Anda di halaman 1dari 9

Nama : Muchammad Ainun Najib

Prodi : Pendidikan Bahasa Arab


Mata Kuliah : Tarjamah I

Dosen pengamp : Miftahul Taubah, S.PdI., M.Pd I

IX

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

      Penerjemahan merupakan proses pengalihan pesan penulisan bahasa sumber ke dalam


bahasa sasaran. Dua bahasa yang terlibat di dalamnya tentunya memiliki pola kalimat atau
tata bahasa yang berbeda. Perbedaan tersebut temtunya tidak menjadikan penerjemahan
adalah pekerjaan yang mudah oleh seorang penerjemah. Seorang penerjemah seharusnya
memiliki kualifikasi yang baik dalam memahami bahasa baik bahasa sumber maupun bahasa
sasaran. Dalam menerjemahan sebuah teks tertulis terdapat faktor intralinguistik dan
ekstralinguistik yang harus dipahami sebelum ide dari seorang penulis dialihkan ke dalam
bahasa sasaran. Bahasa sebagai objek penerjemahan merupakan bagian dari budaya dan oleh
karena itu penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain tidak dapat dilakukan secara
memadai, tanpa memiliki pengetahuan yang baik mengenai budaya dan struktur kedua bahasa
tersebut .(Larson 1998: 470)

     Terjemah adalah suatu upaya mengalihkan makna teks (wacana) dari bahasa
sumber (lughah al-ashl) ke bahasa sasaran (al-lughah al-mustahdafah). Atau
mengalih bahasakan dari bahasa asal  (source language, al-lughah al-mutarjam minha) ke
bahasa sasaran (target language, al-lughah al-mutarjam ilaiha). Menurut sebagian pakar
bahasa, terjemah juga dapat berarti suatu usaha memindahkan pesan dari teks berbahasa Arab
(teks sumber) dengan padanannya kedalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran).Sebenarnya
banyak sekali definisi terjemah yang dikemukakan oleh para ahli, namun agar lebih mudah
digunakan maka setelah mempertimbangkan prinsip akomodatif kritis transformatif, dapat
didefinisikan sebagai berikut: Seni mengganti bahasa ucapan atau tulisan dari bahasa sumber
ke dalam bahasa yang dituju. Terjemah dapat dikatakan seni, dikarenakan adanya hubungan
yang sangat erat antara kedua bahasa penerjemah. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa
terjemah adalah busana pemikiran seseorang. Apabila busana itu baik dan dipakai sesuai
dengan suasana dan keadaan, maka akan terlihat indah dan menarik.        

     Yang paling mendasar dalam terjemah adalah kemampuan berpikir dan memindahkan
hasil pemikiran ke dalam ungkapan yang baik. Asas tarjamah Jika dalam insya’(mengarang)
terdapat dua pilar (ekspresi) penulis dan tafkir (upaya berpikir secara kreatif dan kritis), maka
dalam terjemah juga terdapat dua unsur mendasar yakni memahami dan menyusun ide-ide
sehingga mengerti maksud pengarang. Intinya, bukan hanya mengalih bahasakan semata,
namun kemampuan dan ketrampilan mengikat makna, sehingga merupakan kemenyeluruhan
dan keutuhan ide penulis. Di sinilah, penerjemah perlu lebih jeli menangkap pemikiran  dan
maksud-maksud dari penulis. Dibandingkan dengan mengarang (insya’), maka proses
penerjemahan sebenarnya lebih sulit dan memerlukan usaha lebih teliti dari penulis itu
sendiri. Hal itu dikarenakan penerjemah terbatas pada upaya memahami pemikiran penulis,
sedangkan penulis lebih bebas mengemas, memilih dan mengekspresikan pikirannya ke
dalam tulisan baik dari diksi kata maupun struktur kalimat (uslub) nya. Berdasar pada kondisi
di atas, maka penerjemahan selalu rawan terjadi kesalahan, terlebih lebih, jika penerjemah
kurang memahami alur pikir penulis, dan tidak membekali diri dengan ilmu bantu yang
mencukupi, serta tidak memahami disiplin ilmu yang sedang diterjemahkan. Maka dalam
pembahasan ini pun kita akan sedikit mencoba membahas terkait Unsur-unsur ilmu
menerjemah Dan Asumsi – asumsi dalam penejemahan.

B. Rumusan Masalah

1.      Apa saja unsur-unsur dan instrumen dalam menerjemah ?

2.      Apa saja asumsi-asumsi dalam penerjemahan ?


PEMBAHASAN

A.    Unsur pokok Tarjamah. Dalam proses penerjemahan, seorang penerjemah perlu


memperhatikan beberapa unsur pokok dalam menerjemahkan yaitu:

1.      Aspek bahasa Penguasaan kamus bahasa, kemampuan memilah dan memilih diksi
bahasa baik dari arti kosa kata maupun struktur kalimat. Yang tidak kalah pentingnya adalah
memahami arti kata baik secara leksikal, tekstual dan konotatif/denotatif.

2.      Ilmussorfi, Sorof Kemampuan memahami ilmu sorof dan perubahan tasrif serta
memahjami fungsi penambahan huruf baik untuk transitif (ta’diyah) menerima
akibat (mutawa’ah) maupun saling berbalasan (musyarakah). Di samping itu ketrampilan
penerjemah dalam dua macam tasrif. Terambil dalam dua macam tasrif itu sangat strategis
dalam terjemah. Hal itu bagaikan hafal perkalian dasar dalam ilmu
berhitung/matematika.  dalam proses penerjemahan. Sebab jika salah akibatnya akan sangat
fatal. Bandingkan: jalasa dengan ajlasa. Fataha dengan infataha,. Dan seterusnya.

3.      Nahwu. Aspek yang tidak mungkin ditinggalkan oleh penerjemah adalah nahwu. Dalam
konteks terjemah, kemampuan nahwu di sini bukan hanya sekadar teoritis tapi kompetensi
praktis empiris. Penerjemah harus mempu membedakan perbedaan I’rab secara konkrit
akurat, apakah itu fa`il, maf`ul, ma`lum majhul, mudhaf, atau man’ut, bentuk
kalimat ta’ajjub atau istifham dan seterusnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Abdul Qahir
alJurjani: semua kata itu tertutup oleh artinya sendiri, sehingga pemahaman I’rablah yang
membukakannya. Sorof memproduksi kata-kata untuk direkayasa oleh nahwu sehingga
menghasilkan makna yang indah.

4.      Balaghah. Dalam terjemah, balaghah merupakan aspek penting yang tidak bisa
ditinggalkan, karena merupakan alat untuk mengenali rasa bahasa dengan sensitifitas yang
tinggi, agar penerjemah mampu membedakan arti yang tersirat dari pada hanya arti
lahiriyahnya.[1]                                                                                                                             
             

B.     Unsur ilmu penerjemahan

             Dalam bidang ilmu linguistic, penerjemahan biasanya dikelompokan ke dalam


bidang linguistic terapan, karena berbagai teori yang telah dirumuskan dalam linguistic
teoritis diterapkan pada bidang penerjemahan. Linguistic teoritis berfungsi sebagai
pengembang dan dan pemerkaya teori penerjemahan.

             Namun, penerjemahan pun dapat pula dikelompokan ke dalam linguistic


interdisipliner, karena di dalam penerjemahan itu dibicarakan berbagai disiplin ilmu yang
merupakan amanat dari sebuah nas. Amanat itu sendiri merupakan salah satu unsur pokok
yang terlibat dalam proses penerjemahan. Jika seseorang menerjemahkan buku tentang
ketasaufan, niscahya dia perlu membekali dirinya dengan ketasaufan, terutama disini yang
berkaitan dengan topic yang dibahas dalam nas itu. Demikian pula dengan nas tentang
bidang-bidang ilmu lainya yang perlu dikuasai oleh penerjemah sebagai bagian yang terkait
dengan penerjemahan.
            Linguistic terapan atau linguistic interdisipliner ini merupakan suatu disiplin ilmu
karena dapat memenuhi syarat-syarat keilmiahan, yaitu bahwa ilmu dikembangkan dengan
metode ilmiah yang diakui kesahihanya dikalangan para ahli bahasa secara obyektif. Teori
menerjemah yang berhasil dirumuskan juga dapat menjelasakan masalah-masalah
penerjemahan serta mengendalikan masalah tersebut.

            Disiplin ilmu terjemah ini terbagi dalam tiga bidang : teori terjemah, kritik atau
evaluasi terjemahan, dan pengajaran menerjemah. Dewasa ini tengah berkembang pula satu
bidang lainya, yaitu penerjemhan dengan mesin atau computer. Tugas teori terjemah ialah

(1) Mengidentifikasi dan mendefinisikan masalah-masalah penerjemahan,

(2) Menunjukan factor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memecahkan masalah


tersebut, (3) Menyeimbangkan prosedur penerjemahan yang dapat diterapkan, dan

(4) Merekomendasikan prosedur penerjemahan yang paling sesuai.[2]

          Karena itu, teori penerjemahan yang berguna ialah yang tumbuh dari masalah-masalah
yang muncul dari praktik penerjemahan. Tidak ada praktik berarti tidak ada
penerjemahan (Newmark, 1988:9-10).

            Unsur teori sangatlah penting bgi penerjemah yang berkedudukan sebagai mediator
antara penulis dan pembaca. Dia bertugas mengungkapkan ide penulis kepada para pembaca
dengan bahasa penerima yang ekuiavalen dengan bahasa sumber. Pengungkapan ide orang
lain itu lebih sulit daripada mengungkapkan ide sendiri . kesulitan itu menjadi bertambah
karena perbedaan bahasa, budaya, dan konteks serta konteks sosiologis antara penulis dan
pembaca. Tugas penerjemah adalah menghilngakn kendala tersebut dengan menggonakan
metode dan prosdur penerjemahan. Kadua hal itu menjadi garapan utama teori terjemah.[3]

         Selanjutnya hasil pekerjaan penerjemah dinikmati oleh para pembaca. Pembacalah yang
menentukan kualitas terjemahan. Pembaca dapat dikategorikan kedalam dua kelompok :
pembaca ahli yang berperan sebagai kritikus dan pembaca umum yang memberikan
tanggapan atas terjemahan yang dibacanya. Kritik yang diberikan oleh pembaca ahli
didasarkan atas teknik evaluasi tentang keterbacaan nas. Teknik evaluasi penampilan nas, dan
tanggapan pembaca dibicarakan dalam satu bidang penerjemahan yang disebut kritik atau
evaluasi penerjemahan.

       Penerjemah yang menguasai teori dan pengalaman akan mengahsilkan terjemahan yang
berkualitas, yaitu yang sudah dapat difahami. Agar kondisi demikian mudah dapat dicapai,
diperlukan suatu lembaga pendidikan formal yang menguapayakan pendidikan
penerjemahan. Maka pendidikan penerjemah merupakan bidang ketiga dari penerjemahan
yang yang membicarakan tujuan pendidikan atau pengajaran, kurikulum, materi, evaluasi,
dan kegiatan belajar mengajar lainya.[4]

        Agar hasil terjemahan lebih berbobot, menyentuh dan berkualitas, maka penerjemah
perlu mengetahui hal-hal berikut:
a.       Latar belakang topik. Merupakan pengetahuan yang sama atau erat hubungannya
dengan masalah topik yang diterjemahkan. Seorang ahli bahasa Inggris lebih menerjemahkan
buku bahasa Inggris tentang kedokteran dari pada ahli bahasa Inggris tapi awam terhadap
dunia kedokteran.

b.      Konteks, merupakan bagian dari suatu uraian kalimat yang dapat menambah kejelasan
makna kata dalam suatu teks. Konteks adalah faktor penting dalam setiap proses
penerjemahan, karena konteks mempunyai prioritas yang mengalahkan bahasa teori dan
makna utama dari suatu kata.

c.       Konotasi, adalah pertautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada seseorang ketika
berhadapan dengan suatu kata. Ini erat sekali dengan al-zauq al-lughawi(rasa bahasa) masing-
masing orang. Maka terjemah harus memiliki ketiga aspek non bahasa di atas. Di samping itu
terjemah harus memiliki faktor-faktor penunjang lainnya, misalnya, ia harus konkret, tegas,
jelas dan populer. Sehingga hasil terjemahan tersebut mudah dibaca dan dipahami oleh
pembaca pada tingkatannya. Pemenuhan aspek-aspek itu mulai dari kosa kata, bentuk kata,
struktur kalimat, jabatan kata maupun ide, gagasan dan pikiran dari penulis naskah sumber.

d.      Instrumen Tarjamah Merupakan hal mendasar agar penerjemahan dapat dilakukan


dengan cermat dan tepat akurat, maka dibutuhkan penguasaan pengetahuan baik dari aspek
bahasa maupun non bahasa, di antaranya:[5]

         .Menguasai dua bahasa. Diperlukan bagi penerjemah penguasaan bahasa target lebih
banyak dari pada penguasaannya terhadap bahasa sumber. Contoh, jika akan menerjemahkan
naskah dari bahasa Arab ke Indonesia, maka penguasaan terhadap bahasa Indonesia harus
lebih luas dan kaya perspektif dengan memperhatikan keempat unsur pokok terjemah di atas;
aspek nahwu, sorof, kamus bahasa dan balaghah.

         Menguasai karakteristik dua bahasa (bahasa sumber dan bahasa sasaran).

         Pengetahuan yang luas dengan beberapa pendekatan yang lazim digunakan oleh ahli
bahasa.

                     Kualifikasi atau Syarat-syarat Menerjemah Mengingat lingkup dan cakupan


terjemah yang tidak sederhana, maka diperlukan prasyarat penerjemah agar hasil
terjemahannya baik dan  tidak bias, diperlukan beberapa syarat penerjemah, di antaranya:

1.      Terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan alih bahasa dan tidak
melakukan penyimpangan makna.

2.      Menguasai dengan baik bahasa sumber dan bahasa sasaran secara seimbang.

3.      Memahami obyek kajian yang sedang diterjemahkan dengan menguasai  istilah-istilah


khusus dalam berbagai obyeknya berikut kosa katanya.

4.      Jika, diperlukan, penerjemah harus mengetahui latar belakang penulis dan spesialisasi
bidang yang dikuasainya.
5.      Memahami kultur bahasa sumber. Bahkan ada mensyaratkan seorang penerjemah harus
mempunyai kompetensidan keistimewaan yang menonjol agar menguasai bidangnya dan
trampil mengekspresikan tautan makna yang terkandung dalam bahasa sumbernya.

                 Teknik Terjamah agar proses penerjemahan lebih baik, terdapat tiga tahapan teknik
penerjemahan:

a.        Sebelum memulai menerjemahkan, ia harus membaca teks bahasa sumber secara benar
dengan melakukan analisa kata dan kalimat dari berbagai sisi baik sighah, struktur,
pola, i’rab maupun ragam makna sesuai dengan konteks kalimatnya.

b.      Menguasai dan memahami alur pikir penulis guna menghasilkan pemahaman yang
komprehensif dan mengutuh.[6]

Seorang penerjemah harus menghindari penerjemahan secara parsial, sepotong-potong atau


bahkan meninggalkan potongan kata yang tidak ia pahami.

c.       Mengalihkan pemikiran penulis ke bahasa target dengan cermat dan tepat, dibarengi
dengan ungkapan pemilihan diksi yang benar dan bahasa yang berna .Penerjemah
mengulang-ulang wacana dan membaginya kepada satuan terjemahan dengan
mengklasifikasikannya menurut kandungan struktur kalimat dan keselarasan
hubungannya. Demikianlah, beberapa aspek penting dalam proses penerjemahan. Tanpa
penerapan aspek-aspek ini, hasil terjemahan akan kacau, terlalu kental bercorak bahasa
sumber, dan tentunya sulit untuk dipahami karena ia mereduksi pemahaman teks asli
serta memperkosa bahasa sasaran.

C.     Asumsi dalam penerjamahan

                      Dalam bidang ilmu dikenal asumsi asumsi yang dijadikan pedoman dan arah
oleh orang – orang yang melakukan aneka kegiatan yang ilmiah pada bidang tersebut. Dalam
bidang terjemahan pun dikenal asumsi-asumsi yang meruapakan cara kerja, pengalaman,
keyakinan, dan pendekatan yang dianut oleh para peneliti, praktisi , dan pengakar dalam
melaksanakan berbagai kegiatanya. Bahkan, penerjemah yang belum memliki latar belakang
pendidikan formal pun, tetapi dibesarkan oelh pengalamanya memilii prinsip dan cara-cara
yang digunakan untuk mengatasu masalah penerjamahan yang dihadapinya.

                      Sebagai sebuah asumsi pernyataan-pernyataan berikut ini terbuka untuk di


kritik dan dibantah karena dianggap belum terpuji keandalanya sebagai sebuah prinsip atau
teori. Disamping itu asumsi ini pun tidak bersifat unifersal. Mungkin saja sebuah asumsi
dapat di terapkan dalam menejmahkan dalam nas tertentu, tetapi tidak mungkin diterapkan
dalam nas lain. [7]
                      Diantara asumsi yang berlaku dalam kegiatan penerjemahan baik pada bidang
teori, praktek, pengajaran, maupun evalusi penerjemahan adalah sebagai berikut.

a.       Penerjemahan merupakan kegiatan yang kompleks. Artinya bidang ini menunutu


bidang    penerjemah yang bersifat multidisipliner yaitu kemampuan dalam bidang teori
menerjemah, penguasan bahasa sumber dan bahasa penerima.

 b. Budaya suatu bangsa berbeda dengan bangsa yaang lain. Maka bahasa
suatubangsapunberbeda dengan yang lainya. Karena itu, pencarian ekuivalensi antara
keduanya merupakan kegiatan utama yang dilakukan oleh seorang penerjemah.

 c.    Penerjemah berkedudukan sebagai komunikator antara pengarang dan pembaca. Dia
sebagai pembaca yang menyelami makna dan maksud narasumber, dan sebagai penulis yang
menyampaikan pemahamanya kepada orang lain melalui sarana bahasa supaya orang lain itu
memahaminya. Penerjemahan berada pada titik pertemuan, dengan demikian penerjemah
berpedoman pada pemakaian bahasa yang kounikatif.

d.    Terjemah yang baik adalah terjemah yang bena, jelas, dan wajar. Benar artinya makna
yang terdapat dalam terjemahan adalah sama dengan makna pada nas sumber. Jelas berarti
terjemahan itu mudah dipahami. Wajar berarti terjemahan itu tidak terasa sebagai terjemahan
dan bahasanya mengalir secara alamiah.

 e.   Terjemahan bersifat otonom. Artinya terjemahan hendaknya dapat mengantikan nas
sumber atau nas terjemahan itu memberikan pengaruh yang sama kepada pebaca seperti
pengaruh yang ditimbulkan nas sumber

 f.   Penerjemah dituntut untuk menguasai pokok bahasan, pengetahuan tentang bahasa
sumber. Dan pengetahuan tentang bahasa penerima. Disamping itu diapun di tuntut untuk
bersikap jujur dan berpegang pada landasan hukum.

g.  Pengajaran menerjemah dituntut untuk mengikuti landasan teoritis penerjemahan dan
kritik terjemah.[8]
KESIMPULAN

-          Unsur pokok dalam menerjemahkan yaitu:

-Aspek bahasa Penguasaan kamus bahasa, kemampuan memilah dan memilih diksi bahasa
baik dari arti kosa kata maupun struktur kalimat. Yang tidak kalah pentingnya adalah
memahami arti kata baik secara leksikal, tekstual dan konotatif/denotatif.

-Ilmussorfi, Sorof Kemampuan memahami ilmu sorof dan perubahan tasrif serta memahjami
fungsi penambahan huruf baik untuk transitif (ta’diyah) menerima
akibat (mutawa’ah) maupun saling berbalasan (musyarakah).

-Nahwu. Aspek yang tidak mungkin ditinggalkan oleh penerjemah adalah nahwu. Dalam
konteks terjemah, kemampuan nahwu di sini bukan hanya sekadar teoritis tapi kompetensi
praktis empiris.

-Balaghah. Dalam terjemah, balaghah merupakan aspek penting yang tidak bisa ditinggalkan,
karena merupakan alat untuk mengenali rasa bahasa dengan sensitifitas yang tinggi, agar
penerjemah mampu membedakan arti yang tersirat dari pada hanya arti lahiriyahnya.

        -   Asumsi asumsi yang dijadikan pedoman Dalam bidang terjemahan pun dikenal
asumsi-asumsi yang meruapakan cara kerja, pengalaman, keyakinan, dan pendekatan yang
dianut oleh para peneliti, praktisi , dan pengakar dalam melaksanakan berbagai kegiatanya.
Bahkan, penerjemah yang belum memliki latar belakang pendidikan formal pun, tetapi
dibesarkan oelh pengalamanya memilii prinsip dan cara-cara yang digunakan untuk
mengatasu masalah penerjamahan yang dihadapinya.

        
DAFTAR PUSTAKA

Abdul ‘Alim az-Zarqani, Manâhilul ‘Irfân. (2003) Juz 2.

Mujahid, A.K. (20013). Ad-Dilalah Al-Lughawiyah ‘Indal ‘Arab. ‘Amman: Dar ad-Dhiya`.

Syihabuddin (2001). Teori dan Praktik Penerjemahan Arab Indonesia.

Utsman Amin.(1994) Falsafatullughah al-’Arabiyah.

[1] . Abdul ‘Alim az-Zarqani, Manâhilul ‘Irfân. (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2003) hal


23, Juz 2.

[2].  Syihabuddin. Teori dan Praktik Penerjemahan Arab Indonesia. (Bandung Humaniora,


2001) hal 14

[3] . Syihabuddin. Teori dan Praktik Penerjemahan Arab Indonesia. Hal 15

[4] . Utsman Amin. Falsafatullughah al-’Arabiyah. (Yogyakarta: Kanisius, 1994) hal 41

[5] . Mujahid, A.K. Ad-Dilalah Al-Lughawiyah ‘Indal ‘Arab. (‘Amman: Dar ad-Dhiya, 2013)


hal 58

[6] . Mujahid, A.K. Ad-Dilalah Al-Lughawiyah ‘Indal ‘Arab hal 66

[7] . Syihabuddin. Teori dan Praktik Penerjemahan Arab Indonesia. (Bandung Humaniora,


2001) hal 16

[8] .  Syihabuddin. Teori dan Praktik Penerjemahan Arab Indonesia. Ha 17

Anda mungkin juga menyukai