Anda di halaman 1dari 9

Article Group 13 English Literature 3D

Diefa oktavia putra 196111108

Bagas candra kusuma 196111128

“ Teori Penerjemahan dan Konsep Norma Dalam Studi Penerjemahan”

Abstrak

Penerjemahan merupakan salah satu studi terkait bahasa yang dewasa ini sangat
penting dalam perkembangan dunia pendidikan maupun kebutuhan batiniah di era modern atau
globalisasi. Terjemahan didefinisikan sebagai proses transfer bahasa (bahasa sumber) ke dalam
bahasa lain (bahasa sasaran). Proses transfer bahasa dilakukan oleh penerjemah. Dalam
proses pengalihan bahasa ini, penerjemah harus memiliki kriteria sebagai penerjemah baik
untuk mendapatkan hasil terjemahan yang baik juga. Namun, terkadang ada hasil terjemahan
yang tidak akurat (transfer bahasa tidak tepat) sehingga masih diperlukan penelitian mengenai
penerjemahan. Tulisan ini akan membahas pentingnya teori dan norma atau aturan
penerjemahan untuk membentuk penerjemah berkompetensi, Penerjemah berkompetensi adalah
penerjemah yang mampu memindahkan makna dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran
dengan baik. Dalam prosesnya, mereka mempunyai kemampuan penting yang umumnya dimiliki
penerjemah, yaitu kemampuan bilingual. Kemampuan tersebut mutlak harus dimiliki, karena
berkaitan dengan perubahan bahasa yang terjadi dalam proses penerjemahan. Tetapi
kemampuan tersebut belum cukup untuk membantu mendapatkan hasil penerjemahan yang
berkualitas.

Kata kunci : Penerjemahan, Penerjemah, teori, kompetensi

Pendahuluan

A. Definisi Penerjemahan

Sebelum kita masuk ke definisi, perlu kita kenali asal muasal istilah penerjemahan. Dalam
bahasa Indonesia, istilah penerjemahan berasal dari bahasa Arab “tarjammah” seperti disebutkan Hoed
(2006). Lebih lanjut ia mengatakan bahwa tarjammah ini berarti ikhwal pengalihan dari satu bahasa ke
bahasa yang lain. Dalam bahasa Inggris digunakan “translation” dan dalam bahasa Perancis
“traductare”.

 Penerjemahan adalah pengalihan pikiran atau gagasan dari suatu bahasa sumber ke dalam
bahasa yang lain. Penerjemahan adalah mengubah teks bahasa sumber ke dalam teks
bahasa sasaran dengan mempertimbangkan makna kedua bahasa sehingga diusahakan
semirip-miripnya, yang tak kalah pentingnya adalah terjemahan harus mengikuti kaidah-
kaidah yang berlaku dalam bahasa sasaran (AP Sudarno, 2011).
 Munday dan Mason dalam buku Munday Introducing Translation Studies: Theories and
Applications (2001) : Penerjemahan merupakan suatu tindakan komunikasi. Sebagai
tindakan komunikasi, maka penerjemahan berupaya untuk menyampaikan, melintasi
batas-batas budaya dan bahasa, tindakan komunikasi lain yang mungkin dimaksudkan
untuk tujuan yang berbeda dan pembaca atau pendengar yang berbeda.
 J.C Catford Dalam buku A Linguistic Theory of Translation (1965) yang mendefinisikan
penerjemahan sebagai “Translation as the process of replacing a source language text
with the target language.” Berarti penerjemahan adalah proses penggantian suatu teks
dari bahasa sumber menuju bahasa target.
 Pinchuck (1977:38) menyatakan penerjemahan sebagai “suatu proses” menemukan suatu
tuturan/ujaran yang sepadan dalam Bsa dari satu tuturan/ujaran dalam Bsu. Istilah
’utterance’ (ujaran atau tuturan) mengindikasikan bahwa penerjemahan juga dapat
dipahami sebagai proses pengalihan pesan lisan dengan media lisan. Pada
pelaksanaannya, penerjemahan (translation) memang tidak hanya dilakukan secara tulis
atau lisan saja. Dapat dikatakan translation merupakan istilah umum yang mengacu pada
kegiatan pengalihan pesan secara tertulis maupun lisan.

B. Pentingnya Penerjemahan

Pada era globalisasi dan modern seperti saat ini yang bercirikan keterbukaan dan
persaingan antar bangsa, serta derasnya arus informasi yang menembus batas-batas cakrawala,
suku, ras, agama dan budaya. Ciri keterbukaan yang dimiliki oleh globalisasi mengindikasikan
terjadinya proses interaksi antar bahasa dan budaya. Adanya tuntutan pengalihan informasi dan
alih ilmu pengetahuan dan teknologi dari bahasa sumber (bahasa asing) menjadikan kemampuan
dan kegiatan penerjemahan sesuatu yang penting dan perlu.Pentingnya penerjemahan dalam
rangka alih ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya bagi negara-negara berkembang telah
diakui dan dirasakan oleh berbagai pihak. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar buku-
buku acuan yang digunakan dalam lingkungan perguruan tinggi di Indonesia mayoritas ditulis
atau diterbitkan dalam Bahasa Inggris, namun keadaan perpustakaan dan kemampuan membaca
teks-teks berbahasa Inggris para sarjana dan mahasiswa di Indonesia cenderung belum maksimal.
Hal ini kemungkinan diakibatkan belum berhasilnya pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia.
Oleh sebab itu penerjemahan buku-buku sumber berbahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia
menjadi kebutuhan masyarakat akademik. Dengan demikian, kegiatan penerjemahan dari bahasa
asing, khususnya Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia atau sebaliknya, menjadi semakin
penting di masa-masa mendatang bagi perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi.
Mengingat pentingnya penerjemahan sebagai sarana pengajaran sains dan teknologi dan sebagai
media komunikasi lintas budaya, di samping sebagai salah satu bidang kajian yang menarik bagi
pengajaran bahasa, penguasaan teori penerjemahan sebagai dasar pembelajaran penerjemahan ini
perlu diteliti. Pembelajaran adalah sesuatu yang eksternal bagi sang pembelajar, mungkin hal itu
menjadi sesuatu yang hanya terjadi atau dilakukan padaAnda oleh para pengajar, juga sesuatu
yang eksternal yaitu dilihat sebagai sesuatu yang Anda lakukan agar bisa memahami dunia nyata
(Smith dkk, 2009:32).

Pembahasan

A. Teori Penerjemahan

Secara teoretis banyak pendapat mengatakan bahwa penerjemahan membutuhkan


penguasaan bahasa sumber (Bsu) agar tidak terjadi penyimpangan pemahaman terhadap teks
sumber (Tsu). Selain itu penerjemah juga harus menguasai bahasa sasaran dengan baik sebagai
media komunikasi yang akan digunakan dalam penyampaian pesan yang diterjemahkan atau
disampaikan.Dengan mempertimbangkan hal tersebut penerjemah diharapkan mampu
menyampaikan pesan dalam bahasa sasaran dengan mencarikan padanan yang tepat. Nida (1964)
juga menyatakan bahwa terjemahan yang sempurna adalah terjemahan yang dapat menciptakan
efek seperti teks aslinya. Kegiatan penerjemahan dari bahasa asing, khususnya Bahasa Inggris ke
dalam Bahasa Indonesia atau sebaliknya, menjadisemakin penting di masa-masa mendatang bagi
perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi. . Penelitian di lain pihak, Ma’mur (2008)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara pengetahuan teori penerjemahan dan
kemampuan menerjemah dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris; antara keterampilan
menulis dalam bahasa Indonesia dan kemampuan menerjemah dari bahasa Indonesia ke dalam
bahasa Inggris; antara motivasi belajar penerjemahan dan kemampuan menerjemah dari bahasa
Indonesia ke dalam bahasa Inggris; dan antara pengetahuan teori penerjemahan, keterampilan
menulis dalam bahasa Indonesia, motivasi belajar penerjemahan, dan kemampuan menerjemah
dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Maka dari itu, Penguasaan teori penerjemahan
memegang peranan penting dalam keterampilan menerjemahkan, karena akan menentukan kualitas
penerjemahan. Walaupun teori penerjemahan bukan penyedia solusi bagi persoalan yang timbul dalam
kegiatan menerjemahkan, namun teori penerjemahan merupakan pedoman umum bagi penerjemah
dalam membuat keputusan-keputusan pada saat dia melakukan tugasnya. Oleh sebab itu, ketrampilan
dan kejelian dalam menerapkan teori penerjemahan akan menentukan keberhasilan terjemahannya.
Pemahaman terhadap konsep umum teori penerjemahan adalah penting dan bermanfaat baginya
(Nababan, 2003:16). Salah satu masalah yang perlu dikaji adalah perlunya penguasaan teori
penerjemahan dalam proses pembelajaran penerjemahan di mana keberhasilan pembelajaran
penerjemahan dapat dilihat dari penguasaan teori penerjemahan mahasiswa.
B. Metode Penerjemahan

Terdapat 3 cara pandang dalam penerjemahan, yaitu : penerjemahan sebagai proses,


penerjemahan sebagai produk, dan penerjemahan sebagai proses dan produk. Untuk
menerjemahkan atau mengalihkan makna teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan
baik, tidak bisa dipisahkan dari tujuan penerjemahan itu sendiri yakni untuk apa · atau lebih
tepatnya untuk siapa penerjemahan tersebut dilakukan. Apabila keputusan penentuan tujuan
sudah dibuat, penerjeniah harus menentukan · pilihan dan langkah berikutnya yang harus diambil
mulai dari metode penerjemahan, proses penerjemahan, prosedur panerjemahan hingga teknik
penerjemahan sebelum akhirnya menghasilkan produk terjemahan dalam bahasa sasaran.

Terdapat 8 metode penerjemahan yang di kemukakan oleh Newmark :

1. Penerjemahan kata demi kata. Dalam metode penerjemahan jenis ini biasanya kata-kata teks
bahasa sumber langsung dilekatkan di bawah versi teks bahasa sasaran. Kata-kata dalam teks
bahasa sumber diterjemahkan ke luar konteks, dan kata-kata yang mengandung nilai kultural
dialihkan apa adanya. Umumnya metode penerjemahan ini bisa diterapkan untuk mengenal dan
memehami mekanika bahasa sumber atau bisa juga digunakan untuk mendekati teks yang sulit
dalam proses penerjemahan.

2. Penerjemahan harfiah. Dalam penerjemahan harfiah konstruksi gramatikal dicarikan


padanannya yang terdekat dalam Tsa, tetapi penerjemahan leksikal atau kata-katanya dilakukan
terpisah dari konteks. Metode ini bisa digunakan dalam tahapan awal proses penerjemahan untuk
melihat masalah yang harus diatasi.

3. Penerjemahan setia. Penerjemahan setia berupaya mereproduksi makna kontekstual Tsu yang
masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Disamping itu, kata-kata yang bermuatan budaya
diterjemahkan, tetapi penerjemahan ini berpegang teguh pada maksud dan tujuan penulis Tsu.

4. Penerjemahan semantis. Perbedaan penerjemahan semantis dan penerjemahan setia adalah


bahwa penerjemahan semantis selain memperhatikan nilai estetika dan kewajaran TSu, ia juga
berkompromi pada tataran makna bila diperlukan. Selanjutnya, penerjemahan semantis kata yang
hanya sedikit bermuatan budaya dapat diterjemahkan dengan kata yang netral atau istilah yang
fungsional. Ringkasnya, perbedaan dari keduanya, adalah bahwa penerjemahan setia bersifat
kompromistis dan dogmatis, sedangkan penerjemahan semantis lebih luwes, meberikan ruang
dan empati intuisi penerjemahnya terhadap Tsu.

5. Penerjemahan adaptasi. Adaptasi merupakan metode penerjemahan yang paling bebas dan
paling dekat dengan BSa. Sehingga menurut kritik Kridalaksana, tidak tepat disebut metode
penerjemahan. Metode ini digunakan terutama sekali untuk menyadur drama atau komedi dan
puisi. Budaya BSu dialihkan ke dalam budaya Bsa dan teksnya ditulis ulang dengan tetap
mempertahankan tema, karakter serta alur dalam TSu.
6. Penerjemahan bebas. Metode penerjemahan bebas mengutamakan isi dan mengorbankan
bentuk. Biasanya, hasil penerapan penerjemahan bebas berbentuk sebuah parafrase yang bisa
lebih panjang atau lebih pendek dari bahasa aslinya, yang biasanya disebut dengan penerjemahan
intralingual.

7. Penerjemahan idiomatis. Penerjemahan idiomatis ini bertujuan mereproduksi amanat dalam


teks Bsu tetapi cenderung mendistorsi nuansa makna karena menggunakan kolokialisme dan
idiom yang ticlak terdapat dalam teks BSu.

8. Penerjemahan komunikatif. Metode penerjemahan mengupayakan reproduksi makna


kontekstual Bsu seclemikian rupa, sehingga baik aspek kebahasaan maupun aspek isi langsung
dapat diterima clan dipahami oleh pembaca teks Bsa.

C. Konsep Norma Dalam Penerjemahan

Toury berpendapat bahwa penerjemahan adalah kegiatan yang dikendalikan oleh norma.
Norma menentukan jenis dan luasan kesepadanan (equivalence) yang maujud di dalam teks
terjemahan. Lengkapnya Toury berpendapat adanya tiga hal yang terkait dengan perilaku
penerjemahan, yaitu kompetensi, performansi, dan norma. Lalu, Kompetensi meliputi semua
pilihan strategi/metode penerjemahan yang diketahui oleh seorang penerjemah. Sedangkan
performansi adalah perilaku (pilihan) yang benar-benar dilakukan oleh penerjemah di dalam
menerjemahkan (yang dipilih dari kompetensi). Sementara itu norma adalah sesuatu yang
mempengaruhi penerjemah untuk memilih bagian tertentu dari kompetensi untuk diubah menjadi
performansi. Norma ini terkait erat dengan konteks sosio-historis yang ada. Torui membagi
norma menjadi tiga: norma awal, norma preliminer, dan norma operasional. Norma awal
mengacu pada pilihan umum penerjemah. DIa bisa mengacu ke norma bahasa sumber (Bsu) atau
noirma bahasa sasaran (Bsa). JIka ngacu ke BSu, hasil terjemahannya disebut ‘memadai’
(adequate); jika mengacu ke norma BSa, hasil terjemahannya disebut ‘berterima’ (acceptable).
Sementara itu norma preliminer meliputi (a) kebijakan penerjemahan, yaitu faktor yang
menentukan bahan-bahan apa yang bisa diterjemahkan, dan (b) kelangsungan proses
penerjemahan, yang merujuk pada fakta apakah teks diterjemahkan langsung dari bahasa aslinya
atau melalui bahasa ketiga terlebih dahulu. Sementara itu norma operasional mengatur (a) boleh
atau tidaknya tidak menerjemahkan seluruhnya, menambah catatan kaki, dll., dan (b) penentuan
potongan bentuk linguistik mana yang akan ditangani sebagai satu satuan di dalam
menerjemahkan, misalnya kata, frasa, kalimat, ungkapan, atau lainnya. Akibat dari penerapan
norma ini adalah terterapkannya ‘hukum’ penerjemahan. Jika sebagain besar fitur TSu
disesuaikan dengan BSa atau bahkan diabaikan dan diganti dengan fitur BSa, maka berlakukah
hukum “standarisasi”. Sebaliknya, jika fitur-fitur TSu dimasukkan dalam TSa, terjadilah
‘hukum’ interferensi.
D. Syarat-Syarat Penerjemah

Dalam suatu kegiatan penerjemahan suatu hasil atau karya sudah seharusnya sesuai
dengan standar. Sebuah karya dianggap baik pasti berdasarkan dari beberapa indikator atau
syarat-syarat secara teoritis. Sebagian praktisi penerjemahan, berpandangan bahwa untuk bisa
menerjemah seseorang tidak memerlukan syarat teoretis apapun, cukuplah ia menguasai bahasa
sumber dan bahasa sasaran saja. Bahkan pendapat seperti ini pun ada yang muncul dari kalangan
pengajar penerjemahan clan sekaligus penulis buku teori penerjemahan. Kenyataannya para
pakar teori dan sekaligus praktisi penerjemahan mulai dari Cicero, yang hidup dua abad sebelum
Al masih lahir, hingga Newmark, yang hidup pada abad kita ini, membuktikan bahwa teori
penerjemahan sama pentingnya dengan praktek. Untuk menghasilkan kualitas tetjemahan yang
baik, penerjemahan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya, para
penerjemah disyaratkan, di antaranya, tidak saja harus memiliki penguasaan bahasa sumber dan
bahasa sasaran, tetapi juga menguasai atau paling tidak mengetahui dengan baik bidang, disiplin
ilmu, atau masalah yang hendak diterjemahkannya.

Untuk menunjukkan arti penting dari ketiga syarat ini, hampir semua pakar penerjemahan
selalu memasukkan ketiga syarat tersebut ke dalam syarat-syarat lain yang dirumuskannya.
Misalnya, Anton M. Moeliono mengajukan syarat utama yang harus dimi1iki penerjemah
meliputi :

a) penguasaan bahasa sumber,

b) penguasaan bahasa sasaran,

c) penguasaan bidang yang diterjemahkan, dan

d) meyakini penerjemahan bukanlah sekedar kiat,tetapi kegiatan yang berdasarkan teori


penerjemahan.

Dengan penjelasan yang lebih gamblang dan cukup rinci, Zuchridin Suryawinata
menyebutkan enam syarat yang harus dipenuhi oleh penerjemah yang baik, yakni :

1. Menguasai BSu, baik lisan maupun tulisan dengan kemampuan 95% pada tingkat
reseptif, dan 85%-90% pada tingkat produktif.

2. Menguasai BSa sepenuhnya, baik lisan maupun tulisan, pada kemampuan reseptif
maupun produktif.

3. Menguasai bidang ilmu, pengetahuan , ataupun kiat yang akan diterjemahkan,


setidaknya konsep dasamya.

4. Mengetahui latar belakang sosial-budaya BSu yang akan diterjemahkan.


5. Memiliki keluwesan kebahasaan sehingga ia mudah beradaptasi ke dalam kondisi Bsu
dan Bsa, tanpa dilandasi prasangka baik maupun buruk;

6. Memiliki keluwesan kultural, sehingga ia mudah beradaptasi dalam kondisi sosial


budaya Bsu dan Bsa, tanpa dilandasi prasangka baik atau buruk.

E. Proses Penerjemahan

Bell mengemukakan proses penerjemahan, diantaranya :

a. Proses penerjemahan merupakan kasus khusus dari fenomena yang lebih umum proses
informasi manusia.
b. Proses penerjemahan seharusnya mengikuti model dengan cara yang merefleksikan
posisinya dalam ranah psikologis pemrosesan informasi
c. Proses penerjemahan terjadi dalam memori jangka pendek dan jangka panjang melalui
bantuan untuk mengkode teks dalam BSu dan melakukan encoding teks ke dalam BSa,
via representasi semantis non kebahasaan khusus
d. Proses penerjemahan beroperasi pada tataran kebahasaan klausa, terlepas apakah
proses itu merupakan salah satu dari analisa signal yang tengah masuk atau sintesa signal
yang tengah ke luar;
e. Proses penerjemahan berlangsung dengan cara buttom-up dan top-down dalam
memproses teks clan menggabungkan kedua pendekatan dengan cara gaya operasi yang
mengalir dan interaktif, yakni analisis atau sintesis pada tahapan satu tidak perlu
diselesaikan sebelum tahapan berikutnya diaktifkan dan revisi diharapkan dan
dibolehkan;
f. Proses penerjemahan memerlukan Bsu dan Bsa

sistem pengenalan kata visual dan sistem tulisan pemroses sintaksis yang menangani
pilihan sistem mood dan mengandung penyimpanan leksis yang sering muncul (frequent lexis
store), mekanisme pencarian leksikal (lexical search mechanism), penyimpanan struktur yang
sering muncul (frequent structure store), dan tempat masuk informasi ke atau dari prosesor
semantik yang menangani pilihan yang tersedia dalam sistem transivitas dan bersilih tukar
informasi dengan prosesor pragmatik yang menangani pilihan yang tersedia dalam sistem tema,
dan juga ada pengatur gagasan yang mengikuti clan mengatur jalannya tindak ujaran dalam teks
( clan apabila jenis teks tidak diketahui, membuat inferensi atas dasar informasi yang ada) sebagai
bagian dari strategi untuk melaksanakan rencana untuk mencapai tujuan. Perencana yang peduli
dengan penciptaan rencana guna mencapai semua jenis tujuan. Sebagian rencana ini mungkin
melibatkan pemakaian bahasa seperti pemrosesan teks. Ini termasuk menerjemahkan teks dan
keputusan ini mungkin telah dibuat dengan matang bahkan sebelum klause pertama diproses.
Referensi

Sudarno, A.P. 2011. Penerjemahan Buku Teori dan Aplikasi. Surakarta : UNS Press

Munday, Jeremy. 2001. Introducing Translation Studies: Theories and Applications. London:


Routledge.

Catford, J. C. 1965. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press.

Hoed, B. H. 2006. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta. PT Dunia Pustaka Jaya.

Pinchuck, I. 1977. Scientific and Technical Translation. London: Andre Deutsch.

Nida, E.A. 1964: Toward a Science of Translating with Special Reference to Principles and
ProceduresInvolved in Bible Translating. Leiden: E.J. Brill.

Smith, Mark K., dkk. 2009. Teori Pembelajaran dan Pengajaran: Mengukur Kesuksesan Anda
dalam Proses Belajar Mengajar Bersama Psikolog Pendidikan Dunia. Penerjemah Abdul Qodir
Shaleh. Jogjakarta: Mirza Media Pustaka.

Peter Newmark,Approaches to Translation (New York : Prentice Hall Inc., 1988), p.97.

Peter Newmark, "Some notes on translation and translators," in Incorporated Linguist, 8 (4)
(1969).

Peter Newmark, "Introductory Survey," dalam Rachel Owens, ed., The Trsnaltor Handbooks, 3rd
ed, (London: Aslib, 1996), pp.9-14.

Theodore Savory, The Art of Translation (London: Jonathan cape, 1969), p.50.

Toury Gideon. 1995. descriptive translation studies and beyond, John Benjamins Publishings,311

Moeliono, Anton M. "Kata Pengantar," dalam Midred L. Larson, Penerjemahan Berdasarkan


makna : Pedoman untuk Pemadanan Makna, terj. Kencanawati taniran . Jakarta: Arcan; 1988.

Zuchridin Suryawinata, Terjemahan: Pengantar Teori dan Praktek Oakarta: Depdikbud, 1989),
pp.49-50

Anda mungkin juga menyukai