Anda di halaman 1dari 26

Landasan Teori

A. Pengertian Terjemah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) disebutkan bahwa menerjemahkan
berarti menyalin atau memindahkan dari suatu bahasa ke bahasa lain. Kata terjemah
sendiri berasal dari bahasa Arab, yakni‫ َترْ َج َمة‬, yang mengandung arti menjelaskan
dengan bahasa lain atau memindahkan makna dari satu bahasa ke dalam bahasa lain
(lihat Ma'luf, 1986: 60). Penjelasan senada juga dapat ditemukan, misalnya, dalam
Oxford Advanced Learner's Dictionary (2000: 1438) yang menyebutkan bahwa
translation is the process of changing something that is written or spoken into
another language 'penerjemahan adalah proses pengalihan suatu teks tulis atau lisan
ke dalam bahasa lain.
Menurut Jakobson (dalam Munday, 2001: 5), secara garis besar penerjemahan terbagi
dalam tiga kategori: (1) penerjemahan intralingual (intralingual translation), yaitu
penerjemahan yang terjadi dalam bahasa yang sama; (2) penerjemahan interlingual
(interlingual translation), yaitu penerjemahan dari satu bahasa ke dalam bahasa
lainnya; dan 3) penerjemahan intersemiotik (intersemiotic translation), yaitu
penerjemahan ke dalam bentuk lain, seperti ke dalam bentuk musik, film, atau
lukisan. Dalam buku ini, penerjemahan yang dimaksud tentu saja adalah
penerjemahan kategori yang kedua.

B. Hakikat Penerjemah
Pada dasarnya, penerjemahan merupakan upaya mengalihkan amanat dari bahasa
sumber ke dalam bahasa target dengan cara menemukan ekuivalensi yang memiliki
struktur semantik yang sepadan. Bisa dikatakan, penerjemahan merupakan dwitindak
komunikasi (dual act of communication) yang kompleks, yang mensyaratkan adanya
dua kode yang berbeda (bahasa sumber dan bahasa target).
Bisa dikatakan bahwa proses penerjemahan berlangsung melalui beberapa tahap
berikut, yaitu (1) memahami amanat berupa pesan, gagasan, dan pemikiran yang
termaktub dalam teks sumber; (2) mencari padanan atau ekuivalensi yang
palingmendekati dalam bahasa target; (3) merekonstruksi pesan, gagasan, dan
pemikiran penulis teks sumber ke dalam bahasa target; dan (4) mereview hasil
terjemahan seraya melakukan berbagai perbaikan dan penyesuaian sampai terjemahan

3
benar- benar mencerminkan amanat seperti yang termaktub dalam teks sumber. Demi
kualitas terjemahan, tahap keempat rupanya tidak bisa diabaikan begitu saja.
Jadi, pada hakikatnya penerjemahan merupakan proses pengungkapan makna yang
dikomunikasikan dalam bahasa sumber ke dalam bahasa target sesuai dengan makna
yang dikandung dalam bahasa sumber tersebut. Penerjemahan dapat diartikan sebagai
upaya mengungkapkan makna dan maksud yang terdapat dalam bahasa sumber
dengan padanan yang paling akurat, jelas, dan wajar di dalam bahasa target.
Penggunaan istilah bahasa target dimaksudkan untuk menegaskan betapa pentingnya
aspek keakuratan dalam penerjemahan. Penerjemahan yang melenceng dari target
yang sebenarmya berarti penyimpangan. Dan penyimpangan berarti pengkhianatan!

C. Menjadi Penerjemah
Kegiatan penerjemahan setidaknya melibatkan tiga aspek sekaligus: teks sumber,
penerjemah, teks terjemahan. Dari ketiga aspek ini, penerjemah menduduki peran
sentral. Posisinya berada di tengah-tengah. Di tangannyalah kegiatan penerjemahan
berlangsung. Bisa dikatakan, penerjemah bertindak sebagai mediator dalam
komunikasi antarbahasa. Sebagai mediator, tugas penerjemah ialah menyampaikan
amanat teks sumber kepada pembaca teks target. Penerjemah menjembatani pesan
yang termaktub dalam teks sumber agar sampai kepada pembaca teks terjemahan.
Maka di tangan penerjemah pula berbagai keputusan dibuat, entah itu terkait dengan
pemilihan teknik penerjemahan, diksi, panjang-pendek kalimat, konstruksi kalimat,
penempatan informasi, ataupun yang lainnya. Tidak salah kiranya kualitas terjemahan
sangat bergantung pada kompetensi penerjemah.
Secara lebih gamblang, Neubert (2000) menyebutkan lima kompetensi dasar yang
harus dimiliki seorang penerjemah. Pertama, kompetensi kebahasaan terkait dengan
penguasaan bahasa sumber dan bahasa target. Sebagai dwibahasawan, penerjemah
harus memahami aspek-aspek linguistik dua bahasa sekaligus. Dengan begitu,
penerjemah dapat melakukan analisis sintagmatik dengan mengidentifikasi relasi
setiap kata dalam kalimat. Dalam bahasa Arab dikenal i'rab sebagai sarana untuk
menganalisis‫'و ظِ ْي َفة َنحْ ِويَّة‬fungsi
َ sintaksis' setiap kata dalam kalimat. Kesalahan analisis
i'râb dapat menyebabkan kekeliruan dalam penerjemahan sebuah kalimat.
Kedua, kompetensi tekstual. Kompetensi ini terkait dengan kemampuan penerjemah
memahami isi pembicaraan. Perlu dilakukan analisis sintagmatik untuk menghasilkan

4
pemahaman tekstual. Pemahaman tekstual diperoleh setelah penerjemah
mengindentifikasi relasi antarkata dalam kalimat. Berkat kompetensi tekstual,
penerjemah dapat menyelami makna yang tertuang dalam setiap ragam kalimat. Dari
sudut makna, bahasa Arab mengenal beragam kalimat, seperti‫'جملة مثبتة‬kalimat positif',
‫'جملة منفية‬kalimat negatif', ‫' جمل@@ة موكدة‬kalimat aseertif', ‫'جمل ة اس تفهامية‬kalimat introgatif',
‫'جملة االمر‬kalimat imperatif', ‫'جملةالنهي‬kalimat prohibitatif', ‫' جملة التعجب‬kalimat interjektif',
dan sebagainya.
Ketiga, kompetensi materi. Pengetahuan penerjemah ihwal bidang ilmu yang
diterjemahkan turut menentukan kualitas hasil terjemahan. Tidak perlu menjadi pakar
di bidang ilmu tersebut. Tetapi paling tidak, ia harus bisa memahami wacana beserta
istilah-istilah teknis yang berhubungan dengannya. Di sinilah perlunya penerjemah
menjadi orang yang "tahu sedikit tentang banyak". Kuncinya, banyak baca banyak
tahu. Memahami anatomi buku juga penting, sekaligus mengakrabi gaya penulis teks
sumber. Artinya, kompetensi materi ini harus ditunjang dengan kemampuan
mendekati karakter, penalaran, dan retorika si penulis, sehingga konstruksi
gagasannya bisa dipahami dengan baik. Dengan begitu ia tidak akan "tersesat" dalam
memahami teks sumber.
Keempat, kompetensi kultural. Penciptaan sebuah teks tidak terlepas dari budaya yang
melatari penulisnya. Bahasa adalah budaya dan budaya direalisasikan melalui bahasa-
language is a mirror of the culture 'bahasa adalah cerminan budaya'. Salah satu
problem penerjemahan juga terkait dengan istilah-istilah yang bernuansa budaya.
Sebagai contoh, ungkapan‫ يقلّب كفيه‬membolak-balikkan kedua tangan' dalam bahasa
Arab digunakanuntuk menggambarkan penyesalan. Penggambaran ini tentu saja
bersifat kultural. Dalam bahasa Indonesia, menyesal digambarkan dengan mengelus
dada. Contoh lain, masyarakat Indonesia mengatakan Sedia payung sebelum hujan
untuk menyebut kehati-hatian. Untuk pengertian yang sama, masyarakat Arab
mengatakan ‫' قبل ال ّر ماءتمال الكناءن‬Sebelum memanah, isi dahulu tabung anak panah'. Yang
satu menggunakan payung, sedang satunya lagi menggunakan panah. Perbedaan
pilihan kata, sekali lagi, bersifat kultural.
Kelima, kompetensi transfer. Menerjemahkan berarti mengalihkan pesan dari bahasa
sumber ke dalam bahasa target. Tidak semua orang, sekalipun dwibahasawan atau
multibahasawan, memiliki kemampuan semacam ini. Penerjemah yang mumpuni
sudah pasti memiliki kompetensi transfer yang baik. Kompetensi ini, antara lain,

5
berkenaan dengan persoalan strategi penerjemahan. Prosedur atau teknik
penerjemahan apa yang akan dipakai agar menghasilkan terjemahan yang berkualitas.
Littlewood (1988) berpendapat, pada dasarnya kegiatan penerjemahan merupakan
dwitindak komunikasi yang melibatkan dua bahasa, yakni bahasa sumber dan bahasa
target. Agar dwitindak komunikasi ini menghasilkan terjemahan yang baik,
penerjemah harus (1) mempunyai kompetensi linguistik yang memadai sehingga ia
dapat menggunakannya secara spontan dan fleksibel dalam mengungkapkan suatu
maksud, (2) dapat membedakan bentuk bahasa yang merupakan bagian dari
kompetensi linguistiknya dengan fungsi komunikatif bentuk bahasa tersebut, (3)
mampu mengembangkan keterampilan dan strategi penggunaan bahasa untuk
mengomunikasikan makna seefektif mungkin dalam situasi yang sebenarnya, dan (d)
menyadari adanya makna sosiokultural dari bentuk bahasa yang digunakan sehingga
melahirkan bahasa yang berterima dan mudah dipahami.1

D. Strategi Penerjemah

Strategi penerjemahan diterapkan ketika proses penerjemahan berlangsung, baik pada


tahap analisis teks sumber maupun pada tahap pengalihan pesan ke dalam bahasa
target. Strategi penerjemahan diperlukan agar penerjemah tidak mengalami
kegamangan dalam menangani persoalan yang muncul selama proses penerjemahan.
Menurut Lorscher (2005), strategi penerjemahan adalah langkah-langkah yang diacu
penerjemah dalam mengatasi kendala-kendala penerjemahan.
Lebih jelas Krings (dalam Silalahi, 2009) mengklasifikasikan strategi penerjemahan
ke dalam (1) pemahaman, yang meliputi penarikan simpulan dan penggunaan buku
referensi; (2) pencarian padanan, terutama asosiasi interlingual dan intralingual; (3)
pemeriksaan padanan, seperti membandingkan teks bahasa sumber dan teks bahasa
target; (4) pengambilan keputusan, yang dilakukan dalam memilih dua solusi yang
sepadan; dan (5) reduksi, misalnya dilakukan terhadap teks yang bersifat khusus dan
metaforis.
Bisa dipastikan bahwa kegiatan penerjemahan melibatkan dua bahasa-bahasa sumber
dan bahasa target-yang memiliki struktur dan kultur yang berbeda. Kegiatan

1
M. Zaka Al Farisi, M.Hum,’PedomanPenerjemahan Arab Indonesia’ ,(PT REMAJA ROSDAKARYA.
Bandung 2011) Hal. 19-46

6
utamanya adalah mencari padanan atau ekuivalensi yang paling dekat antara dua
bahasa tersebut.
Kebanyakan terjemahan Al-Quran yang cenderung text- centered, misalnya, tidak
terlepas dari metode penerjemahan yang dipakai. Al-Quran dan Terjemahnya yang
diterbitkan oleh Departemen Agama, misalnya, sangat setia pada teks sumber.
Pertimbangan ini tentu saja tidak terlepas dari ideologi yang dipegang. Mengenai hal
ini dikemukakan Bassnett dan Lefevere (dalam Venuti, 1995: vii), Translation is, of
course, a rewriting of an original text. All rewriting, whatever their intention, reflect
a certain ideology Penerjemahan, sudah barang tentu, merupakan penulisan ulang
sebuah teks sumber. Semua penulisan ulang, apa pun tujuannya, mencerminkan
ideologi tertentu. Secara umum ideologi merupakan konsep bersistem yang terkait
dengan cara pandang, cara berpikir, nilai-nilai budaya, dan prinsip-prinsip yang
dipercayai kebenarannya oleh suatu kelompok. Sikap dan tindakan seseorang
diarahkan oleh ideologi yang dianutnya.
Pada tataran praksis ideologi penerjemah terpilah menjadi dua: foreignization dan
domestication. Di satu sisi, ideologi foreignisasi tercandrakan dalam sikap
penerjemah yang mementingkan budaya bahasa sumber dalam penerjemahan.
Penerjemah cenderung berupaya mempertahankan hal-hal yang unik dan lazim dalam
budaya bahasa sumber, tetapi tak lazim dan terasa asing bagi pembaca teks target
(Mazi-Leskovar, 2003: 5). Dengan kata lain suatu terjemahan dipandang baik jika
tetap mempertahankan gaya dan cita rasa budaya bahasa sumber.
Dalam penerjemahan, ideologi foreignisasi secara teknis mengejawantah dalam
penggunaan penerjemahan kata demi kata (word for word translation), penerjemahan
literal (literal translation), penerjemahan setia (faithful translation), dan
penerjemahan semantis (semantic translation). Adapun ideologi domestikasi, terlihat
pada penggunaan metode adaptasi (adaptation), penerjemahan bebas (free
translation), penerjemahan idiomatis (idiomatic translation), dan penerjemahan
komunikatif (communicative translation).

E. Metode Penerjemah
Terjemahan yang dihasilkan sesungguhnya tidak terlepas dari metode penerjemahan
yang dipergunakan. Metode penerjemahan merupakan pilihan yang bersifat umum.
Pemilihan metode ini turut menentukan corak dan warna teks terjemahan secara

7
keseluruhan. Menurut Molina dan Albir (2002), translation method refers to the way
of particular translation process that is carried out in terms of the translator's
objective, 'metode penerjemahan merujuk pada cara tertentu yang digunakan dalam
proses penerjemahan sesuai dengan tujuan penerjemah'. -Bahwa penerjemah adalah
pelaku utama dalam komunikasi interlingual. Dalam kapasitas sebagai pelaku inilah
penerjemah mengambil keputusan, baik menyangkut pemilihan padanan maupun
pengungkapan padanan dalam bahasa target. Keputusan yang dibuat, sebagaimana
telah disebutkan, tidak terlepas dari ideologi yang dianutnya. Ideologi inilah yang
menjadi dasar pemilihan metode penerjemahan. Ihwal mengapa sebuah teks
diterjemahkan dan apa fungsi teks terjemahan juga turut menentukan pemilihan
metode penerjemahan. Dalam praktiknya, penggunaan metode penerjemahan ini tidak
bersifat simplistis. Tidak ada penerjemah yang, umpamanya, menggunakan metode
penerjemahan setia seratus persen. Boleh jadi pemilihan metode juga terkait dengan
norma dan sifatbahasa sumber, fungsi terjemahan, dan pembaca teks target. Teks-teks
keagamaan, semisal Al-Quran, Hadis, dan semacamnya, termasuk teks yang sangat
sensitif. Sensitif, sebab berhubungan dengan aspek nilai yang dianut oleh umat Islam.
Kekeliruan dalam penerjemahan bisa berakibat fatal, tidak hanya "sesat", tapi juga
"menyesatkan". Tidak mengherankan, banyak penerjemah yang lebih memilih,
misalnya, teknik peminjaman murni, teknik peminjaman alamiah, teknik calque untuk
menangani istilah-istilah yang berhubungan dengan masalah keagamaan. Teknik ini
dipilih sebagai wujud kesetiaan penerjemah pada teks bahasa sumber.
Vinay dan Darbelnet (dalam Hatim dan Mundai, 2004) pernah menelaah terjemahan
dengan melakukan analisis komparatif antara bahasa Inggris dan bahasa Prancis.
Analisis komparatif menghasilkan sejumlah persamaan dan perbedaan di antara
keduanya. Telaah korpus teks sumber dan teks target juga menemukan beberapa
strategi dan prosedur penerjemahan. Hasil penelitian menghadirkan dua strategi
umum dalam penerjemahan: direct translation 'penerjemahan harfiah' dan oblique
translation 'penerjemahan bebas'. Direct translation meliputi tiga prosedur:
borrowing, calque, dan literal translation. Sedangkan oblique translation mencakup
empat prosedur: transposition, modulation, equivalence, dan adaptation.
Lebih terperinci Newmark (1988: 45-47) membagi penerjemahan berdasarkan
penekanannya pada bahasa sumber dan penekanannya pada bahasa target. Dua
penekanan yang berbeda ini kemudian dikelompokkan menjadi delapan metode
penerjemahan sebagaimana tercandrakan pada diagram berikut.

8
Penekanan pada Bahasa Sumber Penekanan pada Bahasa Target
Penerjemahan kata demi kata Adaptasi
Penerjemahan literal Penerjemahan bebas
Penerjemahan setia Penerjemahan idiomatis
Penerjemahan semantis Penerjemahan komunikatif

1. Penekanan pada Bahasa Sumber


Ada empat metode penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber.
Keempat metode tersebut ialah metode penerjemahan kata demi kata (word
for word translation), metode penerjemahan literal (literal translation),
metode penerjemahan setia (aithful translation), dan metode penerjemahan
semantis (semantic translation).

2. Penekanan pada Bahasa Target


Berbeda dengan kelompok pertama, pada kelompok kedua ini metode
penerjemahan lebih berorientasi pada bahasa target. Yang belakangan ini,
seperti halnya yang pertama, juga terbagi ke dalam empat metode. Termasuk
ke dalam kelompok ini ialah metode penerjemahan adaptasi (adaptation),
metode penerjemahan bebas (free translation), metode penerjemahan
idiomatis (idiomatic translation), dan metode penerjemahan komunikatif
(communicative translation).

F. Prosedur/Teknik Penerjemah
Istilah prosedur, menurut Newmark (dalam Syihabuddin, 2005), merujuk pada proses
penerjemahan kalimat dan unit- unit terjemah yang lebih kecil, sedang metode
mengacu pada proses penerjemahan teks secara keseluruhan. Dengan kata lain,
prosedur penerjemahan terkait dengan penanganan teks pada tataran mikro. Objek
metode penerjemahan adalah wacana, sementara objek prosedur penerjemahan berupa
kalimat yang notabene merupakan unit paling kecil dalam ranah sintaksis.

9
Sebuah kalimat tersusun dari kata atau frase. Keberadaan kata atau frase dalam
kalimat tidaklah berdiri sendiri. Ada yang mengikat dan melingkupi keduanya.
Penerjemahan kalimat sejatinya tidak terpisah dari konteks yang melatarinya.
Penanganan kata atau frase dalam proses penerjemahan berada pada tataran teknik
penerjemahan. Bisa dikatakan bahwa teknik penerjemahan adalah cara penerjemahan
kata dan frase dengan memperhatikan konteks kalimatnya. Walhasil, teknik
penerjemahan sebenarnya merupakan penjabaran dari prosedur penerjemahan.
Penerapan metode, prosedur, dan teknik ini tidaklah bersifat hitam-putih. Hanya
merupakan kecenderungan umum saja dalam proses penerjemahan. Dalam
praktiknya, penerjemah tidak mesti menggunakan teknik tunggal. Namun, bisa saja ia
menerapkan dua (kuplet), tiga (triplet), atau empat (kwartet) teknik penerjemahan
sekaligus dalam menangani masalah penerjemahan. Mengenai hal ini, misalnya, bisa
dilihat dalam tesis magister M. Zaka Al Farisi yang bertajuk Keterjemahan Ungkapan
Kindyah dalam Bahasa Arab ke dalam Bahasa Irndonesia (Telaah Ihwal
Keterjemahan Ungkapan-Ungkapan Kindyah dalam Al-Quran dan Terjemahnya).
Jadi, beberapa prosedur/teknik dapat diterapkan secara integratif dalam
mengungkapkan dan mereproduksi amanat yang terdapat dalam teks sumber.
Tujuannya supaya penerjemah bisa menghadirkan terjemahan yang berkualitas.
Kualitas terjemahan ini mengejawantah dalam bentuk padanan yang memiliki tingkat
keakuratan, kejelasan, dan kewajaran yang memadai dalam teks target. Kualitas
terjemahan dapat dicapai manakala penerjemah melakukan beberapa tahap berikut,
yaitu (1) tahap analisis atau dekomposisi atas teks sumber sesuai dengan struktur dan
kultur yang berlaku pada bahasa tersebut, (2) tahap alih konsep dari bahasa sumber ke
dalam bahasa target, dan (3) tahap reproduksi ke dalam bahasa target dengan
menggunakan struktur dan kultur yang berlaku dalam bahasa tersebut.
1. Prosedur Literal
Dalam kebanyakan terjemahan Al-Quran, termasuk Al-Quran dan
Terjemahnya terbitan Departemen Agama, prosedur ini banyak digunakan.
Biasanya, penggunaan prosedur ini diterapkan manakala makna bahasa
sumber memiliki kedekatan dengan makna bahasa target atau relatif
mendekatinya. Prosedur ini sangat text-centered, sampai-sampai struktur
bahasa sumber pun, termasuk word order, dipertahankan sedemikian rupa.
Itulah sebabnya, penerapan prosedur ini sering kali menghasilkan terjemahan

10
yang kurang berterima. Dalam banyak kasus, hasil terjemahan relatif sulit
dipahami khalayak pembaca.

2. Prosedur Transkripsi
Prosedur transkripsi dilakukan untuk mengalihkan suatu unit linguistik dari
bahasa sumber ke dalam bahasa target dengan menyalin huruf. Alih huruf atau
aksara ini lazim dinamakan transliterasi. Prosedur transkripsi merupakan
proses pengalihan kata atau frase dari bahasa sumber ke dalam bahasa target
dengan cara menyalin bentuk hurufnya. Proses penyalinan huruf lantas diikuti
dengan proses naturalisasi dan adaptasi dalam bahasa target. Di sinilah terjadi
penyesuaian kata yang ditransfer dengan sistem fonetik dan fonologi bahasa
target. Penyesuaian dimaksudkan untuk menghasilkan kata yang selaras
dengan kaidah fonotaktik dan morfotaktik yang berlaku.

3. Prosedur Ekuivalensi Budaya


Melalui prosedur ini penerjemah berupaya mencari padanan yang pas dalam
menerjemahkan ungkapan-ungkapan kebudayaan bahasa sumber. Padanan
diupayakan sesuai dengan ungkapan-ungkapan kebudayaan yang berlaku
dalam bahasa target. Sebagai contohungkapan‫' قب ل ال ّر م اءتمال الكن اءن‬sebelum
memanah isi dahulu tabung anak panah', lebih berterima jika diterjemahkan
menjadi sedia payung sebelum hujan. Terjemahan ini lebih dikenal dan mudah
dipahami ketimbang terjemahan harfiahnya. Struktur lahir keduanya memang
berbeda, tetapi stuktur batin keduanya jelas sama.

4. Prosedur Modulasi
Istilah modulasi awalnya dikemukakan Vinay dan Darbelnet (dalam
Newmark, 1988a: 88-89) untuk menunjukkan variasi dalam strategi
penerjemahan melalui perubahan atau pergeseran sudut pandang. Tidak jarang
modulasi berupa pergeseran kategori pemikiran seperti pergeseran dari abstrak
menjadi konkret, sebab menjadi akibat, aktif menjadi pasif, ruang menjadi
waktu, jamak menjadi tunggal atau sebaliknya, verba menjadi nomina, dan
semacamnya.

11
5. Prosedur Transposisi
Setiap bahasa mempunyai sistem tersendiri, yang berbeda satu sama lain.
Kenyataan ini meniscayakan adanya penyesuaian struktur dalam proses
penerjemahan. Hal ini terutama dilakukan ketika penerjemah tidak
menemukan struktur bahasa target yang sama dengan struktur bahasa sumber.
Penyesuaian struktur dilakukan semata-mata demi kepentingan
merekonstruksi teks sumber dalam teks target secara wajar. Struktur perlu
disesuaikan agar hasil terjemahan selaras dengan kaidah bahasa yang berlaku
dalam bahasa target. Pada gilirannya penyesuaian ini akan membuat pembaca
terjemahan merasa nyaman dan mudah dalam memahaminya. Jika struktur
tidak mengalami penyesuaian, maka terjemahan yang dihasilkan mestilah
menjadi janggal dan sulit dipahami oleh pembacanya. Dalam praktiknya
penyesuaiarn struktur ini bisa diwujudkan dengan menerapkan prosedur
transposisi. Hal ini dilakukan semata karena adanya perbedaan struktur antara
bahasa sumber dan bahasa target. Penyesuaian akan melahirkan terjemahan
yang wajar, bahkan tidak akan terasa sebagai suatu terjemahan. Tanpa
penyesuaian struktur, akan sulit pembaca memahami terjemahan. Sulit, sebab
ada banyak interferensi di dalam terjemahan. Apalagi kalau sampai bahasa
terjemahan didominasi oleh struktur bahasa Arab.

G. Beberapa Teknik Lainnya

Secara teoretis, sifat universal bahasa dan konvergensi budaya memungkinkan


terwujudnya kesepadanan. Namun, dalam praktiknya sering kali muskil ditemukan
padanan yang pas antara bahasa sumber dan bahasa target. Hal ini disebabkan adanya
kesenjangan di antara keduanya, baik pada tataran lingual maupun kultural. Ihwal
kesenjangan ini, menurut Larson (1988) dan Nida (1964), menuntut adanya
penyesuaian. Penyesuaian memerlukan suatu strategi, yang dalam istilah Vinay dan
Darbelnet disebut metode (lihat Venuti, 2000: 84-93). Vinay dan Darbelnet tidak
membedakan istilah metode dengan prosedur. Ini berbeda dengan Newmark (1988)
yang menyebutkan bahwa istilah metode berkaitan dengan penanganan teks secara
keseluruhan, sedang prosedur berkaitan dengan unit-unit bahasa yang lebih kecil,
seperti kata, frase, dan klausa.

12
Sebuah wacana terbangun dari sejumlah paragraf; sebuah paragraf tersusun dari
beberapa kalimat; dan sebuah kalimat terbentuk dari rangkaian kata atau frase. Pada
tataran kalimat, khususnya dalam penanganan kata dan frase, digunakanlah teknik
penerjemahan. Dengan ini, penerjemah dapat menganalisis dan mengklasifikasikan
bentuk-bentuk kesepadanan terjemahan yang dapat diterapkan pada berbagai satuan
lingual. Didawi (dalam Syihabuddin, 2005) menyodorkan tujuh teknik penerjemahan.

1. Teknik Peminjaman
Operasionalisasi teknik peminjaman (borrowing) dilakukan dengan cara
meminjam kata atau ungkapan dari bahasa sumber. Melalui teknik pemadanan
paling sederhana ini penerjemah mengambil dan membawa item leksikal dari
bahasa sumber ke dalam bahasa target tanpa modifikasi formal.
Dalam praktiknya, boleh jadi peminjaman itu bersifat mumi (pure borrowing)
atau peminjanam alamiah (naturalized borrowing). Pemakaian teknik
peminjaman murni sejatinya mengindahkan tata aturan transliterasi (lihat
subbab Transliterasi dan Pungtuasi). Sedangkan pemakaian teknik
peminjaman alamiah sudah barang tentu harus memperhatikan kaidah
fonotaktik dan morfotaktik yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Contoh
peminjaman murni, kata'tablig'diterjemahkan menjadi 'tabligh', contoh
peminjamam yang dinaturalisasi, kata 'mushola' diterjemahkan menjadi
'musala'.

2. Teknik Calque
Adakalanya sebuah frase yang terdapat dalam bahasa sumber diterjemahkan
secara literal. Teknik semacam ini dinamakan calque. Dalam banyak kasus,
teknik ini agak mirip dengan teknik peminjaman di mana suatu ungkapan
bahasa sumber dipinjam kemudian unsur-unsurnya diterjemahkan secara
literal. Cara ini menghasilkan (1) lexical calque dengan mempertahankan
struktur bahasa target seraya memperkenalkannya sebagai modus ekspresi
yang baru, dan (2) structural calque yang sekaligus memperkenalkan
konstruksi baru ke dalam bahasa target.

3. Teknik Literal

13
Teknik yang biasanya terjadi pada tataran klausa ini merupakan pengalihan
langsung ungkapan teks sumber ke dalam teks target yang sepadan secara
gramatikal. Dalam teknik literal (literal translation) terjadi penggantian
struktur sintaksis bahasa sumber dengan struktur bahasa target. Teknik literal
dilaktukan dengan cara menerjemahkan kalimat secara kata per kata.
Pemadanan dengan teknik ini mudah diterapkan pada penerjemahan dua
bahasa yang serumpun dengan latar budaya yang relatif berdekatan. Menurut
Newmark (1988), pemadanan literal merupakan teknik dasar dalam proses
penerjemahan. Operasionalisasi teknik ini berkisar pada tataran kata ke kata,
kolokasi ke kolokasi, klausa ke klausa, kalimat ke kalimat. Masalahnya,
semakin panjang unit terjemahan, semakin muskil pemadanan dengan teknik
ini
Sebagai contoh penggalan 'innaladzina haqqot alaihim kalimatu rabbika'
dalam Surah Yunus (10) ayat 96 diterjemahkan menjadi 'Sesungguhnya orang-
orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhanmu (lihat Al-Quran dan
Terjemahnya) Bentuk terjemahan ini merupakan hasil dari penggunaan teknik
literal. Di sini terjadi pengalihan fungsi sintaksis, kategori, dan kata sarana
dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia secara literal. Selain itu, tampak
pula 1urutan kata (word order) bahasa Arab yang relatif sama dengan urutan
kata dalam bahasa Indonesia.

4. Teknik Amplifikasi
Dengan teknik amplifikasi (amplification), penerjemah dapat
mengeksplisitkan atau memparafrase suatu informasi implisit yang terdapat
dalam bahasa sumber. Sebagai contoh dalam bahasa Arab, kata 'ilahun' dan
'rabbun', biasa diterjemahkan "Tuhan'. Padahal, kedua kata ini memiliki
struktur semantik yang berbeda. Yang pertama Tuhan dalam pengertian yang
wajib disembah atau diibadahi, sedang yang kedua Tuhan dalam pengertian
yang memelihara dan mengatur. Agar struktur semantik kedua kata ini
tecerminkan dalam terjemahan, penerjemah bisa menggunakan teknik
amplifikasi. Hasilnya, kata 'rabbun'diterjemahkan Tuhan yang memelihara dan
mengatur;'ilahun' diterjemahkan Tuhan yang berhak disembah.

5. Teknik Reduksi

14
Teknik reduksi (reduction) merupakan kebalikan dari teknik amplifikasi.
Pemakaian teknik ini tampak pada pemadatan informasi teks bahasa sumber
dalam bahasa target. Atau, boleh Juga dalam bentuk perubahan informasi
eksplisit teks bahasa sumber menjadi implisit dalam bahasa target.
Konsekuensinya, mesti terdapat unsur-unsur linguistik yang dilesapkan dalam
bahasa target.

6. Teknik Kompensasi
Dengan teknik kompensasi (compensation), penerjemah memasukkan unsur-
unsur informasi atau stilistika teks bahasa sumber di tempat lain dalam teks
bahasa target. Ketika menerjemahkan, boleh jadi kehilangan makna, efek
suara, efek metafor, atau efek pragmatik tak terhindarkan dalam bahasa target.
Aspek-aspek yang hilang ini kemudian dikompensasikan pada bagian lain,
atau dimunculkan pada kalimat yang berdekatan.

7. Teknik Deskripsi
Deskripsi (description) ialah teknik penerjemahan yang dilakukan dengan cara
mengganti suatu ungkapan atau istilah tertentu dengan mendeskripsikan
bentuk dan fungsinya. Pemadanan bentuk atau fungsi bahasa sumber vang
tidak dikenal dalam bahasa target bisa dilakukan dengan menggunakan kata
generik sebagai item leksikal disertai dengan modifikasi. Dalam bahasa Arab,
misalnya, terdapat banyak kosakata yang bertalian dengan unta. Sering kali
kata-kata tersebut tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Oleh
karena itu, teknik deskripsi bisa menjadi pilihan dalam menangani
penerjemahan kata-kata semacam itu. Scbagai contoh kata 'huwarun' bisa
diterjemahan 'anak unta yang belum disapih,'ibnu labunin' anak unta jantan
berumur 2 tahun', 'binntu labunin' anak unta betina berumur 2 tahun', dan
sebagainya.

8. Teknik Kreasi Diskursif


Penggunaan teknik kreasi diskursif (discursive creation) dimaksudkan untuk
menghadirkan kesepadanan yang bersifat sementara. Hal ini diperlukan karena

15
tuntutan teks yang tak terduga atau di luar konteks. Teknik ini biasa
digunakan, antara lain, untuk menerjemahkan judul buku atau judul film.

9. Teknik Kesepadanan Lazim


Teknik kesepadanan lazim (established equivalent) diterapkan dengan cara
memakai istilah atau ungkapan yang sudah lazim, baik berdasarkan kamus
maupun pemakaian sehari-hari. Dalam wacana tauhid, misalnya,kata
'wujudun' untuk Allah diterjemahkan wujud' lebih lazim dipakai ketimbang
diterjemahkan 'ada', sebab kata ada meniscayakan adanya ruang.

10. Teknik Generalisasi


Penerapan teknik generalisasi (generalization) dilakukan dengan cora memilih
istilah yang lebih umum atau lebih netral,, yakni dari subordinat ke
superordinat. Contohnya kata 'rabbun' dan 'ilahun'diterjemahkan menjadi
"Tuhan'. Makna kata Tuhan ini lebih hersifat umum dan bisa memayungi
makna kata 'rabbun' , dan 'ilahun' . Fitur semantik kata Tuhan terdapat pada
kedua kata ini.

11. Teknik Partikularisasi


Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik generalisasi. Teknik
partikularisasi (particularization) diterapkan dengan cara memilih istilah yang
lebih khusus atau lebih presisi, yakni dari superordinat ke subordinat.
Misalnya dalam Al-Quran dan Terjemahnya, kata 'assodaqotu' dalam Surah
At-Taubah (9) ayat 60 diterjemahkan menjadi 'zakat', bukan sedekah. Sebab,
makna pertamalah yang dikehendaki oleh ayat tersebut. Di sini pemilihan kata
zakat sebagai terjemahan 'assodaqotu'mempertimbangkan aspek presisi. Kata
sedekah tidak dipilih karena maknanya mencakup sedekah sunah dan sedekah
wajib (zakat).

12. Teknik Kompresi Linguistik


Kompresi linguistik (linguistic compression) ialah teknik yang dapat
digunakan dalam penerjemahan simultal atau dalam penerjemahan teks film.
Teknik ini dilakukan dengan cara mensintesis unsur-unsur linguistik dalam
teks bahasa target.

16
13. Teknik Variasi
Penerapan teknik variasi (variation) dilakukan dengan cara mengubah unsur-
unsur linguistik atau paralinguistik yang memengaruhi variasi linguistik,
seperti tone tekstual, gaya bahasa, dialek sosial, dialek geografis.
Penerjemahan naskah drama, misalnya, biasanya memakai tecknik ini.

14. Teknik Pelesapan


Penggunaan teknik pelesapan (deletion atau omission) tidak jauh berbeda
dengan teknik reduksi, Keduanya sama-sama meniscayakan adanya
penghilangan unsur-unsur linguistik yang ada dalam bahasa sumber. Bedanya,
pada teknik reduksi penghilangan bersifat parsial, sedang pada teknik
pelesapan, infomasi yang dihilangkan bersifat menyeluruh. Umumnya,
pelesapan unsur linguistik bahasa sumber disebabkan tidak adanya padanan
gramatikal yang sesuai dalam bahasa target.
Operasionalisasi teknik pelesapan bisa bersifat parsial atau total. Pelesapan
parsial berupa penghilangan bagian frase atau klausa. Adapun pelesapan total,
sesuai namanya, berupa penghilangan seluruh unsur yang terdapat dalam frase
atau klausa.

15. Teknik Penambahan


Dalam penerjemahan, penambahan berarti kehadiran satu atau beberapa kata
yang dimaksudkan untuk memperjelas pesan penulis teks sumber. Dengan
begitu, diharapkan teks terjemahan lebih berterima, mudah dipahami, dan
tidak ambigu. Untuk maksud inilah teknik penambahan digunakan dalam
penerjemahan. Realisasi teknik ini berupa penambahan informasi dalam
bahasa target, yang sebenarnya tidak ada dalam teks sumber. Kehadiran
informasi tambahan dalam bahasa target dimaksudkan untuk memperjelas
pesan teks sumber. Penerapan teknik ini, misalnya, tampak pada penerjemahan
penggalan 'wadmum ilaika jana haka min rohbi' yang terdapat pada SurahAl-
Qashash (28) ayat 32. Penggalan ini diterjemahkan menjadi 'dan dekapkanlah
kedua tanganmu (ke dada)mu bila ketakutan' (lihat Al-Quran dan
Terjemahannya)Pada penggalan ayat ini terdapat frasepreposisi
'ilaika'kepadamu' yang diterjemahkan menjadi ke (dada)mu'. Dalam teks

17
sumber sebenarnya tidak ada kata 'sodrun''dada atau semacamnya.
Penambahan kata dada dalam teks target dipandang perlu oleh penerjemah
demi kejelasan makna.

16. Teknik Pergeseran


Penerjemahan, seperti telah disebutkan, dipandang sebagai dwitindak
komunikasi yang melibatkan dua bahasa yang berbeda. Perbedaan ini meliputi
aspek struktur dan kultur. Perbedaan inilah sesungguhnya yang menyebabkan
korespondensi satu lawan satu sering kali sulit diwujudkan. Oleh karena itu,
pergeseran (shift, transposition) bisa menjadi solusi untuk menjembatani
perbedaan yang ada. Teknik pemadanan berupa pergeseran bentuk ini
sebenarnya sudah dikemukakan Catford (1965) dengan istilah shifts, yang
meliputi level shifts'pergeseran level', structural shifts'pergeseran struktur', dan
category shifts 'pergeseran kategori'.

17. Teknik Modulasi


Perbedaan dua bahasa sering kali menyebabkan pemadanan literal sulit
diterapkan dalam proses penerjemahan. Di sini, penerjemah harus membuat
keputusan untuk memperoleh kesepadanan yang paling mendekati antara
bahasa sumber dan bahasa target. Kesepadanan, antara lain, dapat dihasilkan
dengan melakukan peralihan formal-struktural, misalnya pada tataran morfem,
kategori kata, sintaksis, dan bahkan pada tataran semantis. Peralihan semacam
ini dimungkinkan terjadi, antara lain, dengan memakai teknik modulasi
(modulation). Sebab, penerjemahan bukanlah proses yang statis, melainkan
proses yang dinamis.
Penggunaan teknik modulasi bisa dilihat dari terjemahan penggalan 'inni
wahana a'dmu minni wasta'alla aroqsu sayban'yang terdapat dalam Surah
Maryam (19) ayat 4. Dalam Al-Quran dan Terjemahnya, penggalan ini
diterjemahkan dengan memakai teknik modulasi menjadi 'sesungguhnya
tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban'. Di sini terjadi
perubahan sudut pandang dari pola aktif bahasa Arab 'ista'alla rasu' menjadi
pola pasif dalam bahasa Indonesia (kepalaku telah ditumbuhi uban).

18. Teknik Adaptasi

18
Kelahiran sebuah teks sesungguhnya tidak terlepas dari budaya yang
melatarinya. Ibarat dua sisi sebuah koin, bahasa adalah budaya, dan budaya
terajut dalam jalinan kompleks sebuah bahasa. Bisa dikatakan, language is a
mirror of the culture bahasa merupakan cerminan budaya'. Kenyataan setiap
bahasa memiliki istilah-istilah yang bernuansa budaya. Dalam penerjemahan,
kekhasan budaya bahasa sumber menjadi kendala tersendiri. Diperlukan
penyesuaian agar matra budaya yang khas ini terterjemahkan dalam bahasa
target.
Pemadanan budaya antara dua situasi tertentu bisa dilakukan dengan
menggunakan teknik adaptasi (adaptation). Adaptasi adalah teknik
penerjemahan yang memungkinkan penerjemah mengalihkan unsur budaya
bahasa sumber ke dalam unsur budaya yang memiliki sifat dan karakteristik
yang sepadan dalam bahasa target. Teknik ini sebenarnya tidak berbeda
dengan konsep pemadanan kultural (cultural equivalent) yang dikemukakan
Newmark atau substitusi kultural (cultural substitution) yang disodorkan
Baker dan Larson.
Teknik adaptasi digunakan manakala situasi yang digambarkan dalam bahasa
sumber tidak dikenal dalam bahasa target. Sekaitan dengan ini, penerjemah
harus menciptakan situasi dalam bahasatarget yang dianggap sepadan.
Sejatinya pengalihan unsur budaya ini mempertimbangkan aspek kedekatan
dan keberterimaan di mata pembaca target. Di sinilah perlunya penerjemah
mempunyai kompetensi kultural agar bisa menerapkan teknik adaptasi secara
tepat. Sebagai contoh, dalam bahasa Arab terdapat ungkapan 'yuqolibu
khaffaihi' membolak-balikkan kedua tangan', sebagaimana termaktub dalam
Surah Al-Kahf (18) ayat 42.2

H. Pelik-Pelik Penerjemahan Arab-Indonesia


Menerjemahkan sebuah teks sejatinya tidak sekadar mengalihkan kata demi kata,
frase demi frase, atau kalimat demi kalimat yang terdapat dalam bahasa sumber ke
dalam bahasa target. Menerjemahkan juga berarti merakit dan mengungkapkan
kembali gagasan naratif sebuah teks sumber ke dalam bahasa target. Cara

2
M. Zaka Al Farisi, M.Hum,’PedomanPenerjemahan Arab Indonesia’ ,(PT REMAJA ROSDAKARYA. Bandung
2011) Hal. 47-86

19
pengungkapan tentu harus mempergunakan kemasan bahasa yang berterima sesuai
dengan kaidah bahasa yang berlaku.
Maka secara teoretis menerjemahkan sebenarnya lebih sulit ketimbang menulis.
Menulis berarti mengemukakan pemikiran dan perasaan sendiri kepada orang lain.
Adapun menerjemahkan, berarti mengemukakan kembali pemikiran dan perasaan
orang lain kepada orang lain ke dalam bahasa yang lain. Dan menyampaikan
pemikiran orang lain ke dalam bahasa target jelas merupakan persoalan tersendiri.

I. Kolokasi

Adalah seorang linguis Inggris, Firth, yang memopulerkan istilah kolokasi (sanding
kata) ini. Dalam sebuah slogan yang cukup populer, ia mengatakan, You shall judge a
word by the company it keeps Anda akan menilai sebuah kata dengan kata yang
menyandinginya'. Firth dalam Modes of Meaning (1957) memaparkan bahwa telaah
meaning by collocation 'pemaknaan berdasarkan kolokasi' bermanfaat untuk
mendekati makna secara formal dan kontekstual. Firth menuturkan, Meaning by
collocation is an abstraction at the syntagmatic level and is not directly concemed
with the conceptual or idea approach to the meaning of word 'Pemaknaan berdasarkan
kolokasi merupakan Suatu pengabstraksian pada tataran sintagmatik, dan tidak
secaralangsung berhubungan dengan pendekatan konseptual atau gagasan terhadap
makna kata'.
KBBI (1999: 513) menakrifkan kolokasi sebagai asosiasi tetap kata dengan kata lain
dalam lingkungan yang sama. Dalam bahasa Arab, kolokasi lazim disebut 'alakotu
idmaji tawafuqul kalimati' atau 'tadhomumun'. Kolokasi termasuk fenomena universal
yang ada dalam berbagai bahasa di dunia. Sinclair (1991) mendefinisikan kolokasi
sebagai the occurrence of two or more words within a short space of each other in a
text kemunculan dua kata atau lebih bersamaan dengan kata lain dalam sebuah teks
dengan letak yang tak berjauhan satu sama lain'. Pentingnya kolokasi terkait dengan
pemaknaan. Sebab, makna sebuah kata boleh jadi berubah lantaran keberadaan kata
lain yang menyandinginya.
Pada dasarnya setiap bahasa, termasuk bahasa Arab dan bahasa Indonesia,
mempunyai karakteristik kolokasi tersendiri yang berbeda satu sama lain. Misalnya
dalam bahasa Arab kata 'rogibun' , memiliki dua makna yang bertolak-belakang,

20
bergantung dengan preposisi apa ia berkolokasi. Kata 'rogibun' yang berkolokasi
dengan 'an' bermakna 'tidak suka', sedang yang berkolokasi dengan 'fi' bermakna
'suka'. Bertalian dengan yang pertama, sebuah Hadis menyebutkan.

J. Transliterasi dan Pungtuasi

KBBI (1999: 1071) menyebutkan bahwa transliterasi adalah penyalinan dengan


penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Ihwal penggantian huruf
ini perlu mendapat perhatian dalam penerjemahan. Dalam banyak kasus sering kali
penerjemah Arab-Indonesia menemukan nama asing, nama tempat, nama koran atau
majalah, judul buku, dan istilah-istilah asing yang ditransliterasikan ke dalam bahasa
Arab. Terkait dengan nama orang, umpamanya, tidak jarang penerjemah mengalami
kesulitan dalam mengidentifikasi nama diri, terutama nama asing. Selain perbedaan
aksara, juga kesulitan timbul lantaran dalam bahasa Arab tidak dikenal 'alahrofu
kabirotun''huruf kapital', sehingga sulit memastikan nama orang atau bukan. Hal ini
berbeda dengan beberapa bahasa lain yang mengenal pemakaian huruf kapital. Dalam
bahasa Indonesia huruf kapital, antara lain, menjadi pemarka nama tempat, nama
orang, dan sebagainya.
Pada teks di atas termaktub nama seorang pakar fisiologi, 'ayfan bafluv' Ivan Pavlov.
Bagi penerjemah yang kurang akrab dengan wacana pendidikan, kiranya sulit
menerka frase 'ayfan bafluv' apakah nama orang, verba, ataukah yang lain. Pasalnya,
dalam bahasa Arab, sekali lagi, tidak dikenal pemakaian huruf kapital, yang antara
lain bisa menjadi pemarka nama orang. Atau boleh jadi penerjemah bisa menerka
bahwa 'ayfan bafluv' adalah nama orang dengan menelaah kaitan sintagmatik dengan
frase sebelumnya, 'alfisiyu luji ru'siyu' yang berakhiran ya nisbah.

K. Urutan Kata

Dalam bahasa Indonesia, urutan kata memegang peranan penting dalam pembentukan
makna sebuah kalimat. Sebagai contoh, penutur asli bahasa Indonesia mesti dapat
merasakan perbedaan kalimat Itu HP baru dengan Itu baru HP! Perbedaan makna ini
lahir dari perbedaan urutan kata. Perbedaan struktur frase HP baru dan baru HP pada
kalimat ini menghadirkan makna gramatikal yang berbeda. Atau kalimat, Memang

21
mudah mencari kambing hitam, tetapi sulit mencari hitamnya kambing. Frase
kambing hitam dan hitamnya kambing memiliki makna yang berbeda. Perbedaan
makna pada kalimat-kalimat disebabkan oleh perbedaan urutan kata.
Bisa dikatakan, urutan kata merupakan salah satu cara untuk membentuk suatu
konstruksi di dalam kalimat dengan makna tertentu. Hal yang sama juga berlaku
dalam bahasa Arab. Perbedaan urutan kata tidak hanya mengakibatkan perbedaan
fungsi sintaksis. tetapi iuga turut melahirkan perbedaan makna. Kalimat 'ista'alla ra'su
syban''Kepala telah menyala dengan uban' berbeda dengan 'ista'alla saybu ro'si''Uban
kepala telah menyala'. Yang pertama ménunjukkan makna 'syumulun''menyeluruh',
dalam arti seluruh kepala itu beruban. Sementara yang kedua hanya menerangkan
terlihatnya uban di kepala.
Word order 'urutan kata', sebagaimana dijelaskan Kridalaksana (2008: 251), adalah
penempatan kata dalam deretan tertentu menurut norma suatu bahasa, baik dalam
tingkat kalimat dan klausa maupun dalam tingkat frase. Lebih jauh Kridalaksana
memilah urutan kata ke dalam dua jenis. Pertama, urutan kata bebas (free word order)
adalah urutan kata yang tidak dipakai untuk menandai hubungan gramatikal dan yang
dapat diubahtanpa mengubah atau merusak makna kalimat. Urutan kata semacam ini
terutama terdapat dalam bahasa infleksi yang strukturnya ditandai oleh morfem
terikat, misalnya Petrus salutat Paulum Petrus menyalami Paulus', dapat diubah
menjadi Paulum salutat Petrus tanpa mengubah maknanya.

L. Istilah-Istilah Budaya

Salah satu malasah pelik dalam penerjemahan terkait dengan persoalan budaya.
Persoalan ini biasanya berhubungan dengan ungkapan-ungkapan kebudayaan semisal
kinâyah, isti'ârah, tasybih, dan sebangsanya. Persoalan muncul manakala bahasa
target tidak memiliki ungkapan yang sepadan dengan bahasa sumber, sehingga sulit
ditemukan atau tidak ditemukan padanan yang paling mendekati dalam bahasa target.
Sekaitan dengan ini tugas penerjemah ialah menemukan cara yang tepat untuk
mengungkapkan istilah-istilah budaya dalam bahasa target.3
M. Beberapa Kekhasan Bahasa Arab
3
M. Zaka Al Farisi, M.Hum,’PedomanPenerjemahan Arab Indonesia’ ,(PT REMAJA ROSDAKARYA. Bandung
2011) Hal. 123-172

22
Pada dasarnya, setiap bahasa mencerminkan aspek-aspek budaya masyarakatnya.
Mengenai hal ini, misalnya Sapir (1921), mengatakan bahwa language is a system of
arbitrary vocal or visual symbols used by people of a given culture as a means to carry
on their daily affairs 'bahasa adalah sistem verbal atau visual yang bersifat manasuka,
yang digunakan oleh sekelompok orang dengan latar budaya tertentu sebagai sarana
komunikasi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dari definisi ini tercandrakan bahwa
setiap bahasa memiliki keunikan tersendiri berkat keberadaan konsep-konsep budaya
yang mungkin sekali bersifat khusus dan muncul secara jelas melalui ekspresi bahasa.
Dalam pandangan de Saussure (1916), bahasa bukanlah name-giving. Maksudnya,
berbahasa bukan sekadar memberikan nama pada benda-benda atau sesuatu yang
belum bernama. Menurut de Saussure, sebuah kata merupakan arbitrary sign 'tanda
yang arbitrer, yang terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Dengan
kata lain, penanda berarti bentuk dan petanda berarti makna.
Bahasa Arab termasuk rumpun bahasa Semit, seperti halnya juga bahasa Suryani,
bahasa Kaldea, bahasa Aramaik, bahasa Ibrani, dan bahasa Babilonia. Menurut As-
Suyuthiy (tanpa tahun), bahasa Arab merupakan bahasa yang paling afdal dan paling
representatif. Selain karena kekayaan ungkapan-ungkapan metafora semisal tasybilh,
majaz, dan kindyah, bahasa Arab juga memiliki kekayaan kosakata. As-Suyuthiy
mengatakan bahwa untuk kata 'asadun''singa' saja, misalnya, terdapat 500 kosakata;
untuk 'hayatun' 'ular' terdapat 200 kosakata; untuk 'hajarun''batu' terdapat 70 kosakata;
dan sebagainya.

N. Aspek Jantina
Istilah leksikalisasi berarti kehadiran makna dan bentuk secara serempak sebagai kata.
Kata buku, misalnya, terdiri atas bentuk atau bunyi ujaran [b-u-k-u] beserta makna
lembaran-lembaran kertas yang berisi tulisan'. Adapun gramatisasi, berarti kehadiran
konsep dan bentuk gramatikal secara serempak sebagai penanda gramatika. Sebagai
contoh, sufiks -s pada kata books menunjukkan makna lebih dari satu atau jamak.
Dalam bahasa Arab, kata 'mudarisatun' bermakna 'guru perempuan'. Ada pemarka
betina berupa ta marbûthah (‫ )ة‬yang menunjukkan makna 'ta'nisun' 'betina'.
Pembahasan ini akan mengungkap keterkaitan bahasa dan budaya, terutama yang
berhubungan dengan aspek jantina (jantan-betina) dalam gramatika bahasa Arab.

23
Para pakar nahwu terdahulu membagi kelas kata dalam bahasa Arab atas ism
(nomina, ajektiva, masdar), fi'il (verba), dan harf (kata sarana). Pembagian ini
belakangan menuai kritikan dari sejumlah linguis Arab kontemporer. Misalnya, Al-
Makhzumi membagi kelas kata menjadi empat: ism, fi'il, harf. dan khâlifah. Termasuk
khâlifah, antara lain, ism maushil dan ism isyårah. Ada lagi yang membagi kelas kata
dalam bahasa Arab menjadi lima dan tujuh.4

O. Sistem Transliterasi Arab-Latin

Transliterasi dimaksudkan sebagai pengalihan huruf dari abjad yang satu ke abjad yang
lain. Translitersi Arab-Latin disini ialah penyalinan huruf-huruf Arab dengan huruf-huruf
latin beserta perangkatnya. Menururt kamus besar Indonesia, tranliterasi atau alih huruf
adalah penggantian huruf dari huruf abjad yang satu ke abjad yang lain.

Berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri P & K RI


No. 158/1987 dan No. 0543 b/U/1987
Tertanggal 22 januari 1988

1. Konsonan Tunggal

Huru Nama Huruf Latin Keterangan


f
Arab
‫ا‬ Alif - Tidak dilambangkan
‫ب‬ Ba’ B -
‫ت‬ Ta’ T -
‫ث‬ Sa’ S S dengan satu titik diatas
‫ج‬ Jim J -
‫ح‬ Ha H H dengan satu titik dibawah
‫خ‬ Kha’ Kh -
‫د‬ Dal D -
‫ذ‬ Dzal Z Z dengan satu titik diatas
‫ر‬ Ra’ R -
‫ز‬ Zai Z -
‫س‬ Sin S -
‫ش‬ Syin Sy -
4
M. Zaka Al Farisi, M.Hum,’PedomanPenerjemahan Arab Indonesia’ ,(PT REMAJA ROSDAKARYA. Bandung
2011) Hal. 199-246

24
‫ص‬ Sad S S dengan satu titik dibawah
‫ض‬ Dad D D dengan satu titik di bawah
‫ط‬ Ta’ T T dengan satu titik di bawah
‫ظ‬ Za’ Z Z dengan satu titik di bawah
‫ع‬ ‘ain ‘ Koma terbalik
‫غ‬ Gain G
‫ف‬ Fa’ F -
‫ق‬ Qaf Q -
‫ك‬ Kaf K -
‫ل‬ Lam L -
‫م‬ Mim M -
‫ن‬ Nun N -
‫ه‬ Ha’ H -
‫و‬ Wa W -
‫ء‬ Hamzah Tidak Apostrof, tetapi lambang ini tidak
dilambangkan dipergunakan untuk hamzah
atau ’ diawal kata
‫ي‬ Ya’ Y -

2. Konsonan Rangkap
Konsonan rangkap, termasuk tanda syaddah, ditulis rangkap
Contoh :
‫ ربنا‬ditulis rabbana
‫ قرب‬ditulis qarraba
‫الحد‬ ditulis al-haddu5

Soal dari audients


1. Pertanyaan dari Novia Maya Puspita
Apa yang dimaksud dengan teknik adaptasi?
Jawab:
Teknik adaptasi adalah teknik penerjemahan yang memungkinkan penerjemah
mengalihkan unsur budaya bahasa sumber kedalam unsur budaya yang memiliki sifat
dan karakteristik yang sepadan dalam bahasa target.
2. Pertanyaan dari Kanti Damai Lestari
Berikan contoh teknik kesepadanan lazim?
Jawab:

5
Romli, M.Pd.,’Bahan Ajar Pendidikan Bahasa Indonesia’ ,(Metro: KEMENTERIAN REPUBLIK INDONESIA,
2018) Hal. 225-227

25
Contohnya ialah dalam wacana tauhid, misalnya, kata wujudun untuk allah di
terjemahkan wujud lebih lazim dipakai ketimbang di terjemahkan ada, sebab kata ada
meniscayakan adanya ruang.
3. Pertanyaan dari Tri Wahyuni
Apa yang di maksud dengan prosedur transkripsi?
Jawab:
Prosedur transkripsi merupakan proses pengalihan kata atau frase dari bahasa sumber
kedalam bahasa target dengan cara menyalin bentuk hurufnya.

III. Kesimpulan
Transliterasi adalah penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad
yang lain. Ihwal penggantian huruf ini perlu mendapat perhatian dalam penerjemahan. Dalam
banyak kasus sering kali penerjemah Arab-Indonesia menemukan nama asing, nama tempat,
nama koran atau majalah, judul buku, dan istilah-istilah asing yang ditransliterasikan ke
dalam bahasa Arab. urutan kata merupakan salah satu cara untuk membentuk suatu
konstruksi di dalam kalimat dengan makna tertentu. Hal yang sama juga berlaku dalam
bahasa Arab. Perbedaan urutan kata tidak hanya mengakibatkan perbedaan fungsi sintaksis.
tetapi iuga turut melahirkan perbedaan makna.

26
DAFTAR PUSAKA

Abdelwali, Mohammad. 2007. The Loss in the Translation of the Quran.


http://translationjournal.net.journal/40quran.htm.
Abu 'Ubaidah, Mu'ammar bin Mutsanna. 1970. Majdzul Quran. Kairo: Maktabah al-
Khanjiy.
Abu Zaid, Nashr Hamid. 2003. Menalar Firman Tuhan: Wacana Majas dalam Al-
Quran Menurut Mu'tazilah. Bandung: Mizan.
Ali, L. et.al. 1977. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

27
Amin, Bakriy Syaikh. 1982. Al-Balaghah fi Tsaubihal Jadid, Ilmd Bayan. Beirut:
Daruts Tsaqafaf al-Islamiyyah.
'Atiq, Abdul 'Aziz. 1985. Imul Bayan. Beirut: Darun Nahdhah al-Arabiyyah.
Al-Atsir, Ibnu. (tanpa tahun). Al-Mutsuduts Tsair fi Adabil Kitabi wasy Sya'ir.
http/www.alwaraq.com.
Al-Fairuzabadi, Muhammad bin Ya'qub. (tanpa tahun). Al-Qamüsul Muhith. Al-
Maktabatusy Syamilah.

28

Anda mungkin juga menyukai