Anda di halaman 1dari 6

Dialek Bani Tamim

1. Suku Tamim
Sekurang-kurangnya ada dua tingkatan dalam kehidupan sosial masyarakat Arab.
Yang pertama adalah masyarakat yang memiliki peradaban, potensi, kemampuan material,
dan sastra yang tinggi. Mereka bertempat tinggal di kota-kota besar seperti Makkah,
Yastrib / Madinah, kota-kota yang berada di Yaman, Syam,Irak yang dekat dan bercampur
dengan bangsa-bangsa Persia dan Romawi. Qobilah yang masuk dalam tingkatan ini adalah
qobilah-qobilah yang menetap di bagian utara dan barat Jazirah Arab seperti Quraisy,
Hudzail, Tsaqif, Aus, dan Khadraj.
Kedua yaitu qobilah yang kehidupannya berpindah-pindah atau nomaden dan
memiliki sedikit peradaban. Mereka berpindah-pindah dalam mencari tempat tinggal dan
rasa aman. Tingkatan ini terdapat di bagian timur dan tengah Jazirah Arab seperti Tamim,
Qais, dan Asad (Fatihah, 2018, h.110-111).
Memiliki tingkatan kedua dalam kehidupan sosial masyarakat Arab, suku Tamim
mempunyai komunitas yang besar yang tersebar di Jazirah Arab. Maka dari itu suku Tamim
tidak dapat diremehkan dan dipandang sebelah mata.
Disebutkan dalam buku yang berjudul Fiqh al-Lughoh wa Masailuhu karangan
Muhammad As’ad al Nadiri bahwa Bani Tamim merupakan qabilah besar dari Adnaniyyah
yakni nasabnya bersambung sampai Adnan. Adapun nenek moyang mereka adalah Tamim
bin Murrah bin Add bin Thabikhah bin Ilyas bin Mudharr bin Nazar bin Mu’id bin Adnan
(Fatihah, 2018, h.112).
Secara umum kebanyakan orang sepakat bahwa dialek quraisylah yang menjadi
acuan untuk bahasa formal. Namun, ada sekelompok kecil orang yang berpendapat jika
dialek Tamim yang merupakan acuan bagi bahasa formal.Seperti yang diungkapkan oleh
subhi shalih bahwasannya dalam literatur-literatur masa lalu dan dan kamus-kamus
bahasa selalu menunjukkan bahwa dialek bani Tamim lebih kuat secara qiyas
dibandingkan dengan dialek quraisy.Bahkan sebagian besar penelitian menunjukkan
bahwa kosakata dan susunan kalimat dialek bani Tamim sering digunakan para penggguna
bahasa Arab (Mu’izzudin, 2018, h. 271).
Dari hal tersebut penulis menyimpulkan bahwa dikarenakan bani Tamim
merupakan qabilah yang besar dan tersebar di wilayah jazirah Arabia tidak menutup
kemungkinan jika dialek Tamim juga ikut andil sebagai acuan bahasa formal bagi sebagian
orang, hal ini membuktikan juga bahwa walaupun bani Tamim termasuk dalam tingkatan
kedua dalam kehidupan sosialnya namun dialeknya tidak dapat di pandang sebelah mata
dan diremehkan.
2. Dialek Bani Tamim dan Pandangan Para Ahli.
Dialek Tamim termasuk dalam bagian bahasa Arab al-Baqiyah yaitu bahasa Arab
yang masih dikenal dan digunakan hingga saat ini, baik dalam bentuk tulisan, karangan,
ataupun sastra. Berbanding terbalik dengan bahasa Arab al-Baidah yang merupakan
bahasa Arab yang digunakan dulu namun tidak digunakan lagi saat ini (Fatihah, 2018,
h.111).
Dialek bani Tamim terdapat pada wilayah Arab bagian utara. Sedangkan di bagian
selatan dipenuhioleh dialek Hadramiyah, Qatbaniyah, Habasyiyah. Dialek ini masuk pada
rumpun bahasa Samiyah (Semit) bagian barat. Bahasa semit terbagi dalam dua bagian yaitu
timur dan barat. Semit bagian timur meliputi bahasa Babiliyah dan Asyuriyah. Sedangkan
yang masuk ke dalam bahasa Semit bagian barat adalah bahasa Aramiyah, Kan’aniyah, dan
Arabiyah. Dialek Tamim menyebar ke beberapa wilayah seperti Bahrian, Amman, Bashrah,
Aliyah, dan Syam.
Dialek Quraisy memang mengungguli dialek-dialek lainnya yang ada di Jazirah Arab.
Oleh karena itu ia menjadi bahasa formal (Fusha) dan sebagian besar ulama serta pakar
linguistik menyepakati itu. Namun, ada juga sebagian peneliti yang menyebutkan bahwa
dialek Tamim yang menjadi bahasa formal (fusha) seperti yang diungkapkan oleh Subhi
Shalih dalam bukunya yang berjudul Dirasat fii Fiqh al-Lughoh : “Dalam banyak literatur-
literatur masa lalu dan kamus-kamus bahasa selalu menunjukan bahwa banyak sekali
kaidah dialek Tamim lebih kuat secara qyas daripada sebagian Quraisy. Bahkan hampir-
hampir peneliti secara cermat mendapati dialek Tamim ini banyak dari kosa katanya clan
susunannya selalu diungkapkan para pengguna bahasa Arab” (Muizzuiddin, 2007, hal. 270-
271).
Definisi bahasa formal, yaitu bahasa yang digunakan al-Qur'an, literatur-literatur
Arab, bahasa yang dipakai dalam acara-cara resmi, penulisan puisi, sajak secara khusus
clan pikiran-pikiran ilmiah secara umum (Badi’, tth: 144). Di dalam al-Qur'an, banyak kosa
kata maupun kalimat yang dinisbahkan kepada dua dialek tersebut. Terlebih Rasulullah
saw bersabda : “al-Qur'an diturunkan dengan tujuh dialek yang saling melengkapi
"(HR.Bukhari).
3. Karakteristik Dialek Bani Tamim
Dalam kitab Sibawaih banyak disebutkan kekhasan yang dimiliki oleh dialek bani
Tamim. Namun disini akan dijabarkan 3 kekhasan dialek bani Tamim meliputi bentuk
suara (ashwat), kata (al-kalimah), dan kalimat (al-jumlah).
a. Bentuk suara
 Kecenderungan menggunakan Dhammah
Secara umum kabilah Tamim dan Kabilah-kabilah Badwi lainnya cenderung
menggunakan miqyas al layin al khalafi (standar fonetik lunak kontemporer) yang
menyatakan dhammah sebagai tanda bahasa yang kasar. Berbeda dengan kabilah
kabilah kota yang menggunakan kasrah yang merupakan simbol kelembutan.
Shubhi Shaleh menegaskan bahwa Bani Tamim lebih cenderung dhammah karena
kekasaranya (dalam berbicara) sedangkan orang-orang Hijaz menggunakan kasrah
karena kehalusannya (Shubhy, 1989, h.97). Misalnya: dialek Tamim menyatakan ‫ال ُق ْن َوة‬
sedangkan dialek Hijaz menyatakan ‫ ال ِق ْنيَة‬. Demikian pula kata ‫ ُرض َْوان‬dalam dialek
Tamim sedangkan dalam dialek Hijaz menjadi ‫ ِرض َْوان‬. Sehingga mayoritas Tamim
membaca dengan dhammah berbeda dengan Hijaz yang mengkasrahkannya (Al
Suyuthi, h. 275-277).
Hal ini karena dhammah membutuhkan gerakan yang berat dari pada kasrah.
Karena dhammah merupakan lidah atas, sedangkan kasrah lidah bawah. Gerakan lidah
bawah lebih mudah dari pada gerakan lidah atas. Sehingga orang Badwi/Tamim
membutuhkan gerakan lidah yang lebih berat ketika berbicara. Dhammah mencirikan
suatu sifat keras yang pada umumnya dimiliki oleh kabilah Tamim/Badwi.
• Fonetik yang berintonasi keras
Kabilah Tamim cenderung menggunakan fonetik yang berintonasi keras dalam
percakapannya. Hal ini sesuai dengan tabiatnya yang keras. Fonetik tesebut mudah
diucapkan secara cepat. Sementara penduduk kota cenderung memilih fonetik yang
berintonasi lunak. Ha ini simbol dari sifat kelembutan, sesuai dengan lingkungan dan
tabiat mereka dalam kehidupan sosial (Ibrahim, 1979, h. 41-42).
Adapun huruf-huruf yang digolongkan ke dalam berintonasi keras adalah: -‫ض‬-‫ك‬-‫ق‬-‫ج‬
‫ب‬-‫ث‬-‫د‬-‫ط‬. Sedangkan huruf-huruf berintonasi lunak yaitu: ‫س‬-‫ز‬-‫ص‬-‫ش‬-‫ذ‬-‫ت‬-‫ظ‬-‫ف‬-‫ه‬-‫ح‬-‫خ‬-‫ع‬
(Ibrahim, 1979, h. 41-42).
Sebagai contoh, tsa menurut Tamim sedangkan ta menurut Hijaz, yaitu pada kata
‫ ُال َّطي ُْرا ْلع ُ ُك ْوب‬,ُُ‫ َخبِيْت‬-‫ْث‬
ُُ ‫ َخبِي‬dengan huruf ba syahidah dalam dialek Tamim, sedangkan ُ ‫ال َّطي ُُْر‬
‫ ا ْلع ُ ُك ْوف‬dengan fa rakhawah dalam dialek Hijaz.
• Menggunakan fonetik yang bergetar
Kehidupan kabilah Tamim dengan padang pasir yang luas, berpengaruh juga dalam
melafalkan huruf. Keadaan padang pasir yang luas, jauh dari perkotaan, menyebabkan
mereka berbicara secara lantang. Hal itu disebabkan apabila orang bercakap-cakap
ditempat terbuka tanpa penghalang, maka suara itu akan hilang, tidak terdengar secara
jelas (Ibrahim, 1979, h.106). Maka dari itu dibutuhkan suara yang lantang pada setiap
pembicaraan agar mudah terdengar oleh lawan bicara. Fonetik yang bergetar lebih jelas
untuk didengar dari pada suara (desis). Dialek Tamim lebih cenderung menggunakan
suara-suara yang bergetar.
Kehidupan kabilah Tamim dengan padang pasir yang luas, berpengaruh juga dalam
melafalkan huruf. Keadaan padang pasir yang luas, jauh dari perkotaan, menyebabkan
mereka berbicara secara lantang. Hal itu disebabkan apabila orang bercakap-cakap
ditempat terbuka tanpa penghalang, maka suara itu akan hilang, tidak terdengar secara
jelas. Maka dari itu dibutuhkan suara yang lantang pada setiap pembicaraan agar mudah
terdengar oleh lawan bicara. Fonetik yang bergetar lebih jelas untuk didengar dari pada
suara (desis). Dialek Tamim lebih cenderung menggunakan suara-suara yang
bergetar.Adapun huruf-huruf yang digolongkan fonetik bergetar, yaitu: -‫ز‬-‫ض‬-‫ظ‬-‫ع‬-‫غ‬-‫ل‬-‫م‬-‫و‬-‫ي‬
‫ب‬-‫ج‬-‫د‬-‫ذ‬-‫ر‬, sedangkan fonetik tak bergetar/berdesis ialah: ‫ت‬-‫ث‬-‫ح‬-‫خ‬-‫س‬-‫ش‬-‫ص‬-‫ط‬-‫ف‬-‫ق‬-‫ك‬-‫م‬-‫ه‬
(Ibrahim, 1979).
Sebagai contoh huruf nun dan ya yang bersifat jahar atau bergetar. Namun ya lebih
jelas didengar dari pada nun. Oleh karena itu kata yang menggunakan ya dinisbatkan
kepada bani Tamim sedangkan nun di nisbatkan kepada kabilah kota. Misalnya: ‫إ ِ ْنسَان‬
dibaca ‫ب ِ ْيسَان‬.
b. Bentuk kata
Kabilah Tamim dan mayoritas kabilah Arab lainnya menggunakan kasrah pada
huruf-huruf mudhara’ah. Sibaweh mengakui keabsahan dialek-dialek yang mengkasrahkan
huruf-huruf mudhara’ah. Hal itu tentunya agak berbeda dengan kaidah umum bahasa Arab
formal sekarang yang menggunakn dhammah, yang menganut dialek Hijaz. Sehingga
penggunaan kasrah pada huruf mudhara’ah tidak diakui keabsahannya oleh penduduk
Hijaz.
Sibawih berkata sebagaimana dikutip Mahmud Fahmi Hijazi:
Bab ini menjelaskan tentang pengkasrahan huruf-huruf awal fi’il mudhori
َُ ‫ َف ِع‬. Hal ini di akui seluruh orang
sebagaimana terjadi pada ism dan huruf kedua pada kata ‫ل‬
Arab kecuali penduduk Hijaz. Contohnya, َُ‫ تِعْ َل ُْم ُأ ْنت‬dengan kasrah ta’, juga ‫ إ ِ ْع َل ُْم ُ َأنَا‬dengan
ُ ‫ تِعْ َل ُْمُه‬dengan kasrah ta’ dan ُُ‫ نِعْ َل ُْمُنَحْن‬dengan kasrah
kasrah hamzah. Hal ini juga terjadi pada َ‫ِي‬
nun (Hijaz, h.331).
c. Bentuk kalimat
Perbedaan Hijaz dan Tamim tidak hanya dalam kata,tetapi juga dalam susunan
kalimat. Hal itu terlihat pada perbedaan pendapat tentang i'rab pada kedudukan ism yang
kedua (khabar) setelah ma nafiyah. Pada dialek Hijaz, ism tersebut yang menjadi (khabar)
ma nafiyah mesti berakhiran nasb. Sedangkan pada dialek Tamim, ism tersebut menjadi
rafa'.
Dalam hal ini Sibawaih berkata sebagaimana dikutip Fahmi Hijazi: Bab ini
menjelaskan huruf yang berposisi sebagai‫ ليس‬dalam beberapa keadaan menurut penduduk
Hijaz, huruf tersebut diganti dengan huruf ma. Misalnya ‫ُهللاُ َماعبْد‬، َ‫ ُم ْنطلقاُُ َمازيْدُُأخاك‬.
Demikian juga pada ayat-ayat lainnya, misalnya ُ‫ ُأ َّمهَا ُت ُه ْمُ ُ َماه َُّن‬. Penduduk Hijaz
membacanya dengan kasrah pada huruf ta’ sebagai khabar yang nasb, sedangkan
penduduk Tamim membacanya dengan rafa' (Ibid, h.223).
DAFTAR PUSTAKA
Al Suyuthi, Al Mazhar Fi 'Ulum al lughah wa Anwa 'iha, t.tp. Dar lhya al-Kitab al-
Arabiyah.
Badi, Amil. Fiqh al-Lughah. Beirut: Dar al-Tsaqafah..
Fatihah, Imroatu. (2018). “Kemapanan Dialek Tamim” dalam Jurnal El-Ibtikar :
Jurnal Pendidikan Bahasa Arab, IAIN Syekh Nurjati, Cirebon, Vol. 7, No. 1, Hal. 109-121, Juni
2018.
Hijaz, Mahmud Fahmi. Ilmu al Lughoh al Arabiyah. Kairo : Dr Gharib.
Ibrahim, Anis. (1979). Al Ashwatul Lughowiyah. Kairo : Maktabah al Anjalau al
Mishriyah.
Muizuddin, Mochammad. (2007). “Kontribusi Dialek Quraisy dan Dialek Tamim
Terhadap Bahasa Arab Fusha (Kajian Sosio-Psikolinguistik)” dalam Jurnal al-Qalam : Jurnal
Kajian Keislaman, UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten, Vol. 24, No. 2, hal, 261-278,
Mei-Agustus 2007.

Anda mungkin juga menyukai