Anda di halaman 1dari 33

EKSISTENSIALISME DALAM NOVEL KAFKA ON THE

SHORE

Proposal Skripsi
diajukan untuk melengkapi
persyaratan mencapai
gelar sarjana

NAMA : ZAINITA AYU TSALASINA


NPM : 201612500287

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sastra adalah proses dan hasil dari suatu kesenian yang berasal dari

pendayagunakan bahasa dengan mengungkapkan nilai-nilai kehidupan. Hal

tersebut membuat sastra dapat dikatakan sebagai representasi dari kehidupan.

Karya sastra merupakan sebuah wadah atau perantara antara pembuat sastra

dengan penerimanya yang berisi pemikiran, perasaan, atau bahkan pengalaman

yang disampaikan oleh pembuat sastra dengan tujuan menghibur maupun

mendidik. Karya sastra pada umumnya berisi mengenai persoalan-persoalan

yang terjadi di dalam ruang lingkup kehidupan. Persoalan-persoalan tersebut

dapat berupa kritik sosial, budaya, agama, kenegaraan, pendidikan, atau

bahkan dalam ruang lingkup yang lebih sederhana seperti hubungan sosial,

emosi pribadi, dan hal-hal lain yang sejenis.

Berdasarkan pengertian sastra yang telah dijelaskan, sastra adalah suatu

cabang ilmu yang menarik untuk diteliti. Keunikan sastra terletak pada

penyaluran pengetahuan dan perasaan yang terkandung di dalamnya.

Pengetahuan dan perasaan tersebut disalurkan dengan indah melalui kesenian,

sehingga dapat dinikmati sekaligus diresapi oleh para penerimanya. Dari

pengetahuan dan perasaan itu lah, terdapat nilai-nilai eksplisit dan implisit yang

dapat dijadikan sumber penelitian. Umumnya, nilai-nilai tersebut disajikan

secara abstrak oleh sastrawan sebagai daya tarik dan ciri khas dari karya sastra

tersebut.

1
2

Novel merupakan salah satu jenis karya sastra di samping cerita pendek,

puisi, dan drama. Secara garis besar, novel merupakan sebuah karya fiksi prosa

berupa tulisan berbentuk naratif yang menceritakan tokoh-tokoh di dalamnya

dalam kehidupan sehari-hari. Novel umumnya menceritakan mengenai

masalah kehidupan serta interaksinya antara tokoh satu dengan lainnya.

Dengan demikian, sama halnya dengan sastra, novel juga merupakan

representasi dari kehidupan. Hanya saja, representasi dari kehidupan tersebut

berbentuk tulisan. Oleh sebab itu, novel kerap disebut sebagai dunia dalam

kata. Dunia dalam kata yang dimaksud adalah seorang pengarang menulis

karyanya dengan rangkaian bahasa, pemilihan diksi, penghidupan karakter, dan

konflik yang membangun cerita. Semua unsur-unsur tersebut membentuk

dunia baru berdasarkan interprestasi yang dibaca oleh pembacanya.

Di dalam novel, seorang pengarang memberikan berbagai macam

permasalahan hidup. Permasalahan hidup tersebut berisi perenungan-

perenungan yang umumnya mengenai dinamika sosial, arti dari sebuah

kehidupan, serta perjuangan untuk terus bergelut dalam ruang lingkup dan

keterbatasan. Perenungan tersebut akan ditarik menjadi sebuah simpulan yang

ditangkap oleh pembacanya berdasarkan persepsi dan sudut pandangnya.

Perenungan tersebut umumnya imajinatif, mengingat novel adalah sebuah

karya fiksi. Namun demikian, perenungan tersebut tetap lah masuk akal dan

mengandung kebenaran. Artinya, meskipun novel memiliki bentuk

penyampaian yang imajinatif, ide dan makna yang tersalurkan dapat diterima

oleh khalayak umum karena sesuai dengan kaidah-kaidah kehidupan.


3

Ide dan makna yang terdapat di dalam novel tidak terbatas hanya

dengan permasalahan hidup. Umumnya, seorang pengarang juga menuangkan

pemikiran, teori, dan pandangannya mengenai berbagai aspek kehidupan ke

dalam karya-karyanya. Pandangan yang dituangkan bisa berupa pandangan

politik, filosofis, budaya, keyakinan, dan sebagainya. Pandangan filosofis,

sebagai salah satu pandangan yang dituangkan oleh seorang pengarang,

merupakan suatu pandangan yang bermuasal dari suatu cabang ilmu yang

mempertanyakan segala aspek dalam kehidupan melalui proses pemikiran

yang metodis, sistematis, dan koheren mengenai seluruh kenyataan. Cabang

ilmu tersebut disebut filsafat.

Filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu Philos (cinta), dan Sophia

(kebijaksanaan). Dengan demikian, filsafat dapat diartikan sebagai suatu ilmu

yang mempertanyakan apa pun dengan pendekatan ilmiah, sistematis, dan

koheren untuk mendorong manusia memahami makna kehidupan dan segala

aspeknya, sehingga menjadikan manusia menjadi makhluk yang bijaksana.

Kebijaksanaan yang dimaksud dalam filsafat ialah kebijaksanaan teoritis, yang

untuk mendapatkannya dibutuhkan keyakinan dan kesadaran atas sesuatu yang

kita percayai, serta pemahaman intelektual yang besar. Berdasarkan pengertian

filsafat tersebut, karya sastra yang menitikberatkan filsafat merupakan hal yang

menarik untuk diteliti. Hal tersebut karena nilai dari pandangan filosofis yang

dituangkan itu umumnya memiliki makna yang secara tidak langsung dapat

menghibur, memberi wawasan, serta mendidik pembacanya untuk menjadi

individu yang yakin dan sadar akan kepercayaan yang ia percayai untuk
4

memaknai kehidupan dan segala aspeknya. Dalam memaknai arti kehidupan,

ada pandangan yang menekankan keberadaan dan kebebasan manusia.

Pandangan tersebut disebut sebagai eksistensialisme.

Eksistensialisme merupakan suatu filsafat yang membahas keberadaan

dan esensi manusia berdasarkan apa yang dialami dan ditentukan oleh manusia

itu sendiri. Eksistensialisme memposisikan manusia sebagai sesuatu, dan satu-

satunya yang sanggup keluar dari dirinya. Mereka bergerak, mencari dan

menentukan sendiri makna hidupnya. Manusia adalah apa yang mereka

lampaui, apa yang mereka pilih untuk menjadi mereka. Manusia adalah

individu yang dinamis, bebas, dan tidak terjebak oleh sesuatu batas yang

mengekang mereka. Dengan demikian, penelitian mengenai karya sastra

dengan konsep eksistensialisme di dalamnya merupakan hal yang menarik

untuk diteliti. Keunikannya terletak pada konsep utama eksistensialisme, yaitu

kebebasan. Manusia adalah makhluk bebas dan bertanggung jawab terhadap

pilihan mereka. Konsep tersebut seperti memotivasi manusia untuk tidak

berputus asa dan terus bergerak untuk mendapatkan makna hidupnya.

Pemikiran eksistensialisme yang unik membuatnya banyak dijadikan

sebagai inspirasi dan bahan pemikiran dalam berbagai jenis karya sastra,

misalnya novel. Novel yang berakar dari pemikiran eksistensialisme biasanya

membahas permasalahan manusia dalam menentukan jati dirinya. Konflik di

dalamnya lebih menekankan koflik batin ketimbang konflik sosial. Novel

dengan konsep eksistensialisme masih terus berkembang hingga saat ini.

Beberapa contoh pengarang yang karyanya berakar dari paham


5

eksistensialisme di antaranya Albert Camus, Paulo Coelho, Franz Kafka,

Friedrich Nietzsche, Fyodor Dostoevsky, Raymond Chandler, Haruki

Murakami, dan sebagainya.

Haruki Murakami adalah salah satu pengarang eksistensialis yang

masih eksis hingga saat ini. Karya-karya Murakami umumnya berisi konflik

mengenai krisis identitas, yang mana di dengan adanya krisis identitas tersebut

membuat tokoh protagonis di dalamnya berkembang dalam mencari makna

hidupnya. Karya-karya Murakami banyak dipengaruhi oleh penulis-penulis

eksistensialis lainnya seperti Dostoevsky, Kafka, Camus, dan Chandler.

Meskipun karya Murakami bersumber pada pemikiran eksistensialisme, ada

satu perbedaan yang menjadikan karya Murakami tersebut berbeda dengan

karya eksistensialis lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada pemikiran bahwa

meskipun manusia menentukan sendiri esensinya, pada dasarnya manusia

sudah memiliki esensi tersebut di dalam dirinya. Salah satu karya Murakami

yang bertemakan eksistensialisme adalah Kafka on the Shore.

Kafka on the Shore bercerita mengenai dua tokoh protagonis, Kafka

Tamura dan Satoru Nakata, yang sama-sama keluar dari keberadaannya untuk

mendapatkan sendiri makna hidupnya. Meskipun kedua tokoh tersebut

memiliki jalan dan latar yang berbeda dalam menentukan makna hidupnya,

keberadaan mereka saling berkaitan satu sama lain. Kedua tokoh tersebut

seperti dua orang yang dihubungkan oleh seutas benang yang dalam setiap

pergerakan orang yang satu dapat memengaruhi gerakan orang lainnya. Pada

awalnya, masing-masing protagonis terjebak dalam keterbatasannya; Kafka


6

Tamura dengan kutukan yang dilontarkan oleh ayahnya, sedangkan Satoru

Nakata dengan ketidak-mampuannya dalam membaca dan menulis. Namun,

karena keterbatasan itu lah awal dari pergerakan mencari makna kehidupan

tersebut bermula.

Berdasarkan penjelasan yang sudah dipaparkan, novel karya Haruki

Murakami yang berjudul Kafka on the Shore adalah novel yang akan penulis

teliti. Penelitian ini akan berfokus pada tokoh Kafka Tamura, sebagai salah satu

tokoh utama di samping Satoru Nakata. Alasan penelitian ini dilakukan adalah

karena penulis menemukan adanya keterkaitan antara paham eksistensialisme

dengan pemikiran Murakami yang dituangkan ke dalam novelnya, khusunya

novel yang berjudul Kafka on the Shore.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang, penulis

dapat mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Siapakah Kafka Tamura dalam novel Kafka on the Shore karya Haruki

Murakami?

2. Bagaimana karakter Kafka Tamura dalam novel Kafka on the Shore karya

Haruki Murakami?

3. Apakah Kafka Tamura dalam novel Kafka on the Shore karya Haruki

Murakami mengalami pasang surut eksistensi?

4. Bagaimana konflik batin yang dialami Kafka Tamura dalam novel Kafka on

the Shore karya Haruki Murakami?


7

5. Apakah nilai mitologi yang Haruki Murakami sampaikan melalui novel

Kafka on the Shore?

6. Apakah pengaruh dari nilai mitologi tersebut tehadap konflik batin yang

dialami Kafka Tamura dalam novel Kafka on the Shore karya Haruki

Murakami?

C. Batasan Masalah

Untuk lebih terarahnya pembahasan pada bab-bab selanjutnya yang

akan penulis uraikan, maka penulis akan membatasi masalah yang akan diteliti,

yaitu hanya akan berkisar pada konsep eksistensialisme yang terdapat dalam

novel Kafka on the Shore karya Haruki Murakami, khususnya terhadap tokoh

Kafka Tamura.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, serta batasan masalah

yang telah dipaparkan, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut: Apa saja konsep eksistensialisme yang ditunjukkan oleh Kafka

Tamura dalam novel Kafka on the Shore karya Haruki Murakami?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, tujuan

dari penelitian ini adalah untuk menganalisis konsep eksistensialisme yang


8

ditunjukkan oleh tokoh Kafka Tamura dalam novel Kafka on the Shore karya

Haruki Murakami.

F. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan

yaitu sebagai berikut:

1 Manfaat dari Segi Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan

mengenai konsep eksistensialisme yang ditunjukkan oleh Kafka Tamura

di dalam novel Kafka on the Shore karya Haruki Murakami.

2 Manfaat dari Segi Praktis

a. Bagi Mahasiswa Unindra

1) Dapat menambah wawasan dan lebih memahami eksistensialisme

yang terdapat dalam novel Kafka on the Shore karya Haruki

Murakami.

2) Sebagai bahan referensi terhadap penelitian yang sejenis atau yang

bersangkutan dengan novel Kafka on the Shore karya Haruki

Murakami

b. Bagi Penulis

1) Menambah pemahaman mengenai eksistensialisme dalam novel

Kafka on the Shore karya Haruki Murakami.

2) Menambah pengalaman, pengetahuan, dan wawasan khususnya

dalam bidang pendidikan dan sastra Bahasa Inggris.


9

c. Bagi Peneliti Lain

1) Menjadi panduan atau refrensi bagi peneliti lain yang akan

melakukan penelitian mengenai eksistensialisme dalam sebuah

novel.

2) Menambah wawasan dalam memahami eksistensialisme dalam

sebuah novel, terutama novel Kafka on the Shore karya Haruki

Murakami.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan pembaca dalam memahami tulisan ini, maka

penulis membuat sistematika penulisan yang akan memuat rencana penelitian

secara menyeluruh. Sistematika penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari Latar Belakang, Identifikasi Masalah,

Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,

Kegunaan Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

Bab ini berisikan Landasan Teori yang umumnya

menggunakan dasar-dasar pemikiran yang terdiri atas Sastra,

Fiksi, Novel, dan Eksistensialisme, disertai dengan

Penelitian yang Relevan dan Kerangka Berpikir.


10

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai Pendekatan Penelitian,

Teknik Penelitian, Fokus dan Subfokus Penelitian, Instrumen

Penelitian, Teknik Pencatatan Data, dan Teknik Analisis

Data.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian dan

pembahasan yang terdiri dari Deskripsi Informasi Penelitian,

Deskripsi Temuan Penelitian, serta Penafsiran dan Uraian.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi simpulan yang diambil dari hasil penelitian

pada bagian analisis data yang telah ditemukan, serta saran-

saran yang berhubungan dan dapat digunakan dalam rangka

mengembangkan dan meningkatkan kualitas penelitian

selanjutnya.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Landasan Teori

1. Sastra

Sastra merupakan proses dan hasil pendayagunaan bahasa untuk

menyampaikan suatu pangalaman, pemikiran, ataupun perasaan dengan

nilai keindahan di dalamnya. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Al-

Ma’ruf (2018:5) yang mengatakan: “Sastra merupakan ungkapan pribadi

manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, keyakinan, ide, dan

semangat dalam bentuk karya seni yang dapat membangkitkan rasa

keindahan melalui bahasa.” Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sastra

merupakan suatu media yang menyalurkan pengalaman, pemikiran, maupun

perasaan antara sastrawan dengan penerima sastra dengan menampilkan

nilai keidahan di dalamnya melalui bahasa.

Pengalaman, pemikiran, dan perasaan yang terdapat di dalam karya

sastra tidak lepas dari nilai-nilai kehidupan yang ada. Untuk

mengembangkan nilai-nilai kehidupan tersebut, umumnya seorang

sastrawan memasukkan pola prilaku sosial melalui individu di dalamnya.

Berkenaan dengan ini, Ratna (2003:91) menyatakan bahwa karya sastra

mampu untuk memasuki seluruh ruang kehidupan nyata, mengarahkan ciri

individual pada pola-pola perilaku sosial dalam rangka membentuk

keseimbangan emosional. Berdasarkan pendapat ini, dapat dipahami bahwa

karya sastra bukan hanya sekedar media penyampaian antara sastrawan

11
12

dengan penerima sastra. Lebih dari itu, sastra dapat mewakili nilai-nilai

kehidupan yang ada. Dengan kata lain, karya sastra merupakan representasi

dari kehidupan.

Nilai seni yang terdapat di dalam karya sastra tidak lepas dari

pendayagunaan bahasa di dalamnya. Meskipun seni dan bahasa merupakan

dua hal yang berbeda, namun kedua hal tersebut menyatu di dalam sebuah

karya sastra. Teeuw (2003:151-285) menjelaskan bahwa sastra itu dapat

dilihat dari dua segi, yaitu dari segi bahasa dan segi seni. Sebagai seni

bahasa, sastra dapat didekati melalui aspek kebahasaan dan pertentangannya

dengan pemakaian bahasa dalam bentuk lain. Sedangkan sebagai suatu

karya seni, sastra dapat didekati melalui aspek keseniannya. Berdasarkan

penjelasan Teeuw tersebut, bahasa dan seni merupakan dua pembentuk

sastra. Keduanya memiliki fungsi yang berbeda namun saling

memengaruhi. Bahasa berkaitan dengan fungsi sastra sebagai media

pemikiran dan perasaan yang hendak disampaikan, sedangkan seni

berkaitan dengan fungsi sastra sebagai hiburan yang di dalamnya terdapat

nilai-nilai keindahan yang dapat diapresiasikan.

Dalam menyampaikan ide dan gagasan, seorang sastrawan secara

tidak langsung mengajak masyarakat untuk sadar terhadap permasalahan-

permasalahan kehidupan yang ada. Hal tersebut sesuai dengan fungsi karya

sastra sebagai penyampaian ide dan gagasan mengenai permasalahan yang

ada. Oleh karena itu, karya sastra bukan hanya mengandung nilai keindahan,

namun juga kebenaran dan juga pendidikan. Berkenaan dengan hal ini, Yasa
13

(2012:3) berpendapat bahwa fungsi karya sastra adalah menyampaikan ide-

ide atau gagasan-gagasan seorang penulis puisi, prosa, dan drama. Ide-ide

itu dapat berupa kritik sosial, politik, maupun budaya, yang berkaitan

dengan permasalahan-permasalahan yang ada di sekitar tempat tinggalnya.

Upaya menuangkan ide atau gagasan tersebut dapat dikatakan sebagai

upaya kreatif seorang penulis untuk mengajak masyarakat mendiskusikan

permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi dalam kehidupan. Dari

pendapat ini, dapat dipahami bahwa karya sastra berfungsi sebagai media

antara sastrawan dengan penerimanya. Media tersebut menyalurkan ide atau

gagasan berupa persoalan dalam kehidupan sehari-hari seperti masalah

sosial, politik, atau bahkan budaya. Tersampainya ide dan gagasan tersebut

tidak lepas dari pendayagunaan bahasa yang juga memberikan nilai-nilai

keindahan, sehingga karya sastra yang tersampaikan dapat menghibur dan

mendidik.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa karya

sastra merupakan sebuah karya seni yang mendayagunakan bahasa untuk

menyampaikan ide dan gagasan dengan membangkitkan rasa keindahan.

Dalam menyampaikan ide dan gagasan, seorang sastrawan umumnya

memasukkan nilai perilaku sosial melalui individu di dalamnya. Oleh

karena itu, di dalam karya sastra terdapat nilai-nilai kehidupan. Nilai

kehidupan tersebut tidak lepas dari unsur bahasa dan seni di dalamnya.

Melalui bahasa dan seni itu lah, karya sastra berfungsi sebagai media antara

sastrawan dengan penerimanya. Seorang sastrawan ingin membuat


14

masyarakat sadar dan mengajak mereka untuk berdiskusi terhadap

permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam lingkungannya. Dengan

kata lain, dalam penyampaiannya, karya sastra dapat menghibur dan juga

mendidik.

2. Novel

Novel merupakan salah satu jenis karya sastra di samping cerita

pendek, puisi, dan drama. Di dalam novel, terdapat cerita yang ditunjukkan

melalui tokoh-tokoh di dalamnya. Menurut Mihardja (2012:39), novel

adalah sebuah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif yang biasanya

dalam bentuk cerita, dimana umumnya sebuah novel bercerita tentang

tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari dengan

menitikberatkan pada sisi-sisi yang aneh dari naratif tersebut. Berdasarkan

pendapat ini, dapat dimengerti bahwa novel merupakan salah satu jenis

karya sastra yang menawarkan cerita fiksi mengenai tokoh-tokoh melalui

interaksinya dalam kehidupan sehari-hari di dalamnya.

Novel merupakan karya fiksi imajinatif. Artinya, kehidupan yang

terdapat di dalamnya merupakan rekayasa dari ide pengarangnya. Meskipun

begitu, seorang pengarang tetap mempertimbangkan koherensi dari

kehidupan nyata di dalam karyanya. Berkenaan dengan ini, Nurgiyantoro

(2010:4) berpendapat bahwa novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan

sebuah dunia yang berisi model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif

yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot,

tokoh dan penokohan, latar, dan sudut pandang yang kesemuanya bersifat
15

imajinatif. Walaupun semua yang direalisasikan pengarang sengaja

dianalogilan dengan dunia nyata tampak seperti sungguh ada dan benar

terjadi, hal ini terlihat sistem koherensinya sendiri. Pendapat ini mempunyai

arti bahwa meskipun novel merupakan sebuah karya sastra berbentuk fiksi

yang unsur-unsur di dalamnya bersifat imajinatif, nilai-nilai yang terdapat

di dalamnya dapat direalisasikan dengan dunia nyata.

Novel, yang merupakan hasil dari relisasi dunia nyata, juga

mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan zaman.

Perkembangan novel tersebut dipengaruhi oleh situasi dan keadaan pada

zaman novel itu ditulis. Reeve (dalam Yulistio, 2015:38) berpendapat

bahwa novel merupakan gambaran dari kehidupan dan perilaku nyata dari

zamannya pada waktu novel itu ditulis. Dengan demikian, dari waktu ke

waktu, novel memiliki perubahan. Perubahan tersebut bisa disebabkan oleh

perkembangan kehidupan dari masa ke masa, bisa juga disebabkan oleh

perkembangan kesusastraan yang terus mengalami pembaharuan.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa novel

merupakan sebuah karya sastra berupa karya fiksi yang imajinatif; namun

tetap sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang terdapat pada zaman novel

tersebut ditulis. Novel terus mengalami perkembangan, mengingat

perkembangan zaman membuat perubahan yang signifikan dalam bidang

kesusastraan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa novel merupakan

representasi dari kehidupan, khususnya kehidupan pada zaman novel

tersebut ditulis.
16

3. Filsafat

Filsafat merupakan suatu cabang ilmu yang penting untuk dipelajari

untuk memaknai kehidupan, karena bermuasal pada pertanyaan-pertanyaan

seputar kehidupan. Hal tersebut berdasarkan pengertian filsafat yang

dikemukakan oleh Tumanggor dan Sudaryanto (2018:13-14) bahwa filsafat

merupakan ilmu yang bermuasal dengan mempertanyakan peristiwa,

keadaan, dan sesuatu dalam hidupnya dengan pengetahuan metodis dan

sistematis tentang seluruh kenyataan. Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa filsafat merupakan suatu cabang ilmu yang membahas mengenai

kehidupan melalui pertanyaan-pertanyaan seputar peristiwa dan kehidupan

secara metodis dan sistematis.

Peristiwa dan keadaan dalam kehidupan sebagai inti dari ilmu

filsafat sangat luas cakupannya. Hampir semua cabang ilmu seperti seni,

sastra, dan sebagainya berasal dari ranah yang sama, yaitu filsafat. Rahman

(dalam Soleh 2013:2) menyatakan bahwa filsafat adalah ruh pengetahuan

(mother of science) dan metode utama dalam berpikir, bukan produk

pemikiran. Sehingga tanpa filsafat seseorang tidak akan mampu

mengembangkan ilmunya. Bahkan tanpa filsafat, ia berarti telah melakukan

bunuh diri intelektual. Dengan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa

filsafat adalah ruh pengetahuan. Artinya, cabang ilmu lainnya berasal dari

sumber pengetahuan yang sama, yaitu filsafat. Seni berakar dari filsafat,

begitu pula dengan sastra, psikologi, bahkan sains, dan sebagainya.


17

Filsafat, sebagai ruh pengetahuan, sangat erat kaitannya dengan

kehidupan. Dalam perkembangannya, nilai kehidupan tersalurkan melalui

bahasa. Sementara itu, bahasa tidak lepas dari sastra. Dengan demikian,

terdapat benang merah antara filsafat dengan sastra. Darma (dalam Al-

Ma’ruf 2017:78) mengatakan filsafat dan sastra kadang-kadang menjadi

satu. Filsafat dapat diucapkan lewat sastra, sementara sastra itu sendiri

sekaligus dapat bertindak sebagai filsafat. Salah satu aliran filsafat yang

muncul dalam sastra Indonesia pada beberapa dekade terakhir adalah

eksistensialisme yang derivasinya meliputi allienisme (yang menyiratkan

kesendirian atau keterasingan) dan absurdisme (yang menyiratkan bahwa

kehidupan kita tidak mempunyai makna). Dengan pendapat ini, dapat

dipahami bahwa terdapat benang merah antara filsafat dengan sastra yang

mana membuat kedua hal tersebut menjadi satu. Salah satu aliran filsafat

yang muncul dalam kesusastraan Indonesia adalah eksistensialisme, yang

akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian selanjutnya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dipahami bahwa

filsafat merupakan suatu ilmu yang bermuasal dari pertanyaan-pertanyaan

seputar peristiwa dan keadaan dalam kehidupan. Filsafat merupakan ruh

pengetahuan dalam berpikir. Artinya, cabang ilmu pengetahuan lainnya

bersumber dari ilmu filsafat. Filsafat sangat erat kaitannya dengan

kehidupan, yang mana kehidupan juga berkaitan erat dengan sastra,

sehingga filsafat dan sastra kadang-kadang menjadi satu. Salah satu aliran
18

filsafat yang terdapat dalam sastra pada beberapa dekade terakhir ini adalah

eksistensialisme.

4. Eksistensialisme

Eksistensialisme merupakan suatu pandangan filosofis yang

membahas keberadaan manusia yang mampu menentukan hidupnya.

Eksistensialisme berawal dari pertentangan terhadap filsafat tradisional.

Dalam eksistensialisme, menjadi manusia adalah sadar akan keberadaannya

sehingga mampu menentukan pilihan hidupnya sendiri. Dengan kata lain,

mereka adalah pilihan yang mereka ambil. Tilaar (2005:293) menyatakan

bahwa eksistensialisme adalah bagaimana manusia sebagai individu dapat

mengambil keputusan mengenai keberadaannya, meredaksikan dirinya,

sehingga inilah yang dimaksud dengan “menjadi manusia” (being human).

Dari pendapat ini, dapat dimengerti bahwa eksistensialisme merupakan

sebuah pemikiran yang berakar dari pernyataan bahwa manusia “ada,”

mereka sadar akan keberadaannya dan mampu keluar dari keberadaannya.

Oleh sebab itu, manusia mampu memilih pilihan hidupnya.

Jean Paul Sartre merupakan tokoh eksistensialisme asal Prancis

yang sangat terkenal. Ia membuat paham eksistensialisme tersebar luas,

meskipun pada kenyataannya paham eksistensialisme pertama kali

dicetuskan oleh Soren Kierkegaard. Sartre menjelaskan bahwa manusia

yang eksistensialis harus menyadari bahwa mereka (manusia) memulai

hidup atau eksistensinya berdasarkan dari yang bukan “apa-apa”. Manusia

tidak akan menjadi “apa-apa” sampai ia bertindak sendiri dengan penuh


19

kesadaran agar hidupnya menjadi “apa-apa” (Sartre, 2002:44). Dengan

demikian, dapat dipahami bahwa manusia telahir tanpa memiliki makna.

Mereka bukan “apa-apa”, sehingga untuk mendapatkan makna hidupnya

dan menjadi “apa-apa” mereka harus mengubahnya melalui pilihan yang

mereka ambil.

Pemikiran Sartre yang terkenal mengenai eksistensialisme adalah

existence precedes essence, atau eksistensi mendahului esensi. Artinya,

manusia terlahir tanpa memiliki makna dalam hidupnya. Untuk itu, manusia

harus menentukan sendiri makna hidupnya. Dalam memaknai makna

kehidupan, ada istilah facticity, atau faktisitas. Facticity adalah pemberian

alamiah yang dapat memengaruhi sosok yang membentuk diri kita. Facticity

meliputi sifat fisik, fakta sosial, sifat psikologis, latar belakang keluarga, dan

pendidikan. Namun, facticity bukanlah nilai diri kita yang sebenarnya. Nilai

diri kita terletak pada diri kita, dengan kata lain bersifat subjektif. Kita,

sebagai manusia diberi kebebasan dalam menentukan hidup kita. Konsep

kebebasan dalam existence precedes essence ini dijelaskan oleh Sartre

(dalam Dreyfus, 2006:212) yang mengatakan:

What do we mean by saying that existence precedes essence? We


mean that man first of all exists, encounters himself, surges up in the
world – and defines himself afterwards. If man as the existentialist
sees him is not definable, it is because to begin with he is nothing.
He will not be anything until later, and then he will be what he makes
of himself. Thus, there is no human nature, because there is no God
to have a conception of it. Man simply is . . . Man is nothing else but
that which he makes of himself. That is the first principle of
existentialism.
20

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa manusia

adalah apa yang mereka pilih untuk menjadi mereka Mereka membentuk

diri mereka sendiri. Yang menentukan siapa mereka bukanlah karakteristik

yang mereka dapatkan ketika mereka lahir, tetapi pilihan dan tindakan yang

mereka lakukan. Tidak ada yang dapat menentukan nilai dari seseorang

kecuali diri mereka sendiri.

Pemikiran Sartre yang juga terkenal ialah mengenai konsep

keberadaan, yang dapat dilihat berdasarkan being-for-itself (ada untuk

dirinya) dan being-in-itself (ada pada dirinya). Dalam hal ini, Solomon

(2000:75) mengatakan “Being-for-itself (pour-soi) is the being of

consciousness. Being-in-itself (en-soi) is the existence of things.”

Berdasarkan pendapat ini, dapat dipahami bahwa konsep being-for-itself

membahas mengenai keberadaan dalam aspek yang berkesadaran. Being-

for-itself menafsirkan bahwa manusia adalah makhluk sadar; mereka sadar

akan keberadaannya dan memiliki hak dan tanggung jawab penuh atas

hidupnya. Sementara itu, konsep being-in-itself membahas keberadaan

dalam aspek tidak sadar. Ia berupa sesuatu yang ada begitu saja. Ia tidak

mampu memberi makna pada eksistensinya. Contoh dari being-in-itself

adalah benda-benda yang memiliki kesatuan dalam dirinya sendiri.

Paham eksistensialisme terlihat sangat optimis jika dilihat dari

permukaannya, karena membahas keberadaan manusia dalam haknya

mengenai kebebasan. Namun jika dikaji lebih dalam, pemikiran

eksistensialisme tidak seoptimis itu. Sartre, dalam Being and Nothingness,


21

membahas konsep “sisi gelap” eksistensialisme, yaitu mengenai

kegelisahan (anguish) dan kebohongan (bad faith). Dalam hal ini, Solomon

(2000:73) menjelaskan mengenai konsep kegelisahan (anguish) milik

Sartre. Ia mengatakan:

… anguish is an experience of our own freedom. Anguish is different


from fear. (The latter concerns what might happen to us; the former,
what we might do.) In a dangerous situation, we realize that nothing
stands between us and our own willful self-destruction.

Berdasarkan pendapat tersebut, kegelisahan (anguish) terjadi ketika

seseorang menyadari kebenaran mengenai keberadaan manusia yang

sesungguhnya dan kebenaran mengenai keputusan yang telah ia ambil. Tak

jarang kita merasa ragu terhadap keputusan dan konsekuensi mengenai

keputusan yang telah kita ambil. Semakin kita merasa bebas, semakin

banyak pula pilihan yang bisa kita ambil, dan semakin gelisah pula kita

terhadap tanggung jawab dan kemungkinan yang akan terjadi melalui

pilihan yang ada. Dan ketika kita telah memilih suatu pilihan dan berpikir

bahwa keputusan tersebut adalah pilihan terbaik, di saat itu muncul pikiran

mengenai konsekuensi dan kemungkinan negatif yang bisa saja terjadi.

“Sisi gelap” eksistensialisme berikutnya yaitu kebohongan (bad

faith). Konsep ini membahas situasi ketika seseorang mengingkari

kebebasan dan memilih untuk membohongi dirinya sendiri. Pilihan yang

orang tersebut pilih tidak berdasar pada dirinya, melainkan berdasarkan

pada situasi dan lingkungan di sekitarnya. Dreyfus (2006:236) menjelaskan

mengenai konsep kebohongan (bad faith) Sartre. Ia mengatakan:


22

Bad faith, as Sartre conceives it, is a form of motivated irrationality


in which I fail to coordinate these two aspects of myself, pretending
either that I am not responsible, since my choices are determined by
facts about my character and circumstances, or that I am not
committed, since my possibilities always remain indefinitely open-
ended. Sartre offers vivid examples of each form of bad faith. The
overzealous French waiter seeks to evade responsibility for his
choices by disappearing, as it were, into his stereotypical
professional role. By contrast, a woman lets herself be seduced by
denying to herself that letting the man hold her hand in the
restaurant commits her to any kind of intimacy. The waiter wants to
escape his transcendence, the woman her facticity. Both appear to
be self-deceived, but Sartre argues that there is a paradox in the
concept of self-deception, since deception ordinarily requires that
the liar and the victim be distinct individuals. Indeed, Sartre seems
to believe that self-deception is impossible, that is, that one can
never really be the victim of one’s own present lies.

Berdasarkan pendapat tersebut; dapat dipahami bahwa konsep

kebohongan (bad faith) terjadi ketika seseorang mengingkari kebebasan

yang ia miliki, semata-mata karena ia tidak ingin mengalami kegelisahan

dalam memilih, atau merasa cemas atas konsekuensi dan kemungkinan yang

akan didapatkannya. Ia berpura-pura tidak memiliki pilihan lain, memilih

untuk mengikuti alur yang dibuat oleh sekitarnya dan terikat oleh situasi

sosialnya. Ia tidak merasa sebebas yang seharusnya. Sartre mengangkat

ilustrasi seorang pelayan dan seorang wanita yang sedang berkencan

sebagai contoh dalam kasus ini. Keduanya sama-sama mengingkari hak

kebebasannya. Namun hal tersebut menjadi paradoks, karena antara

pembohong dengan korbannya merupakan orang yang sama.

Dari beberapa pendapat yang telah dijelaskan, dapat dipahami

bahwa eksistensialisme merupakan suatu paham filsafat yang membahas

keberadaan manusia berdasarkan apa yang mereka pilih. Dengan kata lain,
23

manusia adalah makhluk bebas. Namun di samping kebebasan, timbul pula

tanggung jawab. Dalam menyikapi kebebasan, timbul kegelisahan

(anguish). Dan dengan kecemasan itu, timbul pula pengingkaran dalam

kebebasan (bad faith). Jean Paul Sartre adalah penggerak eksistensialisme

yang terkenal. Ia menuangkan banyak pemikiran mengenai

eksistensialisme. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori Sartre

mengenai konsep eksistensialisme yang meliputi kebebasan, tanggung

jawab, kegelisahan (anguish), dan kebohongan (bad faith). Keempat konsep

tersebut akan diteliti di dalam novel Kafka on the Shore karya Haruki

Murakami melalui kehidupan yang dialami Kafka Tamura sebagai tokoh

utama.

B. Penelitian yang Relevan

Sebelum penelitian ini dilakukan, terdapat beberapa penelitian yang

relevan dengan penelitian ini. Penelitian tersebut memiliki beberapa persamaan

dan perbedaan, sehingga harus diperhatikan dan dipertimbangkan untuk

menunjang penelitian. Adapun beberapa hasil penelitian yang relevan dengan

penelitian yang sedang peneliti teliti, yaitu seputar paham eksistensialisme

dalam sebuah karya sastra, ialah sebagai berikut:

Penelitian relevan yang pertama merupakan skripsi yang dilakukan

oleh Muhammad Reza dari universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun

2016 dengan judul penelitian The Life and Suicide of Betrand Zobrist in Dan

Brown’s Inferno : An Existentialist Perspective. Penelitian ini berfokus pada


24

bunuh diri yang dilakukan oleh Bertard Zobrist, sebagai tokoh utama novel

Inferno karya Dan Brown, dilihat dari paham eksistensialisme dari sisi

absurditas yang dikembangkan oleh Albert Camus. Absurditas membahas

kenyataan bahwa manusia memiliki kebebasan, nilai, dan harapan. Namun,

bersamaan dengan itu, situasi dan kondisi seperti mempermainkan hal tersebut.

Contoh sederhana dari hal absurd adalah kematian. Dalam penelitian ini,

dijelaskan bahwa Zobrist menyebarkan virus dan kemudian bunuh diri.

Tindakannya ketika menyebarkan virus menunjukkan bahwa ia yakin dengan

tindakannya. Namun, tindakannya berupa bunuh diri sebelum melihat hasil dari

virusnya merupakan pertentangan dari tindakan sebelumnya. Sehingga, bunuh

diri yang dilakukannya merupakan hal yang absurd.

Persamaan penelitian yang Reza dan yang penulis lakukan di antaranya

terletak pada sumber data yang digunakan, yaitu novel; dasar pembahasan,

yaitu eksistensialisme; dan metode yang digunakan, yaitu metode kualitatif

deskriptif. Adapun perbedaan penelitian yang Reza lakukan dengan yang

penulis lakukan terletak pada novel dan teori utama yang digunakan. Penelitian

yang Reza lakukan menggunakan novel Inferno karya Dan Brown dan teori

absurditas dilihat dari konsep keberadaan manusia dan konsep ketuhanan yang

dikembangkan oleh Albert Camus. Sedangkan penulis menggunakan novel

Kafka on the Shore karya Haruki Murami dan teori Jean Paul Sartre mengenai

konsep eksistensialisme yang meliputi kebebasan, tanggung jawab,

kegelisahan (anguish), dan kebohongan (bad faith).


25

Penelitian yang relevan kedua merupakan jurnal yang ditulis oleh Dian

Eka Sari pada tahun 2017 dalam Lingua Litera yang berjudul The Tragedy of

Existence in Fyodor Dostoevsky’s Notes from The Underground : An Approach

to Sartrean’s Existentialism. Penelitian ini berfokus pada paham

eksistensialisme dalam kehidupan yang dilakukan oleh tokoh utama dilihat dari

subjektifitasnya. Dalam penelitian ini, dijelaskan bahwa tokoh utama

merupakan seorang pria yang hidup di bawah tanah dan menolak berhubungan

dengan masyarakat dengan hidup berdasarkan kepercayaannya tanpa

mempertimbangkan pikiran rasionalnya. Ia percaya bahwa untuk menjadi

Tuhan, seseorang harus memaksakan kebebasannya bahkan jika hal tersebut

merujuk pada tindakan yang tidak masuk akal. Baginya, seseorang adalah

Tuhan untuk dirinya sendiri; ia memilih, melakukan, dan bertanggung jawab

atas hidupnya

Persamaan penelitian yang Sari dan penulis lakukan di antaranya

terletak pada sumber data yang digunakan, yaitu novel; dasar pembahasan,

yaitu eksistensialisme Sartre; dan metode yang digunakan, yaitu metode

kualitatif deskriptif. Adapun perbedaan penelitian yang Sari lakukan dengan

yang penulis lakukan terletak pada novel dan teori utama yang digunakan.

Penelitian yang Sari lakukan menggunakan novel Notes from the Underground

karya Fyodor Dostoevsky; dan teori Sartre, yang membedakan dua

subjektifitas yang dibuat melalui kebebasan. Subjektifitas pertama yaitu

kebebasan yang membuat seseorang menemukan keberadaannya. Subjektifitas

yang kedua adalah keterbatasan seseorang untuk melampaui faktisitas


26

(facticity) dan fakta yang mendominasi subjektifitas orang tersebut. Sedangkan

penulis menggunakan novel Kafka on the Shore karya Haruki Murami dan teori

Jean Paul Sartre mengenai konsep eksistensialisme yang meliputi kebebasan,

tanggung jawab, kegelisahan (anguish), dan kebohongan (bad faith).

C. Kerangka Berpikir

Novel merupakan salah satu jenis karya sastra di samping cerita pendek,

puisi, dan drama. Dalam menulis suatu karya, umumnya seorang pengarang

memasukkan pemikirannya berupa teori, pandangan, atau kepercayaannya ke

dalam karyanya. Meskipun pemikiran tersebut berada di dalam karyanya, tidak

semua makna dapat tersampaikan. Seorang pembaca butuh dari sekedar

membaca untuk memahami pemikiran tersebut. Salah satu pemikiran yang

seorang pengarang sampaikan ialah pemikiran filosofis, yang memiliki makna

mendalam untuk memahaminya. Jenis pemikiran filosofis dalam novel yang

populer saat ini ialah pemikiran eksistensialisme.

Dalam memaknai makna eksistenislisme pada novel Kafka on the Shore

karya Haruki Murakami, diperlukan pengetahuan khusus mengenai konsep

utama eksistensialisme. Penulis menggunakan konsep eksistensialisme yang

dikembangkan oleh Jean Paul Sartre. Konsep tersebut meliputi kebebasan,

tanggung jawab, kegelisahan (anguish), serta kebohongan (bad faith).

Keempat konsep tersebut akan diteliti melalui kehidupan yang dialami oleh

Kafka Tamura sebagai tokoh utama dalam novel Kafka on the Shore karya

Haruki Murakami.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian merupakan suatu proses penyelidikan dalam menyusun fakta

dan kesimpulan baru dengan menggunakan berbagai sumber yang dilakukan

secara sistematis dan objektif. Dalam melakukan penelitiannya, seorang

peneliti membutuhkan pendekatan penelitian yang digunakan sebagai dasar

cara berpikir dan pembuatan desain riset mengenai penelitian yang akan

dilakukan. Pendekatan kualitatif adalah salah satu pendekatan penelitian di

samping pendekatan kuantitatif dan pendekatan campuran. Berkenaan dengan

ini, Moleong (2010:2-13) mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai

penelitian yang tidak mengadakan perhitungan atau dengan angka-angka.

Sehingga, dapat dipahami bahwa pendekatan kualitatif menggunakan kata-kata

sebagai bentuk penyampaian atas penelitian yang telah dilakukan. Dengan kata

lain, pendekatan ini lebih berdasar kepada sifat fenomenologi yang

mengutamakan penghayatan dalam penelitiannya.

Dalam mengumpulkan data, penelitian kualitatif lebih menekankan

unsur kata di dalamnya. Kata tersebut membentuk kalimat yang rinci sehingga

dapat menggambarkan penggambaran data. Oleh karena itu, penelitian dengan

pendekatan kualitatif kerap disebut sebagai pendekatan kualitatif deskriptif.

Dalam hal ini, seorang peneliti berusaha menganalisis data dalam berbagai

nuansa sesuai bentuk aslinya seperti pada waktu dicatat atau dikumpulkan.

Data yang dikumpulkan umumnya bersifat kualitatif. Data tersebut

27
28

dikumpulkan dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang dapat

berupa tahap observasi partisipasi, wawancara, serta dokumentasi. Semakin

detail data yang didapatkan, maka semakin baik pula kualitas dari penelitian

tersebut.

Hasil dari penelitian kualitatif deskriptif bersifat subjektif, meskipun

penelitian dilakukan dengan objektif menggunakan teori-teori dari berbagai

sumber. Artinya, dalam penelitian ini seorang peneliti berusaha memahami dan

menafsirkan makna suatu peristiwa sesuai dengan objek penelitiannya menurut

perspektif peneliti itu sendiri, namun tetap berpegang pada teori-teori para ahli

yang ada. Hasil dari penelitian ini juga dapat memunculkan teori atau konsep

baru, atau bersifat eksploratif, demi kelangsungan ilmu pengetahuan yang

semakin berkembang. Pendekatan menuju hasil ini menggunakan pendekatan

yang bersifat objektif. Artinya, dalam pelakukan penelitian, seorang peneliti

menekankan pada segi intrinstik pada objek yang bersangkutan. Objek tersebut

umumnya berupa karya sastra, seperti novel, film, puisi, dan sebagainya.

Pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian

kualitatif deskriptif untuk mengkaji konsep eksistensialisme dalam sebuah

novel. Objek atau sumber penelitian dari penelitian ini adalah novel Kafka on

the Shore karya Haruki Murakami. Dalam melakukan penelitian ini, penulis

menggunakan pendekatan yang bersifat objektif, karena proses dan hasil dari

penelitian ini menitikberatkan pada unsur intrinstik yang terdapat dalam novel

Kafka on the Shore karya Haruki Murakami, khususnya mengenai konsep

eksistensialisme yang ditunjukkan oleh Kafka Tamura sebagai tokoh


29

utamanya. Dalam mengkaji penelitian ini, penulis menggunakan konsep

eksistensialisme yang dikembangkan oleh Jean Paul Sartre yang terdiri atas

kebebasan, tanggung jawab, kegelisahan (anguish), serta kebohongan (bad

faith).

B. Teknik Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan teknik library

research atau penelitian kepustakaan untuk menentukan konsep

eksistensialisme yang terdapat dalam novel Kafka on the Shore karya Haruki

Murakami. Untuk itu, penulis melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1 Mambaca novel Kafka on the Sore karya Haruki Murakami berulang-ulang.

2 Mengidentifikasi bagian yang memiliki unsur konsep eksistensialisme,

khususnya yang ditunjukkan oleh tokoh Kafka Tamura sebagai tokoh

utama.

3 Menganalisis hasil yang telah diidentifikasi menggunakan teori konsep

eksistensialisme yang dikembangkan oleh Sartre.

4 Membaca buku-buku penunjang yang terkait dengan penelitian.

5 Membuat simpulan dari penelitian yang telah dilakukan.

C. Fokus dan Subfokus Penelitian

Fokus pada penelitian ini yaitu menganalisis konsep eksistensialisme

pada novel Kafka on the Shore karya Haruki Murakami. Adapun subfokus pada

penelitian ini yaitu menganalisis konsep eksistensialisme pada tokoh Kafka


30

Tamura, sebagai tokoh utama dalam novel Kafka on the Shore karya Haruki

Murakami. Dalam menganalisis penelitian ini, penulis menggunakan teori

yang dikembangkan oleh Jean Paul Sartre mengenai konsep eksistensialisme

yang meliputi kebebasan, tanggung jawab, kegelisahan (anguish), serta

kebohongan (bad faith).

D. Instrumen Penelitian

Instrumen utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah penulis

sendiri serta novel Kafka on the Shore karya Haruki Murakami. Dalam

melakukan penelitian ini, penulis menggunakan instrumen lain berupa tabel

pembantu untuk mengelompokkan dialog serta konsep eksistensialisme yang

terdapat dalam novel Kafka on the Shore karya Haruki Murakami. Format tabel

pembantu dalam penelitian ini ialah sebagai berikut:

Tabel 3.1
Konsep Eksistensialisme dalam Novel Kafka on the Shore

Konsep Eksistensialisme

No. Dialog Halaman


Tanggung Kegelisahan Kebohongan
Kebebasan
Jawab (Anguish) (Bad Faith)

1.

3.
31

E. Teknik Pencatatan Data

Dalam melakukan pencatatan data pada penelitian ini, penulis

meggunakan teknik berupa langkah-langkah sebagai berikut:

1 Membaca novel yang akan diteliti dengan cermat, yaitu novel Kafka on the

Shore karya Haruki Murakami.

2 Mencatat bagian yang memiliki unsur konsep eksistensialisme di

dalamnya, khususnya yang ditunjukkan oleh Kafka Tamura sebagai tokoh

utama.

3 Menganalisis hasil yang telah dicatat berdasarkan teori konsep

eksistensialisme yang dikembangkan oleh Sartre.

4 Menarik simpulan berdasarkan hasil analisis.

F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Penulis menentukan novel Kafka on the Shore karya Haruki Murakami

sebagai sumber penelitian dan telah mendapatkan persetujuan untuk dianalisis

sebagai pesyaratan penulisan skripsi. Dalam penelitian ini diperlukan

pengecekan keabsahan data studi untuk mendukung signifikasi data temuan.

Untuk mengukur keabsahan data dalam penelitian ini; penulis menggunakan

validitas semantis, yaitu dengan melihat seberapa jauh data yang ada dapat

dimaknai sesuai dengan konteksnya; serta validitas expert judgment/

pertimbangan ahli, yaitu dengan cara peneliti melakukan konsultasi dengan

dosen yang menguasai bidang yang diteliti.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Ma’ruf, A. I., & Nugrahani, F. (2017). Pengkajian Sastra Teori dan Aplikasi.
Surakarta: CV. Djiwa Amarta Press.

Dreyfus, H. I., & Wrathall, M. A. (2006). A Companion to Phenomenology and


Existentialism. Malden: Blackwall Publishing.

Mihardja, R. (2012). Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Laskar Aksara.

Moleong, L. J. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Nurgiyantoro, B. (2010). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Ratna, N. K. (2003). Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sartre, J. P. 2002. Eksistensialisme dan Humanisme. Terjemahan Yudhi Murtanto.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soleh, A. K. (2013). Filsafat Islam dari Klasik sampai Kontemporer Malang: UIN
Maliki.

Solomon, R. C. (2000). No Excuses: Existentialism and the Meaning of Life.


Virginia: The Great Courses.

Teeuw, A. (2003). Sastra dan Ilmu sastra (cetakan ketiga). Jakarta: Pustaka Jaya

Tilaar. (2005). Manifesto Pendidikan Nasional, Tinjauan dari Perspektif


Postmodernisme dan Multikultural. Jakarta: Kompas.

Tumanggor, R. O. dan Suharyanto, C. (2017). Pengantar Filsafat untuk Psikologi.


Depok: Penerbit Kansius.

Yasa, I. N. (2012). Teori Sastra dan Penerapannya. Bandung: Karya Putra Darwati.

Anda mungkin juga menyukai