Anda di halaman 1dari 15

Novel Ayat-Ayat Cinta: Sebuah Tinjauan Pragmatik

Oleh Ronidin
Abstrak Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan terhadap novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan pragmatik. Pendekatan pragmatik memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu, nilai-nilai tertentu, atau fungsi-fungsi tertentu yang berkaitan erat dengan audience (pembaca). Dari hasil analisis yang dilakukan, maka novel AAC memuat beberapa aspek pragmatik. Aspek pragmatik tersebut berpusat pada tokoh Fahri sebagai tokoh sentral yang menggerakkan cerita novel ini yang merupakan refleksi kepribadian islami. Beberapa aktivitas Fahri menjadi bermakna bagi pembaca (secara pragmatik) karena dilandasi dengan sudut pandang Islam. Aspek-aspek pragmatik tersebut di antaranya meliputi: (1) Istikamah dengan prinsip hidup, (2) kesederhanaan Fahri menjalani kehidupannya, (3) sikap menghormat turis nonmuslim, (4) memuliakan tetangga, dan (5) melaksanakan pernikahan secara islami.

Kata kunci novel, ayat, cinta, pragmatik, pembaca, islami Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Novel Ayat-Ayat Cinta (Selanjutnya ditulis AAC) karya Habiburrahman El Shirazhy memang fenomenal. Novel yang diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Republika ini (sebelumya berupa cerita bersambung di harian Republika), telah mengantarkan penulisnya menerima royalti sebesar 1,5 Milyar Rupiah. Menurut Tommy Tamtomo, Direktur Utama Penerbit Republika, hingga Desember 2007, novel ini telah mengalami 30 kali cetak ulang sejak terbit pertama Desember 2004 dengan oplah mencapai 300 ribu eksemplar (EH Kartanegara, Koran Tempo, 31 Desember 2007). Novel ini berkisah tentang seorang mahasiswa Indonesia bernama Fahri yang kuliah di Universitas Al Azhar, Cairo. Dia pintar, rajin, ramah, taat beragama, aktivis kampus, dan romantis pula. Ceritanya berpilin antara tokoh utama yang dicintai gadis-gadisMaria, Noura, Nurul, dan muslimah jelita bercadar ketuturan Jerman-Turki bernama Aishadengan liku-liku kehidupannya . Fenomenalnya novel AAC bukan tanpa sebab. Kehadiran novel ini dianggap sebagai bacaan pembangun jiwa, mengobati kejenuhan pembaca Indonesia atas kehadiran bacaan (novel-novel)1 yang tidak (lagi) mengindahkan etika maupun
1 Sejak munculnya kebebesan berekspresi dan mengeluarkan pendapat, gairah menulis novel dan genre sastra lainnya meningkat. Para pengarang, di samping menulis tema-tema politik, juga

akhlak.2 Ahmad Tohari (seorang sastrawan Indonesia senior, pengarang fenomenal trilogi Ronggeng Dukuh Paruk) di cover depan novel ini mengatakan, Bagus! Sebuah novel tentang seorang santri salaf metropolis dan musafir yang haus ilmu. Keindahan cinta dibangun di bawah terang cahaya petunjuk. Tak berlebihan bila disebut sebagai novel pembangun jiwa. Sementara itu, Ahmadun Yosi Herfanda (sastrawan dan redaktur sastra dan budaya Republika), Mohammad Fauzil Adhim (psikolog dan penulis buku-buku best seller), Joni Ariadinata (cerpenis dan redaktur Jurnal Cerpen Indonesia), Helvi Tiana Rosa (mantan ketua umum Forum Lingkar Pena), dan Ratih Sang (mantan peragawati dan artis muslimah) menilai novel ini sebagai karya yang bagus. Kelebihan novel ini nampak dari karakterisasi tokoh-tokohnya yang begitu kuat; latar tempat, sosial, dan budayanya sangat hidup (Mesir yang eksotis itu seolah-olah hadir di depan pembaca); serta pesan moral (amanatnya) yang senantiasa mengajak para pembacanya untuk berpikir lebih jernih, lebih cerdas dalam memahami cakrawala keislaman, kehidupan dan juga cinta. Novel ini mampu menghadirkan Islam yang humanis, multikultural, dan tidak galak kata Prof. Dr. H. Abdul Jamil, MA, Rektor IAIN Wali Songo. Sangat romantis dan humanis! Novel ini saya rasakan begitu kuat dalam ajaran, perasaan dan penokohannya. Hati saya gerimis usai membacanya, kata Hamizar Bazarvio Ridwan, sastrawan dan wartawan Pontianak Post. Tidak hanya itu, para pembaca lain novel AAC ini umumnya berdecak kagum selesai membacanya dan memberikan pujian (meskipun kadang-kadang pujian itu terkesan terlalu dilebih-lebihkan). Mereka amat mengagumi dan merasa mendapat sesuatu dari karya Kang Abik (nama akrab Habiburahman El Shirazy) ini. Mereka bersimpati, terkesan, takjub, terharu, tergugah, dan angkat topi atas kesuksesan AAC. Saya angkat topi atas keberhasilan novel AAC yang telah menggetarkan jiwa saya, menyirami ruhani saya ketika kekeringan, dan menghibur diri ketika kejenuhan melanda kata Rima, pembaca dan pencinta AAC. Sedangkan Lela Nurlaela, penggemar lain AAC berkomentar tentang ayahnya setelah membaca AAC. Jika tokoh Fakhri itu ada dalam dunia nyata, saya ingin mengangkatnya menjadi menantu, kata ayahnya. Komentar-komentar senada juga meluncur dari mulut pembaca AAC lainnya. Sebagai novel dakwah atau novel pembangun jiwa, AAC dianggap berhasil. Novel ini berhasil mentransformasi nilai-nilai (ajaran) Islam kepada pembacanya secara estetis, tanpa merasa digurui. Ini merupakan keberhasilan pragmatik. Menurut A. Teeuw, salah satu ciri keberhasilan sebuah cipta sastra (novel dan genre sastra yang lain) bagi pembaca adalah seperti yang dirumuskan dalam istilah Horatius melalui rumusan dulce dan utile. Dulce merupakan fungsi karya sastra
menulis hal-hal yang selama ini dianggap tabu seperti masalah seks. Para pengarang itu (terutama kelompok pengarang perempuan) ramai-ramai menulis tentang homoseks, kehidupan gay, lesbianisme, dan masalah seks lainnya secara amat terbuka dari berbagai sudut pandang. Lihat, Maman S. Mahayana, Sastra Indonesia Pascareformasi dalam 9 Jawaban Sastra Indonesia. (Bening Publishing, 2005) hal. 96-105. 2 Akibat dari situasi ini, lahirlah kemudian karya-karya yang oleh Taufik Ismail disebut FAK (Fiksi Alat Kelamin). Kelompok pengarangnya disebut Taufik dengan kelompok SMS (Sastra Mazhab Selangkang) . Baca: Taufik Ismail, Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Mardeka Orasi Budaya di TIM, 15 Desember 2007.

yang memberikan hiburan (estetis/manis/menyenangkan) dan utile merupakan fungsi karya sastra dalam bentuk kemanfaatan, memberi pengajaran (Teeuw, 1985: 51). Hal ini didasari oleh anggapan bahwa karya sastra berfungi untuk mendidik, membina, dan membentuk pribadi pembacanya, tidak hanya sekedar menikmati. Keberhasilan AAC mengajarkan nilai-nilai atau ajaran Islamyang kadangkadang bersifat propagandasecara halus (estetis) kepada pembacanya menarik untuk diselidiki. Aspek-aspek pragmatis apa saja yang terdapat di dalam novel ini, sehingga membuat pembacanya bersimpati, takjub, dan merasa mendapatkan pencerahan. Itulah masalah yang hendak dipecahkan melalui penelitinan ini. 2. Sinopsis Novel Ayat-ayat Cinta Novel ini berkisah tentang seorang mahasiswa Indonesia bernama Fahri yang kuliah di Universitas Al Azhar, Cairo. Dia pintar, rajin, ramah, taat beragama, aktivis kampus, dan romantis pula. Ceritanya berpilin antara tokoh utama yang dicintai gadis-gadis --Maria, Noura, Nurul, dan muslimah jelita bercadar ketuturan Jerman-Turki bernama Aisha. Novel ini mengangkat kisah cinta. Tapi bukan cuma sekedar kisah cinta biasa. Cinta yang harus berhadapan dengan bagaimana menghadapi turun-naiknya persoalan hidup dengan cara Islam. Fahri bin Abdillah adalah pelajar Indonesia yang berusaha menggapai gelar masternya di Al Ahzar. Berjibaku dengan tantangan hidup kota Mesir. Berkutat dengan berbagai macam target dan kesederhanaan hidup. Bertahan hidup dan mendapatkan biaya sebagai penerjemah buku-buku agama. Target-target telah disusun Fahri dan dijalaninya secara antuasias kecuali urusan menikah. Kenapa? Karena Fahri adalah laki-laki taat yang begitu lurus. Dia tidak mengenal pacaran sebelum menikah. Dia kurang artikulatif saat berhadapan dengan perempuan. Tetapi, walaupun demikian, kehidupan Fahri di kelililngi oleh banyak perempuan yang menaruh hati padanya karena sifat baik dan ketegasan prinsipnya. Sebut saja misalnya Maria, tetangga satu flat dengannya yang beragama Kristen Koptik. Maria mengagumi Al Quran dan bahkan telah menghafalnya beberapa surat. Maria amat mencintai Fahri. Bahkan ia jatuh sakit saat tahu bahwa Fahri telah menikah dengan Aisha. Gadis lain yang juga menaruh hati pada Fahri adalah Nurul. Nurul adalah anak seorang kiyai terkenal di Jawa Timur yang juga sedang kuliah di Al Azhar. Sebenarnya Fahri menaruh hati pada gadis manis ini. Sayang prinsipnya melarang jatuh hati tanpa ikatan suci. Lagi pula ia merasa kecil di hadapan Nurul karena hanya anak keturunan petani. Inilah yang membuatnya tidak pernah menunjukkan rasa apa pun pada Nurul. Sementara Nurul pun menjadi ragu dan selalu menebaknebak. Selain Maria dan Nurul, ada pula Noura. Noura adalah tetangganya yang selalu disika Ayahnya sendiri. Fahri berempati penuh dengan Noura dan ingin menolongnya. Sayang hanya empati saja. Tidak lebih. Namun Noura yang mengharap lebih. Ia berharap cinta Fahri. Nouralah yang kemudian menuduh Fahri memperkosanya, sehingga Fahri harus berhadapan dengan hukum; pengadilan dan

penjara. Lalu ada gadis lain, Aisha. Aisha gadis mata indah yang menyihir Fahri sejak pertama kali beretemu di atas metro. Saat itu Fahri membela Islam dari tuduhan kolot dan kaku. Aisha jatuh cinta pada Fahri, dan Fahri juga tidak bisa membohongi hatinya. Mereka tidak terlibat pacaran. Tetapi kemudian mereka menikah karena dipertemukan oleh guru ngaji Fahri dan paman Aisha yang juga adalah teman dekat Fahri. Fahri dan Aisha menikah. Akibatnya, Maria menelan kekecewaan terdalam. Ia sakit keras. Dalam sakitnya, demi menemukan obat penentram jiwanya, atas anjuran Aisha, dan demi menyelamatkan Fahri dari penjara karena Maria adalah saksi kunci atas tuduhan Noura pada Fahri, maka Fahri menikahi Maria. Maria bahagia, sesaat ia siuman dari sakitnya dan menjadi saksi di pengadilan yang berbuah dibebaskan Fahri. Akhirnya maria menemui akhir hayatnya dipangkuan Fahri sambil mengucapkan dua kalimat Syahadat. 3.Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, melakukan pembacaan kritis dan melakukan apresiasi terhadap novel AAC. Kedua, mengungkapkan aspek-aspek pragmatik yang terdapat dalam novel AAC. Maksudnya, penelitian ini akan mengungkapkan sejauh mana novel ini memberikan kontribusi positif berupa nilai-nilai dan pengajaran terhadap para pembacanya. Sedangkan manfaat ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu sastra, khususnya kritik sastra melalui pendekatan pragmatik. Dengan demikian, penelitian ini dapat menjadi landasan untuk mengungkapkan dan menjelaskan kepada pembaca makna yang dikandung oleh karya sastra, terutama yang terdapat dalam novel AAC. Di samping itu, penelitian ini juga diharapkan dapat merangsang minat para peneliti lainnya untuk memberikan perhatian terhadap karya sastra yang bernuansa islami yang selama ini masih terabaikan. Ada kecendrungan atau streotipe bahwa karya sastra islami masih dianggap karya populer yang bermutu rendah. Padahal, karya-karya itu amat berkualitas dan pantas untuk dibicarakan atau diteliti. AAC adalah contohnya. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan bacaan dan acuan yang masih kurang untuk jurusan Sastra Indonesia, Sastra Daerah, maupun siswa sekolah menengah yang mempelajari kesusastraan Indonesia. 4. Tinjauan Empiris/Teori Sebuah buku yang telah mengupas secara tuntas proses kreatif dan sejarah panjang di balik penulisan novel AAC adalah Fenomena Ayat-ayat Cinta ditulis oleh Anif Sirsaeba, diterbitkan Penerbit Republika, 2007. Buku ini membeberkan proses pembuatan novelnya secara kronologis, penuh liku serta sarat akan metode khas dalam aktifitas penulisannya yang cukup dramatis. Namun, buku ini tidak

memberi pemaknaan terhadap novel AAC. Karena itu, dalam upaya pemberian makna dan menemukan apa yang tersimpan dalam novel AAC maka penelitian ini merupakan salah satu alternatifnya. Disebut alternatif karena banyak metode atau pendekatan yang dapat dilakukan untuk memberi makna sebuah karya sastra. Abrams misalnya (dalam: Teeuw, 1988:50) mengemukakan empat pendekatan dalam sastra: (1) pendekatan mimesis (sastra sebagai cermin realitas sosial), (2) pendekatan objektif (aspek karya), (3) pendekatan ekspresif (aspek pengarang) dan (4) pendekatan pragmatik (aspek pembaca). Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu, nilai-nilai tertentu, atau fungsi-fungsi tertentu yang berkaitan erat dengan audience (pembaca) (Abrams, 1981: 36-37 dalam Tirto Suwondo). Dalam pendekatan ini karya sastra dianggap sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan (fungsi) kepada pembaca. Jika dikaitkan dengan pandangan Horatius (Wallek dan Warren 1968: 30 dan Teeuw, 1988: 51) yang mengatakan bahwa fungsi sastra adalah gabungan antara dulce manis, menyenangkan dan utile berguna, bermanfaat. Dengan kata lain, pendekatan pragmatik memberikan kepada pembaca efek kesenangan estetik ataupun efek ajaran/pendidikan maupun efek-efek yang lain. Pendekatan ini cenderung menilai karya sastra berdasarkan berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan tersebut. Selain itu, pendekatan ini menekankan strategi estetik untuk menarik dan mempengaruhi tanggaan-tanggapan pembacanya kepada masalah yang dikemukakan dalam karya sastra. 5. Metode Penelitian Fuad Hasan dan Koentjaraningrat (1979:16) mengatakan bahwa metode berarti cara kerja untuk memahami suatu objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Dijelaskan mereka bahwa suatu metode dipilih dengan mempertimbangkan kesesuaiannya dengan obyek studi atau bahan penelitian. Ketidaksesuaian keduanya sesungguhnya merupakan langkah kerja yang salah. Selain itu, kelangsungan dan keberhasilan sebuah penelitian sangat bergantung pada ketepatan dan keteraturan langkah-langkah kerja. Sudaryanto (1993:51) mengatakan bahwa ada tiga langkah kerja dalam memecahkan masalah penelitian: (1) tahap penyedian data, (2) tahap analisis data, dan (3) tahap penyajian hasil analisis data. 1. Tahap Penyedian Data Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian kepustakaan Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mengungkapkan aspek-aspek pragmatik dalam novel AAC. Tahap awal yang akan dilakukan adalah pembacaan menyeluruh novel AAC. Setelah itu akan dicatat melalui kartu data rangkaian (urutan) peristiwa yang terdapat dalam novel itu. Lalu dilakukan kajian tokoh/penokohan dengan menentukan wataknya masing-masing. Berikutnya dilakukan pengkajinan terhadap struktur karya yang lain seperti tema, amanat dan setting novel ini.

2. Tahap Analisis Data Proses analisis data dilakukan dengan memperhatikan tahapan-tahapan sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjoroningrat (1979: 330-337) meliputi (1) tahap editing yaitu pemeriksaan terhadap kelayakan dan kelengkapan data, (2) tahap koding yaitu pengklasifikasian data berdasarkan kepentingan penelitian. Setelah kedua langkah di atas dilaksanakan, kemudian dilakukan penafsiran atau interpretasi pragmatik untuk menemukan keabsahan teori dengan data yang telah dikoding (Moleong, 1990: 199). 3. Tahap Penyajian Hasil Analisis Penyajian hasil analisis dilakukan dengan metode informal. Metode informal yaitu perumusan hasil analisis dengan cara biasa. Metode informal digunakan untuk menjelaskan, mendeskripsikan, mengungkapkan dan menguraikan aspek-aspek pragmatik dalam novel AAC. 6. Hasil dan Pembahasan Novel Ayat- Ayat Cinta ini disebut oleh penulisnya sebagai novel dakwah. Tidak berlebihan karena memang begitulah adanya. Hadi Susanto dalam prolog novel ini juga mengatakan hal yang sama. Pengarang AAC berhasil menyampaikan pesan-pesan moral dan dakwah secara halus sebagai bagian dari cerita. Pesan-pesan itulahyang bersifat mendidik dan membinajika dipandang dari sisi pragmatik, memberi manfaat kepada pembaca. Hasil interpretasi yang dilakukan terhadap novel Habiburahman El Shirazy yang merupakan sarjana Universitas Al Azhar Kairo, Mesir ini, memuat beberapa aspek pragmatik. Aspek pragmatik tersebut berpusat pada tokoh Fahri sebagai tokoh sentral yang menggerakkan cerita novel ini yang merupakan refleksi kepribadian islami. Beberapa aktivitas Fahri menjadi bermakna bagi pembaca (pragmatik) karena dilandasi dengan sudut pandang Islam. Aspek-aspek pragmatik tersebut di antaranya meliputi: 1. Istikamah dengan Prinsip Hidup Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istikamah berarti teguh pendirian dan selalu konsekuen. Istikamah merupakan prinsip hidup yang harus dimiliki seorang muslim. Prinsip ini mencerminkan identitas berislam yang sesungguhnya. Seorang muslim yang teguh pendirian dan konsekuen tidak akan mudah berubah pikiran maupun perbuatan ketika dihadapkan pada berbagai godaan kehidupan yang bersifat duniawi. Prinsip seperti inilah yang dimiliki oleh Fahri, tokoh utama dalam novel AAC ini. Melalui tokoh Fahri, Habiburahman El Shirazy ingin mengukuhkan prinsip prinsip dasar hubungan laki-laki dan perempuan. Hubungan laki-laki dan perempuan belum halal sebelum akad nikah dilaksanakan. Karena itu, laki-laki dan perempuan dilarang untuk saling bersentuhan, apalagi berpelukan, berdekatan atau berdua-duaan tanpa mahram sebelum ijab kabul diucapkan mempelai laki-laki. Hal

ini merupakan prinsip hidup yang didasari oleh Al-Quran dan sunah Rasul. Fahri memegang teguh prinsip ini. Keteguhan itu dapat dilihat dalam kutipan teks berikut: Ku mohon turunlah dan usaplah air matanya. Aku paling tidak tahan jika ada perempuan menangis. Aku tidak tahan. Kumohon. Andaikan aku halal baginya tentu aku akan turun mengusap airmatanya dan membawanya ke tempat yang jauh dari linangan air mata selama-lamanya (hal 76). Teks di atas memberi gambaran bahwa Fahri teguh dengan prinsipnya untuk tidak menyentuh dan berduaan dengan perempuan yang bukan mahramnya meskipun Fahri dihadapkan pada pilihan yang sulit untuk menolong Noura. Di satu sisi, Fahri tidak tega melihat Noura disiksa oleh ayahnya. Sedangkan di sisi lain, Fahri tidak mungkin turun menolong gadis itu yang menangis sendirian memeluk tiang lampu karena tidak halal baginya. Atas dasar itulah Fahri meminta Maria turun dari apartemennya untuk menolong Noura. Berikutnya, keteguhan Fahri menghadapi godaan perempuan terlihat ketika Mariaseorang gadis koptik yang cantik dan menggairahkanmengajaknya berdansa. Perhatikan kutipan berikut: Maafkan aku Maria. Maksudku aku tidak mungkin bisa melakukannya. Ajaran Al-Quran dan Sunnah melarang aku bersentuhan dengan perempuan kecuali dia istri atau mahramku. Kuharap kau mengerti dan tidak kecewa! terangku tegas. Dalam masalah seperti ini aku tidak boleh membuka ruang keraguan yang membuat setan masuk ke dalam aliran darah (hal 133). Fahri tidak bisa berdansa dengan Maria yang bukan istri atau mahramnya. Fahri secara tegastanpa keraguanmenolak ajakan Maria tersebut. Apalagi bagi Fahri dansa adalah budaya Eropa yang tidak sejalan dengan budaya Islam. Prinsip Fahri ini jika dibandingkan sangat kontras dengan sebagian anak muda Islam sekarang yang justru berlomba-lomba mencari pasangan kencan, lalu mengajaknya berdansa atau bergoyang. Bagi mereka yang suka hidup glamour seperti itu, sosok seperti Fahri dianggap kolot, aneh, dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Ketegasan prinsip Fahri juga nampak ketika ia sakit. Waktu itu Fahri amat marah mendapati dirinya berduaan dengan Maria ketika ia terbaring lemah di rumah sakit. Menurut Dr. Yusuf Al Qardawi, menjenguk orang sakit disyariatkan oleh Islam meliputi penjengukan wanita kepada laki-laki, meskipun bukan muhrimnya, dan laki-laki kepada wanita. Tetapi suatu hal yang tidak diragukan ialah bahwa menjenguknya itu terikat dengan syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan syara', bersopan santun sebagai muslimah dalam berjalan, gerakgerik, memandang, berbicara, tidak berduaan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa ada yang lain, aman dari fitnah, diizinkan oleh suami bagi yang bersuami, dan diizinkan oleh wali bagi yang tidak bersuami. Ketika itu yang menjaga Fahri adalah Saiful, temannya sesama mahasiswa. Namun, karena Saiful belum makan dan mandi sejak semalam dan kelihatan letih, dia digantikan Maria yang kebetulan datang menjenguk Fahri. Maria menyuruh

Saiful makan dan membersihkan diri. Maria sendiri menemani Fahri yang masih pingsan di kamar rumah sakit itu. Ketika Fahri sadar dari pingsannya dan melihat Maria menunggui dirinya sendirian tanpa Saiful, ia marah. Kepada Saiful yang masuk sehabis makan dan membersihkan diri ia berujar: Saif, kenapa kau tinggalkan aku sendirian dengan Maria? Kenapa dia yang menungguiku? Dia bukan mahramku. Aku memaksakan diri untuk bersuara agak keras. Saiful sepertinya tahu kalau aku marah dan tidak berkenan (hal. 177). Kutipan ini menunjukkan bahwa Fahri kukuh dengan prinsipnya. Antara laki-laki dan perempuan yang belum dalam ikatan pernikahan tidak diperkenankan berdua-duaan. Meskipun Fahri sedang sakit dan membutuhkan seseorang untuk menjaganya, ia menolak dijaga oleh perempuan yang bukan mahramnya. Hal ini diingatkan pengarang ketika menyadari bahwa sekarang amat banyak pemuda Islam yang mudah terjerumus kenistaan. Banyak laki-laki atau perempuan saat ini ketika sakit ditunggui oleh pacarnya, atau kemana-mana selalu berdua seperti pasangan suami istri. Padahal mereka belum halal melakukan itu. Selain konsekuen terhadap prinsip hubungan laki-laki dan perempuan, Fahri juga konsekuen dan tegas dengan suap-menyuap. Baginya menyuap dan disuap adalah haram; kedua-duanya masuk neraka. Persolan suap menyuap ini muncul ketika Aishaistri Fahriingin membebaskan Fahri dari penjara dengan menyuap hakim. Aisha yang orang kaya tidak ingin kehilangan Fahri suaminya. Ia akan melakukan apa saja untuk membebaskan Fahri dari penjara termasuk menyuap hakim, walaupun secara terpaksa. Akan tetapi, apa yang direncanakan Aisha ditolak mentah-mentah oleh Fahri. Lebih baik aku mati dari pada melakukan itu, katanya (hal 358). Fahri mengatakan kepada istrinya bahwa mereka harus teguh dan komitmen memegang keyakinan dan kebenaran dalam kondisi seperti apa pun. Pengarang melalui novel ini meyampaikan pesan kepada pembaca bahwa suap menyuap, sogok menyogok, KKN adalah perbuatan yang harus dihindari oleh umat muslim apalagi bagi mereka yang terpelajar/mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dalam Islam. Dalam hal ini, Habiburrahman melalui tokoh Fahri menyampaikan pesan: Jika aku yang telah belajar di Al Azhar sampai merelakan istriku menyuap, maka bagaimana dengan mereka yang tidak belajar agama sama sekali. Suap menyuap adalah perbuatan yang diharamkan dengan tegas oleh Baginda Nabi. Beliau bersabda, Arraasyi wal murtasyi fin naar! Artinya, orang menyuap dan disuap masuk neraka! (hal. 359). 2. Kesederhanaan Fahri Fahri adalah seorang pemuda Indonesia yang beruntung bisa kuliah di Al Azhar. Ia adalah anak orang desa yang terbiasa dengan kehidupan yang sederhana. Ia dari keluarga susah. Ayahnya seorang petani penggarap dan juga sebagai penjual tape keliling. Pada hari Minggu, Fahri selalu diajak ayahnya berkeliling kampung berkilo-kilo menjajakan tape dari rumah ke rumah.

Ketika menjadi mahasiswa di Mesir, Fahri tinggal bersama teman-temannya meyewa sebuah flat (tempat kos) sederhana di pinggir kota Kairo. Di samping kuliah, Fahri bekerja sebagai penerjemah. Menerjemahkan buku-buku berbahasa arab ke bahasa Indonesia untuk diterbitkan di Indonesia. Dari hasil menerjemah itulah ia membiayai hidup dan kuliahnya di Mesir. Kenyataan ini membuat Fahri tumbuh menjadi lelaki yang kuat dan memiliki semangat juang yang tinggi. Untuk dapat bertahan menghadapi kenyaataan hidup, ia harus bekerja keras. Bekerja keras untuk menyelesaikan studinya di Al Azhar dan juga bekerja keras untuk menerjemah memenuhi kebutuhan hidupnya hari-perhari. Kesederhanaan hidup Fahri mendapat ujian ketika ia menikah dengan Aisya. Aisya seorang kaya yang mewarisi beberapa perusahaan ibunya. Ketika Fahri diajak Aisya tinggal di sebuah rumah mewah pemberian ibunya di pinggir Sungai Nil, Fahri merasa canggung. Ia ingin tinggal dengan menyewa sebuah tempat sederhana di tempat lain. Lalu, ketika Aisha memberinya sebuah ATM dengan nilai uang sekitar 30 Milyar Rupiah, Fahri menjadi pucat. Merinding dan gemetar. Dia merasa gunung Merapi hendak meletus di atas kepalanya. Hal ini dapat dilihat dalam teks berikut, Mendengar apa yang dituturkan Aishaaku jadi sedih, pucat, merinding dan gemetar. Aku memegang kartu ATM senilai $ 3.430.000,00., atau kira-kira 30 Milyar rupiah. Aku merasa gunung Merapi hendak meletus menimpaku. Kenapa mukamu berubah warna, Suamiku? Apakah aku melakukan sesuatu yang menyinggungmu? Tanya Aisha. (hal. 274) Fahri merasa memikul amanah yang begitu beratnya. Ia tidak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Sebelum menikahi Aisha, Fahri hanya membayangkan suasana rumah tangganya yang begitu sederhana. Sederhana seperti teman-teman Indonesianya. Namun ternyata, dia mendapat amanah yang dianggapnya begitu berat; menjadi iman dan penentu jalan hidup seorang muslimah kaya pemilik perusahaan di Turki dan Jeman. Fahri merasa harus meminta bantuan untuk masalah ini kepada yang lebih baik pertimbangannya; Syaih Ahmad Taqiyuddin. Oleh Syaih tersebut Fahri disarankan untuk bisa berlaku bijaksana. Tidak memaksakan standar hidup sederhana yang memang dijalaninya sejak kecil. Hiduplah sewajarnya: jangan terlalu pelit dan jangan pula boros. 3. Menghormati Turis Nonmuslim Selain konsekuen dengan prinsip-prinsip hidupnya, Fahri juga merupakan sosok yang dikagumi dan dituakan oleh teman-temannya. Dalam pergaulannya sehari-hari, Fahri dikenal sebagai pemuda yang berjiwa besar, toleran, dan amat menghormati orang lain. Hal ini menunjukkan bagaimana seorang muslim harus berbuat, bersikap atau berprilaku terhadap orang lain sesuai dengan tuntunan Al Quran dan sunnah yang diajarkan Rasulullah SAW. Suatu ketika Fahri membela tiga orang turis Amerika yang dilecehkan/dizhalimi oleh beberapa pemuda Mesir beragama Islam di atas sebuah

metro (kereta api). Para pemuda itu tidak senang dengan keberadaan turis Amerika itu karena dianggap sebagai turis kafir dan tidak beradabmereka berpakaian you can see saja. Orang Amerika dianggap menjadi biang kerusakan moral masyarakat Timur Tengah termasuk Mesir. Ketiga turis itu dilaknat, dihina dan disumpahserapahi. Untung saja ketiganya tidak mengerti bahasa Arab, sehingga mereka tidak merasa tersinggung mendapatkan perlakuan itu. Akan tetapi, bagi Fahri yang menyaksikan kejadian itu dan mendengarkan hinaan para pemuda Mesir kepada turis Amerika itu, merasa terpanggil untuk mengambil sikap, tidak tinggal diam saja. Lalu ia maju menyampaikan kebenaran. Ia membela turis-turis Amerika itu karena menurut Islam mereka adalah tamu bagi orang-orang Mesir tersebut. Dan tentu saja, menurut pandangan Islam, tamu haruslah dihormati. Fahri mengatakan bahwa ketiga turis itu adalah ahlu dzimmah. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam kutipan berikut: Ahlu dzimmah adalah semua non muslim yang berada di dalam negara kaum muslimin secara baik-baik, tidak illegal, dengan membayar jizyah dan mentaati peraturan yang ada dalam negara itu. Hak mereka sama dengan hak kaum muslimin. Darah dan kehormatan mereka sama dengan darah dan kehormatan kaum muslimin. Mereka harus dijaga dan dilindungi. Tidak boleh disakiti sedikit pun. Dan kalian pasti tahu, tiga turis Amerika ini masuk ke Mesir secara resmi. Mereka membayar visa. Kalau tidak percaya coba saja lihat paspornya. Maka mereka hukumnya sama dengan ahlu dzimmah. Darah dan kehormatan mereka harus kita lindungi. Itu yang diajarkan Rasulullah Saw (hal. 50). Selanjutnya Fahri juga membaca beberapa hadis nabi tentang kewajiban melindungi tamu asing. Nabi mengancam bahwa barang siapa yang menyakiti ahlu dzimmah, maka ia telah menyakiti nabi dan menyakiti nabi berarti menyakiti Allah. Selain itu, mereka juga akan menjadi seteru nabi di akhirat kelak. Apa yang disampaikan Fahri ini ternyata menyentuh hati para pemuda Mesir tersebut. Mereka menyadari kekeliruannya. Mereka dapat menerima apa yang disampaikan oleh Fahri. Mereka lalu beristigfar berkali-kali. Dengan demikian, teranglah bahwa pengarang novel AAC ini ingin menyampaikan pesan kepada pembaca tentang sikap terhadap tamu nonmuslim. Sebagai seorang muslim hendaknya menghormati tamu asing; menjaga kehormatan mereka tanpa melihat perbedaan agama dan kebudayaan. Begitulah cara Islam menghargai tamu asing sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. 4. Memuliakan Tetangga Rasulullah SAW menyuruh umatnya untuk memuliakan tetangga. Jika ingin membuat rumah lebih tinggi dari tetangga sebelah menyebelah, maka harus minta izin dulu. Hal itu karena rumah yang akan ditinggikan tersebut dapat mengurangi kekebasan tetangga mendapatkan cahaya kiri kanan depan belakangnya. Jika memasak sesuatu, maka banyakkan kuahnya agar bisa dibagi-bagikan ke tetangga. Maria mencatat dalam diarinya bahwa Fahri adalah sosok yang amat memuliakan tetangga. Fahri tidak mau merepotkan dan menyakiti tetangganya. Pernah suatu kali ayah Maria menagih iyuran air ke tempatnya. Waktu itu Fahri tidak enak badan dan ia istirahat di kamarnya. Ketika ayah Maria masuk ke kamar

Fahri, ia menemukan ember penadah air untuk menampung air yang menetes dari loteng kamarnya yang berarti berasal dari kamar mandi di atasnya; kamar mandi keluarga Maria. Ayah Maria bertanya sudah berapa lama keadaan itu berlangsung. Fahri menjawab sudah satu bulan. Ketika ayah Maria bertanya alasan Fahri tidak melaporkan kejadian itu kepadanya, maka Fahri menjawab: Nabi kami mengajarkan untuk memuliakan tetangga, beliau bersabda Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya! Kami tahu kerusakan itu perlu diperbaiki. Dan perbaikan itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Karena lantai rumah Anda adalah langit-langit rumah kami, maka biaya perbaikan itu tentunya kita berdua yang menaggungnya. Kebetulan kami tidak punya uang. Kami menunggu ada uang baru akan memberitahu Anda. Jika kami langsung memberitahu Anda kami takut akan merepotkan Anda. Dan itu tidak kami inginkan (hal 370). Jawaban Fahri itu menegaskan bahwa sesuatu yang dipakai secara bersamaan dengan tetangga harus menjadi tanggung jawab kedua belah pihak. Tidak menjadikan tetangga sebagai sumber kesalahan semata. Apa yang dikatakan Fahri di atas membuat ayah Maria terharu atas kedewasaan dan kemuliaan Fahri. Hal lain yang dilakukan Fahri untuk memuliakan tetangganya adalah memberikan kado ulang tahun kepada ibu Maria dan adiknya Yousef. Kado yang diberikan Fahri walaupun kecil, tetapi merupakan sebuah kejutan bagi mereka berdua. Kado itu menjadi tanda perekat hubungan bertetangga yang semakin akrab dan baik. Karena kado itu, Fahri dan kawan-kawan satu platnya mendapat hadiah istimewa dari keluarga Maria. Sebagai ucapan senang dan terima kasih mereka diajak makan bersama di sebuah restoran mewah, Cleopatra Restaurant, di pinggir Sungai Nil. 5. Pernikahan Islami Fahri menikah dengan Aisha, seorang muslimah keturunan Jerman-Turki. Pernikahan pasangan inimeskipun menimbulkan kekecewaan yang mendalam terhadap Nurul dan Maria yang juga amat mencintai Fahritidak melalui proses yang panjang. Mereka dipertemukan. Mereka menikah tanpa melalui pacaran. Fahri melalui perantara Syaikh Utsman dipertemukan dengan Aisha kemenakan Eqbal Hakan Erbakanteman Fahri. Antara Fahri dan Aisha sebelumnya memang telah kenal, tetapi mereka hanya berteman sebagaimana Fahri berteman dengan gadisgadis yang lain. Setelah proses taaruf perkenalan yang difasiltasi oleh Syaikh Utsman dan Eqbal Hakan Erbakan, Fahri dan Aisha menemui kata sepakat untuk menikah. Fahri bersedia menikahi Aisha dan sebaliknya karena dasar keimanan kepada Allah SWT. Fahri adalah sosok lelaki yang alim dan taat meskipun ia seorang mahasiswa miskin. Bagi Aisha itu lebih penting. Ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya bagi Aisha adalah jaminan bahwa Fahri dapat dijadikan suami yang baik dan bertanggung jawab. Demikian pula sebaliknya, bagi Fahri, Aisha adalah gadis sholeha yang akan dapat menjadi pendamping suami dan ibu dari anak-anaknya. Gadis sholeha adalah pilihan yang tepat untuk laki-laki alim seperti Fahri.

Kenyataan ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan Rasulullah SAW empat belas abad yang lalu bahwa ketika akan menikah, maka ada beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan seperti kecantikan, keturunan, kekayaan/harta dan keimanan. Dari itu semua yang paling penting adalah keimanan. Akan tetapi kalau ada semuanya, cantik, keturunan orang baik-baik, kaya dan beriman, itu jauh lebih baik. Fahri menemukan itu pada diri Aisha. Pernikahan mereka kemudian membawa kebahagian bagi keduanya. Untuk para pembaca, ada pelajaran yang dapat dijadikan teladan ketika peristiwa ini berlangsung. Misalnya ketika pertama kalinya berada dalam satu kamar atau satu rumah dengan pengantinnya, Fahri melakukan sesuatu yang disunanahkan oleh Rasulullah saw. Dengan Basmalah, Fahri memegang ubun-ubun kepala Aisha dengan penuh kasih sayang sambil berdoa seperti yang diajarkan Rasulullah: Allahumma, inni asaluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha, wa audzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha! Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan wataknya. Dan aku mohon perlidunganMu dari kejahatannya dan kejahatan wataknya. Amin! (hal 247-248). Lalu, Fahri menyucapkan doa, Barakallaahu likulli waahidin minna fi shaahibihi, Semoga Allah memberkahi masing-masing di antara kita terhadap teman hidunya. (hal. 248). Selanjutnya Fahri mengecup ubun-ubun Aisha sambil mengulang doa tersebut berkali-kali. Aisha mengucapkan amin berkali-kali pula. Selesai itu mereka sholat Magrib berjemaah, dilanjutkan dengan zikir, sholat sunnah badiyah, membaca wirid dan doa rabithah. Menjelang Isya mereka melakukan sholat sunnah bersama sebagaimana dilakukan oleh salafush shaalih, agar pernikahan mereka barakah. Selesai sholat, Fahri kembali memanjatkan doa sebagaimana diajarkan oleh Baginda nabi dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Masud. Doa itu diamini oleh Aisha. Allahumma baarik li fi ahli, wa baarik lahum fiyya. Allahumma ijma bainana ma jamata bikhair, wa farriq bainana idza farraqta ila khair. Ya Allah, berkahilah bagiku dalam keluargaku, dan berilah barakah mereka kepadaku. Ya Allah, kumpulkanlah antara kami apa yang engkau kumpulkan dengan kebaikan, dan pisahkan antara kami jika engkau memisahkan menuju kebaikan. Amin. (hal. 248). Apa yang dilakukan Fahri dan Aisha sebagai pengantin baru adalah pelajaran yang patut dicontoh oleh pasangan pengantin lainnya. Hal ini merupakan sunnah yang kebanyakan telah ditinggalkan oleh umat muslim hari ini. Bahkan karena kesibukan melayani tamu dan undangan lainnya, atau karena terlalu bersenang hati mendapatkan pasangan hidup, banyak pengantin yang meninggalkan sholat wajib ketika pesta dilaksanakan atau beberapa saat setelah itu. Apalagi untuk melaksanakan sholat sunnat seperti yang dicontohkan Fahri dan Aisha dalam novel ini. Pernikahan yang diawali dengan cara-cara seperti yang dilakukan Fahri dan

Aisha dalam novel ini mengajarkan kepada pembaca bahwa sebagai seorang muslim hendaknya memulai hidup baru dalam berkeluarga itu dengan awal yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW. Kalau sudah demikian, kehidupan yang akan dijalani akan mendapat rahmat dari Allah SWT menjadi keluarga yang sakinah maa wardah. 7. Kesimpulan dan Saran 7.1 Kesimpulan Setelah melakukan analisis terhadap novel AAC karya Habiburrahman El Shirazy dengan menggunakan pendekatan pragmatik, yaitu pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sesuatu yang dibangun untuk mencapai efek-efek tertentu, nilai-nilai tertentu, atau fungsi-fungsi tertentu yang berkaitan erat dengan audience (pembaca) (Abrams, 1981: 36-37 dalam Tirto Suwondo), maka novel AAC memuat beberapa aspek pragmatik. Aspek pragmatik tersebut berpusat pada tokoh Fahri sebagai tokoh sentral yang menggerakkan cerita novel ini yang merupakan refleksi kepribadian islami. Beberapa aktivitas Fahri menjadi bermakna bagi pembaca (secara pragmatik) karena dilandasi dengan sudut pandang Islam. Aspek-aspek pragmatik tersebut di antaranya meliputi: (1) Istikamah dengan prinsip hidup, (2) kesederhanaan Fahri menjalani kehidupannya, (3) sikap menghormat turis nonmuslim, (4) memuliakan tetangga, dan (5) melaksanakan pernikahan islami. 7. 2 Saran Analisis yang dilakukan terhadap novel AAC yang juga sudah dilayarlebarkan ini baru sebatas analisis pragmatis. Masih banyak pendekatan lain yang dapat digunakan sebagai upaya untuk mengungkap makna di balik novel ini. Para peneliti yang lain, selanjutnya dapat melakukan pengkajian itu, dapat memperdalam pengungkapan makna novel AAC yang fenomenal ini.

DAFTAR KEPUSTAKAAN El Shirazy, Habiburrahman. 2007. Ayat-Ayat Cinta. Jakarta: Penerbit Republika. Hasan, Fuad dan Koentjaraningrat. 1977. Beberapa Azas Metodologi Ilmiah dalam Koentjaraningrat (ed). Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Ismail, Taufik, 2007. Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Mardeka

Orasi Budaya di TIM, 15 Desember. Kartanegara. EH. 2007. Berkah Ayat-ayat Cinta Rp 1,5 Miliar Jakarta: Ruang Baca Koran Tempo. 31 Desember. Mahayana, Maman S. 2005. Sastra Indonesia Pascareformasi dalam 9 Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing. Moleong, Lexy J. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya Sirsaeba, Anif. 2007. Fenomena Ayat-Ayat Cinta. Jakarta: Penerbit Republika. Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Yogyakarta: Duta Wacana University Press Suwondo, Tirto, 2000. Suara Azan dan Lonceng Gereja Karya A. Hasjmy: Studi Pragmatik dalam Studi Sastra Beberapa Alternatif. Yokyakarta: Hanindita. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya Girimukti Pasaka. Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Theory Of Literature Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai