatatan harus dilakukan dengan cermat tanpa memberikan data yang sekecil

apapun lewat begitu saja. pencatatan harus dilakukan tanpa pertimbangkan apakah data itu
penunjang niat penyelidik atau tidak, dan dengan prinsip bahwa semua data yang terdapat

dalam sastra ada fungsi dan maksudnya. Penganalisasan yang mengabaikan data tertentu

mungkin karena tidak menyukainya atau karena dianggap tidak penting, berarti ia telah

melakukan keteledoran dari sudut penyelidikan ilmiah. Tentunya hal semacam ini merusak

kredibilitas sebagai penganalisis sastra (sebagai genre sastra).

Pengidentifikasian berarti suatu usaha pengelompokan-pengelompokan data yang

telah diinventaris. Pengelompokan data itu pada dasarnya menyangkut kesamaan data ,

perbedaan data, hubungan data, dan menentukan kedudukan dan fungsi data tersebut.

Identifikasi tersebut bisa dipandang dari kesamaan makna, fungsi, kedudukan, sebab dan

akibatnya. Begitu pula memandang perbedaannya juga dapat dipandang dari makna, fungsi,

kedudukan dan sebab akibat.

Penginterpretasian merupakan tahapan pemberian makna dari data yang telah ada.

Didalamnya dapat dimulai dengan penelusuran terhadap hubungan antarunsur, kemungkinan-

kemungkinan latar belakang dan tujuan data. Proses interpretasi diperlakukan karena prinsis

drama sebagai suatu fiksionalitas tidak menekan permasalahan sebagaimana adanya, akibat

adanya imaginasi dalam proses penciptaan. Dengan imajinasi berarti data fiksi merupakan

tanda-tanda, perlambang, ataupun simbol dari maksud yang sebenarnya. Tahapan interpretasi

merupakan usaha penganalisis mengembalikan data imajinatif ke data objektif dengan

menapis kembali imajinasi dalam data tersebut. Interpretasi merupakan penapisan unsur

imajinasi.

Tahapan kerja berikut adalah pembuktian. Usaha ini sangat diperlukan agar

penganalisis tidak terjebak dengan subjektivitas disaat menginterpretasikan data. Pembuktian

merupakan pencarian bukti, contoh, menalar hubungan hasil interpretasi dengan bukti dan

peneliti menganalisis, yakni dengan tidak mengabaikan bukti dengan tidak mengabaikan

bukti dengan contoh yang menurut penganalisis tidak relevan. Seandainya tidak ditemukan
bukti dan contoh bertentangan dengan interpretasi sebelumnya, berarti interpretasi semula

yang harus direvisi dengan mencari kemungkinan interpretasi lain.

Penyimpulan merupakan tahap berikutnya, yakni menyusun kesimpulan-kesimpulan

dari permasalahan-permasalahan kecil. Setiap unit hasil interpretasi yang telah dibuktikan

dengan contoh haruslah disimpulkan. Dan beberapa hasil kesimpulan tersebut, akan dibentuk

kesimpulan yang lebih besar, demikian seterusnya. Dengan demikian berakhirlah tahap

pencarian, penelusuran, dan pemahaman sastra, tahap kerja berikutnya tinggal menyusun

simpulan-simpulan tersebut menjadi sebuah karangan. Dengan selesainya penulisan karangan

atau pelaporan, maka selesailah analisis sastra.

Tahapan analisis sastra atau teks sastra lainnya akan selalu tetap, tetapi dapat berbeda-

beda prosedur kerjanya sesuai dengan hal-hal yang diinginkan penganalisis. Perbedaan

prosedur kerja sangat ditentukan oleh pendekatan analisis yang menjadi landasan kerja dan

metode yang digunakan. Dalam penyelidikan karya sastra pada umumnya secara tradisional

telah dikenal dua pendekatan, yaitu pendekatan ekstrinsik dan pendekatan instrinsik.

Pendekatan ekstrinsik merupakan pendekatan dalam menyelidiki karya sastra dengan

menggunakan ilmu bantu di luar ilmu sastra, seperti memanfaatkan prinsip-prinsip sejarah,

sosiologi, psikologi, ideologi, filsafat dan lain-lain, sedangkan pendekatan instrinsik adalah

pendekatan yang menyelidiki karya sastra dengan menerapkan teori dan kaidah sastra yang

menelaahannya bertolak dari karya sastra itu sendiri.

M.H. Abrams berdasarkan penyelidikannya menyimpulkan empat karakteristik

pendekatan analisis sastra, yaitu:

(1) pendekatan objektif, merupakan suatu pendekatan yang hanya menyelidiki karya

sastra itu sendiri tanpa menghubungkan dengan hal-hal di luar karya sastra. pendekatan ini

tidak memandang perlu menghubungkan karya sastra dengan pengaran sebagai penciptanya,

dengan kenyataan alam semesta atau realitas objektif sebagai sumber penciptaan, dan dengan
pembaca sebagai sasaran penciptaan. Pendekatan ini bertahan dan sangat ketat menjaga

otonom karya sastra. Oleh sebab itu, tidak perlu menyelidiki karya sastra dengan unsur-unsur

di luar sastra

(2) pendekatan mimesis, merupakan suatu pendekatan yang setelah menyelidiki karya

sastra sebagai sesuatu yang otonom, masih merasa perlu dihubung-hubungkan hasil temuan

itu dengan realita objektif. Betapapun sebuah karya sastra sebagai otonom tetap masih

mempunyai hubungan dengan sumbernya, dan sampai sejauh mana hubungan tersebut perlu

diselidiki lebih lanjut. Otonomi sastra tidak berarti menghambat pencaharian hubungan data

imajinatif dengan data normatif dan data praktis dalam masyarakat yang menghidupkan dan

menyuburkan karya sastra tersebut.

(3) pendekatan ekspresif, merupakan pendekatan yang telah menyelidiki karya sastra

sebagai sesuatu yang otonom, masih merasa perlu mencari hubungannya dengan pengarang

sebagai penciptanya. Pendekatan ini amat memandang penting menghubungkan karya sastra

dengan pengarang, karena betapapun karya sastra merupakan hasil ekspresi pengarangnya.

(4) pendekatan pramatis, merupakan pendekatan yang memandang penting

menghubungkan hasil temuan dalam sastra itu dengan pembaca sebagai penikmat.

Pendekatan ini berkeyakinan jika temuan sastra harus dihubungkan dengan yang diluar

dirinya, maka pembacanyalah yang penting. Tidak ada karya yang diciptakan dengan maksud

untuk tidak dibaca pembaca. Oleh sebab itu, sampai sejauh mana pembaca mendapatkan

manfaat dan kenikmatan dari karya yang dibacanya perlu diselidiki.

Pendekatan analisis fiksi yang dikemukakan Abrams tersebut sering dicocokkan oleh

sebagian penganalisis, bahwa pendekatan mimesis, ekspresif dan pragmatisnya Abrams

terangkum di dalam pendekatan ekstrinsi, sedangkan pendekatan objektifnya Abrams.

Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, karena pendekatan ekstrinsik memanfaatkan ilmu

bantu di luar ilmu sastra untuk memahami karya sastra, sedangkan pendekatan mimesis,
ekspresif, dan pragmatis, dalam memahami karya-karya sastra tidak memanfaatkan hal-hal di

luar sastra. pemanfaatan prinsip-prinsip ilmu lain hanyalah dalam menghubungkan temuan

karya sastra dengan pengarang, karya sastra dengan realitas objektif, dan karya sastra dengan

pembaca. Dengan demikian, pendekatan ekspresif sebenarnya menggunakan dua variable

dalam penelitiannya, yakni variabel dalam penelitiannya, yakni variable karya sastra dan

pengarang, pendekatan mimesis juga dua variabel yaitu karya sastra dengan realitas objektif,

begitu juga dengan pendekatan pragmatis, yaitu variabel karya sastra dan pembaca.

Pendekatan ekstrinsik hanya menggunakan satu variabel saja, yakni karya sastra, dengan

memanfaatkan dua prinsip ilmu sekaligus, yaitu disiplin ilmu sastra dan disiplin ilmu lain-

lainnnya.

Untuk memahami pendekatan analisis sastra dijelaskan ciri-ciri khas masing-masing

pendekatan.

PENDEKATAN OBJEKTIF

Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang sangat mengutamakan penyelidikan

karya sastra berdasarkan kenyataan teks sastra itu sendiri. Hal-hal yang di luar sastra,

walaupun masih ada hubungannya dengan sastra dianggap tidak perlu dijadikan

pertimbangan dalam menganalisis karya sastra. pengarang dan realitas objektip dianggap

sebagai unsur penunjang, karena tidak perlu digubris. Dengan demikian, pendekatan objektip

prinsip otonomi sangat ketat dalam praktek kerjanya karya sastra.

Pendekatan objektip identik dengan pendekatan sinkronik dalam ilmu-ilmu lain yang

mulai tumbuh dan berkembang sejak permulaaan abad ke-20. Jika perwujudan pendekatan

sinkronik ini dalam bidang bahasa dimulai Ferdinand de Sausurre dengan pendekatan

struktural, dalam bidang ilmu sastra yang dimulai oleh Roman Jakobson dengan formalisme.

Pandangan objektip erat hubungannya dengan perubahan pandangan dalam ilmu bahasa

karena bahasa merupakan bentuk formal teks sastra. Penelitian bahasa menurut Saussurre
harus mendahulukan bahasa sebagai sistem yang sinkronik, makna dan fungsi unsur-

unsurnya hanya dapat dipahami dalam keterkaitannya dengan unsur-unsur lain, sifat utama

dan fungsi sistem tanda ialah sifat rasionalnya, yang berarti unsur-unsur harus dipahami lebih

dahulu sebelum menyimpulkan keseluruhan hubungan unsur.

Prinsip dasar ini berlaku pula dalam pendekatan objektif yang memandang karya sastra

lebih mendahulukannya sebagai sistem sinkronik sebelum melakukan penelitian sebagai

sistem diakronik dan historik. Sistem sinkronik suatu drama adalah struktur bahasa. Oleh

sebab itu, penyelidikan bahasa teks sastra merupakan prioritas utama dibandingkan dengan

hubungannya dengan pengarang, pembaca, realitas objektif. Pandangan ini pulalah yang

dianut. Hal ini dilakukan pada teks sastra untuk membebaskan ilmu sastra dari kungkungan

ilmu-ilmu lain, seperti filsafat, sejarah, psikologi atau kebudayaan. Usaha pencarian kekhasan

bahasa sastra dan bahasa lain menjadi titik awal kaum formalis, untuk seterusnya memahami

kekhasan bahasa sastra tersebut.

Karya sastra dipandang sebagai tanda yang pada mulanya dianggap otonom, tetapi

kemudian dianggap punya hubungan dengan acuan yang semula. Sehingga unsur-unsur

drama seperti peristiwa penokohan, dan latar merupakan tanda-tanda yang harus ditafsirkan

bukan diterima sebagai tanda yang perlu ditafsirkan. Penafsiran unsur-unsur diperlukan

terlebih dahulu sebagai konsekuensi dari pandangan sinkronik, baru kemudian menyimpulkan

hubungan antar unsur dilakukan. Dengan demikian, pendekatan objektif menerapkan analisis

struktural terhadap karya sastra dengan prinsip kerja utama, membongkar dan memaparkan

unsur-unsur secermat dan semendetail mungkin untuk kemudian disusun kembali secara

bersama-sama guna menghasilkan pengertian yang menyeluruh. Pengenalan gejala-gejala

unsur penting, tetapi tidak berhenti sampai di sana. Bagaimanapun, yang terpenting adalah

bagaimana semua gejala unsur tersebut terjalin dan terikat untuk membangun keseluruhan

dan kesatuan makna.


Ada beberapa alasan mengapa pendekatan objektif disenangi banyak pakar dalam

penyelidikan sastra, antara lain:

(1) Adanya anggapan bahwa karya drama setelah diciptakan drama tersebut terlepas dari

pengaruh ekstrinsiknya dan karya sastra itu telah utuh membentuk dunianya sendiri.

(2) Karya sastra sebagai objek penelitian tidak harus tergantung dengan prinsip ilmu lain

dalam menyelidikinya, hal ini sejalan dengan perkembangan ilmu manapun

(3) Jika pengarang, mempunya peranan utama dalam proses penciptaan, ternyata banyak

pengarang yang tidak dapat menjelaskan lagi latar belakang dan motif penulisannya

(4) Seringkali penjelasan pengarang tentang karyanya bertentangan dengan yang

ditangkap pembaca, pembacapun menerimanya beragam.

a. Pendekatan Mimetik

Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra berupa

memahami hubungan karya sastra dengan realitas atau kenyataan. Kata mimetik berasal dari

kata mimesis (bahasa Yunani) yang berarti tiruan. Dalam pendekatan ini karya sastra

dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan (Abrams, 1981). Untuk dapat menerapkannya

dalam kajian sastra, dibutuhkan data-data yang berhubungan dengan realitas yang ada di luar

karya sastra. Biasanya berupa latar belakang atau sumber penciptaa karya sastra yang akan

dikaji. Misal novel tahun 1920-an yang banyak bercerita tentang "kawin" paksa. Maka

dibutuhkan sumber dan budaya pada tahun tersebut yang berupa latar belakang sumber

penciptaannya.

b. Pendekatan Ekspresif

Pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra memfokuskan

perhatiannya pada sastrawan selaku pencipta karya sastra. Pendekatan ini memandang karya

sastra sebagai ekspresi sastrawan, sebagai curahan perasaan atau luapan perasaan dan pikiran

sastrawan, atau sebagai produk imajinasi sastrawan yang bekerja dengan persepsi-persepsi,
pikiran atau perasaanya. Kerena itu, untuk menerapkan pendekatan ini dalam kajian sastra,

dibutuhkan sejumlah data yang berhubungan dengan diri sastrawan, seperti kapan dan di

mana dia dilahirkan, pendidikan sastrawan, agama, latar belakang sosial budayannya, juga

pandanga kelompok sosialnya.

c. Pendekatan Pragmatik

Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana

untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat

berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama, maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya

pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai

tujuan tertentu bagi pembacannya (Pradopo, 1994).

Dalam praktiknya, pendekatan ini mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan

fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun fungsi sosial

lainnya. Semakin banyaknya nilai-nilai tersebut terkandung dalam karya sastra makan

semakin tinggi nilai karya sastra tersebut bagi pembacannya.

d. Pendekatan Objektif

Pendekatan objektif adalah pendekatan yang memfokuskan perhatian kepada karya sastra

itu sendiri. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai struktur yang otonom dan bebas

dari hubungannya dengan realitas, pengarangm maupun pembaca. Pendekatan ini juga

disebut oleh Welek & Waren (1990) sebagai pendekatan intrinsik karena kajian difokuskan

pada unsur intrinsik karya sastra yang dipandang memiliki kebulatan, koherensi, dan

kebenaran sendiri.

e. Pendekatan Struktural

Pendekatan struktural ini memandang dan memahami karya sastra dari segi struktur karya

sastra itu sendiri. Karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, bebas

dari pengarang, realitas maupun pembaca (Teeuw, 1984).Dalam penerapannya pendekatan ini
memahami karya sastra secara close reading. Atau mengkaji tanpa melihat pengarang dan

hubunga dengan realitasnya. Analisis terfokus pada unsur intrinsik karya sastrra. Dalam hal

ini setiap unsur dianalisis dalam hubungannya dengan unsur yang lain.

f. Pendekatan Semiotik

Pada kajian sastra, pendekatan semiotik memandang sebuah karya sastra sebagai sebuah

sistem tanda.Secara sistematik, semiotik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang,

sistem lambang, dan proses-proses perlambangan.Pendekatan ini memandang fenomena

sosial dan budaya sebagai suatu sistem tanda. Tanda tersebut hadir juga dalam kehidupan

sehari misal: bendera putih di depan gang, maka orang akan berpikir ada salah satu keluarga

yang sedang ada yang berduka. contoh lain adalah mendung: orang akan berpikir hujan akan

segera turun sebentar lagi. Tentu saja untuk memahaminya dibutuhkan pengetahuan tentang

latarbelakang sosial-budaya karya sastra tersebut dibuat.Tanda, dalam pendekatan ini terdiri

dari dua aspek yaitu: penanda (hal yang menandai sesuatu) dan petanda (referent yang diacu).

g. Pendekatan Sosiologi Sastra

Pendekatan sosiologi sastra merupakan perkembangan dari pendekatan mimetik.

Pendekatan ini memahami karya sastra dalam hubungannya dengan realitas dan aspek sosial

kemasyarakatannya. Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya

sastra tidak dapat lepas dari realitas sosial yang terjadi di suatu masyarakat (Sapardi Djoko

Damono 1979).

h. Pendekatan Resepsi Sastra

Resepsi berarti tanggapan. Dari pengertian tersebut dapat kita pahami makna resepsi

sastra adalah tanggapan dari pembaca terhadap sebuah karya sastra. Pendekatan ini mencoba

memahami dan menilai karya sastra berdasarkan tanggapan para pembacanya.

i. Pendekatan Psikologi Sastra


Wellek & Waren (1990) mengemukakan empat kemungkinan pengertian. Pertama adalah

studi psikologi pengarang sebgai tipe atau pribadi. Kedua studi proses kreatif. Ketiga studi

tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan dalam karya sastra.

Pengertian keempat menurut Wellek & Waren (1990) terasa lebih dekat pada sosiologi

pembaca.

j. Pendekatan Moral

Di samping karya sastra dapat dibahas dan dikritik berdasrkan sejumlah pendelatan yang

telah diuraikan sebelumnnya, karya sastra juga dapat dibahasa dan dikritik dengan

pendekatan moral. Sejauh manakah sebuah karya sastra menawarkan refleksi moralitas

kepada pembacanya. Yang dimaksudkan dengan moral adalah suatu norma etika, suatu

konsep tentang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnnya. Moral berkaitan erat

dengan baik dan buruk. Pendekatan ini masuk dalam pendekatan pragmatik

k. Pendekatan Feminisme

Pendekatan feminisme dalam kajian sastra sering dikenal dengan nama kritik sastra

feminis. Pendekatan feminisme ialah salah satu kajian sastra yang mendasarkan pada

pandangan feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam memandan eksistensi

perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra (Djananegara, 2000:15).

G. Sejarah Ilmu Sastra

Sastra sebagai ilmu masih sering diperdebatkan. Keberatan yang pernah diajukan kepada

ilmu sastra umum karena tidak ada perhatian yang bersifat individual, untuk karya

sastra sebagai sebuah karya seni yang unik. “Katanya, ilmu sastra hanya mau mencari skema-

skema bagaimana menceritakan suatu konvensi dalam puisi serta modul-modul komunikasi

tanpa menghiraukan cerita atau puisi yang satu-satunya itu, yang tak dapat diganti oleh

sebuah cerita atau puisi lain. Tidak menyingung persoalan, karena setiap ilmuwan sastra

berusaha merumuskan pengertian-pengertian umum. Ia ingin tahu sifat-sifat yang merupakan


ciri khas bagi semua karya sastra ataupun sekelompok karya sastra, lagipula kaidah-kaidah

serta konvensi secara khusus berlaku bila kita menghadapi teks - teks sastra, Luxemburg,

dkk (1989: 2 – 3).

Penolakan terhadap keberatan menyatakan ilmu sastra tidak hanya menekuni ilmu sastra

tidak hanya menekuni kaidahkaidah, sistem-sistem serta modul-modul. Seorang peneliti

sastra yang ada minat terhadap sejarah sastra tidak hanya memerhatikan sistem-sistem dan

perkembangan sastra. Ia (juga akan memerhatikan ciri-ciri khas yang terdapat dalam karya-

karya sastra masing-masing, (Luxemburg, dkk 1989:3).

Penolakan sastra sebagai ilmu juga diungkapkan oleh Wellek dan Warren. Mereka

berpendapat bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sedangkan

studi/ilmu sastra adalah cabang ilmu pengetahuan. Akan tetapi sejumlah teoretisi menolak

mentah-mentah bahwa telaah sastra adalah ilmu (1989: 3).Selain dari teoretisi sastra, pakar

ilmu alam berpendapat bahwa ilmu sastra tidak mampu mencapai taraf ilmiah karena dalam

kenyataannya ilmu sastra hanya mengimpor dasar-dasar ilmiah dari bidang lain.

Misalnyasosiologi, psikologi, tanpa memahami bahwa ilmu sastra dapat ditemukan dalam

sastra. Pendapat lainnya bahwa dalam memahami sastra, orang hanya memotong-motong

sastra dari sudut ilmu lain. Pendapat lain lagi, bahwa sastra dianggap tidak ilmiah karena

cara pemahaman sastra dianggap identik dengan omongan bertele-teletanpa konsep yang

jelas.

Keraguan terhadap keilmuan sastra masih juga bergaung sampai sekarang. Hal ini tidak

hanya di Universitas Amerika dan Inggris tetapi juga di Universitas Negara lain, termasuk

Indonesia.

Sastra dinyatakan tidak ilmiah karena kurang konsisten, kurang percaya diri, sehingga

tidak menghasilkan konsep yang jelas. Budi Darma (1990: 338, 343), berpendapat

kelemahan sastra sebagai ilmu di Indonesia disebabkan oleh dominasi studi kebahasaan.
Demikian juga para sarjana sastra Indonesia kurang banyak membaca dan cenderung

menerima segala sesuatu secara langsung lugas dan jelas, tanpa pertimbangan dan evaluasi

yang cermat.

Keraguan terhadap sastra sebagai ilmu di atas, akademisi sastra tidak membiarkan terus

berlangsung. Mereka menyusun dan merumuskan sastra sebagai ilmu yang sejajar dengan

ilmu lainnya. Selain itu langsung atau tidak ilmu sastra selalu mengedepankan inkuiri,

masalah, hipotesis terselubung dan jawaban terhadap inkuiri, masalah serta pembuktian

terhadap hipotesis terselubung (Darma, 1990:342). Tahap-tahap dalam ilmu sastra tidak

berjenjang secara hierarkis seperti dalam ilmu pada umumnya (dari pengetahuan,

pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan terakhir evaluasi), tetapi lebih bersifat melebar.

Tidak berat ilmu sastra adalah pada esensi karya sastra. Oleh karena itu, keilmiahan studi

sastra memiliki sifat tersendiri. Dengan demikian ilmu sastra memiliki keilmiahan sendiri.

H. Obyek Ilmu Sastra

Obyek Ilmu Sastraadalah kehidupan manusia yang sudah diabstraksikan dalam karya

sastra (Budi Darma, 1990: 338). Oleh karena itu, obyek utama ilmu sastra adalah karya

sastra. Karya sastra yang menjadi obyek ilmu sastra itu bersifat kreatif, imajinatif, intuitif,

bertitik tolak pada penghayatan, berupa abstraksi kehidupan. Tanpa karya sastra tidak

mungkin bicara ilmu sastra. Karya sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkap diri

tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta (Semi, 1993: 1).

Karya sastra adalah pengungkapan masalah hidup, filsafat dan ilmu jiwa. Sastrawan

dapat dikatakan sebagai ahli ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup,

kejiwaan bukan dengan cara teknis akademik, melainkan melalui karya sastra.

Karya sastra adalah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, emosi. Karya sastra juga

sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Karya

sastra adalah hasil ekspresi individual penulisnya. Oleh karena itu kepribadian, emosi, dan
kepercayaan penulis akan tertuang dalam karya sastranya. Karya sastra adalah hasil proses

kreatif. Karya sastra bukanlah hasil perkerjaan yang memerlukan keterampilan

sesuatu seperti membuat sepatu, kursi atau meja. Karya sastra memerlukan perenungan,

pengendapan ide, langkah tertentu yang berbeda antara sastrawan yang satu dengan sastrawan

yang lain.

Karya sastra memiliki bentuk dan gaya yang khas. Kekhasan karya sastra berbeda

dengan karya nonsastra. Kekhasan karya sastra harus dibedakan atas genre karya sastra, yaitu

puisi, prosa dan drama. Bahasa yang digunakan dalam karya sastra juga memiliki kekhasan.

Bahasa dalam karya sastra telah mengalami penyimpangan, pemutarbalikan dari bahasa

praktis sehari-hari. Bahasa yang sudah biasa dan dikenal diasingkan, disulap, digali dan

diberi makna baru atau diberi penambahan muatan maknanya. Oleh sebab itu karya sastra

dipandang sebagai wujud referensi wacana. Wacana sastra dipandang sebagai suatu

pemakaian bahasa tertentu bukan sebagai ragam bahasa tertentu.

Karya sastra mempunyai logika tersendiri. Logika karya sastra erat berkaitan dengan

konvensi karya sastra. Logika karya sastra mencakup isi dan bentuk karya sastra. Bentuk

pantun setiap bait terdiri atas empat baris. Setiap baris terdiri atas empat kata atau 9 – 10 suku

kata. Persajakan ab-ab. Dari isinya baris satu dan dua hanya merupakan pengantar

(sampiran), sedangkan isinya ada pada baris ketiga dan keempat. Semua itu merupakan

logika puisi yang disebut pantun. Berubah sedikit saja, berubah pula logikanya. Jika semua

berupa isi maka disebut syair. Dalam puisi ada yang tidak masuk akal jika

menggunakan logika biasa. Tetapi masuk akal dalam logika puisi. Dalam logika biasa tidak

mungkin lembaran daun berbunyi gemerincing apalagi seperti lonceng katedral. Tetapi

dalam logika puisi lembaran daun berbunyi gemerincing seperti lonceng katedral justru

logis. Dalam tersunyian, sedikit saja usikan akan terasa besar akibatnya hingga daun yang

jatuh saja dirasakan berbunyi.


Hal yang sama juga ditemukan bila membaca novel Rafilus karya Budi Darma. Tokoh

Rafilus digambarkan sebagai tokoh yang tubuhnya seperti terbuat dari besi tidak bisa

mati, kebal peluru, atau seperti setan. Penggambaran tokoh rafilus yang demikian masuk akal

dalam logika novel. Dalam kenyataan sehari-hari, hal itu tidak masuk akal. Dalam novel

Rafilus diperlukan untuk menekankan tema novel. Oleh karena itu logika dalam karya sastra

dinilai dalam kaitannya dengan penyajian karya sastra. Bukan dengan menggunakan ukuran

logika di luar sastra. Sebab itu logika dalam karya sastra disebut logika internal.

Karya sastra merupakan dunia rekaan (fiksi). Kata fiksi mempunyai makna khayalan,

impian, jenis karya sastra yang tidak berdasarkan kenyataan yang dapat dipertentangkan

dengan nonfiksi (cerita berdasarkan kenyataan). Dalam kenyataannya, karya sastra bukan

hanya berdasarkan khayalan, melainkan gabungan kenyataan dan khayalan. Semua yang

diungkapkan sastrawan dalam karya sastranya adalah hasil pengetahuan yang diolah oleh

imajinasinya.

Sastrawan memperlakukan kenyataan dengan tiga cara yaitu, manipulasi, artifisial,

interpretatif. Hanya kadar kenyataan dalam karya sastra yang berbeda untuk setiap karya

sastra. Karya sastra yang bersifat biografis, otobiografis, historis, catatan perjalanan, kadar

kenyataannya lebih dominan. Karya sastra mempunyai nilai keindahan tersendiri.

Karya sastra yang tidak indah tidak termasuk karya sastra. Setiap daerah, golongan, waktu

menentukan nilai keindahan yang berbeda. Saat Siti Nurbaya terbit, novel itu dianggap indah.

Keadaannya menjadi lain seandainya novel itu diterbitkan sekarang.

Karya sastra adalah sebuah nama yang diberikan masyarakat kepada hasil karya seni

tertentu. Hal ini mengisyaratkan adanya penerimaan secara mutlak oleh masyarakat sastra.

Penerimaan bukan berarti karya sastra harus mudah diterima oleh masyarakat dan sesuai

dengan selera masyarakat. Hal itu akan merosokkan nilai sastra. Karya sastra yang baik

juga tidak selalu sulit dipahami. Segala sesuatu yang dikatakan oleh masyarakat sastra
sebagai karya sastra pada suatu masa pada hakikatnya bisa dikelompokkam sebagai karya

sastra. Sebaliknya bagaimana pun baiknya suatu karya sastra berdasarkan obyeknya dan

dimaksud oleh penulisnya sebagai karya sastra bila masyarakat sastra menolaknya maka

hasilnya bukan karya sastra.

I. Tujuan Ilmu Sastra

Ilmu sastra telaah karya sastra secara ilmiah. Ilmu sastra membahas esensi ilmu sastra,

sejarah dan perkembangan ilmu sastra, metode ilmiah sastra, yang harus dikembangkan

ilmuwan atau calon ilmuwan sastra. Tujuan ilmu sastra sebagai berikut:

1. Ilmu sastra sebagai sarana pengujian pemahaman ilmiah sastra sehingga manusia

menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah sastra. Seorang ilmuwan sastra harus memili

sikap kritis terhadap bidang ilmunya sendiri sehingga dapat menghindarkan diri

dari sifat solipsistik mengganggap hanya pendapatnya yang paling benar.

2. Ilmu sastra merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode

keilmuan sastra. Kecenderungan yang terjadi di kalangan para ilmuwan sastra

modern menerapkan suatu metode ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu sastra.

Satu sikap yang diperlukan menerapkan metode ilmiah yang sesuai atau yang cocok

dengan struktur ilmu sastra, bukan sebaliknya. Metode ilmu sastra hanya sarana

berpikir bukan hakikat ilmu sastra.

3. Ilmu sastra memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan sastra. Setiap

metode ilmiah yang dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan

secara logis – rasional agar dapat dipahami dan dipergunakan secara umum.
Semakin luas penerimaan dan penggunaan metode ilmiah sastra, semakin valid

metode tersebut.

J. Ruang Lingkup Kajian Ilmu Sastra

Ilmu sastra mempunyai ruang lingkup kajian sebagai berikut.

1. Esensi ilmu sastra.

2. Teori sastra cabang ilmu sastra.

3. Sejarah sastra cabang ilmu sastra.

4. Kritik sastra cabang ilmu sastra.

5. Sastra perbandingan cabang ilmu sastra.

6. Sosiologi sastra cabang ilmu sastra.

7. Psikologi sastra cabang ilmu sastra.

8. Antropologi sastra cabang ilmu sastra.

1. Esensi Ilmu Sastra

Berbagai pengertian ilmu sastra telah dirumuskan secara sederhana dan luas oleh pakar

sastra. Pengertian ilmu sastra secara sederhana dan luas itu dapat ditemukan dalam beberapa

buku baik kamus, ensiklopedia maupun referensi sastra. Istilah ilmu sastra dalam bahasa

Inggris general literature atau literary study. Di Indonesia istilah ilmu sastra dipadankan

dengan studi sastra, kajian sastra, pengkajian sastra, telaah sastra.Dalam Pengantar Ilmu

Sastra: Teori Sastra, Badrun berpengertian bahwa ilmu sastra ilmu yang menyelidiki sastra

secara ilmiah. Ilmu sastra menyelidiki karya sastra secara ilmiah (1983: 11). Dalam Kamus

Istilah Sastra Indonesia, Eddy berpengertian bahwa ilmu sastra segala bentuk dan cara

pendekatan terhadap karya sastra dan gejala sastra (1991: 96). Dalam Kamus Sastra, Eneste

berpengertian bahwa ilmu sastra adalah bidang keilmuan yang obyek utamanya karya sastra

(1994: 47). Dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia, Hasanuddin mengemukakan bahwa ilmu
sastra dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah general literature meliputi semua

pendekatan ilmiah terhadap gejala sastra.

Dalam 9 Jawaban Sastra Indonesia, Mahayana berpengertian bahwa ilmu sastra ilmu

yang menyelidiki kesusastraan dengan berbagai masalahnya secara ilmiah (2003: 223). Ilmu

sastra adalah ilmu yang mempelajari karya sastra (2005 : 347). Dalam Wikipedia Bahasa

Indonesia, Ilmu sastra adalah ilmu yang menyelidiki tentang karya sastra secara ilmiah

dengan berbagai gejala dan masalah sastra. Sedangkan, sastra adalah lembaga social yang

menggunakan bahasa sebagai medium, dan bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial.

Demikian perumusan pengertian ilmu sastra secara sederhana, yaitu ilmu yang

menyelidiki karya sastra secara ilmiah dengan berbagai gejala dan masalah sastra. Pengertian

ilmu sastra secara luas dibeberkan di bawah. Dalam Pemandu di Dunia Sastra, Hartoko dan

Rahmanto menuliskan pengertian sastra sebagai berikut. Ilmu sastra dalam bahasa Inggris

general literature, meliputi semua pendekatan ilmiah terhadap gejala sastra. Obyek ilmu

sastra adalah unsur kesastraan yang menyebabkan sebuah ungkapan bahasa termasuk sastra.

Di samping unsur-unsur bahasa (struktur, gaya, fungsi politik) faktor-faktor historiko

pragmatik dan psikososial. Juga memainkan peranan (misalnya unsur rekaan dalam

komunikasi bahasa, perkembangan antara pengertian sastra dan sebagainya). Dalam

Pengantar Ilmu Sastra, Luxemburg dkk mengurai tentang ilmu sastra. Ilmu sastra meneliti

sifat-sifat yang terdapat di dalam teks-teks sastra, lagi bagaimana teks-teks tersebut berfungsi

dalam masyarakat (1989: 2).

Ilmu sastra umum merupakan sebuah telaah sistematik mengenai sastra dan komunikasi

sastra yang pada prinsipnya tidak menghiraukan batas-batas antarbangsa dan

antarkebudayaan (1989: 2).Dari berbagai uraian pengertian di atas rumusan ilmu sastra

sebagai berikut.

a. Ilmu sastra ilmu yang menyelidiki sastra secara ilmiah.


b. Ilmu sastra ilmu yang menyelidiki karya sastra secara ilmiah.

c. Ilmu sastra segala bentuk dan cara pendekatan ilmiah terhadap karya sastra dan gejala

sastra.

d. Ilmu sastra sebuah telaah sistematis mengenai sastra dan komunikasi sastra yang pada

prinsipnya tidak menghiraukan batas-batas antarbangsa dan antarkebudayaan.

a. Sejarah Ilmu Sastra

Sastra sebagai ilmu masih sering diperdebatkan. Keberatan yang pernah diajukan kepada

ilmu sastra umum karena tidak ada perhatian yang bersifat individual, untuk karya

sastra sebagai sebuah karya seni yang unik. “Katanya, ilmu sastra hanya mau mencari skema-

skema bagaimana menceritakan suatu konvensi dalam puisi serta modul-modul komunikasi

tanpa menghiraukan cerita atau puisi yang satu-satunya itu, yang tak dapat diganti oleh

sebuah cerita atau puisi lain. Tidak menyingung persoalan, karena setiap ilmuwan sastra

berusaha merumuskan pengertian-pengertian umum. Ia ingin tahu sifat-sifat yang merupakan

ciri khas bagi semua karya sastra ataupun sekelompok karya sastra, lagipula kaidah-kaidah

serta konvensi secara khusus berlaku bila kita menghadapi teks - teks sastra, Luxemburg,

dkk (1989: 2 – 3).

Penolakan terhadap keberatan menyatakan ilmu sastra tidak hanya menekuni ilmu sastra

tidak hanya menekuni kaidahkaidah, sistem-sistem serta modul-modul. Seorang peneliti

sastra yang ada minat terhadap sejarah sastra tidak hanya memerhatikan sistem-sistem dan

perkembangan sastra. Ia (juga akan memerhatikan ciri-ciri khas yang terdapat dalam karya

karya sastra masing-masing, (Luxemburg, dkk 1989:3).

Penolakan sastra sebagai ilmu juga diungkapkan oleh Wellek dan Warren. Mereka

berpendapat bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Sedangkan

studi/ilmu sastra adalah cabang ilmu pengetahuan. Akan tetapi sejumlah teoretisi menolak

mentah-mentah bahwa telaah sastra adalah ilmu (1989: 3).Selain dari teoretisi sastra, pakar
ilmu alam berpendapat bahwa ilmu sastra tidak mampu mencapai taraf ilmiah karena dalam

kenyataannya ilmu sastra hanya mengimpor dasar-dasar ilmiah dari bidang lain. Misalnya

sosiologi, psikologi, tanpa memahami bahwa ilmu sastra dapat ditemukan dalam sastra.

Teoritikus yang mentah-mentah menolak bahwa sastra mempunyai sejarah, W.P. Ker

mencoba membuktikan, misalnya, bahwa kita tidak membutuhkan sejarah sastra, karena

objek-objek sastra selalu ada, bersifat “abadi”, dan karenanya tidak mempunyai sejarah sama

sekali. T.S. Eliot juga membantah adanya “masa lampau” dari suatu karya sastra.

Pendapat lainnya bahwa dalam memahami sastra, orang hanya memotong-motong sastra

dari sudut ilmu lain. Pendapat lain lagi, bahwa sastra dianggap tidak ilmiah karena

cara pemahaman sastra dianggap identik dengan omongan bertele-teletanpa konsep yang

jelas.

Keraguan terhadap keilmuan sastra masih juga bergaung sampai sekarang. Hal ini tidak

hanya di Universitas Amerika dan Inggris tetapi juga di Universitas Negara lain, termasuk

Indonesia.

Sastra dinyatakan tidak ilmiah karena kurang konsisten, kurang percaya diri, sehingga

tidak menghasilkan konsep yang jelas. Budi Darma (1990: 338, 343), berpendapat

kelemahan sastra sebagai ilmu di Indonesia disebabkan oleh dominasi studi kebahasaan.

Demikian juga para sarjana sastra Indonesia kurang banyak membaca dan cenderung

menerima segala sesuatu secara langsung lugas dan jelas, tanpa pertimbangan dan evaluasi

yang cermat.

Berdasarkan keraguan terhadap sastra sebagai ilmu di atas, akademisi sastra tidak

membiarkan terus berlangsung. Mereka menyusun dan merumuskan sastra sebagai ilmu

yang sejajar dengan ilmu lainnya.

Sastra sebagai bidang kajian ilmiah baru dimulai pada abad 19. Para ilmuwan sastra

menginginkan agar pendekatan terhadap kegiatan manusia yang bernama sastra dapat
dilakukan secara ilmiah. Dengan demikian sastra berdiri sendiri sebagai satu bidang ilmu

yang eksis.

Sastra sebagai salah satu bidang ilmu berbeda dengan ilmu lainnya. Perbedaannya pada

perhatian, pada penghayatan, bukan pada kognisi. “Obyek ilmu sastra adalah

kehidupan manusia yang sudah terabstraksikan dalam karya sastra” (Budi Darma, 1990: 338).

Oleh karena itu dalam ilmu sastra, karya sastra sebagai obyek utama kajian memiliki

karakteristik khas yang berbeda dengan obyek-obyek kajian ilmu lainnya.

Kepekaan yang tinggi dituntut dalam ilmu sastra. Kepekaan tidak dapat diartikan,

diformalasikan dengan jelas. Keilmiahan ilmu sastra tidak eksplisit, tetapi implisit. Oleh

karena itu, ilmu sastra mampu membuktikan diri sebagai kajian ilmiah. Di dalamnya terdapat

unsur fakta/data, inferensi atau simpulan dan pendapat/judgement.

Selain itu langsung atau tidak ilmu sastra selalu mengedepankan inkuiri, masalah,

hipotesis terselubung dan jawaban terhadap inkuiri, masalah serta pembuktian

terhadap hipotesis terselubung (Darma, 1990:342). Tahap-tahap dalam ilmu sastra tidak

berjenjang secara hierarkis seperti dalam ilmu pada umumnya (dari pengetahuan,

pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan terakhir evaluasi), tetapi lebih bersifat melebar.

Tidak berat ilmu sastra adalah pada esensi karya sastra. Oleh karena itu, keilmiahan studi

sastra memiliki sifat tersendiri. Dengan demikian ilmu sastra memiliki keilmiahan sendiri.

b. Objek Kajian Ilmu Sastra

Obyek ilmu sastra adalah kehidupan manusia yang sudah diabstraksikan dalam karya

sastra (Budi Darma, 1990: 338). Oleh karena itu, obyek utama ilmu sastra adalah karya

sastra. Karya sastra yang menjadi obyek ilmu sastra itu bersifat kreatif, imajinatif, intuitif,

bertitik tolak pada penghayatan, berupa abstraksi kehidupan. Tanpa karya sastra tidak

mungkin bicara ilmu sastra.


Karya sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkap diri tentang masalah

manusia, kemanusiaan, dan semesta (Semi, 1993: 1). Karya sastra adalah

pengungkapan masalah hidup, filsafat dan ilmu jiwa. Sastrawan dapat dikatakan sebagai ahli

ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan bukan dengan cara

teknis akademik, melainkan melalui karya sastra.

Karya sastra adalah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, emosi. Karya sastra juga

sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Karya

sastra adalah hasil ekspresi individual penulisnya. Oleh karena itu kepribadian, emosi, dan

kepercayaan penulis akan tertuang dalam karya sastranya.

Karya sastra adalah hasil proses kreatif. Karya sastra bukanlah hasil perkerjaan yang

memerlukan keterampilan sesuatu seperti membuat sepatu, kursi atau meja. Karya

sastra memerlukan perenungan, pengendapan ide, langkah tertentu yang berbeda antara

sastrawan yang satu dengan sastrawan yang lain.

Karya sastra memiliki bentuk dan gaya yang khas. Kekhasan karya sastra berbeda

dengan karya nonsastra. Kekhasan karya sastra harus dibedakan atas genre karya sastra, yaitu

puisi, prosa dan drama.

Bahasa yang digunakan dalam karya sastra juga memiliki kekhasan. Bahasa dalam karya

sastra telah mengalami penyimpangan, pemutarbalikan dari bahasa praktis sehari-

hari. Bahasa yang sudah biasa dan dikenal diasingkan, disulap, digali dan diberi makna baru

atau diberi penambahan muatan maknanya. Oleh sebab itu karya sastra dipandang sebagai

wujud referensi wacana. Wacana sastra dipandang sebagai suatu pemakaian bahasa tertentu

bukan sebagai ragam bahasa tertentu.

Karya sastra mempunyai logika tersendiri. Logika karya sastra erat berkaitan dengan

konvensi karya sastra. Logika karya sastra mencakup isi dan bentuk karya sastra. Bentuk

pantun setiap bait terdiri atas empat baris. Setiap baris terdiri atas empat kata atau 9 – 10 suku
kata. Persajakan ab ab. Dari isinya baris satu dan dua hanya merupakan pengantar (sampiran),

sedangkan isinya ada pada baris ketiga dan keempat. Semua itu merupakan logika puisi yang

disebut pantun. Berubah sedikit saja, berubah pula logikanya. Jika semua berupa isi maka

disebut syair.

Dalam puisi ada yang tidak masuk akal jika menggunakan logika biasa. Tetapi masuk

akal dalam logika puisi. Dalam logika biasa tidak mungkin lembaran daun berbunyi

gemerincing apalagi seperti lonceng katedral. Tetapi dalam logika puisi lembaran daun

berbunyi gemerincing seperti lonceng katedral justru logis. Dalam tersunyian, sedikit saja

usikan akan terasa besar akibatnya hingga daun yang jatuh saja dirasakan berbunyi.

Hal yang sama juga ditemukan bila membaca novel Rafilus karya Budi Darma. Tokoh

Rafilus digambarkan sebagai tokoh yang tubuhnya seperti terbuat dari besi tidak bisa

mati, kebal peluru, atau seperti setan. Penggambaran tokoh rafilus yang demikian masuk akal

dalam logika novel. Dalam kenyataan sehari-hari, hal itu tidak masuk akal. Dalam novel

Rafilus diperlukan untuk menekankan tema novel. Oleh karena itu logika dalam karya sastra

dinilai dalam kaitannya dengan penyajian karya sastra. Bukan dengan menggunakan ukuran

logika di luar sastra. Sebab itu logika dalam karya sastra disebut logika internal.

Karya sastra merupakan dunia rekaan (fiksi). Kata fiksi mempunyai makna khayalan,

impian, jenis karya sastra yang tidak berdasarkan kenyataan yang dapat dipertentangkan

dengan nonfiksi (cerita berdasarkan kenyataan). Dalam kenyataannya, karya sastra bukan

hanya berdasarkan khayalan, melainkan gabungan kenyataan dan khayalan. Semua yang

diungkapkan sastrawan dalam karya sastranya adalah hasil pengetahuan yang diolah oleh

imajinasinya.

Sastrawan memperlakukan kenyataan dengan tiga cara yaitu, manipulasi, artifisial,

interpretatif. Hanya kadar kenyataan dalam karya sastra yang berbeda untuk setiap karya
sastra. Karya sastra yang bersifat biografis, otobiografis, historis, catatan perjalanan, kadar

kenyataannya lebih dominan.

Karya sastra mempunyai nilai keindahan tersendiri. Karya sastra yang tidak indah tidak

termasuk karya sastra. Setiap daerah, golongan, waktu menentukan nilai keindahan yang

berbeda. Saat Siti Norbaya terbit, novel itu dianggap indah. Keadaannya menjadi lain

seandainya novel itu diterbitkan sekarang.

Karya sastra adalah sebuah nama yang diberikan masyarakat kepada hasil karya seni

tertentu. Hal ini mengisyaratkan adanya penerimaan secara mutlak oleh masyarakat sastra.

Penerimaan bukan berarti karya sastra harus mudah diterima oleh masyarakat dan sesuai

dengan selera masyarakat. Hal itu akan merosokkan nilai sastra. Karya sastra yang baik

juga tidak selalu sulit dipahami. Segala sesuatu yang dikatakan oleh masyarakat sastra

sebagai karya sastra pada suatu masa pada hakikatnya bisa dikelompokkam sebagai karya

sastra. Sebaliknya bagaimana pun baiknya suatu karya sastra berdasarkan obyeknya dan

dimaksud oleh penulisnya sebagai karya sastra bila masyarakat sastra menolaknya maka

hasilnya bukan karya sastra.

Drama adalah karya sastra yang didominasi oleh cakapan para tokoh. Kriteria drama

yang membedakan dengan dua jenis karya sastra lainnya adalah hubungan manusia dunia

ruang dan waktu.

2. Teori Sastra

Pengertian teori sastra secara umum, yang dimaksudkan dengan teori adalah suatu sistem

ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menetapkan pola pengaturan hubungan antara

gejala-gejala yang diamati. Teori berisi konsep/uraian tentang hukum-hukum umum suatu

objek ilmu pengetahuan dari suatu titik pandang tertentu. Suatu teori dapat dideduksi secara

logis dan dicek kebenarannya (diverifikasi) atau dibantah kesahihannya (difalsifikasi) pada

objek atau gejala-gejala yang diamati tersebut. Teori sastra jelas membutuhkan kritik sastra,
misalnya untuk menyusun teori tentang gaya, teknik bercerita, dan misalnya untuk menyusun

teori tentang angkatan, aliran, dan sebagainya perlu melihat perkembangan sastra secara

keseluruhan.

3. Sejarah Sastra

Pengertian sejarah menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah pengetahuan atau uraian

tentang peristiwa dan kejadian yg benar-benar terjadi di masa lampau. Atau menurut catatan

perkuliahan yang saya ikuti, pengertian sejarah yaitu cabang ilmu sastra yang berusaha

menyelidiki perkembangan sastra sejak awal pertumbuhannya sampai pada perkembangan

sastra saat ini. Cabang-cabang yang ada dalam ilmu sastra yaitu teori sastra, sejarah sastra,

dan kritik sastra. Teori sastra merupakan bagian yang membahas hakikat dan pengertian

sastra, sedangkan kritik sastra adalah ilmu sastra yang menyelidiki karya sastra secara

langsung. Berikut ini saya gambarkan relasi ketiganya.

Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu

ke waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa tertentu, para sastrawan

yang mengisi arena sastra, puncak-puncak karya sastra yang menghiasi dunia sastra, serta

peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar masalah sastra. Sebagai suatu kegiatan keilmuan

sastra, seorang sejarawan sastra harus mendokumentasikan karya sastra berdasarkan ciri,

klasifikasi, gaya, gejala-gejala yang ada, pengaruh yang melatarbelakanginya, karakteristik

isi dan tematik.

Hubungan Teori Sastra Dengan Kritik Sastra dan Sejarah Sastra pada dasarnya teori

sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat didalam karya sastra, baik konvensi

bahasa yang meliputi makna, gaya, struktur, pilihan kata, maupun konvensi sastra yang

meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar, dan lainnya yang membangun keutuhan sebuah

karya sastra. Kritik sastra merupakan ilmu sastra yang mengkaji, menelaah, mengulas,

memberi pertimbangan, serta memberikan penilaian tentang keunggulan dan kelemahan atau
kekurangan karya sastra. Sejarah sastra adalah bagian dari ilmu sastra yang mempelajari

perkembangan sastra dari waktu ke waktu, periode ke periode sebagai bagian dari

pemahaman terhadap budaya bangsa. Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa, suatu

daerah, suatu kebudayaan, diperoleh dari penelitian karya sastra yang dihasilkan para peneliti

sastra yang menunjukkan terjadinya perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan karya

sastra pada periode-periode tertentu. Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra,

antara teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra terjalin keterkaitan. Hubungan timbal-balik

antara teori sastra dengan sejarah sastra:

a. Teori sastra muncul karena telah diadakan penyelidikan terhadap sastra (sejarah sastra).

b. Teori sastra diperlukan untuk mengonfirmasi tentang sejarah sastra.

c. Sejarah sastra memerlukan teori sastra dalam perjalanannya.

d. Teori sastra dapat berubang/berkembang sesuai dengan perubahan sejarah

sastra/perjalanan dunia sastra.

Hubungan timbal-balik antara kritik sastra dengan sejarah sastra:

a. Adanya kritikan terhadap sastra (karya sastra) mempengaruhi perjalanan sejarah sastra.

b. Kritik sastra memerlukan bahan dari sejarah sastra.

c. Perkembangan sejarah sastra tidak terlepas dari kritik sastra.

Hubungan antara teori sastra dengan kritik sastra:, yakni dengan bermodalkan teori

sastra, kita dapat mengkritik suatu sastra (karya sastra). Adanya kritikan terhadap sastra,

dapat memengaruhi teori sastra. Mungkin berupa penambahan/pengurangan terhadap teori

tertentu, atau dapat juga berupa konfirmasi terhadap teori sastra tertentu.

Selanjutnya (Todorov; 1985: 61) mengatakan bahwa tugas sejarah sastra adalah:

a. Meneliti keragaman setiap kategori sastra.

b. Meneliti jenis karya sastra baik secara diakronis, maupun secara sinkronis.

c. Menentukan kaidah keragaman peralihan sastra dari satu masa ke masa berikutnya.
Sejarah sastra yaitu cabang ilmu sastra yang menyelidiki sastra sejak terjadi timbulnya

sampai perkembangannya yang terakhir. Perkembangan sejarah sastra terbagi menjadi dua

yaitu:

1) Sastra lama/melayu klasik

Sastra lama memiliki beberapa perkembangan yaitu:

a) Zaman purba dengan adanya bukti berupa prasasti-prasasti.

b) Zaman Hindu-Buddha menghasilkan sebuah karya sastra berupa khayalan dan

dongeng.

c) Zaman Islam terbukti dengan adanya karya sastra berupa hikayat yang menceritakan

tentang kehidupan wali songo dan para ulama pada zaman itu.

d) Zaman peralihan/realitas yang menceritakan sesuatu yang terjadi di dalam

kehidupan sehari-hari.

2) Sastra baru/modern

Perkembangan sastra modern memiliki beberapa tingkat sebagai berikut:

a) Angkatan 20 misalnya tradisi pada zaman Siti Nurbaya.

Disebut angkatan dua puluhan karena angkatan ini lahir padda tahun 1920-an dan disebut

angkatan balai pustaka karena penerbit yang paling banyak menerbitkan adalah balai pustaka.

Karya yang paling terkenal pada masa ini adalah Siti Nurbaya karangan Marah Rusli. Roman

ini menceritakan tentang penjodohan yang masih banyak dilakukan pada masa itu. Beberapa

karya sastra angkatan 1920-an adalah Azab dan Sengsara (roman, tahun 1920 oleh Miregi

Siregar), Muda Teruna (roman, tahun 1922 oleh Moh. Kasim), Tak Putus Dirundung Malang

(roman, tahun 1929 oleh S.T. Alisyahbana).

b) Angkatan 30 (Pujangga Baru)

Angkatan ini adalah angkatan yang lahir pada sekitar tahun 1933 sampai 1942. Disebut

angkatan pujangga baru karena pada tahun 1933 terdapat majalah sastra yang dikenal yaitu
majalah Baroe. Karya-karya yang ditampilkan dalam majalah ini adalah puisi, cerpen, novel,

roman, atau drama-drama pendek.

c) Angkatan 45 dengan terbitnya karya sastra yang di populerkan dengan Chairil Anwar.

Nama lain angkatan ini adalah angkatan pembebasan dan angkatan Chairil Anwar.

Disebut angkatan Chairil Anwar karena besarnya jasa Chairil Anwar dalam lahirnya angkatan

ini. Karya-karya sastra angkatan ini sangat berbeda dengan angkatan sebelumnya. Ciri-

cirinya antara lain adalah bebas, individualistis, realistik, dan futuristic. Karya yang terkenal

dari angkatan ini adalah Dari Ave Maria-Jalan Lain ke Roma yang merupakan kumpulan

cerpen karya Idrus.

d) Angkatan 66 adanya balai pustaka, PKI.

Angkatan ini muncul pada saat keadaan politik Indonesia sedang kacau karena adanya

gerakan terror dari PKI. Karya sastra pada angkatan ini lebih banyak bersifat protes terhadap

keadaan yang kacau pada masa itu. Beberapa karya sastra yang lahir pada angkatan ini adalah

kumpulan puisi oleh Taufik Ismail yang berjudul Tirani, drama karya Motinggo Busye

dengan judul Malam Jahanam, roman berjudul Pagar Kawat Berduri oleh Toha Mohtar,

roman Pelabuhan Hati karya Titis Basino, dan lain-lain.

e) Angkatan 70 dan 80 tentang EYD.

Sekitar tahun 70-an, muncul karya sastra yang lain daripada karya sastra yang telah ada

sebelumnya. Kebanyakan isinya tidak menekankan pada makna kata. Kemunculan karya

sastra ini dipelopori oleh Sutardji Calzoum Bachri. Karya sastra ini disebut sastra

kontenporer.

f) Referensi hingga sekarang.

4. Kritik Sastra

Kritik sastra berasal dari kata “krites” (Yunani kuno) yang berarti hakim, dalam kritik

sastra yang penting ialah analisis, dengan demikian kritik sastra merupakan kegiatan
penilaian yang ditujukan pada karya sastra atau teks. Kritik Sastra juga bagian dari ilmu

sastra. Istilah lain yang digunakan para pengkaji sastra ialah telaah sastra, kajian sastra,

analisis sastra, dan penelitian sastra. Untuk membuat suatu kritik yang baik, diperlukan

kemampuan mengapresiasi sastra, pengalaman yang banyak dalam menelaah, menganalisis,

mengulas karya sastra, penguasaan, dan pengalaman yang cukup dalam kehidupan yang

bersifat nonliterer, serta tentunya penguasaan tentang teori sastra.Ada 2 jenis kritik sastra,

sebagai berikut:

a. Kritik sastra instrinsik: fokusnya pada karya sastra itu sendiri dan menganalisa

unsure-unsur karya sastra itu.

b. Kritik sastra ekstrinsik: menghubungkan karya sastra dengan hal-hal diluar karya

sastra. Misalnya: menghubungkan karya sastra dengan pengarangnya, karya sastra.

5. Sastra Bandingan

Sastra bandingan merupakan salah satu dari sekian banyak pendekatan

yang ada dalam ilmu sastra. Pendekatan sastra bandingan pertama kali muncul

di Eropa awal abad ke-19. Ide tentang sastra bandingan dikemukan oleh SanteBeuve dalam

sebuah artikelnya yang terbit tahun 1868 (Damono, 2005: 14).

Dalam artikel tersebut dijelaskanya bahwa pada awal abad ke-19 telah muncul

studi sastra bandingan di Prancis. Sedangkan pengukuhan terhadap pendekatan

perbandingan terjadi ketika jurnal Revue Litterature Comparee diterbitkan

pertama kali pada tahun 1921.

Dalam sastra bandingan dikenal dua mazhab, yaitu mazhab Amerika

dan Prancis. Mazhab Amerika berpendapat bahwa sastra bandingan memberi

peluang untuk membandingkan sastra dengan bidang-bidang lain di luar sastra,

misalnya seni, filsafat, sejarah, agama, dan lain-lain. Sedangkan mazhab Prancis

berpendapat bahwa sastra bandingan hanya memperbandingkan sastra dengan


sastra. Namun demikian, kedua mazhab tersebut bersepakat bahwa sastra

bandingan harus bersifat lintas negara, artinya berusaha membandingkan sastra

satu negara dengan sastra negara lain.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, muncul kritikan terhadap

pandangan yang dianut oleh kedua mazhab. Kedua mazhab sepertinya tidak

memperhatikan kondisi sebagian besar negara Asia yang memiliki keragaman

bahasa dan budaya. Indonesia, misalnya, satu suku dengan suku yang lain

memiliki perbedaan dari segi bahasa dan budaya. Nada (melalui Damono, 2005:5)

menjelaskan bahwa perbedaan bahasa merupakan faktor penentu dalam sastra

bandingan. Bahkan Nada berkesimpulan bahwa membandingkan sastrawan Arab

Al- Buhturin dengan penyair Syaugi bukanlah kajian bandingan karena kedua

sastrawan tersebut berangkat dari bahasa dan budaya yang hampir sama, yaitu

Arab. Hal tersebut mengisyaratkan juga bahwa membandingkan sastra Melayu

Riau dengan sastra Semenanjung Melayu bukanlah termasuk dalam bidang kajian

sastra bandingan. Bertolak dari pendapat Nada di atas, maka membandingkan

antara sastra Jawa dengan sastra Sunda merupakan kajian sastra bandingan.

Begitu juga halnya dengan membandingkan antara sastra daerah, misalnya sastra

Minang dengan sastra Indonesia merupakan kajian sastra bandingan, karena kedua

sastra tersebut memiliki bahasa yang berbeda.

Pendapat Nada ini sejalan dengan pendapat Wellek dan Warren yang

mengungkapkan, bahwa sastra bandingan adalah studi sastra yang memiliki

perbedaan bahasa dan asal negara dengan suatu tujuan untuk mengetahui dan

menganalisis hubungan dan pengaruhnya antara karya yang satu terhadap karya

yang lain, serta ciri-ciri yang dimilikinya (dalam Endraswara, 2011: 192).

Pendapat ini lebih menekankan bahwa penelitian sastra bandingan harus berasal
dari negara yang berbeda sehingga mempunyai bahasa yang berbeda pula.

Hal ini sedikit berbeda dengan dengan pendapat Damono (2005: 7), yang

menyatakan bahwa tidaklah benar jika dikatakan bahwa sastra bandingan sekedar

mempertentangkan dua sastra dari dua negara atau bangsa yang mempuyai bahasa

yang berbeda, tetapi sastra bandingan lebih merupakan suatu metode untuk

memperluas pendekatan atas sastra suatu bangsa saja. Jadi menurut Damono,

sastra bandingan bukan hanya sekedar mempertentangkan dua sastra dari dua

negara atau bangsa. Sastra bandingan juga tidak terpatok pada karya-karya besar

walaupun kajian sastra bandingan sering kali berkenaan dengan penulis-penulis

ternama yang mewakili suatu zaman. Kajian penulis baru yang belum mendapat

pengakuan dunia pun dapat digolongkan dalam sastra bandingan. Batasan sastra

bandingan tersebut menunjukkan bahwa perbandingan tidak hanya terbatas pada

sastra antarbangsa, tetapi juga sesama bangsa sendiri, misalnya antarpengarang,

antargenetik, antarzaman, antarbentuk, dan antartema.

Menurut Endraswara (2011) sastra bandingan adalah sebuah studi teks

across cultural. Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih banyak

memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu dan tempat. Dari aspek

waktu, sastra bandingan dapat membandingkan dua atau lebih periode yang

berbeda. Sedangkan konteks tempat, akan mengikat sastra bandingan menurut

wilayah geografis sastra. Konsep ini mempresentasikan bahwa sastra bandingan

memang cukup luas. Bahkan, pada perkembangan selanjutnya, konteks sastra

bandingan tertuju pada bandingan sastra dengan bidang lain. Bandingan semacam

ini, guna merunut keterkaitan antar aspek kehidupan.

Dalam sastra bandingan, perbedaan dan persamaan yang ada dalam

sebuah karya sastra merupakan objek yang akan dibandingkan. Remak(1990: 13)
menjelaskan bahwa dalam sastra bandingan yang dibandingkan adalah kejadian

sejarah, pertalian karya sastra, persamaan dan perbedaan, tema, genre, style,

perangkat evolusi budaya, dan sebagainya. Remak lebih jauh juga

memberikan batasan tentang objek sastra bandingan. Menurut Remak, yang

menjadi objek sastra bandingan hanyalah karya sastra nasional dan karya sastra

dunia (adiluhung).

Selain itu, dapat dipahami bahwa dasar perbandingan adalah persamaan

dan pertalian teks. Jadi, hakikat kajian sastra bandingan adalah mencari perbedaan

atau kelainan, di samping persamaan dan pertalian teks dan yang terpenting dari

kajian sastra bandingan adalah bagaimana seorang peneliti mampu menemukan

serta membandingkan kekhasan sastra yang dibandingkan.

Hutomo (1993: 19) menjelaskan bahwa, dalam praktek penelitian sastra

bandingan di Indonesia, secara garis besar, dapat dibagi dalam tiga kelompok

yaitu sebagai berikut.

a. Sastra bandingan dalam kaitanya dengan filologi

b. Sastra bandingan dalam hubunganya dengan sastra lisan

c. Sastra bandingan modern, yakni sastra bandingan tulis, baik yang tertulis

dalam bahasa indonesia yang masih bernama Bahasa Melayu maupun yang

ditulis dalam Bahasa Indonesia.

Pada point kedua dijelaskan bahwa objek kajian sastra bandingan bukan

hanya berupa sastra tulis saja, namun bisa berupa karya sasta lisan. Damono

(2005: 54) menyatakan sebagai berikut.Salah satu kegiatan yang sudah banyak dilakukan

adalah membandingkandongeng yang mirip dari berbagai negara, tidak terutama untuk

mengungkapkan yang asli dan pengaruhnya terhadap yang lain, tetapi lebih

untuk mengetahui kaitan-kaitan antara perbedaan dan persamaan yang ada


dan watak suatu masyarakat. Dalam pengertian ini, dongeng mencakup

segala jenis kisah yang dalam pengertian Barat dipilah antara lain menjadi

mitos, legenda, dan fabel.Dari pendapat Damono di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

sastra lisanmenjadi salah satu objek dalam penelitian sastra bandingan yang cukup menarik,

hal ini sesuai dengan pendapat Endraswara (2011: 49) yang menyatakan sebagai

berikut.

Sastra lisan adalah bagian tradisi lisan yang sering berubah-ubah. Perubahan

sebagai akibat salah ucap atau memang disengaja diucapkan keliru(

diplesetkan). Semua kekeliruan itu ternyata dapat menjadi “ pintu masuk”

jalur sastra bandingan. Berkat penuh dengan aneka perubahan sastra lisan

menarik dibandingkan satu sama lain.

Dari situlah tantangan para peneliti sastra bandingan yang meneliti sastra

lisan, mereka harus menemukan perubahan-perubahan atau varian dari cerita lisan

yang terjadi di dalam masyarakat.Dalam praktek sastra bandingan menurut Hutomo (1993:

11-12)berlandaskan diri pada 3 hal yaitu sebagai berikut.

a. Afinitas, yaitu keterkaitan unsur-unsur intrinsik (unsur dalaman) karya sastra,

misalnya unsur struktur, gaya, tema, mood (suasana yang terkandung dalam

karya sastra) dan lain-lain, yang dijadikan bahan pelisan karya sastra.

b. Tradisi, yaitu unsur yang berkaitan dengan kesejarahan penciptaan karya

sastra.

c. Pengaruh, istilah pengaruh, sebenarnya, tidak sama dengan menjimplak,

plagiat, karena istilah ini sarat dengan nada negatif.

Dalam penelitian ini, landasan yang paling tepat digunakan adalah

landasan pengaruh. Jika kita membahas arti sebuah pengaruh, maka kita harus

kembali mengingat bahwa sastra lahir bukan dari sebuah kekosongan. Hal ini
sesuai pendapat (Hutomo:1993: 13) bahwa karya sastra (sebagai teks) ia

menyimpan berbagai teks di dalamnya atau merupakan serapan atau hasil

tranformasi. Hal ini diperkuat dengan pendapat Nurgiyantoro (1998) karya sastra

akan muncul pada masyarakat yang telah memiliki konvensi, tradisi, pandangan

tentang estetika, tujuan berseni, dan lain-lain yang kesemuanya dapat dipandang

sebagai wujud kebudayaan dan tidak mustahil “rekaman” terhadap pandangan

masyarakat tentang seni. Hal ini berarti bahwa sesungguhnya sastra merupakan

konvensi masyarakat karena masyarakat menginginkan adanya suatu bentuk

kesenian yang bernama sastra. Wujud konvensi budaya yang telah ada di

masyarakat secara konkret lain berupa karya-karya yang ditulis dan diciptakan

orang sebelumnya. Namun, ia dapat juga cerita-cerita rakyat yang berwujud lisan

(foklore) yang diwariskan secara turun-menurun.

6. Sosiologi Sastra

Menurut Kamus Besar BahasaIndonesia (1989: 855). Sosiologi sastra merupakan

pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari atau mengenai sastra karya

para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan pengarang yang dipengaruhi oleh

status lapisan masyarakat tempat ia berasal, ideologi politik dan sosialnya, kondisi ekonomi

serta khalayak yang ditujunya.

Sosiologi sastra mencakup dua hal, yakni sosiologi komunikasi sastra dan sosiologi

karya sastra. Sosiologi komunikasi sastra menempatkan pengarang dalam konteks sosialnya,

konteks sosial pengarang meliputi status sosial-ekonomi, profesi, pendidikan, ideologi dan

keterkaitannya dalam suatu kelas tertentu. Sedangkan sosiologi karya sastra adalah penafsiran

teks sastra secara sosiologis (Noor, 1992:90).

Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil

terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Sosiologi lahir pada saat-saat terakhir
perkembangan ilmu pengetahuan, oleh karena sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan

yang telah dicapai ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya Camte berkata bahwa

sosiologi dibentuk berdasarkan pengamatan dan tidak pada spekulasi-spekulasi perihal

keadaan masyarakat dan hasil- hasil observasi tersebut harus disusun secara sistematis dan

motodologis (Soekanto, 1982: 4 ).

Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun

waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu.

Pengarang mengubah karyanya selaku seorang warga masyarakat pula ( Luxenburg, Bal, dan

Willem G. W. terjemahan Dick Hartoko. 1984: 23 ).Lebih lanjut dikatakan bahwa hubungan

antara sastra dan masyarakat dapat diteliti dengan cara:

a. Faktor – faktor di luar teks, gejala kontek sastra, teks itu tidak ditinjau. Penelitian ini

menfokuskan pada kedudukan pengarang dalam masyarakat, pembaca, penerbitan dan

seterusnya. Faktor-faktor konteks ini dipelajari oleh sosiologi sastra empiris yang

tidak dipelajari, yang tidak menggunakan pendekatan ilmu sastra.

b. Hal-hal yang bersangkutan dengan sastra diberi aturan dengan jelas, tetapi diteliti

dengan metode-metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra dapat

mempergunakan hasil sosiologi sastra, khususnya bila ingin meniti persepsi para

pembaca.

c. Hubungan antara (aspek-aspek ) teks sastra dan susunan masyarakat sejauh mana

system masyarakat serta jaringan sosial dan karyanya, melainkan juga menilai

pandangan pengarang.

Pendekatan sosiologi sastra jelas merupakan hubungan antara satra dan

masyarakat, literature is an exspreesion of society, artinya sastra adalah ungkapan perasaan


masyarakat. Maksudnya masyarakat mau tidak mau harus mencerminkan dan

mengespresikan hidup ( Wellek and Werren, 1990: 110 ).

7. Psikologi Sastra

Psikologi secara sempit dapat diartikan sebagai ilmu tentang jiwa. Sedangkan sastra

adalah ilmu tentang karya seni dengan tulis-menulis. Maka jika diartikan secara keseluruhan,

psikologi sastra merupakan ilmu yang mengkaji karya sastra dari sudut kejiwaannya.

Menurut Wellek dan Austin (1989:90), Istilah psikologi sastra mempunyai empat

kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau

sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga studi tipe dan hukum-

hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari dampak

sastra pada pembaca (psikologi pembaca). Pendapat Wellek dan Austin tersebut memberikan

pemahaman akan begitu luasnya cakupan ilmu psikologi sastra. Psikologi sastra tidak hanya

berperan dalam satu unsur saja yang membangun sebuah karya sastra. Mereka juga

menyebutkan, “Dalam sebuah karya sastra yang berhasil, psikologi sudah menyatu menjadi

karya seni, oleh karena itu, tugas peneliti adalah menguraikannya kembali sehingga menjadi

jelas dan nyata apa yang dilakukan oleh karya tersebut”

Menurut Ratna (2004:350), “Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan

mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis”. Artinya, psikologi turut

berperan penting dalam penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut

kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya.

Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin

yang terkandung dalam karya sastra. Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan

antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut

dengan “Psikologi Sastra”. Artinya, dengan meneliti sebuah karya sastra melalui pendekatan

Psikologi Sastra, secara tidak langsung kita telah membicarakan psikologi karena dunia sastra
tidak dapat dipisahkan dengan nilai kejiwaan yang mungkin tersirat dalam karya sastra

tersebut.

8. Antropologi Sastra

Antropologi sastra terdiri atas dua kata yaitu antropologi dan sastra. Menurut Ratna

(2011: 6), antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra yang di dalamnya

terkandung unsur-unsur antropologi. Dalam hubungan ini jelas karya sastra menduduki posisi

dominan, sebaliknya unsur-unsur antropologi sebagai pelengkap. Oleh karena disiplin

antropologi sangat luas, maka kaitannya dengan sastra dibatasi pada unsure budaya yang ada

dalam karya sastra. Antropologi sastra pandangan Poyatos (dalam Endaswara, 2013:3) adalah

ilmu yang mempelajari sastra berdasarkan penelitian antarbudaya. Hal ini sesuai dengan

hakikat sastra itu sendiri yaitu sastra sebagai hasil aktivitas kultural. Pendapat lain

dikemukakan oleh Koentjaraningrat, antropologi sastra adalah analisi dan pemahaman

terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan.

Pentingnya analisis unsur kebudayaan dalam karya sastra dikemukakan oleh Sudikan,

antropologi sastra mutlak diperlukan dikarenakan, pertama sebagai perbandingan terhadap

psikologi sastra dan sosiologi sastra. Kedua, antropologi sastra diperlukan dengan

pertimbangan kekayaan kebudayaan seperti diwariskan oleh nenek moyang.

Analisis antropologi sastra adalah usaha untuk mencoba memberikan identitas terhadap

karya sastra dengan menganggapnya sebagai mengandung aspek tertentu yaitu hubungan ciri-

ciri kebudayaannya. Cara yang dimaksudkan tentunya mengacu pada defenisi antropologi

sastra. Ciri-cirinya seperti; memiliki kecenderungan kemasa lampau, citra primordial, citra

arketipe. Ciri-ciri lain, misalnya; mengandung aspek-aspek kearifan lokal dengan fungsi dan

kedudukannya masing-masing, berbicara mengenai suku-suku bangsa dengan

subkategorinya, seperti; trah, klen dan kasta. Bentuk kecenderungan yang dimaksudkan juga

muncul sebagai peguyuban tertentu, seperti; masyarakat pecinaan, pesantren. Daerah-daerah


tertentu; kampung Bali, Minangkabau, Jawa, Mandar, Bugis, Papua. Kelompok-kelompok

tertentu; priayi, santri, abangan, atau bangsawan.

DAFTAR PUSTAKA

A, Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka

Jaya

Luxemburg, J, dkk. 1982. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia

Pradopo, Rachmat Joko. 1994. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press

Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2008. Pengkajian Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama

Semi, Atar. 1993. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa

Anda mungkin juga menyukai