DI SUSUN OLEH :
MUHAMAD WAHYU PIRGI
(F.1711256)
TEKNIK PENERJEMAHAN SEBAGAI PENJABARAN
PROSEDUR EKUIVALENSI
ekuivalensi merupakan tujuan atau produk dari proses
penerjemahan.
Nida dan Taber menambahkan istilah dinamis di belakang kata
ekuivalensi sehingga menjadi ekuivalensi dinamis
Padanan itu tidak statis, yaitu satu kata atau frase dalam
bahasa sumber mesti berpadanan dengan satu kata atau frase
di dalam bahasa penerima. Kata ad-dîn dalam bahasa Arab,
misalnya, dapat saja diartikan agama, syari‘at, hari akhir, dan
ketaatan.
ekuivalensi merujuk pada salah satu prosedur
penerjemahan sebagaimana dikemukakan
oleh Newmark (1988). Dia menegaskan bahwa
prosudur ini digunakan untuk menerjemahkan
kosa kata kebudayaan di dalam bahasa
penerima dengan cara yang sedapat mungkin
mendekati makna yang sebenarnya di dalam
bahasa sumber.
teknik-teknik penerjemahan istilah dan
ketepatannya dalam mengungkapkan makna
disertai analisis semantis antara BP dan BS
pada istilah tertentu sebagai berikut :
1. Prosedur Ekuivalensi
2. Teknik Korespondensi terbagi menjadi 5 :
1. Nas Sumber dan Nas Penerima
2. Pola Penyamaan Konsep BS dengan BP
3. Ketepatan Makna
4. Karakteristik Pemakaian Teknik Korespondensi
5. Takrif
3. Teknik Deskripsi terbagi menjadi 5 :
1. Nas Sumber dan Nas Penerima
2. Pola Penjelasan Konsep BS dengan BP
3. Ketepatan Makna
4. Karakteristik Pemakaian Teknik Deskripsi
5. Takrif
4. Teknik Integratif terbagi menjadi 5 :
1. Nas Sumber dan Nas Penerima
2. Pola Penjelasan Konsep Secara Integratif
3. Ketepatan Makna
4. Karakteristik Pemakaian Teknik Integratif
5. Takrif
KARAKTERISTIK PENGGUNAAN PROSEDUR
TRANSFER
Tatkala menghadapi masalah seperti ini, biasanya
penerjemah mengalihkan kata BS ke dalam BP. Cara
penerjemahan dengan pengalihan ini dikenal dengan
prosedur transfer,sebagai berikut :
1.Prosedur Transfer terbagi menjadi
1. Penyesuaian Ejaan
2. Ihwal Transliterasi
3. Kategori Kosa Kata yang Ditransfer
4. Alasan Pemakaian Prosedur Transfer
PROBLEMATIKA PENERJEMAHAN ARAB-
INDONESIA
Kesulitan kebahasaan terfokus pada gejala interferensi
antara bahasa Arab dan bahasa Indonesia
sedangkan aspek non kebahasaan menyangkut
lemahnya penguasaan penerjemah akan bahasa sasaran
dan teori terjemah serta minimnya sarana penunjang.
Adapun masalah kebudayaan bertalian dengan kesulitan
mencari padanan antara dua budaya yang berbeda
sebagai berikut :
1. Masalah Interferensi dalam Terjemahan
sosiolinguistik masalah penerjemahan bermula dari adanya
kontak bahasa yang terjadi pada diri dwibahasawan. Dalam
menerjemahkan nas, seorang dwibahasawan
mengasosiasikan atau mengidentifikasikan unsur-unsur
linguistik antardua bahasa, dalam hal ini bahasa Arab dan
bahasa Indonesia, sehingga terjadilah gejala interferensi
sebagaimana dilaporkan dalam penelitian Rahmat (1996).
Gejala tersebut menimbulkan struktur kalimat yang tidak
gramatis, kesalahan pemakaian tanda baca, dan pemakaian
bentuk kata yang keliru, sehingga menyebabkan
kesalahan pembaca dalam memahami terjemahan
(Republika, 24 April 1996 dan 4 Mei 1996)
Masalah Teoretis
Penerjemahan merupakan kegiatan ilmiah yang sulit. Damono (1996) menegaskan
bahwa seorang penerjemah itu lebih dari seorang penulis. Seorang penulis berupaya
yang menuangkan pengalaman pribadinya atau pengalaman orang lain yang
dikenalnya. Adapun penerjemah dituntut untuk memindahkan pengalaman-
pengalaman orang lain kepada penutur bahasa yang berbeda dengan bahasa
pengarang.
Kegiatan penerjemahan juga merupakan kegiatan yang kompleks karena melibatkan
berbagai kemampuan secara bersamaan dan simultan. Di antara kemampuan itu ialah
penguasaan dua bahasa, kemampuan teoretis, pengetahuan mengenai berbagai hal,
dan intuisi.
Masalah Kosa Kata Kebudayaan dan Metafora
Secara teoretis, kosa kata kebudayaan perlu diterjemahkan dengan cara tersendiri.
Yang dimaksud dengan kosa kata kebudayaan ialah ungkapan yang menggambarkan
tradisi, kebiasaan, norma, dan budaya yang berlaku di kalangan penutur bahasa
sumber. Termasuk ke dalam kelompok ini ialah kebiasaan berbahasa para penutur
bahasa sumber
Masalah lain yang kerap dihadapi oleh penerjemah ialah
menyangkut penerjemahan metafora dengan segala jenisnya.
Pengasosian kata yang satu dengan kata yang lain sering
menimbukan kejanggalan jika diterjemahkan secara harfiah.
Ungkapan ‘aqrâbus sa’ah berarti kalajengking jam.
Adakah orang Indonesia yang memahami ungkapan tersebut
secara spontan?
Namun, jika ungkapan itu diterjemahkan dengan jarum jam,
niscaya mereka secara spontan dapat memahaminya.
Untuk menghadapi kosa kata semacam itu atau kata
metafora, kiranya saran yang dikemukakan oleh Murtadha
[1999: 8] perlu dicermati. Dia menawarkan empat model
penerjemahan metafora selaras dengan masalah yang
dihadapi penerjemah. Keempat model itu adalah sebagai
berikut :
1. apabila makna metaforis dalam BS itu sama dengan makna yang
terdapat dalam BP, metafora dalam BS dapat dipindahkan ke dalam BP
tanpa menyertakan maknanya.
2. apabila makna dalam BS dan BP tidak sama, maka perlu ditambahkan
makna pada metafora tersebut melalui pemadanan konteks atau dengan
memberikan catatan kaki
3.pabila makna dalam BS dan BP tidak sama, maka perlu ditambahkan
makna pada metafora tersebut melalui pemadanan konteks atau dengan
memberikan catatan kak
4. jika pencantuman metafora dalam BP hanya akan mengaburkan
amanat yang terkandung dalam BS, maka yang disajikan hanyalah
makna metafora tersebut
Masalah Transliterasi