Anda di halaman 1dari 23

Definisi I’rab dan Sejarah Kemunculan I’rab

Oleh: Ilham Ramadhan

Pendahuluan

I’rab pada hakikatnya adalah main idea dari


pembahasan keilmuan Nahwu. Uniknya,
I’rab secara tidak disadari telah menjadi
fenomena kebahasaan dalam Bahasa Arab
yang patut, layak serta amat menarik untuk
dikaji. I’rab tidak serta merta muncul
sebagai sub pembahasan yang melahirkan
ilmu grammatikal Arab (Nahwu). Namun,
ada proses yang panjang dalam
merumuskannya menjadi sebuah
pembahasan dalam ilmu yang selanjutnya
dikenal dengan istilah Ilmu Nahwu.
Keunikannya akan ditemukan dalam
sejarahnya, dimana ada beberapa pendapat
yang berbeda terkait eksistensi I’rab. Tidak
hanya pada sejarahnya, keunikannya pun
juga ditemukan pada definisinya. Dimana
para ahli Bahasa Arab berbeda pendapat
dalam mendefinisikannya. Oleh sebab itu,
pembahasan definisi I’rab beserta
sejarahnya akan dibahas pada tulisan ini.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah


metode penelitian kualitatif. Metode
Penelitian Kualitatif adalah metode yang
lebih menekankan pada aspek pemahaman
secara mendalam terhadap suatu masalah
daripada melihat permasalahan untuk
penelitian generalisasi.

Metode penelitian ini lebih suka


menggunakan teknik analisis mendalam (
in-depth analysis ), yaitu mengkaji masalah
secara kasus perkasus karena metodologi
kualitatif yakin bahwa sifat suatu masalah
satu akan berbeda dengan sifat dari masalah
lainnya1.

Pembahasan

A. Pengertian I’rab

Secara etimologi, i’rab merupakan Mashdar


dari kata “‫إعرابا‬-‫يعرب‬-‫ ” أعرب‬yang berarti “ ;
‫ان‬888888‫البي‬-‫احة‬888888‫( الفص‬keterangan/penjelasan ).
Sedangkan menurut Ibnu Faris, I’rab berasal
dari akar kata ‫رب‬88‫ ع‬yang berarti “‫ة‬88‫اإلناب‬

1
Andra Tersiana, Metode Penelitian ( Yogyakarta: PT. Mustika
Putri, 2018 ) hlm. 10.
‫اح‬888‫ ” واإلفص‬yakni ; tampak, jelas, fasih2.
Secara terminologi, dalam dunia
grammatikal Arab khususnya sintaksis ( An-
Nahwu) sebagai judul besar dari
pembahasan ini , I’rab didefinisikan menjadi
beberapa definisi yang diberikan oleh Para
Linguis Arab, sebagaimana berikut :

Menurut Syekh Syamsuddin Muhammad


Araa’ini, dalam Kitab Mutammimah Al-
Jurumiyyah, bahwa I’rab yakni :

ِ ‫اخ ِر ْال َكلِ ِم إِل ِ ْختِاَل‬


‫ف‬ ِ ‫اَإْل ِ ْع َرابُ هُ َو تَ ْغيِ ْي ُر أَ َو‬
‫اخلَ ِة َعلَ ْيهَا لَ ْفظًا أَوْ تَ ْق ِد ْيرًا‬ِ ‫ْال َع َوا ِم ِل ال َّد‬
(I’rab adalah perubahan akhir kata karena
perbedaan amil yang memasukinya, baik

2
Qur, M. A.-. (2019). Linguistik dengan I ’ rab Al- Qur
’ an dan Posisi Bahasa Arab dalam dalam Memahami Al-
Qur’an.
secara lafazh ataupun secara diperkirakan
keberadaannya3)

Adapun menurut Abbas Hasan menyebutkan


bahwa :

‫اإلعراب هو تغير العالمة التى في ٰاخر‬


‫اللفظ بسبب تغير العوامل الداخلة عليه وما‬
‫يقتضيه كل عامل‬
(I’rab adalah berubahnya tanda di akhir
kata yang disebabkan oleh berubahnya
faktor-faktor yang masuk pada kata tersebut
dan karena tuntutan setiap faktor yang
memengaruhinya)

Sedangkan menurut Mahdi Al-Mahzumi,


I’rab yakni :

3
Syamsuddin Muhammad Araa’ini, Ilmu Nahwu Terjemahan
Mutammimah Ajurumiyyah, Terj. Moch Anwar, ( Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2019), hlm 11.
‫اإلعراب بيان ما للكلمة أو الجملة من وظيفة‬
‫لغوية أو من قيمة نحوية ككونها مسندا إليه‬
‫أو مضافا إليه أو فاعال أو مفعوال أو حاال أو‬
‫غير ذلك من الوظائف التي تؤد بها الكلمات‬
‫في ثنايا الجمل و تؤد بها الجمل في ثنايا‬
‫الكالم‬.

(I’rab adalah keterangan tentang kata atau


frasa (jumlah) dari segi fungsi atau nilai-
nilai sintaksis, seperti keberadaan kata itu
sebagai musnad ilaih (subyek) atau mudhof
ilaih, atau fa’il, atau maf’ul atau hal atau
lainnya dari segi fungsi-fungsi kata dalam
suatu frasa atau fungsi frasa dalam suatu
kalimat. )

Dari ketiga definisi di atas, maka definisi


pertama dan kedua yang menyebutkan
bahwa I’rab adalah pengubahan atau
perubahan akhir masing-masing kata karena
perbedaan faktor yang memasukinya,
menganggap bahwa I’rab itu adalah suatu
proses perubahan yang terjadi akibat adanya
faktor/’amil yang menyertainya, sehingga
terjadilah perubahan.

Sedangkan definisi ketiga menerangkan


bahwa I’rab adalah bayan (keterangan).
Definisi ini menekankan fungsi I’rab yang
dimanfaatkan sebagai petunjuk tentang
fungsi kata dalam suatu kalimat. Misalnya
mengetahui bahwa I’rab suatu kata itu rafa’
maka yang dipahami dari I’rab kata tersebut
adalah bahwa kata itu memiliki fungsi kata /
kedudukan pada posisi rafa’, yang
memungkinkan sedang berfungsi sebagai
fa’il atau mubtada’ atau naib Fa’il dan
sebagainya4. Dengan demikian, menyebut
I’rab rafa’ untuk kata tersebut tidak lain

4
Tony Fransisca, “ Konsep I’rab dalam Ilmu Nahwu”. Al
Mahāra Jurnal Pendidikan Bahasa Arab, Vol.1 No.1, 2015,
hlm 77.
adalah untuk menentukan fungsi atau
kedudukan kata itu dalam kalimat atau di
dalam lingustik umum dikenal dengan
istilah kategori kasus Nominatif, Akusatif
dan Genetif5.

Sehingga, agaknya dari ketiga definisi di


atas dapat penulis simpulkan , bahwa I’rab
adalah perubahan yang terjadi pada akhir
suatu kata yang diakibatkan oleh kedudukan
kata itu atau faktor-faktor (amil) yang
memasukinya, dimana perubahan itu dapat
menjadi petunjuk akan kedudukan kata
tersebut dalam jumlah.

B. Sejarah I’rab

5
Moch. Syarif Hidayatullah, Cakrawala Linguistik Arab,
( Jakarta: PT. Grasindo, 2017 ) hlm. 100.
Pada hakikatnya, I’rab adalah inti dari
pembahasan ilmu Nahwu, sedangkan
Nahwu adalah nama dari ilmu yang
memayungi pembahasan tersebut. Itu
artinya, ketika menceritakan sejarah I’rab,
maka secara bersamaan akan diketahui pula
sejarah awal mula munculnya ilmu Nahwu.
Telah diketahui bahwa mulanya muncul
I’rab atau ilmu nahwu adalah akibat dari
banyaknya lahn atau kesalahan berbahasa
yang terjadi. Hal itu pastinya sangat menjadi
masalah, mengingat bahasa Arab bukan
hanya bahasa sosial, namun juga bahasa
agama.
Ada banyak kisah tentang bentuk-bentuk
lahn yang terjadi, diantaranya adalah kisah
Abu Al-Aswad Ad-Duali dengan Putrinya.
Suatu hari ketika putrinya melihat bintang-
bintang yang ada di langit, ia sangat kagum
dengan keindahannya. Kemudian, ia
mengungkapkan rasa kagumnya tadi kepada
َّ ‫ال‬
ayahnya sambil berkata “‫س َما ِء‬ ‫َما أَحْ َس ُن‬ ”
, seketika mendengar itu, Abu Aswad pun

menjawab, “‫نُجُوْ ُمهَا‬ “. Lalu anaknya

َ ُّ‫التَّ َعج‬
berkata, “‫ب‬ ُ ‫إِنَّ َما أَ َر ْد‬
‫ت‬ ”. Mendengar

itu, Kemudian ayahnya berkata, “‫َما‬ !‫قلي‬


‫أَحْ َسنَ ال َّس َما َء‬ ”.

َّ ‫ال‬
Ungkapan yang pertama “‫س َما ِء‬ ‫َما أَحْ َس ُن‬
” adalah bentuk kalimat introgatif yang
berarti “ Apa yang indah di langit ? ”,
sedangkan maksud putrinya adalah ingin
mengungkapkan kalimat ta’ajjub , yakni “!

َّ َ‫ن‬8 ‫ ”مَا أَحْ َس‬yang


‫ َما َء‬8 ‫الس‬ berarti ; aduhai!
Alangkah indahnya langit itu6 !.
Juga diketahui, bahwa Abu Al-Aswad Ad-
Duali adalah orang pertama yang
meletakkan dasar-dasar ilmu Nahwu
menurut kebanyakan pendapat. Namun tidak

6
Fauzul Fil Amri, Durrah Al-Nahwi Li Raghib Al-‘ilmi ( Padang:
CV. Jasa Surya, 2018), hlm. 2-3.
semua pendapat menyatakan hal itu, dimana
ada pula pendapat yang menyatakan yang
meletakkan dasar ilmu Nahwu adalah Nashr
bin ‘Ashim, ada juga yang mengatakan ‘Abd
Ar-Rahman bin Hurmuz. Namun
kebanyakan ahli mengatakan bahwa peletak
dasar ilmu Nahwu adalah Abu Al-Aswad
Ad-Duali. Kesimpulan itu diambil dari
banyaknya riwayat-riwayat yang
mengisahkan banyaknya terjadi lahn
khususnya dalam membaca Al-Qur’an kala
itu, kemudian Abu Al-Aswad lah yang
langsung menanggapi masalah itu7.
Seperti kisahnya dalam sebuah riwayat
disebutkan bahwa suatu ketika, Abu Aswad
melihat Ali sedang termenung memikirkan
sesuatu, maka ia mendekatinya dan

7
Hazuar, “Konsep I’rab dalam Pandangan Ibrahim
Musthafa dan Ibrahim Anis“. Jurnal Bahasa Arab, Vol.3 No.1,
2019, hlm. 166.
bertanya: "Wahai Amirul Mu'minin! Apa
yang sedang engkau pikirkan?" Ali
menjawab: "Saya dengar di negeri ini
banyak terjadi lahn, maka aku ingin menulis
sebuah buku tentang dasar-dasar bahasa
Arab". Setelah beberapa hari, Abul Aswad
mendatangi Ali dengan membawa lembaran
yang bertuliskan antara lain:

"‫الرحيم‬ ‫بسم هللا الرحمن‬


، ‫ فاالسم ما‬،‫ وحرف‬،‫ وفعل‬،‫الكالم كله اسم‬
‫ة‬88‫أ عن حرك‬88‫ا أنب‬88‫ والفعل م‬،‫أنبأ عن المسمى‬
‫ني ليس‬88‫أ عن مع‬88‫ا أنب‬88‫رف م‬88‫ والح‬،‫مى‬88‫المس‬
‫ باسم وال فعل‬.".
( Dengan nama Allah yang maha pengasih
dan penyayang. Ujaran itu terdiri dari isim,
fi'il dan harf. Isim adalah kata yang
mengacu pada sesuatu (nomina), fi'il adalah
kata yang menunjukkan aktifitas, dan harf
adalah kata yang menunjukkan makna yang
tidak termasuk kategori isim dan fi'il'. )
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa suatu
ketika Abul Aswad mendengar seorang
membaca ayat Al-Qur'an:

"ُ‫رسُولُه‬
َ ‫َو‬ َ‫"أَ َّن هّللا َ بَ ِري ٌء ِّمنَ ْال ُم ْش ِر ِكين‬
Dengan mengkasrahkan lam dari kata “

ُ‫َرسُوْ لُه‬ ”, padahal seharusnya didlammah.


Atas kejadian itu dia kemudian meminta izin
kepada Ziyad bin Abieh, Gubernur Bashrah,
untuk menulis buku tentang dasar-dasar
kaidah bahasa Arab. Hingga akibat kisah –
kisah itu, Abu Aswad pun berfikir untuk
merumuskan suatu ilmu yang membahas
terkait dengan masalah dari kisah-kisah di
atas8. Ia yang pertama membuat kitab yang
memuat masalah masalah Grammatikal
bahasa Arab, dimana pada mulanya ia
membuat bab ta’ajjub , fa’il, maf’ul bih,
8
Kholisin, “ Cikal Bakal Kelahiran Ilmu Nahwu ”, Bahasa Arab
dan Seni, No. 1, Februari 2003, hlm. 6
mudhof, huruf-huruf Nashab, rafa’, jar dan
jazm. Bukan hanya itu saja, Abu Aswad
dikenal sebagai tokoh pertama yang
meletakkan tanda baca dalam Bahasa Arab
khususnya dalam memberikan tanda baca
dalam Al-Qur’an, dimana tanda tanda
harakah/I’rab itu ditandai dengan titik di
atas huruf untuk fathah, titik dibawah huruf
untuk kasrah, dan titik di sebelah kiri atas
untuk dlammah. Karena tanda baca itu
berupa titik-titik, maka dikenal dengan
sebutan naqthul i'rab (titik penanda i'rab).
Atas jasanya dalam memberi tanda baca
mushaf Al-Qur'an itu , Abu Aswad
kemudian dikenal sebagai peletak dasar ilmu
I'rab, dan setelah itu banyak orang yang
datang kepadanya untuk belajar ilmu qira'ah
dan dasar-dasar ilmu i'rab. Dia
melaksanakan pengajaran itu di masjid Jami'
Bashrah. Dari sinilah awal mula kota
Bashrah dikenal sebagai kota kelahiran Ilmu
Nahwu. Banyak murid yang berhasil dan
kemudian menjadi generasi penerus yang
mengembangkan gagasan-gagasan yang
telah dirintisnya, diantaranya adalah
Anbasah bin Ma'dan yang dikenal dengan
panggilan Anbasah Al-fil, Nashr bin 'Ashim
al-Laitsiy (wafat 89H), dan Yahya bin
Ya'mur Al-Adwaniy (wafat 129 H).
Anbasah kemudian mempunyai seorang
murid yang banyak berpengaruh dalam
pengembangan Ilmu Nahwu yaitu Maimun
Al-Aqran.
Sekalipun Abul Aswad Ad-Du'ali berjasa
dalam memberi syakal Al-Qur'an, dia belum
dapat dikatakan sebagai tokoh sejati dalam
bidang Ilmu Nahwu, karena yang ia lakukan
itu semata-mata usaha pengalihan kode
bunyi vokal yang sudah ada ke dalam
bentuk tulisan (berupa titik), dan belum
sampai pada pembentukan kaidah-kaidah
Ilmu Nahwu. Demikian juga, apa yang
dilakukan oleh Yahya bin Ya'mur dan Nashr
bin 'Ashim. Mereka masih membentuk
beberapa istilah dan belum sampai pada
generalisasi kaidah-kaidah. Tokoh nahwu
generasi pertama yang sejati menurut Dlaif
(1968:22-23) adalah Ibnu Abi Ishaq,
kemudian ketiga muridnya, Isa bin Umar,
Abu Amr bin Al-'Ala', dan Yunus bin
Hubaib9.
Hingga setelah munculnya gejala bahasa
tersebut ( I’rab) yang kemudian dipayungi
dalam sebuah ilmu yang bernama Nahwu,
maka muncul pula beberapa tanggapan atas
kelahiran ilmu I’rab atau Nahwu tersebut di
kalangan ahli bahasa Arab kala itu. Dimana
ada yang sepakat dan setuju dengan adanya
I’rab, namun ada yang tidak sepakat.
Pendapat yang tidak sepakat akan
munculnya keilmuan Nahwu khususnya
9
Wildan Nur Haifani dan Azizah Arum Muslihatin, Functional
Perspective in The Nahwu Learning. Retel Journal, Vol.6, No.1. hlm.
10.
pasal I’rab, maka mereka berdalih atas 3
hal, yakni :
1. Dialek-dialek Arab yang ada pada
waktu itu sunyi dari I’rab ( mematikan
setiap akhir bunyi kata ) kecuali dalam
karya sastra.
2. Ilmu I’rab harus diperhatikan secara
ekstra, sehingga akan menyulitkan.
Dimana hal itu tidak sesuai dengan
dialek sehari-hari yang lebih mencari
kemudahan
3. Juga sistem atau aturan dalam I’rab
amatlah details, sehingga tidak sesuai
dengan keadaan Orang Arab jahiliyyah
(primitif) ketika itu

Sedangkan, bagi yang mendukung akan


hadirnya I’rab dan keilmuan Nahwu
membantah alasan di atas dengan alasan
sebagai berikut :
1. Pada dasarnya beberapa dialek
Arab kala itu ada yang eksis menjaga
dan menggunakan I’rab dalam
bertutur terkhusus I’rab dalam
bentuk huruf .
2. Sebenarnya I’rab itu eksis sejak
dahulu kala, namun saja
perkembangan bahasa yang
menyebabkan penggunaan dialek
ber-i’rab termarginalkan. Jadi,
penggunaan dialek tanpa I’rab itulah
yang hadir dikemudian harinya
3. Pada dasarnya kemahiran dalam
menggunakan kaidah kaidah
grammatikal dan cabangnya tidaklah
menuntut syarat dalam
penyusunannya ( merumuskannya),
apalagi menjadikannya sebagai
penemuan. Sebagaimana yang juga
terjadi pada Bahasa Yunani dan
Latin Kuno serta Bahasa Jerman
modern, pada bahasa-bahasa tersebut
juga terkandung aturan I’rab (kasus)
yang tidak kala akurat dengan
Bahasa Arab, namun mereka tidak
mempermasalahkannya atau
menjadikannya sebagai suatu hal
yang baru (penemuan)
4. Tidak ada satupun catatan/ riwayat
yang mengindikasikan bahwa para
Nahwiyyin berkolusi dalam
menetapkan aturan grammatikal.
5. Pada hakikatnya, syi’ir arab sangat
bergantung dengan I’rab, tanpa
I’rab, maka hilanglah kesesuaian
(musik, bahr, rima, ritme) dan
keindahan bahasa syi’ir.
6. Al-qur’an dan juga Hadits-Hadits
Nabi Muhammad Saw juga tidak
sunyi dari penggunaan I’rab
7. Banyak catatan/riwayat yang
mengindikasikan akan banyaknya
orang Arab yang melakukan
kesalahan (lahn) dalam berbahahasa
terutama dalam memperhatikan
perubahan setiap akhir kata yang
berujung kepada perbedaan makna ,
maka tidaklah mungkin kaidah I’rab
itu hanyalah hasil rumusan dari para
ahli Bahasa Arab kala itu
8. Pada dasarnya, orang Arab tidak
akan memahami bahasanya secara
baik dan benar, kecuali ketika ia
telah memahami I’rab nya.
9. Lalu ada pula yang berpendapat
bahwa Al-Qur’an yang diturunkan
dalam lahjah orang Makkah
(Quraisy) sunyi dari I’rab. Namun
sungguh pendapat itu tidak bersandar
pada bukti-bukti apapun.
10. Bilamana Al-Qur’an diturunkan
tanpa I’rab, maka bagaimana
mungkin ia dapat menjadi tantangan
bagi Kaum Musyirikin ? karena dari
sanalah Al-Qur’an menunjukkan
kemukjizatannya. Maka,
sesungguhnya bahasa sehari-hari dan
juga bahasa Agama adalah sama-
sama tidak mensunyikan I’rab10.

Kesimpulan

Berkaitan dengan definisi I’rab,


dapat disimpulkan secara sederhana bahwa
I’rab adalah perubahan yang terjadi pada
akhir suatu kata yang diakibatkan oleh
kedudukan kata itu atau faktor-faktor (amil)
yang memasukinya, dimana perubahan itu
dapat menjadi petunjuk akan kedudukan
kata tersebut dalam jumlah. Jika dilihat dari
segi sejarah, maka pada dasarnya I’rab ada
dalam dialek -dialek Arab hanya saja
10
Emil Badi Ya’cub, Fiqh Al-Lughah Al-Arabiyyah Wa
Khashaishuha, (Beirut: Darul Al-Tsaqafah Al-Islamiyyah, 1982)
hlm. 127-132
eksistensinya belumlah dirumuskan.
walaupun tidak seluruh dialek dari setiap
suku Arab menggunakannya. Terbukti
dengan adanya perbedaan pendapat dari para
ahli Bahasa Arab kala itu dalam membahas
eksistensi I’rab. Namun yang menjadi
penyebab ilmu I’rab ini muncul menjadi
sebuah keilmuan (yang kemudian
mengalami perkembangan) adalah Al-
Qur’an yang secara tidak langsung telah
menyentuh sedemikian rupa tata Bahasa
Arab. Ini dibuktikan dengan banyaknya lahn
yang terjadi dalam membaca Al-Qur’an
pada zaman tersebut yang mengakibatkan
munculnya gagasan dan pemikrian para
nahwiyyun untuk merumuskan serta
menyusun sebuah kaidah-kaidah kebahasaan
yang kemudian dikenal dengan I’rab yang
menjadi pembahasan dalam ilmu Nahwu.
Sungguh Al-Qur’an telah menyumbangkan
pengaruh yang amat besar terhadap pada
Bahasa Arab.

Anda mungkin juga menyukai