Anda di halaman 1dari 24

Critical Legal Studies (Studi Hukum Kritis) dan Roberto Unger; Sebuah Upaya

Menelanjangi Hukum Modern dan meruntuhkan Kapitalisme Lanjut

Oleh: Muhammad Rizaldi Mina1

Pandangan manusia tidak seharusnya satu sisi, manusia adalah atom


dalam dunia, tetapi dia mengukur keterbatasannya; manusia ingin
menjalani identitasnya bahkan rindu diri, dan orang lain adalah potensi
dan cerminnya. Manusia adalah makrokosmos sekaligus mikrokosmos
(Dr.Ali Harb dalam Kritik Nalar Al-Qur’an Hal: 119)
Filsafat Politik dan Filsafat Hukum
Perbincangan Awal

Meskipun kita selama ini hanya berlari kecil disebuah taman pemikiran dan sedikit kurang
berani untuk masuk menyusuri belantara hutan pemikiran, tapi secara jujur sudah bisa berkata
bahwa kita telah menangkap sebuah saripati dari pesan pemikiran tersebut meskipun itu
hanya sebesar biji dzarrah. dalam kajian Hukum dan Politik misalnya, seluruh begawan
menyepakati secara gamblang bahwa keduanya memiliki objek yang sama, yakni kehidupan
masyarakat dan segala hal yang berkaitan dengan masyarakat.

Dalam hukum, Bernard Arief Shidarta berpendapat bahwa “Masyarakat manusia, betapapun
sederhananya, selalu memerlukan penataan dengan pengaturan perilaku di dalam
masyarakat yang kepatuhan dan penegakannya tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada
kemauan bebas masing-masing (Ubi Societas Ibi Ius) dalam pembentukan Hukum maka
tinjauan awalnya adalah gejala sosial yang menyandang berbagai aspek, faset, ciri dimensi
waktu dan ruang serta tataran abstrak yang majemuk”.2 Diperkuat oleh gagasan begawan
Hukum Progresif yaitu Satjipto Rahardjo yang di urai oleh Anthon F Susanto dengan
ungkapan “bahwa sejatinya Satjipto adalah orang yang sangat konsisten terhadap sebuah
narasi yang melarikan hukum kepada posisi manusia sebagai aktor utama dalam bingkai
antroposentris. Satjipto berpijak pada sebuah ungkapan “Law Is a great anthropological
document” dan kadang beliau mengungkapkan bahwa hukum itu sebuah pergulatan
kemanusiaan atau hukum itu diperuntukkan bagi manusia dan bukan manusia bagi hukum”.3
Ini bukan interpretasi dari Anthon semata, tapi Satjipto sendiri menuliskan bahwa “Hukum
sebagai teks itu berdiam diri dan hanya melalui perantara manusianya ia menjadi
hidup....perilaku atau tindakan manusia dapat menambah dan mengubah teks”.4 Satjipto
lantas menambahkan kembali bahwa “.... Diluar sistem teks, hukum adalah perilaku manusia
dan yang terakhir ini menjadikan hukum itu kompleks serta tidak dapat diramalkan dengan
tepat. Membaca peta perilaku adalah membaca proses-proses yang cair, sedang teks dan

1
Penulis adalah Mahasiswa Aktif Semester 8 Ilmu Hukum UIN Bandung, Pernah sial karena mengenal Lembaga
Kajian dan Debat Mahasiswa (LKDM) Ilmu Hukum UIN Bandung, Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK)
dan Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam (Hima Persis).
2
Bernard Arief Shidarta dkk, Pengembanan Hukum Teoritis Refleksi atas Konstelasi Disiplin Hukum (Bandung:
Logoz Publishing 2014) Hal: 1
3
Anthon F Susanto, Filsafat dan Teori Hukum Dinamika Tafsir Pemikiran Hukum di Indonesia (Jakarta:
Prenadamedia Group 2019) Hal: 31
4
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilaku; Hidup yang Baik adalah Dasar Hukum yang Baik (Jakarta: Kompas
2009) Hal: 21

1
sistem teks itu adalah Finiti Scheme”.5 Secara teoritis memang objek kajian hukum adalah
masyarakat dan manusia, bukan hanya tentang pendapat Satjipto atau Arief Shidarta, namun
lebih jauh dari itu lahirnya hukum pun adalah proyek dari pikiran manusia dimana pada saat
zaman yunani kuno sekitar abad ke-5 SM terjadi pergeseran dari berfikir lewat bimbingan
mitologi dan iman kepada cara berfikir yang mengacu pada akseptabilitas internal dalam
akal-budi sendiri yakni kriteria rasionalitas yang disebut oleh Don Martiandale dengan The
rational proof sebagai criterion of acceptability dimana segalanya memunculkan refleksi
tentang keberadaan manusia dan realitas dunia.6

Dalam politik pun sama, mustahil kita akan melepaskan kajian dari penjangkar utamanya
yaitu masyarakat dan manusia. dalam kajian yang banal sekalipun politik tetap merupakan
hal yang dikelilingi oleh masyarakat. Maurice Duverger misalnya mengatakan bahwa plitik
adalah hal yang sangat tua dan ada dalam kosakata setiap orang, lalu ketika politik direduksi
menjadi terma khusus bagi kekuasaan dan negara, maka yang terjadi adalah pengartian
kepada kategori khusus dari kelompok-kelompok manusia atau masyarakat.7 David Easton
memperkuat pandangan Duverger dengan mengambil posisi banal dari hierarkisnya struktur
politik, diungkapkan bahwa politik adalah suatu seni dalam menetapkan kekuasaan yang
otoritatif untuk suatu masyarakat, riset politik harus berlandaskan pada gejala masyarakat. 8

Diantara pandangan banal tentang politik yang dijangkarkan pada kekuasaan dan negara
(meskipun ada unsur peruntukan terhadap masyarakat), terdapat angin segar dari seorang
intelektual muda yang melepaskan atau menggeserkan kajian politik yang semula pada
konsep tentang negara dan kekuasaan menjadi politik yang merupakan bagian dari interaksi
masyarakat. adalah Martin Suryajaya dalam bukunya Sejarah Pemikiran Klasik dari
Prasejarah hingga Abad ke-4 SM yang menggugat konsep awal tentang kajian politik,
dimulai dengan menghadirkan definisi dari para tokoh semisal Miriam Budiardjo yang
membagi politik kedalam lima diskursus pokok, yaitu tentang kekuasaan, negara,
pengambilan keputusan, kebijakan publik dan alokasi.9 Menurut Martin, jika yang digunakan
untuk terma politik begitu sempit hanya pada pembicaraan seputar Negara dan segala hal
yang berkaitan dengan pengaturan negara, maka alhasil visualisasinya adalah seperti hal yang

5
Ibid, Hal: 95
6
Bernard Arief Shidarta dkk, Pengembanan Hukum Teoritis Refleksi atas Konstelasi Disiplin Hukum (Bandung:
Logoz Publishing 2014) Hal: 7 pertumbuhan yang didapatkan lewat rasionalitas adalah kemampuan untuk
mengabstraksikan sesuatu yakni kemampuan untuk memahami sesuatu dengan meringkasnya ke dalam satu
pengertian (Konsep). Kedua kemampuan untuk mengamati sesuatu dengan cara yang sangat bebas, yakni
tidak terikat dengan pikiran dan pemahaman yang sudah ada sebelumnya. Jadi tidak latah mengikuti tradisi
yang sudah ada. Dan ketiga adalah sikap objektif terhadap alam. Dalam memanfaatkan ketiga instrumen itu,
masyarakat yunani mencoba menelisik dalam akan kehadiran dan maujudnya manusia di dunia. Salah satu
yang direfleksikannya adalah tentang Hukum. Refleksi tentang hukum berada pada seputar hakikat hukum,
hubungan hukum dan kekuasaan, hubungan hukum dan moral, keadilan, kelayakan (equity) serta pengertian-
pengertian kaidah hukum, asas hukum, hak, kewajiban, kepatuhan, pertanggung jawaban yuridik, hak milik,
perikatan dan sebagainya. Namun perlu diketahui bahwa seluruhnya ini belum diterjemahkan menjadi hal
yang sifatnya tekhnikal dalam ilmu hukum.
7
Maurice Duverger, Sosiologi Politik (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 2014) Hal: 17 Terj: Daniel Dakhidae
8
Roy C Macridis, Edisi Keenam untuk Perbandingan Politik Sebuah Catatan dan Pembacaan (Jakarta: Penerbit
Erlangga 1996) Hal: 35 Terj: Henry Sitanggang
9
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia 2010) Hal: 17

2
tampak dihadapan kita hari ini yaitu terkait dengan adanya penjara, lampu lalu lintas, kotak
suara, seragam pegawai negeri, bendera dan lain sebagainya. 10 Martin melanjutkan
argumennya dengan mengutip pendapat aristoteles dengan mengurai asal usul lafadz politik
yang memiliki kaitan cukup erat dengan kehidupan di negara kota atau polis. Ketika
aristoteles mengungkapkan politik dengan mengarahkan telunjuk pada kehidupan di polis
pada saat itu, maka politik tidak hanya memiliki kaitan dengan kekuasaan semata, namun
lebih jauh dari itu politik memiliki kaitan dengan soal etika, kodrat manusia, pengetahuan,
masalah-masalah internal keluarga dan sederet persoalan lainnya yang dewasa ini biasanya
dianggap bukan bagian dari politik.11 Platon pun demikian, ketika mengungapkan lafadz
politik maka yang dibahas adalah tak hanya merupakan mekanisme dari maujudnya
kekuasaan, namun mencakup metafisika soal hakikat kenyataan, jiwa manusia dan kehidupan
sesudah kematian.12 Maka Martin mengambil kesimpulan bahwa politik adalah sebuah lafadz
yang amat longgar dan bisa dinaungi oleh apapun asalkan itu merupakan interaksi antara
masyarakat atau dalam bahasanya disebut sehimpun hubungan sosial.13

dengan argumen diatas, kita sampai pada kesimpulan bahwa politik dan hukum memiliki
objek kajian yang tidak jauh berbeda, karena geraknya diperuntukkan bagi masyarakat dan
pengambilannya adalah dari interaksi sosial. refleksi atas masyarakat yang kadang direngkuh
secara berbarengan oleh filsafat politik dan hukum seperti keadilan, kemanfaatan, kedaulatan
dan yang lainnya adalah fenomena berarti dan sarat untuk dikaji hari ini.

Perkembangan Politik Hukum Barat


Sebuah Kajian yang Melelahkan

Apakah kita mulai beranjak dari pembicaraan tentang hukum? Atau jangan-jangan hukum
selalu tampil disekeliling kita? Dalam bentuk seperti apa? Peraturan perundang-undangan?
Apakah ada selubung dibalik peraturan itu? sejak kapan hukum dibicarakan dalam model
peraturan? Atau jangan-jangan itu hanya fantasi kita agar hukum tetap dianggap disiplin yang
tercerabut dari segala disiplin ilmu? Lantas apakah hukum itu ilmiah dan dapat dipertanggung
jawabkan secara akademik dan moral jika tetap bersikukuh pada peraturan perundang-
undangan? seluruh pertanyaan yang menjengahkan ini adalah pola awal Critical Legal
Studies untuk mengurai setiap proyeknya dalam merekonstruksi hukum di era modern.
10
Martin Suryajaya, Sejarah Pemikiran Klasik dari Prasejarah hingga Abad ke-4 SM (Tangerang: Marjin Kiri
2016) Hal: 2
11
Martin Suryajaya, Sejarah Pemikiran Klasik dari Prasejarah hingga Abad ke-4 SM (Tangerang: Marjin Kiri
2016) Hal: 2
12
ibid
13
Ahmad Suhelmi mengurai tentang interaksi manusia ketika awal mula terbentuk sebuah kota dengan
menyitir pendapat dari Max Weber yang mencoba untuk menerangkan bahwa sejatinya etos kapitalisme
menjadi titik tumpu hadirnya sebuah kota, lewat cakupannya berupa rasionalitas, ekspansi perdagangan, kerja
keras, efesiensi, penghargaan terhadap waktu, merupakan bagian tak terpisahkan dari lahirnya sebuah kota.
Ahmad Suhelmi tidak membenarkan apa yang diuraikan oleh Weber, suhelmi hanya mengurai tentang
gamangnya asal-usul kota karena tak ada definisi dan sejarah yang tunggal. Akhirnya hilir mudik pendapat
meramaikan jagad raksasa khazahah, seperti asal usul kota yang hadir karena adanya perdagangan antar-kota,
perluasan megapolis, adanya minoritas sosial kreatif dan sebuah penaklukan. Ahmad Suhelmi, Pemikiran
Politik Barat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2004) Hal: 25 terlepas dari pendapat dan galian Suhelmi, hal
yang menjadi point adalah seluruh kegiatan negara/kota awalnyapun tidak dapat dilepaskan dari jangkarnya,
yaitu masyarkat dan hiruk pikuk segala interaksinya.

3
Menurut Satjipto Rahardjo, hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan
peradaban dimana hukum itu berasal atau secara kasar Satjipto ingin mengatakan bahwa
politik selalu melahirkan hukum.14 Bukan hanya dilahirkan dari politik, namun hukum
merupakan sub-bagian dari jenis politik tersebut. hal tersebut dapat secara tegas kita
verifikasi kebenarannya, jika kita mencoba untuk masuk dan mengkaji peradaban dari setiap
abad. Satjipto atau bahkan seluruh orang percaya bahwa hukum selalu berbeda dalam setiap
ruang dan waktu.

sebagai sample peradaban dominan hukum, maka Abad ke-19 dan ke-20 adalah abad yang
menjadi sangat penting dan mengakar pengaruhnya sampai detik ini. dimulai dengan abad 19,
dimana seluruh keadaan dunia pada saat itu mengenal perkembangan fisik yang luar biasa
dengan masuknya sains dan teknologi ke dalam dunia ini. Hukum menjadi produk yang
paling penting untuk melegitimasi pengetahuan dan pencapaian manusia pada saat itu.
Respons dari Ilmu Hukum adalah membangun suatu tatanan yang penuh dengan kepastian.
Seluruh kepastian ini mengakibatkan selamatnya produk sains dan teknologi dengan memberi
konfirmasi. Maka Ilmu Hukum pun mencapai puncaknya dalam suatu era kepastian dengan
apa yang disebutkan sebagai kodifikasi atau pembukuan.15

Kodifikasi adalah sebuah aturan hukum yang menjadi puncak bagi manusia berhukum, entah
dalam tradisi Civil Law16 ataupun Common Law17. Secara definitif konteks Civil Law,
kodifikasi (code atau undang-undang) adalah sekumpulan clausul dan prinsip hukum yang
otoritatif, biasanya dihadirkan secara komprehensif dan sistematis, dimuat dalam kitab atau
bagian yang disusun secara logis sesuai dengan hukum terkait. Oleh sebab itu, peraturan civil
law dianggap sebagai sumber hukum yang paling utama dimana semua sumber hukum

14
Satjipto Rahardjo, (Ilmu) Hukum dari Abad ke Abad Dalam Butir-Butir Pemikiran Hukum Memperingati 70
Tahun Prof.Dr.B.Arief Shidar ta,S.H. (Bandung: Refika Aditama 2011) Hal: 29
15
Satjipto Rahardjo, Ibid, Hal: 30
16
Civil Law terkadang memiliki makna yang sangat berbeda, namun Peter De Cruz membuat pengertian Civil
Law menjadi aturan yang terkompilasi dan terkodifikasi yang jangkarnya adalah hukum Romawi dan Ilmu
Hukum Jerman. Civil Law hari ini tampil di beberapa negara seperti eropa barat, amerika latin, negara-negara
timur dekat dan sebagian besar wilayah Afrika, Indonesia dan Jepang. Lebih jauh dari itu Peter menyebutkan
bahwa Civil Law juga lahir dari rahim, peradaban Romawi yang dikenal dengan nama Jus Civile atau hukum
privat yang diaplikasikan oleh kerajaan romawi terhadap warga negaranya dalam konteks domestik. Peter De
Cruz, Perbandingan Sistem Hukum Civil Law Common Law And Socialist Law, (Bandung: Nusamedia 2016) Hal:
61.
17
Common Law berkaitan dengan tradisi hukum di inggris yang penyebarannya setara dengan tradisi hukum
romawi kuno (Pemikiran Hukum terbagi antara yang kuno di era Justinianus dan era augustus sebelum
runtuhnya romawi dan hidupnya abad pertengahan), Common Law murni lahir dari rahim inggris dan
penyebarannya terjadi melalui mekanisme kolonisasi atau mekanisme unilateral atau suka rela dari negara
yang berhubungan. Common Law memiliki beberapa fitur kunci seperti:
1. Sebuah sistem hukum yang harus berbasis pada perkara yang fungsinya terjadi melalui penalaran
logis.
2. Sebuah doktrin preseden yang hierarkis
3. Memiliki institusi-institusi yang khas seperti trust (Hak pengelolaan), hukum kesalahan, estoppel dan
agensi (keagenan).
4. Gaya hukum selalu bersifat pragmatis dan dirahimi oleh improvisasi.
5. Tak ada pembagian hukum privat dan publik secara struktural ataupun substantif seperti yang
terdapat daam sistem-sistem civil law. Peter De Cruz, Ibid: 146

4
lainnya adalah subordinatnya dan terkadang dalam masalah tertentu menjadi satu-satunya
sumber hukum.18

Kodifikasi sebelum memasuki abad ke-19 sudah memiliki irisan dari zaman kekaisaran
romawi, menurut Martin Suryajaya bahwa hadirnya romawi adalah sumbangan terbesar bagi
gerak pemikiran politik karena pembicaraannya tak terlepas dari artikulasi politik yaitu
hukum. Capaian tertingi dari tradisi hukum di masa romawi adalah dengan terkodifikasinya
Ius Naturale (Hukum kodrat-Natural Law) didalam digesta yang merupakan kompilasi
hukum klasik romawi yang disusun pada masa kaisar justinianus di awal abad ke-6 M sebagai
bagian dari Corpus Iuris Civilis (atau traktat hukum sipil). Gagasan tentang ius naturale
muncul antara lain dalam bagian awal digesta yang memuat teks huum karangan ulpianus,
seorang yuris yang hadir abad ke-3 M yang melegenda hingga hari ini di dunia hukum. Disitu
Ulpianus mengartikan hukum kodrat adalah sebuah ketetapan dari alam yang mengatur
seluruh makhluk hidup dalam perkara alamiah seperti reproduksi dan pembentukan
keluarga.19

Setelah runtuhnya imperium romawi barat sekitar 472 (sedang imperium romawi timur baru
runtuk pada tahun 1453), hampir di seluruh eropa barat terjadi kekacaubalauan dan
perpindahan bangsa-bangsa, yang oleh para pakar sering disebut dengan zaman kegelapan
(The Dark Ages). Situasi itu kemudian memunculkan banyak orang kuat yang mampu untuk
membangun pusat kekuasaan politik yang kokoh di wilayahnya masing-masing, yang
menciptakan atau memulihkan dan mempertahankan ketertiban dan keamanan di dalam
masyarakat dan menumbuhkan tatanan yang feodalistik. Tatanan yang dapat mengatur dan
menata masyarakat yang kemudian terorganisir secara politik ini selanutnya secara yuridikal
memperoleh bentuk badan hukum publik yang sekarang dinamakan negara-bangsa.20 Jadi
para politisi abad pertengahan memanfaatkan keruntuhan romawi untuk mengibarkan konsep
yang mereka miliki.

Pengaturan untuk membuat tertib dan aman bagi masyarakat memberikan dampak kepada
perdagangan yang begitu pesat, efeknya adalah para penghuni kota-kota memiliki benteng
yang tinggi untuk mengamankan kotanya, pembuatan benteng ini mengakibatkan
dihadirkannya dewan kota dan walikotanya oleh penguasa politik setempat alias raja dan
bangsawan. Namun disamping itu terhadi tegangan diantara otoritas eksklesia alias
paradigma hukum berdasarkan teologis dengan otoritas sekular yang terkadang hadir dengan
menghunuskan pedangnya. Hingga akhirnya pada saat itu terjadilah segala bentuk peraturan
yang tegas untuk mengaturnya karena perkembangan sosial, ekonomi dan politik. Maka
akhirnya terwujud beberapa aturan seperti sistem hukum kanonik, sistem hukum sekuler
(sistem hukum kerajaan dan sistem hukum kota), sistem hukum feodal dan sistem hukum

18
Peter De Cruz, Ibid Hal: 66
19
Martin Suryajaya, Sejarah Pemikiran Klasik dari Prasejarah hingga Abad ke-4 SM (Tangerang: Marjin Kiri
2016) Hal: 246
20
Bernard Arief Shidarta dkk, Pengembanan Hukum Teoritis Refleksi atas Konstelasi Disiplin Hukum (Bandung:
Logoz Publishing 2014) Hal: 11

5
manorial pun sistem hukum dagang). Sampai-sampai Harold J Berman menulis dalam Law
and Revolution bahwa abad ke-11-12 adalah “The Legal Century”.21

Namun situasi tersebut seperti diatas menghadirkan sebuah kebutuhan pada implementasi dan
penegakan pengaturan dan penataan hukum yang dilakukan oleh otoritas yang berwenang
(negara) yang dalam penyelenggaraannya sangatlah membutuhkan pejabat untuk
melaksanakannya yang jelas memiliki ahli untuk melakukannya yakni kemampuan dan
kemahiran untuk berhukum yang berintikan pengetahuan hukum yuridis. Kebutuhan ini
menghadirkan banyak guru yang mau dibayar untuk mengajarkan beberapa orang pendidikan
hukum. Setelah seluruh kota-kota berbenteng ini mengorganisir pendidikan hukum, maka
terwujudlah apa yang disebut dengan universitas (awalnya stadium generale). 22 Jadi pada
dasarnya, seluruh pendidikan hukum akarnya adalah untuk menjadi tukang bagi feodal.

Pendidikan hukum yang paling menonjol adalah pendidikan yang diadakan di Bologna Italia,
kepiawaian Irnerius seorang magister arterium yang mengembangkan kemampuan yuridis
dengan metode skolastik, bagi orang yang memiliki kecintaan lebih kepada Irnerius, maka
beliau mendapatkan julukan oleh para kolega dan pengikutnya adalah The Founder Of Law
Study. Cara pengajaran hukum bersaranakan metode skolastik ini menyebar diseluruh eropa
sebagai role model utama bagi pendidikan hukum di universitas eropa. Bahan hukum (Legal
Materials) yang diajarkan di universitas itu adalah hukum romawi yang terkompilasi sekitar
tahun 534, yakni corpus iuris civilis yang sesungguhnya pada abad 11 dan 12 itu sudah tidak
berlaku lagi sebagai hukum positif lagi. Namun karena banyak lulusannya memiliki kajian
yang begitu yuridis dengan didikan legal materials tersebut, maka mereka memiliki
kemampuan untuk mengemban jabatan-jabatan politik. Dengan kemampuan berpikir yuridis
tersebutlah maka para pejabat itu mampu untuk menguasai hukum positif yang berlaku
ditempat dia hidup dan berkarya.23 Perkembangan hukum di abad pertengahan hidup melalui
banyaknya tukang hukum yang bekerja untuk feodal.

Bukan hanya romawi dan pendidikan hukum di Universitas Bologna pada saat abad
pertengahan lewat Irnerius yang sangat berkontribusi untuk kemajuan hukum di abad ke-19,
namun hukum Jerman juga memberikan saham tertinggi untuk kemajuan hukum modern.
Pada sebelum tahun 1400, jerman hanya mengadopsi hukum adat yang berkeliaran di setiap
daerah, kadang hukum adat itu tampil sebagai hal yang domestik untuk satu wilayah dan
terkadang hukum adat itu tampil ditarik untuk wilayah yang jauh dari perkembangan hukum
adat tersebut. di wilayah jerman ketika kebangkitan romawi kecil, raja jerman tidak
bergeming untuk mengadopsi setiap hukum yang dikembangkan oleh pemikiran politik
briliant dari kekaisaran romawi, bahkan untuk menambal kekosongan hukum romawi.24
Malah seluruh intelektuak jerman menimba ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan hukum

21
Ibid, Hal: 11-12
22
Anthon F Susanto, Hukum dari Consillience ke Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif (Bandung: Refika
Aditama 2017) Hal: 25
23
Anthon F Susanto Ibid, Hal: 25-26
24
Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum Civil Law Common Law And Socialist Law, (Bandung: Nusamedia
2016) Hal: 115.

6
di Universitas Bologna, maka tak ayal ketika mereka pulang adopsi hukum romawi mulai
diterima.25 Beberapa alasan seperti:

1. Tidak adanya kesatuan hukum jerman


2. Tidak adanyanya hukum tertulis yang sering menyulitkan memastikan peraturan
3. Tidak adanya hukum tertulis dipandang sebagai penyebab utama dari sifat tidak
sistematis dan tidak adanya struktur rasional dalam hukum jernan
4. Sebagai akibat dari sifat ketentuan hukum yang sangat terfragmentasi, tidak terbentuk
suatu profesi hukum yang kuat maupun pengetahuan hukum jerman yang luas.
Sebagai contoh, di Inggris profesi legal berjuang untuk melindungi setiap tindakan
pengambilalihan hukum romawi
5. Personil administratif yang terlatih secara hukum semakin dibutuhkan untuk
menggantikan administrator ningrat yang tak terpelajar dan satu-satunya sumber
untuk mendapatkan personil semacam itu adalah dari para siswa yang mempelajari
hukum romawi di italia dan universitas-universitas lainnya.
6. Seluruh kumpulan hukum romawi mendapatkan status undang-undang di jerman
melalui regulasi tahun 1495 yang sangat mengurangi signifikansi praktisi hukum
jerman.26

Namun meski terjadi pengadopsian yang luar biasa entitas hukum romawi oleh jerman,
namun jerman berhasil meneguhkan prinsipnya dan tetap menjangkarkan sebagian hukumnya
sesuai dengan kultur dan kehidupan yang ada di belahan masyarakat mereka, ini terbukti
dengan jerman bukan menerima Corpus Juris abad ke-6 yang masih sangat murni, tetapi
Corpus Juris yang sudak dimodifikasi oleh para glosator dan komentator yang ada. Bahkan
Peter De Cruz berani mengataan bahwa ada sebagian hukum yang diabaikan dan tetap
membiarkan tetap utuh, seperti hukum dagang jerman misalnya. Implikasi logis dari hasil
modifikasi ini adalah terjadinya resistensi dari sebagian wilayah jerman yang masih tetap
teguh dan konsisten mempertahankan hukum adatnya. Kota-kota utara dari jerman menahan
untuk dimasuki unsur hukum romawi, maka selama berlangsungnya kehidupan di abad ke-14
dan 15, unsur hukum yang asli dari jerman tetap lestari.27

Selama abad ke-16, 17 dan 18 para praktisi hukum romawi yang hidup di jerman dan
diseluruh eropa telah menghasilkan sintesa antara hukum romawi modern atas nama hukum
alam dan hukum nalar. Cara berhukum di abad ini hidup dalam nuansa logis yang memiliki
kemajuan secara bertahap. Lewat pandectist sebagai nama bagi orang yang mengumpulkan
seluruh hukum yang berlaku di suatu negara dan masyarakat menjadi dokumen, studi hukum
bergeser menjadi studi yang dogmatis dan sistematis dari hukum romawi. Para pandectist ini

25
Pada 1495, karena beberapa alasan yang tetap misterius, dan tidak pernah bisa disepakati oleh para
sejarawan, hukum romawi diadopsi oleh pengadilan kekaisaran yang baru dibentuk dengan sebutan
Reichskammergericht, ordonansi operatif yang menyatakan bahwa para hakim diperintahkan untuk
memutuskan perkara yang sedang dihadapinya berdasarkan Common Law dari kekaisaran yang berarti
didasarkan dari hukum romawi. Ordonansi pada tahun 1495 itu menempatkan undang-undang dan hukum
adat pada posisi yang setara. Ibid, Hal: 116
26
Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum Civil Law Common Law And Socialist Law, (Bandung: Nusamedia
2016) Hal: 116
27
Ibid, Hal: 117

7
ingin mepelajari seluruh aspek historis hukum yang membentuk seluruh nalar hukum di
jerman dan memandang bahwa hukum adalah sebuah institusi dan prinsip yang tertutup dan
berasal dari hukum romawi. Oleh sebab itu, visualisasinya adalah dengan menyingkirkan
hukum dari segala hal yang berkaitan dengan etis, moral, relijius dan setidaknya untuk
menyelesaikan suatu masalah diperlukan sedikit keringat dengan menghadirkan nuansa
matematis yang ditentukan oleh penghitungan secara konseptual.Karya pandectist pertama
adalah German Civil Code yang menjadikan hukum bernalar abstrak deduktif, presisi dan
simetri dalam logikanya.28 Maka di abad ini, dewi Themis benar-benar menutup matanya
untuk melihat betapa kayanya masyarakat, bahkan tanpa melihat sekalipun sang dewi
menghunuskan pedang tajamnya kepada seluruh disiplin yang mendekatinya.

Menurut Anthon F Susanto bahwa Secara filosofis, kegiatan yang berakar pada
kesistematisan dan kerasionalan terpengaruh hebat oleh gagasan besar dari filsuf modern
seperti Rene Descartes dan Issac Newton. paradigma tentang Cartesian-Newtonian sudah
begitu tertancap dalam peradaban modern, Fritjof Capra pernah menyebutkan bahwa
Descartes pada usia 23 menemui visi iluminasi yang mempengaruhi seluruh hidupnya,
konsentrasi tegang dalam beberapa jam meninjau kembali setiap pengetahuan yang
dikumpukannya. Akhirnya Descartes menemukan keyakinannya pada diri akan kebenaran
dan kemantapan pengetahuan ilmiah bahwa sejatinya pengetahuan yang hanya berupa
kemungkinan harus ditolak dengan tegas, berbeda dengan kebenaran yang bersifat pasti.
Kepastian Descartes ini membawa pada ranah konsekuensi struktur matematis dan dalam
pikirannya ilmu itu sinonim dengan matematika alias dapat terhingga dan terhitung kalkulatif.
Descartes memiliki kunci, yaitu tentang bersifat skeptis alias meragukan segala kuasa, ragu
akan adanya ilmu berbasis dogmatifikasi, ragu akan hal yang ada dalam dirinya dan bahkan
dia ragu memiliki tubuh yang sehat. Oleh karena itu dia beranggapan bahwa pengetahuan
bersifat pikiran, maka lahirlah Quotes “Cogito Ergo Sum (Aku berfikir maka aku ada)”.29

Issac Newton merupakan nama yang tak asing bagi kita, melahirkan matematika yang kental
dan menjadikan dunia ini sebagai mesin raksasa yang bergerak. Newton membuat teori
tentang gerak benda-benda padat atau yang biasa dikenal dengan sebutan kalkulasi
diferensial. Newton ingin mencoba menggabungkan metode induksi dari Francis Bacon yang
memulai tahap ilmu pengetahuan pasca abad pertengahan dengan deduksi dari Rene
Descartes. Ungkapan yang mengindikasikan Issac Newton merupaan seorang sinkretis dari
kecenderungan pengetahuan ini adalah ungkapannya yang mengatakan:

Apa saja yang tidak dideduksi dari fenomena disebut suatu hipotesis dan
hipotesis baik metafisika maupun fisika, baik gaib maupun mekanik tidak
mempunyai tempat dalam filsafat eksperimental. Dalam filsafat ini,
proposisi-proposisi tertentu ditarik dari sebuah fenomena dan setelah itu
digeneralisasikan secara induksi.30

28
Ibid, Hal: 118
29
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban, (Yogyakarta: Bentang Budaya 2002) Hal: 49-54
30
Ibid. Hal: 56-62

8
Abad ke-19, selain hukum menjadi sebua konsekuensi dari penerimaan terhadap
perkembangan teknologi yang ada, situasi politik saat itu menentukan terjadinya legitimasi
atas perkembangan teknologi dan science tersebut. Peter De Cruz mengungkapkan bahwa
pada awal abad ke-19 dalam kongrres Wina pada tahun 1815, dibentuklah konfederasi
jerman. Ini adalah sebuah asosiasi beberapa negara yang longgar sifatnya dengan meliputi
beberapa negara seperti austria, bavaria dan prussia. Konfederasi ini bertahan sampai tahun
1866, terhentinya konfederasi diakibatkan oleh adanya konflik yang terjadi antara wilayah
prussia dan austria. Setelah kalahnya Austria, maka dibentukan sebuah konfederasi negara
jerman utara yang baru tapi disayangkan sangatlah nihil dari koalisi antara negara selatan dan
utara sampai berjalan kurang lebih 5 tahun. Pada 1870, pecahlah perang antara perancis dan
aliansi negara-negara jerman, peperangan akhirnya dimenangkan oleh aliansi dari negara-
negara jerman dan perancis dikalahkan pada bulan september 1870 dan paris ditaklukkan
kemudian pada awal tahun 1871. Bismarck, pemimpin Prussia pada saat itu
memproklamirkan kekaisaran jerman baru atau reich di versaillers pada tahun 1871.31

Selama abad ke-19 konfederasi jerman lewat kongres wina tahun 1815 itu dilaksanakan,
salah satu upaya yang dihadirkannya adalah melalui kodifikasi. Artikulasi yang terjadi adalah
dengan melakukan pengadopsian peraturan hukum nasional seperti prussia. Namun yang
kentara pada saat itu bukan hanya memperdebatkan antara layak atau tidaknya hukum dalam
suatu teritorial diambil dan dikodifikasikan atau tidak, namun lebih jauh dari itu adalah
dengan adanya perdebatan yang begitu sangat melelahkan dan terkenal pada saat itu dari para
intelektual jerman yang bernama Carl Von Savigny yang merupakan pimpinan dari
Historical School Of Juristprudence (Madzhab Yurisprudensi Historis) yang menolak
sedemikian rupa bentuk kodifikasi dan Professor Tibaut dari Heidelberg seorang juru bicara
terkemuka dari madzhab yurisprudensi hukum alam yang sangat menerima bentuk kodifikasi.
Pandangan Tibaut menjadi pengaruh dan memenangkan kontes pada masa itu, hukum alam
akhirnya diintegrasikan kedalam Code Civil Jerman.32

Pada tahun 1871, terjadi suatu situasi yang mengantarkan pada konsep legislatif dan
konstitusional yang luar biasa. Seperti yang diungkapkan oleh banyak pengamat, terdapat
lebih dari 20 kerajaan, kadipaten-utama, kadipaten, kota-kota merdeka, negeri dan satu
wilayah kerajaan. Dilanjutkan oleh Peter De Cruz bahwa masing-masing wilayah ini
memiliki hirarki pengadilan serta hukum-hukumnya tersendiri dari beberapa kodifikasi lama
mereka, hukum romano-germanik, kodifikasi modern dan hukum adat setempat. Sebetulnya
ada lebih dari 10 macam kodifikasi yang berlaku, tetapi intinya adalah mereka tidak harus
diaplikasikan apabila bertentangan dengan hukum adat setempat dan yang menjadi semakin
membingungkan adaah adanya beberapa naskah diaplikasikan pada beberapa tempat berbeda
dalam satu negara bagian.33 Semua ini membuktikan bahwa kodifikasi dan pengaruh
intelektual menjadi hal yang berurat dan berakar dalam hukum modern hingga hari ini.

31
Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum Civil Law Common Law And Socialist Law, (Bandung: Nusamedia
2016) Hal: 119
32
Peter De Cruz, ibid Hal: 120
33
Ibid

9
Setelah abad 19 yang begitu melelahkan, hukum di abad 20 kembali mendapatkan
tantangannya kembali ketika perubahan-perubahan besar bangsa eropa. Industrialisasi telah
membawa akibat sosial yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Eropa yang individual
berubah menjadi eropa yang sosial. hukum tidak dapat lagi disterilkan dari masuknya
berbagai “fremde elementen”. Dikatakan oleh seorang ahli hukum belanda bernama Hugo
Sinzheimer bahwa pandangan klasik para juris terhadap hukum seketika runtuh pada saat arus
industrialisasi masuk.34

Terkait dengan fase industrialisasi, adalah hal yang naif dan nir-argumentatif jika kita
melewatkan analisis dari Marxisme. Dalam cara pandang ekonomi politik marxis kita
mengenal dengan dialektika yang terjadi atas keruntuhan corak produksi lama35 akibat
adanya kontradiksi internal dari tenaga-tenaga produktif (the force of production) dengan
hubungan-hubungan produksi (the relation of production). Karl Marx dalam das capital
menyebutkan secara tegas tentang hal ini dengan mengatakan “Harus diingat bahwa tenaga-
tenaga produktif dan hubungan-hubungan produksi (yakni corak produksi) yang baru tidak
tumbuh dari ruang hampa, jatuh dari langit ataupun rahim sebuah ide yang bebas, tetapi
didalam (corak yang lama) dan sebagai antitesis terhadap tingkat kemajuan produksiyang
ada dan terwarisi dari hubungan-hubungan kepemilikan sebelumnya”.36

Adapun terkait dengan definisi sebagaimana yang diungkapkan oleh Arianto Sangaji dengan
mengutip pendapat dari Callinicos yang mendefinisikan tenaga-tenaga produktif sebagai
proses kerja (labour process), yakni kombinasi teknikal tertentu tentang tenaga kerja dan
alat-alat produksi dalam mengubah alam 37dan menghasilkan nilai guna (use values)38. Kita
menyebut suatu masyarakat dengan tenaga-tenaga produktif maju, jika proses kerja didalam
masyarakat itu berpangkal kepada tenaga kerja yang memiliki pengetahuan dan keahlian

34
Satjipto Rahardjo, (Ilmu) Hukum dari Abad ke Abad Dalam Butir-Butir Pemikiran Hukum Memperingati 70
Tahun Prof.Dr.B.Arief Shidar ta,S.H. (Bandung: Refika Aditama 2011) Hal: 31
35
Corak produksi yang lama dalam hal ini adalah terkait dengan fase feodalism, dimana definisi yang solid
disebutkan tentangnya oleh milonakis sebagai elemen-elemen yang meliputi suatu kepemilikan para tuan
tanah atas tanah dan alat-alat produksi lain yang diniscayakan seperti mesin penggilingan biji jagung dan
ketergantungan para petani atas tanah-tanah tersebut. Arianto Sangaji, Materialisme Sejarah dan Transisi dari
Feodalisme ke Kapitalisme, Vol.1 No.01 Indoprogress 2014 Hal: 47
36
Arianto Sangaji, ibid Hal: 33-34
37
Bagi Marxisme antara alam dan manusia adalah dua entitas yang terpisah satu dengan yang lainnya jika
terjadi suatu proses yang disebut dengan alienasi. Terpisan dari eksistensinya sebagai manusia, yakni sebagai
makhluk sosial dan alamiah. Sebagai makhluk yang alamiah dan sosial, manusia secara aktif membentuk
hubungannta dengan alam melalui tindakan-tindakan praksis secara alamiah dan sosial. John Bellamy Foster,
Ekologi Marx Materialisme dan Alam (Jakarta: Aliansi Muda Progresif 2013) Hal: 61-66 Terj: Pius Ginting dan N
J Bachtiar pada bagian bab 5
38
Nilai guna adalah kapasitas barang untuk memuaskan kebutuhan tertentu, maksudnya adalah suatu barang
yang dapat memuaskan kebutuhan manusia individual, entah kebutuhan itu datangnya dari dorongan
fisiologis, sosio-psikologis, ekonomis atau kultural. Kegunaan suatu barang terbagi juga kepada yang langsung
maupun yang tidak langsung, yang langsung terjadi apabila keberadaannya memenuhi kebutuhan untuk hidup
manusia, adapun tidak langsung terjadi ketika suatu barang digunakan sebagai prasyarat untuk produksi lain
yang memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dede Mulyanto, Genealogi Kapitalisme Antropologi Dan Ekonomi
Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik, (Yogyakarta: ResistBook 2018) Hal: 62

10
tinggi, serta alat-alat produksi yang maju. Kemajuan tenaga-tenaga produktif menghasilkan
produktifitas yang amat tinggi.39

selain dengan tenaga produktif, ada pula yang terkait dengan hubungan produksi. Hubungan-
hubungan produksi sebagaimana yang telah disinggung dalam tenaga produktif, sama saja
berkaitan dengan manusia, peralatan/teknologi, objek kerja dan organisasi produksi. Namun,
jika tenaga produktif lebih berkaitan dengan bagaimana kemajuan manusia dan
pengetahuannya serta kaitan yang mendudukkan interaksi antara si manusia dan alam, maka
hubungan produksi adalah apa yang berkaitan antara hubungan manusia dalam produksi.
Untuk membahas tentang apa yang kita sebut dengan hubungan produksi, adalah hal yang
wajib untuk kita ketahui yaitu tentang kerja (labour), sebagaimana narasi Marx yang kita
amini bersama bahwa kerja dalam corak produksi apapun (primitif, perbudakan, feodal
ataupun kapitalisme) selalu bersifat sosial, karena selalu berkaitan dengan interaksi antar
individu didalamnya. Marx akhirnya membagi secara tegas dalam hubungan kerja kepada
seseorang yang memiliki dan bahkan mendominasi alat produksi dengan orang yang
dipekerjakan untuk menggunakan alat produksi tersebut. kelas ini lahir semenjak dalam
proses kerja seorang produsen langsung (yakni seorang yang secara langsung menghasilkan
komoditas seperti petani, budak atau buruh) tidak dapat mengontrol hasil kerjanya karena
diraup oleh sang pemilik modal. Artinya seorang produsen langsung dipisahkan dari alat
produksi oleh minoritas atau pemilik modal. Namun point dari Marx adalah tentang
eksploitasinya, bukan mayoritas dan minoritas. lebih menukik, Marx menegaskan adanya
yang pertama (minoritas) yang mengeksploitas yang kedua (minoritas), bagi Marx hubungan-
hubungan produksi adalah hubungan eksploitasi kelas diantara masyarakat.40

terjadi sebuah perdebatan hebat tentang faktor hubungan antara tenaga-tenaga produktif dan
hubungan produksi sebagai penyebab transisi dari lenyapnya fase feodalism dan
berkembangnya kapitalism, menurut G.A Cohen bahwa transisi tersebut terjadi ketika terjadi
sebuah pengaruh hebat dari perkembangan teknologi yang mempengaruhi segala hal yang
berkaitan dengan interaksi antara para mayoritas dengan minoritasnya, atau seperti kita
maklum adalah terjadinya sebuah fase dimana tenaga-tenaga produktif sangat mempengaruhi
setiap hubungan produksi dan hari ini kita kenal dengan sebutan determinisme teknologi.41
Namun cohen mendapatkan kritik hebat dari beberapa teoritisi Marxism yang salah satunya
diwakili oleh Roger Gottlieb yang menganggap terjadi suatu kelemahan dari determinisme
teknologinya cohen, bagi Gottlieb bahwa teori yang diusung oleh cohen sangatlah tidak tepat
jika digeneralisir bagi perkembangan seluruh epos produksi, karena perkembangan terknologi
hal yang lumrah kita dengar merupakan anak kandung dari kapitalisme, make untuk teori
cohen adalah hal yang tepat jika perkembangannya hanya terbatas pada perkembangan
kapitalisme. Maka Gottlieb disini menambal sesuatu hal yang kosong dari teori Cohen
dengan apa yang kita sebut dengan “political Marxisme” yang menganggap bahwa
hubungan-hubungan produksi adalah faktor kunci. Bagi pandangan ini roh kontradiksi adalah

39
Arianto Sangaji, ibid Hal: 35-36
40
Arianto Sangaji, Materialisme Sejarah dan Transisi dari Feodalisme ke Kapitalisme, Vol.1 No.01 Indoprogress
2014 Hal: 36
41
Arianto Sangaji, Ibid Hal: 37

11
segala hal yang terjadi dalam hubungan produksi yang membawa efek luar biasa kepada
tenaga-tenaga produktif. Pokok dari pandangan ini perubahan hubungan produksi dengan
manifestasinya dalam bentuk kekuasaan kelas, konflik kelas atau perjuangan kelas yang
menjadi kunci atas segala perubahan satu corak produksi (feodal) ke corak produksi yang lain
(kapitalism).42

Perdebatan ini menjadi alot karena secara praksis memang benar faktor teknologi dan segala
hal yang berkaitan dengan perkembangan ekonomi berupa perdagangan dipusat kota eropa
menjadi awal mula perkembangan dari kapitalisme sebagaimana dikutip oleh Soetandyo
Wignjosoebroto sebagai fase akhir abad pertengahan yang ditandai dengan munculnya
serangan peran dari kaum burg43 yang menjadikan tergesernya pusat-pusat kegiatan yang
semula berpusat di biara dan kerajaan beralik ke kota-kota sebagai pusat kegiatan dengan
hegemomi pahamnya yang baru pula dengan sebutan industrialisme ataupun kapitalisme.44

Terlepas dari perdebatan antara tenaga produktif dan hubungan produksi diatas, namun yang
terjadi adalah perkembangan hukum yang mengikuti alur dari industrialisasi dan
rasionalismenya, seperti yang diungkapkan oleh Max Weber bahwa penahapan
perkembangan masyarakat dan hukum di eropa barat merupakan sebuah penahapan yang
sangat jelas dibandingkan dengan perkembangan hukum yang terjadi di peradaban bangsa
lain seperti di china atau di timur tengah, memang perkembangan hukum terjadi disana tetapi
masih bersentuhan dengan seluruh aspek ketuhanan maupun nilai-nilai tradisi.45 Dilanjutkan
oleh David M Trubek bahwa Max Weber percaya akan hukum yang berlaku di eropa barat
adalah hukum yang lebih rasional dari bangsa-bangsa lain dan karena sifatnya yang rasional
itulah maka kapitalisme dan industrialisme menjadi semakin berkembang.46

Dalam mekanisme kerjanya hukum di eropa barat menggunakan teknik deduksi dan rasional
yang semakin ketat untuk mencapai suatu sebutan dengan nama hukum modern. Untuk lebih
jelas sebagai kaitan antara hukum modern dan kapitalisme diungkapkan oleh David M
Trubek dengan mengutip survei dari Max Weber yang menunjukkan bahwa hanya hukum
yang rasional dan modern atau aturan yang rasional dan logis yang dapat digunakan

42
Arianto Sangaji, Ibid Hal: 41
43
Sebagaimana ditandai dengan spirit dari protestanisme yang digaungkan oleh Marthin Luther untuk
mereformasi kondisi gereja katholik, Max Weber mengikuti untuk konsep ekonomi Protestan yang disebut
dengan etika protestan. Pernyataan weber yang terkenal untuk mendukung kapitalisme sebagai awal menjah
dari kemiskinan adalah “kerja bukanlah semata-mata sarana atau alat ekonomi, kerja adalah suatu tujuan
akhir” tetapi ide dari kapitalisme tidak selalu identik dengan protestanisme karena kapitalisme terpengaruh
juga oleh rasionalisme di eropa barat pada saat itu. Ideologi protestanisme ini menjadi titik tumpu bagi kaum
pedagang di kota-kota eropa barat yang mulai membentuk pusat-pusan kegiatan baru dari kota-kota yang
otonom dari kekuatan raja yang absolut. Dawam Rahardjo, Iman Ekonomi dan Ekologi (Yogyakarta: Kanisius
1996) Hal: 58
44
Soetandyo Wignjosebroto, Doktrin Supremasi Hukum Sebuah Tinjauan Kritis dari Perspektif Historis dalam
Wajah Hukum di Era Reformasi Kumpulan Karangan Menyambut 70 Tahun Prof.Satjipto Rahardjo (Bandung:
Alumni 2000) Hal: 161-178
45
Fx Adji Samekto, Studi Hukum Kritis Kritik Terhadap Hukum Modern (Bandung: Citra Aditya Bakti 2005) Hal:
24
46
Fx Adji Samekto, ibid

12
kepentingan-kepentingan yang dapat diukur secara pasti. Dalam hal ini legalisme47 akan
mendorong perkembangan kapitalisme melalui penciptaan kondisi yang stabil dan dapat
dapat diprediksikan. Weber mengungkapkan bahwa hanya legalismelah yang dapat
memfasilitasi berlangsungnya sistem kapitalisme.48 Satjipto Rahardjo melanjutkan bahwa
untuk bisa menstabilkan kondisi seperti ini maka perlu peraturan-peraturan yang sifatnya
tertulis dan formal untuk mengikat masyarakat agar memperoleh suatu prediktabilitas
keadaan yang ingin dicapat. Maka Satjipto menyebutnya dengan sebuah kondisi yang serba
pasti atau yang lumrah kita dengar dengan sebutan kepastian hukum sebagai hukum
modern.49

Kedua fase antara perkembangan teknologi dan kapitalisme sangat amat berpengaruh hingga
detik ini, tak ayal kondisi hukum dan segala hal yang terjadi dianggap sah ketika wajah
peraturan perundang-undangan yang tampil untuk unjuk gigi kehadapan kita semua. Efek
yang paling ditakutkan adalah berkembang biaknya mafia peradilan dengan dalih kepastian.
Namun yang luput dari para penstudi hukum adalah adanya aspek politik dari hukum yang
tidak terlepas dari khazanah pertempuran yang terjadi di masyarakat. Critical Legal Studies
dan Roberto Unger ingin mencoba menelanjang baju dewi themis dan menyetubuhi setiap
kedustaan yang ditunjukkannya selama ini.

Mengenal Critical Legal Studies


Neo-Marxisme dan kondisi politik amerika

Marilah sejenak kita berlari kecil disebuah taman kecil pemikiran Marx ditengah keterbatasan
untuk masuk lebih jauh menyusuri setiap sudut dari rimba raya anugerah pemikiran Marx.
Marx memanglah seorang yang miskin sampai anaknya meninggal dunia dan istrinya
menelantarkan setiap inci dari kasih sayangnya, namun Marx meninggalkan kepada kita suatu
proyek yang disebut dengan kritisisme, hingga setiap bidang ilmu yang dimasuki pikirannya
pasti berubah menjadi ilmu yang kritis. Disini saya tidak akan membahas dalamnya
pemikiran kritis dari mulai Immanuel Kant sampai Axel Honneth, namun saya akan mencoba
mengulas cara pandang Neo-Marxian yang kelak menjadi pengaruh utama bagi corak berfikir
Critical Legal Studies.

Neo-Marxian seperti yang lumrah kita ketahui adalah buah dari pemikiran yang hidup di
Jerman dengan nama Madzhab Frankfurt, Frankfurt mencoba untuk menghadirkan sebuah
narasi baru untuk Marxisme. Namun sebelum masuk untuk berjalan di taman Frankfurt
alangkah baiknya untuk membagi generasi dari Madzhab Frankfurt agar dapat memilah tokoh
dan kajian yang berpengaruh untuk madzhab frankfurt.

Generasi pertama: Theodore Adorno, Walter Benjamin, Max Hockheimer, Erich Fromm dan
Herbert Marcuse.

47
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto bahwa Legalisme adalah suatu doktrin bahwa hukum yang telah
dipositifkan dalam wujud legal adalah sebuah hasil dari konsensus bersama dan telah dinetralkan sebagai
sesuatu yang objektif (rule of law) dan bukan lagi hal yang subjektif (rule of man). Fx Adji Samekto, Ibid Hal: 26
48
Fx Adji Samekto, ibid
49
Fx Adji Samekto, Studi Hukum Kritis Kritik Terhadap Hukum Modern (Bandung: Citra Aditya Bakti 2005) Hal:
26

13
Generasi kedua: Jurgen Habermas, Albrech Welmer, Oscar Negt, Claus Offe dan Karl Otto
Apel.
Generasi ketiga: Axel Honneth.

Diantara ketiga generasi neo-marxian ini, yang amat berpengaruh kepada lahirnya Critical
Legal Studies adalah cara berfikir yang dihadirkan oleh Adorno, Horkheimer dan Marcuse
sebagai generasi pertama, oleh sebab itu maka kajian akan dipusatkan pada nalar-nalar para
intelektual yang berada pada generasi pertama Madzhab Frankfurt ini, namun sebelum
menyelaminya adalah hal yang sangat perlu diketahui bahwa neo-marxian melahirkan sebuah
teori kritis yang baru dari cara pandang marxism, dalam hal ini teori kritis melihat bahwa
masyarakat pada saat era kapitalisme lanjut mengalami ketertindasan, namun ketertindasan
tersebut jarang disadari oleh masyarakat.50 beranjak dari hal itu, maka teori kritis
mengajarkan atau mengingatkan beberapa hal kepada masyarat, bahwa ada faktor yang
sedang menghimpit mereka dan membuat mereka terkurung dalam ketertindasan. Adapun
upaya untuk mengingatkannya, teori kritis berupaya untuk menyingkap tabir kepalsuan dan
menguliti secara dalam ideologi kekuasaan (kapitalisme) serta menunjukkan kesalahan
pandangan yang dimiliki ideologi tersebut.51 Akhyar Yusuf Lubis memuat beberapa ciri yang
dapat menjadi kategori dalam khazanah teori kritis, diantaranya adalah:

1. Dalam pandangan teori kritis bahwa setiap ilmu pengetahuan tidaklah pernah terbebas
dari nilai, dengan kata lain ilmu pengetahuan (sosial-budaya) terkait dengan
kepentingan dan ilmu pengetahuan bukanlah sebuah refleksi atas realitas yang statis
dan temuan tentang realitas eksternal semata, melainkan konstruksi aktif dari para
ilmuwan.
2. Dalam teori kritis ada hubungan yang sangat erat antara teori dan praxis, dengan
demikian teori sosial dari teori kritis misalnya juga bersifat politis, yang berarti ikut
berperan aktif dalam melakukan perubahan sosial.
3. Dalam pandangan teori kritis, lewat pandangan-pandangan para tokohnya, mereka
berupaya mengungkap dominasi, eksploitasi dan penindasan guna membantu individu
atau kelompok masyarakat dalam memahami akar dominasi, eksploitasi dan
penindasan yang mereka alami (bersifat emansipatoris). Dengan kata lain, dalam teori
kritis analisis tentang suatu situasi atau kondisi sosial dari masyarakat tertentu adalah
dalam rangka menyingkap dan menghilangkan penindasan/eksploitasi tertentu yang
dialami masyarakat yang berada didalamnya.52

Generasi pertama Madzhab Frankfurt, terkenal dengan beberapa tokohnya yang memiliki
kekritisan seperti nama-nama Theodore Adorno, Max Horkheimer dan Herbert Marcuse.
Generasi pertama mengibarkan panji kekritisan dengan sinis terhadap dalil positivisme yang
diagaungkan oleh pencerahan. Seperti kita ketahui dalam bukunya yang berjudul Dialectic of
Enlightenment yang diterbitkan pada tahun 1944, Adorno dan Horkheimer mengkritisi habis
apa yang terdapat dalam kacamata modernisme. Dimulai dengan kembali kepada akar-akar

50
Akhyar Yusuf Lubis, Pemikiran Kritis Kontemporer dari Teori Kritis, Cultural Studies, Feminisme,
Postkolonialisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Rajawalipres 2016) Hal: 13
51
Akhyar Yusuf Lubis, Ibid
52
Akhyar Yusuf Lubis, Ibid Hal: 14

14
dominan yang menjadi pegangan dari masyarakat modern yaitu tentang progresifitas atau
kemajuan, kemajuan yang digaungkan oleh masyarakat modern itu ditandai dengan terbunuh
dan luluh lantahnya seluruh yang dikatakan tentang mitos. Maka dalam konteks ini,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap telah berhasil mengartikulasikan
progresifitas dan membebaskan manusia dari seluruh tekanan alam dan mitos-mitosnya,
sehingga yang tercapai dikemudian hari adalah segala hal yang berkaitan dengan penguasaan
terhadap alam. Bagi Adorno dan Horkheimer bahwa segala hal yang ada dalam modernitas
bermaksud untuk membebaskan manusia dari perangkap mitos, namun alih-alih
membebaskan, justru yang terjadi adalah terperangkapnya manusia dalam mitos yang lain
yaitu mitos tentang positivisme, objektifisme, saintisme dan teknokratisme.53 Dilanjutkan
oleh tokoh yang tak kalah pentingnya yaitu Herbert Marcuse, yang memiliki pola berfikir
bahwa pada masa kapitalisme lanjut seperti sekarang ini dan masyarakat seakan-akan sudah
mulai teradministrasikan atau menjadi satu dimensi. Dengan kata lain, dalam masyarakat satu
dimensi ini, yang ada hanya dimensi afirmatif. Dimensi afirmatif maksudnya adalah
masyarakat tak memiliki daya kritis dan cenderung mendukung dan membenarkan sistem dan
struktur (kekuasaan) yang membentuk mereka; walaupun secara terselubung sistem dan
struktur yang membentuk mereka tersebut sebetulnya bersifat irrasional dan eksploitatif.
Sistem-sistem tersebut bekerja melalu hal yang aneh, mulai dari manipulasi sampai dengan
penciptaan kebutuhan-kebutuhan yang sebetulntya tidak dibutuhkan oleh masyarakat sengaja
dihadirkan, semakin aneh karena masyarakat menganggap kebutuhan tersebut adalah bagian
dari kebutuhan mereka. Dimensi yang harus dihadirkan adalah dimensi negasi, ketika seluruh
diskursus bertempat pada dimensi afirmatif, maka yang hadir harusnya adalah dimensi negasi
yang memiliki daya kritis kuat.54

Adorno sebagai generasi awal dari Madzhab Frankfurt yang disebut sebagai gerakan kiri baru
membuat perbedaannya dengan gerakan kiri lama, seperti yang ditulis oleh J.M.Bernstein dan
dikutip oleh Awaludin Marwan bahwa adorno ingin memperluas cakrawala emansipatoris
yang digagas oleh Marx, jika Marx hanya terbatas pada kegiatan perlawan yang dilakukan
dengan emansipasi dalam poros ekonomi politik, maka Adorno ingin mengartikulasikan
gerakan emansipatoris bukan kepada aksi revolusioner yang menempatkan posisi kelas buruh
menjadi berkuasa. Tunggu dulu, sampai disini terkadang ramai yang mis-interpretasi kepada
corak berfikir dari Adorno, penempatan sentimen atau antagonisme kelas yang dihadirkan
Adorno secara luas sering menjadi anggapan bahwa Adorno hendak untuk menegasikan
kaum proletariat. Tapi sejatinya, Adorno memang tidak menyukai aksi revolusioner yang
berbasis kepada konfrontasi kaum buruh. Tetapi tidak kemudian Adorno menghilangkan
antagonisme kelas sebagaimana difahami kalangan Marx klasik, karena Adorno tetap
meyakini bahwa antagonisme kelas merupakan perangkat berarti bagi seorang Marxis, lebih
jauh dari itu Adorno ingin mengoperasikan antagonisme kelas itu beroperasi lebih luas yakni
di bidang ideologi, sejarah, pengetahuan, seni dan budaya.55

53
Akhyar Yusuf Lubis, Pemikiran Kritis Kontemporer dari Teori Kritis, Cultural Studies, Feminisme,
Postkolonialisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Rajawalipres 2016) Hal: 17
54
Akhyar Yusuf Lubis, Ibid Hal: 18
55
Awaludin Marwan, Studi Hukum Kritis dari Modern, Postmodern hingga Postmarxis (Yogyakarta: Thafamedia
2012) Hal: 75-76

15
Maka gagasan teori kritis disebut gerakan kiri baru, dimana term kiri selalu berada pada
garda kritis terhadap struktural yang aktual dimasyarakat dan kritis terhadap teori-teori sosial
yang mempertahankan status quo. Anti kemapanan yang ditemukan pada gerakan kiri ini
juga ditemukan dalam bentuk kritik terhadap saintisme atau pandangan yang menyatakan
bahwa metode dan pendekatan ilmiah dapat diterapkan untuk segala hal (universalisme) dan
sains merupakan cara pandang yang paling otoritatif dan paling berharga dalam
menghasilkan pengetahuan tentang masyarakat dan manusia dan kritik atas objektivisme atau
cara pandang yang memisahkan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai dan konteks
kehidupan.56

Menurut Budi Hardiman ada beberapa ciri dan tema sentral yang terdapat dalam gerakan kiri
baru baik dalam bentuk gerakan sosial-politik maupun intelektual. Diantaranya adalah:

1. Berupaya mengubah sistem universitas yang dalam pandangan mereka sistem


universitas tersebut terkait dengan sistem kapitalis modern yang manipulatif. Para
mahasiswa yang dipengaruhi aliran ini mengkritik para dosen, media massa dan
berbagai kegiatan kampus yang dianggap membawa gaya, nilai dan pola pikir borjuis.
2. Berupaya membebaskan rakyat kecil dari struktur sosial yang tidak adil. Gerakan
negro dan gerakan feminis contohnya banyak melakukan kegiatan ini.
3. Berupaya menyiapkan program-program aksi (gerakan) bagi pemberdayaan kaum
minoritas, miskin dan tertindas tanpa mengenal batas, ras, etnis dan sebagainya.
4. Melakukan gerakan bawah tanah untuk memunculkan pemerintahan alternatif sebagai
pengganti dari pemerintahan atau masyarakat kapitalis modern yang ada. Gerakan
budaya alternatif atau budaya tandingan masuk dalam point ini.
5. Berupaya membentuk satu tatanan atau bentuk masyarakat ideal (semacam pada
masyarakat tradisional) sebagai alternatif bagi masyarakat modern yang telah
teralienasi oleh keruwetan birokrasi. Adapun dalam masyarakat ideal ini dalam
pandangan gerakan kiri baru, anggota masyarakatnya dapat hidup dengan autentuik,
bebas dan jujur serta memperhatikan hak dan kepentingan orang lain. Erich Fromm,
salah satu tokoh teori kritis generasi pertama, banyak memberikan sumbangsih
pemikiran bagi masyarakat yang sehat dan ideal semacam ini. nigel young
mengemukakan bahwa komunitas seperti ini merupakan perpaduan dari berbagai
nilai: demokrasi, partisipasi, personalisme, praksis langsung, gaya hidup alternatif
serta perubahan sosial yang radikal.
6. Memperjuangkan isu-isu mengenai persamaan dan kebebasan. Terkait dengan
persamaan, kri baru lewat gerakan intelektualnya memperjuangkan persamaan dalam
bidang sosial, ekonomi, hukum dan politik. Persamaan ini merupakan prasyarat bagi
terciptanya keadilan dan masyarakat sipil. Sementara terkait kebebasan, untuk
mengejawantahkan cita-cita kebebasan ini dari gerakan kiri baru misalnya muncul
tuntutan untuk mendirikan sebuah universitas bebas, sekolah bebas dan sebagainya.57

56
F.Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: Kanisius 2003) Hal: 107-119
57
F.Budi Hardiman. Ibid Hal: 138

16
Berangkat dengan teori kritis ini, di sebuah ruang kecil, sekolah hukum Universitas
Wisconsin, sebuah kampus yang tidak terlalu megah seperti Harvard dan beralamatkan 975
Bascom, Madison WI 53706-1399 Amerika, mencatat satu sejarah baru dari dunia hukum.
Diamna pada saat itu tepat pada tanggal 7 Januari 1977 dengan dihadiri tokoh pemikir hukum
sekaliber Unger, Abel, Heller, Horwitz, Kennedy, Macaulay, Rosenblatt, Trubek dan Tushnet
diadakan sebuah konferensi pertama untuk meneguhkan sebuah narasi bernama Critical Legal
Studies. Konferensi ini bukanlah sebuah bualan belaka58, namun lebih jauh itu seperti yang
ditulis oleh Awaludin Marwan dengan mengutip pendapat dari Mark Kelman, bahwa
konferensi tersebut berniat dan bergerak di dunia praksis untuk memperbaiki posisi hukum di
amerika pada saat itu. Critical Legal Studies memandang bahwa hukum positivisme di
amerika pada saat itu memberikan tumpangan empuk bagi segala hal yang berkaitan dengan
kapitalisme dan liberalisme, sehingga praktek hukum sebelumnya hanya berfungsi bagi
pendukung dari perputaran sirkuit kapital yang sedang berjalan. Karakter hukum yang
demikian, semakin tertutup dari segala kemungkinan aspirasi kalangan minoritas yang
tumbuh tanpa kuasa yang cukup untuk mengoyak rezim hukum liberal amerika. Mereka
(kalangan minoritas) berjuang mencari keadilan berada di titik nadir dan ditepi jurang
penderitaan.59 Implikasi dari corak critical legal studies yang seperti ini adalah
mendefinisikannya sebagai teori yang berisi penentangan terhadap norma-norma dan standar-
standar didalam teori dan praktik hukum yang selama ini telah diterima secara luas, dalam hal
ini adalah apa yang didasarkan pada sebuah premis ajaran liberal legal justice. Critical Legal
Studies percaya bahwa logika-logika dan struktur hukum muncul dari adanya relasi kuasa
dalam masyarakat yang membentuk hukum tersebut. dalam kerangka ini, maka siapa saja
yang kaya dan kuat, menggunakan hukum sebagai instrumen untuk melakukan penekanan-
penekanan kepada masyarakat sebagai cara untuk mempertahankan kedudukannya. Oleh
karenanya, hukum sekedar diperlakukan sebagai a collection of beliefs atau seperangkat
keyakinan yang digunakan untuk melakukan tertib sosial.60

Anak kandung yang lebih radikal dari Critical Legal Studies adalah teori Chaos dalam
hukum, teori ini dipopulerkan oleh Charles Sampford dalam bukunya The Disorder of Law: A
Critique of Legal Theory, sebagaimana yang diutarakan oleh Thoams Kuhn bahwa segala
pengetahuan tidak akan pernah mungkin berdiri sendiri dan secara mutlak bekerja dalam

58
Pembicaraan tidak diketatkan kepada apa yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan belaka,
menurut Mark Kelman bahwa konferensi tersebut memberikan catatan penting pada sinisme pembangunan
pendekatan general, metode induktif yang membuat tesisnya diberlakukan universal. Hukum menjadi sebuah
instrumen sosial, ekonomi dan dominasi politik. Dominator politik telah membuat hukum berubah menjadi
sebuah sarana dari legitimasi setiap tindakannya yang mematikan fungsi-fungsi sosial kemasyarkatakan. Studi
Hukum kritis menitikberatkan pada komitmen untuk membuka ruang-ruang diskusi tetapi tetap menghargai
kepentingan-kepentingan individu. Studi hukum kritis melihat suatu kontradiksi dalam cara berfikir tradisi
liberal yang mengunggulkan pemenuhan hasrat yang seharusnya bersifat arbiteri, subjektif, individual dan
mendekonstruksi alienasi. Sehingga klaim objektif dalam tradisi liberal hendak dipatahkan dengan
memunculkan kembali sebuah distingsi antara objektif dan subjektif. Sesuai dengan kriminolog madzhab
deterministik atau Madzhab frankfurt yang menggali dalam jauh ke aspek psikologis atau subjektifitas
seseorang. Awaludin Marwan, Studi Hukum Kritis dari Modern, Postmodern hingga Postmarxis (Yogyakarta:
Thafamedia 2012) Hal: 1-2
59
Awaludin Marwan, ibid Hal: 2-3
60
Fx Adji Samekto, Studi Hukum Kritis Kritik Terhadap Hukum Modern (Bandung: Citra Aditya Bakti 2005) Hal:
57-58

17
keadaan tunggal, yang ada adalah pada suatu waktu terjadi sebuah dominasi hingga sebuah
ilmu tersebut dianggap normal scince itu mengalami suatu krisis dan secepat kilat mampu
digantikan oleh sebuah paradigma yang alternatif. Hal ini terjadi ketika paradigma dari
Cartesian dan Newtonian berkembang dan diluluhlantahkan oleh chaos dalam hukum (Legal
Disorder) dari Sampford. Teori Sampford berusaha untuk menolak teori sistem yang secara
tegas menganggap bahwa masyarakat selalu dalam kondisi yang stabil dan tertib, bagi
Sampford yang menjangkarkan pemikirannya pada kenyataan atau realitas sosial, dengan
menganggap bahwa gerak masyarakat dan hukum selalu dalam kondisi yang asimetris
(melee) atau cair, asumsi dasar untuk mengkonstruksi teori sampford adalah dengan
memandang bahwa adanya sebuah relasi kuasa termasuk didalamnya juga relasi otoritas dan
relasi nilai. Hal ini terjadi karena setiap hubungan sosial itu dipersepsikan secara berbeda
sehingga terjadi polarisasi tingkah laku dalam interaksi sosial.61 Masyarakat yang bersifat cair
berkosnsekuensi pada tatanan hukum yang juga cair untuk, untuk tatanan hukum yang tidak
teratur dan kompleks karena masyarakat bersifat asimetris dan juga juga kompleks, maka
sebagai suatu realitas mikro dari masyarakat hukum pun demikian. Otoritas sebagai bagian
dari tipologi kekuasaan yang sejajar dengan paksaan, manipulasi dan persuasi, otoritas ini
hadir dipermukaan dengan otoritas politik yang sah, kekerasan, bujukan dan kewenangan
mulai dari relasi otoritas yaitu bagaimana aparatur formal memperlihatkan kewenangan
tertentu melalui simbol-simbol, kantor, seragam, senjata dan lain-lain.62 Untuk menutup
pembahasan tentang relasi kuasa yang menjadi jangkar dari sebuah narasi besar bernama
Critical Legal Studies maka ungkapan yang ditulis oleh Yasraf Amir Piliang dan Agus
Rahardjo dalam bukunya ini menjadi tepat rasanya. Yasraf menulis:

“Berbagai noise yang silang menyilang di atas tubuh bangsa ini adalah satu upaya
kolektif untuk membongkar struktur-struktur parasit ekonomi, politik, hukum dan
budaya warisan rezim yang telah keropos. Parasit kekuasaan itu adalah parasit yang
feodalistis, monopolistis, kolutif, nepotis, represif, sentralistis dan eksklusif.
Semuanya ingin dibersihkan, dihabiskan serta diganti dengan aransemen,
komposisi atau pola-pola yang lebih sesuai dengan -Zeigeist- reformasi dan
globalisasi. Semua suara parau, jeritan melengking dan teriakan lantang para
pendukung reformasi yang menyertai proses penghancuran parasit tersebut disadari
atau tidak sebetulnya merupakan satu cara bertindak kolektif yang sama-sama
dilandasi oleh suatu model berfikir atau strategi intelektual”.63

Menurut Agus Rahardjo bahwa fenomena chaos dan perhelatan pengaruh kekuasaan dengan
hukum terlihat jelas dalam dua dasawarsa terakhir di tahun 1997 sampai dengan sekarang,
belum sempat keluar dari keterpurukan namun yang terjadi malah krisis multidimensional. Di
lapisan struktur kekuasaan merebak korupsi hingga ke tingkat yang paling bawah, persoalan
kewibawaan aparat negara yang hilang bahkan saat ini sulit menemukan sosok yang dapat

61
Absori, Kelik Wardiana dan Saepul Rahman, Paradigma Hukum Profetik: Kritik Atas Paradigma Hukum Non-
Sistematik, (Yogyakarta: Genta Publishing 2018) Hal: 56
62
Absori, Kelik Wardiana dan Saepul Rahman, Ibid Hal: 57
63
Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang Menakutkan, Mesin-Mesin Kekerasan Dalam Jagad Raya Chaos
(Bandung: Mizan 2001) Hal: 266-267

18
dijadikan panutan, bahkan diperparah dengan adanya teladan tokoh politik yang melecehkan
putusan pengadilan yang memvonis dirinya. Agus lebih menegaskan dengan menulis:

“Keadaan yang demikian kacau dan tidak beraturan ini menimbulkan pertanyaan
yang sulit untuk dijawab. Pertanyaan-pertanyaan dari Yasraf Amir Piliang di
bawah seperti mewakili kita semua. Melihat kebalnya berbagai kejahatan terhadap
sentuhan-sentuhan hukum akhir-akhir ini, kita pantas bertanya apakah kejahatan itu
sendiri telah berkembang begitu sempurna sehingga ia melampaui batas-batas
kemampuan hukum, ataukah justru sebaliknya perangkat hukum itu yang telah
kehilangan otoritas, sehingga sudah tidak kuasa untuk menghadapi kecanggihan
dari kejahatan. Apakah masyarakat kita telah memasuki wacana kejahatan yang
telah melewati batas realitas sebagaimana disinyalir oleh Jean Baudrillard dalam
The Perfect Crime, dimana kejahatan dan kriminalitas telah berkembang
sedemikian rupa sehinggap mencapai tingkat yang paling sempurna.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tak bisa dijawab secara memuaskan dengan


menggunakan pendekatan yang linier-mekanistik seperti ajaran rechdogmatiek atau
legal-positivisme yang masih menguasai dunia hukum di Indonesia saat ini. untuk
menjawab persoalan itu maka memerlukan kesediaan kita untuk melihat dunia
hukum bukan sebagai keadaan yang tertib dan teratur sebagaimana yang
dipersepsikan oleh para kaum legal-positivism, akan tetapi kita harus berangkat
dari teori yang serba kacau yaitu teori kekacauan (chaos theory)”.64

selain lahir dari jangkar kuasa, Critical Legal Studies pun lahir dari rahim politik amerika
yang sedang memanas atau dapat dikatakan tidak baik-baik saja. Para yuris, akademisi dan
lawyer pada tahun 1977 resah terhadap wacana yang digulirkan oleh Amerika terhadap
perang vietnam, perang vietnam menjadi titik tolak yang melatar belakangi terbentuknya
konferensi Wissconsin itu. sepertinya amerika memang tak ingin menyerang Soviet ataupun
China. China terlalu kuat dibawah kendali Mao Tze Sung. Namun ideologi sosialis-komunis
akan tumbuh subur dibelahan asia. Sebelum merajalela menjadi kekuatan yang tak
tertandingi, amerika hendak mencegah menjalarnya virus sosialis-komunis itu. vietnam
dibawah kendali dari Ho Chi Minh selama tujuh tahun belakangan dipandang sebagai embrio
kekuatan komunisme yang berbahaya. Akhirnya bala tentara amerika pun dikirim ke vietnam.
Meneruskan proyek perang roosevelt, angin neokolonial dihembuskan ke wilayah asia
tenggara, kamboja dan laos yang berpusat di wilayah vietnam. Namun, nampaknya rakyat
amerika sudah berhenti berantusias untuk mengikuti ronde pertarungan dalam arena perang
dunia pertama dan kedua. Dan mulai malas untuk mengikuti kehendak penguasa yang sangat
haus akan peperangan. Meski amerika memiliki milyaran senjata yang canggih, namun
tetaplah perang selalu menghasilkan korban jiwa dikedua kubu. Para veteran perang dunia
kedua yang sudah tidak lagi diperlakukan sebagai pahlawan dijadikan pelajaran berharga oleh
masyarakat amerika bahwa perang tidak akan pernah membuat sejahtera dan perdamaian
untuk mereka. Hingga akhirnya para keluarga korban perang vietna membentuk aliansi yang

64
Agus Rahardjo, Membaca Keteraturan dan Ketakteraturan, Jurnal Ilmu Hukum Syiar Madani, Vol. 9 No.2 Juli
2017 FH Unisba, Bandung Hal: 142-160

19
menentang milisi untuk dikorbankan dalam peperangan lagi. 65 dari sinilah Critical legal
Studies lahir untuk memporakporandakan segala hal yang menguliti keadilan dan perasaan
masyarakat. dengan berpijak pada pemikiran hukum yang menyegarkan.

Sampai disini asal-usul dari Critical Legal Studies, maka selanjutnya adalah hal yang sangat
disayangkan jika berbicara Critical Legal Studies tanpa berbicara tentang salah satu tokoh
sentral yang sangat berpengarung corak berpikirnya, tak lain dan tak bukan adalah Roberto
Unger.

Roberto Unger dan Perubahan Hukum yang Radikal


Mencengkram jantung Hukum
Lahir di Rio De Janeiro Brazil pada tahun 1947 dan hidup dilingkungan hukum karena
ayahnya Arthur Unger adalah seorang pengacara dan pengusaha, membuat Roberto Unger
memiliki akses pengetahuan yang kaya, selain kegemarannya dalam membaca buku, Roberto
Unger aktif menjadi pengamat politik, terbukti dengan keterlibatannya dalam memprakasai
Critical Legal Studies di Wissconsin University, sebagai seorang aktivis dan akademisi yang
mengajar di Harvard Law School, adalah hal yang aneh jika Roberto Unger tidak memiliki
gagasan khusus yang dapat mengantarkan narasinya untuk diketahui khalayak. Kita akan
memulai memperlihatkan gagasan Unger dengan mencoba menggali apa yang beliau bawa
untuk Critical Legal Studies.

Anthon F Susanto menyebutkan dalam bukunya bahwa Roberto Unger ketika menghadirkan
sebuah narasi Critical Legal Studies berangkat dari lahirnya sebuah hukum yang disebut
dengan Hukum Birokratis (Beauracratic Law) sebagai asal-usul dari hukum modern.66 Bagi
Roberto Unger bahwa sejatinya kemunculan hukum birokratis berasal dari kondisi-kondisi
yang menonjolkan peraturan publik dan peraturan positif dalam tatanan normatif masyarakat
yang dapat dibagi menjadi dua kategori besar. Yaitu pemisahan negara dengan masyarakat
dan disintegrasi komunitas. Kategori yang pertama sangat bertanggung jawab atas sifat
publik hukum birokratis dan yang kedua bertanggung jawab atas sifat positifnya.67

Pemisahan negara dan masyarakat menimbulkan efek yang sangat signifikan, hadirnya
peraturan-peraturan publik tidak mungkin dibicarakan sampai lembaga-lembaga masyarakat,
hal itu dapat dibedakan dengan sebuah badan yang mengawasi wewenang kelompok-
kelompok sosial lainnya dan membatasi interaksi mereka. Lebih jauh Unger berpendapat
bahwa pengorganisasian masyarakat sebagai hierarki kelompok mengandung beberapa
implikasi langsung terhadap pemisahan antara negara dan masyarakat pun munculnya
peraturan-peraturan publik. Setelah ada status sosial yang tegas dengan berbagai tingkat
kekuasaan atas satu sama lainnya, hubungan kelompok akhirnya diliputi ketidakstabilan yang
permanen, walaupun kerapkali laten sifatnya. Pelanggengan tatanan sosial yang sudah ada
dan kekuatan-kekuatan yang menopangnya membutuhkan perantara yang akan menjaga

65
Awaludin Marwan, Studi Hukum Kritis dari Modern, Postmodern hingga Postmarxis (Yogyakarta: Thafamedia
2012) Hal: 4-5
66
Anthon F Susanto, Hukum Dari Consilience ke Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif (Bandung: Refika
Aditama 2017) Hal: 51
67
Roberto M Unger, Teori Hukum Kritis Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern (Bandung: Nusamedia 2017)
Hal: 74

20
keutuhan sistem status tersebut, semakin luas hubungan ketergantungan dan dominasi antar
kelompok. Kebutuhan akan negara semakin mendesak. Pada akhirnya, Unger berpendapat
negara adalah pemenang atas relasi-relasi sosial lewat hegemoni dan pelanggengannya.68

Selain pemisahan negara dan masyarakat, yang membuat hadirnya hukum birokrasi adalah
terjadi sebuah Disintegrasi komunitas. Bagi Unger, disintegrasi komunitas adalah hal yang
paling krusial bagi munculnya fenomena hukum modern atau birokrasi hukum, ini terjadi
akibat manusia sudah sangat mampu untuk mempertanyakan praktik-praktik yang sudah
mapan sekaligus juga mampu untuk melanggarnya. Barulah setelah itu peraturan yang
eksplisit diperlukan dan mungkin untuk dibentuk. Oleh sebab itu, hukum birokrasi yang
terkait erat dengan positivisme bergerak dan terjadi disini. Unger melanjutkan, bahwa hukum
positif akan menjadi tidak ada gunanya selama masih ada hubungan erat saling terkait antara
ekspektasi-ekspektasi timbal balik berdasarkan kesamaan pandangan tentang benar dan salah.
Dengan latar belakang seperti ini, tatanan normaatif tidak akan muncul sebagai aturan yang
dirumuskan. Oleh sebab itu, tatanan positif adalah sebuah kejadian dimana masyarakat harus
diseragamkan akibat adanya suatu pergolakan dan perpecahan dari setiap masyarakat. dan
disinilah hukum birokrasi menjadi penguasa penuh dari masyarakat akibat adanya
disintegrasi komunitas.69

Bagi Roberto Unger adalah hal yang sangat lumrah jika kita berbicara hukum birokratis yaitu
segala hal yang berkaitan dengan Formalitas dan Objektifisme. Formalitas dan obketivisme
adalah sebuah tanda-tanda yang membedakan sistem hukum, pengupayaan hukum yang
bersifat general, otonom, publik dan positif. Gagasan formalitas dan objektivisme membuat
hukum menukik lebih dalam, memeluk pemerintahan berdasarkan aturan hukum berupa teks
peraturan. Sistem peraturan bersifat formal sepanjang sistem tersebut mengizinkan resmi atau
tak resminya membenarkan keputusan-keputusannya dengan mengacu pada peraturan-
peraturan itu sendiri dan ada tidaknya fakta yang dinyatakan oleh peraturan tersebut tanpa
sedikitpun menggubris segala hal yang berkait dengan keadilan atau kemanfaatan yang
lainnya.70 Awaludin Marwan meringkasnya dengan membagi antara keduanya, bahwa
formalitas adalah doktrin hukum dan metode analisis hukum hanya mengkombinasikan dua
karakteristik. Pertama, kehendak yang bekerja dari pendefinisian bahan institusionalitas yang
memberi tradisi kolektif dan klaim otoritas atas pengendalian tradisi tersebut. dengan kata
lain, hukum yang dibingkai dalam formalitas tak bisa dijangkau oleh para pihak-pihak yang
kalah secara politis. Hukum dilahirkan dari kelompok-kelompok pemenang. Sedang
objektivisme adalah pemaksaan pemahaman hukum yang menyebar keseluruh lini kehidupan
sosial. ia seolah-olah telah lahir dengan sempurna dan menjadi sebuah keputusan yang tepat
bagi semuanya. Ia akhirnya melahirkan otoritas-otoritas yang pada akhirnya hanya akan
menciptakan kalangan korporatis dan aristokratis.71

68
Roberto M Unger, Ibid Hal: 76-78
69
Roberto M Unger, Teori Hukum Kritis Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern (Bandung: Nusamedia 2017)
Hal: 78-79
70
Roberto M Unger, Ibid Hal: 268-269
71
Awaludin Marwan, Studi Hukum Kritis dari Modern, Postmodern hingga Postmarxis (Yogyakarta: Thafamedia
2012) Hal: 29

21
Pada saat kapitalisme lanjut telah membumbung tinggi dilautan kehidupan dengan
terciptanya hukum birokratis atau positifisasi terhadap hukum yang melegitimasi kerja-kerja
kapitalisme. Maka Roberto Unger menawarkan dua model doktrin untuk menggali secara
akurat, pertama Roberto Unger menginginkan adanya misi ketidakpercayaan pada hal yang
normatif, jika argumen seseorang masih terkungkung pada normatifitas, maka rasionalitas
pasal masih membeleng dan tidak membeaskan manusia dalam berfikir. Sementara yang
kedua adalah membuka diri dalam perdebatan kontroversi teori sosial dan ideologi yang
dianut kemudian disembunyikan oleh setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa.72

Terdapat sebuah kandungan yang menjadi barang berharga dari model yang coba ditawarkan
oleh Roberto Unger diatas, yakni tentang hukum yang harus memenuhi tiga ruang (kontrak,
pasar dan solidaritas). konsensus, komunikasi diskursif dibuka dalam ruang publik,
menyingkirkan pasar kapitalis, namun menyediakan pasar-pasar yang memihak orang
tertindas dan itu merupakan panggilan kesetia kawanan sosial sebagai manusia yang masih
memiliki solidaritas.73

Yang terakhir, Unger percaya bahwa perubahan hukum bukanlah dengan revisi atau
amandemen sistem hukum, melainkan melalui sebuah pemahaman “Hukum dalam bingkai
aksi gerakan”. Kelompok kepentingan bersatu membentuk identitas kolektif maupun gerakan
yang sporadis dan militan, yang bisa mengkoneksikan sensibilitas pada teori (kecurigaan
pada objektivisme dan formalisme) danj ranah praktek (instrumen hukum dan tujuan gerakan
sosial kiri), membentuk barisan aksi politik yang merubah keadaan penguasa yang bersirikan
liberal-kapitalis.

Kesimpulan

Membingungkan dan amat melelahkan kajian ini, meskipun sedikit melebar dan sulit
ditemukan juntrungannya karena terlampau capruk dan mengundang sensasi. Namun
setidaknya kita dapat mengambil beberapa pelajaran dari kajian ini. pertama, bahwa hukum
dan politik adalah kesatuan yang tidak akan mungkin dipisahkan sampai kapanpun. Artikulasi
tertinggi dari politik adalah dengan hukum yang tercipta dan terlaksana. Namun akhir-akhir
ini para oknum secara sengaja mematenkan hukum pada aturan yang berciri legalistis dengan
peraturan perundang-undangan sebagai tonggaknya. Bagi Unger dan Critical Legal Studies,
mustahil aturan tersebut netral dan bebas nilai, pasti menganut nilai dari pemenang yang
membuat aturan tersebut. kajian Critical Legal Studies dan Unger mengarah pada hukum
yang berada dalam lingkungan kapitalis. Maka disini Unger sampai pada kesimpulang bahwa
aturan hukum yang baik dalam perubahannya harus menggunakan aksi masa dan bukan
sekedar revisi biasa. Apakah hal tersebut dapat terjadi di Indonesia? Entahlah, kita hanya
berusaha (MRM)

72
Awaludin Marwan, Ibid Hal: 30
73
Awaludin Marwan, Studi Hukum Kritis dari Modern, Postmodern hingga Postmarxis (Yogyakarta: Thafamedia
2012) Hal: 30

22
Daftar Bacaan

BUKU

Absori, Kelik Wardiana dan Saepul Rahman, 2018. Paradigma Hukum Profetik: Kritik Atas
Paradigma Hukum Non-Sistematik, (Yogyakarta: Genta Publishing)

Ahmad Suhelmi, 2004. Perkembangan Pemikiran Politik Barat Kajian Sejarah


Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama)

Anthon F Susanto, 2019. Filsafat dan Teori Hukum Dinamika Tafsir Pemikiran Hukum di
Indonesia (Jakarta: Prenadamedia Group)

---------------------- 2017. Hukum dari Consillience ke Paradigma Hukum Konstruktif-


Transgresif (Bandung: Refika Aditama)

Akhyar Yusuf Lubis, 2016. Pemikiran Kritis Kontemporer dari Teori Kritis, Cultural
Studies, Feminisme, Postkolonialisme dan Multikulturalisme (Jakarta: Rajawalipres)

Awaludin Marwan, 2012. Studi Hukum Kritis dari Modern, Postmodern hingga Postmarxis
(Yogyakarta: Thafamedia)

Bernard Arief Shidarta dkk, 2014. Pengembanan Hukum Teoritis Refleksi atas Konstelasi
Disiplin Hukum (Bandung: Logoz Publishing)

Dawam Rahardjo, 1996. Iman Ekonomi dan Ekologi (Yogyakarta: Kanisius)

Dede Mulyanto, 2018. Genealogi Kapitalisme Antropologi Dan Ekonomi Politik Pranata
Eksploitasi Kapitalistik, (Yogyakarta: ResistBook)

F.Budi Hardiman, 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: Kanisius)

Fritjof Capra, 2002. Titik Balik Peradaban, (Yogyakarta: Bentang Budaya)

Fx Adji Samekto, 2005. Studi Hukum Kritis Kritik Terhadap Hukum Modern (Bandung:
Citra Aditya Bakti)

23
john Bellamy Foster, 2013. Ekologi Marx Materialisme dan Alam (Jakarta: Aliansi Muda
Progresif) Terj: Pius Ginting dan N J Bachtiar pada bagian bab 5

Maurice Duverger, 2014. Sosiologi Politik (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada)

Martin Suryajaya, 2016. Sejarah Pemikiran Klasik dari Prasejarah hingga Abad ke-4 SM
(Tangerang: Marjin Kiri)

Miriam Budiardjo, 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia)

Roy C Macridis, 1996. Edisi Keenam untuk Perbandingan Politik Sebuah Catatan dan
Pembacaan (Jakarta: Penerbit Erlangga) Terj: Henry Sitanggang

Roberto M Unger, 2017. Teori Hukum Kritis Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern
(Bandung: Nusamedia)

Peter De Cruz, 2016. Perbandingan Sistem Hukum Civil Law Common Law And Socialist
Law, (Bandung: Nusamedia)

Satjipto Rahardjo, 2009. Hukum dan Perilaku; Hidup yang Baik adalah Dasar Hukum yang
Baik (Jakarta: Kompas)

Satjipto Rahardjo, 2011. (Ilmu) Hukum Dari Abad Ke Abad Dalam Butir-Butir Pemikiran
Hukum Memperingati 70 Tahun Prof.Dr.B.Arief Shidarta,S.H. (Bandung: Refika Aditama)

Soetandyo Wignjosebroto, 2000. Doktrin Supremasi Hukum Sebuah Tinjauan Kritis dari
Perspektif Historis dalam Wajah Hukum di Era Reformasi Kumpulan Karangan Menyambut
70 Tahun Prof.Satjipto Rahardjo (Bandung: Alumni)

Yasraf Amir Piliang,2001. Sebuah Dunia Yang Menakutkan, Mesin-Mesin Kekerasan Dalam
Jagad Raya Chaos (Bandung: Mizan)

JURNAL

Agus Rahardjo, 2017 Membaca Keteraturan dan Ketakteraturan, Jurnal Ilmu Hukum Syiar
Madani, Vol. 9 No.2 Juli FH Unisba, Bandung

Arianto Sangaji, 2014. Materialisme Sejarah dan Transisi dari Feodalisme ke Kapitalisme,
Vol.1 No.01 Indoprogress Jurnal Pemikiran Marxis

24

Anda mungkin juga menyukai