Anda di halaman 1dari 24

ORASI ILMIAH

IMPLIKASI BUDAYA DALAM PENERJEMAHAN

Oleh IDA BAGUS PUTRA YADNYA

PIDATO PENGUKUHAN JABATAN GURU BESAR TETAP DALAM BIDANG ILMU LINGUISTIK/PENERJEMAHAN PADA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS UDAYANA TANGGAL 29 APRIL 2006

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2006

We come into this world alone, and alone we leave it. And between the entrance and the exit, we spend our time looking for companionship. E.M. Dooling

To be what we are, and to become what we are capable of becoming, is the only end of life. R. L. Stevenson, Of Men and Books, 1882.

IMPLIKASI BUDAYA DALAM PENERJEMAHAN

Yang terhormat Bapak Rektor Universitas Udayana beserta staf, Para Anggota Senat Unuversitas Udayana; Para Guru Besar di lingkungan Unuversitas Udayana; Para Dekan, Ketua Program Studi di lingkungan Unuversitas Udayana, Para Undangan yang saya mulyakan, dan Para Mahasiswa yang saya cintai.

Om Swastyastu, Merupakan suatu kehormatan dan sekaligus kebanggaan bagi saya pada hari ini tanggal 29 April 2006, bisa menyampaikan orasi ilmiah di hadapan forum para terpelajar dalam rangkaian pengukuhan saya sebagai Guru Besar Tetap Universitas Udayana dalam bidang ilmu Linguistik/Penerjemahan. Sesuai dengan mata kuliah yang saya asuh, pada kesempatan yang langka ini saya mencoba mengangkat sebagian kecil fenomena penerjemahan, yakni suatu kegiatan yang semakin banyak dilakukan tetapi masih sedikit mendapat perhatian di kalangan linguis. Kalau dicermati dari perspektif komunikasi global, penerjemahan memiliki peran yang sangat strategis bagi pembangunan nasional, sebagai bagian dari pengembangan intelektual (intellectual development) dan pembentukan citra (image building). Peran strategis yang dimiliki oleh penerjemahan ditunjukkan oleh kenyataan bahwa (1) penerjemahan merupakan akses terhadap inovasi Iptek dan (2) media bagi pengenalan dan apresiasi lintas budaya. Globalisasi yang dicirikan oleh keterbukaan, persaingan dan kesalingtergantungan antar bangsa telah menjadikan terjemahan sebagai medium komunikasi yang penting dan perlu di masa-masa mendatang. Tuntutan akan percepatan alih ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang bersumber dari acuan-acuan berbahasa asing dan penerbitan capaian iptek dan pengenalan budaya daerah dan nasional melalui bahasa asing ke dalam peradaban dunia menjadikan penerjemahan dan studi tentang terjemahan sebagai masalah nasional dan tantangan bagi pakar linguistik dan praktisi penerjemah, serta lembaga perguruan tinggi.

Terlepas dari sulit dan kompleknya masalah dan proses penerjemahan, pentingnya penerjemahan dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya bagi negaranegara berkembang telah diakui dan dirasakan oleh berbagai pihak. Jepang, umpamanya, merupakan contoh klasik dari cerita sukses program penerjemahan bagi pembangunan suatu bangsa. Usaha penerjemahan besar-besaran yang dilakukan oleh bangsa Jepang telah menghasilkan perkembangan sain dan teknologi yang cepat. Dengan demikian penerjemahan telah menjadi katalisator bagi kemajuan suatu bangsa dan berkat usahausaha penerjemahan itulah sekarang Jepang bisa mensejajarkan dirinya dengan negaranegara maju. Selain Jepang, Eropa Barat juga merasakan manfaat yang serupa. Sebagaimana dikutip oleh Alwasilah (1997), Louis Kelly mengatakan dalam The True Interpreter (1979) bahwa dalam mengembangkan peradabannya, Eropa Barat sangat berhutang budi pada para penerjemah yang telah bertindak sebagai mediator antara penulis dan pembaca dari latar belakang bahasa yang berbeda Betapa penting dan mendesaknya program penerjemahan bagi Indonesia dalam rangka percepatan alih ilmu pengetahuan dan teknologi sudah pernah diungkapkan oleh Moeliono (1995a) disertai dengan argumentasi bahwa program penerjemahan jauh lebih murah dari segi pembiayaan dan lebih hemat dari segi waktu yang harus disediakan bagi pengajaran bahasa asing (Inggris, Perancis, Jerman atau Belanda) sampai anak didik mampu membaca referensi atau menterjemahkan referensi tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Dengan mengulang-ulang seruan Prof. Sutan Takdir Alisjahbana, Anwar (1995:199-200) menyarankan masalah penerjemahan harus dipandang secara kebijakan nasional sebab penerjemahan merupakan kegiatan yang strategis. Pengakuan yang menunjukkan penting dan mendesaknya penerjemahan adalah berlangsungnya setiap tahun secara berkesinambungan sampai sekarang program penataran penerjemahan buku ajar yang diselenggarakan oleh pemerintah (Dirjen Pendidikan Tinggi) bekerjasama dengan negara-negara donor. Dibentuknya program S2 atau spesialis dalam bidang penerjemahan seperti di Universitas Indonesia, Universitas Sebelas Maret dan Universitas Udayana (sepanjang yang penulis ketahui) dengan pusat-pusat penerjemahannya merupakan bukti lain pentingnya penerjemahan dan sekaligus respon perguruan tinggi terhadap kebutuhan tenaga penerjemah dan studi tentang terjemahan.

Pada hakekatnya proses penerjemahan merupakan pengungkapan sebuah makna yang dikomunikasikan dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dan di permukaan, fenomena ini muncul sebagai pengalihan kode (transcoding) atau sistem bahasa. Fiturfitur umum yang dimiliki oleh terjemahan adalah pengertian (a) adanya pengalihan bahasa (dari bahasa sumber ke bahasa sasaran); (b) adanya pengalihan isi (content); dan (c) adanya keharusan atau tuntutan untuk menemukan padanan yang mempertahankan fitur-fitur keasliannya Karena bahasa merupakan bagian dari kebudayaan maka penerjemahan tidak saja bisa dipahami sebagai pengalihan bentuk dan makna tetapi juga budaya. Konsekuensinya adalah penerjemahan sebagai bentuk komunikasi tidak saja dapat mengalami hambatan kebahasaan tetapi juga segi budaya. Komunikasi antarbudaya tidak selalu mudah dan tergantung pada besarnya perbedaan antara kebudayaan yang bersangkutan. Walaupun secara teoritis penerjemahan tidak mungkin dilaksanakan akibat adanya kesenjangan linguistik dan budaya, namun secara praktik kegiatan penerjemahan sampai batas-batas tertentu bisa dilakukan dengan cara mencari dan menemukan padanan di dalam bahasa sasaran. Hal ini dimungkinkan akibat adanya sifat-sifat universal bahasa serta konvergensi kebudayaan-kebudayaan di dunia (Lihat Hoed, 1992:80). Pada orasi ilmiah ini saya mencoba memaparkan implikasi kesenjangan budaya terhadap proses penerjemahan dengan harapan bisa memberikan pemahaman terhadap berbagai fenomena penerjemahan.

Hadirin yang saya muliakan Dinamika Penerjemahan Proses penerjemahan bisa berlangsung ditentukan oleh translatability, yakni kemungkinan sebuah teks bisa dialihkan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Dapat tidaknya sebuah teks diterjemahkan bergantung pada tuntutan atas teks yang diharapkan dalam bahasa sasaran. Moeliono (1995) menilai bahwa kemungkinan penerjemahan suatu teks ditentukan oleh (1) kesamaan atau perbedaan struktur bahasa sumber dan bahasa sasaran; (2) kadar kontak antara kedua bahasa itu; (3) taraf kesamaan yang diupayakan antara teks sumber dan teks sasaran; dan (4) maksud yang mendasari produksi teks terjemahan. Kemungkinan suatu penerjemahan (translatability) menurut saya bisa dimodelkan sebagai berikut.

padanan mutlak

padanan ideal Bahasa Sumber sepadan tetapi beda cakupan makna Bahasa Target

sepadan tetapi bentuk tak berkorespondensi

Model di atas menunjukkan bahwa kemungkinan tercapainya padanan mutlak, padanan ideal, terjemahan sepadan tapi beda cakupan makna serta sepadan tapi bentuk tak berkorespondensi sejalan dengan arah kedekatan kekerabatan dan tipologi bahasa sumber dan bahasa target. Semakin dekat kekerabatan atau semakin mendekati tipologi bahasa sumber dengan bahasa target semakin besar kemungkinan terjadinya padanan mutlak dan sebaliknya semakin jauh kekerabatan atau beda tipologi bahasa sumber dengan bahasa target semakin besar kemungkinan terjadinya padanan yang tidak berkorespondensi secara formal. Padanan ideal atau mungkin padanan mutlak cenderung berpeluang terjadi pada tataran granmatikal yang lebih kecil khususnya kata (dan sejumlah frasa) serta kasus borrowing yang menembus batas kekerabatan dan tipologi bahasa. Walaupun secara teoritis kesepadanan bisa dicapai akibat adanya sifat universal bahasa dan konvergensi budaya tetapi fakta menunjukkan bahwa suatu bahasa (target) digunakan oleh penutur yang memiliki suatu budaya sering amat berbeda dengan budaya penutur bahasa lain (sumber) sehingga sulit menemukan padanan leksikal. Untuk menangani masalah kesenjangan atau perbedaan (mismatch) ini menurut Nida (1964) dan Larson (1988) perlu dilakukan penyesuaian (adjustment). Penyesuaian ini memerlukan suatu strategi yang sangat ditentukan oleh kompetensi penerjemah, metode penerjemahan dan sasaran terjemahan. Di dalam proses penerjemahan, penerjemah hanyalah seorang komunikator yang menjembatani alur informasi dari penulis dan pembaca yang semestinya bisa menghilangkan sedemikian rupa campur tangan atau subyektivitas. Untuk itu setiap

penerjemah perlu memiliki suatu pedoman dalam pemadanan dan pengubahan (Machali, 2000:104). Newmark (1988) menilai bahwa sebuah teks yang akan diterjemahkan dapat ditarik ke sepuluh arah dalam analisis sebelum dialihkan. Dinamika penerjemahan ini digambarkan sebagai berikut:
9. The truth (the facts of the matter) 1. SL writer 5. TL readership

2. SL norm. 3. SL culture 4. SL setting and tradition

TEXT

6. TL norms 7. TL culture 8. TL setting and tradition

10. Translator

Gambar tersebut di atas mengindikasikan bahwa penerjemahan menurut Newmark (1988) bukanlah sesuatu yang statis tetapi dinamis dan ditentukan oleh cara pandang atau pendekatan yang diterapkan terhadap teks sebagai poros. Oleh karena itu Hoed (dalam Machali, 2000:xixii) menilai bahwa dalam proses penerjemahan kesepuluh faktor tersebut harus dipertimbangkan karena berakibat pada perlunya audience design, pemilihan metoda dan teknik serta pengambilan keputusan. Terlepas dari berbagai kemungkinan keputusan yang bisa diambil oleh penerjemah dalam proses penerjemahan sebagai akibat dari keragaman faktor penentu tersebut di atas Machali (2000:105) memberikan suatu pegangan dasar dalam proses penerjemahan. Machali menilai bahwa gambar dinamika penerjemahan Newmark tersebut di atas, menunjukkan bahwa yang terletak paling atas adalah truth kebenaran berupa fakta atau substansi permasalah yang akan diterjemahkan yang dibahas dalam teks atau field menurut Halliday. Sejauh perubahan yang ada tidak menyebabkan perubahan truth (tetap mempertahankan makna referensial) maka kesepadanan masih dapat berterima. Perubahan atau pergeseran lain yang menyangkut kaidah bahasa (nomor 2 dan 6 dalam dinamika di atas) tidak membuat bergesernya truth sehingga masih berterima. Dinamika tersebut di atas memberi peluang terjadinya campur tangan penerjemah. Machali (2000:106) mengungkapkan bahwa campur tangan penerjemah dalam proses penerjemahan disebabkan oleh (1) merupakan terjemahan manusia (human translation)

bukan terjemahan mesin (machine translation); (2) bahasa bukanlah sebuah jaket pengaman yang mengikat pemakainya (penerjemah) untuk hanya memilih satu bentuk tertentu; dan (3) penerjemah (manusia) mempunyai keunikan (pandangan, prasangka, dll.) yang ikut mempengaruhi dalam proses penerjemahan

Hadirin yang saya hormati Bahasa dan Kebudayaan serta Implikasi Teoritisnya Terhadap Kajian Terjemahan Budaya dibangun dari kesamaan faktor-faktor pembentuk yang disebut dengan komponen kebudayaan. Bahasa merupakan salah satu komponen budaya yang sangat penting. Bahasa merupakan mediasi pikiran, perasaan dan perbuatan. Bahasa menerjemahkan nilai dan norma, skema kognitif manusia, persepsi, sikap dan kepercayaan manusia tentang dunia para pendukungnya (Liliweri,2001:120). Bassnett (1998:13--14) menggambarkan hubungan antara bahasa dan budaya sebagai dua hal yang tidak bisa dipisahkan dan kematian salah satunya ditentukan oleh yang lain dengan menyatakan bahwa bahasa merupakan the heart within the body of culture sehingga kelestarian ke dua aspek tersebut saling tergantung satu sama lainnya. Gagasan yang menyatakan bahwa kandungan budaya tercermin dalam bahasa sudah lama dan sudah banyak diutarakan oleh pakar (seperti Sapir, Boas dan Bloomfield). Edward Sapir, misalnya, menyatakan bahwa kandungan setiap budaya tidak saja terungkap dalam bahasanya. Boas menunjukkan adanya tidak saja hubungan timbal balik antara pikiran dan bahasa tetapi juga antara bahasa dan adat, antara bahasa dan perilaku etnis serta bahasa dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam budaya. Bahkan Bloomfield menekankan bahwa sedemikian kuat hubungan budaya itu terhadap bahasa sehingga kekayaan atau kemiskinan suatu budaya tercermin dalam bahasanya. Cerminan budaya dalam bahasa itu tidak hanya terbatas pada tingkatan kosa kata saja tetapi juga terdapat pada tingkat yang lebih luas lagi seperti misalnya pada aspek retorika (Wahab, 1995:37-56) Sama halnya dengan penampilan fisik seseorang (orang yang satu berbeda dengan orang yang lainnya), begitu juga halnya dengan kebudayaan. Dalam masyarakat yang berbeda orang tidak saja berbicara dengan bahasa dan dialek yang berbeda tetapi mereka juga menggunakan bahasa tersebut dengan cara yang amat berbeda. Perbedaan cara

bertutur inilah, menurut Wierzbicka (1994), mencerminkan nilai-nilai budaya yang berbeda atau paling sedikit tataran nilai yang berbeda. Pernyataan ini sangat sesuai dengan definisi kebudayaan yang diberikan Newmark (1988:94), yakni the way of life and its manifestations that are peculiar to a community that uses a particular language as its means of expression, yang mengisyaratkan bahwa masing-masing guyub bahasa (language group) memiliki fitur spesifik sendiri secara budaya Fishman (1985) menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan budaya bisa dilihat dalam tiga perspektif, yakni (1) sebagai bagian dari budaya, (2) sebagai indeks budaya, dan (3) sebagai simbolik budaya. Sebagai bagian dari budaya bahasa merupakan pengejawantahan prilaku manusia. Misalnya upacara, ritual, nyanyian, cerita, doa merupakan tindak tutur atau peristiwa wicara. Semua yang ingin terlibat dan memahami budaya tersebut harus menguasai bahasa karena dengan itu barulah mereka bisa berpartisipasi dan mengalami budaya tersebut. Sebagai indeks budaya bahasa juga mengungkapkan cara berfikir dan menata pengalaman penuturnya yang dalam bidang tertentu muncul dalam item leksikal dan sebagai simbolik budaya bahasa menunjukkan identitas budaya etnis. Karena bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, maka, di satu sisi, penerjemahan tidak saja bisa dipahami sebagai pengalihan bentuk dan makna tetapi juga budaya dan, di sisi lain, penerjemahan bisa juga dipahami sebagai proses berbahasa. Dalam pengertian ini penerjemah menggunakan bahasa tersebut untuk tujuan komunikasi (tulis) yakni mendeskripsikan ihwal budaya yang mencakup apa yang dilakukan manusia, apa yang diketahuinya, dan benda-benda yang dibuat dan digunakan sebagai manifestasi budaya. Konsekuensinya adalah penerjemahan tidak saja dapat mengalami hambatan kebahasaan tetapi juga segi budaya. Oleh karena itu penerjemahan tidaklah semata-mata masalah mencari kata atau ungkapan lain yang memiliki makna yang sama tetapi menemukan cara yang sesuai untuk menyatakan sesuatu dalam bahasa lain. Sebagaimana dikatakan oleh Thriveni (2002) bahwa makna berkonteks budaya begitu terajut sangat ruwet (intricately woven) dalam tekstur bahasa maka penerjemah harus waspada terhadap dua budaya yang berbeda dan terperangkap antara keharusan untuk bisa menangkap warna lokal (local colour) dan keharusan untuk bisa dipahami oleh pembaca terjemahan yang berada di luar situasi budaya dan bahasa. Hal ini pada akhirnya membawa implikasi

tersendiri dan menjadikan kajian terjemahan tidak bisa dilepaskan dari pendekatan kebahasaan dan budaya Implikasi budaya dalam terjemahan bisa muncul dalam berbagai bentuk berkisar dari lexical content dan sintaksis sampai ideologi dan pandangan hidup (way of life) dalam budaya tertentu. Oleh karena itu penerjemah harus menentukan tingkat kepentingan yang diberikan pada aspek-aspek budaya tertentu dan sampai sejauh mana aspek-aspek tersebut perlu atau diinginkan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran. Dengan kata lain sangat penting bagi penerjemah untuk mempertimbangkan tidak saja dampak leksikal pada pembaca bahasa sasaran tetapi juga cara bagaimana aspek budaya tersebut dipahami sehingga akhirnya menerjemahkan merupakan suatu keputusan yang harus diambil penerjemah (Lihat Bassnett (1980:23))

Hadirin yang saya hormati Implikasi praktis dari Kesenjangan Budaya dalam Penerjemahan Bahasa merupakan bagian kebudayaan dan sekaligus juga merupakan sarana membangun dan mengekspresikan budaya sehingga perbedaan budaya berarti perbedaan bahasa. Newmark (1988:94) mendefinisikan kebudayaan sebagai the way of life and its manifestations that are peculiar to a community that uses a particular language as its means of expression. Konsep budaya tersebut mengandung kata-kata kunci way of life, peculiar to community, dan particular language sebagai inti suatu budaya dan sekaligus ciri pembeda dengan budaya yang lainnya. Dari definisi tersebut dapat dimengertikan bahwa budaya merupakan keseluruhan konteks di mana manusia berada berfkir dan berinteraksi satu sama lainnya dan sekaligus menjadi perekat suatu komunitas. Secara lebih spesifik, Newmark membedakan ciri bahasa ke dalam tiga katagori; (1) bahasa bersifat universal, (2) kultural, dan (3) personal. Kata-kata dasar seperti tidur, makan, mati, bintang dan bahkan kata-kata yang berupa artefak seperti meja atau cermin adalah universal sehingga dikaitkan dengan penerjemahan tidak akan menimbulkan masalah karena semua budaya memiliki bahasa yang mampu mengekspresikan konsep-konsep tersebut. Tetapi kosa kata seperti misalnya ngaben, pura, banjar dan dokar bersifat kultural (hanya dimiliki budaya masyarakat Hindu Bali) sehingga dalam penerjemahannya ke dalam bahasa lain akan menimbulkan permasalahan

10

yang cukup rumit akibat kesenjangan pemahaman konsep. Bahasa bersifat personal mengacu pada cara berekspresi seseorang dalam suatu bahasa atau idiolek. Bahwa

bahasa bersifat personal juga dikemukakan oleh Zaky (2000) dengan mengatakan bahwa oleh karena bahasa bisa dipandang sebagai sikap atau prilaku maka prilaku penutur suatu bahasa juga mewarnai gaya berbahasanya seperti interferensi yang dilakukan penutur asing dalam memaksakan penggunaan gramatika bahasa ibunya terhadap bahasa yang digunakan. Selanjutnya Newmark (1988:95103) mengelompokkan makna berkonteks budaya ke dalam katagori (1) ecology termasuk flora, fauna, angin, lembah, gunung, (2) material culture atau artefak seperti makanan, pakaian, perumahan dan kota, transportasi, (3) social culture termasuk kerja (work) dan waktu luang (leisure), (4) organisations, customs, activities, procedures, concepts yang bersifat politik dan administratif, religius, dan artistik dan (5) gesture dan habits. Lebih jauh lagi, suatu konsep dalam bahasa tertentu belum tentu dimiliki oleh bahasa lain seperti misalnya konsep TELUBULANAN dalam bahasa Bali tidak akan ditemukan dalam bahasa Inggris, bahkan dalam bahasa yang sekerabat seperti Jawapun konsep tersebut tidak dimiliki. Selain itu tidak jarang konsep yang sama dalam satu bahasa memiliki linguistic sign yang berbeda seperti misalnya konsep SEPAK BOLA dalam bahasa Inggris (British) football tetapi dalam bahasa Inggris (Amerika) soccer. Kenyataan lain juga menunjukkan bahwa konsep yang sama dimiliki oleh dua bahasa belum tentu dinyatakan dengan satu linguistic sign atau dibedakan misalnya konsep RICE dalam bahasa Inggris tidaklah dibedakan tetapi dalam bahasa Indonesia memiliki alternatif linguistic sign padi, gabah atau beras dalam ranah budaya (bidang pertanian) dannasi dalam bidang makanan. Contoh lain yang sering dikemukakan sebagai ilustrasi dalam Semantik adalah konsep SALJU yang tidak dikenal di Arab tetapi sangat dibedakan dalam bahasa Eskimo. Dalam teori terjemahan masalah umum yang dihadapi penerjemah adalah ketaksaan (ambiguity). Orang bisa saja secara sengaja atau tidak sengaja bersikap taksa. Namun demikian seseorang menggunakan kata, ungkapan atau kalimat yang berpotensi taksa, tujuannya tetap ingin mengungkapkan hanya satu makna. Quiroga-Clare (2003) menilai ketaksaan (ambiguity) makna merupakan bagian dan ilustrasi dari kekomplekan suatu bahasa. Dalam penerjemahan ketaksaan bisa menjadi penghalang kalau diacuhkan

11

dan menjadi masalah kalau diatasi. Sesuatu bersifat taksa bila sesuatu tersebut bisa dimengerti dalam dua pengertian atau cara atau lebih. Terdapat dua jenis ketaksaan, yakni (1) ketaksaan leksikal ditemukan dalam tataran kata tunggal, dan (2) ketaksaan struktural ditemukan dalam tingkat klausa atau kalimat. Misalnya kata bisa yang berarti "dapat"; mampu" atau racun (ular atau binatang) dalam bahasa Indonesia. Ketaksaan struktural dapat dicontohkan dengan kalimat bahasa Inggris "John enjoys painting his model nude" Dalam kalimat ini tidak jelas siapa yang "nude" (telanjang) apakah John atau his model. Begitu pula dengan contoh "Visiting relatives can be boring" yang menunjukkan ketaksaan mengenai siapa yang berkunjung,

Hadirin yang berbahagia Penerjemahan adalah usaha mengalihkan amanat dari bahasa sumber dengan cara menemukan padanan, yakni suatu bentuk dalam bahasa sasaran dilihat dari segi semantik sepadan dengan suatu bentuk bahasa sumber. Walaupun kemungkinan adanya suatu kesepadanan didasarkan atas keuniversalan bahasa dan budaya namun masalah kesepadanan bukanlah identik dengan kesamaan karena perdebatan mengenai kedua konsep tersebut lebih banyak terkait dengan penerjemahan karya sastra khususnya puisi yang melihat kesepadanan sebagai tuntutan untuk menghasilkan kesamaan (Lihat Machali, 2000:106). Penerjemahan tidak sebatas menghilangkan jurang ketidaksepadanan dengan mencari kata lain yang memiliki makna yang mirip tetapi menemukan menurut Thriveni (2002) cara yang tepat untuk mengungkapkan sesuatu dalam bahasa lain. Pada prakteknya penerjemahan bisa menjadi rumit, dibuat-buat (artificial) dan dipandang menipu (fraudulent) karena sebagaimana yang dikemukakan oleh Newmark (1988:5) by using another language you are pretending to be someone you are not. Pengertian pemadanan sebagai pengalihan makna mengacu pada pengungkapan kembali makna (berkonteks budaya) yang terdapat dalam teks bahasa sumber (unit terjemahan) ke dalam teks bahasa sasaran. Secara leksikal kata pengalihan tersebut di atas mengandung pengertian adanya proses pemindahan, penggantian, dan pengubahan. Pengertian pemindahan mengacu pada konsep bahwa penerjemahan adalah penyesuaian budaya berbahasa bahasa sumber ke dalam budaya berbahasa bahasa

12

sasaran. Seperti yang dinyatakan Catford (1965:1), bahasa adalah tingkah laku manusia yang berpola. Bahasa sebagai salah satu subsistem kebudayaan memiliki aturan-aturan dalam pemakaiannya Di dalam kebudayaan manapun orang berbicara dalam bahasa dan bereaksi dalam pola kebudayaannya sendiri. Nida (1964:147-149) menunjukkan bahwa penerima pesan atau amanat hanya bisa bereaksi terhadap pesan yang dikomunikasikan padanya dalam bahasanya sendiri dan hanya bisa mengekspresikan respon tersebut dalam konteks budaya di mana mereka hidup. Dengan demikian penerjemahan bukan sekedar menumpangkan bangun budaya sumber pada bangun budaya sasaran atau sebaliknya, tetapi juga menyusun kembali (restructuring) (bandingkan dengan Widyamartaya, 1989:38-39.) Dalam proses penyusunan kembali bangun budaya secara kebahasaan diperlukan penggantian sebagai konsekuensi dari kenyataan bahwa dalam penerjemahan (misalnya saja penerjemahan Indonesia-Inggris) melibatkan dua bahasa yang tidak serumpun dan bertipologi berbeda. Produk pengalihan makna muncul di permukaan (dalam surface structure) berupa transcoding, penggantian satu kode dengan kode yang lain (sistem bahasa sumber ke dalam sistem bahasa sasaran). Perbedaan sistem linguistik sebagai refleksi sifat arbitrer dan sui generis bahasa menjadikan pengalihan muncul sebagai pemadanan dan di dalam pencaharian padanan tersebut diperlukan pengubahan yang sampai batas-batas tertentu bersifat wajib senhingga terjadi pergeseran bentuk dan makna. Hal ini mungkin bisa menimbulkan kesan terjemahan itu sama dengan penyelewengan seperti yang diilustrasikan oleh Bambang Kasaswanti Purwo (1995) dengan contoh: Nafasnya berbau jengkol di mana berbau jengkol diterjemahkan garlic smell. Sudah pasti di dalam kamus manapun tidak diketemukan jengkol = garlic atau sebaliknya garlic = jengkol. Dari sisi ini mungkin bisa dikatakan nyeleweng namun bagaimana kalau jengkol diterjemahkan secara akurat sebagai a kind of bean atau lebih tepat lagi, dengan istilah Latin Pithecolobium. Hal ini bisa menimbulkan pertanyaan apakah amanat yang dikandung oleh kata jengkol itu sampai dengan terjemahan yang tepat dengan istilah bahasa Latin tersebut. Tentu saja makna bau sekali pada kata bahasa Indonesia tersebut tidak tersampaikan dengan pemadanan melalui kata bahasa Latin itu. Proses pengalihan tersebut di atas bisa diilustrasikan dengan merekonstruksikan contoh pemadanan kalimat berikut:

13

He 1. 2. 3.

is a book worm Dia (laki-laki) adalah sebuah/seorang cacing buku Dia (adalah) orang yang suka membaca buku Dia kutu buku

Penerjemahan ungkapan bahasa Inggris book worm ke dalam bahasa Indonesia tidaklah bisa secara literal ke dalam Dia (adalah) (seorang/ seekor) cacing buku. Pada terjemahan (a) redistribusi menyeluruh harus dilakukan untuk mempertahankan pesan, keterbacaan dan kealamiahan bahasa sasaran melalui penyesuaian kontekstual dan kultural. Dari sudut konteks secara logika tidak terdapat hubungan antara Dia dan cacing (ataupun keduanya bisa disamakan) dalam kalimat (teks) sumber. Makna kontekstual dari ungkapan book worm tersebut adalah orang yang suka membaca buku (seperti dalam terjemahan b). Dari perspektif kultural ungkapan tersebut memerlukan penyenyesuaian sejalan dengan budaya linguitik (linguistic culture) untuk

mempertahankan keterbacaan dan kealamiahan ungkapan dalam bahasa sasaran. Padanan kultural dari ungkapan bahasa Inggris book worm pada contoh di atas adalah kutu buku karena dalam budaya linguistik Indonesia ungkapan atau makna serupa diekspresikan dengan kutu buku bukan cacing buku seperti yang terlihat pada terjemahan (c).

Hadirin sekalian Implikasi praktis yang ditimbulkan oleh kesenjangan budaya tercermin dalam pemilihan strategi/ prosedur penerjemahan. Terdapat banyak strategi alternatif untuk menangani masalah ketidaksepadanan dalam proses penerjemahan. Berbagai strategi pemadanan telah diusulkan oleh berbagai pakar. Vinay dan Darbelnet (dalam Venuti, 2000:84--93) misalnya melihat banyak sekali alternatif pemadanan dan menyarikannya dalam dua kategori besar yakni (1) pemadanan langsung (direct translation) dan (2) pemadanan oblik (oblique translation) yang terdiri dari tujuh strategi berbeda; Larson (1998:169193) mengelompokkan strategi pemadanan berdasarkan apakah suatu konsep bahasa sumber dimiliki/ dikenal dalam bahasa sasaran atau tidak dan mengusulkan tidak kurang dari sembilan alternatif cara pemadanan. Hampir sama dengan Vinay dan Darbelnet, Bell (1991: 70--71) juga menunjukkan tujuh cara berbeda untuk bisa mengalihkan makna teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran; Baker (1991:26--44) mencatat paling sedikit ada delapan alternatif cara menangani ketidaksepadanan;

14

Newmark (1988:68--93) bahkan melihat tidak kurang dari enambelas alternatif, dan Machali (2000:6273) walaupun menyadari banyaknya alternatif yang ada tetapi dalam kasus-kasus penerjemahan Inggris-Indonesia melihat hanya 5 strategi yang menonjol. Pada kesempatan ini saya tidak membahas berbagai strategi yang dikemukakan oleh para pakar penerjemahan. Walaupun terdapat berbagai alternatif penerapan namun suatu cara pemadanan sangat ditentukan oleh kedekatan tipologi bahasa serta perbedaan budaya sumber dan sasaran. Di samping itu strategi tersebut tidak hanya bisa diterapkan secara sendiri-sendiri tetapi mungkin juga dikombinasikan dengan strategi yang lainnya sekaligus. Berdasarkan pengamatan dan studi yang pernah saya lakukan, terdapat suatu kecenderungan model pemadanan makna berkonteks budaya dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, yakni (1) borrowing, (2) dekulturalisasi, dan (3) adaptasi atau substitusi kultural. Pemadanan melalui borrowing adalah strategi pemadanan makna dengan mengambil dan membawa item leksikal dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran tanpa modifikasi formal dan semantik. Rasionalisasi penerapan strategi ini terletak pada tujuan untuk mempertahankan keutuhan pesan dan memperkenalkan kekhasan budaya bahasa sumber. Kecenderungan pola borrowing terjadi pada proses pemadanan makna berkonteks budaya implisit atau pada kasus-kasus di mana konsep berkonteks budaya dalam bahasa sumber tidak dimiliki/ tidak diketahui (unknown) dalam bahasa sasaran. Untuk memperjelas makna serta meyakinkan sasaran terjemahan (target audience) menangkap pesan atau makna berkonteks budaya tersebut, borrowing sering disertai dengan modifikasi, deskripsi atau eksplanasi dari konsep bermakna budaya dalam bahasa sumber seperti yang bisa dilihat dalam pemadanan berikut: 1. Ia mengerti. Dukun sudah mulai diundang untuk menggempur hatinya (OS2)*
She knew what was happening, They had asked a dukun - a medicine man - to try to influence her feelings (VC) 2. Dulu, mati ditabrak di jalan raya memang aib besar. Peristiwa semacam itu disebut mati salah pati. (AS)** In earlier times, to be killed on the roads was a terrible misfortune. There was even a special term for it: Mati Salah Pati Death by Misfortune. (VC) 3. Tampaknya percuma saja orang tuanya membuatkan Telubulanan (OS1)*** It seemed in vain for her parents to have arranged the telubulanan, the name-giving rite when a baby reaches the age of three months. (MZ)

15

Dalam konteks penerjemahan dekulturalisasi dimaksudkan sebagai suatu strategi pemadanan yang digunakan penerjemah untuk mengalihkan makna berkonteks budaya bahasa sumber dengan cara menetralisir atau menggeneralisasi kata-kata tersebut atau menggunakan kata-kata yang bebas muatan budaya (culture free word) dan kadangkadang dengan ungkapan spesifik baru. Alasan pemilihan strategi dekulturalisasi terletak pada orientasi penerjemah untuk mempertahankan keutuhan pesan di satu sisi dan keterbacaan (readability) bagi sasaran terjemahan (target audience) di sisi lain. Cara ini tidak jarang disertai dengan penambahan uraian khusus berupa eksplanasi atau deskripsi Berikut adalah berapa kasus dekulturalisasi :
1. Juga di sana menata banten dan ayahnya membuat lawar pada hari raya (OS1) There she would arrange offerings, and on holidays her father would prepare special ceremonial dishes (MZ)

2. Ia sangat girang kalau ada arisan, dan selalu membuat kegiatan-kegiatan baru bersama
kawan-kawannya sehingga ada alasan untuk ke luar rumah (AS) She was mad about social gatherings like savings clubs and always dreaming up new activities so that she and her friends could get out of the house. (JL) 3. Perempuan dan anak-anak gadis berkerumun di ledeng umum mengambil air. Perkumpulan gong di balai banjar (OS2) the women and children who crowded around the public water-tap to get water, groups playing the gamelan in the neighbourhood meeting halls. (VC)

Kecenderungan ke tiga, yakni adaptasi atau substitusi kultural merupakan pemadanan makna kata-kata yang mengacu THING atau EVENT yang tidak sama benar tetapi dimiliki oleh bahasa sasaran. Dalam hal ini acuan dunia nyata dan budaya sasaran sebagai pengganti acuan yang tidak dikenal dari budaya sumber tersebut. Rasionalisasi penerapan strategi substitusi kultural ini beorientasi pada sasaran terjemahan (sasaran audience) dengan mempertahankan kewajaran (naturalness) padanan tanpa menimbulkan distorsi makna di satu pihak dan untuk memberikan dampak yang sama pada penutur bahasa sasaran sebagaimana dampak yang diberikan dalam bahasa sumber di lain pihak. Kecenderungan ini terlihat pada sejumlah korpus seperti:
Dan tidak jarang juga digunakan untuk main ceki. (OS1) and the place had not infrequently been used as an arena for playing cards. (MZ)

Pemadanan melalui adaptasi banyak dipadukan dengan deskripsi bentuk dan fungsi seperti misalnya
1. Beberapa kali pernah direntang layar pertunjukan wayang kulit di sana (OS1)

16

Often the screen for a shadow puppet performance had been stretched between two poles. (VC) 2. Sore-sore ia suka menyendiri di sudut balai banjar. (AS) In the late afternoons he would often go off alone to a corner of the community hall, (VC)

Hadirin yang saya hormati Dari uraian yang telah disajikan dapat disimpulkan bahwa penerjemahan tidaklah semata-mata masalah pengalihan bahasa (linguistic transfer), atau pengalihan makna (transfer of meaning) tetapi juga pengalihan budaya (cultural transfer). Oleh karena itu kesenjangan bahasa dan budaya membawa implikasi secara teoritis bahwa kajian terjemahan tidak bisa dilepaskan dari pendekatan kebahasaan dan budaya. Implikasi praktis yang ditimbulkan oleh kesenjangan budaya bahasa sumber dan budaya bahasa sasaran mengarah pada strategi penerjemahan yang cenderung mengikuti pola kontinum (1) semakin abstrak wujud budaya dalam bahasa sumber dan semakin asing (unknown) konsep bahasa sumber bagi bahasa sasaran maka pemadanannya mengarah pada borrowing dalam bahasa sasaran, dan (2) semakin kongkret makna /konsep dalam

bahasa sumber dan semakin diketahui (known/shared) makna /konsep dalam bahasa sumber oleh penutur bahasa sasaran maka pemadanannya cenderung berupa adaptasi dan eksplikasi.

Hadirin yang saya hormati Saya bersyukur kepada Ida Sang Hayang Widhi Wasa karena atas rahmatNyalah saya bisa merasakan kebahagiaan dan kebanggaan sebagai Guru Besar. Dan sebelum mengakhiri orasi ini perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih yang khusus kepada almarhum ayah saya dan ibu saya beserta keluarga besar yang telah berkorban begitu banyak untuk memungkinkan saya menempuh pendidikan sampai akhirnya dikukuhkan menjadi Guru Besar Tetap Universitas Udayana. Kepada Pemerintah Republik Indonesia, Menteri Pendidikan Nasional, saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan atas kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk memangku jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra Universitas Udayana. Demikian juga kepada Bapak Rektor Universitas Udayana, para anggota Senat, para

17

Guru Besar di lingkungan Universitas Udayana, Dekan beserta staf, para anggota Senat Fakultas Sastra Universitas Udayana yang telah menyetujui pengusulan saya untuk menduduki jabatan Guru Besar. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya juga saya sampaikan kepada Program Pascasasrjana Universitas Udayana khususnya Program Pendidikan Doktor (S3) Linguistik yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan, serta atas bantuan dan fasilitasi yang diberikan sehingga saya bisa menyelesaikan studi S3 dengan baik. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Ketua Program Magister (S2) Linguistik, Ketua Jurusan Sastra Inggris, Ketua Program Ekstensi Sastra Inggris atas dorongan moral, kerja sama dan bantuan material yang diberikan sehingga saya bisa menjadi bagian dari acara pengukuhan ini. Kepada kolega saya dari semua jurusan yang ada di Fakultas Sastra Universitas Udayana yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, saya menyampaikan terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam atas kerja sama, dorongan, nasehat, saran, bantuan, dukungan, kecintaan, kritik, maupun kebencian, yang telah diberikan atau ditujukan kepada saya sehingga nantinya saya bisa lebih memaknai hidup dan persahabatan dalam masa-masa pengabdian saya menjadi Guru Besar. Sebagai akhir kata ijinkanlah saya menyampaikan terima kasih dan balas budi kepada istri tercinta Ketut Diah Winastri yang telah berkorban begitu besar dalam pengembangan studi dan karier saya; demikian juga anak-anak tercinta: Ida Ayu Prima Hapsari dan Ida Bagus Dedy Sanjaya. Semoga momen ini dapat menjadi dorongan kuat bagimu untuk meraih yang lebih baik lagi di masa depan. Kepada seluruh jajaran Panitia Pengukuhan Guru Besar Tetap Unud saya beserta keluarga menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih atas terselenggaranya acara ini dengan baik. Kepada hadirin yang saya muliakan, saya mengucapkan terima kasih atas kehadirannya dalam acara pengukuhan Guru Besar ini. Semoga Tuhaha Yang Maha Esa selalu melindungi kita sekalian.

Om, Shanti, Shanti, Shanti, Om.

18

Pustaka Acuan Alwasilah, C 1997 yang berjudul Revolusi Terjemahan dalam koran Media Indonesia terbitan Sabtu, 5 Juli 1997 Baker, Mona. 1991. In Other Words: A Coursebook on Translation. London and New York: Routledge. Bassnett, McGuire, S. 1980. Translation Studies. London and New York: Methuen, revised edition 1991,Routledge Bassnett, Susan dan Andr Lefevere (Eds.). 1995. Translation, History and Culture. USA: Cassell. Beckman, J., dan J. Callow .1974. Translating the Word of God, Grand Rapids, Michigan: Zondervan. Bell, Roger T. 1991. Translation and Translating: Theory and Practice. London: Longman Catford, J.C. 1965. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press. Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. UK:Blackwell Publisher Inc. Gutt, Ernst-August (1991).2000. Translation as Interlingual Interpretive Use dalam Lawerence Venuti (Ed.). The Translation Studies Reader, pp376-396. New York:Routledge. Halliday, M A K dan Raquaiya Hasan.1986. Language, Context, and Text: Aspects of Language in a Social-semiotic Perspective. Victoria: Deakin University Press. Hatim, Basil dan Ian Mason. 1990. Discourse and the Translator. London: Longman Hatim, Basil 1999. The Translator as Communicator. New York:Routledge. Hatim, Basil. 2001. Teaching and Researching Translation. England: Pearson Education Limited. Hoed, Benny H.. 1992. Kala dalam Novel, Fungsi dan Penerjemahannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hoed, Benny H. 1994. Linguistik, Semiotik, dan Kebudayaan Kita. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Hornby, Mary Snell, Franz Pochhacker, and Klaus Kaindl (Eds.). 1992. Translation Studies: An Interdiscipline, Amsterdam/Philadelphia: John Benyamins Publishing Company. Houbert, Frederic. 1998 , Translation as a Communication Process dalam Translation Journal and the Authors 1998 Volume 2, No. 3 July 1998; Available from: URL:http://accurapid.com/journal/htm James, Kate .2002, Cultural Implications for translation dalam Translation Journal and the Authors 2002 Volume 6, No. 4 October 2002; Available from: URL:http://accurapid.com/journal/htm Karamanian, Alejandra Patricia. 2002. Translation and Culture dalam Translation Journal and the Authors 2002 Volume 6, No. 1 January 2002. Available from: URL:http://accurapid.com/journal/htm Larson, Mildred L. 1998. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-Language Equivalence. (Second Edition).USA: University Press of America, Inc. Machali, Rochayah. 2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta:Penerbit PT Grasindo Macura, Vladimr. 1995. Culture as Translation dalam Bassnett, Susan dan Andr Lefevere (Eds.). 1995. Translation, History and Culture. USA: Cassell.

19

Moeliono, Anton. M. 1995a. Implikasi Penerjemahan dalam Pengembangan Bahasa Indonesia. Materi Ceramah disampaikan pada Penataran Calon Penerjemah Buku Ajar Perguruan Tinggi. Proyek PS2PT, Dikti. Moeliono, Anton. M. 1995b .Beberapa Aspek Masalah Penerjemahan ke Bahasa Indonesia dan Aspek Teoretis dalam Penerjemahan. Dikutip dari Anton Moeliono, Kembara Bahasa, Gramedia. Materi Ceramah disampaikan pada Penataran Calon Penerjemah Buku Ajar Perguruan Tinggi. Proyek PS2PT, Dikti Newmark, P. 1988. A Textbook of Translation. London: Prentice-Hall. Nida, Eugene (1964). 2000. Principles of Correspondence dalam Lawerence Venuti (Ed.). The Translation Studies Reader, pp.126147. New York:Routledge. Nida, Eugene dan Charles Taber. 1974. The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J. Brill. Purwo, Bambang Kaswanti. 1995. Mendaki ke Penerjemahan yang Benar dan Baik dalam Forum Biblika. Nomor: 5, Tahun 3. Lembaga Alkitab Indonesia. Quiroga-Clare, Cecillia. 2003. Language Ambiguity: A Curse and a Blessing. dalam Translation Journal and the Authors 2003, Volume 7, N0. 1, Januari 2003; Available from: URL:http://accurapid.com/journal/htm Riazi, Abdolmehdi Ph.D. 2003. The Invisible in Translation: The Role of Text Structure, dalam Translation Journal and the Authors 2003 Volume 7, No. 2, April 2003; Available from: URL:http://accurapid.com/journal/htm Snell, Mary-Hornby. 1995. Linguistic Transcoding or Cultural Transfer? A Critique of Translation Theory in Germany dalam Bassnett, Susan dan Andr Lefevere (Eds.). 1995. Translation, History and Culture. USA: Cassell Toury, Gideon (1995). 2000. The Nature and Role of Norms in Translation dalam Lawerence Venuti (Ed.). The Translation Studies Reader, pp199211. New York:Routledge. Thriveni, C. 2002, Cultural Elements in Translation: The Indian Perspective dalam Translation Journal and the Authors 2002 Volume 6, No. 1 January 2002; Available from: URL:http://accurapid.com/journal/htm Venuti, Lawrence (Ed.) 2000. The Translation Studies Reader. New York:Routledge. Vinay, Jean-Paul dan Jean Darbelnet.(1995). 2000. A Methodology for Translation Diterjemahkan oleh Juan C. Sager dan M.J. Hamel dalam Lawerence Venuti (Ed.). The Translation Studies Reader, pp. 84112. New York:Routledge. Widyamartaya, A. 1989. Seni Menterjemahkan. Yogyakarta:Penerbit Kanisius. Wierzbicka, Anna. 1994. Cultural Scripts: A New Approach to the Stiudy of CrossCultural Communication dalam The Thrid Australian Linguistic Institute. Australian National University, July 1 - 12, 1996. Cross-Cultural Communication. Zaky, Magdy,2001 Translation and Language Varieties dalam Translation Journal and the Authors 2001 Volume 5, No. 3 July 2001; Available from: URL:http://accurapid.com/journal/htm

20

Data terjemahan
* ** *** (OS 2) Cerpen Oka Sukanta berjudul Mega Hitam Pulau Kahyangan sebagai teks sumber yang diterjemahkan oleh Vern Cork (VC) ke dalam Storm Clouds over the Island of Paradise, (OS 1) Cerpen Oka Sukanta berjudul Luh Galuh sebagai teks sumber; (MZ) adalah terjemahan oleh Mary Zurbuchen dan (VC) oleh Vern Cork., dan (AS) Cerpen Aryantha Soethama berjudul Mati Salah Pati sebagai teks sumber yang diterjemahkan oleh Jennifer Lindsay (JL) dengan judul The Wrong Kind of Death dan oleh Vern Cork (VC) dengan judul Death by Misfortune).

21

RIWAYAN HIDUP I. Identitas diri Nama Tempat dan Tanggal Lahir NIP Jabatan Pangkat dan Golongan II. Keluarga Istri Anak Orang Tua Ayah Ibu III. Pendidikan
No 1 2 3 4 Tingkat SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi S1 S2 S3 Pendidikan Sekolah Dasar 20 SMP Negeri II SMEA Negeri Jurusan Tahun 1965 1968 1971 Tempat Denpasar Denpasar Denpasar

: Ida Bagus Putra Yadnya : Denpasar, 25 Desember 1952 : 130789014 : Pembina TK I ; IV/b

: Ketut Diah Winastri : Ida Ayu Prima Hapsari Ida Bagus Dedy Sanjaya : : Ida Bagus Made Oka (almarhum) : Ida Ayu Ngurah Kondra

Tata Niaga

Fakultas Sastra Program Pascasarjana UI Program Pascasarjana Unud

Sastra Inggris American Studies Linguistik

1981 1986 2004

Denpasar Jakarta Denpasar

IV. Riwayat Pekerjaan/Jabatan


No 1 Jabatan Struktural Pembantu Dekan III Waktu 1987 1990 1990 - 1993 Institusi Fakultas Sastra Unud Keterangan Dua kali masa jabatan SK Rektor Unud, No. 678/PT.17.H/II 3.3/C.00.24/1987, Tgl 1-6-1987 Keputusan Rektor Unud No. 139/J14/KP.02.18/2004 Tgl 10 Mei 2004

Ketua Konsentrasi Penerjemahan

1 April 2004 -sekarang

Program Studi Magister (S2) Linguistik PPS Unud

V Hasil Penelitian dan Publikasi (3 tahun terakhir) Konfliks Bahasa dan Implikasinya Dimuat dalam Koran Bali Post, Rabu Wage, 17 Juli
2002, halaman 7 Kesubjekan dalam Bahasa Lamaholot Dialek Nusa Tadon Majalah Linguistika, SK Akreditasi No 134/Dikti/Kep.2001, ISSN: 0854-9163, Vol. 9, No. 17, September 2002

22

Problema Penerjemahan: Sebuah Paparan Teoritis Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra, ISSN 0853-8174, Vol. 8, No. 13, Juni 2003, hlm. 5980 Penerjemahan Sebagai Komunikasi Lintas Budaya dalam Guratan Budaya dalam Perspektif Multikultural 2003 ISBN 979-95407-0-7, diterbitkan oleh Program Studi Magiester dan Doktor Kajian Budaya, Linguistik, dan Jurusan Antropologi FS Unud dan CV Bali Media, Revitalisasi Bahasa Daerah (Bali) di Tengah Persaingan Bahasa Nasional, Daerah, dan Asing untuk Memperkukuh Ketahanan Budaya Makalah disajikan pada Kongres Bahasa Indonesia VIII, di Jakarta, tanggal 1417 Oktober 2003 Menuju Linguistik Kebudayaan Sebagai Ilmu: Sebuah Perspektif Filsafat Ilmu dalam Bahasa Dalam Perspektif Kebudayaan, 2004, ISBN 979.8286.72.5, Diterbitkan oleh Penerbit Unud Pemadanan Makna Berkonteks Budaya: Sebuah Kajian Terjemahan Indonesia-Inggris, 2004 Sebagai disertasi pada Program S3 Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana, dan Didokumentasikan pada Perpustakaan Unud Dinamika dalam Penerjemahan dalam Wibawa Bahasa untuk Prof. Dr. I Wayan Bawa 2004, ISBN 979-3063-03-3, diterbitkan Program Studi Magiester dan Doktor Linguistik Unud dan Bali Mangsi Penyesuaian Leksikogramatikal Wajib (Obligatory Lexico-Grammatical Adjusment) dalam Penerjemahan Indonesia-Inggris Majalah Linguistika, SK Akreditasi No 134/Dikti/Kep.2001, ISSN: 0854-9163, Vol. II, No. 20, Maret 2004, hlm. 115132 Modulasi dalam Proses Penerjemahan Majalah Linguistika, SK Akreditasi No 134/Dikti/Kep.2001, ISSN: 0854-9163, Vol. 11, No. 21, September 2004, hlm. 209 227 Pembentukan Verba Kausatif Bahasa Inggris Sebuah Kajian Morfologi Generatif , 2004, Sebagai Referensi yang didokumentasikan pada Perpustakaan Unud dengan Surat Keterangan dani Perpustakaan Unud No. 6880/ J14.21/PK.04.07/ 2005Tgl 30 April 2005 Transfer Makna dalam Penerjemahan Etnografik Cerita Luh Galuh ke dalam Bahasa Inggris. 2005, Sebagai referensi yang didokumentasikan pada Perpustakaan Unud dengan Surat Keterangan dani Perpustakaan Unud No. 6881/ J14.21/PK.04.07/ 2005Tgl 30 April 2005

VI Karya Terjemahan (sudah terbit) Timun Mas (Golden Cucumber), ISBN 979-666-102-0 diterbitkan oleh Balai Pustaka,
Jakarta

Bawang dan Kesuna (Onion and Garlic/), diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta. Si Bungsu Katak (Youngest Frog/ ), diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta. Dua Puluh Peribahasa untuk Anak-Anak (Twenty Indonesian Proverbs for Children), ISBN 979-9391-06 diterbitkan oleh Kelompok Pencinta Bacaan Anak. Topitu, Bidadari dari Kahyangan (Topitu, The Ange from Heaven) ISBN 9799391-09-01 diterbitkan oleh Kelompok Pencinta Bacaan Anak. Senggrutu, ISBN 979-9391-01-6 diterbitkan oleh Kelompok Pencinta Bacaan Anak. Ni Terong Kuning (The Yellow Eggplant) ISBN 979-9391-12-1 diterbitkan oleh Kelompok Pencinta Bacaan Anak. Si Kecil (Tiny Boy) ISBN 979-9391-05-9 diterbitkan oleh Kelompok Pencinta Bacaan Anak.

23

Kancil dan Kura-Kura (The Mouse Deer and The Turtle) ISBN 979-9391-03-2 diterbitkan oleh Kelompok Pencinta Bacaan Anak. Putri Bunga Melur (Princess Jasmine) ISBN 979-9391-04-0diterbitkan oleh Kelompok Pencinta Bacaan Anak. Gerhana (The Eclipse) ISBN 979-9391-10-5diterbitkan oleh Kelompok Pencinta Bacaan Anak. Legenda Pohon Beringin (The Legend of the Banyan Tree) ISBN 979-9391-02-4 diterbitkan oleh Kelompok Pencinta Bacaan Anak. Suwidak Loro ISBN 979-9391-001-8 diterbitkan oleh Kelompok Pencinta Bacaan Anak. Made dan Keempat Sahabat Karibnya (Made and His Four Best Friends) ISBN 979-9391-08-3 diterbitkan oleh Kelompok Pencinta Bacaan Anak. Joko Kendil, Si Periuk Nasi (Joko Kendil, The Rice Pot) ISBN 979-9391-13-X diterbitkan oleh Kelompok Pencinta Bacaan Anak. Kancil dan Raja Hutan (The Mouse Deer and The King of The Jungle) ISBN 9799391-11-3 diterbitkan oleh Kelompok Pencinta Bacaan Anak.

. Karya Terjemahan (akan segera terbit) The Spell of Power, A History of Balinese Politics 1650 1940 (Kuasa Kekuasaan: Sejarah Politik di Bali 1650-1940)

24

Anda mungkin juga menyukai