Abstract
A. Pendahuluan
Karya sastra merupakan suatu produk ciptaan seorang sastrawan,
didalamnya ada yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Karya
sastra ditulis atau diciptakan oleh sastrawan bukan untuk dibaca
sendiri,melainkan ada ide, gagasan, pengalaman dan amanat yang ingin
97
98 Tar bawi ya h, Vol. 12, No. 01, Edisi Januari – Juni 2015
3
Leonardi, Vanessa,2000, Eguivalence in Translation : Between Myt and Reality,Http://
accurapid.com./translationjournal
4
Zuchridin, Suryawinata dan Sugeng Hjariyanto, 2003, Translation : bahasa Teori dan
Penuntun Praktis Menerjemahkan, Yogyakarta, Kanisius,h. 153
100 Tar bawi ya h, Vol. 12, No. 01, Edisi Januari – Juni 2015
B. Pembahasan
1. Teks Sastra
Dilihat dari fungsinya, suatu terjemahan bertujuan untuk
menjembatani perbedaan ruang dan waktu”.5 Yaitu memindahkan
makna dan pesan dari bahasa sumber kedalam bahasa sasaran, serta
memindahkan makna dan pesan dari suatu kurun waktu kekurun waktu
yang lain yang berbeda. Seperti menerjemahkan sebuah naskah Jawa
Kuno ke dalam bahasa Jawa sekarang. Karena kekhususan tugasnya,
maka penerjemah harus memiliki kemampuan tertentu berkenaan
dengan bahasa sumber dan bahasa sasaran.
Karya sastra lebih mengandung unsur ekspresi sastrawan dan kesan
khusus yang ingin ditimbulkannya terhadap pembaca. Karya sastra juga
mengandung emosional, efek keindahan dan ungkapan, efek keindahan
bunyi, dengan segala nuansa yang mengiringinya. Inilah yang disebut
fungsi estetis. Oleh sebab itu penerjemah karya sastra perlu mempunyai
pengetahuan tersebut yang luas tentang latar belakang sosiokultural
dari bahasa sumber, karena hal ini sangat diperlukan untuk memahami
benar – benar karya sastra yang sedang digarapnya. Savory ( dalam
Zuchridin:2000:153) menyatakan tingkat pemahaman ini sebagai
pemahaman kritis, artinya penerjemah mampu memahami teks dalam
bahasa sumber itu dari segala segi dan aspeknya. Semua itu memerlukan
kemampuan yang hampir sempurna dalam mempergunakan bahasa
sasaran. Oleh sebab itu, penerjemahan karya sastra hanya mungkin
dilakukan oleh seorang penutur asli bahasa itu. Banyak diantara para
penerjemah itu sekaligus juga sastrawan kreatif sebab menerjemahkan
karya sastra memerlukan kemampuan kreatif mengelola bahasa itu agar
padanan yang didapat benar – benar sesuai.
5
Ibid, h. 153
Iriany Kesuma Wijaya – Penerjemahan Teks Sastra dan Budaya 101
6
Ibid, h. 154
7
iIbid, h. 155
102 Tar bawi ya h, Vol. 12, No. 01, Edisi Januari – Juni 2015
yang digunakan tidak sehemat dan seterpilih kata – kata pada puisi.
Keindahan dalam sebuah cerpen atau novel tidak begitu bergantung
pada pilihan kata, rima, dan irama, tetapi lebih terletak pada laur cerita
dan pengembangan tokoh – tokoh yang ada di dalam cerita itu. Pendapat
ini tidak salah. Hanya saja jika tidak hati – hati, penerjemah bisa saja
terjerumus kedalam penerjemahan kalimat perkalimat, yang kalau
dibaca sepintas terlihat bagus dan runtut, tetapi secara keseluruhan
tidak membawa pesan seperti yang diamanatkan oleh naskah aslinya.
Mengapa demikian?.Menurut Basnet-McGuire, penerjemah yang
melakukan kerja seperti hipotesis diatas, memang sudah bekerja keras
untuk menghasilkan naskah dalam bahasa sasaran yang enak dibaca,
akan tetapi ternyata dia gagal untuk menemukan hubungan antara tiap
– tiap kalimat yang diterjemahkannya dengan struktur cerpen atau novel
secara keseluruhan. Akibatnya banyak pesan yang tak tersampaikan”.8
Menurut Wolfgang Iser ( dalam McGuire:1991), dalam sebuah
cerpen atau novel suatu kalimat tidak sekedar ujaran yang berdiri
sendiri, tetapi kalimat itu bertujuan untuk mengatakan ssuatu diluar apa
yang tertulis itu, karena kalimat dalam teks sastra selalu berfungsi sebagai
indikasi akan datangnya serangkaian ide yang akan menyusul”.9 Dengan
cara demikian, sebuah cerita bisa terasa pekat dan mengasyikkan untuk
terus diikuti, sehingga bila penerjemah hanya menganggap kalimat –
kalimatnya itu sebagai kalimat yang berdiri sendiri, hanya berdasarkan
makna dari tiap – tiap kalimat saja, maka hasil terjemahannya akan
kehilangan dimensi, kedalaman dan keluasan makna yang ingin
disampaikan oleh penulis aslinya.
Peter Newmark ( 1988) menyatakan bahwa masalah – masalah
yang mungkin ditemui para penerjemah dalam menterjemahkan prosa
fiksi adalah (a) pengaruh budaya bahasa sumber (BSu) dalam teks asli.
Pengaruh budaya ini bisa muncul dalam gaya bahasa, latar dan tema,
(b) tujuan moral yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dalam
operasionalnya masalah ini berada pada proses penerjemahan nama
8
McGuire,S.B,Opcit, h. 45
9
ibid
Iriany Kesuma Wijaya – Penerjemahan Teks Sastra dan Budaya 103
diri, baik nama karakter atau nama tempat yang mungkin tidak dikenal
dalam bahasa sasaran (BSa). Selain itu penerjemahan aturan – aturan
bahasa sumber pun potensial sekali untuk menjadi masalah, disamping
masalah idolek penulis, dialek karakter, dan lain – lain.
Beberapa aturan umum dalam menerjemahkan naska prosa fiksi
dikemukakan oleh Belloc yang dikutip oleh Basnett-McGuire (1991:116)
yaitu :
a. Penerjemah tidak boleh menentukan langkahnya hanya untuk
menerjemahkan kata perkata atau kalimat perkalimat saja, tetapi
dia harus selalu mempertimbangkan keseluruhan karya, baik
karya aslinya maupun karya terjemahannya.
b. Penerjemah hendaknya menerjemahkan idion menjadi idiom
pula. Disini harus diingat bahwa idiom dalam BSu mungkin sekali
mempunyai padanan idiom dalam BSa, meskipun kata – kata
yang digunakan tidak sama persis. Sebagai contoh idiom kambing
hitam dalam bahasa Indonesia mempunyai padanan scape goat
dalam bahasa Inggris dan bukan black goat. Contoh lain adalah
ekspresi “ it doesn’t pay”. Dalam menerjemahkan ekspresi itu ,
penerjemah tentu tidak bisa menerjemahkan menjadi “ itu tak bisa
membayar”, tetapi “ itu tak bisa digunakan” tentu lebih benar. Jadi
dalam konteks ini penerjemah perlu mencari padanan dari idiom
atau ekspresi daru bahasa sumber didalam bahasa sasaran. Kalau
memang betul – betul tidak ada padanannya barulah idiom itu bisa
diterjemahkan.
c. Penerjemah harus menerjemahkan “ maksud” menjadi “maksud’
juga. Kata “ maksud “ disini menurut Belloc berarti muatan
emosi atau perasaan yang dikandung oleh ekspresi tertentu. Bisa
saja muatan emosi dalam BSu-nya lebih kuat dari muatan emosi
dalam padanannya dalam BSa, atau ekpresi tertentu terasa pas
dalam BSu tetapi menjadi janggal dalam BSa bila diterjemahkan
secara literal. Oleh karena itu seringkali penerjemah prosa fiksi
terpaksa menambahkan kata – kata sebenarnya tidak adak dalam
104 Tar bawi ya h, Vol. 12, No. 01, Edisi Januari – Juni 2015
3. Menerjemahkan Puisi
Sebagai salah satu bentuk seni sastra, puisi mempunyai ciri – ciri
yang dimiliki oleh bentuk – bentuk seni sastra yang lain. Ada dua ciri
menonjol dalam sastra, yaitu keindahan dan ekspresi. Akan tetapi, jika
dicermati, puisi adalah salah satu jenis seni sastra yang cukup berbeda
dengan jenis – jenis lain, seperti cerpen, novel dan drama. Dalam puisi
keindahan tidak dicapai dengan sarana pilihan kata saja, tetapi disana
penyair menciptakan ritme, irama, serta emosi – emosi yang khas dengan
cara membuat ungkapan – ungkapan yang khas pula, yang kadang kala
ditulis dengan tidak mengikuti kaidah umum. Disamping itu juga puisi
juga merupakan wahana bagi penyair untuk mengungkapkan gagasan
dan perasaannya. Pesan atau makna yang disampaikan oleh penyair ini
biasanya kaya sekali akan nuansa yang dihasilkan dari efek bunyi, kiasan
tertentu dan sebagainya. Dan ini semua bisa saja luput dari penangkapan
seorang pembaca.
Dalam menciptakan puisi, seorang penyair menuangkan suara
jiwanya dengan bahan kata – kata. Tentu saja kata – kata ini adalah
hasil pemilihan yang cermat dengan memperhatikan efek bunyi tertentu
untuk mengungkapkan emosi tertentu serta makna dan pesan tertentu
106 Tar bawi ya h, Vol. 12, No. 01, Edisi Januari – Juni 2015
pula. Dalam puisi , tentu ada pesan yang ingin disampaikan pembuatnya
melalui pilihan kata – kata yang disusunnya. Suatu pesan dalam puisi
bahasa tertentu, dapat juga disampaikan dalam bentuk bahasa lain.
Oleh karena itu, Sastra puisi dapat juga diterjemahkan kedalam bahasa
sasaran. Salah satu metode yang bisa diterapkan penerjemah dalam
menerjemahkan puisi yaitu Terjemahan Literal.
12
Rudi Hartono, Opcit, h. 20
108 Tar bawi ya h, Vol. 12, No. 01, Edisi Januari – Juni 2015
C. Kesimpulan
Dari bahasan diatas, disimpulkan bahwa dalam penerjemahan
karya sastra beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh penerjemah
yaitu sebuah karya sastra merupakan suatu karya yang berstruktur dan
utuh yang memiliki gaya dan tata kalimat yang khas. Oleh karena itu
penerjemah karya sastra berkewajiban untuk menyampaikan pesan
teks sastra dengan baik.
Dalam menyampaikan pesan teks tersebut maka penerjemah tetap
memiliki hak untuk menambah dan mengurangi kata – kata dalam
naskah asli dalam penerjemahannya agar hasil terjemahannya tetap
setia terhadap pesan teks.
DAFTAR PUSTAKA
13
Hoed, Benny Hoedoro,2006, Penerjemahan dan Kebudayaan,Bandung, Dunia
Pustaka Jaya,h.80
Iriany Kesuma Wijaya – Penerjemahan Teks Sastra dan Budaya 109