Anda di halaman 1dari 5

SASTRA DAN PEMIKIRAN

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Sastra Indonesia
yang dibina oleh
Bapak Taufik Dermawan

oleh
Claudia Larassati (160211601870)
Fani Fitriana (160211600146)
Syntya Dewi K. (160211601807)
Tofan Aji Susanto (160211600101)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS SASTRA
PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
November 2016
A. Pengertian
- Sastra merupakan hasil proses kreatif. Dalam proses penciptaannnya melibatkan
banyak daya, seperti daya imajinasi dan daya kreatifitas dari para pengarangnya.
Selain itu, karya sastra dalam proses penciptaannya juga membutuhkan
pengetahuan yang luas dan pengalaman yang kompleks dari para pengarangnya
untuk menghasilkan suatu produk seni yang lebih intens dan bertendens. Tanpa
adanya hal tersebut niscaya akan ‘menelurkan’ karya sastra yang bernilai seni
rendah. Sastra juga perwujudan pikiran dalam bentuk tulisan. Tulisan adalah
media pemikiran yang tercurah melalui bahasa, bahasa yang bisa
direpresentasikan dalam bentuk tulisan, media lain bisa saja berbentuk gambar,
melodi musik, lukisan ataupun karya lingkungan (arsitektur). Dapat dikatakan
juga bahwa karya satra merupakan karya imajinatif dari seorang yang dilandasi
kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni dan juga
memberikan gambaran kehidupan sebagai mana yang diinginkan oleh
pengarangnya sekaligus menunjukan sosok manusia sebagai insan seni.
(Aminuddin, 2000: 112)
- Filsafat adalah suatu ilmu yang begitu dalam dan tidak terhingga luasnya.
Pendapat filosof pun bersimpang siur terhadap masalah filsafat. Filsafat
mempunyai sifat ilmiah yang dengan sadar mencari kebenaran, metode dan sistem
yang berlaku secara umum. Filsafat sebagai suatu ilmu tidak hanya menyelami
sesuatu lapangan kenyataan tertentu, tetapi memajukan pernyataan tentang
kenyataan seluruhnya atau tentang hakikat, azas dan prinsip dari kenyataan.
Filsafat adalah suatu ikhtiar berpikir radikal dan dengan jalan penjajakannya
berusaha sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.

Jadi, sastra dan filsafat (pemikiran) memiliki hubungan yang erat. Sastra dapat
dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan filsafat. Dengan demikian sastra
dapat mengungkapkan berbagai ide atau gagasan tentang kehidupan. Sejalan
dengan pendapat Wellek & Austin Warren (1989:134-135) yang mengemukakan
bahwa sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat atau sebagai pemikiran
yang terbungkus dalam bentuk khusus. Jadi, sastra dianalisis untuk
mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat.
B. Hubungan Sastra dan Pemikiran
Ada berbagai macam cara untuk menjabarkan hubungan sastra dengan
pemikiran. Sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran
yang terbungkus dalam bentuk khusus. Dapat dikatakan bahwa dalam hal ini sastra
dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat. Sebaliknya, ada
pandangan yang meragukan kandungan filsafat pada karya sastra. Merujuk kepada
pandangan George Boas yang menyatakan bahwa pemikiran dalam puisi biasanya
basi, dan sering kali salah, dan tidak ada orang di atas enam belas tahun yang
menganggap puisi bernilai karena isinya.
Wellek dan Warren memiliki pandangan bahwa mereka setuju dengan apa
yang dikatakan Boas. Hal tersebut berdasarkan pada alasan bahwa banyak orang
melebih-lebihkan kadar ilmiah puisi. Padahal, banyak puisi yang terkenal karena
filsafatnya, ternyata hanya berbicara tentang hal-hal yang umum, seperti kefanaan
hidup dan permainan nasib. Mengenai puisi, lebih lanjut Wellek dan Warren memiliki
pandangan bahwa pemahaman terhadap keunikan karya sastra akan kacau kalau kita
meringkas karya sastra menjadi pernyataan-pernyataan doktrin. Lebih parah lagi
akibatnya kalau sekedar mengambil satu atau dua kalimat, atau bagian dari karya
sastra, terlepas dari keseluruhan karya itu.
Dalam hal ini Wellek dan Warren beranggapan bahwa hal tersebut merusak
keutuhan karya dan memasukkan kriteria penilaian asing ke dalam karya sastra. 

C. Ciri-ciri:
1. Dibuktikan atas dasar penelitian tentang ideolodi sastra.
2. Sastrawan seringkali mempunyai afiliasi sosial dan latar sosial yang berbeda
dengan filsuf.
3. Seringkali dianut oleh kelas tertentu yang merupakan kelas sastrawan.
4. Hubungan yang padu diperkuat dengan penciptaan karya sastra yang
sebenarnya.
5. Sastra bukan dinilai sebagai pengganti filsafat.
D. Contoh Analisis Karya Sastra
Karya sastra membicarakan dunia manusia. Demikian juga filsafat, penekanannya
ada pada usaha untuk mempertanyakan hakikat dan keberadaaan manusia. Jadi,
sumbernya tetap bermuara pada manusia sebagai objeknya. Karya sastra maupun
filsafat, sebenarnya merupakan refleksi pengarang atas keberadaan manusia. Hanya
saja, jika karya sastra merupakan refleksi evaluatif, maka filsafat merupakan refleksi
kritis. Apa yang diungkapkan filsafat adalah catatan kritis yang awal dan akhirnya
ditandai dengan pertanyaan radikal yang menyangkut hakikat dan keberadaan
manusia. Sedangkan yang diungkapkan pada karya sastra adalah penilaian atau nilai-
nilai tentang hakikat dan keberadaan manusia. Itulah yang membedakan karya sastra
dan filsafat.

- Atheis – Achdiat K. Mihardja


Roman ini bertutur tentang kisah manusia yang tengah mencari penegasan
identitas diantara modernitas dan tradisi serta agama. Ditunjukkan lewat tokoh
Hasan yang dibesarkan seorang Muslim yang saleh dan kemudian mulai
meragukan kepercayaannya setelah pengaruh dari sahabat kecilnya dan kenalan-
kenalan lain di Bandung.
Melalui novel ini, Achdiat K. Mihardja menumpahkan segala isi pikirannya,
yang bisa jadi merupakan kritik sosial dan politiknya dengan berlandaskan pada
realita yang ada. Ia mengemukakan bahwa novel Atheis ini merupakan realita.
Dibuktikan dengan bagaimana ia menceritakan ideologi-ideologi baru seperti,
radikalisme dan anarkisme yang pernah menjadi popular di kalangan masyrakat
kala itu.

- AKU – Chairil Anwar


Sementara dalam puisi, sajak Aku karya Chairil Anwar jelas-jelas bercorak
eksistensialis. Kalimat “Aku ini binatang jalang/ Dari kumpulannya terbuang.”
adalah pengumuman eksistensialis dari Chairil Anwar. Menurut Herry Dim, Aku
Chairil Anwar tersebut merupakan upaya ke arah penegasan eksistensi diri.
Manusia sebagai persona, sebagai individu yang total, guna menegaskan hak-hak
manusia perorangan.
Pada wilayah eksistensialis, hal tersebut merupakan pemberontakan terhadap
Sosialisme yang tengah jadi maintrend dalam diskursus intelektual masyarakat
Indonesia saat itu. Alhasil, adanya gagasan atau pemikiran dalam sebuah karya
sastra dapat dianggap sah. Dalam hal ini menunjukkan bahwa, karya sastra
merupakan hasil refleksi evaluatif atas realita yang ada. Sehingga memungkinkan
pernyataan bahwa, seni tidak saja untuk seni tapi juga untuk sesuatu yang lain,
semisal perubahan masyarakat.
- Sumur Tanpa Dasar – Arifin C. Noer
Drama ini, dalam perspektif filsafat menjabarkan tentang paham-paham
Materialisme, Kapitalisme, dan paling fokus pada konteks Fanatisme terhadap
eksistensi harta. Hal ini digambarkan lewat tokohnya yang merupakan seorang
pedagang kaya bernama Jumena Martawangsa yang mengalami konflik imajinasi
negatif karena tindakannya yang mengagungkan materi bernama harta, Jumena
yakin bahwa kebahagiaan tertinggi ada pada harta benda namun pada
kenyataannya, ia tidak pernah tentram akan kepemilikan harta tersebut dan bahkan
tumbuh pemikiran dari imajinasi liarnya yang menciptakan sikap egois dan
kecurigaan pada setiap orang disekitarnya yang dikiranya terus mencoba merebut
hartanya bahkan pada keluarganya sendiri.
Dari gambaran tokoh tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa kegalauan
manusia saat ini terhadap eksistensi dirinya, merupakan problematik masyarakat
modern yang selalu berpandangan bahwa manusia seharusnya mengolah habis-
habisan nasib dan suratan takdir hidupnya.
Bertutur tentang konflik antara iman dan eksistensi diri. Dari situ terlihat
upaya Arifin untuk melakukan pembongkaran terhadap nilai-nilai yang ada di
masyarakat. Khususnya yang berkaitan dengan nilai-nilai etik religiusitas dan
kebebasan manusiawi. Selain itu, karya-karya Arifin pun dapat dikaitkan dan
dilacak hingga zaman romantisme yang banyak berbicara tentang perjalanan
hidup manusia, kemunafikan, moralitas, dan anti kemapanan. Namun sebagai
seorang muslim, Arifin tentu tidak dapat keluar dari kerangka normatif
keagamaannya. Pikiran-pikirannya tidak dapat dikatakan murni eksistensialis.
Dengan sendirinya, masalah-masalah eksistensialis mendapat muatan religius.
Seperti ditunjukkan dalam Sumur Tanpa Dasar, manusia modern telah terjebak
pada jenis kepercayaan yang baru, yakni pikiran alias dirinya sendiri. Karena itu,
modernitas lebih berpihak pada materialisme. Manusia modern akhirnya jadi
manusia yang perkasa namun menyedihkan. Ia sibuk dengan kalkulasi matematis
yang serba rasional, sambil mengubur dirinya sebagai makhluk spiritual. Pada
tingkat yang lebih mendasar, modernisme tidak saja mengancam moralitas. Ia juga
jadi ancaman bagi, kedirian. Jika sudah demikian, di mana makna hidup
ditempatkan?

Anda mungkin juga menyukai