Masyarakat Arab pra Islam terdiri dari beberapa kabilah dan memiliki sejumlah ragam
dialek bahasa (al-lahaja:t al-Arabiyah al-qadi:mah) yang berbeda-beda akibat perbedaan dan
kondisi-kondisi khusus yang ada di masing-masing wilayah (Wafi, 1983: 119). Berbagai dialek
itu secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu al-Arabiyat al-bai:dah (bahasa Arab
yang telah punah) dan al-Arabiyat al-ba:qiyah (bahasa Arab yang masih lestari). Al-Arabiyat al-
bai:dah mencakup dialek-dialek bahasa Arab bagian utara Jazirah Arab dan sebagian dialek
selatan. Sedangkan al- Arabiyat al-ba:qiyah adalah dialek yang dipergunakan dalam qashidah
(bahasa puisi) jaman jahiliah atau pra-Islam, bahasa yang dipergunakan di dalam Al-Qur'an, dan
bahasa Arab yang dikenal sampai hari ini (Ya'kub, 1982: 118).
Al-Arabiyat al-ba:idah dikenal dengan sebutan Arabiyat al-nuqu:sy (bahasa Arab
prasasti) karena ragam bahasa ini tidak pernah sampai kepada kita kecuali melalui prasasti-
prasasti yang belakangan ditemukan secara luas, dari Damaskus sampai wilayah Al-`Ula di
bagian utara Hijaz. Beberapa dialek yang tergolong al-Arabiyat al-ba:idah ini, misalnya, adalah
dialek al-tsamudiyah, al-shafawiyah, dan al-lihyaniyah (Ya'kub, 1982: 118-119).
Al-Arabiyat al-ba:qiyah adalah dialek yang selanjutnya disebut dengan al-Arabiyah,
bahasa Arab seperti yang dikenal dan dipergunakan dalam pelbagai suasana formal hingga hari
ini di berbagai belahan negara Arab. Dialek ini merupakan gabungan dari berbagai dialek yang
berbeda, sebagian yang dominan berasal dari bagian utara jazirah Arab dan sebagian yang lain
dari daerah selatan. Ragam bahasa inilah yang sekarang digunakan dalam berbagai tulisan
berbahasa Arab, pidato-pidato, siaran-siaran dan jurnalisme. Dialek ini sudah tersebar luas di
seluruh jazirah sejak masa pra-Islam dan menjadi lingua franca bagi masyarakat multikabilah.
Kedudukan bahasa Quraisy ini semakin kukuh sejak turunnya Al-Qur'an. Dialek ini
terus berkembang seiring meningkatnya intensitas interaksi masyarakat Arab dari berbagai
kabilah melalui pasar-pasar mereka yang sekaligus dijadikan pasar festival seni dan sastra.
Pasar-pasar jaman pra-Islam seluruhnya berjumlah delapan, dan yang sangat terkenal
sebagai ajang unjuk kebolehan para sastrawan dalam bidang puisi dan pidato adalah ukadz,
majannah, marbad, dzulmajaz dan khaibar (Ya'kub, 1982: 120).
Pertemuan dan interaksi antaranggota berbagai kabilah melalui perjalanan,
perdagangan, dan festival seni dan sastra telah melahirkan sebuah lingua franca, bahasa
pergaulan bersama (al-lughat almusytarakah) yang dijadikan medium komunikasi lintas kabilah.
Berbagai karya sastra di jaman ini menggunakan bahasa bersama itu sehingga memungkinkan
dilakukannya penilaian terhadap kualitas sastrawan dan karyanya. Penilaian itu tentu akan sulit
dilakukan jika masing-masing menggunakan bahasa lokalnya.
Ada sejumlah pandangan mengenai proses terbentuknya lingua franca antarberbagai
kabilah yang memiliki berbagai dialek lokal itu: Pertama, pandangan bahwa di antara berbagai
dialek kabilah itu, dialek Quraisy adalah yang paling fasih, dominan dan dipahami oleh berbagai
kabilah di seluruh jazirah pada masa pra-Islam (Faris, 1963: 52). Dialek Quraisy mengungguli
dialek-dialek lain dan menjadi bahasa sastra lintas kabilah.
Karena itu tidak mengherankan jika Al-Qur'an diturunkan menggunakan dialek Quraisy,
dan Muhammad Saw yang diutus sebagai rasul juga berasal dari kabilah ini (Wafi, tt.: 112).
Kedua, pandangan bahwa dominasi dialek Quraisy terhadap dialek-dialek lain hanya terjadi di
jaman pra-Islam, tetapi tidak demikian setelah datangnya Islam. Dominasi itu karena tempat
tinggal kabilah Quraisy, Mekkah, menjadi tempat pelaksanaan ibadah haji, kota dagang dan
pusat kesatuan politik yang otonom terhadap kekuatan-kekuatan lain. Kekuasaan politik,
ekonomi dan agama itu memperkokoh dialek Quraisy di hadapan dialek-dialek lain (Husain,
1952: 133-136). Ketiga, pandangan yang tidak mengakui dialek Quraisy sebagai lingua franca
atau bahasa bersama bagi seluruh kabilah Arab. Menurut Al-Rajihi, asumsi bahwa dialek
Quraisy adalah lingua franca bagi seluruh kabilah Arab hanya untuk mengagungkan kabilah
Muhammad Saw sebagai rasul. Sebagai bukti, masyarakat Hijaz, dan suku Quraisy adalah salah
satunya, cenderung meringankan bacaan hamzah, sedangkan kabilah lain membacanya dengan
jelas. Sementara itu, pembacaan hamzah secara jelas di dalam warisan puisi pra-Islam maupun
dalam qira:at (macam-macam cara membaca) Al-Qur'an lebih banyak ditemui dibanding
pembacaannya yang lemah atau ringan (Al-Rajihi, 1973: 119-121).
Terlepas dari ketiga pandangan di atas, hasil kajian-kajian kebahasaan menunjukkan
bahwa; (1) di jazirah Arab selain dialek-dialek lokal, juga ditemui sebuah bahasa bersama lintas
kabilah yang digunakan dalam karyakarya para sastrawan, digunakan di pasar-pasar dan
perayaan-perayaan mereka, (2) ketika Islam datang, Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa bersama
itu agar dimengerti oleh seluruh kabilah, (3) di dalam bahasa Al-Qur'an ternyata didapati tidak
hanya dialek Quraisy melainkan juga dialek kabilah-kabilah lain, seperti Hudzail, Tamim,
Hamir, Jurhum, Midzhaj, Khatz'am, Qais `Aylan, Balharits bin Ka'b, Kindah, Lakhm, Judzam,
Al-Aus, dan Al-Khazraj Thayyi'. Bahkan, ada yang mengatakan di dalam Al-Qur'an ditemukan
lebih kurang lima puluh dialek, (4) dialek Quraisy adalah yang paling dominan di dalam Al-
Qur'an berdasarkan kesepakatan para linguis, dan sebuah hadits Nabi yang menyatakan bahwa
jika terdapat perbedaan pendapat mengenai wahyu (ayat Al-Qur'an) yang hendak ditulis maka
hendaknya ditulis dengan dialek Quraisy karena, menurut Rasul, Al-Qur'an diturunkan
menggunakan bahasa ini (Ya'kub, 1982: 124-126).
Sejak kedatangan Islam, kedudukan bahasa bersama (lingua franca) itu makin kokoh.
Persepsi masyarakat mengenai ragam bahasa Arab pun mulai mengalami pergeseran. Jika
sebelumnya mereka menganggap bahasa Arab Al-Qur'an dan bahasa lokal sebagai setara,
berikutnya penghargaan dan perhatian lebih ditujukan kepada bahasa bersama yang nota bene
digunakan Al-Qur'an. Sebagai bahasa agama, di samping keunggulan obyektif yang dimiliki,
bahasa Arab Al-Qur'an dianggap lebih pantas untuk digunakan.
Sejak saat itu, tampak antusiasme yang besar dari masyarakat untuk mendalami dan
mengkaji bahasa Al-Qur'an, bahasa bersama yang dinisbahkan kepada suku Quraisy itu.
Seiring dengan waktu, bahasa Arab Al-Qur'an dijadikan bahasa baku bagi seluruh
kabilah di Jazirah Arab. Ratifikasi tata bahasa Arab didasarkan pada bahasa Al-Qur'an itu di
samping fakta-fakta bahasa yang tersebar diberbagai karya para sastrawan. Lambat laun muncul
asumsi bahwa bahasa yang baik adalah bahasa Al-Qur'an, dan yang berbeda darinya dianggap
sebagai kelas dua, atau bahkan menyimpang.
Sadar atau tidak, pada gilirannya bahasa kabilab Quraisy menjadi patokan kebakuan dan
pembakuan bahasa. Upaya penggiringan untuk hanya menggunakan bahasa Al-Qur'an yang nota
bene adalah bahasa Quraisy memunculkan sejumlah masalah. Masyarakat yang berasal dari
kabilah selain Quraisy tidak seluruhnya memiliki kesiapan dan kemampuan menggunakan
bahasa Al-Qur'an secara baik dan benar. Akibatnya, terjadi sejumlah kesalahan dan fenomena
penyimpangan bahasa ketika masyarakat mulai menggunakan bahasa Arab fushah. Praktik
kesalahan dan penyimpangan berbahasa itu disebut lahn.
Istilah lahn ini dikenakan awalnya pada kesalahan dan ketidaktaatan pada i'rab, yaitu
perubahan bunyi akhir kata karena perubahan kedudukannya dalam kalimat. Benih-benih lahn
mulai muncul sejak jaman Nabi Muhammad Saw berupa perbedaan luknah (logat, cara
berbicara) di kalangan sahabat. Misalnya, Bilal yang berbicara dengan logat Habasyi, Shuhaib
dengan logat Romawi, Salman dengan logat Persia, dan seterusnya (Al-Rafi'i, 1974: 234-5).
Istilah lahn itu baru muncul setelah kedatangan Islam dan setelah bahasa Quraisy yang
digunakan Al-Qur'an menjadi bahasa baku. Nabi Muhammad diceritakan pernah memberikan
peringatan keras terhadap orang yang melakukan lahn, yang diduga sebagai praktik lahn pertama
(Kholisin, 2003: 4).
Sejak dilakukan penaklukan ke luar jazirah Arab, seperti Romawi dan Persia, praktik
lahn makin tak terelakkan. Permasalahannya semakin kompleks ketika masyarakat Arab mulai
mencampuradukkan bahasa mereka dengan apa yang didengar dari bahasa orang-orang yang
terarabkan (muta'arrabin) di negeri-negeri taklukan (AI-Rafi'i, 1974: 235-7). Praktik lahn tidak
hanya terjadi dalam bahasa lisan tetapi juga mulai merembet pada bahasa tulis, terutama sejak
masa Umar bin Khatthab. Fenomena lahn ini makin meluas sejak dilakukannya penukilan buku-
buku berbahasa Romawi dan Qibtiyah (Mesir) ke dalam bahasa Arab, dalam surat menyurat, dan
lain sebagainya (Al-Rafi'i, 1974: 238).
Maraknya praktik lahn tak pelak melahirkan kekhawatiran akan rusaknya kualitas dan
orisinalitas bahasa Arab baku. Dalam kerangka mengantisipasi hal itu, Abu-1 Aswad al-Duali
meletakkan dasar-dasar sintaksis bahasa Arab (usu:l al-nahw). Masyarakat umum yang peduli
dengan kemurnian bahasa, tergerak untuk mempelajari tata bahasa, dan mengharuskan anak-anak
mereka untuk dengan sungguh-sungguh juga mempelajarinya (Al-Rafi'i, 1974: 239).
Ilmu Nahwu mulai berkembang luas, dan diajarkan di masjid-masjid. Tidak terbatas
pada orang Arab asli, disiplin ilmu ini juga dipelajari oleh orang-orang non-Arab (mawa:li: dan
muta'arribun) yang tinggal di negeri Arab. Ketersebaran ilmu ini, pada tingkat tertentu, telah
mengeliminir lahn di kalangan masyarakat rendahan, semisal pekerja (muhtarifi:n) dan
orangorang pasar (ahl al-aswa:q). Oleh karena itu, ilmu nahwu dikenal sebagai milik para budak
(mawa:li:) (AI-Rafi'i, 1974: 239).
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa masyarakat Arab, terutama kalangan atas dan
bangsawannya, memiliki keprihatinan yang mendalam terhadap gejala lahn. Bagi mereka
penyimpangan dan kesalahan berbahasa itu adalah aib. Atas dasar itu, segala upaya yang mereka
lakukan untuk mengatasi masalah ini menjadi bukti keseriusan mereka dalam menjaga dan
memelihara orisinalitas bahasa Arab.
Namun demikian, berbagai upaya untuk memelihara kemurnian bahasa itu tak kuasa
membendung semakin meluasnya praktik lahn di dalam masyarakat. Interaksi dengan bangsa-
bangsa ajam (non-Arab), telah menyebabkan banyak digunakannya kosakata asing (al-dakhil)
dalam bahasa Arab yang pada gilirannya berpengaruh pada penggunaan bahasa masyarakat
terutama yang tinggal di perkotaan. Seiring dengan perkembangan jaman, di tengah masyarakat
muncul sebuah ragam bahasa Arab yang disebut bahasa Arab „amiyah di samping bahasa fushah
yang telah mereka warisi sejak jaman pra-Islam.
Tulisan ini akan menbahas tentang dialek, dialektoloogi dan bahasa serta hubungan
antara dialek dan bahasa. Selain itu, penulis juga akan memaparkan sebab munculnya dialek
hingga lahirnya bahasa arab „amiyah.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Dialektologi
Istilah dialektologi berasal dari dua kata, yaitu dialect dan logi. Kata dialect berasal
dari bahasa Yunani yaitu dialektos. Bangsa Yunani menggunakan kata dialektos untuk
menunjukkan keadaan bahasanya yang berbeda dengan bahasa tetangganya namun masih
memiliki hubungan yang erat antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan kata logi berasal
dari bahasa Yunani yaitu logos yang bermakna ilmu. Setelah mengetahui makna keduanya,
dialektologi merupakan ilmu yang membahas tentang dialek-dialek dalam suatu bahasa
(Zulaeha, 2010: 1-2). Harimurti Kridalaksana (2001, h. 41) menyatakan bahwa dialektologi
merupakan ilmu tentang dialek; atau cabang dari linguistik yang mempelajari variasi-variasi
bahasa dengan memperlakukannya sebagai struktur yang utuh.
1
Adalah bagian fonologi yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa
2
Bagian tata bahasa atau bidang ilmu bahasa yang menganalisis bunyi bahasa secara umum. Dalam bahasa arab
bernama Ilmu Aswat
3
Suprianto, Antropologi Kontekstual, Jakarta, 2009; h. 129
4
Ilmu bahasa yang mempelajari seluk beluk kata dan mengidentifikasi satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan
gramatikal untuk membentuk sebuah kata. Dalam bahasa arab disebut Ilmu Nahwu
a. Pemberian nama yang berbeda atau lambang yang sama dibeberapa tempat yang
berbeda. Seperti Amala dan Fa‟ala untuk melakukan sesuatu, dalam bahasa arab,
geseran kata ini dikenal sebagai sinonim.
b. Pemberian nama yang sama untuk hal yang berbeda dibeberapa tempat yang berbeda.
Misalnya meri untuk anak itik dan itik dalam bahasa jawa pergeseran ini disebut
homonim6
Dalam buku ilmu lughoh al-araby karya mahmud fahmi, terdapat dua musabab klasik
yang cukup menarik, dari sebuah fenomena bahasa khususnya dialek arab saat itu. Dua faktor
tersebut yang pertama adalah dituliskannya nahwu dan kedua berupa dituliskannya bahasa
dan kamus (Hijazi, 1973: 224). Sejak abad pertama dan kedua hijriyah, dua faktor tersebut
menjadikan lahjah terdata dan terkumpul sebelum sampai pada perumusan nahwu dan bahasa.
Dialek mengambil peran disini dalam memajukan perkembangan gramatikal maupun bahasa
itu sendiri. Bagi dialek arab yang tersebar, dua faktor di awal menjadikan dialek arab eksis
dengan pemahaman atas karakter dan kecenderungan berbahasa tiap daerah.
Menurut pusat pembinaan dan pengembangan bahasa (1983), pertumbuhan dan
perkembangan dialek (lahjat) sangat ditentukan oleh faktor intralinguistik dan factor
ekstralinguistik. Faktor intralinguistik yaitu factor bahasa itu sendiri sedangkan factor
ekstralinguistik seperti factor geografis, budaya, aktifitas ekonomi, politik, kelas sosial, dan
sebagainya. Sebab-sebab munculnya dialek diantaranya:
1. Kondisi Geografis
Factor geografis juga juga berperan dalam membantu tercampur dan
berkembangnya lahjat. Diantaranya adalah iklim, seperti yang diketahui bahwa dijazirah
Arab memiliki suhu panas diatas rata-rata sehingga setiap kabilah terbiasa hijrah berpindah
tempat antara sekitar dan yang lainnya. Selain hal itu juga geografis jazirah Arab tidak
terhalang seperti terhalang hamparan gunung dan sungai besar sehingga mencegah untuk
berhijrah.
Sebagian besar tanah Arab terdiri dari gurun pasir, disana sangat kekurangan air,
suhu sangat panas dan kering, tidak ada teluk yang dapat dijadikan pelabuhan kapal,
sehingga dikenal negara Arab sangat miskin, buminya tandus, dan penduduknya hidup
5
Suprianto, Antropologi Kontekstual, Jakarta, 2009: h. 130
6
Kata yang sama dalam pelafalan dan ejaannya dengan kata yang lain tetapi berbeda makna
dalam serba kekurangan. Karena udara tanah Arab yang panas dan penghidupan yang
sukar di negeri itu yang menyebabkan penduduknya bertabiat kasar dan kejam. Inilah yang
menyababkan mereka hidup mengembara artinya selalu berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat lain hanya untuk mencari tanah yang subur yang bisa ditumbuhi rumput dan
tanam-tanaman untuk mereka dan binatang ternak mereka.
Faktor geografis sangat berpengaruh dalam menimbulkan dialek yang bermacam-
macam. Lamya El-Helaby membagi dialek arab menjadi 5, yaitu:
a. Dialek utara yang diucapkan di Hail, Tabul, Arar dan Al-Juf
b. Dialek tengah, yang disebut dengan dialek Nadji; meliputi Riyadg, Sudir, Al-Washim
dan al-Qosim.
c. Dialek barat, yang disebut dengan dialek Hijazi; meliputi wilayah Makkah, al-
Madinah, dan Jrddah
d. Dialek timur, yang diucapkan al-Hassa, al-Dammam, dan al Qubar
e. Dialek selatan, yang diucapkan di Najan, Assiyer dan Jizan.
2. Faktor Politik
Politik sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa. Hal ini bisa di
buktikan ketika sebuah negara terbagi-bagi menjadi wilayah-wilayah kecil yang berdiri
sendiri. Demikian juga pada sebuah negara menetapkan untuk memilih sebuah bahasa
untuk dijadikan sebagai bahasa resmi yang akan digunakan pada bidang-bidang
kebudayaan, ilmu, dan sastra. Hal ini mempengaruhi didalam berbahasa karena dalam
pemilihan dalam bahasa resmi disuatu negara memiliki pengaruh dalam setiap kegiatan
terhadap kebahsaan. Maka aturan bahasa yang diwajibkan pemerintah atau daulah tersebut
kepada bangsa dalam hal pekerjaan resmi dibidang tsaqofah, pendidikan, sastra dll yang
membuat bahasa ini menjadi bahasa fushah, meskipun bahasa Arab memiliki aturan dalam
lahjat keseharian tetapi Al-Qur‟an telah mematenkannya.
3. Faktor Sosial
Faktor sosial tidak kalah peranannya dengan faktor politik dalam menimbulkan
dialek-dialek. Orang-orang yang tinggal dalam satu masyarakat bisa berbeda-beda dalam
status, pendidikan, dan pekerjaan. Setiap kelompok masyarakat mempunyai hukum adat
dan etika tersendiri.
Keberagaman sosial ini berpengaruh terhadap cara mereka dalam berkomunikasi
antar anggota masyarakat. Perbedaan-perbedaan ini mengkotak-kotakkan mereka dalam
satu level yang berbeda dengan level lainnya, dan level mereka ini berpengaruh pula pada
bahasa yang mereka pergunakan dalam keseharian mereka. Misalnya dalam suatu
masyarakat ditemukan tingkatan mulai dari pejabat, pegawai, petani dan pedagang.
Bahasa dilingkungan pekerjaan berbeda dengan bahasa yang digunakan dilingkungan
keluarga.
Bangsa Arab identik dengan sistem kesukuan, dimana mereka saling beradu
kekuatan terutama suku badui. Penduduk gurun/badui kehidupannya berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lainnya. Dalam adat mereka mengendarai unta, menggembala
domba dan keledai, berburu dan meyerbu musuh merupakan pekerjaan yang pantas untuk
laki-laki. Mereka belum mengenal pertanian, perdagangan, dan tidak memiliki keahlian
tertentu, menyerang, membalas serangan, merampok, dan menjarah merupakan kejahatan
yang sudah melekat dengan kehidupan mereka (penduduk badui).
4. Faktor Percampuran Budaya
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang lain, maka
mereka saling bertukar manfaat dan saling membutuhkan satu sama lainnya. Untuk
mencapai hal tersebut mereka membutuhkan gaya tersendiri dalam menyampaikan maksud
mereka. Sehingga bagi para pendatang mereka dituntut untuk menguasai bahasa dan dialek
bahasa penduduk asli untuk saling berkomunikasi. Hal ini berarti penduduk manapun yang
saat itu berkuasa maka dialek merekalah yang akan dijadikan patokan.
Sebab-sebab kemunculan Dialek sebagai bentuk varian bahasa selalu memiliki ciri
khas tersendiri yang membedakannya dengan dialek lain. Perbedaan yang menjadi ciri
khas tersebut meliputi aspek fonologis, morfologi dan sintaksis suatu bahasa yang didasari
oleh letak geografis suatu wilayah. Berangkat dari unsur ini yang nantinya akan menjadi
poin khusus saat melakukan analisis dialek. Ada beberapa unsur yang menjadi penyebab
utama perbedaan-perbedaan antar dialek dalam suatu bahasa tertentu, unsur-unsur tersebut
adalah:
1. Perbedaan yang mendasar dalam dialek Arab terdapat dalam pelafadzan beberapa huruf
konsonan, misalnya huruf kâf ()ك. Huruf kâf dalam pelafadzan yang tepat adalah huruf
yang berat, tetapi dalam beberapa bahasa dialek huruf ini dibaca dengan agak lembut
( )الزخبوةmenjadi tusy ()حش. Huruf lain adalah huruf qâf ()ق, tha ()ط, dhâd ()ض, dan jîm
()ج. Ulama dahulu sangat memperhatikan huruf konsonan secara teliti dalam segi
makhârijal-huruf dan juga sifatnya dengan menjaga bacaannya melalui Al-Qur‟an.
Seiring dengan perkembangan zaman, mulai terdapat perbedaan bacaan yang
dikarenakan perbedaan geografis dan keadaan wilayah, sebagaimana terjadi pada
kalangan anak-anak di Irak yang cenderung mendekatkan hurufdhâd ( )ضdengan dzâd
()ظ.
2. Selanjutnya adalah perbedaan dalam pelafadzan beberapa huruf vokal (vowels) yang
dikatakan oleh ulama sebagai harakah apabila dalam bentuk vokal pendek sedangkan
dalam vocal panjang disebut dengan huruf mad. Tetapi ulama nahwu modern cenderung
untuk menyatukan kedua bentuk vocal tersebut karena pada dasarnya perbedaan antara
fathah, dan alif al-mad hanya merupakan perbedaan secara kuantitas, sebagaimana
perbedaan antara kasrah dan ya al-mad. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya
perhatian terhadap masalah fonologi huruf vocal dalam bahasa Arab yang pada akhirnya
membawa dampak perbedaan dalam kalam dan nutq.
3. Perbedaan dalam letak nabr (accent/stress) dalam sebuah kalimat merupakan aspek yang
menyebabkan perbedaan dialek bahasa Arab. Hal ini merupakan fenomena fonetik yang
mampu membedakan proses artikulatoris dalam berbahasa pada negara-negara, bahkan
mampu membuat perbedaan yang sangat signifikan dalam lahjah suatu kaum hingga
dalam pelafadzan Al-Qur‟an. Seperti dalam pelafadzan kata ( ولمشة، همشة، مئمىت،)رقبت
(Anis, 2003: 24-29).
mengucapkan ،توب ، متانية menggantikan عثر، كثري، ثوب،مثانية karena beratnya pengucapan
()د.
dan Syria. Seperti Pengucapan أط، ألت،ألب menggantikan قط، قلت،قلب. Atau berubah
menjadi bunyi (G) dalam dialek Mesir dan sejumlah dialek arab lainnya, seperti pada kata ،نطق
قطن، قلت،عقد yang dibaca Nuthgun, Agdun, Gultu, Goththu dalam dialek bahasa „amiyah.
َََوكَذَالَك،
َ َََولَحَظَتََأَنََالَمَطَعَمََغَيَرََنَظَيَف،
َ َاوَلنَاَالَعَشَاءََخَ َارجََالَبَيَتََيَ َومََالَحَدََاَلَاضَي
َ َتَن
ََوعَمَالَه
Dalam dialek Mesir di ucapkan dengan :
Adisumarto, Mukidi. 1992. “Geografi Dialek Bahasa Banyumas” dalam: Kesenian, Bahasa dan
Faktor Jawa. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Al-Rafi'i, M. S. 1974. Tarikh Adab al-Arab. Juz 1. Beirut: Dar al-Kitab al- Arabi.
Anis, Ibrahim. 2003. Fi al-Lahajat al-Arabiyah. Mesir: Maktabah al-Anglo al-Mishri.
Ar-Rajihi, A. 1979. Fiqh al-Lughah fi-l Kutub al-Arabiyah. Beirut: Dar al- Nahdhah.
Ayaterohaedi, 1974. Dialektologi : Sebuah Pengantar. Jakarta : Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bahruddin, Uril. 2009. Fiqh al-Lughah al-Arabiyah. Malang: UIN Malang Press.
Chaer, Abdul, dan Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta.
Farihah, A. 1955. Nahwu Arabiyah Muyassarah. Beirut: Dar al-Tsaqafah.
Faris, I. 1963. Fiqh al-Lughat wa Sunan al-Arab fi: Kala:miha. Beirut: Muassasah Badran.
Husain, T. 1952. Fi-1 Adab al-Jahili. Mesir: Dar al-Ma'arif.
Ibnu Manzur, Jamaluddin. 1990. “Lisan al-Araby. Beirut: Dar al-Fikr.
Ismail. 2003. Model-model Pembelajaran, Jakarta. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.
Kaelan. 2009. Filsafat Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Yogyakarta. Paradigma.
Keraf, gorrys. 1979. Komposisi. Jakarta: Nusa Indah.
Kholisin. 2003. Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu. Jurnal Bahasa dan Seni, vol. 33, No. 1,
Februari 2003.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ma‟luf, Louis. 2002. Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-„Alam. Beirut: Dar al-Masyriq.
Mu‟izuddin, M. 2007. “Kontribusi Dialek Quraisy dan Dialek Tamim Terhadap Bahasa Arab
Fushah” dalam Jurnal Al Qolam, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Vol. 24
No. 2 Tahun 2007.
Taufiq, Wildan. 2015. Fiqih Lughah (Pengantar Linguistik Arab): Ulasan Komprehensif dan
Objektiif. Bandung: CV. Nuansa Aulia.
Suaidi. 2008. “Dialek-dialek Bahasa Arab” dalam Jurnal Adabiyyat, Vol. 7, No. 1 Tahun 2008.
Tohe, Achmad. 2005. “Bahasa Arab Fushah dan „Amiyah Serta Problematikannya” dalam Jurnal
Bahasa dan Seni, Vol. 33, No. 2, Agustus 2005.
Ya'kub, Emil Badi'. 1982. Fiqh al-Lughat al-Arabiyah wa Khasha:isuha. Beirut: Dar al-Tsaqafah
al-Islamiyah.
Zulaeha, Ida. 2010. Dialektologi: Dialek Geografi dan Dialek Sosial. Yogyakarta: Graha Ilmu.