Anda di halaman 1dari 14

PENERJEMAHAN TEKS SASTRA DAN BUDAYA

Iriany Kesuma Wijaya


Dosen Tetap STKIP YPUP Makasar Kopertis Wilayah IX
E-mail: iriany@yahoo.com

Abstract

Translation is the process of transferring a message from the source language


into the target language by considering the range of matching and text. In
the transfer of messages, a translator must master the source language and
the various texts to be translated. McGuire stated that “the translator Should
have a perfect knowledge of Both source language and target language”.
Powered by Brislin that “the translator Should know Both the source and
receptor languages​​, Should Be familiar with the subject matter, and Should
have facility of expression in the receptor language.”
Related to culture in translation Leonardi argues that the translator was
faced with two languages ​​and two cultures simultaneously, namely the
language of culture and cultural sources of the target language. Culture is
a culture that involves all the elements contained in these two languages​​
the user community, namely the name, history, religion, beliefs, traditions,
customs, clothing, social structure, daily life - days, social relations, food
and language “.
Keyword: Translation, tekxt literature, culture

A. Pendahuluan
Karya sastra merupakan suatu produk ciptaan seorang sastrawan,
didalamnya ada yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Karya
sastra ditulis atau diciptakan oleh sastrawan bukan untuk dibaca
sendiri,melainkan ada ide, gagasan, pengalaman dan amanat yang ingin

97
98 Tar bawi ya h, Vol. 12, No. 01, Edisi Januari – Juni 2015

disampaikan kepada pembaca, dengan harapan apa yang disampaikan


dapat menjadi masukan sehingga pembaca dapat mengambil kesimpulan
dan menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang dapat berguna bagi
perkembangan hidupnya.
Sastra dan kebudayaan memiliki objek yang sama, yaitu manusia dalam
masyarakat, manusia sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural.
Dalam kehidupan masyarakat itu, sastra dan kebudayaan memperoleh
tempat khusus, karena terjadinya hubungan erat diantara keduanya.
Sastra sebagai karya seni merupakan bagian integral suatu masyarakat,
sedangkan masyarakat itu sendiri merupakan pemilik suatu kebudayaan.
Keseluruhan permasalahan masyarakat yang dibicarakan dalam sastra,
tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan yang melatarbelakanginya. Hal
ini dikarenakan, meskipun sastra bermain dalam tataran imajinasi,
sesungguhnya sastra merefleksikan ruh kultural sebuah komunitas dan
refleksi evaluatif terhadap kehidupan yang melingkari diri pengarangnya.
Oleh karena itu sastra memiliki peran dalam mengungkapkan aspek –
aspek kebudayaan. Dengan kata lain, karya sastra adalah rekaman peristiwa
kebudayaan.
Penerjemahan merupakan proses pengalihan pesan dari bahasa sumber
kedalam bahasa sasaran dengan mempertimbangkan padanan dan ragam
teksnya. Dalam pengalihan pesan, seorang penerjemah harus menguasai
bahasa sumber dan ragam teks yang akan diterjemahkan. McGuire
menyatakan bahwa “ translator should have a perfect knowledge of both source
language and target language”.1 Didukung oleh Brislin bahwa “ translator
should know both the source and receptor languages, should be familiar with the
subject matter, and should have facility of expression in the receptor language”.2
Berkaitan dengan budaya dalam terjemahan Leonardi berpendapat
bahwa penerjemah dihadapkan pada dua bahasa dan dua budaya secara
bersamaan, yakni budaya bahasa sumber dan budaya bahasa sasaran.
Budaya yang dimaksud menyangkut seluruh elemen budaya yang terdapat
1
McGuire,S.B,1991, Translation Studies, London and New York, Routledge, h. 5
2
Brislin,R.W, 1976,Translation: Application and Research, New York, Gardner Press
Inc,h.47
Iriany Kesuma Wijaya – Penerjemahan Teks Sastra dan Budaya 99

dalam kedua komunitas pengguna bahasa, yakni nama, sejarah, agama,


kepercayaan, tradisi, kebiasaan, pakaian, struktur sosial, kehidupan sehari
– hari, hubungan sosial,makanan dan bahasa”.3
Dengan dikuasainya beberapa hal diatas, diharapkan penerjemah
dapat mengalihkan pesan yang sepadan kedalam bahasa sasaran.
Kesepadanan dalam terjemahan harus dicapai bukan hanya pada pesan
tetapi juga pada setiap bentuk bahasanya. Baker (dalam Leonardi : 2000:9)
menyebutkan tataran padanan yang harus dicapai oleh penerjemah dalam
hasil terjemahannya adalah padanan tingkat kata,padanan gramatikal,
padanan tekstual dan padanan gramatikal. Kesepandanan tersebut berlaku
pada semua jenis teks termasuk teks sastra. Penerjemah adalah penulis
kedua, penyampai informasi, mediator antara penulis asli dan pembaca
dan pengintegrasi tangguh dan handal yang harus dihargai meskipun
banyak yang berpendapat bahwa hasil karya terjemahan penerjemah tidak
mungkin sempurna persis seperti yang dimaksud oleh penulis aslinya
apalagi terjemahan karya sastra.
Penerjemah karya sastra menurut Zuchridin dapat membekali diri
dengan (a) memahami bahasa sumber hampir sempurna,(b) menguasai
dan mampu memahami bahasa sasaran dengan baik, benar dan efektif, (c)
mengetahui dan memahami sastra, apresiasi sastra, serta teori terjemahan,
(d) mempunyai kepekaan terhadap karya sastra, (e) memiliki keluwesan
kognitif dan sosiokulktural dan, (f) memiliki keuletan dan motivasi yang
kuat”.4
Penerjemahan karya sastra bukan semata – mata pengalihan bentuk
bahasa, tetapi penerjemah perlu menirukan proses penciptaan artistik,
menangkap ruh karya asli, menetapkan ungkapan yang sesuai dengan
perasaan, pengalaman dan menyampaikan pesan asli secara jelas
tanpa mengubah gaya bahasa dan ragam aslinya. Oleh karena itu tidak
semua penerjemah mampu menterjemahkan karya sastra dengan baik

3
Leonardi, Vanessa,2000, Eguivalence in Translation : Between Myt and Reality,Http://
accurapid.com./translationjournal
4
Zuchridin, Suryawinata dan Sugeng Hjariyanto, 2003, Translation : bahasa Teori dan
Penuntun Praktis Menerjemahkan, Yogyakarta, Kanisius,h. 153
100 Tar bawi ya h, Vol. 12, No. 01, Edisi Januari – Juni 2015

sehingga pesan tetap sepadan meskipun terdapat beberapa pergeseran


penerjemahan(translation shifs).

B. Pembahasan
1. Teks Sastra
Dilihat dari fungsinya, suatu terjemahan bertujuan untuk
menjembatani perbedaan ruang dan waktu”.5 Yaitu memindahkan
makna dan pesan dari bahasa sumber kedalam bahasa sasaran, serta
memindahkan makna dan pesan dari suatu kurun waktu kekurun waktu
yang lain yang berbeda. Seperti menerjemahkan sebuah naskah Jawa
Kuno ke dalam bahasa Jawa sekarang. Karena kekhususan tugasnya,
maka penerjemah harus memiliki kemampuan tertentu berkenaan
dengan bahasa sumber dan bahasa sasaran.
Karya sastra lebih mengandung unsur ekspresi sastrawan dan kesan
khusus yang ingin ditimbulkannya terhadap pembaca. Karya sastra juga
mengandung emosional, efek keindahan dan ungkapan, efek keindahan
bunyi, dengan segala nuansa yang mengiringinya. Inilah yang disebut
fungsi estetis. Oleh sebab itu penerjemah karya sastra perlu mempunyai
pengetahuan tersebut yang luas tentang latar belakang sosiokultural
dari bahasa sumber, karena hal ini sangat diperlukan untuk memahami
benar – benar karya sastra yang sedang digarapnya. Savory ( dalam
Zuchridin:2000:153) menyatakan tingkat pemahaman ini sebagai
pemahaman kritis, artinya penerjemah mampu memahami teks dalam
bahasa sumber itu dari segala segi dan aspeknya. Semua itu memerlukan
kemampuan yang hampir sempurna dalam mempergunakan bahasa
sasaran. Oleh sebab itu, penerjemahan karya sastra hanya mungkin
dilakukan oleh seorang penutur asli bahasa itu. Banyak diantara para
penerjemah itu sekaligus juga sastrawan kreatif sebab menerjemahkan
karya sastra memerlukan kemampuan kreatif mengelola bahasa itu agar
padanan yang didapat benar – benar sesuai.

5
Ibid, h. 153
Iriany Kesuma Wijaya – Penerjemahan Teks Sastra dan Budaya 101

Seorang penerjemah perlu memahami bahan yang akan


diterjemahkan. Untuk memahami bahan itu ia memerlukan pengetahuan
dasar yang cukup dalam bidang ilmu yang bersangkutan. Oleh karena
itu, seorang penerjemah karya sastra perlu memiliki kemampuan untuk
memahami dan mengapresiasi suatu karya sastra. Menerjemahkan
karya sastra merupakan usaha untuk menjembatani dua kultur yang
berbeda, dengan dua bahasa yang berbeda.

2. Menerjemahkan Prosa Fiksi


Prosa fiksi adalah tulisan hasil rekaan semata yang mengandung
cerita, secara sederhana, jika tulisan ini panjang disebut novel, dan
jika pendek serta dimaksudkan untuk diselesaikan untuk diselesaikan
dengan sekali baca disebut cerita pendek”.6 Akan tetapi secara umum
kedua jenis prosa ini memiliki kesamaan karakteristik, selain isi ceritanya
hanya hasil rekaan semata, keduanya punya plot, punya pelaku dan
menggunakan bahasa yang lugas tidak sepadat dan sehemat puisi.Tentu
saja ini batasan cerpen dan novel konvensional. Karena karakteristik
dan sifat – sifat yang relatif sama, maka cara menerjemahkannya pun
relatif sama.
Peter Newmark (dalam Zuchridin) menyatakan bahwa masalah –
masalah yang menghadang penerjemah dalam menerjemahkan prosa
fiksi adalah pengaruh budaya sumber dan pesan moral yang ingin
disampaikan oleh penulis aslinya”.7 Dalam hal pengaruh budaya bahasa
sasaran, kesulitan ini bisa berupa aturan – aturan bahasa sumber, gaya
bahasa, latar dan tema. Sedangkan dalam hal pesan moral, penerjemah
bisa menemukan kesulitan dalam hal idiolek dan ciri – crri khas penulis.
Selain itu, perlu juga diperhatikan ciri – ciri konvensi kesusastraan pada
saat karya itu ditulis. Dengan demikian, penerjemah tidak akan salah
dalam memahami naskah aslinya, terutama dalam hal gaya penulisannya.
Sementara orang memandang bahwa menerjemahkan cerpen atau
novel lebih mudah dari pada menerjemahkan puisi karena kata – kata

6
Ibid, h. 154
7
iIbid, h. 155
102 Tar bawi ya h, Vol. 12, No. 01, Edisi Januari – Juni 2015

yang digunakan tidak sehemat dan seterpilih kata – kata pada puisi.
Keindahan dalam sebuah cerpen atau novel tidak begitu bergantung
pada pilihan kata, rima, dan irama, tetapi lebih terletak pada laur cerita
dan pengembangan tokoh – tokoh yang ada di dalam cerita itu. Pendapat
ini tidak salah. Hanya saja jika tidak hati – hati, penerjemah bisa saja
terjerumus kedalam penerjemahan kalimat perkalimat, yang kalau
dibaca sepintas terlihat bagus dan runtut, tetapi secara keseluruhan
tidak membawa pesan seperti yang diamanatkan oleh naskah aslinya.
Mengapa demikian?.Menurut Basnet-McGuire, penerjemah yang
melakukan kerja seperti hipotesis diatas, memang sudah bekerja keras
untuk menghasilkan naskah dalam bahasa sasaran yang enak dibaca,
akan tetapi ternyata dia gagal untuk menemukan hubungan antara tiap
– tiap kalimat yang diterjemahkannya dengan struktur cerpen atau novel
secara keseluruhan. Akibatnya banyak pesan yang tak tersampaikan”.8
Menurut Wolfgang Iser ( dalam McGuire:1991), dalam sebuah
cerpen atau novel suatu kalimat tidak sekedar ujaran yang berdiri
sendiri, tetapi kalimat itu bertujuan untuk mengatakan ssuatu diluar apa
yang tertulis itu, karena kalimat dalam teks sastra selalu berfungsi sebagai
indikasi akan datangnya serangkaian ide yang akan menyusul”.9 Dengan
cara demikian, sebuah cerita bisa terasa pekat dan mengasyikkan untuk
terus diikuti, sehingga bila penerjemah hanya menganggap kalimat –
kalimatnya itu sebagai kalimat yang berdiri sendiri, hanya berdasarkan
makna dari tiap – tiap kalimat saja, maka hasil terjemahannya akan
kehilangan dimensi, kedalaman dan keluasan makna yang ingin
disampaikan oleh penulis aslinya.
Peter Newmark ( 1988) menyatakan bahwa masalah – masalah
yang mungkin ditemui para penerjemah dalam menterjemahkan prosa
fiksi adalah (a) pengaruh budaya bahasa sumber (BSu) dalam teks asli.
Pengaruh budaya ini bisa muncul dalam gaya bahasa, latar dan tema,
(b) tujuan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dalam
operasionalnya masalah ini berada pada proses penerjemahan nama
8
McGuire,S.B,Opcit, h. 45
9
ibid
Iriany Kesuma Wijaya – Penerjemahan Teks Sastra dan Budaya 103

diri, baik nama karakter atau nama tempat yang mungkin tidak dikenal
dalam bahasa sasaran (BSa). Selain itu penerjemahan aturan – aturan
bahasa sumber pun potensial sekali untuk menjadi masalah, disamping
masalah idolek penulis, dialek karakter, dan lain – lain.
Beberapa aturan umum dalam menerjemahkan naska prosa fiksi
dikemukakan oleh Belloc yang dikutip oleh Basnett-McGuire (1991:116)
yaitu :
a. Penerjemah tidak boleh menentukan langkahnya hanya untuk
menerjemahkan kata perkata atau kalimat perkalimat saja, tetapi
dia harus selalu mempertimbangkan keseluruhan karya, baik
karya aslinya maupun karya terjemahannya.
b. Penerjemah hendaknya menerjemahkan idion menjadi idiom
pula. Disini harus diingat bahwa idiom dalam BSu mungkin sekali
mempunyai padanan idiom dalam BSa, meskipun kata – kata
yang digunakan tidak sama persis. Sebagai contoh idiom kambing
hitam dalam bahasa Indonesia mempunyai padanan scape goat
dalam bahasa Inggris dan bukan black goat. Contoh lain adalah
ekspresi “ it doesn’t pay”. Dalam menerjemahkan ekspresi itu ,
penerjemah tentu tidak bisa menerjemahkan menjadi “ itu tak bisa
membayar”, tetapi “ itu tak bisa digunakan” tentu lebih benar. Jadi
dalam konteks ini penerjemah perlu mencari padanan dari idiom
atau ekspresi daru bahasa sumber didalam bahasa sasaran. Kalau
memang betul – betul tidak ada padanannya barulah idiom itu bisa
diterjemahkan.
c. Penerjemah harus menerjemahkan “ maksud” menjadi “maksud’
juga. Kata “ maksud “ disini menurut Belloc berarti muatan
emosi atau perasaan yang dikandung oleh ekspresi tertentu. Bisa
saja muatan emosi dalam BSu-nya lebih kuat dari muatan emosi
dalam padanannya dalam BSa, atau ekpresi tertentu terasa pas
dalam BSu tetapi menjadi janggal dalam BSa bila diterjemahkan
secara literal. Oleh karena itu seringkali penerjemah prosa fiksi
terpaksa menambahkan kata – kata sebenarnya tidak adak dalam
104 Tar bawi ya h, Vol. 12, No. 01, Edisi Januari – Juni 2015

teks asli untuk menyesuaikan “maksud”nya dalam BSa. Sebagai


contoh: suatu situasi sewaktu seorang suami, tak henti – hentinya
mengomel. Lalu isterinya bilang dalam bahasa Inggris ‘ John, please”.
Bagaimana cara menerjemahkan ekspresi singkat ini?. Tentu akan
terdengar lucu bila diterjemahkan menjadi “ John , silahkah”, Kita
lihat dulu maksudnya. Si istri bermaksud meredakan amarah sang
suami dengan menyuruhnya menahan diri atau bersabar. Setelah
mengetahui hal ini mungkin lebih baik kalau ekpresi itu kita
terjemahkan menjadi “John, sudahlah”. It’s a cake bisa juga berarti
mudah sekali bila terdapat dalam wacana berikut:
- The Problem is nobody will drive.
- It’s a cake. I got my license yesterday ( dari Batman : The
Knightfall)
d. Penerjemah harus waspada terhadap kata – kata atau struktur yang
kelihatannya sama dalam BSu dan BSa, tetapi sebenarnya berbeda.
Sebagai contoh kalimat “ I won’t be long” dalam bahasa Inggris
sekilas sama dengan kalimat dalam bahasa Indonesia “ saya tak
akan panjang”. Setelah disimak lagi ternyata bukan itu padanannya
dalam bahasa Indonesia. Padanannya adalah “ saya tidak akan
lama”.
e. Penerjemah hendaknya berani mengubah segala sesuatu yang
perlu diubah dari BSu kedalam BSa dengan tegas. Lebih jauh Belloc
mengatakan bahwa inti dari kegiatan menerjemahkan cerita fiksi
adalah kebangkitan kembali “ jiwa asing “ dalam tubuh “ pribumi”.
Yang dimaksud dengan jiwa asing adalah makna cerita dalam BSu
dan tubuh pribumi adalah bahasa sasaran ( BSa).
f. Walaupun penerjemah harus mengubah segala yang perlu diubah,
tapi pada tahap ini, Belloc mengatakan bahwa penerjemah tidak
boleh membubuhi cerita aslinya dengan ‘ hiasan – hiasan’ yang
bisa membuat cerita dalam BSa itu lebih buruk atau lebih indah
seklaipun. Tugas penerjemah adalah menghidupkan “ jiwa asing”
tadi, bukan mempercantiknya, apalagi memperburuknya.
Iriany Kesuma Wijaya – Penerjemahan Teks Sastra dan Budaya 105

Dengan keenam prinsip diatas, Belloc ingin menekankan bahwa


penerjemah prosa fiksi perlu mempertimbangkan bahwa naskah
merupakan satu keseluruhan yang berstruktur, disamping dia juga
mempertimbangkan pentingnya hal – hal yang berhubungan dengan
gaya dan tata kalimat. Belloc juga mengakui bahwa adanya kewajiban
moral bagi para penerjemah untuk setia pada naskah aslinya. Akan
tetapi dia juga merasa bahwa penerjemah juga mempunyai hak untuk
menambah dan mengurangi kata – kata dalam naskah asli dalam proses
penerjemahannya agar hasil terjemahannya nanti sesuai dengan aturan
– aturan idiomatic dan gaya bahasa BSa.
Dengan demikian jelas sekali bahwa dalam penerjemahan prosa
fiksi ( cerpen/novel), penerjemah mementingkan makna, pesan, dan
gaya dalam BSu.

3. Menerjemahkan Puisi
Sebagai salah satu bentuk seni sastra, puisi mempunyai ciri – ciri
yang dimiliki oleh bentuk – bentuk seni sastra yang lain. Ada dua ciri
menonjol dalam sastra, yaitu keindahan dan ekspresi. Akan tetapi, jika
dicermati, puisi adalah salah satu jenis seni sastra yang cukup berbeda
dengan jenis – jenis lain, seperti cerpen, novel dan drama. Dalam puisi
keindahan tidak dicapai dengan sarana pilihan kata saja, tetapi disana
penyair menciptakan ritme, irama, serta emosi – emosi yang khas dengan
cara membuat ungkapan – ungkapan yang khas pula, yang kadang kala
ditulis dengan tidak mengikuti kaidah umum. Disamping itu juga puisi
juga merupakan wahana bagi penyair untuk mengungkapkan gagasan
dan perasaannya. Pesan atau makna yang disampaikan oleh penyair ini
biasanya kaya sekali akan nuansa yang dihasilkan dari efek bunyi, kiasan
tertentu dan sebagainya. Dan ini semua bisa saja luput dari penangkapan
seorang pembaca.
Dalam menciptakan puisi, seorang penyair menuangkan suara
jiwanya dengan bahan kata – kata. Tentu saja kata – kata ini adalah
hasil pemilihan yang cermat dengan memperhatikan efek bunyi tertentu
untuk mengungkapkan emosi tertentu serta makna dan pesan tertentu
106 Tar bawi ya h, Vol. 12, No. 01, Edisi Januari – Juni 2015

pula. Dalam puisi , tentu ada pesan yang ingin disampaikan pembuatnya
melalui pilihan kata – kata yang disusunnya. Suatu pesan dalam puisi
bahasa tertentu, dapat juga disampaikan dalam bentuk bahasa lain.
Oleh karena itu, Sastra puisi dapat juga diterjemahkan kedalam bahasa
sasaran. Salah satu metode yang bisa diterapkan penerjemah dalam
menerjemahkan puisi yaitu Terjemahan Literal.

4. Penerjemahan Literal ( harfiah)


Penerjemahan literal ( literal translation) atau disebut juga
penrjemahan lurus ( linier translation) berada diantara penerjemahan
kata demi kata dan penerjemahan bebas ( free translationi), Dalam proses
penerjemahannya, penerjemah mencari konstruksi gramatikan BSu
yang sepadan atau dekat dengan Bsa”.10 Penerjemahan literal ini menurut
Hartono terlepas dari konteks. Penerjemahan ini mula – mula dilakukan
seperti penerjemahan kata demi kata, tetapi penerjemah kemudian
menyesuaikan susunan kata – katanya sesuai dengan gramatikal BSa.
Penerjemahan literal merupakan salah satu teknik yang digunakan
dalam proses terjemah. Teknik ini mencoba menterjemahkan sebuah
kata atau ungkapan kata perkata. “ Literal translations is to translate
a word or an expression word for word”.11 Yang dimaksud Molina dan
Hurtado Albir dengan kata demi kata pada definisi ini, bukan berarti
menerjemahkan satu akta untuk kata yang lainnya, tetapi lebih
cenderung kepada menerjemahkan kata demikata berdasarkan fungsi
dan maknanya dalam tataran kalimat.
Penerjemahan tipe ini dicontohkan sebagai berikut :
1. BSu : Look, little guy, you-all shouldn’t be doing that.
BSa : Lihat, anak kecil, kamu semua seharusnya tidak berbuat
seperti itu.
2. BSu : It’s raining cats and dogs.
BSa : Hujang kucing dan anjing
10
Rudi Hartono,2011,Teori Penerjemahan ( A Handbook for Translators), Semarang,
Cipta Prima Nusantara,h. 19
11
Hurtado Albir,A and Molina L, 2001, Assessment in Translation Studies: Research
Needs, Meta,XLVII,2 Spain, Barcelona, Universitat Autonoma de Barcelona. H. 510
Iriany Kesuma Wijaya – Penerjemahan Teks Sastra dan Budaya 107

3. BSu : His hearth is in the right place


BSa : Hatinya berada ditempat yang benar
4. BSu : The Sooner or the later the weather will change
BSa : Lebih cepat atau lebih lambat cuaca akan berubah”.12

Hasil terjemahan diatas, beberapa kalimat yang diterjemahkan secara


literal terasa janggal, misalnya kalimat ke dua sebaiknya diterjemahkan “
hujan lebat” atau “ hujan deras”. Kalimat ketiga, sebaiknya diterjemahkan
menjadi “hatinya tentram”. Namun jika demikian hasil terjemahannya,
memang lebih condong pada penerjemahan bebas. Demikian pula pada
kalimat ke empat, diterjemahkan menjadi “ cepat atau lambat cuacanya
akan berubah”.

5. Unsur Budaya dalam Penerjemahan


Sebuah teks sumber tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor antara
lain, faktor budaya yang melatari penulisnya, norma yang berlaku dalam
bahasa sumber serta budaya tulis dan cetak dalam bahasa sumber. Pada
sisi teks sasaran, faktor yang mempengaruhi adalah calon pembaca yang
diperkirakan, norma yang berlaku pada bahasa sasaran, kebudayaan
yang melatari bahasa sasaran dan penerjemahnya. Kebudayaan pada
dasarnya mencakup semua faktor dalam dinamika peenrjemahan baik
pada bahasa sumber dan bahasa sasaran. Kebudayaan bersifat khas
bagi masyarakat tertentu dan penguasaannya tidak secara naluriah
melainkan melalui proses pembiasaan dan pembelajaran dari generasi
ke generasi. Karena kebudayaan bersifat khas bagi suatu masyarakat,
maka tidak ada dua kebudayaan yang sama.
Teks adalah salah satu jenis perwujudan bahasa, jadi merupakan
salah satu dari ketujuh unsur kebudayaan. Namun dalam teks dapat
dibicarakan sebagian atau seluruh unsur kebudayaan pada suatu
masyarakat. Apabila penerjemahan ditinjau sebagai suatu proses
dialog kebudayaan, maka dapatlah kiranya kita menyetujui definisi
penerjemahan Venuti (dalam Benny Hoedoro Hoed) bahwa :”

12
Rudi Hartono, Opcit, h. 20
108 Tar bawi ya h, Vol. 12, No. 01, Edisi Januari – Juni 2015

Translation ia a process by which the chain of signifier that constitutes the


source-langhuage text is replaced by a chain of signifier in the target language
which the translator provides on the strength of an interpretation”. 13
Karena penafsiran penrjemah menjadi penting,terutama dalam
teks yang kental dengan aspek budaya, maka benarlah apa yang
dikatakan Venuti “Both foreign text and translation are derivative” . Dalam
penerjemahan karya sastra hal ini sangat dominan.

C. Kesimpulan
Dari bahasan diatas, disimpulkan bahwa dalam penerjemahan
karya sastra beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh penerjemah
yaitu sebuah karya sastra merupakan suatu karya yang berstruktur dan
utuh yang memiliki gaya dan tata kalimat yang khas. Oleh karena itu
penerjemah karya sastra berkewajiban untuk menyampaikan pesan
teks sastra dengan baik.
Dalam menyampaikan pesan teks tersebut maka penerjemah tetap
memiliki hak untuk menambah dan mengurangi kata – kata dalam
naskah asli dalam penerjemahannya agar hasil terjemahannya tetap
setia terhadap pesan teks.

DAFTAR PUSTAKA

Brislin,R.W, 1976,Translation: Application and Research, New York, Gardner


Press Inc
Hoed, Benny Hoedoro,2006, Penerjemahan dan Kebudayaan,Bandung,
Dunia Pustaka Jaya
Hurtado Albir,A and Molina L, 2001, Assessment in Translation Studies:
Research Needs, Meta,XLVII,2 Spain, Barcelona, Universitat Autonoma
de Barcelona

13
Hoed, Benny Hoedoro,2006, Penerjemahan dan Kebudayaan,Bandung, Dunia
Pustaka Jaya,h.80
Iriany Kesuma Wijaya – Penerjemahan Teks Sastra dan Budaya 109

Leonardi, Vanessa,2000, Eguivalence in Translation : Between Myt and


Reality,Http://accurapid.com./translationjournal
McGuire,S.B,1991, Translation Studies, London and New York, Routledge
Rudi Hartono,2011,Teori Penerjemahan ( A Handbook for Translators),
Semarang, Cipta Prima Nusantara
Zuchridin, Suryawinata dan Sugeng Hjariyanto, 2003, Translation : bahasa
Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan, Yogyakarta, Kanisius

Anda mungkin juga menyukai