“Sejarah bergerak maju secara dialektis menuju kebebasan yang semakin besar dan rasional”
G.W.F Hegel
Filsafat yang berpengaruh di Eropa pada abad ke-19 adalah idealisme dari Jerman,
khususnya yang dibangun oleh G.W.F Hegel (1770-1831). Idealisme adalah aliran filsafat yang
berpendapat bahwa dunia tergantung pada gagasan yang kita bangun, atau merupakan hasil
kegiatan kesadaran kita. Immanuel Kant (1724-1804) sudah merintis jalan ke arah pandangan ini
ketika ia mengatakan bahwa pengalaman kita mengenai dunia ditentukan oleh struktur akal budi
dan kategori pemikiran yang kita miliki. Ini tak ubahnya seperti ketika kita memakai kacamata
merah, dan kita mulai melihat segala sesuatu berwarna merah, padahal benda-benda yang kita
lihat atau realitas sebenarnya belum tentu berwarna demikian. Inilah dunia “penampakan”
(phenomena), dunia pengalaman kita sebagaimana ditentukan oleh struktur kesadaran kita, yang
berlawanan dengan dunia pada dirinya sendiri (noumena).
Akan tetapi, para filsuf idealis sesudah kant, seperti Johann Gottleib Fichte (1762-1814)
dan Friedrich Wilhelm Joseph von Schelling (1775-1854) serta G.W.F Hegel menolak adanya
dunia-pada-dirinya-sendiri. Mereka mengembangkan filsafat yang berpusat pada dunia
kesadaran, yakni kesadaran universal atau diri absolut (absolut self) yang bekerja di alam dan
dalam kesadaran manusia individual, serta mencoba mempersatukan keduanya. Tugas filsafat
dalam hal ini adalah menjadikan Diri absolut ini eksplisit. Bagi Hegel, hal ini berarti meninjau
kembali sejarah filsafat dan pemikiran manusia pada umumnya, guna menunjukan bahwa semua
“bentuk kesadaran” kita (form consciousness) sedang berusaha merealisasikan identitas Diri
absolut ini.
Keluarga
Keluarga, masyarakat warga dan negara adalah tiga momen Sittlichkeit dalam masyarakat
modern. Hegel mengatakan bahwa keluarga adalah bentuk kehidupan etis yang paling dasar dan
alami. Tidak ada lagi institusi lain yang mendahului keluarga yang dapat dikatakan sebagai
bentuk kehidupan etis. Bahkan keluarga yang paling primitif pada zaman purbakala pun telah
mengajarkan nilai-nilai etis tertentu. Melalui pendidikan di dalam keluargalah orang pertama-
tama mengenal dan belajar apa itu yang etis. Sebagai momen yang menegasi moralitas, dalam
institusi keluarga juga terdapat subjektivitas, misalnya dalam kebebasan memilih pasangan hidup
dan dalam keputusan untuk menghasilkan keturunan. Tapi subjektivitas dan kebebasan di sini
tertutupi oleh kebersamaan yang didasarkan atas cinta sebagai dasar atau fondasi bagi institusi
keluarga.
Dalam keluarga, kata Hegel, orang tidak melihat dirinya sebagai individu partikular yang
bebas dengan hak vis-a-vis satu sama lain, melainkan sebagai bagian tak terpisahkan dari sebuah
totalitas kebersamaan. Dalam keluarga masing-masing orang selalu memahami dirinya dalam
relasinya dengan anggota keluarga lainya, entah sebagai anak, ibu istri atau bapak. Di sini tidak
ada tempat bagi individualitas atau egoisme. Sebagai subtansialitas langsung dari Roh, keluarga
memiliki kesatuan yang dirasakan menentukan keluarga itu, yakni cinta, sehingga muncul
keyakinan berupa kesadaran diri mengenai individualitas dalam kesatuan tersebut, sebagai esensi
yang ada pada dan untuk dirinya sendiri, dan karena itu dalam ikatan tersebut ia bukan sebuah
Person, melainkan anggota (Mitglied).
Masyarakat Warga
Defisit subjektifitas dalam keluarga menjadi faktor logis pendorong munculnya momen
berikutnya, yakni masyarakat warga, karena manusia tidaklah semata-mata merupakan bagian
dari sebuah kolektifitas tapi juga individualitas partikular yang memiliki subjektifitasnya masing-
masing. Masyarakat warga adalah “kerajaan kebebasan” di mana individu-individu yang telah
meninggalkan wilayah keluarga bertemu satu sama lain berdasarkan dorongan kepentingan
subjektifnya. Dalam momen masyarakat warga, kebersamaan absen dan digantikan oleh
kepentingan partikular subjektif.
Orang berdagang di pasar bukan karena ia mau memenuhi kebutuhan subjektifnya
sendiri. Pembeli pun demikian. Pembeli membeli barang yang ditawarkan pedagang bukan
karena ia mau menolong pedagang, melainkan karena ia harus memenuhi kebutuhan subjektifnya
sendiri. Dalam masyarakat warga, kata Hegel, setiap orang menjadikan dirinya sebagai tujuan,
orang lain tidak berarti apa-apa baginya kecuali sebagai sarana bagi pemuasan kebutuhan
subjektifnya. Demikianlah, setiap orang menjadikan setiap orang lainya sebagai sarana bagi
pemuasan kebutuhanya, sehingga terciptalah “sebuah sistem interdepedensi yang komplet”.
Negara
“Karena Kebenaran adalah kesatuan dari Kehendak universal dan subyektif; dan yang
Universal harus ditemukan dalam Negara, dalam hukum-hukumnya, dalam bentuknya yang
universal dan rasional. Negara adalah Roh Tuhan yang ada di atas Bumi” Hegel, Philosophy
Of History
Di sini kita dapat memilih nilai positif dan negatif yang terkandung dalam kedua momen
sebelumnya. Dalam keluarga terdapat kebersamaan atau kolektivitas tapi subjektifitas tidak ada.
Sebaliknya, dalam masyarakat warga terdapat subjektifitas tapi kolektifitas tidak ada. Dan
masyarakat tentu tidak dapat bertahan bila setiap anggotanya mengejar kepentingan subjektifnya
sendiri dengan saling menjadikan semua yang lain sebagai sarana. Egoisme dan subjektifitas
seperti ini tentu tidak mungkin dijadikan dasar hidup bersama. Di sinilah negara muncul, sebagai
sintesis yang mentranformasi secara dialektis unsur-unsur positif yang terdapat dalam kedua
momen sebelumnya.
Unsur positif dalam keluarga adalah kesatuan organis yang menempatkan kepentingan
bersama di atas kepentingan pribadi, sementara unsur negatifnya adalah belum adanya kesadaran
akan subjektivitas yang rasional. Unsur positif dalam masyarakat warga adalah subjektifitas
sebagai individu yang mandiri, sedangkan unsur negatifnya adalah sikap liberal individual yang
cenderung anarkis. Dalam negara, tentu yang dimaksud di sini adalah negara organis dan modern
ala Hegel. Elemen-elemen positif dalam keluarga dan masyarakat warga dipertahankan dan
diangkat ke level yang lebih tinggi : prinsip keluarga, yakni universalitas dijunjung tapi sekaligus
prinsip masyarakat warga, yakni partikularitas didorong untuk berkembang sepenuhnya.
Tentang negara, Hegel menulis :
“Esensi negara modern adalah bahwa yang universal terjalin dengan kebebasan penuh para
anggota partikularnya dan dengan kesejahteraan individu, juga bahwa kepentingan keluarga
dan masyarakat warga harus tersimpul di dalam negara ... (Dengan demikian) yang universal
harus dijalankan, tapi di sisi lain, subyektivitas juga menjadi berkembang secara penuh dan
hidup. Hanya bila kedua momen itu berlangsung dalam kepenuhanyalah maka negara dapat
dipandang telah diorganisasikan dan ditata secara benar”.
Konsep kunci dalam skema dialektika Hegel : Universalitas (U) adalah tesis,
Partikularitas (P) antitesis, Individualitas (I) sintesis. Setiap momen dialektis selalu diawali
secara konseptual dengan (U) yang kemudian mengalami antitesis atau negasi, yakni (P), dan
pada akhirnya tersintesakan dalam (I). Universalitas berarti kesatuan yang belum terdiferensiasi,
sementara Partikularitas diferensiasi atau perbedaan yang muncul dari (U), sedangkan
Individualitas adalah sintesis dari keduanya, yakni yang telah menyatukan baik kesatuan maupun
perbedaan dalam level yang lebih tinggi. Dengan penjelasan yang sangat singkat ini, maka secara
konseptual kita dapat mengatakan keluarga sebagai Universalitas, masyarakat warga sebagai
Partikularitas, sedangkan negara (sebagai sintesis dari keduanya) sebagai Individualitas.
Daftar Bacaan :
v Budi Hardiman, F. Kritik Ideologi, Yogyakarta: Kanisius, 1989
v Budi Hardiman, F. Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kanisius, 2007
v Budi Hardiman, F. Ruang Publik, Yogyakarta: Kanisius, 2010
v Hegel, G. W. F., Filsafat Sejarah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
v Henry J.Schmandt, Filsafat Politik, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002
v Hidya Tjaya, Thomas, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia), 2004
v Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
v Schacht, Richard, Alienasi: Yogyakarta, Jalasutra, 2005
[1] Makalah ini disampaikan diacara Program Studi Epistemologi (Filsafat Ilmu) Rumah
Indonesia, Jakarta
[2] Penulis adalah mahasiswa psikologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung angkatan 2008
[3] Secara sederhana, istilah Sittlichkeit dapat didefinisikan sebagai keseluruhan tatanan sosial-
politik yang mewujudkan secara kongkret keseluruhan nilai-nilai moral hukum, aturan-aturan
konvensional, cita-cita dan kehendak warga negara atau secara singkat “tatanan sosial-politik
etis”.
Kalimat Tesis, Anti-tesis dan Sintesis
§ Tesis merupakan kesimpulan atas sebuah hasil riset ilmiah yang didasari atas bukti-bukti dan
pemikiran logis
§ Antithesis adalah hasil sebuah riset ilmiah yang menggambarkan keterbalikan atau sangkalan atas
tesis yang ada sebelumnya dengan maksud meluruhkan tesis itu.
§ Sintesis merupakan jawaban atau kesimpulan atas pertentangan yang dibuat antara tesis dan antitesis
sehingga menjadi satu hal utuh yang merupakan hasil ilmiah yang baru.
Contoh :
Tesis : Mahasiswi cenderung berprilaku konsumtif tidak berdasarkan kebutuhan, tetapi didorong oleh
hasrat dan keinginan
Anti tesis : Faktor eksternal seperti teman dekat, teman rumah dan lain sebagainya, sangat
mempengaruhi untuk menciptakan perilaku yang konsumtif
Sintesis : Perilaku konsumtif mahasiswi tidak hanya disebabkan oleh adanya hasrat dan keinginan,
karena faktor eksternal adalah faktor yang sangat mempengaruhi seseorang untuk berprilaku konsumtif.
Perilaku konsumtif merupakan kecenderungan manusia untuk melakukan konsumsi tiada batas,
membeli sesuatu yang berlebihan atau tidak secara terencana. pada banyak kasus, perilaku konsumtif
ini tidak berdasarkan pada kebutuhan, tetapi didorong oleh hasrat dan keinginan. faktor yang sangat
mempengaruhi seseorang berprilaku konsumtif adalah faktor eksternal, seperti teman dekat, teman
rumah, teman disekitarnya dan lain sebagainya.