Anda di halaman 1dari 5

Maharatul Kalam dan al-Hiwar

Keterampilan berbahasa adalah kemampuan dan kepiawaian menggunakan bahasa


dalam berkomunikasi. Kemahiran berbahasa terdiri dari empat macam, yaitu menyimak
(istima’), berbicara (kalam), membaca (qira’ah) dan menulis (kitabah). Kemahiran berbicara
dalam bahasa memiliki padanan istilah yang bermacam-macam, ada yang menyebutnya
dengan maharatul kalam, maharatul hadits/almuhadatsah, dan ada yang menyebutnya dengan
at-ta’bir asy-syafahi. Ketiga istilah ini mengacu pada padanan yang sama dalam bahasa
Indonesia, yaitu kemahiran berbicara.
Berbicara menurut Madkur (2010: 151) merupakan sebuah kompetensi dalam bentuk
ungkapan lisan dari apapun yang dirasakan oleh manusia dan pandangannya terhadap
lingkungan sosial, politik, ekonomi, budaya secara fungsional dan kreatif dengan pelafalan
yang benar dan penyampaian yang baik. Tujuan berbicara secara garis besar terbagi menjadi
dua bagian, yaitu berbicara dengan tujuan fungsional (at-ta’bir al wadhifi) dan berbicara
dengan tujuan kreatif (at-ta’bir al-ibda’i). Ungkapan bahasa secara fungsi komunakatif
misalnya ada pada percakapan, diskusi, menceritakan sebuah berita, menyampaikan pelajaran,
dan lain sebagainya. Sedangkan ungkapan dalam bentuk kreatif muncul dalam menulis
makalah, menulis novel, menulis lagu, menulis syair dan hal-hal lain yang merupakan
ungkapan kreatif dari sebuah pemikiran dan gagasan dalam jiwa seseorang yang diungkapkan
dengan cara kreatif, mengandung motivasi, dan menimbulkan kesan tersendiri.
Dari dua tujuan berbicara di atas, dalam modul ini Anda akan diarahkan pada tujuan
berbicara yang kedua, yaitu berbicara pada tataran fungsional bahasa. Artinya, sebagai
pebelajar yang bukan penutur asli, belajar bahasa Arab lebih banyak mengarah pada tataran
fungsional, bahasa Arab praktis yang digunakan sehari-hari. Namun, setelah tujuan fungsional
ini dikuasai, Anda bisa mengembangkannya pada tataran kreatif sesuai dengan tujuan-tujuan
yang anda miliki.
Menyimak dan berbicara merupakan unsur dasar dalam bahasa, karena bahasa dasar
yang digunakan manusia sebelum ada bahasa tulis adalah menyimak dan berbicara. Menyimak
merupakan kompetensi dasar yang harus dilatihkan kepada pebelajar sebelum ia diminta untuk
berbicara, karena tanpa menyimak seseorang tidak mungkin memiliki kompetensi untuk
mengungkapkan (at-ta’biir). Tujuan dari keterampilan berbicara dalam bahasa asing adalah
memberikan kompetensi kepada pebelajar untuk mengeluarkan ide/pendapat melalui alat
ucapnya dengan bahasa sasaran yang dipelajarinya. Dengan begitu, pebelajar dapat
berkomunikasi dalam bahasa asing yang dipelajarinya.
Secara lebih jauh, diharapkan pebelajar mampu untuk berfikir dalam bahasa asing.
Masalah bahasa sebenarnya bukan hanya berbicara tentang fungsi komunikatif, namun juga
terkait dengan fungsi kognitif. Sebenarnya ketika kita mengucapkan sesuatu maka ucapan kita
didahului oleh sebauh pemikiran yang panjang, jadi antara bahasa yang bersifat komunikatif
dan fikiran yang bersifat kognitif tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, ketika ada definisi
tentang manusia yang disebut sebagai “hayawaanun natiq”, maka maknanya bukan hanya
menjelaskan bahwa manusia adalah hewan yang berbicara. Namun terkandung makna bahwa
manusia itu adalah makhluk yang berfikir, karena tidak mungkin manusia berfikir tanpa
menggunakan bahasa.
Maharatul kalam atau at-ta’bir asy-sayafawi menurut Ad-Dalimi (2009: 450)
merupakan dasar dari kemahiran menulis (at-ta’bir al-kitaabi). Meskipun tidak bisa disamakan
teori tentang keduanya, namun keduanya memiliki kesamaan dalam hal produksi kalimat,
perbedaannya ada pada ungkapan lisan dan ungkapan tulis. Dengan begitu, ada yang yang
menyatakan bahwa kegiatan berbahasa yang terpenting adalah berbicara. Pada umumnya,
dalam kehidupan sehari-hari manusia lebih banyak komunikasi secara lisan dari pada secara
tulis, menurut Effendy (2012: 149) manusia menggunakan lebih banyak perkataan dari pada
tulisan, yang artinya bahwa manusia lebih banyak berbicara daripada menulis. Bukti bahwa
manusia lebih banyak berbicara daripada menulis adalah dengan sedikitnya karya tulis yang
dimiliki manusia dibandingkan apa yang mereka bicarakan.
Ada perbedaan tujuan antara praktik kemahiran berbicara pada penutur asli (an-natiq
al-ashli) dan penutur yang tidak asli. Penutur asli memiliki tujuan yang lebih kompleks dalam
praktik berbicara, karena bahasa sebagai alat sudah dikuasai, sedangkan penutur yang tidak
asli lebih banyak menjadikan bahasa sebagai obyek sasaran belajar bukan sebagai alat
memahami konten sebuah informasi. Diantara tujuan dari kemahiran berbicara menurut Ad-
Dalimi (2009: 455) adalah:
1. Memberikan kompetensi kepada pebelajar dalam mengungkapkan ide yang dimilikinya
dengan kalimat yang fasih dan susunan yang benar
2. Memberikan kompetensi kepada pebelajar dalam meruntutkan sebuah pemikiran dan
menyusunnya dengan kronologi yang logis.
3. Membekali pebelajar dengan kekayaan variasi dalam berbahasa yang membantunya
untuk bisa mengungkapkan sesuatu dengan jelas dan benar.
4. Lebih jauh, pebelajar diharapkan mampu melampaui ketrampilan berbicara dengan
ungkapan logis pada ketrampilan berbicara retoris.
5. Memberikan kompetensi kepada pebelajar memiliki ide-ide baru dan pemikiran-
pemikiran yang brilian.
6. Menjadikan pebelajar terbiasa untuk lugas, dan jelas dalam menyampaikan pendapatnya
kepada orang lain, memiliki keberanian, orasi yang bagus, dan beretika dalam
berkomunikasi.
7. Mengembangkan jiwa kritis dan analitis antar sesama pebelajar dan membisakannya
memiliki fokus analisa yang baik dan detail dan memiliki keberanian dalam diskusi.
Dari berbagai macam tujuan kemahiran berbicara di atas, bagi penutur yang bukan asli
berbahasa Arab (an-natiq bighairil ‘arabiyyah) tidak semua yang tercantum di atas menjadi
tujuan dan target kompetensi. Pebelajar dan pengajar bisa menargetkan kompetensi sesuai
dengan level kecakapan dan kemahiran yang dimiliki. Setelah selesai satu jenjang kompetensi,
pebelajar dan pengajar bisa meningkatkan pada target yang lebih tinggi.
Menurut Madkur (2010: 161) ada beberapa praktik berbahasa yang bisa menunjang
kemampuan berbicara. Untuk itu dalam belajar berbahasa pebelajar hendaknya melakukan
praktik-praktik pembelajaran berikut ini:
1. Menjawab pertanyaan ketika berada di kelas dan dan mengatur percakapan seputar
kegiatan di dalamnya.
2. Mengutip sebuah berita atau kejadian untuk dikomentari bersama.
3. Mengutip dongeng atau kisah naratif untuk didiskusiakan.
4. Menyampaikan pidato dan sambutan untuk diperdengarkan (baik langsung maupun dengan
media) di lingkungan sekolah dalam berbagai momen, perayaan keagamaan, kenegaraan,
maupun pendidikan.
5. Membentuk diskusi untuk mengomentari acara radio, televisi, teater, film hasil rekaman
maupun film dokumenter.
6. Melakukan dialog dan diskusi secara konsisten dan berkelanjutan dalam membina
pemebelajaran bahasa Arab. Pengajar yang jeli akan tahu secara detail semua metode
pengajaran bahasa Arab baik seni maupun kemahiran adalah bidang kreatif dalam praktik
berbicara dan ungkapan lisan.
Lebih lanjut, menurut Madkur (2010: 163) ada beberapa strategi yang bisa digunakan
dalam ketrampilan berbicara, yaitu : ceramah, tanya jawab dan diskusi, seminar, debat, pidato
dan sambutan, bercerita naratif dan dongeng, memberi ceramah dan nasehat, menyampaikan
laporan dan resume, mengajukan pertanyaan dan klarifikasi, memberi tanggapan dan saran,
dan lain sebagiaiya. Semua hal yang mengaktifkan pebelajar untuk berbicara masuk dalam
kategori strategi pembelajaran, poin inti dari strategi kemahiran berbicara adalah bagaimana
pebelajar itu bisa aktif tidak takut dan tidak malu untuk berbicara.
Beberapa strategi dalam praktek berbicara di atas, secara sederhanan bisa dibedakan
menjadi dua, yaitu praktek berbicara secara monolog dan praktek berbicara secara dialog.
Menurut KBBI (2018) monolog adalah pembicaraan yang dilakukan dengan diri sendiri atau
adegan sandiwara dengan pelaku tunggal yang membawakan percakapan seorang diri.
Sedangkan dialog adalah percakapan (dalam sandiwara, cerita, dan sebagainya), atau karya
tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan antara dua tokoh atau lebih. Artinya dalam
monolog hanya satu orang yang berbicara sedangkan dalam dialog lebih dari satu orang yang
berbicara.
Dari beberapa model praktik yang disampaikan oleh Madkur di atas dan model
pembelajaran bicara antara monolog dan dialog, maka bahan kajian ketrampilan berbicara
(maharatul kalam) ini akan dibagi menjadi empat modul. Pertama, hiwar (percakapan), kedua,
taqdiimul qishshah (bercerita), ketiga, khathabah (pidato), dan keempat, munadharah ilmiyyah
(debat bahasa Arab). Dari keempat modul yang dirancang, dua modul, yaitu taqdiimul
qishshah/qashsul qishshah dan khathabah masuk kategori monolog. Sedangkan Hiwar dan
munadharah ilmiyyah masuk kategori dialog.
Modul yang sedang Anda baca ini adalah modul kemahiran berbicara yang terfokus
pada percakapan (hiwar). Hiwar secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata “haawara-
yuhaawiru-hiwaar”. Hiwar dalam istilah bahasa Arab merupakan percakapan yang terjadi
antara dua orang atau lebih dalam sebuah percakapan atau antara dua tokoh atau lebih dalam
sebuah cerita dalam drama (al-Ma’ani, 2018). Menurut Mey (2001: 134) percakapan
merupakan pertukaran linguistis di antara dua orang atau lebih yang disebut dengan pelaku
percakapan. Definisi ini sama dengan definisi dialog yang tertulis dalam kamus besar bahasa
Indonesia di atas. Hiwar merupakan kompetensi mendasar dalam berbicara, karena
kemampuan seseorang menggunakan suatu bahasa dapat dilihat ketika dia bercakap,
berbincang dengan lawan bicaranya.
Dalam tataran komunikasi, kemahiran berbicara khususnya (hiwar) berada pada
tataran penggunaaan bahasa, terkait dengan sampainya maksud pembicaraan dua arah (penutur
dan mitra tutur). Maharatul kalam tidak hanya menyangkut kepiawaian berbahasa (fashahah)
namun menyangkut kepiawaian berkomunikasi (balaghah). Beberapa prinsip umum atau
faktor yang mendasari kegiatan berbicara komunikatif ini menurut Fachrurrozi dan Erta
(2011: 131) terdiri dari beberapa hal, antara lain:
1. Membutuhkan paling sedikit dua orang, seorang pembicara dan pendengar.
2. Mempergunakan suatu sandi linguistik yang dipahami bersama.
3. Adanya penerimaan atau pengakuan atas suatu wilayah referensi umum.
4. Merupakan suatu pertukaran antara partisipan.
5. Menghubungkan setiap pembicara dengan yang lainnya dan kepada lingkungannya dengan
segera.
6. Berhubungan atau berkaitan dengan masa kini.
7. Melibatkan organ atau perlengkapan yang berhubungan dengan suara/ bunyi bahasa dan
pendengaran (vocal and auditory appartus).
8. Tidak pandang bulu menghadapi dan memperlakukan apa yang nyata dan apa yang
diterima sebagai dalil dalam pelambangan dengan bunyi.

Prinsip-prinsip di atas merupakan sebuah prasyarat agar sebuah komunikasi itu bisa
dan mungkin untuk dilakukan. Untuk itu, pengajar harus bisa mengelola dan mempersiapkan
segala hal yang terkait dengan praktik kegiatan berbicara. Misalnya, pengajar tidak mungkin
memaksa pebelajar untuk berbicara dalam bahasa Arab, sedangkan pebelajar belum bisa
memiliki perbendaharaan kata yang cukup untuk diutarakan.

Anda mungkin juga menyukai