Anda di halaman 1dari 22

MASKULINITAS TRANSFORMATIF:

KEKERASAN DAN SUBJEK YANG BERGERAK DALAM


DINAMIKA SASTRA DAN BUDAYA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar


dalam Bidang Sastra dan Gender
pada Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada

Disampaikan pada Pengukuhan Guru Besar


Universitas Gadjah Mada
Tanggal 17 Februari 2022

Oleh

Prof. Dr. Wening Udasmoro, S.S., M.Hum., DEA.


Yang saya hormati,
1. Ketua, Sekretaris, dan seluruh anggota Majelis Wali Amanat
Universitas Gadjah Mada;
2. Rektor dan para Wakil Rektor Universitas Gadjah Mada beserta
jajarannya;
3. Ketua dan Sekretaris Senat beserta seluruh anggota Senat Universitas
Gadjah Mada;
4. Ketua dan Sekretaris beserta seluruh anggota Dewan Guru Besar
Universitas Gadjah Mada;
5. Ketua dan Sekretaris beserta seluruh anggota Senat Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada;
6. Para Dekan dan Wakil Dekan Universitas Gadjah Mada dan seluruh
dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa dan mahasiswi, serta alumni
Universitas Gadjah Mada;
7. Bapak dan ibu, para sahabat, keluarga, dan semua yang hadir, baik
secara luring maupun daring, yang membuat saya termotivasi untuk
mempresentasikan pidato saya pada hari ini.

As-salamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh, salam


sejahtera untuk kita semua. Rasa syukur kita panjatkan kepada Tuhan
Yang Maha Pengasih yang masih memberi kita kesempatan bertemu
pada hari ini. Suatu kehormatan besar bahwa pada hari ini saya
diperkenankan untuk menyampaikan pidato pengukuhan saya sebagai
Guru Besar dalam bidang Sastra dan Gender di Universitas Gadjah
Mada.
Kajian-kajian saya bergerak di antara kajian sastra, khususnya
sastra Prancis, kajian gender, dan analisis wacana kritis. Pada pidato ini,
saya mencoba mengelindankan ketiganya dengan tidak
mengonsentrasikan pada salah satunya. Mengingat bahwa pidato saya
ini juga akan diakses tidak hanya oleh kalangan akademisi maka saya
ingin mengangkat satu isu yang menurut saya akan lebih kontributif
bagi masyarakat luas.
Akhir-akhir ini, kita mengalami berbagai peristiwa yang
intensitas praktiknya sangat menggejala, yakni persoalan kekerasan.
Sebagai akademisi yang mempelajari sastra, saya melihat bahwa kita
semua adalah pewaris dari dinasti kekerasan yang narasinya

1
ditransmisikan lewat berbagai cerita, baik secara oral, tertulis, maupun
visual. Kita mewarisi cerita-cerita epik dan kepahlawanan dari berbagai
belahan dunia yang hadir di dalam memori kita sejak kanak-kanak.
Narasi budaya, politik, media, serta narasi luas dalam kehidupan kita
sehari-hari mencerminkan beroperasinya kekerasan yang sering kali
dijadikan mekanisme dalam penyelesaian masalah oleh habitus
masyarakat kita. Narasi-narasi tersebut bahkan dikonsumsi sepanjang
hari lewat pesan-pesan virtual dan beredar tanpa batas di media sosial.
Subjek-subjek yang mentransmisikan pun kadang adalah mereka yang
justru secara sosial dipercaya sebagai pembawa pesan yang diharapkan
kontributif, seperti para pamong, politisi, figur publik, ataupun para
pemimpin agama. Kita berada di dalam satu bingkai ruang kekerasan
yang menubuh dalam kerangka berpikir dan dalam praksis kehidupan
kita.

Saudari dan saudara yang saya muliakan,


Narasi-narasi kekerasan dalam sastra diproduksi dan direproduksi
dalam berbagai bentuk. Berikut ini adalah contoh kutipan narasi
kekerasan dalam karya Atiq Rahimi, Syngué Sabour Pierre de Patience
(Batu Kesabaran), yang hampir setiap saat bisa ditemui dalam karya
sastra di dunia.

Mon père, quand il est rentré, trouvant la cage vide, est devenu fou.
Hors de lui. Il hurlait. Il nous a tabassées, ma mère, mes sœurs et moi,
parce que nous n’avions pas surveillé sa caille. Sa maudite caille !
Pendant qu’il me tapait, j’ai crié que c’était bien fait… parce que
c’était à cause de cette maudite caille que ma sœur avait dû partir !
Mon père a tout compris. Il m’a enfermée alors dans le sous-sol
(Rahimi, 2008:28).

‘Ayah saya, ketika dia pulang dan menemukan kandang kosong maka
dia menjadi gila. Seolah-olah dia bukan dirinya sendiri. Dia berteriak.
Dia memukuli kami semua, ibu saya, saudara perempuan saya dan saya,
karena kami tidak merawat burung puyuhnya dengan baik. Puyuh
sialan! Ketika dia memukul saya, saya berteriak bahwa itu juga…
karena burung puyuh sialan ini maka saudara perempuan saya harus

2
pergi! Ayahku paham segalanya. Maka dia mengunci saya di ruang
bawah tanah.’

Skrip kekerasan maskulin seperti yang saya kutip tersebut tidak


hanya ada di dalam karya sastra. Skrip-skrip tersebut kita warisi dan
secara terus-menerus kita reproduksi lewat mekanisme-mekanisme
kultural yang menjelaskan beroperasinya maskulinitas yang
dipreservasi lewat narasi-narasi secara historis. Kita sering kali tidak
menyadari kehadiran narasi kekerasan ini sebagai sebuah tindakan yang
bersifat toxic (beracun) yang berbahaya. Ketidaksadaran kita terjadi
karena sebuah mekanisme performatif, yakni kita cenderung
mengulang-ulang skrip kekerasan tersebut tanpa mempertanyakan
mengapa kita harus mengonsumsinya. Kita pun sering kali juga menjadi
subjek yang turut mentransmisikan budaya kekerasan tersebut. Cara
kita mempreservasinya juga terfasilitasi oleh produk-produk
kapitalisme, seperti telepon seluler yang ada karena kita menciptakan
kaberadaannya.
Sebelum saya memulai dengan bahasan mengenai skrip-skrip
maskulin yang “toxic/beracun” tersebut, izinkanlah saya memberi
sedikit pengantar mengenai konsep maskulinitas yang menjadi lensa
dalam pidato ini. Hal ini penting untuk menghindari kesalahpahaman
konseptual karena maskulinitas sering kali didefinisikan secara sempit
sebagai laki-laki. Sebuah kedangkalan yang sering terjadi karena lagi-
lagi kita terbelenggu oleh performativitas epistemologis yang
esensialis: memandang bahwa segala penyebab kerusakan adalah
karena patriarki.
Studi mengenai maskulinitas, antara lain, diawali dari tulisan
Raewyn Connell yang berjudul Masculinities (2005). Studi ini
menunjukkan pentingnya melihat gender yang tidak dikotomis laki-laki
versus perempuan, seperti yang selama berabad-abad dipercayai oleh
filsafat Barat dan selama lebih dari satu dekade juga masih menjadi
fokus pemikiran Feminisme Gelombang Kedua. Seperti diketahui,
Feminisme Gelombang Kedua memulai epistemologi feminisnya
dengan menjelaskan patriarki sebagai sebuah sistem (Harding, 1993;
Walby, 1989). Secara abstraktif, sistem ini disebut sebagai male
dominated system. Hal ini masuk akal karena secara kesejarahan semua

3
sistem memang dibuat oleh rezim-rezim kekuasaan yang subjek
pembuatnya adalah laki-laki. Sebagai contoh, dalam konteks Prancis,
pada awalnya semua jenis profesi berartikel laki-laki dengan penanda
le. Hal ini terjadi karena para perempuan tidak diperkenankan masuk
ke dalam dunia pendidikan tinggi sampai pada abad ke-19. Male
dominated system ini kemudian cenderung diposisikan dalam mindset
dikotomis, yakni dua polar berseberangan. Polar-polar dikotomis yang
dalam tradisi Eropa merupakan representasi culture (laki-laki) dan
nature (perempuan) ini didobrak dengan sedemikian kuat oleh para
Feminis Gelombang Kedua, sekitar tahun 1960–1970-an (Haraway,
2016). Mereka memperjuangkan kesetaraan, peran, emansipasi,
ketidakadilan, dan/atau eksploitasi dengan masih berdasar pada
dikotomi antara laki-laki dan perempuan. Salah satu metodenya adalah
dengan cara dekonstruktif, yakni membalik bahwa perempuan juga
memiliki aspek kultural seperti laki-laki. Sementara itu, mazhab yang
lain banyak pula yang menggunakan strategic essentialism dengan
berargumen bahwa nature pun adalah entitas penting dalam kehidupan
manusia (Irigaray, 2004; Malençon, 1999).
Dalam perkembangan epistemologinya, Connell berargumen
bahwa relasi gender bukan hanya persoalan kontestasi antara laki-laki
dan perempuan, tetapi merupakan sebuah matriks yang sangat
kompleks (Connell, 2005). Kemudian, male dominated system
mengalami interpretasi ulang pada tahun 1980–1990-an ketika konsep
equality ditinjau kembali dengan cara berpikir para feminis Prancis,
seperti Luce Irigaray, Julia Kristeva, dan Hélène Cixous dengan konsep
mereka mengenai differences (Cixous et al., 1976; Irigaray, 2004;
Kristeva, 2002). Dalam hal ini, kesetaraan dianggap tidak akan
membawa keadilan tanpa perspektif differences karena setiap
masyarakat tidak bersifat tunggal. Pemikir-pemikir beraliran
interseksional seperti Chandra Mohanty, Kimberlé Crenshaw, Patricia
Hill Collins, dan bell hooks juga memberikan cara pandang yang
mengetengahkan persoalan intersektionalitas (Collins, 1998;
Crenshaw, 1989; hooks, 1990; Mohanty, 1988). Dalam cara pandang
ini, gender tidak pernah berdiri sendiri. Gender selalu mengalami
interseksi dengan kategori sosial yang lain, seperti etnisitas, agama, ras,
pendidikan, dan sebagainya.

4
Namun, relasi laki-laki dan perempuan yang tidak bersifat rigid
tersebut dianggap masih belum menjawab persoalan relasi gender yang
terjadi. Raewyn Connell menganggap bahwa tidak cukup
membicarakan gender dalam konteks laki-laki dan perempuan.
Menurutnya dibutuhkan konsep yang lebih subtil dan mikro yang
kemudian memunculkan teori masculinities-nya yang sangat terkenal
pada tahun 2000-an. Connell memosisikan masculinities ini sebagai
nilai yang ditubuhkan kepada laki-laki yang kemudian secara kultural
dioperasikan menjadi skrip yang diproduksi, dikonsumsi, dan
direproduksi dalam kehidupan sehari-hari. Masculinities bukan laki-
laki itu sendiri, tetapi nilai yang sering kali ditubuhkan pada laki-laki.
Nilai-nilai ini memang lebih banyak diadopsi oleh laki-laki sehingga
tampak sebagai budaya laki-laki, tetapi tidak berarti bahwa perempuan
tidak mengadopsi nilai-nilai masculinities. Artinya, banyak perempuan
yang mengadopsi nilai masculinities meskipun dengan titik pandang
yang berbeda. Dalam konteks pertama, mereka menjadi kombatan dan
pemicu konflik dan peperangan. Banyak perempuan atau ibu yang
justru mengirim anaknya untuk ikut berperang dengan dalih demi
membela agama (Udasmoro & Rahmawati, 2022, forthcoming).
Namun, dalam konteks kedua, banyak perempuan yang menjadi
kombatan dan mengadopsi masculinities sebagai bagian dari
pembelaan diri. Artinya, tidak seluruh female masculinities merupakan
imitasi dari male masculine virility.

Bapak dan ibu yang saya hormati,


Dalam masculinities sendiri, Connell membuat tipologi yang
sering kali dipakai, tetapi juga diperdebatkan, yakni hegemonic,
marginal, complicite, dan subordinate masculinities. Saya hanya akan
membahas satu aspek dari konsep yang sudah sangat jamak digunakan
dalam diskusi akademik, baik di Indonesia maupun secara global, yakni
konsep hegemonic masculinities. Toxic masculinities berhubungan erat
dengan hegemonic masculinities. Hegemonic masculinities ini adalah
nilai yang merupakan strata tertinggi dalam gender order yang
menjelaskan dominasi, keperkasaan, keberanian, serta legitimasi, baik
dalam tataran fisik maupun psikologis. Mereka yang mengadopsi
hegemonic masculinities ini disebut Connell memiliki sifat keras, kasar,

5
dan juga militarized masculine. Yang menjadi persoalan adalah ketika
dominasi-dominasi yang dimunculkan ini kemudian membawa perilaku
dan sifat yang berbahaya bagi masyarakat. Nilai maskulin yang keras
dan kasar yang kemudian diadopsi ini dapat mengarah pada sebuah nilai
yang bersifat toxic karena berbahaya bagi lingkungan, baik privat
maupun publik. Dalam hal ini, saya mengatakan bahwa tidak ada yang
salah dengan orang yang berani dan perkasa. Akan tetapi, ketika
keberanian dan keperkasaan tersebut diejawantahkan dalam bentuk
kekerasan, konflik, perang, dan penindasan terhadap yang lain maka
sifat-sifat ini menjadi berbahaya; tidak hanya bagi perempuan, tetapi
juga bagi laki-laki itu sendiri. Hegemonic masculinities menjadi toxic
ketika perilaku kekerasan tersebut dipraktikkan sebagai sebuah
kekuasaan. Anggapan bahwa karena mereka adalah laki-laki maka
wajar melakukan praktik kekerasan adalah sebuah bangunan yang
secara sistematis dan kultural terjangkar kuat di dalam pola pikir
banyak masyarakat (Kupers, 2005).
Secara tekstual dan empiris, perilaku maskulin yang beracun ini
termanifestasikan dalam bentuk kekerasan di dalam narasi perang dan
juga dalam kehidupan sehari-hari. Kekerasan dalam rumah tangga,
pembunuhan terhadap etnis lain atau gender tertentu, homophobia, dan
xenophobia merupakan contoh-contoh jelasnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan-kekerasan, baik verbal,
psikologis, maupun fisik menjelaskan berbahayanya violent dan toxic
masculinities yang kehadirannya kadang tidak kita sadari. Ia menjadi
skrip-skrip yang menyebar sekaligus menggumpal, menjadi kultur yang
mapan, sehingga kadang kita enggan mengurainya karena kuatnya
mindset kekerasan yang memproteksinya untuk mempertahankan status
quo.

Saudari dan saudara yang saya muliakan,


Violent dan toxic masculinities juga dapat ditemukan pada
berbagai bentuk kekerasan, seperti kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT), kekerasan seksual, serta misogini (kebencian terhadap
perempuan) yang dapat dilihat dari diposisikannya perempuan sebagai
yang satanic dalam berbagai versi narasi agama dan budaya sehingga
perlu dikontrol dan dijinakkan. Dalam narasi sastra, pemosisian

6
perempuan sebagai yang satanic ini muncul di berbagai cerita di dunia.
Calon Arang, Medusa, Durga, dan Hera adalah contoh-contoh jelasnya.
Tukang sihir (hampir selalu menggunakan terminologi nenek dalam
konteks Indonesia) adalah simbolisasi penting yang secara historis
hadir sebagai bagian dari misogini oleh budaya kekerasan maskulin.
Nenek sihir ini berbeda pemosisiannya dengan penyihir laki-laki yang
lebih sering diposisikan sebagai karakter yang positif. Sebagai contoh
adalah Mandrake, Dumbledore, atau tukang sihir laki-laki lainnya
dalam banyak mitos.
Dalam tradisi Eropa, pembunuhan besar-besaran terhadap
perempuan yang dianggap sebagai nenek sihir terjadi secara massal
pada abad pertengahan. Jeanne d’Arc, seorang remaja perempuan
Prancis, pemimpin legiun yang berhasil mengalahkan tentara Inggris,
justru menjadi korban pelabelan tukang sihir yang tubuhnya harus
dibakar untuk menjelaskan berkuasanya laki-laki. Para perempuan ini
adalah perempuan-perempuan kuat. Karena kekuatan, kecerdasan, dan
kehebatan mereka maka mereka dijebloskan ke dalam label perempuan
“berbahaya” yang narasinya dibungkam dalam penjara “kegilaan”,
“kemajenunan”, “amoralitas”, serta memuat dosa seksual yang
dianggap berbahaya bagi masyarakat. Selain itu, dalam konteks masa
kini, homophobia adalah satu perilaku yang membelenggu kehidupan
manusia. Akibatnya, lewat homophobia ini, penumpasan etnis atau
kelompok tertentu dilakukan bahkan pada abad yang dikatakan
memiliki pedoman hak asasi manusia di dalam konvensinya.
Meskipun demikian, violent dan toxic masculinities ini tidaklah
bersifat tetap. Dia selalu mengalami dinamika dari waktu ke waktu.
Sebagai contoh, dalam konteks Prancis pada abad ke-19, Napoleon
dengan tradisi penguasaannya sering kali dipandang sebagai sebuah visi
heroisme Prancis. Namun, studi maskulinitas menunjukkan bahwa
heroisme penguasaan dunia ini adalah sebuah heroisme yang toxic
(Boise, 2019). Kita di Indonesia juga sering kali berpikir hal yang sama.
Kebesaran kita yang ditunjukkan dengan kekaguman kita pada
penguasaan wilayah geopolitik dan geografis lain tanpa disadari
melegitimasi kekerasan dan rezim maskulin yang toxic. Bahkan, di
buku-buku sejarah yang kita baca sejak pendidikan dasar dijelaskan
bahwa Islam dikatakan mengalami kejayaan ketika kekaisaran Ottoman

7
menguasai Eropa. Begitu pun dengan kebesaran Julius Cesar,
Alexander the Great, serta Genghis Khan—semuanya adalah narasi
invasi ketika heroisme dan keperkasaan dianggap memiliki nilai lebih
hebat daripada preservasi terhadap jiwa manusia.
Dalam studi maskulinitas, penguasaan ini bersifat toxic karena
dengan invasi tersebut nyawa ribuan orang terhambur. Mereka yang
dikorbankan adalah rakyat jelata yang dijadikan serdadu-serdadu yang
kebanyakan tanpa bayaran. Mereka “bumper” di garda depan yang
menerjemahkan hasrat penguasa maskulin yang penuh kekerasan.
Namun, ketika kemenangan didapatkan, pahatan di monumen dan
guratan tinta emas ditahbiskan bagi para raja serta panglima-panglima
perangnya. Cara berpikir kita yang turut melegitimasi kekerasan dan
penguasaan sebagai sebuah kejayaan adalah juga pemikiran yang toxic.
Kita pun menjadi bagian dari pereproduksian mindset kolektif yang
toxic.
Aspek toxic masculinities lain dalam sejarah Prancis adalah
kolonialisme (Boise, 2019). Colonial masculine men menjelaskan
bentuk kritik para feminis terhadap penguasaan melalui kolonialisme.
Kekerasan fisik dan juga penguasaan berbasis ras dan etnisitas adalah
profil kekerasan masa kolonial. Bentuk masculinities lain yang turut
membangun wacana toxic masculinities adalah kontestasi wacana pasca
11 September 2001. Islamophobia menjadi pengalaman baru tegaknya
white western supremacy yang di dalamnya merefleksikan kekerasan
fisik yang dilakukan oleh mereka yang mengklaim sebagai kebenaran
dalam posisi politik, sosial, dan kultural di Prancis. Namun, hal itu juga
tidak lepas dari tindakan toxic masculinities yang lain, yakni tindakan
terorisme yang menguasai dunia sampai saat ini. Bentuk-bentuk
kekerasan di atas sebetulnya terkait erat dengan: pertama, posisi subjek;
kedua, bahasa sebagai sarana pengejawantahan praktik kekerasan; dan
ketiga, manifestasi psikologis dari mereka yang berperan sebagai
subjek yang melakukan kekerasan.
Dalam konteks relasi subjek dan objek, kekerasan hampir selalu
dilakukan oleh subjek yang merasa memiliki determinasi kekuasaan
dan kebenaran yang ia percayai sebagai sesuatu yang absolut yang
diklaim sebagai miliknya. Jika kekerasan adalah bentuk manifestasi
libidinal dalam konteks Sigmund Freud (Freud, 1905; Sletvold, 2016)

8
dan merupakan lack (kekurangan) dalam konteks Jacques Lacan
(Lacan, 1964) maka saya lebih mengarahkan posisi saya yang
menjelaskan bahwa hal ini adalah persoalan desire atau hasrat. Hasrat
kekerasan termanifestasi karena lumpuhnya bahasa sebagai alat yang
digunakan untuk membangun logika yang dapat mengekangnya.
Kekerasan fisik biasanya dilakukan karena ketidakmampuan seseorang
membangun argumentasinya lewat bahasa. Sementara itu, kekerasan
bahasa juga sering kali terjadi karena lemahnya kemampuan
argumentasi yang konstruktif lewat bahasa.

Bapak dan ibu yang saya muliakan,


Ketika berbicara mengenai masculinities yang penuh kekerasan
tersebut, kita sebetulnya berbicara mengenai relasi-relasi subjek. Kajian
mengenai subjek ini dalam ilmu sosial humaniora bergerak dari relasi
yang bersifat subject to object relations ke subject to subject relations.
Para pemikir Feminisme Gelombang Kedua kebanyakan
memiliki pandangan terkait dengan relasi subjek-objek. Hal ini bisa
dijelaskan karena memang situasi pada tahun 1960–1970-an, posisi
perempuan masih sedemikian subordinatif sehingga perjuangan untuk
subjectivity mereka menjadi sangat penting. Namun, sejalan dengan
waktu, konsep relasi subjek-objek tersebut pun terus bergerak. Tulisan
Donna Haraway dalam Cyborg Manifesto secara jelas mendekonstruksi
pandangan tersebut. Sambil mengkritisi white western supremacy
sebagai subjek yang melakukan praktik subject-object relation sebagai
bagian dari tradisi Eropa, Haraway memunculkan cara pandang yang
mengubah posisi objek menjadi subjek (Haraway, 2016). Haraway
menjadikan objek sebagai subjek yang dalam hal ini, antara lain, adalah
alam dan lingkungan. Konsep lain yang muncul adalah abjek, sebuah
konsep yang dikemukakan oleh Julia Kristeva (Kristeva, 1982). Abjek
ini adalah subjek yang disubordinasikan oleh struktur karena
keberadaannya. Contoh jelasnya adalah kelompok disable, orang kulit
hitam, dan kelompok-kelompok marjinal lainnya. Dari konsep subjek-
objek-abjek tersebut, ada satu aspek yang sangat penting untuk
ditambahkan, yakni mengenai anti-subject. Konsep anti-subject ini
saya ambil dari studi sastra yang ditulis oleh Algirdas Julien Greimas
yang dalam actantial modelnya menawarkan konsep anti-subject, yakni

9
subjek yang merupakan rival dari subjek (Greimas, 1986; Hérbert,
2007). Anti-subject ini adalah subjek-subjek yang melakukan bentuk-
bentuk aktivitas yang merugikan orang lain, meskipun dalam analisis
sastra yang dekonstruktif, dapat pula dilihat bahwa peng-anti-subjekan
dapat terjadi karena posisionalitas pengarang yang bias. Namun, dalam
pidato ini, anti-subject saya definisikan dalam hubungannya dengan
subjek-subjek pelaku violent dan toxic masculinities yang memang
melakukan bentuk-bentuk kekerasan terhadap yang lain karena relasi
kekuasaan yang timpang.
Anti-subject dalam tipologi saya adalah mereka yang melakukan
berbagai bentuk kekerasan, baik secara verbal, psikologis, simbolis,
seksual, maupun fisikal. Kekerasan yang mereka lakukan tidak hanya
terjadi dalam ranah publik dalam bentuk kekerasan di wilayah konflik
ketika militarized masculinities ditengarai sebagai bagian penting dari
beroperasinya kekuasaan. Kekerasan juga dilakukan di ruang-ruang
privat, seperti di dalam keluarga dan lingkungan pertemanan.
Pemerkosaan terhadap anak perempuan, keponakan perempuan, cucu
perempuan, anggota keluarga lain, dan juga teman atau tetangga adalah
contoh jelas tindakan anti-subject yang terus meningkat jumlahnya di
Indonesia. Pelecehan seksual, pencabulan, perundungan seksual, dan
kekerasan gender berbasis online (KGBO) juga marak terjadi di
lingkungan yang sangat menjunjung tinggi penghormatan dan
kesetaraan tanpa memandang gender, kelas sosial, etnisitas, usia,
agama, dan kategori sosial lain, yakni lingkungan pendidikan, baik di
sekolah atau pendidikan umum maupun yang berbasis agama. Komnas
Perempuan mencatat bahwa dari Januari–September 2021, ada 4.000
kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan. Kebanyakan
adalah kasus kekerasan seksual (Sembiring, 2021). Kasus-kasus
kekerasan juga semakin meningkat terhadap kelompok-kelompok
marjinal lain, baik secara individual maupun kolektif. Salah satu contoh
jelasnya adalah kekerasan terhadap pemeluk agama dan kepercayaan
yang berbeda.

Para sahabat yang saya hormati,


Untuk mengatasi persoalan kekerasan dalam berbagai bentuk
diperlukan adanya diskusi tentang pentingnya membicarakan

10
posisionalitas subjek dalam menghadapi praktik objektifikasi,
abjektifikasi, dan perlawanan terhadap anti-subjektifikasi. Jika Julia
Kristeva menawarkan sebuah konsep subject in process, yakni setiap
subjek selalu mengalami pergerakan, baik secara empiris maupun
epistemologis, maka berdasarkan pengalaman riset saya di beberapa
wilayah konflik dan kekerasan di Indonesia serta mengamati perilaku
dari para anti-subjects yang melakukan bentuk-bentuk kekerasan, salah
satu hal yang perlu ditekankan adalah yang saya sebut sebagai
transformative subjects (subjek yang bertransformasi).
Transformative subjects ini adalah para anti-subjects yang telah
mengubah cara berpikir toxic-nya dan mencoba memasukkan dirinya
sebagai subjek yang kontributif. Dalam beberapa pengalaman
penelitian saya dengan para kolega saya dari Graduate Institute Geneva,
Swiss dan Women International League for Peace and Freedom,
Nigeria, subjek-subjek baru muncul setelah mereka meninggalkan
posisi mereka sebagai anti-subject, yakni menjadi para kombatan ketika
konflik terjadi. Para anti-subjects di Ambon, misalnya, bahkan menjadi
transformative subjects karena melakukan proses-proses perdamaian
dan bina damai pascakonflik. Mereka juga menghasilkan karya-karya
nyata untuk mempreservasi perdamaian dan melakukan gerakan anti
kekerasan lewat karya-karya mereka. Karya-karya sastra dalam bentuk
antologi puisi, yang antara lain ditulis oleh para ex-combatants dan para
penulis lainnya yang berisi ekspresi semangat agar kekerasan tidak
terjadi lagi (Udasmoro & Kunz, 2021), adalah representasi dari
transformative subjects. Satu gerakan yang cukup kolektif adalah
kelompok seni Paparisa Ambon Bergerak yang dimotori oleh Pierre
Ajawalia yang telah menyumbangkan pemikiran cemerlang dengan
cara menghubungkan secara kultural kelompok-kelompok yang
sebelumnya bertentangan pandangan dan berkontestasi di dalam
konflik.
Dalam konteks Aceh, pengalaman serupa juga terjadi. Sebuah
organisasi massa Ormas Raya, yang sebelumnya adalah para anggota
Gerakan Aceh Merdeka, pada masa Daerah Operasi Militer menjadi
subjek transformatif dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan anti
kekerasan dan memulai cara hidup baru bersama melalui gerakan-
gerakan seni dan budaya sebagai implementasi kontributifnya (Kunz et

11
al., 2018). Para mantan Inong Balee (tentara perempuan GAM) juga
melakukan hal yang sama dengan proses-proses mengintegrasikan diri
mereka dalam budaya yang lebih menjunjung perdamaian.

Bapak dan ibu yang saya muliakan,


Mereka-mereka yang pada masa lalu menjadi anti-subjects dalam
skala besar karena berada dalam situasi konflik dan kekerasan yang
bersifat makro telah mengubah cara pandangnya dan melihat tidak
pentingnya violent dan toxic masculinities bagi diri, keluarga, dan
masyarakat. Kesadaran ini sering kali tidak bersifat individual, tetapi
juga bersifat kolektif. Hal ini terjadi karena kesadaran akan pentingnya
memosisikan diri sebagai subjek yang sederajat vis-à-vis subjek lain.
Kesadaran individual dan kolektif menolak kekerasan dan tindakan-
tindakan toxic membutuhkan mekanisme. Salah satu mekanisme yang
paling penting adalah mendobrak kesadaran kita sendiri, yakni dengan
cara meninjau ulang praktik-praktik masculinities yang penuh
kekerasan dan bersifat toxic yang masih kita percayai. Narasi-narasi
sastra dan budaya akan dapat berfungsi lewat penarasiannya yang
berbeda-beda. Mengenalkan friendly subjects sebagai narasi yang kuat
lewat sastra, berbagai lini media, sistem-sistem pendidikan, baik di
tingkat sekolah, keluarga, maupun dalam percakapan masyarakat di
keseharian dapat menjadi mekanisme yang akan berfungsi lebih tahan
lama, selain aspek-aspek hukum yang ditegakkan ketika terjadi
pelanggaran dalam berbagai bentuk kekerasan. Tidak ada yang mudah
dilakukan apalagi ketika struktur berpikir kita sudah sedemikian dalam
memercayai suatu pola berpikir tertentu. Namun, hal tersebut bukan
suatu kemustahilan untuk dilakukan mengingat kita semua memiliki
potensi sebagai subjects in process dan juga transformative subjects.
Demikian usulan kecil yang dapat saya sampaikan dalam pidato
ini. Sebuah serpihan kecil untuk membongkar permasalahan yang besar
sehingga membutuhkan kerja bersama. Membongkar sistem kekerasan
terkadang perlu dimulai dari diri sendiri, karena dalam diri yang telah
secara mapan terbentuk oleh struktur kekerasan perlu cara baru
membangun refleksi.

12
Bapak dan ibu yang saya hormati,
Pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam bidang Sastra dan
Gender ini tidak terlepas dari peran berbagai pihak yang telah
memberikan dorongan semangat dan kekuatan pada saya selama lebih
dari 24 tahun sebagai dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada guru sekaligus “bapak” saya, Bapak Teguh Basuki yang
pertama kali mendukung saya sebagai dosen. Ucapan terima kasih juga
saya sampaikan kepada Bapak Muslikh Madiyant yang telah
memperkenalkan saya pada berbagai pemikiran teoretis ketika menjadi
dosen pembimbing skripsi saya, juga kepada sahabat saya, almarhumah
Dr. Siti Hariti Sastriyani, teman diskusi saya yang sangat setia pada
pertemanannya. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada kolega-
kolega saya: Mbak Wiwid, Mbak Lina, Mas Ali, Mas Suryo, Mas Toro,
Mas Jarwa, Upik, Mona, Merry, Arum, Sandy, dan Ayu atas kerja
timnya yang selalu kompak. Semoga kekompakan ini tetap langgeng.
Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada Mas Pujo Semedi,
Pak Daud Aris Tanudirdjo, dan Pak Heru Marwata yang telah menjadi
tim solid selama saya menjadi wakil dekan FIB periode 2012–2016
dengan selalu mendukung usaha-usaha penulisan saya. Ucapan terima
kasih juga saya sampaikan kepada Mas Setiadi, Bu Nursaktiningrum,
dan Mas Agus Wignyo yang telah meringankan beban tugas saya
sebagai dekan FIB periode 2016–2021 sehingga kegiatan menulis saya
tetap lancar terlaksana. Rasa terima kasih juga saya ucapkan kepada
Mas Zam dan Mbak Dewi yang sangat membantu kerja saya tanpa
kenal waktu selama dua periode saya di dekanat.
Apresiasi saya yang setinggi-tingginya juga saya sampaikan
kepada para Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM yang telah
memacu semangat saya untuk terus berkarya. Beribu terima kasih
kepada Profesor Bambang Purwanto yang telah memberikan motivasi
kepada saya secara maksimal agar saya peduli dengan kenaikan pangkat
dan jabatan dalam kondisi sebagai pamong fakultas. Rasa terima kasih
juga saya sampaikan kepada Profesor Heddy Shri Ahimsa Putra yang
telah memberikan support kepada saya selama saya menjadi dekan
dalam jabatan beliau sebagai ketua senat FIB UGM sehingga tugas saya
sebagai pamong dimudahkan.

13
Rasa terima kasih saya ucapkan kepada kolega-kolega di Program
Studi Kajian Budaya dan Media, utamanya Mbak Ratna Noviani atas
diskusi-diskusi teoretisnya yang selalu menginspirasi. Saya juga sangat
berutang budi kepada Profesor Faruk yang pertama kali
memperkenalkan prodi ini kepada saya sehingga saya berkesempatan
bertemu dengan para kolega yang kritis. Saya juga sangat berutang budi
kepada para kolega di Indonesian Consortium for Religious Studies.
Saya mendapatkan banyak sekali ilmu dari program yang di dalamnya
para peneliti religious studies dari UIN Sunan Kalijaga dan Universitas
Kristen Duta Wacana berkontribusi bagi pengembangan keilmuan.
Terima kasih kepada Profesor Bernie Risakotta, orang pertama yang
memberi kepercayaan kepada saya mengajar tandem dengan beliau di
program internasional ini. Saya bersyukur sebagai salah seorang yang
diberi kepercayaan mengajar kelas pertama ketika program ini dibuka
pada tahun 2006. Apresiasi saya kepada para anggota Majelis
Konsorsium dan para staf di ICRS. Ucapan terima kasih juga kepada
Prodi Pengkajian Seni Rupa dan Seni Pertunjukan yang telah
mengenalkan saya pada kajian ini.
Ucapan terima kasih sedalam-dalamnya saya tujukan kepada pen-
support keilmuan saya dalam bidang kajian gender. Saya sangat
berutang budi kepada Profesor Thanh-Huyen Ballmer-Cao dan Lorena
Parini, promotor dan ko-promotor saya di Universitas Jenewa. Saya
mendapatkan banyak kontribusi pemikiran dari Profesor Elisabeth
Prügl, Christelle Rigual, Piia Bränfors dari Geneva Graduate Institute,
Henri Myrttinen (Gender Associations), Rahel Kunz (Universitas
Lausanne), Mimidoo Achakpa dan Joy Onyesoh (Presiden
Internasional Women International Leage for Peace and Freedom),
serta Ruth Harding, Emanuelle Chauvet, dan Claudia Zingerly dari
program penelitian R4D Swiss yang selama enam tahun terakhir saya
jalani. Juga tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada sahabat
penelitian lapangan saya, Mbak Arifah Rahmawati dan para asisten
peneliti saya di Aceh, Ambon, dan Jawa Timur.
Selain itu, ada pula sahabat saya, Mbak Ratna Saptari
(Universitas Leiden) yang turut membangun pemahaman saya terhadap
keilmuan ini. Dalam kajian analisis wacana, saya sangat berutang budi
kepada Profesor Frans Wijsen (Universitas Radboud). Saya juga

14
mengucapkan beribu terima kasih kepada pemberi masukan penulisan
saya dalam bahasa Prancis, yakni Rémy Madinier (École des Hautes
Études des Sciences Sociales) dan Jean-Marc de Grave (Universitas
Aix-Marseille). Tidak lupa pula bagi teman-teman di pusat-pusat studi
UGM, Profesor Hermin di PSSAT dan tim, Mbak Widya Nayati dan
tim di PSW, serta Mas Najib dan teman-teman tim di PSKP. Rasa
terima kasih juga saya sampaikan kepada Mbak Rachmi Diyah Larasati
yang telah berkenan membaca tulisan saya ini. Untuk Mbak Mutiah
Amini dan Mbak Sulistyowati, terima kasih atas pertemanannya. Saya
juga berutang persahabatan kepada para Wakil Dekan UGM periode
2012–2016 dan para Dekan UGM periode 2016–2021. Tentu saja,
terima kasih juga saya tujukan kepada seluruh dosen dan tendik
Fakultas Ilmu Budaya UGM, para mahasiswa, dan alumni yang banyak
dari mereka selalu antusias mengikuti aktivitas akademik saya.
Saya merasa sangat beruntung memiliki keluarga yang sangat
suportif kepada saya tanpa pernah membedakan persoalan gender. Ibu
saya, almarhumah Ibu Sri Suhani, bapak saya, almarhum Bapak Hesti
Wibowo, dan almarhumah eyang Sulastri adalah pahlawan dan
inspirator bagi saya. Almarhum Bapak Cipto Legowo, Bapak Sengkut
Pandega, almarhum Bapak Teguh Supurbo, almarhum Bapak Sunardi,
serta Ibu Sri Bandu Wahyuni dan seluruh keluarga besar adalah
pemberi kekuatan di saat-saat sulit. Ucapan terima kasih juga kepada
Ibu Sri Suswardani, Ibu Sri Rahayu, Bapak Sumbono, dan Ibu Sri
Sunarti. Ucapan terima kasih juga kepada Mas Andika Perkasa (beserta
istri dan keluarga besar), kakak sepupu saya yang dalam kesibukan
beliau selalu memberi perhatian kepada saya.
Adik saya satu-satunya, Prawerti Prajnajati dan suaminya,
Irfayanto, serta para keponakan saya tercinta, Edra, Elya, dan almarhum
Aya adalah penyemangat tulen yang kekuatan mereka selalu saya bawa
ke mana pun saya pergi. Saya juga berterima kasih pada Nana Makarim,
Fitri, dan Mbak Tari yang selalu mendukung saya ketika saya dalam
kesulitan.
Ucapan terima kasih juga saya tujukan kepada keluarga besar
suami saya di Papua New Guinea (Sophie Marai, Andrew Marai, Peter
Marai, dan keluarga besar). Saya juga berterima kasih kapada seluruh
teman-teman, para kadang saya di Persaudaraan Pencak Silat Kembang

15
Setaman yang selalu meringankan kerja saya merawat harta warisan
orang tua saya ini. Kepada anggota keluarga dan teman-teman yang
lain, mohon maaf tidak dapat saya sebutkan satu per satu.
Satu keberuntungan bagi saya bertemu Leo Marai, suami yang
menemani saya dengan setia dalam suka dan duka, teman curhat yang
sangat menyenangkan, penulis andal yang merupakan motivator awal
dan utama dalam karier saya sebagai akademisi. Kasih tak terhingga
juga saya tujukan kepada Lovrina Lalitya Ibodamai Marai, anak kami
yang penuh pengertian yang telah memberikan pengorbanannya sejak
kecil untuk ibunya. Pidato ini saya dedikasikan untuk mereka berdua.

Demikian pidato ini saya sampaikan. Akhir kata, Was-salamu ‘alaikum


wa rahmatullahi wa barakatuh.

Yogyakarta, 17 Februari 2022

16
DAFTAR PUSTAKA

Boise, S. de. 2019. Editorial: Is Masculinity Toxic? NORMA Int. J.


Masculinity Studeis, 4, 147–151.
Cixous, H., K. Cohen, & P. Cohen. 1976. The Laugh of the Medusa. 1,
875–893.
Collins, P.H. 1998. It’s All in the Family: Intersections of Gender, Race
and Nation. Hypatia, 3, 62–82.
Connell, R.W. 2005. Masculinities. Polity Press, Boston.
Crenshaw, K. 1989. Demarginalizing the Intersection of Race and Sex:
A Black Feminist Critique of Antidiscrimination Doctrine,
Feminist Theory and Antiracist Politics. Univ. Chic. Leg.
Forum 1, 31.
Freud, S. 1905. Three essays on the theory of sexuality, in The Standard
Edition of the Complete Psychological Works of Sigmund
Freud (Vol. 7), J. Strachey (ed.). The Hogarth Press, London.
Greimas, A.J. 1986. Sémantique Structurale. Press Universitaire de
France, Paris.
Haraway, D. 2016. Cyborg Manifesto: Science, Technology, and
Socialist-Feminist-Feminism in the Late Twenttieth Century.
Harding, S. 1993. Rethinking Standpoint Epistemology: What is Strong
Objectivity?, in Feminist Epistemologies, Alcoff, Linda &
Elizabeth Potter (eds.). Routledge, London & New York.
Hérbert, L. 2007. Dispositifs pour l’analyse des textes et des images.
Presses de l’Université de Limoges, Limoges.
hooks, b. 1990. Yearning: Race, Gender and Cultural Politics. South
End Press, Boston, MA.
Irigaray, L. 2004. An Ethics of Sexual Difference. Continuum, London
& New York.
Kristeva, J. 2002. Le Génie Féminin: La Vie, la Folie, les Mots : Tome
3 : Colette ou la Chair du Monde. Fayard, Paris.

17
Kristeva, J. 1982. The Powers of Horror: An Essay of Abjection.
Columbia University Press, New York.
Kunz, R., H. Myrttinen, & W. Udasmoro. 2018. Preachers, pirates and
peace-building: Examining non-violent hegemonic
masculinities in Aceh. Asian J. Women’s Stud., 24, 299–320.
https://doi.org/10.1080/122 59276.2018.1495348
Kupers, T.A. 2005. Toxic masculinity as a barrier to mental health
treatment in prison. J. Clin. Psychol., 61, 713–724.
https://doi.org/10.1002/jclp. 20105. PMID 15732090
Lacan, J. 1964. Le Séminairé. XI, Les quatre concepts fundamentaux de
la psychoanalyse. Seuil, Paris.
Louise Malençon, M. 1999. Parler-Femme selon Luce Irigaray. Autre
Parole.
Mohanty, C.T. 1988. Under Western Eyes: Feminist Scholarship and
Colonial Discourses. Fem. Rev., 61–88.
https://doi.org/10.2307/ 1395054
Rahimi, A. 2008. Syngué Sabour Pierre de Patience. Des Editions
P.O.L, Paris.
Sembiring, I.G.N. 2021. Januari-September 2021, Ada 4000 Kekerasan
terhadap Perempuan di Indonesia. Kompas.com.
Sletvold, J. 2016. Freud’s Three Theories of Neurosis: Towards a
Contemporary Theory of Trauma and Defense. Psychoanal.
Dialogues, 26, 460–475. https://doi.org/10.1080/104
81885.2016. 1190611
Udasmoro, W. & R. Kunz. 2021. Art for Peace in Ambon: An
Intersectional Reading. Dev. Policy J., 13. https://doi.org/
10.4000/poldev.4630
Udasmoro, W. & A. Rahmawati. 2022. Masculinities in Literary Works
on Indonesia’s Post-Conflict Ambon Island. Krit. Kult.
Walby, S. 1989. Theorising Patriarchy. Sociology, 23, 213–234.

18
BIODATA

Nama : Prof. Dr. Wening Udasmoro, S.S., M.Hum., DEA.


TTL : Magelang, 26 Januari 1972
NIP : 197201261997022001

Keluarga
Suami : Dr. Leo Marai
Anak : Lovrina Lalitya Ibodamai Marai

Riwayat Pendidikan
SD : SDN Tidar 1 Magelang
SMP : SMPK Pendowo Magelang
SMA : SMAN 2 Magelang
S1 : Jurusan Sastra Prancis, Fakultas Imu
Budaya UGM
S2 : Magister Sastra, Fakultas Ilmu
Budaya UGM
S2 : Gender Studies, Fakultas Ekonomi
dan Sosial, Universitas Jenewa, Swiss
S3 : Gender Studies, Fakultas Ekonomi
dan Sosial, Universitas Jenewa, Swiss

19
Riwayat Pekerjaan
Januari 2022- : Kepala Pusat Bahasa Fakultas Ilmu Budaya UGM
2016-2021 : Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM
2012-2016 : Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan
Fakultas Ilmu Budaya UGM
2009-2012 : Associate Director Indonesia Consortium for Religious
Studies
2008-2012 : Sekretaris Senat FIB UGM
2007-2011 : Ketua Jurusan Sastra Prancis UGM
2007-2009 : Ketua Program D-3 Bahasa Prancis UGM

Publikasi Internasional (Jurnal)


Udasmoro, W. (May 2002 Forthcoming). “The Transformation of
Social Imaginary on Women Sexuality in Indonesian
Literature from New Order to Reformasi Era” in Journal of
International Women Studies.
Udasmoro, W. 2002 (February Forthcoming). “Masculinities in the
Post Conflict Literature in Ambon Island, Indonesia” in
Kritika Kultura.
Udasmoro, W. 2022 (forthcoming). “Gendered Dynamics of Labor
Force Participation in Insurgency and Ethno-Religious
Conflict” in International Feminist Journal of Politics.
Udasmoro, W. & R. Kunz. 2021 (December). “Art for Peace in Ambon:
An Intersectional Reading” in Development Policy Journal.
Udasmoro, W. & E. Prügl. 2021 (December). “No Matter What- I’ve
Got Rights: Women Land Grab Protests in Banyuwangi, East
Java” in Gender in Peacebuilding, Elisabeth Prugl et.al, The
Netherlands: Brill
Udasmoro, W. & Setiadi. 2021. “Gender Discourses in Positioning
Indonesian Female Migrant Workers” in JSP (Jurnal Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Vol 24, Issue 3, 237–252.
Udasmoro, W. 2020. “Experiencing literature: Discourses of Islam
through Michel Houellebecq’s Soumission” in Kritika
Kultura, No. 35, 72–94.

20
Udasmoro, W. (with S. Anwar). 2019. “Contesting the Social Spaces:
Gender Relations of Literary Communities in Yogyakarta and
Surakarta” in Indonesian Journal of Geography, Vol. 51, No.
3, 346–356.
Udasmoro, W. (with R. Kunz & H. Myrttinen). 2018. “Preachers,
pirates and peace-building: Examining non-violent
hegemonic masculinities in Aceh” in Asian Journal of
Women's Studies, Vol. 24, No. 3, 299–320.
Udasmoro, W. 2016. “Transgender in Indonesian Media: Negotiating
the Self Project of Identity” in Regional Journal of Southeast
Asian Studies, Vol. 1, Issue 1, 118–141.

Buku
Udasmoro, W. 2021. (with Elisabeth Prugl et.al.). Gender in
Peacebuilding. The Netherlands: Brill
Udasmoro, W. & A. Rahmawati (eds.). 2021. Antara Maskulinitas dan
Femininitas: Perlawanan terhadap Gender Order.
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Press.
Udasmoro, W. & A. Rahmawati. 2021. Kekerasan di Masa Pandemi.
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Press.
Udasmoro, W. (ed.). 2020. Gerak Kuasa: Politik Wacana, Identitas dan
Ruang/Waktu dalam Bingkai Kajian Budaya dan Media.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Udasmoro, W. & W. Nayati (eds.). 2020. Interseksi Gender.
Yogyakarta: UGM Press
Udasmoro, W. 2019. Gender & Peacebuilding: Agency and Strategy
From The Grassroot. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya
Press.
Udasmoro, W. (ed.). 2018. Hamparan Wacana dari Dari Praktik
Ideologi, Media Hingga Kritik Pos Kolonial. Yogyakarta:
Penerbit Ombak
Udasmoro, W. (ed.). 2017 Dari Doing ke Undoing Gender.
Yogyakarta: UGM Press.

21

Anda mungkin juga menyukai