Anda di halaman 1dari 27

PENDAHULUAN

Masyarakat Arab pra Islam terdiri dari beberapa kabilah dan memiliki sejumlah ragam
dialek bahasa (al-lahaja:t al-Arabiyah al-qadi:mah) yang berbeda-beda akibat perbedaan dan
kondisi-kondisi khusus yang ada di masing-masing wilayah (Wafi, 1983: 119). Berbagai dialek
itu secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu al-Arabiyat al-bai:dah (bahasa Arab
yang telah punah) dan al-Arabiyat al-ba:qiyah (bahasa Arab yang masih lestari). Al-Arabiyat al-
bai:dah mencakup dialek-dialek bahasa Arab bagian utara Jazirah Arab dan sebagian dialek
selatan. Sedangkan al- Arabiyat al-ba:qiyah adalah dialek yang dipergunakan dalam qashidah
(bahasa puisi) jaman jahiliah atau pra-Islam, bahasa yang dipergunakan di dalam Al-Qur'an, dan
bahasa Arab yang dikenal sampai hari ini (Ya'kub, 1982: 118).
Al-Arabiyat al-ba:idah dikenal dengan sebutan Arabiyat al-nuqu:sy (bahasa Arab
prasasti) karena ragam bahasa ini tidak pernah sampai kepada kita kecuali melalui prasasti-
prasasti yang belakangan ditemukan secara luas, dari Damaskus sampai wilayah Al-`Ula di
bagian utara Hijaz. Beberapa dialek yang tergolong al-Arabiyat al-ba:idah ini, misalnya, adalah
dialek al-tsamudiyah, al-shafawiyah, dan al-lihyaniyah (Ya'kub, 1982: 118-119).
Al-Arabiyat al-ba:qiyah adalah dialek yang selanjutnya disebut dengan al-Arabiyah,
bahasa Arab seperti yang dikenal dan dipergunakan dalam pelbagai suasana formal hingga hari
ini di berbagai belahan negara Arab. Dialek ini merupakan gabungan dari berbagai dialek yang
berbeda, sebagian yang dominan berasal dari bagian utara jazirah Arab dan sebagian yang lain
dari daerah selatan. Ragam bahasa inilah yang sekarang digunakan dalam berbagai tulisan
berbahasa Arab, pidato-pidato, siaran-siaran dan jurnalisme. Dialek ini sudah tersebar luas di
seluruh jazirah sejak masa pra-Islam dan menjadi lingua franca bagi masyarakat multikabilah.
Kedudukan bahasa Quraisy ini semakin kukuh sejak turunnya Al-Qur'an. Dialek ini
terus berkembang seiring meningkatnya intensitas interaksi masyarakat Arab dari berbagai
kabilah melalui pasar-pasar mereka yang sekaligus dijadikan pasar festival seni dan sastra.
Pasar-pasar jaman pra-Islam seluruhnya berjumlah delapan, dan yang sangat terkenal
sebagai ajang unjuk kebolehan para sastrawan dalam bidang puisi dan pidato adalah ukadz,
majannah, marbad, dzulmajaz dan khaibar (Ya'kub, 1982: 120).
Pertemuan dan interaksi antaranggota berbagai kabilah melalui perjalanan,
perdagangan, dan festival seni dan sastra telah melahirkan sebuah lingua franca, bahasa
pergaulan bersama (al-lughat almusytarakah) yang dijadikan medium komunikasi lintas kabilah.
Berbagai karya sastra di jaman ini menggunakan bahasa bersama itu sehingga memungkinkan
dilakukannya penilaian terhadap kualitas sastrawan dan karyanya. Penilaian itu tentu akan sulit
dilakukan jika masing-masing menggunakan bahasa lokalnya.
Ada sejumlah pandangan mengenai proses terbentuknya lingua franca antarberbagai
kabilah yang memiliki berbagai dialek lokal itu: Pertama, pandangan bahwa di antara berbagai
dialek kabilah itu, dialek Quraisy adalah yang paling fasih, dominan dan dipahami oleh berbagai
kabilah di seluruh jazirah pada masa pra-Islam (Faris, 1963: 52). Dialek Quraisy mengungguli
dialek-dialek lain dan menjadi bahasa sastra lintas kabilah.
Karena itu tidak mengherankan jika Al-Qur'an diturunkan menggunakan dialek Quraisy,
dan Muhammad Saw yang diutus sebagai rasul juga berasal dari kabilah ini (Wafi, tt.: 112).
Kedua, pandangan bahwa dominasi dialek Quraisy terhadap dialek-dialek lain hanya terjadi di
jaman pra-Islam, tetapi tidak demikian setelah datangnya Islam. Dominasi itu karena tempat
tinggal kabilah Quraisy, Mekkah, menjadi tempat pelaksanaan ibadah haji, kota dagang dan
pusat kesatuan politik yang otonom terhadap kekuatan-kekuatan lain. Kekuasaan politik,
ekonomi dan agama itu memperkokoh dialek Quraisy di hadapan dialek-dialek lain (Husain,
1952: 133-136). Ketiga, pandangan yang tidak mengakui dialek Quraisy sebagai lingua franca
atau bahasa bersama bagi seluruh kabilah Arab. Menurut Al-Rajihi, asumsi bahwa dialek
Quraisy adalah lingua franca bagi seluruh kabilah Arab hanya untuk mengagungkan kabilah
Muhammad Saw sebagai rasul. Sebagai bukti, masyarakat Hijaz, dan suku Quraisy adalah salah
satunya, cenderung meringankan bacaan hamzah, sedangkan kabilah lain membacanya dengan
jelas. Sementara itu, pembacaan hamzah secara jelas di dalam warisan puisi pra-Islam maupun
dalam qira:at (macam-macam cara membaca) Al-Qur'an lebih banyak ditemui dibanding
pembacaannya yang lemah atau ringan (Al-Rajihi, 1973: 119-121).
Terlepas dari ketiga pandangan di atas, hasil kajian-kajian kebahasaan menunjukkan
bahwa; (1) di jazirah Arab selain dialek-dialek lokal, juga ditemui sebuah bahasa bersama lintas
kabilah yang digunakan dalam karyakarya para sastrawan, digunakan di pasar-pasar dan
perayaan-perayaan mereka, (2) ketika Islam datang, Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa bersama
itu agar dimengerti oleh seluruh kabilah, (3) di dalam bahasa Al-Qur'an ternyata didapati tidak
hanya dialek Quraisy melainkan juga dialek kabilah-kabilah lain, seperti Hudzail, Tamim,
Hamir, Jurhum, Midzhaj, Khatz'am, Qais `Aylan, Balharits bin Ka'b, Kindah, Lakhm, Judzam,
Al-Aus, dan Al-Khazraj Thayyi'. Bahkan, ada yang mengatakan di dalam Al-Qur'an ditemukan
lebih kurang lima puluh dialek, (4) dialek Quraisy adalah yang paling dominan di dalam Al-
Qur'an berdasarkan kesepakatan para linguis, dan sebuah hadits Nabi yang menyatakan bahwa
jika terdapat perbedaan pendapat mengenai wahyu (ayat Al-Qur'an) yang hendak ditulis maka
hendaknya ditulis dengan dialek Quraisy karena, menurut Rasul, Al-Qur'an diturunkan
menggunakan bahasa ini (Ya'kub, 1982: 124-126).
Sejak kedatangan Islam, kedudukan bahasa bersama (lingua franca) itu makin kokoh.
Persepsi masyarakat mengenai ragam bahasa Arab pun mulai mengalami pergeseran. Jika
sebelumnya mereka menganggap bahasa Arab Al-Qur'an dan bahasa lokal sebagai setara,
berikutnya penghargaan dan perhatian lebih ditujukan kepada bahasa bersama yang nota bene
digunakan Al-Qur'an. Sebagai bahasa agama, di samping keunggulan obyektif yang dimiliki,
bahasa Arab Al-Qur'an dianggap lebih pantas untuk digunakan.
Sejak saat itu, tampak antusiasme yang besar dari masyarakat untuk mendalami dan
mengkaji bahasa Al-Qur'an, bahasa bersama yang dinisbahkan kepada suku Quraisy itu.
Seiring dengan waktu, bahasa Arab Al-Qur'an dijadikan bahasa baku bagi seluruh
kabilah di Jazirah Arab. Ratifikasi tata bahasa Arab didasarkan pada bahasa Al-Qur'an itu di
samping fakta-fakta bahasa yang tersebar diberbagai karya para sastrawan. Lambat laun muncul
asumsi bahwa bahasa yang baik adalah bahasa Al-Qur'an, dan yang berbeda darinya dianggap
sebagai kelas dua, atau bahkan menyimpang.
Sadar atau tidak, pada gilirannya bahasa kabilab Quraisy menjadi patokan kebakuan dan
pembakuan bahasa. Upaya penggiringan untuk hanya menggunakan bahasa Al-Qur'an yang nota
bene adalah bahasa Quraisy memunculkan sejumlah masalah. Masyarakat yang berasal dari
kabilah selain Quraisy tidak seluruhnya memiliki kesiapan dan kemampuan menggunakan
bahasa Al-Qur'an secara baik dan benar. Akibatnya, terjadi sejumlah kesalahan dan fenomena
penyimpangan bahasa ketika masyarakat mulai menggunakan bahasa Arab fushah. Praktik
kesalahan dan penyimpangan berbahasa itu disebut lahn.
Istilah lahn ini dikenakan awalnya pada kesalahan dan ketidaktaatan pada i'rab, yaitu
perubahan bunyi akhir kata karena perubahan kedudukannya dalam kalimat. Benih-benih lahn
mulai muncul sejak jaman Nabi Muhammad Saw berupa perbedaan luknah (logat, cara
berbicara) di kalangan sahabat. Misalnya, Bilal yang berbicara dengan logat Habasyi, Shuhaib
dengan logat Romawi, Salman dengan logat Persia, dan seterusnya (Al-Rafi'i, 1974: 234-5).
Istilah lahn itu baru muncul setelah kedatangan Islam dan setelah bahasa Quraisy yang
digunakan Al-Qur'an menjadi bahasa baku. Nabi Muhammad diceritakan pernah memberikan
peringatan keras terhadap orang yang melakukan lahn, yang diduga sebagai praktik lahn pertama
(Kholisin, 2003: 4).
Sejak dilakukan penaklukan ke luar jazirah Arab, seperti Romawi dan Persia, praktik
lahn makin tak terelakkan. Permasalahannya semakin kompleks ketika masyarakat Arab mulai
mencampuradukkan bahasa mereka dengan apa yang didengar dari bahasa orang-orang yang
terarabkan (muta'arrabin) di negeri-negeri taklukan (AI-Rafi'i, 1974: 235-7). Praktik lahn tidak
hanya terjadi dalam bahasa lisan tetapi juga mulai merembet pada bahasa tulis, terutama sejak
masa Umar bin Khatthab. Fenomena lahn ini makin meluas sejak dilakukannya penukilan buku-
buku berbahasa Romawi dan Qibtiyah (Mesir) ke dalam bahasa Arab, dalam surat menyurat, dan
lain sebagainya (Al-Rafi'i, 1974: 238).
Maraknya praktik lahn tak pelak melahirkan kekhawatiran akan rusaknya kualitas dan
orisinalitas bahasa Arab baku. Dalam kerangka mengantisipasi hal itu, Abu-1 Aswad al-Duali
meletakkan dasar-dasar sintaksis bahasa Arab (usu:l al-nahw). Masyarakat umum yang peduli
dengan kemurnian bahasa, tergerak untuk mempelajari tata bahasa, dan mengharuskan anak-anak
mereka untuk dengan sungguh-sungguh juga mempelajarinya (Al-Rafi'i, 1974: 239).
Ilmu Nahwu mulai berkembang luas, dan diajarkan di masjid-masjid. Tidak terbatas
pada orang Arab asli, disiplin ilmu ini juga dipelajari oleh orang-orang non-Arab (mawa:li: dan
muta'arribun) yang tinggal di negeri Arab. Ketersebaran ilmu ini, pada tingkat tertentu, telah
mengeliminir lahn di kalangan masyarakat rendahan, semisal pekerja (muhtarifi:n) dan
orangorang pasar (ahl al-aswa:q). Oleh karena itu, ilmu nahwu dikenal sebagai milik para budak
(mawa:li:) (AI-Rafi'i, 1974: 239).
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa masyarakat Arab, terutama kalangan atas dan
bangsawannya, memiliki keprihatinan yang mendalam terhadap gejala lahn. Bagi mereka
penyimpangan dan kesalahan berbahasa itu adalah aib. Atas dasar itu, segala upaya yang mereka
lakukan untuk mengatasi masalah ini menjadi bukti keseriusan mereka dalam menjaga dan
memelihara orisinalitas bahasa Arab.
Namun demikian, berbagai upaya untuk memelihara kemurnian bahasa itu tak kuasa
membendung semakin meluasnya praktik lahn di dalam masyarakat. Interaksi dengan bangsa-
bangsa ajam (non-Arab), telah menyebabkan banyak digunakannya kosakata asing (al-dakhil)
dalam bahasa Arab yang pada gilirannya berpengaruh pada penggunaan bahasa masyarakat
terutama yang tinggal di perkotaan. Seiring dengan perkembangan jaman, di tengah masyarakat
muncul sebuah ragam bahasa Arab yang disebut bahasa Arab „amiyah di samping bahasa fushah
yang telah mereka warisi sejak jaman pra-Islam.
Tulisan ini akan menbahas tentang dialek, dialektoloogi dan bahasa serta hubungan
antara dialek dan bahasa. Selain itu, penulis juga akan memaparkan sebab munculnya dialek
hingga lahirnya bahasa arab „amiyah.

PEMBAHASAN
A. Pengertian Dialektologi
Istilah dialektologi berasal dari dua kata, yaitu dialect dan logi. Kata dialect berasal
dari bahasa Yunani yaitu dialektos. Bangsa Yunani menggunakan kata dialektos untuk
menunjukkan keadaan bahasanya yang berbeda dengan bahasa tetangganya namun masih
memiliki hubungan yang erat antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan kata logi berasal
dari bahasa Yunani yaitu logos yang bermakna ilmu. Setelah mengetahui makna keduanya,
dialektologi merupakan ilmu yang membahas tentang dialek-dialek dalam suatu bahasa
(Zulaeha, 2010: 1-2). Harimurti Kridalaksana (2001, h. 41) menyatakan bahwa dialektologi
merupakan ilmu tentang dialek; atau cabang dari linguistik yang mempelajari variasi-variasi
bahasa dengan memperlakukannya sebagai struktur yang utuh.

B. Pengertian Dialek (Lahjah)


Secara bahasa, “lahjah” berarti senang terhadap sesuatu, mengucapkan dan
membiasakannya (Ibnu Manzur, 1990, h. 132). Sedangkan di dalam kamus Al-Munjid
dijelaskan bahwa “lahjah” adalah “‫ ”اللسبن أو طزفه‬yang berarti lidah atau anggota gerak, dan
“‫( ”لغت اإلوسبن الخي جبل عليهب واعخبدهب‬Al-Munjid, 1987) yang bermakna bahasa manusia yang
menjadi karakter dan dibiasakan olehnya (Ma‟luf, 2002, h. 735). Setelah mengetahui makna
dari kata “lahjah”, dapat dipahami bahwa dialek (lahjah) merupakan sebuah ragam bahasa
yang lebih disenangi, lebih sering dipraktekkan dan lebih mudah diujarkan oleh individu-
individu dari suatu komunitas bahasa tertentu dalam kehidupan keseharian mereka.
Dialek secara etimologi seperti yang di tulis oleh Ibnu Manzur dalam lisan al-arab,
bermakna gemar dengan sesuatu, menyanyikan (mengucapkan), dan membiasakan. Sejalan
dengan makna ini, dalam kamus al munjid di sebutkan pula bahwa dialek berarti bahasa
manusia yang menjadi karakter dan dibiasakan olehnya. maka dapat di pahami bahwa dialek
merupakan sebuah ragam bahasa yang lebih disenangi, lebih bisa di praktekkan, dan lebih
mudah di ucapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Secara istilah, Ibrahim Anis (2003, h. 15) menyatakan bahwa dialek (lahjah)
merupakan kumpulan sifat-sifat bahasa yang dihubungkan dengan lingkungan tertentu yang di
dalam sifat-sifat ini semua individu dari lingkungan tertentu ini ikut serta dalam
menggunakkannya. Oleh karenanya, dialek adalah sekumpulan ciri khas kebahasaan yang
merujuk kepada suatu lingkungan yang khusus. Lingkungan tertentu (dialek) ini hanyalah
sebuah bagian dari lingkungan yang luas yang menghimpun berbagai dialek dan setiap dialek
memiliki kekhususan masing-masing.
Chaer dan Leonie (2004, h. 63) berpendapat bahwa dialek adalah variasi bahasa dari
sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah atau area
tertentu. Sedangkan menurut Mukidi Adisumarto (1992, h. 23) bahwa dialek merupakan
bahasa yang biasa digunakan pemakainya yang tergantung pada siapa pemakainya dan
darimana asalnya. Adapun menurut Harimurti Kridalaksana (2001, h. 42), ia menyatakan
bahwa dialek adalah variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai; variasi bahasa yang
dipakai oleh kelompok bahasawan di tempat tertentu (dialek regional), atau golongan tertentu
dari suatu kelompok bahasawan (dialek sosial), atau oleh kelompok bahasawan yang hidup
dalam waktu tertentu (dialek temporal).
Menurut Abdul Chaer dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang
jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah atau area tertentu. Karena dialek
ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut
dialek areal, dialek regional atau dialek geografi (Chaer, 1995:63).
Istilah dialek dalam bahasa Arab dikenal dengan lahjah (‫)اللهجت‬. Pada mulanya,
masyarakat Arab lebih mengenal istilah lughoh (‫ )اللغت‬dan istilah lahn (‫ )اللحه‬yang juga
bermakna dialek. Dalam cakupannya, istilah lughoh lebih luas daripada istilah lahjah. Bisa
dikatakan lahjah adalah idiolek dan lughoh adalah dialeknya. Adapun istilah lahn, lebih dekat
pengertiannya dengan istilah lahjah walau pada implementasinya, lahn lebih kepada konsep
penyebutan dan bunyi. Orang-orang Arab zaman dahulu mengatakan: ‫ىمي‬
ِ ‫حه ق‬
ِ ‫ليس هذا لحىِي وَل ل‬.
Bahkan, ketika Pada masa Jahiliyah hingga turunnya Islam, kata dialek juga dikenal dengan
istilah lisan (‫( )اللسبن‬Anis,2003: 15).
Dalam hal ini daud memberikan contoh bahasa arab di mana cara pemakaian bahasa
arab orang mesir berbeda dengan pemakaian bahasa orang sudan, maroko dan seterusnya.
Misalnya, orang mesir menyebut ‫ح ِل ْيفٌ ْىن‬, sedangkan orang teluk menyebut ‫هبحْف‬, untuk
menunjuk alat komunikasi secara umum. sedangkan orang Mesir berkata ‫ش‬
ْ ‫مب أعْزف‬, sedangkan
orang saudi berkata ‫ مب أدْري‬kata tersebut adalah untuk menunjukan ketidaktahuan.
Lahjah adalah Lisan al-arab, bermakna gemar dengan sesuatu, menyanyikan
(mengucapkan), dan membiasakan. seirama dengan makna ini dalam kamus Munjiid
disebutkan pula bahwa lahjah berarti bahasa manusia yang menjadi karakter dan dibiasakan
olehnya (Ma‟luf : 2002 : 735).
Pengertian Lahjah Menurut Weijen, dkk yang dikutip oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa (1983), dialek adalah sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh satu
masyarakat untuk membedakan dari masyarakat lain. Istilah dialek atau lahjat (dalam bahasa
Arab) berasal dari bahasa Yunani disebut dialektos yang berarti varian dari sebuah bahasa
menurut pemakai.
Dari makna-makna dialek di atas, baik yang menurut etimologi maupun terminologi,
bisa dipahami pula bahwa dialek dengan bahasa memiliki hubungan yang sangat erat.
Hubungan Dialek-dialek Bahasa Arab keduanya ini terletak pada hubungan umum dan
khusus. Bahasa lebih umum daripada dialek. Dialek terhimpun dalam sebuah bahasa
sedangkan sebuah bahasa bisa mencakup berbagai macam dialek yang memiliki ciri-ciri
khusus kebahasaan dan dialek- dialek tersebut bersekutu dalam ciri-ciri kebahasaan umum
yang menyatukan semuanya.

C. Sebab–Sebab Munculnya Dialek


Terdapat dua faktor utama di dunia dari kemunculan dialek yaitu yang pertama
dikarenakan oleh beberapa kelompok dari suatu bangsa yang terpisah dan yang kedua dari
perselisihan bahasa yang disebabkan sebuah peperangan atau perpindahan manusia. Giraud
mengatakan bahwa terjadinya ragam dialek (Lahjat) itu disebabkan oleh adanya hubungan
dan keunggulan bahasa yang terbawa ketika terjadi perpindahan penduduk, penyerbuan atau
penjajahan. Hal yang tidak boleh dilupakan ialah peranan dialek atau bahasa yang bertetangga
di dalam proses terjadinya suatu dialek itu. Dari dialek dan bahasa yang bertetangga itu,
masuklah anasir kosakata, struktur, dan cara pengucapan atau lafal. Setelah itu kemudian ada
di antara dialek tersebut yang diangkat menjadi bahasa baku, maka peranan bahasa baku itu
pun tidak boleh dilupakan. Sementara pada gilirannya, bahasa baku tetap terkena pengaruhnya
baik dari dialeknya maupun dari bahasa tetangganya.
Tidak mengherankan bahasa Arab selatan atau yang dikenal dengan bahasa fushah
atau setelah bahasa al-Qur‟an merebut seluruh jazirah Arab setelah runtuhnya peradaban
Yaman dan bahasanya seperti bahasa Sabaiyah dan Himyariyah. Bahasa tersebut semakin
meluas ke kabilah Yamaniah yaitu dengan cara masyarakatnya yang mencoba hidup
mengembara setelah hancurnya peradaban tersebut. Sedangkan jazirah Arab tidak cukup
menampung masyarakat besar dari selatan dan utara dengan lahjat mereka. Hal ini sangat
memungkinkan menjadi beranekaragam, Berkembang, dan tumbuhnya lahjat tersebut serta
disitu memungkinkan lahjat dengan kekhususan bahasa yang bebas.
Pada tiap daerah pastinya memiliki perbedaan dialek (lahjat), meskipun itu dalam
satu rumpun. Pada dasarnya Libya dan Palestina memiliki satu rumpun yaitu bahasa arab,
tetapi mereka tetap memliki perbedaan dari dialeknya.
Berikut ini merupakan sebab-sebab adanya perbedaan dialek yaitu:
1. Perbedaan Fonetik1
Perbedaan berada di bidang fonologi2. Biasanya pemakai dialek atau bahasa yang
bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan tersebut. Sebagai contoh carema dengan
cereme yaitu buah pohon cerme3.
2. Perbedaan Morfologi4
Perbedaan morfologis lebih condong ke pada sistem tata bahasa yang bersangkutan.
Hal tersebut disebabkan oleh morfem-morfem yang berbeda, penggunaannya, wujud
fonestisnya, daya rasanya dan beberapa factor lainnya.
3. Perbedaan Semantik
Perbedaan ini merujuk ke pada terciptanya kata-kata baru, berdasarkan perubahan
fonologi dan pergeseran bentuk. Peristiwa ini biasanya karena pergeseran makna kata.
Geseran tersebut berkaitan dengan dua makna, yaitu5:

1
Adalah bagian fonologi yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa
2
Bagian tata bahasa atau bidang ilmu bahasa yang menganalisis bunyi bahasa secara umum. Dalam bahasa arab
bernama Ilmu Aswat
3
Suprianto, Antropologi Kontekstual, Jakarta, 2009; h. 129
4
Ilmu bahasa yang mempelajari seluk beluk kata dan mengidentifikasi satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan
gramatikal untuk membentuk sebuah kata. Dalam bahasa arab disebut Ilmu Nahwu
a. Pemberian nama yang berbeda atau lambang yang sama dibeberapa tempat yang
berbeda. Seperti Amala dan Fa‟ala untuk melakukan sesuatu, dalam bahasa arab,
geseran kata ini dikenal sebagai sinonim.
b. Pemberian nama yang sama untuk hal yang berbeda dibeberapa tempat yang berbeda.
Misalnya meri untuk anak itik dan itik dalam bahasa jawa pergeseran ini disebut
homonim6
Dalam buku ilmu lughoh al-araby karya mahmud fahmi, terdapat dua musabab klasik
yang cukup menarik, dari sebuah fenomena bahasa khususnya dialek arab saat itu. Dua faktor
tersebut yang pertama adalah dituliskannya nahwu dan kedua berupa dituliskannya bahasa
dan kamus (Hijazi, 1973: 224). Sejak abad pertama dan kedua hijriyah, dua faktor tersebut
menjadikan lahjah terdata dan terkumpul sebelum sampai pada perumusan nahwu dan bahasa.
Dialek mengambil peran disini dalam memajukan perkembangan gramatikal maupun bahasa
itu sendiri. Bagi dialek arab yang tersebar, dua faktor di awal menjadikan dialek arab eksis
dengan pemahaman atas karakter dan kecenderungan berbahasa tiap daerah.
Menurut pusat pembinaan dan pengembangan bahasa (1983), pertumbuhan dan
perkembangan dialek (lahjat) sangat ditentukan oleh faktor intralinguistik dan factor
ekstralinguistik. Faktor intralinguistik yaitu factor bahasa itu sendiri sedangkan factor
ekstralinguistik seperti factor geografis, budaya, aktifitas ekonomi, politik, kelas sosial, dan
sebagainya. Sebab-sebab munculnya dialek diantaranya:
1. Kondisi Geografis
Factor geografis juga juga berperan dalam membantu tercampur dan
berkembangnya lahjat. Diantaranya adalah iklim, seperti yang diketahui bahwa dijazirah
Arab memiliki suhu panas diatas rata-rata sehingga setiap kabilah terbiasa hijrah berpindah
tempat antara sekitar dan yang lainnya. Selain hal itu juga geografis jazirah Arab tidak
terhalang seperti terhalang hamparan gunung dan sungai besar sehingga mencegah untuk
berhijrah.
Sebagian besar tanah Arab terdiri dari gurun pasir, disana sangat kekurangan air,
suhu sangat panas dan kering, tidak ada teluk yang dapat dijadikan pelabuhan kapal,
sehingga dikenal negara Arab sangat miskin, buminya tandus, dan penduduknya hidup

5
Suprianto, Antropologi Kontekstual, Jakarta, 2009: h. 130
6
Kata yang sama dalam pelafalan dan ejaannya dengan kata yang lain tetapi berbeda makna
dalam serba kekurangan. Karena udara tanah Arab yang panas dan penghidupan yang
sukar di negeri itu yang menyebabkan penduduknya bertabiat kasar dan kejam. Inilah yang
menyababkan mereka hidup mengembara artinya selalu berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat lain hanya untuk mencari tanah yang subur yang bisa ditumbuhi rumput dan
tanam-tanaman untuk mereka dan binatang ternak mereka.
Faktor geografis sangat berpengaruh dalam menimbulkan dialek yang bermacam-
macam. Lamya El-Helaby membagi dialek arab menjadi 5, yaitu:
a. Dialek utara yang diucapkan di Hail, Tabul, Arar dan Al-Juf
b. Dialek tengah, yang disebut dengan dialek Nadji; meliputi Riyadg, Sudir, Al-Washim
dan al-Qosim.
c. Dialek barat, yang disebut dengan dialek Hijazi; meliputi wilayah Makkah, al-
Madinah, dan Jrddah
d. Dialek timur, yang diucapkan al-Hassa, al-Dammam, dan al Qubar
e. Dialek selatan, yang diucapkan di Najan, Assiyer dan Jizan.
2. Faktor Politik
Politik sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa. Hal ini bisa di
buktikan ketika sebuah negara terbagi-bagi menjadi wilayah-wilayah kecil yang berdiri
sendiri. Demikian juga pada sebuah negara menetapkan untuk memilih sebuah bahasa
untuk dijadikan sebagai bahasa resmi yang akan digunakan pada bidang-bidang
kebudayaan, ilmu, dan sastra. Hal ini mempengaruhi didalam berbahasa karena dalam
pemilihan dalam bahasa resmi disuatu negara memiliki pengaruh dalam setiap kegiatan
terhadap kebahsaan. Maka aturan bahasa yang diwajibkan pemerintah atau daulah tersebut
kepada bangsa dalam hal pekerjaan resmi dibidang tsaqofah, pendidikan, sastra dll yang
membuat bahasa ini menjadi bahasa fushah, meskipun bahasa Arab memiliki aturan dalam
lahjat keseharian tetapi Al-Qur‟an telah mematenkannya.
3. Faktor Sosial
Faktor sosial tidak kalah peranannya dengan faktor politik dalam menimbulkan
dialek-dialek. Orang-orang yang tinggal dalam satu masyarakat bisa berbeda-beda dalam
status, pendidikan, dan pekerjaan. Setiap kelompok masyarakat mempunyai hukum adat
dan etika tersendiri.
Keberagaman sosial ini berpengaruh terhadap cara mereka dalam berkomunikasi
antar anggota masyarakat. Perbedaan-perbedaan ini mengkotak-kotakkan mereka dalam
satu level yang berbeda dengan level lainnya, dan level mereka ini berpengaruh pula pada
bahasa yang mereka pergunakan dalam keseharian mereka. Misalnya dalam suatu
masyarakat ditemukan tingkatan mulai dari pejabat, pegawai, petani dan pedagang.
Bahasa dilingkungan pekerjaan berbeda dengan bahasa yang digunakan dilingkungan
keluarga.
Bangsa Arab identik dengan sistem kesukuan, dimana mereka saling beradu
kekuatan terutama suku badui. Penduduk gurun/badui kehidupannya berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lainnya. Dalam adat mereka mengendarai unta, menggembala
domba dan keledai, berburu dan meyerbu musuh merupakan pekerjaan yang pantas untuk
laki-laki. Mereka belum mengenal pertanian, perdagangan, dan tidak memiliki keahlian
tertentu, menyerang, membalas serangan, merampok, dan menjarah merupakan kejahatan
yang sudah melekat dengan kehidupan mereka (penduduk badui).
4. Faktor Percampuran Budaya
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan pertolongan orang lain, maka
mereka saling bertukar manfaat dan saling membutuhkan satu sama lainnya. Untuk
mencapai hal tersebut mereka membutuhkan gaya tersendiri dalam menyampaikan maksud
mereka. Sehingga bagi para pendatang mereka dituntut untuk menguasai bahasa dan dialek
bahasa penduduk asli untuk saling berkomunikasi. Hal ini berarti penduduk manapun yang
saat itu berkuasa maka dialek merekalah yang akan dijadikan patokan.
Sebab-sebab kemunculan Dialek sebagai bentuk varian bahasa selalu memiliki ciri
khas tersendiri yang membedakannya dengan dialek lain. Perbedaan yang menjadi ciri
khas tersebut meliputi aspek fonologis, morfologi dan sintaksis suatu bahasa yang didasari
oleh letak geografis suatu wilayah. Berangkat dari unsur ini yang nantinya akan menjadi
poin khusus saat melakukan analisis dialek. Ada beberapa unsur yang menjadi penyebab
utama perbedaan-perbedaan antar dialek dalam suatu bahasa tertentu, unsur-unsur tersebut
adalah:
1. Perbedaan yang mendasar dalam dialek Arab terdapat dalam pelafadzan beberapa huruf
konsonan, misalnya huruf kâf (‫)ك‬. Huruf kâf dalam pelafadzan yang tepat adalah huruf
yang berat, tetapi dalam beberapa bahasa dialek huruf ini dibaca dengan agak lembut
(‫ )الزخبوة‬menjadi tusy (‫)حش‬. Huruf lain adalah huruf qâf (‫)ق‬, tha (‫)ط‬, dhâd (‫)ض‬, dan jîm
(‫)ج‬. Ulama dahulu sangat memperhatikan huruf konsonan secara teliti dalam segi
makhârijal-huruf dan juga sifatnya dengan menjaga bacaannya melalui Al-Qur‟an.
Seiring dengan perkembangan zaman, mulai terdapat perbedaan bacaan yang
dikarenakan perbedaan geografis dan keadaan wilayah, sebagaimana terjadi pada
kalangan anak-anak di Irak yang cenderung mendekatkan hurufdhâd (‫ )ض‬dengan dzâd
(‫)ظ‬.
2. Selanjutnya adalah perbedaan dalam pelafadzan beberapa huruf vokal (vowels) yang
dikatakan oleh ulama sebagai harakah apabila dalam bentuk vokal pendek sedangkan
dalam vocal panjang disebut dengan huruf mad. Tetapi ulama nahwu modern cenderung
untuk menyatukan kedua bentuk vocal tersebut karena pada dasarnya perbedaan antara
fathah, dan alif al-mad hanya merupakan perbedaan secara kuantitas, sebagaimana
perbedaan antara kasrah dan ya al-mad. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya
perhatian terhadap masalah fonologi huruf vocal dalam bahasa Arab yang pada akhirnya
membawa dampak perbedaan dalam kalam dan nutq.
3. Perbedaan dalam letak nabr (accent/stress) dalam sebuah kalimat merupakan aspek yang
menyebabkan perbedaan dialek bahasa Arab. Hal ini merupakan fenomena fonetik yang
mampu membedakan proses artikulatoris dalam berbahasa pada negara-negara, bahkan
mampu membuat perbedaan yang sangat signifikan dalam lahjah suatu kaum hingga
dalam pelafadzan Al-Qur‟an. Seperti dalam pelafadzan kata (‫ ولمشة‬،‫ همشة‬،‫ مئمىت‬،‫)رقبت‬
(Anis, 2003: 24-29).

D. Perbedaan Bahasa Arab Fushah dan Amiyah


Pada masa pra Islam, sering diadakan pertemuan dan interaksi antar masyarakat Arab
dari berbagai kabilah melalui perjalanan, perdagangan, dan festival seni dan sastra, sehingga
melahirkan sebuah lingua franca, bahasa pergaulan bersama (al-lughat almusytarakah) yang
dijadikan medium komunikasi lintas kabilah. Berbagai karya sastra di jaman ini menggunakan
bahasa bersama itu sehingga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kualitas
sastrawan dan karyanya. Penilaian itu tentu akan sulit dilakukan jika masing-masing
menggunakan bahasa lokalnya. Oleh karena itu, terdapat juga bahasa „amiyah, untuk
mempermudah komunikasi kesehariannya.
1) Bahasa Arab Fushah
Bahasa Arab Fushah merupakan dialek Arab yang dianggap paling tinggi di
antara dialek-dialek Arab lainnya. Dialek Arab tersebut merupakan dialek Arab Quraisy
yang menjadi lingua franca bagi bangsa Arab. Dialek ini menjadi dialek persatuan bangsa
Arab, baik digunakan untuk bersastra maupun bahasa tulis lainnya. Dialek Arab Quraisy
dianggap sebagai dialek yang paling murni kefashihannya serta jelas pengucapannya
karena letak geografisnya yang jauh dari negara ajam (Taufiq, 2015, h. 80). Dialek Quraisy
dijadikan sebagai bahasa persatuan karena dianggap sebagai yang terpercaya dan paling
fasih diantara kabilah Arab lain serta paling sedikit terpengaruh negara non Arab. Oleh
sebab itu, dialek Kabilah Quraisy menjadi bahasa persatuan (al-lughah al-Musytarokah) di
Arab (Bahruddin, 2017: 165). Faktor-faktor dominasi dialek Arab Quraisy (Taufiq, 2015,
h. 80-81):
a. Faktor Agama
Ritual keagamaan agama Islam yang mengharuskan penganutnya mendatangi
Baitullah menjadikan orang-orang Quraisy yang ada di Makkah memiliki peranan
penting dalam ibadah haji, yaitu menjadi khadimul hajj (pelayan haji). Makkah
merupakan sebuah tanah yang disucikan. Sejak masa pra Islam, banyak orang yang
berdatangan ke kota ini untuk melakukan haji. Untuk menyatukan semua orang dari
negara yang berbeda-beda agar bisa saling berinteraksi satu sama lain maka dibutuhkan
sebuah bahasa persatuan. Selain itu, dialek Quraisy menjadi lebih kuat dengan hadirnya
kitab suci Alquran yang menggunakan dialek Quraisy.
b. Faktor Ekonomi
Kemajuan ekonomi kaum Quraisy di pasar-pasar Makkah memiliki posisi
penting di antara kabilah-kabilah Arab lainnya. Penduduk Makkah dikenal sebagai
pedagang sehingga tak jarang mereka berpindah ke tempat-tempat yang berbeda dan
berpindah dari satu daerah ke daerah lain. untuk berpindah dari satu daerah ke daerah
lain maka dibutuhkan sebuah bahasa persatuan yang bisa dipahami kedua belah pihak.
c. Faktor Budaya
Perkumpulan para pendatang, baik pedagang, penyair, dan penceramah yang
mengadakan pertunjukkan sastra dan budaya di Makkah menjadikan dialek Quraisy
sebagai standar kesusastraan Arab saat itu.
d. Faktor Politik dan Geografis
Makkah yang merupakan tempat tinggal para penduduk suku Quraisy
merupakan daerah yang paling jauh dari pengaruh politik Romawi dan Persia di antara
daerah-daerah suku Arab lainnya. Oleh karena posisinya yang tidak bersentuhan dengan
dunia luar, dialek Quraisy merupakan dialek yang murni dan tidak terpengaruh oleh
budaya lain. Tidak hanya itu, suku Quraisy adalah pemegang tampu kekuasaan tertinggi
di Makkah di atas para kabilah-kabilah lain.
e. Faktor Kekayaan Bahasa
Salah satu bahasa dengan kekayaan kosakata adalah dialek Quraisy. Oleh
karena itu, dialek ini lebih sering digunakan karena pengguna bahasa menjadi lebih
leluasa dalam memilih diksi untuk mengekspresikan isi hati dan pikiran mereka.
Pandangan Orientalis mengenai asal-usul Bahasa Arab Fushah, diantaranya :
1. Noldeke berpendapat bahwa bahasa Fushah terdiri dari beberapa dialek-dialek pokok di
semananjung Arab seperti Hijaz, Najed, Iqlim al-Farrat. Karena perbedaan diantara
dialek-dialek tersebut sedikit. Guidi dalam pandangannya menganggap bahwa bahasa
Fushah bukanlah sesuatu yang dimiliki satu kabilah tertentu, melainkan kompilasi
(gabungan) dari dialek-dialek Najed dan sekitarnya.
2. Naillino berpendapat bahwa bahasa fushah lahir atau muncul dari salah satu dialek
Najed dan berkembang di masa kerajaan Kindah, kemudian menjadi bahasa sastra yang
dominan di Arab.
3. Vollers berpendapat bahwa bahasa fushah merupakan dialek bahasa Arab Najed dan
Yamamah, para penyair lah yang memberikan banyak perubahan padanya. Vollers juga
berpendapat bahwa negara-negara Arab menggunakan bahasa yang berbeda-beda.
4. Sebagian yang lain mengatakan bahwa bahasa fushah tidak termasuk bahasa ungkapan
melainkan bahasa seni yang berdiri diatas dialek, seperti pendapat Brockelmann dan
Marcais.
Intinya, bahwasanya pendapat yang paling tepat dari segi sejarah dan kebahasaan
adalah yang mengatakan bahwa bahasa fushah muncul pada kabilah Quraisy karena faktor-
faktor keagamaan, ekonomi, politik, dan kesusastraan (Bahruddin, 2017: 176).
2) Bahasa Arab Amiyyah
Bahasa Arab Amiyyah adalah bahasa yang digunakan dalam percakapan sehari-hari
(non formal) (Taufiq, 2015, h. 84). Bahasa Amiyyah juga merupakan bahasa yang dapat
berdiri sendiri selama memenuhi unsur-unsur bahasa berupa sistem fonetik, fonologi,
morfologi, sintaksis, semantik, serta pembentuk dialek lainnya. Bahasa Amiyyah adalah
dialek Arab yang muncul akibat adanya lahn (kesalahan) serta pengaruh dari dialek yang
tidak mengikuti standar yang telah ditetapkan (Bahruddin, 2009, h. 177).
Bahasa „amiyah ini, menurut kalangan linguis modern, dikenal dengan sejumlah
nama, semisal; al-lughat al- „amiyah, al-syakl al-lughawi al-da:rij, al-lahjat al-sya'i'ah, al-
lughat al- mahkiyah, al-lahjat al-Arabiyah al-‟amiyah, al-lahjat al-da:rijah, al-lahjat al-
‟amiyah, al-Arabiyah al-‟amiyah, al-lughat al-da:rijah, al-kala:m al-da:rij, al-kalam al-ami,
dan lughat al-sya'b (Ya'kub, 1982:144-145).
Di zaman pra-Islam, masyarakat Arab mengenal stratifikasi kefasihan bahasa.
Kabilah yang dianggap paling fasih di banding yang lain adalah Quraisy yang dikenal
sebagai surat al-Arab (pusatnya masyarakat Arab). Kefasihan berbahasa itu terus
terpelihara hingga meluasnya ekspansi Islam ke luar jazirah dan masyarakat Arab mulai
berinteraksi dengan masyarakat bangsa lain. Dalam proses interaksi dan berbagai transaksi
sosial lainnya itu terjadi kepengaruhan antar bahasa. Masyarakat `ajam belajar berbahasa
Arab, dan masyarakat Arab mulai mengenal bahasa mereka.
Pertukaran pengetahuan diantara mereka juga berpengaruh pada pertambahan
khazanah bahasa Arab khususnya menyangkut hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui
masyarakat Arab ketika hidup terisolasi dari bangsa lain. Masyarakat non-Arab juga kerap
melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa Arab. Fenomena ini kemudian makin
meluas melalui transaksitransaksi sosial, misalnya dalam aktivitas ekonomi di pasar-pasar
terutama sejak abad ke-5 H. (Al-Rafi'i, 1974:244-245).
Fenomena penyimpangan bahasa (lahn) adalah cikal bakal lahirnya bahasa
„amiyah, bahkan ia disebut sebagai bahasa „amiyah yang pertama. Berbeda dengan dialek-
dialek bahasa Arab yang digunakan di sejumlah tempat lokal, bahasa „amiyah dianggap
sebagai suatu bentuk perluasan bahasa yang tidak alami (Al-Rafi'i, 1974:234).
Bahasa Arab „amiyah adalah bahasa yang "menyalahi" kaidah-kaidah orisinil
bahasa fushah. Dengan kata lain, bahasa „amiyah adalah "bahasa dalam penyimpangan"
(lughat fi: al-lahn) setelah sebelumnya merupakan fenomena penyimpangan dalam
(sebuah) bahasa (lahn fi: al-Lughat) (Al- Rafi'i, 1974:234). Secara perlahan bahasa
„amiyah terus berkembang hingga menjelma sebagai bahasa yang otonom dengan kaidah-
kaidah dan ciri-cirinya sendiri.
Berikut ini merupakan perbedaan antara dialek Arab Fushah dan Amiyyah
(Bahruddin, 2009, h. 167-168) :
1. Dialek Fushah digunakan untuk kegiatan formal dan forum resmi, sedangkan dialek
Amiyyah digunakan sebagai bahasa percakapan sehari-hari.
2. Dialek Fushah merupakan bahasa Arab yang ditetapkan sebagai standar, sedangkan
dialek Amiyah mulanya lahir sebagai dialek yang keluar dari standarisasi tersebut.
3. Dialek Fushah berpegang teguh pada struktur dan kaidah nahwu, sedangkan dialek
Amiyah dapat berdiri sendiri (keluar dari kaidah) selama memenuhi unsur-unsur dialek
(bunyi, kata, kalimat, dan makna).
4. Dialek Fushah merupakan dialek persatuan, sedangkan dialek Amiyah merupakan
dialek yang dialek yang bervariasi setiap daerahnya.
5. Dialek Fushah lebih mudah dipelajari karena pelafalannya yang lebih jelas daripada
dialek Amiyah.
6. Dialek Amiyah cenderung lebih efisien dan singkat daripada dialek Fushah.

E. Fenomena Kebahasaan Yang Disebabkan Adanya Dialek


a. Kemerdekaan
Kondisi goegrafis dan sosial bangsa Arab pada masa jahiliyah ikut menentukan
bagaimana bahasa mereka berkembang. Bangsa Arab menempati wilayah sepanjang
Jazirah Arab, sebuah daerah yang sangat luas, yang terletak di sebelah barat daya benua
Asia. Daerah ini terbagi menjadi dua: utara dan selatan (Mu'izuddin, 2007: 3).
Dalam aspek sosial, terclapat kelompok-kelompok dalam masyarakat Arab, yang
kemudian disebut kabilah yang terbentuk dari garis keturunan ayah. Setiap kabilah
memiliki norma hidup dan adat istiadat, yang kuat fanatisme kesukuannya. Keadaan yang
demikian menggambarkan bahwa setiap kabilah memiliki identitas masing-
masing,termasuk didalamnya (Mu'izuddin, 2007: 3).
Kebutuhan sosial antar kabilah menyebabkan terjadinya hubungan sosial antara
mereka. Pada tahap selanjutnya terjadilah asimilasi, yang berimbas juga pada
perkembangan dialek bahasa. Eksistensi Ka'bah di Mekah dijadikan pasar dan tempat
pertemuan-pertemuan kebudayaan; seperti lomba-lomba puisi dan kegiatan sastra lainnya,
menjadikan kota ini sebagai pusat pertemuan kabzlah-kabilah. Kabilah-kabilah tersebut
bertemu dengan membawa dialek mereka masing-masing. Sehingga munculah kebutuhan
akan adanya satu bahasa yang dapat menyatukan mereka, yang kemudian mereka jadikan
sebagai bahasa sastra. Bahasa tersebut adalah bahasa yang sengaja dipilih karena memilki
keistimewaan dibandingkan dengan dialek-dialek lainnya (Mu'izuddin, 2007: 3).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa adanya kesatuan bahasa sudah dimulai
sebelum kedatangan Islam. Bahasa tersebut terns mengalami perkembangan dan kemajuan
namun hanya terbatas pada kalangan tertentu, yaitu elite sosial dan para budayawan yang
sering menghadiri pertemuan-pertemuan budaya, tetapi tidak pada masyarakat biasa
(Mu'izuddin, 2007: 3).
Setelah kedatangan Islam, yang kitab sucinya, al-Qur'an menggunakan bahasa
Arab, maka semakin kuat kecenclerungan kesatuan bahasa. Karena eksistensi al-Qur'an
sebagai pedoman hidup harus dipelajari oleh seluruh umat Islam, maka keharusan untuk
memahami terhadap bahasa sastra, yang dianggap sebagai bahasa pemersatu, tidak hanya
terbatas pada kalangan elite saja, tetapi juga pada seluruh lapisan masyarakat Arab ketika
itu (Mu'izuddin, 2007: 3).
b. Pembelajaran Dialek (Dialektologi)
Diantara fenomena kebahasaan yang muncul disebabkan adanya dialek adalah
adanya pembelajaran atau ilmu khusus mengenai dialek yang lebih sering dikenal dengan
dialektologi.
Dialektologi adalah cabang linguistik yang mempelajari variasi-variasi bahasa
dengan memperlakukannya dengan struktur yang utuh (Kridalaksana, 2001: 42). Keraf
dalam bukunya menjelaskan bahwasanya Cabang ilmu bahasa yang khusus mempelajari
variasi-variasi bahasa dalam semua aspeknya disebut dialektologi (Keraf, 1984 :143).
Meskipun dialektologi baru benar-benar memperoleh perhatian dari para ahli
bahasa menjelang akhir abad ke-19, lama sebelum-nya telah banyak dilakukan penulisan
tentang hal-hal yang bertalian dengan masalah itu. Penelitian yang dilakukan oleh Gustav
Wenker pada tahun 1876 dengan mengirimkan daftar pertanyaan (kuisioner) kepada para
guru di daerah Reniff (Jerman), dan oleh Jules Louis Gillieron pada tahun 1880 di daerah
Vionnaz (Swis) dengan metode pupuan (angket) lapangan untuk pembuatan atlas bahasa,
membuka babak baru di dalam penelitian dialektologi (Ayatrohaedi, 1979 : 14 - 19).
Dalam sejarah perkembangannya, dialektologi terbagi menjadi beberapa periode,
sebelum dan sesudah kedua orang tersebut melakukan penelitian. Adapun pembagian
periodenya sebagai berikut (Ayaterohaedi, 1979 : 15):
1. Masa Sebelum 1875
Pada masa sebelum tahun 1875, tulisan-tulisan mengenai dialek boleh
dikatakan hampir selalu dikaitkan dengan tulisan dalam bi-dang ilmu bahasa bandingan
dan filologi, terutama bahasa-bahasa Indo-Eropa. Tulisan-tulisan tersebut pada
umumnya membanding-bandingkan suatu bahasa atau dialek tertentu dengan bahasa
lain, dan hampir selalu diakhiri dengan kesimpulan atau dugaan bahwa bahasa atau
dialek yang mereka telah itu berkerabat.
2. Masa Sesudah 1875
1) Aliran Jerman.
Pada tahun 1876, seorang filsuf Jerman bernama Gustav Wen-ker
mengirimkan daftar tanyaait yang berisi 40 kalimat sederhana kepada para guru
sekolah di daerah Renia. Pertanyaan itu dibuatnya di dalam bahasa sastra Jerman
dengan permintaan agar diterjemah-kan ke dalain dialek setempat. Tujuannya ialah
untuk mengumpul-kan bahan-bahan yang bertalian dengan wujud fonetik bahasa rak-
yat daerah Renia secara sistematik, dan memperlihatkan hasilnya di dalam peta.
Jawaban yang masuk kemudian dipetakan, dan di-muat di dalam karyanya Das
rheinischen Platt.
2) Aliran Perancis
Pada tahun 1880, seorang kelahiran Swis bemama Jules Louis Gillieron
melakukan penelitian lapangan di daerah Vionnaz (Swis). Hasilnya, yang terbit pada
tahun itu juga, yang berjudul Patois de la commune de Vionnaz (Bas-Valais) (Paris,
1880), kemudian dijadi-kan landasan 'untuk melakukan penelitian di daerah yang
lebih luas. Sasaran utama penelitiannya ketika itu ialah gejala~gejala fonetik, yang
diterbitkan dengan judul Petit atlas phonetique du V alais roman (sud du RhOne)
(Paris, 1880), yang antara lain memuat 30 buah peta (183).
Untuk penelitiannya tersebut, Gillieron memilih kira-kira 200 patah kata,
yang menun.it hematnya memadai untuk menentukan kaidah fonetik, di antaranya
kata-kata yang amat umum dikenal dan kata.kata yang hanya dikenal di daerah itu
saja. Pengumpulan ba-hannya dilakukannya sendiri di 43 buah tempat, yang boleh
dikata~ kan meliputi seluruh daerah Valais (184), sedangkan mengenai para
pembahannya ia tidak rhem.berikan keterangan apa-apa (186).

F. Problematika Bahasa Arab Fushah dan ‘Amiyah


Sebagaimana yang telah kita bahas bahwasanya berbagai dialek itu secara umum
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu al-Arabiyat al-baidah (bahasa Arab yang telah
punah) dan al Arabiyat al-baqiyah (bahasa Arab yang masih lestari). Al-Arabiyat al-baidah
mencakup dialek-dialek bahasa Arab bagian utara Jazirah Arab dan sebagian dialek selatan.
Sedangkan al- Arabiyat al-baqiyah adalah dialek yang dipergunakan dalam qashidah (bahasa
puisi) jaman jahiliah atau pra-Islam, bahasa yang dipergunakan di dalam Al-Qur'an, dan
bahasa Arab yang dikenal sampai hari ini (Tohe, 2005, h. 200).
Keberagaman dialek (lahn) ini tentunya menciptakan beberapa problematika, di
antaranya yaitu:
1. Bahasa al Qur‟an yang dijadikan sebagai bahasa baku. Lambat laun muncul asumsi bahwa
Bahasa yang baik adalah bahasa Al-Qur'an, dan yang berbeda darinya dianggap sebagai
kelas dua, atau bahkan menyimpang (Kholisin, 2003, h. 4).
2. Munculnya lahn (penyimpangan I‟rob) karena masyarakat yang berasal dari kabilah selain
Quraisy tidak seluruhnya memiliki kesiapan dan kemampuan menggunakan bahasa Al-
Qur'an secara baik dan benar. Akibatnya, terjadi sejumlah kesalahan dan fenomena
penyimpangan bahasa ketika masyarakat mulai menggunakan bahasa Arab fushah
(Kholisin, 2003, h. 4).
3. Penaklukan wilayah di luar jazirah Arab, menyebabkan praktik lahn semakin tak
terbendung. Kompleksnya ketika masyarakat Arab mulai mencampuradukkan bahasa
mereka dengan apa yang didengar dari bahasa orang-orang yang terarabkan
(muta'arrabin) di negeri-negeri taklukan (Tohe, 2005, h. 203).
4. Berkembangnya ilmu nahwu sebagai tindakan keprihatianan mendalam terhadap gejala
lahn. Bukti keseriusan kalangan atas dan bangsawannya dalam menjaga dan memelihara
orisinalitas bahasa Arab. Bagi mereka penyimpangan dan kesalahan berbahasa itu adalah
aib (Kholisisn, 2004, h. 6).
5. Interaksi dengan bangsa-bangsa ajam (non-Arab), telah menyebabkan banyak
digunakannya kosakata asing (al-dakhil) dalam Bahasa Arab yang pada gilirannya
berpengaruh pada penggunaan bahasa masyarakat terutama yang tinggal di perkotaan.
Pertukaran pengetahuan antarmereka juga berpengaruh pada pertambahan khazanah bahasa
Arab khususnya menyangkut hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui masyarakat Arab
ketika hidup terisolasi dari bangsa lain. Secara perlahan tapi pasti bahasa „amiyah terus
berkembang hingga menjelma sebagai bahasa yang otonom dengan kaidah-kaidah dan ciri-
cirinya sendiri (Tohe, 2005, h. 207).
Diglosia antara bahasa fushah dan „amiyah, terutama di dalam masyarakat Arab
mempunyai sejumlah dampak negatif. Menurut Anis Farihah dampak negatif itu telah
merambah ke berbagai bidang, antara lain pemikiran, pendidikan, kepribadian, moral, dan
kegiatan sastra dan seni (Farihah, 1955: h. 134).
Dalam bidang pemikiran, pengaruh buruk diglosia itu tampak pada perhatian yang
lebih pada bahasa sebagai media ekspresi ketimbang isi/substansi pemikiran ketika seseorang
menuliskan gagasan-gagasannya. Waktu mereka banyak tersita "hanya" untuk memikirkan
kesahihan (gramatikal) tulisan dan kesesuaiannya dengan aturan-aturan bahasa fushah yang
berlaku. Perhatian mereka lebih tercurahkan pada syakl (bentuk formal) bahasa dibanding al-
makna (substansi) (Farihah, 1955, h. 135-142).
Dalam bidang pendidikan, pengaruh diglosia terlihat pada lama waktu yang
dibutuhkan seorang anak Arab dalam mempelajari bahasa Arab fushah dibanding anak
berkebangsaan lain dalam mempelajari bahasanya. Keengganan orang untuk membaca,
rumitnya pola-pola bahasa, perbedaan arab fushah dan „amiyah, khususnya tingkat kerumitan
bahasa fushah dan fleksibilitas „amiyah. Secara umum, masyarakat menganggap bahasa
fushah tidak luwes dan kurang bersahabat dengan anak-anak (Farihah, 1955, h. 143-153).
Dalam bidang moral, diglosia telah mempengaruhi cara orang berperilaku dan
bersikap. Dialosia telah melahirkan semacam kepribadian yang pecah (split personality) dan
perasaan bersalah. Dalam suasana resmi, masyarakat Arab menggunakan bahasa fushah,
sedang dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan bahasa „amiyah yang selalu dicap
dan diberi konotasi buruk (Farihah, 1955, h. 159-163).
Dalam bidang al funun al jamilah, khususnya drama/teater, diglosia telah dijadikan
kambing hitam keringnya kesenian dan kesusasteraan. Tetapi di sisi lain, sebagian seniman
dan sastrawan menganggap bahasa fushah kurang ekpresif dan responsif. Para pekerja seni
berada dalam sebuah dilema. Di satu sisi, melalui karyanya, mereka dituntut menampilkan
realitas kehidupan yang aktual dengan menggunakan bahasa fushah. Tetapi di lain sisi,
mereka dihantui kengerian akan cercaan yang bakal diperolehnya jika menggunakan bahasa
„amiyah (Farihah, 1955, h. 166).
Antara bahasa Arab „amiyah dan fushah, kategori-kategori linguistik yang ada di
dalamnya memang terlihat berbeda baik dari aspek fonem, morfem atau sintaksis. Karena
adanya perbedaan ini, muncul dua persoalan yang saling bertolak belakang; satu pihak ingin
agar bahasa fushah dipakai dalam komunikasi sehari-hari, sementara pihak lain ingin agar
dalam komunikasi tidak dibatasi dengan aturan-aturan yang mengikat seperti yang terdapat
dalam bahasa fushah.
Banyak asumsi para ahli yang mengatakan bahwa perbedaan ragam bahasa arab telah
terjadi sejak zaman jahiliyah. Banyak jumlah kabilah dengan setiap ragam bahasa Arab yang
berbeda, terutama kabilah yang terdapat di bagian tengah dan timur jazirah Arab yang
disebabkan oleh adanya pengaruh dari perdagangan maupun ibadah haji.
Pilihan bahasa Arab sebagai bahasa tulis antara norma standar atau bahasa sehari-
hari tampaknya relatif tidak rumit. Standar bahasa Arab selalu digunakan, tetapi masalah
tentang pilihan mungkin muncul. Satu komplikasi berasal dari fakta bahwa banyak orang
hanya memiliki pengetahuan terbatas tentang norma standar. Untuk orang-orang ini, standar
arab tetap menjadi target, tetapi dalam menulisnya mereka membuat banyak kesalahan.
Bahkan komplikasi yang lebih rumit muncul ketika adanya alasan ideologis atau sastra yang
dibuat oleh penulis memutuskan untuk menulis tulisan sastra mereka dalam versi bahasa
sehari-hari. Bahkan para penulis ini biasanya mencampur bahasa sehari-hari mereka dengan
elemen dari bahasa standar (Kees Versteegh : 1997).
Adapun dualisme bahasa atau perbedaan dialek ini terjadi setelah bahasa „amiyah itu
sendiri yakni pasca perkembangan pertama Islam. Hal ini ditandai dengan adanya
percampuran bahasa antara orang Arab asli dan orang Non Arab („ajam). Akan tetapi,
fenomena dualisme bahasa ini tidak terjadi pada bangsa Arab, melainkan pada masyarakat –
masyarakat bangsa lain yang jumlahnya mulai meningkat.
Adanya dualisme bahasa ini mungkin saja terjadi karena adanya kreatifitas manusia.
Namun, hal ini bisa menyebabkan kesulitan besar bagi pelajar, karena mereka merasa tidak
nyaman apabila dalam keseharian mereka menggunakan bahasa arab fushah sedangkan saat di
sekolah mereka harus berhadapan dengan bacaan yang menggunakan bahasa fushah, yang
mana bahasa fushah menuntut adanya waktu yang panjang untuk mempelajarinya. Dengan ini
dualisme bahasa bisa menjadi salah satu penyebab adanya kebodohan dan ketertinggalan.
Berkaitan dengan hal ini terdapat beberapa keberatan terhadap masalah fushah dan
„amiyah yang dapat dirangkum dalam lima hal sebagaimana disebutkan oleh Muhammad
Noupal dalam Bahasa Arab „amiyah dan Fushah Suatu Narasi Deskriptif:
1. Bahasa„amiyah itu dimasukkan saja ke dalam bahasa fushah. Untuk itu kita harus dapat
melakukan berbagai cara agar masyarakat dapat berbahasa Arab fushah dalam semua
bidang kehidupan mereka. Bahasa fushah dengan demikian dapat menjadi bahasa yang
sifatnya alamiah; yang telah berlaku dari zaman dulu sampai sekarang. Dengan demikian,
seorang murid tidak akan memerlukan waktu yang lama untuk mempelajarinya. Hal ini
nantinya akan sangat bermanfaat ketika mereka mempelajari ilmu pengetahuan dan
persoalan-persoalan sosial.
2. Bahasa fushah dan „„amiyah itu dihilangkan saja dan diganti dengan bahasa asing yang
lebih aktual, baik dari segi ilmu, budaya atau ekonomi. Mereka ini berpendapat bahwa
bahasa fushah itu hanya akan membawa kepada kehancuran.
3. Pendapat yang mengarah pada penyatuan antara fushah dan „„amiyah dapat dilakukan
dengan cara mengambil semua aspek-aspek yang ada pada dua bahasa tersebut.
4. Istilah yang mengacu pada bahasa Arab yang resmi dan universal (al-lughat al-Arabiyah
al-muhakkiyah al-musytarakah), atau bahasa akademisi seluruh negeri Arab (al-lughat al-
mutaaddibin fi jami‟ al-aqthar al-Arabiyah), atau bahasa budayawan Arab (lughat mutsqifi
al- Arab). Istilah-istilah tersebut diartikan sebagai bahasa Arab yang sama digunakan oleh
seluruh masyarakat Arab sebagai akibat dari proses budaya, sosial dan politik selama 30
tahun terakhir. Bahasa ini juga dikenal dengan nama bahasa Arab resmi yang dipakai oleh
seluruh masyarakat Mesir, Irak, Syria, Lebanon, Palestina dan sebagainya. Bahasa inilah
yang sering digunakan dalam berbagai kegiatan masyarakat, seperti di sekolah, surat kabar,
radio, olahraga, perdagangan, pertemuan politik dan hubungan sosial. Dalam pendapat
kelompok ini, bahasa merupakan mata rantai yang kuat yang dapat menjadikan bangsa
Arab menjadi bangsa yang berbudaya. Salah satu ciri penting dalam bahasa ini adalah
pemakaian i‟rab, norma yang umum dan bersandar pada bahasa fushah yang jelas.
5. Pendapat terakhir yang menginginkan bahasa „„amiyah dapat dipakai dalam bahasa ilmiyah
dan sastra. Pada aspek-aspek yang berbeda, bahasa fushah juga boleh digunakan. Asumsi
yang timbul dari pengaruh pendapat ini adalah adanya kecenderungan masyarakat untuk
melakukan apa yang bisa mereka lakukan; dan karena itu banyak yang mendukung
pendapat ini (Muhammad Noupal : 2011).

G. Contoh- contoh perbedaan dialek fushah dan ‘amiyah


Alat-alat suara yang dimiliki oleh setiap manusia terus berkembang secara bertahap.
Dengan adanya perkembangan tersebut juga menimbulkan perubahan dalam sistem bunyi dari
satu bentuk ke bentuk yang lainnya. Di samping itu, dengan adanya perluasan wilayah arab
yang juga membawa pengaruh bahasa, maka amatlah mustahil apabila bahasa arab tetap
membeku, atau seperti pada keadaan pertamanya.
Seiring dengan banyaknya perpindahan kabilah dari satu wilayah ke wilayah lain
tentunya membawa pengaruh bahasa yang berbeda-beda, karena disetiap wilayah juga
memiliki cara sendiri-sendiri dalam melafalkan sebuah kata. Karena adanya ciri khas tersebut
akhirnya menimbulkan perubahan bunyi dari satu bunyi ke bunyi yang berdekatan
makhrajnya.
Contoh : bunyi (‫ )ج‬yang dalam bahasa arab fushah di ucap dengan sedikit, berubah
menjadi bunyi (G) yang kering, sedangkan di Syria menjadi benar-benar basah (J). Bunyi (‫)د‬
berubah menjadi di sebagian daerah daerah Mesir dan di beberapa negara lain. Mereka

mengucapkan ،‫توب‬ ، ‫متانية‬ menggantikan ‫ عثر‬، ‫ كثري‬،‫ ثوب‬،‫مثانية‬ karena beratnya pengucapan

(‫)د‬.

Bunyi (‫ )ق‬berubah menjadi bunyi (‫ )مهزة‬dalam sebagian dialek-dialek Mesir, AlJazair

dan Syria. Seperti Pengucapan ‫ أط‬،‫ ألت‬،‫ألب‬ menggantikan ‫قط‬،‫ قلت‬،‫قلب‬. Atau berubah

menjadi bunyi (G) dalam dialek Mesir dan sejumlah dialek arab lainnya, seperti pada kata ،‫نطق‬
‫ قطن‬،‫ قلت‬،‫عقد‬ yang dibaca Nuthgun, Agdun, Gultu, Goththu dalam dialek bahasa „amiyah.

(A. Fuad Effendy, dkk : 1977).


Berikut beberapa contoh perbedaan pengucapan dari bahasa fushah ke bahasa
„amiyah didalam kalimat.
Dalam bahasa fushah diucapkan :

ََ‫َوكَذَالَك‬،
َ ََ‫َولَحَظَتََأَنََالَمَطَعَمََغَيَرََنَظَيَف‬،
َ َ‫اوَلنَاَالَعَشَاءََخَ َارجََالَبَيَتََيَ َومََالَحَدََاَلَاضَي‬
َ َ‫تَن‬

َ‫َوعَمَالَه‬
Dalam dialek Mesir di ucapkan dengan :

.‫َرحَنَاَاتَعَشَيَنَاَبََراَالَبَيَتََيَ َومََاَلَحَدََالَليََفَاتََ َواَخَدَتََبَلََأَنََاَلَطَعَمََمَشََنَضَيفََ َوعَمَالَهََبََرضَ َوا‬

َ‫اَتَعَشَيَنَاَبََراََالَبَيَتََيَ َومََاَلَدََالَليََفَاتََلَحَظَتََاَنََاَلَطَعَمََمَشََنَضَيفََ َواَلعَمَالََكَمَان‬


Dalam dialek Syiria di ucapkan dengan :

َ‫َاكَلَنَاَاَلعَشَاَبََراَالَبَيَتََيَ َومََالَمَعَةََاَلَطَعَمََكَانََ َوسَخَََوكَمَانََالَعَمَال‬


Bahasa merupakan medium komunikasi universal yang mana setiap komunitas
negara memiliki karakter bahasa masing- masing, walaupun pada dasarnya mereka tetap
berpedoman pada satu kaidah bahasa. Dan berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan
bahwa sejak jaman jahiliah atau pra-Islam masyarakat sudah memiliki bermacam-macam
ragam bahasa akibat perbedaan tempat tinggal dan kebutuhan sosial-budaya masing - masing
kabilah. Namun dengan perbedaan perbedaan baik dalam segi alat pengucapan, wilayah,
maupun kebiasaan tersebut melahirkan suatu fenomena diglosia dalam bahasa yang mana hal
ini juga terjadi dalam bahasa Arab. Dengan begitu, muncul banyak ragam bahasa yang juga
membawa banyak permasalahan. Jika apa yang digunakan dalam keseharian seorang siswa
berbeda dengan apa yang dia gunakan dalam proses belajarnya disekolah, hal ini bisa menjadi
ketertinggalan bagi siswa yang sedang belajar.
Daftar Pustaka

Adisumarto, Mukidi. 1992. “Geografi Dialek Bahasa Banyumas” dalam: Kesenian, Bahasa dan
Faktor Jawa. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Al-Rafi'i, M. S. 1974. Tarikh Adab al-Arab. Juz 1. Beirut: Dar al-Kitab al- Arabi.
Anis, Ibrahim. 2003. Fi al-Lahajat al-Arabiyah. Mesir: Maktabah al-Anglo al-Mishri.
Ar-Rajihi, A. 1979. Fiqh al-Lughah fi-l Kutub al-Arabiyah. Beirut: Dar al- Nahdhah.
Ayaterohaedi, 1974. Dialektologi : Sebuah Pengantar. Jakarta : Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bahruddin, Uril. 2009. Fiqh al-Lughah al-Arabiyah. Malang: UIN Malang Press.
Chaer, Abdul, dan Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta.
Farihah, A. 1955. Nahwu Arabiyah Muyassarah. Beirut: Dar al-Tsaqafah.
Faris, I. 1963. Fiqh al-Lughat wa Sunan al-Arab fi: Kala:miha. Beirut: Muassasah Badran.
Husain, T. 1952. Fi-1 Adab al-Jahili. Mesir: Dar al-Ma'arif.
Ibnu Manzur, Jamaluddin. 1990. “Lisan al-Araby. Beirut: Dar al-Fikr.
Ismail. 2003. Model-model Pembelajaran, Jakarta. Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.
Kaelan. 2009. Filsafat Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Yogyakarta. Paradigma.
Keraf, gorrys. 1979. Komposisi. Jakarta: Nusa Indah.
Kholisin. 2003. Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu. Jurnal Bahasa dan Seni, vol. 33, No. 1,
Februari 2003.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ma‟luf, Louis. 2002. Al-Munjid Fi al-Lughah wa al-„Alam. Beirut: Dar al-Masyriq.
Mu‟izuddin, M. 2007. “Kontribusi Dialek Quraisy dan Dialek Tamim Terhadap Bahasa Arab
Fushah” dalam Jurnal Al Qolam, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Vol. 24
No. 2 Tahun 2007.
Taufiq, Wildan. 2015. Fiqih Lughah (Pengantar Linguistik Arab): Ulasan Komprehensif dan
Objektiif. Bandung: CV. Nuansa Aulia.
Suaidi. 2008. “Dialek-dialek Bahasa Arab” dalam Jurnal Adabiyyat, Vol. 7, No. 1 Tahun 2008.
Tohe, Achmad. 2005. “Bahasa Arab Fushah dan „Amiyah Serta Problematikannya” dalam Jurnal
Bahasa dan Seni, Vol. 33, No. 2, Agustus 2005.
Ya'kub, Emil Badi'. 1982. Fiqh al-Lughat al-Arabiyah wa Khasha:isuha. Beirut: Dar al-Tsaqafah
al-Islamiyah.
Zulaeha, Ida. 2010. Dialektologi: Dialek Geografi dan Dialek Sosial. Yogyakarta: Graha Ilmu.

.‫ وكبلت المطبىعبث‬.‫ الكىيج‬.‫ علم اللغة العربية‬.3791 .‫محمىد فهمي حجبسي‬

Anda mungkin juga menyukai